Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 139 MENGGALI NILAI-NILAI LUHUR MASYARAKAT MASA LALU DARI TINGGALAN BUDAYA MATERI Studi Kasus Media Pengagungan Arwah Leluhur

TRACING THE PAST GLORIOUS CULTURAL VALUES FROM INHERTITANCE CULTURAL MATERIAL Case Studies Media Glorification Ancestor Spirits

Lutfi Yondri1, Nina Herlina Lubis1, dan Mundardjito2 1Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran 2Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas e-mail: [email protected] [email protected], [email protected]

Naskah Diterima: 1 Maret 2016 Naskah Direvisi:30 Maret 2016 Naskah Disetujui:21 April 2016

Abstrak Berdasarkan hasil penelitian tentang tinggalan budaya materi dan tradisi budaya yang terkait dengan pengagungan arwah leluhur atau yang sering disebut dengan istilah pengagung arwah leluhur yang telah dilakukan oleh para prasejarawan selama ini, merupakan refleksi dari nilai-nilai masyarakat yang pernah berkembang pada masa lalu. Temuan tersebut dijadikan sebagai sumber data. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan pendekatan semiotika. Tulisan ini bertujuan mengelaborasi berbagai nilai lama yang tercermin dari tinggalan budaya materi dan tradisi yang disimpulkan pernah berkembang di tengah masyarakat pengagung arwah leluhur. Nilai-nilai tersebut antara lain semangat persatuan, kepemimpinan, gotong royong, dan sikap toleransi dalam kepercayaan. Bila hal ini disosialisasikan kembali di tengah masyarakat sekarang tentunya akan dapat memberikan sumbangan yang sangat positif bagi masyarakat. Kata kunci: pemimpin, musyawarah, gotong royong, solidaritas.

Abstract This study is based on the results of research on the remains of cultural material and traditions associated with the glorification of ancestors or often referred to as the adoration of ancestors that have been done by the pre-historian over the years. It is as a reflection of the values of the community once developed in the past. The findings are used as the data source. The data is then qualitatively analyzed using a semiotic approach. This paper aims to elaborate the various old value that is reflected from the remains of cultural material and tradition that ever developed in the adorer ancestral spirits society. The values include the spirit of unity, leadership, mutual cooperation, and tolerance in the trust. If these values are re-socialized in society now, it will certainly be able to provide a very positive contribution to society. Keywords: leader, discussion, mutual cooperation, solidarity.

A. PENDAHULUAN Manusia dengan kebudayaan Kebudayaan manusia senantiasa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berhubungan dengan akal manusia. dipisahkan. Kebudayaan merupakan hasil Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai cipta, karsa, dan karya pada saat “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. berinteraksi dengan lingkungan. Koentjaraningrat menjabarkan bahwa 140 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154 kebudayaan tersebut dapat terlihat dalam lalu dan rekonstruksi cara-cara hidup tiga wujud, yaitu ide atau gagasan, masyarakat masa lalu. aktivitas, dan artefak. Dalam hal ini, ide Tidak dapat dipungkiri dari atau gagasan dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dan budaya masa lalu tersebut kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, telah diwarisi berbagai bentuk nilai luhur. norma-norma, peraturan dan sebagainya, Namun nilai-nilai luhur yang sudah tergali sifatnya abstrak, berada dalam alam tersebut kadang terpinggirkan begitu saja, pikiran manusia. Dalam hal ini, seolah tergerus oleh zaman, dan kemudian kebudayaan dipandang sebagai kompleks berdampak pada sendi-sendi kehidupan aktivitas serta tindakan berpola dari bangsa. Tidak salah kalau Diana N. manusia dalam masyarakat. Sifatnya Mansur pada tahun 1999 itu juga konkret, dapat diobservasi, difoto, dan mengemukakan pandangannya bahwa akar didokumentasi. Sementara itu artefak masalah yang kini membelenggu bangsa adalah wujud kebudayaan sebagai benda- Indonesia yakni keterpurukan, keterom- benda hasil karya manusia. Sifatnya bang-ambingan serta keresahan yang konkret, dapat dirasakan oleh panca indera. merisaukan dan mengerikan adalah Selain itu juga disebutkan bahwa pengingkaran adanya fakta sejarah kebudayaan merupakan seluruh hasil fisik, (Kompas, 23 April, 1999: 21). aktivitas, perbuatan, dan karya semua Bila dilihat perkembangan budaya manusia dalam masyarakat dan pola-pola budaya yang ada sekarang, (Koentjaraningrat, 2003:186-190). sebenarnya banyak di antaranya yang Berkaitan dengan produk budaya masih berakar pada budaya-budaya lama. materi masa lalu, khususnya yang menjadi Nilai-nilai tersebut beberapa di antaranya objek studi arkeologi, sesungguhnya studi telah mengalami berbagai distorsi sebagai arkeologi itu tidak sebatas merekonstruksi akibat dari telah merosotnya semangat peristiwa masa lampau. Henri Chambert kesatuan dan kebersamaan di tengah Loir (1999) pernah mengemukakan masyarakat. Hal itu diperkirakan pemikirannya bahwa dalam paradigma merupakan penyebab dari tergoncangnya terbaru, disiplin arkeologi justru dituntut integrasi bangsa yang sudah terjalin begitu mampu memformulasikan hukum dan lama di bumi Indonesia. Unsur penyebab dinamika budaya dari masa ke masa. dari goncangan integrasi bangsa yang lain Dengan demikian studi arkeologi menjadi oleh banyak orang dilansir disebabkan oleh salah satu wahana pokok untuk faktor kepemimpinan (leadership). menemukan peradaban yang mungkin Beberapa di antaranya berkesimpulan telah terkubur selama berabad-abad tokoh pemimpin yang ada tidak dapat (Kompas, 5 Februari 1999: 9). mengayomi, maupun mempersatukan Pandangan ini sejalan dengan warganya dalam satu kesatuan. Dalam pandangan yang disampaikan oleh Sir masalah ini yang menjadi pertanyaan Mortimer Wheeller (1954) dalam adalah kharismatikkah pemimpin kita, tulisannya yang berjudul Archaeology from dapatkah ia menjadi panutan di segenap the Earth, menyatakan, we are not digging lapisan masyarakat, dan bisakah ia up things but people (Wheeler, 1954: 2). diterima di segenap lapisan masyarakat. Selain itu dengan mengenali masyarakat Melihat permasalahan itu tidak ada masa lalu melalui benda-benda yang salahnya bila dicoba kembali tentang mereka tinggalkan, tentunya dapat digali makna satu kebudayaan di tengah berbagai nilai yang pernah ada di tengah masyarakat yang sudah banyak berubah masyarakat masa itu. Hal ini sejalan ini. Hal ini perlu dilakukan karena selama dengan dua di antara tujuan arkeologi yang ini sering diungkapkan bahwa kebudayaan ditujukan untuk rekonstruksi budaya masa dipandang sebagai modal dasar pem- bangunan, sumber penggalian jati diri Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 141 bangsa, serta memiliki peran yang dapat Penelitian kualitatif (qualitative research) mempersatukan masyarakat, pengamalan adalah penelitian yang ditujukan untuk terhadap ajaran agama, pelestarian mendeskripsikan dan menganalisis lingkungan hidup, pendidikan dan juga fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap sebagai pedoman dalam kepemimpinan. kepercayaan, persepsi, pemikiran orang Sejalan dengan pemikiran ini, Sedyawati secara individual maupun kelompok (1992: 23) menyatakan bahwa jati diri (Moleong, 2007: 7). Analisis kualitatif- bangsa sebagian besar tertanam dalam deskriptif dalam penelitian ini disesuaikan sejarahnya. dengan kerangka teori semiotika model Seorang sarjana berkebangsaan Roland Barthes (1915-1980). Belanda bernama J.L.A. Brandes (1889) Untuk memeroleh bahan kajian, secara teoretis mengatakan bahwa jauh dilakukan pengumpulan data melalui studi sebelum datangnya pengaruh budaya India, pustaka dari buku-buku dan kajian-kajian bangsa Indonesia telah memiliki 10 terdahulu yang berhubungan dengan keterampilan budaya atau pengetahuan berbagai media yang memiliki fungsi yaitu , , ilmu irama sanjak, untuk pemujaan arwah leluhur berupa , pengerjaan logam, sistem mata uang tinggalan yang berasal dari masa lalu yang sendiri, ilmu teknologi pelayaran, sudah hilang konteks manusia pendukung astronomi, pertanian sawah, dan birokrasi budayanya. Selanjutnya dilakukan pendes- pemerintahan yang teratur. Bila pandangan kripsian. Dari hasil tersebut kemudian tersebut ditempatkan ke dalam lintas dilakukan kajian terhadap hasil deskirpsi kebudayaan yang pernah berlangsung di dan klasifikasi untuk kemudian dibuat kawasan dapat disimpulkan simpulan akhir sebagai hasil dari butir-butir tersebut sebagian besar dimiliki penelitian. masyarakat pendukung budaya peng- agungan arwah leluhur yang telah 1. Konsep dan Teori mengembangkan budaya bercocok tanam Konsep dan teori yang atau pertanian sawah dan pengerjaan melatarbelakangi tulisan ini berkenaan logam di masa lalu. Mereka saat itu telah dengan nilai kearifan dan semiotika, mampu menghasilkan berbagai monumen khususnya semiotika strukturalis yang yang terbuat dari batu-batu dengan ukuran dipelopori oleh Roland Barthes. Terkait besar seperti punden berundak, menhir, dengan nilai kearifan, secara leksikal dolmen, dan sebagainya. berasal dari kata "arif' yang memiliki arti Monumen-monumen tersebut "bijaksana", "cerdik dan pandai", tentunya tidak mungkin dapat dibangun di "berilmu", "paham", "memahami", masa lalu bila tidak ditunjang oleh "mengerti". Kearifan berarti (1) berbagai nilai yang ada di tengah "kebijaksanaan" dan (2) "kecendekiaan masyarakatnya. Berkaitan dengan hal (KBBI, 2002). Berdasarkan pengertian tersebut, menarik untuk dikaji adalah nilai- makna dalam kamus tersebut makna kata nilai luhur masa lalu apa sajakah yang "arif" sebagaimana yang dikemukakan dapat digali dari tinggalan budaya materi oleh Rahyono (2009) berkenaan dengan dan tradisi yang terkait dengan kegiatan dua hal, yakni (1) karakter atau pemujaan arwah leluhur dari masyarakat kepribadian (emosi) dan (2) kecerdasan masa lalu tersebut. (kognisi) (Rahyono, 2009: 3).

Sebagaimana disampaikan Nurma B. METODE PENELITIAN Ali Ridwan (2010) dalam tulisannya yang Penelitian ini menggunakan metode berjudul Landasan Keilmuan Kearifan penelitian kualitatif. Hal ini didasarkan Lokal, disebutkan bahwa kearifan lokal pada permasalahan yang telah peneliti atau sering disebut local wisdom dapat rumuskan pada bagian sebelumnya. dipahami sebagai usaha manusia dengan 142 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154 menggunakan akal budinya (kognisi) untuk (humanity) memaknai hal-hal (things). bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak objek, atau peristiwa yang terjadi dalam dapat dicampuradukkan dengan mengko- ruang tertentu. munikasikan (to communicate). Memaknai Pengertian wisdom ini bila disusun bahwa objek-objek tidak hanya membawa secara etimologi dapat dipahami sebagai informasi, tetapi juga mengkonstitusi kemampuan seseorang dalam meng- sistem terstruktur dari tanda. gunakan akal pikirannya dalam bertindak Terkait dengan semiotika struk- atau bersikap sebagai hasil penilaian turalis, Roland Barthes mengemukakan terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa elemen-elemen semiologi yang dijadikan yang terjadi. Secara spesifik kearifan lokal untuk mengkaji fenomena kebudayaan, tersebut menunjuk pada ruang interaksi yaitu konotasi dan denotasi. Konotasi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas adalah sebuah sistem yang terdiri atas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah penanda, petanda, dan proses yang didesain sedemikian rupa yang di menyatakan penanda dan petanda, penanda dalamnya melibatkan suatu pola-pola dari konotasi adalah "konotator". Dengan hubungan antara manusia dengan manusia demikian, jika dilihat dari sudut pandang atau manusia dengan lingkungan fisiknya. kajian kebudayaan, ideologi merupakan Ditambahkan juga bahwa dalam teori bentuk konotasi dan retorika merupakan human ecology terdapat hubungan timbal- bentuk konotatornya. balik antara lingkungan dengan tingkah Konotasi (connotation) adalah laku. Lingkungan dapat memengaruhi tingkat pertandaan yang menjelaskan tingkah laku atau sebaliknya, tingkah laku hubungan antara penanda dan petanda, juga dapat memengaruhi lingkungan yang di dalamnya beroperasi makna yang (Ridwan, 2010: 4-7). tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak Nilai kearifan masa lalu tersebut pasti (artinya terbuka terhadap berbagai sering dikenal juga dengan istilah local kemungkinan tafsiran). Selanjutnya, genius. Sebagaimana pandangan yang denotasi dalam elemen semiologi disebut disampaikan oleh Wales yang diacu oleh dengan "metabahasa". Metabahasa meru- Soejono (1983) disebutkan bahwa makna pakan proses dari sebuah rangkaian dari local genius menunjuk ke sejumlah kompleks. ciri kebudayaan yang dimiliki bersama Makna denotasi (denotation) adalah oleh suatu masyarakat sebagai akibat tingkat pertandaan yang menjelaskan pengalamannya pada masa lalu (Soejono, hubungan antara penanda dan petanda, 1986: 31). atau antara tanda dan rujukannya pada Pokok-pokok pikiran inilah yang realitas yang menghasilkan makna yang kemudian dirumuskan menjadi definisi eksplisit, langsung dan pasti (Barthes kearifan lokal, yaitu "kecerdasan yang dalam Sobur 200: viii). Jika denotasi dimiliki oleh sekelompok etnis manusia sebuah benda adalah definisi objektif yang diperoleh melalui pengalaman benda tersebut, konotasi sebuah benda hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri adalah makna subjektif atau emosionalnya. budaya yang dimilikinya" (Rahyono, 2009: Dikatakan objektif sebab makna denotatif 8). ini berlaku umum. Sebaliknya, makna Berkaitan dengan teori yang konotatif bersifat subjektif dalam digunakan yaitu semiotika strukturalis pengertian bahwa ada pergeseran dari yang dipelopori oleh Roland Barthes dapat makna umum (denotatif) karena sudah ada dikemukakan di sini bahwa pada dasarnya penambahan rasa dan nilai. Pandangan lain semiotika atau dalam istilah Barthes tentang budaya materi dan makna juga semiologi pada dasarnya hendak pernah disampaikan oleh Masinambouw mempelajari bagaimana kemanusiaan (1992). Untuk meletakkan permasalahan Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 143 arkeologi dalam hubungannya dengan berbentuk desa-desa kecil semacam masyarakat dan makna yang diberikan perdukuhan (Soejono 1984: 196 - 201). masyarakat kepada produk-produk Dalam kehidupan di perkampungan kecil materialnya, maka perspektif yang dapat semacam perdukuhan tersebut, diperki- digunakan adalah perspektif semiotika rakan permukimannya terdiri atas empat (Masinambow, 1992: 97). bagian peruntukan antara lain lahan yang digunakan untuk hunian atau tempat C. HASIL DAN BAHASAN bermukim, sumber air untuk penunjang 1. Permukiman dan Rutinitas kehidupan keseharian, lahan bercocok Keagamaan tanam (ladang/sawah), dan tempat melak- Perkampungan masyarakat masa sanakan upacara. bercocok tanam (Neolitik) dan kemudian Berbeda dengan masyarakat seka- makin berkembang pada era pertukangan rang, kehidupan masyarakat masa logam (Paleometalik) yang merupakan bercocok tanam dan juga masyarakat pada pendukung dari budaya pengagungan era Paleometalik sebagian besar masih arwah leluhur atau yang selama ini dikenal sangat bergantung pada faktor alam, serta sebagai masyarakat pendukung budaya terkait erat dengan pemujaan arwah megalitik di masa lalunya diperkirakan leluhur, di mana roh leluhur itu sangat terletak di daerah yang cukup sulit, yaitu di dipercaya dapat memberikan perlindungan daerah pegunungan atau daerah perbukitan dan kesejahteraan bagi yang hidup dan (Soejono, 1984:196 - 201). kesuburan tanah (Asmar, 1975: 22-23).

2. Posisi dan Keletakan Media Pengagungan Arwah Leluhur Lingkungan hunian masyarakat masa bercocok tanam yang juga sekaligus sebagai pendukung budaya pengagungan arwah leluhur dan pelanjut tradisi pengagungan arwah leluhur tidak jauh berbeda. Dari hasil penelitian arkeologis yang telah dilakukan oleh para ahli selama ini, terlihat bahwa masyarakat prasejarah pada beberapa hal cenderung untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada pada lingkungannya untuk pemenuhan kebutuhannya. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu seperti yang berhubungan dengan kebutuhan yang bersifat sakral apabila sumber bahannya tidak mereka peroleh Gambar 1. Menhir tinggi 4 m, di situs Tugu dari lingkungan sekitar, tampaknya mereka Gede, Sukabumi, terbuat dari batu andesit massif yang didirikan di kawasan tanah berusaha untuk memenuhi kebutuhan berkontur bergelombang. tersebut walaupun harus menempuh jarak Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2004. tertentu. Salah satu contoh dari hal tersebut terlihat dalam kegiatan pendirian Menilik bentuk perkampungan monumen-monumen yang ditujukan untuk masyarakat megalitik yang telah dilansir pemujaan atau pengagungan arwah leluhur sebelumnya oleh E.M. Loeb, seperti yang yang didirikan oleh masyarakat pendukung dikutip oleh Soejono (1984) bahwa pola tradisi budaya pengagungan arwah leluhur perkampungan pada waktu itu diperkirakan di kawasan Nusantara di masa lalu. 144 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154

perbengkelan monumen pun dapat berada pada posisi yang sejajar, lebih rendah, atau terletak lebih tinggi dari lokasi situs. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap cara pengangkutan monumen dari lokasi sumber bahan atau perbengkelan menuju situs pendiriannya. Apabila situs yang difungsikan untuk pengagungan arwah leluhur tersebut terletak sejajar atau lebih rendah dari lokasi sumber bahan atau perbengkel- annya, mungkin proses pengangkutannya tidak begitu sulit. Akan tetapi pada Gambar 2. Punden berundak Gunung Padang terbuat dari susunan balok-balok andesit berbagai kasus situs-situs yang berada di dengan bobot balok batuan ratusan kilogram tempat-tempat yang tinggi yang memiliki di atas puncak Gunung Padang. monumen yang cukup berat dan besar, Sumber: Yondri, 2011. akan membawa konsekuensi terhadap sulitnya pengangkutan bahan atau Apabila diperhatikan secara saksama monumen-monumen tersebut. dari data situs-situs yang memiliki Berdasarkan data tersebut dikemu- berbagai bentuk media pengagungan arwah kakan beberapa faktor kemungkinan yang leluhur yang ada, kondisi geografisnya memiliki pengaruh yang sangat menen- dapat dikelompokkan atas dua. Pertama tukan, sehingga monumen-monumen yang adalah situs-situs yang difungsikan digunakan sebagai media untuk peng- pengagungan arwah leluhur yang terletak agungan arwah leluhur yang berukuran di tempat yang tinggi secara natural; kedua besar dan berat tersebut dapat dibawa dari adalah situs-situs yang difungsikan lokasi sumber bahan atau perbengkelan ke pengagungan arwah leluhur yang sengaja situs pendiriannya. dibuat ditinggikan. Situs-situs yang termasuk dalam kelompok pertama, pada 3. Beberapa Faktor Berpengaruh dalam umumnya terletak pada daerah perbukitan. Proses Pengangkutan dan Pendirian Adapun situs yang termasuk dalam Monumen kelompok kedua adalah situs-situs yang difungsikan pengagungan arwah leluhur Pada saat terjadinya proses yang berada bukan pada lingkungan pemindahan bahan untuk monumen perbukitan atau di dataran. pengagungan arwah leluhur dari lokasi Terjadinya penempatan lokasi situs pembuatan atau sumber menuju situs yang demikian karena arwah nenek pendiriannya tentu ada faktor-faktor yang moyang dianggap bertempat tinggal di sangat berpengaruh, sehingga monumen puncak gunung atau bukit, dan anggapan pengagungan arwah leluhur dengan tonase puncak gunung sebagai dunia arwah yang yang besar tersebut dapat sampai di lokasi mempunyai kekuatan gaib (Sutaba, pendiriannya. 1999:19). Dapat diasumsikan bahwa dalam Secara garis besar faktor-faktor tradisi budaya pengagungan arwah leluhur tersebut dikelompokkan atas tiga, yang tersebut, konsep ketinggian merupakan masing-masing sangat berkaitan erat faktor utama dari pemilihan lokasi untuk dengan tingkat pengetahuan, serta keadaan dijadikan sebagai tempat pemujaan. masyarakat di masa itu. Tiap-tiap faktor Dari kedua pengelompokan kondisi tersebut adalah sebagai berikut: geografis situs tersebut, keletakan lokasi yang menjadi sumber bahan atau

Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 145 a.Teknologi Sederhana dokumentasi proses pemindahan monumen Keadaan alam atau lintas geografi pengagungan arwah leluhur di Pulau wilayah yang menghubungkan antara sebelum tahun 1920-an yang didokumen- lokasi sumber bahan dan situs arkeologis, tasikan oleh van Eerde. Dari pendoku- berupa daerah lereng apalagi dengan mentasian tersebut terlihat adanya permukaan lahan yang datar merupakan gelondongan-gelondongan kayu dalam faktor yang cukup memberikan kemudahan jumlah banyak yang diletakkan di bagi jalur pengangkutan bahan maupun sepanjang jalur pemindahan monumen produk jadi yang akan dijadikan sebagai (Taylor and Aragon, 1992: 72). Data ini monumen budaya pengagungan arwah juga didukung oleh pertanggalan perse- leluhur. Hal tersebut akan sangat baran budaya tertua dari budaya berpengaruh lagi apabila keduanya berada pengagungan arwah leluhur di Indonesia, pada ketinggian yang berbeda, dengan kata dibandingkan dengan awal perkembangan- lain lokasi situs terletak lebih rendah nya dengan daerah lain di luar Indonesia, dibanding lokasi sumber bahan. Dengan tampak lebih muda. Diperkirakan awal sendirinya jalur yang demikian akan masuknya budaya tersebut ke Indonesia memudahkan untuk pengangkutan material adalah masa paleometalik yaitu sekitar tersebut baik yang masih dalam bentuk tahun 500 Sebelum Masehi. bahan maupun produk jadi dari sumber Penggunaan teknologi sederhana atau perbengkelan menuju situs. dalam pemindahan bahan/monumen Akan tetapi, bila antara sumber pengagungan arwah leluhur ini juga dapat bahan, lokasi pembuatan monumen dengan dilihat dalam upacara tarik batu di lokasi pendiriannya memiliki jarak yang Barat. Bongkahan besar batu kapur dengan tidak pendek dengan bentang alam yang berat antara 10 sampai 30 ton yang akan tidak mudah, kemudian ditambah lagi dijadikan sebagai monumen diangkut dengan ukuran monumen yang begitu dengan menempatkannya di dalam wadah besar, tentunya hal tersebut cukup sulit kayu yang disebut tena, kemudian ditarik dalam proses pengakutannya. Dalam hal ke kampung yang berada di atas bukit ini tentunya pengetahuan teknologi (Barbier dan Newton, 1988: 136). sederhana yang dimiliki oleh masyarakat Diuraikan oleh Haris Sukendar pengagungan arwah leluhur pada saat itu (1993), bahwa upacara tarik batu itu dapat memiliki peran yang sangat dominan berlangsung berminggu-minggu, bergan- dalam proses pengangkutan monumen tung pada jarak yang ditempuh. Upacara tersebut. ini biasanya dipimpin/dilaksanakan oleh Berdasarkan hasil kajian dari “marapu taghora karaka dan inna mate- ilmuwan-ilmuwan terdahulu diperkirakan ame mate”. Seseorang yang ditunjuk oleh sistem roda dengan menggunakan pemesan naik ke atas batu untuk gelondongan kayu sudah dikenal sejak memimpin penarikan batu. Di saat batu masa prasejarah. Salah satu bukti tertua mulai ditarik, pemilik batu juga penggunaan kayu gelondongan sebagai melaksanakan upacara yang disertai sesaji jalur pemindahan material di masa lalu berupa babi, kerbau, sirih, pinang, dan antara lain yang disebut sebagai Eclipse tembakau untuk orang-orang yang menarik Track, terdiri atas hamparan kayu batu. Setiap hari bahan-bahan itu harus gelondongan, yang berasal dari 3500 tahun disediakan. Jika terjadi hambatan ketika yang lalu (Renfrew dan Bahn, 1996:315). menarik batu, maka dilakukan pembacaan Sistem pengangkutan yang demikian doa bersama disertai dengan menyebarkan juga dipergunakan oleh masyarakat nasi kuning dan menyebutkan mantera pendukung budaya pengagungan arwah yang berbunyi “liana sagaito kaguloge leluhur yang ada di kawasan Nusantara nabarara liana sawitu kagutara wemete”, pada masa lalu. Hal itu terlihat dari hasil yang berarti “semoga roh-roh (jiwa) 146 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154 kekuatan jangan menghambat (mengikat)”. pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pada waktu sudah akan sampai ke tempat penduduk. Pada masa tersebut diperkira- tujuannya yang berfungsi sebagai tempat kan perkembangan tatanan masyarakat pemujaan atau yang disebut katuada, maka dengan perbedaan status sosial atau diadakan upacara dengan disertai pemba- pelapisan masyarakat dengan satu kepe- caan mantera yang berbunyi “pakatakogu mimpinan sudah mulai ada. limadara pawitugu, oraboga waisagubina Dalam sistem kepemimpinan kepala bowagulara”, yang artinya “semua sudah suku yang demikian dalam satu selesai dan rintangan sudah dapat diatasi” masyarakat yang homogen, tidak tertutup (Sukendar, 1993: 222-224). kemungkinan berkuasa penuh seorang kepala suku terhadap masyarakatnya. b. Pemimpin dan Kekuasaan Dengan kekuasaannya itu dia dapat Pada waktu budaya pengagungan melaksanakan apa yang diinginkannya. arwah leluhur berkembang dengan pesat Haris Sukendar (1993) dalam pidato yaitu di masa perundagian, diduga telah pengukuhannya sebagai Ahli Peneliti terbentuk susunan masyarakat. Pada Utama, mengatakan bahwa “dalam waktu itu penduduk sudah tinggal menetap pembuatan piramida di Mesir ada unsur- di desa-desa kecil semacam perdukuhan unsur pemaksaan, bahkan bukan tidak atau perkampungan (village), hidup bertani mungkin bagi pekerja yang sakit langsung dan mengembangbiakkan binatang, baik dikubur karena tidak lagi efektif dan untuk keperluan hidup sehari-hari maupun efisien”. Begitu juga dengan pendirian untuk keperluan upacara-upacara tertentu. monumen pemujaan arwah leluhur. Di tiap-tiap dukuh terdapat beberapa Pekerjaan yang melibatkan tenaga yang tempat tinggal yang dibangun secara tidak cukup banyak ini tentunya tidak mungkin beraturan. Pola-pola perkampungan atau dilaksanakan tanpa ada struktur organisasi tempat tinggal di masa itu umumnya yang kuat, dengan koordinasi aktif terletak ditentukan oleh beberapa faktor fisik pada seorang penguasa yang didukung seperti topografi, iklim, dan potensi oleh pembantu-pembantunya. pertanian (Soejono 1990: 196-197). Salah Berdasarkan hasil penelitian Geldern satu contoh bentuk perkampungan yang dan Rumbi Mulia diketahui bahwa demikian adalah perkampungan masya- pembuatan dan pendirian monumen rakat Kampung Lebak Cibedug yang pengagungan arwah leluhur tersebut sangat bermukim di sekitar Situs Lebak Cibeduk, erat kaitannya dengan usaha untuk Banten Selatan, dengan denah keletakan menjaga martabat dan kedudukan serta tempat tinggal, lahan persawahan, lahan kemasyhuran, di samping untuk menjamin upacara (punden berundak). ketenteraman arwah nenek moyang yang Membandingkan dengan data meninggal. Oleh karena itu, di samping tersebut, besar kemungkinan masyarakat mempunyai kaitan religi, pembuatan dan yang hidup dalam lingkungan perdukuhan pendirian bangunan megalit berkait erat pada masa itu tidak jauh berbeda dengan dengan martabat, status, kedudukan sosial, keadaan masyarakat Lebak Cibedug. serta keadaan ekonomi pendirinya Masyarakat pada saat itu bukan seperti (Sukendar 1996: 117). Dari hal tersebut kumpulan masyarakat yang heterogen jelaslah bahwa di sini muncul seorang seperti sekarang ini, tetapi merupakan penguasa yang tentunya sangat dipatuhi kumpulan masyarakat yang homogen, oleh masyarakatnya. yang memiliki satu sistem kepercayaan Apabila diperhatikan hasil penelitian serta umumnya hidup dalam kebersamaan. Rumbi Mulia (1980) dalam tulisannya Kehidupan yang homogen dan sudah Nias: The Only Older Megalithic Tradition menetap di satu tempat tersebut, tentunya in Indonesia, terlihat bahwa faktor sangat mendukung untuk bertambah penguasa sebagai penggerak dalam Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 147 translokasi bahan/monumen pengagungan Rasa hormat dan nilai kharisma yang arwah leluhur tersebut tampaknya juga dimiliki oleh seorang tokoh masyarakat pernah terjadi di Indonesia. Dalam tulisan akan mampu menghimpun emosi tersebut diperlihatkan bagaimana cara masyarakat untuk melakukan hal-hal yang membawa batu (menhir) yang akan berhubungan dengan si tokoh, bahkan dijadikan sebagai lambang penguasa atau keterlibatan individu atau seorang anggota pemimpin. Digambarkan dengan berdiri di masyarakat dalam kegiatan tersebut atas batu, si sponsor pembuatan monumen mereka anggap sebagai satu pengabdian pengagungan arwah leluhur tersebut dan rasa kedekatannya dengan si tokoh mengayun-ayunkan pedangnya ke udara yang telah meninggal. (Mulia 1980: 22). Dari penggambaran proses upacara pendirian menhir tersebut dapat diperkira- kan besarnya pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang kepala suku tersebut terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang berkuasa penuh dengan ditunjang oleh pembantu-pembantunya dalam masyarakat yang homogen dengan jumlah yang tidak begitu banyak, dapat berbuat apa saja, sesuai dengan kehendaknya. Termasuk salah satunya adalah pendirian monumen- monumen yang diinginkannya. Gambar 3. Rangkaian kegiatan mendirikan c. Nilai Kharismatik dan Emosi batu besar (dolmen) untuk memperingati Keagamaan kematian seorang penting di Nias (awal abad ke-20) Berbeda dengan faktor pemimpin Sumber: Mulia, 1980: 22. dan kekuasaan, dikaitkan dengan alasan terjadinya pelapisan sosial yang dikemu- Rasa hormat dan wujud pengabdian kakan oleh Koentjaraningrat (1981), terhadap tokoh yang meninggal tersebut terdapat kemungkinan diangkatnya sese- sampai sekarang masih terus diwarisi oleh orang kepala suku oleh karena adanya beberapa suku bangsa di Indonesia. Hal nilai-nilai lebih atau nilai kharismatik yang tersebut dapat dilihat pada upacara dimiliki oleh orang tersebut. Nilai kematian maupun yang berlangsung di kharismatik tersebut dapat muncul karena Tana Toraja. Monumen-monumen peng- faktor pengetahuan, kewibawaan, serta agungan arwah leluhur yang mereka faktor senioritasnya dalam satu dirikan erat hubungannya dengan masyarakat. Faktor-faktor tersebut akan pelaksanaan kepercayaan “aluk to do”, memberikan kontribusi yang sangat besar yaitu aturan-aturan leluhur atau keper- bagi seorang tokoh di dalam masyarakat, cayaan lama. Dalam kepercayaan tersebut yang pada akhirnya menjadikan orang terdapat kewajiban bagi anak cucu untuk tersebut sebagai orang yang disegani dan mengenang serta memuja arwah-arwah dihormati oleh masyarakatnya. leluhur yang telah menjadi “Tomambeli Peran seorang kepala suku yang Puang” atau dewa, sebab arwah leluhur memiliki nilai seperti itu merupakan satu yang telah diberi wewenang oleh “Puang kekuatan yang sangat berpengaruh baik Matua” (Sang Pencipta Alam), untuk dalam proses transportasi bahan bangunan selalu mengawasi dan memberikan berkat maupun dalam kegiatan pendirian atau pun bencana kepada keturunannya monumen pengagungan arwah leluhur. yang masih hidup (Soejono, 1990: 311). 148 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154

Nilai kharismatik dari leluhur tersebut juga tercermin pada saat upacara menarik batu (mangriu batu, weluwatu), dan pengusungan jenazah menuju tempat pemakaman terakhirnya. Pada prosesi kematian yang berlangsung di Tana Toraja, terlihat seluruh kerabat si tokoh dan masyarakatnya menjadi satu dalam kegembiraan dan kepiluan melepas kepergian si tokoh. Tarian dan nyanyian untuk mengiringi kepergian si tokoh dilakukan oleh penari berpakaian hitam dan bebas, dapat diikuti oleh laki-laki maupun perempuan dan berlangsung dari pukul 21.00 hingga pukul 03.00 dini hari. Pengantaran jenazah dari rumah ke kuburan adakalanya membutuhkan waktu hingga sepuluh hari. Seluruh keluarga, terutama anaknya mengerahkan segala kekayaannya untuk menghormati si mati, dan sekaligus dijadikan sebagai tanda bakti (Suhadi dan Halina Hambali, 1994/1995: 22-25). Hal ini juga terlihat dari pelibatan Gambar 4-5. Rangkaian kegiatan mendirikan batu besar (menhir) untuk memperingati masyarakat yang saling berebutan untuk kematian di acara Rambu Solo di Desa menggotong erong (peti jenazah) dari Lembang Tuyu, Kelurahan Leatung, rumah duka menuju lokasi pemakaman Kecamatan Sangallla Utara, Tana Toraja yang berjarak cukup jauh. Erong digotong Sumber: Dok. Aldy, 30 Juli 2016, pukul di atas sebuah tandu besar secara beramai- 08.57). ramai dan saling berebut untuk bergantian menggotongnya. Begitu juga dengan Dari hal tersebut di atas, baik pada upacara tarik batu (menhir) yang nantinya saat prosesi kematian dan upacara menarik untuk didirikan sebagai tanda dari si tokoh batu, maupun dalam upacara mendirikan yang meninggal. Secara beramai-ramai monumen pengagungan arwah leluhur batu tersebut digotong menempuh jarak yang diamati oleh Haris Sukendar melalui berkilo-kilo meter. studi etnoarkeologi, dapat dilihat bagai- Dalam studi etnoarkeologi di mana keberadaan nilai kharismatik dan Sumba, Nias, Timor Barat, dan Flores nilai emosi keagamaan yang dimiliki oleh dapat disaksikan faktor kharismatik dan satu masyarakat. Nilai-nilai yang demikian emosi keagamaan yang melandasi juga merupakan satu wahana dalam proses terbentuknya bangunan monumen peng- pengangkutan dari monumen megalitik. agungan arwah leluhur. Hal tersebut Oleh karena itu dalam satu diperlihatkan oleh keikutsertaan anggota masyarakat yang homogen, semangat masyarakat secara menyeluruh tanpa keagamaan (religius emotion) dan nilai melalui perintah, tetapi secara sadar kharismatik merupakan unsur utama yang membantu meringankan beban dalam mampu menarik dan menyatukan spirit pembangunan megalit atau rumah-rumah masyarakat dalam satu tindakan religius. yang berperan untuk upacara-upacara Selain tiga faktor di atas yang juga (peribadatan). Keikutsertaan itu terjadi sangat berperan besar dalam proses secara spontan (Sukendar, 1996: 117). pengangkutan bahan/monumen megalitik adalah konsumsi baik berupa minuman, Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 149 makanan, dan binatang-binatang kurban. pangkat, dan g) kekayaan dan harta benda Oleh karena proses pengangkutan (Koentjaraningrat, 1981: 178). bahan/monumen megalitik tersebut me- Menilik bentuk perkampungan merlukan tenaga manusia dalam jumlah masyarakat pengagung arwah leluhur yang yang banyak, menempuh jarak yang tidak telah dilansir sebelumnya oleh E.M. Loeb, dekat, dan memakan waktu yang lama, seperti yang dikutip oleh Soejono (1984) maka kurban-kurban yang disembelih bahwa pola perkampungan pada waktu itu untuk pemenuhan konsumsi tentunya juga diperkirakan berbentuk desa-desa kecil dalam jumlah yang tidak sedikit. Begitu semacam perdukuhan (Soejono, 1984: 196 juga halnya dengan minuman. - 201). Tentunya dalam masyarakat kecil yang demikian, seseorang yang diangkat d. Intoksidasi sebagai pemimpin kecil kemungkinannya Dari hasil pengamatan terhadap berasal dari seseorang yang memiliki beberapa suku bangsa seperti , faktor keanggotaan kaum kerabat kepala Sunda, Dayak, Toraja dan sebagainya, masyarakat. hampir semuanya mengenal minuman Dengan membandingkan perkam- yang dapat menghangatkan badan yang pungan di atas dengan perkampungan- disebut dengan tuak. Tuak merupakan perkampungan kecil tradisional yang salah satu minuman tradisional yang masih ada di beberapa tempat, besar dihasilkan dari fermentasi, sehingga kemungkinan dari beberapa faktor yang menghasilkan minuman yang mengandung dikemukakan oleh Koentjaraningrat, hanya alkohol. Tidak tertutup kemungkinan orang yang memiliki kualitas, kepandaian, minuman tersebut juga dipergunakan oleh tingkat umur yang senior, pengaruh dan masyarakat pendukung budaya megalitik kekuasaan yang muncul sebagai seorang untuk melakukan intoksidasi yang pemimpin. Dalam pelaksanaannya pemim- ditujukan untuk menghilangkan kesadaran pin-pemimpin yang demikian dapat saja diri pelaku upacara. Dalam beberapa kasus muncul sebagai pemimpin yang kharis- dapat dilihat apabila seseorang memakan matik atau otoriter. Akan tetapi dalam makanan yang mengandung lemak tinggi kesehariannya dia dihormati dan disegani seperti daging babi apabila dimakan oleh segenap anggota masyarakatnya. Hal bersamaan dengan minuman beralkohol ini dibuktikan dengan menyatunya tinggi seperti tuak, maka orang tersebut masyarakat dalam kegiatan pendirian akan cepat mabuk. Dalam suasana yang menhir yang dilakukan oleh penguasa di demikian orang tersebut dapat berbuat apa masa lalu. saja, bahkan dapat memiliki kekuatan yang luar biasa melebihi kemampuan manusia a. Pemimpin dan Kepemimpinan biasa. Berkaitan dengan alasan terjadinya

pelapisan sosial yang dikemukakan oleh 4. Nilai-Nilai Luhur di Balik Monumen Koentjaraningrat, terutama yang berkaitan Pengagungan Arwah Leluhur dengan butir a dan b di atas, terdapat Menurut Koentjaraningrat, ada kemungkinan diangkatnya seseorang kepa- beberapa alasan untuk menentukan atau la suku karena adanya nilai-nilai lebih atau memilih seorang anggota masyarakat nilai kharismatik yang dimiliki seseorang, untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. seperti adanya kelebihan dalam penge- Alasan-alasan tersebut dapat ditimbulkan tahuan, kewibawaan, senioritas, dan oleh : a) kualitet dan kepandaian, b) tingkat adanya kepercayaan dari anggota umur yang senior, c) sifat keaslian, d) masyarakat terhadap kesaktian atau keanggotaan kaum kerabat kepala kekuatan mistis religius yang dimiliki masyarakat, e) pengaruh dan kekuasaan, f) seorang pemimpin (Johnson, 1986). Faktor-faktor tersebut pada akhirnya akan 150 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154 memberikan kontribusi yang sangat besar batu tersebut digotong menempuh jarak bagi seorang tokoh di dalam masyarakat, berkilo-kilo meter. sehingga menjadikan orang tersebut Dalam studi etnoarkeologi di sebagai orang yang disegani dan dihormati Sumba, Nias, Timor Barat, dan Flores oleh masyarakatnya. dapat disaksikan faktor kharismatik yang Peran seorang kepala suku yang melandasi pendirian monumen yang memiliki nilai seperti yang dikemukakan ditujukan untuk pengagung arwah leluhur. di atas merupakan satu kekuatan yang Hal tersebut diperlihatkan oleh keikutser- sangat berpengaruh dalam proses taan anggota masyarakat secara menye- transportasi maupun dalam kegiatan luruh tanpa melalui perintah, tetapi secara pendirian monumen pengagungan arwah sadar membantu meringankan beban dalam leluhur. Rasa hormat dan nilai kharisma pendirian monumen untuk pemujaan arwah yang dimiliki oleh seorang tokoh leluhur atau rumah-rumah adat yang masyarakat akan mampu menghimpun berperan untuk upacara-upacara (periba- emosi masyarakat untuk melakukan hal-hal datan). Keikutsertaan itu terjadi secara yang berhubungan dengan si tokoh, bahkan spontan (Sukendar, 1996: 117). keterlibatan individu atau seorang anggota Dari hal tersebut di atas, baik pada masyarakat dalam kegiatan tersebut saat prosesi kematian dan upacara menarik mereka anggap sebagai satu pengabdian batu, maupun dalam upacara mendirikan dan rasa kedekatannya dengan si tokoh. monumen pengagung arwah leluhur yang Rasa hormat dan wujud pengabdian diamati oleh Haris Sukendar melalui studi terhadap tokoh tersebut sampai sekarang etnoarkeologi, dapat dilihat bagaimana masih terus diwarisi oleh beberapa suku keberadaan nilai kharismatik yang dimiliki bangsa di Indonesia. Hal tersebut dapat oleh seorang pimpinan dalam satu dilihat pada upacara kematian baik yang masyarakat. Dari data ini dapat diambil berlangsung di Tana Toraja atau di Sumba. satu simpulan bahwa dalam satu Nilai kharismatik dari si tokoh yang masyarakat nilai kharismatik dari seorang meninggal tersebut tercermin pada saat pemimpin merupakan unsur penentu yang upacara menarik batu (mangriu batu, pada akhirnya bisa digunakan untuk weluwatu) dan pengusungan jenazah menarik dan menyatukan spirit masya- menuju tempat pemakaman terakhirnya. rakat. Pada prosesi kematian yang Dalam masyarakat pengagung arwah berlangsung di Tana Toraja, terlihat leluhur, juga tidak tertutup kemungkinan seluruh kerabat si tokoh dan masyara- munculnya seorang pemimpin yang katnya menjadi satu dalam kegembiraan berkuasa penuh (otokrasi), dengan dan kepiluan melepas kepergian si tokoh. kekuasaan penuh yang dimiliki oleh Mereka saling berebutan untuk meng- seorang penguasa, dia dapat melaksanakan gotong erong (peti jenazah) dari rumah apa yang diinginkanya. Data ini di duka menuju lokasi pemakaman yang antaranya diperlihatkan oleh proses berjarak cukup jauh. Erong digotong di pembuatan piramida di Mesir. Menurut atas sebuah tandu besar secara beramai- Haris Sukendar, pembangunan piramid itu ramai dan saling berebut untuk bergantian mengandung unsur pemaksaan, bahkan menggotongnya, karena menggotong bukan tidak mungkin bagi pekerja yang erong merupakan wujud rasa hormat sakit langsung dikubur karena tidak lagi terhadap si tokoh (Republika, 27 Juli efektif dan efisien (Sukendar, 1993: 11). 1997). Begitu juga dengan upacara tarik Begitu juga dengan pendirian batu (menhir) yang nantinya untuk monumen pengagungan arwah leluhur didirikan sebagai lambang dari si tokoh dengan bentuk tinggalan yang berukuran yang meninggal. Secara beramai-ramai besar. Pekerjaan ini tentunya di masa lalu akan melibatkan tenaga yang cukup Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 151 banyak, serta didukung oleh struktur Selain itu, juga ada batu yang organisasi yang kuat. Pemegang koman- dianggap sebagai lambang dari sumpah do/koordinasi bisa dipegang oleh seorang yang diucapkan oleh pemimpin di masa penguasa. lalu. Salah satu di antaranya adalah Berdasarkan hasil penelitian von tinggalan Batu Batikam, yang juga ditemu- Heine Geldern dan Rumbi Mulia diketahui kan di daerah Batu Sangkar, Sumatera bahwa pembuatan dan pendirian monumen Barat. untuk pengagungan arwah leluhur tersebut Lubang yang berbentuk seperti sangat erat kaitannya dengan usaha untuk bekas hunjaman keris dengan penampang menjaga martabat dan kedudukan serta segitiga dan menembus hingga ke bagian kemasyhuran seorang kepala suku, di belakang batu tersebut, dianggap oleh samping untuk menjamin ketenteraman masyarakat setempat sebagai bekas arwah nenek moyang yang meninggal. hunjaman keris dari seorang pemimpin Oleh karena itu di samping mempunyai masyarakat yang mengucapkan sumpahnya kaitan religi, maka pembuatan dan di masa lalu. pendirian monumen pengagungan arwah leluhur tersebut berkait erat dengan c. Sikap Musyawarah martabat, status dan kedudukan sosial serta Sikap musyawarah dalam mengam- keadaan ekonomi dari pendirinya bil keputusan dalam masyarakat peng- (Sukendar, 1996: 117). Dari hal tersebut agung arwah leluhur ditunjukkan oleh jelaslah bahwa di sini seorang penguasa tinggalan arkeologis berupa tinggalan tahta yang memerintahkan pendirian monumen batu (stone seat) dan batu melingkar (stone megalit itu tentunya sangat dipatuhi, enclosure) yang merupakan batu-batu bahkan kemungkinan sangat ditakuti oleh monolit yang disusun dengan pola tertentu. masyarakatnya. Pemilihan seorang pemimpin dalam kelompok masyarakat pengagung arwah leluhur tersebut besar kemungkinan bukan terjadi karena faktor keturunan, melainkan melalui proses pemilihan dan serangkaian ujian yang harus dilalui oleh seorang calon pemimpin. Data tentang ini, antara lain diwakili oleh batu-batu monolit dengan beberapa lubang di bagian permukaan datarnya, umumnya disebut batu dakon dan di masyarakat Minang memiliki nama tersendiri yang disebut sebagai Batu Timbang. Pada masa lalu, batu tersebut oleh masyarakat Minangkabau (Pagaruyung) digunakan sebagai tempat pengujian ilmu yang dimiliki oleh seorang calon pemimpin, seperti cerita sejarah yang Gambar 6. Batu Batikam, simbol diwarisi oleh masyarakat Minangkabau di pengucapan sumpah setelah musyawarah situs Batu Timbang (Ustano Rajo). seorang pemimpin masyarakat di lingkungan Sementara itu untuk menguji Minangkabau di masa lalu. Sumber: Yondri, 2011. kemampuan fisik dari calon pemimpin tersebut dilakukan di situs Ateh Lago Banyak nama yang diberikan kepada berupa lapangan terbuka yang dikelilingi tinggalan yang demikian, tampaknya oleh kursi-kursi batu yang terletak di nama-nama tersebut sangat berkaitan bagian pendataran puncak bukit. dengan istilah yang diberikan oleh 152 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154 masyarakat di mana lokasi tersebut berada, Dari data ini dapat ditafsirkan bahwa dan ada juga yang diberikan berkaitan masyarakat pengagungan arwah leluhur di dengan keletakan lokasi tersebut di alam. masa lalu telah mempraktikkan tata cara Seperti di Jawa, tinggalan itu disebut bermusyawarah pada saat pengambilan dengan istilah watu kandang. Sementara di keputusan. Oleh karena kursi-kursi batu Sumatera Barat tinggalan itu disebut dalam satu kelompok tinggalan tidak dengan Medan Nan Bapaneh (berada di dalam jumlah banyak, tentunya itu lahan terbuka dan langsung di bawah sinar mengindikasikan bahwa tidak semua matahari) dan Medan Nan Balinduang anggota masyarakat ikut serta dalam (berada di lahan terbuka yang dilindungi musyawarah tersebut, melainkan hanya oleh pohon besar/beringin, sehingga tidak diwakili oleh beberapa orang yang langsung terkena sinar matahari). dianggap sebagai wakil dari anggota masyarakat. Akan tetapi dari pola susunan kursi batu tersebut, besar kemungkinan bentuk susunan yang demikian berkaitan erat dengan bentuk musyawarah yang dilakukan di masa lalu. Seperti halnya sekarang ada yang disebut dengan musyawarah (pertemuan) tertutup, dan juga ada yang bersifat terbuka yang melibatkan masyarakat.

d. Sikap Kerja Sama (Gotong Royong) Foto 7. Susunan batu melingkar sebagai Sikap kerja sama atau gotong tempat musyawarah di lingkungan royong dalam masyarakat pengagung Minangkabau di masa lalu. arwah leluhur, dapat ditafsirkan dari Sumber: Yondri, 2011. kegiatan pendirian monumen-monumen Cukup menarik bila dilihat pola baik untuk tempat upacara maupun sebagai susunan tahta batu atau kursi batu tersebut. tanda penghormatan bagi para arwah Bila dilihat pola susunannya, beberapa di leluhur. Apabila diperhatikan, monumen antaranya ada yang disusun dengan pola pengagung arwah leluhur itu di antaranya peletakan membentuk lingkaran, oval, ada yang memiliki ukuran sangat besar, persegi, segitiga, satu garis, dan juga ada dan bahkan ada yang memiliki bobot yang disusun dengan pola menyiku ratusan bahkan ribuan kilogram. Bila berbentuk huruf L. Susunan masing- diukur dengan tenaga manusia biasa sangat masing batu kursi yang terdapat dalam sulit untuk memindahkannya. Faktor pola yang demikian seperti halnya kesulitan itu ditambah lagi oleh lokasi peletakan tempat-tempat duduk apabila pendirian momumen yang sering di satu kelompok orang melaksanakan diskusi tempat-tempat yang tinggi, seperti puncak- atau musyawarah. puncak bukit dan lereng gunung. Di antara tahta-tahta batu tersebut di Kembali pada permasalahan pendi- antaranya ada yang ditempatkan lebih rian bangunan/monumen pengagung arwah tinggi, seperti yang terdapat di beberapa leluhur di tengah satu perkampungan yang situs tahta batu yang terdapat di memiliki jumlah penduduk yang relatif Batusangkar, Sumatera Barat, dan juga ada kecil, tentunya dalam kegiatan tersebut yang ditempatkan dalam posisi sama tinggi rasa kerja sama (gotong royong) sangat dengan pola peletakan membentuk dibutuhkan, sehingga seluruh masyarakat lingkaran seperti yang ditemukan di situs dapat saling bekerja sama dalam memin- Kenyangan, Kabupaten Lampung Barat dahkan dan mendirikan monumen peng- (Yondri, 1997: 12). agung arwah leluhur itu. Mengggali Nilai-nilai Luhur..... (Lutfi Yondri, Nina Herlina Lubis, dan Mundardjito) 153 e. Toleransi dan Sikap Saling pemimpin dan kepemimpinan, yaitu sikap Menghargai musyawarah, sikap gotong royong, dan Sikap toleransi berkepercayaan dari sikap saling menghargai antarpemeluk masyarakat pendukung tradisi budaya kepercayaan. pengagung arwah leluhur dapat dilihat pada masa perkembangan kemudian, terutama pada saat sudah masuknya pengaruh asing (Hindu-Buddha) ke wilayah Nusantara. Salah satu contoh dari keadaan ini adalah berita asing yang dikemukakan oleh pendeta Fa-hsien yang singgah di Kerajaan Taruma (To-lo-mo) sekitar abad ke-5 M. Walaupun disebutkan oleh Fa-hsien mereka merupakan penganut agama “kotor” (Sumadio, 1984: 48), dengan ditemukannya beberapa tinggalan arkeo- logi yang berasal dari dua jenis keper- cayaan yang berbeda yang terletak tidak berjauhan di sekitar wilayah kekuasaan Purnawarman, dapat disimpulkan bahwa pada saat itu sudah berlangsung satu keadaan yang sangat harmonis dalam bidang keagamaan, maupun dalam bidang Gambar 8. Batu datar dan batu bergores, kemasyarakatan. terletak berdampingan dengan candi di Walaupun data itu terbatas, paling kompleks percandian , Karawang. tidak sikap toleransi yang demikian dapat Sumber: Yondri, 2012. dijadikan sebagai contoh dalam melaksa- nakan praktik keagamaan dan berkeper- cayaan pada saat ini, sehingga satu sama DAFTAR SUMBER lainnya tidak saling mengunggulkan diri. 1. Jurnal, Makalah, dan Laporan D. PENUTUP Penelitian Bila dibandingkan dengan keadaan Asmar, Teguh. 1975. . masyarakat sekarang, sebenarnya di masa Megalitik di Indonesia: Ciri dan lalu kompleksitas kehidupan masyarakat Problemanya. Bulletin Yaperna, II (7), pengagung arwah leluhur saat itu mungkin Jakarta. hlm. 19-28. jauh lebih sederhana. Kesederhanaan itu Masinambouw, EKM. 1992. terjadi karena tingkat keberagaman Arkeologi dan Pembangunan Masya- masyarakat saat itu tidak sekompleks rakat Indonesia: Beberapa Pokok keadaan masyarakat sekarang ini. Akan Pemikiran. Makalah Pertemuan Ilmiah tetapi bagaimana nilai kepemimpinan, Arkeologi VI. Batu Malang, 26-29 Juli memilih pemimpin atau pemimpin yang 1992. Jakarta: Pusat Penelitian muncul di tengah masyarakat, nilai Arkeologi Nasional. Hlm. 97-99. kebersamaan, solidaritas yang berkembang Sedyawaty, Edy. 1992. saat itu tentunya dapat dijadikan sebagai Arkeologi dan Jatidiri Bangsa. Makalah cermin dalam bermasyarakat dewasa ini. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI. Batu. Berdasarkan uraian di atas dapat Malang, 26-29 Juli 1992. Jakarta: Pusat disimpulkan beberapa nilai-nilai luhur Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 23- yang ada di tengah masyarakat pada saat 36. itu yang terkait dengan pemilihan 154 Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 139 - 154

Sukendar, Haris. 1996. Sukendar, Haris. 1985. “Dinamika dan Kepribadian Bangsa Peninggalan Tradisi Pengagung Arwah yang Tercermin dari Tradisi Pengagung Leluhur di Daerah Cianjur, Jawa Barat. Arwah Leluhur di Indonesia”, dalam Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Jurnal Arkeologi Indonesia No. 2. Nasional. Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Sumadio, Bambang. 1984. Nasional. Hlm. 110-122. Zaman Kuno. Sejarah Nasional Sutaba, I Made. 1996. Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. “Masyarakat Pengagung Arwah Leluhur

di Indonesia”. Makalah. Evaluasi Hasil 2. Surat Kabar Penelitian Arkeologi, Ujungpandang, 20-26 September 1996. Kompas. 1999. Yondri, Lutfi. 1997. Studi Arkeologi Membantu “Menemu- Penelitian Prasejarah di Kabupaten kan” Peradaban. Edisi Jum’at, 5 Feb- Lampung Barat. Laporan Penelitian. ruari 1999. Hlm. 12. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Kompas,1999. ______. 2011. “Bangsa Terpuruk Karena Ingkari Fakta Dokumentasi Riset Potensi Budaya Sejarah”. Edisi Jum’at, 23 April 1999. dan Pariwisata Kabupaten Tanah Hlm. 12. Datar. Laporan Penelitian. Jakarta: Republika. 1997. Kemenbudpar. “Eksotisme Pesta Kematian di Tana Toraja”. Edisi Minggu, 27 Juli 1997. 2. Buku Hlm. 10.

Koentjaraningrat. 1972. 3. Internet Beberapa Pokok-pokok Antropologi Ridwan, Nurma Ali. 2010. Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, ______.1983. http://ibda.files.wordpress.com/2008/04 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: /2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal. Aksara Baru. pdf. Diakses 24 Agustus 2013 pukul 20.15 WIB. Mulia, Rumbi. 1980. Nias: The Only Older Megalithic Wheeler, Sir Mortimer. 1954. Tradition in Indonesia. Jakarta: Pusat Archaeology from the Earth. London: Penelitian Arkeologi Nasional. Clarendon Press. https://www.questia.com/read/10514034 Rahyono, F.X. 2009. /archaeology-from-earth. Diakses Rabu, Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: 24 Agustus 2015, pukul 12.00 WIB. Wedatamawidyasastra. 4. Komunikasi dengan Narasumber Renfrew, Colin and Paul Bahn. 1996. Archaeology, Theories, Methods and Nyls Surya Novialdy Djustam, komunikasi Practice. Thames and Hudson Ltd, via telepon dan internet Sabtu, 20 London. Agustus 2016, pukul 07.21 WIB. Soejono, R.P. 1983. Lokal Genius dalam Sistem Teknologi Prasejarah. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. ______. 1984. Jaman Prasejarah di Indonesia, dalam Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.