TEOLOGI PLURALIS:

STUDI ATAS PEMIKIRAN KEAGAMAAN

KOMARUDDIN HIDAYAT

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh: Mohammad Haris NIM: 11150331000010

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH 1441 H/2020 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya:

Nama : Mohammad Haris

NIM : 11150331000010

Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam

Tempat dan Tanggal Lahir : Sumenep, 26 Agustus 1995

Menyatakan bahwa:

1. Skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat” murni hasil karya sendiri yang diajukan untuk memenuhi syarat utama memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber rujukan yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terdapat bukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain sebelumnya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 April 2020

Mohammad Haris

i

TEOLOGI PLURALIS: STUDI ATAS PEMIKIRAN KEAGAMAAN KOMARUDDIN HIDAYAT

Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh: Mohammad Haris NIM: 11150331000010

Pembimbing:

Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si. NIP: 19710409 199803 2 003

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan

Komaruddin Hidayat” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Program Studi

Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat utama memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program

Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Ciputat, 2 Juni 2020

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap Anggota,

Kusmana, Ph. D Dra. Banun Binaningrum, M.Pd NIP: 19650424 199503 1 001 NIP: 196806618 19993 2 002 Anggota Penguji I, Penguji II,

Dr. Edwin Syarif, M.A Kusen, Ph. D NIP: 19670918 199703 1 001 NIP: - Pembimbing

Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si NIP: 19710409 199803 2 003

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ﺃ B Be ﺏ T Te ﺕ Ts te dan es ﺙ J Je ﺝ h̲ ha dengan garis bawah ﺡ Kh Ka dan ha ﺥ D De ﺩ Dz de dan zet ﺫ R Er ﺭ Z Zet ﺯ S Es ﺱ Sy es dan ye ﺵ s̲ es dengan garis di bawah ﺹ d̲ de dengan garis di bawah ﺽ ṯ te dengan garis di bawah ﻁ z̲ zet dengan garis di bawah ﻅ koma terbalik di atas hadap kanan ، ﻉ Gh ge dan ha ﻍ F Ef ﻑ Q Ki ﻕ K Ka ﻙ L El ﻝ M Em ﻡ N En ﻥ W We ﻭ H Ha ﻫ Apostrof ‘ ﺀ Y Ye ﻱ

Vokal Panjang

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Ā a dengan topi di atas ﺄ Ī i dengan topi di atas ﺇﻱ Ū u dengan topi di atas ﺃﻭ

iv

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang Teologi Pluralis, salah satu wacana yang baru dalam studi pemikiran Islam sebagai bentuk turunan dari Teologi Islam Praktis. Peneliti menganggap adanya kebutuhan terhadap Teologi Pluralis tidak terelakkan, lebih-lebih dalam konteks yang posisi agama menempati hampir dalam segala sektor kehidupan. Teologi Pluralis menjadi penting disebabkan tawaran yang dikandungnya memberikan jawaban terhadap persoalan yang timbul dan mengatasnamakan agama, lebih-lebih atas nama Tuhan. Tokoh yang pemikirannya mengarah ke Teologi Pluralis adalah Komaruddin Hidayat, salah satu cendekiawan Muslim yang hidup di Indonesia dan telah memberikan sumbangan pemikirannya melalaui jalan dakwah dan pendidikan. Dalam merumuskan pemikirannya, Komaruddin Hidayat tidak hanya terpaku kepada ajaran agama, tetapi juga pada sejarah yang dimiliki umat manusia itu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis?

Kata Kunci: Teologi Pluralis, Tuhan, Manusia, Agama.

v

KATA PENGANTAR

Atas nama Allah, Tuhan sekalian alam. Penulis bersyukur karena berkat kasih dan sayang-Nya yang telah diberikan secara cuma-cuma kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan

Komaruddin Hidayat” dapat selasai dengan tepat dan baik, setidaknya demikian penulis tiada henti dalam harap.

Atas nama Muhammad, manusia paripurna yang diutus sebagai nabi dan pembawa risalah kepada bangsa manusia dan jin, bahkan seluruh alam yang atas namanya pula Tuhan mengadakan yang namanya makhluk ciptaan—berikut keluarga, sahabat, pengikutnya—semoga Allah memberkati, āmin ya rabbal

‘alamin.

Skripsi ini adalah tugas akhir untuk memperoleh gelar strata 1 Sarjana Agama

(S.Ag) melalui program studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari campur bantuan pemikiran dan tenaga beberapa orang yang terlibat langsung atau jarak jauh. Sebab itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada mereka sebagaimana namanya berikut ini:

1. Maina dan (alm) Ali Muqi, pasangan manusia yang telah mengenalkan

penulis kepada dunia dan isinya. Atas dukungan tenaga, jasa dan doa yang

tidak pernah penulis ketahui dan mampu dihitung jari, semoga Ibu diberi

kesehatan, panjang umur dan hidup bahagia dan atas Bapak, semoga

segala dosanya dihapuskan dan segala kebaikannya diterima sehingga

Allah senang atas kedatangannya kembali.

vi

2. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.

Amany Lubis, Prof. Dede Rosyada—yang menjabat selama penulis

menjalani masa-masa kuliah.

3. Ibu Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si. selaku dosen pembimbing

yang telah sudi memberikan arahan dan waktunya kepada penulis.

4. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam sekaligus merangkap dosen penasehat akademik. Juga

kepada Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Aqidah

dan Filsafat Islam.

5. Seluruh civitas akademika lingkungan kampus Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama dosen di program studi

Aqidah dan Filsafat Islam yang telah banyak menyalurkan ilmu

pengetahuan. Ketersediaan buku rujukan adalah hal yang sangat saya

syukuri, sehingga merasa nyaman untuk mengerjakan tugas atau hanya

menambah wawasan melalui kegemaran membaca dengan penuh cinta,

baik di perpustakaan Fakultas Ushuluddin, maupun di Perpustakaan

Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang sangat mendukung baik dari segi layanan maupun efisiensi tempat

yang disediakan. Sungguh, akan selalu saya rindukan!

6. Kakak pertama, Masniyah dan suami. Kakak kedua, Mustaqim dan istri,

beserta keluarga lain yang memberikan semangat secara diam-diam tapi

nyata.

vii

7. Kanca Kosan Buntu: Syarifuddin, Afif Muhammad, Amirullah AKB,

Sulton Rifa’i M, Ubaidillah Arif beserta lainnya yang tidak bisa disebut

nama demi nama.

8. Teman-teman dari dan yang ada di Madura, termasuk juga teman

Republik Filsafat 2015 serta teman yang pernah penulis temui selama ini

dan menyumbangkan sedikit banyak kenyataan dalam hidup penulis.

9. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih juga kepada mereka yang

telah mampu dan berani menulis buku dan tidak bisa disebutkan satu per

satu namanya, yang telah penulis baca karyanya dan mempengaruhi arah

pikiran penulis dalam hidup. Sungguh, kalian hebat. Tabik!

10. Terakhir, saya berterimakasih kepada diri sendiri.

Dan, kepada semuanya tersebut, sekali lagi terima kasih. Semoga Allah,

Tuhan semesta alam memberikan balasan sebagaimana harusnya, sebagaimana layaknya.

Ciputat, 11 Mei 2020

Mohammad Haris

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ...... iii PEDOMAN TRANSLITERASI ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 9 C. Tujuan Penelitian ...... 9 D. Manfaat Penelitian ...... 9 E. Tinjauan Pustaka ...... 10 F. Metode Penelitian ...... 11 G. Sistematika Penulisan ...... 15 BAB II TEOLOGI PLURALIS DALAM TINJAUAN...... 17 A. Pengertian Teologi ...... 17 B. Sejarah Teologi Islam dan Perkembangannya ...... 19 C. Sumber-Sumber Ilmu Kalam ...... 27 D. Lahirnya Aliran Ontologi: Monisme, Dualisme dan Pluralisme ... 29 E. Memahami Konsep Plural, Pluralis, Pluralitas dan Pluralisme ..... 34 BAB III BIOGRAFI KOMARUDDIN HIDAYAT ...... 39 A. Latar Belakang Hidup ...... 39 B. Riwayat Pendidikan ...... 40 C. Kiprah Komaruddin Hidayat ...... 47 D. Karya-Karya Komaruddin Hidayat ...... 49 BAB IV TEOLOGI PLURALIS KOMARUDDIN HIDAYAT ...... 58 A. Manusia, Agama, dan Tuhan ...... 58 B. Melampui Konsep Pluralis ...... 66 C. Prinsip Teologi Pluralis ...... 71 D. Wujud Teologi Pluralis ...... 73 E. Pluralitas Agama Masa Depan ...... 74 F. Relevansi dan Kritik Atas Teologi Pluralis ...... 76

ix

BAB V PENUTUP ...... 78 A. Kesimpulan ...... 78 B. Saran ...... 80 DAFTAR PUSTAKA ...... 81 LAMPIRAN ...... 85

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kegelisahan umat manusia tampak dihadapkan atas kesulitan dalam menjalani hidup. Agama yang selama ini dipercaya sebagai lembaga yang mampu memberikan jalan keluar terhadap berbagai persoalan kemanusiaan telah gagal melakukan transformasi sosial ketika memasuki kehidupan modern. Berbagai konflik atas nama agama terjadi di mana-mana: Yahudi dan Muslim di Palestina,

Muslim dan Kristen di Nigeria, bahkan sesama umat beragama Islam seperti aliran

Syiah dan NU (Ahlussunnah wal Jamā‘ah) di Madura, serta masih banyak contoh kasus lainnya. Oleh sebab itu wacana tentang agama menjadi pembahasan yang selalu menarik diperbincangkan baik di dunia Barat maupun di Timur.

Eksistensi agama pada zaman modern mengalami semacam guncangan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mencoba untuk menggantikan kedudukan agama sebagai jalan hidup (way of life) manusia dalam memberikan kenyamanan. Masyarakat sekarang sulit menjalani hidup tanpa teknologi modern seperti mobil, telepon, televisi dan lainnya. Namun meski nyatanya demikian, agama sebagai institusi paling tua dalam sejarah umat manusia disadari atau tidak telah memberikan dampak berupa arah jalan yang pasti menuju ketenangan dan keselamatan melebihi tawaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.1 Bahkan kenyataan yang terjadi sampai saat ini penduduk dunia justru masih memerlukan agama serta meyakini adanya Tuhan.2

1 Komaruddin Hidayat, Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 4. 2 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. xviii.

1

2

Keyakinan manusia kepada Tuhan ini, atau yang sering dikenal sebagai teis, kemudian ilmunya disebut dengan istilah teologi. Teologi sendiri merupakan cabang ilmu yang membahas tentang ketuhanan.3 Namun ada yang memahami teologi secara lebih luas, yaitu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.4 Sedangkan ajaran paling dasar dari semua agama itu adalah mempercayai

Tuhan. Dengan demikian, seorang tidak bisa dikatakan beragama apabila tidak memercayai adanya Tuhan.

Dalam Islam, teologi lebih dikenal dengan sebutan Ilmu Kalam. Sebagaimana teologi, Ilmu Kalam cakupannya juga terhadap persoalan ketuhanan. Selain itu,

Ilmu Kalam juga disebut sebagai Ilmu Tauhid. Sebagai agama monoteis, Islam menekankan pada pengakuan akan Allah Yang Satu, Allah Yang Esa. Yang dalam ajaran Islam, sifat tersebut merupakan sifat terpenting dari sifat-sifat Allah yang lain.5

Oleh karena pokok dari ajaran agama adalah mengakui adanya Tuhan, peranti yang harus dilalui untuk memahami hal tersebut adalah Teologi atau Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid. Yang kemunculannya tidak terlepas dari sejarah filsafat yang muncul dan berkembang di Barat, khususnya di Yunani.

Perkembangan selanjutnya, umat Islam untuk mempertahankan keyakinannya dari golongan ateis (orang-orang yang tidak percaya akan adanya

Tuhan), Yahudi dan Nasrani, mereka mulai mempelajari ‘senjata-senjata’ yang dimiliki oleh lawan. Senjata-senjata tersebut mencakup filsafat, logika dan cara- cara berdebat (dialektika). Tersebab al-Quran sebagai sumber utama Islam, lalu

3 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. v. 4 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI- Press, 1986), h. ix. 5 Nasution, Teologi Islam, h. ix.

3

mereka coba menjadikan ayat-ayat di dalamnya sebagai dalil, tetap saja saat itu tidak dapat diterima oleh lawan mereka yang melakukan diskusi rasional-filosofis.6

Pertemuan pemikiran tersebut melahirkan beberapa kelompok atau sekte.

Ada yang memiliki sifat liberal, ada juga yang bersifat tradisional dan ada pula diantara kedunya.7 Ada lagi yang memberi istilah dengan ahl al-‘Aql (Mu‘tazilah), ahl al-Naql (Ahlussunah Wal Jama‘ah) dan yang menyelaraskan keduanya

(Asy‘ariyah).8

Adapun Teologi Islam Klasik ditandai dengan munculnya kaum Khawarij,

Qadariyah, Jabariyah dan Murji‘ah sampai kepada tiga kelompok utama sebelumnya. Bahkan tidak hanya itu, muncul lagi aliran Maturidiyah, Salafiyyah bahkan Syi‘ah. Sedangkan persoalan yang sering dibahas dalam perdebatan mereka adalah mengenai keesaan Tuhan berkaitan dengan zat dan sifat, kebebasan yang dimiliki manusia apakah mutlak atau terkungkung, serta keadilan Tuhan yang ujungnya pada balasan surga atau neraka.9

Teologi Islam mengalami perkembangan ketika perubahan zaman tidak bisa dihindarkan. Kenyataan bahwa umat Islam mengalami kemandekan berpikir adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah. Bersamaan dengan pengakuan atas kejumudan berpikir tersebut, secara perlahan muncul para pembaharu dalam tubuh

Islam.

Para pembaharu ini mencoba melakukan rekonstruksi terhadap Teologi Islam yang dianggap mapan padahal monoton. Mereka melakukan rekonstruksi

6 Fuad Farid Isma‘il & Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam) Penerjemah Didin Faqihudin (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 162. 7 Nasution, Teologi Islam, h. x. 8 Isma‘il & Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat, h. 5. 9 Abdul Aziz Dahlan, Ilmu Kalam (Jakarta: Ushul Press, 2010), h. 5.

4

pemikiran agar Teologi Islam menjadi disiplin ilmu yang tidak hanya berkutat pada wacana, melainkan juga menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang lebih nyata, dengan demikian menjadi jelas manfaat dari sebuah ilmu.

Adapun studi kritis mereka terhadap Teologi Islam meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu:

1. Epistemologi

Bahwa penafsiran-penafsiran teologis pada umumnya telah mendekati

sumber Islam, yakni al-Quran, yang secara atomistik dan parsial telah

terlepas dari konteks sejarah dan kesusastraannya sehingga tampak

membela sudut pandang tertentu. Kemudian adanya kecenderungan oleh

para teolog untuk mencocokan ayat al-Quran dengan pandangan

mazhabnya. Dari ini kemudian bertujuan agar terjadi pertentangan. Serta

adanya anomali atau penyimpangan lain yang melekat dalam literatur ilmu

kalam klasik.

2. Ontologi

Bahwa kenyataan yang terjadi dari awal munculnya Ilmu Kalam berkutat

pada persoalan-persoalan ketuhanan yang tidak bisa terjangkau dan jauh

dari persoalan hidup manusia.

3. Aksiologi

Bahwa kenyataan Ilmu Kalam tidak dapat mengantarkan manusia untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufi yang bisa

melakukan hal tersebut.10

10 Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Edisi Revisi) (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), h. 247.

5

Berdasarkan kenyataan itu, dan sebagaimana disebutkan sebelumnya, muncul para pembaharu Islam Modern. Mereka adalah kaum pemikir intelektual.

Seperti Muhammad ‘Abduh di Mesir, Ahmad Khan di India, Muhammad Iqbal di

India-Pakistan.

Sejarah mencatat kemudian bermunculan lagi nama-nama lain seperti Isma‘il al-Faruqi di Palestina, Hasan Hanafi di Kairo Mesir. Dalam perkembangan dan penyebaran Islam yang semakin meluas termasuk ke Benua Asia, kemudian muncul pula nama H. M. Rasjidi, H. ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim ‘Abdullah alias

HAMKA lalu Harun Nasution.

Tiga nama terakhir adalah para pemikir intelektual yang dimiliki Indonesia, guna memberikan kontekstualisasi ajaran Islam, khususnya bidang teologi agar tidak bersifat kontemplatif tetapi sekaligus menjadi implementasi pada isu-isu sosial kontemporer yang semakin pesat seperti demokrasi, kemiskinan, HAM dan pluralisme.

Respon atas isu-isu tersebut memunculkan gagasan baru dalam teologi modern seperti teologi pembebasan yang pada dasarnya memberikan pengakuan kepada manusia untuk bertindak dan menentukan nasibnya sendiri di samping takdir yang melekat pada dirinya.11 Hal ini mengindikasikan bahwa bisa dibenarkan dan patut dibanggakan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang ajarannya menembus ruang dan waktu.

11 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 2.

6

Namun, ada hal yang patut disayangkan ketika manusia kini menjadikan agama sebagai tujuan bukan jalan.12 Sehingga permasalahan yang paling nampak dari sikap beragama saat ini adalah adanya truth claim (klaim kebenaran) yang berlebihan oleh suatu suatu agama kepada agama yang lain, ironisnya bahkan oleh suatu kelompok kepda kelompok yang lain dalam satu rumpun agama. Padahal jika dilihat lebih mendalam lagi, justru setiap agama formal memiliki ajaran tentang kebenaran dan keselamatannya sendiri.

Padahal sesungguhnya konsep kebenaran dan tawaran keselamatan adalah spektrum yang klasik. Sebab tujuan dari semua agama adalah memberikan jawaban terhadap apa yang belum diketahui atau apa yang dipertentangkan oleh pikiran.

Dengan begitu, ketika agama memberikan jawaban secara tidak langsung sedang menyelamatkan manusia dari kebingungan. Walaupun pada dasarnya tradisi penyelatan bukan monopoli agama. Karena itu banyak juga orang yang tidak beragama tetapi pintar dan selamat dalam kehidupan sehari-harinya.13

Oleh karena itu, dan atas berbagai persoalan tersebut, peneliti menganggap perlu untuk mengangkat Pemikiran Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis, sebagai salah satu gagasan penting dalam perkembangan teologi modern selanjutnya karena bersifat progresif, apalagi dikontekskan dengan pengalaman keagamaan Indonesia saat ini bahkan kemungkinan nanti. Mengingat Komaruddin

Hidayat juga menawarkan jalan keluar yang bijak bahkan cukup menarik dalam

12 Komaruddin Hidayat, The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, (Jakarta: Kompas, 2008), h. 3. 13 Hidayat, Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi, h. 50-51.

7

mengatasi persoalan-persoalan yang dilakukan atas nama agama, baik intern maupun ekstern bahkan atas nama Tuhan sendiri.

Untuk merespon hal tersebut, Komaruddin Hidayat pernah menulis sebagai berikut:

Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidupnya dan membangun peradabannya. Bukannya manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridha-Nya melalui amal kebajikan yang berdimensi vertikal (ritual kegamaan) dan horisontal (pengabdian sosial).14

Kutipan tersebut secara sadar menggambarkan pandangan umum

Komaruddin Hidayat tentang teologi pluralis yang menawarkan nilai-nilai luhur dan bersifat praktis. Kesadaran kembali akan agama untuk manusia dan kemanusiaan tidak lebih dimaknai untuk mendorong manusia agar memperjuangkan sejumlah nilai moral dasar dalam agama yang tentu dalam dimensi horisontal berdampak positif pada lingkungan sekitarnya.

Teologi pluralis sendiri merupakan wacana baru dalam perkembangan sejarah pemikiran sampai saat ini. Meskipun terbilang baru, sudah sepantasnya dipublikasikan sebagai wacana yang memiliki nilai progresif utamanya dalam menyelesaikan persoalan keagamaan sebagaimana tercontoh di atas sebelumnya.

Teologi pluralis bisa dimaknai sebagai pemahaman keagamaan yang menghargai kemajemukan agama.15 Dalam makna lain, teologi pluralis adalah sikap seseorang

14 Hidayat, The Wisdom of Life, h. 3. 15 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), h. xviii.

8

yang berpegang teguh pada keyakinannya sendiri namun membuka diri, atau menerima keyakinan yang dimiliki oleh orang atau pemeluk agama lain.

Melalaui pendekatan teologi pluralis inilah rekonstruksi pemikiran dianggap mampu untuk menciptakan harmoni di antara umat beragama atau satu sama lainnya. Dalam artian teologi pluralis ingin menegaskan kembali pentingnya pemahaman akan agama yang diidentik dengan kepentingan umum (maslahah

‘āmmah) dan karena itu tidak bisa dipergunakan oleh segelintir orang apalagi kelompok. Termasuk juga agar peran utama agama sebagai agen liberatif (tahrir, pemerdekaan) dari kondisi gelap menuju terang (min al-zulumāt ila al-nur) yang mengejewantah berbagai persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan bukan hanya wacana langit tetapi sekaligus fakta yang membumi.16

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis menganggap perlu menghadirkan penelitian tentang pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat.

Akan tetapi perlu diuraikan lebih mendalam lagi agar mendapat pemahaman utuh tentang teologi pluralis dalam pandangan Komaruddin Hidayat. Selain juga pendekatan teologi pluralis tetap berlaku untuk setiap zaman, lebih-lebih ketika konflik kekerasan di berbagai tempat di dunia ini masih sangat sensitif bahkan rentan terjadi. Maka daripada itu, penulis tertarik dan menganggap sangat penting untuk mengangkat tema dan menulis skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi

Atas Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat”.

16 Nur Ahmad, ‘Pengantar’ dalam Komaruddin Hidayat, The Wisdom of Life, h. ix.

9

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dan betapa luasnya permasalahan seperti yang telah diidentifikasi di atas, maka ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai masalah teologi pluralis dalam pandangan

Komaruddin Hidayat.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Pemikiran

Keagamaan Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian ini tidak lain adalah untuk mendapatkan pemahaman melalui ulasan dan analisa secara sistematis terhadap pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis guna menemukan jawaban atas berbagai konflik yang disandarkan pada agama. Selain juga untuk syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) Sarjana Agama (S.Ag) Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Memperkenalkan pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat tentang teologi pluralis di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, juga memberikan sumbangan wawasan serta dapat mengubah sudut pandangn masyarakat dalama memahami dasar agama kaitannya dengan kehidupan nyata, khususnya umat Islam Indonesia.

10

E. Tinjauan Pustaka

Mengingat penelitian ini bersifat library research, tinjauan pustaka di sini penulis lakukan melalui pencarian ke Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta terkait judul serupa atau tokoh yang sama. Dalam hal judul, tidak satupun ada judul yang membahas tentang teologi pluralis, karenanya penelitian ini bersifat baru meski bukan yang pertama.

Sedangkan mengenai tokoh serupa, hanya ada dua judul skripsi yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan

Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul: Pertama, Analisis

Isi Buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat (2012). Kedua, Respon

Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam Terhadap Buku Psikologi Kematian Karya Komaruddin Hidayat

(2017).

Tidak hanya itu, penulis juga melakukan penelurusan di Google mengenai hal tersebut. Hasil yang didapat dengan kata kunci ‘skripsi Komaruddin Hidayat’ hanya memunculkan satu hasil pencarian selain dua sebelumnya, yaitu skripsi tahun 2002 oleh salah satu mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas

Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dengan judul Riddah Dalam Islam (Studi

Pemikiran An-Na‘im dan Komaruddin Hidayat).

Dengan demikian bisa dipastikan bahwa penelitian ini bersifat baru karena tidak ada yang meneliti secara langsung tentang pandangan keagamaan

Komaruddin Hidayat khususnya mengenai teologi pluralis, dan sudah tentu orisinalitas karya ini dapat dipertanggungjawabkan.

11

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif dengan metode

library research (penelitian kepustakaan), baik berupa buku, catatan

maupun hasil laporan dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Metode selanjutnya adalah wawancara, yaitu proses memperoleh

keterangan untuk sebuah penelitian dengan tanya-jawab antara

pewawancara dan narasumber, baik langsung atau tak langsung melalui

media yang mendukung.

Melalui metode tersebut, peneliti mencoba untuk memahami biografi,

kiprah dan karya-karya Komaruddin Hidayat sehingga menemukan

keutuhan dalam pemikirannya tentang teologi pluralis. Dengan

pendekatan tersebut penulis dapat menganalisa data untuk menemukan

corak pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat.

Mengenai wawancara, penulis telah melakukan wawancara secara

langsung dengan Komaruddin Hidayat. Penulis melakukan kontak

langsung melalui media sosial sebagai pemberitahuan awal tentang

penelitian yang sedang penulis kerjakan, sekaligus konfirmasi untuk

membuat janji temu, saat itu bertepatan pada tanggal 25 Desember 2019.

Setelah menunggu kurang lebih dari 24 jam, akhirnya ada respon dari

Komaruddin Hidayat. Dan penulis diberi nomor kontak asisten pribadinya

untuk menentukan tanggal dan tempat wawancara. Bersama surat

penelitian yang dikeluarkan fakultas yang penulis kirim, penulis baru

mendapatkan kepastian tanggal dan tempat dua hari setelahnya.

12

Wawancara akhirnya dilaksanakan di kediaman beliau pada hari Senin,

tanggal 6 Januari 2020. Tepatnya mulai jam 16:00-17:00 WIB.

2. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini ada dua meliputi data primer dan

sekunder. Sumber data primernya adalah wawancara yang hasilnya telah

penulis cantumkan pada bagian lampiran. Lalu buku karangan beliau

meliputi: Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama Dalam

Kehidupan (Komaruddin Hidayat, Tangerang Selatan: 2019), Agama

Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Komaruddin Hidayat &

Muhammad Wahyuni Nafis, Jakarta: 1995), Agama Punya Seribu Nyawa

(Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2012), The Wisdom of Life: Menjawab

Kegelisahan Hidup dan Agama (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2008),

Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2003),

Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Komaruddin

Hidayat, Jakarta: 1996), Penjara-Penjara Kehidupan (Komaruddin

Hidayat, Jakarta: 2015), serta karya lain Komaruddin Hidayat yang

memiliki dukungan terhadap pembahasan seperti Iman yang Mengejarah

(2018), Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama (2006), Psikologi

Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (2008).

Sedangkan sumber data sekundernya meliputi karya orang lain yang juga

mendukung terhadap isi pembahasan seperti Teologi Pluralis-

Multikultural, karya Muhammad Ali, lalu Islam Dan Keselamatan

Pemeluk Agama Lain, karya Mohammad Hassan Haikal, dan Membela

13

Kebebasan Beragama, editor Budhy Munawar Rahman serta karya lain

yang terkait dan tidak bisa disebutkan satu persatu.

3. Teknik Pengumpulan Data

Demi mempermudah dalam pengumpulan data atau informasi-informasi

terkait penelitian, penulis akan menggunakan metode dokumentasi selain

library research. Lexi mengutip pendapat Guba dan Lincoln yang

mendefinisikan bahwa dokumen adalah setiap bahan berupa tulisan atau

film berbeda dengan record, yang tidak diarsipkan karena permintaan dari

seorang penyidik.17 Sementara itu, Suharsimi Arikunto mendefinisikan

metode dokumentasi sebagai cara pengumpulan data mengenai hal-hal

atau variabel berupa catatan, transkip, buku, majalah, surat kabar, prasasti,

notulen rapat, lengger agenda dan sebagainya. Metode ini cenderung lebih

mudah, karena jika terjadi kekeliruan sumber datanya masih tetap, sebab

data yang diteliti oleh metode dokumentasi adalah benda mati.18

Selanjutnya penulis akan menggali informasi mengenai data yang

berkaitan dengan penelitian penulis dari berbagai sumber buku. Baik buku

yang bersifat primer atau pun buku yang bersifat sekunder. Selain dari

buku, tentu penulis juga akan mengambil data dari sumber-sumber

dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian penulis jika

ada.

17 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 2012) h. 216-217. 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Cet. IVX (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 274.

14

4. Pengolahan Data

Setelah data-data dikumpulkan seluruhnya, kemudian penulis melakukan

pengolahan data dengan cara membaca, mempelajari, meneliti,

menyeleksi dan mengklarifikasi data-data yang sesuai dan mendukung

pembahasan. Kemudian penulis melakukan analisis, lalu disimpulkan

sehingga menjadi satu kesatuan pembahasan yang utuh.

Seperti pernyataan Komaruddin Hidayat yang terdapat dalam buku

Penjara-Penjara Kehidupan, bahwa apa yang disebut agama adalah jalan

untuk mengenal dan mendekat kepada Tuhan. Lalu dalam buku lain yang

berjudul The Wisdom og Life, Komaruddin Hidayat menyatakan: Ajaran

agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan

agama diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar

dalam menjalani hidupnya dan membangun peradabannya. Bukannya

manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, bukan

tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati Tuhan dan

mengharap ridha-Nya melalui amal kebajikan yang berdimensi vertikal

(ritual kegamaan) dan horisontal (pengabdian sosial).

Hal tersebut disebabkan oleh karena Komaruddin Hidayat dalam karya

tulisnya lebih banyak mengarang buku dengan jenis kumpulan tulisan atau

esai. Sebab bagi Komaruddin Hidayat, tulisan jenis esai serupa al-Quran

yang temanya menyebar dan memiliki pengaruh kuat dan merupakan

karya hebat. Sehingga untuk memetakan dan menemukan corak pemikiran

Komaruddin Hidayat, menuntut untuk membaca seluruh karya yang

pernah dikarangnya.

15

5. Teknik Analisa Data

Dalam teknik analisa data di sini penulis melakukan kajian pemahaman

terhadap isi analisis (content analysis), dengan bentuk deskriptif

sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya dalam sub bab pengolahan

data, yaitu dengan mencatat segala informasi apa adanya kemudian dengan

pemaparan secara rinci terkait dengan penelitian. Dalam penelitian ini

akan menggambarkan permasalahan-permasalahan yang dibahas dengan

menggali seluruh data yang ada untuk kemudian dipadukan dengan tujuan

akhir guna mendapat kesimpulan baru yang menyeluruh.

6. Pedoman Penulisan

Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang

diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007 dengan tim penulis: Hamid Nasuhi,

Ismatu Ropi, Oman Fathurrahman, M. Syairozi Dimyati, Netty Hartati dan

Syopiansyah Jaya Putra.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini diuraikan melalui pokok permasalahan yang dibahas dan dituangkan dalam bentuk beberapa bab serta sub-sub bab sebagai berikut:

BAB I Merupakan pendahuluan yang akan mengarahkan pembaca terhadap

isi dari pembahasan yang di dalamnya meliputi beberapa hal yaitu,

16

latar belakang sekaligus identifikasi masalah, pembatasan dan

rumusan masalah, tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam

penelitian dan diakhiri dengan teknik serta sistematika penulisan.

BAB II Secara khusus mengulas tentang pengertian teologi, lalu

perkembangannya dalam dunia Islam. Kemudian pengertian dari

pluralitas serta hubungan bahkan sinkretisasi antara keduanya.

BAB III Membahas tentang biografi Komaruddin Hidayat sebagai salah

seorang pemikir terkemuka yang ada pada zaman belakangan ini. Di

dalam biografi tersebut terdapat riwayat hidup, latar belakang

pendidikan, karya-karya serta kiprahnya.

BAB IV Mengulas pemikiran Komaruddin Hidayat tentang teologi pluralis.

Sedangkan sub-sub bahasan di dalamnya merupakan kerangkan

umum dari pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat.

BAB V Merupakan penutup dari seluruh rangkaian pembahasan dari

permasalahan yang penulis teliti, yang memuat sub bab kesimpulan

dan saran guna dilakukan penelitian lebih lanjut.

BAB II

TEOLOGI PLURALIS DALAM TINJAUAN

A. Pengertian Teologi

Apakah teologi? Sesungguhnya tidak mudah mendefinisikan sebuah konsep yang dihadirkan kepada manusia dengan keterikatan pada ruang dan waktu. Sebuah konsep lahir dan terikat oleh pergumulan lingkungan antara seorang manusia dengan manusia lainnya, antara sekelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya. Tidak terkecuali konsep teologi sendiri. Lazim diketahui, secara harfiah teologi berarti ilmu ketuhanan. Terdiri dari dua suku kata yaitu, Theos berarti

Tuhan, logos berarti ilmu.

William L. Resse (l. 1921 M) mendefiniskan teologi dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).1 Lebih jauh,

Resse dengan mengutip kata-kata William Ockham (1287-1347) bahwa, Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science (Teologi adalah disiplin ilmu yang berbicara mengenai kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).

Sedangkan secara definitif yang lain, mengutip Eka Putra Wirman, “the study or science with which treats of God, His nature and attributes, and His relations with man and universe.” Dari definisi tersebut, tergambar jelas bahwa teologi merupakan sebuah pengetahuan atau ilmu yang membahas tentang Tuhan, termasuk segala hal yang disandarkan kepadaNya serta relasinya dengan manusia

1 William L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought (USA: Humanities Press Ltd, 1999), h. 28.

17

18

dan alam semesta.2 Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam semesta berdasarkan nilai dan norma ketuhanan (rabbaniyah).

Menjadi menarik apabila membahas masalah hubungan antar manusia ketika dilatarbelakangi oleh agama. Perjumpaan seseorang dengan orang lainnya yang berbeda agama menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari apalagi dalam dunia kontemporer.

Tantangan budaya lokal dan budaya global universal semakin kompleks dan tak terhindarkan, sehingga dalam perjalanannya terjadi persentuhan nilai teologis baik dalam pemaknaan maupun penerapannya. Dengan begitu, istilah teologi tidak lagi terbatas pada ilmu-ilmu ketuhanan secara sempit-eksklusif, tetapi telah menjadi paduan dari sekian banyak ilmu keagamaan yang sudah barang tentu berlaku dalam pemikiran keagamaan Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, tetapi juga bagi Islam sendiri.3

Teologi sebagai ilmu dalam perkembangannya kemudian masuk ke dalam

Islam sebagaimana telah tersebut di atas, sehingga belakangan muncul istilah

Teologi Islam. Konsep Teologi Islam sendiri memiliki kesamaan dengan Ilmu

Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu Akidah, Ilmu Ushuluddin, meski beberapa kalangan membedakannya. Akan tetapi pembahasan yang muncul dalam nama-nama ilmu tersebut tidak terlepas dari Tuhan, manusia dan alam semesta.

Adapun pembedaannya, salah satunya seperti Ilmu Tauhid yang dalam pembahasannya mengenai keesaan Allah SWT. dan hal-hal yang berkaitan

2 Eka Putra Wirman, Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013), h. 10. 3 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 91.

19

denganNya. Sedangkan ilmu kalam juga membahas hal serupa, akan tetapi penekannya terletak pada argumentasi yang digunakan dengan pengonsentrasian terhadap penggunaan logika.4

Definisi Ilmu Kalam sendiri, mengutip Ahmad Hanafi, bahwa Muhammad

Abduh dalam Risalat at-Tauhid mendefinisikannya sebagai ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang wajib ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya dan membicarakan rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang wajib ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan mungkin sifat-sifat yang terdapat padanya.5

Terlepas dari perbedaan pemaknaan setiap tokoh tentang Ilmu Kalam, secara keseluruhan cakupannya tidak terlepas dari Tuhan dan segala yang terkait padaNya, lalu manusia hubungannya dengan Tuhan atau sesamanya, serta alam semesta kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Adapun tujuan dari ilmu kalam tidak lain untuk mempertahankan keyakinan agama (iman) melalui argumentasi-argumentasi yang dapat diterima baik oleh akal manusia (rasional).6

B. Sejarah Teologi Islam dan Perkembangannya

Awal mulanya, kalam atau ilmu kalam merupakan nama cabang pengetahuan dalam Islam yang biasa diterjemahkan sebagai ‘teologi spekulatif’. Dalam makna harfiahnya, kalam bermakna ‘perkataan’, ‘pembicaraan’, atau ‘kata-kata’, dan

4 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Edisi Revisi (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2016), h. 20. 5 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 3. 6 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Penerbit Baitul Ihsan, 2006), h. 130.

20

orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan atau diskusi ini kemudian dikenal sebagai mutakallimun.7

Perdebatan tentang kalam sebagai ilmu memanjang, jejaknya dapat dilacak hingga ke Nabi Muhammad.8 Salah seorang sepupu Nabi, yang kelak sekaligus menjadi menantunya yakni ‘Ali bin Abi Thalib dipercaya memiliki kemapanan dalam ilmu kalam, yang bisa dilihat melalui karya beliau yaitu Najh al-Balaghah

(Path of Eloquence), yang berisi bukti-bukti rasional pertama tentang Keesaan

Tuhan, setelah al-Quran dan Hadits.9

Selain juga sudah disebutkan di bab terdahulu, mengenai alasan mengapa umat Muslim mempelajari filsafat, logika dan cara-cara berdebat berkaitan dengan pertemuan dan debat antar kelompok agama. Besar kemungkinan hal tersebut terjadi di Syiria dan Iraq—di mana perdebatan-perdebatan terjadi antara orang- orang Muslim dan pengikut agama lain—terutama orang-orang Kristen, Mazda dan pengikut Mani, yang perjumpaan tersebut telah mengembangkan argumen- argumen secara filosofis dan teologis guna mempertahankan ajaran-ajaran pada keyakinan mereka—yang dalam hal ini membuat orang Muslim mencari suatu bentuk pengembangan rasional dari apa yang dimiliki, untuk melindungi dan mempertahankan Islam.10 Perbandingan ini dilakukan untuk menemukan kebenaran otentik lebih jauh.

7 Abdel Halem, Kalam Awal, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), 85-86. 8 Dalam persoalan ini, pelacakannya dengan meneliti beberapa hadis Nabi yang di dalamnya menggunakan kata kalam, lebih lengkap lihat M. Abdel Halem, Kalam Awal, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 85-107. 9 Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. Penerjemah Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 5. 10 Nasr, Intelektual Islam, h. 5.

21

Selanjutnya mazhab kalam pertama yang muncul secara sistematik pada abad kedua adalah Mu’tazilah, dan pendirinya bernama Wasil Ibn ‘Ata’ (w. 131/748).

Ajaran mereka yang paling terkenal adalah tekanan pada kebutuhan penalaran dan pentingnya kehendak bebas.11 Disusul oleh munculnya beberapa mazhab lainnya seperti Asy’ariyah, Maturidiyah (terbagi dua antara Maturidiyah Samarkand dan

Bukhara), Tahawiyah, Syi’ah (terbagi ke dalam banyak kelompok, tapi yang terkenal tiga yaitu Syi’ah Ismai’iliyah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imam Dua

Belas), Murjiah, bahkan Salafiyah. Mazhab-mazhab kalam ini ada ajarannya yang bertahan sampai sekarang dan terus berkembang, ada yang sudah ditinggalkan sama sekali.

Mengenai persoalan yang paling menonjol dalam persoalan kalam diyakini

Harun Nasution sebagai masalah politik. Lebih jauh Harun menggambarkan persoalannya pada peristiwa terbunuhnya ‘Utsman bin Affan yang berantai pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib. Insiden antara Ali dan

Mu’wiyah menuai Perang Siffin yang menyebakan terjadinya arbitrase (tahkim).

‘Ali menerima tipu daya yang dilakukan oleh ‘Amr bin ‘Ash, utusan dari pihak

Mu’awiyah dalam arbitrase tersebut. Hal ini diketahui oleh pengikut Ali dan mereka yang tidak setuju terhadap keputusan Ali dan menganggap ‘Ali bersalah, lalu pengikut ‘Ali ini memisahkan diri dari ‘Ali dan menamai dirinya sebagai

Khawarij, yaitu kaum yang keluar dan memisahkan diri. Sedangkan pengikut ‘Ali yang paling setia kemudian menamai diri dengan Syi’ah.12

11 Nasr, Intelektual Islam, h. 6. 12 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan (Jakarta: UI- Press, 1986), h. 6.

22

Namun demikian, Ilmu Kalam diyakini sebagai disiplin ilmu baru pada masa dinasti Abbasiyah. Penyimpulan tersebut diperkuat dengan laporan sejarah mengenai adanya kegiatan diskusi di istana keluarga Barmak.13 Sejarah dunia mencatat, masa keemasan intelektual Islam terjadi pada masa dinasti Abbasiyah.

Akan tetapi masa emas itu baru terwujud pada tujuh masa pemerintahan setelah kepemimpinan al-Mansur (754-775 M), yaitu mulai dari al-Mahdi (775-785 M), al-

Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-

Mu’tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).

Hanya saja dalam kejayaan ilmu pengetahuan, terjadinya dimulai pada masa

Harun al-Rasyid yang terkenal memiliki kekayaan dan diplomasi politik dengan negara-negara jauh. Kekuasaannya ini juga digunakan oleh Harun al-Rayid untuk mencari dan menerjemahkan naskah-naskah berbagai ilmu. Hingga putreranya al-

Ma’mun berkuasa, apa yang pernah dilakukan dirinya langsung dilanjutkan.

Khalifah Abbasiyah ke tujuh ini berpikiran bahwa masyarakat ideal masa depan hanya bisa diwujukan melalui ilmu pengetahuan dan rasionalisme. Untuk mencapai semua itu, ia harus mengumpulkan para pemikir, ilmuan dari berbagai bidang lalu disatukan dalam satu lokasi agar bisa saling belajar satu sama lain, maka akan terwujud kemungkinan tak terbatas tersebut. Dan puncak dari keinginannya itu berwujud dengan didirikannya institut pendidikan di Baghdad yaitu yang dikenal dengan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebajikan).14

13 Amin Syukur, Paradigma Baru Ilmu Kalam, dalam Af Idah Salmah ed., Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme Kehidupan Modern (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 16. 14 Firas Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim Pada Masa Lalu. Penerjemah Mursyid Wijanarko (Yogyakarya: Bentang Pustaka, 2016), h. 90.

23

Melalui Bayt al-Hikmah ini ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia

Islam. Al-Ma’mun sendiri bukan hanya pemimpin yang memberikan penekanan khusus pada ilmu pengetahuan. Hal yang menjadikan Masa Keemasan Muslim dan

Bayt al-Hikmah ini, adalah konteks terjadinya. Setidaknya ada tiga hal, pertama ekspansi kerajaan Muslim berhasil meruntuhkan dinding-dinding kelompok yang berbeda sebelumnya.

Kedua, aspek bahasa, dalam hal ini Bahasa Arab. Jika sebelumnya orang- orang mengalami kendala untuk berinteraksi dengan kelompok lainnya, termasuk untuk menuntut ilmu pengetahuan, maka pada masa al-Ma’mun hal tersebut tidak ada lagi sehingga orang dari berbagai latar belakang suku, ras, bahasa dan agama bisa bersatu.

Ketiga, aspek dorongan agama. Islam sendiri sangat menekankan orang untuk mencari dan mencintai ilmu. Baik hadis maupun ayat al-Quran banyak memberikan gambaran tentang peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan orang-orang saleh.

Tiga faktor unik dalam mencari ilmu inilah yang menarik dalam Islam.15

Termasuk di sini juga berkembang teologi. Persentuhan berbagai ilmu pengetahuan, ini memberikan dampak yang sangat luar biasa. Akan tetapi persentuhan itu tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan, adanya pergesekan ketika penerjemahan teks Yunani kuno, umat Muslim mulai membaca buku-buku filsafat dan menemukan gagasan serta meyakini bahwa rasionalisme dapat digunakan untuk menemukan kebenaran Ilahiah.16

Paham yang dipegang saat itu adalah Mu’tazilah, sehingga tidak heran jika al-Ma’mun menjunjung tinggi rasionalisme. Akan tetapi, tidak semua orang yang

15 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 91-92. 16 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 116.

24

ada dalam kekuasaannya mengikuti ajaran-ajaran yang ditetapkan istana. Di kubu sebelah al-Ma’mun ada Ahmad bin Hanbal sebagai pemimpin kaum tradisionalis, yang meyakini tafsir literal dan kaku terhadap al-Quran dan hadis jika berkaitan dengan teologi, dan tidak ada tempat bagi filsafat ketika menghasilkan kesimpulan yang berseberangan dengan kebenaran yang dinyatakan al-Quran.17

Mu’tazilah tumbang ketika muncul pemikir abad kesepuluh yakni Asy’ari. Ia mendukung kaum tradisionalis, tapi melalui penalaran. Hingga muncul juga pemikir, filsuf, sufi, ahli fiqh dan sederet gelar lainnya dinisbatkan kepada Abu

Hamid al-Ghazali (1058-1111). Setelah mempelajari kedua argumen teologis dua aliran tersebut (Mu’tazilah dan Asy’ariyah), dan mempelajari berbagai bidang ilmu, ia berpendapat bahwa keyakinan seseorang tidak boleh seluruhnya didasarkan kepada filsafat, tetapi logika juga harus digunakan untuk melawan gagasan tradisional. Bahkan baginya, jalan sejati menuju Tuhan adalah dengan ketaatan mutlak kepadaNya dan menyucikan jiwa dari keinginan duniawi. Sehingga kemudian ia dianggap sebagai orang paling berpengaruh setelah Nabi Muhammad dan sahabatnya, dan pemikirannya hampir merata dipakai dalam dunia Islam.18

Pemikiran al-Ghazali eksis di dunia Islam sampai yang disebut zaman modern tiba, ketika para pemikir intelektual dalam tubuh Islam menyadari ketertinggalan Islam terutama dalam bidang sains dan dan teknologi. Mereka mulai mencari sumber masalahnya dan menemukan salah satunya kalau bukan yang utama terletak pada kejumudan atau kemandekan berpikir.

Sejak awal, pemabahasan mengenai teologi selalu bertumpu pada hal yang ada di langit yaitu Tuhan. Pada dasarnya bukan hal yang mengherankan,

17 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 117. 18 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 118-119.

25

kemunculan teologi tidak lain untuk memantapkan dasar-dasar agama, selain kegunannya untuk mempertahankan iman dari serangan orang-orang yang tidak memprcayai adanya Tuhan.

Menjadi ironis apabila dasar-dasar tersebut selalu diperdebatkan selama berabad-abad, dan ini terjadi di dalam tubuh Islam. Padahal kehidupan manusia berkembang dan masalah yang muncul semakin kompleks tetapi persoalan teologi tetap salah tidak mengalami perubahan, yaitu persoalan langit yang dilakukan di bumi.

Penutupan pintu ijtihad dan taqlid bertahan lama dan menyapu hampir seluruh dataran Islam. Sehingga hampir semua yang agama tetapkan harus dijalani dengan seragam, padahal realitas manusia yang hendak menjalaninya beragam jika kemudian juga dikaitkan dengan keadaan, dan waktu mereka tinggal.

Beruntung kemudian pada abad ke-18, 19 dan 20 peran akal dan pentingnya menafsirkan ulang ajaran agama ‘kembali’ dibuka oleh pemikir intelektual Islam sendiri. Meskipun mendapat penentengan, tetapi mereka mampu meyakinkan umat

Islam bahwa imperialisme Barat telah mengambil banyak hal dalam dunia Islam, dan jika umat Islam tetap stagnan, jumud dan diam dalam pemikiran maka lama- lama Islam hanya akan tinggal sejarah belaka.

Mereka ini sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya, diantaranya ada

Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, dan

Muhammad Iqbal serta Harun Nasution untuk menyebutkan beberapa nama diantara yang paling menonjol.

Mereka melakukan rekonstruksi ajaran agama, khususnya teologi agar tidak hanya sebatas pembahasan langit yang berlangsung di bumi, tapi sekaligus

26

menyentuh permasalahan yang terjadi di bumi. Semakin menarik kemudian ketika ternyata Islam dilirik dan menjadi pembahasan yang mulai dikaji dan diminati di

Dunia Barat.

Kesadaran akan ketertinggalan Islam di dunia modern terlihat dari semakin berkembangnya peradaban Eropa, hingga memasuki abad kontemporer, umat Islam semakin sadar dan mulai membenahi diri yang salah satunya menerima apa yang dianggap baik bagi kemanusiaan meskipun itu datang dari Barat. Dasar ini biasanya dalam kalangan Islam disandarkan pada kaidah ushul fiqh yang sangat populer yaitu, al-muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shaleh wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah

(memelihara tradisi lama yang bagus, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Umat Islam sadar bahwa peradaban manusia berkembang, realitas dalam dunia sosial selalu berubah dan tiada hentinya dari waktu ke waktu, hal tersebut memberikan dorongan untuk membuka kembali cara berpikir yang kritis dan teologi aktual untuk menjawab tantangan di dunia kontemporer.

Tantangan teologi Islam di dunia kontemporer adalah menyangkut isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme agama, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya. Sebab teologi dalam rumpun agama apa pun yang pembicaraannya selalu berkutat pada Tuhan (teosentris) dan tidak mengaitkan diskursusnya dengan kemanusiaan universal (antroposentris), lambat laun rumusan teologinya akan out of the date.19

Antisipasi terhadap kemungkinan tersebut, dalam dunia Islam muncul dan berkembang wacara tentang teologi yang disandarkan pada konteks kejadiannya.

Beberapa wacana tersebut misalnya teologi pembebasan, teologi kerukunan, teologi

19 Abdullah, Falsafah Kalam, h. 42.

27

perdamaian, teologi multikultural, tidak terkecuali teologi pluralis sendiri yang menjadi kajian dalam pembahasan ini yang pemahamannya disandarkan pada pemikiran salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yaitu Komaruddin

Hidayat.

C. Sumber-Sumber Ilmu Kalam

Sumber utama Ilmu Kalam adalah al-Quran dan Hadits.20 Selain itu dalam perkembangan Ilmu Kalam selanjutnya, muncul Pemikiran Manusia dan Insting.21

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Al-Quran

Banyak ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang Tuhan. Semisal

salah satunya adalah surah utuh yaitu Q.S sl-Iklhas (112): 1-4 sebagai

berikut:

ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َ قلۡۡه َوۡٱ ُّللۡۡأ َح ٌد١ۡۡۡٱ ُّللۡۡٱ َلص َم ُد٢ۡۡۡۡل م َۡيِلد َۡول م ُۡي وَل٣ۡۡ ۡۡ َول م َۡيك ُۡنّۡل ۥۡۡكف ًواۡأ َح ُد٤ُۡۡۢ ۡ

“Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

2. Hadis

Sebagai sumber kedua Ilmu Kalam, terdapat banyak hadis yang

menyinggung soal ketuhanan. Salah satunya adalah hadis yang membahas

20 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 12. 21 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 21-26.

28

masalah keimanan seorang manusia, yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim yaitu:

َع ْﻥ ﺃَبِ ْي َح ْمﺯَ ةَ ﺃَ ِنَﺱ ِبْﻥ َم ِالﻙٍ ِخَاﺩِﻡ َﺭسُ ْ ﻝ ﻭهللا َع ْﻥ َّالنبِي َق َاﻝ : َال يُ ِؤْم ُﻥ ﺃَ َح ُﺩُك ْﻡ َحتَّى يُ ِح َّﺏ ألَ ِخ ِيْه

َما يُ ِح ُّﺏ ِل ْنَف ِسه

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.”

Hadis tersebut menuntut adanya implikasi seorang yang beriman, yakni mereka yang memiliki hubungan secara vertikal, harus pula memiliki hubungan horizontal yang kuat sebagai cerminan atau bagian dari kemanusiaannya yang nilai daripadanya adalah sebab dari keberiman tersebut.

3. Pemikiran Manusia

Kesadaran akan penggunaan pikiran manusia sebagai salah satu sumber

Ilmu Kalam mendapat dukungan dari al-Quran surah Muhammad (47):

24 yaitu:

َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ ُ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ ٓ أفلۡۡيتدبرونۡٱلقرءانۡۡأم ٰۡلَعۡقل ٍوبۡأقفالها٢٤ۡۡ ۡ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”

Sebelum masuknya filsafat Yunani dan berkembang dalam dunia Islam,

umat Islam sendiri sudah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk

29

menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran, terutama

yang belum memiliki kejelasan maksudnya (al-mutasyabihat).

4. Insting

Manusia secara instingtif selalu ingin bertuhan. Ini disebabkan oleh diri

manusia sendiri yang terbatas, dan kesadaran akan keterbatasannya itu

menjadikan manusia merasa dirinya lemah dan membutuhkan sesuatu di luar

dirinya sebagai bentuk harapan. Hal ini yang nantinya oleh Komaruddin

Hidayat sendiri disebut bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang selalu

mencari, merindukan perjumpaan dengan Tuhan yang bisa melindungi

manusia dari kebutuhan dan bahaya yang mengintainya.

D. Lahirnya Aliran Ontologi: Monisme, Dualisme dan Pluralisme

Sebelum memasuki pembahasan mengenai konsep pluralisme, menarik untuk memahami salah satu aliran filsafat yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, yaitu ontologi. Ontologi sendiri dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas mengenai hal ihwal, atau ilmu yang mempelajari tentang yang ada.

Dengan demikian, cakupan dari ontologi ini objek pembahasannya berfokus pada segala sesuatu yang ada dan dapat ditangkap oleh panca indra.

Dalam perkembangannya, persoalan mengenai keberadaan ini melahirkan pandangan yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda. Semisal tiga segi pandangan, yaitu:22

22 M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam (Malang: Bayu Media, 2003), h. 32

30

Keberadaan dipandang dari kualitas atau jumlah, melahirkan beberapa aliran sebagai jawaban, yaitu: monisme, dualisme, pluralisme serta agnotisisme.

Kemudian keberadaan dipandang dari segi sifat atau kualitas, melahirkan dua aliran yaitu spiritualisme dan materialisme. Dan terakhir, keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan, melahirkan aliran mekanisme, teologi dan vatalisme.

Dan, pembahasan ini hanya mengambil cakupan pada keberadaan dipandang dari segi kualitas atau jumlah yang membatasi tiga aliran pertama meliputi monisme, dualisme, pluralisme.

Pertama aliran monisme (monism) akar katanya dari Bahasa Yunani yaitu monos yang bermakna tunggal atau sendiri. Secara istilah monisme adalah paham yang menitikberatkan bahwa unsur pokok dari segala yang ada adalah unsur yang bersifat tunggal atau esa. Unsur dasar ini bisa berupa materi, pikiran, Allah dan lain- lain. Seperti bagi kaum materialis bahwa unsur itu adalah materi, dan bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide.23 Atau dengan bahasa lain, aliran monisme handak menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan atau kebenaran yang fundamental.24

Thales (625-545 SM) adalah salah seorang pemikir awal yang mencoba merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat ‘yang ada’ (being) itu, yang kemudian memiliki kesimpulan bahwa asal-usul atau sumber awal dari segala sesuatu yang ada itu adalah air.25 Sedangkan tokoh selanjutnya, yakni Anaximadros

23 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 681. 24 Surajiyo, Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 119. 25 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1 Cet. Ke-28 (Yogyakarta: Penebit Kanisius, 2016), h. 16.

31

(610-540 SM) menyimpulkan bahwa asas dari segala sesuatu bukanlah air sebagaimana dikatakan oleh Thales. Anaximandros menyangkal kenyataan bahwa asas awal adalah air, karena baginya air terbatas, dan air harus ada di mana-mana, sedangkan kenyataannya tidak demikian. Oleh karenanya, kata Anaximandros, asas pertama haruslah asas yang menimbulkan segala sesuatu, maka asas harus melebihi dari air, dan Anaximandros menyebutnya dengan istilah to apeiron (yang tak terbatas).26

Pada abad modern, pemikiran sejenis dianut oleh Baruch de Spinoza (1632-

1677) yang meyakini adanya substansi tak terhingga, atau disebut Allah. Spinoza memahami substansi sebagai sesuatu yang ‘ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.’ Dari definisi tersebut, Spinoza menghubungkan kepada konsep ‘attribute’ dan ‘modus’, yang atribut dimaksudkan adalah sesuatu yang ditangkap oleh intelek sebagai hakikat substansi, dan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.

Keluasan dalam arti ekstensi ditolak oleh Spinoza sebagai substansi sebagaimana diyakini oleh Descartes. Baginya ekstensi adalah atribut karena ditangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Keluasan itu menurutnya adalah atribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Sebagaimana juga berlaku bagi pikiran. Dengan demikian, karena keluasan dan pikiran hanyalah atribut, kita bisa melihat dunia dari atribut pikiran, dan kita menyebutnya Allah, tetapi kita juga

26 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 17.

32

melihat atribut keluasan, dan kita menyebutnya alam. Karena itu, bagi Spinoza,

Allah atau alam adalah kenyataan tunggal.27

Aliran kedua adalah dualisme. Berasal dari kata Latin duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang mengatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak-belakang. Masing-masing substansi memiliki sifat yang unik dan dan tidak dapat direduksi. Misalnya substansi antara adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, materi dengan roh, jiwa dengan badan dan lain sebagainya.28

Tokoh yang pemikirannya sejalan dengan dualisme adalah Plato (427-347) yang menyatakan bahwa ada dua macam dunia terdiri dari dunia yang serba berubah—serba jamak, yang di dalamnya tiada hal yang sempurna, dunia yang diamati dengan indera, yang bersifat inderawi. Dan, dunia ide, di mana tidak ada perubahan, tidak ada kejamakan (dalam arti ini bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu, yang indah hanya satu), dan itu bersifat kekal.29

Dalam dunia modern, ada Rene Descartes (1596-1650 M) yang meyakini adanya dua substansi, khususnya pada manusia yaitu jiwa dan materi, kedunya berbeda tetapi terdapat dalam diri manusia. Seperti adanya keinginan dalam diri seseorang, dan tubuh atau tangan akan bergerak meskipun keinginan itu tidak benar-benar bekerja.30 Sebagaimana hal ini juga dikonfirmasi terhadap ungkapan terkenal Descartes sendiri, bahwa cogito ergo sum! (aku berpikir maka, aku ada!).

27 F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Neitzsche) (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 41-42. 28 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 681. 29 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 41. 30 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, Cet. Ke-1V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 737-738.

33

Aliran terakhir adalah pluralisme. Pluralisme berasal dari dari kata pluralis yang bermakna jamak atau banyak. Dalam aliran ini dipahami bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi dari banyak substansi yang memiliki sifat independen antara yang satu dengan yang lain. Akibatnya, alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontnuitas, harmonis, bahkan tatanan yang koheren, rasional dan fundamental. Sebab di dalamnya yang terdapat tidak lebih dari berbagai jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir.31

Dengan demikian, aliran pluralisme ini hendak menekankan realitas tidak hanya terdiri dari satu atau dua substansi, melainkan banyak. Pandangan tersebut diambil dari banyak teori, yang utama adalah teori filsuf Yunani Kuno yang menyatakan bahwa unsur realitas terdiri dari empat, yaitu: air, api, udara dan tanah.

Empidokles (492-432 SM) adalah filsuf yang memiliki kesimpulan tersebut.

Baginya realitas terdiri dari keempat unsur tersebut, yakni air, api, udara dan tanah.

Setiap benda memiliki takarannya sendiri, campuran antara satu benda dengan yang lainnya berbeda sehingga melahirkan perbedaan wujudnya. Proses pembentukan, pencampuran atau takaran pada setiap benda itu digerakkan oleh dua kekuatan besar yang saling berlawanan satu sama lain, yakni cinta (filotes) dan benci (neikos).

Menggabungkan adalah cara kerja dari cinta, sebaliknya benci bekerja dengan cara menceraikan atau memisahkan.32

Murid Empidokles lebih luas lagi, yaitu Anaxagoras (499-420 SM) yang menyatakan realitas tidak diciptakan darai empat unsur melainkan tidak terbilang jumlahnya. Anaxagoras menyebut realitas yang tak terhingga itu sebagai spermata

31 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 861. 32 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 26-27.

34

(benih-benih), yang benih-benih tersebut diatur oleh kekuatan yang disebutnya sebagai nous (roh, rasio). Meskipun benih-benih ini dalam perjalanannya membuat kekacauan, tetapi karena adanya roh, tetap saja kekacauan itu menimbulkan tata- tertib.33

E. Memahami Konsep Plural, Pluralis, Pluralitas dan Pluralisme

Sebuah konsep lahir dari pergumulan realitas sosial manusia. Sehingga bukan sebuah kesalahan jika kemudian pada satu konsep memiliki maknanya sendiri yang berbeda dari pemaknaan konsep yang sama namun lahir dari realitas masyarakat yang berbeda.

Plural adalah kata yang memiliki makna jamak, banyak atau ganda.34 Di sini plural masih bersifat umum, dalam artian penggunannya tidak terikat oleh suatu apa pun. Maka sandaran atasnya bersifat bebas, seperti untuk benda, arti nama, agama dan sebagainya.

Kata kedua adalah pluralis. Dalam kamus yang sama pluralis bermakna pejabat rangkap, bentuk jamak, penganut pluralisme. Makna yang lebih pas dalam pembahasan ini adalah yang terakhir yaitu orang yang menganut paham dari pluralisme.

Pluralis sebagai kata menjadi sebuah konsep jelas artinya mulai berbeda.

Salah satunya dimaknai oleh Mohammad Hassan Haikal sebagai orang-orang yang meyakini aneka ragam agama adalah setara dalam menawarkan keselamatan.35 Hal

33 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 28-29. 34 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Penerbit Arkola, 2001), h. 604. 35 Mohammad Hassan Haikal, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain. Penerjemah Chandra Utama (Bandung: Mizan, 2016), h. 12.

35

tersebut sedikit berbeda dengan anggapan sebagian besar kalangan yang menganggap bahwa pluralis adalah orang yang meyakini berbagai macam agama adalah setara dalam memberikan keselamatan (equally salvific) dan memiliki kebenaran yang sama secara ontologis.

Ali Harb secara tidak langsung memaknai pluralis sebagai orang yang mengakui hakikat perbedaan dan memahami sesuatu yang berbeda dengan dirinya, sehingga mereka mampu secara bersama-sama membangun prinsip-prinsip dasar untuk saling memahami dan menciptakan konsep saling memberi dan saling menerima. Meski bagi Ali Harb pemaknaan tersebut dikhususkan kepada Islam, bahwa apa yang sesuai dengan Islam akan sesuai bagi agama lain, baik agama lama maupun agama baru, agama langit atau agama bumi.36

Pemaknaan yang tidak jauh berbeda dari tersebut, pluralis sebagai sikap dimaknai Muhammad Ali dengan menggambarkan kemunculannya ketika seseorang menyadari bahwa orang lain memiliki kesamaan dengan dirinya, yang juga berhubungan dengan Tuhan, membaca teks agama dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.37 Dengan demikian wujud dari sikap pluralis di sini lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaannya dari pada sekedar melihat ras, budaya dan agama dari yang bersangkutan. Misalnya membantu mengajar di sekolah yang berbeda agama adalah wujud dari sikap pluralis, mengucapkan kebahagiaan atas kebahagiaan yang dirayakan oleh seseorang yang berbeda keyakinan juga termasuk sikap pluralis, serta menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan adalah sikap pluralis.

36 Ali Harb, Nalar Kritis Islam Kontemporer. Penerjemah Umar Bukhory dan Ghazi Mubarak (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 366-367. 37 Muhammad Ali, Teologi Pluralis, h. xiv.

36

Kata selanjutnya adalah pluralitas. Dalam Bahasa Indonesia, pluralitas adalah nomina, yaitu kelas kata yang tidak bisa bergabung dengan kata tidak, biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari sebuah klausa. Dalam konteks ini pluralitas disandarkan pada agama, bahwa dalam realitas ini agama itu beragam karena memang lahir dan digunakan oleh manusia yang beragam. Bagi Komaruddin

Hidayat, pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi dengan lapang dan pengetahuan, sehingga menjadi sumber pengayaan hidup termasuk dalam beragama.38

Budhy Munawar Rahman juga menganggap pluralitas sebagai kenyataan.

Mengatur pluralitas ini membutuhkan sebuah konsep, yaitu pluralisme. Sebab tidak bisa dipungkiri, pluralitas mengandung bibit perpecahan. Untuk mengantisipasi perpecahan inilah diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan. Maka pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat, bukan konflik.39

Kenyataan tersebut membawa pada konsep pluralisme. Memaknai pluralisme tidaklah mudah karena konsep tersebut lahir dari Barat, dan sebagian pemeluk

Islam sendiri selalu memiliki kecurigaan terhadap apa-apa yang datang dari Barat karena persaingan kepentingan kelompok yang selama ini lebih banyak diselipkan ke dalam dunia politik, tidak terkecuali pluralisme sendiri.

Mengenai masalah besar yang ditimbulkan dalam paham pluralisme menyangkut persoalan keselamatan selama ini salah satunya adalah bagaimana

38 Komaruddin Hidayat, Penjara-Penjara Kehidupan (Jakarta: Noura Books, 2016), h. 60. 39 Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Cet. II (Malang: PUSAM UMM, 2018), h. 528.

37

seharusnya suatu teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama- agama lain.40

Kenyataan tersebut membuat beberapa tokoh agama selalu berusaha dalam mencarikan padanan makna dan penerapannya tidak terkecuali dalam dunia Islam.

Mereka meyakini bahwa realitas ciptaan beragam. Mulai dari tumbuhan, hewan, manusia dan lainnya.

Dalam konteks pluralisme agama, pemaknaannya sendiri telah menimbulkan kontroversi. Perdebatan panjang yang berlangsung di dunia Barat dan Timur

(Islam) menuai pro-kontra. Michael Amaladoss, sebagaimana dikutip Fatimah

Usman, menegaskan bahwa pluralisme selalu menjadi problem, baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi-politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama.41

Dalam buku yang sama, John Hick memberikan argumentasi makna pluralisme sebagai sesuatu yang rasional karena mampu memberikan penegasan tentang realitas alam yang secara substansial benar, berkembang, tepat dan memperluas jalan bagi pengalaman masa depan.42

Komaruddin Hidayat mengambil jalan tengah dengan sikap pluralis. Baginya pengharaman pluralisme sebagaimana dilakukan MUI43 dengan mengidentikkan

40 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 32. 41 Michael Amaladoss dalam Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Jogjakarta: LKiS, 2002), h. 64. 42 John Hick dalam Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, h. 65. 43 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, 29 Juli 2005. Bahwa, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. …, oleh karena itu, pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama … adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama.

38

semua agama, dapat dimaklumi. Namun begitu, ia juga setuju apabila ada makna lain dari pluralisme karena alasan sosiologis bahwa realitas keberagamaan itu beragam, dan perlunya sikap menghargai, itu bisa juga dibenarkan. Dengan begitu, masing-masing memiliki kebenaran dengan posisi argumen yang berbeda tersebut.

Karena memang, kebenaran tidak selalu tunggal.44

Bagi Indonesia yang memiliki kenyataan plural dalam budaya, bahasa dan agama sudah semestinya menyadarkan diri dan siap menghadapi pluralitas yang ada. Apalagi akar pembangunan negeri ini memakai slogan ‘Bhinneka Tunggal

Ika’, maka sepantasnya kini sambil membawa slogan wacana itu ke dalam fakta.

44 Komaruddin Hidayat dalam Budhy Munawar Rahman ed. Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Pluralisme Buku II, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 2010), h. 915.

BAB III

BIOGRAFI KOMARUDDIN HIDAYAT

A. Latar Belakang Hidup

Membicarakan sosok manusia yang mencolok di hadapan masyarakat saat ini tidaklah cukup tanpa menelusuri ke belakang, tempat dirinya terlempar ke muka bumi, lingkungan yang membesarkan dan dari orang tua seperti apa dirinya lahir.

Bagaimanapun lingkungan berperan penting dalam pembentukan seseorang, selain yang tersebut sebelumnya, sekolah dan guru memiliki andil dalam sumbangan karakter hidupnya, teman bermain tidak kalah penting, termasuk buku-buku yang dibacanya—yang semua itu diperlukan untuk memotret secara lengkap untuk diketahui. Aspek tersebut dibutuhkan dalam rangka memberikan pemahaman tentang keberadaan seseorang itu, tidak terlepas—kait mengait dengan lingkungan yang membesarkannya.

Namanya Komaruddin Hidayat. Ia lahir di Desa Pabelan, Kecamatan

Mungkid Magelang, Jawa Tengah, dekat dengan Candi Borobudur pada 18 Oktober

1953.1 Terahir dari lingkungan kaum santri, ayahnya bernama Imam Hidayat, sedangkan ibunya bernama Zubadiyah. Saat dirinya berusia 9 tahun, ibunya meninggal. Ayahnya baru meninggal pada usia 90 tahun. Saat itu, profesi ayahnya sebagai salah satu Pejuang ’45, dan baru setelah kemerdekaan pemerintah memberinya hadiah berupa Pangkat Prajurit Ketentaraan.2

Semasa kecil, Mas Komar, demikian ia disapa akrab oleh koleganya, tinggal bersama orang tua. Tetapi setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi. Tidak

1 Komaruddin Hidayat, ‘Profil Penulis’ dalam Life’s Journey: Hidup Produktif dan Bermakna (Jakarta: Penerbit Noura Books, 2013), h. 246. 2 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

39

40

betah bersama ibu tiri, ia pindah tinggal di rumah neneknya. Tetap saja pada dasarnya, karena jarak antara rumahnya dengan rumah neneknya tidaklah terlalu jauh. Tidak hanya itu, Mas Komar kecil suka pindah-pindah tempat inap, mulai dari rumah kawan, langar bahkan masjid. Ia sadar akan peran penting lingkungan yang membentuknya, seperti rasa malu ketika tidak bisa mengaji di masjid, dan secara otomatis seorang anak akan berusaha agar juga bisa menyamakan diri dengan teman sebayanya.3

B. Riwayat Pendidikan

Kenangan masa kecilnya dirasa cukup pahit, terutama ketika melewati tahun

1965. Selain terlahir dari keluarga miskin, sejarah bangsa ini juga mencatat 1965 adalah tahun berkembangnya Komunis termasuk di Indonesia ada PKI. Masa itu krisis ekonomi nasional cukup parah, ditambah para petani mengalami gagal panen.

Setamat sekolah dasar, orang tuanya mengirim dirinya untuk masuk Sekolah

Teknik Kanisius di Muntilan, dengan konsentrasi teknik pertukangan. Harapan orang tua, agar setamat sekolah itu ia memiliki keterampilan kerja. Terobsesi juga oleh para tukang di kampung yang hidupnya Makmur, diundang ke sana ke mari, dan rumahnya bagus-bagus. Perjalanan untuk sekolah dari kampungnya ke

Muntilan ini membuat perjumpaan menarik dengan agama lain, sambil belajar di sekolah ia juga suka pergi ke gereja dan senang dengan orang-orang Katolik. Meski orang tuanya sempat heran, tapi tidak pernah melarang kegemarannya tersebut.

Karena jenuh berjalan dari Pabelan ke Muntilan bolak-balik sejauh kurang lebih 4

3 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

41

kilometer, dan menganggap itu bukan passion dirinya, tidak sampai setahun ia memilih keluar dari Sekolah Teknik Kanisius.4

Namun pada tahun yang sama, di kampungnya dibangun pondok pesantren baru namanya Pondok Pesantren Pabelan. Sesungguhnya cikal Pondok Pesantren

Pabelan dimulai pada tahun 1800-an, ditandai dengan kegiatan mengaji yang dilakukan oleh Kiai Raden Muhammad Ali. Namun mengalami kevakuman terutama setelah terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) hingga waktu yang lama.

Lalu bangkit lagi sekitar 1900-an di bawah asuhan Kiai Anwar dan dilanjutkan oleh

Kiai Anshor, namun kembali mengalami kevakuman. Hingga pada tanggal 28

Agustus 1965, atas inisiatif K.H. Hamam Ja’far—yang juga merupakan keturunan perintis Pondok Pabelan—membuat sistem dan kurikulum modern sebagaimana ia alami ketika menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor, mendirikannya kembali dengan nama Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan.

Ia menjadi santri angkatan pertama beserta 32 orang teman lainnya. Semua santri adalah anak-anak kampung Pabelan kecuali satu orang. Tidak ada pemisahan antara lelaki dan perempuan, semuanya bercampur. Mereka adalah anak-anak yang berhenti sekolah, atau putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, bahkan di antara mereka adalah anak pengangguran, namun di Pondok

Pesantren Pabelan mereka semua ditampung.5

Kegiatan yang dilakukan awal mula adalah character building, melalui kerja bakti, membersihkan kendang kambing dan ayam, mengangkut pasir untuk membuat sekolah, dan apa saja juga dikerjakan oleh Sang Kiai. Sehingga tidak ada jarak antar kelas, masyarakat dan kehidupan, bahkan tidak ada tembok antara

4 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020. 5 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

42

pesantren dan masyarakat, semuanya lebur. Mas Komar belakangan baru menyadari bahwa itu semua adalah life skills.

Tahun-tahun berikutnya Pondok Pesantren Pabelan mengalami perkembangan yang semakin pesat, santri yang tidak diterima di Gontor masuk di sana. Guru-guru juga didatangkan dari luar. Tapi pada tahun 1969 Mas Komar memilih keluar karena teman-teman angkatannya sudah tidak ada lagi. Jadilah dirinya pengangguran. Untuk mengatasi kebuntuan itu, ia memilih berkunjung ke salah satu tempat temannya di Babad Lamongan. Ternyata di Babad ini hidup mengantar dirinya menjadi sosok guru madrasah ibtidaiyah. Orang-orang di sana senang jika ada guru dari Jawa Tengah karena dianggap penyabar, telaten dan bahasanya lebih halus dari orang sekitar. Sempat mendapat tempat tinggal dan gaji, tapi setahun tinggal membuatnya berpikir tidak memiliki masa depan, tidak memiliki ijazah juga.6

Akhirnya keluar dai Babad dan pulang, lalu melamar di Pondok Pesantren al-

Iman untuk tingkat Aliyah. Dengan mempertimbangkan umur yang lewat, ia meminta langsung masuk kelas 6, dan ternyata lulus pada tahun 1971. Setelah ijazah diperoleh, lagi-lagi harus menjadi pengangguran kembali. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan sangat kuat, tapi keadaan ekonomi tidak memungkinkan meski gurunya menyarankan untuk masuk di IAIN Yogyakarta jurusan Adab setelah melihat bahwa ternyata kemampuan akademiknya yang sangat memuaskan, dan diperkirakan langsung lulus bahkan kelak menjadi dosen.

Menikmati masa-masa penganggurannya itu ia lalui dengan terlibat aktif di masyarakat. Berbagai kegiatan yang ada saat itu ia ikuti, mulai dari terlibat aktif di

6 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

43

PII (Pelajar Islam Indonesia), Pemuda Muhammadiyah, ada juga Ikatan Pelajar

Muhammadiyah, sesekali juga ikut berdakwah dan pendek kata kegiatan apa saja diikutinya. Tetapi kejenuhan kembali datang, kali ini pikirannya teringat kepada salah seorang kawan yang ada di Jakarta. Maka segera dijadwalkan kepergiannya ke ibu kota tidak lain untuk mengatasi kebuntuan, barangkali jalan-jalan membuatnya tenang.7

Orang-orang kampungnya banyak yang melakukan transmigrasi, selain ke

Sumatera ada juga yang memilih Jakarta, meski dalam bayangan orang saat itu

Jakarta adalah Kota Hitam, mengerikan, dan segala atribut negatif lainnya. Tapi karena dirinya niat jalan-jalan, maka tidak terlalu khawatir dengan hal itu.

Sesampainya di Terminal Pulo Gadung, Mas Komar remaja melihat banyak sekali beragam kehidupan terjadi di terminal, mulai dari lalu-lalang kendaraan, tukang lap bis, penjual koran, penjual gorengan hingga pedagang gorengan. Dirinya juga merasa bisa hidup sebagaimana mereka, keyakinan ini disebabkan kebiasaan di pondok dan termasuk pengaruh bacaan, terutama cerita silat Kho Ping Hoo.8

Ditambah cerita petualangan heroik Nagasasra Sabuk Inten karangan Mintardjo

SH.9

Melalui cerita silat Kho Ping Hoo dan Mintardjo SH inilah, Mas Komar merasa siap mental, dalam dirinya sudah mengalir jiwa pesilat kehidupan sehingga

7 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020. 8 Nama lainnya adalah Asmaraman Sukowati, pria kelahiran Sragen Jawa Tengah ini dikenal luas sebagai penulis cerita silat bertemakan Tionghoa Indonesia. Sumbangannya terhadap literatur fiksi silat Indonesia tidak dapat diabaikan, selama 30 tahun setidaknya ia telah menulis sekitar 120 cerita. Diolah dari berbagai sumber. 9 Komaruddin Hidayat, Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama dalam Kehidupan (Jakarta: Alvabet, 2019), h. 300.

44

untuk tinggal di Jakarta bukankah sebuah halangan yang perlu ditakuti tetapi tantangan yang harus dilewati.

Selama kurang lebih tiga hari ia menginap di tempat temannya di Jl. Salemba, yang kebetulan bekerja di tempat cat duco. Ia juga teringat memiliki seorang kawan perempuan tinggal di Jakarta, dulunya ia adalah teman kelas di pondok. Lalu menikah dan ikut suaminya ke Jakarta yang berprofesi sebagai militer dan tinggal di Komplek MABAD (Markas Besar Angkatan Darat) Rempoa. Saat mengunjungi kawan perempuannya ini, Mas Komar diajak oleh suaminya untuk ikut rapat tentang pembangunan di komplek ini. Mulai dari panitia pembangunan masjid, rapat komplek dan beberapa hal lainnya. Merasa hal tersebut bukanlah hal yang sulit, akhirnya iya mengajukan diri untuk ikut membantu dan mengurus beberapa hal yang diperlukan seperti pembuatan KTP, pembuatan nama jalan, hingga panitia pembuatan sekolah.10

Lepas dari kegiatan tersebut, suatu hari ia berjalan-jalan ke Kampung Hutan.

Tanpa disengaja, ia melihat sebuah tulisan dan membacanya, ‘Institut Agama Islam

Negeri Syarif Hidayatullah’. Secara bersamaan antara ingatan dan hatinya bergetar menyadari bahwa tempat tersebut adalah sekolah Cak Nur, sosok yang selalu disebut oleh kiainya semasa di pondok sebagai salah seorang yang berpengaruh di

Indonesia dalam hal pemikiran Islam. Akhirnya Mas Komar saat itu memberanikan diri untuk melangkah masuk, dan ternyata sedang dibuka pendaftaran penerimaan mahasiswa baru. Tanpa berpikir panjang ia langsung mendaftar dan lulus. Sempat bingung karena lagi-lagi masalah ekonomi, akan tetapi dua alasan kuat menjadikannya tetap melanjutkan langkah, pertama karena Cak Nur dan Adab IAIN

10 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

45

Syarif Hidayatullah. Kedua karena kecintaannya pada ilmu tersebab pesan kiainya bahwa seorang anak di dunia ini tidak memiliki dan berarti apa-apa. Makan minum dari orang tua, pakaian pun dari orang tua. Anak akan berarti apalagi memiliki cita- cita dan akhlak yang mulia serta dengan cita-cita tersebut dimaksudkan pada cinta ilmu. Sebab dengan ilmu seseorang bisa melanglang buana, bermakna keberadaannya, dan bisa mensyukuri nikmat Allah.11

Menjadi mahasiswa pun dilaluinya sambil kerja dan aktif pada kegiatan mahasiswa terutama dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat yang juga memberikan pengaruh dalam hidupnya. Pada tahun 1979 melalui Pak

Harun Nasution sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat itu, Mas

Komar diminta untuk memberikan pelajaran Islam bagi keluarga Wakil Presiden

Adam Malik.

Sebagai mahasiswa yang terlahir dari kondisi ekonomi pas-pasan tentu hal yang membanggakan bisa pergi ke luar negeri. Itu terjadi pada Mas Komar tepat ketika tahun 1980 bersama dua orang temannya, Sahar L dan Harry Azhar Aziz mewakili PB-HMI ke Malaysia untuk mengikuti seminar Kebudayaan Islam di

Kuala Lumpur.

Sampai di Malaysia, Mas Komar bertemu dengan dua sosok intelektual dan aktivis sosial Malaysia yang sangat popular, yaitu Prof. Naquib Al-Attas dan Anwar

Ibrahim. Kesempatan tersebut juga ia membeli dua buku Al-Attas yang berulang kali dibacanya karena isi di dalamnya yang mencerahkan. Dua buku tersebut adalah

Islam and Secularism dan Islam dan Peradaban Melayu.12

11 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020. 12 Hidayat, Agama Untuk Peradaban, h. 308.

46

Selama kurang lebih Mas Komar mengajar di keluarga Adam Malik.

Pesertanya adalah anak-anak Adam Malik, yaitu Otto, Budi Ilham, Rini, dan beberapa keluarga dekat serta staf Sekertariat Wapres, yang setiap pertemuan berkisar sepuluh orang.13

Tahun 1980 adalah tahun dirinya lulus kuliah. Sebelum tamat ternyata Prof.

Harun Nasution yang saat itu menjabat sebagai rector, memintanya untuk bergabung menjadi dosen yang secara tidak langsung dirinya diangkat sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sambil menjadi dosen, dunia jurnalistik tetap ditekuninya dengan baik karena sudah menjadi hobi.

Tahun-tahun berikutnya dilalui dengan penuh arti. Mas Komar pada tahun

1983 mendapat undangan sebagai wartawan Panji Masyarakat dari Kedutaan Irak di Jakarta untuk menghadiri konferensi internasional Islam di Baghdad. Berlanjut pada tahun yang sama, ia berkunjung ke Korea Utara pada bulan Juni untuk menghadiri Konferensi Jurnalis Internasional di Pyongyang atas rekomendasi dari

Adam Malik.

Tahun 1985 kemudian melanjutkan pendidikan di Turki. Tujuan kampus awal adalah Universitas Istambul, tetapi karena bahasa pengantarnya adalah Bahasa

Turki dan harus mengikuti pendalaman bahasa untuk kuliah di sana, akhirnya diputuskan untuk mencari kampus lain dengan mengadu ke Duta Besar RI di

Ankara, Marsekal Abdulrachim Alamsyah. Keputusan jatuh dan menyelesaikan program master dan doktor di METU (Midle East Technical University) dengan spesialiasi bidang filsafat, dan selesai pada 1990. Sempat juga memperoleh beasiswa selama satu semester, yaitu Post Doctorate Research Program di McGill

13 Hidayat, Agama Untuk Peradaban, h. 306.

47

University, Montreal, Canada (1995) dan program yang sama pernah dijalaninya di

Hartfort Seminary, Connecticut, Amerika Serikat pada 1997. Kemudian pada 2002 sempat mengikuti International Visitor Program di Amerika Serikat juga.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Mas Komar kembali ke tanah air.

Suami dari Ait Choeriyah dan ayah dari dua anak perempuan yaitu Zulfa Indira

Wahyuni dan Sukma Agustin ini lebih memilih mengabdikan diri dalam bidang akademik dan pendidikan dari pada dunia politik meski tak jarang tawaran menjadi dewan dan mentri datang menghampirinya.

C. Kiprah Komaruddin Hidayat

Menulis adalah salah satu kegiatan yang sangat disukai Mas Komar.

Kebiasaan tersebut dimulai dan dibiasakan kegika masih menjadi santri di Pondok

Pesantren Pabelan, yang oleh kiainya setiap santri diminta untuk menulis kegiatan sehari-harinya yang dianggap bermanfaat. Sesekali selain dikoreksi oleh sang kiai, santri diminta untuk menghafalkannya dan dipidatokannya di antara teman santri lainya. Hal ini dirasainya kemudian sampai sekarang, kebiasaan menulis dan latihan berbicara telah menjadikannya produktif menulis dan melahirkan karya-karya baik dalam bentuk esai di koran-koran nasional, atau menerbitkannya menjadi buku.

Termasuk juga aktivitas ketika aktif di HMI, yang menjadikannya sebagai salah satu reporter tetap majalah Panji Masyarakat.

Sebelum itu, ia mengenal salah seorang seniornya bernama Farid Hadjiri yang kuliah sambil bekerja sebagai wartawan di Panji Masyarakat yang saat itu berada di bawah naungan (alm.) Buya Hamka. Melalui Farid inilah, ia belajar hingga

48

bekerja dan menjadi wartawan tetap. Hingga beberapa teman lainnya juga ikut serta seperti Fachry Ali, Iqbal Saimina (alm.), dan Azyumardi Azra.14

Inspirasi menulisnya selain oleh semangat yang ditanam kiainya, Mas Komar juga mengagumi sosok Fachry Ali yang tulisannya sering dijumpai di media nasional seperti Kompas, Tempo dan media lainnya. Karena waktu itu, untuk tembus di media tersebut cukuplah sulit termasuk sampai sekarang, hingga dengan usaha kerasnya sampai sekarang tulisan Mas Komar tersebar di media nasional.15

Pada tahun 1990 ketika kembali dari Turki, Mas Komar diminta oleh

Nurcholish Madjid (alm.) dan Utomo Dananjaya untuk bergabung dan mengurus

Paramadina tanpa memberikan arahan kepadanya. Kagiatan yang menonjol dari

Paramadina saat itu adalah Klub Kajian Agama (KKA).

Aktivitas lain yang ditekuninya, ia pernah menjabat sebagai Direktur

Eksekutif Yayasan Paramadina sejak 1996-2000; Associate Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga Consultant (sejak 1999); Dosen Tetap Institut Bankir

Indonesia (sejak 2000); Guru Besar Filsafat Agama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta (2001); pendiri dan penasehat Madania Islamic School (sejak 2001); Ketua

IPW (Indonesia Procurement Watch) (sejak 2002); Ketua PEMILU Pusat (2003-

2004); Direktur IICE (Indonesia Institut for Civic Education) (sejak 2005); Direktur

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005); Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (2006-2015).

Selain itu kegiatannya saat ini menjadi dosen tamu di beberapa kampus dalam negeri seperti UGM, UI, UII dan UMJ. Mas Komar juga aktif dalam berbagai LSM terutama yang kaitannya dengan dialog lintas agama baik luar maupun dalam

14 Hidayat, Agama Untuk Peradaban, h. 303. 15 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

49

negeri. Salah satunya sebagai Delegasi RI dalam Dialog Lintas Agama (Interfaith

Dialog Indonesia dengan negara-negara Eropa, Amerika, dan Rusia) tahun 2009- sekarang. Selain juga memberikan pelatihan kepada guru-guru saat ini beliau tengah mempersiapkan diri menjadi Rektor Universitas Internasional Islam

Indonenia di Depok, yang dipilih dan dilantik langsung oleh Presiden RI ke-7, Ir.

H. Joko Widodo.

D. Karya-Karya Komaruddin Hidayat

Adapun karya-karya Mas Komar, hampir semua buku yang ditulisnya berkaitan erat dengan tema-tema keagamaan dan kemanusiaan. Semisal bagaimana agama hadir dalam kehidupan manusia, bagaimana agama mempengaruhi sebuah bangsa, dan bagaimana agama mengatur serta memberikan jalan hidup agar pemeluknya mencapai nilai tertinggi yaitu kebahagiaan.

Berikut adalah buku-buku yang pernah beliau tulis, baik dilakukan sendiri maupun berdua dengan koleganya. Sedangkan buku-buku yang beliau hadir sebagai editor, tidak dicantumkan karena keterbatasan pencarian dan ingatannya dalam memberikan informasi. Buku-buku tersebut adalah:

1. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Parennial, salah satu penulis

(Paramadina, 1995) mengulas tentang agama yang diperkirakan muncul

di masa depan melalui pendekatan filsafat perennial sebagai salah satu

metodologi dalam memahami agama.

2. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Paramadina,

1996) berisikan kajian mengenai masalah-masalah yang timbul dalam

agama, khususnya dengan menelisik bahasa yang digunakan oleh agama

50

sendiri untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Melalui pendekatan hermeneutik sebagai salah satu alat mendekati makna

yang tersirat dalam sebuah teks-teks agama guna menjawab persoalan

hidup manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

3. Tragedi Raja Midas: Krisis Agama dan Krisis Modernitas (Paramadina,

1998) berisi tentang pesan-pesan agama khususnya dikaitkan dengan

mitologi Yunani Kuno yaitu Raja Midas yang rakus, sehingga dari

kerakusannya itu tidak lain yang dicelakakan adalah dirinya sendiri.

Demikian pula manusia dalam berpikir yang mulai mementingkan dirinya

sendiri padahal dirinya hidup dalam ranah sosial.

4. Tuhan Begitu Dekat: Menangkap Makna-Makna Tersembunyi Di Balik

Perintah Beribadah (Paramadina, 2000) merupakan kumpulan esai yang

hendak menegaskan bahwa salah satu penghayatan dari doktrin sebuah

agama adalah kenyataan bahwa Tuhan begitu dekat (omnipresent), yang

selalu memberikan pengawasan dan bimbingan serta perlindungan bagi

setiap hamba-hamba yang memohon dengan segala kesungguhan

kepadaNya. Dengan penghayatan tersebut, seseorang diajak menyadari

hakikat kemerdekaannya, dan memahami bahwa manusia pada dasarnya

adalah makhluk yang memiliki moralitas dan mendambakan akhlak mulia

serta selalu ingin memegang sebuah amanat untuk dilaksanakan.

5. Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam di

Panggung Sejarah (Paramadina, 2003) memuat pengalaman pribadi

seorang Komaruddin Hidayat sebagai penutur agama atau pendakwah. Di

dalamnya berisi tentang sejarah agama dalam sejarah, pergumulan agama

51

dan budaya, dan agama sebagai fenomena sosial. Sebab agama adalah

komunitas tersebesar umat manusia yang memiliki ragam ras, budaya,

bahasa, maka kontekstualisasi atas pesan dan nilai-nilai agama menjadi

sebuah keharusan.

6. Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika

Ulama-Negara, salah satu penulis (Jalasutra, 2004) mengulas tentang

kekuatan Islam di Indonesia yang memasuki lorong politik dengan licin

dan menjebak. Drama politik Islam mengalami perebutan khususnya dari

kalangan ulama yang semakin berani tampil, tidak terkecuali berisi

tentang bagaimana seharusnya Islam Indonesia bernegara dan bagaimana

ulama masa depan hidup dalam dunia politik.

7. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (Hikmah,

2005) merupakan refleksi penulis untuk menyikapi kematian sebagai

sebuah nikmat yang harus disyukuri. Kematian bukan sesuatu yang

ditakutkan, dan melalui buku tersebut yang kemudian menjadi best-seller

dan melambungkan namanya, Komaruddin Hidayat hendak mengungkap

sedikit rahasia kematian, serta yang paling penting bagaimana

menghadapi kematian dengan optimisme sebagaimana judul bukunya,

bahkan menjemput maut dengan hati tenang.

8. Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama? (Kompas, 2005) berisi

himpunan opini dan refleksi diri yang diterbitkan di koran Kompas.

Bahasan utamanya adalah mempersoalkan peran agama dalam sebuah

negara atau apakah agama memiliki peran dalam politik? Selain

menghadirkan narasi-narasi yang mengalir juga penuh dengan

52

perumpamaan yang mudah untuk memahami bagaimana seharusnya

agama berperan dalam perhalanan sebauh negara, khususnya Indonesia.

Tidak terlepas etika yang harus selalu dimunculkan dalam kemanusiaan

kita baik dalam beragama maupun bernegara.

9. The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup Beragama (Kompas,

2008) merupakan kumpulan esai yang mengahadirkan wajah agama bagi

kemanusiaan, khususnya mereka yang beragama Islam. Agama sebagai

petunjuk jalan sudah memberikan banyak nilai-nilai untuk manusia agar

digunakan dalam menjalani kehidupan guna menjadikan tatanan manusia

yang memiliki moralitas tinggi dan kehidupan penuh harmoni.

10. Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah Di

Bumi (Serambi, 2008) membahas tiga hal utama, yaitu: Taalluq (berusaha

mengingat dan mengikatkan hati dan pikiran kepada Allah); Takhalluq

(secara sadar meneladani sifat-sifat Allah); dan Tahaqquq (secara sadar

menjadi transmitter atau pemancar sifat-sifat Allah yang mulia). Sebab

agama sudah membimbing manusia dalam memberikan kesadaran bahwa

dalam nuraninya ada ruh yang senantiasa menatan kepada Tuhan,

sehingga dengan ruh dan agama itu manusia tidak dalah dalam

mengembangkan fitrah atau bakat bawaannya.

11. Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan (GM, 2009) berisi tiga sub bab utama

tentang bagaimana mencintai Indonesia dan merawatnya sebagai negara

yang baik melalui berbagai hal seperti adanya kesadaran untuk berpolitik,

dan keharusan menyadari pluralitas agama sehingga harus menebar

toleransi dan menjaga bersama rumah bernama Indonesia. Kemudian

53

bagaimana menjalani kehidupan sebagai warga negara dan bersikap

santun dalam perilaku sosial, untuk menunjukkan moralitas bangsa yang

kuat dan berdaulat. Lalu yang terakhir bagaimana agama tetap menjadi

salah satu poros utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

12. Spiritual Side of Golf: Menjaga Konsistensi dan Kejujuran (Expose,

2009) merupakan refleksi tentang manusia dan permainan, meminjam

istilah dalam filsafat bahwa manusia adalah termasuk homo luden. Ada

banyak nilai-nilai agama dan spiritualitas yang ada dalam sebuah

permainan. Semisal hikmah bahwa permainan hari ini harus lebih baik

dari kemarin dan seterusnya.

13. Berdamai Dengan Kematian: Menjemput Ajal dengan Optimisme, sempat

berganti judul dengan Psikologi Kematian 2 (Hikmah, 2009) maerupakan

lanjutan dari buku pertama tentang kematian, bahwa kematian merupakan

sesuatu yang tidak bisa dihindari namun juga tidak perlu ditakuti dengan

mempersiapkan diri melalui kesadaran diri tentang makna kehidupan

yang sudah dijalani selama ini.

14. Ungkapan Hikmah: Membuka Mata Menangkap Makna (Noura Books,

2010), pernah terbit juga dengan judul 250 Wisdom (Hikmah, 2010).

15. Psikologi Beragama: Menjadikan Hidup Lebih Nyaman dan Santun

(Hikmah, 2010) berisi tulisan ringan tentang bagaimana manusia hidup

dengan alam dan menyikapinya, bagaimana manusia seharusnya hidup

bersosial, bagaimana manusia seharusnya Bahagia, bagaimana manusia

seharusnya hidup dalam persahabatan, bagaimana manusia seharusnya

54

menebarr kasih sayang dan cinta kepada sesama makhluk baik tumbuhan,

hewan, dan sesame manusia lainnya melalui cinta dan kasih Tuhan.

16. Agama Punya Seribu Nyawa (Noura Books, 2012) adalah kumpulan esai

yang mengulas tentang hakikat beragama seperti mengapa manusia harus

berdoa dan apa manfaat berdoa hingga memahami dimensi-dimensi yang

dimiliki agama. Selain juga berisi tentang bukti dari peran agama dalam

kehidupan umat manusia, serta pembentukan manusia karena agama.

Meski dalam agama sendiri muncul kekerasan akibat adanya kesalahan

dalam menafsirkan makna dan nilai agama sehingga menghalalkan

kemanusiaan yang tidak sejalan dengan pribadi atau kelompoknya,

hingga bukti bahwa agam tidak akan pernah mati dengan bukti sejarah

bahwa orang beragama justru lebih banyak daripada mereka yang tidak

mempercayai adanya agama karena agama memiliki seribu nyawa, hilang

satu maka akan tumbuh lainnya.

17. Life’s Journey: Hidup Produktif dan Bermakna (Noura Books, 2013)

memuat esai tentang dimensi atau unsur-unsur penciptaan manusia

hingga perjalanannya dalam hidup mengarungi permasalahn demi

permasalahan lingkungan sosial agama yang dianutnya.

18. Psikologi Kebahagiaan: Merawat Bahagia Tiada Akhir (Noura Books,

2013) ulasan tentang manusia dan keadaan jiwanya dalam pembentukan

diri menjalani hidup. Bagaimana pun manusia selalu menuntut diri untuk

bahagia karena kebahagiaan adalah salah satu tujuan utama manusia

dalam menjalani kehidupan baik di dunia maupun di akhirat nantinya.

55

19. Path of Life: Menanam Kebajikan Dalam Setiap Langkah (Noura Books,

2014) merupakan refleksi atas kejadian-kejadian dalam hidup manusia

yang semakin plural karena perkembangan teknologi dan ilmu

pengetahuan. Sebab tersebut menuntut manusia agar selalu melihat ke

dalam dirinya untuk menemukan kebajikan yang tersimpan guna

menjalani hidup dengan optimis dan penuh makna.

20. Penjara-Pernjara Kehidupan (Noura Books, 2016) mengulas tentang

manusia dan tantangan-tantangan yang dihadapi seiring berjalannya

waktu. Hidup membutuhkan masalah untuk membuat manusia semakin

matang dalam menemukan dan menjadi dirinya sendiri, namun demikian

bahwa dalam diri manusia juga terdapat cahaya yang mampu menerangi

persoalan-persoalan dalam hidup, dan salah satunya dipermudah oleh

agama.

21. Iman Yang Menyejarah: Memeluk Agama: Kebutuhan Menemukan

Pijakan (Noura Books, 2018) merupakan tulisan yang membahas tentang

asal usul manusia atau dalam falsafah Jawa dikenal dengan istilah

sangkang paraning dumadi. Berlanjut tentang keterlemparan manusia ke

bumi merupakan sesuatu yang memiliki maknanya sendiri sehingga

manusia harus memulai pencarian dirinya dalam kehidupan. Berkat ruh

yang ada di dalam tubuh manusia sendiri, ia dalam menjalani hdiup selalu

memiliki optimisme untuk menegetahui asal muasal dirinya sambil lalu

bertatih menajalani hari demi hari sehingga dalam pengembaraan itu ada

yang sampai dan menemukan apa yang dicarinya, bahwa keadaan dirinya

adalah ketiaadaan yang diadakan. Salah satu peranti yang digunakan

56

manusia untk hal tersebut selain ruh adalah keimanan yang mendapat

bimbingan dan penerangan melalui agama.

22. Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama Dalam Kehidupan

(Alvabet, 2019) berisikan empat pembahan utama yaitu: agama, sosial-

budaya, sosial-politik, dan pendidikan. Dalam agama disoroti bahwa

pesan-pesan agama harus bisa mengikuti arus zaman dalam

penyebarannya, termasuk memperhatikan sasaran kalangan muda yang

menggandrungi teknologi. Dengan begitu, penyampaian pesan-pesan

agama melalui media sosial berbasis internet adalah keharusan untuk

mengimbangi pengetahuan yang semakin plural dan bebas guna tetap

menjadi masyarakat memiliki moralitas yang tinggi.

Sosial-budaya mengulas perihal butuhnya kesadaran untuk menghargai

lingkungan, dan bagaimana hidup dalam komunitas yang semakin plural

dan tidak terhindari penyebaran budaya setiap daerah sehingga

membutuhkan penanaman kesadaran untuk bisa saling memahami satu

sama lain, bahwa kita adalah satu dalam kemanusiaan.

Mengenai sosial-politik menyoroti tentang dunia politik yang tidak sehat

karena digunakan sebagai alat kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau

kelompok sendiri, selaian ada tawaran bagaimana harus berpolitik dengan

santun dan mengembalikan marwah politik ke asalnya sebagai alat untuk

mengutamakan nilai kesejahteraan manusia, sehingga rumah bernama

Indonesia yang menjadi tempat lahir, tumbuh hingga mati menjadi tempat

yang menyenangkan bagi segenap bangsanya.

57

Terakhir tentang pendidikan, yang sebagian besar menyoroti kisah hidup penulis sendiri yang lebih memilih terjun di dunia akademisi daripada politik-praktis. Dimulai dari perjalanannya sebagai mahasiswa dan menikmati iklim pendidikan kota yang semakin membuatnya takjub dan bersemangat menuntaskan jenjang pendidikan yang ada. Sebab melalui ilmu pengetahuan manusia bisa mengeliling bumi tanpa harus melakukannya langsung, ditambah sekarang perkembangan ilmu pengetahuan semakin memesatkan teknologi dan informasi sehingga ilmu pengetahun harus selalu dikembangkan sambil lalu tetap memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan.

BAB IV

TEOLOGI PLURALIS KOMARUDDIN HIDAYAT

A. Manusia, Agama, dan Tuhan

Manusia adalah jenis makhluk hidup, sedangkan makhluk hidup sendiri memiliki tiga spesies yakni: hewan, tumbuhan, dan malaikat. Manusia sendiri masuk ke dalam golongan hewan yang didefinisikan sebagai hewan yang bergerak dan memiliki ciri khas berbicara, yang dari pembicaraan ini nanti dapat dipahami bahwa manusia memiliki akal.1

Harus disadari bahwa terciptanya manusia di muka ini memiliki ragam jenis kelamin, bangsa, dan suku. Dari tiga ragam utama yang melekat pada manusia tersebut, melahirkan budaya berupa bahasa, agama, dan pranata sosial lainnya. Hal ini didasarkan pada salah satu ayat al-Quran surah al-Hujarat (49): 13 yaitu:

َ ُ َ ََٰٓ ُّ َ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ُ ٗ َ َ َ ٓ َ َ َ َ ُ ٓ َ َ َ ُ َ َ يأيهاۡٱنلاسۡۡإدناۡخلقنٰكمۡمدنۡذك ٖرۡوأ ٰنَثۡوجعلنٰكمۡشعوباۡوقبائدلِۡلد عارف ْۚ واۡإدنۡۡأكرمكمۡعدندۡٱّللدۡ

َ َ ُ َ َ َ َ ٌ َ ٞ أتقىٰكمْۚۡإدنۡٱّللۡۡعلديمۡخبدري١٣ۡۡ ۡ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat tersebut memiliki implikasi bahwa realitas manusia itu plural. Adanya bangsa, suku dan budaya sudah membuktikan keaneragaman manusia dalam kehidupan. Kemajemukan itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditolak, oleh

1 Mulyadhi Kertanegara, Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia (Bandung: Mizan, 2017), h. 135-136.

58

59

karenanya kenyataan tersebut membuat penyelidikan tentang manusia, setidaknya meliputi dua hal, yaitu keadaan yang berubah dan keadaan yang tetap. Pendekatan yang dilakukan atas penyelidikan tersebut mencakup tiga hal, yaitu: 1. Orang dapat menyelidiki manusia dalam hakikatnya yang murni dan

esensial. Pendekatan ini biasa dilakukan oleh para filosof.

2. Orang yang dapat melakukan penyelidikan dengan mencurahkan segala

perhatiannya kepada prinsip-prinsip ideologis dan spiritual yang

mengatur segala tindakan manusia serta memberikan pengaruh terhadap

pembentukan personalitasnya. Penyelidikan ini dilakukan oleh ahli moral

dan sosiolog.

3. Dengan mengambil konsep tentang manusia dari penyelidikan-

penyelidikan tentang lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari

pengalaman-pengalaman sejarah dan kemasyarakatan, dan dihormati

karena lembaga tersebut telah dapat melindungi perorangan dan

masyarakat dengan menerangkan hak dan kewajiban serta timbal-balik

antar manusia. Pendekatan ini dilakukan oleh ahli hukum dan sejarawan.2

Bertalian dengan hal tesebut, menurut Komaruddin Hidayat bahwa terciptanya manusia memiliki lima mata rantai eksistensi, yaitu jasadi, nabati, hewani, insani, dan ruhani. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Jasadi, pada keadaan ini manusia yang tercipta dari tanah akan kembali

ke tanah.

2. Nabati, kondisi ini manusia mengalami pertumbuhan dengan pemenuhan

diri pada tubuhnya berserta keunikan yang ada di dalamnya.

2 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Penerjemah H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 92-93.

60

3. Hewani, adalah dimensi di manusia memulai hidupnya dengan tumbuh,

bergerak, berlari dan melakukan aktivitas lainnya serupa binatang di

sekitanya.

4. Insani, merupakan dimensi manusia yang mengungguli dunia flora dan

fauna sebelumnya. Keadaan ini memberikan kesadaran kepada manusia

akan kemampuan daya dirinya yang terletak pada otak untuk berpikir dan

melakukan tindakan dalam menjalani kehidupan.

5. Ruhani, adalah dimensi tertinggi eksistensi manusia. Dimensi ini

memberikan gambaran adanya ruh dalam diri manusia yang ditiupkan

langsung, bukan hanya diciptakan oleh Tuhan. Didasarkan pada ayat al-

Quran surah al-Sajadah [32]: 7-8 yang maknanya, Manusia diciptakan

berasal dari tanah, lalu Allah menjadikan proses keturunannya dari air

mani dan yang lebih hebat lagi, disempurnakanlah dengan ditiupkan

ruhNya ke dalam diri manusia.3

Kelima eksistensi tersebut memberikan gambaran bagaimana manusia dibentuk dan membentuk dirinya dalam menjalani kehidupan. Manusia adalah ciptaan paripurna Tuhan. Jika bisa secara intens mampu melakukan penghayatan dan menemukan makna di dunia ini, sesungguhnya setiap hari adalah kelahiran dan kematian, dengan begitu setiap hari manusia melakukan dua perayaan sekaligus.4

Perayaan senang karena sudah kembali dihidupkan ke dunia, dan sedih serta penuh harap khawatir ajal tiba-tiba menjemput lantaran adanya keterikan dengan dunia yang belum dituntaskan.

3 Komaruddin Hidayat, Life’s Journey: Hidup Produktif dan Bermakna (Jakarta: Noura Books, 2013), h. 8-32. 4 Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Cet. XI (Jakarta: Hikmah, 2008), h. 8.

61

Keterikatan tersebut karena manusia adalah makhluk yang senang bermain

(homo luden). Kesenangan bermain ini juga diakibatkan adanya hikmah spiritual yang bisa dipetik. Seperti filosofi bahwa permainan hari ini harus lebih baik dan menyenangkan dari kemarin sehingga besok dan seterusnya akan memainkannya kembali.5

Kesadaran tersebut disebabkan karena manusia memiliki akal, sehingga dalam perjalanannya pun menjadikan manusia sebagai subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagaimana disebut di atas, pada dimensi insaninya manusia memiliki kesadaran dan penyadaran diri. Hal tersebut menjadi manusia sebagai makhluk yang selalu penasaran atau makhluk penanya.

Falsafah Jawa menyimpulkan dalam sangkang paraning dumadi yang menegaskan rumah sejati tempat manusia kembali. Dalam al-Quran sendiri terumus pada potongan ayat surah al-Baqarah [2]: 156 yaitu, “… inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali).

Kesadaran tersebut pada dasarnya juga karena manusia memiliki ruh, yang dalam al-Quran disebutkan dua kali dengan redaksi yang sama pada surah yang berbeda, yaitu QS. al-Hijr [15]: 29, dan QS. Shad [38]: 72 sebagai berikut:

َ َ َ َ ُ ُ َ َ َ ُ ُّ َ َ ُ َ ُ َ َ فإدذاۡسويتهۡۥۡونفختۡفديهدۡمدنۡروِحد ۡفقعواّۡلۡۥۡ ٰس دج دين٢٩ۡۡ ۡ

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

5 Komaruddin Hidayat, Spiritual Side of Golf: Menjaga Konsistensi dan Kejujuran. Cet. II (Jakarta: Expose, 2012), h. 28.

62

Pengulangan redaksi yang sama tersebut tidak lain dimaksudkan untuk mengingatkan manusia yang memiliki sifat bawaan pelupa. Salah satu kata yang merujuk kepada manusia dalam Bahasa Arab adalah kata nisyan (pelupa) yang memiliki keterhubungan dengan kata insan (manusia), sehingga muncul adagium al-insanu mahallu al-khatha’ wa al-nisyan (manusia adalah tempat salah dan pelupa).

Sifat bawaan tersebut melekat pada manusia sehingga dalam perjalan hidup ini diutuslah seorang pengingat berupa nabi, rasul dan guru kehidupan yang mereka mendapat percikan kebenaran langsung dari Tuhan untuk menyampaikan kepada manusia tentang asal usul dirinya.

Pada gilirannnya, pesan-pesan Tuhan itu terlembagakan dan kemudian dikenal dengan istilah agama. Agama lahir sebagai institusi tertua umat manusia, terlepas dari rumpun yang ada dalam perjalanan nantinya. Dalam pemaknaannya pun beragam, para pemikir baik dari kalangan filsuf, teolog, dan sosiolog memaknainya dengan berbeda-beda. Hal tersebut disadari oleh Max Weber, memaknai agama adalah suatu hal yang mustahil, meskipun hal tersebut dapat diupayakan dan kalau memang bisa.6 Karenanya dapat dipahami bahwa sebuah konsep lahir dari pergumulan masyarakat yang panjang serta dalam kondisi waktu dan tempat yang berlainan, tidak terkecuali adanya kepentingan yang diselipkan.

Hal serupa juga disadari oleh Quraish Shihab, meski agama bisa digambarkan sebagai hubungan antara ruh manusia dengan kekuatan gaib, yang dia percaya bahwa kemaslahatannya bergantung atau ditentukan oleh kekuatan tersebut

6 Max Weber, Sosilogi Agama: A Handbook. Penerjemah Yudi Santoso, (Yogyakarta: IRCiSoD), h. 97.

63

sehingga ia terdorong untuk berhubungan dan menyesuaikan diri dengan apa yang dikehendaki kekuatan tersebut.7

Sedikit tambahan dilakukan oleh Yuval Noah Harari, agama selain merupakan suatu sistem norma dan nilai manusia yang didasari suatu kepercayaan terhadap tatanan adimanusia, ternyata agama juga merupakan pemersatu akbar ketiga umat manusia setelah uang dan imperium.8 Harari kembali menambahkan dua sifat yang harus dimiliki oleh agama untuk mempersatukan wilayah yang sangat luas dan dihuni oleh beragam manusia di dalamnya meliputi: Pertama, agama harus mendukung adanya keberadaan tatanan adimanusiawi universal kapan pun dan di mana pun. Kedua, agama harus bisa bersikeras menyebarkan ajaran- ajaran kepercayaan itu kepada semua manusia, atau dalam kata lain, agama harus bersifat universal dan berdakwah (missionary).

John D. Caputo secara jujur mengatakan bahwa agama sebagai subyek yang berdiri sendiri tidak terjelaskan bagaimanapun. Baginya terlalu banyak makna dan terlalu majemuk untuk dimasukkan dalam satu subjek saja. Dengan menyebut

‘agama’, secara tidak langsung ia sedang memulai—meminjam istilah

Augustinus—cinta kasih Tuhan.9

Menilik paham Parennialisme, agama Tuhan yang paling benar itu hanya satu, yaitu yang dalam penulisannya dimulai dengan huruf kapital, sebut saja

Religion. Maksud dari Religion ini adalah yang kebenaranya bersifat absolut, universal, dan metahistoris,sebagai jalan lurus menuju Tuhan, yang pintu

7 M. Quraish Shihab, Islam Yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2018), h. 32-35. 8 Yuval Noah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar, Cet. VII (Jakarta: KPG, 2019), h. 248-249. 9 John D. Caputo, Agama Cinta: Agama Masa Depan. Penerjemah Martin Lukito Sinaga (Bandung: Al-Mizan, 2013), h. 1-2.

64

gerbangnya selalu terbuka bagi setiap hambaNya yang hendak melakukan pendakian spiritual-esoteris.10

Menjadi jelas bahwa keterikatan manusia dengan Tuhan semakin baik dengan adanya agama. Penjabaran agama tentang Tuhan membuat manusia mulai mengenal Tuhan. Sebab bagaimana pun, sepanjang sejarah manusia tak pernah berhenti mencari Tuhan dengan menempuh beragam cara dan jalan yang dilalui.

Bahkan apa yang disebut agama sesungguhnya tidak lain adalah jalan untuk mengenal dan dekat dengan Tuhan.11 Selain itu, Komaruddin Hidayat menyadari bahwa realitas agama itu plural. Dalam artian, agama yang ada di muka bumi ini ada yang memang langsung dari Tuhan, dan ada pula yang muncul dari hasil pemikiran komtemplatif manusia.

Perjalanan setiap agama yang ada mengalami pasang-surut. Dan, hanya agama yang dianggap cocok dan mampu menghadapi kritik dan kebutuhan manusia, itulah agama yang akan bertahan.12 Dari sini dapat ditarik kesimpulan perihal sifat dari agama atas pernyataan Komaruddin Hidayat, bahwa agama yang memiliki karakter inklusif (terbuka) yang akan bertahan. Sebaliknya, agama yang tertutup atau eksklusif (tertutup) cenderung tidak akan bertahan lama dan hanya menjadi sejarah bahwa agama tersebut pernah ada.

Salah satu orang yang fenomenal dalam menulis sejarah tentang pencarian mengenal, menemukan dan dekat dengan Tuhan itu adalah Karen Armstorng dalam bukunya Sejarah Tuhan yang mempertanyakan Tuhan dari kecil. Pergumulan

10 Hidayat, Wisdom of Life, h. 69-70. 11 Komaruddin Hidayat, Penjara-Penjara Kehidupan (Jakarta: Noura Books, 2016), h. 31. 12 Komaruddin Hidayat, Penjara-Penjara Kehidupan, h. 32.

65

Armstrong tersebut berlanjut seiring bertambahnya usia, dalam ‘pencarian’ Tuhan itupun ia tidak pernah puas karena dalam suatu waktu Tuhan dikatakan mati.13

Tidak berhenti di situ, tampaknya Armstrong hendak merekam jejak Tuhan dalam sejarah manusia di bumi. Dalam buku lain, Field of Blood dan Berperang

Demi Tuhan, Armstrong ingin menegaskan bahwa tidak melulu agama dan Tuhan itu membuat manusia hidup damai. Hingga pada puncaknya, Armstrong seakan meramal masa depan Tuhan melalui catatan sejarah yang terjadi pada manusia beragama dan bertuhan14 Keterlemparan manusia ke bumi sepatutnya disadari sejak awal kelahirannya, bahwa dunia fisik itu keras, sehingga segala kemungkinan terjadi karena adanya kepentingan personal atau kelompok dari kebebasan yang tidak dikendalikan.

Kepercayaan manusia kepada rasionalisme dan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang sains dan teknolgi sempat membuat yang namanya tampak Tuhan tidak dibutuhkan lagi karena kehidupan teknis manusia hampir semua terpenuhi oleh hasil manusia sendiri dengan anggapan, sampai di sini Tuhan tidak lagi dibutuhkan, atau dalam istilah lain yang dikatakan Ricard Dawkins, salah seorang ahli biologi Inggris melalui bukunya yang kontroversial, bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu delusi atau tidak lebih sekedar khayalan.15 Hingga puncaknya, meminjam istilah Neitszche, ‘Tuhan telah mati’.

13 Lebih jauh lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zainul Am, Ed. III (Bandung: Mizan, 2018). 14 Lebih jauh lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan (Bandung: Mizan, 2013), Field of Blood. Penerjemah Yuliani Liputo, Cet. II (Bandung: Mizan, 2017), Masa Depan Tuhan. Penerjemah Yuliani Liputo, Ed. II (Bandung: Mizan, 2013) 15 Lebih jauh lihat Ricard Dawkind, The God Delution. Penerjemah Zaim Rofiqi (Depok: BANANA, 2017).

66

Meski dalam perkembangan kehidupan orang tetap mempercayai adanya

Tuhan, tetap saja pengaruh ilmu pengetahuan dan sains teknologi menciptakan tuhan-tuhan baru dalam diri manusia dengan segala macam bentuknya. Dan, kesadaran manusia atas adanya kebenaran (dalam Islam, sumber kebenaran utama adalah Allah, Tuhan semesta alam) adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Dalam arti, bahwa manusia sama-sama sepakat akan adanya realitas di sekitarnya. Itu membuktikan adanya sesuatu yang mengadakan. Lalu, dalam proses menemukan kebenaran inilah tampak jelas bersifat relatif, karena pluralitas yang melekat pada individualitas manusia itu sendiri.

Sehingga catatan historis tidak bisa dihindari apalagi dilupakan, dan berbagai argumentasi telah bermunculan untuk membuat Tuhan tetap hidup, dan justru jika dihitung orang yang mempercayai adanya Tuhan lebih banyak dari sebaliknya.

B. Melampaui Konsep Pluralis

Terlihat jelas dalam bab sebelumnya, Komaruddin Hidayat menghindari untuk memberikan makna secara khusus dan utuh sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Baginya, tak ada argumen yang sempurna dan memuaskan semua pihak.16 Bukan berarti ia tidak bisa, kesadaran diri akan kontekstualitas sebuah konsep itulah yang menurutnya harus dipahami daripada sekadar membuat makna baru yang tidak jarang menuai mudarat ketimbang manfaat.

Baginya ada tiga faktor utama mengapa teologi pluralis menjadi penting disadari. Pertama, bahwa dalam diri manusia itu ada ruh. Fungsi ruh ini, sadar atau tidak, selalu ingin mencari, mengenal, merindukan kembali kepada Tuhannya.

16 Komaruddin Hidayat, Wisdom of Life: Agar Hidup Bahagia Penuh Makna (Jakarta: Noura Books, 2014), 12.

67

Tidak menutup kemungkinan dalam perjalanan manusia yang memiliki ruh mengalami interupsi kanan-kiri, tetapi tetap kehadiran ruh itu selalu menuntut untuk tersambung kepada Tuhan.17

Ruh itu ada pada setiap manusia, ditiupkan oleh Tuhan tidak hanya pada satu golongan tertentu. Semua manusia memiliki ruh, dan ruh sudah bersaksi kepada

Tuhan sebelum memasuki tubuh manusia. Pernyataan tersebut dikonfirmasi oleh

Komaruddin Hidayat kepada salah satu ayat al-Quran surah al-A’raf: 174, berikut:

َ َ َ َ َ َ َ ُّ َ َ َ َ َ ُ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َٰٓ ُ َ ُ َ ُ َ ُ َ َ ِإَوذۡۡأخذۡربك ُۢۡمدنۡب د ِٓنۡءادمۡمدنۡظهوردهدمۡذرديتهمۡوأشهدهمۡلَعۡأنف دسهدمۡألستۡبدربدكمۖۡۡقۡالواۡب َٰلۡ

َ َ ٓ َ َ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ شهددناْۚۡأنۡتقولواۡيومۡٱلقديٰمةدۡإدناۡكۡناۡعنۡهٰذاۡغٰفدلدني١٧٢ۡۡ ۡ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Ayat tersebut menegaskan dengan jelas perihal kesaksian atau pengakuan akan adanya Tuhan oleh ruh manusia. Sebab ruh manusia memiliki sifat ruhani yang berasal dari Tuhan sehingga ingin selalu dekat sekaligus merindukan Tuhan.18

Hadirnya ruh menyebabkan keimanan seorang manusia adalah hubungan batin yang paling intim dengan Penciptanya.19 Hubungan tersebut dimulai dengan

17 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020. 18 Komaruddin Hidayat, Iman Yang Menyejarah: Memeluk Agama: Kebutuhan Menemukan Pijakan (Jakarta: Noura Publishing, 2018), h. 193. 19 Hidayat, Iman Yang Menyejarah, h. 194.

68

bentuk syahadat atau persaksian sebagaimana ayat di atas. Persaksiannya bisa beragam; redaksinya berbeda, kalimatnya berbeda, tetapi karena ruh itu milik setiap orang, dan Tuhan sendiri yang meniupkan maka mustahil jika ia tidak kembali kepada Tuhan.

Faktor kedua adalah karena Allah itu Maha Mutlak, Allah Maha Kasih—yang firmanNya (kasih sayang) ditujukan kepada siapa saja tanpa mengenal suku, ras, dan agama. Komaruddin Hidayat kembali menyandarkan kepada firman Allah dalam al-Quran surah al-Baqarah: 186 berikut:

َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ٌ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َ َ َ ُ ِإَوذا ۡۡسألكۡعدبادديۡع دِنۡفإد دّنۡقرديبۖۡۡأ دجيبۡدعوةۡۡٱَل داعۡ ۡۡإدذاۡدَع دنِۖۡفليست دجيبوا دِۡلۡوۡلؤمدنوا دۡبۡۡلعلهمۡ

ُ َ َي رش ُدون١٨٦ۡۡ ۡ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Asbabunnuzul ayat tersebut bercerita tentang seorang Badui yang mendatangi

Rasulullah dan bertanya, “Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kita cukup berbisik saat berdoa kepadaNya. Ataukah Dia jauh, sehingga kita harus berteriak saat memohon padaNya?” pertanyaan tersebut membuat Rasul diam sampai ayat tersebut diturunkan.20

20 Alhidayah: Al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka (Depag RI, tt), h. 29.

69

Komaruddin Hidayat beranggapan bahwa doa itu bisa dilakukan oleh siapa saja, apakah orang itu beriman atau kufur. Dari sekian ragam pengalaman keberagamaan itu, salah satunya adalah doa. Doa merupakan bentuk puji dan puji setiap hamba kepada Tuhan dan merupakan laku yang sangat personal serta intim.

Bahkan jika diperhatikan lebih jauh, dalam aktivitas keberagamaan sejati hampir semuanya memiliki prinsip doa. Lebih jauh, doa bisa disebut sebagai inti keberagamaan.21 Sebab sami’ (pendengaran) Allah itu tidak hanya untuk orang

Islam. Sami’ Allah itu berlaku untuk semua manusia. Jadi siapapun boleh berdoa sebab Allah Maha Mendengar.

Ayat selanjutnya adalah surat al-A’raf: 156 sebagai berikut:

ُ َ َ ُ َ َ َ ُّ َ َ َ َ ٗ َ َ َ ُ َ ٓ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ ٓ ُ ۞وۡ ٱۡكتبۡۡنل داِۡفۡهٰ دذهدۡٱَلنياۡحسنةۡو دِفۡٱ دٓأۡلخرةدۡۡإدناۡهدناۡإدۡلكْۚۡقالۡعذ د ٓابۡأ دصيبۡبدهدۦۡمنۡأشاءۖۡۡ

َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ َ َ ٰ َ َ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ ورۡح دِتۡوۡ دسعتُۡكَۡشءٖٖۚۡفسأكتبهاۡلدَّلدينۡيتقونۡويؤتونۡٱلزكوۡةۡوۡ ٱَّۡلدينۡۡهمۡأَِبيٰتدناۡيؤمدنون١٥٦ۡۡ ۡ

“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami".

Penekanan Komaruddin Hidayat hanya sebatas pada kalimat warahmati wasiat kulla syai’, yang sifatnya lebih universal. Kemudian ia juga menegaskan pada hadis qudsi yang berbunyi inna rahmati ghalabat ghadhabi (sesungguhnya

21 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 4.

70

rahmatKu mengalahka kemarahanKu). Sehingga, pintu Allah terbuka bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.22

Faktor ketiga, al-Quran menegaskan bagaimana hubungan lintas agama seharusnya berlangsung, tercantum dalam surah al-Baqarah: 285 berikut:

ُ َ َ َ َ ُ ُ َ ٓ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ ٌّ َ َ َ َ َ َ ََٰٓ َ َ ُ ُ َ ُ ُ َ ءامنۡۡٱلرسولۡۡبدماۡأنزدلۡإدۡلهدۡمدنۡربدهدۦۡوۡ ٱۡلمؤمدنونُْۡۚۡكۡءامنۡبۡدٱّللدۡۡوملئدكتدهدۦۡوكتبدهدۦۡورسلدهدۦَۡلۡ

َ َ ُ َ ُ َ َ َ ُّ ُ َ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ نفردقۡبنيۡأح ٖدۡمدنۡرسلدهدْۚۦۡۡوقالواۡس دمعناۡوأطعناۖۡۡغفرانكۡربناِۡإَوۡلكۡٱلم دصري٢٨٥ۡۡۡ ۡ

“Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda- bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."

Mengenai asbabunnuzul ayat ini, sebenarnya bersinggungan dengan ayat sebelumnya (QS.2:284) menurut Abu Hurairah bahwa para sahabat merasa sedih.

Mereka lalu mendatangi Rasulullah, berlutut, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak sanggup melaksanakan ayat ini.’ Rasulullah bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kalian, ‘Kami mendengar dan kami mengingkari?’ Namun, katakanlah,

‘Kami ingin mendengar dan taat, ampuni kami ya Tuhan kami. Dan kepadaMu lah tempat kembali setelah para sahabat terbiasa.’23

22 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020. 23 Alhidayah: Al-Quran Tafsir, h. 50.

71

Komaruddin juga menambahkan bahwa Rasulullah tidak membeda-bedakan yang namanya nabi. Jumlah nabi yang ada banyak sekali, maka sangat mungkin di luar komunitas Muslim—mereka juga memperoleh percikan, warisan, dan ajaran nabi. Sebab nabi turun pada ruang, waktu dan umat yang berbeda-beda serta bertebaran. Jika ajaran itu diibaratkan emas, kemungkinan besar sampai sekarang masih ada. Emas bagaimana pun tidak akan berubah karena ruang dan waktu, sebagaimana kebenaran ilahi.24

Lebih jauh, Komaruddin menganggap sebuah keberuntungan bagi mereka yang bertemu Rasulullah. Namun demikian, keberuntungan tidak hanya berlaku bagi mereka yang bertemu Rasul, orang yang tidak bertemu pun memiliki kesempatan sama dengan adanya ruh dan keimanan di dalam dirinya.

C. Prinsip Teologi Pluralis

Ada dua prinsip utama yang harus dipegang dan disadari dalam menjalani hidup yang kompleks dan majemuk ini. Pertama, hakikat agama adalah benar karena datang dari Tuhan yang Maha Benar. Kebenaran agama pada gilirannya akan direkonstruksi, diformulasi oleh sejarah sehingga kovernya bisa beragam yang muncul. Kebenaran bahwa Tuhan itu Tunggal menjadi kesepakatan pada akhirnya, meski dalam ranah teologi masih diperdebatkan.25 Demikianlah terus-menerus pluralitas persepsi dan keyakinan manusia tentang Tuhan akan tetap dan selalu berkembang karena kreatifitas berpikir manusia dibenturkan dengan perkembangan

24 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020. 25 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.

72

zaman yang pada gilirannya melahirkan bahkan mengawetkan pluralitas agama, pluralitas teologi, dan pluralitas ideologi keagamaan.26

Kedua, sikap toleransi atau menghargai. Adalah tugas negara, selain agamawan dan guru, yang harus mengembangkan hal ini ke dalam bentuk ajaran pendidikan yang merata. Sehingga kesadaran pentingnya merawat rumah bernama

Indonesia, yang di dalamnya terdapat berbagai macam manusia berbudaya, berbahasa dan beragama sedang berlindung menjadi aman dengan memahami satu sama lain. Kecurigaan dan perpecahan hanya akan membuat rumah yang ditinggali hancur berantakan.27

Dalam menjalani prinsip tersebut, ada filosofi yang mesti ditanamkan kepada masyarakat, apapun agama, suku dan rasnya, adalah ‘menerima yang lain.’

Beberapa langkah yang harus diambil, antara lain: Pertama, reinterpretasi pandangan keagamaan yang konservatif dan fundamentalistik. Hal ini menjadi tanggungjawab pemuka agama untuk memberikan gambaran pentingnya beragama ke bawah; menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, menghargai perbedaan, dan melihat masalah yang timbul karena beragama seringkali taqlid buta ke atas yang menyebabkan sumber pertikaian.

Kedua, masifikasi keagamaan moderat. Bertalian dengan sebelumnya, pandangan-pandangan yang mengedepankan nilai-nilai humanis-universal menjadi penting untuk mewujudkan sebuah tatanan yang lebih baik dan melawan segala bentuk konservatif-fundamentalis yang lebih suka mengendepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

26 Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 116. 27 Hidayat, Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi, h. 141.

73

Ketiga, kerja sama agama-agama. Langkah ini menjadi kebutuhan dasar untuk mendorong semangat teologis, bahwa kenyataan setiap agama memiliki perbedaan, tetapi pada saat yang sama ada nilai-nilai universal-humanistik dan kesamaan realitas kemanusiaan yang lintas suku, ras dan agama.28

Dengan ketiga langkah tersebut, kehidupan harmoni sebagaimana yang diangan-angankan bersama akan menjadi kenyataan dengan adanya kerja sama antar kelompok agama bahwa semangat keagamaan pada dasarnya mengedepankan cinta dan kasih sayang.

D. Wujud Teologi Pluralis Komaruddin Hidayat

Konsep teologi pluralis sebagaimana dipahami dalam bentuk sikap keberagamaan telah tertanam jelas dalam diri Komaruddin Hidayat sejak masih tinggal di kampung halaman. Interaksi dirinya dengan umat agama lain secara diam-diam telah membentuk karakteristik untuk memahami orang lain tanpa membedakan ras, budaya, dan agama mereka.

Dukungan dari orang tua untuk sekolah di Sekolah Teknis Kanisius juga memberikan andil, sehingga ia mengalami interaksi dengan pemeluk agama lain.

Ditambah ketika nyantri di Pondok Pabelan di bawah asuhan (alm.) K. Hamam

Ja’far yang dalam pengakuannya, biasa berteman dengan para pemuka gereja.

Sikap pluralisnya semakin diperkokoh ketika menginjakkan kaki di Ciputat untuk kuliah. Berbagai macam buku bacaan dituntaskan, termasuk juga ketika belajar di jurusan studi agama-agama—di mana karangan-karangan orang non-

28 Mun’in Sirry Ed., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet. VI (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 184-186.

74

muslim baik tentang Islam, maupun agama lainnya ikut andil dalam pembentukan sikapnya.

Hal tersebut bisa dibuktikan melalui pengakuannya bahwa Islam memiliki nilai kebenaran dan keselamatannya sendiri, tetapi bukan tidak mungkin di luar

Islam tidak ada tawaran keselamatan yang sama. Selain bisa ditemui melalui tulisan-tulisannya yang tersebar dan bernilai humanistik-universal, sikap pluralis

Komaruddin Hidayat juga terlihat dari keterlibatannya membangun hubungan baik dengan agama lain melalui Dialog Lintas Agama, di dalam maupun luar negeri.

E. Pluralitas Agama Masa Depan

Terlepas dari masalah pemaknaan pada sub bab pembahasan sebelumnya, kenyataan dalam sejarah agama tetap ada, atau meminjam adagium Komaruddin

Hidayat, agama punya seribu nyawa. Hal tersebut terjadi karena agama memenuhi tujuan utamanya meliputi lima hal, yaitu: perhormatan dan perlindungan kebutuhan pranata nilai dan spiritual (hifdzu al-din), hak untuk hidup (hifdzu al-nafs), hak properti (hifdzu al-mal), kehormatan dan martabat (hifdzu al-a’radh), dan mengatur autentisitas keturunan (hifdzu al-nasab).29

Pemenuhan dari agama terhadap manusia itulah yang nantinya membuka peluang kesadaran dalam diri manusia untuk tetap memeluk agama dan mempercayai adanya Tuhan. Ditambah kenyataan adanya perjumpaan antar manusia dengan manusia lainnya tanpa batas ruang dan waktu melalui dunia maya.

Secara tidak langsung, kenyatan tersebut menjadikan dunia semakin plural.30

29 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, h. 27. 30 Komaruddin Hidayat, Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama dalam Ruang Publik (Jakarta: Alvabet, 2019), h. 184.

75

Sikap umat beragama atas kenyataan itu beragam. Pertama, berpandangan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dan berkembang alami. Agama tidak lebih bekerja pada wilayah moral dan spiritual sehingga agama harus tampil sebagai penyejuk, meski kehadirannya tidak mencolok tetap saja dibutuhkan agar kehidupan tetap sejuk dan nyaman.

Kedua, agama harus tampil mengikuti perkembangan zaman. Menembus wilayah budaya dan sains yang begitu berjalan dalam sebuah zaman, dengan melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran dan revitalisasi peran sosial agama.

Perlunya juga liberalisasi tafsir kitab suci dan rekonstruksi pranata keagamaan agar agama tidak tersisihkan dalam dunia politik, ekonomi dan peradaban.

Ketiga, agama telah memberikan contoh yang ideal pada masa lalu, sehingga perkembangan sekarang harus tunduk terhadap kejayaan masa lalu yang realitasnya sama sekali beda dengan keadaan saat ini.

Terakhir mempertahankan hubungan antara agama dan komunalisme etnis ataupun kelompok sehingga perkembangan agama dan budaya tampil menyatu.31

Tampak sikap terakhir inilah yang akan menggambarkan masa depan agama, di mana pluralitas hidup berbaur dengan agama.

Dengan demikian, agama yang muncul di masa depan adalah agama yang memiliki rantai historis dengan masa lalu. Pluralitas dan kompetisi antara pemeluk agama tetap berlangsung secara sosiologis dan berfungsi positif. Sehingga pada puncak peradaban manusia, agama masa depan adalah yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai humanistik-universal. Agama masa depan adalah agama

31 Komaruddin Hidayat, Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama? (Jakarta: Kompas, 2006), h. 133.

76

yang menekankan nilai-nilai luhur pada setiap agama, terlepas dari rumpun agama yang ada dan penamaannya, agama masa depan adalah agama pluralitas.32

F. Relevansi dan Kritik Atas Teologi Pluralis

Setelah membaca keseluruhan, bagaimana tatanan konsep teologi pluralis yang dibangun oleh Komaruddin Hidayat, maka untuk merealisasikannya dalam kehidupan dibutuhkan langkah nyata. Setidaknya ada tiga langkah yang bisa dimulai untuk menjadikan teologi pluralis sebagai salah satu pedoman dalam menjalani kehidupan di rumah bernama Indonesia yang memiliki pluralitas agama dan multikulturalitas kebudayaan. Berikut tiga langkah tersebut:

Pertama, tumbuhkan kesadaran sejak dini bahwa kenyataan itu plural. Hal ini tentu dimulai dari skala kecil keluarga. Peran orang tua akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap anak tentang kenyataan yang beragam, sehingga pikiran anak mampu disetir untuk memahami kesetaraan.

Kedua, peran tenaga pendidik dan atau pemuka agama. Sebab kita tidak bisa lepas dari pendidikan untuk menjadikan diri semakin baik. Seorang guru akan sangat mempengaruhi bagaimana sikap siswa dalam kehidupan. Sehingga, ideologi yang harus dimiliki guru adalah yang mampu memberikan contoh dan teladan atas kenyataan yang plural dan bagaimana menghargai perbedaan, demikian juga yang harus dilakukan oleh penceramah atau pemuka agama, hendaknya selalu mengingatkan pentingnya hidup rukun dalam perbedaan.

32 Hidayat, Wisdom of Life, h. 195.

77

Ketiga, adanya campur tangan pemerintah. Ini untuk menyosialisasikan pemahaman dari harapan teologi pluralis, bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dicurigai dan disikapi dengan penuh ketakutan, melainkan kenyataan yang harus diterima dengan wawasan untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup.

Namun demikian, teologi pluralis sebagai wacana baru haruslah disuarakan agar menjadi bagian dari kenyataan yang diharapkan bersama. Tentu sangat relevan dengan konteks Indonesia secara khusus dalam penerapannya, setelah tiga langkah di atas mampu dijalankan dengan maksimal.

Oleh karena itu, sangat perlu bagi Komaruddin Hidayat untuk merumuskan kembali wacana teologi pluralis dalam kerangka pemikiran yang sistematis dan ilmiah. Mengingat, teologi pluralis memiliki nilai yang humanistik-universal.

Sehingga bangunan wacana yang dianggap mapan menjadi semakin jelas arah penerapan dan tujuannya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terdapat 3 (tiga) hal utama sebagai kesimpulan setelah membaca keseluruhan pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat kaitannya dengan Teologi Pluralis, yaitu:

1. Kesadaran akan kemanusiaan

Merupakan tingkat paling awal manusia sebagai makhluk yang diberikan

kesadaran sebagaimana hewan, meski pada hewan kesadaran itu lebih

dikenal dengan sebutan insting. Manusia setelah memiliki kesadaran ini

membutuhkan dimensi lanjutan dalam mengarungi hidup yaitu

penyadaran diri, yang menuntut seseorang melihat sesamanya sebagai

satu kesatuan yang beragam. Dengan penyadaran diri inilah manusia

melihat dimensi yang lebih luas, dan memberikan dampak untuk

menghargai kenyataan yang beragam.

2. Kesadaran akan pluralitas semesta

Setelah kesadaran akan kemanusiaan dalam diri manusia muncul, maka

berlanjut pada kesadaran realitas yang dalam keadaan ini manusia melihat

segala yang ada di dunia ini sebagai sesuatu yang pasti. Beragam ras,

budaya, bahasa, dan agama serta lainnya merupakan keniscayaan yang

sudah ditetapkan untuk melengkapi hidup manusia satu dengan yang lain.

Sehingga mustahil melakukan penyeragaman terhadap semesta

mengingat keterbatan pikiran dan kemampuan manusia.

78

79

3. Kesadaran akan adanya ruh

Tingkat ini menegasikan tiga dimensi besar eksistensi lain dari manusia

sebelumnya yaitu, jasadi, nabati, dan insani yang dalam tiga tingkat

tersebut manusia sudah mengalami kesadaran akan kemanusiaan dan

pluralitas. Kesadaran akan adanya ruh muncul ketika manusia sampai

kepada dimensi ruhani, di mana segala hal dalam kenyataan ini menjadi

lebur satu dalam bingkai kasih sayang Tuhan. Kenyataan bahwa setiap

orang memiliki jalan pencarian dan kerinduannya untuk bertemu dengan

asal mula dirinya tidak bisa dibantah, keadaan dirinya pasti berasal dari

ketiadaan yang menjadi ada karena pasti adanya yang Maha Ada atau

yang mengadakan yaitu Tuhan. Kepada Tuhan ini pula ruh menuntut

manusia melakukan perjalanan dan perjumpamaan, meski dalam

prosesnya ada yang hanya mengetahui tetapi tidak sampai, ada yang tahu

dan hampir sampai dan ada yang tahu dan mengalami perjumpaan

langsung dengan Tuhan. Pengalaman terakhir inilah membuat manusia

mencapai kesempurnaan dirinya.

Melalui tiga tingkat kesadaran tersebut, teologi pluralis sebagai paham keagamaan dalam bentuk sikap bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang plural seperti Indonesia. Dengan pendekatan teologi pluralis ini pula, pengalaman keagamaan bisa diminimalisir ketika tindak kekerasan atas nama agama muncul, dan menuntut penyelesaian yang pasti.

80

B. Saran

Setelah membaca keseluhan pembahasan dan kesimpulan di atas, menjadi penting untuk penulis sampaikan pentingnya memahami teologi pluralis sebagai salah satu pendekatan untuk mengerti benar menjalani kehidupan beragama dalam menjadi warga negara, yang hidup pada komunitas masyarakat plural dalam banyak hal. Sehingga harmonisasi kehidupan bersama yang dicita-citakan menjadi tercapai.

Saran yang hendak penulis sampaikan meliputi:

1. Pentingnya mengkaji dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang

pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat, mengingat banyaknya karya

dan luasnya pemikiran beliau yang tersebar.

2. Tentang Teologi Pluralis yang penulis sandarkan kepada Komaruddin

Hidayat bukan tidak mungkin membutuhkan penelitian lebih jauh. Hal ini

karena pasti dalam penelitian yang penulis lakukan terdapat keluputan

dan kesalahan.

3. Penulis juga berharap melalui pendekatan teologi pluralis ini, pemahaman

keagamaan dan sikap beragama masyarakat kita menjadi lebih sadar akan

pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan menjalani hidup dengan

harmoni dalam keberagaman untuk saling melengkapi satu dengan yang

lain.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Ali Engineer, Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan, Cet V, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Ali, Muhammad, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Alkhateeb, Firas, Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim Pada Masa Lalu. Penerjemah Mursyid Wijanarko, Yogyakarya: Bentang Pustaka, 2016. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010. Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan Dalam Agama-Agama Manusia, Penerjemah Zainul Am, Ed. III, Bandung: Mizan, 2018. ______, Berperang Demi Tuhan, Bandung: Mizan, 2013. ______, Field of Blood. Penerjemah Yuliani Liputo, Cet. II, Bandung: Mizan, 2017. ______, Masa Depan Tuhan. Penerjemah Yuliani Liputo, Ed. II, Bandung: Mizan, 2013. Aziz Dahlan, Abdul, Ilmu Kalam, Jakarta: Ushul Press, 2010. Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam. Penerjemah H. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Caputo, John D., Agama Cinta: Agama Masa Depan. Penerjemah Martin Lukito Sinaga, Bandung: Al-Mizan, 2013. Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997. Dawkind, Ricard, The God Delution. Penerjemah Zaim Rofiqi, Depok: BANANA, 2017. Depag RI, Al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka. Farid Ismail, Fuad & Hamid Mutawalli, Abdul, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam), Jogjakarta: IRCiSoD, 2012. Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1 Cet. Ke-28, Yogyakarta: Penebit Kanisius, 2016.

81

82

Haikal, Mohammad Hassan, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain. Penerjemah Chandra Utama, Bandung: Mizan, 2016. Hanafi, Ahmad, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Harari, Yuval Noah, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar, Cet. VII, Jakarta: KPG, 2019. Harb, Ali, Nalar Kritis Islam Kontemporer. Penerjemah Umar Bukhory dan Ghazi Mubarak, Jogjakarta: IRCiSoD, 2012. F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Neitzsche) Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011. Hidayat, Komaruddin, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books, 2012. , The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, Jakarta: Kompas, 2008. , Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi, Jakarta: Paramadina, 2003. , & Nafis, Muhammad Wahyuni, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995. , Penjara-Penjara Kehidupan, Jakarta: Noura Books, 2016. , Life’s Journey: Hidup Produktif dan Bermakna, Jakarta: Penerbit Noura Books, 2013. , Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama dalam Kehidupan, Jakarta: Alvabet, 2019. , Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Cet. XI, Jakarta: Hikmah, 2008. , Spiritual Side of Golf: Menjaga Konsistensi dan Kejujuran. Cet. II, Jakarta: Expose, 2012. , Wisdom of Life: Agar Hidup Bahagia Penuh Makna, Jakarta: Noura Books, 2014. , Iman Yang Menyejarah: Memeluk Agama: Kebutuhan Menemukan Pijakan, Jakarta: Noura Publishing, 2018. ,, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books, 2012. , Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama?, Jakarta: Kompas, 2006. J Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 2012. Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, Jakarta: Penerbit Baitul Ihsan, 2006.

83

______, Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia, Bandung: Mizan, 2017. Nasr, Sayyed Hossein, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. Penerjemah Suharsono dan Djamaluddin MZ, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. ______, dan Leaman, Oliver (editor), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Penerbit Mizan, 2003. Nasuhi, Hamid dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Ciputat: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986. Partanto, Pius A dan Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 2001. Rahman, Budhy Munawar, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Cet. II, Malang: PUSAM UMM, 2018. ______, Islam Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2001. ______, (editor), Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Pluralisme Buku II, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 2010. Rozak, Abdul & Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam (Edisi Revisi), Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, Cet. Ke-1V, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016. Salmah, Af Idah ed., Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme Kehidupan Modern, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003. Shihab, M. Quraish, Islam Yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2018. Sirry, Mun’in (editor), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif- Pluralis, Cet. VI, Jakarta: Paramadina, 2004. Surajiyo, Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005. Usman, Fathimah, Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama, Jogjakarta: LKiS, 2002. Weber, Max, Sosilogi Agama: A Handbook. Penerjemah Yudi Santoso, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. William, L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought USA: Humanities Press Ltd, 1999.

84

Wirman, Eka Putra, Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013. Zainuddin, M, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam Malang: Bayu Media, 2003.

Sumber Lain: Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, 6 Januari 2019.

LAMPIRAN

85

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mohammad Haris Tempa Tanggal Lahir : Sumenep, 26 Agustus 1995 Jenis Kelamin : Laki-Laki Alamat : Dusun Durbugan RT/RW 003/004 Desa Campaka Kec. Pasongsongan Kab. Sumenep Provinsi Jawa Timur Alamat Sekarang : Jl. Pesanggrahan No. 17 Cempaka Putih Kec. Ciputat Timur Tangerang Selatan Provinsi Banten No. Handphone : +62822 9813 7482 E-mail : [email protected]

PENDIDIKAN FORMAL 1. MI Arraudlah (2001-2008) 2. MI Nurul Islam (2009) 3. MTs Nurul Islam (2010-2012) 4. MA 1 Annuqayah Putra (2013-2015) 5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sekarang) PENDIDIKAN NONFORMAL 1. Ponpes Nurul Islam (2009-2014) 2. Ponpes Annuqayah (2015)

Demikian riwayat hidup ini peneliti buat dengan sebenar-benarnya.

Surat Penelitian

Surat Pernyataan Wawancara

KUESIONER PENELITIAN SKRIPSI

1. Siapa nama orang tua, Bapak, baik ayah maupun ibu? 2. Semasa kecil bersama orang tua, di mana Bapak tinggal? 3. Siapa tokoh yang menginspirasi Bapak ketika masih kecil? 4. Sekarang orang-orang mengenal Bapak sebagai cendekiawan, lantas siapakah sosok yang Bapak kagumi dan mempengaruhi pemikiran Bapak? 5. Sebagai seorang cendekiawan, sudah pasti Bapak suka membaca, baik buku maupun keadaan. Selama ini buku apa saja yang sangat mempengaruhi Bapak? 6. Dalam perjalanan intelektual Bapak, sebagai pembaca yang baik tentu Bapak juga ingin menyelematkan sebuah gagasan, utamanya dengan menulis. Berawal dari mana Bapak terinspirasi untuk menulis? 7. Buku apa yang Bapak pertama kali terbitkan? 8. Sampai saat ini, ada berapa jumlah buku yang telah Bapak terbitkan, dan lantas masih adakah buku yang sedang Bapak tulis sekarang? 9. Apa aktivitas yang Bapak tekuni saat ini? 10. Dalam karya-karya Bapak yang saya baca, kecenderungan pemikiran Bapak bersifat universal. Dalam arti Bapak menulis lebih mengarah kepada nilai- nilai kemanusiaan tanpa mengenal ras, budaya dan agama. Mengapa demikian? 11. Salah satu judul buku Bapak, Agama Punya Seribu Nyama, yang sekaligus merupakan istilah yang hendak Bapak pakai untuk meyakinkan pembaca bahwa agama tidak akan pernah mati. Hilang satu, tumbuh lainnya. Dasar apa yang menyebabkan Bapak berpikir demikian? 12. Dalam buku Bapak yang lain berjudul Wisdom of Life, ada pernyataan bahwa pada tataran esoteris dan puncak peradan manusia, akan muncul suatu paham keberagamaan dan sikap keberagamaan yang humanistik- universal. Atas dasar apa Bapak memiliki keyakinan tersebut? 13. Dalam buku yang sama, Bapak juga menyatakan bahwa agama masa depan yang akan muncul adalah agama yang menekankan dan menghargai

persamaan nilai-nilai luhur setiap agama. Pernyataan tersebut merupakan corak dari teologi pluralis. Jika saya boleh menyimpulkan, pluralitas adalah agama masa depan, terlepas dari rumpun agama yang ada. Bagaimana Bapak menjelaskan hal tersebut? 14. Sebagai seorang teolog-pluralis, prinsip apa saja yang harus dipegang dan dilaksanakan dalam menjalani kehidupan yang majemuk dan kompleks ini? 15. Seperti yang telah disebut sebelumnya, tulisan-tulisan Bapak yang tersebar, khususnya yang bernuansa agama—menggambarkan pandangan dan sikap yang bercorak teologi pluralis. Bagaimana bapak memaknai term tersebut?! 16. Terakhir, bagaimana Bapak melihat masa depan agama dan agama di masa depan!?

HASIL WAWANCARA

Sampai di rumah Prof. Komaruddin Hidayat tepat pada jam 16.00 WIB. Mobil beliau baru masuk pagar, pun beliau ternyata masih dalam mobil. Sebelum keluar dari mobil beliau tampak menyadari bahwa saya adalah mahasiswa yang akan melakukan wawancara sehingga, kebetulan saya bersama salah seorang teman kelas, kami langsung dipersilakan masuk dan menunggu di depan pintu rumah. Tidak sampai lima menit, kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tunggu. Kisaran tiga menit Prof. Komaruddin keluar, dan kami disambut dengan hangat.

Beliau menanyakan status kami dari fakultas apa, asal dari mana hingga tidak lama setelah teh dihidangkan oleh, mungkin, pembantu rumah tersebut, beliau menanyakan maksud kedatangan kami.

- (sebagai pewawancara)

+ (sebagai narasumber)

- “Wacana yang akan saya wawancarakan adalah teologi pluralis. Dulu pernah saya buat proposal tentang Filsafat Parennial, tapi kemudian oleh Pak Iqbal (salah satu dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta) disebutkan bahwa buku itu bukan tulisan murni Mas Komar, itu adalah tesis dari Wahyuni Nafis. Tapi karena Mas Komar kebetulan pembimbingnya, secara tidak langsung beliau yang mengarahkan isinya, dan paham betul. Tapi karena saya kepikiran dan menyadari buku Prof. Komar masih banyak, akhirnya saya belokkan ke teologi pluralis agar penelitian ini murni atas pemikiran Prof. Komar.”

+ “Iya-iya, bagus. Selama ini apa saja posisi, kesimpulan, hipotesa sementara yang kamu simpulkan apa dari bacaan itu?”

- “Untuk sementara yang saya dapat, dan sempat terbantah oleh Bu Rosmaria sebagai pembimbing, beliau mempersoalkan apakah Prof. Komar menulis tentang teologi pluralis atau tidak. Saya bilang, jika memberikan makna istilah khusus pada teologi pluralis memang tidak. Tetapi setelah saya baca sebagian besar karya beliau, tampak kemudian pemikirannya memiliki corak teologi pluralis. Dalam artian yang saya pahami tentang teologi

pluralis itu sebagai bentuk paham keagamaan atau sikap keagamaan yang berpegang teguh terhadap keyakinannya sendiri, namun pada saat ber- samaan juga terbuka atas pemahaman yang datang dari luar.”

+ “Satu catatan saja, pertanyaan beliau itu bagus. Bu Rosma memper- masalahkan saya menulis buku perihal pluralisme tidak. Kalua saya menulis buku pluralisme, kamu tidak perlu research lagi, iya kan? Untuk apa gunanya, saya sudah nulis, kok, begitu kan? Dan ketika kita meneliti karya orang memang, satu, membahas membantah posisi dia sebagai apa. Tapi kedua adalah mencoba menelusuri, mengumpulkan, menjahit apa, gitu. Jadi gunanya research ya itu. Kalau sudah terang benderang, untuk apa diresearch. Research itu berguna justru ketika kita ingin bertanya, seseorang yang belum clear sama sekali posisinya, sesungguhnya apa sih posisi dia. Ini berlaku untuk saya, untuk siapa pun juga. Misalnya tentang research al- Quran, atau hadis, atau karya-karya orang, itu kan kita ingin melihat sesuatu sesungguhnya apa yang dikatakan. Setelah ini apa yang ingin Anda tanyakan, silakan, mau wawancara atau apa?”

- “Saya sudah membuat 20 pertanyaan, yang sebelumnya ada 15 saja. Sepuluh pertama terkait biografi Prof. Komar sendiri, dan sisanya terkait dengan tema skripsi saya.”

+ “Oke. Buku-buku saya yang kamu baca apa saja?”

- “Tidak semua buku saya dapatkan, karena banyak ternyata buku Prof. Komar tidak dicetak ulang. Saya memiliki 12 buku, meski sadar tidak dalam semua buku itu ada pembahasan yang saya cari. Saya membaca utuh sekitar empat buku, selebihnya saya menyesuaikan dengan tema dan kebutuhan.”

+ “Cukup lah itu. Jadi bisa dimulai pertanyaannya. Silakan!”

- “Sebagaimana disebutkan sebelumnya, mungkin bisa dimulai dari nama orang tua baik ayah mau pun ibu dan profesi kedunya!”

+ “Nama ayah saya Imam Hidayat. Nama ibu saya Zubadiyah. Aku umur 9 tahun ibu kandung saya meninggal. Sedangkan ayah meninggal, kurang lebih lima tahun lalu, saya lupa kapan persisnya, dalam usia 90 tahun.

Sedangkan profesi ayah saya itu dulu sebagai Pejuang ’45. Kemudian oleh pemerintah setelah merdeka dikasih hadiah pangkat ketentaraan, prajurit atau apalah itu.”

- “Semasa kecil, Prof. Komar tinggal bersama orang tua?”

+ “Iya sama orang tua, kemudian ibu meninggal. Ayah menikah lagi, dan bersama ibu tiri saya tidak begitu nyaman, akhirnya saya tinggal bersama nenek. Tapi tetap dekat, karena rumah nenek dengan rumah saya berdekatan. Terus yang ketiga saya terbiasa tinggal bersama kawan untuk tidur, entah di masjid, di langar-langgar atau malah pindah-pindah rumah teman. Jadi dari kecil mainan saya itu, ya di masjid.”

- “Dari pergaulan itu, adakah tokoh yang menginspirasi Prof. Komar?”

+ “Sewaktu SD, kalau di kampung itu kita kan dididik oleh lingkungan. Orang tua tidak pernah ngajari ngaji, anak kan otomatis bisa karena malu kan di masjid. Orang tua tidak nyuruh sunat tapi kita minta sunat kan biasa. Setamat SD, tahun 65 itu, harap tahu ya, ekonomi Indonesia itu sedang krisis. Krisis ekonomi, politik, sawah-sawah juga gagal panen. Jadi masa kecil saya adalah masa yang kenangannya pahit. Memori masa kecil saya itu pahit. Karena di kampung miskin, di samping kondisi nasional ya begitu. Waktu itu Komunis sedang berkembang. Dan saya sudah merasakan lingkungan saya itu benci dengan Komunis dan PKI itu saya merasakan. Oleh orang tua, saya dikirim ke Sekolah Teknik Kanisius, teknik pertukangan. Alasannya orang tua agar nanti punya keterampilan kerja. Karena di kampung saya, tukang-tukang itu hidupnya makmur, rumahnya bagus. Tukang kan kalau di kampung diundang ke sana ke mari. Orang tua saya terkesan. Nanti biar mandiri, makanya disekolahkan di Sekolah Tehnik Kanisius di Muntilan. Jadi saya belajar, dan kadang-kadang juga ke gereja. Orang tua saya juga heran, saya suka Katolik, suka ke gereja. Orang tua ya diam saja, tidak pernah nanya apa-apa. Tidak sampai setahun saya keluar tidak betah karena jalan kaki dari kampung saya ke Muntilan dan saya merasa itu bukan passion saya, tidak tertarik. Kemudian pada waktu itu, di kampung saya dibuka pesantren baru, Pondok Pesantren Pabelan. Kiainya

itu alumni dari Gontor Ponorogo. Dulu sudah ada pesantren tradisional, sudah banyak karena memang daerah santri. Kemudian dihidupkan dengan cara baru, model Gontor itu. Ada kelas, ada boarding pesantren. Disiplin dengan jadwal, ngajarnya pakai dasi. Kemudian saya di situ angkatan pertama, tahun 1965-1966. Ada 32 orang, antara laki-laki dan perempuan itu dicampur. Semuanya itu anak sekampung Pabelan kecuali satu. Mereka adalah anak-anak yang sudah DO (drop-out), tidak tamat sekolah, pegangguran, dan akhirnya ditampung di situ. Tapi pendidikanya bagus disiplin. Mulainya di emperan masjid. Kami kerja bakti, ngangkut pasir, batu, buat sekolah, bersihin kambing, ayam dan sekarang saya baru tahu bahwa itu adalah life skills. Kiai saya itu sangat advance, apa saja dikerjakan sehingga tidak ada jarak antara kelas, masyarakat dan kehidupan. Bahkan tidak ada tembok antara pesantren dan masyarakat, semua melebur. Tahun kedua, baru mulai berdatangan dari luar desa maupun kota. Mereka yang tidak diterima di Gontor masuk di situ. Waktu itu normal, kurikulumnya sampai 3 tahun. Tapi setelah saya mau keluar, perkembangannya meningkat, guru-gurunya didatangkan dari luar. Tapi saya bosan, dan nggak tamat karena tidak ada teman saya. Akhirnya saya jalan-jalan ke tempat teman di Babad Lamongan, di sana saya jadi guru. Karena sudah bingung mau ngapain, akhirnya menjadi guru madrasah ibtidaiyah. Orang sana senang kalau ada guru dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Mangelang karena dianggap telaten, sabar dan Bahasa halus dibanding orang sana yang keras. Saya setahun, dapat gaji, dapat tempat tinggal. Tapi saya berpikir, kalau begini saya tidak memiliki masa depan. Tidak memiliki ijazah Aliyah. Akhirnya saya berhenti lalu pulang dan melamar di Pesantren al-Iman tingkat Aliyah. Saya juga langsung minta tes kelas 6 karena tidak mau mengurangi umur saya yang hilang, dan ternyata lulus. Setelah tamat nganggur lagi, mau kuliah tidak ada duit, meski nilai saya bagus sampai guru saya bilang kalau saya di IAIN Jogja pasti lulus langsung jadi dosen, masuk Jurusan Adab saja. Tapi beliau tidak tahu keadaan ekonomi saya tidak memungkinkan. Hingga setahun dua tahun saya katif di masyarakat saja waktu itu. Ada PII (Pelajar Islam Indonesia), Pemuda Muhammadiyah,

ada juga Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Pendeknya kegiatan apa saja saya tidak mikir, terpenting aktif aja, kadang dakwah bersama senior-senior. Jenuh pada kegiatan itu, kemudian saya nekat pergi ke Jakarta. Niatnya jalan-jalan doang, kaya apa sih Jakarta. Karena dari kecil orang di kampung saya itu pada ke Jakarta dan transmigran, ke Sumatera transmigran, dan banyak banget itu tetangga-tetangga saya pada kerja. Saya ingin tahu, kaya apa sih Jakarta. Akhirnya saya ke Jakarta, dan ketemu teman di Jalan Salemba, niat saya memang jalan-jalan saja. Pendeknya saya kan bisa sambal kerja apa saja, jadi pembantu, jadi apa saja pasti bisa karena juga ada teman. Rupanya teman saya itu kerja di bagian cat duco. Tahu nggak cat duco? Itu yang mobil, motor rusak diampelas lagi, kemudian disemprot jadi baru lagi, dan itu orang Muntilan. Dia orang Muntilan yang sukses di Jakarta, jadinya dia ngajak keluarganya, keponakannya. Saya kan kenal di situ, sedangkan teman yang saya tuju satunya adalah orang yang cukup mampu di Muntilan, tapi karena dia jenuh, kuliahnya juga DO. Jadi saya ke situ ketemunya sama orang-orang DO. Eee… Naaah!”

“Saya lihat, masuk Jakarta itu saya sudah terbuka. Masuk Pulo Gadung, terminal ya. Lihat mobil, bis buanyak sekali kan. Waw! Jakarta kan bayangannya mengerikan, kota hitam, mengerikan, kota hitam, negatif lah Jakarta. Ketika saya lihat, lah, kalau begini saya juga bisa hidup di terminal. Di sini tukang cuci bis bisa hidup, eee, jadi saya sudah siap di Jakarta, apapun. Saya dulu suka baca buku silat, Kho Ping Hoo ya. Kamu nggak tahu?”

- “Nggak tahu (jawab barengan sambal sedikit tertawa) hehe…”

+ “Itu silat perjuanga. Pesilat bagaimana balas dendam ayahnya dibunuh oleh penjahat. Dia latihan silat bertahun-tahun untuk balas dendam atas kematian ayahnya. Pendeknya itu cerita petualangan hidup, berani menantang hidup isinya. Nah, karena saya pembaca berat novel-novel petuangan, jadi saya ke Jakarta enteng sekali.”

- “Jadi semacam sudah memiliki pengalaman melalui cerita itu ya, Prof?”

+ “Eee, mental. Bukan pengalaman karena saya belum mengalami kan. Tapi mental saya mental pesilat kehidipan. Jadi kalau ada tantangan itu nggak takut bahkan saya menghadapi, dan tidak takut jatuh. Jatuh ke mana coba, sudah di bawah, kok. Dan di pondok kan juga sudah biasa tidur di masjid dari kecil kan. Jadi saya biasa saja. Lihat orang jual korang, saya juga bisa. Lihat orang jualan gorengan, ah saya juga bisa. Jadi begitu masuk terminal Jakarta saya merasa bisa hidup di Jakarta hingga bertemu dengan teman yang di Salemba itu, yang kerjaannya cuma mengampelas, dikerok, dicat. Kan saya juga punya keterampilan dikit-dikit kalau urusan seni begitu. Tiga malam di Salemba, lalu saya ingat punya teman perempuan, dulu sepondok. Dia kawin dan suaminya seorang militer, mereka tinggal di Komplek Mabad-Rempoa. Markas Besar Angkatan Darat Rempoa, tahu ya? Tempat tinggal para perwira menengah ke bawah lah. Saya ke situ, belum ada listrik. Masih baru di bangun. Saya ke situ dan oleh suami temen saya diajak menghadiri rapat. Rapat panitia masjid, rapat kompleks, rapat ini, rapat itu. Lah, ini aku juga bisa ngerjain begini karena sudah aktif di Muntilan kan, di organisasi. Begini deh, saya kerjakan saja. Jadi urusan RT, RK, RW itu saya kerjakan semua. Dari mulai ngurus KTP, bikin nama jalan, koordinir pengajian, panitia buat sekolah sampai apa itu saya lakukan. Saya bisa. Justru di situ banyak anak muda pengangguran seperti di pondok dulu kan, ketemu lagi lah sama pengangguran. Tapi saya aktif dan yang lainnya di situ. Lalu saya jalan-jalan ke Kampung Hutan, lihat, lah Institut Agama Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, loh … ooh di sini. Tek! Ini kan sekolahnya Cak Nur kan di sini.”

“Saya ingat betul ketika di pesantren ada Nurcholish Madjid, yang suka disebut kiai saya. Dulu teman di Gontor, Cak Nur itu. Kalau di Jakarta kan menonjol sekali pemikirannya kan, suka tampil di koran, di mana. Waduh. Saya tergetar itu hati saya. Tergetar sekali karena dari dulu kan saya cinta ilmu, hanya karena ekonomi tidak mengizinkan. Ya sudah keluyuran saja, kerja juga nggak, belum mau saya, cari pengalaman saja. Asal untuk diri sendiri dan saya nggak ganggu orang, tapi kerja beneran juga mau kerja apa tidak punya skill kecuali sekedarnya kan. Nah, saya itu merasa kaki seperti

ada yang mendorong. Saya masuk saja ke situ. Kampus. Eh, lagi dibuka pendaftaran. Waaah langsung saya daftar (dengan nada penuh semangat)”

- “Tanpa berpikir panjang ya?”

+ “Oh nggak panjang. Daftar. Lulus. Kan waktu itu saya masih ada uang sisa di Muntilan bantu orang-orang bisnis kecil-kecilan, kaya konveksi, tapi kan saya dapat upah. Murah sekali, dan karena lulus itu bingung bagaimana saya bayarnya. Terus saya bertemu bagian keuangan. ‘Pak, saya lulus. Bisa nggak kalau bayarnya setiap bulan? Saya nggak punya duit kalau bayarnya sekaligus.’ Sekarang istilahnya SPP ya, dulu apa namanya saya lupa. Dan bapaknya bilang boleh. Masih mudah sekali dulu kan suasananya. Saya pulang ke komplek. Nah, saya kan koordinir pengajian-pengajian, dan di SD saya ngajar. Rupanya kalau di Jakarta ngajar dapat honor, gaji. Saya nggak mau, masa ngaji kok dikasih duit, di mana pahalanya. Nah, kalau yang di SD ngajar, bolehlah karena itu sekolah. Kemudian di kompleks itu kan saya mengkordinir pengajian, eee … dikasih saya nggak mau. Terus, yang Pak RW bilang, ‘Sudahlah kamu ngajar sajalah ya di sini’, tapi saya nggak enak, ‘Ya sudah nggak apa-apa’ kata beliau. Nah, rupanya yang orang tua angkat saya itu, Pak RW kreatif. Dia pungutin uang dari orang tua murid-murid itu lalu dikasih ke saya. Jadi bukan saya yang mungutin, kalau orang lain begitu, bolehlah. Saya mengajar agama, dan tabu banget di kampung saya ngaji gratis. Belakangan saya baru tahu, kalau di Jakarta apa saja bernilai uang, tapi kan waktu itu saya nggak tahu.”

“Setelah itu saya kuliah sambal kerja, ngajar. Eee … kaya mimpi aja.”

- “Itu tahun berpa perkiraan?”

+ “Tahun ’74 di Fakultas Adab. Mengapa Adab? Saya dulu ingat betul, Cak Nur dulu alumni Adab.”

- “Jadi terinspirasi oleh Cak Nur ya?”

+ “Iya. Jadi dua hal, bahwa Cak Nur di sini dan Adab. Makanya saya daftar di situ. Terus …” (sambal mengingat-ingat)

“Tahun kedua, saya aktif di HMI kan. Eee … di HMI saya bertemu dengan beberapa senior, yang rupanya dia aktif jadi wartawan. Saya ikutin training kepenulisan, saya tertarik. Dan saya bilang, bisa nggak saya belajar jadi wartawan, begitu kan. ‘Ayo!’ begitu kan. Eee … ketika wawancara tokoh saya diajak, eee … saya ngikutin aja prosesnya bagaimana, dan saya belajar motretnya bagaimana, pas wawancara saya potret. Betul-betul dari nol saya nggak punya kamera, tapi diajari di situ kan. Kemudian setelah jadi laporannya. Oooh, laporannya begini ya, begitu kan. Pertama dia kan kirim surat wawancara atau telepon. Wah, kalau begini aku juga bisa (sambal tertawa senang mengenang) hahaha … aku langsung minta penugasan. Sekarang saya mau wawancara ini-ini, bisa. Beberapa kali saya membuat laporan, terus ‘Ya sudah kamu jadi reporter tetap ya.’ Jadi sejak saat itu saya jadi reportet tetap.”

- “Itu di majalah atau apa?”

+ “Majalah Panji Masyarakat. Buya Hamka waktu itu. Jadi setiap bula dapat gaji, honor kan. Ya sudah saya jalani saja. Kaya main-main saja kuliah waktu itu.”

- “Langsung ke pertanyaan selanjutnya, ya. Berhubung sekarang Prof sekarang dikenal sebagai cendekiawan, mungkin terinspirasi oleh buku silat itu ya?”

+ “Keberanian bertualang itu, dipengaruhi oleh bacaan. Tapi kemudian cinta ilmu, itu pengaruh dari pendidikan kiai saya. Yang terkesan dari kiai saya itu, dia seorang motivator yang bagus sekali, bahwa, kira-kira beginilah, ‘Kamu itu tidak punya apa-apa. Makan, minum, pakaian pun dari orang tuamu. Apa yang kamu miliki, kamu tidak punya apa-apa. Kamu itu berharga, satu, kalau punya cita-cita. Kedua punya akhlak yang baik. Kalau kamu nggak punya itu, apa sih yang kamu banggakan. Itu dari kiai saya. Jadi kamu harus punya cita-cita, punya mimpi dan punya akhlak. Cita-cita apa? Cita cinta ilmu. Sebab hanya dengan ilmu kamu kemudian bisa melanglang buana, hanya dengan ilmu kamu bisa mensyukuri nikmat Allah, dan hanya dengan ilmu kamu bisa memanfaatkan anugerah Allah. Tanpa ilmu, coba

lihat almari ini dibuat, awalnya kan kayu. Tapi dengan ilmu ini bisa menjadi almari. Intinya yang bisa mengubah itu ilmu, ilmu apa saja. Jadi kalau mau menuju masa depan, modalnya apa, punya cita-cita, cinta ilmu dan punya akhlak. Pedoman itu menghunjam sekali ke benak saya dari kiai saya.”

- “Untuk inspirasi menulis sendiri itu sejak jadi reporter itu ya?”

+ “Kalau menulis sejak dari pesantren. Di pesantren dulu kiai saya mewajibkan menulis buku harian. Ditulis apa yang kamu lakukan, kamu anggap penting kamu tulis kemudian dikumpulkan setiap sore, dan pagi dibagi lagi. Setiap hari itu selama dua-tiga tahun. Sesekali dikasih topik, buat karangan minggu ini, judulnya ini. Lain kali terserah kamu, judul apa. Jadi ada karangan nggak boleh lebih dari satu halaman. Kemudian dari yang ditulis kamu baca, boleh kamu hafalkan boleh kamu pidatokan. Jadi tanpa disadari, kiai saya melatih saya untuk mengamati perjalanan hidup dari hari ke hari itu dicatat, direnungkan, dimaknai, dituliskan kemudian disam- paikan melalui pidato. Jadi antara pengamatan, penulisan, penyam-paian, eee … kalau bisa jangan sampai terlalu jauh lah jaraknya. Maka ketika saya jadi wartawan itu, ya apa ya, sudah dipengarudi sebelumnya dalam hal menulis.”

- “Untuk buku-buku yang pernah Prof. komar tulis sampai sekarang ada berapa?”

+ “Ah, nggak ngitung aku. Saya termasuk orang yang lemah dalam hal seperti itu. Dua puluhan ada kali, tapi ada yang sendiri, ada bunga rampai, ada editor, campur-campur.”

- “Untuk buku yang pertama kali diterbitkan, buku apa?”

+ (mengingat beberapa saat) “Saya dulu itu menulis bunga rampai. Eee … tentang manusia menurut Hosen Nasr. Itu buku aku pertama, Konsep Manusia Dalam al-Quran mungkin ya, bunga rampai. Saya menulis yang Sayyed Hosen Nasr, melalui pendekatan filsafat-tasawuf.”

- “Itu tahun berapa kira-kira?”

+ (kembali mengingat) “Mungkin ’80-an ya. Tapi kalau majalah kan sering menulis, selain buku.” (sambil membolak-balikkan ponsel di sofa, mengingat ke masa lalu)

“Dulu itu, orang yang menginspirasi saya menulis Fachry Aly. Dia menulis di Koran Merdeka, di Kompas. Jadi kalau menulis di Kompas itu keren sekali, karena tidak sembarang orang bisa diterima. Dan mungkin sampai hari ini juga tidak mudah. Saya menulis di Tempo. Saya hanya penasaran saja kok, yang penting bisa. Sudah itu saja. Saya menulis di Kompas, beberapa kali, kemudian di Tempo. Ya sudah, begitu saja. Saya hanya ingin, … sudah saya bisa.”

- “Aktivitas saat ini yang ditekuni apa, Prof?”

+ (menghela nafas) “Eee … saya ini aktivis sosial dari dulu ya, dan sampai sekarang itu tidak hilang. Saya misalnya dakwah, itu tetap ya. Atpi dakwah saya itu kepada kelompok yang terbatas. Kelompok kelas menengah, perusahaan di eksekutif dengan system dialog itu masih sampai sekarang. Tapi formatnya saya ubah menjadi semacam corporate culture untuk beberapa perusahaan. Kalau ditelelusuri isinya ya, pesan-pesan agama, tetapi bungkusnya itu managemen, leadership. Sebab kalau saya ceramah agama, tidak hidup. Karena orang menjadi pasif mendengarkan, tidak berani mendebat. Ini wilayah ustaz dan kiai, dan saya nggak mau menambah jadi ustaz. Jadi saya punya modul-modul, training-training berisi leadership lewat etika etos kerja, macam-macam lah begitu. Terus yang kedua, lembaga pendidikan. Saya ini sedang mengurus dunia pendidikan, membantu mendirikan beberapa sekolah, itu saya jalani, membangun universitas. Misalnya Sekolah Avicenna, saya juga ikut mendirikan sekolah korban tsunami di Aceh, Sukma Bangsa, termasuk Sekolah Madania. Kemudian penegrian Univesitas Tidar Magelang, saya menjadi bagian panitianya, termasuk sekarang Universitas Internasional Islam Indonesia, saya juga ikut mengawal selain sebagai rektornya juga. Eee … mengapa, karena saya tidak punya passion, ketertarikan dunia politik. Jadi pejabat juga nggak, ditawari Menteri, ada lah tawaran beberapa tapi saya tidak tertarik.

Iming-iming masuk cabinet tapi harus masuk partai, ikut keringat dikit lah, biar kami punya alasan. Intinya yang begitu saya sudah beberapa kali diajak masuk, tapi ya saya nggak mau.”

- “Sealnjutnya masuk ke pertanyaan pemikiran Prof. Komar sendiri. Berdasarkan apa yang saya bac dari karya Prof. Komar, dari pembacaan itu bisa disimpulkan bahwa tulisan Prof. Komar bersifat universal, dalam arti Bapak menulis lebih mengarah kepada nilai kemanusiaan tanpa membatasa diri pada ras, budaya dan agama tertentu. Megapa demikian?” 33:39.37

+ “Itu mungkin juga dipengaruhi waktu saya kecil, satu saya dari kauman santri daerah Pabelan tapi oleh orang tua saya dikenalkan di dunia sekolah Katolik. Eee … dan orang tua itu tidak risih, biasa saja begitu kan. Jadi tidak terkondisikan untuk membenci agama lain. Ketika di pesantren, di antara tamu-tamu, temen diskusi dialog ngobrol kiai itu juga pastor-pastor. Jadi saya, baik dari orang tua maupun dari pesantren juga ketika di Muntilan pergaulan saya itu lintas, lintas agama. Dan aku juga kenal banyak orang baik, apa pun agamanya kalau orang itu baik ya baik. Kalau orang itu jelek, ya jelek apa pun agamanya. Nah, itu kan saya alami. Itu juga mempengaruhi. Yang kedua, eee … saya di jurusan Perbandingan Agama. Agama itu kan menyadarkan juga bahwa agama ada kesamaannya, ada perbedaannya. Namanya agama kan meski plural, religions—agama-agama. Seperti Asian Games, games itu plural hanya Namanya game permainan itu banyak sekali jenis permainan. Tapi semua kan permainan, tapi permainan ada sifat umum; terbuka, fair, kompetitif, itu kan game dan jenisnya macam-macam. Tapi tetap plural namanya game itu. Nah, agama juga begitu. Agama itu macam-macam kaya sungai, kan macem-macem namanya sungai kan satu, tapi sungai kan banyak. Tapi bentuknya, dalamnya, itu kan banyak, itu sungai. Jadi dunia ini sesungguhnya ya plural, ragam, beragam, pohon beragam, hewan beragam, buanyak beragam, dan itu semua kan desain Tuhan dan nambah dinamika. Andaikan semua itu seragam, aduh betapa ya nggak menariknya. Wajahnya sama, bahasanya sama, agamanya sama, kok nggak menarik sekali ya. Itu kan juga dipengaruhi oleh jurusan saya, Perbandingan Agama. Lalu ketika saya jadi wartawan, saya ketemu banyak

pihak, banyak orang, jadi itu mempengaruhi juga, orang asing. Lebih-lebih ketika saya ke luar negeri. Ketemu banyak, orang yang baik bukan Islam. Yang Islam nyebelin juga ada, jadi didukung oleh tadi, pengalaman perjalanan hidup saya dan juga bacaan, keduanya berkembang saling mendukung.”

- “Mengenai bahan bacaan yang mempengaruhi sikap pluarlis Prof. Komar, jenis buku apa?”

+ “Iya Filsafat Manusia. Bahwa manusia itu kan pertama yang diciptakan Tuhan itu manusia. Bahwa manusia itu etnisnya apa, agamanya apa, bahasanya apa, itu kan sekunder. Yang pertama diciptakan kan manusia, yang kamu punya nggak buku yang itu, Iman Yang Menyejarah?”

- “Iya, baru beli kemarin.”

+ “Kalau nggak saya kasih. Nah, bahwa iman kan dipengaruhi dibentuk oleh … kamu bisa membaca hidup saya lewat di situ. Dibentuk oleh oleh bukunya, lingkungannya, pengalamannya. Saya bertemu, guru, dosen, dan pikiran saya dipengaruhi bacaan. Di benak saya kan banyak sekali bacaan, bahkan buku-buku orang kafir isi otak saya (tertawa bersama) hehehe … banyak banget. Kalau saya disebut Islam itu apanya ya, ini kan al-Quran saya tidak sedalam Pak Quraish, beliau ahlinya itu. Dan apakah berarti saya tidak bisa menangkap esensi al-Quran? Masa dimonopoli oleh orang yang berbahasa Arab dan mendalam itu saja? Apa iya sih? Eee … kedua psikologi. Psikologi juga banyak saya baca buku terkait dan mempengaruhi, bahwa perilaku orang itu kan banyak faktor yang membuat bentuk. yang itu semua, konstruksi sosial. Mengapa orang agamanya ini, bahasanya ini, makanannya ini itu kan konstruksi sosial.”

“Adapun Tuhan, hakikat Tuhan. Tuhan dari dulu kan sama, ketika manusia belum ada sudah ada duluan. Ketika manusia mati, Tuhan nggak mati. Sebelum Nabi Adam, Tuhan sudah ada. Eee … apakah turun nabi Tuhan berubah? Nggak juga. Yang berubah itu pikiran manusia dan Tuhannya. Emang Tuhan berubah karena pikiran manusia berubah? Gitu kan (sambil

tertawa) hehehe … yang berubah kan kita bukan Tuhan. Apakah Tuhan jadi tiga ketika Tuhan diyakini trinitas? Apakah Tuhan jadi satu? Kan itu semua pikiran manusia. Nah, itu kemudian membuat saya, eee … mungkin ya, nggak tahu apa yang tepat, mudah berempati dengan pikiran orang. Mengapa begitu, oooh karena mungkin begini.”

- “Dalam buku Agama Punya Seribu Nyawa, yang sekaligus merupakan istilah yang hendak Bapak pakai untuk meyakinkan pembacanya bahwa agama tidak akan pernah mati. Dasar apa yang membuat Bapak berpikir demikian?”

+ “Satu, bukti historis. Agama itu banyak sekali, ada yang sudah mati ada yang tidak. Kenyataannya masih bertahan itu. Orang yang anti Tuhan juga ada saja, tapi agam juga tidak pernah mati walaupun dimusuhi. Kepercayaan kepada Tuhan itu kan tidak pernah mati. Tapi bagaimana syariahnya, bisa berbeda-beda ya. Penafsirannya bagaimana hubungan Tuhan dengan semesta ini, menciptakannya bagaimana, itu kan banyak diskusi kan. Apakah lewat emanasi, atau simsalabim, creatio ex nihilo, atau apa itu kan semua tafsiran, kita nggak akan tahu rahasia Tuhan. Kemudian riual, orang kan beda-beda sampai hari ini. Itu satu, bukti historis. Kedua, saya yakin bahwa dalam diri manusia itu Tuhan menciptakan ruh, meniupkan, bukan menciptakan loh bahasanya pun ditiupkan. (wanafakhtu fihi min ruh), ruh inilah yang memberikan daya hidup kepada semua yang ada. Dan ruh inilah yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, karena dari Tuhan. Karena ini min ruhi, maka ruh ini yang selalu menjadi penghubung. Rasa rindu, misalnya seorang anak rindu pada ibunya, karena dia pernah menjadi bagian sembilan bulan di ibunya kan. Memorinya nggak akan hilang. Nah, kita ini kan ruh dari Allah, maka pasti. Sehingga saya yakin bahwa agama itu nggak akan mati, bentuknya, formatnya, Namanya, itu bisa saja berbeda-beda tetapi arahnya, jadi begini, orang mencari eks yang Namanya Tuhan, itu ada bahwa Namanya mungkin Allah, ini ketemu, ini ketemunya apa, ini kan proses perjalanan hidup budaya seseorang, dan apakah dia sampai atau tidak, saya tidak tahu. Tapi orang mencari eks ini, mencari.”

- “Kemudian dalam buku lain yang say abaca, judulnya Wisdom of Life. Di dalamnya ada pernyataan bahwa pada tataran eseoteris dan puncak peradaban manusia, akan muncul suatu paham keberagamaan dan sikap keberagamaan humanistik-universal. Landasan apa yang mendasari hal tersebut?”

+ “Saya pengalaman hidup saja. Saya bertemu orang-orang yang religius itu, rasanya gelombangnya sama kok. Namanya saja yang berbeda-beda. Ada juga orang yang mengaku Muslim tapi tidak esoteris, gitu. Ada saja orang Kristen yang tidak esoteris tapi ideologis. Kan ada orang beragama itu ideologis, kaya parpol itu kan sangat ideologis padahal dia mungkin tidak religius. Pokoknya harus 01, 02, itu mereka ideologis. Ada juga yang saintifik sekali, yang dengan rasional. Mutakallimun, teolog itu kan nalar begitu, tapi kalau esoteric itu kan hati. Dan ketika dia itu jatuh cinta dengan Tuhannya, itu nalarnya akan pasif. Orang yang ngomong teori jatuh cinta, mungkin dia nggak punya pacar, nggak jatuh cinta kan. Atau misalnya orang doktor ekonomi, nulis disertasi tapi nggak punya duit padahal yang dibicarakan duit. Ada juga orang yang kerja banyak duit, tapi tidak ngomong teori ekonomi begitu kan. Nah, dalam bertuhan mungkin ada juga, ada orang yang nggak banyak ngomong, tapi dia mungkin dekat sekali menghayati. Ada dua kemungkinan, dua model. Satu masyarakat desa yang biasa-biasa saja. Saya menemukan misalnya, yah, keluarga saya, ayah, nenek saya, nggak professor nggak doktor, tapi religius sekali. Dan itu sangat mengesankan bagi saya. Misalnya ayah saya itu, nggak pernah mencela makanan. Eee … makanan itu kalau dicela ia menangis, ia mendengar itu. Dan kalau ia nanti ngambek sama kamu, nanti menjauhi kamu, kamu jauh dari makanan. Itu kan religius sekali, bahkan belakangan saya baru tahu bahwa benda-benda itu bicara, mendengar dengan bahasa mereka. Jepang kan melakukan penelitian terhadap air putih, mendengar kan, berubah kalau didoain. Eee … itu religius sekali, nggak pernah mencela. Kalau kamu makan di meja, itu rejekimu. Kalau kamu nggak seneng jangan dicela, lain kali jangan dipesan lagi. Tapi jangan sekali-kali dicela. Dan beliau tidak berteori macam-macam, itu kan sangat esoterik. Nah, yang kedua ada juga

yang sudah belajar filsafat, ilmu banyak dan masuk ke esoterik seperti Imam al-Ghazali kan. Ada juga yang di sini kerjaannya Cuma berteori terus.”

“Akal itu, ujungnya nggak akan seragam. Makanya ketika orang menggunakan akal, pasti timbul banyak mazhab. Mazhab itu kan prosuk akal, mau fikih mau apapun. Tapi ketika hati, eee … itu kaya orang menyelam ke lautan atau melihat langit, matanya nggak akan tengkar, karena matanya nggak akan tabrakan. Tapi kalau kamu akal, ke samping itu akan tabrakan. Melihat ini, melihat itu, melihat wajah orang, melihat pendapat orang. Tapi ketika ke bawah sujud, atau ke atas nggak akan tabrakan. Nah, ketika yang ke atas atau ke bawah itu kan hati. Kepasrahan esoterik di situ. Jadi bisa saja orang berbeda pendapat, adu pendapat bisa menang bisa kalah, mungkin saja dai aslinya tidak spiritualis. Atau kecil, jangan-jangan intensitas spiritualitasnya kecil. Atau bisa saja kapan dia menggunakan argument, atau … kan macem-macem. Makanya saya nggak mau menghakimi keberagaman orang.”

- “Dari bacaan saya memang, Prof. Komar sulit kalau tidak mau memberikan makna secara khusus tentang sebuah konsep. Termasuk mungkin tentang teologi pluralis sendiri, tapi jika boleh meminta. Jadi bagaimana Prof. Komar memaknai teologi pluralis itu sendiri?”

+ “Satu, bahwa dalam diri manusia itu ada ruh. Yang ruh itu selalu ingin mencari, mengenal, merindukan kembali berjumpa dengan Tuhannya, menyambung. Mungkin terinterupsi kanan-kiri tapi karena dalam diri manusia ada ruh yang ingin selalu bersambung dengan Tuhannya. Iman itu, menuntut ketersambungan ruhani dengan Tuhannya, dan itu ada pada setiap orang. Karena ruh itu ditiupkan kepada semuanya. Jadi ruh itu ditiupkan bukan hanya kepada orang Muslim, tapi setiap insan ditiupkan ruh. Dan ruh itu sudah bersyahadat sebelum bertemu, (alastu birabbikum qalu bala syahidna) dan itu fi’il madzi loh. Jadi ruh itu sudah bersyahadat, hanya kemudian setelah lahir, mungkin lupa. Nah, nabi-guru itu kan mengingatkan kembali. Maka pakai present tense (asyhadu alla ilaaha illa Allah), itu satu. Dengan demikian syahadat itu, milik setiap orang. Mungkin kalimatnya bisa

beda, redaksinya beda, tapi milik setiap orang karena ruh itu ada dan telah ditiupkan oleh Allah. Yang kedua, karena Allah itu Maha Mutlak, dan Maha Kasih, dan firmannya itu ditujukan kepada siapa saja (waida saalaka ibadi anni, faiini qarib …) itu kan berlaku untuk siapa saja. Memang khsusus untuk orang mukmin? Nggak juga kok. Allah itu dekat, yang menjauh saja manusia. Allah kan dekat sekali. Makanya siapa pun orang itu bisa mendekat, dan kalau dekat Allah akan dengarkan. Karena sami’ nya Allah itu tidak khusus untuk orang Islam. Sami’ nya Allah itu berlaku untuk semua manusia. Jadi siapa pun manusia berdoa, Allah itu Maha Mendengar. Ada lagi ayat mengatakan (inna rahmati ghalabat ghadhabi), kasih sayangKu itu mengalahkan kemarahanKu. (rahmati wasi’at kulla syai’), rahmatKu itu luas mengatasi segalanya. Jadi pintu Allah itu terbuka bagi siapa saja, kapan saja, di mana saja terbuka. Ketiga, al-Quan sendiri mengatakan kalau hubungan lintas agama (la nufarriqu baina ahadin minhu), Nabi Muhammad itu kan tidak membeda-bedakan semua nabi. Dan nabi itu kan banyak banget, jadi mungkin sekali. Di luar komunitas Muslim itu juga mereka mendapat percikan, warisan, ajaran nabi. Eee … karena nabi itu turun pada ruang, waktu, umat yang berbeda-beda, bertebaran. Ini ajarannya mungkin sekali masih hidup kan. Kalau ajarannya itu emas, ema situ kan nggak akan berubah karena waktu dan ruang. Emas ya emas aja. Di mana pun namanya emas ya emas. Kalau kebenaran ilahi itu benar, maka di mana pun, benar ya benar saja. Dan kalau orang mendapat kebenaran emas, ya emas aja.”

“Maka beruntunglah orang yang mendapatkan dan ketemu Rasul, sang guru. Sahabat-sahabat Nabi itu beruntung, beruntung sekali. Tapi apakah keberuntungan hanya milik yang ketemu Nabi? Apakah yang nggak kemudian mesti masuk neraka dan celaka? Saya nggak percaya itu. Jadi satu saya sebagai orang Muslim, saya bersyukur mendapat lingkungan, warisan, bimbingan Nabi Muhammad dan secara ilmiah, Nabi Muhammad itu sejarahnya paling transparan di mata sejarah. Dari kelahirannya sampai ajarannya itu transparan. Kitab sucinya juga, mata rantainya paling transparan. Yang lain itu, kita kalau bicara ilmiah banyak mata rantai yang

hilang. Tapi apakah berarti manusia tidak bisa? Bisa, karena dalam dirinya ada ruh, bisa saja. Saya percaya itu. Kalau nggak, kasihan banget dong, teraniaya dong. Kaya matahari kan, Allah itu nur fauqa nur, matahari itu kan mau orang jahat, orang jemur pakaian semua dikasih cahaya. Bahkan cahaya sebagian jadi listrik untuk memanaskan kamar mandi, di mana-mana cahaya kan. Betapa melimpahnya kasih Allah itu, siapa pun dapat kalau mau. Tapi ada yang menutup diri, mengkover. Orang kafir itu kan tertutup atau menutup, tapi kan sebenarnya cahaya Allah tembus tapi orang itu menutup diri.”

- “Sebagai seorang teolog-pluralis, sikap apa saja yang harus dipegang dan dilaksanakan dalam menjalani kehidupan yang kompleks dan majemuk ini?”

+ “Satu, agama itu hakikatnya benar dan datang dari Maha Benar. Jadi kebenaran itu datangnya sudah dikonstruksi, diformulasi oleh sejarah. Sehingga kovernya bisa beragam, kaya air atau kaya padi, beras, macem- macem. Tapi sebenarnya kalau ditelusuri itu, esensinya ada, sama. Makanya dalam hal keyakinan itu, itu sangat privat. Eee … formula teologinya bisa berbeda-beda, ritualnya bisa berbeda-beda. Teologinya ada, sebagaimana dalam kalam. Tapi apakah inti keberagaman itu ada dalam teologi? Teologi itu memang mengkonstruksi, membantu merasionalkan keyakinannya. Tapi iman itu, kalau saya itu kok bion, bion teologi. Orang ngomong berbeda itu kan debat teologi. Memang beda, tapi kalau sudah masuk iman, sujud, itu sudah bukan wilayah perdebatan lagi. Terus sikap yang berikutnya, ya kita menghargai keragaman baik karena Pendidikan budayanya, teologinya, kitab sucinya, ya harus kita terima saja, kita hargai perbedaan itu. Sebab kalau campur aduk nanti kan bisa kacau, terjadi konflik. Sudah diterima saja. Tapi jangan memonopoli seakan-akan hanya dia yang bisa sampai pada kebenaran. Hanya dia yang bisa sujud pada Allah, yang lain pun sujud, tumbuh-tumbuhan sujud kok. (wayasjudu man fi samawati wa al-ard), semuanya sujud pada Allah. Hewan tumbuhan bisa sujud, bentang sujud, apalagi manusia bisa sujud pada Allah. (yusabbihu lahu ma fi samawati wa al-ard wayasjudu lahu) kan bersujud, lebih-lebih manusia kan. Artinya kita

jangan memonopoli seakan-akan hanya kita yang sujud dan pasti diterima oleh Allah, yang lain juga sujud kok, al-Quran mengatakan yang lain juga pad sujud kok. Terus, eee … perbedaan harus tetap kita terima atas dasar kaidah-kaidah Syariah dan teologis, tapi sikap esoterik kalau saya, sudah lah urusan masing-masing.”

“Mau diskusi boleh saja, silakan saja. Tapi jangan harap bahwa Anda bisa masukin. Orang yang sudah pro-Anies saja membela kok banjir, yang anti- Anis petisi, itu baru gubernur apalagi soal Tuhan.”

- “Pertanyaan terakhir, bagaimana Bapak melihat masa depan agama dan agama di masa depan?”

+ “Pada tataran epistemology keilmuan, akan semakin passing over, semakin plural. Karena perjumpaan penduduknya, umatnya, informasinya, bukunya, itu semakin campur. Lihat saja kemarin ketika Natalan, ada orang Islam yang berkunjung kan ke gereja. Artinya perjumpaan orang, telinga mendengarkan khutbah yang berbeda, jadi orang dihadapkan pada perbedaan. Mau akan membenci, atau menerima, atau menyeleksi, eklektik, macam-macam. Ada orang yang mengambil pelajaran, ada yang anti sama sekali. Jadi perjumpaan tidak bisa dihindari. Lihat saja tahun baru, tradisi Kristiani, umat Islam dzikir nasional. Itu kan bid’ah budaya yang unik dan menarik, yang lain mengharamkan natalan dan tahun baru, tapi yang lain dzikir tahun baru. Ini kan pengalaman yang unik, jadi perjumpaan. Eee … perjumpaan itu bisa menimbulkan konflik, tapi juga pengkayaan, ada juga kreasi ke depan semakin. Nah, berikutnya lagi agama akan tetap dipeluk masyarakat, satu pada level esoterik karena manusia itu ada ruhaninya tadi, yang terhubung pada Allah. Dan kedua, agama itu memberikan arah dan makna hidup. Sedangkan sains, teknologi itu memberikan fasilitas teknis agar hidup nyaman dijalani. Misalnya kalau jauh, ya terbang dong biar dekat. Kalau panas, pakai AC lah. Kalau bicara telinga terbatas, ya pakai telepon. Mata terbatas, pakai microskop. Ingin nyaingin ikan, ya kapal selam. Tapi makna dan arah hidup itu dijawab oleh filsafat dan agama. Maka masa depan agama itu nanti saingannya filsafat. Filsafat itu ada yang

berkawan dengan agama, memperkuat agama. Tapi ada juga yang mengkonter agama.”

“Saya yakin, filsafat yang anti-agama itu tidak akan membunuh agama. Tapi dia akan mendobrak, mendekonstruksi pikiran-pikiran keagamaan. Direlatifisir, yang tadinya sudah bagus mungkin diobrak-abrik, tapi nggak akan mati. Eee … generasi ke depan, misalnya contoh ucapan natal, bagi orang tua saya nggak ada problem, orang nggak pernag bertemu orang Kristen kok, apa urusannya ucapan natal itu. Tapi bagi anak-anak saya, yang temannya orang Kristen kan ada masalah. Boleh nggak ngucapin, masa nggak boleh? Dia saja pas kita lebaran ngucapin kok idul fitri, dan dia juga tidak mengorbankan imannya kok. Masa saya nggak boleh natal? Kan begitu, itu problem anak-anak. Problem orang tua nggak ada natal. Artinya ke depan yang begitu-begitu semakin banyak variasinya.”