Kondisi Susastra Saudara Serumpun: Melihat ‘Tulisan’ dalam Sebuah Catatan Sederhana* Ita Rodiah*

Abstrak

Khazanah kesusastraan dan kesusastraan Malaysia menemui titik keberpisahannya, kendatipun tidak sepenuhnya, setelah berangkat dari persamaan akar tradisi dan kekayaan kebudayaan Melayu yang dimiliki oleh kedua tradisi kesusastraan saudara serumpun tersebut. Latar sosial dan politik serta kekhasan para penulis beda negara tersebut menjadi ruang yang melahirkan jarak di antara keduanya. Arah dari tradisi kesusastraan Indonesia dan kesusastraan Malaysia pada gilirannya menemukan bentuknya masing-masing yang mendewasa seiring dengan pertambahan usia perjalanannya. Kendatipun demikian, semangat kekerabatan diantara dua tradisi tersebut, kesusastraan Indonesia dan kesusastraan Malaysia, tidak pernah mendingin dan selalu terjaga kehangatannya karena darah kebudayaan Melayu mengalir dalam tradisi kesusastraan saudara serumpun tersebut, paling tidak menjadi dasar berpijak bagi perkembangan kesusastraan fase selanjutnya.

Key words: Kesusastraan Indonesia, kesusastraan Malaysia, tradisi sastra Melayu, genre sastra, sastrawan.

Abstract

Indonesian and Malaysian literary traditions reach the point where they have to separate, although not entirely, after taking off together from the same root of Malay culture and traditions. Different social and political backgrounds and also the uniqueness of the authors from both countries have become spaces where the distance lays between them. Indonesian and Malaysian literary traditions, each find their own shapes along the journey and they grow up as the journey continues. However, the spirit of familiarity between those two traditions, Indonesian and Malaysian literary traditions, is always warm and never be cold for the blood of the Malay tradition flow through both traditions, or at least it can be used as the basic for further stage of literature.

Key words: , Malaysian literature, Malay literary tradition, genre, author.

* Makalah ini disampaikan pada Studium General dengan tema “Pertalian Sastra antara Malaysia-Indonesia; Pengalaman Sejarah dan Masa Depan”, Indonesia International Book Fair (IIBF), 26 September 2016, Teater Bustomi Abdul Gani Lt. 4, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. * Dr. Ita Rodiah, M. Hum. Staf Pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ([email protected]) Latar Belakang Indonesia dan Malaysia merupakan saudara dekat, yang tidak saja dekat secara geografis, tetapi juga dekat dalam sejarah kelahirannya. Selain itu, kedekatan antara Indonesia dan Malaysia terlihat pula pada akar tradisi bahasa yang digunakan oleh kedua negara tersebut, Indonesia dengan bahasa Indonesianya dan Malaysia dengan bahasa Melayu atau bahasa Malaysianya,1 yaitu bahasa Melayu. Bahasa Melayu (baca: awalnya digunakan sebagai lingua franca), yang dalam perjalanan pada negaranya masing-masing, mengalami perkembangan yang tidak sederhana. Hal itu antara lain disebabkan oleh adanya upaya penyempurnaan bahasa secara terus menerus yang melahirkan implikasi kompleks, seperti halnya yang terjadi di Indonesia sejak 1901 sampai 2003. Sebagai konsekuensi logis, lambat laun kedua bahasa serumpun tersebut menemukan bentuknya masing-masing sehingga menyebabkan perbedaan diantara keduanya, kendatipun tidak dapat terbantahkan pula bahwa banyak terdapat persamaan.2 Tidak sekadar bahasa yang memiliki akar tradisi yang sama, tradisi kesusastraan pun berpijak pada tradisi budaya yang sama pula yaitu kesusastraan Melayu (baca: klasik).3 Budaya Melayu yang termanifestasi dalam karya sastra, sebagaimana Valentijn menyebutkan seperti Taj al Salatin (The Crown of Kings), Misa Gomitar (Misa Kumitar, A Panji Tale), dan Kitab Hantoewa (Hikayat Hang Tuah),4 selain itu Mahayana menyebut Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Tuhfa al Nafis,5

1 Asmah Haji Omar, yang dikutip oleh Thirusanku dan Md Yunus, mengatakan bahwa sebelumnya bahasa Inggris dan bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi di Malaysia, tetapi pada tahun 1967 barulah bahasa Melayu atau bahasa Malaysia dijadikan bahasa resmi Malaysia. Lihat ulasan lebih lengkap Jantmary Thirusanku dan Melor Md Yunus, ‘Status of English in Malaysia”, Asian Social Science, Vol. 10, No. 14, 2014, 54-255. Pengaruh dari perubahan tersebut juga berdampak pada sistem pendidikan Malaysia, sila lihat Ramiza Darmi dan Peter Albion, “English Language in Malaysian Education System: Its Existence and Implication”, 3nd Malaysian Postgraduate Conference (MPC2013), 3-4 Jul, Sydney, Australia.. 2 Kendatipun demikian, tercatat adanya upaya kerja sama antara Indonesia dan Malaysia seperti pada tahun 1959, Slametmulyana dan Syeh Nasir bin Ismail bertemu dan menyepakati adanya ejaan Melayu-Indonesia atau yang dikenal dengan “Ejaan Melindo”, walaupun karena beberapa sebab hal itu tidak juga diresmikan. Selain itu, hadirnya Malaysia dalam beberapa Kongres Bahasa Indonesia merefleksikan bahwa hubungan diantara kedua saudara serumpun tersebut inseparable. 3 Sastra Melayu klasik atau sastra Melayu Nusantara (ciri pola dan stilistika khas) seperti Hikayat, Karmina, Pantun, Syair, Talibun, Gurindam (Gurindam Lama dan Gurindam dua belas), dan lain-lain. 4 Ismail Hussein, “The Study of Traditional Malay Literature”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 39, No. 2, 1966, 1-22, 68. 5 Lihat Maman S. Mahayana, Kesusastraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 47. dan Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra menjadi dasar sekaligus ruh bagi kebudayaan Indonesia dan Malaysia, khususnya dalam tradisi kesusastraan. Ikatan sosio-kultural yang dimiliki oleh dua saudara serumpun tersebut, tidak lantas melahirkan kecenderungan kesusastraan yang identik, terutama dalam tradisi kesusastraan pada fase berikutnya, tetapi juga tidak impertinen. Dalam perkembangannya, sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Melayu, kesusastraaan Melayu menjadi impertus bagi kreativitas sastrawan setelahnya. Kolonialisme Belanda dan Inggris menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sekaligus memberikan kontribusi terhadap kedua tradisi kesusastraan tersebut, baik kesusastraan Indonesia maupun kesusastraan Malaysia. Kedatangan negara kolonial Belanda dan Inggris ke Tanah Melayu (baca: Malaysia dan Indonesia) tidak sekadar melahirkan kolonisasi (sebagaimana semboyan mereka, gold, glory, dan gospel oriented), tetapi juga mampu dimanfaatkan oleh sastrawan Melayu untuk turut merasakan kemajuan (baca: yang telah dicapai bangsa Eropa kala itu) setidaknya yang dibawa oleh negara kolonial tersebut, misalnya kemajuan teknologi. Adalah Abdullah bin Abdul-Kadir Munsyi, sastrawan Melayu pertama yang memanfaatkan teknologi percetakan akibat hubungan dekatnya dengan orang Inggris berhasil menerbitkan karyanya dalam bentuk cetakan,6 peristiwa inilah yang kemudian menandakan apa yang disebut sebagai zaman peralihan (sebagaimana Zuber Usman mengatakan) dalam tradisi kesusastraan Melayu. Selain Munsyi, karya sastrawan lainnya seperti Raja Ali Haji juga diterbitkan dalam bentuk cetakan di Batavia dan selanjutnya diterbitkan lagi oleh Balai Pustaka.7 Hal tersebut ternyata memicu pula lahirnya percetakan atau penerbit lain (baca: swasta) yang menerbitkan karya dengan pelbagai interest yang mendasarinya, entah sekadar kepentingan komersial bahkan ideologi. Kemajuan yang dicapai dalam tradisi kesusastraan Melayu zaman peralihan mengantarkan kepada babak selajutnya, yaitu kesusastraan Melayu Modern. Di Indonesia misalnya, lahir sebuah lembaga penerbitan yang merupakan cikal bakal Balai Pustaka, bernama Commissie voor de Volkslectuur (1908) atau “Taman Bacaan Rakyat” (baca: kendatipun pada awal kelahirannya lembaga tersebut dilatari oleh upaya untuk membendung derasnya bacaan liar, dalam perspektif Belanda saat itu) yang kemudian dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia (Magelang: Indonesiatera, 2001, 1. 6 Ismail Hussein menyebut “first person to write for a printing press”, lihat Ismail Hussein, “The Study of Traditional Malay Literature”, 73. Diantaranya Mahayana menyebut Pelayaran Abdullah ke Kelantan (1838), Hikayat Abdullah (1848), Sejarah Melayu, dan Hikayat Kalilah dan Daminah. Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, 3. 7 Sja’ir Abdoel Moeloek (1847) selain dicetak di Batavia, juga dicetak di majalah Bataviasch Genootschap dan Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie tahun 1847 dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Latin 1892 dan baru pada 1917 dicetak dengan huruf latin oleh Balai Pustaka. Lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, 4. secara resmi pada 1917 berganti nama menjadi Balai Pustaka. Setidaknya implikasi lahirnya Balai Pustaka tersebut menyebabkan tiga hal penting terjadi dalam tradisi kesusastraan Melayu di Indonesia. Pertama Balai Pustaka menjadi badan sensor (baca: resmi) terhadap karya-karya yang dinilai membahayakan bagi keberlangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia, terutama yang terbit di luar Balai Pustaka yang kemudian dikenal dengan istilah “bacaan liar”, implikasinya adalah ruang gerak karya-karya yang dikategorikan sebagai bacaan liar tersebut menjadi terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa Belanda mampu memahami potensi yang dimiliki oleh sebuah karya yang tidak hanya berhenti pada teks semata dan tentu saja apa yang dilakukan oleh Belanda ini tidak menguntungkan bagi sebagian pihak yang lain (baca: the other), melalui Balai Pustaka seakan-akan Belanda ingin menciptakan sebuah panopticon (jika meminjam bahasanya Bentham)8 untuk memudahkan pengawasan terhadap bacaan yang beredar di tengah-tengah masyarakat saat itu. Kedua, kelahiran Balai Pustaka menandai awal berpisahnya dengan kesusastraan Melayu klasik (baca: juga kesusastraan zaman peralihan) dengan munculnya karya terbitan Balai Pustaka9 sekaligus kesusastraan Indonesia memasuki fase barunya yaitu kesusastraan Indonesia Modern, antara lain Si Jamin dan Si Johan (1918) dan Azab dan Sengsara (1920) Merari Siregar, Sitti Nurbaya (1922) Marah Rusli, Salah Asuhan (1928)Abdul Muis, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Mahayana sebelumnya Balai Pustaka pada 1914 menerbitkan novel pertama dengan menggunakan bahasa daerah yaitu Sunda karya DK. Ardiwinata dengan judul Baruang ka nu Ngarora. Ketiga, berdirinya Balai Pustaka dapat dikatakan menjadi pemicu menggesernya kesusastraan Melayu kepada arah yang berbeda dengan menempatkan kesusastraan Melayu tersebut kepada bentuknya masing-masing yaitu kesusastraan Indonesia di satu sisi dan kesusastraan Malaysia di sisi lain, walaupun ideosinkresies kesusastraan Melayu diantara kedua kesusastraan tersebut tidak terlepas seutuhnya.10 Kendatipun demikian, peran Balai Pustaka dalam kebahasaan dan kesusastraan di Indonesia tidak dapat dianggap sepele, mengingat Balai Pustaka juga menjadi media (baca: mungkin juga alat) untuk penyebaran bahasa Melayu secara masif yang pada saat itu diberlakukan pedoman tata bahasa, khususnya ejaan van Ophuijsen (yang merupakan ejaan resmi bahasa Melayu yang diberlakukan semenjak tahun

8 Yang juga dipinjam Michele Foucault, lihat Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Translated by Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 201-202. Miran Bozovic, Jeremy Bentham: The Panopticon Writings (London, New York: Verso, 1995), 1. 9 Lihat Maman S. Mahayana, Kesusastraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 48. 10 Tradisi sastra Inggirs Malaysia mengancam sastra melayu Malaysia (baca: pengaruh budaya Inggris kental di Malaysia) 1901) yang dimuat dalam Kitab Logat Melayu. Begitu juga halnya dengan kesusastraan yang ditandai dengan semakin banyaknya karya yang bermunculan, walaupun dalam kenyataanya karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka selalu lebih menonjol dibanding karya terbitan lain, tentu hal ini tidak terlepas dari posisi Balai Pustaka itu sendiri yang tercatat sebagai lembaga resmi yang didirikan pemerintahan yang berkuasa saat itu (baca: pengaruh Belanda). Lain halnya dengan Malaysia, tradisi kesusastraan Malaysia modern ditandai dengan lahirnya karya Syed (Sayyid) Sheikh Ahmad al Hadi dengan Hikayat Faridah Hanum-nya11 yang disinyalir mendapat pengaruh dari gurunya yaitu Raja Ali Haji.12 Karya “Bapak Novel Malaysia Modern”, “Sasterawan Progresif Melayu”, “Cendekia dan Sasterawan Ulung”, atau “Pelopor dalam Penulisan Novel” yang disinyalir mengandung unsur kebaruan, modern, realisme juga romantisme (baca: karena belum pernah ditemukan dalam fiksi sebelumnya, kendatipun terdapat penggunaan kata hikayat dalam judulnya menurut Yahaya tetapi penggunaan plot dalam novel al Hadi ini berbeda dengan hikayat) ditulis dengan bahasa Melayu tersebut terbit dengan dua volume yaitu 1925 dan 1926 di Semenanjung Tanah Melayu (baca: Penang).13 Kebaruan yang dibawa oleh novel al Hadi ini terlihat tidak saja dalam bentuknya, tetapi

11 Disebut juga Hikayat Setia ‘Ashek kepada Ma’shok-nya atau Shafik Afandi dengan Faridah Hanum. Lihat ulasan William R. Roff, “The Mystery of the First Malay Novel (and Who Was Rokambul?)”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 130 Leiden, No. 4, 1974, 450-464, 450. Bagi sebagian kalangan, novel karya al Hadi ini problematik dan konroversial karena diragukan orisinalitasnya, Hikayat Faridah Hanun dianggap karya saduran sebagai adaptasi novel Mesir, belakangan Hassan Ahmad membela karya al Hadi ini dengan mengatakan karya tersebut adalah memang sebuah novel, walaupun Ahmad menilai karya ini gagal dalam konsep novel Melayu seharusnya oleh, untuk, dan tetang masyarakat Melayu. Luisa J. Mallari “Kedudukan Novel Filipina dan Melayu dalam Pengajian Sejarah Kesusastraan: Beberapa Catatan Kesusastraan, Akademia 45, Juli 1994, 69-77, 75. Ismail menuliskan bahwa sebelum Hikayat Faridah Hanun, Haji Muhammad bin Muhammad Said telah lebih dulu menulis pada tahun 1922 dengan judul Kecurian Lima Million Ringgit (Tale of the Theft of Five Million Dollars). Lihat Hashim Ismail, “Sejarah Penulisan Novel di Malaysia: Isu dan Cabaran”, Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 18, 2007, 25-40, 26. 12 Dalam penulisan judulnya Faridah Hanom. Raja Ali Haji menjadi mata rantai dan jembatan yang menghubungan kesusastraan Indonesia modern dan kesusastraan Malaysia modern, sekaligus menampakkan unsur modernitas dalam karyanya sebagaimana Abdullah bin Abdul-Kadir Munsyi. Lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, 6. 13 Watak dan latar belakang novel al Hadi tersebut di Mesir. Lihat ulasan Luisa J. Mallari “Kedudukan Novel Filipina dan Melayu dalam Pengajian Sejarah Kesusastraan: Beberapa Catatan Kesusastraan, Akademia 45, Juli 1994, 69-77, 71-73. William R. Roff, “The Mystery of the First Malay Novel (and Who Was Rokambul?)”, 450. lebih dari itu novel tersebut mampu menampilkan perubahan dalam konsep naratifnya. Ciri modernitas yang ditawarkan al Hadi dalam karyanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari perkembangan pemikiran pembaruan yang terjadi di Turki dan pemikiran pembaruan Jamaluddin al Afghani di Timur Tengah (pada abad 19, pemikiran tersebut merebak hampi rke seluruh dunia Islam termasuk India dan Malaysia didalamnya). Al Hadi dengan sengaja menyertakan fungsi didaktik-etik dalam karyanya dengan membawa pemikiran pembaruan dan modernisasi kepada masyarakat Melayu (baca: khususnya pemeluk Islam) untuk meninggalkan pemikiran konservatif, menentang pelbagai bentuk kolonialisme, menyadari pentingnya pendidikan terutama bagi perempuan, dan ilmu pengetahuan terutama sains.14 Perkembangan kesusastraan Malaysia modern berangkat dari (setidaknya) delapan hal penting di dalamnya, pertama sastra Malaysia modern dapat berkembang karena tidak adanya intervensi negara kolonial Inggris dalam tradisi kesusastraan mereka, kondisi ini lebih baik daripada negara tetangganya yaitu Filipina. Kedua, peran media massa turut menjadi bagian penting dalam proses pertumbuhan tradisi kesusastraan Malaysia saat itu, sebut saja Jawi Peranakan yaitu sebuah surat kabar pertama berbahasa Melayu yang dikelola oleh orang Melayu di Singapura (baca: karena pada awalnya Singapura merupakan bagian dari Malaysia, sebelum akhirnya berpisah dengan Malaysia).15 Ketiga, persentuhan al Hadi dengan pemikiran modernisme yang tengah berkembang di seluruh dunia Islam membawa angin segar yang juga berdampak terhadap karya yang dihasilkannya, terlebih karyanya dianggap sebagai pelopor novel modern dalam tradisi kesusastraan Malaysia. Hadi menyatakan bahwa Islam telah berhasil membuktikan dirinya menjadi pendorong kebangkitan dan pertumbuhan kebudayaan-kebudayaan yang tidak hanya berlaku di kepulauan Nusantara, Asia tenggara, bahkan dunia Islam lainnya dengan menanamkan akar budaya yang kuat dan kukuh sejak abad 16 M yang dimotori oleh ulama dan cendekiawan Muslim melalui Islamisasi bahasa, budaya, dan sastra. Keempat, karya al Hadi menjadi pemicu lahirnya sastrawan-sastrawan lainnya yang tidak saja berasal dari Malaysia, tetapi juga Singapura seperti Iakah Salmah? (1929) dan Kawan Benar (1927) Ahmad Rashid Talu, Hikayat Perchintaan Kasih Kemudaan (1927) Ahmad

14 Lihat Hashim Ismail, “Sejarah Penulisan Novel di Malaysia: Isu dan Cabaran”, Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 18, 2007, 25-40, 26-27. 15 Luisa J. Mallari “Kedudukan Novel Filipina dan Melayu dalam Pengajian Sejarah Kesusastraan: Beberapa Catatan Kesusastraan”, 71-72. Menurut Mahayana surat kabar Jawi Peranakan (1876), setidaknya 62 media massa terbit dan hampir setengahnya menyediakan ruang khusus untuk karya imajinatif seperti cerpen. Akan tetapi, keadaannya semakin menunjukkan kemapanan ketika Sultan Idris Training (Maktab Perguruan Sultas Idris / MPSI) lahir. Lihat Maman S. Mahayana, Kesusastraan Malaysia Modern, 49. Kotot, Melur Kuala Lumpur (1930) Harun Aminurrashid, Melati Kota Bharu (1939) A. Kadir Adabi, Putera Gunung Tahan (1937), Anak Mat Lela Gila (1941) Ishak Haji Muhammad, Nyawa di Hujung Pedang (1946) Ahmad Murad Nasaruddin, Sita Neraka Dunia (1948) Ahmad Lutfi, dan lain sebaginya. Kelima, bahwa kemajuan kesusastraan Malaysia modern tidak dapat dipisahkan dari peran intelektual Melayu yang didalamnya terdapat guru, wartawan, bahkan ulama yang turut memajukan budaya penulisan sebagai soko guru tradisi kesusastraan. Sekadar contoh, dalam tradisi sastra yang berbau keislaman, peranan sastrawan (baca: yang notabene ulama, ahli tasawuf, wali, atau cendekiawan Islam) mendapatkan posisi penting karena melalui merekalah kesadaran religius terbangun seperti transformasi simbol-simbol al Qur’an, kisah para Nabi (para Sahabat, Wali, dan Pahlawan-pahlawan Islam), dan sejarah Islam melalui karya sastra tersebar secara masif. Bahkan Zainuddin al Ma’bari dalam Tuhfah al Mujahidin mengatakan bahwa keberhasilan dakwah Islam (di Asia Tenggara, Malabar) banyak dibantu oleh pembacaan syi’r (Qasidah Burdah dan Qasidah al Barzanji).16 Keenam, lahirnya kelompok muda (baca: kaum muda) yang melakukan satire melalui karyanya terhadap kelompok bangsawan, elit, feodal, dan istana seperti yang dilakukan oleh Ishak Haji Muhammad dan A. Kadir Adabi. Ketujuh, gerakan “Angkatan Sastrawan 50” atau yang lebih dikenal dengan ASAS 50 turut menyemarakkan kesusastraan Malaysia dengan sodoran genre baru. Asas 50 ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan kesusastraan Malaysia, melalui jargon “seni untuk masyarakat” para sastrawan angkatan 50 tersebut menyatakan sikapnya dengan pengikutsertaan fungsi didaktik-etik dalam karya yang mereka ekspresikan.17 Karya sastra menjadi tanggapan evaluatif subjektif

16 lihat ulasan dalam Abdul Hadi WM, Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 4-6. 17 Dalam kesussasraan Malaysia misalnya Tok Guru (1988) dan Sutan Baginda (1989) Shahnon Ahmad, Di Negeri Belalang (1989) Anwar Ridhwan, Sandera (1971) Arena Wati, Pulanglah Perantau (1975) Aziz Jahpin, Tulang-tulang Berserakan (1966) Usman Awang, dan Tugu (1965) Hassan Ali kehadirannya tidak dapat dipisahkan dengan latar sosial (fenomena dan kemelut sosial pada saat itu) yang menjadi tanggapan evaluatif-subjektif kedua pengarang tersebut terhadap dunia realitas, aliran realisme yang tumbuh dan berkembang tahun 1920-an mendapatkan tempatnya dalam kesusastraan Malaysia saat itu. Lihat ulasan Sahlan Mohd. Saman, Novel-novel Perang dalam Kesusastraan Malaysia, Indonesia, dan Filipina; Suatu Perbandingan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 48-49, 60. Di sisi lain, dalam konsep relasi karya sastra dengan masyarakat, sebuah karya sastra selalu menampilkan potensinya yang tidak hanya berhenti pada teks, sebagaimana yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia tahun 1942-1945 semasa pendudukan Jepang yang memanfaatkan sastra sebagai alat untuk menggugah semangat nasionalisme (yang mengarah pada semangat Asia Timur Raya) dan mengobarkan kebencian terhadap penjajahan Barat. Dalam konteks ini sebagaimana Albrecht mengatakan bahwa karya pada satu sisi dapat pengarangnya terhadap kehidupan dalam dunia realitas yang selalu disetubuhi dengan kedua fungsi tersebut. Dalam argumentasi “seni untuk masyarakat”, konsep “seni untuk seni” menjadi hal yang tidak lagi dipandang sebagai bagian penting dalam tradisi dunia imajinatif ini. Karya sastra menjadi manifestasi reflektif dunia realitas, bahkan imitatif -kendatipun demikian karakteristik dasar dalam dunia imajinatif yaitu fiksionalitas tidak dapat diabaikan- yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap masyarakatnya (baca; masyarakat pembacanya).18 Kedelapan, pelbagai unsur dalam karya sastra semakin kaya seperti hadirnya tema

merefleksikan masyarakat, sosial, bahkan zamannya tetapi pada sisi lain karya sastra dapat membentuk bahkan mempengaruhi masyarakatnya dapat dibenarkan. Lihat Milton C. Albrecht, “The Relationship of Literature and Society”, American Journal of Sociology, Vol. 59, No. 5, 1954, 425. 18 Dalam kajian kesusastraan dikenal istilah epiphenomenon sastra yaitu sebuah karya sastra hanya berharga dalam kaitannya dengan faktor-faktor di luar sastra sehingga karya sastra tidak dianggap utama, karya sastra sebagai gejala kedua. Konsep “seni untuk masyarakat” sebagaimana yang disoroti oleh Angkatan Sastrawan 50 ini merefleksikan bahwa karya sastra menjadi epiphenomenon karena harus menanggung dan merefleksikan hubungan dialektisnya (inner dialectical) dengan dunia realitas dengan dibebani fungsi didaktik dan etik. Sementara penganut konsep “seni untuk seni” menilai bahwa karya sastra merupakan dan diperlakukan sebagai benda budaya otonom (autonomy for art, autotelic artefact) lihat John Crowe Ransom, Criticism as Pure Speculation (New York: Harcourt, Brace, Jovanovich, 1971), 457. Autonomous dan autonomy, lihat Ivor Armstrong Richards, Practical Criticism: A Study of Literary Judgement (London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co. Ltd, 1930), 17. Intentional fallacy dan Affective Fallacy, lihat William K. Wimsatt Jr. & Monroe C. Beardsley, The Verbal Icon: Studies in the Meaning of Poetry (Lexington: University of Kentucky Press, 1954), 3-4. Close reading, lihat William Empson, Seven Types of Ambiguity (London: Chatto and Windus, 1949), xi. Autonomous objects, lihat Marx Jancovich, “The Southern New Critics” dalam A. Walton Litz, Louis Menand, dan Lawrence Rainey, The Cambridge History of Literary Criticism: Modernism and New Criticism (UK: Cambridge University Press, 2008), 206. The work itself-literature qua literature, lihat Miranda B. Hickman dan John D. McIntyre, Rereading The New Criticism (USA: Ohio State University Press, 2012), 2. Art for art’s sake, lihat MH.Abrams, The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition, (New York: Oxford University Press, 1971), 27. Central unity, lihat Naser al Hujelan, “Formalism and Early Structuralism 1914-1940”, Summer, I, 2004, 5. Literary text itself, lihat Ruth Ronen, Possible Worlds In Literary Theory (USA: Cambridge University Press, 1994), 2. Fine art, l’art pour l’art, dan artefact works, lihat R. P. Blackmur, “A Critic’s Job of Work” dalam The Double Agent, 1935, 892-893 dan Michael Wood, “R. P. Blackmurr” dalam A. Walton Litz, Louis Menand, dan Lawrence Rainey, The Cambridge History of Literary Criticism: Modernism and New Criticism, 235-237. Kendatipun demikin, menurut Mahayana, eksistensi dari Asas 50 ini juga memberikan dampak terhadap tenggelamnya tradisi sastra Islam. Lihat Maman S. Mahayana, Kesusastraan Malaysia Modern, 51. bahkan watak yang membawa angin segar, seperti kesadaran Islam, sejarah dan kebangsaan, percintaan, dan lain sebagainya.19 Dengan latar historis tersebut, perjalanan kedua tradisi kesusastraan saudara serumpun Indonesia dan Malaysia kemudian menemukan ideosinkresiesnya yang terrefleksi dalam kecenderungan tradisi tertentu dalam memanifestasikan tanggapan evaluatifnya, melalui dunia imajinatif (baca: karya sastra), terhadap dunia realitas seperti yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia. Kecenderungan tersebut ditandai dengan lahirnya karya yang melukiskan ketubuhan, (baca: tubuh perempuan, body) yang ditulis oleh penulis perempuan, secara vulgar yang dinilai tidak sejalan dengan sistem nilai (customs, norms, values, beliefs) dalam dunia realitas dan juga dianggap tidak mampu memberikan fungsi didaktik-etik yang seharusnya dimiliki serta diemban oleh sebuah karya (baca: sastra). Sementara dalam kesusastraan Malaysia, kecenderungan mengarah pada bagaimana penulis perempuan membawa ide kritisnya (baca: relasi keperempuanan dengan yang lain) dalam bentuk kesadaran aktif melalui dunia sastra. Pada bagian selanjutnya, penulis akan memaparkan kondisi kesusastraan terutama yang terjadi pada tahun 2000-an (baca: dapat juga disebut kontemporer) yang terjadi di Indonesia dengan melihat adanya orientasi tertentu yang dilakukan oleh sastrawan (baca: untuk selanjutnya penulis istilahkan dengan sebutan ‘penulis karya sastra’).

Menulis sebagai Pilihan Working with Words Dalam tradisi kesusastraan di Indonesia terutama karya penulis perempuan yang lahir tahun 2000-an, terjadi peristiwa fenomenal (baca: mungkin lebih tepat kontroversial) yaitu hadirnya genre sastra berbau tubuh dan seksualitas yang ditulis oleh penulis perempuan. Keberadaan sastra (baca: terutama novel) yang mengulas tentang tubuh dan seksualitas (body and female sexuality) tersebut seringkali melahirkan permasalahan yang tidak sederhana dan disertai dengan pelbagai macam reaksi di dalamnya, terlebih ketika yang menulisnya adalah seorang perempuan,20 Leila Abu Lughod menyebutnya women not heroines or icons of modernity.21 Ketika perempuan mencoba untuk memanifestasikan pengalaman khasnya (dengan menggali inner nature of experience) dengan

19 Hashim Ismail, “Sejarah Penulisan Novel di Malaysia: Isu dan Cabaran”, 26-34. 20 Alcoff mengatakan for many contemporary feminist theorists, te concept of woman is a problem. Lihat Linda Martín Alcoff, Visible Identities: Race, Gender, and The Self (New York: Oxford University Press, 2006), 133. 21 A wide range of projects that have or had as an explicit goal or necessary foundation the remaking of women without having to justify or promote historical individuals as heroines or icons of modernity… Contemporary writing is one such project, placing women’s concerns. Anastasia Valassopoulos, Contemporary Arab Women Writers: Cultural Expression in Context (London&New York: Routledge, 2007), 19. merespon dunia (baca: dunia tabu dan abu-abu) dalam bentuk tulisan imajinatif, seringkali terbentur dengan batasan-batasan rigid dalam dunia non-imajinatif. Pergesekan tersebut menjadi sebuah keniscayaan terutama ketika berada pada tempat yang tidak menjadikan kebebasan sebagai dasar legalitas dalam proses kreatif, yaitu lingkungan budaya yang masih memegang erat nilai tertentu (baca: sistem nilai yang di dalamnya terdapat norm, value, custom, belief).22 Dalam tulisan yang bersifat androgynous misalnya, baik dalam karya imajinatif atau non imajinatif, penggambaran perempuan selalu ditampilkan dalam kondisi sebagai pelengkap, pribadi yang tidak mandiri, dan eksistensinya akan sangat tergantung pada eksistensi yang lain.23 Keadaan ini merefleksikan bahwa perempuan berada dalam kuasa subjek sebagai penguasa wacana, perempuan berada dalam tawanan wacana yang menyelimutinya. Woolf memberikan satire terhadap kondisi perempuan tersebut dengan istilah add a supplement to history.24 Tulisan laki-laki selalu menandakan keberadaan oposisi biner, dimana laki-laki selalu diasosiasikan dengan hal-hal positif sementara perempuan berada pada posisi berbanding terbalik dengannya, sehingga perempuan dianggap bagian dari laki-laki yang eksistensinya sangat tergantung dari eksistensi laki-laki. Kecenderungan ini disebut oleh Anderson sebagai androcentric.25 Androsentris merupakan bagian dari praktik pengetahuan yang tercermin dalam cara pandang laki-laki (male’s view) yang merefleksikan orientasi, tendensi, dan kepentingan tertentu sehingga menempatkan perempuan hanya sebagai figuran semata (baca: tulisan androgynous seringkali menyembunyikan keberadaan perempuan dalam tulisan imajinatif dan non imajinatif), perempuan berada pada arena opresi sistem kultural, religius,

22 Valassopoulos mengatakan the experience of gender, the body and sexuality is not, in fiction, an experience that can always be easily explained. Lihat Anastasia Valassopoulos, Contemporary Arab Women Writers: Cultural Expression in Context, 33. Dalam dunia kesusastraan Arab dikenal dengan fenomena Arabic literature as al Nahd{ah (renaissance) meeting of two forces the indigenous tradition and the imported western forms. Lihat MM. Badawi, Modern Arabic Literature (UK: Cambridge University Press, 1992), 1. Khalbuni mengatakan keadaan kesusastraan, terutama kesusastraan Timur Tengah, yang ditulis oleh perempuan saat ini tidak sebanyak karya yang dihasilkan oleh laki-laki. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya dominasi laki-laki, padahal perempuan ketika berada dalam masa Abbasiyah memiliki ruang gerak yang sama dengan laki-laki. Lihat Khalid Khalbuni, “Adab al-Mar’ah fi al-‘Ashr al-‘Abbasi wa al-Malamih al-Faniyah”, Majalah Jami‘ah Dimishqa, Vol. 26, 2010, 89-90. 23 Bassiouney mengatakan literary…does not reflect reality but re-defines and reconstructs. Lihat Reem Bassiouney, “Redefining Identity Through Code Choice in al Hubb Fi ‘l Manfa By Baha Tahir”, Journal of Arabic and Islamic Studies, No. 10, 2010, 101-102. 24 Virginia Woolf, Room of One’s Own (London: Grafton, 1977), 51 25 Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology: An Interpretation and A Defense”, Hypatia, Vol.10, No.3, 1995, 70. seksual, dan menempatkan perempuan hanya sebatas add a supplement to history.26 Kondisi tersebut tentu saja merefleksikan keadaaan bahwa terdapat suatu kuasa tersembunyi dan halus (symbolic power) yang mengontrol serta memberi batasan pengertian dan konsep tentang siapa dan bagaimana perempuan. Misalnya saja, Philip27 dalam orasi ilmiahnya mengatakan bahwa dalam lingkaran sastra lisan sekalipun pun sudut pandang laki-laki selalu tampak dominan seperti folklore28 yang bertemakan kepahlawanan, tentu saja dengan menempatkan laki-laki sebagai pahlawan. Rahayu misalnya saja menyoroti keadaan perempuan dalam penulisan sejarah, khususnya historiografi di Indonesia. Bagi Rahayu keadaan perempuan tidak lebih sebatas pelengkap sejarah. Benar perempuan ditulis dalam sejarah dan disebutkan namanya tetapi perempuan tidak sama sekali menggambarkan sejarah dirinya sendiri menjadi perempuan (women’s history), bahkan permasalahannya dapat lebih serius lagi yaitu adanya keterbatasan dan kelangkaan arsip dan cerita tentang perempuan dan dirinya yang menjadi perempuan.29 Dalam literatur karya yang berupa tulisan imajinatif, terutama pada folklore, Rahayu30 juga melihat adanya upaya mengkonstruksi perempuan dalam kaca mata laki-laki. Perempuan digambarkan berada pada arena konstruktif male’s view, walaupun perempuan digambarkan sebagai perempuan super (Superwoman), seperti dalam film Xena: Warrior Princes, Wonder Woman, dan lain sebagainya, ia tetap saja berada dalam kerangka perempuan menurut laki-laki. Superwoman itu ditampilkan seksi, tentu saja kadar seksi dalam perspektif laki-laki dan tentu pula hal ini dimaksudkan untuk menarik serta memanjakan penglihatan mata laki-laki. Tidak hanya itu, penggambaran perempuan dalam folklore terlihat dalam sosok makhluk menyeramkan dan jahat seperti Kuntilanak, Wewe Gombel,

26 Virginia Woolf, Room of One’s Own, 51 27 Etyang Philip, “Women In Oral Literature”, Makalah yang disampaikan di Kenyatta University yang bertemakan “Perempuan dalam Folklore Afrika” 15 November 2011, 3. 28 The realm of rituals, songs, stories, legends, and popular practices handed down orally from one person to another. Lihat David Mikics, A New Handbook of Literary Terms (London: Yale University Press, 2007), 124. Julien D.Bonn, A Comprehensive Dictionary of Literature (Delhi: Abhishek, 2010), 63. Folk (‘peasantry’ rural or uneducated people), lore (accumulated wisdom), disebut juga béaloideas (béal: oral, oideas: instruction) dan llén gwerin (llén: literature/lore, gwerin: people in general/peasantry). Lihat Roslyn Blyn-LaDrew, “Geoffrey Keating, William Thoms, Raymond Williams, and the Terminology of Folklore: “Béaloideas” as a Keyword”, Folklore Forum, Vol27,No.2, 1996, 8. 29 Lihat Ruth Indiah Rahayu, “Perempuan Pencipta Narasi: Adakah Menulis Sejarah Perempuan?”, Makalah yang disampaikan di Salihara, 09 April 2013. 30 Ruth Indiah Rahayu, “Perempuan Pencipta Narasi: Adakah Menulis Sejarah Perempuan?”, 2. Nenek Sihir, Nyi Roro Kidul dan lain sebagainya. Bahkan Prabasmoro31 mengatakan dulu iklan pembalut merupakan suatu hal yang tidak mungkin dipublikasikan ke ranah publik. Danerek menilai bahwa melalui media sastra segala hal yang rigid baik dalam relasi sosial-budaya, identitas, gender, dan nilai dalam dunia realitas dapat dinegosiasikan dalam karya sastra dan hanya melalui karya sastralah segala hal tersebut bisa terjadi.32 Hal ini tentu saja mematahkan pendapat Ransom yang melihat bahwa tidak ada kaitan antara teks sastra dengan dunia di luar sastra karena karya sastra hanya sebatas benda budaya otonom (autonomy for art)33 yang terlepas dari dunia di luar sastra. Hal ini tentu saja mematahkan pula konsep seni untuk seni (art for art’s sake, l art pour art, fine art, autonomous) sebagaimana yang dikatakan oleh Richards,34 Wimsatt dan Beardsley,35 Empson,36 dan Blackmur37 semakin menunjukkan bahwa sastra pada hakikatnya memiliki interrelasi dengan dunia di luar sastra. Perempuan dikonstruksi sebagai objek yang dihindari/ditakuti tetapi sekaligus ingin dialami/dinikmati. Saraswati38 merekam dengan baik bagaimana perempuan selalu menjadi bahan inspirasi dalam proses penciptaan karya sastra,39 Sutan Takdir Alisyahbana dalam Layar

31 Lihat Aquarini Priyatna Prabasmoro, “Abjek dan Monstrous Feminine: Kisah Rahim, Liur, Tawa, dan Pembalut”, 2004, 7. 32 Stefan Danerek, “Tjerita and Novel Literary Discourse In Post New Order Indonesia”, The Centre for Languages and Literature, 2006, 1-2. Gottesfeld juga mengatakan tiga penulis perempuan Halah al Bakri (Yerusalem Timur), Amani al Junaydi (Hebron), dan ‘A‘ishah ‘Udah (Ramallah) juga merefleksikan dunia realitas dalam karyanya. Lihat Dorit Gottesfeld, “Mirrors of Alienation: West Bank Palestinian Women’s Literature after Oslo”, Journal of Arabic and Islamic Studies, No.13, 2013, 22. 33 Lihat John Crowe Ransom, Criticism as Pure Speculation , 457. 34 Ivor Armstrong Richards, Practical Criticism: A Study of Literary Judgement, 17. 35 William K. Wimsatt Jr. & Monroe C. Beardsley, The Verbal Icon: Studies In The Meaning of Poetry, 3-4. 36 William Empson, Seven Types of Ambiguity , xi 37 R. P. Blackmur, “A Critic’s Job of Work” dalam The Double Agent, 1935, 892-893 dan Michael Wood, “R. P. Blackmurr” dalam A. Walton Litz, Louis Menand, dan Lawrence Rainey, The Cambridge History of Literary Criticism: Modernism and New Criticism, 235-237. 38 Lihat Ekarini Saraswati, “Pergeseran Citra Pribadi Perempuan Dalam Sastra Indonesia: Analisis Psikoanalisis Terhadap Karya Sastra Indonesia Mulai Angkatan Sebelum Perang Hingga Mutakhir”, Jurnal Artikulasi, Vol. 10, No. 2 Agustus 2010, 616. 39Chinweizu mengatakan “Because every man has as boss his wife or his mother, or some other woman in his life, men may rule the world, but women rule the men who rule the world. Thus contrary to appearances, woman is boss, the overall boss, of the world”. Chinweizu, Anatomy of Female Power: A Masculinist Dissection of Matriarchy (Nigeria: Pero Press, 1990), 12. Terkembang menjadikan perempuan sebagai media penyampai pikirannya, begitu pula Marah Rusli dengan Siti Nurbaya-nya. Dalam tulisannya yang lain, Saraswati40 mengatakan bahwa bagaimana penggambaran negatif terhadap perempuan terjadi dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, Belenggu karya Armijn Pane, Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, dimana perempuan digambarkan sebagai perempuan simpanan. Scott menawarkan suatu alternatif untuk mengurai problematika tentang penggambaran perempuan dalam tulisan.41 Menurut Scott ada dua pendekatan yang memungkinkan dilakukan: pertama, dengan menggunakan pendekatan her-story yaitu narasi perempuan yang dijadikan sebagai sumber. Sebagai impact dari pendekatan ini adalah perempuan menjadi ada (becoming visible). Pendekatan kedua, Scott menawarkan penggunaan pendekatan gender yang dikorelasikan dengan struktur kekuasaan. Bagaimana pengalaman khas perempuan dalam dunia patriarkhi, kelas, bahkan ras dikemas ulang sehingga tidak lagi androsentris. Sebagai implikasinya, perempuan dapat memiliki women’s history.42 Sementara dalam tradisi kesusastraan Malaysia, kondisi perempuan yang digambarkan dalam karya sastra menunjukkan hal yang berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sebut saja Trilogi Khadijah Hashim (2000) karya Khadijah Hashim, Salam Maria (2000) karya Fatimah Busu, Syumul (2002) karya Ashmah Nordin, dan Haruman Kencana (2004) karya Zaharah Nawawi. Kecenderungan dalam menggambarkan perempuan dalam karya sastranya lebih ditekankan pada sikap positif dalam merespon ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Penggambaran perempuan ideal (baca: taat, kuat, cerdas, pekerja keras) menjadi ideosinkresies kesusastraan Melayu yang merefleksikan kuatnya sistem nilai (baca: nilai keberagamaan) yang masih dipegang dan mempengaruhi gaya kepenulisan kesusastraan Malaysia, bahkan tanggapan evaluatif penulisnya (kendatipun mungkin bersebrangan dengan dirinya) seakan menunjukkan pola yang tidak frontal. Walaupun dalam realitasnya, para penulis Malaysia tersebut tidak luput pula melakukan satire melalui karyanya terhadap konstruksi yang timpang, kesadaran terhadap konstruksi nature-nurture/culture, bias gender dengan male’s view-nya, dan lain sebagainya. Persoalan domestik yang banyak menghiasai karya sastra bukanlah satu-satunya pengalaman yang dimiliki perempuan, tetapi karena persoalan ini yang seringkali dimunculkan sehingga secara tidak sadar

40Lihat Ekarini Saraswati, “Potret Wanita Simpanan dalam Novel Gadis Pantai, Belenggu, Bekisar Merah dan Pengakuan Pariyem: Sebuah Studi Komparatif dengan Pendekatan Feminisme”, 475. 41Joan Wallach Scott dalam Ruth Indiah Rahayu, “Perempuan Pencipta Narasi: Adakah Menulis Sejarah Perempuan?”, 3-4. 42Joan Wallach Scott dalam Ruth Indiah Rahayu, “Perempuan Pencipta Narasi: Adakah Menulis Sejarah Perempuan?”, 3-4. akan menggiring perempuan pada konstruksi identitas yang akhirnya merugikan dirinya sendiri. Identitas bagi Hall43 adalah suatu yang tidak pernah selesai, berada dalam posisi antara sebagai wujud atau proses menjadi. Adanya kecenderungan tersebut yang terrefleksi dalam karya sastra menjadikan gambaran perempuan masih berkutat dalam kubangan yang sama dan tentu hal ini memposisikan perempuan dan identitasnya menjadi berjalan di tempat. Kecenderungan itu nampak dalam persoalan arena domestik perempuan, Budiman44 mengatakan persoalan domestik tersebut meliputi perselingkuhan, suami yang mencampakkan istri dan lain sebagainya, bahkan kecenderungan ini masih ditemui dalam karya sastra terkini dalam bentuk dan kompleksitas yang berbeda. Upaya menempatkan kembali perempuan pada tempatnya ditandai dengan munculnya gynocentric.45 Young46 melihat adanya upaya yang dilakukan oleh gynocentric untuk membebaskan perempuan dari kedigdayaan budaya patriarkhi, bagi kelompok gynocentric feminist yang dimaksud opresi terhadap perempuan adalah adanya upaya represi dan devaluasi terhadap pengalaman perempuan dari pihak dominan yang dimuati dengan kekerasan, terutama kekerasan simbolik (symbolic system) terhadap perempuan.47 Penggambaran yang tidak proporsional terhadap perempuan terutama yang dilakukan oleh laki-laki dengan male’s view-nya akan menciptakan identitas yang sangat merugikan kaum perempuan, sehingga tentu saja keadaan ini semakin memperkuat asumsi Weiss48 yang mengatakan bahwa women as universally oppressed or as victims of male dominance. Cixous49 menyarankan agar perempuan menulis tentang dirinya sendiri, dengan konsep praktik menulis feminin (l’ecriture feminine) yang menyatakan bahwa perempuan harus diikutsertakan dalam tulisan. Dengan kalimat lain, perempuan harus meletakkan dirinya dalam sebuah teks, dalam sebuah dunia, dan sejarah dengan menggunakan jalan dan lokus

43 Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora Identiy: Community, Culture, Difference, 223-225. 44 Lihat Manneke Budiman, “Ketika Perempuan Menulis”, 5. 45 Seperti yang dilakukan oleh Qasim Amin (1865-1908) yang disebut Badawi sebagai Islamic reformer and modernizer, yang mengatakan Islam was never opposed to science or rational dan juga kebebasan. Lihat MM. Badawi, Modern Arabic Literature, 13. 46 Iris M. Young, “Humanism, Gynocriticsm, and Feminist Politics”, dalam Elizabeth Hackett and Sally Haslanger, Theorizing Feminism, 174. 47 Pierre Bourdieu, “Physical Space, Social Space, and Habitus”, 17. 48 Dennis Weiss, “Identity, Difference, and Community”, 2. 49 Héléne Cixous, “The Laugh of the Medusa”, 875. Penulis menggunakan penulisan nama Héléne Cixous sesuai dengan literatur dan referensi yang ditulis oleh komunitas akademik lainnya, Lihat Ann Brooks, Postfeminism: Feminism, Cultural Theoory, and Cultural Forms, 33. Raman Selden, A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (Britain: Perason Longman), 122. yang diciptakannya sendiri.50 Ketika perempuan menciptakan praktik budaya yang berbeda dengan laki-laki, pada dasarnya hal ini menunjukkan bahwa perempuan berhasil mempraktikan konsep distinction dalam istilah Bourdieu.51 Dalam konteks inilah, perbincangan mengenai karya-karya pengarang perempuan menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bagi feminis,52 norma-norma dan budaya yang berlaku tidak lebih sebagai bentuk perpanjangan tangan dari dominasi patriarkhi yang harus direkonstruksi salah satunya melalui media tulisan (baca: karya sastra), hal ini diyakini karena tulisan memiliki kekuatan yang tidak berhenti pada teks, teks akan terus hidup dan akan terus mereproduksi sesuai dengan subjek yang berhadapan dengannya. Perempuan sangat mungkin untuk menciptakan bahasanya sendiri,53 bahkan dengan menggunakan male’s view sekalipun sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlam Mustaghanami.54 Akibatnya, perempuan dapat secara bebas mengaktualisasikan dirinya dengan mengungkapkan perasaan, pikiran, kejiwaaan, pengalaman-pengalaman khas perempuan tanpa harus merasa takut dengan adanya penghakiman-penghakiman dalam dunia patriarkhi. Bourdieu mengatakan habitus menjadi dasar dari konstruksi sosial55 dengan asumsi bahwa habitus diperoleh melalui upaya kristalisasi dan internalisasi struktur dunia sosial yang termanifestasi dalam mental subjek yang menghasilkan praktik budaya tertentu.56 Hal ini mengindikasikan bahwa lahirnya praktik budaya

50 Melalui konsep yang hampir sama dengan Cixous, Woolf juga menawarkan konsep A Room of Her Own dalam tulisan perempuan. Virginia Woolf, Room of One’s Own, 7. Kemudian Luce Irigaray juga menyatakan bahwa perempuan seharusnya menciptakan rumah bahasanya sendiri dengan Female Language, lihat Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (USA: Westview, 2009), 156. 51 Pierre Bourdieu, The Rules of Art Genesis and Structure of The Literary Field (California: Stanford University Press, 1995), 161. 52 Misalnya dari kalangan Muslim seperti Leila Ahmed, Nawal el Sadawi, Fatima Mernissi, Zaynab al Ghazali. Lihat Ibrahim Olatunde Uthman, “A Triadic Re-Reading of Zaynab al Ghazali and the Feminist Movement in Islam”, Islamic Studies, Vol.49, No.1, 2010, 67-69. 53 miriam cooke mengatakan women have a stake in interpreting their war experiences. Lihat Anastasia Valassopoulos, Contemporary Arab Women Writers: Cultural Expression in Context, 55. 54 Dalam narasinya berjudul Dhakirat al Jasad (Memory of the Body, 1993) ia menggunakan narator laki-laki, sedangkan pada narasi Fawda al Hawass (Chaos of the Senses, 1998) ia menggunakan narator perempuan. Lihat Ellen McLarney, “Unclocking the Female in Ahlam Mustaghanami”, Journal of Arabic Literature, Vol.33, No.1, 2002, 24-26. 55 Pierre Bourdieu, The Rules of Art Genesis and Structure of The Literary Field, 329. 56 Sastra dapat menjadi media kritis dan reflektif terhadap gejala dan fenomena kultural, sastra yang datang dan ditulis oleh mereka yang bukan berasal dari budaya dominan seringkali diberikan labelisasi sastra pinggiran/marginal, the dalam ragam genre57 sastra merupakan hasil dari penyerapan dan pengolahan atau internalisasi dari budaya sebelumnya yang telah berlangsung dalam waktu yang lama sehingga terserap dalam bentuk habitus. Tubuh dan seksualitas,58 yang diangkat dalam kecenderungan sastra tertentu menjadi domain dalam beberapa karya para penulis perempuan pada tahun 2000-an tersebut di Indonesia,59 (baca: tentu kecenderungan ini bukanlah satu-satunya hal yang menjadi sorotan dalam dunia sastra). Keberadaan sastra Islam60 yang notabene merupakan bentuk reaktif dan persuasif terhadap nilai tertentu disinyalir sebagai antitesa untuk mengimbangi sastra yang berbau tubuh dan seksualitas tersebut. Sebagaimana Abdul Hadi mengatakan bahwa sastra Islam selalu menjadikan moral, kerohanian, dan metafisika Islam sebagai asas yang mendasari karyanya, bahkan menurut Abdul Hadi ‘Bapak Novel Malaysia Modern’ Syed (Sayyid) Sheikh Ahmad al Hadi cukup berhasil memanifestasikan nilai-nilai tersebut dalam karyanya (dengan tidak merusak nilai estetik sastra). Pengimbangan itu nampak dalam upayanya untuk tidak masuk pada wilayah yang dianggap vulgar dengan menghidupkan kembali nilai-nilai dan mengangkat tema yang berbau etika

second class, sastra pinggiran menurut Sulaimah adab al hamish.. al hamish al ijtimai‘ wa al hamish.al siyasi wa al hamish al thaqafi wa al hamish al dini wa al hamish idiyuluji. Lihat A.Khalil Sulaimah dan A.Mashquq Hunayah, “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, al Multaqa al Dawli al Awwal Fi al Mustalah al Naqdi Yaumi, No.9, 261-262. 57 Benedetto Croce mengatakan genres have no useful function within the realm of aesthetics, sementara Northrup Frye mengatakan the function of genres is to clarify affinities rather than to classify. Lihat Roger Allen (Ed), Arabic Literature in The Post-Classical Period (New York: Cambridge University Press, 2008), 4. 58 Dalam kesusastraan Arab Salma Khadra Jayyusi “Arabic Poetry in the Post-Classical Age” mengatakan a major trait of Arabic poetry is a dichotomy between what is secular (religious taboos with regard to wine and sex) and what is religious (God and religious principles). Lihat Roger Allen (Ed), Arabic Literature in The Post-Classical Period, 29. 59 Polemik mengenai suara perempuan yang memperbincangkan tubuh dan seksualitas perermpuan dalam narasi yang diciptakannya bagi Budiman terletak pada digunakannya moralitas sebagai kacamata penilaian, Gadis Arivia dan Melani Budianta melihat lebih dalam lagi bahwa moralitas hakikatnya sarana yang digunakan patriarki untuk membungkam perempuan dari upaya berbicara tentang dirinya sendiri. Sedangkan Djenar Maesa Ayu, tuduhan bahwa penulis perempuan yang mengedepankan body and female sexuality demi memenuhi selera pasar dan meraih popularitas adalah konsekuensi dari penulis perermpuan. Manneke Budiman, “Ketika Perempuan Menulis”, 13-14. 60 Starkey mengatakan not all religious literature was to follow such conventional philosophical or theological lines. Lihat Paul Starkey, Modern Arabic Literature (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006), 7. tertentu, baik etika partikular yang berlaku pada agama tertentu atau etika universal yang dapat diterima semua kalangan.

Karya Sastra sebagai Bentuk Reflektif Dunia Realitas Sastra Feminis Islam dalam hal ini menjadi magnet yang memiliki daya tarik kuat bagi sebagian kalangan beragama Islam,61 karena mampu mewadahi dan mewujudkan nilai dakwah dalam wajah yang berbeda. Layoun62 mengatakan bahwa genre sastra dengan tendensi religiusitas ini tidak hanya terjadi dalam agama Islam semata, tetapi terjadi pula pada agama Nasrani dan Yahudi. Arnez63 menegaskan bahwa dua genre sastra tersebut hadir sebagai bentuk perjuangan dengan perwujudan dan orientasi yang berbeda, tetapi masih dalam kerangka yang sama, yaitu usaha untuk melepaskan diri dari cengkaraman budaya dominan. Tentu kiranya ini menjadi menarik ketika yang menulis adalah perempuan yang dalam keadaaan tertentu merepresentasikan suara perempuan dalam memahami nilai-nilai dalam perspektif keperempuanannya sebagaimana yang berlaku pula dalam sastra yang dikenal dengan istilah Sastra Wangi. Istilah Sastra Wangi menurut Kristanto64 digunakan untuk menyebut karya sastra yang ditulis oleh perempuan kelas menengah kota, masyarakat urban, yang memiliki tema sentral mengenai wacana seks yang dapat beroperasi secara terbuka blak-blakan. Istilah Sastra Wangi ini muncul dan digulirkan menjadi sebuah wacana untuk pertama kalinya, sebagaimana Ayu Utami mengatakan, adalah melalui media masa.65 Menurut Kristanto,66 istilah ini belum muncul ketika Ayu Utami melahirkan karyanya yang disinyalir sebagai karya sastra kontroversial Saman tahun 1998 dan Larung tahun 2001. Labelisasi tersebut mulai menyeruak ketika adanya tulisan-tulisan imajinatif lainnya yang juga mengangkat tema serupa dengan Ayu Utami,

61 Snir mengatakan Islam as a system of symbols represents the most significant factor in the explanation of Arab cultural, intellectual, and literary history. Lihat Reuven Snir, “Modern Arabic Literature and Islamist Discourse ‘Do Not Be Coolness, Do Not Flutter Safety”, Journal of Arabic and Islamic Studies, No.5, 2004, 78. 62 Mary Layoun, al-Dirasah al-Adabiyah (Kairo: Latifa Zayyat, 2000), 514-515. 63 Monika Arnez and Cahyaningrum Dewojati, “Sexuality, Morality and The Female Role: Observations on Recent Indonesian Women’s Literature”, Asiatische Studien Études Asiatiques, Lxiv-1-2010, 1-3. 64 Lihat uraian mengenai latar belakang lahirnya genre sastra wangi dalam Kristanto, “Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, Leksika, Vol.2, No.2, Agustus 2008, 19. 65 Mengenai asal mula labelisasi sastra wangi yang bersumber dari kalangan media. Lihat, A. Junaedi, “Ayu Utami On Literature, Sex, And Politics”, The Jakarta Post, Jakarta, November 13 2005, 3:43 pm. Lihat pula Kristanto, “Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, 13. 66 Kristanto, “Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, 12. antara lain Dewi Lestari dengan Supernova-nya tahun 2004, Djenar Maesa Ayu dengan Menyusu Ayah tahun 2003 dan karya penulis perempuan lainnya yang memiliki kesamaan tema wacana yang diangkat. Selain istilah Sastra Wangi,67 terdapat pula beberapa labelisasi istilah yang digunakan untuk mengkategorisasikan genre sastra tersebut di antaranya, Sastra Selangkangan-Kelamin,68 Sastra Lendir,69 Sastra Seksual-Feminisme-Perempuan,70 Sastra Pop,71 Sastra Vulgar-Porno-Syahwat,72 Novel Porno,73 dan Fenomena Seks dalam Karya Sastra.74 Dalam bahasa Inggris dengan istilah ini disepadankan dengan Fragrant Literature,75 Fragrance Literature,76 dan Perfumed

67 Istilah sastra wangi juga dipopulerkan oleh sarjana-sarjana yang memberi perhatian pada kesusastraan Indonesia salah satunya adalah Tineke Hellwig. Hellwig semakin mempopulerkan istilah sastra wangi ini dalam kancah akademik secara lebih luas. Tineke Hellwig, “Women Writing about Marriage and Sexuality: Post-1998 Indonesia Fiction”, Asia Research Institute Working Paper, Serie No.152, 15. 68 Ketika itu Taufik Islmail menyampaikan Orasi Kebudayaan pada tahun 2007, pidato itu dianggap kontroversial sehingga menimbulkan polemik panjang setelah dibacakan Ismail di Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006. Pidato berjudul "Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka" itu secara tajam mengecam para pengarang, khususnyapengarang perempuan muda yang baru mulai berkarya setelah runtuhnya Orde Baru. Karya-karya mereka –Ayu Utami dan lainnya- dituding suka mengeksploitasi seks dan syahwat. Lihat dalam Manneke Budiman, “Meninjau Kembali Hubungan antara Sastra dan Budi Pekerti”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No.2, Juni 2012, 138. 69 Wiyatmi, “Dekonstruksi Sistem Patriarki dan Pencarian Identitas Novelis Perempuan Indonesia Tahun 2000-an”, Bahasa dan Seni, Tahun 40, No.1, Februari 2012, 52. 70 Ikhwanuddin Nasution, “Sastra dan Globalisasi: Tantangan Bagi Estetika dalam Dunia Kritik Sastra di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada saat ‘Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Sastra’ Universitas Sumatera Utara, 19. 71 Micaela Campbell, “No Woman is an Island: Reconceptualizing Feminine Identity in The Literary Works of Ayu Utami”, University of Victoria, 2005, 11. 72 Else Liliani, “Melacak Jejak Posmodernisme dalam Kumpulan Cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) Karya Djenar Maesa Ayu”, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Cultural Study dalam Kajian Sastra di FBS UNY pada 14-15 September 2005, 16. 73 Yeni Mulyani Supriatin, “Pengungkapan Seksualitas dalam Seni Sastra: Metafor Seksual”, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 22 Tahun 10, April 2011, 1064. 74 Wiyatmi, “Fenomena Seks dalam Novel Indonesia Mutakhir Karya Pengarang Perempuan: Kajian Kritik Sastra Feminis”, Jurnal Humaniora (Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Vol.18, No.3, Oktober 2006, 205-317. 75 Lihat Tineke Hellwig, “Women Writing about Marriage and Sexuality: Post-1998 Indonesia Fiction”, 15. Nor Ismah, “The New Generation of Women Writers from The Pesantren Tradition in Indonesia”, Journal of Southeast Asian Literature-Perfumed Writing.77 Budiman78 menggarisbawahi mengenai tema yang menghiasi genre sastra wangi ini berputar pada wilayah-wilayah makna yang mencakup penampilan fisik, seks, dan kosmopolitanisme urban. Genre sastra yang ditulis oleh penulis perempuan ini lahir dalam dunia Kesusastraan Indonesia bukanlah tanpa alasan. Hellwig79 mencium lahirnya genre sastra ini sebagai upaya kritik dan reaktif terhadap sistem kekuasaan Orde Baru (The New Order) yang cenderung memposisikan perempuan secara eksklusif yaitu berada dalam wilayah domestik sebagai istri dan ibu pendukung bagi suami dan anak laki-laki. Hal senada juga dikatakan oleh Wiyatmi,80 bahwa lahirnya para penulis perempuan tersebut tidak dapat dipisahkan dari transformasi sosio-kultural Indonesia yang merupakan salah satu hasil dari proses perjuangan para feminis dan emansipatoris perempuan Indonesia. Ismah81 mengatakan sastra wangi ini sebagai karya yang mengeksplorasi dan bentuk reflektif gaya hidup kosmopolit di kalangan masyarakat kelas menengah atas urban. Eagling82 menyoroti fase waktu dominasi kekuasaan pasca Orde Baru memungkinkan kaum perempuan leluasa mengekspresikan pandangan politik dan pengalamannya dalam tulisannya.

Studies, Vol.11, Issue 1, Spring 2011, 102. Lihat Bart Barendregt, “Between M-Governance and Mobile Anarchies: Pornoaksi and The Fear of New Media in Present Day Indonesia”, 5-6 dan “Sex, Phones and Youth Culture: Pornoaksi and The Fear of New Media in Present Day Indonesia, Mobile and Popular Culture Session 1 “Mobile and Pop in Asia”, Asia Culture Forum, 2006, 3. Monika Arnez and Cahyaningrum Dewojati, “Sexuality, Morality and The Female Role: Observations on Recent Indonesian Women’s Literature”, 10. 76 Adisti Sukma Sawitri, “Decadence of Fiction?”, The Jakarta Post, Jakarta, 30 December 2012, 10:42 am. 77 Duncan Graham, “Obituary: Lan Fang: A Beacon in Local Literature”, The Jakarta Post, Surabaya, 04 January 2012, 9:59 am dan “Ratna Indraswari Ibrahim: 'See The Person, Not The Problem'”, The Jakarta Post, Jakarta, 17 June 2007, 9:32 am. 78 Lihat Manneke Budiman, “Ketika Perempuan Menulis”, 6. 79 Tineke Hellwig, “Women Writing about Marriage and Sexuality: Post-1998 Indonesia Fiction”, 2-3. 80 Wiyatmi, “Dekonstruksi Sistem Patriarki dan Pencarian Identitas Novelis Perempuan Indonesia Tahun 2000-an”, 1. 81 Nor Ismah, “The New Generation of Women Writers from The Pesantren Tradition in Indonesia”, 109. 82 Caroline Melita Eagling, “Socio-Political Issues in Women’s Fiction of The Reformasi”, University of Tasmania, November 2011, 3. Tema-tema berbau tubuh dan seks83 yang diangkat oleh para penulis perempuan pasca Orde Baru tersebut bukanlah hal yang baru dalam dunia Kesusastraan Indonesia. Budiman84 mengatakan bahwa sebelum Ayu Utami dan penulis perempuan lainnya menulis tema sastra yang berbau tubuh dan seksualitas tersebut, sebelumnya pernah dilakukan oleh penulis laki-laki seperti Beni Setia dengan Sapi-nya, dan karya Putu Wijaya. Karya yang mereka hasilkan tersebut tidak mendapatkan reaksi yang berarti. Keadaan ini berbanding balik ketika tema yang serupa disuarakan dan ditulis oleh perempuan, karya dengan tema sentral tersebut dihujani kritik bahkan menjadi begitu fenomenal dalam dunia Kesusastraan Indonesia Kontemporer. Apakah hal ini yang menjadikan para penulis perempuan era reformasi melakukan reformasi dalam kecenderungan sastra mainstream. 85 Tentu saja hal ini tidak bisa disimpulkan terlalu dini, diperlukan upaya serius untuk terus menggali keterkaitan tersebut salah satunya dengan keterlibatan para pemerhati dunia kesusastraan. Perempuan dengan dunia keperempuanannya menjadi hal yang menarik untuk terus dikaji, menjadi daya tarik yang ditakuti sekaligus ingin dialami, menjadi daya tarik yang dihindari sekaligus ingin dinikmati, pengalaman khas perempuan membawa perempuan kepada titik dimana perempuan tidak lagi menjadi seperti perempuan tetapi lebih menempatkan perempuan sebagaimana perempuan. Kemunculan karya sastra ini tidak bermakna seolah-olah penulis perempuan dapat secara bebas berbicara tentang patriarkhi bukan di dalam patriarkhi. Budaya patriarkhi semakin menunjukkan kekuasaannya, tajam untuk selain pendukung patriarkhi dan tumpul untuk selain penentangnya. Ukuran yang menentukan pantas dan tidak pantasnya serta baik atau tidak baiknya, sangat ditentukan oleh siapa yang berkuasa dan memegang wacana, jika meminjam bahasa Foucault. Hayati86 lebih melihat bahwa dunia perempuan yang ditulis oleh penulis laki-laki dan perempuan pada awal perkembangan karya sastra

83 Jika ditelusuri lebih lanjut, secara historis dalam kesusastraan dunia menurut Montserrat tema mengenai tubuh dan seks –erotis- berakar pada kesusastraan Yunani kuno yaitu cerita pendek (cerpen) Milesiaka. Lihat Dominic Montserrat, Greek, Ancient: Prose, dalam Gaëtan Brulotte and John Phillips, Encyclopedia of Erotic Literature (New York: Routledge, 1950), 584. 84 Manneke Budiman, “Ketika Perempuan Menulis”, 18. 85 Jika meminjam bahasa Sulaiman likhurujihi (adab al hamish) al taqlidi . A.Khalil Sulaimah dan A.Mashquq Hunayah, “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, 262. 86 Penulis perempuan dalam karya sastra seperti hilang dalam sejarahnya, Hayati mencatat misalnya Hamidah dengan Kehilangan Mestika-nya, Selasih dengan Kalau Tak Untung-nya, Suwarsih Djojopuspito dengan cerpen-cerpennya yang berbahasa Belanda, serta NH. Dini. Lihat Yenni Hayati, “Dunia Perempuan dalam Karya Sastra Perempuan Indonesia: Kajian Feminisme”, Jurnal Humanus, Vol.XI, No.1, 2012, 85-86. Indonesia dinilai tidak adil karena hanya karya sastra yang ditulis oleh laki-laki yang diperhitungkan, sedangkan karya yang ditulis perempuan dianggap sekadar karya populer yang tidak layak diperhitungkan dalam kanonisasi sastra. Permasalahan menjadi lebih rumit lagi ketika upaya yang dilakukan oleh para penulis perempuan87 untuk melukiskan dirinya dengan tubuh dan seksualitasnya (body and female sexuality) dalam karya sastra tidak saja dinikmati oleh perempuan sebagai sebuah upaya pembebasan dan kebebasan diri, tetapi pelukisan tubuh dan seksualitas tersebut juga dinikmati oleh laki-laki. Dalam keadaan tersebut, perempuan berada dalam dunia yang bersebrangan apakah dia sedang memperjuangkan esensi keperempuanannya ataukah malah tersungkur dengan eksistensi keperempuanannya, karena ia menjadi subjek yang menikmati sekaligus menjadi objek yang dinikmati. Eksplorasi karya sastra dengan mengangkat tubuh dan seksualitas yang dilakukan oleh para penulis perempuan tersebut menjadi hidangan yang menggairahkan bagi laki-laki untuk dinikmati secara eksploitatif.88 Pandangan dunia (vision du monde) subjek memiliki peranan besar dalam menentukan hasil akhir dari apa dan siapa objek, pandangan dunia ini dibentuk oleh pengetahuan dan pengalaman khas yang dimiliki oleh setiap subjek. Identitas dapat menyatukan sesuatu karena perbedaan akan menjadi hilang kemudian mengikat dalam ikatan identitas, bahkan identitas dapat memberikan batas yang memberi batas ruang yang membedakan siapa kita dan mereka. Melalui identitas maka setiap orang akan dapat memposisikan diri secara otomatis dan diposisikan berdasarkan perbedaan dan persamaan yang melekat pada sifat dan ciri yang dimilikinya. Hall menilai bahwa identitas terkait dengan konstruksi budaya pada waktu dan tempat tertentu sehingga identitas selalu berada dalam proses antara identity as being (sebagai sebuah wujud) dan identity as becoming (sebagai sebuah proses menjadi).89

Genre Sastra: Konflik dan Kompromi Dalam konteks kesusastraan Indonesia (baca: terutama tahun 2000-an) terdapat dua kecenderungan genre sastra yaitu sastra feminis

87 Al adab al niswi merupakan bagiab dari adab al hamish, lihat. A.Khalil Sulaimah dan A.Mashquq Hunayah, “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, 262. 88Keterjerembapan itupun terjadi pada pascakolonialisme, Budianta menyatakan bahwa pascakolonial berusaha menggugat kontruksi oposisi biner tetapi pada akhirnya terjebak untuk mengulang konstruksi yang sama seperti dikotomi Barat-Timur Edward Said, center pheri-pheri, global-lokal, dan lain sebagainya yang secara tidak langsung dikotomi tersebut telah melahirkan pihak lain the other. Untuk lebih jelas lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial”, PPKB-LPUI Disampaikan pada Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Universitas Indonesia Depok, 2002, 57-66. 89Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora”, 225. Islam dan sastra wangi. Wacana mengenai perempuan bermula ketika perempuan mulai mengenali dan menyadari esensi dan eksistensi dirinya,90 peran dan posisinya, sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dan kekuasaan atas dirinya sendiri.91 Kesadaran itu muncul seiring dengan berkembangnya ilmu, pengetahuan, wacana, dan ragam bentuk pengalaman lainnya yang diekspresikan dalam berbagai media.92 Teks menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari wacana ini, identifikasi yang dilakukan perempuan terhadap adanya upaya marginalisasi yang ditujukan pada perempuan melalui penggambaran (imagery),93 pencitraan negatif (stereotype),94 penyembunyian perempuan dalam sejarah (hidden from

90Amin mengatakan al-mar’ah hiya insanun mithlu al-rajul la takhtalif ’anhu fi al-a‘da wa wazaifiha wa la fi al-ihsas wa la fi al-fikr wa la fi kulli taqtad}ihi h}aqiqah al-insan min haithu huwa al-insan, lihat Qosim Amin, Tahrir al-Mar’ah (Kairo: Dar al-Maktabah, 1899), 23. Ahmadi juga mengatakan …women;s issues became an integral part of the modern Islamic discourses (everywhere in Muslim countries). Lihat Fereshteh Ahmadi, “Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context”, Journal of Feminist Studies in Religion, Vol.22, No.2, 2006, 35. 91cooke dalam “Arab Women Writers” mengatakan setidaknya pada abad 19 para penulis perempuan di dunia Arab mulai menemukan kebebasannya misalnya Zaynab Fawwaz (1850-1914), Wardah al Yaziji (1838-1924), Mayy Ziyadah (1886-1941), A‘ishah al Taymuriyyah (1840-1918), Malak Hifni Nasif-Bah{ithat al Badiyah (1886-1918) ‘Ulfah al Idlibi (1912), Suhayr Qalamawi (1911), ‘A‘ishah ‘Abd al Rahman-Bint al Shat{i‘ (1912-1974), Layla Ba‘albaki (1936), Latifah al Zayyat (1925), Najibah al ‘Assal (1921). Lihat MM. Badawi, Modern Arabic Literature (UK: Cambridge University Press, 1992), 443, 444, 449, 450. 92Eksistensi dan karya-karya yang ditulis perempuan seringkali mendapat perlakuan berbeda. Lihat Janet Montefiore, Men and Women Writer of The 1930: The Dangerous Flood of History (London and New York: Routledge, 1996), 53. Sastra dibagi dua al adab al niswi wa al adab al dhukuri, lihat A.Khalil Sulaimah dan A.Mashquq Hunayah, “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, al Multaqa al Dawli al Awwal Fi al Must{alah al Naqdi Yaumi, No.9, 2011, 265. 93Novac mengatakan absent in homeless women’s experience of housing. Lihat Sylvia Novac, Joyce Brown, dan Carmen Bourbonnais, No Room of Her Own: A literature Review on Woman and Homelessness (Canada: CMHC, 1996), 9. Evelyn S Newlyn, ‘Image of Woman in Sixteenth-Century Scottish Literary Manuscripts” dalam Elizabeth Ewan dan Maureen M. Meikle, Women in Scotland C 1100 C 1750 (Great Britain: Tuckwell Press, 1999), 56. 94C.Nathan DeWall, T.William Altermatt, dan Heather Thompson, “Understanding of Structure of Stereotypes of Women: Virtue and Agency as Dimensions Distinguishing Female Subgroups” dalam Psychology of Women Quarterly (USA: Blackwell Publishing, 2005), 396. Gardiol Van Niekerk, “Stereotyping Women in Ancient Roman and African Societies: A Dissimilarity in Culture”, Revue Internationale des droits de l’Antiquite, 3 serie, XLVII, 2007, 369. history),95 bahkan hanya sebagai pelengkap sejarah (add a supplement to history)96 telah melahirkan banyak reaksi.97 Pencitraan negatif tersebut terbangun dari teks-teks yang diciptakan oleh dominasi partriarkhi, dengan disertai unsur kesengajaan ataupun tidak. Hal tersebut tidaklah muncul dengan sendirinya dan membukakan kesadaran tentang adanya ketimpangan antara nature-nurture/culture,98 publik-domestik, konstruksi-dekonstruksi yang dialamatkan pada perempuan.99 Semua itu digunakan untuk memikirkan ulang relasi laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga terjadi ketimpangan dalam tatanan dunia realitas dan imajinatif. Kondisi tersebut menuntut adanya keseimbangan untuk menempatkan perempuan dan laki-laki secara proporsional.100 Keseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam teks menjadi tujuan dari pembebasan yang dilakukan oleh penulis perempuan (woman writer).101 Para penulis perempuan tersebut melakukan kritik terhadap

95Istilah ini diperkenalkan oleh Sheila Rowbotham dalam “Hidden from History: Rediscovering Women in History from The 17th Century to the Present“ dan Ann D. Gordon, “The Problem of Women’s History” dalam Berenice A. Caroll, “Liberating Women History: Theoretical and Critical Essay”. Lihat Andi Syamsul Rijal, “Peranan Perempuan dalam Historiografi Indonesia”. Lihat juga Deborah Simnonton, The Routledge History of Women In Europe Since 1700 (London and New York: Routledge, 2006), 8. 96Virginia Woolf, Room of One’s Own, 51 97Reaksi Simone de Beauvoir One is not born but rather become a woman, lihat Judith Butler, “Sex and Gender In Simone De beauvoir’s Second Sex’, Yale French Studies, No.72, 1986, 35. Lihat juga Toril Moi, What Is a Woman? And Other Essays (tp: Oxford University Press, ttt ), 5 dan “I Am Not A Woman Writer”, dalam Feminist Theory (LA: Sage Publications, 2008), 263. Cixous dengan L’ecriture Feminine-Feminine Writing, lihat Héléne Cixous, “The Laugh of The Medusa”, Signs Chicago Journal, Vol.I, No.4, 1976, 878, 883. Woolf dengan A Room of Her Own, lihat Virginia Woolf, Room of One’s Own (London: Grafton, 1977), 7. Luce Irigaray dengan Female Language, lihat Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (USA: Westview, 2009), 156. 98Alison L.Booth dan Patrick J.Nolen, “Gender Differences In Risk Behaviour: Does Nurture Matter?”, IZA Paper, No.4026, 2009, 1-3. 99Simonton menggunakan istilah non-male perspective and non canonical perspective. Lihat Deborah Simnonton, The Routledge History of Women In Europe Since 1700, 3. 100Kondisi ini disebut Rowbotham “The Problem Without A Name” , dalam Sheila Rowbotham, Woman Consciousness, Man’s World (England: Penguin Books, 1973), 3. Friedan menyebutnya dengan “The Problem That Has No Name “ . Lihat Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: Dell Publishing, 1973), 11. 101Cheryl Lange, “Men and Women Writing Women: The Female Perspective and Feminism In US Novels and African Novels In French By Male segala bentuk diskriminasi, subordinasi, dan stereotype yang dilakukan oleh kebudayaan dominan terhadap perempuan. Kehadiran mereka mendapat sambutan, baik yang menerima maupun yang menolak.102 Salah satu bentuk perlawanan terhadap mereka yang menyuarakan pembebasan perempuan dalam karyanya lebih menekankan pada anggapan bahwa gaya penulisan mereka yang mendobrak hal yang tabu, terutama yang berkaitan dengan body dan female sexuality,103 sebagai suatu hal yang berlawanan dengan hakikat tujuan pembebasan perempuan sendiri. Lahirnya genre sastra feminis Islam104 dan sastra wangi dari rahim kesusastraan Indonesia kontemporer tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial, budaya, dan politik yang melingkupinya. Kedua genre sastra tersebut lebih banyak ditulis oleh penulis perempuan terutama penulis angkatan 2000,105 dengan karakteristik adanya semangat menyuarakan and Female Author”, UW-L Journal of Undergraduate Research, XI, 2008, 3. Elizabeth Kowaleski Wallace, Encyclopedia of Feminist Literary Theory (London and New York: Routledge, 2009), 3, 41. Radha Chakravarty selain istilah woman writer juga memberi istilah womanism, lihat Mushira Habib, “Feminism and Literature”, Star Campus, Vol.2, Issue 46, 2007, 1-3. ampus / Vus ॐus / ampus ︐ama aus ΑmΎmus, lihat Aminah Bint Abdurahman “Dirasah Naqdiyah”, Jami‘ah al- Mulk Al-Su’udi, 2009, 48. 102Taufiq Ismail menyebut para penulis perempuan dengan genre Sastra Wangi sebagai Gerakan Syahwat Merdeka dan menyamakan mereka seperti pembajak VCD porno, redaktur majalah cabul, bandar pengedar narkoba dan sebagainya. Lihat Manneke Budiman, “Meninjau Kembali Hubungan antara Sastra dan Budi Pekerti”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No.2, 2012, 138-140. 103Adab al jasadi atau al burnughrafiyal, lihat A.Khalil Sulaimah dan A.Mashquq Hunayah, “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, 265. 104Layoun mengatakan bahwa genre sastra berbau agama tidak hanya ada di kalangan agama Islam semata, tetapi juga agama-agama lainnya. Lihat Mary Layoun, al-Dira>sah al-Adabiyah (Kairo: Latifa Zayyat, 2000), 514-515. Arnez melihat genre Sastra Feminis Islam dan Sastra Wangi hadir sebagi bentuk perjuangan dengan perwujudan dan orientasi yang berbeda tetapi masih dalam kerangka yang sama yaitu usaha untuk melepaskan diri dari cengkaraman dominasi budaya. Lihat Monika Arnez and Cahyaningrum Dewojati, “Sexuality, Morality and The Female Role: Observations on Recent Indonesian Women’s Literature”, Asiatische Studien Études Asiatiques, Lxiv-1-2010, 1-3. Sastra Feminis dimaknai Webster sebagai berikut: Feminist literature...associated with the lives of women. Lihat Wendy Webster, Imagining Home: Gender, Race, and national Identity (London: University College London Press, 1998), vii. 105Mohamad Mozakka, “Perjuangan Perempuan Melawan Hegemoni Patriarkhi”, FIB UNDIP , Vol. 34, No. 2, 2010, 129. Penulis perempuan mengangkat perempuan sebagai tema sentralnya terutama angkatan tahun 2000 misalnya Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Linda Christanty, Nova Rianti Yusuf, Oka Rusmini dan lainnya, walaupun ada beberapa penulis laki-laki yang juga melakukan hal yang serupa misalnya Umar Kayam dengan Sri Sumarah-nya. Lihat Nurhadi, “Dari Kartini Hingga Ayu Utami: perempuan dan semangat pembebasan perempuan dalam karya yang mereka hasilkan. Melalui kedua genre sastra tersebut,106 penulis perempuan mengekspresikan dalam dua kecenderungan sastra yang berbeda bahkan seringkali dikontraskan.107 Melalui media karya sastra juga, mereka membangun dunia perempuan dalam perspektif perempuan dengan menceritakan pengalaman tubuh mereka berhadapan dengan dunia realitas. Pengalaman tubuh yang termanifestasi dalam dua wujud yaitu wujud perempuan berhijab dan wujud perempuan bebas. Kedua representasi perempuan tersebut berada dalam satu garis lurus yaitu menuju interrelasi gender antara laki-laki dan perempuan secara proporsional. Sastra feminis Islam108 menyuarakan perempuan melalui karya sastra dalam perspektif feminisme Islam.109 Genre ini melihat perempuan sebagai pusat bertemunya pemahaman dimensi sosial-budaya dan transendental yang dihadapkan pada perempuan yang termanifestasi dalam penciptaan karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan. Sastra feminis Islam mengakomodasi sastra Islam (Islamic literature)110 yang melihat

Memposisikan Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia”, Jurnal Diksi FBS UNY, No.45, 2007, 1-2. 106Genre sastra seringkali merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat sastra. Lihat , Sosiologi Sastra (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), 4. 107Lihat Riannawati, “Sastra Islami di Tengah Sastra Kontemporer”, Jurnal Nuansa Indonesia, Vol.XIII, No.1, 2007, 5-6. 108Memiliki padanan dengan Islamic Feminism Through Literature, lihat miriam cooke (penulisan nama dengan huruf kecil berdasarkan penulisan nama yang ditulis oleh cooks sendiri), “Islamic Feminism Before and After September 11”, Duke Journal of Gender Law and Policy, Vol. 9, 227, 2002, 229. Literature On Muslim Woman, lihat Priscilla Offenhauer, “Women In Islamic Societies: A Selected Review of Social scientific Literature”, Library of Congress-Federal Research Divisio n, 2005, 71. 109Berbeda dengan feminisme Arab, feminism in the Middle East is a complex term often associated in public discourse as a hybrid concept that somehow points to and implies foreign intervention. Lihat Anastasia Valassopoulos, Contemporary Arab Women Writers: Cultural Expression in Context (London&New York: Routledge, 2007), 13. 110Sastra Islam merupakan sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan dan ajaran Islam, pro kontra mengenai relasi Islam dan sastra terekam baik dalam tulisan Kamil. Lihat Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 76-112 dan Abdul Hadi WM, Islam Cakrawala dan Estetik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 3-22. Sastra Islam dimaknai sebagai sastra tentang orang Islam dan segala amal salehnya, lihat Liaw Yock fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (Jakarta: Erlangga, 1991), 204. Sastra Islam Melayu merupakan sastra tentang orang Islam yang ditulis dengan bahasa Melayu, lihat Bambang Hendarta Suta Purwanta, “Pendekatan Hermeneutik dalam Pendekatan Teks Sastra Islam Melayu”, Humaniora, Vol.Xiii, manusia sebagai makhluk theomorfis,111 feminisme Islam (Islamic feminism)112 yang melihat adanya polarisasi tidak berimbang dalam relasi gender dan agama, interpretasi terhadap agama yang menentukan tatanan yang berlaku dalam dunia realitas, dan sastra feminis (feminist literature)113 yang mengusung penggambaran proporsional terhadap relasi gender dalam dunia imajinatif. Melalui genre sastra ini,114 penulis perempuan berupaya menawarkan alternatif pencerahan dan penyadaran dalam mengembalikan perempuan pada tempatnya dan dalam proses inilah perempuan menemukan harapannya dengan menyatukan dimensi sosial-budaya dan transendental menuju relasi yang harmonis, bukan antagonistik.

No.1, 2001, 82. Prophetic Literature-Sufism-Javanese Sufism yang dipopulerkan oleh Abdul Hadi WM dan Transcendental Literature dipopuerkan oleh Kuntowijoyo, lihat Mohd Faizal, “Javanese Sufism and Prophetic Literature”, International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, Vol.8, No.2, 2011, 189-190. 111Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, 24-25. Makhluk theomorfis memiliki padanan istilah dengan Homo Religious. Bahwa manusiapun disebut juga sebagai Homo Socius, Homo Ethicus, Homo Humanus, Homo Economicus, Homo Homini Lupus, Homo Fabulans, Homo Sapien, Homo Faber, Homo Agens, Animal Symbolicum, dan Animal Rationale. 112Lihat Anitta Kynsilehto, Islamic Feminism: Current Perspective (Finland: Tampereen Yliopiston Julkaisujen Myynti, 2008), 10. Al Qur‘an tidak menolak karya sastra yang mengajak beriman, beramal saleh, mengingat Allah (berzikir), dan mempunyai simpati kemanusiaan yang luas (humanity), lihat Abdul Hadi WM, Islam Cakrawala dan Estetik, 8. Badran membagi feminism menjadi dua yaitu secular feminism dan Islamic feminism. Lihat Margot Badran, “Between Secular and Islamic Feminism/s: Refection on the Middle East and Beyond”, Journal of Middle East Women’s Studies,Vol.1, No.1, 2005, 6. 113Sastra Feminis dimaknai Webster sebagai berikut: Feminist literature...associated with the lives of women. Lihat Wendy Webster, Imagining Home: Gender, Race, and national Identity (London: University College London Press, 1998), vii. Disebut juga al a‘mal al adabiyah al nisaiyah ( u︐as aps utaus ), lihat A.Khalil Sulaimah dan A.Mashquq Hunayah, “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, 265. Badran mengatakan Islamic feminism which derives its understanding and mandate from the Qur‘an, lihat Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences (UK: Oxford, tt), 242. 114Kendatipun tidak harus selalu ditulis oleh perempuan sebagaimana Ama Ata Aidoo mengatakan i am not a feminist because i write about women. Are men writers male chauvinist pigs just because they write about men? Or is a writer an African nationalist just by writing about Africans? Or a revolutionary for writing about poor oppressed humanity? Obviously not... no writer, male or female, is a feminist just by writing about women, lihat Susan Arndt, “Perspectives on African Feminism: Defining and Classifying African-Feminist Literatures”, Agenda, No.54, 2002, 35. Kehadiran sastra feminis Islam115 menjadi babak penting dalam kesusastraan Indonesia kontemporer, mengingat bahwa nilai-nilai yang ditawarkan dalam genre ini memiliki relevansi dengan perkembangan kebudayaan Indonesia dan cita-cita kehidupan kemanusiaan dan kerohanian (humanity-religiousity) yang seimbang dan harmonis. Media karya sastra menjadi sarana efektif dalam menyebarkan gagasan, pengetahuan, pengalaman, pembebasan jiwa, informasi yang berguna bagi kehidupan bahkan menerobos dunia tidak mungkin menjadi dunia yang mungkin ada-mungkin terjadi (probability).116 Karya sastra bukanlah merupakan imitasi realitas semata ala Plato (imitatio naturae)117 dan bukan pula sekadar menciptakan yang baru dari yang sudah ada ala Aristoteles (creatio ex nihilo),118 tetapi karya sastra lahir dari proses pengilhaman119 setelah seorang penulis mensucikan dirinya serta membuka pikiran dan hati seluas-luasnya bagi kebenaran. Efek yang diberikan karya sastra mampu mempengaruhi, membujuk, merangsang perasaan, dan puncaknya adalah menerobos ke dalam dasar hakikat jiwa manusia dengan mengubah sikap pembaca.

115Penggambaran perempuan juga terlihat dalam al Qur‘an yang menggambarkan Nabi Yusuf dan Zulaykha, Merguerian mengatakan Zulaykha digambarkan female heterosexual desire, lihat Gayane Karen Merguerian dan Afsaneh Najmabadi, “Zulaykha and Yusuf: Whose ‘Best Syory’?”, International Journal of Middle East Studies, Vol.29, No.4, 1997, 489. 116Sastra tidak menyajikan dunia sesungguhnya tapi dunia yang mungkin ada. Kebenaran sastra bermakna kebenaran di luar sastra yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Lihat Max Eastman dalam Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt-Brace and Company, 1948), 24-25. 117Karya sastra bukanlah tiruan dari tiruan lihat The work of art is not a mere copy of life. Lihat Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature, 72. Hasan Baktir, “The Concept of Imitation In Plato and Aristotle (Aristo Ve Plato’Da Taklit)”, Sosyal Bilimler Enstitusu Dergisi Sayi, No.15, 2003, 169-172. 118Sebagaimana Aristoteles mengungkapkan yaitu menciptakan yang baru sehingga karya seni dapat berfungsi sebagai catharsis yaitu dimana karya seni memiliki visi, mampu membentuk dunianya sendiri. Lihat Benjamin Gleede, “Creatio Ex Nihilo: Genuinely Philosophical Insight Derived From Plato or Aristotle? Some Notes On The Treatise On The Harmony Between The Two Sages”, Arabic Sciences and Phiosophy, Vol.22, 2012, 94. 119Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, 48. Sastra yang bernafaskan nilai-nilai Islam120 yang ditulis oleh penulis perempuan tersebut mencoba mengaitkan kembali antara seni dan agama menuju kehidupan yang lebih luas dan harmonis dengan upaya melakukan kritik terhadap adanya ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam tatanan sosial, tekstual dan kontekstual. Selain itu, menyatukan kembali polarisasi dan dikotomi yang merugikan salah satu pihak sebagaimana yang terjadi pada relasi oposisi biner (binary opposition).121 Kehadirannya menjalin kembali keintiman antara dunia lahir dan batin, dimensi sosial dan transendental, bumi dan langit, bahkan menyatukan kembali serbuk-serbuk besi yang bernama manusia dengan magnit-Nya yaitu Tuhan. Karya sastra merekonstruksi dunia realitas dengan memanfaatkan bahasa sebagai medianya yaitu membangun dunia melalui kata. Dengan ciri imajinatif dan kreativitas, karya sastra mentransformasikan dunia realitas tersebut ke dalam teks, melakukan reinterpretasi teks dengan teks. Dalam hal ini eksistensi penulis sastra menjadi penting karena dengan

120Pada awalnya agama hanya dijadikan setting/latar dalam teks sastra tetapi semenjak kemunculan Hamka (Tenggelamnya Kapal van der Wick 1938, Di Bawah Lindungan Ka’bah 1938, Merantau ke Deli 1940, Tuan Direktur 1952), Achdiat K. Mihardja (Atheis), Bachrum Rangkuti (Jabal el Nur 1955), AA Navis (Robohnya Surau Kami, Kemarau), Djamil Suherman (Perjalanan ke Akhirat 1964), Syahril Latif, M.Ali, M. Fudoli, Danarto Jatman, WS.Rendra, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Islamil, dan Abdul Hadi WM persoalan agama berkembang dalam karya sastra. Hal ini semakin semarak dengan kehadiran Gus Mus, Emha Ainun Najib, dan awawi Imron ditambah dengan kehadiran media koran/tabloid/majalah beserta komunitas seperti Forum Lingkar Pena dengan melahirkan banyak penulis produktif seperti Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Abidah el Khalieqy, dan lain sebagainya menempatkan agama tidak sebatas setting/latar tetapi nilai-nilai Islam disuarakan. Mohamad Mozakka, “Perjuangan Perempuan Melawan Hegemoni Patriarkhi”, FIB UNDIP, Vol.34, No.2, 2010, 128-129. Monika Arnez and Cahyaningrum Dewojati, “Sexuality, Morality and The Female Role: Observations on Recent Indonesian Women’s Literature”, Asiatische Studien Études Asiatiques, Lxiv-1-2010, 11. Hadi menilai bahwa pandangan yang menilai karya-karya tersebut hanya menjadikan Islam sebagai setting adalah karena tidak utuhnya pemahaman tentang Islam, bahwa Islam tidak ekadar masalah teologi tetapi juga muamalah. Lihat Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, 199-201. 121Konsep binary oposition sebenarnya istilah yang diambil dari Ferdinand de Saussure yaitu binary combination. Istilah ini telah dipakai dalam struktur-struktur kesadaran pengetahuan dan digunakan dalam ragam kajian lainnya seperti salah satunya adalah kajian poskolonialisme, binary oposition membagi dunia menjadi dua kategori dimana salah satunya biasanya lebih baik dari yang lain.. Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (New York: Philosophical Libarary, 1959), 50. Dalam literary criticism istilah binary opposition ini dipopulerkan oleh Héléne Cixous, lihat Elizabeth Kowaleski Wallace, Encyclopedia of Feminist Literary Theory, 62. kehadirannya menjadikan manusia melihat apa yang sehari-hari dilihatnya dalam kehidupan dan membayangkan apa yang secara konseptual sebenarnya sudah diketahui sendiri oleh manusia.122 Dengan kalimat lain, karya sastra berperan sebagai penuntun hidup dalam bentuk yang lembut, tidak mendikte, sehingga setiap jiwa tidak merasa sedang digurui, hal ini menunjukkan bagaimana sastra mampu masuk dan membentuk watak-watak personal dan sosial, bahkan sebagai penyadar efektif yang diterima secara ramah oleh setiap jiwa.123 Tema dan kecenderungan estetik menjadi pembeda lahirnya genre sastra feminis Islam, dimana pada awalnya sastra yang berbau Islam memiliki kecenderungan sufistik.124 Nuansa sosial, kultural, kekuasaan, dan keagamaan kental terasa dalam pelukisan narasi pada genre sastra feminis Islam ini, dengan menampilkan bahwa Islam tidak hanya terkait dengan masalah teologi semata, tetapi lebih luas dari itu adalah masalah hubungan sosial, mu‘amalah.125 Nilai-nilai Islam, dalam perjalanan sastra Islam Indonesia, menyetubuh dalam karya baik secara implisit maupun eksplisit126 seiring dengan perkembangan dan perubahan situasi dalam dunia realitas. Semangat yang ditawarkan dalam genre ini tidak lagi terbelenggu oleh beban dogma dan adagium sebelumnya yang menyatakan bahwa sastra yang benafaskan Islam adalah menjadi bagian dari dakwah. Kondisi ini semakin berkembang, nilai-nilai agama tidak sekadar menjadi latar belakang yang menghiasi karya sastra tetapi menjadi pemecah persoalan bahkan kritik, sebagai refleksi kritis,127 terhadap ketimpangan yang terjadi dalam pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut.

122Max Eastman dalam Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature, 24. 123Lihat Hasan Alwi, Telaah Sastra dan Bahasa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), 235. 124Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, 199, 201, 211. 125Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, 211. 126Misalnya Atheis Achdiat K. Mihardja, Robohnya Surau Kami AA.Navis, Perjalanan ke Akhirat Djamil Suherman, Iblis Mohamad Diponegoro, Datang Rasul Pergi Rasul Arifin C Noer. 127Hal tersebut juga dilakukan oleh Sayyid Qut{b, many readers only know Sayyid Qutb is an Islamic thinker and not as a creative writer or a literary critic, literary works of Sayyid Qutb fall into two categories, creative works belongs his collection of poems “al Shati‘ al Majhul (Unknown Shore)” 1935, Tifl min al Qarya, Ashwak (Thorns), al Madina al Mashura (The Bewitched City) and critical works Muhimmat al Sha‘ir fi‘l Hayat (The Poets Function in Life) 1932, al Taswir al Fanni fi‘l Qur‘an 1945, Kutub wa-Shakhsiyyat 1946, Naqd al Adabi 1947, and Mashahid al Qiyama fi‘l Qur‘an 1948. Two short essays, Manhaj fi‘l Adab and al Islam H{araka ‘Ibda‘iyya Shamila fi‘l Fann wa‘l Hayat. Lihat Muhammad A.Abubakar, “Sayyid Qut{b’s Interpretation of the Islamic View of Literature”, Islamic Studies, Vol.23, No.2, 1984, 57-58. Adanya pemahaman yang kurang bijak terhadap nilai-nilai Islam yang cenderung berpihak pada kelompok dan jenis kelamin tertentu mengundang perhatian kelompok dan jenis kelamin yang merasa ditidakaadilkan tersebut. Pihak yang paling merasa dirugikan dalam hal ini adalah perempuan. Perhatian ini muncul dari kalangan penulis terutama perempuan yang melihat adanya hubungan relasi yang tidak berimbang dan hal ini diperparah dengan adanya teks-teks baik teks imajinatif maupun non imajinatif. Reaksi ini mewujud dalam bentuk perjuangan melalui karya sastra dengan medium bahasa, membangun dunia melalui kata. Penulis perempuan mencoba melihat perempuan dari kacamata perempuan dengan mengangkat dan memperjuangkan perempuan pada posisi sebenarnya yaitu sejajar dengan laki-laki dalam lingkup nurture/culture, bukan nature.128 Hal ini dilakukan dengan cara mempersoalkan pemahaman laki-laki yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Bentuk kekerasan simbolik ini tidak hanya melembaga dalam tatanan sosial budaya tetapi juga karya sastra, bercampur sehingga menjadi remang dan sulit terdeteksi antara esensi dan eksistensi perempuan. Hal inilah yang kemudian dipahami sebagai ketimpangan relasi gender, oleh kaum feminis disebut sebagai bias gender. Apa yang diperjuangkan oleh feminisme adalah adanya hak bagi perempuan, pembebasan perempuan, dan gender yang berkeadilan.129 Keberadaan pemahaman terhadap nilai Islam tidak bisa dipisahkan dari subjek yang memberikan pemahaman tersebut. Bahwa adanya kehendak untuk menguasai (the will to power)130 dan kecenderungan berdasarkan kepentingan, pengetahuan, dan pengalaman subjektif tertentu tidak bisa dihindarkan dalam proses pemahaman nilai tersebut, tidak representatif. Hasilnya adalah pemahaman yang tidak bebas nilai dan

128That gender symmetry is a universal fact of life and women’s subordination has ecconomic, political, and culture aspects is by now widely recognized, lihat Val Moghadam, “Women, Work, and Ideology in the Islamic Republic”, International Journal of Middle East Studies, Vol.20, No.2, 1988, 221. 129Margot Badran, “Engaging Islamic Feminism” dalam Anitta Kynsilehto, Islamic Feminism: Current Perspective (Finland: Tampereen Yliopiston Julkaisujen Myynti, 2008), 25. Dalam tulisan yang lain Badran mengatakan bahwa dua kecenderungan feminisme yang berkembang di Middle East yaitu secular feminism dan Islamic feminism. Lihat Margot Badran, “Between Secular and Islamic Feminism/s: Refection on the Middle East and Beyond”, 6. Sementara di Mashriq (the Aran northeast of Africa and the Fertile Crescent, Turki dan Iran) selain secular feminism dan Islamic feminism, terdapat juga holistic cultural feminism. Lihat Margot Badran, “Locating Femminism: The Collapse of Secular and Religious Discurses in the Mashriq”, Agenda Empowering Women for Gender Equity, No.50, 2001, 41. 130The will of power as knowledge, The will of power as in nature, The will of power as society and individual, The will of power as art. Lihat , The Will to Power (New York: Vintage Books, 1968), 3, 37, 261, 322, 382, dan 419. pemahaman ini tentunya membuka kemungkinan untuk dilakukan rekonstruksi. Tetapi permasalahannya tidak sesederhana itu, bahwa ada kekuasaan dalam wujud sistem/struktur dan simbol yang diperkuat oleh agen-agen yang mendukung kekuasaan tersebut turut serta melanggengkan ketimpangan tersebut. Faktor yang menjadi hambatan besar dari upaya rekonstruksi relasi gender yang antagonistik ini adalah adanya dominasi budaya patriarkhi yang menentukan peran dan status perempuan dalam sudut pandang laki-laki (male view).131 Sastra feminis Islam memberikan alternatif penawaran bagi perempuan untuk dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan. Irigarai132 melalui konsep ‘bahasa perempuan’ menegaskan bahwa perempuan tidak lagi berbicara seperti perempuan tetapi sebaliknya bahwa perempuan harus berbicara sebagai perempuan, menempatkan perempuan dalam kerangka psikologis dan sosiologis. Hal ini dimaksudkan untuk membebaskan perempuan dari penjara laki-laki yaitu dengan membangun rumah bahasanya sendiri dimana perempuan dapat mengadakan perbaikan nasibnya sendiri secara total di dalam rumah bahasanya tersebut. Sastra Feminis Islam mengisi kekosongan diskursus relasi agama, sastra, dan perempuan.133 Transformasi sosial melalui karya sastra menuju keadaan yang lebih baik menjadi agenda dasar yang diperjuangkan dalam genre sastra ini. Harapan untuk mengimbangi dominasi dunia patriarkhi yang melembaga dalam ragam dimensi kehidupan, disinyalir sebagai upaya agar tidak terperosok pada sebatas merubah kata (changing the words), melainkan pucuk utama yang diperjuangkan oleh penulis perempuan adalah harapan untuk bisa mengubah dunia (changing the world), dunia relasi gender yang berkeadilan. Beban berat ini tidak hanya disandarkan pada kehadiran Sastra Feminis Islam, kehadiran genre sastra yang berjuang dalam dimensi yang berbeda dirasakan perlu untuk mengisi jeruji dalam upaya memutar roda dunia menuju dunia yang berkeadilan.

131Millet menggunakan istilah patriarkhi untuk mengurai sebab-sebab terjadinya penindasan karena laki-laki menempatkan perempuan berada di bawahnya. Kate Millett, Sexual Politics (Chicago: University of Illinois Press, 2000), 26. Begitu juga dengan Lorber, lihat Judith Lorber, Gender Inequalities: Feminist Theories and Politics (New York: Oxford University Press, 2010), 11. 132Luce Irigaray lihat Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 197-199. 133Göle bahkan mengatakan contemporer Islamist movements this was true not only of the militants and politicians, but also of the engineers, lawyers, intellectuals, novelists, and journalists, all contributed to the production, transmission, and dissemination of Islamic values and discourse. Lihat Nilüfer Göle, “Snapshots of Islamic Modernities”, Daedalus, Vol.129, No.1, 2000, 93. Sastra wangi memainkan peran penting dalam proses perjuangan perempuan melalui karya sastra.134 Terlepas dari pro dan kontra yang berada di sekelilingnya, sastra wangi menawarkan kejujuran penulisnya dalam mengaktualisasikan diri dengan menghentak segala yang mapan, segala yang normal, segala yang baik, bahkan segala yang tinggi yang menempatkan pembaca pada posisi untuk berpikir kembali tentang segala yang sudah diterima. Sastra merupakan eksplorasi yang terkadang menghadapkan pembacanya pada situasi yang menakutkan dan situasi yang sulit diterima, tetapi itulah yang dihadirkan sastra, moralitas bukanlah tugas yang harus diemban oleh sastra tetapi pemahaman terhadap moralitaslah yang ditawarkannya kepada masyarakat pembacanya.135 Istilah sastra wangi dalam kesusastraan Indonesia kontemporer digunakan untuk menyebut karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan kelas menengah kota yaitu masyarakat urban yang memiliki tema sentral mengenai perempuan136 dan menjadi menyeruak sebagai sebuah wacana untuk pertama kalinya melalui media masa.137 Kristanto138 menilai istilah sastra wangi ini belum muncul ketika Ayu Utami melahirkan karyanya yang disinyalir sebagai karya sastra kontroversial, Saman tahun 1998 dan

134Kelahiran sastra wangi menimbulkan pro dan kontra misalnya Taufiq Ismail melalui orasi budaya tahun 2006 dengan judul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” mengecam karya yang ditulis oleh para penulis, terutama penulis perempuan yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu dan lain-lain, sebagai Sastra Mazhab Selangkangan dan Fiksi Alat Kelamin. Karya mereka dinilainya sebagai bagian invasi budaya Neo-Liberal yang mengusung pronografi, kebejatan moral, dan hedonisme. Taufiq Ismail tidak saja mengecam karya-karya saja, ia juga mengecam kehidupan pribadi, gaya hidup, dan penampilan para penulis perempuan tersebut. Taufiq Ismail didukung oleh Helvi Tiana Rosa dan Medy Loekito yang juga menilai karya-karya penulis tersebut sebagai karya yang tidak pantas diberikan label sastra. Lihat Manneke Budiman, “Meninjau Kembali Hubungan antara Sastra dan Budi Pekerti”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No.2, 2012, 138-140. 135Konsep Dulce et Utile Horatius dalam Ars Poetica menyatakan bahwa sastra haruslah indah dan bermanfaat menjadi pijakan bahwa sastra haruslah mengandung muatan didaktis bahkan moral. Lihat Raman Selden, A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (Britain: Perason Longman, 2005), 20. 136Lihat uraian mengenai latar belakang lahirnya genre sastra wangi dalam Kristanto, “Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, Leksika, Vol.2, No.2, Agustus 2008, 19. 137Mengenai asal mula labelisasi sastra wangi yang bersumber dari kalangan media. Lihat, A. Junaedi, “Ayu Utami On Literature, Sex, And Politics”, The Jakarta Post, Jakarta, November 13 2005, 3:43 pm. Lihat pula Kristanto, “Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, Leksika Vol.2, No.2, Agustus 2008, 13. 138Kristanto, “ Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, 12. Larung tahun 2001, lalu kemudian secara gencar media masa menganggap Ayu Utami sebagai pelopor lahirnya genre sastra wangi.139 Upaya pembebasan yang dilakukan oleh perempuan (agen dalam perspektif Bourdieu), baik dalam dunia realitas ataupun literer, telah menggoncang singgasana kemapanan budaya dominan (structure, system), melalui genre ini para penulis perempuan melakukan pembebasan perempuan dari belenggu patriarkhi. Sebuah sistem, apakah itu border dan rule yang berlaku dalam sosial, budaya, tradisi, rumah tangga, pekerjaan, dan sebagainya, tidak pernah memberikan kebebasan dan kebahagian seutuhnya, sehingga manusia membutuhkan kebebasan untuk itu yaitu berada di luar sistem. Sastra hadir sebagai alternatif yang memberikan penawaran itu, karena sastra bukan nilai, melainkan ekpresi nilai.140 Hal ini mengindikasikan bahwa sastra bukanlah suatu hal yang bersifat normatif. Oleh karena itu, sastra dapat berada di luar sistem yang dapat membawa manusia merasa bebas dan berada di dalam kebebasan dan melalui sastra, penulis perempuan mencoba untuk melakukan pembebasan. Gambaran tokoh perempuan yang digambarkan dalam genre Sastra Wangi ini mencerminkan pengalaman khas perempuan yang bergelut dengan

139“Sastra Wangi”, Istilah sastra wangi juga dipopulerkan oleh sarjana-sarjana yang memberi perhatian pada kesusastraan Indonesia salah satunya adalah Tineke Hellwig. Hellwig semakin mempopulerkan istilah sastra wangi ini dalam kancah akademik secara lebih luas. Tineke Hellwig, “Women Writing about Marriage and Sexuality: Post-1998 Indonesia Fiction”, Asia Research Institute Working Paper, Serie No 152, 15. “Sastra Selangkangan-Fiksi Alat Kelamin”, dipopulerkan oleh Taufiq Ismail. Manneke Budiman, “Meninjau Kembali Hubungan antara Sastra dan Budi Pekerti”, 138. “Sastra Lendir”, Wiyatmi, “Dekonstruksi Sistem Patriarki dan Pencarian Identitas Novelis Perempuan Indonesia Tahun 2000-an”, Bahasa dan Seni, Tahun 40, No.1, Februari 2012, 52. “Sastra Seksual-Feminisme-Perempuan”, Ikhwanuddin Nasution, “Sastra dan Globalisasi: Tantangan Bagi Estetika dalam Dunia Kritik Sastra di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada saat ‘Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Sastra’ Universitas Sumatera Utara, 19. “Sastra Pop”, Micaela Campbell, “No Woman is an Island: Reconceptualizing Feminine Identity in The Literary Works of Ayu Utami”, University of Victoria, 2005, 11. “Sastra Vulgar-Porno-Syahwat”, Else Liliani, “Melacak Jejak Posmodernisme dalam Kumpulan Cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) Karya Djenar Maesa Ayu”, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Cultural Study dalam Kajian Sastra di FBS UNY pada 14-15 September 2005, 16. “Novel Porno”, Yeni Mulyani Supriatin, “Pengungkapan Seksualitas dalam Seni Sastra: Metafor Seksual”, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 22 Tahun 10, April 2011, 1064. dan “Fenomena Seks dalam Karya Sastra”, Wiyatmi, “Fenomena Seks dalam Novel Indonesia Mutakhir Karya Pengarang Perempuan: Kajian Kritik Sastra Feminis”, Jurnal Humaniora (Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Vol.18, No.3, Oktober 2006, 205-317. 140Lihat Budi Darma dalam “Situasi Kritik Sastra Indonesia Sekarang” dalam Musal Esten (Ed), Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (: Angkasa, 1988), 70. dirinya sendiri dan bergelut dengan lingkungan sosial-budaya yang memposisikannya sebagai perempuan justru ditegaskan dan dideklarasikan. Apa yang disampaikan penulis melalui karyanya akan mempengaruhi masyarakat pembacanya, sehingga seringkali keberadaan karya sastra dijadikan ancaman bagi kekuasaan tertentu.141 Gagasan seorang penulis, terutama dalam genre prosa, terlihat dan termanifestasi melalui tokoh utama dalam karya yang dihasilkannya. Tokoh dapat menjadi representasi dari penulis, esensi dan eksistensinya sangat ditentukan oleh penulis dan melalui setiap ucapan, tingkah laku, dan karakter yang digambarkan dalam tokoh secara langsung merefleksikan gagasan penulisnya. Oleh karena itu, karya sastra menjadi media yang efektif untuk mengekspresikan sebuah gagasan dimana eksitensinya seringkali berkaitan dengan dunia yang melahirkannya (inner dialectical). Wacana mengenai perempuan dalam teks sastra bersentuhan dengan gemuruh perubahan sosial dalam dunia realitas melalui pertumbuhan, kemajuan, dan modernisasi yang dilakukan dalam bidang sosial, kultural, politik, ekonomi, dan sebagainya.142 Kondisi tersebut sedikit banyak mempengaruhi perempuan akan eksistensi dirinya yang direpresentasikan dalam male’s view melalui penggambaran negatif. Upaya yang dilakukan oleh perempuan untuk mengimbangi bentuk diskriminatif dalam tataran tekstual ini yaitu dengan memunculkan wacana relasi perempuan dan sastra, misalnya tradisi literer perempuan, penulis perempuan, pembaca perempuan, bahasa perempuan, dan penggesseran dominasi laki-laki dengan perempuan sebagai tokoh utama dalam sebuah narasi. Ketidaksesuaian antara dunia realitas dengan dunia ideal menyebabkan

141Dalam kesusastraan Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada karya yang dihasilkan oleh Pramudya Ananta Toer yang dianggap merusak mental generasi muda oleh pemerintah saat itu, Ki Pandjikusmin dengan Langit Makin Mendung-nya, WS. Rendra, Linus Suryadi AG, dan Emha Ainun Najib dilarang mengadakan pementasan dan pembacaan sajak di depan umum. Dalam kesusastraan Arab, karya-karya Najib al Mahfudz mendapat protes dan kecaman. Dalam kesusastraan Rusia, karya Boris Pasternak dengan Doctor Zhivago, Anna Akhmatova dengan puisi-puisinya yang dianggap dekaden,da karya-karya Alexander Solzhenitsyn dilarang oleh pemerintah Rusia saat itu karena dianggap mengancam pemerintahan. Lihat Sapardi Djoko Damono, Sastra, Politik, dan ideologi (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1994), 2-4. 142Identifikasi relasi yang terbentuk antara gerakan pembebasan terhadap perempuan dengan situasi perubahan sosial misalnya lahirnya teori perubahan sosial sedikit banyak mempengaruhi kesadaran perempuan untuk melakukan pembbebasan misalnya teori evolusi/organik Hegel dan August Comte, teori fungsionalisme struktur Robert Merton dan Talcott Parsons, teori modernisasi Mc Clelland, Human Capital Theory Theodore Shultz, teori konflik Karl Marx, dependency theory Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, teori pembebasan pedagogy of the oppressed Paulo Freire, dan teori kekuasaan dan dskursus Michel Foucault. Lihat Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 29-40. lahirnya sentimentalisme, begitu pula dengan dunia perempuan. Dalam konteks inilah, pembicaraan mengenai karya-karya pengarang perempuan menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bagi feminis, norma-norma dan budaya yang berlaku tidak lebih sebagai bentuk perpanjangan tangan dari dominasi patriarkhi yang harus direkonstruksi salah satunya melalui media tulisan, media karya sastra, hal ini diyakini karena tulisan memiliki kekuatan yang tidak berhenti pada teks, teks akan terus hidup dan akan terus mereproduksi sesuai dengan subjek yang berhadapan dengannya. Perbedaan dalam menghayati sistem nilai dan pandangan dunia yang mempengaruhi proses kreatif sebagai sebuah tanggapan evaluatif subjek kreator terhadap dunia realitas melahirkan kecenderungan terhadap pola tertentu seperti yang terjadi diantara kedua tradisi kesusastraan saudara serumpun, Indonesia dan Malaysia. Perbedaan tersebut justru memperkaya tradisi kesusastraan sekaligus menjadi refleksi yang saling mengayakan satu dengan yang lain. Dalam hal ini, karya sastra (works) menjadi sebuah media yang efektif dalam mengungkapkan sebuah gagasan penulis (author), melalui eksplorasi bahasa sebuah gagasan akan sampai kepada pembaca (audience). Gagasan tersebut merupakan hasil abstraksi dan kristalisasi terhadap realitas yang ditemukannya baik berupa negasi, inovasi, bahkan afirmasi terhadap realitas tersebut.

Kesimpulan Perempuan direpresentasikan menjadi perempuan yang memiliki diri yang bertubuh, yang tidak sekadar melihat tubuh dalam kapasitas fisik, melainkan kenyataan fisik yang tidak terpisahkan (inseparable) dari keseluruhan hakikat dirinya. Esensi seorang perempuan tidak bisa dipisahkan dengan eksistensinya, begitu juga sebaliknya. Esensi dan eksistensi perempuan tidak ditampilkan seperti seharusnya perempuan, melainkan ditampilkan sebagaimana adanya perempuan. Hal inilah yang kemudian menjadi magnit yang memiliki daya tarik dalam dunia kesusastraan. Kehadiran karya yang ditulis oleh Abidah el Khalieqy dengan Perempuan Berkalung Sorban-nya, Ayu Utami dengan Saman-nya, dan karya lainnya dalam tradisi kesusastraan Indonesia dan kehadiran Trilogi Khadijah Hashim (2000) karya Khadijah Hashim, Salam Maria (2000) karya Fatimah Busu, Syumul (2002) karya Ashmah Nordin, dan Haruman Kencana (2004) karya Zaharah Nawawi dalam tradisi kesusastraan Malaysia semakin menyemarakkan geliat pertumbuhan dunia kesusastraan. Makalah ini tentu saja mengandung banyak kelemahan dan tambal sulam di sana-sini, oleh karena itu penulis menghaturkan permohonan maaf atas kekurangan tersebut. Semoga kekerabatan yang terjalin antara Indonesia-Malaysia laiknya air, dia tidak dapat diremukkan palu ataupun dilukai pisau, bahkan pedang paling ampuh sedunia pun tak akan mampu menggoresi permukaannya, meminjam ucapan Coelho. Semoga! Bibliografi:

Abrams, MH. 1971. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition, New York: Oxford University Press.

Abdurahman, Aminah Bint. 2009. “Dirasah Naqdiyah”, Jami‘ah al- Mulk Al-Su’udi.

Abubakar, Muhammad A. 1984. “Sayyid Qutb’s Interpretation of the Islamic View of Literature”, Islamic Studies, Vol. 23, No. 2.

Ahmadi, Fereshteh. 2006. “Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context”, Journal of Feminist Studies in Religion, Vol. 22, No. 2.

Albrecht, Milton C. 1954. “The Relationship of Literature and Society”, American Journal of Sociology, Vol. 59, No. 5.

Alcoff, Martín. 2006. Visible Identities: Race, Gender, and The Self, New York: Oxford University Press.

Allen, Roger (Ed). 2008. Arabic Literature in The Post-Classical Period, New York: Cambridge University Press.

Alwi, Hasan. 2002. Telaah Sastra dan Bahasa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Amin, Qosim. 1899. Tahrir al-Mar’ah, Kairo: Dar al-Maktabah.

Anderson, Elizabeth. 1995. “Feminist Epistemology: An Interpretation and A Defense”, Hypatia, Vol. 10, No .3.

Arndt, Susan. 2002. “Perspectives on African Feminism: Defining and Classifying African-Feminist Literatures”, Agenda, No. 54.

Arnez, Monika dan Cahyaningrum Dewojati. 2010. “Sexuality, Morality and The Female Role: Observations on Recent Indonesian Women’s Literature”, Asiatische Studien Études Asiatiques, Lxiv-1.

Badawi, MM. 1992. Modern Arabic Literature, UK: Cambridge University Press.

Barendregt, Bart. 2006. “Between M-Governance and Mobile Anarchies: Pornoaksi and The Fear of New Media in Present Day Indonesia”. ______. 2006. “Sex, Phones and Youth Culture: Pornoaksi and The Fear of New Media in Present Day Indonesia, Mobile and Popular Culture Session 1 “Mobile and Pop in Asia”, Asia Culture Forum, 2006.

Badran, Margot. 2005. “Between Secular and Islamic Feminism/s: Refection on the Middle East and Beyond”, Journal of Middle East Women’s Studies,Vol.1.

______.2001. “Locating Femminism: The Collapse of Secular and Religious Discurses in the Mashriq”, Agenda Empowering Women for Gender Equity, No. 50.

Baktir, Hasan. 2003. “The Concept of Imitation In Plato and Aristotle (Aristo Ve Plato’Da Taklit)”, Sosyal Bilimler Enstitusu Dergisi Sayi, No. 15.

Bassiouney, Reem. 2010. “Redefining Identity Through Code Choice in al Hubb Fi ‘l Manfa By Baha Tahir”, Journal of Arabic and Islamic Studies, No. 10.

Blyn-LaDrew, Roslyn. 1996. “Geoffrey Keating, William Thoms, Raymond Williams, and the Terminology of Folklore: “Béaloideas” as a Keyword”, Folklore Forum, Vol 27, No. 2.

Bourdieu, Pierre. 1996. “Physical Space, Social Space, and Habitus”, Departement of Sociology, University of Oslo.

______. 1995. The Rules of Art Genesis and Structure of The Literary Field, California: Stanford University Press.

Bozovic, Miran. 1995. Jeremy Bentham: The Panopticon Writings, London, New York: Verso.

Budianta, Melani. 2002. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial”, PPKB-LPUI Disampaikan pada Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Universitas Indonesia Depok.

Budiman, Manneke. 2004. “Ketika Perempuan Menulis”, PROSA, No. 4.

______. 2012. “Meninjau Kembali Hubungan antara Sastra dan Budi Pekerti”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No. 2.

Booth, Alison L dan Patrick J.Nolen. 2009. “Gender Differences In Risk Behaviour: Does Nurture Matter?”, IZA Paper, No. 4026. Brooks, Ann. 1997. Postfeminism: Feminism, Cultural Theoory, and Cultural Forms, London&New York: Routledge.

Butler, Judith. 1986. “Sex and Gender In Simone De beauvoir’s Second Sex’, Yale French Studies, No.72.

Campbell, Micaela. 2005. “No Woman is an Island: Reconceptualizing Feminine Identity in The Literary Works of Ayu Utami”, University of Victoria.

Chinweizu. 1990. Anatomy of Female Power: A Masculinist Dissection of Matriarchy, Nigeria: Pero Press.

Cixous, Héléne. 1976. “The Laugh of the Medusa”, Signs Chicago Journal, Vol. I, No. 4. cooke, miriam. 2002. “Islamic Feminism Before and After September 11”, Duke Journal of Gender Law and Policy, Vol. 9.

Damono, Sapardi Djoko. 1976. Sosiologi Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

______. 1994. Sastra, Politik, dan Ideologi, Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Danerek, Stefan. 2006. “Tjerita and Novel Literary Discourse In Post New Order Indonesia”, The Centre for Languages and Literature.

Darmi, Ramiza dan Peter Albion. 20013. “English Language in Malaysian Education System: Its Existence and Implication”, 3nd Malaysian Postgraduate Conference (MPC2013), 3-4 Jul, Sydney, Australia.

D.Bonn, Julien. 2010. A Comprehensive Dictionary of Literature, Delhi: Abhishek.

DeWall, C.Nathan. T.William Altermatt, dan Heather Thompson. 2005. Psychology of Women Quarterly, USA: Blackwell Publishing.

Eagling, Caroline Melita. 2011.“Socio-Political Issues in Women’s Fiction of The Reformasi”, University of Tasmania, November 2011.

Empson, William. 1949. Seven Types of Ambiguity, London: Chatto and Windus. Esten, Musal (Ed). 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, Bandung: Angkasa.

Ewan, Elizabeth dan Maureen M. Meikle. 1999. Women in Scotland C 1100 C 1750, Great Britain: Tuckwell Press.

Gottesfeld, Dorit. 2013. “Mirrors of Alienation: West Bank Palestinian Women’s Literature after Oslo”, Journal of Arabic and Islamic Studies, No. 13.

Gleede, Benjamin. 2012. “Creatio Ex Nihilo: Genuinely Philosophical Insight Derived From Plato or Aristotle? Some Notes On The Treatise On The Harmony Between The Two Sages”, Arabic Sciences and Phiosophy, Vol. 22.

Göle, Nilüfer. 2000. “Snapshots of Islamic Modernities”, Daedalus, Vol. 129, No. 1.

Graham, Duncan. 2012. “Obituary: Lan Fang: A Beacon in Local Literature”, The Jakarta Post, Surabaya, 04 January 2012, 9:59 am.

______.“Ratna Indraswari Ibrahim: 'See The Person, Not The Problem'”, The Jakarta Post, Jakarta, 17 June 2007, 9:32 am.

Hussein, Ismail. 1966. “The Study of Traditional Malay Literature”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 39, No. 2, 1-22.

Faizal, Mohd. 2011. “Javanese Sufism and Prophetic Literature”, International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, Vol. 8, No. 2, 189-190.

Fakih, Mansoer. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Friedan, Betty. 1973. The Feminine Mystique, New York: Dell Publishing.

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta: Erlangga.

Foucault, Michel. 1995. Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Translated by Alan Sheridan, New York: Vintage Books.

Habib, Mushira. 2007. “Feminism and Literature”, Star Campus, Vol. 2, Issue 46. Hackett, Elizabeth and Sally Haslanger. 2006. Theorizing Feminism, USA: Oxford Univ Press. Hall, Stuart. 1990. Cultural Identity and Diaspora Identiy: Community, Culture, Difference, London: Lawrence and Wishart.

Hellwig, Tineke. “Women Writing about Marriage and Sexuality: Post-1998 Indonesia Fiction”, Asia Research Institute Working Paper, Serie No. 152.

Hickman, Miranda B dan John D. McIntyre. 2012. Rereading The New Criticism, USA: Ohio State University Press.

Hayati, Yenni. 2012. “Dunia Perempuan dalam Karya Sastra Perempuan Indonesia: Kajian Feminisme”, Jurnal Humanus, Vol. XI, No. 1. al Hujelan, Naser. 2004. “Formalism and Early Structuralism 1914-1940”, Summer, I.

Ismah, Nor. 2011. “The New Generation of Women Writers from The Pesantren Tradition in Indonesia”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 11, Issue 1, Spring 2011.

Ismail, Hashim. 2007. “Sejarah Penulisan Novel di Malaysia: Isu dan Cabaran”, Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 18, 25-40.

Junaedi, A. 2005. “Ayu Utami On Literature, Sex, And Politics”, The Jakarta Post, Jakarta, November 13 2005.

Kamil, Sukron. 2012. Teori kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Pers.

Kynsilehto, Anitta. 2008. Islamic Feminism: Current Perspective, Finland: Tampereen Yliopiston Julkaisujen Myynti.

Khalbuni, Khalid. 2010. “Adab al-Mar’ah fi al-‘Ashr al-‘Abbasi wa al-Malamih al-Faniyah”, Majalah Jami‘ah Dimishqa, Vol. 26.

Kristanto, 2008. “Beberapa Aspek Seputar Sastra wangi”, Leksika, Vol. 2, No. 2, Agustus.

Lange, Cheryl. 2008. “Men and Women Writing Women: The Female Perspective and Feminism In US Novels and African Novels In French By Male and Female Author”, UW-L Journal of Undergraduate Research, XI.Layoun,Mary. 2000. al-Dirasah al-Adabiyah, Kairo: Latifa Zayyat.

Layoun, Mary. 2000, al-Dirasah al-Adabiyah, Kairo: Latifa Zayyat.

Liliani, Else. 2005. “Melacak Jejak Posmodernisme dalam Kumpulan Cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) Karya Djenar Maesa Ayu”, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Cultural Study dalam Kajian Sastra di FBS UNY pada 14-15 September 2005.

Litz, A. Walton. Louis Menand dan Lawrence Rainey. 2008. The Cambridge History of Literary Criticism: Modernism and New Criticism, UK: Cambridge University Press.

Lorber, Judith. 2010. Gender Inequalities: Feminist Theories and Politics, New York: Oxford University Press.

Mallari, Luisa J. 1994. “Kedudukan Novel Filipina dan Melayu dalam Pengajian Sejarah Kesusastraan: Beberapa Catatan Kesusastraan”, Akademia 45, 69-77.

Maman S. Mahayana. 2001. Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, Magelang: Indonesiatera, 2001.

______. 1995. Kesusastraan Malaysia Modern, Jakarta: Pustaka Jaya.

Merguerian, Gayane Karen dan Afsaneh Najmabadi. 1997. “Zulaykha and Yusuf: Whose ‘Best Syory’?”, International Journal of Middle East Studies, Vol. 29, No. 4.

McLarney, Ellen. 2002. “Unclocking the Female in Ahlam Mustaghanami”, Journal of Arabic Literature, Vol. 33, No. 1.

Mikics, David. 2007. A New Handbook of Literary Terms, London: Yale University Press.

Millett, Kate. 2000. Sexual Politics, Chicago: University of Illinois Press.

Moghadam, Val. 1988. “Women, Work, and Ideology in the Islamic Republic”, International Journal of Middle East Studies, Vol. 20, No. 2

Moi, Toril. What Is a Woman? And Other Essays, tp: Oxford University Press. Montserrat, Dominic. 1950. Greek, Ancient: Prose, dalam Gaëtan Brulotte and John Phillips, Encyclopedia of Erotic Literature, New York: Routledge.

Mozakka, Mohamad. 2010. “Perjuangan Perempuan Melawan Hegemoni Patriarkhi”, FIB UNDIP , Vol. 34, No. 2.

Nasution, Ikhwanuddin. “Sastra dan Globalisasi: Tantangan Bagi Estetika dalam Dunia Kritik Sastra di Indonesia”, Universitas Sumatera Utara.

Nietzsche, Friedrich. 1968. The Will to Power, New York: Vintage Books.

Niekerk, Gardiol Van. 2007. “Stereotyping Women in Ancient Roman and African Societies: A Dissimilarity in Culture”, Revue Internationale des droits de l’Antiquite, 3 serie, XLVII.

Nurhadi. 2007. “Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia”, Jurnal Diksi FBS UNY, No. 45.

Novac, Sylvia. Joyce Brown, dan Carmen Bourbonnais. 1996. No Room of Her Own: A literature Review on Woman and Homelessness, Canada: CMHC.

Offenhauer, Priscilla. 2005. “Women In Islamic Societies: A Selected Review of Social scientific Literature”, Library of Congress-Federal Research Division.

Purwanta, Bambang Hendarta Suta. 2001. “Pendekatan Hermeneutik dalam Pendekatan Teks Sastra Islam Melayu”, Humaniora, Vol. Xiii, No. 1.

Philip, Etyang. 2011. “Women In Oral Literature”, Makalah yang disampaikan di Kenyatta University yang bertemakan “Perempuan dalam Folklore Afrika” 15 November 2011.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2004. “Abjek dan Monstrous Feminine: Kisah Rahim, Liur, Tawa, dan Pembalut” ttp.

Purwanta, Bambang Hendarta Suta. 2001. “Pendekatan Hermeneutik dalam Pendekatan Teks Sastra Islam Melayu”, Humaniora, Vol. Xiii, No. 1.

Rahayu, Ruth Indiah. 2013. “Perempuan Pencipta Narasi: Adakah Menulis Sejarah Perempuan?”, Makalah yang disampaikan di Salihara, 09 April 2013. Ransom, John Crowe. 1971. Criticism as Pure Speculation, New York: Harcourt, Brace, Jovanovich.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Richards, Ivor Armstrong. 1930. Practical Criticism: A Study of Literary Judgement, London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co. Ltd.

Riannawati. 2007. “Sastra Islami di Tengah Sastra Kontemporer”, Jurnal Nuansa Indonesia, Vol. XIII, No. 1.

Rowbotham, Sheila. 1973. Woman Consciousness, Man’s World, England: Penguin Books.

Roff, William R.. 1974. “The Mystery of the First Malay Novel (and Who Was Rokambul?)”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 130 Leiden, No. 4, 450-464.

Ronen, Ruth. 1994. Possible Worlds In Literary Theory, USA: Cambridge University Press.

Saman, Sahlan Mohd. 2001. Novel-novel Perang dalam Kesusastraan Malaysia, Indonesia, dan Filipina; Suatu Perbandingan, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Saraswati, Ekarini. 2010. “Pergeseran Citra Pribadi Perempuan Dalam Sastra Indonesia: Analisis Psikoanalisis Terhadap Karya Sastra Indonesia Mulai Angkatan Sebelum Perang Hingga Mutakhir”, Jurnal Artikulasi, Vol. 10, No. 2 Agustus 2010.

Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in General Linguistics, New York: Philosophical Libarary.

Sawitri, Adisti Sukma. 2012. “Decadence of Fiction?”, The Jakarta Post, Jakarta, 30 December 2012, 10:42 am.

Selden, Raman. 2005. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Britain: Perason Longman.

Simnonton, Deborah. 2006. The Routledge History of Women In Europe Since 1700, London and New York: Routledge. Sulaimah, A.Khalil dan A.Mashquq Hunayah. 2011. “al Adab al Niswi Baina al Markaziyah wa al Tahmish”, al Multaqa al Dawli al Awwal Fi al Mustalah al Naqdi Yaumi, No.9.

Snir, Reuven. 2004. “Modern Arabic Literature and Islamist Discourse ‘Do Not Be Coolness, Do Not Flutter Safety”, Journal of Arabic and Islamic Studies, No. 5.

Starkey, Paul. 2006. Modern Arabic Literature, Edinburgh: Edinburgh University Press.

Supriatin, Yeni Mulyani. 2011. “Pengungkapan Seksualitas dalam Seni Sastra: Metafor Seksual”, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 22 Tahun 10.

Thirusanku, Jantmary dan Melor Md Yunus. 2014. ‘Status of English in Malaysia”, Asian Social Science, Vol. 10, No. 14, 254-260.

Tong, Rosemarie Putnam. 2009. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, USA: Westview.

Uthman, Ibrahim Olatunde. 2010. “A Triadic Re-Reading of Zaynab al Ghazali and the Feminist Movement in Islam”, Islamic Studies, Vol. 49, No. 1.

Valassopoulos, Anastasia. 2007. Contemporary Arab Women Writers: Cultural Expression in Context, London&New York: Routledge.

Wallace, Elizabeth Kowaleski. 2009. Encyclopedia of Feminist Literary Theory, London and New York: Routledge.

Webster, Wendy. 1998. Imagining Home: Gender, Race, and national Identity, London: University College London Press.

Wimsatt Jr, William K. & Monroe C. Beardsley. 1954. The Verbal Icon: Studies in the Meaning of Poetry, Lexington: University of Kentucky Press.

Wiyatmi, 2012. “Dekonstruksi Sistem Patriarki dan Pencarian Identitas Novelis Perempuan Indonesia Tahun 2000-an”, Bahasa dan Seni, Tahun 40, No. 1.

______.2006. “Fenomena Seks dalam Novel Indonesia Mutakhir Karya Pengarang Perempuan: Kajian Kritik Sastra Feminis”, Jurnal Humaniora (Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Vol. 18, No. 3, Oktober 2006.

Weiss, Dennis. 1993. “Identity, Difference, and Community”, Presented at the Discovering our Past Defining our Future Women’s Studies Conference, Western Kentucky University, Bowling Green, Kentucky, September 23-24.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1948. Theory of Literature, New York: Harcourt-Brace and Company.

WM, Abdul Hadi. 2000. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya, Jakarta: Pustaka Firdaus.

______. 2001. Tasawuf yang Tertindas, Jakarta: Paramadina.

Woolf, Virginia. 1977. Room of One’s Own, London: Grafton.

.