KERETA SINGO BARONG DI KERATON KASEPUHAN

Sumino *)

ABSTRACT

This study to look at the changes the meaning of Singo Barong in the context of the past as understood by the public Cirebon in the present. In the time, the train experienced a period of transit which to change the context in which the material or object of art will have meaning. As a result of the frequent occurrence of changes in the context of the meanings are often subject to change. It is an art object in transition, experiencing a change of meaning as a result of changes in context. Change of meaning will evoke an emotional response when crossing cultural boundaries. Reading of documents or artifacts that are relevant necessary to achieve a deeper meaning and detail. Therefore anthropological perspective that links production and consumption of artifacts are not separated from the question of the culture, politics, religion and others. Borrowing the theory of "processual relativism" Svasek will bring an understanding of the art material in a different time and space. At least not with borrowed this theory will be obtained the values behind the train characteristics. By finding the characteristics at a certain time and space will be acquired meaning, then what meaning it will be reviewed and compared. Such way of thinking is more easy to see the socio-cultural change at both the pattern of thought or social institutions Kasepuhan Cirebon . Singo Barong train its existence is equivalent to other objects stored in the Museum Kasepuhan Cirebon, such as , batik cloth, weapons, and so forth. Artifacts have the same weight value when used as a tool in the ritual. But the context has a different meaning, is associated with the constituent. From time to time, the meaning is changed, both in social and cultural areas. Religious meaning at the time of the kings was in power changed the fulfillment of the ritual or ceremonial, then change as the fulfillment of the economy and tourism.

Keywords: Train Singo Barong, Svasek, Changes

LATAR BELAKANG pemujaan, arena sirkus, keraton dan Kereta yang ditarik oleh kuda, sapi sebagainya. ataupun kerbau pada umumnya dipahami Di keraton Kasepuhan Cirebon oleh masyarakat sebatas sarana transportasi terdapat kereta yang diukir berbentuk atau alat angkut hasil-hasil pertanian hewan aneh dan langka, bahkan hewan maupun perkebunan, oleh karenanya variasi semacam itu tidak dijumpai di alam ini. dari alat angkut tradisional ini beragam Masyarakat Cirebon menyebutnya kereta antara lain dokar, andong, cikar, kereta Singo Barong. Digagasnya kereta tersebut perang, kereta kuda, atau kereta kencana. merupakan upaya untuk kepentingan Beragamnya kereta tersebut akan berubah upacara Kirab dan upacara Penobatan Raja, nilai dan fungsinya apabila kereta itu sehingga derajatnya tidak sama diletakkan dalam ruang pameran, galeri, sebagaimana kereta yang dibayangkan oleh museum, tempat keramat, tempat

*) Sumino ([email protected]), Staf Pengajar Program Studi Kriya Seni, Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni .

78 Sumino, Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon [ 79

masyarakat petani ataupun masyarakat bentuk kereta kebesaran raja berukirkan pada umumnya. makhluk Prabangsa,1 bercampurnya budaya Ciri-ciri ukiran hewan aneh itu antar negara itu kemudian menjadi identitas memberikan gambaran pada masyarakat “Budaya Caruban“. Kata caruban itu sendiri bahwa konstruksi kebudayaan Cirebon di mengandung makna campuran yang masa silam terbentuk dari tiga kekuatan kemudian oleh masyarakat Cirebon kata besar, yakni kebudayaan Cina, India, dan Caruban itu lama kelamaan dirubah ucapan Mesir. Penyatuan ketiga kebudayaan menjadi Cirebon (Argadikusuma, tt: 9). tersebut kemudian diwujudkan dalam

Gambar 1. Kereta Singo Barong Keraton Kasepuhan Cirebon Sumber: Sumino, 2012

Kereta Singo Barong merupakan Barong mengingatkan kepada ukir-ukiran suatu fenomena menarik, terutama pada gaya Cina dan peran-peran masyarakat Cina wujud fisiknya bila dikaitkan dengan ilmu di Cirebon waktu itu, sedang di bagian seni kriya.2 Kereta ini nampak unik, baik ukiran belalai Gajah yang melilit senjata bentuk, konstruksi, tata warna maupun ukir- Trisula mengingatkan peran-peran penting ukirannya. Ciri-ciri yang diamati akan kaum Hindu India kaitannya dengan menuntun masyarakat dalam memahami keberadaan tiga Dewa (Argadikusuma: tt: konteks kereta Singo Barong, bahkan 8). sampai pada persoalan budaya, politik, Dapat dilihat bagaimana pengaruh kekuasaan, agama, dan sebagainya. Sejak Hindu-Budha, Cina, Islam berkembang kemunculannya hingga sekarang kereta berdampingan di samping tetap merawat Singo Barong telah mengalami transisi dari dan membesarkan budayanya sendiri. generasi satu ke generasi berikutnya. Pengaruh-pengaruh itu menyatu yang Implikasinya, simbol kebesaran, simbol kemudian membentuk struktur budaya kekuasaan, dan kepentingan-kepentingan khas, mulai dari kain batik, seni politik, budaya, dan agama mengalami pertunjukan, seni ukir sampai seni perubahan. arsitektur. Demikian pula sistem Ukiran Naga, Mega Mendung, dan kepercayaan masyarakatnya, sekalipun warna merah keemasan pada kereta Singo Sunan Gunung Jati telah menjadikan Islam 80 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 1 No.1, Mei-Oktober 2012

sebagai basis religi, tetapi apabila kita sejarah seni, sosiologi seni dan studi cermati lebih seksama, budaya Islam dan budaya. Svasek menanggapi pertanyaan Hindu bercampur menjadi bagian adat klasik dari apa yang dianggap merupakan masyarakat Cirebon. Hal-hal semacam itu objek seni dan menolak definisi sebelumnya perwujudannya dapat dilihat pada berbagai yang mendefinisikan seni dalam batas-batas peristiwa keadatan, seperti dalam upacara budaya. Svasek berpendapat bahwa adat Ngunjung, Nyadran, Bancakan, Mapag menggunakan "relativisme prosesual" akan Sri, Bubarikan, sedekah Bumi (Dede membawa pemahaman definisi suatu Wahidin, 2003). material seni pada waktu dan ruang yang Kereta Singo Barong merupakan berbeda, kemudian perkara tersebut bagian dari kebudayaan khas Cirebon, disebut sebagai proses transit dan transisi. kemunculannya digunakan sebagai kontrol Terjadinya transit akan melahirkan sosial di tengah masyarakat multietnis, oleh perubahan-perubahan konteks dimana karenanya muncul dugaan-dugaan apakah material atau objek seni akan memiliki Singo Barong merupakan simbol kebesaran, makna. Sebagai akibat dari sering terjadinya pembeda status sosial, simbol kekuasaan perubahan konteks maka makna sering pula raja, simbol penyatuan antar kekuasaan, mengalami perubahan. Hal ini objek seni ataukah merupakan resistensi terhadap mengalami masa transisi, mengalami kekuasaan. perubahan makna sebagai akibat dari perubahan konteks. Perubahan makna akan KERANGKA TEORI membangkitkan respons emosional saat Objek kajian berdasarkan pada melintasi perbatasan budaya. Svasek juga dokumen-dokumen tertulis, artefak, dan melihat pada kriteria definisi seni lain yang informasi yang disampaikan oleh informan dikaitkan “pasar”. Tema-tema seperti itulah sebagai pijakan untuk menentukan dugaan merupakan sifat transisi seni dan bagaimana awal. Pembacaan lewat dokumen ataupun persepsi itu berubah menurut waktu, artefak merupakan cara kajian yang relevan tempat dan budaya ( Svasek, 2007: 4 ). agar dicapai data yang lebih dalam dan rinci, oleh karena itu dalam tulisan ini BUKTI TERTULIS DAN ARTEFAK menggunakan teori perspektif antropologi Kereta yang ditarik oleh kuda pada seni yang ditulis oleh Maruska Svasek.3 ataupun kerbau merupakan alat angkut Svasek mendefinisikan seni sebagai proses yang belum bisa dipastikan kapan sosial, mempelajari tidak hanya artefak itu munculnya. Pada masa pra sejarah di sendiri dan nilai-nilai dikaitkan dengan Indonesia kereta belum pernah ditemukan, masyarakat, tetapi juga proses produksi dan tetapi keberadaan roda diduga muncul pada konteks yang lebih luas. Memberikan masa bercocok tanam, berkaitan erat gambaran kritis teori antropologi berbagai dengan digunakannnya alat roda tersebut di seni, Svasek menawarkan perspektif baru dalam produksi alat-alat yang terbuat dari yang berpusat pada analisis komoditisasi, tanah liat (gerabah). Pada masa bercocok aestheticisation dan lembaga objek. tanam, manusia telah menunjukkan tanda- Svasek berpendapat, perspektif tanda hidup menetap. Pada masa seperti itu antropologi yang menghubungkan produksi manusia telah pula mengembangkan dan konsumsi artefak tidak lepas pula dari penghidupan baru berupa budidaya persoalan proses budaya politik, agama dan tanaman dalam tingkat sederhana dan lainnya. “Anthropology, Art and Cultural penjinakan binatang-binatang tertentu Production” memberikan gambaran rinci untuk dipelihara. Hal semacam ini juga tentang tema yang penting bagi bidang menimbulkan dugaan bahwa pada masa itu Sumino, Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon [ 81

telah dikenal alat angkut yang telah merekayasa gagasan di bawah frame hirarki menggunakan roda dan ditarik oleh raja-raja di Jawa yang tidak mau binatang kerbau, sapi, atau kuda (Wardana, melepaskan identitas sebagai kelompok 1990:1-2). tersendiri dan berpranata khusus. Informasi tentang adanya alat Penguatan identitas merupakan “strategi” angkut yang menggunakan roda dapat para raja zaman dulu agar klasifikasi ditemukan pada relief candi , kastaistik tetap terpelihara sepanjang , dan naskah kesusastraan. kekuasaan, masyarakat akan mudah Sumber tertulis dari naskah kesusasteraan dikendalikan dalam menata hubungan sosial terdapat pada ceritera Ramayana dan kaum “elite” dan kaum “bawah”. Mahabarata dalam pewayangan. Relief Candi Borobudur yang menggambarkan kereta antara lain terdapat pada bagian cerita Lalitavistara (cerita tentang kehidupan Sidharta Gautama). Gambaran tentang kereta di dalam Candi Prambanan terdapat pada relief cerita Ramayana.

Gambar 3. Andong, merupakan generasi dari delman5, Sumber: utamieka.wordpress.com

Kehadiran kereta di masa sekarang merupakan “revolusi” alat angkut dari masa kolonial terkait dengan kemajuan jaringan jalan akibat dari penebasan hutan pada Gambar 2. Relief kereta pada candi Borobudur awal abad ke-19 (Denys Lombard, 200: 134). mengisahkan ratu Maya mengendarai kereta yang Setelah diketemukan kendaraan mesin, kemudian melahirkan Sidharta Gautama Sumber: gaptekupdate.com,2011 sebagian masyarakat mulai beralih, tetapi di beberapa daerah masih menggunakan Relief pada candi-candi dan tenaga manusia meskipun kereta yang berita-berita tertulis dalam kesusasteraan4 ditarik oleh binatang sudah tidak terhitung menjelaskan bahwa kereta digunakan pada jumlahnya. fungsi-fungsi kehormatan di kalangan Kereta pada awalnya digunakan kastaistik “tertinggi” seperti para sebagai alat transportasi, alat angkut hasil- bangsawan, para ningrat, para kesatria, dan hasil pertanian, hasil-hasil hutan, ataupun tidak ditemui di wilayah kaum bawah atau binatang buruan. Oleh karena pengaruh rakyat jelata. kuat dari kolonial di kalangan bangsawan, Karya sastra dan seni rupa di candi- lahirlah gaya hidup apa yang sekarang disebut dengan Westernisasi atau candi ini merupakan realita yang bisa 6 ditemukan sekarang. Namun sulit diduga, pembaratan kendaraan. Sekarang fungsi apakah karya tersebut merupakan realita kereta bukan lagi sekadar alat angkut, kehidupan masyarakat masa itu, ataukah itu melainkan sudah merupakan bagian dari merupakan kepiawaian seniman dalam “regalia” para raja di Jawa, kereta-kereta 82 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 1 No.1, Mei-Oktober 2012

semacam itu kemudian menjadi kesukaan spesifik. Mungkin saja dilakukan oleh dan kebanggaan beberapa kerajaan seperti individu dengan suatu kelompok, antara Kasultanan Cirebon, Kasultanan Yogyakarta, kelompok satu dengan kelompok yang lain, Kasunanan Surakarta, Kadipaten atau oleh komunitas tertentu di tempat- Mangkunegaran, dan Kadipaten Paku tempat yang dipilih. Alaman. Ritual sifatnya terbatas pada Temuan diskriptif di atas, bila tindakan masyarakat tertentu, atau antar dianalisis menggunakan teori relatifisme lintas kepentingan sosial dan kepentingan Svasek akan memberikan pemahaman religius di suatu negara. Tujuan ritual agama tentang kereta dari berbagai konteks. sangat bervariasi, terkadang meliputi Bahwa pemahaman kereta Singo Barong pemenuhan suatu kewajiban religius yang pada waktu-waktu tertentu, fase-fase ideal sebagai pemenuhan rohanian, tertentu, dan tempat-tempat tertentu akan kepuasan dari kebutuhan emosional, ditafsirkan secara berlainan. Ruang dan memperkuat ikatan sosial, demonstrasi atas waktu sangat menentukan dalam memberi kehormatan, menyatakan keanggotaan makna, oleh karena itu di sinilah kontek seseorang, atau terkadang hanya untuk kereta akan mendapat makna. kesenangan upacara agama sendiri. Para Realitas dalam kehidupan, ahli filsafat, mulai dari Rousseau hingga konteks kereta sebagai sarana transportasi Herbert Spencer, Durkheim menjelaskan di beberapa pedesaan terpelosok masih bahwa ritual-ritual yang melintasi generasi, ditempatkan sebagai alat angkut yang dari primitif hingga masyarakat sekarang penting. Di beberapa pedesaan di Cirebon pada dasarnya dilaksanakan guna masih bertahan dengan tenaga manusia memahami kehidupan sosial atau tenaga binatang sebagai penggerak (Pricthard:1983, 2). alat angkut sederhana. Mereka memilih Berbagai macam ritual merupakan keseran sebagai alat angkut sederhana suatu corak yang hampir ada disemua meskipun kereta yang ditarik oleh kuda masyarakat masa lampau atau kini. Tidak tidak sedikit jumlahnya, apalagi mobil colt, hanya meliputi berbagai upacara pemujaan truk dan sejenisnya. dan sakramen, tetapi juga ritus sumpah kesetiaan, penobatan, dan pelantikan atau KERETA SINGO BARONG DALAM KONTEKS peresmian pengukuhan presiden, RITUAL perkawinan, dan pemakaman. Tetapi tradisi Arti ritual terkadang berbeda-beda, sekolah seperti wisuda, kenaikan pangkat bisa diartikan dengan upacara keagamaan, dan derajat, pawai Veteran, Belanja Natal seperti churh ritual (upacara kegerejaan) dan sebagainya merupakan corak ritual. yang sifatnya pembekalan kerohanian Para ahli antropologi menemukan berbagai dengan capaian kedamaian, ritual dance ritual keagamaan di belahan bumi di setiap (tari keagamaan) dalam capaiannya kultur masyarakat yang berbeda. Dalam mengarah kepada kesejahteraan ritual keagamaan, unsur paling mendasar (Widaryanto, 2007:22 ). Ritual bisa dimaknai adalah variasi antar budaya, isi dan fungsi sebagai suatu tindakan upacara keagamaan, sosial sering menampakkan hal yang eksistensinya sering dikaitkan dengan nilai dominan. Corak ritual yang ada di Keraton simbolik, capaiannya pada umumnya Cirebon sangat beragam, masing-masing ditentukan oleh suatu agama atau oleh ritual memiliki konsep yang bermacam pula. tradisi masing-masing. Suatu ritual Konsep-konsep tersebut bertujuan keagamaan dilakukan pada waktu yang menemukan pemahaman sosial lintas tertentu, atau pada kesempatan yang lebih generasi. Ritual-ritual yang berlangsung Sumino, Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon [ 83

hingga kini nampaknya mewarisi ritual-ritual simbol dengan berbagai interpretasi yang era para wali bahkan ada beberapa konsep melekat padanya. Tetapi ketika diletakkan mengacu zaman sebelum para wali. dalam konteks ritual maka terjadi ”Jamasan” atau memandikan perubahan nilai dan cara pandang. Nilai-nilai Kereta Singo Barong merupakan sala satu yang muncul tidak lain dibentuk dari corak ritual di antara sekian banyak ritual di korelasi teks dengan konteks. Bila mengikuti keraton Kasepuhan. Sehabis dimandikan, paradigma Kuhn, perubahan terjadi pada kereta kemudian dimasukkan kembali tataran metodologis yaitu perubahan dari dalam ruang museum. Setiap hari ruangan pendekatan fungsional menuju kepada kereta Singo Barong berbau menyengat pendekatan interpretasi guna aroma dupa dan bunga. Masyarakat yang mengungkapkan sistem simbolik dan sistem percaya, melemparkan uang serta makna. mengusap benda-benda pusaka itu dengan kain, kemudian diusapkan kain itu ke wajah, KERETA SINGO BARONG DALAM KONTEKS tujuannya tidak lain agar mendapat berkah KERAJAAN dari kekuatan kereta tersebut. Konteks Masih ingat dalam sejarah, di zaman kereta dalam fenomena ritual ini kemudian kerajaan Hindu raja memerlukan legitimasi dianggap memiliki ”roh”, sebagai media sebagai keturunan dewa, bahkan sesekali komunikasi yang menghubungkan antara diakui sebagai titisannya. Karena sama-sama manusia dengan kekuatan roh tersebut. memperkuat legitimasi, raja akan Pada prosesi ritual pernikahan mendukung bahkan menggabungkan dua kerabat keraton, kereta Singo Barong tidak agama. Itulah yang terjadi dengan agama lagi memiliki ”kekuatan” seperti yang Hindu dan Buddha. Tidak jarang raja minta ditunjukkan pengunjung dalam ritual diakui sebagai titisan dewa. Contohnya Ker- ”jamasan”, melainkan hanya sebagai tajaya raja Kediri, yang menuntut agar kendaraan tanpa makna apapun. Kedua rakyat menyembahnya sebagai Batara Guru, peristiwa ritual tersebut bisa dipahami begitu pula Ken Arok yang menggulingkan bahwa kereta ”Singo Barong” terkadang Kertajaya di tahun 1222 (Simbolon, 2000). berperan sebagai simbol, sebagai sesuatu Raja dipandang sebagai keturunan yang telah dimaknai, tetapi di suatu ritual dewa atau dewa-raja, dengan memiliki ciri- tertentu kereta ”Singo Barong” hanya ciri dan sifat magis, keramat dan bahkan sebatas media teks. Sebagaimana teori merupakan pusat dari alam semesta di semiotik Roman Jakobson, bahwa teks ini kalangan wilayah kerajaan. Di Jawa kita me- menekankan pada kemampuan karya seni nemukan banyak bangunan candi yang itu sendiri di dalam mencerminkan dunia megah tempat raja-raja keramat yang nyata atau kenyataan sosial, politik, meninggal dunia disemayamkan. Lain ataupun ekonomi. Atau menekankan kodrat dengan Sriwijaya di , sebagai negara karya seni sebagai struktur yang otonom, pantai yang hidup dari perdagangan, segala bahwasanya seni tidak membutuhkan hal- potensi dan kekuatan rakyatnya diarahkan hal lain di luar dirinya. Bila ingin melihat ke arah teknologi membangun perahu- konteks maka diperlukan teks, dan guna perahu untuk armada perdagangan, menyusun sebuah makna diperlukan sehingga tidak kerap ditemukan asesoris- perhatian terhadap tanda dan simbol asesoris atau atribut raja (Koentjaraningrat, (Budiman, 2003:11). 1971: 23). Ketika kereta dilihat sebagai teks, Kebesaran dan legitimasi raja posisinya menempati nilai fungsi terkadang ditunjukan dengan berbagai pemenuhan material, jauh dari nilai-nilai asesoris, apakah itu pusaka, kendaraan, 84 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 1 No.1, Mei-Oktober 2012

busana, tempat tinggal dan sebagainya. Bukan sebatas ciri fisik yang bisa Tetapi lahir pula dari integrasi antara digunakan untuk membenarkan anggapan pemerintahan kerajaan dan agama, ini melainkan sudah sampai kepada tindakan merupakan unsur penting mengingat fungsi simbol. Sebab melalui simbolisme ini dunia agama dalam masyarakat. Kalau para filsafat dan mistisisme menjadi sangat dekat pembesar negara mewakili satu golongan di dengan realita. masyarakat, agama cenderung mewakili Jika simbol diyakini sebagai alat seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya untuk mendekatkan antara dunia filsafat non-golongan dan non-kelas. Hal ini dan mistis dengan realita, maka gagasan menyebabkan kerajaan-kerajaan tradisional Peter L. Berger tentang simbol sebagai mencari legitimasi (Onghokham, 1983: 94). usaha setiap masyarakat untuk Maka secara sepintas kereta Singo Barong melembagakan pandangan atau dibangun dari kaidah-kaidah budaya yang pengetahuan mereka tentang masyarakat, menyerukan pentingnya agama di dalam di mana dibangun suatu dunia arti simbolik menata masyarakat. Sehingga kereta yang universal, yang kita namakan tersebut tidak dilihat sebelah sebagai pandangan hidup atau ideologi. Dengan kepentingan raja semata melainkan lebih memandang masyarakat sebagai proses kepada kepentingan berbagai lapisan yang berlangsung dalam tiga momen masyarakat. Namun demikian kereta selalu dialektis yang simultan itu; internalisasi, melekat sebagai tanda kebesaran raja di eksternalisasi dan obyektivasi, maka yang sela-sela kepentingan sosial, agama, dan kita namakan kenyataan sosial itu budaya dalam bentuk apapun. merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan KERETA SINGO BARONG DALAM KONTEKS sejarahnya dari masa silam, ke masa kini MITOLOGI dan menuju masa depan (Berger, 1990: xxiii- Fisik kereta “Singo Barong” sangat xxiv). berbeda bila dibanding dengan kereta- Bila di dalam memahami kereta kereta sejenis di beberapa keraton di Jawa. “Singo Barong” harus mensyaratkan Perbedaannya terletak pada bentuk, pelembagaan pandangan ideologi sentuhan ahli ukir dan garapan arsitek yang masyarakat, maka unsur-unsur yang terkait piawai. Sehingga kereta tersebut nampak mesti ditarik ke wilayah prosesi dialektis agung dan mempesona, bahkan nilai-nilai internal, ekternal, dan obyektivasi yang sejarah yang mendasari kemunculannya itu tidak jauh dari peristiwa-peristiwa sosial sangat mencolok. Selain berbeda pada yang terjadi pada masyarakat Cirebon , agar tingkat wujud, kereta “Singo Barong” diperoleh kenyataan yang di bangun oleh memiliki perbedaan pula di tingkat filsafat. masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut gagasan Pada tingkat wujud bisa diamati mengenai simbol dikatakan oleh Turner keindahan-keindahan ukiran, kehalusan bahwa mengkaji melalui simbol akan garapan, konstruksi, penempatan ornamen ditemukan pemilik kebudayaan dan pewaris dan tata warna yang menawan. Sedangkan kebudayaan di generasi-generasi ditingkat filsafat bisa diamati dibalik ciri-ciri berikutnya. Sebab simbol bukanlah hal yang ukiran, tata warna, asal-usul, sejarah, dan jauh dari jangkauan masyarakat, melainkan tindakan-tindakan spiritual terhadap kereta sesuatu yang mereka kenal dan pahami, tersebut. Tindakan-tindakan spiritual itu karena selalu mereka temukan dalam menjadikan kereta “Singo Barong” memiliki kehidupan sehari-hari (Abdullah, 2002:4). kekuatan magis. Jika demikian maka mengenali dan memahami peristiwa-peristiwa sosial sejak Sumino, Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon [ 85

kereta “Singo Barong” digagas bahkan merupakan manifestasi adanya kekuasaan sebelum kereta tersebut digagas, wyapi wyapaka nirwikara, kekuasaan Tuhan merupakan prosesi yang harus Yang Maha Esa yang menguasai seluruh dilembagakan pula kepada generasi ruang dan waktu yang ada di alam raya ( sekarang. Sukanadi, 2002: 111). Kemudian simbol Bila diamati bentuk kepala kereta “trisula” diadopsi sebagai perayaan atas tersebut adalah “naga” bertanduk rusa, dan tercapainya perpaduan budaya dari ketiga berbelalai gajah melilit senjata Trisula. kebudayaan (Hindhu, Budha, dan Islam). Relevansi bentuk “naga” diduga terkait Trisula memiliki makna sangat dangkal bila dengan pentingnya atas pengaruh-pengaruh dikaitkan dengan arti kata, Tri = tiga, Sula = Cina terhadap kebudayaan dan kehidupan Tajam. Tetapi dalam konsepsi Hindu-Jawa sehari-hari orang Jawa. Bagaimana orang memuat falsafah yang ditujukan kepada Cina meningkatkan kenyamanan hidup “un masyarakat dalam mengolah batin lewat sens de confort” dengan berbagai cara dan spiritual guna mencapai “tajamnya alam gaya tersendiri, yang sering diambil alih pikiran manusia “ yaitu menghidupkan daya dalam bentuk dan takaran yang berbeda- cipta, rasa dan karsa. Bagian Badan dari beda oleh masyarakat Jawa (Lombard, 2000: kereta ini berbentuk binatang kuda xx). bersayap, oleh umat Islam dinamakan Naga dipahami oleh masyarakat Buraq, tetapi sulit dikelompokkan ke dalam Cina sebagai lambang kesuburan atau spesies binatang tertentu. Binatang rekaan binatang pembawa berkah. Binatang ini telah menarik simpatisan dikalangan mitologi ini selalu digambarkan memiliki masyarakat Islam, menjadi bagian topik kepala singa, bertaring serigala dan yang menarik bagi Katherine di dalam bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang mengkaji Buraq sebagai kuda Imam Husein seperti ular dengan sisik ikan, tetapi as (Iqbal, 2006: 114). Buraq diyakini sebagai memiliki cakar mirip elang. Sementara Singa kuda Rasulullah dan Imam Husein as. Hal ini dalam masyarakat China merupakan simbol karena Buraqlah yang membawa ruh suci penolak bala, yang di masa sekarang Imam Husein ke sisi Allah Swt setelah menjadi salah satu ciri kebudayaan Cina meninggal syahid di padang Karbala. dalam seni pertunjukan “Barongsai”. Kekuatan lambang ini berpengaruh tidak Barongsai dianggap mendatangkan saja di masa-masa konflik kerajaan Cirebon kebaikan, kesejahteraan, kedamaian, dan waktu itu, tetapi saat sekarang menjadi ikon kebahagiaan. sebuah perusahaan penerbangan komersial Pada bagian samping depan di “Buraq Air Line” meskipun pada akhirnya diletakkan pula dua “naga” bermahkota. perusahaan ini tutup. Berbeda dengan gambaran naga style Cina, Mitologi Buraq di kalangan Islam naga ini diduga mengandung anasir senantiasa dikaitkan dengan keteladanan Hinduistis. Ciri yang memperkuat dugaan itu Nabi ketika hijrah menuju langit lapis tujuh. terdapat pada gaya ekornya yang selalu Pemahaman ini sulit dimengerti pada ditempatkan lebih tinggi, lebih nampak lagi realitanya, tetapi di kalangan masyarakat pada mahkota yang selalu dikaitkan dengan Islam memiliki konsepsi yang dikemas dalam mahkota kemaharajaan para raja Hindu. rukun “iman” yang salah satu dari rukun Trisula dipahami sebagai senjata “iman” tersebut adalah percaya terhadap milik dewa. Sebagai simbol pula oleh Nabi dengan segala tindakannya. penganut kitab Tripitaka guna merujuk Bagian tutup belakang terdapat adanya tiga dewa (Brahma, Wisnu, dan ukiran yang mengambil motif “wadasan”, Siwa) yang disebut dengan Tri Murti, stiliran batu padas yang konon dibawa oleh 86 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 1 No.1, Mei-Oktober 2012

putri Ong Tien Nio dari negeri Tiongkok. Ada menghasilkan susunan kekuasaan yang yang menduga batu padas ini dipakai dibingkai dengan lingkaran yang berlapis- sebagai bahan campuran membuat keramik lapis. Pada zaman Mataram, konsep itu Cina, kebenaran ini perlu diteliti kembali. berkembang menjadi konsep lingkaran- Motif wadasan di kemudian hari menjadi lingkaran konsentris. Di tengah lingkaran motif khas Cirebon, yang pengaruhnya paling dalam adalah kekuasaan raja, istana sampai kepada kain batik, keramik, tatah sebagai poros dan merupakan jantung kota. kulit sungging, dan ukiran kayu. Sebagian Sementara lapisan di sekelilingnya masyarakat mengidentifikasi motif ini sama merupakan wilayah pembungkusnya dengan motif “mega mendung” yang dengan kekuasaan yang berbeda. terkenal itu, meskipun terdapat perbedaan. Awal abad ke-19 Raffles mulai Mega Mendung berada di wilayah atas, menaruh perhatian terhadap topik sedangkan wadasan berada di wilayah “indianisasi” dalam upaya mengkaitkan bawah. Bentuknya sama tetapi “wadasan“ Jawa dengan sistem kekuasaan konsentris sesekali tumbuh tanaman menjalar, kiranya atau kuasa “kemaharajaan”. Perhatiannya ini menjadi pembeda. Motif “wadasan“ pada tata ruang candi Budhis dan patung- dapat ditemukan pada bangunan Sunyaragi, patung dewa agama Hindu terpapar secara juga pada komplek tamansari keraton luas dalam buku The History of , dan Kasepuhan Cirebon. naskah-naskah kesusasteraan dari India Kereta “Singo Barong” memiliki mulai disadur di Jawa. Ramayana dan roda berjumlah empat. Dua roda bagian Mahabharata merupakan naskah pertama. belakang lebih besar ukurannya dibanding Setelah Raffles, gagasan indianisasi dengan dua roda yang ada dibagian depan. kemudian dilanjutkan oleh sarjana-sarjana Roda-roda bagian belakang diperkuat Belanda yang beberapa di antara mereka dengan ruji-ruji dari kayu berjumlah ahli sansekerta. Huruf-huruf sansekerta duabelas, dan sepuluh pada roda depan. inilah kemudian dipelajari untuk Ruji-ruji kayu ditata melingkar mengikuti menginterpretasikan peninggalan- bingkai lingkaran kemudian menuju titik peninggalan Hindu-Budha yang ditemukan tengah sebagai pusat. Kekuatan roda selain di Jawa, meskipun kandungan filsafatnya ditopang oleh ruji-ruji yang menghubungkan tidak begitu banyak. ke poros, diperkuat pula oleh besi melingkar Perlu disebut pula keterkaitan roda dibagian luar roda. Bila dikaitkan dengan kereta “Singo Barong” dengan ajaran Budhis kerajaan Jawa yang menganut aliran yang dikenal dengan konsep Cakrawarti konsentris, maka diinterpretasikan sebagai (cakkavatti), sebagaimana digambarkan upaya mengkultuskan serta memantapkan dalam Cakkavatti-sihanada-sutta. kekuasaan yang terpusat di keraton. Cakrawarti berarti raja dunia, rajadiraja, Interpretasi terhadap roda kereta yang roda-roda keretanya menggelinding “singo barong” ke dalam kerangka tanpa halangan, negaranya membentang kekuasaan konsentris itu lebih relevan bila dari laut ke laut, di tempat penjuru dunia. Ia dikaitkan dengan apa yang disebut menguasai seluruh dunia yang “Mandala”, sejenis maket kosmos sebagai ditaklukkannya bukan dengan kekerasan upaya mengklasifikasi sekaligus pembagian atau dengan pedang, melainkan dengan dan penertiban sistem hirarki kerajaan. kebenaran (dhamma). Dunia hanya Konsepsi Mandala merupakan model mengenal satu cakrawarti pada satu kurun pembagian kekuasaan yang diatur menurut waktu tertentu, lain dengan raja-raja lokal dua poros besar yang saling memotong yang jumlahnya banyak. secara tegak lurus, yang pada umumnya Sumino, Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon [ 87

Apa yang disebut cakra permata Singo Barong ke segala bidang. Selama dua surgawi akan muncul dengan seribu ruji, abad lebih, Singa Barong telah diadopsi roda dan as (poros) serta bagian-bagiannya, masyarakat sebagai media gambar atau ketika seorang cakrawarti memutar roda media komunikasi dalam peningkatan kewajiban maharaja yang suci. Ia hidup perekonomian, baik melalui usaha di bidang dalam kebenaran, mensucikan diri dengan industri batik, lukis kaca, kulit, kebenaran (Krishnanda, 2003: 487). topeng, wayang golek dan sebagainya, bahkan transportasi kereta api jurusan KERETA SINGO BARONG DALAM KONTEKS -Cirebon memberikan andil dalam INDUSTRI PARIWISATA melestarikan batik bertema Singo Barong. Digagasnya kereta Singo Barong Demikian pengaruh dari kereta tersebut tidak lepas dari perkara jaringan Singo Barong di era sekarang meluas hingga sosial yang dibentuk oleh manusia, sebab melintasi bidang-bidang industri pariwisata, manusia menghasilkan sejumlah objek industri sandang, dakwah, transportasi, material tidak hanya untuk memuaskan diri budaya. Tetapi bila kereta Singo Barong sendiri atau orang lain tetapi ada keinginan adalah bagian dari eksistensi norma, maka mewujudkan “kebebasan dan kesadaran keberadaannya digunakan untuk mengatur beraktifitas” untuk mencipta dan standar perilaku masyarakat dalam menunjukkan bahwa manusia ada dalam kehidupan berbudaya dan bermasyarakat. “kehidupan produktif” sehingga dia benar- Jadi, yang dipertaruhkan oleh sang pencipta benar menjadi manusia secara individu terhadap kereta Singo Barong adalah nilai- maupun sosial (Liliweri, 2002). Bila demikian nilai budaya kelompok masyarakat dari maka kereta “Singo Barong” merupakan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu representasi dari perilaku sosial manusia, kereta Singo Barong dalam ranah budaya selanjutnya akan memberi pengaruh pula merupakan sarana komunikasi dengan pada tatanan sosial manusia berikutnya. masyarakat luas untuk berdialog tentang kekuatan, kekuasaan, kesaktian, kehebatan seniman, ataupun mewakili sekelompok komunitas dalam ruang lingkup sejarah, antropologi, arkeologi, sosiologi,ekonomi ataupun ruang-ruang lain. Selain memberikan pengaruh terhadap perekonomian, kereta Singo Barong juga memasuki ruang-ruang pariwisata. Bungkusan bunga yang diletakkan di empat sudut kereta Singo Barong merupakan corak lain dari ritual di Gambar 4. Batik tulis Cirebon motif Singo Barong keraton Kasepuhan Cirebon, sebagai ritual sebagai objek material dalam kesadaran beraktifitas yang menawarkan daya pikat. Ritual yang didasari oleh penawaran daya pikat pada Semenjak keraton Cirebon runtuh, akhirnya melahirkan pemikiran ke arah kereta Singo Barong tidak lagi seutuhnya sektor pariwisata.. Lantaran bunga yang milik keraton akan tetapi milik publik untuk beraroma wangi inilah kesan magis kereta dilestarikan dan dirawat. Bentuk dari semakin kuat. Sebagian besar pengunjung kepemilikan dan perawatan tersebut salah melihat dari sisi magis tersebut kemudian satunya adalah memberikan kebebasan dengan sadar meletakkan selembar atau kepada masyarakat untuk merefleksikan dua lembar uang ribuan di atas kereta. 88 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 1 No.1, Mei-Oktober 2012

Maksud dari pengunjung ini tidak sekadar memaknai artefak yang kini telah berusia sebagai kontribusi masuk museum 462 tahun itu. Rentang waktu yang cukup melainkan juga merupakan sebuah harapan lama itu telah membuat barang seni ini mendapatkan “ berkah ” rezeki tetapi bagi kehilangan “pamor”, sebagaimana para raja penyaji hal ini menjadi media yang bisa terdahulu juga mengalami hal yang sama menyumbang ekonomi. bahwa ketika sudah tidak lagi berkuasa, Sebagai penyaji (fihak Keraton) seluruh atribut kebesaran tinggalah menjadi sebetulnya berharap terjadinya komunikasi barang kenangan. Semula atribut kebesaran antara penggagas kereta Singo Barong raja itu bersifat magis, keramat, atau dengan masyarakat agar tidak terlepas dari bahkan diyakini sebagai sentral kekuatan konteks masa lalu. Tetapi pemahaman alam semesta di wilayah kerajaan, kini terhadap fenomena tersebut tidak seperti berubah menjadi medium seremonial. yang diharapkan. Tidak saja disebabkan oleh Seiring berjalannya ruang dan kemajuan pengetahuan masyarakat, tetapi waktu, dampak sosialnya telah meluas juga disebabkan oleh kultur masyarakat hingga sektor industri dan pariwisata. yang seringkali mengkaitkan situs-situs Wujud atau bentuk dari kereta tersebut “kramat” terhadap ruang pariwisata, telah diadopsi sebagai media gambar atau bahkan menjadi kebijakan pariwisata, media komunikasi dalam peningkatan politik, dan ekonomi wilayah setempat. ekonomi, baik melalui usaha di bidang Kebijakan pemerintah berkaitan dengan industri batik, lukis kaca, wayang kulit, penataan ekonomi diarahkan pada kota topeng, wayang golek, hiasan kereta api dan pelabuhan, kota industri, kota budaya dan meluas hingga bidang industri pariwisata, kota pariwisata. Hal-hal yang bisa dijadikan industri sandang, dakwah dan transportasi. objek pariwisata antara lain cagar alam, Sederetan pengusaha-pengusaha batik, flora-fauna, benda bersejarah, kesenian seniman-seniman Cirebon, pengrajin kecil, rakyat, upacara tradisional dan upacara dan budayawan telah ambil bagian atas daur hidup (Yoeti dalam Adeng: 1998). momentum bersejarah itu.

SIMPULAN CATATAN : Salah satu masalah yang dihadapi di 1Makhluk Prabangsa adalah gambaran tiga binatang abad ke-21 ini adalah perubahan jadi satu , merupakan simbol persahabatan antar bangsa. Belalai Gajah melambangkan persahabatan masyarakat yang sangat cepat, terutama dengan India, kepala Naga melambangkan kompleksitas perubahan sosial dalam persahabatan dengan Cina, Kuda bersayap atau Buroq masyarakat modern. Menyikapi persoalan melambangkan persahabatan dengan Mesir (baca ini, bahwa hidup dalam satu abad, di mana Argadikusuma, “Baluarti Keraton Kesepuhan Cirebon. perubahan sosial terjadi secara cepat sudah Perpustakaan Keraton Cirebon., Iqbal “Kafilah Budaya. Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan merupakan hal yang dianggap biasa. Indonesi”, Jakarta: Citra, 2006). Umumnya perubahan sosial inilah yang mengiringi perubahan-perubahan terhadap 2Seni Kriya memuat pengetahuan yang bisa gagasan, aktivitas, dan artefak. Aktivitas memberikan pemahaman secara terminologi ataupun bisa menemukan bagaimana kebudayaan merupakan wujud kebudayaan sebagai berkembang di tengah masyarakat yang tersebar ke suatu tindakan berpola dari manusia dalam seluruh dunia. Tidak saja melihat bagaimana indahnya masyarakat itu, sedangkan artefak adalah ukiran ataupun beragamnya corak-corak yang ada, wujud kebudayaan fisik yang dihasilkan dari tetapi semua itu terkait dengan realita sosial aktivitas semua manusia dalam masyarakat. masyarakat itu sendiri (baca Blakesley “The Art and Crafts Movement”, cetak ulang, Phaidon, 2009, hal.6, Demikian yang terjadi pada Gustami “Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara”, Kanisius masyarakat Cirebon di masa sekarang dalam Yogyakarta, 2000, hal. 181-208) Sumino, Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon [ 89

menunjukkan bahwa kekuasaan Sunan yang baru itu 3Maruška Svašek is a graduate of the University of sesungguhnya berasal dari mereka, menyutradarai Amsterdam, and has worked for nine years at Queens sebuah penobatan “cara Eropa” (baca Denys University Belfast. She has done extensive research Lombard, “Nusa Jawa: Silang Budaya”, 2000, hal. 107- and has published widely on the topics of art and 108). politics in Ghana and Czechoslovakia/the Czech Republic, on identity formation and the politics of emotion in the Czech-German border region, and on DAFTAR PUSTAKA emotional dynamics and belonging in the context of globalising forces. Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna dan 4Kereta tidak saja menjadi persoalan di zaman Klasik, Pandangan Hidup Jawa. Yogyakarta: tetapi kereta juga menjadi perhatian dalam Balai Kajian Sejarah dan Nilai pewayangan. Kereta memiliki posisi dan peran yang Tradisional. penting yakni sebagai kendaraan raja ketika raja tersebut menjadi duta dalam persidangan- persidangan dengan kerajaan lain, ini dilakonkan Adeng.1998. Kota Dagang Cirebon Sebagai dalam Kresna Duta (Siswoharsojo,1963: 45). Dalam Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Direktorat lakon Kresna Tanding (Radyomardowo, 1959: 109) Sejarah dan Nilai Tradisional, kereta memiliki posisi kunci untuk menggulingkan Direktorat Jendral Kebudayaan kerajaan Astina, dalam ceritera ini kereta dijadikan strategi pihak Pendawa (baca Ki. Siswoharsojo “Sastra Departemen Pendidikan dan Epos Bharata Yuddha.) Kebudayaan.

5 Nama kendaraan ini berasal dari nama penemunya, Ahimsa, Heddy Shri. 2002. Tanda, Simbol, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer Budaya dan Ilmu Budaya. Makalah. dan insinyur pada masa Hindia Belanda. Medali emas diberikan kepada Deeleman atas penemuan “kereta Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya dengan dua roda dan satu kuda dari Batavia“ pada UGM. pameran Kolonial terbesar pertama dan bersejarah di Amsterdam pada tahun 1883, Hadiahnya 350 gulden Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari. bagi C. Deeleman. Pada tahun 1920-an deeleman ini, yang menjadi delman atau dilman dalam perjalanan Jawa Barat: Proyek Pengembangan waktu, sudah sepenuhnya diambil alih, dan menjadi Permuseuman. milik rakyat kecil negeri itu. Deeleman menjadi nama akrab di jalanan modern Hindia-Belanda, seperti Berger, Peter L dan Luckmann Thomas. nama-nama kereta tradisional yang ditarik oleh kuda, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan; sapi, atau kerbau seperti tjikar, gerobak, atau sado. Lambat laun, dan deeleman memimpin banyak tjikar, Risalah tentang Sosiologi gerobak, atau sado mulai menggunakan roda karet. Pengetahuan. Jakarta : LP3ES. Menjelang akhir zaman Belanda, sejumlah deeleman digerakkan oleh motor (baca Rudolf Mrazek, Budiman, . 2003. Semiotika Visual. “Engineers of Happy Land. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni“, 2006: 25). Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. 6Pembaratan sering dipahami sebagai gaya hidup yang sudah terpengaruh oleh budaya Eropa. Sunan Frick, Heinz, 1997, Pola Struktural dan pertama yang menaruh minat akan budaya Barat teknik Bangunan di Indonesia, adalah Amangkurat I. Ketika masih kecil, ia sering Kanisius Yogyakarta. mengunjungi tawanan-tawanan Belanda di Keraton ayahnya dan sejak tahun 1659 telah menggunakan kereta buatan Eropa. Amangkurat II dikenal sebagai Geertz, Clifford. 1992 (Cetakan pertama). penggemar busana barat. Dalam kajian menarik Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : mengenai apa yang dianggap sebagai “mahkota Kanisius. mojopahit”, H.J. de Graaf menjelaskan bahwa mahkota itu tidak pernah menjadi regalia yang asli, dan bagaimana Belanda dengan maksud 90 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 1 No.1, Mei-Oktober 2012

Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal. Inventarisasi dan Dokumentasi Yogyakarta: Merapi. Sejarah Nasional.

Hadiwijono, Harun. 1985. Religi Suku Murba Siswoharsojo, Ki. 1963. Bharata Yuddha. di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Ngajogyakarta: Gondolayu DJ. VI/151. Mulia. Sulendraningrat, P.S. 1984. Babad Tanah Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Sunda Babad Cirebon. Cirebon: Budaya. Pengaruh Persia Terhadap Perpustakaan Keraton Cirebon. Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Citra. ______. 1972. Purwaka Tjaruban Ivansyah. 2007. “Jejak Budaya Cina di Nagari. Djakarta: Bhratara. Cirebon”. Tempo. Edisi Minggu 16 September 2007. halaman 12-13. ______. 1968.Nokilan Sedjarah Tjirebon Asli. Cetakan ke-2. Pusaka Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Cirebon. Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia. Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi; Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Yogyakarta: Kanisius. Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS. Tjokrodipuro, Tt. “Babad Cirebon”. Manuskrip Bahasa Sunda huruf Arab. Malinowski, Bronislaw. 1954. Magic, Science Cirebon: Keraton Cirebon. and Religion. New York: Doubleday Anchor Books. Wildan, Dadan. 2003. Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda. Artikel. Pikiran Marsidi, Diah. 1995. Pekan Budaya Rakyat. Rabu 26 Maret 2003. Cirebonan, Jakarta: Bentara Budaya. Yulianti, Rahma. 2008. Menelusuri Jejak Laksamana Cheng Ho. Jakarta. Tabloit Mukti, Krisnanda Wijaya. 2003. Wacana Rumah Edisi 129. VI/05 Februari 2008. Budha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhis Centre.

Radyomardowo, R.L. 1959. Serat Baratajuda. Yogyakarta: NV. Kedaulatan Rakyat.

Sedyawati, Edi. 1993. Sejarah Kebudayaan Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek