PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN Pemahaman Fikih dan Hukum Positif

Tesis

Disusun oleh:

Luthfi Mafatihu Rizqia NIM: 21171200000044

Konsentrasi: Syariah

Pembimbing Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD.

SEKOLAH PASCASARJANA PROGAM MAGISTER PENGKAJIAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH 2020

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

nama : Luthfi Mafatihu Rizqia

nim : 21171200000044

judul tesis : Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif

menyatakan bahwa proposal tesis ini telah diverifikasi oleh Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D. pada tanggal 15 Januari 2020.

Proposal Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi:

1. Lengkapi lampiran yang disyaratkan

Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan pertimbangan untuk menempuh ujian Pendahuluan.

Jakarta, 16 Januari 2020

Saya yang membuat pernyataan,

(Luthfi Mafatihu Rizqia)

Kata Pengantar

Bismilla>hirrahma>nirrahi>m

Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan nikmat, rahmat, dan anugerah kekuatan lahir dan batin kepada penulis sehingga dengan izin-Nya tesis ini bisa penulis selesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi saw. yang telah mengajarkan arti kehidupan yang seimbang dalam berbagi melalui syariat zakat. Melalui tesisi ini penulis pada dasarnya menginginkan adanya perhatian terhadap eksistensi pengelolaan zakat yang masif di masyarakat perkotaan tetapi tidak didasari pemahaman fikih dan hukum positif yang komprehensif sehingga tidak pernah ada perbaikan dan evaluasi mekanisme atas praktik ini. Penulis memandang praktik pengelolaan zakat di masjid yang dianggap lumrah ini sebagai masalah yang tidak sederhana, karena banyak aspek dan pihak terkait yang terlibat, dan juga harus melibatkan mereka untuk melakukan evaluasi yang mendasar untuk memperbaiki kualitas pengelolaan zakat di masjid. Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap fikih zakat dan hukum positif tentang pengelolaan zakat di yang penulis peroleh melalui wawancara pihak-pihak terkait sehingga menyimpulkan bahwa pemahaman DKM terhadap fikih dan hukum positif masih belum selaras dan komprehensif dalam mempraktikkan pengelolaan zakat di masjid. Sebagaimana banyak pihak yang terkait dalam eksistensi praktik pengelolaan zakat di masjid, tesis ini pun pada hakikatnya tidak hanya diselesaikan oleh penulis, tetapi ada banyak pihak yang telah berperan untuk mendukung proses penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para pihak-pihak yang secara langsung atau pun tidak telah terlibat yaitu Prof Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Jamhari, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Hasan, Lc. MA. selaku Wakil Direktur, Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. selaku Ketua Jurusan Program Doktor Pengkajian Islam, Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Program Magister Pengkajian Islam, seluruh staf, pustakawan, dan civitas akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berterima kasih secara khusus kepada Dr. Amelia Fauzia, MA. selaku pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, masukan, dan kritik yang secara konsisten dan membangun kepada penulis dalam proses penulisan dan penyelesaian tesis ini. Selama penulis mengenyam pendidikan di Sekolah Pascasarjana ini, penulis juga mendapatkan banyak ilmu dari guru besar dan tim dosen pegampu mata kuliah di Sekolah Pascasarjana seperti Prof. Dr. , MA., Prof. Dr. Said Aqil Munawwar, Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA., Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, Prof. Dr. Zulkifli, MA., Prof Dr. Masykuri Abdillah, MA., Prof. Dr. Huzaemah T Yanggo, Prof. Dr. Bahtiar Effendy, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA., Prof Dr. M. Iksan Tanggok, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA. dan dosen-dosen lainnya.

ii

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Dewan Kemakmuran Masjid di Kecamatan Pancoran yang penulis wawancarai, Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran, Kantor Kementerian Agama Kota Administrasi Jakarta Selatan, BAZNAS, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf dan Subdit Kemasjidan Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah bersedia memberikan data dan informasi dalam penelitian ini Kehidupan perkuliahan memang tidak secara langsung berkaitan dengan kehidupan keluarga, tetapi intensitas komunikasi dan dukungan moral keluarga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Bapak ibu tersayang; Bapak Drs. H. Masudin dan Ibu Dra. Hj. Ai Muflihah, saudara-saudara penulis; Fahmi Azka Masudin S.Pd., Hazmi Fathan Kariema, Fadhli Azizan Syamila dan istri serta putra tercinta; Indah Dewi Jayanti dan Akrim Fawatih Ilmi yang telah menjadi semangat tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan tingkat magister ini. Semangat penulis juga didorong faktor-faktor eksternal lain, seperti yang datang dari almamater Al-Nahdlah Depok yang merupakan tempat penulis dididik selama 6 tahun melalui para para ustad dan alumni yang terus menjalin silaturahim juga almamater Universitas Indonesia (UNUSIA) Jakarta. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan angkatan 2017 Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana yang membuat kondisi yang kondusif untuk berdiskusi dan berkompetisi menjadikan penulis terus berusaha memberikan yang terbaik karena terpacu melalui prestasi dan pencapaian mereka selama masa studi. Akhirnya penulis ucapkan selamat membaca penelitian tentang pengelolaan zakat di masjid wilayah perkotaan ini, meskipun lokasinya di kecamatan Pancoran, tetapi penulis berkeyakinan bahwa ada substansi mendasar yang bisa ditemukan dan didapati dalam penelitian ini yang bisa diterapkan juga di setiap pengelolaan zakat yang dilakukan masjid di manapun berada. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua dan menjadi sebuah karya yang bernilai ibadah di sisi Allah swt. Amin.

Walla>hul Muwaffiq ila> Aqwami al-T{ari>q Wassala>mu’alaikum Warohmatulla>hi Wabaroka>tuh

Jakarta, 12 Januari 2020

Luthfi Mafatihu Rizqia

iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Luthfi Mafatihu Rizqia

NIM : 21171200000044

No Kontak : 085715844668 menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” adalah hasil karya saya sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada dalam karya saya ini saya sebutkan sumber pengambilannya. Apabila di kemudian hari terdapat hasil plagiarisme maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan sanggup mengembalikan gelar dan ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan yang berlaku.

Jakarta, 12 Januari 2020

Yang menyatakan

Luthfi Mafatihu Rizqia

iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” ditulis oleh Luthfi Mafatihu Rizqia NIM: 21171200000044 telah melalui pembimbingan dan Work in Progress sebagaimana ditetapkan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga layak diajukan untuk Ujian Tesis.

Jakarta, 26 Desember 2019

Pembimbing

Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD.

v

PERSETUJUAN PENGUJI

Tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” ditulis oleh Luthfi Mafatihu Rizqia NIM: 21171200000044 telah dinyatakan lulus dalam ujian tesis yang diselenggarakan pada Rabu, 29 Januari 2020 dan telah selesai diperbaiki sesuai dengan saran dan rekomendasi dari tim penguji.

Jakarta, 05 Februari 2020

vi

Abstrak

Penelitian ini membuktikan bahwa pengelolaan zakat oleh masjid perkotaan masih eksis di bulan Ramadan, terutama penghimpunan zakat fitrah. Dari praktik yang dilakukan ini dapat disimpulkan bahwasanya pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid lebih didasari pada pemahaman fikih zakat saja tidak dengan aturan hukum positif, meskipun masjid berada di wilayah perkotaan, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap ketaatan hukum yang ada. Di antara faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah tidak maskimalnya sosialisasi, tidak adanya penegakan hukum, faktor lingkungan dan sikap masyarakat. Pemahaman fikih zakat Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) masih terbilang tradisional dan erat dengan kebiasaan yang telah dilakukan bertahun tahun, sedangkan pemahaman mereka terkait aturan hukum tentang pengelolaan zakat masih belum komprehensif dan cenderung belum teraplikasikan secara riil dalam pengelolaan zakat yang dilakukan. Pola penghimpunan zakat yang dilakukan hanya bersifat pasif yaitu menunggu muzaki yang membayar zakat kepada DKM sementara pola pendistribusiannya dilakukan hanya pada kegiatan komsumtif tradisional berupa pemberian beras dan nominal uang tertentu atau dalam bentuk makanan pokok lainnya. Penelitian ini sependapat dengan Miftah (2007) yang menyelaraskan zakat dalam dimensi agama dan negara; yaitu bahwa zakat harus dijalankan sesuai perintah agama dan juga sejalan dengan tuntutan hukum yang berlaku sehingga para pengelola zakat yang belum menyesuaikan harus segera ditertibkan, seperti halnya masjid-masjid. Begitu pula dengan hasil penelitian Wijayanto (2019) yang mengungkapkan bahwa masjid-masjid yang mengelola zakat dapat dikatakan belum mematuhi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat selama mereka belum menyesuaikan diri untuk menjadi UPZ sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan. Di sisi lain, tesis ini untuk sebagian hasilnya tidak sejalan dengan penelitian Harninta dan Prihartini (2013). Mereka berpendapat bahwa hanya BAZNAS serta LAZ yang berwenang mengelola zakat, padahal amil zakat perorangan atau tradisional (termasuk di dalamnya adalah masjid-masjid) boleh juga melakukan pengelolaan zakat dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif-empiris yang memadukan penjelasan yuridis-normatif mengenai peraturan-peraturan zakat serta dilengkapi penggambaran implementasi empiriknya di masjid-masjid dengan pendekatan studi kasus. Sumber data yang digunakan adalah data primer yang berupa hasil wawancara dan data sekunder yang berupa peraturan-peraturan tentang zakat dan masjid yang diolah dengan metode analisis kualitatif.

Kata Kunci: Pengelolaan Zakat oleh Masjid, Fikih Zakat, Kesadaran dan Ketaatan Hukum, Amil Zakat.

vii

Abstract

This research proved that the management of zakat by urban mosques still exists in Ramadan, especially for the collection of zakat fitrah. From this practice, it can be concluded that the zakat management in urban mosque is more based on understanding the fiqh of zakat, not with the positive legal rules. Although the mosques are located in urban region, in fact it did not influece significantly to their law compliance. The factors that cause this condition are the lack of socialization, absence of law enforcement, environmental factors and society attitudes. The understanding about fiqh zakat that understood by Mosque Board is still fairly traditional and closely related to the tradition that have been carried out for many years, while their understanding of the legal rules regarding the management of zakat is still not comprehensive and tends not to be applied in real terms in the management of zakat. Mosques collected zakat in passive way, means that they just wait for muzakki to pay their zakat to them, while distribution manner of zakat is only limited to traditional consumptive activities in the form of giving rice and certain nominal money or other staple foods. This research is agree with Miftah (2007) who unite zakat in the dimensions of religion and state; that zakat must be carried out according to religious orders and also in line with applicable law so that zakat managers who are not appropriate must be put in order immediately, such as mosques. Likewise with the results of Wijayanto's research (2019) which revealed that the mosques which manage zakat can be said to have not complied with Law No. 23 of 2011 about Management of Zakat as long as they have not adapted themselves to become UPZ is as same as what author found in this research. On the other hand, this thesis for some results is not in line with the research of Harninta and Prihartini (2013). They argue that only BAZNAS and LAZ are authorized to manage zakat, even though individual or traditional amil zakat (including mosques) may also manage zakat on the terms and conditions. This research is a type of normative-empirical legal research that combines juridical-normative explanations regarding the rules of zakat with a description of its empirical implementation in mosques by a case study approach. The data source that is used are primary data from the interviews and secondary data in form of regulations on zakat and mosques which is analized using qualitative analysis methods.

Keywords: Management of Zakat by the Mosque, Zakat Islamic Jurisprudence, Legal Awareness dan Compliance, Amil Zakat.

viii

ملخص البحث يثبت ىذا البحث أبن إدارة الزكاة اليت تديرىا املساجد يف الوالية املدنية ال تزال موجودة يف شهر رمضان ، وخاصة مجع زكاة الفطر. من ىذه املمارسة ميكن االستنتاج أن إدارة الزكاة اليت يتم تنفيذىا يف املساجد تعتمد على فهم فقو الزكاة وحده ال على القوانٌن الوضعية املوجودة. مهما كانت املساجد تقع يف الوالية املدنية، ولكنها مل تؤثر فعالة على امتثاهلم للقانون. و العوامل اليت تؤثر على ىذه احلالة ىي عدم وجود التنشئة االجتماعية وعدم وجود إنفاذ القانون ، والعوامل البيئية واملواقف اجملتمعية ال يزال فهم الفقو لــمنظمة املسجد عن الزكاة تقليدًًي ويرتبط ارتباطًا وثيًقا ابلعادات اليت مت تنفيذىا سنوات ماضية ، مع أن فهمهم للقواعد القانونية املتعلقة إبدارة الزكاة مل يكن كامال و مل يطبق ابلفعل يف إدارهتم للزكاة. مجعت املساجد الزكاة بطريقة غًن نشطة مبعىن أهنم ينتظرون املزكي ليدفع الزكاة إليهم و توزيع الزكاة الذي وزعتها منظمة املسجد فقط على األنشطة االستهالكية التقليدية يف صورة إعطاء األرز وبعض النقود أوغذية أساسية أخرى. يطابق ىذا البحث بـحث مفتاح Miftah(2007) الذي ينسق الزكاة من انحية دينية ودولية ؛ أي أن الزكاة جيب أن تتم إدارهتا وفًقا لألوامر الدينية وأي ًضا متبعا القوانٌن القضائية املعمول هبا حىت ال بد على منظمي الزكاة ليعدلوا هبما، ال سيما املساجد. و ىذا البحث أيضا يوافق نتائج حبث ويـجاًينتو Wijayanto (2019) الذي وجد أن املساجد اليت تدير الزكاة ميكن القول أهنا مل متتثل للقانون رقم 34 لسنة 3122 عن إدارة الزكاة طاملا أهنا مل تتكيف لتصبح UPZ وفقا للبحث الذي أجراه املؤلف من انحية أخرى ، فإن ىذا البحث لبعض النتائج ال توافق حبث ىارنينتا و بريهاتيين Harninta و Prihatini (2013) يف رأيهما أن فقط BAZNAS و LAZ املصرح هلم إبدارة الزكاة على الرغم من أن عاملٌن على الزكاة بشكل فردي أو تقليدي )مبا يف ذلك املساجد( ميكنها أي ًضا أن تدير الزكاة وفًقا للشروط والقوانٌن . ىذا ىو البحث القانوين التجرييب الذي جيمع بٌن املفاىيم القانونية فيما يتعلق بتنظيم الزكاة وبوصف تنفيذه العملي يف املساجد مبنهج دراسة احلالة. مصدر البياانت املستخدمة ىي البياانت األولية يف شكل مقابالت والبياانت الثانوية وىي القوانٌن عن الزكاة واملساجد واليت متت معاجلتها ابستخدام أساليب التحليل النوعي. الكلمات املفتاحية: إدارة الزكاة يف املسجد ، فقو الزكاة ، الوعي واالمتثال القانوين ، العاملون على الزكاة

ix

Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Ala-Lc Romanization Tables

1. Konsonan

No Arab Latin No Arab Latin Tidak 1 16 t} ط disimbolkan ا

{z ظ B 17 ب 2 ‘ ع t 18 ت 3 gh غ th 19 ث 4 J 20 ؼ f ج 5 h} 21 ؽ q ح 6 kh 22 ؾ k خ 7 d 23 ؿ l د 8 m ـ dh 24 ذ 9 n ف r 25 ر 10 w و Z 26 ز 11 h هS 27 ػ س 12 ' ء sh 28 ش 13 y ي s} 29 ص 41

{d ض 41 2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang

a qara'a a> qa>la = ق ا ل = قـ رأ i kutiba i> qi>la = قْي ل = كت ب u yadhabu u> yaqu>lu = يـ قْو ل = ي ْذ ى ب x

DAFTAR ISI

Pernyataan Perbaikan Setelah Verifikasi...... ii

Kata Pengantar ...... iii

Pernyataan Bebas Plagiarisme ...... v

Lembar Persetujuan Hasil Ujian Pendahuluan Tesis ...... vi

Lembar Persetujuan Pembimbing ...... vii

Abstrak ...... viii

Pedoman Transliterasi ...... xi

Daftar Isi ...... xii

Daftar Tabel dan Skema ...... xiv

Daftar Singkatan ...... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 6 C. Tujuan Penelitian ...... 7 D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ...... 8 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...... 8 F. Metodologi Penelitian ...... 14 G. Sistematika Penulisan ...... 19

BAB II :KONSEP FIKIH ZAKAT DAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT PERKOTAAN A. Kewenangan Mengelola Zakat...... 20 B. Amil Zakat ...... 23 C. Prinsip Pengelolaan Zakat ...... 27 D. Kesadaran Hukum ...... 29 E. Sosiologi Masyarakat Perkotaan ...... 35

BAB III : PENGELOLAAN ZAKAT OLEH MASJID A. Tipologi Masjid di Indonesia ...... 39 B. Dewan Masjid Indonesia ...... 44 C. Masjid dalam Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia...... 46 1. Undang-Undang No. 23 tahun 2011 ...... 46 2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 86/PUU-X/2012 ...... 47 3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 ...... 48

xi

4. Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 2016 ...... 50 5. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 ...... 50 D. Struktur Hirarki Pengelola Zakat ...... 52 E. Pengelolaan Zakat di Masjid Kecamatan Pancoran ...... 64 1. Masjid Jami At-Taubah ...... 65 2. Masjid al-Muawanah ...... 67 3. Masjid Arrohmanurrohim ...... 68 4. Masjid Jami an-Nur ...... 69 5. Masjid al-Munawwar ...... 70 6. Masjid Nurullah...... 72

BAB IV : ANALISIS PEMAHAMAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF PENGELOLAAN ZAKAT DI MASJID A. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat ...... 75 B. Pemahaman DKM terhadap Hukum Positif Pengelolaan Zakat ...... 88 C. DKM dan Kepatuhan Hukum Pengelolaan Zakat ...... 93 D. Pola Penghimpunan dan Pendistribusian Zakat oleh DKM ...... 105 E. Implikasi Kepatuhan Hukum DKM terhadap Pengelolaan Zakat...... 107 F. Paradigma Pengelolaan Zakat di Masjid ...... 113 G. Distingsi Wilayah Perkotaan dalam Pengelolaan Zakat di Masjid ...... 115

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...... 118 B. Saran ...... 119

DAFTAR PUSTAKA ...... 120 GLOSARIUM ...... 128 INDEKS...... 130 LAMPIRAN ...... 136

xii

DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Hal Tabel 1. : Konstruksi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ...... 46 Tabel 2. : Konstruksi Peraturan Pemerintah N0. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ...... 49 Tabel 3. : Konstruksi Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat ...... 51 Tabel 4. : Struktur Hierarki Pengelola Zakat di Indonesia ...... 53 Tabel 5. : Jumlah LAZ Nasional Berdasarkan Wilayah Kantor Kedudukannya ...... 55 Tabel 6. : Jenis UPZ sesuai Tugasnya menurut BAZNAS ...... 61 Tabel 7. : Hak Amil sesuai Jenis UPZ ...... 63 Tabel 8. : Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat ...... 73 Tabel 9. : Pengelola Zakat di Indonesia yang sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zakat ...... 79 Tabel 10. : Fungsi Stakeholders Zakat di Indonesia ...... 112

Skema 1. : Alur Kerja UPZ ...... 64

xiii

DAFTAR SINGKATAN

BAZIS : Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah

BAZNAS : Badan Amil Zakat Nasional

BOTI : Bantuan Operasional Tempat Ibadah

BPS : Badan Pusat Statistik

DKM : Dewan Kemakmuran Masjid

DMI : Dewan Masjid Indonesia

GK : Garis Kemiskinan

GKM : Garis Kemiskinan Makanan

GKNM : Garis Kemiskinan non Makanan

KUA : Kantor Urusan Agama

LAZ : Lembaga Amil Zakat

MAIN : Majlis Agama Islam Negeri

MENA : Middle East and North Africa; Negara-negara Timur Tengah dan

Afrika Utara

MK : Mahkamah Konstitusi

MUI : Majelis Ulama Indonesia

MUIS : Majelis Ugama Islam Singapura

NPWZ : Nomor Pokok Wajib Zakat

RKAT : Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan

RT/RW : Rukun Tetangga/ Rukun Warga

UPZ : Unit Pengumpul Zakat

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diberlakukannya suatu hukum pada dasarnya bertujuan untuk ditaati agar terciptanya situasi yang diharapkan dengan mengacu pada ketertiban umum. Hukum sering diproyeksikan sebagai Social Engineering1 yaitu alat merekayasa kondisi sosial, dengannya kondisi masyarakat dapat diarahkan dan dibentuk sedemikian rupa tentunya hanya jika perturan-peraturan dalam hukum tersebut dapat efektif diimplementasikan di masyarakat. Di sisi lain, tidak jarang suatu hukum yang dibuat tidak dapat berfungsi secara efektif di masyarakat yang disebabkan satu dan lain hal. Di antara kondisi yang sering menyebabkan ketidakefektifan suatu hukum adalah perbedaan nilai dan norma yang digagas hukum tersebut dengan apa yang telah hidup dan berkembang di masyarakat dan telah menjadi sebuah sistem hukum. Sistem hukum menurut Josep Raz selalu tersusun dari beberapa hal yang akan menjadi solusi untuk empat permasalahan utama yaitu tentang eksistensi, identitas, struktur, dan konten hukum2. Sistem hukum yang digagas John Austin secara implist termanifestasikan dalam definisi hukum yang ia jelaskan sebagai general command of a sovereign addressed to his subjects3 yang berarti bahwasanya hukum adalah perintah umum yang dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa kepada rakyatnya. Konsep ini sangat erat kaitannya dengan siapa yang berkuasa, dan seperti apa kekuasaan yang bisa menciptakan hukum. Lain halnya dengan sistem hukum menurut Hart yang menyamakan sistem hukum dengan hukum itu sendiri dengan kumpulan peraturan yang terdiri atas Primary Rules dan Secondary Rules. Primary Rules menurut Hart adalah peraturan-peraturan yang wajib dan mengikat kepada semua individu sebagaimana halnya hukuman bagi tindak kriminal yang berlaku kepada seluruh orang ketika ia melakukan pelanggaran tersebut. Aturan ini lebih terkonsentrasi pada perilaku yang harus dan tidak harus dilakukan oleh seseorang (that individuals must do or must not do) sedangkan Secondary Rules adalah aturan yang lebih bersifat komplementer pelengkap dan penjelas teknis dari primary rules seperti aturan tentang kontrak perjanjian, pernikahan, kekuasaan peradilan, dan sebagainya4. Adapun konsep sistem hukum menurut Friedman terdiri dari tiga komponen utama yaitu Legal Structure, Legal Substance, dan Legal Culture5. Ketiga komponen

1 Roscoe Pound, An Introduction to The Philosophy of Law (New Haven: Yale University Press, 1930), 235. Lihat juga William L. Grossman, “The Legal Philosophy of Roscoe Pound” Yale Law Journal 44, no.4 (1935): 605-618. 2 Joseph Raz, The Concept of Legal System- An Introduction to The Theory of Legal System Edisi Kedua (New York: Oxford University Press, 1980), 1. 3 Joseph Raz, The Concept of Legal System (Oxford: Clarendon, 1970), 26-43 4 Herbert Lionel Adolphus Hart dan Leslie Green, The Concept of law. (New York: Oxford University Press, 2012) 5 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Approach (New York: Russel Sage Foundation, 1975), 11-16

1

ini saling berkaitan dalam pengimplementasian suatu hukum sehingga dapat mencapai tujuannya. Legal Structure berarti struktur hukum yang mencakup institusi yang mengeluarkan hukum, mengawasi hukum, serta memberikan sanksi terhadap pelangggaran hukum, sedangkan legal substance adalah substansi hukum yang biasanya tertuang dalam undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Adapun legal culture adalah budaya hukum yang hidup dan ada di masyarakat yang dipraktikkan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari. Hukum pada dasarnya menurut teori klasik Barat bertujuan untuk mencapai tiga hal, yaitu keadilan (teori etis), kemanfaatan (teori utilistis), serta kepastian hukum (teori legalistik)6. Terkadang, faktor budaya dan kondisi sosial masyarakat bisa menjadi penghambat keefektifan suatu hukum untuk diberlakukan, karena masyarakat cenderung sulit untuk meninggalkan rutinitas dan kebiasaan yang telah lama dipraktikkan dan telah menjadi sebuah tradisi seperti halnya tradisi filantropi7 di masyarakat muslim Indonesia. Pada umumnya, kegiatan filantropi adalah menggalang dana, lalu menyalurkannya untuk tujuan-tujuan sosial kemanusiaan8. Sumber dana filantropi Islam sangatlah beragam, mulai berupa infak, sedekah, dan zakat serta wakaf. Salah satu lembaga filantropi yang sedari dulu telah eksis dan aktif berperan di masyarakat adalah masjid. Zakat sebagai salah satu ibadah umat Islam tentu memiliki keterikatan dengan masjid yang juga merupakan tempat ibadah umat Islam. Masjid sedari dulu difungsikan tidak hanya sebagai tempat salat, tetapi bisa menjadi tempat berbagai kegiatan mulai dari pendidikan, perkumpulan, musyawarah, ekonomi, dan pusat kegiatan-kegiatan keagamaan salah satunya sebagai tempat pengelolaan zakat. Banyak masjid yang didirikan di atas tanah pribadi yang diwakafkan, artinya masyarakat turut andil dalam membangun peradaban yang dimulai dari masjid, hingga tak heran jika hingga kini masjid pun masih menjadi referensi masyarakat untuk menunaikan zakatnya. Dalam sejarahnya, pada zaman Rasululah saw. dan kekhalifahan sahabat, zakat memang menjadi urusan strategis negara dalam menjaga stabilitas di internal umat Islam9. Pengelompokkan zakat mal ke dalam dua jenis pada masa kekhalifahan „Uthma>n bin ‘Affa>n telah memulai perubahan pola pembayaran zakat, yang tadinya semua zakat ditunaikan kepada pemerintah, tetapi mulai saat itu ada jenis harta yang zakatnya bisa ditunaikan sekehendak pemilik harta10. Perspektif ini terus terwarisi

6 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan (Jakarta: Kencana, 2009), 171. 7 Filantropi adalah suatu bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan atas asas nirlaba dan non-komersil untuk tujuan kemanusiaan. Dalam ungkapan lebih sederhana, Payton mendefinisikannya dengan “voluntary action for the public good” dalam Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good (New York: American Council on Education/Macmillan, 1988). 8 Lihat juga Robert L. Payton dan Michael P. Moody, Understanding Philanthropy: Its Meaning and Mission (Bloomington: Indiana University Press, 2008). 6. 9 Amelia Fauzia, Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 44-54. 10 Al-amwa>l al-Z{a>hirah dan al-amwa>l al-Ba>t}inah. Pembayaran zakat atas al-amwa>l al- z}a>hirah (harta terlihat seperti binatang ternak, tumbuhan dan buah-buahan) ditunaikan kepada amil zakat pemerintah (negara) sedangkan pembayaran zakat atas al-amwa>l al-

2

secara turun menurun dari generasi ke generasi sehingga zakat dipandang dalam dua aspek yaitu sebagai salah satu urusan negara dan juga murni ibadah personal, begitu juga halnya kondisi zakat dalam konteks negara-bangsa (nation-state) yang tidak terlepas dari dikotomi perspektif ini, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Dalam konteks filantropi, masjid bagi masyarakat Indonesia secara umum merupakan lembaga keagamaan yang mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat muslim di sekitarnya untuk menjadi pengelola dana zakat, menghimpun serta menyalurkannya kepada yang berhak. Kepercayaan masyarakat muslim terhadap masjid tersebut tetap ada sekalipun keberadaan pengelolaan zakat di masjid belum sesuai hukum dan peraturan yang berlaku11. Dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat menandai upaya pemerintah untuk mengatur sedemikian ketat praktik pengelolaan zakat di Indonesia sehingga tidak semua orang atau pihak tertentu dapat menjadi amil zakat dan melakukan pengelolaan zakat, kecuali telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini berkonsekuensi secara langsung kepada para pengelola zakat yang telah lama beroperasi di masjid-masjid untuk mengumpulkan serta menyalurkan dana zakat. Pada dasarnya individu atau perkumpulan tertentu bisa melakukan pengelolaan zakat dengan syarat memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat tersebut secara tertulis kepada kantor urusan agama setempat12. Hal menarik yang menjadi pengamatan penulis adalah sikap para pengurus masjid yang tetap melakukan praktik pengelolaan zakat meskipun tidak memberitahukan kegiatannya kepada kantor urusan agama setempat, sebagaimana yang telah penulis temukan di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan13. Fenomena ini memang bukanlah hal yang baru, kondisi serupa pasti dapat ditemukan di banyak masjid di Indonenesia, bahkan di mushola sekalipun khusunya pada bulan Ramadan. Sesuatu yang membuat fenomena ini menarik untuk diteliti adalah kompleksitas yang terjadi di tataran implementasi peraturan zakat di lapangan, khususnya yang menyangkut alasan dan dasar yang digunakan terutama pemahamam fikih zakat para DKM yang terimplementasi dalam pengelolaan zakat.

ba>t}inah (harta tidak terlihat seperti emas dan perak serta barang dagangan) muzaki diberikan kewenangan untuk menunaikannya masing-masing. Hal yang serupa telah dijelaskan dalam Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim, Kita>b al-Amwa>l (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1986), 535. 11 Abubakar, Irfan dan Chaider S. Bamualim (ed) Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi, dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 218. 12 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.5 Tahun 2016 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dalam pengelolaan zakat. Ketentuan ini sesuai dengan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 13 Hasil wawancara dengan Drs. Pahruroji selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) Pancoran pada tanggal 11 April 2018 pukul 10.45 WIB di KUA Kecamatan Pancoran. Pahruroji mengungkapkan bahwa selama dia menjabat sebagai kepala KUA di Kecamatan Pancoran sejak 3 tahun lalu, belum pernah ada laporan dari DKM se-kecamatan Pancoran tentang pengelolaan zakat di masjid mereka sedangkan di lapangan ditemui banyak masjid yang melakukan pengumpulan zakat.

3

Dalam sejarahnya, perhatian pemerintah terhadap zakat semakin menggembirakan dan keseriusannya berujung kepada pembentukan undang-undang pengelolaan zakat untuk pertama kalinya yaitu Undang-Undang N0. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat14. Meskipun dalam undang-undang tersebut tidak ada satu pasal pun yang berisi ketentuan mewajibkan zakat kepada setiap muslim yang sudah terpenuhi syarat wajib untuk berzakat, tetapi setidaknya dasar aturan tentang zakat di lingkup hukum positif ini memberikan kesan yang baik bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Pembentukan undang-undang zakat menegaskan bahwasanya zakat bukan lagi sekedar ibadah personal yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing- masing individu sebagai impelementasi kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tetapi kini zakat juga telah menjadi hukum positif yang pengelolaannya diatur oleh negara sehingga bukan lagi mau atau tidak mau mengelola zakat akan tetapi sesuai hukum atau tidak pengelolaan zakat itu dilakukan. Keberhasilan legislasi hukum zakat ini merupakan hasil perjuangan tokoh muslim Modernis dan Revivalis sejak 1950an15. Terkait hal ini, Miftah menyebutnya dengan keberanjakan zakat dari dimensi hukum diya>ni> ke dimensi hukum qad{a>i>16. Sesuai isi undang-undang pengelolaan zakat tersebut, BAZNAS lah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat, mulai dari perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan serta pelaporan zakat secara nasional17. Adapun posisi LAZ dalam undang-undang ini disebutkan hanya untuk membantu BAZNAS dalam pengelolaan zakat sebagaimana tertera dalam pasal 17. Tidak akan ditemukan ketentuan tentang pengelola zakat tradisional yang biasanya dilakukan oleh perseorangan atau kelompok tertentu seperti DKM karena undang- undang ini menghendaki pengelola zakat berbentuk lembaga berbadan hukum bukan individu ataupun organisasi biasa, itu artinya melalui undang-undang ini pemerintah menginginkan pengelolaan zakat dilakukan secara profesional. Tiga tahun berselang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011. Peraturan ini berisi hal-hal yang lebih teknis dan barulah dalam peraturan ini ketentuan tentang amil zakat perseorangan atau kelompok bisa ditemukan. Terdapat 2 ayat yang menjelaskan tentang hal tersebut, hanya jika di suatu komunitas atau wilayah tertentu belum terjangkau oleh BAZNAS atau LAZ maka kegiatan pengeloaan zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (Alim Ulama), atau pengurus /takir masjid/mushola sebagai amil zakat.

14 Arskal Salim, The Shift in Zakat Practice in Indonesia (From Piety to an Islamic socio-political-economic System. (Chiang Mai: Silkworm Books, 2008), 45. 15 Amelia Fauzia, Faith and The State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 220. 16 A.A. Miftah, Zakat antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007). Lihat pula Zia Gokalp, Turkish Nationalism and Western Civilization, (New York: Columbia University Press, 1959) dan Must}afa> Muh{ammad al-Zarqa> dalam al-Madkhal al-Fiqhi> al-‘t: Da>r al-Fikr, 1967). 17 Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

4

Kegiatan pengelolaan zakat yang dimaksud dalam kondisi seperti di atas dilakukan dengan memberitahukan secara tertulis kepada kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat18. Meskipun ada klausul “wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ” juga “memberitahukan secara tertulis kepada KUA kecamatan setempat” nyatanya wilayah-wilayah yang dapat dijangkau oleh BAZNAS juga LAZ- seperti wilayah perkotaan- masih tetap melakukan pengelolaan zakat misalnya di masjid- masjid setiap bulan Ramadan, dan kegiatan tersebut pun tidak diberitahukan secara tertulis maupun lisan pada KUA19. Panduan aturan bagi amil zakat perseorangan atau kelompok -dalam hal ini masjid- tidak dapat terlaksana dengan baik, karena tidak adanya keterikatan antara masjid-masjid tersebut dengan aturan yang berlaku, tidak ada pengawasan yang dilakukan pihak berwenang dalam hal ini adalah KUA kepada masjid-masjid pengelola zakat, juga tidak adanya sanksi yang diberikan pada masjid-masjid yang tidak mengikuti ketentuan aturan tersebut, sehingga praktik pengelolaan zakat di masjid akan tetap ditemukan dari tahun ke tahun baik di masyarakat desa maupun kota. Di wilayah perkotaan yang lingkup kawasannya secara geografis dekat dengan berbagai akses terhadap informasi, pusat-pusat pemerintahan, dan kondisi masyarakatnya yang lebih responsif terhadap modernisasi akan menarik untuk diteliti aspek ketaatan masjid-masjid yang ada di dalamnya terhadap aturan pengelolaan zakat yang ada. Indikasi yang penulis temukan di penelitian awal adalah bahwasanya masjid di wilayah perkotaan belum menyesuaikan diri dengan aturan hukum pengelolaan zakat yang ada. Kondisi yang tidak selaras antara apa yang diatur tentang pengelolaan zakat dan praktik yang dilakukan masjid menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwasanya kawasan Kecamatan Pancoran penulis pilih sebagai tempat penelitian. Jakarta Selatan merupakan salah satu kota dengan hasil penghimpunan zakat, infak, dan sedekah terbanyak di Provinsi DKI Jakarta20, sehingga Kecamatan Pancoran penulis pilih karena selain letaknya memang di wilayah perkotaan Jakarta Selatan juga potensi zakat dari masyarakat di sekitar masjid yang mayoritas pelaku usaha dianggap berpengaruh dalam pengelolaan zakat. Untuk mengetahui penyebab hal tersebut, penulis melakukan penelitian tentang pemahaman DKM terhadap fikih zakat dan hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia juga pola penghimpunan dan pendistribusiannya melalui tesis berjudul PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif.

18 Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 19 Hasil wawancara dengan Drs. Pahruroji selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) Pancoran pada tanggal 11 April 2018 pukul 10.45 WIB di KUA Kecamatan Pancoran. 20 Diakses melalui laman https://baznasbazisdki.id/ pada 26 Desember 2019 pukul 10.00 WIB.

5

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang ada yaitu: a. Pengelolaan zakat sejatinya dilakukan oleh amil zakat sebagaimana fungsinya, tetapi kewenangan menjadi amil merupakan hal yang diperdebatkan antara porsi pemerintah dan masyarakat muslim pada umumnya. b. Undang-undang pengelolaan zakat yang baru secara tidak langsung menimbulkan kontestasi antara BAZNAS dan LAZ karena sama-sama memainkan fungsi operator. c. Pengelolaan zakat yang telah lama berlangsung sebelum adanya Undang-Undang tidak cepat beradaptasi dengan ketentuan peraturan tersebut. d. Sentralisasi dan desentralisasi pengelolaan zakat menimbulkan masalahnya masing-masing. Ketika pengelolaan zakat mulai disentralkan oleh pemerintah maka banyak pihak yang akan terkena pengaruhnya salah satunya DKM, tetapi jika pengelolaan zakat dibiarkan begitu saja akan banyak bermunculan amil-amil zakat yang kinerjanya sangat mungkin di bawah standar pengelolaan zakat yang baik dan benar. e. Pemerintah telah mengeluarkan perangkat peraturan sebagai penjelas Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, tetapi pemberian sanksi bagi praktik amil zakat yang tidak menyesuaikan aturan belum dilakukan. f. Ketidakpatuhan pihak yang menjalankan praktik pengelolaan zakat dengan aturan yang ada masih diperdebatkan apakah hal itu layak dipidana atau tidak, karena pemidanaan yang dimaksud telah dianggap sebagai kriminalisasi amil zakat.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam tesis ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pemahaman para pengelola zakat di masjid perkotaan mengenai fikih dan hukum positif pengelolaan zakat? b. Bagaimana pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang dilakukan pengelola zakat di masjid perkotaan?

Masjid perkotaan yang diteliti terletak di kecamatan Pancoran Jakarta Selatan (selanjutnya akan dijelaskan di pembatasan masalah)

3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini yang penulis maksud dengan fikih zakat adalah tidak semua aturan-aturan zakat dalam Islam, tetapi hanya beberapa aspek yang

6

menyangkut pengelolanya yaitu yang ada kaitannya dengan kewenangan mengelola zakat, konsep amil zakat, tugas dan hak amil, serta pola penghimpunan dan pendistribusian yang dilakukan. Aspek ini dipilih karena penulis ingin menjelaskan bagaimana pemahaman para DKM tentang kewenangan, tugas, dan hak mereka dalam bingkai hukum Islam dan hukum positif atau aturan yang berlaku. Adapun hukum positif yang dimaksud adalah aturan hukum pengelolaan zakat yang berlaku di Indonesia mulai dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 hingga aturan-aturan turunannya. Penelitian ini membatasi kajian pada praktik pengelolaan zakat oleh DKM se-kecamatan Pancoran di tahun 2018-2019. Dari total 61 masjid yang ada21, penulis mengambil 6 masjid yang mengelola zakat, karena terbatasnya waktu dan biaya. Masjid-masjid yang penulis pilih merupakan hasil seleksi dari beberapa kategori yaitu, masjid UPZ atau non-UPZ, masjid berpaham keagamaan berbasis Nahdlatul Ulama, , atau Salafi, serta kapasitas jamaah masjid. Beberapa masjid yang ada di Pancoran turut melibatkan unsur pemerintahan seperti masjid- masjid instansi pemerintah, tetapi masjid yang dipilih dalam penelitian ini merupakan masjid yang murni dikelola masyarakat, yang secara tipologi termasuk masjid Jami yang ada di tingkat kelurahan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman dan sikap serta inisiatif masyarakat untuk mematuhi hukum positif yang berlaku. Kecamatan Pancoran dipilih sebagai jangkauan tempat penelitian karena penulis menemukan bahwasanya di kecamatan ini didominasi kalangan pedagang, masjid-masjid yang diteliti pun sangat dekat dengan pusat usaha sehingga diperkirakan zakat yang dihimpun juga tinggi. Selain itu, letak geografis yang strategis memungkinkan kecamatan ini untuk mengakses informasi dan program-program pemerintah tentang pengelolaan zakat karena tidak jauh dari pusat-pusat pemerintahan22. Penduduk yang heterogen juga turut menyumbangkan dinamika pengelolaan zakat, karena masyarakatnya sudah bercampur antara penduduk asli dan imigran23 sehingga sangat menarik menemukan keterkaitan itu semua dengan pengelolaan zakat di masjid-masjid.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini melalui pembahasannya bertujuan sebagaimana berikut: a. Menjelaskan pemahaman para pengelola zakat di masjid perkotaan mengenai fikih dan hukum positif pengelolaan zakat. b. Menganalisis pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang dilakukan pengelola zakat di masjid perkotaan.

21 KUA Kecamatan Pancoran, Rekapitulasi Data Sarana Ibadah di Kecamatan Pancoran, 2018 22 Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 2017, Publikasi BPS Jakarta Selatan 23 Kecamatan Pancoran merupakan salah satu kecamatan yang banyak ditinggali pendatang baru (imigran) dari daerah di Tahun 2018. Informasi diakses melalui laman https://metro.sindonews.com/read/1340360/171/ratusan-pendatang-di-jakarta-selatan- dibuatkan-domisili-sementara-1537591945

7

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang aspek teoritis dalam khazanah pengetahuan tentang pengumpulan zakat yang dilakukan oleh DKM dalam bingkai hukum positif di Indonesia. b. Hasil analisis dari pemahaman fikih zakat dan aturan pengelolaan zakat para DKM bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan zakat secara hukum sebagai masukan dan saran yang membangun. c. Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan solusi dalam tataran praktis bagi pemerintah dalam hal ini BAZNAS guna memperbaiki mekanisme manajemen pengumpulan zakat di Indonesia dan membantu sosialisasi peraturan pengelolaan zakat kepada pihak praktisi zakat di masyarakat khususnya DKM.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian tentang zakat telah banyak dilakukan, mulai dari analisis undang- undangnya hingga praktik pengelolaannya. Pengelolaan zakat menjadi menarik dikaji karena tidak semua negara menerapkan model yang sama, sebagaimana hasil penelitian Ibrahim yang menggambarkan potret studi perbandingan pengelolaan zakat di beberapa negara muslim (2015) yang menegaskan bahwa negara muslim sepakat bahwa zakat harus dikelola oleh lembaga amil zakat yang profesional dan penelitian tersebut memilih , Sudan, dan Kuwait sebagai kajiannya24. Hal tersebut juga diungkapkan dalam hasil penelitian Powell (2010) yang menampilkan data tentang sistem pengelolaan zakat di negara-negara mayoritas muslim di dunia. Dari total 16 negara mayoritas muslim di MENA (Middle East and North Africa) hanya 4 yang menegaskan bahwasanya zakat bagi warga negaranya adalah hal yang mandatory dan diatur oleh negara yaitu Libya, Arab Saudi, Sudan, dan Yaman. Sedangkan di negara non-MENA hanya ada Malaysia dan Pakistan yang memandatkan kewajiban zakat dan dikelola negara, selebihnya kewajiban zakat di negara-negara mayoritas muslim lainnya masih bersifat voluntary secara sukarela, termasuk Indonesia25. Selama kurun waktu antara tahun 2006 hingga tahun 2017 ada 152 publikasi penelitian tentang zakat yang dapat dilacak online melalui Google Scholar baik berbentuk seminar paper, artikel jurnal, dan penelitian ilmiah sebagaimana ditemukan oleh Tanjung dan Hakim26 (2017). Hasil ini meningkat dibandingkan

24 Sherrif Muhammad Ibrahim, Comparative Study on Contemporary Zakat Distribution: A Practical Experience of Some Selected Muslim States (Malaysia: Universiti Sains Islam Malaysa, 2015) 25 Russell Powell, Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7 (2010): 43-101. 26 Hendri Tanjung dan Nurman Hakim, A Review on Literatures of Zakat between 2016 and 2017 (Bogor: Universitas Ibnu Khaldun, 2017) dipresentasikan pada World Zakat Forum Conference 2017

8

penelitian zakat di antara tahun 2003-2013 yaitu sejumlah 108 publikasi yang fokus penelitiannya berkisar pada manajemen zakat, pengumpulan zakat, pendistribusian zakat, serta relasi zakat dan kemiskinan yang dikumpulkan oleh Johari, Aziz, dan Ali27 (2014). Kajian penelitian ini akan sangat berkaitan dengan tema zakat dan hukum positif serta sosial, sebagaimana yang telah diteliti oleh Susetyo tentang kontestasi amil zakat pemerintah dan non-pemerintah di Indonesia (2015) dengan menggunakan analisis teori Joel S. Migdal tentang State in Society. Susetyo menyimpulkan bahwasanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat menimbulkan beragam reaksi penolakan karena isinya yang memarjinalkan pihak-pihak pengelola zakat non-pemerintah sehingga timbullah kontestasi dan persaingan dalam pengelolaan zakat28. Susetyo mengandalkan pengumpulan data melalui literatur dan wawancara, tetapi tidak melakukan observasi dan data lapangan sehingga tidak mengeksplor pratik riil pengelolaan zakat di masyarakat. Hal tersebut telah dibuktikan pula oleh Harninta, Hasanah, dan Prihatini (2013) yang mengkaji kedudukan amil zakat dalam Undang Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Mereka membuktikan bahwa amil zakat versi undang-undang tersebut terdiri atas BAZNAS yang menjadi lembaga resmi pemerintah nonstruktural dan LAZ yang merupakan lembaga amil zakat dikelola masyarakat. Kajian mereka bertumpu pada analisis pasal-pasal Undang Undang- Undang No. 23 Tahun 2011 serta hasil putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian pasal undang-undang zakat yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Penelitian mereka termasuk ke dalam jenis penelitian kulitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan metode penelitian hukum kepustakaan29. Kedudukan lembaga amil zakat yang diteliti Harninta, Hasanah, dan Prihatini ini dikuatkan dengan penelitian Saidurrahman (2013) yang mengkaji lebih mendalam tentang kedudukan amil zakat. Dia menyimpulkan bahwasanya ada tensi antara BAZ dan LAZ dalam manajemen zakat dan hal itu perlu segera didudukkan bersama dengan peraturan yang bisa merangkul kedua lembaga untuk saling bersinergi dalam pengelolaan zakat di Indonesia30. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat banyak dijadikan kajian analisis sebagai sebuah penelitian hukum, salah satunya seperti yang dilakukan Hakim (2015) yang menganalisisnya dari aspek hukum Islam. Analisis yang dilakukan Hakim menyimpulkan bahwa ada aspek aspek penting dalam kajian hukum Islam yang ditemukan dalam undang-undang zakat terbaru itu, yaitu aspek otoritas keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat, aspek ketiadaan

27 Fuadah Johari; dkk. "A Review on Literatures of Zakat between 2003-2013" Library Philosophy and Practice (e-journal), 1175 (2014): 1-15. 28 Heru Susetyo, “Contestation Between State And Non-State Actors in Zakah Management In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546. 29 Cynthia Idhe Harninta, dkk. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat (Depok: Universitas Indonesia, 2013) 30 Saidurrahman, “The Politic of Zakat Management in Indonesia: The Tension between BAZ dan LAZ”. Jurnal of Indonesian Islam 7, no.2 (December 2013) : 366-382.

9

sanksi bagi muzaki yang tidak menunaikan zakat, aspek pembaharuan paradigma subjek dan objek zakat serta bidang tasarrufnya, dan relasi zakat dan pajak31. Penelitian Mutiara Dwi Sari, dkk (2013) merangkum beberapa fakta tentang menajemen pengelolaan zakat di Indonesia disertai pembahasan mengenai tantangan dan rintangan yang dihadapi. Penelitian mereka menyoroti peran beberapa lembaga pengelola zakat di Indonesia, mulai dari lembaga resmi pemerintah yaitu BAZNAS, lembaga masyarakat yang telah resmi berizin yaitu LAZNAS, bahkan lembaga- lembaga tradisional seperti masjid dan pesantren yang masih belum menyesuaikan aturan untuk bisa disahkan sebagai pengelola zakat. Di samping itu penelitian ini juga menyoroti kebiasaan muslim Indonesia yang menunaikan zakatnya secara langsung kepada mustahik, tidak melalui amil32. Mengenai peran masjid yang dikemukakan dalam penelitian tersebut tidak dapat dipisahkan dari aspek historisnya. Praktek pengelolaan zakat di Indonesia memang berawal dari masjid dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat muslim, sehingga kepercayaan yang sedari dulu terbangun di kalangan masyarakat muslim Indonesia adalah bahwasanya masjid dipercaya sebagai salah satu lembaga pengelola zakat tepat untuk menyalurkannya kepada mustahiq yang berhak. Fakta historis ini juga dibuktikan dengan penelitian PIRAC (2008) yang menampilkan data bahwasanya hanya 7,2% muzaki yang mempercayakan zakatnya dikelola oleh lembaga; baik BAZNAS ataupun LAZNAS, sedangkan ada 60% muzaki yang memilih masjid sebagai pengelola dana zakat mereka. Meskipun demikian, penelitian tersebut juga menyadari bahwa cara-cara pengelolaan zakat yang masih tradisional menjadikan zakat kurang efektif dikelola dan potensinya tidak maksimal. Peran masjid dalam pengelolaan zakat di Indonesia berbeda dengan negara- negara lain, misalnya di Malaysia. Penelitian yang dilakukan Rahman, dkk (2012) menjelaskan bahwa institusi pengelola zakat di Malaysia terdiri dari 4 macam bentuk. Pertama, lembaga yang resmi dibentuk berlandaskan perundang-undangan zakat, seperti Jabatan Zakat Negeri Kedah. Kedua, lembaga yang dibentuk berlandaskan aturan administrasi undang-undang tentang hukum Islam, seperti Lembaga Zakat Selangor. Ketiga, lembaga yang dibentuk atas undang-undang atau aturan khusus tentang hukum Islam yang tugasnya hanya untuk mengumpulkan zakat seperti Pusat Zakat Melaka. Keempat, adalah lembaga zakat yang menjadi sentral penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian di Malaysia, yaitu Majlis Agama Islam Negeri (MAIN) yang memiliki banyak cabang di tingkat daerah seperti Majlis Agama Islam Johor, Majlis Agama Islam dan Istiadat Melayu Kelantan, dan lain sebagainya. Masjid dalam pengelolaan zakat di Malaysia tidak masuk dalam lembaga- lembaga resmi pengelola zakat seperti yang telah dipaparkan, tapi dalam sejarahnya

31 Budi Rahmat Hakim, “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2 (2015): 155-166

32 Mutiara Dwi Sari, Zakaria Bahari dan Zahari Mamat, “Review on Indonesian Zakah Management and Obstacles” Social Sciences 2, no 2 (2013): 76-89.

10

pemuka agama di daerah pernah melakukan penghimpunan zakat, meskipun hasil penghimpunannya tetap diserahkan kepada MAIN33. Singapura juga bisa dijadikan salah satu lokasi kajian menarik tentang zakat dan masjid, karena umat Islam yang tidak dominan di sana, fungsi masjid amatlah penting untuk kegiatan dan kepentingan umat Islam, salah satunya penunaian zakat. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Ali Jaya (2017) pengelolaan zakat di Singapura ternyata terpusat pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang merupakan badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengurusi hal ihwal umat Islam Singapura. Peran masjid dalam pengelolaan zakat di Singapura tidak independen karena semua masjid di Singapura ada di bawah koordinasi MUIS, masjid-masjid yang ditunjuk MUIS di setiap wilayah di Singapura hanya bertugas menerima penunaian zakat dan menghimpunnya dari muzaki, selanjutnya diserahkan kepada MUIS untuk dikelola dan didistribusikan kepada mustahiq serta didayagunakan sesuai program yang telah ditetapkan34. Penelitian lain yang memiliki tema terkait zakat dan masjid pernah diteliti oleh Amir Mu‟allim (2012) yang mengkaji pengelolaan dan pendayagunaan zakat berbasis masjid. Arah penelitian ini lebih banyak digunakan untuk menilai kinerja masjid yang menyelenggarakan pengelolaan zakat35 sehingga dalam kesimpulannya dia menyebutkan beberapa masjid yang telah mengelola zakat secara profesional dan lainnya belum dikelola secara profesional. Hal serupa juga pernah diteliti oleh Achmad Saifudin (2013) yang melakukan studi kasus di salah satu masjid di Salatiga. Saifudin menemukan banyak masjid yang masih melakukan pengelolaan zakat meskipun belum memiliki izin sebagaimana yang diatur dalam undang- undang36. Kedua penelitian ini dilakukan pasca diundangkannya undang-undang zakat satu sampai dua tahun setelah tahun 2011, artinya pada penelitian ini belum memakai sumber-sumber peraturan yang muncul di tahun 2014 dan 2016 sehingga hasil penelitiannya harus dikaji ulang sesuai peraturan-peraturan tambahan yang ada. Penelitian tentang zakat dan masjid pernah juga dilakukan oleh M. Husni Arafat, dkk. (2017) yang mengungkapkan kesediaan masjid menjadi agen atau UPZ dari BAZNAS serta potensi sumber daya manusia pada DKM tersebut. Lokasi penelitian mereka adalah masjid-masjid di Kabupaten Jepara, mereka mengambil sampel sebanyak 40 masjid yang diminta untuk mengisi kuisioner. Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya minat dan keinginan yang tinggi dari para pengurus masjid untuk menjadi bagian dari pengelolaan zakat di Indonesia, khususnya sebagai UPZ BAZNAS. Sebanyak 71,7% DKM bersedia menjadi agen atau UPZ BAZNAS,

33 Azman Ab Rahman, Mohammad Haji Alias, dan Syed Mohd Najid Syed Omar, “Zakat Institution in Malaysia: Problems and Issues” GJAT 2, no1 (Juni 2012): 35-41. 34 Ali Jaya, Strategi Penghimpunan Dana Zakat di Singapura (Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017) 82. 35 Amir Mu‟allim. “Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat Berbasis Masjid di Yogyakarta”,Artikel, Hasil Penelitian kelompok Pusat Studi Hukum Islam (PSHI), Pascasarjana FIAI-UII dengan DPPM UII. Tahun 2012. 36 Achmad Saifudin, Urgensi Ta‟mir Masjid Dalam Pengelolaan Zakat Pasca Terbitnya Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaa Zakat (Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, 2013).

11

sedangkan 28,3 % tidak bersedian dengan alasan keputusan tersebut harus dimuyawarahkan dengan seluruh anggota DKM37. Penelitian mengenai peran masjid dalam konteks pengelolaan zakat juga dilakukan oleh Budiman dan Mairijani (2016). Penelitian mereka memang tidak terfokus pada peran masjid dalam pengelolaan zakat saja, tetapi lebih umum karena penelitian mereka berjudul Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Kota Banjarmasin, meskipun demikian variabel pengelolaan zakat menjadi salah satu yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan survei dan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data. Sampel yang digunakan penelitian ini adalah 25 masjid dari total populasi 191 masjid di Kota Banjarmasin. Penelitian ini menyimpulkan bahwa masjid-masjid yang diteliti tersebut belum sepenuhnya profesional dalam pengelolaan zakat38. Penelitian mengenai zakat dan masjid di wilayah perkotaan juga pernah dilakukan, seperti penelitian Fitria (2016) yang berjudul Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam yang meneliti empat masjid di Kota Palembang yaitu Masjid Darul Jannah, Masjid al-Jihad, Masjid Darussalam, dan Masjid al-Amaliyah. Penelitian tersebut mendeskripsikan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pada pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dan data primernya bersumber dari wawancara pengurus masjid ini menghasilkan beberapa temuan di antaranya bahwasanya masjid hanya melakukan pengelolaan zakat di bulan Ramadan setiap tahunnya, mereka bekerjasama dengan RT setempat untuk mendata mustahiq kemudian mendistribusikan zakat melalui kupon yang telah dibagikan, pada kesimpulannya pengelolaan zakat di masjid-masjid tersebut menurut Fitria telah sesuai dengan prinsip ekonomi Islam39. Penelitian tentang zakat dan masjid juga dilakukan oleh Muhammad Nizar (2016) yang berjudul Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang40. Penelitian ini sesuai judulnya, hanya dilakukan di Masjid Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang, dengan metode penelitian kualitatif dan teknik pengumpulan data melalui wawancara pengurus masjid. Kajian penelitian ini fokus kepada model dan bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dananya terhimpun melalui zakat, infaq, dan sedekah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh pengurus masjid melalui dana zis terbagi menjadi 2 model, yaitu model distribusi konsumtif dan model pendayagunaan produktif. Model distribusi konsumtif sebagaimana yang

37 M. Husni Arafat, dkk. “Masjid sebagai Agen BAZNAS: Analisa Potensi SDM Ta‟mir Masjid di Kabupaten Jepara”. Ulul Albab: Jurnal Studi dan Pendidikan Hukum Islam 1, no1 (November 2017): 58-72. 38 Mochammad Arif Budiman dan Mairijani, “Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Kota Banjarmasin” Prosiding Seminar Nasional ASBSI (2016): 187-194. 39 Fitria, “Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam”. Intelektualita 5, no 2 (Desember 2016): 175-188. 40 Muhammad Nizar, “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang”. Malia 8, no 1 (Desember 2016): 41-60.

12

ditemukan dalam penelitian ini berupa penyaluran dana zis secara langsung kepada mustahiq (yang bersifat tradisional), atau pun model konsumtif yang kreatif yaitu dengan cara pemberian dana pendidikan kepada anak-anak jalanan, anak-anak terlantar, dan anak yatim piatu. Sedangkan model pendayagunaan produktif dilakukan dengan pemberian aset barang produktif alat transportasi dalam hal ini adalah becak, dan juga pemberian modal usaha kepada para mustahiq selain tukang becak. Penelitian lain dilakukan oleh Ahmad Rido dan Rizqi Anfanni Fahmi (2017) yang berjudul Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di sekitar Universitas Islam Indonesia (UII)41. Mereka meneliti 3 masjid sebagai objek kajian yaitu Masjid al-Mauidhatul Hasanah, Masjid as-Sa‟adah, dan Masjid Baiturrohman, ketiganya dipilih karena jaraknya yang dekat dengan UII yaitu sekitar radius 1,5 KM. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara para pengurus masjid. Penelitian ini mengasumsikan bahwa dekatnya jarak masjid dengan lokasi universitas yang literasi tentang pengelolaan zakatnya cukup mumpuni, diduga pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid- masjid di sekitarnya pun terpengaruh oleh hal tersebut. Penelitian ini fokus pada deskripsi manajemen sumber daya manusia dalam pengelolaan zakat oleh masjid, model pengumpulan, distribusi zakat, golongan mustahiq, dan pendayagunaan zakat yang terkumpul. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pengelolaan zakat di ketiga masjid tersebut hanya dilakukan pada bulan Ramadan dengan membentuk kepanitiaan yang bersifat sementara, dan tidak ada keterkaitan pihak UII baik dari civitas akademika maupun mahasiswanya dalam proses pengelolaan zakat di masjid tersebut, sehingga pengelolaannya dijalankan secara mandiri oleh para pengurus masjid. Penelitian lain yang juga masih dilakukan civitas akademika UII adalah penelitian Pusparini (2017) yang merupakan dosen studi Islam UII, yang mengkaji masjid pengelola zakat infaq dan sedekah di Sleman dari sisi manajemennya42. Penelitiannya menggunakan metode penelitian kualitatif dan wawancara sebagai teknik utama dalam mendapatkan sumber primer dari para pengurus masjid. Ada 10 masjid yang dijadikan sampel penelitian dari total 39 masjid jami‟ yang ada di Sleman. Pemilihan ke-10 masjid tersebut didasarkan kepada pembatasan peneliti yang hanya memilih masjid dengan jumlah jamaah sekitar 100 orang per harinya. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa sebagian besar masjid yang diteliti hanya melakukan pengelolaan zakat fitrah yang dilakukan di bulan Ramadan, hanya 3 masjid yang melakukan pengelolaan zakat fitrah juga zakat mal. Salah satu masjid yang diteliti bahkan melakukan penghimpunan zakat dari rumah ke rumah. Penulis menemukan penelitian yang juga mengaitkan masjid dengan peraturan zakat yaitu yang dilakukan Wijayanto dalam meneliti implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat di beberapa masjid

41 Ahmad Rido dan Rizqi Anfanni Fahmi, “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di Sekitar Universitas Islam Indonesia”. Working Paper Keuangan Publik Islam 2, seri 1 (2018): 1-12 42 Martini Dwi Pusparini, “Mosque-Based Zakah Infaq and Shadaqah Management (A Study at Great Mosque in Sleman, Yogyakarta)”. Prosiding Seminar Nasional seri 7 “Menuju Masyarakat Madani dan Lestari” (November 2017): 277-293.

13

di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini fokus pada aspek kepatuhan hukum yang dijalankan masjid dalam kaitannya dengan implementasi peraturan pengelolaan zakat yang mengidealkan masjid sebagai UPZ BAZNAS Kota Tangerang Selatan43. Terkait tema kepatuhan hukum zakat, ada penelitian Ummulkhayr, dkk (2017) yang mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat muslim untuk menunaikan zakat, meski berada di bawah pemerintahan non-muslim. Mereka memilih negara bagian Kogi di Nigeria. Penelitian ini menghasilkan 2 temuan utama sebagai faktor dasar yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat muslim dalam menunaikan zakat di wilayah pemerintahan non-muslim, yaitu ketidaktahuan orang kaya terhadap kewajiban zakat dan tidak adanya manajemen zakat yang baik yang dapat melayani pembayaran zakat44. Berangkat dari beberapa penelitian yang penulis temukan yang memiliki tema penelitian serupa, maka penulis yakin bahwa penelitian yang akan penulis lakukan dalam konteks pengelolaan zakat oleh masjid di masyarakat berbeda dengan penelitian lainnya meskipun masih mengkaji tentang amil zakat menurut Undang- Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, hanya saja penulis akan fokus pada aspek pemahaman fikih dan hukum positif dari beberapa DKM di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam melakukan pengelolaan zakat sebagai implementasi peraturan pengelolaan zakat tersebut. Penulis memilih desain penelitian studi kasus agar dapat mendeskripsikan secara holistik serta mengeksplor lebih detail dan komprehensif objek penelitian melalui berbagai macam sumber seperti observasi, wawancara, dan dokumen.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan mengungkap sisi kepatuhan hukum pengelolaan zakat yang dilakukan di beberapa masjid di Kecamatan Pancoran sebagai implementasi undang-undang No. 23 tahun 2011, dilengkapi kajian mengenai maslahat dalam pengelolaan zakat yang dilakuukan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian akan dijelaskan dalam pembahasan berikut:

1. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif-empiris (applied law research) yaitu gabungan antara dua jenis penelitian hukum yang menjadikannya sebagai sebuah penelitian hukum terapan. Penelitian jenis ini berusaha mengkaji implementasi ketentuan hukum positif di masyarakat. Penelitian

43 Edi Wijayanto, Kepatuhan Masjid-Masjid di Tangerang Selatan terhadap Undang- Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta:Tesis Magister FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019) 44 Adamu Ummulkhayr, dkk “Determinants of Zakat Compliance Behavior among Muslim Living under Non-Islamic Goverments” International Journal of Zakat 2, no.1 (2017) 95- 108.

14

ini memiliki dua tahapan. Pertama, kajian mengenai hukum normatif yang berlaku dan kedua, penerapannya pada peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat45. Dalam penelitian ini penulis fokus pada implementasi undang-undang yang bersifat normatif, kemudian dilengkapi penelitian lapangan tentang pengelolaan zakat di masjid yang bersifat empirik.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum normatif-empiris ini bersifat deskriptif (descriptive legal study) karena pada dasarnya memaparkan kajian tentang hukum normatif mengenai undang-undang tentang pengelolaan zakat serta implementasinya oleh masjid-masjid yang masih mengelola zakat. Penelitian hukum deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan dan kondisi hukum yang berlaku di tempat pada suatu daerah dan waktu tertentu atau mengenai gejala yuridis tertentu yang terjadi di masyarakat.

3. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian tesis ini, penulis menggunakan pendekatan studi kasus yaitu menjadikan pengelolaan zakat oleh masjid-masjid sebagai kasus (objek kajian utama) dipandang dari segi implementasi undang-undang pengelolaan zakat. Kasus yang diteliti adalah praktik masjid perkotaan yang mengelola zakat tetapi tidak menyesuaikan dengan hukum positif yang ada.

4. Jenis Data dalam Penelitian Hukum

Dalam penelitian hukum ada dua jenis data yang bisa digunakan oleh peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti melalui penelitian langsung, Sedangkan data sekunder adalah data yang sudah siap pakai dan biasanya berupa dokumen-dokumen terkait penelitian46.

5. Teknik Pengumpulan Data dan Informan

a. Teknik Pengumpulan Data Primer

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan 2 teknik pengumpulan data primer, yaitu observasi dan wawancara.

45 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), 52. 46 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), 40.

15

Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, penulis telah menentukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, lalu narasumber dengan leluasa bisa menjawab dengan penjabaran dan penjelasannya masing-masing. Menurut Singarimbun wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang terpenting dalam kaitannya dengan penelitian yang melibatkan pihak- pihak utama sebagai sumber data yang memberikan informasi tentang penelitian dan hal tersebut hanya mungkin didapatkan melalui proses wawancara47

b. Narasumber Penelitian

Pihak-pihak yang nantinya penulis wawancarai untuk memberikan informasi terkait penelitian ini penulis anggap mampu menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Dalam menentukan narasumber, penulis mempertimbangkan keterikatan informan terhadap aturan-aturan yang ada tentang zakat dan masjid, sehingga kombinasi informasi yang penulis dapatkan akan tersaji dalam beberapa sudat pandang narasumber menanggapi pengelolaan zakat oleh masjid-masjid yang notabene belum memenuhi aturan yang ada. Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak-pihak berikut: 1) Beberapa DKM di Kecamatan Pancoran: a) Masjid Jami at-Taubah di Kelurahan Pancoran b) Masjid Jami an-Nur di Kelurahan Durentiga c) Masjid al-Munawwar di Kelurahan Pancoran d) Masjid al-Muawanah di Kelurahan Pancoran e) Masjid Arrohmaanurrohim di Kelurahan Pancoran f) Masjid Nurullah di Kelurahan Rawajati 2) Kepala bagian UPZ BAZNAS. 3) Dewan Masjid Indonesia Kecamatan Pancoran, 4) Kepala KUA Kecamatan Pancoran, 5) Bimas Islam dan Penyelenggara Syariah Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan, 6) Kasubdit Kelembagaan dan Informasi Zakat dan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, dan 7) Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama.

c. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Penelitian ini adalah gabungan dari penelitian hukum normatif dan hukum empiris yang juga butuh data sekunder selain data primer. Dalam teknik pengumpulan data sekunder penulis menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengkaji informasi tertulis dari sumbernya yang dapat berupa undang-undang, hasil putusan hakim pengadilan (yurisprudensi),

47 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metodologi Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), 192.

16

laporan penelitian hukum, buku ilmu huku, serta tinjauan hukum48. Informasi tertulis dari sumber ini disebut bahan hukum. Data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang ditetapkan pada tanggal 25 November 2011; 2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 28 Februari 2013; 3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2014; 4) Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional yang ditetapkan pada tanggal 23 April 2014; 5) Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat yang ditetapkan pada tanggal 06 November 2015; 6) Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat yang ditetapkan pada tanggal 29 Januari 2016; 7) Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecataman yang ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2016; 8) Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat yang ditetapkan pada tanggal 15 November 2016; 9) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid yang ditetapkan pada tanggal 02 Desember 2014.

6. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul lalu dianalisis dengan cara menyederhanakan data agar mudah dibaca dan dipahami serta diinterpretasikan. Interpretasi dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis dengan kesimpulan peneliti lain dan

48 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), 82.

17

menghubungkan lagi hasilnya dengan teori49. Penulis menggunakan analisis data kualitatif dalam penelitian ini karena sifatnya yang sama dengan penelitian hukum normatif-empiris.

a. Analisis Data Kualitatif

Jenis analisis ini sudah mulai diterapkan semenjak peneliti belum memasuki lapangan, selama berada di lapangan, dan pasca penelitian di lapangan. Miles dan Huberman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiyono mengemukakan bahwasanya proses analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus hingga selesai, sampai datanya jenuh50. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication. 1) Reduksi Data Proses reduksi data adalah proses berpikir sensitif yang membutuhkan kecerdasan serta wawasan yang tinggi. Dalam proses reduksi data, setiap peneliti diarahkan untuk mencapai tujuan penelitiannya, yaitu menemukan temuan pada penelitian kualitatif.51. 2) Penyajian Data Ketika reduksi data telah selesai dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah mendisplay data. Penelitian kualitatif menampilkan data dengan cara penyajian dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Miles dan Huberman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiyono mengatakan bahwa penyajian data dalam bentuk teks naratif paling sering digunakan oleh peneliti dalam penelitian kualitatif52. 3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Setelah reduksi data dan penyajian data selesai dilakukan, langkah berikutnya yang harus dilakukan dalam analisis data oleh setiap peneliti adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi sebagaimana dijelaskan Miles dan Hubeman. Kesimpulan yang akan diambil pada tahap ini masih bersifat sementara dan dapat berubah jika kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data, tetapi jika kesimpulan awal didukung oleh data- data yang valid maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan yang kredibel. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi

49 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metodologi Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), 263-264. 50 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 246. 51 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 247. 52 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 249.

18

disajikan dalam bentuk deskripsi dengan pemahaman interpretasi logis53.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan memuat beberapa hal yang lebih jelasnya akan dijabarkan secara umum dalam sitematika penulisan berikut: Bab I Pendahuluan, dalam bab awal ini penulis akan menyajikan latar belakang, permasalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi kerangka teori tentang pembahasan konsep fikih zakat yang menyangkut pengelolanya, yaitu kewenangan mengelola zakat, amil zakat, tugas dan kewajiban amil zakat, serta hak amil zakat. Di akhir bab ada pembahasan tentang kesadaran hukum sebagai landasan penting dalam memahami implementasi dan pemberlakuan hukum atau peraturan dalam masyarakat serta sosiologi masyarakat perkotaan yang menggambarkan bagaimana keadaan sosial penduduk di wilayah perkotaan serta ciri dan klasifikasinya. Bab III berisi tentang regulasi pengelolaan zakat di Indonesia yang menjelaskan tentang aturan legal dari undang-undang pengelolaan zakat dan turunannya, khususnya mengenai posisi masjid dalam hal pengelolaan zakat. Bab ini memuat pembahasan inti yaitu deskripsi praktik pengelolaan zakat yang dilakukan oleh beberapa masjid di Kecamatan Pancoran. Bab IV berisi tentang analisis pemahaman para pengelola zakat dari DKM terhadap aspek-aspek fikih zakat yang dipaparkan dalam bab 2, juga terhadap hukum positif pengelolaan zakat. Bab V adalah penutup yang di dalamnya mencakup kesimpulan dan hasil penelitian sebagai jawaban rumusan masalah yang diajukan serta saran-saran yang direkomendasikan penulis untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan tema penelitian ini.

53 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 245-246.

19

BAB II KONSEP FIKIH ZAKAT DAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT PERKOTAAN

Bagian ini akan menjelaskan tentang konsepsi fikih zakat mengenai aspek- asek yang berkaitan dengan praktik pengelolaan zakat di masjid di antaranya mengenai kewenangan mengelola zakat, tugas dan hak amil, serta prinsip pengelolaan zakat. Di akhir bab ini penulis menyertakan juga pembahasan mengenai kesadaran hukum sebagai konsepsi mengenai proses implementasi suatu peraturan di masyarakat.

A. Kewenangan Mengelola Zakat

Zakat merupakan ibadah wajib umat Islam yang merupakan salah satu rukun Islam. Ibadah zakat adalah salah satu ibadah multidimensi yang berkaitan dengan banyak hal, selain sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah swt. zakat pun memiliki peran penting di masyarakat, yaitu sebagai sarana menciptakan keadilan sosial dan pembangunan ekonomi umat. Kata zakat berasal dari bahasa Arab yang artinya bersih, suci, baik, tumbuh, dan berkembang54. Makna itu sesuai dengan tujuan dan hikmah syariat zakat, yaitu sebagai cara membersihkan dan menyucikan diri serta harta seorang muslim, mengeluarkan sebagian harta sebagai hak orang lain agar menumbuhkan kebaikan, dan agar harta zakat berkembang dengan kemanfaatan-kemanfaatan yang luas. Pengelolaan zakat dalam sejarah Islam mengalami pergeseran kewenangan. Setidaknya ada 2 persepsi yang berkembang mengenai kewenangan mengelola zakat ini, yaitu kewenangan pemerintahan Islam dan masyarkaat muslim pada umumnya. Di masa awal Islam, zakat dikelola langsung oleh Rasulullah saw ataupun melalui petugas yang beliau tunjuk55. Praktik pengelolaan zakat pada masa awal ini terkonsep dari isi ayat Alquran surat al-Taubah ayat 103 yang menjelaskan secara eksplisit bahwasanya Nabi diperintahkan untuk “mengambil” sedekah wajib yaitu zakat dari harta kaum muslimin.

               

   

54 Jama>luddi>n ibn al-Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab (Beirur S{a>dir, 1993) juz 14, 358. Lihat juga Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di>, al-Qa>mu>s al-Muh}i>t} (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2005) 1292. 55 Hal tersebut bisa diketahui dari beberapa hadis yang menjelaskan bahwa ada sahabat yang diutus Nabi pada daerah tertentu khusus untuk mengumpulkan zakat dari umat muslim. Seperti Hadi Mu‟adh bin Jabal yang diutus ke Yaman untuk mengumpulkan zakat hewan ternak. Lihat Ah{mad ibn H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001), no hadis 22129. Abu> Bakr al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), no hadis 7827dan 18664.

20

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Taubah: 103) Imam al-T{abari> (w. 310H/ 923M) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini pada awalnya turun sebagai respon terhadap beberapa sahabat Nabi yang telah melakukan kesalahan karena tidak ikut dalam perang Tabuk. Sebagai bentuk penyesalan mereka atas hal tersebut, mereka mengikat diri di tiang-tiang masjid serta membawa harta mereka seraya meminta Rasulullah untuk bersedekah dengannya kemudian mendoakan dan memintakan mereka ampunan kepada Allah swt. Rasulullah tidak serta merta mengabulkan permintaan mereka, karena belum ada perintah yang ditunjukkan kepada beliau hingga akhirnya turunlah ayat tersebut sebagai jawaban atas permintaan para sahabat tersebut56. Dalam tafsir Ibnu Abbas, dijelaskan bahwa konteks ayat zakat ini dimulai dari ayat ke-100 surat al-Taubah hingga ayat ke-106 yang menceritakan mengenai sebagian perlakuan orang munafiq Madinah57 yang tidak ingin ikut pergi berjihad dalam perang Tabuk pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah58. Di antara perilaku khianat yang dilakukan itu ada beberapa sahabat yang akhirnya menyesali perbuatannya dan bertaubat59 sedangkan lainnya tidak60. Ayat-ayat tersebut meskipun sebabnya khusus, tetapi hukumnya menjadi umum61 bahwa setiap muslim wajib diambil sebagian hartanya sebagai zakat untuk membersihkan dosa-dosa mereka dan mensucikan jiwa mereka. Memaknai frasa “ambillah” mengindikasikan bahwasanya zakat memang sejatinya diambil dari orang-orang muslim -yang sudah memenuhi syarat- oleh petugas yang telah tertentu, dalam hal ini adalah al-Amil. Makna berzakat bisa lebih mendalam jika dikaitkan dengan peristiwa yang melatarbelakangi ayat zakat ini, bahwasanya zakat ditunaikan sebagai sebuah pengakuan hamba atas dosa-dosa yang telah diperbuat dan dapat membedakan kualitas iman seorang muslim yang sejati dengan orang yang terdapat kemunafikan dalam dirinya.

56 Abu> Ja’far Muh{ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2000) juz 14, 456. 57 Salah satu pemimpinnya adalah Abdulla>h ibn Ubay. 58 Abd al-Ma>lik ibn Hisha>m, Al-Si>rah al-Nabawiyyah Li ibn Hisha>m (Kairo: Sharikah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-H{albi> wa Aula>duhu, 1955) juz 2, 515. 59 Mereka adalah Wadi>’ah ibn Jadha>m al-Ans}a>ri>, Abu> Luba>bah ibn Abd al-Mundhir al- Ans}a>ri>, dan Abu> Tha’labah. Pengakuan salah dan pertaubatan mereka ada dalam Alquran surat al-Taubah ayat 102. Lihat Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), 165. 60 Mereka adalah Ka’b ibn Ma>lik, Mara>rah ibn al-Rabi>’, dan Hila>l ibn Umayyah. Lihat Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), 166. 61 Dalam kaidah tafsir dikenal dengan al-‘Ibratu bi ‘Umu>m al-Lafz} La> bi Khus}u>s} al-Sabab. Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyyah al- ‘Ab, 1974) juz 1, 110; Manna>’ ibn Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al- Qur’a>n (Riya>d{:Maktabah al-Ma‘a>rif, 2000), 82-83.

21

Praktik zakat yang tersentral ini terus berlangsung pada masa al-Khulafa>’ al- Ra>shidi>n, khususnya di bawah kepemimpinan khalifah Abu> Bakr al-S{iddi>q dan „Umar ibn al-Khat}t{a>b. Tantangan zakat di masa keduanya berbeda, Abu Bakr disibukkan dengan memberantas paham-paham yang mulai menyimpang dari Islam, membasmi kemurtadan seperti nabi palsu dan penolakan atas wajibnya membayar zakat, sedangkan pada masa Umar ibn Khattab suasana internal umat Islam sudah kondusif dan stabil bahkan kekuasaan Islam telah menjangkau beberapa wilayah di luar jazirah Arab. Meskipun demikian, pengelolaan zakat di masa kedua khalifah tersebut masih terpusat pada pemerintahan Islam, tidak ada pihak lain yang melakukan pengelolaan zakat, dan semua orang Islam wajib menunaikan zakatnya kepada pemerintahan khalifah. Apalagi pada masa Umar, banyak dibentuk lembaga- lembaga baru yang salah satunya adalah Bait al-Mal sebagai lembaga yang mengurusi keuangan dan dana-dana pemasukan pemerintahan Islam. Perspektif pelaksanaan zakat mulai berubah ketika kaum muslim berada di bawah kepemimpinan Uthma>n ibn ‘Affa>n. Pada periode ini ada keputusan penting yang melatarbelakangi munculnya dualisme kewenangan pengelolaan zakat, yaitu dibedakannya cara penunaian antara zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah dan al-Amwa<>l al- Ba>t}inah62. Harta-harta zakat yang termasuk ke dalam jenis al-Amwa>l al-Z{a>hirah harus ditunaikan kepada pemerintahan Islam, sedangkan harta zakat berbentuk al-Amwa<>l al-Ba>t}inah diserahkan kepada masing-masing muzaki untuk memilih penunaiannya, bisa melalui amil pemerintahan Islam yang ada atau pun langsung diserahkan kepada orang-orang yang berhak63. Peran negara (dalam hal ini pemerintahan Islam) yang mengelola zakat terus berlanjut pada masa-masa berikutnya, terutama di dua dinasti kekuasaan Islam pertama, Dinasti Umawiyyah dan „Abba>siyah. Masih dengan perspektif pengelolaan zakat yang sama, kaum muslim saat itu memiliki pilihan ke pada siapa mereka menunaikan zakatnya, kepada pemerintahan khalifah atau langsung kepada orang- orang yang membutuhkan. Para Fuqaha64 memerankan fungsi penting dalam legitimasi penunaian zakat melalui amil pemerintah yang adil misalnya pendapat Fuqaha Hanafiyah65 yang mewajibkan pembayaran zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah hanya kepada penguasa, atau

62 Istilah al-Amwa>l al-Z{a>hirah adalah untuk harta-harta zakat yang terlihat seperti hewan ternak dan buah serta sayuran, sedangkan al-Amwa>l al-Ba>t}inah adalah jenis harta zakat yang tidak terlihat atau tersembunyi, seperti emas, perak, dan barang dagangan. 63 Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n al-Nawawi>, al-Majmu>’ Sharh} al-Muhadhdhab (Jeddah: Maktabah al-Irshad, tanpa tahun) juz 6, 162. 64 Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), juz 3, 1973-1974. 65 Mazhab H{anafi> didirikan oleh Abu> H{ani>fah al-Nu’ma>n ibn Tha>bit (w. 150H/767 M) di kota Kuffah Irak di akhir masa pemerintahan dinasti Umawiyyah dan awal „Abba>siyyah. Mazhab ini penyebarannya paling luas karena dipraktikkan oleh kekaisaran Turki Uthma>ni> dan Moghul. Mazhab ini dikenal rasionalis dalam pandangan-pandangan fikihnya.

22

amil pemerintah Islam. Menurut pendapat ulama Malikiyyah66 kaum muslim dapat memilih untuk pembayaran zakat al-Amwa<>l al-Ba>t}inah, bisa kepada penguasa ataupun langsung kepada mustahik, tetapi mereka menyarankan bahwa zakat al- Amwa>l al-Z{a>hirah ditunaikan melalui amil pemerintah hanya jika penguasa itu adil. Pendapatan dua kelompok ulama lainnya lebih fleksibel dalam kaitannya mengenai al-Amwa>l al-Z{a>hirah dan al-Amwa<>l al-Ba>t}inah. Ulama Shafiiyyah67 membolehkan zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah ataupun al-Amwa<>l al-Ba>t}inah untuk didistribusikan langsung oleh Muzaki, sementara pendapat ulama Hanabilah menganjurkan kaum muslim untuk menunaikan semua zakatnya langsung oleh mereka sendiri, serta boleh juga melalui amil penguasa. Dalam fikih Shafii penunaian zakat tidak akan terlepas dari salah satu ketiga cara yang ada, yaitu 1) muzaki langsung menunaikan zakatnya kepada mustahik, 2) muzaki membayarkan zakatnya kepada penguasa, dan 3) mustahik membayarkan zakatnya kepada amil zakat yang ditunjuk penguasa68. Kepercayaan masyarakat muslim mulai menurun pada amil zakat penguasa yang ditenggarai akibat praktik penguasa yang korup dan tidak adil69. Kondisi ini pada akhirnya berimplikasi pada keputusan umat Islam untuk menunaikan zakat mereka secara langsung tanpa melalui penguasa. Dengan dinamika yang terus berubah, pembayaran zakat pada akhirnya dipahami oleh sebagian kalangan muslim sebagai praktik yang voluntari; sebagai ibadah personal yang berkaitan langsung antara dia dan Allah swt. Pada tahap ini, ketika penguasa atau pemerintah tidak terlibat dalam praktik pengelolaan zakat, kaum muslim membayarkan zakatnya kepada tokoh masyarakat, ulama, dan mustahik zakat secara langsung, begitupun yang terjadi di Indonesia70.

B. Amil Zakat

Kata Amil adalah bentuk isim fa‟il yang berasal dari akar kata amila- ya‟malu-amalan, yang memiliki arti orang yang berkerja. Kata amila memiliki komposisi huruf yang sama dengan kata alima-ya‟lamu-„ilman, yang artinya mengetahui. Dalam filosofi bahasa Arab, akar-akar kata yang tersusun dari huruf- huruf yang sama memiliki arti yang serumpun dan berkorelasi. Oleh karenanya, amil

66 Mazhab Ma>liki didirikan di kota Madinah oleh Ma>lik ibn Anas (w. 179H/ 795M) yang hidup di masa dua dinasti Umawiyyah dan ‘Abba>siyah. Mazhab ini dikenal dengan prinsip ‘Amalu Ahli Madi>nah yang berorientasi tekstualis. 67 Mazhab Shafi‟i didirikan oleh Muh{ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i> (w. 204H/820M). Pada masanya, Imam al-Sha>fi’i> pernah berpindah tempat dari Kairo ke Baghdad yang kemudian merubah beberapa pandangan fikihnya dan melahirkan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Beliau pernah belajar di Makkah dan Madinah, berguru langsung kepada Imam Ma>lik ibn Anas. 68 Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Muh{ammad al-Ma>wardi>, al-H{a>wi> al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), juz 8, 484. 69 M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 17. 70 Amelia Fauzia, Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 53-54.

23

bisa dikembangkan maknanya tidak hanya diartikan sebagai orang yang bekerja, namun juga disertai ilmu dan pengetahuan serta kecakapan atau keahlian. Kata Amil yang disandarkan pada zakat berarti lebih spesifik lagi, yaitu orang-orang yang bekerja untuk kepentingan pengelolaan zakat; atau petugas zakat. Frase Amil Zakat dalam Alquran dapat ditemukan dalam surat al-Taubah ayat 60 yang menjelaskan tentang golongan-golongan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) dalam bentuk jamak yaitu al-amilin. Dalam fikih klasik, amil zakat sering diartikan sebagai orang yang ditugaskan oleh imam (pemimpin pemerintahan atau negara) untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat71. Sejalan dengan definisi tersebut, Yu>suf al- Qarad{a>wi> juga mendefinisikan amil zakat sebagai orang yang bekerja dalam tata kelola urusan zakat, baik tugasnya sebagai penghimpun dana, penjaga harta, pencatat dan penghitung yang mendata muzaki maupun mustahik, serta yang mendistribusikannya kepada mustahik zakat72. Qaradawi juga menegaskan bahwasanya penguasa; suatu pemerintah Islam atau negara wajib mengutus dan menugaskan para amil untuk mengelola zakat di wilayahnya agar terkoordinasi dengan baik73.

         

               “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Taubah: 60). Penyebutan mustahik zakat ini berurutan sesuai dengan prioritas keberhakan mereka terhadap zakat. Zakat dalam perspektif ekonomi adalah salah satu sarana pemerataan kekayaan dan kesejahteraan sosial, maka dengannya; seharusnya orang yang kaya tidak semakin kaya, di saat yang miskin pun semakin sengsara. Kaum fakir dan miskin adalah penerima manfaat utama dari zakat karena mereka yang paling membutuhkan, setelah itu, amil zakat yang disebutkan. Hal ini mengindikasikan bahwasanya Amil pun berhak atas zakat, karena pada prinsip dasarnya zakat dikumpulkan oleh amil, dikelola, dan didistribusikan kepada mustahik, atas tugas itulah Amil berhak mendapatkan bagian zakat sebagai upah atas kerjanya. Oleh karenya, jika seorang amil kaya pun tetap mendapatkan sebagian dana zakat atas kinerjanya74.

71 Muh{ammad ibn Qa>sim, Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>dh al-Taqri>b (Beirut: Da>r ibn H{azm, 2005), 133. 72 Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 579. 73 Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 580. 74 Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), juz 3, 1955.

24

1. Syarat-syarat Amil Zakat

Petugas-petugas yang menjadi Amil zakat ditunjuk dan diangkat oleh penguasa atau pemerintah Islam dalam konteks kehidupan saat ini adalah negara. Ada beberapa kriteria dan syarat untuk menjadi Amil Zakat, di antaranya:

a. Muslim. Seorang Amil zakat disyaratkan beragama Islam, karena pengelolaan zakat merupakan wila>yah kaum muslimin. Al-wila>yah artinya perwalian atau perwakilan bagi orang-orang muslim yang menunaikan zakat, oleh sebab itu amil zakat menjadi walinya muzaki dalam menyampaikan zakat mereka kepada mustahik, dan orang yang menangani hal semacam ini disyaratkan beragama Islam. Meskipun demikian, menurut salah satu riwayat Imam Ahmad75, orang kafir juga diperbolehkan diangkat menjadi amil zakat karena keumuman lafad “al- Ana alaiha>” maka muslim dan kafir pun bisa termasuk. Selain itu, bagian zakat yang didapatkan amil merupakan sebuah upah atas kerjanya, sehingga tidak ada penghalang bagi kafir untuk mendapatkan upah tersebut selama dia bekerja dengan sesuai. Ada pula pendapat yang merincinya, yaitu syarat Islam bagi Amil hanyalah yang bertugas mengambil zakat dan membagikannya, selain amil yang bertugas pada dua hal tersebut, maka kafir pun diperbolehkan menjadi amil zakat76.

b. Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal. Syarat yang logis bagi siapapun yang berkutat dengan pekerjaan, apalagi dalam mengurus harta zazkat.

c. Jujur dan Amanah. Kedua sifat ini wajib dimiliki oleh Amil Zakat, karena harta zakat yang dikumpulkan haruslah dicatat, dikelola, dibagikan, dan dilaporkan secara jujur dan amanah. Tidak boleh ada sedikitpun dana zakat yang diselewengkan, yang digunakan tidak sebagaimana mestinya.

d. Mengetahui Fikih Zakat. Ilmu yang wajib dimiliki oleh amil zakat adalah fikih zakat, ketentuan-ketentuan dasar tentang zakat seperti jenis zakat, harta-harta yang wajib dizakati, syarat-syarat wajib zakat seperti nisab dan haul, kadar zakat yang dikeluarkan, serta mampu memastikan mustahik zakat.

e. Memiliki kekuatan77. Keharusan seorang amil zakat beragama Islam Kekuatan yang dimaksud dalam syarat amil zakat ini bisa diartikan

75 Ibnu Qudda>mah al-Maqdisi, Al-Mughni> Li ibn Qudda>mah (Kairo: Maktabah al-Qa>hirah, 1968), juz 2, 653. 76Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n al-Nawawi>, al-Majmu>’ Sharh} al-Muhadhdhab (Jeddah: Maktabah al-Irshad, tanpa tahun) juz 6, 138. 77 Hanif Luthfi, Siapakah Amil Zakat? (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018), 22-25.

25

kekuatan dari sisi lahiriah yaitu bahwa amil yang bertugas menghimpun, mendata, membagikan zakat haruslah kuat fisik dan memiliki mobilitas tinggi. Kekuatan juga dimaksudkan dari segi kekuatan hukum, artinya petugas-petugas yang mengelola zakat idealnya dibentuk dan disahkan oleh penguasa -dalam hal ini pemerintah negara- sehingga memiliki kewenangan yang sah secara hukum dalam pengelolaannya. Kekuatan hukum pada zaman modern ini sangat diperlukan karena urusan zakat sudah menyangkut hajat publik dan kaum muslimin secara umum.

Amil di zaman modern ini berbentuk lembaga atau kesatuan manajemen khusus yang mengelola zakat. Syarat-syarat dasar bagi amil tentu harus dimiliki, selain itu, yang paling penting juga untuk diperhatikan lembaga amil adalah membangun dan menciptakan good governance dalam pengelaan zakat mereka78.

2. Tugas dan Kewajiban Amil Zakat

Amil zakat memiliki perbedaan yang mendasar dengan golongan mustahik lainnya, karena amil zakat selain menjadi mustahik juga menjadi petugas dan pengelola zakat sebagai bentuk atas kewajiban dan haknya. Ketika kewajiban- kewajiban dan tugas amil zakat telah dilaksanakan, barulah mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat yang dikumpulkan, tentunya setelah bagian zakat untuk fakir dan miskin dibagikan. Hal yang harus kita pahami dengan benar adalah bahwasanya amil zakat tidak hanya terdiri dari satu atau dua orang saja, melainkan satu kesatuan kelompok dan tim yang khusus menangani pengelolaan zakat dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Setiap anggota amil zakat pasti memiliki tugas dan fungsinya masing- masing, misalkan sebagai penghimpun zakat, pembagi atau pendistribusi zakat, penghitung zakat, dan penjaga harta zakat. Tugas dan kewajiban utama amil zakat sederhananya hanya mencakup 2 hal, yaitu: menghimpun dana zakat dari muzaki dan mendistribusikan dana zakat kepada mustahik, akan tetapi banyak fungsi pendukung yang juga harus dilakukan sebagai tugas amil seperti fungsi pendataan, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pengelolaan zakat79. Selain itu, amil zakat juga wajib untuk mendoakan muzaki ketika menunaikan zakatnya. Dengan kapabilitas ilmu pengetahuan tentang fikih zakat yang dimiliki amil, dia bisa menuntun muzaki dalam proses penunaian zakat, misalnya dengan mengingatkan lagi niat berzakat, memastikan perhitungan zakatnya sesuai, menentukan zakat atas orang tertentu dalam zakat fitrah, dan lain sebagainya.

78 Ahmad Fadil, “Good Governance Zakat di Indonesia” Al-Iqtishadi 2 no. 1 (2015): 81-98. 79 Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 580-581.

26

3. Hak Amil atas Zakat

Sebagaimana yang telah ditentukan dalam surat al-Taubah ayat 60 yang menyebutkan 8 golongan penerima zakat atau mustahik, amil adalah salah satunya. Oleh karenanya, amil pun berhak menerima bagian dari dana zakat. Mengenai bagian-bagian yang didapatkan oleh para mustahik zakat para ulama berbeda pandangan. Imam Sha>fi‘i> berpendapat bahwa zakat harus ditasarufkan atau dibagikan kepada semua mustahik80 artinya setiap golongan mendapatkan jumlah yang sama yaitu 1/8 bagian. Atas dasar adanya kesamaan bagian para mustahik zakat, amil zakat pun berhak mendapatkan bagian yang sama yaitu sebanyak 1/8. Jika amil zakat tersebut digaji lebih dari 1/8, maka harus diambil dari sumber dana lain, misalkan baitul mal. Jumhur ulama (H{anafiyyah, Ma>likiyyah, H{ana>bilah) berpendapat bahwa zakat boleh dibagikan kepada 1 golongan saja, bahkan kepada 1 orang dari golongan tersebut81. Meskipun demikian, skala prioritas tetap digunakan, yaitu mendahulukan zakat bagi golongan mustahik yang paling membutuhkan; fakir dan miskin.

C. Prinsip Pengelolaan Zakat

Pengelolaan zakat adalah satu kesatuan proses yang terjadi dalam kegiatan zakat, mulai dari penghimpunan dana, pencatatan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Zakat dikelola dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yaitu:

1. Sesuai dengan Syariat Islam

Zakat yang dikelola haruslah sesuai dengan syariat Islam. Ketentuan- ketentuan yang telah ada dalam Alquran dan hadis yang menerangkan zakat harus dilaksanakan. Tidak hanya itu, penting juga untuk memastikan bahwasanya pengelolaan zakat yang dilakukan benar-benar bertujuan untuk kemaslahatan umat, karena setiap ibadah pasti memiliki tujuan dan maksud yang ditetapkan syari (pemberi syariat; Allah swt. dan Rasul-Nya) atau yang sering dikenal dengan istilah Maqa>s}id al-Shari>‘ah82.

80 Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}ammad Abu> Ish{a>q, al-Mubdi‘ Sharh} al-Muqni‘ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997) juz 2, 417. 81 Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), juz 3, 1950. 82 Eksistensi Maqa>s}id al-Shari>‘ah telah ditemukan sedari zaman Rasulullah saw. karena memang terkandung dalam ayat Alquran dan hadis, kemudian berlanjut ke zaman sahabat dengan menetapkan beberapa keputusan baru yang belum ada ketentuannya, misalkan pengumpulan ayat-ayat Alquran pada zaman Abu Bakar (sesuai dengan hifz al-din dengan upaya menjaga sumber agama). Perkembangan ilmu Maqa>s}id al-Shari>‘ah terus berlangsung di periode berikutnya, hingga beberapa ulama menulis karya khusus mengenainya, di antara kitab pionir Maqa>s}id al-Shari>‘ah adalah Mah{a>sin al-Shari>‘ah karya Abu> Bakr Muh}ammad bin ‘Ali> bin Isma>’i>l al-Sha>shi> (w. 365H/976M), al-Burha>n Fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abd al-Malik bin ‘Abdulla>h bin Yu>suf al-Juwaini> (w. 478/1085M), al-Mustas}fa> min ‘Ilmi al-Us}u>l karya Abu> H{a>mid Muh{ammad al-Ghaza>li (w. 505H/1111H), al-Mah}s}u>l Fi ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh

27

2. Maslahat dalam Pendayagunaan

Zakat dikelola dengan selalu mempertimbangkan maslahat umat, karena salah satu fungsi zakat adalah sebagai tiang ekonomi umat Islam. Dana zakat yang dihimpun berasal dari umat Islam, maka maslahat yang timbul dari pengelolaan dan zakat tersebut harus pula kembali kepada umat Islam, khususnya bagi para mustahik yang memang membutuhkan. Harta zakat tidak boleh disia-siakan seperti halnya disimpan saja, tetapi jika harta zakat ingin dikembangkan dengan model-model pendayagunaan yang produktif maka tentu saja hal ini merupakan ijtihad yang baik dilakukan dalam memaksimalkan nilai dan kemanfaatan harta zakat bagi para mustahik.

3. Keadilan dan Pemerataan

Zakat harus dikelola dengan adil dan dibagikan secara merata kepada mustahik. Adil yang dimaksud adalah proporsional dalam pengelolaan juga pendistribusian. Golongan mustahik dari fakir dan miskin harus diutamakan dalam pendistribusian zakat, karena kebutuhan mereka mendesak untuk keberlangsungan hidup sehari-hari. Pemerataan distribusi zakat juga harus dipastikan, jangan sampai zakat dibagikan ke segelintir orang saja sedangkan masih ada fakir miskin yang belum mendapatkan haknya atas zakat tersebut. Bahkan tidak boleh memindahkan pendistribusian zakat ke wilayah lain selama masih ada mustahik zakat di wilayah tersebut83, hal ini tentu untuk memastikan pemerataan distribusi zakat.

4. Akuntabilitas

Pegelolaan zakat harus akuntabel, terpercaya, dan transparan. Prinsip ini penting terutama di zaman yang sudah modern dan sangat menuntut keterbukaan informasi. Tata kelola yang akuntabel banyak dinilai dari transparansi informasi pengelolaan zakat tersebut. Misalnya, dari siapa saja dana zakat dihimpun, kepada karya Muh{ammad bin ‘Umar bin al-H{usain Fakhruddi>n al-Ra>zi> (w. 606H/1210M), al-Ih{ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m karya Abu> al-H{asan Sayf al-Di>n al-A (w. 631H/1233M), Qawa>’id al- Ah}ka>m Fi> Mas{a>lih} al-Ana>m karya ‘Izzuddi>n ‘abd al-Sala>m (w. 660H/1262M), al-Furu>q : Anwa>r al-Buru>q Fi> Anwa>’ al-Furu>q karya Shiha>b al-Di>n Abu> ‘Abba>s Ah{mad bin Idri>s al- Qara>fi> (w. 684H/1285M), al-Ta’yi>n Fi> Sharh{ al-Arba’i>n karya Najmuddi>n Sulaima>n bin ‘Abd al-Qawi> al-T{u>fi> (w. 716H/1316M), sampai pada kitab al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al- Shari>’ah karya Abu> Ish{a>q al-Sha>t}ibi> (w. 790H/1388M) yang merupakan kitab yang komprehensif dan otoritatif pertama tentang pembahasan Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang menjadikannya cabang ilmu tersendiri. Ulama kontemporer juga mengarang beberapa kitab mengenai Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran pendahulunya, di antaranya Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Isla>miyyah karya Muh{ammad al-T{a>hir bin ‘Ar (w. 1394H/1973M), Maqa>s}id al-Shari>‘ah wa Maka>rimuha> karya Muh{ammad ‘Ala>l al-Fa>si> (w. 1350H/1974M) Naz}ariyyatu al-Maqa>s}id ‘inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi> karya Ahmad Al-Raisuni. 83 Jumhur Ulama dari 4 mazhab tidak memperbolehkannya. Lihat Wahbah Must}afa> al- Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), juz 3, 1977.

28

siapa saja zakat itu dibagikan, data-data tersebut akan lebih terpercaya jika didokumentasikan dalam bentuk laporan-laporan tertulis. Kepercayaan muzaki kepada amil zakat tentu berbanding lurus dengan tingkat akuntabilitas pengelolaan zakat yang dilakukan. Semakin kinerja pengelola zakat akuntabe dan terpercaya serta transparan, maka kepercayaan muzaki pun akan meningkat kepada pengelola zakat tersebut. Hal sederhana yang sering kali luput dari pengelolaan zakat adalah memberikan laporan pada muzaki bahwasanya zakatnya sudah didistribusikan ke mustahik, padahal hal semacam ini tentu berkesan kepada muzaki dan juga meningkatkan akuntabilitas pengelola zakat itu sendiri.

D. Kesadaran Hukum

Dalam perspektif ilmu hukum, suatu peraturan dikatakan efektif jika nilai- nilai yang dikandungnya sejalan dengan nilai intrinsik yang dianut oleh masyarakat sebagai kelompok yang menjalankan peraturan tersebut. Kesesuaian nilai-nilai tersebut akan terimplementasi dalam internalisasi perilaku hukum yang sesuai aturan, dengan demikian hukum tersebut telah efektif terlaksana oleh masyarakat. Sadar secara bahasa berarti insyaf, merasa tahu, dan mengerti. Menyadari sesuatu berarti mengetahui dan mengerti, oleh karenanya kesadaran juga berarti keinsyafan, keadaan mengerti dan mengetahui. Kesadaran hukum secara makna sempit dapat diartikan sebagai apa yang diketahui orang tentang apa yang harus dilakukan demi hukum, dan apa yang tidak harus dilakukan. Basis kesadarannya adalah hukum, biasanya yang dimaksud hukum adalah hukum tertulis yang tertuang dalam peraturan-peraturan84. Kesadaran hukum dapat berbeda aktualisasinya dalam bidang spiritual dan non-spiritual. Pada bidang spiritual; keyakinan menjalankan ajaran agama, kesadaran hukum cenderung lebih berperan, sedangkan pada bidang non-spiritual atau netral, ada kecenderungan kuat bahwasanya kesadaran hukum harus dibentuk oleh kalangan hukum melalui aturan dan perundang-undangan85. Kesadaran hukum akan sulit untuk timbul manakala nilai-nilai yang tertulis pada hukum atau suatu peraturan merupakan nilai-nilai baru yang tidak sama dengan apa yang telah dipraktekkan masyarakat. Ini adalah konsekuensi logis yang bisa terjadi, karena salah satu tujuan hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social engineering tool) yang mengarahkan masyarakat kepada norma dan nilai yang dikehendaki sebagai wujud implementasi dari peraturan dan hukum yang tertulis. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kehendak pemerintah untuk menjalankan dan memberlakukan kebijakan-kebijakannya melalui peraturan-peraturan yang diundangkan, sehingga sangat mungkin terjadinya kondisi-kondisi baru untuk merubah sesuatu yang telah ada di masyarakat86.

84 Puji Wulandari Kuncorowati, “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat Indonesia” Jurnal Civics 6, no.1 (2009): 60-75. 85 Soerjono Soekanto, "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum & Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470. 86 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Pembaruan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), 144.

29

Dalam tataran praktisnya, hukum yang mengusung pembaruan nilai-nilai tidak serta merta akan mudah dipatuhi, apalagi hukum tersebut tidak sesuai dengan nilai yang sudah tumbuh di masyarakat. Anggota masyarakat akan lebih mudah menjalankan kesadaran hukum yang ia yakini, apa yang dikehendaki oleh aturan- aturan baru nampaknya tidak mudah diwujudkan. Lain halnya jika peraturan yang dibuat bertujuan untuk memberikan dasar hukum atas nilai-nilai yang telah dipraktekkan oleh masyarakat, tentu dalam kondisi ini kesadaran hukum masyarakat tidak akan bermasalah, karena sedari awal isi-isi aturan hukum tersebut telah menyatu dengan masyarakat87. Menurut Kutchinsky yang dikutip oleh Soekanto, ada empat (4) faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum. Keempat hal ini memiliki andil penting dalam mewujudkan kesadaan hukum secara bertahap, yaitu: pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness), pengetahuan tentang isi peraturan- peraturan huku (law acquaintance), sikap terhadap peraturan-peratuan hukum (legal attitude), dan pola perilaku hukum (legal behaviour)88.

1. Pengetahuan tentang Peraturan (Law Awareness)

Pengetahuan tentang peraturan hukum bisa dianggap sebagai hal dasar yang dapat melandasi kesadaran hukum. Secara logis, seseorang tidak mungkin akan sadar terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui, begitu pula terhadap hukum. Meskipun pengetahuan hukum itu menjadi dasar atas kesadaran hukum, kenyataannya belum tentu kesadaran hukum itu mengantarkan individu kepada sikap menaati dan mematuhi hukum dan peraturan tertentu. Hanya sebatas tahu, tidak menjamin kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum.

2. Pengetahuan tentang Isi Peraturan (Law Acquaintance)

Tingkat kesadaran hukum akan lebih matang jika dilandasi pula oleh pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum. Satu tingkat lebih dalam, tahapan ini telah masuk pada pengetahuan esensi-esensi dan nilai serta norma yang dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Sebagaimana kita tidak bisa menilai isi buku hanya dari sampulnya saja, isi peraturan hukum pun perlu diketahui untuk dapat dipahami secara benar dan kemudian dipraktekkan sehingga terciptalah kepatuhan hukum. Isi peraturan-peraturan hukum ini tidak akan diketahui masyarakat jika tidak ada media dan sarana yang mendorong mereka untuk mencari tahu hal tersebut. Masyarakat yang pernah terlibat langsung dalam implementasi peraturan tertentu pasti memiliki pengetahuan tentang isi peraturan tersebut, maka dari itu sosialiasasi peraturan adalah hal yang penting dan harus dilakukan untuk mendukung ke arah

87 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologis (Semarang: Suryadaru Utama, 2005), 113. 88 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), 320-321.

30

efektivitas hukum. Di antara cara memahamkan masyarakat tentang peraturan adalah mengadvokasi mereka dan memberikan penyuluhan hukum89.

3. Sikap terhadap Peratuan Hukum (Legal Attitude)

Pengetahuan dan pemahaman terhadap isi peraturan terkadang tidak selalu selaras dengan sikap yang dibangun terhadap peraturan tersebut. Ketidakselarasan hal ini sangat dipengaruhi oleh perspektif individu, setiap orang dapat berbeda sikap dalam menanggapi suatu hal, meskipun pada intinya peraturan berusaha menyeragamkan. Sikap terhadap peraturan-peratuan hukum dapat berupa sikap positif; penerimaan atau sikap negatif; penolakan atas isi peraturan tersebut. Sikap positif terhadap peraturan-peraturan telah mengandung kesadaran hukum dan terbukti juga menyebabkan kepatuhan terhadap peraturan, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Seokanto (1977) mengenai kepatuhan hukum peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya90.

4. Pola Perilaku Hukum (Legal Behaviour)

Pada akhirnya, tahapan-tahapan itu akan terimplementasi dalam tingkah laku dan kebiasaan yang didasari dan dibangun atas kesadaran hukum, yang disebut pola perilaku hukum (legal behaviour). Pola yang akan muncul setidaknya ada 2, sebagai hasil dari penerimaan ataupun penolakan, yaitu pola perilaku yang mematuhi isi peraturan, dan pola perilaku yang tidak mematuhi atau melanggar isi peraturan. Dengan demikian, meskipun kesadaran hukum dimiliki masyarakat ternyata tidak serta merta akan mengantarkan mereka pada kepatuhan hukum, karena beberapa hal yang berbeda menyangkut individu tertentu. Meskipun begitu, kesadaran hukum masih tetap menjadi dasar penting dalam sebuah perilaku yang patuh dan taat pada hukum. Dalam diskusi lanjutan mengenai kesadaran hukum, ada hal penting lainnya yang menjadikan kesadaran lebih konkrit terimplementasi dalam tataran praktik, yaitu kepatuhan atau ketaatan hukum. Patuh dan taat hukum memang harus melalui proses sadar akan hukum, tetapi tidak otomatis kesadaran hukum mengantarkan seseorang kepada kepatuhan hukum. Taat dan patuh secara etimologi berarti suka menurut perintah. Dalam konteks peraturan, makna ketaatan hukum mengacu kepada sikap dan perilaku hukum yang merespon peraturan tersebut. Kajian mengenai ketaatan hukum oleh Parker dan Nilsen (2011) dibedakan menjadi 2 pendekatan, yaitu Objectivist dan Interpretivist. Pendekatan Objectivist berusaha mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi seperti apa individu akan mematuhi

89 Muhadi Zainuddin, “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan Kesadaran Hukum Masyarakat” Al-Mawardi Journal of Islamic Law 12, no.11 (2004): 91-109. 90 Soerjono Soekanto, "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum & Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470.

31

peraturan ataupun tidak. Makna utama kepatuhan dalam pendekatan ini adalah perilaku yang taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan. Selain itu, dengan pendekatan ini kepatuhan juga dibahas dari segi niat individu dalam mematuhi atau melanggar peraturan. Sementara itu pendekatan Interpretivist berupaya menjelaskan kepatuhan dalam bentuk yang lebih kompleks, proses transformasi aturan-aturan ke dalam hal yang nyata dalam realita kehidupan keseharian sesuai interpretasi, implementasi, dan negosiasi masyarakat yang diatur dalam peraturan tersebut. Menurut pendekatan kedua ini, kepatuhan dapat diartikan sebagai sebuah makna, interpretasi, kebiasaan sosial, praktik, interaksi, dan komunikasi antara beberapa aktor yang terkait dalam proses implementasi peraturan tersebut91. Ketaatan hukum dalam kaitannya dengan kesejahteraan sosial sering diasosiasikan dengan konsep utilitarian, yaitu peraturan akan dilaksanakan ketika akumulasi keuntungan dan kemanfaatan yang didapatkan individu-individu yang dikenai aturan tersebut lebih banyak dari pada kerugian atau ketidakmanfaatannya92. Dalam perspektif lain, ketaatan hukum dapat diteliti dengan pendekatan motivasi, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh May (2004) yang menjelaskan motivasi kepatuhan terhadap hukum berbasiskan sikap motivasi Affirmative dan Negative. Motivasi Affirmative berasal dari niat baik dan kesadaran diri untuk menjalankan kewajiban sesuai aturan hukum sehingga timbul sikap menyetujui, mematuhi, menaati, dan dapat menjalankan kegiatan tertentu sesuai regulasi yang ada. Adapun motivasi Negative muncul dari rasa takut akan sanksi dan konsekuensi yang didapatkan ketika diketahui melanggar hukum atau aturan yang ada sehingga mau tidak mau mereka akhirnya menaati aturan tersebut93. Ada beberapa faktor determinan yang mempengaruhi ketataan pada hukum dan aturan yaitu lingkungan (environment), sikap masyarakat (citizen attitude), kepentingan pribadi (self-interest), tekanan kawan (peer pressure), dan penegakan hukum (enforcement)94. Lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam kepatuhan hukum sebab hukum yang hidup di masyarakat tidak lagi sebatas aturan tertulis, tetapi juga sebagai norma yang dipraktekkan di masyarakat. Lingkungan yang patuh terhadap hukum dan aturan tertentu akan menciptakan kondisi yang mendukung implementasi aturan hukum tersebut, karena setiap individu yang menjadi anggota masyarakat akan mengaitkan dirinya kepada pandangan masyarakat di lingkungan tersebut, sehingga ketaatan dan kepatuhannya terhadap hukum juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, masjid di lingkungan perkotaan yang dipilih sebagai objek penelitian tepatnya di daerah kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Pembedaan antara lingkungan perkotaan dan perdesaan dalam hal ketaatan

91 Christine Parker dan Vibeke Lehmann Nielsen dalam Peter Drahos (ed), Regulatory Theory (Canberra:ANU Press, 2017), 218. 92 Steven Shavell, “When is Compliance with the Law Socially Desirable?” The Journal of Legal Studies 14, no. 1 (2012): 1-36. 93 Peter J. May, “Compliance Motivations: Affirmative and Negative Bases” Law & Society Review 38, no. 1 (2004): 41-68. 94 Kenneth J. Meier dan David R. Morgan, “Citizen Compliance with Public Policy: The National Maximum Speed Law” The Western Political Quarterly 35, no. 2 (1982): 258-273

32

dan kepatuhan terhadap hukum adalah kajian tersendiri yang bisa dibahas mendalam. Ada budaya yang berbeda antara masyarakat yang tinggal di lingkungan kota dengan masyarakat yang ada di desa. Perbedaan tersebut akan mudah dipahami jika dijelaskan dengan perspektif ilmu-ilmu dan teori sosial yang menjadikan masyarakat sebagai lokus utama kajiannya. Lingkungan tempat tinggal masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan, apalagi jika telah tumbuh budaya hukum yang diilhami oleh masyarakat itu dan diterapkan dalam keseharian mereka. Masyarakat desa diasosiasikan dengan masyarakat yang kehidupannya masih tradisional, berorientasi kolektif lebih mendahulukan kepentingan bersama, berpikir sederhana, memiliki aturan dan norma yang kebanyakan tidak tertulis tetapi benar-benar dijaga, tidak terbiasa dengan pembagian tugas yang jelas. Sedangkan masyarakat kota dicirikan dengan masyarakat yang modern, berorientasi individual tidak bergantung kepada orang lain, berpikir rasional dan kompleks, sangat terbiasa dengan pembagian tugas yang jelas. Perbedaan ini tentu berdampak pada ketaatan masyarakat terhadap hukum95. Hal yang juga membedakan sikap masyarakat desa dan kota terhadap hukum adalah bentuk solidaritas sosialnya sebagaimana pendapat Sosiolog; Emile Durkheim. Masyarakat desa memiliki pola solidaritas mekanik yaitu peran serta masyarakat sangat tinggi dalam memberikan sanksi dan hukuman terhadap suatu pelanggaran norma sosial, sementara solidaritas masyarakat kota adalah jenis solidaritas organik yang tidak didominasi peran masyarakat ketika terjadi suatu pelanggaran karena mereka berpikir sudah ada badan tertentu yang bertanggung jawab atas hal itu96. Faktor penentu ketaatan hukum berikutnya adalah sikap masyarakat. Dalam hal ini, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai pembuat undang- undang dan peraturan mempengaruhi sikap mereka ketaatan mereka. Ketika masyarakat sudah percaya dan menaruh harapan kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi mereka, maka sikap mereka akan bisa selaras dengan peraturan yang dibuat untuk tujuan tersebut. Berbeda halnya jika masyakarat sudah tidak lagi memiliki kepercayaan kepada pemerintah ataupun penegak hukum misalnya, maka mereka lebih memilih untuk mengikuti apa yang mereka yakini dan biasa lakukan, meskipun perbuatan itu tidak sesuai atau tidak mematuhi peraturan yang ada. Faktor ini juga bisa dilihat sebagai konsensus masyarakat untuk menerima atau menolak peraturan dengan sikap mereka. Contoh yang paling sering terjadi adalah tentang uji coba penutupan jalur lalu lintas. Masyarakat pengguna jalan yang sudah lama dan terbiasa menggunakan jalur tertentu ketika tiba-tiba jalur itu ditutup dan harus mencari alternatif jalur lainnya, tentu akan bereaksi dan mengambil sikap. Apalagi jika ternyata penutupan jalur tersebut alih-alih bertujuan untuk mengurai kemacetan, malah menimbulkan kemacetan yang lebih parah di titik lainnya, tentu dalam hal ini pengguna jalan dirugikan dengan makin bertambah lamanya waktu

95 Mifdal Zusron Alfaqi, “Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 28, no.2 (2015): 111-116. 96 Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: Macmillan Press, 1984), 31.

33

tempuh, dan sudah pasti uji coba peraturan ini akan gagal dan tidak dipatuhi oleh pengguna jalan97. Lain dengan sikap kompulan orang, kepentingan pribadi (self-interest) adalah faktor khusus yang mempengaruhi kepatuhan individu tertentu dalam kaitannya dengan peraturan. Perspektif kepentingan dalam konteks ini adalah perkiraan akumulasi selisih keuntungan dari kerugian yang diperhitungkan individu sebagai konsekuensi jika harus mematuhi peraturan tertentu. Setiap orang tentu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, sehingga kepatuhan terhadap hukumnya pun bervariasi. Bagi individu yang eksis dalam sebuah komunitas atau kelompok dan perkumpulan dalam masyarakat tertentu, keberadaannya tentu memiliki keterkaitan dengan kelompok tersebut, sehingga sikap dan perilaku yang akan dia putuskan juga mempertimbangkan respon seperti apa yang sekiranya ditimbulkan oleh kawannya sebagai anggota kelompok tersebut. Bagi kelompok yang sering melanggar peraturan, anggotanya secara tidak langsung juga terpengaruh dan ikut melanggar peraturan, jika salah seorang dari mereka ingin menaati peraturan, artinya melakukan sesuatu yang lain dengan apa yang biasa kelompok itu lakukan, maka kawan lainnya pun bisa merespon bahkan memaksa serta menekan sikap dan perilaku anggota yan tidak sama dengan mereka. Kepatuhan hukum yang dimiliki individu dalam sebuah kelompok yang tidak patuh hukum akan tertahan pada konsepsi kesadaran hukumnya saja, tidak sampai mengantarkannya pada perilaku patuh dan taat hukum karena adanya tekanan dari teman sejawatnya. Upaya penegakan hukum adalah salah satu rangkaian dari proses penerapan hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran hukum masyarakat. Penegakan hukum pada dasarnya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu materi hukum (peraturan/perundang-undangan), aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat, dan lembaga pemasyarakatan), sarana dan prasarana hukum, dan budaya hukum (legal culture)98 Dalam nalar hukum, peraturan dibuat untuk dipatuhi, jika peraturan itu dilanggar maka pelanggarnya akan dikenai sanksi dan hukuman. Sanksi dan hukuman ini adalah aspek utama dalam penegakan hukum, selain juga faktor penegak hukum yang memainkan peran pemutus perkara dalam proses litigasi. Beberapa orang akan mematuhi aturan karena takut akan sanksi dan hukuman yang diterima ketika melanggar. Kepatuhan hukum dalam kaitannya dalam penegakan hukum, dibagi ke dalam 2 perspektif, yaitu perspektif instrumental dan normatif99. Perspektif instrumental mengungkapkan bahwa kepatuhan tergantung pada kemampuan hukum untuk membentuk perilaku patuh itu sendiri

97 Misalnya yang terjadi pada penutupan tiga persimpangan jalan di Mampang Prapatan, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/20/14265751/uji-coba-dihentikan-beton- pembatas-tiga-simpang-di-mampang-prapatan diakses pada 28 Februari 2019 pukul 09.16 WIB. 98 Yohanes Suhardin, “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum” Mimbar Hukum 21, no.2 (2009):341-354. 99 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode & Pilihan Masalah, (Jogjakarta : Genta Publishing, 2010), 208.

34

dan hal itu berhubungan dengan adanya insentif dan adanya hukuman. Maka meningkatkan berat sanksi dianggap cara yang efektif untuk menurunkan angka pelanggaran dan kejahatan. Adapun perspektif normatif berhubungan dengan keyakinan rakyat akan adanya keadilan dan moral yang termuat dalam hukum sehingga penegakan hukum tidak berperan aktif dalam menciptakan kepatuhan hukum di masyarakat, kendati hal itu bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Maka apabila hukum dirasakan adil, rakyat akan sukarela mematuhinya, kendatipun mengorbankan kepentingannya. Rakyat juga menjunjung suatu pemerintahan, apabila diyakini bahwa pemerintahan itu memiliki hak moral untuk mengatur rakyatnya. Penegakan hukum dalam perspektif ilmu sosial adalah cara terakhir yang dilakukan dalam proses pengendalian sosial. Penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan berbagai macam cara dan tahapan. ada yang bisa selesai dengan cara damai kekeluargaan tetapi ada pula yang harus menempuh serangkaian jalur hukum. Masyarakat yang cenderung menggunakan jalur hukum melalui proses pengadilan dalam penyelesaian konflik atas penyimpangan ataupun pelanggaran disebut masyarakat litigatif, sementara yang memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan disebut masyarakat antilitigasi100.

E. Sosiologi Masyarakat Perkotaan

Kajian-kajian yang bertemakan sosial sangat mungkin untuk dibahas dengan pendekatan disiplin ilmu Sosiologi sebagai salah satu sudut pandang dan analisisnya, begitu pun dengan tesis ini yang memaparkan pemahaman para praktisi zakat berbasis masjid di wilayah perkotaan terhadap konsep-konsep fikih dan hukum positif. Asal-usul kata “kota” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “kotta” yang berarti kubu atau perbentengan (stronghold)101. Dalam literatur berbahasa Inggris, ada 2 istilah yang digunakan untuk menyebut kota, yaitu town dan city. Dalam bahasa Indonesia, town cenderung dipadankan artinya sebagai kota kecil, sedangkan city kota besar102. Jika dibandingkan antara kota dan desa, town merupakan bentuk tengah di antara keduanya. Penduduk yang tinggal di town masih saling mengenal dengan akrab. Perilaku sosial masyarakat di dalam wilayah town lebih mirip dengan pola perdesaan apabila dibandingkan dengan pola di kota besar (city) atau metropolitan103.

100 Contohnya budaya masyarakat Jepang mempersepsikan bahwa penyelesaian masalah melalui jalur pengadilan adalah hal yang tidak baik, sehingga mereka cenderung menghindari proses litigasi ini. Berbeda halnya dengan masyarakat Amerika misalnya, yang dikenal sangat litigatif dalam hal penyelesaian perkara. Lihat Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2017), 92. 101 Eko A. Meinarno, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 221. 102 S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali Press,1992), 26. 103 Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 35.

35

Banyak pengertian tentang kota yang bisa dirujuk, salah satunya adalah seperti yang dikemukakan Wirth bahwa kota merupakan sebuah permukiman yang penduduknya relatif besar, padat, permanen, dan dihuni oleh berbagai macam orang yang heterogen104. Jamaluddin mencoba mengklasifikasikan pengertian kota ditinjau dari tiga aspek utama, yaitu segi fisik, jumlah penduduk, dan demografis105. Dari segi fisik, kota didefinisikan sebagai sebuah permukiman penduduk yang memiliki bangunan- bangunan tempat tinggal yang berjarak relatif padat, memiliki berbagai sarana dan prasarana umum, serta fasilitas yang memadai dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Dari segi jumlah penduduknya dan demografisnya, kota dipahami berdasarkan kesepakatan mengenai jumlah minimum populasi yang digunakan untuk pengklasifikasian permukiman tertentu sebagai suatu kota. Kesepakatan tentang kuantitas yang baku tentang jumlah penduduk kota sulit dicapai, oleh karenanya kota bisa juga dipahami dari ciri-cirinya yaitu: 1) Sektor industri dan jasa memainkan peran yang dominan dalam kehidupan ekonomi penduduknya, 2) jumlah penduduk yang relatif besar, 3) heterogenitas susunan penduduknya, 4) kepadatan penduduk yang relatif besar. Terlepas mengeani perbedaan pengertian mengenai kota, penulis menggaris bawahi “wilayah perkotaan” sebagai stressing point yang menjadi pembeda dengan wilayah lainnya, perdesaan misalnya. Secara kenampakan alam, wilayah kota dan desa pasti berbeda, semakin wilayah itu tidak banyak mengandalkan alam, semakin jauh dari kategori wilayah desa, begitu pula sebaliknya penggunaan sumber daya alam secara langsung di wilayah kota tergantikan dengan produk-produk instan hasil kerja mesin. Secara kualitatif, kita bisa menemukan banyak perbedaan yang kasat mata dapat diamati dari wilayah kota dan desa. Badan Pusat Statistik (BPS) dengan pendekatan aspek kuantitatifnya mendefinisikan wilayah perkotaan sebagai wilayah yang telah memenuhi beberapa indikator perkotaan, yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan atau akses menuju fasilitas perkotaan di antaranya Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Umum, Pasar, Pertokoan, Bioskop, Rumah Sakit, Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon, Persentase rumah tangga yang menggunakan telepon, dan persentase rumah tangga yang menggunakan listrik106. Mengacu pada penentuan klasifikasi wilayah perkotaan dan perdesaan BPS tersebut, 100 % wilayah penelitian tesis ini termasuk wilayah perkotaan yaitu Kecamatan Pancoran Kota Administrasi Jakarta Selatan. DKI Jakarta adalah satu- satunya provinsi di Indonesia yang tidak memiliki wilayah berkategori perdesaan. Meskipun demikian, dalam sudut pandang Sosiologi, penentuan karakteristik wilayah perkotaan dan perdesaan lebih ditekankan kepada klasifikasi

104 Safari Imam Asy‟ari, Sosiologi Kota dan Desa (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 19. 105 Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 40-41. 106 Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia

36

dan tipologi masyarakatnya. Kriteria wilayah perkotaan yang ditentukan BPS hanya terkait dengan hal-hal fisik berupa fasilitas dan sarana umum, tetapi tidak sama sekali menyentuh esensi yang lebih abstrak dalam aspek sosial dan kultral seperti budaya, tradisi, pola interaksi dan komunikasi, serta solidaritas sosial. Ada beberapa tipologi masyarakat yang sering diklasifikasikan dalam perspektif Sosiologi, di antaranya seperti yang dijelaskan Soekanto107 mengenai perkembangan tahapan masyarakat di Indonesia yaitu:

1. Masyarakat Sederhana Masyarakat sederhana adalah masyarakat yang mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Masyarakat tipe ini mewarisi hubungan kekeluargaan yang erat, menjalankan organisasi sosial secara turun menurun sesuai tradisi dan adat istiadat. Kegiatan perekonomian dan sosial masih dilakukan dengan cara gotong royong yang memerlukan kerja sama dan melibatkan banyak orang dengan tidak adanya sistem hubungan buruh dan majikan.

2. Masyarakat Madya Tipe masyarakat yang kedua ini lebih berkembang dari tipe sebelumnya, masih memiliki hubungan yang kuat dengan keluarga, akan tetapi hubungan antar anggota masyarakat mulai mengendur dan mulai didasarkan pada kepentingan untuk memenuhi untung-rugi atas dasar kepentingan ekonomi. Adat istiadat yang berlaku di masyarakat masih dihormati, tapi mulai membuka diri dengan adanya pengaruh dari luar. Nilai gotong royong masih dipraktikkan hanya pada keluarga besar atau tetangga terdekat, sedangkan dalam pembangunan prasarana dan saran umum sudah didasarkan pada upah yang memperhitungkan nilai komersil.

3. Masyarakat Modern Kelompok masyarakat ini telah mengalami kemajuan akibat intensifnya interaksi dan komunikasi dengan masyarakat lainnya dan banyak menerima informasi dari media elektronik. Hubungan antar masyarakat dalam kelompok ini didasarkan atas kepentingan pribadi dan kebutuhan individu, kerjasama yang dilakukan adalah ikatan kerja yang formal dengan tugas dan fungsi yang jelas, penduduknya terdiri dari berbagai macam profesi dan kualifikasi pendidikannya tinggi sehingga inisiatif untuk gotong royong dalam pembangunan-pembangunan fasilitas umum sudah tidak lagi digunakan, semuanya dilaksanakan dengan sistem kerja yang profesional. Dalam memahami masyarakat kota, kita tidak akan pernah terlepas dengan karakter masyarakat industri yang khas dengan wilayah ini. Berbeda dengan wilayah desa yang masyarakatnya masih bersifat agraris; mengandalkan sumber daya alam sebagai mata pencaharian, masyarakat industri yang bertempat tinggal di kota tidak lagi bergantung pada alam, akan tetapi mereka berpenghasilan dari sektor-sektor industri seperti pegawai pabrik, sektor jasa seperti pekerja kantoran dan pekerja profesional, serta sektor perdagangan.

107 Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu Hukum Adat (Jakarta: Rajawali Press, 1984), 49-51.

37

Perubahan yang terjadi pada masyarakat agraris (tradisional) ke masyarakat industri (modern) adalah salah satu akibat nyata dari gencarnya proses modernisasi dengan berbagai nilai dan kemajuan teknologi yang ada108. Modernisasi yang terjadi memang membawa dampak yang begitu signifikan dalam perubahan hampir di semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk di dalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi, dan lain sebagainya109. Dengan kata lain, modernisasi merupakan faktor utama perubahan yang mentransformasi nilai-nilai masyarakat agraris menjadi nilai-nilai masyarakat modern. Perubahan yang terjadi di masyarakat pasca-industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan, meskipun demikian dampak yang ditimbulkan oleh modernisasi tidak selalu negatif, ada beberapa dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat akibat terjadinya modernisasi, di antara dampak yang paling signifikan adalah perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakatnya. Masyarakat yang telah terpengaruh modernisasi umumnya akan berpikir lebih terbuka dan realistis serta logis, sehingga berkemauan tinggi dan memilih jalur modern dari pada cara-cara tradisional dalam mencari penghidupan, salah satu jalannya adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan aspek penting yang diperjuangkan oleh masyarakat modern, karena persaingan kerja yang ketat akan menuntut kualifikasi pendidikan dan keahlian yang cukup agar bisa bersaing. Alur pendidikan ini akan mengantarkan seseorang kepada pekerjaan yang modern, tentunya dengan tawaran penghasilan yang tinggi dibandingkan dengan pekerjaan tradisional yang umumnya ada di desa. Meningkatnya tingkat pendapatan dan penghasilan ini berbanding lurus dengan membudayanya perilaku dan gaya hidup yang konsumtif110. Masyarakat modern umumnya tidak ingin repot dan cenderung berpikir instan dalam hal konsumsi sehari-hari, karena kesibukannya di dunia kerja, maka mereka tidak lagi sempat untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minumnya secara pribadi. Oleh karenanya membeli makanan dan minuman siap saji adalah solusi instan yang mereka pilih. Pola hidup semacam ini terus berkembang dan membudaya di masyarakat modern apalagi didukung dengan kemudahan- kemudahan teknologi yang memungkinkan konsumen untuk memesan makanan atau minuman hanya melalui aplikasi di smartphone. Dalam konteks penelitian ini, kawasan kecamatan Pancoran memang merupakan wilayah perkotaan. Meski demikian, kondisi sosial masyarakatnya belum sepenuhnya mencerminkan masyarakat modern (bisa disebut sub-urban), karena masih ditemui ciri masyarakat madya, seperti kultur masyarakat yang dipengaruhi ikatan kekeluargaan antara masyarakat, komunikasi yang yang terjalin pun masih intens dengan kegiatan-kegiatan sosial yang ada, juga akibat homogenitas penduduk Betawi nya yang masih kuat.

108 Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 93 109 Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 2006), 23 110 Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 216.

38

BAB III PENGELOLAAN ZAKAT OLEH MASJID

Bab ini diawali dengan pemaparan masjid dalam berbagai aspek, di antaranya tipologi dan karakteristik masjid di Indonesia, Dewan Masjid Indonesia (DMI), masjid dalam regulasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat di Indonesia, serta praktik riil pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid yang penulis teliti di kecamatan Pancoran.

A. Tipologi Masjid di Indonesia

Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam yang secara bahasa berarti tempat sujud. Rasulullah bahkan pernah menyatakan bahwa seluruh permukaan bumi adalah masjid111, tempat sujud yang suci, sehingga setiap muslim dapat melaksanakan salat di mana saja kecuali di tempat-tempat yang memang telah dilarang seperti tempat yang kotor dan najis, kuburan, dan kamar mandi/wc112. Di Indonesia, tempat ibadah umat Islam yang dapat diakses secara umum biasanya dibedakan menjadi masjid, musala atau langgar. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah dari segi fungsinya sebagai tempat pelaksanaan salat Jumat113. Salat Jumat tentu bisa dilaksanakan di masjid, akan tetapi tidak dengan musolla yang hanya digunakan untuk pelaksanaan salat fardu atau sunnah. Hal serupa bisa juga ditemukan dalam eksistensi masjid di Mesir misalnya. Klasifikasi tempat ibadah umat Islam di Mesir dibagi menjadi 3 macam, yaitu Jami‟, Masjid, dan Zawiya. Konsep pembagian ini sama seperti yang ditemui di Indonesia hanya penggunaan istilahnya saja yang berbeda, Jami di Mesir seperti halnya masjid di Indonesia yaitu tempat ibadah salat 5 waktu yang juga dipakai untuk pelaksanaan ibadah salah Jumat, sedangkan Masjid di Mesir layaknya musala di Indonesia, ia hanya memungkinkan untuk menjadi tempat pelaksanaan salat 5 waktu tetapi tidak untuk salat Jumat. Adapun Zawiya di Mesir adalah tempat ibadah yang khusus untuk majelis atau perkumpulan keagamaan tertentu yang kapasitasnya kecil dan terbatas114. Masjid sedari dulu telah multifungsi, tidak hanya terbatas sebagai tempat pelaksanaan ibadah semata, tetapi bisa juga difungsikan sebagai tempat

111 Muslim ibn H{ajja>j al-Naysa>bu>riy, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 1955) nomor hadis 811. Dalam S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> nomor hadis 419. 112 Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2008), 5-7. 113 Istilah Musala yang dipahami muslim di Indonesia tidak ditemukan di negara-negara mayoritas penduduk muslim lainnya. Terkait perbedaan ini, masjid memiliki beberapa ketentuan yang tidak dimiliki musala, misalnya tentang keutamaan salat sunnah Tahiyyatul Masjid 2 rakaat, yang dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim memasuki masjid sebelum duduk. Lihat S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> hadis nomor 444 dan S{ah{i>h{ Muslim hadis nomor 715. 114 Damas Addeh dan Sayida Fuad, The Legal Framework of Mosque Building and Muslim Religious Affairs in Egypt: Towards a Strengthening of State Control. (tp.2011)

39

bermusyawarah, tepat pendidikan dan pembelajaran, dakwah, bahkan sebagai tempat kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat muslim115. Jumlah masjid di Indonesia yang merupakan wilayah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia pastilah tidak sedikit. Kita bisa dengan mudah menemukan masjid di wilayah Indonesia, apalagi di kawasan yang penduduknya mayoritas muslim. Jumlah masjid di Indonesia menurut data terbaru yang ditampilkan Kementerian Agama dalam Sistem Informasi Masjid (SIMAS) terdata sebanyak 253.299 (dua ratus lim puluh tiga ribu dua ratus sembilan puluh sembilan) masjid116. Ratusan ribu masjid tersebut terdiri dari 1 Masjid Negara, 33 Masjid Raya, 399 Masjid Agung, 4.419 Masjid Besar, 208.257 Masjid Jami, dan 40.190 masjid di tempat publik. Dalam tampilan SIMAS tersebut, ada 873 masjid yang dikategorikan sebagai masjid bersejarah. Masjid dengan jumlah sebanyak ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan klasifikasi nama sesuai letak dan skalanya. Berikut ini pengkalsifikasian (tipologi) masjid menurut aturan terbaru117

1. Masjid Negara Masjid Negara adalah masjid yang berlokasi di Ibukota Negara Indonesia dan menjadi pusat kegiatan keagamaan tingkat kenegaraan. Masjid Negara di Indonesia hanya ada satu, yaitu Masjid Istiqlal yang terletak di Jakarta Pusat. Masjid Negara memiliki beberapa kriteria di antaranya yaitu: Kegiatan masjid ini didanai dari subsidi Negara melalui APBN dan APBD serta bantuan masyarakat; menjadi pembina masjid-masjid di wiliyah provinsi, kepengurusannya ditetapkan dan dilantik oleh Menteri Agama.

2. Masjid Nasional Masjid Nasional adalah masjid yang terletak di Ibukota Provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Agama sebagai Masjid Nasional118, contoh masjid ini misalnya Masjid Nasional al-Akbar Surabaya. Masjid ini menjadi tempat pusat kegiatan keagamaan di tingkat Pemerintahan Provinsi. Dana kegiatan Masjid Nasional bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi dan bantuan masyarakat, masjid ini menjadi pembina Masjid Agung dan Masjid Raya yang ada di wilayah provinsi tersebut. Kepengurusannya ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam berdasarkan usulan Kepala

115 Zakaryya Mohamed Abdel-Hady, The Masjid, Yesterday and Today (Qatar: Center for International and Regional Studies of Georgertown University School of Foreign Service in Qatar, 2010), 5-6. 116 Diakses melalui laman simas.kemenag.go.id pada 06 Juli 2019 pukul 14.50 WIB. 117 Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid 118 Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid

40

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dengan mempertimbangkan saran dan pendapat masyarakat.

3. Masjid Raya Masjid Raya adalah masjid yang berada di Ibukota Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagai Masjid Raya dan menjadi pusat kegiatan keagamaan di tingkat Pemerintahan Provinsi, contohnya Masjid Jakarta Islamic Center di Provinsi DKI Jakarta. Masjid ini memiliki kriteria di antaranya: Dibiayai oleh Pemerintah Provinsi melalui APBD dan dana masyarakat, berfungsi sebagai pembina Masjid Agung yang ada di wilayah provinsi, kepengurusannya ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi berdasarkan usulan jamaah atau masyarakat.

4. Masjid Agung Masjid Agung adalah masjid yang terletak di Ibukota Pemerintahan Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten/Kota, menjadi pusat kegiatan sosial keagamaan yang dihadiri atau dilaksanakan oleh pejabat Pemerintahan Kabupaten/Kota, contohnya Masjid Sunda Kelapa Menteng di wilayah pemerintahan Kota Administasi Jakarta Pusat. Ciri masjid ini adalah sebagai berikut: Dana kegiatannya disubsidi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan swadaya masyarakat muslim, menjadi pusat kegiatan keagamaan Pemerintahan Kabupaten/Kota atau masyarakat muslim di wilayah Kabupaten/Kota, kepengurusan masjid ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota berdasarkan usulan KUA Kecamatan dan lembaga masyarakat.

5. Masjid Besar Masjid Besar adalah masjid yang berada di kecamatan dan ditetapkan oleh Camat atas rekomendasi Kepala KUA Kecamatan sebagai Masjid Besar yang menjadi pusat kegiatan sosial keagamaan yang dihadiri Camat, pejabat dan tokoh masyarakat tingkat kecamatan. Masjid ini disubsidi oleh Pemerintah Kecamatan atau organisasi kemasyarakatan, kepengurusannya dipilih oleh jamaah dan dikuatkan oleh Camat atas usul Kepala KUA Kecamatan. Penggunaan nama Masjid Besar nampaknya tidak begitu familiar dibandingkan nama Masjid Jami, hanya masjid-masjid tertentu saja yang menyertakan nama Masjid Besar untuk penamaannya.

6. Masjid Jami Masjid Jami adalah masjid yang terletak di pusat permukiman di wilayah kelurahan pada umumnya. Masjid tipe ini biasanya berada di pusat desa/kelurahan atau permukiman warga, dibiayai oleh Pemerintah Desa dan

41

atau sumbangan sukarela masyaarakat, menjadi pusat kegiatan keagamaan Pemerintah Desa/Kelurahan dan warga, menjadi pembina masjid dan musala serta majelis taklim yang ada di wilayah Desa/Kelurahan. Kepengurusan masjid dipilih oleh jamaah dan ditetapkan oleh pemerintah setingkat Desa/Kelurahan atau rekomendasi Kepala KUA Kecamatan.

7. Masjid di Tempat Publik Sejalan dengan perkembangan zaman, semakin hari masyarakat muslim Indonesia semakin bertambah jumlahnya, adalah hal yang wajar jika perkembangan jumlah masjid dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, karena beberapa faktor seperti adanya permukiman baru, daya tampung masjid yang ada yang sudah tidak memadai, kegiatan dan mobilitas masyarakat yang dinamis, kebutuhan tempat ibadah di fasilitas umum, dan bahkan bisa juga masjid baru lahir karena dilatarbelakangi oleh semangat dakwah yang inklusif. Oleh karenanya, banyak masjid baru yang dibangun di tempat-tempat publik sebagai fasilitas ibadah umat Islam secara umum. Masjid kategori ini biasanya dibangun di kawasan tertentu seperti perkantoran, pabrik, kampus/sekolah/madrasah/pondok pesantren, rumah sakit, hotel, bandar udara, pelabuhan, terminal, stasiun, pusat perbelanjaan seperti mall/plaza, Rest Area jalur tol, serta kawasan publik lainnya. Dana operasional kegiatan masjid ini biasanya ditanggung oleh anggaran instansi yang menaunginya bisa dari pemerintah, perusahanan, atau instansi terkait serta partisipasi pihak swasta atau masyarakat.

Dari beberapa tipe masjid di atas, ada pola kriteria yang sama yang bisa ditemukan dalam pengertian tiap jenis masjid, yaitu adanya rekomendasi dari pejabat pemerintahan tingkat tertentu untuk menetapkan atau mengukuhkan kepengurusan masjid. Penulis melihat bahwa rekomendasi itu hanyalah bersifat normatif yang seharusnya dilakukan, akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah tidak demikian, khususnya masjid-masjid jami yang berada tingkat desa/kelurahan. Rekomendasi yang benar-benar dibutuhkan dan dilaksanakan adalah rekomendasi untuk kepengurusan masjid di tingkat Negara, Nasional, hingga Kabupaten/Kota karena hal itu berkenaan dengan kepastian hukum yang salah satu implikasinya adalah keberhakkan para pengurus masjid terhadap subsidi yang diberikan dari pemerintah. Meskipun di Indonesia, pengurus masjid bukanlah jabatan yang prestisius seperti Aparatur Sipil Negara pada umumnya sehingga pemilihan pengurus bukanlah agenda yang terbuka dan tidak transparan. Para pengurus masjid lebih tepatnya adalah orang-orang pilihan pejabat yang berwenang atas usulan dan rekomendasi rekan serta relasi yang dimiliki para pengurus masjid. Mengenai karakteristik masjid, pada Tahun 2008 Kementerian Agama melalui Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah juga mengkategorisasikan masjid berdasarkan kegiatan dan aktivitasnya119, yaitu:

119 Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2008), 55-60

42

1. Masjid Statis Kata stastis tidak sepenuhnya berkonotasi negatif, tetapi jenis masjid ini sepertinya memang tidak menunjukkan perkembangan dari dahulu hingga saat ini. Para pengurus masjid hanya menjalankan rutinitas ibadah fardu pada umumnya, tidak ada pembinaan khusus yang dilakukan pengurus kepada jamaah masjidnya. Hubungan antara pengurus dan jamaah hanya sebatas imam dan makmum dalam salat jamaah, di luar itu mereka tidak terlibat intens dalam kegiatan tertentu. Masjid seperti ini biasanya dikelola oleh keluarga yang mendirikan masjid, tanpa adanya manajemen. Masjid dikelola sebagaimana para pendahulu keluarga mereka mengelola. Tidak adanya kegiatan selain ibadah salat berjamaah inilah yang disebut statis, pengurus masjid tidak melakukan langkah-langkah terobosan yang stategis atau juga karena jamaah masjid nya yang cenderung pasif sehingga tidak ada proses komunikasi yang konstruktif untuk lebih memakmurkan masjid. Keadaan statis juga bisa diakibatkan fungsi masjid yang hanya digunakan di waktu-waktu tertentu, misalnya masjid di wilayah perkantoran, maka ketika libur hari kerja masjid tidak digunakan.

2. Masjid Aktif Kegiatan masjid tipe ini tidak sekedar menjalankan rutinitas ibadah salat fardu berjamaah, akan tetapi mulai mengelola jamaah dengan melibatkan mereka pada kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan di masjid, misalnya pengajian rutin mingguan atau bulanan, perayaan hari-hari besar Islam, dan lain sebagainya120. Pengurus masjid tipe ini sudah memiliki kesadaran dan tanggung jawab serta semangat untuk memakmurkan masjid sekalipun belum menjalankan pengelolaan yang profesional. Meski demikian, upaya pengurus masjid seperti ini umumnya mendapatkan respon yang baik oleh masyarakat di sekelilingnya, apalagi kegiatannya juga terus digalakan, tidak hanya yang bersifat amaliyah ibadah, tetapi amal-amal sosial kemasyarakatan.

3. Masjid Profesional Masjid tipe ketiga ini adalah masjid ideal yang bisa dijadikan contoh serta pedoman untuk masjid-masjid lain dalam memakmurkan masjid. Pengurus masjid tipe ini memiliki tata kelola yang jelas, struktur organisasi dan tugas-tugasnya, perencanaan progam serta kegiatan yang telah ditentukan untuk minimal setahun ke depan, transparan dalam laporan keuangan, serta telah melakukan tahapan pemberdayaan masyarakat di sekelilingnya. Masjid yang profesional biasanya mempekerjakan pengurusnya dengan profesional juga, dalam arti bahwa tugas dan fungsi yang dijalankan

120 Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2008), 57.

43

pengurus masjid telah disepakati dalam ikatan pekerjaan yang jelas, kewajiban dan hak nya diatur dengan jelas, sehingga proses ini menuntut profesionalitas para pengurusnya dalam mengelola masjid. Masjid tiipe ini umumnya memiliki kondisi finansial yang sehat, dicatat dan dilaporkan berkala dengan prinsip-prinsip akuntansi yang baik dan transparan, bisa diakses oleh seluruh jamaahnya bahkan masyarakat umum. Mengikuti tren perkembangan teknologi, tentu tolok ukur masjid yang profesional tidak juga luput dari penggunaan teknologinya yang modern dan mutakhir, misalkan dalam hal infornasi, masjid memiliki situs resmi yang dapat diakses secara online, alamat surat elektronik, akun-akun media sosial yang juga dikelola oleh tim tersendiri yang aktif memperbarui konten- konten informasi mengenai masjid tersebut. Pengelolaan masjid yang profesional semacam ini biasanya ditemukan di masjid-masjid yang dikelola pemerintah seperti Masjid Negara, Masjid Nasional, Masjid Raya, dan Masjid Agung, atau masjid-masjid besar yang dikelola pihak swasta profesional.

Selain tipologi, masjid sering bersinggungan dengan hal-ihwal landasan hukum bangunan serta tanahnya. Sebagaimana kita ketahui, kepemilikan tanah serta bangunan masjid di Indonesia paling tidak terbagi ke dalam 2 macam, yaitu wakaf atau pun non-wakaf. Masjid yang dibangun di atas wakaf tentu memiliki implikasi hukum yang berbeda dengan masjid yang dibangun di atas tanah non-wakaf seperti tanah milik pribadi, atau milik pemerintah. Keadaan yang paling aman bagi kelangsungan masjid dalam jangka panjang adalah, tanahnya merupakan wakaf yang tercatat dan bersertifikat. Hal ini menguatkan posisi yuridis masjid sehingga tidak bisa diambil alih paksa untuk dirobohkan dan dibangun bangunan lain atau dijual jika status tanahnya non-wakaf atau pun wakaf tetapi bermasalah; tidak memiliki legalitas.

B. Dewan Masjid Indonesia

Masjid-masjid di Indonesia terkumpul dalam beberapa forum, salah satunya adalah Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang pada periode saat ini (2017-2022) diketuai oleh Muhammad . DMI adalah organisasi masyarakat Islam tingkat nasional yang menjadi koordinator masjid-masjid seluruh Indonesia. DMI didirikan pada 22 Juni 1972 yang bertujuan untuk mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat, dan persatuan umat. Kepengurusan DMI tersebar di seluruh Indonesia di berbabagi tingkatan, mulai dari DMI Pusat, DMI Provinsi, DMI Kabupaten/Kota, hingga DMI Kecamatan. Pimpinan pusatnya dipilih secara demokratis setiap 5 tahun sekali melalui muktamar nasional121. Penulis menganggap pembahasan DMI memiliki korelasi yang sangat erat dengan objek penelitian yang terkait masjid yang mengelola zakat. DMI menjadi salah satu organisasi perkumpulan masjid yang berpengaruh di Indonesia dan

121 Diakses melalui laman dmi.or.id

44

memiliki potensi yang strategis dalam mengembangkan masjid-masjid di Indonesia yang menjadi anggotanya. Dalam beberapa kesempatan, DMI pusat mengungkapkan 10 porgram utamanya dalam kepengurusan saat ini, yaitu: 1. Perbaikan akustik masjid (sound system), 2. Penerapan aplikasi masjid dan media digital 3. Masjid bersih dan sehat 4. Pemberdayaan ekonomi berbasis masjid 5. Manajemen kemasjidan 6. Sertifikasi tanah/wakaf 7. Arsitektur masjid 8. Pendidikan dan dakwah 9. Wisati religi berbasis masjid 10. Pembangunan gedung DMI

Mengamati kesepuluh program utama tersebut, DMI tentu sangat potensial untuk dijadikan mitra dalam hal pengelolaan zakat berbasis masjid, karena salah satu program pemberdayaan ekonomi bisa bisa berasal dari dana zakat, khususnya zakat mal. Tentu banyak pihak yang bisa diajak bekerjasama untuk merealisasikan porgam-porgam unggulan DMI tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan dengan instansi pemerintah terkait. Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Bank DKI telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan pihak DMI Provinsi DKI Jakarta untuk penyaluran dana bantuan operasional bagi masjid dan musala di wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan nama program Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI)122. Adanya organisasi perkumpulan masjid semacam ini tentunya dapat memudahkan koordinasi dan sosialisasi untuk program-program yang bertujuan memajukan masjid. Di Jawa Barat, program kredit Mesjid Sejahtera (Mesra) telah diluncurkan pada November 2018 oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat sebagai program keumatan Gubernur Provinsi Jawa Barat. Program ini merupakan suatu terobosan baru dalam upaya memudahkan dan memfasilitasi masyarakat untuk mengakses dana pinjaman atau kredit permodalan. Pinjaman ini diberikan tanpa bunga dan agunan yang pastinya memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan usaha mikro dari pada harus terjerat dalam sistem pinjaman rentenir yang bunganya terkadang sangat tinggi dan tidak manusiawi. Terkait program Mesra ini, DMI menyambut baik dan siap mengadopsinya untuk diaplikasikan secara nasional melalui jejaring masjid yang ada di bawah koordinasi DMI123. DMI bisa dijadikan mitra strategis oleh para pihak yang memiliki kewenangan terhadap zakat, khususnya untuk membangun basis pengelolaan zakat di masyarakat melalui masjid-masjid. Selama ini, potensi zakat yang dikelola masjid

122 Berita diakses melalui laman https://www.beritasatu.com/megapolitan/548749/uus-bank- dki-salurkan-bantuan-operasional-tempat-ibadah pada 29 Agustus 2019. 123 Berita diakses melalui laman http://bappeda.jabarprov.go.id/program-kredit-mesra-akan- diterapkan-di-seluruh-indonesia/ pada 29 Agustus 2019.

45

-disadari atau tidak- luput dari kebijakan dan progam pengelolaan zakat nasional. Praktik yang selama ini selalu dilaporkan kinerjanya dan terus dikembangkan adalah pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga resmi saja, padahal hasil zakat yang dihimpun oleh masjid selama bulan Ramadan di tiap tahunnya tidaklah sedikit apalagi jika dikalikan dengan jumlah masjid yang melakukan hal tersebut di seluruh Indonesia.

C. Masjid dalam Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia

Dalam penelitian ini acuan legalitas pengelolaaan zakat dalam sebuah aturan hukum menjadi penting karena dari substansi itulah penelitian ini akan banyak bertumpu. Ada 5 peraturan utama yang penulis pilih untuk mengetahui bagaimana sebenarnya posisi masjid dalam regulasi tentang pegelolaan zakat. Aturan-aturan tersebut diurutkan secara periodik mulai dari yang yang paling umum ke yang paling khusus.

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang ditetapkan pada tanggal 25 November 2011 berisi 10 bab. Secara kuantitas, undang- undang ini lebih banyak memuat pasal dan ketentuan mengenai Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Pasal-pasal mengenai kewenangan BAZNAS secara khusus terdapat dalam Bab II, yaitu sebanyak 16 pasal dari total 47 pasal undang-undang ini. Bab-bab lainnya rata-rata hanya berisi 2 sampai 3 pasal. Selain penguatan BAZNAS yang mencolok, ada salah satu hal baru dalam undang-undang pengelolaan zakat ini yaitu ketentuan pidana bagi pengelola zakat yang tidak sesuai dengan aturan, yang oleh sebagian praktisi zakat kemudian dianggap sebagai upaya kriminalisasi amil zakat tradisional.

Tabel 1. Konstruksi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat BAB Judul Umum BAB Pasal I Ketentuan Umum 1-4 II Badan Amil Zakat Nasional 5-20 III Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan, dan Pelaporan 21-29 IV Pembiayaan 30-33 V Pembinaan dan Pengawasan 34 VI Peran Serta Masyarakat 35 VII Sanksi Administratif 36 VIII Larangan 37-38 IX Ketentuan Pidana 39-42 X Ketentuan Peralihan 43 XI Penutup 44-47

Pembagian peran antara pengelola zakat dari pemerintah dan masyarakat telah jelas dalam undang-undang ini, pemerintah diwakili oleh BAZNAS dan

46

masyarakat terepresentasikan dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam bagian ini penulis akan memaparkan aturan-aturan yang terkait langsung dengan pengelola zakat dari kalangan masyarakat, karena pada dasarnya penelitian ini akan memaparkan pemahaman pengelola zakat terhadap fikih zakat juga aturan dan regulasi yang berlaku, penulis memfokuskannya di level yang paling rendah dan yang langsung bersinggungan dengan masyarakat, yaitu masjid-masjid. Masjid tidak disebutkan secara eksplisit dalam isi undang-undang pengelolaan zakat, meskipun ada bab khusus (Bab VI) yang menjelaskan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat. Bab yang hanya berisi 1 pasal beserta 3 ayat ini menyatakan bahwa peran serta masyarakat yang dapat dilakukan adalah dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja BAZNAS maupun LAZ. Pembinaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan zakat mereka melalui BAZNAS dan LAZ, juga memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS serta LAZ, sedangkan pegawasan oleh masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS maupun LAZ dan penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ124. Keberadaan masjid yang telah melakukan pengelolaan zakat di masyarakat justru berpotensi masuk dalam ketentuan pasal di bab Larangan dan Pidana. Sebagaimana larangan yang tertera pada pasal 38 yaitu: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.” Meskipun tidak digolongkan kepada tindak kejahatan, menyalahi ketentuan pasal 38 adalah suatu bentuk pelanggaran dan dalam undang-undang ini juga telah diatur sanksinya yaitu sebagaimana isi pasal 41 “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012

Setelah Undang-Undang Pengelolaan Zakat diterbitkan, ada respon dari praktisi zakat yang menganggap beberapa poin dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan substansi Undang-Undang Dasar 1945 sehingga perlu diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK yang ditetapkan pada tanggal 28 Februari 2013 telah melalui proses persidangan yang panjang, yang pada akhirnya ada permohonan yang dikabulkan dan ada yang ditolak. Salah satu permohonan yang dikabulkan adalah

124 Pasal 35 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

47

berkaitan dengan kriminalisasi pengelola zakat di masyarakat yang telah eksis, baik berupa amil zakat perseorangan, ataupun perkumpulan orang.. Frasa, “Setiap orang” dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dimohon untuk diuji karena dianggap sebagai upaya kriminalisasi amil tradisional yang sudah eksis dan mempraktikkan pengelolaan zakat di masyarakat dikabulkan oleh MK. Putusan MK ini tidak membatalkan pasal terkait yang dimohonkan pemohon, tetapi memberikan pengecualian dan batas cakupan yang jelas, yaitu setiap orang yang disebut dalam pasal 38 dan 41 tidak termasuk perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang125” Pembatasan tersebut diambil karena mempertimbangkan kondisi jika kegiatan amil zakat dilarang akibat tidak memiliki izin dari pejabat berwenang, sementara pelayanan BAZNAS ataupun LAZ belum menjangkau seluruh pelosok negeri, maka akan ada kekosongan pelayanan zakat di masyarakat sehingga warga negara yang beragama Islam kesulitan dalam menjalankan ibadah zakat mereka. Menurut MK terhalangnya warga negara untuk menunaikan kewajiban maupun tuntunan agamanya adalah bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945126.

3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014

Peraturan pemerintah ini merupakan aturan lanjutan tentang pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sebelum peraturan ini dibuat, para pegiat zakat telah melakukan uji materiil mengenai pasal-pasal dalam undang-undang pengelolaan zakat, sehingga ada beberapa poin yang diperbaiki, di antaranya mengenai eksistensi pengelola zakat yang dalam wilayah yang tidak terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ. Penyebutan masjid secara jelas dalam konteks pengelolaan zakat dapat ditelusuri dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut menjelaskan bahwa masjid bisa menjadi pengelola zakat dengan berbentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari BAZNAS, baik masjid yang berada di lingkup pemerintahan seperti masjid negara, masjid raya provinsi, dan masjid dalam instansi pemerintah maupun masjid yang dikelola masyarakat pada umumnya. Hal ini didukung dengan Instruksi Presiden yang bertujuan untuk mengoptimalkan penghimpunan zakat di instansi pemerintahan127.

125 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 halaman 109. 126 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 halaman 106. 127 Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional. Ditetapkan pada tanggal 23 April 2014.

48

Ketentuan yang lebih jelas mengenai posisi hukum masjid (yang dikelola oleh masyarakat muslim, non-pemerintah) sebagai pengelola zakat disebutkan dalam pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 bahwasanya dalam kondisi ketika suatu wilayah belum terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ maka kegiatan pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam („a>lim ‘ulama>’), atau pengurus/takmir masjid/musala. Kegiatan pengelolaan zakat dalam kondisi demikian pun seharusnya memberitahukan secara tertulis kepada kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat. Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 ini pun memuat ketentuan tentang sanksi yang ditujukan kepada BAZNAS, LAZ, maupun amil zakat perseorangan dan perkumpulan. Pengelolaan zakat oleh DKM Masjid masuk dalam kategori Amil Zakat perkumpulan orang dalam kondisi wilayah yang belum terjangkau BAZNAS serta LAZ. Sanksi administratif diberikan jika DKM Masjid yang melakukan pengelolaan zakat tidak memberitahukan kepada kepala KUA Kecamatan, tidak melakukan pencatatan dan pembukuan pengelolaan zakat, serta tidak mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan syariat Islam dan tidak dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan128. Sanksi administratif yang diberikan berupa teguran tertulis, jika dilakukan kedua kalinya setelah ada teguran maka sanksi berupa penghentian sementara pengelolaan zakat, jika masih melakukan pelanggaran maka diberikan sanksi berupa penghentian dari kegiatan pengelolaan zakat129. Mengenai sanksi administratif ini dijelaskan lebih detail dan rinci pada Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016.

Tabel 2. Konstruksi Peraturan Pemerintah N0. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat BAB Judul Umum BAB Pasal I Ketentuan Umum 1 II Kedudukan, Tugas, dan Fungsi BAZNAS 2-4 III Keanggotaan BAZNAS 5-30 Bagian Kesatu : Umum 5 Bagian Kedua : Tata Cara Pengangkatan 6-13 Bagian Ketiga : Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS 14-17 Bagian Keempat : Tata Cara Pemberhentian 18-29 Bagian Kelima : Anggota BAZNAS Pengganti 30 IV Organisasi dan Tata Kerja BAZNAS 31-46 Bagian Kesatu : BAZNAS 31 Bagian Kedua : BAZNAS Provinsi 32-38 Bagian Ketiga : BAZNAS Kabupaten/Kota 39-45 Bagian Keempat : Unit Pengumpul Zakat (UPZ) 46

128 Pasal 78 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 129 Pasal 83 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

49

V Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat BAZNAS 47-52 VI Lingkup Kewenangan Pengumpul Zakat 53-55 VII Persyaratan Organisasi, Mekanisme Perizinan, dan Pembentukan 56-66 Perwakilan LAZ Bagian Kesatu : Persyaratan Organisasi 56-57 Bagian Kedua : Mekanisme Perizinan 58-61 Bagian Ketiga : Pembentukan Perwakilan LAZ 62-65 Bagian Keempat : Amil Zakat Perseorangan atau Perkumpulan Orang 66 dalam Masyarakat VIII Pembiayaan BAZNAS dan Penggunaan Hak Amil 67-70 IX Pelaporan dan Pertanggungjawaban BAZNAS dan LAZ 71-76 X Sanksi Administratif 77-84 XI Ketentuan Penutup 85-86

4. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016

Dua tahun berselang, pemerintah melalui kementerian yang menaungi pengelolaan zakat di Indonesia yaitu Kementerian Agama, mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang fokus pada pengenaan sanksi bagi para pengelola zakat yang melanggar ketentuan-ketentuan dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelola zakat yang dimaksud dalam PMA ini meliputi BAZNAS, LAZ, serta amil zakat perseorangan atau perkumpulan. Masjid yang mengelola zakat masuk pada kategori amil zakat perkumpulan orang. Pengenaan sanksi administratif yang dimaksud tidak semudah yang dibayangkan, karena harus melalui berbagai macam proses yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016. Dalam konteks sanksi adminstratif yang diberikan kepada amil perkumpulan orang (DKM masjid), sebelum diberikan sanksi, harus ada pelaporan dugaan pelanggaran terlebih dahulu kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang berwenang menetapkan sanksi. Setelah ada laporan masuk, maka dilakukan pemeriksaan berupa verifikasi, klarifikasi, dan investigasi yang dilakukan selambat-lambatnya 15 hari kerja setelah laporan diterima. Jika dalam proses pemeriksaan tersebut ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh DKM Masjid dalam pengelolaan zakat dengan disertai bukti-bukti, maka barulah sanksi itu diberikan kepada DKM Masjid130.

5. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016

Meski dalam undang-undang pengelolaan zakat, masjid tidak disebutkan secara eksplisit sebagai institusi yang dapat mengelola zakat, tetapi fakta historis- sosiologis tentang fungsi masjid di masyarakat yang juga melakukan pengelolaan zakat (meskipun di waktu tertentu misalnya bulan Ramadan) tidak bisa

130 Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat.

50

dikesampingkan begitu saja oleh BAZNAS dalam hal sebagai regulator pengelolaan zakat di Indonesia. Berdasarkan undang-undang131, BAZNAS diberikan kewenangan untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di berbagai instansi pemerintah maupun swasta di tiap tingkatannya, yaitu BAZNAS untuk UPZ tingkat nasional, BAZNAS Provinsi untuk UPZ di tingkat daerah provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota di tingkat kotamadya sampai kecamatan, kelurahan dan tingkat satuan daerah yang paling kecil. Dalam peraturan BAZNAS ini, masjid sangat dimungkinkan -justru didorong- untuk masuk dalam jaringan dan koordinasi pengelola zakat yang resmi dengan menjadi UPZ, karena hanya dengan mekanisme itu lah, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid-masjid tersebut bisa dikatakan legal secara undang- undang yang berlaku. Kalaupun para pengurus masjid tidak menjadikan aspek izin dan legalistik sebagai tolok ukur yang penting dalam pengelolaan zakat, tetapi masjid yang telah bergabung dengan jaringan BAZNAS, cepat atau lambat manajemen dan tata kerja pengelolaan zakat yang dilakukannya pun akan mengikuti standar yang ditentukan oleh BAZNAS, proses pengelolaannya diawasi, serta diberikan pelatihan dan bimbingan sehingga kualitas pengelolaannya menjadi lebih baik.

Tabel 3. Konstruksi Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat BAB Judul Umum BAB Pasal I Ketentuan Umum 1 II Kedudukan, Tugas, dan Fungsi 2-9 III Organisasi UPZ 10-26 IV Tata Cara Pembentukan UPZ 27-31 V Sosialisasi, Edukasi, dan Layanan Muzaki 32-34 VI Mekanisme Kerja UPZ 35-41 VII Perencanaan 42-47 VIII Pelaporan 48-52 IX Keuangan 53-55 X Sanksi 56-59 XI Ketentuan Peralihan 60 XII Ketentuan Penutup 61-62

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwasanya posisi masjid dalam pengelolaan zakat di Indonesia pada dasarnya hanya diproyeksikan menjadi UPZ, tidak sebagai lembaga amil zakat yang independen. Selain itu, masjid yang dikatakan legal untuk mengelola zakat hanya yang menjadi UPZ BAZNAS ataupun yang bermitra dengan LAZ. Meskipun ada kondisi di mana masjid dan amil zakat perseorangan atau kelompok boleh mengelola zakat, ketika mereka berada di wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS ataupun LAZ dan melaporkan kegiatan pengelolaannya

131 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

51

kepada KUA setempat, tetapi syarat tersebut tentu tidak lagi berlaku bagi masjid di wilayah perkotaan yang jelas sudah terjangkau oleh BAZNAS juga LAZ.

D. Struktur Hierarki Pengelola Zakat

Salah satu cita-cita undang-undang zakat adalah menjadikan pengelolaannya rapi dalam struktur yang jelas, sehingga adanya pembagian wewenangan antar para instansi pengelola zakat di berbagai tingkatan wilayah. Struktur pengelola zakat ini tidak terlepas dari bentuk struktur pemerintahan di Indonesia mulai dari tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Keluarahan, hingga Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Struktur pengelola zakat dalam sejarahnya mengalami perubahan yang signifikan, terutama ketika undang-undang tentang pengelolaan zakat diamandemen pada tahun 2011. Mengacu pada undang-undang pengelolaan zakat yang pertama yaitu Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, struktur pengelola zakat yang dibentuk pemerintah dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu Badan Amil Zakat tingkat Nasional, Badan Amil Zakat tingkat Daerah Provinsi, Badan Amil Zakat tingkat Daerah Kabupaten/Kota, dan Badan Amil Zakat tingkat Kecamatan. Badan Amil Zakat menurut Undang-Undang Pengelolaan Zakat Tahun 1999 hanya dibentuk sampai tingkat Kecamatan. Adapun di tingkat kelurahan, dimungkinkan untuk dibentuk Unit Pengumpul Zakat oleh Badan Amil Zakat tingkat Kecamatan. Amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 turut mengubah bentuk struktur pengelola zakat. Perubahan tersebut mulai dari penggunaan nama baku hingga penghilangan struktur pengelola zakat di tingkat Kecamatan. Instansi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah haruslah menggunakan nama resmi dan baku yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Tidak ada lagi penggunaan istilah Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), tetapi berubah menjadi BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, ada pengecualian yang diberikan kepada institusi pengelola zakat di Provinsi Aceh, mereka diperbolehkan menggunakan nama selain BAZNAS, yaitu Baitul Mal132 Penggunaan nama resmi dan baku bagi instansi pengelola zakat di Indonesia bukan menjadi hal yang sepele. Buktinya nama instansi pengelola zakat di Provinsi DKI Jakarta terus dipermasalahkan oleh BAZNAS karena dianggap tidak menyesuaikan diri dengan undang-undang pengelolaan zakat yang ada. Selain juga

132 Penjelasan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 15 ayat (1). Hal tersebut juga dilandasi oleh aturan hukum yang jelas yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-undang tersebut setidaknya ada 2 pasal yang menegaskan posisi hukum Baitul Mal sebagai BAZNAS-nya Provinsi Aceh, yaitu pasal 180 ayat (1) huruf d, “Zakat merupakan salah satu penerimaan daerah Aceh dan Penerimaan Daerah Kabupaten Kota” dan pasal 191, “Zakat, Harta Wakaf dan Harta Agama lainnya dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun”.

52

karena terpisahnya jalur koordinasi antara BAZNAS dengan instansi pengelola zakat di Ibukota tersebut. Provinsi DKI Jakarta memang telah lebih dahulu memiliki instansi pengelola zakat yang dinamakan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS) sebelum dibentuknya BAZNAS pada tahun 2001. BAZIS DKI Jakarta dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur (ketika dijabat oleh Ali Sadikin) No Cb. 14/8/18/68 tertanggal 5 Desember 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, berdasarkan syariat Islam dalam wilayah DKI Jakarta di Tahun 1968. Setelah sekian lama beroperasi BAZIS DKI akhirnya dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 yang menegaskan BAZNAS sebagai badan pemerintah non-struktural yang resmi dibentuk dan diberikan wewenang untuk melaksanakan pengelolaan zakat di Indonesia. Dualisme BAZIS dan BAZNAS selalu terjadi pasca diundangkannya peraturan zakat tersebut, hingga akhirnya BAZIS DKI Jakarta bersedia meleburkan diri ke dalam BAZNAS di Tahun 2019133. Dengan meleburnya BAZIS DKI Jakarta ke dalam struktur dan jalur koordinasi BAZNAS, maka tidak ada lagi dualisme instansi pengelola zakat pemerintah, semuanya berada di bawah payung BAZNAS, sehingga kini struktur hierarki pengelola zakat di Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 4. Struktur Hierarki Pengelola Zakat di Indonesia Instansi No Unit Cakupan Wilayah Pemerintah Swasta/Masyarakat Pengumpul 1 BAZNAS UPZ BAZNAS LAZ skala Nasional Nasional BAZNAS Provinsi, UPZ BAZNAS Perwakilan/Cabang Daerah Provinsi 2 Baitul Mal Aceh Provinsi LAZNAS, LAZ skala Provinsi BAZNAS UPZ BAZNAS LAZ skala Daerah Kabupaten/Kota, Kabupaten/ Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota, 3. Baitul Mal Kota Kecamatan, Kabupaten/Kota di Kelurahan, RW, RT Aceh Sumber: Diolah penulis dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

Masyarakat yang juga berpartisipasi dalam pengelolaan zakat bisa diposisikan sejajar dengan BAZNAS di tiap tingkatnya, yaitu dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) sesuai skala yang diizinkan. Pemerintah melalui Kementerian Agama tidak main-main dalam memberikan izin operasional bagi masyarakat yang ingin menjadi LAZ, karena ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin tersebut. Di antara syarat tersebut adalah kesanggupan untuk menghimpun dana zakat dengan nominal tertentu dalam tiap tahunnya.

133 Mekanisme berakhirnya BAZIS dan transisi menjadi BAZNAS diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

53

LAZ berskala nasional diharuskan menyanggupi target penghimpunan dana zakat sebesar Rp. 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah) per tahun, LAZ berskala Provinsi sebesar Rp. 20.000.000.000 (dua puluh milyar rupiah) per tahun, dan LAZ berskala Kabupaten/Kota sebesar Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar rupiah) per tahun134. Nominal yang tidak kecil tersebut ditetapkan sebagai cara untuk mengoptimalkan kinerja LAZ sehingga bisa memberikan dampak yang signifikan tentu dalam efektivitas dan efesiensi pendistribusiannya. Di sisi lain, ketatnya perizinan untuk menjadi LAZ adalah salah satu bentuk politik kebijakan pemerintah dalam membatasi kemunculan LAZ-LAZ yang tidak kompeten dan profesional demi menjaga dan meningkatkan kualitas pengelolaan zakat yang dilakukan.

1. BAZNAS dan LAZ skala Nasional

BAZNAS adalah pusat pengelola zakat yang beroperasi secara nasional, berkedudukan di Ibukota Negara Indonesia. Dalam hal pengelolaan zakat, BAZNAS memiliki 2 fungsi, yaitu sebagai regulator yang mengatur dan mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan zakat di Indonesia dan juga operator yaitu turut melakukan penghimpunan dana zakat serta pendistribusian dan pendayagunaan sebagaimana lembaga zakat pada umumnya. Fungsi ganda ini oleh sebagian pengamat filantropi Islam di Indonesia dianggap menjadi salah satu sumber kendala dan masalah dalam proses penghimpunan dana zakat. Menurut Azyumardi Azra misalnya135, pemerintah (dalam hal ini BAZNAS) seharusnya cukup menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan, tidak perlu ikut beroperasi menghimpun dana zakat, sehingga kesan persaingan dan kontestasi penggalangan dana sosial keagamaan di Indonesia antara yang dilakukan pemerintah dan swasta tidak lagi terlihat. Jika pun memang ada persaingan, pihak pemerintah pastinya memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk meregulasi aturan-aturan zakat yang mendukung kinerja BAZNAS. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional. Sebagai regulator, BAZNAS memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pengelolaan zakat. Di saat yang sama BAZNAS juga mengawasi dan meminta laporan seluruh kegiatan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh para pengelola zakat di seluruh Indonesia dalam rangka memantau perkembangan kinerja tiap instansi. Selain BAZNAS, di tingkat nasional ada juga institusi pengelola zakat yang berasal dari masyarakat, yang disebut LAZ. Ada 25 LAZ yang telah resmi

134 Persyaratan lainnya telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat. 135 Diakses melalui laman https://www.uinjkt.ac.id/id/negara-dan-pengelolaan-zakat/ pada 10 Juli 2019 pukul 08.51 WIB.

54

direkomendasikan BAZNAS dan mengantongi izin dari Kementerian Agama (1 LAZ sedang proses perizinan) untuk mengelola zakat secara nasional136, yaitu: 1) LAZ Rumah Zakat Indonesia 2) LAZ Daarut Tauhid 3) LAZ Baitul Maal Hidayatullah 4) LAZ Dompet Dhuafa Republika 5) LAZ Nurul Hayat 6) LAZ Inisiatif Zakat Indonesia 7) LAZ Yatim Mandiri Surabaya 8) LAZ Lembaga Manajemen Infak Ukhuwah Islamiyah 9) LAZ Dana Sosial Al Falah Surabaya 10) LAZ Pesantren Islam Al Azhar 11) LAZ Baitulmaal Muamalat 12) LAZ Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) 13) LAZ Global Zakat 14) LAZ Muhammadiyah 15) LAZ Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia 16) LAZ Perkumpulan Persatuan Islam 17) LAZ Rumah Yatim Ar-Rohman Indonesia 18) LAZ Yayasan Kesejahteraan Madani 19) LAZ Yayasan Griya Yatim & Dhuafa 20) LAZ Yayasan Daarul Qur‟an Nusantara (PPPA) 21) LAZ Yayasan Baitul Ummah Banten 22) LAZ Yayasan Pusat Peradaban Islam (AQL) 23) LAZ Yayasan Mizan Amanah 24) LAZ Panti Yatim Indonesia Al-Fajr 25) LAZ (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama) Secara geografis, ke-25 LAZ tersebut banyak berkedudukan di pulau Jawa tepatnya di Provinsi DKI Jakarta, berikut ringkasannya dalam tabel Tabel 5. Jumlah LAZ Nasional Berdasarkan Wilayah Kantor Kedudukannya Jumlah No. Provinsi LAZ Nasional 1 DKI Jakarta 11 2 Banten 4 3 Jawa Barat 5 4 Jawa Timur 4 5 Sulawesi Selatan 1 Total 25 Sumber: Data diolah penulis

136 Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/ pada 07 Juli 2019 Pukul 17.20 WIB. Daftar rekapitulasi LAZ ini adalah yang terupdate sesuai yang termuat di laman resmi BAZNAS.

55

Jika kita perhatikan daftar daftar LAZ berskala Nasional di atas, tidak satupun yang berbentuk instansi masjid, hal ini menandakan bahwasanya kapasitas LAZ memang dituntut untuk memiliki pengelolaan yang profesional sehingga mampu menjalankan program zakatnya secara nasional setiap waktu, sedangkan masjid dalam hal mengelola zakat nampaknya tidak diproyeksikan untuk menjadi LAZ yang menghimpun dan mendistribusikan zakat ke berbagai wilayah di Indonesia, tetapi eksistensi pengelolaan zakat mereka bersifat lokal dan temporal. Dari tabel di atas juga kita bisa lihat bahwasanya LAZ berskala nasional ini banyak terkonsentrasi di DKI Jakarta yang menandakan potensi zakat yang ada di kota ini besar di berbagai sektor, karena secara komposisi masyarakat pun kota-kota di Jakarta berpenghasilan menengah ke atas sehingga sangat strategis jika kantor sekretariat LAZ ini berpusat di Jakarta.

2. BAZNAS Provinsi dan LAZ skala Provinsi

BAZNAS Provinsi berkedudukan di setiap provinsi di Indonesia, BAZNAS Provinsi berjumlah 34 yang berkantor di tiap Ibukota Provinsi137. Khusus di DKI Jakarta, BAZNAS Provinsi baru saja dibentuk melanjutkan perjuangan BAZIS dalam mengelola zakat warga Ibukota dengan tidak menghilangkan nama BAZIS di belakang nama BAZNAS. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sudah sangat familiar dan mengenal baik nama BAZIS sehingga diharapkan tidak mengurangi kepercayaan yang telah dibangun di masyarakat. Ketika nama BAZIS sepenuhnya dihilangkan dan tidak digunakan lagi, dikhawatirkan adanya kebingungan di masyarakat yang menganggap ada lembaga zakat baru di Jakarta selain BAZIS138. Jika ditelusuri dalam sumber online, nama website yang dipakai masih menggunakan www.bazisjakarta.id tidak seperti laman website BAZNAS Provinsi pada umumnya yang hanya menggabungkan nama BAZNAS dengan nama Provinsi. Meskipun demikian, nama resmi BAZNAS yang digunakan di Provinsi DKI Jakarta adalah BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta. Nama BAZIS berada di dalam kurung setelah BAZNAS. Gubernur Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta adalah nama satu-satunya yang dipakai oleh BAZNAS Provinsi, hal itu karena BAZNAS pun memahami dan menyadari bahwasanya perubahan nama ini merupakan bagian dari sejarah pengelolaan zakat yang panjang139. Menanggapi hal tersebut, penulis tidak terlalu mempermasalahkan nama yang dipakai BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta, karena hal yang mendasar adalah telah bergabungnya pengelola zakat Provinsi DKI Jakarta ke dalam satu

137 Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/baznas-provinsi/ pada 10 Juli 2019 pukul 07.14 WIB 138 Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 10.50 WIB. di laman https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/07/13545661/ikuti-baznas-pemprov-dki- tetap-pertahankan-nama-bazis 139 Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 11.08 WIB di laman https://www.msn.com/id- id/berita/nasional/anies-ajak-warga-dki-salurkan-zis-melalui-bazis-dki/ar-AAC5uII

56

koordinasi nasional pengelolaan zakat di bawah naungan BAZNAS sesuai kehendak undang-undang yang berlaku. Gubernur DKI Jakarta; Anies Baswedan bahkan telah melantik anggota BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta periode 2019-2024 pada 29 April 2019 di Balairung Balaikota Jakarta140. Apapun nama lembaga zakatnya, yang diharapkan adalah program serta kegiatan yang baik dalam menghimpunan zakat dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat muslim Ibukota yang membutuhkan sehingga bisa membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Sementara itu jumlah LAZ skala Provinsi yang telah diberikan rekomendasi BAZNAS dan mendapatkan izin Kementerian Agama (1 LAZ sedang dalam proses perizinan) berjumlah 9 LAZ, yaitu:

1) LAZ Baitul Maal FKAM di wilayah Provinsi Jawa Tengah 2) LAZ Semai Sinergi Umat di wilayah Provinsi Jawa Barat 3) LAZ Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas (DASI) di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat 4) LAZ Dompet Sosial Madani (DSM) di wilayah Provinsi Bali 5) LAZ Harapan Dhuafa Banten di wilayah Provinsi Banten 6) LAZ Solo Peduli Umat di wilayah Provinsi Jawa Tengah 7) LAZ Dana Peduli Umat Kalimantan Timur di wilayah Provinsi Kalimantan Timur 8) LAZ Al-Ihsan Jawa Tengah di wilayah Provinsi Jawa Tengah 9) LAZ Yayasan Nurul Fikri Palangkaraya di wilayah Provinsi Palangkaraya (sedang dalam proses perizinan di Kememterian Agama)

3. BAZNAS Kabupaten/Kota dan LAZ skala Kabupaten/Kota

BAZNAS Kabupaten/Kota merupakan pengelola zakat resmi bentukan pemerintah yang berkedudukan di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dan berwenang untuk melakukan pengelolaan zakat mulai dari penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan dana zakat di wilayah tingkat Kabupaten/Kota. Belum semua Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki BAZNAS Kabupaten/Kota. Jumlah resmi BAZNAS Kabupaten/Kota yang telah mendapatkan pertimbangan BAZNAS ada 448141 dari total 514 Kabupaten/Kota di Indonesia. Sementara itu jumlah LAZ skala Kabupaten/Kota yang telah diberikan rekomendasi BAZNAS dan mendapatkan izin Kementerian Agama (3 LAZ sedang dalam proses perizinan) berjumlah 25 LAZ, yaitu: 1) LAZ Swadaya Ummah di wilayah Kota Pekanbaru 2) LAZ Ibadurrahman di wilayah Kabupaten Bengkalis 3) LAZ Abdurrahman Bin Auf di wilayah Kota Jakarta Timur

140 Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 11.10 WIB di laman http://www.beritajakarta.id/read/68429/anies-lantik-pengurus-baznas-bazis- dki#.XSK6IhNEnIU 141 Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/baznas-kab-kota/ pada 10 Juli 2019 pukul 01.13 WIB.

57

4) LAZ Komunitas Mata Air Jakarta di wilayah Jakarta Selatan 5) LAZ Baitul Mal Madinatul Iman di wilayah Jakarta Pusat 6) LAZ Bina Insan Madani Dumai di wilayah Kota Dumai 7) LAZ DSNI Amanah Batam di wilayah Kota Batam 8) LAZ Rumah Peduli Umat Bandung Barat di wilayah Kabupaten Bandung Barat 9) LAZ Ummul Quro‟ Jombang di wilayah Kabupaten Jombang 10) LAZ Dompet Amanah Umat Sedati Sidoarjo di wilayah Kabupaten Sidoarjo 11) LAZ Zakatku Bakti Persada di wilayah Kota Bandung 12) LAZ Indonesia Berbagi di wilayah Kota Bandung 13) LAZ Amal Madani Indonesia di wilayah Kabupaten Cimahi 14) LAZ Insan Masyarakat Madani di wilayah Kabupaten Bekasi 15) LAZ Al Bunyan Bogor di wilayah Kota Bogor 16) LAZ Yayasan Amal Sosial As-Shohwah Malang di wilayah Kota Malang 17) LAZ Yayasan Zakat Sukses di wilayah Kota Depok 18) LAZ Yayasan Baitul Maal Barakatul Ummah di wilayah Kota Bontang 19) LAZ Yayasan Al-Irysad Al-Islamiyyah Purwokerto di wilayah Kabupaten Banyumas 20) LAZ Yayasan Lembaga Pengembangan Infaq Mojokerto di wilayah Kota Mojokerto 21) LAZ Yayasan Ulil Albab di wilayah Kota Medan 22) LAZ Yayasan Nahwa Nur di wilayah Kabupaten Bogor 23) LAZ Yayasan Dana Kemanusiaan Dhuafa Magelang di wilayah Kota Magelang (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama) 24) LAZ Gema Indonesia Sejahtera di wilayah Kota Bekasi (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama) 25) LAZ Yayasan Rumah Itqon Zakat dan Infak di wilayah Kabupaten Jember (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama)

4. Unit Pengumpul Zakat

Unit Pengumpul Zakat (UPZ) merupakan satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota untuk membantu mengumpulkan zakat. UPZ ini bertugas membantu BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota dalam hal pengumpulan zakat. Jika diperlukan bahkan BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota bisa memberikan wewenang kepada UPZ untuk membantu pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

58

Perlu dipahami, bahwasanya terminologi UPZ dikhususkan untuk satuan organisasi yang dibentuk BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota sesuai amanat undang-undang, sehingga tidaklah tepat penggunaan nama UPZ bagi mitra dari LAZ. Lembaga Amil Zakat dapat membentuk perwakilan LAZ di setiap provinsi dan Kabupaten/Kota, ataupun mereka bisa menggandeng masjid atau institusi lainnya sebagai mitra, dan hal ini tidak masuk dalam aturan UPZ. Mengenai aturan pembentukan UPZ dan tata kelolanya, BAZNAS telah mengeluarkan aturan rinci yaitu Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016. Dalam peraturan tersebut, pembentukan UPZ bisa dilakukan di berbagai instansi di antaranya142: a. lembaga negara, b. kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, c. badan usaha milik negara, d. perusahaan swasta nasional dan asing, e. perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, f. kantor-kantor perwakilan negara asing/lembaga asing, g. masjid negara, h. kantor institusi vertikal, i. kantor satuan kerja perangkat daerah/ lembaga daerah provinsi, j. badan usaha miliki daerah provinsi, k. perusahan swasta skala provinsi, l. perguruan tinggi, m. masjid raya, n. kantor satuan kerja lembaga daerah/ lembaga daerah kabupaten/kota, o. kantor institusi vertikal tingkat kabupaten/kota, p. badan usaha milik daerah kabupaten/kota, q. perusahan swasta skala kabupaten/kota, r. masjid, musala, langgar, , atau nama lainnya, s. sekolah/madrasah dan lembaga pendidikan lain, dan t. kecamatan atau nama lainnya.

Sesuai yang disebutkan sebelumnya, UPZ ini dibentuk berdasarkan tingkatan BAZNAS yang ada. Pada dasarnya, cara pembetukan UPZ bisa dilakukan melalui 2 jalur, pertama BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota mengusulkan instansi tertentu untuk membentuk UPZ, dan jalur kedua pimpinan instansi tertentu mengusulkan kepada BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota untuk dibentuk UPZ. Jadi inisiatif pembentukan UPZ bisa juga dilakukan oleh masyarakat tidak harus menunggu usulan BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota. Dalam konteks UPZ adalah sebuah masjid, maka kewenangan pembentukannya sebagai berikut:

142 Ketentuan Umum, pasal 1 Peraturan poin ke-19 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat

59

a. UPZ Masjid di tingkat Nasional UPZ masjid di tingkat Nasional ditetapkan oleh Keputusan Ketua BAZNAS. Sebagaimana BAZNAS adalah suatu institusi pusat pengelola zakat, dan masjid Negara hanya ada satu, maka BAZNAS hanya memiliki 1 UPZ masjid yaitu UPZ BAZNAS Masjid Istiqlal143. Format penamaan UPZ telah ditentukan, yaitu UPZ + BAZNAS + Institusi. Selain masjid, BAZNAS telah memiliki banyak UPZ di kementerian dan lembaga negara.

b. UPZ Masjid di tingkat Provinsi BAZNAS Provinsi dapat membentuk UPZ di instansi yang berada dalam wilayahnya. Jika instansi itu berupa masjid, maka masjid-masjid di tingkat provinsi bisa dibantuk UPZ nya. Pembentukan UPZ di tingkat BAZNAS Provinsi ditetapkan melalui Keputusan Ketua BAZNAS Provinsi.

c. UPZ Masjid di tingkat Kabupaten/Kota Masjid yang berada di tingkat Kabupaten/Kota atau di skala yang lebih bawah (kecamatan, kelurahan, dan umum) bisa dijadikan sebagai UPZ oleh BAZNAS Kabupaten/Kota atau mengusulkan diri secara langsung kepada BAZNAS Kabupaten/Kota untuk dibentuk UPZ. Tidak hanya masjid, bahkan musala juga bisa dibentuk UPZ. UPZ masjid di tingkat ini dibentuk melalui Keputusan Ketua BAZNAS Kabupaten/Kota.

BAZNAS sebagai lembaga zakat yang dijalankan secara profesional mengatur tata kerja UPZ juga dengan organisasi yang profesional, hal tersebut terlihat dalam struktur kerja alat kelengkapan (divisi-divisi di bawah UPZ) yang diatur dalam membantu UPZ menjalankan tugas dan fungsinya, di antaranya adalah a. Divisi Pengumpulan b. Divisi Tugas Pembantuan Penyaluran c. Divisi Perencanaan, Keuangan, dan Pelaporan d. Divisi SDM, Administrasi, dan Umum

Empat bidang inilah yang utama bagi UPZ dalam menjalankan tugas dan fungsinya baik di aspek pengumpulan maupun pendistribusian dan pendayagunaan. Organisasi yang dijalankan secara profesional tentulah memiliki struktur yang jelas, tugas dan kewajibannya telah ditentukan sehingga setiap bagian akan bekerja dengan sinergis untuk mencapai tujuan bersama. Tipe UPZ jika didasarkan atas tugasnya ada 2 macam, yaitu UPZ yang hanya melakukan pengumpulan zakat dan UPZ yang melakukan pengumpulan juga pendistribusian serta pendayagunaan. Struktur kelengkapan organisasi yang

143 UPZ BAZNAS Masjid Istiqlal dibentuk dan diresmikan BAZNAS pada tanggal 17 Mei 2018.

60

dibutuhkan kedua jenis UPZ tersebut sedikit berbeda, seperti tertera pada tabel berikut:

Tabel 6. Jenis UPZ sesuai Tugasnya menurut BAZNAS Divisi Divisi Tugas Divisi SDM, Divisi Perencanaan, Pembantuan Administrasi, Jenis UPZ Pengumpulan Keuangan, dan Penyaluran dan Umum Pelaporan

UPZ Harus ada Tidak ada Harus ada Harus ada Pengumpulan UPZ Pengumpulan dan Tugas Harus ada Harus ada Harus ada Harus ada Pembantuan Penyaluran Sumber: Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS

Semua UPZ yang dibentuk BAZNAS/ BAZNAS Provinsi/ BAZNAS Kabupaten/Kota memiliki fungsi yang jelas sesuai yang telah diatur dalam Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 yaitu: a. Melakukan sosialisasi dan edukasi zakat pada masing-masing institusi yang menaungi UPZ b. Mengumpulkan zakat pada masing-masing institusi yang menaungi UPZ c. Mendata dan melayani muzaki pada masing-masing institusi yang menaungi UPZ d. Menyerahkan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor Zakat yang diterbitkan oleh BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau BAZNAS Kabupaten/Kota kepada muzaki di institusi masing-masing. e. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) UPZ untuk program pengumpulan dan tugas peembantuan pendistribusian dan pendayagunaan zakat BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau BAZNAS Kabupaten/Kota. f. Menyusun laporan kegiatan pengumpulan dan tugas peembantuan pendistribusian dan pendayagunaan zakat BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau BAZNAS Kabupaten/Kota.

Khusus UPZ institusi masjid, dibenarkan secara aturan untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat, tidak seperti institusi lain yang hanya terbatas menghimpun zakat pegawai yang bekerja pada institusi tersebut144. Dalam praktiknya, masjid -sebagaimana yang kita ketahui- tidak hanya mengumpulkan

144 Pasal 9 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat.

61

dana zakat, akan tetapi ada juga dana yang bukan zakat, seperti infak, sedekah, fidyah, nazar, dan dana sosial keagamaan lainnya. Fungsi utama UPZ adalah mengumpulkan zakat, sesuai namanya. UPZ bisa kita sebut konter-konter BAZNAS di lapangan atau tempat tertentu untuk memfasilitasi para muzaki yang ingin menunaikan zakatnya. Jadi dana zakat yang dikumpulkan melalui UPZ akan disetorkan ke BAZNAS pembentuknya dengan mekanisme tertentu. Susunan organisasi internal UPZ lebih sederhana dibandingkan LAZ, karena dalam aturannya minimal cukup dengan 2 struktur utama, yaitu Penasehat dan Pengurus UPZ. Penasehat UPZ merupakan pimpinan dari institusi masing-masing UPZ itu bernaung yang tugasnya memberikan pertimbangan dalam menetapkan RKAT dan pelaksanaan pengumpulan zakat, mengawasi dan membantu pengurus UPZ dalam menjalankan tugas dan fungsi UPZ. Sedangkan pengurus UPZ, minimal beranggotakan 3 orang, yang masing- masing bertindak sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus UPZ berasal dari pejabat, pegawai, pekerja, anggota, atau jamaah dari institusi yang menaungi UPZ. Pengurus UPZ ini disyaratkan beragama Islam, minimal berusia 25 tahun dan maksimal 70 tahun, serta tidak tergabung dalam partai politik manapun145. Pengurus UPZ dapat membentuk satuan-satuan kerja di bawah mereka, -dalam aturan BAZNAS disebut alat kelengkapan organisasi sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya- yang berfungsi membantu pengurus dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai berikut: a. Menetapkan RKAT UPZ setelah mendapat pertimbangan penasehat; b. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan fungsi UPZ; c. Menyusun perencanaan pengumpulan zakat; d. Melaksanakan pengumpulan zakat e. Melaksanakan pengelolaan data muzaki; f. Melaksanakan sosialisasi dan edukasi zakat; g. Memberikan layanan konsultasi zakat; h. Menyerahkan hasil pengumpulan zakat ke BAZNAS sesuai dengan tingkatannya. Dalam aturannya, anggota UPZ juga mendapatkan hak seiring dengan penunaian kewajiban mereka, ada 2 hak utama yang didapatkan anggota UPZ sesuai peraturan BAZNAS No. 2 yaitu: Pengurus UPZ berhak mendapatkan pelatihan sertifikasi Amil dari BAZNAS146 serta mendapatkan bagian hak amil paling banyak 12,5% (dua belas koma lima persen) dari realisasi tugas pembantuan pendistribusian

145 Selain syarat itu, dalam pasal 11 ayat 5 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 disebutkan juga syarat-syarat berikut: warga negara Indonesia, bertaqwa kepada Allah swt, sehat jasmani dan rohani, memiliki kompetensi teknis sesuai dengan bidang yang ditugaskan, dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan. 146 Pasal 12 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat.

62

dan pendayagunaan zakat147. Sedangkan UPZ pengumpulan hanya mendapat 5% dari total dana yang berhasil dihimpun148. Jika dibandingingkan antara UPZ pengumpulan dan UPZ pengumpulan- tugas perbantuan penyaluran, BAZNAS membedakan hak amil yang diperoleh keduanya sesuai tugasnya masing-masing. Secara sederhana perbedaan itu dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 7. Hak Amil sesuai Jenis UPZ menurut BAZNAS No Jenis UPZ Hak Amil Sumber 1. 5 % Dana yang UPZ Pengumpulan dihimpun UPZ 2. UPZ Pengumpulan 12,5 % Tugas pembantuan dan Tugas penyaluran Pembantuan Penyaluran Sumber: Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS

Alur kerja UPZ telah ditentukan oleh BAZNAS149 sehingga tahapan dan mekanisme kerja UPZ sama di setiap tingkatannya, yaitu: a. UPZ melaksanakan mandat pengumpulan zakat dari BAZNAS sesuai tingkatannya dan mulai mengumpulkan zakat dari muzaki di lingkup wilayah UPZ. b. Dana zakat yang telah dikumpulkan UPZ wajib disetorkan kepada BAZNAS sesuai tingkatannya. c. Jika diperlukan, UPZ dapat melakukan tugas tambahan selain mengumpulkan zakat, yaitu membantu pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Besarnya dana zakat yang diperkenankan untuk didistribusikan dan didayagunakan oleh UPZ maksimal 70% dari total dana yang dikumpulkan. d. Dalam hal UPZ adalah sebuah institusi masjid, maka dana zakat yang dapat didistribusikan dan didayagunakan maksimal 100 %, artinya dana zakat yang dihimpun UPZ masjid disetorkan ke BAZNAS sesuai tingkatannya, lalu diserahkan lagi ke UPZ untuk didistribusikan dan didayagunakan seluruhnya. Penyaluran dana zakat ke UPZ ini paling lambat dilakukan 5 hari kerja setelah dana pengumpulan zakat UPZ diterima di rekening BAZNAS sesuai tingkatannya. e. Jika dalam hal tugas pembantuan pendistribusian dan pendayagunaan zakat tidak dapat terlaksana secara penuh dalam waktu 1 tahun anggaran,

147 Pasal 35 ayat 8 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat. 148 Pasal 35 ayat 10 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat 149 Dijadikan dalam bab tersendiri tentang Mekenisme Kerja UPZ dalam Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat, yaitu Bab VI pasal 35.

63

maka seluruh sisa dana zakat tersebut harus diserahkan kembali kepada BAZNAS sesuai dengan tingkatannya. f. UPZ yang hanya melakukan tugas pengumpulan zakat dapat menggunakan dana pengumpulan zakat maksimal sebesar 5% dari hasil pengumpulan untuk operasional UPZ

Skema 1. Alur Kerja UPZ

-1- UPZ mengumpulkan zakat

-2- -5- UPZ menyetorkan zakat

UPZ mendistribusikan dan yang terkumpul ke mendayagunakan dana zakat rekening BAZNAS sesuai tingkatannya

-4- UPZ yang diperlukan untuk -3- membantu penyaluran dan BAZNAS pendayagunaan zakat akan menyalurkan zakat mendapatkan dana zakat dari dari UPZ BAZNAS

Sumber: Diolah penulis dari Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS

E. Pengelolaan Zakat oleh Masjid di Kecamatan Pancoran

Pancoran merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan yang letaknya cukup stategis untuk dijadikan lokasi hunian bagi warga yang bekerja atau beraktivitas di Jakarta terutama dalam hal akses terhadap moda transportasi umum seperti Kereta Api Listrik (KRL) Commuter Line150. Kecamatan yang memiliki luas total 8,53 Km2 terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu :

150 Stasiun KRL yang ada di Kecamatan Pancoran adalah Stasiun Duren Kalibata dan Stasiun Pasar Minggu Baru. Keduanya merupakan stasiun KRL yang berada di jalur Bogor-Jakarta Kota atau Bogor-Jatinegara yang selalu dipadati penumpang, khususnya di jam berangkat dan pulang kerja kantor.

64

Kalibata, Rawajati, Durentiga, Pancoran, Pengadegan, dan Cikoko yang keseluruhannya terdiri dari 46 RW dan 499 RT151. Populasi penduduk di Kecamatan Pancoran menurut data BPS tahun 2017 berjumlah 163.235 jiwa dengan kepadatan penduduk lebih dari 19 ribu jiwa per kilometer persegi152. Menurut data BPS ini, Kota Administrasi Jakarta Selatan merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi ketiga setelah Kota Administrasi Jakarta Pusat dan Kota Administrasi Jakarta Barat di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Penduduk muslim di Kecamatan Pancoran berjumlah 149.580 jiwa atau sebesar 91,8% dari total jumlah penduduk. Untuk memfasilitasi masyarakat muslim dalam beribadah, ada 56 masjid dan 98 musala yang tersebar di wilayah kecamatan ini. Meskipun Kecamatan Pancoran termasuk dalam wilayah perkotaan, masyarakatnya belum benar-benar menjadi modern secara kultur dan komunikasi, masyarakat muslim di kecamatan ini masih tergolong dalam tipe masyarakat madya yang masih terkait erat dengan ikatan kekeluargaan, adat istiadat, serta kebiasaan yang tumbuh di masyarakat. Penulis telah menentukan beberapa sampel masjid yang dijadikan objek penelitian. Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid di kecamatan Pancoran ini hanya dilaksanakan pada bulan Ramadan, penulis mengobservasi masjid-masjid yang melakukan praktik tersebut di bulan Ramadan tahun 2018 dan 2019 dan juga melakukan wawancara dengan DKM masjid terkait.

1. Masjid Jami at-Taubah

Masjid yang terletak di Jalan Pancoran Barat VIII ini dibangun tahun 1988 di atas tanah seluas 500m2 yang merupakan tanah wakaf153. Masjid at-Taubah tergolong ke dalam tipologi masjid Jami di tingkat kelurahan. Lingkungan sekitar masjid banyak ditemui tempat usaha seperti warung makan, tempat photocopy, toko pakaian dan lainnya. Lokasi sekitar masjid ini memang strategis untuk dijadikan tempat usaha karena letaknya di sisi jalan Pancoran Barat VIII yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Setiap tahunnya, masjid ini melakukan pengelolaan zakat pada bulan Ramadan. Zakat yang dikumpulkan adalah zakat fitrah juga zakat mal, selain itu infak sedekah juga diterima tetapi dialokasikan langsung untuk pembangunan sarana masjid di tahun 2018-2019. Pengelolaan zakat dimulai dengan persiapan panitia yang telah dibentuk DKM. Persiapan meliputi pembuatan seragam panitia zakat, nametag atau tanda pengenal panitia, membuat banner dan stand penerimaan, sampai membagikan kantong plastik kepada 9 RT yang ada di wilayah sekitar masjid. Setiap RT

151Koordinator Statistik Kecamatan Pancoran, Kecamatan Pancoran dalam Angka 2017 (Jakarta: BPS Kota Jakarta Selatan, 2017) 3. 152 Kepadatan penduduk adalah hasil dari jumlah penduduk di suatu wilayah dibagi dengan jumlah luas daerahnya dalam jangka waktu tertentu. 153 Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/19675/ pada 23 Oktober 2019.

65

menerima 80 kantong plastik ukuran besar untuk kemudian dibagikan ke rumah- rumah warga yang ada di kawasan RT tersebut. Kantong plastik tersebut digunakan untuk tempat beras yang akan ditunaikan sebagai zakat fitrah kepada masjid Jami at- Taubah154. Menurut keterangan Farhat, stand penerimaan zakat masjid Jami at-Taubah baru dibuka pada H-10 Idul Fitri atau selama 10 hari terakhir Ramadan. Panitia menerima zakat berupa beras maupun uang tunai. Beras untuk zakat fitrah seberat 2,5 Kg sedangkan zakat fitrah dengan uang tunai ditetapkan sebesar Rp. 40.000 (Empat Puluh Ribu Rupiah). Zakat fitrah berupa beras hanya diterima oleh panitia hingga H-3 untuk kemudian didistribusikan kepada mustahik pada hari itu juga dan mulai H-3 panitia hanya menerima zakat fitrah berupa uang tunai hingga akhir Ramadan. Panitia zakat yang dibentuk DKM selain ada yang bertugas menjadi penerima zakat, ada pula yang bertugas sebagai koordinator lapangan. Bagian ini bertugas terkait hal-hal yang dibutuhkan aksi langsung di lapangan, seperti menjemput zakat fitrah berupa beras yang kantong plastiknya sudah disebar ke rumah-rumah penduduk sekitar masjid dan berkoordinasi dengan RT setempat untuk mengumpulkan data mustahik yang ada di wilayah RT masing-masing yang nantinya akan dijadikan sebagai penerima zakat yang dihimpun masjid at-Taubah. Pembayaran zakat telah dijalankan dengan prosedur yang sudah ditentukan panitia. Diawali dengan menginput -dengan menggunakan laptop- data dan identitas muzaki terkait nama, alamat, dan jenis pembayaran yang akan dilakukan apakah zakat fitrah, zakat mal, infak, sedekah atau lainnya. Setelah itu barulah melakukan ijab qabul penerimaan zakat dan terakhir muzaki diberikan kuitansi bukti pembayaran yang telah diformat secara khusus oleh panitia. Amil zakat yang dipahami oleh DKM masjid Jami at-Taubah adalah petugas yang dibentuk secara khusus untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan zakat, meskipun petugas itu dibentuk oleh DKM tetap saja mereka ditugaskan untuk mengelola zakat meskipun hanya di lingkup masjid, maka petugas tersebut tetap disebut Amil Zakat dan berhak atas bagian zakat yang dihimpun. Panitia zakat masjid at-Taubah yang diangkat oleh DKM menjadi amil zakat berjumlah 9 orang yang bertugas mengumpulkan zakat baik yang menjaga stand penerimaan zakat di masjid atau mengambil langsung zakat fitrah berupa beras dari rumah warga, mencatat, dan membuat laporan pengelolaan zakat baik dari pengumpulan dan pendistribusiannya. Penerimaan zakat fitrah, mal, dan infak sedekah selama penghimpunan di bulan Ramadan tahun 2018 yang dilakukan masjid Jami at-Taubah berjumlah Rp. 79.000.000 (uang tunai) dan sekitar 2 Ton beras. Dari hasil penghimpunan tersebut 9 amil mendapatkan bagian masing-masing 1 Juta rupiah155. Mengenai bagian amil, ketua DKM masjid Jami at-Taubah juga mengkonfirmasi bahwa bagian tersebut

154 Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019. 155 Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019.

66

dihitung dari 1/8 bagian zakat yang dihimpun kemudian dibagi lagi dengan jumlah amil yang dibentuk DKM156. Zakat yang dikumpulkan masjid Jami at-Taubah didistribusikan kepada fakir miskin, janda tua, dan jamaah aktif. Seluruh uang dan beras yang dihimpun dibagikan habis kepada mustahik. Sebagaimana yang telah disebutkan, data-data mustahik diperoleh dari RT setempat terutama terkait fakir miskin dan janda-janda tua. Jamaah aktif yang dimaksud adalah warga sekitar masjid yang selalu hadir untuk salat berjamaah, mengikuti kajian, dan kegiatan yang diadakan oleh masjid. Jamaah aktif ini umumnya adalah orang tua yang sudah berusia lanjut. Terkait dengan aspek hukum positif pengelolaan zakat, panitia dan DKM telah mengetahui adanya undang-undang khusus tentang pengelolaan zakat dan mengakui bahwa pengelolaan zakat yang mereka lakukan termasuk yang dilarang jika didasarkan pada aturan tersebut karena belum berbentuk LAZ. Keinginan DKM untuk bergabung dengan lembaga resmi pengelola zakat terkendala karena kurangnya informasi terkait syarat dan mekanisme yang ada. Mereka menganggap birokrasi dan persyaratan untuk hal tersebut ribet dan menyulitkan DKM, bahkan ada kesalahan informasi yang dipahami terkait aturan tersebut yaitu jika ingin menjadi lembaga zakat harus dapat menghimpun dana minimal 2 Milyar rupiah. DKM tidak mengetahui bahwa ada mekanisme tersendiri untuk bergabung menjadi UPZ dari BAZNAS.

2. Masjid al-Muawanah

Masjid yang terletak di jalan Duren Tiga Raya No. 38 ini dibangun di atas tanah wakaf seluas 373 m2 . Dalam jajaran pengurusnya, DKM membentuk seksi sosial yang memiliki program antara lain adalah mengumpulkan zakat di bulan Ramadan, penyantunan anak yatim, dan menyalurkan hewan kurban. Amil zakat yang dipahami DKM masjid ini adalah orang-orang yang ditugaskan untuk menerima dan menyalurkan zakat. Pada tahun 2018, DKM menugaskan 10 orang sebagai amil zakat, memulai penghimpunan zakat H-7 Idul fitri hingga malam takbir. Muzaki yang menunaikan zakatnya di masjid ini notabene penduduk sekitar atau pengguna jalan yang sedang singgah untuk beribadah di masjid. Petugas zakat yang DKM sebut sebagai amil mendapatkan 12,5% dari total penghimpunan zakat yang diperoleh berupa uang dan beras. Data mustahik dikumpulkan dari RT setempat, selain itu masjid juga memiliki majelis pengajian ibu-ibu yang pesertanya kebanyakan janda-janda tua, mereka juga diberikan zakat dari masjid ini. Panitia zakat menerima zakat fitrah berupa beras seberat 3,5 Liter ataupun uang tunai seharga beras yang biasa dikonsumsi muzaki, jika harganya bisa lebih tinggi tentu akan lebih baik. DKM Masjid al-Muawanah ingin terus mengelola zakat secara mandiri. Zakat yang dikelola langsung oleh masjid tidak diserahkan ke lembaga zakat pemerintah atau lembaga zakat masyarakat tetapi langsung didistribusikan kepada

156 Hasil wawancara penulis dengan H.Syamsudin Abdul Karim, Ketua DKM Jami at- Taubah Kelurahan Pancoran pada 03 April 2019.

67

orang-orang yang membutuhkan di sekitar masjid yang harus diprioritaskan, karena yang berzakat pun masyarakat sekitar masjid. Terkait aspek hukum pengelolaan zakat DKM telah mengetahui adanya undang-undang dan aturan khusus, tetapi pengelolaan zakat yang dilakukan DKM hanya didasarkan kepada pemahaman fikih tidak diselaraskan dengan hukum positif yang ada, karena menurut DKM pemahaman fikih sudah cukup untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat157. Menurut DKM, pemerintah cukup memberikan pelatihan dan sosialisasi mengenai pengelolaan zakat, adapun penghimpunan dan penyalurannya tetap dilakukan oleh masjid-masjid karena lebih tahu orang-orang yang membutuhkan di lingkungan sekitar.

3. Masjid Arrohmaanurrohim

Terletak di samping jalan Pancoran Barat yang dipadati tempat usaha, masjid ini dibangun tahun 1996 di atas tanah wakaf seluas 600 m2, mampu menampung sekitar 300 jamaah158. Setiap tahunnya masjid ini juga melakukan pengelolaan zakat pada Ramadan. Zakat yang dikumpulkan di masjid Arrohmaanurrohim umumnya zakat fitrah, tapi mereka juga menerima zakat mal, infak sedekah, dan dana keagamaan lainnya. DKM membentuk petugas khusus yang menangani semua hal yang terkait dengan pengelolaan zakat di masjid selama bulan Ramadan. Petugas atau panitia tersebut disebut juga amil zakat menurut DKM159. Amil zakat tersebut mengerjakan 2 tugas pokok, yaitu penerimaan atau pengumpulan dan pendistribusian zakat. Terkait pengelolaan zakat di masjid, DKM mengungkapkan bahwa kegiatan ini berlandaskan fikih zakat sebagaimana yang telah dipraktikkan bertahun-tahun. Adapun mengenai penyesuaian dengan undang- undang atau aturan pengelolaan zakat yang ada, DKM tidak menganggap hal itu sebagai suatu keharusan, karena selama ini DKM hanya mengelola zakat secara mandiri di bulan Ramadan, di luar waktu itu DKM tidak melaksanakannya. DKM mengakui masyarakat sekitar banyak yang menunaikan zakatnya melalui masjid dan zakat yang dikumpulkan pun memang didistribusikan kepada mustahik sekitar lingkungan masjid. Adapun data mustahik yang ditentukan petugas zakat diperoleh dari RT setempat, jumlahnya disesuaikan dengan perolehan zakat sehingga mempertimbangkan kelayakan kuantitas zakat yang akan diterima mustahik. Zakat fitrah yang dikumpulkan di masjid ini berupa beras juga uang tunai yang kemudian didistribusikan kepada mustahik yang berada di lingkungan sekitar

157 Hasil wawancara penulis dengan H. Abdul Aziz Musahab, ketua DKM Masjid Al- Muawanah pada tanggal 03 April 2019. 158 Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/195816/ pada 30 Oktober 2019. 159 Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim pada tanggal 03 April 2019.

68

masjid. Pendistribusian zakat yang dilakukan masjid ini hanya bersifat konsumtif tradisional yang habis digunakan untuk kebutuhan harian. Beberapa hal yang dipahami DKM terkait undang-undang dan aturan pengelolaan zakat sudah tepat seperti keharusan mengurus izin operasional melalui Kemenag dan BAZNAS bagi lembaga yang ingin mengelola zakat. Hanya saja, DKM memahami keharusan itu dikhususkan untuk lembaga yang memang ingin melakukan pengelolaan zakat sepanjang waktu, bukan untuk masjid-masjid yang hanya mengelola zakat di Ramadan saja. Jika pun ada aturan yang mengatakan bahwa masjid juga harus melapor atau mendapatkan izin ketika mengelola zakat, tetapi pihak DKM tidak pernah mendapatkan sosialisasi apapun terkait hal tersebut juga tidak pernah ada pengawasan dari KUA sehingga praktik pengelolaan zakat ini berlangsung seperti biasa.

4. Masjid Jami an-Nur

Masjid jami an-Nur Durentiga didirikan sejak tahun 1981 di atas tanah wakaf seluas 1.300 m2 terletak di jalan Mampang Prapatan XVC160. DKM masjid Jami an-Nur melakukan pengelolaan zakat setiap Ramadan yang dioordinir oleh Amil zakat. Menurut DKM, amil zakat adalah beberapa orang yang ditunjuk untuk menangani pengelolaan zakat, biasanya masjid menunjuk 3 orang. Mustahik zakat berasal dari nama-nama yang diajukan oleh masing-masing RT, akan tetapi tidak semua nama yang disetorkan RT akan dipilih. Petugas zakat akan melakukan proses pengecekan secara langsung ke lapangan untuk mengetahui dan mempertimbangkan pemilihan mustahik yang benar-benar tepat dan membutuhkan. Kuantitas mustahik juga dipertimbangkan dari banyaknya dana zakat yang berhasil dihimpun masjid, semakin banyak zakat yang dikumpulkan maka semakin banyak juga jumlah mustahik yang akan mendapatkan zakat. Panitia zakat menerima zakat fitrah dalam bentuk beras maupun uang tunai, tetapi jumlah muzaki yang membayar zakat fitrah dengan uang tunai lebih banyak dari pada yang menyerahkan beras. Penyaluran zakat hanya menjangkau 2 RT di sekitar masjid, hal itu sebagai cara mengantisipasi agar tidak ada mustahik yang mendapat zakat dua kali atau lebih, karena ada masjid lain juga yang melakukan pengelolaan yang letaknya tidak berjauhan. Ini menandakan belum adanya koordinasi yang solid antara masjid- masjid yang mengelola zakat dalam hal database mustahik di lingkungan mereka. Mengenai bagian zakat yang diberikan kepada petugas zakat atau yang DKM sebut sebagai amil, Faris mengakui bahwasanya bagian yang diterima amil ini sangatlah kecil, tidak sebanding dengan 1/8 zakat. Hal tersebut selama ini tidak dipermasalahkan oleh petugas zakat, karena memang mereka secara pribadi berkomitmen dan ingin membantu mengelola zakat. Nominal uang yang diterima

160 Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/198271/ pada 23 Oktober 2019.

69

petugas ini tidak diambil dari dana zakat, tetapi dari uang kas masjid mulai dari Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 per petugas161. Laporan penyaluran penghimpunan dan penyaluran zakat disampaikan menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri baik secara lisan maupun berupa print out yang ditempel di papan pengumuman masjid. Masjid mengetahui telah ada undang-undang dan aturan khusus tentang pengelolaan zakat, tetapi belum menjadikannya sebagai landasan atau acuan dalam hal pengelolaan zakat. Selama ini pengelolaan zakat yang dilakukan DKM hanya didasari pemahakam fikih saja yang telah dipraktikkan bertahun-bertahun. DKM masjid Jami an-Nur memandang bahwasanya tugas lembaga milik pemerintah maupun swasta yang terkait dalam pengelolaan zakat adalah mengajak dan merangkul pengurus-pengurusnya masjid, sehingga tradisi pengelolaan zakat di masjid yang telah mengakar di masyarakat muslim Indonesia bisa terus ada akan tetapi mengalami perbaikan-perbaikan terutama jika memang harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku.

5. Masjid al-Munawwar

Secara tipologi merupakan masjid setingkat masjid Jami terletak di Jalan Raya Pasar Minggu, ruas jalan arah Tebet yang merupakan jalur utama kendaraan dari kota penyangga seperti Depok menuju Jakarta. Masjid yang didirikan sejak tahun 1945 ini memiliki luas tanah 2500 m2 dan luas bangunan 1500 m2. Selain sebagai sarana Ibadah masjid ini menjadi tempat pengajian Majelis Rasulullah yang digelar setiap hari Senin malam selepas Isya162. DKM menyadari bahwa pengelolaan zakat di masjid tidak berjalan maksimal karena tidak adanya pengawas, sehingga tidak terkontrol dan terevaluasi dari tahun ke tahun. Tidak adanya pengawas juga membuat DKM melakukan pengelolaan semaunya dan apa adanya, tidak ada standar mekanisme tertentu yang diikuti. H. Zainuddin melanjutkan bahwasanya pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh lembaga masyarakat biasanya berbayar cukup mahal sehingga minat DKM untuk mengikuti pelatihan tersebut sangat minim, ditambah juga komposisi pengurus DKM yang didominiasi orang tua. Sekretaris DKM masjid al-Munawwar ini mengetahui banyak hal terkait praktik pengelolaan zakat profesional, karena memang pernah berpengalaman menjadi pengurus BAZIS DKI. Meskipun demikian, tidak serta merta pengalaman mengelola zakat secara profesional tersebut bisa diterapkan di masjid yang ia urus, karena ada faktor-faktor yang belum mendukung ke arah itu. Pemahaman mengenai makna amil zakat sebagaimana yang dijelaskan H. Zainuddin adalah sebuah istilah atau sebutan bahasa Arab yang dalam bahasa

161 Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. 162 Diakses melalui laman https://dkm.or.id/dkm/49523/masjid-al-munawar-pancoran-kota- adm-jakarta-selatan.html pada 23 Oktober 2019.

70

Indonesia berarti panitia zakat atau petugas yang dibentuk untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Mengenai konsep penyaluran zakat, DKM telah membedakan mekanisme antara ketentuan pendistribusian zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah harus diselesaikan penyalurannya maksimal sebelum pelaksanaan salat Idul fitri, sedangkan penyaluran zakat mal bisa dilakukan kapan saja. Panitia zakat DKM masjid al-Munawwar menerima zakat berupa uang tunai dan beras, tetapi zakat yang berupa uang tunai sebagian besar akan dibelikan beras dan disalurkan kepada mustahik berupa beras dan uang tunai alakadarnya. Penyaluran zakat yang bersifat konsumtif ini diakui oleh H Zainuddin sebagai sebuah kelemahan pengelolaan zakat di masjid, karena manfaat yang dirasakan penerima tidak berkelanjutan. H. Zainuddin terinspirasi oleh pemikiran dan konsep penyaluran zakat yang digagas (alm) K.H. Ahmad Sahal Mahfudz, yaitu penyaluran zakat yang produktif dimana zakat dibagikan hanya kepada orang terbatas, tetapi bisa memberikan dampak yang signifikan dan berkelanjutan, misalnya zakat untuk tukang becak. Dana zakat digunakan untuk membeli beberapa becak kemudian disewakan kepada tukang becak dan dia harus memberikan setoran harian untuk biaya sewa, sehingga dalam beberapa bulan tukang becak bisa melunasi biaya sewa (seharga pembelian awal becak) dan dia mendapatkan modal berupa becak yang bisa digunakan terus untuk mencari penghasilan. Di satu sisi, tukang becak terbantu dengan bantuan modal berupa becak, di sisi lain masjid pun mendapatkan dana setoran tukang becak sebagai pemasukan yang bisa digulirkan kembali dalam pembiayaan-pembiayaan produktif sehingga bisa menjangkau lebih banyak penerima manfaat.163 Selain kepada fakir miskin, zakat yang dihimpun masjid al-Munawwar juga diberikan kepada panitia zakat sebesar 10%-12,5%. Panitia zakat yang dibentuk masjid al-Munawwar sejumlah 7 orang Data mustahik didapatkan melalui koordinasi dengan RT di sekitar masjid yang biasanya terdiri dari fakir, miskin, anak-anak yatim. Selain itu, zakat fitrah yang dihimpun masjid al-Munawwar juga dialokasikan untuk petugas-petugas bagian ibadah Ramadan yaitu imam, khotib, muazin, dan bilal. Masjid al-Munawwar hanya melakukan pengelolaan zakat di Ramadan, utamanya zakat fitrah, tetapi menerima juga pembayaran zakat mal, infak sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya. Secara pribadi, H. Zainuddin mengungkapkan keinginannya untuk membuat lembaga amil zakat khusus di masjid al-Munawwar sehingga bisa mengelola zakat sepanjang tahun (tidak hanya di Ramadan) dan dilakukan secara profesional, tetapi dia pun menyadari jikalau pengurus masjid lainnya pasti tidak akan setuju, karena dianggap hal yang mengada-ada dan tidak ada prioritas untuk hal itu. Pasalnya, pengelolaan zakat yang telah sedari dulu dilakukan di masjid ini selama bertahun- tahun memang hanya dilakukan saat bulan Ramadan. Pemahaman DKM masjid al-Munawwar terkait hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia sangat minim, hanya sebatas pemahaman yang sama dengan konsep fikih zakat, seperti kadar zakat 2,5%, bagian amil seperdelapan dan lainnya.

163 Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar pada tanggal 04 April 2019.

71

Terkait dengan bukti setoran zakat atau tanda terima pembayaran zakat, DKM sudah menyediakan kuitansi khusus yang didesain oleh panitia zakat sebagai bukti pembayaran. Menurut H.Zainuddin kondisi tidak dipahaminya hukum positif pengelolaan zakat secara utuh karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait aturan-aturan tersebut secara langsung kepada para pengurus masjid.

6. Masjid Nurullah

Masjid yang terletak di kawasan permukiman apartemen Kalibata City ini didirikan tahun 2006164 yang awalnya di atas tanah sertifikat hak milik, tetapi kini sudah menjadi wakaf. Daya tampung jamaah sekitar 1000 orang, terletak di basement tower Cendana, masjid ini selalu dipadati ketika pelaksanaan salat jumat, baik oleh penghuni apartemen ataupun pengunjung yang sedang berada di Kalibata City. Berbeda dengan 5 masjid yang sebelumnya yang tidak bergabung menjadi UPZ, masjid Nurullah ini justru satu-satunya masjid di kecamatan Pancoran yang telah menjadi UPZ dari BAZIS Jakarta Selatan sejak Tahun 2017. Menurut informasi yang penulis dapatkan dari DKM165, ada peran KUA kecamatan Pancoran yang melatarbelakangi bergabungnya pihak DKM masjid untuk menjadi UPZ. KUA juga lah yang menjembatani komunikasi antara masjid dengan BAZIS Jakarta Selatan. Muhammad Mada mengungkapkan bahwa bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ tidak lebih dari sekedar formalitas untuk memenuhi legalitas dan kesesuaian hukum pengelolaan zakat yang ada, karena setelah bergabung menjadi UPZ dan di-SK-kan di Tahun 2017, pihak BAZIS Jakarta Selatan maupun KUA kecamatan Pancoran tidak pernah melakukan komunikasi baik berupa pemantauan, supervisi atau arahan terkait pengelolaan zakat yang dilakukan masjid166. Tujuan utama pembentukan UPZ adalah agar pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid bisa terlaporkan, tetapi nyatanya tidak terwujud, sebab tidak adanya komunikasi yang berlanjut selepas acara seremonial pemberian SK UPZ. Laporan-laporan pengelolaan zakat berkala pun tidak diminta oleh BAZIS Jakarta Selatan sehingga nampak jelas bahwas legalitas UPZ hanyalah sebagai formalitas. Penulis perlu membedakan BAZIS Jakarta Selatan dengan BAZNAS, karena pada tahun 2017 memang BAZIS di Jakarta belum bergabung ke dalam BAZNAS, sehingga mekanisme dan tatakerja UPZ yang ditetapkan BAZIS mungkin berbeda dengan BAZNAS. Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada peraturan dan pedoman kerja UPZ yang ditetapkan BAZNAS.

164 Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/242223/ pada 23 Oktober 2019. 165 Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, Koordinator Bagian Humas dan Sosial DKM Masjid Nurullah pada tanggal 22 November 2019. 166 Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, Koordinator Bagian Humas dan Sosial DKM Masjid Nurullah pada tanggal 22 November 2019.

72

Amil zakat yang dipahami DKM sama seperti apa yang dipahami masjid- masjid sebelumnya, yaitu setiap petugas yang menerima dan menyalurkan zakat. DKM menjelaskan bahwa mereka tidak melakukan pengumpulan zakat secara aktif yaitu dengan mendatangi muzaki di lingkungannya, sehingga kata yang dipilih hanya “menerima” setiap muzaki yang ingin menunaikan zakatnya melalui masjid Nurullah. Masjid melakukan penerimaan zakat fitrah di setiap Ramadan, juga zakat maal setiap saat. Zakat fitrah yang diterima berupa beras maupun uang tunai, tetapi nantinya uang tersebut akan dikonversikan dengan beras, jadi semua zakat fitrah yang dibagikan ke mustahik berupa beras dalam kemasan 5 Kg. Mustahik zakat masjid Nurullah adalah para pekerja kasar di lingkungan Kalibata City seperti petugas kebersihan, keamanan, dan parkir juga masyarakat fakir miskin di kelurahan Rawajati. Adapun untuk penyaluran zakat maal, DKM mengungkapkan bahwa secara umum masih bersifat konsumtif berupa bantuan uang tunai nominal tertentu, tetapi DKM pernah juga menyalurkan zakat secara produktif yaitu memberikan modal usaha kepada mustahik dan saat ini usahanya telah mendapatkan keuntungan.

Tabel 8. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat Aspek Amil Zakat Tugas Amil Hak Amil DKM Petugas zakat Mengumpulkan 10% dari total yang dibentuk zakat dari penghimpunan, Masjid Jami at-Taubah DKM muzaki dan lalu dibagi dengan menyalurkannya sejumlah amil ke mustahik Orang-orang Mengumpulkan 12,5 % dari total yang ditugaskan zakat dari pengumpulan untuk menerima muzaki dan zakat, baik berupa Masjid al-Muawanah dan menyalurkannya beras atau uang menyalurkan ke mustahik tunai zakat

Petugas zakat Mengumpulkan 1/8 dari total zakat yang dibentuk zakat dari yang dihimpun Masjid DKM muzaki dan Arrohmaanurrohim menyalurkannya ke mustahik Beberapa orang Mengumpulkan Diambil dari yang ditunjuk zakat dari operasional masjid untuk muzaki dan Masjid Jami an-Nur menangani menyalurkannya urusan zakat ke mustahik

73

Amil Zakat itu Mengumpulkan 10%-12,5% dari bahasa Arab, zakat dari dana zakat dengan istilah di muzaki dan penyesuaian hasil Indonesia menyalurkannya pengumpulan adalah petugas ke mustahik yang dibentuk Masjid al-Munawwar untuk mengumpukan dan menyalurkan zakat

Petugas-petugas Mengumpulkan Meskipun zakat yang zakat dari memahami amil melakukan muzaki dan zakat termasuk Masjid Nurullah penerimaan menyalurkannya mustahik, tetapi hingga ke mustahik DKM tidak pendistribusian mengambil bagian sama sekali Sumber: Hasil wawancara yang diolah penulis

Di bab IV ini, kita telah mendapatkan informasi dan gambaran tentang masjid dalam aspek pengelolaan zakat. Dalam hal kesesuaian dengan hukum positif, kita bisa katakan bahwa 5 dari 6 masjid yang diteliti belum menyesuaikan diri karena aspek legalitasnya belum terpenuhi, sementara 1 masjid telah menjadi UPZ tetapi sangat disayangkan bahwa ternyata tidak ada keuntungan lebih yang didapatkan masjid UPZ kecuali legalitas saja. Pada bab berikutnya, penulis akan analisis pemahaman DKM terkait fikih zakat dan hukum positif sehingga nantinya dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan masjid-masjid perkotaan ini terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia.

74

BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF PENGELOLAAN ZAKAT DI MASJID

Bab ini memaparkan analisis penulis terhadap temuan-temuan penelitian tentang praktik pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) melalui petugas yang mereka bentuk di masjid-masjid di kecamatan Pancoran dari aspek pemahaman fikih dan hukum positif yang berlaku serta terkait pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang mereka lakukan.

A. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat

Menganggap pengelolaan zakat di masjid sebagai sebuah fenomena biasa dan lumrah bukanlah hal yang tepat, karena faktanya banyak hal yang harus disesuaikan agar mampu mencapai tujuan utama zakat di negeri ini yaitu sebagai salah satu sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskikan167. Penyesuaian tersebut penting mengingat sangat banyak masjid yang mengelola zakat secara mandiri dengan cara yang tradisional, tidak terencana dengan baik, hanya melanjutkan tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun meskipun harus diakui tujuannya mulia. Muslim Indonesia dalam menunaikan zakatnya setidaknya memiliki 3 pilihan yaitu: 1) berzakat melalui lembaga pengelola zakat resmi, 2) lembaga keislaman seperti masjid, pesantren, dan tokoh agama, bahkan 3) langsung kepada mustahik. Sayangnya, zakat yang ditunaikan melalui cara ke-2 dan ke-3 umumnya tidak disalurkan dalam program-program yang produktif, kebanyakan dana zakat akan habis untuk bantuan-bantuan langsung yang bersifat konsumtif, sehingga dampak yang ditimbulkan bagi mustahik tidaklah berjangka panjang, bahkan sangat sulit untuk meyakini suatu hari mereka akan tersejahterakan oleh manfaat zakat yang diterima. Dalam konteks masjid sebagai pengelola zakat (setidaknya penyalur zakat fitrah) tidak akan terlepas dari pemahaman para pengurus DKM akan fungsi masjid yang mereka kelola. Secara umum, memang masjid dulu kala hingga saat ini berperan multifungsi, tidak hanya sebagai tempat berkumpul untuk melaksanakan ibadah salat, pengajian, musyawarah, masjid kini sering juga menjadi tempat kegiatan sosial kemasyarakatan seperti bakti sosial, resepsi pernikahan, pembagian daging kurban, juga penerimaan dan penyaluran zakat. Harus kita akui bersama, fungsi masjid dalam pengelolaan zakat tidak terlepas dari tradisi yang turun temurun hingga menjadi budaya yang lekat pada masyarakat muslim Indonesia ketika ingin menunaikan zakat, memilih masjid sebagai penyalur zakat mereka. Inisiatif pengumpulan dan penyaluran zakat yang dilakukan masjid bagaimanapun telah memberikan kemanfaatan bagi masyarakat muslim yang menjadi mustahik di lingkungannya. Selain itu, adanya pengumpulan dan penyaluran zakat yang dilakukan masjid memudahkan masyarakat muslim

167 Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

75

sekitarnya dalam menunaikan zakatnya sebagai salah satu referensi yang bisa dipilih. Secara aturan mengenai fungsi masjid, sangat dimungkinkan untuk mengelola zakat masyarakat muslim di sekitarnya, bahkan hal itu merupakan inisiatif yang baik untuk menggalang dana zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak. Hanya saja, di sisi yang lain, masjid harus membuka diri dan berusaha mengikuti regulasi yang berlaku dalam hal pengelolaan zakat, karena telah diatur dalam undang-undang tersendiri serta peraturan-peraturan turunannya168. Seiring berkembangnya zaman, kita tidak bisa menutup mata dan harus menyadari bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan secara tradisional seperti yang dilakukan di masjid-masjid haruslah bertransformasi secara bertahap untuk berupaya menyesuaikan praktiknya dengan regulasi yang ada, yang menghendaki pengelolaan zakat dilakukan secara tepat sesuai syariat Islam, profesional, amanah, akuntabel, memiliki kepastian hukum, juga terintegritas169 guna mencapai tujuan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Hasil temuan yang penulis dapatkan di lapangan ketika mengobservasi dan mewawancarai langsung para DKM yang melakukan penerimaan dan penyaluran zakat di wilayah kecamatan Pancoran ada beberapa aspek fikih yang perlu analisis lebih jauh, karena selama ini diyakini para DKM konsep fikih zakat yang mereka pahami adalah sesuatu yang rigid dan harus dilaksanakan seperti itu adanya sehingga cenderung stagnan dan tidak mengalami perkembangan dalam memberikan dampak serta manfaat bagi para penerima zakat170. Penulis akan uraikan satu persatu aspek pemahaman fikih zakat para DKM yang akan dianalisis sebagai berikut:

1. Memahami Hakikat Amil Zakat

Para DKM yang penulis wawancarai semuanya menjawab hal yang serupa ketika ditanya siapakah amil zakat. Menurut pemahaman sederhana mereka, amil zakat adalah petugas khusus yang dibentuk untuk menangani seluruh rangkaian pengelolaan zakat. Mereka tidak secara detail membedakan, siapa yang harus membentuk atau mengangkat amil zakat tersebut, sehingga mereka mudah saja mengatakan bahwasanya amil zakat pun adalah petugas yang dibentuk atau dipilih DKM untuk mengelola zakat di masjid mereka171.

168 Hasil wawancara penulis dengan Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid Kementerian Agama Republik Indonesia pada 08 Juli 2019. 169 Sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menyebutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia harus berasaskan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegritas, dan akuntabilitas. 170 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid Nurullah. 171 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid Nurullah.

76

Pemahaman semacam itu tidaklah keliru jika yang menjadi fokusnya adalah fungsi dan tugas amil dalam pengelolaan zakat, tetapi menjadi hal yang kurang tepat dan tidak kuat jika dihadapkan kepada nilai-nilai hukum posistif yang berlaku di Indonesia yang bersumber dari peraturan perundang-undangan serta turunanya. Mengacu pada literatur fikih, yang dimaksud dengan amil zakat secara umum adalah petugas khusus yang mengelola zakat mulai dari pendataan, pengimpunan, pengambilan, pencatatan, pendistribusian, pendayagunaan, serta pelaporan. Akan tetapi, pada beberapa pengertian, disertakan juga pembatasan kewenangan pembentukan amil yaitu oleh pemerintahan Islam (dalam fikih klasik sering disebut Imam atau Sult}a>n), jadi tidak semua pihak dapat menunjuk dan menugaskan beberapa orang sebagai amil zakat, tetapi melalui kewenangan pemerintahan lah mandat amil zakat itu dilaksanakan, dalam konteks saat ini negara yang mengambil peranan tersebut melalui presiden ataupun pejabat yang ditunjuk. Berikut adalah beberapa pengertian amil zakat dalam literatur Islam و أما العامل فهو الرجل الذي يستنيبو اإلمام يف السعي يف مجع الصدقات وكل من يصرف من عون ال يستغىن عنو فهو من العاملني “Amil adalah orang yang ditugaskan oleh Imam untuk menggantikannya dalam upaya pengumpulan zakat, dan setiap orang yang bekerja dalam membantu amil yang pasti dibutuhkannya, maka statusnya juga termasuk amil172.” و العامل من استعملو اإلمام على أخذ الصدقات و دفعها إىل مستحقها “Amil adalah orang yang ditugaskan oleh Imam untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya kepada orang yang berhak (mustahik)173” Frasa al-„amilin „alaiha (amil zakat) yang juga merupakan ayat Alquran ditafsirkan oleh Mutawalli> al-Sha’ra>wi> (w. 1998) sebagai berikut:

والعامل على مجع الصدقة إمنا يعمل لصاحل الدولة اإلميانية، فهو جيمع الصدقات ويعطيها للحاكم أو الوايل الذي يوزعها. ويف ىذا مصلحة جملتمع املسلمني كلو. Amil yang mengumpulkan sedekah (amil zakat) hanyalah melaksanakan tugas untuk kemaslahatan sebuah negara yang penduduknya beriman, dia mengumpulkan zakat dan memberikannya kepada hakim atau wali (pemerintah) yang membagikannya, dalam hal ini terdapat kemaslahatan bagi masyarakat muslim secara umum174. Pengertian amil zakat yang lebih komprehensif diungkapkan juga oleh ulama kontemporer seperti Wahbah al-Zuhayli>175 (w. 2015) yaitu:

172 „Abd al-H{aq ibn Gha>lib al-Andalu>si>, al-Muh}arrar al-Waji>z Fi> Tafsi>r al-Kita>b al-‘Azi>z (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001) jilid 3, 49. 173173 Muh{ammad ibn Qa>sim, Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>z} al-Taqri>b (Beirut: Da>r ibn H{azm, 2005), 133. 174 Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>, Al-Tafsi>r al-Sha’ra>wi> (Kairo: Mat}a>bi’ Akhba>r Al- Yaum, 1997), Juz 9, 5222. 175 Wahbah al-Zuhayli (1932-2015) merupakan ulama Islam kontemporer sunni bermazhab sha>fi’i> berasal dari Suriah. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu seperti fikih

77

العاملون على الزكاة: ىم كل من يعينهم أولياء األمور يف الدول اإلسالمية أو يرخصون هلم أو ختتارىم اهليئات املعرتف هبا من السلطة أو من اجملتمعات اإلسالمية للقيام جبمع الزكاة وتوزيعها وما يتعلق بذلك من توعية أبحكام الزكاة وتعريف أبرابب األموال وابملستحقني ونقل وختزين وحفظ وتنمية واستثمار ضمن الضوابط والقيود Al-‘a>milu>n ‘ala> al-Zaka>h adalah setiap orang yang telah ditentukan oleh ulul amri (pemerintah) dalam negara Isla>miyyah atau mereka yang diberi izin, atau dipilih oleh lembaga yang berwenang atau lembaga Islam untuk menjalankan tugas dalam rangka menghimpun zakat, mendistribusikannya, dan segala sesuatu yang terkait dengan tugas tersebut seperti menjalankan hukum-hukum zakat, menentukan sumber-sumber dana zakat serta para mustahik, memindahkan dana zakat ke wilayah lain, menyimpan dan menjaga dana zakat, serta mengembangkannya dalam investasi yang sesuai dengan batasan-batasan yang telah diatur176.

Pengertian senada juga bisa ditemukan pada fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang amil zakat yang mendefinisikannya dalam dua poin, yaitu: a. Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat; atau b. Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat. Kedua poin fatwa MUI tentang amil zakat tersebut sama-sama memiliki titik penegasan pada peran “pemerintah” dalam kaitannya dengan pengangkatan serta pengesahan amil zakat177. Beberapa pengertian tersebut mengindikasikan secara kuat bahwasanya peran pemerintah memang diperlukan dalam pengelolaan zakat untuk aspek legalitas pengelolaan zakat guna memastikan posisi yuridis yang jelas dan berkekuatan hukum sebagai konsekuensi kehadiran undang-undang tentang pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa kelompok masyarakat muslim yang konsen terhadap aspek legalitas fikih seperti Nahdlatul Ulama (NU) telah menyadari dan membedakan secara jelas bahwa amil zakat tidaklah sama dengan panitia/petugas zakat. Beberapa hasil bahsul masail NU mengungkapkan hal tersebut lengkap dengan implikasi hukum fikih yang akan timbul ketika zakat ditunaikan melalui amil ataupun disalurkan melalui panitai/petugas zakat seperti yang dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tahun 2014 maupun dalam acara perbandingan, usul al-fiqh dan tafsir, yang beliau tulis dalam karya-karya di bidang tersebut seperti al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu: al-Sha>mil Li al-Adillah al-Shar’iyyah wa al-A al- Madhhabiyyah wa Ahamm al-Naz}ariyya>t al-Fiqhiyyah wa Tah}qi>q al-Ah}a>di>th al- Nabawiyyah wa Takhri>-juha>, al-Waji>z Fi> Us{u>l al-Fiqh, al-Tafsi>r al-Wasi>t}, al-Tafsi>r al- Muni>r, dan lain sebagainya. 176 Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid 10, 7943. 177 Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat

78

bahsul masail Musyarawah Nasional (Munas) dan Konfrensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Lombok pada 23-25 November 2017. Amil zakat yang sesuai dengan syariat dan perundang-undangan di Indonesia paling tidak ada 3 kelompok, yaitu 1) BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota yang masing-masing diangkat oleh Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota, 2) LAZ tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota yang masing-masing diberi izin oleh Menteri Agama, Direktur Jendral, dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, serta 3) Amil zakat perseorangan juga perkumpulan orang yang berada di wilayah yang belum dijangkau oleh BAZNAS atau LAZ, maka mereka diakui sebagai amil dengan syarat memberitahukan secara tertulis pengelolaan zakat yang dilakukan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.

Tabel 9. Pengelola Zakat di Indonesia yang sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zakat178 Amil Zakat Diangkat Amil Zakat Diberi izin Amil Zakat Diakui Pemerintah oleh Masyarakat oleh Tradisional BAZNAS Presiden LAZ skala Menteri Amil Zakat Di tempat atas usul Nasional Agama Perseorangan yang belum Menteri atau dijangkau BAZNAS Gubernur LAZ skala Direktur Perkumpulan BAZNAS Provinsi Provinsi Jendral Zakat Orang dalam maupun LAZ, BAZNAS Bupati/ LAZ skala Kepala Masyarakat dan Kabupaten/ Walikota Kabupaten/ Kantor Memberitahu- Kota Kota Wilayah kan secara Kementerian tertulis kepada Agama KUA Provinsi Kecamatan setempat

Kelompok pertama dan kedua sama-sama bisa menurunkan legalitas pengumpul zakat yang dibentuk di bawah koordinasinya, misalkan BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota dapat membentuk UPZ dengan Surat Keputusan (SK) Ketua BAZNAS di masing-masing tingkatan maka UPZ tersebut juga termasuk ke dalam golongan amil zakat. Begitu juga LAZ tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota bisa menggandeng mitra atau jaringan pengumpul zakat yang kemudian diberikan SK jelas pengangkatannya, maka mereka juga masuk dalam kategori amil zakat yang syar‟i. Berbeda dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki kewenangan untuk membentuk satuan lain, karena statusnya pun hanya diakui. Pengakuan ini penting secara yuridis karena jika tidak maka masyarakat muslim yang ada di wilayah kategori tersebut sulit untuk menunaikan zakatnya. Pembatasan hak warga negara

178 Diolah dari sumber utama; Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 pasal 5 ayat (2), pasal 36 ayat (1), pasal 43 ayat (1), pasal 59, dan pasal 66.

79

dalam melaksanakan ajaran agamanya, dalam hal ini adalah zakat, merupakan tindakan yang melawan konstitusi179. Amil tipe ketiga ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh undang-undang, karena pengelolaan zakat yang dicita-citakan adalah pengelolaan yang profesional yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga zakat resmi baik dari pemerintah maupun masyarakat muslim Indonesia. Pengakuan eksistensi amil semacam ini muncul mengingat kondisi geografis di tempat tertentu masih memungkinkan kekosongan peran BAZNAS atau LAZ sehingga untuk tetap menjaga nilai konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, mau tidak mau harus ada upaya pengakuan yang ditegaskan dalam peraturan. Nilai kesesuian amil yang syar‟i tidak terlepas dari 2 hal, yaitu sesuai secara syariat juga sesuai secara aturan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga ketika keduanya atau salah satunya tidak terpenuhi, belum bisa dikategorikan sebagai amil zakat yang sesungguhnya seperti halnya yang marak dipraktikkan oleh pihak-pihak tertentu, masjid misalnya. Mengacu kepada dua hal di atas, harus penulis akui bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid-masjid yang tidak berada dalam koordinasi atau naungan lembaga amil zakat yang resmi, belum bisa dikatakan sesuai dengan aturan. hukum, meskipun nilai ibadah zakatnya tetap sah secara fikih, akan tetapi ada beberapa catatan bagi para pengelola zakat tersebut yang harus diperhatikan. Secara fikih, amil yang belum syar‟i berbeda ketentuannya dengan amil yang syar‟i (secara syariat Islam dan aturan hukum), di antara perbedaan yang substansial adalah sebagai berikut: a. Amil yang syar‟i statusnya sebagai naib (pengganti) mustahik, seperti halnya jika ditunaikan melalui Imam, sehingga jika ada penyelewengan yang dilakukan atas zakat tersebut, kewajiban muzaki tetap gugur dan dianggap selesai dengan hanya menyerahkan zakatnya kepada amil tersebut. Berbeda kondisinya jika zakat ditunaikan melalui amil yang belum syar‟i, seperti petugas atau panitia zakat yang dalam hal ini statusnya sebagai wakil dari muzaki, sehingga jika terjadi penyalahgunaan dalam pengelolaannya, maka kewajiban zakat muzaki belum gugur. b. Amil syar‟i berhak mengambil sebagian harta zakat sebagai biaya operasional bila dibutuhkan, sedangkan amil yang belum syar‟i tidak berhak. c. Amil syar‟i berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil zakat, sementara amil yang belum syar‟i tidak berhak.

Ketentuan tersebut disarikan dari pendapat salah satu mujtahid mazhab Syafi‟i yaitu Imam Nawawi180 (w. 1277) yang redaksinya sebagai berikut:

179 Klausul ini muncul setelah Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat diuji materiil di Mahkamah Konstitusi sehingga putusannya kemudian menambahkan poin tersendiri tentang pengakuan amil zakat perseorangan ataupun perkumpulan orang dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No, 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

80

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ يف ب َيَان اْألَفْ َضِل قَاَل أَ ْص َحاب ُنَا تَ ْفريُقوُ بنَ ْفسو أَفْ َض ُل م ْن التَّ ْوكيِل بَال خَالف ألَنَّوُ َعلَى ث َقة م ْن ِ ِِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ تَ ْفريقو ِبَالف الَْوكيِل َوَعلَى تَ ْقدير خيَانَة الْ َوكيِل َال يَ ْسُق ُط الَْفْر ُض َع ْن الَْمالك ألََّن يََدهُ َكيَده ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ فََما ََلْ يَص ْل الَْماُل إَىل الُْم ْستَحّق َني َال تَ ْب َرأُ ذَّمةُ الَْمالك ِبَالف َدفْعَها إَىل اْإلَمام فَإن َّوُ ِبُ َجَّرد ِ ِ ِ ِ قَ ْبضو تَ ْسُق ُط الَّزَكاةُ َع ْن الَْمالك Penulis meyakini meskipun pemahaman DKM terhadap makna amil zakat belum komprehensif, praktik pengelolaan zakat yang telah berlangsung di masyarakat tetap memegang teguh amanah dalam menghimpun dan menyalurkan zakat kepada yang berhak, sehingga jika dikaitkan dengan amil yang belum syar‟i karena statusnya sebagai wakil dari muzaki, akad wakalahnya pun ditunaikan dengan benar dan disampaikan zakatnya sesuai syariat, sehingga kewajiban zakatnya pun tetap terlaksana dengan sah. Terlepas dari adanya pembedaan amil syari‟i dan yang belum syar‟i seperti di atas, dalam praktiknya para panitia zakat di masjid tetap mendapatkan bagian dari zakat yang dihimpun karena mereka dianggap sebagai amil oleh DKM. Penulis dalam hal ini menemukan 2 metode pemberian hak amil yang dilakukan oleh DKM yaitu: a. Diberikan 1/8 dari total zakat yang dihimpun b. Diberikan nominal tertentu yang diambil dari dana operasional masjid

Penulis lebih cenderung berpendapat bahwasanya petugas zakat -yang secara syariat dan hukum positif belum memenuhi syarat- mendapatkan haknya berupa upah atas pekerjaan yang dilakukan yaitu berupa nominal tertentu yang diambil dari kas masjid, bukan dari dana zakat yang terkumpul. Hal itu dikarenakan, tugas yang dijalankan panitia/petugas zakat di masjid tidak menggambarkan kompleksitas tugas dan kewajiban amil zakat yang sesungguhnya, meskipun fungsi utama petugas penerima dan penyalur memang dilakukan.

2. Penentuan Mustahik yang Tepat

Memastikan penerima zakat adalah mustahik yang benar-benar berhak adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan bagi muzaki maupun amil zakat. Ketepatan sasaran penerima manfaat zakat berkaitan langsung tidak hanya secara keabsahan penyaluran zakat yang penerimanya telah ditentukan oleh syariat, tetapi juga dengan keadilan sosial untuk memberikan sesuatu kepada orang yang memang berhak mendapatkannya. Penerima zakat sebagaimana telah kita ketahui bersama terdiri dari 8 golongan181, 1 golongan tidak lagi ditemukan eksistensinya di zaman saat ini yaitu Riqab, jadilah tersisa 7 golongan. Sesuai urutan penyebutan mustahik yang ada

180 Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n Yah{ya ibn Sharaf al-Nawawi. Al-Majmu>’ Sharh{ al- Muhadhdhab (Beirut: Da>r al-Fikr,1996 ) jilid 6, 165. 181 Alquran Surat al-Taubah ayat 60.

81

dalam nash Alquran, kita dapati bahwa golongan fakir dan miskin ada di urutan awal yang menandakan prioritas keberhakkan mereka atas zakat182. Zakat yang terkumpul di masjid, umumnya hanya didistribusikan kepada 3 golongan mustahik, yaitu fakir, miskin, dan petugas zakat yang mereka sebut amil zakat. Penulis menemukan mekanisme yang sama ketika DKM menentukan mustahik untuk membagikan zakat yang telah mereka kumpulkan, yaitu berkoordinasi dengan ketua RT setempat. Biasanya ketua RT akan mengajukan nama-nama tertentu yang menurutnya layak dan berhak mendapatkan zakat karena termasuk fakir atau miskin. Tidak semua nama-nama yang diajukan diterima, tetapi ada proses pemilahan lebih lanjut, bahkan ada yang mensurvei secara langsung ke rumah nama-nama yang bersangkutan untuk memastikan kebenaran kondisi fakir atau miskinnya183. Dalam menentukan fakir dan miskin, jika mengacu kepada pengertian fuqaha, akan ditemukan berbagai macam definisi. Menurut Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi, miskin lebih sulit keadaannya dan lebih membutuhkan dari pada fakir karena miskin meminta-minta tapi fakir tidak, sedangkan menurut Qatadah, fakir adalah orang yang kelaparan atau terkena musibah dan sangat membutuhkan dan miskin adalah orang yang membutuhkan tidak dalam kondisi kelaparan atau musibah, oleh karenanya fakir lebih membutuhkan dari pada miskin184. Meskipun ada perbedaan definisi secara bahasa, pada hakikatnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu seseorang yang membutuhkan bantuan untuk kelangsungan hidupnya sehingga keduanya benar-benar menjadi prioritas dalam menerima zakat185. Semakin berkembangnya zaman, ada beberapa kondisi yang menuntut kita untuk objektif dalam menilai sesuatu yang definitif. Penjelasan atau pengertian yang sifatnya kualitatif kurang menjadi acuan yang definitif dalam menentukan suatu hal, lalu ukuran kuantitatif yang tergambarkan melalui angka-angka dipandang menjadi pilihan yang lebih objektif dan dapat diukur untuk mendapatkan kesamaan definisi. Maka berbagai macam cara kini dilakukan untuk mengkuantifikasi hal-hal yang pada dasarnya bersifat kualitatif, salah satunya yang berkaitan dengan zakat adalah kondisi fakir dan miskin.

182 Ibn Qudda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> Li ibn Qudda>mah (Kairo: Maktabah al-Qa>hirah, 1968), Jilid 6, 469. Penggunaan huruf Lam pada kata Fakir kemudian disambung ke 3 golongan berikutnya dalam pembahasan gramatika bahasa Arab berbeda dengan penggunaan huruf Fi dalam penyebutan 4 golongan sisanya. Lam dalam ayat tersebut berfaidah untuk menjelaskan al-tamli>k bahwasanya zakat memang milik orang fakir miskin dan seterusnya. Lihat Najmuddi>n Ra>ji>. H{arf al-La>m wa Istikhda>ma>tuhu Fi al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Shams Li al-Nashr wa al-Tauzi>‘,2007), 16. 183 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid Nurullah. 184 Ala>’uddi>n al-Kassa>ni>, Bada>’i al-S}ana>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1986) jilid 2, 43. 185 Abu> al-Wali>d Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtas}id (Kairo: Da>r al- Hadi>th, 2004), jilid 2, 38.

82

Definisi kuantitatif sebenarnya telah dipakai juga dalam syariah zakat untuk menentukan batas-batas minimal harta yang telah wajib dizakati yang dalam terminologi fikih disebut nis}a>b, misalkan nis}a>b emas dimulai ketika mencapai 85 gram186, kemudian kadar pengeluaran zakat juga sudah ditentukan besarannya berdasarkan hadis-hadis Rasulullah yang bersifat qat}’i> dan nilainya tetap sepanjang waktu; dua koma lima persen (2,5 %)187 untuk zakat emas dan perak, dan zakat perniagaan, sepuluh persen (10 %) untuk zakat pertanian yang hanya mengandalkan air hujan atau aliran sungai tanpa pengeluaran khusus dan lima persen (5 %) untuk zakat pertanian yang pengairannya membutuhkan biaya untuk irigasi khusus188 . Angka-angka semacam ini tidak dijelaskan oleh nabi dalam hadisnya ketika menentukan kriteria fakir atau miskin, karena belum dibutuhkan ukuran-ukuran kuantitatif saat itu. Mengukur kefakiran atau kemiskinan ketika itu banyak bertumpu pada penggambaran kualitas hidup yang salah satu cirinya adalah tidak bisa mencukupi keperluan sehari-hari. Pengukuran semacam ini terus menerus dipakai sehingga saat ini. Di sisi lain, menentukan fakir atau miskin yang hanya mengandalkan penilaian kualitatif, tidak dapat menghindarkan kita dari ketidakseragaman kriteria fakir dan miskin, sehingga kondisi ini menuntut penetapan standar yang jelas untuk menilai kefakiran atau kemiskinan seseorang. Di Indonesia, ada satu badan khusus yang menangani segala urusan yang berkaitan dengan data-data yang disajikan dalam angka (statistik), yaitu Badan Pusat Statistik (BPS). Data kemiskinan masyarakat di Indonesia dikumpulkan oleh BPS melalui program Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang terfokus pada konsumsi dan pengeluaran. BPS menggunakan pendekatan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan, sehingga kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampunan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) yang BPS tentukan merupakan akumulasi dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan non-Makanan (GKNM). GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yaitu setara dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari, sedangkan GKNM adalah nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. BPS menetapkan GKM sebesar Rp. 313.232 (Tiga Ratus Tiga Belas Ribu Dua Ratus Tiga Puluh Dua Rupiah) yaitu sebesar 73,66% dan GKNM sebesar Rp. 112.018 (Seratus Dua Belas Ribu Delapan Belas Rupiah) yaitu sebesar 26,34 %.

186 Satuan yang disebutkan dalam hadis tentang nisab zakat emas adalah 20 Dinar lihat dalam Abu> Da>wu>d Sulayma>n al-Sijista>ni. Sunan Abi> Da>wu>d (Beirut: al-Maktabah al-„As}riyyah, ) hadis no. 1573 dan Abu> ‘Abdulla>h Muh{ammad ibn Yazi>d Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Ma>jah (Da>r Ih{ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah) hadis no.1791. 187 Dalam redaksi hadis disebutkan Rub‟ al-Ushr yaitu seperempat dari sepersepuluh yaitu sama dengan 2,5 % seperti yang disebutkan dalam S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> hadis no. 1454. 188 Kadar zakat yang dikeluarkan untuk zakat pertanian seperti yang disebutkan dalam hadis S{ah{i>h{ Muslim no. 981 adalah al-‘Ushr dan Nis}f al-‘Ushr.

83

Sehingga Garis Kemiskinan per Maret 2019 berada di angka Rp. 425.250 (Empat Ratus Dua Puluh Lima Ribu Dua Ratus Lima Puluh Rupiah)/kapita/bulan189. Secara rata-rata 1 rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 anggota rumah tangga, sehingga suatu rumah tangga dianggap masuk dalam kategori miskin jika pengeluaran minimumnya berada di bawah Rp. 1.990.170 (Satu Juta Sembilan Ratus Sembilan Puluh Ribu Seratus Tujuh Puluh Rupiah)/rumah tangga miskin/bulan190. Pengeluaran minimum yang dimaksud adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup baik yang berupa makanan maupun non makanan, bukan karena pola hidup berhemat dan sederhana yang dilakukan suatu rumah tangga, karena bisa dimungkinkan pengeluaran bulanannya berada di bawah garis kemiskinan tetapi tabungan uang atau rekening yang dimiliki bisa mencukupi bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan. Standar penentuan kemiskinan seseorang atau rumah tangga yang mengacu pada nilai-nilai pasti semacam ini haruslah dipahami oleh pengelola zakat dalam mendistribusikan zakat yang dikumpulkan, hal demikian dapat membantu mereka dalam memastikan keberhakkan mustahik terhadap zakat, sehingga zakat benar- benar diberikan dan disalurkan kepada yang berhak.

3. Zakat Fitrah menggunakan Nominal Uang

Masjid-masjid perkotaan yang penulis teliti dalam hal penerimaan zakat fitrah lebih fleksibel, jika muzaki berzakat dengan menggunakan beras mereka terima, atau pun jika zakatnya berupa uang tunai DKM tidak menolak. Itu artinya mereka tidak mempermasalahkan bentuk zakat fitrah, meskipun pada masjid Nurullah pada akhirnya uang tunai sebagai zakat fitrah tersebut akan dibelikan beras, sehingga pendistribusian zakat fitrahnya berupa beras seluruhnya. Sementara di 5 masjid lainnya, uang tunai tetap dibagikan sebagai zakat fitrah, jadi mustahik menerima beras dan uang tunai dengan nilai tertentu191. Zakat Fitrah merupakan jenis zakat yang diwajibkan kepada seluruh muslim baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil hingga orang tua, yang masih hidup di hari terakhir bulan Ramadan (terhitung 1 syawal setelah mata hari tenggelam) dengan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok sebesar 1 sha>’192. Sebagaimana hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar193

189 Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik -Edisi 15 Juli 2019- (Jakarta: BPS Pusat, 2019), 38. 190 Diperoleh dari perkalian nilai Garis Kemiskinan dengan jumlah rata-rata anggota rumah tangga miskin. 191 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid Nurullah. 192 Definisi S{a>‘ yang dikenal pada zaman Nabi adalah sama dengan 4 mud. Adapun 1 Mud setara dengan isi cakupan penuh dua telapak tangan orang dewasa. Ukuran mud yang tidak definitif ini menyebabkan perbedaan dalam penentuan kadar zakat fitrah di antara mazhab fikih, karena setiap mazhab punya dasar perhitungannya masing-masing. 193 Muslim ibn H{ajja>j al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h{ Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura<>th al-‘Arabi>, 1955) No Hadis 925.

84

ِ َّ ِ َّ ِ ِ ِ َع ِن ابْ ِن عَُمَر: أََّن َرُسوَل هللا َصلى هللاُ َعلَْيو َو َسلَم فَ َر َض َزَكاَة الْفطْر م ْن َرَم َضا َن َعلَى النَّا ِس ، ِ ٍ ِ ِ ٍ ٍ ٍ ٍ ِ ِِ َصا ًعا م ْن ََتْر، أَْو َصا ًعا م ْن َشعري، َعلَى ُكِّل ُحّر أَْو َعْبد، ذََكر أَْو أُنْ ثَى، م َن الُْم ْسلم َني Makanan pokok bangsa Arab ketika itu adalah kurma, gandung, tetapi di Indonesia makanan pokoknya adalah beras. Makanan pokok dijadikan syarat untuk pengeluaran zakat fitrah sebenarnya untuk memastikan kebutuhan pokok berupa makanan mampu dicukupi oleh mustahik untuk juga merayakan hari raya Idul Fitri. Sedari dahulu telah ditemukan ulama yang mengandaikan jika zakat fitrah dikeluarkan tidak dalam bentuk makanan pokok, melainkan dengan nominal harganya (qi>mah) dalam mata uang. Di antara pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk nominal uang adalah mazhab Hanafi. Mereka berdalil bahwa Nabi saw. tidak pernah sekalipun mengharamkan penunaian zakat fitrah dengan uang, sehingga hal tersebut diperbolehkan. Hakikat kewajiban zakat fitrah menurut mazhab Hanafi adalah dalam rangka ighna>’194 (mencukupkan) orang-orang fakir miskin pada hari raya Idul Fitri, maka zakat fitrah dalam bentuk nominal uang juga bisa memberi kecukupan yang dimaksud selain dengan makanan pokok, bahkan lebih mudah dan bermanfaat untuk ditasarrufkan kembali oleh penerima zakat sesuai kebutuhannya195. Sesungguhnya Nabi Muhammad ketika bersabda tentang kewajiban zakat fitrah, beliau menyebutkan beberapa makanan pokok saat itu yang menjadi pilihan untuk dikeluarkan sebagai zakat fitrah, sebagaimana hadis berikut196 ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ِ ٍ ُكنَّا ُُنْرُجَها َعلَى َعْهد َرُسْول هللا َصلى هللاُ َعلَْيو َو َسلَم َصا ًعا م ْن طََعام، َوَكا َن طََعاُمنَا التَّْم ُر ِ ِ َوال َّشعْي ُر َوالَّزبْي ُب َواألَقْ ُط “Pada masa Rasul shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu S{a>‘ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” Penyebutan makanan tersebut sesungguhnya untuk memudahkan muzaki dalam menunaikan kewajiban zakat fitrah. Peredaran uang logam berupa dinar dan dirham kala itu sangat terbatas, hanya dimiliki orang-orang kaya, tidak semua muslim memilikinya. Di sisi lain, golongan fakir miskin pada masa itu lebih membutuhkan makanan berupa gandung, kurma, bahkan keju (susu yang dikeringkan) dari pada dinar atau dirham karena bisa langsung dikonsumsi. Jika kewajiban zakat fitrah ditunaikan harus dengan uang hal itu tentu memberatkan dan

194 lihat Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn أغنوىم يف ىذا اليوم Tujuan yang dimaksud ada dalam hadis ‘Umar al-Da>ruqut}ni>, Sunan al-Da>ruqut}ni> (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2004), jilid 3, no hadis 2133. 195 Ala>uddi>n Abu> Bakr al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S{a>na>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) jlid 2, 72-73. 196 Muslim ibn H{ajja>j al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h{ Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura<>th al-‘Arabi>, 1955) No Hadis 985.

85

menyulitkan, sementara tidak semua orang muslim memilikinya, namun semuanya berkewajiban untuk menunaikan zakat fitrah. Oleh karena hal demikian, zakat fitrah berupa makanan lebih memudahkan bagi muzaki dan juga lebih bermanfaat bagi mustahik kala itu. Bahkan menjadikan keju (al-Aqut}) sebagai bentuk zakat fitrah bagi para pemilik ternak diperbolehkan, karena memudahkan mereka yang memiliki susu dari ternaknya untuk dijadikan keju sebagai salah satu makanan pokok juga. Menurut Yusuf al-Qaradawi197 alasan lain mengapa zakat fitrah tidak disyariatkan dengan berupa uang adalah bahwa nilai mata uang akan berubah seiring berkembangnya zaman, bisa naik dan turun, makanan tertentu akan lebih mahal harganya di masa mendatang atau bisa jadi lebih murah, sehingga ukuran mata uang untuk zakat fitrah yang diwajibkan setiap tahun tidaklah tepat. Maka dari itu, Rasulullah menetapkan ukuran yang pasti dan tidak berubah, yaitu Sha‟ untuk makanan pokok, meskipun menafsirkan S{a>‘ ulama berbeda pendapat, tapi setidaknya kadar itu tidak banyak berubah dari masa ke masa. Pendapat kebolehan menuaikan zakat fitrah jikalau diambil sebagai upaya mengikuti ijtihad ulama mazhab (taqli>d) seharusnya dilaksanakan dengan konsisten merujuk kepada ketentuan zakat dalam mazhab Hanafi secara menyeluruh. Apabila hanya dipraktikkan secara setengah-setengah maka yang terjadi adalah talfi>q yaitu mencapuradukkan pendapat-pendapat mazhab yang berbeda. Praktik talfi>q yang dilakukan dalam konteks zakat yang ditemukan di banyak tempat di Indonesia (tidak hanya di masjid) adalah mengambil pendapat kebolehan berzakat fitrah dengan uang tunai, tetapi tidak mengacu kepada ketentuan kadar zakat yang ditetapkan oleh mazhab Hanafi, sebagai mazhab yang memperbolehkannya, melainkan menggunakan kadar zakat yang diatur dalam mazhab Sha>fi’i> yang secara kuantitas lebih sedikit jumlahnya. Hal yang disepakati oleh para ulama mazhab adalah bahwasanya zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan kadar 1 S{a>‘ dari makanan pokok suatu negeri. akan tetapi tidak ada standar ukuran S{a>‘ yang disepakati oleh mazhab-mazhab tersebut, sehingga masing-masing mazhab punya ukuran tersendiri. S{a>‘ adalah suatu ukuran takaran (mikya>l) bukan timbangan (wazn) yang dinisbatkan pada penduduk Madinah, karena Nabi pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu „Umar bahwasanya setiap ukuran takaran yang dimaksud adalah takaran menurut penduduk Madinah, sedangkan ukuran timbangan yang dimaksud adalah timbangan menurut penduduk Makkah198. Satu S{a>‘ yang dimaksud adalah takaran 4 Mud Nabi, karena Mud merupakan takaran (mikya>l) yang sulit dipindakan ke wilayah lain dalam menakar sesuatu, maka para ulama berijtihad untuk mengkonversikan Mud dalam berat timbangan (wazn) yaitu Rit}l. Rit}l merupakan ukuran timbangan yang merujuk pada penduduk Baghdad, dan mayoritas Fuqaha> menentukan ukuran 1 Mud Nabi setara

197 Diakses melalui laman resmi https://www.al-qaradawi.net/node/4131 pada tanggal 15 Agustus 2019. 198 Lihat Hadis riwayat Imam Abu Dawud no. 3340 dan Imam al-Nasai no. 2520.

86

dengan Rit}l wa Thuluth (1,3 Rtil)199 sedangkan menurut Mazhab Hanafi 1 Mud sama dengan 2 Rit}l. Perbedaan pendapat dalam menentukan kuantitas Mud ini lah menjadi asal muasal berbedanya kadar 1 S{a>‘. Menurut mazhab Hanafi 1 S{a>‘ sama dengan 8 Ritl dan berai 1 Ritl sama dengan berat 130 Dirham yang setara dengan 3800 Gram atau 3,8 Kilogram200. Adapun menurut Jumhu>r Fuqaha> berpedapat bahwasanya 1 S{a>‘ sama dengan 5 1/3 Ritl Iraq yang setara dengan 2176 Gram atau dibulatkan 2,2 Kilogram. Dalam praktiknya, banyak yang menggabungkan pendapat mazhab dalam kadar zakat fitrah ini seperti memperbolehkan membayar zakat dengan uang sebagaimana pendapat mazhab Hanafi tetapi besaran uangnya mengikuti harga dari kadar zakat mazhab Shafii yaitu membayar Rp. 25.000 (beras 2,5 Kg). Seharusnya penunaian zakat fitrah dengan uang tunai konsisten dengan pendapat yang dipilih, jika menunaikannya dengan beras silakan mengikuti kadar zakat 2,2 Kg jika ingin menunaikannya dengan uang tunai maka sesuaikan dengan harga beras 3,8 Kg. Mengutip ketetapan BAZNAS201 tentang kadar zakat fitrah dengan uang tunai senilai Rp. 40.000 sudahlah tepat dengan memperkirakan harga beras Rp. 10.000/Kg dan menggunakan kadar 3,8 Kg.

4. Syiar Zakat oleh DKM

Pemahaman fikih zakat seyogyanya tidak hanya diperlukan oleh para petugas zakat, tetapi semua muslim secara umum terutama muzaki yang telah memenuhi syarat wajib berzakat. Masjid adalah tempat strategis yang dapat mengumpulkan banyak jamaah dalam tiap pekannya secara rutin, yaitu ketika pelaksanaan salat Jumat. Ada korelasi yang kuat antara masjid sebagai sarana edukasi dan pemahaman tentang zakat bagi muzaki. Bagi masjid, momen salat Jumat adalah salah satu agenda penting mingguan, selain sebagai ajang memberikan kenyamanan dan pelayanan yang maksimal untuk jamaah, DKM yang aktif juga pastinya menggalang dana infak sedekah melalui berbagai macam cara; bisa melalui kotak infak keliling, ada juga beberapa petugas keliling yang membawa sebuah kain mengitari seluruh shaf jamaah sebagaimana yang ditemukan di banyak masjid yang penulis teliti. Edukasi dan syiar tentang zakat tidak banyak dilakukan oleh masjid selain di bulan Ramadan, karena memang pada dasarnya mereka tidak melakukan pengelolaan zakat secara berkelanjutan, hanya di bulan Ramadan saja. Padahal

199 Abu ‘Umar Yu>suf ibn Abdilla>h, al-Ka>fi> Fi> Fiqh Ahl al-Madi>nah (Riya>d}: Maktabah al- Riya>d} al-Hadi>thah, 1980)103. 200 Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid 3, 2044. Lihat juga di kitab mazhab Hanafi, Ala>uddi>n Abu> Bakr al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S{a>na>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) jlid 2, 72. 201 Diakses melalui laman https://baznas.go.id/id/zakat-fitrah dan berita yang dirilis di media www.jawapos.com/nasional/15/05/2019/baznas-tetapkan-zakat-fitrah-rp-40-ribu/%3famp pada 18 Oktober 2019.

87

seharusnya fungsi masjid bisa menjadi sangat efektif untuk sarana dakwah dan syiar tentang zakat kepada masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan Faisal Qosim202, materi-materi tentang zakat jarang sekali diangkat sebagai bahan khutbah Jumat ataupun kajian rutin di masjid-masjid, sehingga pemahaman masyarakat muslim awam pada umumnya terhadap syariat zakat tidak komprehensif. Hal tersebut tentu berpengaruh pada pelaksanaan penunaian zakat muzaki, bagi yang tidak tercerahkan bahwa zakat seyogyanya ditunaikan melalui amil zakat resmi, mereka akan terus menyerahkannya langsung kepada mustahik. Meskipun secara fikih, praktik semacam ini tetap sah, hanya saja tidak sejalan dengan semangat pengelolaan zakat nasional yang konsen dengan catatan dan laporan penghimpunan zakat, karena hal ini pula lah data tentang potensi zakat nasional selalu jauh dari nilai realisasinya karena praktik berzakat langsung kepada mustahik tidak terekam dan tercatat dalam laporan penghimpunan zakat nasional. Menanggapi hal tersebut, pihak DKM selama ini memang tidak merinci atau menentukan tema-tema khutbah Jumat yang akan disampaikan, karena biasanya diserahkan kepada khotib masing-masing. Adapun dalam kajian rutin mingguan biasanya DKM membahas kitab tentang aqidah dan akhlak.203 Sementara DKM Masjid al-Munawwar telah menjadi tempat penyelenggaraan pengajian rutin Majelis Rasulullah setiap Senin malam yang disebut Jalsatul Ithnayn mengkaji kitab syair Maulid Nabi, al-Diya al-Lami tentang sirah nabi204. Adapun materi kajian tentang kitab fikih, DKM memilih bab ibadah yang sering dipraktikkan dalam keseharian, seperti salat dan puasa.

B. Pemahaman DKM terhadap Hukum Positif Pengelolaan Zakat

Dalam aspek pemahaman hukum positif pengelolaan zakat, asumsi penulis yang dibangun sejak awal penelitian mendapatkan pembuktian nyata di lapangan. Asumsi itu penulis awali dari tidak adanya sinergi dan koordinasi antara masjid- masjid dan KUA Kecamatan Pancoran dalam hal pengelolaan zakat yang dilakukan, sehingga ketidaksesuain antara apa yang ditentukan dalam aturan dengan apa yang ditemukan di lapangan, secara sederhana mengindikasikan belum adanya pemahaman yang komprehensif dari DKM masjid yang mengelola zakat tentang hukum positif yang berlaku. Wilayah perkotaan yang penulis perkirakan akan memunculkan kesesuaian dengan aturan hukum nyatanya tidak terbukti, karena tidak semata-mata keberadaan masjid di wilayah kota akan berbanding lurus dengan tingkat kesesuaian mereka terhadap aturan hukum yang berlaku. Ada beberapa hal yang akan penulis analisis

202 Hasil wawancara penulis dengan Faisal Qosim; Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada 27 Juni 2019. 203 Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim pada tanggal 03 April 2019. 204 Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar pada tanggal 04 April 2019.

88

atas temuan-temuan penelitian ini sebagai pendalaman untuk memahami aspek pemahaman DKM terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia. Berikut penulis paparkan beberapa aspek aturan hukum yang dipahami oleh DKM dalam praktik pengelolaan zakat di masjid.

1. Kewajiban Pengelola Zakat

Penulis telah melakukan wawancara dengan pengurus DKM yang memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan di lingkungan internal masjid, seperti halnya membentuk panitia untuk melakukan tugas pengelolaan zakat selama Ramadan. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman DKM terkait hukum positif pengelolaan zakat di Indnoesia Mengenai aspek kewajiban pengelola zakat yang diatur dalam undang- undang, DKM telah memahami dan mempraktikkan substansi hukum yang juga sesuai dengan syariat zakat, tetapi tidak dengan hal-hal yang bersifat lebih teknis. Di antara substansi kewajiban pengelola zakat yang dipahami dan dilaksanakan oleh DKM dalam mengelola zakat di masjid adalah sebagai berikut:

a. Memberikan Bukti Setoran Zakat (Pasal 23 UU 23/2011)

Sebagai sebuah ibadah yang erat kaitannya dengan pemindahan kepemilakan harta, bukti tetulis mengenai setoran zakat sangatlah diperlukan untuk menjadi acuan dalam melaporkan dana yang dikelola, baik masuk maupun keluar. Hal demikian juga bisa menumbuhkan rasa kepercayaan muzaki kepada pengelola zakat bahwa dana zakat yang disetorkan dapat dipertanggungjawabkan lebih lanjut. Bukti setoran zakat yang dipahami DKM berbeda dengan ketentuan bukti setoran zakat yang diatur dalam undang-undang. Pengelola zakat di masjid memang benar telah memberikan bukti setoran zakat, tapi hanya berupa kuitansi penerimaan berstempel DKM yang telah disiapkan oleh panitia untuk diberikan kepada muzaki. Bukti kuitansi semacam ini tidak memiliki fungsi lebih selain sebagai bukti bahwa muzaki benar-benar telah menunaikan zakatnya ke masjid tertentu. Lain halnya dengan bukti setor zakat yang dimaksud dalam undang-undang, selain sebagai bukti bahwa muzaki telah menunaikan zakatnya, bukti setoran zakat tersebut bisa digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak205. Bukti setoran zakat semacam ini hanya dikeluarkan oleh BAZNAS (di semua tingkatan beserta UPZ nya) ataupun LAZ yang telah resmi memiliki izin operasional pengelolaan zakat. Bukti setoran zakat yang dapat digunakan untuk mengurangi nominal pajak atas penghasilan merupakan sebuah langkah integrasi antara pajak dan zakat bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam agar menghindari pembayaran ganda. Meskipun demikian, wajib pajak yang beragama Islam banyak yang tidak menggunakan cara ini karena ada pandangan yang berkembang di masyarakat tentang pajak dan zakat, bahwa pajak adalah kewajiban warga negara terhadap

205 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

89

negaranya dan zakat adalah kewajiban seorang muslim dalam agamanya, selain karena tidak adanya informasi ataupun mekanisme pengurangannya yang sulit206. Integrasi pajak dan zakat semacam ini banyak digunakan oleh Aparatur Sipil Negara, tetapi tidak akan dimanfaatkan oleh masyarakat yang penghasilannya tidak pernah dikenai pajak. Itu artinya kemanfaatan pengurangan pajak ini tidak dirasakan oleh semua golonan masyarakat, sehingga mereka tidak memiliki pertimbangan khusus terkait bukti setoran zakat dari pengelola zakat yang akan mereka pilih untuk menyalurkan zakat mereka, itulah salah satu faktor mengapa pengelola atau panitia zakat di masjid masih tetap dipilih oleh kebanyakan masyarakat muslim Indonesia dalam menunaikan zakat mereka.

b. Mendistribusikan Zakat (Pasal 25 UU 23/2011)

Amil Zakat pada hakikatnya memiliki 2 fungsi dasar yang harus dijalankan yaitu mengumpulkan zakat lalu mendistribusikannya kepada para mustahik. Fungsi pengumpulan yang melekat pada Amil Zakat bisa bermakna aktif maupun pasif. Fungsi pengumpulan aktif berarti Amil Zakat langsung menarik dan mendatangi para muzaki untuk diambil zakatnya, sedangkan fungsi pengumpulan pasif berarti Amil Zakat hanya menunggu dan menerima penyaluran atau pembayaran zakat oleh muzaki. Fungsi pengumpulan aktif dalam sejarah Amil Zakat pernah dilakukan di masa-masa Rasulullah dan sahabat, seiring perkembangan zaman fungsi ini berganti dengan pengumpulan pasif, karena beberapa faktor utamanya adalah berubahnya kelembagaan pemerintahan Islam menjadi sebuah negara bangsa. Amil Zakat di Indonesia pun hanya melakukan fungsi pengumpulan pasif, yaitu tidak bisa melampaui kewenangannya untuk bertindak lebih jauh dalam mengumpulkan zakat dari muzaki. Hingga saat ini, pengumpulan zakat yang dilakukan Amil di Indonesia masih bersifat pasif, meskipun demikian telah banyak langkah-langkah persuasif dan inistaif yang dilakukan untuk menarik simpati dan kesadaran muzaki agar menunaikan zakatnya di lembaga-lembaga pengelola zakat yang resmi. Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka mengaktifkan fungsi pengumpulan melalui mekanisme penarikan langsung oleh institusi terkait terhadap zakat pegawainya terbukti mendapat beragam respon penolakan karena dianggap memaksa dan tidak tepat sasaran207. Selain fungsi pengumpulan, Amil Zakat wajib melaksanakan fungsi pendistribusian atau penyaluran. Jika fungsi pengumpulan bersinggungan langsung dengan muzaki, maka fungsi pendistribusian akan sangat terkait dengan mustahik sebagai penerima utama dari zakat yang telah dikumpulkan. Beberapa muzaki memasrahkan penyaluran zakat mereka kepada Amil Zakat, tetapi ada juga yang meminta agar zakatnya diperuntukkan secara khusus kepada golongan yang muzaki tentukan bahkan secara spesifik individunya sebagaimana yang diikrarkan muzaki.

206 Sudirman, “Goverment Policy on Zakat and Tax in Indonesia” Ahkam Jurnal Ilmu Syariah 15 no. 1 (2015): 1-14 207 Heru Susetyo, “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah Management In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546.

90

Dalam konteks pengelola zakat di masjid, semua DKM yang penulis wawancarai memahami dengan penuh keyakinan bahwa zakat yang mereka kumpulkan di masjid wajib disalurkan kepada mustahik. Kewajiban tersebut mereka pahami dari fikih zakat maupun undang-undang pengelolaan zakat yang ada. Dalam aspek ini, pendistribusian zakat yang dilakukan diakui oleh DKM meningkat kuantitasnya dari tahun ke tahun, hanya saja memang belum ada peningkatan atau inovasi penyaluran dari sisi kualitasnya; zakat selalu didistribusikan secara konsumtif tradisional.

c. Melaporkan Kegiatan Pengelolaan Zakat (Pasal 29 UU 23/2011)

Aspek pencatatan merupakan salah satu fungsi yang juga harus dilakukan oleh Amil Zakat sebagai upaya evaluasi berkelanjutan untuk mengukur keberhasilan pengelolaan zakat yang dilakukan. Berbeda dengan aspek pencatatan, pelaporan merupakan hal lain yang jarang diperhatikan oleh pengelola zakat di masjid. Secara regulasi, lembaga-lembaga yang telah resmi mendapatkan izin operasional dalam melakukan pengelolaan zakat akan terikat dengan kewajiban- kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang pengelolaan zakat. Salah satu poin kewajiban itu adalah melaporkan kegiatan pengelolaan zakat ke BAZNAS sesuai tingkatannya. Pengelola zakat di masjid yang belum bergabung menjadi UPZ atau mitra LAZ masuk dalam kategori amil zakat perkumpulan orang yang sebenarnya secara ketentuan hanya untuk wilayah yang belum dijangkau oleh BAZNAS maupun LAZ. Dalam kondisi seperti tersebut, amil perkumpulan orang juga harus melaporkan kegiatan pengelolaan zakatnya kepada Kantor Urusan Agama di kecamatan setempat. Menurut hasil wawancara peneliti kepada DKM masjid yang melakukan pengelolaan zakat208, mereka tidak sama sekali berkoordinasi dengan pihak eksternal masjid, terutama KUA yang sebenarnya ditugaskan untuk menerima laporan pengelolaan yang dilakukan amil zakat perorangan atau perkumpulan orang. Pada dasarnya fungsi dari pelaporan atau pemberitahuan tentang kegiatan pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid kepada KUA setempat adalah untuk kepentingan administrasi dan data yang akan direkapitulasi kemudian menjadi entri data penghimpunan zakat secara nasional yang dilakukan BAZNAS ataupun Kementerian Agama. Sebanyak apapun dana zakat yang berhasil dihimpun oleh masjid-masjid di Indonesia selama Ramadan, jika laporannya tidak disampaikan kepada pihak yang berwenang, maka realisasi dana zakat yang dihimpun akan selalu ditemukan ketimpangan dengan kalkulasi potensi dana zakat yang ada di masyarakat muslim Indonesia.

208 DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid Al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Al-Munawwar, dan Masjid Jami an-Nur Durentiga.

91

2. Aspek Legalitas

Semua DKM yang penulis wawancarai mengaku mengetahui telah adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat, tetapi secara implisit mereka tidak merasa harus mengikuti dan mematuhi isi undang-undang ataupun peraturan terkait tentang pengelolaan zakat. Hal ini dilatarbelakangi pemahaman mereka yang menganggap bahwasanya aturan-aturan tersebut hanya berlaku dan mengikat bagi pengelola zakat yang diangkat atau disahkan pemerintah, sedangkan mereka tidak209. Tidak adanya pengesahan ataupun pengangkatan resmi sebagai amil zakat dari pihak pemerintah kepada DKM dalam pengelolaan zakat di masjid, menjadikan mereka tidak merasa harus mematuhi aturan-aturan yang ada, karena tidak ada kontribusi apapun yang mereka terima dari pihak pemerintahan dalam hal pengelolaan zakat. Unsur pemerintahan yang terkait dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran. Ungkapan para DKM ini menggambarkan tidak padunya koordinasi dan komunikasi antara KUA dan masjid di lapangan dalam hal pengelolaan zakat. Penyuluh yang ada di KUA Kecamatan Pancoran selama ini banyak memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang terkait mewujudkan dan membina keluarga sakinah. Penulis juga telah memastikan bahwasanya pihak KUA tidak melakukan koordinasi khusus dalam hal pengelolaan zakat dengan masjid- masjid, mereka mengungkapkan tidak ingin mengintervensi kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi tradisi baik di masyarakat. Adapun jika ada pihak masjid yang ingin dibantu untuk mengurus izin menjadi UPZ resmi, pihak KUA siap melayani210.

3. Peran Pemerintah

Ketika penulis mewawancarai DKM mengenai peran pemerintah dalam aturan hukum pengelolaan zakat, mereka menjawab bahwasanya pemerintah memang memiliki kewenangan mengatur dan mengeluarkan regulasi tentang pengelolaan zakat hanya saja pemerintah harus sadar bahwa memberlakukan peraturan yang baru harus melibatkan banyak pihak, apalagi aturan tersebut terkait langsung dengan tradisi keagamaan masyarakat yang telah lama dipraktikkan. Masyarakat harusnya diposisikan sebagai pihak yang dinaungi dan diperhatikan bukan disalahkan atau dikenai sanksi tanpa adanya sosialisasi yang maksimal211. Menurut pengakuan H. Zainuddin salah satu pengurus DKM Masjid al- Munawwar dan juga pernah menjabat jajaran pengurus BAZIS DKI, memang masjid-masjid pada umumnya dikelola oleh kaum tua yang tidak dinamis, lebih fokus dalam rutinitas praktik ibadah, dan tidak terbiasa dengan inovasi, sehingga

209 DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid Al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Al-Munawwar, dan Masjid Jami an-Nur Durentiga. 210 Hasil wawancara penulis dengan Pahruroji Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran pada 11 April 2018. 211 Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar pada tanggal 04 April 2019.

92

pengelolaan zakat pun dilakukan hanya sebatas rutinitas dan agenda tahunan selama bulan Ramadan. H. Zainuddin menambahkan bahwa kondisi ini harusnya dipahami betul oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan zakat, apalagi jika ingin menertibkan pengelola-pengelola zakat yang belum sesuai dengan hukum positif. BAZNAS dan jajarannya serta stakeholder lainnya harus serius dan proaktif membuka ruang komunikasi dan diskusi yang langsung melibatkan pengurus DKM terkait pengelolaan zakat di masjid untuk perbaikan mekanisme dan evaluasi mendasar agar pengelolaan zakat tersebut. Dengan adanya pelibatan pengurus DKM secara langsung dalam proses penertiban pengelolaan zakat ini, niscaya pemahaman DKM terkait hukum positif pun akan sejalan dengan apa yang dipahami dan dikehendaki oleh pemerintah.

C. DKM dan Kepatuhan Hukum Pengelolaan Zakat

Dalam bagian ini, pemahaman terhadap aturan hukum memiliki keterkaitan erat dengan kesadaran dan kepatuhan akan aturan tersebut yang dalam kenyataannya belum dapat terealisasi di lapangan oleh para DKM. Tentu hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sehingga belum efektifnya pemberlakuan aturan tersebut oleh para praktisi zakat di masyarakat grass root yaitu masjid-masjid. Penulis menganalisis faktor-faktor tersebut dengan mengacu pada pendapat Rodgers dan Bullock212. Dalam studi mereka menetapkan 8 faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap hukum yaitu: 1) the clarity of the law, 2) certainty and severity of punishment, 3) perceived legetimacy of the law, 4) demands for enforcement, 5) agreement with the policy, 6) ability to measure the compliance, 7) extent of monitoring, dan 8) the exsistence of an enforcement. Penulis memandang bahwa 8 faktor yang diungkapkan Rodgers dan Bullocks sudah komprehensif dalam menjelaskan kepatuhan hukum yang ada di masyarakat, karena faktor-faktor tersebut punya pengaruh yang signifikan dan sangat faktual dengan apa yang terjadi di masyarakat khususnya dalam konteks implementasi aturan pengelolaan zakat yang masih belum dipatuhi oleh masjid- masjid yang mengelola zakat. Penulis mengelompokkan kembali faktor-faktor tersebut ke dalam 4 aspek utama, yaitu faktor lingkungan, sikap masyarakat, sosialisasi aturan, dan penegakan hukum.

1. Faktor Lingkungan

Lingkungan masyarakat masjid -dalam hal ini adalah para pengurusnya- punya potensi yang tinggi untuk membawa pengaruh pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di masjid. Selama ini yang banyak ditemui di masjid-masjid adalah pengurus yang berusia lanjut, artinya sumber daya manusia yang mengelola masjid didominasi oleh para orang tua. Di satu sisi, orang tua dianggap memiiliki kesadaran

212 Harrel R. Rodgers dan Charles S. Bullock, Coercion to Compliance (Lexington Mass: Lexington Books, 1976)

93

religius yang tingggi sehingga pantas untuk didajikan panutan di masjid, tetapi kualitas pengelolaan masjid tidak memiliki keterkaitan yang siginifikan dengan kesalehan pengurus, akan tetapi sangat erat kaitannya dengan kualitas manajerial yang dijalankan oleh pengurus masjid tersebut213. Faktor latar belakang pendidikan pengurus DKM serta ideologi keberagamaan di masjid meskipun tidak secara signifikan terkait dengan kepatuhan hukum, kedua hal ini bisa mempengaruhi kebiasaan dan pola pengelolaan zakat yang dilakukan. Penulis menemukan meskipun ada pengurus DKM yang berasal dari lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia, tetapi tidak serta merta membuat pengelolaan zakatnya sesuai dengan hukum positif. Ideologi keberagamaan semacam ormas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, ataupun Salafi juga tidak secara langsung mempengaruhi kepatuhan hukum pengelolaan zakat di masjid. Banyak pengurus masjid yang tidak mengikuti perkembangan hukum positif yang terkait dengan kegiatan yang mereka lakukan di masjid, seperti halnya pengelolaan zakat. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengakses informasi terkait, atau juga karena tidak ada informasi yang datang kepada mereka. Jangankan untuk menyesuaikan dan menjalankan aturan, untuk sekedar mengetahui aturan saja, pengurus masjid masih belum melakukan itu. Lingkungan masjid bisa dimaknai secara lebih luas, yaitu tidak hanya lingkungan internal pengurus DKM, akan tetapi lingkungan relasi yang dimiliki oleh DKM. Jaringan atau relasi yang masjid miliki membuka komunikasi yang dinamis untuk terus mengikuti perkembangan, terutama terkait hukum positif yang berkaitan dengan aktivitas atau kegiatan yang masjid lakukan. Menjadi bagian dari organisasi perkumpulan masjid adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membuka akses informasi dan komunikasi yang lebih intens terhadap isu-isu hukum, karena memang hal semacam ini tidak banyak dibahas kecuali di forum-forum diskusi atau melalui sosialisasi. Masjid yang tidak berinisiatif mengakses informasi terkait ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku tentu tidak akan responsif terhadap isu-isu kepatuhan hukum semacam ini. Kondisi ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, para DKM memang merasa perlu diberikan sosialisasi tentang hal-hal semacam itu dari pihak- pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam pemberlakuan aturan hukum tentang zakat, selama belum ada sosialisasi langsung yang DKM dapatkan, maka mengharapkan kesadaran mereka untuk mematuhi hukum positif merupakan hal yang sulit terwujud. Di antara faktor lingkungan yang menjadi salah satu penyebab DKM tidak mengindahkan hukum positif tentang pengelolan zakat adalah perasaan terikat dengan hukum dan kemampuan untuk mematuhinya.

a. Keterikatan dengan Legitimasi Hukum

Faktor ini secara sederhana penulis ilustrasikan dengan sebuah aturan yang dibuat dalam sebuah perkumpulan, kelompok, atau organisasi sebagai norma

213 Sebagaimana yang diungkapkan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar dalam wawancara tanggal 04 April 2019.

94

pengikat bagi anggota-anggota yang berada di dalamnya. Ketika ada orang dari luar anggota yang melanggar aturan dalam kelompok tersebut, maka tidaklah berlaku ketentuan-ketentuan apapun karena dirinya tidak merasa terikat dalam aturan yang dibuat untuk kepentingan kelompok tersebut. Seperti itulah faktor ini mempengaruhi kepatuhan hukum, sifatnya sangat mendasar dan urgen dipahami karena hukum punya subjeknya masing-masing, keberlakuannya terkadang terbatas oleh ruang lingkup kelompok tertentu sehingga secara otomatis individu di luar kelompok itu tidak terikat dengan legitimasi hukum yang ada. Dalam konteks aturan pengelolaan zakat, subjek hukum yang paling banyak terkait dengan regulasi adalah BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten Kota, LAZ tingkat nasional, LAZ tingkat Provinsi, LAZ tingkat Kabupaten/Kota, serta pihak-pihak yang dengan sadar melakukan pengelolaan zakat. Lembaga- lembaga zakat resmi sudah pasti terikat dengan aturan tersebut, karena untuk disahkan dan diberi izin operasional lembaga-lembaga itu tentu menempuh jalur dan prosedur yang juga bagian dari regulasi pengelolaan zakat. Individu yang wajib zakat ataupun yang berzakat (muzaki) sama sekali tidak terikat dalam aturan tersebut, sehingga logika hukumnya jika seorang warga negara Indonesia yang muslim dan telah wajib berzakat tetapi tidak menunaikannya tidak akan ada ketentuan sanksi apapun yang diberikan kepadanya, karena muzaki bukan menjadi subjek hukum dari aturan pengelolaan zakat di Indonesia. Begitu juga mustahik, dia tidak masuk dalam lingkaran ikatan hukum positif pengelolaan zakat, sehingga jika dia menggunakan dana zakat tidak sesuai peruntukannya tidak akan juga dikenai hukuman, karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut. Jadi keterikatan aturan pengelolaan zakat hanya untuk para pengelola zakat, dengan ungkapan lain, ketika suatu pihak atau individu ingin melakukan pengelolaan zakat maka ia akan terikat dengan aturan pengelolaan zakat yang ada untuk memastikan kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku. Lalu bagaimana dengan masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat, apakah mereka terikat dengan perturan pengelolaan zakat atau tidak?214 Seharusnya terikat, karena Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat mengatur pengelolaannya, mulai dari pihak yang mengelola, standar-standar pengelolaan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga pelaporan terkait penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, akan tetapi kenyataan yang ditemukan di lapangan, masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat tidak merasa terikat dengan peraturan pengelolaan zakat yang ada sehingga sulit pula lah kepatuhan hukum itu terwujud.

214 Posisi hukum masjid dalam pengelolaan zakat telah dijelaskan dalam Bab kedua yang pembahasannya didasarkan kepada peraturan-peraturan tentang pengelolaan zakat yang ada mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, hingga Peraturan BAZNAS.

95

b. Kemampuan untuk Mengukur Kepatuhan

Faktor lainnya yang mempengaruhi kepatuhan hukum adalah kemampuan mengukur kepatuhan, yaitu apa instrumen dan sarana yang digunakan untuk memastikan suatu peraturan hukum itu telah dipatuhi215. Kemampuan untuk mengukur dan menentukan kepatuhan ini haruslah ada sehingga bisa dipantau dan diikuti perkembangannya, bagaimana kepatuhan hukum di masyarakat dari waktu ke waktu. Pengukuran yang tepat tentunya akan menghasilkan data yang akurat tentang kepatuhan hukum di masyarakat. Cara sederhana untuk menyatakan apakah suatu undang-undang atau peraturan telah dipatuhi masyarakat adalah melihat secara langsung pengaplikasian aspek-aspek hukum yang diatur di masyarakat, jika masih ada aspek-aspek yang masih tidak sesuai dengan aturan, maka kepatuhan hukum masih belum secara penuh terwujud. Dalam konteks pengelolan zakat, cara yang digunakan selama ini dalam mengukur kepatuhan adalah dengan memeriksa laporan pengelolaan zakat yang telah dilakukan setiap pengelola zakat yang biasanya dilaporkan minimal setiap tahun sekali. Laporan yang begitu vital adalah laporan keuangan yang mengharuskan untuk diaudit terlebih dahulu oleh akuntan publik yang terpercaya. Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf; Fuad Nasar mengungkapkan bahwasanya pengawasan yang dilakukan dalam pengelolaan zakat untuk memastikan kepatuhan hukum mereka terhadap undang-undang yang berlaku adalah dengan terus melakukan pengecekan dari laporan-laporan pengelolaan zakat yang diberikan oleh para pengelola zakat kepada Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama216.

2. Sikap Masyarakat , Masyarakat dalam konteks pengelolaan zakat punya peran yang penting terutama muzaki yang merupakan satu-satunya pihak yang membayarkan zakat. Sikap masyarakat terhadap pelaksanaan zakat memberikan dampak yang signifikan dalam perkembangannya. Sebagaimana laporan BAZNAS bahwasanya penghimpunan dana zakat setiap tahunnya selalu bertambah, memberikan trend yang positif, kurang lebih mengalami peningkatan rata-rata 35,84% pertahun217. Kesadaran masyarakat muslim Indonesia untuk berzakat di lembaga zakat resmi terus meningkat, tetapi kecenderungan untuk menunaikan zakat kepada selain lembaga misalnya ke pengelola zakat di masjid, tokoh agama, bahkan mustahik secara langsung, masih banyak ditemukan di masyarakat muslim Indonesia. Salah satu alasan hal itu adalah tidak tersedianya informasi dan sosialisasi kepada muzaki

215 José E Alvarez, "Measuring Compliance." Proceedings of the Annual Meeting (American Society of International Law) 96 (2002): 209-213. http://www.jstor.org/stable/25659777. 216 Hasil wawancara penulis dengan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama pada 24 Juli 2019. 217 Total penghimpunan zakat selama tahun 2002-2016. Lihat BAZNAS. Outlook Zakat Indonesia 2018 (Jakarta: PUSKAS BAZNAS, 2018), 18.

96

tentang manfaat zakat yang dikelola lembaga lebih besar dari pada yang dibayarkan langsung218. Sikap masyarakat yang menunaikan zakat secara langsung maupun melalui pengelola zakat di masjid tidak terlepas dari pengaruh tradisi dan kebiasaan yang telah berlangsung turun temurun. Praktik semacam ini secara fikih memang diperbolehkan dan sah, tetapi untuk pengelolaan zakat yang berkelanjutan, tentu praktik semacam ini harus segera diubah karena tidak dapat membawa kemanfaatan yang lebih besar untuk penerima yang lebih banyak dan lebih luas.

a. Kesepakatan terhadap Kebijakan

Pada dasarnya, proses legislasi yang dijalankan di negara demokrasi seperti Indonesia ini merupakan pengejawentahan dari sistem perwakilan rakyat yang ada melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta Dewan Perwakilan Daearah (DPD). Semua dewan yang mengatasnamakan rakyat ini adalah wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat untuk melembagakan kepentingan mereka dalam undang-undang yang dikeluarkan nantinya oleh dewan ini. Dalam kerangka negara hukum sebagaimana yang banyak digambarkan kepada Indonesia, menurut Seotandyo Wignjosoebroto dalam Ilham F. Putuhena mengemukakan bahwasanya ada 3 karakteristik yang melekat pada konsep rechtsstaat yaitu: pertama, bahwa yang disebut dengan „hukum‟ dalam negara hukum adalah sifat hukum yang positif, yang berarti telah diundangkan dan berlaku sebagai hukum nasional sebagai sebuah kepastian hukum. Kedua, yang disebut hukum yang telah menjadi undang-undang haruslah merupakan hasil dari proses kesepakatan kontraktual antara golongan-golongan partisan dalam suatu negeri ataupun melalui wakil-wakilnya dalam sebuah proses yang disebut proses legislasi. Ketiga, hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk undang-undang yang kontraktual itu akan mengikat seluruh bangsa secara mutlak, mengalahkan aturan- aturan normatif yang dipahami di beberapa kelompok atau kalangan tertentu219. Aspek kesepakatan ini penting dalam kerangka negara hukum, karena jika sebuah hukum mengabaikan asas kesepakatan dalam proses pembentukannya, niscaya akan menyulitkan pemberlakuannya di masyarakat, karena bagaimanapun sebenaranya rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi, sehingga keterlibatan mereka dalam setiap kepentingan dan kebijakan sebuah pemerintahan tidak bisa dianggap sebagai formalitas semata, tetapi memang dihadirkan dalam rangka memperkuat perkembangan hukum di masyarakat juga sebagai salah satu cara efektif dalam menciptakan kepatuhan hukum.

218 Nadilla Ambarfauziah Ruliad, dkk. “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Muzaki Dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat (OPZ): Studi Kasus di Badan Amil Zakat Nasional Kota Bogor” Jurnal Al-Muzara’ah 3, no. 1 (2013): 20-33. 219 M. Ilham F. Putuhena, “Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas Reformasi Legislasi yang Progresif” Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no.3 (2013): 375-395

97

Dalam kaitannya dengan undang-undang atau peraturan tentang pengelolaan zakat di Indonesia, memang masyarakat tidak secara langsung dilibatkan dalam proses pembentukannya, sehingga aspek kesepakatan masyarakat yang sesungguhnya tidak terwujud, kecuali jika kesepakatan masyarakat yang dimaksud adalah kesepakatan para elit wakil rakyat yang ada di Komisi VIII DPR-RI yang konsen pada legislasi di bidang agama dan sosial ataupun mitra-mitra pemerintah yang juga terkait dengan kepentingan di Komisi VIII tersebut, seperti Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan Badan Amil Zakat Nasional220.

b. Doktrin Agama

Dalam Islam, ada konsep ikhlas yang dipahami sebagai cara seorang hamba melaksanakan segala sesuatu dengan hanya mengharap keridhoan dari Allah swt. Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah kegiatan yang dilakukan bersifat duniawi seperti pemberian-pemberian umum ataukah yang berniai ibadah ukhrowi, seorang muslim dianjurkan untuk senantiasa mengaplikasikan konsep ikhlas dalam segala perbuatannya. Di sisi yang lain, konsep ikhlas yang awalnya bertujuan baik, agar tidak mengharap imbalan ataupun pemberian dari orang lain atas apa yang telah dilakukan, menjadi tidak sejalan dengan semangat transparansi pengelolaan zakat. Pasalnya, zakat pada dasarnya memiliki perbedaan mendasar dari jenis pemberian lain, sedekah dan infak misalnya. Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang kemudian menjadi dana publik umat Islam, khususnya golongan mustahik zakat. Pengelolaan dana publik tentu harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, bisa diakses laporan penggunaannya serta dapat dipertanggungjawabkan, akan tetapi masyarakat muslim yang bertindak sebagai muzaki cenderung tidak bersifat kritis terhadap pengelolaan zakat yang mereka tunaikan melalui amil zakat, padahal sikap kritis ini perlu bagi amil zakat yang belum menjalankan pengelolaannya secara profesional, seperti halnya petugas zakat di masjid-masjid. Pengelolaan zakat yang belum dijalankan secara profesional oleh masjid, terutama dalam aspek pelaporan ditambah sikap masyarakat yang tidak kritis terhadap dana zakat akan terus membuat pengelolaan zakat di masjid tidak berkembang, karena tidak adanya dorongan untuk evaluasi baik dari internal pengurus masjid maupun pihak eksternal yaitu masyarakat yang berzakat kepada masjid. Selain aspek pelaporan, muzaki yang menunaikan zakatnya di masjid nyatanya tidak mempermasalahkan aspek legalitas pengelola, karena bagi mereka yang terpenting adalah kewajiban zakat telah ditunaikan dan mereka percaya bahwa zakat mereka selalu didistribusikan oleh DKM atau petugas zakat di masjid kepada mustahik yang berada di sekitar wilayah masjid221.

220 Puji Kurniawan, “Legislasi Undang-Undang Zakat” Jurnal Al Risalah 13, no.1 (2013): 99-118. 221 Sebagaimana pengakuan Haikal; muzaki di masjid Jami at-Taubah, Arif; muzaki di masjid al-Muawanah, Supanco; muzaki di masjid Jami An-Nur, dan Zainuddin muzaki di masjid Al-Munawwar.

98

3. Sosialisasi Aturan

Alasan yang sering diutarakan DKM terkait mengapa mereka belum menyesuaikan diri dengan hukum positif adalah tentang sosialisai aturan. Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan DKM masjid, mereka mengakui bahwasanya mereka tidak pernah diberikan sosialisasi atau himbauan tertentu terkait aturan pengelolaan zakat yang ada, entah itu dari pihak KUA yang mewakili Kementerian Agama, ataupun dari BAZNAS222. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, ada 2 pihak utama yang bertugas untuk melakukan sosialisasi terkait hukum positif pengelolaan zakat, yaitu Kementerian Agama (Kemenag) dan Pemerintah Daerah (Pemda). Menteri Agama dan Gubernur serta Bupati/Walikota jelas disebutkan memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan yang tertuang dalam pasal 84 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi terkait pengelolaan zakat. BAZNAS melalui anggota-anggotanya sebenarnya juga diberi tugas untuk melakukan sosialisasi dan kampanye zakat ke masyarakat sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 Peraturan Menteri Agama No.6 Tahun 2016 tentang Tugas, Fungsi dan Tatakerja Anggota Badan Amil Zakat Nasional. Sesuai dengan apa yang penulis temukan di lapangan, ketiga instansi ini tidak memiliki koordinasi yang baik dalam hal sosialisasi pengelolaan zakat ke masyarakat, terutama masjid-masjid. Padahal sebenarnya mereka masing-masing memiliki kantor perwakilan di setiap tingkatan, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, bahkan Kemenag memiliki kantor hingga di tingkat kecamatan, yaitu KUA. Sosialisasi ini idealnya dilakukan bersama-sama oleh ketiga instansi tersebut, harus ada komunikasi dan koordinasi yang terjalin. Sosialisasi yang diharapkan masjid-masjid bukanlah hanya sebatas diberi surat atau himbauan tertulis, tetapi mereka berharap dilibatkan dalam komunikasi secara langsung dalam forum silaturahim, diskusi, serta pembinaan223. Cara-cara dengan pendekatan semacam ini kemungkinan besar lebih mudah diterima oleh masjid-masjid karena adanya dialog, tidak dengan sosialisasi model pendekatan kekuasaan, mandat, perintah dan sebagainya. Dalam konteks sosialisasi aturan pengelolaan zakat, jika kita pehatikan secara mendasar tentang substansi hukumnya ada ketidakjelasan dalam ketentuan kewajiban seorang muslim di Indonesia dalam menunaikan zakat menurut Undang- Undang. Di awal legislasi undang-undang zakat yang disahkan dalam dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ketentuan kewajiban tersebut dijelaskan dalam pasal khusus yang menegaskan bahwasanya setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan usaha

222 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid Nurullah. 223 Sebagaimana yang disampaikan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar dalam wawancara pada tanggal 04 April 2019.

99

yang dimiliki oleh orang Islam berkewajiban menunaikan zakat224, akan tetapi ketentuan tersebut tidak lagi ditemukan dalam aturan pengelolaan zakat yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Ketidakjelasan terkait poin utama ini oleh sebagian kalangan akhirnya dipahami bahwa zakat di Indonesia merupakan voluntary virtue yaitu kebajikan yang sifatnya sukarela225. Konsekuensi ini harus diambil pemerintah karena ingin benar-benar membatasi kewenangannya untuk tidak terlibat lebih jauh dalam ikut campur persoalan ajaran agama warga negara Indonesia yang muslim. Hal tersebut merupakan upaya yang konsisten untuk megimplementasikan fungsi fasilitasi dan perlindungan serta penjaminan kebebasan warga negara untuk menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945226. Faktor kejelasan ketentuan hukum ini akan terus berimbas pada faktor- faktor kepatuhan hukum lainnya, karena ini adalah dasar utama sebuah pemberlakuan hukum, yaitu hukum itu sendiri. Ketika hukum tidak termanifestasikan dalam kalimat hukum yang jelas maka sulit untuk menegaskan maksud dan tujuan utama hukum tersebut. Selain kejelasan, hukum pun harus masuk akal dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Terkait hal ini, penulis menyoroti salah satu aturan yang ada di Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat mengenai keharusan untuk mentransfer dana zakat yang dihimpun oleh UPZ kepada BAZNAS. Dalam pasal 35 ayat 2 menjelaskan bahwa UPZ wajib menyetorkan seluruh dana hasil pengumpulannya kepada BAZNAS sesuai tingkatannya. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara spesifik dana apa saja yang disetorkan ke BAZNAS, apakah hanya zakat saja atau semua hasil pengumpulan dana seperti infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Penjelasan rincinya dapat ditemukan di Keputusan Ketua BAZNAS baik tentang dana apa saja yang harus disetor, cara penyetoran, dan batas waktu penyetoran. Dana yang harus disetor UPZ kepada BAZNAS yang membentuknya adalah semua jenis dana yang dihimpun oleh UPZ baik berbentuk zakat, infak, sedekah, maupun dana sosial keagamaan lainnya227. Adapun penyetoran dana tersebut

224 Pasal 2 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang ini telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sehingga sudah tidak lagi berlaku. 225 Pemahaman tentang konsep Voluntary dan Mandatory tentang zakat adalah sifat penunaian zakat oleh para wajib zakat (muzaki). Negara-negara berpenduduk muslim yang melakukan pengelolaan zakat ada yang telah menetapkan zakat sebagai sebuah mandat dan kewajiban yang ditegaskan dalam aturan khusus di negara itu sehingga warga negara tersebut wajib menunaikan zakatnya pada negara, tetapi di negara berpenduduk muslim yang lain zakat tidak ditetapkan sebagai mandat, tetapi hanya bersifat sukarela yang artinya warga negara tidak diwajibkan secara hukum negara untuk menunaikan zakatnya ke negara. Lihat Russell Powell, Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7 (2010): 43-101. 226 Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 227 Keputusan Ketua BAZNAS No. 25 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat Nasional.

100

dilakukan dengan cara Bank Transfer ke rekening BAZNAS setiap bulan paling lambat tanggal 5 di bulan berikutnya. Misalnya UPZ lembaga X telah memulai pengumpulan di awal Agustus, maka hasil pengumpulan bulan Agustus tersebut paling lambat disetorkan ke BAZNAS pada tanggal 5 September. Penyetoran dana ini dimaksudkan sebagai laporan riil penghimpunan dana sekaligus cara BAZNAS untuk memastikan validitas dana yang dihimpun UPZ selain juga untuk kepentingan administrasi pelaporan kinerja. Dana yang disetor tersebut akan dikembalikan lagi kepada UPZ paling lambat 5 hari kerja setelah dananya diterima di rekening BAZNAS. Dana yang disetorkan ke BAZNAS akan kembali lagi ke UPZ yang mendapatkan tugas perbantuan penyaluran zakat itu pun hanya sejumlah 70%, sisanya disalurkan oleh BAZNAS. Akan tetapi bagi UPZ yang hanya melakukan tugas pengumpulan, maka dana yang disetor akan sepenuhnya disalurkan oleh BAZNAS. Berbeda dengan UPZ yang berbasis masjid, dana zakat yang disetorkan ke rekening BAZNAS akan disetorkan kembali seluruhnya ke rekening UPZ masjid dan dapat melakukan penyaluran zakat 100% dari dana tersebut228. Mekanisme semacam ini menurut penulis tidaklah efektif dan efesien sekaligus menyulitkan UPZ dan tidak mandiri apalagi bagi masjid-masjid yang belum tentu bisa melaksanakan mekanisme semacam ini. Ketentuan ini jelas hanya menjadikan UPZ sebagai kepanjangan tangan BAZNAS semata tanpa kewenangan lebih, padahal yang dibutuhkan masyarakat pengelola zakat khususnya di masjid adalah pembinaan dan bimbingan mengenai pengelolaan zakat terlebih tentang cara mengembangkan pendistribusian dan pemberdayaan melalui kegiatan-kegiatan produktif agar berdampak jangka panjang bagi mustahik agar terlepas dari lingkaran kemiskinan. Selain itu, dana yang bolak-balik rekening BAZNAS dan UPZ memakan waktu dan tidak mungkin dilakukan khususnya dalam penyaluran zakat fitrah yang waktunya terbatas. Mekanisme semacam itu jelas hanya menyulitkan UPZ masjid dalam penyaluran zakat kepada mustahik.

4. Penegakan Hukum

Secara mekanisme hukum, aspek ini memainkan peranan yang penting agar aturan bisa dilaksanakan dan diimplementasikan. Pihak-pihak yang menyalahi dan tidak menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku perlu ditertibkan. Di antara aspek penegakan hukum yang menjadi faktor tidak diindahkannya hukum positif pengelolaan zakat oleh DKM adalah sebagai berikut:

a. Sanksi yang Pasti dan Tegas

Dalam Black Law Dictionary229 sanksi (sanction) didefinisikan sebagai “a penalty or other means of enforcement used to provide incentives for obedience with

228 Keputusan Ketua BAZNAS No. 25 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat Nasional lebih tepatnya pada lampiran mengenai Tugas Perbantuan Penyaluran Zakat. 229 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (St. Paul: West Publishing, 1990), 1341.

101

the law, or with rules and regulations” yaitu sebuah hukuman atau bentuk yang lain yang digunakan dalam proses penegakan hukum yang bertujuan untuk menimbulkam kepatuhan terhadap hukum, aturan, atau regulasi. Aturan dan sanksi merupakan dua hal yang saling melengkapi untuk memastikan efektivitas hukum, yaitu hukum telah terlaksana dan dipatuhi oleh masyarakat yang diatur dengan hukum tersebut. Logika hukum yang menggunakan sanksi sebagai alat untuk mencapai kepatuhan hukum merupakan asas legalitas, ketika suatu tindakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka hal tersebut dinilai sebagai pelanggaran dan setiap pelanggaran akan dikenai sanksi yang tujuannya untuk memberikan efek jera bagi pelanggar tersebut agar tidak mengulangi pelanggaran230. Sanksi yang dimaksud dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat ditujukan kepada para pihak yang melakukan pengelolaan zakat dan sengaja melawan hukum dengan melanggar pasal-pasal ketentuan yang ada. Dalam konteks aturan pengelolaan zakat, memang terdapat sanksi yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 maupun aturan turunannya, tetapi pemberlakukan sanksi tersebut sangat berbeda dengan ketentuan sanksi pada tindak pidana pada umumnya. Sanksi yang ditetapkan adalah sanksi administratif berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara dari kegiatan, dan atau pencabutan izin operasional231 ketika pengelola zakat tidak melaksanakan kewajibannya seperti memberikan bukti setor zakat kepada muzaki, tidak melakukan pendistribusian dan pendayagunaan zakat sesuai syariat Islam serta peruntukannya sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang pengelolaan zakat232.

b. Permintaan untuk Penegakan Hukum

Dalam hukum pidana ada istilah yang dikenal dengan delik, yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang kemudian menjadi alasan diprosesnya tindak pidana tersebut ke tingkat penegakan hukum melalui serangkaian proses pengadilan. Ada delik formil dan delik materil atau juga delik aduan dan delik biasa. Delik formil adalah tindakan yang dilarang tanpa memperhatikan akibat yang terjadi dari tindakan itu, sedangkan delik materil adalah selain telah dilakukannya tindakan yang melanggar hukum, tetapi masih harus dipastikan dengan juga terjadinya dampak serta akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut sehingga bisa benar- benar dikatakan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi sepenuhnya233.

230 Whang, Taehee, Elena V. McLean, dan Douglas W. Kuberski. "Coercion, Information, and The Success of Sanction Threats." American Journal of Political Science 57, no 1 (2013): 65-81. 231 Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat. 232 Pasal 23 dan 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 233 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), 237.

102

Adapun delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila telah dilakukan pengaduan oleh pihak yang merasa dirugikan, sedangkan delik biasa adalah tindakan pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan pengaduan terlebih dahulu234. Demand for Enforcement berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memiliki delik aduan, sehingga fungsi permintaan atau pengaduan untuk dilakukannya penegakan hukum sangat diperlukan. Jika tidak ada permintaan atau pengaduan atau pelaporan terhadap tindakan yang melanggar hukum tersebut, dalam arti tidak ada pihak yang dirugikan ataupun pihak yang dirugikan tidak melaporkannya ke pihak yang berwenang, maka tindakan pelanggaran tersebut tidak akan diproses dan sanksi yang telah ditentukan tidak akan bisa dikenakan kepada pelaku. Itulah mengapa, faktor ini penting dalam perkara-perkara yang memiliki delik materil juga delik aduan, hal demikian dapat ditemukan dalam aturan pengelolaan zakat di Indonesia Dalam konteks aturan pengelolaan zakat telah diatur bagaimana proses penegakan hukum itu dijalankan. Misalnya ada sebuah pengelola zakat yang telah menyalahi ketentuan dalam peraturan pengelolaan zakat seperti tidak melakukan pelaporan penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS235, maka berlakulah proses sanksi administratif yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016. Sebagaimana proses pada kasus yang memiliki delik aduan, maka pelanggaran yang terjadi dalam konteks pengelolaan zakat pun demikian. Proses pemberian sanksi administratif akan dilakukan dengan catatan bahwa unsur-unsur persyaratannya harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu adanya pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran secara tertulis yang dapat dibuat oleh individu perseorangan, kelompok, maupun instansi. Setelah ada laporan yang masuk, maka dilanjutkan dengan proses pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran tersebut, dalam hal ini yang bertindak sebagai pemeriksa adalah pihak Kementerian Agama atau BAZNAS. Tahap berikutnya adalah investigasi yang dilakukan terhadap dugaan pelanggaran untuk mengumpulkan bukti-bukti berupa surat-surat atau dokumen-dokumen, keterangan saksi, keterangan ahli, hingga pengakuan terlapor. Jika dalam proses investigasi ini membuktikan bahwa pelanggaran telah terjadi maka sanksi akan diberikan, jika tidak ditemukan pelanggaran maka kasus dianggap selesai236. Serangkaian proses yang panjang dalam pengenaan sanksi administratif bagi pihak pengelola zakat yang melakukan pelanggaran tidak akan dilakukan jika tidak adanya laporan yang dibuat. Laporan ini lah yang disebut dengan demand atau permintaan untuk dilakukannya penegakan hukum, jika stimulus ini tidak ada maka tidak akan ada penegakan hukum yang terjadi, itu artinya kalau pun ada pelanggaran yang terjadi tidak akan ada sanksi apapun yang diterima oleh pihak yang melanggar

234 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 217-218. 235 Melanggar pasal 19 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 236 Ketentuan lebih lengkap tentang prosedur ini dalam dilihat dalam Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat.

103

yang pada intinya tidak ada kepatuhan hukum yang terjadi akibat tidak berjalannya skema sanksi dalam aturan pengelolaan zakat.

c. Pengawasan yang Luas

Pengawasan dilakukan dengan tujuan check and balance sebagai mekanisme untuk mengendalikan sesuatu sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Pengawasan juga bisa dilakukan untuk memantau jika terjadi suatu pelanggaran atau penyelewengan. Dalam konteks pengelolaan zakat di Indonesia, pengawasan sejatinya dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang mengeluarkan regulasi juga yang mengawasi berjalanya regulasi tersebut. Di sisi lain, masyarakat pun sebenarnya diberikan hak untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS, LAZ. Pengawasan yang dilakukan masyarakat dapat berbentuk akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS dan LAZ juga penyampaian informasi jika mendapati penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan mereka237. Pengawasan yang dijelaskan dalam peraturan pengelolaan zakat masih terbatas kepada BAZNAS dan LAZ, belum diperluas kepada seluruh pihak yang mengelola zakat. Perluasan pengawasan ini perlu untuk memastikan pihak-pihak pengelola yang belum masuk dalam koordinasi pengelola zakat juga telah melaksanakan pengelolaan zakatnya dengan benar.

d. Penegakan Hukum yang Riil

Eksistensi penegakan hukum merupakan fakor penting dalam memastikan sebuah peraturan dipatuhi, karena jika tidak dipatuhi maka secara tidak langsung telah ada pelanggaran yang dilakukan akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Dalam kondisi seperti inilah sangat perlu adanya penegak hukum yang berfungsi untuk menegakkan hukum melalui prosedur yang telah ditentukan. Jika eksistensi penegak hukum tidak ada, mustahil akan kita temui penegakan hukum di lapangan akibat ketidakpatuhan hukum yang terjadi. Itulah mengapa faktor eksistensi penegakan hukum sangat terkait dengan penegak hukum itu sendiri karena hakikatnya mereka adalah satu hal yang saling berkonsekuensi terhadap eksistensi masing-masing. Penegakan hukum ada karena eksisnya penegak hukum seperti halnya penegak hukum dibentuk atau ditugaskan untuk melakukan penegakan hukum. Kepatuhan masyarakat kita terhadap hukum masih sangat bergantung pada penegakan hukum yang dilakukan terkait ketidaksesuaian dan ketidakpatuhan yang terjadi dalam aturan yang telah ditetapkan. Secara umum faktor ini bisa diterapkan dalam menganalisis ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan yang ada terutama yang mengandung unsur pidana, tetapi terkhusus pada konteks aturan pengelolaan zakat, penanganannya berbeda.

237 Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

104

Secara konten, aturan pengelolaan zakat berisi banyak ketentuan yang lebih bersifat strategi dan standar atau pedoman pengelolaan zakat yang baik dan benar, yang sasarannya adalah para pengelola zakat, bukan muzaki atau mustahik. Hal ini menandakan bahwa jika pun ada yang melanggar peraturan tentang undang-undang pengelolaan zakat, maka mereka adalah para pengelolanya. Muzaki sebagai pihak yang berzakat tidak dikenai ketentuan apapun dalam hal pengelolaan zakat. Muzaki diberikan kebebasan untuk memilih dengan cara seperti apa zakatnya ditunaikan, itu sangat bergantung kepada keyakinan, kenyamanan, dan kepercayaan yang dimiliki. Begitu pula mustahik, mereka tidak secara langsung terkait dalam aturan pengelolaan zakat -meskipun seharusnya aturan ini menjadi salah satu sarana memperjuangkan kesejahteraan mereka- tetapi mekanisme yang ada dari dulu hingga saat ini, mustahik diposisikan sebagai pihak yang pasif, yang hanya menunggu untuk disantuni dan diberikan bantuan atau diberdayakan melalui dana zakat. Padahal sesungguhnya, mereka punya hak terhadap dana zakat tersebut, mereka punya hak untuk diberdayakan dan disejahterakan melalui dana wajib keagamaan tersebut. Mengenai penegakan hukum, dalam konteks aturan pengelolaan zakat tidak ditegaskan secara gamblang dan juga tidak ditemui paktiknya di lapangan. Logikanya, penegakan hukum akan berjalan ketika ada pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal terkait yang harus ada dalam rangka penegakan hukum, yaitu pengawasan dan keterikatan subjek hukum terhadap aturan. Selama ini, pengelola zakat (subjek hukum) yang berada di masyarakat tidak merasa terikat pada aturan pengelolaan zakat yang ada, sehingga mereka tidak terlalu peduli terhadap ketentuan-ketentuan yang harusnya dilaksanakan ketika mengelola zakat. Kondisi ini didukung dengan tidak adanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, sehingga pengelola zakat bisa tetap beroperasi walau tidak sesuai aturan karena tidak adanya pengawasan di lapangan. Dalam hal ini, Kementerian Agama lah yang bertindak sebagai pengawas Pengawasan yang dilakukan selama ini hanya ditujukan kepada para pengelola yang telah resmi mendaftar dan mendapatkan izin operasional dari Kementerian Agama, tentunya mereka adalah lembaga pengelola zakat yang telah menjalankan program dan kegiatannya secara profesional. Pengawasan yang dilakukan mengacu pada laporan-laporan kinerja pengelolaan zakat berkala yang wajib dilaporkan kepada Kementerian Agama tiap tahun, selain itu laporan keuangan yang telah diaudit juga menjadi salah satu aspek yang diawasi.

D. Pola Penghimpunan dan Pendistribusian Zakat oleh DKM

Model penghimpunan dan pendistribusian yang penulis temui dalam penelitian ini hanyalah berupa penerimaan yang pasif serta penyaluran konsumtif tradisional. Masjid-masjid hanya melakukan pengumpulan dengan menunggu muzaki yang akan menunaikan zakatnya kepada mereka lalu mendistribusikannya secara konsumtif, semua harta zakat yang mereka kumpulkan baik uang tunai maupun beras, maka semuanya itu akan habis dibagikan kepada mustahik yang telah mereka tentukan. Setelah Ramadan selesai, maka selesai pula lah tugas panitia zakat

105

yang dibentuk DKM, biasanya diakhiri dengan pelaporan hasil penghimpunan dan pendistirbusian zakat yang disampaikan baik secara lisan sebelum salat Idul Fitri, ataupun berupa laporan tertulis yang ditempel di papan pengumuman masjid238. Harta zakat yang dikumpulkan benar-benar habis didistribusikan secara konsumtif, sehingga pihak yang menyalurkan pun tidak bisa mengharapkan banyak perubahan yang akan dirasakan oleh mustahik. Mustahik sebagai penerima zakat tentu akan menerima apapun bentuk zakat yang diberikan kepada mereka, karena mereka tidak dalam posisi yang bisa memilih bahkan menuntut untuk diberikan pemberdayaan secara ekonomi yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas hidup mereka, hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penyaluran zakat dalam bentuk program produktif. Dalam konteks sistem distribusi zakat, sebagaimana yang dikemukakan Rosadi dan Athoilah (2015), bahwasanya pendistribusian zakat di Indonesia lebih cocok menggunakan sistem desentralisasi. Desentralisasi ini berarti bahwa kewenangan dalam mendistribusikan dana zakat diserahkan kepada masing-masing wilayah atau lembaga yang mengelola zakat, di mana zakat itu dihimpun maka di situlah zakat didistribusikan239. Konsep ini pun sesuai dengan pendapat Fuqaha, bahwasanya zakat sejatinya didistribusikan di wilayah pengumpulannya, tidak boleh dipindahkan ke wilayah lain jika memang masih ada mustahik di wilayah tersebut240. Pengelolaan zakat di masjid-masjid harus didorong untuk mulai melakukan terobosan dalam hal pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang mereka kumpulkan. Inisiatif dan praktik pengelolaan zakat yang telah lama berlangsung secara turun temurun di masjid-masjid harus tetap eksis, tetapi juga harus didorong untuk segera menyesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku241. Banyak model pemberdayaan yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan dana zakat atau dana sosial keagamaan lainnya yang dikelola di masjid. Program pemberdayaan ini seyogyanya disesuaikan dengan potensi yang ada di masyarakat dan keadaan lingkungan sekitar, seperti misalnya masyarakat sekitar masjid banyak yang kegiatannya bercocok tanam, maka pemberdayaan yang dilakukan bisa dengan pemberian bantuan bibit tanaman misalnya hingga akses ke penjualan hasilnya,

238 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid Nurullah. 239 Aden Rosadi dan Mohammad Anton Athoillah, “Distribusi Zakat di Indonesia: Antara Sentralisasi dan Desentralisasi” Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 15, no 2. (2015): 237-256. 240 Mazhab Hanafi menghukumi Makruh Tanzih memindahkan distribusi zakat ke daerah lain, mazhab Shafii tidak membolehkannya kecuali memang tidak ditemukan lagi mustahik, mazhab Maliki dan mzahab Hambali juga tidak membolehkan tetapi keduanya memberikan batasan jarak qasar sebagai ukuran jauh atau dekatnya zakat tersebut dipindahkan, maka boleh memindahkan pendistribusian zakat ke daerah yang masih tidak melewati batas 89 km (masa>fah al-qas}r). Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid 3, 1976-1978. 241 Sebagaimana yang diungkapkan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama saat diwawancarai pada 24 Juli 2019.

106

begitu pula jika masyarakat sekitar adalah para nelayan, membuka akses penjualan yang lebih baik bagi mereka bisa juga dilakukan. Pendistribusian zakat secara konsumtif yang selama ini dilakukan DKM tidak memberikan manfaat jangka panjang dan tidak berkelanjutan karena akan habis digunakan, meskipun demikian dalam proses penelitian ini penulis menemui masjid yang telah memahami dan berkeinginan mengubah pola pendistribusian zakat mereka yaitu DKM Masjid Jami al-Nur. Menurut Faris, pendistribusian zakat di masjid akan diupayakan untuk dialihkan dari pembagian secara konsumtif ke progam pemberdayaan mustahik secara ekonomi. Tentu akan ada hal yang berbeda, misalkan dari sisi kuantitas mustahik yang mendapatkan zakat akan berkurang tetapi mustahik-mustahik tertentu yang dipilih untuk diberdayakan diharapkan bisa terbantu dan ke depannya dapat mandiri untuk memenuhi kebutuhan ekonominya242. Faris mencontohkan bahwa di sekitar masjid banyak janda-janda tua yang dulunya pernah berjualan nasi uduk dan nasi ulam. Mereka saat ini tidak lagi berjualan karena terkendala modal sehingga tidak ada pemasukan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka bisa diberdayakan dengan harta zakat yang dihimpun masjid berupa pemberian modal usaha agar bisa menjalankan kembali penjualan nasi uduk dan nasi ulam sehingga roda perekonomian keluarga bisa berputar kembali. Selain pemberian modal usaha, mustahik juga perlu diberikan pembinaan dan pendampingan, minimal tentang bagaimana memisahkan aset usaha dengan aset rumah tangga dengan pencatatan dan pembukuan aset tersendiri atau laporan alur kas pengeluaran dan pemasukan usaha agar kinerja usahanya bisa terus dipantau dan dievaluasi243. Masjid-masjid yang mengelola zakat di masyarakat tentu tidak bisa berkembang tanpa ada masukan dan kritik yang membangun dari pihak eksternal untuk memperbaiki kualitas pengelolaan zakatnya. Perlu koordinasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak agar zakat yang dikelola masjid lebih bermanfaat bagi mustahik di sekitar lingkungannya. Sikap semacam ini nampaknya sulit terwujud jika hanya menunggu dan mengharapkan DKM secara mandiri melakukan perubahan yang signifikan dalam pengelolaan zakat. padahal banyak lembaga zakat yang mumpuni dan bisa memfasilitasi dalam mengajarkan dan melatih tatacara manajemen zakat yang profesional, apalagi masjid-masjid tersebut terletak di kawasan perkotaan, aksesnya tentu lebih mudah dalam menjangkau pihak-pihak yang dapat diajak bekerjasama.

E. Implikasi Kepatuhan Hukum DKM terhadap Pengelolaan Zakat

Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh DKM di masjid selama ini berjalan mandiri tanpa melibatkan pihak-pihak eksternal. Kemandirian DKM dalam konteks ini tidak menggambarkan hal yang bagus, karena tidak memaksimalkan koordinasi yang bisa memberikan perbaikan-perbaikan pada pengelolaan zakat yang dilakukan.

242 Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. 243 Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019.

107

Hal tersebut terjadi karena ada aspek legalitas yang belum terpenuhi, sehingga tidak terjadi ruang interaksi dan komunikasi yang baik. Jika dari pihak masjid berupaya untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada, maka mereka pun pasti akan mendatangi KUA setempat untuk berkoordinasi terkait pengelolaan zakat yang dilakukan, sekaligus membuka peluang kerjasama yang mungkin bisa dilakukan. Perlu dipahami, pengelolaan zakat di Indonesia melibatkan banyak sektor, ada yang bertugas sebagai regulator, pengawas, pelaksana atau operator, hingga rekanan atau mitra pengelola zakat. Ketika semua pihak yang terkait melakukan tugas dan fungsinya secara baik, bahkan berkoordinasi dan bersinergi dalam kegiatan yang saling mendukung perbaikan pengelolaan zakat nasional, maka kuantitas penghimpunan zakat juga kualitas pendistirbusian dan pendayagunaannya akan terlaksana dengan baik. Setelah penulis melakukan wawancara kepada beberapa pihak terkait, penulis berkesimpulan bahwa koordinasi dan sinergi yang diharapkan tersebut belum sepenuhnya terlaksana. Ada beberapa sektor potensial yang belum bersinergi dalam hajat pengelolaan zakat, dengan alasan aspek pengelolaan zakat bukan wilayah tugas dan kewenangan mereka. Berikut penjelasan rinci tentang pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan serta peran penting dalam menjalankan pengelolaan zakat di Indonesia.

1. Kementerian Agama

Seperti yang kita ketahui, representasi pemerintah dalam pengelolaan zakat ada di Kementerian Agama, sebagai kementerian yang mengurusi kegiatan-kegiatan umat beragama, dalam hal ini umat Islam. Kementerian Agama memiliki beberapa Direktorat Jendral. Dalam kaitannya dengan zakat, urusannya ada di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (BIMAS Islam), lalu lebih spesifik lagi ada Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf sebagai satuan khusus yang menangani berbagai macam hal yang berkaitan dengan zakat dan wakaf di Indonesia. Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf tersebut memiliki 4 sub- direktorat (subdit), yaitu Subdit Kelembagaan dan Informasi Zakat dan Wakaf, Subdit Edukasi, Inovasi, dan Kerjasama Zakat dan Wakaf, Subdit Akreditasi dan Audit Lembaga Zakat, dan Subdit Pengamanan Aset Wakaf. Keempat subdit tersebut masing-masing memiliki seksi khusus yang menangani program yang lebih spesifik tentang zakat dan wakaf. Kementerian Agama di level Provinsi atau Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi juga memiliki satuan khusus untuk mengurusi pengelolaan zakat, yaitu Seksi Pemberdayaan Zakat yang berada di bawah naungan Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat, dan Wakaf244. Kementerian Agama di tingkat Kabupaten/Kota memiliki seksi Bimbingan Masyarakat Islam juga Penyelangara Syariah yang memiliki keterkaitan dengan hal

244 Diakses melalui laman https://dki.kemenag.go.id/struktur-organisasi

108

pelaksanaan pengelolaan zakat. Menurut Yunus, seksi yang dia tangani sebenarnya memang mengurusi juga tentang pelaksanaan zakat, tetapi pihaknya tidak ingin melakukan hal terlalu jauh melampaui kewenangan dalam hal zakat, karena sudah ada BAZNAS yang memiliki tugas dan fungsi itu. Nasruddin mengungkapkan bahwa Kementerian Agama punya petugas khusus yang langsung terjun ke masyarakat dalam melayani pembinaan-pembinaan yang terkait dengan syariat Islam, seperti halnya juga zakat. Petugas itu adalah penyuluh agama di KUA. Penyuluh ini lah yang tugasnya langsung bersinggungan dengan masyarakat secara intens245. Yunus menambahkan, bahwa program yang dijalankan di kantor pemerintahan pada dasarnya berbasis pada alokasi anggaran, sehingga program yang tidak dianggarkan maka secara otomatis tidak akan terealisasi. Meskipun tidak secara langsung melakukan pembinaan atau pengawasan dalam hal pengelolaan zakat di masyarakat, Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan mengkoordinir penghimpunan zakat internal pegawai dan instansi terkait di bawah naungannya lalu menyerahkannya langsung ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta246. Representasi Kementerian Agama di tingkat yang paling rendah adalah Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di setiap Kecamatan. Fungsi dan tugas KUA yang selama ini dikenal di masyarakat hanyalah tentang urusan pernikahan, tetapi sebenarnya KUA juga mengurusi berbagai macam hal urusan umat Islam. Dalam aturannya, KUA menyelenggarakan 9 (sembilan) fungsi utama247, yaitu: a. Melaksanakan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk; b. Menyusun statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam; c. Mengelola dokumentasi dan sistem informasi manejemen KUA Kecamatan; d. Melayani bimbingan keluarga sakinah; e. Melayani bimbingan kemasjidan; f. Melayani bimbingan hisab-rukyat dan pembinaan syariah; g. Melayani bimbingan dan penerangan agama Islam; h. Melayani bimbingan zakat dan wakaf, dan i. Melaksanakan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan. Selain melaksanakan fungsi-fungsi di atas, KUA juga dapat melayani bimbingan manasik haji bagi jamaa haji reguler. Poin penting dari fungsi utama KUA yang memiliki keterikatan dengan pengelolaan zakat adalah fungsi pada huruf (h) yang menyebutkan bahwa KUA juga melayani bimbingan zakat dan wakaf. Jika dikaitkan dengan peraturan tentang

245 Hasil wawancara penulis dengan Nasruddin; Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. 246 Hasil wawancara penulis dengan Yunus Hasyim; Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. 247 Pasal 3 Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tatakerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.

109

pengelolaan zakat yang lain, fungsi KUA dalam hal bimbingan zakat juga sesuai dengan tugas mereka dalam menerima laporan atau pemberitahuan secara tertulis yang dilakukan oleh amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang yang mengelola zakat di wilayah yang belum terjangkau layanan BAZNAS atau LAZ248. Hal ini menandakan bahwasanya KUA memiliki peran yang penting dalam membantu koordinasi pelaksanaan pengelolaan zakat di tingkat kecamatan hingga di level RT-RW, karena KUA adalah satu-satunya kantor resmi yang mewakili Kementerian Agama dalam melayani segala macam urusan umat Islam di level wilayah tersebut. Pengelolaan zakat di level kecamatan hingga masjid-masjid mencakup RT-RW selama ini laporannya memang belum terekam secara nasional, karena fungsi KUA dalam hal zakat ini tidak dilaksanakan, juga tidak diketahui masyarakat muslim pada umumnya. Itulah mengapa, data potensi zakat selalu jauh dari hasil realisasi penghimpunan di lapangan, karena salah satunya banyak pengelolaan zakat yang tidak terpublikasi laporannya terutama yang belum terkoordinasi dalam jaringan pengelola zakat resmi, seperti halnya yang dilakukan di masjid-masjid ataupun zakat yang langsung disalurkan kepada mustahik. Penulis mendapati bahwa KUA Kecamatan Pancoran seperti halnya dengan KUA-KUA lain masih terfokus pada fungsi pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk. Harus ada intensifikasi fungsi bimbingan zakat yang ada di KUA sehingga masyarakat bisa terfasilitasi untuk mengakses isu-isu terkait hukum positif pengelolaan zakat. 2. BAZNAS dan LAZ

BAZNAS dan LAZ adalah pengelola zakat resmi yang telah diberikan kewenangan untuk mengelola zakat di Indonesia. Posisi BAZNAS dalam pengelolaan zakat di Indonesia sangatlah penting, karena BAZNAS lah satu-satunya badan resmi yang dibentuk pemerintah untuk melakukan seluruh rangkaian pengelolaan zakat secara nasional mulai dari perencanaan, penghimpunan, pendistribusian, pendayagunaan, dan pelaporan zakat secara kontinyu. BAZNAS sesuai tingkatannya telah memiiliki tugas dan fungsinya masing-masing baik di tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Tata cara kerja mereka tentunya telah ditentukan secara jelas sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih antar BAZNAS di setiap tingkatannya. Begitu pula dengan LAZ, lembaga zakat yang dibentuk masyarakat ini telah mendapatkan izin operasional karena telah memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam aturan pengelolaan zakat. Posisi LAZ sama pentingnya dalam mengelola zakat di Indonesia, umumnya LAZ juga telah menerapkan model pengelolaan zakat dengan manajemen yang profesional, akuntabel, dan transparan. Penulis menilai, bahwasanya selama ini BAZNAS masih terfokus pada fungsinya sebagai pengelola zakat (operator) dan koordinator para pengelola zakat di Indonesia, sehingga kinerja yang dilaporkan adalah hasil penghimpunan, pendistibusian, dan pendayagunaan zakat yang mereka lakukan. Ada peran penting yang masih belum dimaksimalkan oleh BAZNAS yaitu mendorong dan

248 Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

110

mengedukasi serta merangkul para pengelola zakat yang masih berada di luar koordinasi mereka. Dalam menjalankan fungsi tersebut BAZNAS harus menghindari penggunaan pendekatan kekuasaan mengatasnamakan mandat dan amanah konstitusi, apalagi mengancam dengan sanksi-sanksi. Pihak-pihak yang terkait tentu akan kehilangan antusias dan simpati untuk turut ikut dalam suatu koordinasi pengelolaan zakat yang terintegrasi secara nasional. Menurut penulis, pendekatan kultural yang lebih mengedepankan ajakan bermitra dan bekerjasama akan lebih mudah diterima oleh para pengelola zakat yang masih berada di luar koordinasi BAZNAS. LAZ pun demikian, lebih fokus pada penghimpunan zakat melalui programnya masing-masing. Jaringan LAZ belum terkonsentrasi di banyak daerah atau cabang-cabang jaringan lainnya, kecuali LAZ yang berbasis organisasi masyarakat Islam, seperti LAZISNU yang ada di bawah naungan Nahdlatul Ulama ataupun LAZISMU milik Muhammadiyah. Menariknya, LAZ yang yang bernaung di bawah organisasi kemasyarakatan Islam telah memiliki jejaring yang kuat di daerah hingga ke masyarakat bawah sehingga sangat dengan koordinasi yang baik, jejaring tersebut bisa dimaksimalkan untuk turut menjadi bagian dari pengelola zakat yang resmi juga profesional. Jejaring LAZ ini sifatnya sama seperti UPZ yang dibentuk BAZNAS, yaitu sebagai unit penghimpunan zakat juga pendistribusian dan pemberdayaan yang langsung bisa dilakukan di masyarakat sekitarnya. Jejaring LAZ, sebagaimana UPZ BAZNAS bisa dibentuk di berbagai macam tingkatan dari banyak instansi kemayarakatan Islam, misalnya masjid- masjid, majelis taklim, madrasah, pesantren dan lainnya, tetapi hal ini belum dilakukan secara maksimal oleh LAZ, apalagi LAZ yang tidak bernaung pada sebuah organisasi masyarakat berbasis Islam.

3. Majelis Ulama Indonesia

Zakat yang merupakan syariat umat Islam tentu sangat terkait dengan pihak- pihak lain yang juga mengurusi berbagai macam masalah umat Islam, di Indonesia ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah perkumpulan ulama dan cendekiawan muslim yang punya pengaruh cukup signifikan bagi masyarakat muslim Indonesia. Salah satu fungsi MUI yang bisa menjadi acuan masyarakat muslim Indonesia adalah al-Ifta>’ yaitu memberikan fatwa terhadap berbagai persoalan agama Islam, terutama yang bersinggungan langsung dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. MUI di tingkat pusat memiliki 12 komisi yang masing-masing fokus dalam tiap sektornya, yaitu:

1. Komisi Fatwa, 2. Komisi Informasi dan Komunikasi 3. Komisi Hukum dan Perundang-undangan, 4. Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat 5. Komisi Pendidikan dan Kaderisasi

111

6. Komisi Pengkajian dan Penelitian 7. Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga 8. Komisi Ukhuwah Islamiyah 9. Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama 10. Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam 11. Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat 12. Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional

Dengan komisi sebanyak itu, MUI tentunya bisa banyak terlibat dalam berbagai program yang bermanfaat untuk umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Peran MUI yang paling signifikan dan banyak dinantikan masyarakat muslim Indonesia adalah hasil kinerja Komisi Fatwa. Komisi ini memang tugasnya khusus menangani berbagai macam persoalan agama Islam khususnya yang kontemporer yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antara fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI banyak yang secara langsung berkaitan dengan zakat. Fatwa tentang zakat yang dikeluarkan MUI tentu dibutuhkan sebagai legitimasi kajian hukum menurut agama Islam yang saling menguatkan dengan undang-undang pengelolaan zakat yang ada.. Komisi fatwa MUI telah mengeluarkan 10 fatwa terkait zakat mulai dari tahun 1982 hingga tahun 2011249. Semua fatwa zakat tersebut banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat muslim Indonesia termasuk pemerintah, khususnya Salah satu fatwa MUI dalam hal zakat yang isinya menguatkan peran pemerintah dalam ketentuan undang-undang pengelolaan zakat adalah fatwa no. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat. Peran MUI pusat memang memiliki pengaruh kuat untuk dijadikan salah satu rujukan dalam berbagai permasalahan agama dan kebangsaaan, meskipun demikian secara kelembagaan MUI di daerah-daerah juga memiliki pengaruh, hanya saja tingkat signifikannya yang berbeda-beda. Menyandang kata ulama, tentu lembaga ini memiliki martabat dan kharisma yang besar di lingkup masyarakat beragama, khususnya masyarakat muslim, karena lembaga ini diisi oleh para tokoh agama, , dan cendikiawan yang punya pengaruh di lingkungannya. Dalam kaitannya dengan zakat, MUI tentu sangat tepat untuk dijadikan mitra oleh para pegiat zakat, terutama dalam hal sosialisasi dan pelaksanaan program. Semakin banyak elemen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan zakat, semakin masyarakat akan tersadarkan bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah kepentingan BAZNAS atau LAZ semata, tetapi kepentingan umat Islam secara umum. Informasi yang penulis dapatkan di lapangan, belum adanya program rutin yang dijalankan oleh para stakeholder zakat di masyarakat, di antaranya pengelola zakat, masjid, MUI, sampai KUA250. Belum terciptanya sinergi dan koordinasi yang solid dalam mengerakkan seluruh potensi untuk pengelolaan zakat yang lebih baik

249 Widi Nopiardo. “Perkembangan Fatwa MUI tentang Masalah Zakat” Jurnal Ilmiah Syari’ah 16, no. 1 (2017): 89-109. 250 Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar pada tanggal 04 April 2019.

112

menjadi tantangan umat Islam ke depannya, karena kebijakan zakat tidak bisa hanya dijalankan oleh satu pihak saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak, termasuk juga masyarakat secara umum.

4. Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masjid

Banyaknya jumlah masjid di Indonesia tentu merupakan hal yang positif dalam konteks syiar dan dakwah Islam, tetapi jika masjid-masjid tersebut tidak dapat dimaksimalkan potensinya, maka menjadi hal yang sangat ironi bagi masyarakat muslim Indonesia. Organisasi memang berfungsi untuk menjadikan hal-hal sulit menjadi mudah dengan menerapkan manajemen yang baik, khususnya terkait pengkoordinasian sesuatu dalam unit yang besar, termasuk masjid di Indonesia yang jumlahnya ribuan251. Kehadiran organisasi perkumpulan masjid harus disambut positif oleh masyarakat muslim Indonesia, terutama para pengurus masjid yang nantinya masuk dalam koordinasi organisasi tersebut.

Tabel 10. Fungsi Stakeholders Zakat di Indonesia No. Stakeholders Fungsi 1 Kementerian Agama Mengawasi dan menertibkan izin operasional pengelola zakat 2. BAZNAS dan LAZ Selain sebagai operator, lembaga ini harus menjalankan fungsi edukasi kepada masyarakat dengan cara-cara persuasif dan merangkul pengelola- pengelola zakat tradisional untuk menjadi bagian mereka berupa UPZ atau mitra. 3. MUI Mengawal dan berkoordinasi dalam hal edukasi dan dakwah keagamaan tentang zakat kepada masyarakat 4. Ormas Perkumpulan Masjid Mengkoordinir masjid-masjid untuk mengupayakan diri bergabung dalam pengelola zakat yang resmi Sumber: Data diolah Penulis

F. Paradigma Pengelolaan Zakat di Masjid

251 Menurut data yang penulis dapatkan secara online di laman http://simas.kemenag.go ada sebanyak 253.299 masjid di Indonesia yang telah terdata di sistem ini.

113

Pengelolaan zakat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah keterlibatan langsung masyarakat di akar rumput yang telah melakukan aktivitas pengelolaan secara berkelanjutan sebelum akhirnya diatur dalam Undang-Undang yang menandakan keseriusan pemerintah untuk terlibat dalam agenda strategis ini. Paradigma pengelolaan zakat bottom-up merupakan satu cara mengaktualisasi nilai ibadah zakat untuk mencapai tujuannya, dimulai dari bawah kemudian berlanjut ke atas, dari lingkungan-lingkungan kecil masyarakat untuk menjangkau lingkungan masyarakat yang lebih luas252. Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pengelolaan Zakat baik di tahun 1999 maupun 2011, paradigma pengelolaan zakat yang terjadi telah bergeser, yang mulanya bottom-up, menjadi top-down. Pergeseran paradigma ini adalah keniscayaan dari sifat hukum yang tersentral dari pembuat kebijakan, sehingga aspek legalitas dan regulasi menjadi hal utama yang harus dipatuhi seluruh subjek hukum yang terkait untuk memastikan kesesuaian mereka dengan aturan dan ketentuan hukum zakat yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Keterlibatan pemerintah dalam regulasi pengelolaan zakat mutlak dibutuhkan untuk melegitimasi praktik ini agar menjadi hukum publik atau hukum positif yang keberadaannya dilandasi peraturan yang berkekuatan hukum. Semua regulasi yang dikeluarkan pemerintah secara struktural akan berdampak kepada penyesuaian top-down pada instansi-instansi terkait, akan tetapi peraturan yang berkaitan langsung dengan masyarakat apalagi menjadi salah satu hajat besar mereka tidak cukup hanya menggunakan paradigma top-down. Masyarakat pada umumnya tidak bisa disamakan dengan aparatur sipil negara yang akan mematuhi kebijakan pusat sesuai arahan dan instruksi yang ada. Masyarakat grass root adalah kumpulan orang yang konsen dengan masalah- masalah lingkungan mereka sehingga diperlukan penanganan dan solusi yang cepat dan efektif untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu mereka akan lebih responsif dengan melakukan inisiasi dan inovasi yang dianggap memiliki dampak positif untuk lingkungan masyarakat mereka. Masyarakat tidak seharusnya didikte secara kaku untuk menerapkan suatu peraturan, akan tetapi diberikan pemahaman dan pembinaan serta arahan yang persuasif agar tergerak untuk mematuhi peraturan yang ada. Paradigma bottom-up dalam pengelolaan zakat akan tetap eksis selama masyarakat bisa bertahan dengan kemandirian mereka, terutama mandiri dalam finansial dan pembiayaan keuangan lembaga. Kemandirian ini penting karena menjadi salah satu kekuatan dan daya tawar civil society yang dapat mengimbangi peran pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwasanya program- program pemerintah dijalankan berdasarkan anggaran, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lain halnya dengan lembaga zakat yang tidak sepenuhnya mengandalkan APBN atau APBD, karena dana zakat serta infak, sedekah, wakaf, dan dana sosial keagamaan lainnya tersebar luas di seluruh masyarakat muslim Indonesia. Potensi

252 M. Fuad Nasar, Zakat di Ranah Agama dan Negara (Jakarta: Rafikatama, 2018), 227.

114

dana-dana tersebut yang selama ini dijadikan sumber keuangan lembaga-lembaga Islam yang juga mengelola zakat. Langkah pemerintah yang mengakomodir praktik zakat dan mengaturnya dalam sebuah Undang-Undang telah tepat, tetapi tidak hanya berhenti pada regulasi semata, harus ada upaya untuk menyatukan visi semua pihak dan stakeholder zakat tanah air untuk mencapai tujuan bersama dari pengelolaan zakat yang sama-sama dilakukan. Paradigma top-down akan tetap dibutuhkan sebagai kontrol dan pengawasan yang sistematis agar para pengelola zakat bisa berkinerja secara maksimal dan profesional, sementara dalam hal pelaksanaan pengelolaan zakat bisa digunakan paradigma bottom-up yang semangatnya menyebar dari seluruh lapisan masyarakat di level yang paling bawah, masjid-masjid tentu sangat strategis untuk dijadikan basis pengelolaan zakat di masyarakat. Hal demikian dianggap penting karena pengelolaan zakat di masjid telah berlangsung secara bertahun-tahun dan menjadi tradisi setiap tahunnya di bulan Ramadan, alangkah baiknya bila tradisi tersebut terus dipertahankan dan diperkuat dengan aspek legalitas pengelolaan zakat untuk didorong menjadi UPZ atau mitra lembaga resmi pengelola zakat lainnya agar pengelolaan zakat bisa dilakukan dengan terkoordinasi, terencana, dan dijalankan secara profesional sepanjang waktu. Dana zakatnya pun tidak hanya habis didistribusikan secara konsumtif, tetapi bisa lebih bernilai guna dan memberikan manfaat jangka panjang untuk memberdayakan mustahik di masyarakat sekitar masjid tersebut, bahkan dengan harapan bisa memperbaiki taraf dan kualitas hidup mustahik hingga bisa berubah menjadi muzaki kelak. Selain sisi positif dari model bottom-up di atas, model pengelolaan zakat semacam ini juga berpotensi menimbulkan hal yang negatif terkait kepatuhan hukum. Pengelolaan zakat di masjid yang bottom-up sementara pemberlakuan hukum yang top-down tentu berbeda, sehingga jika kedua paradigma ini terus dibiarkan bersebrangan, maka akan menjadi masalah, yaitu tidak patuhnya pengelola zakat di level masyarakat terhadap hukum yang dibuat. Perlu ada perlakuan- perlakuan khusus untuk menemukan kedua paradigma pengelolaan zakat ini, tidak melalui pendekatan sanksi ataupun kekuasaan, tetapi pendekatan sosiologis dan kemasyarakatan.

G. Distingsi Wilayah Perkotaan dalam Pengelolaan Zakat di Masjid

Wilayah perkotaan setidaknya memiliki pembeda yang signifikan dalam hal pengelolaan zakat yang dilakukan di wilayah perdesaan misalnya. Di wilayah perkotaan, masjid-masjid sudah menjalankan fungsi organisasi dengan baik contohnya dalam pembagian tugas DKM sehingga masing-masing masjid memiliki struktur pengurus beserta tugas-tugasnya dengan jelas. Ketertiban fungsi organisasi juga terlihat dari sisi pengadministrasian keuangan masjid yang rapi, memiliki pembukuan tersendiri yang setidaknya berisi informasi arus kas masuk dan keluar serta sumber dan peruntukannya. Di balik hal tersebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan bisa berfungsinya tatakelola masjid yang terorganisir, misalnya tingkat pendidikan dan pengalaman berorganisasi para pengurusnya, interaksi yang aktif dan konstruktif

115

serta kritis antara pengurus dan para jamaah, komposisi heterogenitas jamaah dan penduduk sekitar masjid turut memberikan dinamika yang kondusif dan dinamis dalam keberlangsungan tatakelola masjid di perkotaan. Masjid di wilayah perkotaan secara mandiri telah melakukan pembukuan kas yang diterima dari infak dan sedekah jamaah, khususnya melalui kotak amal yang ada di masjid, baik kotak amal keliling di waktu salat Jumat maupun kotak amal lainnya. Pembukuan kas masjid ini sangat dibutuhkan untuk memisahkan sumber-sumber dana yang dihimpun oleh masjid, apalagi bagi masjid yang melakukan pengelolaan dana keagamaan seperti zakat fitrah dan atau zakat mal yang peruntukannya sudah tertentu kepada golongan mustahik. Infak-sedekah dan zakat masing-masing memiliki ketentuannya bahkan banyak perbedaan mendasar yang menjadi konsekuensi hukum penggunaannya. Sebagaimana yang banyak dipahami masyarakat muslim kita bahwa infak dan sedekah hukumnya sunnah253, pelakunya disebut munfiq atau mutas}addiq penggunaanya tidak dibatasi pada hal-hal tertentu, karena secara kepemilikan, dana infak maupun sedekah ketika telah diinfakkan atau disedekahkan maka menjadi milik pihak penerima, oleh sebab itu pentasarufannya pun telah menjadi hak si penerima. Sedangkan zakat hukumnya wajib, baik zakat fitrah yang ditunaikan atas setiap jiwa di setiap tahunnya, ataupun zakat mal yang ditunaikan atas harta-harta tertentu ketika telah mencapai nis}a>b dan h{aul. Penerimanya telah ditentukan oleh Alquran, terbatas pada 8 golongan yang disebut mustahik yang keberhakkannya sesuai dengan urutan penyebutan, mulai dari fakir, miskin, dan seterusnya. Dengan adanya kas masjid yang sumber pemasukannya tidak terbatas waktu, sebagian masjid di perkotaan memanfaatkan dana kas tersebut untuk mengupah petugas-petugas atau panitia zakat yang mengelola zakat jamaah di bulan Ramadan sehingga dana zakat yang terkumpul seluruhnya bisa didistribusikan kepada mustahik tanpa potongan apapun. Hal ini merupakan salah satu pembeda dalam aspek pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid di wilayah perkotaan. Sementara itu kebanyakan masjid di wilayah perdesaan dikelola secara kekeluargaan, tidak memiliki pembukuan kas masjid, sehingga ketika masjid juga mengelola zakat, upah bagi panitia zakat diambil juga dari dana zakat yang mereka anggap sebagai bagian hak amil254. Sebagai contoh masjid di kecamatan Mauk yang masuk dalam kategori wilayah perdesaan, pencatatan keuangan masjid tidak begitu baik, tidak ada susunan pengurus dan tugas-tugas yang jelas, bahkan di beberapa

253 Secara etimologi kata infak termasuk dalam hal yang umum yang berarti mengeluarkan harta (s{arf al-ma>l), lalu kemudian infak bisa digolongkan kepada 2 macam; ada infak yang sifatnya wajib ada yang mustah{abb atau sunah. Infak yang wajib seperti infak kepada istri dan anak atau orang yang berada di bawah tanggungan (nafaqah), infak kepada orang tua yang membutuhkan, bahkan zakat pun bisa dikategorikan dalam infak wajib. Adapun infak yang sunnah atau mustahabb (dianjurkan) misalnya sedekah dan pemberian lain secara ikhlas dalam hal kebaikan. 254 Penulis mengambil contoh di kecamatan Mauk yang termasuk wilayah perdesaan di Kabupaten Tangerang. Mengacu pada data di simas.kemenag.go.id dari 13 masjid yang ada di kecamatan Mauk, hanya 7 yang memiliki kegiatan pengelolaan zakat.

116

desa praktik berzakat lebih sering dibayarkan ke tokoh agama setempat, seperti guru ngaji dari pada dikumpulkan di masjid255. Praktik mengambil sebagian dana zakat untuk petugas zakat yang dibentuk DKM banyak ditemukan di masjid di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya di perdesaan, di wilayah perkotaan pun masih ada yang melakukannya. Hal demikian terjadi karena pemahaman DKM tentang hakikat siapa sesungguhnya amil zakat masih belum sinkron dengan pengertian amil zakat yang ada pada peraturan perundang-undangan256 ataupun pemahaman fikih secara lebih detail. Selain perbedaan akibat aspek tatakelola keuangan masjid yang terorganisir, hal penting dalam tesis ini yang penulis teliti adalah kepatuhan DKM masjid perkotaan terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia. Setelah penulis lakukan penelitian ternyata letak masjid di wilayah perkotaan tidak berkaitan secara langsung dengan kepatuhan terhadap aturan hukum pengelolaan zakat. Masjid-masjid yang penulis teliti meskipun secara geografis termasuk dalam wilayah perkotaan, tetapi kultur masyarakatnya belum modern, cenderung homogen (didominasi penduduk asli setempat; suku Betawi) belum banyak bercampur dengan berbagai masyarakat dari lain latar belakang, serta pengelolaan zakat yang dilakukan pun masih konvensional. Aspek legalitas dan hukum positif pengelolaan zakat tidak disadari oleh DKM sebagai hal yang fundamental bagi masjid sehingga selama mereka melakukan kebiasaan atau tradisi yang baik, tuntunan agama juga, jelas memberikan manfaat kepada penerima zakat, tidak ada teguran atau himbauan dari pihak berwenang, maka pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid akan tetap ada dan terus dilanjutkan.

BAB V

255 Hasil wawancara penulis dengan K.H. Asmawi; tokoh masyarakat Kecamatan Mauk pada 29 Desember 2019. 256 Lihat di awal bab IV tentang pemahaman mengenai hakikat amil zakat.

117

PENUTUP

Bagian ini menyajikan kesimpulan dan saran penulis dalam penelitian yang dilakukan terkait pemahaman fikih dan hukum positif pengelolaan zakat yang dipraktikkan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam mengelola zakat di masjid perkotaan.

A. Kesimpulan

Pada intinya, penelitian ini membuktikan bahwasanya pemahaman DKM terhadap fikih zakat dan hukum positif masih belum sejalan sehingga menimbulkan ketidakselarasan antara praktik yang dilakukan dengan ketentuan yang diatur. Aspek yang sebenarnya belum dipraktikkan dalam hukum positif ini adalah aspek legalitas pengelolanya, karena masjid-masjid belum menjadi pengelola zakat yang resmi, atau minimal berbentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) BAZNAS atau mitra dari LAZ dan juga aspek kualitas manajerial pengelolaannya. Wilayah perkotaan yang awalnya penulis anggap akan sangat berpengaruh pada ketaatan hukum para DKM terhadap aturan pengelolaan zakat yang ada, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan. Selain hal tersebut di atas, ada dua kesimpulan penelitian yang penulis dapatkan dalam tesis ini sesuai rumusan masalah, yaitu: Pertama, Pengelolaan zakat yang dilakukan DKM masjid perkotaan dilandasi atas pemahaman fikih zakat yang dipahami secara tradisional dan sangat erat dengan kebiasaan yang dipraktikan turun menurun. Amil zakat yang mereka pahami adalah setiap petugas yang ditunjuk untuk mengelola zakat, dalam hal ini meskipun petugas tersebut ditunjuk oleh DKM, mereka tetap menganggapnya sebagai Amil Zakat yang memiliki kewajiban dan hak atas zakat yang mereka kumpulkan selama bulan Ramadan. Adapun pemahaman mereka terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia masih sangat minim dan belum menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan yang ada. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya faktor lingkungan, faktor sikap masyarakat (baik muzaki maupun masjid yang mengelola zakat) yang tidak memprioritaskan aspek legalitas dalam melakukan pengelolaan zakat, faktor sosialisasi dari pihak yang memiliki kebijakan dan mengeluarkan peraturan, serta faktor penegakan hukum. Kedua, Pola penghimpunan zakat yang dilakukan DKM masjid perkotaan masih pasif, hanya menunggu muzaki untuk berzakat kepada mereka. Adapun pola pendistribusian zakat yang dilakukan selama ini hanya berbentuk panyaluran konsumtif tradisional. Semua zakat yang dihimpun akan habis dibagikan maksimal pada malam takbir, berupa beras ataupun nominal uang. Siklus semacam ini terus berlangsung setiap tahun, masjid hanya menjadi tempat transit zakat dari masyarakat untuk disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan, hampir tidak ada dampak signifikan yang berkelanjutan yang didapatkan oleh penerima manfaat zakat tersebut. Tentunya hal ini masih jauh dari tujuan zakat yang pada dasarnya menginginkan adanya kemanfaatan yang bisa terus berkelanjutan sehingga menjadi sarana mencapai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi yang mampu mengubah status mustahik menjadi muzaki yang sejahtera.

118

B. Saran

Melalui penelitian ini, penulis merumuskan beberapa saran dan masukan bagi pihak-pihak terkait dalam menghadapi dan mencari solusi untuk memperbaiki pengelolaan zakat di masjid dalam konteks pemahaman fikih dan hukum positif yang berlaku di antaranya: Pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam aturan hukum pengelolaan zakat harus melakukan sosialisasi yang aktif dan intens dalam rangka mengajak peran serta masyarakat yang mengelola zakat (dalam hal ini masjid) untuk mengindahkan aspek legalitas sabagai dasar hukum yang berlaku sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan memiliki dasar hukum yang kuat dan pasti. Dalam proses sosialisasi aturan dan pemberlakuannya, pihak-pihak seperti BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota serta Kementerian Agama harus menghindari cara-cara paksaan dengan dalih menegakan amanat undang- undang, karena hal tersebut akan sangat rentan dengan sikap resitensi masyarakat terhadap aturan pengelolaan zakat yang ada. Perlu dilakukan cara-cara persuasif untuk merangkul dan mengajak para pegiat zakat di masjid-masjid ini sehingga mereka bisa paham dan mengerti pentingnya aspek legalitas, dan juga mendapatkan keuntungan-keuntungan dalam proses perbaikan pengelolaan zakat seperti pelatihan manajerial pengelolaan zakat, sertifikasi amil-amil zakat, hingga konsep tatakelola zakat yang profesional. Opsi pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang dikonsepkan dalam aturan pengelolaan zakat tidak akan maksimal terlaksana bagi masjid-masjid di tingkat masyarakat bawah, apalagi jika tidak melalui proses sosialisasi dan inisiasi yang aktif dari BAZNAS Kabupaten/Kota sehingga praktik pengelolaan zakat di masjid semacam ini akan terus berlangsung tanpa perbaikan mekanisme. Perlu adanya keterlibatan aktif BAZNAS Kabupaten Kota untuk merangkul masjid-masjid pengelola zakat tersebut, Lembaga Amil Zakat (LAZ) juga bisa ikut ambil bagian dengan membentuk jejaring pengelola zakat yang berbasis masjid (selanjutnya bisa menjadi masjid binaan dalam pengelolaan zakat) sebagaimana yang telah dilakukan LAZ di bawah naungan organisasi masyarakat Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Butuh banyak pihak yang idealnya terlibat dalam proses transformasi pengelolaan zakat berbasis masjid yang masih belum menyesuaikan diri dengan hukum positif baik di kawasan perkotaan atau perdesaan, mulai dari sinergi BAZNAS dan Kementerian Agama (Kantor Urusan Agama yang menjadi repesentasi di lingkungan masyarakat) di tingkat-tingkat daerah, Majelis Ulama Indonesia, serta organisasi perkumpulan masjid seperti DMI dan sebagainya. Hal ini didasarkan atas fakta di lapangan, bahwasanya masyarakat muslim Indonesia masih perlu pendekatan-pendekatan sosio-kultural dalam hal pemberlakuan hukum, apalagi hukum yang terkait langsung dengan ajaran agama mereka.

119

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Abu> Ish{a>q, Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}ammad. al-Mubdi‘ Sharh} al-Muqni‘. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997. Abdel-Hady, Zakaryya Mohamed. The Masjid, Yesterday and Today. Qatar: Center for International and Regional Studies of Georgertown University School of Foreign Service in Qatar, 2010. Addeh, Damas dan Sayida Fuad, The Legal Framework of Mosque Building and Muslim Religious Affairs in Egypt: Towards a Strengthening of State Control. 2011. Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan. Jakarta: Kencana, 2009. Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2017. Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Universitas Indonesia Pres, 1988. al-Andalu>si>, „Abd al-H{aq ibn Gha>lib. al-Muh}arrar al-Waji>z Fi> Tafsi>r al-Kita>b al- ‘Azi>z. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001. al-Baihaqi>, Abu> Bakr. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003. al-Bukha>ri, Muhammad bin Isma>’i>l Abu> Abdulla>h. S{ahi>h al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r T{auq al-Naja>h, 2001. al-Da>ruqut}ni>, Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn ‘Umar. Sunan al-Da>ruqut}ni>. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2004. al-Fairuzaba>di>, Majduddi>n. al-Qa>mu>s al-Muhi>t}. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 2005. ______. Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, tanpa tahun. al-Kassa>ni>, Ala>’uddi>n. Bada>’i al-S}ana>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986. al-Manz}u>r, Jama>luddi>n ibnu. Lisa>n al-‘Arab. Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1993. al-Maqdisi, Ibnu Qudda>mah. Al-Mughni> Li ibn Qudda>mah. Kairo: Maktabah al- Qa>hirah, 1968. al-Ma>wardi>, Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Muh{ammad. al-H{a>wi> al-Kabi>r. Beirut: Da>r al- Kutub al-Ilmiyyah, 1999. al-Nawawi, Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n Yah{ya ibn Sharaf. Al-Majmu>’ Sharh{ al- Muhadhdhab. Beirut: Da>r al-Fikr,1996. al-Naysa>bu>riy Muslim ibn H{ajja>j. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al- ‘Arabi>, 1955. al-Qarad{a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973. al-Qa>sim, Abu> ‘Ubayd. Kita>b al-Amwa>l. Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1986. al-Qat}t}a>n, Manna>’ ibn Khali>l. Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riya>d{: Maktabah al-Ma‘a>rif, 2000.

120

al-Sha’ra>wi>, Muh}ammad Mutawalli> Al-Tafsi>r al-Sha’ra>wi>. Kairo: Mat}a>bi’ Akhba>r Al-Yaum, 1997. al-Sijista>ni, Abu> Da>wu>d Sulayma>n. Sunan Abi> Da>wu>d. Beirut: al-Maktabah al- „As}riyyah, tanpa tahun. al-Suyu>t}i>, Jala>luddi>n. al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyyah al-‘Ab, 1974. al-T{abari>, Abu> Ja’far Muh{ammad ibn Jari>r Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2000. al-Zuh{aili>, Wahbah. al-Waji>z Fi> Us}u>l al-Fiqh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1999. ______al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006. Anderson, James E. Public Policy-Making. New York: Preager, 1975. Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum. Jogjakarta: UGM Press, 2018. Asy‟ari, Safari Imam. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional, 1993. Badan Ami Zakat Nasional. Outlook Zakat Indonesia 2018. Jakarta: PUSKAS BAZNAS, 2018. Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik -Edisi 15 Juli 2019-. Jakarta: BPS Pusat, 2019. Badan Pusat Statistik Jakarta Selatan. Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 2017, Publikasi BPS Jakarta Selatan. Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing, 1990. Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. London: Macmillan Press, 1984. Fauzia, Amelia. Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013. ______. Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia. Jogjakarta: Gading Publishing, 2016. Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Approach. New York: Russel Sage Foundation, 1975. Gokalp, Zia, Turkish Nationalism and Western Civilization. New York: Columbia University Press, 1959. H{anbal, Ah{mad ibn. Musnad al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001. Hisha>m, Abd al-Ma>lik ibn. Al-Si>rah al-Nabawiyyah Li ibn Hisha>m. Kairo: Sharikah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-H{albi> wa Aula>duhu, 1955. Harninta, Cynthia Idhe dkk. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Depok: Universitas Indonesia, 2013. Hart, Herbert Lionel Adolphus dan Leslie Green. The concept of law. New York: Oxford University Press, 2012. ibn Abdilla>h, Abu ‘Umar Yu>suf. al-Ka>fi> Fi> Fiqh Ahl al-Madi>nah. Riya>d}: Maktabah al-Riya>d} al-Hadi>thah, 1980. ibn Ma>jah, Abu> ‘Abdulla>h Muh{ammad ibn Yazi>d. Sunan Ibn Ma>jah. Kairo: Da>r Ih{ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, tanpa tahun. ibn Qa>sim, Muh{ammad Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>z} al-Taqri>b. Beirut: Da>r ibn H{azm, 2005. 121

ibn Rushd, Abu> al-Wali>d. Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtas}id. Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2004. Ibrahim, Sherrif Muhammad. Comparative Study on Contemporary Zakat Distribution: A Practical Experience of Some Selected Muslim States. Malaysia: Universiti Sains Islam Malaysa, 2015. Jamaluddin, Adon Nasrullah. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya. Bandung: CV Pustaka Setia, 2017. Jaya, Ali. Strategi Penghimpunan Dana Zakat di Singapura. Tangerang Selatan: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017. Kanter E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982. Kementerian Agama, Tipologi Masjid. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2008. KUA Kecamatan Pancoran, Rekapitulasi Data Sarana Ibadah di Kecamatan Pancoran, 2018. Lamintang, P.A.F Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997 Luthfi, Hanif. Siapakah Amil Zakat?.Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018. Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Meinarno, Eko A. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta: Salemba Humanika, 2011. Menno S. dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Press,1992 Miftah, A.A, Zakat antara Tuntunan Agama dan Tuntunan Hukum. Jambi: Sultan Thaha Press, 2007. Mill, John Stuart. Utilitarianism. Portland: Floating Press, 2009. Mu‟allim. Amir. “Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat Berbasis Masjid di Yogyakarta” Pusat Studi Hukum Islam (PSHI), Pascasarjana FIAI-UII dengan DPPM UII. Tahun 2012. Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004. Mulgan, Tim. Understanding Utilitarianism. Stocksfield: Acumen, 2007. Nasar, M. Fuad. Zakat di Ranah Agama dan Negara. Jakarta: Rafikatama, 2018. Parker, Christine dan Vibeke Lehmann Nielsen dalam Peter Drahos (ed), Regulatory Theory. Canberra:ANU Press, 2017. Pound, Roscoe. An Introduction to The Philosophy of Law. New Haven: Yale University Press, 1930. Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Pembaruan Sosial. Bandung: Alumni, 1979. ______. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode & Pilihan Masalah. Jogjakarta : Genta Publishing, 2010. Ra>ji, Najmuddi>n. H{arf al-La>m wa Istikhda>ma>tuhu Fi al-Qur’a>n al-Kari>m. Kairo: Shams Li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 2007. Raz, Joseph. The Concept of Legal System- An Introduction to The Theory of Legal System Edisi Kedua. New York: Oxford University Press, 1980. Rodgers, Harrel R. dan Charles S. Bullock. Coercion to Compliance. Lexington Mass: Lexington Books, 1976.

122

Salim, Arskal. The Shift in Zakat Practice in Indonesia (From Peity to an Islamic socio-political-economic System. Chiang Mai: Silkworm Books, 2008. Shaban, M.A. Islamic History: A New Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press, 1971. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. Soehartono, Irawan. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2008. Soekanto, Soerjono. Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Press, 1984. ______Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindon Persada, 2010. ______Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003. Soelaiman, Munandar. Dinamika Masyarakat Transisi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 2006. Ujan, Andre Uta. Filsafat Hukum. Jogjakarta: Kanisius, 2009. Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologis. Semarang: Suryadaru Utama, 2005. Wijayanto, Edi. Kepatuhan Masjid-Masjid di Tangerang Selatan terhadap Undang- Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta:Tesis Magister FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019. Young, Oran R. Compliance and Public Authority. Baltimore: Johns Hopkins Press, 1979.

Sumber Journal

Alvarez, José E "Measuring Compliance." Proceedings of the Annual Meeting (American Society of International Law) 96 (2002): 209-213. http://www.jstor.org/stable/25659777. Alfaqi, Mifdal Zusron. “Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 28, no.2 (2015): 111-116. Arafat, M. Husni dkk. “Masjid sebagai Agen BAZNAS: Analisa Potensi SDM Ta‟mir Masjid di Kabupaten Jepara”. Ulul Albab: Jurnal Studi dan Pendidikan Hukum Islam 1, no1 (2017): 58-72. Artadi, Ibnu. “Hukum: Antara Nilai-nilai Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan” Hukum dan Dinamika Masyarakat (2006): 67-80. Bariyah, N. Oneng Nurul “Dinamika Aspek Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia” Jurnal Ahkam 16, no. 2 (Juli 2016): 197-212.

123

Budiman, Mochammad Arif dan Mairijani. “Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Kota Banjarmasin” Prosiding Seminar Nasional ASBSI (2016): 187-194. Étienne, Julien dan Matthew Wendeln. “Compliance Theories: A Literature Review” Revue Française de Science Politique (English Edition) The Politica l Sociology of European Law 60, no. 2 (2010): 139-162. Fadil, Ahmad. “Good Governance Zakat di Indonesia” Al-Iqtishadi 2 no. 1 (2015): 81-98. Fitria, “Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam”. Intelektualita 5, no 2 (Desember 2016): 175-188. Grossman, William L. “The Legal Philosophy of Roscoe Pound”. Yale Law Journal 44, no.4 (1935): 605-618. Hakim, Budi Rahmat “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2 (2015): 155-166 Johari; Fuadah dkk. "A Review on Literatures of Zakat between 2003-2013". Library Philosophy and Practice (e-journal)1175, (2014): 1-15 Kuncorowati, Puji Wulandari. “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat Indonesia” Jurnal Civics 6, no.1 (2009): 60-75. Kurniawan, Puji. “Legislasi Undang-Undang Zakat” Jurnal Al Risalah 13, no.1 (2013): 99-118. May, Peter J. “Compliance Motivations: Affirmative and Negative Bases” Law & Society Review 38, no. 1 (2004): 41-68. Meier, Kenneth J. dan David R. Morgan. “Citizen Compliance with Public Policy: The National Maximum Speed Law” The Western Political Quarterly 35, no. 2 (1982): 258-273 Najwan, Johni. “Implikasi Aliran Positivisme terhadap Pemikiran Hukum” INOVATIF/Jurnal Ilmu Hukum 2 no.3 (2010) : 17-31. Nizar, Muhammad. “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang”. Malia 8, no 1 (Desember 2016): 41-60. Nopiardo, Widi. “Perkembangan Fatwa MUI tentang Masalah Zakat” Jurnal Ilmiah Syari’ah 16, no. 1 (2017): 89-109. Powell, Russell. Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7, 2009. Pusparini, Martini Dwi. “Mosque-Based Zakah Infaq and Shadaqah Management (A Study at Great Mosque in Sleman, Yogyakarta)”. Prosiding Seminar Nasional seri 7 “Menuju Masyarakat Madani dan Lestari” (November 2017): 277-293. Putuhena, M. Ilham F. “Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas Reformasi Legislasi yang Progresif” Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no.3 (2013): 375-395 Rahman, Azman Ab, dkk “Zakat Institution in Malaysia: Problems and Issues” GJAT 2. no 1 (Juni 2012): 35-41. Rido, Ahmad dan Rizqi Anfanni Fahmi. “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di

124

Sekitar Universitas Islam Indonesia”. Working Paper Keuangan Publik Islam 2, seri 1 (2018): 1-12 Ruliad, Nadilla Ambarfauziah dkk. “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Muzaki Dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat (OPZ): Studi Kasus di Badan Amil Zakat Nasional Kota Bogor” Jurnal Al-Muzara’ah 3, no. 1 (2013): 20-33. Saidurrahman. “The Politic of Zakat Management in Indonesia: The Tension between BAZ dan LAZ”. Jurnal of Indonesian Islam 7, no.2 ( 2013): 366-382 Saifudin, Achmad. Urgensi Ta‟mir Masjid Dalam Pengelolaan Zakat Pasca Terbitnya Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaa Zakat. Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, 2013. Salim, Arskal „Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM,‟ Journal Perempuan, 60 (September 2008). Sari, Mutiara Dwi Zakaria Bahari dan Zahari Mamat “Review on Indonesian Zakah Management and Obstacles” Social Sciences 2, no 2 (2013): 76-89. Shavell, Steven. “When is Compliance with the Law Socially Desirable?” The Journal of Legal Studies 14, no. 1 (2012): 1-36. Simarmata, Rikardo. "Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum." Digest Law, Society & Development 1 (2006): 1-11 Soekanto, Soerjono. "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum & Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470. Sudirman, “Goverment Policy on Zakat and Tax in Indonesia” Ahkam Jurnal Ilmu Syariah 15 no. 1 (2015): 1-14 Suhardin, Yohanes. “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum” Mimbar Hukum 21, no.2 (2009): 341-354. Susetyo, Heru “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah Management In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546. Taehee,Whang, Elena V. McLean, dan Douglas W. Kuberski. "Coercion, Information, and The Success of Sanction Threats." American Journal of Political Science 57, no 1 (2013): 65-81. Tanjung, Hendri dan Nurman Hakim, A Review on Literatures of Zakat between 2016 and 2017. Bogor: Universitas Ibnu Khaldun, 2017. Ummulkhayr, Adamu dkk “Determinants of Zakat Compliance Behavior among Muslim Living under Non-Islamic Goverments” International Journal of Zakat 2, no.1 (2017) 95-108. Zainuddin, Muhadi. “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan Kesadaran Hukum Masyarakat” Al-Mawardi Journal of Islamic Law 12, no.11 (2004): 91-109.

125

Sumber Undang-Undang dan Peraturan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tatakerja Kantor Urusan Agama Kecamatan. Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat. Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat

Sumber Website Internet: https://tekno.kompas.com/read/2008/09/16/12065970/tragedi.zakat.pasuruan.jangan. terulang.lagi http://mediaindonesia.com/read/detail/150942-baznas-sebut-bazis-jakarta-ilegal- pungut-zakat https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/20/14265751/uji-coba- dihentikan-beton-pembatas-tiga-simpang-di-mampang-prapatan https://www.uinjkt.ac.id/id/negara-dan-pengelolaan-zakat/ https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/ https://pid.baznas.go.id/baznas-provinsi/ https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/07/13545661/ikuti-baznas-pemprov- dki-tetap-pertahankan-nama-bazis https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/anies-ajak-warga-dki-salurkan-zis- melalui-bazis-dki/ar-AAC5uII http://www.beritajakarta.id/read/68429/anies-lantik-pengurus-baznas-bazis- dki#.XSK6IhNEnIU http://simas.kemenag.go.id http://dmi.or.id https://www.beritasatu.com/megapolitan/548749/uus-bank-dki-salurkan-bantuan- operasional-tempat-ibadah

126

http://bappeda.jabarprov.go.id/program-kredit-mesra-akan-diterapkan-di-seluruh- indonesia/ https://www.al-qaradawi.net/node/4131 https://dki.kemenag.go.id/struktur-organisasi

Sumber Wawancara Hasil wawancara penulis dengan Pahruroji Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019. Hasil wawancara penulis dengan H. Aziz, ketua DKM Masjid Al-Muawanah pada tanggal 03 April 2019. Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim pada tanggal 03 April 2019 Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al- Munawwar pada tanggal 04 April 2019. Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an- Nur Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, pengurus DKM Masjid Nurullah Rawajati pada tanggal 22 November 2019. Hasil wawancara penulis dengan Nasruddin; Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. Hasil wawancara penulis dengan Yunus Hasyim; Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. Hasil wawancara penulis dengan Faisal Qosim; Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada 27 Juni 2019. Hasil wawancara penulis dengan Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid Kementerian Agama Republik Indonesia pada 08 Juli 2019 Hasil wawancara penulis dengan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama pada 24 Juli 2019

127

GLOSARIUM

Al-Amwa>l al-Ba>t}inah : Harta zakat yang tidak terlihat secara kasat mata oleh khalayak umum atau yang disimpan seperti perhiasan, emas dan perak.

Al-Amwa>l al-Z{a>hirah : Harta zakat yang nampak, bisa dilihat oleh khalayak umum berupa hewan ternak, tanaman, dan barang temuan.

Al-Zaka>h Bi al-Qi>mah : Menunaikan zakat dengan uang tunai

Bottom-Up : Paradigma pengelolaan zakat dari masyarakat bawah

Civil Society : Kumpulan masyarakat sipil yang mandiri dan bisa bertindak mengimbangi peran negara

Diya>ni> : Sesuatu yang bersifat ibadah semata

Etis : Sesuai dengan etika dan norma

Grass root : Masyarakat akar bawah

Legalistik : Berkaitan dengan keabsahan dan kesesuaian terhadap hukum

Mandatory : Hal yang dilakukan karena perintah

Mustahik : Golongan yang berhak menerima zakat

Muzaki : Golongan yang berkewajiban membayar zakat

Nation-State : Bentuk negara bangsa di era modern

Operator : Pihak yang melakukan pengelolaan zakat secara praktik riil

Otoritas : Kekuasaan dan wewenang

Qad}a>i> : Sesuatu yang bekonsekuensi hukum karena terkait dengan hak orang lain

Qat}’i> : Bersifat pasti dan tetap

Regulator : Pihak yang engeluarkan aturan dan regulasi dalam pengelolaan zakat

128

Resistensi : Penolakan

Stakeholder : Pihak terkait yang memiliki kepentingan dalam hal tertentu

Talfi>q : Menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab dalam satu ketentuan ibadah

Taqli>d : Mengikuti pendapat mazhab tanpa mengetahui dasar Pengambilan hukumnya.

Uji Materiil : Mengajukan pengujian terkait isi undang-undang ke Mahkamah Konstitusi

Up-Down : Paradigma pengelolaan zakat dari atas ke bawah; pejabat pemerintah ke masyarakat

Utilitis : Memiliki nilai guna dan bermanfaat

Voluntary : Hal yang dilakukan karena sukarela

Wakaf : Benda bergerak atau tidak bergerak yang diberikan untuk kemaslahatan umum sebagai pemberian yang ikhlas

Zakat : Ibadah wajib umat Islam dengan mengeluarkan harta tertentu sesuai dengan perhitungan yang tertentu diberikan kepada golongan yang telah ditetapkan

129

INDEKS

A 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 93, Abba>siyah, 33 94, 95, 102, 107, 108, 109, 111, Abdulkadir Muhammad, 23, 25, 26, 112, 113, 119, 120, 121, 122, 123, 52 124, 129, 130 Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim, 10 Belanda, 5, 11 Abu> Da>wu>d, 98, 116 Berkelanjutan, 83, 102, 114, 116, 125, Achmad Ali, 11, 48 129 Adat, 18, 42, 50 BOTI, 45 Agama, 2, 4, 6, 18, 39, 41, 56, 89, Bottom-Up, 125, 126 105, 110, 114, 119, 120, 122, 123, BPS, 14, 49, 50, 99 130 Bupati, 8, 77, 93, 94 Akuntabilitas, 40 al-Amwa>l al-Ba>t}inah, 33 C al-Amwa>l al-Z{a>hirah, 33, 34 Chaider S. Bamualim, 4, 5 al-Bukha>ri, 75, 98 Charles S. Bullock, 103 al-Da>ruqut}ni>, 100 Civil, 11 al-Fairu>za>ba>di, 31, 32 Compliance, 22, 44, 45, 103, 104, al-Ma>wardi, 34 110, 112 al-Taubah, 31, 32, 35, 38, 97 Culture, 12, 47 Amelia Fauzia, 1, 5, 6, 10, 34, 53

Amil Zakat, 3, 5, 8, 9, 17, 27, 28, 34, 35, 36, 37, 54, 55, 56, 57, 58, 60, D 61, 62, 63, 64, 68, 84, 90, 93, 94, 102, 110, 114, 123, 128, 130 Delik, 102,103 Arab, 15, 31, 32, 35, 97, 100 DKI Jakarta, 8, 49, 61, 64, 65, 66, 77, Arskal Salim, 6, 8 87, 119 Aturan, 1, 12, 52, 102, 105 DKM, 2, 4, 5, 6, 12, 13, 14, 15, 19, Azyumardi Azra, 63 22, 26, 30, 57, 58, 82, 83, 84, 85, 86, 89, 90, 91, 96, 97, 102, 103, 113, 115, 117, 124, 127, 128 B DPR, 109, 110 Baitul Mal, 61, 62, 67 E Bangsa, 11, 100, 110, 123 Banten, 64, 65, 66 Edukasi, 60, 101, 102, 119 BAZIS, 5, 8, 61, 65 Efektivitas, 43, 62, 90, 103, 105 BAZNAS, 2, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, Efisiensi, 90 17, 18, 19, 22, 26, 54, 55, 56, 57, Ekonomi, 10, 20, 31, 35, 39, 49, 50, 75, 87, 99, 117, 129 130

Emas, 10, 33, 98 Ibn Ma>jah, 98 Emile Durkheim, 45, 46 Ibn Qudda>mah al-Maqdisi, 97 Empiris, 2, 23, 24, 25, 26, 28, 52 Ibnu 'Abba>s, 32, 66, 115 Enforcement, 107, 108, 112 Ibn Rushd, 98 Ilegal, 8, 9 F Imam, 31, 34, 36, 38, 48, 91, 95, 96 Fakir, 35, 36, 37, 38, 40, 83, 85, 97, Imam al-T{abari, 31 98, 100, 101, 116 Implementasi, 2, 5, 8, 22, 23, 24, 29, Fatwa, 92, 93, 122, 123 30, 41, 42, 44, 45, 104 Fidyah, 72 Industri, 49, 51 Fikih, 1, 2, 12, 37, 89 Infaq, 5, 8, 20, 21, 81 Filantropi, 3, 4, 53, 54, 63 Irfan Abubakar, 4 Fuad Nasar, 111, 118, 125 Islam, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 12, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 26, 28, 30, 31, G 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 53, 54, 56, 57, 61, 63, 64, 72, 75, 76, 77, GK, 99 78, 79, 80, 86, 90, 91, 92, 95, 104, GKM, 99 105, 106, 112, 118, 119, 120, 122, GKNM, 99 123, 124, 126, 130 Grass Root, 103, 126 Gubernur, 8, 61, 65, 66, 77, 87, 93, 94 J H Jami‟, 75 Hak, 38, 52, 58, 73, 84 Jala>luddi>n al-Suyu>t}i, 27 Jawa Barat, 5, 65, 66, 87 Harrel R. Rodgers, 103 Jawa Timur, 8, 65, 93 Herbert Lionel Adolphus Hart, 12 John Austin, 11 Heru Susetyo, 7, 16 Joseph Raz, 11 Hierarki, 60, 61, 62 Hukum, 2, 3, 4, 6, 8, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 26, 27, K 28, 29, 30, 37, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 53, 54, 55, 56, 61, Keadilan, 4, 5, 40, 47 79, 80, 81, 89, 90, 91, 92, 93, 95, Kecamatan Pancoran, 4, 13, 14, 22, 96, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 23, 26, 30, 49, 81, 103, 121 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, Kementerian Agama, 26, 58, 62, 63, 118, 121, 123, 125, 127, 128, 129, 64, 66, 67, 68, 75, 76, 77, 79, 80, 130 90, 93, 94, 109, 110, 111, 115, 118, 119, 120, 124, 129, 130 I Kepastian, 11, 79, 90, 105, 110 Ibn Hisha>m, 32

131

Kepatuhan, 22, 23, 42, 43, 44, 45, 46, Mahkamah Konstitusi, 4, 9, 16, 27, 95 47, 103, 104, 105, 106, 107, 109, Malaysia, 15, 18 110, 111, 113, 128 Management, 7, 16, 17, 21 Keputusan, 27, 28, 61, 62, 69, 70, 76, Mandatory, 15 94 Manfaat, 5, 9, 36, 89, 90, 97, 114, Kesadaran, 2, 41, 43, 113 116, 117, 126, 129 Ketaatan, 42, 43, 44, 45, 46 Manna>’ ibn Khali>l al-Qat}t}a>n, 32 Kewajiban, 15, 22, 29, 37, 38, 44, 52, Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 39 53, 72, 80, 84, 85, 95, 96, 100, 101, Masjid, 2, 4, 5, 7, 10, 13, 14, 17, 18, 104, 105, 128 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 30, 31, Khalifah, 32, 33 45, 48, 52, 53, 55, 56, 58, 59, 68, Kolonial, 11 69, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79, Konsumtif, 20, 51, 83, 89, 116, 117, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 126, 129 89, 90, 91, 95, 96, 97, 102, 103, Konvensional, 116 104, 107, 112, 113, 114, 115, 116, Koordinasi, 118 117, 118,120, 122, 123, 124, 125, Kreatif, 116, 117 126, 127, 128, 129, 130 KUA, 4, 7, 14, 26, 56, 57, 77, 78, 93, Masyarakat, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 94, 103, 119, 120, 121, 124 13, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, Kualitatif, 2, 20, 21, 28, 29, 49, 83, 98 29, 30, 31, 34, 41, 42, 43, 44, 45, Kultural, 121, 130 46, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 59, 62, 63, 65, 66, 69, 71, 75, L 76, 77, 78, 80, 82, 83, 86, 87, 88, Law, 3, 11, 42, 43, 44, 45, 104, 105, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 102, 106, 110, 112 103, 104, 105, 106, 109, 110, 111, Lawrence M. Friedman, 12 112, 113, 114, 115, 118, 119, 120, LAZ, 2, 6, 7, 9, 13, 16, 17, 55, 56, 57, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 58, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 72, 128, 129, 130 93, 94, 95, 107, 111, 112, 120, 121, Mazhab, 33, 34, 97 122, 123, 124, 130 Menteri, 4, 10, 27, 28, 57, 58, 59, 62, Legalistik, 11, 59 76, 93, 94, 106, 107, 108, 109, 120 Legalitas, 54, 81, 93, 94, 105, 125, Mesra, 87 126, 128, 129 Michael P. Moody, 3 Litigatif, 48 Miftah, 2, 6 Lombok Timur, 7, 8 Miskin, 35, 36, 37, 38, 40, 83, 85, 97, 98, 99, 100, 101, 115, 116 Modern, 50 M Modernisasi, 51 Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi, M.A. Shaban, 34 92

132

Muhammad Daud Ali, 5 Organisasi, 6, 28, 50, 53, 57, 58, 59, Muhammadiyah, 53, 64, 122, 130 68, 70, 72, 78, 80, 86, 87, 106, 113, MUI, 92, 93, 122, 123, 124 114, 119, 120, 122, 124, 130 MUIS, 18 Otoritas, 10, 17 Mukallaf, 37 Musala, 75 P Muslim, 15, 22, 36, 75, 89, 98, 100 Pasuruan, 8 Must}afa> Muh{ammad al-Zarqa>, 6 Pelanggaran, 12, 46, 47, 55, 57, 58, Mustahik, 8, 9, 17, 34, 35, 36, 37, 38, 105, 108, 109, 111, 112, 115 40, 41, 83, 84, 85, 86, 89, 90, 91, Pemahaman, 1, 12, 86, 89, 91, 101, 92, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107, 102, 104, 116, 128 114, 115, 116, 117, 121, 126, 128, Pembangunan, 27, 31, 50 129 Pemerintah, 5, 7, 9, 13, 27, 56, 57, 62, Musyawarah, 10, 84, 89 63, 76, 77, 78, 87, 93, 95, 107, 120 Muzaki, 8, 9, 10, 17, 18, 19, 33, 34, Pendekatan, 2, 11, 17, 24, 44, 48, 49, 35, 36, 38, 40, 52, 60, 71, 72, 73, 89, 99, 121, 130 82, 84, 85, 95, 96, 97, 101, 102, Pendidikan,, 10, 99 104, 106, 107, 113, 114, 117, 127, Pendistribusian, 2, 6, 10, 12, 13, 14, 128, 129 16, 18, 39, 40, 55, 63, 66, 68, 70, 71, 73, 74, 82, 83, 85, 86, 89, 91, N 106, 107, 108, 115, 116, 117, 121, Nahdlatul Ulama, 53, 64, 93, 122, 130 122, 129 Nation-state, 11 Penegakan, 45, 47, 105, 108, 109, Nazar, 72 112, 114, 115, 128 Negara, 2, 6, 8, 10, 11, 15, 17, 18, 22, Penelitian, 2, 5, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 33, 35, 36, 37, 53, 54, 56, 63, 68, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 69, 72, 75, 76, 91, 92, 94, 95, 104, 28, 29, 30, 43, 44, 45, 49, 52, 54, 105, 107, 109, 110, 125 55, 81, 82, 83, 86, 89, 103, 117, Nilai, 3, 25, 27, 40, 41, 42, 50, 51, 91, 127, 128, 129 95, 99, 101, 102, 117, 125 Pengelolaan, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, Nominal, 62, 100 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, Norma, 3, 41, 42, 45, 46, 106 22, 23, 24, 26, 29, 30, 31, 33, 34, Normatif, 2, 17, 23, 24, 25, 26, 28, 35, 36, 38, 39, 40, 52, 53, 54, 55, 47, 52, 79, 110 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 65, NTB, 7 66, 72, 80, 81, 82, 84, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 95, 96, 102, 103, O 104, 106, 107, 108, 109, 110, 111, Observasi, 16, 22, 25, 81 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, Operator, 9 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130

133

Penghimpunan, 2, 19, 22, 39, 57, 63, S 64, 68, 86, 87, 104, 109, 110, 115, Sanksi, 4, 7, 12, 13, 17, 44, 46, 47, 119, 120, 121, 122, 123, 124 56, 57, 58, 105, 106, 108, 109, 121, Pengumpulan, 5, 6, 10, 15, 16, 17, 20, 128 21, 25, 26, 27, 30, 40, 56, 69, 71, Sedekah, 4, 5, 8, 10, 20, 21, 31, 72, 72, 73, 74, 75, 83, 84, 85, 91, 93, 81, 92, 102, 126 119 Sejarah, 5, 11, 23, 31, 65, 125 Perak, 10, 33, 98 Sertifikasi, 73, 130 Peraturan, 4, 7, 9, 27, 28, 42, 49, 56, Signifikan, 45, 51, 60, 62, 104, 113, 57, 58, 59, 61, 68, 71, 72, 73, 93, 122, 123, 129 95, 106, 107, 108, 109, 120 SIMAS, 76 Perdesaan, 45, 48, 49, 130 sinergi, 66, 103, 118, 124, 130 Perkotaan, 2, 7, 20, 45, 48, 49, 103, Singapura, 18, 19 128, 130 Sistem, 5, 11, 76, 82 Peter Mahmud Marzuki, 23, 24 Soerjono Soekanto, 41, 42, 43, 50, Pidana, 54, 55, 72, 106, 108, 114 103 Politik, 11, 45, 110 Sosial, 3, 5, 7, 10, 16, 24, 31, 35, 41, Presiden, 27, 56, 63, 93, 94 44, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 63, 72, Primer, 25, 27 75, 77, 80, 85, 89, 97, 110, 118, Prinsip, 10, 20, 23, 30, 34, 36, 39, 80, 126, 128, 129 128 Sosialisasi, 15, 71, 72, 82, 87, 113, Produktif, 116, 117 114, 123, 128, 129, 130 Profesional, 80 Sosiologi, 47, 48, 49, 50, 51 Stakeholders, 118, 124 R Statis, 79 Ramadan, 2, 4, 7, 20, 21, 59, 81, 82, Sulawesi Selatan, 5, 65 84, 86, 88, 100, 102, 115, 117, 126, Sult}a>n, 91 128 Syariat, 31, 39, 57, 61, 90, 93, 95, 96, Rasululah, 10 97, 102, 106, 119, 122 Regulator, 9 Revisi, 10 T RKAT, 71, 72 Talfi>q, 101 Robert L. Payton, 3 Tangerang Selatan, 22 Roscoe Pound, 3 Taqli>d, 101 RT-RW, 120 Teori, 11, 12, 16, 28, 29, 45 Russell Powell, 16, 105 Tipologi, 50, 52, 76, 79, 80 Tradisional, 2, 6, 9, 17, 18, 20, 45, 51, 54, 89, 90, 116, 117, 124, 128, 129 Transparansi, 40

134

U 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, Uji Materiil, 4, 9, 56 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, Umar ibn al-Khat}t{a>b, 32 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, Uthma>n bin ‘Affa>n, 10 Zawiya, 75 Umawiyyah, 33

Undang-Undang, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 16, 17, 19, 22, 27, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 89, 90, 93, 95, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 111, 120, 125, 126 Up-Down, 125, 126 UPZ, 2, 14, 19, 22, 26, 56, 57, 59, 60, 62, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 94, 122, 124, 126, 130

V Voluntary, 3, 16, 52, 104

W Wahbah Must}afa> al-Zuhaili, 33, 36, 38, 40 Walikota, 77, 93, 94 Wawancara, 2, 4, 16, 20, 21, 22, 25, 81, 83, 84, 90, 102, 111, 118, 119, 124 Wijayanto, 2, 22

Y Yu>suf al-Qarad{a>wi, 35, 38 Yuridis, 2, 17, 24, 81, 93, 94

Z Zakat, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 49, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 82, 83, 84, 85, 86, 135

LAMPIRAN

TRANSKIP WAWANCARA

A. Dewan Kemakmuran Masjid

1. Masjid Jami at-Taubah

Narasumber : H. Syamsudin Abdul Karim; Ketua DKM Farhat; Petugas Zakat Masjid Jami at-Taubah Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 13.00- 14.00 WIB Tempat : Sekretariat Masjid Jami at-Taubah Pancoran Jl. Pancoran Barat VIII Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat? - Ya, sekedar mengetahui jika zakat telah ada undang-undangnya

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat? - Amil zakat

3. Apa tugas Amil Zakat? - Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat? - Mendapatkan bagian zakat, di masjid ini bagian amil sebesar 1/8 total zakat yang dikumpulkan

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini? - Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat? - Selain melanjutkan dan menjaga tradisi yang sudah ada di masjid, pastinya masjid bisa memfasilitasi muzaki sekitar untuk menunaikan zakatnya dan juga didistribusikan untuk mustahik di lingkungan masjid

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq? - Ada catatannya, tetapi di komputer dan sayangnya komputer rusak terendam banjir.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat? - Ada di setiap Ramadan

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul? - Zakat fitrah berupa beras dibagikan H-3 Idul Fitri, sedangkan zakat berupa uang tunai kami bagikan ketika malam takbiran

136

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki? - Ya, berupa kuitansi yang telah disiapkan panitia sebagai bukti pembayaran zakat

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini? - Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, terdiri dari 6 orang, 3 pengurus utama dan 3 pengurus harian

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan, permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll) - Inisiatif DKM juga permintaan jamaah, agar zakat mereka dikelola di masjid untuk kemaslahatan mustahik sekitar masjid juga.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia? - Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan zakat? - Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid? - Selama ini berjalan lancar seperti biasa, antusias masyarakat sekitar juga selalu meningkat, sehingga zakat yang dikumpulkan selalu bertambah setiap tahunnya.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia? - Kami butuh pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan zakat, terutama terkait pendistribusiannya, sehingga tidak melulu zakat itu habis dikonsumi oleh mustahik, tidak memberikan dampak jangka panjang.

137

2. Masjid al-Muawanah

Narasumber : H. Abdul Aziz Musahab; Ketua DKM Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 16.00- 16.45 WIB Tempat : Masjid al-Muawanah Jl. Duren Tiga Raya No. 38 Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat? - Ya tahu, tapi tidak detail

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat? - Amil zakat adalah orang-orang yang ditugaskan untuk menerima dan menyalurkan zakat

3. Apa tugas Amil Zakat? - Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat? - Mendapatkan 12,5 % dari total pengumpulan zakat, baik berupa beras atau uang tunai

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini? - Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat? - Menjalankan ibadah supaya memudahkan muzaki sekitar masjid untuk menunaikan zakatnya dan akan dibagikan lagi ke masyarkat seitar masjid juga

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq? - Tidak punya, biasanya daftar muzaki dicatat sesuai tahun pengumpulan, adapun mustahik datanya kita selalu perbaharui tiap tahun berkoordinasi dengan RT-RT setempat.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat? - Ada di setiap Ramadan

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul? - Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan ke mustahik paling lambat H-1, atau malam takbir sudah harus selesai pembagiannya.

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki? - Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

138

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini? - Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, terdiri 3 orang pengurus utama dan dibantu remaja masjid untuk menjaga stand penerimaan zakat.

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan, permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll) - Inisiatif DKM.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia? - Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan zakat? - Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid? - Belum ada koordinasi antar masjid-masjid yang mengelola zakat sehingga tidak ada program bersama pemberdayaan mustahik di lingkungan

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia? - Kami butuh pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan zakat, terutama terkait pendistribusiannya, sehingga tidak melulu zakat itu habis dikonsumi oleh mustahik, tidak memberikan dampak jangka panjang.

139

3. Masjid Arrohmaanurrohim

Narasumber : H. Ubaidillah; Ketua DKM Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 17.00- 17.45 WIB Tempat : Masjid Arrohmaanurrohim Jl. Pancoran Barat VIII Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat? - Ya tahu

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat? - Di masjid ini, amil zakat adalah petugas zakat yang dibentuk DKM

3. Apa tugas Amil Zakat? - Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat? - Mendapatkan 1/8 bagian dari total zakat yang dihimpuni

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini? - Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat? - Menjalankan ibadah zakat dan menjadikan masjid bermanfaat bagi masyarakat

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq? - Tidak punya, kami biasanya menyesuaikan dengan di waktu pelaksanaan di bulan Ramadan, tidak ada daftar tetap.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat? - Ada di setiap pelaksanaan pengelolaan zakat

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul? - Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan habis pada malam takbir

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki? - Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini? - Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, biasanya melibatkan remaja masjid

140

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan, permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll) - Inisiatif DKM.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia? - Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan zakat? - Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid? - Pengumpulan zakat di masjid hal yang bagus untuk memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu di sekitar masjid.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia? - Kalau pihak-pihak lembaga resmi pengelola zakat bisa membantu masjid-masjid dalam mempersiapkan rencana pengelolaan zakat dan skaligus strategi pendistribusian serta pemberdayaan, maka akan nilai zakat akan lebih bermanfaat.

141

4. Masjid Jami an-Nur

Narasumber : Iqbal Ali Faris; Pengurus DKM Waktu : Jumat, 24 Mei 2019 pukul 13.00- 13.30 WIB Tempat : Masjid Jami an-Nur Jl. Mampang Prapatan XVC Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat? - Ya tahu, memahami secara umum tidak sampai hapal pasal per pasal

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat? - Beberapa orang yang ditunjuk untuk menangani urusan zakat

3. Apa tugas Amil Zakat? - Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat? - Yang kami praktikkan di masjid ini, amil zakat kami berikan upah dari operasional masjid, tidak dari zakat. Zakat murni semuanya dibagikan ke mustahik

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini? - Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat? - Melanjutkan tradisi pengelolaan zakat dan membantu muzaki menerima zakatnya untuk diserahkan ke mustahik melalui masjid

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq? - Ada beberapa muzaki tetap di masjid kami, untuk mustahik, kita koordinasi dengan RT RW setempat, bisa jadi setiap tahun berubah.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat? - Ada di setiap pelaksanaan pengelolaan zakat dan dilaporkan menjelang salat Idul Fitri secara lisan maupun print out yang ditempel di papan pengumuman

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul? - Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan habis pada malam takbir

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki? - Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

142

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini? - Panitia atau petugas yang dibentuk DKM

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan, permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll) - Inisiatif DKM dan permintaan jamaah.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia? - Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan zakat? - Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid? - Kami menyadari masih banyak kekurangan, tapi alhamdulillah dari zakat yang kami kumpulkan juga bisa membantu mustahik, meskipun untuk kegiatan konsumtif. Ke depannya, kami ingin mengubah pola ditribusi dari konsumtif menjadi produktif, tentu jumlah mustahik akan berkurang tetapi diharapkan nantinya bisa merubah kehidupan mustahik tersebut dan memberikan manfaat jangka panjang.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia? - Sangat ditunggu program-program dari pemerintah baik BAZNAS, atau Kementerian Agama yang langsung melibatkan pengurus-pengurus masjid agar kami bisa diberdayakan. Pelatihan-pelatihan yang bisa meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di masjid.

143

5. Masjid al-Munawwar

Narasumber : H. Zainuddin; Sekretaris DKM Waktu : Jumat, 24 Mei 2019 pukul 13.00- 13.30 WIB Tempat : Masjid Jami an-Nur Jl. Mampang Prapatan XVC Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat? - Ya tahu, tapi tidak pernah dipraktikkan di masjid ini

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat? - Amil Zakat itu bahasa Arab, istilah di Indonesia adalah petugas yang dibentuk untuk mengumpukan dan menyalurkan zakat

3. Apa tugas Amil Zakat? - Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat? - Di masjid ini amil zakat diberikan 10%-12,5% dari dana zakat dengan penyesuaian hasil pengumpulan

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini? - Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat? - Ibadah di bulan Ramadan serta menjaga tradisi baik

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq? - Tidak punya. Tidak ada target penghimpunan dai muzaki-muzaki tetap, siapa saja bisa berzakat di masjid ini. Adapun mustahik selalu kita update setiap tahunnya berkoordinasi dengan RT RW setempat

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat? - Ada, setiap tahun kita buat laporan, berapa zakat yang dikumpulkan dari siapa saja dan dibagikan kepada siapa saja

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul? - Biasanya kami bagikan paling telat di malam takbir, sebelumnya juga terkadang pendistribusian sudah dicicil

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki? - Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

144

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini? - Panitia atau petugas yang dibentuk DKM beserta remaja masjid.

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan, permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll) - Inisiatif DKM dan permintaan jamaah.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia? - Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan zakat? - Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid? - Memang perlu ada perubahan dalam pengelolaan zakat di masjid, kalau tidak ya akan seperti ini saja sampai kapaun pun, masjid hanya menjadi tempat transit zakat, meskipun memberikan manfaat bagi mustahik, tapi jika dikelola dengan serius dan profesional insya Allah manfaat zakat bisa lebih besar dari sekedar penyaluran konsumtif berupa beras atau uang tunai dengan nominal tertentu.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia? - Pemerintah dan atau lembaga swasta telah mengelola zakat secara profesional bisa menularkan ilmunya kepada para pengurus masjid sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid bisa lebih baik ke depannya. Pihak-pihak yang terkait juga diharapkan ikut serta membangun kondisi yang kondusif untuk perkembangan zakat, seperti KUA, MUI, Kemenag, BAZNAS dan masjid-masjid alangkah baiknya memiliki pertemuan atau pengajian rutin yang bisa membahas program keumatan seperti pengelolaan zakat ini.

145

6. Masjid Nurullah

Narasumber : Muhammad Mada; Koordinator Humas dan Sosial DKM Waktu : Jumat, 22 November 2019 pukul 14.00- 14.30 WIB Tempat : Masjid Nurullah Basement Tower Cendana Kalibata City Rawajati Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat? - Ya tahu,

2. Bagaimana proses bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan? - Bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan pada Tahun 2017 tidak terlepas dari komunikasi yang kami lakukan dengan pihak KUA Kecamatan Pancoran. Sebelumnya kami pun mencari-cari informasi secara online kalau pengelola zakat harus memiliki izin, begitu juga masjid-masjid, sehingga kami memutuskan untuk berkonsultasi dengan pihak KUA. Pihak KUA menyarankan kami untuk bergabung menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan dan kemudian ada pertemuan, sosialisai, hingga acara seremonial pemberian SK UPZ.

3. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat? - Petugas-petugas zakat yang melakukan penerimaan hingga pendistribusian

4. Apa tugas Amil Zakat? - Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

5. Apa Hak Amil Zakat? - Masjid tidak mengambil bagian zakat, dan petugas telah diberikan insentif bulana sebagai anggota DKM, sehingga dana zakat seluruhnya didistribusikan untuk mustahik

6. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini? - Fikih zakat dan aturan hukum yang ada

7. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat? - Sebagai ibadah sekaligus fungsi pelayanan bagi jamaah yang ingin menunaikan zakatnya di masjid

8. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

146

- Selama ini belum ada. Mustahik zakat biasanya kami pilih dari petugas kebersihan, keamanan, dan parkir di kawasan Kalibata City dan juga fakir miskin di masyarakat Kelurahan Rawajati.

9. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat? - Ada, setiap tahun kita buat laporan, berapa zakat yang dikumpulkan dari siapa saja dan dibagikan kepada siapa saja

10. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul? - Zakat fitrah kami bagikan berupa beras di malam takbir, dan zakat mal kami himpun setiap waktu sehingga pendistribusiannya bisa fleksibel, bahkan terkadang ada jamaah kami yang memiliki tetangga di daerah, dan sedang membutuhkan, maka kami bantu dengan dana zakat mal yang ada.

11. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki? - Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

12. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini? - Panitia atau petugas yang dibentuk DKM

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia? - Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan zakat? - Sebelum kami mendatangi KUA, tidak pernah ada sosialisasi.

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid? - Meskipun kami telah bergabung menjadi UPZ, tapi kami tidak pernah diberikan pelatihan, pembinaan, monitoring, evaluasi untuk pengelolaan zakat. Pihak BAZIS tidak pernah lagi berkomunikasi terkait tindak lanjut dari UPZ, sehingga kami menganggap memang bentuk UPZ hanya sebatas legalitas dan formalitas hukum semata.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia? - Pemerintah harus proaktif melakukan sosialisasi ke masjid-masjid, jika menghendaki masjid-masjid yang mengelola zakat menjadi UPZ, KUA dan BAZNAS harus jemput bola, melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, karena masyarakat banyak yang salah paham dengan konsep UPZ

147

B. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran

Narasumber : Pahruroji; Kepala KUA Kecamatan Pancoran Waktu : Rabu, 11 April 2018 pukul 10.45- 11.30 WIB Tempat : Kantor KUA Kecamatan Pancoran, Jl. Rawajati Barat No.5 Rawajati Pancoran Jakarta Selatan 1. Program apa saja yang telah dilakukan KUA dalam konteks pengelolaan zakat? - Pada dasarnya tugas dan fungsi KUA tidak hanya berkaitan dengan pernikahan sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya, tetapi KUA juga melakukan fungsi penyuluhan dan pembinaan kegiatan agama Islam lainnya seperti bimbingan manasik haji, penentuan arah kiblat, hingga soal zakat. Selama ini KUA Pancoran melalui penyuluh dan pegawainya memang lebih fokus pada masalah pernikahan karena permintaan masyarakat tinggi akan hal ini, tetapi kami juga mengarahkan masyarakat yang berkonsultasi terkait zakat untuk bergabung menjadi UPZ sesuai aturan yang berlaku, salah satu hasilnya adalah Masjid Nurullah Kalibata City yang di Tahun 2017 telah bergabung menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan.

2. Program apa saja yang pernah dilakukan KUA yang berkaitan dengan masjid? - Selama ini ada pengajian di masjid-masjid kecamatan Pancoran yang diisi oleh penyuluh kami.

3. Bagaimana pola komunikasi KUA dengan masjid-masjid yang ada di wilayah tugas? - Hanya masjid tertentu yang biasanya ada kaitannya dengan program kami yang akan intens berkomunikasi, selama ini memang tidak ada forum khusus antar masjid-masjid dan KUA.

4. Bagaimana menurut bapak tentang pengelolaan zakat di masjid? - Selama ini memang telah banyak dilakukan di masjid, tetapi tidak pernah ada laporan atau pemberitahuan kepada kami tentang pengelolaan zakat tersebut, berapa yang dhimpun, kepada siapa saja dibagikan, dan seterunya, padahal ada ketentuan untuk melapor ke KUA setempat. Di sisi lain, kami pun tidak bisa banyak berbuat terkait itu, karena sudah bagian privasi masjid, tetapi kami terbuka jika ada masjid atau pihak lain ingin diarahkan untuk menyesuaikan dengan regulasi pengelolaan zakat yang ada.

148

C. BAZNAS

Narasumber : Faisal Qosim, Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul Zakat Waktu : Kamis, 27 Juni 2019 pukul 09.00-10.45 WIB Tempat : Kantor BAZNAS Pusat, Wisma Sirca Lantai 2 Jl. Johar No. 18 Jakarta Pusat

1. Sejauhmana BAZNAS mensosialisasikan peraturan pengelolaan zakat kepada masjid? - Sosialisasi mengenai perundangan zakat dan aturan-aturan turunannya merupakan agenda nasional baik di pusat maupun di daerah

2. Berapa masjid yang telah menjadi UPZ BAZNAS? - Pembentukan UPZ di masjid melalui SK sesuai dengan tingkatan BAZNAS, BAZNAS pusat hanya membentuk 1 UPZ di masjid negara yaitu masjid Istiqlal.

3. Bagaimana prosedur dan mekanisme pembentukan UPZ BAZNAS? - Masjid menjadi UPZ bisa melalui 2 mekanisme, pertama inisiatif BAZNAS untuk memberikan SK, kedua inisiatif pengurus masjid untuk dibentuk UPZ dengan mengirim surat permohonan ke BAZNAS sesuai tingkatannya

4. Apa saja hak dan kewajiban yang ditetapkan untuk UPZ dan BAZNAS? - Di antara hak UPZ BAZNAS adalah mendapatkan legalitas berkekuatan hukum sebagai sebuah pengumpul zakat, pelatihan amil melalui program sertifikasi amil, mendapatkan hak amil sesuai ketentuan, diberikan supervisi dan monitoring dalam program pengelolaan zakatnya. Adapun kewajibannya adalah melaporkan pengelolaan zakat setiap bulan, menyetorkan hasil penghimpunan zakat ke BAZNAS sesuai tingkatan setiap bulan, menjalankan tugas dan kewajiban sesuai aturan UPZ yang berlaku.

5. Apakah LAZ bisa menjadikan masjid sebagai UPZ? - LAZ tidak berwenang membentuk UPZ, karena kata “UPZ” telah dikhususkan bagi BAZNAS melalui undang-undang dan peraturan pemerintah. Adapun LAZ mungkin untuk membetuk cabang LAZ, bukan UPZ.

6. Bagaimana prosedur LAZ untuk dapat membentuk UPZ di Masjid? - LAZ bisa saja menggandeng masjid tertentu sebagai mitranya dalam pengelolaan zakat, bukan disebut UPZ. Mekanismenya diserahkan kepada masing-masing LAZ.

7. Apakah BAZNAS terlibat dalam pembentukan UPZ LAZ di Masjid? - Tidak

149

8. Bagaimana pandangan BAZNAS tentang pengelolaan zakat di Masjid? - Pada dasarnya pemerintah mendukung agar pengelolaan zakat dilakukan oleh lembaga yang profesional karena semangat kebangkitan zakat menjunjung nilai-nilai pengelolaan zakat yang akuntabel, transparan, dan terintegritas. Kita semua sudah mengetahui bahwa masjid di Indonesia telah lama memainkan peran sebagai tempat penghimpunan zakat, utamanya zakat fitrah di bulan Ramadan, meskipun hal tersebut merupakan kegiatan yang positif dan bertujuan mulia -untuk menerima penunaian kewajiban muzaki dan menyerahkannya sebagai hak mustahik- tetapi alangkah baiknya jika masjid-masjid atau pihak lain yang melakukan pengelolaan zakat bisa menyesuaikan dengan aturan yang ada, yaitu bisa bergabung dengan UPZ BAZNAS sesuai tingkatannya. Masjid-masjid di tingkat kecamatan hingga kelurahan bisa menjadi UPZ BAZNAS Kabupaten/Kota.

9. Bagaimana pola komunikasi dan koordinasi antara BAZNAS dengan DMI /masjid-masjid pengelola zakat? - DMI merupakan salah satu stakeholder pengelolaan zakat di Indonesia, khususnya pengelolaan yang berbasis masjid, karena melalui DMI sosialisasi terkait hal-hal pengelolaan zakat di masjid, pemberdayaan zakat berbasis masjid bisa lebih mudah, tetapi memang program DMI dari aspek zakat tidak pernah diangkat, koordinasinya dengan BAZNAS pun belum terjalin.

10. Bagaimana sikap BAZNAS terhadap legalitas pengelolaan zakat di masjid yang marak dilakukan setiap bulan Ramadan? - Secara hukum, memang telah ada ketentuan sanksi yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat, dan harus kita akui masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat tetapi tidak memiliki legalitas sudah masuk dalam kategori peraturan tersebut. Meskipun demikian, dalam tatacara pengenaan sanksinya, mengharuskan adanya laporan atau pengaduan dari pihak tertentu, jadi delik aduan. Tidak ada laporan, maka tidak ada penindakan.

11. Apa harapan BAZNAS mengenai pengelolaan zakat di masjid? - Aturan hukum yang dibuat sebenarnya bertujuan untuk menguatkan kegiatan dakwah zakat yang sudah ada di masjid sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan bisa aman secara 4 hal, yaitu aman regulasi, aman syar‟i (kesesuaian dengan syariah), aman idari (manajemen yang profesional), dan aman sosial (manfaat bagi masyarakat sekitar). Cara yang bisa ditempuh oleh masjid adalah dengan bergabung menjadi UPZ BAZNAS sesuai tingkatan.

150

D. Dewan Masjid Indonesia

Narasumber : Firman, Ketua DMI Kecamatan Pancoran Waktu : Kamis, 27 Juni 2019 pukul 09.00-10.45 WIB Tempat : Durentiga Pancoran Jakarta Selatan

1. Apa tugas dan fungsi DMI di Indonesia?

- Mengkoordinasi masjid-masjid anggotanya

2. Program apa saja yang dilakukan DMI? - Selama ini, di Jakarta DMI dipercaya untuk bekerjasama dalam penyaluran program Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI)

3. Apakah DMI intens berkomunikasi dengan BAZNAS tentang pengelolaan zakat di Masjid? - Tidak ada

4. Apakah DMI memberikan himbauan atau arahan kepada masjid- masjid dalam pengelolaan zakat? - Tidak, karena kami rasa sudah ada BAZNAS yang lebih berwenng dengan hal tersebut.

5. Adakah forum rutin antara masjid-masjid di bawah naungan DMI untuk membahas pengelolaan zakat di masjid? atau tata kelola masjid secara umum? - Selama ini belum ada,

6. Bagaimana pandangan bapak mengenai pengelolaan zakat di masjid? - Sebenarnya ini hal yang positif, selain membantu memfasilitasi muzaki untuk berzakat di tempat terdekat, mustahik sekitar juga ikut mendapatkan zakat. Adapun tentang regulasi atau peraturan yang ada, nampaknya pihak yang berwenang harus lebih intens mensosialisasikannya, lebih serius jika memang ingin ada kepatuhan di masyarakat terhadap peraturan tersebut.

151

E. Kementerian Agama Jakarta Selatan

Narasumber : Muhammad Yunus Hasyim, Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Nasruddin; Kepala Seksi Bimas Islam Waktu : Kamis, 20 Juni 2019 pukul 08.00-09.20 Tempat : Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan, Jl Warung Buncit Raya No.2 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan

1. Apakah bapak pernah mendapatkan pengaduan tentang dugaan pelanggaran pengelolaan zakat di wilayah tugas bapak? - Tidak pernah

2. Bagaimana instansi bapak mengawasi pengelolaan zakat di wilayah kerja bapak? - Sebenarnya fungsi kami tidak dalam hal tersebut, karena terkait zakat yang kami lakukan hanyalah pengumpulan di kalangan internal pegawai atau instansi di bawah naungan Kementerian Agama.

3. Apa saja program dalam pengelolaan zakat yang pernah instansi bapak lakukan? - Program yang kami lakukan berbasis anggaran, sehingga sudah pasti tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, atau semua masjid yang ada di Jakarta Selatan. Biasanya ada perwakilan masjid kecamatan yang menjadi peserta. Secara spesifik, kami tidak mengurusi pengelolaan zakat di masjid-masjid, karena itu bukan wilayah tugas kami, tetapi di fungsi pembinaan atau bimbingan masyarakat Islam kami melakukannya seperti pelayanan sertifikasi arah kiblat, pelayanan ibadah haji, dan konsultasi masalah keagamaan lainnya termasuk zakat. meski demikian, kami juga punya satuan khusus yang lebih dekat dan langsung menjangkau masyarakat yaitu KUA-KUA di setiap Kecamatan serta tenaga-tenaga penyuluhnya.

4. Bagaimana pandangan bapak mengenai pengelolaan zakat di masjid? - Mengingat telah adanya badan resmi pemerintah yang khusus mengelola zakat yaitu BAZNAS kita satukan visi ke sana, berharap masjid-masjid yang mengelola zakat bisa bergabung ke BAZNAS dengan menjadi UPZ sehingga dapat terkoordiir dengan baik. Kami tahu, mungkin bagi masjid tidak semudah itu untuk bergabung karena praduga-praduga yang terkadang tidak benar, sehingga perlu adanya pertemuan atau inisiasi yang diharapkan dari keseriusan BAZNAS sebagai lembaga pemerintah yang berwenang terhadap hal itu.

152

F. Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama

Narasumber : Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Waktu : Rabu, 24 Juli 2019 pukul 15.30-16.30 WIB Tempat : Kantor Kementerian Agama, Jl MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat

1. Bagaimana pandangan bapak tentang pengelolaan zakat di masjid? - Harus kita akui masjid telah lebih dulu melakukan pengelolaan zakat di Indonesia, ini sebuah khazanah Islam dan tradisi nusantara dan tidak bisa dipungkiri bahwa zakat infak sedekah merupakan andalan utama masjid dalam kemakmurannya, meskipun dalam hal ini zakat bukan menjadi sumber utama, tetapi kotak amal masjid yang menyumbang pemasukan terbesar. Penertiban pengelola zakat tidak selalu menggunakan pendekatan kekuasaan dan sanksi/hukuman, tetapi pendekatan persuasif tentang pentingnya pelaporan data pengelolaan zakat secara nasional baik penghimpunan dan pendistribusiannya.

2. Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh bapak terhadap pengelolaan zakat yang ilegal/ yang tidak berizin? - Pengawasan yang dilakukan Kemenag dalam pengelolaan zakat adalah melakukan audit syariah terhadap laporan lembaga pengelola zakat agar memastikan kepatuhan syariahnya. Selain itu mendorong semua pengelola zakat memiliki legalitas sesuai dengan undang-undang dan aturan hukum yang berlaku. Terkiat masjid, memang domain utamanya tidak di Kemenag pusat, tapi di KUA kecamatan dan semestinya KUA memang harus proaktif untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat khususnya terkait pengelolaan zakat yang mungkin selama ini belum maksimal dilakukan seperti halnya pembinaan tentang perkawinan.

3. Siapa yang memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi bagi pengelola zakat yang tidak sesuai aturan? BAZNAS atau Kemenag? - Kemenag dan BAZNAS sudah memiliki peran masing-masing yang tidak saling tumpang tindih , Kemenag berperan sebagai pembina dan pengawas pengelolaan zakat secara nasional, sedangkan BAZNAS berperan sebagai koordinator pengelola zakat se-Indonesia juga operator. Adapun terkait pemberian sanksi atau hukuman telah ada mekanisme yang diatur, salah satunya adalah mensyaratkan adanya pengaduan dari pihak tertentu untuk kemudian bisa ditindaklanjuti dalam tahap penyelidikan

153

4. Pengelolaan zakat di masjid apakah menjadi domain urusan yang bapak tangani? - Kami di Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf tidak sampai mengurusi masjid-masjid di lapangan, kami lebih konsen pada pengawasan lembaga-lembaga zakat yang resmi yang pelaporan kegiatannya dikumpulkan oleh BAZNAS. Para pengelola zakat yang ada di masyarakat baik berupa masjid, musola, majelis ta‟lim dan sebagainya harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan KUA Kecamatan. Hal ini tidak semata-mata bertujuan untuk menyesuaikan aspek legalitas, tetapi agar KUA juga dapat menjalankan fungsi pencatatan, pendataan, dan pembinaan terkait pengelolaan zakat yang dilakukan di wilayah kecamatannya.

5. Apa fungsi dan tugas yang instansi bapak jalankan dalam pengelolaan zakat di masjid? - Secara khusus tidak ada, tetapi sebagai instansi yang juga mengurusi soall zakat, kami tetap mendorong agar masyarakat yang mengelola zakat bisa juga menyesuaikan kegiatannya dengan peraturan yang ada, karena sesungguhnya peraturan tersebut dibuat untuk memaksimalkan dan memperbaiki kualitas pengelolaan zakat.

154

G. Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama.

Narasumber : Ahmad Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid Waktu : Senin, 08 Juli 2019 pukul 13.30-14.15 WIB Tempat : Kantor Kementerian Agama, Jl MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat

1. Bagaimana pandangan bapak tentang pengelolaan zakat di masjid? - Fungsi masjid adalah sebagai tempat ibadah umat Islam baik ibadah mahdhoh maupun ibadah sosial. Memang masjid sedari dulu menjadi tempat pengumpulan zakat, tetapi di zaman sekarang harus juga mengikuti perkembangan, terutama aspek hukum yang ada. Aktivitas DKM mengelola zakat adalah kegiatan yang bagus dan positif, tetapi sangat diharapkan untuk bisa mengikuti regulasi yang berlaku.

2. Apa saja fungsi dan peran yang dapat dijalankan masjid sesuai aturannya? - Masjid memang multifungsi, segla kegiatan keagamaan bisa dilakukan di masjid, termasuk pengelolaan zakat. setidaknya masjid-masjid harus bisa berperan dan berfungsi dalam 3 aspek, yaitu pembinaan, pelayanan, dan pemberdayaan jamaahnya

3. Apa tugas pokok dan fungsi Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama? - Seksi kemakmuran masjid Kemenag tugasnya meningkatkan value dan kompetensi takmir masjid

4. Apa saja program yang dijalankan instansi yang Bapak pimpin ini? - Program kami biasanya memberikan bantuan untuk pembangunan atau renovasi sarana ibadah umat Islam melalui pengajuan dari masjid. Terkait program yang langsung bersentuhan dengan masjid-masjid di lapangan, kami kira KUA menjadi satuan unit Kemenag di level masyarakat yang leih tepat, karena bisa langsung berkoordinasi dan berkomunikasi dengan masjid-masjid melalui tenaga Penyuluh

5. Bagaimana pola komunikasi dan koordinasi lembaga yang Bapak pimpin dengan masjid-masjid yang ada di lapangan? - Pola komunikasi yang diterapkan antara seksi kemasjidan Kemenag dan masjid-masjid di masyarakat adalah pola komunikasi berjenjang, mulai dari pusat ke kanwil ke kemenag kota/kabupaten lalu ke KUA baru ke masjid-masjid.

155

BIODATA PENULIS Luthfi Mafatihu Rizqia lahir di Bandung, 12 November 1995 dari pasangan pengajar Drs. H. Masudin dan Dra. Hj. Ai Muflihah. Tahun 1997 ia ikut pindah ke Kabupaten Tangerang setelah ibunya mendapatkan penempatan tugas di MTsN 1 Kabupaten Tangerang ketika itu. Pendidikan sekolah dasar ia tamatkan pada Tahun 2006 di SDN Sasak 01 Desa Sasak Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang Banten. Setelah lulus SD, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Al- Nahdlah Islamic Boarding School, pesantren semi-modern di Bojongsari Depok yang menggabungkan khazanah dengan ilmu umum dilengkapi kemampuan berbahasa Arab dan Inggris aktif maupun pasif. Enam tahun ia habiskan di pesantren NU tersebut dan lulus dari tingkat Madrasah Aliyah Program Keagamaan di tahun 2013. Selulusnya dari Al-Nahdlah, ia mengambil program diploma Ilmu Administrasi dan Keuangan (al-‘Ulu>m al-Ida>riyyah al-Ma>liyyah) di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta selama 2 tahun. Di tengah proses perkuliahan di LIPIA, ia menerima beasiswa 1 Year Program kerjasama antara Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dan Universitas Zaitunah Tunisia dengan pendanaan dari Kementrian Agama melalui Program Beasiswa Berprestasi (PBSB) untuk memperdalam bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam di Tunis selama tahun 2014. Sekembalinya dari Tunisia, ia melanjutkan kuliah di LIPIA hingga lulus di Tahun 2016 sekaligus mengambil S-1 di STAINU yang kini telah menjadi Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Jakarta dengan program studi Ahwal Syakhsiyyah (Hukum Keluarga Islam) dan lulus tahun 2017. Beberapa bulan setelah kelulusannya dari UNUSIA, ia mendapatkan beasiswa program Beasiswa Pembibitan Fresh Graduate Kementerian Agama 2017 untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Syariah. Penulis bisa dihubungi melalui alamat surel: [email protected]

156