Potensi Gunung Lawu Sebagai Taman Nasional

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Potensi Gunung Lawu Sebagai Taman Nasional B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 2, Nomor 2 Juli 2001 Halaman: 163-168 REVIEW: Potensi Gunung Lawu sebagai Taman Nasional Possibilities of Mount Lawu to be a National Park AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Diterima: 29 Juli 2001. Disetujui: 31 Juli 2001 ABSTRACT National Park is an area of natural conservation that having indigenous ecosystem managed with zonation system and can be utilized for education, research, crop development and recreation. This concept seems still to be the most suitable technique for biodiversity conservation, and can be applied in Indonesia, where the high biodiversity richness taken place. Mount Lawu and surrounding areas are ideal location to be developed in to National Park. This is due to all criteria needed such as: the width was mare than 10.000 ha, the natural ecosystem and endemic species are still existing, having ancient sites, spiritual and aesthetic value; having typical physiography and physiognomy, as well as the high chance of developing tourism industries. Jobolarangan area is a natural ecosystem that represents the whole ecosystem and problems of Lawu Mountains. This area having quite high diversity and richness consisted of plants, animals and microbes. That development of National Park at Mount Lawu need to be supported by the formation of biodiversity conservation centers, i.e. botanical garden, wild live sanctuary, agro-tourism park, etc., so that becomes an integrated biodiversity conservation area. © 2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: biodiversity, Jobolarangan, mount Lawu PENDAHULUAN disebabkan kegagalan dalam penegakan hukum dari pada kesalahan pemilihan konsep. Dimulai dengan Yellowstone Nasional Park Taman nasional merupakan kawasan di Amerika Serikat pada abad ke-19, taman perlindungan tertinggi dalam manajemen nasional kini diadopsi banyak negara sebagai perlindungan biodiversitas di Indonesia, di model utama untuk konservasi sumberdaya samping itu terdapat pula cagar alam, suaka alam hayati dan ekosistemnya. Konsep yang margasatwa dan hutan lindung. Pada masa mulai diterapkan di Indonesia pada akhir tahun lalu, taman nasional merupakan kawasan 1970-an ini, tentu saja belum dapat dianggap tertutup terhadap kegiatan ekonomi sebagai magnum opus umat manusia dalam masyarakat dan pengelolaannya sama sekali upaya perlindungan keanekaragaman hayati, terpisah dengan kepentingan masyarakat di namun diakui oleh banyak kalangan konsep ini sekitarnya. Sehingga nilai positif taman masih merupakan cara yang paling sesuai. nasional terhadap masyarakat di sekitarnya Kegagalan perlindungan ekosistem alami di relatif minim, bahkan seringkali terjadi bebepara taman nasional, baik di Brazil, benturan antara kepentingan perlindungan Indonesia maupun negara-negara Afrika, lebih dan ekonomi masyarakat. Sistem pengelolaan 164 BIODIVERSITAS Vol. 2, No. 2, Juli 2001, hal. 163-168 ini menyebabkan terjadinya perusakan besar- mempermiskin masyarakat secara struktural besaran terhadap taman nasional, ketika dan turun-temurun. Meskipun harus diakui legitimasi aparat pemerintah merosot seiring pula budaya konsumerisme telah mulai arus reformasi. Pada masa kini, telah menjadi menggerogoti kearifan tradisional sebagian kesadaran umum bahwa pengelolaan taman anggota masyarakat lokal, sehingga sikap nasional harus lebih integratif, dimana mereka terhadap kelestarian lingkungan kepentingan ekonomi masyarakat dan dikhawatirkan oleh banyak pemerhati kepentingan konservasi harus berjalan seiring. biodiversitas. Salah satu contoh menarik adalah pengakuan Kawasan konservasi di Indonesia meliputi eksistensi masyarakat Katu yang telah areal seluas hampir 20 juta ha (Yusuf, 1987), bermukim selama puluhan tahun di taman bahkan menurut Isma’il (2000) luasnya hampir nasional Lore Lindu sebagai bagian dari mencapai 22,4 juta ha, terdiri dari taman ekosistem kawasan tersebut (Kompas nasional, cagar alam, suaka margasatwa, 14/6/1999). hutan wisata dan taman buru. Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 30 taman nasional di darat dan enam taman KONSERVASI BIODIVERSITAS nasional di laut dengan total luas sekitar 15 juta ha (Isma’il, 2000). Di Jawa terdapat Dalam Undang-undang No 5 tahun 1990 sembilan taman nasional, yakni tujuh di darat tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan dua di laut. Di Propinsi Jawa Barat dan Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan Banten terdapat tiga taman nasional yaitu: TN bahwa: taman nasional adalah kawasan Ujung Kulon (122.956 ha), TN Gunung Gede pelestarian alam yang mempunyai ekosistem Pangrango (15.000 ha) dan TN Gunung asli yang dikelola dengan sistem zonasi dan Halimun (40.000 ha). Di Propinsi Jawa Timur dapat dimanfaatkan untuk kepentingan terdapat empat taman nasional yaitu: TN pendidikan, penelitian, pengembangan Bromo, Tengger, Semeru (50.276,2 ha), TN budidaya dan rekreasi/pariwisata. Meru Betiri (58.000 ha), TN Baluran (25.000 Salah satu fungsi taman nasional, adalah ha) dan TN Alas Purwo (43.420 ha). Di untuk meningkatkan kesejahteraan samping itu terdapat pula dua taman nasional masyarakat di sekitarnya, misalnya melalui laut, yaitu TNL Kepulauan Seribu di DKI pariwisata, selain untuk tujuan pendidikan, Jakarta (108.000 ha) dan TNL Kepulauan penelitian dan kebudayaan. Dalam rangka Karimunjawa di Jawa Tengah (111.625 ha) mewujudkan fungsi ini, pengelolaan taman (Anonim, 1993). Akan tetapi Propinsi Jawa nasional dibagi menjadi beberapa zona, yaitu Tengah yang terletak di tengah-tengah pulau zona inti, zona pelindung, zona pemanfaatan Jawa tidak memiliki taman nasional di dan zona penyangga. Zona inti merupakan daratannya, meskipun kondisi ekosistemnya kawasan yang sama sekali tidak boleh sangat khas karena merupakan daerah dijamah kecuali untuk penelitian. Zona peralihan. pelindung merupakan kawasan yang dapat Propinsi Jawa Tengah secara ekologi dimanfaatkan, misalnya untuk pariwisata alam, memiliki perbedaan dengan Jawa Timur serta dengan tidak merubah keaslian ekosistem. dengan Jawa Barat dan Banten. Propinsi ini Zona penyangga dapat dilakukan merupakan daerah peralihan antara iklim di pengambilan asli dengan batasan tertentu, Jawa Timur yang cenderung kering dan sedang zona pemanfaatan dapat dilakukan gersang dengan iklim di Jawa Barat dan budidaya pertanian dengan tidak mengganggu Banten yang cenderung basah dan lembab, keseluruhan ekosistem (Setiono dan Sensudi sehingga di propinsi ini ditemui spesies- 2000; Yusuf, 1987). spesies tumbuhan, hewan atau mikrobia yang Anggapan bahwa taman nasional harus melimpah di Jawa Timur namun tidak steril dari aktivitas manusia adalah tidak ditemukan secara alami di Jawa Barat, benar. Masyarakat lokal beserta kearifan misalnya pohon cemara gunung (Casuarina budayanya seringkali menjadi bagian tak junghuhniana) atau sebaliknya melimpah di terpisahkan dari ekosistem alam. Sehingga Jawa Barat dan Banten tetapi tidak dijumpai kerap kali pemindahan mereka dari tempat secara alami di Jawa Timur, misalnya pohon asalnya, bukan hanya gagal memindahkan rasamala (Altingia exselsa) (Steenis, 1972). orang setelah puluhan tahun, tetapi juga SETYAWAN – Gunung Lawu sebagai Taman Nasional 165 Hingga kini mimpi lama masyarakat Jawa taman nasional minimal 10.000 ha. Tengah untuk memiliki taman nasional di Kedua: Vegetasi hutan Gunung Lawu daratan, guna disandingkan dengan TNL relatif mapan karena tidak adanya aktifitas Karimunjawa, belum berakhir (Anonim, 2001). vulkanik dalam jangka panjang; serta masih Sebenarnya gagasan pembentukan taman dijumpai banyak lokasi yang memiliki nasional di daratan Jawa Tengah telah lama ekosistem alami tanpa campur tangan digulirkan. Pada tahun 1990-an telah manusia atau gangguan alam seperti diupayakan mendorong pembentukan taman kebakaran. Juga terdapat spesies-spesies nasional di Pegunungan Dieng (Rombang dan biota yang khas, misalnya jalak lawu yang Rudyanto, 1999), meskipun pada akhirnya belum masuk dalam buku-buku panduan secara teknis sulit dilaksanakan, mengingat lapangan dan cemara gunung (Casuarina tingginya eksploitasi alam dan perubahan junghuhniana) yang secara alami tidak pernah ekosistem di tempat tersebut. Salah satu dijumpai pada gunung-gunung di sebelah lokasi di Jawa Tengah yang sangat potensial barat gunung ini. Ekosistem alami dan spesies untuk tujuan ini adalah Gunung Lawu, yang biota yang khas merupakan salah satu terletak di perbatasan propinsi Jawa Tengah persyaratan pembentukan taman nasional. dan Jawa Timur (Anonim, 2001). Ketiga: Gunung Lawu memiliki banyak situs purbakala karena merupakan tempat PERSYARATAN TAMAN NASIONAL pengasingan penguasa Majapahit terakhir, GUNUNG LAWU Raja Brawijaya V yang tidak bersedia mengikuti putranya, Raden Fatah ke Demak. Gunung Lawu, gunung ketiga tertinggi di Situs-situs ini tersebar mulai dari kaki gunung, Pulau Jawa, merupakan pegunungan vulkanik misalnya Candi Sukuh dan Candi Cetho, yang tidak aktif lagi. Secara geografi terletak di hingga puncak gunung, seperti “makam” Argo sekitar 111o15’ BT dan 7o30’LS. Lereng barat Dalem. Dalam kepercayaan tradisional Jawa termasuk Propinsi Jawa Tengah, meliputi “mataraman”, gunung ini dipercaya memiliki Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Wonogiri, makna spiritual tertentu, sehingga sejak sedang lereng timur termasuk Propinsi Jawa ditetapkannya penanggalan hijriyah oleh Timur, meliputi Kabupaten Magetan dan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada abad ke- Ngawi. Gunung ini memanjang dari utara ke 16, setiap tahun baru hijriyah (1 Suro) selatan, dipisahkan jalan raya penghubung masyarakat Jawa menziarahi gunung ini. Pada propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dekade terakhir, setiap tahun
Recommended publications
  • Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan Gunung Lawu: Peranannya Pada Abad 14 – 15 Masehi
    CANDI SUKUH DAN CETO DI KAWASAN GUNUNG LAWU: PERANANNYA PADA ABAD 14 – 15 MASEHI Sukuh and Ceto temple on the mount Lawu teritory: Fungtional concern at 14 – 15 C Oleh: Etty Saringendyanti Makalah Hasil Penelitian FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2008 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Candi Sukuh dan Ceto di Kawasan Gunung Lawu: Peranannya pada abad 14-15 Masehi Oleh : Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum. NIP. 131573160 Evaluator, H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum. Dr. Wahya, M.Hum. NIP. 131472326 NIP. 131832049 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum. NIP 132102926 CANDI SUKUH DAN CETO DI KAWASAN GUNUNG LAWU: PERANANNYA PADA ABAD 14 – 15 MASEHI Sukuh and Ceto temple on the mount Lawu teritory: Fungtional concern at 14 – 15 C Oleh: Etty Saringendyanti1 ABSTRAK Candi Sukuh dan Ceto terletak di lereng barat Gunung Lawu, yang secara administratif terletak di perbatasan antara Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah dengan Kabupaten Magetan, Propinsi Jawa Timur. Gunung Lawu saat ini merupakan salah satu gunung yang terkenal sebagai tempat meditasi bagi sebagian masyarakat penganut aliran kepercayaan, dan biasanya pada setiap tanggal 1 Suro dilakukan upacara Labuhan. Candi Sukuh dan Ceto berbentuk bangunan teras berundak. Teras-terasnya berupa susunan teras halaman. Bangunan induk candi Sukuh dan Ceto berbentuk piramid terpancung. Arca dan relief yang ditemukan, menggambarkan bentuk manusia, binatang, dan simbol, antara lain sepasang arca penjaga, arca lembu, gajah, garuda, dan kura-kura, yoni, lingga berbentuk phallus dalam ukuran besar dan kecil, serta lingga berbentuk phallus yang digambarkan berhadapan dengan vagina, penggalan cerita Sudamala, Garudeya, Samudramanthana, pandai besi, dan Nawaruci. Dari artefak yang ditemukan kedua candi itu merupakan candi yang diperuntukan bagi penganut agama Hindu Saiwa dalam menjalani upacara diksa.
    [Show full text]
  • PL. 1. Relief of Smithy St Candi Sukuh, Central Java. on the Left, a Smith Forging a Weapon
    52 PL. 1. Relief of smithy st Candi Sukuh, Central Java. On the left, a smith forging a weapon. In the center, a dancing elephant-headed figure. Far right, an assistant operating the traditional double-piston bellows of Southeast Asia. METALLURGY AND IMMORTALITY AT CANDI SUKUH, CENTRAL JAVA Stanley J. O'Connor At Sukuh, a fifteenth century mountain sanctuary in Central Java, there is a relief sculpture that represents two men forging a weapon in a smithy (Plate 1). This work has resisted explication.1 2 No textual source has been adduced for the iconography, and one's initial response is that a mundane metallurgical endeavor seems incongruous in a sanctuary conventionally agreed to be devoted both to ancestor worship and to rites aimed at effecting the liberation of the soul from its earthly bonds after death. Efforts to unravel the meaning of the relief are even further clouded, however, by the anomalous presence between the two smiths of a dancing figure with a human body and an elephant's head who appears to be carrying a small animal, probably a dog. My aim in this article is to establish that the relief is in fact appropriate to its context, that its meaning is rooted in an important religious and imagina­ tive complex, and that, to an uncommon degree, the artist has succeeded in enacting in visual terms a deeply felt correspondence between metallurgy and human fate. By seizing upon the processes through which metallic substances are transformed, he has provided an equivalence in natural energies and rhythms for those spiritual transformations believed to govern the career of the soul after death.
    [Show full text]
  • Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs
    Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs Lydia Kieven - 978-90-04-25865-5 Downloaded from Brill.com01/06/2019 10:39:41PM via free access Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte KITLV, Leiden Henk Schulte Nordholt KITLV, Leiden Editorial Board Michael Laffan Princeton University Adrian Vickers Sydney University Anna Tsing University of California Santa Cruz VOLUME 280 The titles published in this series are listed at brill.com/vki Lydia Kieven - 978-90-04-25865-5 Downloaded from Brill.com01/06/2019 10:39:41PM via free access Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs A New Look at the Religious Function of East Javanese Temples, Fourteenth and Fifteenth Centuries By Lydia Kieven LEIDEN • BOSTON 2013 Lydia Kieven - 978-90-04-25865-5 Downloaded from Brill.com01/06/2019 10:39:41PM via free access This is an open access title distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-Noncommercial-NonDerivative 3.0 Unported (CC- BY-NC-ND 3.0) License, which permits any noncommercial use, and distribution, provided no alterations are made and the original author(s) and source are credited. Shortly before the printing of this book, Suryo Prawiroatmojo has passed away on 8 May 2013. As an activist in environmental and cultural affairs, he initiated the ‘Budaya Panji’ (‘Panji Culture’) and strongly supported my research over the years. All the more he made me apply my expertise on the Panji theme in his educational activities on revitalizing the Javanese ancient culture. His ashes were buried at Candi Kendalisodo on the slopes of Mount Penanggungan the fascination of which both of us shared.
    [Show full text]