MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA HINDU (Studi Terhadap Simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas Tangerang Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Intan Pertiwi NIM: 11150321000033

PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H / 2020 M

ABSTRAK

Intan Pertiwi Judul Skripsi: MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA HINDU (Studi Terhadap Simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas Tangerang Selatan) Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan secara lebih detail mengenai simbol dalam agama Hindu di bangunan Pura Merta Sari Rengas, Rempoa Tangerang Selatan. Juga untuk mengetahui bagaimana proses pensakralisasian simbol-simbol yang di gunakan dalam peribadatannya. Untuk menjelaskan masalah di atas penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam hal ini, penulis terlibat secara langsung dalam pemerolehan data dengan cara observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan informan di Pura Merta Sari Rengas Rempoa yang dilakukan menggunakan phone recorder. Selain itu penelitian ini menggunakan jenis data pustaka seperti, buku, skripsi, jurnal, media internet, dan sebagainya yang menunjang penelitian. Untuk memahami penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi, mengkaji tentang makna simbol kebudayaan- kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama atau keyakinan umat Hindu di Pura Merta Sari Rengas dengan mengunakan teori Clifford Geertz. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna simbol sarana berupa alat dan bentuk-bentuk bangunan serta makna ornamen-ornamen yang ada di pura tersebut. Agar kebenarannya menjadi mutlak, kemudian untuk menghindari berkurangnya atau berlebih-lebihnya suatu makna. Hasil dari penelitian ini penulis mendapatkan beberapa simbol dalam bentuk sarana dan bangunan yang mempunyai makna tersendiri dalam agama Hindu. Secara umum simbol sarana dan bangunan tersebut memiliki makna sebagai bentuk wujud Kemaha Kuasaan Tuhan. Juga berfungsi sebagai pusat, titik fokus atau perantara dan meningkatkan Sradha Bhakti dengan begitu umat Hindu akan merasa sangat dekat dengan sang pencipta. Simbol-simbol itu dikatakan suci karena telah melalui proses pensakralan atau dinamakan dengan prayascita (upacara Malaspas). Melalui simbol- simbol tersebut manusia dapat membangkitkan imajinasi mereka dengan mengekspresikan diri, termasuk di dalam mengekspresikan aspek kehidupan beragama menggunakan simbol yang telah disepakati secara sosial. Umat Hindu di Pura Merta Sari Rengas Rempoa, mereka banyak sekali menggunakan simbol-simbol dalam aspek kehidupan beragamanya. Simbol–simbol berupa bangunan dan sarana atau alat untuk beribadah, seperti simbol patung, tirtha (air), dupa (api), Simbol Bija, Bunga (Puspa), Kain Hitam Putih (Saput Poleng), Senteng (Ikat Pinggang) atau di sebut dengan simbol sarana. Kemudian simbol bangunan atau arsitektur Pura Merta Sari Rengas Rempoa dibagi menjadi tiga halaman yang di dalamnya terdapat bangunan peribadatan. Yaitu Nista Mandala (Bagian Luar Pura) pada bagian ini terdapat; Candi Bentar dan Bale Banjar, Madya Mandala (Bagian Tengah Pura) di dalamnya ada Bale wantilan, Bagian terakhir Utama Mandala (Bagian Terdalam dan suci/sakral) terdiri dari Kori Agung, Bale Pawedan, Bale Pepelik, Padmasana. Kata kunci: Simbol, Pura Merta Sari, Rengas Tangerang Selatan

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA

HINDU (Studi Terhadap Simbol-simbol Di Pura Merta Sari Rengas Tangerang

Selatan)” disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu

(S1), Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, Uin Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari sempurna ini tidak dapat selesai tanpa adanya dukungan dan banyak pihak baik secara lansung dan tidak lansung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada:

1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, do’a,

nasihat, motivasi, saran, dukungan dan dorongan moril maupun materil.

Semoga penulis dapat membalas pejuangan orang tua (Syahabuddin dan

Hasnah), kepada kakak Siti Hawa beserta suami Muhdar, kepada Abangda

Irfansyah beserta istri Dwi Wulandari, kepada kakak Wiwin Lidiarsih beserta

suami Sapraji, kepada Abangda Syaifullah beserta istri Marnah, kepada kakak

Rosidawati beserta suami Damhuji.

vi

2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Syaiful Azmi, MA, selaku dosen pembimbing sekaligus Ketua

Program Studi Agama-Agama yang selalu meluangkan waktu untuk

memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi sehingga membuka

cakrawala berpikir dan nuansa ilmu yang baru.

4. Seluruh dosen FU dan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang tidak dapat disebut satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu

dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.

5. Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Ushuluddin atas bantuan dalam

persiapan pelaksanaan seminar proposal dan ujian komprehensif.

6. Bapak Wayan Pinda Asmara, Bapak I Gede Sidarta, Bapak Made Soraja

Yudhantara, Bapak Komang Artana, Bapak Nyoman Rusta dan Ni Putu

Kayia Anandani yang telah berkenan memberikan izin penulis sekaligus

menjadi narasumber untuk melengkapi isi skripsi.

7. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada KH. Syamsul Ismail, Lc selaku

pimpinan pondok pesantren Himmatul Ummah Sapugara Bree Sumbawa

Barat yang telah memberikan nasihat, do’a, serta dorongan kuat hingga

penulis bisa kuliah dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada keluarga besar Alumni Pondok Pesantren Himmatul Ummah Jakarta:

kak Mansyur, S. Ag, kak Rahman Jamil, S.Ag, kak Agus Barani, S. Ag, kak

Syamsul, S,Ag, Kakak Wawansyah S, Ag, kak Iqbal, S, Pd, kak Syarafuddin

S, Pd, Gita Safitri Ilusi, Akbar Sorasa, Halim Juniarsyah dan Irfan Saputra,

vii

Yudia Adha Sholatiah, Lina Nur Fajriani, Fatria ningsih terima kasih sudah

bersedia mendengarkan keluh kesah dan selalu memberikan semangat kepada

penulis hingga skripsi selesai.

9. Keluarga besar PPM SB (Persatuan Pemuda Mahasiswa Sumbawa Barat)-

JABODETABEK: Ketum Sukiman Jayanto, Bang Roy mahendra, bang Roni,

Kak Merliza Jawas, kak Mutya, kak Asma, kak Ervy, Nofri, Putri, Risa,

Khusnul dll yang tidak bisa disebutkan namanya tidak mengurangi rasa

hormat penulis yang selalu memberikan semangat moril dalam bingkai

kekeluargaan.

10. Sahabat penulis Durotun Nafi’ah, Seftia Rahmawati, Siti Subadriah,

Animatun Fatimah, Riza Adiputra, Niswatun Nafisah dan kak Muhammad

Sairi S. Ag yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah penulis dan

memberikan semangat.

11. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama amgkatan 2015 terima kasih

kalian sudah memberikan warna kehidupan di Fakultas Ushuluddin.

12. Kepada teman-teman KKN Samudra 117: Hasanah, Umu, Lila, Husna, Kiki,

Nadia, Nisa, Nada, El, Cho, Niza, Sulton, Rozaq, Putra, Adieb yang telah

memberikan doa dan semngat. Semoga kalian diberikan kelancaran dalam

menyelesaikan urusan dan diberikan kesehatan.

13. Keluarga Besar Guru Rumah Tahfiz Alfitrah: Pak Ir. H. Iskandar selaku ketua

yayasan, Bu Devi, M, Pd, Ustadz Rudini, S. Ag, kak Nizar, Kak Ambar, Kak

Aul.

14. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan tanpa mengurangi

viii

rasa hormat, Terimakasih.

Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak. Semoga Allah SWT memberikan keberkahan kepada kita semua. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 21 Januari 2020

Intan Pertiwi

ix

DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN ...... iii LEMBAR PENGESAHAN ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... x

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Batasan Masalah ...... 8 C. Rumusan Masalah ...... 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 E. Tinjauan Pustaka ...... 9 F. Metodelogi Penelitian ...... 11 G. Sistematika Penulisan ...... 15

BAB II PROFIL DAN KEGIATAN PURA MERTA SARI RENGAS A. Profil Pura Merta Sari Rengas...... 16 B. Struktur Bangunan dan Organisasi Pura Merta Sari Rengas ...... 19 C. Kegiatan Di Pura Merta Sari Rengas ...... 22

BAB III BENTUK, SIFAT, DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN A. Pengertian Simbol Keagamaan ...... 29 B. Bentuk dan Sakralisasi Simbol...... 42 C. Sifar-sifat Simbol ...... 48 D. Fungsi Simbol ...... 49

BAB IV MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN PURA MERTA SARI RENGAS A. Simbol Sarana Persembahyangan Pura Merta Sari Rengas ...... 52 1. Simbol Patung ...... 53 2. Air (Tirtha) ...... 55 3. Api (Dupa) ...... 57 4. Simbol Bija ...... 60 5. Bunga (Puspa) ...... 62 6. Kain Hitam Putih (Saput Poleng) ...... 66 7. Senteng (Ikat Pinggang) ...... 67

x

B. Simbol-simbol Bangunan Keagamaan Pura Merta Sari Rengas ...... 69 1. Nista Mandala (Bagian Luar Pura) a. Candi Bentar ...... 70 b. Bale Banjar ...... 74 2. Madya Mandala (Bagian Tengah Pura) Bale wantilan ...... 75 3. Utama Mandala (Bagian Terdalam dan suci/sakral) a. Kori Agung ...... 76 b. Bale Pawedan ...... 78 c. Bale Pepelik ...... 78 d. Padmasana ...... 79 C. Pemaknaan Simbol Dalam Kehidupan Beragama Umat Hindu Pura Merta Sari Rengas ...... 84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 87 B. Saran ...... 88

DAFTAR PUSTAKA ...... 89 LAMPIRAN-LAMPIRAN

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Hindu merupakan agama yang sangat kaya dengan berbagai simbol, dimana simbol-simbol itu terlihat sangat indah dan menarik hati setiap orang yang melihatnya. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut dapat menggetarkan hati dengan begitu mereka berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya.1

Setiap simbol mempunyai makna tertentu dan dengan pemahaman terhadap makna tersebut, umat Hindu mengembangkan apresiasi terhadap simbol- simbol tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan sraddha dan bhakti umat dan akhirnya menuntun tingkah lakunya dalam kehidupan ini. Berbagai simbol tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan umat manusia dengan sang pencipta, menjadikan umat senantiasa akrab dengan yang dipuja, mempersembahkan bhakti dan kesucian hatinya. Dengan simbol- simbol tersebut umat Hindu juga dapat meningkatkan kualitas pemahamannya terhadap ajaran agama Hindu yang dipeluknya.2

Sebuah benda akan menjadi simbol yang amat suci, bila umat memujanya-

Nya dengan sraddha dan bhakti yang tulus. Benda yang dijadikan simbol suci

1I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2009), h. 1. 2I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 1-2.

1

2

tersebut akan mengandung daya spiritual yang tinggi, ibarat sebuah besi yang di dekatkan dengan magnet. Semakin lama di dekatkan sebuah besi dengan magnet, maka lama kelamaan besi tersebut juga akan mengandung magnet. Di sinilah sebuah simbol tertentu akan hidup dan disembah dengan mantap oleh pemujanya.3

Berdasarkan uraian di atas, maka simbol-simbol dalam agama Hindu akan berfungsi bila telah melalui upacara penyucian (sakralisasi) kalau di Bali disebut

Mlaspas atau Pamlaspas, yang maknanya sama di India disebut “abhiseka”.

Dengan upacara tersebut maka sebuah simbol tidak lagi merupakan benda mati, namun sesuatu yang hidup sesuai fungsinya masing-masing. Bila sebuah simbol belum diupacarakan atau disucikan sesuai dengan ajaran agama Hindu, maka simbol tersebut belum dapat difungsikan. 4

Masing-masing agama mempunyai simbol- simbol tertentu. Agama Hindu berada pada tingkat wujud nyata yaitu mengakui adanya manfaat fungsi duniawi mewakili kenyataan atau kebenaran diungkapkan kedalam bentuk simbol.

Meskipun semua kebendaan dijadikan simbol atau perantara yang diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan kehidupan spiritual. Walaupun demikian, kebenaran itu berlaku sepanjang zaman, tetapi karakter agama Hindu itu memilih disiplin dengan cara memuja yang dirasakan cocok baginya.5

Dalam agama Hindu juga terdapat bentuk simbol-simbol keagamaan yang bermanfaat sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Simbol tersebut sebagai lambang keagamaan yang merupakan yang kudus atau

3I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 73-74. 4I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 75-76. 5Ida Bagus Matra, Tata Susila Hindu Dharma (Denpasar: Upada Sastra, 2002), h.18.

3

yang suci, juga sebagai bentuk ungkapan keagamaan dan rasa cinta seseorang yang ingin memnggambarkan Tuhan dalam imajinasinya.6

Simbol dalam bahasa Inggris (Symbol) artinya lambang.7 Lambang dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana dan sebagainya) yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu.8

Dalam ritual keagamaan terdapat simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu. Banyak benda-benda, tindakan panganut suatu agama yang mengandung simbol serta makna yang ada dalam simbol tersebut.9 Simbol secara etimologi adalah tanda yang digunakan untuk kepentingan ritual tertentu. 10 Sedangkan simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah (mewakili) atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.11

Simbol merupakan sesuatu elemen komunikasi yang dimaksudkan untuk sekedar mewakili objek, kelompok atau ide, tindakan secara rasional,12 dan tidak memiliki hubungan yang alamiah antara yang menyimbolkan dan yang

6Wawancara dengan I Gede Sidarta selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 11.32. 7 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta: Gramedia, 1996, Cet. Ke-23, h. 575. 8Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet Ke-4, h. 557. 9Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 63. 10Indrawan. WS, Kamus Ilmiah Populer ( Surabaya: Cipta Media, 1999), h. 259. 11H.A Rivay Sirregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Grafindo Persada, 1979), h. 13. 12 Makna Simbol, artikel diakses tanggal 21 Agustus 2019 dari http://www.britannica.com/topic/religious-symbolism

4

disimbolkan. Implikasinya berarti baik yang batiniah (perasaan, pikiran, atau ide) maupun yang lahiriah (benda dan tindakan) dapat diwakili dengan simbol.13

The Liang Gie juga berpendapat bahwa simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap obyek. Di dalam simbol tersebut implisit tentang “isyarat” yang berarti suatu hal atau keadaan yang diberitahukan subyek kepada obyek. Sedangkan “tanda” suatu hal atau keadaanyang menerangkan obyek kepada subyek, terakhir “simbol” atau

“lambang” suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subyek keda obyek.14

Menurut Alfred North Whitehead dalam bukunya Symbolism yang dikutip

Dilliston, dijelaskan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya.

Perangkat komponen yang terdahulu adalah ”simbol” danperangkat komponen yang kemudian membentuk ”makna” simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut ”referensi”. Simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Simbol sedikit banyak menghubungkan dua entitas. Setiap simbol mempunyai sifat mengacu kepada apa yang tertinggi dan

13Ni Kadek Intan Rahayu, Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, (Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1, 2020), h. 147. 14Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta : PT. Hanindita Graha Widya, 2001), h. 10.

5

ideal. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, daya kekuatannya bersifat emotif dan merangsang orang untuk bertindak.15

Dalam fakta sejarah pemikiran istilah simbol terlebih menyangkut sosial keagamaan. Simbol dalam praktek keagamaan dianggap sebagai gambaran yang dapat dilihat dari kenyataan tidak jelas dengan sistem pemikiran logis dan juga ilmiah.16

Dalam bahasa Yunani “ symballeim” yang berarti benda yang dikaitkan dengan suatu ide.17 Kata simbol atau symboion (Yunani) juga berarti memberi kesan. Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.18

Perlengkapan atau peralatan yang mengandung sebuah makna sesuai dengan imajinasi mereka itu juga di sebut dengan Simbol. Kemudian digunakan dalam berbagai macam ritual keagaaman umat Hindu. Dalam hal ini simbol yang dimaksud adalah bentuk atau bahan, alat yang digunakan di bagunan Pura sebagai sarana komunikasi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan wujud rasa syukur yang mereka haturkan kepada Tuhannya adapun alat atau bahan yang dimaksud adalah seperti simbol patung, simbol air (tirtha) simbol api (dupa), simbol bija, simbol bunga (kembang), kain urebenede (kain hitam putih), senteng

(ikat pinggang).

15 F. W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 15-28. 16Loren Bagus, Kamus Filsafat ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005) Hal 1007. 17Hartoko, dick & B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra ( Yogyakarta: Kanisisus, 1998), h. 133. 18 Sujono Soekamto, Sosioligi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 187.

6

Sejalan dengan pendapat di atas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminata disebutkan bahwa, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu.19 Misalnya beberapa simbol yang berada di Pura merta Sari Rengas yakni, simbol dalam sarana persembahyangan; simbol patung, simbol air (tirtha, simbol api (dupa), simbol bija, simbol puspa (bunga), kain urebenede (kain hitam putih), senteng (ikat pinggang). Kemudian Simbol bagunan Pura, Nista mandala (bagian luar Pura); candi bentar, bale banjar.

Madya mandala (bagian tengah Pura) ; bale wantilan. Utama mandala (bagian terdalam dan suci/sakral); bale pawedaan, bale pepelik, kori agung, padmasana.

Berbagai simbol-simbol keagamaan itu dari bentuk dan bahannya yang sangat sederhana sampai kepada yang sangat kompleks dapat di jumpai penjelasan atau keterangannya dalam kitab suci Weda dan Susatra Hindu termasuk pula dalam berbagai lontar. Bentuk simbol-simbol ketuhanan dalam agama Hindu, tidak terlepas dengan konsepsi penggambaran Tuhan Yang Maha Esa menurut kitab suci Weda dan susatra Hindu lainnya, yakni gambaran seperti manusia, binatang, separuh manusia dan binatang, tumbuh-tumbuhan, separuh manusia dan separuh tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, baik benda-benda langit, huruf-huruf dan bahkan bagian sarana persembahan seperti daksina merupakan perwujudan dewa-dewa atau dewi-dewi manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, roh suci para leluhur dan orang-orang suci baik yang telah meninggal dunia maupun yang masih hidup. Bentuk penggambaran dewa-dewa yang disebut Citradevata

19 W.J.S Poerwadarwinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 556.

7

dapat dirinci sebgai berikut: berbentuk manusia dengan berbagai kelebihannya, berbentuk binatang, berbentuk separuh manusia dan separuh binatang, berbentuk manusia berkepala tumbuh-tumbuhan, 20 Berbentuk benda-benda atau huruf tertentu.

Umat hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna dibalik simbol- simbol tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan penjelasan bila tidak bersumber pada kitab suci Veda atau susastra Hindu lainnya.

Tingkat pendidikan umat Hindu pada umumnya, menuntut pula pemahaman terhadap agama Hindu lebih dalam lagi, termasuk pemahaman terhadap simbol- simbol tersebut. 21

Rengas adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Cipuatat Timur, Tangerang

Selatan provinsi Banten, di mana dilihat dari banyaknya tempat ibadah umat Islam maka bisa dikatakan bahwa masyarakat daerah Rengas mayoritas muslim. Di tengah-tengah padatnya penduduk muslim yang beragama Islam terdapat tempat peribadatan umat Hindu atau Pura. Pura tersebut di beri nama dengan sebutan

Pura Merta Sari yang terletak di Jalan Teratai, Rempoa Permai, RT 04 RW 11,

Rengas, Kelurahan Ciputat Timur Tangerang Selatan Bante. 22 Menariknya, dengan melihat Pura tersebut entah dari bentuk adanya patung-patung, warna, lukisan, kemudian dari cara beribadahnya atau ritual yang berada di dalam Pura.

Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dari simbol-simbol pribadatan yang di gunakan oleh umat Hindu di Pura Mertasari Rengas.

20 I Made Titib. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2009), h. 67-69. 21I Made Titib. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2009). Hal 1. 22Buku Data Monografi Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Tahun 2016, h. 3.

8

Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap Pura Merta Sari Rengas banyak terdapat tempat-tempat, sarana-sarana persembahyangan yang di sakralkan umat

Hindu menggunakan simbol-simbol tertentu yang mempunyai makna tersendiri.

Simbol-simbol tersebut mempunyai sifat sakral dan melambangkan kesucian tertentu, sehigga penulis tertarik mengeksplorasi masalah tersebut dalam bentuk sebuah karya tulis skripsi dengan tema ”MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM

AGAMA HINDU (Studi Terhadap Simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas

Tangerang Selatan)”

B. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti membatasi pembahasan hanya pada simbol-simbol yang ada di bangunan dan sarana yang di gunakan di

Pura Merta Sari Rengas, bukan simbol- simbol ritual atau gerak-gerik mengenai cara beribadahnya.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut; Apa makna simbol-simbol bangunan dan sarana persembahyangan yang terdapat di Pura Merta Sari Rengas?

D. Tujuan dan Manfaat Penilitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk:

Untuk mengetahui dan memahami makna simbol-simbol Pura

Merta Sari secara umum, maupun spesifik, serta menjelaskan hal-hal yang

penting yang terdapat di dalamnya.

Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah:

9

1. Manfaat akademis

- Untuk memenuhi persyaratan akhir perkuliahan guna memperoleh

gelar sarjana Strata 1 (S1) Jurusan Studi Agama – Agama Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

- Untuk menambah informasi baru terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan mengenai simbol- simbol alat dan bangunan yang ada di

Pura Merta Sari Rengas.

2. Manfaat praktis

Untuk meningkatkan pemahaman tentang simbol-simbol

dikalangan intern umat Hindu dan mencegah atau menghindari

penyalahgunaan fungsi dari simbol-simbol tersebut, yang bila tidak

dipahami dengan baik, penyalahgunaan fungsi dari simbol-simbol tersebut

dapat memicu ketersinggungan umat lainnya, karena penyalahgunaan

tersebut dapat diartikan pelecehan terhadap simbol-simbol suci agama

Hindu.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk melengkapi penelitian ini penulis juga mencantumkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis antara lain, sebagai berikut:

Pertama, Skripsi yang berjudul Peran Pemangku Umat Hindu dalam

Kehidupan Bermasyarakat : Studi Kasus Pura Mertasari Rengas Tangerang

Selatan. Karya Ahmad Fauzi dari Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas

Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019. Skripsi ini fokus membahas peran pemangku Umat Hindu, sedangkan penulis fokus membahas

10

makna simbol-simbol pada bangunan agama Hindu dalam Pura Merta Sari Rengas.

Persamaannya adalah sama-sama meneliti di Pura Mertasari Rengas.23

Kedua, Skripsi yang berjudul Simbol-simbol Dewa Siwa Dalam Agama

Hindu : Studi terhadap simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan Dalam Kuil

Shiva Mandir di Pluit Jakarta Utara. Karya Wildan Izzaty dari Jurasan Studi

Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun

2015. Skripsi ini tidak jauh berbeda dengan yang penulis teliti, intinya sama-sama membahas mengenai simbol di dalam agama Hindu, namun skripsi ini hanya membahas makna simbol- simbol Dewa Siwa saja. Sedangkan penulis membahas mengenai makna simbol-simbol bangunan apa saja yang ada di agama Hindu tepatnya di Pura Merta Sari Rengas.24

Ketiga, I Made Titib, Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu

( Surabaya: paramita, 2003). Dalam buku ini menjelaskan pengertian simbol, dan dewa-dewa dalam agama hindu beserta tugas-tugasnya. Penulis menjadikan buku ini sebagai referensi utama terkait penjelasan makna simbol-simbol keagamaan

Agama Hindu.

Keempat, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas

Tadulako Palu ditulis oleh Ni Kadek Intan Rahayu yang berjudul Makna Simbolik

Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo

Kabupaten Tolitoli (2020). Penelitian ini hanya fokus pada makna simbol-simbol yang digunakan dalam persembahyangan hari raya bulan Purnama saja.

23 Skripsi ini ditulis oleh Ahmad Fauzi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia fokus membahas mengenai peran pemangku Umat Hindudalam Pura Merta Sari di daerah Rengas. Skripsi ini sebagai perbandingan dari skripsi yang akan ditulis oleh penulis. 24Skripsi ini ditulis oleh Wildan Izzaty, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia fokus membahas mengenai simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan Dalam Kuil Mandir di daerah Pluit Jakarta Utara. Skripsi ini sebagai perbandingan dari skripsi yang akan ditulis oleh penulis.

11

Sedangkan penulis melakukan penelitian tentang semua simbol-simbol sarana dan bangunan khususnya simbol-simbol agama Hindu yang berada Pura Merta Sari

Rengas, Rempoa Tangerang Selatan.

F. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam Penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang yang diteliti.25

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif.

Data kualitataif merupakan jenis data yang disajikan berupa pengamatan, wawancara, dan dokumen.

2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan diJalan Teratai Putih, Rempoa Permai, RT 04 RW 11,

Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Penelitian lapangan akan dilakukan selama dua bulan, terhitung dari bulan Juli hingga November 2019.

3. Jenis Data

Data merupakan segala sesuatu yangberkaitan dengan penelitian. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berbentuk data lisan yang diperoleh dari informan yaitu tokoh agama (pemangku) dan guru agama Hindu yang ada di Pura Merta Sari Rengas. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh

25Bagong Suyanto, dkk., Metode Penelitian Sosial, (Jakarata: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 166.

12

secara langsung dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dari hasil observasi, dokumentasi, serta wawancara antara peneliti dan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari jurnal, buku, serta skripsi yang relevan.

4. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menbahas tentang simbol-simbol yang ada pada bangunan

Pura Merta Sari Rengas. Seperti yang kita ketahui, bahwa suatu penelitian agar kebenarannya menjadi mutlak, kemudian untuk menghindari berkurangnya atau berlebih-lebihnya suatu makna, maka dalam penelitian ini di perlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Antropologi, yang mana pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama, yaitu suatu strategi pendekatan penelitian yang berhubungan langsung dengan kebudayaan atau keyakinan umat

Hindu di Pura Merta Sari Rengas. Peneliti menerapkan secara langsung bagaimana antusias pinandita atau pemangku peribadatan umat Hindu Pura Merta

Sari dalam keikutsertaan membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian tentang makna simbol-simbol di bangunan Pura Merta Sari Rengas.

Dalam pendekatan ini mengunkan teori simbol yang dikemukakan oleh

Clifford Geertz, Geertz menekankan upaya untuk menemukan makna yang memandang penting simbol dari sekedar eksplanasi, dan pentingnya signifikansi konteks sosial sebagai unsur penting dalam memahami makna simbol. Ia juga mengemukakan bahwa antropologi harus didasari oleh realitas konkret, yakni kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat menghasilkan pandangan teoritis dan makna-makna, artinya dari realitas ini harus ditemukan makna, bukan

13

prediksi yang didasarkan pada data empiris.26 Geertz mengatakan setiap objek, tindakan peristiwa, atau hubungan yang dapat berperan sebgai sarana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah makna simbol. Sebab simbol-simbol bersifat umum, teraba dan tercerap. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensistensiskan dan mengintegrasikan dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebgai mana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi kepustakaan

Penulis mengumpulkan, mencatat, bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan tema penelitian sebagai kerangka teoritis penelitian.

b. Observasi

Istilah observasi dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan

“memperlihatkan”. Observasi adalah suatu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti, yang diarahkan pada kegiatan memerhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul. 27 Penulis mendatangi Pura Merta Sari yang berada di Rengas. Untuk melihat secara jelas tempat ibadah tersebut, kegiatan ibadah, dan aktivitas Pura. Dalam pengamatan lansung ini (observasi) penulis melihat bahwa di Pura Merta Sari terdapat beberapa simbol-simbol dalam bangunan Pura. Dan beberapa alat atau bahan yang di gunakan khusus dalam pura merta sari Rengas.

26Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology (New York: Basic Books, 1983), h. 119. 27Imam Gunawan, Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 143.

14

c. Wawancara

Wawancara (interview) adalah dapat diartikan sebagai pengumpulan data yang kuat, dengan mengajukan pertanyaan secara lansung oleh pewawancara

(pengumpul data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder). 28 Pada tahap wawancara ini, penulis mewawancarai responden yang dianggap layak untuk dijadikan informan.

Responden tersebut adalah beberapa pengurus Pura Merta Sari diantaranya:

Wayan Pinda Asmara dan Gede Shidarta. Untuk mempermudah penulisan dalam megumpulkan data, penulis mencatat atau merekam jawaban-jawabannya dengan alat perekam.

d. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian social untuk menelusuri data historis.29 Penulis mengumpulkan dokumentasi beberapa foto-foto, arsip, atau jurnal, yang terdapat dimulai di Pura

Merta Sari Rengas

6. Teknik Penulisan Penelitian

Adapun teknik penulisan skripsi mengacu pada “Pedoman Akademik

2015/2016 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta”.

28Suhartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 67. 29Imam Gunawan, Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 177.

15

G. Sistematika Penulisan

Agar lebih mudah memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, maka peneliti membagi skripsi ini menjadi lima bab yang saling berkaitan antara bab satu dengan bab selanjutnya.

Adapun sistematika penelitian dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN: Bab ini menguraikan Latar Belakang Masalah,

Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penenelitian, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II PROFIL DAN KEGIATAN PURA MERTA SARI RENGAS: Bab ini menjelaskan profil Pura yaitu meliputi sejarah berdirinya dan lokasi Pura

Merta Sari Rengas, struktur bangunan dan organisasi Pura Merta Sari Rengas, kemudian kegiatan di Pura tersebut.

BAB III SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN PURA MERTA SARI

RENGAS: Bab ini memuat tentang pengertian simbol keagamaan , bentuk dan sakralisasi simbol kemudian fungsi simbol.

BAB IV MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN

PURA MERTA SARI RENGAS: Bab ini membahas tentang Simbol-simbol

Sarana Persembahyangan yang ada di Pura Merta Sari Rengas, Simbol-simbol

Bangunan Keagamaan di Pura Merta Sari Rengas, Pemaknaan Simbol Dalam

Kehidupan Beragama Umat Hindu Pura Merta Sari Rengas.

BAB V PENUTUP: Bab ini meliputi kesimpulan merupakan jawabandari permasalahan secara singkat dan saran.

BAB II

PROFIL DAN KEGIATAN PURA MERTA SARI RENGAS

A. Profil Pura Merta Sari Rengas

Pura Merta Sari berdiri sejak tanggal 31 Januari 1982, terletak di Jalan Teratai

Putih, dekatlapangan sepak bola Rengas, RT 4 RW 11, Kelurahan Rengas Ciputat

Timur, Tangerang Selatan, Banten. Pura ini diresmikan pada tanggal 28 Juli 1982 dengan diselingi berbagai upacara keagamaan seperti upacara Melaspas Alit (upacara pembersihan dan penyucian bangunan), kemudian tepat pada tanggal 14 Juni 1984

(Purnama Sasih Sadha) berlansunglah Upacara Ngenteg Linggih (semacam upacara peresmian pura) yang di panduoleh Pedanda Isteri Wayan Sideman.Setiap tiga puluh tahun sekali pada umumnya Pura melakukan Upacara Nganteg Linggih ini, tetapi di

Pura Merta Sari upacara Nganteg Linggih dilakukan sebelum tiga puluh tahun dengan alasan peresmian dan pelengkapan administrasi. Akhirnya pada hari Minggu tanggal

15 Juni 2014 ditetapkanlah pelaksanaan Upacara Nganteg Linggih yang ke-2 di pimpin oleh Ide Pedande Made Putra Sidemen sekaligus diresmikan kembali oleh ibu

Hj. Airin Rachmi Diany, SH, MH selaku Walikota TangerangSelatan.1

Pura ini berjarak 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Ciputat Timur, 8 km dari pusat pemerintahan KotaTangerang Selatan dan serta berjarak 86 km dari pusat pemerintahan provinsi Banten. Batasan-batasan kelurahan ini secara

1Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 13:44.

16

17

administrasi bagian utara terdiri dari Kecamatan Pondok Aren dan DKI Jakarta, bagian Selatan yaitu Kelurahan Cempaka Putih, bagian barat terdiri dari Kelurahan

Pondok Ranji dan bagian timur terdiri dari Kelurahan Rempoa dan DKI Jakarta. Di

Ciputat Timur hanya kelurahan Rengas yang memiliki bangunan tempat ibadah umat

Hindu, bangunan pura ini dibangun berdasarkan kesepakatan umat Hindu yang ternyata sudah cukup banyak tinggal di daerah Rengas dan sekitarnya.2

Data jumlah sarana peribadatan di kelurahan Rengas ini terhitung mencapai

30 gedung yaitu 6 masjid dan 23 mushola kemudian 1 gedung pura. 3 Dari data tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penduduk yang berada di kelurahan Rengas ini mayoritas muslim. Keberadaan Pura di tengah-tengah penduduk muslim tidak menjadikan pembeda antara keduanya, mereka tetap hidup damai dengan sikap toleransi yang kuat, tetap berperilaku baik tanpa memandang status sosial keagaaannya.

Untuk mendirikan sebuah pura tidak mudah, tidak sembarangan tempat tentunya membutuhkan kawasan yang ideal dan strategis. Dalam tradisi Bali yang dimuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat- tempat yang ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhavisya purana dan Brhat Samhita, yang secara sederhana disebut sebagai

“hyang-hyangning sagara giri”, atau “sagara- giri adumukha”, tempatnya tentu

2Wawancara dengan Wayan Pinda AsmaraSelaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 13:44. 3 Buku Data Monografi Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten tahun 2016.

18

sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut.4

Pada mulanya, Pura ini dibangun di atas tanah yang berukuran 1000 meter yakni berupa hasil swadaya (sumbangan umat) untuk dijadikan sebagai tempat beribadah. Awal dibangunnya pura, ketika itu penganut Hindu baru berjumlah 40 KK.

Namun seiring berjalannya waktu pengikut Hindu yang kemudian datang beribadah ke Pura ini semakin bertambah dan membutuhkan lahan lagi. Kebetulan pada saat itu

Pura Merta Sari ini mendapat tambahan sumbangan tanah sekitar 1.800 Meter dari salah seorang penganut Hindu yang beribadah di Pura. Pengurus Pura tersebut langsung melakukan renovasi. Pembangunan awal Pura Merta Sarimerupakan “suka duka” Hindu Dharma Banjar Jakarta Selatan yang pertama, yang saat ini pengelolaan sehari-harinya diserahkan sepenuhnya kepada Tempek5 Rempoa. Data ini bersumber dari Mangku Wayan Pinda Asmaraguruumat Hindu sekitar seperti Bintaro, Ciledug, dan Rempoa, melakukan aktivitas peribadatan di Pura Merta Sari.6

Pada tahun 1986 Pura Merta Sari melakukan renovasi, memperluas bangunan pura lagi. Karena luas pura Merta Sari Rempoa ini terbatas dan sudah tidak memungkinkan untuk memperlebar maka harus membangun ke atas tetapi ada masalah perijinan yang pada akhirnya menghalangi pembangunan Pura Merta Sari, mungkin jika telat mendapat izin pura ini sekarang menjadi tiga atau empat lantai keatas.. Pada awal berdiri Pura Merta Sari hanya satu lantai, sekarang kita dapat

4I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2009), h. 91. 5Pengusrus (bagian kecil dari Banjar yang terdiri dari beberapa kelompok). 6Wawancara dengan Wayan Pinda AsmaraSelaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23 Oktober 2019 pukul 15:32.

19

melihat Pura ini menjadi dua lantai, yang lantai atas digunakan khusus untuk kegiatan pasraman (sekolah Agama Hindu), Pura Merta Sari Rengas ini sudah mengalami 3

(tiga) kali renovasi.7

B. Struktur Bangunan dan Organisasi PuraMerta Sari Rengas

Pura merupakan tempat suci (pemujaan) Umat Hindu. Struktur bangunan sebuah pura seharusnya memiliki beberapa halaman, namun dalam prakteknya ditemukan adanya sebuah pura yang hanya mempunyai satu atau dua halaman saja. pura yang mempunyai satu halaman saja, didasarkan kepada konsep Ekabhuwana di mana alam atas dan alam bawah dianggap menyatu. Sedangkanpura yang memiliki dua halaman didasarkan konsep alam atas dan alam bawah yang terpisah.8

Kompleks bangunan pura dalam konsep Hindumerupakan refleksi atau bentuk mini dari bhuana agung (alam jagat raya). Dalam hal ini, manusia berusaha mewujudkan alam jagat raya ini dalam bentuk mini agar mudah berhubungan dengan

Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga diperlukan tempat yang memungkinkan mereka bisa berhubungan dengan-Nya. Tempat yang dimaksud adalah pura.9

Pembangunan Pura Merta Sari ini menggunakan struktur yang ada di daerah

Bali. Menurut keyakinan Umat Hindu di Bali “pura atau kahyangan” mempunyai tujuan dan fungsi sebagai tempat suci yang dibangun secara khusus menurut

7Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23 Oktober 2019 pukul 16:15. 8K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan KajianBagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 116. 9I Wayan Suyasa, Pura Agung Jagatnatha Singaraja: Latar Belakang Berdirinya dan Makna Filosofisnya (Singaraja: T.P, 1996), h. 8.

20

peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula yaitu untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa serta prabhawa-Nya

(manifestasinya), para leluhur atau kawitan atau para dewa untuk mendapatkan waranugraha atauanugrah-Nya yang telah berjasa terhadap umat dan pratisentana

(sanak dan keluargannya).10

Selain struktur bangunan, Pura juga mempunyai struktur organisasi untuk membagi tugas dan kewajiban demi merawat dan mengembangkan sebuah pura.

Sebagai bentuk dan tanggung jawab dalam pengelolaan tempat ibadah, di samping memang tempat ibadah bukan milik perorangan. Dengan tata kelola yang baik tempat ibadah kedepannya akan melahirkan keamanan dan kenyamanan umat dalam menjalankan aktivitas spritual dan sosial keagamaan di masa yang akan datang.

Mereka yang memimpin dan memberi tugas untuk melakukan upacara tetap dan pembinaan puraumat Hindu biasa menyebutnya dengan nama pengempon atau pengemong.11

Ada juga yang dinamakan ketua Banjar yang artinya ketua pura sebagai penanggung jawab semua kegiatan yang ada di pura. Ketua Banjar memiliki wakil yang bertugas untuk membantu ketua Banjar dalam menjalankan tugasnya. Lalu ada juga koperasi yang dimiliki oleh Pura Merta Sari sebagai layaknya organisasi,

10KetutSoebandi,Pura Kawitan atau Padharman dan Penyungsungan Jagat (Denpasar : CV Kayu Mas Agung 1981), h. 64. 11Keberadaan susatu pura tidak terlepas dari Pengempon atau Pengemong , Pengemon itu senditi berasal dari kata “emong” yang berarti mengayomi dan melindungi. Di Pura Merta Sari Pengempon atau Pengemongadalah sebutan untuk orang atau masyarakat yang mempunyai tugasmengayomi dan melindungi pura tersebut.

21

koperasi ini untuk membantu anggotanya. Adajuga sekretaris yangbertugas mencatat

kegiatan dan merapikan arsip kegiatanyang dilakukan di pura Merta Sari Rengas.12

Berikut Srtuktur Organisasi Banjar Pura Merta Sari Rengas adalah sebagai berikut:

SRTUKTUR ORGANISASI BANJAR MERTA SARI PERIODE 2017 s.d 2019 PELINDUNG

PENASEHAT

KETUA BANJAR YAYASAN KOPERASI GEDE SIDARTA

BENDAHARA SEKRETARIS

1. Wayan Danthi 1. Nyoman Sukadana S 2. Ni Wayan Wiryani 2. I Kade Budiarta

KETUA KETUA I KETUA II TEMPEK KETUA III KETUA IV BIDANG DINAS BIDANG ADAT BIDANG SDM BIDANG UMUM

I GUSTI BAGUS BINTARA IDA BAGUS WIN MANUABA KETUT BUDI ADYANA GEDE SUPINDRA

1. BIDANG HUMAS DAN HUKUM 1. UPAKARA & UPACARA YADYA 1. BIDANG KEPEMUDAAN DAN 1. BIDANG SARANA DAN Kordinator: I Nyoman PRASARANA Kordinator: Pinandita IGN Mustika OLAHRAGA Darmawan Kordinator: I Wayan Gede Mataran 2. SARATI BANTEN Kordinator: Putu Kurwanbawa 2. BIDANG USAHA DAN 2. BIDANG 2. BIDANG KEAMANAN/ DANA Kordinator: Ni Putu Sri Wahyuni - PEMELIHARAAN DAN PECALANG Kordinator: Ketut Pasek Suryadi TUMAH TANGGA Kondinator: Ketut Partono Ariasa Swastika Dari struktur 3. di PEMBINAAN ataspenulismelihat UMAT bahwa betapa Pura Merta SariKordinator: sangat Gusti Krtut 3. BIDANG PENDIDIKAN DAN Alit 3. BIDANG SOSIAL Kprdinator: Pinandita Wayan Gede- SENI BUDAYA DAN KESEJAHTERAAN Bawa Kordinator:Iterorganisir Wayan seperti hal nya organisasi yang lain, uniknyalagiKordinator: I Wayan dalam Sumberjaya struktur tersebut Sumberjaya

ada bidang adatnyayaituuntuk memperthankan adat istiadat yang sudah

adadandiharapkanbisaterusberkembang. PenulisjugamelihatbahwaPuramerta Sari

12Wawancara denganI Gede Sidarta Selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 14:26.

22

Dari struktur di atas penulis melihat bahwa betapa Pura Merta Sari sangat terorganisir seperti hal nya organisasi yang lain, ada yang namanya Ketua Banjar, merupakan ketua umum wilayah administratif dalam masyarakat Hindu di PuraMerta

Sari Rengas Tangerang Selatan. Dibawah kaki tangan ketua Banjar selain sekretaris dan bendahara ada yang di sebut dengan Ketua Tempek yang membantu mengurus semua kegiatan Pura dengan membentuk masing-masing ketua dari setiap bidangnya.Uniknya dalam struktur tersebut ada bidang adatnya, bidang ini juga melakukan perdampingan dalam kegiatan keagamaan tak lepas di bawah arahan ketua tempek. Penulis juga melihat bahwa Pura Merta Sari Rengas ini selalu diawasi dan di beri penilaian oleh pengawas Hindu yang datang dari pusat tidak lain hanya untuk memastikan bahwa pura tersebut selalu dalam keadaan baik dan tersusun sesuai dengan struktur, tugas, wewenang dan penanggung jawab yang sudah di buat dan di sepakati bersama organisasi dan orang-orang yang berada di Pura Merta Sari tersebut.

C. Kegiatan Yang Ada Di Pura Merta Sari Rengas

Sebelum dijabarkan lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada di Pura Merta

Sari Rengas ini penulis akan terlebih dahulu menjelaskan sedikit mengenai pemaknaan pura.

Sebagai bangunan suci, pura merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan mendekatkan diri kehadapan Sang

Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas umat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci seperti pura atau tempat pemujaaan yang di istilahkan dengan kahyangan atau Parhayangan, diharapkan

23

manusia dapat mngembangkan dirinya untuk saling mengenal dan saling membantu di antara umat sehingga dalam internal umat Hindu dapat terwujud.13

Dilihat sepintas, memang seakan-akan fungsi pura bersifat tunggal yaitu hanya sebagai tempat suci untuk mengadakan persembahyangan atau “ngaturang bhakti”. Tetapi patut dicermati bahwa sesungguhnya ketika ke pura atau berada di pura selain untuk kepentingan utama yaitu “ngaturang bhakti” telah berlangsung juga fungsi-fungsi pura yang lainnya.14

Selain sebagai tempat melakukan kegiatan persembahyangan bagi umat Hindu, jika ditelusuri lebih mendalam, pura tidak hanya mempunyai fungsi tunggal yang hanya sebagai tempat melakukan kegiatan pemujaan,15 akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai sarana tempat untuk melakukan kegiatan dalam berbagai bidang.

Seperti yang telah dikemukakan oleh penulis di atas dalam struktur organisasi, kegiatan Pura Merta Sari Rempoa pada umumnya tidak hanya di bidang keagamaan, akan tetapi juga bidang sosial kemasyarakatan, pendidikan dan kebudayaan. a. Bidang Keagamaan

Dalam bidang keagamaannya, di Pura Merta Sari Rengas banyak terdapat ritual-ritual persembahyangan yang di Pandu oleh pemangku atau pinandita. Dapat dilihat dari jadwal pelaksanaannya dibawah ini;

13 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Pengurus Tinggi (Surabaya: Paramita, 1999), cet. I, h. 177. 14Ni Wayan Astini, “Definisi dan Fungsi Pura,” artikel diakses tanggal 24 Oktober 2019 dari https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPS/article/download/3809/3052&ved=2ahUKEwilr__XvM rlAhVDK48KHZKC2YQFjAHegQIBBAB&usg=AOvVaw1LFhnR6p-k89A0m6a-ggm9. 15I Gusti Ketut Widana, Mengenal Budaya Hindu Sebuah Pengantar (Denpasar: T.P, 2002), h. 69.

24

Jadwal Piket Pinandita Pura Merta Sari Rengas Rempoa Tahun 2019

No Tanggal Pinandita Manggala Pinandita Pendamping Tanggal Persembahyangan 31. 12. 18 Santih Puja dan Pergantian Tahun Kuningan, ngiring, pekuluh ke Pura Dalem Tj 1 31 Des- 12 Jan 19 Pndt Gusti Nyoman Murtika Pndt Wayan Gede Bawa 05. 01. 19 Pick dan Siwa Ratri Pndt Wayan Mudia 06. 01. 19 Tilem Sasih Kepitu 2 13 Jan – 26 Jan 19 Pndt Wayan Gede Bawa Pndt Wayan Mudia 06. 01. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kewulu Pndt Istri LM Nudriati 20. 01. 19 Purnama Sasih Kewulu 3 27 Jan- 09 Feb 19 Pndt Wayan Mudia Pndt Istri LM Nudriati 03. 02. 19 Santih Puja Purwani Tilem Kewulu Pndt Wayan Pinda Asmara 04. 02. 19 Tilem Sasih Kawulu Pndt Wayan Pinda Asmara 16. 02. 19 Ngiring, Pukuluh Ke Pura Kertajaya Tangerang 4 10 Feb- 23 Feb 19 Pndt Istri LM Nudriati Pndt Gusti Nyoman Murtika 18. 02. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kesanga 19. 02. 19 Purnama Sasih Kesanga Pndt Gusti Nyoman Murtika 03. 03. 19 Melasti ke Tanjung Pasir 5 24 Feb– 09 Mar 19 Pndt Wayan Pinda Asmara 05. 03. 19 Santih Puja Purwani Tilem Sasih Kesanga Tilem Kesanga, Tawur Kesanga (Ngiring, Pndt Wayan Gede Bawa 06. 03. 19 Pukuluh ke Serang), Tawur di Pura Mert Sari. 6 10 Mar-23 Mar 19 Pndt Gusti Nyoman Murtika Pndt Wayan Gede Bawa 19. 03. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kedasa Purnama Sasih Kedasa, Ngiring Pelukuluh Ke Pndt Wayan Mudia 20. 03. 19 Pura Candra Praba Jak Bar 7 24 Mar- 6 Apr 19 Pndt Wayan Gede Bawa Pndt Wayan Mudia 03. 04. 19 Santih Puja Purwani Tilem Kedasa Pndt Istri LM Nudriati 04. 04. 19 Tilem Sasih Kedasa Pndt Istri LM Nudriati 10. 04. 19 Ngiring Pekuluh Ke Pura Dharma Siddhi Ciledug 8 7 Apr- 20 Apr 19 Pndt Wayan Mudia Pndt Wayan Pinda Asmara 18. 14. 19 Santih Puja Purwani Purnama Jyesta 19. 04. 19 Purnama Sasih Jyesta 9 21 Apr- 4 Mei 19 Pndt Istri LM Nudriati Pndt Wayan Pinda Asmara 03. 05. 19 Santih Puja Purwani Tilem Jiyesta Tilem Sasih Jiyesta, Matur Piuning Piodalan Pura Pndt Gusti Nyoman Murtika 04. 05. 19 Merta Sari Pndt Gusti Nyoman Murtika 11. 05. 19 Hari Raya Saraswati 15. 05. 19 Hari Raya Pangerwesi Nuwur Tirta Ke Pura Se Banten, Santih Puja 10 5 Mei- 18 Mei 19 Pndt Wayan Pinda Asmara 17. 05. 19 Purwani Purnama Sadha Pndt Wayan Gede Bawa 18. 05. 19 Purnama Sasih Sadha, Piodalan Pura Merta Sari Ngiring Pekuluh ke Purahyangan Jagat Guru 26. 05. 19 BSD 11 19 Mei- 1 Jun 19 Pndt Gusti Nyoman Murtika Pndt Wayan Gede Bawa 01. 06. 19 Santih Puja Purwani Tilem Saddha Pndt Wayan Mudia 12 2 Jun- 15 Jun 19 Pndt Wayan Gede Bawa Pndt Wayan Mudia 02.06. 19 Tilem Sasih Saddha Pndt Istri LM Nudriati 13 16 Jun- 29 Jun 19 Pndt Wayan Mudia Pndt Istri LM Nudriati 16. 06. 19 Santih Puja Purwani Purnama Mala Saddha Pndt Wayan Pinda Asmara 17.06. 19 Purnama Sasih Mala Saddha 14 30 Jun- 13 Jul 19 Pndt Istri LM Nudriati Pndt Wayan Pinda Asmara 01.07. 19 Santih Puja Purwani Tilem Mala Saddha Pndt Gusti Nyoman Murtika 02.07. 19 Tilem Mala Saddha Pndt Gusti Nyoman Murtika 15. 07. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kasa 15 14 Jul- 27 Jul 19 Pndt Wayan Pinda Asmara 16.07. 19 Purnama Sasih Kasa Pndt Wayan Gede Bawa 24.07. 19 Hari Raya Galungan

Di atas sudah dijelaskan rentetan kegiatan keagamaan Pura Merta Sari, yang pastinya diharapkan agar semua kegiatan dapat berjalan dengan baik. Semua

25

penanggung jawab yang sudah di tetapkan dalam jadwal piket ini tidak serta merta lansung terlaksana tentunya sudah disusun dan diatur dengan sebaik-baiknya oleh pengempon atau ketua banjar Pura Merta Sari Rengas. Dari jadwal di atas dapat disimpulkan bahwa semua Pinandita memiliki kewajiban untuk memimpin dan memberikan arahan tentang pokok-pokok ajaran agama Hindu di Pura Merta Sari ini terutama dalam bidang keagamaannya.16 b. Bidang Pendidikan

Yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diperoleh di sekolah, sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan yang diperoleh dari keluarga maupun masyarakat. Pendidikan yang diperoleh di masyarakat berlangsung di setiap tempat yang dipergunakan sebagai tempat berinteraksi oleh individu yang satu dengan individu yang lainnya, termasuk salah satunya di pura. Begitu pula halnya di Pura Merta Sari merupakan salah satu tempat untuk melangsungkan kegiatan pendidikan nonformal. Pendidikan ini dapat dilihat seperti dalam melaksanakan kegiatan dharma wacana (ceramah agama) dan dharma tula (diskusi agama) yang diadakan setiap bulannya. Selain itu di pura juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar membuat upakara seperti membuat banten ( sesajen).17

Pendidikan formal, pura ini mempunyai sebuah Yayasan Merta Sari Rempoa merupakan yayasan warga Tempek Rempoa yang didirikan berdasarkan Akta Notaris

16Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26. 17Wawancara denganMade Soraja YudhantaraSelaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26.

26

No. 12 pada tanggal 17 Nopember 2007 di hadapan Notaris I Nyoman Darmawan SH,

MM, MKn dengan pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor :

C-4074.HT.01.02 TH 2007 tertanggal 19 Desember 2007.18

Yayasan Merta Sari Rempoa merupakan wadah untuk mengelola dan memfasilitasi semua kegiatan dan program kerja dari Tempek Rempoa khususnya di bidang pendidikan, seperti:

a. Mengelola Pasraman yaitu sebuah sekolah khusus untuk umat Hindu yang

hanya dibuka pada hari minggu, sekolah Tingkat SD (35 Siswa) , SLTP (47

Siswa), SLTA (49 Siswa), terdiri dari 4 kelas, dan 7 Jumlah guru pengajar

(yang berhubungan dengan PDK/Pendidikan Dasar Kedisiplinan).19

b. Pendidikan umum termasuk program beasiswa ,Pendidikan ketrampilan

khusus : Workshop; office program, MS word, Excel, InDesign, Photoshop,

web design dan lain lain.20

Adapun fungsi pendidikan agama Hindu, seperti yang di jelaskan oleh ketua

Pasraman Pura Merta Sari adalah :

1. Untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang sekiranya dapat

dijadikan sebagai pedoman hidup dalam mencapai kebahagiaan hidup

(Moksartham Jagadhita).

2. Mengembangkan Sradha dan bhakti kepada Tuhan Sang Hyang Widhi.

3. Mengajarkan tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum.

18 Yayasan Merta Sari Rempoa, artikel diakses tanggal 27 Oktober 2019 dari http://www.mertasarirempoa.org/content/i.php?mid=80 19Wawancara denganMade Soraja YudhantaraSelaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26. 20 Yayasan Merta Sari Rempoa, artikel diakses tanggal 27 Oktober 2019 dari http://www.mertasarirempoa.org/content/i.php?mid=80

27

4. Untuk membentuk atau mempersiapkan sikap mental siswa yang sekiranya

ingin melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.

5. Mempersiapkan kematangan dan resistensi (ketahanan) siswa dalam

mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan sosial.

6. Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan- kelemahan peserta didik

dalam keyakinan dan pengalaman ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

7. Untuk mencegah peserta didik dari hal-hal negatif yang diakibatkan oleh pergaulan dunia luar.21 c. Bidang Sosial

Bidang sosial, yaitu bentuk integrasi sosial yang ada di Pura Merta Sari

Rempoa dapat dilihat dari berbagai kegiatan seperti gotong royong (ngaturang ayah) ketika akan mempersiapkan upacara piodalan. Seluruh umat yang berasal dari berbagai kalangan status sosial secara bersama-sama melakukan kegiatan yang dilandasi rasa solidaritas, kerjasama dan saling mengasihi menjadikan kegiatan yang dilaksanakan selalu berlandaskan rasa bhakti dan ketulusan beryadnya tanpa membedakan latar belakang mereka masing-masing. 22

Penulis juga melihat Umat Hindu di Pura Merta Sari sering kali mengadakan kegiatan bakti sosial yakni membagikan sembako untuk kebutuhan sehari-hari kepada masyarakat yang berada di sekitar Pura termasuk umat Islam. Kemudian kegiatan sosial lainnya berupa pengobatan gratis dan pelayanan kesehatan lainnya.

21Wawancara denganMade Soraja YudhantaraSelaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26. 22Observasi, Lihat dari Arsip Pura Merta Sari Kelurahan Rengas Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, 30 Oktober 2019.

28

d. Bidang Budaya

Pura juga bisa menjadi salah satu pengembangan kebudayaan karena biasanya di pura terutama pada saat pujawali akan dipentaskan berbagai kesenian yaitu seni suara, seni tari, seni tabuh dengan begitu pura bisa menjadi salah satu pusat pengembangan kebudayaan.Di Pura Merta Sari Ini terdapat sebuah Sanggar Seni

Budaya yaitu sebuah tempat yang berada di bagian luar pura atau yang biasa di sebut dengan balai Wantilan. Tempat berlansungnya pentas seni tari Bali yang di fasilitasi dengan seperangkat gamelan Bali (Gong) sound system, cemin dan di dekorasi sesuai corak Bali dan di ikuti sekitar 41 siswa kemudian 3 guru pemandu seni tari Bali Pura

Merta Sari Rengas 23

Sebagai mana penulis kemukakan di atas disimpulkan bahwa kegiatan yang ada di dalam sebuah pura bukan hanya semata-mata kegiatan keagmaan saja, akan tetapi yang tak kalah penting adalah Pasraman.Pasraman artinya tempat berlansungnya proses belajar mengajar atau pendidikan masyarakat Hindu yang ditekankan untuk meningkatkan kualitas pemahaman khususnya di bidang agama

Hindu, serta bidang- bidang lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti bidang sosial kemasyarakatan, seni dan teknologi.

23Wawancara dengan Ni Putu Kayia Anandani Selaku Siswa Pasraman Pura Merta Sari pada tanggal 23 November 2019 pukul 13: 26.

BAB III

BENTUK, SIFAT, DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN

A. Pengertian Simbol Keagamaan

Tindakan panganut suatu agama mengandung simbol, dan memiliki makna

tertentu bagi penganutnya. Seperti dijelaskan dalam kamus Kata simbol (symbol)

dalam bahasa Inggris mengandung arti menggambarkan sesuatu, khususnya untuk

menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-tanda

suatu obyek, proses dan lain-lain.1

Simbol secara etimologi adalah tanda yang digunakan untuk kepentingan ritual tertentu.2 Sedangkan simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah (mewakili) atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.3

Victor Turner seorang antropolog menyatakan bahwa simbol adalah unit atau bagian terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam

1J. Coulson, The New Oxford Illustrated Dictionary (Oxford: University Press, 1978, Vol.III), h. 1696. 2 WS. Indrawan, Kamus Ilmiah Populer( Surabaya: Cipta Media, 1999), h. 259. 3 H.A Rivay Sirregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Grafindo Persada, 1979), h. 13.

29

30

konteks ritual, dengan demikian bagian-bagian terkecil ritual perlu mendapat perhatian peneliti seperti sesaji-sesaji, mantra, dan lain sebagainya.4

Melalui makna sebagai suatu instansi pengantara, Clifford Geertz berpendapat bahwa sebuah simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang mengandung kualitas-kualitas analis- logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran atau fakta. Simbol merupakan suatu objek yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri, sehingga yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur, jenis simbol-simbol yang dipandang oleh suatu masyarakat sebagai suatu yang sangat sakral sangat bervariasi, akan tetapi bahwa simbol-simbol sakral dipentaskan tidak hanya memiliki nilai-nilai positif melainkan juga nilai-nilai negatif. Simbol-simbol tersebut tidak hanya menunjuk ke arah adanya kebaikan, melainkan juga menunjukan adanya kejahatan.5

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarwinta juga, menyebutkan bahwa simbol atau lambang ialah seperti tanda, lukisan perkataan,lencana dan sebgainya, yang menyatakan sesuatu hal yang mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih menyimbolkan kesucian.6

Hubungan yang terjadi antara simbol dan objeknya tidak sesederhana seperti hubungan antara tanda dan objeknya, tetapi ada kebutuhan dasariah akan

4 Suwardi Endraswara, Metodologi penelitian kebudayaan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006, h. 172. 5Clifford Geertz,Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 55-57. 6WJS Poerwadarwinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 556.

31

simbolisasi.Simbolisasi adalah pangkal titik tolak semua penangkapan manusia, dan lebih umum dari pemikiran, pengambaran atau tindakan. Manusia bertindak disebabkan oleh simbol-simbol yang berbagai jenis. Anton Bakker7, menyebutkan tindakan manusia dibedakan dalam beberapa tingkatan dalam penghayatannya, yaitu:

1. Tindakan Praktis, yakni tidak terjadi hal-hal yang disembunyikan dibalik apa

yang ada, merupakan komunikasi antara dua orang yang berisi

pemberitahuan, petunjuk atau pengenalan sesuatu. Tindakan praktis

semacam itu tidak terdapat komunikasi mendalam, tetapi terbatas dan

berlansung sehari-hari tanpa proses yang berlanjut.

2. Tindakan Pragmatis, berkedudukan setingkat lebih tinggi dari tindakan

praktis, komunikasi lebih berlanjut kearah yang lebih luas namun masih

terbatas.

3. Tindakan Efektif, komunikasi bersifat lansung dan total, tetapi berjangka

waktu terbatas. Walaupun berjangka pendek, ia memperoleh hasil atau

secara efektif berlansung tanpa syarat.

4. Tindakan Simbolis, sifat komunikasi berjangka lama. Walaupun tindakan itu

sendiri hanya terjadi pada saat yang terbatas, ia mampu menyatukan

kepribadian yang disimbolkan menurut dua aspek, yaitu bersikap dasariah

dan berjangka panjang.

Untuk mengartikan akal manusia harus ada perantara, yaitu melaui simbol.

Simbol atau sarana yang digunakan oleh umat Hindu mengandung gambaran secara

7Anton Bakker, “Manusia dan Simbol”dalam Soejanto Poedpowar-djono dan K. Bertens, Sekitar Manusia, Bungan Rampai Tentang Filsafat Manusia (Jakarta: Gramedia, 1977 ), h. 95-113.

32

tidak langsung, melainkan dengan mengunakan analogi. Simbol selalu dipakai dalam kehidupan manusia, maka perlu interpretasi. I Made Seroja Yudhantara menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Melakukan interpretasi, pemahamannnya

“Engkau harus memahami untuk percaya, dan percaya untuk memahami”.8

Dari pernyataan di atas penulis dapat memahami bahwa Suatu fungsi khas manusiawi secara alami membutuhkan wujud penampilan diri khas manusiawi, yaitu ekspresi murni ide-ide. Otak sebagai trasformator yang merubah arus pengalaman menjadi simbol-simbol, dan arus simbol-simbol merupakan gugusan pikiran manusia.

Simbolisasi menjadi jiwa dari tujuan dan sekaligus menjadi alat kebutuhan manusia.

Sebuah simbol tidak dapat digarap secara tuntas oleh bahasa konseptual. Di dalam simbol ada sesuatu yang lebih dari yang ada. Simbol menantang untuk berfikir, tetapi untuk berfikir membutuhkan bahasa. Dengan bahasa tidak akan pernah simbol tertafsir sampai tuntas. simbol dapat mengungkapkan aspek-aspek tindakan dari segala sisi entah itu kenyataan atau rahasia, artinya kenyataan yang tidak mungkin terungkap oleh alat.9

Simbol-simbol bukan saja membangkitkan gambaran (images) dalam kesadaran pemeluk agama, dengan menghantarkan manusia kepada realitas yang dilambangkan, tetapi juga mengkomunikasikan realitas Ilahi kepada manusia. 10

8Wawancara dengan Made Soraja Yudhantara Selaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada tanggal 23 November 2019 pukul 13.00. 9 Wawancara dengan Made Soraja Yudhantara pukul 13.00. 10Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 99.

33

Simbol bukanlah hanya sekedar cerminan realitas obyektif. Tetapi, ia pun mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan lebih mendasar.11

Simbol-simbol agama adalah manifestasi psikis yang “alamiah” dengan kehidupan organis dan perkembangannya sendiri selama berabad-berabad. Ia menunjukkan bahwa bahkan sekarangpun kita menemukan simbol-simbol agama yang autentik tumbuh seperti bunga, dari alam tidak sadar.12

Simbol bukan hanya bentuk luar yang menyembunyikan realitas religius yang lebih nyata, melainkan kekuatan nyata untuk menjumpai yang suci, sebagaimana diungkapkan oleh Marcea Eliade, bahwa simbol-simbol maupun berbagai ritus menghadirkan kembali evaluasi balik dari kesadaran manusia dalam hal kenyataan

Yang Transenden dan Mutlak.13 Manusia tidak mampu mendekati yang suci, karena yang suci itu immateri yang Transenden, sedangkan manusia adalah mahkluk bersifat material yang terikat dengan dunianya. Oleh sebab itu manusia bisa mengenal yang suci sejauh bisa dikenal dengan sesuatu yang dimaknai.

Dalam hidupnya manusia selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal sybolicum, yangartinya adalah pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul- betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Manusia adalah makhluk budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya

11 Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 184. 12Jamaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 220. 13Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 5.

34

manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol.14

Manusia disebut makhluk berpikir, berperasaan dan bersikap, melalui ungkapan-ungkapan simbolis. Manusia memaknai kehidupannya melalui simbol- simbol dan dengan arah itu pengalaman-pengalaman dapat didefinisikan serta diatur dengan cara hidup komunitasnya.

Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol- simbol berdasarkan kesadaran. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya dalam pengertian stimulasi fisik darialat-alat inderanya. Makna suatu simbol bukanlah pertama tama ciri-ciri fisiknya, namun apa yang dapat orang lakukan mengenai simbol tersebut.15

Simbol itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari sutu tempat ke tempat lain, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu yang lain. Begitu juga makna yang diberikan kepada simbol tersebut.16Penggunaan simbol komunikasi akan dilihat oleh sistem yang berada disekelilingnya, sebab nilai atau norma masyarakat sebuah standar dalam perlakuan anggota masyarakat yang berfungsi untuk menjaga kestabilan interaksi internal anggota masyarakat.

Manusia yang beragama dengan baik selalu menjauhi segala larangannya, dan melaksanakan segala perintah-perintah Tuhannya. Dengan ungkapan lain bahwa

14 Suwardi Endraswara, Metodologi penelitian kebudayaan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h. 171. 15 DeddyMulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi danIlmu Sosial Lainnya (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 77. 16 DeddyMulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi danIlmu Sosial Lainnya, h. 95.

35

beragama berarti penyerahan diri kepada Tuhan. Penyerahan diri kepada Tuhan dilakukan dengan simbol-simbol.

Koentjaraningrat menyebutkan ada empat komponen dalam sistem agama.

1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. Emosi

keagamaan merupakan suatu getaran yang yang menggerakkan jiwa manusia.

Proses ini terjadi apabila manusia memperoleh cahaya dari Tuhan. Getearan

jiwa yang disebut emosi keagamaan tadi bisa dirasakan seseorang individu

dalam keadaan sendiri. Suatu aktivitas keagamaan dapat dilakukan oleh

seorang dalam kehidupan sunyi senyap. Seseorang bisa berdoa, bersujud atau

melakukan sembahyang sendiri dengan penuh khidmat. Manakala dihinggapi

emosi keagamaan, ia akan membayangkan Tuhannya.

2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta imajinasi manusia

tentang Tuhan, keberadaan alam gaib, dan makhluk-makhluk gaib dan lain

sebagainya. Keyakinan-keyakinan seperti itu biasanya diajarkan kepada

manusia dari kitab suci agama yang bersangkutan. Sistem kepercayaan erat

hubungannya dengan sistem ritual keagamaan adan menentukan tata urut dari

unsur-unsur acara, serta sarana dan prasarana yang digunakan dalam unsur

keagamaan.

3. Sistem ritual keagamaan yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan

Tuhan. Sistem ritual keagamaan ini melambangkan konsep-konsep yang

terkandung dalam sistem kepercayaan.

4. Kelompok-kelompok keagamaan bisa berupa organisasi sosial keagamaan,

organisasi dakwah atau penyiaran keagamaan yang juga menggunakan

36

simbol-simbol dengan ciri khas masing-masing kelompok keagamaan

tersebut.17

Kedudukan simbol-simbol dalam keagamaan merupakan penghubung antara komunikasi keagmaan lahir dan batin. Tindakan simbolisme dalam ritual keagamaan merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja.

Manusia harus melakukan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan.

Sepanjang sejarah kehidupan manusia dapat ditemukan tindakan-tindakan manusia dalam agama, sosial, politik dan lain sebagaimana dengan menggunakan simbol-simbol. Bahkan simbolisme sangat menonjol peranannya dalam keagamaan.

Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk ritual keagamaan. Misalnya kalo dalam Islam dapat dilihat pada kitab-kitab para Nabi, sejak Nabi Adam as sampai dengan Nabi

Muhammmad SAW. Dalam hubungan ini, Hery Susanto mengutip Mircie Eliade dalam buku Myth and Reality bahwa manusia tidak mampu mendekati yang kudus secara lansung karena yang kudus itu transenden sedangkan manusia itu makhluk temporal yang terikat didalam dunianya. Maka manusia bisa mngenal yang kudus, sejauh bisa dikenal melalui simbol. Simbol merupakan suatu cara untuk dapat pada pengenalan Yang Kudus dan transenden.18

Semua kegiatan manusia pada umumnya melihat simbolisme. Karena itu manusia bukan hanya merupakan animal rationale, tetapi disebut juga homo simbolicus. Mungkin dalam lingkungan keagamaan kadang-kadang para pemeluk agama tidak perlu menggunakan suatu ungkapan simbolis. Hal ini tergantung pada

17Koentjaraningrat, Kebudayaan, Metalitet, dan pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), h. 25. 18Hery Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircie Eliade (Yogyakarta: Kanisius,1978), h. 40.

37

kodrat makna yang akan dikomunikasikan. Namun di dalam lingkungan keagamaan fakta-fakta keagamaan itu sendiri menurut kodratnya sudah bersifat simbolis. Yang

Kudus selalu menduduki tempat sentral dalam agama. Ungkapan-ungkapan keagamaan selalu menunjuk pada suatu yang transenden, yang trans manusiawi, yang trans historis.

Pemikiran simbolis merupakan cara pengetahuan otonom yang mempunyai struktur sendiri, simbol-simbol mempunyai logika sendiri serta membentuk suatu sistem struktural yang koheren. Dan setiap simbolisme yang koheren itu bersifat universal. Simbol berbicara lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata dan pengetahuan biasa. Simbol memberikan informasi yang sering sangat sulit, jika mustahil untuk diungkapkan.

The Liang Gie di dalam kamus logika Dictonary of Logic menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan manusia yang bukan berwujud kata-kata untuk mewakili sesuatu dalam bidang logika saja karena dalam budaya simbol dapat berupa katara-kata, berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut.19

Simbol dapat berupa objek, kejadian, bunyi atau suara, dan tulisan-tulisan atau ukiran gambar yang dibentuk serta diberi makna oleh manusia. Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang memiliki pengkhasan yang mngandung suatu kualitas-kualitas analisis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi pikiran dan fakta.20

Dapat dipahami dalam hal ini, simbol membawa suatu pesan yang mengandung sebuah makna yang mendorong pemikiran dan tindakan seseorang.

19The Liang Gie, Dictonary of Logic (Yogyakarta: Karya Kencana, 1975), h. 26. 20 Setya YuwanaSudikan, Antropologi Sastra (Surabaya: Unesa University Press, 2007), h. 40.

38

Melalui makna sebagai suatu instansi pengantara, maka sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai, dan juga dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan. Simbol merupakan suatu objek yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri.

Kesatuan sebuah kelompok dengan semua nilai budayanya, diungkapkan dengan menggunakan simbol. Menurut Dillistone, simbol berasal dari kata kerja dasarnya symbolleindalam bahasa Yunani berarti “mencocokkan”, kedua bagian yang dicocokkan disebut symbola. Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata, yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan arti yang sudah dipahami.21

Simbol-simbol agama wujudnya dapat berbentuk benda-benda dan juga non benda. Agama berada dalam tataran abstrak (bathin) yang inti dan sifatnya berhubungan dengan kepercayaan/keyakinan (sradha). Manifestasi sraddha agar benar-benar tampak nyata itulah sebagai cara-cara menjalankan agama, yang diantaranya dapat melahirkan simbol-simbol.22

Lebih lanjut tentang simbol, Swami Sivananda menambahkan dalam contoh

Pratima atau patung merupakan pengganti. Gambar atau arca pada sebuah Pura, walaupun terbuat dari batu, kayu, kertas atau logam sangat berharga bagi seorang penyembah, karena hal itu menandakan ada hubungan dengan yang disembah, Tuhan

Yang Maha Esa atau manifestasi-Nya. Gambar atau arca itu menggantikan sesautu

21 F.W.Dillistone, The Power of Simbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 21. 22I Ketut Artadi, Kebudayaan Spiritualitas (Denpasar : Pustaka Bali Post, 2011), h. 35-36.

39

yang ia sucikan dan abadi, seperti halnya bendera merah putih misalnya yang sejatinya hanya potongan kain kecil, namun sangat mengghugah emosi dan membangkitkan spirit perjuangan, hingga rela mengorbankan raga dan jiwa untuk merebut dan atau mempertahankannya.23

Simbol merupakan sebuah pusat perhatian, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Cassirer memberi petunjuk kepada kodrat manusia mengenai simbol, yakni selalu berhubungan dengan

1. Ide simbol (didasarkan pada pertimbangan prinsip-prinsip empirik untuk

memvisualisasikan ide dalam bentuk simbol)

2. Lingkaran fungsi simbol

3. Sistem simbol (sebagai sistem, memuat bermacam-macam benang yang

menyusun jaring-jaring simbolis).24

Sistem simbol ini terstruktur di dalam semua dimensi agama, yang dikenal sebagai struktur rohani. Terdapat tiga struktur rohani (agama) yang melahirkan berbagai simbol yaitu;

1. Struktur keyakinan atau kepercayaan

2. Struktur ibadah (warship) dalam berbagai polanya

23Sri Swami Sivananda, All About of Hinduism, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Intisari Ajaran Hindu (Surabaya.: Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1993), h. 154. 24 Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 36-40.

40

3. Struktur komunal (umat) yang tampil dalam bentuk organisasi atau asosiasi.

Ketiga struktur rohani inilah yang mewarnai keempat sistem simbol keagamaan

di atas.25

Apabila sistem simbol dapat menggambar makna yang ada dibaliknya secara harfiah dan merubah sesuatu yang hidup menjadi sebuah pesan atau tanda yang dapat dihayati, maka secara dinamis akan terkorelasi dengan sesuatu yang dipercaya atau dikuduskan yang berada di alam transenden. Dengan demikian Sistem ini dapat mengkonfigurasikan antara tanda (simbol) dengan kepercayaan yang berada di alam transenden atau alam gaib. Dengan kata lain simbol yang berbentuk berbagai pesan yang bersifat seni dan lain-lainnya terkorelasi secara langsung dengan sesuatu yang menjadi kepercayaan dan pemujaan didalam kehidupan keagamaan. Atas dasar itu, simbol dipandang sebagai sebuah pesan yang lazim diartikan sebagai ajaran atau doktrin yang wajib dipatuhi dan diamalkan, dipandang sebagai sebuah sitem kepercayaan yang menjadi dasar dari perilaku keagamaan, dan jamak difigurasikan sebagai suatu hakikat yang tertinggi, yang suci, dipuja dan di sembah.

Simbol tidak saja berdimensi horisontal-imanen, melainkan pula bermatra transenden, jadi horisontal-vertikal; simbol bermatra metafisik. 26 Sebagaimana di jelaskan oleh Cassirer, bahwa simbol merupakan sebagian dari dunia manusia mengenai arti atau makna. Dimana Manusia tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui simbol. Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, tetapi juga hidup dalam semesta simbolik. Bahasa,

25 Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama (Yogyakarta: pen. Pustaka, 2006), H. 52. 26 Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 82.

41

mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta ini bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring simbolik tersebut. Hal ini menegaskan bahwa begitu eratnya kehidupan manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan simbol-simbol (homo simbolicus). Manusia berpikir, berperasaan, bersikap, dan bertindak dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.27

Dalam budaya Indonesia pra-modern28 simbol adalah tanda kehadiran yang transenden. Acuan simbol bukan konotasi gagasan (rasio), dan pengalaman manusia

(rasa), akan tetapi hadirnya daya-daya atau energi adikodrati. Simbol adalah tanda kehadiran yang absolut itu. Inilah sebabnya simbol-simbol presentasional Indonesia tidak memperdulikan benda seni itu indah atau menyenangkan, tapi berguna dalam praksis menghadirkan yang transenden itu. Dalam simbol terdapat konsep besar yang ada dibaliknya, dapat dibaca secara sistem kepercayaan mengenai kehadiran yang transenden. Sebagai contoh, walau tujuan terakhir usaha manusia Jawa adalah kesatuan hamba dan Tuhan, namun tekanan tidak terletak pada pengalaman transenden. Tujuan terakhir bukanlah teori tentang keakuan dan Yang Ilahi, bukan juga penyerahan terhadap Yang Ilahi sebagai sikap religius, melainkan unsur-unsur itu sendiri yaitu teori dan iman (pandangan itu bukan hanya sebagai teori, melainkan sebagai praksis kehidupan manusia yang bermakna), yang masih menjadi sarana

27 Ernest Cassirer, An Essay on Man; an Introduction to a Philoshopy of Human Culture (New York: New Heaven, 1994), h. 23. 28Sebelum maju (modern), primitif.

42

pembulatan kekuasaan eksistensinya sendiri, yakni pembulatan diri dalam rasa, dalam perasaan terhadap realitas.29

Penulis berkesimpulan bahwa simbol merupakan lambang atau tanda yang berasal dari gagasan atau ide manusia yang dapat diinderai atau diwujudkan terutama dalam kehidupan beragama. Simbol ialah sebuah sarana pendekatan dan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai alat untuk membangkitkan imajinasi dan kesadaran pemeluk agama, sebagai penghantar atau alat untuk berkomunikasi dengan

Tuhannya yang dimanifestasikan melalui simbol. Simbol adalah perwujudan konkret yang terbentuk dari kerinduan penganutnya. Untuk menjelaskan keyakinan, perasaan, maka simbol atau sumber-sumber simbolis sangat di butuhkan. Bagi masyarakat beragama Hindu khususnya di Pura Merta Sari Rengas Simbol-simbol yang di gunakan pastinya memiliki makna tersendiri/anggapan khusus yang lebih dan berbeda dengan kita yang hanya memandang sebagai hal yang biasa.

B. Bentuk dan Sakralisasi Simbol 1. Bentuk Simbol

Tuhan dipahami dalam banyak cara melalui simbol-simbol keagamaan.

Manusia menyatakan pengalaman yang dirasakannya dalam proposisi yang bersifat simbolik dan deskriptif. Sebuah simbol yang sejati bukanlah mimpi atau bayangan.

Dia adalah pewahyuan atau pengungkapan yang hidup dari Tuhan yang sebetulnya tak terpikirkan. Kita menerima simbol-simbol itu melalui keyakinan, yang bagi kebanyakan orang adalah satu-satunya cara yang mungkin untuk berpartisipasi dalam kebenaran suci. Simbol-simbol adalah jalan untuk membantu kita menuju realisasi

29Jakob Soemardjo,Estetika Paradoks (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006), h. 43-44.

43

rohani. Sepanjang waktu para Rsi kita menyadari bahwa bahasa manusia gagal ketika mencoba menjelaskan hakikat dari Tuhan.30

Simbol-simbol Tuhan dalam agama Hindu banyak jumlahnya. Ada yang berbentuk seperti manusia, binatang, separuh manusia separuh binatang dan benda- benda lainnya baik benda-benda langit, huruf-huruf dan bahkan sarana persembahan seperti daksina merupakan perwujudan Dewa-Dewa atau Dewi-Dewi manifestasi

Tuhan Yang Maha Esa atau roh suci para leluhur.31

Penggambaran wujud Tuhan dalam bentuk-bentuk tertentu (Citra Dewata) bertujuan untuk mendekatkan para bhakta secara psikologis terhadap Tuhan yang dipujanya. Dalam Bhagavadgita disebutkan sebagai berikut:

aneka-vaktra-nayanam anekàdbhùta-darśanam, aneka divyàbharaņam divyànekodyatàyudham. divya-màlyàmbara-dharam divya- gandhànulepanam, sarvàścarya-mayam devam anantam viśvato-mukham. (Bhagavadgita.XI.10-11)

Terjemahan : Dalam bentuk semesta itu, Arjuna melihat mulut-mulut yang tidak terhingga, mata yang tidak terhingga, dan wahyu-wahyu ajaib yang tidak terhingga. Bentuk tersebut dihiasi dengan banyak perhiasan rohani dan membawa banyak senjata rohani yang diangkat. Beliau memakai kalung rangkaian bunga dan perhiasan rohani, dan

30Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 11.40. 31 I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2003), h. 67-69.

44

banyak jenis minyak wangi rohani dioleskan pada seluruh badan-Nya. Semuanya ajaib, bercahaya, tidak terbatas dan tersebar kemana-mana.32

Bila diamati dengan seksama, ditemukan berbagai bentuk simbol-simbol keagamaan Hindu yang sesungghunya bermanfaat sebagai media mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Berbagai simbol-simbol keagaman itu dari bentuk dan bahannya yang sangat sederhana hingga kompleks dapat dijumpai penjelasan atau keterangannya dalam kitab suci Weda dan susastra Hindu, termasuk dalam berbagai lontar yang diwarisi di Bali, yang pada kesemua itu pada intinya adalah sebagai bentuk penggambaran Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya.

Berikut penjabaran mengenai bentuk penggambaran Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya itu disebut Citradewata, yang jika dirinci dapat dibagi menjadi :

1) Berbentuk manusia dengan segala kelebihannya, seperti bertangan empat,

delapan atau dua belas, bermata tiga, dll. Penggunaan simbol manusia baik

laki-laki dan wanita, atau setengah laki dan wanita (ardhanareswari) terutama

ditujukan kepada para Devata, baik -Deva atau Devi-Devi, termasuk

sosok Apsara (Vidyadara) dan Apsari (Vidyadari), dll.

2) Berbentuk binatang, misalnya berwujud Barong Ket sebagai simbol Sang

Hyang Siwa, Barong Bangkung simbol Wisnu, lalu Naga Taksaka simbol

Sang Hyang Siwa, Naga Basuki simbol Sang Hyang Visnu, dll

32S. AgusMantik, Bhagawadgita (Surabaya : Paramita 2007), h. 395.

45

3) Berbentuk setengah manusia dan setengah binatang, seperti Ganesa, putra

Sang Hyang Siva yang lahir dari Devi Uma; lalu Deva Hayagriva, berbadan

manusia den-gan kepala kuda; dll.

4) Berbentuk manusia berkepala tumbuh-tumbuhan, misalnya pohon Soma,

pohon Kha, dll, hanya saja simbol sepertri ini tidak begitu dikenal terutama di

Bali.

5) Berbentuk benda-benda atau huruf tertentu, misalnya matahari atau cakram

(roda) simbol Sang Hyang Surya; bulan simbol Devi candra, lalu huruf suci

Omkara simbol Tuhan Yang Maha Esa; Swastika simbol keselamatan, Canang

simbol sthana Devata, Daksina simbol Deva , Keangen simbol

Ardhanareswari (Purusa-Pradhana), dll.

Bagi umat Hindu, semua bentuk simbol itu dapat menimbulkan getaran batin dalam dirinya lalu dirasakan dan diyakini sebagai sarana mendekatkan diri dengan

Tuhan Yang Maha Esa beserta segala manifestasi-Nya.33

Dari paparan di atas, menurut penulis bahwa simbol-simbol yang merupakan produk pemikiran manusia, kemudian berkembang menjadi bagian dari ajaran suatu

Agama sesuai dengan Fungsinya. Hal ini dimaksudkan untuk merefleksikan suatu ibadah.

2. Sakralisasi Simbol

Di dalam agama, konsep yang suci bersifat abstrak agar yang abstrak itu menjadi jelas bagi pemeluknya maka pemeluknya itu menjadikan-Nya dalam bahasa

33 PHDI. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu IXIV (Kuta : Peradah Komisariat Kecamatan Kuta, 1988), h. 67-69)

46

simbol. Adapun simbol menjadi sesuatu yang disakralkan oleh pembuatnya sehingga membangkitkan gambaran (image) dalam kesadaran pemeluk agama dengan mengantar dan menetapkan menusia dengan realitas yang dilambangkan, tetapi juga mengkomunikasikan realitas Ilahi kepada manusia. Sepanjang sejarah budaya manusia, simbol telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan dan religi.

Bentuk simbol seperti tersebut di atas sebelum difungsikan sebagai objek pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi, terlebih dahulu harus memenuhi syarat ritual yang disebut prayascita (upacara Malaspas) dan dilanjutkan dengan Abhiseka

(pasupati, ngalinggihan atau ngenteg linggih) dan pensucian. Apabila simbol-simbol tersebut telah mengalami proses prayascita dan abhiseka maka simbol-simbol itu telah dapat difungsikan sebagai pengganti wujud Tuhan yang bersifat nirupa dan nirguna. Simbol-simbol yang belum mengalami proses prayascita dan abhiseka maka simbol-simbol itu belum dapat digunakan atau difungsikan sebagai pengganti wujud

Tuhan atau Ista Dewata.34

Simbol manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang telah disakralkan merupakan sarana pemujaan umat Hindu dan ketika melihat simbol-simbol itu di altar pemujaan umat Hindu mencakupkan kedua belah tangan di dada atau di atas kepala. Bahkan ketika simbol-simbol itu belum atau tidak mengalami proses sakralisasi, jika ditemukan pada tempat yang tidak semestinya setiap umat Hindu wajib mengamankan misalnya gambar citra Dewata tergeletak dilantai atau ditempat

34 I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2003), h. 75-76.

47

sampah umat Hindu yang menemukan hendaknya segera mengamankan dengan menaruh kembali pada tempatnya yang layak, jika gambar itu dalam keadaan terbangkalai di tempat kotor agar umat Hindu dengan penuh hormat membakarnya untuk mengindari pencemaran kesuciannya. Demikian pula halnya dengan kitab suci

Weda atau Susastra yang memuat kutipan mantra-mantra suci Weda wajib diperlakukan dengan penuh hormat, misalnya membaca Weda hendaknya dengan alas baca, tidak diperkenankan membaca kitab suci Weda dengan menempatkan tergeletak dilantai. Sebelum membuka kitab suci Weda hendaknya membaca doa permohonan kepada Dewi Saraswati, doa pujian kepada Maha Rsi Wyasa sebagai pengkodifikasi

Weda dan Guru besar Weda.35

Simbol-simbol baik yang berupa arca, gambar, lukisan maupun kata-kata bisa menumbuhkan rasa keindahan, kesucian, kedamaian, dan rasa keagamaan

(religiusitas) serta spiritualitas bagi setiap orang. Simbol-simbol Hindu bersifat universal. Oleh karena itu ia dapat dipergunakan oleh siapa saja, tidak hanya terbatas oleh umat Hindu. Umat Hindu, dengan mengakui universalitas makna, nilai dan manfaat dari simbol-simbol itu, tidak akan menghalangi, bahkan bilamana perlu mendorong pengunaannya oleh orang lain, dengan syarat penggunaan itu dimaksudkan untuk tujuan kebaikan, dan tempatkan pada tempat yang pantas dan terhormat.36

35 Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 11.40. 36 I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2003), h. 70.

48

C. Sifat-sifat Simbol Suatu simbol merupakan suatu stimulus yang menandai kehadiran sesuatu yang lain. Dengan demikian suatu simbol berhubungan erat dengan maksud tindakan yang sebenarnya.37

Makna yang kita berikan pada sebuah simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu. Simbol mempunyai beberapa sifat, yaitu sebagai berikut :

1. Simbol bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja bisa

dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan

atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan, cara makan, tempat tinggal,

jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat

(artefak), angka, bunyi, waktu, dan sebagainya. Semua hal tersebut bisa

menjadi lambang atau simbol.

2. Simbol pada dasarnya tidak mempunyai makna, kitalah yang memberikan

makna pada simbol. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak

pada simbol itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-

kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu

mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama)

terhadap kata-kata itu.

3. Simbol atau lambang itu bervariasi. Simbol itu bervariasi dari suatu budaya ke

budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, dan dari suatu konteks waktu ke

konteks waktu lain. Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang

37 Morissan, Teori Komunikasi(Bogor : Ghalia Indonesia, 2013), h. 89.

49

tersebut. Untuk menyebut benda yang biasanya di digunakan untuk membaca

pada orang Indonesia menggunakan kata buku, orang Jepang hon, orang

Inggris book, orang Jerman buch, orang Belanda boek, dan orang Arab kitab.

Pendek kata, hanya memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Jika

semuanya sepakat, kita bisa saja menyebut benda berkaki empat yang biasa

kita duduki bukanlah “kursi”.38

D. Fungsi Simbol

Manusia sebagai mahluk yang mengenal simbol, menggunakan simbol untuk mengungkapkan siapa dirinya. Karena manusia dalam menjalani hidupnya tidak mungkin sendirian melainkan secara berkelompok atau disebut dengan masyarakat, karena antara yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Manusia sebagai anggota masyarakat dalam melakukan interaksinya seringkali menggunakan simbol dalam memahami interaksinya.39

Menurut Mangunwijaya, dalam pandangan kepercayaan masyarakat mitologis, bentuk-bentuk arsitektural hadir sebagai sarana mitis penghadiran, selaku simbol kosmologis perwujudan bentuk dasar orientasi diri, menyangkut keadaan manusia.

Orientasi diri adalah naluri kodrati untuk mencegah manusia hanyut tanpa kepastian.40

Adapun fungsi simbol adalah :

38Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010), h. 92. 39Faridatul Wasimah, Makna Simbol Tradisi Mudun Lemah (skripsi, UINSA, 2012), h. 26 40 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007), h. 110

50

1. Simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan

sosial dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat katagori, dan

mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja. Dalam hal ini

bahasa mempunyai peran yang sangat penting

2. Simbol menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.

3. Simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam arti ini,

berfikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri.

4. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk mecahkan persoalan manusia.

sedangkan manusia bisa berfikir dengan menggunakan simbolsimbol sebelum

melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu.

5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi

waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-

simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau

akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri

berdasarkan pandangan orang lain.

6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan

kenyataankenyataan metafisis seperti surga dan neraka.

7. Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh

lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan

dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.41

Dari paparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa simbol-simbol keagamaan memiliki arti penting bagi manusia dalam mengungkapkan kebutuhan hidupnya baik

41 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern(Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007), h. 110.

51

dalam interaksi sosial atau dalam beribadah. Dengan simbol-simbol itulah manusia dapat memahami pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.

BAB IV

MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN PURA MERTASARI RENGAS

A. Simbol Sarana1 Persembahyangan Pura Merta Sari Rengas

Tempat ibadah umat Hindu hampir sama, karena yang di puja pun sama intinya menuju Tuhan. Mungkin yang berbeda dari segi aksesoris atau ukiran-ukiran bangunan yang di gunakan. Semisalnya, jika dananya besar mungkin bisa lebih bagus begitupun sebaliknya. Namun esensi dari bangunan tersebut tetap sama, yaitu tempat ibadah menghadap Tuhan. Intinya semua hampir sama, entah dari segi tata letak bangunannya bisa dibilang hampir sama tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pura-pura lainnya.2

Dilihat dari tatanan upacaranya sudah jelas berbeda di bandingkan dengan agama islam misalnya. Dalam agama Hindu memepergunakan sarana seperti alat.

Jadi apapun, kemanapun kita pergi pasti mempergunakan alat. Apalagi menuju Tuhan, kita selaku umat Hinduharus butuh sarana. Maka disini dibuatlah semacam sesaji, mempergunakan dupa, bunga, air dan lain sebagainya. Semuanya memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu yang dijadikan sebagai penuntun atau perantara menuju

Tuhannya. Itulah mengapa umat Hindu untuk menuju Tuhannya atau menghadap

Tuhannya menggunakan sarana-sarana. Karena Tuhan tak terfikirkan,

1Kata “sarana” berarti suatu alat untuk mencapai suatu tujuan atau maksud tertentu. W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 768. 2Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13.

52

53

manusia tidak akan mampu memikirkan bentuk Tuhan karena Tuhan itu tidak berbentuk dan Tuhan itu berada dimana-mana. Misalnya seperti dalam mempergunakan sarana sesajen atau sesembahan maknanya, jadi apapun yang kita dapatkan sebelumdinikmati atau dimakan harus dipersembahkan dulu kepada Tuhan.

Karena semua milik Tuhan, semua berasal dari Tuhan, kita sebagai umatnya hanya mampumengucapkan syukur atau berterimakasih kepada Tuhan Sang Hyang Widhi.3

Jika melihat umat Hindu selesai melakukan persembahyangan pasti terlihat ada beras yang ditempelkan pada dahi, terlihat bunga pada telinga(laki-laki) dan pada rambut (wanita). Setiap akhir dari prosesi persembahyangan ada istilah metirtha, mesekar dan mebija, ketiganya mempunyai makna yang sangat penting bagi umat

Hindu. Karenanya sebelum melakukan persembahyangan diperlukan perlengkapan

(sarana) sembahyang.4

1. Simbol Patung

Patung adalah sculpture (bahasa Inggris) dalam bahasa Latin yaitu

Sculpsit,sculptilis yang berarti patung (arca). 5 Sebagai umat Hindu

Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja Tuhan atau Dewa-dewinya. Arca berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah

3Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13. 4 Makna sarana persembahan Hindu, artikel diakses tanggal 17 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-hindu/ 5Soedarso, SP. Tinjauan Seni. Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Sen.(Yogyakarta: Saku Dayar Sana, 1987), h. 8.

54

keindahan. Oleh karena itu, membuat sebuah arca tidaklah sesederhana membuat sebuah patung.6

Sesungguhnya sejak zaman prasejarah mulai dari bentuk yang paling sederhana patung difungsikan sebagai simbol roh nenek moyang atau media pemujaan. Oleh karenanya banyak ditemukan peninggalan patung sederhana yang berasal dari masa megalitik pada tempat-tempat suci seperti di Pura. Karena arca-arca dinilai mempunyai kekuatan sakti, religius magis, maka sampai sekarang arca tersebut masih dikeramatkan sesuai dengan kepercayaan masyarakat.7

Terciptanya arca-arca sederhana tidak lain didasari oleh konsep kekuatan penolakan magis yang ditempatkan pada tempat tertentu, karena mempunyai sifat melindungi. Konsep-konsep pemikiran yang muncul pada saat itu ialah adanya kekuatan yang melebihi kemampuan manusia itu sendiri sehingga muncul arca-arca sebagai media simbol. 8 Contohnya di dalam pura Merta Sari Rengas sebelum memasuki tempat Suci dalam sebuah Pura, terdapat dua buah arca yaitu Arca-arca penjaga (Dwarapala) yang menakutkan berperan untuk menjaga kesucian suatu tempat suci.

Dengan adanya pandangan kepercayaan seperti itu maka wajarlah arca-arca sederhana tersebut tetap dikeramatkan oleh umat Hindu khususnya di Pura Merta Sari dan dibuatkan sebuah pelinggih khusus di dalam pura. Suatu simbol diyakini sakral oleh masyarakat Hindu apabila telah melalui proses upacara agama yaitu

6 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Arca, artikel dalam Bahasa Indonesia, diakses tanggal 17 Desesember 2019 https://id.wikipedia.org/wiki/Arca#Hindu. 7I WayanWidia, Tinjauan Patung Sederhana Bali (Denpasar: Depdikbud. Ditjenbud. Proyek Pembinaan Permuseuman Bali, 1991), h. 18. 8Mahaviranata NyomanPurusa, Arca Primitif di Situs Keramas (Jakarta: Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, 1982), h. 442-443.

55

upacarapemelaspas (pembersihan dan penyucian).Dalam berlansungnya upacara tersebut arca-arca sederhana itu dihaturkan atau disuguhkan sesajen seperlunya. Dan apabila tidak melalui proses upacara maka hasil karya seni itu sekalipun dalam bentuk simbol-simbol tertentu tidak akan diyakini kesakralannya. Contoh. Patung dewa-dewa, patung raksasa dan lain-lain tetap tidak sakral, namun apabila dipindahkan ke pura dan diinisiasi dengan upacara agama secara lengkap dia akan berubah status menjadi sakral.

2. Air (Tirtha)

Tirtha dalam umat Hindu di Pura Merta Sari Rengas merupakanair yang di gunakan sebagai sarana dalam persembahyangannya. Air yang di gunakan pun bukan air sembarangan yaitu air/tirtha yang telah disucikan atau air suci. Secara rohaniah kesucian Tirtha ini dapat diperoleh dengan jalan memantrai, menaruh disuatu

Pelinggih, atau mengambil dari suatu tempat dengan cara yang khusus yang dianggap suci. Sedangkan secara larihiah untuk kesucian Tirtha diusahakan menggunakan alat- alat yang bersih. Misalnya, tirtha yang digunakan untuk persembahyangan bulan

Purnama didapatkan dengan cara memohon di Pelinggih.9

Air memegang peranan penting bagi umat Hindu terutama yang berada di

Pura Merta Sari ini. Air dalam upacara keagamaannya dijadikan sebagai alat untuk memelihara kebersihan, menghabiskan noda-noda sehingga badan menjadi suci dan

9Ni Kadek Intan Rahayu, Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, (Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1, 2020), h. 153.

56

bersih,juga dijadikan sebagailambang pelebur dosadan juga merupakan simbol amrta

(hidup).

Semua peralatan dan bangunan-bangunan yang ada di Pura harus dipercikkan air sebelum upacara dimulai. Selanjutnya percikkan air suci kepada orang dalam upacara itu dimaksudkan untuk mendapatkan kesehatan, ketentranan (damai dihati), kebahagiaan dan lain-lain. Air dianggap mempunyai kekuatan untuk melenyapkan pengaruh jahat.Demikian pentinya air dalam kehidupan beragama sehingga semua upacara keagamaan tidak pernah lepas dari pada penggunaan air.10

Dilihat dari manfaatnya ada 3 jenis tirtha: 1. Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan,alat upacara atau

diri seseorang. Tirta ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita.

Tirtha ini sering disebut dengan tirtha pengelukatan,perbesihan atau

parayascita.biasanya dicipratkan tiga kali yang mengandung arti sebagai

simbol pensucian yang meliputi:awal,tengah dan akhir.

2. Tirta yang digunakan untuk penyelesaian dalam upacara persembahyangan.

Umumnya tirtha ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau

tempat suci tersebut. Istilah lain tirtha ini adalah wangsuhpada. Selain

dicipratkan(maketis)di kepala(ubun-ubun) juga diminum tiga kali sebagai

simbol pensucian bathin,lalu meraup(mencuci muka)tiga kali sebagai simbol

pensucian terhadap lahir.

10G. Pudja, M.A, WEDAPARIKRAMA (Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), h. 53.

57

3. Tirtha yang dimanfaatkan untuk penyelesaian upacara kematian. misalnya:

Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas.11

Sikap metirta harus betul–betul dihayati dan dilaksanakan dengan benar, mengingat isi dari uraian diatas bahwa tirta tersebut memiliki makna dan tujuan pengelukatan dan pebersihan.Caranya,Tirta dipercikan ke ubun- ubun sebanyak tiga kali sambil mengucapkan mantra dalam hati “Ong Hrang Hring Sah Parama Siwa

Merta Yenamah Suaha”(memohon peleburan dosa agar dikaruniai kebahagiaan lahir dan bathin ).12

Tirtha bagi umat Hindu bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Untuk membuktikan kesuciannya tirtha itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirtha adalah sarana agama.

Membuktikan kebenaran agama, dasar utamanya adalah kepercayaan. 13

3. Api (Dupa)

Dalam persembahyangan api diwujudkan dengan dupa. Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Dupa dengan nyala apinya merupakan simbol Dewa Agni. Dupa berasal dari “Wisma” yaitu alam semesta menyala dan asapnya bergerak keatas, pelan-pelan menyatu dengan angkasa.

11 Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan- hindu/ 12Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15. 30. 13Wawancara dengan Nyoman Rusta Selaku Umat Hindu Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 11. 32.

58

Oleh karena itu dupa disimbolkan sebagai Dewa Agni yang dimaknai sebagai saksi dalam upacara persembahyangan dan perantara yang menghubungkan umat

(manusia) dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nyala dupa sebagai saksi ini berarti bahwa api merupakan perwujudan Dewa Agni yang memiliki sifat maha melihat atau sebagai saksi dari segala hal yang dilakuakn manusia dan asap yang bergerak keatas dan menyatu keangkasa sebagai pertemuan antara umat dan Tuhannya.14

Dalam persembahyangan di Pura Merta Sari Rengas dimulai dengan melakukan puja untuk dupa, dengan cara kedua tangan menggenggam dupa yang telah dinyalakan. Tangan dicakupkan kedua ibu jari menjepit pangkal dupa yang ditekan oleh telunjuk tangan kanan, dengan mengucapkan mantra “om am dupa dipastraya nama svaha” (Ya Tuhan Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga sucilah sudah hamba seperti sinarmu). Makna yang terkandung dalam mantra puja untuk dupa adalah memohon kepada Tuhan dalam wujud Dewa Brahma untuk menyucikan diri melalui nyala dupa sehingga sucilah seperti sinar Tuhan.15

Dupa adalah kayu yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum, Wangi dupa dengan nyala apinya adalah di lambang Dewa Agni yang berfungsi;

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara 2. Perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia dengan Tuhan) 3. Sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat. 4. Sebagai saksi upacara16

14G. Pudja, M.A, WEDAPARIKRAMA (Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), h. 50. 15Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13. 16Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara pukul 17. 00.

59

Api mempunyai peranan yang penting dalam upacara-upacara agama Hindu.

Setiap upacara yang di lakukan di Pura Merta Sari Rengas didahului dengan menyalakan api. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat- sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai makna tersendiri bagi umat Hindu.

Mereka percaya melalui asap api yang meresap ke segala arah dan cahaya dari api memancarkan sinar yang putih berkilauan menyebar kesegala penjuru di percaya sebagai penghantar penghubung manusia dengan Tuhannya.

Ada 3 bentuk api yang digunakan dalam upacara agama Hindu:

1. Dupa, adalah api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong

dalam ini adalah asep ataupun sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wangi-

wangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.

2. Dipa, adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang

benderang. Misalnya api dari lilin,lampu dan sejenisnya. Saat ini listrik juga

termasuk sebagai salah satu Dipa.

3. Obor, adalah api dengan nyala yang besar berkobar-kobar termasuk jenis ini

adalah obor dari perapak(daun kelapa tua),tombrog(obor dari bambu) dan

sebagainnya.17

Penggunaan sarana sembahyang itu, sebenarnya tidak lebih hanya bermakna simbolis untuk mendukung pemusatan konsentrasi kita kehadapan Sang Hyang Widhi, seperti misalnya penggunaan sarana dupa yaitu bermakna sebagai saksi dalam persembahyangan dan sebagai pelebur segala kekotoran serta sebagai pengantar

17Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan- hindu/

60

doakita kepada Sang Hyang Widhi (divisualisasikan dengan asapnya yang membumbung ke atas).18

Namun perlu diketahui bahwa dengan diwujugkannya Tuhan atau disimbolkan dengan api bukan berarti mereka menyembah api, melainkan api tersebut hanyalah sebatas sarana yang mereka gunakan dalam sembahyang.

4. Simbol Bija

Bija atau wija di dalam Pura Merta Sari merupakan sarana persembahyangan dan digunakan setelah melakukan sembahyang. Bija dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih lalu direndam dengan air cendana. Penggunaan Bija bertujuan untuk mensucikan pikiran, perbuatan, dan perkataan. Bija diletakakn diantara dua kening, didada, dan ditelan (tidak dikunyah), sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.19

Bija merupakan simbol Kumaraataubenih kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Jadi Bija mengandung makna simbol menumbuhkembangkan benih kedewataan dalam diri seseorang. Oleh karena itu disarankan Bija menggunakan biji beras yang utuh tidak patah, alasanya kerena beras yang patah atau tidak utuh tidak akan bisa tumbuh.20

18I Gede Sudarsana, Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyang, artikel diakses tanggal25 Desember 2019 dari https://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-layak-dipakai-sembahyang 19Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 17. 20. 20Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan- hindu/

61

Tata Cara Menempatkan Bija:

Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan (ke-Siwa-an). Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa21, yaitu sebagai berikut:

1. Di pusar atau disebut titik manipura cakra.

2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di

dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma).

Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.

3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.

4. Di dalam mulut atau langit-langit.

5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih

tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.

Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija.

Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :

1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai

tempat mata ketiga. Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan

memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.

2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai

simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.

21Makna dan Penempatan Bija Dalam Persembahyangan, artikel diakses tanggal 2 Januari 2020 dari https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-bija-dalam- persembahyanganhindu-bali

62

3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi

kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat

kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan

harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.

Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/ Ke-Siwa- aan / sifat Tuhan dalam diri.Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.22

5. Bunga (Puspa)

Puspa atau bunga dalam umat Hindu Pura Merta Sari selain digunakan untuk membuat Canang digunakan juga untuk melakukakan persembahyangan. Bunga yang digunakan hendaknya bunga yang segar, harum, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak layu, tidak kering, bukan hasil dari mencuri atau bisa dikatakan bunga yang masih suci, dan bunga yang belum pernah terpakai sebelumnya. 23Dalam hari raya bulan purnama misalnya, penggunaan bunga dalam persembahyangan atau melakukan puja bhakti kehadapan Ida Sang Hyang

Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai sumber sinar yang di sebut “Dewa” penggunaan warna bunganya disesuaikan dengan warna-warna yang dipancarkan oleh Dewa-dewa. Bunga dalam persembahyangan bulan purnama memiliki makna

22Makna dan Penempatan Bija Dalam Persembahyangan, artikel diakses tanggal 2 Januari 2020 dari https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-bija-dalam- persembahyanganhindu-bali 23Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13.

63

sebagai sarana untuk menngungkapkan rasa bakti sebagai simbol ketulus ikhlasan dan kesucian hati dalam memuja Ida sang hyang Widhi Wasa.24

Warna-warna yang umum digunakan dalam persembahyangan antara lain:

1. Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara,

memiliki kekuatan seperti badjra,memancarkan sinar berwarna putih(netral).

2. Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma,

memiliki kekuatan seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.

3. Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau

hijau. Dipakai untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki

senjata cakra dan memancarkan sinar berwarna hitam.

4. Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan

Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar

berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya

digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna

kuning.25

Dalam agama Hindu terdapat satu bunga yang diistimekan yaitu bunga teratai.

Bunga teratai merupakan salah satu bunga yang sangat dihormati, karena mereka

memahami bahwa para dewa dan dewi bersemayam diatas bunga teratai. Mereka

juga percaya bahwa warna merah yang terdapat pada bunga teratai itu merupakan

24K. M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu (Surabaya: PARAMITA, 2004), h. 13-14. 25Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan- hindu/

64

suatu kesucian dan keberuntungan. 26 Selain alasan di atas, bila diamati dengan

seksama bunga teratai memang indah dan istimewa. Bunga teratai mempunyai tiga

bagian yang ketiganya seolah-olah hidup di tiga alam yang berbeda. Ketiga bagian

tersebut ialah akar, tangkai dan bunga. Akar bunga teratai tertanan di tanah, lalu

tangkainya hidup di air, kemudian bunganya mekar di udara.27 Atas dasar tersebutlah

bunga teratai memiliki keistimewaan tersendiri bagi mereka .

Didalam kitab Mantra Weda Parikrama menjelaskan pemakaian kembang atau

Puspa, yang merupakan bentuk sesajen yang paling mudah didapatkan dan paling murah. Puspa adalah benda yang disuguhkan sebagai cara menundukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Yang penting ialah bahwa perbuatan itu akan memberikan rasa puas pada diri seseorang yang ingiin menyampaikan perasaannya.

Bentuk yang lebih komplek ialah dengan menambahkan jenis kurban itu dalam bentuk hasil bumi lainnya, makan-makanan dan lain-lain.28

Setelah melakukan mantram puja untuk dupa selanjutnya umat di Pura Merta

Sari menyucikan kembang atau bunga yang akan digunakan dalam persembahyangan.

Bunga disucikan dengan cara menggenggam bunga kemudian diasapkan pada asap dupa setelah itu mengucapkan mantra. Mantram untuk menyucikan bunga adalah“om, puspa dannta ya nama svaha” (Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci).

Makna yang terkandung dalam mantra ini adalah memohon kepada Tuhan Ida Sang

26I Wayan Punia, Mengapa? Tradisi dan Upaca Hindu (Surabaya: PT. Kisanlal Sharma- PARAMITA, 2007), h. 72-76. 27I Ketut Wiana, Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan (Surabaya: PARAMITA, 2000), h. 37-38. 28G. Pudja, M.A, WEDAPARIKRAMA (Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), h. 51.

65

Hyang Widhi Wasa untuk menyucikan sarana bunga yang akan digunakan dalam persembahyangan.29

Bunga dalam agama Hindu khususnya di Pura Merta Sari dipakai sebagai sarana dalam ritual persembahyangan yang dijadikan sebgai simbol Tuhan (Dewa

Siwa). Bunga sebagai simbol Tuhan maksudnya bunga yang di pakai dalam ritual sembahyang, yaitu dengan cara diletakkan di ujung telapak tangan yang yang dicakupkan, kemudian ditujukan di atas kepala atau disumpingkan di daun telinga.

Bunga dalam agama Hindu melambangkan kesucian hati di dalam memuja Sang

Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. 30

Penggunaan bunga sebagai sarana persembahyangan merupakan sebuah simbol ketulusan dan kesucian hati pemuja dalam melakukan pemujaan kepada Sang

Hyang widhi dan ternyata hal ini (bunga) tidah hanya dipakai oleh umat Hindu sebagai sustu simbol bersembahyangan,tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pernyataan perasaan seseorang terhadap orang lain, misalnya perasaan bahagia/ senang ataupun perasaan turut berduka/berbela sungkawa, hal ini disimbolkan dengan wujud karangan bunga.31

29Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13. 30I Ketut Wiana, Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan (Surabaya: PARAMITA, 2000), h. 29. 31 I Gede Sudarsana, Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyanghttps://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-layak-dipakai-sembahyang, 25 Desember 2019.

66

Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwaadalah sebagai berikut:32

Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring Bhattara Kembang uleran, kembang ruru tan inuduh, kembang semutan Kembang laywan-laywan ngarannya alewas mekar, kembang mungguh ring sema. Nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena denika sang sattwika Artinya: Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik

Dengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam persembahyangan, kita tidak menggunakan sembarang bunga, hal ini tentu didasari oleh suatu maksud yang paling hakiki yaitu kita ingin mempersembahkan yang terbaik kepada Sang Hyang Widhi.

6. Kain Hitam Putih (Saput Poleng )

Kain kotak-kotak hitam putih disebut dengan istilah kain poleng atau saput poleng. Saput artinya kain yang membalut, sedangkan poleng adalah istilah untuk warna hitam putih yang berseling merupakan lambangRwa Bhineda, yaitu keseimbangan alam.

Di dunia ini pasti ada hitam dan putih, dua hal yang berlawanan tetapi mampu membuat alam ini jadi seimbang dan harmonis. Rwa Bhineda secara filosofis

32 I Gede Sudarsana, Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyanghttps://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-layak-dipakai-sembahyang, 25 Desember 2019.

67

mengajarkan kita bahwa di dunia ini ada dua hal berbeda yang tidak bisa dipisahkan, seperti baik-buruk, siang-malam, dan panas-dingin.

Ada tiga macam kain poleng atau saput poleng yang biasa digunakan:

1) Saput Poleng Rwa Bhineda, yairu kain yang berwana putih dan hitam.

Maknanya, yaitu ajaran bahwa di dunia ini ada hal yang berbeda, tetapi bila

berjalan harmonis akan membuat alam ini seimbang.

2) Saput Poleng Sudhamala, yaitu kain yang berwana putih, abu-abu, dan hitam.

Makna hitam dan putihnya merupakan simbol Rwa Bhineda, sedangkan abu-

abu merupakan warna penyelaras keduanya.

3) Saput Poleng Tridatu, yaitu berwarna putih, hitam, dan merah. Maknanya,

yaitu ajaran triguna atau tiga sifat manusia, yaitu merah artinya rajas atau

keras, hitam artinya tamas atau malas, dan putih artinya satwam atau bijak.

Saput poleng di Pura Merta Sari Rengas biasa dipakaikan pada pohon, patung, atau gapura. Dalam kepercayaan umat beragama Hindu, saput poleng dianggap sebagai pertanda bahwa benda itu memiliki kekuatan magis yang dihormati dan melindungi, serta patut dijaga kelestariannya.Saput poleng juga digunakan oleh orang-orang tertentu, seperti pada pecalang 33 , dalang, dan pemain drama yang berperan sebagai punakawan.

7. Senteng (Ikat Pinggang)

Senteng atau sering juga disebut dengan Selendang yang di gunakan umat

Hindu pura Merta Sari merupakan seutas kain yang panjang berukuran 1-2 meter

33Pecalang adalah seseorang yang diberi tugas untuk mengawasi keamanan desa adarnya atau biasa di sebut sebagai polisi.

68

dengan lebar kurang lebih 10 cm. Senteng biasanya digunakan untuk mengikat pinggang pada saat memasuki tempat suci pura atau tempat ibadah.

Dalam ajaran agama Hindu Senteng mengandung makna pengikat indra-indra manusia dari hal-hal negatif ketika ingin melakukan sembayang. Selain itu, ada juga yang yang menyebutkan bahwa Senteng merupakan simbol Tali pusar antara seorang ibu dengan anaknya yang kemudian diimplementasikan dalam ajaran agama.Sentang disimbolkan sebagai pengikat panca budhi indria dan panca karmen indria serta. Ada juga yang mengatakan bahwa Senteng sebagai pembatas antara bagian manusia yang suci (kepala keatas) dan yang tidak (pinggul kebawah) agar pada saat sembayang tidak memikirkan hal-hal negatif.Mengenai warna, biasanya sentang disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing orang, misalnya merah, kuning dan hitam

(Brahma, Wisnu Siwa).34

Walaupun seseorang memakai celana panjang, jika sudah memakai senteng/selempot akan diizinkan untuk masuk ke pura. Senteng/lempot hanyalah sebuah simbol atau sebuah peraturan.Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu.Namun ada baiknya jika kita dalam sembahyang, mempergunakan pakaian yang rapi, bersih dan nyaman.

Senteng hanyalah sebuah simbol atau sebuah peraturan, bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, paspor, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya.

34Hindu Alukta, Pengertian Senteng dan Makna Dalam Agama Hindu, artikel diakses tanggal 26 Desember 2019 dari https://hindualukta.blogspot.com/2017/04/pengertian-senteng-dan-maknanya- dalam.html

69

Demikian juga dengan senteng yang digunakan di Pura Merta Sari ini mengandung makna sebagai penghubung kepada para leluhur, warga dan para leluhur akan membahasakan doa, maksud, dan upacara umat kepada Hyang Widhi.

Asal- usul lahirnya budaya ini berasal dari para leluhur yang merupakan asal muasal kita sebagai manusia yang semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, manusia sudah terhubung dengan-Nya (ibu) yaitu melalui tali pusar (ari-ari).

Dasar dari konsep busana adat bali adalah konsep Tri angga yang terdiri dari :35

1. Dewa angga : dari leher ke kepala, berupa udeng/ikat kepala

2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher, baju/kebaya/lempot

3. Butha angga : dari pusar sampai bawah, dengan kain/kamen

Tali pusar sendiri, merupakan penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari

'mungkin' ari-ari (tali pusar) ini disimbolkan menjadi selempot (senteng), karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya.

B. Simbol-simbol Bangunan Keagamaan Pura Merta Sari Rengas

Untuk memuja kebebasan Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-dewa sebagai manifestasi dari pada Tuhan dalam berbagai peranannya, dibangun tempat-tempat suci atau tempat pemujaan yang di namakan Pura ke dalam berbagai bentuk serta

35Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, Senteng, artikel ini diakses tanggal 26 Desember 2019 dari http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/senteng.html

70

fungsi yang dibagi menjadi tiga bagian. yaitu ada yang disebut utama mandala (ruang suci/sakral), madya mandala (ruang tengah) dan nista mandala (ruang luar).36

Pembagian tempat suci terdiri dari tiga halaman tersebut juga berlaku di Pura

Merta Sari Rempoa yang mana juga dibagi menjadi tiga halaman yakni:

1. Nista Mandala (Bagian Luar Pura)

Atau biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar dari arsitektur pura. Bagian ini merupakan bagian nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah pura. Setiap orang dapat memasuki bagian ini.

a. Candi Bentar (Pintu Gerbang)

Candi Bentar sebagai salah satu elemen pembentuk arsitektur tradisional sebuah pura terutama di Bali yang walaupun hanya berfungsi sebagai pintu gerbang tempat persembayangan. Candi Bentar memiliki aturan dalam bentuk, struktur, dan dimensi, serta elemen estetis yang mencakup warna, bahan, dan ragam hiasnya.37

Candi Bentar ini berfungsi sebagai pembatas wilayah antara daerah jaba sisi

(nista mandala) dengan daerah luar, dan antara daerah jaba sisi (nista mandala) dengan daerah jaba tengah (madya mandala). Sebagai tempat keluar dan masuk umat

(pemesuan), sengaja di buat agak lebarberukuran sekitar dua setengah meter dengan tujuan untuk memudahkan umat keluar dan masuk ketika akan melaksanakan sembahyang.

36 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 36. 37N. K. A. Dwijendra, Arsitektur Bangunan Suci Hindu ( Denpasar: Udayana University 2008), h. 6.

71

Candi Bentar di Pura Merta Sari Rempoa berpadu dengan tembok penyengker karena mengikuti arsitektur atau tata letak konsep pura di Bali. Tembok panyengker agaknya memiliki makna lebih ketimbang sekadar pagar pembatas. Lantaran panyengker mengandung pengertian mengurung, melindungi atau menjaga isi yang ada di dalam bangunan Pura, memberikan kesentosaan, ketentraman, dan kedamaian.Tembok penyengker merupakan batas wilayah luar dengan wilayah tengah yang dipadu dengan candi bentar, kori agung adalah bagian yang tidak terpisahkan, sebagai ekspresi citra tata ruang yang tinggi nilai budayanya.

Penyengker dipercaya sebagai wujud perlindungan empat kekuatan alam yaitu air,api, tanah dan udara yang menempati sudut-sudut pekarangan. 38 Panyengker tersebut dilengkapi oleh apit lawang. Apit lawang di dalam kebudayaan Hindu adalah simbol penjaga pintu yang bersenjata, bertugas menjaga, mengawasi, danmengijinkan tamu masuk ke dalam pelataran. 39 Pada Pura Merta Sari kedua apit lawang tersebut divisualkan menjadi dua patung yang di sebut dengan Dwarapala.

Penulis melihat Patung Dwarapala ini berwujud patung berbadan besar dan berotot, dengan lengan yang memegang senjata berupa gada dan rambut ikal tebal menghiasi kepalanya.Mimik wajah terkesan menyeramkan sebetulnya menjadi peringatan bagi orang-orang agar tidak sembarangan masuk ke bangunan yang dijaga. Terkadang Dwarapala juga dibungkus atau dihiasi denga kain poleng yang berwarna hitam putih.

38Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13. 39 Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3.

72

Dwarapala memiliki makna terlebih bila diletakkan di pintu masuk pura. Ia diyakini sebagai cerminan manusia yang akan memasuki tempat suci. Ekspresi wajahnya mengingatkan umat untuk mengintrospeksi diri untuk membersihkan pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain, sebelum memasuki tempat suci, kita diharapkan meninggalkan sifat-sifat duniawi kita.40

Sosok kedua patung ini sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Hindu, sehingga pada rumah-rumah masyarakat Hindu terutama kompleks pura Merta

Sari Rengas, juga dipasangi Dwarapala di sisi kanan dan kiri pintu gerbangnya.

Hal ini juga akan mengingatkan masyarakat apabila akan berkunjung dan bertamu ke rumah orang lain, harus memperhatikan sikap dan membersihkan pikirannya.Lebih mendalam, sosok-sosok Dwarapala dimaknai sebagai penjaga jalan masuk agar tidak sembarangan dilalui manusia dan energi-energi negarif yang dapat merusak ketenangan atau melunturkan kesucian area tengah dan area dalam sebuah pura. Sebagai pemberi peringatan dan edukasi kepada umat, agar selalu berperilaku sopan santun serta beretika saat akan memasuki areal yang sakral dan suci.

Pada hari tertentu, umat Hindu memberikan sesajen sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Dwarapala yang telah menjadi penjaga selama ini. Bahkan, bagi rumah atau bangunan yang tidak memiliki figur patung Dwarapala di depan pintu, mereka juga turut menghaturkan sesajen pada sisi kanan dan kiri pintu

40Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13.

73

rumah yang berbentuk kolong, karena mereka pun percaya bahwa terdapat sosok- sosok yang turut menjaga wilayah mereka.41

Penentuan tata letak Candi Bentar ditentukan melalui 9 (Sembilan) bagian panjang dinding penyengker atau biasa di sebut dengan pagar pembatas, dengan setiap bagian panjang dinding tersebut memiliki makna masing-masing. Dalam lontar asta Bumi, disebutkan cara mendirikan candi bentar yaitu dengan mengukur sisi pekarangan yang akan dibangun dengan tali. Tali tersebut kemudian dilipat menjadi 9

(Sembilan) lipatan dan masing-masing lipatan memiliki makna dan pengaruh tertentu terhadap pemiliknya. Jika Candi Bentar menghadap ke timur maka penghitungan lipatan tali dilakukan dari arah utara ke selatan, jika menghadap ke selatan maka penghitungan lipatan tali dilakukan dari arat timur ke barat, jika menghadap ke Barat maka penghitungan lipatan tali dilakukan dari arah utara ke selatan, dan jika menghadap ke utara maka penghitungan lipatan tali dilakukan dari arah timur ke barat.42

Candi bentar Pura Merta Sari menghadap ke Timur atau ke arah gunung yang merupakan arah matahari terbit. Gunung dalam agama Hindu mempunyai arti yang sangat penting karena merupakan sumber air yang memberi kesejahteraan dan kemakmuran, arah timur yang merupakan arah matahari terbit ialah sebagai simbol lahirnya kehidupan atau sebagai sumber kehidupan. Itulah sebabnya umat hindu berkiblat ke gunung dan arah timur.

41Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 15.13 42Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3.

74

b. Bale Banjar

Bale banjar adalah sebuah bangunan yang bersifat umum, yang dapat dipergunakan oleh anggota banjar, baik itu untuk kegiatan rapat, kegiatan umum lainnya yang mendatangkan orang banyak. Bentuk bangunan berupa struktur kolom yang terbuat dari kayu yang disebut saka, dengan atap limas atau berbentuk segi banyak dan bidang tegaknya berbentuk segitiga yang salah satu sudutnya bertemu di satu titik. Titik itu disebut dengan puncak limas.43 Fungsi utama bale banjar adalah untuk tempat bermusyawarah anggota banjar, kegiatan-kegiatan adat, sosial dan lainnya.44

Dengan adanya berbagai fungsi yang diembannya, maka bale banjar merupakanbangunan yang multi fungsi. Bahkan dalam alam pembangunan pendidikan sekarang ini banyak bale banjar pagi harinya dipakai kegiatan belajar dari pada Taman kanak-kanak, kesenian, tempat bermain tenis meja, serta kegiatan muda mudi lainnya. Bila masyarakat adat akan memfungsikannya maka segala fungsi tambahan lainnya harus diadakan. Rapat banjar secara tetap diadakan setiap Bulan

Kliwon, Tumpek, atau diatur berdasarkan kesepakatan sesuai dengan keperluannya.

Minimal Banjar mengadakan rapat 6 bulan (Bali) satu kali.45

43 Pengertian Limas, Ciri-Ciri, Unsur, Jenis, Rumus, dan Contoh Soal Limashttps://www.sumberpengertian.id/pengertian-limas 44 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 39. 45Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 26 Desember 2019 pukul 13.20.

75

2. Madya Mandala (Bagian Tengah Pura)

Madya Mandala merupakan bagian tengah yang bersifat sakral. Sebelum memasuki bagian terdalam pura pasti melewati bagian ini. Pada bagian tengah pura ini terdapat sebuah bangunan yaitu:

Bale wantilan

Bangunan wantilan merupakan ruang tanpa dinding dapat diperluas ke arahluar sehingga daya tampungnya tidak terbatas. Bangunan wantilan dibangun berdasarkan 4 tiang utama, 12 tiang jajar sekeliling sisi atau lebih. Atap wantilan umumnya bertingkat yang disebut matumpang. Bangunan ini terbuka keempat sisinya dengan lantai datar atau berterap rendah di tengah-tengah. Wantilan berfungsi sebagai tempat musyawarah keagamaan atau rapat antar tokoh agama Hindu dengan duduk di lantai atau bale-bale atau kursi yang sengaja di tempatkan.46

Letak bale wantilan dalam suatu pekarangan di tengah atau agak ke tepi dengan ruang luar sekitarnya dapat merupakan perluasan dari sistim keempat sisi terbuka tersebut.47 Kemudian, tepat di sudut sebelah kanan bale wantilan ini ada sebuah bangunan sederhanya yang di sebut Bale kul-kul. Bale kul-kul di Pura Merta

Sari Rengas adalah sebuah banguan kecil menjulang tinggi fungsinya sebagai tempat kulkul atau kentongan yang dibunyikan diawal, akhir dan saat tertentu pada upacara.Bale kulkul sesuai dengan namanya, merupakan bale atau bangunan untuk

46 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 40. 47Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 26 Desember 2019 pukul 13.20.

76

penempatan kulkul. Kulkul merupakan suatu benda yang berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk memberi tanda kepada masyarakat atau penyungsung-nya.

3 Utama Mandala (Bagian Terdalam dan suci/sakral)

Bagian ini merupakan bagian terdalam pura yang bersifat sangat sakral dan terjaga kesuciannya. Ada beberapa bangunan yang ada di dalam bagian ini, diantaranya:

a. Kori Agung

Pintu masuk pekarangan dalam sebuah Pura disebut “kori” atau kori agung sebagai tempat yang diagungkan. Sesuai fungsinya untuk pintu masuk atau keluar, maka disebut pula pemesuan dalam bentuknya yang sederhana atau pamedal untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. 48

Kori sebagai salah satu elemen arsitektur tradisional yang memiliki beberapa pengertian. Kori merupakan peralihan ruang dalam wujud sebagai pintu masuk yang memiliki pengertian serupa dengan pengertian “torana” pada arsitektur India, “pai-lou” pada arsitektur tiongkok dan “torii” pada arsitektur Jepang. Kori merupakan pintu masuk pekarangan sedangkan kori agung diperuntukkan pada tempat yang diagungkan. Candi Kurung (Kori Agung) adalah pintu gerbang pura antara daerah jaba tengah dengan daerah jeroan yang bentuk atapnya atau puncaknya tertutup menjadi satu.49

48 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 33. 49Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3.

77

Atap kori bisa merupakan pasangan lanjutan dari bagian badan, dapat pula merupakan konstruksi rangka penutup atap serupa atap bangunan rumah. Dalam bentuknya yang tradisional, lengkap dengan tangga-tangga, tangga naik dan tangga turun. Dalam perkembangannya, dengan adanya sepeda motor keluar masuk kori tangga-tangga dilengkapi dengan lintasan roda atau tangga dihilangkan. Lobang kori tingginya apanyujuh (tangan direntangkan ke atas), dan lebar kori apajengkung

(tangan berkecak pinggang). Dengan adanya lintasan kendaraan, lebar lobang kori disesuaikan dengan apa yang melintasinya.

Dalam variasinya kori di bangun dengan berbagai kemungkinan untuk keindahan sesuai dengan fungsi dan lingkungannya, untuk kori yang tergolong utama di perumahan utama, kori sebagai pintu formal dipakai untuk upacara-upacara resmi sebagai pintu sehari-hari disamping pintu utama yang disebut bebetelan. Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun kori untuk pintu bebetelan ke arah belakang atau samping. Letak kori pada bagian tertentu di sisi pekarangan menghadap ke jalan di depan rumah. 50

Kori yang terletak pada rumah tinggal bagi rakyat merupakan kori dengan bentuk yang paling sederhana yang disebut dengan angkul-angkul, kori yang terletak pada rumah tinggal bagi penguasa disebut dengan kori bintang aring, sedangkan kori yang terdapat pada pura disebut dengan kori agung.

Fungsi dari Kori agung adalah sebagai pintu masuk ke daerah parahyangan, kahyangan desa, kahyangan jagat, dan tempat-tempat suci lainnya yang diagungkan

50 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 33-34.

78

dan disakralkan. Kori agung yang mengapit kori kembar di sisi sampingnya merupakan kesatuan tiga kori yang manunggal dengan susunan terbesar terdapat di bagian tengah berfungsi sebagai pintu masuk formal, sedangkan kori yang terletak di sisi sampingnya berfungsi sebagai pintu masuk informal.51

Antara bagian nista mandala ke bagian luar jalan raya di batasi dengan Candi

Bentar ( Gapura), antara nista mandala ke Madya Mandala di batasi dengan Tembok

Pentengker atau ruang suci yang di sakralkan. Kemudian antara Madya Mandala dibatasi dengan Kori Agung.

b. Bale Pawedan

Bale Pawedan adalah tempat pendeta melakukan pemujaan dalam memimpin upacara, tempat memanjatkan mantra (weda) saat piodalan dan upacara yadnya berlangsung di sebuah pura.

Bentuk dan tata letak Bale pawedan ini dalam arsitektur pura merupakan bangunan sekepat atau bangunan yang lebih besar dan terletak berhadapan dengan pelinggih pemujaan,biasanya bale ini dibangun pada pura besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama yang memerlukan tempat pawedan.52

c. Bale Pepelik

Bale Pepelik atau juga disebut Pelik Sari adalah sebuah pelinggih yang berada ditengah-tengah dalam sebuah pura yang biasanya juga disebut dengan Bale Pileh atau Bale Tajuk.Dimana dalam arsitektur pura disebutkan bahwa pelinggih ini

51 Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3. 52Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, BalePawedan, artikel ini diakses tanggal 26 Desember 2019 dari http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/05/bale-pawedan.html

79

konstruksinya serupa bangunan gedong namun terbuka tiga sisi yaitu, kedua bagian samping dandepan fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara saat pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.53

Dan biasanya pada akhir acara dilakukan dengan pelaksanaan mapurwa daksina54sebagai prosesi ritual untuk mengelilingi atau mengitari sebanyak tiga kali pelinggih tersebut dengan diiringi kidung-kidung dharma gita yang bertujuan untuk dapat meningkatkan vibrasi Sattvam yang muncul dari persembahan yang dilakukan dan menguraikan vibrasi unsur rajas-tamas di alam semesta ini.

d. Padmasana

Padmasana berasal dari kata “Padma”dan “Asana”.Padma berarti bunga teratai dan Asana berarti tempat duduk. Maka Padmasana berarti tempat duduk yang berasal dari bunga teratai. 55 Dalam pandangan umat Hindu, padmasana diartikan sebagai simbolis alam semesta sebagai sthananya atau tempat duduk Ida Sang Hyang

Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang tinggi. Padmasana itu adalah lambang dari gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Selain itu padmasana juga dijadikan sebagai penuntun bathin atau pusat konsentrasi, sebagai tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu.56

53Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, BalePepelik, artikel ini diakses tanggal 26 Desember 2019 dari http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/11/bale-pepelik.html 54Purwa (timur), Daksina (selatan). 55Arti Sarana Persembahyangan Dalam Agama Hindu, artikel diakses tanggal 27 Desember 2019 dari https://dewikastuti.blogspot.com/2016/12/arti-sarana-persembahyangan-dalam-agama.html 56Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 26 Desember 2019 pukul 14.00.

80

Dalam hal ini bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat untuk memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, ketulusandan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:57

1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi

Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan

Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai

Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai

Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai

Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai

Sambhu.

2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan

Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/

dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)

3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air

disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama

dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-

Pandita ketika melakukan surya sewana.

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak

57Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel diakses tanggal 2 Januari 2020 dari http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana- dan-aturan.html

81

Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana.58

Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah).Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka).Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”59

Tata cara membangun atau mensucikan padmasana adalah dengan:

3. Melaksanakan upacara(upacara) yang sederhana untuk Padmasari

4. Nasarin (peletakan batu pertama)

5. Ngeruwak (Penggalian lubang untuk dasar) sesuai dengan keputusan

Pesamuhan Agung

6. Penyucian lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha

7. Persembahyangan dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi

stawa. Bunga atau kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang

sebagian dasar.

8. Peletakan dasar dengan materi sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung

58Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel diakses tanggal 2 Januari 2020 dari http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana- dan-aturan.html 59Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel diakses tanggal 2 Januari 2020 dari http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana- dan-aturan.html

82

9. Melaspas.

10. Upakara- upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar

Dewa Tattwa, wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.60

Hiasanpadmasanaterdiri dari 3 bagian:

1. Di bagian dasar Padmasana

Pada bagian ini ada yang disebut dengan Bhedawangnala, yaitu ukiran “mpas”

(kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga.Bhedawangnala terdiri dari kata “beda”

berarti ruang-ruang, “ wang” berarti yang ada, dan “nala” berarti api, inti bumi

(ratala). Kura-kura adalah simbol yang berada di bagian paling dasar padmasana

dibayangkan sebagai api magma, dan dililit dua naga yang disebut sebagaiNaga

basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. dan anantaboga adalah simbol

kemakmuran dan kesejahteraan 61

Jadi makna padmasana yang berdasar bhedawangnala dianggap sebagai keajegan bumi, tempat kehidupan atas karunia Sang Hyang Widhi.Padmasana adalah tempat atau kedudukan suci Sang Hyang Widhi yang melindungi bumi dan kehidupan kita.

2. Di bagian tengah Padmasana

Di bagian ini tepatnya di bagian tengah belakang padmasana ada simbol

Garuda Wisnu yaitu simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai

60Hindu Alukta, Struktur Padmasana dan Fungsi Tingkatanya , artikel diakses tanggal 3 Januari 2020 dari https://hindualukta.blogspot.com/2015/12/struktur-padmasana-dan-fungsi.html 61 Hiasan Padmasana, arikel diakses tanggal 8 Januari 2020 dari https://wimerta.wordpress.com/2015/01/02/hiasan-padmasana/

83

pemelihara.Simbol garuda wisnu adalah simbol garuda (putra Sang Winata) yang membawa tirta amerta kamandalu, anugerah dari wisnu.Itu berarti juga sebagai simbol kesejahteraan dan kesehatan serta umur panjang bagi penyungsung garuda- wisnu.62

Kemudiandi bagian atas belakang ada simbol angsa yaitu sebagai simbol ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul kesucian, ketelitian memilih makanan, misalnya walaupun mulut angsa masuk ke lumpur yang busuk akan tetapi lumpur tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan memilih yang baik, di samping itu pula simbul kewaspadaan sebab baik siang maupun malam seolah-olah angsa tidak penah tidur.

3. Di bagian Atas Padmasana

Pada bagian kepala Padmasana terdapat singhasana yang diapit oleh patung naga tatsaka terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Istilah

Acintyamengandung makna sebagai salah satu sifat Kemaha Kuasaan Tuhan. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media gambar, relief atau pematungan. Dengan diwujud nyatakan simbol Tuhan tersebut diharapkan agar umat hindu memiliki emosi religi yang sangat dekat dengan

Tuhannya63

62 Hiasan Padmasana , arikel diakses tanggal 8 Januari 2020 dari https://wimerta.wordpress.com/2015/01/02/hiasan-padmasana/

63 Paduarsana, makna Acintiya, artikel diakses tangga l 9 Januari 2020 dari https://paduarsana.com/2012/09/12/makna-acintya/

84

Di dalam pura merta sari simbol digambaran dari sosok anatomi tubuh manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan sang hyang widhi utama sebagai simbol energi kehidupan, dan kepala tanpa bentuk wajah adalah simbol dari keberadaan yang tidak dapat dibayangkan, tanpa jenis kelamin(tidak laki-laki, tidak perempuan, pun tidak banci) dengan duduk bersila dan posisi satu tangan di dada, sedangkan satunya menjulur kebawah.

Adapun hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dab lain-lain. Yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam semesta.kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk padmasana adalah

Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.

C. Pemaknaan Simbol Dalam Kehidupan Beragama Umat Hindu Pura Merta

Sari Rengas

Kehidupan beragama Hindu dalam meningkatkan cara-cara hidup beragama

serta mendalami ajaran-ajaran agamanya memerlukan peransimbol sebagai sarana

dalam ritual persembahyanganuntuk dapat dipahami arti, fungsi dan kegunaannya,

dan menambah mantapnya perasaaan di dalam melaksanakan peribadatan.

Melalui simbol sarana dan bangunan yang di gunakan kemudian di buat dengan sedemikian rupa sehingga dapat diartikan dan dimaknai bahwa gerakan disekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Hyang

Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Semua dilakukan sebagai salah satu bentuk

85

berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan penuh rasa cinta, tulus dan ikhlas.Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.64

Semua kegiatan keagamaan di dalam sebuah pura banyak menggunakan simbol-simbol atau sarana.Simbol - simbol itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut Apara Bhakti. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para

Bhakti”.Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu.Pada masyarakat agama Hindu umumnya dalam berkomunikasi dengan Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan tidak hanya melalui hubungan spiritual namun juga melalui media-media atau sarana-sarana tertentu. Hal ini merupakan hakikat hidup manusia yang universal yaitu sebagai makhluk yang menggunakan simbol (animal symbolicum) sebagai alat komunikasi. 65

Dalam Pura Merta Sari Rengas alat untuk berkomunikasi umat Hindu menggunakan sarana-sarana seperti, patung atau arca yang secara mitologis selalu dihubungkan dengan manifestasi Tuhan. Ketidakmampuan manusia berhubungan langsung dengan Tuhan melalui batiniah, menimbulkan cara lain untuk mencapai alam Ketuhanan. Cara-cara tersebut adalah dengan membuat upakara atau alat yang

64Wawancara dengan Komang Artana Selaku Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta Sari pada tanggal 8 Desember 2019 pukul 22: 20. 65Memahami Makna Pentingnya Sarana Upacara Agama Hindu ( Banten ), artikel diakses tanggal 9 Januari 2020 dari https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/memahami-makna- pentingnya-sarana-upacara-agama-hindu-banten-19

86

akan digunakan untuk persembahyangan dari berbagai bahan, seperti : bunga, dupa, air, dan lain-lain tentunya melalui proses pensakralan atau penyucian (menggunakan mantra). shingga di sana terpusat emosi keagamaan umat manusia melalui simbol tersebut. Di samping itu adanya seni ritual yang mendukung juga sistem komunikasi manusia dengan Tuhan adalah penciptaan bentuk-bentuk patung perwujudan sehingga dalam bentuk-bentuk seperti itu tersirat atau terpadu antara emosi keagamaan, etika, kebenaran, estetika dan filosofis yang menjadi kekuatan sebuah simbol yaitu simbol perwujudan dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari kekuatan yang Maha Besar yaitu, Tuhan Yang Maha Esa.66

Simbol-simbol itu merupakan hasil cipta dan penghayatan manusia terhadap hadirnya kekuatan illahi yang bersemayam dalam estetika batin manusia

(umat).Simbol-simbol religi seperti itu dalam masyarakat Hindu khususnya di Pura

Merta Sari Rengas sangat disakralkan melalui tradisi yang ditanamkan kepada masyarakat dalam berbagai sarana-sarana, melalui sarana tersebut baik dari seni bangunannya maupun lainnya. Karena sudah melalui berbagai proses seperti yang di jelaskan diatasmemperlihatkan bahwa setiap kesenian, khususnya yang berbentuk kesenian ritual (patung), mengandung rasa indah, ke-Tuhan-an yang sejati, mengandung unsur kesucian sekaligus kebenaran.

66Wawancara dengan Nyoman Rusta Selaku Umat Hindu Pura Merta Sari pada tanggal 23 Juni 2019 pukul 11. 32.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menjelaskan bahwa Simbol mengandung arti dan fungsi untuk sesuatu atau menggambarkan sesuatu, khususnya sesuatu yang immaterial, abstrak yaitu Tuhannya dengan suatu ide, fikiran atau fakta yang di manifestasikan ke dalam sebuah objek.

Semua sarana yang digunakan oleh umat Hindu terutama yang berada di Pura Merta

Sari Rengas, di sebut simbol karena telah melalui proses pensakralan (penyucian).

Simbol sarana dan bangunan itu memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu yaitu sebagai salah satu sifat Kemaha Kuasaan Tuhan. Pura Merta Sari Rengas Tangerang

Selatan mengikuti aliran Pura yang ada di Bali, dari segi arsitektur dan ketentuan sarana-sarana yang akan di gunakan semua mereka umat Hindu di Pura Merta Sari tidak akan berani membuat yang beda dengan Pura yang di Bali.Bahwa apa yang sebenarnya tidak dapat dipikirkan itu ternyata bisa diwujudkan melalui simbol sarana-sarana, relief atau pematungan. Dengan diwujud nyatakan simbol Tuhan tersebut diharapkan agar menjadi Pusat, titik fokus atau perantara umat Hindu menuju tuhan Ida Sang Hyang Widhi dan meningkatkan emosi religi kemudian merasa sangat dekat dengan Tuhannya.

Umat Hindu menjadikan simbol Sarana sebagai alat komunikasi dalam ritual keagamaannya baik itu ritual yang dilakukan setiap hari maupun pada waktu-waktu tertentu, terutama di Pura Merta Sari ini. Simbol Sarana yang digunakan pun sangat bermacam-macam mulai dari bunga yang melambangkan ketulusan hati seorang umat

87

88

dalam memuja Tuhannya, api yang melambangkan pendeta dan penghubung antara umat dengan Tuhannya dalam bersembahyang dan juga air sebagai lambang kehidupan dan lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada intinya ketulusan hati yang suci yang semua mereka (umat) wujudkan dalam berbagai bentuk sarana sebagai sarana perwujudan atau cetusan rasa syukur mereka atas apa yang telah mereka dapat selama mereka hidup di dunia ini. Karena semua yang ada di dunia ini pada dasarnya bersasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sebagai umat yang berbhakti, tentunya seorang pemuja harus berbhakti kepada Tuhan yang telah menciptakannya sarana. Tanda bhakti itu diwujudkan dalam bentuk persembahyangan. Pada intinya penggunaan simbol-siombol ini bertujuan utuk meningkatkan Sradha-bhakti terhadap sang pencipta.

A. Saran-saran

Adapun saran-saran yang diajukan oleh peneliti dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:

Bagi peneliti selanjutnya, umat Hindu sangat terbuka dan akan sangat membantu untuk melakukan penelitian selanjutnya. Dengan masih banyaknya bahasan dalam agama Hindu yang perlu di teliti lebih lanjut maka perlu di bahas lebih terperinci dari pembahasan sebelumnya.

Akan ada pembahasan lagi yang lebih mendalam dan detail tentang simbol sarana dan bangunan yang ada di tempat ibadah agama Hindu karena penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Ketut. Kebudayaan Spiritualitas. Denpasar : Pustaka Bali Post, 2011.

Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Bakker, Anton. “Manusia dan Simbol”dalam Soejanto Poedpowar-djono dan K.

Bertens, Sekitar Manusia, Bungan Rampai Tentang Filsafat Manusia. Jakarta:

Gramedia,1977.

Cassirer, Ernst.Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Terj. Alois

A. Nugroho. Jakarta: PT Gramedia, 1987.

Cassirer, Ernest. An Essay on Man; an Introduction to a Philoshopy of Human

Culture. New York: New Heaven, 1994.

Coulson, J. The New Oxford Illustrated Dictionary. Oxford: University Press, Vol.III.

1978.

Daeng, Hans J.Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000.

Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk

Pengurus Tinggi. Surabaya: Paramita, 1999.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka, Cet Ke-4, 1995.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Dillistone. F. W. Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta:

Kanisius, 2002.

89

90

Dwijendra, N. K. A. Arsitektur Bangunan Suci Hindu. Denpasar: Udayana University,

2008.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,

Cet. Ke-23,1996.

Endraswara, Suwardi. Metodologi penelitian kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2006.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology. New

York: Basic Books, 1983.

Ghazali, Adeng Muchtar.Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta, 2011.

Gie, The Liang. Dictonary of Logic. Yogyakarta: Karya Kencana. 1975.

Gunawan, Imam. Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik. Jakarta: Bumi Aksara,

2013.

Herusatoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT. Hanindita

Graha Widya, 2001.

Hartoko, dick & B. Rahmanto. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Kanisisus, 1998.

Indrawan, WS. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Cipta Media,tt, 1999.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Metalitet, dan pembangunan. Jakarta: PT Gramedia,

1974.

M.A, G. Pudja, WEDAPARIKRAMA. Jakarta: Departemen Agama RI, 1971.

Mantik, S. Agus. Bhagawadgita. Surabaya : Paramita, 2007.

Matra, Ida Bagus. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar: Upada Sastra, 2002.

91

Morissan, Teori Komunikasi. Bogor : Ghalia Indonesia, 2013.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi

danIlmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2001.

, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2010.

Netra Anak Agung Gede Okta. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanoman

Sakti, 1994.

PHDI. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek

Agama Hindu IXIV. Kuta : Peradah Komisariat Kecamatan Kuta, 1988.

Permata, Ahmad Norma. Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000.

Poerwadarwinta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

1976.

Punia, I Wayan. Mengapa? Tradisi dan Upaca Hindu. Surabaya: PT. Kisanlal

Sharma-PARAMITA, 2007.

Purusa, Mahaviranata Nyoman. Arca Primitif di Situs Keramas. Jakarta: Pertemuan

Ilmiah Arkeologi II, 1982.

Puspito, Hendro. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007.

Rakhmat, Jamaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan Pustaka,

2003.

92

Sirregar, H.A Rivay. Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Grafindo

Persada, 1979.

Sivananda, Sri Swami. All About of Hinduism, diterjemahkan dalam Bahasa

Indonesia Intisari Ajaran Hindu. Surabaya.: Yayasan Sanatana Dharmasrama,

1993.

Soebandi, Ketut. Pura Kawitan atau Padharman dan Penyungsungan Jagat.

Denpasar : CV Kayu Mas Agung, 1981.

Soekamto,Sujono. Sosioligi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Soemardjo, Jakob.Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press, 2006.

SP, Soedarso. Tinjauan Seni. Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.Yogyakarta:

Saku Dayar Sana, 1987.

Sudikan, Setya Yuwana. Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa University Press, 2007.

Suhardana, K. M. Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya: PARAMITA, 2004.

, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan KajianBagi

Generasi Mendatang. Surabaya: Paramita, 2006.

Suhartono. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: pen. Pustaka, 2006.

Susanto, Hery. Mitos Menurut Pemikiran Mircie Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 1978.

Suyanto, Bagong dkk. Metode Penelitian Sosial. Jakarata: Kencana Prenada Media

Group, 2011.

Suyasa, I Wayan.Pura Agung Jagatnatha Singaraja: Latar Belakang Berdirinya dan

Makna Filosofisnya. Singaraja: T.P, 1996.

93

Titib, I Made. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita,

2009.

Turner, Lynn H. Richard West, Pengantar Teori Komunikasi Analisis Dan Aplikasi.

Jakarta : Salemba Humanika, 2008.

Observasi, Lihat dari Arsip Pura Merta Sari Kelurahan Rengas Ciputat Timur,

Tangerang Selatan, Banten, 13 November 2019.

Wasimah, Faridatul. Makna Simbol Tradisi Mudun Lemah. skripsi, UINSA, 2012.

Wawancara dengan I Gede Sidarta selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari pada tanggal

23 Juni 2019 pukul 11.32.

Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada

tanggal 23 Juni 2019 pukul 13:44

Wawancara dengan Made Soraja Yudhantara Selaku Kepala Pasraman Pura Merta

Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26

Wawancara dengan Ni Putu Kayia Anandani Selaku Siswa Pasraman Pura Merta Sari

pada tanggal 23 November 2019 pukul 13: 26

Wawancara dengan Komang Artana Selaku Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta

Sari pada tanggal 8 Desember 2019 pukul 22: 20

Wawancara dengan Nyoman Rusta Selaku Umat Hindu Pura Merta Sari pada tanggal

23 Juni 2019 pukul 11. 32

Wiana, I Ketut.Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan. Surabaya:

PARAMITA.2000.

Wibisono dkk, Koento. Sistem ajaran Nilai Yang Terkandung Dalam Upacara

Kendari/Sajian Tumpeng. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1986.

94

Widia, I Wayan. Pretima dan Pralingga Koleksi Museum Bali, Laporan Penelitian.

Denpasar: Museum Bali. Ditjenbud, Depdikbud., 1987.

, Tinjauan Patung Sederhana Bali. Denpasar: Depdikbud. Ditjenbud. Proyek

Pembinaan Permuseuman Bali, 1991.

Widana, I Gusti Ketut. Mengenal Budaya Hindu Sebuah Pengantar. Denpasar: T.P,

2002.

Windhu, Ida Bagus Oka. Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya. Jakarta:

Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984.

Referensi Jurnal

Ni Kadek Intan Rahayu. Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan

Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli. Jurnal Bahasa

dan Sastra Vol. 5 No. 1, 2020.

Indrianto, Enrike Puspita. Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali.

Jurnal Intra Vol. 1, No. 1, 2013.

Referensi Skripsi

Fauzi, Ahmad. Peran Pemangku Umat Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat :

Studi Kasus Pura Mertasari Rengas Tangerang Selatan. Jurusan Studi

Agama-Agama. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

Izzaty, Wildan. Simbol-simbol Dewa Siwa Dalam Agama Hindu : Studi terhadap

simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan Dalam Kuil Shiva Mandir di Pluit

95

Jakarta Utara. Jurusan Studi Agama-Agama. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015.

Referensi Internet

Makna Simbol, artikel diaksestanggal 21 Agustus 2019 dari

http://www.britannica.com/topic/religious-symbolism

Yayasan Merta Sari Rempoa, artikel diakses tanggal 27 Oktober 2019 dari

http://www.mertasarirempoa.org/content/i.php?mid=80

Astini, Ni Wayan. “Definisi dan Fungsi Pura,” artikel diakses tanggal 24 Oktober

2019 dari

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPS/article/download/3809/3052&v

ed=2ahUKEwilr__XvMrlAhVDK48KHZKC2YQFjAHegQIBBAB&usg=AO

vVaw1LFhnR6p-k89A0m6a-ggm9

Makna sarana persembahan Hindu, artikel diakses tanggal 17 Desember 2019 dari

http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-hindu/

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Arca, artikel dalam Bahasa Indonesia, diakses

tanggal 17 Desesember 2019 https://id.wikipedia.org/wiki/Arca#Hindu

Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel

diakses tanggal 19 Desember 2019 dari

http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-hindu/

Tirtha, artikel diakses tanggal 19 Desember 2019

https://kadekyunii.wordpress.com/2015/01/14/tirtha/

96

Paduarsana, Makna Sarana Persembahyangan Hindu, artikel diakses tanggal 19

Desember 2019 dari https://paduarsana.com/2012/05/29/makna-sarana-

persembahyangan-hindu2/

Sudarsana, I Gede. Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyang, artikel diakses

tanggal25 Desember 2019 dari https://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-

layak-dipakai-sembahyang

Makna dan Penempatan Bija Dalam Persembahyangan, artikel diakses tanggal 2

Januari 2020 dari https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-

bija-dalam-persembahyanganhindu-bali

Hindu Alukta, Pengertian Senteng dan Makna Dalam Agama Hindu, artikel diakses

tanggal 26 Desember 2019 dari

https://hindualukta.blogspot.com/2017/04/pengertian-senteng-dan-maknanya-

dalam.html

Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, Senteng, artikel ini diakses tanggal 26

Desember 2019 dari

http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/senteng.html

Pengertian Limas, Ciri-Ciri, Unsur, Jenis, Rumus, dan Contoh Soal

Limashttps://www.sumberpengertian.id/pengertian-limas

Arti Sarana Persembahyangan Dalam Agama Hindu, artikel diakses tanggal 27

Desember 2019 dari https://dewikastuti.blogspot.com/2016/12/arti-sarana-

persembahyangan-dalam-agama.html

97

Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel

diakses tanggal 2 Januari 2020 dari

http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana-dan-

aturan.html

Hiasan Padmasana, arikel diakses tanggal 8 Januari 2020 dari

https://wimerta.wordpress.com/2015/01/02/hiasan-padmasana/

Paduarsana, makna Acintiya, artikel diakses tangga l 9 Januari 2020 dari

https://paduarsana.com/2012/09/12/makna-acintya/

Memahami Makna Pentingnya Sarana Upacara Agama Hindu, artikel diakses tanggal

9 Januari 2020 dari (Banten),

https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/memahami-makna-pentingnya-

sarana-upacara-agama-hindu-banten-19

LAMPIRAN-LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA MAKNA SIMBOL-SIMBOL DI PURA

MERTA SARI RENGAS TANGERANG SELATAN

Nama Informan

Nama :

Alamat :

Jenis kelamin :

Umur :

Agama :

Jabatan :

Tanggal wawancara :

Daftar Pertanyaan:

A. Sekilas Tentang Profil dan Kegitan Pura Merta Sari Rengas 1. Apakah anda mengetahui tentang sejarah berdirinya Pura Merta Sari Rengas? 2. Bagaimana tata letak berdirinya Pura Merta Sari Rengas? 3. Berapa kali Pura Merta Sari Rengas melakukan renovasi ? 4. Apakah maksud dari Ketua Banjar? 5. Apa saja kegitan yang yang ada di pura Merta Sari Rengas? 6. Apa fungsi dibuatnya jadwal Piket dalam bidang keagamaan oleh pengempon/ Ketua Banjar Pura Merta Sari Rengas? 7. Apa saja fungsi dari bidang Pendidikan agama Hindu? 8. Apa yang di maksud dengan Pasraman?

B. Bentuk dan Fungsi Simbol Keagamaan 1. Bagaimana pemahaman umat Hindu mengenai simbol-simbol yang di gunakan dalam persembahyang? 2. Apakah syarat dan ketentuan suatu benda sebelum di fungsikan sebagai objek pemujaan Ida Sang Hyang Widhi bagi umat Hindu? 3. Bagaimana reaksi umat Hindu ketika melihat sebuah Simbol yang biasa digunakan untuk beribadah namun di temukan pada tenpat yang tidak semestinya? C. Sekilas Makna dan Fungsi Simbol-simbol Keagamaan Pura Merta Sari Rengas 1. Apakah ada perbedaan mengenai simbol-simbol yang di gunakan di Pura Merta Sari dengan pura-pura yang lain? 2. Apa makna dan fungsi dari simbol-simbol yang di gunakan oleh umat Hindu di Pura Merta Sari Rengas? 3. Apa saja simbol-simbol yang ada di Pura Merta Sari Rengas? 4. Apa saja fungsi simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas? 5. Bagaiaman proses pensakralan simbol-simbol yang akan digunakan dalam ritual pemujaan/persembahyangan? 6. Bagaimana umat Hindu memaknai simbol-simbol ke dalam kehidupan bergamanya?

Rengas,…..,……,20..

(…………………………………)

Nama dan tanda tangan informan

HASIL WAWANCARA

Nama : Wayan Pinda Asmara

Alamat :Pondok Betung

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : -

Agama : Hindu

Jabatan : Pemangku/Pinandita

Tanggal wawancara : 23 Juni 2019

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Tentang Profil dan Kegitan Pura Merta Sari Rengas

A: Apakah anda mengetahui tentang sejarah berdirinya Pura Merta Sari

Rengas?

B: Pada mulanya, Pura ini dibangun di atas tanah berukuran 1000 meter merupakan hasil swadaya (sumbangan umat) untuk dijadikan tempat beribadah. Saat itu, penganut Hindu di Pura Merta Sari Rengas baru berjumlah sekitar 40 KK. Lama kelamaan bertambah dan membutuhkan lahan lagi. Kebetulan pada saat itu Pura ini mendapat tambahan sumbangan tanah sekitar 1.800 Meter dari salah seorang warga. Pura ini langsung melakukan renovasi. Awal pembangunan Pura ini merupakan hasil “suka duka”

Hindu Dharma Banjar Jakarta Selatan.

A: Bagaimana tata letak berdirinya Pura Merta Sari Rengas?

B: Pura Merta Sari terletak di Jalan Teratai Putih, dekat lapangan sepak bola

Rengas, RT 4 RW 11, Kelurahan Rengas Ciputat Timur, Tangerang Selatan,

Banten. Berdiri sejak tanggal 31 Januari 1982, kemudian diresmikan pada tanggal 28 Juli 1982 dengan melalui upacara Melaspas Alit (upacara pembersihan dan penyucian bangunan), kemudian tepat pada tanggal 14 Juni

1984 (Purnama Sasih Sadha) berlansunglah Upacara Ngenteg Linggih

(semacam upacara peresmian pura) yang di pandu oleh Pedanda Isteri Wayan

Sideman. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 ditetapkanlah pelaksanaan Upacara Nganteg Linggih yang ke-2 di pimpin oleh Ide Pedande

Made Putra Sidemen sekaligus diresmikan kembali oleh ibu Hj. Airin Rachmi

Diany, SH, MH selaku Walikota Tangerang Selatan.

A: Berapa kali Pura Merta Sari melakukan renovasi ?

B: Pura Merta Sari Rengas ini sudah mengalami 3 (tiga) kali renovasi.

Pertama, Pada tahun 1986 melakukan renovasi dengan memperluas bangunan pura lagi. Namun, karena luas pura Merta Sari Rempoa ini terbatas dan sudah tidak memungkinkan untuk diperlebar maka harus dibangun ke atas tetapi ada masalah perijinan , akhirnya menghalangi pembangunan Pura Merta Sari, mungkin jika telat mendapat izin pura ini sekarang menjadi tiga atau empat lantai ke atas.. Pada awal berdiri Pura Merta Sari hanya satu lantai, sekarang kita dapat melihat Pura ini menjadi dua lantai, yang lantai atas digunakan khusus untuk kegiatan pasraman (sekolah Agama Hindu).

A: Apa fungsi dibuatnya jadwal Piket dalam bidang keagamaan oleh pengempon/ Ketua Banjar yang Pura Merta Sari Rengas?

B: Pastinya diharapkan agar semua kegiatan dapat berjalan dengan baik.

Semua penanggung jawab yang sudah di tetapkan dalam jadwal piket ini tidak serta merta lansung terlaksana tentunya sudah disusun dan diatur dengan sebaik-baiknya oleh pengempon atau ketua banjar Pura Merta Sari Rengas.

Dengan jadwal tersebut diharapkan agar semua Pinandita memiliki kewajiban untuk memimpin dan memberikan arahan tentang pokok-pokok ajaran agama

Hindu di Pura Merta Sari ini terutama dalam bidang keagamaannya.

A: Apakah syarat dan ketentuan suatu benda sebelum di fungsikan sebagai objek pemujaan Ida Sang Hyang Widhi bagi umat Hindu?

B: Simbol dalam agama Hindu, sebelum difungsikan sebagai objek pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi, terlebih dahulu harus memenuhi syarat ritual pensakralan /penyucian. Diberi doa/mantra dan di lakukannya upacara

Malaspas/upacara penyucian.

A: Bagaimana reaksi umat Hindu ketika melihat sebuah Simbol yang biasa digunakan untuk beribadah namun di temukan pada tenpat yang tidak semestinya?

B: Simbol adalah manifestasi Tuhan Yang Maha Esa karena sudah melalui proses pensakralan maka dijadikan sarana pemujaan umat Hindu. Bahkan ketika simbol-simbol itu belum atau tidak mengalami proses sakralisasi, jika ditemukan pada tempat yang tidak semestinya setiap umat Hindu wajib

mengamankan misalnya gambar citra Dewata tergeletak dilantai atau ditempat sampah umat Hindu yang menemukan hendaknya segera mengamankan dengan menaruh kembali pada tempatnya yang layak, jika gambar itu dalam keadaan terbangkalai di tempat kotor agar umat Hindu dengan penuh hormat membakarnya untuk mengindari pencemaran kesuciannya. Demikian pula halnya dengan kitab suci Weda atau Susastra wajib diperlakukan dengan penuh hormat, misalnya membaca Weda hendaknya dengan alas baca, tidak diperkenankan membaca kitab suci Weda dengan menempatkan tergeletak dilantai. Sebelum membuka kitab suci Weda hendaknya membaca doa permohonan kepada Dewi Saraswati, doa pujian kepada Maha Rsi Wyasa sebagai pengkodifikasi Weda dan Guru besar Weda.

A: Apakah ada perbedaan mengenai simbol-simbol yang di gunakan di Pura

Merta Sari dengan pura-pura yang lain?

B: Tempat ibadah umat Hindu hampir sama, karena yang di puja pun sama intinya menuju Tuhan. Mungkin yang berbeda dari segi aksesoris atau ukiran- ukiran bangunan yang di gunakan. Semisalnya, jika dananya besar mungkin bisa lebih bagus begitupun sebaliknya. Namun esensi dari bangunan tersebut tetap sama, yaitu tempat ibadah menghadap Tuhan. Intinya semua hampir sama, entah dari segi tata letak bangunannya bisa dibilang hampir sama tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pura-pura lainnya. Dilihat dari tatanan upacaranya sudah jelas berbeda di bandingkan dengan agama islam misalnya.

Dalam agama Hindu memepergunakan sarana seperti alat. Jadi apapun,

kemanapun kita pergi pasti mempergunakan alat. Apalagi menuju Tuhan, kita selaku umat Hindu harus butuh sarana. Maka disini dibuatlah semacam sesaji, mempergunakan dupa, bunga, air dan lain sebagainya.

A: Apa makna dan fungsi dari simbol-simbol yang di gunakan oleh umat

Hindu di Pura Merta Sari Rengas?

B: Semuanya memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu yang dijadikan sebagai penuntun atau perantara menuju Tuhannya. Itulah mengapa umat

Hindu untuk menuju Tuhannya atau menghadap Tuhannya menggunakan sarana-sarana. Karena Tuhan tak terfikirkan, manusia tidak akan mampu memikirkan bentuk Tuhan karena Tuhan itu tak berbentuk dan Tuhan itu berada dimana-mana. Misalnya seperti dalam mempergunakan sarana sesajen atau sesembahan maknanya, jadi apapun yang kita dapatkan sebelum dinikmati atau dimakan harus dipersembahkan dulu kepada Tuhan. Karena semua milik Tuhan, semua berasal dari Tuhan, kita sebagai umatnya hanya mampu mengucapkan syukur atau berterima kasih kepada Tuhan Sang Hyang

Widhi.

A: Apa saja simbol-simbol yang ada di Pura Merta Sari Rengas?

B: Ada banyak sekali simbol yang kami (umat hindu) gunakan dalam ritual keagamaan/sembahyang sebagai perantara atau pemhubung umat dengan tuhannya.

Pertama, ada yang di sebut dengan simbol sarana atau alat yang di gunakan ketika sembahyang, yaitu; simbol patung (relief-relief pada bangunan), air

yang kami sebut dengan tirtha, api/ dupa dalam agama Hindu di percaya sebagai simbol Dewa Agni, dupa ini merupakan harum-haruman yang di bakar, bija atau beras yang biasa di letakkan di kening dan di leher, bunga/puspa bunga yang akan digunakan hendaknya bunga yang segar, harum, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak layu, tidak kering, bukan hasil dari mencuri atau bisa dikatakan bunga yang masih suci, dan bunga yang belum pernah terpakai sebelumnya., kain hitam-putih/kain poleng, senteng/ ikat pinggang pada saat akan memasuki pura.

Kedua, simbol bangunan/arsitektur, bangunan di pura merta sari ini mengikuti aliran/gaya bangunan pura-pura di bali. Semuanya dari relief-relief tata letak banguananya. Bangunan pura merta sari rengas ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian luar pura di namakan dengan Nista Mandala, bagian tengah Pura di namakan Madya Mandala, kemudian bagian terdalam pura dinamakan

Utama Mandala. Dalam bagian ini, masing-masing terdapat sebuah bangunan di dalamnya. Di bagian luar atau nista ini bersifat kotor atau tidak sakral siapapun boleh memasuki area ini. Dan pada bagian ini terdapat 2 bangunan antaranya ada yang dinamakan dengan Candi Bentar/ pintu gerbang, dan Bale

Banjar merupakan bangunan bersifat umum. Seterusnya bagian tengah puara terdapat 2 banguan yaitu Bale Wantilan dan Bale Kul-kul. Kemudian di bagian terdalam atau bagian yang paling sakral dan disucikan ini bagian yang tidak sembarang orang memasuki area ini selalu di jaga kesakralannya. Pada bagian ini terdapat beberapa bangunan yaitu, Kori Agung atau biasa di sebut

dengan Candi Kurung sebgai tempat yang diagungkan, Bale Pawedan adalah yang di bangun tepat berhadapan dengan pelinggih pemujaan, Bale Pepelik/

Pelik Sari dan Padmasana.

A: Apa saja fungsi simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas?

B: Simbol Sarana Persembahyangan Pura Merta Sari Rengas

Ada beberapa simbol sarana yang umat hindu pakai dalam persembahyangan.

seperti;

1. Simbol Patung, dalam Pura Merta Sari ini misalnya tepat di bagian luar

dan untuk memasuki area tengah dan dalam pasti terdapat dua buah

patung yang simbolkan sebagai patung penjaga atau biasa di sebut dengan

Dwarapala. Patung-patung ini memiliki raut wajah yang menakutkan,

intinya berperan untuk menjaga kesucian Pura. Di bagian kanan-kiri

bangunan padmasana juga terdapat patung dwarapala.

2. Air/Tirtha, bagi umat hindu memiliki peran yang sangat penting, dimana

air ini di jadikan sebagai alat untuk mensucikan diri atau sebagai lambang

pelebur dosa kita selaku umat sebelum memasuki tempat beribadah

biasanya sebelum memasuki ruang sakral dalam pura akan di percikkan

Tirtha ini ke ububu-ubun . Air juga berfungsi untuk mensucikan banguan-

bangunan yang ada di Pura.

3. Api/Dupa, dupa disimbolkan sebagai Dewa Agni yang dimaknai sebagai

saksi dalam upacara persembahyangan dan perantara yang

menghubungkan umat (manusia) dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nyala

dupa sebagai saksi dari segala hal yang dilakuakn manusia dan asap yang

bergerak keatas dan menyatu keangkasa sebagai pertemuan antara umat

dan Tuhannya. puja untuk dupa dengan cara kedua tangan menggenggam

dupa yang telah dinyalakan tangan dicakupkan kedua ibu jari menjepit

pangkal dupa yang ditekan oleh telunjuk tangan kanan. Mantra puja untuk

dupa berbunyi “om am dupa dipastraya nama svaha” yang memiliki

makna Ya Tuhan Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga

sucilah sudah hamba seperti sinarmu.

4. Simbol Bija, di gunakan setelah melakukan sembahyang. sebagai simbol

untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh

kesempurnaan hidup. Bija dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air

bersih lalu direndam dengan air cendana. Penggunaan Bija bertujuan

untuk mensucikan pikiran, perbuatan, dan perkataan.

5. Bunga/Puspa, selain digunakan untuk membuat Canang digunakan juga

untuk melakukakan persembahyangan. Dalam ritual hari raya Bulan

Purnama di Pura ini misalnya. Bunga diwujudkan sebagai sumber

sinar/Dewa Siwa, bunga juga di sebut sebagai lambang kesucian hati.

Bunga yang diistimekan adalah bunga teratai yang merupakan salah satu

bunga yang sangat dihormati, karen kami umat Hindu memahami bahwa

para dewa dan dewi bersemayam diatas bunga teratai. Warna merah yang

terdapat pada bunga teratai itu merupakan suatu kesucian dan

keberuntungan. Bunga disucikan dengan cara menggenggam bunga

kemudian diasapkan pada asap dupa setelah itu mengucapkan mantra

“om, puspa dannta ya nama svaha” Artinya: Ya Tuhan, semoga bunga

ini cemerlang dan suci.

a. Kain Hitam Putih/Saput Poleng, Saput poleng biasa dipakaikan pada

pohon, patung, atau gapura. Dalam kepercayaan Hindu, saput

poleng dianggap sebagai pertanda bahwa benda itu memiliki kekuatan

magis yang dihormati dan melindungi, serta patut dijaga kelestariannya.

Warna hitam dan putih pada kain poleng ini merupakan dua hal yang

berlawanan tetapi mampu membuat alam ini jadi seimbang dan

harmonis.

b. Senteng/Ikat Pinggang, di percaya sebagai pengikat indra-indra manusia

atau sebagai pembatas antara bagian manusia yang suci (kepala keatas)

dan yang tidak suci (pinggul kebawah) agar pada saat sembayang tidak

memikirkan hal-hal negatif.

Simbol-simbol Bangunan Keagamaan Pura Merta Sari Rengas

Nista Mandala/Bagian Luar Pura

a. Candi Bentar, berfungsi sebagai pembatas antara nista mandala dengan

bagian luar jalan. Sebagai tempat keluar masuk umat. Dan juga sebgaia

pelindung isi yang ada di bagian dalam bangunan pura. Agar memberikan

kedamaian dan dan ketentraman.

b. Bale Banjar, ini biasa digunakan sebgai tempat apa saja, misalnya

kegitan-kegiatan adat, pentas Seni, sosial dll. Utamanya dijadikan sebgaia

tempat pertemuan Banjar misalnya pelantikan ketua Banjar di setiap

tahunnya di lakukan di Bale Banjar. Kadang juga bale banjar ini dijadikan

sebgai tempat bermain tenis meja.

Madya Mandala/Bagian Tengah Pura

Pada bagian tengah terdapat Bale Wantilan, bale wantilan berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan, sebagai tempat musyawarah atau rapat anggota dengan duduk di lantai atau bale-bale atau kursi yang sengaja di tempatkan.

Di bagian sudut sebelah kanan bale wantilan ini ada bangunan sederhanya yang di namakan Bale kul-kul atau kentongan yang dibunyikan diawal, akhir dan saat tertentu pada upacara. Bendaini berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk memberi tanda kepada masyarakat sedang berlangsungnya upacara.

Utama Mandala/Bagian Terdalam dan suci (sakral)

1. Kori Agung, sebagai pintu masuk ke daerah parahyangan atau kahyangan

jagat,

2. Bale Pawedan, adalah tempat pendeta melakukan pemujaan dalam

memimpin upacara, tempat memanjatkan mantra (weda) saat piodalan

dan upacara yadnya yang berlangsung di sebuah pura.

3. Bale Pepelik, fungsinya sebgai tempat penyajian sarana dan perlengkapan

upacara saat pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.

4. Padmasana, sebagai simbolis alam semesta sebagai sthananya atau

tempat duduk Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk

bangunan yang menjulang tinggi. Padmasana itu adalah lambang dari

gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat

bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu padmasana juga

dijadikan sebagai penuntun bathin atau pusat konsentrasi, sebagai tempat

untuk bersembahyang

A: Bagaiaman proses pensakralan simbol-simbol yang akan digunakan dalam ritual pemujaan/persembahyangan?

B: Proses pensakralan simbol sarana atau peralatan-peratan yang akan di gunakan dalam agama Hindu tentu dengan di doakan/diberi mantra-mantra atau dengan cara memohon di Pelinggih Pura agar sarana tersebut menjadi suci dan bisa di jadikan simbol sarana dalam persembahyangan. Kemudian, simbol bangunan ini di sakralkan dengan di percikkan Titha/air suci yang sudah di beri mantra dalam upacara malaspas, dengan begitu maka semua bangunan yang ada di Pura menjadi suci kembali.

HASIL WAWANCARA

Nama : Gede Sidarta

Alamat :Cempaka II No. 11 Rengas

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : -

Agama :Hindu

Jabatan : Ketua Banjar Pura Merta Sari

Jadwal Wawancara : 23 Juni 2019

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Tentang Profil Dan Kegitan Pura Merta Sari Rengas

Dalam struktur pembangunan sebuah pura utamanya Pura Merta Sari Rengas ini pasti ada yang namanya Pengempon atau bisa juga di sebut ketua Banjar artinya ketua pura yang memberi tugas untuk melakukan upacara tetap dan pembinaan pura umat Hindu, juga sebagai penanggung jawab dalam semua kegiatan. Ketua Banjar memiliki wakil bertugas untuk membantu ketua

Banjar dalam menjalankan tugasnya. Ada juga sekretaris yang bertugas mencatat kegiatan dan merapikan arsip kegiatan yang dilakukan di pura Merta

Sari Rengas.

HASIL WAWANCARA

Nama : I Made Soraja Yudhantara

Alamat :Jl. Cendrawasih II Blok A. Bintaro Jaya

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : -

Agama :Hindu

Jabatan : Kepala Pasraman Pura Merta Sari

Jadwal Wawancara : 30 Oktober 2019

Daftar Pertanyaan :

A: Apa saja fungsi dari bidang Pendidikan agama Hindu?

B: Bidang Pendidikan ini memiliki banyak Fungsi:

1. Untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang sekiranya

dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam mencapai kebahagiaan

hidup (Moksartham Jagadhita).

2. Mengembangkan Sradha dan bhakti kepada Tuhan Sang Hyang Widhi.

3. Mengajarkan tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum.

4. Untuk membentuk atau mempersiapkan sikap mental siswa yang

sekiranya ingin melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.

5. Mempersiapkan kematangan dan resistensi (ketahanan) siswa dalam

mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan sosial.

6. Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan- kelemahan peserta

didik dalam keyakinan dan pengalaman ajaran agama dalam

kehidupan sehari-hari.

7. Untuk mencegah peserta didik dari hal-hal negatif yang diakibatkan

oleh pergaulan dunia luar.

A: Apa yang di maksud dengan Pasraman,?

B: Pasraman artinya tempat berlansungnya proses belajar mengajar atau

pendidikan masyarakat Hindu yang ditekankan untuk meningkatkan

kualitas pemahaman khususnya di bidang agama Hindu, serta bidang-

bidang lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti bidang

sosial kemasyarakatan, seni dan teknologi. Pasraman yaitu sebuah

sekolah khusus untuk umat Hindu yang hanya dibuka pada hari minggu,

sekolah Tingkat SD (35 Siswa) , SLTP (47 Siswa), SLTA (49 Siswa),

terdiri dari 4 kelas, dan 7 Jumlah guru pengajar (yang berhubungan

dengan PDK/ Pendidikan Dasar Kedisiplinan).

Bentuk dan Fungsi Simbol Keagamaan

A: Bagaimana pemahaman umat Hindu mengenai simbol-simbol yang di

gunakan dalam persembahyang?

B: Untuk mengartikan akal manusia harus ada perantara, yaitu melaui

simbol. Simbol atau sarana yang di gunakan oleh umat Hindu

mengandung gambaran secara tidak lansung, melainkan dengan

mengunakan analogi. Simbol selalu dipakai dalam kehidupan manusia,

maka perlu interpretasi. Hidup itu sendiri adalah interpretasi. Melakukan interpretasi, pemahamannnya “Engkau harus memahami untuk percaya, dan percaya untuk memahami”. Sebuah simbol tidak dapat digarap secara tuntas oleh bahasa konseptual. Di dalam simbol ada sesuatu yang lebih dari yang ada. Simbol menantang untuk berfikir, tetapi untuk berfikir membutuhkan bahasa. Dengan bahasa tidak akan pernah simbol tertafsir sampai tuntas. simbol dapat mengungkapkan aspek-aspek tindakan dari segala sisi entah itu kenyataan atau rahasia, artinya kenyataan yang tidak mungkin terungkap oleh alat. Sebuah simbol yang sejati bukanlah mimpi atau bayangan. Dia adalah pewahyuan atau pengungkapan yang hidup dari Tuhan yang sebetulnya tak terpikirkan. Kita menerima simbol-simbol itu melalui keyakinan, yang bagi kebanyakan orang adalah satu-satunya cara yang mungkin untuk berpartisipasi dalam kebenaran suci. Simbol- simbol adalah jalan untuk membantu kita menuju realisasi rohani.

Sepanjang waktu para Rsi kita menyadari bahwa bahasa manusia gagal ketika mencoba menjelaskan hakikat dari Tuhan.

HASIL WAWANCARA

Nama : Ni Putu Kayia Anandani

Alamat :Jl. Teratai Putih. RT/RW 006/009. Rengas

Jenis kelamin :Perempuan

Umur :18

Agama :Hindu

Jabatan : Siswa Pasraman Pura Merta Sari kelas 12

Jadwal Wawancara : 23 November 2019

Pertanyaan :

A: Apa saja kegitan yang yang ada di pura Merta Sari Rengas?

B: Di Pura Merta Sari Rengas ini Tidak hanya kegiatan keagamaan, namun ada juga kegitan-kegiatan lainnya, seperti; kegiatan sosial kemasyarakatan, kebudayaan dan pendidikan.

1. Dalam bidang keagamaan kami selaku umat hindu banyak menjalankan

ritual-ritual persembahyangan yang di Pandu oleh pemangku memimpin

dan memberikan arahan tentang pokok-pokok ajaran keagamaan agama

Hindu di Pura tempat kami melansungkan ibadah.

2. Dalam bidang pendidikan Pura Merta Sari tempat melaksanakan kegiatan

dharma wacana (ceramah agama) dan dharma tula (diskusi agama).

Selain itu di pura juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar membuat

upakara seperti membuat banten ( sesajen).

3. Selanjutnya, Bidang Sosial Kemasyarakatan. Seperti gotong royong atau

kami sebut ngaturang ayah. Misalnya Ketika akan mempersiapkan

upacara piodalan. Seluruh umat yang berasal dari berbagai kalangan

status sosial secara bersama-sama melakukan kegiatan yang dilandasi rasa

solidaritas, kerjasama dan saling mengasihi menjadikan kegiatan yang

dilaksanakan selalu berlandaskan rasa bhakti dan ketulusan beryadnya

tanpa membedakan latar belakang mereka masing-masing.

4. Bidang Kebudayaan, Pura juga bisa menjadi salah satu pengembangan

kebudayaan karena biasanya di pura terutama pada saat pujawali akan

dipentaskan berbagai kesenian yaitu seni suara, seni tari, seni tabuh

dengan begitu pura bisa menjadi salah satu pusat pengembangan

kebudayaan. Di Pura Merta Sari Ini terdapat sebuah Sanggar Seni Budaya

yaitu sebuah tempat yang berada di bagian luar pura atau yang biasa di

sebut dengan balai Wantilan. Tempat berlansungnya pentas seni tari Bali

yang di fasilitasi dengan seperangkat gamelan Bali (Gong) sound system,

cemin dan di dekorasi sesuai corak Bali dan di ikuti sekitar 41 siswa

kemudian 3 guru pemandu seni tari Bali Pura Merta Sari Rengas.

HASIL WAWANCARA

Nama : Komang Artana

Alamat :Jl. Kenikir No. 20 RT/RW 06/09

Jenis kelamin :Laki-laki

Umur : -

Agama :Hindu

Jabatan : Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta Sari

Jadwal Wawancara : 8 Desember 2019

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Makna dan Fungsi Simbol-simbol Keagamaan Pura Merta Sari

Rengas

Melalui simbol sarana dan bangunan yang di gunakan kemudian di buat dengan sedemikian rupa sehingga dapat diartikan dan dimaknai bahwa gerakan disekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Semua dilakukan sebagai salah satu bentuk berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan penuh rasa cinta, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan

HASIL WAWANCARA

Nama : Nyoman Rusta

Alamat :Jl. Teratai Putih, RT/RW 006/009. Rengas

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : -

Agama :Hindu

Jabatan : Umat Hindu

Jadwal Wawancara : 23 Juni 2019

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Makna dan Fungsi Simbol-simbol Keagamaan Pura Merta Sari

Rengas

Umat Hindu tidak bisa lepas dari simbol sarana. Terutama dalam kehidupan beragama. Simbol merupakan alat/perantara dalam pemujaan Tuhan, salah satunya simbol yang paling penting dan tidak boleh tidak ada dalam persembahyangan yaitu air/Tirtha. Air yang digunakan bukanlah air biasa air ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat suci dengan di mantrai maka air itu menjadi sakral dan mampu menumbuhkan pikiran yang suci. Untuk membuktikan kesuciannya tirtha itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirtha adalah sarana agama. Membuktikan

kebenaran agama, dasar utamanya adalah kepercayaan. Cara penggunaannya selain dicipratkan di kepala/ubun-ubun juga diminum tiga kali sebagai simbol pensucian bathin, lalu meraup/mencuci muka tiga kali sebagai simbol pensucian terhadap lahir.

HASIL DOKUMENTASI PRIBADI

Foto: Candi Bentar (Pintu Gerbang)

Foto: Bale Wantilan

Foto: Bale Pawedan

Foto: Bale Pepelik

Foto: Padmasana

Foto: Ruang Bale Banjar Tempat Berlansungnya pelantiakan pengurus Banjar yang sekaligus dimeriakan dengan tarian adan Bali

Foto: Kori Agung

Foto: Bagian depan Kori Agung terdapat Pelinggih

Pura Merta Sari Rengas

Foto: Relief Naga

Foto: Tempat Menyimpan Tirtha

Foto: Sesajen Untuk Persembahyangan (Canang Sari)

bbnvbv b v bv

Foto: Wawancara bersama Siswa kelas 12

Foto: Wawancara Bersama Bapak Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita/Pemangku Pura Merta Sari

Rengas

Foto: Wawancara Bersama Bapak Made Soraja Yudhantara Selaku Ketua Pasraman Pura Merta Sari

Rengas

Foto: Wawancara Bersama Bapak I Gede Sidarta (Baju Putih) Selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari Rengas dan Bapak Nyoman Rusta selaku umat Hindu yang selalu beribadah di Pura Merta Sari Rengas

Foto: Wawancara Bersama Bapak Komang Artana Selaku Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta Sari Rengas