IDENTIFIKASI BAKTERI PADA LESI AKNE VULGARIS
TESIS
LOVENA SARI
NIM: 157041034
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019
IDENTIFIKASI BAKTERI PADA LESI AKNE VULGARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam Program Magister Kedokteran Klinik Departemen Dermatologi dan Venereologi
Oleh
LOVENA SARI NIM: 157041034
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019
Identifikasi Bakteri pada Lesi Akne Vulgaris Lovena Sari, Nelva Karmila Jusuf, Imam Budi Putra Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan – Indonesia
ABSTRAK Latar belakang: Akne vulgaris (AV) adalah penyakit inflamasi kronis pada unit pilosebasea dengan lesi klinis polimorfik berupa lesi non-inflamasi (komedo tertutup dan komedo terbuka), serta lesi inflamasi (papul, pustul dan nodul) dengan beragam derajat inflamasi dan kedalaman. Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa selain Cutibacterium acnes, diduga terdapat beberapa bakteri lain yang ditemukan pada AV yang mungkin juga berperan dalam proses patogenesisnya.
Tujuan: Untuk mengidentifikasi bakteri pada lesi AV.
Subjek dan metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan desain potong lintang dengan melibatkan 40 pasien AV. Pada setiap subjek dilakukan pengambilan sampel lesi non-inflamasi (komedo tertutup) dan lesi inflamasi (pustul). Kemudian, dilakukan pewarnaan Gram dan dilanjutkan dengan kultur bakteri anaerob dan aerob, kemudian dilakukan identifikasi bakteri.
Hasil: Mayoritas subjek penelitian berada pada kelompok usia 17-25 tahun (72,5%) dengan mayoritas jenis kelamin perempuan (65%). Pada total 80 sampel teridentifikasi 12 spesies bakteri. Pada kultur anaerob diidentifikasi bakteri Cutibacterium acnes (21,2%). Pada kultur aerob diidentifikasi bakteri Staphylococcus epidermidis (47,5%), Staphylococcus hominis (17,5%), Staphylococcus aureus (8,7%), Staphylococcus haemolyticus (8,7%), Leuconostoc mesentroides (6,2%), Micrococcus luteus (3,7%), Kocuria varians (2,5%), Staphylococcus vitulinus (1,2%), Staphylococcus cohnii (1,2%), Staphylococcus arlettae (1,2%) dan Dermacoccus nishinomyaensis (1,2%).
Kesimpulan: Dari studi ini dapat dibuat kesimpulan dua bakteri yang paling banyak ditemukan pada AV adalah Staphylococcus epidermidis dan Cutibacterium acnes. Predominan bakteri ditemukan pada lesi non-inflamasi dan inflamasi adalah Staphylococcus epidermidis, dimana pada lesi non-inflamasi ditemukan sebesar 52,5%, sedangkan pada lesi inflamasi sebesar 42,5%.
Kata kunci: akne vulgaris, bakteri, komedo, pustul
i
Bacterial Identification of Acne Vulgaris Lesion Lovena Sari, Nelva Karmila Jusuf, Imam Budi Putra Department of Dermatology and Venereology Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara, Medan – Indonesia
ABSTRACT Background: Acne vulgaris (AV) is a chronic inflammation of pilosebaceous unit with clinical polymorphic lesion consist of non-inflammatory (open and closed comedones) and inflammatory lesions (papules, pustules and nodules) with varying degree of inflammation and depth. Earlier studies showed that in addition to Cutibacterium acnes, other bacteria were found in acne vulgaris lesions that may also play a role in acne pathogenesis.
Objective: To identify bacteria from acne vulgaris lesion.
Subject and methods: This research is a descriptive observational study with cross-sectional design. Samples were collected from 40 subjects with AV. Each were taken from non-inflammatory (closed comedone) and inflammatory lesions (pustule) from each subject, followed by Gram staining, aerobic and anaerobic bacterial culture and bacterial identification.
Results: Subjects mostly found in age group 17-25 years old, with mostly female gender affected. There were 12 bacterial species that were identified from 80 samples. We identified Cutibacterium acnes (21,2%) in anaerobic culture. While in aerobic culture, we identified Staphylococcus epidermidis (47,5%), Staphylococcus hominis (17,5%), Staphylococcus aureus (8,7%), Staphylococcus haemolyticus (8,7%), Leuconostoc mesentroides (6,2%), Micrococcus luteus (3,7%), Kocuria varians (2,5%), Staphylococcus vitulinus (1,2%), Staphylococcus cohnii (1,2%), Staphylococcus arlettae (1,2%) and Dermacoccus nishinomyaensis (1,2%).
Conclusions: This study concluded that the two most common bacteria in AV are Staphylococcus epidermidis and Cutibacterium acnes. Predominant bacteria found in non-inflammatory and inflammatory lesion was Staphylococcus epidermidis, with 52,5% found in non-inflammatory lesions and 42,5% found in inflammatory lesions.
Keywords: acne vulgaris, bacteria, comedone, pustule
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mengizinkan dan memberi nikmat sehat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Identifikasi Bakteri pada Lesi Akne Vulgaris” sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Magister Kedokteran Klinik dalam bidang Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan tesis ini, banyak pihak yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun sejak awal pencarian judul sampai akhir penulisan makalah. Dan juga pihak – pihak yang telah membantu secara moril dan materiil yang tidak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada:
1. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Nelva Karmila Jusuf, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing pertama dan sekaligus sebagai Ketua Departemen Dermatologi dan Venereologi yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, arahan, nasihat dan koreksi selama penulisan tesis ini, serta memberikan semangat kerja keras dan disiplin dalam menjalani pendidikan. 2. Yang terhormat Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK, FINSDV, FAADV selaku pembimbing kedua dan sekaligus sebagai Kepala Program Studi Dermatologi dan Venereologi yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, arahan, nasihat dan koreksi selama penulisan tesis ini, serta memberikan semangat kerja keras dan disiplin dalam menjalani pendidikan. 3. Yang terhormat dr. Khairina, Sp.KK, M.Ked(DV), FINSDV sebagai anggota tim penguji, yang telah berkenan memberikan masukan dan koreksi selama penulisan tesis ini. 4. Yang terhormat Dr. dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK, M.Ked(KK), FINSDV, FAADV sebagai anggota tim penguji, yang telah berkenan memberikan masukan dan koreksi selama penulisan tesis ini.
iii
5. Yang terhormat dr. Kamaliah Muis, Sp.KK, FINSDV, FAADV sebagai anggota tim penguji, yang telah berkenan memberikan masukan dan koreksi selama penulisan tesis ini. 6. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah membantu dalam memberikan arahan dan masukannya khususnya dalam pengolahan data tesis ini. 7. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat menjalankan pendidikan di Universitas Sumatera Utara. 8. Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 9. Yang terhormat Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) sebagai Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 10. Yang terhormat Direktur RS Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan magister ini. 11. Yang terhormat Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan magister ini. 12. Yang terhormat Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan magister ini. 13. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dan dr. Chairiyah Tanjung, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV yang telah memberikan saya kesempatan mengikuti pendidikan serta telah banyak memberikan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan.
iv
14. Yang terhormat kepada seluruh staf pengajar Departemen Dermatologi dan Venereologi yang tidak dapat saya sebut satu persatu, telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan dorongan selama saya mengikuti pendidikan. 15. Yang terhormat seluruh staf / pegawai dan perawat Departemen Dermatologi dan Venereologi di RS Universitas Sumatera Utara, RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD Dr. Pirngadi Medan atas bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik selama ini. 16. Yang terhormat para staf Laboratorium Terpadu Mikrobiologi RS Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan, fasilitas dan kerjasama, terutama bang Mirzan Hasibuan S.Si, M.Si, yang telah membantu hingga terwujudnya tesis ini. 17. Yang terhormat seluruh peserta penelitian yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kesukarelaannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 18. Yang paling saya hormati, cintai, sayangi dan kasihi yaitu Mama Ristini dan Papa Yusrizal, terima kasih atas seluruh untaian kalimat doa di setiap waktu salat, di sepertiga malam, pengorbanan, rasa rindu luar biasa, rasa sedih di setiap perpisahan, doa yang terus menerus terucap tanpa henti, serta kalimat yang menghibur dan membesarkan hati. Semoga saya dapat membalas semua cinta kasih, kebaikan dan ketulusan Mama Papa, dan semoga Mama dan Papa selalu diberikan kesehatan, kebahagiaan serta perlindungan dari Allah SWT. 19. Yang paling saya cintai dan sayangi, abang Muhammad Fadrian Fairuni Ilyas, ST, M.Si, terima kasih untuk seluruh cinta, pengorbanan hati, pikiran dan rindu. Terima kasih untuk kesabaran berlimpah, pengertian, dukungan, doa yang tulus, ucapan yang selalu menenangkan dan menguatkan, serta keikhlasan yang luar biasa dari abang. I love you.. 20. Kepada Mertua terkasih Ibu Meytrina Anggriyani, SE dan Ayah Asrul Ilyas, M.Eng, terima kasih untuk dukungan, kasih sayang, doa, pengertian dan kesabaran Ayah dan Ibu. 21. Kepada saudara tersayang uni dr. Diana Tri Amelia, uda Dian Rizki, ST, uda Yanda Putra, ST, MM, terima kasih untuk kasih sayang, dukungan, rindu, dan untaian doa yang diberikan.
v
22. Kepada one dr. Sri Hendrawati dan om Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD- KEMD, terima kasih untuk dukungan, kasih sayang, pengertian dan kebaikan hati one dan om. 23. Saudara para rekan PPDS terbaik dan tersayang dr. Rudi Chandra, M.Ked(DV), Sp.DV, dr. Ramayanti Boru Simandjuntak, dr. Fitri Puspita, dr. Tengku Noorsharifa Dayang Bestari Sinar M.Ked(DV), Sp.DV, dr. Benjamin Ricardo Rubirosa Lumban Tobing, dr. Widyaningsih Oentari, dr. Ari Karmila Sari, M.Ked(DV), dr. Angie Regina Sutrisno, dr. Finisia Angkasa, dr. Muhammad Sjahrir M.Ked(DV), Sp.DV, dr. Wizar Putri Mellaratna dan semua teman PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, dukungan, ucapan doa, kerjasama, kebersamaan dan kenangan kepada saya selama menyelesaikan pendidikan dan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Medan, 27 Desember 2019 Penulis
dr. Lovena Sari
vi
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR GAMBAR ...... ix DAFTAR TABEL ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi DAFTAR SINGKATAN ...... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 4 1.3 Tujuan Penelitian ...... 4 1.3.1 Tujuan umum...... 4 1.3.2 Tujuan khusus ...... 4 1.4 Manfaat Penelitian ...... 4 1.4.1 Bidang akademik ...... 4 1.4.2 Institusi kesehatan ...... 4 1.4.3 Pelayanan Masyarakat...... 5 1.4.4 Bidang pengembangan penelitan ...... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akne Vulgaris ...... 6 2.1.1 Definisi………………………………………………… 6 2.1.2 Epidemiologi ...... 6 2.1.3 Etiopatogenesis ...... 8 2.1.4 Diagnosis ...... 12 2.1.5 Diagnosis banding ...... 15 2.1.6 Penalataksanaan ...... 16 2.2 Bakteri pada Lesi Akne Vulgaris ...... 16 2.3 Kerangka Teori...... 23 2.4 Kerangka Konsep ...... 24
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ...... 25 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ...... 25 3.2.1 Waktu penelitian...... 25 3.2.2 Tempat penelitian ...... 25 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...... 25 3.3.1 Populasi target ...... 25 3.3.2 Populasi terjangkau ...... 25 3.3.3 Sampel penelitian ...... 26 3.3.4 Besar sampel ...... 26 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...... 26
vii
3.4.1 Kriteria inklusi...... 26 3.4.2 Kriteria eksklusi ...... 27 3.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian ...... 27 3.6 Identifikasi Variabel ...... 27 3.6.1 Variabel bebas ...... 27 3.6.2 Variabel terikat ...... 27 3.7 Definisi Operasional ...... 27 3.7.1 Akne vulgaris ...... 27 3.7.2 Usia ...... 28 3.7.3 Jenis kelamin ...... 28 3.7.4 Bakteri ...... 28 3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja ...... 29 3.8.1 Alat ...... 29 3.8.2 Bahan ...... 29 3.8.3 Cara kerja ...... 30 3.9 Kerangka Operasional ...... 33 3.10 Analisis Data ...... 33 3.11 Etika Penelitian ...... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ...... 35 4.1.1 Karakteristik berdasarkan usia ...... 35 4.1.2 Karakteristik berdasarkan jenis kelamin ...... 37 4.2 Identifikasi Bakteri pada Lesi Akne Vulgaris ...... 39 4.2.1 Proporsi bakteri pada lesi komedo tertutup dari pasien akne vulgaris ...... 42 4.2.2 Proporsi bakteri pada lesi pustul dari pasien akne vulgaris...... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...... 51 5.2 Saran...... 52
DAFTAR PUSTAKA ...... 53 LAMPIRAN ...... 57
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Diagram kerangka teori.…………………………… 23 Gambar 2.2 Diagram kerangka konsep…………………………. 24 Gambar 3.1 Instrumen Vitek® 2……………………………………. 32 Gambar 3.2 Kartu identifikasi Vitek® 2………………………... 32 Gambar 3.3 Diagram kerangka operasional…………………….. 33
ix
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Distribusi subjek akne vulgaris berdasarkan usia………… 36 Tabel 4.2 Distribusi subjek akne vulgaris berdasarkan jenis 38 kelamin……………………………………………...... Tabel 4.3 Distribusi bakteri anaerob pada lesi akne vulgaris……….. 39 Tabel 4.4 Distribusi bakteri aerob pada lesi akne vulgaris………….. 39 Tabel 4.5 Distribusi bakteri anaerob pada lesi non-inflamasi 42 (komedo tertutup) pasien akne vulgaris………………….. Tabel 4.6 Distribusi bakteri aerob pada lesi non-inflamasi (komedo 42 tertutup) pasien akne vulgaris…………………………….. Tabel 4.7 Distribusi mixed growth pada lesi non-inflamasi (komedo 43 tertutup) pasien akne vulgaris………... Tabel 4.8 Distribusi bakteri anaerob pada lesi inflamasi (pustul) 46 pasien akne vulgaris………………………………………. Tabel 4.9 Distribusi bakteri aerob pada lesi inflamasi (pustul) pasien 46 akne vulgaris……………………………………………… Tabel 4.10 Distribusi mixed growth pada lesi inflamasi (pustul) 46 pasien akne vulgaris…………………......
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Naskah Penjelasan kepada Pasien.…………………. 57 Lampiran 2 Persetujuan Ikut Serta dalam Penelitian……………. 59 Lampiran 3 Status Penelitian………….………………………… 60 Lampiran 4 Ethical Clearance………….……………………….. 64 Lampiran 5 Analisis Statistik………….………………………… 65 Lampiran 6 Data Pasien…………………………………………. 70 Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian………….…………………. 72 Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup………………………………. 74
xi
DAFTAR SINGKATAN
AP-1 : Activator Protein-1 AV : Akne Vulgaris CD4+ : Cluster of differentiation 4 CD8+ : Cluster of differentiation 8 DHEAS : dehydroepiandrosterone hld gene : delta-haemolysin gene IL-1α : Interleukin-1α IL-1β : Interleukin-1β IL-8 : Interleukin-8 IL-12 : Interleukin-12 IL-17 : Interleukin-17 KEPK : Komisi Etika Penelitian Kesehatan KSDKI : Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia MMP : Matrix Metallo Proteinase NLRP3 : NLR Family Pyrin Domain Containing 3 PCR : Polymerase Chain Reaction PIA : Exopolysaccharide Intercellular Adhesin PMN : Polimorphonuclear PSMs : Phenol Soluble Modhulin RS : Rumah Sakit RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat RS USU : Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara Th : T-helper Th-17 : T-helper-17 TLR-2 : Toll-like receptor-2 TNF-α : Tumor Necrotizing Factor-α SEB : Staphylococcal Enterotoksin B
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akne vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronis pada unit pilosebasea. Lesi
klinisnya berupa lesi non-inflamasi seperti komedo terbuka dan komedo tertutup, serta
lesi inflamasi seperti papul, pustul dan nodul dengan beragam derajat inflamasi dan
kedalaman. Seringkali juga didapatkan adanya perubahan pigmentasi paska inflamasi
berupa makula serta dapat juga dijumpai adanya skar. Lokasi paling sering terjadinya
akne vulgaris adalah pada wajah, punggung, dan dada. 1,2
Akne vulgaris merupakan salah satu penyakit kulit yang paling sering dialami
di dunia dan mempengaruhi seluruh etnis dan ras. Akne vulgaris seringkali muncul
pada masa pubertas. Prevalensi akne vulgaris mencapai puncaknya usia 16 hingga 17
tahun, kondisi ini mempengaruhi 85% dari seluruh dewasa muda, dan kemudian
seiring bertambahnya usia akan semakin menurun. Akne vulgaris paska usia dewasa
muda lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki – laki.1,2
Lebih dari 90% remaja menderita akne vulgaris dan setengahnya tetap
menderita akne hingga dewasa.1,3,4 Diperkirakan bahwa akne vulgaris mengenai 9,4%
populasi global, menjadikannya penyakit paling banyak ke-8 di seluruh dunia.3
Prevalensi akne vulgaris di Asia juga cukup tinggi. Sebuah penelitian epidemiologi di
Jepang memperoleh prevalensi akne yakni sebesar 58,6%.5 Prevalensi akne vulgaris
pada remaja di Malaysia adalah 67,5%.6 Sementara berdasarkan sebuah studi potong
lintang berbasis komunitas di Singapura pada tahun 2007 pada 1045 remaja berusia
13 – 19 tahun, 88% nya menderita akne vulgaris.7
1
2
Di Indonesia sendiri menurut Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia
(KSDKI) 2015, akne merupakan salah satu penyakit kulit yang sangat sering terjadi dan menempati urutan 3 besar dari jumlah pengunjung Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit maupun Klinik Dermatologi.8 Sebuah studi potong lintang yang dilakukan di Palembang pada 5.024 subjek berusia 14-21 tahun pada tahun 2007 menemukan prevalensi akne vulgaris adalah 68,2%.9 Menurut data yang ada di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan berdasarkan penelitian sebelumnya secara retrospektif ditemukan proporsi kejadian akne vulgaris di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2010 hingga Desember 2012 sebesar
1,10%.10
Etiologi dari akne vulgaris bersifat multifaktorial, diantaranya yaitu hiperproliferasi folikular epidermal, peningkatan produksi sebum, inflamasi dan hiperkolonisasi mikrobial pada kanal folikular unit pilosebasea.1,2,11 Setiap elemen ini saling terkait dan berada di bawah pengaruh hormonal dan imunitas.1 Salah satu elemen yang berperan yaitu hiperkolonisasi mikrobial pada kanal folikular, dalam hal ini adalah peran dari peran dari Propionibacterium acnes (saat ini disebut sebagai
Cutibacterium acnes) yang memegang peranan penting dalam proses inflamasi pada akne.9 Telah diketahui bahwa Cutibacterium acnes merupakan organisme predominan pada unit pilosebasea terletak pada infundibulum anaerobik, tempat terjadinya reaksi inflamasi pada akne.1,3,9,11 Namun bukan hanya Cutibacterium acnes yang dapat memicu terjadinya akne, diduga bakteri komensal kulit lain seperti Staphyloccocus epidermidis, Staphylococcus aureus dan Micrococcus spp juga berperan dalam memicu terjadinya akne.9,12-16 Saat ini terdapat beberapa studi yang menyebutkan peranan dari sejumlah mikrobiota pada akne vulgaris.14,15,16 3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dhillon et al. (2013) di India yang melaporkan hasil uji kultur pada lesi pustular dan nodulokistik pasien akne vulgaris dengan hasil pada kultur anaerob, ditemukan adanya bakteri Staphylococcus aureus sebesar 41%, Propionibacterium acnes sebesar 32% dan Staphylococcus epidermidis sebesar 20% dari keseluruhan subyek penelitian.12
Pada penelitian Shamsi et al. (2015) di India, yang melakukan uji kultur bakteri pada pasien akne vulgaris dengan lesi pustular dan nodulokistik, melaporkan bahwa ditemukan Staphylococcus epidermidis (47%), Micrococcus spp (46%),
Staphylococcous aureus (44%) dan Propionibacterium acnes (1%).13
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dreno et al. (2017) di Prancis melakukan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada lesi akne dan diketahui bahwa dari lesi didapatkan dominasi dari flora Staphylococcus sebesar lebih dari 27% dari keseluruhan bakteri pada area sampel dan lebih banyak ditemukan pada area dengan lesi akne dibandingkan dengan area tanpa lesi akne. Bakteri Propionibacteria didapatkan sebesar 2% dari keseluruhan bakteri pada area sampel.14
Studi Adetutu et al. (2017) di Nigeria melakukan pemeriksaan gram, kultur dan uji sensitivitas antibiotik pada lesi akne. Dari hasil pemeriksaan gram ditemukan bakteri gram positif pada keseluruhan sampel. Sedangkan dari hasil kultur didapatkan bakteri Staphyloccocus aureus pada keseluruhan sampel.15
Penelitian untuk mengidentifikasi bakteri Propionibacterium acnes yang terdapat pada lesi komedo dari pasien akne vulgaris pernah dilakukan pada tahun 2009 di Sub Bagian Dermatologi Kosmetik Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin RSUP H. Adam
Malik Medan.17 Namun pengidentifikasian terhadap bakteri yang terdapat pada kedua lesi baik lesi non-inflamasi atau lesi inflamasi pada akne vulgaris belum pernah 4
dilakukan hingga saat ini, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
identifikasi terhadap bakteri yang terdapat pada lesi akne vulgaris.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran bakteri yang terdapat pada lesi akne vulgaris?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengidentifikasi bakteri pada lesi akne vulgaris
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik subjek dengan akne vulgaris yang meliputi
usia dan jenis kelamin
2. Untuk mengetahui proporsi bakteri pada lesi non-inflamasi (komedo
tertutup) pada akne vulgaris
3. Untuk mengetahui proporsi bakteri pada lesi inflamasi (pustul) pada akne
vulgaris
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bidang akademik dan ilmiah
Menambah ilmu pengetahuan mengenai gambaran bakteri pada lesi akne
vulgaris.
1.4.2 Bidang institusi kesehatan
Hasil penelitian ini dapat membantu untuk pedoman dan selanjutnya dapat
menjadi landasan dalam penatalaksanaan akne vulgaris.
5
1.4.3 Masyarakat
Masyarakat mendapatkan informasi dan edukasi diperlukannya pengobatan
berupa antimikroba yang sesuai pada penderita akne vulgaris.
1.4.4 Bidang pengembangan penelitian
Sebagai data dasar penelitian selanjutnya mengenai hasil identifikasi bakteri
pada lesi akne vulgaris dan terapi yang dapat digunakan dalam
penatalaksanaan akne vulgaris.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akne Vulgaris
2.1.1 Definisi
Akne vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronis pada unit pilosebasea yang
biasanya muncul pada usia remaja.1,2 Lesi klinisnya berupa lesi non inflamasi seperti
komedo terbuka dan komedo tertutup, serta lesi inflamasi seperti papul, pustul dan
nodul dengan beragam derajat inflamasi dan kedalaman. Lokasi paling sering
terjadinya akne adalah pada wajah, punggung, dan dada. Seringkali juga didapatkan
adanya perubahan pigmentasi paska inflamasi berupa makula serta dapat juga
dijumpai adanya skar hipertrofi.2
2.1.2 Epidemiologi
Akne vulgaris merupakan salah satu penyakit kulit yang paling sering terjadi di dunia,
yang mempengaruhi seluruh etnis dan ras.2 Usia onset terjadinya akne berubah seiring
waktu, bersamaan dengan semakin awalnya onset terjadi pubertas dalam beberapa
tahun terakhir.1 Akne biasanya memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dengan
relaps akut ataupun rekurensi yang sering. Pada perempuan, terjadinya akne biasanya
mendahului masa menarche.1 Pada pasien yang berusia sangat muda, lesi predominan
adalah berupa komedo. Prevalensi tertinggi akne mencapai puncaknya pada periode
menengah hingga akhir dari masa remaja, dengan lebih dari 85% masa dewasa muda
juga terkena, dan semakin menurun seiring berjalannya waktu. Meskipun begitu, akne
dapat bertahan pada dekade ke-3 hingga selanjutnya, terutama pada perempuan.1,18
Seperti pada penelitian Yutrishia et al. (2016) di Medan yang melaporkan prevalensi
6
7 akne pada perempuan adalah 64%.19 Keparahan akne dikatakan familial. Prevalensi akne derajat sedang hingga berat pada pelajar sekolah menengah atas ditemukan sebanyak 19,9% memiliki riwayat keluarga dengan akne, dimana hanya 9,8% pelajar dengan akne yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita akne.18 Akne nodulokistik dilaporkan lebih banyak ditemukan pada laki – laki kulit putih dibandingkan laki – laki kulit gelap, dan sebuah kelompok studi investigasi menemukan bahwa akne didapatkan lebih berat pada pasien dengan genotipe XYY.20
Akne vulgaris diperkirakan mengenai 9,4% populasi global, menjadikannya penyakit yang paling banyak ke-8 di seluruh dunia. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa akne paling sering terjadi pada remaja setelah pubertas.7 Menurut studi Global
Burden of Disease, akne vulgaris mengenai hampir 85% pada dewasa muda berusia
12-25 tahun.1,20 Prevalensi akne pada remaja dan dewasa bervariasi pada beberapa negara dan grup etnis. Pada penelitian di Australia, akne vulgaris diamati pada 27,7% pelajar berusia 10 – 12 tahun dan 93,3% pada remaja berusia 16 – 18 tahun. Penelitian di Peru melaporkan prevalensi akne sebesar 16,33% dan 71,23% pada pelajar berusia
12 dan 17 tahun secara berurut. Di Belgia dan China, prevalensi akne pada remaja sangat tinggi berkisar 90% sementara di Inggris diperkirakan sebesar 50%.22
Prevalensi akne vulgaris di Asia juga cukup tinggi. Sebuah penelitian epidemiologi di Jepang memperoleh prevalensi akne yakni sebesar 58,6%.5 Di
Malaysia, prevalensi akne vulgaris pada remaja adalah 67,5%.6 Sebuah studi potong lintang berbasis komunitas di Singapura tahun 2007 pada 1045 remaja berusia 13-19 tahun menunjukkan 88% menderita akne vulgaris.7
Di Indonesia, menurut catatan Kelompok Studi Dermatologi Kosmetika
Indonesia (KSDKI) terdapat 60% penderita akne vulgaris pada tahun 2006, 80% pada tahun 2008 dan 90% pada tahun 2009.23 Berdasarkan laporan KSDKI pada tahun 2015 8
akne merupakan kasus ke-3 terbanyak yang datang untuk berobat ke RSUP dan RSUD
dengan puncak usia terbesar pada remaja berusia 16 – 19 tahun pada pria atau 14 – 17
tahun pada wanita.8 Penelitian oleh Fachry dan Putra (2015) di Medan juga
mendapatkan akne vulgaris paling banyak ditemukan pada usia 21 tahun dengan
frekuensi 53,8%.24 Berdasarkan data yang diambil mulai dari September 2017 hingga
September 2018 didapatkan proporsi pasien akne vulgaris Poliklinik Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RS USU sebesar 0,01%.
2.1.3 Etiopatogenesis
Pemahaman akan hal yang mendasari terjadinya akne dan mekanisme kerja dari
sejumlah pilihan terapi dalam penatalaksanaan akne dapat memberikan terapi dengan
hasil yang lebih baik.1 Patogenesis dari akne dikatakan beraneka ragam, namun 4
faktor dasar telah diidentifikasi.1,25 Faktor tersebut antara lain hiperproliferasi folikel
epidermal; produksi sebum yang berlebihan; proses inflamasi serta respon imun; dan
kolonisasi mikroflora kulit, terutama Cutibacterium acnes. Setiap proses ini saling
berkaitan di bawah pengaruh hormon dan imunitas.1,9,25
Hiperproliferasi folikuler epidermal akan menghasilkan mikrokomedo. Epitel
dari folikel rambut bagian atas, infundibulum, akan menjadi hiperkeratotik dengan
peningkatan kohesi dari keratinosit.1,25 Jumlah sel yang berlebihan akan menghasilkan
sumbatan pada ostium folikular. Sumbatan ini akan dapat menyebabkan
menumpuknya akumulasi keratin, sebum dan bakteri di dalam folikel. Tumpukan ini
akan menyebabkan dilatasi dari folikel rambut atas yang menghasilkan mikrokomedo,
yang merupakan prekursor komedo dan lesi inflamasi pada akne vulgaris. Dengan
berjalannya waktu, folikel akan terisi dengan lipid, bakteri dan fragmen sel. Pada
akhirnya secara klinis terdapat lesi non-inflamasi atau lesi inflamasi, yaitu bila 9
Propionibacterium acnes berproliferasi dan menghasilkan mediator – mediator inflamasi.1,25,26
Penyebab hiperproliferasi keratinosit hingga saat ini saat ini masih belum diketahui, beberapa kemungkinan pemicunya antara lain stimulasi androgen, menurunnya kadar asam linoleat, meningkatnya aktivitas Interleukin-1α (IL-1α).
Hormon androgen diduga juga berperan menstimulasi hiperproliferasi folikular epidermal.25
Patogenesis yang juga berperan pada akne adalah produksi sebum yang berlebihan dari glandula sebasea.1,25 Sebum dari manusia saat meninggalkan kelenjar sebasea, berisi skualen, kolesterol, kolesterol ester, lilin ester, dan trigliserida. Selama perjalanan sebum pada kanal rambut, enzim dari bakteri akan menghidrolisis sejumlah trigliserida, sehingga komposisi lipid yang mencapai permukaan kulit mengandung asam lemak bebas dan proporsi kecil mono dan digliserida sebagai tambahan pada komponen asalnya. Adanya lilin ester dan skualen membedakan sebum dari lipid organ internal manusia lainnya yang tidak mengandung lilin ester dan sejumlah kecil skualen. Meski begitu, kelenjar sebasea manusia tampaknya tidak mampu untuk memproses skualen menjadi sterol seperti kolesterol. Bentuk yang belum mengalami saturasi dari asam lemak di dalam trigliserida, lilin ester dan kolesterol ester juga membedakan sebum manusia dari lipid organ lainnya.31
Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum dibandingkan tanpa akne, meskipun kualitas dari sebum pada kedua kelompok ini sama. Komponen dari sebum berupa trigliserida dan lipoperoksida mungkin berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida akan dipecah oleh Propionibacterium acnes (flora normal pada unit pilosebasea) menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini nantinya akan menyebabkan sumbatan bakteri dan kolonisasi dari Propionibacterium acnes, 10 mendorong terjadinya inflamasi, dan mungkin menyebabkan komedogenik.
Lipoperoksidase juga memproduksi sitokin pro-inflamatori dan mengaktifkan jalur reseptor pengaktivasi proliferator, menyebabkan peningkatan sebum.1,25
Apabila hiperproliferasi keratinosit dan produksi sebum yang berlebihan berlanjut, maka akan terjadi penumpukan mikrokomedo yang berisi keratin, sebum dan bakteri. Akhirnya peregangan ini akan berujung pada terjadinya ruptur dari dinding folikuler. Ruptur ini dalam waktu singkat akan memicu reaksi inflamasi yang diperantarai oleh limfosit CD4+ dan CD8+. Limfosit CD4+ ditemukan disekitar unit pilosebasea sementara sel CD8+ ditemukan di perivaskuler. Selanjutnya akibat pelepasan dari mediator – mediator inflamasi oleh limfosit CD4+ dan CD8+, akan terjadi penumpukan neutrofil di sekitar mikrokomedo yang sudah ruptur.1,26
Awalnya dianggap bahwa inflamasi diikuti dengan pembentukan komedo, tetapi ada bukti yang menyatakan bahwa inflamasi dermis sebenarnya didahului dengan pembentukan komedo. Biopsi yang diambil dari kulit yang rentan timbul akne namun bebas komedo, menunjukkan peningkatan inflamasi dermis dibandingkan dengan kulit normal. Biopsi pada komedo yang baru terbentuk menunjukkan inflamasi yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa inflamasi sebenarnya didahului oleh pembentukan komedo.25,26 Seperti juga telah disebutkan, bakteri Propionibacterium acnes/Cutibacterium acnes juga memainkan peran aktif dalam proses inflamasi.
1,9,24,26
Propionibacterium acnes merupakan mikroorganisme utama yang ditemukan di daerah infra infundibulum, dapat mencapai permukaan kulit dengan mengikuti aliran sebum. Propionibacterium acnes akan bertambah banyak seiring dengan meningkatnya jumlah trigliserida dalam sebum yang merupakan nutrisi bagi
Propionibacterium acnes.26 Diferensiasi sebosit dan respon sitokin atau kemokin pro- 11 inflamasi bervariasi tergantung pada predominan strain Propionibacterium acnes di dalam folikel.1,25,26 Remaja dengan akne memiliki jumlah Propionibacterium acnes yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang bukan akne. Peningkatan koloni diawali akumulasi sebum yang disebabkan peningkatan sekresi lemak dan hiperkeratosis infundibulum. Telah diketahui bahwa Propionibacterium acnes menstimulasi ekspresi sitokin dengan berikatan dengan toll-like receptor-2 (TLR-2) pada monosit dan sel polimorfonuklear yang melingkupi folikel sebasea. Aktivasi ini kemudian akan memicu produksi sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-1α (IL-1α), interleukin-8 (IL-8), interleukin-12 (IL-12) dan tumor necrotizing factor-α (TNF-
α).1,27,28 Studi terbaru menunjukkan bahwa Propionibacterium acnes merangsang limfosit T helper-17 untuk menghasilkan interleukin-17 (IL-17) dan juga dapat mengaktivasi inflamasom NLR Family Pyrin Domain Containing 3 (NLRP3), kompleks multiprotein yang dapat mengaktivasi enzim proteolitik seperti caspase-1 yang selanjutnya mengubah bentuk prekursor interleukin-1β (IL-1β) menjadi bentuk fungsionalnya.29,30
Dinding sel dari Propionibacterium acnes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi pembentukan antibodi.1,32 Pada pasien dengan kondisi akne yang sangat berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi.31 Antibodi antipropionibakterium akan memicu terjadinya respon inflamasi dengan mengaktifkan komplemen yang akan memulai kaskade peristiwa pro-inflamatori.
Propionibacterium acnes juga memfasilitasi inflamasi dengan memicu respon hipersensitivitas tipe lambat dan memproduksi lipase, protease, hialuronidase, dan faktor kemotaksis.1,25,33
Sitokin proinflamasi, melalui mekanisme autokrin dan parakrin akan mengaktivasi faktor transkripsi activator protein-1 (AP-1) dan nantinya akan 12
menginduksi gen matrix metallo proteinase (MMP), yang akhirnya mengakibatkan
degradasi matriks dermis.34
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis klinis akne dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
dapat disertai pemeriksaan penunjang seperti ekskohleasi komedo.34
Keluhan utama dari sebagian besar pasien dengan akne adalah dengan keluhan
estetik yang terkadang bisa disertai gatal dan nyeri pada lesi yang meradang. Pada
anamnesis meliputi onset, perjalanan penyakit, serta faktor yang yang dapat memicu
terjadinya akne, antara lain: riwayat akne pada keluarga, riwayat penggunaan
kosmetik, pekerjaan pasien, kondisi stres, riwayat penggunaan obat – obatan, riwayat
menstruasi, pola hidup pasien, dan pola makan/diet pasien.1,2,35
Pemeriksaan fisik pada pasien akne dilakukan dengan menggunakan
pencahayaan yang baik dan konstan, baik dengan menggunakan lampu kepala maupun
cahaya fokus.2,35 Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan hal – hal seperti jenis kulit
pasien (berminyak, normal); lokasi lesi (terutama pada wajah, punggung, dada dan
bahu; tipe lesi (lesi non-inflamasi berupa komedo tertutup dan komedo terbuka,
hingga lesi inflamasi seperti papul, pustul, nodul dan kista serta kadang – kadang
jaringan parut).1,2,8,34
Lesi non-inflamasi akne yaitu komedo merupakan gejala patognomonik pada
akne vulgaris, ditandai dengan papul milier yang ditengahnya mengandung sumbatan
sebum. Komedo terbagi menjadi dua yaitu komedo terbuka (black head, open
comedo), berwarna hitam karena mengandung unsur melanin yang teroksidasi; dan
komedo tertutup (white head, close comedo) yang letaknya lebih dalam dan tidak
mengandung unsur melanin.1,2,35 13
Papul, pustul, nodul dan kista merupakan lesi inflamasi akne vulgaris. Papul merupakan peninggian kulit yang berukuran kecil dan biasanya berwarna merah.
Pustul menyerupai papul namun memiliki kantong pus pada bagian tengahnya. Nodul dan kista adalah pembengkakan yang lebih besar dan nyeri, biasanya berukuran lebih dari 5 mm.1
Selain itu terdapat lesi yang merupakan komplikasi dari akne vulgaris yaitu jaringan parut dan lesi hiperpigmentasi. Pembentukan jaringan parut merupakan komplikasi baik pada lesi inflamasi maupun lesi noninflamasi akne. Secara umum terdapat 4 tipe parut akne yaitu ice pick, rolling, boxcar dan hipertrofi.1,8
Derajat keparahan akne vulgaris ditentukan melalui sistem gradasi berdasarkan observasi lesi yang dominan, evaluasi terhadap keberadaan lesi inflamasi dan luas area kulit yang terlibat. Hasil dari sistem penilaian ini akan menghasilkan pembagian akne vulgaris menjadi beberapa derajat keparahan tertentu. Terdapat beberapa sistem gradasi yang dikenal untuk akne vulgaris. Sistem gradasi dianggap ideal apabila akurat dan reproduktif, memiliki kapasitas dokumentasi untuk verifikasi di masa depan, sederhana digunakan untuk beberapa kali pemantauan, tidak memakan waktu, murah dan sederhana, merefleksikan kriteria subjektif seperti faktor psikologis.36
1. Pillsbury (1963)36,37
Gradasi akne vulgaris menurut Pillsbury adalah sebagai berikut :
Derajat 1 : komedo di wajah
Derajat 2 : komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam di wajah
Derajat 3 : komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam di wajah, dada
dan punggung
2. Lehmann (2002)8,36,37
Pembagian gradasi akne menurut Lehmann yaitu: 14
Ringan : komedo <20 / pustul <15 / kista = 0 Total: <30
Sedang : komedo 20-100 / pustul 15-50 / kista <5 Total: 30-125
Berat : komedo >100 / pustul >50 / kista >5 Total: >125
3. International consensus conference on acne classification system 36,37
Menurut sistem ini gradasi akne adalah:
Ringan : terdapat sedikit komedo, papul dan pustul, tidak terdapat nodul
Sedang : terdapat beberapa komedo, papul dan pustul, sedikit hingga
beberapa nodul
Berat : banyak komedo, papul, pustul dan nodul
Catatan : sedikit <5, beberapa 5-10, banyak >10 lesi
Sedangkan beberapa pemeriksaan penunjang pada akne vulgaris antara lain meliputi:
1. Ekskohleasi komedo
Pemeriksaan penunjang khusus berupa ekskohleasi komedo dapat dilakukan
untuk membuktikan apakah papul kecil yang ada benar merupakan sebuah
komedo yang berisi sebum yang mengental atau mengeras, karena komedo
merupakan gejala patognomonik akne. Selain sebagai pemeriksaan penunjang
khusus, ekskohleasi juga dapat digunakan sebagai terapi bedah pada akne.1,35
2. Pemeriksaan mikrobiologi kulit
Pemeriksaan mikrobiologi kulit biasanya dilakukan untuk tujuan penelitian
etiologis dan resistensi antibiotik. Akne bukan merupakan penyakit infeksius,
namun dapat dilakukan isolasi beberapa organisme dari permukaan kulit dan
duktus pilosebasea pasien akne. Spesimen dapat diambil dari berbagai lesi
akne.35
15
2.1.5 Diagnosis banding
Beberapa kondisi yang menyerupai akne vulgaris yaitu: erupsi akneiformis, rosasea,
folikulitis gram negatif, dermatitis perioral, keratosis pilaris. Gambaran penyakit-
penyakit tersebut umumnya tidak memiliki komedo.1,8,38
Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne vulgaris berupa
reaksi peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular yang dapat
terjadi akut ataupun subakut. Erupsi akneiformis disebabkan aplikasi obat topikal dan
sistemik seperti kortikosteroid, isoniazid, vitamin B, beberapa antiepilepsi,
antidepresi, antipsikosis, radiasi sinar matahari, kosmetik, tekanan ataupun dari bahan
kimia yang kontak dengan kulit.8,39
Rosasea adalah peradangan kronis di daerah muka yang ditandai dengan satu
atau lebih gejala berikut: flushing / kemerahan (eritema wajah transien), eritema wajah
sentral yang persisten selama beberapa bulan hingga lebih, papul / pustul inflamasi
dan telangiektasis. Daerah distribusinya yaitu hidung, pipi, dagu dan kening. Rosasea
terjadi baik pada pria dan wanita dengan onset di atas usia 30 tahun.40,41
Folikulitis gram negatif dapat terjadi pada pasien akne vulgaris yang telah
ditangani dengan antibiotik oral jangka panjang khususnya tetrasiklin. Pasien
biasanya memiliki riwayat keberhasilan terapi dengan tetrasiklin oral namun diikuti
dengan perburukan akne. Gambaran klinisnya berupa papul, pustul atau nodul yang
terpusat pada daerah sekitar hidung. Kultur pada lesi papul / pustul menunjukkan
Enterobacter, Klebsiella atau Escherichia dan Proteus pada nodul.1
Dermatitis perioral ditandai dengan papul dan pustul berukuran kecil dan diskret
dengan distribusi periorifisium, predominan di daerah sekitar mulut. Awalnya
kelainan ini digambarkan pada wanita muda berusia 15 – 25 tahun namun juga
dijumpai pada anak-anak.42 16
Keratosis pilaris merupakan kondisi umum terjadinya sumbatan keratotik pada
folikel rambut dengan derajat eritema di sekitar sumbatan yang bervariasi. Daerah
predileksinya terutama pada aspek ekstensor lengan atas dan paha, serta wajah namun
jarang meluas hingga ke ekstremitas dan badan.43
2.1.6 Penatalaksanaan
Regimen penatalaksanaan pada pasien dengan akne harus disertai dengan
pengetahuan mengenai patogenesis akne dan mekanisme kerja dari terapi akne yang
tersedia untuk mencapai respon terapi yang maksimal. Regimen terapi sebaiknya
dimulai sesegera mungkin dan cukup agresif untuk mencegah terjadinya sekuele
permanen.1,2,29 Seringkali terapi yang digunakan dalam bentuk sejumlah kombinasi
terkait dengan banyaknya faktor yang berperan dalam patogenesis dari akne.
Mekanisme kerja dari sebagian besar terapi untuk akne dapat dikategorikan sebagai
berikut dalam keterkaitannya dengan patofisiologi dari akne yaitu memperbaiki
keratinisasi folikuler yang terganggu, menurunkan aktivitas kelenjar sebasea,
menurunkan populasi bakteri folikular khususnya Propionibacterium acnes dan
memberikan efek anti inflamasi.1
Tatalaksana akne umumnya berdasarkan tingkat keparahan penyakit.1 Pada
pengobatan topikal diperlukan pertimbangan untuk pemilihan vehikulum yang sesuai.
Bila kulit pasien sensitif, maka sebaiknya digunakan vehikulum losio, krim atau jel;
dan bila tipe kulit pasien berminyak maka digunakan vehikulum jel atau solusio.44
2.2 Bakteri pada Lesi Akne Vulgaris
Kulit manusia, seperti halnya jaringan tubuh lainnya, dikolonisasi oleh komunitas
mikroorganisme komensal yang padat. Hubungan simbiosis antara kulit dengan 17 komunitas mikrobial komensal (yang disebut mikrobiota) akan membentuk kompleks penghalang yang berfungsi untuk menahan gangguan eksternal.45 Kolonisasi mikroorganisme melakukan komunikasi terus menerus dengan pejamunya, dengan menggunakan perantara berupa kompleks sinyal oleh sistem imunitas tubuh.
Hubungan ini akan menyebabkan kondisi mikrobiom yang terkontrol dengan baik, namun dengan kondisi kesembangan yang dibutuhkan oleh kulit yang sehat.45 Adanya perubahan dalam komposisi natural dari komunitas mikrobial kulit seperti hilangnya keragaman, juga dikaitkan dengan penyakit inflamasi kulit yang kronis, seperti halnya pada akne vulgaris.46
Patogenesis dari akne dikatakan beraneka ragam, namun 4 faktor dasar telah diidentifikasi, yaitu hiperproliferasi folikel epidermal dan pembentukan komedo, produksi sebum yang berlebihan, proses inflamasi, serta kehadiran dan aktivitas dari
Propionibacterium acnes yang nantinya juga berkontribusi dalam proses inflamasi.1,2
Propionibacterium acnes/Cutibacterium acnes adalah bakteri gram positif, anaerob, yang merupakan flora normal pada folikel sebasea. Saat ini terjadi reklasifikasi Propionibacterium acnes berubah menjadi Cutibacterium acnes terjadi setelah adanya analisis genom inti resolusi tinggi yang menghasilkan definisi genus baru dari bakteri kutaneus, yaitu genus Cutibacterium. Reklasifikasi taksonomi ini kemudian membuat Propionibacterium acnes saat ini dinamakan menjadi
Cutibacterium acnes yang akan membedakannya dengan spesies Propionibacteria lainnya.9
Remaja dengan akne memiliki jumlah Propionibacterium acnes yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang bukan akne. Peningkatan koloni diawali akumulasi sebum yang disebabkan peningkatan sekresi lemak dan hiperkeratosis infundibulum. Telah diketahui bahwa Propionibacterium acnes menstimulasi 18 ekspresi sitokin dengan berikatan pada toll-like receptor (TLR-2) pada monosit dan sel polimorfonuklear yang melingkupi folikel sebasea. Aktivasi ini kemudian akan memicu produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-8, IL-12 dan TNF-α.1,27,28
Studi terbaru menunjukkan bahwa Propionibacterium acnes merangsang limfosit T helper 17 untuk menghasilkan IL-17 dan juga dapat mengaktivasi inflamasom
NLRP3, kompleks multiprotein yang dapat mengaktivasi enzim proteolitik seperti caspase-1 yang selanjutnya mengubah bentuk prekursor IL-1β menjadi bentuk fungsionalnya.29,30
Dinding sel dari Propionibacterium acnes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi pembentukan antibodi.1,32 Pada pasien dengan kondisi akne yang sangat berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi.31 Antibodi antipropionibakterium akan memicu terjadinya respon inflamasi dengan mengaktifkan komplemen yang akan memulai kaskade peristiwa pro-inflamatori.32
Propionibacterium acnes juga memfasilitasi inflamasi melalui perangsangan terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat melalui produksi lipase, protease, hialuronidase dan faktor kemotaktik.1,25,33
Sitokin proinflamasi, melalui mekanisme autokrin dan parakrin akan mengaktivasi faktor transkripsi activator protein-1 (AP-1) dan nantinya akan menginduksi gen matrix metallo proteinase (MMP), yang akhirnya mengakibatkan degradasi matriks dermis.34
Meskipun begitu, dikatakan bukan hanya Propionibacterium acnes yang berperan utama dalam memicu terjadinya akne, begitu juga bakteri yang menghuni folikel sebasea, seperti Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis.
Peranan Staphylococcus aureus pada akne dihipotesiskan berdasarkan kemampuan Staphylococcus aureus untuk menstimulasi TLR-2 dengan cara 19 menghasilkan alfa toksin dan staphylococcal enterotoksin B (SEB).47 TLR-2 akan mengenali komponen Staphylococcus aureus yang kemudian akan diekspresikan di monosit. Strain dari Staphylococcus dapat menghasilkan toksin seperti
Staphylococcal eksotoksin yang disebut dengan Staphylococcal Enterotoksin B (SEB) atau alfa toksin. Baik alfa toksin atau SEB ini dapat menstimulasi monosit, dimana
TLR-2 yang akan mengenali komponen Staphylococcus aureus diekspresikan di monosit.48 Toll-like receptor 2 ini nantinya akan menstimulasi sel T-helper (Th) untuk memproduksi sitokin proinflamasi seperti IL-1ß, IL-8, IL-12 yang nantinya berperan dalam patogenesis penyakit kulit inflamasi kronis seperti akne vulgaris dan psoriasis.48 Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat komensal, dan dapat beradaptasi dengan sangat baik pada tubuh manusia, serta menjadi penyebab dari sejumlah infeksi baik dari infeksi kutaneus yang bersifat minor, hingga infeksi yang berat.49
Bakteri lain yang diduga berperan secara tidak langsung pada patogenesis akne vulgaris adalah Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri anaerob fakultatif gram positif. Mikroba ini merupakan flora residen non- patogen pada kulit manusia, yang kemudian pada suatu titik tertentu pada kehidupan dapat berubah menjadi agen infeksius akibat faktor ekstrinsik seperti defisiensi sistem imun. Faktor virulen utama yang dihasilkan oleh organisme ini adalah fatty acid modifying enzyme yang mengesterifikasi asam lemak dalam kulit menjadi kolesterol, dimana asam lemak merupakan bakterisidal bagi organisme untuk bertahan. Bakteri ini memiliki sejumlah faktor adhesi untuk melekat pada permukaan kulit, seperti jaringan protein permukaan kulit, protein ikat fibrinogen, protein autolisin, exopolysaccharide intercellular adhesin (PIA), dan poly-N-succinyl-glucosamine, dimana semua faktor ini memungkinkan sebagai bahan perlekatan. Pada proses 20 pembentukan akne, terdapat 2 faktor virulen dari Staphylococcus epidermidis, yaitu lipase (geh1 gene) dan delta-haemolysin (hld gene) yang akan berdampak pada proses inflamasi pada akne. Meskipun dengan adanya faktor virulensi khusus dari
Staphylococcus epidermidis ini, ternyata diketahui juga bahwa Staphylococcus epidermidis jarang dijumpai mengakibatkan kerusakan pada keratinosit dalam kulit.
Staphylococcus epidermidis juga diketahui mensekresi exopolysaccharide intercellular adhesin (PIA), yang bertanggung jawab terhadap pembentukan biofilm, dan melindungi organisme ini dari pertahanan imunitas bawaan tubuh pejamu.
Biofilm ini juga menyebabkan kondisi anaerobik yang baik untuk pertumbuhan dari
Propionibacterium acnes.50
Menurut studi yang dilakukan oleh Kumar et al. (2013), populasi
Staphylococcus epidermidis dan Propionibacterium acnes pada pasien akne yang dibandingkan dengan kontrol, ditemukan meningkat dengan angka sebesar 70% dan
82%. Jumlah mikrobial dari kedua mikroba ini ditemukan meningkat secara simultan pada kasus akne, sehingga diduga hal ini mengindikasikan bahwa kedua bakteri ini memiliki peran penting pada perkembangan dan regulasi dari penyakit akne. Dari studi terbaru juga dikatakan bahwa Staphylococcus epidermidis juga memproduksi dan mensintesis peptida yang bersifat antimikrobial seperti phenol soluble modhulin
(PSMs), Epidermin dan Peps. Sehingga masih dipertanyakan apakah dengan ditemukannya bakteri ini dalam jumlah besar pada kulit pasien akne jika dibandingkan dengan kulit normal merupakan sebagai sumber penyakit atau sebagai bentuk pertahanan terhadap penyakit.50
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hassanzadeh (2008) di Iran, melaporkan hasil uji kultur lesi pustular dan nodulokistik dari pasien akne vulgaris, dengan hasil pada kultur aerobik ditemukan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 41%, 21
Staphylococcus epidermidis sebesar 51% dan Micrococcus spp sebesar 45% dari subyek. Sedangkan dari kultur anaerob ditemukan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 39%, Propionibacterium acnes sebesar 33% dan Staphylococcus epidermidis pada 21% subyek.16
Pada studi yang dilakukan oleh Syahrial et al. (2009) yang mengidentifikasi bakteri Propionibacterium acnes pada lesi akne dari pasien akne vulgaris, dimana
Propionibacterium acnes hanya tumbuh pada 37,2% dari total keseluruhan pasien.17
Lalu pada penelitian yang dilakukan oleh Dhillon (2013) di India pada tahun yang melaporkan hasil uji kultur pada lesi pustular dan nodulokistik pasien akne vulgaris dengan hasil pada kultur anaerob ditemukan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 41%, Propionibacterium acnes sebesar 32% dan Staphylococcus epidermidis sebesar 20% dari keseluruhan subyek penelitian.12
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shamsi (2015) di India, yang melakukan uji kultur bakteri pada pasien akne vulgaris dengan lesi pustular dan nodulokistik, melaporkan bahwa ditemukan Staphylococcus epidermidis (47%), Micrococcus spp
(46%), Staphyloccous aureus (44%), dan Propionibacterium acnes (1%).13
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dreno (2017) di Prancis yang melakukan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada lesi akne dan diketahui bahwa dari lesi didapatkan dominasi dari flora Staphylococcus sebesar lebih dari 27% dari keseluruhan bakteri pada area sampel dan lebih banyak ditemukan pada area dengan lesi akne dibandingkan dengan area tanpa lesi akne. Dimana bakteri Propionibacteria didapatkan sebesar 2% dari keseluruhan bakteri pada area sampel.14
Pada studi yang dilakukan oleh Adetutu (2017) di Nigeria melakukan pemeriksaan gram, kultur dan uji sensitivitas antibiotik pada lesi akne. Dari hasil pemeriksaan Gram ditemukan bakteri Gram positif keseluruhan sampel. Sedangkan 22 dari hasil kultur didapatkan bakteri Staphyloccocus aureus pada keseluruhan sampel.15
23
2.3 Kerangka Teori
Propionibacterium acnes/Cutibacterium acnes
Berikatan dengan TLR-2 Stimulasi Th17 Produksi lipase dan Dinding sel pada monosit faktor kemotaktik mengandung karbohidrat
Stimulasi Th Produksi IL-17 Memicu respon hipersensitivitas tipe Memicu pembentukan lambat antibodi
Produksi sitokin Aktivasi inflamasom proinflamasi IL-1α, NLRP3 IL-8, IL-12, TNF-α Aktivasi komplemen
Aktivasi enzim Komedogenesis cascapase-1
Komedo ruptur
Prekursor IL-1β Fungsional IL-1β
Inflamasi
Produksi α-toxin dan Staphylococcus aureus SEB
Hiperproliferasi keratinosit folikuler Berikatan dengan TLR-2 Peningkatan produksi sebum Memicu produksi sitokin proinflamasi IL-1β, IL-8, IL-12
Produksi lipase dan Staphylococcus delta-haemolysin epidermidis
Keterangan Gambar AKNE VULGARIS : Induksi / perangsangan
Gambar 2.1 Diagram kerangka teori 24
2.4 Kerangka Konsep
Akne vulgaris Bakteri Teridentifikasi
Gambar 2.2 Diagram kerangka konsep
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif observasional dengan
pendekatan potong lintang (cross sectional).
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2019 hingga Desember 2019.
3.2.2 Tempat penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik Departemen Dermatologi
dan Venereologi Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Pemeriksaan
sampel penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu bagian
Mikrobiologi Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi target
Populasi target dalam penelitian ini adalah subjek dengan akne vulgaris.
3.3.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah subjek dengan akne
vulgaris di Departemen Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara.
25
26
3.3.3 Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
3.3.4 Besar sampel
Besar sampel untuk penelitian deskriptif dihitung dengan rumus: 51
Z P(1- P) 2 n ³ (1-a / 2) 22 d dimana :
Z (1-a / 2) = deviat baku alpha. utk a = 0,05 maka nilai baku normalnya
1,96
P = proporsi akne vulgaris, sebesar = 0,011 (1,10 %) 10
= presisi, sebesar = 0,025 (2,5%) d Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 33 orang.
Pada penelitian ini diambil sampel dari 40 orang subjek dengan akne
vulgaris. Dari 40 subjek, didapatkan 40 sampel dari lesi non-inflamasi
(komedo tertutup) dan 40 sampel dari lesi inflamasi (pustul), dengan
total keseluruhan 80 sampel.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi
1. Subjek yang telah didiagnosis sebagai akne vulgaris secara
anamnesis dan pemeriksaan klinis yang memiliki lesi non-
inflamasi (komedo tertutup) dan lesi inflamasi (pustul)
2. Berusia ³ 17 tahun 27
3. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani surat
persetujuan (informed consent)
3.4.2 Kriteria eksklusi
1. Hamil atau menyusui
2. Subjek yang mendapatkan antibiotika sistemik dalam 2 minggu
terakhir dan antibiotika topikal dalam 1 minggu terakhir
3.5 Cara Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini akan digunakan pengambilan sampel dengan teknik
consecutive sampling.
3.6 Identifikasi Variabel
3.6.1 Variabel bebas : bakteri yang teridentifikasi
3.6.2 Variabel terikat : akne vulgaris
3.7 Definisi Operasional
3.7.1 Akne vulgaris
Definisi : Kelainan unit pilosebasea. Lesi klinisnya berupa lesi
non-inflamasi seperti komedo terbuka dan komedo
tertutup, serta lesi inflamasi seperti papul, pustul dan
nodul dengan beragam derajat inflamasi dan kedalaman.
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan melalui anamnesis
dan gambaran klinis oleh peneliti bersama dengan
pembimbing di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi
Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Lesi yang 28
diperiksa pada penelitian ini adalah lesi non-inflamasi
(komedo tertutup) dan lesi inflamasi (pustul).
Cara ukur : Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Skala ukur : Nominal
3.7.2 Usia
Definisi : usia subjek pada saat mengikuti penelitian, yang
dinyatakan dalam tahun.
Alat ukur : Anamnesis dan pengisian status penelitian
Cara ukur : Observasi
Hasil ukur : 0 = 17 – 25 tahun
1 = 26 – 35 tahun
Skala ukur : Ordinal
3.7.3 Jenis kelamin
Definisi : Status gender subjek penelitian
Alat ukur : Pengisian status penelitian
Cara ukur : Observasi
Hasil ukur : 0 = Laki – laki
1 = Perempuan
Skala ukur : Nominal
3.7.4 Bakteri
Definisi : Organisme uniseluler yang relatif sederhana, tidak
diselimuti oleh selaput membran inti, dan memiliki sel 29
yang disebut dengan sel prokariot. Bakteri yang
diidentifikasi pada studi ini adalah bakteri yang terdapat
pada lesi akne vulgaris.
Alat ukur : Alat Vitek® 2
Cara ukur : Identifikasi dilakukan dengan cara melakukan kultur
bakteri secara anaerob dan aerob pada media
pertumbuhan dengan bahan yang diambil dari lesi non-
inflamasi (komedo tertutup) dan lesi inflamasi (pustul).
Kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian
menggunakan alat Vitek® 2
Hasil ukur : Bakteri anaerob dan aerob yang teridentifikasi.
Skala ukur : Nominal
3.8 Alat, Bahan, dan Cara Kerja
3.8.1 Alat
Alat yang digunakan adalah sarung tangan disposable, satu buah
ekstraktor komedo, spuit disposable 1 cc, media kultur agar darah,
media kultur Brucella agar, kamera digital Sony dan alat Vitek® 2 untuk
mengidentifikasi bakteri.
3.8.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah kapas alkohol, satu unit Anaerob card
Vitek® 2 dan satu unit Identification Card Vitek® 2.
30
3.8.3 Cara kerja
3.8.3.1 Pencatatan data dasar
Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti meliputi identitas
subjek, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
dermatologis. Diagnosis klinis akne vulgaris ditegakkan oleh
peneliti bersama dengan pembimbing di Poliklinik Dermatologi
dan Venereologi Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.
3.8.3.2 Pengambilan bahan penelitian
Subjek dalam posisi berbaring. Pemeriksa berada di sebelah
atas subjek dan melakukan pemeriksaan pada ruangan yang
terang. Sampel penelitian diambil dari 2 lesi yang ada pada
wajah subjek, yaitu 1 sampel dari lesi non-inflamasi (komedo
tertutup) dan 1 sampel dari lesi inflamasi (pustul) pada wajah
dipilih secara acak. Setiap 1 sampel akan dibagi dan
ditumbuhkan masing – masing secara anaerob dan aerob.
Pengambilannya dilakukan dengan cara membersihkan
permukaan lesi dan kulit di sekitarnya menggunakan kapas
yang dibasahi alkohol 70%, kemudian dibiarkan sampai kering.
Kemudian komedo tertutup dan pustul kemudian ditusuk
dengan menggunakan jarum steril berukuran 26 G. Isi komedo
tertutup dan pustul dikeluarkan dengan cara menekan lesi
menggunakan ekstraktor komedo steril. Lalu isi komedo dan
pus yang keluar diusap dengan menggunakan lidi kapas steril,
dilakukan pewarnaan Gram, kemudian dimasukkan ke dalam
media pertumbuhan untuk kemudian dilakukan kultur bakteri 31
dalam media agar darah dan Brucella agar, lalu ditumbuhkan
dalam keadaan aerob dan anaerob pada suhu 37°C. Selanjutnya
suspensi bakteri dimasukkan ke dalam mesin Vitek® 2 yang
mengandung berbagai uji biokimia untuk identifikasi bakteri
dan diperiksa menggunakan Anaerob card Vitek® 2 dan
Identification card Vitek® 2.
3.8.3.3 Langkah penelitian
a. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti.
b. Penegakan diagnosis akne vulgaris.
c. Pengambilan bahan penelitian dilakukan dari 2 lokasi, yaitu
dari lesi non-inflamasi (komedo tertutup) dan lesi inflamasi
(pustul).
d. Dilakukan pewarnaan Gram pada setiap sampel.
e. Dilakukan kultur bakteri secara anaerob dan aerob pada
setiap sampel, dilakukan pada media pertumbuhan media
agar darah dan Brucella agar.
f. Suspensi bakteri dimasukkan ke dalam mesin Vitek® 2 yang
mengandung berbagai uji biokimia untuk identifikasi
bakteri.
32
Gambar 3.1 Instrumen Vitek® 2
Dikutip dari kepustakaan 52.
Gambar 3.2 Kartu identifikasi Vitek® 2
Dikutip dari kepustakaan 52.
33
3.9 Kerangka Operasional
Pasien yang datang ke Poliklinik Dermatologi dan Venereologi RS USU
Pencatatan data dasar meliputi identitas pribadi & anamnesis
Penegakan diagnosis klinis akne vulgaris oleh peneliti bersama dengan pembimbing
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pengambilan sampel penelitian dari lesi non-inflamasi (komedo tertutup) dan lesi inflamasi (pustul) daerah wajah
Sampel penelitian dilakukan pewarnaan Gram
Sampel dilakukan kultur anaerob dan aerob pada media pertumbuhan bakteri
Pengidentifikasian bakteri dengan menggunakan alat Vitek® 2
Tabulasi statistika
Gambar 3.3 Diagram kerangka operasional
3.10 Analisis Data
Data hasil penelitian dikumpulkan dan ditabulasi. Data mengenai demografi dan
dibuat dalam bentuk tabel numerik dan kategorik. Data hasil identifikasi bakteri
dibuat dalam bentuk persentase dalam tabel. 34
3.11 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapakan ethical clearance dengan surat nomor
807/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2019 tertanggal 8 Oktober 2019 dari
Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP
H. Adam Malik Medan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN