Judul Buku : Laporan Ilmiah Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019

Penulis : TIM SURILI 2019

Editor : Ir Memen Suparman, MM Staff Balai Taman Nasional Matalawa Dr Ir Nyoto Santoso, MS Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop Dede Aulia Rahman, SHut MSi PhD Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi Ir Siswoyo, MSi Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS

Korektor:

Penata Isi: Henning Ilmi Wijayanti Teguh Purnomo Dewa Made Juli Santika Dhea Fauziyah Muttaqien

Desain Sampul: Humaira Nurulakmal

Sumber Illustrasi/Sampul: Fotografi Konservasi Tim Surili 2019

Jumlah Halaman: 161 + 7 halaman romawi

Edisi/Cetakan: Cetakan Pertama, Januari 2020

Naskah dan Dokumentasi: Tim SURILI 2019, HIMAKOVA

i

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT, karena sudah memberikan nikmat serta hidayahNya sehingga laporan ilmiah kegiatan Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 dapat berjalan dengan baik dan lancar. Ekspedisi SURILI 2019 dilaksanakan pada tanggal 28 Juli – 10 Agustus 2019 yang bertempat di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa), Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasi pengambilan data dibagi menjadi dua yaitu Blok Wanggameti dan Blok Mahaniwa. Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan merupakan program dari Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova), Fakultas Kehutanan, IPB University. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan data terbaru dan termutakhir mengenai keanekaragaman flora, fauna, kawasan karst, potensi wisata, dan sosial budaya masyarakat di kawasan konservasi di Indonesia. Kegiatan ini telah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai kegiatan mahasiswa terbanyak dan berkelanjutan. Kegiatan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu kelancaran SURILI 2019, baik dalam bentuk finansial maupun bentuk dukungan lain. Harapan kami semoga laporan ilmiah hasil ekspedisi SURILI 2019 ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi Taman Nasional sebagai bahan acuan pengelolaan kawasan.

Bogor, Oktober 2019

ii

Ir Memen Suparman, MM Kepala Balai Taman Nasional Matalawa

Salam Hangat dari Tanah Marapu Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur mari panjatkan ke khadirat ALLAH Subhanahuwata’ala atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) yang dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2019 – 10 Agustus 2019 oleh Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (HIMAKOVA IPB) telah diselenggarakan dengan baik dan lancar. Kawasan TN Matalawa merupakan satu-satunya kawasan konservasi yang ada di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Potensi tersebut diantaranya yaitu flora/tumbuhan tercatat 375 jenis, 70 jenis tumbuhan paku, 90 jenis tumbuhan berhasiat obat, 16 jenis anggrek; avifauna/burung tercatat 159 jenis (110 jenis sudah terdokumentasikan); mamalia tercatat 28 jenis; reptil tercatat 30 jenis, amphibi tercatat 6 jenis; capung tercatat 41 jenis; dan kupu-kupu tercatat 94 jenis. Disamping itu juga terdapat potensi keunikan alam yang dapat dikembangkan menjadi jasa lingkungan dan wisata alam seperti air terjun, pantai, gua dan perbukitan (landscape). Namun demikian, dari potensi yang sudah ada tersebut masih banyak yang belum tergali secara optimal sehingga pihak pengelola TN Matalawa secara proaktif melakukan riset lingkup pengelola atau bekerjasama dengan akademisi dan para peneliti termasuk diantaranya dari HIMAKOVA IPB yang diharapkan dapat menambah data/informasi tentang keanekaragaman hayati di kawasan TN Matalawa. Tema yang diusung dari kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) adalah “Menapaki Pesona Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, Kawasan Karst, dan Sosial Budaya Masyarakat di Tanah Sumba Timur” sehingga sangat sesuai dan diperlukan dalam mendukung pengelolaan TN Matalawa serta sejalan dengan Visi dan Misi Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti dalam upaya melakukan penggalian potensi Sumberdaya Alam dan Ekosistem kawasan TN Matalawa. Kami mengucapkan terimakasih kepada Institusi dari Institut Pertanian Bogor melalui Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan IPB dan pihak lain atas kerjasama dan keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) berjalan dengan lancar.

Waingapu, Oktober 2019 Kepala Balai Taman Nasional Matalawa

Ir Memen Suparman, MM

iii

Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop Pembina Umum Himakova

Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadlirat Allah SWT, yang telah memberikan segala nikmatnya sehingga Tim Ekspedisi SURILI HIMAKOVA dapat menyelesaikan laporannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kegiatan Ekspedisi SURILI HIMAKOVA merupakan kegiatan tahunan HIMAKOVA melatih keprofesionalan mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) ekstrakurikuler, yang dilakukan di berbagai kawasan konservasi di Indonesia, khususnya di kawasan taman nasional yang ada di luar Pulau Jawa. Kegiatan SURILI ini meliputi studi tentang keanekaragaman hayati khususnya satwa liar, tumbuhan, potensi wisata alam, kawasan karst, dan sosial budaya masyarakat. Ekspedisi SURILI tahun ini dilaksanakan di Taman Nasional Matalawa, Nusa Tenggara Timur pada 28 Juli – 10 Agustus 2019. Taman Nasional Matalawa ini merupakan gabungan antara Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Taman Nasional Leiwangi Wanggameti. Kegiatan ekspedisi yang telah dilakukan mengumpulkan banyak data tentang keanekaragaman hayati, potensi wisata alam, dan soaial budaya yang ada di dalam kawasan TN Matalawa, khususnya di blok Laiwangi Wanggameti. Ekspedisi SURILI di TN Matalawa tahun 2019 ini merupakan ekspedisi yang kedua kalinya, untuk melengkapi Ekspedisi SURILI sebelumnya pada tahun 2009 di blok Manupeu Tanah Daru. Sebagai pembina HIMAKOVA, kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi pengelola TN Matalawa Nusa Tenggara Timur, serta khususnya bagi mahasiswa anggota HIMAKOVA sebagai karya ilmiah yang melengkapi dan memperkaya khasanah kekayaan keanekaragaman hayati dan potensi wisata serta kearifan tradisional masyarakat yang ada di dalamnya untuk Indonesia yang lebih maju. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kegiatan Ekspedisi SURILI 2019, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan. Semoga Allah SWT meridhoi kegiatan ini dan menjadi amal ibadah untuk kita semua.

Bogor, Oktober 2019 Pembina Umum HIMAKOVA

Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop

iv

UCAPAN TERIMAKASIH

Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa) tidak lepas dari bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, baik ketika persiapan kegiatan ekspedisi, ketika kegiatan ekspedisi maupun dalam penyusunan laporan ilmiah. Bantuan yang diberikan tidak hanya berbentuk finansial, melainkan doa dan dukungan. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScFTrop, selaku Dekan Fakultas Kehutanan, Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan izin dan dukungan kepada Tim dalam kegiatan SURILI 2019 Taman Nasional Matalawa. 2. Ir Memen Suparman, MM selaku Kepala Balai Taman Nasional Matalawa, dan seluruh staff Balai Taman Nasional Matalawa yang telah memberikan dukungan dan bantuan serta kekeluargaan yang hangat selama kegiatan berlangsung. Kepala SPTN III Vivery Okthalamo S.Hut, Kepala Resort Wanggameti Bapak Okto yang selalu mendampingi kegiatan bersama tim. 3. Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop selaku pembina HIMAKOVA dan segenap Pembina Kelompok Pemerhati (KP) yang banyak meluangkan waktu untuk membantu baik persiapan kegiatan maupun penyusunan laporan: Dede Aulia Rahman, SHut MSi PhD (Pembina KP Mamalia), Dr Ir Jarwadi B. Hernowo, MSc (Pembina KP Burung), Dr Ir Mirza D. Kusrini, MSc (Pembina KP Herpetofauna), Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi (Pembina KP Kupu-kupu), Ir Siswoyo, MSi (Wakil Pembina Himakova dan Pembina KP Flora), Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc (Pembina KP Gua) dan Prof Dr E.K.S Harini Muntasib, MS (Pembina KP Ekowisata), Ir Dones Rinaldi, MScF (Pembina Fotografi Konservasi. 4. Dosen-dosen DKSHE atas bantuan yang telah diberikan kepada Tim SURILI 2019. 5. Pendamping lapang yang juga sebagai masyarakat lokal (Umbu Nawan, Umbu Leti, Umbu Deki, Bapak John, Bapak Della, Ambu Dominikus). 6. KLHK dan BKSDA Nusa Tenggara Timur yang telah memberikan izin pelaksanaan kegiatan ini. 7. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah membantu dalam mengidentifikasi spesimen dan herbarium. 8. Terimakasih kepada rekan media yang telah membantu dalam publikasi kegiatan ini, baik peliputan secara langsung maupun tidak langsung.

v

9. Yoga Rudianto, SHut (KSHE 51) selaku pengisi kuliah pembekalan persiapan kegiatan. 10. Seluruh anggota Tim SURILI 2019 Taman Nasional Matalawa atas kekompakan dan kerjasama selama persiapan, kegiatan ekspedisi dan penyusunan laporan. 11. Segenap pengurus HIMAKOVA periode 2018 – 2019 atas dukungan selama kegiatan SURILI 2019. 12. Segenap senior dan alumni Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB yang telah memberikan arahan, doa dan dukungannya kepada Tim SURILI 2019. 13. Terimakasih kepada senior dan alumni Fakultas Kehutanan IPB di NTT terutama di Taman Nasional Matalawa yang turut membantu dalam persiapan, finansial, dukungan, dan pendampingan selama kegiatan berlangsung. 14. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya sehingga SURILI 2019 Taman Nasional Matalawa dapat berjalan dengan baik dan lancar yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Bogor, Oktober 2019

Tim SURILI 2019

vi

DAFTAR ISI

PRAKATA ii UCAPAN TERIMAKASIH vi DAFTAR ISI vii PENDAHULUAN 1 TUJUAN 2 MANFAAT 2 LOKASI DAN WAKTU 3 KONDISI UMUM KAWASAN 4 MAMALIA 6 BURUNG 30 HERPETOFAUNA 48 KUPU-KUPU 69 FLORA 80 GUA 110 EKOWISATA DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT 127

vii

PENDAHULUAN Latar Belakang Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) merupakan kegiatan tahunan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berbentuk kegiatan eksplorasi keanekaragaman hayati, inventarisasi potensi ekowisata, kajian sosial budaya masyarakat lokal dan pemetaan kawasan karst di kawasan konservasi. Kegiatan SURILI memfasilitasi mahasiswa dalam menerapkan ilmu yang didapatkan di perkuliahan maupun pendalaman melalui kelompok pemerhati (KP). Selain itu, kegiatan ini juga menjadi sarana untuk menjalin hubungan dengan pengelola kawasan konservasi sebagai wujud tridharma perguruan tinggi. Kegiatan SURILI telah terlaksana sebanyak 16 kali pada beberapa kawasan konservasi di Indonesia. Pada tahun 2019, SURILI dilaksanakan pada tanggal 28 Juli – 10 Agustus 2019 di Taman Nasional Matalawa, Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya di blok Wanggameti. Taman Nasional Matalawa merupakan gabungan dari dua Taman Nasional yaitu Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dengan luas 50 122 Ha dan Taman Nasional Leiwangi Wanggameti dengan luas 41 771.18 Ha, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.7/Menlhk/Setjen/0TL.0/1/2016. Taman Nasional Matalawa terbagi menjadi dua wilayah terpisah yakni wilayah Manupeu Tanah Daru dengan ketinggian 0 – 918 mdpl dan wilayah Leiwangi Wanggameti dengan ketinggian 50 – 1 225 mdpl. Secara administratif, Taman Nasional Matalawa terletak di Pulau Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Taman Nasional Matalawa memiliki tipe ekosistem yang beragam yang mewakili tipe-tipe ekosistem utama Pulau Sumba. Tipe-tipe ekosistem kawasan Taman Nasional Matalawa tersebut dicirikan oleh perbedaan kondisi vegetasi penyusunnya, yaitu ekosistem hutan hujan, ekosistem padang sabana (savana), dan ekosistem hutan musim. Taman Nasional Matalawa memiliki beragam keanekaragaman flora dan fauna. Blok Laiwangi Wanggameti merupakan perwakilan semua tipe hutan di pulau Sumba. Tercatat sebanyak 215 jenis burung, 22 jenis mamalia, 72 jenis kupu-kupu, 7 jenis amphibi, dan 4 jenis reptil. Burung yang terdapat di TN Matalawa, sembilan diantaranya merupakan spesies endemik Sumba dari 215 jenis burung. Taman Nasional Matalawa memiliki peran penting dalam tata air di Pulau Sumba. Secara geomorfologi Pulau Sumba didominasi oleh bentuk lahan berupa kawasan karst, tidak terkecuali di Taman Nasional Matalawa. Hampir separuh dari luasan kawasan terbentang dari wilayah timur hingga ke barat adalah wilayah karst. Taman Nasional Matalawa menjadi pusat konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Pulau Sumba serta pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat,

1

sehingga perlu memiliki data dan informasi terbaru yang komprehensif mengenai sumberdaya alam sebagai rujukan atau acuan dalam pengelolaan yang bijaksana serta melindungi nilai kawasan, termasuk aspek sosial dan ekologis. Oleh karena itu, perlu diadakan kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 yang mengangkat kajian ekspedisi dengan tema “Menapaki Pesona Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, Kawasan Karst, dan Sosial Budaya Masyarakat di Tanah Sumba Timur”.

TUJUAN Tujuan Umum Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi terbaru tentang keanekaragaman hayati, potensi ekowisata, kawasan karst, dan sosial budaya masyarakat di Taman Nasional Matalawa.

Tujuan khusus Menghitung keanekaragaman, kelimpahan, dan pemetaan sebaran jenis fauna (mamalia, burung, herpetofauna, dan kupu-kupu) serta peranannya dalam ekosistem, mengidentifikasi dan menghitung struktur dan komposisi vegetasi, penilaian ekowisata sesuai dengan budaya masyarakat lokal, menginventarisasi potensi kawasan karst, serta mempelajari bentuk-bentuk interaksi, kearifan lokal, dan kekhasan budaya masyarakat lokal di Taman Nasional Matalawa.

MANFAAT Manfaat untuk Kawasan Konservasi 1. Dokumentasi kekayaan kawasan dalam bentuk laporan ilmiah, laporan semi populer, dan video dokumenter. 2. Menggali potensi keanekaragaman flora, fauna, kawasan karst, gua, ekowisata, dan sosial budaya masyarakat lokal. 3. Pembaharuan data dan informasi keanekaragaman hayati dan sosial budaya masyarakat yang dapat menjadi bahan pertimbangan pengelolaan kawasan maupun pengambilan keputusan.

Manfaat untuk Mahasiswa 1. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam kegiatan eksplorasi, analisis, dan kerja sama tim. 2. Melatih kemampuan mahasiswa dalam berorganisasi dan bernegosiasi dengan baik.

2

3. Melatih kepekaan mahasiswa terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar. 4. Melatih mahasiswa dalam pembuatan laporan ilmiah.

LOKASI DAN WAKTU

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 28 Juli – 10 Agustus 2019 di Taman Nasional Matalawa yang terletak di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tim Surili dibagi menjadi 2 lokasi di Resort Wanggameti. Kajian mamalia, burung, herpetofauna, gua dan fotografi konservasi berada di Resort Mahaniwa. Kelompok kajian kupu-kupu, flora ekowisata, dan sosial budaya berada di Resort Wanggameti (Gambar 1).

Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data Resort Wanggameti

3

KONDISI UMUM KAWASAN Kondisi Fisik Taman Nasional Matalawa secara geografis kawasan hutan Manupeu Tanah Daru berada pada 9°53’32,013’’ – 9°29’43,809’’LS, 119°26’5,64’’ – 119°53’21,172’’BT, sedangkan Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti berada pada 120˚03’ – 120˚19΄ BT dan 9˚57΄ – 10 ˚11΄ LS. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan TN Matalawa termasuk tipe iklim C sampai dengan F. Curah hujan rata-rata tahunan hutan Manupeu Tanah Daru berkisar antara 500 – 2 000 mm. Rata-rata curah hujan pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm. Untuk kawasan hutan Laiwangi Wanggameti keadaan curah hujan berkisar antara 100 – 1 500 mm. Berdasarkan Peta Geologi Bersistem Nusa Tenggara Skala 1 : 250.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (1993) formasi geologi pulau Sumba dapat diuraikan sebagai berikut: a) Endapan permukaan (Aluvium) tersusun dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan bongkah. b) Batuan sedimen tediri dari Formasi Praikajelu, Formasi Watopata, Formasi Tanahroong, c) Formasi Paumbapa, Formasi Pamalar, Formasi tandaro, Formasi Waikabubak, Formasi Kananggar dan Formasi Kaliangga yang tersusun antara lain dari batu gamping, batu pasir, batu lempung, batu lanau, napal, tufan, konglomerat. d) Batuan gunung api terdiri dari formasi masu dan formasi jawila yang tersusun dari lava, breksi gunung api tuf dan andesit. e) Batuan terobosan yang tersusun dari sienit, diorit, granodiorit, dan granit. Letak kawasan Taman Nasional Matalawa menurut secara administratif kawasan hutan Manupeu Tanah Daru berada pada tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Timur. Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Sumba Timur pada empat wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Tabundung, Pinu Pahar, Karera, dan Matawai Lapau.

Dasar Hukum Penunjukan Kawasan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-II/1998 Tanggal 3 Agustus 1998 Tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Cagar Alam, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Seluas ± 134.998,09 (Seratus Tiga Puluh Empat Ribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Delapan, Sembilan Perseratus) Hektar Menjadi Kawasan Taman Nasional Manupeu – Tanah Daru Seluas ± 87.984,09 (Delapan Puluh Tujuh Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Empat, Sembilan Perseratus) Hektar dan Kawasan Taman Nasional Laiwangi – Wanggameti Seluas ± 47 014.00 (Empat Puluh Tujuh Ribu Empat Belas) Hektar, Yang Terletak Di Kabupaten Daerah Tingkat II Sumba Barat dan Kabupaten Daerah Tingkat II Sumba Timur, Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur.

4

Keanekaragaman Hayati Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) terletak di gugusan kepulauan Wallacea (Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara) merupakan wilayah yang sangat eksotis dan memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang sangat khas dan tidak dapat dijumpai di wilayah lainnya. Berdasarkan hasil pengumpulan data, terdapat 375 jenis tumbuhan, 70 jenis tumbuhan paku-pakuan, 90 jenis tumbuhan berkhasiat obat. Fauna yang terdapat di kawasan TN Matalawa antara lain 158 Jenis burung, 94 jenis kupu-kupu, 41 jenis capung, 28 jenis mammalia, 6 jenis amfibi dan dan 30 jenis reptil. Objek Daya Tarik Wisata (ODTWA) yang telah terinventarisasi dan teridentifikasi berjumlah 18 ODTWA yang tersebar di beberapa titik lokasi. Beberapa ODTWA unggulan TN Matalawa diantaranya Air Terjun Lapopu – Sumba Barat, Air Terjun Matayangu – Sumba Barat, Air Terjun Laputi – Sumba Timur, Pantai Mondulambi – Sumba Timur, dan Puncak Wanggameti – Sumba Timur (Balai Taman Nasional 2018).

5

6

PENDAHULUAN Latar Belakang Mamalia merupakan kelompok vertebrata dengan volume otak yang besar, relatif mampu menghadapi berbagai ancaman di alam, sehingga hampir tersebar di seluruh belahan dunia. Van Hoeve (1992) juga menyatakan bahwa mamalia merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan. Ciri khusus dari mamalia yaitu memiliki kelenjar susu, bernafas dengan paru-paru, berambut dan melahirkan. Berdasarkan stratifikasi ekologinya, mamalia terdiri atas 3 kelompok, yaitu mamalia teresterial (hidup di permukaan tanah), arboreal (hidup di atas tajuk pohon) dan akuatik (hidup di wilayah perairan) (Meijaard 2006). Mamalia hidup di berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah ekuator. Beberapa jenis mamalia kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya kebanyakan ditemukan di daerah pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan tinggi. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena setiap individu menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002). Indonesia salah satu negara yang memiliki sebaran mamalia yang tinggi. Kekayaan jenis mamalia di Indonesia mencapai 515 jenis dan 36% diantaranya merupakan satwa endemik (Mustari et al. 2010). Taman Nasional Matalawa merupakan wilayah yang berada dalam gugusan kepulauan Wallacea sehingga memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang khas. Data terbaru sampai tahun 2005, menunjukkan jumlah jenis mamalia Sumba sampai saat ini ada 32 jenis, yang terbagi ke dalam 6 bangsa (LIPI 2016). Sumba mempunyai banyak kesamaan hewan mamalia dengan di bagian barat Indonesia. Jenis-jenis mamalia di Sumba memiliki peran dan potensi yang sangat penting. Selain memiliki peran alamiah dan fungsi ekologis yang penting bagi ekosistem sebagai penyerbuk, penyebar biji, predator, dan sebagainya, keberadaan mamalia di TN Matalawa menjadi salah satu daya tarik dari potensi biologis yang ada baik untuk pemanfaatan protein hewani maupun mendukung ekowisata di TN Matalawa khususnya Resort Manggaweti. Berdasarkan data yang disajikan dapat menjadi pertimbangan bagi pengelolaan fauna khususnya mamalia di TN Matalawa di masa yang akan datang.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis mamalia di Taman Nasional Matalawa khususnya di Resort Manggaweti.

7

METODE Waktu dan Tempat Pengambilan data dilaksanakan di Blok Mahaniwa, Resort Wanggameti, Taman Nasional Matalawa, Nusa Tenggara Timur (Gambar 2). Pengamatan dilakukan pada dua tipe ekosistem, yaitu ekosistem hutan primer dan ekosistem hutan sekunder. Pengamatan dilaksanakan pada 1 – 7 Agustus 2019.

Gambar 2 Peta Pengamatan Kajian Mamalia SURILI 2019

Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku panduan identifikasi mamalia, trap Rodentia, kompas, GPS, thermometer dry wet, mistnet kelelawar, jam tangan, senter/head lamp, pita ukur, meteran jahit, sarung tangan, pinset, jarum suntik, gelas spesimen, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alkohol 96%, tali rafia, kapas, pisang, selai kacang, dan terasi.

Metode Pengumpulan Data A. Pengamatan Langsung 1. Metode Transek Jalur (Line Transect) Metode pengamatan menggunakan metode transek jalur dilakukan melalui pengamatan sepanjang jalur yang telah ditentukan sebelumnya, kemudian mencatat seluruh jenis mamalia yang ditemukan secara langsung. Informasi yang dicatat meliputi nama jenis, jumlah individu, waktu perjumpaan, jarak tegak lurus satwa

8

terhadap jalur, dan keterangan lainnya. Jarak antara pengamat dan satwa dapat disimbolkan dengan r dan jarak tegak lurus antara satwa dengan jalur disimbolkan dengan x. Jarak tegak lurus x didapatkan menggunakan trigonometri dengan sudut antara r dan jalur (sudut pandang) diketahui θ (Navarro dan Díaz-Gamboa 2014). Terdapat satu jalur pengamatan di masing-masing tipe ekosistem. Lebar jalur pengamatan disesuaikan dengan kemampuan jarak pandang pengamat yang dipengaruhi oleh kondisi topografi dan kerapatan tegakan pada lokasi pengamatan (Gambar 3). Pengamatan dilakukan pada masing-masing jalur sebanyak 2 hari dengan tiga pengulangan di setiap harinya, yaitu pagi hari (05.30 – 09.00 WITA), sore hari (15.00 – 18.00 WITA), dan malam hari (19.00 – 21.00 WITA).

Y r

Z x θ

L

Gambar 3 Metode transek jalur Keterangan: L: panjang jalur, Z: posisi pengamat, Y: posisi satwa; r: jarak pengamat terhadap satwa; x: jarak tegak lurus satwa terhadap jalur pengamatan, θ: sudut perjumpaan satwa

1. Metode Perangkap Hidup (Live Trapping) Metode perangkap hidup digunakan untuk menginventarisasi jenis mamalia kecil. Perangkap dipasang di bekas ladang kopi di dekat camp di Patamuwai. Perangkap hidup yang dipasang selama penelitian bertujuan untuk menginventarisasi Rodentia dan musang. Umpan yang digunakan untuk perangkap hidup Rodentia berupa selai kacang dan terasi, sedangkan umpan untuk perangkap hidup musang berupa pisang kepok. Jumlah perangkap hidup Rodentia yang digunakan sebanyak tiga buah, sedangkan perangkap hidup musang berjumlah 1 buah.

2. Metode Jaring kabut (Mistnetting) Metode jaring kabut/mistnetting digunakan untuk menginventarisasi keanekaragaman jenis kelelawar atau bangsa Chiroptera. Jaring kabut dipasang di dua lokasi, yaitu di mulut Gua Humurbakul dan di sekitar camp di Patamuwai. Jaring kabut dipasang 0.5 – 3 m merentang di atas permukaan tanah dan dikaitkan pada pohon di kedua sisinya (Gambar 4). Jaring kabut yang digunakan berukuran 3 x 6 meter. Pemasangan dilakukan selama 2 x 24 jam. Setiap kelelawar yang terjebak jaring kabut dibawa ke camp menggunakan clothbag untuk diidentifikasi dengan membandingkan ciri-ciri tubuhnya menggunakan buku panduan lapangan Kelelawar di Indonesia.

9

Gambar 4 Ilustrasi pemasangan jaring kabut (Prasetyo et al. 2011)

3. Metode Pengamatan Cepat (Rapid Assessment) Metode pengamatan cepat merupakan metode untuk menginventarisasi jenis- jenis mamalia di suatu kawasan tanpa menduga populasinya. Metode ini dilakukan pengamat di wilayah-wilayah di luar jalur pengamatan yang berpotensi sebagai habitat dari mamalia baik secara perjumpaan langsung maupun tidak langsung. Lokasi metode pengamatan cepat adalah Maradda Pangadu Jawa, Maradda Kalimbung, Maradda Lei Muji, Omang Barakamundu, Omang Welatuna, dan Jarik.

A. Pengamatan Tidak Langsung Metode pengamatan tidak langsung dilakukan untuk menginventarisasi jenis mamalia tanpa melihat mamalia tersebut secara langsung. Metode ini digunakan dengan mengidentifikasi feses, suara, jejak kaki, tempat tidur, tulang belulang dan jejak keberadaan satwa lainnya yang ditemukan sepanjang jalur pengamatan.

Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggambarkan kondisi mamalia serta lokasi perjumpaan sesuai dengan yang teramati di lapangan. Data yang dikumpulkan berupa jenis mamalia yang ditemukan dan marking GPS lokasi perjumpaan. Analisis deskriptif menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak dapat digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Habitat Habitat merupakan kondisi dan sumber daya di suatu wilayah yang secara spesifik dibutuhkan oleh organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Habitat menghubungkan keberadaan suatu jenis satwaliar, baik pada tingkat individu maupun populasi, dengan komponen biologis (biotik) dan fisik (abiotik) di wilayah

10

tertentu (Hall et al. 1997). Informasi mengenai kondisi umum habitat lokasi penelitian mamalia yang dilakukan di hutan primer dan hutan sekunder Blok Mahaniwa Resort Wanggameti TN Matalawa diperoleh dengan melakukan studi literatur dan pengamatan langsung. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa iklim di kawasan TN Matalawa menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson berada pada tipe iklim C (agak basah) sampai dengan F (kering). Curah hujan rata-rata tahunan di kawasan hutan Laiwangi Wanggameti berkisar antara 100 – 1 500 mm (BTN Matalawa 2018). Menurut curah hujan tersebut, hutan di kawasan TN Matalawa termasuk ke dalam tipe ekosistem hutan musim selalu hijau (dry evergreen forest) (Murphy dan Logo 1986). Sementara itu, menurut ketinggian tempat, hutan di kawasan TN Matalawa memiliki ekosistem tipe hutan hujan tropis Zona 1 atau hutan hujan bawah (Collins et al. 1991; Kartawinata 2013). Pengamatan langsung dilakukan dengan pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan termometer dry-wet, mencatat ketinggian tempat menggunakan GPS, dan deskripsi kondisi topografi dan kerapatan vegetasi. Kondisi umum habitat lokasi penelitian adalah sebagai berikut: a. Hutan Primer

Gambar 5 Hutan primer bernama Omang Padadalu yang penuh batuan karang

Kawasan hutan primer yang menjadi lokasi penelitian bernama Omang Padadalu (omang = hutan) yang berada di sebuah bukit yang berjarak sekitar 870 m dari camp di Patamuwai dan berjarak sekitar 2.5 km dari Desa Umandundu (Gambar 5). Suhu rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 21 – 24 ˚C dengan kelembaban rata-rata 56.6%. Satu jalur pengamatan yang digunakan memotong kontur bukit dengan ketinggian antara 892 – 956 mdpl. Panjang jalur pengamatan adalah 645 m. Kondisi topografi tergolong datar-hampir datar hingga curam. Kerapatan vegetasi

11

tergolong sedang hingga rapat. Permukaan tanah di beberapa wilayah di lokasi pengamatan ditutupi oleh batu karang berukuran kecil hingga besar. b. Hutan Sekunder Kawasan hutan sekunder yang menjadi lokasi penelitian bernama Omang Humurbakul yang berjarak sekitar 450 m dari camp di Patamuwai dan berjarak 1.5 km dari Desa Umandundu (Gambar 6). Suhu rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 20 – 24 ˚C dengan kelembaban rata-rata 55.8%. Satu jalur pengamatan yang digunakan mengikuti jalur warga lokal dengan ketinggian antara 833 – 941 mdpl. Panjang jalur pengamatan adalah 716 m. Kondisi topografi tergolong datar-hampir datar. Kerapatan vegetasi tergolong sedang. Terdapat wilayah di lokasi pengamatan yang ditanami oleh tanaman kopi.

Gambar 6 Hutan sekunder bernama Omang Humurbakul

Secara umum jalur pengamatan di Omang Padadalu cenderung lebih sulit dibandingkan dengan jalur pengamatan di Omang Humurbakul sebab beberapa wilayah di Omang Padadalu ditutupi oleh batu karang. Sumber air tidak ditemukan di sepanjang jalur pengamatan namun ditemukan saat eksplorasi di bagian tenggara bukit Omang Padadalu yang tidak masuk ke dalam jalur pengamatan, Omang Welatuna, dan sebelah utara camp di Patamuwai.

Komposisi Jenis Tujuh jenis mamalia ditemukan secara langsung dan tidak langsung di kedua jenis ekosistem serta omang dan maradda (padang savana) lokasi eksplorasi. Penemuan secara tidak langsung yaitu melalui feses, suara, jejak kaki, tempat tidur, bekas pakan, dan bekas garukan ranggah (rusa timor). Data jenis mamalia yang ditemukan pada lokasi penelitian tercantum pada Tabel 1.

12

Tabel 1 Komposisi Jenis Mamalia yang Dijumpai di Blok Mahaniwa Perjumpaan Nama Nama No. Famili Nama Ilmiah Indonesia Inggris Lang- Tidak sung Langsung Monyet Nicobar HP, HS, Macaca 1. Cercopithaecidae ekor Crab-eating OB, DU, HP (BP) fascicularis panjang Macaque Camp Rusa Rusa HP (F, 2. Cervidae Javan Deer timor timorensis GR, TT) Tikus Rattus 3. Muridae Brown Rat Camp cokelat norvegicus Kelelawar Western kubu Naked- Dobsonia 4. Pteropodidae HS Nusa backed Fruit peronii Tenggara Bat Intermediate Prok-bruk Rhinolophus 5. Pteropodidae Horseshoe HS hutan affinis Bat HP (F, S, Babi TT), HS 6. Suidae Wild Boar Sus scrofa hutan (J), MPJ (F, TT) HP (F), Musang Common Paradoxurus HP, HS 7. Viverridae HS (F), luwak Palm Civet hermaphroditus MPJ MPJ (F) Keterangan: HP: hutan primer, HS: hutan sekunder, OB: Omang Barakamundu, MPJ: Maradda Pangadu Jawa, DU: Desa Umandundu, BP: bekas pakan, GR: bekas garukan ranggah, F: feses, S: suara, TT: tempat tidur, J: jejak kaki

Jenis Mamalia yang Ditemukan 1. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Menurut Napier dan Napier (1967), monyet ekor panjang yang menghuni pulau-pulau yang berdekatan dengan Pulau Sumba seperti Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Kambing adalah subspesies M. f. sublimitis. Oleh karena itu, monyet ekor panjang yang ditemukan di TN Matalawa dapat disimpulkan merupakan subspesies ini. Monyet ekor panjang ditemukan di kedua jalur pengamatan. Selain itu, satwa ini juga ditemukan di Omang Barakamundu yang berlokasi di sebelah barat-daya bukit Omang Padadalu (hutan primer), camp di Patamuwai, dan Desa Umandundu. Satwa ini menjadi mamalia yang paling sering ditemukan secara langsung selama waktu penelitian dengan frekuensi perjumpaan tertinggi di Omang Humurbakul (hutan sekunder). Menurut Crockett dan Wilson (1980), monyet ekor panjang lebih menyukai habitat-habitat sekunder seperti Omang Humurbakul sebab berjarak dekat dengan pemukiman penduduk dan ladang pertanian yang menyediakan sumber pakan.

13

Monyet ekor panjang yang ditemukan di lokasi penelitian teramati sangat sensitif dengan kehadiran pengamat. Hal ini ditunjukkan dengan monyet seketika meninggalkan pohon bahkan saat pengamat masih berjarak cukup jauh dari pohon di mana monyet terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa monyet ekor panjang di lokasi penelitian merupakan satwaliar yang waspada terhadap kehadiran pengganggu, salah satunya adalah manusia. Kewaspadaan merupakan salah satu fungsi hidup berkelompok (Napier dan Napier 1985; Van Schaik 1985). Setiap anggota kelompok berperan dalam mendeteksi adanya gangguan/benda asing di sekitarnya sehingga primata akan lebih cepat (lebih dulu) mengetahui (mendeteksi) kehadiran predator (pengganggu). Perilaku monyet ekor panjang lainnya yang teramati adalah pilihan ruang untuk melarikan diri. Kelompok monyet yang berada di Omang Padadalu dan Omang Humurbakul menjauhi pengamat dengan cara melompat dari pohon ke pohon. Sementara itu, kelompok monyet yang berada di Omang Barakamundu teramati menjauhi pengamat dengan menuruni pohon dan berlari di lantai hutan. Hal ini dapat disebabkan adanya adaptasi oleh monyet ekor panjang terhadap lingkungannya. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang Omang Barakamundu berada di bagian tepi hutan di mana tajuk pohon tidak begitu rapat mengakibatkan monyet dapat terlihat jelas oleh pengamat yang berada di padang terbuka dan dianggap sebagai pengganggu atau predator (Daniel 1979; Peetz et al. 1992). Oleh karena itu, monyet di lokasi ini diduga memilih berlari di lantai hutan yang terhalangi dari pandangan pengamat dengan keberadaan semak-semak tinggi di tepi hutan. Perilaku ini menunjukkan bahwa penggunaan ruang oleh monyet juga dipengaruhi oleh tingkat resiko predasi (predation risk). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Makin et al. (2012) terhadap penggunaan ruang monyet vervet yang melakukan penyesuaian ruang vertikal dan horisontal untuk menghindari predator aerial dan terestrial. Monyet ekor panjang juga teramati bertengger di pohon yang sama atau berdekatan dengan julang sumba di Omang Humurbakul dan Omang Barakamundu. Monyet ekor panjang teramati sedang bertengger dan makan pada pohon kaduru (Palaquium sp. dan Planchonella sp.). Bekas pakan monyet ekor panjang berupa sisa buah kadu rawa (Elaeocarpus sphaericus) yang ditemukan di Omang Humurbakul menunjukkan bahwa satwa ini juga memanfaatkan tumbuhan ini sebagai sumber pakan. Berdasarkan hasil pengamatan tim kajian burung, kadu rawa juga merupakan pakan julang sumba (Rhyticeros everetti). Berdasarkan informasi dari pemandu, monyet ekor panjang juga memanfaatkan kalihi omang (Lophopetalum javanum) (Gambar 7) sebagai sumber pakan dan tumbuhan ini ditemukan berada di dekat pohon-pohon tempat monyet ekor panjang dan julang sumba terdeteksi selama pengamatan. Di Desa Umandundu monyet ekor panjang teramati bertengger di pohon-pohon beringin (Ficus sp.) dan berdasarkan informasi dari masyarakat satwa ini seringkali tidur di gua-gua yang ada di perbatasan antara desa dengan taman nasional seperti Gua Lawola dan Gua Hibu Karik.

14

Gambar 7 Kalihi omang (Lophopetalum javanum)

Interaksi antara monyet ekor panjang dan julang sumba menarik untuk dikaji sebab monyet ekor panjang terkenal sebagai mamalia invasif yang apabila populasinya tidak dikelola dengan baik dapat merusak ekosistem. Sementara itu, julang sumba merupakan salah satu satwa khas TN Matalawa yang berstatus konservasi ‘Rentan’ atau Vulnerable menurut IUCN. Berdasarkan hasil pengamatan tidak ada interaksi negatif antara monyet ekor panjang dan julang sumba sehingga diduga interaksi antara kedua spesies ini adalah interaksi antara spesies frugivor (pemakan buah). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan mengenai interaksi antar spesies frugivor adalah karakter-karakter buah-buah yang menjadi sumber pakan, hubungan intraspesifik, dan hubungan interspesifik. Namun, pada suatu ekosistem interaksi antara tumbuhan dan satwa merupakan sebuah produk evolusi sehingga interaksi antara komponen ekosistem saat ini, termasuk ada tidaknya persaingan antar spesies frugivor, merupakan hasil dari hubungan saling mempengaruhi sekian lamanya (Fleming 1979). Sementara itu, menurut Sebastián-González et al. (2016), pemilihan jenis buah oleh burung frugivor banyak dipengaruhi oleh morfologi tubuh, sedangkan pemilihan jenis buah oleh mamalia frugivor banyak dipengaruhi oleh preferensi dan perilaku. Beberapa studi juga berpendapat bahwa pemilihan jenis buah sebagai pakan oleh satwa dilakukan melalui proses pengambilan keputusan secara hierarki (hierarchial decision-making process). Ketiadaan interaksi negatif antara monyet ekor panjang dan julang sumba dapat juga disebabkan oleh monyet ekor panjang yang bersifat generalis dan omivora sehingga mengurangi persaingan terhadap sumber pakan yang sama dengan julang sumba. Sementara itu, hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis mamalia lainnya dapat dijumpai di lokasi keberadaan

15

monyet ekor panjang yaitu musang luwak dan babi hutan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kartono et al. (2009) di TN Gunung Ciremai di mana berdasarkan korelasi Pearson (r) sebaran populasi monyet ekor panjang memiliki hubungan negatif yang sangat nyata dengan musang luwak dan babi hutan. Hal ini berarti keberadaan monyet ekor panjang tidak memengaruhi keberadaan musang luwak dan babi hutan dan sebaliknya.

2. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa timor yang berada di Pulau Sumba merupakan subspesies R. t. floresiensis (Van Bemmel 1951). Rusa timor dijumpai secara tidak langsung melalui keberaadan feses, tempat tidur, dan bekas garukan ranggah di Omang Padadalu. Menurut informasi yang diperoleh dari pengelola Taman Nasional Matalawa, rusa timor baru dijumpai di lokasi tersebut sejak tahun 2015. Selama ini, rusa timor di Resort Wanggameti paling banyak hidup di Maradda La Pahar (maradda = padang savana). Menurut Semiadi (2006), rusa timor mempunyai habitat utama berupa savana dan di daerah hutan terbuka. Rusa mencari makan di padang rumput dan daerah-daerah terbuka, sedangkan hutan dan semak belukar merupakan tempat berlindung.

Gambar 8 Bekas tempat tidur rusa timor Gambar 9 Feses rusa timor

Feses dan tempat tidur rusa timor dijumpai di lokasi yang sama yaitu di bagian puncak bukit Omang Padadalu yang cukup datar dan di bawah tutupan tajuk (Gambar 8 dan 9). Lokasi tersebut dapat dicapai melalui hutan yang cukup rapat di sebelah utara atau sisi bukit yang cukup terjal di bagian lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan rusa mencapai lokasi ini melalui sisi bukit yang terjal sebab lebih dekat dengan sumber air. Menurut Masy’ud et al. (2007), rusa merupakan satwa dengan kebutuhan air yang cukup tinggi. Selain itu, hasil penelitian Kayat et al. (2017) menunjukkan bahwa rusa timor di kawasan Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur juga ditemukan tersebar pada daerah dengan kemiringan terjal. Pemilihan lokasi tidur rusa timor di bawah tutupan tajuk dapat merupakan strategi anti-predator. Penelitian Smith et al. (1986) mengenai pemilihan lokasi tidur oleh rusa mule (Odocoileus hemionus) dan penelitian Mysterud (1996) oleh rusa roe (Capreolus capreolus) menunjukkan bahwa lokasi tidur rusa seringkali tersembunyi

16

oleh vegetasi dibandingkan oleh topografi sebagai strategi anti-predator di mana vegetasi akan membuat rusa yang tidur membaur dengan sekelilingnya. Hal yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian Brodie et al. (2009) yang menunjukkan bahwa kijang (Muntiacus muntjak) dan rusa sambar (Rusa unicolor) memilih lokasi tidur dengan tutupan tajuk yang tinggi dan topografi datar yang dapat memberikan bidang pandang yang lebih luas (Canon dan Bryant 1997). Di Omang Padadalu juga ditemukan bekas garukan ranggah rusa. Menggaruk ranggah pada rusa merupakan tanda bahwa ranggah sudah matang atau akan lepas (Wirdateti et al. 2005). Menurut Handarini (2006), rusa jantan memasuki tahap ranggah keras pada awal musim kemarau dan mengalami casting ketika musim hujan tiba. Musim hujan di Kabupaten Sumba Timur biasanya terjadi pada bulan Desember dan Maret (Molyoutami et al. 2016). Selain itu, menggaruk ranggah juga merupakan bentuk penandaan teritori, mempertajam tanduk, dan mencari harem untuk dikawini (Handarini et al. 2004).

3. Tikus cokelat (Rattus norvegicus) Selama waktu penelitian tikus cokelat dijumpai secara langsung melalui metode trapping dengan menaruh jebakan atau trap di sekitar bekas ladang kopi sekitar 30 m sebelah timur camp di Patamuwai. Jebakan dipasang pada saat malam hari yang merupakan waktu aktif tikus (Tristiani et al. 2003). Selama waktu penelitian pemasangan jebakan hanya berhasil menjebak satu ekor tikus dewasa yaitu pada malam pertama pemasangan jebakan (Gambar 10). Menurut Stokes (2013), efisiensi jebakan untuk tikus hitam (R. rattus) dapat dipengaruhi oleh ukuran jebakan, perilaku tikus, desain jebakan, fitur habitat, dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Perilaku menghidari resiko dan diduga mengakibatkan tikus hitam tidak mendekati objek yang tidak familiar. Perilaku ini kemungkinan juga dimiliki oleh tikus cokelat. Menurut hasil penelitian Davis dan Emlen (1956) dan Himsworth et al. (2014), tikus dewasa juga menunjukkan kemungkinan lebih besar untuk memasuki jebakan pada hari-hari pertama pemasangan dibandingkan tikus yang belum dewasa. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesuksesan tertinggi pemasangan jebakan pada tikus terjadi pada hari-hari pertama pemasangan dan semakin menurun pada hari-hari berikutnya (Himsworth et al. 2014; Byers et al. 2019). Hal ini menunjukkan perilaku ‘trap shy’ pada tikus.

17

Gambar 10 Tikus cokelat (Rattus norvegicus)

Keberadaan tikus juga terdeteksi melalui perjumpaan langsung disertai suara gemerisik vegetasi yang diakibatkan pergerakan tikus (Tristiani et al. 2003) dan perjumpaan seperti ini terjadi beberapa kali pada siang hari. Tikus polinesia (Rattus exulans) merupakan jenis Rodentia lainnya yang tercatat ditemukan di TN Matalawa (BTN Matalawa 2018). Namun, jenis ini diketahui memiliki hubungan kompetisi dengan tikus cokelat dan cenderung menghindari habitat yang telah dihuni oleh tikus cokelat (Harper dan Veitch 2006) sehingga hal ini diduga menjadi penyebab tikus polinesia tidak dapat dijumpai selama waktu penelitian. Rodentia berperan penting dalam penyebaran biji dan spora, polinasi, pemangsaan biji, siklus energi dan nutrisi, modifikasi suksesi tumbuhan dan komposisi spesies, serta menjadi pakan bagi berbagai jenis predator (Witmer dan Shiels 2018). Di Omang Padadalu dijumpai lubang sarang tikus berupa cerukan pada batuan karang dengan sisa-sisa buah kalihi. Hal ini dapat merepresentasikan peran tikus dalam pemangsaan dan penyebaran biji.

4. Kelelawar Kubu Nusa Tenggara (Dobsonia peronii) dan Prok-bruk Hutan (Rhinolophus affinis) Kelelawar kubu Nusa Tenggara dijumpai secara langsung terjebak di jaring kabut atau mistnet yang dipasang di mulut Gua Humurbakul yang berada di Omang Humurbakul (Gambar 11). Menurut Goodwin (1979), koloni terbesar kelelawar ini menghuni chamber besar di dalam suatu gua kapur. Kelelawar ini langsung dapat teridentifikasi saat dijumpai melalui ciri khas rambut nya yang berwarna kuning kehijauan. Kelelawar kubu Nusa Tenggara merupakan salah satu jenis Megachiroptera, yaitu jenis kelelawar berukuran tubuh besar dan pemakan buah. Kelelawar ini diketahui memakan buah dari Borassus dan Ficus (Goodwin 1979). Ficus merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di dalam kawasan dan menjadi

18

pakan bagi berbagai jenis satwa, sedangkan Borassus banyak dijumpai di pekarangan atau ladang masyarakat setempat sebab dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan tas dan keranjang.

Gambar 11 Kelelawar Kubu Nusa Tenggara (Dobsonia peronii)

Prok-bruk hutan juga dijumpai secara langsung terjebak di jaring kabut atau mistnet yang dipasang di mulut Gua Humurbakul bersama dengan kelelawar kubu Nusa Tenggara (D. peronii) (Gambar 12). Kelelawar jenis ini diketahui bersarang di gua kapur (Kingsada et al. 2011). Perjumpaan jenis ini di Omang Humurbakul yang merupakan ekosistem hutan sekunder juga ditunjukkan melalui hasil penelitian Furey et al. (2010) dimana jenis ini lebih sering ditemukan di hutan yang sudah terganggu dibandingkan di hutan primer. Prok-bruk hutan merupakan salah satu jenis Microchiroptera, yaitu jenis kelelawar berukuran tubuh kecil dan pemakan serangga. Kelelawar Microchiroptera berperan penting dalam mengendalikan populasi serangga yang dapat menjadi hama (Wijanarko 2008). Menurut hasil penelitian Jiang et al. (2008), serangga yang menjadi pakan Prok- bruk hutan mayoritas berasal dari famili Pyralidae, Geometridae, dan Melolonthidae.

19

Gambar 12 Prok-bruk Hutan (Rhinolophus affinis)

Pemasangan jaring kabut di malam kedua di tempat yang sama menunjukkan ketidaksuksesan. Hal ini dapat disebabkan memori spasial yang dimiliki kelelawar (Robbins et al. 2008) yang menyebabkan kelelawar menghindari lokasi jaring kabut. Selain itu, keefektifan penggunaan jaring kabut juga dipengaruhi oleh tinggi terbang, kecepatan terbang, tipe ekolokasi, dan ukuran tubuh (Kofoky et al. 2006). Eonycteris spelaea dan Rousettus amplexicaudatus merupakan dua jenis kelelawar yang juga tercatat ditemukan di TN Matalawa (BTN Matalawa 2018). Namun, kedua jenis ini tidak terjebak jaring kabut selama waktu penelitian. Hal ini dapat disebabkan kedua jenis ini mencari makan di ruang terbuka di puncak kanopi hutan (Hodgkison 2001) sehingga tidak terjebak oleh jaring kabut yang dipasang setinggi 2 – 3 m dari atas permukaan tanah.

5. Babi Hutan (Sus scrofa) Babi hutan dijumpai secara tidak langsung di jalur pengamatan di kedua ekosistem, Omang Padadalu dan Omang Humurbakul, serta di Maradda Pangadu Jawa. Perjumpaan secara tidak langsung berupa perjumpaan suara, feses, tempat tidur, dan jejak kaki. Suara babi hutan terdengar saat pengamatan sore menjelang malam di puncak bukit lokasi Omang Padadalu. Suara terdengar datang dari bagian bawah bukit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa babi hutan seringkali bersifat nokturnal dan menggunakan matahari tenggelam sebagai tanda untuk mulai beraktivitas (Spitz 1986; Lemel et al. 2003; Pei 2006). Walaupun diketahui sebagai satwa generalis dalam hal pemilihan habitat, hasil pengamatan menunjukkan bahwa jejak keberadaan babi hutan lebih banyak ditemukan di ekosistem hutan primer yaitu di Omang Padadalu. Hal ini dapat disebabkan Omang Padadalu memiliki vegetasi rapat yang baik untuk lokasi sarang dengan memberikan perlindungan dari cuaca dan predator (Allwin et al. 2016). Tempat tidur babi hutan yang dijumpai selama pengamatan mayoritas berbentuk tumpukan daun-daun rerumputan. Selain itu, tempat tidur babi hutan juga ditemukan berada di cerukan-cerukan batuan karang membentuk gua yang banyak terdapat di Omang Padadalu (Gambar 13). Perilaku

20

yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Nichols (1962) terhadap babi hutan di Hawaii yang menggunakan gua-gua sebagai tempat tidur.

Gambar 13 Tempat tidur babi hutan (Sus scrofa) di cerukan batu karang

Satwa ini menjadi mamalia yang paling sering ditemukan secara tidak langsung selama waktu penelitian. Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam pengelolaan kawasan sebab babi hutan memberikan dampak yang bertentangan bagi komunitas tumbuhan dan satwaliar lainnya. Perilaku makan babi hutan yang mencabut tumbuhan pakannya untuk mendapatkan umbi (rooting) dapat mengakibatkan penurunan populasi tumbuhan pakan dan penggemburan tanah yang dapat berakibat erosi di lokasi dengan topografi yang curam. Namun, perilaku ini juga menyebabkan tanah menjadi lebih subur akibat penggemburan tanah yang mempermudah pertukaran mineral dan kation. Babi hutan juga memangsa telur dari burung-burung terestrial (Massei dan Genov 2004). Bagi komunitas satwaliar babi hutan diketahui memangsa larva serangga yang berpotensi menjadi hama. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai ekologi babi hutan sangat diperlukan untuk menjadi dasar bagi pengelolaan populasinya.

6. Musang Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) Musang luwak dijumpai secara langsung maupun tidak langsung selama waktu pengamatan. Musang luwak dijumpai secara langsung di Omang Padadalu pada pengamatan sore (Gambar 14) dan di Maradda Pangadu Jawa pada pengamatan malam. Selama pengamatan hanya satu individu musang luwak yang dijumpai setiap kalinya. Hal ini menunjukkan sifat nokturnal dan soliter dari musang luwak (Nakashima et al. 2010). Perjumpaan musang luwak pada sore hari di Omang Padadalu diduga adalah saat ketika musang luwak keluar dari pohon istirahatnya di dalam hutan untuk mulai mencari makan. Hal ini didukung oleh pernyataan

21

Nakashima et al. (2013) yaitu musang luwak seringkali kembali ke hutan untuk beristirahat pada siang hari. Musang luwak yang dijumpai di Maradda Pangadu Jawa pada malam hari selalu dijumpai berada di atas pohon Gaik yang tumbuh di antara padang rumput. Perilaku ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Joshi et al. (1995) di mana musang luwak beristirahat pada pohon tertinggi dan terbesar yang ada di sekitarnya pada malam hari. Pohon gaik bertajuk jarang sehingga pantulan cahaya dari mata musang luwak sangat mudah terlihat pada saat pengamatan malam. Hasil penelitian Nakashima et al. (2013) menunjukkan bahwa keberadaan buah dan lokasi tidur siang (day-bed site) merupakan faktor penting yang mempengaruhi penggunaan ruang oleh musang luwak. Walaupun secara klasifikasi ilmiah musang luwak termasuk dalam bangsa Carnivora, musang diketahui banyak mengkonsumsi buah-buahan (Zhou et al. 2008). Musang memakan buah secara utuh dan mengeluarkan bijinya secara utuh pula melalui feses (Mudappa 2001). Perilaku makan ini menyebabkan musang luwak mampu menyebarkan biji dengan jarak yang lebih jauh dibandingkan frugivora toleran-gangguan (disturbance-tolerant) lainnya (Nakashima dan Sukor 2010). Menurut Wunderle (1997), penyebar biji jarak jauh sangat penting baik bagi melestarikan populasi jenis-jenis tumbuhan maupun untuk restorasi hutan. Oleh karena itu, musang luwak merupakan satwaliar yang sangat perlu untuk dilestarikan.

Gambar 14 Musang luwak di atas pohon Gambar 15 Feses musang luwak

Status Konservasi Status konservasi merupakan indikator yang digunakan untuk menunjukkan tingkat keterancaman spesies mahluk hidup dari kepunahan. Status konservasi diterapkan baik untuk hewan maupun tumbuhan. Penetapan status konservasi bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pelestarian terhadap spesies mahluk hidup. Status tersebut bisa berbeda-beda di setiap negara, sehingga status konservasi juga merupakan salah satu indikator dalam pengelolaan satwaliar. Status konservasi bisa dikeluarkan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga yang memiliki perhatian pada keanekaragaman hayati. Status konservasi yang paling banyak dijadikan rujukan secara global diantaranya The IUCN Red List of Threatened Species dan

22

CITES Appendices. Status yang dikeluarkan oleh kedua lembaga ini tidak mengikat secara hukum sampai suatu negara mengadopsinya dalam sistem hukum masing- masing. Penerapan perlindungan terhadap fauna di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.106 Tahun 2018.

Tabel 2 Status Konservasi Mamalia yang Dijumpai di Blok Mahaniwa

Status Konservasi No Famili Nama Ilmiah Permen IUCN CITES LHK No.106 1. Cercopithaecidae Macaca fascicularis LC Appendix II - 2. Cervidae Rusa timorensis VU - √ 3. Muridae Rattus norvegicus LC - - 4. Pteropodidae Dobsonia peronei LC - - 5. Pteropodidae Rhinolophus affinis LC - - 6. Suidae Sus scrofa LC - - Paradoxurus Viverridae Appendix III - 7. hermaphrodites LC

Secara status, penilaian ancaman bagi rusa timor (Rusa timorensis) di habitat alaminya adalah perburuan, perdagangan ilegal, dan kerusakan habitat. Rusa diburu untuk pemenuhan pangan dan kesenangan bagi manusia (Jacoeb dan Wiryosuhanto 1994). Salah satu upaya untuk menjaga keberadaan rusa timor yaitu dengan melakukan upaya penangkaran untuk mengantisipasi kepunahan rusa. Berdasarkan Kategori IUCN Red list, sejak tahun 2008 rusa timor termasuk kategori rentan (Vulnerable) (Tabel 2). Sebelumnya pada tahun 1996 rusa timor berstatus resiko rendah (Lower Risk). Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di darah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi sebagai akibat dari hilanganya habitat dan perburuan (IUCN 2015). Pemerintah dalam Permen LHK No P.106 juga memasukkan rusa timor kedalam satwa dilindungi, namun dalam status perdagangannya, CITES tidak menempatkan rusa timor dalam daftar Appendix-nya. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk dalam status beresiko rendah atau Least Concern dalam IUCN dan termasuk dalam Appendix II dalam CITES. Appendix II meliputi spesies yang tidak selalu terancam punah, namun perdagangannya harus dikontrol untuk menghindari pemanfaatan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Musang Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) termasuk dalam status Least Concern dalam IUCN dan termasuk dalam Appendix III dalam CITES. Appendix III meliputi spesies yang dilindungi oleh paling sedikit satu negara dan pihak tersebut meminta bantuan CITES untuk mengendalikan perdagangannya. Mamalia lain yang ditemukan seperti babi hutan (Sus scrofa), tikus cokelat (Rattus norvegicus), kelelawar jenis Rhinolophus affinis

23

dan Dobsonia peronii merupakan mamalia yang berstatus Least Concern dalam IUCN, dan untuk status perlindungan terhadap perdagangan liar dan perlindungan fauna dalam negeri tidak disinggung sama sekali. Hal ini dapat disebabkan keberadaan jenis satwa yang berlimpah dan juga kurangnya data terkait keberadaan satwa tersebut serta kedudukan satwa yang kurang primer dalam rantai ekosistem.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Jenis mamalia yang dijumpai selama penelitian di Blok Mahaniwa Resort Wanggameti TN Matalawa berjumlah 7 jenis dari 6 famili. Jenis mamalia yang paling sering dijumpai secara pengamatan langsung maupun tidak langsung adalah babi hutan (Sus scrofa). Selain itu, tidak dijumpai interaksi negatif antara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan julang sumba. Rusa timor dijumpai secara tidak langsung melalui keberaadan feses, tempat tidur, dan bekas garukan ranggah di Omang Padadalu dan baru dijumpai di lokasi tersebut sejak tahun 2015. Jenis kelelawar yang dijumpai selama penelitian adalah kelelawar kubu nusa tenggara (Dobsonia peronii) dan prok-bruk hutan (Rhinolophus affinis) yang terperangkap oleh mistnet. Musang luwak dijumpai secara langsung di Omang Padadalu pada pengamatan sore dan di Maradda Pangadu Jawa pada pengamatan malam. Rusa timor memiliki status konservasi rentan (Vurnerable) menurut IUCN dan termasuk ke dalam daftar satwaliar dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.106 Tahun 2018. Sementara itu, jenis mamalia lainnya berstatus beresiko rendah (Least Concern).

Saran Pemantauan (monitoring) mamalia di TN Matalawa perlu rutin dilakukan untuk mengetahui kondisi populasi dan habitatnya yang penting sebagai dasar dalam pengelolaanya. Kajian terhadap jenis-jenis Pteropodidae perlu lebih banyak dilakukan sebab informasi mengenai famili satwaliar ini di Nusa Tenggara masih minim. Kajian lebih mendalam perlu dilakukan mengenai hubungan antara monyet ekor panjang dengan jenis-jenis burung endemik. Kondisi habitat di Omang Padadalu perlu diteliti lebih lanjut dalam kesesuaiannya sebagai habitat rusa timor yang dapat menjadi dasar untuk peningkatan kuantitas dan kualitas habitatnya. Potensi babi hutan untuk menjadi satwa buru untuk aktivitas wisata berburu dapat juga dikaji lebih lanjut.

24

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid 1. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Allwin B, Swaminathan R, Mohanraj A, Suhas GN, Vedaminckam S, et al. 2016. The wild pig (Sus scrofa) behavior – a retrospective study. J Veterinar Sci Techno. 7:333. [BTN Matalawa] Balai Taman Nasional Manapeu Tanah Daru-Laiwangi Wanggameti. 2018. Statistik Balai TN Matalawa 2018. Tidak dipublikasikan. Brodie JF, Brockelman YF. 2009. Bed site selection of red muntjac (Muntiacus muntjac) and sambar deer (Rusa unicolor) in a tropical seasonal forest. Ecol. Res. doi: 10.1007/s11284-009-0610-9. Byers KA, Lee MJ, Bidulka JJ, Patrick DM, Himswort CG. 2019. Rat in a cage: trappability of urban Norway rats (Rattus norvegicus). Front. Ecol. Evol. 7: 68. Canon SK, Bryant FC. 1997. Bed-site characteristics of pronghorn fawns. J. Wildl. Manag. 61:1134-1141. Collins NM, Sayer JA, Whitmore TC. 1991. The Conservation Atlas of Tropical Forests: Asia and The Pacific. London (UK): Macmillian Press Ltd. Crockett CM, Wilson WL. 1980. The ecological separation of Macaca nemestrina and Macaca fascicularis in Sumatra. Dalam: The Macaques: Studies in Ecology Behaviour and Evolution. Lindburg DG, editor. New York (US): Van Nostrand Reinhold Company. Daneel ABC. 1979. Prey size and hunting methods of the crowned eagle. Ostrich 50:120-121. Davis DE, Emlen JT. 1956. Differential trapability of rats according to size and sex. J. Wildl. Manag. 20:326–327. Fleming TH. 1979. Do tropical frugivores compete for food?. AMER. ZOOL. 19:1157-1172. Furey NM, Mackie IJ, Racey PA. 2010. Bat diversity in Vietnamese limestone karst areas and the implications of forest degradation. Biodiversity Conservation 19:1821-1838. Goodwin RE. 1979. The bats of Timor: systematics and ecology. Bulletin of The American Museum of Natural History 163(2):73-122. Hall LS, Krausman PR, Morrison ML. 1997. The habitat concept and a plea for standard terminology. Wildlife Society Bulletin 25(1):173-182.

25

Handarini R, Nalley WMM, Semiadi G, Agung P, Subandriyo, Purwantara B, Toelihere MR. 2004. Lama tahap pertumbuhan ranggah dalam satu siklus ranggah rusa pada rusa timor (Cervus timorensis) jantan. Teknologi Peternakan dan Veteriner 459-465. Handarini R. 2006. Pola dan siklus pertumbuhan ranggah rusa timor jantan (Cervus timorensis). Jurnal Agribisnis Peternakan 2(1):28-35. Harper G, Veitch D. 2006. Population ecology of Norway rats (Rattus norvegicus) and interference competition with Pacific rats (Rattus exulans) on Raoul Island, New Zealand. Wildlife Research 33:539-548. Himsworth CG, Jardine CM, Parsons KL, Feng AYT, Patrick DM. 2014. The characteristics of wild rat (Rattus spp.) populations from an inner-city neighborhood with a focus on factors critical to the understanding of rat- associated zoonoses. PLoS ONE 9: e91654. Hodgkison R. 2001. The Ecology of Fruit Bats (Chiroptera: Pteropodidae) in a Malaysian Lowland Dipterocarp Forest, with Particular Reference to The Spotted-Winged Fruit Bat (Balionycteris maculata, Thomas) [tesis]. Scotland (UK): University of Aberdeen. IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Reserves). 2015. The Redlist of Threathened Species [Internet]. [Diakses 2019 September 04]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org. Jacoeb TN, Wiryosuhanto SD. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa Jilid I. Jakarta (ID): Kanisius. Jiang T, Feng J, Sun K, Wang J. 2008. Coexistence of two sympatric and morphogically similar bat species Rhinolophus affinis and Rhinolophus pearsoni. Progress in Natural Science 18(5):523-532. Joshi AR, Smith JLD, Cuthbert FJ. 1995. Influence of food distribution and predation pressure on spacing behavior in palm civets. Journal of Mammalogy 76:1205–1212. Kartawinata K. 2013. Diversitas Ekosistem Alami Indonesia: Jakarta (ID): LIPI Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Kartono AP, Gunawan, Maryanto I, Suharjono. 2009. Jurnal Biologi Indonesia 5(3):279-294. Kayat, Pudyatmoko S, Maksum M, Imron MA. 2017. Potensi konflik penggembalaan kuda pada habitat rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) di kawasan Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Imu Kehutanan II 2017:4-18.

26

Kingsada P, Douangboubpha B, Saveng I, Furey N, Sisook P, Bumrungsri R, Satasook C, Thong VD, Csorba G, Harrison D et al. 2011. A checklist of bats from Cambodia, including the first record of the intermediate horseshoe bat Rhinolophus affinis (Chiroptera: Rhinolophidae), with additional information from Thailand and Vietnam. Cambodian Journal of Natural History 2011(1):49-59. Lemel J, Truve J, Soderberg B. 2003. Variation in ranging and activity behavior of European wild boar Sus scrofa in Sweden. Wildlife Biology 9:29-36. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2016. Ekspedisi Sumba. Jakarta (ID): LIPI Press. Kofoky A, Andriafidison D, Ratrimomanarivo F, Razafimanabaka HJ, Rakatondravony D, Racey PA, Jenkins RKB. 2006. Habitat use, roost selection and conservation of bats in Tsingy de Bemaraha National Park, Madagascar. Biodivers Conserv. 16 (4):1039-1053. Makin DF, Payne HFP, Kerley GIH, Shrader AM. 2012. Foraging in a 3-D world: how does predation risk affect space use of vervet monkeys?. Journal of Mammalogy 93(2):422-428. Massei G, Genov PV. 2004. The environmental impact of wild boar. Galemys. 16: 135-145. Masy’ud B, Wijaya R, Santoso IB. 2007. Pola distribusi, populasi dan aktivitas harian rusa timor (Rusa timorensis, De Blainville 1822) di Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi 12(3). Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, et al. 2006. Hutan Pasca Pemanenan: Melindungi Satwaliar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Jakarta (ID): Center for International Forestry Research. Mudappa D. 2001. Ecology of the Brown Palm Civet Paradoxurus jerdoni in the Tropical Rainforests of the Western Ghats, India [tesis]. Coimbatore (IN): Barathiar University. Mulyoutami E, Sabastian G, Roshetko JM .2016. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Pengelola Padang Savana Sebuah kajian Gender di Sumba Timur, Indonesia: Working Paper no. 245. Bogor (ID): World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. Murphy PG, Logo AE. 1986. Ecology of tropical dry forest. Annual Review of Ecology and Systematics 17:67-88. Mustari AH, Fatimah DN, Setiawan A, Febria R. 2010. Diversity of Mammals in Sebangau National Park, Central Kalimantan. Media Konservasi 15:115–119.

27

Mysterud A. 1996. Bed-site selection by adult roe deer Capreolus capreolus in southern Norway during summer. Wild. Biol. 2:101-106. Nakashima Y, Inoue E, Inoue-Murayama M, Sukor JA. 2010. High potential of a disturbance-tolerant frugivore, the common palm civet Paradoxurus hermaphroditus (Viverridae), as a seed disperser for large-seeded . Mammal Study 35:209–215. Nakashima Y, Sukor JA. 2010. Importance of common palm civets (Paradoxurus hermaphroditus) as a long distance diperser for large-seeded plants in degraded forests. TROPICS 18(4):221-229. Nakashima Y, Nakabayashi M, Sukor JA. 2013. Space use, habitat selection, and day-beds of the common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus) in human- modified habitats in Sabah, . Journal of Mammalogy 94(5):1169– 1178. Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. London (UK): Academic Press. Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. London (UK): British Museum (Natural History). Navarro J, Díaz-Gamboa R. 2014. Line Transect Sampling. Di dalam: Manly BFJ dan Alberto JAN, editor. Introduction to Ecological Sampling. Florida (US): Chapman and Hall/CRC. Nichols L. 1962. Ecology of the Wild Pig, Federal Aid in Wildlife Restoration Final Report Project W-5-R-13. Hawaii (US): Hawaii Department of Land and Natural Resources, Division of Fish and Game, Honolulu, Hawaii. Pei KJC. 2006. Present status of the Formosan wild boar (Sus scrofa taivanus) in the Kenting National Park, southern Taiwan. Suiform Soundings 6:9-10. Peetz A, Norconk MA, Kinzey WG. 1992. Predation by jaguar on howler monkeys (Alouattaseniculus) in Venezuela. Am J Primatol. 28:223-228. Prasetyo PN, Noerfahmy S, Tata HL. 2011. Jenis-jenis Kelelawar Agroforest Sumatera. Bogor (ID): World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. Robbins LW, Murray KL, McKenzie P. 2008. Evaluating the effectiveness of the standard mist-netting protocol for the endangered Indiana bat (Myotis sodalis). Northeastern Naturalist 15. Sebastián-González E, Pires MM, Donatt CI, Guimarães Jr. PR, Dirzo R. 2016. Species traits and interaction rules shape a species-rich seed-dispersal interaction network. Ecology and Evolution 2017:1-11.

28

Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Smith HD, Overson MC, Pritchett CL. 1986. Characteristics of mule deer beds. Great Basin Naturalist 46(3):542-546. Spitz F. 1986. Current state of knowledge of wild boar biology. Pig News and Information 7:171-175. Stokes VL. 2013. Trappability of introduced and native rodents in different trap types in coastal forests of south-eastern Australia. Australian Mammalogy 35(1):49-53. iga MRM. 2018. Pengembangan Ekowisata sebagai Alternatif Upaya Konservasi Taman Nasional Matalawa di Kabupaten Sumba Timur, NTT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tristiani H, Murakami O, Watanabe H. 2003. Ranging and nesting behavior of the ricefield rat Rattus argentiventer (Rodentia: Muridae) in West Java, Indonesia. Journal of Mammalogy 84(4):1228-1236. Van Bemmel ACV. 1951. Some additions to a revision of the rusine deer in the Indo-Australian archipelago. TREUBIA 21:105-110. Van Hoeve IB. 1992. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna (Mamalia I). Jakarta (ID): Perpustakaan Nasional. Van Schaik C. 1985. The Socio-Ecology of Sumatran Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis). Utrecht (NL): Drukkerij Elinkwijk BV-Utrecht. Wijanarko A. 2008. Pengaruh penambahan bahan organik pada fosfat alam terhadap hasil kedelai di Ultisol Lampung. Jurnal Agritek 16(4):13-23. Wirdateti, Mansur M, Kundarmasno A. 2005. Pengamatan tingkah laku rusa timor (Cervus timorensis) di PT Kuala Tembaga, Desa Aertembaga, Bitung, Sulawesi Utara. Animal Production 7(2):121-126. Witmer GW, Shiels AB. 2018. Ecology, impacts, and management of invasive rodents in the United States. Dalam: Ecology and Management of Terrestrial Vertebrae Invasive Species in the United States I. Pitt WC, Beasley JC, Witmer GW, editor. Florida (US): CRC Press. Wunderle JM. 1997. The role of animal seed dispersal in accelerating native forest regeneration on degraded tropical lands. Forest Ecology and Management 99:223-235. Zhou Y, Zhang J, Slade E, Palomares F, Chen J, Wang X, Zhang S. 2008. Dietary shifts in relation to fruit availability among masked palm civets (Paguna larvata) in Central China. Journal of Mammalogy 89:435-447.

29

30

PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Sumba merupakan salah satu pulau yang terletak diposisi terluar di Indonesia. Luas Pulau Sumba kurang lebih 11 005 km2 memiliki luas kawasan hutan 37% dengan komposisi luas hutan konservasi terbesar sebanyak 57%. Keberadaan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa) menjadi salah satu pilar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada di tanah Sumba sebagai habitat flora maupun fauna. Taman Nasional Matalawa memiliki variasi ketinggian 0 – 1 224 mdpl sehingga terdiri dari berbagai tipe vegetasi diantarnya padang savana terbuka, hutan tropika kering, hutan semi awet hijau dan hutan mangrove. Ketinggian yang bervariasi pada kawasan Taman Nasional Matalawa menyebabkan pergerakan musiman satwa sangat baik. Taman Nasional Matalawa merupakan kawasan konservasi terluas di Sumba Timur sehingga merupakan salah satu dari DPB (Daerah Penting Burung) di Pulau Sumba. Menurut Rombang et al. (2002) DPB merupakan kriteria-kriteria baku yang ditetapkan untuk menentukan pelestarian keanekaragaman hayati dalam tingkat global, regional, dan sub regional yang menggunakan burung sebagai indikatornya. Kawasan padang savana yang cukup luas dan diapit oleh tutupan hutan merupakan salah satu daya tarik Taman Nasional Matalawa, kawasan tersebut merupakan habitat bagi burung-burung endemik yang menjadi spesies kunci seperti Julang sumba (Rhyticeros everetti) sebagai jenis endemik di Pulau Sumba. Oleh sebab itu diperlukan penelitian mengenai jenis-jenis burung yang berada di kawasan Taman Nasional Matalawa. Data keanekaragaman burung sangatlah penting dikarenakan informasi tersebut diperlukan sebagai salah satu acuan untuk mengambil kebijakan dalam mengelola kawasan, terutama mengenai jenis-jenis burung dan habitatnya.

Tujuan Tujuan dilakukan penelitian inventarisasi burung di Taman Nasional Matalawa antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menghasilkan data terbaru Taman Nasional Matalawa. 2. Menghitung keanekaragaman jenis yang mencakup kelimpahan, dominansi, serta mengetahui pola penggunaan strata tajuk oleh burung di Resort Wanggameti, Taman Nasional Matalawa.

31

METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan pengambilan data dilakukan pada kawasan hutan Wailatuna, aliran sungai Petamawai, dan bukit Hiliwuku wilayah Mahaniwa yang termasuk wilayah Resort Wanggameti, STPN Wilayah III TN Matalawa pada tanggal 2 – 7 Agustus 2019. Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali untuk setiap tipe habitat. Pengamatan dilakukan pada dua waktu dalam satu hari menyesuaikan waktu aktif burung diurnal dan waktu matahari terbit yaitu pada pukul 05.30 – 11.00 WITA dan 14.30 – 17.30 WITA.

Gambar 16 Peta Pengambilan Data KPB

Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam kegiatan pengamatan burung adalah binokuler, GPS (Global Positioning System), zoom recorder, tally sheet, buku panduan lapang burung-burung di kawasan Wallacea (Coates & Bishop 2000), kamera, alat tulis, dan jam tangan. Objek yang diamati dan dimasukan ke dalam data adalah burung- burung yang ditemukan secara langsung maupun melalui identifikasi suara pada setiap habitat pada setiap ekosistem.

Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data burung menggunakan metode daftar jenis MacKinnon dan metode point count atau titik hitung pada jalur (transect). Metode daftar jenis MacKinnon yaitu mencatat jenis-jenis burung yang ditemukan selama

32

pengamatan. Burung-burung yang telah diidentifikasi dimasukan kedalam daftar jenis-jenis burung yang sudah diamati dan satu daftar memuat maksimal sepuluh jenis burung. Satu jenis hanya dicatat satu kali pada daftar tabel tetapi bisa dicatat dalam daftar tabel selanjutnya, apabila sudah mencapai sepuluh jenis burung maka dibuat daftar yang baru hingga seterusnya (MacKinnon et al. 2010). Pengambilan data menggunakan metode MacKinnon dimulai sejak kedatangan di kawasan TN Matalawa pada kawasan Mahaniwa hingga meninggalkan kawasan. Pengambilan data menggunakan dalam metode titik hitung yaitu pengamat berhenti pada suatu titik di habitat yang diamati dan menghitung semua burung yang terdeteksi baik yang terlihat langsung maupun melalui suara burung yang didengar selama selang waktu 15 menit dalam setiap titik hitung yang beradius 50 meter kemudian menuju titik lainnya (Gambar 17). Jumlah titik yang diamati selama pengamatan yaitu sebanyak 5 titik. Jenis data yang diambil meliputi jenis burung, jumlah individu, aktifitas, waktu perjumpaan, dan strata tajuk. Burung yang terlihat dan terdokumentasi di identifikasi menggunakan buku panduan lapang pengenal jenis burung Wallacea. Sedangkan suara burung yang terekam disesuaikan dengan kumpulan suara rekaman burung pada situs www.xeno-canto.org.

50 m

150 m

700 m

Gambar 17 Ilustrasi titik pengamatan metode titik hitung

Analisis Data Data jumlah individu tiap jenis burung pada setiap plot menghasilkan data mengenai keanekaragaman jenis burung yang dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), kemerataan jenis burung menggunakan indeks kemerataan jenis (E’) dan dominansi jenis burung. Habitat dianalisis secara deksriptif berdasarkan kondisi lapangan kemudian dihubungkan dengan jenis burung yang dijumpai. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut:

1. Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener H’ = – Σ (pi ln pi)

33

Keterangan : H’ : indeks keanekaragaman pi : perbandingan jumlah individu satu jenis dengan jumlah individu keseluruhan sampel dalam plot (n/N) Ln : Logaritma natural

Indeks ini didasarkan pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata- rata yang tidak pasti dalam memprediksi individu spesies apa yang dipilih secara acak dari koleksi S spesies dan individual N akan dimiliki. Rata-rata ini naik dengan naiknya jumlah spesies dan distribusi individu antara spesies-spesies menjadi sama atau merata. Ada dua hal yang dimiliki oleh indeks Shanon-Wiener yaitu :  H’= 0 jika dan hanya jika ada satu jenis dalam sampel.  H’ adalah maksimum hanya ketika semua jenis diwakili oleh jumlah individu yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secara sempurna.

Nilai keanekaragaman jenis menurut dibagi menjadi tiga kategori: H’ < 1,5 : kategori rendah 1.5 ≤ H’ ≤ 3.5 : kategori sedang H’ > 3.5 : kategori tinggi

2. Indeks kemerataan Kestabilan suatu jenis juga dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya, semakin tinggi nilai H’, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin stabil. Indeks kemerataan bertujuan untuk mengetahui kemerataan setiap jenis dalam setiap komunitas yang dijumpai. Rumus untuk menghitung indkes kemerataan adalah sebagai berikut: E’ = H’ / ln S Keterangan: E’ : Indeks kemerataan jenis (nilai antara 0 – 10) H’ : Indek Shannon S : Jumlah jenis yang ditemukan Ln : Logaritma natural

Bila E mendekati 0 (nol), jenis penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari jenis tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila E mendekati 1 (satu), jumlah idividu yang dimiliki antar jenis tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.

3. Dominansi Penentuan jenis burung yang dominan dalam pengamatan ditentukan melalui rumus menurut van Helvoort (1981), yaitu:

34

Di = Ni x 100% N

Keterangan: Di : indeks dominansi suatu jenis burung Ni : jumlah individu suatu jenis N : jumlah individu dari seluruh jenis Perhitungan nilai dominansi berguna untuk mengetahui spesies yang dominan pada suatu ekosistem.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Burung Jumlah jenis yang dijumpai selama pengambilan data di kawasan Mahaniwa Resort Wanggameti sebanyak 43 jenis burung dari 24 famili dengan perbandingan 28 jenis dari 20 famili ditemukan pada ekosistem hutan dataran rendah dan 32 jenis dari 21 famili pada ekosistem riparian. Perbandingan jumlah jenis pada kedua ekosistem dapat dilihat pada Gambar 18.

33 32 32

31

30

29

Jumlah Jenis Jumlah 28 28

27

26 HutanDataran Rendah Riparian

Gambar 18 Jumlah jenis burung pada setiap ekosistem

Perbandingan keanekaragaman famili pada keseluruhan lokasi pengamatan dan masing–masing ekosistem di kawasan Mahaniwa dapat dilihat pada Gambar 19. Famili yang paling banyak ditemui dari kedua tipe ekosistem yaitu Pssitacidae dan Columbidae yang memiliki jumlah jenis yang sama yaitu sebanyak 5 jenis.

35

6 5 5 5 4 3 3 3 3 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0

Gambar 19 Jumlah jenis pada famili di kawasan Mahaniwa

Perbandingan keanekaragaman famili ekosistem dataran rendah di kawasan Mahaniwa dapat dilihat pada Gambar 20. Famili yang paling banyak ditemukan di ekosistem hutan dataran rendah antara lain Meliphagidae dan Pssitacidae. Sebanyak tiga jenis dari famili Meliphagidae, yaitu isapmadu australia (Lichmera indistincta), myzomela sumba (Myzomela dammermani), dan cikukua tanduk (Philemon buceroides). Kelompok famili Meliphagidae ditemukan pada pucuk-pucuk pohon yang sedang berbunga, hal tersebut dikarenakan famili Meliphagidae merupakan kelompok penghisap madu sehingga menyukai daerah-daerah tajuk pohon yang banyak terdapat bunga (Trainor et al. 2000). Sebanyak empat jenis dari famili Psittaciidae yang ditemukan yaitu nuri bayan (Eclectus roratus), nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), perkici orange (Trichoglossus capistratus), dan kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata).

4.5 4 4 3.5 3 3 2.5 2 2 2 2 1.5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.5 0

Gambar 20 Jumlah jenis pada famili di ekosistem hutan dataran rendah

36

Jenis-jenis dari famili Psittacidae umumnya ditemukan bertengger pada pohon-pohon yang berdameter lebih dari 2 meter. Kelompok burung famili Pssitacidae umumnya menggunakan pohon berukuran besar dan berumur tua sebagai sarangnya dengan melubangi pohon atau memanfaatkan celah pohon kemudian menggunakannya tidak hanya pada saat musim kawin tetapi menggunakan sarangnya sepanjang tahun sebagai sarana perlindungan (Irham 2014). Sarang nuri bayan (E. roratus) dijumpai pada pohon Mara (Tetrameles nudiflora) dari famili Tetramelaceae. Berdasarkan aktivitas nuri bayan (E. roratus) yang dijumpai, diduga jenis nuri bayan betina sedang mengerami telur. Hal tersebut karena nuri betina selalu dijumpai saat pengamatan berlangsung. Terlihat beberapa kali nuri bayan betina keluar dari sarangnya, dan bertengger pada pohon lain didekat sarang selama rentang waktu 10 – 15 menit sampai kembali ke sarangnya tanpa membawa pakan. Jenis nuri bayan jantan tidak selalu dijumpai disarang, akan tetapi berada disekitar pohon sarang tersebut pada dahan pohon yang berbeda. Pohon tersebut juga merupakan habitat bagi jenis Pssitacidae lain seperti perkici orange (T. capistratus) dan nuri pipi merah (G. geoffroyi), akan tetapi jenis kakatua sumba (C. sulphurea citrinocristata) tidak dijumpai pada pohon yang telah dihuni oleh jenis Psittacidae lainnya.

Gambar 21 Nuri bayan (Eclectus roratus)

Pada ekosistem riparian, famili yang paling banyak ditemukan adalah Columbidae dan Muscicapidae. Sebanyak empat jenis yang ditemukan dari famili Columbidae yaitu pergam hijau (Ducula aenea), walik rawamanu (Ptilinopus dohertyi), uncal kouran (Macropygia ruficeps), dan delimukan zamrud (Chalcophaps indica). Jenis-jenis burung famili Columbidae umumnya dijumpai bertengger pada puncak-puncak pohon Gamal (Gliricidia sepium) yang mendominasi pada sekitar ekosistem riparian. Famili Columbidae umunya

37

ditemukan beraktifitas dipermukaan tanah dan di atas tajuk. Aktivitas yang biasa dilakukan yaitu mencari makan biji-bijian, terkadang mereka memakan batu atau pasir untuk membantu proses pencernaannya (Hidayat 2012). Perbandingan keanekaragaman famili pada ekosistem riparian di kawasan Mahaniwa dapat dilihat pada Gambar 22.

4.5 4 4 3.5 3 3 3 2.5 2 2 2 2 2 1.5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.5 0

Gambar 22 Jumlah jenis pada famili di ekosistem riparian

Kelompok jenis-jenis burung dari famili Muscicapidae ditemukan sebanyak tiga jenis yaitu sikatan sumba (Ficedulla harterti), sikatan bubik (Muscicapa dauurica), dan sikatan kepala abu (Culicicapa ceylonensis).

Gambar 23 Pergam hijau (Ducula aenea)

38

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon (Gambar 24) kurva ekosistem riparian cenderung lebih curam dibandingkan dengan ekosistem hutan dataran rendah karena pada ekosistem riparian selalu mengalami pertambahan daftar jenis. Ekosistem dataran rendah memiliki kurva cenderung relatif mendatar karena tidak mengalami kenaikan kurva pada daftar jenis ke 6 dan 8. Kecuraman yang terjadi pada kurva kekayaan jenis menandakan bahwa terdapat kemungkinan adanya jenis burung baru yang belum tercatat pada daftar jenis apabila ada penambahan waktu dalam pengamatan (Mackinnon 1998).

35 32 29 28 30 26 25 24 24 24 25 19 23 25 21 20 18 15 15 10 Jumlah jenis Jumlah 10

5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Daftar Jenis ke - Hutan Dataran Rendah Riparian

Gambar 24 Kurva pertambahan jenis pada masing-masing ekosistem

Jenis – jenis yang sering dijumpai pada ekosistem hutan dataran rendah antara lain nuri bayan (E. roratus), perkici orange (T. capistratus), dan julang sumba (R. everetti). Struktur vegetasi dari ekosistem hutan dataran rendah cenderung tertutup dan ditumbuhi oleh jenis pohon ai marra (Toona sureni) dan kondorawa (Elaeocarpus sphaericus). Penggunaan ruang pada burung pemakan buah (frugivora) biasanya cenderung beraktivitas pada bagian tengah pohon, dimana terdapat buah dan biji (Jarulis 2007). Julang Sumba (R. everetti) dijumpai pada tajuk bagian atas pohon. Hal tersebut disebabkan karena kelompok Burcerotidae cenderung memilih tajuk bagian atas karena kemudahannya mendatangi tempat tersebut dan persaingan dengan jenis lain (Mardiastuti et al. 1999). Pada ekosistem riparian ditemukan lebih banyak jenis burung dari pada ekosistem hutan dataran rendah. Perjumpaan burung lebih mudah ditemukan karena tutupan lahan dari ekosistem riparian lebih terbuka apabila dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Struktur vegetasi ekosistem riparian umumnya di dominasi dengan tanaman Gamal (G. sepium), oleh sebab itu jenis – jenis burung yang dijumpai pada ekosistem riparian relatif berukuran lebih kecil seperti kipasan arafura (Rhipidura dryas), burungmadu sumba (Cinnyris buettikoferi), dan kacamata wallacea (Zosterops wallacei) yang memanfaatkan lapisan sub-canopi

39

atau strata II yang memungkinkan untuk berpindah diantara ranting-ranting. Kelompok burung famili Nectariniidae sering memanfaatkan ketinggian 3 – 10 m untuk mencari makan, disamping itu juga digunakan untuk istirahat, dan bersuara (Jarulis 2007).

Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan Dominansi Burung Berdasarkan pengambilan data yang dilakukan pada dua ekosistem menggunakan analisis indeks keanekaragaman Shannon-Winner, ekosistem hutan dataran rendah memiliki nilai H’ lebih tinggi yaitu H’ = 2.51 nilai tersebut lebih tinggi dari ekositem riparian yang memiliki nilai H’= 2.07. Menurut Krebs (1978) terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas antara lain waktu, heteroginitas ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas. Heterogenitas ruang pada ekosistem hutan dataran rendah lebih beragam karena memiliki kerapatan yang lebih rapat dan cenderung beragam vegetasinya dengan strata yang lebih kompleks, sedangkan ekosistem riparian yang didominasi oleh jenis Gamal (G.sepium). Indeks kemerataan pada ekosistem hutan dataran rendah memiliki nilai 0.91 yang lebih tinggi dibandingkan ekosistem riparian yang memiliki nilai 0.72. Nilai indeks kemerataan dikategorikan tinggi apabila > 0.60 (Odum 1971). Hal tersebut menunjukan pada masing-masing ekosistem tidak terjadi dominansi antar jenis dan keberadaan jenis merata. Nilai yang mendekati nilai 1 menunjukan bahwa kemerataan populasi semakin tinggi. Persebaran jenis burung yang merata dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang berlimpah sehingga memperkecil interaksi antar jenis baik kompetensi dan aktivitas predasi.

Tabel 3 Indeks keanekaragaman dan kesamaan jenis burung tiap ekosistem No Indeks Ekosistem HDR R 1 Keanekaragaman 2.51 2.07 2 Kemerataan 0.91 0.72 Keterangan : HDR = Hutan Dataran Rendah, R = Riparian

Dominansi jenis burung pada suatu ekosistem menunjukkan bahwa jenis burung tersebut memiliki kecocokan dengan ekosistemnya sebagai bagian dari habitatnya dan hal tersebut dapat diartikan kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya sangat baik. Menurut Dewi et al. (2007), penentuan nilai dominansi berfungsi untuk menentukan atau menetapkan jenis burung yang dominan, sub- dominan, atau tidak dominan dalam pengamatan. Jenis burung yang sering ditemukan pada saat pengamatan menunjukkan bahwa jenis burung tersebut dapat dengan mudah dijumpai atau cukup dominan pada kawasan tersebut (Wisnubudi

40

2009). Hasil perhitungan dominansi disajikan pada Gambar 25. Nilai dominansi pada tingkat dominan, sub-dominan, dan tidak dominan memiliki angka yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa jalur pengamatan memiliki ciri-ciri habitat yang hampir sama.

10 9 9 8 7 7 6 6 5 5 4 4 3 3 2 1 0 Dominan Sub Dominan Tidak Dominan Hutan Dataran Rendah R

Gambar 25 Jumlah jenis dominan tiap ekosistem

Ekosistem hutan dataran rendah pada lokasi pengamatan memiliki karakteristik yaitu hutan galeri (hutan yang terkonsentrasi di lembah-lembah), kerapatan vegetasi tinggi, dan memiliki aliran sungai (Hidayat dan Kayat 2014). Berdasarkan karakteristik hutan dataran rendah tersebut, ekosistem riparian terdapat di dalam ekosistem dataran rendah. Hal tersebut berpengaruh terhadap jenis burung yang ditemukan hampir sama antara ekosistem hutan dataran rendah dengan ekosistem riparian. Jenis-jenis burung yang mendominasi setiap ekosistem dijelaskan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis burung yang mendominasi tiap ekosistem Hutan Dataran Rendah Nilai Indeks Riparian Nilai Indeks

Corvus macrorhynchos 7.527 Cinnyris buettikoferi 6.207 Rhyticeros everetti 7.527 Corvus macrorhynchos 5.517 Rhipidura dryas 5.376 Zosterops wallacei 5.517 Eclectus roratus 9.677 Rhipidura dryas 5.517 Ducula aenea 10.753 Trichoglossus capistratus 9.655 Trichoglossus capistratus 13.978 Collocalia estulenta 45.517 Terpsiphone floris 5.376 Muscicapa dauurica 6.452 Collocalia estulenta 17.204

Hutan menyediakan sumberdaya untuk mempertahakan kelangsungan mahluk hidup termasuk makanan dan tempat berlindung. Burung berperan dalam

41

berbagai tingkat trofik di hutan dari konsumen primer hingga predator. Sebagai konsumen utama, burung mendapatkan pakan dari nektar, buah, biji, dan serangga. Jenis burung yang sering ditemukan pada kawasan Mahaniwa Resort Wanggameti yaitu burung pemakan atau pengisap madu (nektarinivor) dan pemakan buah (frugivor). Jenis pengisap madu yang sering ditemukan antara lain jenis cikukua tanduk (P. buceroides) dan burungmadu sumba (C. buettikoferi). Burung pengisap madu lebih banyak ditemukan pada ekosistem riparian pada ranting dan dahan pohon gamal (G. sepium) dan memanfaatkan bunganya sebagai sumber pakan, sementara burung pemakan biji lebih banyak ditemukan di ekosistem hutan dataran rendah.

Gambar 26 Julang Sumba (Rhyticeros everetti)

Salah satu jenis burung pemakan buah yang sering dijumpai yaitu julang sumba (R. everetti). Karakteristik dari buah pakan famili Bucerotidae yaitu buah Ficus sp sebagai pakan utamanya (Dahlan 2015). Pakan julang sumba (R. everetti) yang ditemukan yaitu buah dari pohon Kondorawa (Elaeocarpus sphaericus) dengan karakteristik buah berukuran kecil seperti Ficus sp dan berwarna ungu. Kemampuan burung famili Bucerotidae sebagai pemakan buah dalam jumlah banyak dan keahliannya dalam menelan dan memuntahkan biji-biji besar di area hutan, menjadikan mereka sebagai penyebar biji tumbuhan secara alami di kawasan hutan yang sangat penting untuk dilestarikan (Kitamura 2008).

Status Konservasi Status konservasi dari 43 jenis burung yang ditemukan di Taman Nasional Matalawa khususnya pada Resort Wanggameti kawasan Mahaniwa menurut daftar jenis IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) menunjukan sebagian besar memiliki status LC (Least Concern) atau

42

beresiko rendah. Terdapat dua jenis memiliki status VU (Vulnerable) atau rentan yaitu jenis julang sumba (R. everetti) dan walik rawamanu (P. dohertyi). Jenis anis nusa tenggara (Zoothera dohertyi) berstatus NT (Near Threatened) atau terancam punah dan kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) memiliki status CR (Critically endangered) atau kritis. Terdapat tiga blok hutan sebagai habitat utama kakatua sumba di TN Matalawa yaitu Billa, Praingkareha, dan Mahaniwa. Kakatua sumba bertahan hidup melalui kelompok-kelompok kecil pada wilayah hutan yang tersisa di wilayah Sumba. Penurunan jumlah kakatua sumba akibat degradasi hutan dan maraknya perburuan liar (Hidayat 2014). Menurut PermenLHK No P.106 Thn 2018 terdapat 12 jenis yang dilindungi. Beberapa famili yang dilindungi oleh Permenhut No. 106 Thn 2018 antara lain Pssitacidae, Bucerotidae, Columbidae, dan Acciptridae. Semua jenis burung paruh bengkok famili Pssitacidae yang ditemukan dilindungi, yaitu kakatua sumba (C. sulphurea citrinocristata), nuri pipi merah (G. geoffroyi), perkici orange (T. capistratus), dan nuri bayan (E. roratus).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pengamatan pada dua ekosistem di kawasan Mahaniwa Resort Wanggameti ditemukan 43 jenis, 28 jenis ditemukan di ekosistem hutan dataran rendah dan 32 jenis pada ekosistem riparian. Melalui perhitungan dan analisis data didapatkan indeks keanekaragaman pada ekosistem hutan dataran rendah sebesar 2.51 dan indeks keanekaragaman pada ekosistem riparian sebesar 2.07. Hasil pengamatan pada 10 plot dengan pengulangan sebanyak 4 kali didapatkan jenis yang dominan menetap pada kawasan Mahaniwa, spesies yang dikategorikan dominan atau sering dijumpai yaitu walet sapi (C. esculanta), perkici orange (T. capistratus), dan pergam hijau (D. aenea). Pada ekosistem riparian ditemukan lebih banyak jenis burung dari pada ekosistem hutan dataran rendah. Perjumpaan burung lebih mudah ditemukan karena tutupan lahan dari ekosistem riparian lebih terbuka apabila dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hal tersebut juga mempengaruhi penggunaan tajuk, burung berukuran kecil cenderung memanfaatkan lapisan sub-canopi atau strata II yang memungkinkan untuk berpindah diantara ranting-ranting. Jenis burung yang sering ditemukan pada kawasan Mahaniwa Resort Wanggameti yaitu burung pemakan atau pengisap madu (nektarinivor) dan pemakan buah (frugivor).

Saran Perlu adanya kajian lebih lanjut di Resort Wanggameti TN Matalawa sehingga dapat ditemukan jenis-jenis baru yang sebelumnya belum pernah ditemukan.

43

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan J. 2015. Perilaku makan julang emas (Rhyticeros undulatus) pada saat bersarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang. Dewi RK, Mulyani Y, Santosa Y. 2007. Keanekaragaman jenis burung di beberapa tipe habitat Taman Nasional Gunung Ciremai. Media Konservasi 12(3):1-3. Hidayat O dan Kayat. 2014. Karakteristik dan preferensi habitat kakaktua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti Provinsi Nusa Tenggara Timur. Widyariset. 17(3):399-408. Hidayat O. 2012. Keragaman spesies avifauna hutan penelitian Oilsonbai, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Pratiwi, Heriansyah I, Gunawan H, Dharmawan IWS, Irianto RSB, Kuntandi, editor. Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Mayarakat Nusa Tenggara Timur; 2012 16 Okt; Kupang Indonesia. Kupang (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. hlm 23–29. Hidayat O. 2014. Komposisi, preferensi dan sebaran jenis tumbuhan pakan kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 3(1):25-36. Irham M. 2015. Perilaku persarangan burung nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi Bechstein, 1811). Fauna Indonesia 13(1):39–44. Jarulis. 2007. Pemanfaatan ruang secara vertikal oleh burung- burung di hutan kampus kandang limun Universitas Bengkulu. Jurnal Gradien 3(1):237-242. Kitamura S, Yumoto T, Poonswad P, Noma N, Chuailua P, Plongmai K, Maruhashi T, Suckasam C. 2004. Pattern and impact of hornbill seed dispersal at nest in a moist evergreen forest in Thailand. J Trop Ecol. 20(2):545–553. Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. New York (US): Harper dan Row Publisher. MacKinnon J, Phillips K, van Ballen B. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Bogor (ID): Burung Indonesia. Mardiastuti A, Salim LR, Mulyani YA. 1999. Perilaku makan Rangkong Sulawesi pada dua jenis Ficus di Suaka Margasatwa Lambusango, Buton (Feeding behavior of Sulawesi Red-Knobbed Hornbills on two ficus trees in Lambusango Wildlife Sanctuary, Buton). Media Konservasi 6(1):7-10. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia. WB Sounders. Rombang WM, Trainor C dan Lesmana, D. 2002. Daerah Penting bagi Burung: Nusa Tenggara [Important Bird Areas of Indonesia: Nusa Tenggara]. Bogor (ID): PKA and BirdLife International. [In Indonesian]

44

Trainor C, Lesmana D, Gatur A. 2000. Kepentingan hutan di daratan Timor bagian barat telaah awal informasi keanekaragaman hayati dan sosial ekonomi di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Laporan No. 13). Bogor (ID): PKA/Birdlife International/WWF. Wisnubudi G. 2009. Penggunaan strategi vegetasi oleh burung di kawasan wisata Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Vis Vitalis. 2(2):41-49.

45

LAMPIRAN

Lampiran 1 Jenis burung dilindungi berdasarkan IUCN, CITES, dan Permenhut No.106 Tahun 2018 Permenhut No Nama Jenis Nama Latin Famili IUCN CITES No. 106 Thn 2018

1 Elang bondol Haliastur indus Accipitridae LC Appendix II D

2 Branjangan Jawa Mirafra javanica Alaudidae LC Non Appendix -

3 Walet Sapi Collocalia estulenta Apodidae LC Non Appendix -

4 Julang sumba Rhyticeros everetti Bucerotidae VU Appendix II D Kepudangsungu Coracina 5 besar novaehollandiae Campephagidae LC Non Appendix -

6 Delimukan zamrud Chalcophaps indica Columbidae LC Non Appendix -

7 Pergam hijau Ducula aenea Columbidae LC Non Appendix -

8 Uncal buau Macropygia emiliana Columbidae LC Non Appendix -

9 Uncal kouran Macropygia ruficeps Columbidae LC Non Appendix -

10 Walik rawamanu Ptilinopus dohertyi Columbidae VU Non Appendix D

11 Gagak kampung Corvus macrorhynchos Corvidae LC Non Appendix -

12 Kedasi emas Chrysococcyx lucidus Cuculidae LC Non Appendix -

13 Wiwik uncuing Cacomantis sepulclaris Cuculidae LC Non Appendix -

14 Cabai sumba Dicaeum wihelminae Dicaediae - Non Appendix - Srigunting 15 wallacea Dicrurus densus Dicruridae LC Non Appendix -

16 Bondol peking Lonchura punctulata Estriltidae LC Non Appendix - Gosong Kaki- 17 merah Megapodius reinwardt Megapodiae LC Non Appendix D

18 Cikukua tanduk Philemon buceroides Meliphagidae LC Non Appendix -

19 Isapmadu australia Lichmera indistincta Meliphagidae LC Non Appendix -

20 Myzomela sumba Myzomela dammermani Meliphagidae LC Non Appendix -

21 Kehicap kacamata Monarcha trivirgatus Monarchidae LC Non Appendix - Seriwang nusa- 22 tenggara Terpsiphone floris Monarchidae LC Non Appendix -

23 Sikatan bubik Muscicapa dauurica Muscicapidae LC Non Appendix -

24 Sikatan kepala-abu Culicicapa ceylonensis Muscicapidae LC Non Appendix -

25 Sikatan sumba Ficedulla harterti Muscicapidae LC Non Appendix - Burungmadu 26 sumba Cinnyris buettikoferi Nectarinidae LC Non Appendix D

46

Lampiran 1 Jenis burung dilindungi berdasarkan IUCN, CITES, dan Permenhut No.106 Tahun 2018 (lanjutan)

Permenhut No Nama Jenis Nama Latin Famili IUCN CITES No. 106 Thn 2018 Burungmadu 27 kelapa Anthreptes malacensis Nectariniidae LC Non Appendix - Burungmadu 28 sriganti Nectarinia jugularis Nectariniidae LC Non Appendix - Kepudang kuduk- 29 hitam Oriolus chinensis Oriolidae LC Non Appendix -

30 Kancilan emas Pachycephala pectoralis Pachycephalidae LC Non Appendix -

31 Ayamhutan Hijau Gallus varius Phasianidae LC Non Appendix -

32 Paok laus Pitta elegans Pittidae LC Non Appendix D Betetkelapa paruh- Tanygnathus 33 besar megalorynchos Psittaciidae LC Appendix II D Cacatua sulphurea 34 Kakatua Sumba citrinocristata Psittaciidae CR Appendix I D

35 Nuri Bayan Elcectus roratus Psittaciidae LC Non Appendix D

36 Nuripipi merah Geoffroyus geoffroyi Psittaciidae LC Appendix II D Trichoglossus 37 Perkici Orange capistratus Psittaciidae LC Appendix II D

38 Tikusan ceruling Rallina fasciata Rallidae LC Non Appendix -

39 Kipasan arafura Rhipidura dryas Rhipiduridae LC Non Appendix -

40 Perling kecil Aplonis minor Sturnidae LC NonAppendix -

41 Anis nusatenggara Zoothera dohertyi Turdidae NT Non Appendix -

42 Gemak totol Turnix maculosa Turnicidae LC Non Appendix -

43 Kacamata wallacea Zosterops wallacei Zosteropidae LC Non Appendix D Keterangan : D : Dilindungi LC : Least Concern

47

48

PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa) merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki kondisi alam yang masih terjaga. Kawasan ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang paling tinggi di Pulau Sumba. Hal ini juga didukung oleh tipe ekosistem yang beragam. Tipe ekosistem yang terdapat di kawasan taman nasional ini dicirikan oleh perbedaan kondisi vegetasi habitat penyusunya, seperti ekosistem hutan hujan, savana, dan hutan musim. Keberagaman tipe ekosistem tersebut menjadikan kawasan ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Berdasarkan hasil pengumpulan data, terdapat 375 jenis tumbuhan, 70 jenis tumbuhan paku- pakuan, dan 90 jenis tumbuhan berkhasiat obat. Jenis fauna didalam kawasan TN Matalawa terdapat 158 jenis burung, 94 jenis kupu-kupu, 41 jenis capung, 28 jenis mamalia, 6 jenis amfibi, dan 30 jenis reptil (Balai TN Matalawa 2018). Potensi sumberdaya alam yang terdapat di kawasan Taman Nasional Matalawa yang sangat beragam ini tentunya sangat penting untuk diteliti, khususnya potensi herpetofauna. Keberadaan herpetofauna (reptil dan amfibi) ini tentunya sangat penting, karena merupakan bagian dari rantai makanan di alam dan berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem. Amfibi dan reptil merupakan kelompok satwa yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian di Indonesia, padahal pemanfaatan amfibi dan reptil di Indonesia relatif besar (Kusrini 2019). Penelitian- penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di kawasan taman nasional ini juga belum banyak yang mengkaji mengenai keberadaan amfibi dan reptil. Berdasarkan hal tersebut, Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) Himakova melalui kegiatan ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (Surili) ini melakukan kegiatan inventarisasi jenis herpetofauna dalam rangka membantu menginformasikan serta menambah data mengenai keberadaan jenis herpetofauna di Taman Nasional Matalawa.

Tujuan 1. Mengidentifikasi komposisi jenis dan kelimpahan relatif herpetofauna di Resort Wanggameti, Taman Nasional Matalawa. 2. Mengindentifikasi keberadaan spesies invasif herpetofauna di kawasan Taman Nasional Matalawa.

49

METODE Waktu dan Lokasi Pengambilan data dilakukan selama enam hari, sejak tanggal 1 – 6 Agustus 2019 yang berlokasi di Resort Wanggameti tepatnya di Blok Mahaniwa, Taman Nasional Matalawa (Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti). Lokasi pengamatan dilakukan pada dua tipe habitat, yaitu habitat akuatik dan terestrial. Kondisi habitat di lokasi pengamatan secara umum merupakan wilayah padang rumput (ekosistem savana) yang ditumbuhi dengan ilalang dengan tinggi mencapai satu meter. Vegetasi lain yang terdapat di lokasi pengamatan berupa semak belukar dan pepohonan berukuran kecil hingga sedang yang cukup rapat.

Gambar 27 Peta lokasi pengamatan herpetofauna di Taman Nasional Matalawa

Pengambilan data dilakukan di dua tipe ekosistem, yaitu habitat akuatik (Sungai Patamawai dan Sungai Laiju) dan terestrial (Hutan Wailatuna) (Gambar 28). Waktu saat dilakukan pegambilan data yakni ketika musim kemarau dengan suhu antara 33o – 34 oC pada siang hari dan 14o – 23 oC pada malam hari dengan kelembaban antara 47 – 98 %. Lokasi pengamatan pertama terletak di Sungai Patamawai. Sungai Patamawai merupakan sungai utama yang terdapat di Blok Mahaniwa. Sungai ini memiliki lebar sebesar 3 – 5 m dengan aliran air yang tidak terlalu deras. Kedalaman sungai mulai dari 10 – 70 cm. Vegetasi di kanan dan kiri sungai cukup rapat dengan tumbuhan yang mendominasi adalah bambu dan

50

beberapa jenis palem, juga tumbuhan bawah. Pepohonan yang terdapat di sekitar sungai hanya sebagian kecil yang berukuran besar.

Gambar 28 Atas kiri: Jalur pengamatan akuatik-1 di Sungai Patamawai; Atas kanan: Jalur pengamatan akuatik 2 (Sungai Laiju); Bawah: Jalur pengamatan terestrial (Hutan Wailatuna)

Lokasi pengamatan kedua merupakan habitat terestrial yang terletak di Hutan Wailatuna. Hutan Wailatuna merupakan hutan yang terletak di Desa Mahaniwa tepatnya di Resort Wanggameti Taman Nasional Matalawa. Hutan Wailatuna memiliki topografi curam dan terdapat bebatuan karst. Vegetasi cukup rapat dengan pohon-pohon berukuran besar. Lantai hutan tidak ditutupi oleh tumbuhan bawah, namun banyak ditumbuhi pandan serta semai dan pancang dari famili Dipterocarpaceae.

51

Lokasi pengamatan ketiga merupakan habitat akuatik yang terletak di Sungai Laiju. Lokasi ini cukup jauh dari dua lokasi pengamatan sebelumnya, namun masih berada di kawasan Mahaniwa. Sungai Laiju merupakan sebuah sungai yang terletak di sekitar perbukitan Mahaniwa. Sungai ini memiliki air yang jernih dengan aliran air yang tidak terlalu deras dan juga terdapat bebatuan yang cukup besar. Sungai tidak terlalu lebar dan juga tidak terlalu dalam, lebar sungai 1 – 3 m dan kedalaman 20 – 60 cm. Vegetasi di bagian kanan dan kiri sungai tidak terlalu rapat, didominasi oleh tumbuhan bawah, pinang, dan beberapa jenis pohon dengan diameter yang tidak terlalu besar.

Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan yaitu hook stick, grab stick, kantong ular, kantong plastik ukuran 2 kg, termometer dry-wet, GPS, pita ukur, lem, papan ukuran 30 x 30 cm, tallysheet, spidol, buku panduan lapang pengenalan amfibi dan reptil, alat tulis, kamera, meteran jahit, kaliper, neraca digital, alat bedah, alkohol 70%, kapas, kotak spesimen, dan pita penanda.

Metode Pengambilan Data Survei awal dilakukan saat siang hingga sore hari sebelum dilakukan pengamatan pada malam harinya. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenali area penelitian, kondisi lapang, dan titik pengamatan untuk memudahkan pengamatan. Data primer diperoleh melalui observasi di lapang. Metode yang digunakan adalah Visual Encounter Survey (VES), yaitu penangkapan satwa yang dijumpai langsung di habitat terestrial maupun akuatik (Heyer et al. 1994). Metode ini dimodifikasi dengan metode time search dan transect. VES digunakan untuk menentukan kekayaan jenis suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis, dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies (Kusrini 2019). Metode VES dilakukan dengan mencatat usaha pencarian sejumlah surveyor yang terlibat (search effort dalam bentuk jam-orang) yang bergerak dalam hutan secara acak dan mengamati semua mikrohabitat yang dijumpai. Metode transect merupakan pencarian yang dibatasi oleh panjang jalur pengamatan, yakni sepanjang 200 m. Metode time search merupakan pencarian yang dibatasi oleh waktu yang ditentukan, yakni selama 2 jam.

52

Gambar 29 Survei lokasi pengamatan (kiri atas), pemasangan glue trap (pojok kanan atas), pencatatan di lapang (kanan tengah), dan pengamatan malam (bawah)

Gambar 30 Pembuatan spesimen di lapang (kiri) dan hasil pengawetan spesimen (kanan)

Pengamatan dilakukan pada malam hari dengan jumlah pengamat sebanyak 4 orang perhari, sehingga usaha pencarian total yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 jam-orang. Pengamatan juga dilakukan pada pagi hari dengan metode pasif berupa pemasangan glue trap dengan menempatkan sebanyak 10 papan berukuran

53

30 x 30 cm di jalur terestrial. Jenis herpetofauna yang dijumpai pada setiap titiknya ditangkap dan dicatat segala bentuk aktivitasnya. Data sekunder meliputi data penunjang yang berkaitan dengan penelitian ini untuk mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data penunjang berupa keadaan fisik lokasi penelitian, iklim, vegetasi, dan jenis-jenis herpetofauna menggunakan studi literatur. Amfibi dan reptil yang tertangkap secara langsung diidentifikasi di lapang dengan melakukan pengukuran panjang dan bobokuput tubuh. Pengukuran panjang mulai dari moncong hingga anus (SVL) untuk katak, sedangkan untuk reptil mengukur SVL dan panjang total hingga ujung ekor. Pengukuruan panjang menggunakan kaliper (amfibi) dan meteran jahit (reptil), dalam satuan cm. Bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan digital dalam satuan gram. Hal berikutnya yakni identifikasi dan pengambilan foto. Herpetofauna tersebut dilepaskan kembali kecuali untuk beberapa ekor yang akan diawetkan untuk identifikasi lebih lanjut. Panduan lapang herpetofauna yang digunakan dalam identifikasi diperoleh dari berbagai macam literatur antara lain buku dan jurnal, seperti Buku Panduan Lapang Alas Purwo (Yanuarefa et al. 2012), A Fieldguide to The Reptiles of Southeast Asia (Das 2010), Panduan Lapang Fauna Taman Nasional Gunung Tambora (HIMAKOVA 2015), dan Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat (Kusrini 2013). Herpetofauna yang tidak teridentifikasi secara langsung di lapangan akan diawetkan menjadi spesimen basah menggunakan alkohol 70%. Spesies yang sudah diawetkan akan dibawa ke Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) LIPI Cibinong untuk diidentifikasi lebih lanjut dan disimpan. Penamaan herpetofauna mengacu pada Frost (2017) untuk amfibi dan Uetz et al. (2017) untuk reptil.

Analisis Data Kondisi habitat secara umum diketahui dengan pengumpulan data vegetasi melalui survei rapid assessment untuk mendapatkan gambaran secara umum komposisi vegetasi pada setiap plot pengamatan. Prinsip umum rapid assessment adalah berbasis lapangan yang fokus pada suatu lokasi untuk mengumpulkan data dan mencatat data secara cepat dan akurat untuk mendapatkan gambaran secara umum tipe vegetasi ditemukannya keberadaanya herpetofauna. Komposisi jenis herpetofauna pada lokasi penelitian disusun dalam tabel daftar jenis yang akan berisi nama latin, famili, dan status konservasi berdasarkan daftar merah IUCN, apendiks CITES dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) No. 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi. Jenis-jenis yang bukan jenis asli dari wilayah ini maka akan dicatat sebagai spesies alien. Kelimpahan relatif jenis dihitung berdasarkan pembagian jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah individu keseluruhan dikalikan 100%. Pencatatan kondisi habitat (substrat ditemukan, jarak dari air, suhu, dan kelembaban) dari masing-masing jenis saat ditemukan akan digunakan untuk mengetahui hubungan keberadaan jenis tersebut dengan

54

karakteristik habitatnya. Data habitat yang dihimpun selama pengamatan meliputi vegetasi dominan, kelembaban, suhu, serta kondisi habitat selama pengamatan akan dijelaskan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis Herpetofauna Hasil pengamatan di Blok Mahaniwa menemukan 8 jenis herpetofauna dari 7 famili. Jumlah amfibi yang ditemukan sebanyak 3 jenis dan reptil sebanyak 5 jenis (lihat lampiran untuk deskripsi jenis). Terdapat dua spesies yang belum berhasil diidentifikasi sampai ke tingkat spesies. Seluruh jenis amfibi dan reptil yang ditemukan sebagian besar berkategori LC (Least Concern) menurut daftar merah IUCN, tidak termasuk ke dalam apendiks CITES, dan bukan merupakan jenis dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Permen LHK) No. 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi. Berdasarkan data statistik TN Matalawa (2018), jumlah jenis herpetofauna yang ditemukan di kawasan taman nasional ini yaitu 6 jenis amfibi dan 30 jenis reptil. Jumlah jenis herpetofauna yang ditemukan di Mahaniwa lebih sedikit jika dibandingkan dengan data penelitian HIMAKOVA (2009) dan LIPI (2017). HIMAKOVA (2009) menemukan 4 jenis amfibi dan 14 jenis reptil, sedangkan LIPI (2017) menemukan 9 jenis amfibi dan 25 jenis reptil. Komposisi jenis amfibi dan reptil yang ditemukan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ukuran daerah pengamatan, keterpencilan, ketinggian, letak lintang dan bujur, keragaman tumbuhan, adanya bencana alam, dan kondisi cuaca (Kusrini 2019). Penelitian yang dilakukan oleh tim Surili Himakova hanya terletak di satu lokasi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh LIPI (2017) terletak di dua lokasi yaitu di Desa Wanggameti dan Desa Praing Kareha. Desa Mahaniwa memiliki luas kawasan sebesar 2 210 ha, Desa Wanggameti seluas 5 590 ha, dan Desa Praing Kareha seluas 5 120 ha (Balai TN Matalawa 2018). Luas daerah pengamatan yang lebih kecil (± 2% dari luas TN Matalawa) ini membuat jumlah jenis yang ditemukan sedikit. Faktor lain adalah kondisi cuaca. Kondisi cuaca saat pengamatan adalah saat musim kemarau. Hal ini diduga juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan tidak terlalu banyak, terutama di jalur pengamatan terestrial. Tidak adanya sumber air di jalur pengamatan terestrial menyebabkan sulitnya menemukan jenis herpetofauna. Menurut Riyanto dan Trilaksono (2012), air menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lembab sehingga menguntungkan kebanyakan jenis herpetofauna. Suhu dan kelembaban juga sangat berpengaruh terhadap kelimpahan jenis herpetofauna. Suhu dan kelembaban di daratan (terestrial) akan menjadi faktor pembatas kuat bagi satwa, hal ini akan terlihat dari distribusi dan kelimpahannya. Semakin ekstrim suhu dan kelembaban, maka sedikit

55

jenis maupun jumlah individu yang akan hidup ditempat itu (Sukarsono 2012). Hal ini sesuai dengan kondisi daerah pengamatan yang memiliki selisih suhu dan kelembaban yang cukup ekstrim antara siang dan malam hari. Suhu di Mahaniwa antara 33o – 34o C pada siang hari dan 14o – 23o C pada malam hari dengan kelembaban antara 47 – 98%. Perbedaan hasil penelitian juga dapat disebabkan oleh beberapa kendala seperti lama pengamatan. Menurut Kusrini (2009) bila waktu pengamatan terlalu pendek mungkin hanya mampu melingkup kurang dari 50% jenis yang ada di lokasi tersebut. HIMAKOVA (2009) melakukan pengambilan data di blok Manupeu Tanah Daru dengan waktu pengambilan data selama 8 hari. Sementara itu, pengambilan data kali ini dilakukan selama 6 hari. Hasil pengamatan ditemukan lebih banyak amfibi (147 individu; 93%) daripada reptil (11 individu; 7%). Duttaphrynus melanostictus merupakan jenis amfibi yang paling banyak ditemukan (Gambar 31). Spesies ini ditemukan sebanyak 89 individu (60.54%) dan dapat dijumpai di seluruh jalur pengamatan, baik di habitat akuatik maupun terestrial. D. melanostictus banyak ditemukan di habitat akuatik dengan aliran air yang tidak terlalu deras dan tidak terlalu dalam, di substrat berupa bebatuan, tanah, dan serasah. Sementara itu, jenis amfibi yang paling sedikit ditemui adalah Polypedates leucomystax yaitu berjumlah 5 individu (3.40 %). 70 60.54 60 50 40 36.05 30 20

10 3.40 0 Duttaphrynus Papurana elberti Polypedates melanostictus leucomystax

Gambar 31 Kelimpahan relatif amfibi (%) di Blok Mahaniwa Resort Wanggameti, TN Matalawa (1-6/8 2019)

Kodok buduk (D. melanostictus) merupakan salah satu jenis amfibi hasil introduksi. Spesies ini dapat dijumpai di berbagai tipe habitat, mulai dari kawasan hutan hingga ke daerah pemukiman. Penyebaran kodok buduk di Indonesia sudah dijumpai di berbagai pulau, mulai dari Sumatera hingga Papua. Menurut Kennedi (2018), penyebaran kodok buduk khususnya di wilayah Nusa Tenggara juga sudah cukup luas, yakni tersebar hampir di seluruh pulau yang berada di kawasan Nusa Tenggara. Hal ini disebabkan oleh kemampuan kodok buduk dalam beradaptasi dengan lingkungan. Wowor (2010) juga menyatakan bahwa kodok buduk merupakan amfibi yang dapat hidup di perairan atau daratan yang tergenang oleh

56

air hujan. Postur tubuhnya yang relatif besar dan kulitnya yang tebal dapat menjadi salah satu faktor mengapa jenis ini dapat bertahan hidup di semua habitat. Kemampuan kodok buduk dalam beradaptasi dengan lingkungannya ini juga dibuktikan dengan ditemukannya spesies ini di seluruh jalur pengamatan, mulai dari habitat akuatik hingga terestrial. Kodok ini ditemukan di sekitar bebatuan sungai, tanah, serasah, di air mengalir, bahkan di sekitar kubangan yang airnya sedikit keruh. Kehadiran kodok buduk sebagai spesies invasif masih harus dilakukan penelitian lanjutan. Keberadaan kodok buduk yang mendominasi kawasan Blok Mahaniwa belum dapat dikatakan sebagai spesies invasif, karena perlu waktu yang cukup lama untuk melihat dampak negatif dari suatu spesies yang terintroduksi hingga menjadi spesies invasif. Menurut Kennedi (2018), luasnya penyebaran kodok buduk di Indonesia khususnya di Nusa Tenggara menunjukkan adanya kemungkinan spesies ini menjadi spesies invasif. Kelimpahan jenis reptil tertinggi adalah Trimeresurus insularis. Spesies ini ditemukan sebanyak 6 individu (54.55%). Seluruh individu ditemukan di jalur pengamatan akuatik, di sekitar bebatuan dan bambu. Jenis lain hanya ditemukan sebanyak satu hingga dua individu. Kelimpahan jenis reptil seperti ditunjukkan pada Gambar 32.

60 54.55

50

40

30

20 18.18 9.09 9.09 9.09 10

0 Trimeresurus Dendrelaphis Sphenomorphus Ramphotyphlops RamphotyplopsIndotyphlops insularis inornatus sp. sp. braminusbraminus

Gambar 32 Kelimpahan relatif reptil (%) di Blok Mahaniwa Resort Wanggameti, TN Matalawa (1-6/8 2019)

Trimeresurus insularis merupakan salah satu jenis ular yang banyak ditemukan di kawasan Nusa Tenggara. Penyebarannya meliputi Bali, Komodo, Rinca, Adonara, Lembata, Pantar, Alor, Roti, Semau, Wetar, Romang, Flores, Kisar, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor (Das 2010). Jenis ini memilki tiga warna berbeda, yakni berwarna biru (di Pulau Komodo), kuning (di Pulau Wetar), dan hijau (jenis yang umum dijumpai). Menurut Das (2010), ular jenis ini merupakan ular arboreal yang aktif pada malam hari (nokturnal) dan ditemukan

57

pada ekosistem hutan dengan ketinggian mencapai 880 mdpl. Makanan berupa kadal, tokek, tikus, dan katak. Lokasi tempat ditemukannya ular ini adalah di sekitar sungai, tepatnya di bagian tepi sungai. Ular ini banyak dijumpai sedang diam di bagian akar-akar bambu, dan beberapa juga ditemukan di bebatuan dekat bambu.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Komposisi jenis herpetofauna yang terdapat di Blok Mahaniwa, Resort Wanggameti, Taman Nasional Matalawa terdiri dari delapan jenis, yaitu tiga amfibi dan lima reptil yang terbagi dalam tujuh famili. Seluruh jenis yang ditemukan bukan merupakan jenis yang dilindungi dan bukan jenis yang terancam punah. Kelimpahan jenis herpetofauna terbanyak untuk amfibi adalah jenis Duttaphrynus melanostictus sedangkan dari reptil kelimpahan tertinggi adalah jenis Trimeresurus insularis. Kodok buduk (D. melanostictus) teridentifikasi sebagai jenis introduksi yang berpotensi menjadi spesies invasif di masa yang akan datang karena spesies ini merupakan jenis yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Saran Lokasi penelitian yaitu Blok Mahaniwa hanya bagian kecil dari Taman Nasional Matalawa dan survei ini mendapatkan data pertama untuk jenis herpetofauna di blok ini sehingga tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan jenis baru. Waktu pengambilan data yang terlalu singkat serta kurangnya survei pendahuluan sehingga membuat penelitian ini kurang optimal, untuk itu diperlukan monitoring berkala dan penelitian lanjutan untuk mengeksplorasi lebih banyak lokasi.

58

DAFTAR PUSTAKA

Balai Taman Nasional Matalawa. 2018. Statistik Balai TN Matalawa. Waingapu (ID): Taman Nasional Matalawa. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2019. CITES-listed species [diunduh pada 20 Agustus 2019 https://www.cites.org]. Das I. 2010. A Field Guide to the Reptiles of Southeast Asia. London (UK): Bloomsbury Publishing Plc. Frost DR. 2017. Amphibian Species of The World: an Online Reference Version 6.0 [diunduh pada 20 Agustus 2019 https://research.amnh.org/herpetology/amphibia/index.html] Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biodiversity: Standard Methods for Amphibians. Washington (US): Smithsonian Institution Press. HIMAKOVA. 2009. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2009 di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru, Nusa Tenggara Timur. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. HIMAKOVA. 2015. Panduan Lapang Fauna Taman Nasional Gunung Tambora. Mataram (ID): BKSDA NTB. International Union for Conservation of Nature. 2019. The IUCN red list of threatened species [diunduh pada 20 Agustus 2019 https://www.iucnredlist.org]. Kennedi UF. 2018. Keanekaragaman jenis herpetofauna di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusrini MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Kusrini MD. 2019. Metode Survei dan Penelitian Herpetofauna. Bogor (ID): IPB Press. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2017. Ekspedisi Sumba. Jakarta (ID): LIPI Press. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Permen LHK) No. 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi.

59

Riyanto A, Trilaksono W. 2012. Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet, Jawa Tengah. Ekologi Gunung Slamet. 153-155. Sukarsono. 2012. Pengantar Ekologi Hewan. Malang (ID): UMM Press. Uetz P, Freed P, Hosek J. 2017. The reptile database [diunduh pada 20 Agustus 2019 http://www.reptile-database.org] Wowor D. 2010. Studi Biota Perairan dan Herpetofauna di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane: Kajian Hilangnya Keanekaragaman Hayati. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI. 1-48. Yanuarefa MF, Hariyanto G, Utami J. 2012. Panduan Lapang Alas Purwo. Banyuwangi (ID): Balai Taman Nasional Alas Purwo.

60

LAMPIRAN

Lampiran 2 Jenis herpetofauna yang ditemukan di TN Matalawa

Famili: Bufonidae Duttaphrynus melanostictus

Kodok berukuran sedang hingga besar. Bagian atas tubuh terdapat bintik hitam dan garis berwarna merah. Bagian kepala terdapat garis hitam yang melingkar di belakang mata. Kaki depan tidak berselaput, kaki belakang pendek dan berselaput hingga ruas jari kedua. Ukuran tubuh anakan mulai dari 0.4 – 2.9 cm dengan bobot 0.1 – 0.5 gram. Ukuran kodok dewasa mulai dari 3.2 – 9.9 cm dengan bobot 3.90 gram. Kodok ini ditemukan di seluruh jalur pengamatan, seperti di serasah, bebatuan, kubangan, dan di sekitar aliran air. Jumlah yang ditemukan sebanyak 89 individu, 13 anakan dan 76 dewasa.

61

Famili: Ranidae Papurana elberti

Katak berukuran sedang hingga besar, dengan ukuran mulai dari 3.93 – 7.29 cm dan bobot mulai dari 4 – 35 gram. Tubuh berwarna hijau, putih, hingga keabu- abuan. Timpanum terlihat jelas, terdapat garis dari belakang mata hingga kaki dan pola garis hitam dari bagian moncong hingga mata. Mata bulat menonjol, pupil mata horizontal dan berwarna hitam. Kepala berbentuk segitiga. Kaki depan tidak berselaput, memiliki kaki belakang yang panang dan berselaput hingga ruas jari kedua, disk bulat namun tidak terlalu besar. Jenis ini banyak ditemukan di daerah sungai dengan aliran air yang tenang hingga deras. Ditemukan juga di bebatuan, di atas tanah, dan beberapa ditemukan di bawah perakaran. Jumlah yang ditemukan sebanyak 53 individu.

62

Famili: Rhacoporidae Polypedates leucomystax

Katak pohon dengan panjang tubuh mulai dari 3.76 – 4.86 cm dan bobot dari 3 – 7 gram. Jenis yang ditemukan berwarna oranye, abu-abu, dan kehitaman. Katak ini memiliki kepala berbentuk segitiga. Mata bulat dengan pupil mata horizontal. Memiliki garis hitam yang memanjang dari moncong hingga anus sebanyak 6 garis. Kaki depan tidak berselaput. Kaki belakang berselaput hingga ruas jari kedua. Memiliki disk yang cukup lebar dan lengket di kaki depan dan belakang. Jenis ini ditemukan di daun, akar, dan bebatuan sungai. Jumlah yang ditemukan sebanyak 4 individu. Satu ekor ditemukan di bebatuan gua.

63

Famili: Colubridae Dendrelaphis inornatus

Ular yang mempunyai panjang SVL 40.3 cm, panjang total 59.8 cm dan berat 6 gram. Mempunyai mata bulat, pupil hitam dan berbentuk bulat. Mempunyai bentuk kepala lonjong, bagian dorsal berwarna coklat keemasan, terdapat garis hitam memanjang sampai anus dan bagian ventral berwarna putih kekuningan. Ular ini hanya ditemukan sebanyak satu individu, di atas ranting pohon.

64

Famili: Typhlopidae Indotyphlops braminus

Ular ini ditemukan sebanyak satu individu, di tanah sekitar rumah warga pada siang hari. Bentuk tubuh ular ini menyerupai cacing. Warna tubuh bagian dorsal berwarna hitam, bagian ventral berwarna lebih terang. Kepala dan ekor tumpul, mata dan mulut berukuran kecil. Jenis yang ditemukan memiliki ukuran SVL 19 cm dengan panjang total 29 cm, bobot tubuh sebesar 4 gram.

65

Famili: Typhlopidae Ramphotyphlops sp.

Ular berukuran kecil, tubuh bagian dorsal berwarna hitam kecoklatan, bagian vetral berwarna coklat. Ular ini ditemukan di atas tanah pinggir jalan dalam keadaan mati. Mempunyai panjang SVL 15 cm, panjang total 19 cm dan berat 2 gram.

66

Famili: Viperidae Trimeresurus insularis

Merupakan salah satu ular berbisa tinggi. Tubuh bagian dorsal berwarna hijau terang. Tubuh bagian ventral berwarna hijau kekuningan. Kepala berbentuk segitiga, mata berwarna merah dengan pupil vertikal. Ekor berwarna coklat kemerahan. Ular ini ditemukan di bambu dekat aliran sungai. Mempunyai panjang SVL dari 30 – 49 cm, panjang total dari 37.5 – 63 cm dan berat dari 7 – 63 gram. Jumlah yang ditemukan sebanyak 6 individu.

67

Famili: Scincidae Sphenomorphus sp.

Kadal berukuran kecil, panjang tubuh 4.57 cm, bobot tubuh 0.5 gram. Memiliki timpanum berwarna putih dan garis hitam dari ujung mulut hingga kaki bagian depan. Pupil mata berbentuk bulat dan berwarna hitam. Tubuh bagian dorsal berwarna cokelat, bagian ventral warna putih. Memiliki bintik hitam di bagian atas tubuh. Ditemukan di atas tanah dekat akar, sebanyak dua individu (satu hasil glue trap dan satu hasil penangkapan langsung).

68

69

PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Sumba merupakan salah satu pulau yang terletak di posisi terluar Indonesia. Luas Pulau Sumba kurang lebih 11 005 km2, memiliki luas kawasan hutan 37% dengan komposisi luas hutan konservasi terbesar sebanyak 57%. Keberadaan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa) menjadi salah satu pilar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada di tanah Sumba sebagai habitat flora maupun fauna. Taman Nasional Matalawa memiliki variasi ketinggian 0 sampai 1 225 mdpl sehingga terdiri dari berbagai tipe vegetasi diantarnya padang savana terbuka, hutan tropika kering, hutan semi awet hijau dan hutan mangrove. Kawasan padang sabana yang cukup luas dan diapit oleh tutupan hutan beserta flora dan fauna endemik didalamnya merupakan salah satu daya tarik Taman Nasional Matalawa. Resort Wanggameti merupakan salah satu resort yang terdapat di Taman Nasional Matalawa tepatnya di wilayah kerja seksi 3. Resort ini dikelilingi oleh 2 desa, yaitu Desa Wanggameti dan Desa Mahaniwa, serta 1 desa enclaf, yaitu Desa Katikuwai. Terdapat berbagai macam ekosistem pada resort tersebut, seperti ekosistem riparian, hutan tertutup, dan savana. Resort Wanggameti dijadikan sebagai lokasi penelitian kupu-kupu karena habitatnya mendukung berbagai jenis kupu-kupu untuk hidup, terutama jenis kupu-kupu raja Troides haliphron yang dilindungi menurut Permen LHK No. 20 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Kupu-kupu merupakan satwa yang memiliki keindahan pada corak sayapnya. Sayap kupu-kupu sangat berperan dalam pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) dan menjadi salah satu bioindikator lingkungan. Intensitas cahaya yang cukup bagi kupu-kupu terbang dan ketersediaan tumbuhan pakan menjadi faktor penentu keberadaan kupu-kupu pada habitat tertentu. Kupu-kupu memiliki kisaran suhu tertentu agar dapat bertahan hidup. Kupu-kupu hanya dapat terbang jika suhu tubuhnya di atas 30°C (Sihombing 1999). Keanekaragaman hayati harus dijaga dari kerusakan habitat dan kepunahan maupun penurunan keanekaan jenis hayatinya. Seperti satwa lainnya, kupu-kupu juga mengalami ancaman kelangkaan jika tidak dilakukan perlindungan, pelestarian serta pembinaan habitat agar tetap lestari (Lestari 2018). Letak geografis Taman Nasional Matalawa membuat taman nasional tersebut memiliki habitat yang cocok bagi kupu-kupu untuk hidup. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian mengenai keanekaragaman hayati khususnya kupu-kupu di kawasan Taman Nasional Matalawa, Resort Wanggameti. Data keanekaragaman hayati adalah penting karena informasi tersebut dapat menjadi acuan pengelola untuk mengelola kawasan taman nasional, khususnya perlindungan satwaliar dan pengembangan kawasan di Resort Wanggameti.

70

Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis, kekayaan jenis, kemerataan jenis, kelimpahan jenis kupu-kupu dan mengetahui tumbuhan pakan kupu-kupu di Resort Wanggameti, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti sehingga dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melakukan pengembangan kawasan khususnya di Resort Wanggameti.

METODE Waktu dan Tempat Pengamatan ini dilaksanakan di dalam kawasan Resort Wanggameti, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur tanggal 1 – 7 Agustus 2019. Pengamatan dilakukan mulai dari pukul 08.30 – 12.00 WITA. Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) tipe ekosistem, yaitu lahan tertutup dan lahan terbuka (savana) di Desa Wanggameti, serta ekosistem riparian di Desa Katikuwai.

Gambar 33 Peta Pengambilan Data KPK

Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah jaring serangga sebagai alat pembantu untuk menangkap kupu-kupu, papilot untuk menyimpan spesimen kupu-kupu yang ditangkap, suntikan dan alkohol 70%, tallysheet dan alat tulis, termometer dry-wet untuk mengukur suhu dan kelembaban lokasi penelitian, global

71

positioning system (GPS) untuk tracking, trap untuk menangkap kupu-kupu dengan metode tidak langsung, kamera untuk mendokumentasi kupu-kupu, serta buku panduan lapang kupu-kupu. Sampel penelitian ini adalah kupu-kupu yang terdapat di Resort Wanggameti, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Metode Pengambilan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode tidak langsung menggunakan trap dan metode langsung menggunakan pollard transect. Metode tidak langsung menggunakan trap untuk memerangkap kupu-kupu dengan cara memasang trap pada plot pengamatan yang diduga memiliki banyak potensi kupu-kupu dengan umpan terasi. Metode pollard transect dilakukan dengan menangkap kupu-kupu di sepanjang jalur pengamatan dengan lebar 10 meter dan panjang 50 meter. Penangkapan dilakukan dengan cara berjalan perlahan atau menunggu sambil terus mengawasi keberadaan kupu-kupu untuk ditangkap. Pengamatan tidak dibatasi oleh waktu di setiap plotnya. Antar plot pengamatan terdapat jeda sepanjang 10 meter agar tidak terjadi perhitungan ganda (double counting). Sketsa metode pollard transect dapat dilihat pada Gambar 34.

Jeda

10 m Plot 1 Plot 2

10 m

Arah Jalur 50 m

600 m

Gambar 34 Sketsa jalur pengamatan kupu-kupu metode pollard transect

Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan rumus indeks sebagai berikut: 1. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis kupu-kupu ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus:

72

H’ = − ∑ 푝푖 ln 푝푖

Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman jenis Pi = proporsi nilai penting Ln = logaritma natural

Tabel 5 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners Nilai Indeks SW Kategori Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap > 3 spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap 1 – 3 spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap < 1 spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

2. Kekayaan Jenis Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai kekayaan jenis adalah:

(푆 − 1) 푅 = 푙푛(푁) Keterangan: R = Indeks kekayaan jenis S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah individu keseluruhan jenis

3. Kemerataan Jenis Kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara setiap jenis dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Evennes adalah: 퐻′ 퐸 = 푠 푙푛 Keterangan: E = Indeks kemerataan jenis H’= Indeks Shannon-Wiener S = Jumlah jenis

4. Kelimpahan Jenis Untuk kelimpahan jenis, digunakan nilai kelimpahan jenis relatif. Persamaan yang dipakai adalah persentase kelimpahan relatif (Brower & Zar 1977) sebagai berikut: 푛 푃푠푖 = 푥 100% 푁

73

Keterangan: Psi = Nilai percent similarity untuk jenis ke-I N = Jumlah individu jenis ke-I N = Jumlah individu total

Tumbuhan pakan dianalisis menggunakan studi literatur, yaitu tumbuhan pakan yang ditemukan pada lokasi pengamatan dibandingkan dengan data tumbuhan pakan kupu-kupu yang ditemukan di literatur berupa jurnal dan buku yang membahas tentang tumbuhan pakan kupu-kupu.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah indeks yang menggambarkan keragaman kupu- kupu. Keanekaragaman jenis berkaitan dengan kekayaan jenis kupu-kupu pada suatu habitat (Magurran 1998). Krebs (1978) menyebutkan bahwa terdapat enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keanekaragaman jenis pada suatu komunitas, yaitu waktu, haterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas jenis. Selain ke enam faktor tersebut, Soerianegara (1996) menambahkan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi ditentukan juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis dari 3 (tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 35.

3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Riparian Lahan Terbuka Lahan Tertutup

Gambar 35 Nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti

74

Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem diperoleh, H’ = 3.10 di riparian, H’ = 1.61 di lahan tertutup, dan H’ = 3.15 di lahan terbuka (savana). Menurut ketentuan rentang nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener, keanekaragaman jenis kupu-kupu tertinggi terdapat pada ekosistem lahan terbuka dan keanekaragaman jenis terendah terdapat pada ekosistem lahan tertutup. Hal tersebut berkaitan dengan kekayaan jenis yang terdapat pada masing-masing tipe ekosistem. Nilai indeks kekayaan jenis kupu-kupu di lahan tertutup lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbuka dan riparian.

Kekayaan Jenis Kekayaan jenis merupakan nilai yang ukurannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada suatu lokasi pengamatan. Menurut Lestari (2018), kekayaan jenis menunjukkan perbandingan jumlah jenis yang ditemukan di suatu lokasi dengan jumlah dari masing-masing jenis yang ditemukan. Semakin banyak jumlah jenis dan individu pada suatu lokasi maka nilai indeks kekayaan semakin tinggi (Syaputra 2015). Nilai indeks kekayaan jenis dari 3 (tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 36. 8

7

6

5

4

3

2

1

0 Riparian Lahan Terbuka Lahan Tertutup

Gambar 36 Nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti

Hasil analisis nilai indeks kekayaan jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem diperoleh, R = 6.82 di riparian, R = 2.08 di lahan tertutup, dan R = 7.16 di lahan terbuka (savana). Nilai indeks kekayaan jenis dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jumlah individu pada ekosistem tersebut. Kekayaan jenis di lahan terbuka tertinggi dan kekayaan jenis di lahan tertutup terendah. Hal tersebut disebabkan jumlah jenis kupu-kupu dengan jumlah individu yang ditemukan di lahan terbuka lebih banyak, yaitu sebanyak 29 jenis dengan 50 individu ditemukan sedangkan di lahan tertutup sebanyak 7 jenis dengan 17 individu ditemukan.

75

Kemerataan Jenis Kemerataan merupakan nilai yang menunjukkan sebaran jumlah individu per setiap jenis pada suatu lokasi. Tingkat kemerataan juga mempengaruhi kestabilan suatu jenis di alam, hal ini berkaitan dengan kemampuan suatu spesies bertahan dari ancaman kepunahan. Mawazin dan Subiakto (2013) menyatakan bahwa suatu jenis yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar untuk mempertahankan kelestarian jenisnya. Nilai indeks kemerataan jenis dari 3 (tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 37.

0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Riparian Lahan Terbuka Lahan Tertutup

Gambar 37 Nilai indeks kemerataan jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti

Hasil analisis nilai indeks kemerataan kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem diperoleh, E = 0.60 di riparian, E = 0.56 di lahan tertutup, dan E = 0.80 di lahan terbuka (savana). Hasil tersebut menggambarkan bahwa individu jenis kupu-kupu di seluruh lokasi pengamatan hampir merata, tetapi tidak menutup kemungkinan ada jenis yang mendominasi karena nilai indeks berada di pertengahan rentang angka 0 sampai 1. Menurut Magurran (1988), apabila indeks kemerataan jenis mendekati 0 berarti kemerataan antar jenis di dalam ekosistem tersebut adalah rendah, sedangkan apabila indeks kemerataan jenis mendekati 1 berarti kemerataan antar jenis di dalam ekosistem tersebut adalah tinggi. Indeks kemerataan yang tinggi menunjukkan bahwa suatu ekosistem memiliki jumlah individu per jenis yang hampir sama atau merata, sedangkan indeks kemerataan yang rendah menunjukkan adanya kecenderungan dominansi jenis tertentu di suatu habitat.

Kelimpahan Jenis Kelimpahan jenis adalah nilai yang menunjukkan banyaknya jenis individu suatu jenis dibandingkan dengan total individu dari setiap jenis yang ditemukan.

76

Nilai indeks kelimpahan jenis kupu-kupu di Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 38.

Lainnya 1%

Papilio memnon 5%

Danaus chrysippus 5%

Zizina otis 7%

Neptis hylas 12%

Eurema blanda 11%

Catopsilia pomona 6%

0 5 10 15 20 25 30

Gambar 38 Kelimpahan jenis kupu-kupu di Resort Wanggameti

Jenis kupu-kupu dengan kelimpahan tertinggi adalah Neptis hylas, yaitu sebesar 12% dari famili nymphalidae. Jenis kupu-kupu tersebut ditemukan pada seluruh tipe ekosistem, sedangkan jenis yang lainnya hanya ditemukan pada satu atau dua tipe ekosistem yang diamati. Menurut Odum (1993), nilai kelimpahan jenis kupu-kupu N. hylas, P. memnon, D. chrysippus, Eurema blanda, Z. otis dan C. pomona tergolong tinggi dan merupakan jenis yang dominan di Resort Wanggameti karena memiliki nilai kelimpahan jenis > 5% (lebih dari 5%), sedangkan jenis kupu- kupu lainnya tergolong sedang dan merupakan jenis sub-dominan pada lokasi.

Tumbuhan Pakan Banyaknya jumlah jenis kupu-kupu hasil tangkapan di lokasi penelitian berkaitan dengan ketersediaan tumbuhan pakan. Menurut Rahayu dan Basukriadi (2012), kekayaan jenis kupu-kupu yang tinggi tidak terlepas dari faktor ketersediaan tumbuhan inang kupu-kupu, baik sebagai sumber makanan maupun tempat bernaung. Beberapa jenis tumbuhan yang dikenal sebagai tumbuhan inang dan tumbuhan pakan larva kupu-kupu banyak tumbuh di lokasi penelitian. Menurut Efendi (2009) dan Lamatoa et al. (2013), kupu-kupu jenis ini bersifat polifagus. Polifagus merupakan sifat kupu-kupu yang dapat melakukan oviposisi pada beberapa jenis tumbuhan (Vane 2003). Tanaman inang dari jenis Catopsilia pamona antara lain yaitu Caesalpinacea, Capparaceae, dan Papilionaceae (Peggie 2006).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis data menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis kupu-kupu tertinggi terdapat pada ekosistem lahan terbuka

77

(savanna). Persebaran jenis kupu-kupu pada tiga tipe ekosistem tersebar hampir merata, namun masih ada beberapa jenis yang mendominasi. Jenis kupu-kupu yang memiliki kelimpahan relatif tinggi antara lain N. hylas, P. memnon, D. chrysippus, Eurema blanda, Z. otis dan C. Pomona yang merupakan jenis dominan ditemukan pada tiga tipe ekosistem pengamatan.

Saran Resort Wanggameti merupakan kawasan yang memiliki satwa kupu-kupu langka dan dilindungi Permen LHK No. 20 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yaitu kupu-kupu raja Troides haliphron. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan pakan kupu-kupu tersebut serta kaitannya dengan konservasi kupu-kupu T. haliphron berbasis kearifan masyarakat lokal (masyarakat sumba timur). Penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengelola Taman Nasional Matalawa khususnya Resort Wanggameti dalam melestarikan kupu-kupu T. haliphron.

78

DAFTAR PUSTAKA

Efendi MA. 2009. Keragaman Kupu-Kupu (Lepidoptera: Ditrysia) di Kawasan “Hutan Koridor” Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Jawa Barat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Magguran AE. 1998. Ecologycal Divercity and Its Measurement. Yogyakarta (ID): Princeton University Press. Lamatoa DC, Koneri R, Siahaan R, Maabuat PV. 2013. Populasi kupu-kupu (Lepidoptera) di Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains 13(1):2-56. Lestari VC, Erawan TS, Melanie, Kasmara H, Hermawan W. 2018. Keanekaragaman jenis kupu-kupu familia nymphalidae dan familia pieridae di Kawasan Cirengganis dan Padang Rumput Cikamal Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Jurnal Agrikultura 29(1):1-8. Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragaman dan komposisi jenis permudaan alam hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau. J Forest Rehabilitation. 1(1):59–73. Peggie D, Amir M. 2006. Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden. Bogor (ID): Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya. Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda. Syaputra M. 2015. Pengukuran keanekaragaman kupu-kupu (lepidoptera) dengan menggunakan metode time search. Media Bina Ilmiah 9(4).

79

80

PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa) merupakan taman nasional gabungan dari dua taman nasional yang terdapat di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Organissi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, BTN Manupeu Tanah Daru dan BTN Laiwangi Wanggameti digabung menjadi BTN Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa). Secara umum, taman nasional memiliki fungsi pelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya. Dasar penetapan Taman Nasional Matalawa yaitu karena terdapat jenis burung endemik yang dilindungi, yaitu Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) dan Julang Sumba (Rhyticeros everetti). Ekosistem taman nasional memiliki fungsi melindungi seluruh komponen ekosistem karena antar komponennya saling berkaitan satu dengan yang lainnya, termasuk keanekaragaman floranya. Kondisi topografi daerah Sumba Timur secara umum datar di daerah pesisir, landai hingga bergelombang di daerah dataran rendah < 100 mdpl dan berbukit (Rengganis 2016). Sebaran flora di kawasan Taman Nasional Matalawa dipengaruhi oleh kondisi topografi yang ada. Tipologi kawasan Taman Nasional Matalawa di dominasi oleh perbukitan dengan bukit tertinggi adalah Bukit Tanah Daru dengan ketinggian sekitar 918 mdpl dan Puncak Wanggameti dengan ketinggian sekitar 1 224 mdpl. Tipe vegetasi di kawasan TN Matalawa terbagi menjadi vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan bakau, vegetasi padang dan savana, dan vegetasi hutan dataran rendah (Surahman dan Rachman 2018). Berdasarkan data flora TN Matalawa tahun 2017, masih banyak jenis flora yang belum teridentifikasi secara lokal dan belum diketahui potensi pemanfaatannya terutama untuk obat-obatan. Kelompok Pemerhati Flora (KPF) yang tergabung dalam kegiatan Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) melakukan penelitian untuk mengkaji keanekaragaman jenis flora serta pemanfaatannya terutama untuk obat-obatan dan akan menghasilkan data ilmiah terkait keanekaragaman hayati Taman Nasional Matalawa.

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman flora, jenis tanaman yang berpotensi obat, dan potensi anggrek di Taman Nasional Matalawa.

81

METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 1 – 7 Agustus 2019 di Resort Wanggameti dengan dua jenis ekosistem, hutan dataran rendah dan padang savana. Waktu pengambilan data pada ekosistem hutan dataran rendah adalah enam hari dan ekosistem padang savana satu hari.

Gambar 39 Peta Pengambilan Data KPF

Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam pengambilan data yaitu alat tulis, tallysheet, kamera digital, pita ukur, meteran (phiband), golok, GPS, kompas, penanda spesimen, tali rafia, dan tali tambang. Bahan berupa alkohol 70%, kertas koran, dan objek yang diamati adalah spesies flora.

Metode Pengambilan Data Data yang diambil berupa data biotik dan data abiotik. Data yang diambil adalah data vegetasi dengan menggunakan metode analisis vegetasi. Data yang diambil dalam kegiatan analisis vegetasi yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan dari berbagai habitus, kesuburan tanah, kelerengan, topografi, ketinggian, suhu dan kelembaban. Menurut Latifah (2005), analisis vegetasi merupakan studi untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan dua cara yakni dengan metode jalur berpetak dan metode petak. Metode jalur berpetak digunakan untuk ekosistem hutan dataran rendah dengan petak berukuran

82

20 m x 20 m untuk tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk tangkat tiang, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah (Febriliani et al 2013) disajikan dalam Gambar 40.

Gambar 40 Jalur analisis vegetasi ekosistem hutan tutupan

Metode petak yang dilakukan untuk ekosistem savana yaitu petak berukuran 2 m x 2 m di dalam petak 20 m x 20 m disajikan pada Gambar 41.

Gambar 41 Jalur analisis vegetasi ekosistem padang savana

Heriyanto dan Garsetiasih (2004), struktur vegetasi dibagi menjadi pohon, tiang, pancang, dan semai berdasarkan kriteria: 1. Pohon, vegetasi dengan diameter setinggi dada (1.3 m) ≤ 20 cm dan untuk pohon berbanir, diameter diukur 20 cm diatas banir. 2. Tiang, vegetasi dengan diameter setinggi dada (1.3 m) ≥ 10 cm sampai < 20 cm. 3. Pancang, vegetasi yang memiliki tinggi ≥ 1.5 m dan berdiameter ≤ 10 cm. 4. Semai, vegetasi muda mulai dari kecambah sampai tinggi < 1.5 m.

83

Data abiotik diperlukan sebagai data penunjang dalam analisis vegetasi. Data yang diambil berupa suhu basah dan suhu kering pada petak pertama ukuran 2 m x 2 m pada setiap jalur pengamatan. Metode selanjutnya yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode eksplorasi. Eksplorasi dilakukan dengan mencatat semua jenis tumbuhan yang ditemukan dalam setiap jalur pengamatan serta mencatat kegunaan dan potensi pemanfaatan tumbuhan yang diperoleh. Metode eksplorasi digunakan untuk pengambilan data inventarisasi potensi tumbuhan obat. Data spesies yang diperoleh di lapangan didokumentasikan dalam berbagai bentuk seperti foto identifikasi spesies dan herbarium. Metode pembuatan herbarium yang dilakukan adalah dengan tahapan berikut: 1. Spesimen herbarium yang diambil adalah ranting, daun, buah, biji maupun bagian batang yang lengkap dan apabila ada bunganya maka bagian bunga juga dapat diambil untuk dijadikan herbarium. 2. Spesimen herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberi label berukuran 3 cm x 5 cm dan berisi informasi nama lokal, nama ilmiah dan lokasi pengumpulan spesimen. 3. Spesimen herbarium disusun di atas kertas koran dan disiram dengan alkohol 70%. 4. Spesimen disimpan dalam kotak atau di dalam trashbag bening sebelum dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi lebih lanjut.

Analisis Data Data dianalisis menggunakan analisis indeks nilai penting, indeks kekayaan, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan seperti berikut:

Analisis vegetasi Jumlah individu suatu jenis a. Kerapatan (K) = Luas petak contoh Jumlah kerapatan suatu jenis b. Kerapatan Relatif (KR) = x 100% Jumlah kerapatan seluruh jenis Jumlah plot ditemukannya suatu spesies c. Frekuensi (F) = Jumlah total plot F suatu jenis d. Frekuensi Relatif (FR) = x 100% Jumlah F seluruh jenis Luas bidang dasar suatu spesies e. Dominansi (D) = Luas petak contoh Dominansi suatu jenis f. Dominansi Relatif (DR) = x 100% Dominansi seluruh jenis g. Indeks Nilai Penting (semai dan pancang) = KR+FR h. Indeks Nilai Penting (tiang dan pohon) = KR+FR+DR

84

Nilai penting suatu spesies berkisar antara 0% – 300% untuk tingkat tiang dan pohon dan 0% – 200% untuk tingkat semai dan pancang. Menurut Parmadi et al. (2016) nilai penting suatu spesies menunjukkan pengaruh atau peranan suatu jenis terhadap jenis lain dalam suatu ekosistem.

Analisis Habitat Analisis habitat menggunakan indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan dan indeks kekayaan jenis pada setiap petak pengamatan menggunakan beberapa formula sebagai berikut :

1. Indeks Kekayaan Margalef Kekayaan jenis adalah adalah jumlah jenis yang ditemukan suatu komunitas. Indeks margalef mengindikasikan kekayaan jenis yang ditunjukkan dari jumlah jenis (spesies) yang ditemukan (Ismaini et al. 2015). Margalef’s indeks: Dmg = (S-1)/ln N Keterangan: Dmg : Indeks Margalef S : Jumlah individu teramati N : Jumlah total Individu

2. Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan metode indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’). Metode ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis (Latupapua 2011) dengan rumus: H’= -∑Pi ln Pi Keterangan: H’ : Indeks keanekaragaman Pi : ni/N (perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan jumlah seluruh jenis)

Indeks keanekaragaman (H’) terdiri dari beberapa kriteria: H’ > 3.0 : menunjukkan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi 1.5 < H’ < 3.0 : menunjukkan tingkat keanekaragaman yang tinggi 1.0 < H’ < 1.5 : menunjukkan tingkat keanekaragaman sedang H’ < 1 : menunjukkan tingkat keanekaragaman rendah

3. Indeks Kemerataan Indeks kemerataan digunakan untuk menunjukkan keseragaman kelimpahan antar jenis (Kartijono et al. 2010). Metode perhitungan yang digunakan yaitu dengan perhitungan Indeks Simpsons dengan rumus: E= H’/ln S

85

Keterangan: E : Indeks kemerataan H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner S : Jumlah jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara mempelajari vegetasi tumbuhan dilihat dari struktur dan komposisi vegetasi yang dapat menghasilkan data kuantitatif terkait keanekaragaman tumbuhan (Greig dan Smeith 1993). Menurut Indriyanto (2006), analisis vegetasi merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi, dan tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari. Komposisi vegetasi merupakan daftar floristik dari jenis vegetasi yang ada dalam suatu komunitas. Struktur vegetasi adalah hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman tajuk, serta kesinambungan jenis (Fachrul 2007). Data yang diambil dalam kegiatan analisis vegetasi yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan dari berbagai habitus, kesuburan tanah, kelerengan, topografi, ketinggian, suhu dan kelembaban. Struktur tegakan horizontal suatu tegakan hutan alam pada umumnya cenderung mendekati bentuk sebaran huruf J-terbalik yang menunjukkan bahwa pohon berukuran kecil yang menyusun ekosistem tersebut cenderung lebih rapat dibandingkan dengan pohon berukuran besar (Gunawan et al. 2011) . Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di ekosistem hutan dataran rendah diperoleh sebanyak 3 371 individu tumbuhan. Terdiri dari 35 jenis pohon dengan jumlah individu 497, tiang sebanyak 34 jenis dengan 208 individu, 41 jenis pancang dengan 956 individu, 24 jenis semai sebanyak 949 individu, 3 jenis tumbuhan bawah dengan 57 individu, 2 jenis liana dengan 95 individu, 4 jenis epifit dengan 397 individu, 2 jenis palem dengan 21 individu, dan 2 jenis pandan dengan 191 individu (Gambar 42).

86

1200

1000 949 956

800

600 497 397 400

208 191 200 95 41 57 24 34 35 3 3 2 2 2 21 0 Semai Pancang Tiang Pohon Tumbuhan Epifit Liana Pandan Palem Bawah

Jumlah jenis Jumlah Individu

Gambar 42 Jumlah spesies dan individu di ekosistem hutan tutupan

Tingginya jumlah vegetasi tingkat semai dan pancang dapat disebabkan karena perubahan lingkungan yang terjadi seperti terbukanya tajuk yang berpengauh terhadap masuknya cahaya matahari dan kurangnya dominansi dari tingkat pertumbuhan pohon, sehingga semai yang sangat membutuhkan cahaya matahari untuk pertumbuhannya mendapat cukup cahaya dan tumbuh optimal (Haryadi 2017). Tingkat pancang memiliki jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan semai. Hal ini dapat terjadi karena semai tidak mengalami gangguan yang berarti dalam pertumbuhannya, sehingga peluang untuk tumbuh menjadi tingkat pancang lebih besar (Haryadi 2017). Tingkat pertumbuhan tiang memiliki jumlah individu yang paling rendah diantara tingkat pertumbuhan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh vegetasi tingkat tiang mendapatkan banyak gangguan, antara lain penebangan, terbukanya lapisan tanah sehingga terjadi kurangnya kesuburan tanah dan rusaknya sistem perakaran vegetasi tingkat tiang (Haryadi 2017). Jumlah spesies penyusun padang savana di lokasi pengambilan data, sebanyak 19 spesies dari 11 famili, disajikan pada Tabel 6.

87

Tabel 6 Jenis tumbuhan di ekosistem savana No Nama Jenis Nama Latin Famili 1 Wau Kabanga Ageratum conyzoides Asteraceae 2 Lorotan Brachiaria reptans Poaceae 3 Pegagan Centella asiatica Apiaceae 4 Rumput Teki Cyperus rotundus Cyperaceae 5 Rumput pangola Digitaria eriantha Poaceae 6 Rumput jariji Digitaria sanguinalis Poaceae 7 Brabuan Digitaria sp Poaceae 8 Tapak liman Elephantopus scaber Asteraceae 9 Tai ruha Erigeron sumatrensis Retz Asteraceae 10 Tai kabala / Kirinyuh Eupatorium inulifolium Asteraceae 11 Daun Ungu Graptophyllum pictum Acanthaceae 12 Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae 13 Rumput knop Hyptis capitata Lamiaceae 14 Tembelekan Lantana camara Verbenaceae 15 Melastoma Melastoma aculeolatum Melastomataceae 16 Putri Malu Mimosa pudica Fabaceae 17 Buah berry Rubus moluccana Rosaceae 18 Gletang /Katumpang Tridax procumbens Asteraceae 19 Bunga padang Vaccinium varingiaefolium Ericaceae

Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi suatu jenis dalam komunitas tertentu (Kusmana dan Melyanti 2017). Kemudian peranan suatu tumbuhan dalam suatu ekosistem dapat terlihat dari besarnya INP pada setiap tingkat pertumbuhan dalam ekosistem tersebut.

Tabel 7 Jenis dominan pada setiap tingkat pertumbuhan di ekosistem hutan dataran rendah Habitus No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) Semai 1 Laru Garcinia sp. Clusiaceae 72.13 2 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 33.65 3 Loba Symplocos sp. Symplocaceae 27.13 Pancang 1 Laru Garcinia sp. Clusiaceae 65.69 2 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 33.26 3 Loba Symplocos sp. Symplocaceae 27.82 Tiang 1 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 94.30 2 Ai Watu Nysa sp. Nysaceae 32.00 3 Laru Garcinia sp. Clusiaceae 20.82 Pohon 1 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 44.14 2 Kalada Tuna Neonaucle excelsa Rubiaceae 40.88 3 Kaju Omang Podocarpus rumphii Podocarpaceae 31.65

88

Jenis pohon yang memiliki INP tertinggi adalah dari famili Clusiaceae yakni kalauki (Calophyllum soulattri) jika dibandingkan dengan jenis pohon lainnya. Tumbuhan ini memiliki nama khas masing-masing untuk setiap daerah. Di daerah Bangka tanaman ini dikenal dengan sebutan bintangur bunut atau malang-malang, di daerah Belitung terkenal dengan sebutan membalung, di daerah sunda terkenal dengan nama sulatri, dan di daerah Jawa sering disebut dengan bintangur, slatri atau sletri. Tumbuhan ini tumbuh liar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat dibawah ketinggian 300 mdpl. Pohon kalauki (C. soulattri) menjulang tinggi hingga 23 m dan berdiameter sampai 50 cm. Bentuk batang bundar lurus tanpa banir. Bunganya sangat harum dan buahnya terasa masam (Heyne 1987). Kalauki (C. soulattri) dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat tradisional. Seduhan daun dan akarnya digunakan sebagai obat oles untuk nyeri encok. Minyak dan bijinya dapat dimanfaatkan untuk plitur, minyak rambut, minyak urut, berkhasiat juga untuk obat rematik (Heyne 1987). Menurut Leksono (2012) sebagian besar jenis tumbuhan dari famili Clusiaceae seperti bintagur dapat tumbuh pada habitat dengan ketinggian tempat berkisar antara 100 - 150 mdpl dan dapat tumbuh dengan baik di tanah mineral. Suhu yang baik untuk pertumbuhan Clusiaceae adalah berkisar antara 18 – 33°C. Jenis tumbuhan famili Clusiaceae dapat tumbuh di hutan dataran rendah – hutan pantai. Jenis tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik di habitat yang dekat dengan air seperti sungai dan pantai. Hal tersebut sesuai dengan kondisi habitat di lokasi penelitian yakni hutan Wanggameti yang merupakan hutan dataran rendah dan memiliki suhu dengan kisaran 15 – 28°C. Jenis kalauki (Calophyllum soulattri) ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan yakni semai, pancang, tiang, dan pohon sehingga regenerasi jenis tersebut baik. Selain itu Laru (Garcinia sp.) merupakan jenis yang memiliki prospek regenerasi positif karena Laru (Garcinia sp.) memiliki jumlah semai dan pancang yang mendominansi struktur pertumbuhan, dan merupakan jenis yang memiliki INP tertinggi dan kehadiran tingkat pertumbuhan yang lengkap. Kedepannya akan ada kemungkinan pergantian jenis yang mendominansi pada tiap tingkat pertumbuhan.

Tabel 8 Persentase INP tertinggi di ekosistem savana No Nama Ilmiah Famili INP (%) 1 Cyperus rotundus Cyperaceae 51.28 2 Imperata cylindrica Poaceae 45.15 3 Centella asiatica Apiaceae 15.31 4 Brachiaria reptans Poaceae 15.25

Indeks Nilai Penting (INP) jenis tumbuhan pada suatu komunitas merupakan salah satu parameter yang menunjukkan peranan jenis tumbuhan yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian (Sundarapandian dan Swamy 2000). Kehadiran suatu jenis tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan

89

kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Indeks Nilai Penting (INP) dapat menunjukkan peranan suatu spesies dalam komunitas dimana nilai yang tinggi menunjukkan tingkat vegetasi yang memiliki nilai dan jumlah individu paling banyak (Sorianegara dan Indrawan 1998). Persaingan terjadi antar masyarakat hutan yang menyebabkan adanya spesies dominan sehingga spesies dominan tersebut adalah yang memiliki INP tertinggi. Indeks Nilai Penting (INP) yang tinggi menggambarkan tingkat pertumbuhan vegetasi yang paling banyak dan mendominasi yang menyebabkannya dapat bersaing dengan spesies lainnya dalam suatu ekosistem. Perbedaan jumlah jenis dan INP suatu jenis tumbuhan dalam eksosistem disebabkan oleh adanya persaingan antar jenis dalam memperebutkan sumberdaya yang sama dan terbatas dalam suatu kawasan disamping adanya faktor adaptasi dan kebutuhan hidup yang berbeda antar jenis dan tingkat pertumbuhan (Maisyaroh 2010). Analisis vegetasi yang dilakukan di savana dijumpai 19 jenis dari 11 famili. Famili dengan jenis yang banyak dijumpai adalah Asteraceae dan Poaceae, disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi famili di ekosistem savana No Famili Jumlah Persentase (%) 1 Asteraceae 5 27.78 2 Poaceae 5 27.78 3 Acanthaceae 1 05.56 4 Apiaceae 1 05.56 5 Cyperaceae 1 05.56 6 Ericaceae 1 05.56 7 Fabaceae 1 05.56 8 Melastomataceae 1 05.56 9 Rosaceae 1 05.56 10 Verbenaceae 1 05.56 11 Lamiaceae 1 05.56

Berdasarkan data pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa famili Poaceae pada umumnya mempunyai jumlah individu lebih banyak dari pada spesies lainnya. Kemudian dengan demikian komunitas yang diteliti dicirikan oleh spesies rumput dengan nilai penting relatif tinggi. Poaceae merupakan tanaman yang dapat dengan mudah dijumpai dan jumlahnya sangat banyak, selain itu Poaceae juga berperan dalam kehidupan manusia, baik menguntungkan ataupun merugikan. Peran Poaceae yang menguntungkan adalah dapat digunakan sebagai bahan pangan, papan, dan obat. Sedangkan peran yang merugikan adalah banyak anggota familia Poaceae hidup sebagai gulma (Solikin 2003). Kemudian di lokasi penelitian ekositem savana dijumpai kotoran hewan ternak masyarakat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sekitar memanfaatkan padang savana sebagai tempat merumput hewan ternak. Menurut Sutomo (2016) intensitas grazing oleh mamalia yang cukup tinggi

90

di savana akan menyebabkan penurunan di dalam biomassa rumput. Secara formasi vegetasi hutan dan savana memiliki karakteristik vegetasi yang tentunya berbeda. Perbedaan dalam hal komposisi jenis ini dapat terjadi secara gradual sehingga menyebabkan adanya daerah batas atau boundaries antara hutan dan savana. Selain itu kondisi mikroklimat juga akan berbeda antara hutan dan savana (Sutomo 2016).

Indeks Keanekaragaman, Indeks Kekayaan, dan Indeks Kemerataan Jenis Hasil analisis vegetasi didapatkan beberapa indeks yang mendeskripsikan kondisi vegetasi pada lokasi penelitian yaitu indeks keanekaragaman, indeks kekayaan jenis, dan indeks kemerataan jenis.

3.5 2.88 2.88 3 2.5 2 1.5 1.09 1.24 0.89 1.04 1 0.68 0.41 0.5 0.29 0

H' (Keanekaragaman)

Gambar 43 Indeks keanekaragaman jenis

Indeks keanekaragaman digunakan untuk melihat tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan pada suatu komunitas hutan. Berdasarkan Gambar 43 diketahui bahwa indeks keanekaragaman jenis yang diperoleh tergolong tinggi (1.5

91

7 6.183 5.83 6 5.48 5 4 3.355 3 2 1 0.49 0.5 0.22 0.19 0.33 0

R (Kekayaan)

Gambar 44 Indeks kekayaan jenis

Selanjutnya, indeks kekayaan jenis digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis dalam suatu komunitas. Berdasarkan Gambar 44, diketahui bahwa nilai indeks kekayaan tergolong tinggi (R > 5). Nilai indeks kekayaan jenis berbanding lurus dengan jumlah jenis dan individu tumbuhan pada suatu komunitas. Semakin banyak jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan, nilai indeks kekayaannya akan semakin besar (Fathia 2017). Pada area pengambilan data tajuk lebih terbuka sehingga cahaya yang sampai ke lantai hutan dan dimanfaatkan untuk pertumnuhan semai meskipun memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan tiang namun semai memiliki tingkat kekayaan jenis yang lebih rendah dibandingkan tingkat pertumbuhan tiang, hal tersebut dikarenakan beberapa jenis yang ditemukan pada tiang tidak ditemukan pada tingkat semai.

1.2 0.99 0.98 1 0.89 0.82 0.81 0.8 0.59 0.6 0.42 0.4 0.281 0.28 0.2 0

S (Kemerataan)

Gambar 45 Indeks kemerataan jenis

Indeks kemerataan menunjukkan persebaran suatu jenis tumbuhan di dalam suatu komunitas atau suatu lokasi penelitian. Krebs (1978) menyatakan bahwa

92

indeks kemerataan yang mendekati satu menunjukkan bahwa spesies tersebut memiliki persebaran yang merata dalam suatu lokasi atau komunitas, sedangkan apabila indeks kemerataan mendekati nol maka hal tersebut menunjukkan ketidakmerataan suatu spesies dalam komunitas. Kemudian pada indeks kemerataan jenis yang diperoleh cenderung mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran spesies pada lokasi penelitian hampir sama rata. Fathia (2017), menyatakan bahwa penambahan jenis pada suatu komunitas, terutama jenis yang memiliki nilai individu yang rendah dapat berpengaruh signifikan terhadap nilai indeks kemerataan jenis.

Beberapa Jenis Tumbuhan yang Memiliki Ciri Khas di Lokasi 1. Kiloba (Symplocos sp.)

Gambar 46 Kiloba (Symplocos sp.)

Kiloba (Symplocos sp.) merupakan tanaman endemik di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang banyak tumbuh di Pulau Sumba. Masyarakat Nusa Tenggara Timur menggunakan serbuk daun gugur tanaman loba (Symplocos sp.) untuk meningkatkan kekuatan warna kain tradisional yang berasal dari bahan pewarna alami tumbuhan. Penguat warna kain yang umum digunakan masyarakat Nusa Tenggara Timur berasal dari jenis tanaman loba, yaitu kiloba manu (Symplocos chaoanensis) dan kiloba wawi (Symplocos fasciculata Zoll.) yang cukup banyak terdapat di Pulau Sumba. Masyarakat Sumba menggunakan bagian tanaman kiloba tersebut sebagai campuran pada proses pewarnaan kain tradisional dengan cara yang sederhana. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun. Daun kiloba yang sudah gugur dikeringkan dengan cara daun yang dijemur dibawah terik matahari untuk

93

meningkatkan keawetan selama penyimpanan. Daun kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan siap untuk digunakan. Serbuk daun gugur loba dapat digunakan karena kandungan garam logam aluminium (Al) pada daunnya yang dapat menguatkan warna kain tenun tradisional yang dibandingkan bagian tanaman lainnya. Pewarna alami daun kiloba dapat menghindarkan kelunturan kain dan meningkatkan tensitas warna pada kain.

2. Gaharu Putih (Aquilaria malaccensis L.)

Gambar 47 Gaharu Putih (Aquilaria malaccensis L.)

Kata gaharu diperkirakan berasal dari bahasa Melayu yang berarti harum. Bahasa Sansekerta, gaharu berasal dari kata ‘aguru’ yang mempunyai arti kayu sebagai produk resin atau dammar wangi dengan aroma yang khas (Setyaningrum dan Saparinto 2014). Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk yang memiliki warna yang khas, serta memiliki kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik ecara alami maupun buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria spp. yang dikenal dengan nama daerah seperti karas, alim, gaharu dan lain-lain (Wahyudi 2013). Secara taksonomi gaharu termasuk ke dalam golongan: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dycotiledoneae Ordo : Family : Thymelaeaceae Genus : Aquilaria Spesies : Aquilaria malaccensis L

94

Daerah sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu di Indonesia, salah satunya dijumpai di Nusa Tenggara Timur. Secara ekologis, karakteristik penyebaran gaharu berada pada ketinggian 0 – 2400 mdpl, pada daerah beriklim panas dengan suhu antara 28º – 34ºC, berkelembaban sekitar 80% dan bercurah hujan antara 1 000 – 2 000 mm/th. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan TN Matalawa termasuk tipe iklim C sampai dengan F. Rata-rata curah hujan pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm. Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti keadaan curah hujan berkisar antara 100 – 1500 mm, dengan ketinggian 1 225 mdpl. Lahan tempat tumbuh pada berbagai variasi kondisi struktur dan tekstur tanah, baik pada lahan subur, sedang hingga lahan marginal. Gaharu dapat dijumpai pada ekosistem hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan, bahkan dijumpai pada lahan berpasir berbatu yang ekstrim (Sumarna 2012). Berdasarkan peta Geologi Bersistem Nusa Tenggara, formasi geologi pulau Sumba, terdiri dari endapan permukaan (Aluvium), batuan sedimen yang tersusun dari batu gamping, batu pasir, batu lempung, dan batuan konglomerat. Sesuai data parameter ekologis yang diamati, secara biologis kawasan hutan alam di wilayah Taman Nasional Matalawa sangat cocok upaya pembinaan dan pengembangan berbagai jenis tumbuhan hutan, termasuk upaya budidaya pohon penghasil gaharu.

3. Edelweiss (Anaphalis longifolia)

Gambar 48 Edelweiss (Anaphalis longifolia)

Anaphalis spp. adalah jenis tumbuhan dari suku Asteraceae yang hidup di daerah pegunungan dengan ketinggian antara 800 – 3 400 mdpl. Tumbuhan ini dikenal sebagai bunga abadi karena sangat tahan lama dan tidak mudah rusak. Dalam Bahasa Sumba tumbuhan ini disebut Kondumerada. Masyarakat setempat sangat menghormati tumbuhan ini. Secara taksonomi Edelweiss termasuk ke dalam golongan:

95

Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Asterales Famil : Asteraceae Genus : Anaphalis Spesies : Anaphalis longifolia

Bunga Edelweiss (Anaphalis longifolia) adalah tumbuhan dengan ciri morfologis, merupakan tumbuhan perdu dengan bulu putih, bercabang lebat, ranting-rantingnya berdaun kering putih kelabu, bunganya berbentuk bonggol kecil, pada tengah bunga yang berwarna kuning dan daun tidak lengket. Sering menjadi tumbuhan pionir pada lereng batuan lava dan abu vulkanik pada 1 200 – 2 850 mdpl. Jarang turun sampai ketinggian 800 mdpl (Van Steenis 1979).

4. Gamal (Gliricidia sepium)

Gambar 49 Gamal (Gliricidia sepium)

Tanaman gliricidia biasa disebut gamal terdiri atas dua spesies, yaitu yang berbunga merah muda dan berbunga putih. Di Indonesia yang banyak ditanam adalah gliricidia yang memiliki bunga berwarna merah muda. Ada yang hidup dipermukaan laut tetapi juga dapat ditemukan pada ketinggian 1 200 mdpl. Gamal berbentuk semak, pohon dengan daun yang mejemuk bersirip ganjil (Susilo 2014). Secara taksonomi gamal termasuk ke dalam golongan: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales

96

Famili : Fabaceae Genus : Gliricidia Spesies : Gliricidia sepium

Masyarakat Sumba memanfaatkan tumbuhan ini sebagai pagar hidup. Tanaman ini berfungsi pula sebagai pengendali erosi dan gulma terutama alang- alang. Dalam Bahasa Indonesia, gamal merupakan akronim dari: ganyang mati alang-alang. Bunga-bunga gamal merupakan pakan lebah yang baik, dan dapat pula dimakan setelah dimasak.

Keanekaragaman Potensi Tumbuhan Obat Tumbuhan obat adalah tanaman yang salah satu, beberapa atau seluruh bagian tanaman tersebut mengandung zat aktif yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit (Rahardi 1996). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 21 famili terdiri atas 35 jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional. Keanekaragaman jenis tumbuhan obat disajikan dalam Gambar 50.

Phyllanthaceae Nysaceae Thymelaceae Fabaceae Ericaceae

Theaceae Famili Rubiaceae Aspleniaceae Apocynaceae Rutaceae Asteraceae 0 1 2 3 4 5 6 Jumlah

Gambar 50 Famili tumbuhan obat di Taman Nasional Matalawa

Keanekaragaman jenis tumbuhan obat didominasi oleh famili Asteraceae dengan jumlah spesies sebanyak 5 spesies tumbuhan obat. Berdasarkan pernyataan Romanaputra (2017), famili Asteraceae dan Fabaceae merupakan tumbuhan yang dapat mendominasi dalam suatu vegetasi di wilayah yang beriklim tropis dan sedang. Sebagian besar tumbuhan dari famili Asteraceae dapat digunakan sebagai pangan, obat, bahan kimia, dan varietas hortikultura. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat Taman Nasional diantaranya akar, batang, buah, daun, bunga, dan kulit batang. Bagian daun merupakan bagian

97

yang paling banyak dimanfaatkan untuk dijadikan obat. Persentase penggunaan daun sebesar 42%, sedangkan bagian tumbuhan yang paling sedikit dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat adalah bagian bunga sebesar 2% dapat dilihat pada Gambar 51.

Bunga Batang Buah Kulit batang Akar Daun

2% 7%

7%

42% 10%

32%

Gambar 51 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan

Hamzari (2008) menyebutkan bahwa daun merupakan tempat pengelolaan nutrisi tumbuhan yang mudah diperoleh dan mudah diramu menjadi obat dibandingkan dengan bagian tumbuhan lainnya. Penggunaan daun sebagai obat berbanding lurus dengan usaha konservasi tumbuhan, karena daun merupakan bagian dari tumbuhan yang mudah didapatkan tanpa harus merusak tumbuhan tersebut (Zenebe et al. 2012). Selain itu, penggunaan daun sebagai bahan obat tidak berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman karena daun dapat tumbuh kembali pada pucukpucuk tumbuhan, sedangkan penggunaan bagian lain, seperti akar, batang, rimpang, umbi atau seluruh bagian tumbuhan dapat mengganggu proses ekologi dan kemampuan bertahan hidup tumbuhan tersebut (Wakhidah et al. 2017). Berdasarkan hasil eksplorasi spesies tumbuhan obat, dapat diklasifikasikan ke dalam 11 kelompok penyakit. Dilihat dari komposisi jumlah spesies tumbuhan obatnya, kelompok penyakit yang tertinggi adalah kelompok penyakit lain-lain dan kelompok penyakit terendah adalah kelompok penyakit kelainan darah dan gangguan organ tubuh. Adapun data macam penyakit dan jumlah spesies tumbuhan obat yang dapat digunakan pada masing-masing kelompok penyakit tersaji pada Tabel 10.

98

Tabel 10 Pengelompokkan penyakit tumbuhan obat di Taman Nasional Matalawa No Kelompok Penyakit / Macam Penyakit / Penggunaan Jumlah spesies Penggunaan Tumbuhan Obat 1 Gangguan Sakit perut, keras hati 2 pencernaan 2. Gangguan fungsi Rheumatik, pusing , ayan, kepala 4 otot dan syaraf berat, kaki lumpuh 3. Gangguan Melancarkan haid, sfilis 2 reproduksi/ vital 4. Gangguan mulut Panas dalam, sakit gigi 1 5. Gangguan saluran Batuk, influenza, sesak napas 4 pernapasan 6. Kelainan pada darah Obat malaria 1 7. Imunitas Menambah nafsu makan 3 8. Gangguan organ Ginjal 1 tubuh

9. Penyakit kulit Kulit gatal, luka pada kulit, bisul 9 11. Lain-lain Penyakit demam tinggi, 15 menghangatkan tubuh, pegal-pegal, sakit pinggang, patah tulang, penyubur rambut, bau badan, mempercepat bayi bisa jalan, antipacet, obat penenang

Potensi Anggrek 1. Appendicula sp.

Gambar 52 (Appendicula sp.)

99

Anggrek ini merupakan genus anggrek epifit yang pertumbuhan batangnya tumbuh ke atas berakhir dengan tangkai bunga yang terdiri dari banyak sekali kuntum bunga mekar yang tidak bersamaan. Anggrek ini belum dibudidayakan atau masih terdapat di alam karena kurang menarik namun masih tetap dipelihara oleh kolektor. Anggrek ini memiliki persebaran di Sumatera yang merupakan lokasi persebaran terbanyak yaitu sekitar 35 spesies. Jenis Appendicula yang ditemukan di lokasi penelitian antara lain: Appendicula micrantha.

2. Calanthe triplicata

Gambar 53 (Calanthe triplicata)

Sebutan populer untuk tanaman anggrek yang satu ini, salah satunya adalah “anggrek bayi sedang tidur”. Anggrek ini mempunyai warna bunga berwarna putih mirip bayi yang sedang tidur, daunnya yang berwarna hijau tua mempunyai panjang 50 cm dan lebar 20 cm, sedangkan tingginya bisa mencapai 100 cm. Calanthe triplicata banyak tumbuh secara alami di benua Asia, Kepulauan Afrika Timur, dan Australia, berasal dari suku Orchidaceae, tumbuh subur pada tanah lembab berhumus di hutan hujan tropis dekat sungai dengan ketinggian 500 sampai dengan 1 500 mdpl. Di bumi belahan selatan tanaman anggrek ini umumnya berbunga pada bulan Desember sehingga disebut juga anggrek natal.

100

3. Anoectochilus reinwardtii

Gambar 54 (Anoectochilus reinwardtii)

Anoectochilus adalah genus dalam famili Orchidaceae yang beranggotakan kira-kira 50 spesies. Anggrek dari genus ini sering disebut dengan anggrek permata (Jewel orchid) karena penampakannya yang menarik. Jewel orchid (Anoectochilus reinwardtii) dapat tumbuh pada lantai hutan dengan cahaya yang sangat minim, dan apabila terkena sinar matahari, urat daunnya akan menyala dengan indah. Anggrek jenis ini tidak seperti anggrek jenis lain yang dinikmati bunganya tetapi anggrek ini indah pada bagian daunnya. Jewel orchid (Anoectochilus reinwardtii) oleh masyarakat dianggap sama dengan Macodes petola, karena bentuknya yang mirip. Jewel orchid (Anoectochilus reinwardtii), tulang daun dan urat daunnya berwarna merah bata hingga kuning, bahkan ada yang pink. Anggrek ini memiliki persebaran di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara sampai dengan Papua.

4. Bulbophyllum sp. Bulbophyllum merupakan anggrek epifit dan merupakan salah satu genus anggrek terbesar dengan mencapai 1 200 spesies. Anggrek ini memiliki umbi semu beruas satu, berdaun satu. Daunnya sangat tebal dengan ukuran yang beragam, tumbuh di ujung umbi semu, beruas, duplikatif. Jenis anggrek ini memiliki akar rimpang merayap, perbungaan satu (soliter) dan beberapa ada yang majemuk susunan bunganya beragam, tandan kepala atau berkas, bunga besar-sedang dengan jumlah satu atau lebih setiap kali berbunga. Umumnya bunga memiliki kelopak menonjol lebih besar atau lebih panjang dari mahkota, kelopak samping tumbuh pada kaki tiang sekaligus membentuk dagu. Bibir tumbuh pada ujung kaki tiang atau bercupang. Persebaran anggrek ini meliputi Afrika, Asia Selatan Timur, Australia dan Amerika Selatan.

101

Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian Resort Laiwanggi Wanggameti Taman Nasional Matalawa tergolong tinggi dan kondisi hutan masih dalam keadaan baik. Potensi tumbuhan obat yang ditemukan di lokasi penelitian ditemukan 35 jenis diantaranya dapat teridentifikasi dan digunakan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional, dengan famili yang mendominasi yaitu Asteraceae dan bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah bagian daun. Potensi jenis anggrek yang ditemukan dalam penelitan terdapat 4 jenis anggrek, diantaranya Parapteroceras sp., Appendicula sp., Calanthe triplicate, Aneoctochilus reinwardtii, dan Bulbophyllum sp.

Saran Perlu adanya pemberdayaan masyarakat baik melalui penyuluhan tentang pemanfaatan tumbuhan yang memiliki potensi yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat, disamping itu tidak merugikan pihak taman nasional dan tidak mengakibatkan kerusakan bagi keanekaragaman hayati. Perlu juga untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat dan memberikan pengetahuan baru bagi mereka tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di sekitarnya.

102

DAFTAR PUSTAKA

Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID):Bumi Aksara. Febriliani, Ningsih SM, Muslimin. 2013. Analisis vegetasi habitat anggrek di sekitar Danau Tambing kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Warta Rimba 1(1):1-9. Fathia AA. 2017.Komposisi jenis dan struktur tegakan serta kualitas tanah di Hutan Gunung Galunggung Tasikmalaya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Greig-Smith P. 1993. Quantitative Ecology. Studies Ecology Volume 9. Oxford (UK): Blackwell Scientific Publication. Gunawan W, Basuni S, Indrawan A, Prasetyo LB, Soedjito H. 2011. Analisis komposisi dan struktur vegetasi terhadap upaya restorasi kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. JPSL 1(2):93-105. Hamzari. 2008. Identifikasi tanaman obat-obatan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Hutan Tabo-Tabo. Jurnal Hutan Masyarakat 3(2): 111- 234. Haryadi N. 2017. Struktur dan komposisi vegetasi pada kawasan lindung air terjun telaga Kameloh Kabupaten Gunung Mas .ZIRAA’AH 42(2):137-149. Heriyanto NM, Garsetiasih R. 2004. Potensi pohon kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) di kelompok Hutan Gelawan Kampar Riau. Buletin Plasma Nutfah 10(1): 37-42. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3. Jakarta (ID): Badan Litbang Kehutanan. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Irwan ZD. (2009). Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Ismaini L, Lailati M, Rustandi, Sunandak D. 2015. Analisis komposisi dan keanekaragaman tumbuhan di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia; 2018 Nov 1; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 1397- 1402. Kartijono NE, Rahayuningsih M, Abdullah M. 2010. Keanekaragaman jenis vegetasi dan profil habitat burung di hutan mangrove Pulau Nyamuk Taman Nasional Karimunjawa. Biosaintifika 2(1): 27-39. [KLHK] Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2016. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.7 Tahun

103

2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Jakarta (ID): KLHK. Kusmana C, Melyanti AR. 2017. Keragaman komposisi jenis dan struktur vegetasi pada kawasan hutan lindung dengan pola PHBM di BKPH Tampomas, KPH Sumedang, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten. Jurnal Silvikultur Tropika 8(2):123-129. Latifah S. 2005. Analisis vegetasi hutan alam [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Latupapua MJJ. 2011. Keanekaragaman jenis nekton di mangrove Kawasan segoro anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri 6(2):81-91. Leksono. 2012. Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta (ID): Pakem Sleman. Maisyaroh W. 2010. Struktur komunitas tumbuhan penutup tanah di Taman Hutan Raya R. Soerjo Canggar, Malang. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari 1(1):76-108. Mulyasana D. (2008). Kajian keanekaragaman jenis pohon pada berbagai ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Parmadi EH, Dewiyanti I, Karina S. 2016. Indeks nilai penting vegetasi mangrove di kawasan Kuala Idi, Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah 1(1):82-95. Rahardi F. 1999. Membuat Kebun Tanaman Obat. Jakarta (ID): Puspa Swara. Rengganis H. 2016. Zona wilayah pendayagunaan sumberdaya air untuk pembangungan irigasi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Analisis Kebijakan Pertanian 14(1):17-33. Romanaputra A. 2017. Keanekaragaman tumbuhan obat di desa Cibuntu, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyaningrum HD, Saparinto C. 2014. Panduan Lengkap Gaharu. Jakarta (ID) :Penebar Swadaya. Sumarna.2012. Budidaya Pohon Penghasil Gaharu. Bogor (ID): Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Litbang Produktivitas Hutan. Surahman M, Rachman DA. 2018. Jejak Selingkuh Matalawa. Waingapu (ID): Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti. Susilo. 2014. Status taksonomi dan populasi jenis-jenis Aquilaria dan Gyrinops pusat penelitian dan pengembangan konservasi dan rehabilitasi Bogor. Jom Faperta 3(1):18-25.

104

Solikin.2003. Jenis-jenis tumbuhan suku poaceae di Kebun Raya Purwodadi. BIODIVERSITAS 5(1):23-27. Sorianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Van Steenis CJ. 1947. Flora. Jakarta (ID): PT. Pradya Paramita. Wahyudi. 2013. Buku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Yogyakarta (ID): Pohon Cahaya. Wakhidah HMH, Wirian AS, Yaputra T, Dalimartha, Wibowo B. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Edisi I. Jakarta (ID): Pustaka Kartini. Zanebe GM, Zerihun, Solomon Z. 2012. An ethnobotanical study of medicinal plants in Asgede Tsimbila District, Northwestern Tigray, Northen Ethiopia. Journal of Plants, People and Applied Research 10: 305-320.

105

LAMPIRAN

Lampiran 3 Jenis tumbuhan di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus 1 Ai Katabi Litsea elliptica Lauraceae Pohon 2 Ai kawau Acronichya trifoliata Rutaceae Pohon 3 Ai Watu Nysa sp. Nysaceae Pohon 4 Ando Mangili Myrica esculenta Myricaceae Pohon 5 Bakahao Podocarpus rumphii Podocarpaceae Pohon 6 Bunga padang Vaccinium varingiaefolium Ericaceae Pohon 7 Cemara Casuarina sp. Casuarinaceae Pohon 8 Gaharu Aquilaria filaria Thymelaeaceae Pohon 9 Gaharu putih Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae Pohon 10 Halada Tuna Lophopetalum sp. Celastraceae Pohon 11 Hali Pittosporum glaberrimum Pittosporaceae Pohon 12 Hambala Mata Macaranga tanarius Euphorbiaceae Pohon 13 Haramanjara Ficus sp. Moraceae Pohon 14 Kabebak Omalanthus populneus Euphorbiaceae Pohon 15 Kadu rawa Elaeocarpus sphaericus Elaeocarpaceae Pohon 16 Kaduru Palaquium sp. Sapotaceae Pohon 17 Kahambi Schleichera oleosa Sapindaceae Pohon 18 Kahembi Omang Dacrycarpus imbricatus Podocarpaceae Pohon 19 Kahi Omang Simarouba sp. Simaroubaceae Pohon 20 Kahuduk 1 Glochidion obscurum Phyllanthaceae Pohon 21 Kahuduk 2 Podocarpus imbricatus Podocarpaceae Pohon 22 Kajiu Omang Sundacarpus amarus Podocarpaceae Pohon 23 Kaju Omang Podocarpus rumphii Podocarpaceae Pohon 24 Kalada Tuna Neonaucle excelsa Rubiaceae Pohon 25 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae Pohon 26 Kamala Jarek Zanthoxylum sp. Rutaceae Pohon 27 Kamala kaninggu Litsea velutina Lauraceae Pohon 28 Kanunu 1 Glochidion sp. Phyllanthaceae Pohon 29 Kanunu 2 Melicope lanu-akenda Rutacea Pohon 30 Katang Planchonella nitida Sapotaceae Pohon 31 Katikataru Litsea accedentoides Lauraceae Pohon 32 Kawita Kaba Litsea sp. Lauraceae Pohon 33. Kayarak 1 Magnolia glauca Magnoliaceae Pohon

106

Lampiran 3 Jenis tumbuhan di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti (lanjutan)

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus 34. Kayarak 2 Quercus piriformis Fagaceae Pohon 35 Kayu Manis Cinnamomum verum Lauraceae Pohon 36 Kiru Dyxoxylum Meliaceae Pohon caulostachyum 37 Kondorawa Elaeocarpus serratus Elaeocarpaceae Pohon 38 Laru Garcinia sp. Clusiaceae Pohon 39 Loba Symplocos sp. Symplocaceae Pohon 40 Lobung antisepticum Pohon 41 Lopuwe Sauropus macranthus Phyllanthaceae Pohon 42 Malairau (blank) Meliaceae Pohon 43 Murungiha Memecylon edule Melastomataceae Pohon 44 Pangandu Kiking Eurya acuminata Theaceae Pohon 45 Papa Schefflera sp. Araliaceae Pohon 46 Rakang Rhus sp. Araliaceae Pohon 47 Rita Alstonia scholaris Apocynaceae Pohon 48 Rokowaw Melicope triphylla Rutaceae Pohon 49 Tada Katabi Prunus sp. Rosaceae Pohon 50 Tada Malara Melicope latifolia Rutaceae Pohon 51 Tanggala Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae Pohon 52 Walabara Tabernaemontana Apocynaceae Pohon sphaerocarpa 53 Walaru 1 Harrisonia perforata Rutaceae Pohon 54 Walaru 2 Weinmania blumei Cunnonaceae Pohon 55 Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae Tumbuhan bawah 56 Wau Kabanga / Ageratum conyzoides L. Asteraceae Tumbuhan babandotan bawah 57 Brabuan Digitaria sp. Poaceae Tumbuhan bawah 58 Anggrek spesies 1 Parapteroceras Orchidaceae Epifit odoratissimum 59 Anggrek spesies 2 Appendicula micrantha Orchidaceae Epifit 60 Paku sarang burung Asplenium nidus Aspleniaceae Epifit 61 Epifit spesies 1 Colysis pedunculata Polypodiaceae Epifit 62 Sirih spesies 1 Piper sp. Piperaceae Liana 63 Sirih spesies 2 Piper betle Piperaceae Liana 64 Pandan rambat Freycinetia sp. Pandanaceae Pandan 65 Pandan Pandanus sp. Pandanaceae Pandan 66 Enau/Kanoru Arenga pinnata Arecaceae Palem 67 Rotan Calamus sp. Arecaceae Palem

107

Lampiran 4 Potensi jenis tumbuhan obat di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti N Nama lokal Nama Ilmiah Famili Manfaat Bagian yang o dimanfaatka n 1 Bunga padang Vaccinium Ericaceae Obat luka Buah varingiaefolium 2 Sirih Piper sp. Piperaceae Obat batuk Daun 3 Ai watu Nysa sp. Nysaceae Obat anti keras Daun hati dan penenang 4 Gaharu putih Aquilaria Thymelaceae Mengobati Batang malaccensis luka kulit Lam 5 Wotakanawabi Tabernaemontan Apocynaceae Obat panas Daun a sphaerocarpa dalam dan bisul 6 Lawu lobung Elaeocarpus sp. Elaeocarpacea Kayu Daun e bangunan, obat anak kurang gizi 7 Rawu Ai Acronichya Rutaceae Obat Daun Kawawo trifoliata memandikan bayi 8 Ai malara Melicope Rutaceae Obat sesak Daun latifolia nafas dan obat anti pacet 9 Rumput teki Cyperus Poaceae Obat luka Daun rotundus 10 Kaju omang Podocarpus Podocarpaceae Obat anak Daun imbricatus kurang gizi 11 Pangandukikin Eurya acuminata Theaceae Obat untuk Daun dan Akar g mempercepat bayi bisa jalan 12 Kaningu/kayu Cinnamomum Lauraceae Bahan Kuit batang dan manis zeylanicum pembuat kue, Daun untuk menghangatka n badan 13 Tai kabala / Eupatorium Asteraceae Obat kulit Daun Kirinyuh odoratum gatal 14 Kanoru Arenga pinnata Arecaceae Sakit pinggang Akar 15 Epapa Polyscias sp. Araliaceae Obat flu, Daun dan Kulit rheumatik, batang lumpuh pada anak 16 Rauri Digitaria sp. Poaceae Bau badan Akar dan Daun 17 Kara unang/tali Cassytha Convolvulacea Obat pusing Akar oren Filiformis e sakit kepala berat 18 Ai ritta Alstonia Apocynaceae Obat malaria Akar scholaris dan melancarkan menstruasi

108

Lampiran 4 Potensi jenis tumbuhan obat di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti (lanjutan) No Nama local Nama Ilmiah Famili Manfaat Bagian yang dimanfaatkan 19 Ai halai Alstonia Apocynaceae Obat Akar spectabilis demam 20 Tapak kuda Elephantopus Asteraceae Obat bisul Daun scaber dan kulit gatal 21 Hanjua Leea angulata Rutaceae Mengobati Kulit batang karteki luka kulit 22 Kasikara Connarus Connaraceae Obat Buah dan Akar Rara semidecandrus demam Jack 23 Kadu rawa Elaeocarpus Elaeocarpaceae Sakit ginjal, Kulit batang ganitrus patah tulang 24 Kaduru Palaquium Sapotaceae Obat kulit Batang obovatum gatal 25 Arenga pinnata Arecaceae Sakit Akar pinggang 26 Kundu Anaphalis Asteraceae Obat sakit Daun dan akar longifolia gigi 27 Gamal / Gliricidia Fabaceae Obat batuk Daun dan bunga cebreng moculata 28 Cimung Timonius timon Rubiaceae Obat sakit Daun perut 29 Rotan Calamus sp. Arecaceae Air minum, Batang penyubur rambut 30 Paku sarang Asplenium nidus Aspleniaceae Obat ayan Akar burung 31 Wai rara Bischofia javanica Phyllanthaceae Obat sifilis Akar 32 Terong / Solanum torvum Solanaceae Obat Buah pokak / Swartz demam dan takokak batuk 33 Alang Imperata Poaceae Obat sakit Daun dan Akar cylindrica pinggang 34 Tai ruha Erigeron Asteraceae Obat pegal Akar sumatrensis 35 Wau Ageratum Asteraceae Obat Akar Kabanga / conyzoides demam babandotan

109

110

PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan kawasan karst di Indonesia, dianggap memiliki nilai-nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut merupakan sebagai kawasan pemasok dan tandan air untuk keperluan domestik. Menurut Ko (1997), PBB memperkirakan bahwa sebesar 20% persediaan sumber air dunia merupakan sumber air karst. Selain itu juga, kawasan karst mempunyai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sebagai pariwisata, penambangan bahan galian, penghasil sarang burung wallet dan lain sebagainya yang dapat menambah devisa negara. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti merupakan salah satu kawasan yang mempunyai daerah resapan air utama dan pengairan bagi lahan pertanian masyarakat di Kabupaten Sumba Timur dengan luasan sekitar 47 014 ha (TN Matalawa 2017). Secara geomorfologi Taman Nasional Matalawa memiliki bentang alam lahan berupa kawasan karst yang terbentang dari wilayah timur hingga barat. Potensi yang terdapat pada kawasan karst Taman Nasional Matalawa hampir separuh dari luasan merupakan potensi gua. Gua yang diibaratkan seperti laboratorium alam memiliki arti penting dalam pengendalian keseimbangan ekosistem, pemanfaatan sumber daya air, sekaligus sebagai objek wisata alam (ekowisata). Hal ini tentu beralasan karena kawasan Laiwangi Wanggameti memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Ekowisata merupakan salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang secara ekonomi menguntungkan (economically viable), secara ekologi ramah lingkungan (environmentally benign), secara teknis dapat diterapkan (technically feasible), dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (socially acceptable) (Karsudi et al. 2010). Kelompok Pemerhati Gua (KPG) “Hira” Himakova melakukan eksplorasi gua di TN Manupeu Tanahdaru, Sumba Barat pada tahun 2009. Tahun 2019 Kelompok Pemerhati Gua kembali ke bagian timur Sumba untuk menjelajahi potensi gua dan kawasan karst yang ada di Taman Nasional Matalawa. Keindahan alam, keunikan, serta kealamian Sumba Timur menjadi salah satu daya tarik wisata bagi masyarakat sekitar taman nasional maupun pengunjung dari berbagai daerah. Pengelola Taman Nasional Matalawa telah mengembangkan beberapa lokasi di kawasannya sebagai objek wisata alam, namun potensi kawasan karst dan gua di TN Matalawa masih belum dimanfaatkan oleh pengelola taman nasional, maka dari itu tim KPG melakukan kajian identifikasi potensi serta studi kelayakan gua sebagai objek wisata di TN Matalawa.

111

Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa 2. Inventarisasi fauna gua di Taman Nasional Matalawa

METODE Waktu dan tempat Eksplorasi gua dilakukan pada tanggal 1 – 7 Agustus 2019 yang berlokasi di Resort Wanggameti tepatnya di Blok Mahaniwa, Taman Nasional Matalawa. Pengamatan dilakukan pada pagi hingga sore hari.

Gambar 55 Peta Pengambilan Data KPG

Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian, yaitu alat perlindungan dasar penelusuran gua (coverall, helm, sepatu bot, sarung tangan), alat pertolongan pertama, alat penerangan (senter dan headlamp), Global Positioning System (GPS), alat ukur (disto laser, kompas, klinometer), kamera, Tally sheet pengukuran gua, fauna gua, dan ornamen gua.

Metode pengambilan data Pengambilan data pada penelitian ini adalah melalui studi literatur, pengamatan langsung, dan pengukuran langsung.

112

1. Studi Literatur Studi literatur digunakan untuk mengetahui kondisi umum Taman Nasional Matalawa seperti letak, luas, sejarah, status, topografi, dan ketinggian. Studi literatur bersumber dari jurnal, buku, hasil penelitian, maupun web resmi dari TN Matalawa. 2. Pengamatan langsung Pengamatan langsung digunakan untuk mendidentifikasi tipe ornamen, jenis fauna gua yang dijumpai, serta potensi bahaya pada penelusuran gua. Pengamatan ornamen gua dilakukan dengan mencatat jenis ornamen yang ada didalam tiap gua kemudian diklasifikasikan berdasarkan proses pembentukan ornamennya menjadi empat kelas, yaitu batu tetes (dripstone), batu alir (flowstone), endapan pori (pore deposit), serta endapan kolam (pool deposit). 3. Pengamatan fauna gua dilakukan dengan mencatat jenis fauna yang ada di tiap gua melalui observasi langsung maupun koleksi fauna untuk jenis yang belum dapat diidentifikasi. Fauna yang telah dikoleksi terlebih dahulu didokumentasikan serta diidentifikasi jenisnya sebelum dilakukan preservasi. 4. Pengamatan potensi bahaya dilakukan dengan menelusuri gua serta mencatat potensi bahaya yang dapat terjadi. Potensi bahaya yang didapat kemudian dikelompokkan berdasarkan matriks risk assessment (Tabel 10).

Metode Pengukuran Langsung Pengukuran dilakukan dengan memetakan gua dari pintu masuk hingga ke ujung gua. Pemetaan dilakukan oleh empat orang surveyor yang berperan sebagai pemimpin survey atau leader, pembaca alat, target dan pencatat. Pembaca alat dan pencatat berada pada stasiun pengukuran pertama, seorang lagi sebagai target pada stasiun kedua. Setelah kegiatan pembacaan selesai, pembaca alat dan pencatat berpindah ke stasiun kedua, kemudian target berpindah ke stasiun selanjutnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 56.

Gambar 56 Ilustrasi metode pemetaan

113

Setelah pengambilan data selesai, dilanjutkan dengan pembuatan gambar peta gua. Pembuatan gambar peta menggunakan perangkat lunak Compass dan Corel Draw.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan Karst TN Matawala Bentang lahan karst adalah suatu bentang alam yang dibentuk oleh batu gamping. Bentang lahan karst juga merupakan daerah resapan air. Topografi bentang lahan karst dapat berupa cekungan-cekungan, kubah-kubah serta gua kapur. Topografi bentang lahan karst dapat dengan mudah dikenali berdasarkan morfologi yang spesifik tersebut (Kasri N 1999). Gua merupakan sebuah bentukan alami berupa ruangan karst yang terbentuk pada medan batu gamping dibawah tanah baik yang berdiri sendiri maupun saling terhubung dengan ruangan-ruangan lain sebagai hasil proses pelarutan oleh air maupun aktivitas geologi yang terjadi pada suatu daerah. Gua dapat dikembangkan menjadi berbagai macam pemanfaatan seperti wisata, penyimpanan air, pertambangan, dan habitat makhluk hidup. Olehnya itu, gua merupakan salah satu asset yang harus di data. Taman Nasional Matalawa mempunyai kawasan padang savana yang luas. Padang savana yang membentang di Blok Mahaniwa menjadi pelengkap ekosistem, termasuk kawasan karst. Kawasan karst yang berada di Blok Mahaniwa mempunyai penyimpanan air yang cukup baik. Hal tersebut dapat menunjang fungsi kawasan sebagai lokasi penyimpanan sumber air yang dapat digunakan untuk masyarakat. Karst merupakan medan dengan bentuk muka bumi dan pola aliran khas yang terbentuk pada batu gamping akibat proses pelarutan oleh air (Jennings 1985). Tidak semua batu gamping memperlihatkan morfologi sebagai kawasan karst. Morfologi karst terjadi apabila bentang alam batu gamping mengalami karstifikasi (proses pembentukan topografi karst) yang didominasi oleh pelarut. Terdapat 2 bentukan morfologi karst, yaitu endokarst dan eksokarst. Endokarst merupakan bentuk- bentuk morfologi relief karst yang berada di bawah permukaan. Eksokarst merupakan bentuk morfologi topografi wilayah karst yang berada di permukaan. Secara morfologi, Pulau sumba didominasi oleh bentukan lahan berupa kawasan karst, tidak terkecuali di Taman Nasional Matalawa. Hampir setengah dari kawasan Taman Nasional merupakan kawasan karst, potensi yang membentang dari timur hingga barat didominasi oleh potensi gua (website TN Matalawa).

Gua di Taman Nasional Matalawa Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas taman nasional, diketahui bahwa terdapat 94 gua di Taman Nasional Matalawa. Penelitian dilakukan dengan mengeksplor 5 gua pada daerah Mahaniwa, dan terdapat 1 gua di daerah Matailarawa. Survey gua di Taman Nasional Matalawa dilakukan pada 6 gua di

114

Resort wanggameti. Sebelumnya, inventarisasi gua di Taman Nasional Matalawa pernah dilakukan oleh peneliti jepang pada tahun 2015. Survey gua dilakukan pada ke-6 gua yang membutuhkan waktu selama 7 hari. Keadaan gua di Taman Nasional Matalawa cenderung memiliki mulut gua berbentuk vertikal serta mempunyai lorong berbentuk horizontal. Akses menuju lokasi gua berupa jalan tanah selebar 1 meter dan cenderung mudah untuk dilalui. Hasil survey yang dilakukan pada 6 gua menunjukkan sebanyak 5 gua (Gua Humur Bakul, Gua Hibukarik, Gua Lawola, Gua Matawai Latuna, dan Gua Uaka Karambua) terletak pada zona pemanfaatan taman nasional dan hanya Gua ke-6 (Matailarawa) yang terletak di Matailarawa mendekati zona inti. Hasil eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa Resort Wanggameti disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa Koordinat Elevasi Nama gua Lokasi S E (mdpl) Gua Humur Bakul Mahaniwa 100 01`06.24” 1200 09`40.21” 846 Gua Lawola Mahaniwa 100 01`06.25” 1200 09`40.71” 784 Gua Hibukarik Mahaniwa 100 01`16.48” 1200 09`45.53” 779 Gua Matawai Latuna Mahaniwa 100 01`28.95” 1200 09`26.85” 802 Gua Uaka Karambua Mahaniwa 100 00`29.10” 1200 09`31.27” 834 Gua Matai Larawa Matailarawa 100 00`54.66” 1200 07`45.85” 846

Kondisi Fisik Gua 1. Gua Humur Bakul Gua Humur Bakul merupakan gua yang diberi nama dari bentuk mulut gua yang menyerupai sumur dan berukuran sangat besar. Gua Humur Bakul berada di tengah kerapatan vegetasi yang lokasinya berjarak kurang lebih 21 km dari Kantor Resort Wanggameti. Akses menuju gua ini dapat dilalui serupa dengan akses gua lain di Taman Nasional Matalawa Resort Wanggameti yang ditempuh dengan melalui perkebunan masyarakat namun sudah masuk dalam kawasan taman nasional dan tidak bisa dilalui dengan menggunakan kendaraan. Mulut gua yang berukuran besar dan harus dimasuki menggunakan bantuan alat SRT karena berbentuk vertikal. Potensi yang terdapat pada Gua Humur Bakul yaitu pintu masuk gua yang berukuran besar, keanekaragaman fauna gua, dan keindahan ornamen gua. Pemetaan gua dilakukan dengan waktu 1 jam, karena ukuran gua yang tidak terlalu panjang. Panjang Gua Humur Bakul yaitu 73.8 m. Hasil pemetaan Gua Humur Bakul disajikan pada Gambar 57.

115

Gambar 57 Peta Gua Humur Bakul

Hasil pengukuran morfometri Gua Humur Bakul, didapatkan jumlah stasiun sepanjang lorong gua yaitu 8 stasiun. Stasiun terpanjang berada pada stasiun 7 – 8 dengan panjang 57.75 meter, sedangkan stasiun yang memiliki jarak terpendek terdapat pada stasiun 0-1 dengan jarak 2,04 meter. Perubahan kemiringan lantai gua paling besar terdapat di stasiun 7 – 8 dengan kemiringan 69°, sedangkan kemiringan terendah terletak pada stasiun 2 – 3 dengan kemiringan -15°. Tanda (-) menunjukkan lantai mengalami penurunan, sebaliknya jika tidak menggunakan tanda (-) menunjukkan kenaikan lantai gua (tanjakan). Hasil penelitian terdapat 6 ornamen gua yang berada di Gua Humur Bakul yaitu stalaktit, stalakmit, pilar, helectit, pearl, gorden, dan flowstone. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data pengukuran pada Gua Humur Bakul, diperoleh hasil bahwa gua tersebut mempunyai sejumlah 3 ruangan (chamber). Keadaan chamber yang berada di dalam Gua Humur Bakul berukuran sangat luas. Chamber yang memiliki ruang paling luas yaitu pada stasiun 7-8. Chamber tersebut diukur dengan menggunakan 4 sisi dari sudut yang berbeda. Hasil dari pengukuran yaitu 7-8a (15.5 m), 7-8b (15.43 m), 7-8c (25.1 m), 7-8d (22.25 m). Kondisi fisik lorong Gua Humur Bakul mempunyai bentuk yang lebar dan menurun. Lorong gua tersebut tidak ditemukan jalur atau aliran air seperti sungai bawah tanah. Gua Humur Bakul merupakan bagian yang besar dan seluruh bagian didominasi oleh bentuk ruangan (chamber).

116

Gambar 58 Kondisi fisik Gua Humur Bakul

Ditemukan jenis ornamen stalactite dan stalacmite di sepanjang gua Humur Bakul. Ornamen gua berupa stalactite yang ditemui pada gua tersebut tidak terlihat dengan jelas karena kondisi gua yang mempunyai keadaan atap cukup tinggi, rata- rata tinggi atap Gua Humur Bakul mencapai 11.5 meter. Ornamen lain (stalacmite) yang ditemukan pada gua tersebut mempunyai bentuk yang berukuran besar yang lebih besar daripada ukuran manusia pada umumnya. Stalacmite terbentuk karena adanya rembasan pada atap gua yang berupa tetesan air. Tetesan air tersebut membawa senyawa CaCO3 dan mengendapkannya di lantai gua. Proses pembentukan kedua ornamen gua tersebut bisa mencapai puluhan bahkan ratusan tahun. Gua Humur Bakul mempunyai kondisi bahwa tetesan air dari atap mempunyai intensitas yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat terjadi bahwasannya vegetasi yang berada di atas Gua Humur Bakul mempunyai kerapatan yang cukup tinggi.

2. Gua Lawola Gua Lawola merupakan gua yang berlokasikan lebih dekat dengan pemukiman warga. Kurang lebih berjarak 100 meter dari pemukiman. Terletak di sebelah kiri jalan yang berukuran 1 meter, gua tersebut sangat mudah dijangkau. Mulut gua tersebut berjarak sekitar 7 meter dari jalan setapak. Jika gua Humur Bakul mempunyai bentuk mulut yang lebar dan luas, berbeda dengan Gua Lawola yang mempunyai kondisi fisik mulut gua yang berukuran sempit. Gua Lawola mempunyai bentuk gua horizontal, sehingga alat yang diperlukan untuk memasuki gua tersebut cukup dengan alat penelusuran gua. Potensi yang terdapat pada Gua Lawola yaitu keanekaragaman fauna gua dan keindahan ornamen gua. Pemetaan gua dilakukan dengan waktu 1 jam, karena ukuran gua yang tidak terlalu panjang. Panjang Gua Lawola yaitu 74.12 meter. Hasil pengukuran morfometri Gua Lawola diperoleh jumlah stasiun sepanjang

117

lorong gua yaitu 12 stasiun. Stasiun terpanjang berada pada stasiun 8 – 9 dengan panjang 8.4 meter, sedangkan stasiun yang memiliki jarak terpendek terdapat pada stasiun 2 – 3 dengan jarak 1,6 meter. Perubahan kemiringan lantai gua paling besar terdapat di stasiun 0-1 dengan kemiringan -15°, sedangkan kemiringan terendah terletak pada stasiun 1-2 dan 8-9 dengan kemiringan -2° dan 2°.

Gambar 59 Peta Gua Lawola

Hasil penelitian terdapat 6 ornamen gua yang berada di Gua Lawola yaitu stalaktit, stalakmit, pilar, pearl, gorden, dan flowstone. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data pengukuran pada Gua Lawola, diperoleh hasil bahwa gua tersebut mempunyai sejumlah 1 chamber. Keadaan chamber yang berada di dalam Gua Lawola berukuran tidak terlalu luas yaitu pada stasiun 1. Hasil dari pengukuran yaitu 1a (1.7 m), 1b (1.6 m), 1c (6 m), 1d (5.6 m). Kondisi fisik lorong Gua Lawola mempunyai bentuk yang tidak terlalu lebar. Lorong Gua Lawola mempunyai cabang pada stasiun 1 sebelah kiri. Cabang lorong tersebut panjangnya mencapai 14.9 meter hingga sampai ujung. Lorong gua tersebut tidak ditemukan jalur atau aliran air seperti sungai bawah tanah. Gua Lawola mempunyai jalur aliran air bawah tanah hingga sampai ujung lorong gua. Pengambilan data terhenti pada ujung lorong gua, karena kondisi lorong berupa lubang dan dipenuhi air (sum). Diduga lorong gua akan berlanjut hingga melewati lubang tersebut. Belum adanya penelitian lebih lanjut untuk meneruskan sum tersebut.

3. Gua Hibu Karik Gua Hibu Karik ini berlokasidekatan dengan gua Laawola dengan akses yang sangat mudah. Letak gua ini sangat dekat dengan pemukiman warga dan termasuk

118

pada zona pemanfaatan Taman Nasional Matalawa. Posisi Gua ini dapat dilihat dari jalan setapak dan berada di lereng bukit karst. Mulut gua berbentuk horizontal sehingga mudah untuk mengakses masuk kedalam gua. Disekitar mulut gua terdapat runtuhan batuan yang berasal dari luar gua.

Gambar 60 Peta Gua Hibu Karik

Gua Hibu Karik memiliki ornamen yang beragam. Namun gua ini sudah tidak aktif dilihat dari tidak adanya tetesan air kapur. Gua Hibu Karik dapat dikembangkan menjadi objek wisata dengan menambah fasilitas penunjang karena tergolong dalam gua dengan tingkat energi dan potensi bahaya yang rendah. Gua Hibu Karik memiliki kondisi fisik panjang gua yang relatif pendek dengan fauna gua yang tidak terlalu beragam. Dikarenakan gua Hibu Karik kering, fauna gua yang berada didalam gua ini pun relatif sedikit, hanya jangkrik dan kalacemeti.

119

4. Gua Matawai Latuna

Gambar 61 Peta Gua Matawai Latuna

Gua Matawai Latuna merupakan salah satu gua yang berada Blok Mahaniwa dinamakan Mataiwaila tuna dinamakan dari bahasa setempat yang berarti mata air belut lokasi gua Lawatuna berada di 3 km dari desa Mahaniwa. Akses menuju Gua ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki dengan medan yang berbukit dan sedikit curam. Lokasi Gua Matawai Latuna berada di kawasan pemanfaatan Taman Nasional Matalawa. Posisi mulut Gua Matawai Latuna sedikit tersembunyi tertutup beberapa vegetasi yang ada di sana, kondisi mulut gua Matawai Latuna yaitu vertikal dengan kemiringan tidak terlalu tajam namun banyak serasah daun yang dapat membuat akses masuk kedalam gua sedikit licin. Kondisi panjang gua Matawai Latuna tidak terlalu panjang dengan dua jalan yang terdapat di pintu masuk gua. Jalan sepanjang gua ini sangat sempit dan diharuskan untuk merangkak dan jongkok jika menyusuri gua lebih dalam. Masih sangat besar karena gua ini merupakan cerukan dan topografinya paling rendah dibandingkan dengan kawasan sekitar.

120

Gambar 62 Kondisi ornamen Gua Lawatuna

5. Gua Uaka Karambua Gua Uaka Karambua berada dikawasan hutan Mahaniwa. Lokasi gua Uaka Karambua sangat jauh dari pemukiman warga. Letak Uaka Karambua berdekatan dengan gua Matawai Latuna dengan jarak sekitar 1 km. Mulut gua berbentuk horizontal yang cukup lebar dengan vegetasi disekitar gua sangat beragam, bahkan merupakan hutan dengan kerapatan yang tinggi. Disekitar mulut gua terdapat banyak bebatuan karst. Jalan menuju gua Uaka Karambua terbilang cukup mudah, dengan topografi landai dan melewati banyak bebatuan karst. Gua ini terdapat pada ketinggian 834 mdpl.

Gambar 63 Peta Gua Uaka Karambua

121

Gua Uaka Karambua memiliki ornamen yang sangat menarik. Setelah masuk beberapa meter, gua ini memperlihatkan keindahan stalaktit dalam bentuk yang unik dan berlimpah di satu ruangan, tim menyebutnya dengan istana stalaktit (Gambar 64) yang sangat megah dan menarik perhatian. Lokasi ini dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang menarik dan sebagai objek fotografi gua.

Gambar 64 Kumpulan stalaktit

Gua ini dapat dikembangkan menjadi wisata dengan adanya ornamen- ornamen menarik yang ada didalam gua dengan potensi bahaya gua yang tergolong rendah. Di ujung gua Uaka Karambua, terdapat bukit dengan ruangan yang besar. Bukit ini sekaligus sebagai penghujung dari gua Uaka Karambua dimana tidak ada lagi ruang yang bisa dieksplor. Bukit ini membentuk ruangan besar yang dinamakan chamber. Didalam gua ini juga terdapat danau kecil (Gambar 66) yang selalu ada walaupun musim kemarau.

Gambar 65 Bukit didalam gua Uaka Karambua

122

Gambar 66 Danau kecil yang tertelat di Gua Uaka Karambua

6. Gua Matawai Larawa Gua Matawai Larawa terletak pada kawasan zona inti Taman Nasional Matalawa, berbeda dengan gua lainnya gua ini memiliki lokasi terjauh dengan jarak sekitar 10 km dari desa terdekat. Akses menuju gua ini berbukit dengan bebatuan karst hampir di sepanjang perjalanan. Nama Matawai Larawa merupakan bahasa yang diambil dari nama daerah sekitar yeng memiliki arti ’Mata air kerbau’ salah satu gua yang berada blok kawasan Mahaniwa dinamakan Lawatuna dari bahasa setempat yang berarti ‘mata air belut’. Kondisi mulut gua ini horizontal dengan kondisi mulut gua yang berair, air tesebut berasal dari mata air yang lokasinya tidak jauh dari mulut gua ini. Akses untuk memasuki mulut gua ini cukup sulit karena mulut gua yang sempit dan berair yang mengharuskan merangkak untuk bisa masuk kedalam gua ini. Panjang dari Gua Matawai Larawa saat ini belum diketahui secara pasti karena sejauh ini belum ada penelitian yang dapat mengakses hingga keujung gua, hal ini di akibatkan oleh sulitnya akses menuju dalam gua yang di dominasi oleh jalan yang sempit dan kondisi air yang sangat tinggi sehingga resiko bahaya di gua ini sangat besar, sejauh ini panjang gua yang sudah di ketahuai sepanjang 100 meter. Terdapat 3 pintu yang sudah diketahaui saat ini dan hanya pintu 1 saja yang kondisinya horizontal dan sisanya vertical. Kondisi bebatuan di Gua Matawai Larawa masih sangat terjaga, hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya stalaktit yang msaih hidup dan terawat dengan baik.

123

Gambar 67 Kondisi mulut ke-2 Gua Matawai Larawa

Keanekaragaman Fauna Gua Gua Humur Bakul mempunyai keanekaragaman fauna yang menarik. Hasil penelitian bahwa ditemukan 3 jenis fauna, yaitu kelelawar, jangkrik gua, dan laba- laba. Fauna-fauna gua yang ditemukan sebagai mana mestinya fauna yang ditemukan pada gua-gua lain. Fauna yang mendominasi di Gua Humur Bakul yaitu Kelelawar. Kelelawar merupakan salah satu hewan yang disebut dengan Trogloxene, yaitu hewan yang bersarang di dalam gua dan mencari makan di luar (Traister 1983). Sebagai hewan Trogloxene, kelelawar mempunyai peran penting di dalam gua karena menghasilkan guano. Guano dapat berfungsi sebagai sumber energi bagi hewan kecil lainnya (Sridhar et al. 2006). Fauna yang ditemukan di gua Matawai Latuna yaitu burung walet (Coollocalia vestita), Lipan serta katak. Lokasi penemuan burung walet berada disekitar 20 meter di ujung gua 1, ditemukan pula sarang dan telur burung walet di gua ini, hal ini menunjukan bahwa ekosistem gua ini masih sangat baik untuk menunjang kehidupan walet. Lipan serta katak ditemukan di sekitar mulut gua. Fauna yang ditemukan di gua Matailarawa yaitu burung walet (Coollocalia vestita), Lipan, katak, dan jangkrik. Jumlah fauna yang masih beragam menunjukann ekositem yang masih bagus dan masih terjaga sehigga satwa dapat hidup dengan baik.

124

Gambar 68 Anak burung walet di sarang, di dalam Gua Matailarawa

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa Blok Mahaniwa menghasilkan sejumlah 6 gua dengan melakukan penelusuran dan pengambilan data pada 5 gua dan 1 gua terakhir melakukan penelusuran gua tanpa memetakan gua karena keterbatasan alat dan waktu. 2. Fauna yang ditemukan pada gua di Taman Nasional Matalawa Blok Mahaniwa menghasilkan jenis-jenis kelelawar, jangkrik gua, dan laba-laba, walet (Coollocalia vestita), lipan, kalacemeti, kelabang.

Saran 1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh data tentang gua dan kawasan karst di Taman Nasional Matalawa. Kekayaan gua yang masih banyak belum teridentifikasi menjadi tantangan untuk pengelolaan Taman Nasional agar lebih diperhatikan untuk kemajuan pengelolaan gua dan kawasan karst Taman Nasional Matalawa. 2. Pengembangan wisata gua sangat penting dilakukan untuk menunjang zona pemanfaatan dari Taman Nasional.

125

DAFTAR PUSTAKA

[BTNMatalawa] Balai Taman Nasional Matalawa. 2017. Profil Taman Nasional Matalawa. [Internet].[diunduh 2017 Okt 25]. Tersedia pada: http://tnmatalawa.com/kakatua-jambul-jingga/profil-taman-nasional- matalawa/ [BTNMatalawa] Balai Taman Nasional Matalawa. 2017. Data gangguan kawasan selama 5 tahun terakhir (tidak dipublikasi). Waingapu (ID) Jennings JN. 1985. Karst Geomorphology. Basil Blackwell (UK): Oxford Karsudi et.al. 2010. Strategi pengembangan ekowisata di Kabupaten Yapen Propinsi Papua. JMHT. 16(3): 148-154. Kasri N. 1999. Kawasan Karst di Indonesia: Potensi dan Pengelolaan Lingkungannya. Jakarta (ID): Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Ko RKT. 1984. Peranan Ilmu Speleologi Dalam Penyelidikan Fenomena Karstik dan Sumberdaya Tanah dan Air. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah. Sridhar KR, Ashwini KM, Seena S, Sreepada KS. 2006. Manure qualities of guano of insectivorous cave bat. Tropical and Subtropical Agroecosystems. (6): 103 – 110. Traister RJ. 1983. Cave Exploring. USA.

126

127

PENDAHULUAN Latar Belakang Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan segala keindahan dan kekayaan alamnya memiliki banyak sumberdaya alam yang dapat dikembangkan dengan berbagai macam potensi yang dimiliki baik dari segi ekologis maupun ekonomis yang tetap memperhatikan kelestariannya. Salah satu pengembangan sumberdaya yang tetap menjaga nilai konservasi yaitu ekowisata. Ekowisata merupakan kegiatan perjalanan wisata yang bertanggungjawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dengan tujuan selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat (Walhi 1995). Daerah yang bersifat alami dapat berupa hutan yang berada di kawasan konservasi maupun kawasan non-konservasi. Salah satu prinsip ekowisata ialah berkelanjutan dalam pelaksanaan dan manajemennya secara ekologi yang berarti semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik, dan sosial tetap berjalan dengan baik, karena pada dasarnya suatu tempat yang pernah didatangi akan mengalami perubahan namun perubahan tersebut tidak menganggu fungsi- fungsi ekologis yang seharusnya terjadi di kawasan tersebut. Selain sumberdaya alam, Indonesia juga kaya akan budaya lokal yang tersebar di pelosok nusantara. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga keterlibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, dimana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk wisatawan lokal maupun internasional yang juga membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah, sehigga keterlibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah yang diharapkan dapat membangun

128

suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing. Banyak sekali potensi ekowisata di Indonesia yang masih belum dimanfaatkan, salah satunya adalah di kawasan konservasi Taman Nasional Matalawa yang terletak di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Keanekaragaman hayati yang unik di Taman Nasional Matalawa terkhusus di Laiwangi Wanggameti mengandung potensi ekowisata dan budaya lokal yang berpotensi untuk dikembangkan. Partisipasi masyarakat setempat merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan kawasan ini agar pembangunan atau pengembangan kawasan berjalan lancar dan dapat berkelanjutan.

Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Memetakan potensi ekowisata di Taman Nasional Matalawa 2. Merencanakan pengembangan ekowisata di Taman Nasional Matalawa 3. Mengkaji interaksi masyarakat sekitar kawasan dengan keberadaan Taman Nasional Matalawa 4. Mengkaji kebudayaan lokal suku yang ada di sekitar Taman Nasional Matalawa

METODE Waktu dan Tempat Kegiatan ekspedisi SURILI tim KPE Himakova dilaksanakan selama 7 hari, dimulai pada tanggal 1 – 7 Agustus 2019. Kegiatan SURILI dilaksanakan di kawasan Wanggameti, Resort Wanggameti SPTN III.

Gambar 69 Peta Pengambilan Data KPE

129

Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan SURILI ini yaitu GPS Garmin 64s, pita ukur, meteran jahit, klinometer, kompas, tally sheet, kamera, binokuler, dan alat tulis. Instrumen yang digunakan ialah panduan wawancara.

Metode Pengambilan Data Ekowisata Tim KPE melakukan kegiatan inventarisasi potensi objek wisata dengan metode eskplorasi. Eksplorasi merupakan penjajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai keadaan, terutama sumber- sumber alam yang terdapat di tempat itu. Tim pengamat melakukan penggalian data potensi sumberdaya biologis yang terdiri dari satwa dan tumbuhan yang ditemukan sepanjang lokasi pengamatan serta potensi sumberdaya fisik yang terdiri dari kemiringan lahan, hamparan dataran, sumber air yang berada di sepanjang jalur menuju objek wisata dan kegiatan wisata yang dapat dilakukan di lokasi. Setelah dilakukan pengamatan potensi objek kemudian dilakukan penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam berdasarkan Direktort Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003. Komponen yang dinilai diantaranya: 1) kondisi biologis meliput jenis flora dan fauna yang dijumpai di sekitar objek wisata, 2) objek dan daya tarik wisata alam diantaranya keindahan alam, keunikan sumberdaya, kerawanan kawasan, dan keutuhan sumberdaya, 3) aksesibilitas diantaranya meliputi kondisi dan jarak jalan darat, waktu tempuh menuju objek, dan frekuensi kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata ke objek dan menggunakan metode pengambilan data manajemen pengunjung secara keseluruhan di wisata Taman Nasional Matalawa. Komponen yang diambil yaitu antara lain sistem informasi, distribusi pengunjung, pelayanan interpretasi, dan keselamatan pengunjung. Kegiatan wawancara kepada masyarakat juga dilakukan dengan teknik snowball untuk mengetahui sejarah, adat istiadat dan kebiasaan serta budaya yang berkembang pada masyarakat di lokasi pengambilan data. Teknik snowball merupakan teknik pengambilan responden secara bertahap dengan mengidentifikasi orang yang dianggap dapat memberikan informasi untuk diwawancarai, kemudian orang tersebut dijadikan sebagai informan untuk mengidentifikasi orang lain sebagai sampel selanjutnya, hingga sampel yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah yang dkehendaki (Silalahi 2012). Berdasarkan penjelasan tersebut yang menjadi informan kunci adalah tokoh masyarakat yang dianggap sesuai dengan informasi yang dibutuhkan.

Analisis Data Data dari objek dan daya tarik wisata yang telah didapatkan di lapangan akan diolah dengan analisis deskriptif mengenai potensi yang dimiliki oleh setiap objek

130

wisata sesuai dengan parameter Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA). Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci (KBBI 2001:258). Berdasarkan pemaparan tersebut kemudian dikembangkan perencanaan kegiatan yang dapat dilakukan di setiap objek wisata yang kemudian dari objek dan daya tarik (flora, fauna, dan objek lainnya) yang telah diperoleh kemudian dianalisis sesuai dengan kriteria penskoringan pada pedoman Analisis Daerah Operasi Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Dirjen PHKA tahun 2003 sesuai dengan nilai yang telaah ditentukan untuk masing-masing krteria. Jumlah nilai dari masing-masing kriteria dapat dihitung dengan rumus:

S = N x B Keterangan: S = Skor atau nilai suatu kriteria N = Jumlah nilai unsur-unsur pada kriteria B = Bobot nilai

Kriteria daya tarik diberi 6 karena daya tarik merupakan faktor utama alasan seseorang melakukan perjalanan wisata. Aksesibilitas diberi bobot 5 karena merupakan faktor penting yang mendukung wisatawan dapat melakukan kegiatan wisata. Skor yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan skor total suatu kriteria apabila setiap sub krteria memiliki nilai kuat yaitu 5. Menurut Karsudi (2010) menyatakan setelah dilakukan perbandingan, maka diperoleh indeks kelayakan dalam persen. Indeks kelayakan suatu kawasan ekowisata seperti yang terlihat pada Tabel 12, sedangkan untuk hasil wawancara mengenai sejarah, adat istiadat serta kebudayaan masyarakat setempat juga akan di analisis deskriptif.

Tabel 12 Penilaian tingkat kelayakan suatu kawasan ekowisata No. Tingkat Kelayakan Penilaian Kelayakan 1 > 66,6% Layak dikembangkan 2 33,3% – 66% Belum layak dikembangkan 3 < 33% Tidak layak dikembangkan

Indeks kelayakan suatu kawasan ekowisata pada tingkat kelayakan > 66,6% layak dikembangkan, dengan kriiteria suatu kawasan wisata yang memiliki potensi, sarana dan prasarana yang tinggi berdasarkan parameter yang telah ditetapkan serta didukung oleh aksesibilitas yang memadai. Tingkat kelayakan 33,3% – 66,6% belum layak dikembangkan, dengan kriteria suatu kawasan wisata yang memiliki potensi, saran dan prasarana yang sedang berdasarkan parameter yang telah ditetapkan serta didukung oleh aksesibilitas yang cukup memadai. Tingkat kelayakan < 33,3% tidak layak dikembangkan, dengan krteria suatu kawasan wisata

131

yang memiliki potensi, sarana dan prasarana yang rendah berdasarka parameter yang telah ditetapkan serta aksesibiltas yang kurang memadai.

Tabel 13 Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam No. Unsur/Sub Unsur Nilai 1. Keindahan Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Pandangan lepas dalam 30 25 20 15 10 objek b. Variasi pandangan dalam objek c. Pandangan lepas menuju objek d. Keserasian warna dan bangunan dalam objek e. Pandangan lingkungan objek 2. Keunikan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada1 a. Sumber air panas 30 25 20 15 10 b. Gua c. Air Terjun d. Flora Fauna e. Adat istiadat 3. Banyaknya potensi sumberdaya Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 alam yang menonjol a. Batuan 30 25 20 15 10 b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala Alam 4. Keutuhan sumberdaya alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan 30 25 20 15 10 b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala alam 5 Kepekaan sumberdaya alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan 30 25 20 15 10 b. Flora c. Fauna d. ErosiEkosistem 6 Jenis kegiatan wisata alam >7 6-7 4-5 2-3 1 a. Tracking 30 25 20 15 10 b. Mendaki c. Rafting d. Camping e. Pendidikan

132

f. Religius g. Hiking h. Dll 7 Kebersihan udara dan lokasi Tidak 1-2 3-4 5-6 7 bersih tidak ada pengaruh ada dari : a. Alam 30 25 20 15 10 b. Industri c. Jalan aramai motor/ mobil d. Pemukiman penduduk e. Sampah f. Binatang g. Coret – coret (vandalism) 8 Kerawanan kawasan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Perambahan 30 25 20 15 10 b. Kebakaran c. Gangguan terhadap flora fauna d. Masukya flora/fauna e. Eksotik Keterangan: Kriteria penilaian daya tarik (bobot 6)

Tabel 14 Penilaian Kadar Hubungan/ Aksesibilitas No Kondisi dan Jarak Jalan Baik Cukup Sedang Buruk Darat < 75 Km 80 60 40 20 76 – 150 Km 60 40 25 15 151 – 225 Km 40 20 15 5 >225 Km 20 10 5 1 2 Pintu Gerbang Jarak Udara (Km) Internasional/ Regional S/d 150 151-300 301-450 451-600 .600 Jayapura/ 15 20 5 1 - Pekanbaru/ Ambon/Kupang Medan/Manado 25 20 15 10 5 Denpasar 30 25 20 15 10 Jakarta 40 35 30 25 20 3 Waktu tempuh ke 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 Obyek 30 25 20 15 10 4 Kendaraan >7500 5001- 2501- 2500- <1000 bermotor di 7500 5000 1000 Kabupaten/kota 30 25 20 15 10

133

5 Frekuensi >50 40-50 30-40 20-30 <20 kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata ke obyek 30 25 20 15 10 6 Kapasitas tempat >2500 2000- 1500- 1000- <1000 duduk kendaraan 2500 2000 1500 menuju obyek wisata 30 25 20 15 10 Keterangan: Kadar Hubungan/ Aksesibilitas (Bobot 5)

Manajemen pengunjung merupakan suatu kegiatan untuk mengelola pengunjung yang datang ke suatu obyek wisata sehingga memberikan manfaat. Terdapat dua elemen dasar yaitu mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan persyaratan dari obyek wisata dan pengunjung, dan menjadi bagian penting dalam pengembangan dan pengelolaan suatu obyek wisata. Pada intinya manajemen pengunjung yaitu untuk mempengaruhi pergerakan pengunjung, mendorong penyebaran kunjungan secara merata dan memberikan pengalaman wisata yang menarik dan terbaik untuk disesuaikan dengan kebutuhan obyek wisata dan wisatawan. Pengelola kawasan juga diharapkan dapat memberikan pelayanan terhadap para pengunjung yang datang untuk dapat memaksimalkan pengalaman berwisata mereka. Pelayanan-pelayanan tersebut antara lain: a. Penyebaran pengunjung Pengunjung yang datang ke suatu kawasan wisata cenderung terkonsentrasi pada suatu bentang alam tertentu dengan atraksi yang tertentu pula dan mengabaikan bentang alam lain. Hal tersebut umumnya disebabkan karena kurangnya akses yang dimiliki oleh pengunjung terkait potensi lainnya. Adanya konsentrasi pengunjung disuatu tempat menyebabkan terjadinya dampak negative yang cukup besar di suatu kawasan dan menimbulkan ketidaknyamanan dan akan menyebabkan turunnya tingkat kepuasan pengunjung. Oleh karena itu, pengelola perlu melakukan suatu upaya penyebaran pengunjung ke potensi lainnya (Muntasib 2014). b. Pelayanan informasi dan interpretasi Pelayanan interpretasi dimaksudkan untuk memberian pengetahuan dan pemahaman pada pengunjung tentang alam atau sumberdaya yang dikunjunginya sehingga lebih mengerti dan memahami serta dapat mengembangkan apresiasinya. Interpretasi merupakan elemen penting dalam pengelolaan pengunjung karena interpretasi merupakan suatu cara untuk mengeksplorasi pendekatan pengelolaan pengunjung yang diharapkan.

134

c. Pengelolaan keselamatan pengunjung Penyebab terjadinya ancaman terhadap pengunjung dapat berasal dari beberapa hal, sehigga pengelola perlu melakukan pengelolaan terhadap penyebab ancaman. Menurut Muntasib (2014) penyebab ancaman keselamatan pengunjung terbagi menjadi 3 yaitu : 1) Dari pengunjung pada pengunjung Perilaku negatif pengunjung yang datang ke suatu kawasan wisata dapat membahayakan dan atau menganggu aktifitas pengunjung lainnya. 2) Dari sumberdaya terhadap pengunjung Keberadaan sumberdaya yang berbahaya (misalnya fauna yang ganas atau beracun, sumberdaya fisik yang berbahaya dan lainnya) akan membahayakan dan atau mengganggu kenyamanan pengunjung beraktifitas. 3) Dari pengunjung terhadap sumberdaya Aktifitas yang dilakukan oleh pengunjung selama berada di kawasan dapat menganggu atau berdampak pada kondisi sumberdaya yang terdapat di kawasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Ekowisata di Taman Nasional Matalawa Potensi wisata alam merupakan suatu keadaan, jenis flora dan, bentang alam seperti pantai, hutan, pegunungan serta keadaan fisik suatu daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 48 tahun 2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut, yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Wisata alam hutan merupakan salah satu sektor hasil hutan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Hutan wisata alam adalah hutan wisata yang memiliki keindahan alam, baik keindahan tumbuhan, keindahan hewani, maupun kaindahan alamnya sendiri. Menurut Rigma (2012), manfaat hutan wisata alam yaitu: 1) pariwisata alam dan rekreasi, 2) penelitian dan pengembangan (kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi mengenai potensi kawasan wisata alam tersebut), 3) sebagai sarana pendidikan, dan 4) kegiatan penunjang budaya. Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2009), ekowisata memiliki banyak definisi, yang seluruhnya berprinsip pada pariwisata yang kegiatannya mengacu pada 5 (lima) elemen penting, yaitu: 1) memberikan pengalaman dan pendidikan kepada wisatawan, sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap daerah tujuan wisata yang dikunjunginya. Pendidikan diberikan melalui pemahaman tentang pentingnya pelestarian lingkungan, sedangkan pengalaman diberikan melalui kegiatan-kegiatan wisata

135

yang kreatif disertai dengan pelayanan yang prima, 2) memperkecil dampak negatif yang bisa merusak karakteristik lingkungan dan kebudayaan pada daerah yang dikunjungi, 3) mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan dan pelaksanaannya, 4) memberikan keuntungan ekonomi terutama kepada masyarakat lokal. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata harus bersifat profit (menguntungkan), dan 5) dapat terus bertahan dan berkelanjutan. Berdasarkan dari elemen ekowisata, terdapat beberapa cakupan ekowisata yaitu untuk edukasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan ekonomi, serta upaya dalam kegiatan konservasi. Dalam pengembangan ekowisata, diperlukan sebuah dukungan khusus dalam pengadaan sebuah produk wisata, yang dapat menjadi bahan pertimbangan wisatawan. Wisatawan dengan minat khusus, umumnya memiliki latar belakang intelektual yang lebih baik, pemahaman serta kepekaan yang lebih terhadap etika, moralitas, dan nilai-nilai tertentu, sehingga bentuk dari wisata ini adalah untuk mencari pengalaman baru (Fandeli 2000). Taman Nasional Matalawa memiliki dua blok yakni blok Manupeu Tanah daru dan Laiwangi Wanggameti. Kegiatan studi potensi terfokus pada blok Laiwangi Wanggameti, Resort Wanggameti SPTN III dan bagian hutan Mahaniwa yang merupakan bagian dari Resort Wanggameti. Masing-masing daerah memiliki potensi ekowisata yang cukup menarik yang dapat dijadikan sebagai objek wisata. Observasi dilakukan di kawasan aliran sungai dengan bebatuan dan bertebing, serta daerah perbukitan hutan dan perbukitan savana yang menjual pemandangan sangat indah.

Kondisi Umum Kawasan Hutan Laiwangi Wanggameti Pengambilan data mengenai ekowisata dilakukan di Resort Wanggameti Taman Nasional Matalawa, Desa Wanggameti, Kecamatan Matawai Lapau, Nusa Tenggara Timu. Lokasi pengambilan data memiliki topografi yang bervariasi baik darat maupun perairan dengan didominasi perbukitan savana dan hutan tertutup. Kawasan Laiwangi Wamggameti memiliki luasan 42.567,50 Ha dengan tipe pengelolaan konservasi yaitu tipe B. Secara geografis Kawasan Laiwangi Wanggameti berada pada 120°03’ – 120°19’ BT dan 9°57’ – 10°11’ LS. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim dikawasan Matalawa termasuk tipe iklim C sampai dengan F. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 100-1500 mm. Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Sumba Timur pada 4 (empat) wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Tabundung, Pinu Pahar, Karera dan Matawai Lapau. Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti berbatasan langsung dengan wilayah pemukiman dan budidaya dari 18 desa. Desa yang berada disekitar kawasan Laiwangi Wanggameti terdapat 3 desa, yakni adalah Desa Ramuk dan Desa Mahaniwa di Kecamatan Pinu Pahar serta Desa Katikuwai di Kecamatan Matawai Lapau, ketga desa tersebut merupakan enclave. Sebanyak empat desa merupakan desa pemekaran yaitu, Desa Prekomba, Desa

136

Watubokul, Desa Laputi, dan Desa Laiwangi. Berdasarkan hasil dilapang, didapat dua jenis ekowisata yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu Puncak Wanggameti yang merupakan puncak tertinggi di Pulau Sumba dan air terjun Ampupu yang memiliki danau diatasnya.

A. Puncak Wanggameti Puncak Wanggameti berada di Desa Wanggameti, Kecamatan Matawai Lapau, Dusun Laironja, Nusa Tenggara Timur yang merupakan bagian dari potensi obyek wisata yang berada di zona pemanfaatan di Resort Wanggameti Taman Nasional Matalawa dengan panorama yang memiliki daya tarik wisata yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Puncak ini memiliki ketinggian 1 225 mdpl. Obyek wisata tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan roda 2 dan roda 4. Jarak dari ibukota kabupaten ke Puncak Wanggameti adalah ±80 km dengan waktu tempuh sekitar 3 – 4 jam. Dari Kantor Resort Wanggameti menuju gerbang jalur pendakian dibutuhkan waktu ± 30 menit. Pengunjung yang mendaki akan disambut dengan gapura selamat datang yang berada dibagian samping pintu masuk utama, selain itu juga sudah dilengkapi dengan tata tertib pendakian, papan informasi mengenai larangan, shelter yang berada diseberang gerbang pendakian, dan papan interpretasi nama jenis pohon.

Gambar 70 Gapura Selamat Datang Gambar 71 Papan interpretasi

Keunikan dari Puncak Wanggameti dapat dilihat dari nilai sejarahnya, yaitu memiliki cerita yang cukup religius bagi pendatang atau pengunjung tepatnya dibagian Puncak Wanggameti terdapat kuburan emas berbentuk bayi yang dulunya dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai sesembahan atau yang biasa disebut dengan bagian dari kepercayaan Marapu sebagai bentuk rasa syukur masyarakat terhadap sumberdaya alam. Kawasan Laiwangi Wanggameti sebelum ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, dulunya memang dijadikan sebagai lokasi pemujaan roh nenek moyang oleh aliran kepercayaan Marapu. Oleh masyarakat setempat disebut sebagai hamayang. Biasanya lokasi hamayang menjadi tempat yang sangat sakral dan dianggap sebagai kawasan religi bagi masyarakat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang apalagi untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya. Kebiasaan ini masih dipertahankan sampai dengan saat ini. Kegiatan

137

pemujaan tersebut biasaya dilakukan di waktu tertentu seperti perayaan adat. Kawasan disekitar puncak Wanggameti adalah lokasi yang subur dan selalu ditutupi kabut yang tebal apabila hujan turun dengan tipe ekosistem hutan hujan, ekosistem sabana dan ekosistem hutan musim yang mewakili tipe-tipe ekosistem utama Pulau Sumba. Akses untuk menuju puncak Wanggameti dapat ditempuh dengan waktu 3- 4 jam waktu normal. Panorama yang disajikan puncak Wanggameti cukup unik dengan menampilkan nilai sejarah yang masih kental dan lanskap alam yang masih asri dengan perpaduan hutan yang lebat dengan sabananya yang menjadi daya tarik utama di Pulau Sumba. Para pendaki sangat mudah melakukan tracking karena jalur sudah cukup terbuka dibagian awal jalur pendakian, namun mendekati puncak, jalur belum terlalu jelas, sehingga perlu adanya pembukaan jalur yang lebih jelas dan pengadaan pembatas jalan sebagai fungsi keamanan ketika melakukan pendakian karena jalan cukup curam. Disepanjang jalur dipenuhi dengan papan nama pohon sebagai bentuk pengetahuan bagi pengunjung yang melakukan pendakian. Pada papan pohon diinformasikan mengenai nama lokal dan nama ilmiah dari pohon tersebut. Selain itu, terdapat rest area di pertengahan jalur menuju obyek untuk tempat beristrahat para pendaki. Bagian rest area diberi fasilitas berupa tempat duduk yang terbuat dari pohon yang sudah rebah dan dibiarkan melintang, terdapat sumber air yang apabila musim kemarau cukup kering dan pada musim hujan airnya banyak, serta adanya papan interpretasi mengenai larangan, selain aksesnya yang jauh, puncak Wanggameti juga berpotensi bahaya bagi pegunjung, seperti jalur yang licin apabila musim hujan dan banyaknya pohon yang sudah tua dan rapuh akibat jarang terjamah oleh masyrakat sekitar. Puncak Wanggameti merupakan salah satu obyek wisata yang sangat jarang dikunjungi oleh pengunjung baik lokal maupun internasional dibanding dengan obyek wisata lainnya yang ada di Taman Nasional Matalawa dikarenakan aksesibilitasnya yang cukup jauh dan sulit dijangkau oleh pengunjung pada umumnya. Hal tersebut juga dibuktikan dengan data pengunjung yang dimiliki Taman Nasional Matalawa, bahwa jumlah pengunjung pada Puncak Wanggameti sangat sedikit dan sebagian besar berasal dari masyarakat lokal. Motivasi merekapun hanya sebatas bersenang-senang tanpa mempunyai tujuan untuk melakukan wisata. Dari topografi dan keadaan Resort Wanggameti beserta obyek wisatanya pengunjung yang cocok dan sesuai ialah pengunjung yang memiliki minat khusus terhadap alam sehingga baginya aksesibiltas yang jauh bukan suatu masalah besar.

Rekomedasi a. Secara Keseluruhan: 1. Jalur tracking lebih diperjelas 2. Menyediakan peta jalur pendakian di bagian gapura selamat datang 3. Ada pemandu wisata/ guide

138

4. Papan informasi mengenai keanekaragaman hayati didalamnya (flora fauna yang unik) dan sejarah yang ada dibagian puncak 5. Papan interpretasi tumbuhan/pohon lokal dan potensial (deskripsi dan manfaat) di lokasi yang potensial 6. Sistem pembatasan pengunjung 7. Di sepanjang jakur pendakian berpotensi spot birdwatching b. Bagian Rest Area 1. Tempat istirahat/ pondok khas sumba 2. Tempat duduk dari kayu yang ada di hutan 3. Dibuat bilik kecil (toilet) di sekitar mata air c. Bagian Puncak 1. Dibagian puncak lebih dirapihkan dan dilakukan pemangkasan secara berkala untuk mendapatkan pemandangan yang menarik 2. Menyediakan papan atau tempat khusus rekam jejak pengunjung

B. Air Terjun Ampupu Air Terjun Ampupu berada di Desa Wanggameti Kecamatan Matawai Lapau Kawasan Taman Nasional Matalawa. Memiliki ketinggian 4.7 m dan terdapat danau dengan lebar 5 m, panjang 4 m berbentuk hati dengan kedalaman 2.4 m. Saat musim kemarau kondisi air sangat tenang sehimgga untuk menempuh obyek wisata Air terjun Ampupu dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam dengan jarak 5 km dari kantor Resort Wanggameti dengan jalan kaki. Sepanjang jalan menuju lokasi disuguhkan beberapa jenis tumbuhan dengan tajuk yang cukup rapat dengan udara yang sejuk dan tapak yang berbukit (naik turun), selain tumbuhan banyak juga fauna sepeti beberapa jenis burung seperti Elang Bondol (Haliastur indus), Gagak kampung (Corvus macrorhynchos), Perkici orange (Trichoglossus capistratus) dengan suaranya yang merdu dan kupu-kupu yang menjadi penghias diperjalanan. Kegiatan yang dapat dilakukan di Air terjun ialah aktivitas renang dan menikmati keindahan alam yang tersedia.

139

Gambar 72 Danau diatas air terjun utama Gambar 73 Aliran air terjun Ampupu

Keindahan alam dan Air terjun Ampupu tidak terlepas dari potensi bahaya yang suatu waktu akan terjadi. Jalan yang licin apabila musim hujan disepanjang perjalanan, air dengan arus yang cukup deras dan disekitar obyek Air Terjun Ampupu berpotensi longsor yang sebelumnya juga sudah pernah terjadi, banyak pohon yang rapuh dan tua sehingga dapat tumbang ketika musim kemarau, selain akses jalan yang cukup sulit dan jauh, jalur menuju obyek Air Terjun Ampupu juga belum terbuka dengan baik, karena obyek tersebut belum terjamah oleh pengunjung dan belum dijadikan sebagai obyek wisata. Namun, walaupun belum terjamah tidak mengurangi nilai potensi wisatanya dengan keadaan alam yang masih alami serta kicauan burung dan lambaian tumbuhan yang kerap kali menyapa. Keunikan lain yang dimiliki oleh Air terjun Ampupu ialah terdapat dua tingkat air terjun. Dibagian bawah danau yang berbentuk hati terdapat air terjun utama Ampupu. Jadi bentuk dari air terjunnya yakni, aliran air berbatu disambut air terjun Ampupu tingkat pertama dengan ketinggian 4,7 m, kemudian ditampung oleh danau berbentuk hati pada Gambar 72, setelah itu terdapat air terjun utama Ampupu yang memiliki ketinggian 4 kali lipatnya dari air terjun tingkat pertama, namun akses untuk mencapai air terjun utama sulit dan curam serta cukup jauh untuk di jangkau.

C. Kuburan Batu Megalitik Objek wisata Kubur Batu Megalitik terletak di Desa Wanggameti Kecamatan Matawai Lapau Kabupaten Sumba Timur. Kuburan Batu Megalitik merupakan kuburan tua berumur ratusan tahun yang terbuat dari batu, merupakan salah satu simbol kebudayaan yang mempunyai makna sebagai manifestasi kejayaan jaman megalitik di masa lampau. Keunikan lain dari objek tersebut ialah memiliki nilai religi yang sangat tinggi. Di dalam Kubur Batu Megalitik terdapat mayat yang sebelumnya sudah diawetkan dirumahnya. Mayat akan dikubur apabila keluarga sudah dikatakan mampu untuk membeli kebutuhan rangkaian pemakaman. Disetiap depan rumah masyarakat Sumba mempunyai Kubur Batu tersebut. Masyarakat Sumba percaya bahwa rumah ketika masih hidup harus berdampingan dengan

140

rumah ketika mereka meninggal, dalam hal ini kuburan. Hal tersebut sebagai simbol kedekatan antara arwah dan keluarga yang masih hidup. Sebagai bentuk penghormatan kepada kerabat yang telah meninggal, keluarga akan membuatkan batu kubur yang besar dan indah dengan relief yang menggambarkan manusia dan hewan seperti kuda, kerbau, ayam, buaya dan tanduk kerbau ditambah miniatur rumah adat dan rupa-rupa perhiasan sebagai lambang kebangsawanan dan kekayaan pemiliknya.. Batu - batu itu diambil dari gunung, kemudian dipahat sesuai dengan bentuk dasar yang diingankan, setelah itu ornamen - ornamen akan diukir di setiap sisi batu yang telah terbentuk menjadi sebuah dolmen atau sarkofagus. Semakin indah dan besar sebuah batu kubur, maka hal itu menyimbolkan juga semakin besar status dan martabat dari yang meninggal.

Gambar 74 Kubur Batu Megalitik

Kubur Batu Megalitik tidak terlepas dari upacara-upacara ritual yang merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat Sumba yang setiap rangkaiannya membutuhkan biaya yang banyak. Akses menuju Kubur Batu Megalitik bisa dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan, berjarak sekitar 50 meter dari Resort Wanggameti dan terletak ditepi jalan.

Obyek Daya Tarik Wisata Alam Hasil perhitungan dari setiap unsur dan sub unsur pada penilaian daya tarik wisata areal mengacu pada pedoman penilaian ODTWA PHKA 2002 dan tingkat kelayakan suatu obyek wisata. Hasil perhitungan untuk penilaian daya tarik wisata ketiga wisata di Wanggameti dapat dilihat pada Tabel 15.

141

Tabel 15 Penilaian tingkat kelayakan obyek wisata di Wanggameti No Obyek Wisata Tingkat Kelayakan Penilaian Kelayakan Wisata (%) 1 Puncak Wanggameti 77 % Layak dikembangkan 2 Air Terjun Ampupu 66,67 % Layak dikembangkan 3 Kubur Batu 68,75 % Layak dikembangkan Megalitik

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan nilai tertinggi dari unsur dan subunsur serta tingkat kelayakan daya tarik wisata sesuai keunikan sumberdaya alam yaitu pada obyek wisata Puncak Wanggameti sebesar 1 110 dengan skor 77%. Nilai skor yang didapat dikalikan dengan bobot nilai untuk kriteria penilaian daya tarik wisata dengan nilai bobot 6. Nilai kriteria penilaian daya tarik Puncak Wanggameti dengan nilai keseluruhan 185 x 6 = 1 110. Nilai yang didapat dikelaskan dengan penilaian kelayakan berdasarkan tingkat kelayakan wisata alam, maka kawasan Puncak Wanggameti memiliki daya tarik areal yang bernilai layak untuk dikembangkan menjadi obyek wisata alam. Selain obyek wisata Puncak Wanggameti, kedua obyek wisata berupa Air Terjun Ampupu dan Kubur Batu Megalitik juga layak untuk dikembangkan menjadi wisata alam karena tingkat kelayakan diatas 66.6% dengan persentase berturut-turut 66.67% dan 68.75%. Aksesibilitas merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan kegiatan wisata. Aktivitas wisata sebagian besar tergantung pada transportasi dan komunikasi karena faktor jarak dan waktu yang sangat mempengaruhi keinginan seseorang melakukan perjalanan wisata berupa transportasi yang terdiri dari frekuensi penggunaannya, jumlah transportasi, dan kecepatan yang dimiliki, selain itu prasarana juga menjadi sangat penting karena keterkaitan satu sama lain, seperti jalan, jembatan, terminal, stasiun, dan bandara yang berfungsi untuk menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lain. Aksesibilitas atau tingkat keterjangkauan dalam wisata merupakan upaya wisatawan dalam mencapai obyek wisata. Wisatawan akan memperhatikan kondisi jalan yang akan dilalui, jarak dan waktu yang ditempuh, pilihan transportasi yang tersedia dan digunakan serta biaya yang dikeluarkan ketika menuju obyek wisata (Mustofa 2018). Berdasarkan perhitungan, penilaian aksesibilitas secara keseluruhan masih rendah hanya bernilai 600 (50%) dari beberapa kriteria yang dinilai, antara lain kondisi jarak jalan darat, jarak bandara terdekat ke tujuan, waktu tempuh, jumlah serta frekuensi transportasi di kawasan. Hal tersebut menunjukkan perlu adanya pengembangan aksesibilitas dan sarana prasarana utama maupun pendukung dalam mendukung kegiatan wisata untuk mencapai tingkat kepuasan wisatawan yang maksimum.

142

Manajemen Pengujung a. Sistem Informasi Penyebaran informasi mengenai ekowisata yang ada di Taman Nasional Matalawa tidak terlepas dari media yang digunakan. Di era yang modern, informasi mengenai sesuatu akan sangat mudah tersebar. Taman Nasional Matalawa menggunakan media elektronik dan media cetak dalam melakukan promosi wisata. Media elektronik yang digunakan berupa website Taman Nasional Matalawa, instagram, dan facebook. Media tersebut digunakan karena dianggap efektif dalam menjangkau pengunjung jarak jauh. Sedangkan untuk media cetak melalui buku informasi milik taman nasional dan berupa selebaran pada saat mengikuti kegiatan pameran tingkat nasional seperti yang sudah pernah diikuti sebelumnya di 3 pameran nasional. Kegiatan promosi sudah gencar dilakukan sejak tahun 2017 dan efektif dilakukan oleh tim humas dan informasi Taman Nasional Matalawa. Selain kedua media, Taman Nasional Matalawa juga bekerjasama dengan beberapa biro travel atau biro perjalanan. Bentuk promosi yang dilakukan berupa deskripsi dari objek wisata dan penawaran paket wisata yang menggabungkan beberapa objek wisata dari sumba timur ke sumba barat atau sebaliknya. Taman Nasional Matalawa menganggap bahwa bentuk promosi yang sudah dilakukan efektif dan sangat mudah diakses oleh semua orang. Hal tersebut dibuktikan dengan terus meningkatnya jumlah pengunjung baik domestik maupun internasional. b. Interpretasi Objek wisata yang ada di resort Wanggameti tidak terletak persis di tepi jalan, tetapi akses untuk masuk ke dalam kawasan dengan berjalan kaki. Perjalanan menuju kawasan sebaiknya dilengkapi dengan papan interpretasi untuk menjelaskan tentang apa saja yang ada di sepanjang jalur atau manfaat dari apa yang ada di jalur tersebut. Perjalanan menuju puncak Wanggameti dilengkapi papan interpretasi sepanjang jalurnya, tapi kebanyakan dari papan interpretasi menjelaskan tentang nama lokal dan ilmiah dari pohon, belum menjelaskan tentang fungsi atau manfaat dari pohon tersebut. Banyak pohon dalam jalur pendakian puncak Wanggameti yang biasa dimanfaatkan untuk membuat rumah tradisional ataupun dimanfaatkan untuk obat tradisional, dan bisa dijelaskan dalam papan interpreatasi untuk menarik dan menambah pengetahuan pengunjung. Jalur menuju air terjun Ampupu belum memiliki papan interpretasi, untuk penjelasan tentang air terjun Ampupu juga belum ada, jika diberikan papan interpretasi akan menarik pengunjung. Interpretasi juga bisa dilakukan melalui pemandu wisata. Pemandu wisata yang ada di resort Wanggameti menggunakan jasa dari warga lokal yang memang bisa lebih mengerti tentang jalur, flora dan fauna yang ada di kawasan tersebut.

143

c. Distribusi Pengujung Pengunjung dapat mengakses informasi mengenai objek wisata yang ada di Taman Nasional Matalawa melalui media elektronik maupun cetak yang dianggap efesien dan mampu meningkatkan jumlah pegunjung baik mancanegara maupun nusantara. Konsentrasi pengunjung tidak tersebar secara merata. Menurut informasi yang didapat dari Taman Nasional Matalawa sebagian besar pengunjung berkunjung ke objekk wisata yang sudah memiliki paket wisata. Taman Nasional Matalawa mempunyai tiga jenis paket wisata yaitu 2 paket wisata 3 hari 3 malam dan 1 paket wisata 3 hai 2 malam. Untuk paket wisata I akan diarahkan mengunjungi berbagai tempat di Kabupaten Sumba Timur dan Taman Nasional Matalawa khususnya Blok Hutan Wanggameti, paket wisata II akan mengunjungi berbagai tempat di Kabupaten Sumba Timur dabn Taman Nasional Matalawa khususnya Blok Hutan Laiwangi di Tabundung, dan paket wisata III akan mengunjungi berbagai tempat di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Taman Nasional Matalawa khususnya Blok Hutan Manupeu Tanah Daru. Ketiga paket wisata tersebut memiliki objek wisata yang berbeda-beda dengan jalur yang berbeda pula. Kebanyakan pengunjung memilih paket wisata III dengan keindahan objek wisatanya dari mulai Sumba Barat hingga Taman Nasional Matalawa Blok Hutan Manupeu Tanah Daru. Karena potensi dan panorama yang disajikan pada paket wisata III jauh lebih indah dan unik serta arah jelajahnya yang cukup memuaskan. Objek wisata yang disajikan ialah dimulai dari Wisata budaya Kampung Praijing yang berada di Sumba Barat, Kampung Tarung, Air Terjun Lapopu yang sekarang sangat terkenal dengan keindahan dan kesejukkannya serta akses yang cukup mudah dijangkau, Air Terjun Matayangu, birdwatching yang ada di Bila, dan pantai Konda Maloba. Pesona yang disajikan membuat pengunjung berpendapat bahwa jika mereka memilih paket wisata III, mereka akan sekaligus menjelajahi sebagian besar wilayah Sumba. Apabila dibandingkan objek wisata yang ada di sekitaran Sumba Barat dan Blok Hutan Manupeu Tanah Daru memang lebih banyak serta akses untuk menuju objek tersebut juga sangat mudah. Berbeda dengan Sumba Timur dan Blok Hutan Wanggameti walaupun terdapat Puncak Wanggameti yang merupakan puncak tertinggi di Sumba, namun akses untuk menuju ke objek tersebut sangat jauh membutuhkan waktu 3 – 4 jam dengan menggunakan transportasi darat.

144

3500 Wstwan Mancanegara Wstwan Nusantara 3000 2500 2000 1500 1000 500 0

Gambar 75 Perbandingan pengunjung mancanegara dan nusantara

Berdasarkan Gambar 75 bahwa sebagian besar pengunjung berasal dari lokal atau nusantara yang kebanyakan berkunjung dan memilih paket wisata III. Hal ini sesuai dengan informasi yang didapat dari Taman Nasional Matalawa ketika melakukan wawancara. Musim terbaik ketika berkunjung ialah ketika musim hujan pada bulan dan adanya kegiatan festival nasional. Kemudian didukung oleh data statistk milik Taman Nasional Matalawa sebanyak 3 821 pengunjung berkunjung pada bulan Desember karena sebgaian besar pengunjung merayakan akhir tahun di Sumba. d. Keselamatan Pengunjung Kegiatan wisata tidak terlepas dari keamanan dan keselamatan pengunjung. Keamanan dan keselamatan pengunjung bukan semata menjadi tanggun jawab pemilik atau pengelola wisata (owner). Keamanan dan keselamatan pengunjung akan memberikan kontribusi pada peningkatan pengunjung selanjutnya dan merupakan faktor terciptanya tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Sebuah kawasan atau destinasi wisata persoalan keamanan dan keselamatan menjadi tanggungjawab semua masyarakat khususnya pengelola obyek wisata aparat keamanan, maupun para pengunjung atau wisatawan pada umumnya. Taman Nasional Matalawa memiliki sistem tersendiri dalam menangani keamanan dan keselamatan pengunjung. Setiap tahunnya Taman Nasional Matalawa melakukan monitoring dan evaluasi dengan melakukan pengecekan kondisi kesehatan pengunjung dan lokasi yang akan dikunjungi serta pengadaan guide/ pemandu wisata.

145

Sosial Budaya Masyarakat Desa Wanggameti

Kehidupan Sosial Kebudayaan merupakan segala hal yang dimiliki oleh manusia diperoleh dengan belajar dan menggunakan akalnya. Manusia dapat berkomunikasi, berjalan karena kemampuannya untuk berjalan dan didorong oleh nalurinya serta terjadi secara alamiah (Saliyo 2012). Kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan manusia. Kehidupan sosial dan budaya tidak dipisahkan satu sama lainnya, begitu pun dengan kehidupan masyarakat sekitar resort Wanggameti di wilayah Desa Wanggameti dan Desa Katikuwai yang menjadi lokasi kajian sosial budaya masyarakat di Sumba Timur. Masyarakat Desa Wanggameti dan Desa Katikuwai memiliki kehidupan sehari-hari dan kebudayaan yang relatif sama, berbeda dengan masyarakat di wilayah Sumba Barat yang memiliki perbedaan khususnya dari segi bahasa daerah pada setiap daerahnya. Bahasa yang digunakan di Sumba Timur adalah bahasa Sumba Tmur, berbeda dengan masyarakat Sumba Barat yang setiap suku dan daerahnya memiliki perbedaan bahasa, di Sumba Timur perbedaan lagam dan bahasa setiap suku daerahnya hanya berbeda tipis saja bahkan dapat dikatakan hampir sama. Terdapat sekitar 12 bahasa di wilayah Sumba Timur, yang paling umum digunakan adalah mahu karera. Sebelum era modern, pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan ketua adat atau raja besar dan raja kecil di setiap sukunya, namun saat sudah modern seperti sekarang yang memimpin adalah kepala desa, dan beberapa ada yang dibagi berdasarkan dusun seperti di Desa Wanggameti yang dibagi menjadi dusun Laironja dan Pahulu Bandil, Desa Katikuwai dibagi menjadi tiga dusun yaitu dusun Pingi Ailuri, Matawai Watu, dan Matawai Petaku. Selain karena kini sudah mengkuti struktur dari pemerintahan, keturunan raja saat ini juga sudah mulai terbuka pola pikirnya untuk mengikuti perkembangan zaman, sehingga sudah jarang ditemui wilayah yang dipimpin oleh seorang raja. Masyarakat Wanggameti terbagi menjadi beberapa suku, 3 suku yang diakui hingga saat ini yakni suku Tawiri, suku Mangiluwai, dan suku Tapuhawai, akan tetapi suku besar yang mendominasi adalah suku Tawiri. Pada umumya kata “suku” yang dimaksud oleh masyarakat diartikan sebagai marga, sehingga masyarakat mengatakan bahwa terdapat banyak suku, yaitu marga dari silsilah keluarganya. Mayoritas masyarakat di Sumba Timur adalah kristen protestan, dan seluruh masyarakat di Desa Wanggameti dan Katikuwai beragama kristen protestan. Kepercayaan lokal masyarakat (agama lokal) yang biasa disebut kepercayaan marapu secara besar sudah ditinggalkan, namun sebagian kecil masih dilakukan karena berkaitan dengan adat yang berlaku. Pendidikan masyarakat lebih dari 90% adalah sekolah dasar, hanya sekitar 0.5 % yang melanjutkan sampai tingkat SMA, selain terbatasnya tempat pendidikan di sekitar pemukiman, sekolah SMA hanya terdapat di Kota Waingapu yang dapat terjangkau. Pekerjaan dan aktivitas

146

masyarakat pada umumnya adalah berkebun dan bertani. Jenis yang ditanam umumnya sayur mayur dan umbi-umbian untuk dijual ke pasar dan dikonsumsi pribadi. Penghasilan rata-rata masyarakat berkisar antara Rp 50 000-200 000 per bulan.

Sejarah dan Kepercayaan Konon sejarahnya pada zaman nenek moyang, saat itu nenek moyang sudah mulai memiliki banyak keturunan dan ingin agar keturunannya terbagi menjadi beberapa suku, ragamnya suku dimulai saat prosesi penyembelihan seekor babi pada kegaiatan adat kala itu nenek moyang sudah meminta bagian kepala saat babi belum juga disembelih, melihat sikap dari nenek moyang keturunan sepakat bahwa suku yang akan dibawa nenek moyang adalah Tawiri karena berani mengambil bagian terlebih dahulu. Bagian dari babi lainnya terbagi menjadi suku lain yang berada diluar kawasan Wanggameti. Selain dengan pembagian potongan babi, suku lain yang tidak mendapat bagian dinamai berdasarkan penyebab lain misalnya berdasarkan ketinggian tempat tinggal seperti suku Mbaradita yang rumahnya di atas dan Mbarawa yang berada di bawah. Selain cerita itu, dahulu kala ketika masyarakat sedang mencari air dan diberi petunjuk untuk mencari di sekitar puncak Wanggameti orang yang pertama meminum air berjanji mengakui diri dan keturunan serta orang sekitarnya sebagai suku Mangiluwai. Sedangkan yang membawa pulang air dinamakan suku Tapuhawai (dibawah puncak = laipukul). Sisa air minum ditumpahkan dan berdoa agar sumber air tersebut tetap ada, hal tersebut menjadi sumber sejarah terbentuknya danau paberiwai yang berarti pembagi air dan saat ini terbagi menjadi 12 aliran air yang mengaliri daerah Wanggameti dan sekitarnya.

Gambar 76 Tempat emas berbentuk bayi Gambar 77 Puncak Wanggameti

Suku Tawiri merupakan keturunan dari Jawa, Makassar, Bima, Sumatera, dan Bali. Tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa ada darah gadjah mada yang mengalir dalam darah suku tawiri, sehingga sampai saat ini suku tawiri terkenal dengan ketangguhannya, konon saat zaman berperang suku tawiri dikenal dengan semangatnya yang pantang menyerah, meskipun dadanya sudah robek, badan sudah luka-luka, kepala sudah hampir terlepas mereka akan tetap maju melawan. Istilah

147

Wanggameti umumnya dikenal sebagai pohon beringin, akan tetapi Wanggameti yang menjadi nama daerah di Sumba Timur ini berartikan pengusir arwah kematian. Hal itu karena pada zaman dahulu ketika daerah Sumba masih berupa hutan lebat tidak berpenghuni, saat itu masyarakat dari luar mulai menjajakan kakinya di tanah Sumba dan melakukan perambahan serta penebangan pohon untuk membuka hutan, namun lambat laun hutan yang lebat mulai terkikis habis, sehingga menurut kepercayaan masyarakat disana bahwa ada arwah yang marah disertai dengan fenomena alam yang mencekam seperti badai dan petir, satwa buas dalam hutan juga menyerang, sehingga masyarakat percaya bahwa mereka harus melakukan sesuatu untuk menghentikan bencana itu, inisiatif masyarakat yakni memberikan sesembahan kepada arwah yang menempati daerah tersebut, sesembahan itu diberikan di puncak wanggameti, yaitu puncak tertinggi di tanah sumba dengan ketinggian 1 225 mdpl. Sesembahan yang diberikan yakni berupa emas yang berbentuk bayi, yang kini tengah terkubur disana. Sebelum sesembahan tersebut diberikan banyak terjadi kematian akibat kejadian tersebut, sehingga setelah diberikan sesembahan, bencana kematian pun selesai, kemudian masyarakat bersenang-senang di sebelah bawah Puncak Wanggameti yang sekarang dikenal dengan Puncak Kariki (tempat tertawa), setelah kejadian itu masyarakat mulai berhenti dan mengurangi kegiatan mernebang pohon serta aktivitas merusak hutan lainnya. Namun seiring bertambahnya pendatang baru disana, dan mengetahui bahwa ada emas berbentuk bayi yang mereka katakan sebagai benda yang antik terkubur di puncak Wanggameti, banyak orang yang ingin mengambil karena nilainya yang dianggap antic dan mahal. Akan tetapi setiap orang yang hendak mencuri emas tersebut akan mengalami hal serupa seperti dulu, angin kencang dan badai petir serta satwa buas akan menyerang, hingga ada beberapa yang meninggal dan tidak diketahui keberadaannya. Tepat di Puncak Wangggameti tempat terkuburnya emas bayi banyak lalat hijau yang berterbangan di atas kuburan, lalat hijau tersebut dipercaya sedang mengerubungi bangkai pencuri yang hingga sekarang lalat hijau tersebut masih tetap banyak karena masyarakat mengganggap bahwa arwah nenek moyang yang menyebabkan adanya lalat hijau tersebut, bukan lagi akibat keberadaan bangkai. Misteri di Puncak Wanggameti pun masih dirasakan oleh masyarakat sekarang, berdasarakan kejadian sebelumnya bahwa saat mendaki Puncak Wanggameti selalu saja ada anggota yang hilang, selain itu ketika sudah berada di puncak dilarang untuk ribut dan berisik karena akan mengundang badai dan hujan, karenanya tim pendaki bersama pemandu menyusun formasi pendakian dan tidak menimbulkan kegaduhan selama berada di Puncak Wanggameti.

148

Pengetahuan masyarakat terhadap sumberdaya alam Tabel 16 Jenis sumbedaya alam yang dimanfaatkan No Jenis SDA Manfaat 1 Ewi Pangan 2 Ganyu Pangan 3 Singkong Pangan 4 Pisang Pangan 5 Ubi Jalar Pangan 6 Mayela Anaratu Papan 7 Kilu Matamanu Papan 8 Tualaku Kanunu Papan 9 Loba Industri 10 Kihu Kataru Obat 11 Sirih Obat 12 Pinang Obat

Pengetahuan masyarakat terkait sumberdaya alam lebih kepada kebiasaan yang berkaitan adat dengan memanfaatkan SDA sebagai obat-obatan tradisional, masyarakat percaya bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya yang tersedia di alam, mereka menyebutnya dengan istilah nai dan muru yang berarti bahwa penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis dapat disembuhkan dengan kebiasaanya mengonsumsi obat tradisional yang tersedia di alam, selain itu kepecayaan dalam pembangunan rumah adat yang mengharuskan penggunaan pohon tertentu sebagai bahan dasar kayu membuat masyarakat mengetahui kulaitas kayu dari pohon tersebut, masyarakat juga memanfaatkan SDA lainnya sebagai bahan industrI dan pangan seperti pemanfaatan daun pohon loba sebagai pewarna alami untuk mewarnai kain sumba karena dapat memberikan corak warna yang jauh lebih baik sehingga dapat meningkatkan nilai jual dari kain tersebut, lalu memanfaatkan umbi- umbian dan sayur mayur untuk konsumsi pangan pribadi, masyarakat mampu mengolah salah satu umbi-umbian yang dinamakan ewi sebagai bahan pangan saat melewati musim kelaparan (bertepatan saat panceklik), ewi merupakan umbi- umbian yang beracun namun mampu diolah dengan baik sehingga aman untuk dikonsumsi. Akan tetapi untuk pengelolaan lanjutan yang berpotensi sebagai sumber peningkatan ekonomi masih belum tercapai mengingat pengetahuan dan ranah teknologi yang masih terbatas. Pengetahuan masyarakat terkait obat-obatan misalnya kebiasaan masyarakat dalam melakukan hapa (mengunyah rempah- rempah seperti pinang, buah sirih, dan kapur) atau biasa dikenal dengan minang, nyirih, dan nyeupah (dalam bahasa sunda) juga memberi manfaaat untuk menghilangkan bau mulut, gigi kuat, obat sakit mata, panas tinggi, dan penyakit kelamin. Selain itu tumbuhan yang dinamai kihu kataru daun dan kulitnya sebagai obat sakit gigi dan pencegah gigi berlubang.

149

Adat Istiadat dan Kebiasaan a. Hapa Kebiasaan hapa atau minang merupakan kebiasaan yang masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat sumba, baik sumba timur maupun sumba barat. Hapa merupakan simbolis penghargaan atau penghormatan masyarakat sumba timur untuk menyambut atau menerima tamu, hapa adalah hal pertama yang disajikan sebelum minuman seperti kopi, makanan, dan jamuan lainnya. Masyarakat percaya jika tidak menyajikan hapa kepada tamu akan dianggap sebagai orang yang sombong dan tidak menghargai tuan rumah.

Gambar 78 Sirih pinang b. Hewan Adat Sebagian besar masyarakat sumba timur memlihara hewan seperti kuda, sapi, kerbau, anjing, babi, dan ayam. Hewan tersebut ada yang dilepas liarkan di alam dan ada yang dipelihara disekitar rumah. Hewan-hewan tesebut menjadi umum dimiliki masyarakat sumba timur karena berkaitan dengan adat dan kebudayaannya. Babi menjadi wajib dimiliki setiap keluarga sebagai simbol tradisi, sedangkan hewan lainnya digunakan untuk konsumsi, diperjual belikan dan untuk keperluan adat seperti adat pernikahan dan kematian. Setiap hewan yang disembelih atau dikenal dengan istilah tikam hewan dalam setiap proses adat tersebut dianggap sebagai persembahan dan rasa syukur mereka kepada sang pencipta.

150

Gambar 79 Hewan peliharaan Gambar 80 Babi yang dipelihara b. Adat Perkawinan Adat perkawinan budaya yang dikenal adalah kawin mawin, seorang laki-laki yang jatuh cinta pada perempuan tidak dapat mengutarakan rasa cintanya secara langsung pada perempuan tersebut. Hal pertama yang dilakukan biasanya meminta bantuan pada temannnya atau teman perempuan yang disukainya, laki-laki tersebut akan memberikan simbol melalui ikatan sebatang rokok lokal (dari daun lontar), setelah itu diberikan melalui temannya, apabila sang perempuan menerima maka laki-laki tersebut akan memberikan cincin yang menandakan bahwa dia sudah menjadi kekasihnya. Perempuan itu akan memberitahu ke orangtuanya, dan orang tua akan memanggil laki-laki tersebut untuk menanyakan kesungguhannya. Setelah diyakinkan orang tua akan meminta laki-laki tersebut untuk datang kembali dengan membawa juru bicara yang mereka sebut sebagai wunang untuk melakukan kegiatan lamaran di acara selanjutnya dan membawa seekor hewan. Setelah kegiatan tersebut dilakukan, keluarga perempuan akan berunding untuk menentukan jumah hewan yang diminta untuk dibawa laki-laki tersebut, penentuan jumlah hewan dilakukan secara musyarawah dengan seluruh keluarga, misalnya kakak perempuan ingin 10 ekor, ibu ingin 15 ekor, ayah ingin 20 ekor, dan paman ingin 5 ekor, sehingga jumlah hewan yang harus dibawa sebanyak 50 ekor. Namun biasanya juga jumlah mahar hewan tersebut berpatokan dengan jumlah mahar ibu perempuannya. Dalam kawin mawin mahar tidak hanya diberikan oleh pihak laki- laki saja, tetapi pihak perempuan juga memberi timbal balik berupa peralatan rumah tangga berupa isi rumah seperti lemari, mutiara (muti salak/ anahida), dan kain. Cara kawin mawin yang kedua selain memakai rokok, ketika kedua pasangan sudah saling cinta, laki-laki akan langsung menghampiri orang tua untuk perkenalan diri dan meminta persetujuan, setelah disetujui masuk proses ketiga yaitu pangga untuk menentukan jumlah ekor hewan yang harus dibawa pihak laki- laki. Setelah itu laki-laki akan datang dengan membawa juru bicara/ wunang dan membawa hewan yang sudah setujui. Cara kawin yang ketiga yaitu tamarumbak, yaitu pasangan yang tidak atau kurang disetujui, maka sang laki-laki akan menyerobot masuk ke dalam kamar perempuannya, tamarumbak yang artinya serobot. Cara kawin terakhir yaitu kawin masuk untuk pihak laki-laki yang miskin dan tidak mampu memenuhi keharusan adat (belis = mahar). Sehingga pihak laki-

151

laki melepas sukunya secara sementara dan menyandang suku perempuannya yang ditujukan untuk penyederhanaan upacara adat dan setelah upacara adat selesai pihak laki-laki akan kembali kepada suku awalnya. c. Juru Bicara (wenang) Juru bicara atau dikenal juber yang dipakai saat kegiatan adat bukan sembarang orang. Juber adalah orang yang memiliki kemampuan berbicara dengan bahasa sastra lokal yang tidak dimiliki orang lain. Meskipun bahasa yang dipakai tetap bahasa sumba tetapi masyarakat umum tidak akan mengerti arti yang dikatakan, sehingga biasanya ada sesi untuk menerjemahkan bahasa tersebut kepada masyarakat yang menghadiri upacara atau kegiatan adatnya. Kemampuan juber dimiliki bukan berdasarkan proses belajar, tetapi kemampuan yang lahir secara turun temurun, sehingga tanpa ada proses apapun orang yang sudah ditakdirkan sebagai juber akan langsung memiliki kemampuan tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai juber harus sangat berhati-hati, karena berdasarkan ceritanya juber yang melakukan kesalahan seperti salah bicara ia akan menanggung risiko yang membahayakan dirinya, seperti sakit hingga meninggal karena tumbal pada hewan akan berbalik pada dirinya dan dalam kegiatan adatpun seperti kawin mawin sebaiknya menggunakan dua juber agar terjadi timbal balik dan interaksi dari masing-masing juber dari pihak laki-laki maupun perempuan.

. Gambar 81 Juru bicara d. Adat Pemakaman Adat pemakaman di Sumba Timur juga masih dipertahankan, sama halnya dengan pernikahan kegiatan ini diadakan secara besar-besaran, melakukan penyembelihan puluhan hewan, dihadiri hingga ribuan warga, dan menggunakan juru bicara/wunang. Umumnya orang yang meninggal di Sumba Timur tidak langung dikuburkan, selain karena prosesnya yang panjang, juga anggaran yang dikeluarkan terbilang besar, keluarga dari orang yang meninggal harus menyiapkan sejumlah hewan untuk keperluan adat, sehingga apabila keluarga belum mampu

152

melakukan prosesi adat kematian maka mayat akan disimpan selama kurun waktu tertentu sesuai kesepakan sampai kebutuhan sudah siap sedia. Mayat yang disimpan di rumah biasanya disimpan di kamar atau ruangan lainnya, disimpan dalam peti dengan beralaskan tembakau dan kapur sirih didalamnya untuk menyerap bau yang dikeluarkan. Secara singkat proses pemakaman dimulai dari memandikan, memakaikan baju, hingga dikuburkan. Namun selang sebelum dikuburkan diadakan terlebih dahulu musyawarah untuk menetapkan tanggalnya. Dalam setiap prosesnya dilakukan penyembelihan hewan sebagai persembahan dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pemberi kehidupan dan juga bentuk terimakasih dan pernghormatan kepada orang yang meninggal. Misalnya ketika ibu yang meninggal maka pemotongan hewan tersebut sebagai tanda terima kasih atas kasih sayang, cinta,dan jasa yang telah diberikan selama hidupnya.

Gambar 82 Kubur batu raja e. Adat Membangun Rumah dan Bercocok Tanam Kebiasaan masyarakat lainnya adalah melaksanakan prosesi adat sebelum pembangunan rumah, dalam pembangunan rumah adat dikarenakan harus menggunakan bahan dasar kayu dari pohon tertentu yakni Mayela Anaratu, Kiru Matamanu, dan Tualaku Kanunu maka pengambilan kayu tidak dapat dilakukan sembarangan, harus melalui prosesi adat terlebih dahulu, meskipun tidak menggunakan bahan kayu dari ketiga pohon tersebut, tetap harus melakukan proses adat sebagai bentuk rasa syukur. Sama dengan kegiatan adat lainnya masyarakat akan diundang oleh yang memiliki hajat untuk datang dalam proses pemnbangunan, sebelum mendirikan tiang pertama masyarakat akan berdatangan dan melaksanakan pesta adat, begitupun dengan penyembelihan hewan tetap dilakukan, dalam prosesnnya pun tetap menggunakan juru bicara (wunang).

153

Gambar 83 Rumah menara atap alang Gambar 84 Tempat menyimpan makanan

Gambar 85 Rumah menara dengan atap seng

Rumah adat di Sumba Timur dikenal dengan sebutan Uma Mbatangu yang berarti rumah menara, bahan dasar kayu yang digunakan tidak sembarang melainkan kayu dari pohon tertentu yakni Mayela anaratu, Kiru matamanu,dan Tualaku kanunu, dengan beratapkan dari alang-alang. Akan tetapi seiring berjalannya waktu rumah adat yang betul-betul 100% menggunakan bahan tersebut sudah jarang sekali ditemukan, alang alang sudah berganti bahan seng, dan rangka rumah juga bercampur kayu dari pohon lain karena bahan dasar seperti ketiga pohon tersebut sangat sulit didapatkan dan dalam pengambilan pohonnya pun mempunyai tradisi tersendiri. Kegiatan melaksanakan aktivitas sehari-harinya yakni bercocok tanam, masyarakat akan malakukan sembahyang sebelum membuka lahan kebun pertanian karena mereka sangat percaya bahwa tuhanlah satu-satunya yang mampu memberhasilkan kegiatan menanam mereka, mereka juga akan sembahyang dan upacara pasca panen sebagai bentuk rasa syukur. f. Alat Musik Alat musik tradisional yang masih digunakan hingga saat ini ada tiga yaitu gitar sumba (jungga), gong (anakalang), dan tambur. Sumba memiliki berbagai macam variasi Jungga. Jungga adalah sebutan untuk berbagai alat musik sumba yang memiliki berbagai bentuk,baik itu menyerupai ukulele dan kecapi. Sumba Timur memiliki setidaknya dua variasi Jungga, yang memiliki dua, empat, hingga enam senar. Jungga yang memiliki empat hingga enam senar sering disebut “juk”.

154

Sementara di Jawa, alat musik ini disebut Jungga Jawa. Biasanya jungga mengiringi nyanyian dalam bahasa Kambera yang merupakan salah satu bahasa di Sumba. Musik jungga awalnya dimainkan untuk mengiringi lagu selama ritual tradisional. Lagu-lagu yang diiringi bercerita tentang kehidupan di Sumba, nasihat tentang cinta, dan lainnya yang berkaitan dengan kehidupan. Pada tipe jungga bersenar dua diperkirakan memiliki umur yang lebih tua daripada yang bersenar empat sampai enam dan tidak berasal dari instrument gitar. Jungga bersenar dua berbentuk seperti lute menyerupai kapal yang berasal dari Sukawesi Selatan. Jungga jenis ini memiliki nada yang tinggi.

Gambar 86 Tambur dan gong

Tambur merupakan alat musik yang terbuat dari kayu, rotan, dan kulit binatang. Tambur terbuat dari kayu lai sejenis kurma hutan dan kulit rusa. Alat musik ini dimainkan saat berlangsung upacara adat dan untuk mengiringi lego-legi (tari tradisional) bagi kalangan bangsawan. Konon, tambur seperti ini pertama kali ditemukan oleh Agustinus. Benda aslinya sekarang tersimpan di suku bangsa Alalu, Desa Aramaba, Kecamatan Pantar Tengah. Setiap ketukan atau nada yang dihasilkan akan menginformasikan kejadian yang berbeda, seperti pada tambur, tambur yang dipukul dari sebuah rumah akan menghadirkan orang-orang sebagai tanda adanya informasi yang mendadak, tambur dengan ketukan tertentu dalam upacara kematian menandakan berita duka. g. Tarian dan Lagu Terdapat lebih dari 100 tarian lokal Sumba yang menggambarkan kepercayaan kepata Tuhan agama asli Marapu, kehidupan warga, keadilan, kejujuran, pesta panen, dan persta perkawinan, namun sebagian besar tarian itu sudah terlupakan dan hanya menyisakan 22 jenis tarian yang masih sering ditampilkan. Tarian tersebut antara lain Kabokang (tarian untuk menghormati raja agar selalu jujur dan adil memimpin), Mapandamu (tarian mewujudkan rasa syukur atas kelahiran anak), Kandingan (tarian syukur pada pesta panen), Patanjangung

155

(tarian syukur atas panen perdana), dan panapang banu (tarian melamar gadis). Ada juga tarian Ningguharana yang dibawakan pria dan perempuan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari peperangan. Kini, tarian itu dibawakan saat menjemput para peserta pasola yang baru pulang dari pertarungan (permainan melempar tongkat kayu sambil menunggang kuda). Tarian yang sering dimainkan adalah tarian yungga (tarian humba=sebutan lain untuk sumba) diiringi gitar sumba dan tarian panapang baru yang melambangkan kebahagiaan masyarakat menggunakan tambur, mereka akan menari pada setiap kegiatan upacara adat, seperti upacara pernikahan, berkebun, dan lainnya. h. Kain Sumba Pakaian adat yang dikenal adalah dari kain sumba, kain yang ditenun dan diberi corak warna dari pewarna alami pohon loba, semakin mahal dan baik kualitas kain tersebut orang yang memakainya pun akan naik derajatnya. Kain tenun Sumba Timur memiliki ciri khas dan nilai yang cukup tinggi. Menurut cerita turun temurun kain tenun Sumba Timur memiliki nama dan arti yang sangat mendalam yang didalam bahasa Sumba Timur disebut “Lukamba Nduma Luri” berarti benang yang memberi ruh atau kain yang memberi hidup sebagaimana filosofi agama Marapu, yakni agama kepercayaan masyarakat asli Sumba, sehingga bila diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari memiliki arti bahwa benang dapat meyambung kehidupan masyarakat Sumba Timur seperti memberi makan untuk keluarga atau dapat pula menyekolahkan anak-anak, juga menaikan harga diri keluarga, sebab benang yang tadinya tidak berarti ketika setelah dipntal dengan seni yang tinggi menghasilkan sebuah tenun yang cantik dan bernilai tinggi.

Gambar 87 Proses menenun kain Gambar 88 Kain sumba sumba

Kain tenun Sumba sudah berumur ratusan tahun memiliki corak yang unik dan langka. Motif dari kain tenun Sumba bervariasi, namun kebanyakan menggunakan motif gambar kuda yang memiliki filosofi tinggi yang diartikan kepahlawanan atau kebangsaan, kuda juga symbol harga diri bagi perempuan. Lalu ada motif buaya yang memiliki arti kekuatan atau gambar papanggang yang biasa digunakan saat upacara kematian karena menggambarkan proses penguburan.

156

Papanggang ialah hamba yang paling dekat selama hidup dengan sang Raja dan juga Mamuli yang terlihat seperti rahim wanita yang melambangkan kesuburan. Ada dua warna yang menjadi ciri khas pada kain tenun Sumba yaitu warna merah dan biru. Warna merah didapatkan dari akar mengkudu, biru dari akar tumbuhan nila atau indigo, juga terdapat warna hitam kecoklatan. Warna ini didapat dari perpaduan warna merah dan biru. Selain itu, ada pula warna putih yang menjadi dasar benang serta warna kuning yang berasal dari sogan kayu kuning. Warna- warna kain sumba berbahan dasar dari beberapa jenis tumbuhan seperti buah mengkudu, daun gewang, atau kemiri. Sebelum diberi warna, kain akan dicelupkan terlebih dahulu kedalam santan kemiri agar warnanya meresap sehingga meimbulkan aroma kain yang begitu khusus dan unik yang merupakan ciri utamanya. Ciri lainnya ialah kain tenun Sumba bisa awet sampai ratusan tahun lamanya. i. Makanan Makanan tradisional masyarakat sumba timur umumnya memanfaatkan hasil SDA disekitar areal tempat tinggal mereka seperti pisang yang dibuat menggulu, ubi jalar dibuat menjadi kilu, dan umbi-umbian lainnya seperti ganyu dan ewi (tanaman lokal saat musim kelaparan) yang diolah menjadi keripik. Salah satu makanan yang cukup terkenal di Sumba Timur adalah manggulu yang mempunyai rasa sedikit asam namun ada manisnya yang berasal dari gula merah dan kacang tanah. Caranya cukup mudah, pisang cukup dijemur sampai 3 hari, kemudian goring kacang tanah tanpa menggunakan minyak, dan siapkan gula merah. Kemudian pisang ditumbuk dengan menggunakan alu. Adonan tesebut dibungkus dengan menggunakan daun pisang atau daun lontar. Berdasarkan informasi kebanyakan wisatawan sudah pernah merasakan makanan dan menyukai makanan ini. j. Salam Khusus Salam hidung merupakan tradisi khas dari Nusa Tenggara Timur, salam hidung memiliki filosofi bahwa hidung sebagai alat pernapasan yang memiliki arti kehidupan. Salam hidung memiliki makna yang dalam sebagai bentuk kekeluargaan, keakraban, dan rasa saling memiliki serta keterikatan antar sesamanya. Tradisi ini tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan status sosial, meskipun sering menjadi simbol kehormatan bagi seseorang terhadap yang lebih tua. Tradisi salam hidung berasal dari wilayah Kabupaten Sabu dan masih sangat terjaga hingga saat ini. Sehingga menyebar dan menjadi dikenal sebagai tradisi di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya. Berdasarkan penelitian, di Desa Wanggameti pada kerabat dekat atau pada orang dicintai juga terdapat kebiasaan bersalaman khusus yakni dengan menempelkan kedua hidung dan saling menarik nafas yang terhembus sebagai tanda kasih sayang sesama. Berdasarkan pengalaman orang yang pernah melakukan hal tersebut, akan terasa ada sesuatu yang berbeda, seolah-olah kedua pihak akan merasakan kedekatan yang begitu luar biasa.

157

k. Humba Hampir kata kata dengan komposisi huruf S di Sumba, huruf S nya akan dileburkan, seperti Sumba menjadi Humba dan Susu menjadi Huhu. Konon saat NTT terbagi menjadi empat pulau besar yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor . Sebelah timur pulau Timor terdapat pulau kecil yaitu pulau Sabu, Sabu dan Sumba memiliki keterkaitan darah, budaya dan kebiasaan yang tidak jauh berbeda, sehingga biasanya orang menyebut dengan istilah Sabu Sumba, terpisahnya dua pulau itu melahirkan kebiasaan yaitu di Sabu penyebutan kata biasanya ditambahan kata akhiran, sedangkan di Sumba penyebutan kata biasanya dikurangi walau hanya satu kata, sehingga huruf seperti S menjadi lebur dalam penyebutan kata Sumba menjadi Humba. l. Hamba Pada zaman dahulu hingga sekarang raja atau tokoh besar di Sumba Timur akan mempunyai hamba yang akan melayani raja. Ketika raja tersebut meninggal maka hamba tersebut harus ikut dikubur bersama raja, hamba tersebut akan dibunuh dan dikuburkan disetiap sisi makan raja, yakni di kiri, kanan, atas (kepala), dan bawah (kaki). Masyarakat percaya bahwa saat perjalanan sang raja menuju akhirat maka raja masih harus dilayani, sehingga hamba tersebut harus mengantar rajanya. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin terbuka pola pikir masyarakat, banyak raja yang tidak dikubur dengan empat hambanya, satu saja sudah menjadi sulit, karena itu banyak hamba yang kabur saat rajanya meninggal.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil inventarisasi objek wisata di kawasan Resort Wanggameti, Taman Nasional Matalawa memberikan hasil bahwa terdapat 3 objek wisata yang layak dikembangkan berdasarkan perhitungan tingkat kelayakan objek wisata yaitu Puncak Wanggameti yang merupakan puncak tertinggi di Sumba, Air Terjun Ampupu, dan Kubur Batu Megalitik yang mempunyai keunikan sejarahnya. Setiap objek memiliki ciri khas tersendiri. Kearifan lokal berupa kebudayaan yang masih kental dan mitos yang berkembang di masyarakat Desa Wanggameti juga dapat menjadi daya tarik wisata sebagai bentuk pelestarian kebudayaan masyarakat tanah Sumba. Keterlibatan dan peran serta masyarakat juga diperlukan dalam pengembangan ekowisata sekaligus untuk menyejahterakan masyarakat sekitar dalam aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budayanya. Objek-objek wisata yang berada di kawasan Resort Wanggameti merupakan objek wisata yang dapat dikembangkan sebagai wisata minat khusus dengan perpaduan alam dan budayanya

158

karena pengunjung dituntut untuk memiliki keahlian tertentu untuk dapat mencapai lokasi objek wisata yang jarak lokasinya cukup jauh.

Saran Berdasarkan hasil inventarisasi, ketiga objek wisata layak untuk dikembangkan. Sehingga sebaiknya pihak Taman Nasional Matalawa dapat mempertimbangkan pengembangan ketiga objek wisata tersebut dalam hal akomodasi, sarana prasarana, aksesibilitas, dan pelayanan penunjang lainnya, serta meningkatkan kegiatan promosi dari objek wisata yang ada di Resort Wanggameti dengan tetap memperhatikan sumberdaya pengelolanya. Hal tersebut bertujuan untuk melestarikan objek wisata dan kebudayaan setempat agar tetap terjaga dan tidak terjadi kerusakan pada kawasan.

159

DAFTAR PUSTAKA

Darsiharjo, Supriatna U, Saputra IM. 2016. Pengembangan Geopark Ciletuh berbasis partisipasi masyarakat sebagai kawasan geowisata di Kabupaten Sukabumi. Jurnal Manajemen Resort dan Leisure Vol.13 (1): 55-66. Fandeli Ch. 1992. Analisis mengenai Dampak Lingkungan, Prinsip Dasar dan Pemempanannya dalam Pembangunan. Yogyakarta (ID): Liberty. Karsudi, Soekmadi dan Kartodiharjo. 2010. Strategi Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. JMHT Vol. XVI, (3): 148-154. KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online]. Available at: http://kbbi.web.id/pusat. [Diakses 13 Oktober 2018]. Mustofa D. 2018. Aksesibiltas Objek Wisata Air Terjun Sinar Tiga di Desa Harapan Jaya Kecamatan Way Ratai Kabupaten Pesawaran [skripsi]. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung. Saliyo.2012.Konsep diri dalam budaya jawa. Jurnal Buletin Psikologi 20(1-2) : 26- 35. Walhi. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

160

LAMPIRAN

Lampiran 5 Dokumentasi kegiatan Surili 2019

161

162