KOMERSIALISASI DALAM WACANA PENGUATAN IDENTITAS KEHINDUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI AJARAN BHAKTI MARGA DI

A.A KADE SRI YUDARI Oleh: Pascasarjana Universitas Hindu

[email protected]

Abstract

The presence of “banten” in the Hindu tradition in Bali has been going through a long history. In the book of Yajur Veda, there is an offering offered to the Deity who is the manifestion of Brahman in the form of; gandam, ksatam, puspam, dupam, dipam, toyam, gretam, and soma. Whereas, in the Tantric teachings which are still very influential in Bali it is stated that to show devotion to one should carry out the concept of Panca Tattwa namely; matsya, mamsa, madhya, mudra, and maithuna. Both the Vedic teachings and the Tantrayana, and the local mind of always underlie the offering of “banten” which is packaged in the symbols of hope for God’s manifestation. The occurrence of the multidimensional crisis today results in the “banten” being commercialized, but does not affect the mindset of the Hindu community in Bali in carrying out the dharma bhakti to God. In fact, the community has become stronger and stronger to hold the belief in showing their identity of desire.

Keywords: Commercialization of Banten, Strengthening Identity, Bhakti Marga

Abstrak

Hadirnya “banten” dalam tradisi gandam, Hindu di ksatam, Bali melewati puspam, perjalanan dupam, dipam, sejarah toyam, yang gretam, panjang. dan Di somadalam kitab Yajur Weda disebutkan, adanya persembahan yang dihaturkan kepada Dewa sebagai manifestasi dari Brahman berupa; . Sedangkan,matsya, di dalam mamsa, ajaran madhya, Tantrayana mudra yangmaithuna masih sangat berpengaruh di Bali disebutkan bahwa untuk menunjukkan bhakti kepada Tuhan hendaknya menjalankan konsep Panca Tattwa yakni; , dan . Baik ajaran Weda maupun Tantrayana, dan alam pikiran lokal masyarakat Bali senantiasa melandasi adanya persembahan berupa“banten”yang dikemas dalam simbol-simbol pengharapan manusia terhadap manifestasi Tuhan. Terjadinya krisis multidimensial dewasa ini, berakibat “banten” dikomersialkan, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Hindu di Bali dalam menjalankan dharma bhakti kepada-Nya. Justru masyarakat memiliki keyakinan semakin ajeg dan kuat dalam menunjukkan Kataidentitas kunci: kehinduannya.

Komersialisai Banten, Penguatan Identitas, Bhakti Marga

KOMERSIALISASI BANTEN DALAM WACANA PENGUATAN IDENTITAS KEHINDUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI AJARAN BHAKTI MARGA DI BALI 9 A.A Kade Sri Yudari I. PENDAHULUAN

“berkaitanAhuta, Huta, dengan Prahuta, Panca Brahmahuta, Yadnya. Dalam dan ManawaPrasita Dharmasastra III.73 disebutkan sebagai berikut. Ajaran agama Hindu meliputi hal-hal yang ”. sangat kompleks baik lahir maupun batin, akan Artinya: yadnya adalah bhakti dalam bentuk tetapi dapat dilaksanakandesa, secara kala, individualpatra pengorbanan suci yang tulus ikhlas. maupun kolektif. Sifat ajarannya yang luwes Oleh karena itulah yadnya diadakan, dengan dinyatakan dengan konsep; dan berpedoman bahwa hidup manusia berawal (menurut tempat, waktu, dan keadaan). dari adanya Ŗna atau “ hutang” kepada tiga Sedangkan sifat fleksibel memberikan peluang pihak yakni; Dewa, Pitara dan Rsi. Ketiga dalam pelaksanaannya menyesuaikan diri “hutang” itulah yang dibayar dengan cara dengan kemajuan teknologi ilmu pengetahuan melakukan ritual (upacara/upakara). Sedangkan dan zaman serta situasi perekonomian. Adanya ritual yang diadakan selalu disertai dengan sifat luwes dan fleksibel dikarenakan Weda upakara yang disebut “banten”. Banten semula sebagai sumber ajaran Hindu bersifat mengatasi diperkenalkan oleh Maharsi Markandeya sekitar ruang dan waktu. abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan Tiga aspek yang menjadi kerangka agama beliau di Desa Puakan-Taro (Tegallalang- Hindu meliputi; Tattwa, Susila, Ritual (upacara/ Gianyar). Banten kemudian dikembangkan upakara). Tattwa membentuk pola pikir manusia kepada umat Hindu yang tidak menguasai tentang pemahaman sifat Weda; Susila, mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya. Kata menggerakkan dan mengendalikan perilaku ‘banten’ disamakan dengan kata ‘bali’, sehingga berdasar Tattwa; sedangkan Ritual (upacara/ orang yang melakukan upacara upakara) untuk menguatkan keyakinan persembahyangan menggunakan ‘banten’ terhadap Tattwa. Ketiga aspek itu harus menyatu dikatakan sebagai orang Bali. dan saling berkaitan, sehingga bila salah satu Dahulu, ketika kehidupan masyarakat Bali lemah atau tidak ada, maka kehidupan beragama sepenuhnya agraris, banten menjadi cerminan tidak berjalan sempurna. Penonjolan salah satu utuh keikhlasan manusia Bali. Segala isi banten aspek dari tiga kerangka tersebut mencerminkan diambil dari kebun atau sawah sendiri dan dua hal pokok yakni kemampuan intelegensia dikerjakan dari cucuran keringat sendiri. Hanya dan “marga” yang digunakan dalam meniti sebagian kecil yang dibeli terutama bahan yang kehidupan spiritual. tidak tersedia di kebun atau sawahnya. Namun Dari ketiga aspek kerangka agama Hindu kini ketika sektor Pariwisata berkembang pesat tersebut di Bali, aspek ritual (upacara/upakara) sudah semakin jarang terdengar bahan baku yang paling menonjol. Sehingga jalan atau’ ‘banten’ diambil dari hasil kebun dan sawah. marga’ untuk menuju/menghadap dan Bahkan sudah umum bagi orang Bali saat ini, mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui ‘banten’ dibeli dari pasar atau tukang banten. bhakti marga. Meskipun demikian, Weda sangat Mereka yang melaksanakan upacara tinggal fleksibel dalam menyikapinya dengan mengeluarkan uang yang cukup, banten apa pun menyediakan alternatif yang paling sesuai di bisa di dapat siap pakai di tempat. Inilah fakta mana hakikat keempat ‘marga’ dapat digunakan yang terjadi seiring dengan kemajuan teknologi secara serentak dengan perimbangan bobot dan ilmu pengetahuan, uang menjadi tolak ukur menurut kemampuan masing-masing. Inilah segalanya. Walau ‘banten’ sudah menjadi barang salah satu kebesaran agama Hindu sebagaimana konsumtif dan kebutuhan mutlak dalam disebutkan“Ye yatha dalam mam prapadyante,Bhagawadgita tams IV.11 tathai sebagai va kehidupan sehari-hari, akan tetapi masyarakat bhajamyberikut. aham, mama vartma nuvartante, tetap semangat melaksanakan berbagai ritual. manusyah partha savasah”. Dari latar belakang di atas muncul pertanyaan mengapa masyarakat Hindu di Bali tidak dapat Artinya: Dengan dipisahkan dengan adanya berbagai jenis banten jalan bagaimanapun orang-orang mendekat, walau krisis melanda, sehingga menyebabkan dengan jalan yang sama itu pula Aku memenuhi banten dikomersialkan? keinginan mereka, melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku O Partha. AspekDHARMASMRTI ritual (upacara/upakara) sangat 10 Vol. 9 Nomor 2 Oktober 2018 : 1 - 123 II. PEMBAHASAN

2.1. “Banten” Sebagai Identitas Kehinduan persembahan yang berasal dari jerih payah bekerja. Banten juga sering disebut Wali. Kata ‘wali’ Dalam lontar Markandeya Tattwa disebutkan artinya wakil (Kamus-BB) yang juga bahwa kedatangan Rsi Markandeya pertama mengandung pengertian kembali. Wali yang kali di Bali sekitar abad ke-8 tahun Saka 858 berarti wakil mengandung makna simbolis dengan pengikut berjumlah ± 400 orang. Maha bahwa banten merupakan wakil dari isi alam Rsi bersama pengikutnya berkenan membuka semesta ciptaan Tuhan. Sedangkan wali yang daerah baru di Puakan Taro-Tegallalang artinya kembali bermakna bahwa segala yang (kabupaten Gianyar) saat ini. Namun kedatangan ada di alam semesta ciptaan Tuhan beliau disambut oleh bencana sampai akhirnya dipersembahkan kembali oleh manusia kepada- banyak pengikut yang meninggal dunia. Nya sebagai pernyataan rasa terima kasih. Kata Akhirnya beliau kembali ke Gunung Raung ‘wali’ sering dikatakan ‘bali’ dimana antara bersemadhi mencari petunjuk tentang penyebab konsonan /w/ dengan konsonan /b/ terjadi semua kejadian. Setelah mendapat wahyu Tuhan persengauan bunyi yang hanya dibutuhkan pada Yang Maha Kuasa bahwa kondisi tanah Bali tidak awal bentuk dasarnya. sama seperti daerah lain sehingga harus Banten memiliki jenis, bentuk dan bahan melakukan ‘pangruwatan’ terlebih dahulu ketika yang bermacam-macam. Secara sepintas pertama kali memasukinya. memang terlihat unik dan rumit, namun apabila Sejak saat itu beliau dengan rombongan yang diteliti secara mendalam dapat dipahami bahwa lebih banyak (dua kali lipat) memutuskan untuk keunikan dan kerumitannya mengandung kembali ke Bali. Beliau mengajarkan cara makna simbolik yang sangat dalam terpadu membuat berbagai bentuk upakara sebagai dengan daya estetika yang tinggi dan sarana upacara, mula-mula terbatas kepada mengagumkan. Unsur estetika dalam banten para pengikutnya, lama-kelamaan berkembang menjadi penting karena dapat menuntun pikiran pada penduduk di sekitar Desa Taro. Untuk dengan penuh rasa kebahagiaan pada saat memulihkan keadaan demi keselamatan beliau memuja Tuhan. Dalam lontar ‘Yadnya Prakerti; serta pengikutnya maka beliau menyarankanmendem dan lontar ‘Kusuma Dewa’, banten yang pedagingandan melakukan Panca hal-hal Datu sebagai berikut: (a) bahannya bermacam-macam itu pada prinsifnya melaksanakan ritual upacara ‘ terdiri dari unsur isi alam sebagai berikut: ’ sesuai petunjuk a) Mataya, adalah bahan banten yang menggunakan sarana ‘sesajen’di Pura Besakih. berasal dari sesuatu yang tumbuh atau (b) setiap memasuki daerah baru atau tempat tumbuh-tumbuhan seperti; daun, bunga, baru untuk keselamatan masyarakat disarankan buah dan sebagainya. melaksanakan ritual upacara pembersihan b) Maharya, bahan yang berasal dari sesuatu tanah yang akan ditempati. yang lahir, diwakili oleh binatang- Demikianlah dari tahun ke tahun ajaran serta binatang tertentu seperti kerbau, petunjuk beliau ditaati dan terus dilaksanakan kambing, sapi, dan sebagainya. sampai saat ini oleh masyarakat yang beragama c) Mantiga, adalah bahan banten yang Hindu. Pentingnya melaksanakan suatu upacara berasal dari telor seperti telor ayam, itik, tentu sesuai dengan yang digariskan dalam angsa, dan sebagainya. kerangka agama Hindu yakni; Tattwa, Susila, d) Logam atau datu seperti perak, tembaga, dan Ritual (upacara) Mas Putra, 1974). Sarana besi, emas, timah (panca datu). upacara adalah upakara yang dipopulerkan e) Air atau cairan; ada lima macam cairan dengan istilah ‘Banten’ di Bali sedangkan yang digunakan untuk banten yaitu; 1) ‘Wedya’ di . Istilah ‘Wedya’ juga disebutkan air yang berasal dari jasad atau sarira dalam beberapa pustaka agama Hindu yang diwakili ‘empehan’ atau susu; 2) air yang artinya banten. Kata ‘upakara’ terdiri atas dua berasal dari buah-buahan diwakili kata yaitu ‘upa’ yang artinya sekeliling atau berem; 3) air yang berasal dari uap atau sesuatu yang berhubungan dengan; dan ‘kara’ kukus diwakili arak; 4) air yang berasal artinya tangan. Sehingga upakara berarti segala dari sari bunga diwakili madu; 5) air air sesuatu yang dibuat oleh KOMERSIALISASI tangan atau BANTEN sarana DALAM WACANAyang PENGUATAN berasal IDENTITAS dari tanah KEHINDUAN atau bumi SEBAGAI IMPLEMENTASI AJARAN BHAKTI MARGA DI BALI 11 A.A Kade Sri Yudari diwakili air hening (jernih). Kelima zat proses pembuatannya. cair ini disebut Panca Amerta. Umat Hindu khususnya kaum perempuan f) Api dalam wujud dupa dan dipa. dalam mempraktekkan pembuatan banten g) Angin dalam wujud asap yang harum. untuk persembahan sesungguhnya telah menerapkan ajaran Yoga melalui pemusatan Ketujuh bahan itulah yang menjadi unsur pikiran. Banten yang dibuat tidak saja pokok banten dan dipersembahkan kembali merupakan proses kreatifitas dan estetika tetapi kepada Sang Pencipta. Dalam melakukan ritual juga merupakan proses Yoga karena lebih atau ber-yadnya, tiga hal harus seimbang yaitu; mengutamakan nilai-nilai kesucian. Pemusatan upacara, upakara, dan mantratri manggala yang pikiran terjadi pada saat kaum wiku perempuan tapini’ digunakanyadnya pemandu ritual (Singer, wiku 2014). tapini Di menggerakkan bajra jari asanajemari bagaikanpadma sedang samping itu perlu kemanunggalanmuput berjapa. Para tukang banten dan ‘ yakni; orang yang beryadnya, dengan posisi atau atau tukang banten, dan yang niyasa yadnya. demi memusatkan pikiran kepada Yang Maha Upakara berupa banten dan sarana Suci melakukan aktivitas penuh makna kesucian. pendukungnya adalah simbol atau yang Dalam melaksanakan ajaran agama, empat berfungsi sebagai; kekuatan Tuhan, wujud cara/jalan (marga) telah dilaksanakan oleh bhakti, prasadam/lungsuran/surudan, sarana umat Hindu yaitu; Bhakti marga, Karma marga, penyucian roh dan sebagai pengganti mantra. Jnana marga dan Raja marga. Bhakti marga dan Dengan demikian tujuan awal banten dibuat Karma marga dilaksanakan sebagai tahapan dan dikembangkan kepada umat Hindu yang pertama yang biasa disebut ‘Apara bhakti’ tidak menguasai mantra dalam kegiatan sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan bhaktinya. Dan kini tradisi yang diwariskan oleh kemampuan nalar masing-masing yakni Jnana Rsi Markandeya berkembang secara turun- marga dan Raja marga yang biasa disebut ‘Para temurun pada masyarakat yang beragama bhakti’. Pada tahap ‘apara bhakti’ pemujaan Hindu di manapun berada sesuai situasi dan dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat kondisi masing-masing. Oleh karena itu, ‘banten’ bantu seperti banten, simbol-simbol, dan jenis selain sebagai sarana upacara juga merupakan upakara lain, sedangkan pada tahap ‘para bhakti’ ciri penguat identitas kehinduan demi ajeg dan penggunaan banten dan simbol-simbol lestarinya2.2. “Banten” tradisi danwarisan Ajaran para Bhakti leluhur. Marga berkurang (Ngurah, 1999). Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Menurut Ninian Smart (dalam Agung Agama dengan menggunakan sarana banten Paramita, 2018: 40) ada tujuh dimensi setiap yang terdiri dari bahan pokok seperti; daun, agama. Salah satu dimensi yang penting adalah bunga, buah, air, dan api. Sarana tersebut dimensi praktis-ritual. Dalam aktivitas beragama memiliki fungsi sebagai: (1) persembahan atau umat Hindu di Bali dimensi praktis ritual ini tanda terima kasih kepada Tuhan (Sang tercermin melalui banten. Tradisi beragama Widhi Wasa); (2) alat konsentrasi memuja dengan menggunakan banten yang digagas oleh Hyang Widhi; (3) simbol Hyang Widhi atau Maha Rsi Markandeya kemudian dikembangkan manifestasi-Nya; (4) alat penyucian lahir dan oleh Maha Rsi yang lain seperti; Sangkul Putih, bathin buwana agung dan buwana alit; (5) Mpu Kuturan, Mpu Jiwaya, Manik Angkeran dan pengganti mantra (Wiana, 2000). Demikian Mpu Nirartha. Hingga saat ini banten menjadi sakralnya makna banten maka dalam lontar sarana yang paling penting dalam setiap Yadnya Prakerti disebutkan bahwa mereka yang pelaksanaan ritual upacara. Ketika banten membuat banten hendaknya dapat disusun sedemikian rupa, menjadilah sebuah berkonsentrasi kepada siapa banten itu ‘candi banten’ sekaligus sebagai sebuah dihaturkan/dipersembahkan. persembahan. Candi banten adalah tempat Demikianlah pada akhirnya banten menjadi mensthanakan Tuhan Yang Maha Suci, sehingga niyasaalat bantu dalam pemujaan. Hal inilah yang banten benar-benar harus dijaga kesuciannya. menyebabkan istilah ‘Bali’ atau ‘Banten’ disebut Bahan-bahan terpilih tidak saja bersih tetapi karena merupakan simbol keagamaan. juga suklaDHARMASMRTI (suci), demikian halnya dengan Hari-hari baik untuk membuat banten juga telah 12 Vol. 9 Nomor 2 Oktober 2018 : 1 - 123 ditentukan dengan teliti menurut pawukon oleh yang didapat dari alam, itu pula yang para Sulinggih. Pujastuti pareresik banten juga dipersembahkan kembali kepada Tuhan dalam diucapkan melalui doa agar banten tidak wujud banten. Demikian kuat dan pentingnya dicemari oleh hewan-hewan liar, anak-anak, dan kehadiran banten dalam kehidupan masyarakat orang yang cuntaka (Gautama, 2011). Bahkan tinggi.Hindu di Bali menyebabkan kebutuhan beberapa jenis banten hanya boleh dibuat oleh masyarakat Bali untuk keperluan sesaji sangat Sang Dwijati seperti; banten catur, banten pengenteg gumi, dan lainnya. Nilai ekonomi banten di Bali dalam setahun Untuk menegaskan penting dan sakralnya bisa mencapai ± Rp. 2,8 trilyun. Demikian pula banten, Mpu Jiwaya di abad ke-10 telah Badan Pusat Statistik Provinsi Bali pernah mengajarkan membuat reringgitan dengan menyatakan bahwa pengeluaran untuk upacara bahan daun kelapa, enau, atau daun lontar. di Bali termasuk kedua setelah konsumsi Sulitnya membuat reringgitan sehingga untuk perumahan. Berdasarkan survei BPS di memerlukan konsentrasi penuh dan jika tidak 120 desa, prosentase pengeluaran upacara adat maka yang membuat bisa celaka terutama di perkotaan naik dari 9,95 ฀ pada Maret 2011 karena tangannya terkena pisau dan menjadi 12,11 ฀ pada September 2014. reringgitannya menjadi rusak. Bisa dicontohkan Demikian seterusnya dari tahun ke tahun terus bahwa banten yang disiapkan untuk upacara mengalami kenaikan, sementara di pedesaan besar di Besakih tempatnya dibuat khusus pada rata-rata 12 ฀ pada bulan yang sama (Bali Post, balai (panggung) ‘pasucian’ tidak boleh dimasuki 2015). Kondisi demikian menyebabkan sejak sembarang orang atau yang tidak lama telah menggelinding wacana para cerdik berkepentingan. Oleh karena itu, membuat cendekiawan Bali untuk menyederhanakan banten harus dalam situasi yang hening, sakral, ritual keagamaan Hindu di Bali. Namun hingga rasa kasih, tulus-ikhlas, dan terutama karena saat ini wacana tersebut tetap menjadi bahan rasa bhakti terhadap Ida Widhi perdebatan (kontroversial), karena sebagai2.3. Wacana implementasi Komersialisasi ajaran ‘bhakti marga’.“Banten” kesederhanaan yang dimaksud hanya pada taraf Peluang dan Rejeki Bagi Orang Bali tingkatannya saja. Oleh karena itu, tidak mudah hanya dengan sekadar himbauan belaka karena banyak faktor Sebagaimana wacana yang telah disebutkan yang menjadi kendala dan tantangannya. Faktor dalam paparan sebelumnya bahwa Bali identik intern misalnya, bagaimana mungkin dengan banten. Hal itu memang benar bahwa masyarakat dapat menyederhanakan ritual jika tidak ada ritual keagamaan orang Hindu-Bali pada saat menjelang hari raya, harga canang yang tidak menggunakan banten. Ketaqwaan sari mencapai Rp 1000,- per biji dengan alasan orang Bali sehari-hari diungkapkan dengan harga bunga mahal (terkesan terjadi permainan sesaji yang diberi nama banten. Karena itu pasar). Apabila kita menggunakan hitung- banten merupakan bahasa religius bagi orang hitungan ekonomi, kondisi tersebut jelas tidak Bali (Anom Paketan, 2012). Dalam berbagai pernah mencapai balance bahkan membuat teks-teks tradisional kata ‘Pulau Bali’ dinyatakan kebangkrutan. Namun saking kuatnya keyakinan dengan sebutan Gumi Banten, karena kata Bali masyarakat tentang keikhlasan melaksanakan dimaknai sama dengan kata Banten. Jadi banten ritual akhirnya dibeli juga, karena mereka bukan sekadar ciri atau simbol tetapi juga memiliki keyakinan dengan tetap menghaturkan merupakan jiwa atau roh Bali. sekadar canang, seberapapun biaya yang Banten sejatinya persembahan yang diambil dihabiskan akan kembali lagi. Sedangkan faktor dari seisi alam seperti dari tumbuh-tumbuhan ekstern yang menjadi kendala dalam dan beragam jenis satwa. Para penekun spiritual melaksanakan ritual lebih sederhana, biasanya di bidang agama menafsirkan banten sebagai ada pada aturan-aturan baku desa pakraman cerminan keikhlasan dan rasa terima kasih yang mengikat masyarakat menghaturkan sesaji masyarakat Hindu kehadapan Sang Pencipta. yang jor-joran demi konsumsi pariwisata. Bagi Ketika Hyang Kuasa menganugrahkan limpahan masyarakat yang mampu dan memiliki uang karunia kepada umat manusia, saatnya manusia tidak ada masalah, inti pokok ritual yang ada juga membalasnya denganKOMERSIALISASI persembahan. BANTEN Apa DALAMdalam WACANA sastra PENGUATAN tidak berlaku, IDENTITAS tetapi KEHINDUAN bagi yang SEBAGAI IMPLEMENTASI AJARAN BHAKTI MARGA DI BALI 13 A.A Kade Sri Yudari tidak mampu tetap akan menjadi beban sampai tidak jarang karena pasokan dari Jawa dan ritual berakhir bahkan sampai ditanggung anak atau luar Bali terganggu akibat bencana cucunya. alam banjir, gunung meletus dan terjadilah Dengan demikian, upacara keagamaan permainan pasar (Bali Post, 2014). Bagi yang terutama banten di Bali sesungguhnya dapat merindukan kemandirian ekonomi Bali tidak menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat, pernah lelah mengingatkan agar Bali kembali bahkan dengan banten dapat menjadikan Bali pada kesahajaan sektor pertanian untuk mandiri secara ekonomi. Ini karena biaya yang memenuhi kebutuhan upacara masyarakat dikeluarkan untuk banten pada akhirnya Hindu di Bali. Namun, masyarakat Bali terlanjur kembali dinikmati masyarakat Bali, seperti; memandang rendah pilihan hidup bercocok tukang dan dagang banten, petani serta peternak tanam dan beternak. Di samping citra (Sarad,2009). Sementara banyak terlihat di kemiskinan yang begitu lekat terhadap profesi perkotaan peluang yang nyata itu sering petani, juga karena kehidupan bertani di Bali diabaikan justru oleh masyarakat Bali sendiri sudah tidak bisa diandalkan yang membuat misalnya; berbagai sarana banten tidak lagi anak-anak Bali tidak lagi mimpi menjadi petani. berasal dari tanah Bali, pedagang canang sari Beginilah ironisnya ekonomi Bali, di satu sisi banyak yang bukan orang Bali. Separuh lebih perekonomian didorong oleh konsumsi untuk bahan-bahan banten didatangkan dari luar Bali kebutuhan upacara, di sisi lain petani yang seperti Jawa, , dan Lombok (Bali Post, seharusnya menjadi sumber kebutuhan bahan Ed.179. 3-9 April 2017). Penyebabnya tidak upacara terpuruk nasibnya akibat lahannya banyak lagi ada tegalan dan sawah yang bisa telah beralih fungsi sehingga hasil yang ditanami bahan-bahan untuk banten. Begitu diperoleh tidak sebanding dengan biaya para petani semakin menyusut, karena banyak pengeluaran untuk perawatan kebun atau yang beralih mata pencaharian menjadi guide sawahnya. Walaupun kondisi para petani sudah (pemandu wisata) dan pelayan restaurant atau memperihatinkan namun ‘banten’ tetap hotel, peluang pasar pun diambil alih oleh dibutuhkan. Oleh karena itu, agar jangan sampai masyarakat luar Bali. peluang diambil alih masyarakat pendatang Jika dibandingkan dengan dahulu, ketika maka perlu pemikiran-pemikiran yang kreatif kehidupan masyarakat Bali sepenuhnya agraris, dalam sistem bertani dan berkebun pada lahan banten utuh menjadi cerminan keikhlasan yang sempit sehingga tidak terlalu banyak yang manusia Bali. Segala isi banten dari kebun dan III.harus PENUTUP dibeli. sawah sendiri, dikerjakan dengan keringat sendiri, hanya sebagian kecil yang dibeli, terutama bahan-bahan yang tidak tersedia di kebun dan sawahnya. Namun kini, ketika sektor Sarana upacara yang dinamakan banten sejak pariwisata berkembang pesat makin jarang abad ke-8 telah dirintis oleh Maha Rsi terdengar membuat banten bahannya dari hasil Markandeya dilanjutkan oleh Maha Rsi lainnya kebun atau sawah sendiri. Orang Bali kini sudah merupakan hal yang mutlak ada karena tertuang umum membeli banten dari pasar atau dari dalam ajaran tri kerangka agama Hindu ketiga tukang dan dagang banten. Mereka yang tentang ritual. Sarana pokok membuat banten melakukan upacara hanya menyiapkan uang juga harus ada. Mengingat zaman telah berganti secukupnya, banten apapun ada di pasaran, sampai akhirnya memasuki era digital sang pemilik hajatan tinggal menjalankan masyarakat Hindu akan tetap membuat dan prosesinya bahkan ada yang terima beres tinggal menghaturkan banten. Namun, dalam hal ini menghaturkan dan berdoa. perlu lebih menekankan kesederhanaan bahwa Bali tidak semata tergantung pasokan listrik membuat dandesa, menghaturkan kala patra) masing-masing banten dapat dari Jawa, tetapi bahan upacara tidak bisa menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan mengabaikan Jawa dan Lombok. Sering terjadi kemampuan ( harga-harga berbagai kebutuhan upacara umat. Ada banten alit tidak berarti nilainya lebih melonjak tajam saat datangnya hari raya. Hal ini tetandinganrendah dari banten madya dan utama demikian disebabkan bukan karena permintaan yang sebaliknya. Selain faktor situasi dan kondisi, tinggi DHARMASMRTIdari kalangan orang Bali sendiri, namun ‘banten’ juga dapat disederhanakan 14 Vol. 9 Nomor 2 Oktober 2018 : 1 - 123 misalnya; banten yang biasanya menggunakan di Bali tidak dapat dipisahkan dari banten walau lima nampan dijadikan satu nampan saja. Hal ini sedang dalam kondisi krisis sekali pun karena menunjukkan kuatnya ciri identitas kehinduan banten merupakan implementasi dari ajaran masyarakat di Bali agar tetap dapat bhakti marga. mempertahankan ‘banten’. Dengan demikian Dalam kenyataannya, tidak semua umat membuat banten tidak perlu membebani umat Hindu bisa dan biasa membuat banten terutama yang hendak menunjukkan bhaktinya di perkotaan dimana satu keluarga sibuk bekerja kehadapan Tuhan. mencari nafkah, dengan waktu yang terbatas, Kehadiran banten dalam tradisi di Bali muncul keinginan serba praktis/ekonomis, mencerminkan kuatnya identitas kehinduan disamping langkanya bahan baku banten. Maka atas keyakinan masyarakat kepada Sang dalam kondisi seperti itulah banten pun dapat Pencipta. Ideologi tersebut melekat turun- diperjual belikan (dikomersialkan) di pasaran. temurun sehingga menjadi warisan leluhur. Kefleksibelan dan keluwesan dalam penerapan Dengan memahami hakikat banten sebagai ajaran bhakti marga memaklumi bahkan tidak curahan rasa bhakti dan cinta kasih kepada Sang menyalahkan umatnya, asalkan banten yang Pencipta banten hendaknya dihaturkan dengan dipersembahkan tetap menunjukkan penuh keikhlasan. Persembahan umat Hindu kesakralan, keikhlasan dan kesuciannya. dengan perasaan tulus dan ikhlas telah ‘Banten’ memang memendam potensi ekonomi mengimplementasikan ajaran bhakti marga. luar biasa bagi masyarakat Bali karena banten Dari keempat marga/cara yang dikenal dengan tidak pernah lekang oleh zaman. Selama banten catur marga, untuk mendekatkan diri kehadapan masih menjadi kebutuhan primer masyarakat Tuhan semuanya menggunakan sarana banten. Bali selama itu pula potensi ekonomi banten Namun demikian, penggunaan banten lebih tetap hidup. Bahkan banten tidak pernah banyak pada tahap ‘apara bhakti’ sebagai dasar terpengaruh iklim/cuaca, jangankan saat situasi dalam menjalankan bhakti marga dan karma ekonomi bagus, ketika situasi ekonomi sedang marga. Sedangkan tahap ‘para bhakti’ dasar sulit misalnya, terjadi musibah pun banten tetap ajaran jnana dan raja marga penggunaan banten dibutuhkan demi ajegnya tradisi leluhur yang dikurangi. Dengan demikian masyarakat Hindu telah diwariskan secara turun-temurun. DAFTAR PUSTAKA

Bhagavad-Gita

Bhaktivedanta, Swami Prabhupada,Rerahinan. Sri Srimad Hari-Hari A.C. Rayatt. Umat Beragama Menurut Hindu Aslinya. Penerbit: The Bhaktivedanta Book Trust. Budha Gautama, Wayan. 2011. Upakara Yadnya . Gianyar: Penerbit Gandapura. Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tingg Mas Putra, I Gusti Agung. 1974. “ ”. Denpasar: Institut Hindu Dharma. Ngurah, I Gusti Made, dkk.Kamus 1999. Bali-Indonesia i. : Penerbit Paramita. Panitia Penyusun. 1978. Bencana, Agama. Denpasar: dan Kearifan Dinas Lokal Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Paramita, I Gusti Agung. 2018. Ista Dewata dan Rerahinan Agama. Hindu(Jurnal Dharmasmrti Vol. 1 No. 18, Denpasar Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia, 2018). Paketan, Ida Bagus Anom.Kekuatan 2012. Yaj ña . Denpasar: CV. Kayu Mas Agung. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan Singer, IYaj Wayan.ña Prakerti 2014. . Surabaya: Penerbit Paramita. Wiana, IKusuma Ketut. 2000. Dewa . Surabaya: Penerbit Paramita. Lontar: . Koleksi PGA Hindu Negeri Denpasar. Lontar: . Koleksi Perpustakaan IHD Denpasar. Koran dan Majalah Bali Post, (2014 dan 2017) Majalah Sarad, (2009) KOMERSIALISASI BANTEN DALAM WACANA PENGUATAN IDENTITAS KEHINDUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI AJARAN BHAKTI MARGA DI BALI 15 A.A Kade Sri Yudari