perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

DALAM PERCATURAN POLITIK DI

TAHUN 1945-1961

SKRIPSI

Disusun oleh :

CESILIA DEA AFIFAH WULANDARI

K4408003

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA commit201 to2 user

i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA

TAHUN 1945-1961

Oleh : Cesilia Dea Afifah Wulandari NIM : K4408003

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012 commit to user

ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

commit to user

iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

commit to user

iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961. Skripsi.

Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2012. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui latar belakang sosial politik

Sjafruddin Prawiranegara. (2) Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961. Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: 1) Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Sjafruddin menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mendapat pendidikan agama secara informal. Lingkungan dan keluarga muslim mempengaruhi kehidupan Sjafruddin. Sjafruddin bergaul dengan kalangan santri modernis dan sosialis sekuler. Akibatnya Sjafruddin menjadi pribadi yang plural. Adanya kewajiban memilih partai politik pada saat itu membuat Sjafruddin memilih untuk masuk Masyumi meskipun Sjafruddin berlatar belakang pendidikan santri. Kemudian Sjafruddin berpengaruh dan memberikan gambaran ideologi pada Masyumi untuk bersifat plural. 2) Sjafruddin dikenal sebagai tokoh politik sesudah menjadi Menteri Keuangan kabinet Sjahrir III, dengan kebijakan mengeluarkan ORI yang menjadi alat perjuangan dan pembiayaan keperluan negara. Sjafruddin menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik ketika menjadi Menteri Kemakmuran. Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II, Sjafruddin diberi mandat untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan berhasil menyelamatkan Republik Indonesia serta

melanjutkan perjuangan. Sjafruddin terpilih lagi menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta dengan melakukan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting

Sjafruddin” yang berhasil menekan inflasi. Sjafruddin menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur de Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Pada tahun 1958, Sjafruddin terlibat dalam Pemerintahan

Revolusioner Republik Indonesia. Sebagai Perdana Menteri PRRI, Sjafruddin memimpin sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah pusat, dan untuk membela

kebenaran dan keadilan.

commit to user

v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA IN POLITICAL CULTURE IN INDONESIA YEARS 1945-1961. Thesis.

Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta, Sebelas Maret Universitas, July. 2012. The purpose of this study is (1) Knowing the background of social and

political Sjafruddin Prawiranegara. (2) Knowing the role of politics Sjafruddin Prawiranegara in Indonesia years 1945-1961. This research uses historical method. Step-by-step historical method is a heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Techniques of data collection is done through literature. Written sources used as data. The data analysis techniques used in this research is historical analysis techniques. Based on this research can be conclude: 1) Sjafruddin Prawiranegara bornin Banten February 28, 1911. Sjafruddin educated in Dutch schools and receive religious education informally. Environment and families lives of Muslim affect Sjafruddin. Sjafruddin friends with the santri modernis and the socialist secular modernists. As a result Sjafruddin be plural person. The existence of the obligation to choose a political party at that time made him choose Masyumi. Then Sjafruddin influence his ideological and gives an overview on Masjumi to be plural. 2) Sjafruddin known as a political figure after as Minister of Finance in cabinet Sjahrir III, make ORI issued apolicy as a means of struggle and state funding purposes. Sjafruddin make Indonesia a better economy when he became Minister of Prosperity. At the time of the Dutch Military Agression II, Sjafruddin mandated to establish the Emergency Government of the Indonesia Republic and managed to save the Republic of Indonesia as well as continuing the struggle. Sjafruddin elected again as Minister of Finance in Hatta Cabinet and make important policy that is "Sjafruddin Operating Scissors" which succeeded in reducing inflation. Sjafruddin became the first Indonesian who was elected as

Governor de Javasche Bank, which later became Bank Indonesia. In 1958, Sjafruddin involved in the Revolutionary Government of the Republic of

Indonesia. As Prime Minister of PRRI, Sjafruddin lead PRRI as a form of correction to the central government, and to defend truth and justice.

commit to user

vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Pangkat itu hanya suatu alat untuk menjalankan suatu tugas.

(Sjafruddin Prawiranegara)

Sejarah sebagai pedoman untuk membangun masa depan. (Sjafruddin Prawiranegara)

Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dashyat tapi akibat tetesan air yang berulangkali; Begitu pula manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali tapi karena kerapkali membaca hidup. (Renaldi)

commit to user

vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

§ Bapak, Ibu, dan Kakakku Bernadus yang selalu memberikan doa dan

motivasi.

§ Romo Yakobus Priyono sebagai “Donatur Kedua”. § Thomas Renaldi Lestianto sebagai teman dalam suka duka yang sudah membantu dan memotivasi menyelesaikan studi serta setia menemani mencari sumber penelitian.

commit to user

viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas

rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi untuk memenuhi persyaratan

mendapat gelar Sarjana Pendidikan.

Kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi ini

dapat terlewati dengan lancar berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Kegururan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. Djono, M. Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. Leo Agung S, M. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan

arahan, motivasi, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program

Pedidikan Sejarah FKIP UNS.

7. Teman-teman Sejarah angkatan 2008, Spesial Keluarga Abal Abal (Ari Kurnia,

Dwi Ari, Eni Susilowati, Titis Dwi Nur, Suyono, Doni Setiawan, Tri Pujianto,

Arif Nur, Tea Limostin) yang memberi semangat dan menjadi keluarga baruku di

Surakarta.

8. Cahyaningrum Tri Agus Tina, Misbach, dan Bryan Andri Jatmiko sebagai

kunsultan pribadi yang senantiasa membantu dan memberi saran dalam penulisan.

9. Keluarga Mas Sutarto, Mbak Widya, Dik Keisya, dan Paramita yang bersedia

memberikan tumpangan, dukungan, penghidupan selama penulis berada di Jakarta dalam mencari sumber. commit to user

ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan membalas amal baik kepada semua pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

diharapkan supaya skripsi ini lebih baik.

Surakarta, 31 Juli 2012

Penulis

commit to user

x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PERNYATAAN ...... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ...... iii

HALAMAN PENGESAHAN ...... iv

HALAMAN ABSTRAK ...... v HALAMAN MOTTO ...... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ...... viii KATA PENGANTAR ...... ix DAFTAR ISI ...... xi DAFTAR GAMBAR ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan Penelitian ...... 7 D. Manfaat Penelitian ...... 7

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Revolusi Fisik ...... 9

2. Peran Politik ...... 14

3. Percaturan Politik ...... 19

B. Kerangka Pemikiran ...... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian ...... 25

2. Waktu Penelitian ...... 26

B. Metode Penelitian ...... 26

C. Sumber Data ...... 28 D. Teknik Pengumpulan Data ...... commit to user ...... 29

xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

E. Teknik Analisis Data ...... 30

F. Prosedur Penelitian ...... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara ...... 35

B. Peran politik Sjafruddin Prawiranegara masa

Revolusi Indonesia 1945-1961

1. Anggota Badan Pekerja KNIP ...... 43 2. Menteri Keuangan ...... 47 3. Menteri Kemakmuran ...... 52 4. Memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia ...... 56 5. Menteri Keuangan ...... 69 6. Gubernur Bank ...... 75 7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ...... 80 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ...... 93 B. Implikasi ...... 94 C. Saran ...... 95

DAFTAR PUSTAKA ...... 97

LAMPIRAN ...... 103

commit to user

xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ...... 23

2. Prosedur Penelitian ...... 31

commit to user

xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1. Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI

akan kembali ke ...... 104

2. Sjafruddin Prawiranegara hadir dalam Konferensi

Inter-Indonesia ...... 105 3. Sjafruddin Prawiranegara disambut oleh Presiden di Yogyakarta...... 106 4. Undang Undang No 19 Th.’46 Tentang Pengeluaran Oeang Repoeblik Indonesia Dan Penjelasan ...... 107 5. Laporan Interview W. Bosshard dengan Mr. Sjafruddin...... 112 6. Berisi Garis Garis Besar Politik Perekonomian Pemerintah...... 115 7. Surat Sjafruddin kepada Mr. Maramis Wakil Republik Indonesia di New Delhi, India Tentang Keadaan Perjuangan di Indonesia...... 118 8. Surat Sjafruddin kepada wakil kepala PTT Sumatera tentang kekuasaan PDRI ...... 119

9. Penetapan Peraturan Sementara Daerah Tapanuli Selatan...... 120

10. Pendapat Kasimo mengenai Susunan Baru

Anggota PDRI 21 April 1949 ...... 121

11. Tantang pengumuman PDRI...... 125

12. Balasan surat I.J Kasimo oleh Sjafruddin Prawiranegara...... 126

13. Ketua PDRI membalas Kawat Panglima Besar PDRI...... 128

14. Kawat Sjafruddin untuk Presiden Soekarno mengenai

kepergiannya ke Sumatera untuk beberapa waktu saat

Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur

Bank Indonesia ...... 130

15. Mukadimah Piagam Perjuangan ...... 138

16. Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara ...... 143 17. Mukadimah Pembentukan PRRIcommit Oleh to Dewan user Perjuangan ...... 146

xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18. Proklamasi RPI...... 150

19. Keterangan tentang Wilayah dan Anggota-Anggota

Republik Persatuan Indonesia...... 158

20. Pidato Presiden RPI pada Hari Proklamasi...... 161

21. Penyerahan Diri Sjafruddin ...... 170

22. Oeang Republik Indonesia ...... 174

23. Surat Perijinan Skripsi ...... 178

commit to user

xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Revolusi kemerdekaan merupakan istilah yang digunakan negara dunia

ketiga untuk perang kemerdekaan kepada negara bekas penjajah setelah Perang

Dunia II usai. Revolusi merupakan ungkapan atau pernyataan akhir dari keinginan otonom dan emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Secara khusus, aktivitas revolusi dianggap menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3). Revolusi kemerdekaan di Indonesia terjadi tahun 1945-1950, dan merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara Republik Indonesia. Revolusi Indonesia dipicu atas kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Kekuasan Jepang di Indonesia mulai melemah, terutama sesudah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan (Ricklefs, 2008: 443). Kondisi ini digunakan para pemuda untuk mendesak Soekarno dan Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan (Reid,

1996: 40-41). Proklamasi mampu dicapai dengan kesepakatan antara golongan tua

dan golongan muda pada tanggal 17 Agustus 1945.

Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi negara

yang teratur dan serasi, melainkan adanya pertarungan antar individu dan

kekuatan sosial yang saling bertentangan. Meskipun di balik pertentangan itu ada

keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan. Di dalam perjuangan revolusi

Indonesia, terjadi perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dengan

kekuatan diplomasi, antara generasi tua terhadap generasi muda, antara golongan

kanan dan golongan kiri, antara kekuatan Islam dan kekuatan sekuler. Semua

perbedaan itu merupakan gambaran ketika Indonesia mengalami perpecahan yang

bermacam-macam bentuknya (Ricklefs, 2008: 446-447).

Pada periode tersebut penuh kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Upaya mempertahankancommit kemerdekaan to user tetap terus diperjuangkan yang 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2

ditandai dengan gerakan perlawanan maupun melalui cara diplomasi. Aksi

dilancarkan sebagai pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam

bentuk kontak senjata pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi

Fisik Indonesia (Kansil&Julianto, 1972: 8).

Selama periode 1945-1950, muncul kekuatan sosial politik yang berasas sama, yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan memperoleh pengakuan internasional melalui saluran diplomasi maupun perjuangan fisik. Munculnya kekuatan sosial politik, tidak lepas dari adanya kebijakan politik etis yang diprakarsai Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia. Dasar kebijakan politik Etis antara lain: (1) pendidikan; (2) pengairan; (3) perpindahan penduduk. Ratu Wilhelmina mensahkan politik etis secara resmi pada tahun 1901 (Ricklefs, 2008: 328). Salah satu kebijakan politik etis ialah pendidikan. Di dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial mendirikan sekolah yang memberikan kesempatan pada penduduk pribumi untuk sekolah. Berdasarkan penelitian komisi pendidikan Belanda-pribumi, pendidikan barat tidak membantu perkembangan dan tidak membawa peningkatan kapitalisme pribumi (Kahin, 1996: 38). Hal itu

karena jumlah sekolah yang disediakan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan

jumlah penduduk (Ricklefs, 2008: 350).

Politik etis secara tidak langsung membentuk intelektual pribumi.

Individu Indonesia yang memperoleh pendidikan barat mendapatkan tempat yang

dianggap tidak sesuai dengan hasil pendidikan yang pernah diterima dan individu

yang tidak mendapat pendidikan tidak mendapat pekerjaan. Kelompok inilah yang

muncul sebagai kekuatan utama dalam pergerakan kebangsaan dan menghasilkan

banyak pemimpin. Hasil pendidikan barat menyebabkan timbulnya elite Indonesia

baru. Golongan baru ini terdiri dari kaum elite yang merasa kecewa, dan

mempunyai gagasan sosial Modernis Islam serta ide hasil pendidikan Barat.

Dengan kebangkitan elit politik Indonesia, massa Indonesia memperoleh

kepemimpinan politik (Kahin, 1996: 64). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3

Konflik dalam perjuangan, berhasil menggerakkan rakyat Indonesia

untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan. Keinginan para pemuda, meyakini

proklamasi bukan suatu masalah yang harus dirundingkan, namun harus

dipertahankan. Pihak pemerintah Republik mempunyai komitmen merundingkan

dengan pihak Belanda untuk mendapatkan simpati internasional dalam perundingan (Reid, 1996: 149). Rakyat berjuang supaya kekuatan asing dalam hal ini Belanda tidak lagi menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Revolusi Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional Indonesia (Ricklefs, 2008: 447). Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pembentukan sebuah negara dengan segala aparaturnya, dan perlengkapan negara merdeka segera dibutuhkan. Pada 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga eksekutif dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan sebagai wakil Presiden. Kabinet Presidensial dibentuk sesuai Undang Undang Dasar 1945, dan kemudian disusul pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 19 Agustus 1945 yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia (Ajip Rosidi, 2011: 98).

Upaya mempertahankan stabilitas kemerdekaan terus dilakukan rakyat

Indonesia. Hal itu dilakukan dengan membentuk Badan Kelengkapan Negara,

serta pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil

Presiden no X tanggal 3 November 1945. Partai-partai politik dibentuk atas dasar

pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Pemikir-pemikir di

dalam partai inilah yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan politik

di Indonesia.

Para tokoh politik menggerakan serta mengembangkan arus politik

sebagai upaya dalam membentuk identitas politik Indonesia. Almon dan Powel

menyatakan unit dasar dari stuktur politik ialah peran individu (Winarno, 2007:

83). Para tokoh politik merupakan seseorang yang menduduki posisi dalam

struktur sosial dan memiliki peranan penting dalam aktivitas politik. Posisi atau tempat seseorang dalam proses politikcommit merupakan to user unsur statis yang menunjukkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4

peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi,

penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.

Peranan dalam gerakan politik individu tentu memberikan sumbangan

bagi perkembangan suatu negara. Peran individu dalam aktivitas politik

memberikan dampak yang begitu besar terhadap perubahan pemikiran suatu bangsa. Sederet nama penting seperti Soekarno, Hatta, Roem merupakan tokoh di masa revolusi yang selama ini melahirkan kebijakan untuk membangun bangsa Indonesia melalui aktivitas politiknya. Riwayat, jasa, serta aktivitas berpolitik mereka dicatat secara lengkap dalam berbagai buku sejarah terutama yang membahasa masa revolusi. Ini menandakan pengkajian terhadap tokoh politik di masa revolusi sangat penting, untuk melestarikan warisan berupa pemikiran dan jasa terhadap Republik Indonesia. Selain itu, pentingnya penelitian terhadap biografi tokoh politik diyakini sebagai jalan untuk mengetahui pembentukan pemikiran serta kontribusi yang diberikan kepada Republik Indonesia di masa revolusi. Salah satu tokoh politik yang memainkan peranan penting di Indonesia adalah Sjafruddin Prawiranegara. Dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 28

Februari 1911. Ayahnya, Raden Arsad Prawiraatmadja merupakan Camat Anyar

Kidul, dan ibunya Noer’aini merupakan anak dari Mas Abidin Mangoendiwirdja

juru tulis asisten residen dan camat di Cening yang termasuk karesidenan Benten

(Ajip Rosidi, 2011: 18-22).

Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS (Europeesche Lagere School

yaitu sekolah rendah untuk orang-orang Eropa bagi orang Belanda atau orang

Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat), dilanjutkan MULO (Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu pendidikan dasar yang diperluas kira-kira sama

dengan SMP sekarang, lalu AMS (Algemeene Middlebare School yaitu Sekolah

Menengah Umum, setingkat SMA sekarang) di Bandung. Sjafruddin kemudian

masuk ke ke RHS (Rechts Hoge School yaitu sekolah Tinggi Hukum). Ketika

masih menjadi Mahasiswa di RHS, Sjafruddin terlibat dalam organisasi Mahasiswa yang bernama USI commit (Unitas to Studiosorum user Indoneesiensis), sebagai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5

tempat perdana bagi Sjafruddin mempelajari organisasi. Sjafruddin melalui

jaringan USI berhasil mengadakan kontak dengan pemuda gerakan bawah tanah

pimpinan Sjahrir (Ajip Rosidi, 2011: 91-92). Di samping itu, Sjafruddin juga

bergabung dalam kelompok organisasi seperti Pagoejoeban Pasoendan, kelompok

Parindra, dan Kelompok Islam. Peran Sjafruddin Prawiranegara pada Indonesia sudah ditunjukan sejak Sjafruddin menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak Kediri tahun 1942. Sesudah Indonesia merdeka, Sjafruddin menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan (Ajip Rosidi, 2011: 113). Kesediaannya menjadi Menteri Muda Keuangan karena ingin mewujudkan idenya tentang Oeang Republik Indonesia (ORI) yang menurut Sjafruddin sangat penting. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Pada saat Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta diserang oleh pasukan Belanda, pemerintah Republik Indonesia memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara melalui radiogram untuk membentuk

Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi (Moedjanto, 1988: 42). Pada masa RIS,

Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya pada tanggal 21

Desember 1949. Dalam kabinet ini, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai

Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu Gunting

Sjafruddin (Ajip Rosidi, 2011: 243-250).

Sjafruddin Prawiranegara terlibat dalam Pemerintah Revolusioner

Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958. Ia diposisikan menjadi Perdana

Mentri sekaligus Menteri Keuangan. Sjafruddin sebagai salah satu tokoh sentral

pendirian PRRI dianggap sebagai pemberontakan daerah. PRRI dianggap sebagai

pengkhianat bangsa, meskipun sebenarnya merupakan suatu bentuk protes atas

pemerintahan Republik Indonesia. PRRI dibentuk atas dasar ketidak setujuan atas

pembentukan kabinet Djuanda yang dibuat secara tidak sah dan merupakan wujud dari desakan kaum komunis (Ajipcommit Rosidi, to 2011: user 317). Pembentukan pemerintahan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6

revolusioner merupakan upaya perjuangan, bukan dalam konteks perjuangan

berupa perlawanan antara daerah luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Melainkan,

menegakkan negara Indonesia yang adil dan Makmur. Cita-cita tersebut

termaktub dalam lima prinsip dasar kebijaksanaan PRRI.

Pada 16 Februari 1958 Presiden Soekarno memberikan perintah untuk menangkap Sjafruddin Prawiranegara beserta seluruh petinggi PRRI, dimulailah mobilisasi militer ke Sumatra untuk menggulingkan PRRI. Tersudutnya PRRI dan dikeluarkannya Keppres no 449/1961 tentang amnesti dan abolisi bagi semua anggota PRRI maka Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden RPI mengeluarkan instruksi untuk menghentikan perlawanan dan penyerangan terhadap tentara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1961 Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan diri. Cadangan emas yang disimpan guna pembiayaan RPI pun turut diberikan ke pemerintah Republik Indonesia sebagai kekayaan Negara (Kahin, 2005: 355). Pada masa Orde Baru Sjafruddin merupakan salah satu orang yang ikut dalam menandatangani petisi 50 masa Soeharto. A.M. Fatwa dalam Ajip Rosidi (2011: 9) menyatakan petisi 50 ditandatangani sebagai wujud kritik terhadap

pemerintah Orde Baru yang otoriter dan merupakan upaya penyadaran terhadap

kehidupan berkonstitusi, khususnya penegakan hukum dan penghormatan

terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengakibatkan Sjafruddin Prawiranegara

beserta para tokoh lainnya mendapat ‘pembatasan hak sipil’. Sjafruddin justru

merupakan individu yang berhasil mempertahankan keberadaan Republik

Indonesia saat Presiden dan Wakil Presiden Soekarno dan Hatta ditangkap

Belanda, Sjafruddin kemudian melanjutkan roda pemerintahan dengan mendirikan

PDRI di pedalaman Sumatera pada 22 Desember 1948.

Sumbangan yang diberikan Sjafruddin di masa revolusi maupun

sesudahnya merupakan jasa yang patut untuk dicatat dalam penelitian. Sjafruddin

Prawiranegara merupakan salah satu tokoh politik yang beperan penting di

Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji “Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik di Indonesiacommit Tahunto user 1945-1961”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya,

maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara? 2. Bagaimana peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab dari rumusan masalah diatas, yaitu untuk: 1. Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara. 2. Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Memberikan pengetahuan tentang peranan Sjafruddin Prawiranegara

sebagai tokoh penting Indonesia tahun 1945-1961.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka

pengembangan ilmu sejarah.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk

digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah,

khususnya kajian tokoh yang berperan penting di Indonesia.

b. Sebagai hasil penelitian yang melengkapi kajian tentang tokoh Indonesia

lainnya.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Revolusi Fisik

Revolusi dipahami sebagai upaya luar biasa, sangat kasar, dan

merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial apa pun. Revolusi juga dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Aktivitas revolusi secara khusus, dianggap dapat menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3). Menurut Kartodirdjo (1982: 80) revolusi merupakan proses politik yang timbul dalam situasi kritis pada waktu golongan konflik mengusahkan perubahan politik dengan cara radikal. Pada pengertian yang lebih luas revolusi merupakan perubahan di bidang sosial politik yang serba cepat, mendadak dan disertai kekerasan. Secara lebih sempit, revolusi sering diartikan sebagai pemberontakan bersenjata. Revolusi juga diartikan sebagai perkembangan fundamental pada

hampir semua bidang kehidupan supaya masyarakat lebih menikmati kebahagiaan

duniawi. Revolusi bersifat menyeluruh, menjangkau semua bidang kegiatan

manusia.

Revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan dalam suatu

masyarakat terutama lembaga politik, struktur sosial, kegiatan dan kebijaksanaan

pemerintah, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan pada waktu yang

cepat (Huntington, 1984:423). Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986:

5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus

kekuasaan sosial. Cirinya tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses

pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi,

serta sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi

demikian diyakini, tak mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya dilakukan tanpa kekerasan tetap dapatcommit dianggap to user sebagai revolusi.

9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau dasar-dasar

pokok dari kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan)

lazimnya dinamakan Revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat

direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi tanpa perencanaan. Sebenarnya

ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, sebab revolusi dapat memakan waktu yang lama. Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului pemberontakan dan kemudian menjelma menjadi revolusi. Supaya revolusi dapat terjadi maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain: a. Ada keinginan untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas dengan keadaan ini. b. Adanya seorang pimpinan atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut. c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat. d. Pemimpin tersebut harus menunjukkan tujuan baik yang konkret dan dapat

dilihat pada masyarakat maupun tujuan yang abstrak seperti ideologi tertentu.

e. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu saat dimana segala keadaan dan

faktor sosial adalah baik sekali untuk mulai dengan gerakan revolusi. Jika

momentum yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal (Setiadi & Kolip,

2011: 620-623).

Revolusi terjadi akibat pergeseran sosial atau ketimpangan fundamental

terutama perjuangan antar elite. Perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan

sosial maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti

konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organisasi-organisasi

politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar (Eisenstadt, 1986: 3).

Revolusi dilakukan karena ada sesuatu yang diharapkan. Kaum revolusioner

selalu bertindak sebagai kelompok yang terorganisasi dan hampir kompak, tetapi commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

setelah kekuasaan kelihatan mulai tercapai, mereka tidak kompak lagi

(Macridis&Brown, 1992: 602-604).

Pada revolusi-revolusi besar, terdapat perubahan yang berupaya untuk

membenahi kembali tatanan sosial terutama sekali, penghapusan aspek-aspek

hierarkis dan menetapkan persamaan, solidaritas serta kemerdekaan politik dan sosial. Perubahan berupa kecenderungan ke arah perumusan sejumlah ketentuan ideologis baru tentang tatanan sosial (Eisenstadt, 1986: 217). Revolusi merupakan kasus ekstrim ledakan dari partisipasi politik. Tanpa ledakan, revolusi tidak pecah. Namun, revolusi yang utuh melibatkan tahap kedua yaitu pembentukan dan pelembagaan peta politik. Tolak ukur untuk mengkaji seberapa jauh suatu revolusi itu benar-benar revolusioner yaitu kecepatan dan ruang lingkup perluasan partisipasi politiknya. Sedangkan untuk mengetahui keberhasilan suatu revolusi ialah wewenang dan stabilitas lembaga yang melahirkannya. Semua situasi revolusioner dan kontra revolusi selalu didukung oleh kekuatan asing yang berusaha untuk menghentikan partisipasi politik dan menata kembali peta dengan sedikit keleluasaan tetapi terpusat secara tegas. (Huntington, 1984: 416-421).

Ada berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari revolusi.

Pertama, perubahan secara keras terhadap rezim politik yang ada, yang didasari

oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri. Kedua, penggantian elite

politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Ketiga, perubahan secara

mendasar seluruh bidang kelembagaan utama, terutama dalam hubungan kelas

dan sistem ekonomi, yang menyebabkan modernisasi disegenap aspek kehidupan

sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisai

dan partisipasi dalam dunia politik. Keempat, pemutusan secara radikal dengan

segala hal yang telah lampau. Kelima, memberikan kekuatan ideologis dan

orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Revolusi tidak hanya

membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga

perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan atau melahirkan manusia baru (Eisenstadt,commit to 1986: user 3-4).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

Menurut Eisenstadt (1986: 248-249) keadaan yang dapat menimbulkan

revolusi:

a. Terdapat tiga aspek utama yang menerobos peradaban tradisional keperadaban modern. Aspek-aspek tersebut ialah: 1) Peralihan dari pola keabsahan kewenangan politik yang tradisional atau tertutup kesuatu pola terbuka; 2) Peralihan dari sistem stratifikasi (sistem kelas) tradisional ke sistem stratifikasi terbuka yang terbuka yang berakar atau berhubungan dengan gerakan ke arah ekonomi pasar umumnya dan ekonomi perindustrian pada umumnya; 3) Penciptaan dan/atau penyatuan unit-unit kemasyarakatan ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan politik kebudayaan internasional yang terus berubah. b. Pertemuan aspek-aspek tersebut menyebabkan pusat dan kelompok-kelompok tradisional memperoleh sejumlah masalah yang menghendaki pengertian kembali seluruh aturan-aturan dasar interaksi sosial utama dan sumber kelembagaan mendasar, terutama sekali, aturan-aturan dasar dan sumber-

sumbernya yang berhubungan dengan akses ke kekuasaan dan struktur pusat-

pusat politik.

c. Tumbuhnya diferensiasi sosio-ekonomi mengakibatkan terjadinya gerakan

protes, perjuangan politik dan pembaharuan, dengan sejumlah besar

kelompok yang siap untuk mobilisasi sosial.

Revolusi mempunyai andil dalam perubahan integral di suatu lingkup

masyarakat. Perubahan integral itu tentunya menimbulkan dampak perubahan.

Menurut Kristeva (2011: 35) dampak perubahan dalam revolusi setidaknya

terdapat lima hal. a. perubahan dengan cakupan terluas, menyentuh semua tingkat

dan dimensi masyarakat, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia;

b. perubahan terjadi secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan

fungsi sosial; c. perubahan terjadi sangat cepat, tiba-tiba; d. revolusi adalah commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

perubahan paling menonjol; e. waktu kejadiannya luar biasa cepat dan karena itu

sangat mudah diingat.

Menurut Goldstone dalam Kristeva (2011: 40) revolusi akan terjadi bila

ada persaingan yang mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang

diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama. Terdapat dua kekuasaan besar yang saling bersaing untuk menjaga eksistensi kekuasaan. Pada kasus ini PDRI; bersaing dengan Belanda untuk mempertahankan eksistensi kekuasan di Indonesia. Tentunya persaingan itu melibatkan kotak senjata dan mobilisasi militer. Persaingan yang timbul antara kedua belah pihak merupakan tindakan revolusioner. Atau merupakan tindakan untuk mengubah dengan tindakan kekerasan. Tindakan revolusi merupakan situasi persaingan terhadap kedaulatan ganda. Menurut Tilly dalam Kristeva (2011: 41) ciri dari bentuk revolusioner yaitu kedaulatan ganda atau dengan kata lain pelipat gandaan pemerintahan yang sebelumnya di bawah kontrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal. Terdapat situasi dan kondisi khusus yang menyebabkan meletusnya

revolusi. Pergolakan revolusi mempunyai sebab-sebab tertentu. Seb ab-sebab itu

tertanam dalam: a. Struktur masyarakat; b. perubahan kependudukan; c. struktur

dan konjuktur ekonomi; d. perkembangan pemikiran dari kelas menengahnya;

e. evolusi politik. Keseluruhan alasan inilah yang selalu menjadi sebab musabab

sebuah revolusi. Revolusi fisik Indonesia merupakan gerakan anti penjajahan dan

perubahan atas rezim lama. Mencakup perubahan pada aspek masyarakat

Republik Indonesia. Para pemimpin Republik Indonesia memprakarsai terjadinya

revolusi fisik dan rakyat mendukung pergerakan itu dengan terlibat secara

langsung. Revolusi Indonesia pada hakikatnya adalah gerakan dari atas yang

diprakarsai dan dipimpin oleh elite politik. Selanjutnya, menyusul segera gerakan

masa di kalangan rakyat yang sangat spontan dan penuh antusiasme . . . mampu

membangkitkan kesadaran anti imperalis dan nasional (Kartodirjo, 1999: 133). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

2. Peran Politik

Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya

sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang berarti sudah menjalankan

peranannya. Antara peranan dan kedudukan sama-sama memiliki fungsi yang

saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang, artinya tidak ada kedudukan tanpa peranan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada peranan tanpa kedudukan. Masing- masing kedudukan dan peranan akan ditentukan oleh norma-norma sosial setelah seseorang berhubungan dengan orang lain. Peranan dan kedudukan seseorang akan sangat erat hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, jika seseorang sudah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran sosial (Setiadi & Kolip, 2011: 435- 436). Setiap orang memiliki berbagai macam peranan yang berasal dari pola pergaulan hidupnya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat menentukan apa yang diperbuat bagi masyarakat. Peranan sangat penting karena peranan itu mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang berada pada batas-batas tertentu. Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan

sebagai suatu proses. Jadi, seseorang dapat menduduki suatu posisi dalam

masyarakat serta melaksanakan suatu peranan. Menurut Levinson dalam Soekanto

(1982: 243-244) peranan mencakup tiga hal:

a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat;

b. Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam

masyarakat sebagai organisasi;

c. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Posisi atau tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis

yang menunjukkan peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan

pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Sesorang yang menduduki

suatu posisi atau tempat serta menjalankan suatu peranan tentu melaksanakan tindakan politik. Setiap peranancommit bertujuan to user supaya antar individu yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang disekitarnya yang tersangkut, atau

ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh

nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak.

Menurut Miriam Budiarjo (1977:8) politik adalah bermacam-macam

kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Menurut Hoogerwerf dalam Ng. Philipus & Nurul Aini (2006: 90) politik sebagai pertarungan kekuasaan. Peran politik adalah fungsi seseorang dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem politik. Proses menentukan dan melaksanakan tujuan menyangkut perilaku penting yang dilakukan bagi kepentingan orang banyak, konsep pemikiran yang dicetuskan dalam sebuah sistem, dan selalu terkait dengan perebutan kekuasaan. Setidaknya melalui ketiga hal itu peran politik dapat terjadi. Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu yang berpolitik. Peran menjadi struktur dari bangunan politik itu sendiri. Ini

diungkapkan Almond dan Powell demikian, “Unit dasar struktur politik adalah

peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan

lewat harapan-harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain”

(Winarno, 2007: 83).

Berdasarkan uraian di atas, peran politik menyangkut aktivitas dalam

kegiatan berpolitik. Aktivitas berpolitik merupakan keterlibatan atau partisipasi

individu dalam kegiatan politik. Pembacaan dari partisipasi individu dalam

kegiatan berpolitik akan memperlihatkan perannya pada suatu sistem politik.

Menurut David dalam Arifin Rahman (1998: 128-129) partisipasi adalah

penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi

organisasinya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk

berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama.commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:67-68) partisipasi politik

merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam

proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan Menurut Huntington partisipasi

politik hanya sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Ramlan Surbakti mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiarjo (1981:1) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Menurut Verba, Nie dan Kim dalam Afan Gafar (1991: 26) partisipasi

politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan bertujuan untuk

mempengaruhi pemerintah dalam mengisi jabatan yang ada, serta dalam

mengambil keputusan. Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah

oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk

mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang

mereka ambil.

Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua

tingkat sistem politik. Perbandingan pada setiap negara dalam menentukan tingkat

partisipasi politik warganya sangat bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam

pembuatan keputusan politik, memberi suara, atau untuk menduduki jabatan

pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya,

dan keturunan terpandang. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Masoed&Colin MacAndrews

(1993:45-46), terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah

partisipasi dalam proses politik, yaitu:

a. Modernisasi: komersialisasi pertanian, industrialisai, urbanisasi yang

meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pembangunan media komunikasi massa. b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. c. Pengaruh kaum intelektual dan komusikasi massa modern. d. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik. e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Bentuk-bentuk partisipasi politik: konvensional (pemberian suara /voting). Diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam

kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan

administratif) maupun konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi,

konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, tindakan

kekerasan politik terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi).

Menurut Gabriel A. Almond dalam Mohtar Mas’oed & MacAndrews

Colin (1993: 45-49) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam

parsipasi politik antara lain: pendidikan tinggi, perbedaan jenis kelamin dan status

sosial ekonomi, dan keanggotaan dalam partai politik. Menurut Surbakti dalam

Sudijono Sastroatmodjo (1995: 74) partisipasi politik dibedakan menjadi

partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga

negara mengajukan usul dan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan

kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak,commit ikut to sertauser dalam pemilihan pemerintah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

Sedangkan partisipasi pasif berupa mentaati peraturan, menerima, dan

melaksanakan begitu saja keputusan pemerintah.

Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut

aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik tidak hanya

menyangkut apa yang telah dilakukan, tetapi juga menyangkut hal-hal atau motif apa yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Saint dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 95) menyebutkan ada lima faktor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia. a. adanya kebebasan berkompetisi disegala bidang; b. adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka; c. adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai dapat tumbuh subur; d. adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarkat; e. adanya distribusi kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu pertimbangan kekuatan. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Afan Gafar (1991: 27) menggolongkan partisipasi politik dalam beberapa bentuk kegiatan seperti berikut:

a. Electoral Activities, yang mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih,

pencalonan, kampanye, pemberian suara dan juga penghitungan suara.

b. Lobbying, aktivitas individual ataupun kelompok untuk menghubungi pejabat

pemerintah atau pemimpin politik untuk mempengaruhi keputusan mereka

tentang sesuatu hal. Umumnya tindakan ini diharapkan untuk memperoleh

dukungan ataupun untuk menciptakan oposisi.

c. Organizatonal Activities, yang mencakup kegiatan yang berkaitan dengan

dukungan terhadap suatu organisasi baik politik maupun non politik,

termasuk di dalamnya menjadi anggota organisasi untuk mempengaruhi

pemerintah.

d. Contacting, tindakan individu yang menghubungi secara langsung pejabat pemerintah untuk menyampaikancommit segala to user sesuatu persoalannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

e. Violence, tindakan yang berbentuk unujuk rasa dapat juga dimasukkan dalam

kategori partisipasi politik, seperti misalnya demonstrasi, bahkan kekerasan

politik. Biasanya tindakan seperti ini dijalankan kalau saluran untuk

menyampaikan aspirasi politik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Percaturan Politik Menurut Hotman M. Siahaan dalam John Pieris (2004: 19-20) percaturan politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang melibatkan umat beragama, struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Keempat kategori ini jelas terpisah satu sama lain, namun terikat sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan. Para tokoh politik, baik dari kalangan ulama maupun awam, sama-sama berusaha menggunakan lambang-lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Hotman mengingatkan bahwa langkah politik juga diambil ketika orang mulai menyadari bahwa mereka bagian dari kelompok politik yang memiliki identitas yang sama. Menurut Kuntowijoyo (1991: 143-144) terdapat tiga teori kerangka

percaturan politik dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik,

yaitu:

a. Kebudayaan politik

Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan

Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi

priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan

kebudayaan pengelompokkan politik.

b. Politik patron-client

W. F. Wertheim mengajukan politik Patron-Client sebagai pola kehidupan

politik Indonesia. Ini berarti bahwa pengelompokkan politik tidak

berdasarkan budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan

patron-client, yang merupakan hubungan berantai yang tak putus-putus. Massa akan mengikuti para commit pemimpin to user yang alami. Menurut Leslie Palmer

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

bahwa para anggota birokrasi yang memerintah benar-benar memperoleh

penghormatan tertentu dari penduduk, dengan demikian mampu memegang

kekuasaan atas penduduk itu.

c. Ekonomi politik

Menurut Richard Robison, suatu kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh subur karena kebijaksanaan pembangunan. Persekutuan mereka dengan kapitalisme dunia telah membuat Indonesia hanya jadi satu mata rantai dari serangkaian bagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional. Percaturan politik dalam pembahasan ini berkaitan dengan kebudayaan politik. Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan kebudayaan pengelompokkan politik. Ini merupakan pandangan tahun 1950-an ketika Republik Indonesia menganut politik liberal. Politik liberal ini memberikan peluang kepada partai-partai politik untuk mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah.

Demikianlah elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum abangan dalam

PKI, dan kaum santri dalam Masyumi (Kuntowijoyo, 1991: 143-144).

Emerson (1976: 24) melihat elite Indonesia dari individu yang berperan

penting dalam kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik di latar

belakangi oleh perbedaan orientasi. Emerson melihat percaturan politik di

Indonesia dari sisi kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik itu

menurut Emerson sebagai percaturan politik yang ia sebut Political Culture.

Menurut Emerson (1976: 63-64) Islam memiliki peranan penting dalam

menentukan arah maupun perkembangan budaya politik Indonesia. Hal ini

diamati oleh Emerson berlandaskan apa yang dilakukan oleh Geertz, yang

membagi 3 ciri Islam di Indonesia, yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Secara

khusus Emerson mengamati 2 bentuk kebudayaan yaitu kebudayaan politik santri dan kebudayaan politik abangan.commit Dua bentuk to user kebudayaan tersebut dianalogikan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

melalui dua individu yaitu Usman dari kebudayaan politik santri dan Purwoko

dari kebudayaan politik abangan. Budaya politik santri lebih menyebar

dibandingkan dengan kebudayaan politik abangan yang hanya terpusat di Jawa.

Elite politik santri lebih lemah dari elite politik abangan. Golongan santri

memperoleh kekuatan yang kuat namun terasing oleh masyarakat. Pengasingan dilakukan oleh Belanda. Santri dilarang berbaur dalam masyarakat terutama masalah politik, apalagi yang dianggap menentang kolonialisme. Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat yang memiliki pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Almond dan Verba dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 36) mengartikan kebudayaan politik suatu bangsa sebagai distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik antara masyarakat bangsa itu. Tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. Gabriel A. Almond menunjukkan bahwa kebudayaan politik meliputi sikap-sikap dari warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan politiknya (Mohtar Masoed & Colin MacAndrews: 1993: 33). Sikap warga negara berupa tuntutan, respon, dukungan, terhadap sistem politik terdapat pada hubungan antara

kebudayaan politik dan sistem politik. Di dalamnya terdapat maksud individu

untuk melakukan kegiatannya beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

pergeseran politik dalam sistem politik (Sastroatmodjo, 1995: 37).

Menurut Almon dalam Mohtar Masoed & Colin MacAndrews (1993: 42)

terdapat tiga model kebudayaan politik: model pertama adalah masyarakat

demokratis industriil. Dalam sistem ini terdapat banyak aktivis politik yang

menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara,

publik pemberi minat politik yang mendiskusikan secara kritis moral-moral

kemasyarakatan dan pemerintahan.

Model kedua adalah sistem otoriter. Dalam model ini terdapat kelompok

masyarakat yang memiliki sikap politik yang berbeda. Mahasiswa dan kaum

intelektual yang berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan protes. Kelompok pengusaha, kepalacommit getoreja, user dan tuan tanah mendiskusikan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

masalah pemerintahan dan aktif dalam lobying. Sebagian masyarakat sebagai

subjek pasif, mengakui pemerintahan dan tunduk kepadanya, tetapi tidak

melibatkan diri dalam urusan masyarakat. Model ketiga yaitu sistem demokrasi

praindustri. Negara dengan model seperti ini memiliki sedikit sekali partisipan

terutama dari profesional terpelajar, usahawan, tuan tanah. Sebagian besar warga negara secara langsung terkena kebijakan pemerintah, memiliki pengetahuan dan keterlibatan dalam kehidupan politik yang sangat kecil. Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di dalam dan dipengaruhi kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Budaya politik bertujuan untuk memelihara stabilitas sistem politik yang demokratis. Berfungsinya budaya politik dengan baik pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antar budaya itu dengan struktur politiknya (Sodijono Sastroatmodjo, 1995: 40-41). Partisipasi politik dan mobilisasi memiliki hubungan dengan percaturan politik. Partisipasi berkaitan dengan inisiatif untuk melakukan aktifitas yang berasal dari diri individu sendiri, yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam menyeleksi individu tertentu untuk mengisi jabatan politik yang ada dan

untuk membantu pemerintah dalam menentukan pilihan kebijaksanan yang

diperlukan. Mobilisasi merupakan tindakan yang dilakukan individu bukan atas

keinginannya sendiri melainkan digerakkan oleh orang lain, baik secara individu

maupun kelompok (Prospektif, 1991: 28).

Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk

partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui

mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik

dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan

kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam

pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai; kelompok

penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan

perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

duduk dalam badan itu; berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan

sebagainya (Miriam Budiarjo, 1977: 161).

B. Kerangka Pemikiran

Kemerdekaan Republik Revolusi Fisik Percaturan Politik Indonesia Indonesia Indonesia

Peran Politik

Sjafruddin Prawiranegara

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Keterangan: Rakyat Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan pada tanggal 17

Agustus 1945. Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi

negara yang teratur, negara yang serasi, melainkan adanya pertarungan antara

individu-individu dan kekuatan sosial yang bertentangan. Pada periode ini penuh

dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Aksi dilancarkan sebagai

pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk kontak senjata

pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi Fisik Indonesia.

Selain membentuk Badan Kelengkapan negara, dan juga dilaksankan

kebijakan pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil

Presiden no X tanggal 3 November 1945. Parta-partai politik dibentuk atas dasar

pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Partai-partai politik ini

mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal

ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah. Elit commit birokrasi to priyayiuser bergabung dalam PNI, kaum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi. Sjafruddin Prawiranegara

yang hidup di lingkungan muslim yang taat memilih untuk ikut bergabung

menjadi anggota partai Masyumi.

Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu

yang berpolitik. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh Indonesia yang memiliki peran politik penting, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Setelah Indonesia merdeka, Ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet Sjahrir yang ke-2, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat saat terjadinya Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Pada masa RIS dalam kabinet Hatta, Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu “Gunting Sjafruddin”. Menjadi Gubernur Bank Indonesia yang pertama tahun 1953. Sjafruddin terlibat dalam Pemerintah

Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958 sebagai Perdana Mentri sekaligus

Menteri Keuangan.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan

Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”, dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dengan membaca literatur-literatur yang terdapat di berbagai perpustakaan maupun koleksi pribadi. Beberapa lokasi perpustakaan yang dipergunakan guna melakukan penelitian studi pustaka antara lain: a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta; b. Perpustakaan Fakultas dan Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta; c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta; d. Perpustakaan Daerah Surakarta; e. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan

majalah) Surakarta;

f. Perpustakaan Daerah Yogyakarta;

g. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi, Daerah Istimewa

Yogyakarta;

h. Jogja Library Center;

i. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta;

j. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia;

k. Arsip Nasional Republik Indonesia;

l. Buku koleksi Pribadi.

commit to user

25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai

dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2011 sampai selesainya

penulisan skripsi ini pada bulan Juli 2012.

B. Metode Penelitian Sejak penelitian dan penulisan sejarah dilakukan secara ilmiah, maka penelitian dan penulisan sejarah menggunakan metode sejarah. Metode itu sendiri berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara efektif dan efisien. Metode bersifat lebih praktis ialah memberikan petunjuk mengenai cara, prosedur, atau teknik pelaksanaannya secara sistematik. Pada umumnya, metode diketahui sebagai cara atau prosedur untuk mendapatkan objek. Juga didefinisikan metode adalah cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknis yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan objek penelitian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 11).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metod e historis atau

metode sejarah. Metode historis digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk

merekonstruksi peristiwa masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan

cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-

bukti untuk menegakkan fakta dan untuk memperoleh kesimpulan yang kuat.

Metode sejarah dapat diartikan sebagai metode penelitian dan penulisan sejarah

dengan menggunakan cara, prosedur atau teknik yang sistematik sesuai dengan

asas-asas dan aturan ilmu sejarah.

Pengertian metode historis secara konvensional adalah telaah terhadap

dokumen atau sumber lain yang berisi informasi tentang masa lampau dan

dilaksanakan secara sistematis. Penelitian dengan metode historis menitik-

beratkan pada telaah dokumen yang merupakan hasil rekaman para ahli dari berbagai bidang (Suharsimi Arikunto,commit 2003: to user332).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Nasir (1985: 55-56) menyatakan metode historis atau metode sejarah

adalah usaha untuk merekonstruksi masa lampu secara objektif dan sistematis

dengan mengumpulkan, mengevaluasi fakta dan menarik kesimpulan secara tepat.

Metode historis juga menjadi suatu prosedur pemecahan masalah dengan

menggunakan data masa lalu atau peninggalan untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang. Serta memahami kejadiaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian masa lampau (Nawawi, 1993: 79). Gilbert J. Garragan, S. J (1957: 33) dalam bukunya A Guide to Historical Method mendefinisikan metode sejarah sebagai seperangkat asas dan aturan yang sistematik yang didesain guna membantu secara efektif untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis hasil- hasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis. Richard F. Clarice (1927: 462) dalam bukunya Logic (London and New York, 1927) mengartikan metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Louis Gottschalk (1983:18;19;32) memaknai metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman,

dokumen-dokumen, dan peninggalan masa lampau yang otentik dan dapat

dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut

menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Daliman, 2012: 27).

Menurut Nugroho dalam Louis Gottschalk (1987: 18) prosedur penelitian

dan penulisan sejarah bertumpu pada empat kegiatan pokok, yaitu:

a. Pengumpulan objek yang berasal dari suatu jaman dan pengumpulan

bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan;

b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik;

c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang

otentik;

d. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau

suatu penyajian yang berarti. e. Prosedur itulah yang disebutcommit metode to usersejarah Sejarah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

Metode historis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara: pertama, mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan

Sjafruddin Prawiranegara tahun 1945-1961 di Indonesia. Kedua, sesudah sumber

terkumpul, dilakukan pengujian dan analisis sumber dengan cara membandingkan

antara satu sumber dengan sumber yang lain. Apabila dari sumber yang dibandingkan mempunyai kesamaan isi, berarti sumber tersebut valid. Maksudnya apabila sumber satu dengan lainnya menuliskan berita yang sama tentang Peranan Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik masa Revolusi di Indonesia, berarti sumber tersebut dapat dijadikan sebagai data dalam penulisan karya ilmiah ini. Ketiga, mencari dan mengumpulkan dokumen atau arsip yang terkait dengan Peran Sjafruddin Prawiranegara Masa Revolusi Indonesia. Selanjutnya dokumen tersebut dijadikan sebagai alat penguji kebenaran bagi sumber sekunder yang berhasil dikumpulkan, di samping sebagai sumber primer. Melalui metode sejarah, usaha merekontruksi secara kritis dilakukan sebagai upaya menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sejarah. Helius Sjamsuddin (1994:73) mengemukakan tentang pengertian sumber

sejarah, yaitu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan

kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past

actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) yang

mencakup segala macam avidensi (bukti). Bukti itu menunjukkan segala aktivitas

mereka di masa lalu, baik berupa tulisan atau lisan serta sudah ditinggalkan

manusia.

Sumber data dalam penulisan ini menggunakan sumber tertulis. Sumber

tertulis dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah

kesaksian seorang saksi secara empiris. Dapat juga seperti alat mekanis seperti

dektafon yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

Sedangkan sumber sekunder, yakni kesaksian dari siapapun yang bukan saksi dan

tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya (Louis Gottschalk, 1986:35).

Penelitian ini menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber

tertulis primer berupa arsip dan koran. Sumber primer arsip seperti Arsip

Sjafruddin Prawiranegara (Arsip no 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 14, dan 15), Arsip Mohammad Rasjid (Arsip no. 5, 25, 28, 32, 57, dan 80), dan Arsip Kementerian Penerangan (Arsip no. 1, 23, 139, dan 216). Sumber primer koran seperti: Kedaulatan Rakjat tahun 1945, tahun 1946, tahun 1949, dan tahun 1950. Sumber tertulis sekunder berupa buku-buku yang relevan. Sumber sekunder yang digunakan antara lain: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc Turnan Kahin tahun 1995. Islam sebagai Pedoman Hidup: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I karya Sjafruddin Prawiranegara yang disunting Ajip Rosidi tahun 1986. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2 karya Sjafruddin Prawiranegara yang disunting Ajip Rosidi tahun 2011. Revolusi Nasional Indonesia karya Anthony J. S. Reid tahun 1996. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin

Prawiranegara karya M. Dawam Rahardjo Tahun 2011. Terminologi Sejarah

1945-1950 & 1950-1959 karya A.B. Lapian, Susanto Zuhdi, Sumardi, dkk

tahun1996. Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada ALLAH SWT karya

Ajip Rosidi tahun 2011. Ekonomi dan Keuangan. Makna Ekonomi Islam.

Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2 karya Sjafruddin Prawiranegara, yang

disunting Ajip Rosidi tahun 2011.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik studi

pustaka. Studi pustaka merupakan cara untuk mengumpulkan data melalui

peninggalan tertulis berupa arsip dan buku-buku tentang pendapat, teori, dalil,

atau hukum yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Untuk mempermudah seorang peneliti commit dalam to melakukan user studi pustaka, diperlukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

pengetahuan tentang peraturan dan organisasi perpustakaan sebagai sumber

literatur yang diperlukan. Di samping itu, diperlukan juga pemahaman tentang

sistem bibiliography dan cara mencari materi yang berhubungan dengan masalah

yang diselidiki dari literatur yang tersedia (Nawawi, 1993: 133).

Kegiatan studi pustaka pada penelitian ini dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengumpulkan sumber primer, sumber sekunder, ensiklopedi dan buku-buku literatur yang terkait dengan Sjafruddin Prawiranegara; (2) membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian yaitu tentang Sjafruddin Prawiranegara, berdasarkan periodisasi waktu atau secara kronologis; (3) mengumpulkan data yang sudah diperoleh dari perpustakaan untuk digunakan dalam penyusunan karya ilmiah.

E. Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurahman (2007: 73) interpretasi sejarah sering kali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis

sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang

menyatukan. Analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama

dalam interpretasi.

Analisis pada penelitian ini dilakukan sesudah kegiatan pengumpulan data.

Tindakan analisis dimulai dari klasifikasi data. Data-data yang diklasifikasikan,

selanjutnya diseleksi dan dibandingkan. Kemudian diinterpretasikan menjadi

keterangan lengkap tentang fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut dirangkai menjadi

satu kesatuan di dalam penulisan.

F. Prosedur Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian historis. Tahap-tahap

prosedur penulisannya melalui langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penulisancommit tersebut to user dapat digambarkan sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Peristiwa Fakta Sejarah

Sejarah

Gambar 2. Prosedur Penelitian Sejarah

Keterangan: 1. Heuristik Kegiatan pengumpulan data yang relevan dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu usaha mendapatkan data tertulis dari buku-buku literatur, majalah, surat kabar, dan sumber tertulis lainnya. Heuristik merupakan

keterampilan dalam menemukan, menangani, dan memerinci, bibilografi, atau

mengklasifikasikan dan merawat catatan-catatan (Abdurahman, 2007). Tak lupa

tindakan membaca buku-buku tersebut satu per satu dan pencatatan apabila

ditemukan bagian yang terkait dengan tema penulisan. Melalui usaha tersebut

data-data yang relevan dapat terkumpul guna kepentingan penulisan.

2. Kritik

Sumber-sumber yang telah berhasil dikumpulkan tidak begitu saja

diterima. Langkah berikutnya yaitu menyaringnya secara kritis. Langkah-langkah

inilah yang disebut kritik sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja

intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan

objektivitas suatu kejadian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 35). Tindakan kritik diperlukan guna memperolehcommit to user keabsahan sumber.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

Data-data sejarah yang terpercaya yang dapat digunakan dalam pendirian

sejarah sebagai bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah adalah kumpulan fakta-

fakta atau informasi-informasi sejarah yang sudah diuji kebenarannya melalui

proses validasi, yang dalam ilmu sejarah disebut kritik. Melalui kritik sumber

diinginkan supaya setiap data sejarah yang diberikan informan diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya, sehingga semua data itu sesuai dengan fakta- fakta sejarah yang sesungguhnya. Kritik meliputi kritik ekstern dan kritik intern.

a. Kritik Ekstern Kritik ekstern adalah usaha mendapatkan otentisitas sumber dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik ekstern ini mengarah pada pengujian terhadap aspek luar dari sumber. Otentisitas mengarah pada materi sumber yang sejaman. Jenis-jenis fisik dari materi sumber seperti kertas dengan ukuran, jenis, kualitas dan bahan yang bagaimana, dokumen ditulis atau diketik, atau diketik komputer, jenis tinta yang bagus atau isi ulang (Suhartono,2010: 36). Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 104) kritik ekstern adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber

sejarah. Kritik ekstern mencoba menguji otentisitas serta integritas sebuah sumber

sejarah. Jadi, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan integralnya.

Aktivitas lain yang dilakukan dalam kegiatan kritik ekstern ialah mengkaji

satu per satu sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Pengkajian

meliputi siapa pengarangnya, apakah pengarangnya seorang sejarawan atau tidak?

Umumnya kalau pengarangnya seorang sejarawan maka sumber tersebut dapat

dipercaya. Kalau bukan dapat diragukan kebenaran sumber itu. Selanjutnya usaha

pengkajian bahasa dan tulisannya apakah masih menggunakan ejaan lama atau

ejaan yang telah disempurnakan. Kajian terakhir ialah melihat kapan dan di mana

sumber itu dibuat. Kegiatan kritik ekstern tersebut juga berlaku pada sumber-

sumber yang lain.

b. Kritik Intern commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Kritik intern adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas sumber,

maksudnya apakah isi dokumen itu terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung

bias, dikecohkan, dan sebagainya. Kritik intern ditujukan untuk memahami isi

teks. Pemahaman isi teks diperlukan latar belakang pikiran dan budaya

penulisnya. Isi teks sering bermakna ganda dan dimaksudkan sesuai dengan sudut pandang penulis. Dalam teks banyak hal yang tersembunyi dan tidak disampaikan dalam bahasa yang lugas, tetapi dalam bahasa yang tertutup dan berlebihan (Suhartono, 2010: 37). Kritik intern mencoba melihat dan menguji dari dalam reliabilitas dan kredibilitas isi dari sumber-sumber sejarah (Helius Sjamsuddin, 1996: 118). Aktivitas dalam melakukan kegiatan kritik intern ialah membaca satu per satu sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Usaha memahami isi dari masing-masing sumber tersebut diperlukan untuk menafsirkan semua yang ditulis dalam sumber itu benar adanya dan dapat dipercaya. Untuk membuktikan kebenaran tersebut perlu dibandingkan antara satu sumber dengan lainnya. Perbandingan tersebut merupakan upaya mendapatkan fakta sejarah yang dapat mendukung karya ilmiah ini.

3. Interpretasi

Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis. Menganalisis

sama dengan menguraikan. Dari data yang berfariasi dapat dianalisis setelah

ditarik sacara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis melakukan

penyatuan. Data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian disimpulkan. Proses

berpikir kedua cara ini memang bisa dibedakan namun hasil yang diharapkan

tidak berbeda (Suhartono, 2010: 56).

Bentuk upaya interpretasi pada penelitian ini dilakukan dengan

meninggalkan unsur subyektivitas. Karena keanekaragaman data yang diperoleh

dari berbagai buku diperlukan usaha membandingkan dengan diperlukan sikap

obyektif. Interpretasi dalam penulisan penelitian ini, dilakukan dengan menetapkan makna serta hubungancommit fakta- faktato user yang ada.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

4. Historiografi

Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil

penelitian sejarah yang telah dilakukan. Historiografi harus dapat memberikan

gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal (fase perencanaan) sampai dengan akhir (penarikan kesimpulan). Jadi dapat dilihat mutu dari penelitian itu sendiri (Dudung Abdurahman, 2007: 76). Syarat umum yang harus diperhatikan peneliti dalam pemaparan sejarah adalah peneliti harus memiliki kemampuan mengungkapkan dengan bahasa yang baik; terpenuhinya kesatuan sejarah; menjelaskan apa yang ditemukan peneliti dengan menyajikan bukti-buktinya dan membuat garis-garis umum yang akan diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca; pemaparan haruslah argumentatif, maksudnya saat mengerahkan ide-idenya dalam merekostruksi masa lampau itu didasarkan atas bukti-bukti yang terseleksi, bukti yang cukup lengkap, dan detail fakta yang akurat. Alur pemaparan data harus selalu diurutkan kronologisnya, walaupun yang ditunjukkan dalam pokok setiap pembahasan adalah tema tertentu (Dudung Abdurahman, 2007: 76-77). Dari langkah-langkah tersebut dapat

tersusun sebuah hasil penelitian berupa skripsi dengan judul “Sjafruddin

Prawiranegara Dalam Percaturan Politik Di Indonesia Tahun 1945-1961”.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Kehidupan Sosial Politik Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara lahir di Anyar Kidul, Banten 28 Februari 1911.

Sjafruddin Prawiranegara merupakan anak dari Raden Arsjad Prawiraatmadja dan

Noer’aini. Raden Arsjad Prawiraatmadja seorang asisten Wedana (camat) di Anyar Kidul, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten. Raden Arsjad masih keturunan Sultan Banten dari perkawinan R. H. Chattab Aria Prawiranegara dengan istri kedua yaitu Nyi Mas Hajah Salbiah. Noer’aini, merupakan puteri dari Mas Abidin Mangoendiwirja camat di Cening, Kawedanan Kubangkondang, kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten. Mas Abidin Mangoendiwirdja putera Soetan Alam Intan dari Minangkabau yang masih keturunan Pagaruyung (Kahin, 1989: 101). Sejak kecil Sjaffruddin Prawiranegara dididik untuk menjalankan Syariat Islam. Setelah dikhitan, diajari mengaji Al-Qur’an, dan berpuasa yang dimulai dari usia 4 atau 5 tahun. Sjafruddin kemudian masuk ke ELS (Europeesche Lagere School, atau Sekolah Rendah untuk orang-orang Eropa yaitu

orang Belanda atau Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat). Di ELS,

Sjafruddin diwajibkan untuk menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa yang

dipakai di sekolahnya dan juga dibiasakan menggunakan bahasa Belanda dengan

Raden Arsjad saat berada di rumah, walaupun dengan saudara yang lain

menggunakan bahsa Sunda (Rosidi, 2011: 49-50).

Pada tahun 1924, Raden Arsjad dipindahkan tugasnya ke Ngawi di Jawa

Timur (Rosidi, 2011: 36-38). Pemindahan seorang pegawai pamong praja dari

satu tempat ke tempat lain, asalkan satu provinsi adalah hal yang biasa. Namun

pemindahan sampai ke karesidenan lain, bahkan ke provinsi lain dari Serang di

Provinsi Jawa Barat ke Ngawi di Provinsi Jawa Timur, mempunyai arti

pemindahan sebagai hukuman administratif (Prawiranegara, 1986: 251).

Raden Arsjad meninggal pada tanggal 3 Maret 1939 ketika sedang berpidato dalam suatu rapat untukcommit pemilihan to user anggota Dewan Provinsi Jawa

35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

Timur. Pidatonya diselingi kutipan ayat Al-Qur’an untuk memperkuat maksud

uraiannya, dan banyak mendapat perhatian dari rakyat Jawa Timur. Perilaku dan

langkah-langkah ayahnya sebagai priyayi yang tetap berjuang untuk kepentingan

rakyat dengan berpedoman pada Kitab suci Al-Qur’an, banyak dicontoh oleh

Sjafruddin Prawiranegara. Sebagai priyayi Raden Arsjad berjuang untuk kepentingan rakyat dengan tetap berpedoman kepada Al-Qur’an, merupakan watak yang diturunkan kepada Sjafruddin yang selalu memperlihatkan sikap tegas dan dalam menghadapi suatu dilema (Rosidi, 2011: 41-43). Kehidupan Raden Arsjad sebagai priyayi tidak menghalanginya untuk dekat dan memperjuangkan nasib rakyat. Walaupun menjadi anggota Sarekat Islam, Raden Arsjad memakai pakaian Barat, karena SI tidak mengharamkan orang Islam berpakaian Barat. Raden Arjad juga menghendaki anak-anaknya bersekolah secara Barat, tidak seperti masa kecilnya yang dimasukkan ke pesantren. Tiap sore anak disuruh belajar mengaji dan tetap berpedoman kepada Al-Qur’an sambil tetap melaksanakan semua kewajiban sebagai seorang muslim yang taat sesuai dengan aturan-aturan Islam. Raden Arsjad sering ceramah dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran. Kombinasi budaya dan gaya hidup itulah yang

menyebabkan Raden Arsjad dapat diterima kalangan santri dan abangan. Semua

sikap Raden Arsjad dan lingkungan beragama itu menjadi pedoman yang

membuat Sjafruddin dapat bergaul dengan kalangan santri modernis dan kaum

sosialis sekuler (Rahardjo, 2011:69).

Sjafruddin mengikuti ayahnya pindah ke Ngawi. Di Ngawi Sjafruddin

dimasukkan ke ELS juga (Prawiranegara yang disunting oleh Rosidi, 1986:251),

sesudah tamat dari ELS, Sjafruddin melanjutkan sekolah ke MULO (Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu Pendidikan Dasar yang diperluas, sama dengan

SMP sekarang) atas saran K. De Bijl yang merupakan kepala guru ELS Ngawi.

Sjafruddin belanjutkan lagi sekolah ke AMS (Algemeene Middlebare School,

Sekolah Menengah Umum, setingkat dengan SMA sekarang) A di Bandung

karena ketertarikannya terhadap kesusasteraan. Sesuadah menamatkan AMS pada tahun 1931, Sjafruddin melanjutkancommit ke to RHS user (Rechts Hoge School, Sekolah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

Tinggi Hukum) yang didirikan di Jakarta tahun 1924. Awalnya Sjafruddin ingin

melanjutkan ke Perguruan Tinggi Sastra, namun di Indonesia belum ada, dan baru

didirikan tahun 1941. Tidak mungkin juga untuk pergi ke Belanda karena keadaan

keuangan keluarga, maka Sjafruddin memutuskan masuk ke RHS. Pada bulan

September 1939, Sjafruddin lulus sebagai Meester in de Rechten/Sarjana Hukum (Tim Penulis, 1990: 379). Sjafruddin melamar pekerjaan di Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) yang diketuai oleh M. Soetardjo Kartodikoesoemo, setelah menamatkan pendidikannya di RHS. Sjafruddin diterima di PPRK dan ditempatkan sebagai administratur PPRK merangkap sebagai redaktur Soeara Timoer yaitu majalah PPRK. Pada tahun 1940 Sjafruddin diterima bekerja di Departement van Financien (Departemen Keuangan), dan ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak Kediri, Jawa Timur. Kemantapan kehidupannya dengan jabatan yang cukup tinggi pada masa itu membut Sjafruddin merasa sudah saatnya menikah. Pernikahan dilangsungkan di Buahbatu, Bandung pada tanggal 31 Januari 1941. Sjafruddin menikah dengan Tengku Halimah, puteri dari Radja Sahaboedin seorang Camat di Buahbatu Bandung keturunan dari raja

Minangkabau dari Pangaruyung (Kahin, 1989:101).

Sjafruddin pernah aktif dalam organisasi mahasiswa yang bernama USI

(Unitas Studiosorum Indonesiensis) ketika menjadi mahasiswa RHS.

Perhimpunan mahasiswa ini didirikan pada tahun 1933. Para mahasiswa Indonesia

memilih menjadi anggota USI karena tidak suka berpolitik tetapi juga tidak ingin

masuk Studenten Corps yang anggotanya terutama mahasiswa-mahasiswa

Belanda yang hanya bersenang-senang, dan terlalu mahal bagi mahasiswa

Indonesia. Aktivitas USI terbatas hanya dalam bidang rekreasi dan kegiatan yang

menunjang studi. Organisasi ini tidak ikut campur dalam politik. Kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan antara lain berdiskusi, bermain olahraga,

membaca, dan berdarmawisata (Rosidi, 2011: 79-80). Komunitas USI dibentuk

oleh sejumlah Profesor konservatif Belanda untuk menekan kecenderungan radikal kelompok pemuda dancommit mahasiswa to user yang mengusung nasionalisme.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

Perkumpulan USI ini berorientasi pada budaya dan gaya hidup Eropa (Rahardjo,

2011:62).

Para mahasiswa USI merupakan laki-laki dan perempuan dengan

pendidikan Belanda yang baik. Kebanyakan berasal dari keluarga pribumi berada

dan melakukan kegiatan yang necis. Anggota USI memiliki lagu kebangsaan yang terdapat dalam Liedboek (Mrazek, 2006: 210-211). Lagu-lagu ini yang dapat mereka nyanyikan pada pertemuan-pertemuan, pesta-pesta, dan piknik USI. Lagu pertama yaitu Gaudeamus, Wij Usianen (Kami, para anggota USI), dan USI Lied (Lagu USI). Lagu-lagu lain dalam Liedboek van USI adalah Mutsenlied (Lagu Sebuah Topi), Crambambuli, Jingle Bels, Groenenlied (Lagu Kesibukan), Stein Song (Lagu Tempat Air), dan sebagainya (Nordholt, 2005: 207-209). Anggota-anggota dari organisasi USI antara lain Sjafruddin Prawiranegara, Subadio Sastrosatomo, Ali Budiarjo, Poppi Saleh dan saudaranya, Soedjatmoko, Koesoemo Soetojo, Mr. Ismael Thajeb, Soedarpo, Mohammad Kosasih Purwanegara dan lainnya. Sjafruddin tidak tertarik untuk ikut dalam gerakan kebangsaan. Namun, bukan berarti Sjafruddin tidak menaruh perhatian pada kegiatan-kegiatan pergerakan nasional. Melalui surat kabar, majalah dan

buku, juga melalui kuliah di RHS, Sjafruddin memahami dan mengamati soal-soal

kemasyarakatan, termasuk kegiatan pergerakan nasional (Rosidi, 2011: 80).

Sjafruddin menginginkan kemerdekaan Indonesia lepas dari jajahan

Belanda. Namun tidak setuju pada tuntutan sebagian besar kaum nasionalis bahwa

Indonesia harus merdeka saat itu. Menurut Sjafruddin, bangsa Indonesia saat itu

belum matang untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Sjafruddin termasuk

golongan kooperatif, yaitu orang-rang yang beranggapan bahwa untuk

memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia haruslah melakukan kerjasama

dengan pihak Belanda (Prawiranegara, 1972: 319). Pandangan Sjafruddin ini

banyak dipengaruhi oleh guru besarnya di RHS, seperti Prof. Logemann dan Prof.

Van Asbek. Keduanya termasuk orang Belanda yang menganut pandangan Politik

Etis. Untuk mencapai kemerdekaan itu, bangsa Indonesia haruslah maju dahulu commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

dalam segala bidang. Kemajuan itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan (Tim

Penulis, 1990: 379).

Sjafruddin melihat bahwa pemerintah kolonial tidak bersungguh-sungguh

untuk memajukan Indonesia. Dibandingkan dengan jumlah penduduk dan

kebutuhannya, terlalu sedikit orang Indonesia yang mendapatkan pendidikan, yang mendapatkan latihan dan mendapat kesempatan bekerja (Tim Penulis, 1990: 379). Kenyataan ini menimbulkan keraguan pada diri Sjafruddin. Keraguan itu menjadi ketidakpercayaan ketika pada bulan November 1938 pemerintah menolak Petisi Soetardjo. Isi dari Petisi Soetardjo yaitu mendesak pemerintah agar segera menyelenggarakan konferensi guna membahas hubungan antara Nederland dengan Hindia Belanda (Ricklefs, 1991: 288-289). Indonesia mempunyai anggapan bahwa kedatangan Jepang akan memerdekakan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah, maka kedatangan Jepang ke Indonesia disambut dengan gembira oleh rakyat. Sjafruddin segera melihat dalam waktu dekat bahwa harapan untuk terjadinya perbaikan seperti yang dipropagandakan Jepang hanyalah kata-kata kosong. Sjafruddin melihat kesengsaraan rakyat yang diakibatkan oleh Jepang jauh lebih buruk dari

penjajahan Belanda. Kemunduran ekonomi, kelaparan yang semakin meningkat,

sebagai akibat pengurasan kekayaan dan tenaga manusia oleh Jepang. Sjafruddin

merasa heran melihat banyak pemimpin bangsa Indonesia yang mau bekerjasama

dan membantu tentara Jepang. Padahal mereka menolak bekerjasama dengan

pemerintahan Belanda. Jepang lebih kejam dari Belanda dan orang Indonesia

tidak akan berani secara terang-terangan menentangnya. Namun, menurut

Sjafruddin bukan berarti orang Indonesia harus menjilat kepada Jepang dengan

menindas bangsa sendiri. Sjafruddin sebagai pegawai negeri bekerjasama dengan

Jepang, tetapi kerjasama itu dilakukan karena keadaan yang memaksa negara

(Prawiranegara, 1972: 321).

Sikap Belanda yang tidak mau kompromi pada masa akhir pemerintahan,

yang tidak mau memberikan kesempatan pada bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa matang dan merdeka, sertacommit penderitaan to user rakyat yang luar biasa di bawah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

penjajahan Jepang, membuat Sjafruddin mulai sadar bahwa bangsa Indonesia

harus berjuang untuk merdeka. Sjafruddin mengadakan diskusi dengan kelompok-

kelompok yang sepaham dengannya. Seperti kelompok Pagoejoeban Pasoendan

dengan tokohnya Oto Iskandar Dinata dan Ir. Oekar Bratakoesoemah, kelompok

Parindra dengan tokohnya Gondokusumo dan Dr. Erwin, kelompok Islam dengan tokohnya Arudji Kartawinata dan M. Natsir. Sjafruddin juga berhubungan dengan teman-teman semasa mahasiswa di USI dulu seperti Subandio Sastrosatomo, Koesoema Soetojo, Mr. Ismael Thajeb, dan Ali Budiardjo yang mempunyai sikap dan pikiran yang sama. Melalui mereka, Sjafruddin mengadakan kontak dengan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh di Jakarta (Rosidi, 2011: 91-93). Pada tanggal 6 April 1945 di Karesidenan Bandung, diadakanlah pertemuan para pengusaha seluruh Jawa dan Madura itu. Pertemuan ini dihadiri tokoh-tokoh pengusaha, dan tokoh-tokoh ekonomi non-pengusaha. Pertemuan besar para pengusaha seluruh Jawa dan Madura melahirkan sebuah badan baru yang dinamakan Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE). Pusatnya di Jakarta, dengan cabang-cabang dibeberapa daerah Jawa. Dalam sidang-sidang selanjutnya,

Sjafruddin Prawiranegara sempat memimpin salah satu sidangnya. Suasana pada

umumnya didominasi oleh para pengusaha meskipun banyak juga tokoh-tokoh

non-pengusaha yang hadir. Pada pemilihan pengurus, Sjafruddin Prawiranegara

yang saat itu menjadi pegawai pajak dan pegawai Departemen Keuangan di

Bandung terpilih sebagai ketua. Setelah rapat di Bandung dan rapat-rapat

berikutnya sampai sampai dibubarkannya organisasi ini kelak tahun 1949, di

Yogyakarta, Sjafruddin tidak pernah memimpin atau duduk di kursi ketua di

Kantor Pusat PTE Jakarta (Halilintar, 1986: 140-142).

Pada pertengahan bulan Agustus 1945, Sjafruddin sudah mendengar

tentang kemungkinan Jepang menyerah pada Sekutu. Setelah membicarakan

berita itu dengan teman-temannya, Sjafruddin dan Hasbullah Siregar diberi

kepercayaan untuk mencari keterangan lebih lanjut tentang kebenaran berita itu di Jakarta (Prawiranegara, 1972: 320).commit Sjafruddin to user dan Hasbullah berangkat ke

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Jakarta tanggal 15 Agustus dan orang yang pertama kali ditemuinya adalah Oto

Iskandar Dinata. Sewaktu mendengar berita yang disampaikan Sjafruddin dan

Hasbullah, ternyata Oto Iskandar Dinata tidak percaya dan menasehati supaya

berhati-hati berbicara dan dapat celaka jika didengar Jepang. Adanya ketakutan

seperti itu, Sjafruddin dan Hasbullah tidak terus mencoba untuk menghubungai yang lainnya, dan juga tidak berani pulang ke Bandung (Rosidi, 2011: 93-95). Sjafruddin dan Hasbullah tinggal di rumah salah seorang teman Hasbullah di Bilangan Jatinegara selama dua hari. Setelah mendengar berita penyerahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan, mereka baru berani keluar. Bagi Sjafruddin, proklamasi kemerdekaan itu merupakan puncak perjuangan pergerakan nasional sebagai keharusan sejarah dan kemerdekaan itu merupakan satu-satunya alternatif untuk keselamatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Meskipun Sjafruddin merasa bangsa Indonesia masih belum mempunyai tenaga yang terampil dan ahli dalam berbagai bidang untuk mengelola sebuah negara yang merdeka, namun menjadi yakin bahwa segala kekurangan akan segera dapat diatasi dalam perjalanan waktu. Bangsa Indonesia harus belajar bagaimana menyelenggarakan sebuah pemerintahan dan

mengelola sebuah negara (Prawiranegara, 1972: 320).

Sjafruddin menyatakan revolusi Indonesia bertujuan untuk

menghapuskan sistem penjajahan dan menyatukan seluruh bangsa Indonesia.

Tujuan dari revolusi Indonesia yakni keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.

Sistem yang diperlukan lebih lanjut ialah sistem masyarakat, susunan politik dan

ekonomi yang dapat menjamin terlaksananya keadilan sosial serta kemakmuran

rakyat yang tidak dapat dicapai pada masa lampau karena adanya kolonial-

kapitalisme Belanda. Paham yang cocok untuk kebutuhan revolusi nasional ialah

paham “sosialis religius”. Dasar dari sosialisme sebagai pedoman revolusi

nasional Indonesia itu disandarkan pada kewajiban manusia terhadap Tuhannya.

Bagi sosialisme religius, sosialisasi atau nasionalisasi dari berbagai alat produksi

masyarakat itu, bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya suatu alat atau cara mewujudkan keadilan sosialcommit dan to kemakmuran user rakyat. Sosialisasi perlu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

dilaksanakan serta harus dihubungkan dengan kondisi dan situasi (Noer, 2000:

143).

Pandangan “sosialis religius” yang dicetuskan dalam buku Politik dan

Revolusi Kita (1948) menekankan sosialisme sebagai cita-cita kemasyarakatan

berdasarkan pandangan hidup Islam. Pengaitan Sjafruddin dengan gagasan sosialisme lebih terkait dengan kritikannya terhadap komunisme. Komunisme adalah ideologi atheis yang bertentangan dengan Islam dan semua agama. Islam tidak mengakui adanya masyarakat tanpa kelas. Walaupun Islam mengakui kelas- kelas dalam masyarakat, Sjafruddin tidak menyetujui perjuangan kelas. Sjafruddin memilih cara lain, yakni menetapkan kewajiban kepada orang kaya untuk membantu orang miskin, supaya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin berkurang (Rahardjo, 2011: 90-96). Pikiran-pikiran yang disampaikan pada ceramah yang diterbitkan dengan judul “Tinjauan Singkat tentang Politik dan Revolusi Kita” sangat realistis, terus terang dan penting. Kahin menganggap tulisan Sjafruddin itu cukup penting. Disebutnya uraian itu tentang gagasan sosialis religius, pemikiran Sjafruddin terpengaruh oleh pandangan modern Islam, sedang Sjafruddin disebut sebagai

pemimpin yang sangat berpengaruh sekali dan dikatakan bahwa gagasan -gagasan

itu menyebabkan Partai Masyumi semakin berpengaruh pada waktu itu (Kahin,

1989: 102).

Sjafruddin menjadi anggota Masyumi tahun 1945 setelah

diikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang

pembentukan partai politik yang mengharuskan setiap anggota KNIP harus

memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Hidup dalam lingkungan muslim

terutama ayahnya yang saleh, maka Sjafruddin memilih masuk Masyumi.

Sjafruddin masuk dalam anggota pimpinan pusat Masyumi. Peran Sjafruddin

dalam partai Masyumi sangat besar, pemikiran Sjafruddin banyak memberikan

gambaran ideologi dan kebijakan Masyumi. Seperti pendapatnya mengenai

menjaga persatuan untuk sanggup mengorbankan supaya jangan sampai terjadi perpecahan di antara rakyat Indonesia.commit Pendapatnya to user ini menjadi salah satu asas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

Masyumi yang mengajak penganut agama lain untuk bersama-sama berada di

jalan Tuhan. Masyumi menganjurkan untuk tidak membenci partai dan

melenyapkannya (Noer, 2000: 147).

B. Peran Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia 1945-1961 1. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat Pasca diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tatanan mengenai kehidupan kenegaraan dan perlengkapan sebuah negara merdeka segera dibutuhkan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pancasila sebagai Dasar Negara, lembaga eksekutif dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden. Kabinet pun dibentuk berupa kabinet Presidensial sesuai dengan Undang Undang Dasar. Pada 19 Agustus 1945 ditetapkan bahwa adanya 12 Kementerian Negara dan wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan (Raliby, 1953: 14-15).

Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)

yang bermarkas di Jakarta. Mulai tanggal 5 Oktober BKR diubah menjadi Tentara

Keamanan Rakyat (TKR), yang nantinya pada 7 Januari 1946 TKR berubah nama

menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada 25 Januari 1946 Tentara

Keselamatan Rakyat diganti menjadi Tentara Republik Indonesia. Sejak 3 Juni

1947 ditetapkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia yang merupakan gabungan

dari laskar laskar dengan Tentara Republik Indonesia. Panitia Persiapan

Kemerdekaan yang sebelumnya bertindak sebagai penasihat presiden dibubarkan

dan sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Presiden dan Wakil Presiden melantik 135 orang. KNIP kemudian mengangkat

salah seorang anggotanya yang berasal dari tiap daerah untuk mendirikan Komite

Nasional Indonesia di daerah, yang bertugas membantu gubernur masing-masing provinsi (Poespaonagoro & Notosusanto,commit to1993: user 145 -146).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

Pembentukan Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan

dilangsungkan pada hari Jumat tanggal 24 Agustus 1945. Pengurus yang

terbentuk ialah, Niti Sumantri sebagai ketua, Ir. Oekar Bratakoesoemah sebagai

Wakil Ketua, Anwar Sutan Pamuntjak dan Hamdani sebagai anggota. Dibentuk

juga sekretariat yang pimpinannya diserahkan pada Sjafruddin. Dalam pertemuan- pertemuan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Indonesia daerah Priangan di Bandung, tidak hanya membahas persoalan setempat saja. Para anggota Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan sering mendiskusikan masalah yang bersifat nasional, untuk membantu pemerintah pusat dengan usul dan saran yang bermanfaat. Salah satu hasil pertemuan itu lahirlah usul agar pemerintah mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri, menggantikan uang Jepang yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Usul tentang pembuatan uang Republik Indonesia akan disampaikan kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta (Rosidi, 2011: 99-102). Sjafruddin bersama Oekar Bratakoesoemah menemui Mohamad Hatta dan menyampaikan tentang perlunya membuat uang Republik. Mohamad Hatta memandang tidak perlu membuat uang sendiri karena kawatir kalau dituduh

memalsukan uang oleh dunia internasional. Menurut Hatta, dilanjutkan saja

pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang waktu dan tenaga untuk

mengeluarkan uang baru. Sebagai contoh pemerintahan Bolsyewik di Rusia

tatkala pemerintahan Tsar yang berhasil digulingkan pada tahun 1917.

Permerintah komunis tidak mengeluarkan uang baru, tetapi memakai uang lama.

Sjafruddin berusaha meyakinkan Wakil Presiden dengan memberikan pendapat

bahwa contoh dari Rusia itu tidak berlaku bagi Indonesia. Pemerintah Bolsyewik

tidak mendirikan negara baru, hanya pemerintahannya yang ditukar. Di Indonesia

tidak hanya menukar pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Indonesia,

tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat.

Maka perlu adanya uang baru sebagai salah satu atribut kemerdekaan

(Prawiranegara, 1972: 323). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

Pada awal bulan Oktober 1945 beberapa anggota KNIP mengemukakan

saran untuk mengubah sistem pemerintahan Presidensil menjadi sistem

Parlementer dengan kekuasaan legislatif berada ditangan KNIP. KNIP tidak hanya

sebagai penasihat presiden, melainkan sebagai lembaga legislatif kepada siapa

kabinet harus bertangungjawab. Ditetapkan bahwa KNIP akan membentuk Badan Pekerja yang akan bertugas sebagai wakil pleno yang sulit bersidang lengkap karena anggota-anggotanya bertebaran diseluruh tanah air sedangkan perhubungan saat itu sangat sulit (Rosidi, 2011: 107). Dalam rapat Pleno KNIP pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1945, dibentuklah Badan Pekerja dengan Sutan Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifudin sebagai wakil. Seluruh Badan Pekerja terdiri atas 1 orang teramsuk ketua dan wakil ketua. Adapun kelima belas anggota Badan Pekerja itu ialah: Sutan Sjahrir(ketua), Amir Sjarifudin (wakil ketua), Mr. Suwandi, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Wachid Hasjim, Mr. R. Hindromartono, Mr. R. M. Sunaria Kolopaking, Dr. A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Tan Ling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tadjaludin, dan Dr. Sudarsono (Koesnadi Prodjo, 1951: 141). Hasil pertama Badan Pekerja KNIP ialah sebuah rancangan undang-

undang tentang pembentukan KNI di daerah-daerah dan perubahan sistem

pemerintahan dari presidensil ke parlementer dengan banyak partai. Tentang

pembentukan partai-partai dibuat maklumat yang ditandatangani oleh Wakil

Presiden, terkenal sebagai Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3

November 1945. Setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal

3 November 1945, mengenai anjuran Pemerintah tentang pembentukan Partai

Politik. Pembentukan partai-partai ini untuk memperlihatkan kepada luar negeri

bahwa Indonesia benar-benar menjunjung demokrasi dengan menciptakan sistem

multi partai. Sebab ada kekuatiran dari kalangan kaum intelektual khususnya

Sjahrir dan pengikut-pengikutnya bahwa jika hanya satu partai politik saja, nanti

akan dipandang sebagai negara totaliter buatan Jepang (Prawiranegara, 1986:

256). Pendirian Partai-Partai politik ini pula hendaknya memperkuat perjuangan, mempertahankan kemerdekaan dancommit menjamin to user keamanan masyarakat. Pemerintah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah

dapat dipimpin kejalan yang teratur. Pemerintah berharap supaya partai-partai

tersusun sebelum pelaksanaan Pemilihan anggaota Badan-Badan Perwakilan

Rakyat pada bulan Januari 1946 (Koesnadi Prodjo, 1951: 76).

Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Pembentukan partai politik ini menimbulkan kebingungan dalam diri Sjafruddin, akan memilih partai Sosialis atau Masyumi. Sutan Sjahrir bersama kelompoknya mencalonkan Sjafruddin sebagai anggota Badan Pekerja KNIP atas dasar keyakinan yang sepaham, dan setelah pembentukan partai wajar jika mengharapkan Sjafruddin masuk dalam partai yang dibentuk Sjahrir, yakni Partai Sosialis. Tetapi Sjafruddin pun sadar sebagai muslim, akan keluarganya yang taat menjalankan syariat, ayahnya yang rajin beribadah dan meninggal pada saat sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’an. Sepantasnya Sjafruddin masuk Masyumi. Tetapi jika masuk Masyumi, akan mengecewakan orang-orang yang sudah menaruh simpati dan kepercayaan padanya. Jika menjadi anggota Partai Sosialis, Sjafruddin merasa mengkhianati

ayahnya (Rosidi, 2011: 110-111). Rasa cinta kepada orang tuanya terutama

kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka pilihannya jatuh pada Masjumi.

Sadar akan kekurangan pengetahuan tentang Islam, Sjafruddin berjanji akan

memperbaiki kelemahan-kelemahan itu dengan mempelajari Bahasa Arab

(Prawiranegara, 1986: 256).

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dibentuk pada tanggal 7

November 1945 (Raliby, 1953: 84) yang meliputi praktis semua organisasi-

organisasi Islam yang berarti kecuali Perti yang organisasi dan pengaruhnya

terutama di Sumatera Barat (Prawiranegara, 1986: 256). Masyumi secara

organisasi adalah sebuah badan federasi, di dalamnya terdapat anggota biasa

(perorangan), dan anggota luar biasa (kolektif), seperti Muhammadiyah dan NU.

Sjafruddin masuk Masyumi melalui perorangan. Dalam Dewan eksekutif yang umumnya terdiri dari kelompok moderniscommit to terdapatuser dua atau tiga kelompok yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

mempunyai orientasi ideologi politik yang sedikit berbeda. Menurut Abu Hanifah

kelompok pemikir terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih

muda seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Kasman, Jusuf

Wibisono dan Abu Hanifah sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk

kedalam sosialis religius (Maarif, 1985: 112-113).

2. Menteri Keuangan Pada kabinet pertama setelah sistem pemerintahan menjadi Parlementer, Sjahrir ditunjuk sebagai formatur kabinet pada tanggal 14 November 1945 (Ricklefs, 1991: 327). Sjahrir mencari Mentri Keuangan dan ditawarkan pada Sjafruddin, namum ditolak. Sjafruddin merasa belum pantas untuk memikul tanggungjawab sebesar itu, belum cukup pengalaman dalam keuangan, dan tidak pernah berkecimpung dalam politik (Thee Kian Wie, (ed)., 2005:41). Sjahrir menyerahkan mandatnya pada Presiden pada bulan Februari 1946 karena tidak mendapat kepercayaan dari KNIP (Rosidi, 2011: 113). Presiden menerima penyerahan itu, namun untuk kedua kalinya Sjahrir ditunjuk sebagi formatur. Dalam kabinet Sjahrir ke-2 yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946, Sjafruddin

duduk sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada tanggal 2 Oktober 1946 Kabinet

Sjahrir III dilantik. Pada Kabinet Sjahrir III ini Sjafruddin duduk sebagai Menteri

Keuangan (Raliby, 1953:419).

Wakil presiden menyetujui gagasan yang dikemukakan delegasi dari

Bandung untuk membuat uang Republik Indonesia yang baru menggantikan uang

Jepang, maka masalah itu secara teknis selanjutnya diserahkan kepada

Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis, pada tanggal 7

November 1945 membentuk suatu panitia yang dinamakan Panitia Penyelenggara

Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh T. R. B.

Sabaruddin, Direktur Bank Rakyat Indonesia. Tugasnya ialah menyelenggarakan

segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Ketika ditawari untuk

menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III, Sjafruddin menyatakan kesediannya. Salah satu faktornyacommit ialah to user karena Sjafruddin ingin segera

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

mempercepat proses pencetakan “Oeang Republik Indonesia” (ORI). Sjafruddin

yakin bahwa terwujudnya ORI dapat menjadi alat perjuangan yang ampuh dalam

mencerminkan eksistensi negara Republik Indonesia yang berdaulat dan besar

pula artinya untuk membiayai perjuangan seperti menggaji pegawai negeri dan

tentara, membeli perlengkapan administrasi pemerintah dan lain-lain. Keluarnya ORI bukanlah tujuan utama. Tujuan ini baru akan tercapai apabila ditempuh dengan kerja keras yang ditinjau dari sudut ekonomi berarti meningkatkan produksi, bukan dengan mencetak uang (Rosidi, 2011: 127-137). Dalam pelaksanaan tugasnya, panitia menghadapi kesulitan dan rintangan. Pencetakan ORI menggunakan alat yang harus dicari di dalam negeri. Tidak mungkin mendatangkan mesin pentjetak uang dari luar negeri melihat kondisi saat itu (Sikap, Bagian III no 11-24 Maret1949). Kesukaran memperolah bahan-bahan baku yang diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat lainnya seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Pembuatan klise dikerjakan di percetakan de Unie dan percetakan Balai Pustaka. Pembuatan gambar lithografi dilakukan di percetakan de Unie. Percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan

pertama-pertama mencetak lembaran uang seratus rupiah (Rosidi, 2011: 129).

Terjadinya pertempuran Surabaya November 1945 dan kondisi politik Indonesia

saat itu menyebabkan pencetakan uang yang beberapa bulan dilaksanakan di

Jakarta dipindahkan ke pedalaman dengan alat yang serba kurang lengkap (Sikap,

24 Maret 1949).

Pihak Inggris yang pro Belanda memberikan pendapat tentang rencana

pemerintah mengeluarkan uang sendiri, bahwa lebih baik menerima uang Hindia

Belanda karena mempunyai kurs internasional, dan dapat dipergunakan untuk

membayar keluar negeri. Ditambahkan, kalau pemerintah RI mengeluarkan uang

sendiri, uang itu tidak laku di luar negeri. Pada kenyataannya uang NICA

sekalipun mempunyai kurs internasional tidak diterima dan ditolak oleh rakyat.

Uang Jepang ditarik, sebagai gantinya, ORI yang diterima penuh kepercayaan oleh rakyat. Penolakan terhadapcommit uang to Belanda user merupakan suatu bukti nyata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

bahwa selain ORI uang lain sudah tidak dapat dijadikan alat penukar. Oleh karena

itu, tidak perlu uang yang memiliki kurs luar negeri, yang dibutuhkan adalah uang

yang diterima rakyat (Kedaulatan Rakyat, 26 Desember 1945).

Pada tanggal 29 sampai 30 Oktober 1946 uang yang dibuat sendiri oleh

pemerintah Republik Indonesia dikeluarkan secara resmi sebagai alat penukaran, alat pembayaran yang sah, dan alat pengukur harga di seluruh wilayah yang secara de facto berada dibawah kekuasaan negara Republik Indonesia, yaitu Jawa, Madura dan Sumatra. Sebelum ORI dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit sekali menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menggantinya dengan uang baru, yang mempunyai harga tinggi serta dapat diawasi peredarannya (Sikap, 12 Maret 1949). Langkah pertama dimulai tanggal 22 Juni 1946 pemerintah Republik Indonesia melarang orang Indonesia membawa uang lebih dari ƒ 1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah- daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin lebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Demikian juga dilarang membawa uang dari luar masuk ke

pulau Jawa dan Madura melebihi ƒ 5.000 uang Jepang tanpa seijin Menteri

Perdagangan dan Perindustrian. Mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura,

seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat,

perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus disimpan pada bank-bank

yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank

Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai (Beng To,

1991: 76-77).

Pengeluaran ORI didasarkan atas dua undang-undang yaitu pertama

Undang-Undang no. 17/1946 tertanggal 1 Oktober 1946 yang berisi pemerintah

akan mengeluarkan uang sendiri yakni Uang Republik Indonesia, sedangkan

tentang bentuk, warna, harga uang tersebut dan lain-lain yang berhubungan

dengan pengeluaran uang itu pengaturannya diserahkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Kedua Undangcommit-Undang to user no 19/1946 yang diumumkan tanggal

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

24 Oktober 1946 disebut sebagai Undang-Undang tentang pengeluaran Uang

Republik Indonesia, mengatur dasar nilai uang baru dengan uang Jepang, tentang

pembayaran hutang lama yang belum lunas pada waktu berlakunya ORI, tentang

uang Jepang yang masih berlaku sekarang, dan pengaturan harga-harga

maksimum bagi barang-barang yang dipandang perlu yang penetapannya diserahkan kepada Menteri Kemakmuran. Dasar nilai ditentukan 10 rupiah ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram. Emas murni jang dimaksud dalam pasal ini yaitu emas 24 karat. Sebagai dasar penukaran 50 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura serta 100 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Sumatera (Arsip Kementerian Penerangan no 1). ORI berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 29 malam 30 Oktober 1946 jam 24.00. Pada saat itu juga menurut putusan tersebut ORI menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di daerah Republik di Jawa dan Madura. Di Sumatera, peredaran ORI, karena kesukaran-kesukaran dalam lapangan tehnik (kesulitan mengadakan pengangkutan dan menjamin keamanannya) tidak dapat diadakan dengan segera. Di Sumatera uang Jepang

masih terus berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, di samping uang

sementara (Uang Republik Indonesia untuk provinsi Sumatera) sampai kira kira

pertengahan tahun 1948 (Sikap, 12 Maret 1949).

Pada awal penyebarannya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang

No. 19/1946 yang memuat tentang pembagian uang sebesar 1 rupiah ORI pada

setiap orang, dan ditambah 3 sen untuk tiap kepala keluarga. Uang itu

dimaksudkan sebagai modal untuk setiap orang. Adapun pertimbangan

pemerintah mengenai jumlah uang 1 rupiah tersebut adalah dengan dasar bahwa

pada saat itu setiap orang mempunyai uang tunai sebesar 50 rupiah uang

Pendudukan Jepang, yang sebelumnya sudah diputuskan. Pembagian uang

dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan di seluruh Jawa

dan Madura. Pembagian uang baru diberikan langsung kepada masyarakat secara commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

merata sebagai imbalan atas uang lama yang tidak berlaku lagi, dan juga agar

masyarakat tidak dirugikan (Nurhajarini, 2006: 36).

Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, sebelum keluarnya ORI, Wakil

Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara

menyampaikan pidato melalui RRI. Dalam pidato itu disampaikan pemberitahuan tentang keluarnya dan diresmikannya ORI pada pagi hari tanggal 29 Oktober 1946 sebagai alat pembayaran yang sah. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan menyampaikan pesan guna mengurangi keguncangan ekonomi dengan keluarnya ORI tersebut. Isi pesan Sjafruddin antara lain mengajak rakyat untuk berhemat, bagi perusahaan-perusaan terutama toko-toko, warung-warung jangan menjual barang terlalu banyak untuk keperluan sehari-hari dan jangan menutup toko, pembeli dibatasi, toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan untuk menyimpan uangnya di bank-bank sampai tanggal 30 Oktober 1946, memberi kelebihan persediaan makanan kepada tetangga yang kekurangan, jangan pergi ke bank untuk jumlah kecil untuk mencari untung, tetapi harus berani menderita kerugian (Prawiranegara, 2011: 32). ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, maka untuk mengatasi kesullitan

keuangan, pada akhir tahun 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis

uang sendiri. Diantaranya, ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi

Sumatra), URISU (Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara), URIDJA (Oeang

Repoeblik Indonesia daerah Djambi), URIDA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah

Aceh), ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia daearah Tapanuli), dan Uang Mandat

yang dikeluarkan oleh Dewan Perahanan daerah sumatra Selatan. Bahkan daerah

Banten yang terisolasi, dikeluarkan URIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia daerah

Banten) (Beng To, 1991: 71).

Di wilayah Indonesia tidak hanya ada satu jenis uang. Pihak NICA

(Belanda) mengeluarkan uang baru sendiri yang dinamakan uang NICA.

Peredaran uang NICA bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kesukaran bagi

rakyat, khususnya penduduk daerah perbatasan anatara daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasaicommit Republik. to user Pada satu pihak penduduk takut

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA, dipihak lain takut pula diketahui

memiliki uang NICA oleh pasukan Republik. Ternyata makin lama uang Republik

makin populer dikalangan rakyat (Rosidi, 2011: 141).

ORI dalam sejarah kemerdekaan Indonesia telah menjalankan peranan

sebagai alat yang mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama dengan pemerintah Republik yang masih muda itu berjuang mempertahankan dan menegakkan negara Indonesia. Dengan kata lain ORI telah berperan sebagai alat perjuangan kemerdekaan, baik dalam menghimpun tenaga maupun dalam membiayai berbagai macam keperluan negara. ORI berfungsi juga sebagai alat revolusi yang mendukung dan memungkinkan pemerintah Indonesia mangatur administrasinya, mengorganisasi dan memperkuat tentaranya, memelihara keamanan dan ketertiban, mengurus kesejahteraan rakyat dalam menentang agresi Belanda (Beng To, 1991: 69-84). ORI telah berfungsi tidak hanya sebagai alat pembayaran yang sah, alat penukaran, alat pengukur harga, alat pembayaran yang mempunyai tenaga pembeli jauh lebih besar dari uang Jepang yang baru saja dicabut dari peredaran di daerah Republik Indonesia, melainkan ORI adalah Uang Republik Indonesia.

Negara baru dengan segala cita-cita dan semangat yang terkandung didalamnya.

Belum pernah dalam sejarahnya rakyat Indonesia mengalami uang yang memuat

gambar seorang dari bangsanya sendiri sebagai kepala negara (Sikap, 31 Maret

1949).

3. Sebagai Menteri Kemakmuran

Presiden Soekarno mengangkat Mohammad Hatta sebagai formatur

kabinet setelah Amir Sjarifuddin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri.

Alasan Amir Sjarifuddin mengundurkan diri karena masyarakat sudah tidak

mempercayai lagi kepemimpinan berpolitiknya, baik melalui delegasi partai-partai

yang terdiri dari Masyumi dan PNI, maupun langsung kepada Perdana Menteri

melalui demonstrasi secara tertib ke Istana Negara. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948,commit Mohammad to user Hatta sendiri sebagai Perdana

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Dr. Soekiman Wirjosandjojo sebagai

Menteri Dalam Negeri, H. Agoes Salim sebagai Menteri Luar Negeri, M. Natsir

sebagai Menteri Penerangan, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri

Kemakmuran, dan K.H. Masjkur yang menjadi Menteri Agama (Kahin, 292-293).

Program kabinet Hatta ialah melaksanakan Persetujuan Renville yang dibuat oleh Amir Sjarifuddin dengan perantaraan Komisi Tiga Negara (KTN), mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat, melakukan reorganisasi dan rasionalisasi dalam tubuh ketentaraan dan sedapat mungkin menyelenggarakan pembangunan ekonomi. Sebagai Menteri Kemakmuran, Sjafruddin mendapat tugas untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk perekonomian (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 151). Pada awal tahun 1948 keadaan perekonomian rakyat di daerah Republik Indonesia sangat buruk sekali. Agresi Militer Belanda mengakibatkan berbagai daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti daerah perkebunan, kawasan industri dan pelabuhan jatuh ketangan Belanda. Blokade ekonomi atas daerah perairan yang dikuasai Republik Indonesia mengakibatkan lumpuhnya kegiatan perdagangan dan sulitnya pemasukan uang ke kas negara (Ricklefs, 1991:338-

339). Sementara itu pihak Belanda pun mengacaukan nilai uang Republik

Indonesia dengan jalan mencetak dan mengedarkan ORI palsu sehingga ORI

mengalami inflasi yang hebat. ORI itu tidak memenuhi syarat penting yang harus

ada pada tiap macam uang yaitu harus sukar sekali dipalsu orang. Kekurangan ini

tidak dapat dibebankan kepada pengusaha-pengusaha yang mencetak uang

tersebut, karena mencegahnya itu di luar kemampuan pencentaknya. Demikian

maka mudah sekali Belanda mencetak uang palsu di dalam peredaran (Sikap, 24

Maret 1949).

Menghadapi situasi yang demikian, Sjafruddin Prawiranegara sebagai

Menteri Kemakmuran melakukan usaha-usaha seperti mengeluarkan Peraturan

Pemerintah nomor 5 tahun 1948 tertanggal 22 Maret 1948 tentang pengumpulan

bahan makanan rakyat oleh pemerintah. Peraturan ini dimaksudkan untuk menjaga persediaan bahan makanancommit yang to cenderung user semakin menipis dan terjadi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

pula pemindahan makanan ke daerah pendudukan Belanda. Pada tanggal 9 Juli

1948 ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 15 untuk menghitung ternak berupa

kuda, kerbau, kambing, domba dan sapi. Peraturan ini dikeluarkan dengan

pertimbangan bahwa untuk memajukan perekonomian perlulah diketahui jumlah

ternak yang sebenarnya yang ada di seluruh daerah Republik. Data statistik tersebut dapat dijadikan dasar rencana pekerjaan dalam pembangunan, baik dalam lapangan peternakan, lapangan pertanian maupun lapangan perekonomian rakyat pada umunya. Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1948 tentang pemberantasan penimbunan barang-barang penting seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula, minyak tanah, jagung, gaplek, tapioka, garam, kopi dan teh. Peraturan ini ditetapkan untuk memberantas penimbunan bahan makanan penting supaya peredaran barang-barang tersebut berjalan lancar (Rosidi, 2011: 163). Program lain Kementerian Kemakmuran yang lain adalah memberikan kepada rakyat kesempatan yang sepenuh-penuhnya untuk berusaha sendiri. Caranya ialah dengan melakukan propaganda dan mencetak berbagai buku tentang pembuatan bermacam-macam barang keperluan hidup sehari-hari, seperti cara membuat sabun, gelas, sikat gigi dan sebagainya. Mengadakan transmigrasi

besar-besaran ke Sumatera. Kalau bisa akan dilakukan dalam sepuluh tahun

sepuluh juta pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera. Di berbagai daerah

telah dilaksanakan dengan menggali waduk-waduk dan memperbaiki usaha irigasi

yang sudah ada. Berusaha sekeras-kerasnya untuk memperbesar produksi.

Pendapat Sjafruddin tentang program yang dibuat, sebagian besar penduduk

Indonesia adalah tani dan tani ini hampir semua tergabung dalam persatuan tani.

Oleh karena kebanyakan rakyat Indonesia beragama Islam, dengan demikian

Sjafruddin yakin bahwa selama mentri kemakmuran dari Masjumi tentu program

ini dapat dijalankan dengan pertolongan penuh dari pihak rakyat (Arsip

Kementerian Penerangan No 216).

Pandangan mengenai kapital asing menurut Sjafruddin sama sekali tidak

keberatan bahwa kapital asing masuk di Indonesia, syaratnya rakyat Indonesia jangan menderita. Untuk membanguncommit negara to user yang masih muda ini dibutuhkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

sekali kapital asing misalnya untuk usaha membangun yang sangat membutuhkan

banyak mesin-mesin dari luar (Arsip Kementerian Penerangan No 216).

Kesulitan yang dihadapi Menteri Kemakmuran dalam usahanya

menyehatkan dan meningkatkan perekonomian rakyat dan negara adalah dengan

rasionalisasi yaitu penyesuaian antara beban kerja dengan jumlah karyawan. Namun program rasionalisasi sukar dilaksanakan karena terpaksa mengurangi karyawan. Tindakan ini akan menimbulkan gejolak hebat dari kaum buruh yaitu peristiwa pabrik karung Delanggu, Klaten yang terjadi pada tanggal 26 Februari 1948 yang dipimpin OBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Sikap terbuka dan kesediaan pemerintah menyelesaikan kasus Delanggu itu ternyata tidak mendapat sambutan baik dari pihak penuntut (buruh). Pihak penuntut melontarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap pemerintah dan orang-orang dari kalangan pemerintah (BTN). Jelaslah bahwa kasus Delanggu bukan hanya masalah buruh, melainkan telah berkembang menjadi masalah politik yang berkaitan dengan sikap oposisi dengan golongan kiri yang bergabung dibawah naungan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948, terhadap

Kabinet Hatta (Rosidi, 2011: 164-167).

Selama beberapa bulan pihak FDR telah menghasut dan menyiarkan

berita-berita bohong terhadap dan tentang pemerintah. Untuk itu, menurut

Sjafruddin penting dikemukakan tentang politik perekonomian pemerintah

Republik Indonesia yang prinsipnya berbeda dengan politik kolonial Belanda.

Belanda kolonial mengutamakan kepentingan negeri Belanda dan warganya

dengan menjalankan politik perekonomian yang bersifat export bahan-bahan

mentah untuk pasar dunia. Politik ini dijalankan dengan konsekuen dan

berpedoman mendapat keuntungan sebesar-besarnya untuk kaum modal barat

(Belanda): upah pekerja dan sewa tanah untuk perusahaan-perusahaan

dipertahankan serendah-rendahnya; pengangkutan bahan dari Indonesia sedapat

mungkin dikerjakan oleh maskapai-maskapai Belanda; penjualan bahan ke pasar commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

dunia sebanyak mungkin dijalankan lewat negeri Belanda, sehingga keuntungan

menjadi berlipat ganda (Arsip Kementerian Penerangan no 139).

Sebaliknya pemerintah Republik Indonesia sebagai suatu pemerintah

nasional, suatu dari, oleh, dan untuk rakyat, dalam segala tidakan-tindakannya

terutama berpedoman pada kepentingan rakyat banyak. Begitupun politik ekonominya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, sehingga perekonomian yang berdasar export, sedang keperluan barang-barang penting guna hidup rakyat sehari-hari digantungkan pada import, ditinggalkan sama sekali. Export masih perlu, yaitu untuk membiayai import barang-barang yang memang tidak/belum mungkin dibuatnya dinegeri kita sendiri dan untuk membiayai keperluan-keperluan kota di luar negeri. Akan tetapi yang didahulukan ialah membangun industri. Disamping membangun industri, maka transmigrasi secara besara-besaran dari Jawa ke Sumatera dan pulau-pulau lain, akan memberi perluasan tanah kepada petani di Jawa dan akan membuka tanah-tanah baru yang amat subur (Arsip Kementerian Penerangan no 139). Menasionalisir seluruh perusahaan bangsa asing tidak mungkin dan tidak perlu karena sempitnya keuangan negara; Perusahaan yang dinasionalisir pada

masa sekarang tidak selalu memberi jaminan memberi faedah yang sebesar-

besarnya. Sering lebih efisien dalam tangan partikelir tetapi dibawah pengawasan

negara; Banyak perusahaan-perusahaan asing berdasar atas export ekonomi lama

yang tidak cocok dengan politik ekonomi pemerintah sekarang. Modal asing

dibutuhkan oleh Indonesia, perlu pada modal tersebut diberikan kemungkinan

mendapat keuntungan yang cukup besar untuk menarik modal asing (baru) ke

Indonesia. Supaya modal asing itu tidak akan merajalela disini, dengan

menetapkan syarat-syarat mengenai jaminan buruh, sewa tanah dan sebagainya

(Undang-Undang Sosial). Pemerintah tidak menghalang-halangi gerakan buruh

dan tani, bahkan sebaliknya: pemerintah menghendaki gerakan buruh dan tani

yang kuat (Arsip Kementerian Penerangan no 139).

4. Memimpin Pemerintahancommit to Darurat user Republik Indonesia

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

Pemerintah Republik Indonesia dengan segenap bangsa Indonesia

sebenarnya tidak dapat menerima Persetujuan Renville. Oleh karena itu

Pemerintah Republik Indonesia dengan Kabinet Hatta ketika telah mengadakan

persiapan-persiapan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan datangnya

serangan-serangan dan aksi militer dari pihak Belanda dengan tiba-tiba. Sehubungan dengan itulah maka dalam bulan November 1948 Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta beserta Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara telah mengadakan perjalanan ke Bukittinggi di Sumatera Tengah (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia berada di Bukittinggi untuk meninjau keadaan kemakmuran di Sumatera (Rasjid, 1982: 10) dan untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat di Sumatera seandainya ibukota Republik jatuh ke tangan Belanda (Kahin, 2005: 211). Selain Sjafruddin, ada pula Mr. Lukman Hakim (Komisaris Negara Urursan Keuangan), dan Ir. Mananti Sitompul (Pegawai Tinggi Jawatan Pekerjaan Umum) (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 60). Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan mendadak

di lapangan terbang Maguwo dengan mengkhianati Persetujuan Renville . Gerakan

ke Yogya dimulai pukul 12.00 pada waktu pertempuran di Maguwo masih

berlangsung, Belanda menembaki beberapa bangunan penting dalam kota Yogya.

Yang menjadi sasaran utama ialah Markas Besar Komando Djawa (MBKD),

Markas Besar AURI, dan gedung-gedung disekitar Istana Presiden (Imran,

Djamhari, dan Chaniago, 2003: 43). Belanda yakin dengan ditangkapnya Bung

Karno dan Bung Hatta dan sebagian besar pemimpin-pemimpin yang lainnya

yang merupakan inti dari pimpinan pusat Republik, Republik Indonesia tidak ada

lagi (Prawiranegara, 1986: 241). Pembatalan secara sepihak atas Perjanjian

Renville diumumkan jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948, jadi hanya beberapa

jam sebelum melakukan agresi. Pihak Belanda tentu saja sengaja melakukan hal

itu supaya penyerangannya ke kota Yogyakarta mengejutkan tentara Indonesia sehingga dapat dengan mudah dilumpuhkancommit to user(Rosidi, 2011: 174-175).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

Dalam suasana pertempuran pada tanggal 19 Desember 1948 itu, kabinet

RI masih sempat mengadakan sidang kilat istimewa di Istana Negara Yogyakarta

(Moehadi, 1981:17). Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pemerintah akan

tetap tinggal di dalam kota. Keputusan penting yang lain yaitu memberikan

mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu sudah ada di Bukittinggi untuk memebentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera jika dalam keadaan mendesak pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi. Mandat lainnya diberikan kepada dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis dengan alamat New Delhi (India) untuk membentuk pemerintahan di luar negeri jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Rasjid, 1982: 19-21). Menurut Mohammad Hatta kemudian, dipilihnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat adalah dengan pertimbangan bahwa Sjafruddin yang dipandang oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta anggota kabinet yang paling cakap dan paling cepat bergerak (Rosidi, 2011: 177). Keputusan untuk memberikan mandat kepada Sjafruddin, dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa Pemerintah Pusat Republik Indonesia

yang berada di Yogyakarta tidak mungkin lagi meneruskan tugas-tugasnya

memimpin bangsa dan negara Indonesia, disebabkan serdadu-serdadu Kolonial

Belanda sudah memasuki kota Yogyakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No

14).

Pemboman serentak oleh Belanda atas Yogyakarta dan Bukittinggi pada

hari minggu pagi tanggal 19 Desember 1948 tidak diduga. Setelah Bukittinggi di

bom oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda pada hari minggu tanggal 19

Desember 1948 itu juga, maka pada sorenya Menteri Kemakmuran Sjafruddin

Prawiranegara dan Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel R. Hidajat,

mengunjungi ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr. T.M. Hasan

untuk mengadakan perundingan Yogjakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No

14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan bahwa karena belum diketahui nasib pemimpin-pemimpin pemerintahancommit to di user Yogyakarta, apakah tidak lebih baik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

didirikan Pemerintahan Darurat yang diketahui oleh Sjafruddin sendiri karena saat

itu Sjafruddin merupakan salah satu anggota Kabinet Hatta. Menjadi wakilnya

adalah T.M Hasan. Keputusan ini belum dapat diambil, karena teman-teman

sejawat yang lain perlu diminta pendapat (Rasjid, 1982: 11).

Sjafruddin hampir tidak percaya berita tentang jatuhnya Ibukota Yogyakarta dan tertangkapnya Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pembesar tinggi lainnya. Sjafruddin menduga berita radio tersebut hanya propaganda Belanda. Karena kurang pasti dengan legalitas kekuasaannya, Sjafruddin menunda pembentukan Pemerintah Darurat (Kahin, 2005: 212). Gagasan untuk membentuk PDRI diambil didasarkan rasa tanggungjawab terhadap kelanjutan perjuangan kemerdekaan yang telah membawa korban begitu banyak. Perjuangan itu tidak boleh dihentikan begitu saja dengan ditawannya Presiden, Wakil Presiden dan anggota kabinet RI lainnya. Menghentikan perjuangan berarti pengkhianatan pada cita-cita semula dan terhadap korban yang telah mati, cacat seumur hidup di medan juang. Sambil menunggu konfirmasi lebih lanjut dari Yogyakarta, Sjafruddin mengambil inisiatif untuk bergerak (Rosidi, 2011: 179).

Pemerintah Daerah Sumatera Barat di Bukittinggi di bawah pimpinan

komisaris negara/residen telah mengadakan pula musyawarah dengan segenap

lapisan masyarakat, pimpinan-pimpinan jawatan dan angkatan perang RI. Setelah

memberi petunjuk kepada segenap aparat pemerintahan maupun kepada rakyat di

Bukittinggi akan tetap tinggal di dalam kota, maka dilancarkan bumi hangus dan

kemudian kota Bukittinggi dinyatakan sebagai kota terbuka (Arsip Sjafruddin

Prawiranegara No 14).

Tokoh-tokoh di Bukittinggi sepakat untuk meninggalkan kota. Dengan

demikian mereka terhindar dari penangkapan Belanda dan selanjutnya

mempunyai kesempatan untuk melanjutkan perjuangan. Pengungsian para pejabat

pun diatur. Gubernur Sumatera Tengah M. Nasrun dan Ketua DPRST Ilyas

Yacoub disertai beberapa pejabat lain dengan kawalan pasukan Brimob mengungsi ke Lubuk Sikaping. commit PTTS Kol to useronel Hidayat bergerak ke Utara dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

selanjutnya menetap di Aceh. Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lain

termasuk T. M. Hasan mengungsi ke Halaban (Imran, Djamhari, dan Chaniago,

2003: 81).

Di dusun Halaban pada tanggal 22 Desember 1948 jam 03.00 rombongan

Mr. Sutan Mohamad Rasjid bertemu dengan rombongan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Ada pula Ketua Kompempus untuk Sumatera Mr. T. M. Hasan, Komisaris Negara Urusan Keuangan Mr. Lukman Hakim dan stafnya, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Ir. Indratjaja, Kepala Djawatan PU Sumatera Ir. Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Hazir, Kolonel Laut Adam, Kolonel Udara H. Soejono, M. Danu Broto, Direktur BNI, Mr. A. Karim, Kepala Djawatan Kooperasi Pusat Rusli Rahim, Koordinator Kementerian Kemakmuran untuk Sumatera Mr. Latif, semuanya masing-masing dengan stafnya (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Setelah rombongan berkumpul, rapat segera dimulai. Waktu menunjukkan pukul 04.30 tanggal 22 Desember 1948. Kesepakatan yang kemudian disetujui bersama untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 82). Lahirnya PDRI semata-

mata menjamin kelangsungan hidup Republik Indonesia dan memenuhi tuntutan

hukum internasional. Seperti diketahui bahwa menurut hukum internasional, satu

negara terdiri atas 3 unsur pokok yaitu, satu wilayah, sejumlah penduduk, dan

pemerintahan. Serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 hendak

menghancurkan pemerintahan Indonesia untuk menghilangkan salah satu syarat

hukum internasional, sehingga Republik Indonesia tidak lagi menjadi suatu

negara. Itulah salah satu peranan penting PDRI (Rasjid, 1982: 13-14). Lahirnya

PDRI atas kehendak dan inisiatif dari pemuka-pemuka Pemerintahan di Sumatera,

didorong oleh rasa tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup Republik

Indonesia dan untuk melanjutkan Perjuangan (Prawiranegara, 1986: 242).

Adapun susunan dari PDRI sebagai berikut:

a. Ketua, merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Sjafruddin Prawiranegara. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

b. Wakil ketua, merangkap menteri kehakiman, Mr. Soesanto Tirtoprodjo.

Setelah terdengar kabar bahwa sdr. Supeno gugur karena dibunuh Belanda,

maka Beliau merangkap juga Menteri Pembangunan dan Pemuda.

c. Menteri Luar Negeri, Mr. A. A. Maramis.

d. Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan, dr. Soekiman. e. Menteri Keuangan, Mr. Loekman Hakim. f. Menteri Kemakmuran (termasuk pmr), I. Kasimo. g. Menteri Agama, Masjkoer. h. Menteri Pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. TM. Hasan. i. Menteri Perhubungan, Ir. Indratjaja. j. Menteri Pekerjaan Umum Ir. Sitompoel. k. Menteri Perburuhan dan Sosial, Mr. ST. Mohd. Rasjid. Menteri-menteri yang ada di Jawa melakukan pekerjaan komisariat pemerintah pusat yang dapat memutuskan segala urusan yang khusus mengenai Jawa (Arsip M. Rasjid no 57). Setelah diadakan perundingan, dilanjutkan untuk penyempurnaan pemerintahan yang selaras dengan keadaan saat ini, susunan PDRI dirubah dan

diperlengkap dengan memasukkan menteri-menteri yang sekarang di Jawa masih

dapat melakukan kewajibannya sebagai para anggota juga. Kabinet itu dapat

disusun sebagai berikut: Mr. Sjafruddin prawiranegara sebagai ketua, Menteri

Pertahanan dan Penerangan; Mr. AA. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri; dr.

Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan; Mr. Lukman Hakim

sebagai Menteri Keuangan; I. Kasimo sebagai Menteri Kemakmuran termasuk

PMR; Mr. sebagai Menteri Kehakiman; Maskur sebagai

Menteri Agama; Mr. Teuku Mohamad Hasan sebagai Menteri Pengajaran

Pendidikan dan Kebudayaan; Ir. Indradjaja sebagai Menteri Perhubungan; Ir.

Sitompul sebagai Menteri Pekerdjaan Umum; Mr. St. Moh Rasjid sebagai Menteri

Perburuhan dan Sosial; Supeno sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda.

Kementerian PMR dihapuskan dan urusan PMR dimasukkan dalam kementerian kemakmuran (Arsip M. Rasjid no.44).commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

Menanggapi surat dari PDRI, Kasimo setuju dengan susunan baru dari

PDRI dan dengan nama darurat. Ketika anggota-anggota kabinet yang ada di Jawa

belum berkumpul disatu tempat, hendaknya tiap-tiap menteri di Jawa dalam

keadaan mendesak diberi hak mengatur soal yang masuk kekuasaan menteri lain

yang bertindak atas nama menteri lain (misalnya, saya sendiri sampai kini sering bertindak pada lapangan kementerian penerangan (Arsip M. Rasjid No 80). Dalam sidang pada tangal 16 Mei 1949 telah diputuskan oleh PDRI bahwa segala urusan yang mengenai Sumatera diselesaikan oleh para anggota yang berada di Sumatera, yang disamping kewajibannya masing-masing diserahi pula urusan-urusan yang termasuk kewajibannya salah seorang anggota PDRI di luar sumatera, yakni sebagai berikut: a. Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua, Menteri Pertahanan dan Penerangan mewakili Menteri Luar Negeri) b. Mr. Teuku Mohamad Hasan (Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mewakili Menteri Dalam Negeri dan Agama) c. Mr. St. Mohamad Rasjid

(Menteri Perburuhan dan Sosial mewakili Menteri Pembangunan dan Pemuda

serta mengurus soal-soal keamanan)

d. Mr. Likman Hakim

(Menteri Keuangan mewakili menteri Kehakiman)

e. Ir. Sitompul

(Menteri Pekerdjaan Umum mewakili Menteri Kesehatan)

f. Ir. Indradjaja

(Menteri Perhubungan mewakili Menteri Kemakmuran) (Arsip M. Rasjid No

80).

Menyambung pengumuman pada tg 19 Bulan Mei no 457/pem/pdri

mengenai pembagian pekerjaan antara anggota-anggota PDRI di Sumatera maka

perlu kiranya ditegaskan, bahwa segala urusan yang khusus mengenai Jawa diselesaikan oleh para menteri yangcommit berada to diuser Jawa, yakni:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

a. Mr. Soesanti Tirtiprodjo - Menteri Kehakiman

b. I. Kasimo - Menteri Kemakmuran

c. Hadji Maskoer - Menteri Agama

Urusan Dalam Negeri sementara dipegang oleh R. P . Putusan-

putusan yang mengenai politik umum diambil bersama-sama oleh menteri-menteri di Sumatera dan Jawa seperti umum mengetahui Menteri Luar Negeri Mr. A. Maramis masih berada di Luar Negeri (Arsip M. Rasjid No 80). Selain mengangkat para menteri tersebut diangkat pula beberapa pejabat lain. Marjono Danubroto ditetapkan sebagai Sekretaris PDRI. Jenderal Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar Angkat Perang RI, sedangkan Kolonel Hidayat ditetapkan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS). Kolonel Laut M. Nazir sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Muda Hubertus Soejono sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, dan Komisaris Besar Umar Said sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara. Jabatan Menteri Luar Negeri kemudian di serahkan kepada Mr. A. A. Maramis. Maramis diberi wewenang untuk mewakili PDRI dalam persoalan luar negeri. Maramis juga diminta agar selalu mengadakan hubungan dengan PDRI untuk menyampaikan masalah-

masalah penting (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 81-86).

Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua

PDRI menyampaikan pidato radio yang ditujukan kepada semua stasiun radio.

Pidato tersebut dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap

oleh Radio Belanda di daerah Riau. Isi pidato itu antara lain: mengemukakan

serangan yang tiba-tiba dari Belanda telah berhasil menawan Presiden dan Wakil

Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain. Belanda mengira bahwa

dengan ditawannya pemimpin-pemimin yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain

akan putus asa. Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-

Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita.

Hilang pemerintahan Soekarno-Hatta, sementara atau selama-lamanya, rakyat

Indonesia akan menghadirkan pemerintahan yang baru, hilang pemerintahan ini akan timbul yang baru lagi. commit Pemerintahan to user PDRI dibentuk karena ada

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

kemungkinan besar bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan

tugasnya seperti biasa. Kepada seluruh angkatan perang Republik Indonesia kami

serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja dan dengan apa saja

mereka dapat dibasmi (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 86-87).

Sjafruddin mengirim surat kepada Maramis yang membicarakan tentang keadaan militer di Indonesia jauh lebih baik dari pada segala dugaan semula. Di Jawa, kedudukan Belanda merupakan kantong-kantong dibandingkan dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh pejuang Indonesia. Di Bukittinggi telah timbul pemberontakan di kalangan tentara Belanda, 213 serdadunya ditembak mati dan Spoor datang sendiri untuk mencoba untuk menyelesaikan. Keadaan sekarang terbalik, bukan bangsa Indonesia yang bertahan tetapi Belanda bersusah payah menahan serangan-serangan yang dilakukan di semua tempat di mana tentara Belanda berada. Kelau keadaan terus menerus begini dan gelora semangat perjuangan rakyat tak dapat ditahan lagi oleh kekuatan apa dan siapa pun juga, maka dalam masa yang singkat pertahanan Belanda akan ambruk. Tentang kekuatan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk terus berjuang kendaknya jangan ada ragu-ragu dikalangan wakil Indonesia di luar negeri serta pemimpin

dan rakyat yang berada didaerah-daerah yang sementara dikuasai Belanda (Arsip

M. Rasjid No 25).

Langkah selanjutnya yang dilakukan ialah memaklumkan eksistensinya

kedunia luar, baik didalam wilayah Republik Indonesia maupun diluar negeri.

Siaran disampaikan menggunakan zender trasnsmitter. Transmitter buatan

Amerika ini milik AURI, ditangani oleh Kapten D. Tamimi (Rosidi, 2011: 194).

Di India para pemuda Indonesia yang berkumpul di bawah organisasi PPI

(Persatuan Pemuda Indonesia) mengorganisasi unjuk rasa secara besar-besaran.

Tujuan aksi demonstrasi ialah menarik perhatian dunia, dengan cara melakukan

aksi boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang menggunakan jasa pelabuhan

udara dan laut India. Hal yang sama diikuti pula oleh Pakistan dan Sri Lanka

tanggal 22 Desember 1948, pemerintah Sri Lanka mengumumkan bahwa fasilitas pelabuhan laut dan udara di negerinyacommit tertutupto user untuk kapal-kapal dan pesawat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

terbang Belanda. Filipina juga menyatakan perasaan simpatinya sambil

menyerukan agar negeri Asia bangkit melawan setiap usaha Den Haag

melancarkan tindakan militernya (Zed, 1997: 220). Liga Arab di Kairo juga

mengajukan imbauan keapada Dewan Keamanan PBB supaya Belanda segera

menghentikan agresi militernya dan menarik mundur pasukannya dari daerah Republik Indonesia. Amerika Serikat pun menghentikan bantuan ekonominya kepada Hindia Belanda mulai tangal 22 Desember 1948 (Rosidi, 2011: 195-196). Pemerintah Darurat Republik Indonesia bersifat mobil, selalu berpindah- pindah. Perpindahan tempat dilakukan untuk mempertahankan keaman dan keselamatan para pemimpin PDRI. tempat yang dijadikan markas oleh PDRI antara lain Halaban, Bangkinang, Tratak Buluh, Sungai Pagar, Teluk Kuantan, Kota Baru, dan Muara Lembu, Kiliranjao, Sungai Daerah, Bidar. Di daerah Bidar Alam, masyarakat menyiapkan beberapa rumah dan sebuah surau tua untuk tempat tinggal rombongan PDRI. Rumah-rumah itu adalah: a. Rumah Djamilah, ditempati oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dr. Sambijono beserta istri. b. Rumah Biah, ditempati oleh Teuku Mohamad Hasan.

c. Rumah Sitjah, ditempati oleh Lukman Hakim, Indratjaja dan Mardjono

Danubroto.

d. Rumah Lamisah, ditempati oleh dua puluh orang pegawai sipil dan militer.

e. Rumah Sakidah, ditempati oleh sepuluh orang kurir dan pasukan pengawal.

f. Rumah Sawida, ditempati oleh dua orang anggota staf keuangan, yakni

Nasrul dan Hamid.

Pada waktu kemudian Sjafruddin beserta dr. Sambijono dan Istri pindah

ke rumah Siti Rapat. Letak rumah-rumah itu cukup berdekatan, umumnya di

pinggir pasar, kecuali rumah Siti Rapat (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003:

89-106).

Sjafruddin dan rombongan meninggalkan Bidar Alam pada tanggal 23

April 1949. Pada saat Sjafruddin meninggalkan Bidar Alam, sedang berlangsung perundingan antara RI dan Belandacommit (Imran, to userDjamhari, dan Chaniago, 2003: 259).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

Perundingan dibawah pengawasan UNCI ini bertujuan untuk mengadakan

pertemuan pendahuluan di Jakarta. Adanya perundingan pendahuluan ini berawal

dari Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia, Timur Tengah,

Australia dan Selandia Baru (Zed, 1997: 224). Perundingan antara pihak

Indonesia dengan pihak Belanda mencetuskan apa yang dikenal dengan Pernyataan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 (Rasjid, 1982: 41). Diadakanlah Pertemuan di Sumpur Kudus dimulai pada tanggal 14 Mei 1949. Dalam musyawarah itu PDRI membicarakan sikap yang harus diambil sehubungan dengan prakarsa pihak Bangka mengadakan perundingan tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan PDRI. Sjafruddin menyatakan kekecewaannya dan dengan tegas menolak perundingan. Sjafruddin mengatakan sudah dua kali RI mengadakan perundingan dengan pihak Belanda yang menghasilkan Perjanjian Linggajati dan Persetujuan Renville, dan dikhianati Belanda, lebih-lebih perundingan diadakan dengan pemimpin yang masih berada dalam status tawanan. Sjafruddin menganggap pihak Bangka dengan sengaja telah melecehkan PDRI, termasuk Dirinya. Padahal Sjafruddin telah diberi mandat untuk mendirikan pemerintahan darurat dan memimpin perjuangan (Imran,

Djamhari, dan Chaniago, 2003: 261-262).

Sebagai konsekuensi dari sikap PDRI, Sjafruddin mendesak keras untuk

secepatnya mengembalikan mandat pada Soekarno-Hatta. Alasannya yaitu,

pertama, pada kenyataannya Sjafruddin merasa tidak lagi memiliki wewenang

untuk memimpin Republik, sesuai dengan posisi yang diserahkan kepadanya

sebagai ketua PDRI. Kedua, lebih terhormat kiranya bagi Sjafurddin untuk

mengembalikan mandat lebih dahulu dari pada mandat itu dicabut oleh Soekarno-

Hatta (Zed, 1997: 273-274).

Dalam musyawarah di Sumpur Kudus pada umumnya mengecam

kebijaksanaan Bangka. Akan tetapi Sjafruddin menambahkan, bahwa dunia luar

mengakui Soekarno dan Hatta (Zed, 1997: 275). Kalau yang hadir dalam

musyawarah di Sumpur Kudus hendak berpegang teguh pada pendirian masing- masing, maka akan terlihat dua golongancommit to yaitu user golongan Soekarno dan golongan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

yang mendukung PDRI. Sjafruddin memperingatkan adanya perbedaan paham

akan sangat tidak menguntungkan perjuangan dan membahayakan keutuhan

bangsa dan negara. Untuk mencegah perpecahan, Sjafruddin mengatakan bersedia

mundur dan menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta (Imran,

Djamhari, dan Chaniago, 2003: 263). Protes-protes PDRI dan pimpinan angkatan perang terhadap Pernyataan Roem-Royen tentu saja terdengar oleh para pemimpin yang ada di Bangka. Hatta menanggapinya dengan usaha menemui Sjafruddin utnuk memberikan penjelasan mengenai latar belakang kabijakan yang diambil pihak Bangka. Hatta ditemani oleh dan Moh. Natsir. (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 264). Pada 5 Juni 1949, Hatta bersama anggota rombongannya berangkat berangkat ke Aceh. Hattalah yang paling merasa berkepentingan utuk mencari Sjafruddin ke sumatera, guna menunjukkan bahwa para pemimpin di Bangka sama sekali tidak mengabaikan PDRI. Akan tetapi Hatta tidak bertemu dengan Sjafruddin di Kotaraja. Hatta bertemu dengan Kol. Hidayat, Panglima Sumatera (Zed, 1997: 279). Dalam pertemuan dengan rombongan Hatta, kolonel Hidayat

menyampaikan isi radiogram dari Sjafruddin tanggal 2 Juni yang ditujukan

kepada Hatta. Isinya antara lain:

a. PDRI merasa menyesal bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah menyetujui

terhadap persetujuan yang tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan PDRI.

Kalau KTN didesak, kami yakin bahwa Belanda pasti mengijinkan

pemimpin-pemimpin di Bangka berhubungan dulu dengan pihak PDRI. PDRI

kurang digunakan oleh para pemimpin di Bangka dalam perundingan.

b. Persetujuan itu memberi kesan:

1) Tidak ada jaminan yang nyata bahwa Belanda akan menyerahkan

kedaulatan sepenuhnya dan tidak bersyarat.

2) PDRI tidak akan menghalang-halangi penyerahan kembali kekuasaan

kepada pemerintah Soekarno Hatta, tetapi apabila persetujuan dipandang commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

tidak memuaskan, mungkin beberapa anggota akan meletakkan

jabatannya.

3) Untuk penyerahan kekuasaan di Yogya, harap kami dijemput dari

Piobang (Payakumbuh). Untuk penyiapan lapangan terbang dibutuhkan

sekitar 2 hari. Kami menunggu ditempat Zender (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 265-267). Sebelum Hatta meninggalkan Aceh apda 10 Juni 1949, Sjafruddin mengirimkan lagi radiogram tertanggal 8 Juni 1949. Isinya antara lain mengucapkan selamat jalan dan menyampaikan ucapan terima kasih dari PDRI atas ikhtiar Wakil Presiden mencari hubungan dengan PDRI. Hatta menyambut radiogram Sjafruddin dengan penuh perhatian. Hal ini terbukti, Hatta mengirimkan orang-orangnya untuk menemui Sjafruddin (Zed, 1997: 279). Setelah tiba di Bangka, Hatta membentuk tim yang akan ditugasi menemui PDRI. Tujuan utusan Hatta adalah meyakinkan Mr. Sjafruddin Prawiranegara bahwa inisiatif yang diambil kelompok Bangka merupakan hasil maksimal yang dapat dilakukan pemerintah pada waktu itu. Diharapkan Sjafruddin dapat menerima keputusan itu apa adanya, dan dengan demikian

bersedia ikut kembali Yogyakarta (Zed, 1997: 284). Tim ini diketuai oleh dr.

Leimena, Natsir dan dr. A. Halim sebagai anggota dan Agus Jamal sebagai

sekretaris. Pada tangal 5 Juli 1949 tim Leimena tiba di Suliki. Dan pada 6 Juli

1949 bertemulah utusan Hatta dan utusan PDRI (Imran, Djamhari, dan Chaniago,

2003: 270).

Sjafruddin bersedia untuk kembali ke Yogyakarta dengan syarat-syarat

sebagai berikut:

a. TNI harus tinggal tetap pada posisinya yang diduduki pada waktu itu.

b. Tentara Belanda harus berangsur-angsur ditarik kembali dari kedudukannja.

c. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta, setelah daerah Yogyakarta

dikosongkan harus mutlak dilaksanakan oleh Belanda.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

d. Belanda harus mengakui kedaulatan RI atas daerah Jawa , Sumatera, Madura,

dan kepulauan-kepulauan disekitarnya sesuai dengan Persetujuan Linggajati

(Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14).

Sjafruddin bersedia untuk memenuhi permintaan utusan Hatta, dan

Leimena beserta anggota memberikan jaminan bahwa tuntutan PDRI seperti yang diajukan Sjafruddin akan disampaikan dalam sidang BP KNIP (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 271-272). Sebelum meninggalkan Nagari Padang Japang, pada tanggal 8 Juli 1949 Sjafruddin mengadakan pertemuan dengan para pemuka mayarakat. Sjafruddin mengatakan adalah lebih baik menerima Pernyataan Roem- Royen walaupun kurang menguntungkan dari pada mengorbankan persatuan. Dan juga disampaikannya bahwa Sjafruddin berjanji akan memimpin perjuangan kalau persetujuan yang dicapai tidak sesuai dengan tujuan perjuangan Indonesia. Sjafruddin juga masih menghormati pentingnya kedudukan Soekarno-Hatta bagi persatuan Republik Indonesia di mata dunia luar, dan ingin memelihara kesatuan kepemimpinan Republik Indonesia secara keseluruhan (Zed, 1997: 287). Pada tangal 10 Juli 1949, Sjafruddin kembali ke Yogyakarta. Sjafruddin disambut oleh Soekarno setibanya di Yogyakarta. Sjafruddin menerangkan bahwa

PDRI tidak berada di belakang Roem-Royen, tapi berada di belakang rakyat,

berjuang dengan rakyat dan untuk rakyat (Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1949). Pada

tanggal 13 Juli 1949, kabinet Hatta bersidang. Hatta melakukan perombakan

kabinet. Kabinet yang baru terbentuk itu disebut Kabinet Hatta II. Dalam kabinet

ini, Sjafruddin diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Noer, 2000: 207).

Pada sidang kabinet Hatta ini juga, Sjafruddin menegaskan bahwa

mandat yang dikirimkan kepadanya oleh Soekarno dan Hatta tidak pernah

diterima. Sjafruddin dan tokoh-tokoh lain di Sumatera membentuk PDRI semata-

mata beradasarkan ilham untuk mengisi kevakuman pemerintahan. Dalam sidang

itu pula, Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan Wakil

Presiden Hatta. Pengembalian mandat oleh Sjafruddin kepada Soekarno yang

pada tanggal 1 Juli 1949 diartikan sebagai bersatunya dua komponen kedalam Republik Indonesia. Tinggal duacommit kelompok to user yang ada yakni kelompok Republik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

Indonesia dan BFO. Kedua kelompok ini akan menghadapi Belanda dalam

Konferensi Meja Bundak (KMB) di Den Haag, Belanda. Untuk menyatukan

pandangan dalam menghadapi Belanda, RI dan BFO mengadakan dua kali

Konferensi. Konferensi Inter-Indonesia pertama dilaksanakan pada tanggal 19-22

Juli 1949 di Yogyakarta, dan Sjafruddin hadir dalam Konferensi pertama ini. Pada tanggal 30 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Konferensi Inter-Indonesia yang kedua. Konferensi berhasil mencapai persetujuan untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang siap mengadakan suasana tertip sebelum dan sesudah KMB (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 272-289).

5. Menteri Keuangan Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Hag dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Pokok-pokok yang penting dari hasil Konferensi Meja Bundar ialah bahwa pemerintah Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk oleh negara Republik Indonesia dengan negara-negara bagian yang sudah ada. Dalam bidang

ekonomi-keuangan ada beban yang harus dipikul oleh pemerintah Republik

Indonesia Serikat yang akan dibentuk, yaitu pembayaran utang-utang pemerintah

Hindia Belanda sampai tahun 1949. Termasuk di dalamnya biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk keperluan militer yang memerangi Republik Indonesia (Kahin,

1995: 549-557).

Pada tanggal 16 Desember 1949 dilakukan pemilihan presiden RIS yang

pertama oleh wakil-wakil negara bagian dan wakil Republik Indonesia. Ir.

Soekarno terpilih secara bulat sebagai presdien Republik Indonesia Serikat yang

pertama. Pada tanggal 21 Desember 1949, Mohammad Hatta sebagai Perdana

Menteri mengumumkan kabinetnya, yang merupakan kabinet pertama bagi

Republik Indonesia Serikat (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 205).

Di dalam kabinet Republik Indonesia Serikat, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Keuangancommit (Kahin, to 1995: user 569). Tugas Menteri Keuangan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

termasuk dalam program kabinet RIS yang pertama itu nomor 4, yaitu: berusaha

memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan,

perumahan dan kesehatan; mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan

penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang

upah minimum; pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar kegiatan terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya (Rosidi, 2011: 244). Banyak kesulitan dalam bidang keuangan yang dihadapi oleh pemerintah yang baru itu, yang harus segera diselesaikan. Mata uang yang beredar dalam masyarakat bermacam-macam; ada uang NICA atau secara populer disebut “uang merah” ada ORI (di daerah) dan bermacam uang Republik lain yang berlaku di wilayahnya sendiri-sendiri. Uang itu semuanya harus diganti dengan uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia. Tetapi masalahnya bukan semata-mata mengganti uang, karena segala macam uang itu mengalami inflasi yang tingkatnya tinggi. Penukaran dengan uang baru menimbulkan masalah praktis pula seperti penentuan kurs dari macam-macam uang itu terhadap uang baru, yang menyangkut pula utang-piutang dan lain-lain. Neraca perdagangan dari tahun ketahun yang memperlihatkan defisit yang kian membengkak. Ini menyebabkan

cadangan devisa dan emas di bank kian menyusut. Disamping itu pemerintah

Republik Indonesia Serikat menerima beban utang pemerintah Hindia Belanda,

baik utang dalam maupun luar negeri (Beng To, 1991:116).

Semua masalah yang bertimbun itu merupakan tantangan buat Sjafruddin

sebagai Menteri Keuangan. Suatu tindakan drastis harus dilakukan. Masalah

pokok ekonomi yang dihadapi ialah karena produksi yang rendah, karena

banyaknya mesin yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, jalan yang tidak

dapat dilalui, transportasi yang buruk, pegawai yang terlalu banyak ditambah pula

oleh adanya masalah kepegawaian kembar, penyelundupan, dan lain-lain. Bagi

Menteri Keuangan RIS tidak dibatasinya kebebasan dalam langkah-langkah

persetujuan KMB dalam bidang keuangan telah mengikat langkah-langkahnya.

Seperti penentuan langkah-langkah kebijaksanaan devisa, bahkan pengangkatan Presiden dan para direktur Bank commitSirkulasi to ituuser pun hanya dapat dilakukan setelah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

mengadakan perundingan dengan Belanda. Begitu pula lalu lintas pembayaran

antara Indonesia dengan negara-negara luar hampir seluruhnya harus disalurkan

melalui negeri Belanda (Parera,ed., 2005: 27).

Pada tanggal 11 Maret 1950 dikeluarkanlah peraturan oleh Lembaga

Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (yang mulai berlaku tanggal 13 Maret 1950) untuk memperbaiki perkembangan neraca pembayaran dengan memakai sistem Sertifikat Devisa. Tanpa melakukan perubahan kurs resmi rupiah terhadap mata uang asing, peraturan itu menetapkan kurs efektif bagi pembelian dan penjualan devisa yang berbeda. Orang-orang yang mengekspor barang dari Indonesia, selain memperolah uang sebanyak harga barang-barangnya dalam rupiah Indonesia, juga memperoleh Sertivikat Devisa sebesar 50% dari harga barang yang diekspornya itu (Beng To, 1991:200-201). Setiap orang yang hendak mengimpor barang, selain harus mempunyai ijin untuk memperoleh devisa, juga harus mempunyai Sertifikat Devisa yang besarnya sama denagn harga barang yang hendak diimpornya. Maksud peraturan ini adalah hendak menggiatkan ekspor dan menekan impor. Timbul reaksi yang bermacam-macam terhadap peraturan baru. Di samping yang menggerutu

(kebanyakan importir pendatang baru yang tidak mempunyai modal yang cukup

kuat), banyak menyambut dengan antusias, karena menganggap peraturan baru ini

akan mendorong ekspor dan memberikan perangsang kepada penghasil bahan

ekspor yang kebanyakan petani kecil (Rosidi, 2011: 248-249).

Akibat dari peraturan Devisa yang baru ini antara lain, apabila ekspor

meningkat maka akan terjadi lebih banyak lagi alat-alat pembayaran asing guna

pembelian di luar negeri; Kurs rupiah Indonesia sesudah beberapa lama akan tetap

pada tingkat yang semestinya; adanya sistem baru ini, perdagangan gelap akan

kurang menarik; dan dengan penyehatan peredaran uang ini, maka luar negeri

akan menunujukkan kesediaan yang lebih besar untuk menanamkan modal di

Indonesia berupa perbungaan oleh kaum partikelir asing dan berupa pinjaman-

pinjaman pemerintah (Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 1950). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

Peraturan Sertifikat Devisa kemudian disusul dengan Putusan Menteri

Keuangan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Maret 1950 tentang “Operasi

Gunting Sjafruddin” karena sebagi Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara

mengambil keputusan untuk memotong dua dengan gunting uang merah dengan

uang de Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Uang ORI juga tidak digunting. Keputusan ini menembak beberapa sasaran: pengganti uang yang bermacam- macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib (Beng To, 1991: 209). Pengguntingan uang pada tanggal 19 Maret 1950 dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.PU/1 tanggal 19 Maret 1950 terhadap uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda (Parera,ed., 2005: 96). Sejak pukul 8 malam tanggal 19 Maret 1950, uang kertas pecahan Rp 5 keatas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagi alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nominalnya, tetapi sejak tanggal 22 Maret 1950 bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-

tempat lain yang ditentukan. Batas terakhir penukaran itu sampai dengan tangal

16 April 1950. Sesuah itu, kalau belum ditukarkan juga, bagian kiri itu tidak laku.

Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar

dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya. Obligasi

yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950.

Bunganya ditetapkan sebesar 3% setahun (Rosidi, 2011: 250-251).

Pemaroan dilakukan juga terhadap simpanan-simpanan pada bank dan

surat-surat perbendaharaan. Yang dimaksud dengan simpanan pada bank ialah

simpanan pihak ketiga yang dapat ditagih sewaktu-waktu maupun yang

penagihannya tergantung pada suatu masa, serta segala simpanan yang dipandang

oleh atau atas nama Menteri Keuangan sebagai simpanan di bank. Bank

diwajibkan memindahkan setengah dari simpanan-simpanan itu kepada sebuah rekening khusus yang dinamakancommit “Pendaftaran to user Pinjaman Negara 3% 1950” yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

hanya dapat digunakan untuk membeli obligasi negara. Langkah pembersihan

uang pada bulan Maret 1950 berhasil mengurangi jumlah uang kartal sekitar 1,6

milyar, sehingga posisi uang yang beredar dapat ditekan menjadi sebesar 4,3

milyar pada akhir tahun 1950 (Parera,ed., 2005: 96-97).

Manurut Sjafruddin, uang boleh menjadi sampah, cita-cita boleh terbang dan hancur binasa, tetapi manusia yang hidup dan mengerti akan kewajibannya tak boleh jemu-jemu berjuang dan bekerja, berikhtiarlah mencara jalan baru untuk mencapai kebahagiaan, yang menjadi sumber bagi segala cita-cita. Untuk menyelamatkan negara, pemerintah harus mengambil tindakan-tindakan yang cepat dan radikal. Dan satu-satunya jalan yang menurut pendapat pemerintah dapat membawa ketujuan yang kita maksud, ialah mengadakan pinjaman negara dan mengurangi peredaran uang (Prawiranegara, 2011: 36-40). Ditinjau dari sudut kemakmuran, maka peraturan devisa baru akan memberikan keuntungan kepada kaum eksportir jauh lebih besar daripada di masa lampau. Oleh karena itu maka ekspor akan bertambah, dan oleh sebab itu, maka impor pun dapat diharapkan akan bertambah pula. Peraturan itu memang memberatkan para importir bangsa yang baru saja timbul, yang sangat kekurangan

modal, tetapi kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar dari pada

barang-barang ekspor tidak boleh dikurbankan (Rosidi, 2011: 253-254).

Mengenai obligasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah RIS

dinyatakan, bahwa sebelum keluar obligasi itu bagian-bagian kanan dari mata

uang yang sudah dipotong sekarang ini boleh diperdagangkan, sebab diketahui

paling sedikit harga obligasi itu adalah dari seratus rupiah. Dianjurkan kepada

rakyat dalam memperdagangkan itu jangan sampai terlalu rendah dari harga yang

semestinya. Mengenai usaha untuk menaikkan harga sesudah dikeluarkann

peraturan baru itu akan diadakan tindakan-tindakan keras oleh pemerintah.

Berhubung dengan adanya tindakan-tindakan oleh berbagai perusahaan-

perusahaan perkapalan dan lain-lain dari pihak asing yang menaikkan harga

hingga 200%, maka pemerintah membentuk panitia untuk mengadakan perundingan dengan perusahaan-perusahaancommit to user asing. Menurut pendapat pemerintah,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

tidak pada tempatnya perusahaan-perusahaan itu menaikkan tarifnya hingga

200%, karena perusahaan-perusahaan tersebut banyak sekali mendapat jasa-

jasanya di Indonesia (misalnya pembayaran upah buruh) yang dalam mata uang

Indonesia tidak naik. Demikian pula pemerintah tidak menaikkan ongkos-ongkos

yang harus dibayar perusahaan. Kalau perusahaan-perusahaan asing itu tetap pada tindakan yang sudah diambilnya, maka pemerintah akan juga mengadakan tindakan-tindakan pembalasan, misalnya menaikkan ongkos-ongkos pelabuhan hingga beberapa persen (Kedaulatan Rakyat, 22 Maret 1950). Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan juga mengatur penukaran uang ORI dan jenis-jenis uang lain. Tanggal 1 Januari 1950 Menteri Keuangan sudah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa ORI dan mata uang sejenisnya sebagai alat pembayaran yang sah akan ditarik mulai tanggal 1 Mei 1950, tetapi karena keputusan Menteri Keuangan 19 Maret 1950 itu, maka soal penukaran ORI dan uang-uang lain sejenisnya dipercepat. Uang-uang itu sudah dapat ditukarkan sejak tanggal 27 Maret 1950 sekalian dengan penukaran bagian kiri uang federal. Tetapi berlainan dengan bagian kiri uang federal yang harus ditukarkan paling lambat tanggal 17 April 1950, maka penukaran ORI dan uang-uang lain

sejenisnya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 1 Juni 1950 yang kemudian

diperpanjang lagi sampai tanggal 21 Juni 1950 (Rosidi, 2011: 259).

Sebagai upaya untuk mencegah salah paham ditegaskan bahwa Kurs

yang ditetapkan merupakan kurs yang akan digunakan saat penukaran ORI

dengan uang RIS sementara mulai 30 Maret 1950, di rumah-rumah pegadaian.

Segala uang yang ada akan ditukar semuanya, dan untuk penukaran itu akan

diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga siapa pun juga layak menukarkan ORI

yang ada padanya. Selama penukaran itu boleh dipakai sebagai alat pembayaran

yang sah sampai 1 Mei 1950. Untuk dapat menukarkan ORI orang harus

mempunyai surat keterangan dari lurah atau pamong praja yang sederajat. Untuk

anggota Angkatan Perang sebagai pengganti lurah dapat diterima surat keterangan

dari Komandan yang bersangkutan. Di kantor-kantor penukaran diadakan panitia Pemeriksaan uang palsu, anggotanyacommit akan to diangkat user dari pamong praja dan Polisi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

Setiap orang selama masa penukaran hanya dibolehkan menukarkan satu kali

(Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 1950).

Karena daya beli ORI berbeda-beda dengan jenis uang lainnya, maka

kurs yang ditetapkan untuk penukaran pun tidaklah sama. ORI misalnya

ditetapkan kursnya 125 buat tiap f 1; sedangkan URIBA yang beredar di Aceh, 175 buat setiap f 1; untuk ORIPS yang beredar di Sumatera Tengah 125 buat setiap f 1; untuk URITA yang beredar di Tapanuli, 350 buat setiap f 1; URISU yang beredar di Sumatera Utara, 450 buat setiap f 1, dan sebagainya. Tetapi setiap orang paling banyak hanya boleh menukarkan sampai senilai f 50 saja, tidak boleh lebih (Beng To, 1991: 144). Ada beberapa faedah yang dapat dicapai dengan peraturan yang dikeluarkan Sjafruddin, ialah: a. Merupakan cambuk bagi masyarakat untuk bekerja lebih keras. Dengan dikuranginya peredaran uang, bisa diharapkan bahwa harga-harga barang tentu akan turun, sedangkan upah-upah akan tetap sebagaimana biasa; b. Kekacauan dalam soal uang, yang juga merupakan salah satu sebab kurang lancarnya perekonomian, akan lenyap. Juga ORI baik di Jawa maupun Sumatera akan bersam-sama ditarik dari peredaran. Uang federal yang

lama akan lenyap pada tanggal 17 April, uang ORI pada tanggal 1 Mei 1950;

c. Kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia dalam masalah-masalah keuangan

dan perekonomian akan bertambah besar, sehingga kemungkinan untuk

mendapatkan kredit atas dasar-dasar yang sehat akan menjadi lebih besar lagi.

Dunia luar akan melihat, bahwa Indonesia dengan kekuatan sendiri, dengan tidak

menggantungkan nasibnya pada belas kasihan dari negara-negara asing, benar-

benar sanggup menyelesaikan soal-soalnya sendiri. Dengan sendirinya kedudukan

politik Indonesia akan kuat (Prawiranegara, 2011: 40-41).

6. Gubernur Bank

Pemerintahan RIS yang baru berjalan tujuh bulan, sudah timbul suara-

suara yang menginginkan negara kesatuan. Mayoritas bangsa Indonesia tidak puas dengan sistem federasi. Negara-negaracommit bagian to user berusaha untuk meleburkan diri ke

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

dalam Republik Indonesia, sehingga jumlahnya menyusut. Mulailah diadakan

perundingan antara negara Republik Indonesia dengan Pemerintah RIS yang pada

tanggal 19 Mei 1950 bersepakat untuk membentuk Negara Kesatuan. Langkah

selanjutnya ialah menyusun Undang-Undang Dasar RIS. Penyusunan rencana

Undang-Undang Dasar itu selesai pada tanggal 20 Juli 1950 dan Presiden Soekarno menandatanganinya pada tanggal 15 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar itu kemudian terkenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Sementara (Poesponegoro&Notosusanto, 1993: 209-210). Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara RIS dibubarkan dan dilanjutkan oleh negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Ir. Soekarno terpilih kembali sebagai presiden, dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden. Karena Undang-Undang Dasar Sementara menganut sistem parlementer, maka pemerintah akan diselenggarakan oleh kabinet yang mendapat kepercayaan dari parlemen. Sebagai formatur kabinet yang pertama berhasil membentuk pemerintahan ialah M. Natsir yang pada bulan September menyusun sebuah kabinet yang kuat karena banyak tokoh yang ahli dan cakap duduk di dalamnya. Dalam kabinet ini intinya adalah Partai Masyumi, dan Sjafruddin

duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 594).

Banyaknya pemogokan dan karena produksi belum berjalan, maka

Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan mempunyai tanggungjawab untuk

mengatasi masalah tersebut. Salah satu sumber pemasukan uang negara yang

dilihatnya masih belun berjalan denagn baik ialah pemungutan pajak. Untuk itu

Sjafruddin mengajukan sebuah rencana Undang-undang ke parlemen tentang

Pajak Peredaran. Setelah Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu

diundangkan, timbul reaksi yang keras dalam parlemen. Resuna Said dan kawan-

kawannya sesama anggota parlemen mengajukan sebuah mosi yang menghendaki

agar Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu dicabut kembali. Namun

ternyata sebelum parlemen membahas mosi Rasuna Said itu, pada Maret 1951

kabinet Natsir sudah terlebih dahulu jatuh karena Kabinet mengambil alih commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat mengenai otonomi daerah yang

menyebabkan beberapa anggota Parlemen mengajukan mosi (Ricklefs, 1991:364).

Kabinet berikutnya yaitu kabinet Soekiman dan sampai pembentukan

PRRI, Sjafruddin tidak duduk dalam kabinet. Meskipun tidak duduk dalam

kebinet, Sjafruddin masih menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah. Sjafruddin Prawiranegara mengkritik perlunya selalu berkepala dingin dalam menghadapi persoalan-persoalan negara. Misalnya mengenai nasionalisasi De Javasche Bank. Sjafruddin menganjurkan agar persoalan De Javasche Bank harus dipikirkan baik-baik. Bukan karena tidak setuju dengan nasionalisasi, tetapi Sjafruddin sadar bahwa tenaga Indonesia belum cukup mampu untuk menanganinya. Juga dalam menggunakan tenaga-tenaga ahli Belanda. Sjafruddin mengkritik orang-orang yang tidak menggunakan sebagaimana mestinya tenaga- tenaga ahli itu, padahal sudah dibayar dan tenaga mereka memang bermanfaat. Kalau tidak dipakai dengan sebaik-baiknya, mereka mungkin tidak mau memperpanjang kontraknya, lalu mereka melamar ke badan-badan internasional yang tidak mustahil mengirimkannya kembali ke Indonesia karena kita memang memerlukannya. Kalau begitu, Indonesia harus membayar mereka lagi, bahkan

dengan harga yang lebih mahal (Rosidi, 2011: 266-267).

Ketika Mr. Jusuf Wibisono yang menjadi Menteri Keuangan dalam

kabinet Soekiman, Ia mengambil langkah-langkah ke arah nasionalisasi De

Javasche Bank. Pada tanggal 28 Mei 1951, Perdana Menteri Dr. Soekiman

menyampaikan maksud itu kepada parlemen yang juga menyetujui gagasan

tersebut. Pada tanggal 19 Juni 1951 dibentuklah suatu panitia oleh pemerintah

yang bertugas untuk mengajukan usul-usul mengenai nasionalisai De Javasche

Bank (Prawiranegara, 2011: 106).

Setelah Presiden De Javasche Bank Dr. A. Houwik mengajukan

permohonan berhenti karena Houwik merasa tidak dipercayai lagi dengan tidak

diberitahu oleh pemerintah mengenai nasionalisasi (Thee Kian Wie,ed., 2005: 34),

maka salah satu Direksi Bank Paul Spies mencalonkan Sjafruddin Prawiranegara sebagi penggantinya Presiden Decommit Javasche to userBank . Sjafruddin menerima tawaran

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

pemerintah, tetapi dengan syarat bahwa peraturan gaji para petugas bank, juga

setelah dinasionalisasikan nanti tidak akan diubah dan dinasionalisasikan. Dengan

perkataan lain, tingkat pengupahan para karyawan bank tidak akan diturunkan

pada tingkat pegawai negeri Indonesia. Syarat itu diterima oleh Dr. Soekiman dan

kabinet. Sjafruddin kawatir kalau pimpinan De Javasche Bank yang baru tidak memelihara kelanjutan usaha Indonesianisasi, akan timbul kekacauan dalam kehidupan perbankan. Sebaliknya dengan menerima tawaran itu, maka dia akan dapat melanjutkan proses Indonesianisasi. Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Presiden De Javasche Bank pada tanggal 12 Juli 1951 (Rachbini,ed., 2000: 2). Pada tanggal 15 Desember 1951 keluarlah Undang-undang tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV (Prawiranegara, 2011: 106). Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa saham-saham De Javasche Bank yang belum dimiliki oleh Republik Indonesia segera dicabut haknya oleh Republik dan pindah menjadi milik penuh dan bebas dari negara (Beng To, 1991: 248-249). Sebagai Presiden De Javasche Bank yang saham-saham sudah dinasionalisasikan, Sjafruddin harus melakukan langkah-langkah Indonesianisasi

dan nasionalisasi lebih lanjut. Sudah sejak ketika Sjafruddin menjadi Menteri

Keuangan, De Javasche Bank melakukan pendidikan tanaga-tanaga ahli bank bagi

orang-orang Indonesia yang muda-muda. Setelah berlangsung dua tahun baru ada

26 tenaga muda yang menjadi tenaga staf (Rosidi, 2011: 278-279).

Setelah dilakukan nasionalisasi De Javasche Bank tahun 1951,

Pemerintah menyampaikan rencana Undang-undang pokok Bank Indonesia yang

merupakan Undang-undang bagi Bank Sentral kepada parlemen. Sjafruddin

mengemukakan pendapatnya mengenai hubungan antara Bank Sentral dengan

Pemerintah. Menurut Sjafruddin jika Bank Sentral didudukkan di bawah

pemerintah akan berbahaya karena menurut sejarah semakin lama pemerintah

akan ikut campur dalam urusan uang dengan berbagai alasan. Antara lain untuk

mencegah pemalsuan uang atau untuk menguasai uang itu agar memperoleh keuntungan. Jika Bank Sentral commit diberikan to user otonomi terhadap pemerintah, maka

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

selain sebagai alat dan kasir pemerintah, Bank Sentral dapat pula menjadi

penyedia keuangan bagi pemerintah dan bila perlu dapat menolak permintaan

kredit dari pemerintah berdasarkan tanggungjawab Bank Sentral terhadap

pemeliharaan nilai mata uang. Dalam hal ini pemerintah hanya menjadi pengawas.

Untuk maksud tersebut, pemerintah dapat menempatkan seorang atau beberapa komisaris pada Bank Sentral sebagai wakil pengawasan (Parera,ed., 2005: 32-34). Pada tanggal 2 Juni 1953, diundangkanlah Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) tahun 1953 no.11 yang sudah disahkan tanggal 19 Mei 1953 sebelumnya. Dan pada tanggal 1 Juli 1953, didirikanlah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut, kedudukan Bank Indonesia adalah menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai Bank Sentral Indonesia (Parera, ed., 2005:38). Di Indonesia, octrooi atau hak untuk mengeluarkan uang kartal hanya diberikan kepada satu bank sirkulasi saja yaitu Bank Indonesia. monopoli untuk mengeluarkan uang itu terdapat dalam pasal 8 UUPBI 1953 yang berbunyi antara lain bank berhak mengeluarkan uang kertas bank, dan uang kertas itu bersifat alat pembayaran yang sah sampai setiap jumlah (Prawiranegara, 2011:184).

Sebagai Presiden De Javasche Bank yang akan menjadi Gubernur Bank

Indonesia kalau sudah berdiri, maka Sjafruddin sejak awal aktif membantu

penyusunan rencana Undang-undang Pokok tentang Bank Indonesia. Banyak

gagasannya yang diterima dan masuk dalam undang-undang, misalnya tentang

adanya suatu Dewan Moneter yang unik dan bersifat khas Indonesia. Karena tidak

terdapat di dalam susunan perbankan yang lain ataupun di negeri lain. Dewan

Moneter itu merupakan pimpinan tertinggi Bank Indonesia, tetapi juga merupakan

Dewan Pemerintah yang didalamnya turut duduk Gubernur Bank Indonesia

(Rosidi, 2011: 281).

Tugas Dewan Moneter itu menurut pasal 22 UUPBI tahun 1953 ialah:

menetapkan kebijaksanaan moneter umum dari bank, memberi petunjuk kepada

Direksi tentang kebijaksanaan bank dalam urusan-urusan yang lain, sekedar kepentingan umum memerlukannyacommit dan to melakukanuser pekerjaan-pekerjaan bank

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

seperti mengatur nilai satuan uang Indonesia supaya tetap stabil, memajukan

perkembangan urusan kredit dan urusan bank dan mengawasinya, mengurus dan

menyelenggarakan administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri dan

lain-lain. Dewan Moneter terdiri dari tiga orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai

Ketua, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian Dewan Moneter itu merupakan kuasa sehari-hari pemerintah dalam soal politik moneter dan Direksi Bank Indonesia dengan aparatnya merupakan badan pelaksanaan dari politik moneter itu. Dalam UUPBI tahun 1953 dengan tegas dicantumkan bahwa tanggungjawab terakhir atas kebijaksanaan moneter berada ditangan pemerintah (pasal 22 ayat 2) (Parera,ed., 2005: 43-44).

7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia Menjelang Musyawarah Nasional pada tanggal 7 dan 8 September 1957, di Palembang diadakan sebuah pertemuan rahasia yang dihadiri diantaranya Letnan Kolonel Ahmad Husein dari Sumatera Tengah, letnan Kolonel Ventje Samual dari Sulawesi Utara, dengan Letnan Kolonel Barlian sebagai tuan rumah, Kolonel M. Simbolon, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sebagai hasil pertemuan itu,

mereka berhasil menelurkan persetujuan formal yang disebut juga sebagai Piagam

Palembang. Isinya antaralain:

a. Mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.

b. Menggantikan kepemimpinan militer pusat yaitu Mayor Jenderal A.H.

Nasution.

c. Melaksanakan kebijaksanaan desentralisasi dengan memberikan otonomi

yang lebih luas ke daerah-daerah.

d. Pembentukan Senat untuk membela kepentingan daerah dalam pemerintahan.

e. Melarang komunis (Kahin, 2005: 307).

Sejak Januari 1958, daerah-daerah yang bergolak menunjukkan

penentangan pada pemerinta Pusat. Sesuai dengan ultimatum yang disampaikan

dalam Piagam Palembang bahwa jika dalam waktu 5x24 jam pemerintah pusat commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

tidak memperdulikan seruan daerah, maka akan dilakukan pemutusan hubungan

daerah dengan pemerintah pusat (Nuryanti, 2011:75).

Ketika berangkat ke Palembang, Sjafruddin disertai dengan harapan

bahwa gerakan-gerakan daerah di Sumatera akan memberikan alternatif bagi

perkembangan demokrasi di Indonesia. Sjafruddin menganggap bahwa situasi yang makin memburuk disebabkan juga oleh sikap Soekarno yang ingin menumpuk kekuasaan ditangannya sendiri dengan bantuan orang-orang komunis. Meskipun Sjafruddin tidak menyukai gaya kepemimpinan Presiden Soekarno, tetapi Sjafruddin juga sadar bahwa peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia tidak mudah diganti oleh orang lain (Rosidi, 2011: 317). Suatu pertemuan di Sungai Daerah yang diadakan pada tanggal 9-13 Januari 1958 dihadiri oleh sipil dan militer. Pertemuan ini diadakan karena muncul suatu dugaan bahwa pemerintah pusat akan melekukan kekerasan dalam menangani daerah bergolak. Maka mulai disiapkan tentara untuk menghadapi pusat. Yang hadir dalam pertemuan antara lain Kolonel Simbolon, Letkol. Ahmad Husein, Letkol. Vintje Sumual, Kolonel Dahlan Djambek, M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Soemitro Djojohadikusumo, dan Burhanudin Harahap (Nuryanti,

2011: 75). Walaupun tidak mencapai kata sepakat dalam pertemuan di Sungai

Daerah ini, menimbulkan desas desus bahwa para kolonel memutuskan untuk

membentuk sebuah negara Sumatera. Husein menolak tuduhan pembentukan

negara Sumatera, melalui Radio Bukittinggi Husein mengemukakan bahwa

pertemuan di Sungai daerah ialah untuk melindungi negara kesatuan dan

mendorong pemerintah mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang sedang

dihadapi (Kahin, 2005: 320-326).

Setelah pertemuan di Sungai Daerah, terjadi perdebatan antara sipil dan

militer. Sjafruddin mulai mempertanyakan hasil keputusan dalam sidang terlalu

radikal dan mengundang kekerasan bahkan perang. Sjafruddin mengingatkan

Ahmad Husein agar mempertimbangkan kembali untuk mengultimatum Jakarta,

meskipun gertakan kepada pusat dapat mempersatukan daerah-daerah yang bergolak. Yang menjadi pertimbangancommit yaituto user Barlian di Sumatera Selatan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

daerahnya kaya akan minyak membelot ke pusat. Jika Barlian membelot, rencana

menggertak pemerintah akan gagal. Tanpa cadangan minyak dari Sumatera

Selatan, kekuatan daerah bergolah akan mudah hancur. Namun Ahmad Husein

tidak mau mendengarkan saran dari Sjafruddin dan justru mengatakan bahwa

Dewan Banteng harus berjalan sendiri, dan akan terus melanjutkan perjuangan (Nuryanti, 2011: 77). Sjafruddin menulis surat kepada Presiden Republik Indonesia sehari sebelum cutinya habis yaitu pada tanggal 15 Januari 1958. Isinya menyatakan setelah mempelajari dan merenungkan sedalam-dalamnya keadaan negara dan rakyat Indonesia yang tidak lagi ada dasar berpijak dan ruang bergerak, memutuskan untuk sementara sampai keadaan berubah, meninggalkan Jakarta dan menetap di salah satu daerah yang penguasa-penguasanya masih menghargai demokrasi. Suatu daerah yang masih tetap melindungi kemerdekaan berpendapat, berbicara dan bekerja. Presiden hendaknya kembali kepada jabatannya yang konstitusional, dan pemerintah yang hendaknya dipimpin oleh dan terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang disegani bukan karena menaiki mobil menteri, melainkan karena kejujuran, integritas kepandaian dan keberanian untuk bekerja

dan berjuang guna kepentingan negara (Arsip Sjafruddin No 2).

Menteri Keuangan Mr. Sutikno Slamet mengirimkan panggilan pada

tanggal 20 Januari 1958, agar Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur

Bank kembali ke post. Sjafruddin menjawab bahwa akan kembali ke Jakarta kalau

sudah berdiri pemerintah nasional yang kuat. Maka dalam rapat Kabinet tanggal

30 Januari 1958, atas usul Dewan Moneter, diambil keputusan untuk memecat

Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank, dan Mr. Loekman Hakim selah

seorang anggota Direksi Bank Indonesia diangkat sebagai Gubernur yang baru.

Sjafruddin sebenarnya ragu karena perhitungan rasionya tidak memperlihatkan

janji kemenangan. Dengan hati yang berat, Sjafruddin dengan kawan-kawan

politiknya terus berjuang. Selain perasaan malu, ada pula solidaritas (Rosidi,

2011: 328-330). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

Pada tanggal 10 Februari 1958 Dewan Perjuangan mengumumkan

mukadimah piagam perjuangan untuk bangkit berjuang menyelamatkan Republik

Indonesia dari malapetaka (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.3) dan

mengajukan tuntutan supaya dalam waktu 5x24 Kabinet Djaunda mengembalikan

mandatnya kepada Presiden/Pejabat Presiden. Presiden/Pejabat Presiden mengambil kembali mandat kabinet Djuanda. Segera setelah tuntutan tersebut dilaksanakan, supaya Hatta dan Hamengku Buwono ditunjuk untuk membentuk satu zaken kabinet. Apabila tuntutan tersebut tidak dilaksanakan dan tidak dipenuhi, maka dengan ini Dewan Perjuangan menyatakan bahwa sejak saat itu menganggap terbebas dari pada wajib taat kepada Dr. Ir. Suakrno sebagai Kepala Negara. Maka segala akibat dari tidak dipenuhinya semua tuntutan diatas itu, menjadi tanggung jawab dari mereka yang tidak memenuhinya, terutama Presiden Soekarno (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.4). Sjafruddin menyampaikan kecemasan, kalau-kalau terjadi perang saudara, karena Letnan Kolonel Barlian, teman yang penting yang menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera Selatan, di perkirakan akan membelot. Sjafruddin pun menyarankan agar kalau sampai menimbulkan perang saudara,

maka sebaiknya pembentukan kabinet yang direncanakan itu ditunda atau

dibatalkan. Namun saran ini tidak dihiraukan. Bagi Kolonel Ahmad Husein dan

kawan-kawan militernya tidak ada jalan lain kecuali terus tanpa menghiraukan

perubahan-perubahan dan perkembangan dalam situasi faktual yang tidak

mustahil membawa perubahan-perubahan dalam perbandingan kekuatan diantara

dua pihak yang berhadapan (Rosidi, 2011: 333).

Tidak adanya respon dari pemerintah, maka pada tanggal 15 Februari

1958, Dewan Perjuangan memutuskan membentuk Pemerintah Revolusioner

Republik Indonesia. Yang berdaulat penuh kedalam dan keluar dan yang

berkedudukan di Bukittinggi. Adapun tugas PRRI yaitu:

a. Menghentikan Kabinet Djuanda dan menghapuskan konsepsi , yang

menjadi penghalang bagi pelaksanaan cita-cita Piagam Perjuangan, dengan pengertian, bahwa nanti sebagaimanacommit to termaksuduser dalam Piagam Perjuangan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

pasal 7 yakni bahwa kami akan menganggap diri kami terbebas dari wajib

taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara, akan berjalan jika dalam

waktu yang layak, dari sikap, pernyataan dan atau fakta-fakta lain, sudah jelas

bahwa Dr. Ir. Sukarno tidak bersedia kembali kepada kedudukannya yang

konstitusionil dan tidak bersedia menunjuk Hatta-Hamengku Buwono sebagai formatur/pimpinan satu Zaken Kabinet Nasional. b. Menjalankan pemerintahan berdasarkan Piagam Perjuangan dan menyerahkan pimpinan Pemerintahan kepada Hatta-Hamengku Buwono, pada setiap saat bila mereka sanggup dan bersedia mengambil pimpinan itu dan/ atau membentuk satu kebinet baru dan apabila jaminan-jaminan yang cukup, bahwa cita-cita yang kami perjuangkan, dapat terlaksana. Dengan susunan kabinet PRRI sementara sebagai berikut: a. Perdana Menteri - Mr. Sjafruddin Prawiranegara b. Menteri Keuangan - Mr. Sjafruddin Prawiranegara c. Menteri Luar Negeri - Kol. M. Simbolon d. Menteri Dalam Negeri - Kol. Moh. Dahlan Djambek e. Menteri Pertahanan - Mr. Boerhanoedin Harahap

f. Menteri Kehakiman a. i. - Mr. Beorhanoedin Harahap

g. Menteri Perdagangan - Dr. Soemitro Djojohadikusumo

h. Menteri Perhubungan/Pel a. i. - Dr. Soemitro Djojohadikusumo

i. Menteri PPK - Mohd. Sjafei

j. Menteri Kesehatan - Mohd. Sjafei

k. Menteri Pembangunan - Kol. J. Warow

l. Menteri Pertanian - Saladin Sarumpait

m. Menteri Perburuhan a. i. - Saladin Sarumpait

n. Menteri Penerangan - Let. Kol. Saleh Lahadu

o. Menteri Agama - Muchtar Lintang

p. Menteri Sosial - Abd. Gani Usman (ajah Gani)

Sebagai susunan ini dalam waktu yang singkat akan diperlengkap dan disempurnakan (Arsip Sjafruddin commitPrawiranegara to user No.5).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

Keputusan Dewan Perjuangan tentang pembentukan Dewan PRRI itu

hanya ditandatangani oleh Ketua Dewan Perjuangan yaitu Letnan Kolonel Ahmad

Husein. Kepada Sjafruddin tadinya diminta pula untuk tanda tangan di atas

dokumen itu, karena mengenai pengangkatan dirinya sebagai Perdana Menteri dan

sebagai tanda, Sjafruddin pun turut bertanggungjawab atas pembentukan PRRI. Tetapi Sjafruddin menolak, justru supaya orang tahu bahwa penanggung jawab atas pembentukan PRRI itu adalah Ketua Dewan Perjuangan/Ketua Dewan Banteng: Kolonel Ahmad Husein. Walaupun demikian, Sjafruddin berjanji akan memimpin PRRI dan menjalankan tugas sebaik-baiknya (Rosidi, 2011: 335). Proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 mendapat sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa tempat di daerah tersebut KDMSUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah) Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 wilayah Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah Pusat serta mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Harvey, 1989: 129- 130).

Sebagai Perdana Menteri yang baru dilantik, Sjafruddin menyampaikan

sebuah pidato radio yang menjelaskan sebab-sebab dan tujuan pembentukan

PRRI, yaitu untuk membela kebenaran dan keadilan. Sambil mengenangkan

kembali pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) hampir

sepuluh tahun sebelumnya, Sjafruddin pun mengemukakan perbedaan-perbedaan

antara kedua macam pemerintah itu. Yang terpenting ialah karena waktu

memimpin PDRI Sjafruddin berhadapan dengan penjajah asing yang hendak

menjajah Indonesia kembali, sedangkan sekarang harus berhadapan dengan

pemerintah Bangsa sendiri (Moedjanto, 1988: 106). PRRI merupakan suatu

pergerakan sebagai bentuk protes atas pemerintahan Republik Indonesia, bukan

bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno pada waktu itu. Meskipun

demikian pada prakteknya PRRI tetap dianggap sebagai pergerakan yang dapat mengancam stabilitas dan kedaulatancommit Republik to user Indonesia (Gusman, 2007: 33-35).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

Pada tanggal 16 Februari 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan

perintah penangkapan dan penahanan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara,

Mr. Boerhanoeddin Harahap, Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mohammad

Sjafe’i. Sedangkan kepada Kolonel J.F. Warouw, Letnan Kolonel Saleh Lahade,

Mochtar Lintang, Saludin Sarupaet dan Abdul Gani Usman diberi waktu 3x24 jam untuk menyatakan sikap yang tegas, apakah akan menerima penunjukkan kabinet dalam PRRI ataukah tidak (Nuryanti, 2011: 81-82). Berbagai pihak di Jakarta mencoba mencari penyelesaian. Partai Politik mulai dari Masyumi, NU, PNI, PSII sampai PRI (Partai Rakyat Indonesia) di DPR pernah mencoba menyelesaikannya sebelum tenggang waktu sampai 15 Februari 1958 habis dan bahkan sempat mengirimkan telegram kepada pihak Dewan Perjuangan di Bukittinggi supaya jangan melakukan suatu tindakan dahulu karena sedang diusahakan penyelesaian secara politis. Orang-orang di Jakarta kecuali orang-orang kiri, percaya bahwa pihak Dewan Perjuangan akan bersedia berunding jika Jakarta memberikan kemungkinan penyelesaian. Bung Hatta sebagai tokoh yang disegani Dewan Perjuangan, hendak mencoba pula mencarikan jalan keluar secara politisi dengan Presiden Soekarno. Tetapi sebelum

pertemuan itu berlangsung, pada tanggal 21 Februari 1958, pesawat AURI sudan

menjatuhkan bom di Painan, seperti Padang, Bukittinggi, Manado, dan lain-lain.

Setelah pemboman itu Bung Hatta tidak bersedia lagi berunding dengan presiden

Soekarno (Rosidi, 2011: 338).

Untuk menghadapi PRRI pemerintah dan KSAD memutuskan untuk

melancarkan operasi militer. Operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut,

Angkatan Udara di Sumatera Tengah disebut Operasi 17 Agustus. Selain untuk

menghancurkan separatis, operasi juga berusaha mencegah turut campurnya

kekuatan asing yang dikhawatirkan akan mengadakan intervensi dengan dalih

melindungi modal asing dan warga negaranya. Gerakan APRI ditujukan kepada

Pekan Baru untuk mengamankan sumber minyak. Pada 14 Mei 1958 Bukittinggi

dapat direbut (Tim Penulis, 1990:338). Pasukan RPKAD mengamankan daerah Riau (Syamdani, 2009:81). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

Sjafruddin beserta beberapa anggota yang semula hendak menghindarkan

diri kearah Selatan, ke Bidar Alam, tempat dahulu memimpin PDRI, terpaksa

menuju kearah sebaliknya, karena jalan ke arah Selatan sudah tertutup. Tatkala

masih bergerak di Minangkabau Utara dan keadaan relatif bebas maka untuk

menghidupkan semangat rakyat, Dewan Perjuangan memutuskan untuk mentransformasikan Indonesia sebagai Republik Persatuan Indonesia (RPI). Ketika Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan pada 8 Februari 1960, Sjafruddin terpilih sebagai presiden yang pertama (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 10). Pada tanggal 8 Februari 1960, dibacakan mukadimah sebelum proklamasi disampaikan. Melihat kenyataan bahwa jalan musyawarah yang telah diusahakan baik dalam ataupun di luar parlemen sudah gagal sama sekali, maka Dewan Perjuangan, pada tanggal 10 Februari 1958 menyatakan tuntutannya dan seruannya atas nama seluruh rakyat Indonesia kepada Kepala Negara, Parlemen, serta tokoh Nasional Hatta dan Hamengku Buwono, agar kembali kepada Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku, memulihkan Republik Indonesia kepada dasar hukum dan demokrasi dan keTuhanan Yang Maha Esa. Tidak

adanya respon dari pemerintah pusat maka Dewan Perjuangan, selain dari pada

membentuk PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, menyerukan pada pemerintahan

yang akan diserahkan kepada satu kabinet yang mempunyai kewibawaan di

bawah pimpinan Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Namun Ir. Sukarno

menghadapinya dengan tindakan-tindakan pembalasan dengan mengerahkan alat-

alat kekuasaan negara, Angkatan Darat, Laut, Udara untuk menindas rakyat yang

mempertahankan Undang Undang dan hak-hak asasi (Arsip Sjafruddin

Prawiranegara no. 7).

Daerah-daerah yang dikuasai, Soekarno melumpuhkan partai-partai

politik, menyerukan agar masyarakat menerima Demokrasi Terpimpin dan

kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Puncaknya yaitu dikeluarkannya

dekrit 5 Juli 1959. Perkembangan ini merupakan bukti bagaimana sistem ketatanegaraaan berbentuk kesatuancommit dan topemerintah user yang sentralistik merupakan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

tempat munculnya kekuasaan ditangan satu orang atau satu golongan yang mudah

bertindak sewenag-wenang (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 7).

Dewan Perjuangan/PRRI memproklamirkan Bahwa Republik Indonesia

mulai hari senin 8 Februari 1960 berbentuk federasi, dengan nama Republik

Persatuan Indonesia; Bahwa Republik Persatuan Indonesia adalah negara hukum dan kebangsaan, berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan; Bahwa Undang Undang Dasar sementara Republik Indonesia 17 Agustus 1950 tidak berlaku lagi bagi Republik Persatuan Indonesia. Meminta dan mendesak kepada PBB dan kepada anggota-anggotanya untuk memberi pengakuan kepada Republik Persatuan Indonesia sebagai suatu subyek hukum baru di dunia internasional yang mempunjai Undang-Undang Dasar dan Pemerintahan sendiri serta derah kekuasaan yang nyata, agar supaya mereka membantu pemerintah Republik Persatuan Indonesia dalam usahanya membebaskan daerah-daerah dan suku-suku bangsa Indonesia yang sekarang meringkuk di bawah penindasan diktatur Sukarno, hingga mereka ini masing-masing dapat menyatakan keinginannya secara bebas dan demokratis, berdasarkan hak menentukan nasib sendiri (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no.9).

Wilayah dan negara-negara bagian yang menjadi anggota pertama dari

Republik Persatuan Indonesia, dari pihak proklamator diterangkan sebagai

berikut:

a. Pasal 2 Republik Persatuan Indonesia terdiri dari negara-negara Bagian dan

Daerah-daerah Swatantra.

b. Pasal 3 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi

Wilayah Republik Presatuan Indonesia meliputi seluruh wilayah Republik

Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945.

Pada saat Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan, belum semua

wilayah Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945, yakni seluruh wilayah

Hindia Belanda dulu, de facto dikuasai oleh Pemerintah Republik Persatuan

Indonesia, namun de jure RPI berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Tugas pertama dan utama dari pemerintahcommit to Republik user Persatuan Indonesia, ialah:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

membebaskan daerah-daerah Indonesia dari kekejaman dan kekuasaan sewenang-

wenang dari rezim Sukarno dan memberi kesempatan kepada daerah-daerah dan

suku-suku bangsa Indonesia setelah dibebaskan dari cengkeraman regime Sukarno

itu untuk menyusun dirinya dalam Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara

Bagian atau Daerah Swatantra menurut hak menentukan nasibnya sendiri bagi masing-masing daerah dan suku bangsa itu. Tugas selanjutnya membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda dengan cara damai. Daerah-daerah Indonesia yang pada permulaan menjadi anggota Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara Bagian adalah sebagai yang disebut dalam pasal 179 ajat 1, dan meliputi seluruh Suamtera dan kepulauan disekitarnya serta Indonesia bagian Timur. Kedudukan hukum dari daerah-daerah Indonesia selebihnya akan ditentukan berangsur-angsur sejalan dengan pembebasan daerah-daerah itu, dari cengkeraman regime Sukarno. c. Pasal 179 ajat 1 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi sebagai berikut: Negara-Negara Bagian yang menjadi anggota pertama dari Republik Persatuan Indonesia adalah sbb: a. Negara Bagian Republik Islam Aceh.

b. Negara Bagian Tapanuli/Sumatera timur(Sum. Utara).

c. Negara Bagian Sumatera Barat.

d. Negara Bagian Riau.

e. Negara Bagian Djambi.

f. Negara Bagian Suamatera Selatan.

g. Negara Bagian Sulawesi Utara.

h. Negara Bagian Republik Islam Sulawesi Selatan.

i. Negara Bagian Maluku Utara.

j. Negara Bagian Maluku Selatan.

Berhubungan dengan sukarnya perhubungan yang mempersulit

mengadakannya musyawarah sebagai akibat agresi Sukarno yang menghalang-

halangi kemungkinan bagi rakyat untuk menyatakan pendapatnya secara bebas- demokratis, maka jumlah dan batascommit negara to user-negara bagian yang pertama ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

tidaklah mutlak. Pada prinsipnya berdirinya sesuatu daerah sebagai negara bagian

harus memenuhi syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam pasal 47 Undang-

Undang Dasar ini. Yang terpenting diantaranya ialah, syarat sanggup memenuhi

kewajiban keuangan, dan keinginan rakyat yang dinyatakan secara demokratis

(Arsip Sjafruddin Prawiranegara No. 10). Dalam pidato ulang tahun RPI Sjafruddin sebagai Presiden RPI menyampaikan 5 Azas Pokok UUD RPI. Kalau dirumuskan asas-asas pokok dari UUD RPI yang disepakati dengan bulat dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Tali pengikat yang mempersatukan suku bangsa baik secara kolektif maupun secara individual, dari seluruh daerah daerah dan pulau-pulau di Indonesia, hingga mereka menjadi satu bangsa dan satu negara adalah keimanan kepada Tuhan Jang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa. b. Pengakuan yang menjadi dasar kewajiban dari penguasa, baik penguasa federasi, maupun penguasa negara bagian untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. c. Semua manusia adalah sama harganya atau nilainya di sisi Tuhan. Tetapi justru karena persamaan itu, maka adalah kewajiban bagi yang kuat untuk

melindungi yang lemah, bagi yang kaya untuk membantu yang miskin, bagi

yang pandai untuk menolong sesamanya yang kurang cerdas.

d. Pemerintahan diatur dan diselenggarakan dengan cara musyawarah atau

demokrasi.

e. Hak atau kebebasan menetukan nasibnya sendiri. Usaha untuk memperbaiki

nasib sendiri, baik dari individu maupun dari sesuatu golongan atau kaum,

tidak boleh dihalang-halangi oleh orang atau golongan lain.

f. Perasaan solidaritas dengan seluruh bangsa-bangsa di dunia (Arsip Sjafruddin

Prawiranegara No 12).

Pada kesempatan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan pada

tanggal 17 Agustus 1961, Presiden Soekarno menetapkan dan mengundangkan

Keppres no. 449/1961 memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dengancommit pem to userberontakan Daud Bereueh di Aceh,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

pemberontakan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” dan “Perjuangan

Semesta” di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, yang

selambat-lambatnya pada tanggal 5 Oktober 1961 telah melaporkan dan

menyediakan membaktikan diri kepada Republik Indonesia (Arsip Sjafruddin

Prawiranegara No.6). Sjafruddin sudah mengetahui lebih dahulu tentang isi Keppres tersebut, maka berdasarkan hasil perundingan dengan kawan-kawannya, pada hari itu juga 17 Agustus 1961, Sjafruddin sebagai presiden RPI dia mengeluarkan instruksi demi cinta terhadap Nusa dan Bangsa, marilah menghentikan segala permusuhan dan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indoensia, sambil memohon ampun dan berserah diri kepada Tuhan, serta menjadikan tenaga dan kepandaian yang dimiliki guna rehabilitasi bangsa dan tanah air Indonesia bila diminta dan diperlukan serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sejak dikeluarkan putusan ini, hendaknya semua petugas dan pejuang Republik Persatuan Indonesia yang masih aktif memberi perlawanan terhadap Pemeritnah Republik Indonesia dan Angkatan Perangnya, menghentikan segala tindakan yang dapat dipandang sebagai tindakan perlawanan dan permusuhan, sambil menunggu instruksi kami

selanjutnya tentang melaksanakan maksud dari putusan (Arsip Sjafruddin

Prewiranegara No.6).

Keluarnya instruksi dari Sjafruddin Prawiranegara disusul dengan

penyerahan diri para tokoh dalam RPI. Dimulai dengan Ahmad Husein menyerah

pada 23 Juni 1961 dan keterangannya kepada Pers di Solok, seluruh pasukannya

yang akan turun berjumlah 13.500 orang. Simbolon beserta Divisi Pusukbuhit

menyerah pada tanggal 27 Juli 1961. Kolonel Zulkifli Lubis beserta 19 orang

anakbuahnya menyerah pada 18 Agustus 1961. Sjafruddin Prawiranegara,

Burhanuddin Harahap, Amalz, Buaya Malik, Haji Djaramel Damanik

menyerahkan diri pada 28 Agustus 1961 (Anwar, 1981: 71-91).

Kolonel Abdurachman Prawirakusumah diutus Jenderal Nasution untuk

melihat keadaan bekas pemimpin-pemimpin RPI dan kemudian melaporkannya kepada KSAD. Kepada Kolonel Abdurachmancommit to user Prawirakusumah yang merupakan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

adiknya, Sjafruddin melaporkan bahwa RPI masih punya sejumlah emas yang

dipendam, berupa batangan dan uang emas yang ditinggalkan di sekitar Koto

Tinggi. Sjafruddin ingin supaya emas itu selekas mungkin digali untuk diserahkan

kepada Pemerintah Republik Indonesia. Emas itu berasal dari Bank Indonesia

Padang, yang merupakan cadangan untuk membiayai perjuangan PRRI/RPI. Dari jumlah beberapa puluh kilogram, hanya sebagian kecil saja yang sudah dikeluarkan, dipakai untuk membiayai perjuangan. Setelah masalah emas diberitakan kepada Jenderal Nasution, maka tidak lama kemudian, di bawah pimpinan Kolonel Abdurachman dan atas petunjuk orang kepercayaan Sjafruddin yang mengetahui tempat emas itu dipendam, dilakukan penggalian dan emasnya pun diambil, jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu secara resmi kemudian diserahkan oleh Sjafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962, dan kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia sebagai kekayaan negara (Kahin, 2005: 355). Sjafruddin dan teman-teman tidak lama tinggal di Padang Sidempuan Medan. Mereka dimasukkan ke “karantina politik”. Dari keterangan M. Yunan Nasution dalam bukunya Kenang-kenangan di Belakang Trali Besi di Zaman

Orde Lama, dasar hukum yang dipergunakan rezim Soekarno untuk

mengkarantina Sjafruddin dan teman-temannya sama dengan peraturan hukum

yang dipakai sebagai landasan hukum untuk menahan M. Yunan, Mr. Mohammad

Roem, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, dan lain-lain. Peraturan tersebut

ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Keadaan Bahaya

(PPUKB) no. 23 tahun 1959, yang menggantikan ordonansi Belanda. Jadi,

meskipun bekas pimpinan PRRI/RPI sudah diberi amnesti dan abolisi, tetapi

berdasarkan keadaan bahaya yang telah dinyatakan dalam PPUKB itu, dapat

ditahan buat waktu yang tidak ditentukan lamanya. Pada permulaan tahun 1962,

Sjafruddin dan teman-temannya dibawa dari Padang Sidempuan ke Jakarta,

selanjutnya dibawa ke Cipayung, Bogor. Disana disediakan beberapa buah rumah

untuk menampung Sjafruddin dan kawan-kawannya. Walaupun di Cipayung bebas bergerak, tetapi Sjafruddin commitdan teman to user-temannya tidak boleh meninggalkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

kota kecil itu tanpa izin dari perwira yang bertugas mengawasi mereka (Rosidi,

2011: 227-345).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. SIMPULAN

1. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Ayahnya, seorang

birokrat dan agamis, sementara ibunya berdarah Minang. Sjafruddin dididik

dalam lingkungan sekolah Belanda dan hanya mendapatkan pendidikan agama secara informal dari lingkungan keluarga dan kampungnya. Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS, MULO, dan AMS di Bandung. Sjafruddin kemudian masuk ke RHS dan terlibat dalam organisasi Mahasiswa yang bernama USI (Unitas Studiosorum Indoneesiensis). Kehidupan Ayahnya sebagai priyayi yang taat pada ajaran agama Islam, dekat dengan dan memperjuangkan nasib rakyat, namun cara berpakaian secara Barat, menjadi pedoman yang membuat Sjafruddin bisa bergaul dengan kalangan santri modernis dan kaum sosialis sekuler, selalu berlandaskan pada ajaran agama Islam saat mengambil keputusan, dan berani melawan arus dalam memutuskan kebijakan. Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Rasa cinta kepada orang

tuanya terutama kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka Sjafruddin

memilih menjadi anggota Masyumi. Peran Sjafruddin dalam partai Masyumi

sangat besar, pemikiran Sjafruddin banyak memberikan gambaran ideologi dan

kebijakan Masyumi.

2. Peran Politik Sjafruddin bagi Indonesia tahun 1945-1961 yaitu diawali dengan

dipilihnya Sjafruddin menjadi salah satu anggota Badan Pekerja KNIP pada

tanggal 16 dan 17 Oktober 1945. Peran penting Sjafruddin selanjutnya yaitu

menjadi Menteri Keuangan Kabinet Sjahrir III dengan kebijakan mengeluarkan

Oeang Republik Indonesia (ORI). Peristiwa dikeluarkannya ORI merupakan

tonggak sejarah dalam perkembangan ekonomi Indonesia yang baru saja

memproklamasikan kemerdekaan dan sedang membebaskan diri dari kolonialisme

ekonomi, sebagai alat perjuangan kemerdekaan dalam membiayai berbagai macam keperluan negara. commit to user

93 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran memperbaiki

ekonomi Indonesia. Sjafruddin ditunjuk untuk membentuk PDRI pada tahun 1948

guna menyelamatkan Republik dengan menjamin kelangsungan hidup negara

Republik Indonesia, memenuhi tuntutan hukum internasional, dan untuk

melanjutkan Perjuangan. Sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta tahun 1949, Sjafruddin mengeluarkan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting Sjafruddin” yang berhasil menembak beberapa sasaran yaitu pengganti uang yang bermacam-macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib. Pada tahun 1951 Sjafruddin Prawiranegara terpilih menjadi Gubernur De Javasche Bank, dan pada 1953 Sjafruddin menjadi Gubernur Pertama Bank Indonesia. Ketika menjadi Gubernur Bank Indonesia, Sjafruddin berhasil mengelola manajemen keuangan yang bagus dan juga meletakkan dasar-dasar kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih menjadi pedoman sampai sekarang. Pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan Perjuangan memutuskan Sjafruddin menjadi Perdana Menteri. Sjafruddin memimpin PRRI sebagai bentuk koreksi atas pemerintahan Republik pusat, dan

untuk membela kebenaran dan keadilan.

B. IMPLIKASI

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan muncul implikasi yang dapat

dipandang dari berbagai segi sebagai berikut :

1. Teori

Sjafruddin Prawiranegara memberikan kontribusi besar bagi Indonesia.

Peran yang dilakukan Sjafruddin adalah upaya untuk berpartisipasi secara aktif

dalam proses politik yang berlangsung di Indonesia. Partisipasi tidak dilakukan

karena keinginan Sjafruddin, namun atas desakan dari berbagai pihak serta

kondisi dan kemampuan yang dimiliki Sjafruddin. Kemampuan dan kompetensi

yang dimiliki Sjafruddin membuatnya menjadi elite politik yang berperan penting dalam perkembangan politik Indonesia.commit to Sebagai user contoh Sjafruddin bergabung

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

dengan Masyumi. Dalam percaturan politik Indonesia, sistem koalisi dan oposisi

yang terjadi pada masa demokrasi liberal yang menempatkan Sjafruddin sewaktu-

waktu sebagai koalisi dan oposisi, telah mengakar pada sistem politik Indonesia

saat ini, terlihat dalam pola oposisi terselubung.

Partai politik dihuni oleh para elite politik yang berperan penting dalam kebudayaan politik. Elite politik melakukan suatu aktivitas politik yang menyebabkan terjadinya pergeseran dalam sistem politik. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu elite politik yang berperan aktif dalam kebudayaan politik Indonesia. Sebagai seorang elite Sjafruddin Prawiranegara merealisasikan pemikirannya menjadi kebijakan yang bersifat umum. Seperti kebijakan mengeluarkan ORI, kebijakan “Operasi Gunting Sjafruddin”, dan meletakkan dasar-dasar kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih menjadi pedoman sampai sekarang. Perannya berfungsi sebagai pemeliharaan atas stabilitas politik di Indonesia pada tahun 1945-1961.

2. Praktis Implikasi praktis dari penelitian ini terhadap pendidikan adalah sebagai

wacana baru tentang peran seorang tokoh besar dengan kepribadian yang patut

dicontoh generasi muda. Prinsip hidup Sjafruddin yakni seluruh kegiatan manusia

sebagai ibadah dan bagian dari agama, membuat setiap keputusan dan kebijakan

yang diambil selalu berlandaskan ajaran agama Islam. Sikap Sjafruddin yang

jujur, berpikir kritis, berpedoman dan taat pada ajaran agama dapat diterapkan

pada pelajar dan mahasiswa.

C. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat penulis ungkapkan

ialah sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

Bagi para peneliti yang tertarik untuk memperdalam kajian tentang Sjafruddin Prawiranegara, diharapkancommit todapat user meneliti lebih mendalam dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

kebijakan Sjafruddin agar dapat mengangkat peran Sjafruddin di Indonesia.

Seperti kebijakan ekonomi yang berdasarkan pada ekonomi Islam. Mengingat

kajian yang membahas ekonomi Islam yang di kembangkan Sjafruddin masih

sangat sedikit, dan juga pandangan monetaris Sjafruddin merupakan salah satu

kebijakan pembangunan yang digunakan pemerintah Orde Baru. Selain itu, diharapkan muncul penelitian yang mengkaji mengenai tokoh-tokoh lain yang berperan penting dalam sejarah Indonesia.

2. Bagi Institusi Pendidikan Keteladanan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin dan memiliki kepribadian dengan sifat jujur, integritas dan intelektual yang tinggi, berhati-hati dalam mengambil keputusan, keyakinan yang tinggi dan berani memutuskan kebijakan yang terkadang melawan arus, sikap realistis, selalu mendasarkan kebijakan dan pemikirannya pada ajaran Islam, sikap kritis, berpedoman dan taat pada agama, merupakan panutan yang harus dicontoh institusi pendidikan untuk mengambil kebijakan dan keputusan. Untuk meningkatkan jiwa nasionalisme para pelajar, maka kajian mengenai tokoh-tokoh yang berperan penting bagi Indonesia

perlu diangkat sebagai sumber pembelajaran, terutama generasi penerus bangsa.

commit to user