TINGKAT ANCAMAN DAN KAPASITAS MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN KARANGKOBAR KABUPATEN BANJARNEGARA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)

Oleh : Arfina Fakhfiyani 3211415006

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI

2020

ii

iii

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

1. “Katankanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya

untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam” (Q.S. Al-An’am Ayat 162).

2. Man Jadda Wajada (barangsiapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia akan

berhasil).

Persembahan

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, saya persembahkan skripsi ini kepada:

1. Almamater ku Universitas Negeri Semarang

2. Kedua orang tua Bapak Tantowi dan Ibu Effi Sumarni, terima kasih atas segala

kasih sayang, pengorbanan, perjuangan, dukungan, dan doa yang tak pernah

berhenti bagi anak-anaknya, yang selalu menjadi sumber semangat bagi

penulis.

3. Sahabat dan teman seperjuanganku Ilmu Geografi angkatan 2015.

v

PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkat Ancaman dan

Kapasitas Masyarakat terhadap Bahaya Tanah Longsor Di Kecamatan

Karangkobar Kabupaten Banjarnegara” dengan lancar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tak terlepas dari bantuan, motivasi, pikiran, sarana dan dana dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ungkapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

1. Prof. Dr. Fathkur Rokhman, M. Hum, Rektor Universitas Negeri

Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menimba ilmu.

2. Dr. Moh. Solehatul Mustofa, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Negeri Semarang yang telah memberikan kemudahan kepada penulis

dalam proses penyelesaian skripsi.

3. Dr. Tjaturahono Budi Sanjoto, M.Si, Ketua Jurusan Geografi yang telah

memberikan ijin kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

4. Dr. Erni Suharini, M.Si, Dosen pembimbing yang dengan sabar

membimbing dan memberi arahan kepada penulis selama menyusun

skripsi.

5. Dr. Puji Hardati, M.Si, Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan

dan masukan yang membangun.

vi

vii

SARI Fakhfiyani Arfina. 2019. Tingkat Ancaman dan Kapasitas Masyarakat terhadap Bahaya Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara. Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Dr. Erni Suharini M.Si. Kata Kunci: Ancaman, Tanah Longsor, Kapasitas Kecamatan Karangkobar wilayahnya merupakan pegunungan terjal dengan tingkat kelerengan 25–>40%, memiliki intensitas curah hujan 3000->3500 mm/tahun. Penduduk di Kecamatan Karangkobar 50% bekerja sebagai petani yang memanfaatkan lahan pegunungan, sehingga dapat memicu terjadinya tanah longsor. Sepanjang tahun 2018 telah terjadi 23 kali tanah longsor di Kecamatan Karangkobar dari total 152 kejadian tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara, dimana jumlah kejadian tanah longsor yang terjadi tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Banjarnegara. Tanah longsor menyebabkan 6 orang luka-luka, 4 kepala keluarga terancam, 2 rumah rusak berat, 1 rumah rusak ringan, 8 rumah rusak sedang, dan 10 infrastruktur mengalami kerusakan. Melihat bahaya tanah longsor yang sewaktu-waktu dapat mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan: 1) Mengetahui tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar, 2) Mengetahui tingkat kapasitas masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Karangkobar yang terletak pada 7˚14’50” LS-7˚19’15” LS dan 109˚40’05” BT- 109˚44’45” BT. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi area dan populasi masyarakat, populasi area dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah di Kecamatan Karangkobar dengan luas 3.209,252 hektar yang terdiri dari 100 satuan unit lahan yang secara administrasi terdiri dari 13 desa, dengan teknik pengambilan sampel yang berupa area sampling berdasarkan satuan unit lahan yang memiliki kemiringan lereng dan jenis tanah yang sama sehingga diperoleh sampel 18 satuan unit lahan. Populasi masyarakat dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang tinggal di Kecamatan Karangkobar yang berjumlah 8.708 KK, dengan teknik pengambilan sampel yang berupa teknik purposive sampling berdasarkan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi, dengan penentuan jumlah sampel menggunakan Rumus Slovin sehingga diketahui 99 sampel KK yang tersebar di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Variabel dalam penelitian ini adalah ancaman tanah longsor dan kapasitas masyarakat, dengan metode pengumpulan data untuk variabel ancaman tanah longsor melalui dokumentasi, pengukuran, observasi, survey lapangan, dan analisis sistem informasi geografis, sementara metode analisis yang digunakan adalah analisis skoring, sistem informasi geografis, dan analisis deskriptif. Sedangkan untuk variabel kapasitas melalui kuesioner dan wawancara, dengan teknik analisis skala Gutman dan deskriptif komparatif. Kecamatan Karangkobar memiliki 2 tingkat ancaman tanah longsor, yaitu sedang dan tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang

viii

seluas 2.419,96 hektar atau 75%, sedangkan tingkat ancaman tanah longsor tinggi adalah seluas 789,29 hektar atau 25% yang tersebar di 11 desa. Wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat rendah ada 7 desa dengan karakteristik telah adanya aturan dan kelembagaan dan pendidikan kebencanaan, namun peringatan dini dan kajian resiko bencana, pengurangan faktor resiko dasar, dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini belum tersedia. Belum terbentuknya desa siaga bencana, belum adanya sosialisasi ataupun pelatihan tentang pengurangan bencana, masyarakat masih memanfaatkan kentongan dan speker masjid sebagai media untuk menyampaikan informasi, serta penggunaan lahan paling tinggi berupa ladang dengan presentase 49% yang didominasi tanaman salak. Sementara daerah yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat sedang ada 3 desa, dengan karakteristik telah adanya aturan dan kelembagaan, peringatan dini dan kajian resiko bencana, pengurangan factor resiko dasar, dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini, namun pendidikan kebencanaan belum tersedia. Belum terbentuknya desa siaga bencana di semua desa hanya ada di Desa Sampang, sudah dilaksanakannya sosialisasi dan pelatihan tentang pengurangan bencana, masyarakat memanfaatkan kentongan dan mulai menggunakan hp sebagai media untuk menyampaikan informasi, serta penggunaan lahan paling tinggi berupa ladang dengan presentase 38% yang didominasi tanaman sayur, jagung, dan singkong. Sedangkan desa dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat tinggi adalah Desa Pagerpelah, yang memiliki karakteristik telah adanya semua parameter kapasitas masyarakat yang berupa aturan dan kelembagaan, peringatan dini dan kajian resiko bencana, pendidikan kebencanaan, pengurangan factor resiko dasar, dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Pembentukan desa siaga bencana baru pada tahap atau upaya awal, sudah dilaksanakannya sosialisasi dan pelatihan tentang pengurangan bencana, masyarakat memanfaatkan kentongan dan mulai menggunakan hp sebagai media untuk menyampaikan informasi, serta penggunaan lahan paling tinggi berupa kebun dengan presentase 47% yang didominasi tanaman salak. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Kecamatan Karangkobar 75% dari wilayahnya memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang, sedangkan 25% wilayahnya memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi terdapat di 11 desa. Kesebelas desa yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi 7 desa memiliki kapasitas masyarakat rendah, 3 desa dengan kapasitas sedang, dan 1 desa yang memiliki kapasitas masyarakat tinggi. Saran yang dikemukakan adalah perlunya sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya pengurangan resiko bencana tanah longsor.

ix

ABSTRACT Fakhfiyani Arfina. 2019. Threat Level and Community Capacity for Landslide Hazards in Karangkobar District, Banjarnegara . Thesis. Department of Geography, Faculty of Social Sciences, Semarang State University. Supervisor Dr. Erni Suharini M.Si. Keywords: Threats, Landslides, Capacity Karangkobar District is a rugged mountain range with a slope level of 25-> 40%, has a rainfall intensity of 3000-> 3500 mm / year. 50% of the population in Karangkobar District work as farmers who use mountainous land, which can trigger landslides. Throughout 2018 there have been 23 landslides in Karangkobar District, out of a total of 152 landslides that occurred in Banjarnegara District, where the number of landslides that occurred was the highest compared to other areas in Banjarnegara District. Landslides injured 6 people, threatened 4 families, 2 houses were severely damaged, 1 house was slightly damaged, 8 houses were moderately damaged, and 10 infrastructure was damaged. Seeing the danger of landslides that can threaten the community at any time, it is necessary to do research with the aim of: 1) Knowing the level of landslides in Karangkobar District, 2) Knowing the level of community capacity in areas that have high levels of landslide threats. The research was carried out in Karangkobar Subdistrict, which was located at 7˚14'50 "LS-7˚19'15" LS and 109˚40'05 "BT- 109˚44'45" East. The population in this study consisted of the area population and community population, the population of the area in this study were all areas in Karangkobar District with an area of 3,209,252 hectares with a sampling technique in the form of a sampling area based on land units that have the same slope and soil type so that a sample of 18 land units is obtained. The population in this study were all family heads who lived in Karangkobar Subdistrict, amounting to 8,708 households, with a sampling technique in the form of purposive sampling technique based on areas that had a high level of landslide threat, by determining the number of samples using the Slovin Formula so that 99 samples of KK were known scattered in areas that have high landslide threats. The variables in this study are landslide threats and community capacity, with data collection methods for landslide threat variables through documentation, measurement, observation, field survey, and geographic information system analysis, while the analysis method used is scoring analysis, geographical information system, and descriptive analysis. As for the capacity variable through questionnaires and interviews, with Gutman scale analysis techniques and comparative descriptive. Karangkobar sub-district has 2 levels of landslide threats, namely medium and high. The area that has a moderate level of landslide threat is 2,419.96 hectares or 75%, while the level of high landslide threat is 789.29 hectares or 25% spread in 11 villages. There are 7 villages that have a high level of landslide threat that have a low level of community capacity with the characteristics of existing rules and institutions and disaster education, but early warning and disaster risk assessment, reduction of basic risk factors, and preparedness development on all lines are not yet available. Not yet formed a disaster prepared village, there has been no socialization or training on disaster reduction, the community still uses

x

kentongan and mosque speakers as a medium to convey information, as well as the highest land use in the form of fields with a percentage of 49% dominated by salak plants. While there are 3 villages with a high level of community capacity, with characteristics and institutional arrangements, early warning and disaster risk assessment, reduction of basic risk factors, and preparedness development on all fronts, disaster education is not yet available. Not yet established disaster alert villages in all villages only in the village of Sampang, socialization and training on disaster reduction have been carried out, people use kentongan and start using cellphones as a medium to convey information, and the highest land use in the form of fields with a percentage of 38% dominated by plants vegetables, corn and cassava. While the village with a high level of landslide threat that has a high level of community capacity is Pagerpelah Village, which has the characteristics of all community capacity parameters in the form of rules and institutions, early warning and disaster risk assessment, disaster education, reduction of basic risk factors, and development preparedness on all lines. The establishment of a new disaster prepared village at the initial stage or effort, socialization and training on disaster reduction have been carried out, the community utilizes kentongan and begins to use mobile phones as a medium to convey information, as well as the highest land use of gardens with a percentage of 47% dominated by zalacca plants. The conclusion of this study is that Karangkobar District 75% of its area has a moderate level of landslide threat, while 25% of its area has a high level of landslide threat. Areas that have a high level of landslide threat are found in 11 villages. Eleven villages have a high level of landslide threat, 7 villages have low community capacity, 3 villages with medium capacity, and 1 village that has high community capacity. Suggestions raised are the need for socialization and training to the community to increase knowledge and awareness of the importance of reducing the risk of landslide disasters.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii

PENGESAHAN KELULUSAN...... iii

PERNYATAAN...... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...... v

PRAKATA...... vi

SARI ...... viii

DAFTAR ISI...... xii

DAFTAR GAMBAR ...... xvi

DAFTAR TABEL ...... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...... xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………1

B. Rumusan Masalah...... 9

C. Tujuan...... 9

D. Manfaat ...... 9

E. Batasan Istilah...... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teoritis...... 12

1. Ancaman Tanah Longsor...... 12

a. Ancaman...... 12

b. Tanah Longsor...... 12

1). Pengertian Tanah Longsor ...... 12

xii

2). Penyebab Tanah Longsor...... 13

3). Jenis-jenis Tanah Longsor ...... 16

4). Parameter Tanah Longsor...... 18

2. Kapasitas Masyarakat...... 29

a. Kapasitas...... 29

1). Pengertian Kapasitas Masyarakat ...... 29

2).Parameter dan Indikator Kapasitas...... 30

b. Masyarakat...... 34

C. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan...... 35

D. Kerangka Berfikir...... 41

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ...... 44

B. Populasi Penelitian ...... 46

1. Populasi Area...... 46

2. Populasi Masyarakat...... 46

C. Sampel dan Teknik Sampling ...... 47

1. Sampel Area...... 47

a. Proses Penentuan Sampel...... 47

b. Penetapan satuan Lahan yang Menjadi Sampel...... 51

2. Sampel Masyarakat...... 54

D. Variabel Penelitian ...... 57

E. Sumber Data Penelitian...... 59

1. Data Primer...... 59

2. Data Sekunder...... 59

F. Alat dan Teknik Pengumpulan Data...... 60

xiii

1. Alat Pengumpulan Data...... 60

a. Alat Pengumpulan Data...... 60

b. Bahan yang Digunakan dalam Penelitian...... 60

2. Teknik Pengumpulan Data...... 61

a. Ancaman Tanah Longsor...... 61

b. Kapasitas Masyarakat...... 63

G. Teknik Analisis Data...... 64

a. Analisis Sistem Informasi Geografis...... 64

b. Analisis Satuan Lahan...... 65

c. Analisis Skoring...... 65

d. Analisis Deskriptif...... 68

e. Skala Gutman...... 69

f. Analisis Deskriptif Komparatif...... 70

H. Diagram Alir Penelitian...... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian...... 74

1. Letak Astronomis...... 74

2. Luas Daerah Penelitian...... 74

3. Kondisi Kependudukan Wilayah Penelitian...... 76

4. Kondisi Perekonomian Penduduk...... 79

5. Kondisi Sosial...... 81

B. Hasil Penelitian...... 84

1. Ancaman Tanah Longsor ...... 84

a. Kemiringan Lereng...... 84

b. Curah Hujan...... 87

xiv

c. Penggunaan Lahan ...... 89

d. Jenis Tanah...... 94

e. Tekstur Tanah...... 96

f. Drainase Tanah ...... 100

g. Kedalaman Tanah...... 103

2. Hasil Pengukuran pada Sampel Satuan Lahan Penelitian...... 105

3. Perhitungan Tingkat Ancaman Tanah Longsor...... 112

4. Lokasi Kejadian Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 116 5. Perhitungan Kapasitas Masyarakat ...... 122

C. Pembahasan...... 137

1. Analisis Tingkat Ancaman Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 137

a. Tingkat Ancaman Tanah Longsor Sedang...... 137

b. Tingkat Ancaman Tanah Longsor Sedang...... 138

c. Tingkat Ancaman Tanah Longsor Tinggi...... 139

2. Analisis Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana

Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 140

a. Tingkat Kapasitas Rendah...... 140

b. Tingkat Kapasitas Sedang...... 145

c. Tingkat Kapasitas Tinggi...... 152

BAB V PENUTUP

A. Simpulan...... 158

B. Saran...... 158

DAFTAR PUSTAKA ...... 159

LAMPIRAN ...... 164

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir...... 43 Gambar 3.1 Peta Administrasi Kecamatan Karangkobar...... 45 Gambar 3.2 Peta Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar...... 50 Gambar 3.3 Peta Lokasi Sampel Penelitian...... 53 Gambar 3.4 Alur Penentuan Sampel Penelitian………………………...... …56 Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian……………………………………...... 73 Gambar 4.1 Pengukuran Kemiringan Lereng...... 85 Gambar 4.2 Peta Kemiringan Lereng...... 86 Gambar 4.3 Peta Curah Hujan...... 88 Gambar 4.4 Penggunaan Lahan Permukiman...... 90 Gambar 4.5 Penggunaan Lahan Tegalan...... 91 Gambar 4.6 Penggunaan Lahan Kebun...... 92 Gambar 4.7 Penggunaan Lahan Hutan Campuran...... 92 Gambar 4.8 Peta Penggunaan Lahan...... 93 Gambar 4.9 Peta Jenis Tanah...... 95 Gambar 4.10 Uji Tekstur Tanah di Lapangan……………………………………96 Gambar 4.11 Peta Tekstur Tanah…………...... 99 Gambar 4.12 Uji Drainase Tanah……………………………………...... 100 Gambar 4.13 Peta Drainase Tanah……………...... 102 Gambar 4.14 Peta Kedalaman Tanah……………...... 104 Gambar 4.15 Peta Ancaman Tanah Longsor Kecamatan Karangkobar…...... 114 Gambar 4.16 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Diwek Desa Karangkobar...... 117 Gambar 4.17 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Jemblung Desa Sampang...... 118 Gambar 4.18 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Gintung Desa Binangun…...... 119 Gambar 4.19 Peta Titik Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 121 Gambar 4.20 Indeks Kapasitas Masyarakat Kecamatan Karangkobar...... 125

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng...... 20 Tabel 2.2 Klasifikasi Kepekaan Jenis Tanah terhadap Erosi...... 22 Tabel 2.3 Klasifikasi Intensitas Curah Hujan...... 23 Tabel 2.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan...... 25 Tabel 2.5 Klasifikasi Tekstur Tanah...... 26 Tabel 2.6 Klasifikasi Tekstur Tanah Berdasarkan Jenis Tanah ...... 26 Tabel 2.7 Kriteria Drainase Tanah...... 27 Tabel 2.8 Klasifikasi Kedalaman Tanah...... 28 Tabel 2.9 Indeks Kapasitas Masyarakat...... 34 Tabel 2.10 Kajian Penelitian yang Relevan...... 39 Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018...... 46 Tabel 3.2 Sampel Satuan Lahan Penelitian...... 52 Tabel 3.3 Persebaran Sampel Penelitian di Kecamatan Karangkobar...... 55 Tabel 3.4 Variabel Penelitian...... 57 Tabel 3.5 Data Sekunder dalam Penelitian...... 59 Tabel 3.6 Alat Pengumpulan Data...... 60 Tabel 3.7 Bahan yang Digunakan dalam Penelitian...... 61 Tabel 3.8 Klasifikasi Tingkat Ancaman Tanah Longsor...... 68 Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan Karangkobar...... 75 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2018...... 76 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Kelompok Usia Tahun 2018...... 77 Tabel 4.4 Kepadatan Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018...... 78 Tabel 4.5 Matapencaharian Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 79 Tabel 4.6 Sarana Perekonomian di Kecamatan Karangkobar...... 80 Tabel 4.7 Data Fasilitas Sosial di Kecamatan Karangkobar...... 81 Tabel 4.8 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Karangkobar

xvii

Tahun 2019...... 83 Tabel 4.9 Kemiringan Lereng Kecamatan Karangkobar...... 84 Tabel 4.10 Curah Hujan Kecamatan Karangkobar...... 87 Tabel 4.11 Penggunaan Lahan Kecamatan Karangkobar...... 89 Tabel 4.12 Jenis Tanah Kecamatan Karangkobar...... 94 Tabel 4.13 Tekstur Tanah Kecamatan Karangkobar...... 97 Tabel 4.14 Drainase Tanah Kecamatan Karangkobar...... 101 Tabel 4.15 Hasil Skoring Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Setiap Sampel...... 113 Tabel 4.16 Luas Daerah Berdasarkan Tingkat Ancaman Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 115 Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Slatri...... 123 Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Paweden...... 124 Tabel 4.19 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Gumelar...... 125 Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Sampang...... 126 Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Ambal...... 127 Tabel 4.22 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pagerpelah...... 128 Tabel 4.23 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pasuruhan...... 129 Tabel 4.24 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karanggondang...... 130 Tabel 4.25 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Jlegong...... 131 Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Binangun...... 132 Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karangkobar...... 133 Tabel 4.28 Tingkat Kapasitas Masyarakat Dengan Tingkat Ancaman Tanah Longsor Tinggi Di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 134 Tabel 4.29 Ketersediaan Indikator-indikator Kapasitas Masyarakat...... 136

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Instrument Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor...... 165 Lampiran 2 Instrumen Kapasitas Masyarakat...... 166 Lampiran 3 Instrumen Wawancara Kapasitas Masyarakat...... 175 Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 176 Lampiran 5 Tabel Sampel Satuan Lahan yang Mewakili Satuan Lahan Penelitian...... 179 Lampiran 6 Tabel Hasil Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Sampel Penelitian...... 181 Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat…………………….182 Lampiran 8 Perhitungan Indeks Kapasitas Masyarakat...... 189 Lampiran 9 Peta Persebaran Sampel Kapasitas Masyarakat...... 191 Lampiran 10 Data Curah Hujan Tahunan Stasiun Hujan Wilayah Penelitian dan Wilayah Sekitarnya...... 192 Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian …...…………..……………………………. 193

xix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terletak pada wilayah pertemuan 3 tiga lempeng besar

dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah

pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction

zone yang mengakibatkan pembentukan gunungapi di busur kepulauan

dengan kemiringan sedang hingga terjal (Sutikno, 2001:3). Indonesia terletak

diantara dua wilayah deretan pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan

Muda Mediterania yang melalui Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan

berakhir di Maluku. Dan Pegunungan Muda Sirkum Pasifik yang dimulai dari

Pulau Sulawesi sebagai kelanjutan dari Filipina. Kedua deretan pegunungan

muda tersebut diperkirakan mengalami pertemuan di Kepulauan Sula

Maluku. Indonesia juga terletak diantara tiga lempeng tektonik dunia, yaitu

Lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik (Rijanta, 2018:5).

Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona

penunjaman atau subduction zone yang mengakibatkan pembentukan

gunungapi di busur kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal.

Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang

kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu

keseimbangan hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah

longsor. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur

kepulauan bersifat rawan terhadap tanah longsor (Sutikno, 2001:3).

1

2

Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction zone yang mengakibatkan pembentukan gunungapi di busur kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal

(Sutikno, 2001:3). Keberadaan gunung api di Indonesia selain memberikan keunggulan juga membawa berbagai bahaya seperti gunung meletus, awan panas, banjir lahar, dan tanah longsor (Rijanta, 2018:5). Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah longsor. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan terhadap tanah longsor (Sutikno, 2001:3).

Indonesia dilewati garis ekuator sehingga menerima sinar matahari sepanjang tahun. Berdasarkan posisi tersebut, secara klimatologi Indonesia termasuk dalam klasfikasi iklim sistem matahari atau beriklim tropis. Selain itu Indonesia diapit oleh dua samudera dan dua benua yang mengakibatkan curah hujan sangat tinggi. Dengan keadaan klimatologi yang sedemikian rupa menyebabkan beberapa daerah di Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi (Tjandra, 2017:8).

Pulau Jawa mempunyai sifat fisiografi yang khas, hal ini disebabkan karena beberapa keadaan. Salah satunya adalah Pulau Jawa memiliki iklim tropis dan merupakan geosiklinal muda dan jalur orogenesa dengan banyak vulkanisme yang kuat. Kondisi seperti itu mengakibatkan Jawa mempunyai bentuk yang sempit dan memanjang. Pada dasarnya dapat dibedakan 3 zona

3

pokok memanjang sepanjang pulau. Ketiga zona ini sangat berbeda baik di

Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat. Dibagian tengah dan bagian paling barat pulau Jawa, zona-zona serta jalurnya tampak kurang jelas karena menunjukan adanya perubahan-perubahan (Pannekoek, 1949:24 ).

Zona Selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang berupa plato, berlereng miring ke arah selatan menuju laut Hindia dan disebelah utara berbentuk tebing patahan. Zona ini sering terkikis sehingga kehilangannya bentuk platonya. Di Jawa Tengah sebagian dari zona ini telah diganti atau ditempati oleh dataran alluvial. Sementara zona Tengah Pulau Jawa di wilayah Jawa Timur dan sebagian dari Jawa Barat merupakan depresi. Di tempat-tempat tersebut muncul kelompok gunung berapi yang besar. Di Jawa

Tengah sebagian daerahnya diganti atau ditempati oleh rangkaian pegunungan Serayu selatan, yang mana disebelah utara berbatasan dengan depresi yang lebih kecil. Di bagian paling barat daerah Banten ditempati oleh bukit-bukit dan pegunungan. Sedangkan zona utara Pulau Jawa terdiri dari rangkaian gunung lipatan, berupa bukit-bukit rendah diselingi oleh beberapa gunungapi. Dan ini biasanya berbatasan dengan dataran alluvial (Pannekoek,

1949:24 ).

Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Pulau Jawa yang memiliki bentukan dan struktur geomorfologi yang unik, salah satu diantaranya adalah terdapat beberapa gunung berapi akibat dari proses vulkanisme. Secara geomorfologi wilayah Jawa Tengah dibagi menjadi beberapa zona wilayah dengan proses pembentukan setiap zona yang

4

berbeda-beda. Pada zona Jawa Tengah bagian selatan, proses yang terjadi adalah patahan dan pengangkatan yang menghasilkan bentuk lahan struktural patahan dan bentuk lahan karst. Zona transisi selatan dan tengah Jawa Tengah ditandai dengan adanya intrusi diorite yang merupakan hasil proses structural dan vulkanis (Keswara, 2015:4).

Zona tengah Jawa Tengah didominasi oleh bentang lahan vulkanis, zona ini ditempati oleh depresi yang diisi oleh endapan vulkanik muda. Pada zona tengah proses vulkanik yang mendominasi dibuktikan dengan adanya jajaran gunung api yang memanjang di seluruh Pulau Jawa bagian tengah antara lain Gunung Merapi, Merbabu, Slamet, Dieng, Sindoro, dan masih banyak lagi. Zona transisi zona tengah dan utara Jawa Tengah dicirikan oleh proses diapirisme, yaitu proses lipatan dari dalam bumi yang local dan permukaannya bersifat plastis yang diakibatkan oleh tekanan topografi dari daerah sekitarnya. Sedangkan zona utara Jawa Tengah yang didominasi oleh proses struktural lipatan, yang terdiri dari rangkaian gunung lipatan berupa bukit-bukit rendah atau pegunungan dan diselingi oleh beberapa gunung- gunung api dan biasanya berbatasan dengan dataran aluvial (Keswara,

2015:4).

Kabupaten Banjarnegara menurut geomorfologi Jawa Tengah merupakan bagian dari zona tengah Jawa Tengah yang merupakan bagian dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relative bergelombang dengan lereng setengah terjal hingga terjal, dimana gunung- gunungnya memiliki kemiringan lereng antara 15-40% yang beresiko terjadi

5

tanah longsor (Keswara, 2015:4). Stratigrafi Kabupaten Banjarnegara terdiri dari batuan yang tertua yaitu batuan molion (metamorf) yang terdiri dari sekis kristalin, sabak, filit, kuarsit, dan batuan gamping (Pusat Vulkanologi dan

Mitigasi Bencana Geologi, 2018:23).

Kabupaten Banjarnegara memiliki intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi, yaitu antara intensitas 3000->3500 mm/tahun (Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2019). Dengan curah hujan yang tinggi tersebut menyebabkan tanah menjadi jenuh air, dan akibatnya akan melemahkan ikatan partikel tanah. Molekul air menyusup ke partikel tanah dan menjadi katalisator proses gelinciran antara partikel dan menyebabkan terjadinya tanah longsor (Suranto, 2008:2).

Kabupaten Banjarnegara banyak dilalui oleh jalur patahan terutama di sekitar daerah terjadinya tanah longsor, hal ini merupakan faktor pengontrol yang dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor yaitu sehingga memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak.

Jalur-jalur patahan itu mengakibatkan ikatan lapisan antar batuan penyangga tanah saling terbelah dan rapuh (Ayudya, 2017:2).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2014:30) menyatakan bahwa dari berbagai jenis bencana yang pernah terjadi di Provinsi Jawa

Tengah, tanah longsor merupakan jenis bencana alam yang paling sering terjadi dibandingkan jenis bencana alam lainnya, yakni sebanyak 485 kali kejadian atau sekitar 29,6 % dari total kejadian bencana alam. Kabupaten

Banjarnegara merupakan kawasan yang mempunyai frekuensi terjadinya

6

gerakan tanah yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Jawa

Tengah Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten

Banjarnegara (2019:5), pada tahun 2016 telah terjadi 116 kejadian tanah longsor yang tersebar di wilayah Kabupaten Banjarnegara. Sementara pada tahun 2017 sebanyak 112 kejadian tanah longsor dari total 157 bencana alam yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Dan pada tahun 2018 terjadi 152 kejadian tanah longsor dari total 233 bencana alam yang terjadi di Provinsi

Jawa Tengah.

Wilayah yang rawan terjadinya gerakan tanah dapat dijumpai pada kawasan Banjarnegara bagian utara, hal ini ditunjukkan oleh morfologi atau topografi yang sebagian besar mempunyai sudut lereng >30º (Hutomo,

2016:30). Jenis batuan penyusun terdiri dari batu lempung, breksi, batu pasir dari formasi rambatan yang juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah di kawasan ini (Warnadi, 2012:35).

Faktor penyebab lainnya yaitu pendayagunaan sumberdaya alam secara tidak teratur atau melampaui daya dukungnya akan memicu terjadinya bencana. Nilai suatu lahan yang rendah atau mempunyai kondisi geologi dan jenis medan yang kurang baik jika tidak diperhatikan secara cermat dalam perluasan lahan usahanya, akan mengundang bencana alam tanah longsor

(Verstappen, 1983:50).

Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya (BPS, 2019:67) menyebabkan kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal dan aktivitas ekonomi meningkat. Pembangunan permukiman

7

diarahkan pada daerah yang memiliki lahan yang sesuai peruntukkannya sebagai kawasan permukiman, diantaranya adalah wilayah datar, kemiringan

<15%, drainase tanah baik, daya dukung tanah baik, dan tanah tidak peka erosi (Baperlitbang, 2005:53). Akan tetapi karena sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan terjal dengan tingkat kelerengan yang curam maka penduduk terpaksa menempati lokasi yang tidak layak huni seperti di daerah perbukitan dan lereng pegunungan sebagai kawasan permukiman dan sebagai lahan pertanian.

Kecamatan Karangkobar merupakan salah satu wilayah di

Kabupaten Banjarnegara yang rawan terhadap tanah longsor. Sepanjang tahun 2018 telah terjadi 23 kali tanah longsor atau 15% kejadian tanah longsor terjadi di Kecamatan Karangkobar dari total 152 kejadian tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Dimana jumlah kejadian tanah longsor yang terjadi tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Banjarnegara. Tanah longsor yang terjadi pada tahun 2018 menyebabkan kerugian yang berupa 6 orang luka-luka, 4 kepala keluarga terancam, 2 rumah rusak berat, 1 rumah rusak ringan, dan 8 rumah rusak sedang. Tanah longsor juga menyebabkan rusaknya 10 infrastruktur yang berupa jalan dan jembatan (BPBD, 2019:6).

Kejadian tanah longsor di Kecamatan Karangkobar tersebar hampir merata di seluruh wilayahnya. Tanah longsor tersebut ada yang terjadi pada kawasan permukiman maupun pada kawasan non-permukiman seperti kebun dan tegalan (Hutomo, 2016:304). Dilihat dari letaknya Kecamatan

8

Karangkobar terletak di daerah pegunungan yang memiliki resiko tanah longsor yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten

Banjarnegara (Parmanto, 2015:4).

Bencana tanah longsor yang terjadi menyebabkan masyarakat mengalami kerugian baik pada aspek fisik dan aspek nonfisik. Kerugian dari aspek fisik berupa kerusakan bangunan tempat tinggal, tertutupnya akses jalan utama, kerusakan sawah dan kebun milik warga, dan tertutupnya sungai akibat terkena longsoran. Sedangkan kerugian bencana tanah longsor jika dilihat dari aspek non fisik adalah berupa kerugian dari aspek psikologis masyarakat. Tingginya tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakat yang akibat bencana alam disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh masayarakat akan kemungkinan-kemungkinan bencana yang terjadi disekitarnya, sehingga kesadaran masyarakat akan bencana menjadi sangat minim.

Bencana tanah longsor yang sewaktu-waktu dapat mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan analisis mengenai tingkat ancaman tanah longsor untuk mengetahui persebaran wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Sementara analisis tingkat kapasitas masyarakat dilakukan untuk mengetahui kemampuasn daerah dan masyarakat dalam menghadapi bahaya tanah longsor, sebagai upaya pencegahan semakin meningkatnya jumlah korban dan kerugian yang terjadi akibat adanya tanah longsor.

9

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar?

2. Bagaimana kapasitas masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat

ancaman tanah longsor tinggi?

C. TujuanPenelitian

1. Mengetahui tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar.

2. Mengetahui kapasitas masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat

ancaman tanah longsor tinggi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis penelitian ini memberikan informasi mengenai tingkat

ancaman dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tanah

longsor di lokasi penelitian.

b. Menambah pengetahuan serta lebih mendukung teori-teori yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti.

c. Sebagai dasar untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Secara Praktis

a. Bagi peneliti

Memperoleh pengalaman langsung dalam mengkaji informasi dari

masyarakat mengenai bencana tanah longsor di Kecamatan Karangkobar

Kabupaten Banjarnegara. Dan pengalaman dalam melakukan analisis

terkait kapasitas masyarakat terhadap bahaya tanah longsor yang terjadi

di lokasi penelitian.

10

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

masukan bagi berbagai pihak terkait, seperti Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Kabupaten Banjarnegara dalam mengambil kebijakan terkait dengan

upaya pengurangan resiko bencana.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai ancaman daerah terhadap bahaya tanah

longsor dan kapasitas masyarakat yang ada di daerah tersebut.

E. Batasan Istilah

1. Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi

menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan asset atau kehancuran

lingkungan hidup (Peraturan Kepala BNPB No 1 Tahun 2012:10).

Ancaman yang dibahas pada penelitian ini adalah ancaman wilayah

penelitian dari kejadian atau peristiwa tanah longsor.

2. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan masa tanah atau batuan

maupun percampuran dari keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat

terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (Peraturan

Kepala BNPB No 4 Tahun 2008:11).

3. Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan

tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian akibat bencana secara

terstruktur, terencana dan terpadu (Peraturan Kepala BNPB No 3 Tahun

11

2012:8). Pada penelitian ini kapasitas yang dibahas adalah kemampuan

daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman

dan potensi kerugian akibat bencana tanah longsor.

4. Masyarakat adalah sekelompok individu yang tinggal dalam suatu tempat

tertentu, saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama, mempunyai

adat-istiadat dan aturan-aturan tertentu dan lambat laun membentuk sebuah

kebudayaan (Cahyono, 2016:149).

Ancaman merupakan suatu fenomena atau peristiwa yang

berpotensi menyebabkan kerusakan. Peristiwa yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah tanah longsor, yang merupakan gerakan material

pembentuk lereng baik berupa tanah atau batuan yang diakibatkan oleh

terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.

Kapasitas masyarakat adalah kemampuan daerah dan masyarakat dalam

menghadapi ancaman yaitu peristiwa tanah longsor, sehingga dapat

mengurangi kerugian atau dampak yang dapat ditimbulkan dari ancaman

tanah longsor.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teoritis

1. Ancaman Tanah Longsor

a. Ancaman

Ancaman adalah kejadian atau peristiwa yang berpotensi

menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan aset atau kehancuran

lingkungan hidup. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa

yang dapat menimbulkan bencana (Peraturan Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana No 2 Tahun 2012). Sedangkan menurut

Purnama (2017:5) bahaya (Hazards) adalah fenomena alam luar biasa

yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia,

kehilangan harta-benda, kehilangan mata pencaharian, dan kerusakan

lingkungan.

Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa

menimbulkan bencana (Undang-Undang No 24 Tahun 2007). Dimana

penilaian ancaman bencana pada suatu wilayah sangat penting dilakukan

untuk mengenali ancaman bencana yang ada pada wilayah tersebut,

sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyeusun langkah-langkah

atau kegiatan penanggulangan bencana.

b. Tanah Longsor

1) Pengertian Tanah Longsor

12

13

Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah

atau batuan maupun percampuran dari keduanya, menuruni atau keluar

lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun

lereng (Peraturan Kepala BNPB No 4 Tahun 2008:11). Dimana proses

terjadinya tanah longsor berawal dari air yang meresap ke dalam tanah

akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah

kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi

licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng

(Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2005).

Tanah longsor merupakan suatu proses perpindahan masa

tanah/batuan, dengan arah miring dari kedudukan semula (sehingga

terpisah dari massa yang mantap) karena pengaruh gravitasi, dengan

jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi (Suharini, 2009:184).

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

22/PRT/M/2007 tanah longsor adalah suatu proses perpindahan masa

tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga

terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dengan

jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi.

2) Penyebab Tanah Longsor

Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada

tanah atau batuan penyusun lereng. Menurut Puturuhu (2015:221)

penyebab longsoran dapat dibedakan menjadi proses pemicu longsoran

dan faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng.

14

a) Proses pemicu longsoran

(1) Peningkatan kandungan air di dalam lereng, sehingga akan

terjadi akumulasi air pada tanah yang merenggangkan ikatan

antar butir tanah dan pada akhirnya mendorong butir-butir tanah

untuk longsor. Peningkatan kandungan air ini sering disebabkan

oleh meresapnya air hujan, air kolam atau selokan yang bocor

atau air sawah ke dalam lereng (Nurjanah (2011:8).

(2) Getaran pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan,

penggalian, getaran alat atau kendaraan. Gempa bumi pada tanah

pasir dengan kandungan air sering mengakibatkan tanah

kehilangan kekuatan geser dan daya dukung, yang diiringi

dengan penggenangan tanah oleh air dari bawah tanah (Suranto,

2008:29).

(3) Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat

geser tanah. Beban yang berlebihan ini daoat berupa beban

bangunan ataupun npohon-pohon yang terlalu rimbun dan rapat

yang ditanam pada lereng lebih curam dari 40 derajat (Nurjanah

(2011:8).

(4) Pemotongan kaki lereng secara sembarangan yang

mengakibatkan lereng kehilangan gaya penyangga (Karnawati,

2003:31). b) Faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng

15

(1) Penggundulan hutan, tanah longsor umumnya banyak terjadi di

daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat

kurang (Nurjanah, 2011:17).

(2) Bahan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir

dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya

kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila

mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap

tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal (Nurjanah,

2011:17).

(3) Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah

liat dengan ketebalan lebih dari 2.5 m dan sudut lereng cukup

tinggi memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama

bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap

pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah

ketika hawa terlalu panas (Karnawati, 2003:33).

(4) Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November

karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang

panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di

permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu menyebabkan

munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan

dan merekahnya tanah permukaan (Nurjanah (2011:8).

16

(5) Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya

pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air

sungai, mata air, air laut, dan angin (Puturuhu, 2015:225).

(6) Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,

perladangan, dan adanya genangan air di daerah lereng yang

terjal. Pada lahan persawahanakarnya kurang kuat untuk

mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan

jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan

untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar

pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam

dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama (Purnama,

2017:23).

Menurut Rijanta (2018:21) longsor merupakan salah satu

jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran

keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya

kestabilan tanah atau btuan penyusun lereng. Penyebab utama dari

longsor adalah gaya gravitasi yang mempengaruhi lereng yang

curam. Selain itu terdapat pula beberapa faktor lain yang juga dapat

mempengaruhi terjadinya longsor seperti erosi, gempabumi, dan

lain-lain.

3) Jenis-jenis Tanah Longsor

17

Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral

(2004:3) terdapat 6 jenis tanah longsor. a) Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya masa tanah dan

batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang

landai. Longsoran translasional merupakan gerakan di sepanjang

diskontinuitas atau bidang lemah yang secara pendekatan sejajar

dengan permukaan lereng, sehingga gerakan tanah secara translasi.

Dalam tanah lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan tipis

pasir atau lanau, khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar

dengan lereng yang ada. Longsoran translasi lempung yang

mengandung lapisan pasir atau lanau, dapat disebabkan oleh tekanan

air pori yang tinggi dalam pasir atau lanau tersebut (Arif, 2015:13). b) Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi mempunyai bidang longsor melengkung ke

atas, dan sering terjadi pada masa tanah yang bergerak dalam satu

kesatuan. Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material

yang relatif homogen seperti timbunan buatan atau tanggul (Suranto,

2008:25). c) Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak

pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga

longsoran translasi blok batu (Nurjanah, 2011:13).

18

d) Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika batuan atau material lain dengan

jumlah besar bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya

runtuhan batu terjadi pada daerah lereng yang terjal hingga

menggantung terutama di daerah pantai. Batu besar yang jatuh

tersebut dapat menyebabkan kerusakan yang parah (Suranto,

2008:25).

e) Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak

secara lambat. Jenis tanah yang longsor adalah berupa butiran kasar

dan halus, jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.

Setelah waktu yang cukup lama longsoran jenis rayapan ini bisa

menyebabkan tiang seperti telepon, pohon, atau rumah miring ke

bawah (Nurjanah, 2011:13).

f) Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika masa tanah bergerak

didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan

lereng, volume dan tekanan air, serta jenis materialnya. Gerakannya

terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter

jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di

daerah aliran sungai disekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat

menelan korban yang cukup banyak (Rijanta, 2018:28).

4) Parameter Ancaman Tanah Longsor

19

Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

(2004:3) terdapat beberapa parameter lingkungan fisik yang mempengaruhi tingkat ancaman tanah longsor. a) Kemiringan Lereng

Pada dasarnya daerah perbukitan atau pegunungan yang

membentuk lahan miring merupakan daerah rawan terjadi gerakan

tanah. Kelerengan dengan kemiringan lebih dari 20° (atau sekitar

40%) memiliki potensi untuk bergerak atau longsor, namun tidak

selalu lereng atau lahan yang miring punya potensi untuk longsor

tergantung dari kondisi geologi yang bekerja pada lereng tersebut

(Suranto, 2008:30). Lereng atau tebing yang terjal akan

memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena

pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan

sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180˚ apabila ujung

lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar (Puturuhu,

2015:223).

Karnawati (2003:30) menjelaskan bahwa dari beberapa kajian

terhadap kejadian longsor dapat teridentifikasi tiga tipologi lereng

yang rentan untuk bergerak atau longsor, antaralain lereng yang

tersusun oleh tumpukan tanah residu yang dialasi oleh batuan atau

tanah yang lebih kompak, lereng yang tersusun oleh perlapisan

batuan yang miring searah kemiringan lereng maupun berlawanan

20

dengan kemiringan lereng, dan lereng yang tersusun oleh blok-blok

batuan.

Klasifikasi kemiringan lereng yang digunakan dalam

penelitian adalah klasifikasi menurut SK Menteri Pertanian Nomor

837/KPTS/UM/1980, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.1

sebagai berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng No Kemiringan Skor Kelas lereng % 1 0 - 8% 1 Datar 2 8 – 15% 2 Landai 3 15 - 25% 3 Agak curam 4 25 - 45% 4 Curam 5 >45% 5 Sangat curam Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980. b) Kondisi Tanah

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau

tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih

dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi yang cukup tinggi untuk

terjadi tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini

juga sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi

lembek ketika terkena air dan pecah ketika udara terlalu panas

(Departemen ESDM, 2005 :4).

Potensi terjadinya gerakan tanah pada lereng tergantung pada

kondisi tanah dan batuan penyusunnya, dimana salah satu proses

geologi yang menjadi penyebab utama terjadinya gerakan tanah

adalah pelapukan batuan (Suranto 2008:32). Jenis tanah yang

21

kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika udara terlalu panas (Nurjanah, 2011:13).

Tanah gembur yang banyak menyusun lereng dengan tipologi pertama umumnya tebal, dapat mencapai ketebalan lebih dari 4 m, dan mudah meloloskan air. Tanah ini umumnya merupakan tanah- tanah residual (tanah hasil pelapukan batuan yang belum tertransport dari tempat terbentuknya) atau tanah kolovial yang berukuran butir lempungan, lanauan atau lempung pasiran. Tanah tersebut bersifat lengket apabila basah tetapi berubah menjadi retak-retak dan getas apabila kering. Umumnya pada bagian bawah dari lapisan tanah tersebut terdapat perlapisan tanah atau batuan yang bersifat lebih kompak dan kedap air (Karnawati, 2003:32).

Air hujan yang turun hanya terakumulasi pada tanah, karena sulit untuk menembus batuan yang mengalasi tanah tersebut.

Akhirnya tanah pada lereng bergerak dengan bidang luncur lengkung (nendatan) atau bidang luncur lurus (luncuran), apabila kekuatan air yang terakumulasi di dalam tanah menekan atau merenggangkan ikatan antar butiran-butiran tanah melampaui kemampuan tanah untuk tetap bertahan stabil pada lereng. Bidang

22

kontak antara batuan yang lebih kompak dan kedap air dengan tanah

residual yang lemah dan sensitif untuk bergerak apabila ada tekanan

air (Karnawati, 2003:32). Klasifikasi jenis tanah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah klasifikasi menurut SK Menteri

Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980, yang secara rinci dapat

dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut.

Tabel 2.2 Klasifikasi Kepekaan Jenis Tanah terhadap Erosi No Jenis tanah Skor Tingkat erosi 1 Alluvial, Glei 1 Tidak peka 2 Latosol 2 Sedikit peka 3 Brown Forest, Mediteran 3 Agak peka 4 Andosol, Grumosol, 4 Peka Podsol 5 Regosol, Litosol, 5 Sangat peka Organosol Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980. c) Curah hujan

Curah hujan akan meningkatkan presepitasi dan kejenuhan

tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal ini terjadi pada lereng

dengan material penyusun (tanah dan atau batuan) yang lemah maka

akan menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah atau batuan dan

menambah berat massa tanah, pada dasarnya ada dua tipe hujan

pemicu terjadinya longsor, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm

hingga 100 mm perhari dan hujan kurang deras namun berlangsung

menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian

disusul dengan hujan deras sesaat (Karnawati, 2003:34).

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada awal bulan

November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim

23

kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di

permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan

munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan

merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke

bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang

kembali.. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor,

karena melalui tanah yang merekah tersebut air akan masuk dan

terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan

lateral (Departemen ESDM, 2005:4).

Hujan juga dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan

yang dapat menyebabkan terjadinya erosi pada kaki lereng dan

berpotensi menambah besaran sudut kelerengan yang akan

berpotensi menyebabkan longsor (Karnawati, 2003:34). Klasifikasi

curah hujan yang digunakan dalam penelitian adalah klasifikasi

menurut Puslit Tanah, 2004, yang secara rinci dapat dilihat pada

Tabel 2.3 sebagai berikut.

Tabel 2.3 Klasifikasi Intensitas Curah Hujan No Curah hujan Skor Kategori (mm/tahun) 1 <2000 1 Sangat Kering 2 2000-2500 2 Kering 3 2500-3000 3 Sedang/Lembab 4 3000-3500 4 Basah 5 >3500 5 Sangat Basah Sumber: Puslit Tanah, 2004. d) Penggunaan lahan

24

Penggunaan lahan merupakan bagian dari aktivitas manusia, secara umum yang dapat menyebabkan longsor adalah aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur seperti pemotongan lereng yang merubah kelerengan, hal ini juga akan merubah aliran air permukaan dan muka air tanah. Penggundulan hutan maupun penggunaan lahan yang tidak memperhatikan ekosistem dapat pula memicu terjadinya gerakan tanah dan erosi

(Suranto, 2008:42).

Tanah longsor banyak terjadi di daerah penggunaan lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran (Departemen ESDM, 2005:7).

Karnawati (2003:35) menjelaskan bahwa penanaman pada lereng juga harus memperhatikan jarak dan pola tanam yang tepat.

Penanaman tanaman budidaya yang berjarak terlalu rapat dan lebat dapat berakibat menambah pembebanan pada lereng sehingga menambah gaya penggerak tanah pada lereng. Perlindungan sistem hidrologi kawasan untuk menghindari air banyak meresap masuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor. Upaya penanaman

25

kembali lereng yang gundul dengan jenis tanaman yang tepat pada

daerah hulu atau daerah resapan juga berperan penting dalam

memulihkan sistem hidrologi yang telah terganggu. Penanaman

vegetasi yang tepat sangat penting dalam mengendalikan laju air

yang mengalir ke arah hilir atau ke arah lereng bawah (Suranto,

2008:33). Klasifikasi intensitas curah hujan yang digunakan dalam

penelitian adalah klasifikasi menurut Puslit Tanah, 2004, adapun

secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebagai berikut.

Tabel 2.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan No Kelas tataguna lahan Skor Tingkat erosi 1 Hutan tidak sejenis 1 Tidak peka terhadap erosi 2 Hutan sejenis 2 Kurang peka terhadap erosi 3 Perkebunan 3 Agak peka terhadap erosi 4 Permukiman, Sawah, 4 Peka terhadap erosi Kolam 5 Tegalan, Tanah 5 Sangat peka terhadap erosi terbuka Sumber: Karnawati (2003:41). e) Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah sifat fisik tanah yang menunjukkan

kasar halusnya tanah, berdasarkan atas perbandingan banyaknya

butir-butir atau fraksi pasir, debu, dan lempung (Tjahjono, 2007:26).

Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara 3 golongan

besar partikel tanah dalam suatu masa tanah, terutama perbandingan

antara fraksi lempung (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Semakin

halus tekstur semakin luas permukaan butir tanah, maka semakin

banyak kemampuan menyerap air, sehingga semakin besar

peranannya terhadap kejadian tanah longsor (Sartohadi, 2012:49).

26

Klasifikasi tekstur tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembagian tekstur tanah menurut Sartohadi (2012:49), yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut.

Tabel 2.5 Klasifikasi Tekstur Tanah No Tekstur Tanah Skor 1 Pasir, pasir geluhan 1 2 Geluh pasiran, geluh pasiran sangat halus 2

3 Geluh, geluh berpasir sangat halus, geluh 3 berdebu, geluh berlempung 4 Lempung berdebu, lempung berpasir 4 5 Lempung 5 Sumber: Sartohadi (2012:49). Dalam penelitian ini untuk menilai tekstur tanah digunakan acuan penentuan tekstur tanah berdasarkan jenis tanah menurut

Sartohadi (2012:115-119) yang disertai dengan uji tekstur tanah di lapangan. Adapun acuan tekstur tanah berdasarkan jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.6 sebagai berikut.

Tabel 2.6 Klasifikasi Tekstur Tanah Berdasarkan Jenis Tanah No Jenis Tanah Tekstur Tanah 1 Oeganosol Debu, lempung 2 Aluvial Lempung, pasir 3 Regosol Pasir 4 Litosol Lempung, geluh, pasir 5 Latosol Lempung 6 Grumusol Lempung berat 7 Podsolik Merah Kuning Lempung, lempung berpasir 8 Podsol Lempung, geluh, pasir 9 Andosol Geluh berdebu 10 Mediteran Merah Kuning Geluh, lempung 11 Aluvial Hidromorf Kelabu Geluh, lempung (Gleisol) Sumber: Sartohadi (2012:115-119).

27

f) Drainase Tanah

Drainase tanah adalah sifat tanah yang menyatakan kecepatan

berpindahnya air dari sebidang tanah baik dalam pentuk pengaliran

atau limpasan air maupun yang meresap ke dalam tanah. Mudah

tidaknya air hilang dari tanah menentukan kelas drainase tanah

tersebut. Kelas drainase ditentukan di lapangan dengan melihat

adanya gejala-gejala pengaruh air di dalam penampang tanah

(Tjahjono, 2007:26). Semakin baik drainase suatu tanah maka

semakin kecil potensi tanah longsor, sedangkan semakin buruk

drainase suatu tanah maka semakin tinggi potensi tanah longsor

pada tanah tersebut (Sartohadi, 2012:173).

Klasifikasi drainase tanah yang digunakan dalam penelitian

ini adalah klasifikasi menurut Sartohadi (2012:173), adapun secara

rinci dapat dilihat pada Tabel 2.7 sebagai berikut.

Tabel 2.7 Kriteria Drainase Tanah No Kritieria Drainase Tanah Skor 1 Baik 1 2 Agak baik 2 3 Agak buruk 3 4 Buruk 4 5 Sangat buruk 5 Sumber: Sartohadi (2012:173). g) Kedalaman Tanah

Kedalaman tanah merupakan lapisan dari permukaan sampai

beberapa centimeter di bawah permukaan yang merupakan horizon-

28

horison tanah. Kedalaman tanah diukur dari profil tanah yang terdiri

dari horizon O (organik), horizon A (horizon pencucian), horizon B

(penumbukan), dan horizon C (bahan lapuk) (Sartohadi, 2012:164).

Di dalam horizon tanah berlangsung berbagai proses seperti

infiltrasi dan perkolasi yang dipengaruhi oleh tekstur tanah. Pada

solum tanah dalam akan menerima dan menyimpan air lebih besar

dibandingkan dengan solum tanah dangkal, yang berpengaruh pada

masa agregat tanah. Sehingga tanah dengan horizon dalam akan

lebih berpotensi terhadap terjadinya tanah longsor dibandingkan

dengan tanah yang horizonnya dangkal (Rudiyanto, 2010).

Klasifikasi kedalaman tanah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah klasifikasi menurut Sartohadi (2012:164), dimana secara

rinci dapat dilihat pada Tabel 2.8 sebagai berikut.

Tabel 2.8 Klasifikasi Kedalaman Tanah No Kriteria Kedalaman Skor 1 Sangat dangkal <20 cm 1 2 Dangkal 20-25 cm 2 3 Sedang 25-40 cm 3 4 Dalam 40-50 cm 4 5 Sangat Dalam >50 cm 5 Sumber: Sartohadi (2012:164).

2. Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor

Kondisi lingkungan yang berada di daerah rawan menyebabkan

masyarakat berada pada kondisi yang rentan. Bencana terjadi ketika

29

masyarakat tidak dapat mengatasi kerentanan tersebut. Kerentanan menjadi tidak tertanggulangi karena kecepatan adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan sekitarnya (yang meningkatkan kerentanan) jauh tertinggal dari kecepatan perubahan lingkungan itu sendiri (Suranto,

2008:40). a. Kapasitas

1) Pengertian Kapasitas

Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk

melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian

akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu (Peraturan

Kepala BNPB No 3 Tahun 2012:8).

Kapasitas merupakan suatu kombinasi dari semua kekuatan

yang ada pada suatu kelompok masyarakat, sosial ataupun organisasi

yang dapat mengurangi dampak dari suatu resiko atau dampak dari

suatu bencana (ISDR 2004:71). Sedangkan menurut Suranto,

(2008:40) kapasitas adalah sumberdaya, cara dan kekuatan yang

dimiliki oleh seseorang, masyarakat atau negara yang memungkinkan

untuk menanggulangi, mempertahankan diri, mempersiapkan diri,

mencegah dan memitigasi atau dengan cepat memulihkan diri dari

suatu bencana.

Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk

melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian

akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu. Konsep

30

dasarnya adalah bahwa seseorang terlemah sekalian di dalam suatu

komunitas mempunyai beberapa ketrampilan, sumberdaya, kekuatan,

dan kemampuan untuk dapat menolong dirinya sendiri dan bahkan

sangat dimungkinkan untuk dapat menolong orang lain yang ada di

sekitarnya (Suranto, 2008:40).

Kapasitas merupakan seperangkat kemampuan yang

memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan daya tahan dirinya

terhadap dampak bahaya yang dapat mengancam atau merusak, dan

dapat meningkatkan ketahanan serta kemampuan masyarakat untuk

mengatasi dampak dari kejadian yang membahayakan. Kekuatan atau

potensi yang ada pada diri setiap individu dan kelompok sosial.

Kapasitas ini dapat berkaitan dengan segala sumberdaya,

keterampilan, pengetahuan, kemampuan organisasi dan sikap untuk

bertindak dan merespon suatu keadaan krisis (Bayuaji 2016:328).

2) Parameter Kapasitas dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor

Penilaian tingkat kapasitas dinilai berdasarkan Peraturan Kepala

Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2012

yang menggunakan 5 parameter dan terdiri dari 22 indikator Kerangka

Aksi Hyogo yang dikembangkan untuk memastikan pengurangan

kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat serta negara-

negara akibat bencana (Rahman, 2017:1).

Panduan penilaian kapasitas menggunakan 5 parameter dan 22

indikator Kerangka Aksi Hyogo yang terdapat dalam Peraturan Kepala

31

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka BNPB) No 03

Tahun 2012 tentang panduan penilaian kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana. Menurut Peraturan Kepala BNPB (2012:4-

6) parameter dan indikator yang digunakan untuk menilai kapasitas masyarakat adalah sebagai berikut. a) Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana

Parameter aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana

terdiri dari 4 indikator yaitu kerangka hukum dan kebijakan

nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana telah ada dengan

tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang

pemerintahan, tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus

untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di semua tingkat

pemerintahan, terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas

melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal,

dan berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk

pengurangan risiko bencana. b) Peringatan dini dan kajian risiko bencana

Parameter peringatan dini dan kajian risiko bencana terdiri dari 4 indikator antaralain tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah, tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama, iinformasi data pendukung kajian risiko yang diperbarui secara periodik tersebut juga dapat dilihat (diakses) dan dijadikan referensi bagi daerah lain,

32

dan penilaian Risiko Daerah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas guna menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan risiko. c) Pendidikan kebencanaan

Parameter pendidikan kebencanaan terdiri dari 4 indikator

yaitu tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan

dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan

(melalui jejaring, pengembangan sistem untuk berbagi informasi,

kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan

mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai

pengurangan risiko bencana dan pemulihan, tersedianya metode

riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat-biaya

(cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan

kualitas hasil riset, dan diterapkannya strategi untuk membangun

kesadaran seluruh komunitas yang ada dalam melaksanakan praktik

budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara

luas baik di perkotaan maupun pedesaan. d) Pengurangan faktor risiko dasar

Parameter pengurangan faktor resiko dasar terdiri dari 6 indikator antaralain pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, rencana-rencana dan kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya dari suatu bencana, rencana-

33

rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi, perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan, langkah- langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses- proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana, dan siap sedianya prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek- proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur. e) Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini

Parameter pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini

terdiri dari 4 indikator yaitu tersedianya kebijakan, kapasitas teknis

kelembagaan, serta tersedianya mekanisme penanganan darurat

bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko bencana

dalam pelaksanaannya, tersedianya rencana kontinjensi bencana

yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan,

latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan

program-program tanggap darurat bencana, tersedianya cadangan

finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk

mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan

pasca bencana, dan tersedianya prosedur yang relevan untuk

melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi

yang relevan selama masa tanggap darurat (Perka BNPB No 03

Tahun 2012:6).

34

Indeks kapasitas masyarakat diklasifikasikan menjadi 3 kelas,

yaitu rendah, sedang, dan tinggi yang dapat dilihat pada Tabel 2.9

sebagai berikut.

Tabel 2.9 Indeks Kapasitas Masyarakat

No Indeks Kelas

1 0 - 0.33 Rendah

2 0.33 – 0.66 Sedang

3 >0.66 Tinggi

Sumber: Perka BNPB No 2 Tahun 2012. b. Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok individu yang tinggal dalam suatu

tempat tertentu, saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama,

mempunyai adat-istiadat dan aturan-aturan tertentu dan lambat laun

membentuk sebuah kebudayaan (Cahyono, 2016:149).

Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, bergaul

selama jangka waktu cukup lama, adanya kesadaran, bahwa setiap

manusia merupakan bagian dari satu kesatuan (Cahyono, 2016:150).

Cahyono (2016:150) menjelaskan bahwa unsur-unsur perasaan

masyarakat terdiri dari seperasaan, sepenanggungan, dan saling

memerlukan. Sedangkan tipe-tipe masyarakat terdiri dari 4 kriteria yaitu

jumlah penduduk, luas, kekayaan dan kepadatan penduduk daerah

pedalaman, fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh

masyarakat, dan organisasi masyarakat yang bersangkutan.

35

B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dari penelitian-

penelitian terdahulu yang terkait dengan ancaman dan kapasitas masyarakat

terhadap bencana tanah longsor. Penelitian yang digunakan sebagai rujukan

ditulis oleh Dhuha Ginanjar Bayuaji dkk pada tahun 2015 ddengan lokasi di

Kabupaten Banjarnegara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan adalah pada parameter penyebab tanah longsor dan pada metode

analisis data resiko tanah longsor, yaitu analisis system informasi geografis

dan metode skoring. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini

membandingkan resiko tanah longsor dengan menggunakan 2 metode yaitu

AHP dan SNI, sementara penelitian yang dilakukan hanya menggunakan

analisis skoring saja.

Penelitian terdahulu kedua yang digunakan ditulis oleh Khori Sugianti

dkk, yang berlokasi di daerah Sumedang Selatan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengklasifikasi tingkat gerakan tanah di daerah Sumedang Selatan.

Hasil dari penelitian ini adalah berupa peta kerentanan gerakan tanah metode

storie. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dibuat adalah pada

parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi tanah longsor dan pada

metode yang digunakan longsor yaitu metode skoring pada masing-masing

parameter tanah longsor. Sedangkan perbedaannya adalah pada variabel,

dimana penelitian ini mengidentifikasi kerentanan sedangkan penelitian yang

dilakukan mengidentifikasi ancaman. Selain menggunakan analisis skoring,

36

penelitian ini menggunakan metode storie untuk mengidentifikasi kerentanan tanah longsor.

Penelitian yang digunakan ditulis oleh Pranata Diyah Susanti pada tahun 2017 di Kabupaten Banjarnegara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah pada ancaman bencana yang digunakan yaitu tanah longsor, parameter yang digunakan dalam penelitian, teknik analisis yang digunakan yaitu analisis system informasi geografis dan scoring, serta pada wilayah penelitian yaitu Kabupaten Banjarnegara.

Sedangkan perbedaannya adalah pada variabel dan lingkup wilayah penelitian. Pada penelitian ini variabel penelitian berupa kerentanan tanah longsor, sedangkan penelitian yang dilakukan focus pada ancaman tanah longsor. Selain itu penelitian ini focus wilayah penelitian berupa satu wilayah kabupaten, sedangkan penelitian hanya berfokus pada satu wilayah kecamatan.

Penelitian yang digunakan ditulis oleh Muhammad Khasyir, dkk pada tahun 2016. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti ancaman dan kapasitas masyarakat terhadap bencana tanah longsor, serta persamaan pada teknik analisis data yaitu analisis system informasi geografis dan scoring. Sedangkan perbedaannya adalah pada lokasi penelitian dan kajian, penelitian ini sampai pada tahap menganalisis resiko bencana tanah longsor. Sementara penelitian yang dilakukan hanya sampai pada tahap mengidentifikasi ancaman tanah longsor dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi tanah longsor.

37

Penelitian terdahulu yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam penelitian ditulis oleh Wahyuni, Eldina, dkk. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dibuat adalah pada variabel penelitian yaitu kapasitas masyarakat, parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi kapasitas masyarakat yang menggunakan dasar dari Perka BNPB No 3 tahun 2012 dan pada metode analisis yang digunakan dalam penelitian, yaitu analisis skoring melalui teknik pengumpulan data dokumentasi, survey, wawancara, dan kuesioner. Sedangkan perbedaannya adalah pada tujuan awal penelitian dan bencana yang terjadi, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan terhadap banjir bandang, sedangkan penelitian yang dilakukan bertujuan mengetahui tingkat ancaman terhadap tanah longsor.

Penelitian terdahulu yang selanjutnya yang digunakan ditulis oleh

Jaswadi, R. Rijanta pada tahun 2018 di Kecamatan Pasarkliwon. Persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dibuat adalah pada tujuan yaitu sama-sama mengidentifikasi kapasitas masyarakat melalui metode pengumpulan data yang berupa kuesioner. Sedangkan perbedaannya adalah pada wilayah dan pada parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi kapasitas masyarakatnya. Untuk menilai kapasitas masyarakat, penelitian ini menggunakan persepsi dan cara masyarakat dalam menghadapi bencana, sedangkan pada penelitian yang dilakukan menggunakan parameter penilaian kapasitas masyarakat dari BNPB.

Penelitian terdahulu yang digunakan selanjutnya ditulis oleh Nezar

Ely Mohammad, dkk pada tahun 2018 di Kecamatan Banyubiru. Persamaan

38

antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dibuat adalah pada tujuan penelitian yaitu sama-sama mengidentifikasi kapasitas masyarakat melalui metode pengumpulan yang berupa kuesioner. Perbedaannya adalah wilayah penelitian dan perbedaan pada parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi kapasitas masyarakat. Penelitian ini menggunakan parameter desa tangguh bencana dari BNPB sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan parameter pedoman penilaian kapasitas masyarakat dari BNPB.

Penelitian terdahulu yang digunakan ditulis oleh Amni Zarkasyi

Rahman pada tahun 2017 di Kabupaten Banjarnegara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama mengidentifikasi kapasitas masyarakat menghadapi bahaya tanah longsor dengan menggunakan acuan parameter dari BNPB. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini hanya bertujuan mengidentifikasi kapasitas masyarakat, sementara penelitian yang dilakukan juga mengidentifikasi ancaman tanah longsor. Selain itu terdapat pula perbedaan pada cakupan wilayah penelitian, dimana penelitian ini cakupannya merupakan wilayah kabupaten, sedangkan penelitian yang dilakukan hanya kecamatan yang terdiri dari beberapa desa.

39

Tabel 2.10 Kajian Penelitian yang Relevan

No Nama Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil penelitian 1 Khori Pengkelasan Mengklasifikasi tingkat Analisis system informasi Peta Sugianti, Tingkat kerentanan gerakan tanah geografis, analisis pembobotan, kerentanan Dedi Kerentanan daerah Sumedang metode storie, gerakan Mulyadi, Gerakan Tanah Selatan dengan Dokumentasi dan survey tanah metode dan Dwi Daerah Sumedang mengggunakan lapangan storie. Sarah. Selatan metode Storie. Tahun 2014. Menggunakan Metode Storie

2 Dhuha Analisis 1. Mengetahui parameter Analisis Sistem Informasi Peta Ginanjar Penentuan Zonasi apa saja yang Geografis, analisi skoring dan ancaman Bayuaji, Risiko Bencana berpengaruh terhadap pembobotan, menggunakan dua bencana dkk. Tanah Longsor potensi tanah longsor di metode tanah longsor Tahun 2015 Berbasis Sistem Kabupaten Banjarnegara. SNI (Standar Nasional metode AHP Informas 2. Mengetahui Indonesia) dan AHP dan metode Geografis (Studi perbandingan sebaran (Analythical Hierarchy Process. SNI. Kasus:Kabupaten daerah rawan longsor Melalui teknik dokumentasi, Banjarnegara) menggunakan AHP dan wawancara, kuesioner, dan SNI. survey lapangan. 3. Mengetahui penyusunan tingkat resiko bencana tanah longsor Kabupaten Banjarnegara. 3 Wahyuni, Analisis Tingkat 1. Mengetahui tingkat Analisis scoring dan Tingkat Eldina, dkk. Kerentanan Dan kerentanan dan kapasitas pembobotan kerentanan Tahun 2015 Kapasitas masyarakat terhadap Melalui teknik dokumentasi, dan kapasitas Masyarakat bencana banjir bandang survey, wawancara, dan masyarakat Terhadap 2. Mengetahui langkah kuesioner terhadap Bencana Banjir yang perlu dilakukan bencana Bandang untuk meningkatkan banjir Kecamatan Celala kapasitas masyarakat dan bandang di Kabupaten Aceh menurunkan kerentanan. Kecamatan Tengah Celala Kabupaten Aceh Tengah 4 Muhamad Penilaian Risiko Mengetahui ancaman, Analisis scoring, analisis system Peta resiko Khasyir, dkk Bencana Tanah kerentanan, dan kapasitas informasi geografis. bencana Tahun 2016 Longsor bencana tanah longsor tanah longsor Desa Wanadri serta menganalisis Desa Kecamatan tingkat risiko bencana Wanadri Bawang tanah longsor di Desa Kecamatan Kabupaten Wanadri Bawang Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara Lihat lanjutan tabel 2.10

40

Lanjutan Tabel 2.10 Kajian Penelitian yang Relevan 5 Amni Kapasitas Daerah Mendiskripsikan Parameter dan Kapasitas daerah Zarkasyi Banjarnegara dalam kapasitas indicator Perka Kabupaten Banjarnegara Rahman Penanggulangan Kabupaten BNPB No 3 masuk dalam kategori B, Tahun 2017 Bencana Alam Tanah Banjarnegara tahun 2012 yang berarti kapasitas Longsor dalam tentang daerah dalam penanggulangan penilaian penyelenggaraan bencana tanah kapasitas penanggulangan bencana longsor masyarakat baik. melalui teknik wawancara 6 Nezar Ely Kapasitas Masyarakat Mengetahui Indikator desa tingkat kapasitas Mohammad, Terhadap Ancaman kapasitas, tangguh masyarakat yang ada di Erni Suharini, Bencana Tanah kendala bencana dengan Kecamatan Banyubiru Heri Tjahjono. Longsor di masyarakat, dan taknik Tahun 2017 Kecamatan strategi dokumentasi Banyubiru Kabupaten peningkatan dan kuesioner Semarang kapasitas masyarakat 7 Pranata Dyah Analisis Kerentanan Mengetahui Analisis scoring Peta tingkat kerentanan Susanti Tanah Longsor tingkat dan tanah longsor di Tahun 2017 Sebagai Dasar kerentanan tanah pembobotan. Kabupaten Banjarnegara Mitigasi di longsor di analisis system Kabupaten Kabupaten informasi Banjarnegara Banjarnegara. geografis Melalui teknik survey lapangan 8 Jaswadi, R. Tingkat Kerentanan Mengidentifikasi Analisis sistem Tingkat kerentanan Rijanta dan dan Kapasitas elemen resiko informasi wilayah dan tingkat Pramono Hadi Masyarakat yang dipengaruhi geografis, kapasitas masyarakat Tahun 2018 dalam Menghadapi oleh banjir di analisis scoring, Kecamatan Pasarkliwon Risiko Banjir di Kecamatan skala Linkert. terhadap banjir Kecamatan Pasarkliwon, Melalui teknik Pasarkliwon Kota menentukan sistem informasi tingkat geografis, kerentanan fisik wawancara, dan kerentanan kuesioner, dan social. observasi persepsi dan cara lapangan menghadapi masyarakat terhadap peristiwa banjir. Sumber: 1) Khori Sugianti, dkk (2014); 2) Dhuha Ginanjar Bayuaji, dkk

(2015); 3) Wahyuni, Eldina, dkk (2015); 4) Muhamad Khasyir, dkk

(2016); 5) Amni Zarkasyi Rahman (2017); 6) Nezar Ely

Mohammad, dkk (2017); 7) Pranata Dyah Susanti (2017); 8)

Jaswadi, R Rijanta dan Pramono Hadi (2018).

41

C. Kerangka Berfikir

Kabupaten Banjarnegara berdasarkan kondisi geomorfologi Jawa

Tengah, merupakan bagian dari zona tengah Jawa Tengah yang merupakan

bagian dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relative

bergelombang dengan lereng setengah terjal hingga terjal. Kecamatan

Karangkobar sebagian wilayahnya memiliki tingkat kemiringan lereng

curam yaitu >25–40 % yang beresiko terjadi tanah longsor.

Jenis batuan penyusun terdiri dari batu lempung, breksi, batu pasir dari

formasi rambatan. Proses pelapukan batuan yang terjadi secara intensif

menyebabkan batuan kehilangan kekuatan yang akhirnya membentuk lapisan

batuan lemah dan tanah residu yang tebal yang mudah tererosi. Selain itu

pada daerah ini banyak dilalui oleh jalur patahan, sehingga memiliki tekstur

daratan berbukit yang memiliki lereng cukup curam dan tegak. Jalur-jalur

patahan itu mengakibatkan ikatan lapisan batuan penyangga tanah saling

terbelah dan rapuh.

Selain itu wilayah ini memiliki curah hujan tinggi, yaitu >3000

mm/tahun, dengan curah hujan yang tinggi tersebut menyebabkan tanah

menjadi jenuh air, dan akibatnya akan melemahkan ikatan partikel. Molekul

air menyusup ke partikel tanah dan menjadi katalisator proses gelinciran

antara partikel dan menyebabkan terjadinya tanah longsor.

Kondisi fisik yang rawan terhadap bencana tanah longsor belum

sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat yang tinggal disana. Berdasarkan

42

data Badan Pusat Statistik kabupaten Banjarnegara (2019), penduduk di

Kecamatan Karangkobar mayoritas bekerja sebagai petani yang memanfaatkan lahan pegunungan menjadi ladang atau kebun yang ditanami dengan tanaman tahunan maupun musiman sehingga dapat memicu terjadinya tanah longsor. Melihat bahaya tanah longsor yang sewaktu-waktu dapat mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan analisis tingkat ancaman untuk mengetahui wilayah mana saja yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi.

Bencana tanah longsor yang terjadi menyebabkan masyarakat mengalami kerugian baik pada aspek fisik dan aspek nonfisik. Tingginya tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakat yang diakibatkan karena kurangnya informasi yang diperoleh masayarakat akan kemungkinan- kemungkinan bencana yang terjadi disekitarnya, sehingga kesadaran masyarakat akan bencana menjadi sangat minim. Oleh karena itu, penilaian kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian akibat bencana. Sebagai upaya pencegahan semakin meningkatnya jumlah korban dan kerugian yang terjadi akibat adanya tanah longsor.

43

Kondisi Fisik Wilayah

Jenis tanah Kemiringan Curah Penggunaan Lereng Hujan Lahan

Peka Kemiringan Curah Hujan Dominasi Lahan terhadap Lereng Curam >3500 Pertanian Erosi mm/tahun Meningkatkan Erosi

Potensi Tanah Longsor

Penilaian Ancaman Tanah Longsor

1. Kemiringan lereng 2. Jenis tanah

3. Curah hujan 4. Penggunaan lahan

5. Tekstur tanah 6. Drainase tanah 7. Kedalaman tanah

Sebaran Ancaman Tanah Longsor

Penilaian Kapasitas 1. Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana 2. Peringatan dini dan kajian resiko bencana 3. Pendidikan kebencanaan 4. Pengurangan faktor risiko dasar 5. Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini

Kapasitas Masyarakat terhadap Bahaya Tanah Longsor

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Karangkobar yang terletak

pada7˚14’50” LS-7˚19’15” LS dan 109˚40’05” BT - 109˚44’45” BT.

Kecamatan Karangkobar wilayahnya terletak di bagian utara Kabupaten

Banjarnegara yang merupakan perbukitan dengan ketinggian berkisar antara

710– 1.025 mdpl.

Kecamatan Karangkobar merupakan salah satu dari 20 kecamatan

yang terdapat di Kabupaten Banjarnegara. Luas wilayahnya kurang lebih

sebesar 3.209,252 hektar atau sekitar 3,65% dari luas wilayah keseluruhan

Kabupaten Banjarnegara dan terbagi menjadi 13 desa. Ibu kota kecamatan

terletak di desa Karangkobar, sementara desa yang letaknya paling jauh dari

ibu kota kecamatan adalah Desa Pasuruhan dengan jarak kurang lebih 13 km.

Kecamatan Karangkobar secara administrasi sebelah utara berbatasan

dengan Kecamatan Kalibening dan Wanayasa, sebelah timur berbatasan

dengan Kecamatan Wanayasa, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan

Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu.

Adapun secara lebih rinci batas-batas wilayah administrasi Kecamatan

Karangkobar dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut.

44

45

Gambar 3.1 Peta Administrasi Kecamatan Karangkoar Tahun 2019

46

B. Populasi Penelitian

Penelitian yang di laksanakan di Kecamatan Karangkobar terdiri dari dua

populasi, yaitu populasi area dan populasi masyarakat.

1. Populasi Area

Populasi area dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah di

Kecamatan Karangkobar dengan luas 3.209,252 hektar, yang terdiri dari

100 satuan unit lahan yang secara administrasi terdiri dari 13 desa.

2. Populasi Masyarakat

Populasi dalam penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) yang

tinggal di wilayah Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara

yang tersebar di 13 desa. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) di

Kecamatan Karangkobar secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 No Nama Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah KK 1 Slatri 2406 659 2 Paweden 1328 439 3 Gumelar 1027 339 4 Purwodadi 2343 663 5 Mpang 2252 697 6 Ambal 2207 664 7 Pagerpelah 1887 639 8 Pasuruan 1368 444 9 Karanggondang 2469 804 10 Jlegong 1033 287 11 Binangun 2561 857 12 Karangkobar 5274 1220 13 Leksana 3598 1087 Jumlah 29.753 8.708 Sumber : Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

47

C. Sampel dan Teknik sampling

Sampel dari masing-masing populasi dalam penelitian ini terdiri dari sampel

area dan sampel masyarakat.

1. Sampel Area

a. Proses Penentuan Sampel

Sampel dalam penelitian ditentukan berdasarkan satuan lahan

yang disusun dengan cara mengoverlay atau menggabungkan empat

jenis peta yang berbeda menggunakan sistem informasi geografis di

wilayah penelitian, yaitu peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta

curah hujan, dan peta penggunaan lahan. Indikator yang digunakan

dalam penentuan satuan unit lahan di daerah penelitian adalah sebagai

berikut.

1) Curah hujan

Berdasarkan peta curah hujan tahunan wilayah yang dibuat

dari beberapa titik stasiun hujan wilayah penelitian dan wilayah

sekitarnya menggunakan Polygon Thiessen berdasarkan klasifikasi

Puslit Tanah (2004).

a) 3302 mm/tahun

b)3641 mm/tahun

c) 5878 mm/tahun

2) Jenis tanah

48

Berdasarkan jenis tanahnya, terdapat 5 jenis tanah di wilayah

penelitian dengan menggunakan klasifikasi SK Menteri Pertanian

Nomor 837/KPTS/UM/1980.

a) Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat

b) Mediteran merah tua

c) Glei humus dan aluvial kelabu

d) Andosol coklat kekuningan

e) Litosol

3) Kemiringan lereng

Data kemiringan lereng dihasilkan dari SRTM yang diolah

menggunakan system informasi geografis yang berupa analisis

slope, dengan menggunakan klasifikasi kemiringan menurut SK

Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980.sehingga dihasilkan

peta kemiringan lereng wilayah penelitian.

a) 0% - 8% (Kelas I)

b) 8% - 15% (Kelas II)

c) 15% - 25% (Kelas III)

d) 25% - 45%( Kelas IV)

e) >45% (Kelas V)

4) Penggunaan lahan

Data penggunaan lahan di wilayah penelitian dihasilkan dari

digitasi citra SPOT 6 menggunakan klasifikasi menurut Karnawati

49

(2003:41) yang diperoleh 4 jenis penggunaan lahan di wilayah

penelitian.

a) Permukiman

b) Ladang

c) Hutan campuran

d) Kebun.

Penggabungan empat peta penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan menghasilkan 100 satuan unit lahan yang tersebar diseluruh wilayah penelitian yang secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2 tabel satuan unit lahan Kecamatan

Karangkobar tahun 2019. Persebaran satuan unit lahan dapat dilihat pada Gambar 3.2. Simbol satuan lahan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

3302_Mediteran_II_Kebun

Penggunaan lahan

Kelas kemiringan lereng

Jenis tanah

Curah hujan tahunan

50

Gambar 3.2. Peta Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.

51

b. Penetapan Satuan Lahan yang Menjadi Sampel

Satuan unit lahan yang berjumlah 100 yang tersebar di seluruh

wilayah penelitian selanjutnya dikelompokan untuk menentukan sampel.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel

area (area sampling), dimana pengambilan sampel didasarkan pada

satuan lahan yang memiliki kemiringan lereng dan jenis tanah yang

sama. Kemiringan lereng dipilih sebagai pembatas dalam pengambilan

sampel karena faktor kemiringan lereng adalah faktor yang dianggap

paling berpengaruh pada terjadinya fenomena longsor, sedangkan jenis

tanah dipilih karena faktor tanah merupakan meterial yang paling sering

terjadi longsor dan karakteristik pada setiap jenis tanah memiliki tingkat

kerawanan longsor yang berbeda-beda.

Pengelompokan dari 100 satuan unit lahan yang terdapat di daerah

penelitian, diperoleh sebanyak 18 sampel satuan lahan yang tersebar di

13 desa di Kecamatan Karangkobar, yang secara rinci dapat dilihat pada

Tabel 3.2 sebagai berikut.

52

Tabel 3.2 Sampel Satuan Lahan Penelitian No Sampel Satuan Unit Lahan 1 Mediteran_I 2 Mediteran_II 3 Mediteran_III 4 Mediteran_IV 5 Mediteran_V 6 Litosol_I 7 Litosol_II 8 Litosol_III 9 Litosol_IV 10 Aluvial_I 11 Aluvial_II 12 Aluvial_III 13 Aluvial_IV 14 Andosol_I 15 Andosol_II 16 Andosol_III 17 Andosol_IV 18 Andosol_V Sumber: Peneliti, 2019.

Sampel yang diambil dalam penelitian merupakan satuan unit

lahan yang mewakili satuan unit lahan yang lainnya. Dimana sampel

satuan unit lahan ditentukan berdasarkan pengelompokkan satuan lahan

yang memiliki kemiringan dan jenis tanah yang sama. Persebaran sampel

penelitian secara rinci dapat dilihat pada Gambar 3.3 sebagai berikut.

53

Gambar 3.3 Peta Lokasi Sampel Penelitian

54

2. Sampel Masyarakat

Pengambilan sampel untuk populasi masyarakat dilakukan

berdasarkan wilayah atau area dengan tingkat ancaman tanah longsor

tinggi di lokasi penelitian. Sampel diambil dengan teknik purposive

sampling berdasarkan tingkat ancaman tanah longsor tinggi, yaitu

terdapat pada 11 desa antaralain Desa Slatri, Desa Paweden, Desa

Gumelar, Desa Sampang, Desa Ambal, Desa Pagerpelah, Desa

Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong, Desa Binangun, dan

Desa Karangkobar.

Untuk menentukan jumlah sampel pada masing-masing desa

dilakukan berdasarkan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 10% dan

tingkat kepercayaan 90% (Setiawan, 2014:72).

n :

Keterangan:

n: Jumlah sampel

N: Populasi

e :Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang

masih bisa ditolerir

Dari rumus diatas dapat diketahui sampel penelitian yaitu:

Sampel : : 99 KK

55

Dengan persebaran sampel setiap desa dapat dilihat pada Tabel 3.3 sebagai berikut.

Tabel 3.3 Persebaran Sampel Penelitian Masyarakat Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Nama Desa Perhitungan Jumlah Sampel x 99 9 1 Slatri : 9 KK x 99 6 2 Paweden : 6 KK x 99 5 3 Gumelar : 5 KK x 99 10 4 Sampang : 10 KK x 99 9 5 Ambal : 9 KK x 99 9 6 Pagerpelah : 9 KK x 99 6 7 Pasuruhan : 6 KK x 99 11 8 Karanggondang : 11 KK x 99 4 9 Jlegong : 4 KK x 99 12 10 Binangun : 12 KK x 99 17 11 Karangkobar : 17 KK Jumlah Sampel 99 KK Sumber : Peneliti, 2019.

56

Penentuan Satuan Unit Lahan

Kemiringan Jenis Tanah Curah Hujan Penggunaan Lereng Lahan

100 satuan unit lahan

Pengelompokkan satuan lahan yang memiliki kemiringan lereng dan jenis tanah yang sama

18 sampel satuan unit lahan

Ancaman tanah longsor

Sedang Tinggi

Sampel Kapasitas Masyarakat

Gambar 3.4 Alur Penentuan Sampel Penelitian

57

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian dalam penelitian ini terdiri dari ancaman tanah longsor

dan kapasitas masyarakat, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Variabel Penelitian

No Variabel Parameter Indikator 1. Ancaman 1. Kemiringan 1). Nilai kemiringan lereng tanah longsor lereng 2). Intensitas curah hujan tahuan 2. Curah hujan 3). Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi 3. Jenis tanah 4). Penggunaan lahan 4. Penggunaan 5). Nilai Kasar halusnya tanah lahan 6). Panjang lapisan tanah 5. Tekstur tanah 7). Mudah tidaknya air hilang pada tanah 6. Kedalaman tanah 7. Drainase Tanah

2. Kapasitas 1. Aturan dan 1) Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk masyarakat kelembagaan pengurangan risiko bencana telah ada dengan penanggulanga tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua n bencana jenjang pemerintahan. 2) Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di semua tingkat pemerintahan. 3) Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal. 4) Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana.

2. Pemanfaatan 1) Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah lahan berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi Peringatan dini risiko untuk sektor-sektor utama daerah. dan kajian 2) Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, risiko bencana mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama. 3) Apakah informasi data pendukung kajian risiko yang diperbarui secara periodik tersebut juga dapat dilihat (diakses) dan dijadikan referensi bagi daerah lain. 4) Penilaian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko- Risiko Lintas Batas Guna Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk Pengurangan Risiko. 3. Pendidikan 1) Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana kebencanaan dan dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring, pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst). 2) Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik- praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan Lanjutan Tabel 3.4

58

pemulihan. 3) Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat-biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset. 4) Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun pedesaan.

4. Pengurangan 1) Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu faktor risiko tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana dasar yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. 2) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya. 3) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi. 4) Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan, 5) Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana. 6) Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek-proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur.

5. Pembangunan 1) Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan kesiapsiagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat pada seluruh dengan perspektif pengurangan risiko bencana dalam lini pelaksanaannya. 2) Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan programprogram tanggap darurat bencana. 3) Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana. 4) Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat.

Sumber: Peneliti, 2019.

59

E. Sumber Data Penelitian

1. Data Primer

Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara,

kuesioner, pengukuran, survey, dan observasi lapangan.

a. Kondisi fisik dari lokasi penelitian yang berupa kemiringan lereng,

tekstur tanah, drainase tanah, kedalaman tanah, dan penggunaan

lahan.

b. Kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tanah longsor.

2. Data Sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan berasal dari

instansi terkait, seperti BPS, BPBD, dan BMKG.

Tabel 3.5 Data Sekunder dalam Penelitian Data Sumber Peta RBI Digital Badan Informasi Geospasial SRTM Badan Informasi Geospasial Data Rekapitulasi Bencana BPBD Kabupaten Banjarnegara Data curah hujan tahunan BMKG Provinsi Jawa Tengah Data jumlah penduduk, mata Badan Pusat Statistik Kabupaten pencaharian, sarana ekonomi, Banjarnegara fasilitas social, dan tingkat pendidikan. Citra SPOT 6 LAPAN Peta jenis tanah Jawa Tengah Badan Informasi Geospasial

Sumber : Peneliti, 2019.

60

F. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

1. Alat pengumpulan Data

a. Alat pengumpulan data

Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa alat untuk

membantu peneliti dalam pengambilan sampel di lapangan dan alat-

alat yang dibutuhkan dalam pengujian sampel tanah pada setiap titik

sampel penelitian.

Tabel 3.6 Alat Pengumpulan Data Penelitian

No Alat Fungsi 1 Perangkat laptop dengan Digunakan untuk proses software Arcgis 10.3 pengolahan, pemrosesan, hingga analisis data 2 Hand Level Mengukur kemiringan lereng 3 Alat tulis Mencatat data atau informasi di lapangan 4 Hand phone Menyimpan gambar, rekaman, maupun video dalam penelitian 5 Αα Bifinidil Untuk mengukur drainase tanah 6 Sekop tanah Untuk mengambil sampel 7 Pita ukur Mengukur kedalaman tanah 8 Papan/Alas tulis Untuk alas tulis Sumber: Peneliti, 2019. b. Bahan yang Digunakan dalam Penelitian

Penelitian yang dilakukan membutuhkan bahan-bahan yang

dapat digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data di lapangan

ataupun data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.

61

Tabel 3.7 Bahan yang Digunakan dalam Penelitian

No Alat Fungsi 1 Data curah Digunakan untuk membuat peta curah hujan hujan wilayah penelitian 2 Citra SPOT 6 Sebagai dasar pembuatan peta penggunaan lahan 3 Peta jenis tanah Mengidentifikasi jenis-jenis tanah di lokasi penelitian 4 SRTM Sebagai dasar pembuatan peta kemiringan lereng 5 Kuesioner Sejumlah pertanyaan untuk menggali informasi mengenai kapasitas masyarakat di lokasi penelitian 6 Instrumen Daftar pertanyaan pendukung untuk wawancara mengetahui kapasitas masyarakat di lokasi penelitian 7 Instrumen Untuk mencatat data berkaitan dengan pengukuran kemiringan lereng 8 Lembar Untuk mencatat data berkaitan dengan observasi penggunaan lahan 9 Plastik Untuk tempat sampel tanah 10 Label Untuk menamai sampel tanah Sumber: Peneliti, 2019. 2. Teknik Pengumpulan Data

Setiap variable dalam penelitian memiliki metode mengumpulkan data

yang berbeda-beda.

a. Ancaman Tanah Longsor

1) Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk mencari data yang

berupa data rekapitulasi bencana dari BPBD Kabupaten

62

Banjarnegara, data curah hujan tahunan dari BMKG Provinsi

Jawa Tengah, Citra SPOT 6 dari LAPAN, serta SRTM dan peta

digital dari Badan Informasi Geospasial.

2) Observasi lapangan

Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi secara

langsung di lapangan mengenai penggunaan lahan yang ada di

lokasi penelitian.

3) Survey Lapangan

Teknik survey lapangan dilakukan untuk memvalidasi data

kemiringan lereng dan tataguna lahan yang ada di lapangan pada

lokasi penelitian berdasarkan peta yang sudah ada atau sudah

dibuat.

4) Pengukuran

Pengukuran dilakukan untuk memperoleh data mengenai

kemiringan lereng, tekstur tanah, indeks plastisitas, dan drainase

tanah di lokasi penelitian.

5) Sistem Informasi Geografis

Analisis Sistem Informasi Geografis digunakan untuk

memperoleh data pemanfaatan lahan, peta kemiringan lereng, dan

peta curah hujan di lokasi penelitian.

a) Analisis Curah Hujan

Pemetaan curah hujan dilakukan berdasarkan data curah

hujan dari stasiun pengukuran di wilayah penelitian dan

63

wilayah di sekitarnya. Data curah hujan yang digunakan adalah

4 stasiun pengukuran hujan dengan curah hujan yang berbeda-

beda Pengolahan data curah hujan dilakukan dengan

menggunakan metode Polygon Thiessen dari titik pengamatan

curah hujan di wilayah penelitian dan wilayah di sekitarnya.

Tingginya intensitas curah hujan dihitung berdasarkan

perbandingan antara luas daerah pengaruh tiap-tiap dari stasiun

terhadap wilayah penelitian.

b) Analisis slope

Peta kemiringan lereng dalam penelitian diperoleh melalui

pengolahan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan

menggunakan slope. Data kemiringan lereng yang dihasilkan

kemudian diklasifikasin kelas kemiringan lerengnya dengan

menggunakan klasifikasi dari BPBD.

c) Digitasi

Citra SPOT 6 diinterpretasi secara visual yaitu melalui

digitasi dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi citra

yaitu ukuran, bentuk, bayangan, warna, tekstur, pola, situs, dan

asosiasi untuk menghasilkan peta penggunaan lahan dari

wilayah penelitian. b. Kapasitas Masyarakat

1) Kuesioner

64

Kuesioner berisi sejumlah daftar pertanyaan yang akan

digunakan untuk menggali informasi mengenai kapasitas

masyarakat di lokasi penelitian.

2) Wawancara

Dalam penelitian ini metode wawancara dilakukan untuk

memperoleh data pendukung atau tambahan mengenai kapasitas

masyarakat yang ada di daerah penelitian.

G. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yaitu

penelitian yang melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, fakta

dianalisis dan disajikan secara sistematis sehingga dapat lebih mudah

difahami dan disimpulkan.

a. Analisis Sistem Informasi Geografis

Analisis system infornasi geografis yang digunakan dalam

penelitian adalah analisis overlay pada parameter-parameter yang

digunakan untuk menentukan titik sampel yang terdiri dari kemiringan

lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan di overlay

sehingga menghasilkan peta gabungan yang berupa peta satuan unit

lahan. Selain itu analisis overlay juga digunakan dalam proses penilaian

parameter-parameter ancaman tanah longsor yang terdiri dari kemiringan

lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan, tekstur tanah,

drainase tanah, dan kedalaman tanah melalui proses penialaian yang

berupa skoring.

65

b. Analisis Satuan Lahan

Satuan lahan merupakan satuan pemetaan terkecil yang dibuat

melalui overlay dengan menggunakan teknologi sistem informasi

geografis (SIG) dari beberapa peta, yaitu peta kemiringan lereng, peta

curah hujan, peta jenis tanah, dan peta penggunaan lahan. Analisis satuan

lahan digunakan untuk menentukan titik sampel dalam penelitian

ancaman tanah longsor. c. Analisis Skoring

Skoring digunakan untuk menyusun peta ancaman tanah longsor

yang merujuk dari perka BNPB No 02 Tahun 2012, yang terdiri dari 7

parameter yaitu curah hujan, jenis tanah, kemiringan lereng, tekstur

tanah, kedalaman tanah, drainase tanah, dan penggunaan lahan. Masing-

masing parameter dilakukan skoring sesuai dengan klasifikasi masing-

masing parameter yang menjadi dasar atau acuan yang digunakan dalam

penelitian.

1) Curah Hujan

Curah hujan dinilai berdasarkan besarnya intensitas curah

hujan tahunan di wilayah penelitian, yang dihasilkan dari beberapa

titik curah hujan di wilayah penelitian dan wilayah sekitarnya

dengan menggunakan metode Polygon Thiessen. Pembagian kelas

curah hujan yang digunakan adalah klasifikasi curah hujan menurut

Puslit Tanah (2004), yang terdiri dari 5 kelas intensitas curah hujan.

2) Kemiringan Lereng

66

Kemiringan lereng dalam penelitian dinilai berdasarkan

tingkat kemiringan lereng wilayah di lokasi penelitian. Pembagian

kelas kemiringan lereng yang digunakan dalam penelitian ini adalah

klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Menteri Pertanian Nomor

837/KPTS/UM/1980, dimana klasifikasi kemiringan lereng dibagi

menjadi 5 kelas.

3) Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan dinilai berdasarkan tingkat erosi dari

masing-masing setiap penggunaan lahan yang ada di wilayah

penelitian. Pembagian kelas penggunaan lahan yang digunakan

dalam penelitian adalah klasifikasi penggunaan lahan menurut

Karnawati (2003:41), dimana penggunaan lahan dikelompokkan

menjadi 5 kelas.

4) Jenis Tanah

Jenis tanah di wilayah penelitian dinilai berdasarkan tingkat

kepekaan setiap jenis tanah yang ada di wilayah penelitian terhadap

erosi. Pembagian kelas jenis tanah yang digunakan dalam penelitian

ini adalah menurut SK Menteri Pertanian Nomor

837/KPTS/UM/1980.yang disesuaikan dengan kondisi jenis tanah di

wilayah penelitian, dimana jenis tanah diklasifikasikan menjadi 5

kelas.

5) Tekstur Tanah

67

Tekstur tanah dalam penelitian dinilai berdasarkan tingkat

kekasaran dan kehalusan tanah yang ada di wilayah penelitian.

Pembagian kelas tekstur tanah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah klasifikasi tekstur tanah menurut Sartohadi (2012:49),

dimana tekstur tanah diklasifikasikan ke dalam 5 kelas tekstur tanah.

6) Kedalaman Tanah

Kedalaman tanah diukur dari permukaan tanah hingga

beberapa cm dibawah permukaan tanah yang merupakan horizon-

horizon tanah. Pembagian kelas kedalaman tanah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah klasifikasi menurut Sartohadi

(2012:164), dimana kedalaman tanah diklasifikasikan menjadi 5

kelas.

7) Drainase Tanah

Drainase tanah dalam penelitian ini dinilai berdasarkan

mudah tidaknya air hilang dari tanah. Pembagian kelas drainase

tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi

drainase tanah menurut Sartohadi (2012:173), dimana drainase tanah

diklasifikasikan menjadi 5 kelas.

Kelas ancaman tanah longsor yang ditentukan berdasarkan skor tertinggi dan skor terendah yang dihasilkan dalam proses skoring pada satuan unit lahan. Penentuan kelas interval untuk membuat rentang kelas tingkat ancaman tanah longsor dengan menggunakan rumus Sturges sebagai berikut.

68

I :

I : Interval Kelas

R : Rentang

K : Jumlah kelas

Berdasarkan persamaan di atas maka besar kelas interval masing-

masing adalah sebagai berikut.

I : : 9.3

Sehingga klasifikasi tingkat ancaman dapat dilihat pada Tabel 3.8

dibawah ini.

Tabel 3.8 Klasifikasi Tingkat Ancaman Tanah Longsor No Nilai kelas Tingkat kerentanan 1 <16,3 Rendah 2 16,3 – 25,6 Sedang 3 >25,6 Tinggi Sumber : Hasil Analisis, 2019. d. Analisis Deskriptif

Dalam penelitain ini analisis deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan tingkat ancaman tanah longsor di lokasi penelitian

berdasarkan peta ancaman tanah longsor yang telah dihasilkan dalam

penelitian.

69

e. Skala Gutman

Parameter dan indikator dalam Kerangka Aksi Hyogo-HFA

dijabarkan menjadi 88 pertanyaan dalam bentuk kuesioner yang bersifat

tertutup dengan menggunakan skala Gutman untuk mendapatkan

jawaban tegas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. Skala

Gutman dalam penelitian ini menggunakan kategori jawaban “ya”

berskor 1 dan “tidak” berskor 0.

Kelas kapasitas masyarakat yang ditentukan berdasarkan skor

tertinggi dan skor terendah yang dihasilkan dalam proses skoring setiap

responden. Penentuan kelas interval untuk membuat rentang kelas

tingkat kapasitas dengan menggunakan rumus Sturgess sebagai berikut.

I :

I : Interval Kelas

R : Rentang

K : Jumlah kelas

Berdasarkan persamaan di atas maka besar kelas interval masing-

masing adalah sebagai berikut.

70

I : : 29,3

Klasifikasi nilai dan kategori kapasitas masyarakat yang digunakan

dalam penelitian berdasarkan hasil perhitungan adalah tingkat

kapasitas masyarakat rendah dengan skor <29, tingkat kapasitas

sedang dengan skor 29-58, dan tingkat kapasitas tinggi dengan skor

>58. f. Analisis Deskriptif Komparatif

Dalam penelitian ini analisis deskriptif komparatif digunakan

untuk membandingkan kapasitas masyarakat yang ada di desa

dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi yaitu Desa Slatri, Desa

Paweden, Desa Gumelar, Desa Sampang, Desa Desa Ambal, Desa

Pagerpelah, Desa Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong,

Desa Binangun, dan Desa Karangkobar.

71

H. Diagram Alir Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian yang meliputi,

tahap persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan

pembuatan laporan.

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan ini meliputi identifikasi masalah dan studi kepustakaan

yang berkaitan dengan topik penelitian.

2. Tahap Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber atau

instansi terkait yang dibutuhkan seperti data curah hujan, penggunaan

lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng untuk menentukan sampel

penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan penyusunan instrument

penelitian untuk memperoleh data yang berupa kapasitas masyarakat di

lokasi penelitian.

3. Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan data yaitu meliputi kegiatan pengolahan data

yang sudah terkumpul menjadi peta di lokasi penelitian, seperti peta

kemiringan lereng, penggunaan lahan, curah hujan, jenis tanah, dan peta

ancaman bencana tanah longsor untuk menentukan sampel penelitian.

4. Tahap Pengumpulan dan Validasi data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang berupa

parameter ancaman tanah longsor yaitu curah hujan, jenis tanah, tekstur

tanah, drainase tanah, kedalaman tanah. Pada tahap ini juga dilakukan

72

pengumpulan data mengenai kapasitas masyarakat dalam menghadapi

bencana tanah longsor melalui kuisioner dan wawancara. Selain itu pada

tahap ini juga dilakukan validasi lapangan yang berupa data kemiringan

lereng dan penggunaan lahan di lokasi penelitian.

5. Tahap Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan pada data yang telah dihasilkan pada

proses pengumpulan dan validasi data di lapangan, baik data mengenai

ancaman tanah longsor maupun data kapasitas masyarakat dalam

menghadapi bencana. Setiap parameter dari ancaman tanah longsor dan

kapasitas masyarakat dilakukan penilaian sesuai dengan acuan yang

digunakan dalam penelitian.

6. Tahap analisis data

Setelah data-data yang dihasilkan diolah, selanjutnya adalah tahap

analisis data untuk mengetahui hasil dalam penelitian baik berupa

ancaman tanah longsor maupun kapasitas masyarakat.

7. Tahap Pembuatan Laporan

Tahap ini merupakan tahap akhir penelitian, yaitu tahap penyusunan

laporan dan pembahasan akhir penelitian.

73

Mulai

Identifikasi Masalah

Studi Literatur

Pengumpulan Data Penyusunan Instrumen

SRTM Peta Jenis Tanah Data Curah Hujan Citra SPOT 6

Interpretasi

Peta Kemiringan Peta Jenis Peta Curah Hujan Peta Penggunaan Lereng Tanah Lahan

Peta Satuan Lahan Tentatif

Survey Lapangan

Peta Satuan Lahan

Kerja Lapangan

Data Primer 1. Kemiringan lereng 2. Penggunaan lahan 3. Tekstur tanah 4. Drainase tanah 5. Kedalaman Tanah 6. Kapasitas Masyarakat

Pengolahan dan Penilaian

Analisis Data Rekomendasi

Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Letak Astronomis

Kecamatan Karangkobar secara astronomis terletak diantara

7˚14’50” LS-7˚19’15” LS dan terletak diantara 109˚40’05” BT -

109˚44’45” BT. Kecamatan Karangkobar merupakan salah satu wilayah

kecamatan di Kabupaten Banjarnegara yang terletak di kawasan

pegunungan Serayu Utara. Topografi wilayah sebagian besar adalah

perbukitan yang memiliki kemiringan lereng beragam, mulai dari dataran

hingga sangat curam. Kecamatan Karangkobar wilayahnya terletak di

bagian utara Kabupaten Banjarnegara yang merupakan perbukitan

dengan ketinggian berkisar antara 710 – 1.025 mdpl. Adapun batas-batas

wilayah administrasinya sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan

Kalibening dan Wanayasa, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan

Wanayasa, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu,

dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu.

2. Luas Daerah Penelitian

Kecamatan Karangkobar terdiri dari 13 desa, 46 dusun, 50 RW,

dan 186 RT. Luas wilayah Kecamatan Karangkobar adalah sebesar

3.209,252 hektar atau 3.65% dari luas wilayah Kabupaten Banjarnegara,

yang secara rinci luas dari masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel

4.1 sebagai berikut.

74

75

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 No Nama Desa Luas Wilayah (ha) 1 Slatri 468.264

2 Paweden 147.87 3 Gumelar 128.679 4 Purwodadi 229.619 5 Sampang 328.465 6 Ambal 232.372 7 Pagerpelah 291.995 8 Pasuruhan 248.858 9 Karanggondang 200.673 10 Jlegong 131.695

11 Binangun 328.667 12 Karangkobar 260.898 13 Leksana 211.197 Jumlah Total 3.209,252 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

Desa yang memiliki wilayah yang paling luas berdasarkan Tabel

4.1 di Kecamatan Karangkobar adalah Desa Slatri dengan luas wilayah

kurang lebih 468.264 hektar dengan presentase 14,59% dari total wilayah

Kecamatan Karangkobar. Sedangkan desa yang memiliki luas wilayah

paling kecil atau sempit di Kecamatan Karangkobar adalah Desa

Gumelar yaitu seluas 128.679 hektar dengan presentase 4,01% dari total

luas wilayah Kecamatan Karangkobar. Sementara desa yang memiliki

ketinggian wilayah paling tinggi adalah Desa Leksana yang terletak pada

ketinggian 1.025 di atas permukaan air laut. Sedangkan desa yang

memiliki ketinggian wilayah paling rendah adalah Desa Pasuruhan yang

terletak pada ketinggian 710 di atas permukaan air laut.

76

3. Kondisi Kependudukan Wilayah Penelitian

Kecamatan Karangkobar pada tahun 2018 memiliki jumlah

penduduk sebesar 29.753 jiwa, yang terdiri dari 15.140 laki-laki dan

14.613 perempuan. Dengan jumlah penduduk tertinggi atau terbanyak

terdapat di Desa Karangkobar dengan jumlah 5.274 jiwa, sedangkan

jumlah penduduk terendah terdapat di Desa Gumelar dengan jumlah

1.027 jiwa yang dapat dilihat secara lebih rinci pada Tabel 4.2 sebagai

berikut.

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2018 Jumlah penduduk Rasio Laki- Jenis laki Perempuan Total Kelamin No Nama Desa (jiwa) (jiwa) (jiwa) 1 Slatri 1284 1122 2406 114 2 Paweden 665 663 1328 100 3 Gumelar 530 497 1027 107 4 Purwodadi 1204 1139 2343 106 5 Sampang 1150 1102 2252 104 6 Ambal 1088 1119 2207 97 7 Pagerpelah 931 956 1887 97 8 Pasuruhan 683 685 1368 100 9 Karanggondang 1239 1230 2469 101 10 Jlegong 517 516 1033 100 11 Binangun 1257 1304 2561 96 12 Karangkobar 2374 2540 5274 93 13 Leksana 1858 1740 3598 107 Jumlah 15140 14613 29753 104 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019. Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui

memiliki rasio jenis kelamin sebesar 104, yang berarti setiap 104

penduduk laki-laki sebanding dengan 100 penduduk perempuan.

Wilayah di lokasi penelitian yang memiliki angka rasio jenis kelamin

77

tertinggi adalah Desa Slatri dengan angka 114, sedangkan yang terendah adalah Desa Karangkobar dengan angka 93.

Kecamatan Karangkobar berdasarkan kelompok umur jumlah penduduk paling tinggi terdapat pada kelompok umur 15-64 tahun dengan jumlah 20.258 jiwa, dibandingkan dengan kelompok umur 0-14 tahun yang hanya berjumlah 7.456 jiwa dan kelompok umur >65 tahun dengan jumlah 2.665 jiwa. Hal ini berarti Kecamatan Karangkobar memiliki jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dari penduduk usia non produktif, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel

4.3 sebagai berikut.

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Kelompok Usia Tahun 2018 Jumlah Penduduk Menurut Usia Rasio 0 – Beban 14 15-64 >65 Total Tanggungan No Nama Desa (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) 1 Slatri 603 1638 216 2406 50 2 Paweden 332 905 119 1328 49,83 3 Gumelar 258 697 88 1027 49,64 4 Purwodadi 587 1596 211 2343 50 5 Sampang 564 1533 202 2252 49,97 6 Ambal 553 1503 197 2207 49,90 7 Pagerpelah 473 1285 168 1887 49,88 8 Pasuruhan 343 931 122 1368 49,95 9 Karanggondang 619 1681 221 2469 49,97 10 Jlegong 259 703 92 1033 49,93 11 Binangun 642 1744 231 2561 50,06 12 Karangkobar 1321 3592 477 5274 50,06 13 Leksana 902 2450 321 3598 49,92 JumlahTotal 7456 20258 2665 29753 50 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

78

Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa memiliki rasio beban tanggungan sebesar 50, yang berarti setiap

100 orang kelompok penduduk produktif harus menanggung 50 kelompok yang tidak produktif. Wilayah yang memiliki angka rasio beban tanggungan tertinggi adalah Desa Binangun dan Desa

Karangkobar yaitu sebesar 50,06, sedangkan yang terendah adalah Desa

Gumelar dengan angka 49,64.

Kecamatan Karangkobar wilayahnya merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng yang terjal hingga sangat terjal, sehingga persebaran permukiman penduduk tidak merata. Adapun secara rinci kepadatan penduduk di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4 sebagai berikut.

Tabel 4.4 Kepadatan Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 Jumlah Luas Kepadatan Penduduk Wilayah Penduduk No Nama Desa (jiwa) (hektar) (jiwa/hektar) 1 Slatri 2406 468.264 5.14 2 Paweden 1328 147.87 8.98 3 Gumelar 1027 128.679 7.98 4 Purwodadi 2343 229.619 10.20 5 Sampang 2252 328.465 6.86 6 Ambal 2207 232.372 9.50 7 Pagerpelah 1887 291.995 6.46 8 Pasuruhan 1368 248.858 5.50 9 Karanggondang 2469 200.673 12.30 10 Jlegong 1033 131.695 7.84 11 Binangun 2561 328.667 7.79 12 Karangkobar 5274 260.898 20.21 13 Leksana 3598 211.197 17.04 Jumlah 29753 3209.252 9.27 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

79

Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.4 memiliki

kepadatan penduduk sebesar 9,27 jiwa/hektar. Wilayah yang memiliki

kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Karangkobar yaitu 20,21

jiwa/hektar, sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa

Slatri dengan angka 5.14 jiwa/hektar.

4. Kondisi Perekonomian Penduduk

Matapencaharian penduduk di Kecamatan Karangkobar dapat dilihat

pada Tabel 4.5 sebagai berikut.

Tabel 4.5 Matapencaharian Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 Petani Buruh Pedagang Sopir Guru No Nama Desa (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa)

1 Slatri 1532 2 227 72 12

2 Paweden 726 63 134 33 13

3 Gumelar 744 25 13 13 16

4 Purwodadi 1356 124 184 79 51

5 Sampang 1299 55 250 78 15

6 Ambal 1177 75 190 83 39

7 Pagerpelah 1158 19 222 45 45

8 Pasuruhan 981 28 40 12 7

9 Karanggondang 1694 36 163 26 11

10 Jlegong 721 4 48 32 31

11 Binangun 1621 75 132 21 47

12 Karangkobar 1220 171 1548 108 322

13 Leksana 644 111 1118 81 238

Jumlah 14873 788 4269 683 847 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

80

Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa penduduk di yang bekerja sebagai petani adalah sejumlah 14.873 penduduk. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh penduduk di

Kecamatan Karangkobar meliputi pertanian palawija, holtikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan (BPS, 2019).

Sedangkan matapencaharian dengan jumlah tenaga kerja terendah atau paling sedikit adalah penambang dengan jumlah 54 penduduk. Kegiatan pertambangan yang dilakukan penduduk di Kecamatan Karangkobar adalah pertambangan golongan C yang berupa pasir, batu, kerikil, dan tanah (Kecamatan Karangkobar Dalam Angka Tahun 2018). Kecamatan

Karangkobar memiliki sarana perekonomian yang dapat dilihat pada

Tabel 4.6 sebagai berikut.

Tabel 4.6 Sarana Perekonomian di Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 No Nama Desa Pasar Toko/warung 1 Slatri - 15 2 Paweden - 9 3 Gumelar - 12 4 Purwodadi - 4 5 Sampang - 27 6 Ambal - 23 7 Pagerpelah - 15 8 Pasuruhan - 7 9 Karanggondang 1 11 10 Jlegong - 10 11 Binangun - 5 12 Karangkobar 1 170 13 Leksana 1 93 Jumlah Total 3 401 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

81

Kecamatan Karangkobar memiliki 3 pasar, masing-masing di

Desa Karanggondang, Desa Karangkobar, dan Desa Leksana. Sementara

untuk seluruh warung yang ada di Kecamatan Karangkobar berjumlah

401 unit, dan sudah semua desa di Kecamatan Karangkobar memiliki

warung. Jumlah warung terbanyak terdapat di Desa Karangkobar dengan

jumlah 170 warung, sedangkan warung paling sedikit adalah di Desa

Purwodadi dengan jumlah 4 warung.

5. Kondisi Sosial

Sarana dan prasarana yang terdapat di wilayah penelitian terdiri

dari fasilitas pendidikan, peribadahan, dan kesehatan, yang secara rinci

dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut.

Tabel 4.7 Sarana dan Prasarana Sosial di Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 Sarana dan prasarana No Nama Desa Pendidikan Peribadahan Kesehatan TK SD SMP SMA Mushola masjid Puskesmas 1 Slatri 2 3 1 - 6 4 - 2 Paweden 1 1 - - 10 3 - 3 Gumelar 1 - - 5 2 - 4 Purwodadi 1 2 - - 4 6 - 5 Sampang 1 2 - - 6 8 - 6 Ambal 3 - - 3 4 - 7 Pagerpelah 1 2 - - 3 5 - 8 Pasuruhan 2 - - 6 2 - 9 Karanggondang 2 1 - 7 6 - 10 Jlegong 2 - - 1 2 - 11 Binangun 3 - - 7 7 - 12 Karangkobar 1 3 1 1 11 11 1 13 Leksana 2 2 2 2 12 12 - Jumlah 9 27 4 3 81 72 1 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

82

Kecamatan Karangkobar dalam bidang pendidikan hampir di semua desa terdapat TK, sedangkan untuk SD semua desa di Kecamatan

Karangkobar memiliki fasilitas tersebut. Sementara untuk SMP hanya terdapat 4 SMP di Kecamatan Karangkobar yaitu di Desa Slatri,

Karanggondang, Karangkobar, dan Leksana. Sedangkan untuk SMA, hanya terdapat 3 SMA di Kecamatan Karangkobar yaitu 1 di Desa

Karangkobar, dan 2 di Desa Leksana.

Semua desa di Kecamatan Karangkobar memiliki masjid dan mushola sebagai tempat beribadah. Jumlah masjid dan mushola terbanyak terdapat di desa Leksana dengan jumlah 12 masjid dan 12 mushola. Sedangkan jumlah masjid dan mushola tersedikit adalah di

Desa Jlegong dengan jumlah 1 mushola dan 2 masjid.

Kecamatan Karangkobar dalam bidang kesehatan, fasilitas yang tersedia adalah berupa puskesmas, dimana hanya terdapat 1 puskesmas yang terletak di Desa Karangkobar. Sementara untuk tenaga kesehatan biasanya setiap desa memiliki bidan desa, dan semua desa di Kecamatan

Karangkobar memiliki bidan di desa masing-masing.

Penduduk di Kecamatan Karangkobar memiliki tingkat pendidikan mulai dari tidak sekolah, tamat SD, tamat SLTP, tamat

SLTA, dan AK/PT yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.8 ebagai berikut.

83

Tabel 4.8 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2019

Tingkat pendidikan Nama Desa SD SLTP SLTA AK/PT Tidak sekolah (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) Slatri 647 1530 134 73 12

Paweden 674 517 90 31 10 Gumelar 229 667 86 36 7 Purwodadi 1036 959 209 112 17 Sampang 1048 960 159 54 20 Ambal 730 1181 164 99 21 Pagerpelah 791 871 128 51 30 Pasuruhan 266 1022 51 17 7 Karanggondang 1114 1045 199 51 50 Jlegong 445 450 84 45 9

Binangun 334 1913 125 144 28 Karangkobar 1494 2280 617 655 206 Leksana 565 2029 548 315 112 Jumlah 9373 15424 2594 1683 529 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.

Penduduk di Kecamatan Karangkobar memiliki tingkat

pendidikan dengan jumlah paling tinggi merupakan lulusan SD dengan

jumlah 15.424 penduduk dibandingkan dengan jumlah penduduk yang

tidak sekolah sebesar 9.373 penduduk, lulusan SLTP 2.594 penduduk,

dan lulusan SLTA sebanyak 1.683 penduduk. Sedangkan tingkat

pendidikan penduduk dengan jumlah terendah adalah perguruan tinggi

dengan jumlah 529 penduduk. Semua desa di Kecamatan Karangkobar

tingkat pendidikan penduduk dengan jumlah tertinggi adalah lulusan

SD, hanya 3 desa yang tingkat pendidikan penduduk tertinggi bukan

lulusan SD melainkan tidak sekolah yaitu Desa Paweden, Desa

Purwodadi, dan Desa Sampang.

84

B. Hasil Penelitian

1. Hasil Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor

Parameter ancaman tanah longsor diperoleh melalui pengukuran,

observasi, survey lapangan, dan pengolahan data sekunder di wilayah

penelitian.

a. Kemiringan Lereng

Kecamatan Karangkobar memiliki kemiringan lereng sangat

bervariasi, mulai dari datar hingga sangat curam. Pembagian kelas

kemiringan lereng yang digunakan dalam penelitian ini adalah

klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Menteri Pertanian Nomor

837/KPTS/UM/1980. Dimana kelas kemiringan lereng dibagi

menjadi 5 kelas mulai dari kelas kemiringan lereng datar sampai

dengan kelas sangat curam, seperti pada Tabel 4.9 sebagai berikut.

Tabel 4.9 Kemiringan Lereng Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Nilai Kemiringan Kelas Luas (hektar) Lereng 1 Kelas I (0% - 8%) Datar 385,967 2 Kelas II (8% - 15%) Landai 662,723 3 Kelas III (15% - 25%) Agak curam 1.207,515 4 Kelas IV (25% - 45%) Curam 792,042 5 Kelas V (>45%) Sangat curam 161,003 Luas Total 3.209,252 Sumber: SRTM dan Survey Lapangan, 2019. Kecamatan Karangkobar memiliki 5 kelas klasifikasi

kemiringan lereng. Pada kelas datar dengan nilai kemiringan lereng

0-8% memiliki luas 385,967 hektar yang tersebar diseluruh wilayah

Karangkobar. Kelas landai dengan nilai kemiringan lereng 8%-15%

memiliki luas 662,723 hektar, sementara kelas agak curam dengan

85

nilai kemiringan lereng 15%-25% memiliki luas sebesar 1.207,515.

Untuk kelas curam dengan nilai kemiringan lereng 25%-45% memiliki luas kurang lebih 1792,042 hektar. Sedangkan untuk kelas sangat curam yang memiliki nilai kemiringan >45% memiliki luas

161,003 yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.

Dari Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa wilayah Kecamatan

Karangkobar paling luas merupakan daerah agak curam dengan nilai kemiringan 15%-25% yang menyebar hampir merata di seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar. Adapun proses pengukuran kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut.

Gambar 4.1 Pengukuran Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng diukur dengan menggunakan hand level, yaitu dengan cara membidikkan alat ke arah lereng yang akan kita ketahui kemiringan lerengnya. Persebaran kelas kemiringan lereng di wilayah penelitian dapat dilihat secara rinci seperti pada Gambar

4.2 sebagai berikut.

86

Gambar 4.2. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.

87

b. Curah Hujan

Intensitas curah hujan di wilayah penelitian dihasilkan dari

peta curah hujan rata-rata tahunan yang dihasilkan dari beberapa

titik curah hujan di wilayah penelitian dan wilayah sekitarnya

dengan menggunakan metode Polygon Thiessen, intensitas curah

hujan wilayah Kecamatan Karangkobar antara 3000-6000

mm/tahun. Pembagian kelas curah hujan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah klasifikasi curah hujan menurut Puslit tanah

(2004) yang dapat dilihat pada Tabel 4.10 sebagai berikut.

Tabel 4.10 Curah Hujan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Curah Hujan Luas (hektar) 1 3302 mm/tahun 145,22 2 3641 mm/tahun 2.435,34 3 5878 mm/tahun 682,69 Luas 3.209,252 Sumber: BMKG, 2019. Kecamatan Karangkobar menurut Tabel 4.10 memiliki

intensitas curah hujan wilayah antara 3000-6000 mm/tahun, dengan

wilayah paling luas adalah pada intensitas curah hujan 3641

mm/tahun dengan luas 2.435,34 hektar. Sementara pada intensita

curah hujan 3302 mm/tahun luas wilayahnya adalah 145,22 hektar,

sedangkan untuk intensitas curah hujan tertinggi yaitu 5878

mm/tahun memiliki luas 682,69 hektar. Secara rinci persebaran

intensitas curah hujan di wilayah penelitian dapat dilihat pada

Gambar 4.3 sebagai berikut.

88

Gambar 4.3. Peta Curah Hujan Wilayah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019

89

c. Penggunaan Lahan

Kecamatan Karangkobar memiliki penggunaan lahan yang

cukup bervariasi. Data penggunaan lahan diwilayah penelitian

diperoleh dari digitasi citra SPOT 6. Adapun secara rinci pembagian

penggunaan lahan di wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar

4. 8 dan Tabel 4.11 sebagai berikut.

Tabel 4.11 Penggunaan Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Penggunaan lahan Luas (hektar) 1 Permukiman 342,646 2 Ladang 1.432,034 3 Hutan campuran 335,217 4 Kebun 1.099,354 Luas 3.209,252 Sumber: Citra SPOT 6 dan Survey Lapangan, 2019.

Kecamatan Karangkobar memiliki penggunaan lahan yang berupa

permukiman, ladang, hutan campuran, dan kebun.

1) Permukiman

Penggunaan lahan untuk permukiman menyebar di

seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar, terutama

terkonsentrasi di sepanjang jalan yang ada di wilayah

penelitian. Penggunaan lahan untuk permukiman ini seluas

342,646 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.

Penggunaan lahan untuk permukiman ini menempati

daerah-daerah dengan morfologi datar, landai, dan agak curam.

Akan tetapi di beberapa tempat di wilayah penelitian, terdapat

pula permukiman yang dibangun di wilayah yang curam hingga

sangat curam seperti pada gambar 4.4 sebagai berikut.

90

Gambar 4.4. Penggunaan Lahan Pemukiman

2) Ladang

Penggunaan lahan untuk ladang atau tegalan menyebar

di bagian utara sampai bagian tengah dari daerah penelitian.

Adapun tanaman yang ditanam oleh penduduk adalah tanaman

jagung, ubi kayu, dan sayur-sayuran. Penggunaan lahan untuk

ladang atau tegalan ini seluas 1.432,034 hektar dari seluruh

wilayah Kecamatan Karangkobar, yang merupakan penggunaan

lahan paling dominan. Penggunaan lahan ladang atau tegalan

ini berada pada daerah datar, hingga sangat curam seperti

terlihat pada gambar 4.5 sebagai berikut.

91

Gambar 4.5. Penggunaan Lahan Ladang/Tegalan

3) Kebun

Penggunaan lahan untuk kebun menyebar di bagian

selatan sampai bagian tengah dari daerah penelitian.

Penggunaan lahan sebagai kebun banyak ditanami dengan

tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis seperti

tanaman salak, kopi, dan lain-lain. Tanaman kebun yang paling

dominan ditanam oleh penduduk di daerah penelitian adalah

berupa tanaman salak. Penggunaan lahan untuk kebun ini seluas

1.099,354 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.

Penggunaan lahan kebun ini berada pada daerah datar, hingga

sangat curam seperti terlihat pada gambar 4.6 sebagai berikut.

92

Gambar 4.6. Penggunaan Lahan Kebun 4) Hutan campuran

Penggunaan lahan untuk hutan terkonsentrasi di bagian

barat dan bagian selatan wilayah penelitian. Penyebaran

penggunaan lahan ini adalah seluas 335,217 hektar dari seluruh

wilayah penelitian. Vegetasi yang ada di hutan tersebut

merupakan vegetasi yang berupa pohon pinus, pohon mahoni,

pohon albasiah, dan pohon sengon seperti yang dapat terlihat

pada gambar 4.7 sebagai berikut.

Gambar 4.7. Penggunaan Lahan Hutan Campuran

93

Gambar 4.8. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019

94

d. Jenis Tanah

Kecamatan Karangkobar memiliki jenis tanah yang cukup

bervariasi. Data jenis tanah di diperoleh dari data shapefile Badan

Informasi Geospasial. Penilaian jenis tanah yang digunakan dalam

penelitian didasarkan pada kelas kepekaan tanah terhadap tingkat

erosi. Pembagian kelas jenis tanah yang digunakan dalam penelitian

ini adalah menurut SK Menteri Pertanian Nomor

837/KPTS/UM/1980, dimana jenis tanah dibedakan menjadi lima

kelas, yang dapat dilihat pada Tabel 4.12 sebagai berikut.

Tabel 4.12 Jenis Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Jenis tanah Luas (hektar) 1 Andosol 475.8806 2 Mediteran merah tua 2.042,017 3 Aluvial kelabu 658,28 4 Litosol 33,074 Luas Total 3.209.252 Sumber: Badan Informasi Geospasial, 2018.

Kecamatan Karangkobar memiliki jenis tanah mediteran

merah tua dengan luas 2.042,017 hektar dari seluruh wilayah

Kecamatan Karangkobar. Dimana jenis tanah tersebut merupakan

jenis tanah paling luas yang ada di wilayah penelitian dibandingkan

dengan jenis tanah yang lain. Sementara jenis tanah andosol

memiliki luas 475.8806 hektar dan untuk jenis tanah aluvial kelabu

menempati posisi ke dua dengan luas 658,28 hektar. Dan untuk jenis

tanah litosol memiliki luas 33,074 hektar yang memiliki luas paling

kecil atau sedikit di Kecamatan Karangkobar, seperti yang dilihat

pada gambar 4.9 sebagai berikut.

95

Gambar 4.9. Peta Jenis Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.

96

e. Tekstur Tanah

Kecamatan Karangkobar memiliki tekstur tanah yang cukup

bervariasi. Penilaian tekstur tanah dalam penelitian menggunakan

acuan penentuan tekstur tanah berdasarkan jenis tanah menurut

Sartohadi (2012:115-119) yang disertai dengan uji tekstur tanah di

lapangan yang dapat dilihat secara rinci pada Gambar 4.10 sebagai

berikut.

Gambar 4.10 Uji Tekstur Tanah di Lapangan

Tekstur tanah di lapangan diuji atau dinilai dengan cara

meraba atau meremas tanah dalam keadaan lembab atau basah.

Penilaian tekstur tanah dilapangan dimulai dengan mengambil tanah

kurang lebih satu sendok makan, kemudian ditetesi dengan air

sampai tanah mulai melekat di tangan, dan selanjutnya menilai

tekstur berdasarkan bentuk yang dapat dibuat. Apabila tanah sulit

untuk dibuat atau dibentuk menjadi bola atau gulungan sosis, maka

tekstur tanah tersebut semakin kasar. Sedangkan apabila semakin

mudah tanah dibentuk menjadi bola atau gulungan sosis yang

97

memanjang, maka semakin halus tekstur tanah tersebut. Tekstur tanah dibagi menjadi 5 kelas mulai dari yang paling kasar yaitu pasir hingga yang paling halus yaitu lempung, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.13 sebagai berikut.

Tabel 4.13 Tekstur Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Tekstur Luas (hektar) 1 Pasir bergeluh 618,415 2 Geluh berlempung 1.149,265 3 Geluh 318,188 4 Lempung ringan 1.123,383 Luas 3.209.252 Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2019.

Kecamatan Karangkobar memiliki 4 tekstur tanah yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh wilayah penelitian. Tekstur geluh berlempung terdapat pada jenis tanah mediteran merah tua, dimana tekstur tanah ini memiliki luas 1.149,265 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar yang merupakan jenis tekstur paling dominan dibandingkan dengan tekstur tanah yang lain.

Tekstur tanah ini tersebar di wilayah bagian selatan dan barat

Kecamatan Karangkobar.

Tekstur lempung ringan yang terdapat pada jenis tanah mediteran dan aluvial juga memiliki luas wilayah yang cukup luas yaitu kurang lebih 1.123,383 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan

Karangkobar. Dimana merupakan tekstur tanah yang memiliki luas kedua setelah teksstur tanah geluh berlempung.

98

Tekstur tanah lempung ringan tersebar di bagian utara hingga tengah dari wilayah Kecamatan Karangkobar. Sementara untuk tekstur tanah pasir bergeluh yang terdapat pada jenis tanah andosol memiliki luas kurang lebih 618,415 hektar dari wilayah penelitian.

Tekstur tanah pasir bergeluh tersebar dibagian barat dan timur dari wilayah Kecamatan Karangkobar. Sedangkan tekstur tanah yang memiliki luas paling kecil adalah tekstur geluh yang terdapat pada jenis tanah aluvial dan litosol dengan luas kurang lebih 318,188 hektar dari total seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar. Dan tersebar di bagian utara dan selatan dari wilayah Kecamatan

Karangkobar, yang secara lebih rinci persebarannya dapat dilihat pada Gambar 4.11 sebagai berikut.

99

Gambar 4.11. Peta Tekstur Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.

100

f. Drainase Tanah

Drainase tanah dinilai dari mudah tidaknya air hilang dari

tanah, baik dalam bentuk pengaliran air maupun meresap ke dalam

tanah. Drainase tanah pada lokasi penelitian dinilai dengan cara

meneteskan larutan αα bipiridin ke sampel tanah yang telah diambil

di lokasi penelitian. Pembagian kelas drainase tanah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah klasifikasi drainase tanah menurut

Sartohadi (2012:173). Adapun proses pengukuran drainase tanah

pada sampel tanah di wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar

4.12 sebagai berikut.

Gambar 4.12 Uji Drainase Tanah

Drainase tanah di lapangan dinilai dengan menggunakan

cairan αα bipiridin ke sampel tanah. Penilaian dimulai dengan

mengambil sampel tanah, kemudian meneteskan cairan αα bipiridin

ke sampel tanah. Apabila cairan meresap dengan cepat maka

101

drainase tanah baik, sedangkan apabila cairan meresap lambat maka drainase tanah buruk. Adapun secara rinci hasil pengukuran drainase tanah dapat dilihat pada Tabel 4.14 sebagai berikut.

Tabel 4.14 Drainase Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Drainase Tanah Luas (hektar) 1 Baik 1.089,76 2 Agak baik 2.119,492 Jumlah 3.209.252 Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2019.

Kecamatan Karangkobar memiliki drainase tanah yang agak baik dengan luas 2.119,492 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan

Karangkobar. Drainase agak baik terdapat pada sebagian jenis tanah mediteran, sebagian andosol, dan sebagian aluvial. Sedangkan sisanya 1.089,76 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan

Karangkobar memiliki drainase yang baik yang terdapat pada tanah litosol, sebagian aluvial, andosol, dan sebagian mediteran, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.13 sebagai berikut.

102

Gambar 4.13. Peta Drainase Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.

103

g. Kedalaman Tanah

Kedalaman tanah di wilayah penelitian diukur dengan

menghitung panjang penampang tanah yang berupa horizin-horizon

tanah pada singkapan tanah. Klasifikasi kedalaman tanah yang

digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi menurut Sartohadi

(2012:164).

Kedalaman tanah diukur pada tanah yang terganggu melalui

singkapan tanah. Sampel tanah yang digunakan dalam pengukuran

kedalaman tanah adalah tanah yang terusik yang terdapat singkapan

tanah di lokasi penelitian. Kedalaman tanah diukur dari permukaan

sampai beberapa centimeter dibawah permukaan yang merupakan

horizon-horizon tanah dengan menggunakan penggaris atau pita

ukur.

Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil pengukuran

kedalaman tanah di lapangan, seluruh wilayahnya memiliki

kedalaman tanah yang sangat dalam yaitu dengan kedalaman >50

cm, baik pada tanah andosol, tanah aluvial, tanah mediteran,

maupun tanah litosol, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.14

sebagai berikut.

104

Gambar 4.14. Peta Kedalaman Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.

105

2. Hasil Pengukuran pada Sampel Satuan Lahan Penelitian

Sampel satuan unit lahan dalam penelitian diperoleh melalui proses

pengukuran, survey, dan pengamatan langsung di lapangan. Berdasarkan

hasil penelitian dengan menggunakan 7 parameter ancaman tanah longsor,

dapat diketahui bahwa kondisi sampel penelitian memiliki karakteristik

yang berbeda-beda, seperti yang dapat dilihat pada lampiran 6 tabel hasil

pengukuran parameter ancaman tanah longsor pada sampel peneltian.

1) Mediteran_I_Ladang

Sampel satuan lahan Mediteran_I_Ladang memiliki jenis tanah

mediteran dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur

tanah geluh berlempung. Selain itu sampel ini juga memiliki

kemiringan lereng yang datar yaitu antara 0-8% dengan intensitas curah

hujan 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini

adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki drainase yang

agak baik.

2) Mediteran_II_Ladang

Sampel Mediteran_II_Ladang berdasarkan hasil pengukuran dan

pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada sampel satuan lahan

ini memiliki jenis tanah mediteran dengan kedalaman sangat dalam

yaitu >120 cm dan tekstur tanah lempung ringan. Sampel ini memiliki

kemiringan lereng yang cukup landai yaitu antara 8-15% dengan

intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun.

106

Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa

ladang, dan juga memiliki drainase yang agak baik.

3).Mediteran_III_Ladang

Sampel Mediteran_III_Ladang memiliki jenis tanah mediteran

dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah

lempung ringan. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak

curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan sangat tinggi

yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada

sampel ini adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki

drainase yang agak baik.

4).Mediteran_IV_Ladang

Sampel Mediteran_IV_Ladang memiliki jenis tanah mediteran

dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah geluh

berlempung. Selain itu, ampel ini memiliki kemiringan lereng yang

curam yaitu antara 25-45% dengan intensitas curah hujan yang tinggi

yaitu sebesar 3302 mm/tahun. Penggunaan lahan pada sampel ini adalah

berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki drainase yang agak

baik.

5).Mediteran_V_Permukiman

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan,

sampel satuan lahan ini memiliki jenis tanah mediteran dengan

kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah geluh

107

berlempung. Selain itu sampel ini juga memiliki kemiringan lereng

yang sangat curam yaitu antara >45%, sampel ini juga memiliki curah

hujan yang sangat tinggi dengan intensitas curah hujan 3641 mm/tahun.

Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa

permukiman serta memiliki drainase yang agak baik.

6).Litosol_I_Kebun

Sampel satuan lahan Litosol_I_Kebun memiliki jenis tanah

litosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah

yang berupa geluh. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang datar

yaitu antara 0-8% dengan intensitas curah hujan yang tinggi yaitu

sebesar 3302 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini

adalah berupa kebun, dan memiliki drainase yang baik.

7).Litosol_II_Kebun

Sampel satuan lahan Litosol_II_Kebun memiliki jenis tanah

litosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah

yang berupa geluh. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang landai

yaitu antara 8-15% dengan intensitas curah hujan yang tinggi yaitu

sebesar 3302 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini

adalah berupa kebun, dan memiliki drainase yang baik.

8).Litosol_III_Kebun

Sampel ini memiliki jenis tanah Litosol dengan kedalaman

sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa geluh.

108

Selain itu, sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak

curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan yang sangat

tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Memiliki penggunaan lahan pada

sampel ini adalah berupa kebun, selain itu sampel ini juga memiliki

drainase yang agak baik.

9).Litosol_IV_Kebun

Sampel Litosol_IV_Kebun terdapat pada jenis tanah Litosol

dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang

berupa geluh. Selain itu sampel ini juga memiliki kemiringan lereng

yang cukup curam yaitu antara 25-45%, sampel ini juga memiliki curah

hujan yang sangat tinggi dengan intensitas curah hujan 3641 mm/tahun.

Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa kebun serta

memiliki drainase yang baik.

10).Aluvial_I_Hutan Campuran

Sampel satuan lahan Aluvial_I_Hutan campuran memiliki jenis

tanah aluvial dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan

tekstur tanah yang berupa lempung ringan. Sampel ini memiliki

kemiringan lereng yang datar yaitu antara 0-8% dengan intensitas

curah hujan yang sangat tinggi yaitu sebesar 3302 mm/tahun.

Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa hutan

campuran, dan juga memiliki drainase yang baik.

109

11).Aluvial_II_Permukiman

Sampel satuan lahan Aluvial_II_Permukiman berdasarkan hasil

pengukuran dan pengamatan memiliki jenis tanah aluvial dengan

kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa

lempung ringan. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang landai

yaitu antara 8-15% dengan intensitas curah hujan yang sangat tinggi

yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada

sampel ini adalah berupa permukiman, selain itu sampel ini juga

memiliki drainase yang baik.

12).Aluvial_III_Ladang

Sampel ini memiliki jenis tanah aluvial dengan kedalaman

sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa lempung

ringan. Selain itu, sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak

curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan yang sangat

tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Penggunaan lahan pada sampel

ini adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki drainase

yang baik.

13).Aluvial_IV_Ladang

Sampel satuan lahan Aluvial_IV_Ladang berdasarkan hasil

pengukuran dan pengamatan memiliki jenis tanah aluvial dengan

kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa

lempung ringan. Selain itu sampel ini juga memiliki kemiringan

110

lereng yang curam yaitu antara 25-45% dengan intensitas curah

hujan yang sangat tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Sementara

penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa ladang, dan juga

memiliki drainase yang baik.

14).Andosol_I_Permukiman

sampel satuan lahan Andosol_I_Permukiman ini memiliki jenis

tanah andosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan

tekstur tanah yang berupa pasir bergeluh. Sampel ini memiliki

kemiringan lereng yang cukup datar yaitu antara 0-8% dengan

intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu sebesar 5878 mm/tahun.

Memiliki penggunaan lahan yang berupa permukiman dan juga

memiliki drainase yang baik.

15).Andosol_II_Kebun

Sampel satuan lahan Andosol_II_Kebun melalui pengukuran

dan pengamatan memiliki jenis tanah andosol dengan kedalaman

sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa pasir

bergeluh. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang cukup landai

yaitu antara 8-15% dengan intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu

sebesar 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini

adalah berupa kebun, dan memiliki drainase yang baik.

111

16).Andosol_III_Ladang

Sampel ini memiliki jenis tanah andosol dengan kedalaman

sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa pasir

bergeluh. Selain itu, sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak

curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan yang sangat

tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Memiliki penggunaan lahan pada

sampel ini adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki

drainase yang baik.

17).Andosol_IV_Kebun

Sampel satuan lahan Andosol_IV_Kebun berdasarkan hasil

pengukuran dan pengamatan di lapangan, sampel satuan lahan ini

memiliki jenis tanah andosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu

>120 cm dan tekstur tanah yang berupa pasir bergeluh. Selain itu

sampel ini juga memiliki kemiringan lereng yang curam yaitu antara

25-45%, sampel ini juga memiliki curah hujan yang sangat tinggi

dengan intensitas curah hujan 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan

lahan pada sampel ini adalah berupa kebun serta memiliki drainase

yang baik.

18).Andosol_V_Ladang

Sampel satuan lahan Andosol_V_Ladang memiliki jenis tanah

andosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur

tanah yang berupa pasir bergeluh. Sampel ini memiliki kemiringan

112

lereng yang sangat curam yaitu antara >45% dengan intensitas

curah hujan yang sangat tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun.

Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa ladang,

dan memiliki drainase yang baik.

3. Perhitungan Tingkat Ancaman Tanah Longsor

Ancaman tanah longsor dinilai menggunakan 7 parameter

berdasarkan panduan resiko bencana dari Badan Penanggulangan

Bencana (2016) yang dimodifikasi. Parameter yang digunakan antara lain

kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan, tekstur

tanah, drainase tanah, dan kedalaman tanah. Masing-masing parameter

dilakukan skoring sesuai dengan klasifikasi masing-masing parameter

yang menjadi dasar atau acuan dalam penelitian. Setiap sampel satuan

lahan kemudian diberi skor masing-masing parameter dan kemudian

dijumlahkan sehingga menghasilkan skor total menggunakan analisis

overlay dengan software Arcgis.

Skor Ancaman: skor curah hujan + skor kemiringan lereng + skor jenis tanah + skor tekstur tanah + skor drainase + skor kedalaman tanah + skor penggunaan lahan

 Sampel 1 Mediteran_I_Ladang

Skor: skor curah hujan + skor kemiringan lereng + skor jenis tanah + skor tekstur tanah + skor drainase + skor kedalaman tanah + skor penggunaan lahan

= 5+1+3+3+2+5+5

= 24

113

Penentuan kelas ancaman tanah longsor pada masing-masing

sampel sesuai dengan skor masing-masing sampel satuan lahan. Nilai

dari masing-masing sampel satuan lahan secara rinci dapat dilihat pada

Tabel 4.15 sebagai berikut.

Tabel 4.15 Hasil Skoring Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Setiap Sampel Satuan Lahan Penggunaan Iklim Lereng Tanah Lahan Skor Nilai No Sampel Satuan Lahan Curah total Ancaman Hujan Kemiringan Jenis Kedalaman Penggunaan (mm/tahun) Lereng Tanah Tekstur Drainase Tanah Lahan 1 Mediteran_I_Ladang 5 1 3 3 2 5 5 24 Sedang 2 Mediteran_II_Ladang 5 2 3 4 2 5 5 26 Tinggi 3 Mediteran_III_Ladang 5 3 3 4 2 5 5 27 Tinggi 4 Mediteran_IV_Ladang 4 4 3 3 2 5 5 26 Tinggi 5 Mediteran_V_Permukiman 5 5 3 3 2 5 4 27 Tinggi 6 Litosol_I_Kebun 4 1 5 3 1 5 3 22 Sedang 7 Litosol_II_Kebun 4 2 5 3 1 5 3 23 Sedang 8 Litosol_III_Kebun 5 3 5 3 2 5 3 26 Tinggi 9 Litosol_IV_Kebun 5 4 5 3 1 5 3 26 Tinggi Aluvial_I_Hutan 10 Campuran 4 1 1 3 1 5 1 16 Rendah 11 Aluvial_II_Permukiman 5 2 1 4 1 5 4 22 Sedang 12 Aluvial_III_Ladang 5 3 1 4 1 5 5 24 Sedang 13 Aluvial_IV_Ladang 5 4 1 4 1 5 5 25 Sedang 14 Andosol_I_Permukiman 5 1 4 1 1 5 4 21 Sedang 15 Andosol_II_Kebun 5 2 4 1 1 5 3 21 Sedang 16 Andosol_III_Ladang 5 3 4 1 1 5 5 24 Sedang 17 Andosol_IV_Kebun 5 4 4 1 1 5 3 23 Sedang 18 Andosol_V_Ladang 5 5 4 1 1 5 5 26 Tinggi Sumber: Hasil Analisis, 2019.

18 satuan lahan yang menjadi sampel dalam penelitian, 7 sampel

satuan lahan memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi, 10 satuan

lahan sedang, dan 1 satuan lahan memiliki ancaman tanah longsor

rendah. Adapun secara rinci persebaran tingkat ancaman tanah longsor

dapat dilihat pada Gambar 4.15 sebagai berikut.

114

Gambar 4.15. Peta Ancaman Tanah Longsor Kecamatan Karangkobar

115

Desa Kecamatan Karangkobar berdasarkan tingkat ancaman tanah longsor memiliki luas masing-masing ancaman tanah longsor, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.16 sebagai berikut.

Tabel 4.16 Luas Daerah Berdasarkan Tingkat Ancaman Tanah Longsor Di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 Luas Wilayah No Nama Desa Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) 1 Slatri 0.00 78.28 21.72 2 Paweden 0.00 95.81 4.19 3 Gumelar 0.00 71.28 28.72 4 Purwodadi 0.00 100 0.00 5 Sampang 0.00 53.41 46.59 6 Ambal 0.71 29.11 70.18 7 Pagerpelah 0.00 77.66 22.34 8 Pasuruhan 0.00 84.06 15.94 9 Karanggondang 4.20 77.28 17.78 10 Jlegong 0.00 24.63 75.37 11 Binangun 2.15 80.18 17.66 12 Karangkobar 0.00 88.34 11.66 13 Leksana 5.48 94.52 0.00 Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa di Kecamatan Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor rendah paling luas adalah Desa Leksana dengan presentase

5.48%. Sedangkan ancaman tanah longsor sedang paling luas adalah

Desa Purwodadi yaitu 100%, dan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang paling kecil adalah Desa Jlegong dengan presentase 24,63%. Sedangkan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi paling luas adalah Desa Jlegong dimana 75%, sedangkan wilayah yang memiliki luas ancaman tanah longsor tinggi adalah Desa Paweden dengan presentase 4.19%.

116

4. Lokasi Kejadian Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar

Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil wawancara dan survey

lapangan, terdapat beberapa titik lokasi kejadian bencana tanah longsor

yang pernah terjadi di Kecamatan Karangkobar. Lokasi kejadian tanah

longsor terdapat pada daerah ladang, kebun, dan permukiman. Dari

beberapa lokasi kejadian tanah longsor, terdapat 5 titik atau 5 lokasi

kejadian bencana tanah longsor yang mengancam penduduk di

Kecamatan Karangkobar.

1) Titik 1

Lokasi tanah longsor yang pertama terjadi di Dusun Diwek,

Desa Karangkobar. Tanah longsor terjadi pada hari Jumat tanggal 12

Desember tahun 2014 tepatnya pada pukul 10.00 WIB. Tanah longsor

menyebabkan 3 rumah mengalami kerusakan berat dan menyebabkan

5 rumah terancam, sehingga harus mengungsi ke wilayah yang lebih

aman.

Penduduk yang rumahnya mengalami kerusakan telah

direlokasi ke tempat yang lebih aman di sekitar Dusun Diwek, Desa

Karangkobar. Sementara penduduk yang rumahnya terancam telah

kembali lagi menempati rumahnya. Saat ini lokasi longsoran telah

berubah menjadi ladang pertanian dan kandang ternak.

Titik lokasi longsor di Dusun Diwek Desa Karangkobar ini

merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah

longsor tinggi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.19, adapun kondisi

117

bekas longsor di Dusun Diwek Desa Karangkobar dapat dilihat pada

Gambar 4.16 sebagai berikut.

Gambar 4.16 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Diwek Desa

Karangkobar

2) Titik 2

Titik ke-2 tanah longsor terjadi di Dusun Jemblung, Desa

Sampang Kecamatan Karangkobar. Tanah longsor terjadi terjadi pada

hari Jumat tanggal 12 Desember tahun 2014 tepatnya pada pukul

17.00 WIB. Kejadian tanah longsor ini merupakan bencana tanah

longsor terbesar yang pernah terjadi di Kecamatan Karangkobar.

Tanah longsor menyebabkan 1 dusun yang terdiri dari 82

kepala keluarga tertimbun tanah. Tanah longsor menyebabkan 95

penduduk tewas, 13 penduduk dinyatakan hilang, dan ratusan orang

mengungsi.

118

Saat ini lokasi yang dulu pernah terjadi tanah longsor telah menjadi kawasan konservasi. Akan tetapi juga banyak penduduk yang masih memanfaatkan lokasi bekas longsoran sebagai ladang pertanian.

Berdasarkan analisis tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan

Karangkobar, titik lokasi longsor di Dusun Jemblung Desa Sampang ini merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.19. Adapun kondisi lokasi tanah longsor di Dusun Jemblung Desa Sampang saat ini dapat dilihat pada Gambar 4.17 sebagai berikut.

Gambar 4.17 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Jemblung

Desa Sampang.

119

3) Titik 3

Tanah longsor pada titik ke-3 terjadi di Dusun Gintung, Desa

Binangun. Tanah longsor terjadi pada tahun 2014, meskipun tidak ada

korban jiwa tanah longsor menyebabkan 1 RT di Dusun Gintung

mengungsi. Setelah tanah longsor dipastikan tidak aktif lagi,

penduduk kembali lagi menempati rumah mereka. Saat ini lokasi

tanah longsor sudah dimanfaatkan menjadi ladang dan kebun oleh

masyarakat.

Titik lokasi longsor di Dusun Gintung Desa Binangun ini

merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah

longsor tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.19. Adapun

kondisi lokasi tanah longsor di Dusun Gintung Desa Binangun saat ini

dapat dilihat pada gambar 4.18 sebagai berikut.

Gambar 4.18 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Gintung Desa

Binangun.

120

4) Titik 4

Tanah longsor terjadi di Desa Jlegong Kecamatan

Karangkobar. Tanah longsor terjadi pada tahun 2018, yang berupa

retakan tanah di sepanjang belasan meter di jalan yang

menghubungkan Desa Jlegong dengan Kecamatan Karangkobar. Jalan

mengalami ambles kurang lebih 20 cm. Akibatnya 13 rumah yang

berada dibawah tebing jalan terancam.

Titik lokasi longsor di Desa Jlegong ini merupakan salah satu

wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 4.19.

5) Titik 5

Tanah longsor terjadi di Dusun Ambal, Desa Ambal,

Kecamatan Karangkobar. Tanah longsor terjadi pada tahun 2018, yang

berupa retakan tanah tebing jalan. Jalan mengalami ambles dan

akibatnya terdapat 1 rumah yang berada dibawah tebing jalan

terancam. Berdasarkan analisis tingkat ancaman tanah longsor di

Kecamatan Karangkobar, titik lokasi longsor di Desa Ambal ini

merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah

longsor tinggi, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.19 sebagai

berikut.

121

Gambar 4.19. Peta Titik Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar

122

5. Perhitungan Kapasitas Masyarakat

Kapasitas masyarakat dinilai menggunakan Parameter dan

indikator Kerangka Aksi Hyogo-HFA sesuai dengan pedoman penilaian

kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana dari Peraturan Kepala

Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nonor 03 Tahun 2012. Setiap

sampel kemudian dinilai dan selanjutnya diklasifikasikan ke dalam kelas

kapasitas masyarakat yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Perhitungan skor

kapasitas masyarakat setiap responden dilakukan dengan menjumlahkan

skor 88 pertanyaan pada kuesioner dari 5 parameter yang digunakan

dalam penelitian.

Skor Kapasitas = Skor Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana + skor Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana + skor Pendidikan Kebencanaan + skor Pengurangan Faktor Resiko Dasar + skor Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini Perhitungan:

 Sampel 1

Nama: Bapak Kisro

Matapencaharian: Perangkat desa

Skor Kapasitas = Skor Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana + skor Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana + skor Pendidikan Kebencanaan + skor Pengurangan Faktor Resiko Dasar + skor Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini

: 10 +7+5+13+7

: 42

123

1) Desa Slatri

Desa Slatri merupakan salah satu di Kecamatan Karangkobar

yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi, 21,72%

wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman tanah

longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada 9

responden di Desa Slatri, hasil penilaian secara lengkap pada

masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap

kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 181). Adapun hasil

perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Slatri dapat dilihat

pada Tabel 4.17 sebagai berikut.

Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Slatri Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Kisro 42 0.48 Sedang 2 Praba 32 0.36 Sedang 3 Irwan 32 0.36 Sedang 4 Isti 30 0.34 Sedang 5 Sukir 22 0.25 Rendah 6 Pato 28 0.32 Rendah 7 Maryono 30 0.34 Sedang 8 Atno 29 0.33 Sedang 9 Yana 29 0.33 Sedang Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Slatri berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.17 dapat

diketahui bahwa 7 dari 9 responden atau dengan presentase 78%

masyarakat di Desa Slatri memiliki kapasitas yang sedang,

sedangkan 2 responden atau dengan presentase 22% memiliki

kapasitas yang rendah.

124

2) Desa Paweden

Desa Paweden merupakan salah satu di Kecamatan

Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi,

4,19% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman tanah

longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada 6

responden, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing

responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner

kapasitas masyarakat (halaman 181). Hasil perhitungan skor masing-

masing sampel di Desa Paweden dapat dilihat pada Tabel 4.18

sebagai berikut.

Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Paweden Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Gesang 17 0.19 Rendah 2 Mustafid 24 0.27 Rendah 3 Miskiyah 20 0.23 Rendah 4 Imam 24 0.27 Rendah 5 Pangat 19 0.22 Rendah 6 Indar 20 0.23 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Paweden berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.18

dapat diketahui bahwa semua responden dengan jumlah 6 responden

atau dengan presentase 100% responden penelitian di Desa Paweden

memiliki kapasitas yang rendah.

3) Desa Gumelar

Desa Gumelar merupakan salah satu di Kecamatan

Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi,

125

28.72% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman

tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada

5 responden, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing

responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner

kapasitas masyarakat (halaman 181). Hasil perhitungan skor masing-

masing sampel di Desa Gumelar dapat dilihat pada Tabel 4.19

sebagai berikut.

Tabel 4.19 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Gumelar Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Afif 15 0.17 Rendah 2 Fatimah 10 0.11 Rendah 3 Sumijan 18 0.20 Rendah 4 Bagus 14 0.16 Rendah 5 Sukron 13 0.15 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Gumelar berdasarkan Tabel 4.19 dapat diketahui bahwa

semua responden penelitian atau 100% responden di Desa Gumelar

memiliki kapasitas yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan skor

semua responden < 29, sehingga masuk ke dalam kelas rendah.

4) Desa Sampang

Desa Sampang merupakan salah satu dari kesebelas desa di

Kecamatan Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah

longsor tinggi, dimana 46.59% wilayahnya merupakan daerah

dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas

masyarakat dilakukan pada 10 responden yang tersebar di seluruh

Desa Slatri, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing

126

responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner

kapasitas masyarakat (halaman 181-182). Hasil perhitungan skor

masing-masing sampel di Desa Sampang secara rinci dapat dilihat

pada Tabel 4.20 sebagai berikut.

Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Sampang Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Rina 41 0.47 Sedang 2 Sobron 29 0.33 Sedang 3 Afi 23 0.26 Rendah 4 Nina 30 0.34 Sedang 5 Noval 34 0.39 Sedang 6 Parjo 27 0.31 Rendah 7 Nirwan 29 0.33 Sedang 8 Slamet 30 0.34 Sedang 9 Tugio 31 0.35 Sedang 10 Bawon 40 0.45 Sedang Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Sampang berdasarkan tabel 4.20 memiliki 8 sampel atau

dengan presentase 100% responden penelitian di Desa Sampang

memiliki kapasitas sedang. Sedangkan sisanya yaitu 2 responden

atau dengan presentase 20% memiliki kapasitas yang rendah.

5) Desa Ambal

Desa Ambal merupakan salah satu di Kecamatan

Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi,

yaitu 70.18% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat

ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat

dilakukan pada 9 responden, hasil penilaian secara lengkap pada

masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap

127

kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 182). Hasil perhitungan

skor masing-masing sampel di Desa Ambal dapat dilihat pada Tabel

4.21 sebagai berikut.

Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Ambal Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Nikmat 35 0.40 Sedang 2 Khalimi 24 0.27 Rendah 3 Ema 29 0.33 Sedang 4 Basir 29 0.33 Sedang 5 Mail 30 0.34 Sedang 6 Sarzan 21 0.24 Rendah 7 Saheri 31 0.35 Sedang 8 Ikhwan 30 0.34 Sedang 9 Anto 33 0.38 Sedang Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Ambal berdasarkan hasil analisis tingkat kapasitas

masyarakat pada Tabel 4.21 menunjukkan dari total 9 responden

penelitian pada Desa Ambal 7 responden atau dengan presentase

78% memiliki kapasitas sedang. Sedangkan sisanya yaitu 2

responden atau dengan presentase 20% memiliki kapasitas yang

rendah.

6) Desa Pagerpelah

Desa Pagerpelah merupakan salah satu desa di Kecamatan

Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi.

Kurang lebih 22.34 % wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat

ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat

dilakukan pada 9 responden, hasil penilaian secara lengkap pada

128

masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil

rekap kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 182-183). Hasil

perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Pagerpelah dapat

dilihat pada Tabel 4.22 sebagai berikut.

Tabel 4.22 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pagerpelah Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Budi 65 0.74 Tinggi 2 Arba 59 0.67 Tinggi 3 Latif 33 0.38 Sedang 4 Yahya 29 0.33 Sedang 5 Agus 59 0.67 Tinggi 6 Riski 62 0.70 Tinggi 7 Sugeng 60 0.68 Tinggi 8 Slamet 24 0.27 Rendah 9 Rohman 61 0.69 Tinggi Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Pagerpelah berdasarkan Tabel 4.22 menunjukkan dari

total 9 responden penelitian pada Desa Pagerpelah 6 responden atau

dengan presentase 67% memiliki kapasitas tinggi. Sedangkan

sisanya 2 responden atau dengan presentase 22% memiliki kapasitas

sedang, dan 1 responden atau dengan presentase 11% memiliki

kapasitas yang rendah.

7) Desa Pasuruhan

Desa Pasuruhan merupakan salah satu desa di Kecamatan

Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi.

Kurang lebih 15.94% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat

ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat

129

dilakukan pada 6 responden, hasil penilaian secara lengkap pada

masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap

kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 183). Hasil perhitungan

skor masing-masing sampel di Desa Pasuruhan dapat dilihat pada

Tabel 4.23 sebagai berikut.

Tabel 4.23 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pasuruhan Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Sartun 17 0.19 Rendah 2 Saiful 23 0.26 Rendah 3 Santo 19 0.22 Rendah 4 Khotib 24 0.27 Rendah 5 Hendra 22 0.25 Rendah 6 Mahmud 23 0.26 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Pasuruhan berdasarkan hasil analisis tingkat kapasitas

masyarakat pada Tabel 4.23 menunjukkan, bahwa semua atau 100%

responden penelitian di Desa Pasuruhan memiliki kapasitas yang

rendah.

8) Desa Karanggondang

Desa Karanggondang merupakan salah satu desa di

Kecamatan Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah

longsor tinggi. Kurang lebih 17.78% wilayahnya merupakan daerah

dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas

masyarakat dilakukan pada 11 responden yang tersebar di wilayah

penelitian, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing

responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner

130

kapasitas masyarakat (halaman 183-184). Adapun hasil

perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Karanggondang

secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.24 sebagai berikut.

Tabel 4.24 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karanggondang Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Tongat 6 0.07 Rendah 2 Amri 13 0.15 Rendah 3 Edi 15 0.17 Rendah 4 Wawan 16 0.18 Rendah 5 Soleh 15 0.17 Rendah 6 Sayuti 14 0.16 Rendah 7 Ipeh 10 0.11 Rendah 8 Parno 13 0.15 Rendah 9 Udin 15 0.17 Rendah 10 Fuad 16 0.18 Rendah 11 Budi 14 0.16 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Karanggondang berdasarkan Tabel 4.24 menunjukkan

bahwa semua atau 100% responden penelitian memiliki kapasitas

yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan skor seluruh responden

yang menunjukkan angka < 29 sehingga masuk ke dalam kelas

rendah.

9) Desa Jlegong

Desa Jlegong adalah desa yang memiliki wilayah dengan

tingkat ancaman tanah longsor paling luas di Kecamatan

Karangkobar, yaitu kurang lebih 75.37% dari wilayahnya. Penilaian

kapasitas masyarakat dilakukan pada 4 responden, hasil penilaian

secara lengkap pada masing-masing responden dapat dilihat pada

131

lampiran 7 hasil rekap kuesioner kapasitas masyarakat (halaman

184). Hasil perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Jlegong

dapat dilihat pada Tabel 4.25 sebagai berikut.

Tabel 4.25 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Jlegong Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Sultoni 14 0.16 Rendah 2 Mahpul 13 0.15 Rendah 3 Suhardi 15 0.17 Rendah 4 Sumiati 13 0.15 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Jlegong berdasarkan hasil analisis tingkat kapasitas

masyarakat pada Tabel 4.25 menunjukkan, bahwa semua atau 100%

responden penelitian di Desa Jlegong memiliki kapasitas yang

rendah.

10) Desa Binangun

Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada 12 responden

yang tersebar di wilayah penelitian, hasil penilaian secara lengkap

pada masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil

rekap kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 184-185). Adapun

hasil perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Binangun

dapat dilihat pada Tabel 4.26 sebagai berikut.

132

Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Binangun Tahun 2019 Nama Kelas No Responden Skor Indeks Kapasitas 1 Jono 25 0.28 Rendah 2 Sahrul 16 0.18 Rendah 3 Asih 20 0.23 Rendah 4 Wahno 18 0.20 Rendah 5 Sukirman 16 0.18 Rendah 6 Parman 15 0.17 Rendah 7 Harjo 21 0.24 Rendah 8 Patul 15 0.17 Rendah 9 Tomo 20 0.23 Rendah 10 Iwan 17 0.19 Rendah 11 Purwanto 17 0.19 Rendah 12 Indra 14 0.16 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Binangun berdasarkan Tabel 4.26 dapat diketahui

bahwa semua atau 100% responden penelitian di Desa Binangun

memiliki kapasitas yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan skor

seluruh responden yang menunjukkan angka < 29 sehingga masuk ke

dalam kelas rendah.

11) Desa Karangkobar

Desa Karangkobar merupakan salah satu desa di Kecamatan

Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi.

Kurang lebih 11.66% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat

ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat

dilakukan pada 17 responden, hasil penilaian secara lengkap pada

masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap

kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 186-187). Hasil

133

perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Karangkobar dapat

dilihat pada Tabel 4.27 sebagai berikut.

Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karangkobar Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Rumiyati 25 0.28 Rendah 2 Marliem 22 0.25 Rendah 3 Oden 26 0.30 Rendah 4 Ehsan 20 0.23 Rendah 5 Sulhan 21 0.24 Rendah 6 Farhan 19 0.22 Rendah 7 Nurul 39 0.44 Sedang 8 Kasto 19 0.22 Rendah 9 Sohib 22 0.25 Rendah 10 Untung 20 0.23 Rendah 11 Kholid 21 0.24 Rendah 12 Khadini 17 0.19 Rendah 13 Sri 21 0.24 Rendah 14 Erna 11 0.13 Rendah 15 Sukamto 20 0.23 Rendah 16 Umron 19 0.22 Rendah 17 Tamziz 20 0.23 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.

Desa Karangkobar berdasarkan Tabel 4.27 dapat diketahui

bahwa 16 responden atau dengan presentase 94% memiliki kapasitas

yang rendah dan 1 responden atau dengan presentase 6% memiliki

kapasitas sedang.

Tingkat kapasitas masyarakat di masing-masing desa yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Adapun hasil analisis tingkat kapasitas masyarakat di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.28 sebagai berikut.

134

Tabel 4.28 Tingkat Kapasitas Masyarakat Dengan Tingkat Ancaman Tanah Longsor Tinggi Di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 Presentase Tingkat Kapasitas No Desa Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total Indeks 1 Slatri 22% 78% - 100% 0.35 2 Paweden 100% - - 100% 0.23 3 Gumelar 100% - - 100% 0.16 4 Sampang 20% 80% - 100% 0.31 5 Ambal 22% 78% - 100% 0.33 6 Pagerpelah 11% 22% 67% 100% 0.57 7 Pasuruhan 100% - - 100% 0.24 8 Karanggondang 100% - - 100% 0.15 9 Jlegong 100% - - 100% 0.16 10 Binangun 100% - - 100% 0.19 11 Karangkobar 94% 6% - 100% 0.17 Sumber: Hasil Analisis, 2019. Kecamatan Karangkobar yang wilayahnya memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi dibagi ke dalam 3 kelas kapasitas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat rendah ada 7 desa, yaitu Desa Paweden, Desa Gumelar, Desa

Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong, Desa Binangun, dan

Desa Karangkobar. Sementara kapasitas sedang ada 3 desa yaitu Desa

Slatri, Desa Sampang, dan Desa Ambal. Sedangkan wilayah dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi yang memiliki kapasitas tinggi hanya ada 1 desa yaitu Desa Pagerpelah. Seperti yang dapat dilihat pada

Gambar 4.20 sebagai berikut.

135

0.8

0.7

0.6

0.5 Kapasitas Masyarakat 0.4 Rendah

0.3 Sedang

Tinggi 0.2

0.1

0 Indek s

Gambar 4.20 Indeks Kapasitas Masyarakat Kecamatan Karangkobar

Tingkat kapasitas masyarakat dinilai menggunakan 5 parameter

yang terdiri dari 22 indikator kapasitas masyarakat dari Peraturan Kepala

BNPB No. 2 Tahun 2012 tentang kapasitas masyarakat. Hasil analisis

pada wilayah yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat rendah,

sedang, dan tinggi dapat dilihat secara rinci pada Tabel 4.29 sebagai

berikut.

136

Tabel 4.29 Ketersediaan Indikator-indikator Kapasitas Masyarakat

Parameter dan Indikator Kapasitas Masyarakat Tingkat Kapasitas Masyarakat No

Rendah Sedang Tinggi

1 Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan resiko 1 bencana Tidak Ada Ada ada 2 Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan Ada Ada Ada pengurangan resiko bencana 3 Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian Ada Ada Ada kewenangan dan sumberdaya pada tingkat lokal Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan Ada Ada Ada 4 bencana

2 Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana 1 Tersedianta kajian resiko bencana daerah berdasarkan data bahaya dan Ada Ada Ada kerentanan Tidak Tidak Tidak 2 Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip, dan ada ada ada menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama 3 Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala Tidak Ada Tidak besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat ada ada 4 Penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas Ada Tidak Ada guna menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan resiko ada 3 Pendidikan Kebencanaan 1 Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses Ada Tidak Ada di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan ada Kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan Ada Ada Ada 2 mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan resiko bencana dan pemulihan Tidak Tidak Tidak 3 Tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis ada ada ada manfaat biaya 4 Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas Ada Ada Ada dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara luas 4 Pengurangan Faktor Resiko Dasar 1 Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan- Ada Ada Ada kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup 2 Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial Tidak Ada Ada dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling ada beresiko terkena dampak bahaya Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi Tidak Tidak Tidak dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan- ada ada ada 3 kegiatan ekonomi pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya 4 Perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia memuat unsur-unsur Ada Ada Ada pengurangan resiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan 5 Langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam Ada Ada Ada proses-proses rehabilitasu dan pemulihan pascabencana 6 Ada Ada Ada Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak resiko bencana 5 Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini 1 Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme Ada Ada Ada penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan resiko bencana dalam pelaksanaannya 2 Tidak Ada Ada Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang ada siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan program tanggap darurat bencana 3 Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi Ada Ada Ada yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana 4 Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca Tidak Ada Ada bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa ada tanggap darurat Sumber: Hasil Analisis, 2019.

137

C. Pembahasan

1. Analisis Tingkat Ancaman Tanah Longsor di Kecamatan

Karangkobar

Tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar

berdasarkan hasil analisis terdiri dari 2 kelas yaitu tingkat ancaman sedang

dan tingkat ancaman tinggi.

a. Ancaman Tanah Longsor Tingkat Rendah

Wilayah penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor

rendah adalah 1% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar, yang

terdiri dari 1 satuan unit lahan yaitu Aluvial_I_Hutan Campuran yang

tersebar di 3 desa yaitu Desa Leksana, Desa Karanggondang, dan Desa

Ambal.

Tingkat ancaman tanah longsor rendah terdapat pada wilayah

yang memiliki kemiringan lereng datar yaitu dengan angka 0-8%,

dengan intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi atau

3000-3500 mm/tahun. Selain itu tingkat ancaman rendah terdapat pada

jenis tanah aluvial dengan tekstur tanah geluh. Memiliki kedalaman

tanah yang sangat tebal yaitu >120 cm dengan drainase tanah yang baik

dan agak baik. Sementara untuk penggunaan lahan wilayah yang

memiliki tingkat ancaman tanah longsor rendah memiliki penggunaan

lahan yang berupa ladang, permukiman, hutan campuran, dan kebun.

138

b. Ancaman Tanah Longsor Tingkat Sedang

Wilayah penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor

sedang adalah 74% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.

Satuan lahan yang masuk kedalam tingkat ancaman tanah longsor sedang

terdapat 10 satuan lahan yaitu Mediteran_I, Litosol_I,

Litosol_II,Aluvial_II,Aluvial_III,Aluvial_IV,Andosol_I,Andosol_II,And

osol_III,danAndosol_IV.

Tingkat ancaman tanah longsor sedang terdapat pada wilayah

yang memiliki kemiringan lereng datar hingga curam yaitu dengan angka

0-45%, dengan intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi

atau 3000->3500 mm/tahun. Selain itu tingkat ancaman sedang terdapat

pada jenis tanah mediteran, litosol, aluvial, dan andosol dengan tekstur

tanah lempung ringan, geluh berlempung, geluh, dan pasir bergeluh.

Memiliki kedalaman tanah yang sangat tebal yaitu >120 cm dengan

drainase tanah yang baik dan agak baik. Sementara untuk penggunaan

lahan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang

memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, permukiman, hutan

campuran, dan kebun.

Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil analisis wilayah yang

memiliki ancaman tanah longsor sedang adalah Desa Slatri, Desa

Paweden, Desa Gumelar, Desa Sampang, Desa Ambal, Desa Pagerpelah,

Desa Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong, Desa Binangun,

Desa Purwodadi, Desa Karangkobar, dan Desa Leksana.

139

c. Ancaman Tanah Longsor Tingkat Tinggi

Wilayah penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor

tinggi adalah 25% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.

Terdapat 7 satuan lahan yang masuk ke dalam tingkat ancaman tanah

longsor tinggi yaitu Mediteran_II, Mediteran_III, Mediteran_IV,

Mediteran_V, Litosol_III, Litosol_IV, dan Andosol_V.

Tingkat ancaman tanah longsor tinggi terdapat pada wilayah yang

memiliki kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam yaitu 15-

.45%, dengan intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi

atau 3000 - >3500 mm/tahun. Selain itu tingkat ancaman tanah longsor

tinggi terdapat pada jenis tanah mediteran, litosol, dan andosol dengan

tekstur tanah lempung ringan, geluh berlempung, geluh, dan pasir

bergeluh. Memiliki kedalaman tanah yang sangat tebal yaitu >120 cm

dengan drainase tanah yang baik dan agak baik. Sementara untuk

penggunaan lahan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor

tinggi memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, permukiman, dan

kebun.

Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil analisis wilayah

penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi adalah

seluas 789,29 hektar atau dengan presentase 25% dari seluruh wilayah

Kecamatan Karangkobar, yang tersebar di 11 desa yaitu Desa Slatri,

Desa Paweden, Desa Gumelar, Desa Sampang, Desa Ambal, Desa

140

Pagerpelah, Desa Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong,

Desa Binangun, dan Desa Karangkobar.

2. Analisis Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah

Longsor di Kecamatan Karangkobar

Kapasitas masyarakat di masing-masing desa yang memiliki tingkat

ancaman tanah longsor tinggi diketahui dari hasil perhitungan masing-

masing responden pada wilayah penelitian. Sehingga dapat diketahui

bahwa wilayah di Kecamatan Karangkobar yang memiliki ancaman tanah

longsor tinggi dikelompokkan ke dalam 3 kelas tingkat kapasitas

masyarakat, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

a. Kapasitas Mayarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor

Tingkat Rendah

Parameter aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana,

semua desa dengan tingkat kapasitas rendah belum memiliki kerangka

hukum dan kebijakan nasional atau lokal untuk pengurangan resiko

bencana maupun sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan

pengurangan resiko dari bencana. Namun telah terjalinnya partisipasi dan

desentralisasi komunitas, yang berupa adanya jalinan kerjasama yang

baik antara pemerintah dan juga masyarakat dalam akivitas pengurangan

resiko bencana. Selain itu telah berfungsinya forum atau jaringan daerah

khusus untuk pengurangan resiko bencana di semua desa yang berupa

adanya diskusi-diskusi informal antar kelompok untuk mengurangi

resiko bencana.

141

Parameter peringatan dini dan kajian resiko bencana, wilayah dengan tingkat kapasitas rendah pada belum semua desa memiliki kajian resiko bencana daerah, baru ada di Desa Binangun. Sementara untuk sistem-sistem yang siap memantau, mengarsip, dan menyebarluaskan data potensi bencana, maupun sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan luas semua desa di wilayah dengan tingkat kapasitas rendah belum tersedia. Sedangkan untuk indikator penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas, belum semua desa tersedia hanya Desa Binangun yang telah memiliki dokumen kajian resiko bencana daerah, meskipun kajian belum mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas.

Informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh semua kepentingan pada parameter pendidikan kebencanaan, belum semua desa dengan tingkat kapasitas rendah memiliki, baru ada di Desa

Binangun, Pasuruhan, dan Karangkobar. Sementara indikator kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik pengurangan resiko bencana dan pemulihan hanya ada di Desa Gumelar dan Desa Binangun. Untuk indikator tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis manfaat biaya, semua desa belum tersedia. Sedangkan untuk indikator strategi membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat, baru tersedia di Desa Binangun dan Desa Karangkobar yang berupa

142

adanya media yang mempublikasikan pembangunan kesadaran masyarakat untuk melakukan praktik pengurangan resiko bencana.

Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam, tataguna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan ilkilm pada parameter pengurangan faktor resiko dasar, belum semua desa memiliki, baru ada di Desa Pasuruhan, Paweden, Gumelar, dan Jlegong. Sementara untuk indikator rencana-rencana dan kebijakan- kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya dan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan- kegiatan ekonomi pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya semua desa dengan tingkat kapasitas rendah belum ada. Sedangkan untuk indikator perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan dan indikator pemulihan pasca bencana belum semua desa memiliki. Dan untuk indikator siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak- dampak resiko bencana atau proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur telah ada di Desa Paweden dan Desa Pasuruhan.

143

Kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penangana darurat bencana pada parameter pembangunan kesipasiagaan pada seluruh lini, belum tersedia di semua desa dengan tingkat kapasitas rendah, hanya tersedia di Desa Pasuruhan dan Desa Binangun. Pada indikator rencana kontinjensi dan prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat, belum tersedia di semua desa dengan tingkat kapasitas rendah. Dan untuk indikator tersedianya cadangan finansial dan logistik untuk mendukung upaya penanganan darurat bencana, baru tersedia di Desa Karangkobar yang berupa adanya anggaran dana khusus penanganan darurat bencana, sementara wilayah yang lain belum tersedia.

Desa yang meiliki tingkat kapasitas rendah sudah mulai merencanakan terbentuknya desa tangguh bencana (DESTANA) yang merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan. Namun belum satupun rencana desa tangguh bencana di daerah dengan kapasitas rendah yang, terealisasi karena terkendala di anggaran untuk upaya pengurangan resiko bencana.

Daerah yang memiliki tingkat kapasitas rendah 49% wilayahnya memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, 31% kebun, 12%

144

permukiman, dan 6,8% wilayahnya merupakan hutan campuran. Dengan jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman salak.

Masyarakat yang tinggal di wilayah dengan tingkat kapasitas rendah, dengan presentase 52% merupakan lulusan SD. Masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di daerah dengan tingkat ancaman tanah longsor yang tinggi, namun mereka tetap saja tinggal dan menempati wilayah itu. Karena mereka tidak memiliki pilihan lain, hanya lahan yang mereka tinggali yang mereka miliki, sehingga jika harus pindah mereka tidak memiliki dana untuk membeli lahan dan membangun rumah baru. Meskipun masyarakat tahu bahwa mereka tinggal di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor, mereka belum sepenuhnya paham tentang tanah longsor, seperti tanda-tanda tanah longsor dan faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab tanah longsor.

Hal ini karena belum pernah ada sosialisasi ataupun penyuluhan kepada masyarakat mengenai tanah longsor maupun pengurangan resiko bencana.

Matapencaharian penduduk di wilayah dengan tingkat kapasitas rendah adalah di bidang pertanian, hal ini dibuktikan dengan 67% masyarakatnya bekerja sebagai petani. Masyarakat hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari sektor pertanian sehingga mereka memiliki pendapatan yang tidak stabil. Selain itu, jumlah anggota keluarga yang masih ditanggung menjadikan kondisi dimana pengeluaran tetap namun pemasukan yang tidak pasti. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya

145

berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan menjadi kurang

memperhatikan penganggaran dana khusus untuk kegiatan kebencanaan.

Masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat kapasitas rendah

masih memanfaatkan alat tradisional yang berupa kentongan sebagai

media komunikasi untuk meyampaikan informasi kepada masyarakat.

Kentongan digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu media untuk

memberikan informasi terjadinya bencana alam, salah satunya adalah

tanah longsor. Selain keontongan, masyarakat di wilayah dengan tingkat

kapasitas rendah juga memanfaatkan speker atau toa masjid sebagai

media untuk menyampaikan informasi ataupun untuk mengumpulkan

masyarakat.

Sosialisasi ataupun penyuluhan belum pernah dilaksanakan di

wilayah dengan tingkat kapasitas rendah, sehingga kesadaran masyarakat

terhadap bencana masih rendah. Akibatnya masyarakat masih banyak

yang membuat kolam ikan pada daerah lereng, meskipun dari pihak

pemerintah desa sendiri sudah mulai melaksanakan program jamban

sehat. b. Kapasitas Mayarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor

Tingkat Sedang

Kecamatan Karangkobar yang wilayahnya memiliki tingkat

kapasitas masyarakat sedang ada 3 desa, yaitu Desa Slatri, Desa

Sampang, dan Desa Ambal. Pada parameter aturan dan kelembagaan

penanggulangan bencana, wilayah dengan tingkat kapasitas sedang telah

146

memiliki kerangka hukum dan kebijakan nasional atau lokal untuk pengurangan resiko bencana yang berupa adanya kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang melaksanakan praktik pengurangan resiko bencana dan aturan tertulis tentang pengurangan resiko bencana. Pada indikator tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan resiko bencana, belum semua desa tersedia, Desa

Sampang dan Desa Ambal yang sudah memiliki anggaran dana khusus aktivitas pengurangan resiko bencana. Dan hanya Desa Sampang yang sudah disertai dengan sarana dan prasarana dalam pengurangan resiko bencana, seperti rambu-rambu jalur evakuasi dan lokasi atau titik kumpul. Untuk indikator terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas, semua desa dengan tingkat kapasitas rendah telah memiliki jalinan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam akivitas pengurangan resiko bencana. Dan untuk indikator berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan resiko bencana, semua desa telah ada diskusi-diskusi informal antar kelompok untuk mengurangi resiko bencana.

Kajian resiko bencana daerah pada parameter peringatan dini dan kajian resiko bencana, sudah tersedia di Desa Slatri dan Desa Sampang yang berupa tersedianya peta ancaman tanah longsor dan dokumen kajian resiko bencana tanah longsor, sementara Desa Ambal belum tersedia. Untuk indikator tersedianya sistem-sistem yang siap memantau, mengarsip, dan menyebarluaskan data potensi bencana, semua desa

147

dengan tingkat kapasitas sedang belum tersedia. Sementara pada indikator tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan luas, Desa Slatri dan Desa Sampang telah memiliki sistem peringatan dini bencana tanah longsor dan sosialisasi maupun pelatihan simulasi peringatan dini sementara Desa Ambal belum tersedia. Dan pada indikator penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas, belum tersedia di semua desa dengan tingkat kapasitas sedang.

Informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh semua kepentingan pada parameter pendidikan kebencanaan belum terdapat di semua desa dengan tingkat kapasitas sedang. Pada indikator kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik pengurangan bencana dan pemulihan hanya terdapat di Desa Sampang, yang berupa telah ada peningkatan keterampilan dalam menangani keadaan darurat bencana di sekolah yaitu pada tingkat SD. Untuk indikator tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis manfaat biaya, semua desa dengan tingkat kapasitas sedang belum tersedia. Sementara untuk indikator strategi membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat, sudah tersedia di semua desa yang berupa adanya media yang mempublikasikan pembangunan kesadaran masyarakat untuk

148

melakukan praktik pengurangan resiko bencana dan adanya inisiatif membangun desa tangguh bencana.

Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam, tataguna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan ikilm pada parameter pengurangan faktor resiko dasar, belum semua desa tersedia, dan baru terdapat di Desa Slatri. Pada indikator rencana-rencana dan kebijakan pembangunan sosial untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling bersiko terdampak bahaya, hanya terdapat di Desa Sampang. Sedangkan indikator rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi, belum ada di semua desa dengan tingkat kapasitas sedang. Sementara untuk indikator perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana, indikator langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana, dan indikator siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak resiko bencana atau proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur telah tersedia di semua desa yang memiliki tingkat kapasitas sedang.

Kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penangana darurat bencana pada parameter pembangunan kesipasiagaan pada seluruh lini, telah ada di Desa Slatri dan Desa Sampang, yang berupa terdapat lembaga di pemerintah yang didukung relawan untuk

149

melakukan praktik penanganan darurat bencana. Untuk indikator tersedianya rencana kontinjensi dan indikator tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat bencana, telah ada di Desa Slatri dan Desa Sampang. Sementara untuk indikator tersedianya cadangan finansial dan logistik untuk mendukung upaya penanganan darurat bencana telah ada di Desa Slatri dan Desa Sampang yang berupa adanya anggaran dana khusus penanganan darurat bencana, sementara

Desa Ambal belum tersedia.

Desa yang memiliki tingkat kapasitas sedang sudah merencanakan terbentuknya desa tangguh bencana (DESTANA) yang merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan. Namun belum semua rencana desa tangguh bencana di daerah dengan kapasitas sedang terealisasi.

Desa tangguh bencana (DESTANA) baru terbentuk di Desa Sampang, sementara desa yang lain baru sebatas rencana karena terkendala di anggaran untuk upaya pengurangan resiko bencana. Desa Sampang telah membentuk desa tangguh bencana yang telah diresmikan oleh BPBD

Kabupaten Banjarnegara sejak tahun 2018. Desa Sampang telah memiliki peta ancaman bencana, dokumen kajian resiko bencana tanah longsor, dan anggaran dana khusus untuk pengurangan bencana, khususnya untuk penyediaan peralatan dan pelatihan pengurangan resiko

150

bencana. Desa Sampang juga memiliki kelompok-kelompok siaga bencana yang melaksanakan praktik pengurangan bencana, baik dari kelompok karangtaruna, pemuda muhammadiyah, maupun kelompok banser. Selain itu, Desa Sampang merupakan satu-satunya desa di

Kecamatan Karangkobar yang memiliki sarana dan prasarana pengurangan bencana yang berupa rambu-rambu jalur evakuasi yang tersebar di seluruh Desa Sampang, yang berfungsi menunjukkan arah evakuasi ke tempat yang lebih aman kepada masyarakat apabila tanah longsor terjadi.

Desa Sampang telah memiliki tempat pengungsian bencana atau titik kumpul apabila tanah longsor terjadi. Tempat pengungsian Desa

Sampang terletak di Kantor Kepala Desa Sampang yang merupakan tempat paling strategis dibandingkan dengan yang lain, karena wilayahnya yang datar dan dekat dengan jalan keluar desa.

Daerah yang memiliki tingkat kapasitas sedang 38% wilayahnya memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, 37% kebun, 8% permukiman, dan 15% wilayahnya merupakan hutan campuran. Dengan jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman jagung, sayuran, dan singkong.

Masyarakat di wilayah dengan tingkat kapasitas sedang dengan presentase 53% merupakan lulusan SD. Masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di daerah dengan tingkat ancaman tanah longsor yang tinggi, namun mereka tetap saja tinggal dan menempati wilayah itu.

151

Karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain, hanya lahan yang mereka tinggali yang mereka miliki secara turun temurun. Akan tetapi mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap bencana tanah longsor. Masyarakat di wilayah dengan tingkat kapasitas sedang tidak hanya mengetahui bahwa mereka tinggal di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Mereka juga sudah mengetahui tanda- tanda tanah longsor dan faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena adanya sosialisasi dan pelatihan dari pemerintah kepada masyarakat sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengalami peningkatan. Selain itu pengalaman masyarakat terhadap bencana tanah longsor juga menjadikan masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup baik.

Masyarakat di wilayah dengan tingkat kapasitas sedang sebanyak

77% bekerja sebagai petani. Mereka hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari sektor pertanian sehingga mereka memiliki pendapatan yang tidak stabil. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan menjadi kurang memperhatikan penganggaran dana khusus untuk kegiatan kebencanaan.

Masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat kapasitas sedang masih memanfaatkan alat tradisional yang berupa kentongan sebagai media komunikasi untuk meyampaikan informasi kepada masyarakat.

Kentongan digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu media untuk memberikan informasi terjadinya bencana alam, salah satunya adalah

152

tanah longsor. Selain itu masyarakat juga mulai menggunakan hp

(handphone) sebagai media komunikasi untuk menyampaikan informasi

tentang kegiatan pengurangan resiko bencana, seperti sosialisasi ataupun

pelatihan.

Program jamban sehat dan sosialisasi mengenai bahaya kolam

ikan di daerah lereng sudah ada di wilayah dengan tingkat kapasitas

sedang. Sehingga masyarakat sudah tidak membuat kolam ikan pada

daerah lereng. c. Kapasitas Mayarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor

Tingkat Tinggi

Kecamatan Karangkobar yang wilayahnya memiliki tingkat

kapasitas tinggi adalah Desa Pagerpelah. Semua indikator pada

parameter aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana telah

trsedia. Seperti kerangka hukum dan kebijakan nasional atau lokal untuk

pengurangan resiko bencana, sumberdaya yang dialokasikan khusus

untuk kegiatan pengurangan resiko bencana, terjalinnya partisipasi dan

desentralisasi komunitas, semua desa dengan tingkat kapasitas rendah

telah memiliki jalinan kerjasama yang baik antara pemerintah dan

masyarakat dalam akivitas pengurangan resiko bencana, dan

berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan

resiko bencana.

Indikator kajian resiko bencana daerah dan indikator tersedianya

sistem-sistem yang siap memantau, mengarsip, dan menyebarluaskan

153

data potensi bencana pada parameter peringatan dini dan kajian resiko bencana, telah ada di Desa Pagerpelah. Sementara pada indikator tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan luas Desa Pagerpelah belum memiliki sistem peringatan dini bencana tanah longsor, akan tetapi telah ada sosialisasi maupun pelatihan simulasi peringatan dini. Dan pada indikator penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas, Desa

Pagerpelah telah tersedia meskipun belum mempertimbangkan resiko lintas batas.

Informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh semua kepentingan pada parameter pendidikan kebencanaan telah tersedia di Desa Pagerpelah yaitu telah adanya arsip data kejadian bencana selama 5 tahun terakhir. Pada indikator kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik pengurangan bencana dan pemulihan telah ada di Desa

Pagerpelah, yang berupa telah ada peningkatan keterampilan dalam menangani keadaan darurat bencana di sekolah yaitu pada tingkat SD.

Untuk indikator tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis manfaat biaya, Desa Pagerpelah belum tersedia.

Sementara untuk indikator strategi membangun kesadaran seluruh komunitas dala melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat telah tersedia di Desa Pagerpelah yang berupa adanya media yang mempublikasikan pembangunan kesadaran

154

masyarakat untuk melakukan praktik pengurangan resiko bencana dan adanya inisiatif membangun desa tangguh bencana.

Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam, tataguna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan ikilm, dan indikator rencana-rencana dan kebijakan pembangunan sosial untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling bersiko terdampak bahaya pada parameter pengurangan faktor resiko dasar sudah terdapat di Desa Pagerpelah. Sedangkan indikator rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi belum tersedia. Sementara untuk indikator perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana, indikator langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana, dan indikator siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak- dampak resiko bencana atau proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur telah ada di Desa Pagerpelah.

Parameter pembangunan kesipasiagaan pada seluruh lini yang berupa tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penangana darurat bencana, tersedianya rencana kontinjensi, tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat bencana, dan tersedianya cadangan financial dan logistik

155

untuk mendukung upaya penanganan darurat bencana telah tersedia di Desa Pagerpelah.

Desa Pagerpelah sudah merencanakan terbentuknya desa tangguh bencana (DESTANA) yang merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan. Rencana membentuk desa tangguh bencana di Desa

Pagerpelah baru pada tahap awal untuk membentuk desa tangguh bencana yang dimulai dengan adanya anggaran dana khusus untuk pengurangan bencana, khususnya untuk penyediaan peralatan dan pelatihan pengurangan resiko bencana.

Desa Pagerpelah 47% wilayahnya memiliki penggunaan lahan yang berupa kebun, 24% hutan campuran, 23% ladang, dan 5% wilayahnya merupakan permukiman. Dengan jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman salak.

Masyarakat di Desa Pagerpelah sebanyak 46% merupakan lulusan

SD. Masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di daerah dengan tingkat ancaman tanah longsor yang tinggi, namun mereka tetap saja tinggal dan menempati wilayah itu. Karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain, hanya lahan yang mereka tinggali yang mereka miliki secara turun temurun. Akan tetapi mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap bencana tanah longsor. Masyarakat di Desa Pagerpelah

156

tidak hanya mengetahui bahwa mereka tinggal di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Mereka juga sudah mengetahui tanda- tanda tanah longsor dan faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena adanya sosialisasi dan pelatihan dari pemerintah kepada masyarakat sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengalami peningkatan.

Masyarakat di Desa Pagerpelah sebanyak 76% bekerja sebagai petani. mereka hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari sektor pertanian sehingga mereka memiliki pendapatan yang tidak stabil. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan menjadi kurang memperhatikan penganggaran dana khusus untuk kegiatan kebencanaan.

Masyarakat di Desa Pagerpelah masih memanfaatkan alat tradisional yang berupa kentongan sebagai media Selain itu masyarakat juga mulai menggunakan hp (handphone) sebagai media komunikasi yang berupa grup percakapan antar keluarga atau kelompok pemuda untuk menyampaikan informasi tentang bencana yang terjadi maupun kegiatan pengurangan resiko bencana, seperti sosialisasi ataupun pelatihan.

Program jamban sehat dan sosialisasi mengenai bahaya kolam ikan di daerah lereng sudah ada di Desa Pagerpelah. Sehingga kolam ikan pada daerah lereng sudah banyak ditutup oleh masyarakat. Bahkan

157

sudah dapat dikatakan kolam ikan di daerah lereng sudah tidak ada lagi di Desa Pagerpelah.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Pagerpelah adalah dalam pengelolaan lahan pertanian. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat juga menerapkan konservasi lahan dalam bidang pertanian. Sebagai adaptasi masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki bahaya tanah longsor tinggi. Masyarakat di Desa

Pagerpelah mengetahui bahwa kegiatan pertanian merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Untuk itu, mereka berusaha meminimalisir dampak dari kegiatan pertanian terhadap tanah longsor, yang dilakukan dengan cara menanam tanaman keras pada lahan pertanian yang mereka miliki. Dimana tanaman salak merupakan tanaman paling dominan di Desa Pagerpelah, karena merupakan satu- satunya tanaman yang dapat tumbuh baik di wilayah ini. Masyarakat menanam tanaman keras seperti mahoni, albasiah, sengon, dan tanaman berakar keras lainnya di sela-sela tanaman salak. Hal ini bertujuan mengurangi erosi yang terjadi akibat kegiatan pertanian. Sekaligus sebagai media untuk menguatkan tanah agar mengurangi tanah longsor.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Wilayah di Kecamatan Karangkobar memiliki ancaman tanah longsor

tingkat rendah 1% yang tersebar di 3 desa, tingkat sedang 74% yang tersebar

di 13 desa, dan 25% memiliki ancaman tanah longsor tinggi yang tersebar di

11 desa di Kecamatan Karangkobar.

Daerah yang memiliki ancaman tanah longsor tingkat tinggi memiliki

kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tanah longsor tingkat rendah

ada 7 desa, kapasitas masyarakat dalam menghadapai bahaya tanah longsor

tingkat sedang ada 3 desa, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi

bahaya tanah longsor tingkat tinggi ada 1 desa.

B. Saran

Bagi masyarakat, mengikuti sosialisasi, pelatihan dan penyuluhan

untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya

melakukan tindakan penanggulangan bencana pada sebelum, saat dan setelah

bencana tanah longsor terjadi.

158

159

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Anisah. 2007. Sistem Informasi Geografis. Artikel Kuliah Sistem Informasi. STMIK AMIKOM Yogyakarta.

Arifin, Samsul, dkk. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 3 No. 1 Hal:77-86.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Arrisaldi, Thema. 2017. Kajian Pemanfaatan Wilayah Rlongsor di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007. Jurnal Geografi UMS ISBN: 978– 602–361–072-3.

Ayudya, Vindi R., dkk. 2015. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor di Desa Sampang Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Bumi Indonesia. Volume 6. Nomor 1. Tahun 2017.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2019. Data Curah Hujan Tahunan Kabupaten Banjarnegara.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Rekapitulasi Bencana Nasional.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara. 2019. Rekapitulasi Kejadian Bencana Tahun 2018.

Badan Pusat Statistik. 2018. Kecamatan Karangkobar Dalam Angka Tahun 2018.

Bayuaji, Dhuha G., dkk. 2016. Analisis Penentuan Zonasi Risiko Bencana Tanah Longsor Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kabupaten Banjarnegara). Jurnal Geodesi. Januari 2016 Volume 5. Nomor 1. Tahun 2016. Universitas Diponegoro Semarang.

Cahyono, Anang Sugeng. 2016. Pengaruh Media Sosial terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial. Vol 9, No 1. Universitas Tulungagung.

Darmawan, Wahyu. 2018. Analisis Penentuan Zona Kerentanan Gerakan Tanah dengan Metode Storie (Studi Kasus Kabupaten Wonogiri). Jurnal Geodesi. Universitas Diponegoro.

160

Darmawijaya, M. Isa. 1992. Klasifikasi Tanah Dasar Teori Bagi Peneliti dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2005. Vulkanologi Survey Of Indonesia Pengenalan Gerakan Tanah. Jakarta.

Departemen Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007. tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Bencana Longsor.

Hutomo, Izzan A. 2016. Model Prediksi Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Volume 12 (3): 303 - 314 September 2016. Universitas Diponegoro Semarang.

Indrasmoro, Gigih Prastyo. 2013. Geographic Information System (GIS) untuk Deteksi Daerah Rawan Longsor Studi Kasus di Kelurahan Karang Anyar Gunung Semarang. Jurnal Fakultas Ilmu Komputer.

International Strategi for Disaster Reduction . 2004. Kerangka Kerja Aksi Hyogo: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana. Hyogo, Jepang.

Karnawati. 2003. Manajemen Bencana Gerakan Tanah. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada.

Kartono, Tjandra. 2017. Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Keswara, Rangga Panji. 2015. Geomorfologi Jawa Tengah.

Khasir, Muhammad. 2016. Penilaian Resiko Bencana Tanah Longsor Desa Wanadri Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Geografi Universitas Negeri Semarang . Marina, Rina Masri. 2012. Analisis Keruangan Kesesuaian Lahan untuk Permukiman di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat. Universitas Pendidikan Indonesia.

Mayangsari, Della Vira Putri. 2016. Pemetaan Daerah Rawan Gerakan Tanah Di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Menggunakan Metode Analisis Statistik Bivariate. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Muhammad, Nezar E., dkk. 2017. Kapasitas Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Jurnal Edu Geography. Volume 6. No.1. Universitas Negeri Semarang.

161

Munggaran, Rizky Djati. 2012. Pemanfaatan Open Source Software Pendidikan Oleh Mahasiswa Dalam Rangka Implementasi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Universitas Pendidikan Indonesia.

Nurjanah, dkk. 2011. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta.

Pannekoek, A.J. 1949. Provides An Explanatory Text on the Geomorfology Of Java. Bandung: Tempo Interaktif.

Parmanto, Bagus. 2015. Pengaruh Pendidikan Mitigasi Bencana Longsor Terhadap Pengetahuan Masyarakat Di Desa Sampang Kecamatan Karangkobar Banjarnegara. Universitas Muhammadiyah .

Pawestriana, Fajria. 2016. Pengetahuan Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana Letusan Gunungapi Slamet di Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Geo Edukasi Vol. 5, No.2, October 2016 (17 - 24).

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012. Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 3 Tahun 2012. Tentang Panduan Penilaian Kapasitas Daerah Dalam Penanggulangan Bencana.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2008. Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.

Purnama, Sang Gede. 2017. Modul Manajemen Bencana. Bali: Universitas Udayana.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2018.

Puslit Tanah, 2004. Klasifikasi Intersitas Curah Hujan. Puslit Tanah, Bogor.

Puturuhu, Ferad. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rahman, Amni Z. 2017. Kapasitas Daerah Banjarnegara Dalam Penanggulangan Bencana Alam Tanah Longsor. Jurnal Ilmu Sosial. Vol. 16 No. 1 Februari 2017 Hal. 1-8. Universitas Diponegoro Semarang.

Rijanta, R, dkk. 2018. Modal Sosial Dalam Manajemen Bencana. Yogyakarta: UGM Press.

162

Rudiyanto. 2010. Analisis Potensi Bahaya Tanah Longsor Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sartohadi, Junun. 2012. Pengantar Geografi Tanah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiawan, Heru. 2014. Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi coping Masyarakat Lokal Dalam Menghadapi Bencana Longsor Studi Kasus di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 – 81. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Setyowati, Dewi Liesnoor. 2017. Pendidikan Kebencanaan (Bencana banjir, Longsor, dan Gempa Tsunami). Semarang: CV. Sanggar Krida Aditama.

Sriyono, Agus. 2012. Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Sugianti, Khori. 2014. Pengkelasan Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Daerah Sumedang Selatan Menggunakan Metode Storie. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan. Vol. 24, No.2, Desember 2014 (93-104). Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sugiyono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharini, E., Hariyanto. 2008. Kesiapan Penduduk Pemukim di Daerah Rawan Longsor Kota Semarang: Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 2 Desember 2008. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Suranto, Joko Purwoko. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan Pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Jurnal Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang.

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980.

Sutikno, 2001, Mengenal Tanah Longsor, Direktorat Geologi Tata Lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung.

Susanti, Pranatasari D. 2017. Analisis Kerentanan Tanah Longsor Sebagai Dasar Mitigasi Di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Vol. 1 No. 1 April 2017: 49-59.

Syamsul, HAS. 2017. Pemanfaatan Daerah Rawan Bencana Longsor Menjadi Lahan Pertanian di Kecamatan Bungin Kabupaten Enrekang. UIN Alauddin Makassar.

163

Taufik, H.P. dan Suryadi. 2008. Landslide Risk Spatial Modeling Using Geographical Information System. Tutorial Landslide. Laboratorium Sistem Informasi Geografis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Halaman 9.

Taufik Q, Firdaus. 2012. Pemetaan Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Konawe. Kendari . Jurnal Fisika FMIPA Universitas Haluoleo.

Tjahjono, Heri. 2003. Kerentanan Medan Terhadap Longsoran dan Stabilitas Lereng di Daerah Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang (Suatu Aplikasi Pendekatan Medan). Tesis. Yogyakarta. Program Pasca Sarjana UGM.

Tjahjono, Heri dan Lashari. 2007. Model Penentuan Tingkat Bahaya Longsoran, Stabilitas Lereng dan Risiko Longsoran Dengan Bantuan Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kota Semarang. Semarang. FIS UNNES.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Verstappen, H.T. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environmental Development. Netherland : Elsevier Science Publishier, B.V.

Wahyuni, Eldina. 2015. Analisis Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat terhadap Bencana Banjir Bandang Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal Ilmu Kebencanaan. Vol. 2 No. 3, Agustus 2015. Warnadi. 2014. Inventarisasi Daerah Rawan Longsor Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Jurnal Spasial Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 12 No. 2 September 2014.

Wesnawa, I Gede, dkk 2014. Geografi Bencana. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yunus, Hadi Sabari. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

LAMPIRAN

164

165

Lampiran 1 Instrument Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor

Tataguna Iklim Lereng Tanah Lahan No Sampel Satuan Lahan Curah Hujan Kemiringan Jenis Kedalaman Penggunaan (mm/tahun) Lereng Tanah Tekstur Drainase Tanah Lahan 1 Mediteran_I_Ladang 2 Mediteran_II_Ladang 3 Mediteran_III_Ladang 4 Mediteran_IV_Ladang 5 Mediteran_V_Permukiman 6 Litosol_I_Kebun 7 Litosol_II_Kebun 8 Litosol_III_Kebun 9 Litosol_IV_Kebun Aluvial_I_Hutan 10 Campuran 11 Aluvial_II_Permukiman 12 Aluvial_III_Ladang 13 Aluvial_IV_Ladang 14 Andosol_I_Permukiman 15 Andosol_II_Kebun 16 Andosol_III_Ladang 17 Andosol_IV_Kebun 18 Andosol_V_Ladang

166

Lampiran 2 Instrumen Kapasitas Masyarakat

INSTRUMEN KAPASITAS MASYARAKAT KECAMATAN KARANGKOBAR KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2019

Waktu dan Lokasi Penelitian Hari, Tanggal :……………………………………………………. Dusun/Desa :……………………………………………………. RT/RW :……………………………………………………. Identitas Narasumber Nama Narasumber :…………………………………………………… Jenis Kelamin :……………………………………………………. Jabatan :…………………………………………………….

Petunjuk: Berilah tanda (Ѵ) pada jawaban yang menurut Anda benar.

1. Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana Indikator : 1) Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana telah ada dengan tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang pemerintahan. Respon No Pertanyaan Ya Tidak 1 Apakah telah ada kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang melaksanakan praktik pengurangan risiko bencana secara terstruktur dan terencana di daerah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.5, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 2 Apakah telah ada aturan tertulis tentang pengurangan risiko bencana atau penanggulangan bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.5, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 3 Apakah aturan tertulis tersebut telah diterapkan dalam institusi Anda dalam pengurangan risiko bencana secara terencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.5, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 4 Apakah aturan daerah tersebut telah diadaptasikan dalam aturan daerah lainnya (seperti Perda Tata Guna Lahan, IMB, SOTK dll)? (lanjutkan ke pertanyaan no. 5)

2) Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di semua tingkat pemerintahan

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 5 Apakah ada anggaran dana khusus dari Pemerintah untuk pelaksanaan aktivitas pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.9, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 6 Apakah sarana dan prasarana dalam pengurangan resiko bencana sudah tersedia? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.9, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 7 Apakah personil dalam pengurangan resiko bencana sudah tersedia? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.9, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 8 Menurut anda apakah dana, sarana, prasarana, serta personil yang ada telah terpenuhi baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya? (Lanjutkan ke pertanyaan no.9)

167

3) Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal Respon No Pertanyaan Ya Tidak 9 Apakah telah ada jalinan kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat/komunitas lokal dalam aktivitas pengurangan resiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.13, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 10 Menurut penilaian Anda, peraturan daerah tentang penanggulangan bencana yang ada di daerah Anda telah dengan jelas mengatur mekanisme pembagian kewenangan dan sumber daya berdasarkan peran dan tanggung jawab antara pemerintah daerah dan komunitas lokal secara relevan dan sistematis? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.13, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 11 Apakah dalam pembagian peran dan tanggung jawab, seluruh sektor komunitas, swasta dan seluruh pemangku melaksanakan perannya secara aktif? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.13, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 12 Apakah aktivitas pengurangan resiko bencana telah dipublikasikan secara transparan oleh media-media lokal sebagai partisipasi komunitas media? (Lanjutkan ke pertanyaan no.13)

4) Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana Respon No Pertanyaan Ya Tidak 13 Apakah telah ada diskusi-diskusi informal antar kelompok (baik pemerintah, LSM, PMI, Akademisi, Media, Ulama dan sebagainya) untuk pengurangan risiko bencana daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.17, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 14 Apakah telah ada suatu forum/diskusi yang berfungsi untuk mempercepat upaya pengurangan risiko bencana di daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.17, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 15 Apakah forum tersebut beranggotakan aktor-aktor yang memiliki kekuatan untuk menembus birokrasi dan kendalakendala anggaran serta memiliki jaringan yang kuat untuk melaksanakan pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.17, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 16 Menurut Anda apakah forum ini telah menghasilkan pencapaian yang berarti untuk pengurangan risiko bencana di daerah ini? (Lanjutkan ke pertanyaan no.17)

2. Peringatan dini dan kajian risiko bencana Indikator :

1) Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 17 Apakah wilayah Anda telah memiliki peta ancaman bencana tanah longsor? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.21, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 18 Apakah telah ada Dokumen Kajian Risiko yang dilengkapi dengan peta risiko ancaman bencana tanah longsor di daerah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.21, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 19 Apakah Kajian Risiko Bencana-bencana tersebut selalu diperbaharui secara periodik berdasarkan data terbaru? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.21, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

168

20 Apakah Kajian Risiko Bencana Daerah telah dijadikan dasar bagi pembangunan dan penanaman modal pada tingkat lokal/nasional? (Lanjutkan ke pertanyaan no.21)

2) Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama Respon No Pertanyaan Ya Tidak 21 Apakah telah tersedia data-data pendukung dan analisisnya untuk penyusunan Kajian Risiko Bencana seperti data penduduk yang terdampak bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.25, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 22 Apakah data-data tersebut dapat diakses oleh semua golongan masyarakat? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.25, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 23 Apakah informasi data pendukung tersebut digunakan untuk penyusunan kebijakan pengurangan risiko bencana daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.25, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 24 Apakah informasi data pendukung kajian risiko yang diperbarui secara periodik tersebut juga dapat dilihat (diakses) dan dijadikan referensi bagi daerah lain? (Lanjutkan ke pertanyaan no.25)

3) Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat Respon No Pertanyaan Ya Tidak 25 Apakah masyarakat masih memanfaatkan kearifan local dan fenomena alam sebagai peringatan akan datangnya bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.29, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 26 Apakah daerah telah memiliki sistem peringatan dini untuk setiap bencana yang sering terjadi di daerah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.29, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 27 Apakah pernah dilaksanakan pelatihan, simulasi dan uji untuk sistem peringatan dini secara berkala oleh multi stakeholder? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.29, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 28 Apakah sistem peringatan dini siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan yang luas keseluruh tingkat masyarakat? (Lanjutkan ke pertanyaan no.29)

4) Penilaian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko-Risiko Lintas Batas Guna Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk Pengurangan Risiko

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 29 Apakah telah tersedia Dokumen Kajian Risiko Bencana daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.33, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 30 Apakah Dokumen Kajian Risiko bencana yang telah ada telah mempertimbangkan risiko- risiko lintas batas wilayah administrasi kawasan Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.33, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 31 Apakah Dokumen Kajian Risiko bencana yang telah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas dapat diakses oleh setiap pemangku kepentingan antar daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.33, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan

169

selanjutnya) 32 Apakah Dokumen Kajian Risiko bencana yang telah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas telah diimplementasikan untuk pengurangan risiko bencana lintas batas? (Lanjutkan ke pertanyaan no.33)

3. Pendidikan kebencanaan Indikator : 1) Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring, pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst).

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 33 Apakah telah ada arsip yang berisikan data kejadian bencana yang terjadi di daerah anda selama 5 tahun terakhir? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.37, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 34 Apakah tersedia informasi kejadian bencana apa saja yang mungkin terjadi pada hari ini di daerah anda dari sumber informasi tertulis yang tepercaya? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.37, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 35 Apakah informasi bencana yang diperbarui setiap hari dari sumber informasi tersebut terintegrasi dengan system informasi ditingkat nasional? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.37, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 36 Apakah informasi bencana yang diperbarui setiap hari dari sumber informasi tersebut dijadikan referensi dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah ? (Lanjutkan ke pertanyaan no.37)

2) Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan pemulihan

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 37 Apakah sudah ada peningkatan keterampilan dalam menangani keadaan darurat bencana di sekolah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.41, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 38 Apakah sudah terlaksana pelajaran tentang pengurangan risiko bencana disekolah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.41, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 39 Apakah pelajaran tentang pengurangan risiko bencana di sekolah telah ditunjang dengan kurikulum yang terukur dan terstruktur? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.41, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 40 Apakah sudah ada transisi budaya menuju budaya pengurangan risiko bencana di sekolah? (Lanjutkan ke pertanyaan no.41)

3) Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat-biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset.

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 41 Apakah telah dilaksanakan riset yang terbukti mampu menurunkan kerugian bila terjadi bencana di wilayah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.45, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

170

42 Apakah Institusi Anda telah menggunakan hasil riset untuk memantau ancaman bencana dan menurunkan kerentanan daerah terhadap risiko multi bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.45, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 43 Apakah di daerah Anda telah tersedia metode riset standard yang diakui dan digunakan secara kolektif untuk kajian multi risiko yang berasal dari perguruan tinggi atau lembaga lainnya untuk menurunkan rasio pemakaian dana pemulihan bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.45, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 44 Apakah Metode Riset tersebut telah terbukti untuk menurunkan rasio pemakaian dana pemulihan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pengurangan risiko bencana berdasarkan hasil riset? (Lanjutkan ke pertanyaan no.45)

4) Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun pedesaan Respon No Pertanyaan Ya Tidak 45 Apakah di daerah Anda telah terdapat berbagai media permanen (baik media cetak, elektronik, billboard, poster atau event/acara terorganisir yang tetap ada) untuk mempublikasikan pembangunan kesadaran masyarakat untuk melakukan praktik pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.49, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 46 Apakah daerah Anda telah memiliki inisiatif untuk membangun desa tangguh/siaga dalam menggalang praktik budaya pengurangan risiko bencana yang telah diperkuat oleh para pemangku kepentingan baik akademisi, praktisi maupun pemerintah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.49, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 47 Apakah standar minimal materi publikasi dan desa tangguh tersebut diterapkan dalam strategi dan perencanaan terukur serta memperhitungkan momen Hari Pengurangan Risiko Bencana dalam pelaksanaannya? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.49, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 48 Apakah tersedia metode untuk mengukur keberhasilan strategi dan perencanaan publikasi yang diterapkan pada suatu daerah dalam meningkatkan praktik budaya pengurangan risiko bencana? (Lanjutkan ke pertanyaan no.49)

4. Pengurangan faktor risiko dasar Indikator : 1) Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana- rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 49 Apakah di pemerintahan maupun dikomunitas telah ada kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi secara proporsional terhadap Pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.53, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 50 Apakah telah ada kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya alam serta tata guna lahan yang memperhatikan aspek pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.53, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 51 Apakah kebijakan tersebut telah memprioritaskan unsur-unsur pengurangan risiko bencana

171

dengan mengurangi faktor-faktor risiko dasar (ekonomi, sosial, budaya dan infrastruktur) serta perubahan iklim? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.53, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 52 Apakah kebijakan tersebut telah diaplikasikan secara berkelanjutan? (Lanjutkan ke pertanyaan no.53)

2) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 53 Apakah telah ada diselenggarakan aksi-aksi sosial dalam kelompok-kelompok komunitas yang terintegrasi dengan pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.57, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 54 Apakah telah ada aksi-aksi sosial (seperti program kapasitas jaringan pangan, kesehatan, membangun perekonomian untuk menekan terbentuknya kelompok masyarakat miskin, asuransi infrastruktur, asuransi asset penduduk lainnya) untuk mengurangi kerentanan penduduk dari berbagai pemangku kepentingan yang telah ditentukan dalam kebijakan- kebijakan pembangunan sosial? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.57, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 55 Apakah aksi- aksi tersebut tersebut dilaksanakan di seluruh wilayah ancaman bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.57, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 56 Apakah telah terbangun budaya komunitas yang berorientasi pada aspek kapasitas jaringan pangan, kesehatan umum, perekonomian dalam hal pengurangan terbentuknya kelompok- kelompok miskin dan asuransi infrastruktur dan asset penduduk dengan partisipasi setiap komponen komunitas? (Lanjutkan ke pertanyaan no.57)

3) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 57 Apakah sektor produksi telah mulai mengembangkan upaya-upaya untuk pengurangan risiko bencana kepada kelompok-kelompok kecil masyarakat dalam bentuk kemitraan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.61, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 58 Apakah ada perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi serta sektor produksi yang secara tidak langsung perlindungan tersebut ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas komunitas dalam upaya pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.61, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 59 Apakah telah ada kegiatan-kegiatan yang terukur dan terarah berdasarkan rencana yang matang untuk meningkatkan kapasitas komunitas dibidang ekonomi dan produksi yang ditujukan untuk pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.61, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 60 Apakah telah terbangun iklim yang kondusif bagi peningkatan dan perlindungan kegiatan ekonomi dan sector produksi yang ditujukan untuk peningkatan kapasitas komunitas dalam bidang perekonomian? (Lanjutkan ke pertanyaan no.61)

4) Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan

172

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 61 Apakah telah ada rencana tata ruang wilayah yang mendukung upaya pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.65, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 62 Apakah ada tindakan hukum terhadap pemukiman penduduk yang tidak direncanakan dan dikelola berdasarkan rencana tata guna lahan, IMB dan perluasannya? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.65, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 63 Apakah telah ada rancangan pengelolaan pemukiman penduduk yang sesuai dengan strategi rencana tata guna lahan hingga mampu meminimalkan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.65, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 64 Apakah pembangunan kawasan seluruh wilayah huni telah sesuai dengan rencana tata guna lahan? (Lanjutkan ke pertanyaan no.65)

5) Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 65 Apakah telah ada mekanisme dan/atau rencana rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana walau disusun sepihak tanpa menampung aspirasi korban? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.69, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 66 Apakah telah ada mekanisme dan/atau rencana dan pelaksanaan pemulihan bencana yang disusun secara bersama oleh pemangku kepentingan? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.69, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 67 Apakah telah ada rancangan proses-proses pemulihan pasca bencana yang mempertimbangkan prinsip-prinsip risiko bencana guna menghindari risiko baru dari pembangunan? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.69, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 68 Apakah rancangan tersebut telah terlaksana? (Lanjutkan ke pertanyaan no.69)

6) Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek- proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur.

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 69 Apakah telah diterapkan prosedur penilaian dampak lingkungan untuk proyek pembangunan besar? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.73, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 70 Apakah telah ada prosedur penilaian Analisis Risiko Bencana untuk proyek pembangunan besar terutama infrastruktur? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.73, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 71 Apakah prosedur tersebut dapat menilai dampak-dampak risiko bencana untuk proyek- proyek lain seperti pengentasan kemiskinan, perumahan, air dan energi selain infrastruktur? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.73, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 72 Apakah pelaksanaan prosedur tersebut telah terwujud ke dalam strategi, rencana dan program pembangunan?

173

(Lanjutkan ke pertanyaan no.73)

5. Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini Indikator : 1) Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko bencana dalam pelaksanaannya.

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 73 Apakah terdapat lembaga di pemerintahan yang didukung relawan untuk melakukan praktik penanganan darurat bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.77, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 74 Apakah telah ada Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) dan/atau Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana yang terstruktur dalam sebuah prosedur operasi di daerah anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.77, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 75 Apakah personil perangkat darurat tersebut (Pusdalops dan/atau Komando Tanggap Darurat) telah memiliki kemampuan teknis dalam hal penanggulangan bencana khususnya dalam penanganan darurat bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.77, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 76 Menurut penilaian Anda, apakah upaya penanganan darurat bencana yang pernah dilaksanakan oleh seluruh pihak telah efektif untuk menekan jumlah korban yang timbul? (Lanjutkan ke pertanyaan no.77)

2) Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan programprogram tanggap darurat bencana. Respon No Pertanyaan Ya Tidak 77 Apakah telah ada latihan-latihan evakuasi? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.81, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 78 Apakah sudah ada rencana kontijensi untuk 2 potensi bencana di daerah anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.81, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 79 Apakah upaya penangan darurat dilaksanakan berdasarkan rencana kontijensi dan rencana pemulihan bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.81, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 80 Apakah ada prosedur tetap sebagai turunan dari Rencana kontijensi tersebut? (Lanjutkan ke pertanyaan no.81)

3) Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana.

Respon No Pertanyaan Ya Tidak 81 Apakah telah ada mekanisme untuk penggalangan bantuan dari pihak lain bila terjadi bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.85, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 82 Apakah ada anggaran khusus untuk penanganan darurat? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.85, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 83 Apakah anggaran tersebut memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar dan melindungi kelompok rentan saat terjadi darurat bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.85, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

174

84 Apakah dalam anggaran khusus untuk darurat bencana tersebut juga dialokasikan untuk perbaikan terhadap fasilitas kritis? (Lanjutkan ke pertanyaan no.85)

4) Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat. Respon No Pertanyaan Ya Tidak 85 Apakah di daerah Anda telah memiliki prosedur operasi standar untuk penanganan darurat bencana yang memadukan seluruh prosedur operasi dari setiap institusi terkait penanganan darurat bencana yang ada di daerah Anda? (bila 'tidak' pertanyaan selesai, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 86 Apakah dalam prosedur operasi standar penanganan darurat yang pemerintah atau insitusi Anda miliki telah terdapat prosedur untuk merekam (baik dalam pencatatan atau audiovisual) pertukaran informasi saat darurat bencana? (bila 'tidak' pertanyaan selesai, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 87 Setelah terjadi bencana, apakah terjadi proses evaluasi operasi kedaruratan berdasarkan catatan komunikasi dengan mewawancarai para tokoh terkait untuk meningkatkan efekitivitas operasi darurat di kemudian hari? (bila 'tidak' pertanyaan selesai, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 88 Apakah prosedur-prosedur terkait operasi darurat bencana diperbarui berdasarkan hasil dari evaluasi pencatatan komunikasi yang terjadi saat operasi darurat bencana yang telah terjadi? (Selesai)

175

Lampiran 3 Instrumen Wawancara Kapasitas Masyarakat

Instrumen Wawancara 1. Berapakah jumlah anggota keluarga Anda ? ...... 2. Berapasajakah usia anggota keluarga Anda? ...... 3. Apa pendidikan terakhir Anda? ...... 4. Apa matapencaharian Anda? ...... 5. Berapa pendapatan Anda dalam waktu 1 bulan? ...... 6. Apakah di daerah Anda memiliki alat peringatan dini untuk mendeteksi tanah longsor? ...... 7. Apakah di daerah Anda terdapat lokasi evakuasi atau suatu titik berkumpul apabila terjadi bencana tanah longsor? ...... 8. Apakah di daerah Anda terdapat rambu-rambu jalur evakuasi? ...... 9. Apakah Anda memiliki anggaran yang dialokasikan khusus untuk bencana? ......

10. Apakah di daerah Anda pernah dilaksanakan sosialisai, penyuluhan, dan pelatihan pengurangan resiko bencana? ...... 11. Apakah mengetahui bahwa daerah Anda termasuk wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi? ...... 12. Apakah mengetahui tanda-tanda tanah longsor? ...... 13. Apakah mengetahui faktor-faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab tanah longsor? ...... 14. Apakah Anda memiliki kolam ikan di daerah lereng? ......

176

Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019

Curah Luas No Hujan Jenis Kemiringan Penggunaan (hektar) Satuan Unit Lahan (mm/tahun) Tanah Lereng Lahan 1 3302_Mediteran_II_Kebun 3302 Mediteran Landai (8-15%) Kebun 12.36 2 3302_Mediteran_I_Kebun 3302 Mediteran Datar (0-8%) Kebun 0.49 Agak curam (15- 3 3302_Mediteran_III_Kebun 3302 Mediteran 25%) Kebun 107.09 4 3302_Mediteran_IV_Kebun 3302 Mediteran Curam (25-45%) Kebun 21.4 3302_Mediteran_II_Hutan Hutan 5 campuran 3302 Mediteran Landai (8-15%) campuran 2.69 3302_Mediteran_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 6 campuran 3302 Mediteran 25%) campuran 12.24 3302_Mediteran_IV_Hutan Hutan 7 campuran 3302 Mediteran Curam (25-45%) campuran 8.34 8 3302_Litosol_II_Kebun 3302 Litosol Landai (8-15%) Kebun 4.53 9 3302_Litosol_I_Kebun 3302 Litosol Datar (0-8%) Kebun 2.35 Agak curam (15- 10 3302_Litosol_III_Kebun 3302 Litosol 25%) Kebun 15.13 11 3641_Litosol_I_Kebun 3641 Litosol Datar (0-8%) Kebun 0.52 Agak curam (15- 12 3641_Litosol_III_Kebun 3641 Litosol 25%) Kebun 17.76 13 3641_Litosol_IV_ Kebun 3641 Litosol Curam (25-45%) Kebun 0.94 14 3641_Mediteran_I_Kebun 3641 Mediteran Datar (0-8%) Kebun 13.51 Agak curam (15- 15 3641_Mediteran_III_Kebun 3641 Mediteran 25%) Kebun 421.81 16 3641_Mediteran_IV_Kebun 3641 Mediteran Curam (25-45%) Kebun 357.85 Sangat curam 17 3641_Mediteran_V_Kebun 3641 Mediteran (>45%) Kebun 123.81 18 3641_Mediteran_II_Permukiman 3641 Mediteran Landai (8-15%) Permukiman 54.07 19 3641_Mediteran_I_Permukiman 3641 Mediteran Datar (0-8%) Permukiman 25.31 Agak curam (15- 20 3641_Mediteran_III_Permukiman 3641 Mediteran 25%) Permukiman 52.37 21 3641_Mediteran_IV_Permukiman 3641 Mediteran Curam (25-45%) Permukiman 35.88 Sangat curam 22 3641_Mediteran_V_Permukiman 3641 Mediteran (>45%) Permukiman 1.28 23 3641_Mediteran_II_Ladang 3641 Mediteran Landai (8-15%) Ladang 212.51 24 3641_Mediteran_I_Ladang 3641 Mediteran Datar (0-8%) Ladang 94.19 Agak curam (15- 25 3641_Mediteran_III_Ladang 3641 Mediteran 25%) Ladang 341.82 26 3641_Mediteran_IV_Ladang 3641 Mediteran Curam (25-45%) Ladang 203.57 Sangat curam 27 3641_Mediteran_V_Ladang 3641 Mediteran (>45%) Ladang 22.17 28 3641_Mediteran_II_Kebun 3641 Mediteran Landai (8-15%) Kebun 108.17 3641_Mediteran_I_Hutan Hutan 29 campuran 3641 Mediteran Datar (0-8%) campuran 2.35 3641_Mediteran_II_Hutan Hutan 30 campuran 3641 Mediteran Landai (8-15%) campuran 23.09 3641_Mediteran_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 31 campuran 3641 Mediteran 25%) campuran 112.22

Lihat lanjutan lampiran 4

177

Lanjutan Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 3641_Mediteran_IV_Hutan Hutan 32 campuran 3641 Mediteran Curam (25-45%) campuran 142.72 3641_Mediteran_V_Hutan Sangat curam Hutan 33 campuran 3641 Mediteran (>45%) campuran 44.32 34 3641_Aluvial_II_Permukiman 3641 Aluvial Landai (8-15%) Permukiman 37.8 35 3641_Aluvial_I_Permukiman 3641 Aluvial Datar (0-8%) Permukiman 16.81 Agak curam (15- 36 3641_Aluvial_III_Permukiman 3641 Aluvial 25%) Permukiman 12.01 37 3641_Aluvial_IV_Permukiman 3641 Aluvial Curam (25-45%) Permukiman 7.33 38 3641_Aluvial_II_Ladang 3641 Aluvial Landai (8-15%) Ladang 119.79 39 3641_Aluvial_I_Ladang 3641 Aluvial Datar (0-8%) Ladang 58.09 Agak curam (15- 40 3641_Aluvial_III_Ladang 3641 Aluvial 25%) Ladang 79.04 Sangat curam 41 3641_Aluvial_IV_Ladang 3641 Aluvial (>45%) Ladang 60.28 42 3641_Aluvial_II_Kebun 3641 Aluvial Landai (8-15%) Kebun 4.37 43 3641_Aluvial_I_Kebun 3641 Aluvial Datar (0-8%) Kebun 0.08 Agak curam (15- 44 3641_Aluvial_III_Kebun 3641 Aluvial 25%) Kebun 15.48 45 3641_Aluvial_IV_Kebun 3641 Aluvial Curam (25-45%) Kebun 0.97 3641_Aluvial_I_Hutan Hutan 46 campuran 3641 Aluvial Datar (0-8%) campuran 0.53 3641_Aluvial_II_Hutan Hutan 47 campuran 3641 Aluvial Landai (8-15%) campuran 8.34 3641_Aluvial_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 48 campuran 3641 Aluvial 25%) campuran 22.4 3641_Aluvial_IV_Hutan Hutan 49 campuran 3641 Aluvial Curam (25-45%) campuran 56 3641_Andosol_II_Hutan Hutan 50 campuran 3641 Andosol Landai (8-15%) campuran 0.02 3641_Andosol_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 51 campuran 3641 Andosol 25%) campuran 3.38 52 3641_Andosol_II_Permukiman 3641 Andosol Landai (8-15%) Permukiman 4.35 Agak curam (15- 53 3641_Andosol_III_Permukiman 3641 Andosol 25%) Permukiman 3.09 Sangat curam 54 3641_Andosol_IV_Permukiman 3641 Andosol (>45%) Permukiman 5.46 55 3641_Andosol_II_Ladang 3641 Andosol Landai (8-15%) Ladang 7.74 Agak curam (15- 56 3641_Andosol_III_Ladang 3641 Andosol 25%) Ladang 35.64 57 3641_Andosol_IV_Ladang 3641 Andosol Curam (25-45%) Ladang 1.77 Sangat curam 58 3641_Andosol_V_Ladang 3641 Andosol (>45%) Ladang 11.98 59 3641_Andosol_II_Kebun 3641 Andosol Landai (8-15%) Kebun 20.76 Agak curam (15- 60 3641_Andosol_III_Kebun 3641 Andosol 25%) Kebun 93.72 61 3641_Andosol_IV_Kebun 3641 Andosol Curam (25-45%) Kebun 15.63 Sangat curam 62 3641_Andosol_V_Kebun 3641 Andosol (>45%) Kebun 7.66 63 3641_Andosol_II_Permukiman 3641 Andosol Landai (8-15%) Permukiman 0.64 Agak curam (15- 64 3641_Andosol_III_Permukiman 3641 Andosol 25%) Permukiman 7.84 65 3641_Andosol_II_Ladang 3641 Andosol Landai (8-15%) Ladang 0.89

Lihat lanjutan lampiran 4

178

Lanjutan Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 Agak curam (15- 66 3641_Andosol_III_Ladang 3641 Andosol 25%) Ladang 14.24 67 3641_Andosol_IV_Ladang 3641 Andosol Curam (25-45%) Ladang 16.8 68 3641_Andosol_II_Kebun 3641 Andosol Landai (8-15%) Kebun 4.78 Agak curam (15- 69 3641_Andosol_III_Kebun 3641 Andosol 25%) Kebun 8.33 70 3641_Andosol_IV_Kebun 3641 Andosol Curam (25-45%) Kebun 9.01 71 5878_Andosol_II_Permukiman 5878 Andosol Landai (8-15%) Permukiman 18.19 72 5878_Andosol_I_Permukiman 5878 Andosol Datar (0-8%) Permukiman 94.84 Agak curam (15- 73 5878_Andosol_III_Permukiman 5878 Andosol 25%) Permukiman 6.38 74 5878_Andosol_IV_Permukiman 5878 Andosol Curam (25-45%) Permukiman 2.27 75 5878_Andosol_II-Ladang 5878 Andosol Landai (8-15%) Ladang 43.74 76 5878_Andosol_I_ladang 5878 Andosol Datar (0-8%) Ladang 80.65 Agak curam (15- 77 5878_Andosol_III_Ladang 5878 Andosol 25%) Ladang 45.82 78 5878_Andosol_IV_Ladang 5878 Andosol Curam (25-45%) Ladang 20.88 79 5878_Andosol_II_Kebun 5878 Andosol Landai (8-15%) Kebun 3.92 80 5878_Andosol_I_Kebun 5878 Andosol Datar (0-8%) Kebun 11.58 Agak curam (15- 81 5878_Andosol_III_Kebun 5878 Andosol 25%) Kebun 5.8 82 5878_Andosol_IV_Kebun 5878 Andosol Curam (25-45%) Kebun 11.76 Sangat curam 83 5878_Mediteran_II_Permukiman 5878 Mediteran (>45%) Permukiman 3.16 84 5878_Mediteran_I_Permukiman 5878 Mediteran Datar (0-8%) Permukiman 13.82 Agak curam (15- 85 5878_Mediteran_III_Permukiman 5878 Mediteran 25%) Permukiman 2.31 86 5878_Mediteran_IV_Permukiman 5878 Mediteran Curam (25-45%) Permukiman 0.32 87 5878_Mediteran_II_Ladang 5878 Mediteran Landai (8-15%) Ladang 26.71 88 5878_Mediteran_I_Ladang 5878 Mediteran Datar (0-8%) Ladang 35.2 Agak curam (15- 89 5878_Mediteran_III_Ladang 5878 Mediteran 25%) Ladang 12.81 90 5878_Mediteran_IV_Ladang 5878 Mediteran Curam (25-45%) Ladang 7.57 91 5878_Mediteran_II_Kebun 5878 Mediteran Landai (8-15%) Kebun 9.71 Agak curam (15- 92 5878_Mediteran_III_Kebun 5878 Aluvial 25%) Kebun 3.33 93 5878_Medietan_IV_Kebun 5878 Aluvial Curam (25-45%) Kebun 0.01 94 5878_Aluvial_II_Permukiman 5878 Aluvial Landai (8-15%) Permukiman 14.01 95 5878_Aluvial_I_Permukiman 5878 Aluvial Datar (0-8%) Permukiman 26.1 Agak curam (15- 96 5878_Aluvial_III_Permukiman 5878 Aluvial 25%) Permukiman 4.41 97 5878_Aluvial_II_Ladang 5878 Aluvial Landai (8-15%) Ladang 113.17 98 5878_Aluvial_I_Ladang 5878 Aluvial Datar (0-8%) Ladang 24.22 Agak curam (15- 99 5878_Aluvial_III_Ladang 5878 Aluvial 25%) Ladang 125.09 100 5878_Aluvial_IV_Ladang 5878 Aluvial Curam (25-45%) Ladang 54.56 Sumber: Hasil Analisis, 2019.

179

Lampiran 5 Tabel Sampel Satuan Lahan yang Mewakili Satuan Lahan Penelitian

No Sampel Satuan Lahan Satuan Unit Lahan yang Diwakili Luas (hektar)

3302_Mediteran_I_Kebun 0.49 1 Mediteran_I_Ladang 3641_Mediteran_I_Kebun 13.51 3641_Mediteran_I_Permukiman 25.31 3641_Mediteran_I_Ladang 94.19 3641_Mediteran_I_Hutan campuran 2.35 5878_Mediteran_I_Permukiman 13.82

5878_Mediteran_I_Ladang 35.2 2 Mediteran_II_Kebun 3302_Mediteran_II_Kebun 12.36 3302_Mediteran_II_Hutan campuran 2.69 3641_Mediteran_II_Permukiman 54.07 3641_Mediteran_II_Ladang 212.51 3641_Mediteran_II_Kebun 108.17 3641_Mediteran_II_Hutan campuran 23.09 5878_Mediteran_II_Permukiman 3.16 5878_Mediteran_II_Ladang 26.71 5878_Mediteran_II_Kebun 9.71 3 Mediteran_III_Kebun 3302_Mediteran_III_Kebun 107.09 3302_Mediteran_III_Hutan campuran 12.24 3641_Mediteran_III_Kebun 421.81 3641_Mediteran_III_Permukiman 52.37 3641_Mediteran_III_Ladang 341.82 3641_Mediteran_III_Hutan campuran 112.22 5878_Mediteran_III_Permukiman 2.31 5878_Mediteran_III_Ladang 12.81 5878_Mediteran_III_Kebun 3.33 4 Mediteran_IV_Kebun 3302_Mediteran_IV_Kebun 21.4 3302_Mediteran_IV_Hutan campuran 8.34 3641_Mediteran_IV_Kebun 357.85 3641_Mediteran_IV_Permukiman 35.88 3641_Mediteran_IV_Ladang 203.57 3641_Mediteran_IV_Hutan campuran 142.72 5878_Mediteran_IV_Permukiman 0.32 5878_Mediteran_IV_Ladang 7.57 5878_Medietan_IV_Kebun 0.01 5 Mediteran_V_Kebun 3641_Mediteran_V_Kebun 123.81 3641_Mediteran_V_Permukiman 1.28 3641_Mediteran_V_Ladang 22.17 3641_Mediteran_V_Hutan campuran 44.32 6 Litosol_I_Kebun 3302_Litosol_I_Kebun 2.35 3641_Litosol_I_Kebun 0.52 7 Litosol_II_Kebun 3302_Litosol_II_Kebun 4.53 8 Litosol_III_Kebun 3302_Litosol_III_Kebun 15.13 3641_Litosol_III_Kebun 17.76 9 Litosol_IV_Kebun 3641_Litosol_IV_ Kebun 0.94 10 Aluvial_I_Hutan Campuran 3641_Aluvial_I_Permukiman 16.81 3641_Aluvial_I_Ladang 58.09 3641_Aluvial_I_Kebun 0.08 3641_Aluvial_I_Hutan campuran 0.53 5878_Aluvial_I_Permukiman 26.1 5878_Aluvial_I_Ladang 24.22 11 Aluvial_II_Permukiman 3641_Aluvial_II_Permukiman 37.8 3641_Aluvial_II_Ladang 119.79 3641_Aluvial_II_Kebun 4.37 3641_Aluvial_II_Hutan campuran 8.34 3641_Andosol_II_Hutan campuran 0.02 5878_Aluvial_II_Permukiman 14.01 5878_Aluvial_II_Ladang 113.17

Lihat lanjutan lampiran 5

180

Lanjutan Lampiran 5 Tabel Sampel Satuan Lahan yang Mewakili Satuan Lahan Penelitian

12 Aluvial_III_Ladang 3641_Aluvial_III_Permukiman 12.01 3641_Aluvial_III_Ladang 79.04 3641_Aluvial_III_Kebun 15.48 3641_Aluvial_III_Hutan campuran 22.4 5878_Aluvial_III_Permukiman 4.41 5878_Aluvial_III_Ladang 125.09 13 Aluvial_IV_Ladang 3641_Aluvial_IV_Permukiman 7.33 3641_Aluvial_IV_Ladang 60.28 3641_Aluvial_IV_Kebun 0.97 3641_Aluvial_IV_Hutan campuran 56 5878_Aluvial_IV_Ladang 54.56 14 Andosol_I_Permukiman 5878_Andosol_I_Permukiman 94.84 5878_Andosol_I_ladang 80.65 5878_Andosol_I_Kebun 11.58 15 Andosol_II_Ladang 3641_Andosol_II_Permukiman 0.64 3641_Andosol_II_Ladang 7.74 3641_Andosol_II_Kebun 20.76 3641_Andosol_II_Ladang 0.89 3641_Andosol_II_Kebun 4.78 3641_Andosol_II_Permukiman 4.35 5878_Andosol_II_Permukiman 18.19 5878_Andosol_II-Ladang 43.74 5878_Andosol_II_Kebun 3.92 16 Andosol_III_Ladang 3641_Andosol_III_Ladang 35.64 3641_Andosol_III_Hutan campuran 3.38 3641_Andosol_III_Permukiman 3.09 3641_Andosol_III_Kebun 93.72 3641_Andosol_III_Permukiman 7.84 3641_Andosol_III_Ladang 14.24 3641_Andosol_III_Kebun 8.33 5878_Andosol_III_Permukiman 6.38 5878_Andosol_III_Ladang 45.82 5878_Andosol_III_Kebun 5.8 17 Andosol_IV_Kebun 3641_Andosol_IV_Permukiman 5.46 3641_Andosol_IV_Ladang 1.77 3641_Andosol_IV_Kebun 15.63 3641_Andosol_IV_Ladang 16.8 3641_Andosol_IV_Kebun 9.01 5878_Andosol_IV_Permukiman 2.27 5878_Andosol_IV_Ladang 20.88 5878_Andosol_IV_Kebun 11.76 18 Andosol_V_Ladang 3641_Andosol_V_Kebun 7.66 3641_Andosol_V_Ladang 11.98 Sumber: Hasil Analisis, 2019.

181

Lampiran 6 Tabel Hasil Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Sampel Penelitian

No Sampel Satuan Lahan Curah Hujan Kemiringan Jenis Kedalaman Penggunaan Skor (mm/tahun) Skor Lereng Skor Tanah Skor Tekstur Skor Drainase Skor Tanah Skor Lahan Skor Total Kelas

1 Mediteran_I_Ladang Geluh Agak Sangat 3641 5 I 1 Mediteran 3 berlempung 3 baik 2 dalam 5 Ladang 5 24 Sedang

2 Mediteran_II_Ladang Lempung Agak Sangat 3641 5 II 2 Mediteran 3 ringan 4 baik 2 dalam 5 Ladang 5 26 Tinggi

3 Mediteran_III_Ladang Lempung Agak Sangat 3641 5 III 3 Mediteran 3 ringan 4 baik 2 dalam 5 Ladang 5 27 Tinggi

4 Mediteran_IV_Ladang Geluh Agak Sangat 3302 4 IV 4 Mediteran 3 berlempung 3 baik 2 dalam 5 Ladang 5 26 Tinggi

5 Mediteran_V_Permukiman Geluh Agak Sangat 3641 5 V 5 Mediteran 3 berlempung 3 baik 2 dalam 5 Permukiman 4 27 Tinggi

6 Sangat Litosol_I_Kebun 3302 4 I 1 Litosol 5 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 22 Sedang

7 Litosol_II_Kebun Sangat 3302 4 II 2 Litosol 5 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 23 Sedang

8 Litosol_III_Kebun Agak Sangat 3641 5 III 3 Litosol 5 Geluh 3 baik 2 dalam 5 Kebun 3 26 Tinggi

9 Litosol_IV_Kebun Sangat 3641 5 IV 4 Litosol 5 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 26 Tinggi

10 Aluvial_I_Hutan Campuran Sangat Hutan 3302 4 I 1 Aluvial 1 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Campuran 1 16 Rendah

11 Aluvial_II_Permukiman Lempung Sangat 3641 5 II 2 Aluvial 1 ringan 4 Baik 1 dalam 5 Permukiman 4 22 Sedang

12 Aluvial_III_Ladang Lempung Sangat 3641 5 III 3 Aluvial 1 ringan 4 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 24 Sedang

13 Aluvial_IV_Ladang Lempung Sangat 3641 5 V 4 Aluvial 1 ringan 4 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 25 Sedang

14 Andosol_I_Permukiman Pasir Sangat 5878 5 I 1 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Permukiman 4 21 Sedang

15 Andosol_II_Kebun Pasir Sangat 3641 5 II 2 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 21 Sedang

16 Andosol_III_Ladang Pasir Sangat 3641 5 III 3 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 24 Sedang

17 Andosol_IV_Kebun Pasir Sangat 3641 5 IV 4 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 23 Sedang

18 Andosol_V_Ladang Pasir Sangat 3641 5 V 5 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 26 Tinggi Sumber: Pengukuran dan Survey Lapangan, 2019.

182

Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Nama

Kisro Isti Sukir Maryono Praba Pato Yana Atno Irwan No Alamat Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Ibu Mata pencaharian Perangkat rumah desa tangga Pedagang Petani Petani Petani Petani Petani Petani 1 Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan resiko 1 bencana 2 2 2 2 1 2 2 2 2 Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan 2 resiko bencana 2 2 1 2 2 1 1 1 2 Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian 3 kewenangan dan sumberdaya pada tingkat local 4 3 3 3 4 3 3 3 4 4 Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan bencana 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana Tersedianta kajian resiko bencana daerah berdasarkan data bahaya dan 1 kerentanan 2 1 1 1 2 1 1 1 2 Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip, dan 2 menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar 3 dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat 3 2 2 2 2 3 3 3 3 Penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas guna 4 menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan resiko 1 1 1 1 1 0 0 0 1 3 Pendidikan Kebencanaan Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di 1 semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan resiko bencana dan 2 pemulihan 1 0 0 0 1 0 0 0 0 Tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis 3 manfaat biaya 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau 4 masyarakat secara luas 3 2 0 2 0 2 2 2 1 4 Pengurangan Faktor Resiko Dasar Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan- 1 kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup 3 2 2 2 3 2 2 2 3 Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak 2 bahaya 2 2 1 2 1 2 2 2 1 Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan 3 penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan 4 bangunan 3 1 1 1 1 1 1 1 1 Langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam proses- 5 proses rehabilitasu dan pemulihan pascabencana 3 0 0 0 1 0 0 0 0 6 Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak resiko bencana 2 2 1 2 2 2 2 2 2 5 Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan resiko 1 bencana dalam pelaksanaannya 2 1 1 1 2 1 1 1 1 Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan 2 mengembangkan program tanggap darurat bencana 2 1 1 1 1 1 1 1 1 Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca 3 bencana 1 2 1 2 2 2 2 2 2 Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana 4 terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat 2 2 1 2 2 2 2 2 2 Skor 42 30 22 30 32 28 29 29 32 Lihat lanjutan lampiran 7

183

Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Gesang Mustafid Miskiyah Imam Pangat Indar Afif Fatimah Sumijan Bagus Sukron Rina Sobron Afi Nina Noval

Paweden Paweden Paweden Paweden Paweden Paweden Gumelar Gumelar Gumelar Gumelar Gumelar Sampang Sampang Sampang Sampang Sampang

Perangkat Buruh Pedagang Petani Petani Ibu Buruh Pegawai Perangkat Petani Petani Perangkat Guru Pedagang Ibu Petani desa rumah Desa desa rumah

tangga tangga

0 3 0 3 0 0 0 1 1 0 0 1 2 2 2 1

0 2 0 2 0 0 1 0 1 0 0 3 2 1 2 3

2 4 3 4 2 3 1 0 1 1 2 2 3 3 3 2

2 4 2 4 2 2 4 2 4 4 2 4 2 2 2 2

0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 4 1 1 1 4

0 0 1 0 0 1 2 0 2 2 0 4 1 1 1 4

1 0 2 0 1 3 1 2 2 1 1 3 2 2 2 3

0 4 1 4 2 0 0 0 0 0 2 0 1 1 1 0

0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0

0 0 0 0 0 0 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 1 0 1 0 2 0 0 0 0 0 4 2 0 2 4

4 0 2 0 4 2 2 0 2 2 4 0 2 2 2 0

0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 2 2 1 2 2

0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 2 1 1 1 2

4 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 3

4 0 1 0 4 2 0 0 0 0 0 0 2 1 2 0

0 2 1 2 0 1 0 1 0 0 0 4 1 1 1 4

0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 1 1 1 0 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2

0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 1 1 1 2 1

17 24 20 24 19 20 15 10 18 14 13 41 29 23 30 34 Lihat lanjutan lampiran 7

184

Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Parjo Nirwan Slamet Tugio Bawon Nikmat Klalimi Ema Basir Mail Sarzan Saheri Ikhwan Anto Budi Arba

Sampang Sampang Sampang Sampang Sampang Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Pagerpelah Pagerpelah

Petani Pedagang Petani Petani Petani Perangkat Guru Ibu rumah Pedagang Buruh Petani Pedagang Petani Petani Perangkat Guru

desa tangga desa

2 2 2 2 1 4 2 2 2 1 2 2 3 2 3 3

1 1 1 2 3 4 2 1 2 2 1 3 2 3 2 2

1 2 1 2 1 4 3 3 3 4 3 3 3 4 3 4

2 2 2 2 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2

1 2 1 2 4 0 0 2 0 0 0 1 2 1 3 3

1 1 1 1 4 0 0 1 0 0 0 0 1 0 3 4

3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2

1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 4

1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3

0 0 0 0 0 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2

2 2 2 2 4 0 0 1 0 1 0 2 0 1 3 4

2 2 2 3 0 0 1 2 3 0 0 0 1 1 3 2

2 2 2 1 2 4 2 1 2 1 2 2 2 3 4 3

0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 0 1 2 0 0 0

1 1 2 1 2 4 1 2 2 3 1 4 1 3 3 4

0 0 0 0 3 3 0 2 3 2 0 1 2 2 4 3

2 2 2 2 0 4 2 3 2 2 2 2 2 3 4 2

1 2 1 1 4 0 1 1 1 2 1 1 1 1 4 3

1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 4 3

2 2 2 2 2 0 2 1 2 2 2 2 2 2 4 2

2 2 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 2

27 29 30 31 40 35 24 29 29 30 21 31 30 33 65 59

Lihat lanjutan lampiran 7

185

Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Latif Yahya Agus Riski Sugeng Slamet Rohman Sartun Saiful Santo Khotib Hendra Mahmud Tongat Amri Edi

Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Karanggon Karanggon Karanggon

Buruh Pedagang Wiraswasta Petani Pedagang Petani Petani Perangkat Buruh Pedagang Petani Petani Petani dang dang Dang

desa

Perangkat Buruh Pedagang

desa

2 2 3 3 3 1 3 0 0 0 0 0 0

1 2 3 2 2 1 2 0 1 1 2 2 1 0 0 0

3 3 3 4 4 2 4 0 3 3 3 2 3 0 1 1

2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 0 2 0

4 2 2

1 1 3 3 3 1 3 0 1 1 1 2 1

1 1 4 4 4 1 4 1 1 1 1 1 1 0 0 1

2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 3 0 0 1

1 1 4 4 4 0 4 0 1 1 1 1 0 0 0 2

0 1 1

1 1 3 3 3 1 3 1 1 1 1 1 1

1 0 2 2 2 0 2 0 0 0 0 1 0 0 1 1

0 0 2 2 2 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0

0 1 4 4 4 1 4 0 2 0 2 0 2 0 0 0

0 0 0

2 2 2 2 2 2 2 4 2 2 2 3 2

1 2 3 3 3 2 3 0 2 1 2 1 2 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1

2 1 4 4 4 1 4 1 1 1 1 1 1 0 0 0

0 0 3 3 3 0 3 0 0 0 0 0 0 1 1 1

1 2 2 2 2 2 2 4 2 1 2 2 2 0 0 0

1 2 1

3 1 3 4 3 1 3 1 1 1 1 1 1

3 1 3 3 3 1 3 0 1 1 1 1 1 0 1 1

2 2 2 4 3 2 4 0 0 0 0 0 0 0 1 1

3 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

33 29 59 62 60 24 61 17 23 19 24 22 23 6 13 15

Lihat lanjutan lampiran 7

186

Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Sukarjo Soleh Sayuti Ipeh Parno Udin Fuad Budi Sultoni Mahpul Suhardi Sumiati Tongat Sahrul Asih Wahno

Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Jlegong Jlegong Jlegong Jlegong Binangun Binangun Binangun Binangun

Dang Dang Dang Dang dang dang dang dang Perangkat Buruh Pedagang Ibu Perangkat Buruh Pedagang Petani desa rumahtangga desa

Petani Petani Petani Ibu Buruh Pedagang Petani Petani rumahtangga

1 0 0 0 1 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 1 1 2

2 0 1 1 1 1 2 0 4 2 0 3 3 2 2 3

3 1 3 2 2 0 3 1 0 2 2 2 1 2 2 2

2 2 1 2 2 2 2 3

1 0 1 1 2 0 1 1

1 2 1 0 0 1 1 0 2 0 1 1 0 0 1 1

1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 2 0 2 0 2 0

0 1 3 0 0 2 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1

1 1 0 0 1 1 1 1

0 1 1 0 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 2 0 0 0

0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0

3 0 2 1 0 0 2 1

1 0 0 0 0 2 1 0 3 1 1 2 2 1 1 2

2 1 2 1 1 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 3 2 2 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 2 1 1

1 2 1 1 2 1 1 2

0 1 0 0 2 2 1 2

0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0

0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 15 14 10 13 15 16 14 14 13 15 13 25 16 20 18

Lihat lanjutan lampiran 7

187

Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Suk Par Har Pat To Iwa Pur Ind Rum Marl Ode Ehsa Sulh Farh Nuru Kast irm ma jo ul mo n wa ra yati iyem n n an an l o an n nto Bin Bin Bin Bin Bin Bin Bin Bin Kara Kara Kara Kara Kara Kara Kara Kara ang ang ang ang ang ang ang ang ngko ngko ngko ngko ngko ngko ngko ngko un un un un un un un un bar bar bar bar bar bar bar bar Pet Pet Pet Bur Ped Pet Pet Pet Pera Peda Peda Peta Peta Peta Ibu Buru ani ani ani uh aga ani ani ani ngka gang gang ni ni ni ruma h ng t htan desa gga

1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 2 0 1 2 1 1 2 0 1 4 1 1 3 3 1 2 3 2 2 1 1 2 3 2 2 0 1 2 1 1 2 2 1 2 1 3 2 2 1 2 1 3 2

2 1 2 0 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 4 2 1 3 1 0 2 0 1 3 2 1 2 0 1 3 2 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 4 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 1 1 1 1 1 0 0

0 0 0 0 2 1 0 0 1 0 2 1 0 0 3 0 1 2 2 1 1 2 1 2 0 1 1 2 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 4 1 0 0 3 2 2 0 0 0 1 2 2 0 0 0 4 2 2 1 0 2 1 1 2 1 0 2 1 1 2 1 0 2

1 0 2 2 1 2 1 0 1 2 1 2 1 0 3 2 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 2 1 2 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 2 1 1 2 0 0 16 15 21 15 20 17 17 14 25 22 26 20 21 19 39 19 Lihat lanjutan lampiran 7

188

Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat

Sohib Untung Kholid Khadini Sri Erna Sukamto Umron Tamziz

Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar

Pedagang Petani Petani Petani Guru Buruh Pedagang Petani Petani

0 0 1 0 1 1 0 0 1

1 2 0 1 1 0 1 2 0

2 3 2 2 3 0 2 3 2

2 1 2 1 1 0 2 1 2

2 1 2 1 2 1 1 1 2

1 1 1 1 0 0 1 1 1

2 0 1 3 1 2 2 0 1

1 1 1 0 0 0 1 1 1

1 1 1 1 1 0 1 1 1

1 2 1 0 1 1 0 0 1

0 0 0 0 2 1 0 0 0

0 0 0 0 1 1 0 0 0

2 1 0 0 0 0 2 1 0

1 2 1 2 2 1 1 2 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0

1 1 1 1 0 0 1 1 1

2 0 1 0 3 1 2 1 2

1 1 2 1 0 0 1 1 2

1 2 1 1 2 1 1 2 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 0 1 1 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0

22 20 21 17 21 11 20 19 20 Sumber: Hasil Analisis, 2019.

189

Lampiran 8 Perhitungan Indeks Kapasitas Masyarakat

푁𝑖푙푎𝑖 𝑖푛푑푒푘푠 푅푒푠푝표푛푑푒푛 1+푁𝑖푙푎𝑖 𝑖푛푑푒푘푠 푟푒푠푝표푛푑푒푛 2+... Total nilai Indeks = 퐽푢푚푙푎ℎ 푟푒푠푝표푛푑푒푛 1. Desa Slatri 0.48+0.36+0.36+0.34+0.25+0.32+0.34+0.33+0.33 Nilai Indeks = 9 = 0.35 2. Desa Paweden 0.19+0.27+0.23+0.27+0.22+0.23 Nilai Indeks = 6 = 0.23

3. Desa Gumelar 0.17+0.11+0.20+0.16+0.15 Nilai Indeks = 5 = 0.16 4. Desa Sampang 0.47+0.33+0.26+0.34+0.39+0.31+0.33+0.34+0.35+0.45 Nilai Indeks = 10 = 0.31 5. Desa Ambal 0.40+0.27+0.33+0.33+0.34+0.24+0.35+0.34+0.38 Nilai Indeks = 9 = 0.33 6. Desa Pagerpelah 0.74+0.67+0.38+0.33+0.67+0.70+0.68+0.27+0.69 Nilai Indeks = 9 = 0.57 7. Desa Pasuruhan 0.19+0.26+0.22+0.27+0.25+0.26 Nilai Indeks = 6 = 0.24 8. Desa Karanggondang 0.07+0.15+0.17+0.18+0.17+0.16+0.11+0.15+0.17+0.18+0.16 Nilai Indeks = 11 = 0.15

190

9. Desa Jlegong 0.16+0.15+0.17+0.15 Nilai Indeks = 4 = 0.16 10. Desa Binangun Indeks: 0.28+0.18+0.23+0.20+018+0.17+0.24+0.17+0.23+0.19+0.19+0.19+0.16

12

= 0.19 11. Desa Karangkobar Indeks:

0.28+0.25+0.30+0.23+0.24+0.22+0.44+0.22+0.25+0.23+0.24+0.19+0.24+0.13+0.23+0.22+0.23 17 = 0.17

191

Lampiran 9 Peta Persebaran Sampel Kapasitas Masyarakat

192

Lampiran 10 Data Curah Hujan Tahunan Stasiun Hujan Wilayah Penelitian dan Wilayah Sekitarnya

193

Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian

194