TINGKAT ANCAMAN DAN KAPASITAS MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN KARANGKOBAR KABUPATEN BANJARNEGARA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh : Arfina Fakhfiyani 3211415006
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
1. “Katankanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya
untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam” (Q.S. Al-An’am Ayat 162).
2. Man Jadda Wajada (barangsiapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia akan
berhasil).
Persembahan
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, saya persembahkan skripsi ini kepada:
1. Almamater ku Universitas Negeri Semarang
2. Kedua orang tua Bapak Tantowi dan Ibu Effi Sumarni, terima kasih atas segala
kasih sayang, pengorbanan, perjuangan, dukungan, dan doa yang tak pernah
berhenti bagi anak-anaknya, yang selalu menjadi sumber semangat bagi
penulis.
3. Sahabat dan teman seperjuanganku Ilmu Geografi angkatan 2015.
v
PRAKATA
Alhamdulillah puji syukur atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkat Ancaman dan
Kapasitas Masyarakat terhadap Bahaya Tanah Longsor Di Kecamatan
Karangkobar Kabupaten Banjarnegara” dengan lancar.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tak terlepas dari bantuan, motivasi, pikiran, sarana dan dana dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ungkapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
1. Prof. Dr. Fathkur Rokhman, M. Hum, Rektor Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menimba ilmu.
2. Dr. Moh. Solehatul Mustofa, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang yang telah memberikan kemudahan kepada penulis
dalam proses penyelesaian skripsi.
3. Dr. Tjaturahono Budi Sanjoto, M.Si, Ketua Jurusan Geografi yang telah
memberikan ijin kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
4. Dr. Erni Suharini, M.Si, Dosen pembimbing yang dengan sabar
membimbing dan memberi arahan kepada penulis selama menyusun
skripsi.
5. Dr. Puji Hardati, M.Si, Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan
dan masukan yang membangun.
vi
vii
SARI Fakhfiyani Arfina. 2019. Tingkat Ancaman dan Kapasitas Masyarakat terhadap Bahaya Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara. Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Dr. Erni Suharini M.Si. Kata Kunci: Ancaman, Tanah Longsor, Kapasitas Kecamatan Karangkobar wilayahnya merupakan pegunungan terjal dengan tingkat kelerengan 25–>40%, memiliki intensitas curah hujan 3000->3500 mm/tahun. Penduduk di Kecamatan Karangkobar 50% bekerja sebagai petani yang memanfaatkan lahan pegunungan, sehingga dapat memicu terjadinya tanah longsor. Sepanjang tahun 2018 telah terjadi 23 kali tanah longsor di Kecamatan Karangkobar dari total 152 kejadian tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara, dimana jumlah kejadian tanah longsor yang terjadi tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Banjarnegara. Tanah longsor menyebabkan 6 orang luka-luka, 4 kepala keluarga terancam, 2 rumah rusak berat, 1 rumah rusak ringan, 8 rumah rusak sedang, dan 10 infrastruktur mengalami kerusakan. Melihat bahaya tanah longsor yang sewaktu-waktu dapat mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan: 1) Mengetahui tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar, 2) Mengetahui tingkat kapasitas masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Karangkobar yang terletak pada 7˚14’50” LS-7˚19’15” LS dan 109˚40’05” BT- 109˚44’45” BT. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi area dan populasi masyarakat, populasi area dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah di Kecamatan Karangkobar dengan luas 3.209,252 hektar yang terdiri dari 100 satuan unit lahan yang secara administrasi terdiri dari 13 desa, dengan teknik pengambilan sampel yang berupa area sampling berdasarkan satuan unit lahan yang memiliki kemiringan lereng dan jenis tanah yang sama sehingga diperoleh sampel 18 satuan unit lahan. Populasi masyarakat dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang tinggal di Kecamatan Karangkobar yang berjumlah 8.708 KK, dengan teknik pengambilan sampel yang berupa teknik purposive sampling berdasarkan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi, dengan penentuan jumlah sampel menggunakan Rumus Slovin sehingga diketahui 99 sampel KK yang tersebar di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Variabel dalam penelitian ini adalah ancaman tanah longsor dan kapasitas masyarakat, dengan metode pengumpulan data untuk variabel ancaman tanah longsor melalui dokumentasi, pengukuran, observasi, survey lapangan, dan analisis sistem informasi geografis, sementara metode analisis yang digunakan adalah analisis skoring, sistem informasi geografis, dan analisis deskriptif. Sedangkan untuk variabel kapasitas melalui kuesioner dan wawancara, dengan teknik analisis skala Gutman dan deskriptif komparatif. Kecamatan Karangkobar memiliki 2 tingkat ancaman tanah longsor, yaitu sedang dan tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang
viii
seluas 2.419,96 hektar atau 75%, sedangkan tingkat ancaman tanah longsor tinggi adalah seluas 789,29 hektar atau 25% yang tersebar di 11 desa. Wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat rendah ada 7 desa dengan karakteristik telah adanya aturan dan kelembagaan dan pendidikan kebencanaan, namun peringatan dini dan kajian resiko bencana, pengurangan faktor resiko dasar, dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini belum tersedia. Belum terbentuknya desa siaga bencana, belum adanya sosialisasi ataupun pelatihan tentang pengurangan bencana, masyarakat masih memanfaatkan kentongan dan speker masjid sebagai media untuk menyampaikan informasi, serta penggunaan lahan paling tinggi berupa ladang dengan presentase 49% yang didominasi tanaman salak. Sementara daerah yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat sedang ada 3 desa, dengan karakteristik telah adanya aturan dan kelembagaan, peringatan dini dan kajian resiko bencana, pengurangan factor resiko dasar, dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini, namun pendidikan kebencanaan belum tersedia. Belum terbentuknya desa siaga bencana di semua desa hanya ada di Desa Sampang, sudah dilaksanakannya sosialisasi dan pelatihan tentang pengurangan bencana, masyarakat memanfaatkan kentongan dan mulai menggunakan hp sebagai media untuk menyampaikan informasi, serta penggunaan lahan paling tinggi berupa ladang dengan presentase 38% yang didominasi tanaman sayur, jagung, dan singkong. Sedangkan desa dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat tinggi adalah Desa Pagerpelah, yang memiliki karakteristik telah adanya semua parameter kapasitas masyarakat yang berupa aturan dan kelembagaan, peringatan dini dan kajian resiko bencana, pendidikan kebencanaan, pengurangan factor resiko dasar, dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Pembentukan desa siaga bencana baru pada tahap atau upaya awal, sudah dilaksanakannya sosialisasi dan pelatihan tentang pengurangan bencana, masyarakat memanfaatkan kentongan dan mulai menggunakan hp sebagai media untuk menyampaikan informasi, serta penggunaan lahan paling tinggi berupa kebun dengan presentase 47% yang didominasi tanaman salak. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Kecamatan Karangkobar 75% dari wilayahnya memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang, sedangkan 25% wilayahnya memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi terdapat di 11 desa. Kesebelas desa yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi 7 desa memiliki kapasitas masyarakat rendah, 3 desa dengan kapasitas sedang, dan 1 desa yang memiliki kapasitas masyarakat tinggi. Saran yang dikemukakan adalah perlunya sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya pengurangan resiko bencana tanah longsor.
ix
ABSTRACT Fakhfiyani Arfina. 2019. Threat Level and Community Capacity for Landslide Hazards in Karangkobar District, Banjarnegara Regency. Thesis. Department of Geography, Faculty of Social Sciences, Semarang State University. Supervisor Dr. Erni Suharini M.Si. Keywords: Threats, Landslides, Capacity Karangkobar District is a rugged mountain range with a slope level of 25-> 40%, has a rainfall intensity of 3000-> 3500 mm / year. 50% of the population in Karangkobar District work as farmers who use mountainous land, which can trigger landslides. Throughout 2018 there have been 23 landslides in Karangkobar District, out of a total of 152 landslides that occurred in Banjarnegara District, where the number of landslides that occurred was the highest compared to other areas in Banjarnegara District. Landslides injured 6 people, threatened 4 families, 2 houses were severely damaged, 1 house was slightly damaged, 8 houses were moderately damaged, and 10 infrastructure was damaged. Seeing the danger of landslides that can threaten the community at any time, it is necessary to do research with the aim of: 1) Knowing the level of landslides in Karangkobar District, 2) Knowing the level of community capacity in areas that have high levels of landslide threats. The research was carried out in Karangkobar Subdistrict, which was located at 7˚14'50 "LS-7˚19'15" LS and 109˚40'05 "BT- 109˚44'45" East. The population in this study consisted of the area population and community population, the population of the area in this study were all areas in Karangkobar District with an area of 3,209,252 hectares with a sampling technique in the form of a sampling area based on land units that have the same slope and soil type so that a sample of 18 land units is obtained. The population in this study were all family heads who lived in Karangkobar Subdistrict, amounting to 8,708 households, with a sampling technique in the form of purposive sampling technique based on areas that had a high level of landslide threat, by determining the number of samples using the Slovin Formula so that 99 samples of KK were known scattered in areas that have high landslide threats. The variables in this study are landslide threats and community capacity, with data collection methods for landslide threat variables through documentation, measurement, observation, field survey, and geographic information system analysis, while the analysis method used is scoring analysis, geographical information system, and descriptive analysis. As for the capacity variable through questionnaires and interviews, with Gutman scale analysis techniques and comparative descriptive. Karangkobar sub-district has 2 levels of landslide threats, namely medium and high. The area that has a moderate level of landslide threat is 2,419.96 hectares or 75%, while the level of high landslide threat is 789.29 hectares or 25% spread in 11 villages. There are 7 villages that have a high level of landslide threat that have a low level of community capacity with the characteristics of existing rules and institutions and disaster education, but early warning and disaster risk assessment, reduction of basic risk factors, and preparedness development on all lines are not yet available. Not yet formed a disaster prepared village, there has been no socialization or training on disaster reduction, the community still uses
x
kentongan and mosque speakers as a medium to convey information, as well as the highest land use in the form of fields with a percentage of 49% dominated by salak plants. While there are 3 villages with a high level of community capacity, with characteristics and institutional arrangements, early warning and disaster risk assessment, reduction of basic risk factors, and preparedness development on all fronts, disaster education is not yet available. Not yet established disaster alert villages in all villages only in the village of Sampang, socialization and training on disaster reduction have been carried out, people use kentongan and start using cellphones as a medium to convey information, and the highest land use in the form of fields with a percentage of 38% dominated by plants vegetables, corn and cassava. While the village with a high level of landslide threat that has a high level of community capacity is Pagerpelah Village, which has the characteristics of all community capacity parameters in the form of rules and institutions, early warning and disaster risk assessment, disaster education, reduction of basic risk factors, and development preparedness on all lines. The establishment of a new disaster prepared village at the initial stage or effort, socialization and training on disaster reduction have been carried out, the community utilizes kentongan and begins to use mobile phones as a medium to convey information, as well as the highest land use of gardens with a percentage of 47% dominated by zalacca plants. The conclusion of this study is that Karangkobar District 75% of its area has a moderate level of landslide threat, while 25% of its area has a high level of landslide threat. Areas that have a high level of landslide threat are found in 11 villages. Eleven villages have a high level of landslide threat, 7 villages have low community capacity, 3 villages with medium capacity, and 1 village that has high community capacity. Suggestions raised are the need for socialization and training to the community to increase knowledge and awareness of the importance of reducing the risk of landslide disasters.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii
PENGESAHAN KELULUSAN...... iii
PERNYATAAN...... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN...... v
PRAKATA...... vi
SARI ...... viii
DAFTAR ISI...... xii
DAFTAR GAMBAR ...... xvi
DAFTAR TABEL ...... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...... xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah...... 9
C. Tujuan...... 9
D. Manfaat ...... 9
E. Batasan Istilah...... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritis...... 12
1. Ancaman Tanah Longsor...... 12
a. Ancaman...... 12
b. Tanah Longsor...... 12
1). Pengertian Tanah Longsor ...... 12
xii
2). Penyebab Tanah Longsor...... 13
3). Jenis-jenis Tanah Longsor ...... 16
4). Parameter Tanah Longsor...... 18
2. Kapasitas Masyarakat...... 29
a. Kapasitas...... 29
1). Pengertian Kapasitas Masyarakat ...... 29
2).Parameter dan Indikator Kapasitas...... 30
b. Masyarakat...... 34
C. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan...... 35
D. Kerangka Berfikir...... 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ...... 44
B. Populasi Penelitian ...... 46
1. Populasi Area...... 46
2. Populasi Masyarakat...... 46
C. Sampel dan Teknik Sampling ...... 47
1. Sampel Area...... 47
a. Proses Penentuan Sampel...... 47
b. Penetapan satuan Lahan yang Menjadi Sampel...... 51
2. Sampel Masyarakat...... 54
D. Variabel Penelitian ...... 57
E. Sumber Data Penelitian...... 59
1. Data Primer...... 59
2. Data Sekunder...... 59
F. Alat dan Teknik Pengumpulan Data...... 60
xiii
1. Alat Pengumpulan Data...... 60
a. Alat Pengumpulan Data...... 60
b. Bahan yang Digunakan dalam Penelitian...... 60
2. Teknik Pengumpulan Data...... 61
a. Ancaman Tanah Longsor...... 61
b. Kapasitas Masyarakat...... 63
G. Teknik Analisis Data...... 64
a. Analisis Sistem Informasi Geografis...... 64
b. Analisis Satuan Lahan...... 65
c. Analisis Skoring...... 65
d. Analisis Deskriptif...... 68
e. Skala Gutman...... 69
f. Analisis Deskriptif Komparatif...... 70
H. Diagram Alir Penelitian...... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian...... 74
1. Letak Astronomis...... 74
2. Luas Daerah Penelitian...... 74
3. Kondisi Kependudukan Wilayah Penelitian...... 76
4. Kondisi Perekonomian Penduduk...... 79
5. Kondisi Sosial...... 81
B. Hasil Penelitian...... 84
1. Ancaman Tanah Longsor ...... 84
a. Kemiringan Lereng...... 84
b. Curah Hujan...... 87
xiv
c. Penggunaan Lahan ...... 89
d. Jenis Tanah...... 94
e. Tekstur Tanah...... 96
f. Drainase Tanah ...... 100
g. Kedalaman Tanah...... 103
2. Hasil Pengukuran pada Sampel Satuan Lahan Penelitian...... 105
3. Perhitungan Tingkat Ancaman Tanah Longsor...... 112
4. Lokasi Kejadian Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 116 5. Perhitungan Kapasitas Masyarakat ...... 122
C. Pembahasan...... 137
1. Analisis Tingkat Ancaman Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 137
a. Tingkat Ancaman Tanah Longsor Sedang...... 137
b. Tingkat Ancaman Tanah Longsor Sedang...... 138
c. Tingkat Ancaman Tanah Longsor Tinggi...... 139
2. Analisis Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana
Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 140
a. Tingkat Kapasitas Rendah...... 140
b. Tingkat Kapasitas Sedang...... 145
c. Tingkat Kapasitas Tinggi...... 152
BAB V PENUTUP
A. Simpulan...... 158
B. Saran...... 158
DAFTAR PUSTAKA ...... 159
LAMPIRAN ...... 164
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir...... 43 Gambar 3.1 Peta Administrasi Kecamatan Karangkobar...... 45 Gambar 3.2 Peta Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar...... 50 Gambar 3.3 Peta Lokasi Sampel Penelitian...... 53 Gambar 3.4 Alur Penentuan Sampel Penelitian………………………...... …56 Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian……………………………………...... 73 Gambar 4.1 Pengukuran Kemiringan Lereng...... 85 Gambar 4.2 Peta Kemiringan Lereng...... 86 Gambar 4.3 Peta Curah Hujan...... 88 Gambar 4.4 Penggunaan Lahan Permukiman...... 90 Gambar 4.5 Penggunaan Lahan Tegalan...... 91 Gambar 4.6 Penggunaan Lahan Kebun...... 92 Gambar 4.7 Penggunaan Lahan Hutan Campuran...... 92 Gambar 4.8 Peta Penggunaan Lahan...... 93 Gambar 4.9 Peta Jenis Tanah...... 95 Gambar 4.10 Uji Tekstur Tanah di Lapangan……………………………………96 Gambar 4.11 Peta Tekstur Tanah…………...... 99 Gambar 4.12 Uji Drainase Tanah……………………………………...... 100 Gambar 4.13 Peta Drainase Tanah……………...... 102 Gambar 4.14 Peta Kedalaman Tanah……………...... 104 Gambar 4.15 Peta Ancaman Tanah Longsor Kecamatan Karangkobar…...... 114 Gambar 4.16 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Diwek Desa Karangkobar...... 117 Gambar 4.17 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Jemblung Desa Sampang...... 118 Gambar 4.18 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Gintung Desa Binangun…...... 119 Gambar 4.19 Peta Titik Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar...... 121 Gambar 4.20 Indeks Kapasitas Masyarakat Kecamatan Karangkobar...... 125
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng...... 20 Tabel 2.2 Klasifikasi Kepekaan Jenis Tanah terhadap Erosi...... 22 Tabel 2.3 Klasifikasi Intensitas Curah Hujan...... 23 Tabel 2.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan...... 25 Tabel 2.5 Klasifikasi Tekstur Tanah...... 26 Tabel 2.6 Klasifikasi Tekstur Tanah Berdasarkan Jenis Tanah ...... 26 Tabel 2.7 Kriteria Drainase Tanah...... 27 Tabel 2.8 Klasifikasi Kedalaman Tanah...... 28 Tabel 2.9 Indeks Kapasitas Masyarakat...... 34 Tabel 2.10 Kajian Penelitian yang Relevan...... 39 Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018...... 46 Tabel 3.2 Sampel Satuan Lahan Penelitian...... 52 Tabel 3.3 Persebaran Sampel Penelitian di Kecamatan Karangkobar...... 55 Tabel 3.4 Variabel Penelitian...... 57 Tabel 3.5 Data Sekunder dalam Penelitian...... 59 Tabel 3.6 Alat Pengumpulan Data...... 60 Tabel 3.7 Bahan yang Digunakan dalam Penelitian...... 61 Tabel 3.8 Klasifikasi Tingkat Ancaman Tanah Longsor...... 68 Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan Karangkobar...... 75 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2018...... 76 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Kelompok Usia Tahun 2018...... 77 Tabel 4.4 Kepadatan Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018...... 78 Tabel 4.5 Matapencaharian Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 79 Tabel 4.6 Sarana Perekonomian di Kecamatan Karangkobar...... 80 Tabel 4.7 Data Fasilitas Sosial di Kecamatan Karangkobar...... 81 Tabel 4.8 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Karangkobar
xvii
Tahun 2019...... 83 Tabel 4.9 Kemiringan Lereng Kecamatan Karangkobar...... 84 Tabel 4.10 Curah Hujan Kecamatan Karangkobar...... 87 Tabel 4.11 Penggunaan Lahan Kecamatan Karangkobar...... 89 Tabel 4.12 Jenis Tanah Kecamatan Karangkobar...... 94 Tabel 4.13 Tekstur Tanah Kecamatan Karangkobar...... 97 Tabel 4.14 Drainase Tanah Kecamatan Karangkobar...... 101 Tabel 4.15 Hasil Skoring Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Setiap Sampel...... 113 Tabel 4.16 Luas Daerah Berdasarkan Tingkat Ancaman Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 115 Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Slatri...... 123 Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Paweden...... 124 Tabel 4.19 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Gumelar...... 125 Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Sampang...... 126 Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Ambal...... 127 Tabel 4.22 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pagerpelah...... 128 Tabel 4.23 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pasuruhan...... 129 Tabel 4.24 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karanggondang...... 130 Tabel 4.25 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Jlegong...... 131 Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Binangun...... 132 Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karangkobar...... 133 Tabel 4.28 Tingkat Kapasitas Masyarakat Dengan Tingkat Ancaman Tanah Longsor Tinggi Di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 134 Tabel 4.29 Ketersediaan Indikator-indikator Kapasitas Masyarakat...... 136
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Instrument Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor...... 165 Lampiran 2 Instrumen Kapasitas Masyarakat...... 166 Lampiran 3 Instrumen Wawancara Kapasitas Masyarakat...... 175 Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019...... 176 Lampiran 5 Tabel Sampel Satuan Lahan yang Mewakili Satuan Lahan Penelitian...... 179 Lampiran 6 Tabel Hasil Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Sampel Penelitian...... 181 Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat…………………….182 Lampiran 8 Perhitungan Indeks Kapasitas Masyarakat...... 189 Lampiran 9 Peta Persebaran Sampel Kapasitas Masyarakat...... 191 Lampiran 10 Data Curah Hujan Tahunan Stasiun Hujan Wilayah Penelitian dan Wilayah Sekitarnya...... 192 Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian …...…………..……………………………. 193
xix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia terletak pada wilayah pertemuan 3 tiga lempeng besar
dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah
pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction
zone yang mengakibatkan pembentukan gunungapi di busur kepulauan
dengan kemiringan sedang hingga terjal (Sutikno, 2001:3). Indonesia terletak
diantara dua wilayah deretan pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan
Muda Mediterania yang melalui Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan
berakhir di Maluku. Dan Pegunungan Muda Sirkum Pasifik yang dimulai dari
Pulau Sulawesi sebagai kelanjutan dari Filipina. Kedua deretan pegunungan
muda tersebut diperkirakan mengalami pertemuan di Kepulauan Sula
Maluku. Indonesia juga terletak diantara tiga lempeng tektonik dunia, yaitu
Lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik (Rijanta, 2018:5).
Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona
penunjaman atau subduction zone yang mengakibatkan pembentukan
gunungapi di busur kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal.
Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang
kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu
keseimbangan hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah
longsor. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur
kepulauan bersifat rawan terhadap tanah longsor (Sutikno, 2001:3).
1
2
Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction zone yang mengakibatkan pembentukan gunungapi di busur kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal
(Sutikno, 2001:3). Keberadaan gunung api di Indonesia selain memberikan keunggulan juga membawa berbagai bahaya seperti gunung meletus, awan panas, banjir lahar, dan tanah longsor (Rijanta, 2018:5). Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah longsor. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan terhadap tanah longsor (Sutikno, 2001:3).
Indonesia dilewati garis ekuator sehingga menerima sinar matahari sepanjang tahun. Berdasarkan posisi tersebut, secara klimatologi Indonesia termasuk dalam klasfikasi iklim sistem matahari atau beriklim tropis. Selain itu Indonesia diapit oleh dua samudera dan dua benua yang mengakibatkan curah hujan sangat tinggi. Dengan keadaan klimatologi yang sedemikian rupa menyebabkan beberapa daerah di Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi (Tjandra, 2017:8).
Pulau Jawa mempunyai sifat fisiografi yang khas, hal ini disebabkan karena beberapa keadaan. Salah satunya adalah Pulau Jawa memiliki iklim tropis dan merupakan geosiklinal muda dan jalur orogenesa dengan banyak vulkanisme yang kuat. Kondisi seperti itu mengakibatkan Jawa mempunyai bentuk yang sempit dan memanjang. Pada dasarnya dapat dibedakan 3 zona
3
pokok memanjang sepanjang pulau. Ketiga zona ini sangat berbeda baik di
Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat. Dibagian tengah dan bagian paling barat pulau Jawa, zona-zona serta jalurnya tampak kurang jelas karena menunjukan adanya perubahan-perubahan (Pannekoek, 1949:24 ).
Zona Selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang berupa plato, berlereng miring ke arah selatan menuju laut Hindia dan disebelah utara berbentuk tebing patahan. Zona ini sering terkikis sehingga kehilangannya bentuk platonya. Di Jawa Tengah sebagian dari zona ini telah diganti atau ditempati oleh dataran alluvial. Sementara zona Tengah Pulau Jawa di wilayah Jawa Timur dan sebagian dari Jawa Barat merupakan depresi. Di tempat-tempat tersebut muncul kelompok gunung berapi yang besar. Di Jawa
Tengah sebagian daerahnya diganti atau ditempati oleh rangkaian pegunungan Serayu selatan, yang mana disebelah utara berbatasan dengan depresi yang lebih kecil. Di bagian paling barat daerah Banten ditempati oleh bukit-bukit dan pegunungan. Sedangkan zona utara Pulau Jawa terdiri dari rangkaian gunung lipatan, berupa bukit-bukit rendah diselingi oleh beberapa gunungapi. Dan ini biasanya berbatasan dengan dataran alluvial (Pannekoek,
1949:24 ).
Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Pulau Jawa yang memiliki bentukan dan struktur geomorfologi yang unik, salah satu diantaranya adalah terdapat beberapa gunung berapi akibat dari proses vulkanisme. Secara geomorfologi wilayah Jawa Tengah dibagi menjadi beberapa zona wilayah dengan proses pembentukan setiap zona yang
4
berbeda-beda. Pada zona Jawa Tengah bagian selatan, proses yang terjadi adalah patahan dan pengangkatan yang menghasilkan bentuk lahan struktural patahan dan bentuk lahan karst. Zona transisi selatan dan tengah Jawa Tengah ditandai dengan adanya intrusi diorite yang merupakan hasil proses structural dan vulkanis (Keswara, 2015:4).
Zona tengah Jawa Tengah didominasi oleh bentang lahan vulkanis, zona ini ditempati oleh depresi yang diisi oleh endapan vulkanik muda. Pada zona tengah proses vulkanik yang mendominasi dibuktikan dengan adanya jajaran gunung api yang memanjang di seluruh Pulau Jawa bagian tengah antara lain Gunung Merapi, Merbabu, Slamet, Dieng, Sindoro, dan masih banyak lagi. Zona transisi zona tengah dan utara Jawa Tengah dicirikan oleh proses diapirisme, yaitu proses lipatan dari dalam bumi yang local dan permukaannya bersifat plastis yang diakibatkan oleh tekanan topografi dari daerah sekitarnya. Sedangkan zona utara Jawa Tengah yang didominasi oleh proses struktural lipatan, yang terdiri dari rangkaian gunung lipatan berupa bukit-bukit rendah atau pegunungan dan diselingi oleh beberapa gunung- gunung api dan biasanya berbatasan dengan dataran aluvial (Keswara,
2015:4).
Kabupaten Banjarnegara menurut geomorfologi Jawa Tengah merupakan bagian dari zona tengah Jawa Tengah yang merupakan bagian dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relative bergelombang dengan lereng setengah terjal hingga terjal, dimana gunung- gunungnya memiliki kemiringan lereng antara 15-40% yang beresiko terjadi
5
tanah longsor (Keswara, 2015:4). Stratigrafi Kabupaten Banjarnegara terdiri dari batuan yang tertua yaitu batuan molion (metamorf) yang terdiri dari sekis kristalin, sabak, filit, kuarsit, dan batuan gamping (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 2018:23).
Kabupaten Banjarnegara memiliki intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi, yaitu antara intensitas 3000->3500 mm/tahun (Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2019). Dengan curah hujan yang tinggi tersebut menyebabkan tanah menjadi jenuh air, dan akibatnya akan melemahkan ikatan partikel tanah. Molekul air menyusup ke partikel tanah dan menjadi katalisator proses gelinciran antara partikel dan menyebabkan terjadinya tanah longsor (Suranto, 2008:2).
Kabupaten Banjarnegara banyak dilalui oleh jalur patahan terutama di sekitar daerah terjadinya tanah longsor, hal ini merupakan faktor pengontrol yang dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor yaitu sehingga memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak.
Jalur-jalur patahan itu mengakibatkan ikatan lapisan antar batuan penyangga tanah saling terbelah dan rapuh (Ayudya, 2017:2).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2014:30) menyatakan bahwa dari berbagai jenis bencana yang pernah terjadi di Provinsi Jawa
Tengah, tanah longsor merupakan jenis bencana alam yang paling sering terjadi dibandingkan jenis bencana alam lainnya, yakni sebanyak 485 kali kejadian atau sekitar 29,6 % dari total kejadian bencana alam. Kabupaten
Banjarnegara merupakan kawasan yang mempunyai frekuensi terjadinya
6
gerakan tanah yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Jawa
Tengah Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten
Banjarnegara (2019:5), pada tahun 2016 telah terjadi 116 kejadian tanah longsor yang tersebar di wilayah Kabupaten Banjarnegara. Sementara pada tahun 2017 sebanyak 112 kejadian tanah longsor dari total 157 bencana alam yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Dan pada tahun 2018 terjadi 152 kejadian tanah longsor dari total 233 bencana alam yang terjadi di Provinsi
Jawa Tengah.
Wilayah yang rawan terjadinya gerakan tanah dapat dijumpai pada kawasan Banjarnegara bagian utara, hal ini ditunjukkan oleh morfologi atau topografi yang sebagian besar mempunyai sudut lereng >30º (Hutomo,
2016:30). Jenis batuan penyusun terdiri dari batu lempung, breksi, batu pasir dari formasi rambatan yang juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah di kawasan ini (Warnadi, 2012:35).
Faktor penyebab lainnya yaitu pendayagunaan sumberdaya alam secara tidak teratur atau melampaui daya dukungnya akan memicu terjadinya bencana. Nilai suatu lahan yang rendah atau mempunyai kondisi geologi dan jenis medan yang kurang baik jika tidak diperhatikan secara cermat dalam perluasan lahan usahanya, akan mengundang bencana alam tanah longsor
(Verstappen, 1983:50).
Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya (BPS, 2019:67) menyebabkan kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal dan aktivitas ekonomi meningkat. Pembangunan permukiman
7
diarahkan pada daerah yang memiliki lahan yang sesuai peruntukkannya sebagai kawasan permukiman, diantaranya adalah wilayah datar, kemiringan
<15%, drainase tanah baik, daya dukung tanah baik, dan tanah tidak peka erosi (Baperlitbang, 2005:53). Akan tetapi karena sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan terjal dengan tingkat kelerengan yang curam maka penduduk terpaksa menempati lokasi yang tidak layak huni seperti di daerah perbukitan dan lereng pegunungan sebagai kawasan permukiman dan sebagai lahan pertanian.
Kecamatan Karangkobar merupakan salah satu wilayah di
Kabupaten Banjarnegara yang rawan terhadap tanah longsor. Sepanjang tahun 2018 telah terjadi 23 kali tanah longsor atau 15% kejadian tanah longsor terjadi di Kecamatan Karangkobar dari total 152 kejadian tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Dimana jumlah kejadian tanah longsor yang terjadi tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Banjarnegara. Tanah longsor yang terjadi pada tahun 2018 menyebabkan kerugian yang berupa 6 orang luka-luka, 4 kepala keluarga terancam, 2 rumah rusak berat, 1 rumah rusak ringan, dan 8 rumah rusak sedang. Tanah longsor juga menyebabkan rusaknya 10 infrastruktur yang berupa jalan dan jembatan (BPBD, 2019:6).
Kejadian tanah longsor di Kecamatan Karangkobar tersebar hampir merata di seluruh wilayahnya. Tanah longsor tersebut ada yang terjadi pada kawasan permukiman maupun pada kawasan non-permukiman seperti kebun dan tegalan (Hutomo, 2016:304). Dilihat dari letaknya Kecamatan
8
Karangkobar terletak di daerah pegunungan yang memiliki resiko tanah longsor yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten
Banjarnegara (Parmanto, 2015:4).
Bencana tanah longsor yang terjadi menyebabkan masyarakat mengalami kerugian baik pada aspek fisik dan aspek nonfisik. Kerugian dari aspek fisik berupa kerusakan bangunan tempat tinggal, tertutupnya akses jalan utama, kerusakan sawah dan kebun milik warga, dan tertutupnya sungai akibat terkena longsoran. Sedangkan kerugian bencana tanah longsor jika dilihat dari aspek non fisik adalah berupa kerugian dari aspek psikologis masyarakat. Tingginya tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakat yang akibat bencana alam disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh masayarakat akan kemungkinan-kemungkinan bencana yang terjadi disekitarnya, sehingga kesadaran masyarakat akan bencana menjadi sangat minim.
Bencana tanah longsor yang sewaktu-waktu dapat mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan analisis mengenai tingkat ancaman tanah longsor untuk mengetahui persebaran wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Sementara analisis tingkat kapasitas masyarakat dilakukan untuk mengetahui kemampuasn daerah dan masyarakat dalam menghadapi bahaya tanah longsor, sebagai upaya pencegahan semakin meningkatnya jumlah korban dan kerugian yang terjadi akibat adanya tanah longsor.
9
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar?
2. Bagaimana kapasitas masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat
ancaman tanah longsor tinggi?
C. TujuanPenelitian
1. Mengetahui tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar.
2. Mengetahui kapasitas masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat
ancaman tanah longsor tinggi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini memberikan informasi mengenai tingkat
ancaman dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tanah
longsor di lokasi penelitian.
b. Menambah pengetahuan serta lebih mendukung teori-teori yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c. Sebagai dasar untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Bagi peneliti
Memperoleh pengalaman langsung dalam mengkaji informasi dari
masyarakat mengenai bencana tanah longsor di Kecamatan Karangkobar
Kabupaten Banjarnegara. Dan pengalaman dalam melakukan analisis
terkait kapasitas masyarakat terhadap bahaya tanah longsor yang terjadi
di lokasi penelitian.
10
b. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
masukan bagi berbagai pihak terkait, seperti Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Banjarnegara dalam mengambil kebijakan terkait dengan
upaya pengurangan resiko bencana.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai ancaman daerah terhadap bahaya tanah
longsor dan kapasitas masyarakat yang ada di daerah tersebut.
E. Batasan Istilah
1. Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi
menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan asset atau kehancuran
lingkungan hidup (Peraturan Kepala BNPB No 1 Tahun 2012:10).
Ancaman yang dibahas pada penelitian ini adalah ancaman wilayah
penelitian dari kejadian atau peristiwa tanah longsor.
2. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan masa tanah atau batuan
maupun percampuran dari keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (Peraturan
Kepala BNPB No 4 Tahun 2008:11).
3. Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan
tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian akibat bencana secara
terstruktur, terencana dan terpadu (Peraturan Kepala BNPB No 3 Tahun
11
2012:8). Pada penelitian ini kapasitas yang dibahas adalah kemampuan
daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman
dan potensi kerugian akibat bencana tanah longsor.
4. Masyarakat adalah sekelompok individu yang tinggal dalam suatu tempat
tertentu, saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama, mempunyai
adat-istiadat dan aturan-aturan tertentu dan lambat laun membentuk sebuah
kebudayaan (Cahyono, 2016:149).
Ancaman merupakan suatu fenomena atau peristiwa yang
berpotensi menyebabkan kerusakan. Peristiwa yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah tanah longsor, yang merupakan gerakan material
pembentuk lereng baik berupa tanah atau batuan yang diakibatkan oleh
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
Kapasitas masyarakat adalah kemampuan daerah dan masyarakat dalam
menghadapi ancaman yaitu peristiwa tanah longsor, sehingga dapat
mengurangi kerugian atau dampak yang dapat ditimbulkan dari ancaman
tanah longsor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritis
1. Ancaman Tanah Longsor
a. Ancaman
Ancaman adalah kejadian atau peristiwa yang berpotensi
menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan aset atau kehancuran
lingkungan hidup. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa
yang dapat menimbulkan bencana (Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No 2 Tahun 2012). Sedangkan menurut
Purnama (2017:5) bahaya (Hazards) adalah fenomena alam luar biasa
yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia,
kehilangan harta-benda, kehilangan mata pencaharian, dan kerusakan
lingkungan.
Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa
menimbulkan bencana (Undang-Undang No 24 Tahun 2007). Dimana
penilaian ancaman bencana pada suatu wilayah sangat penting dilakukan
untuk mengenali ancaman bencana yang ada pada wilayah tersebut,
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyeusun langkah-langkah
atau kegiatan penanggulangan bencana.
b. Tanah Longsor
1) Pengertian Tanah Longsor
12
13
Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan maupun percampuran dari keduanya, menuruni atau keluar
lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun
lereng (Peraturan Kepala BNPB No 4 Tahun 2008:11). Dimana proses
terjadinya tanah longsor berawal dari air yang meresap ke dalam tanah
akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah
kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi
licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng
(Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2005).
Tanah longsor merupakan suatu proses perpindahan masa
tanah/batuan, dengan arah miring dari kedudukan semula (sehingga
terpisah dari massa yang mantap) karena pengaruh gravitasi, dengan
jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi (Suharini, 2009:184).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
22/PRT/M/2007 tanah longsor adalah suatu proses perpindahan masa
tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga
terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dengan
jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi.
2) Penyebab Tanah Longsor
Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada
tanah atau batuan penyusun lereng. Menurut Puturuhu (2015:221)
penyebab longsoran dapat dibedakan menjadi proses pemicu longsoran
dan faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng.
14
a) Proses pemicu longsoran
(1) Peningkatan kandungan air di dalam lereng, sehingga akan
terjadi akumulasi air pada tanah yang merenggangkan ikatan
antar butir tanah dan pada akhirnya mendorong butir-butir tanah
untuk longsor. Peningkatan kandungan air ini sering disebabkan
oleh meresapnya air hujan, air kolam atau selokan yang bocor
atau air sawah ke dalam lereng (Nurjanah (2011:8).
(2) Getaran pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan,
penggalian, getaran alat atau kendaraan. Gempa bumi pada tanah
pasir dengan kandungan air sering mengakibatkan tanah
kehilangan kekuatan geser dan daya dukung, yang diiringi
dengan penggenangan tanah oleh air dari bawah tanah (Suranto,
2008:29).
(3) Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat
geser tanah. Beban yang berlebihan ini daoat berupa beban
bangunan ataupun npohon-pohon yang terlalu rimbun dan rapat
yang ditanam pada lereng lebih curam dari 40 derajat (Nurjanah
(2011:8).
(4) Pemotongan kaki lereng secara sembarangan yang
mengakibatkan lereng kehilangan gaya penyangga (Karnawati,
2003:31). b) Faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng
15
(1) Penggundulan hutan, tanah longsor umumnya banyak terjadi di
daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat
kurang (Nurjanah, 2011:17).
(2) Bahan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir
dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya
kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila
mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap
tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal (Nurjanah,
2011:17).
(3) Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah
liat dengan ketebalan lebih dari 2.5 m dan sudut lereng cukup
tinggi memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama
bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap
pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah
ketika hawa terlalu panas (Karnawati, 2003:33).
(4) Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November
karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang
panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di
permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu menyebabkan
munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan
dan merekahnya tanah permukaan (Nurjanah (2011:8).
16
(5) Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya
pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air
sungai, mata air, air laut, dan angin (Puturuhu, 2015:225).
(6) Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,
perladangan, dan adanya genangan air di daerah lereng yang
terjal. Pada lahan persawahanakarnya kurang kuat untuk
mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan
jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan
untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar
pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam
dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama (Purnama,
2017:23).
Menurut Rijanta (2018:21) longsor merupakan salah satu
jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran
keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya
kestabilan tanah atau btuan penyusun lereng. Penyebab utama dari
longsor adalah gaya gravitasi yang mempengaruhi lereng yang
curam. Selain itu terdapat pula beberapa faktor lain yang juga dapat
mempengaruhi terjadinya longsor seperti erosi, gempabumi, dan
lain-lain.
3) Jenis-jenis Tanah Longsor
17
Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
(2004:3) terdapat 6 jenis tanah longsor. a) Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya masa tanah dan
batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang
landai. Longsoran translasional merupakan gerakan di sepanjang
diskontinuitas atau bidang lemah yang secara pendekatan sejajar
dengan permukaan lereng, sehingga gerakan tanah secara translasi.
Dalam tanah lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan tipis
pasir atau lanau, khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar
dengan lereng yang ada. Longsoran translasi lempung yang
mengandung lapisan pasir atau lanau, dapat disebabkan oleh tekanan
air pori yang tinggi dalam pasir atau lanau tersebut (Arif, 2015:13). b) Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi mempunyai bidang longsor melengkung ke
atas, dan sering terjadi pada masa tanah yang bergerak dalam satu
kesatuan. Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material
yang relatif homogen seperti timbunan buatan atau tanggul (Suranto,
2008:25). c) Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak
pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga
longsoran translasi blok batu (Nurjanah, 2011:13).
18
d) Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika batuan atau material lain dengan
jumlah besar bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya
runtuhan batu terjadi pada daerah lereng yang terjal hingga
menggantung terutama di daerah pantai. Batu besar yang jatuh
tersebut dapat menyebabkan kerusakan yang parah (Suranto,
2008:25).
e) Rayapan Tanah
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak
secara lambat. Jenis tanah yang longsor adalah berupa butiran kasar
dan halus, jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.
Setelah waktu yang cukup lama longsoran jenis rayapan ini bisa
menyebabkan tiang seperti telepon, pohon, atau rumah miring ke
bawah (Nurjanah, 2011:13).
f) Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika masa tanah bergerak
didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan
lereng, volume dan tekanan air, serta jenis materialnya. Gerakannya
terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter
jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di
daerah aliran sungai disekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat
menelan korban yang cukup banyak (Rijanta, 2018:28).
4) Parameter Ancaman Tanah Longsor
19
Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
(2004:3) terdapat beberapa parameter lingkungan fisik yang mempengaruhi tingkat ancaman tanah longsor. a) Kemiringan Lereng
Pada dasarnya daerah perbukitan atau pegunungan yang
membentuk lahan miring merupakan daerah rawan terjadi gerakan
tanah. Kelerengan dengan kemiringan lebih dari 20° (atau sekitar
40%) memiliki potensi untuk bergerak atau longsor, namun tidak
selalu lereng atau lahan yang miring punya potensi untuk longsor
tergantung dari kondisi geologi yang bekerja pada lereng tersebut
(Suranto, 2008:30). Lereng atau tebing yang terjal akan
memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena
pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan
sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180˚ apabila ujung
lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar (Puturuhu,
2015:223).
Karnawati (2003:30) menjelaskan bahwa dari beberapa kajian
terhadap kejadian longsor dapat teridentifikasi tiga tipologi lereng
yang rentan untuk bergerak atau longsor, antaralain lereng yang
tersusun oleh tumpukan tanah residu yang dialasi oleh batuan atau
tanah yang lebih kompak, lereng yang tersusun oleh perlapisan
batuan yang miring searah kemiringan lereng maupun berlawanan
20
dengan kemiringan lereng, dan lereng yang tersusun oleh blok-blok
batuan.
Klasifikasi kemiringan lereng yang digunakan dalam
penelitian adalah klasifikasi menurut SK Menteri Pertanian Nomor
837/KPTS/UM/1980, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.1
sebagai berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng No Kemiringan Skor Kelas lereng % 1 0 - 8% 1 Datar 2 8 – 15% 2 Landai 3 15 - 25% 3 Agak curam 4 25 - 45% 4 Curam 5 >45% 5 Sangat curam Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980. b) Kondisi Tanah
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau
tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih
dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi yang cukup tinggi untuk
terjadi tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini
juga sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi
lembek ketika terkena air dan pecah ketika udara terlalu panas
(Departemen ESDM, 2005 :4).
Potensi terjadinya gerakan tanah pada lereng tergantung pada
kondisi tanah dan batuan penyusunnya, dimana salah satu proses
geologi yang menjadi penyebab utama terjadinya gerakan tanah
adalah pelapukan batuan (Suranto 2008:32). Jenis tanah yang
21
kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika udara terlalu panas (Nurjanah, 2011:13).
Tanah gembur yang banyak menyusun lereng dengan tipologi pertama umumnya tebal, dapat mencapai ketebalan lebih dari 4 m, dan mudah meloloskan air. Tanah ini umumnya merupakan tanah- tanah residual (tanah hasil pelapukan batuan yang belum tertransport dari tempat terbentuknya) atau tanah kolovial yang berukuran butir lempungan, lanauan atau lempung pasiran. Tanah tersebut bersifat lengket apabila basah tetapi berubah menjadi retak-retak dan getas apabila kering. Umumnya pada bagian bawah dari lapisan tanah tersebut terdapat perlapisan tanah atau batuan yang bersifat lebih kompak dan kedap air (Karnawati, 2003:32).
Air hujan yang turun hanya terakumulasi pada tanah, karena sulit untuk menembus batuan yang mengalasi tanah tersebut.
Akhirnya tanah pada lereng bergerak dengan bidang luncur lengkung (nendatan) atau bidang luncur lurus (luncuran), apabila kekuatan air yang terakumulasi di dalam tanah menekan atau merenggangkan ikatan antar butiran-butiran tanah melampaui kemampuan tanah untuk tetap bertahan stabil pada lereng. Bidang
22
kontak antara batuan yang lebih kompak dan kedap air dengan tanah
residual yang lemah dan sensitif untuk bergerak apabila ada tekanan
air (Karnawati, 2003:32). Klasifikasi jenis tanah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah klasifikasi menurut SK Menteri
Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980, yang secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi Kepekaan Jenis Tanah terhadap Erosi No Jenis tanah Skor Tingkat erosi 1 Alluvial, Glei 1 Tidak peka 2 Latosol 2 Sedikit peka 3 Brown Forest, Mediteran 3 Agak peka 4 Andosol, Grumosol, 4 Peka Podsol 5 Regosol, Litosol, 5 Sangat peka Organosol Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980. c) Curah hujan
Curah hujan akan meningkatkan presepitasi dan kejenuhan
tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal ini terjadi pada lereng
dengan material penyusun (tanah dan atau batuan) yang lemah maka
akan menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah atau batuan dan
menambah berat massa tanah, pada dasarnya ada dua tipe hujan
pemicu terjadinya longsor, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm
hingga 100 mm perhari dan hujan kurang deras namun berlangsung
menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian
disusul dengan hujan deras sesaat (Karnawati, 2003:34).
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada awal bulan
November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim
23
kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di
permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan
munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan
merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke
bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang
kembali.. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor,
karena melalui tanah yang merekah tersebut air akan masuk dan
terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan
lateral (Departemen ESDM, 2005:4).
Hujan juga dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan
yang dapat menyebabkan terjadinya erosi pada kaki lereng dan
berpotensi menambah besaran sudut kelerengan yang akan
berpotensi menyebabkan longsor (Karnawati, 2003:34). Klasifikasi
curah hujan yang digunakan dalam penelitian adalah klasifikasi
menurut Puslit Tanah, 2004, yang secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 2.3 sebagai berikut.
Tabel 2.3 Klasifikasi Intensitas Curah Hujan No Curah hujan Skor Kategori (mm/tahun) 1 <2000 1 Sangat Kering 2 2000-2500 2 Kering 3 2500-3000 3 Sedang/Lembab 4 3000-3500 4 Basah 5 >3500 5 Sangat Basah Sumber: Puslit Tanah, 2004. d) Penggunaan lahan
24
Penggunaan lahan merupakan bagian dari aktivitas manusia, secara umum yang dapat menyebabkan longsor adalah aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur seperti pemotongan lereng yang merubah kelerengan, hal ini juga akan merubah aliran air permukaan dan muka air tanah. Penggundulan hutan maupun penggunaan lahan yang tidak memperhatikan ekosistem dapat pula memicu terjadinya gerakan tanah dan erosi
(Suranto, 2008:42).
Tanah longsor banyak terjadi di daerah penggunaan lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran (Departemen ESDM, 2005:7).
Karnawati (2003:35) menjelaskan bahwa penanaman pada lereng juga harus memperhatikan jarak dan pola tanam yang tepat.
Penanaman tanaman budidaya yang berjarak terlalu rapat dan lebat dapat berakibat menambah pembebanan pada lereng sehingga menambah gaya penggerak tanah pada lereng. Perlindungan sistem hidrologi kawasan untuk menghindari air banyak meresap masuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor. Upaya penanaman
25
kembali lereng yang gundul dengan jenis tanaman yang tepat pada
daerah hulu atau daerah resapan juga berperan penting dalam
memulihkan sistem hidrologi yang telah terganggu. Penanaman
vegetasi yang tepat sangat penting dalam mengendalikan laju air
yang mengalir ke arah hilir atau ke arah lereng bawah (Suranto,
2008:33). Klasifikasi intensitas curah hujan yang digunakan dalam
penelitian adalah klasifikasi menurut Puslit Tanah, 2004, adapun
secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebagai berikut.
Tabel 2.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan No Kelas tataguna lahan Skor Tingkat erosi 1 Hutan tidak sejenis 1 Tidak peka terhadap erosi 2 Hutan sejenis 2 Kurang peka terhadap erosi 3 Perkebunan 3 Agak peka terhadap erosi 4 Permukiman, Sawah, 4 Peka terhadap erosi Kolam 5 Tegalan, Tanah 5 Sangat peka terhadap erosi terbuka Sumber: Karnawati (2003:41). e) Tekstur Tanah
Tekstur tanah adalah sifat fisik tanah yang menunjukkan
kasar halusnya tanah, berdasarkan atas perbandingan banyaknya
butir-butir atau fraksi pasir, debu, dan lempung (Tjahjono, 2007:26).
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara 3 golongan
besar partikel tanah dalam suatu masa tanah, terutama perbandingan
antara fraksi lempung (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Semakin
halus tekstur semakin luas permukaan butir tanah, maka semakin
banyak kemampuan menyerap air, sehingga semakin besar
peranannya terhadap kejadian tanah longsor (Sartohadi, 2012:49).
26
Klasifikasi tekstur tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembagian tekstur tanah menurut Sartohadi (2012:49), yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut.
Tabel 2.5 Klasifikasi Tekstur Tanah No Tekstur Tanah Skor 1 Pasir, pasir geluhan 1 2 Geluh pasiran, geluh pasiran sangat halus 2
3 Geluh, geluh berpasir sangat halus, geluh 3 berdebu, geluh berlempung 4 Lempung berdebu, lempung berpasir 4 5 Lempung 5 Sumber: Sartohadi (2012:49). Dalam penelitian ini untuk menilai tekstur tanah digunakan acuan penentuan tekstur tanah berdasarkan jenis tanah menurut
Sartohadi (2012:115-119) yang disertai dengan uji tekstur tanah di lapangan. Adapun acuan tekstur tanah berdasarkan jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.6 sebagai berikut.
Tabel 2.6 Klasifikasi Tekstur Tanah Berdasarkan Jenis Tanah No Jenis Tanah Tekstur Tanah 1 Oeganosol Debu, lempung 2 Aluvial Lempung, pasir 3 Regosol Pasir 4 Litosol Lempung, geluh, pasir 5 Latosol Lempung 6 Grumusol Lempung berat 7 Podsolik Merah Kuning Lempung, lempung berpasir 8 Podsol Lempung, geluh, pasir 9 Andosol Geluh berdebu 10 Mediteran Merah Kuning Geluh, lempung 11 Aluvial Hidromorf Kelabu Geluh, lempung (Gleisol) Sumber: Sartohadi (2012:115-119).
27
f) Drainase Tanah
Drainase tanah adalah sifat tanah yang menyatakan kecepatan
berpindahnya air dari sebidang tanah baik dalam pentuk pengaliran
atau limpasan air maupun yang meresap ke dalam tanah. Mudah
tidaknya air hilang dari tanah menentukan kelas drainase tanah
tersebut. Kelas drainase ditentukan di lapangan dengan melihat
adanya gejala-gejala pengaruh air di dalam penampang tanah
(Tjahjono, 2007:26). Semakin baik drainase suatu tanah maka
semakin kecil potensi tanah longsor, sedangkan semakin buruk
drainase suatu tanah maka semakin tinggi potensi tanah longsor
pada tanah tersebut (Sartohadi, 2012:173).
Klasifikasi drainase tanah yang digunakan dalam penelitian
ini adalah klasifikasi menurut Sartohadi (2012:173), adapun secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 2.7 sebagai berikut.
Tabel 2.7 Kriteria Drainase Tanah No Kritieria Drainase Tanah Skor 1 Baik 1 2 Agak baik 2 3 Agak buruk 3 4 Buruk 4 5 Sangat buruk 5 Sumber: Sartohadi (2012:173). g) Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah merupakan lapisan dari permukaan sampai
beberapa centimeter di bawah permukaan yang merupakan horizon-
28
horison tanah. Kedalaman tanah diukur dari profil tanah yang terdiri
dari horizon O (organik), horizon A (horizon pencucian), horizon B
(penumbukan), dan horizon C (bahan lapuk) (Sartohadi, 2012:164).
Di dalam horizon tanah berlangsung berbagai proses seperti
infiltrasi dan perkolasi yang dipengaruhi oleh tekstur tanah. Pada
solum tanah dalam akan menerima dan menyimpan air lebih besar
dibandingkan dengan solum tanah dangkal, yang berpengaruh pada
masa agregat tanah. Sehingga tanah dengan horizon dalam akan
lebih berpotensi terhadap terjadinya tanah longsor dibandingkan
dengan tanah yang horizonnya dangkal (Rudiyanto, 2010).
Klasifikasi kedalaman tanah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah klasifikasi menurut Sartohadi (2012:164), dimana secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 2.8 sebagai berikut.
Tabel 2.8 Klasifikasi Kedalaman Tanah No Kriteria Kedalaman Skor 1 Sangat dangkal <20 cm 1 2 Dangkal 20-25 cm 2 3 Sedang 25-40 cm 3 4 Dalam 40-50 cm 4 5 Sangat Dalam >50 cm 5 Sumber: Sartohadi (2012:164).
2. Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor
Kondisi lingkungan yang berada di daerah rawan menyebabkan
masyarakat berada pada kondisi yang rentan. Bencana terjadi ketika
29
masyarakat tidak dapat mengatasi kerentanan tersebut. Kerentanan menjadi tidak tertanggulangi karena kecepatan adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan sekitarnya (yang meningkatkan kerentanan) jauh tertinggal dari kecepatan perubahan lingkungan itu sendiri (Suranto,
2008:40). a. Kapasitas
1) Pengertian Kapasitas
Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk
melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian
akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu (Peraturan
Kepala BNPB No 3 Tahun 2012:8).
Kapasitas merupakan suatu kombinasi dari semua kekuatan
yang ada pada suatu kelompok masyarakat, sosial ataupun organisasi
yang dapat mengurangi dampak dari suatu resiko atau dampak dari
suatu bencana (ISDR 2004:71). Sedangkan menurut Suranto,
(2008:40) kapasitas adalah sumberdaya, cara dan kekuatan yang
dimiliki oleh seseorang, masyarakat atau negara yang memungkinkan
untuk menanggulangi, mempertahankan diri, mempersiapkan diri,
mencegah dan memitigasi atau dengan cepat memulihkan diri dari
suatu bencana.
Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk
melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian
akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu. Konsep
30
dasarnya adalah bahwa seseorang terlemah sekalian di dalam suatu
komunitas mempunyai beberapa ketrampilan, sumberdaya, kekuatan,
dan kemampuan untuk dapat menolong dirinya sendiri dan bahkan
sangat dimungkinkan untuk dapat menolong orang lain yang ada di
sekitarnya (Suranto, 2008:40).
Kapasitas merupakan seperangkat kemampuan yang
memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan daya tahan dirinya
terhadap dampak bahaya yang dapat mengancam atau merusak, dan
dapat meningkatkan ketahanan serta kemampuan masyarakat untuk
mengatasi dampak dari kejadian yang membahayakan. Kekuatan atau
potensi yang ada pada diri setiap individu dan kelompok sosial.
Kapasitas ini dapat berkaitan dengan segala sumberdaya,
keterampilan, pengetahuan, kemampuan organisasi dan sikap untuk
bertindak dan merespon suatu keadaan krisis (Bayuaji 2016:328).
2) Parameter Kapasitas dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor
Penilaian tingkat kapasitas dinilai berdasarkan Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2012
yang menggunakan 5 parameter dan terdiri dari 22 indikator Kerangka
Aksi Hyogo yang dikembangkan untuk memastikan pengurangan
kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat serta negara-
negara akibat bencana (Rahman, 2017:1).
Panduan penilaian kapasitas menggunakan 5 parameter dan 22
indikator Kerangka Aksi Hyogo yang terdapat dalam Peraturan Kepala
31
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka BNPB) No 03
Tahun 2012 tentang panduan penilaian kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana. Menurut Peraturan Kepala BNPB (2012:4-
6) parameter dan indikator yang digunakan untuk menilai kapasitas masyarakat adalah sebagai berikut. a) Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana
Parameter aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana
terdiri dari 4 indikator yaitu kerangka hukum dan kebijakan
nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana telah ada dengan
tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang
pemerintahan, tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus
untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di semua tingkat
pemerintahan, terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas
melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal,
dan berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk
pengurangan risiko bencana. b) Peringatan dini dan kajian risiko bencana
Parameter peringatan dini dan kajian risiko bencana terdiri dari 4 indikator antaralain tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah, tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama, iinformasi data pendukung kajian risiko yang diperbarui secara periodik tersebut juga dapat dilihat (diakses) dan dijadikan referensi bagi daerah lain,
32
dan penilaian Risiko Daerah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas guna menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan risiko. c) Pendidikan kebencanaan
Parameter pendidikan kebencanaan terdiri dari 4 indikator
yaitu tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan
dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan
(melalui jejaring, pengembangan sistem untuk berbagi informasi,
kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan
mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai
pengurangan risiko bencana dan pemulihan, tersedianya metode
riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat-biaya
(cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan
kualitas hasil riset, dan diterapkannya strategi untuk membangun
kesadaran seluruh komunitas yang ada dalam melaksanakan praktik
budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara
luas baik di perkotaan maupun pedesaan. d) Pengurangan faktor risiko dasar
Parameter pengurangan faktor resiko dasar terdiri dari 6 indikator antaralain pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, rencana-rencana dan kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya dari suatu bencana, rencana-
33
rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi, perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan, langkah- langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses- proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana, dan siap sedianya prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek- proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur. e) Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini
Parameter pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini
terdiri dari 4 indikator yaitu tersedianya kebijakan, kapasitas teknis
kelembagaan, serta tersedianya mekanisme penanganan darurat
bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko bencana
dalam pelaksanaannya, tersedianya rencana kontinjensi bencana
yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan,
latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan
program-program tanggap darurat bencana, tersedianya cadangan
finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk
mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan
pasca bencana, dan tersedianya prosedur yang relevan untuk
melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi
yang relevan selama masa tanggap darurat (Perka BNPB No 03
Tahun 2012:6).
34
Indeks kapasitas masyarakat diklasifikasikan menjadi 3 kelas,
yaitu rendah, sedang, dan tinggi yang dapat dilihat pada Tabel 2.9
sebagai berikut.
Tabel 2.9 Indeks Kapasitas Masyarakat
No Indeks Kelas
1 0 - 0.33 Rendah
2 0.33 – 0.66 Sedang
3 >0.66 Tinggi
Sumber: Perka BNPB No 2 Tahun 2012. b. Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok individu yang tinggal dalam suatu
tempat tertentu, saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama,
mempunyai adat-istiadat dan aturan-aturan tertentu dan lambat laun
membentuk sebuah kebudayaan (Cahyono, 2016:149).
Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, bergaul
selama jangka waktu cukup lama, adanya kesadaran, bahwa setiap
manusia merupakan bagian dari satu kesatuan (Cahyono, 2016:150).
Cahyono (2016:150) menjelaskan bahwa unsur-unsur perasaan
masyarakat terdiri dari seperasaan, sepenanggungan, dan saling
memerlukan. Sedangkan tipe-tipe masyarakat terdiri dari 4 kriteria yaitu
jumlah penduduk, luas, kekayaan dan kepadatan penduduk daerah
pedalaman, fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh
masyarakat, dan organisasi masyarakat yang bersangkutan.
35
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dari penelitian-
penelitian terdahulu yang terkait dengan ancaman dan kapasitas masyarakat
terhadap bencana tanah longsor. Penelitian yang digunakan sebagai rujukan
ditulis oleh Dhuha Ginanjar Bayuaji dkk pada tahun 2015 ddengan lokasi di
Kabupaten Banjarnegara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan adalah pada parameter penyebab tanah longsor dan pada metode
analisis data resiko tanah longsor, yaitu analisis system informasi geografis
dan metode skoring. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini
membandingkan resiko tanah longsor dengan menggunakan 2 metode yaitu
AHP dan SNI, sementara penelitian yang dilakukan hanya menggunakan
analisis skoring saja.
Penelitian terdahulu kedua yang digunakan ditulis oleh Khori Sugianti
dkk, yang berlokasi di daerah Sumedang Selatan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengklasifikasi tingkat gerakan tanah di daerah Sumedang Selatan.
Hasil dari penelitian ini adalah berupa peta kerentanan gerakan tanah metode
storie. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dibuat adalah pada
parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi tanah longsor dan pada
metode yang digunakan longsor yaitu metode skoring pada masing-masing
parameter tanah longsor. Sedangkan perbedaannya adalah pada variabel,
dimana penelitian ini mengidentifikasi kerentanan sedangkan penelitian yang
dilakukan mengidentifikasi ancaman. Selain menggunakan analisis skoring,
36
penelitian ini menggunakan metode storie untuk mengidentifikasi kerentanan tanah longsor.
Penelitian yang digunakan ditulis oleh Pranata Diyah Susanti pada tahun 2017 di Kabupaten Banjarnegara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah pada ancaman bencana yang digunakan yaitu tanah longsor, parameter yang digunakan dalam penelitian, teknik analisis yang digunakan yaitu analisis system informasi geografis dan scoring, serta pada wilayah penelitian yaitu Kabupaten Banjarnegara.
Sedangkan perbedaannya adalah pada variabel dan lingkup wilayah penelitian. Pada penelitian ini variabel penelitian berupa kerentanan tanah longsor, sedangkan penelitian yang dilakukan focus pada ancaman tanah longsor. Selain itu penelitian ini focus wilayah penelitian berupa satu wilayah kabupaten, sedangkan penelitian hanya berfokus pada satu wilayah kecamatan.
Penelitian yang digunakan ditulis oleh Muhammad Khasyir, dkk pada tahun 2016. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti ancaman dan kapasitas masyarakat terhadap bencana tanah longsor, serta persamaan pada teknik analisis data yaitu analisis system informasi geografis dan scoring. Sedangkan perbedaannya adalah pada lokasi penelitian dan kajian, penelitian ini sampai pada tahap menganalisis resiko bencana tanah longsor. Sementara penelitian yang dilakukan hanya sampai pada tahap mengidentifikasi ancaman tanah longsor dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi tanah longsor.
37
Penelitian terdahulu yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam penelitian ditulis oleh Wahyuni, Eldina, dkk. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dibuat adalah pada variabel penelitian yaitu kapasitas masyarakat, parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi kapasitas masyarakat yang menggunakan dasar dari Perka BNPB No 3 tahun 2012 dan pada metode analisis yang digunakan dalam penelitian, yaitu analisis skoring melalui teknik pengumpulan data dokumentasi, survey, wawancara, dan kuesioner. Sedangkan perbedaannya adalah pada tujuan awal penelitian dan bencana yang terjadi, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan terhadap banjir bandang, sedangkan penelitian yang dilakukan bertujuan mengetahui tingkat ancaman terhadap tanah longsor.
Penelitian terdahulu yang selanjutnya yang digunakan ditulis oleh
Jaswadi, R. Rijanta pada tahun 2018 di Kecamatan Pasarkliwon. Persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dibuat adalah pada tujuan yaitu sama-sama mengidentifikasi kapasitas masyarakat melalui metode pengumpulan data yang berupa kuesioner. Sedangkan perbedaannya adalah pada wilayah dan pada parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi kapasitas masyarakatnya. Untuk menilai kapasitas masyarakat, penelitian ini menggunakan persepsi dan cara masyarakat dalam menghadapi bencana, sedangkan pada penelitian yang dilakukan menggunakan parameter penilaian kapasitas masyarakat dari BNPB.
Penelitian terdahulu yang digunakan selanjutnya ditulis oleh Nezar
Ely Mohammad, dkk pada tahun 2018 di Kecamatan Banyubiru. Persamaan
38
antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dibuat adalah pada tujuan penelitian yaitu sama-sama mengidentifikasi kapasitas masyarakat melalui metode pengumpulan yang berupa kuesioner. Perbedaannya adalah wilayah penelitian dan perbedaan pada parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi kapasitas masyarakat. Penelitian ini menggunakan parameter desa tangguh bencana dari BNPB sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan parameter pedoman penilaian kapasitas masyarakat dari BNPB.
Penelitian terdahulu yang digunakan ditulis oleh Amni Zarkasyi
Rahman pada tahun 2017 di Kabupaten Banjarnegara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama mengidentifikasi kapasitas masyarakat menghadapi bahaya tanah longsor dengan menggunakan acuan parameter dari BNPB. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini hanya bertujuan mengidentifikasi kapasitas masyarakat, sementara penelitian yang dilakukan juga mengidentifikasi ancaman tanah longsor. Selain itu terdapat pula perbedaan pada cakupan wilayah penelitian, dimana penelitian ini cakupannya merupakan wilayah kabupaten, sedangkan penelitian yang dilakukan hanya kecamatan yang terdiri dari beberapa desa.
39
Tabel 2.10 Kajian Penelitian yang Relevan
No Nama Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil penelitian 1 Khori Pengkelasan Mengklasifikasi tingkat Analisis system informasi Peta Sugianti, Tingkat kerentanan gerakan tanah geografis, analisis pembobotan, kerentanan Dedi Kerentanan daerah Sumedang metode storie, gerakan Mulyadi, Gerakan Tanah Selatan dengan Dokumentasi dan survey tanah metode dan Dwi Daerah Sumedang mengggunakan lapangan storie. Sarah. Selatan metode Storie. Tahun 2014. Menggunakan Metode Storie
2 Dhuha Analisis 1. Mengetahui parameter Analisis Sistem Informasi Peta Ginanjar Penentuan Zonasi apa saja yang Geografis, analisi skoring dan ancaman Bayuaji, Risiko Bencana berpengaruh terhadap pembobotan, menggunakan dua bencana dkk. Tanah Longsor potensi tanah longsor di metode tanah longsor Tahun 2015 Berbasis Sistem Kabupaten Banjarnegara. SNI (Standar Nasional metode AHP Informas 2. Mengetahui Indonesia) dan AHP dan metode Geografis (Studi perbandingan sebaran (Analythical Hierarchy Process. SNI. Kasus:Kabupaten daerah rawan longsor Melalui teknik dokumentasi, Banjarnegara) menggunakan AHP dan wawancara, kuesioner, dan SNI. survey lapangan. 3. Mengetahui penyusunan tingkat resiko bencana tanah longsor Kabupaten Banjarnegara. 3 Wahyuni, Analisis Tingkat 1. Mengetahui tingkat Analisis scoring dan Tingkat Eldina, dkk. Kerentanan Dan kerentanan dan kapasitas pembobotan kerentanan Tahun 2015 Kapasitas masyarakat terhadap Melalui teknik dokumentasi, dan kapasitas Masyarakat bencana banjir bandang survey, wawancara, dan masyarakat Terhadap 2. Mengetahui langkah kuesioner terhadap Bencana Banjir yang perlu dilakukan bencana Bandang untuk meningkatkan banjir Kecamatan Celala kapasitas masyarakat dan bandang di Kabupaten Aceh menurunkan kerentanan. Kecamatan Tengah Celala Kabupaten Aceh Tengah 4 Muhamad Penilaian Risiko Mengetahui ancaman, Analisis scoring, analisis system Peta resiko Khasyir, dkk Bencana Tanah kerentanan, dan kapasitas informasi geografis. bencana Tahun 2016 Longsor bencana tanah longsor tanah longsor Desa Wanadri serta menganalisis Desa Kecamatan tingkat risiko bencana Wanadri Bawang tanah longsor di Desa Kecamatan Kabupaten Wanadri Bawang Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara Lihat lanjutan tabel 2.10
40
Lanjutan Tabel 2.10 Kajian Penelitian yang Relevan 5 Amni Kapasitas Daerah Mendiskripsikan Parameter dan Kapasitas daerah Zarkasyi Banjarnegara dalam kapasitas indicator Perka Kabupaten Banjarnegara Rahman Penanggulangan Kabupaten BNPB No 3 masuk dalam kategori B, Tahun 2017 Bencana Alam Tanah Banjarnegara tahun 2012 yang berarti kapasitas Longsor dalam tentang daerah dalam penanggulangan penilaian penyelenggaraan bencana tanah kapasitas penanggulangan bencana longsor masyarakat baik. melalui teknik wawancara 6 Nezar Ely Kapasitas Masyarakat Mengetahui Indikator desa tingkat kapasitas Mohammad, Terhadap Ancaman kapasitas, tangguh masyarakat yang ada di Erni Suharini, Bencana Tanah kendala bencana dengan Kecamatan Banyubiru Heri Tjahjono. Longsor di masyarakat, dan taknik Tahun 2017 Kecamatan strategi dokumentasi Banyubiru Kabupaten peningkatan dan kuesioner Semarang kapasitas masyarakat 7 Pranata Dyah Analisis Kerentanan Mengetahui Analisis scoring Peta tingkat kerentanan Susanti Tanah Longsor tingkat dan tanah longsor di Tahun 2017 Sebagai Dasar kerentanan tanah pembobotan. Kabupaten Banjarnegara Mitigasi di longsor di analisis system Kabupaten Kabupaten informasi Banjarnegara Banjarnegara. geografis Melalui teknik survey lapangan 8 Jaswadi, R. Tingkat Kerentanan Mengidentifikasi Analisis sistem Tingkat kerentanan Rijanta dan dan Kapasitas elemen resiko informasi wilayah dan tingkat Pramono Hadi Masyarakat yang dipengaruhi geografis, kapasitas masyarakat Tahun 2018 dalam Menghadapi oleh banjir di analisis scoring, Kecamatan Pasarkliwon Risiko Banjir di Kecamatan skala Linkert. terhadap banjir Kecamatan Pasarkliwon, Melalui teknik Pasarkliwon Kota menentukan sistem informasi Surakarta tingkat geografis, kerentanan fisik wawancara, dan kerentanan kuesioner, dan social. observasi persepsi dan cara lapangan menghadapi masyarakat terhadap peristiwa banjir. Sumber: 1) Khori Sugianti, dkk (2014); 2) Dhuha Ginanjar Bayuaji, dkk
(2015); 3) Wahyuni, Eldina, dkk (2015); 4) Muhamad Khasyir, dkk
(2016); 5) Amni Zarkasyi Rahman (2017); 6) Nezar Ely
Mohammad, dkk (2017); 7) Pranata Dyah Susanti (2017); 8)
Jaswadi, R Rijanta dan Pramono Hadi (2018).
41
C. Kerangka Berfikir
Kabupaten Banjarnegara berdasarkan kondisi geomorfologi Jawa
Tengah, merupakan bagian dari zona tengah Jawa Tengah yang merupakan
bagian dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relative
bergelombang dengan lereng setengah terjal hingga terjal. Kecamatan
Karangkobar sebagian wilayahnya memiliki tingkat kemiringan lereng
curam yaitu >25–40 % yang beresiko terjadi tanah longsor.
Jenis batuan penyusun terdiri dari batu lempung, breksi, batu pasir dari
formasi rambatan. Proses pelapukan batuan yang terjadi secara intensif
menyebabkan batuan kehilangan kekuatan yang akhirnya membentuk lapisan
batuan lemah dan tanah residu yang tebal yang mudah tererosi. Selain itu
pada daerah ini banyak dilalui oleh jalur patahan, sehingga memiliki tekstur
daratan berbukit yang memiliki lereng cukup curam dan tegak. Jalur-jalur
patahan itu mengakibatkan ikatan lapisan batuan penyangga tanah saling
terbelah dan rapuh.
Selain itu wilayah ini memiliki curah hujan tinggi, yaitu >3000
mm/tahun, dengan curah hujan yang tinggi tersebut menyebabkan tanah
menjadi jenuh air, dan akibatnya akan melemahkan ikatan partikel. Molekul
air menyusup ke partikel tanah dan menjadi katalisator proses gelinciran
antara partikel dan menyebabkan terjadinya tanah longsor.
Kondisi fisik yang rawan terhadap bencana tanah longsor belum
sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat yang tinggal disana. Berdasarkan
42
data Badan Pusat Statistik kabupaten Banjarnegara (2019), penduduk di
Kecamatan Karangkobar mayoritas bekerja sebagai petani yang memanfaatkan lahan pegunungan menjadi ladang atau kebun yang ditanami dengan tanaman tahunan maupun musiman sehingga dapat memicu terjadinya tanah longsor. Melihat bahaya tanah longsor yang sewaktu-waktu dapat mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan analisis tingkat ancaman untuk mengetahui wilayah mana saja yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi.
Bencana tanah longsor yang terjadi menyebabkan masyarakat mengalami kerugian baik pada aspek fisik dan aspek nonfisik. Tingginya tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakat yang diakibatkan karena kurangnya informasi yang diperoleh masayarakat akan kemungkinan- kemungkinan bencana yang terjadi disekitarnya, sehingga kesadaran masyarakat akan bencana menjadi sangat minim. Oleh karena itu, penilaian kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian akibat bencana. Sebagai upaya pencegahan semakin meningkatnya jumlah korban dan kerugian yang terjadi akibat adanya tanah longsor.
43
Kondisi Fisik Wilayah
Jenis tanah Kemiringan Curah Penggunaan Lereng Hujan Lahan
Peka Kemiringan Curah Hujan Dominasi Lahan terhadap Lereng Curam >3500 Pertanian Erosi mm/tahun Meningkatkan Erosi
Potensi Tanah Longsor
Penilaian Ancaman Tanah Longsor
1. Kemiringan lereng 2. Jenis tanah
3. Curah hujan 4. Penggunaan lahan
5. Tekstur tanah 6. Drainase tanah 7. Kedalaman tanah
Sebaran Ancaman Tanah Longsor
Penilaian Kapasitas 1. Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana 2. Peringatan dini dan kajian resiko bencana 3. Pendidikan kebencanaan 4. Pengurangan faktor risiko dasar 5. Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini
Kapasitas Masyarakat terhadap Bahaya Tanah Longsor
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Karangkobar yang terletak
pada7˚14’50” LS-7˚19’15” LS dan 109˚40’05” BT - 109˚44’45” BT.
Kecamatan Karangkobar wilayahnya terletak di bagian utara Kabupaten
Banjarnegara yang merupakan perbukitan dengan ketinggian berkisar antara
710– 1.025 mdpl.
Kecamatan Karangkobar merupakan salah satu dari 20 kecamatan
yang terdapat di Kabupaten Banjarnegara. Luas wilayahnya kurang lebih
sebesar 3.209,252 hektar atau sekitar 3,65% dari luas wilayah keseluruhan
Kabupaten Banjarnegara dan terbagi menjadi 13 desa. Ibu kota kecamatan
terletak di desa Karangkobar, sementara desa yang letaknya paling jauh dari
ibu kota kecamatan adalah Desa Pasuruhan dengan jarak kurang lebih 13 km.
Kecamatan Karangkobar secara administrasi sebelah utara berbatasan
dengan Kecamatan Kalibening dan Wanayasa, sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Wanayasa, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu.
Adapun secara lebih rinci batas-batas wilayah administrasi Kecamatan
Karangkobar dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut.
44
45
Gambar 3.1 Peta Administrasi Kecamatan Karangkoar Tahun 2019
46
B. Populasi Penelitian
Penelitian yang di laksanakan di Kecamatan Karangkobar terdiri dari dua
populasi, yaitu populasi area dan populasi masyarakat.
1. Populasi Area
Populasi area dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah di
Kecamatan Karangkobar dengan luas 3.209,252 hektar, yang terdiri dari
100 satuan unit lahan yang secara administrasi terdiri dari 13 desa.
2. Populasi Masyarakat
Populasi dalam penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) yang
tinggal di wilayah Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara
yang tersebar di 13 desa. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) di
Kecamatan Karangkobar secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 No Nama Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah KK 1 Slatri 2406 659 2 Paweden 1328 439 3 Gumelar 1027 339 4 Purwodadi 2343 663 5 Mpang 2252 697 6 Ambal 2207 664 7 Pagerpelah 1887 639 8 Pasuruan 1368 444 9 Karanggondang 2469 804 10 Jlegong 1033 287 11 Binangun 2561 857 12 Karangkobar 5274 1220 13 Leksana 3598 1087 Jumlah 29.753 8.708 Sumber : Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
47
C. Sampel dan Teknik sampling
Sampel dari masing-masing populasi dalam penelitian ini terdiri dari sampel
area dan sampel masyarakat.
1. Sampel Area
a. Proses Penentuan Sampel
Sampel dalam penelitian ditentukan berdasarkan satuan lahan
yang disusun dengan cara mengoverlay atau menggabungkan empat
jenis peta yang berbeda menggunakan sistem informasi geografis di
wilayah penelitian, yaitu peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta
curah hujan, dan peta penggunaan lahan. Indikator yang digunakan
dalam penentuan satuan unit lahan di daerah penelitian adalah sebagai
berikut.
1) Curah hujan
Berdasarkan peta curah hujan tahunan wilayah yang dibuat
dari beberapa titik stasiun hujan wilayah penelitian dan wilayah
sekitarnya menggunakan Polygon Thiessen berdasarkan klasifikasi
Puslit Tanah (2004).
a) 3302 mm/tahun
b)3641 mm/tahun
c) 5878 mm/tahun
2) Jenis tanah
48
Berdasarkan jenis tanahnya, terdapat 5 jenis tanah di wilayah
penelitian dengan menggunakan klasifikasi SK Menteri Pertanian
Nomor 837/KPTS/UM/1980.
a) Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat
b) Mediteran merah tua
c) Glei humus dan aluvial kelabu
d) Andosol coklat kekuningan
e) Litosol
3) Kemiringan lereng
Data kemiringan lereng dihasilkan dari SRTM yang diolah
menggunakan system informasi geografis yang berupa analisis
slope, dengan menggunakan klasifikasi kemiringan menurut SK
Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980.sehingga dihasilkan
peta kemiringan lereng wilayah penelitian.
a) 0% - 8% (Kelas I)
b) 8% - 15% (Kelas II)
c) 15% - 25% (Kelas III)
d) 25% - 45%( Kelas IV)
e) >45% (Kelas V)
4) Penggunaan lahan
Data penggunaan lahan di wilayah penelitian dihasilkan dari
digitasi citra SPOT 6 menggunakan klasifikasi menurut Karnawati
49
(2003:41) yang diperoleh 4 jenis penggunaan lahan di wilayah
penelitian.
a) Permukiman
b) Ladang
c) Hutan campuran
d) Kebun.
Penggabungan empat peta penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan menghasilkan 100 satuan unit lahan yang tersebar diseluruh wilayah penelitian yang secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2 tabel satuan unit lahan Kecamatan
Karangkobar tahun 2019. Persebaran satuan unit lahan dapat dilihat pada Gambar 3.2. Simbol satuan lahan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.
3302_Mediteran_II_Kebun
Penggunaan lahan
Kelas kemiringan lereng
Jenis tanah
Curah hujan tahunan
50
Gambar 3.2. Peta Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.
51
b. Penetapan Satuan Lahan yang Menjadi Sampel
Satuan unit lahan yang berjumlah 100 yang tersebar di seluruh
wilayah penelitian selanjutnya dikelompokan untuk menentukan sampel.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel
area (area sampling), dimana pengambilan sampel didasarkan pada
satuan lahan yang memiliki kemiringan lereng dan jenis tanah yang
sama. Kemiringan lereng dipilih sebagai pembatas dalam pengambilan
sampel karena faktor kemiringan lereng adalah faktor yang dianggap
paling berpengaruh pada terjadinya fenomena longsor, sedangkan jenis
tanah dipilih karena faktor tanah merupakan meterial yang paling sering
terjadi longsor dan karakteristik pada setiap jenis tanah memiliki tingkat
kerawanan longsor yang berbeda-beda.
Pengelompokan dari 100 satuan unit lahan yang terdapat di daerah
penelitian, diperoleh sebanyak 18 sampel satuan lahan yang tersebar di
13 desa di Kecamatan Karangkobar, yang secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 3.2 sebagai berikut.
52
Tabel 3.2 Sampel Satuan Lahan Penelitian No Sampel Satuan Unit Lahan 1 Mediteran_I 2 Mediteran_II 3 Mediteran_III 4 Mediteran_IV 5 Mediteran_V 6 Litosol_I 7 Litosol_II 8 Litosol_III 9 Litosol_IV 10 Aluvial_I 11 Aluvial_II 12 Aluvial_III 13 Aluvial_IV 14 Andosol_I 15 Andosol_II 16 Andosol_III 17 Andosol_IV 18 Andosol_V Sumber: Peneliti, 2019.
Sampel yang diambil dalam penelitian merupakan satuan unit
lahan yang mewakili satuan unit lahan yang lainnya. Dimana sampel
satuan unit lahan ditentukan berdasarkan pengelompokkan satuan lahan
yang memiliki kemiringan dan jenis tanah yang sama. Persebaran sampel
penelitian secara rinci dapat dilihat pada Gambar 3.3 sebagai berikut.
53
Gambar 3.3 Peta Lokasi Sampel Penelitian
54
2. Sampel Masyarakat
Pengambilan sampel untuk populasi masyarakat dilakukan
berdasarkan wilayah atau area dengan tingkat ancaman tanah longsor
tinggi di lokasi penelitian. Sampel diambil dengan teknik purposive
sampling berdasarkan tingkat ancaman tanah longsor tinggi, yaitu
terdapat pada 11 desa antaralain Desa Slatri, Desa Paweden, Desa
Gumelar, Desa Sampang, Desa Ambal, Desa Pagerpelah, Desa
Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong, Desa Binangun, dan
Desa Karangkobar.
Untuk menentukan jumlah sampel pada masing-masing desa
dilakukan berdasarkan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 10% dan
tingkat kepercayaan 90% (Setiawan, 2014:72).
n :
Keterangan:
n: Jumlah sampel
N: Populasi
e :Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang
masih bisa ditolerir
Dari rumus diatas dapat diketahui sampel penelitian yaitu:
Sampel : : 99 KK
55
Dengan persebaran sampel setiap desa dapat dilihat pada Tabel 3.3 sebagai berikut.
Tabel 3.3 Persebaran Sampel Penelitian Masyarakat Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Nama Desa Perhitungan Jumlah Sampel x 99 9 1 Slatri : 9 KK x 99 6 2 Paweden : 6 KK x 99 5 3 Gumelar : 5 KK x 99 10 4 Sampang : 10 KK x 99 9 5 Ambal : 9 KK x 99 9 6 Pagerpelah : 9 KK x 99 6 7 Pasuruhan : 6 KK x 99 11 8 Karanggondang : 11 KK x 99 4 9 Jlegong : 4 KK x 99 12 10 Binangun : 12 KK x 99 17 11 Karangkobar : 17 KK Jumlah Sampel 99 KK Sumber : Peneliti, 2019.
56
Penentuan Satuan Unit Lahan
Kemiringan Jenis Tanah Curah Hujan Penggunaan Lereng Lahan
100 satuan unit lahan
Pengelompokkan satuan lahan yang memiliki kemiringan lereng dan jenis tanah yang sama
18 sampel satuan unit lahan
Ancaman tanah longsor
Sedang Tinggi
Sampel Kapasitas Masyarakat
Gambar 3.4 Alur Penentuan Sampel Penelitian
57
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian dalam penelitian ini terdiri dari ancaman tanah longsor
dan kapasitas masyarakat, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Variabel Penelitian
No Variabel Parameter Indikator 1. Ancaman 1. Kemiringan 1). Nilai kemiringan lereng tanah longsor lereng 2). Intensitas curah hujan tahuan 2. Curah hujan 3). Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi 3. Jenis tanah 4). Penggunaan lahan 4. Penggunaan 5). Nilai Kasar halusnya tanah lahan 6). Panjang lapisan tanah 5. Tekstur tanah 7). Mudah tidaknya air hilang pada tanah 6. Kedalaman tanah 7. Drainase Tanah
2. Kapasitas 1. Aturan dan 1) Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk masyarakat kelembagaan pengurangan risiko bencana telah ada dengan penanggulanga tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua n bencana jenjang pemerintahan. 2) Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di semua tingkat pemerintahan. 3) Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal. 4) Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana.
2. Pemanfaatan 1) Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah lahan berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi Peringatan dini risiko untuk sektor-sektor utama daerah. dan kajian 2) Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, risiko bencana mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama. 3) Apakah informasi data pendukung kajian risiko yang diperbarui secara periodik tersebut juga dapat dilihat (diakses) dan dijadikan referensi bagi daerah lain. 4) Penilaian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko- Risiko Lintas Batas Guna Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk Pengurangan Risiko. 3. Pendidikan 1) Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana kebencanaan dan dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring, pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst). 2) Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik- praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan Lanjutan Tabel 3.4
58
pemulihan. 3) Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat-biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset. 4) Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun pedesaan.
4. Pengurangan 1) Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu faktor risiko tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana dasar yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. 2) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya. 3) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi. 4) Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan, 5) Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana. 6) Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek-proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur.
5. Pembangunan 1) Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan kesiapsiagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat pada seluruh dengan perspektif pengurangan risiko bencana dalam lini pelaksanaannya. 2) Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan programprogram tanggap darurat bencana. 3) Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana. 4) Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat.
Sumber: Peneliti, 2019.
59
E. Sumber Data Penelitian
1. Data Primer
Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara,
kuesioner, pengukuran, survey, dan observasi lapangan.
a. Kondisi fisik dari lokasi penelitian yang berupa kemiringan lereng,
tekstur tanah, drainase tanah, kedalaman tanah, dan penggunaan
lahan.
b. Kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tanah longsor.
2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan berasal dari
instansi terkait, seperti BPS, BPBD, dan BMKG.
Tabel 3.5 Data Sekunder dalam Penelitian Data Sumber Peta RBI Digital Badan Informasi Geospasial SRTM Badan Informasi Geospasial Data Rekapitulasi Bencana BPBD Kabupaten Banjarnegara Data curah hujan tahunan BMKG Provinsi Jawa Tengah Data jumlah penduduk, mata Badan Pusat Statistik Kabupaten pencaharian, sarana ekonomi, Banjarnegara fasilitas social, dan tingkat pendidikan. Citra SPOT 6 LAPAN Peta jenis tanah Jawa Tengah Badan Informasi Geospasial
Sumber : Peneliti, 2019.
60
F. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
1. Alat pengumpulan Data
a. Alat pengumpulan data
Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa alat untuk
membantu peneliti dalam pengambilan sampel di lapangan dan alat-
alat yang dibutuhkan dalam pengujian sampel tanah pada setiap titik
sampel penelitian.
Tabel 3.6 Alat Pengumpulan Data Penelitian
No Alat Fungsi 1 Perangkat laptop dengan Digunakan untuk proses software Arcgis 10.3 pengolahan, pemrosesan, hingga analisis data 2 Hand Level Mengukur kemiringan lereng 3 Alat tulis Mencatat data atau informasi di lapangan 4 Hand phone Menyimpan gambar, rekaman, maupun video dalam penelitian 5 Αα Bifinidil Untuk mengukur drainase tanah 6 Sekop tanah Untuk mengambil sampel 7 Pita ukur Mengukur kedalaman tanah 8 Papan/Alas tulis Untuk alas tulis Sumber: Peneliti, 2019. b. Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
Penelitian yang dilakukan membutuhkan bahan-bahan yang
dapat digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data di lapangan
ataupun data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.
61
Tabel 3.7 Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
No Alat Fungsi 1 Data curah Digunakan untuk membuat peta curah hujan hujan wilayah penelitian 2 Citra SPOT 6 Sebagai dasar pembuatan peta penggunaan lahan 3 Peta jenis tanah Mengidentifikasi jenis-jenis tanah di lokasi penelitian 4 SRTM Sebagai dasar pembuatan peta kemiringan lereng 5 Kuesioner Sejumlah pertanyaan untuk menggali informasi mengenai kapasitas masyarakat di lokasi penelitian 6 Instrumen Daftar pertanyaan pendukung untuk wawancara mengetahui kapasitas masyarakat di lokasi penelitian 7 Instrumen Untuk mencatat data berkaitan dengan pengukuran kemiringan lereng 8 Lembar Untuk mencatat data berkaitan dengan observasi penggunaan lahan 9 Plastik Untuk tempat sampel tanah 10 Label Untuk menamai sampel tanah Sumber: Peneliti, 2019. 2. Teknik Pengumpulan Data
Setiap variable dalam penelitian memiliki metode mengumpulkan data
yang berbeda-beda.
a. Ancaman Tanah Longsor
1) Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mencari data yang
berupa data rekapitulasi bencana dari BPBD Kabupaten
62
Banjarnegara, data curah hujan tahunan dari BMKG Provinsi
Jawa Tengah, Citra SPOT 6 dari LAPAN, serta SRTM dan peta
digital dari Badan Informasi Geospasial.
2) Observasi lapangan
Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi secara
langsung di lapangan mengenai penggunaan lahan yang ada di
lokasi penelitian.
3) Survey Lapangan
Teknik survey lapangan dilakukan untuk memvalidasi data
kemiringan lereng dan tataguna lahan yang ada di lapangan pada
lokasi penelitian berdasarkan peta yang sudah ada atau sudah
dibuat.
4) Pengukuran
Pengukuran dilakukan untuk memperoleh data mengenai
kemiringan lereng, tekstur tanah, indeks plastisitas, dan drainase
tanah di lokasi penelitian.
5) Sistem Informasi Geografis
Analisis Sistem Informasi Geografis digunakan untuk
memperoleh data pemanfaatan lahan, peta kemiringan lereng, dan
peta curah hujan di lokasi penelitian.
a) Analisis Curah Hujan
Pemetaan curah hujan dilakukan berdasarkan data curah
hujan dari stasiun pengukuran di wilayah penelitian dan
63
wilayah di sekitarnya. Data curah hujan yang digunakan adalah
4 stasiun pengukuran hujan dengan curah hujan yang berbeda-
beda Pengolahan data curah hujan dilakukan dengan
menggunakan metode Polygon Thiessen dari titik pengamatan
curah hujan di wilayah penelitian dan wilayah di sekitarnya.
Tingginya intensitas curah hujan dihitung berdasarkan
perbandingan antara luas daerah pengaruh tiap-tiap dari stasiun
terhadap wilayah penelitian.
b) Analisis slope
Peta kemiringan lereng dalam penelitian diperoleh melalui
pengolahan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan
menggunakan slope. Data kemiringan lereng yang dihasilkan
kemudian diklasifikasin kelas kemiringan lerengnya dengan
menggunakan klasifikasi dari BPBD.
c) Digitasi
Citra SPOT 6 diinterpretasi secara visual yaitu melalui
digitasi dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi citra
yaitu ukuran, bentuk, bayangan, warna, tekstur, pola, situs, dan
asosiasi untuk menghasilkan peta penggunaan lahan dari
wilayah penelitian. b. Kapasitas Masyarakat
1) Kuesioner
64
Kuesioner berisi sejumlah daftar pertanyaan yang akan
digunakan untuk menggali informasi mengenai kapasitas
masyarakat di lokasi penelitian.
2) Wawancara
Dalam penelitian ini metode wawancara dilakukan untuk
memperoleh data pendukung atau tambahan mengenai kapasitas
masyarakat yang ada di daerah penelitian.
G. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yaitu
penelitian yang melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, fakta
dianalisis dan disajikan secara sistematis sehingga dapat lebih mudah
difahami dan disimpulkan.
a. Analisis Sistem Informasi Geografis
Analisis system infornasi geografis yang digunakan dalam
penelitian adalah analisis overlay pada parameter-parameter yang
digunakan untuk menentukan titik sampel yang terdiri dari kemiringan
lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan di overlay
sehingga menghasilkan peta gabungan yang berupa peta satuan unit
lahan. Selain itu analisis overlay juga digunakan dalam proses penilaian
parameter-parameter ancaman tanah longsor yang terdiri dari kemiringan
lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan, tekstur tanah,
drainase tanah, dan kedalaman tanah melalui proses penialaian yang
berupa skoring.
65
b. Analisis Satuan Lahan
Satuan lahan merupakan satuan pemetaan terkecil yang dibuat
melalui overlay dengan menggunakan teknologi sistem informasi
geografis (SIG) dari beberapa peta, yaitu peta kemiringan lereng, peta
curah hujan, peta jenis tanah, dan peta penggunaan lahan. Analisis satuan
lahan digunakan untuk menentukan titik sampel dalam penelitian
ancaman tanah longsor. c. Analisis Skoring
Skoring digunakan untuk menyusun peta ancaman tanah longsor
yang merujuk dari perka BNPB No 02 Tahun 2012, yang terdiri dari 7
parameter yaitu curah hujan, jenis tanah, kemiringan lereng, tekstur
tanah, kedalaman tanah, drainase tanah, dan penggunaan lahan. Masing-
masing parameter dilakukan skoring sesuai dengan klasifikasi masing-
masing parameter yang menjadi dasar atau acuan yang digunakan dalam
penelitian.
1) Curah Hujan
Curah hujan dinilai berdasarkan besarnya intensitas curah
hujan tahunan di wilayah penelitian, yang dihasilkan dari beberapa
titik curah hujan di wilayah penelitian dan wilayah sekitarnya
dengan menggunakan metode Polygon Thiessen. Pembagian kelas
curah hujan yang digunakan adalah klasifikasi curah hujan menurut
Puslit Tanah (2004), yang terdiri dari 5 kelas intensitas curah hujan.
2) Kemiringan Lereng
66
Kemiringan lereng dalam penelitian dinilai berdasarkan
tingkat kemiringan lereng wilayah di lokasi penelitian. Pembagian
kelas kemiringan lereng yang digunakan dalam penelitian ini adalah
klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Menteri Pertanian Nomor
837/KPTS/UM/1980, dimana klasifikasi kemiringan lereng dibagi
menjadi 5 kelas.
3) Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan dinilai berdasarkan tingkat erosi dari
masing-masing setiap penggunaan lahan yang ada di wilayah
penelitian. Pembagian kelas penggunaan lahan yang digunakan
dalam penelitian adalah klasifikasi penggunaan lahan menurut
Karnawati (2003:41), dimana penggunaan lahan dikelompokkan
menjadi 5 kelas.
4) Jenis Tanah
Jenis tanah di wilayah penelitian dinilai berdasarkan tingkat
kepekaan setiap jenis tanah yang ada di wilayah penelitian terhadap
erosi. Pembagian kelas jenis tanah yang digunakan dalam penelitian
ini adalah menurut SK Menteri Pertanian Nomor
837/KPTS/UM/1980.yang disesuaikan dengan kondisi jenis tanah di
wilayah penelitian, dimana jenis tanah diklasifikasikan menjadi 5
kelas.
5) Tekstur Tanah
67
Tekstur tanah dalam penelitian dinilai berdasarkan tingkat
kekasaran dan kehalusan tanah yang ada di wilayah penelitian.
Pembagian kelas tekstur tanah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah klasifikasi tekstur tanah menurut Sartohadi (2012:49),
dimana tekstur tanah diklasifikasikan ke dalam 5 kelas tekstur tanah.
6) Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah diukur dari permukaan tanah hingga
beberapa cm dibawah permukaan tanah yang merupakan horizon-
horizon tanah. Pembagian kelas kedalaman tanah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah klasifikasi menurut Sartohadi
(2012:164), dimana kedalaman tanah diklasifikasikan menjadi 5
kelas.
7) Drainase Tanah
Drainase tanah dalam penelitian ini dinilai berdasarkan
mudah tidaknya air hilang dari tanah. Pembagian kelas drainase
tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi
drainase tanah menurut Sartohadi (2012:173), dimana drainase tanah
diklasifikasikan menjadi 5 kelas.
Kelas ancaman tanah longsor yang ditentukan berdasarkan skor tertinggi dan skor terendah yang dihasilkan dalam proses skoring pada satuan unit lahan. Penentuan kelas interval untuk membuat rentang kelas tingkat ancaman tanah longsor dengan menggunakan rumus Sturges sebagai berikut.
68
I :
I : Interval Kelas
R : Rentang
K : Jumlah kelas
Berdasarkan persamaan di atas maka besar kelas interval masing-
masing adalah sebagai berikut.
I : : 9.3
Sehingga klasifikasi tingkat ancaman dapat dilihat pada Tabel 3.8
dibawah ini.
Tabel 3.8 Klasifikasi Tingkat Ancaman Tanah Longsor No Nilai kelas Tingkat kerentanan 1 <16,3 Rendah 2 16,3 – 25,6 Sedang 3 >25,6 Tinggi Sumber : Hasil Analisis, 2019. d. Analisis Deskriptif
Dalam penelitain ini analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan tingkat ancaman tanah longsor di lokasi penelitian
berdasarkan peta ancaman tanah longsor yang telah dihasilkan dalam
penelitian.
69
e. Skala Gutman
Parameter dan indikator dalam Kerangka Aksi Hyogo-HFA
dijabarkan menjadi 88 pertanyaan dalam bentuk kuesioner yang bersifat
tertutup dengan menggunakan skala Gutman untuk mendapatkan
jawaban tegas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. Skala
Gutman dalam penelitian ini menggunakan kategori jawaban “ya”
berskor 1 dan “tidak” berskor 0.
Kelas kapasitas masyarakat yang ditentukan berdasarkan skor
tertinggi dan skor terendah yang dihasilkan dalam proses skoring setiap
responden. Penentuan kelas interval untuk membuat rentang kelas
tingkat kapasitas dengan menggunakan rumus Sturgess sebagai berikut.
I :
I : Interval Kelas
R : Rentang
K : Jumlah kelas
Berdasarkan persamaan di atas maka besar kelas interval masing-
masing adalah sebagai berikut.
70
I : : 29,3
Klasifikasi nilai dan kategori kapasitas masyarakat yang digunakan
dalam penelitian berdasarkan hasil perhitungan adalah tingkat
kapasitas masyarakat rendah dengan skor <29, tingkat kapasitas
sedang dengan skor 29-58, dan tingkat kapasitas tinggi dengan skor
>58. f. Analisis Deskriptif Komparatif
Dalam penelitian ini analisis deskriptif komparatif digunakan
untuk membandingkan kapasitas masyarakat yang ada di desa
dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi yaitu Desa Slatri, Desa
Paweden, Desa Gumelar, Desa Sampang, Desa Desa Ambal, Desa
Pagerpelah, Desa Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong,
Desa Binangun, dan Desa Karangkobar.
71
H. Diagram Alir Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian yang meliputi,
tahap persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan
pembuatan laporan.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini meliputi identifikasi masalah dan studi kepustakaan
yang berkaitan dengan topik penelitian.
2. Tahap Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber atau
instansi terkait yang dibutuhkan seperti data curah hujan, penggunaan
lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng untuk menentukan sampel
penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan penyusunan instrument
penelitian untuk memperoleh data yang berupa kapasitas masyarakat di
lokasi penelitian.
3. Tahap Pengolahan Data
Tahap pengolahan data yaitu meliputi kegiatan pengolahan data
yang sudah terkumpul menjadi peta di lokasi penelitian, seperti peta
kemiringan lereng, penggunaan lahan, curah hujan, jenis tanah, dan peta
ancaman bencana tanah longsor untuk menentukan sampel penelitian.
4. Tahap Pengumpulan dan Validasi data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang berupa
parameter ancaman tanah longsor yaitu curah hujan, jenis tanah, tekstur
tanah, drainase tanah, kedalaman tanah. Pada tahap ini juga dilakukan
72
pengumpulan data mengenai kapasitas masyarakat dalam menghadapi
bencana tanah longsor melalui kuisioner dan wawancara. Selain itu pada
tahap ini juga dilakukan validasi lapangan yang berupa data kemiringan
lereng dan penggunaan lahan di lokasi penelitian.
5. Tahap Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan pada data yang telah dihasilkan pada
proses pengumpulan dan validasi data di lapangan, baik data mengenai
ancaman tanah longsor maupun data kapasitas masyarakat dalam
menghadapi bencana. Setiap parameter dari ancaman tanah longsor dan
kapasitas masyarakat dilakukan penilaian sesuai dengan acuan yang
digunakan dalam penelitian.
6. Tahap analisis data
Setelah data-data yang dihasilkan diolah, selanjutnya adalah tahap
analisis data untuk mengetahui hasil dalam penelitian baik berupa
ancaman tanah longsor maupun kapasitas masyarakat.
7. Tahap Pembuatan Laporan
Tahap ini merupakan tahap akhir penelitian, yaitu tahap penyusunan
laporan dan pembahasan akhir penelitian.
73
Mulai
Identifikasi Masalah
Studi Literatur
Pengumpulan Data Penyusunan Instrumen
SRTM Peta Jenis Tanah Data Curah Hujan Citra SPOT 6
Interpretasi
Peta Kemiringan Peta Jenis Peta Curah Hujan Peta Penggunaan Lereng Tanah Lahan
Peta Satuan Lahan Tentatif
Survey Lapangan
Peta Satuan Lahan
Kerja Lapangan
Data Primer 1. Kemiringan lereng 2. Penggunaan lahan 3. Tekstur tanah 4. Drainase tanah 5. Kedalaman Tanah 6. Kapasitas Masyarakat
Pengolahan dan Penilaian
Analisis Data Rekomendasi
Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
1. Letak Astronomis
Kecamatan Karangkobar secara astronomis terletak diantara
7˚14’50” LS-7˚19’15” LS dan terletak diantara 109˚40’05” BT -
109˚44’45” BT. Kecamatan Karangkobar merupakan salah satu wilayah
kecamatan di Kabupaten Banjarnegara yang terletak di kawasan
pegunungan Serayu Utara. Topografi wilayah sebagian besar adalah
perbukitan yang memiliki kemiringan lereng beragam, mulai dari dataran
hingga sangat curam. Kecamatan Karangkobar wilayahnya terletak di
bagian utara Kabupaten Banjarnegara yang merupakan perbukitan
dengan ketinggian berkisar antara 710 – 1.025 mdpl. Adapun batas-batas
wilayah administrasinya sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Kalibening dan Wanayasa, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Wanayasa, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu,
dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu.
2. Luas Daerah Penelitian
Kecamatan Karangkobar terdiri dari 13 desa, 46 dusun, 50 RW,
dan 186 RT. Luas wilayah Kecamatan Karangkobar adalah sebesar
3.209,252 hektar atau 3.65% dari luas wilayah Kabupaten Banjarnegara,
yang secara rinci luas dari masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel
4.1 sebagai berikut.
74
75
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 No Nama Desa Luas Wilayah (ha) 1 Slatri 468.264
2 Paweden 147.87 3 Gumelar 128.679 4 Purwodadi 229.619 5 Sampang 328.465 6 Ambal 232.372 7 Pagerpelah 291.995 8 Pasuruhan 248.858 9 Karanggondang 200.673 10 Jlegong 131.695
11 Binangun 328.667 12 Karangkobar 260.898 13 Leksana 211.197 Jumlah Total 3.209,252 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
Desa yang memiliki wilayah yang paling luas berdasarkan Tabel
4.1 di Kecamatan Karangkobar adalah Desa Slatri dengan luas wilayah
kurang lebih 468.264 hektar dengan presentase 14,59% dari total wilayah
Kecamatan Karangkobar. Sedangkan desa yang memiliki luas wilayah
paling kecil atau sempit di Kecamatan Karangkobar adalah Desa
Gumelar yaitu seluas 128.679 hektar dengan presentase 4,01% dari total
luas wilayah Kecamatan Karangkobar. Sementara desa yang memiliki
ketinggian wilayah paling tinggi adalah Desa Leksana yang terletak pada
ketinggian 1.025 di atas permukaan air laut. Sedangkan desa yang
memiliki ketinggian wilayah paling rendah adalah Desa Pasuruhan yang
terletak pada ketinggian 710 di atas permukaan air laut.
76
3. Kondisi Kependudukan Wilayah Penelitian
Kecamatan Karangkobar pada tahun 2018 memiliki jumlah
penduduk sebesar 29.753 jiwa, yang terdiri dari 15.140 laki-laki dan
14.613 perempuan. Dengan jumlah penduduk tertinggi atau terbanyak
terdapat di Desa Karangkobar dengan jumlah 5.274 jiwa, sedangkan
jumlah penduduk terendah terdapat di Desa Gumelar dengan jumlah
1.027 jiwa yang dapat dilihat secara lebih rinci pada Tabel 4.2 sebagai
berikut.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2018 Jumlah penduduk Rasio Laki- Jenis laki Perempuan Total Kelamin No Nama Desa (jiwa) (jiwa) (jiwa) 1 Slatri 1284 1122 2406 114 2 Paweden 665 663 1328 100 3 Gumelar 530 497 1027 107 4 Purwodadi 1204 1139 2343 106 5 Sampang 1150 1102 2252 104 6 Ambal 1088 1119 2207 97 7 Pagerpelah 931 956 1887 97 8 Pasuruhan 683 685 1368 100 9 Karanggondang 1239 1230 2469 101 10 Jlegong 517 516 1033 100 11 Binangun 1257 1304 2561 96 12 Karangkobar 2374 2540 5274 93 13 Leksana 1858 1740 3598 107 Jumlah 15140 14613 29753 104 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019. Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui
memiliki rasio jenis kelamin sebesar 104, yang berarti setiap 104
penduduk laki-laki sebanding dengan 100 penduduk perempuan.
Wilayah di lokasi penelitian yang memiliki angka rasio jenis kelamin
77
tertinggi adalah Desa Slatri dengan angka 114, sedangkan yang terendah adalah Desa Karangkobar dengan angka 93.
Kecamatan Karangkobar berdasarkan kelompok umur jumlah penduduk paling tinggi terdapat pada kelompok umur 15-64 tahun dengan jumlah 20.258 jiwa, dibandingkan dengan kelompok umur 0-14 tahun yang hanya berjumlah 7.456 jiwa dan kelompok umur >65 tahun dengan jumlah 2.665 jiwa. Hal ini berarti Kecamatan Karangkobar memiliki jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dari penduduk usia non produktif, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel
4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Karangkobar Berdasarkan Kelompok Usia Tahun 2018 Jumlah Penduduk Menurut Usia Rasio 0 – Beban 14 15-64 >65 Total Tanggungan No Nama Desa (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) 1 Slatri 603 1638 216 2406 50 2 Paweden 332 905 119 1328 49,83 3 Gumelar 258 697 88 1027 49,64 4 Purwodadi 587 1596 211 2343 50 5 Sampang 564 1533 202 2252 49,97 6 Ambal 553 1503 197 2207 49,90 7 Pagerpelah 473 1285 168 1887 49,88 8 Pasuruhan 343 931 122 1368 49,95 9 Karanggondang 619 1681 221 2469 49,97 10 Jlegong 259 703 92 1033 49,93 11 Binangun 642 1744 231 2561 50,06 12 Karangkobar 1321 3592 477 5274 50,06 13 Leksana 902 2450 321 3598 49,92 JumlahTotal 7456 20258 2665 29753 50 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
78
Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa memiliki rasio beban tanggungan sebesar 50, yang berarti setiap
100 orang kelompok penduduk produktif harus menanggung 50 kelompok yang tidak produktif. Wilayah yang memiliki angka rasio beban tanggungan tertinggi adalah Desa Binangun dan Desa
Karangkobar yaitu sebesar 50,06, sedangkan yang terendah adalah Desa
Gumelar dengan angka 49,64.
Kecamatan Karangkobar wilayahnya merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng yang terjal hingga sangat terjal, sehingga persebaran permukiman penduduk tidak merata. Adapun secara rinci kepadatan penduduk di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4 sebagai berikut.
Tabel 4.4 Kepadatan Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 Jumlah Luas Kepadatan Penduduk Wilayah Penduduk No Nama Desa (jiwa) (hektar) (jiwa/hektar) 1 Slatri 2406 468.264 5.14 2 Paweden 1328 147.87 8.98 3 Gumelar 1027 128.679 7.98 4 Purwodadi 2343 229.619 10.20 5 Sampang 2252 328.465 6.86 6 Ambal 2207 232.372 9.50 7 Pagerpelah 1887 291.995 6.46 8 Pasuruhan 1368 248.858 5.50 9 Karanggondang 2469 200.673 12.30 10 Jlegong 1033 131.695 7.84 11 Binangun 2561 328.667 7.79 12 Karangkobar 5274 260.898 20.21 13 Leksana 3598 211.197 17.04 Jumlah 29753 3209.252 9.27 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
79
Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.4 memiliki
kepadatan penduduk sebesar 9,27 jiwa/hektar. Wilayah yang memiliki
kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Karangkobar yaitu 20,21
jiwa/hektar, sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa
Slatri dengan angka 5.14 jiwa/hektar.
4. Kondisi Perekonomian Penduduk
Matapencaharian penduduk di Kecamatan Karangkobar dapat dilihat
pada Tabel 4.5 sebagai berikut.
Tabel 4.5 Matapencaharian Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 Petani Buruh Pedagang Sopir Guru No Nama Desa (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa)
1 Slatri 1532 2 227 72 12
2 Paweden 726 63 134 33 13
3 Gumelar 744 25 13 13 16
4 Purwodadi 1356 124 184 79 51
5 Sampang 1299 55 250 78 15
6 Ambal 1177 75 190 83 39
7 Pagerpelah 1158 19 222 45 45
8 Pasuruhan 981 28 40 12 7
9 Karanggondang 1694 36 163 26 11
10 Jlegong 721 4 48 32 31
11 Binangun 1621 75 132 21 47
12 Karangkobar 1220 171 1548 108 322
13 Leksana 644 111 1118 81 238
Jumlah 14873 788 4269 683 847 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
80
Kecamatan Karangkobar berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa penduduk di yang bekerja sebagai petani adalah sejumlah 14.873 penduduk. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh penduduk di
Kecamatan Karangkobar meliputi pertanian palawija, holtikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan (BPS, 2019).
Sedangkan matapencaharian dengan jumlah tenaga kerja terendah atau paling sedikit adalah penambang dengan jumlah 54 penduduk. Kegiatan pertambangan yang dilakukan penduduk di Kecamatan Karangkobar adalah pertambangan golongan C yang berupa pasir, batu, kerikil, dan tanah (Kecamatan Karangkobar Dalam Angka Tahun 2018). Kecamatan
Karangkobar memiliki sarana perekonomian yang dapat dilihat pada
Tabel 4.6 sebagai berikut.
Tabel 4.6 Sarana Perekonomian di Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 No Nama Desa Pasar Toko/warung 1 Slatri - 15 2 Paweden - 9 3 Gumelar - 12 4 Purwodadi - 4 5 Sampang - 27 6 Ambal - 23 7 Pagerpelah - 15 8 Pasuruhan - 7 9 Karanggondang 1 11 10 Jlegong - 10 11 Binangun - 5 12 Karangkobar 1 170 13 Leksana 1 93 Jumlah Total 3 401 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
81
Kecamatan Karangkobar memiliki 3 pasar, masing-masing di
Desa Karanggondang, Desa Karangkobar, dan Desa Leksana. Sementara
untuk seluruh warung yang ada di Kecamatan Karangkobar berjumlah
401 unit, dan sudah semua desa di Kecamatan Karangkobar memiliki
warung. Jumlah warung terbanyak terdapat di Desa Karangkobar dengan
jumlah 170 warung, sedangkan warung paling sedikit adalah di Desa
Purwodadi dengan jumlah 4 warung.
5. Kondisi Sosial
Sarana dan prasarana yang terdapat di wilayah penelitian terdiri
dari fasilitas pendidikan, peribadahan, dan kesehatan, yang secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut.
Tabel 4.7 Sarana dan Prasarana Sosial di Kecamatan Karangkobar Tahun 2018 Sarana dan prasarana No Nama Desa Pendidikan Peribadahan Kesehatan TK SD SMP SMA Mushola masjid Puskesmas 1 Slatri 2 3 1 - 6 4 - 2 Paweden 1 1 - - 10 3 - 3 Gumelar 1 - - 5 2 - 4 Purwodadi 1 2 - - 4 6 - 5 Sampang 1 2 - - 6 8 - 6 Ambal 3 - - 3 4 - 7 Pagerpelah 1 2 - - 3 5 - 8 Pasuruhan 2 - - 6 2 - 9 Karanggondang 2 1 - 7 6 - 10 Jlegong 2 - - 1 2 - 11 Binangun 3 - - 7 7 - 12 Karangkobar 1 3 1 1 11 11 1 13 Leksana 2 2 2 2 12 12 - Jumlah 9 27 4 3 81 72 1 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
82
Kecamatan Karangkobar dalam bidang pendidikan hampir di semua desa terdapat TK, sedangkan untuk SD semua desa di Kecamatan
Karangkobar memiliki fasilitas tersebut. Sementara untuk SMP hanya terdapat 4 SMP di Kecamatan Karangkobar yaitu di Desa Slatri,
Karanggondang, Karangkobar, dan Leksana. Sedangkan untuk SMA, hanya terdapat 3 SMA di Kecamatan Karangkobar yaitu 1 di Desa
Karangkobar, dan 2 di Desa Leksana.
Semua desa di Kecamatan Karangkobar memiliki masjid dan mushola sebagai tempat beribadah. Jumlah masjid dan mushola terbanyak terdapat di desa Leksana dengan jumlah 12 masjid dan 12 mushola. Sedangkan jumlah masjid dan mushola tersedikit adalah di
Desa Jlegong dengan jumlah 1 mushola dan 2 masjid.
Kecamatan Karangkobar dalam bidang kesehatan, fasilitas yang tersedia adalah berupa puskesmas, dimana hanya terdapat 1 puskesmas yang terletak di Desa Karangkobar. Sementara untuk tenaga kesehatan biasanya setiap desa memiliki bidan desa, dan semua desa di Kecamatan
Karangkobar memiliki bidan di desa masing-masing.
Penduduk di Kecamatan Karangkobar memiliki tingkat pendidikan mulai dari tidak sekolah, tamat SD, tamat SLTP, tamat
SLTA, dan AK/PT yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.8 ebagai berikut.
83
Tabel 4.8 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Karangkobar Tahun 2019
Tingkat pendidikan Nama Desa SD SLTP SLTA AK/PT Tidak sekolah (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa) Slatri 647 1530 134 73 12
Paweden 674 517 90 31 10 Gumelar 229 667 86 36 7 Purwodadi 1036 959 209 112 17 Sampang 1048 960 159 54 20 Ambal 730 1181 164 99 21 Pagerpelah 791 871 128 51 30 Pasuruhan 266 1022 51 17 7 Karanggondang 1114 1045 199 51 50 Jlegong 445 450 84 45 9
Binangun 334 1913 125 144 28 Karangkobar 1494 2280 617 655 206 Leksana 565 2029 548 315 112 Jumlah 9373 15424 2594 1683 529 Sumber: Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2019.
Penduduk di Kecamatan Karangkobar memiliki tingkat
pendidikan dengan jumlah paling tinggi merupakan lulusan SD dengan
jumlah 15.424 penduduk dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
tidak sekolah sebesar 9.373 penduduk, lulusan SLTP 2.594 penduduk,
dan lulusan SLTA sebanyak 1.683 penduduk. Sedangkan tingkat
pendidikan penduduk dengan jumlah terendah adalah perguruan tinggi
dengan jumlah 529 penduduk. Semua desa di Kecamatan Karangkobar
tingkat pendidikan penduduk dengan jumlah tertinggi adalah lulusan
SD, hanya 3 desa yang tingkat pendidikan penduduk tertinggi bukan
lulusan SD melainkan tidak sekolah yaitu Desa Paweden, Desa
Purwodadi, dan Desa Sampang.
84
B. Hasil Penelitian
1. Hasil Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor
Parameter ancaman tanah longsor diperoleh melalui pengukuran,
observasi, survey lapangan, dan pengolahan data sekunder di wilayah
penelitian.
a. Kemiringan Lereng
Kecamatan Karangkobar memiliki kemiringan lereng sangat
bervariasi, mulai dari datar hingga sangat curam. Pembagian kelas
kemiringan lereng yang digunakan dalam penelitian ini adalah
klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Menteri Pertanian Nomor
837/KPTS/UM/1980. Dimana kelas kemiringan lereng dibagi
menjadi 5 kelas mulai dari kelas kemiringan lereng datar sampai
dengan kelas sangat curam, seperti pada Tabel 4.9 sebagai berikut.
Tabel 4.9 Kemiringan Lereng Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Nilai Kemiringan Kelas Luas (hektar) Lereng 1 Kelas I (0% - 8%) Datar 385,967 2 Kelas II (8% - 15%) Landai 662,723 3 Kelas III (15% - 25%) Agak curam 1.207,515 4 Kelas IV (25% - 45%) Curam 792,042 5 Kelas V (>45%) Sangat curam 161,003 Luas Total 3.209,252 Sumber: SRTM dan Survey Lapangan, 2019. Kecamatan Karangkobar memiliki 5 kelas klasifikasi
kemiringan lereng. Pada kelas datar dengan nilai kemiringan lereng
0-8% memiliki luas 385,967 hektar yang tersebar diseluruh wilayah
Karangkobar. Kelas landai dengan nilai kemiringan lereng 8%-15%
memiliki luas 662,723 hektar, sementara kelas agak curam dengan
85
nilai kemiringan lereng 15%-25% memiliki luas sebesar 1.207,515.
Untuk kelas curam dengan nilai kemiringan lereng 25%-45% memiliki luas kurang lebih 1792,042 hektar. Sedangkan untuk kelas sangat curam yang memiliki nilai kemiringan >45% memiliki luas
161,003 yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.
Dari Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa wilayah Kecamatan
Karangkobar paling luas merupakan daerah agak curam dengan nilai kemiringan 15%-25% yang menyebar hampir merata di seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar. Adapun proses pengukuran kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut.
Gambar 4.1 Pengukuran Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng diukur dengan menggunakan hand level, yaitu dengan cara membidikkan alat ke arah lereng yang akan kita ketahui kemiringan lerengnya. Persebaran kelas kemiringan lereng di wilayah penelitian dapat dilihat secara rinci seperti pada Gambar
4.2 sebagai berikut.
86
Gambar 4.2. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.
87
b. Curah Hujan
Intensitas curah hujan di wilayah penelitian dihasilkan dari
peta curah hujan rata-rata tahunan yang dihasilkan dari beberapa
titik curah hujan di wilayah penelitian dan wilayah sekitarnya
dengan menggunakan metode Polygon Thiessen, intensitas curah
hujan wilayah Kecamatan Karangkobar antara 3000-6000
mm/tahun. Pembagian kelas curah hujan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah klasifikasi curah hujan menurut Puslit tanah
(2004) yang dapat dilihat pada Tabel 4.10 sebagai berikut.
Tabel 4.10 Curah Hujan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Curah Hujan Luas (hektar) 1 3302 mm/tahun 145,22 2 3641 mm/tahun 2.435,34 3 5878 mm/tahun 682,69 Luas 3.209,252 Sumber: BMKG, 2019. Kecamatan Karangkobar menurut Tabel 4.10 memiliki
intensitas curah hujan wilayah antara 3000-6000 mm/tahun, dengan
wilayah paling luas adalah pada intensitas curah hujan 3641
mm/tahun dengan luas 2.435,34 hektar. Sementara pada intensita
curah hujan 3302 mm/tahun luas wilayahnya adalah 145,22 hektar,
sedangkan untuk intensitas curah hujan tertinggi yaitu 5878
mm/tahun memiliki luas 682,69 hektar. Secara rinci persebaran
intensitas curah hujan di wilayah penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.3 sebagai berikut.
88
Gambar 4.3. Peta Curah Hujan Wilayah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019
89
c. Penggunaan Lahan
Kecamatan Karangkobar memiliki penggunaan lahan yang
cukup bervariasi. Data penggunaan lahan diwilayah penelitian
diperoleh dari digitasi citra SPOT 6. Adapun secara rinci pembagian
penggunaan lahan di wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar
4. 8 dan Tabel 4.11 sebagai berikut.
Tabel 4.11 Penggunaan Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Penggunaan lahan Luas (hektar) 1 Permukiman 342,646 2 Ladang 1.432,034 3 Hutan campuran 335,217 4 Kebun 1.099,354 Luas 3.209,252 Sumber: Citra SPOT 6 dan Survey Lapangan, 2019.
Kecamatan Karangkobar memiliki penggunaan lahan yang berupa
permukiman, ladang, hutan campuran, dan kebun.
1) Permukiman
Penggunaan lahan untuk permukiman menyebar di
seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar, terutama
terkonsentrasi di sepanjang jalan yang ada di wilayah
penelitian. Penggunaan lahan untuk permukiman ini seluas
342,646 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.
Penggunaan lahan untuk permukiman ini menempati
daerah-daerah dengan morfologi datar, landai, dan agak curam.
Akan tetapi di beberapa tempat di wilayah penelitian, terdapat
pula permukiman yang dibangun di wilayah yang curam hingga
sangat curam seperti pada gambar 4.4 sebagai berikut.
90
Gambar 4.4. Penggunaan Lahan Pemukiman
2) Ladang
Penggunaan lahan untuk ladang atau tegalan menyebar
di bagian utara sampai bagian tengah dari daerah penelitian.
Adapun tanaman yang ditanam oleh penduduk adalah tanaman
jagung, ubi kayu, dan sayur-sayuran. Penggunaan lahan untuk
ladang atau tegalan ini seluas 1.432,034 hektar dari seluruh
wilayah Kecamatan Karangkobar, yang merupakan penggunaan
lahan paling dominan. Penggunaan lahan ladang atau tegalan
ini berada pada daerah datar, hingga sangat curam seperti
terlihat pada gambar 4.5 sebagai berikut.
91
Gambar 4.5. Penggunaan Lahan Ladang/Tegalan
3) Kebun
Penggunaan lahan untuk kebun menyebar di bagian
selatan sampai bagian tengah dari daerah penelitian.
Penggunaan lahan sebagai kebun banyak ditanami dengan
tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis seperti
tanaman salak, kopi, dan lain-lain. Tanaman kebun yang paling
dominan ditanam oleh penduduk di daerah penelitian adalah
berupa tanaman salak. Penggunaan lahan untuk kebun ini seluas
1.099,354 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.
Penggunaan lahan kebun ini berada pada daerah datar, hingga
sangat curam seperti terlihat pada gambar 4.6 sebagai berikut.
92
Gambar 4.6. Penggunaan Lahan Kebun 4) Hutan campuran
Penggunaan lahan untuk hutan terkonsentrasi di bagian
barat dan bagian selatan wilayah penelitian. Penyebaran
penggunaan lahan ini adalah seluas 335,217 hektar dari seluruh
wilayah penelitian. Vegetasi yang ada di hutan tersebut
merupakan vegetasi yang berupa pohon pinus, pohon mahoni,
pohon albasiah, dan pohon sengon seperti yang dapat terlihat
pada gambar 4.7 sebagai berikut.
Gambar 4.7. Penggunaan Lahan Hutan Campuran
93
Gambar 4.8. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019
94
d. Jenis Tanah
Kecamatan Karangkobar memiliki jenis tanah yang cukup
bervariasi. Data jenis tanah di diperoleh dari data shapefile Badan
Informasi Geospasial. Penilaian jenis tanah yang digunakan dalam
penelitian didasarkan pada kelas kepekaan tanah terhadap tingkat
erosi. Pembagian kelas jenis tanah yang digunakan dalam penelitian
ini adalah menurut SK Menteri Pertanian Nomor
837/KPTS/UM/1980, dimana jenis tanah dibedakan menjadi lima
kelas, yang dapat dilihat pada Tabel 4.12 sebagai berikut.
Tabel 4.12 Jenis Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Jenis tanah Luas (hektar) 1 Andosol 475.8806 2 Mediteran merah tua 2.042,017 3 Aluvial kelabu 658,28 4 Litosol 33,074 Luas Total 3.209.252 Sumber: Badan Informasi Geospasial, 2018.
Kecamatan Karangkobar memiliki jenis tanah mediteran
merah tua dengan luas 2.042,017 hektar dari seluruh wilayah
Kecamatan Karangkobar. Dimana jenis tanah tersebut merupakan
jenis tanah paling luas yang ada di wilayah penelitian dibandingkan
dengan jenis tanah yang lain. Sementara jenis tanah andosol
memiliki luas 475.8806 hektar dan untuk jenis tanah aluvial kelabu
menempati posisi ke dua dengan luas 658,28 hektar. Dan untuk jenis
tanah litosol memiliki luas 33,074 hektar yang memiliki luas paling
kecil atau sedikit di Kecamatan Karangkobar, seperti yang dilihat
pada gambar 4.9 sebagai berikut.
95
Gambar 4.9. Peta Jenis Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.
96
e. Tekstur Tanah
Kecamatan Karangkobar memiliki tekstur tanah yang cukup
bervariasi. Penilaian tekstur tanah dalam penelitian menggunakan
acuan penentuan tekstur tanah berdasarkan jenis tanah menurut
Sartohadi (2012:115-119) yang disertai dengan uji tekstur tanah di
lapangan yang dapat dilihat secara rinci pada Gambar 4.10 sebagai
berikut.
Gambar 4.10 Uji Tekstur Tanah di Lapangan
Tekstur tanah di lapangan diuji atau dinilai dengan cara
meraba atau meremas tanah dalam keadaan lembab atau basah.
Penilaian tekstur tanah dilapangan dimulai dengan mengambil tanah
kurang lebih satu sendok makan, kemudian ditetesi dengan air
sampai tanah mulai melekat di tangan, dan selanjutnya menilai
tekstur berdasarkan bentuk yang dapat dibuat. Apabila tanah sulit
untuk dibuat atau dibentuk menjadi bola atau gulungan sosis, maka
tekstur tanah tersebut semakin kasar. Sedangkan apabila semakin
mudah tanah dibentuk menjadi bola atau gulungan sosis yang
97
memanjang, maka semakin halus tekstur tanah tersebut. Tekstur tanah dibagi menjadi 5 kelas mulai dari yang paling kasar yaitu pasir hingga yang paling halus yaitu lempung, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.13 sebagai berikut.
Tabel 4.13 Tekstur Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Tekstur Luas (hektar) 1 Pasir bergeluh 618,415 2 Geluh berlempung 1.149,265 3 Geluh 318,188 4 Lempung ringan 1.123,383 Luas 3.209.252 Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2019.
Kecamatan Karangkobar memiliki 4 tekstur tanah yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh wilayah penelitian. Tekstur geluh berlempung terdapat pada jenis tanah mediteran merah tua, dimana tekstur tanah ini memiliki luas 1.149,265 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar yang merupakan jenis tekstur paling dominan dibandingkan dengan tekstur tanah yang lain.
Tekstur tanah ini tersebar di wilayah bagian selatan dan barat
Kecamatan Karangkobar.
Tekstur lempung ringan yang terdapat pada jenis tanah mediteran dan aluvial juga memiliki luas wilayah yang cukup luas yaitu kurang lebih 1.123,383 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan
Karangkobar. Dimana merupakan tekstur tanah yang memiliki luas kedua setelah teksstur tanah geluh berlempung.
98
Tekstur tanah lempung ringan tersebar di bagian utara hingga tengah dari wilayah Kecamatan Karangkobar. Sementara untuk tekstur tanah pasir bergeluh yang terdapat pada jenis tanah andosol memiliki luas kurang lebih 618,415 hektar dari wilayah penelitian.
Tekstur tanah pasir bergeluh tersebar dibagian barat dan timur dari wilayah Kecamatan Karangkobar. Sedangkan tekstur tanah yang memiliki luas paling kecil adalah tekstur geluh yang terdapat pada jenis tanah aluvial dan litosol dengan luas kurang lebih 318,188 hektar dari total seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar. Dan tersebar di bagian utara dan selatan dari wilayah Kecamatan
Karangkobar, yang secara lebih rinci persebarannya dapat dilihat pada Gambar 4.11 sebagai berikut.
99
Gambar 4.11. Peta Tekstur Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.
100
f. Drainase Tanah
Drainase tanah dinilai dari mudah tidaknya air hilang dari
tanah, baik dalam bentuk pengaliran air maupun meresap ke dalam
tanah. Drainase tanah pada lokasi penelitian dinilai dengan cara
meneteskan larutan αα bipiridin ke sampel tanah yang telah diambil
di lokasi penelitian. Pembagian kelas drainase tanah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah klasifikasi drainase tanah menurut
Sartohadi (2012:173). Adapun proses pengukuran drainase tanah
pada sampel tanah di wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar
4.12 sebagai berikut.
Gambar 4.12 Uji Drainase Tanah
Drainase tanah di lapangan dinilai dengan menggunakan
cairan αα bipiridin ke sampel tanah. Penilaian dimulai dengan
mengambil sampel tanah, kemudian meneteskan cairan αα bipiridin
ke sampel tanah. Apabila cairan meresap dengan cepat maka
101
drainase tanah baik, sedangkan apabila cairan meresap lambat maka drainase tanah buruk. Adapun secara rinci hasil pengukuran drainase tanah dapat dilihat pada Tabel 4.14 sebagai berikut.
Tabel 4.14 Drainase Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 No Drainase Tanah Luas (hektar) 1 Baik 1.089,76 2 Agak baik 2.119,492 Jumlah 3.209.252 Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2019.
Kecamatan Karangkobar memiliki drainase tanah yang agak baik dengan luas 2.119,492 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan
Karangkobar. Drainase agak baik terdapat pada sebagian jenis tanah mediteran, sebagian andosol, dan sebagian aluvial. Sedangkan sisanya 1.089,76 hektar dari seluruh wilayah Kecamatan
Karangkobar memiliki drainase yang baik yang terdapat pada tanah litosol, sebagian aluvial, andosol, dan sebagian mediteran, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.13 sebagai berikut.
102
Gambar 4.13. Peta Drainase Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.
103
g. Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah di wilayah penelitian diukur dengan
menghitung panjang penampang tanah yang berupa horizin-horizon
tanah pada singkapan tanah. Klasifikasi kedalaman tanah yang
digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi menurut Sartohadi
(2012:164).
Kedalaman tanah diukur pada tanah yang terganggu melalui
singkapan tanah. Sampel tanah yang digunakan dalam pengukuran
kedalaman tanah adalah tanah yang terusik yang terdapat singkapan
tanah di lokasi penelitian. Kedalaman tanah diukur dari permukaan
sampai beberapa centimeter dibawah permukaan yang merupakan
horizon-horizon tanah dengan menggunakan penggaris atau pita
ukur.
Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil pengukuran
kedalaman tanah di lapangan, seluruh wilayahnya memiliki
kedalaman tanah yang sangat dalam yaitu dengan kedalaman >50
cm, baik pada tanah andosol, tanah aluvial, tanah mediteran,
maupun tanah litosol, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.14
sebagai berikut.
104
Gambar 4.14. Peta Kedalaman Tanah Kecamatan Karangkobar Tahun 2019.
105
2. Hasil Pengukuran pada Sampel Satuan Lahan Penelitian
Sampel satuan unit lahan dalam penelitian diperoleh melalui proses
pengukuran, survey, dan pengamatan langsung di lapangan. Berdasarkan
hasil penelitian dengan menggunakan 7 parameter ancaman tanah longsor,
dapat diketahui bahwa kondisi sampel penelitian memiliki karakteristik
yang berbeda-beda, seperti yang dapat dilihat pada lampiran 6 tabel hasil
pengukuran parameter ancaman tanah longsor pada sampel peneltian.
1) Mediteran_I_Ladang
Sampel satuan lahan Mediteran_I_Ladang memiliki jenis tanah
mediteran dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur
tanah geluh berlempung. Selain itu sampel ini juga memiliki
kemiringan lereng yang datar yaitu antara 0-8% dengan intensitas curah
hujan 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini
adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki drainase yang
agak baik.
2) Mediteran_II_Ladang
Sampel Mediteran_II_Ladang berdasarkan hasil pengukuran dan
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada sampel satuan lahan
ini memiliki jenis tanah mediteran dengan kedalaman sangat dalam
yaitu >120 cm dan tekstur tanah lempung ringan. Sampel ini memiliki
kemiringan lereng yang cukup landai yaitu antara 8-15% dengan
intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun.
106
Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa
ladang, dan juga memiliki drainase yang agak baik.
3).Mediteran_III_Ladang
Sampel Mediteran_III_Ladang memiliki jenis tanah mediteran
dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah
lempung ringan. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak
curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan sangat tinggi
yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada
sampel ini adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki
drainase yang agak baik.
4).Mediteran_IV_Ladang
Sampel Mediteran_IV_Ladang memiliki jenis tanah mediteran
dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah geluh
berlempung. Selain itu, ampel ini memiliki kemiringan lereng yang
curam yaitu antara 25-45% dengan intensitas curah hujan yang tinggi
yaitu sebesar 3302 mm/tahun. Penggunaan lahan pada sampel ini adalah
berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki drainase yang agak
baik.
5).Mediteran_V_Permukiman
Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan,
sampel satuan lahan ini memiliki jenis tanah mediteran dengan
kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah geluh
107
berlempung. Selain itu sampel ini juga memiliki kemiringan lereng
yang sangat curam yaitu antara >45%, sampel ini juga memiliki curah
hujan yang sangat tinggi dengan intensitas curah hujan 3641 mm/tahun.
Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa
permukiman serta memiliki drainase yang agak baik.
6).Litosol_I_Kebun
Sampel satuan lahan Litosol_I_Kebun memiliki jenis tanah
litosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah
yang berupa geluh. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang datar
yaitu antara 0-8% dengan intensitas curah hujan yang tinggi yaitu
sebesar 3302 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini
adalah berupa kebun, dan memiliki drainase yang baik.
7).Litosol_II_Kebun
Sampel satuan lahan Litosol_II_Kebun memiliki jenis tanah
litosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah
yang berupa geluh. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang landai
yaitu antara 8-15% dengan intensitas curah hujan yang tinggi yaitu
sebesar 3302 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini
adalah berupa kebun, dan memiliki drainase yang baik.
8).Litosol_III_Kebun
Sampel ini memiliki jenis tanah Litosol dengan kedalaman
sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa geluh.
108
Selain itu, sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak
curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan yang sangat
tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Memiliki penggunaan lahan pada
sampel ini adalah berupa kebun, selain itu sampel ini juga memiliki
drainase yang agak baik.
9).Litosol_IV_Kebun
Sampel Litosol_IV_Kebun terdapat pada jenis tanah Litosol
dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang
berupa geluh. Selain itu sampel ini juga memiliki kemiringan lereng
yang cukup curam yaitu antara 25-45%, sampel ini juga memiliki curah
hujan yang sangat tinggi dengan intensitas curah hujan 3641 mm/tahun.
Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa kebun serta
memiliki drainase yang baik.
10).Aluvial_I_Hutan Campuran
Sampel satuan lahan Aluvial_I_Hutan campuran memiliki jenis
tanah aluvial dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan
tekstur tanah yang berupa lempung ringan. Sampel ini memiliki
kemiringan lereng yang datar yaitu antara 0-8% dengan intensitas
curah hujan yang sangat tinggi yaitu sebesar 3302 mm/tahun.
Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa hutan
campuran, dan juga memiliki drainase yang baik.
109
11).Aluvial_II_Permukiman
Sampel satuan lahan Aluvial_II_Permukiman berdasarkan hasil
pengukuran dan pengamatan memiliki jenis tanah aluvial dengan
kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa
lempung ringan. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang landai
yaitu antara 8-15% dengan intensitas curah hujan yang sangat tinggi
yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada
sampel ini adalah berupa permukiman, selain itu sampel ini juga
memiliki drainase yang baik.
12).Aluvial_III_Ladang
Sampel ini memiliki jenis tanah aluvial dengan kedalaman
sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa lempung
ringan. Selain itu, sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak
curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan yang sangat
tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Penggunaan lahan pada sampel
ini adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki drainase
yang baik.
13).Aluvial_IV_Ladang
Sampel satuan lahan Aluvial_IV_Ladang berdasarkan hasil
pengukuran dan pengamatan memiliki jenis tanah aluvial dengan
kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa
lempung ringan. Selain itu sampel ini juga memiliki kemiringan
110
lereng yang curam yaitu antara 25-45% dengan intensitas curah
hujan yang sangat tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Sementara
penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa ladang, dan juga
memiliki drainase yang baik.
14).Andosol_I_Permukiman
sampel satuan lahan Andosol_I_Permukiman ini memiliki jenis
tanah andosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan
tekstur tanah yang berupa pasir bergeluh. Sampel ini memiliki
kemiringan lereng yang cukup datar yaitu antara 0-8% dengan
intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu sebesar 5878 mm/tahun.
Memiliki penggunaan lahan yang berupa permukiman dan juga
memiliki drainase yang baik.
15).Andosol_II_Kebun
Sampel satuan lahan Andosol_II_Kebun melalui pengukuran
dan pengamatan memiliki jenis tanah andosol dengan kedalaman
sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa pasir
bergeluh. Sampel ini memiliki kemiringan lereng yang cukup landai
yaitu antara 8-15% dengan intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu
sebesar 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan lahan pada sampel ini
adalah berupa kebun, dan memiliki drainase yang baik.
111
16).Andosol_III_Ladang
Sampel ini memiliki jenis tanah andosol dengan kedalaman
sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur tanah yang berupa pasir
bergeluh. Selain itu, sampel ini memiliki kemiringan lereng yang agak
curam yaitu antara 15-25% dengan intensitas curah hujan yang sangat
tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun. Memiliki penggunaan lahan pada
sampel ini adalah berupa ladang, selain itu sampel ini juga memiliki
drainase yang baik.
17).Andosol_IV_Kebun
Sampel satuan lahan Andosol_IV_Kebun berdasarkan hasil
pengukuran dan pengamatan di lapangan, sampel satuan lahan ini
memiliki jenis tanah andosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu
>120 cm dan tekstur tanah yang berupa pasir bergeluh. Selain itu
sampel ini juga memiliki kemiringan lereng yang curam yaitu antara
25-45%, sampel ini juga memiliki curah hujan yang sangat tinggi
dengan intensitas curah hujan 3641 mm/tahun. Sementara penggunaan
lahan pada sampel ini adalah berupa kebun serta memiliki drainase
yang baik.
18).Andosol_V_Ladang
Sampel satuan lahan Andosol_V_Ladang memiliki jenis tanah
andosol dengan kedalaman sangat dalam yaitu >120 cm dan tekstur
tanah yang berupa pasir bergeluh. Sampel ini memiliki kemiringan
112
lereng yang sangat curam yaitu antara >45% dengan intensitas
curah hujan yang sangat tinggi yaitu sebesar 3641 mm/tahun.
Sementara penggunaan lahan pada sampel ini adalah berupa ladang,
dan memiliki drainase yang baik.
3. Perhitungan Tingkat Ancaman Tanah Longsor
Ancaman tanah longsor dinilai menggunakan 7 parameter
berdasarkan panduan resiko bencana dari Badan Penanggulangan
Bencana (2016) yang dimodifikasi. Parameter yang digunakan antara lain
kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan, tekstur
tanah, drainase tanah, dan kedalaman tanah. Masing-masing parameter
dilakukan skoring sesuai dengan klasifikasi masing-masing parameter
yang menjadi dasar atau acuan dalam penelitian. Setiap sampel satuan
lahan kemudian diberi skor masing-masing parameter dan kemudian
dijumlahkan sehingga menghasilkan skor total menggunakan analisis
overlay dengan software Arcgis.
Skor Ancaman: skor curah hujan + skor kemiringan lereng + skor jenis tanah + skor tekstur tanah + skor drainase + skor kedalaman tanah + skor penggunaan lahan
Sampel 1 Mediteran_I_Ladang
Skor: skor curah hujan + skor kemiringan lereng + skor jenis tanah + skor tekstur tanah + skor drainase + skor kedalaman tanah + skor penggunaan lahan
= 5+1+3+3+2+5+5
= 24
113
Penentuan kelas ancaman tanah longsor pada masing-masing
sampel sesuai dengan skor masing-masing sampel satuan lahan. Nilai
dari masing-masing sampel satuan lahan secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 4.15 sebagai berikut.
Tabel 4.15 Hasil Skoring Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Setiap Sampel Satuan Lahan Penggunaan Iklim Lereng Tanah Lahan Skor Nilai No Sampel Satuan Lahan Curah total Ancaman Hujan Kemiringan Jenis Kedalaman Penggunaan (mm/tahun) Lereng Tanah Tekstur Drainase Tanah Lahan 1 Mediteran_I_Ladang 5 1 3 3 2 5 5 24 Sedang 2 Mediteran_II_Ladang 5 2 3 4 2 5 5 26 Tinggi 3 Mediteran_III_Ladang 5 3 3 4 2 5 5 27 Tinggi 4 Mediteran_IV_Ladang 4 4 3 3 2 5 5 26 Tinggi 5 Mediteran_V_Permukiman 5 5 3 3 2 5 4 27 Tinggi 6 Litosol_I_Kebun 4 1 5 3 1 5 3 22 Sedang 7 Litosol_II_Kebun 4 2 5 3 1 5 3 23 Sedang 8 Litosol_III_Kebun 5 3 5 3 2 5 3 26 Tinggi 9 Litosol_IV_Kebun 5 4 5 3 1 5 3 26 Tinggi Aluvial_I_Hutan 10 Campuran 4 1 1 3 1 5 1 16 Rendah 11 Aluvial_II_Permukiman 5 2 1 4 1 5 4 22 Sedang 12 Aluvial_III_Ladang 5 3 1 4 1 5 5 24 Sedang 13 Aluvial_IV_Ladang 5 4 1 4 1 5 5 25 Sedang 14 Andosol_I_Permukiman 5 1 4 1 1 5 4 21 Sedang 15 Andosol_II_Kebun 5 2 4 1 1 5 3 21 Sedang 16 Andosol_III_Ladang 5 3 4 1 1 5 5 24 Sedang 17 Andosol_IV_Kebun 5 4 4 1 1 5 3 23 Sedang 18 Andosol_V_Ladang 5 5 4 1 1 5 5 26 Tinggi Sumber: Hasil Analisis, 2019.
18 satuan lahan yang menjadi sampel dalam penelitian, 7 sampel
satuan lahan memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi, 10 satuan
lahan sedang, dan 1 satuan lahan memiliki ancaman tanah longsor
rendah. Adapun secara rinci persebaran tingkat ancaman tanah longsor
dapat dilihat pada Gambar 4.15 sebagai berikut.
114
Gambar 4.15. Peta Ancaman Tanah Longsor Kecamatan Karangkobar
115
Desa Kecamatan Karangkobar berdasarkan tingkat ancaman tanah longsor memiliki luas masing-masing ancaman tanah longsor, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.16 sebagai berikut.
Tabel 4.16 Luas Daerah Berdasarkan Tingkat Ancaman Tanah Longsor Di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 Luas Wilayah No Nama Desa Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) 1 Slatri 0.00 78.28 21.72 2 Paweden 0.00 95.81 4.19 3 Gumelar 0.00 71.28 28.72 4 Purwodadi 0.00 100 0.00 5 Sampang 0.00 53.41 46.59 6 Ambal 0.71 29.11 70.18 7 Pagerpelah 0.00 77.66 22.34 8 Pasuruhan 0.00 84.06 15.94 9 Karanggondang 4.20 77.28 17.78 10 Jlegong 0.00 24.63 75.37 11 Binangun 2.15 80.18 17.66 12 Karangkobar 0.00 88.34 11.66 13 Leksana 5.48 94.52 0.00 Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa di Kecamatan Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor rendah paling luas adalah Desa Leksana dengan presentase
5.48%. Sedangkan ancaman tanah longsor sedang paling luas adalah
Desa Purwodadi yaitu 100%, dan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang paling kecil adalah Desa Jlegong dengan presentase 24,63%. Sedangkan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi paling luas adalah Desa Jlegong dimana 75%, sedangkan wilayah yang memiliki luas ancaman tanah longsor tinggi adalah Desa Paweden dengan presentase 4.19%.
116
4. Lokasi Kejadian Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar
Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil wawancara dan survey
lapangan, terdapat beberapa titik lokasi kejadian bencana tanah longsor
yang pernah terjadi di Kecamatan Karangkobar. Lokasi kejadian tanah
longsor terdapat pada daerah ladang, kebun, dan permukiman. Dari
beberapa lokasi kejadian tanah longsor, terdapat 5 titik atau 5 lokasi
kejadian bencana tanah longsor yang mengancam penduduk di
Kecamatan Karangkobar.
1) Titik 1
Lokasi tanah longsor yang pertama terjadi di Dusun Diwek,
Desa Karangkobar. Tanah longsor terjadi pada hari Jumat tanggal 12
Desember tahun 2014 tepatnya pada pukul 10.00 WIB. Tanah longsor
menyebabkan 3 rumah mengalami kerusakan berat dan menyebabkan
5 rumah terancam, sehingga harus mengungsi ke wilayah yang lebih
aman.
Penduduk yang rumahnya mengalami kerusakan telah
direlokasi ke tempat yang lebih aman di sekitar Dusun Diwek, Desa
Karangkobar. Sementara penduduk yang rumahnya terancam telah
kembali lagi menempati rumahnya. Saat ini lokasi longsoran telah
berubah menjadi ladang pertanian dan kandang ternak.
Titik lokasi longsor di Dusun Diwek Desa Karangkobar ini
merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah
longsor tinggi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.19, adapun kondisi
117
bekas longsor di Dusun Diwek Desa Karangkobar dapat dilihat pada
Gambar 4.16 sebagai berikut.
Gambar 4.16 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Diwek Desa
Karangkobar
2) Titik 2
Titik ke-2 tanah longsor terjadi di Dusun Jemblung, Desa
Sampang Kecamatan Karangkobar. Tanah longsor terjadi terjadi pada
hari Jumat tanggal 12 Desember tahun 2014 tepatnya pada pukul
17.00 WIB. Kejadian tanah longsor ini merupakan bencana tanah
longsor terbesar yang pernah terjadi di Kecamatan Karangkobar.
Tanah longsor menyebabkan 1 dusun yang terdiri dari 82
kepala keluarga tertimbun tanah. Tanah longsor menyebabkan 95
penduduk tewas, 13 penduduk dinyatakan hilang, dan ratusan orang
mengungsi.
118
Saat ini lokasi yang dulu pernah terjadi tanah longsor telah menjadi kawasan konservasi. Akan tetapi juga banyak penduduk yang masih memanfaatkan lokasi bekas longsoran sebagai ladang pertanian.
Berdasarkan analisis tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan
Karangkobar, titik lokasi longsor di Dusun Jemblung Desa Sampang ini merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.19. Adapun kondisi lokasi tanah longsor di Dusun Jemblung Desa Sampang saat ini dapat dilihat pada Gambar 4.17 sebagai berikut.
Gambar 4.17 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Jemblung
Desa Sampang.
119
3) Titik 3
Tanah longsor pada titik ke-3 terjadi di Dusun Gintung, Desa
Binangun. Tanah longsor terjadi pada tahun 2014, meskipun tidak ada
korban jiwa tanah longsor menyebabkan 1 RT di Dusun Gintung
mengungsi. Setelah tanah longsor dipastikan tidak aktif lagi,
penduduk kembali lagi menempati rumah mereka. Saat ini lokasi
tanah longsor sudah dimanfaatkan menjadi ladang dan kebun oleh
masyarakat.
Titik lokasi longsor di Dusun Gintung Desa Binangun ini
merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah
longsor tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.19. Adapun
kondisi lokasi tanah longsor di Dusun Gintung Desa Binangun saat ini
dapat dilihat pada gambar 4.18 sebagai berikut.
Gambar 4.18 Lokasi Tanah Longsor di Dusun Gintung Desa
Binangun.
120
4) Titik 4
Tanah longsor terjadi di Desa Jlegong Kecamatan
Karangkobar. Tanah longsor terjadi pada tahun 2018, yang berupa
retakan tanah di sepanjang belasan meter di jalan yang
menghubungkan Desa Jlegong dengan Kecamatan Karangkobar. Jalan
mengalami ambles kurang lebih 20 cm. Akibatnya 13 rumah yang
berada dibawah tebing jalan terancam.
Titik lokasi longsor di Desa Jlegong ini merupakan salah satu
wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 4.19.
5) Titik 5
Tanah longsor terjadi di Dusun Ambal, Desa Ambal,
Kecamatan Karangkobar. Tanah longsor terjadi pada tahun 2018, yang
berupa retakan tanah tebing jalan. Jalan mengalami ambles dan
akibatnya terdapat 1 rumah yang berada dibawah tebing jalan
terancam. Berdasarkan analisis tingkat ancaman tanah longsor di
Kecamatan Karangkobar, titik lokasi longsor di Desa Ambal ini
merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah
longsor tinggi, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.19 sebagai
berikut.
121
Gambar 4.19. Peta Titik Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar
122
5. Perhitungan Kapasitas Masyarakat
Kapasitas masyarakat dinilai menggunakan Parameter dan
indikator Kerangka Aksi Hyogo-HFA sesuai dengan pedoman penilaian
kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana dari Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nonor 03 Tahun 2012. Setiap
sampel kemudian dinilai dan selanjutnya diklasifikasikan ke dalam kelas
kapasitas masyarakat yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Perhitungan skor
kapasitas masyarakat setiap responden dilakukan dengan menjumlahkan
skor 88 pertanyaan pada kuesioner dari 5 parameter yang digunakan
dalam penelitian.
Skor Kapasitas = Skor Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana + skor Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana + skor Pendidikan Kebencanaan + skor Pengurangan Faktor Resiko Dasar + skor Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini Perhitungan:
Sampel 1
Nama: Bapak Kisro
Matapencaharian: Perangkat desa
Skor Kapasitas = Skor Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana + skor Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana + skor Pendidikan Kebencanaan + skor Pengurangan Faktor Resiko Dasar + skor Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini
: 10 +7+5+13+7
: 42
123
1) Desa Slatri
Desa Slatri merupakan salah satu di Kecamatan Karangkobar
yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi, 21,72%
wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman tanah
longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada 9
responden di Desa Slatri, hasil penilaian secara lengkap pada
masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap
kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 181). Adapun hasil
perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Slatri dapat dilihat
pada Tabel 4.17 sebagai berikut.
Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Slatri Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Kisro 42 0.48 Sedang 2 Praba 32 0.36 Sedang 3 Irwan 32 0.36 Sedang 4 Isti 30 0.34 Sedang 5 Sukir 22 0.25 Rendah 6 Pato 28 0.32 Rendah 7 Maryono 30 0.34 Sedang 8 Atno 29 0.33 Sedang 9 Yana 29 0.33 Sedang Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Slatri berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.17 dapat
diketahui bahwa 7 dari 9 responden atau dengan presentase 78%
masyarakat di Desa Slatri memiliki kapasitas yang sedang,
sedangkan 2 responden atau dengan presentase 22% memiliki
kapasitas yang rendah.
124
2) Desa Paweden
Desa Paweden merupakan salah satu di Kecamatan
Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi,
4,19% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman tanah
longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada 6
responden, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing
responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner
kapasitas masyarakat (halaman 181). Hasil perhitungan skor masing-
masing sampel di Desa Paweden dapat dilihat pada Tabel 4.18
sebagai berikut.
Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Paweden Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Gesang 17 0.19 Rendah 2 Mustafid 24 0.27 Rendah 3 Miskiyah 20 0.23 Rendah 4 Imam 24 0.27 Rendah 5 Pangat 19 0.22 Rendah 6 Indar 20 0.23 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Paweden berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.18
dapat diketahui bahwa semua responden dengan jumlah 6 responden
atau dengan presentase 100% responden penelitian di Desa Paweden
memiliki kapasitas yang rendah.
3) Desa Gumelar
Desa Gumelar merupakan salah satu di Kecamatan
Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi,
125
28.72% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman
tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada
5 responden, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing
responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner
kapasitas masyarakat (halaman 181). Hasil perhitungan skor masing-
masing sampel di Desa Gumelar dapat dilihat pada Tabel 4.19
sebagai berikut.
Tabel 4.19 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Gumelar Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Afif 15 0.17 Rendah 2 Fatimah 10 0.11 Rendah 3 Sumijan 18 0.20 Rendah 4 Bagus 14 0.16 Rendah 5 Sukron 13 0.15 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Gumelar berdasarkan Tabel 4.19 dapat diketahui bahwa
semua responden penelitian atau 100% responden di Desa Gumelar
memiliki kapasitas yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan skor
semua responden < 29, sehingga masuk ke dalam kelas rendah.
4) Desa Sampang
Desa Sampang merupakan salah satu dari kesebelas desa di
Kecamatan Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah
longsor tinggi, dimana 46.59% wilayahnya merupakan daerah
dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas
masyarakat dilakukan pada 10 responden yang tersebar di seluruh
Desa Slatri, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing
126
responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner
kapasitas masyarakat (halaman 181-182). Hasil perhitungan skor
masing-masing sampel di Desa Sampang secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 4.20 sebagai berikut.
Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Sampang Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Rina 41 0.47 Sedang 2 Sobron 29 0.33 Sedang 3 Afi 23 0.26 Rendah 4 Nina 30 0.34 Sedang 5 Noval 34 0.39 Sedang 6 Parjo 27 0.31 Rendah 7 Nirwan 29 0.33 Sedang 8 Slamet 30 0.34 Sedang 9 Tugio 31 0.35 Sedang 10 Bawon 40 0.45 Sedang Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Sampang berdasarkan tabel 4.20 memiliki 8 sampel atau
dengan presentase 100% responden penelitian di Desa Sampang
memiliki kapasitas sedang. Sedangkan sisanya yaitu 2 responden
atau dengan presentase 20% memiliki kapasitas yang rendah.
5) Desa Ambal
Desa Ambal merupakan salah satu di Kecamatan
Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi,
yaitu 70.18% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat
ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat
dilakukan pada 9 responden, hasil penilaian secara lengkap pada
masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap
127
kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 182). Hasil perhitungan
skor masing-masing sampel di Desa Ambal dapat dilihat pada Tabel
4.21 sebagai berikut.
Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Ambal Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Nikmat 35 0.40 Sedang 2 Khalimi 24 0.27 Rendah 3 Ema 29 0.33 Sedang 4 Basir 29 0.33 Sedang 5 Mail 30 0.34 Sedang 6 Sarzan 21 0.24 Rendah 7 Saheri 31 0.35 Sedang 8 Ikhwan 30 0.34 Sedang 9 Anto 33 0.38 Sedang Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Ambal berdasarkan hasil analisis tingkat kapasitas
masyarakat pada Tabel 4.21 menunjukkan dari total 9 responden
penelitian pada Desa Ambal 7 responden atau dengan presentase
78% memiliki kapasitas sedang. Sedangkan sisanya yaitu 2
responden atau dengan presentase 20% memiliki kapasitas yang
rendah.
6) Desa Pagerpelah
Desa Pagerpelah merupakan salah satu desa di Kecamatan
Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi.
Kurang lebih 22.34 % wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat
ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat
dilakukan pada 9 responden, hasil penilaian secara lengkap pada
128
masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil
rekap kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 182-183). Hasil
perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Pagerpelah dapat
dilihat pada Tabel 4.22 sebagai berikut.
Tabel 4.22 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pagerpelah Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Budi 65 0.74 Tinggi 2 Arba 59 0.67 Tinggi 3 Latif 33 0.38 Sedang 4 Yahya 29 0.33 Sedang 5 Agus 59 0.67 Tinggi 6 Riski 62 0.70 Tinggi 7 Sugeng 60 0.68 Tinggi 8 Slamet 24 0.27 Rendah 9 Rohman 61 0.69 Tinggi Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Pagerpelah berdasarkan Tabel 4.22 menunjukkan dari
total 9 responden penelitian pada Desa Pagerpelah 6 responden atau
dengan presentase 67% memiliki kapasitas tinggi. Sedangkan
sisanya 2 responden atau dengan presentase 22% memiliki kapasitas
sedang, dan 1 responden atau dengan presentase 11% memiliki
kapasitas yang rendah.
7) Desa Pasuruhan
Desa Pasuruhan merupakan salah satu desa di Kecamatan
Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi.
Kurang lebih 15.94% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat
ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat
129
dilakukan pada 6 responden, hasil penilaian secara lengkap pada
masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap
kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 183). Hasil perhitungan
skor masing-masing sampel di Desa Pasuruhan dapat dilihat pada
Tabel 4.23 sebagai berikut.
Tabel 4.23 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Pasuruhan Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Sartun 17 0.19 Rendah 2 Saiful 23 0.26 Rendah 3 Santo 19 0.22 Rendah 4 Khotib 24 0.27 Rendah 5 Hendra 22 0.25 Rendah 6 Mahmud 23 0.26 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Pasuruhan berdasarkan hasil analisis tingkat kapasitas
masyarakat pada Tabel 4.23 menunjukkan, bahwa semua atau 100%
responden penelitian di Desa Pasuruhan memiliki kapasitas yang
rendah.
8) Desa Karanggondang
Desa Karanggondang merupakan salah satu desa di
Kecamatan Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah
longsor tinggi. Kurang lebih 17.78% wilayahnya merupakan daerah
dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas
masyarakat dilakukan pada 11 responden yang tersebar di wilayah
penelitian, hasil penilaian secara lengkap pada masing-masing
responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap kuesioner
130
kapasitas masyarakat (halaman 183-184). Adapun hasil
perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Karanggondang
secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.24 sebagai berikut.
Tabel 4.24 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karanggondang Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Tongat 6 0.07 Rendah 2 Amri 13 0.15 Rendah 3 Edi 15 0.17 Rendah 4 Wawan 16 0.18 Rendah 5 Soleh 15 0.17 Rendah 6 Sayuti 14 0.16 Rendah 7 Ipeh 10 0.11 Rendah 8 Parno 13 0.15 Rendah 9 Udin 15 0.17 Rendah 10 Fuad 16 0.18 Rendah 11 Budi 14 0.16 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Karanggondang berdasarkan Tabel 4.24 menunjukkan
bahwa semua atau 100% responden penelitian memiliki kapasitas
yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan skor seluruh responden
yang menunjukkan angka < 29 sehingga masuk ke dalam kelas
rendah.
9) Desa Jlegong
Desa Jlegong adalah desa yang memiliki wilayah dengan
tingkat ancaman tanah longsor paling luas di Kecamatan
Karangkobar, yaitu kurang lebih 75.37% dari wilayahnya. Penilaian
kapasitas masyarakat dilakukan pada 4 responden, hasil penilaian
secara lengkap pada masing-masing responden dapat dilihat pada
131
lampiran 7 hasil rekap kuesioner kapasitas masyarakat (halaman
184). Hasil perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Jlegong
dapat dilihat pada Tabel 4.25 sebagai berikut.
Tabel 4.25 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Jlegong Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Sultoni 14 0.16 Rendah 2 Mahpul 13 0.15 Rendah 3 Suhardi 15 0.17 Rendah 4 Sumiati 13 0.15 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Jlegong berdasarkan hasil analisis tingkat kapasitas
masyarakat pada Tabel 4.25 menunjukkan, bahwa semua atau 100%
responden penelitian di Desa Jlegong memiliki kapasitas yang
rendah.
10) Desa Binangun
Penilaian kapasitas masyarakat dilakukan pada 12 responden
yang tersebar di wilayah penelitian, hasil penilaian secara lengkap
pada masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil
rekap kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 184-185). Adapun
hasil perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Binangun
dapat dilihat pada Tabel 4.26 sebagai berikut.
132
Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Binangun Tahun 2019 Nama Kelas No Responden Skor Indeks Kapasitas 1 Jono 25 0.28 Rendah 2 Sahrul 16 0.18 Rendah 3 Asih 20 0.23 Rendah 4 Wahno 18 0.20 Rendah 5 Sukirman 16 0.18 Rendah 6 Parman 15 0.17 Rendah 7 Harjo 21 0.24 Rendah 8 Patul 15 0.17 Rendah 9 Tomo 20 0.23 Rendah 10 Iwan 17 0.19 Rendah 11 Purwanto 17 0.19 Rendah 12 Indra 14 0.16 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Binangun berdasarkan Tabel 4.26 dapat diketahui
bahwa semua atau 100% responden penelitian di Desa Binangun
memiliki kapasitas yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan skor
seluruh responden yang menunjukkan angka < 29 sehingga masuk ke
dalam kelas rendah.
11) Desa Karangkobar
Desa Karangkobar merupakan salah satu desa di Kecamatan
Karangkobar yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi.
Kurang lebih 11.66% wilayahnya merupakan daerah dengan tingkat
ancaman tanah longsor tinggi. Penilaian kapasitas masyarakat
dilakukan pada 17 responden, hasil penilaian secara lengkap pada
masing-masing responden dapat dilihat pada lampiran 7 hasil rekap
kuesioner kapasitas masyarakat (halaman 186-187). Hasil
133
perhitungan skor masing-masing sampel di Desa Karangkobar dapat
dilihat pada Tabel 4.27 sebagai berikut.
Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kapasitas Masyarakat Desa Karangkobar Tahun 2019 No Nama Responden Skor Indeks Kelas Kapasitas 1 Rumiyati 25 0.28 Rendah 2 Marliem 22 0.25 Rendah 3 Oden 26 0.30 Rendah 4 Ehsan 20 0.23 Rendah 5 Sulhan 21 0.24 Rendah 6 Farhan 19 0.22 Rendah 7 Nurul 39 0.44 Sedang 8 Kasto 19 0.22 Rendah 9 Sohib 22 0.25 Rendah 10 Untung 20 0.23 Rendah 11 Kholid 21 0.24 Rendah 12 Khadini 17 0.19 Rendah 13 Sri 21 0.24 Rendah 14 Erna 11 0.13 Rendah 15 Sukamto 20 0.23 Rendah 16 Umron 19 0.22 Rendah 17 Tamziz 20 0.23 Rendah Sumber: Hasil Analisis, 2019.
Desa Karangkobar berdasarkan Tabel 4.27 dapat diketahui
bahwa 16 responden atau dengan presentase 94% memiliki kapasitas
yang rendah dan 1 responden atau dengan presentase 6% memiliki
kapasitas sedang.
Tingkat kapasitas masyarakat di masing-masing desa yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Adapun hasil analisis tingkat kapasitas masyarakat di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.28 sebagai berikut.
134
Tabel 4.28 Tingkat Kapasitas Masyarakat Dengan Tingkat Ancaman Tanah Longsor Tinggi Di Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 Presentase Tingkat Kapasitas No Desa Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total Indeks 1 Slatri 22% 78% - 100% 0.35 2 Paweden 100% - - 100% 0.23 3 Gumelar 100% - - 100% 0.16 4 Sampang 20% 80% - 100% 0.31 5 Ambal 22% 78% - 100% 0.33 6 Pagerpelah 11% 22% 67% 100% 0.57 7 Pasuruhan 100% - - 100% 0.24 8 Karanggondang 100% - - 100% 0.15 9 Jlegong 100% - - 100% 0.16 10 Binangun 100% - - 100% 0.19 11 Karangkobar 94% 6% - 100% 0.17 Sumber: Hasil Analisis, 2019. Kecamatan Karangkobar yang wilayahnya memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi dibagi ke dalam 3 kelas kapasitas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat rendah ada 7 desa, yaitu Desa Paweden, Desa Gumelar, Desa
Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong, Desa Binangun, dan
Desa Karangkobar. Sementara kapasitas sedang ada 3 desa yaitu Desa
Slatri, Desa Sampang, dan Desa Ambal. Sedangkan wilayah dengan tingkat ancaman tanah longsor tinggi yang memiliki kapasitas tinggi hanya ada 1 desa yaitu Desa Pagerpelah. Seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 4.20 sebagai berikut.
135
0.8
0.7
0.6
0.5 Kapasitas Masyarakat 0.4 Rendah
0.3 Sedang
Tinggi 0.2
0.1
0 Indek s
Gambar 4.20 Indeks Kapasitas Masyarakat Kecamatan Karangkobar
Tingkat kapasitas masyarakat dinilai menggunakan 5 parameter
yang terdiri dari 22 indikator kapasitas masyarakat dari Peraturan Kepala
BNPB No. 2 Tahun 2012 tentang kapasitas masyarakat. Hasil analisis
pada wilayah yang memiliki tingkat kapasitas masyarakat rendah,
sedang, dan tinggi dapat dilihat secara rinci pada Tabel 4.29 sebagai
berikut.
136
Tabel 4.29 Ketersediaan Indikator-indikator Kapasitas Masyarakat
Parameter dan Indikator Kapasitas Masyarakat Tingkat Kapasitas Masyarakat No
Rendah Sedang Tinggi
1 Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan resiko 1 bencana Tidak Ada Ada ada 2 Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan Ada Ada Ada pengurangan resiko bencana 3 Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian Ada Ada Ada kewenangan dan sumberdaya pada tingkat lokal Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan Ada Ada Ada 4 bencana
2 Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana 1 Tersedianta kajian resiko bencana daerah berdasarkan data bahaya dan Ada Ada Ada kerentanan Tidak Tidak Tidak 2 Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip, dan ada ada ada menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama 3 Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala Tidak Ada Tidak besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat ada ada 4 Penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas Ada Tidak Ada guna menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan resiko ada 3 Pendidikan Kebencanaan 1 Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses Ada Tidak Ada di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan ada Kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan Ada Ada Ada 2 mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan resiko bencana dan pemulihan Tidak Tidak Tidak 3 Tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis ada ada ada manfaat biaya 4 Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas Ada Ada Ada dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara luas 4 Pengurangan Faktor Resiko Dasar 1 Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan- Ada Ada Ada kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup 2 Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial Tidak Ada Ada dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling ada beresiko terkena dampak bahaya Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi Tidak Tidak Tidak dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan- ada ada ada 3 kegiatan ekonomi pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya 4 Perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia memuat unsur-unsur Ada Ada Ada pengurangan resiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan 5 Langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam Ada Ada Ada proses-proses rehabilitasu dan pemulihan pascabencana 6 Ada Ada Ada Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak resiko bencana 5 Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini 1 Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme Ada Ada Ada penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan resiko bencana dalam pelaksanaannya 2 Tidak Ada Ada Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang ada siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan program tanggap darurat bencana 3 Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi Ada Ada Ada yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana 4 Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca Tidak Ada Ada bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa ada tanggap darurat Sumber: Hasil Analisis, 2019.
137
C. Pembahasan
1. Analisis Tingkat Ancaman Tanah Longsor di Kecamatan
Karangkobar
Tingkat ancaman tanah longsor di Kecamatan Karangkobar
berdasarkan hasil analisis terdiri dari 2 kelas yaitu tingkat ancaman sedang
dan tingkat ancaman tinggi.
a. Ancaman Tanah Longsor Tingkat Rendah
Wilayah penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor
rendah adalah 1% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar, yang
terdiri dari 1 satuan unit lahan yaitu Aluvial_I_Hutan Campuran yang
tersebar di 3 desa yaitu Desa Leksana, Desa Karanggondang, dan Desa
Ambal.
Tingkat ancaman tanah longsor rendah terdapat pada wilayah
yang memiliki kemiringan lereng datar yaitu dengan angka 0-8%,
dengan intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi atau
3000-3500 mm/tahun. Selain itu tingkat ancaman rendah terdapat pada
jenis tanah aluvial dengan tekstur tanah geluh. Memiliki kedalaman
tanah yang sangat tebal yaitu >120 cm dengan drainase tanah yang baik
dan agak baik. Sementara untuk penggunaan lahan wilayah yang
memiliki tingkat ancaman tanah longsor rendah memiliki penggunaan
lahan yang berupa ladang, permukiman, hutan campuran, dan kebun.
138
b. Ancaman Tanah Longsor Tingkat Sedang
Wilayah penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor
sedang adalah 74% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.
Satuan lahan yang masuk kedalam tingkat ancaman tanah longsor sedang
terdapat 10 satuan lahan yaitu Mediteran_I, Litosol_I,
Litosol_II,Aluvial_II,Aluvial_III,Aluvial_IV,Andosol_I,Andosol_II,And
osol_III,danAndosol_IV.
Tingkat ancaman tanah longsor sedang terdapat pada wilayah
yang memiliki kemiringan lereng datar hingga curam yaitu dengan angka
0-45%, dengan intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi
atau 3000->3500 mm/tahun. Selain itu tingkat ancaman sedang terdapat
pada jenis tanah mediteran, litosol, aluvial, dan andosol dengan tekstur
tanah lempung ringan, geluh berlempung, geluh, dan pasir bergeluh.
Memiliki kedalaman tanah yang sangat tebal yaitu >120 cm dengan
drainase tanah yang baik dan agak baik. Sementara untuk penggunaan
lahan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor sedang
memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, permukiman, hutan
campuran, dan kebun.
Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil analisis wilayah yang
memiliki ancaman tanah longsor sedang adalah Desa Slatri, Desa
Paweden, Desa Gumelar, Desa Sampang, Desa Ambal, Desa Pagerpelah,
Desa Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong, Desa Binangun,
Desa Purwodadi, Desa Karangkobar, dan Desa Leksana.
139
c. Ancaman Tanah Longsor Tingkat Tinggi
Wilayah penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor
tinggi adalah 25% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar.
Terdapat 7 satuan lahan yang masuk ke dalam tingkat ancaman tanah
longsor tinggi yaitu Mediteran_II, Mediteran_III, Mediteran_IV,
Mediteran_V, Litosol_III, Litosol_IV, dan Andosol_V.
Tingkat ancaman tanah longsor tinggi terdapat pada wilayah yang
memiliki kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam yaitu 15-
.45%, dengan intensitas curah hujan yang tinggi hingga sangat tinggi
atau 3000 - >3500 mm/tahun. Selain itu tingkat ancaman tanah longsor
tinggi terdapat pada jenis tanah mediteran, litosol, dan andosol dengan
tekstur tanah lempung ringan, geluh berlempung, geluh, dan pasir
bergeluh. Memiliki kedalaman tanah yang sangat tebal yaitu >120 cm
dengan drainase tanah yang baik dan agak baik. Sementara untuk
penggunaan lahan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor
tinggi memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, permukiman, dan
kebun.
Kecamatan Karangkobar berdasarkan hasil analisis wilayah
penelitian yang memiliki tingkat ancaman tanah longsor tinggi adalah
seluas 789,29 hektar atau dengan presentase 25% dari seluruh wilayah
Kecamatan Karangkobar, yang tersebar di 11 desa yaitu Desa Slatri,
Desa Paweden, Desa Gumelar, Desa Sampang, Desa Ambal, Desa
140
Pagerpelah, Desa Pasuruhan, Desa Karanggondang, Desa Jlegong,
Desa Binangun, dan Desa Karangkobar.
2. Analisis Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah
Longsor di Kecamatan Karangkobar
Kapasitas masyarakat di masing-masing desa yang memiliki tingkat
ancaman tanah longsor tinggi diketahui dari hasil perhitungan masing-
masing responden pada wilayah penelitian. Sehingga dapat diketahui
bahwa wilayah di Kecamatan Karangkobar yang memiliki ancaman tanah
longsor tinggi dikelompokkan ke dalam 3 kelas tingkat kapasitas
masyarakat, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
a. Kapasitas Mayarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor
Tingkat Rendah
Parameter aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana,
semua desa dengan tingkat kapasitas rendah belum memiliki kerangka
hukum dan kebijakan nasional atau lokal untuk pengurangan resiko
bencana maupun sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan
pengurangan resiko dari bencana. Namun telah terjalinnya partisipasi dan
desentralisasi komunitas, yang berupa adanya jalinan kerjasama yang
baik antara pemerintah dan juga masyarakat dalam akivitas pengurangan
resiko bencana. Selain itu telah berfungsinya forum atau jaringan daerah
khusus untuk pengurangan resiko bencana di semua desa yang berupa
adanya diskusi-diskusi informal antar kelompok untuk mengurangi
resiko bencana.
141
Parameter peringatan dini dan kajian resiko bencana, wilayah dengan tingkat kapasitas rendah pada belum semua desa memiliki kajian resiko bencana daerah, baru ada di Desa Binangun. Sementara untuk sistem-sistem yang siap memantau, mengarsip, dan menyebarluaskan data potensi bencana, maupun sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan luas semua desa di wilayah dengan tingkat kapasitas rendah belum tersedia. Sedangkan untuk indikator penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas, belum semua desa tersedia hanya Desa Binangun yang telah memiliki dokumen kajian resiko bencana daerah, meskipun kajian belum mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas.
Informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh semua kepentingan pada parameter pendidikan kebencanaan, belum semua desa dengan tingkat kapasitas rendah memiliki, baru ada di Desa
Binangun, Pasuruhan, dan Karangkobar. Sementara indikator kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik pengurangan resiko bencana dan pemulihan hanya ada di Desa Gumelar dan Desa Binangun. Untuk indikator tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis manfaat biaya, semua desa belum tersedia. Sedangkan untuk indikator strategi membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat, baru tersedia di Desa Binangun dan Desa Karangkobar yang berupa
142
adanya media yang mempublikasikan pembangunan kesadaran masyarakat untuk melakukan praktik pengurangan resiko bencana.
Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam, tataguna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan ilkilm pada parameter pengurangan faktor resiko dasar, belum semua desa memiliki, baru ada di Desa Pasuruhan, Paweden, Gumelar, dan Jlegong. Sementara untuk indikator rencana-rencana dan kebijakan- kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya dan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan- kegiatan ekonomi pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya semua desa dengan tingkat kapasitas rendah belum ada. Sedangkan untuk indikator perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan dan indikator pemulihan pasca bencana belum semua desa memiliki. Dan untuk indikator siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak- dampak resiko bencana atau proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur telah ada di Desa Paweden dan Desa Pasuruhan.
143
Kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penangana darurat bencana pada parameter pembangunan kesipasiagaan pada seluruh lini, belum tersedia di semua desa dengan tingkat kapasitas rendah, hanya tersedia di Desa Pasuruhan dan Desa Binangun. Pada indikator rencana kontinjensi dan prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat, belum tersedia di semua desa dengan tingkat kapasitas rendah. Dan untuk indikator tersedianya cadangan finansial dan logistik untuk mendukung upaya penanganan darurat bencana, baru tersedia di Desa Karangkobar yang berupa adanya anggaran dana khusus penanganan darurat bencana, sementara wilayah yang lain belum tersedia.
Desa yang meiliki tingkat kapasitas rendah sudah mulai merencanakan terbentuknya desa tangguh bencana (DESTANA) yang merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan. Namun belum satupun rencana desa tangguh bencana di daerah dengan kapasitas rendah yang, terealisasi karena terkendala di anggaran untuk upaya pengurangan resiko bencana.
Daerah yang memiliki tingkat kapasitas rendah 49% wilayahnya memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, 31% kebun, 12%
144
permukiman, dan 6,8% wilayahnya merupakan hutan campuran. Dengan jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman salak.
Masyarakat yang tinggal di wilayah dengan tingkat kapasitas rendah, dengan presentase 52% merupakan lulusan SD. Masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di daerah dengan tingkat ancaman tanah longsor yang tinggi, namun mereka tetap saja tinggal dan menempati wilayah itu. Karena mereka tidak memiliki pilihan lain, hanya lahan yang mereka tinggali yang mereka miliki, sehingga jika harus pindah mereka tidak memiliki dana untuk membeli lahan dan membangun rumah baru. Meskipun masyarakat tahu bahwa mereka tinggal di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor, mereka belum sepenuhnya paham tentang tanah longsor, seperti tanda-tanda tanah longsor dan faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab tanah longsor.
Hal ini karena belum pernah ada sosialisasi ataupun penyuluhan kepada masyarakat mengenai tanah longsor maupun pengurangan resiko bencana.
Matapencaharian penduduk di wilayah dengan tingkat kapasitas rendah adalah di bidang pertanian, hal ini dibuktikan dengan 67% masyarakatnya bekerja sebagai petani. Masyarakat hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari sektor pertanian sehingga mereka memiliki pendapatan yang tidak stabil. Selain itu, jumlah anggota keluarga yang masih ditanggung menjadikan kondisi dimana pengeluaran tetap namun pemasukan yang tidak pasti. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya
145
berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan menjadi kurang
memperhatikan penganggaran dana khusus untuk kegiatan kebencanaan.
Masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat kapasitas rendah
masih memanfaatkan alat tradisional yang berupa kentongan sebagai
media komunikasi untuk meyampaikan informasi kepada masyarakat.
Kentongan digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu media untuk
memberikan informasi terjadinya bencana alam, salah satunya adalah
tanah longsor. Selain keontongan, masyarakat di wilayah dengan tingkat
kapasitas rendah juga memanfaatkan speker atau toa masjid sebagai
media untuk menyampaikan informasi ataupun untuk mengumpulkan
masyarakat.
Sosialisasi ataupun penyuluhan belum pernah dilaksanakan di
wilayah dengan tingkat kapasitas rendah, sehingga kesadaran masyarakat
terhadap bencana masih rendah. Akibatnya masyarakat masih banyak
yang membuat kolam ikan pada daerah lereng, meskipun dari pihak
pemerintah desa sendiri sudah mulai melaksanakan program jamban
sehat. b. Kapasitas Mayarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor
Tingkat Sedang
Kecamatan Karangkobar yang wilayahnya memiliki tingkat
kapasitas masyarakat sedang ada 3 desa, yaitu Desa Slatri, Desa
Sampang, dan Desa Ambal. Pada parameter aturan dan kelembagaan
penanggulangan bencana, wilayah dengan tingkat kapasitas sedang telah
146
memiliki kerangka hukum dan kebijakan nasional atau lokal untuk pengurangan resiko bencana yang berupa adanya kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang melaksanakan praktik pengurangan resiko bencana dan aturan tertulis tentang pengurangan resiko bencana. Pada indikator tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan resiko bencana, belum semua desa tersedia, Desa
Sampang dan Desa Ambal yang sudah memiliki anggaran dana khusus aktivitas pengurangan resiko bencana. Dan hanya Desa Sampang yang sudah disertai dengan sarana dan prasarana dalam pengurangan resiko bencana, seperti rambu-rambu jalur evakuasi dan lokasi atau titik kumpul. Untuk indikator terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas, semua desa dengan tingkat kapasitas rendah telah memiliki jalinan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam akivitas pengurangan resiko bencana. Dan untuk indikator berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan resiko bencana, semua desa telah ada diskusi-diskusi informal antar kelompok untuk mengurangi resiko bencana.
Kajian resiko bencana daerah pada parameter peringatan dini dan kajian resiko bencana, sudah tersedia di Desa Slatri dan Desa Sampang yang berupa tersedianya peta ancaman tanah longsor dan dokumen kajian resiko bencana tanah longsor, sementara Desa Ambal belum tersedia. Untuk indikator tersedianya sistem-sistem yang siap memantau, mengarsip, dan menyebarluaskan data potensi bencana, semua desa
147
dengan tingkat kapasitas sedang belum tersedia. Sementara pada indikator tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan luas, Desa Slatri dan Desa Sampang telah memiliki sistem peringatan dini bencana tanah longsor dan sosialisasi maupun pelatihan simulasi peringatan dini sementara Desa Ambal belum tersedia. Dan pada indikator penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas, belum tersedia di semua desa dengan tingkat kapasitas sedang.
Informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh semua kepentingan pada parameter pendidikan kebencanaan belum terdapat di semua desa dengan tingkat kapasitas sedang. Pada indikator kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik pengurangan bencana dan pemulihan hanya terdapat di Desa Sampang, yang berupa telah ada peningkatan keterampilan dalam menangani keadaan darurat bencana di sekolah yaitu pada tingkat SD. Untuk indikator tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis manfaat biaya, semua desa dengan tingkat kapasitas sedang belum tersedia. Sementara untuk indikator strategi membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat, sudah tersedia di semua desa yang berupa adanya media yang mempublikasikan pembangunan kesadaran masyarakat untuk
148
melakukan praktik pengurangan resiko bencana dan adanya inisiatif membangun desa tangguh bencana.
Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam, tataguna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan ikilm pada parameter pengurangan faktor resiko dasar, belum semua desa tersedia, dan baru terdapat di Desa Slatri. Pada indikator rencana-rencana dan kebijakan pembangunan sosial untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling bersiko terdampak bahaya, hanya terdapat di Desa Sampang. Sedangkan indikator rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi, belum ada di semua desa dengan tingkat kapasitas sedang. Sementara untuk indikator perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana, indikator langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana, dan indikator siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak resiko bencana atau proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur telah tersedia di semua desa yang memiliki tingkat kapasitas sedang.
Kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penangana darurat bencana pada parameter pembangunan kesipasiagaan pada seluruh lini, telah ada di Desa Slatri dan Desa Sampang, yang berupa terdapat lembaga di pemerintah yang didukung relawan untuk
149
melakukan praktik penanganan darurat bencana. Untuk indikator tersedianya rencana kontinjensi dan indikator tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat bencana, telah ada di Desa Slatri dan Desa Sampang. Sementara untuk indikator tersedianya cadangan finansial dan logistik untuk mendukung upaya penanganan darurat bencana telah ada di Desa Slatri dan Desa Sampang yang berupa adanya anggaran dana khusus penanganan darurat bencana, sementara
Desa Ambal belum tersedia.
Desa yang memiliki tingkat kapasitas sedang sudah merencanakan terbentuknya desa tangguh bencana (DESTANA) yang merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan. Namun belum semua rencana desa tangguh bencana di daerah dengan kapasitas sedang terealisasi.
Desa tangguh bencana (DESTANA) baru terbentuk di Desa Sampang, sementara desa yang lain baru sebatas rencana karena terkendala di anggaran untuk upaya pengurangan resiko bencana. Desa Sampang telah membentuk desa tangguh bencana yang telah diresmikan oleh BPBD
Kabupaten Banjarnegara sejak tahun 2018. Desa Sampang telah memiliki peta ancaman bencana, dokumen kajian resiko bencana tanah longsor, dan anggaran dana khusus untuk pengurangan bencana, khususnya untuk penyediaan peralatan dan pelatihan pengurangan resiko
150
bencana. Desa Sampang juga memiliki kelompok-kelompok siaga bencana yang melaksanakan praktik pengurangan bencana, baik dari kelompok karangtaruna, pemuda muhammadiyah, maupun kelompok banser. Selain itu, Desa Sampang merupakan satu-satunya desa di
Kecamatan Karangkobar yang memiliki sarana dan prasarana pengurangan bencana yang berupa rambu-rambu jalur evakuasi yang tersebar di seluruh Desa Sampang, yang berfungsi menunjukkan arah evakuasi ke tempat yang lebih aman kepada masyarakat apabila tanah longsor terjadi.
Desa Sampang telah memiliki tempat pengungsian bencana atau titik kumpul apabila tanah longsor terjadi. Tempat pengungsian Desa
Sampang terletak di Kantor Kepala Desa Sampang yang merupakan tempat paling strategis dibandingkan dengan yang lain, karena wilayahnya yang datar dan dekat dengan jalan keluar desa.
Daerah yang memiliki tingkat kapasitas sedang 38% wilayahnya memiliki penggunaan lahan yang berupa ladang, 37% kebun, 8% permukiman, dan 15% wilayahnya merupakan hutan campuran. Dengan jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman jagung, sayuran, dan singkong.
Masyarakat di wilayah dengan tingkat kapasitas sedang dengan presentase 53% merupakan lulusan SD. Masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di daerah dengan tingkat ancaman tanah longsor yang tinggi, namun mereka tetap saja tinggal dan menempati wilayah itu.
151
Karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain, hanya lahan yang mereka tinggali yang mereka miliki secara turun temurun. Akan tetapi mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap bencana tanah longsor. Masyarakat di wilayah dengan tingkat kapasitas sedang tidak hanya mengetahui bahwa mereka tinggal di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Mereka juga sudah mengetahui tanda- tanda tanah longsor dan faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena adanya sosialisasi dan pelatihan dari pemerintah kepada masyarakat sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengalami peningkatan. Selain itu pengalaman masyarakat terhadap bencana tanah longsor juga menjadikan masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup baik.
Masyarakat di wilayah dengan tingkat kapasitas sedang sebanyak
77% bekerja sebagai petani. Mereka hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari sektor pertanian sehingga mereka memiliki pendapatan yang tidak stabil. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan menjadi kurang memperhatikan penganggaran dana khusus untuk kegiatan kebencanaan.
Masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat kapasitas sedang masih memanfaatkan alat tradisional yang berupa kentongan sebagai media komunikasi untuk meyampaikan informasi kepada masyarakat.
Kentongan digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu media untuk memberikan informasi terjadinya bencana alam, salah satunya adalah
152
tanah longsor. Selain itu masyarakat juga mulai menggunakan hp
(handphone) sebagai media komunikasi untuk menyampaikan informasi
tentang kegiatan pengurangan resiko bencana, seperti sosialisasi ataupun
pelatihan.
Program jamban sehat dan sosialisasi mengenai bahaya kolam
ikan di daerah lereng sudah ada di wilayah dengan tingkat kapasitas
sedang. Sehingga masyarakat sudah tidak membuat kolam ikan pada
daerah lereng. c. Kapasitas Mayarakat dalam Menghadapi Bahaya Tanah Longsor
Tingkat Tinggi
Kecamatan Karangkobar yang wilayahnya memiliki tingkat
kapasitas tinggi adalah Desa Pagerpelah. Semua indikator pada
parameter aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana telah
trsedia. Seperti kerangka hukum dan kebijakan nasional atau lokal untuk
pengurangan resiko bencana, sumberdaya yang dialokasikan khusus
untuk kegiatan pengurangan resiko bencana, terjalinnya partisipasi dan
desentralisasi komunitas, semua desa dengan tingkat kapasitas rendah
telah memiliki jalinan kerjasama yang baik antara pemerintah dan
masyarakat dalam akivitas pengurangan resiko bencana, dan
berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan
resiko bencana.
Indikator kajian resiko bencana daerah dan indikator tersedianya
sistem-sistem yang siap memantau, mengarsip, dan menyebarluaskan
153
data potensi bencana pada parameter peringatan dini dan kajian resiko bencana, telah ada di Desa Pagerpelah. Sementara pada indikator tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan luas Desa Pagerpelah belum memiliki sistem peringatan dini bencana tanah longsor, akan tetapi telah ada sosialisasi maupun pelatihan simulasi peringatan dini. Dan pada indikator penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas, Desa
Pagerpelah telah tersedia meskipun belum mempertimbangkan resiko lintas batas.
Informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh semua kepentingan pada parameter pendidikan kebencanaan telah tersedia di Desa Pagerpelah yaitu telah adanya arsip data kejadian bencana selama 5 tahun terakhir. Pada indikator kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik pengurangan bencana dan pemulihan telah ada di Desa
Pagerpelah, yang berupa telah ada peningkatan keterampilan dalam menangani keadaan darurat bencana di sekolah yaitu pada tingkat SD.
Untuk indikator tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis manfaat biaya, Desa Pagerpelah belum tersedia.
Sementara untuk indikator strategi membangun kesadaran seluruh komunitas dala melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat telah tersedia di Desa Pagerpelah yang berupa adanya media yang mempublikasikan pembangunan kesadaran
154
masyarakat untuk melakukan praktik pengurangan resiko bencana dan adanya inisiatif membangun desa tangguh bencana.
Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan dan rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam, tataguna lahan, dan adaptasi terhadap perubahan ikilm, dan indikator rencana-rencana dan kebijakan pembangunan sosial untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling bersiko terdampak bahaya pada parameter pengurangan faktor resiko dasar sudah terdapat di Desa Pagerpelah. Sedangkan indikator rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi belum tersedia. Sementara untuk indikator perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana, indikator langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana, dan indikator siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak- dampak resiko bencana atau proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur telah ada di Desa Pagerpelah.
Parameter pembangunan kesipasiagaan pada seluruh lini yang berupa tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penangana darurat bencana, tersedianya rencana kontinjensi, tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat bencana, dan tersedianya cadangan financial dan logistik
155
untuk mendukung upaya penanganan darurat bencana telah tersedia di Desa Pagerpelah.
Desa Pagerpelah sudah merencanakan terbentuknya desa tangguh bencana (DESTANA) yang merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan. Rencana membentuk desa tangguh bencana di Desa
Pagerpelah baru pada tahap awal untuk membentuk desa tangguh bencana yang dimulai dengan adanya anggaran dana khusus untuk pengurangan bencana, khususnya untuk penyediaan peralatan dan pelatihan pengurangan resiko bencana.
Desa Pagerpelah 47% wilayahnya memiliki penggunaan lahan yang berupa kebun, 24% hutan campuran, 23% ladang, dan 5% wilayahnya merupakan permukiman. Dengan jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman salak.
Masyarakat di Desa Pagerpelah sebanyak 46% merupakan lulusan
SD. Masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di daerah dengan tingkat ancaman tanah longsor yang tinggi, namun mereka tetap saja tinggal dan menempati wilayah itu. Karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain, hanya lahan yang mereka tinggali yang mereka miliki secara turun temurun. Akan tetapi mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap bencana tanah longsor. Masyarakat di Desa Pagerpelah
156
tidak hanya mengetahui bahwa mereka tinggal di wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi. Mereka juga sudah mengetahui tanda- tanda tanah longsor dan faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena adanya sosialisasi dan pelatihan dari pemerintah kepada masyarakat sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengalami peningkatan.
Masyarakat di Desa Pagerpelah sebanyak 76% bekerja sebagai petani. mereka hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari sektor pertanian sehingga mereka memiliki pendapatan yang tidak stabil. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan menjadi kurang memperhatikan penganggaran dana khusus untuk kegiatan kebencanaan.
Masyarakat di Desa Pagerpelah masih memanfaatkan alat tradisional yang berupa kentongan sebagai media Selain itu masyarakat juga mulai menggunakan hp (handphone) sebagai media komunikasi yang berupa grup percakapan antar keluarga atau kelompok pemuda untuk menyampaikan informasi tentang bencana yang terjadi maupun kegiatan pengurangan resiko bencana, seperti sosialisasi ataupun pelatihan.
Program jamban sehat dan sosialisasi mengenai bahaya kolam ikan di daerah lereng sudah ada di Desa Pagerpelah. Sehingga kolam ikan pada daerah lereng sudah banyak ditutup oleh masyarakat. Bahkan
157
sudah dapat dikatakan kolam ikan di daerah lereng sudah tidak ada lagi di Desa Pagerpelah.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Pagerpelah adalah dalam pengelolaan lahan pertanian. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat juga menerapkan konservasi lahan dalam bidang pertanian. Sebagai adaptasi masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki bahaya tanah longsor tinggi. Masyarakat di Desa
Pagerpelah mengetahui bahwa kegiatan pertanian merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Untuk itu, mereka berusaha meminimalisir dampak dari kegiatan pertanian terhadap tanah longsor, yang dilakukan dengan cara menanam tanaman keras pada lahan pertanian yang mereka miliki. Dimana tanaman salak merupakan tanaman paling dominan di Desa Pagerpelah, karena merupakan satu- satunya tanaman yang dapat tumbuh baik di wilayah ini. Masyarakat menanam tanaman keras seperti mahoni, albasiah, sengon, dan tanaman berakar keras lainnya di sela-sela tanaman salak. Hal ini bertujuan mengurangi erosi yang terjadi akibat kegiatan pertanian. Sekaligus sebagai media untuk menguatkan tanah agar mengurangi tanah longsor.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wilayah di Kecamatan Karangkobar memiliki ancaman tanah longsor
tingkat rendah 1% yang tersebar di 3 desa, tingkat sedang 74% yang tersebar
di 13 desa, dan 25% memiliki ancaman tanah longsor tinggi yang tersebar di
11 desa di Kecamatan Karangkobar.
Daerah yang memiliki ancaman tanah longsor tingkat tinggi memiliki
kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tanah longsor tingkat rendah
ada 7 desa, kapasitas masyarakat dalam menghadapai bahaya tanah longsor
tingkat sedang ada 3 desa, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi
bahaya tanah longsor tingkat tinggi ada 1 desa.
B. Saran
Bagi masyarakat, mengikuti sosialisasi, pelatihan dan penyuluhan
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya
melakukan tindakan penanggulangan bencana pada sebelum, saat dan setelah
bencana tanah longsor terjadi.
158
159
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Anisah. 2007. Sistem Informasi Geografis. Artikel Kuliah Sistem Informasi. STMIK AMIKOM Yogyakarta.
Arifin, Samsul, dkk. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 3 No. 1 Hal:77-86.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Arrisaldi, Thema. 2017. Kajian Pemanfaatan Wilayah Rlongsor di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007. Jurnal Geografi UMS ISBN: 978– 602–361–072-3.
Ayudya, Vindi R., dkk. 2015. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor di Desa Sampang Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Bumi Indonesia. Volume 6. Nomor 1. Tahun 2017.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2019. Data Curah Hujan Tahunan Kabupaten Banjarnegara.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Rekapitulasi Bencana Nasional.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara. 2019. Rekapitulasi Kejadian Bencana Tahun 2018.
Badan Pusat Statistik. 2018. Kecamatan Karangkobar Dalam Angka Tahun 2018.
Bayuaji, Dhuha G., dkk. 2016. Analisis Penentuan Zonasi Risiko Bencana Tanah Longsor Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kabupaten Banjarnegara). Jurnal Geodesi. Januari 2016 Volume 5. Nomor 1. Tahun 2016. Universitas Diponegoro Semarang.
Cahyono, Anang Sugeng. 2016. Pengaruh Media Sosial terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial. Vol 9, No 1. Universitas Tulungagung.
Darmawan, Wahyu. 2018. Analisis Penentuan Zona Kerentanan Gerakan Tanah dengan Metode Storie (Studi Kasus Kabupaten Wonogiri). Jurnal Geodesi. Universitas Diponegoro.
160
Darmawijaya, M. Isa. 1992. Klasifikasi Tanah Dasar Teori Bagi Peneliti dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2005. Vulkanologi Survey Of Indonesia Pengenalan Gerakan Tanah. Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007. tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Bencana Longsor.
Hutomo, Izzan A. 2016. Model Prediksi Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Karangkobar. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Volume 12 (3): 303 - 314 September 2016. Universitas Diponegoro Semarang.
Indrasmoro, Gigih Prastyo. 2013. Geographic Information System (GIS) untuk Deteksi Daerah Rawan Longsor Studi Kasus di Kelurahan Karang Anyar Gunung Semarang. Jurnal Fakultas Ilmu Komputer.
International Strategi for Disaster Reduction . 2004. Kerangka Kerja Aksi Hyogo: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana. Hyogo, Jepang.
Karnawati. 2003. Manajemen Bencana Gerakan Tanah. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada.
Kartono, Tjandra. 2017. Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Keswara, Rangga Panji. 2015. Geomorfologi Jawa Tengah.
Khasir, Muhammad. 2016. Penilaian Resiko Bencana Tanah Longsor Desa Wanadri Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Geografi Universitas Negeri Semarang . Marina, Rina Masri. 2012. Analisis Keruangan Kesesuaian Lahan untuk Permukiman di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat. Universitas Pendidikan Indonesia.
Mayangsari, Della Vira Putri. 2016. Pemetaan Daerah Rawan Gerakan Tanah Di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Menggunakan Metode Analisis Statistik Bivariate. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Muhammad, Nezar E., dkk. 2017. Kapasitas Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Jurnal Edu Geography. Volume 6. No.1. Universitas Negeri Semarang.
161
Munggaran, Rizky Djati. 2012. Pemanfaatan Open Source Software Pendidikan Oleh Mahasiswa Dalam Rangka Implementasi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Universitas Pendidikan Indonesia.
Nurjanah, dkk. 2011. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta.
Pannekoek, A.J. 1949. Provides An Explanatory Text on the Geomorfology Of Java. Bandung: Tempo Interaktif.
Parmanto, Bagus. 2015. Pengaruh Pendidikan Mitigasi Bencana Longsor Terhadap Pengetahuan Masyarakat Di Desa Sampang Kecamatan Karangkobar Banjarnegara. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Pawestriana, Fajria. 2016. Pengetahuan Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana Letusan Gunungapi Slamet di Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Geo Edukasi Vol. 5, No.2, October 2016 (17 - 24).
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012. Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 3 Tahun 2012. Tentang Panduan Penilaian Kapasitas Daerah Dalam Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2008. Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Purnama, Sang Gede. 2017. Modul Manajemen Bencana. Bali: Universitas Udayana.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2018.
Puslit Tanah, 2004. Klasifikasi Intersitas Curah Hujan. Puslit Tanah, Bogor.
Puturuhu, Ferad. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahman, Amni Z. 2017. Kapasitas Daerah Banjarnegara Dalam Penanggulangan Bencana Alam Tanah Longsor. Jurnal Ilmu Sosial. Vol. 16 No. 1 Februari 2017 Hal. 1-8. Universitas Diponegoro Semarang.
Rijanta, R, dkk. 2018. Modal Sosial Dalam Manajemen Bencana. Yogyakarta: UGM Press.
162
Rudiyanto. 2010. Analisis Potensi Bahaya Tanah Longsor Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sartohadi, Junun. 2012. Pengantar Geografi Tanah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiawan, Heru. 2014. Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi coping Masyarakat Lokal Dalam Menghadapi Bencana Longsor Studi Kasus di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 – 81. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Setyowati, Dewi Liesnoor. 2017. Pendidikan Kebencanaan (Bencana banjir, Longsor, dan Gempa Tsunami). Semarang: CV. Sanggar Krida Aditama.
Sriyono, Agus. 2012. Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Sugianti, Khori. 2014. Pengkelasan Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Daerah Sumedang Selatan Menggunakan Metode Storie. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan. Vol. 24, No.2, Desember 2014 (93-104). Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sugiyono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suharini, E., Hariyanto. 2008. Kesiapan Penduduk Pemukim di Daerah Rawan Longsor Kota Semarang: Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 2 Desember 2008. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Suranto, Joko Purwoko. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan Pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Jurnal Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980.
Sutikno, 2001, Mengenal Tanah Longsor, Direktorat Geologi Tata Lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung.
Susanti, Pranatasari D. 2017. Analisis Kerentanan Tanah Longsor Sebagai Dasar Mitigasi Di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Vol. 1 No. 1 April 2017: 49-59.
Syamsul, HAS. 2017. Pemanfaatan Daerah Rawan Bencana Longsor Menjadi Lahan Pertanian di Kecamatan Bungin Kabupaten Enrekang. UIN Alauddin Makassar.
163
Taufik, H.P. dan Suryadi. 2008. Landslide Risk Spatial Modeling Using Geographical Information System. Tutorial Landslide. Laboratorium Sistem Informasi Geografis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Halaman 9.
Taufik Q, Firdaus. 2012. Pemetaan Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Konawe. Kendari . Jurnal Fisika FMIPA Universitas Haluoleo.
Tjahjono, Heri. 2003. Kerentanan Medan Terhadap Longsoran dan Stabilitas Lereng di Daerah Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang (Suatu Aplikasi Pendekatan Medan). Tesis. Yogyakarta. Program Pasca Sarjana UGM.
Tjahjono, Heri dan Lashari. 2007. Model Penentuan Tingkat Bahaya Longsoran, Stabilitas Lereng dan Risiko Longsoran Dengan Bantuan Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kota Semarang. Semarang. FIS UNNES.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Verstappen, H.T. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environmental Development. Netherland : Elsevier Science Publishier, B.V.
Wahyuni, Eldina. 2015. Analisis Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat terhadap Bencana Banjir Bandang Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal Ilmu Kebencanaan. Vol. 2 No. 3, Agustus 2015. Warnadi. 2014. Inventarisasi Daerah Rawan Longsor Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Jurnal Spasial Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 12 No. 2 September 2014.
Wesnawa, I Gede, dkk 2014. Geografi Bencana. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yunus, Hadi Sabari. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
LAMPIRAN
164
165
Lampiran 1 Instrument Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor
Tataguna Iklim Lereng Tanah Lahan No Sampel Satuan Lahan Curah Hujan Kemiringan Jenis Kedalaman Penggunaan (mm/tahun) Lereng Tanah Tekstur Drainase Tanah Lahan 1 Mediteran_I_Ladang 2 Mediteran_II_Ladang 3 Mediteran_III_Ladang 4 Mediteran_IV_Ladang 5 Mediteran_V_Permukiman 6 Litosol_I_Kebun 7 Litosol_II_Kebun 8 Litosol_III_Kebun 9 Litosol_IV_Kebun Aluvial_I_Hutan 10 Campuran 11 Aluvial_II_Permukiman 12 Aluvial_III_Ladang 13 Aluvial_IV_Ladang 14 Andosol_I_Permukiman 15 Andosol_II_Kebun 16 Andosol_III_Ladang 17 Andosol_IV_Kebun 18 Andosol_V_Ladang
166
Lampiran 2 Instrumen Kapasitas Masyarakat
INSTRUMEN KAPASITAS MASYARAKAT KECAMATAN KARANGKOBAR KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2019
Waktu dan Lokasi Penelitian Hari, Tanggal :……………………………………………………. Dusun/Desa :……………………………………………………. RT/RW :……………………………………………………. Identitas Narasumber Nama Narasumber :…………………………………………………… Jenis Kelamin :……………………………………………………. Jabatan :…………………………………………………….
Petunjuk: Berilah tanda (Ѵ) pada jawaban yang menurut Anda benar.
1. Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana Indikator : 1) Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana telah ada dengan tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang pemerintahan. Respon No Pertanyaan Ya Tidak 1 Apakah telah ada kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang melaksanakan praktik pengurangan risiko bencana secara terstruktur dan terencana di daerah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.5, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 2 Apakah telah ada aturan tertulis tentang pengurangan risiko bencana atau penanggulangan bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.5, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 3 Apakah aturan tertulis tersebut telah diterapkan dalam institusi Anda dalam pengurangan risiko bencana secara terencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.5, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 4 Apakah aturan daerah tersebut telah diadaptasikan dalam aturan daerah lainnya (seperti Perda Tata Guna Lahan, IMB, SOTK dll)? (lanjutkan ke pertanyaan no. 5)
2) Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di semua tingkat pemerintahan
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 5 Apakah ada anggaran dana khusus dari Pemerintah untuk pelaksanaan aktivitas pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.9, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 6 Apakah sarana dan prasarana dalam pengurangan resiko bencana sudah tersedia? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.9, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 7 Apakah personil dalam pengurangan resiko bencana sudah tersedia? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.9, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 8 Menurut anda apakah dana, sarana, prasarana, serta personil yang ada telah terpenuhi baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya? (Lanjutkan ke pertanyaan no.9)
167
3) Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal Respon No Pertanyaan Ya Tidak 9 Apakah telah ada jalinan kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat/komunitas lokal dalam aktivitas pengurangan resiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.13, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 10 Menurut penilaian Anda, peraturan daerah tentang penanggulangan bencana yang ada di daerah Anda telah dengan jelas mengatur mekanisme pembagian kewenangan dan sumber daya berdasarkan peran dan tanggung jawab antara pemerintah daerah dan komunitas lokal secara relevan dan sistematis? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.13, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 11 Apakah dalam pembagian peran dan tanggung jawab, seluruh sektor komunitas, swasta dan seluruh pemangku melaksanakan perannya secara aktif? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.13, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 12 Apakah aktivitas pengurangan resiko bencana telah dipublikasikan secara transparan oleh media-media lokal sebagai partisipasi komunitas media? (Lanjutkan ke pertanyaan no.13)
4) Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana Respon No Pertanyaan Ya Tidak 13 Apakah telah ada diskusi-diskusi informal antar kelompok (baik pemerintah, LSM, PMI, Akademisi, Media, Ulama dan sebagainya) untuk pengurangan risiko bencana daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.17, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 14 Apakah telah ada suatu forum/diskusi yang berfungsi untuk mempercepat upaya pengurangan risiko bencana di daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.17, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 15 Apakah forum tersebut beranggotakan aktor-aktor yang memiliki kekuatan untuk menembus birokrasi dan kendalakendala anggaran serta memiliki jaringan yang kuat untuk melaksanakan pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.17, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 16 Menurut Anda apakah forum ini telah menghasilkan pencapaian yang berarti untuk pengurangan risiko bencana di daerah ini? (Lanjutkan ke pertanyaan no.17)
2. Peringatan dini dan kajian risiko bencana Indikator :
1) Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 17 Apakah wilayah Anda telah memiliki peta ancaman bencana tanah longsor? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.21, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 18 Apakah telah ada Dokumen Kajian Risiko yang dilengkapi dengan peta risiko ancaman bencana tanah longsor di daerah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.21, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 19 Apakah Kajian Risiko Bencana-bencana tersebut selalu diperbaharui secara periodik berdasarkan data terbaru? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.21, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
168
20 Apakah Kajian Risiko Bencana Daerah telah dijadikan dasar bagi pembangunan dan penanaman modal pada tingkat lokal/nasional? (Lanjutkan ke pertanyaan no.21)
2) Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama Respon No Pertanyaan Ya Tidak 21 Apakah telah tersedia data-data pendukung dan analisisnya untuk penyusunan Kajian Risiko Bencana seperti data penduduk yang terdampak bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.25, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 22 Apakah data-data tersebut dapat diakses oleh semua golongan masyarakat? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.25, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 23 Apakah informasi data pendukung tersebut digunakan untuk penyusunan kebijakan pengurangan risiko bencana daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.25, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 24 Apakah informasi data pendukung kajian risiko yang diperbarui secara periodik tersebut juga dapat dilihat (diakses) dan dijadikan referensi bagi daerah lain? (Lanjutkan ke pertanyaan no.25)
3) Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat Respon No Pertanyaan Ya Tidak 25 Apakah masyarakat masih memanfaatkan kearifan local dan fenomena alam sebagai peringatan akan datangnya bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.29, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 26 Apakah daerah telah memiliki sistem peringatan dini untuk setiap bencana yang sering terjadi di daerah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.29, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 27 Apakah pernah dilaksanakan pelatihan, simulasi dan uji untuk sistem peringatan dini secara berkala oleh multi stakeholder? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.29, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 28 Apakah sistem peringatan dini siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan yang luas keseluruh tingkat masyarakat? (Lanjutkan ke pertanyaan no.29)
4) Penilaian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko-Risiko Lintas Batas Guna Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk Pengurangan Risiko
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 29 Apakah telah tersedia Dokumen Kajian Risiko Bencana daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.33, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 30 Apakah Dokumen Kajian Risiko bencana yang telah ada telah mempertimbangkan risiko- risiko lintas batas wilayah administrasi kawasan Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.33, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 31 Apakah Dokumen Kajian Risiko bencana yang telah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas dapat diakses oleh setiap pemangku kepentingan antar daerah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.33, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan
169
selanjutnya) 32 Apakah Dokumen Kajian Risiko bencana yang telah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas telah diimplementasikan untuk pengurangan risiko bencana lintas batas? (Lanjutkan ke pertanyaan no.33)
3. Pendidikan kebencanaan Indikator : 1) Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring, pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst).
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 33 Apakah telah ada arsip yang berisikan data kejadian bencana yang terjadi di daerah anda selama 5 tahun terakhir? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.37, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 34 Apakah tersedia informasi kejadian bencana apa saja yang mungkin terjadi pada hari ini di daerah anda dari sumber informasi tertulis yang tepercaya? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.37, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 35 Apakah informasi bencana yang diperbarui setiap hari dari sumber informasi tersebut terintegrasi dengan system informasi ditingkat nasional? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.37, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 36 Apakah informasi bencana yang diperbarui setiap hari dari sumber informasi tersebut dijadikan referensi dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah ? (Lanjutkan ke pertanyaan no.37)
2) Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan pemulihan
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 37 Apakah sudah ada peningkatan keterampilan dalam menangani keadaan darurat bencana di sekolah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.41, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 38 Apakah sudah terlaksana pelajaran tentang pengurangan risiko bencana disekolah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.41, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 39 Apakah pelajaran tentang pengurangan risiko bencana di sekolah telah ditunjang dengan kurikulum yang terukur dan terstruktur? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.41, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 40 Apakah sudah ada transisi budaya menuju budaya pengurangan risiko bencana di sekolah? (Lanjutkan ke pertanyaan no.41)
3) Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat-biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset.
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 41 Apakah telah dilaksanakan riset yang terbukti mampu menurunkan kerugian bila terjadi bencana di wilayah Anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.45, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
170
42 Apakah Institusi Anda telah menggunakan hasil riset untuk memantau ancaman bencana dan menurunkan kerentanan daerah terhadap risiko multi bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.45, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 43 Apakah di daerah Anda telah tersedia metode riset standard yang diakui dan digunakan secara kolektif untuk kajian multi risiko yang berasal dari perguruan tinggi atau lembaga lainnya untuk menurunkan rasio pemakaian dana pemulihan bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.45, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 44 Apakah Metode Riset tersebut telah terbukti untuk menurunkan rasio pemakaian dana pemulihan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pengurangan risiko bencana berdasarkan hasil riset? (Lanjutkan ke pertanyaan no.45)
4) Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun pedesaan Respon No Pertanyaan Ya Tidak 45 Apakah di daerah Anda telah terdapat berbagai media permanen (baik media cetak, elektronik, billboard, poster atau event/acara terorganisir yang tetap ada) untuk mempublikasikan pembangunan kesadaran masyarakat untuk melakukan praktik pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.49, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 46 Apakah daerah Anda telah memiliki inisiatif untuk membangun desa tangguh/siaga dalam menggalang praktik budaya pengurangan risiko bencana yang telah diperkuat oleh para pemangku kepentingan baik akademisi, praktisi maupun pemerintah? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.49, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 47 Apakah standar minimal materi publikasi dan desa tangguh tersebut diterapkan dalam strategi dan perencanaan terukur serta memperhitungkan momen Hari Pengurangan Risiko Bencana dalam pelaksanaannya? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.49, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 48 Apakah tersedia metode untuk mengukur keberhasilan strategi dan perencanaan publikasi yang diterapkan pada suatu daerah dalam meningkatkan praktik budaya pengurangan risiko bencana? (Lanjutkan ke pertanyaan no.49)
4. Pengurangan faktor risiko dasar Indikator : 1) Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana- rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 49 Apakah di pemerintahan maupun dikomunitas telah ada kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi secara proporsional terhadap Pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.53, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 50 Apakah telah ada kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya alam serta tata guna lahan yang memperhatikan aspek pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.53, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 51 Apakah kebijakan tersebut telah memprioritaskan unsur-unsur pengurangan risiko bencana
171
dengan mengurangi faktor-faktor risiko dasar (ekonomi, sosial, budaya dan infrastruktur) serta perubahan iklim? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.53, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 52 Apakah kebijakan tersebut telah diaplikasikan secara berkelanjutan? (Lanjutkan ke pertanyaan no.53)
2) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 53 Apakah telah ada diselenggarakan aksi-aksi sosial dalam kelompok-kelompok komunitas yang terintegrasi dengan pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.57, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 54 Apakah telah ada aksi-aksi sosial (seperti program kapasitas jaringan pangan, kesehatan, membangun perekonomian untuk menekan terbentuknya kelompok masyarakat miskin, asuransi infrastruktur, asuransi asset penduduk lainnya) untuk mengurangi kerentanan penduduk dari berbagai pemangku kepentingan yang telah ditentukan dalam kebijakan- kebijakan pembangunan sosial? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.57, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 55 Apakah aksi- aksi tersebut tersebut dilaksanakan di seluruh wilayah ancaman bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.57, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 56 Apakah telah terbangun budaya komunitas yang berorientasi pada aspek kapasitas jaringan pangan, kesehatan umum, perekonomian dalam hal pengurangan terbentuknya kelompok- kelompok miskin dan asuransi infrastruktur dan asset penduduk dengan partisipasi setiap komponen komunitas? (Lanjutkan ke pertanyaan no.57)
3) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 57 Apakah sektor produksi telah mulai mengembangkan upaya-upaya untuk pengurangan risiko bencana kepada kelompok-kelompok kecil masyarakat dalam bentuk kemitraan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.61, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 58 Apakah ada perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi serta sektor produksi yang secara tidak langsung perlindungan tersebut ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas komunitas dalam upaya pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.61, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 59 Apakah telah ada kegiatan-kegiatan yang terukur dan terarah berdasarkan rencana yang matang untuk meningkatkan kapasitas komunitas dibidang ekonomi dan produksi yang ditujukan untuk pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.61, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 60 Apakah telah terbangun iklim yang kondusif bagi peningkatan dan perlindungan kegiatan ekonomi dan sector produksi yang ditujukan untuk peningkatan kapasitas komunitas dalam bidang perekonomian? (Lanjutkan ke pertanyaan no.61)
4) Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan
172
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 61 Apakah telah ada rencana tata ruang wilayah yang mendukung upaya pengurangan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.65, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 62 Apakah ada tindakan hukum terhadap pemukiman penduduk yang tidak direncanakan dan dikelola berdasarkan rencana tata guna lahan, IMB dan perluasannya? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.65, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 63 Apakah telah ada rancangan pengelolaan pemukiman penduduk yang sesuai dengan strategi rencana tata guna lahan hingga mampu meminimalkan risiko bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.65, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 64 Apakah pembangunan kawasan seluruh wilayah huni telah sesuai dengan rencana tata guna lahan? (Lanjutkan ke pertanyaan no.65)
5) Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 65 Apakah telah ada mekanisme dan/atau rencana rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana walau disusun sepihak tanpa menampung aspirasi korban? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.69, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 66 Apakah telah ada mekanisme dan/atau rencana dan pelaksanaan pemulihan bencana yang disusun secara bersama oleh pemangku kepentingan? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.69, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 67 Apakah telah ada rancangan proses-proses pemulihan pasca bencana yang mempertimbangkan prinsip-prinsip risiko bencana guna menghindari risiko baru dari pembangunan? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.69, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 68 Apakah rancangan tersebut telah terlaksana? (Lanjutkan ke pertanyaan no.69)
6) Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek- proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur.
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 69 Apakah telah diterapkan prosedur penilaian dampak lingkungan untuk proyek pembangunan besar? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.73, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 70 Apakah telah ada prosedur penilaian Analisis Risiko Bencana untuk proyek pembangunan besar terutama infrastruktur? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.73, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 71 Apakah prosedur tersebut dapat menilai dampak-dampak risiko bencana untuk proyek- proyek lain seperti pengentasan kemiskinan, perumahan, air dan energi selain infrastruktur? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.73, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 72 Apakah pelaksanaan prosedur tersebut telah terwujud ke dalam strategi, rencana dan program pembangunan?
173
(Lanjutkan ke pertanyaan no.73)
5. Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini Indikator : 1) Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko bencana dalam pelaksanaannya.
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 73 Apakah terdapat lembaga di pemerintahan yang didukung relawan untuk melakukan praktik penanganan darurat bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.77, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 74 Apakah telah ada Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) dan/atau Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana yang terstruktur dalam sebuah prosedur operasi di daerah anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.77, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 75 Apakah personil perangkat darurat tersebut (Pusdalops dan/atau Komando Tanggap Darurat) telah memiliki kemampuan teknis dalam hal penanggulangan bencana khususnya dalam penanganan darurat bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.77, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 76 Menurut penilaian Anda, apakah upaya penanganan darurat bencana yang pernah dilaksanakan oleh seluruh pihak telah efektif untuk menekan jumlah korban yang timbul? (Lanjutkan ke pertanyaan no.77)
2) Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan programprogram tanggap darurat bencana. Respon No Pertanyaan Ya Tidak 77 Apakah telah ada latihan-latihan evakuasi? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.81, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 78 Apakah sudah ada rencana kontijensi untuk 2 potensi bencana di daerah anda? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.81, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 79 Apakah upaya penangan darurat dilaksanakan berdasarkan rencana kontijensi dan rencana pemulihan bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.81, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 80 Apakah ada prosedur tetap sebagai turunan dari Rencana kontijensi tersebut? (Lanjutkan ke pertanyaan no.81)
3) Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana.
Respon No Pertanyaan Ya Tidak 81 Apakah telah ada mekanisme untuk penggalangan bantuan dari pihak lain bila terjadi bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.85, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 82 Apakah ada anggaran khusus untuk penanganan darurat? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.85, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 83 Apakah anggaran tersebut memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar dan melindungi kelompok rentan saat terjadi darurat bencana? (bila 'tidak' lanjutkan ke pertanyaan no.85, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
174
84 Apakah dalam anggaran khusus untuk darurat bencana tersebut juga dialokasikan untuk perbaikan terhadap fasilitas kritis? (Lanjutkan ke pertanyaan no.85)
4) Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat. Respon No Pertanyaan Ya Tidak 85 Apakah di daerah Anda telah memiliki prosedur operasi standar untuk penanganan darurat bencana yang memadukan seluruh prosedur operasi dari setiap institusi terkait penanganan darurat bencana yang ada di daerah Anda? (bila 'tidak' pertanyaan selesai, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 86 Apakah dalam prosedur operasi standar penanganan darurat yang pemerintah atau insitusi Anda miliki telah terdapat prosedur untuk merekam (baik dalam pencatatan atau audiovisual) pertukaran informasi saat darurat bencana? (bila 'tidak' pertanyaan selesai, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 87 Setelah terjadi bencana, apakah terjadi proses evaluasi operasi kedaruratan berdasarkan catatan komunikasi dengan mewawancarai para tokoh terkait untuk meningkatkan efekitivitas operasi darurat di kemudian hari? (bila 'tidak' pertanyaan selesai, bila 'ya' lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 88 Apakah prosedur-prosedur terkait operasi darurat bencana diperbarui berdasarkan hasil dari evaluasi pencatatan komunikasi yang terjadi saat operasi darurat bencana yang telah terjadi? (Selesai)
175
Lampiran 3 Instrumen Wawancara Kapasitas Masyarakat
Instrumen Wawancara 1. Berapakah jumlah anggota keluarga Anda ? ...... 2. Berapasajakah usia anggota keluarga Anda? ...... 3. Apa pendidikan terakhir Anda? ...... 4. Apa matapencaharian Anda? ...... 5. Berapa pendapatan Anda dalam waktu 1 bulan? ...... 6. Apakah di daerah Anda memiliki alat peringatan dini untuk mendeteksi tanah longsor? ...... 7. Apakah di daerah Anda terdapat lokasi evakuasi atau suatu titik berkumpul apabila terjadi bencana tanah longsor? ...... 8. Apakah di daerah Anda terdapat rambu-rambu jalur evakuasi? ...... 9. Apakah Anda memiliki anggaran yang dialokasikan khusus untuk bencana? ......
10. Apakah di daerah Anda pernah dilaksanakan sosialisai, penyuluhan, dan pelatihan pengurangan resiko bencana? ...... 11. Apakah mengetahui bahwa daerah Anda termasuk wilayah yang memiliki ancaman tanah longsor tinggi? ...... 12. Apakah mengetahui tanda-tanda tanah longsor? ...... 13. Apakah mengetahui faktor-faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab tanah longsor? ...... 14. Apakah Anda memiliki kolam ikan di daerah lereng? ......
176
Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019
Curah Luas No Hujan Jenis Kemiringan Penggunaan (hektar) Satuan Unit Lahan (mm/tahun) Tanah Lereng Lahan 1 3302_Mediteran_II_Kebun 3302 Mediteran Landai (8-15%) Kebun 12.36 2 3302_Mediteran_I_Kebun 3302 Mediteran Datar (0-8%) Kebun 0.49 Agak curam (15- 3 3302_Mediteran_III_Kebun 3302 Mediteran 25%) Kebun 107.09 4 3302_Mediteran_IV_Kebun 3302 Mediteran Curam (25-45%) Kebun 21.4 3302_Mediteran_II_Hutan Hutan 5 campuran 3302 Mediteran Landai (8-15%) campuran 2.69 3302_Mediteran_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 6 campuran 3302 Mediteran 25%) campuran 12.24 3302_Mediteran_IV_Hutan Hutan 7 campuran 3302 Mediteran Curam (25-45%) campuran 8.34 8 3302_Litosol_II_Kebun 3302 Litosol Landai (8-15%) Kebun 4.53 9 3302_Litosol_I_Kebun 3302 Litosol Datar (0-8%) Kebun 2.35 Agak curam (15- 10 3302_Litosol_III_Kebun 3302 Litosol 25%) Kebun 15.13 11 3641_Litosol_I_Kebun 3641 Litosol Datar (0-8%) Kebun 0.52 Agak curam (15- 12 3641_Litosol_III_Kebun 3641 Litosol 25%) Kebun 17.76 13 3641_Litosol_IV_ Kebun 3641 Litosol Curam (25-45%) Kebun 0.94 14 3641_Mediteran_I_Kebun 3641 Mediteran Datar (0-8%) Kebun 13.51 Agak curam (15- 15 3641_Mediteran_III_Kebun 3641 Mediteran 25%) Kebun 421.81 16 3641_Mediteran_IV_Kebun 3641 Mediteran Curam (25-45%) Kebun 357.85 Sangat curam 17 3641_Mediteran_V_Kebun 3641 Mediteran (>45%) Kebun 123.81 18 3641_Mediteran_II_Permukiman 3641 Mediteran Landai (8-15%) Permukiman 54.07 19 3641_Mediteran_I_Permukiman 3641 Mediteran Datar (0-8%) Permukiman 25.31 Agak curam (15- 20 3641_Mediteran_III_Permukiman 3641 Mediteran 25%) Permukiman 52.37 21 3641_Mediteran_IV_Permukiman 3641 Mediteran Curam (25-45%) Permukiman 35.88 Sangat curam 22 3641_Mediteran_V_Permukiman 3641 Mediteran (>45%) Permukiman 1.28 23 3641_Mediteran_II_Ladang 3641 Mediteran Landai (8-15%) Ladang 212.51 24 3641_Mediteran_I_Ladang 3641 Mediteran Datar (0-8%) Ladang 94.19 Agak curam (15- 25 3641_Mediteran_III_Ladang 3641 Mediteran 25%) Ladang 341.82 26 3641_Mediteran_IV_Ladang 3641 Mediteran Curam (25-45%) Ladang 203.57 Sangat curam 27 3641_Mediteran_V_Ladang 3641 Mediteran (>45%) Ladang 22.17 28 3641_Mediteran_II_Kebun 3641 Mediteran Landai (8-15%) Kebun 108.17 3641_Mediteran_I_Hutan Hutan 29 campuran 3641 Mediteran Datar (0-8%) campuran 2.35 3641_Mediteran_II_Hutan Hutan 30 campuran 3641 Mediteran Landai (8-15%) campuran 23.09 3641_Mediteran_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 31 campuran 3641 Mediteran 25%) campuran 112.22
Lihat lanjutan lampiran 4
177
Lanjutan Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 3641_Mediteran_IV_Hutan Hutan 32 campuran 3641 Mediteran Curam (25-45%) campuran 142.72 3641_Mediteran_V_Hutan Sangat curam Hutan 33 campuran 3641 Mediteran (>45%) campuran 44.32 34 3641_Aluvial_II_Permukiman 3641 Aluvial Landai (8-15%) Permukiman 37.8 35 3641_Aluvial_I_Permukiman 3641 Aluvial Datar (0-8%) Permukiman 16.81 Agak curam (15- 36 3641_Aluvial_III_Permukiman 3641 Aluvial 25%) Permukiman 12.01 37 3641_Aluvial_IV_Permukiman 3641 Aluvial Curam (25-45%) Permukiman 7.33 38 3641_Aluvial_II_Ladang 3641 Aluvial Landai (8-15%) Ladang 119.79 39 3641_Aluvial_I_Ladang 3641 Aluvial Datar (0-8%) Ladang 58.09 Agak curam (15- 40 3641_Aluvial_III_Ladang 3641 Aluvial 25%) Ladang 79.04 Sangat curam 41 3641_Aluvial_IV_Ladang 3641 Aluvial (>45%) Ladang 60.28 42 3641_Aluvial_II_Kebun 3641 Aluvial Landai (8-15%) Kebun 4.37 43 3641_Aluvial_I_Kebun 3641 Aluvial Datar (0-8%) Kebun 0.08 Agak curam (15- 44 3641_Aluvial_III_Kebun 3641 Aluvial 25%) Kebun 15.48 45 3641_Aluvial_IV_Kebun 3641 Aluvial Curam (25-45%) Kebun 0.97 3641_Aluvial_I_Hutan Hutan 46 campuran 3641 Aluvial Datar (0-8%) campuran 0.53 3641_Aluvial_II_Hutan Hutan 47 campuran 3641 Aluvial Landai (8-15%) campuran 8.34 3641_Aluvial_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 48 campuran 3641 Aluvial 25%) campuran 22.4 3641_Aluvial_IV_Hutan Hutan 49 campuran 3641 Aluvial Curam (25-45%) campuran 56 3641_Andosol_II_Hutan Hutan 50 campuran 3641 Andosol Landai (8-15%) campuran 0.02 3641_Andosol_III_Hutan Agak curam (15- Hutan 51 campuran 3641 Andosol 25%) campuran 3.38 52 3641_Andosol_II_Permukiman 3641 Andosol Landai (8-15%) Permukiman 4.35 Agak curam (15- 53 3641_Andosol_III_Permukiman 3641 Andosol 25%) Permukiman 3.09 Sangat curam 54 3641_Andosol_IV_Permukiman 3641 Andosol (>45%) Permukiman 5.46 55 3641_Andosol_II_Ladang 3641 Andosol Landai (8-15%) Ladang 7.74 Agak curam (15- 56 3641_Andosol_III_Ladang 3641 Andosol 25%) Ladang 35.64 57 3641_Andosol_IV_Ladang 3641 Andosol Curam (25-45%) Ladang 1.77 Sangat curam 58 3641_Andosol_V_Ladang 3641 Andosol (>45%) Ladang 11.98 59 3641_Andosol_II_Kebun 3641 Andosol Landai (8-15%) Kebun 20.76 Agak curam (15- 60 3641_Andosol_III_Kebun 3641 Andosol 25%) Kebun 93.72 61 3641_Andosol_IV_Kebun 3641 Andosol Curam (25-45%) Kebun 15.63 Sangat curam 62 3641_Andosol_V_Kebun 3641 Andosol (>45%) Kebun 7.66 63 3641_Andosol_II_Permukiman 3641 Andosol Landai (8-15%) Permukiman 0.64 Agak curam (15- 64 3641_Andosol_III_Permukiman 3641 Andosol 25%) Permukiman 7.84 65 3641_Andosol_II_Ladang 3641 Andosol Landai (8-15%) Ladang 0.89
Lihat lanjutan lampiran 4
178
Lanjutan Lampiran 4 Tabel Satuan Unit Lahan Kecamatan Karangkobar Tahun 2019 Agak curam (15- 66 3641_Andosol_III_Ladang 3641 Andosol 25%) Ladang 14.24 67 3641_Andosol_IV_Ladang 3641 Andosol Curam (25-45%) Ladang 16.8 68 3641_Andosol_II_Kebun 3641 Andosol Landai (8-15%) Kebun 4.78 Agak curam (15- 69 3641_Andosol_III_Kebun 3641 Andosol 25%) Kebun 8.33 70 3641_Andosol_IV_Kebun 3641 Andosol Curam (25-45%) Kebun 9.01 71 5878_Andosol_II_Permukiman 5878 Andosol Landai (8-15%) Permukiman 18.19 72 5878_Andosol_I_Permukiman 5878 Andosol Datar (0-8%) Permukiman 94.84 Agak curam (15- 73 5878_Andosol_III_Permukiman 5878 Andosol 25%) Permukiman 6.38 74 5878_Andosol_IV_Permukiman 5878 Andosol Curam (25-45%) Permukiman 2.27 75 5878_Andosol_II-Ladang 5878 Andosol Landai (8-15%) Ladang 43.74 76 5878_Andosol_I_ladang 5878 Andosol Datar (0-8%) Ladang 80.65 Agak curam (15- 77 5878_Andosol_III_Ladang 5878 Andosol 25%) Ladang 45.82 78 5878_Andosol_IV_Ladang 5878 Andosol Curam (25-45%) Ladang 20.88 79 5878_Andosol_II_Kebun 5878 Andosol Landai (8-15%) Kebun 3.92 80 5878_Andosol_I_Kebun 5878 Andosol Datar (0-8%) Kebun 11.58 Agak curam (15- 81 5878_Andosol_III_Kebun 5878 Andosol 25%) Kebun 5.8 82 5878_Andosol_IV_Kebun 5878 Andosol Curam (25-45%) Kebun 11.76 Sangat curam 83 5878_Mediteran_II_Permukiman 5878 Mediteran (>45%) Permukiman 3.16 84 5878_Mediteran_I_Permukiman 5878 Mediteran Datar (0-8%) Permukiman 13.82 Agak curam (15- 85 5878_Mediteran_III_Permukiman 5878 Mediteran 25%) Permukiman 2.31 86 5878_Mediteran_IV_Permukiman 5878 Mediteran Curam (25-45%) Permukiman 0.32 87 5878_Mediteran_II_Ladang 5878 Mediteran Landai (8-15%) Ladang 26.71 88 5878_Mediteran_I_Ladang 5878 Mediteran Datar (0-8%) Ladang 35.2 Agak curam (15- 89 5878_Mediteran_III_Ladang 5878 Mediteran 25%) Ladang 12.81 90 5878_Mediteran_IV_Ladang 5878 Mediteran Curam (25-45%) Ladang 7.57 91 5878_Mediteran_II_Kebun 5878 Mediteran Landai (8-15%) Kebun 9.71 Agak curam (15- 92 5878_Mediteran_III_Kebun 5878 Aluvial 25%) Kebun 3.33 93 5878_Medietan_IV_Kebun 5878 Aluvial Curam (25-45%) Kebun 0.01 94 5878_Aluvial_II_Permukiman 5878 Aluvial Landai (8-15%) Permukiman 14.01 95 5878_Aluvial_I_Permukiman 5878 Aluvial Datar (0-8%) Permukiman 26.1 Agak curam (15- 96 5878_Aluvial_III_Permukiman 5878 Aluvial 25%) Permukiman 4.41 97 5878_Aluvial_II_Ladang 5878 Aluvial Landai (8-15%) Ladang 113.17 98 5878_Aluvial_I_Ladang 5878 Aluvial Datar (0-8%) Ladang 24.22 Agak curam (15- 99 5878_Aluvial_III_Ladang 5878 Aluvial 25%) Ladang 125.09 100 5878_Aluvial_IV_Ladang 5878 Aluvial Curam (25-45%) Ladang 54.56 Sumber: Hasil Analisis, 2019.
179
Lampiran 5 Tabel Sampel Satuan Lahan yang Mewakili Satuan Lahan Penelitian
No Sampel Satuan Lahan Satuan Unit Lahan yang Diwakili Luas (hektar)
3302_Mediteran_I_Kebun 0.49 1 Mediteran_I_Ladang 3641_Mediteran_I_Kebun 13.51 3641_Mediteran_I_Permukiman 25.31 3641_Mediteran_I_Ladang 94.19 3641_Mediteran_I_Hutan campuran 2.35 5878_Mediteran_I_Permukiman 13.82
5878_Mediteran_I_Ladang 35.2 2 Mediteran_II_Kebun 3302_Mediteran_II_Kebun 12.36 3302_Mediteran_II_Hutan campuran 2.69 3641_Mediteran_II_Permukiman 54.07 3641_Mediteran_II_Ladang 212.51 3641_Mediteran_II_Kebun 108.17 3641_Mediteran_II_Hutan campuran 23.09 5878_Mediteran_II_Permukiman 3.16 5878_Mediteran_II_Ladang 26.71 5878_Mediteran_II_Kebun 9.71 3 Mediteran_III_Kebun 3302_Mediteran_III_Kebun 107.09 3302_Mediteran_III_Hutan campuran 12.24 3641_Mediteran_III_Kebun 421.81 3641_Mediteran_III_Permukiman 52.37 3641_Mediteran_III_Ladang 341.82 3641_Mediteran_III_Hutan campuran 112.22 5878_Mediteran_III_Permukiman 2.31 5878_Mediteran_III_Ladang 12.81 5878_Mediteran_III_Kebun 3.33 4 Mediteran_IV_Kebun 3302_Mediteran_IV_Kebun 21.4 3302_Mediteran_IV_Hutan campuran 8.34 3641_Mediteran_IV_Kebun 357.85 3641_Mediteran_IV_Permukiman 35.88 3641_Mediteran_IV_Ladang 203.57 3641_Mediteran_IV_Hutan campuran 142.72 5878_Mediteran_IV_Permukiman 0.32 5878_Mediteran_IV_Ladang 7.57 5878_Medietan_IV_Kebun 0.01 5 Mediteran_V_Kebun 3641_Mediteran_V_Kebun 123.81 3641_Mediteran_V_Permukiman 1.28 3641_Mediteran_V_Ladang 22.17 3641_Mediteran_V_Hutan campuran 44.32 6 Litosol_I_Kebun 3302_Litosol_I_Kebun 2.35 3641_Litosol_I_Kebun 0.52 7 Litosol_II_Kebun 3302_Litosol_II_Kebun 4.53 8 Litosol_III_Kebun 3302_Litosol_III_Kebun 15.13 3641_Litosol_III_Kebun 17.76 9 Litosol_IV_Kebun 3641_Litosol_IV_ Kebun 0.94 10 Aluvial_I_Hutan Campuran 3641_Aluvial_I_Permukiman 16.81 3641_Aluvial_I_Ladang 58.09 3641_Aluvial_I_Kebun 0.08 3641_Aluvial_I_Hutan campuran 0.53 5878_Aluvial_I_Permukiman 26.1 5878_Aluvial_I_Ladang 24.22 11 Aluvial_II_Permukiman 3641_Aluvial_II_Permukiman 37.8 3641_Aluvial_II_Ladang 119.79 3641_Aluvial_II_Kebun 4.37 3641_Aluvial_II_Hutan campuran 8.34 3641_Andosol_II_Hutan campuran 0.02 5878_Aluvial_II_Permukiman 14.01 5878_Aluvial_II_Ladang 113.17
Lihat lanjutan lampiran 5
180
Lanjutan Lampiran 5 Tabel Sampel Satuan Lahan yang Mewakili Satuan Lahan Penelitian
12 Aluvial_III_Ladang 3641_Aluvial_III_Permukiman 12.01 3641_Aluvial_III_Ladang 79.04 3641_Aluvial_III_Kebun 15.48 3641_Aluvial_III_Hutan campuran 22.4 5878_Aluvial_III_Permukiman 4.41 5878_Aluvial_III_Ladang 125.09 13 Aluvial_IV_Ladang 3641_Aluvial_IV_Permukiman 7.33 3641_Aluvial_IV_Ladang 60.28 3641_Aluvial_IV_Kebun 0.97 3641_Aluvial_IV_Hutan campuran 56 5878_Aluvial_IV_Ladang 54.56 14 Andosol_I_Permukiman 5878_Andosol_I_Permukiman 94.84 5878_Andosol_I_ladang 80.65 5878_Andosol_I_Kebun 11.58 15 Andosol_II_Ladang 3641_Andosol_II_Permukiman 0.64 3641_Andosol_II_Ladang 7.74 3641_Andosol_II_Kebun 20.76 3641_Andosol_II_Ladang 0.89 3641_Andosol_II_Kebun 4.78 3641_Andosol_II_Permukiman 4.35 5878_Andosol_II_Permukiman 18.19 5878_Andosol_II-Ladang 43.74 5878_Andosol_II_Kebun 3.92 16 Andosol_III_Ladang 3641_Andosol_III_Ladang 35.64 3641_Andosol_III_Hutan campuran 3.38 3641_Andosol_III_Permukiman 3.09 3641_Andosol_III_Kebun 93.72 3641_Andosol_III_Permukiman 7.84 3641_Andosol_III_Ladang 14.24 3641_Andosol_III_Kebun 8.33 5878_Andosol_III_Permukiman 6.38 5878_Andosol_III_Ladang 45.82 5878_Andosol_III_Kebun 5.8 17 Andosol_IV_Kebun 3641_Andosol_IV_Permukiman 5.46 3641_Andosol_IV_Ladang 1.77 3641_Andosol_IV_Kebun 15.63 3641_Andosol_IV_Ladang 16.8 3641_Andosol_IV_Kebun 9.01 5878_Andosol_IV_Permukiman 2.27 5878_Andosol_IV_Ladang 20.88 5878_Andosol_IV_Kebun 11.76 18 Andosol_V_Ladang 3641_Andosol_V_Kebun 7.66 3641_Andosol_V_Ladang 11.98 Sumber: Hasil Analisis, 2019.
181
Lampiran 6 Tabel Hasil Pengukuran Parameter Ancaman Tanah Longsor pada Sampel Penelitian
No Sampel Satuan Lahan Curah Hujan Kemiringan Jenis Kedalaman Penggunaan Skor (mm/tahun) Skor Lereng Skor Tanah Skor Tekstur Skor Drainase Skor Tanah Skor Lahan Skor Total Kelas
1 Mediteran_I_Ladang Geluh Agak Sangat 3641 5 I 1 Mediteran 3 berlempung 3 baik 2 dalam 5 Ladang 5 24 Sedang
2 Mediteran_II_Ladang Lempung Agak Sangat 3641 5 II 2 Mediteran 3 ringan 4 baik 2 dalam 5 Ladang 5 26 Tinggi
3 Mediteran_III_Ladang Lempung Agak Sangat 3641 5 III 3 Mediteran 3 ringan 4 baik 2 dalam 5 Ladang 5 27 Tinggi
4 Mediteran_IV_Ladang Geluh Agak Sangat 3302 4 IV 4 Mediteran 3 berlempung 3 baik 2 dalam 5 Ladang 5 26 Tinggi
5 Mediteran_V_Permukiman Geluh Agak Sangat 3641 5 V 5 Mediteran 3 berlempung 3 baik 2 dalam 5 Permukiman 4 27 Tinggi
6 Sangat Litosol_I_Kebun 3302 4 I 1 Litosol 5 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 22 Sedang
7 Litosol_II_Kebun Sangat 3302 4 II 2 Litosol 5 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 23 Sedang
8 Litosol_III_Kebun Agak Sangat 3641 5 III 3 Litosol 5 Geluh 3 baik 2 dalam 5 Kebun 3 26 Tinggi
9 Litosol_IV_Kebun Sangat 3641 5 IV 4 Litosol 5 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 26 Tinggi
10 Aluvial_I_Hutan Campuran Sangat Hutan 3302 4 I 1 Aluvial 1 Geluh 3 Baik 1 dalam 5 Campuran 1 16 Rendah
11 Aluvial_II_Permukiman Lempung Sangat 3641 5 II 2 Aluvial 1 ringan 4 Baik 1 dalam 5 Permukiman 4 22 Sedang
12 Aluvial_III_Ladang Lempung Sangat 3641 5 III 3 Aluvial 1 ringan 4 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 24 Sedang
13 Aluvial_IV_Ladang Lempung Sangat 3641 5 V 4 Aluvial 1 ringan 4 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 25 Sedang
14 Andosol_I_Permukiman Pasir Sangat 5878 5 I 1 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Permukiman 4 21 Sedang
15 Andosol_II_Kebun Pasir Sangat 3641 5 II 2 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 21 Sedang
16 Andosol_III_Ladang Pasir Sangat 3641 5 III 3 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 24 Sedang
17 Andosol_IV_Kebun Pasir Sangat 3641 5 IV 4 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Kebun 3 23 Sedang
18 Andosol_V_Ladang Pasir Sangat 3641 5 V 5 Andosol 4 bergeluh 1 Baik 1 dalam 5 Ladang 5 26 Tinggi Sumber: Pengukuran dan Survey Lapangan, 2019.
182
Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Nama
Kisro Isti Sukir Maryono Praba Pato Yana Atno Irwan No Alamat Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Slatri Ibu Mata pencaharian Perangkat rumah desa tangga Pedagang Petani Petani Petani Petani Petani Petani 1 Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan resiko 1 bencana 2 2 2 2 1 2 2 2 2 Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan 2 resiko bencana 2 2 1 2 2 1 1 1 2 Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian 3 kewenangan dan sumberdaya pada tingkat local 4 3 3 3 4 3 3 3 4 4 Berfungsinya forum atau jaringan daerah khusus untuk pengurangan bencana 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Peringatan Dini dan Kajian Resiko Bencana Tersedianta kajian resiko bencana daerah berdasarkan data bahaya dan 1 kerentanan 2 1 1 1 2 1 1 1 2 Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip, dan 2 menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar 3 dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat 3 2 2 2 2 3 3 3 3 Penilaian resiko daerah mempertimbangkan resiko-resiko lintas batas guna 4 menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan resiko 1 1 1 1 1 0 0 0 1 3 Pendidikan Kebencanaan Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di 1 semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kurikulum sekolah, materi pendidikan, dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan resiko bencana dan 2 pemulihan 1 0 0 0 1 0 0 0 0 Tersedianya metode riset untuk kajian resiko multi bencana serta analisis 3 manfaat biaya 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau 4 masyarakat secara luas 3 2 0 2 0 2 2 2 1 4 Pengurangan Faktor Resiko Dasar Pengurangan resiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan- 1 kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup 3 2 2 2 3 2 2 2 3 Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling beresiko terkena dampak 2 bahaya 2 2 1 2 1 2 2 2 1 Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan 3 penduduk yang paling beresiko terkena dampak bahaya 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia memuat unsur-unsur pengurangan resiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan 4 bangunan 3 1 1 1 1 1 1 1 1 Langkah-langkah pengurangan resiko bencana dipadukan ke dalam proses- 5 proses rehabilitasu dan pemulihan pascabencana 3 0 0 0 1 0 0 0 0 6 Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak resiko bencana 2 2 1 2 2 2 2 2 2 5 Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan resiko 1 bencana dalam pelaksanaannya 2 1 1 1 2 1 1 1 1 Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan 2 mengembangkan program tanggap darurat bencana 2 1 1 1 1 1 1 1 1 Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca 3 bencana 1 2 1 2 2 2 2 2 2 Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana 4 terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat 2 2 1 2 2 2 2 2 2 Skor 42 30 22 30 32 28 29 29 32 Lihat lanjutan lampiran 7
183
Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Gesang Mustafid Miskiyah Imam Pangat Indar Afif Fatimah Sumijan Bagus Sukron Rina Sobron Afi Nina Noval
Paweden Paweden Paweden Paweden Paweden Paweden Gumelar Gumelar Gumelar Gumelar Gumelar Sampang Sampang Sampang Sampang Sampang
Perangkat Buruh Pedagang Petani Petani Ibu Buruh Pegawai Perangkat Petani Petani Perangkat Guru Pedagang Ibu Petani desa rumah Desa desa rumah
tangga tangga
0 3 0 3 0 0 0 1 1 0 0 1 2 2 2 1
0 2 0 2 0 0 1 0 1 0 0 3 2 1 2 3
2 4 3 4 2 3 1 0 1 1 2 2 3 3 3 2
2 4 2 4 2 2 4 2 4 4 2 4 2 2 2 2
0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 4 1 1 1 4
0 0 1 0 0 1 2 0 2 2 0 4 1 1 1 4
1 0 2 0 1 3 1 2 2 1 1 3 2 2 2 3
0 4 1 4 2 0 0 0 0 0 2 0 1 1 1 0
0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 1 0 2 0 0 0 0 0 4 2 0 2 4
4 0 2 0 4 2 2 0 2 2 4 0 2 2 2 0
0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 2 2 1 2 2
0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 2 1 1 1 2
4 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 3
4 0 1 0 4 2 0 0 0 0 0 0 2 1 2 0
0 2 1 2 0 1 0 1 0 0 0 4 1 1 1 4
0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 0 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2
0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 1 1 1 2 1
17 24 20 24 19 20 15 10 18 14 13 41 29 23 30 34 Lihat lanjutan lampiran 7
184
Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Parjo Nirwan Slamet Tugio Bawon Nikmat Klalimi Ema Basir Mail Sarzan Saheri Ikhwan Anto Budi Arba
Sampang Sampang Sampang Sampang Sampang Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Ambal Pagerpelah Pagerpelah
Petani Pedagang Petani Petani Petani Perangkat Guru Ibu rumah Pedagang Buruh Petani Pedagang Petani Petani Perangkat Guru
desa tangga desa
2 2 2 2 1 4 2 2 2 1 2 2 3 2 3 3
1 1 1 2 3 4 2 1 2 2 1 3 2 3 2 2
1 2 1 2 1 4 3 3 3 4 3 3 3 4 3 4
2 2 2 2 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2
1 2 1 2 4 0 0 2 0 0 0 1 2 1 3 3
1 1 1 1 4 0 0 1 0 0 0 0 1 0 3 4
3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2
1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 4
1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3
0 0 0 0 0 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2
2 2 2 2 4 0 0 1 0 1 0 2 0 1 3 4
2 2 2 3 0 0 1 2 3 0 0 0 1 1 3 2
2 2 2 1 2 4 2 1 2 1 2 2 2 3 4 3
0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 0 1 2 0 0 0
1 1 2 1 2 4 1 2 2 3 1 4 1 3 3 4
0 0 0 0 3 3 0 2 3 2 0 1 2 2 4 3
2 2 2 2 0 4 2 3 2 2 2 2 2 3 4 2
1 2 1 1 4 0 1 1 1 2 1 1 1 1 4 3
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 4 3
2 2 2 2 2 0 2 1 2 2 2 2 2 2 4 2
2 2 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 2
27 29 30 31 40 35 24 29 29 30 21 31 30 33 65 59
Lihat lanjutan lampiran 7
185
Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Latif Yahya Agus Riski Sugeng Slamet Rohman Sartun Saiful Santo Khotib Hendra Mahmud Tongat Amri Edi
Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pagerpelah Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Pasuruhan Karanggon Karanggon Karanggon
Buruh Pedagang Wiraswasta Petani Pedagang Petani Petani Perangkat Buruh Pedagang Petani Petani Petani dang dang Dang
desa
Perangkat Buruh Pedagang
desa
2 2 3 3 3 1 3 0 0 0 0 0 0
1 2 3 2 2 1 2 0 1 1 2 2 1 0 0 0
3 3 3 4 4 2 4 0 3 3 3 2 3 0 1 1
2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 0 2 0
4 2 2
1 1 3 3 3 1 3 0 1 1 1 2 1
1 1 4 4 4 1 4 1 1 1 1 1 1 0 0 1
2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 3 0 0 1
1 1 4 4 4 0 4 0 1 1 1 1 0 0 0 2
0 1 1
1 1 3 3 3 1 3 1 1 1 1 1 1
1 0 2 2 2 0 2 0 0 0 0 1 0 0 1 1
0 0 2 2 2 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 4 4 4 1 4 0 2 0 2 0 2 0 0 0
0 0 0
2 2 2 2 2 2 2 4 2 2 2 3 2
1 2 3 3 3 2 3 0 2 1 2 1 2 0 0 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1
2 1 4 4 4 1 4 1 1 1 1 1 1 0 0 0
0 0 3 3 3 0 3 0 0 0 0 0 0 1 1 1
1 2 2 2 2 2 2 4 2 1 2 2 2 0 0 0
1 2 1
3 1 3 4 3 1 3 1 1 1 1 1 1
3 1 3 3 3 1 3 0 1 1 1 1 1 0 1 1
2 2 2 4 3 2 4 0 0 0 0 0 0 0 1 1
3 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33 29 59 62 60 24 61 17 23 19 24 22 23 6 13 15
Lihat lanjutan lampiran 7
186
Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Sukarjo Soleh Sayuti Ipeh Parno Udin Fuad Budi Sultoni Mahpul Suhardi Sumiati Tongat Sahrul Asih Wahno
Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Karanggon Jlegong Jlegong Jlegong Jlegong Binangun Binangun Binangun Binangun
Dang Dang Dang Dang dang dang dang dang Perangkat Buruh Pedagang Ibu Perangkat Buruh Pedagang Petani desa rumahtangga desa
Petani Petani Petani Ibu Buruh Pedagang Petani Petani rumahtangga
1 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 1 1 2
2 0 1 1 1 1 2 0 4 2 0 3 3 2 2 3
3 1 3 2 2 0 3 1 0 2 2 2 1 2 2 2
2 2 1 2 2 2 2 3
1 0 1 1 2 0 1 1
1 2 1 0 0 1 1 0 2 0 1 1 0 0 1 1
1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 2 0 2 0 2 0
0 1 3 0 0 2 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1
1 1 0 0 1 1 1 1
0 1 1 0 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 2 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 2 1 0 0 2 1
1 0 0 0 0 2 1 0 3 1 1 2 2 1 1 2
2 1 2 1 1 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 3 2 2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 2 1 1
1 2 1 1 2 1 1 2
0 1 0 0 2 2 1 2
0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0
0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 15 14 10 13 15 16 14 14 13 15 13 25 16 20 18
Lihat lanjutan lampiran 7
187
Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Suk Par Har Pat To Iwa Pur Ind Rum Marl Ode Ehsa Sulh Farh Nuru Kast irm ma jo ul mo n wa ra yati iyem n n an an l o an n nto Bin Bin Bin Bin Bin Bin Bin Bin Kara Kara Kara Kara Kara Kara Kara Kara ang ang ang ang ang ang ang ang ngko ngko ngko ngko ngko ngko ngko ngko un un un un un un un un bar bar bar bar bar bar bar bar Pet Pet Pet Bur Ped Pet Pet Pet Pera Peda Peda Peta Peta Peta Ibu Buru ani ani ani uh aga ani ani ani ngka gang gang ni ni ni ruma h ng t htan desa gga
1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 2 0 1 2 1 1 2 0 1 4 1 1 3 3 1 2 3 2 2 1 1 2 3 2 2 0 1 2 1 1 2 2 1 2 1 3 2 2 1 2 1 3 2
2 1 2 0 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 4 2 1 3 1 0 2 0 1 3 2 1 2 0 1 3 2 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 4 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 0 2 1 0 0 1 0 2 1 0 0 3 0 1 2 2 1 1 2 1 2 0 1 1 2 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 4 1 0 0 3 2 2 0 0 0 1 2 2 0 0 0 4 2 2 1 0 2 1 1 2 1 0 2 1 1 2 1 0 2
1 0 2 2 1 2 1 0 1 2 1 2 1 0 3 2 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 2 1 2 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 2 1 1 2 0 0 16 15 21 15 20 17 17 14 25 22 26 20 21 19 39 19 Lihat lanjutan lampiran 7
188
Lanjutan Lampiran 7 Hasil Rekap Kuesioner Kapasitas Masyarakat
Sohib Untung Kholid Khadini Sri Erna Sukamto Umron Tamziz
Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar Karangkobar
Pedagang Petani Petani Petani Guru Buruh Pedagang Petani Petani
0 0 1 0 1 1 0 0 1
1 2 0 1 1 0 1 2 0
2 3 2 2 3 0 2 3 2
2 1 2 1 1 0 2 1 2
2 1 2 1 2 1 1 1 2
1 1 1 1 0 0 1 1 1
2 0 1 3 1 2 2 0 1
1 1 1 0 0 0 1 1 1
1 1 1 1 1 0 1 1 1
1 2 1 0 1 1 0 0 1
0 0 0 0 2 1 0 0 0
0 0 0 0 1 1 0 0 0
2 1 0 0 0 0 2 1 0
1 2 1 2 2 1 1 2 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 0 0 1 1 1
2 0 1 0 3 1 2 1 2
1 1 2 1 0 0 1 1 2
1 2 1 1 2 1 1 2 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 20 21 17 21 11 20 19 20 Sumber: Hasil Analisis, 2019.
189
Lampiran 8 Perhitungan Indeks Kapasitas Masyarakat
푁𝑖푙푎𝑖 𝑖푛푑푒푘푠 푅푒푠푝표푛푑푒푛 1+푁𝑖푙푎𝑖 𝑖푛푑푒푘푠 푟푒푠푝표푛푑푒푛 2+... Total nilai Indeks = 퐽푢푚푙푎ℎ 푟푒푠푝표푛푑푒푛 1. Desa Slatri 0.48+0.36+0.36+0.34+0.25+0.32+0.34+0.33+0.33 Nilai Indeks = 9 = 0.35 2. Desa Paweden 0.19+0.27+0.23+0.27+0.22+0.23 Nilai Indeks = 6 = 0.23
3. Desa Gumelar 0.17+0.11+0.20+0.16+0.15 Nilai Indeks = 5 = 0.16 4. Desa Sampang 0.47+0.33+0.26+0.34+0.39+0.31+0.33+0.34+0.35+0.45 Nilai Indeks = 10 = 0.31 5. Desa Ambal 0.40+0.27+0.33+0.33+0.34+0.24+0.35+0.34+0.38 Nilai Indeks = 9 = 0.33 6. Desa Pagerpelah 0.74+0.67+0.38+0.33+0.67+0.70+0.68+0.27+0.69 Nilai Indeks = 9 = 0.57 7. Desa Pasuruhan 0.19+0.26+0.22+0.27+0.25+0.26 Nilai Indeks = 6 = 0.24 8. Desa Karanggondang 0.07+0.15+0.17+0.18+0.17+0.16+0.11+0.15+0.17+0.18+0.16 Nilai Indeks = 11 = 0.15
190
9. Desa Jlegong 0.16+0.15+0.17+0.15 Nilai Indeks = 4 = 0.16 10. Desa Binangun Indeks: 0.28+0.18+0.23+0.20+018+0.17+0.24+0.17+0.23+0.19+0.19+0.19+0.16
12
= 0.19 11. Desa Karangkobar Indeks:
0.28+0.25+0.30+0.23+0.24+0.22+0.44+0.22+0.25+0.23+0.24+0.19+0.24+0.13+0.23+0.22+0.23 17 = 0.17
191
Lampiran 9 Peta Persebaran Sampel Kapasitas Masyarakat
192
Lampiran 10 Data Curah Hujan Tahunan Stasiun Hujan Wilayah Penelitian dan Wilayah Sekitarnya
193
Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian
194