Ersis Warmansyah Abbas Penyunting

PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Sambutan Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Sc., M.Si.

Pendahuluan Prof. Dr. Wahyu, M.S.

Sampul Dalam iii Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal Copyright@2015, Ersis Warmansyah Abbas Hak Cipta dilindungi undang-undang

Setting/Layout : Ersis Warmansyah Abbas Desain Sampul : Ersis Warmansyah Abbas Pemeriksa Aksara : Risna Warnidah Cetakan Pertama : Juni 2015

Diterbitkan Atas Kemitraan:

Diterbitkan oleh: Penerbit : WAHANA Jaya Abadi Program Studi Pendidikan IPS Komp. Puri Asri Blok D-4B Sukapada Jurusan IPS FKIP Unlam Telepon 022-88884477 Universitas Lambung Mangkurat Bandung Jalan Hasan Basry Banjarmasin

ISBN :

iv Sampul Dalam Ersis Warmansyah Abbas Penyunting

PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Kata Sambutan Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Sc., M.Si. Pendahuluan Prof. Dr. Wahyu, M.S.

Penerbit WAHANA JAYA ABADI Sampul Dalam v Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing- masing paling singkat 1 (satu bulan dan/atau dengan paling sedikit Rp1.000.000.00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). vi Sampul Dalam SAMBUTAN REKTOR UNLAM

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Fenomena menarik di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) saat ini adalah semakin bertumbuhkembangnya atmosfir akademik. Berbagai kegiatan akademis, bukan hanya perkuliahan rutin, tetapi kuliah umum, studi banding, pertemuan-pertemuan ilmiah, menggelar seminar ilmiah di Unlam atau berpartisipasi pada berbagai seminar di berbagai perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri, menjadi perhatian “Insan- Insan Unlam”. Kalau dulu ada kesan “Insan-Insan Unlam” sekadar sebagai “penggembira” di berbagai ajang ilmiah, kini terjadi perubahan hebat, “Insan- Insan” Unlam menjadi nara sumber, pembicara, dan keynote speaker di dalam dan di luar negeri. Fenomena tersebut bukan saja menjadi pembicaraan di kalangan Insan-Insan Unlam”, tetapi juga menjadi perhatian berbagai pihak, kenapa Unlam lebih memilih “menggerakkan” aktivitas akademis dibanding membenahi kampus, membangun kampus “gagah” yang memberi kesan hebat. Bahwa sesungguhnya, dalam kebijakan pengembangan dan pembangunan Unlam, pembangunan fisik dan non-fisik dilakukan bersamaan. Hanya saja, untuk urusan fisik tentunya melalui birokrasi standar agar on the track. Mulai tahun ini, dibantu Islam Development Bank (IDB) akan dibangun sarana dan prasarana kampus memadai sebagai iringan pengembang SDM Unlam yang gencar dilakukan beberapa tahun terakhir. Artinya, pembangunan fisik dan non-fisik dilakukan sesuai dengan tahap- tahapannya.

Sambutan Rektor Unlam vii Dalam semangat tersebutlah, Program Studi Pendidikan IPS FKIP Unlam Banjarmasin yang belum berumur setahun mengambil inisiatif mengadakan seminar nasional bertajuk: Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Seminar yang dilaksanakan di Aula Rektorat Unlam, 30 Mei 2015, dihadiri 400 peserta, bukan saja dari Unlam, tetapi juga dari berbagai daerah di . Sungguh fenomena hebat yang tengah digerakkan “Insan-Insan” Unlam. Semangat menggelorakan atmosfir akademik tersebut tentu saja didukung Unlam sepenuhnya. Karena itu, sebagai Rektor Unlam saya mendukung inisiatif dan kreativitas pengelola Program Studi Pendidikan IPS FKIP Unlam yang dimulai dengan meminta saya membuka seminar tersebut sekaligus sebagai keynote speaker, dan ini membuat saya terkejut sekaligus bangga, diminta memberi sambutan untuk buku Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Pada awalnya saya bertanya-tanya, apa mungkin Program Studi Pendidikan IPS FKIP Unlam yang belum berumur setahun mampu membuat buku (prosiding) dari seminar yang mereka lakukan? Berbagai seminar telah dilakukan dan setelah seminarnya digelar, menguap begitu saja. Keraguan saya sirna ketika kepada saya diserahkan naskah buku, kumpulan dua puluh delapan (28) makalah yang dipresentasikan pada seminar tersebut, setebal sekitar 550 halaman dalam bentuk dummy. Kesadaran membawa kepada harapan, alangkah eloknya apabila semi- nar-seminar yang dilakukan di lingkungan Unlam dibukukan. Dengan demikian, bukan saja aspek keterdokumentasiannya terpenuhi, tetapi terlebih ide-ide dan gagasan-gagasan dalam pertemuan ilmiah tersebut terekam dalam bentuk buku yang bisa berumur berabad-abad. Lebih menarik, para pakar Pendidikan IPS mengapungkan betapa pentingnya Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Dalam bahasa lain, Pendidikan IPS dilandaskan pada pendidikan berwawasan lingkungan dalam mencapai satu dari sekian tujuan Pendidikan IPS, agar peserta didik cakap dalam kehidupan sosialnya; membangun social skill.

viii Sambutan Rektor Unlam Tentu saja, kalau menuliskan hal-hal positif tentang inisiatif dan kreativitas seputar seminar ilmiah, tidak akan habis-habisnya. Lebih penting, dalam upaya merealisasikan usaha dan upaya Unlam menuju A Leading and Competitive University bersama-sama dan serentak kita berbenah diri dengan aktivitas-aktivitas ilmiah dalam merealisasikannya. Sesuatu yang telah kita mulai tanpa ada peluang untuk balik kanan. Selamat atas terbitnya buku Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Semoga buku ini menjadi pemicu dan pemacu agar karya “Insan-Insan” Unlam semakin marak. Akhirul kalam, selamat berkarya. Salam sejahtera buat kita semua.

Banjarmasin, 27 Juni 2015.

Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc. Rektor Unlam Banjarmasin

Sambutan Rektor Unlam ix x Sambutan Rektor Unlam SAMBUTAN dekan fkip UNLAM

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) pada penjelasan pasal 37 menegaskan bahwa IPS merupakan bahan kajian yang wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan Dasar dan Menengah yang antara lain mencakup Ilmu Bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat. NCSS (1994) mendefinisikan bahwa IPS adalah integrasi disiplin ilmu-ilmu sosial dalam rangka membentuk warga negara yang baik. IPS sebagai program pendidikan memilih bahannya dari disiplin ilmu antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, politik, psikologi, agama dan sosiologi. Numan Somantri (1993) mengatakan IPS adalah bahan pengajaran dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis/paedagogis untuk tujuan pendidikan. Sementara tujuannya, menurut Fenton (1967) ada tiga tujuan utama, yaitu: 1. Social studies prepare children to be good citizens; 2. Social studies teach children how to think; 3. Social studies pass on the cultural heritage.

Sambutan Dekan FKIP Unlam xi Tujuan di atas cukup luas dan jelas, yaitu untuk mempersiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik, mengajar anak didik mampu berpikir, dan agar anak didik melanjutkan kebudayaannya. Di Indonesia tujuannya tidak jauh berbeda. Menurut Depdikbud (1978), sasaran kegiatan belajar IPS mengarah pada dua hal pokok, yakni: 1. Pembinaan warga negara Indonesia atas dasar moral Pancasila/ UUD 45; 2. Sikap sosial yang rasional dalam kehidupan. Kalau pengajar IPS di Indonesia sepakat diarahkan pada pembentukan warga negara yang baik, bermoral, berpikir rasional dan melanjutkan kebudayaan bangsa Indonesia, maka bahan-bahan pengajarnya bisa diadopsi dari nilai-nilai kearifan lokal. Terlebih dewasa ini, derasnya arus globalisasi yang memberi dampak pada perubahan pola perilaku manusia, khususnya anak-anak di sekolah. Apapun alasannya, arus global ini menjadi tantangan bagi para pelaku pendidikan. Pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal adalah pembelajaran yang mengajarkan pada siswa untuk selalu dekat dengan situasi kongkrit yang mereka hadapi. Nilai-nilai kearifan lokal merupakan bagian dari keunggulan lokal yang dapat dikembangkan melalui pendidikan. Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan. Oleh karena itu, berbagai nilai kearifan lokal dapat dijadikan sebagai materi dalam pembelajaran IPS, sehingga pembelajaran IPS menjadi bermakna bagi siswa. Kalau pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal bisa diwujudkan dalam pembelajaran IPS, maka pendidikan IPS memegang peranan penting dalam pembinaan warga negara yang baik, sikap mental dan moral anak didik. Menurut Warren (1991) Kearifan Lokal bisa dipraktekkan dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan macam-macam kegiatan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. xii Sambutan Dekan FKIP Unlam Buku ini ditulis oleh 28 orang dari berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda. Oleh karena itu, buku ini, tidak berpretensi bahwa apa yang dipaparkan sebagai gambaran yang utuh mengenai pendidikan IPS. Sumbangan yang ingin diberikan adalah, bahwa Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Boleh dikatakan bahwa buku ini sebuah inovasi, sebab menurut pemahaman penulis buku Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal belum banyak ditulis, atau boleh dikatakan masih langka. Sebagai kumpulan karangan, buku ini tentulah bukan suatu karya yang utuh, dan bukanlah suatu studi yang mendalam, tetapi lebih bersifat umum. Karena itu disadari bahwa buku ini memiliki sejumlah kelemahan dan kekurangan. Satu kelemahan yang segera terlihat adalah bahwa tulisan- tulisan tersaji mempunyai beberapa perbedaan sesuai dengan gaya dan latar belakang masing-masing penulis. Apa pun itu, semangat menulis kiranya dapat dijadikan pembenaran bagi terbitnya buku ini. Semoga konstruktif bagi pembaharuan Pendidikan IPS di Indonesia. Amin.

Banjarmasin, 27 Juni 2015 Dekan,

Prof. Dr. Wahyu, MS

Sambutan Dekan FKIP Unlam xiii xiv Sambutan Dekan FKIP Unlam PENGANTAR PENYUNTING

Bismillahirrahmanirrahim. Sudah menjadi hal biasa berbagai keluhan terhadap Pendidikan IPS dikemukakan berbagai pihak. Satu diantaranya terhadap bahan ajar IPS yang “terperangkap” disiplin ilmu-ilmu sosial (social science) padahal IPS adalah ilmu pengetahuan sosial (sosial studies); sesuatu yang tidak identik. Hal tersebut terkesan wajar manakala disehadapkan dengan praktik pembelajaran IPS di sekolah dikarenakan guru-guru yang mengajar IPS dididik dengan disiplin pendidikan Ilmu-ilmu sosial (IIS), bukan dididik dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Para guru yang dididik khusus disiplin IIS “berwenang” mengajar IPS sementara untuk sesama disiplin pendidikan IIS tidak mempunyai kewenangan. Guru pendidikan sejarah berwenang mengajar sejarah, namun tidak berhak mengajar ekonomi, geografi, sosiologi, dan sebagainya. Anehnya mereka “berhak” menjadi guru IPS. Sesuatu yang katakanlah bersifat tentatif dalam perspektif pendidikan IPS. Artinya, manakala guru-guru pendidikan IPS sudah terdidik maka merekalah yang menjadi guru IPS. Bahwa sesungguhnya, keterkaitan antara IPS dan IIS sangatlah erat. IPS mustahil menjadi tanpa IIS. Prinsip dan konsep IIS menjadi “titik tumpu” pengembangan IPS. Hanya saja, menjadi “lucu” manakala IPS dimaknai sebagai “kumpulan” IIS yang “diblender” sehingga menjadi “jus” IPS. IPS is IPS. IPS berawal dan memerlukan IIS dan Pendidikan IIS memerlukan Pendidikan IPS dalam menjangkau peserta tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP/sederajat).

Sambutan Dekan FKIP Unlam xv Karena itulah, pengembangan IPS hendaklah berbasis epistemologi kokoh akan memicu dan memacu pengembangan potensinya secara teoritik dan empirik. IPS yang digadhang-gadhang untuk membekali peserta didik agar cakap berkehidupan sosial ditopang kearifan lokal, tumpuan realitas berakar lingkungan kehidupan peserta didik, kiranya sangat tepat dalam pencapaian tujuan pendidikan IPS. Dalam pada itu, pembelajaran IPS yang diformulasikan agar para peserta didik sentuhannya meraih kecakapan sosial (social skill), justru semakin menjauh dari tujuan pendidikan IPS karena praktik pembelajaran IPS tergelincir ke ranah pengetahuan, ranah kognitif sebagai “panglima”. Kalau demikian adanya, pantas saja mata pelajaran IPS menjadi mata pelajaran hapalan yang membosankan dan tidak menyentuh ranah sikap dan keterampilan. Tidak mengherankan manakala paradoksial tujuan pembelajaran IPS bertolak belakang dengan hasilnya, sebab peserta didik disajikan materi ajar yang menjauhkannya dari lingkungannya. Bukan mustahil, peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Sekalipun pada dasarnya hal tersebut dapat dimaklumi, dan kita “wajib” berterima kasih kepada “ilmuwan IIS” dan “guru-guru non-IPS” yang selama ini mengambil tanggung jawab mewakafkan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta mendedikasikan waktu bagi pembelajaran IPS. Seiring tersedianya ahli dan guru-guru IPS akademik, tibalah saatnya pembenahan pendidikan IPS. Sarjana-sarjana IIS dan sarjana-sarjana pendidikan IIS tentu mempunyai tanggung jawab pengembangan disiplin masing-masing yang menuntut dedikasi tinggi dan kefokusan. Sekalipun demikian, dalam perspektif pendidikan IPS, tentu dengan harapan, tanpa harus menafikan partisipasi dalam pengembangan pendidikan IPS sekaligus jangan bersikap mengklaim sebagai penentu hitamputihnya pendidikan IPS. Tanpa IIS dan Pendidikan IIS, tanpa ilmuwan IIS dan ilmuwan Pendidikan IIS, sulit dibayangakan keberadaan IPS di Indonesia.

xvi Pengantar Penyunting Buku Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal, sebagai prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPS di Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat, 30 Mei 2015, merupakan upaya akademis dalam menjigi dan menghimpun pemikiran sekaligus “sosialisasi” berbagai usaha dan upaya pemberdayaan Pendidikan IPS agar berdayaguna dan berhasilguna berdasarkan materi berbasis kearifan lokal, ranah kehidupan peserta didik. Karena itu, sajian makalah-makalah dalam buku ini sesungguhnya merupakan raw materails yang akan mencapai sasaran manakala dipraktikkan di ruang-ruang kelas pendidikan. Sebagaimana diutarakan terdahulu, “kerja sama” para ilmuwan IIS, sarjana Pendidikan IIS, dan sarjana-sarjana IPS merupakan keniscayaan, dan terpajang pada buku ini. Hal tersebut membuktikan, kerja sama ilmuwan IIS, ilmuwan pendidikan IIS, dan sarjana IPS tidak saja positif bagi pengembangan IPS, tetapi tidak kalah bermanfaat bagi pengembangan IIS dan Pendidikan IIS. Buku ini memulai sajian konsepstual melalui sajian Prof. Dr. Wahyu, MS yang selama ini sangat berminat dalam kajian-kajian IPS dengan pendahuluan di bawah titel: Kearifan Lokal dan Pendidikan IPS. Sajian konseptual Prof. Wahyu ditopang pembahasan mendalam Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, M.Pd. tentang epistemologi pendidikan IPS yang perlu ditegakkan agar body of knowledge IPS menjadi kokoh sebagai landasan pengembangan pendidikan IPS. Tulisan Prof. Suwarma berjudul: Paradigma Revitalisasi Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal: Kajian Epistemologik dan Paradigmatik Revitalisasi Pendidikan IPS. Sejalan dengan hal tersebut, Ersis Warmansyah Abbas menopang dengan kajian: K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani: Dakwah Berbasis Kearifan Lokal Bernilai Universal. Paparan Ersis mengapungkan semangat bahwa pendidikan IPS jangan sampai mengabaikan “kehebatan” lokal dalam kerangka kearifan lokal bagi pengembangan pendidikan IPS. Kearifan lokal itulah yang menjadi tema sentral sajian buku ini.

Sambutan Dekan FKIP Unlam xvii Dengan kerangka demikian, pada Bab Pendahuluan yang dikokohkan dengan Bab II Memanah Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal, Bab III: Membincang Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal yang dilanjutkan Bab IV: Menggali Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal dan diakhiri dengan Bab V Mengapungkan Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Terlepas dari semangat berkarya, penyunting memohon maaf manakala ada suntingan yang kurang tepat, dan atau, untuk beberapa makalah yang diloloskan dengan pertimbangan, mengapungkan ide adakalanya tidak kalah penting dari “kepakaran”. Penyunting sangat menghargai keserentakkan banyak orang menuliskan ide dan gagasannya, dan sekaligus mohon maaf dan berterima kasih. Tidak kalah seru, seminar Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat, 30 Mei 2015, merupakan kebersyukuran menjelang HUT pertama Program Studi Pendidikan IPS Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unlam Banjarmasin. Sebagai prodi yang masih “bau kencur” kiranya tepatkan segala permakluman dan maaf dilimpahkan. Ibaratnya, “anak ingusan” berani mendayung karya. Sekian dan terima kasih. Banjarmasin, 27 Juni 2015.

Ersis Warmansyah Abbas Ketua Program Studi Pendidikan IPS FKIP Unlam Banjarmasin

xviii Pengantar Penyunting DAFTAR ISI

SAMBUTAN REKTOR UNLAM ...... vii SAMBUTAN DEKAN FKIP UNLAM ...... xi PENGANTAR PENYUNTING ...... xv DAFTAR ISI ...... xix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 Kearifan Lokal dan Pendidikan IPS 1.1 Wahyu ...... 3

BAB II MEMANAH PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL ...... 31 2.1 Paradigma Revitalisasi Pendidikan IPS Berbasis Pendidikan Lokal (Kajian Epistemologik dan Paradigmatik Revitalisasi Pendidikan IPS Suwarma Al Muchtar ...... 33 2.2 K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani: Biografi Dakwah Berbasis Kearifan Lokal Ersis Warmansyah Abbas ...... 69

BAB III MEMBINCANG PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL ...... 105 3.1 Learning Multicultural Education from Ethnopedagogy With Local Context Lumban Arofah ...... 107 3.3 Pengajian Sebagai Model Pengajaran Orang Dewasa Berbasis Kearifan Lokal Alfisyah ...... 119

Daftar Isi xix 3.3 Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat (Studi pada Masyarakat Dayak Halong di Kabupaten Balangan Selatan Syahlan Mattiro ...... 135 3.4 Membongkar Kajian Kearifan Lokal (Diskursus Metodologis dan Kontemplasi) Nasrullah ...... 155 3.5 Kearifan Lokal dalam Sistem Perdagangan Masyarakat Banjar (Studi Perdagangan Pasar Terapung Lok Baintan Yuli Apriati ...... 167 3.6 Menumbuhkan Sikap Konservasi Siswa Melalui Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal Melly Agustina Permatasari ...... 187 3.7 Nasehat Nenek Petani Bermuatan Nilai Ekonomi dalam Konteks Kearifan Lokal dan Kearifan Tradisional Rizali Hadi ...... 201 3.8 Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Kearifan Lokal Sri Setiti ...... 211 3.9 Pendidikan Humaniora dalam Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan Mohammad Zaenal Arifin Anis ...... 223 3.10 Orang Bugis dalam Kerajaan Pagatan dan Budaya Adat Mappanretasi 1735-1912 Rusdi Effendi ...... 243 3.11 Terompet Rakyat: Koran Perjuangan di Afdeeling Hoeloe Soengai Onderafdeeling Amoentai Tahun 1946-1947 Melisa Prawitasari ...... 309 3.12 Cross-Indigous Pembelajaran IPS dalam Mengajarkan Nilai-Nilai Multikulturalisme Melalui Pemahaman Kearifan Lokal Heri Susanto ...... 335

xx Daftar Isi BAB IV MENGGALI PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL ...... 353 4.1 Nilai-Nilai Pengajian Guru Sekumpul Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Tri Hayat Ariwibowo ...... 355 4.2 Peran Sarjana Pendamping Desa Sejahtera Di Desa Angkinang Selatan Kecamatan Angkinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan Fauzil Adha ...... 373 4.3 Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Taman Hutan Raya Sultan Adam Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Khaerullah Azhar ...... 387

BAB V MENGAPUNGKAN PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL ...... 403 5.1 Tradisi Budaya Multikultur dalam Perspektif Historis dan Adat Kesultanan Banjar Wajidi ...... 405 5.3 Kesultanan Banjar Sebagai Materi Pembelajaran IPS Norbaiti Ilhamiah ...... 423 5.3 Upacara Tiwah Suku Dayak Ngaju Allura Agustise ...... 441 5.4 Produksi Kain Sasirangan Sebagai Aset Budaya Masyarakat Kalimantan Selatan Rokyanto Setiawan ...... 453 5.5 Sasirangan Sebagai Bahan Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Firda Wahyuni ...... 463 5.6 Sejarah Kerajaan Banjar dan Enkulturasi Upacara Adat Banjar Eti Lindasari ...... 479 5.7 Pemanfaatan Hasil Laut Untuk Peningkatan Pendapatan Nelayan Di Pegatan Kecamatan Katingan Kuala Titik Maryati ...... 493

Daftar Isi xxi 5.8 Kearifan Lokal Untuk Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Fatmawasi Ermitha ...... 503 5.9 Budaya Betang Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah Yuni Betharia ...... 517 5.10 Tradisi Budaya Perkawinan Adat Banjar Di Desa Karangan Putih Kecamatan Kelua Laily Mahrita ...... 527

PENYUNTING ...... 537

xxii Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan 1 2 Pendahuluan KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN IPS Wahyu

I. MAKNA KEARIFAN LOKAL Menurut Chamber (1987), kearifan lokal sering juga disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang terminologi kearifan lokal (local knowledge). Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti: pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system). Beberapa pengertian dari masing- masing terminologi ini antara lain (Muyungi and Tillya, 2003): 1. Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge sebagai suatu koleksi gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu pengaturan yang spesifik berdasar pada sistem nilai (religi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis.

Wahyu 3 2. Brouwer (1998) menggambarkan traditional knowledge sebagai kemampuan-kemampuan kuno, adat-istiadat yang asli dan khusus, konvensi-konvensi dan rutinitas-rutinitas yang mewujudkan suatu pandangan statis dari kultur masyarakat. 3. Kajembe (1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan tentang perkakas dan teknik- teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran, perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi tertentu. Terkait dengan karakteristik kearifan lokal, Ellen and Bicker (2005) menyebutkan beberapa hal, diantaranya: 1. Merupakan sekumpulan pengalaman, dan berakar serta dihasilkan oleh orang-orang yang tinggal pada suatu tempat tertentu; 2. Ditransmisikan secara oral, melalui peniruan dan demonstrasi; 3. Merupakan konsekuensi dari praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari dan terus-menerus serta diperkuat melalui pengalaman dan trial and error; 4. Cenderung empiris daripada pengetahuan teoritis dalam arti sempit; 5. Pengulangan merupakan ciri khas dari tradisi, bahkan ketika pengetahuan baru ditambahkan; 6. Selalu berubah, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga hilang, sering direpresentasikan sebagai sesuatu yang statis; 7. Bersifat khas; 8. Terdistribusi tidak merata secara sosial; 9. Bersifat fungsional; 10. Holistik, integratif dan terdapat di dalam tradisi budaya yang lebih luas. Sistem kearifan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan fondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem

4 Wahyu kearifan lokal berupa keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui “tradisi-tradisi lisan” dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi. Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), kearifan lokal sebenarnya bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris (menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik (pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial). Kearifan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Kearifan lokal adalah bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang kearifan lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk memahami tentang kearifan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’ haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal tersebut Warren dan Rajasekaran (1993), menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat. Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Dengan kata lain, merupakan pengetahuan lokal yang unik, berasal dari budaya masyarakat setempat serta menjadi dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Wahyu 5 Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa kearifan lokal meliputi tradisi-tradisi dan praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat lokal yang terwujud dalam kebijaksanaan, pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal kearifan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum.

II. PERKEMBANGAN KEARIFAN LOKAL Sifat dinamis kearifan lokal yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya membuat kearifan lokal dapat berkembang dan eksis dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Sundar (2005), kearifan lokal bukan merupakan entitas abadi dan stagnan, tetapi mengalami perubahan sesuai dengan kondisi-kondisi material pengetahuan tersebut, perubahan lingkungan di mana mereka berada dan bagaimana mereka menempatkan penggunaannya. Oleh karena itulah Nababan (1995) menyatakan bahwa kearifan masyarakat tentang lingkungan lokalnya berkembang dari pengalaman sehari-hari. Berdasarkan sistem kearifan lokal ini, kebudayaan mereka beradaptasi dan berkembang dalam menjawab berbagai persoalan- persoalan yang dihadapi. Kedalaman penghayatan masyarakat tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi alam tercermin dari sistem budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam sehingga menjadi bagian darinya. Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam serta nilai distribusi dan pengalokasian hasil alam yang menjamin kepuasan kepada semua pihak tanpa berlebihan. Melalui sifat dinamis dari kearifan lokal ini, masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam lingkungan mereka dan menyerap serta mengasimilasi gagasan-gagasan dari bermacam sumber yang berbeda.

6 Wahyu Kearifan lokal berkembang dari kemampuan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti pandangan teori koevolusi (coevolution) yang menyatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia. Teori koevolusi menunjukkan bagaimana sistem sosial (terutama sistem pengetahuan), dan ekosistem saling berhubungan, dan bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain (FAO 2004). Kearifan lokal yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena itu dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media massa. Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan dipraktikkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan di mana ia tinggal dan bercocok tanam, petani memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Mulyoutami, dkk, 2007). Kearifan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Mulyoutami, dkk, 2007). Banyak praktik sistem pertanian lokal yang dapat memberikan ide potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara lestari. Petani mengembangkan pengetahuan baru dari pengetahuan dasar yang sudah mereka miliki ditambah dengan masukan eksternal. Apabila ada inovasi baru yang diperkenalkan kepada petani, maka mereka akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru tersebut.

Wahyu 7 Berdasarkan uji coba yang mereka lakukan, kemudian mereka membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak. Jika hasilnya seperti yang mereka harapkan, maka mereka akan mengadopsi pengetahuan tersebut. Untuk memantapkan keberlanjutan pengembangan pengetahuannya, masyarakat dapat menyerap pengetahuan luar, memahaminya, dan menginterpretasikannya serta menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan selanjutnya menghasilkan pengetahuan lokal yang bersesuaian dengan hal tersebut. Oleh karena itu menurut Hans-Dieter Evers dan Gerke (2003), dalam interaksi dengan pengetahuan luar, maka akan terjadi penyesuaian dengan persyaratan- persyaratan lokal sehingga menjadi suatu pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di sisi lain, sistem dan kelembagaan sosial dalam kehidupan masyarakat sangat menentukan perkembangan pengetahuan lokal terutama sebagai perwujudan dan eksistensi pengetahuan lokal tersebut dalam kehidupan masyarakat. Menurut Yurisetou (2003), kelembagaan lokal ternyata dapat menjembatani semua kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan peran kearifan lokal menjadi lebih efektif jika terdapat kerjasama dari berbagai pihak yang memberi penguatan terhadap peran lembaga adat. Hal ini ditunjukkan oleh Azhari (2006), di mana lembaga Tuan Bano Safakat di Kabupaten Simeulue sebagai sebuah organisasi lokal berfungsi sebagai pengatur masalah pertanian dan mediator antara petani dengan pemerintah untuk mengangkat permasalahan lokal dalam kebijakan pembangunan daerah. Hal ini bertujuan agar pembangunan pertanian yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah. Adanya mekanisme kerja yang tumpang tindih antara sistem dan kelembagaan sosial lokal dengan kelembagaan sosial modern, misalnya antara sistem pemerintahan desa dengan pemerintahan adat dapat menyebabkan terjadinya konflik. Menurut Achadiyat (1995), konflik ini dapat

8 Wahyu dihindarkan melalui penggabungan subsistem-subsistem dalam masyarakat ke dalam kesatuan yang utuh (crafting institutions), yaitu menjalin hubungan sosial menjadi satuan yang utuh. Upaya-upaya ini dapat berupa penggabungan institusi-institusi lokal dengan institusi-institusi yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Kusumaatmadja (1995) menyatakan bahwa untuk menjembatani agar pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan modern salah satunya dengan membuat padanan organisasi-organisasi adat dengan organisasi modern.

III. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BANJAR Seperti dikemukakan para ahli, kearifan lokal sebagai pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan yang menuntun perilaku masyarakat di dalam kehidupan masyarakat. Kearifan lokal dipraktikkan, diajarkan, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut sekaligus membentuk pola perilaku sehari-hari, baik terhadap sesama manusia, alam dan yang transenden. Menurut Warren (1991) kearifan lokal ini bisa dipraktikkan dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan macam-macam kegiatan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. 3.1 Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hidup Menurut M. Suriansyah Ideham, dkk (2007), kearifan lokal terhadap lingkungan hidup meliputi: pengetahuan tentang gejala alam, lingkungan fisik dan jenis-jenis tanaman. 3.1.1 Pengetahuan tentang Gejala-gejala Alam Masyarakat suku bangsa Banjar yang umumnya petani, memiliki pengetahuan khusus tentang cara memulai pekerjaan dan beradaptasi dengan lingkungannya.

Wahyu 9 Gejala-gejala alam dapat mereka ketahui melalui tumbuh-tumbuhan, binatang dan bintang di langit. Menurut kebiasaan untuk mengetahui cuaca dalam kaitannya dengan usaha pertanian, terutama menanam padi sampai waktu menuainya. Dalam pengetahuan masyarakat setempat, apabila pohon ambawang (embacang) mulai berbunga, maka mereka meyakini musim panas telah tiba. Oleh karena itu pekerjaan di sawah sudah bisa dimulai. Jika bunga pohon ambawang itu berwarna merah tua, maka hal itu sebagai pertanda musim panas yang lama. Jika bunganya berwarna merah muda, biasanya pertanda musim panas tidak begitu lama. Tanda musim panas atau biasanya juga disebut tanda pucuk timur dapat diketahui jika melihat munculnya bintang sagugus di cakrawala. Tanda akan datangnya musim hujan, biasanya jika kalambuai (gondang) bermunculan dalam jumlah yang banyak. Tanda musim hujan ini dikenal juga dengan istilah tanda pucuk barat. Biasanya musim penghujan diikuti pula oleh bunyi kodok yang terus menerus. Tanda-tanda lainnya yang berkaitan dengan musim tanam adalah jika burung ranggang tutup sering berbunyi, berarti sebagai isyarat musim yang baik untuk menghasilkan pelaksanaan menanam padi. Untuk mengetahui saat yang tepat dan menghasilkan padi yang baik dapat pula diketahui dengan memperhatikan bintang di langit. Bintang karantika maharam (bintang kecil- kecil atau bintik-bintik putih) yang munculnya pukul 02.00 dinihari, memberi petunjuk baiknya tanaman padi. Kemudian untuk mengetahui hasil padi yang baik, maka pada saat tanaman padi baru mengeluarkan buah dari tangkainya harus diperhatikan pula ke langit apakah bintang belantik maharam juga muncul. Jika munculnya berbarengan, maka merupakan pertanda hasil tanaman padi baik. Pengetahuan tentang gejala alam tersebut sangat mereka perhatikan. Sebab ketidaktepatan mengukur waktu untuk bertani dapat mengurangi hasil yang diharapkan. Misalnya jika karantika timbulnya tinggi

10 Wahyu malam hal itu mengisyaratkan kepada mereka untuk tidak tergesa-gesa menuai padi, karena air pasang lambat tiba. Ramalan cuaca yang kurang tepat dapat mengakibatkan kerugian, karena bisa saja terjadi padi yang menguning belum sempat dituai air pasang sudah tiba. Saat musim air pasang ini tikus pun banyak muncul di area sawah. Dengan demikian, gejala-gejala alam yang mereka ketahui berdasarkan pengalaman itu telah dibantu dengan keadaan lingkungan sekeliling dari bumi sampai ke langit. Itulah sebabnya masyarakat cukup menjaga kelestarian lingkungan hidup mereka. Karena tumbuh-tumbuhan dan binatang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan masyarakat petani di mana mereka tinggal dan hidup. 3.1.2 Pengetahuan tentang Lingkungan Fisik Pada masyarakat Banjar konsep pengetahuan mereka terhadap lingkungan fisik sebenarnya tidak bersumber pada teori kelestarian alam lingkungan. Mereka dalam batas-batas tertentu harus menjaga kelestarian lingkungan fisik mereka sebagai upaya memelihara dan melaksanakan amanah Tuhan. Berdasarkan pengetahuan yang ada dan dari pengalaman hidup di tengah lingkungannya, masyarakat Banjar dapat mengetahui kondisi dan lapisan tanah serta tumbuhan yang berada di atasnya. Tanah dapat mereka katakan subur apabila pada lapisan bawah terdapat sumber air tanah liat, dan lapisan tanah gemburnya terlihat cukup tebal yang disebut tanah tuha. Jenis tanah yang dinyatakan cocok untuk lahan pertanian itu sering pula disebut dengan istilah tanah dingin. Pengetahuan lain yang sering digunakan untuk mengetahui baik atau tidaknya pertanian dapat pula dilakukan. Ciri-ciri yang dianggap dapat dibenarkan untuk mengetahui kesuburan tanah ini mereka ketahui dari jenis tumbuhan yang apabila di atasnya ditumbuhi jenis rumput seperti belaran, kesisap, pipisangan dan paku lembiding, maka lahan tersebut baik untuk ditanami. Tetapi jika di atas tanah itu ditumbuhi semak seperti parupuk, Wahyu 11 purun tikus, kumpai miang, benderang dan hahauran, maka tanah itu kurang baik untuk lahan pertanian. Sikap menaruh perhatian terhadap keberadaan lingkungan yang telah lama dimiliki masyarakat Banjar ini dapat menanamkan kesadaran untuk berlaku wajar dalam menempuh pola hidup yang serasi dengan keadaan lingkungan. Sadar akan keterbatasan kemampuan alam dan pandangan bahwa segala makhluk hidup di sekitar lingkungan punya manfaat bagi kehidupan serta saling ketergantungan, maka kelestarian lingkungan relatif bisa terpelihara dengan baik. Kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan fisik ini telah mendorong anggota masyarakat Banjar untuk hidup serasi dengan alam sebagai perwujudan dalam menumbuhkan rasa religi dan gandrung kepada kasih sayang Allah SWT. Sebagaimana mereka yakini kebesaran Allah SWT sesungguhnya terlukis melalui alam dan isi bumi ini. Jika mereka merasa mencintai alam lingkungan itu berarti merupakan pengakuan terhadap kebesaran Allah SWT sang pencipta alam. 3.1.3 Pengetahuan tentang Jenis-jenis Tanaman, Manfaat dan Pembudidayaannya. Pengetahuan masyarakat tentang pencegahan erosi, yaitu mempertahankan bahan-bahan anorganik dan mineral-mineral dalam tanah dilaksanakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan pendahulu mereka. Pada batas sawah masing-masing dibuat galangan (tembok tanah yang dibuat memanjang di kiri dan kanan) areal persawahan. Di atas galangan ditanami dengan tumbuh-tumbuhan bermanfaat seperti ketimun, lombok, jagung dan lain-lain. Pengetahuan masyarakat tentang tumbuh-tumbuhan atau tanam- tanaman yang menyertai penanaman padi di sawah cukup baik dan bijaksana. Sistem galangan yang di atasnya ditanam sejenis tanaman seperti mentimuN, semangka, jagung dan tanaman menjalar lainnya itu dapat pula berfungsi sebagai alat kontrol terhadap hama tanaman. Hama tanaman, terutama tikus dapat diketahui dengan meneliti tumbuh-tumbuhan yang 12 Wahyu ditanam di galangan. Oleh karena itu pula tumbuhan yang ditanam biasanya dipilih yang disukai tikus, sehingga mudah dapat mengetahui apakah areal sawah ada tikusnya. Jika sudah diketahui tentu sangat membantu dalam pencegahannya. Lingkungan hidup yang terdapat pada pekarangan rumah, sering ditanami tanaman keras, seperti kelapa untuk keperluan dapur dan ramuan obat-obatan diantaranya serai, lengkuas, janar (kunyit), dan jariangau. Namun untuk tanaman sekitar rumah ini, mereka jarang sekali mau menanam manisan dan keladi, karena suka didatangi tikus. Jadi berbeda dengan di sawah jenis tanaman yang sifatnya menarik atau bahkan menjadi makanan binatang tertentu tidak mau masyarakat menanamnya di dekat rumah. Hal itu dikarenakan tikus bisa masuk ke dalam rumah sebagai tempat persembunyiannya. Begitu pula dengan pohon atau tumbuhan yang diyakini sebagai tempat berlindungnya urang halus (makhluk gaib) masyarakat Banjar tidak mau menanamnya di dekat rumah. 3. 2 Nilai Demokrasi Dalam Budaya Banjar Menurut Humaidy Abdussami (2015) masyarakat Banjar punya watak demokratis. Hal ini ditandai dengan sangat terbuka dan sedemikian lenturnya budaya Banjar dalam menerima berbagai budaya lain yang pada mulanya asing. Ia sanggup mendudukkan budaya-budaya lain tersebut sebagai mitra sejajar dan teman dialog yang setara dalam lokus dirinya. Selanjutnya, Humaidy Abdussami (2015) menyebutkan nilai-nilai demokrasi dalam budaya Banjar, yaitu: 1. Tradisi Musyawarah dan Keadilan, 2. Tradisi Gotong-royong, 3. Tradisi Persamaan, 4. Tradisi Kebebasan, 5. Tradisi Oposisi, 6. Tradisi Kritik. Untuk lebih jelasnya, nilai-nilai demokrasi dalam budaya Banjar akan diuraikan secara lebih rinci di bawah ini: Wahyu 13 3.2.1 Tradisi Musyawarah dan Keadilan Nilai-nilai demokrasi dimulai ketika Sultan Suriansyah (1526-1545), sebagai raja pertama kerajaan Banjar mengatur tata pemerintahannya. Langkah pertama yang diambil Sultan adalah tidak memilih jabatan Patih dan Mangkubumi dari golongan bangsawan, dari pemilik atau keluarga kerajaan, melainkan diambil dari Urang Jaba (rakyat biasa) yang cakap, memiliki kemampuan dan loyalitas-dedikasi yang tinggi terhadap kerajaan. Orang pertama yang dipilih kerajaan atas kehendak rakyat umum waktu itu adalah Patih Masih seorang anak nelayan di tepian sungai Martapura, tepatnya di daerah Kuin. Tradisi musyawarah sebagai nilai demokrasi, baik di lingkungan kerajaan maupun masyarakat terlihat hidup, ini bisa dibuktikan pada Undang-Undang Sultan Adam (1825-1827) dalam pasal 3 berbunyi; Tiap- tiap tetuha kampung kusuruhakan mamadahi anak buahnya dengan bamufakat, astamiyah lagi antara bakarabat supaya jangan banyak pamandiran dan babantahan. Maksudnya agar tokoh-tokoh (sesepuh) kampung membiasakan musyawarah untuk menghindari terjadinya salah paham dan percekcokan. Dengan demikian musyawarah yang bertujuan untuk mencari jalan keluar secara bersama sekaligus memecahkan segala persoalan baik yang terjadi di dalam keluarga maupun masyarakat, sejak dahulu sudah dilaksanakan masyarakat Banjar. Lebih dari itu, jika terjadi sengketa di suatu kampung, maka tetuha harus mendamaikannya dengan musyawarah, jika tidak selesai secara kekeluargaan baru dibawa ke hadapan Hakim. Hal ini tercantum pada pasal 21 dalam Undang-Undang Sultan Adam; Tiap- tiap kampung kalu ada perbantahan, isi kampungnya kusuruhakan mamandirakan dan mematutkan mufakat lawan nang tuha-tuha kampungnya itu, lamun tiada jua, mamandirakan ikam bawa pada Hakim. Maksudnya, jika tidak bisa selesai secara kekeluargaan, maka baru dibawa ke hadapan Hakim.

14 Wahyu Demikian juga halnya dengan tradisi keadilan di masyarakat Banjar sudah lama berkembang. Di sana terdapat semacam lembaga keadilan yang disebut sebagai Mahkamah Syar’iyah yang dikepalai oleh seorang Mufti. Menurut Karel A. Steenbrink Undang-Undang Sultan Adam yang ditetapkan pada tanggal 15 Muharram 1251 H memberikan kesan bahwa kedudukan Mufti mirip dengan Mahkamah Agung yang ada sekarang, yang berfungsi pula sebagai lembaga untuk naik banding dari pengadilan di bawahnya yang disebut Karapatan Kadi. Tugas Mufti ini tercantum dalam Undang-Undang Sultan Adam terutama pada perkara 7-8 yang berbunyi; Mufti batugas mambarikan fatwa kapada urang nang handak manjalankan hukum, dan bila urang itu maminta disuruh Sultan, dan urang itu harus malihatakan surat bukti dengan cap Sultan. Maksudnya, tugas Mufti adalah memberikan fatwa bagi mereka yang hendak menjalankan proses hukum dengan memperlihatkan surat bukti yang berstempel atau legalitas tanda tangan Sultan. 3.2.2 Tradisi Gotong-Royong Tradisi gotong-royong sebagai ciri demokrasi, juga hidup dalam masyarakat Banjar. Ada ungkapan cukup terkenal yang menjadi pegangan hidup masyarakat Banjar; Gawi Sabumi Sampai Manuntung (kerja bersama sampai tuntas) atau Waja Sampai Kaputing (kerja bersama dari awal sampai akhir) atau Kayuh Baimbai (dayung secara serempak). Maksudnya dalam melakukan pekerjaan sampai selesai dengan bergotong-royong secara bersama-sama, rambate rata hayu, singsingkan lengan baju, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Gotong-royong ini banyak muncul dalam upacara adat dan upacara keagamaan. Sebut saja beberapa sebagai umpama, upacara Manyanggar Banua yakni suatu upacara memberikan aneka ragam sesajen secara bersama-sama mulai pemimpin sampai rakyat biasa, baik kaum miskin maupun kaum kaya, orang tua ataupun anak-anak, dan lelaki atau perempuan, ikut hadir dengan peran masing-masing. Ada yang berperan

Wahyu 15 sebagai pemimpin upacara, ada yang mengumpulkan sesajen, ada yang tugas menari, ada pula yang membunyikan gamelan, rebab dan rebana dengan diiringi lagu masbangun. Dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Banjar, gotong- royong terlihat sangat kental. Beberapa hari menjelang perkawinan para keluarga, tetangga dan kawan-kawan datang membantu segala persiapan yang berkaitan dengan upacara perkawinan seperti mendirikan serobong (tenda) untuk tempat para saruan (undangan) memperluas palatar (teras) serambi depan, mempersiapkan pangawahan (bejana besar) untuk memasak, mendirikan naga penantian (kursi pelaminan), memasang kakambangan (dekorasi), mengatur paguringan (tempat tidur) kedua mempelai, yang diletakkan di tengah rumah dikelilingi oleh dinding air guci (gorden berhias), seperti adanya titian naga, kebun raja, taburan bintang, aneka kembang dan lain-lain. 3.2.3 Tradisi Persamaan Tradisi persamaan dalam masyarakat Banjar sudah terlihat pada aspek bahasa pengantar dan pergaulan hampir di seluruh Kalimantan (kecuali Kalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Brunai Darussalam), sangat sederhana, tidak memiliki hirarkis yang sedemikian rigid sebagaimana bahasa Jawa, ada tingkatan kromo, madyo dan kasar. Hal ini tampak pada rumah tangga masyarakat Banjar. Posisi suami sama dengan istri selaku kepala keluarga dan profesinya dianggap sebagai sama-sama bekerja. Komunikasi antara suami dan istri tampak sangat lugas, hampir tidak memakai bahasa yang hirarkis, dengan masing-masing memanggil ui atau umanya si anu atau ding dan ui atau abahnya si anu atau ka dalam tegur sapa dialog ulun-piyan (halus), aku-ikam (menengah) atau unda-nyawa (kasar), tanpa ada aturan untuk memakai bahasa yang halus saja. Demikian juga, hubungan antara kaka (kakak) dan ading (adik) baik laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan maupun laki-laki dengan perempuan berjalan sangat demokratis. Dalam komunikasi kaka dan ading,

16 Wahyu tidak ada hirarkis. Kaka memanggil ading-nya tidak dengan ding, cukup dengan menyebut ujung namanya (semisal Masniah, cukup dipanggil Niah). Begitu juga sebaliknya, ading tidak harus memanggil ka, mas atau abang, cukup menyebut ujung namanya saja (semisal Fauzi, cukup dipanggil Zi). 3.2.4 Tradisi Kebebasan Sejak kecil anak Banjar sudah dilatih dan dididik orang tuanya untuk bebas memilih jalan hidupnya masing-masing agar cepat mandiri. Hal ini terkait erat dengan budaya dagang masyarakat Banjar yang sedemikian kuat. Sudah barang tentu kebebasan yang dimaksud lebih pada bidang ekonomi. Ada yang diajak berdagang kecil-kecilan, sekedar membantu orang tuanya berjualan, belajar kerja serabutan dengan memperoleh imbalan seadanya, diwanti-wanti perihal seluk-beluk berdagang atau mau meneruskan sekolah sepuas-puasnya. Bagi orang Banjar yang penting bukan mau berdagang atau mau sekolah, melainkan bagaimana secepat mungkin melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan segera bebas, mandiri dan merdeka. Untuk menuju kebebasan itu, anak Banjar berani menempuh jalan berat sekalipun. Tidak berhasil mencari atau mengembangkan pekerjaan di kampung halaman, mereka akan nekat pergi mengembara ke tanah seberang negeri orang, menjadi pengemban gigih dan madam (menetap) di sana. Sementara orang tuanyapun, jika itu sudah menjadi anaknya, dengan lapang dada dan rela hati melepaskan anaknya tanpa tangis dan rasa sedih, bahkan terkadang senyum-senyum saja karena dianggap sebagai kepergian yang biasa. Tidak heran, jika kemudian banyak dari pengembara-pengembara Banjar ini membangun koloni-koloni di tanah perantauan yang hampir meliputi seluruh Nusantara. Sebut saja beberapa perkampungan Banjar di luar Kalimantan yang cukup terkenal, seperti Bangil, Nyamplungan (Surabaya), Jayengan (Solo), Kauman (Yogya), Johar (Semarang), Kuala Tungkal (Jambi), Tambilahan (Riau), Sapat, Batu Pahat dan Pulau Pinang (Malaysia).

Wahyu 17 3.2.5 Tradisi Oposisi Tradisi oposisi bernilai demokrasi yang dalam masyarakat Banjar tumbuh sejak lama. Dalam sejarah Banjar senantiasa muncul kekuatan oposisi yang berusaha mengontrol rezim berkuasa. Keberadaan oposisi terlihat sejak berdirinya kerajaan Banjar sampai keruntuhan, bahkan berlanjut hingga awal kemerdekaan. Ketika penguasa kerajaan Banjar dipegang Pangeran Tumenggung, muncul Sultan Suriansyah (1526-1545) yang memberontak. Ketika Amirullah Bagus berkuasa (1660-1663), Pangeran Adipati Anum (1663-1679) melakukan kudeta. Ketika Adipati Anum berkuasa Amirullah Bagus (1680-1700), ganti mengkudeta. Ketika Tahmidullah II (1761- 1801) berkuasa, Pangeran Amir memberontak dengan 3000 orang bala tentara Bugis. Ketika Sultan Tamjidillah (1857-1859) berkuasa menjadi boneka penjajah Belanda, Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari yang keras menantangnya. Ketika memasuki zaman kemerdekaan Hasan Basri setia mengintegrasikan Kalimantan Selatan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, muncul Ibnu Hajar memberontak untuk mendirikan negara sendiri berlandaskan Islam. 3.2.6 Tradisi Kritik Tradisi Kritik dalam budaya Banjar, kebanyakan terekspresi dalam ungkapan seni. Pertama, pada kesenian Madihin salah satu kesenian tradisional masyarakat Banjar yang sangat populer, seringkali dalam melantunkan syair-syairnya Pemadihin (sekarang sangat terkenal John Tralala dan anaknya Hendra) menyelipkan kritikan pedas pada siapa saja yang sok alim, sok kuasa, sok pintar dan sok hebat dengan sindiran halus yang dibungkus bahasa pantun, indah, puitis dan humoris dalam bentuk dialogis bersahutan atau berbalas pantun baturai syair yang familiar dengan iringan irama gendang dari terbang (semacam rebana). Kedua, pada legenda kisah si Palui yang setiap hari, setia hadir di koran Banjarmasin Post (koran yang terbesar oplahnya di Banjarmasin). Tokoh ini agak mirip dengan tokoh Kabayan di Jawa Barat, digambarkan sebagai sosok manusia

18 Wahyu lucu yang lugu, nakal, unik, agak pintar-pintar bodoh, agak bodoh-bodoh pintar dan agak berani-berani takut. Ia tampil sebagai pengkritik siapa saja yang dianggapnya berlebihan, arogan dan pongah. Sasaran kritiknya bisa dirinya sendiri dan orang lain. Dari jago pukul kampung sampai pejabat pemerintah. Dari orang dusun sampai orang kota. Dari murid sampai Tuan Guru. Dari menantu sampai mertua. Dari anak sampai orang tuanya. Dari istri sampai suaminya. Demikian seterusnya meliputi berbagai wajah tokoh yang perlu dikritik. Ungkapan kritiknya dibungkus dengan bahasa Banjar problem yang humoris dan menggelikan dengan metode berkisah yang khas dan sangat akrab dengan pembaca. 3.3 Adat Badamai Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan masyarakat Banjar. Adat badamai bermakna pula sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah. Adat badamai dilakukan dalam rangka menghindarkan persengketaan yang dapat membahayakan tatanan sosial. Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna memecahkan persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Pada masyarakat Banjar jika terjadi persengketaan di antara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau pelanggaran norma (adat) atau terjadi perkelahian ataupun pelanggaran lalu-lintas, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara badamai. Warga masyarakat enggan menyelesaikan sengketa itu melalui lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan). Adat badamai ini diakui efektif dalam menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan perasaan dendam, berperan menciptakan keamanan ketertiban dan perdamaian. Adat badamai ini lazim pula disebut dengan babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran dan penyelesaian dengan cara suluh (Ahmadi Hasan, 2010).

Wahyu 19 Jika konflik terjadi, apalagi yang berkaitan dengan peristiwa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat (tetuha kampung) berinisiatif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Diupayakan pertemuan (musyawarah) keluarga, dilanjutkan acara selamatan, dengan bermaaf- maafan dan terkadang disertai dengan perjanjian tidak akan memperpanjang sengketa dan permusuhan. Bahkan, kedua belah pihak diikat dalam persaudaraan yang lazim disebut baangkat dangsanak (dipersaudarakan) atau baangkat kuitan (menjadi orang tua dan anak angkat). Ciri khas yang membedakan adat badamai dengan penyelesaian damai pada masyarakat lainnya: adanya nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi, adanya upacara yang mengiringi sebagai simbol tuntasnya sengketa atau pertikaian, adanya acara maangkat dangsanak atau maangkat kuitan (dipersaudarakan) yang sarat dengan unsur-unsur ritual yang bersifat religi semisal adanya upacara batapung tawar. Lengkap dengan hidangan nasi ketan dan kelapa parut yang dicampur dengan gula Jawa. 3.4 Sistem Gotong-Royong Masyarakat Banjar 3.4.1 Gotong-Royong Tolong Menolong Gotong-royong atau tolong menolong terdapat pada berbagai kelompok etnik, yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip dasarnya sama, yaitu saling menolong secara bergantian, atau berbalas- balasan. Menurut M. Suriansyah Ideham, dkk (2007) banyak istilah lokal yang dipakai untuk menamakan kegiatan gotong-royong ini. Istilah yang dipakai tiap daerah tersebut sesuai dengan bahasa pergaulan sehari-hari yang dipakai oleh kelompok etnik yang melaksanakannya. Istilah-istilah yang dipakai untuk kegiatan ini antara lain: 1. Baarian atau Bahahandipan Istilah ini dipakai oleh suku Banjar yang tinggal di daerah persawahan pasang surut dan di daerah dataran tinggi, utamanya untuk istilah baarian. Untuk kata bahahandipan ini biasanya banyak dipergunakan 20 Wahyu di daerah batang banyu atau di daerah tepi sungai besar, seperti tepi sungai Negara. Kata baarian ini maksudnya bergotong-royong berganti hari untuk lokasi yang berbeda pada sawah milik peserta gotong-royong tersebut, dengan jumlah hari yang sama, bukan hasil pekerjaan yang sama. Bukan hanya setiap satu hari berganti ke sawah lain sebagai balasan terhadap sawah yang telah dikerjakan sebelumnya, tetapi berapa hari membantu atau mengutangi kerja pada sawah lain, sejumlah itu pula dibayar dengan kerja oleh pemilik sawah yang telah dibantu. Begitu juga jumlah tenaga atau orang yang ikut bergotong-royong yang mengutangi kerja itu harus dibalas dengan jumlah yang sama pula. 2. Marambai Marambai ini merupakan istilah yang dipakai untuk gotong-royong, tolong menolong yang sifatnya bergantian atau berbalasan yang dipergunakan di daerah Tapin atau Kabupaten Tapin tepatnya di daerah Kecamatan Tapin Tengah. Caranya sama saja dengan baarian atau bahahandipan yang dilaksanakan di daerah batang banyu atau di daerah pertanian pasang surut di tepi sungai besar. Gotong-royong baarian atau bahahandipan dalam mengerjakan sawah atau ladang dilakukan untuk kegiatan: Manugal, menyemai benih atau manaradak, baik di sawah maupun ladang ketika musim menanam benih padi. Dilakukan dari mengolah atau membersihkan tanah tempat menanam benih untuk membuat bibit, sampai menanam padi dengan tutugal atau asak. Di daerah ladang tegalan manugal atau manaradak dilakukan secara besar-besaran antar kampung dengan menggunakan keramaian khas pegunungan seperti kurung-kurung. 3. Manatak Ampar atau Marimba Ini dilakukan di daerah persawahan baik sawah pasang surut maupun sawah dataran tinggi. Manatak ampar ini ialah membabat rumput di sawah dengan tajak. Pada waktu menatak ampar atau marimba ini biasanya Wahyu 21 air di sawah tergenang di sekitar setengah lutut, sehingga tajak tersebut mudah digunakan untuk membabat rumput. Ini biasanya dilakukan secara bergantian dari sawah satu ke sawah yang lain dengan jumlah hari yang sama secara bergantian. 4. Mamuntal Mamuntal ini merupakan suatu kegiatan mengolah rumput hasil babatan berbentuk puntalan atau gumpalan agar cepat busuk. Gumpalan- gumpalan rumput ini terapung di tengah sawah dan jika telah busuk diangkat ke galangan sawah atau bantangan, bisa juga ditebarkan di tengah sawah. Gotong-royong mamuntal baarian juga dilakukan seperti halnya manatak ampar berganti hari. Bahangkut atau mengangkut rumput yang telah dipuntal diletakkan di galangan sawah. Kegiatan ini biasanya dilakukan menjelang musim tanam sawah dataran rendah, yaitu pada sawah pasang surut. Jika tidak diangkut ke bantangan, rumput yang dipuntal tadi akan mengganggu bibit-bibit padi yang baru ditanam karena terbawa oleh arus air dan melanda padi di sawah tersebut. Ini juga dikerjakan bergotong-royong secara bergantian atau baarian. 5. Batanam atau menanam padi Pada waktu menanam padi di sawah juga sering dilakukan baarian di daerah persawahan dengan pembagian kerja. Ada yang bekerja mengambil bibit padi dan seterusnya ditanam bersama-sama. Sebagian hanya bertugas sebagai pengangkut padi ke tempat padi tersebut ditanam. Terjadi kegiatan yang satu sama lain saling menunjang dalam penanaman padi di sawah. Kegiatan itu dilakukan secara bergantian dari sawah yang satu ke sawah yang lain dengan jumlah hari yang sama yang biasanya disebut dengan bahahandipan atau baarian batanam. Marumput atau membersihkan rumput yang tampak di sela-sela tanaman padi.

22 Wahyu Kegiatan baarian rumput ini biasanya sebagian besar dilakukan oleh para wanita. Merumput dilakukan ketika padi sudah agak meninggi dan seiring dengan itu rumput banyak tumbuh di sela-selanya, baik pada waktu bahuma surung maupun bahuma rintak. Bahuma surung ialah menanam padi di musim kemarau menjelang datang banyu (musim hujan) dan panen di waktu surung banyu, musim air dalam. Bahuma rintak yaitu bersawah yang musim tanamnya di waktu banyu marintak atau air mulai kering dan panennya di waktu musim kering (musim kemarau). 6. Mangatam atau Menuai Padi Kegiatan gotong-royong baarian atau bahahandipan ini juga dilakukan untuk menuai padi yang dalam bahasa Banjar disebut mangatam padi. Pekerjaan dilakukan saling bergantian bagi para anggota yang ikut baarian tersebut. Batutumbiran adalah kegiatan gotong-royong yang bukan dengan tenaga, tetapi dengan benda atau uang, membantu bergantian atau berbalasan yang sama besarnya. Batutumbiran dilakukan untuk upacara perkawinan, seperti membantu seekor sapi untuk kenduri perkawinan tersebut oleh seorang atau keluarga dekat. Jika yang menumbir atau membantu tersebut kelak melaksanakan upacara perkawinan juga, maka akan dibalas dengan seekor sapi yang besar hampir sama atau senilai dengan sapi yang pernah disumbang. 3.4.2 Gotong-Royong Kerja Bakti Gotong-royong kerja bakti dilakukan tanpa mengharap balasan, hanya berdasarkan keikhlasan seseorang dalam menolong tersebut. Kegiatan gotong-royong kerja bakti ini biasanya dilakukan untuk hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum atau untuk hal-hal yang bersifat khusus. Menurut M. Suriansyah Ideham, dkk (2007) kegiatan gotong- royong kerja bakti ini antara lain:

Wahyu 23 1. Dalam bidang pertanian 1. Gotong-royong Kerja Bakti Balangai Handil Semua pemilik sawah yang terletak di sungai atau di handil melaksanakan pekerjaan gotong-royong kerja bakti Balangai Handil (membersihkan sungai) untuk memperlancar pengairan sawah. Handil merupakan terusan yang digali di daerah persawahan disamping untuk pengairan sawah juga guna memperlancar hubungan lalu lintas di daerah persawahan tersebut. Objek yang dikerjakan pada waktu kegiatan gotong-royong kerja bakti itu antara lain berupa membabat rumput atau enceng gondok yang tumbuh di sungai tersebut. Bisa juga diarahkan untuk menggali anak sungai atau handil yang sudah menjadi dangkal, untuk kelancaran pengairan sawah yang ada. 2. Gotong-royong Kerja Bakti Batabat Kegiatan ini juga dilakukan oleh pemilik sawah yang terletak di salah satu handil atau anak sungai di lokasi tertentu. Ini dilakukan di daerah persawahan pasang surut yang terletak di tepi sungai besar di dataran rendah, yang dilakukan menjelang musim kemarau, ketika sawah airnya mulai surut agar jangan kekeringan di musim kemarau. Seperti halnya gotong-royong kerja bakti balangai sungai/handil pelaksanaannya dipimpin oleh kepala handil atau orang yang merupakan penguasa pada wilayah persawahan yang dialiri oleh handil. Dengan adanya tabat atau bendungan yang dibuat secara gotong- royong itu, di waktu musim kemarau air di sawah di daerah pertanian tersebut bisa diatur dengan membuka dan menutup pintu tabat atau bendungan pada saat air pasang dalam dan pasang surut. 3. Gotong-royong Kerja Bakti Bahandup Babi atau Bagarit Babi Berburu babi dalam bahasa Banjar disebut dengan istilah Bahandup Babi atau Bagarit Babi, dilakukan secara bergotong-royong pada

24 Wahyu suatu lokasi persawahan yang terletak di tepi semak belukar yang banyak dihuni babi-babi hutan yang mengganggu tanaman atau sawah pada malam hari. Kegiatan dilakukan pada siang hari dengan memakai tombak dan kadang-kadang memakai anjing pemburu. Pekerjaan itu dilakukan dengan memblokade semak belukar yang merupakan tempat persembunyian babi hutan. Kegiatan gotong-royong ini hanya untuk membunuh babi-babi itu, bukan untuk mengambil dagingnya, karena mereka yang berburu tersebut umumnya beragama Islam yang tidak memakan daging babi. Tujuannya semata-mata agar daerah persawahan aman dari gangguan babi hutan yang biasa hidup di kawasan tersebut. 4. Gotong-royong Kerja Bakti Mahampang Tikus Menjelang musim hujan biasanya tikus berkembang biak dan merusak tanaman yang ada di sawah termasuk padi. Tikus itu bersarang pada rumput-rumput yang terdapat di daerah persawahan. Untuk membasmi tikus-tikus yang menjadi hama tanaman itu dilakukan kerja bakti berburu tikus yang hidup di sekitar persawahan. Alat yang dipergunakan berupa hampang yang dipasang untuk memerangkap dan merintangi tikus-tikus yang diburu dan parang untuk membabat rumput tempat tikus bersarang. Menggunakan parang yang dibabatkan ke rumput dengan memotong-motongkannya disebut mancancang rumput. Oleh karena rumput itu dicancang atau diparang bersama tikusnya, maka pekerjaan bergotong- royong seperti ini disebut bacancang (cincang) tikus. 2. Dalam bidang Teknologi dan Perlengkapan Hidup Gotong-royong kerja bakti dalam bidang ini antara lain gotong- royong kerja bakti untuk membuat jembatan atau titian di desa. Gotong- royong kerja bakti balangai jalan atau membersihkan jalan. Gotong-royong batimbuk jalan atau meninggikan jalan dengan menguruknya dengan tanah. Kegiatan itu dilakukan oleh semua penduduk desa di kawasan yang melaksanakan gotong-royong. Wahyu 25 3. Dalam bidang Kemasyarakatan Dalam bidang kemasyarakatan sering juga dilaksanakan gotong- royong kerja bakti antara lain: 1. Dalam bidang olahraga dan kesenian tradisional seperti: Gotong- royong kerja bakti membuat sarubung panguntauan (arena latihan atau pertandingan pencak silat). 2. Gotong-royong kerja bakti membuat sarubung mamanda (arena pertunjukkan teater rakyat Mamanda) dan panggung untuk Bawayang (panggung pertunjukkan wayang kulit). 3. Gotong-royong kerja bakti pembuatan lapangan bola musiman sesudah panen selesai di musim kemarau. Ketika para petani sudah tidak ada pekerjaan lagi di sawah, diperlukan kegiatan- kegiatan seperti belajar pencak silat, belajar mamanda atau badamuluk dan juga bermain bola di lapangan yang bersifat musiman. 4. Saprah Amal kegiatan mengumpulkan dana untuk keperluan tertentu seperti untuk madrasah, sekolah, surau, masjid dan sebagainya juga dilakukan secara gotong-royong dengan mengedarkan undangan makanan berharga. Undangan makan berharga hasilnya digunakan untuk pembangunan gedung atau untuk pengelolaannya ini disebut saprah amal. Segala ongkos dan tenaga pelaksanaannya dilaksanakan secara gotong-royong kerja bakti oleh penduduk kampung di daerah itu. 4. Dalam bidang Keagamaan dan Religi Gotong-royong kerja bakti dalam bidang ini antara lain: 1. Gotong-royong kerja bakti mendirikan masjid atau surau (langgar). Kegiatan ini dilakukan untuk satu wilayah langgar atau wilayah masjid (orang yang berada di wilayah masjid tersebut). Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan secara bergotong-royong ini antara lain manimbuk halaman masjid dengan tanah (menguruk 26 Wahyu halaman masjid dengan tanah liat atau pasir), menyiapkan bahan bangunan untuk masjid dan surau, memancangkan tiang atau kerangka bangunan masjid, atau surau dan sebagainya. 2. Gotong-royong kerja bakti untuk memperingati hari-hari besar keagamaan seperti: dalam pelaksanaan peringatan Maulid, Isra dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW pada satu wilayah masjid atau wilayah langgar. Gotong-royong bisa diberikan dalam bentuk tenaga maupun dana. 3. Gotong-royong kerja bakti Manyanggar Banua atau Manyanggar Padang; gotong-royong ini dilaksanakan oleh kelompok masyarakat tertentu yang masih melaksanakan kegiatan manyanggar banua atau manyanggar padang. Jenis pekerjaan yang dikerjakan biasanya bergotong-royong dalam hal menyiapkan segala peralatan upacara sampai pada pelaksanaan upacaranya. Kegiatan Manyanggar Banua atau Babunga Tahun di Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Manyanggar Padang di Danau Bangkau Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan salah satu contoh bentuk gotong-royong kerja bakti yang dikerjakan oleh sebagian masyarakat Banjar.

IV. SIMPULAN Kearifan lokal sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat lokal yang terwujud dan dipraktikan dalam bidang pertanian, kesehatan, makanan, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan macam-macam kegiatan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Apabila Pendidikan IPS ke depannya akan dikembangkan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa dan membina warga negara Indonesia yang baik, maka kearifan lokal sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat lokal dapat diadopsi menjadi materi atau tema-tema Pendidikan IPS.

Wahyu 27 DAFTAR PUSTAKA Abdussami, Humaidy. 2012. Budaya Banjar dan Nilai-nilai Demokrasi. Diakses, tanggal 11 Mei 2015. Achadiyat, A. 1995. Menyelaraskan Tradisi dan Pembangunan: Tanggapan Terhadap Makalah Mansour Fakih. Analisis CSIS 6:451-454. Azhari. 2006. Pelibatan Organisasi Lokal dalam Pembangunan Pertanian (Studi tentang Tuah Bano Safakat sebagai Organisasi Lokal di Kecamatan Simeulue Tengah Kabupaten Simeulue) [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UI. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ellen, R. and H. Haris. 2005. Introduction dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed) Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis e-Library. FAO, 2004. Challenges to Local Knowledge. Training Manual “Building on Gender, Agrobiodiversity and Local Knowledge”. FAO, 2004. http:// www. Fao.org/sd/LINKS/documentsdownload/ FS10ChallengestoLK.pdf [2 Mei 2007]. Geertz C., 2003. Local Knowledge. USA: Basic Book, Inc. Hans-Dieter Evers and S Gerke. 2003 Local and Global Knowledge: Social Science Research on Southeast Asia. Paper read at an International Conference “Social Science in a Globalishing World: Contemporary Issues in Asian Social Transformation”, UNIMAS Kuching 22-23 Sept. 2003. http://www.uni-bonn.de/~hevers/papers/Evers- Gerke2003-Local Global Knowledge. pdf [2 Mei 2007]. Hasan, Ahmadi. 2010. Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar: Dulu, Kini dan Masa Mendatang. Diakses, tanggal 11 Mei 2015. Hidayat, Taufik. 2010. Kontestasi Sains dan Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kal Sel. IPB Bogor: Disertasi (tidak dipublikasikan). Ideham, M. Syuriansyah, dkk, 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Diterbitkan oleh Balitbangda Provinsi Kal Sel.

28 Wahyu Kalland, A. 2005. Indigenous Knowledge: Prospects and Limitations dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed). Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis e-Library. Kusumaatmadja, S. 1995. Sumbangan Kearifan Tradisional Terhadap Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup: Sebuah Pengantar. Analisis CSIS 6: 413-420. Mulyoutami E., E. Stefanus, W. Schalenbourg, S. Rahayu dan L. Joshi. Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi Dalam Konservasi dan Pengolahan Tanah Pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. http://www.worldagroforestry.org/SEA/ Publications/ files/book/BK0063-04/BK0063-04-12.pdf [2 Mei 2007]. Muyungi & A. F. Tillya. 2003. Appropriate Institutional Framework for Coordination of Indigenous Knowledge. LinKS Project Gender, Biodiversity and Local Knowledge Systems for Food Security. http://www. fao.org/sd/LINKS/documents download/Rep%209%20 TILLA.pdf [2 April 2007]. Nababan A. 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. CSIS. 6:421-435. Sundar, N. 2005. The Construction and Destruction of Indigenous Knowledge in India’s Joint Forest Management Programme dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed). Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis e-Library. Wahyu. 2001. Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem Usahatani Sawah Pasang Surut dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan [disertasi]. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Wahyu. 2007. Makna Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Kalimantan Selatan. dalam Soendjoto, M.A dan Wahyu, 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat Press. Wahyu. 2013. Membincang Hakekat PIPS, dalam Ersis Warmansyah Abbas, Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

Wahyu 29 Yorisetou, W. 2003. Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Masyarakat Pesisir Teluk Tanah Merah Kabupaten Jayapura Provinsi Papua [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UI.

30 Wahyu BAB II MEMANAH PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Memanah Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal 31 32 Memanah Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal PARADIGMA REVITALISASI PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL (Kajian Epistemologik dan Paradigmatik Revitalisasi Pendidikan IPS) Suwarma Al Muchtar

I. PENDAHULUAN Perubahaan sosial budaya sebagai lingkungan pendidikan IPS, berlangsung secara cepat terlebih dengan sentuhan perkembangan IPTEK khususnya IT berupa komputer dan televisi. Demikian pula pertambahan penduduk dunia yang tidak terkendali, dibarengi dengan tatanan kehidupan global yang membawa dampak terhadap perubahan dan kerumitan masalah sosial budaya. Budaya hedonisme, materialistik pragmatis yang cukup menguat, memunculkan kompleksitas masalah sosial budaya yang memperlemah sistem sosial. Kompleksitas masalah sosial semakin menguat dihadapkan pula secara internal keilmuan melemahnya epistemologi ilmu-ilmu sosial termasuk dalam bidang pendidikan IPS. Sebagai buktinya semakin langka teori-teori ilmu-ilmu sosial yang secara kontekstual berbasis masalah sosial budaya yang dihasilkan dari penelitian- penelitian selama ini, termasuk kelangkaan kepakarannya.

* Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia. * Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015.

Suwarma Al Muchtar 33 Penelitian ilmu-ilmu sosial lebih banyak bersifat menguji teori tidak membangun teori yang merupakan kelemahan ketika akan memahami dan memecahkan masalah sosial budaya yang semakin kompleks berbasis teori kontekstual. Pengalaman menunjukkan, masalah sosial budaya, sulit dipahami dan dijelaskan dengan teori ilmu-ilmu sosial, terlebih dalam bidang pendidikan IPS. Sementara itu pendekatan disipliner yang terpelihara dalam disiplin keilmuan menjadi tidak memiliki kemampuan untuk memperkuat peran ilmu sosial dalam mencari pemecahan masalah sosial yang semakin rumit dan memiliki karakter kompleksitas yang tinggi. Kondisi seperti ini merupakan kelemahan yang dapat menyebabkan krisis epistemologis, berdampak sistemik terhadap daya mampu sistem sosial mengakibatkan masalah sosial semakin rumit tidak terpecahkan, sulit diprediksi dan diantisipasi secara keilmuan. Kesemerawutan ini diiIlustrasikan sebagai situasi trubulansi yang memerlukan tindakan-tindakan alternatif strategis untuk dapat menyelamatkan dari krisis sosial budaya dan peradaban. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sebuah sistem dikatakan kompleks jika sistem itu terdiri dari banyak komponen atau sub-unit yang saling berinteraksi dan mempunyai perilaku yang menarik, namun secara bersamaan tidak kelihatan terlalu jelas jika dilihat sebagai hasil dari interaksi antar sub-unit yang diketahui (Parwani, 2002). Bruce Edmonds (1999) dalam disertasinya menawarkan definisi kompleksitas yang lebih integratif sabagai sifat dan sebuah model yang membuatnya sulit untuk memformulasikan prilaku keseluruhan dalam representasi bahasa yang baik bahkan jika dengan informasi yang lengkap tentang komponen-komponen dan interelasi di dalamnya. Parvard Dugdale (2002) memberikan definisi bahwa sistem kompleksitas adalah sistem yang sulit yang tidak mungkin untuk membuat deskripsi tentang sistem tersebut dengan beberapa variabel penyusun tanpa kehilangan hal fungsional dan esensialnya secara keseluruhan.

34 Suwarma Al Muchtar Perlu dipahami bahwa Gagasan Luhmann yang mendasarkan pada teori-teori sains mutakhir cukup membingungkan dan menarik untuk melihat seberapa jauh ia bisa diaplikasikan untuk menjelaskan organisasi sosial masyarakat dan individu yang terlibat di dalamnya. Sejumlah karakter utama dari sistem ala Luhmann yang penting dicatat seperti sistem yang tidak terprediksi, pengorganisasian kompleksitas dan lain-lain adalah konsep-konsep yang perlu lebih diperdalam untuk memahami situasi sebuah sistem sosial, namun di sisi lain ia adalah proses dinamis, dimana keterbukaan dan ketertutupan sebagai sistem terjadi pada saat bersamaan. Achmad Sanusi (2012) telah memberikan beberapa definisi untuk mengartikan kompleksitas dengan dinamika non-linearnya. Secara singkat, kompleksitas adalah sifat dan sistem kompleks dimana sistem kompleks adalah sistem yang sulit karena disusun oleh komponen- komponen penyusun yang saling berinteraksi satu sama lain yang menghasilkan faktor-faktor global sistem yang menggambarkan dinamika evolusionernya. Kajian kompleksitas sangat dekat dengan biologi dan non- linearnya karena sebagian besar modelnya dibangun dengan inspirasi model-model dalam biologi. Dekat dengan dinamika non-linear karena meliputi sistem yang dinamik, tidak tertebak dan tidak pasti yang memenuhi sifat-sifat ketidaklinearan sistem. Lebih jauh, sistem kompleks merupakan sistem yang berusaha melihat secara holistik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitas adalah sifat dan sistem kompleks dimana sistem kompleks adalah sistem yang sulit karena disusun oleh komponen-komponen yang saling berinteraksi satu sama lain yang menghasilkan faktor-faktor sistem yang mengglobal menggambarkan dinamika evolusionernya. Kompleksitas menjadi karakteristik latar sosial budaya pendidikan IPS yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi dari setiap warga masyarakat untuk menjalani kehidupan yang memiliki kompleksitas tersebut. Pendidikan IPS dapat mengambil peran otimal dalam mencerdaskan kehidupan sosial bangsa Suwarma Al Muchtar 35 dengan melakukan revitalisasi epistemologinya, terlebih dalam kompleksitas latar sosial budayanya dengan membangun paradigma pendidikan IPS berbasis kearifan lokal. Dalam kaitan ini kajian epistemologik dan etnopedagogi perlu disinergikan untuk dapat merumuskan paradigma baru tersebut, yang merupakan tantangan sekaligus arah revitalisasi pendididikan IPS. Untuk itu diperlukan paradigma baru pendidikan untuk merevitalisasi pendidikan IPS berdaya guna kuat, powerfull, sebagai modal sosial (social capital). Diperlukan upaya memperkuat posisi dan peran pendidikan IPS sebagai sarana utama dalam mencerdaskan kehidupan sosial bangsa dengan memperkaya dan memperkuat dengan cara kearifan lokal dijadikan sumber pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS. Secara radikal untuk itu diperlukan kajian epistemologis pendidikan IPS untuk membangun paradigma baru keilmuan pendidikan IPS berbasis kearifan lokal bagi peningkatan mutu dan peran pendidikan IPS dalam membangun watak, pengetahuan dan keterampilan sosial peserta didik sebagai makhluk sosial yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Di lain pihak krisis epistemologis dalam ilmu-ilmu sosial mempengaruhi pula terhadap krisis epistemologis pendidikan IPS. Keduanya dipengaruhi sangat kuat oleh pendekatan dan metode penelitian yang berkembang dalam tradisi ilmu pengetahuan alam (IPA). Penelitian ilmu sosial dalam pendekatan dan metodologinya sulit dibedakan dengan tradisi penelitian IPA padahal karakteristik dan fokus kajiannya berbeda. Hal ini memperlemah ilmu-ilmu sosial, demikian pula dalam bidang pendidikan IPS yang dipengaruhi oleh pendekatan disipliner sehingga upaya membangun pendekatan interdisipliner, sebagai wujud dari kajian multi disiplin menjadi sulit yang menyebabkan terjadinya krisis epistemologis, antara lain dihadapkan pada menguatnya pendekatan disipliner dari pada multi disipliner, hal ini akan mempersulit langkah transformatif ke arah pendekatan lintas disiplin (cross discsiplinary approach)

36 Suwarma Al Muchtar yang selama ini digagas dan diunggulkan sebagai wujud penguatan epistemologinya dalam menghadapi kompleksitas masalah sosial budaya pendidikan. Krisis pendidikan IPS dalam tataran praksisnya terjadi pada landasan konseptual filosofik dan teoretiknya, sehubungan dengan langkanya teori-teori yang dihasilkan melalui penelitian pendidikan IPS. Kelangkaan teori-teori mempersulit dalam memecahkan masalah-masalah dalam praksis pendidikan ini. Krisis pendidikan IPS terjadi lebih serius karena proses pembelajaran, antara lain secara faktual budaya belajar belum diperkokoh dengan pengembangan kemampuan berpikir sosial yang produktif dan berbasis nilai-nilai sosial budaya. Hal ini disebabkan pendidikan IPS selama ini belum banyak mengakses nilai-nilai budaya lokal sebagai sumber revitalisasi pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS. Sementara itu bangsa ini dibangun atas modal sosial budaya yang tersebar dalam kandungan budaya lokal di Nusantara yang memiliki kekokohan karena sarat muatan nilai spiritual yang bersumber keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melembaga tumbuh dan berkembang dipatuhi dengan penuh kesadaran dalam berbagai kearifan lokal. Dengan demikian, kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang kokoh ajeg karena memuat nilai spiritual yang tinggi diyakini kebenarannya dipatuhi dan dihormati dipelihara oleh masyarakatnya. Dengan demikian kearifan lokal merupakan aset sosial budaya yang kokoh untuk dijadikan sumber bagi revitalisasi pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS.

Suwarma Al Muchtar 37 II. PERUBAHAN PARADIGMA DALAM ILMU-ILMU SOSIAL IMPLIKASINYA TERHADAP REVITALISASI PEMBELAJARAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM PENDIDIKAN IPS Perubahan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial terjadi seiring dengan perubahan yang sangat cepat dalam kehidupan sosial budaya yang berpengaruh yang luar bisa terhadap epistemologi ilmu-ilmu sosial. Sementara itu pendekatan disiplin, multidisiplin ke arah pendekatan krosdisiplin, termasuk yang bersifat contradiscipliner, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang hakiki tentang fenomena sosial budaya. Beberapa catatan menunjukkan adanya perubahan paradigma dalam ilmu- ilmu sosial antara lain dapat dipahami sebagai pengaruh negatif positivisme, yang berdampak memperlemah daya mampu ilmu-ilmu sosial, disebabkan atas pandangannya yang kemudian dikritik sebagai kekeliruan dalam epistemologi ilmu-ilmu sosial. Aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Sementara itu diketahui bahwa aliran positivisme tumbuh sejalan dengan empirisme dalam membangun berpikir logis. Namun memiliki pandangannya yang ekstrim mencolok yang memandang bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan empiris, dengan demikian diyakininya tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Seperti diketahui positivisme menguat dalam pengembangan paradigma IPA. Positivisme dikemukakan Saint Simon (1825) yang berakar pada empirisme, dikembangkan kemudian oleh empirist Francis Bacon. Dalam kajian epistemologis tesis positivisme meyakini bahwa ilmu adalah satu- satunya pengetahuan valid, dan fakta-fakta yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dalam perkembangannya memunculkan positivisme sosial, positivisme evolusioner dan positivisme kritis. Positivisme memiliki pandangan yang ekstrim, bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah yang bersifat empirik kasat mata berupa fakta-fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu 38 Suwarma Al Muchtar pandangannya tentang nilai, dikemukakannya bahwa nilai-nilai sosial dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penelitian terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan bersifat empiris, pengetahuan bukan hasil berpikir spekulatif. Auguste Comte (1798-1857) mengemukakan positivisme kebenaran adalah nyata, tidak khayal, untuk itu menolak metafisika dan teologik. Ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Metode positivisme menempatkan akal (rasio) sangat penting dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah sosial budaya berusaha mengetahui (lewat penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan pendekatan ilmiah yang lazim dalam positivisme. Dalam perkembangannya positivisme mendapat koreksi yang keras, terutama dalam perspektif pemikiran ilmu-ilmu sosial budaya. Koreksi filosofik ini memunculkan postpositivisme sebagai koreksi terhadap positivisme. Aliran baru ini memberikan ruang pada cara berpikir yang subjektif didasarkan atas asumsi terhadap realitas bersifat jamak, multiple realities, realitas adalah jamak, kebenaran jamak artinya tidak tunggal. Implikasinya kebenaran bersifat subyektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Paradigma baru inilah yang dinilai tepat untuk melakukan kajian tentang kearifan lokal dalam merevitalisasi pendidikan IPS. Berkenaan dengan neopositivisme berkembang pula konstruktivisme. Edmund Husserl (1859-1938) mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan konstruksi sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan

Suwarma Al Muchtar 39 merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema untuk membentuk suatu pengetahuan. Konstruktivisme, berkembang bersamaan dengan adanya titik temu antara aliran besar dalam sejarah sosiologi pengetahuan dan sosiologi sains, sosiologi pengetahuan dibentuk pandangan tiga pemikir, yaitu: Marx, Mannheim dan Durkheim. Ketiganya menekankan peran yang saling memberi akibat dari faktor-faktor sosial dalam membentuk kepercayaan individu. Marx terkenal karena menyatakan bahwa kelas sosial menentukan beragam sikap intelektual. Mereka bertiga mengecualikan kepercayaan yang dimunculkan oleh matematika dan ilmu alam dari analisis sosial mereka. Kepercayaan ilmiah mereka anggap ditentukan secara rasional dan bukan secara kausal, dan dengan demikian melampaui pengaruh sosial dan kultural. Kritik terhadap positivisme dengan pemikiran asumsi dasar tentang realitas adalah jamak individual. Realitas perilaku manusia tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip dasar ini penting, sejalan dengan ilmu-ilmu sosial yang memerlukan pendekatan yang spesifik berbeda dengan ilmu kealaman yang penuh kepastian. Dunia sosial yang memuat objek-objek dan struktur- struktur simbolik yang saling berkomunikasi sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dapat dimasuki dengan jarak pemisah dan diperlakukan sebagai objek manipulasi. Dalam proses komunikasi antara struktur simbol tersebut terdapat hubungan timbal balik di antara keduanya, yang menjadikan proses inter- subjektivitas. Hal ini perlu diperhatikan dalam membangun paradigma baru pendidikan IPS dimana latar pembelajaran adalah situasi sosial budaya yang penuh hubungan intersubyektivitas antar pesertadidik dan pendidik sebagai subyeknya. Di lain pihak berkembang konstruktivisme yang merupakan aliran filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil bentukan (konstruksi), pemikiran manusia. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada.

40 Suwarma Al Muchtar Perlu diperhatikan bahwa fenomena sosial tidak dapat berkonvergensi ke dalam suatu bentuk “kebenaran” saja, akan tetapi berdiverensi dalam berbagai bentuk, yaitu “kebenaran ganda”. Selanjutnya diyakini bahwa lapisan-lapisan itu tidak dapat diuraikan atau dipahami dari segi variabel bebas dan terikat secara terpisah, tetapi terkait secara erat dan membentuk suatu pola “kebenaran”. Pola inilah yang perlu ditelaah dengan lebih menekankan pada verstehen atau pengertian daripada untuk keperluan prediksi dan kontrol semata. Peneliti alamiah cenderung memandang secara lebih berdiverensiasi daripada konvergensi apabila peneliti makin terjun ke dalam situs penelitian. Dapat dipahami munculnya pemetaan konsep berkait dengan masalah sosial budaya pendidikan, berkaitan dengan konsep ilustratif piringan kompleksitas IPS menjelaskan bahwa masalah sosial, faktor sosial, struktur sosial dan fenomena sosial. Hal ini berkait dengan pemaknaan kebenaran dalam penelitian neopositivisme fenomena tidak dapat berkonvergensi ke dalam suatu bentuk saja, yaitu bentuk “kebenaran”, akan tetapi berdiverensi dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu muncul konsepsi “lapisan-lapisan” itu tidak dapat diuraikan atau dipahami dari segi variabel bebas dan terikat secara terpisah, tetapi terkait secara erat dan membentuk suatu pola “kebenaran”. Pola inilah yang perlu ditelaah dengan lebih menekankan pada verstehen atau pengertian dari pada untuk prediksi dan kontrol. Asumsi tentang peneliti dan subyektif paradigma alamiah berasumsi bahwa fenomena bercirikan interaktivitas dan dapat mengurangi interaktivitas sampai ke tingkatan minimum, sejumlah besar kemungkinan akan tetap tersisa. Pendekatan yang baik memerlukan pengertian tentang kemungkinan pengaruh terhadap interaktivitas, dan dengan demikian perlu memperhitungkannya. Selama ini ilmu-ilmu sosial sedang bergerak kepada perubahan orientasi dan berusaha keluar dari tradisi positivisme, dan tengah

Suwarma Al Muchtar 41 memperkuat diri dalam neopositivisme dan neostrukturalisme dengan bergerak ke arah naturalistik inkuiri sebagai pendekatan unggulan dalam memperkuat epistemologinya dan membangun jatidiri. Di lain pihak, tumbuh perkembangan ilmu sosial profetik sebagai pandangan ilmu sosial tidak bebas nilai. Dalam bidang pendidikan IPS semestinya bergerak lebih cepat ke arah membangun pendidikan IPS profetik bersumber dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai sosial budaya yang tumbuh berkembang dalam latar kehidupan masyarakat sebagai sumber pendidikan IPS.

III. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN REVITALISASI PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL Perubahan sosial budaya sangat dipengaruhi pertumbuhan penduduk dunia, globalisasi, perubahan sosial budaya, perkembangan IPTEK dan komunikasi, kompleksitas masyarakat dan masalah sosial budaya. Perubahan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial positivisme ke konstruktivisme manusia diposisikan sebagai subjek dalam latar alamiah sejajar dengan subjek orientasi prinsip kajian yang lebih emik pendidikan IPS multi sumber dan kontekstual ilmu pendidikan, ilmu keguruan, ilmu- ilmu sosial, humaniora, sain teknologi dan agama dan masalah sosial dengan mengarah pada pendekatan krosdisiplin untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional. Paradigma alamiah berasumsi bahwa fenomena bercirikan interaktivitas, intersubyektivitas. Di lain pihak akhir-akhir ini, muncul kritik terhadap praktik dan hasil pendidikan, hasilnya munculnya kritik tajam bahwa pembelajaran pendidikan IPS lebih menekankan kepada pengembangan kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik dan terlepas dari nilai –nilai sosial budaya lokal. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya watak bangsa, memunculkan untuk memperkuat pembelajaran pendidikan IPS karakter bangsa. Oleh karena itu sangat menarik untuk dikaji bagaimana paradigma revitalisasi pendidikan IPS berbasis kearifan lokal. 42 Suwarma Al Muchtar Masalah pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS, perlu kita pelajari sehingga memiliki wawasan bagaimana mengembangkannya terutama dalam pembelajaran nilai karakter bangsa terutama kaitannya dengan tugas pendidik dalam pengembangan kurikulum, antara lain merencanakan program pembelajaran dalam bentuk silabus maupun rencana program perencanaan pembelajaran (RPP). Dengan memperhatikan dasar-dasar keilmuan juga memperhatikan kondisi dan tantangan masa depan, khususnya dalam pengembangan materi dan arah pengembangan metodologi pembelajaran. Pengembangan nilai dan karakter bangsa yang tidak lain adalah karakter Pancasila dalam pembelajaran pendidikan IPS, seperti dideskripsikan dari hasil penelitian yang antara lain menyimpulkan bahwa proses pembelajaran pendidikan IPS kurang menyentuh pengembangan berpikir dan nilai, akibatnya tidak membantu dalam mengembangkan kemampuan dan sikap rasional dalam menentukan pilihan nilai sosial budaya untuk memperkuat kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam merespon tantangan perubahan kehidupan sosial budaya. Masalah pengembangan nilai dan karakter dalam pembelajaran pendidikan IPS, memerlukan karakteristik pembelajaran yang memungkinkan nilai karakter bangsa itu tumbuh dan berkembang. Perlu diketahui bahwa dalam pembelajaran yang berorientasi pada penyampaian meteri tidak akan memberikan ruang dan suasana untuk tumbuh dan berkembang pembelajaran nilai, watak dan karakter kecuali pada pembelajaran yang menekankan kepada keterlibatan peserta didik dan proses pembelajaran, tantangan bagi inovasi dalam proses pembelajaran pendidikan antara lain analisis kelemahan menunjukkan bahwa rendahnya pembelajaran pendidikan IPS selama ini diantisipasi cenderung menurun, bila dihadapkan perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat. Hal ini berkenaan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek yang sangat pesat. Sementara itu, pembelajaran pendidikan

Suwarma Al Muchtar 43 IPS terjebak dan terstruktur oleh gejala rutinitas. Pembelajaran selama ini terlepas dari nilai-nilai sosial budaya, keadaan inilah yang menyebabkan semakin kuatnya kesenjangan antara mutu pembelajaran pendidikan IPS dengan kemajuan teknologi dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Tumpuan terhadap kualitas pembelajaran dalam revitalisasi pengembangan kurikulum dan pembelajaran sementara itu pembelajaran pendidikan IPS dihadapkan pada dua dimensi yang sekaligus menuntut untuk ditumbuh kembangkan dalam mempersiapkan SDM, yang memiliki kekuatan untuk memberdayakan potensinya seoptimal mungkin, untuk penguasaan IPTEKS dalam orientasi mencerdaskan kehidupan sosial bangsa atas landasan nilai-nilai sosial budaya yang teruji dalam tatanan kearifan lokal yang memuat nilai-nilai iman dan taqwa. Analisis situasi dan kondisi sosial sebagai latar pendidikan IPS dan lingkungan kehidupan sosial budaya dan perubahan dapat disimpulkan bahwa memasuki era globalisasi hendaknya disadari bahwa bangsa Indonesia era kompetitif secara global masuk dalam percaturan antar bangsa. Kondisi ini ditandai dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Jenis dan persyaratan pekerjaan semakin tinggi dan peluang memasuki pekerjaan semakin kompetitif. Hal ini sangat memungkinkan pembelajaran pendidikan IPS akan semakin ketinggalan. Ketidakpastian perkembangan masyarakat yang dipacu oleh IPTEK mempengaruhi terhadap tuntutan kualitas SDM. Inilah yang menjadi tantangan serius bagi perlunya inovasi dalam proses pembelajaran. Berbicara konseptual tentang SDM, IMTAQ, dan IPTEK, pembelajaran pendidikan IPS merupakan inti persoalan. Dengan demikian, lemahnya kualitas pembelajaran pendidikan IPS akan secara langsung memperlemah kondisi SDM, baik dalam pemikiran IMTAQ maupun dalam penguasaan IPTEK.

44 Suwarma Al Muchtar Berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan, melahirkan tantangan baru bagi dunia pendidikan. Disamping itu, berkembangnya teknologi informasi mempengaruhi terhadap perolehan peserta didik tentang informasi, tidak terbatas pada pendidik dan buku sebagai sumber informasi yang tersedia. Akan tetapi, sudah meluas dengan mengakses pada media masa seperti jaringan internet sebagai sumber informasi modern. Di sisi lain media masa informasi seperti TV, demikian pula IT seperti internet sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan, namun demikian belum terakses oleh para pendidik, baik dalam proses pengembangan program maupun proses pembelajarannya. Kondisi ini merupakan tantangan inovasi proses pembelajaran untuk meningkatkan mutu guna mengimbangi tuntutan aktual futuristik pendidikan IPS. Secara umum, pengembangan metodologi proses pembelajaran belum terakses pada sumber informasi tersebut, namun untuk masa mendatang tidak dapat dihindari untuk dijadikan isu sentral dan arah pengembangan model pembelajaran dalam menyongsong kehidupan sosial global. Kondisi ini mengisyaratkan tantangan bagi inovasi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajarannya; kurikulum berbasis kearifan lokal. Dalam pembelajaran perlu dilakukan transformasi pembelajaran nilai-nilai sosial budaya lokal seperti kearifan lokal tersebut dan mempercepat pergeseran peran guru kearah sebagai fasilitator dan partner belajar peserta didik, dengan memerankan peserta didik sebagai yang paling utama dalam proses pembelajarannya. Selama ini terjadi kesenjangan antara kualitas pembelajaran pendidikan IPS dalam kenyataan empirik, melemahnya kontekstual dengan lingkungan dan masalah sosial budaya dengan tuntutan ideal kurikulum kehidupan praktis dan perkembangan masyarakat, menuntut untuk dilakukan terus menerus inovasi pendidikan. Inovasi merupakan kebutuhan dan keharusan agar kesenjangan dapat dikendalikan.

Suwarma Al Muchtar 45 Perlu disadari bahwa sistem pembelajaran pendidikan IPS cenderung akan selalu ketinggalan oleh perkembangan masyarakat. Disatu pihak masyarakat bersifat dinamis, sedangkan di lain pihak pembelajaran pendidikan IPS cenderung konservatif, terutama pada masyarakat yang sedang berkembang. Kajian dalam perspektif membangun paradigma pendidikan IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal menunjukan gejala sosial budaya sebagai berikut: 1. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS yang berorientasi pada pengembangan nilai-nilai kearifan lokal pada hakekatnya adalah upaya untuk peningkatan mutu proses yang dilakukan terus menerus, untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan IPS. Perubahan sosial budaya yang terjadi dan melembaganya nilai-nilai kearifan lokal adalah merupakan latar dan sumber bagi pendidikan IPS. Diyakini bahwa untuk memperkokoh dan meningkatkan mutu pembelajaran pendidikan akan efektif bila berhasil membangun kurikulum dan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Implikasinya, inovasi berarti peningkatan penyempurnaan dan pembaharuan inovasi dalam proses pembelajaran terjadi dengan menjadikan nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dan melembaga dalam kearifan lokal dijadikan latar dan sumber pembelajaran nilai dalam pendidikan IPS. Pengembangan kurikulum IPS hendaknya menggunakan pendekatan kontekstual. Apabila paradigma ini diabaikan justru akan cepat ketinggalan dan bahkan akan menjadi penghambat perubahan atau lambatnya proses inovasi pembelajaran. Dengan demikian inovasi dalam pembelajaran akan efektif dilakukan, manakala ditunjuk oleh hasil evaluasi dan penelitian dalam bidang pembelajaran. Lemah dan langkanya penelitian dalam bidang ini menyebabkan inovasi sulit dilakukan yang berakibat rendahnya mutu, relevansi, efisiensi, bahkan akan mempengaruhi kesempatan dan pemerataan pendidikan. Lemahnya penelitian karena pengaruh positivisme tidak sesuai dengan semangat dan paradigma bagi pengembangan nilai-

46 Suwarma Al Muchtar nilai kearifan lokal untuk inovasi pembelajaran nilai sosial budaya dalam pendidikan IPS. 2. Pentingnya pendidikan IPS diperkuat dengan nilai-nilai sosial budaya kearifan lokal dalam model kurikulum kontekstual. Adalah pemikiran reflektif logis atas sejumlah fenomena yang muncul dalam masyarakat kita sangat memprihatinkan. Antara lain melemahnya moral, orientasi sosial, penyalahgunaan obat terlarang, dan kenakalan remaja, sadisme dan perlakuan penyimpangan seksual, penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. Disamping itu pula, muncul gejala melemahnya solidaritas sosial dan meningkatnya sikap individualistik, sebagai gejala yang dapat menimbulkan masalah sosial, tawuran dan masalah besar lainnya seperti masalah korupsi kemiskinan dan berbagai bentuk penyimpangan sosial lainnya yang tumbuh dan berkembang menjadi masalah sosial budaya, melemahnya kejujuran seperti menyontek dan penegakkan keadilan. Dinilai akan semakin menguat seiring dengan melemahnya komitmen dan kepercayaan terhadap nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu pendidikan IPS berbasis kearifan lokal akan berhasil dan penuh makna manakala pendidikan nilai berorientasi pada membangun karakter Pancasila. 3. Krisis pendidikan nilai dalam pembelajaran IPS harus segera diatasi, dengan meyakini dan merevitalisasi pendidikan IPS sebagai pendidikan dan pembelajaran yang bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini dipandang strategis untuk membangun watak dan karakter Pancasila sehingga akan mengatasi masalah sosial budaya kenakalan remaja yang sedang mengarah pada tindakan kriminal dalam usia sekolah kerap terjadi, perkelahian antara pelajar bahkan di kalangan mahasiswa. Budaya hedonisme konsumerisme, jalan pintas, korupsi berpangkal karena melemahnya nilai kejujuran. Kondisi ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan IPS dan perlu dijadikan dasar pikiran bagi perlunya inovasi dalam pembelajaran. Kondisi sosiologis ini menuntut inovasi pembelajaran tidak didasarkan hanya pada dimensi psikologis semata, akan tetapi harus mengakses pada dimensi sosial budaya. Suwarma Al Muchtar 47 4. Analisis mengenai kelemahan pembelajaran yang secara umum dilaksanakan di lapangan teridentifikasi antara lain sebagai berikut: Proses pembelajaran kurang ditunjang dengan pengembangan dan penggunaan media pembelajaran yang berupa berbagai kasus sosial budaya yang tumbuh di lingkungan peserta didik seperti yang melembaga pada kearifan lokal. Selama ini proses pembelajaran lebih menekankan pada pengembangan aspek kognitif dari pada afektif dan psikomotor. Proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial. Proses pembelajaran lebih menekankan pada pencurahan isi buku dari pada proses penalaran isi buku. Proses pembelajaran terlepas dari akar sosial budaya dan nilai-nilai kearifan lokal, justru lebih menempatkan peserta didik sebagai penerima informasi dalam soal belajar satu arah, dari pada melibatkan peserta didik dalam proses berpikir nilai-nilai sosial budaya. Proses pembelajaran lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi yang dominan penerima informasi atau pengetahuan sosial dan budaya, di samping terbatasnya penggunaan sumber daya belajar lainnya. Proses pembelajaran lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi, seperti yang terdapat di dalam buku, konsep keilmuan dari pada kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata seperti masalah dan nilai-nilai sosial budaya. Proses pembelajaran belum banyak mengakses pada penguatan sistem nilai-nilai sosial budaya atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula proses pembelajaran belum secara tegas mengakses pada penguasaan IPTEK yang tepatguna sarat dengan nilai-nilai sosial budaya. 5. Dari hasil studi selama ini, secara hipotesis rendahnya kadar kualitas pembelajaran dilihat dari dimensi peran dan kemampuan pendidik antara lain: lebih banyak bertindak dan berperan sebagai pelaksana kurikulum dari pada sebagai pengembang kurikulum, memiliki orientasi yang lebih kuat pada tercapainya target kurikulum, implikasinya lebih menguasai materi pelajaran yang terdapat dalam buku, dari pada pemahaman terhadap 48 Suwarma Al Muchtar karakteristik peserta didik. Memiliki kemampuan dan keterampilan tentang berbagai pendekatan dan metode pembelajaran, namun kurang memiliki motivasi yang kuat untuk berani menggunakan metode yang bervariasi. Kurang menguasai teori belajar dan model-model belajar, sehingga kurang memiliki kekuatan untuk melakukan inovasi pembelajaran. Tidak berperan sebagai sumber-sumber informasi penelitian, sehingga pengalaman mengajar belum secara efektif dijadikan bahan masukan, bagi perbaikan dan rekonstruksi program pengembangan kurikulum. Belum dapat bertindak sebagai peneliti dalam pembelajaran pendidikan IPS bidang pembelajaran, implikasinya terdapat kelangkaan teori- teori dan model pembelajaran. Kondisi ini akan berakibat tidak banyak dilakukannya inovasi dalam bidang proses pembelajaran. Cenderung lebih disebut sebagai aspek administratif bersifat formalistik, dari pada pemikiran dalam memperkuat proses pembelajaran kreativitas dalam proses pembelajaran terstruktur oleh terbatasnya dukungan sumber daya pendidikan. Budaya pembelajaran lebih dipengaruhi oleh rutinitas dan formalistik, dari pada akademik dan inovasi pembelajaran hasil pembelajaran pendidikan IPS tambahan penataran tidak dapat sepenuhnya dikembangkan dalam praktek pembelajaran, karena rutinitas lebih mempengaruhi budaya belajar.

IV. PELUANG INOVASI PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL Terdapat beberapa peluang dan kekuatan yang bersifat hipotesis untuk mengidentifikasi faktor peluang dan kekuatan bagi inovasi pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS yang mengiakan kearifan sosial sebagai sumber pengembangan tersebut. Sementara itu LPTK dengan berbagai sumber daya yang ada memiliki

Suwarma Al Muchtar 49 kemampuan profesional untuk mengembangkan teori dan model pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS. 1. Lembaga pendidikan guru IPS pada LPTK memiliki potensi kelembagaan dan kepakaran untuk mempersiapkan guru IPS profesional yang dapat melakukan inovasi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPS. Dalam kaitan ini mampu menggunakan berbagai pendekatan seperti expanding Community kontekstual untuk mendukung paradigma revitalisasi pendidikan IPS berbasis kearifan lokal. Di samping itu melaksanakan inservice training pembelajaran, sudah melembaga dan dapat ditingkatkan peranannya dalam pelatihan model pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS tersebut. 2. Kemampuan profesional guru IPS sangat menentukan keberhasilan pengembangan kurikulum dan pembelajaran termasuk keberhasilan upaya inovasinya. Implikasinya lembaga pendidikan guru perlu direvitalisasi secara sistemik. Namun, selama ini kebijakannya lebih pada perekayasaan kurikulum, padahal lembaga pendidikan guru merupakan lembaga utama yang harus mendapatkan perhatian sebab guru yang profesional penuh kecerdasan semestinya dilahirkan dari sistem pendidikan guru. 3. Nilai-nilai sosial budaya dapat ditransformasikan menjadi sumber dalam mengembangkan model kurikulum dan pembelajaran yang berbasis nilai sosial budaya. Untuk itu perlu memperkokoh pandangan bahwa ilmu sosial dan pendidikan IPS tidak bebas nilai. Akan tetapi sarat dengan nilai sosial budaya yang hidup di tengah masyarakat lingkungan pembelajaran IPS. 4. Model pembelajaran berbasis nilai-nilai kearifan lokal dengan pendekatan cooperative learning memiliki validitas sosial budaya serta relevansi dengan masalah pembelajaran dalam sistem pembelajaran pendidikan IPS. Gagasan paradigmatik pembelajaran, peran guru dapat ditransformasikan ke arah sebagai pengembang kurikulum dengan memberikan pembelajaran pendidikan IPS tambahan dan pelatihan untuk 50 Suwarma Al Muchtar dapat bertindak sebagai peneliti, pengembang dan pelaku inovasi pembelajaran pendidikan IPS. 5. Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan akan muncul sebagai kendala dalam inovator pembelajaran tersebut, untuk disajikan bahan diskusi antara lain kebiasaan faktor yang sangat kuat dalam memunculkan budaya rutinitas, yang dapat menghambat munculnya dorongan bagi inovasi pembelajaran. Orientasi yang terlalu kuat dalam pendekatan memunculkan pencapaian partisipasi pembelajaran pendidikan IPS menghambat bagi inovator ditambah kendala birokrasi. Langkanya penelitian pembelajaran pendidikan IPS diperkuat belum berperannya pembelajaran pendidikan IPS sebagai sumber informasi dan penelitian pendidikan, menjadi hambatan atau kendala bagi inovasi pendidikan. 6. Kebijakan nasional dalam pembelajaran pendidikan IPS belum menyentuh bidang pembelajaran, diperkuat dengan kurangnya memberikan dukungan otonomi bagi pendidik dan sekolah, dapat mengakibatkan hambatan bagi inovasi pembelajaran. Orientasi yang kuat terhadap ujian nasional, mengabaikan proses pembelajaran, potensial mempengaruhi terhadap keberanian guru melakukan inovasi bagi pengembangan model pengembangan kurikulum dan pembelajaran berbasis kearifan lokal. 7. Kesenjangan antara proses pembelajaran dengan tuntutan perubahan dalam masyarakat yang sangat lebar, ditambah dengan terbatasnya sumber daya pendidikan, dapat menjadi hambatan dan kendala bagi inovasi pembelajaran. Orientasi yang kuat terhadap penguasaan materi yang secara dikhotomik mengabaikan penguasaan terhadap karakteristik peserta didik dapat menjadi hambatan dalam inovasi pembelajaran. Sementara itu etos kerja dan tingkat kesejahteraan pendidik, dapat muncul sebagai hambatan eksternal dalam upaya inovasi pembelajaran, seperti halnya yang sedang diperjuangkan saat ini dalam revitalisasi pendidikan IPS. Arah dan inovasi pembelajaran sebagai pendidikan IPS berbasis masalah dan

Suwarma Al Muchtar 51 nilai sosial budaya sebagai upaya strategis pembinaan kualitas pendidikan IPS dan mutu manusia Indonesia. Seperti telah dikemukakan, kajian teoritik dan empirik memberikan indikator tentang perlunya inovasi pembelajaran, sekaligus memberikan isyarat bagi arah pelaksanaan inovasi. Secara hipotesis, kerangka inovasi pembelajaran bagi peningkatan mutu pendidikan, dengan paradigma bahwa inovasi perlu dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran, dengan titik tolak dari dukungan teori. 8. Pembelajaran pada hakekatnya, adalah upaya untuk memenuhi peningkatan mutu proses pembelajaran pendidikan IPS yang dilakukan terus menerus. Oleh karena itu, inovasi tidak berarti peningkatan penyempurnaan dan pembaharuan inovasi dalam proses pembelajaran yang bertentangan dengan prinsip tersebut, yang justru akan cepat ketinggalan dan bahkan akan menjadi penghambat perubahan atau lambatnya proses inovasi tersebut. Dengan demikian inovasi dalam pembelajaran akan efektif dilakukan manakala ditunjuk oleh hasil evaluasi dan penelitian dalam bidang pembelajaran. Lemahnya dan langkanya penelitian dalam bidang ini menyebabkan akan sulit inovasi dilakukan. Jika demikian, akan mengakibatkan rendahnya mutu, relevansi, efisiensi pendidikan yang mempengaruhi kesempatan dan pemerataan pendidikan. 9. Gejala yang muncul dalam masyarakat yang sangat memprihatinkan berbagai kalangan, antara lain melemahnya moral, orientasi sosial, penyalahgunaan obat terlarang, dan kenakalan remaja, sadisme dan perlakuan penyimpangan seksual, penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. Disamping itu pula, muncul gejala melemahnya solidaritas sosial dan meningkatnya sikap individualistik, sebagai gejala yang dapat menimbulkan masalah sosial, tawuran dan masalah besar lainnya seperti masalah korupsi kemiskinan dan berbagai bentuk penyimpangan sosial lainnya yang tumbuh dan berkembang menjadi masalah sosial budaya, melemahnya kejujuran dan penegakkan keadilan, kenakalan remaja yang

52 Suwarma Al Muchtar sedang mengarah pada tindakan kriminal dalam usia sekolah kerap terjadi, perkelahian antara pelajar bahkan di kalangan mahasiswa. Kondisi ini merupakan tantangan bagi pendidikan IPS dan perlu dijadikan dasar pikiran bagi perlunya inovasi dalam pembelajaran. 10. Analisis mengenai kelemahan pembelajaran yang secara umum dilaksanakan di lapangan teridentifikasi antara lain proses pembelajaran kurang ditunjang dengan pengembangan dan penggunaan media dan alat pembelajaran nilai-nilai sosial budaya. Implikasinya pembelajaran lebih menekankan pada pengembangan aspek kognitif dari pada afektif dan psikomotor. Proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial. Proses pembelajaran lebih menekankan pada pencurahan isi buku dari pada proses penalaran isi buku. Proses pembelajaran lebih menempatkan peserta didik sebagai penerima informasi dalam soal belajar satu arah, dari pada melibatkan peserta didik dalam proses berpikir. Proses pembelajaran lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi yang dominan, di samping terbatasnya penggunaan sumber daya belajar lainnya. Proses pembelajaran lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi, seperti yang terdapat di dalam buku, dari pada kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata. Proses pembelajaran belum banyak mengakses pada penguatan sistem nilai keimanan dan ketaqwaan. Proses pembelajaran belum secara tegas mengakses pada penguasaan IPTEK.

V. REVITALISASI EPISTEMOLOGI PENGEMBANGAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL Dapat disimpulkan bawa ide-ide pokok positivisme, dan neopositivisme serta perubahan sosial budaya sebagai lingkungan dan latar pendidikan IPS. Terdapat sejumlah pemikiran perlu dikritisi dalam membangun paradigma baru untuk menjawab gagasan membangun Pendidikan IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal sebagai berikut: Suwarma Al Muchtar 53 1. Positivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah (that science is the highest form of knowledge and that philosophy thus must be scientific). Kritik dalam perspektif ilmu sosial dan pendidikan IPS, bahwa ilmu dan teknologi sosial dan praktek pembelajaran mesti memiliki landasan dan kontrol filsafat untuk memberikan arah kebenaran ilmiah dan kegunaannya bagi kehidupan uamat manusia. Dengan demikian revitalisasi pendidikan IPS untuk mengembangkan pendidikan IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal perlu diawali dengan memperkuat landasan filsafatnya, yaitu epistemologis yang berbasis pada nilai-nilai dasar yang kokoh, bersumber pada sistem nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pendidikan IPS membangun tradisi keilmuan sebagai pendidikan IPS profetik seiring dengan membangun ilmu ilmu sosial profetik. Pendidikan IPS profetik berbasis nilai kewahyuan yang praksisnya dalam kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia yang sudah terbukti memiliki eksistensi dan kekuatan sebagai sumber dan modal sosial bagi sistem sosial dalam masyarakat Indonesia. Generasi emas adalah anak bangsa buah kemerdekaan kurun waktu seratus tahun yang memiliki nilai ke-Tuhanan dan keimanan dan ketakwaan yang kokoh berakhlak mulia mampu mencerdaskan kehidupan sosialnya. Untuk itu ilmu pendidikan, ilmu keguruan, ilmu sosial humaniora dan agama memberikan kontribusi kolaboratif sinergik memperkuat krosdisiplin epistemologi pendidikan IPS penuh makna dan kekuatan untuk mencerdaskan kehidupan kehidupan sosial bangsa. 2. Positivisme memandang bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam ilmu alam. Pandangan inilah yang menyamakan bidang ilmu sosial, ilmu pendidikan termasuk ilmu keguruan dan program pengembangan kurikulum pendidikan. Pandangan 54 Suwarma Al Muchtar inilah yang dianggap keliru dan sudah melemahkan ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu pendidikan dan keguruan. Klimaksnya sulit dibedakan perbedaan antar bidang keilmuan tersebut seluruhnya menggunakan metode penelitian generik yang standar dan dikontrol oleh kebenaran ilmiah yang empiris, dan mengenyampingkan karakteristik dan keunikan keilmuan pengaruhnya kuat dalam epistemologi pendidikan IPS selama ini. Penelitian bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan IPS memerlukan keragaman metode untuk dapat memahami secara fenomenologis untuk memahaminya sebagai kekuatan berpikir reflektif untuk membangun teori dan konsep pendidikan IPS, untuk revitalisasi keilmuan dan pembelajarannya. 3. Positivisme memandang bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi “sekadar” merupakan pseudoscientific. Konsep ini yang bertentangan dengan hakekat ilmu sosial dan IPS sebagai pendidikan nilai sosial dan budaya. Maka hendaknya paradigma peningkatan ilmu-ilmu sosial dan pendidikan IPS yang berbasis nilai sosial budaya seperti nilai-nilai kearifan lokal. Dengan dukungan transformasi dari proses teaching kepada learning yang lebih mengutamakan keterlibatan peserta didik sebagai subyek berpikir untuk memperkokoh sistem nilai yang dianutnya serta memiliki kemampuan partisipasi tinggi dalam mencerdaskan kehidupan sosial. Dengan demikian pembelajaran IPS bukan hanya agar peserta didik memiliki kemampuan menjelaskan konsep, akan tetapi memiliki kemampuan dan pengalaman berpikir untuk memahami dan memecahkan masalah sosial dengan kemampuan untuk melakukan tindakan sosial yang bernilai bagi dirinya dan lingkungannya. 4. Positivisme memandang penelitian dan obyektivitas sebagai dasar kebenaran ilmiah, paradigma ilmiah berasumsi bahwa perlu dijaga jarak antar peneliti dengan objek penelitian supaya dipelihara obyektivitas yang akan menentukan derajat kebenaran ilmiah. Dikontrol ketat dengan menggunakan metode dan instrumen penelitian yang dapat terbebas dari pengaruh nilai termasuk nilai subyektivitas yang bersumber dari peneliti, Suwarma Al Muchtar 55 penelitian ilmiah harus bebas nilai. Asumsi inilah yang mendapat kritik aplikatif dalam tradisi penelitian ilmu sosial termasuk dalam pendidikan IPS, diyakini bahwa fenomena sosial merupakan proses yang bersifat interaktivitas. Kondisi ini menuntut subyek peneliti melakukan interaktivitas dalam memahami fenomena itu secara mendalam. Fakta sosial budaya tidak bebas nilai, melainkan bermuatan penuh nilai yang dapat dipahami untuk menemukan kebenaran untuk mengkonstruksi teori sosial. Diyakini ilmu sosial tidak cukup dapat dimaknai hanya dengan pendekatan fisika tetapi menuntut pemikiran metafisika karena menyangkut masalah nilai-nilai transedental sebagai latar masalah sosial budaya. Pendidikan IPS hendaknya diperkuat dengan pendekatan alamiah dalam merevitalisasi epistemologinya, sehingga ditemukan pendekatan dan model penelitian yang tepat ilmiah bagi untuk memperkuat jatidirinya . 5. Teori dalam ilmu sosial, termasuk dalam pendidikan IPS, dipandang tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Kritik terhadap pandangan ini ternyata bukti empiris dapat memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomaly dalam tataran formalistik karena terlepas dari substansi. Seperti halnya dalam fenomena dan kasus sosial budaya tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Refleksinya dalam masyarakat Indonesia, ilmu sosial dan budaya tidak bebas nilai (value free) melainkan penuh dengan nilai (value bounded). Dengan demikian dalam penelitian diperlukan adanya penghargaan terhadap interaksi antara subjek dan sumber informasi penelitian. Hasil penelitian bukanlah deskrisipsi objektif, akan tetapi pemahaman subyektif yang merefleksi hasil interaksi intersubyektif dalam situs penelitian yang penuh informasi yang menuntut kemampuan interpretasi kepakaran dalam pola kemitraan antara peneliti dengan subyek sebagai nara peran dan nara sumber informasi berbasis pengalaman dalam fenomena atau kasusnya yang diteliti, sedangkan masalah penelitian adalah obyek kajian yang dijadikan fokus kajian subyek penelitian dengan dukungan kepakaran peneliti sebagai subyek penelitian dan sekaligus 56 Suwarma Al Muchtar sebagai pakar yang mampu memperankan kepakaran dirinya sebagai instrumen penelitian (human instrument). Perlu diperhatikan esensi dari positivisme evolusioner dengan tokohnya, antara lain Charles Lyell, Charles Darwin, Herbert Spencer, Wilhem Wundt, Ernst Hackel. Jika positivisme sosial percaya kemajuan dapat berlangsung berdasarkan ilmu pengetahuan, sedang positivisme evolusioner meyakini interaksi manusia-semesta sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang dialami. Kiranya pandangan terakhir ini yang semestinya diadaptasi secara kritis dalam perumusan paradigma baru pendidikan IPS dalam memperkuat daya respon belajar peserta didik sebagai generasi emas. 6. Orientasi nilai belajar dalam pembelajaran pendidikan IPS yang amat kuat untuk dapat melanjutkan ke PTN memungkinkan pendidik sebagai pengembang kurikulum “terekayasa” ke arah pemikiran dan sikap ketergantungan sehingga terperangkap pada posisi “keterbelengguan“ dan melemahnya “kemandirian“ dalam melakukan improvisasi profesionalnya untuk membudayakan berpikir dan internalisasi nilai sosial budaya dalam pembelajaran pendidikan IPS. 7. Strategi untuk membahas masalah di atas didasarkan atas paradigma, bahwa terdapat dua tarikan yang mempengaruhi tuntutan dan tantangan pendidikan. Pertama, pembelajaran pendidikan IPS dihadapkan pada tantangan untuk berperan memperkuat sistem nilai, dalam mempertinggi kualitas keimanan dan ketaqwaan. Kedua, pembelajaran pendidikan IPS dihadapkan pada tuntutan paradigmatik untuk memerankan pembelajaran pendidikan IPS dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Tantangan ini muncul dan menuntut untuk dihadapi secara serentak, dan menuntut jawaban strategis dengan mengintegrasi kebijakan dan pembudayaan, dalam kerangka peningkatan kualitas manusia Indonesia untuk menyongsong tahun 2020 melalui peningkatan mutu pendidikan. Tantangan ini kaitannya dengan inovasi proses pembelajaran, tampak jelas menuntut konseptual tentang arah Suwarma Al Muchtar 57 inovasi dalam proses pembelajaran, agar peserta didik memiliki kemampuan untuk memberdayakan potensi keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kekuatan spiritual, dan bagaimana pembelajaran secara efektif dapat memberdayakan potensi dalam penguasaan IPTEK. Diperlukan kekokohan landasan teoritik yang memiliki kekuatan konsektual dengan masalah nyata pembelajaran pendidikan IPS, dan bagaimana rekayasa model pembelajaran. 8. Tantangan ini ditandai dengan lemahnya landasan dan acuan teoritik dan langkanya model pembelajaran yang memiliki validitas empirik dalam situs sosial budaya bangsa. Diduga kelemahan tersebut ada kaitannya dengan lemahnya penelitian pembelajaran pendidikan IPS, serta belum berperannya para pendidik sebagai pelaku utama yang memerankan diri sebagai peneliti dan pengembangan pembelajaran. Kedua faktor ini diasumsikan memperlemah inovasi pembelajaran pendidikan IPS. Pendekatan yang baik memerlukan pengertian tentang kemungkinan pengaruhnya terhadap interaktivitas, intersubyektivitas menuntut berpikir tingkat tinggi komprehesif dalam membangun paradigma baru pendidikan IPS. 9. Sifat konservatif dan masalitas pembelajaran pendidikan IPS dihadapkan pada derap perubahan masyarakat yang dipacu dengan IPTEKS, dapat diimbangi melalui inovasi pembelajaran, yang dibudayakan dengan dukungan kekuatan ilmu. Pembelajaran pendidikan IPS dalam wujud teori dan model pembelajaran dengan dukungan kebijakan nasional, dijadikan sebagai gerakan budaya pendidikan. Kajian paradigmastik perlu menempatkan konsep inovasi pembelajaran. Paradigma baru untuk revitalisasi pendidikan IPS berbasis kearifan lokal. 10. Revitalisasi pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah perlu dilakukan berlandasan pemikiran philosofik epistemologi, yang berhubungan dengan ilmu pendidikan, ilmu keguruan dan ilmu sosial humaniora dan agama sebagai sumber nilai untuk membangun paradigma baru berbasis kearifan lokal. Secara khusus berkaitan dengan pengembangan model professional

58 Suwarma Al Muchtar teacher based, teacher based curriculum develompment. Profesisonal Based Curriculum model, competencies curriculum model, dan subyect based curriculum model development, pengembangan nilai karakter kebangsaan dalam pembelajaran pendidikan IPS akan lebih efektif jika nilai-nilai agama, budaya bangsa baik lokal, nasional maupun global,dijadikan pengkajian dan penalaran moral yang dikembangkan terintegrasi. Pengembangan nilai karakter akan memperkuat peserta didik untuk dapat mengidentifikasi etik dalam merespon secara tepat dan cepat tanggap terhadap masalah sosial budaya jika diarahkan pada pengembangan kemampuan mengidentifikasikan dimensi- dimensi moral dan etis dalam pembahasan sosial budaya. 11. Agar dapat memberikan makna dalam memecahkan masalah sosial budaya dalam kondisi kompetitif dan generatif dalam perspektif ketaqwaan pada latar dinamika sosial budaya bangsa maka arah pengembangan pengertian konseptual pembelajaran pendidikan IPS harus mencakup makna pembelajaran pendidikan IPS yang bersumber pada ilmu-ilmu sosial, agama yang diorganisir secara kontekstual dengan kearifan lokal dengan dukungan ilmu keguruan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membangun sistem nilai sebagai karakter pendidikan IPS. 12. Lingkup masalah dan paradigma dalam inovasi proses pembelajaran untuk memperkuat mutu pembelajaran pendidikan IPS berfokus masalah untuk dikaji dalam rangkaian inovasi pembelajaran dalam konteks memperkuat mutu pembelajaran pendidikan nasional dewasa ini, berkisar pada bagaimana arah pelaksanaan inovasi pembelajaran nilai-nilai sosial budaya seperti yang termuat dalam kearifan lokal. Masalah ini mencakup aspek yang menjadi tantangan, peluang kekuatan, kelemahan masalah serta alternatif bagi pelaksanaan inovasi dalam proses pembelajaran nilai dalam pendidikan IPS. Disamping itu, menyangkut kajian tentang mengapa terjadi kelangkaan inovasi dalam proses pembelajaran pendidikan IPS, bagaimana kemungkinan produktivitas dan strategi inovasi tertentu, bagaimana tentang arah orientasi inovasi pembelajaran Suwarma Al Muchtar 59 pendidikan IPS, serta bagaimana kebijakan inovasi dalam proses pembelajaran tersebut. 13. Kemampuan berpikir kritis dan kreatif dan nilai karakter kebangsaan dapat dikembangkan, jika pembelajaran pendidikan IPS berhasil menciptakan iklim belajar yang terbuka, demokratis, kompetitif berorientasi kepada proses belajar peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi kapasitas dan kapabilitas dirinya sendiri. Lebih berorientasi pada pengembangan proses pembelajaran dan kemampuan berpikir dan nilai dari pada orientasi pada penguasaan konten berbasis pada subyect based curriculum models yang selama ini mendominasi pemikiran dan model IPS dalam kurikulum sekolah sehingga sulit dibedakan dengan tradisi di perguruan tinggi. Pembudayaan belajar berpikir dalam pembelajaran pendidikan IPS akan berhasil, apabila pendidik mengaplikasikan sikap dan cara berpikir ilmuwan sosial dalam proses membelajarkan peserta didiknya, yang ditandai dengan menumbuhkan rasa ingin tahu, mencintai kebenaran ilmiah, menghargai pendapat orang lain dan sebagai partner berpikir peserta didiknya. 14. Pengembangan nilai dan karakter dalam pembelajaran pendidikan IPS, akan efektif apabila nilai-nilai yang melekat pada setiap konsep bahasan materi pelajaran dijadikan media stimulus bagi terjadinya klarifikasi dan penalaran nilai sebagai proses pengembangan kemampuan menginternalisasikan dan internalisasi nilai . Diperkaya dengan menggunakan nilai-nilai kearifan lokal. 15. Kemampuan berpikir tingkat tinggi, dapat ditumbuhkan melalui belajar dalam pembelajaran pendidikan IPS, jika proses berpikir tersebut tidak dipandang sebagai aspek intelektual semata akan tetapi pengembanganya banyak ditentukan oleh faktor budaya. Oleh karena itu perlu mengakses kearifan lokal sebagai sumber materi pembelajaran nilai-nilai. Pengembangannya hendaknya dilakukan melalui upaya transformasi budaya belajar yang tidak terbatas dalam proses belajar mengajar di kelas. 16. Nilai-nilai kearifan lokal hendaknya dijadikan sumber nilai untuk memperkaya nilai yang melekat pada setiap konsep materi 60 Suwarma Al Muchtar IPS akan dapat diorganisir dijadikan sebagai bahan kajian yang menarik dalam proses belajar, manakala hakekat dari pembelajaran pendidikan IPS sebagai pendidikan nilai sosial berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai yang melekat pada setiap konsep materi IPS akan dapat diorganisir dijadikan sebagai bahan kajian yang menarik dalam proses belajar, manakala hakekat dari pembelajaran peran pendidik didasarkan atas nilai-nilai keagamaan yang kuat dalam orientasi proses mentaqwakan manusia Indonesia. 17. Dalam mengakses kearifan lokal dalam pembelajaran IPS, dapat menggunakan berbagai media yang mempunyai potensi untuk menambah wawasan dan konteks belajar serta meningkatkan hasil belajar. Slide, film, radio, televisi, dan komputer yang dilengkapi dengan CD-ROM dan hubungan internet dapat dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi tentang kearifan lokal yang tumbuh berkembang dalam lingkungan peserta didik. Sedangkan untuk mengatasi kesenjangan antara kualitas pembelajaran pendidikan IPS dalam kenyataan empirik dengan tuntutan ideal, kurikulum, kehidupan praktis dan perkembangan masyarakat menuntut untuk dilakukan terus menerus inovasi pendidikan. Inovasi adalah merupakan upaya strategis dan keharusan untuk dilakukan dalam menjawab tantangan pendidikan, dalam membina kualitas manusia Indonesia yang memiliki kemampuan kompetitif. Potensi nilai-nilai kearifan lokal adalah modal bagi pendidikan IPS untuk melakukan inovasi memperkokoh karakter sosial pendidikan IPS. 18. Pendekatan sosial budaya dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPS hendaknya diperkokoh dengan pandangan terhadap peserta didik sebagai manusia dilihat sebagai subyek yang berfikir, bertindak, kreatif, konstruktif, dan manipulatif. Peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Keanekaragaman soal budaya modal sosial budaya untuk memperkuat makna pendidikan IPS. Konsekwensinya pendidikan IPS menekankan pada proses pembelajaran nilai- nilai sosial budaya, dilain pihak makna kebudayaan dan struktur Suwarma Al Muchtar 61 sosial adalah konstruksi terus-menerus sesuai dengan kebutuhan manusia. Proses pembelajaran proses mengkonstruksi nilai-nilai kearifan lokal menjadi nilai-nilai aktual dalam kehidupan sosial peserta didik. 19. Pendidikan IPS berbasis kearifan lokal akan memiliki kekuatan penuh daya apabila berhasil pembelajarannya mentransformasikan kebudayaan yang statik (given) menjadi kebudayaan yang dinamik (being constructed). Sebagai sumber pembelajaran memposisikan pikiran subyek sebagai native’s model peneliti tidak lagi dominan model subyek dan model peneliti berkaitan secara dialektik. Penelitian tindakan kelas (PTK) berbasis budaya yang menjadikan kelas sebagai wacana kehidupan sosial budaya dijadikan unggulan untuk memperkuat proses pembelajaran dengan didukung oleh profesionalisme guru sebagai peneliti yang mampu melakukan tindakan pembelajaran secara efektif bagi peningkatan mutu. 20. Nilai-nilai kearifan lokal hendaknya meliputi makna apresiasi subyek merupakan apresiasi setiap kebudayaan praksis yang tumbuh dan berkembang sebagai lingkungan sosial budaya hendaknya dijadikan sumber untuk memperkuat pembelajaran kontekstual. Paradigma baru memperkuat budaya pembelajaran dalam pendidikan IPS lebih mengutamakan keterlibatan subyek untuk memperoleh pengalaman pembelajaran ditransformasikan menekankan pada internalisasi nilai-nilai kearifan lokal tersebut. 21. Pendidikan IPS perlu didasarkan atas kreasi kritis terhadap pandangan analogi organik dalam ilmu-ilmu alamiah yang menyangkut sistem, struktur, dan fungsi sosial untuk memperkuat karakteristik ilmu-ilmu sosial sebagai pijakan pengembangan epistemologinya. Demikian pula terhadap pandangan bahwa kebudayaan sebagai sistem ideal yang supra-individual, dan pandangan bahwa masyarakat dilihat hanyalah sebagai kumpulan atribut, terlebih atas penghargaan manusia dilihat sebagai komponen-komponen dari sistem sosial, dan sistem dipelihara berdasarkan asas ekuilibrium dan nilai budaya hanyalah dilihat sebagai landasan integrasi, demikian pula atas pandangan, konflik dilihat sebagai fungsi 62 Suwarma Al Muchtar integrasi dan menjadikan pluralisme sebagai ideologi dan ilmu- ilmu sosial bebas nilai. Pandangan tersebut semestinya dijadikan landasan untuk membangun paradigma baru keluar dari himpitan positivisme menuju paradigma baru pendidikan IPS untuk mengembangkan SDM generasi emas 2045. 22. Pendidikan IPS hendaknya memandang peserta didik dan guru sebagai pendidik dipandang dan dimaknai serta diperankan sebagai subyek yang berfikir, bertindak, kreatif, konstruktif, dan manipulatif. Peserta didik sebagai subyek yang melakukan kegiatan pembelajaran untuk membangun kapasitas dan kapabilitas dirinya menjadi warga masyarakat yang cerdas memiliki tanggung jawab dan keterampilan sosial untuk memelihara lingkungannya. 23. Pendidikan IPS mesti diperkuat dengan dukungan sumber pembelajaran kontekstual yaitu masalah sosial budaya yang aktual faktual dengan menghargai keanekaragaman adalah hasil kreativitas konstruksi manusia seperti nilai-nilai kearifan lokal. Implikasinya IPS menekankan pada proses pembelajaran pemecahan masalah, dengan pemahaman kebudayaan dan struktur sosial sesuai dengan kebutuhan manusia. Proses pembelajaran proses mengkonstruksi kebudayaan yang statik (given) menjadi kebudayaan yang dinamik (being constructed). Sebagai sumber pembelajaran memposisikan pikiran subyek sebagai native’s model peneliti tidak lagi dominan model subyek dan model peneliti berkaitan secara dialektik. 24. Beberapa paradigma arah inovasi pembelajaran untuk kondisi pendidikan, dalam rangka upaya strategis pembinaan mutu sumber daya manusia Indonesia bahwa inovasi pembelajaran akan berhasil apabila bertumpu pada upaya pembelajaran peserta didik secara penuh, baik intelektual maupun emosional, dengan memperhatikan perkembangan psikologis dan sosial dalam membangun kesadaran sosial, kecerdasan sosial dan keterampilan sosial dengan dukungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan dukungan sistem nilai yang kokoh atas dasar penalaran dan penghayatan nilai-nilai sosial budaya

Suwarma Al Muchtar 63 yang bersumber nilai-nilai ketuhanan yang tumbuh subur dalam kehidupan keberagaman dalam masyarakat Indonesia. 25. Inovasi pembelajaran ke arah memperkuat daya dukung sumber pembelajaran ke arah pengembangan model berpikir induktif berbasis pemecahan masalah dan nilai-nilai sosial budaya aktual yang tumbuh dalam kehidupan nyata di masyarakat, dalam praktek pembelajaran kelompok untuk pengembangan nilai-nilai sosial melalui pengalaman belajar. Dengan demikian inovasi lebih mempercepat transformasi dari model mengajar yang berpusat pada guru kepada pembelajaran yang berpusat pada kegiatan peserta didik dalam membangun kapasitas berpikir sosialnya. Karena kemampuan ini menjadi modal dasar bagi lahirnya generasi emas Indonesia melalui pembelajaran IPS yang inovatif. 26. Inovasi pembelajaran harus mengakses pada strategi pengembangan berpikir tingkat tinggi untuk dapat menguasai IPTEKS dengan mengutamakan membangun peningkatan keimanan dan ketakwaan dan akhlak mulia sebagai karakter pendidikan IPS dalam sistem pendidikan nasional berdasarkan Pancasila. Seiring dengan pembinaan nilai untuk memperkuat sistem nilai (afektif), agar dapat mengambil peran kompetitif dalam gerak perubahan sosial dan persaingan global (psikomotorik) dalam merevitalisasi pembelajaran pendidikan IPS dengan menguatnya arus informasi sebagai lingkungan strategis untuk itu inovasi pembelajaran ke arah memungkinkan peserta didik memiliki kemampuan untuk mengakses berbagai sumber informasi. Inovasi pembelajaran perlu dijadikan unggulan, dalam melakukan upaya peningkatan mutu pembelajaran pendidikan IPS dengan dukungan kebijakan nasional, untuk menjadi gerakan budaya pembelajaran. 27. Inovasi perlu dilakukan, dengan berorientasi pada penyempurnaan dan peningkatan kualitas pembelajaran dari pengalaman yang ada, dengan dukungan penelitian dan evaluasi implementasi kurikulum. Untuk itu perlu dilakukan upaya memperkuat dasar-dasar epistemologis dan nilai sosial budaya bagi pendidikan IPS, sehingga memiliki kejelasan dan ketegasan epistemologis

64 Suwarma Al Muchtar manakala disandingkan dengan epistemologi ilmu pendidikan, ilmu keguruan, ilmu-ilmu sosial, budaya, humaniora dan agama. Agar dengan kejelasan dapat dilakukan pengembangan dengan pendekatan krosdisiplin dalam memperkuat karakter pendidikan IPS yang memliki kekuatan unggul powerfull bagi pengembangan generasi emas 2045. 28. Inovasi pembelajaran perlu melibatkan secara optimal guru sebagai inisiator dan inovator dengan memberikan peluang untuk mengembangkan kreatifitasnya. Inovasi pembelajaran perlu dilakukan terbuka, dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dengan berkesinambungan. Inovasi pembelajaran memperhatikan aspek sosial budaya dan lingkungan peserta didik, dan faktor psikologis diarahkan pada pengembangan kemampuan berpikir secara kritis kreatif. Inovasi pembelajaran hendaknya mengembangkan secara optimal potensi berpikir peserta didik, untuk menguasai IPTEKS yang terintegrasi dengan IMTAQ. Inovasi pembelajaran merupakan unggulan untuk mengatasi kesenjangan antara tuntutan ideal kurikulum dan kebutuhan masyarakat dengan kualitas pendidikan. Untuk itu, perlu dilakukan secara terus menerus dengan dukungan kebijakan nasional untuk membudayakan penelitian dalam bidang pembelajaran, sebagai prasyarat bagi efektivitas inovasi pembelajaran. Keterlibatan pendidik sebagai pendidik dan subyek penelitian pembelajaran adalah mutlak, dengan dukungan kemampuan profesional dan sumber daya pendidikan, dalam peran sebagai subyek dalam inovasi pembelajaran pendidikan IPS. 29. Inovasi pembelajaran hendaknya dilaksanakan merupakan jawaban strategis untuk mengimbangi pengembangan pembelajaran pendidikan IPS dengan pendekatan masalitas selama ini sekaligus menjawab tantangan pembelajaran pendidikan IPS dalam membina manusia Indonesia, dalam pengembangan pendidikan IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal. Inovasi tidak akan berhasil tanpa dukungan kuat dari kemampuan profesional guru, untuk perlu diperkuat ilmu keguruan dan lembaga pendidikan guru bertaraf universiter. Suwarma Al Muchtar 65 Tantangan bagi pembelajaran pendidikan IPS akan semakin kuat tanpa upaya inovasi pembelajaran pendidikan IPS akan semakin jauh tertinggal oleh perubahan dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Allen, Rodney F., John V. Fleckenstein, and Peter M.Lyons (eds). 1968., Inquiry in Social Studies Theory and Examples for Clasroom Social Studies, Washington DC : NCSS. Al Muchtar, Suwarna. 1999. Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Nilai dalam Pembelajaran Pendidikan IPS, Studi Sosial Budaya Pendidikan. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Bandung: Fakultas Pasca Sarjana, IKIP Bandung ______. 2000. Epistemologi Pembelajaran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Gelar Potensi Mandiri. ______. 2000. Pembelajaran Pendidikan IPS dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Potensi Mandiri. ______. 2004. Strategi Pembelajaran Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. ______. 2013. Inovasi dan Transformasi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri. ______. 2014. Pengembangan Program Pembelajaran Konsep Pendidikan IPS. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri. ______. 2014. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri. ______.2014. Landasan Filsafat dan Sosial Budaya Pendidikan Guru. Laporan Penelitian. Universitas Pendidikan Indonesia. Bank, James, With Clegg. 1975. Teaching Strategies for Social Studies: Inquiry, Valuing and Decission Making. New York: White Plaens. Barr, Robert. 1977. Defining The Social Studies. Washington D.C. : National Council for Social Studies. Bayer. Barry K. 1977. Teaching Thinking in Social Studies : Using Inquiry in The Classroom. USA : Chales. 66 Suwarma Al Muchtar Carpenter, H.M. (Ed). 1983. Skill Development in The Social Studies. Washington D.C. : National for Social Studies. Cornbleth, Catherine. 1985. Critical Thinking and Cognitive Process. Washington D.C : National for Social Studies. Dupty, D.C. 1970. Teaching Social Studies. Sidney : Dai Nipon Printing Co. Gross. Richard E. (Ed). 1978. Social Studies for Our Times. Canada : John Wisley & Son. Inc. Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. Hers. Rihard H. 1980. Models of Moral Education an Apprisal. Loggman Inc. Leonard H. Clark, 1973, Teaching Social Studies in Scondary Schools A. Handbook. London: Micmillan Publishing. Jarolimek. J. 1977. Social Studies Competencies and Skills. New York: Mac Millan. Leming James, S. 1985. Research on Social Studies Curriculum. Washington D.C. National Council for Social Studies. Ritzer, George. 2009. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2005.Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Udin Sarifudin. 1990. Model Belajar Mengajar untuk Bidang Pembelajaran Pendidikan IPS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pembelajaran Pendidikan IPS Pancasila. Jakarta: Depdikbud.

Suwarma Al Muchtar 67 68 Suwarma Al Muchtar K.H. MUHAMMAD ZAINI ABDUL GHANI: Biografi Dakwah Berbasis Kearifan Lokal Ersis Warmansyah Abbas

I. PENDAHULUAN Proses transformasi nilai-nilai budaya adalah proses belajar kebudayaan. Dalam masyarakat dan kebudayaan apa pun, proses tersebut terjadi sehingga masyarakat dan kebudayaan bersangkutan berlangsung dan berkembang dengan pewarisan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi. Dalam kajian kebudayaan, masyarakat dibangun dan dikembangkan oleh individu, dan atau oleh kelompok individu, menjadi kebudayaan bersama anggota masyarakat. Perkembangan masyarakat dimulai dari kepribadian individu yang dibentuk oleh pengetahuan, perasaan, dan naluri. Kepribadian individu sebagai anggota masyarakat membentuk ‘kepribadian masyarakat’ aplikasinya menjadi kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2009: 144) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik individu dengan belajar. Artinya, merupakan akumulasi dari pikiran, tindakan, dan karya individu dan masyarakat.

* Tenaga Edukatif PSP Sejarah FKIP Unlam. * Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015.

Ersis Warmansyah Abbas 69 Dalam kaitan kaitan dengan kehidupan dan dakwah K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul, biografi Guru Sekumpul adalah biografi dakwah. Guru Sekumpul membangun dakwah dalam proses pembelajaran kebudayaan dengan memberdayakan kearifan lokal sehingga powerful berlandaskan Islam. Menurut Aziz (1977: 8) “Islam adalah agama dakwah”. Islam sebagai ajaran kebenaran, sebagai rahmatan lil alamin. Kata dakwah (KBBI, 2008: 288) berarti penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Firman Allah SWT (An-Nahl: 125): “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk.” Firman Allah SWT tersebut mencakup makna kata metode dalam kandungan metode dakwah dalam arti cara, cara menyampaikan kebenaran Islam kepada manusia. Metode (KBBI, 2008: 910) adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode dakwah sebagai aplikasi firman Allah SWT dalam surat An-Nahl sebagaimana dikutip di atas memuat amar, bahwa metode dakwah dilakukan dengan bijaksana. Bijaksana (kebijaksanaan) atau hikmah yaitu cara-cara penyampaian pesan-pesan dakwah yang sesuai dengan keadaan penerima dakwah. Hal ini mencakup pemaknaan dakwah dalam arti komunikasi. Komunikasi dakwah dilakukan oleh dai kepada mad’u yang dalam definisi Tasmara (1997: 43) adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang dai (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.

70 Ersis Warmansyah Abbas Suparta dan Hefni (2009: 8-19) memilah dakwah kepada: dakwah al-hikmah, al-mau’idza al-hasanah, al-mujadalah bil-al-lati hiya ahsan. Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”, aktivitas dakwah bukanlah kewajiban para dai saja, tetapi merupakan kewajiban seluruh Muslim sesuai kapasitasnya. Menurut Rasulullah: “Siapa di antara kamu melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah- lemah iman.”(H.R Muslim). Dakwah, sebagaimana firman Allah SWT dan Hadis Rasulullah SAW, haruslah disampaikan dengan bijak. Dakwah adalah aktivitas menyampaikan kebenaran dalam arti sesuai ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadis Rasulullah) untuk membangun kepribadian berlandaskan nilai-nilai Islam. Dakwah mengajak kepada kebenaran berdasarkan ajaran Islam. Dalam pengajiannya, Guru Sekumpul mengajarkan murid-murid dan jamaah dengan tujuan mengokohkan iman, meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan meneladani Rasulullah. Dengan fokus pengajian mengokohkan iman dan meningkatkan ketakwaan dengan meneladani akhlak Rasulullah, berarti Guru Sekumpul melakukan pendidikan akhlak sebagai basis pembentukan karakter dalam menimba ilmu untuk beribadah dengan mengamalkan kaji dan gawi (Irsyad Zein, 2012: 19). Guru Sekumpul menyampaikan ajaran dan pesan-pesan moral dengan sangat memikat. Pengajian dimulai dengan salat berjamaah. Salat berjamaah mengkonsentrasikan pikiran, perasaan, pensucian roh, jiwa dan raga, membebaskan diri dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu setan. Hal ini sesuai dengan tuntunan dalam Islam bahwa menuntut ilmu itu fardu ‘ain. Amal yang diterima Allah SWT adalah amal yang berdasarkan pengetahuan (ilmu) sebagaimana tuntutan al-Qur’an dan Hadis, dan melalui pemikiran ulama atau pun hasil ijtihad.

Ersis Warmansyah Abbas 71 Dengan kata lain, Guru Sekumpul ‘membentuk’ karakter, menanamkan kepribadian akhlakul kharimah berdasarkan ajaran Islam, membangun manusia berkarakter Islami. Aqib dan Sujak (2011: 7-8) mendeskripsikan nilai-nilai utama pendidikan karakter: 1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan, 2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, 3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama, 4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan, 5. Nilai kebangsaan. Membangun watak melalui pendidik akhlak, berarti membangun akhlak dengan meneladani Rasulullah. Akhlak Rasulullah sebagai rujukan pendidikan karakter yaitu: sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Kata kunci dalam pendidikan karakter adalah memahami karakter Rasulullah sebagaimana dipraktikkan dalam kehidupan Rasulullah untuk dijadikan teladan dan dipraktikkan dalam kehidupan. Pendidikan sesungguhnya adalah pendidikan berdasarkan al-Qur’an yang aplikasinya dalam perilaku kehidupan Rasulullah. Karena itu Rasulullah menjadi teladan bagi manusia. Menurut Zubaidi (2011: 29) pendidikan karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Lickona (2012: 69) mengemukakan dalam program pendidikan moral yang berdasarkan pada dasar hukum moral dapat dilaksanakan dalam dua nilai moral yang utama, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Rasa hormat menunjukkan penghargaan terhadap diri atau orang lain. Tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa hormat. Bentuk-bentuk nilai lain yang sebaiknya diajarkan di sekolah adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerja sama, keberanian, dan sikap demokrasi. Menurut (Lickona, 2012: 74) nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat atau tanggung jawab atau pun sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan tanggung jawab. 72 Ersis Warmansyah Abbas Dalam kaitan dengan pembelajaran IPS, yaitu: untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, menjadi warga negara yang baik, tentulah pendidikan karakter sangat penting dan berpadu dengan tujuan pembelajaran IPS. Dalam pengertian tersebut, Guru Sekumpul dalam kerangka relasi dengan pendidikan IPS didekati dengan memanfaatkan konsep-konsep berbagai disiplin ilmu sehingga didapat pemahaman tentang masyarakat dan kebudayaan Banjar, biografi Guru Sekumpul, pengajian Guru Sekumpul, Metode Guru Sekumpul dalam transformasi nilai-nilai budaya Banjar sehingga didapat pemaknaannya dalam kerangka PIPS. Dengan demikian, kehidupan Guru Sekumpul (sejarah/biografi) sebagai ulama yang hidup dan berdakwah di Kalimantan Selatan dengan puluhan ribu murid dan jamaah yang datang dari berbagai daerah (demografi/geografi) dari mayarakat dan pendukung kebudayaan Banjar, baik yang berdomisili di Kalimantan Selatan maupun dari berbagai negara dan dari berbagai etnik (sosiologi dan antropologi) untuk mempelajari dan memperdalam agama Islam (agama), terutama nilai-nilai Islam dengan metode dakwah bil-lisan, bil-hal, dan bit-tadwin (pendidikan) sehingga diyakini ajaran dan Metode Guru Sekumpul sangat kontributif diadopsi untuk pembelajaran IPS dalam rangka mengembangkan pembelajaran IPS yang powerful. Pendidikan IPS dimaksudkan untuk membina warga negara Indonesia agar menjadi warga negara yang baik, yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial, berjiwa demokratis, mampu menghargai perbedaan etnis, budaya dan agama, berfikir kritis, kreatif dan mampu memecahkan masalah-masalah sosial serta berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat lokal, nasional dan global. Untuk itu, nilai- nilai luhur bangsa agar mudah dihayati dan diimplementasikan melalui proses belajar budaya.

Ersis Warmansyah Abbas 73 Tulisan berikut memaparkan biografi Guru Sekumpul sebagai biografi dakwah yang terpapar dari kehidupan Guru Sekumpul sejak kecil telah “dipersiapkan” dan “mempersiapkan” diri sebagai pendakwah. Kehidupan Guru Sekumpul itu sendiri bermuatan hikmah-hikmah dakwah. Hal tersebut bersinergi dengan pendidikan IPS berbasis kearifan lokal. Dalam konsep pembelajaran IPS nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal) dikembangkan sebagai soft-skill dalam membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan serta kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global untuk diapresiasi dan diimplementasikan. Biografi Guru Sekumpul, dengan demikian, adalah “sumber“ pembelajaran IPS dalam arti sejarah kehidupan Guru Sekumpul “menyatu” dengan nilai-nilai budaya lokal, mendayagunakan kearifan lokal sebagai kiat dakwah sehingga powerful. Biografi Guru Sekumpul adalah biografi dakwah berbasis kearifan lokal.

II. PEMBAHASAN 2.1 Zuriat Muhammad Arsyad Al-Banjary K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani (1942-2005) yang populer dipanggil Guru Sekumpul adalah ulama paling terkenal Kalimantan Selatan dalam dua abad terakhir. K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani lahir di desa Tunggul Irang, Martapura, 27 Muharram 1361 H. atau 11 Februari 1942 M (Zein, 2003: 144). Silsilah K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani dari Abdul Ghani, Abdul Manap, Muhammad Seman, Muhammad Saad, Abdullah, Muhammad Khalid, Hasanuddin, dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Pada paparan berikut, penggunaan nama K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani disesuaikan dengan riwayat kehidupan beliau. Ketika kecil dipanggil Qusyairi sesuai nama pemberian setelah lahir, tetapi sebagaimana

74 Ersis Warmansyah Abbas kebiasaan masyarakat Banjar, dalam lingkungan keluarga Qusyairi dipanggil Anang. Panggilan Qusyairi tidak digunakan lagi menjelang Qusyairi masuk pesantren Darussalam Martapura, nama Qusyairi diganti menjadi Muhammad Zaini karena nama Qusyairi tidak populer dalam masyarakat Banjar. Setelah menjadi guru di Pesantren Darussalam Martapura dipanggil Guru Zaini, dan Urang Banjar menyebutnya Guru Ijai. Panggilan Guru Sekumpul populer setelah K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani ‘hijrah’ dari pengajian (majlis taklim) di kawasan Keraton Martapura ke kawasan Sekumpul. Panggilan umum Urang Banjar kepada K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah Abah Guru sebagai bentuk ikatan emosional antara guru atau bapak (abah) dengan murid dan anak. Panggilan Abah Guru tersebut melekat sampai akhir hayat beliau. Masa kecil Qusyairi dijalani bersama adiknya, Ahmad Ghazali, dalam kehidupan keluarga kurang mampu. Bapaknya, Abdul Ghani, yang berprofesi sebagai petani dan penggosok intan, berkeinginan agar anak- anaknya meneruskan kehebatan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary sebagai ulama terkenal. Pendapatan Abdul Ghani tidak memungkinkan dia menyekolahkan anak-anaknya, apalagi sampai ke Mekah atau Mesir. Abdul Ghani madam ke Jakarta. Pendapatannya di Jakarta tidak lebih baik dari di Martapura. Setelah tiga bulan di Jakarta, Abdul Ghani kembali ke Martapura. Sebagai zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Abdul Ghani mendidik anak-anaknya dengan pendidikan keislaman. Abdul Ghani sangat meyakini, perilaku halal bersambung langsung dengan ridha Allah SWT. Keyakinan tersebut dipraktikkan dengan sungguh-sungguh. Abdul Ghani menanamkan amanah zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary kepada anak-anaknya dengan mengimami keluarganya, baik dalam beribadah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Praktik pendidikan agama Abdul Ghani sangat ketat.

Ersis Warmansyah Abbas 75 Sebagai petani dan penggosok intan, Abdul Ghani tidak bisa sepanjang hari membimbing Qusyairi sementara istrinya membuat wadai untuk dijual di pasar Martapura. Selama bekerja, pendidikan Qusyairi dipercayakan kepada nenek Qusyairi, Salabiah. Prinsip pokok yang ditanamkan, mencintai Allah SWT dengan meneladani Rasulullah, mengamalkan firman-Nya, mengaplikasikan perintah iqra’, iqra’, iqra’ dalam arti belajar. Beriman kepada Allah SWT dan mengakui Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT dipraktikkan dalam kehidupan. Bersyahadat berarti memperkokoh keimanan yang dalam praktiknya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan meneladani Rasulullah SAW. Semangat Abdul Ghani semakin meningkat manakala mendapatkan Qusyairi dengan mudah menyerap apa yang diajarkan dan dengan cepat belajar tata cara beribadah. Paling mengagumkan, Qusyairi sangat menyukai mendengar orang membaca al-Qur’an dan mampu menirukan bacaan (lantunan) tersebut. Kecerdasan Qusyairi diistilahkan Gusti Suria Rum (Wawancara, 28- 10-2012) sebagai orang yang terpilih, yang diberi kecerdasan luar biasa oleh Allah SWT. Sebagai senior Qusyairi di pesantren Darussalam yang menjabat sekretaris pesantren Darussalam sampai saat ini (74 tahun), Gusti Suria Rum sangat terkesan dengan kecerdasan, akhlak sopan santun Qusyairi, dan sangat tertarik membaca al-Qur’an. Qusyairi sangat senang mendengar bacaan al-Qur’an. Pada bulan Ramadhan, Qusyairi membaca al-Qur’an di musala bersama teman- temannya dan belajar secara khusus kepada Guru Hasan di Pasayangan Martapura. Berbekal suara bagus dengan bacaannya yang fasih dan lantunan bagus, membuat pendengarnya terharu. Karena itu Qusyairi sering diundang membacakan al-Qur’an pada berbagai kesempatan, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam. Qusyairi mengisi pengajian dan pembacaan al-Qur’an di Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara III Banjarmasin setiap malam Jumat.

76 Ersis Warmansyah Abbas Abdul Ghani, Masliah, dan Salabiah mengutamakan peletakkan dasar-dasar keimanan, ketaqwaan, dan akhlak agar Qusyairi menjadi anak yang berilmu, saleh dan berakhlak mulia, agar selalu berada dalam ridha Allah SWT. Mencintai ulama sebagai pewaris Rasulullah SAW melekat di jiwa Qusyairi. Sirah Rasulullah menjadi asupan batin Qusyairi. Pembinaan karakter dengan memahami dan melakukan ibadah, pentingnya ilmu pengetahuan, mencintai orangtua dan guru (ulama). Kehidupan keluarga Qusyairi yang berkekurangan, dijadikan sebagai latihan kesabaran dan ketabahan. Kekurangan bukan berarti menghambat tekad untuk menuntut ilmu, justru sebaliknya, dijadikan sebagai pemotivasi. Hal tersebut menjadi modal bagi Qusyairi dalam menuntut ilmu. Qusyairi melatihnya dari kecil. Pendidikan nyata tentang kesabaran, tabah berjuang, dan tidak berbuat hal mubazir dengan mengutamakan menuntut ilmu. Dengan kata lain, kekurangan dijadikan pemotivasi untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Belajar adalah kewajiban setiap muslim. Semenjak kecil (Tim Basma, 2011: 264) “Qusyairi sudah digembleng kedua orangtuanya serta sang nenek untuk bersungguh- sungguh memperhatikan ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan itu, mereka menanamkan pendidikan tauhid, akhlak, serta belajar al-Qur’an. Intinya menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan.” Sebelum memasuki sekolah formal, Qusyairi telah memiliki bekal yang cukup untuk belajar. Keinginan Abdul Ghani agar Qusyairi meneruskan zuriat-nya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary sesuatu yang menjadi obsesinya. Berdasarkan hal tersebut, Abdul Ghani menyekolahkan Qusyairi di madrasah di daerah Keraton Martapura. Tidak heran Qusyairi tidak sulit memahami pelajarannya sekalipun tidak didukung fasilitas memadai. Keseriusan Qusyairi belajar pada kenyataannya membuka peluang mendapatkan berbagai hal (fasilitas) yang

Ersis Warmansyah Abbas 77 tidak diduganya sama sekali. Qusyairi banyak mendapatkan kemudahan, Qusyairi adalah kaca perjuangan anak bangsa yang berkemauan keras belajar tanpa mengeluh atau menjadikan kekurangan sebagai pengendala. 2. 2 Belajar di Pesantren Darussalam Martapura Pada tahun 1949, ketika berusia 9 tahun, Qusyairi masuk Pesantren Darussalam Martapura belajar di Madrasah Ibtidaiyah dan setelah tamat pada tahun 1955 melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah. Selain mengikuti pendidikan formal, Qusyairi juga belajar secara halaqah (Mirhan, 2012: 131), kepada ulama-ulama terkenal tentang hadis, tafsir, nahwu dan saraf, ilmu falak dan faraid. Belajar di Pondok Pesantren Darussalam semakin membangkitkan semangatnya menuntut ilmu. Untuk itu, dia mendatangi guru-guru yang membuka halaqah di berbagai tempat di Martapura. Kepada Guru Husein Dahlan, Muhammad Zaini belajar ilmu nahwu dan sharaf dan mengikuti halaqah Guru Semman Mulya, yang sangat populer di Kalimantan Selatan. Kepada Guru Husein Abu Bakar dan Guru Nashrun Thaher, Muhammad Zaini belajar lantunan bacaan al-Qur’an. Muhammad Zaini sangat menghormati guru sebagaimana ditanamkan orangtuanya dengan pesan, guru adalah pewaris Rasulullah. Karena itulah Muhammad Zaini mempunyai kebiasaan menunggu para Guru, misalnya di depan masjid Al-Karomah, Martapura. Bertemu dengan Guru, terutama Zainal Ilmi dan Guru Abdul Qadhir Hasan, adalah kebanggaannya. Menjalani masa-masa sekolah dengan lika-liku kehidupan remaja, bagi Muhammad Zaini adalah pernak-pernik yang harus dijalani. Dia fokus belajar. Pada usia 12 tahun, Muhammad Zaini mempunyai kebiasaan baru, suka berjalan-jalan ke hutan sembari melantunkan qasidah-qasidah memuji Rasulullah melakukan siyahah. Tujuannya untuk merenungkan kekuasaan Sang Pencipta, berpikir di kesunyian di alam terbuka, ‘merenungi’ eksistensi, keagungan, dan ciptaan Allah SWT.

78 Ersis Warmansyah Abbas Siyahah dilakukannya dalam aktivitas berburu burung di hutan, di sawah dan di ladang, juga ketika memancing ikan. Siyahah adalah fase mujahadah yang lazim dilakukan para Nabi dan orang-orang saleh. Menurut penuturan Zainal Abidin (Tim Al-Zahra, 2006: 110-111), sepupunya yang sering menemaninya, dalam siyahah pikirannya terfokus memikirkan kejadian-kejadian di muka bumi, yang kesemuanya itu adalah perbuatan dan kekuasaan Allah, sehingga menambah rasa syukur dan kecintaan kepada zat Allah yang wajibul wujud. Setelah menamatkan pendidikan Ibtidaiyah Muhammad Zaini melanjutkan pendidikan ke tingkat Tsanawiyah di Pesantren Darussalam. Di Pondok Pesantren Darussalam terkenal ulama ahli dan penghapal hadits, Guru Sya'rani'Arif yang memiliki ilmu seluas samudera, namanya melegenda di kalangan tholabah di Martapura dan sekitarnya (Tim Al-Zahra, 2006: 126) sebagaimana dikisahkan H. Sibawahi, putra Guru Sya'rani'Arif, melalui istikharah Guru Sya'rani'Arif memilih Muhammad Zaini sebagai murid khususnya. Setelah pulang sekolah, Muhammad Zaini belajar hadis ke rumah Tuan Guru Sya'rani 'Arif dan khatam ketika Guru Sya'rani 'Arif menyatakan: "Habis sudah ilmuku!" Aktivitas menuntut ilmu kepada guru khusus tidak mengabaikannya mendatangi teman-temannya di asrama pondok, menjalin silaturahim dengan para santri dari berbagai daerah. Kebiasaan bersilaturahim digunakan untuk mengajak teman-temannya mengunjungi para ulama untuk belajar. Pondokan menjadi tempat bertemunya sahabat yang saling memberikan nasihat, tempat belajar dan bersilaturahim, mengambil berkah dari sesama murid dan guru, menjalani hari-hari dalam menuntut ilmu, menggapai titian ilmu ilahi. Kepada Guru Salman Yusuf, Muhammad Zaini belajar kepada Guru Husein Qadri tentang Tarikh dan Tashaznzuuf dan belajar kesufian ke Guru Muhammad Semman Mulya dan belajar mantiq kepada Guru H. Salim Ma'ruf. Kepada Guru H. Salman Djalil, Muhamad Zaini belajar ilmu falak

Ersis Warmansyah Abbas 79 dan belajar qiraat kepada Guru Nashrun Thaher. Muhammad Zaini menjadi pelajar yang tidak pernah bosan dan lelah belajar, belajar dari dorongan batin yang dilakukan dengan sangat bersemangat. Masuknya Muhammad Zaini ke Pondok Pesantren Darussalam semakin mengobarkan semangat Abdul Ghani memantapkan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Zaini dibimbingnya beribadah malam dari pukul 12.00 sampai pukul 02.00 dini hari. Penanaman kebiasaan beribadah malam agar menjadi kebiasaannya dan menyatu dengan jiwanya, menjadi muslim kaffah dengan menauladani Rasulullah. Pembelajaran dalam kehidupan nyata dimaknai dengan mengagungkan Sang Mahapencipta. Sekalipun kondisi ekonominya memprihatinkan, semangat mendidik Muhammad Zaini seolah-olah menjadi pengobatnya. Suatu hari, Anang Kacil, paman Abdul Ghani, memanggilnya dan memberi intan untuk dijalankan sebagai modal berusaha karena Anang Kacil madam ke Solo. Abdul Ghani menjalankan intan tersebut, tetapi tidak menggunakan hasilnya. Hasil yang diperoleh dari menggosok intan ditambah hasil istrinya berjualan kue hanya cukup untuk makan sehari-hari sedangkan anaknya, Muhammad Zaini memerlukan biaya untuk sekolah, tetapi dia tidak mau memakai penghasilan yang belum jelas duduk perkaranya. Ketika Abdul Ghani didera sakit dan tidak mampu bekerja, tentu semakin memberatkan ekonomi keluarga karena hanya mengandalkan hasil berjualan wadai Masliah. Muhammad Zaini prihatin dengan kehidupan keluarganya. Karena anak-anak di Martapura suka bermain layangan, Muhammad Zaini berinisiatif membuat layangan untuk dijual, atau berjualan daun pisang yang hasilnya diserahkan kepada ibunya. Ketika Anang Kacil kembali dari madam, Abdul Ghani melaporkan hasil ‘manjalankan’ intan yang dipercayakan kepadanya. Anang Kacil menegaskan, bahwa intan-intan tersebut telah diberikannya sebagai modal untuk berusaha dan hasilnya untuk keperluan keluarganya. Abdul Ghani 80 Ersis Warmansyah Abbas membantah, sebab hanya dipercayakan menjalankan (memperdagangkan) intan. Anang Kacil menegaskan “Saat aku meninggalkan ikam intan tersebut sudah kuberikan agar ikam dapat menjalankannya, dan memungut hasilnya”. Akhirnya Anang Kacil menegaskan “Intan dan hasil perdagangannya buat kamu dan keluargamu, dan manfaatkan sesuai kemauanmu.” Setelah jelas duduk perkaranya, Abdul Ghani menggunakannya untuk membeli tanah di Jalan Keraton Martapura dan membangun rumah, sebab rumah yang ditempati selama ini tanahnya adalah tanah pinjaman. Selebihnya digunakan untuk kehidupan keluarga, dan untuk membiayai sekolah Muhammad Zaini. Prinsip menjaga kehalalan untuk dimakan dan untuk pendidikan atau keperluan kehidupan ditanamkan Abdul Ghani kepada Muhammad Zaini sebab apa yang dimakan akan menjadi darah daging, begitu juga kalau untuk belajar dibiayai dari sumber-sumber yang tidak halal, tidak jelas kehalalannya, tidak akan diridhai Allah SWT. Karena itu, menyadari kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan membuat Muhammad Zaini tertarik untuk mendulang intan ke pusat pendulangan rakyat di desa Cempaka, kota Banjarbaru. Sebelum pemekaran menjadi Kota Banjarbaru, Banjarbaru adalah kecamatan dalam pemerintah Kabupaten Banjar (Abbas, 2000). Tanpa berbekal keahlian dan tidak mempunyai pengalaman mendulang, tidak menyurutkan semangatnya untuk mendulang. Kisah bagaimana Muhammad Zaini mandulang, yang kelak diceritakan dalam pengajian Sekumpul, menjadi sumber inspirasi bagi murid-murid dan jamaah pengajian Sekumpul. Sikap berusaha ditanamkan Guru Sekumpul kepada murid-murid beliau dengan spirit khusus untuk berusaha, dan banyak yang sukses, tetapi bukan dengan maksud menumpuk kekayaan, sebab kekayaan dimanfaatkan untuk syiar Islam. Banyak murid-murid yang dalam penampakkan keseharian berbaju koko

Ersis Warmansyah Abbas 81 dan berkopiah yang dalam aktivitas keseharian terlihat sebagai santri biasa- biasa saja, padahal mereka pengusaha sukses. 2.3 Guru di Pesantren Darussalam Sebagaimana para santri pada umumnya, Muhammad Zaini menjalani kehidupan santri sebagaimana santri lainnya. Karena prestasinya bagus, setelah menamatkan pendidikan pada tahun 1961 sebagai peringkat pertama, Dewan Guru Pesantren Darussalam meminta Muhammad Zaini untuk menjadi pengajar. Muhammad Zaini mengajar di Kelas IV lbtida'iyah dan sejak itu dia dipanggil dengan sebutan Guru Zaini. Yang membuat hatinya gundah, beberapa teman sekelasnya melanjutkan pendidikan ke Mekah atau ke Mesir. Guru Zaini mengajar di Pondok Pesantren Darussalam selama 4 (empat) tahun. Karena menguasai bidangnya, rupa tampan, suara bagus, humor konteksual dan contoh dari kisah-kisah hikmah, menjadikan Guru Zaini disukai. Karena itu, kelasnya juga didatangi oleh santri dari kelas lain. Bidang yang diajarkannya ilmu akhlak. Setelah tidak mengajar di pesantren Darussalam Guru Zaini lebih konsentrasi kepada hafalan al-Qur'an, fokus beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan khalwat. Membaca kitab-kitab dan berzikir, serta amalan-amalan lain siang-malam. Makan dikurangi, nasi putih dan tempe, tidak memakan makanan bernyawa. Beribadah, salat dan berzikir dilakukan sampai 24.000 kali dalam sehari. Malam hari salat tahajjud, bermunajah kepada Allah. Sekalipun banyak pihak yang meminta agar Guru Zaini kembali mengajar di pesantren Darussalam, Guru Zaini telah menentukan pilihan, memilih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk itu Guru Zaini meninggalkan hal-hal keduniaan dan fokus dengan lakuan-lakuan dalam

82 Ersis Warmansyah Abbas mendekatkan diri kepada Allah SWT, periode memperdalam pengetahuan dan mempraktikkannya, memantapkan kaji dan gawi. 2.4 Memperdalam Pengetahuan Guru Zaini seorang pembelajar yang selalu ingin meluaskan wawasan dan memperdalam pengetahuan keagamaannya. Belajar secara formal di pesantren Darussalam, mengikuti pengajian dan halaqah, membaca Kitab Kuning dan buku-buku terbaru, berdiskusi sesama santri dan mendatangi Guru-Guru di Martapura semakin menambah keinginannya untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang Islam. Dalam pada itu, sepulang Anang Kacil madam dari Solo kondisi keuangan keluarganya semakin membaik karena hasil manjalankan intan diberikan oleh Anang Kacil dan Guru Zaini mempunyai tabungan dari hasil menjual intan yang didapat dari pandulangan mendukung untuk rihlah fi thalab al-'ilm (berkelana berguru mencari ilmu). Rihlah fi thalab al-'ilm pertama dilakukan ke kota Rantau untuk belajar tentang Nur Muhammad dan asal muasal kejadian alam kepada Guru Muhammad Gadung. Setelah mendapatkan pemahaman tentang Nur Muhammad, Muhammad Zaini memperdalam pemahamannya dengan membaca kitab-kitab dan memperbanyak khalwat. Muhammad Zaini melanjutkan Rihlah fi thalab al-'ilm ke Barabai, mendatangi Guru Abdurrahman Shiddiq bersama Suriansyah, sahabat santrinya yang berasal dari Barabai untuk memperdalam tarikat. Guru Abdurrahman sangat luas pengetahuannya dan ramah. Pada lain kesempatan Muhammad Zaini mendatangi Guru Abdurrahman dengan ulama-ulama Martapura untuk memperdalam pemahaman tarikat. Untuk memperdalam penguasaan bacaan al-Qur'an, Muhammad Zaini mendatangi Guru Muhammad Aini di Kandangan. Guru Muhammad Aini sangat teliti dalam mengajarkan al-Qur'an dan setelah belajar kepada

Ersis Warmansyah Abbas 83 ulama-ulama terkenal di Kalimantan Selatan, melakukan rihlah fi thalab al- 'ilm ke luar pulau Kalimantan. Menjelang akhir tahun 1964, bersama Guru Semman Mulya, Guru Husein Wali, Guru Badruddin, dan Guru Zaini Mursyid, Muhammad Zaini mendatangi ulama-ulama terkenal di pulau Jawa. Setelah berziarah ke makam Sunan Ampel, mendatangi Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus dan mendalami qasidah kepada Habib Muhammad bin Abu Bakar Assegaf. Setelah mengunjungi Kyai Hamid perjalanan dilanjutkan ke Bangil menemui Guru Syarwani Abdan dilanjut ziarah ke tempat Habib Sholeh bin Muhsin di Tanggul, Jember. Selanjutnya mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf Gresik dan dilanjutkan ke makam Sunan Gresik dan terus ke Solo menemui Ma'sum, pedagang intan yang sangat sukses di Solo. Dari Solo perjalanan dilanjutkan menuju Jakarta menemui Habib Ali Kwitang. Rombongan mengunjungi makam Habib Husein bin Abu Bakar Luar Batang, Jakarta Utara. Di rumah Abdul Qadir bertemu dengan Habib Ahmad bin Muhammad Assegaf dari Semarang dan terkagum-kagum ketika Habib Ahmad mengungkapkan hal-hal yang dilakukannya, terutama setahun terakhir. Setelah di Jakarta, perjalanan dilanjutkan ke Bogor, ke tempat Kiai Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas (Kiai Falak) di Pagentongan. Kiai Falak belajar di Mekah dan memperdalam tarikat kepada beberapa ulama di pulau Jawa dan kembali ke Mekah sampai diberi kepercayaan untuk mengajar di Mekah. Setelah kembali dari Mekah, Kiai Falak menetap di Desa Pagentongan Bogor, mendirikan Pesantren Falakiyah dan menjadikannya sebagai pusat pengembangan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Keseriusan Muhammad Zaini menuntut ilmu kepada Kiyai Falak dibuktikan dengan mendatanginya beberapa kali untuk melakukan suluk dan Kiai Falak memberikan 27 ijazah kepada Muhammad Zaini.

84 Ersis Warmansyah Abbas Pada tahun 1964, Muhammad Zaini mendatangi Guru Bangil, ulama yang sangat dihormati oleh Urang Banjar dan dijadikan rujukan untuk hal- hal pelik yang terjadi di masyarakat untuk mencari solusinya. Mendatangi para ulama terkenal dimaksudkan Muhammad Zaini untuk menimba ilmu, meluaskan wawasan, dan mempraktikkan perintah Allah SWT iqra’, iqra’, iqra’ dalam arti belajar. Keseriusan Guru Zaini menuntut ilmu, dapat dilihat dari aktivitas ketika Guru Zaini menunaikan rukun haji pada tahun 1971. Perjalanan ibadah haji dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dan menuntut ilmu kepada Sayyid Muhammad bin Amin al-Kutbi al-Makki sekaligus menyampaikan surat Guru Bangil kepada Sayyid Hasan Fad'aq. Rukun Islam tertunaikan dan agenda menuntut ilmu terpenuhi. Di Madinah Guru Zaini mendatangi masjid dan makam Rasulullah. Guru Sekumpul berziarah ke makam Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al- Madani atau Syeikh Samman; maha guru tarikat Sammaniyah di kompleks pemakaman Baqi. Pada saat menunaikan rukun Islam untuk keduakalinya pada tahun 1980, Guru Sekumpul melaksanakan ibadah haji bersama Ibu beliau, Masliah dan adik beliau, Siti Rahmah, keponakan Akhmad. Guru Sekumpul berguru dan mendapat banyak ijazah dari Habib Abu Bakar al-Atthas al- Habsyi, Sayyid Hasan bin Muhammad, Sayyid 'Ahnri bin Abbas al-Maliki, Syeikh Yasin al-Fadani, Syeikh Ismail Yamani, Syeikh Zakaria bin Abdullah Bila al Makki. Ketika penyakit ginjal sangat serius, pada tahun 2002, Guru Sekumpul melaksanakan ibadah umrah membawa keluarga. Berbeda dengan perjalanan haji, Guru Sekumpul bermaksud membawa anak-anak beliau ke Tanah Suci sebagai bagian pendidikan. Menurut penuturan Fauzan Asniah (Wawancara, 19-11-2012) “Guru Sekumpul melakukan umrah, sekalipun dalam keadaan sakit, sebagai tanggung jawab atas keluarga”. Pesan yang hendak disampaikan Guru Sekumpul, dalam melaksanakan kewajiban, sakit bukanlah alasan.

Ersis Warmansyah Abbas 85 2.5 Membuka Majlis Taklim Setelah memfokuskan aktivitasnya dengan khalwat, Guru Zaini membuka pengajian di daerah Keraton Martapura pada tahun 1962. Pengajian berkembang sangat pesat. Guru Zaini membacakan Maulid al- Habsyi sebelum membaca kitab-kitab. Dalam pada itu, Guru Semman Mulya membawa Guru Zaini untuk memperdalam pengetahuannya kepada Guru Syarwani Abdan Bangil (Guru Bangil) tahun 1966. Setiba di Bangil, Guru Bangil meminta agar Guru Zaini mendatangi Kiai Hamid Pasuruan yang ahli di bidang hidayah dan mengantarkan ke Pasuruan, tetapi Kiai Hamid justru meminta agar Guru Bangil yang melakukannya. Sekembali dari Pasuruan, Guru Bangil mengajari Guru Zaini mempelajari kitab-kitab tentang Suluk dan tarikat. Sepulang dari di Bangil, Guru Zaini memilih mengajar para santri di rumahnya, sistim halaqah di rumah agar tidak mengganggu khalawat untuk ittiba' sunnah Rasul. Karena semakin populernya pengajian Guru Zaini berkembang isu bahwa pengajian tersebut sesat. Isu tersebut membuat Guru Semman Mulya, yang pengajiannya populer di Martapura, meminta Guru Zaini memberikan pengajian di rumahnya karena Guru Semman Mulya akan mengunjungi Guru Bangil. Sekembali Guru Semman Mulya dari Bangil, beliau meminta Guru Zaini ke Bangil bersama ulama Martapura, Guru Badruddin, Guru Muhammad Rosyad, Guru Abdul Qadhir Hasan, Guru Husein Qadri, dan Guru Salman. Ketika sampai di Bangil, Guru Bangil menanyakan tentang isu yang menerpa Guru Zaini. Setelah mendengar penjelasan, Guru Bangil mengatakan bahwa yang diajarkan Guru Zaini tidak sesat. Sekembali dari Bangil, ‘keputusan’ Guru Bangil disampaikan kepada para ulama dan masyarakat sehingga isu ajaran sesat tersebut memudar. 2.6 Kehidupan Keluarga Guru Zaini seorang yang total berdakwah dan kesibukannya berdakwah seolah-olah melupakan keinginan untuk menikah. Rupanya yang 86 Ersis Warmansyah Abbas tampan, zuriat Muhammad Arsyad Al-Banjary, ulama terkenal, banyak wanita yang ingin menjadi istrinya, dan umurnya telah mendekati 30 tahun. Sebagai seorang sufi, gerak kehidupannya dilandaskan pada gerak kalbu dalam melakukan sesuatu. Ibu Guru Zaini, Masliah, telah beberapa kali menanyakan kesiapan Guru Zaini untuk menikah. Menurut Guru Zaini, dia akan menikah apabila ada petunjuk hati. Hal tersebut tentu berkaitan dengan pemahaman Guru Zaini akan jalan sufi. Pada akhirnya, hal yang dinanti-nantikan Masliah datang. Ketika Guru Zaini diundang ke rumah Sulaiman untuk menghadiri acara Maulud Nabi SAW, Guru Zaini bertemu dengan gadis yang ‘menggetarkan’ hatinya, Siti Juwairiah, putri Sulaiman. Setelah melalui rapat keluarga dan keluarga bersepakat menikahkan Guru Zaini, Guru Semman Mulya, paman Guru Zaini, memintanya agar meminta restu kepada Guru Bangil di Bangil. Setelah mendapat restu dari Guru Bangil dan Kiai Hamid, di Martapura diadakan rapat keluarga untuk meminang Siti Juwairiah. Akad nikah Guru Zaini dengan Siti Juwairiah dilakukan pada bulan April 1975. Setelah menikah, aktivitas dakwah Guru Zaini berlaku sebagaimana sediakala dengan jamaah semakin bertambah. Tetapi, ada yang mengganjal hatinya, setelah 13 (tiga belas tahun) menikah, Guru Zaini belum dikurniai anak. Hal tersebut membuat hatinya gundah. Kegundahan hatinya agak terobati dengan hadirnya, Sayyid Ahmad. Sayyid Ahmad, anak Sayyid Muhammad bin Ibrahim al-Ahdal yang bermukim di Mekah. Sebagaimana yang diutarakan Sayyid Ahmad, dijadikan anak Guru Zaini merupakan berkah kehidupan. Kasih sayang Guru Zaini, begitu juga kasih sayang istri-istri Guru Zaini, dirasakan sebagai kasih sayang ayah dan ibu kandung. Begitu juga setelah Ibu Nurlaila Hayati melahirkan dua orang anak lelaki Guru Zaini. Apalagi, sejak kecil Sayyid Ahmad dibawa hampir pada setiap acara Guru Zaini.

Ersis Warmansyah Abbas 87 Sepanjang hidupnya, Guru Sekumpul memperistri enam wanita, yaitu Siti Juwairiyah, Nurlaila Hayati, Sofia (dicerai), Zaenab (dicerai), Huda, dan Noor Jannah. Pernikahan dan perceraian dilakukan secara resmi di Pengadilan Agama Martapura. Guru Sekumpul berpoligami dilandasi keinginan mendapatkan anak untuk melanjutkan perjuangannya sebagai ulama. Ketika Guru Sekumpul berumur 50, dalam penantian yang tabah, berserah diri dan memanjatkan doa kepada Allah, Alhamdulillah, doa Guru Sekumpul dikabulkan Allah SWT. Pada 6 Januari 1995 lahir putra pertamanya dari Nurlaila Hayati yang diberi nama Muhammad Amin Badaly dan pada tanggal 19 Maret 1996 lahir putra kedua yang diberi nama Ahmad Hafi Badaly. Sebagaimana Sayyid Ahmad, kedua anaknya dididik dengan kasih sayang dan diperkenalkan dari kecil aktivitas dakwahnya. Guru Sekumpul menyenandungkan qasidah, mengisahkan kisah-kisah hikmah, mendampingi anak-anaknya pada berbagai aktivitas mereka. Dalam mendidik, Guru Sekumpul dengan memberi contoh dengan apa yang dilakukan, berkata lemah lembut dan mengarahkan aktivitas mereka bukan dengan perintah, tetapi dengan petunjuk tentang yang baik dan benar. Guru Sekumpul menanamkan landasan keimanan bagi anak-anaknya. 2.8 Ulama Penyayang yang Disayangi Dalam pembicaraan sehari-hari masyarakat Banjar, Guru Sekumpul disebut Abah Guru. Guru Sekumpul Abah bagi masyarakat, Abah Urang Banjar. Karena itu, bukan pengajian beliau saja yang disukai para jamaah, hal paling membanggakan apabila dapat bertatap muka dan berkomunikasi langsung dengan beliau. Sekalipun setelah membuka pengajian di Sekumpul tidak semua orang bisa bertemu beliau, karena jumlahnya puluhan ribu orang, Guru Sekumpul selalu berusaha menemui siapa pun yang bertamu. Guru Sekumpul bukan guru yang hanya memberikan ilmu melalui pengajian, tetapi juga tempat untuk mengadu, meminta solusi bagi 88 Ersis Warmansyah Abbas permasalahan kehidupan pribadi dan sosial. Orang biasa, tukang becak, atau pejabat datang kepada Guru Sekumpul untuk mengadukan hal-hal tertentu guna dicarikan solusinya. Guru Sekumpul adalah pemimpin dan panutan masyarakat. Apabila Guru Sekumpul mengucapkan sesuatu, Urang Banjar (hampir dapat) dipastikan membenarkan. Ibarat kata, kalau Guru Sekumpul memerintahkan perang, ratusan ribu jamaahnya siap mengorbankan harta dan nyawa. Guru Sekumpul sangat terkenal dengan kelemahlembutannya, tetapi sangat tegas menyangkut hal-hal yang diperintahkan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah. Misalnya, menyatakan kedudukan bunga bank sebagai riba. Sekalipun demikian, beliau tidak membenci mereka-mereka yang membungakan uangnya di bank, apalagi memusuhi atau mengutuk mereka. Pada contoh lainnya, Guru Sekumpul pernah menghentikan pengajian khusus untuk wanita karena sebagian dari jamaah berangkat dari rumah sebelum masuk waktu Ashar dan pulang ketika Maghrib. Pertanyaannya: Kapan mereka salat Ashar? Apalagi ada yang berpakaian, tetapi tidak menutup aurat. Artinya, ketegasan Guru Sekumpul dalam kerangka mendidik. Sebagai pendakwah, sekalipun sesekali terkesan keras sejatinya Guru Sekumpul adalah pendakwah yang santun. Tutur kata beliau tertata dan terjaga tanpa melukai siapa pun. Satu dari sekian kehebatan beliau adalah kemahiran berbahasa. Hal-hal yang rumit dan pelik disampaikan dengan penjelasan yang mudah dipahami dan menenangkan hati jamaahnya. Materi pengajian Guru Sekumpul banyak menyangkut ajaran fardu’ain dan fardu kifayah agar jamaah ‘memperbaiki’ diri, meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan, dan tidak abai melakukan silaturahim, menjaga hubungan sosial, terutama ketertiban masyarakat. Pesan Guru Sekumpul, memulai penegakkan kebenaran dalam keluarga, menjaga keharmonisan keluarga, dikembangkan dalam hubungan bertetangga, orang sekampung dan seterusnya. Manakala di keluarga atau di masyarakat

Ersis Warmansyah Abbas 89 terdapat perbedaan, perbedaan bukan dikembangkan menjadi pertengkaran atau permusuhan, tetapi diselesaikan dengan mencari solusi yang tepat agar ketentraman masyarakat terjamin. Jika ingin memperbaiki masyarakat (umat) dan negara ini, perbaiki dulu kehidupan keluarga. Keluarga adalah bangun dasar masyarakat. Pandangan dan sikap yang demikian bukan sekadar diucapkan atau disampaikan di pengajian, tetapi dipraktikkan dalam kehidupannya. Sebagai ulama, keulamaan bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga saja, tetapi demi kemajuan masyarakat dalam koridor aplikasi keimanan. Allah SWT tidak ‘menciptakan’ manusia bermusuhan, manusialah yang mencelakakan dirinya dalam perbedaan. Perbedaan adalah rahmat kehidupan yang di dalamnya termuat hikmah-hikmah. Pola pikir Guru Sekumpul bukan memasalahkan masalah, membesar-besarkan masalah, apalagi menjadi sumber masalah. Kehidupan adalah ‘masalah’ yang harus diselesaikan. Untuk itulah, terutama dalam masalah-masalah yang terjadi dalam hubungan sosial diperlukan kesabaran untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, sabar menjadi landasan sikap. Sikap sabar dalam aplikasi kesabaran, bukan saja dalam menghadapi masalah pribadi, tetapi juga dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam relasi sosial. Karena itulah, Guru Sekumpul terkenal bersikap sabar dalam artian berikhtiar berdasarkan petunjuk Allah SWT. Orang tua Guru Sekumpul menanamkan sikap dan tindakan sabar sejak kecil. Kesabaran paling utama dalam beribadah, kemudian menghadapi kondisi obyektif keluarga dimana keluarga Guru Sekumpul tergolong keluarga miskin. Hidup boleh miskin, tetapi sabar menjalaninya dengan menomorsatukan pendidikan. Pendidikan sebagai terjemahan perintah surah pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah, iqra’, iqra’, iqra’ dimaknai sebagai kewajiban belajar, menuntut ilmu. Allah SWT mengajarkan manusia dengan kalam. Guru Sekumpul sepanjang hidupnya 90 Ersis Warmansyah Abbas adalah pencinta kalam sejati. Beliau membaca beragam kitab yang diinternalisasikan dan kemudian disampaikan melalui pengajiannya yang disesuaikan kondisi obyektif dengan contoh-contoh konteksual. Tidaklah berlebihan manakala dikatakan, sabar dan kesabaran yang mengantar Guru Sekumpul menjadi ulama yang sangat disayangi para jamaahnya. Sabar dan kesabaran dalam relasi kehidupan diaplikasikan, sekalipun bagi masyarakat umum sangat susah dipraktikkan. Dengan sikap hidup demikian, sangat pantas Guru Sekumpul dicintai. Mereka yang bertamu tidak takut akan dipersalahkan, tetapi beliau dengan sabar akan mendengarkan masalahnya, lalu memberikan solusi untuk mengatasinya. Mendatangi Guru Sekumpul untuk bersilaturahim, atau sekadar bertatap muka dengan Guru Sekumpul menjadi sesuatu yang sangat diidamkan. Karena itu, sangat logis pejabat pemerintahan tingkat Kalimantan Selatan mendatangi Guru Sekumpul, ketika memulai menjabat dan mengakhiri masa jabatan. Hal serupa dilakukan tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh nasional, seperti Megawati Soekarnoputri, Hamzah Haz, Abdurrahman Wahid, dan sangat banyak lagi kalau dituliskan yang mendatangi Guru Sekumpul untuk bersilaturahim. Abdullah Ahmad Badawi, perdana menteri Malaysia, juga berkunjung ke Sekumpul. Guru juga didatangi kalangan artis, mulai dari Chrisye sampai Inul Daratista. Inul Daratista diterima Guru Sekumpul ketika penolakan goyang ngebornya’ dihujat di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Darmawan Jaya Setiawan, aktivis yang banyak mendatangkan ulama-ulama dalam pengajian akbar dan konser artis ke Kalimantan Selatan. Dulu Guru Sekumpul mendatangi para ulama, kini didatangi ulama- ulama nasional dan dari mancanegara. Habib Anis Solo, Kiai Mangli, Habib Abdurrahman Kwitang (Pimpinan Islam Centre Kwitang), Habib Idrus al- Idrus (imam Masjid Ampel Surabaya), Habib Syeikh al-Idrus (Surabaya), Habib Thohir bin Abdullah al-Kaf Tegal, Guru Damanhuri, Habib Sholeh,

Ersis Warmansyah Abbas 91 Habib Muhammad Jakarta, KH. Muhammad Sjukron Makmun, Ismail Hasan Metareum, KH. Zainuddin MZ, KH. Abdullah Gymnastiar, Ustaz Arifin Ilham dan banyak lagi yang bersilaturrahim. Tercatat pula, Syeikh Ismail Yamani (Yaman), Syeikh Yasin al-Fadani (Mekah), Habib Ahmad Assegaf (Yaman), Habib Salim asy-Syatiri, Habib Abdullah Baharun (Yaman), Imam Masjidil Aqsha, Muadzin Masjidil Haram, dan banyak lagi yang bersilaturahim dengan Guru Sekumpul. Ada banyak cerita menarik tentang penyambutan Abah Guru terhadap para tamu-tamu beliau, terutama dari pejabat negara. Presiden Abdurahman Wahid dua kali ke Sekumpul. Menurut Ahmad Fauzan Asniah (Wawancara, 18-11-2012) “Kedatangan para tamu tersebut menandakan bahwa Guru Sekumpul memiliki syawaf ilmu agama yang tinggi”. Dalam bahasa Fauzan, memiliki ilmu laduni. Menariknya, perhatian Guru Sekumpul tidak saja kepada para tamu terhormat tersebut, tetapi para sopir mendapat perhatian khusus karena para sopir memegang peran penting dalam setiap perjalanan. Perhatian terhadap semua pihak, dalam perilaku Guru Sekumpul, dapat diterjemahkan sebagai sabar dalam bentuk kasih sayang secara proporsional. Sabar bukan membiarkan sesuatu yang buruk akan menimpa diri atau menerima sesuatu apa adanya, tetapi ada ikhtiar agar apa yang dilakukan menjadi yang terbaik. Sabar dan kesabaran dipraktikkan dalam kehidupan keluarga dan dalam pergaulan dalam arti Guru Sekumpul mendekati sesuatu bukan pada masalahnya, tetapi dalam mencari solusinya. Manusia, binatang, dan apa-apa yang ada di alam ini adalah milik Sang Pencipta yang harus dipelihara sebagai amanah dengan tidak merusaknya. Kalaupun kita terlanjur melakukan, kalau kepada manusia, meminta maaf. Kalau merusak alam atau melakukan kesalahan kepada Allah SWT, sadari kesalahan tersebut dan bertobat untuk tidak akan mengulangi lagi. Dalam berdakwah Guru Sekumpul bukan hanya mengandalkan kata-kata, tetapi juga perbuatan. Sebagai ulama yang mempunyai usaha,

92 Ersis Warmansyah Abbas hasil usaha dimanfaatkan untuk kemasyarakatan. Guru mendirikan madrasah Darul Ma’rifah atau membantu membangun pondok pesantren. Ketika pondok pesantren Darussalam direnovasi (1995) menurut Gusti Suria Rum, Sekretaris pondok pesantren Darussalam Martapura (Wawancara, 29-10- 2012) Guru Sekumpul mengizinkan panitia pembangunan meletakkan kotak amal di Pengajian Sekumpul, dan mempelopori dengan menyumbang dari uang pribadi beliau. Setiap bulannya puluhan juta rupiah didapat sampai renovasi Pesantren Darussalam selesai. Sikap Guru Sekumpul sebagai gambaran betapa beliau menghargai apa yang telah menjadi dan dinilai beliau sangat positif, misalnya dalam hal mendirikan pesantren. Guru Sekumpul tidak mendirikan pesantren karena di Martapura telah berdiri pesantren Darussalam yang telah melahirkan banyak ulama. Guru Sekumpul memilih membantu pembangunan (renovasi) pesantren Darussalam. Pikiran, ucapan, dan tindakan Guru Sekumpul yang ‘melebihi’ manusia kebanyakan sebagai manifestasi ke-tawadhu-'annya, ke-zuhud- anya sampai ke tingkat wara’. Kelebihan-kelebihan beliau dibanding manusia kebanyakan didapat dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui khalwat. Hal tersebut telah dilakukan Guru Sekumpul sejak sebelum sekolah sebagai didikan orangtua beliau. Guru Sekumpul adalah orang yang mendatangi banyak guru, gemar melakukan siyahah dan rihlah yang kemudian menjadikan beliau mempunyai berbagai kelebihan dibanding kebanyakan orang. Atas dasar tersebut, terutama pengagum Guru Sekumpul ‘menempatkan’ Guru Sekumpul pada tingkat wali dengan karamah dan kasyaf yang diberkahkan kepada beliau. Ada pula yang memandang sebagai hal yang tidak masuk akal. Karamah adalah kemampuan melakukan sesuatu yang tidak lumrah atau diluar batas logika. Masyarakat, terutama murid-murid dan jamaah Guru Sekumpul, sangat mempercayai Guru Sekumpul diberi kelebihan oleh Allah SWT.

Ersis Warmansyah Abbas 93 Karamah yang dimiliki Guru Sekumpul, seperti juga kasyaf, dalam perspektif akademik termasuk wilayah perdebatan, tetapi sebagai social fact tentu tidak bisa dibantah. Menarik kata-kata Faisal Rahman (Wawancara, 30-1-2012), seorang dokter yang mengaku murid Guru Sekumpul: “Suara, wajah, kecerdasan sangat luar biasa, atau ketika memandang beliau hati kita bergetar, itulah bagian karamah. Allah SWT memberi kelebihan kepada Abah Guru.” Percaya atau tidak, tidak sesuai dengan logika atau bukan, tentang karamah Guru Sekumpul terserah kepada persepsi masing-masing. Pada kenyataannya, Guru Sekumpul sebagai seseorang yang dipercaya telah mencapai tingkat wali, ada bagian masyarakat yang meyakininya. Faktor bagaimana masyarakat ‘yakin’ dan bisa diyakinkan dalam perspektif pendidikan jauh lebih penting. Dari penelusuran kehidupan Guru Sekumpul dari kecil sampai wafat, Guru Sekumpul dididik dan mendidik dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang intensitasnya tidak mungkin dilakukan masyarakat kebanyakan. Guru Sekumpul sejak kecil melakukan khalwat, siyahah, suluk dan tidak putus-putus dalam kondisi berwudhu’ selama empat puluh hari empat puluh malam, dan terlebih Guru Sekumpul adalah seorang pengamal tarikat. Terlepas pandangan berbagai pihak tentang karamah Guru Sekumpul, faktanya Guru Sekumpul dipercaya sebagai seorang yang kasyaf. Dalam pandangan orang awam atau kaca mata keilmuan, melihat sesuatu sebelum terjadi, (mungkin) tidak masuk akal. Tetapi, bagi yang mempercayai, kalau Allah SWT berkehendak, kun fayakun. Sebagaimana telah dipaparkan, sangat banyak orang yang ingin bertemu dan bertamu kepada Guru Sekumpul namun tidak semua keinginan tersebut menjadi kenyataan, bahkan ada yang ditolak Guru Sekumpul. Begitu pula keinginan banyak orang untuk berfoto bersama beliau. Berfoto

94 Ersis Warmansyah Abbas dengan Guru Sekumpul tanpa direstui beliau akan sia-sia sebab diyakini foto tersebut tidak akan menjadi gambar. Terlepas percaya atau tidak tentang karamah dan kasyaf Guru Sekumpul, agar tidak terjebak pemaknaan karamah atau kasyaf dan tentang kewalian Guru Sekumpul, berikut penuturan Rudy Ariffin (Wawancara, 14- 12-2012) sebagai bahan renungan: “Bagi orang awam seperti saya, pandangan Abah terkadang tidak kita mengerti. Kadang dianggap hal yang biasa saja, namun setelah terjadi kita baru menyadari kebenarannya. Itu kelebihan Abah. Karena itu, jika ada yang menyebut Abah sebagai wali mungkin tidaklah berlebihan, namun secara pribadi saya tidak berani mengatakannya, karena yang bisa mengetahui seseorang wali atau tidak hanyalah seorang wali juga sedangkan saya hanyalah orang awam. Wallahualam.” Kasyaf, karamah atau kelebihan seseorang dari manusia kebanyakan, bukanlah fenomena yang aneh. Allah SWT memberi kelebihan kepada sebagian manusia, apakah kepada ulama atau bukan Muslim. Misalnya ulama yang mampu melihat sesuatu sebelum terjadi, mempunyai kelebihan yang bagi orang awam bisa jadi tidak masuk akal. Ulama mendapatkan hal tersebut sebagai rahmat Allah SWT karena meluluhkan hidup dan kehidupan mengabdi kepada Allah SWT. Habib Abubakar mitra usaha Guru Sekumpul berpadu dalam keyakinan: ulama haruslah kuat secara ekonomi. Rasulullah mencontohkan dengan berusaha. Rasulullah adalah pengusaha, pedagang yang jujur, amanah. Pesan Rasulullah dalam Hadis beliau: “Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah” hendaklah diimplementasikan dengan berusaha. Ulama bukanlah peminta, ulama adalah pewaris Rasulullah. 2.8 Guru Sekumpul Wafat Mencermati aktivitas dakwah Guru Sekumpul, sangatlah wajar apabila muncul kekaguman terhadap aktivitas dakwah beliau. Kehidupan beliau kiranya telah diwakafkan untuk dakwah. Sekalipun demikian, Guru Ersis Warmansyah Abbas 95 Sekumpul tetaplah hamba Allah SWT yang mendapat ujian kehidupan. Pada tahun 1987, Guru Sekumpul merasakan sakit dan setelah diperiksa oleh dokter, sumber rasa sakit tersebut dari usus. Setelah dilakukan operasi usus buntu, kesehatan beliau membaik. Akan tetapi, pada awal tahun 2000, Guru Sekumpul merasakan perutnya sakit, kembung, dan terkadang mencret. Setelah dilakukan general check up di RS Ulin Banjarmasin dipastikan ada kelainan pada fungsi ginjal. Kelainan fungsi ginjal diobati dengan rawat jalan yang berarti pula tidak mengganggu aktivitas pengajian Sekumpul. Pada bulan September 2000, Guru Sekumpul merasakan sakit yang lebih serius. Setelah pemeriksaan di RS Ulin Banjarmasin diketahui ginjal Guru Sekumpul sudah tertutup oleh kiste bawaan sejak lahir yang berakibat gagal ginjal. Untuk pengobatan, Guru Sekumpul dibawa ke RS dr. Soetomo Surabaya. Setelah dirawat dua minggu, fungsi ginjal Guru Sekumpul membaik, tetapi, pada awal tahun 2001 mengalami gangguan dan dilakukan pemeriksaan di RS Budi Mulia di Surabaya dan Guru Sekumpul harus melakukan cuci darah (hemodialisis). Setelah dilakukan beberapa kali cuci darah, fungsi ginjal Guru Sekumpul membaik. Guru Sekumpul melakukan pengajian sambil berbaring di tempat tidur. Selanjutnya, kesehatan Guru Sekumpul semakin menurun dan memprihatinkan. Badan beliau kurus dan lemah. Sekalipun pengajian diliburkan, para jamaah tetap datang ke Sekumpul untuk memanjatkan doa agar Guru Sekumpul sehat. Sikap jamaah Guru Sekumpul dalam menuntut ilmu dan membagikan ilmu sungguh merupakan pelajaran berharga bagi dunia pendidikan, terutama di sekolah-sekolah formal. Lazimnya di sekolah formal, manakala ada guru yang sakit atau sekolah mengadakan rapat guru, murid-murid akan senang karena diliburkan. Apalagi, kalau liburan panjang diumumkan, hampir dapat dipastikan, para murid kegirangan dengan meneriakan: horeeee. Hal sebaliknya terjadi pada jamaah 96 Ersis Warmansyah Abbas Pengajian Sekumpul. Karena Guru Sekumpul sakit, mereka merasa rugi, siraman rohani terhenti, dan itu kerugian yang dirasakan sangat besar. Para jamaah Pengajian Sekumpul mengikuti pengajian dengan sukarela belajar, keinginan belajar datang dari dalam diri. Pada kondisi sakit, Guru Sekumpul yang dalam perawatan dokter, kalau memungkinkan tetap mengadakan pengajian. Setiap dua minggu Guru Sekumpul menjalani cuci darah di RSUD Ulin Banjarmasin. Pada saat-saat demikian, suasana sungguh mengharubiru. Para jamaah Pengajian Sekumpul menunggu di halaman rumah sakit sembari memanjatkan doa dan membaca Surah Yasin. Mulai bulan April 2003, cuci darah tidak lagi dilakukan di RSU Ulin Banjarmasin, sebab RSUD Ratu Zalecha di Martapura telah memiliki fasilitas cuci darah. Hal tersebut sangat membantu, sebab Guru Sekumpul tidak keletihan dalam perjalanan ke Banjarmasin yang berjarak 40 km dari Martapura. Kesehatan Guru Sekumpul semakin hari semakin memburuk dan pada awal tahun 2004 beliau harus menjalani rawat inap di RSU Ulin Banjarmasin dan sejak tahun 2005 pengajian dihentikan karena kondisinya yang semakin memburuk, Guru Sekumpul terbaring lemah yang membuat jamaah pengajian Sekumpul gundah. Karena penyakit Guru Sekumpul semakin mengkhawatirkan, pada 29 Juli 2005 Guru Sekumpul dibawa ke rumah sakit Mount Elizabeth Singapura. Menurut penuturan Guru Ridwan (Wawancara, 17-11-2012) “Keputusan Abah Guru untuk berobat ke Singapura sungguh melegakan”. Dalam pandangan umum, persoalan sakitnya Guru Sekumpul dan sistem pengobatan beliau hal yang biasa-biasa saja. Tetapi, tidak sesederhana itu dalam pandangan Guru Ridwan. Misalnya ketika Guru Sekumpul rutin melakukan cuci darah di RSU Ulin Banjarmasin lalu karena pengadaan peralatan cuci darah tersedia di RSU Ratu Zalecha Martapura, cuci darah

Ersis Warmansyah Abbas 97 dilakukan di RSU Ratu Zalecha justru Guru Sekumpul merasakan ada yang hilang. Guru Sekumpul sedih. RSU Ulin adalah RSU terbesar di Kalimantan Selatan. Pada saat Guru Sekumpul melakukan cuci darah, siapa saja yang melakukan cuci darah bersamaan dengan Guru Sekumpul biayanya ditanggung Guru Sekumpul. Pengobatan Guru Sekumpul didatangi ribuan jamaah memberikan pendapatan kepada sopir, ojek, tukang becak sampai penjual makanan. Berapa banyak umat terbantu karena Guru Sekumpul berobat. Ketika dipindahkan ke RSU Ratu Zalecha, kesempatan untuk menolong mereka yang sakit tentu berkurang. Sebaliknya, kalau menolak dirawat di RSU Ratu Zalecha, tentu tidak menghargai pihak rumah sakit dan Pemerintah Daerah yang telah menyediakan peralatan. Dalam pada itu, di kediaman Guru Sekumpul tersedia alat kesehatan memadai dan dokter. Tepatnya, sekalipun Guru Sekumpul dalam kondisi sakit, kondisi tersebut haruslah berdampak positif bagi mereka yang sakit. Guru Sekumpul dalam keadaan sakit masih berpikir bahwa sakit beliau membawa kebaikan bagi orang lain. “Baiklah, Abah bersedia berobat ke Singapura”, begitu kata Guru Sekumpul kepada keluarga dan orang-orang dekat Beliau. Mendengar ucapan Guru Sekumpul mereka yang mendengar segera melakukan tugas masing-masing. Begitu pesawat tersedia, didampingi dua orang dokter dan tenaga medis Guru Ridwan membawa Guru Sekumpul ke Singapura. Sesampai Guru Sekumpul di RS Mount Elizabeth, langsung dilakukan pemeriksaan dan perawatan. Kesehatan Guru Sekumpul terlihat membaik. Dalam pada itu, Guru Sekumpul meminta kepada Guru Ridwan agar dibawa pulang. Bagi Guru Ridwan, permintaan Guru Sekumpul tersebut merupakan pertanda. Setelah sembilan hari di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, pada hari Senin, 8 Agustus 2005, Guru Sekumpul mengalami sesak napas, tensi darah beliau menurun drastis. Guru Ridwan segera mencari pesawat 98 Ersis Warmansyah Abbas dan akhirnya mendapat pesawat carteran Foker 24. Pada hari Selasa 9 Agustus 2005, pukul 10.00 Guru Sekumpul dibawa ke Tanah Air setelah mencari pesawat carteran. Perjalanan pulang dirasakan Guru Ridwan dan tim dokter dengan suasana sangat mencemaskan. Kondisi Guru Sekumpul semakin mengkhawatirkan. Lagi pula, persediaan oksigen tidak mencukupi yang mengakibatkan pesawat harus mendarat di Pontianak untuk mendapatkan oksigen. Dalam kepanikan tersebut, Guru Ridwan setengah memaksa kru pesawat untuk mencari persediaan oksigen di pesawat yang membuat kru terbingung-bingung. Percaya atau tidak, pesawat yang sudah landing di bandara Supadio akhirnya take off karena ternyata ada satu tabung besar oksigen. Mendapat oksigen pernafasan Guru Sekumpul kembali normal. Seisi pesawat lega. Mendarat di Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru pukul 21.00 Wita Guru Sekumpul langsung dibawa ke kompleks Sekumpul. Kondisi Guru Sekumpul sangat memprihatinkan, terbaring di kamar pribadi ditemani keluarga dan tenaga medis. Hal membanggakan, terlihat Guru Sekumpul khusyuk membaca syahadat, surat Yasin, dan berzikir dari gerak bibir Beliau. Pancaran wajah Guru Sekumpul menyejukkan, tenang dan damai. Allahu Akbar. Allah SWT, penentu segala sesuatu, dan menentukan bahwa pada dini hari, Selasa 9 Agustus 2005, pukul 04.40 WITA Allah SWT memanggil seorang umatnya, K.H. Muhanmad Zaini Ghani bin Abdul Ghani ke rumahNya, Inna lillahi wa Innailaihi Rajiun. Suasana sunyi syahdu di kompleks Ar-Raudhah mendadak berubah menjadi semakin mengharubiru, isak tangis sambung-menyambung. Innalillahi waina ilaihi rajiun, lantunan ayat- ayat al-Qur’an, surah Yasin, dan doa-doa dipanjatkan ke haribaan Sang Khalik. Dalam hitungan menit seluruh kompleks Ar-Raudhah dikejutkan berita wafatnya Guru Sekumpul. Berita tersebut dengan cepat menyebar ke seantero Kalimantan Selatan dan ke daerah lainnya. Wafatnya Guru Sekumpul menjadi berita paling menggemparkan dan mengharubiru.

Ersis Warmansyah Abbas 99 Keluarga, murid-murid, jamaah, dan masyarakat umum menghentikan aktivitas untuk tafakur dan berdoa. Sebagian besar instansi pemerintah, kantor-kantor swasta dan sekolah libur tanpa diperintah dan diberi izin. Para pedagang menghentikan aktivitas, tukang becak memarkir becak, dan dari wajah-wajah semua orang dalam kesedihan. Tanpa dikomando, mereka menuju Sekumpul. Suasana kedukaan menyatu dalam gerak puluhan ribu orang menuju satu titik, Sekumpul. Kota Martapura, khususnya Kompleks Sekumpul, menjadi lautan manusia. Jalan-jalan penuh sesak, macet di mana-mana. Mobil pribadi, sepeda motor, angkutan umum merayap. Pesawat udara dari luar Kalimantan Selatan pun penuh sesak. Semua menuju Sekumpul. Dalam pada itu, jenazah Guru Sekumpul dimandikan, dipimpin Guru Abdussyukur. Setelah pengkafanan, dilanjutkan dengan salat jenazah tiga kali diimami oleh Guru Abdussyukur, kemudian oleh Guru Anang Djazouly, dan oleh Habib Zaki dari Solo. Setelah prosesi pemandian dan pengkafanan, jenazah Guru Sekumpul dibawa ke musala Ar-Raudhah. Beberapa saat menjelang salat Ashar, jasad Guru Sekumpul diturunkan ke liang lahat oleh Zainal Abidin, H Anang Kurdi, dan H Rusdi. Setelah semua acara pemakaman selesai, terdengar iqomah yang diteruskan dengan salat Ashar. Sebagian jamaah beranjak pulang, namun sebagian besar tetap berada di kompleks Ar-Raudhah dan berusaha memasuki kubah Turbah al-Mahya untuk membaca surah Yasin. Guru Sekumpul telah tiada, kembali ke haribaan Sang Pencipta. Tetapi, ajaran Guru Sekumpul bersemayam dalam dada para murid, jamaah, atau mereka yang menghormati ulama. Guru Sekumpul mengajak dan mengajarkan: “Setiap orang harus mengenal siapa dirinya, datang dari mana, sedang dimana dan melakukan apa, dan hendak kemana?” Beliau lebih dahulu menjawab pertanyaan hendak kemana, menemui Sang Maha Pencipta. Sekalipun Guru Sekumpul telah menemui asal-muasal manusia, Sang Khalik, ajaran Guru Sekumpul, agar mengenal diri dalam bingkai, 100 Ersis Warmansyah Abbas memperkokoh keimanan, meningkatkan ketakwaan dengan meneladani Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah SWT telah melekat pada batin murid-murid dan jamaah pengajian Sekumpul. Hikmah- hikmah dakwah Guru Sekumpul berbuah kerinduan yang diwujudkan dengan menziarahi makam Guru Sekumpul. Pada setiap hari, apalagi pada hari-hari libur, peziarah penuh sesak berdoa dan berzikir. Damailah, diberkahi, dan selamat bertemu dengan kekasih sejati, wahai guru kami, Guru Sekumpul. Makam Guru Sekumpul atau yang lebih dikenal sebagai Kubah Guru Sekumpul mengingatkan para peziarah akan Abah yang dicintai dengan ajarannya yang “tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan”. Foto-foto Guru Sekumpul dipajang di rumah-rumah penduduk, toko-toko, kantor, atau di lembaga pendidikan sebagai pengobat kerinduan. Mendengarkan kaset pengajian atau memutar CD pengajian beliau disempurnakan dengan berziarah ke Kubah Guru Sekumpul untuk membacakan al-Qur’an, surah Yasin, dan memanjatkan doa. Berada di Kubah Guru Sekumpul, dirasakan begitu nyaman. Berada di Kompleks Ar-Raudhah, di samping musala Ar-Raudhah dan di depannya terdapat Turbah al-Mahya, yang mendatangkan kedamaian di jiwa. Kubah Guru Sekumpul dibangun dengan sangat istimewa. Interior yang bagus, sekalipun bukan mewah, sangat artistik. Lampu-lampu hias dan plafon dari gypsum bagus semakin mendukung suasana kenyamanan di ruang tersebut. Nyaman untuk berdoa dan merenungkan akan kebesaran Allah SWT. Ruangan dibagi dua dengan pembatas kayu berukiran kalimat- kalimat toyyibah sebagai pembatas antara peziarah laki-laki dan peziarah perempuan. Makam Guru Sekumpul dipagari stainles steel dimana Guru Salman Jallil, Guru Sekumpul, Guru Semman Mulya dimakamkan. Kubah Guru Sekumpul didatangi ribuan jamaah setiap hari sebagai ungkapan kecintaan jamaah kepada Guru Sekumpul sekaligus untuk mengenang ajaran beliau, mengokohkan iman, meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai kewajiban muslim. Ajaran Guru Sekumpul kini

Ersis Warmansyah Abbas 101 bersemayam di kalbu murid-murid dan jamaah Guru Sekumpul untuk selalu diaplikasikan dalam kehidupan.

III. SIMPULAN Biografi Guru Sekumpul merupakan pengejewantahan kearifan lokal, terutama dalam dimensi pendidikan yang merambah dimensi global dalam arti, pengajian Guru Sekumpul bernilai universal. Praktik pendidikan berbasis kearifan lokal, tanpa Guru Sekumpul mempelajari teori-teori pendidikan, berhasil mengembangan metode pendidikan powerfull, Metode Guru Sekumpul. Pengembangan sistem pendidikan berbasis kondisi obyektif masyarakat Banjar dan hikmah-hikmah ajaran Islam yang dipraktikkan dalam konsep kaji dan gawi mendapatkan tempat secara nasional dan internasional karena kehebatan formulasinya dalam bingkai nilai-nilai universal. Artinya, pengembangan pendidikan (pengajian) berbasis kearifan lokal sesuatu yang sangat berarti. Implikasinya, pengembangan pendidikan, khususnya pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS) berbasis kearifan lokal dapat dikatakan sebagai keharusan. Hal tersebut, bukan saja agar peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya, tertapi terlebih agar cakap hidup di lingkungan sosialnya, dan dengan modal demikian mampu membangun jati diri tangguh yang valid untuk merespon globalisasi dengan segala hal bawaannya. Pendidikan IPS berbasis kearifan lokal merupakan keniscayaan untuk dikembangkan terus-menerus dalam menunjang prinsip kebangsaan berbasis masyarakat multikultural. Indonesia maju bersama keberagamaman sebagai bangsa Bhinneka Tunggal Ika.

102 Ersis Warmansyah Abbas KEPUSTAKAAN Abbas, Ersis Warmansyah. 2000. Banjarbaru. Banjarbaru: Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan Selatan. Abbas, Ersis Warmansyah. 2000. Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar Dalam Revolusi Fisik 1945-1949. Banjarbaru: Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan Selatan. Abbas, Ersis Warmansyah, dan Bambang S. 2005. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Al Muchtar, Suwarma. 2004. Epistemologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri. Al Muchtar, Suwarma. 2004. Strategi Pembelajaran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI. Al Wasilah, A.C., Karim Suryadi dan Tri Karyono. 2009. Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama kerjasama dengan Penerbit UPI. Bogdan, R. C. N. and Sari K. B. 1982. Qualitative Research for Education; Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Danim, S. (2010). Pengantar Kependidikan Landasan Teori dan 234 Metapora Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Creswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. Thousand Oaks: Sage Publications. Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Daudi, A. 1996. Muhammad Arsyad Al-Banjari. Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul ‘Ulum. Depatemen Pendidikan Nasional Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta. Halidi, Y. 1980. Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari. Banjarmasin: Aulia. Ideham, S. M. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Banua.

Ersis Warmansyah Abbas 103 Megawangi, R. 2007. Membangun SDM Indonesia melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, dalam Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung: UPI. Miles, M.B dan Huberman, A.M (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, L. J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. NCSS. 1994. Curriculum Standar for Social Studies: Expectations of Excellence. Washington DC: NCSS. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. (2005). Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Peneliti dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor 22 Tahun 2006. Sapriya. 2009. Pendidikan IPS; Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Somantri, M. N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Tim Az-Zahra. 2006. Biografi Guru Sekumpul: Biografi Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani. Martapura: PT Al-Zahrah. Tim Pustaka Basma. 2011. 12 Ulama Kharismatik di Indonesia. Surabaya: Cahaya Ilmu Publisher. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Wahyu. 1996. Pengantar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press. Wesley, E.B. & Wronksi, S.P. 1958. Teaching Social Sudies in High School. Boston: D.C. Health. Zein, I. 2012. Al’Alimul ‘Allamah Al’Arif Billah As-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani. Martapura: Yayasan Pendidikan Dalam Pagar. Zein, I. 2012. Manaqib Guru Sekumpul. Martapura: Yayasan Pendidikan Dalam Pagar.

104 Ersis Warmansyah Abbas BAB III MEMBINCANG PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Membincang Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal 105 106 Membincang Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal LEARNING MULTICULTURAL EDUCATION FROM ETHNOPEDAGOGY WITH LOCAL CONTEXT Lumban Arofah

ABSTRACT This articles aim to introduce a multicultural education with more emphasized into ethno pedagogy context. Newly curriculum that named by 2013 curriculum gives a broader opportunity to teacher to develop the learning model and mechanism that suitable with pupils. One of paradigm and perspectives that enable teacher to develop the model of education which more emphasized to local context is ethnopedagogy. This articles aims to give example how multicultural education can undergo beyond ethno pedagogy. Keywods: Multicultural education, ethno pedagogy, local context.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Education of Sociology and Anthropology Department. Faculty of Teaching Training and Education Science Lambung Mangkurat University [email protected] Lumban Arofah 107 I. INTRODUCTION The education in Indonesia faces new challenges since Ministry of Education and Culture, Indonesia Republic developed newly Curriculum that named by 2013 Curriculum. Different from previous Curriculum,Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP)/ School based-curriculum development (SBCD), the 2013 Curriculum has various notable features. The Curriculum is different from Philosophical Background, mindset change, subject, Orientation, and student Assessment. The reason to implement a of 2013 Curriculum has several special features. This curriculum tried to fix the weaknesses of KTSP Curriculum. In previous curriculum, the goal of competence in attitude, knowledge, and skill were not clearly explained. Even thought, the education was only explained into three separated domain; cognitive, affect, andpsychomotor. Those three domains were not applying to construct the material subject. In previous curriculum, the teacher and education component took too much attention in knowledge. This action will lead in to learning activities that to developing knowledge and leaving behind the importance of affect and psychomotor sides. The assessment was tend into testing the student knowledge so do the student report. An example of lesson learned from KTSP came from the study of Sulfansyah(2013) who tried to investigate the implementation of KTSP of teaching KTSP in Year Two. She found that the teacher show a traditional view of learning which emphasized the teacher as a center. Limited practice and lack of professional development carrier of teaching made teacher has no ability to adapt with implementation of KTSP Curriculum. Base on the weaknesses, the government trough ministry of education and culture developed newly curriculum that tend to cover not only knowledge but also attitude and skill. In new curriculum, the learning process will also giving social and religious attitude, knowledge, and skill and those three elements will be written into learning material. The 108 Lumban Arofah assessment will be covering not only about the test but also an observation, portfolios, and attitude assessment. Those assessments will be noted into student report. In previous curriculum, especially in elementary school, the material was tough by separated learning subjects that were not supported by recent education and psychological theories. In secondary school, The Science and Social Science was partially tough. Therefore, there were no connections between subjects from elementary school to high school. The breakthrough was made by the government in implementing 2013 curriculum. In elementary school, leaving behind the old curriculum habits, the government develop learning base on thematic learning material. By implementing a thematic learning, the government tried to develop integration between subjects. Hence, the integration will be shaping the competence between students. The 2013 curriculum also introduced scientific paradigm that covering the development of religious attitude, social attitude, skill, and effectives. Although the 2013 curriculum have several advantages and excellence points, the curriculum is not easily implementing. The implementation faces several challenges both from teacher, student, and learning material. Sifting mindset from teacher base learning into student base learning with more emphasized in to project base learning find difficulties since the lack from teacher experience. The teacher has not been familiarizing to develop the learning mechanism that encourage student to actively involving in learning process. In 2013 curriculum, the teacher has been forced to implementing a learning model with more emphasized student as a center of learning. The project base learning (PBL) is an answer to successes the implementation of 2013 Curriculum. Project Base Learning (PBL) required Teacher to develop specific task and assignment to student. PBL is activity base learning with using a media so the student will be explored, assessed. Interpreted the information

Lumban Arofah 109 as a result of learning. PBL is a learning model that using a problem as a preliminary step in looking and integrating a newly knowledge base on their real activities. PBL is started with guiding question and assistance from teacher to the student. Moreover, the student will develop collaborative project with integrating the subject on curriculum. When the project question answered. The student will understand and looking the main element and have a gradual understanding upon their real phenomena with their knowledge. After implementing the PBL, hopefully, the student has an ability to demonstrate their religious attitude, social attitude, skill, and knowledge. The implementation of PBL needs a scientific approach as learning guideline. In The scientific approach, learning material develops by the fact that the phenomena that can be explained with logic and specific measurement. They avoid mite, fable, or several biases of assumptions. The scientific approach pursues the student to have the critical and analytical attitude with exact idea to identify and understand the problem solving and implemented them into learning material. The step of scientific approaches are; Observing, Questioning, Associating, Experimenting, and Networking. All teaching outcomes in 2013 curriculum should be demonstrated an ability the student to have religious attitude, social attitude, skill, and knowledge. Therefore, there is a necessity for Teacher to develop a learning skill that enables all the outcomes from this curriculum. Ethno pedagogy is one of possible learning material and learning model.

II. MULTICULTURAL EDUCATION Multiculturalism is one of the conditions in which a society consist of several individuals with various background such ash race, ethnicity, and socioeconomic status. Multiculturalism can be considered as threat to society if the emerging practices of excessive chauvinism in the community. However, if the differences in backgrounds are properly managed, then 110 Lumban Arofah the difference will be enriched cultural and social interaction among residents in the area concerned. Multiculturalism should be promoted from childhood. Preliminary education will be depend the future of the pupils. Once they familiarized with diversity, they will see it as common phenomena in their future or in educational institution later. Research of Nganga (2015) noted how important the multicultural education from early childhood learning experience. Nganga noted that school and communities is expected to see multicultural student and families although they are living in the rural areas. The multicultural education program are important to addressing the need of student learning, widespread the perspective of diversity. Moreover, the research believes that multicultural education is not only a school matter but also need a community. In one side, the multicultural education should have proper multicultural guideline and curriculum, teacher who able to engage to multicultural issues, proper learning resource. But in other side, multicultural education should be close to community resource. The local phenomena on multicultural issues should be included unto instructional material. These action lead the effort to alleviate the cultural and racial barrier. Moreover, the childhood multicultural program will give opportunity for the student to familiarize their self with cultural differences. The research found that multiculturalism is a never ending process. The effort implementing multicultural learning should enable teacher and school member an ability to understand the notion of multicultural curriculum and learning. The author suggest that teacher and other staff member should engage with monthly dialogue which operated as a tool to explore personal and attitude bias on implementation of multicultural curriculum. The dialogue will also important to observe the strength and weakness of the implementation of curriculum and become feedback to next learning implementation.

Lumban Arofah 111 Cited Bank (2009) Nganga noted that Multicultural Education will helps the pupils to identify their right and obligation as a citizen and in other hand identify their cultural, national, and global. Gay (1995) saw the education and curriculum theory from George Beauchamp to linkage between curriculum theory and multicultural education. Multicultural education is education which gives a civil consciousness to the pupil in expanding civil right and increasing individual right. Moreover, multicultural education supports an effort of egalitarian the democratic culture. Bennett (Cited by Sarraj et al, 2015: 39-40) noted that multiculturalism is a newly coming phenomenon all over the world. It is happen because the country have not developed to maintain the change of social landscape which came introduced a multicultural societies. Bennett argue there is separated way between traditional view of culture and newly multicultural phenomenon and there is no public policy to support those gap. Bennett believes that school is an important place to support the gap is school. It is because school provide prepared exact multicultural curriculum, school official who familiarized with multicultural education, and multicultural of national school policies. The source of Multiculturalism (Sarraj et al, 2015:40) is a way of pluralism which stated as an equal treatment and existence of people with diverse culture and belief with respect to human dignity. Another perspective if pluralism is interculturalism which defined as a framework together that work as “glue” for societies. Multicultural education is an approach to teaching and learning base on democratic values and beliefs, and looking a cultural pluralism in cultural diversity of societies. (Bennett, 2001). Bennett also developed cluster of research in multicultural education.

112 Lumban Arofah First cluster is curriculum research. It is based from an assumption that people will get a constructed knowledge from historical perspective. The assumption leads genre in multicultural education in genres of Historical inquiry, identify the bias in learning material, and curriculum theory. Second cluster is equity pedagogy. It is based on the assumption that all children have right to expand their potential talent so the cultural environment should able to increase their talent. This assumption lead a multicultural research which genres: school and classmate research, student achievement, and cultural styles. The third cluster is multicultural assumption. This assumption based on the fact that a necessity to decrease racial and cultural prejudice and support an individual to be a multicultural person. The forth cluster is societal equity. It is based on the assumption that social change is possible to do equitable access to education to get exact participation. This assumption lead a multicultural research genres of: demogapich, cultural race in popular culture, and social action. Banjarmasin is an urban area that can be categorized as a city characterized by Multiculturalism. It is based on an assessment of the many residents of Banjarmasin which have variations in terms of ethnicity, race, ethnicity and socioeconomic status. As a region located in the southern coastal areas of Kalimantan, Banjarmasin inevitably flows into the entrance of the velocity of money, goods, and services, which in turn flows into the entrance of both human migration towards Banjarmasin or heading to other parts of Borneo. As nuanced multiculturalism area, it is proper to manage the differences of variation the inhabitant to strengthen the social integration. To support these efforts, it is proper to encouraged multiculturalism to be institutionalized in schools through Multicultural Education. Multicultural education is a set pattern of learning undertaken by teachers and schools in order to create a society that is aware of the diversity of culture. In such cases, Sociology is one of the subjects that can be a Lumban Arofah 113 catalyst does multiculturalism education in schools. Besides, teaching students' cognitive through debriefing knowledge; history Sociology, Sociological Theory, Sociology approach and methodology Sociology, sociology subjects also had a hidden curriculum to teaches students to have a form of social empathy attitudes toward others

III. ETHNO PEDAGOGY An Ethno Pedagogy is defined as an activity of cross cultural teaching method. The ethno-pedagogy goal is to attaching the cultural phenomena into pedagogical studies;therefore, there is a modification from both of cultural and learning material (Burger, 1968). Ethno-pedagogy is a way to understanding the learning process in everyday classroom with anthropological theories. The ethno-pedagogy tried to make a framework for teaching the student from any other background with diverse in culture, economical status, and ethnicity. In this notion, Burger believed that ethno-pedagogy will be useful in introducing their cultural pluralism with locus in geographical areas. To strengthening his idea, Burger then identified the term of “applied education ethnology” as a key element of Ethno-pedagogy. Burger then suggests ethnic variables that need to be applied for cultural education. There are including the domain of; cognitive, affect, psych motion, communication, timing, space, social examination, ethics, causality, sociological environment, teaching method, curriculum, and subject matter. Some researches indicated that ethno-pedagogy was useful to adapt the student with the culture value in surrounding geographical areas and how to enable it into learning material. Furthermore, the student can develop the material for the improvement of knowledge. Base on the research in Balinese Gamelan, Hall (2009) looked an ethno-pedagogy are perceived as culturally contextualized. For Hall, music is differing from culture to culture. Therefore, they were reflected the meaning and value 114 Lumban Arofah from one location to another. It can be concluded that values and norms is differ from one place to another. Therefore, ethno-pedagogy required understanding the culture surrounding the student because different place will produce different culture. To strengthening the idea of ethno-pedagogy, Abildina and Nietullaeva( 2010) suggest that ethno-pedagogy should underpinned visual and technological learning such as; ethno-pedagogy printed material, visual teaching aid, toys, and video cassettes.

IV. MULTICULTURAL EDUCATION THROUGH ETNO PEDAGOGY Ethno-pedagogy required a source of learning material with more emphasized in cultural context. Combining with PBL approaches, the student has an ability to investigate their culture and getting knowledge from them. Therefore, these articles tried to suggest the how a possibility of multicultural education with more emphasized ethnopedagogy with local context. This articles tried to suggest a floating market as a learning material that useful for teacher to implementing 2013 curriculum. the student can investigate human behavior in floating market and studying the interaction between buyer and vendor as a key to understand the multiculturalism. Like those other markets, floating market has similarity with other market. There a buyer and trader, transaction, and money circulation among them. But different from common markets, Floating market has different feature such as; using boat for trading and barter among trader. According to Daud (1997: 134), people who sell the good in floating market are usually farmers that live around the river. Floating market only operated in the morning. The operation of market is depends on river and climate. Trader cannot sell the good if there is bad weather, because their boat will carry out by the wind. The lengths of river depend on river stream. The market only operated if the river stream getting slow and smooth. South Kalimantanis one of the provinces in Indonesia which has many riversas anatural resource. The presence ofthe river long ago become Lumban Arofah 115 an important partoflife and the pulse ofthe people of South Kalimantan, especially Banjar . The existence of a floating market is an application oft he adaptation to Banjar society and the natural environment in the form ofa river. But now, slowly but surely, Floating Market in South Kalimantan began to disappearandfade away along with the modernization of science and technology. Population growth resulting in increased construction and development of facilities on the mainland, as well as narrowing and disappearing rivers as transport path way into the cause of the waning of a floating market in South Kalimantan. However, Lok Baintan floating market, located in the village of Lok Baintan, still survive and increasingly crowded amidwaning and disappearance of floating market so ther Many way sand strategies undertaken by the women tradersto existand survive to become traders, as well as being different merchants, more in demand and more customers than other traders. Moreover, to exist in themiddle of therapid flow of modernity today. Ownership of social capitalis very important and a strategy in running the trading activity is the ownership of social capital. Honesty, warm-hearted, caring neighbor and always on time when making an appointment is a major social capital owned by the merchants. The honesty to keep the customer satisfaction related to the quality and quantity of merchandise sold. Always friendly in serving the wishes and inquiries from customers and tourists who come. Care about others, that still imposea barter system with other traders.Consistent and always on time in trading at the market terapung LokBaintan more over when making appointments with customers. All of this social capitalis used aims to improve service sand maintain customer satisfaction and tourists. From this explanation it can be seen that floating market is one a place to learn how people familiarize with multicultural identity. The trader

116 Lumban Arofah in floating market familiarize with the diversity of the buyer who coming from various diverse background. They are easily adapt and have dealt with various buyer. The understand how to interact with buyer from various background.

CONCLUSION Ministry of National Education have been develop newly curriculum that named by 2013th curriculum. The newly curriculum is enable teacher to develop the learning mechanism which able to increase the curiosity of pupils. One of learning paradigm is ethno pedagogy. The ethno pedagogy is a system that enables pupils to interact with more culture context of society. The floating market is a place that enable teacher to practice an ethno pedagogy. As a place of market, the floating market is able to be a place for learning multicultural education. It is because the diversity of buyer who coming from various background interact with trader which coming from single culture.

REFERENCE Albildina, Saltanat K and Nurbike N. Nietullaeva. 2010. DEVELOPMENT READER’S INTEREST OF JUNIOR SCHOOLCHILDRENWITH MEANS OF ETHNOPEDAGOGICS. Journal of Education and Science Without Borders. Vol.1 No. 1 Burger, Herry G. 1968. “Ethno-Pedagogy”: A Manual in CulturalSensitivity, with Techniques forImprovingCross-Cultural Teaching by FittingEthnic Patterns. ERIC Document Reproduction Service. Maryland. Bennett, Christine. 2001. Genres of Research in Multicultural Education. Journal of Review of Educational Research.; 71; 171 Gay, G. 1995. Curriculum Theory and Multicultural Education. Hall, Peter Dunbar. 2009. Ethnopedagogy: Culturally Contextualised Learning and Teaching as an Agent of Change. The Refereed Journal of the Mayday Group Vol 8. No. 2

Lumban Arofah 117 Nganga, Lydiah (2015) Multicultural Curriculum in Rural Early Childhood Programs. Journal of Praxis in Multicultural Education. Vol 9, N 1 Sulfsyah. 2013. Investigating the Implementation of the Indonesian KTSP (School- Based Curriculum) in the Teaching of Writing in Year Two. Unpublished Doctoral Thesis of Edith Cowan University. Australia. Sarraj, Huda Konabe Bene, Jiaqi Li, &Hansel Burley. 2015. Raising Cultural Awareness of Fifth-Grade Students through Multicultural Education. Journal of Multicultural Education

118 Lumban Arofah PENGAJIAN SEBAGAI MODEL PENGAJARAN ORANG DEWASA BERBASIS KEARIFAN LOKAL Alfisyah

ABSTRAK Pengajian merupakan salah satu model pengajaran agama Islam yang indigenous dan merakyat. Meskipun telah bermunculan lembaga pendidikan modern, pengajian masih tetap bertahan hingga sekarang sebagai lembaga pengajaran yang bertujuan mentransmisikan pengetahuan dan tradisi Islam. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kekuatan dan kearifan lokal yang dimiliki oleh lembaga ini. Kearifan lokal yang dimiliki lembaga pengajian terlihat dari sistem pengajaran baik metode maupun materi yang dilaksanakan di lembaga ini serta peran dan nilai yang dibawanya. Kata kunci: pengajian, pengajaran, metode dan materi

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP Unlam Banjarmasin.

Alfisyah 119 1. PENDAHULUAN lembaga pendidikan tradisional Islam yang dinilai indigenous, asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat tertentu adalah lembaga pengajian dan pesantren. Ironisnya lembaga yang dianggap “merakyat” ini ternyata masih diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman terutama ketika harus berhadapan dengan arus modernisasi. Meskipun demikian hingga hari ini kedua lembaga tersebut masih bisa survive. Hal ini terbukti dengan makin menjamurnya lembaga pengajian dengan berbagai pola yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dikenal berbagai lembaga yang melakukan peran edukatif dengan mengajarkan ilmu-ilmu keIslaman diantaranya pengajian, surau, pesantren, madrasah dan lain-lain. Kehadiran surau dan pesantren merupakan akibat dari semakin banyaknya kaum muslimin menunaikan ibadah haji dan meneruskan domisilinya di tanah suci untuk menuntut ilmu. Setelah mereka kembali ke tanah air, mereka berusaha untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang diketahui di tanah suci (Kayo dalam Anwar, 2008: 11). Namun saat diperkenalkan dengan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan tradisional ternyata tidak begitu laku dan banyak ditinggalkan siswanya seperti digambarkan Steenbrink (1986: 63). Lembaga pendidikan Islam tradisional di Minangkabau, surau, misalnya mengalami kemerosotan ketika ada pembaruan sistem pendidikan. Bahkan surau sekarang sudah punah dan ketika didirikan lembaga pendidikan Islam tradisional disana, tidak lagi menggunakan nama surau tetapi menamakan pesantren. Hal ini juga terjadi di kawasan dunia muslim lainnya. Sejak dilancarkan perubahan dan modernisasi pendidikan Islam, tidak banyak lembaga pendidikan Islam tradisional yang mampu

120 Alfisyah bertahan. Kebanyakan lenyap setelah digusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum. Hal yang agak berbeda terjadi pada pengajian, saat dilancarkan pembaharuan pendidikan yang ditandai dengan munculnya berbagai model pendidikan modern seperti madrasah, lembaga pendidikan Islam dalam bentuk pengajian ini masih tetap berkembang sebagai lembaga yang mentransmisikan Islam tradisional di masyarakat. Menurut Martin van Bruinessen (1995: 17), tradisi pengajaran agama Islam yang bertujuan mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab- kitab klasik merupakan salah satu tradisi agung (great tradistion) di Indonesia. Sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum ---untuk tidak menyebut sistem pendidikan “sekuler”--- atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum (Azra, tth :xi). Beberapa pengalaman yang terjadi pada lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasan dunia muslim lain dapat dijadikan contoh bagaimana untuk menguatkan argumen tersebut. Secara umum lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasan Timur Tengah dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu madrasah, kuttab dan masjid. Sampai paruh kedua abad ke-19 ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relatif mampu bertahan. Tetapi sejak perempatan terakhir abad ke-19 gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak mungkin lagi dikembalikan seperti pada eksistensi semula lembaga- lembaga pendidikan Islam tradisional.

Alfisyah 121 Salah satu lembaga pendidikan tradisional Islam yang cukup mengakar di Indonesia adalah lembaga pengajian. Lembaga ini sebagaimana ditulis oleh beberapa ahli (Dhofier, tth: 33) merupakan cikal bakal pesantren yang meskipun pesantrennya sendiri telah mengalami banyak perubahan dan penyesuaian namun pengajian masih tetap eksis dan cenderung tidak terlalu terpengaruh dengan gelombang pembaharuan dan modernisasi. Keadaan ini misalnya dapat dilihat pada lembaga pengajian yang ada di wilayah Kalimantan Selatan. Lembaga pengajian di wilayah ini terus mengalami perkembangan dan bisa survive hingga sekarang khususnya lembaga pengajian yang ada di wilayah Kabupaten Banjar. Dalam data yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama Kabupaten Banjar pada tahun 2014 tercatat ada 445 pengajian atau majelis taklim di wilayah kabupaten Banjar. Ada beberapa argumen yang dikemukakan ahli tentang perkembangan pendidikan Islam tradisional ini. Salah satunya adalah karena karakteristik lembaga ini yang cenderung dapat beradaftasi dengan lingkungan. Salah satu alasan mengapa pendidikan tradisional Islam di Indonesia seperti pesantren masih mampu bertahan hingga sekarang menurut Azra (tth: xiv) disebabkan oleh situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Selain itu pesantren bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjustment dan readjustment tetapi karena karakter eksistensialnya (Azra, tth: xxvii).Tulisan berikut ini akan mencoba menggali dan mendiskripsikan karakter lokal pengajian di Kalimantan Selatan yang membuat institusi ini terus bertahan hingga sekarang

II. AKAR PENGAJIAN DI KALIMANTAN SELATAN Sebelum membahas lebih jauh tentang kearifan lokal yang ada dalam institusi pengajian di Kalimantan Selatan terlebih dahulu akan dipaparkan secara singkat tentang sejarah kemunculan institusi pengajian di Kalimantan Selatan. 122 Alfisyah Sejarah kemunculan institusi pengajian di wilayah Kalimantan Selatan tidak dapat dilepaskan dari masuknya Islam di tanah Banjar. Islam masuk dan disebarkan secara intensif di wilayah Banjar pada awal abad XVI dengan cara yang tidak jauh berbeda dari yang terjadi di Jawa, yaitu melalui perantaraan para pedagang, juru dakwah, dan sufi. Dalam batas tertentu Islam sebenarnya telah memasuki Kalimantan Selatan antara akhir abad XIII hingga abad XV (Azra, 1999: 232). Hal ini sangat mungkin terjadi, karena pada kurun itu pedagang muslim telah dijumpai di wilayah ini. Islam sebagai sebuah agama tentu saja sudah mulai dikenal oleh masyarakat setempat melalui para pedagang muslim, akan tetapi ajarannya barangkali belum banyak diketahui akibat belum adanya dakwah yang sistematis. Abdullah meragukan bahwa para pedagang muslim yang demikian sibuk dan lebih tertarik mencari keuntungan memiliki minat dan kemampuan untuk menyebarkan Islam. Oleh karena itu, para ulama dan sufi tampaknya mempunyai peranan yang lebih penting daripada para pedagang dalam Islamisasi di wilayah Kalimantan Selatan (Abdullah, 1982: 1). Penyebaran Islam secara intensif di Banjar diawali dengan pengislaman Pangeran Samudra atau Sultan Suriansyah, raja pertama yang berkedudukan di Banjarmasin. Hal itu terjadi setelah Pangeran Samudra dengan bantuan tentara Demak berhasil memenangkan peperangan melawan pamannya, Raden Tumenggung, yang berkuasa di Negara Daha (Azra, 1999: 234). Bersamaan dengan pengiriman bantuan tentara, Sultan Demak juga menyertakan seorang penghulu yang dikenal sebagai Khatib Dayyan. Khatib Dayyan berupaya menyebarkan Islam melalui pengajaran tentang berbagai pengetahuan Islam kepada orang-orang Banjar. Sejauh ini belum ditemukan informasi yang cukup untuk menggambarkan lebih jauh tentang kontribusi Khatib Dayyan dalam penyebaran Islam di Banjar baik menyangkut kelompok sasaran, materi, maupun metode dakwahnya. Namun dengan mengingat latar belakang Khatib Dayyan dan kedatangannya yang bersamaan dengan pengiriman bala bantuan dari Demak, ada Alfisyah 123 kemungkinan bahwa Islamisasi yang dilakukannya masih terbatas pada lapisan elit dalam masyarakat Banjar, terutama di kalangan istana. Sementara Islamisasi di kalangan masyarakat kebanyakan di wilayah pedalaman kemungkinan dilancarkan oleh kaum sufi. Di wilayah pedalaman sering ditemukan makam tokoh agama disertai dengan mitos tentang kekeramatan dan jasanya dalam menyebarkan Islam. Kajian yang lebih mendalam barangkali akan dapat mengungkap keberadaan dan peranan para sufi dalam Islamisasi di daerah pedalaman. Terlepas dari masalah keterbatasan sumber historis yang dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah Islamisasi di Banjar, dapat dikatakan bahwa rupanya dakwah Khatib Dayyan dan para sufi cukup berhasil. Ajaran Islam banyak dianut oleh masyarakat Banjar, dan bahkan sejak abad XVII sudah mulai banyak orang Banjar yang melakukan ibadah haji ke Mekkah. Selain melakukan ibadah haji, mereka juga belajar pengetahuan Islam kepada ulama-ulama Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, mereka kemudian mengajarkan ilmu yang mereka peroleh kepada masyarakat Banjar dengan muatan materi dan dengan menggunakan metode sebagaimana yang ada dalam pengajaran Islam di Mekkah. Sejak itulah sistem pengajaran keagamaan yang disebut pengajian ini mulai dikenal dalam masyarakat Banjar. Pengajaran Islam melalui pengajian berkembang lebih jauh pada masa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary (1710-1812), seorang ulama besar yang dianggap sebagai pelopor penyebaran ajaran Islam di Banjar yang bersumber dari Mekkah (Nawawi, 1992: 12-13). Pelajaran yang diberikan saat itu meliputi ilmu fiqh, ilmu Tauhid dan Ilmu Tasawuf yang ringan. Selain itu ada pula orang yang ingin lebih mendalami pengetahuan agama dengan mempelajari bahasa Arab secara pasif. Di samping itu diberikan juga pelajaran membaca Al-Qur’an. Pengajian ini berkembang di rumah-rumah, di surau-surau dan terdiri dari kelompok anak-anak hingga orang dewasa.

124 Alfisyah Meskipun Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary menekankan pengajaran Islam pada aspek keagamaan, namun melalui pengajian ia juga memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh adalah pengenalan sistem pertanian irigasi lewat pengajian yang dilaksanakan di Desa Dalam Pagar dengan memanfaatkan sungai yang membelah kampung Sungai Tuan di wilayah Martapura. Sungai yang membelah kampung Sungai Tuan di wilayah Martapura misalnya merupakan hasil transformasi yang dilakukan oleh Arsyad dalam bidang pertanian dan lingkungan. Pengajian yang dilaksanakan Syekh Muhammad Arsyad tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan tidak sepenuhnya menuruti sistem pengajian yang dilaksanakan oleh guru-gurunya sewaktu ia belajar di Mekkah. Dalam pengajian yang diselenggarakannya, dia tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran teori dan praktek keagamaan saja, tetapi juga membimbing secara langsung anak didiknya untuk dapat menyusun penghidupan nantinya. Dengan kata lain, pengajian Syekh Muhammmad Arsyad bertujuan untuk menyiapkan manusia yang berpengetahuan agama dan dapat berdiri sendiri dalam masyarakat. Sampai dengan akhir abad XIX pengajian merupakan satu-satunya sistem pendidikan Islam yang berlangsung di daerah ini (Nawawi, 1992: 2- 3). Sayangnya, pembatasan ruang gerak dan pengawasan yang dilakukan penguasa Belanda terhadap pemimpin-pemimpin Islam yang dikhawatirkan akan membahayakan kekuasaan Belanda membuat perkembangan pengajian tersendat. Akibatnya kontribusi pengajian terhadap transformasi sosial juga berjalan sangat lambat. Meskipun begitu, melalui pengajian yang dikembangkan pada abad XIX berbagai pandangan dan kepercayaan yang berkaitan dengan makhluk halus mulai ditinggalkan. Praktik hidup yang lebih berorientasi pada tindakan magis juga sudah mulai ditinggalkan dan beranjak pada pola pikir yang rasional.

Alfisyah 125 III KEARIFAN LOKAL PENGAJARAN DI PENGAJIAN Sistem pengajaran yang dilaksanakan di lembaga pengajian di Kalimantan Selatan pada umumnya adalah sistem yang oleh masyarakat Banjar disebut mangaji duduk, yaitu suatu pola pengajian tradisional, dimana seorang guru membacakan kitab tertentu, dan murid mendengarkan atau menjaga bacaan guru tersebut untuk didhobit (diberi tanda baca dan diterjemahkan) pada kitab yang dipegang. Sistem ini tidak mengenal sistem kelas atau tidak bersifat klasikal sebagaimana sekolah modern. Pelajaran dianggap selesai dengan khatamnya (tamatnya) guru membacakan sebuah kitab. Di sini ketuntasan yang menjadi ukuran keberhasilan seorang murid. Adakalanya, kitab ini dibaca ulang lagi jika dirasa perlu untuk ditelaah lagi. Sistem mangaji duduk ini hampir sama dengan sistem bandongan yang banyak digunakan di pesantren-pesantren di Jawa. Meskipun demikian terdapat perbedaan dalam teknis pelaksanaannya. Sistem bandongan seperti dikemukakan Dhofir (1994: 28) adalah sistem dimana sekelompok murid (antara 5 hingga 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sekaligus mengulas buku-buku Islam dalam Bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Sistem mangaji duduk yang menyerupai sistem bandongan dengan belajar bersama-sama di hadapan kiai dengan mendengarkan dan menuliskan makna dari kitab yang dibahas oleh kiai ini menurut (Abdullah, 2008: 1), menambah keakraban antara murid dan guru. Dari uraian itu tampak bahwa sistem bandongan berorientasi pada terjemahan karena kitab yang digunakan adalah bahasa Arab. Mangaji duduk dalam tradisi pengajian di Kalimantan Selatan tidak selalu menggunakan kitab bahasa Arab sehingga tidak selalu berorientasi menerjemahkan. Pada umumnya kitab yang digunakan adalah kitab dengan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia dengan tulisan hurup Arab atau dalam masyarakat

126 Alfisyah lokal disebut “Arab Melayu”. Sehingga untuk kitab-kitab seperti ini pengajaran lebih berorientasi pada menerangkan dan mengulas. Perbedaan ini pulalah tampaknya yang memunculkan istilah balajaran. Balajaran pada umumnya digunakan untuk menyebut sistem pengajaran agama Islam yang menggunakan kitab berbahasa Melayu sehingga tidak berorientasi pada terjemahan. Oleh karena kitab yang digunakan dalam sistem balalajaran tidak menggunakan bahasa Arab maka dalam pengajian jamaah tidak dituntut kemampuan penguasaan bahasa Arab maupun penguasaan membaca al- Qur’an. Kebanyakan pesantren menurut Dhofier (tth: 50) secara formal menentukan syarat para calon santri harus sudah menguasai pembacaan al-Qur’an. Guru saat menjelaskan materi pengajaran biasanya menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa Banjar. Inilah kemudian satu kearifan lokal dalam mengajarkan pengetahuan dengan selalu berusaha menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Selain itu dalam tradisi pesantren di Jawa sistem bandongan merupakan kelanjutan dari sorogan dimana santri hanya dapat mengikuti bandongan jika telah melaksanakan sorogan. Jamaah yang memiliki penguasaan bahasa Arab maupun tidak menguasai dapat mengikuti pengajaran di pengajian. Bahkan mereka yang tidak mampu membaca al- Quran pun masih dapat mengikuti kegiatan pengajaran di pengajian. Untuk tipe jamaah yang terakhir biasanya mereka hanya menjadi pendengar atau menyimak tanpa menggunakan kitab untuk disimak. Dalam konteks ini pengajaran menjadi bersifat populis. Oleh karena itu, bila dilihat dari kemampuan dan cara belajar maka jamaah pengajian dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok: Pertama, jamaah aktif yaitu jamaah yang memiliki kemampuan bahasa Arab dan kemampuan membaca kitab berbahasa Arab pada khususnya sehingga dalam mengikuti pengajaran tidak hanya mendengarkan tetapi menyimak materi dengan menggunakan kitab sebagai bahan untuk diberi catatan.

Alfisyah 127 Kedua, jamaah pasif yaitu jamaah yang tidak memiliki kemampuan dan penguasaan bahasa Arab sehingga dalam mengikuti pengajaran hanya menjadi pendengar tanpa menggunakan kitab untuk disimak. Selain itu, sistem penerjemahan yang dilaksanakan di pengajian juga berbeda dengan sistem baca terjemah yang digunakan di pesantren yang dalam penterjemahan-nya memperhatikan kedudukan tiap kata dalam struktur kalimat yang bertuliskan teks Arab gundul (huruf Arab yang belum ada syakl atau harakatnya) atau disebut sebagai grammatical translation approach (pendekatan terjemah menurut tata bahasa). Hal ini dimaksudkan agar murid yang mengikuti pendidikan dapat mengetahui kedudukan kata tersebut dalam kalimat. Sehingga dengan secara tidak langsung guru mengajarkan ilmu “alat” atau pengetahuan gramatikal kepada murid. Guru di pengajian ini hanya membacakan isi kitab dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan bacaan sehingga akan mengakibatkan salah pengertian. Selain itu tujuan pembacaan kitab juga dimaksudkan untuk memberi penjelasan dan uraian tambahan terhadap bagian yang sedang dipelajari. Uraian tambahan ini terkadang dilengkapi dengan penyampaian beberapa ayat Quran maupun hadis (perkataan nabi). Sistem sorogan sangat jarang digunakan dalam pengajian di Kalimantan Selatan kecuali hanya segelintir orang yang memiliki hubungan khusus dengan tuan guru. Hal ini disebabkan karena selain jamaah yang cukup banyak juga karena pengajian ini memang tidak berpretensi untuk mencetak ulama sebagaimana layaknya pesantren. Salah satu alasan penggunaan sistem halaqah dan bandongan atau mangaji duduk ini tampaknya terkait dengan orientasi para tuan guru yang mengajar di pengajian yang sebagian besar pernah belajar di Haramain yaitu Mekkah Madinah. Sehingga pola pembelajaran pun banyak dipengaruhi dan mengikuti sistem tersebut. Namun jika dikaitkan dengan konteks lokal, penggunaan sistem bandongan atau mangaji duduk ini lebih cocok dengan

128 Alfisyah kondisi sosio kultural masyarakat Banjar yang lebih menyukai kegiatan yang bersifat komunal. Meskipun tidak menggunakan sistem sorogan, penggunaan sistem mangaji duduk yang mirip dengan sistem bandongan ini tidak membuat hubungan jamaah dengan guru terbatasi. Dalam sistem ini jamaah masih dimungkinkan untuk melakukan dialog dan tanya jawab dengan guru sehingga sifat pasif yang dilekatkan pada lembaga pendidikan tradisional yang menerapkan model bandongan seperti dikemukakan Muhtarom (2005: 26) tidak berlaku. Pola pendidikan yang diselenggarakan di pengajian serta fungsi yang diembannya pada umumnya sama, yaitu mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din). Kesamaan tersebut dapat dilihat pada jenis-jenis mata aji yang diajarkan di pengajian. Hampir seluruh pengajian di wilayah Kalimantan Selatan mengajarkan mata aji yang sama, yang dikenal dengan ilmu-ilmu keislaman, yang meliputi al-Quran (tajwid, tafsir dan ilmu tafsir), hadis, aqidah atau tauhid, akhlak atau tasawuf, fiqih dan ushul fiqih, bahasa arab (nahwu, sharaf, mantiq dan balaghah) serta tarikh (sejarah Islam). Namun tidak semua pengajian mengajarkan semua mata aji tersebut. Beberapa pengajian mengkhususkan diri pada mata aji tertentu tergantung orientasi dan penguasaan guru yang mengajar. Cara ini sekaligus menjadi pembeda dan spesifikasi tiap pengajian dibanding pengajian lainnya. Ada pengajian yang mengkhususkan pada kajian hadis dan tafsir dan ilmu lainnya. Tidak semua kitab yang diajarkan di pengajian menggunakan kitab klasik berbahasa Arab, ada juga yang menggunakan kitab berbahasa Indonesia namun masih menggunakan tulisan huruf Arab. Kitab-kitab berbahasa Arab ini biasanya di kalangan pesantren dikenal dengan “kitab kuning” karena biasanya kitab-kitab ini dicetak di atas kertas warna kuning. Ada juga yang menyebutnya dengan kitab “Arab gundul” karena kitab tersebut menggunakan hurup Arab yang tanpa harakat alias gundul atau dalam bahasa Banjar disebut kitab “kada babaris”. Beberapa pengajian melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan kitab Alfisyah 129 berbahasa Melayu dengan tulisan huruf Arab yang dalam bahasa lokal disebut huruf “Arab Melayu” atau dalam bahasa Jawa disebut pegon. Pada umumnya kitab-kitab yang digunakan di pengajian-pengajian di wilayah Kalimantan Selatan sama yaitu kitab-kitab karya ulama-ulama madzhab Syafi’i. Kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran menurut Dhofier (tth: 51) menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan di kalangan jamaah pengajian. Pengajaran kitab-kitab yang diberikan di pengajian memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan mata aji yang diajarkan. Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum (agama atau syariat). Materi fiqih menyangkut segi-segi praktis dalam hubungan manusia dengan Allah (ibadah) dan manusia dengan manusia (muamalah) dan makhluk lainnya. Aqidah merupakan sesuatu yang prinsip dan mendasar. Tujuan utama dari pengajaran tauhid atau aqidah adalah menanamkan keyakinan tentang ketauhidan Allah dan rukun iman yang lain yang tujuan akhirnya membentuk pribadi mukmin yang mengetahui, meyakini dan memahami dasar keimanannya. Pengajaran tasawuf atau akhlak adalah membentuk pribadi yang berakhlak karimah baik dalam hubungan vertikal atau hablum minallah (hubungannya dengan Allah) maupun hubungan horisontal atau hablum minannas (hubungan antar manusia) serta dalam hubungannya dengan alam sekitar atau makhluk lainnya. Tasawuf yang diajarkan di pengajian mengikuti tasawuf ala Syekh Muhammad Arsyad yaitu tasawuf yang oleh Azra (1999: 258) disebut dengan neosufisme, yang pada intinya menekankan pada aktifitas dalam kehidupan keduniaan. Hal ini sesuai dengan karakteristik masyarakat Banjar sebagai masyarakat pesisir yang identik dengan perdagangan dan kosmopolitan. Jika di pesantren kitab-kitab yang diajarkan kepada santri bertingkat dimana ada kitab yang disediakan untuk tingkat pemula dan ada untuk tingkat tinggi maka di pengajian tidak diberlakukan tingkatan tersebut. Semua jamaah baik yang baru terlibat maupun jamaah yang sudah lama

130 Alfisyah mengikuti pengajian sama-sama menggunakan kitab yang sama. Hal ini bisa dipahami karena tujuan pengajian pada umumnya sedikit berbeda dengan pesantren. Jika di pesantren pembelajaran bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan agama agar kelak nantinya mereka bisa menjadi ulama sehingga dalam pembelajaran para santri dituntut ketuntasan sedangkan di pengajian pengajaran kitab bertujuan untuk penguatan pemahaman Islam. Guru yang memberi pengajaran di pengajian ini pada umumnya merupakan orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama baik formal maupun non formal. Selain itu mereka juga pada umumnya merupakan orang yang telah banyak berguru pada ulama-ulama tertentu yang menguasai bidang-bidang tertentu. Ada juga ulama atau tuan guru yang sudah haji dan memiliki latar belakang pernah tinggal dan belajar di wilayah Timur Tengah. Dalam sistem pengajaran yang dilaksanakan di pengajian, murid atau jamaah berkumpul melingkar, duduk di lantai menghadap guru. Guru duduk di barisan paling depan bersandar pada tawing halat (dinding pemisah) dan beralaskan kasur tipis sehingga posisi duduk guru menjadi sedikit lebih tinggi dari murid. Cara seperti ini menurut Madjid (tth: 24) menunjukkan bahwa para murid diharapkan bersikap hormat dan sopan ketika mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan guru. Mengacu dari semua uraian tentang pola pengajaran di pengajian di atas maka dapat dikatakan bahwa pengajian-pengajian yang berlangsung di wilayah Kalimantan Selatan pada khususnya merupakan pengajian salaf atau salafiyah yang berbeda dengan pengajian khalaf (modern) atau pengajian populer yang sekarang banyak bermunculan di media-media elektronik. Pengajian salaf dan khalaf memiliki karakteristik masing-masing baik dari segi metode maupun materi. Pengajian salaf adalah lembaga pendidikan Islam yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan. Selain itu metode yang digunakan biasanya adalah

Alfisyah 131 sistem halaqah dimana guru membacakan sebuah kitab dan murid mendengarkan sambil memberi keterangan pada kitab yang digunakan. Adapun pengajian khalaf atau pengajian populer adalah pengajian yang biasanya dilakukan dengan metode ceramah oleh guru dan murid mendengarkan uraian tanpa menggunakan kitab. Dalam pengajian model terakhir ini biasanya tidak dituntut ketuntasan dan jamaah yang datang merupakan orang-orang yang tidak tetap atau permanen. Pengajian yang berlangsung di wilayah Kalimantan Selatan juga tidak sepenuhnya berisi pengajaran kitab tetapi juga disertai dengan berbagai praktek-praktek Islam lokal seperti ritual atau adat istiadat yang berkaitan dengan rite de passage yang memiliki warna lokal yang kental. Hal ini menurut Azra (1999: 239) terjadi karena dalam proses akomodasi timbal balik antar Islam dan kebudayaan Melayu telah terjadi domestifikasi (“penjinakan”) terhadap Islam. Domestifikasi ini sulit dihindari Islam, karena jika Islam tetap bertahan dengan skripturalismenya yang ketat, maka agama ini akan berhadapan dengan resistensi yang cukup kuat dari sistem kepercayaan, kultur dan tradisi lokal yang telah mapan. Di dalam teori perubahan terhadap suatu prinsip, bahwa semakin besar perubahan bahkan antagonisme antara nilai-nilai baru yang diperkenalkan dengan nilai-nilai lama, maka akan semakin tinggi resistensi nilai-nilai lama dan, akibatnya nilai-nilai baru kian sulit diterima. Karena itulah diperlukan semacam akomodasi, khususnya dari pihak nilai-nilai baru yang akan diperkenalkan. Dalam konteks ini lah kemudian yang melakukan domestifikasi terhadap dirinya –menerima akomodasi dalam batas tertentu-, sehingga ia dapat diterima oleh masyarakat dan budaya setempat dan terus berkembang di Kalimantan Selatan.

132 Alfisyah III. SIMPULAN Pengajian masih terus bertahan hingga sekarang disebabkan karena ia mampu hadir sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Banjar yang diidentikkan dengan Islam. Pengajian juga merupakan salah satu alternatif pendidikan bagi orang dewasa yang bersifat humanis. Sistem pengajaran yang dilaksanakan di pengajian tidak membedakan kedudukan dan kemampuan yang dimiliki murid. Metode yang digunakan memungkinkan murid untuk terlibat baik secara aktif maupun pasif dalam proses pengajaran. Materi yang disampaikan juga merupakan pengetahuan dasar yang bersifat praktis yang memang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu institusi pengajian juga memilih melakukan domestifikasi dengan masih memberikan peluang atau mentolerir tradisi- tradisi lama yang berakar di masyarakat dengan tetap memberi penekanan untuk meninggalkan hal-hal yang sifatnya dapat merusak keyakinan sehingga dengan kearifan tersebut maka pengajian dapat diterima dan terus berkembang di kalangan masyarakat Banjar.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. 2013. Masyarakat dan Kebudayaan Banjar Sebagai Sumber Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Melalui Ajaran dan Metode Guru Sekumpul). Bandung: Disertasi SPS UPI Bandung. ------. 2014. Mewacanakan Pendidikan IPS. Cetakan Kedua. Bandung: FKIP-Unlam Press dan Penerbit Wahana Jaya Abadi. ______. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung: FKIP-UNLAM Press dan Penerbit Niaga Sarana Mandiri. Abdullah, Irwan dan Hasse J dan Muhammad Zaid, 2008. Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar.

Alfisyah 133 Azra, Azyumardi. tth. “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurcholis Majid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina ------. 1999. Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Bruinessen, Martin Van, 1995. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. Dhofier, Zamakhsyari. tth. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Madjid, Nurcholish. Tth. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Dian Rakyat & Paramadina. Muhtarom H., M. 2005. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi: Resistensi Tradisional Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nawawi, Ramli (ed.). 1992. Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

134 Alfisyah EKSPLORASI PENGETAHUAN LOKAL ETNOMEDISIN DAN TUMBUHAN OBAT (Studi pada Masyarakat Dayak Halong di Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan) Syahlan Mattiro

ABSTRAK

Obat tradisional adalah pengobatan yang menggunakan tanaman dengan kandungan bahan-bahan alamiah sebagai bahan bakunya. Berbagai jenis tanaman yang berkhasiat obat sebenarnya banyak yang dapat diperoleh di sekitar kita, seperti di halaman rumah, pinggir jalan, atau di dapur sebagai bahan atau bumbu masak. Sistem pengobatan tradisional cenderung dikembangkan dari sumber sistem kepercayaan spiritual atau agama dan lebih jauhnya lagi, yaitu berkembangnya sistem kepercayaan animisme atau kepercayaan tradisional yang lainnya. Sistem tradisional biasanya percaya pada hukum kausalitas non material, dan pada sistem tradisional kepercayaannya bersifat rasional, irasional, empiris, mistik atau percampuran. Kata kunci: Pengetahuan lokal, tanaman obat, obat tradisional.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP Unlam Banjarmasin.

Syahlan Mattiro 135 1. PENDALULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropik terbesar kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati terutama keanekaragaman tumbuhan dan dikenal sebagai salah satu dari 7 (tujuh) negara “megabiodiversity”. Distribusi tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat di hutan tropika Indonesia lebih dari 12 % (30.000 jenis) dari yang terdapat di muka bumi (250.000 jenis) (Ersam, 2004). Biodiversitas yang besar tersebut tersimpan potensi tumbuhan berkhasiat yang dapat digali dan dimanfaatkan lebih lanjut. World Conservation Monitoring Center telah melaporkan bahwa wilayah Indonesia merupakan kawasan yang banyak dijumpai beragam jenis tumbuhan obat dengan jumlah tumbuhan yang telah dimanfaatkan mencapai 2.518 jenis (EISAI,1995). Selain keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman etnik dan budaya. Hidayah (1997) telah mengkaji 554 kelompok etnik di Indonesia berdasarkan keaslian bahasa dan asal etnis. Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000 menyebutkan di Indonesia memiliki 1.068 etnik yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing etnik memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap etnik, terdapat beranekaragam kekayaan kearifan lokal masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional termasuk Kalimantan Selatan. Masing-masing etnik mempunyai kearifan, pengetahuan dan pengalaman yang bermakna besar bagi masyarakat modern. Hubungan masyarakat etnik dengan alam, pengetahuan mengenai tumbuhan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan obat merupakan suatu pengetahuan yang sangat berharga. Pengetahuan tentang penggunaan tumbuhan obat oleh etnik asli setempat sangat penting untuk pengembangan pengobatan secara tradisional dan pengembangan obat karena banyak ekstrak tumbuhan untuk obat modern ditemukan melalui pendekatan pengetahuan lokal (Cox, 1994; Plotkin, 1988).

136 Syahlan Mattiro Modernisasi dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (Bodeker, 2000). Hal lain yang juga dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah kasus pembajakan plasma nutfah dan budaya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kerusakan habitat akibat desakan kebutuhan lahan produksi, pertambangan maupun tempat tinggal, kurangnya perhatian terhadap budidaya tumbuhan obat terutama untuk jenis-jenis yang digunakan dalam jumlah kecil dan kemampuan regenerasi tumbuhan obat yang lambat, terutama jenis tumbuhan tahunan, terlebih lagi yang diambil dari alam (Djauhariya dan Sukarman 2002). Sejak 1950 - 1997 Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72% dengan angka penyusutan sebesar 1,7 juta Ha/tahun (World Resource Institute, 1997). Periode 1997 - 2000 angka penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta Ha/tahun (Badan Planologi Dephut, 2003). Penggunaan data tentang tumbuhan obat tradisional yang berasal dari hasil penyelidikan etnobotani merupakan salah satu cara yang efektif dalam menemukan bahan-bahan kimia baru dan berguna dalam pengobatan. Database tumbuhan obat di Indonesia masih sangat minim informasi terutama tentang jenis-jenis tumbuhan obat terkait dengan kearifan lokal, penggunaan dalam ramuan, bagian yang digunakan dan cara penggunaannya. Penelitian untuk mendapatkan data-data fitogeografi, agroklimat, pemanfaatan berbasis kearifan lokal, fitokimia dan sosial ekonomi dari tumbuhan obat akan sangat penting dalam membangun sebuah database yang dapat digunakan sebagai informasi penting dalam proses budidaya tumbuhan obat untuk peningkatan produktivitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas, serta rintisan untuk kemandirian obat berbasis tumbuhan obat. Database yang dihasilkan sangat mendukung program Saintifikasi Jamu karena program tersebut berbasis kepada kearifan lokal yang tercermin dari budaya masing-masing etnik sehingga program saintifikasi jamu ini dapat terus dikembangkan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama di daerah Kalimantan Selatan.

Syahlan Mattiro 137 Penelitian mengenai Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat di Indonesia Berbasis Komunitas perlu dilakukan untuk menggali pengetahuan lokal etnomedisin sebagai bagian kearifan lokal masing-masing etnik dan keanekaragaman tumbuhan obat yang menjadi dasar bagi pengembangan riset berkelanjutan dalam bidang etnomedisin dan tumbuhan obat. Penelitian Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat di Indonesia Berbasis Komunitas ini juga dikenal dengan istilah Ristoja (Riset Tumbuhan Obat dan Jamu).

II. PEMBAHASAN 2.1 Pengetahuan Lokal Menurut Chamber (Wahyu, 2007:19) kearifan lokal (indigenous knowledge) adalah pengetahuan asli yang dimiliki suatu komunitas, tidak perlu dianggap sebagai takhayul, tetapi sebagai pelajaran agar kita berendah hati dan perlu belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajar mereka. Sedangkan menurut Dove mengemukakan sistem budaya tradisional tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami perubahan dan tidak bertentangan dengan proses pembangunan. Kearifan lokal dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya masyarakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis, dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai pengetahuan lokal, yang unik, yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang (Wahyu, 2007:20): 1. Pertanian (agriculture) 2. Kesehatan (healt care) 3. Penyediaan makanan (food preparation)

138 Syahlan Mattiro 4. Pendidikan (education) 5. Pengelolaan sumber daya alam (natural-resource management) 6. Beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas (a host of other activities in communication). Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat setempat, yang secara terus-menerus dipengaruhi oleh kreativitas dari dalam dan juga kontak dengan sistem-sistem luar. Karena itu biasanya sistem pengetahuan lokal ini, menjadi alternatif untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Demikian juga dalam hal kesehatan yaitu pengobatan tradisional yang prosesnya menggunakan bahan alami dan tidak membahayakan, misalnya dedaunan, akar-akaran, batang, buah tertentu, binatang, dan air. Sarana pengobatan seperti itu adalah sarana pengobatan yang diperoleh dari pengetahuan lokal masyarakat setempat, dan biasanya sangat dekat dengan kepercayaan masyarakatnya. Pengetahuan lokal merupakan konsep yang berakar dari pengalaman masyarakat lokal yaitu : 1. Merupakan milik lokal 2. Kehidupan yang lebih baik dalam sistem ekologi. 3. Kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta 4. Dituntun dan didasarkan pada prinsip moral yang bersumber dari pengetahuan lokal 5. Menyangkut pribadi manusia yang partikulat (komunitas adat). Pengetahuan lokal adalah bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang melalui kehidupan dari generasi ke generasi yang berhubungan erat dengan alam. Inti dari konsep pengetahuan lokal adalah bahwa manusia hidup tergantung dengan alam. Sementara itu makna pengetahuan lokal dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang mereka miliki untuk mengelola lingkungan, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungan, yang implikasinya

Syahlan Mattiro 139 adalah kelestarian atau kelangsungan lingkungan untuk jangka panjang (Sumintarsih, dkk, 1993:5). Pengetahuan lokal merupakan konsep yang berakar dari sistem pengetahuan lokal berdasarkan pengalaman masyarakat lokal atau tradisional. Pengetahuan tersebut diperoleh dari hasil uji-coba yang terus menerus dan bersifat lokal. Pengalaman melakukan uji-coba tersebut yang menghasilkan pengetahuan lokal, yang sesuai dengan kondisi setempat di mana pengalaman itu terjadi. Pengetahuan lokal menjadi menarik karena sifatnya yang lentur dan tahan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan, sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan dapat berkelanjutan. Pengetahuan lokal juga lebih mengarah pada penyesuaian terhadap sistem ekologi setempat, sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem ekologi tersebut. Pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peran sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan pengalaman hidup serta sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, penggalian kembali kearifan tradisional atau pemahaman dan pandangan masyarakat lokal menjadi relevan dan penting, serta bisa dijadikan alternatif pendekatan selain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam upaya pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pengetahuan yang unik, yang berasal dari budaya atau masyarakat. Pengetahuan tradisional ini sangat kontras dengan sistem pengetahuan internasional yang dihasilkan oleh universitas-universitas, institusi-institusi penelitian dan perusahaan-perusahaan swasta. Pengetahuan lokal ini merupakan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam pertanian (agriculture), kesehatan (health care), penyediaan makanan (food preparation), pendidikan (education),

140 Syahlan Mattiro pengelolaan sumberdaya alam (natural-resource management), dan macam- macam kegiatan lainya di dalam komunitas-komunitas. Menurut Keraf (Aprianto, 2008:10-11) yang dimaksud pengetahuan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi. Jadi pengetahuan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan lingkungan dan bagaimana relasi yang baik antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi diantara semua ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan yang ghaib. Menurut Keraf (2008:11 ) ini menunjukan bahwa: 1. Pengetahuan lokal adalah milik komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat individual 2. Pengetahuan lokal lebih bersifat praksis, yaitu pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologinya, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam 3. Pengetahuan tradisional bersifat holistic, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta 4. Berdasarkan pengetahuan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral 5. Pengetahuan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang particular dan konkret, tetapi karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak direkayasa pun menjadi universal bagi dirinya sendiri. Pengetahuan budaya lokal merupakan refleksi dari suatu budaya yang terajut dari tatanan kehidupan keseharian suatu masyarakat. Nilai-nilai Syahlan Mattiro 141 didalamnya sangat dijunjung tinggi. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia memiliki adat, suku, budaya, dan hak ulayat yang beragam, masing-masing daerah memiliki pengetahuan lokal yang khas dan saling berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Karena itu semua pihak, baik level nasional maupun lokal wajib mengkaji kembali dan melakukan instrospeksi bagi upaya memelihara nilai-nilai pengetahuan lokal sehingga solidaritas kebangsaan dan identitas nasional dapat terus diperkuat secara berkelanjutan disertai dengan upaya memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, dan dapat dimaknai sebagai salah satu upaya untuk memperkokoh semangat nasionalisme dan identitas nasional di era persaingan global. Kearifan lingkungan merupakan pengetahuan lokal yang diperoleh dari pengalaman adaptasi secara aktif pada lingkungannya dan diwariskan secara turun temurun serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan menciptakan keserasian sosial, untuk itu pengetahuan kearifan lingkungan tersebut diwujudkan dalam tiga bentuk yakni ideasional (norma, nilai, mitologi atau cerita rakyat), aktivitas sosial (interaksi sosial, upacara adat atau keagamaan, pola pemukiman, dan lain-lain), material (peralatan dan teknologi). Kearifan lokal merupakan akumulasi pengalaman dan pembelajaran yang terjadi secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama dari generasi ke generasi, sehingga terbentuk satu pemahaman yang dalam terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi tidak menyebabkan tindakan yang dikerjakan selalu berdasar pada pemahaman kondisi dan kekayaan pengalaman yang telah dipunyai, sehingga terbentuk pengetahuan/ilmu yang mampu menghadapi dan mengatasi kondisi suatu lingkungan tersebut sebagai kearifan ekologi, dan dalam perjalanannya berkembang menjadi kearifan lokal karena kekayaan dan keragaman lingkungannya demikian luas yang bersifat spesifik lokasi.

142 Syahlan Mattiro 2.2 Konsep Sehat dan Sakit Secara sosiologis orang sehat adalah orang yang seimbang nutrisi, aktivitas, emosi dan lingkungan, juga sehat secara sosial. Sedangkan orang sakit adalah orang yang tidak seimbang eksistensi manusia sehingga muncul ketidaklancaran dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia. Adapun yang dimaksud dengan perspektif nilai kesehatan adalah kemampuan menggali sesuatu hal dari unsur budaya atau sumber daya alam untuk kesehatan (Sudarma, 2008:3 1). Dalam konsep etnomedisin, penyakit merupakan satu bentuk persepsi budaya individu sesuai dengan anutan budaya komunitasnya. Adapun sumber penyakitnya bisa berasal dari salah makan, salah perilaku, atau gangguan dari pihak supranatural (Sudarma, 2008:105). Menurut Foster (2008:50) penyakit diasumsikan sebagai keadaan biologis yang tetap, suatu kondisi patologis yang harus dibuktikan dengan hasil-hasil laboratoriom atau bentuk-bantuk pemeriksaan klinis lainnya. Namun dari pandangan budaya penyakit adalah pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar, dan harus dilakukan sesuatu atas situasi tersebut. Dengan demikian harus dibedakan antara penyakit (disease) sebagai konsep patologi, dan penyakit (illnes) sebagai suatu konsep kebudayaan. Penyakit disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir atau tenung). Secara garis besar pemahaman masyarakat tentang sakit dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1. Penyakit yang penyebabnya secara nyata dapat diketahui, karena timbul dari gejala fisik. 2. Penyakit yang penyebabnya tidak timbul dengan gejala fisik, melainkan erat kaitannya dengan faktor magik.

Syahlan Mattiro 143 Penyakit yang timbul dengan gejala fisik, dapat diobati dengan ramuan tanpa mantra, misalnya luka karena terkena benda keras atau tajam, digigit ular berbisa, gatal-gatal, sakit gigi, salah urat, sakit kepala, dan lain- lain. Sedangkan penyakit yang timbul oleh faktor magis, ialah penyakit yang ada hubungannya dengan kepercayaan, baik terhadap makhluk- makhluk halus, kekuatan gaib, dan kekuatan sakti. Seperti halnya penyakit yang dapat ditimbulkan akibat makhluk-makhluk halus seperti demam panas, hilang ingatan, dan sejenisnya akibat tatanam, yaitu bertemu hantu. Begitu juga penyakit yang ada kaitannya dengan kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan sakti, seperti halnya penyakit yang dibuat oleh orang, karena merasa sakit hati atau dendam. Penyakit yang timbul akibat ini sering sekali ditemukan di masyarakat. Untuk mengobati penyakit ini, maka tidak dapat disembuhkan oleh dokter dan tidak sembarang dukun yang dapat menyembuhkannya. Tetapi harus orang yang lebih sakti dari Yang menimbulkan penyakit itu. Menurut masyarakat setempat bahwa bentuk penyakit yang timbul dari gejala fisik bisa saja sama dengan bentuk penyakit yang timbul karena faktor magis, akan tetapi gejala dan akibatnya tidak sama. Oleh sebab itu cara pengobatannya tidak sama. Biasanya masyarakat yang tidak mengerti masalah pengobatan, jika keluarganya sakit mereka pergi menemui seorang dukun. Sedangkan masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan, jika penyakit tersebut dianggapnya biasa berdasarkan pengalamannya mereka mengobatinya sendiri dengan ramuan-ramuan. Apabila penyakit tersebut tidak sembuh dalam jangka waktu tiga atau empat hari mereka memanggil dukun sesuai dengan jenis penyakitnya. Masyarakat mampu membedakan mana penyakit yang dapat dianggap biasa dan mana penyakit yang dianggap luar biasa. Mampu membedakan mana penyakit yang menular dan tidak menular. Bahkan dari hasil pengamatannya mampu membedakan antara penyakit biasa yang tidak membahayakan dengan penyakit biasa yang bisa membahayakan.

144 Syahlan Mattiro Dari kenyataan tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan mereka tentang pengobatan tradisional cukup tinggi. Bahkan yang membanggakan mereka dapat menciptakan jenis obat yang dapat menyembuhkan, kendatipun bahan dan alat yang digunakan sederhana sekali. Salah satunya adalah sirih yang dapat digunakan dengan bermacam-macam jenis penyakit. Ternyata setelah diteliti secara ilmiah daunnya mengandung minyak terbang, aseptosol yang dapat digunakan sebagai obat kumur, obat batuk, anti septik, bau mulut, untuk membersihkan koreng, dan lain- lain. Suatu hal yang menarik ialah, bahwa hampir setiap masyarakat untuk penyakit tertentu dapat dilakukan sendiri pengobatannya, seperti luka iris, koreng, bisul dan sejenisnya. Menurut mereka pengetahuan yang dimiliki tersebut ada yang memperolehnya dari turun-temurun dari orang tuanya, ada yang memperolehnya dari pengalaman pengobatan yang dilakukan oleh dukun waktu mengobati anggota keluarganya dan ada juga yang memperolehnya dari tetangga terdekat. Untuk penyembuhan suatu penyakit dapat dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan jenis penyakit itu sendiri. Ada jenis penyakit yang penyembuhannya cukup dengan ramuan obat. Ada penyakit yang memerlukan ramuan obat ditambah dengan mantra, ada cukup dengan mantra saja dan ada juga jenis penyakit yang memerlukan ramuan obat dan diselingi dengan tindakan, bahkan ada juga penyakit yang penyembuhannya membutuhan upacara yang dilengkapi dengan sajian-sajian. 2.3 Obat Tradisional. Pengertian obat tradisional berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 Pasal 1 menyebutkan bahwa: Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional adalah obat-obatan

Syahlan Mattiro 145 yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Pengobatan tradisional adalah salah satu upaya pengobatan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan, mencakup cara obat dan pengobatannya yang mengacu kepada pengetahuan dan pengalaman dan keterampilan turun- temurun baik yang asli maupun yang berasal dari luar Indonesia, diterima dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Permadi, 1995:9-10). Obat tradisional adalah pengobatan yang menggunakan tanaman dengan kandungan bahan-bahan alamiah sebagai bahan bakunya. Berbagai jenis tanaman yang berkhasiat obat sebenarnya banyak yang dapat diperoleh di sekitar kita, seperti di halaman rumah, pinggir jalan, atau di dapur sebagai bahan atau bumbu masakan. Sistem pengobatan tradisional cenderung dikembangkan dari sumber sistem kepercayaan spiritual atau agama dan lebih jauhnya lagi, yaitu berkembangnya sistem kepercayaan animisme atau kepercayaan tradisional yang lainnya. Sistem tradisional biasanya percaya pada hukum kausalitas non material, dan pada sistem tradisional kepercayaannya bersifat rasional, irasional, empiris, mistik atau percampuran. Seiring dengan kategorisasi tersebut. Maka dapat ditemukan perbedaan antara sistem pengobatan modern dan pengobatan tradisional diantaranya: Menurut Sudarma (2008:139) unsur –unsur pengobatan tradisional antara lain : 1. Herbal Agency. Pengobatan yang menggunakan tanaman, baik bahan asli maupun ramuan. 2. Animal-agency. Pengobatan yang menggunakan bahan-bahan hewan-hewan, baik bahan dasar hewan, hasil, maupun perantara sebagai bagian dari proses layanan pengobatan alternatif. 3. Material-agency. Pengobatan yang menggunakan bahan-bahan material bumi sebagai bahan layanan pengobatan tradisional. Misalnya tusuk jarum, air, terapi kristal, belerang, dan lain-lain. 146 Syahlan Mattiro 4. Mind-agency. Pengobatan yang menggunakan kekuatan jiwa sebagai bahan layanan pengobatan tradisional. Misalnya saja energi chi, pirana, dan lain-lain. Pengobatan herbal dikelompokkan lagi menjadi beberapa jenis, yaitu (Sudarma, 2008:135-136) : 1. Herbal, yaitu penggunaan bahan asli tanaman seperti, bunga, buah-buahan, akar, atau bagian lain dari tumbuhan yang digunakan sebagai pengobatan. 2. Bahan-bahan tanaman, termasuk jus segar, getah, minyak olahan, minyak asli, resin, dan powder tumbuhan. 3. Pengolahan herbal, pengolahan tumbuhan yang dilandaskan pada produk tumbuhan yang sudah diselesaikan, atau beberapa produk pengolahan tanaman hasil dari ekstrasi. Pelarutan fraksinasi, atau proses pengolahan fisikawi, atau biologi lainnya. 4. Produk tanaman terakhir, yaitu pengolahan bahan tanaman, baik dari satu atau lebih dari jenis tanaman yang digunakan. Dari beberapa teori di atas, maka tulisan ini hanya membatasi pada pengobatan tradisional dari unsur tumbuhan atau herbal. 2.3 Pengetahuan Lokal Tentang Tanaman Obat dan Pelestariannya. Halong adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Kecamatan ini berjarak sekitar 250 kilometer dari ibukota provinsi (Banjarmasin), 25 km dari kota kabupaten Balangan. Keunikan dari kecamatan ini adalah Upacara Aruh Baharin yang diselenggarakan oleh Suku Dayak Halong dalam mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen padi dan diadakan setiap tahun pada bulan september selama 1 minggu lamanya. Secara geografis, wilayah permukiman suku Dayak Halong berada pada bentangan Pegunungan Meratus yang terletak diantara 115’.035’.55’ sampai 115’.047.’43’ Bujur Timur dan 020’.25’.32’ sampai 020’.35’.26’ Lintang Selatan. Kawasan permukiman tradisonal suku Dayak Halong ini tersebar hampir

Syahlan Mattiro 147 di wilayah 10 (sepuluh) desa, yang meliputi:Desa Binuang Santang, Desa Marajai, Desa Mauya, Desa Mantuyan, Desa Tabuan,Desa Buntu Pilanduk, Desa Kapul, Desa Ha ‘uwai, Desa Liyu dan Desa Aniungan. Adapun total luas kesepuluh desa yang menjadi kawasan permukiman Suku Dayak Halong tersebut mencapai sekitar 366,66 km2 atau 55,57% dari luas wilayah Kecamatan Halong. Berbagai macam jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdiri dari golongan rumput, perdu, liana (tumbuhan memanjat), semak, dan pohon. Semua jenis ini dipergunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Dayak Bukit di sekitar pegunungan Meratus, khususnya pada masyarakat Dayak Halong. Secara rinci jenis-jenis tumbuhan obat tersebut adalah sebagai berikut antara lain : 1. Keriayu, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daunnya, berguna untuk menyembuhkan sakit perut dan luka. 2. Alaban, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah kulit batang, berguna untuk menyembuhkan pegal linu. 3. Pikajar, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daunnya, berguna sebagai obat kuat. 4. Uduk-uduk, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daunnya, berguna untuk sari rapet. 5. Capa, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daunnya, berguna untuk mengobati sakit perut. 6. Waringin, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daunnya, berguna untuk menyembuhkan sakit kepala. 7. Dibilas, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk mengobati diabetes. 8. Katumbar, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk menyembuhkan diare. 9. Palawan, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk menyembuhkan muntaber. 10. Lapik adam, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah air, berguna untuk menyembuhkan sariawan.

148 Syahlan Mattiro 11. Undingan, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk kejantanan pria. 12. Mengkudu hutan, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar dan kulit batang, berguna untuk menyembuhkan beri-beri dan habis bersalin. 13. Kuku-kuku, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah kelopak daun, berguna untuk menyembuhkan hernia. 14. Sambung maut, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk menyembuhkan diabetes. 15. Kantut-kantut, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daun, berguna untuk menyembuhkan sakit perut. 16. Mambaratan, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah pucuk, berguna untuk menyembuhkan batuk berat. 17. Kakait habang, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk menyembuhkan sakit perut. 18. Waringin. bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah daun, berguna untuk menyembuhkan sakit kepala. 19. Akar sambilu, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, berguna untuk menyembuhkan diare. 20. Lungsur sawa, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah air, berguna untuk pembersih nifas. 21. Pohon Abui laki. Pohon ini dianggap sangat istimewa dan mereka menyebutnya “Pohon Umur Panjang”. Pohon tersebut memiliki ciri spesifik yang tidak dimiliki oleh pohon/tanaman lain antara lain menurut penjelasan mereka bahwa pohon tersebut sudah hilang karena ditebang oleh masyarakat setempat ataupun karena hasil pembakaran hutan, akan tetapi pohon tersebut tetap tumbuh. Cara pelestarian tanaman yang dipelihara di pekarangan rumah tidaklah memerlukan perawatan yang khusus, karena hanya dipakai untuk kebutuhan sendiri, baik sebagai bumbu dapur ataupun bahan obat. Pada dasarnya, tanaman obat sebelum dibudidayakan merupakan tanaman liar, kemudian dimanfaatkan penduduk sekitar untuk kebutuhan mereka, sehingga kemudian dibudidayakan. Karena itu tanaman obat yang ditanam di pekarangan untuk konsumsi sendiri tidak memerlukan perlakuan khusus. Syahlan Mattiro 149 Perawatan di halaman rumah cukup dengan penyiraman secara teratur setiap hari dan penggemburan tanah untuk menjaga kesuburan tanah, namun untuk tanaman yang diambil rimpangnya, penyiraman dan penggemburan tanah harus dilakukan hati-hati, karena jika dilakukan secara berlebihan justru akan membuat busuk rimpang Masyarakat dalam melestarikan sumber daya alam dapat berpedoman pada sumber agama, karena agama mengajarkan kepada kita untuk menjaga keseimbangan alam. Dengan demikian agama dapat memberikan landasan moral, yang dapat berfungsi sebagai etika menjaga lingkungan, sehingga kegiatan manusia tetap dalam kondisi mementingkan lingkungan alam sehingga selalu terjaga kelestariannya. Sehingga diharapkan manusia selalu berusaha mengakrabkan diri dengan lingkungan, baik tanah, hutan, air, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Nilai yang menjadi dasar dalam melestarikan hutan sekaligus pengetahuan lokal mereka dimana terdapat banyak tumbuhan obat tidak terlepas dari kepercayaan yang biasa dipahami adalah suatu pandangan dan prinsip hidup yang didasarkan kepada percaya adanya kekuatan gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dengan penekanan kepada kekuatan gaib, pandangan yang bersifat rasional dan empirik, seperti pandangan ilmiah tidak dinamakan kepercayaan. Dalam perkembangannya, kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Mahakuasa ini digambarkan oleh manusia atau komunitas menurut daya jangkau akalnya masing-masing. Sifat yang diberikan Tuhan juga menjadi beragam dan jumlahnya pun menjadi berbeda antara satu masyarakat penganut agama dan masyarakat lain.

150 Syahlan Mattiro III. SIMPULAN Ada lima komponen ritual yang salah satunya adalah kepercayaan atau keyakinan. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, tentang wujud dari ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan mahkluk-mahkluk halus lainnya. Sistem keyakinan tersebut biasanya terkandung dalam kesustraan suci, baik yang sifatnya tertulis maupun yang lisan, dari religi ataupun agama yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1987:81). Asal mula kepercayaan terhadap ilmu gaib adalah sebagai cara memecahkan persoalan hidup masyarakat yang bersangkutan. Mereka memecahkan persoalan hidup dengan akal dan sistem pengetahuan yang terbatas (Agus, 2006 :175). Setiap manusia sadar bahwa selain dunia yang fana ini, ada alam dunia yang tak tampak olehnya, dan berada diluar batas akalnya. Dunia itu adalah dunia supernatural, atau dunia alam gaib. Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai mahkluk dan kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, dan karena itu dunia gaib pada dasarnya diikuti oleh manusia. Kepercayaan pada kekuatan sakti juga terdapat dalam ritual-ritual dari banyak suku bangsa Indonesia, dan bahkan masih merupakan unsur penting dalam religi-religi suku-suku bangsa yang sudah terpengaruh agama-agama besar. Banyak orang Indonesia yang masih percaya bahwa halilintar, topan, pelangi, dan sebagainya merupakan gejala-gejala yang sakti, dan bahwa tokoh-tokoh manusia yang luar biasa, yaitu pemimpin, kepala desa, kepala adat, pemuka upacara keagamaan, dukun, orang cacat, bule, kerdil, dan sebagainya, adalah orang-orang yang memiliki kekuatan sakti. Demikian pula berbagai zat tubuh manusia yang penting seperti kepala, rambut, kuku, darah, keringat, dan kotorannya, mengandung kekuatan sakti.

Syahlan Mattiro 151 Kepercayaan kepada arwah leluhur dimana makhluk-makhluk sering dianggap masih tetap secara aktif menaruh perhatian kepada masyarakat dan bahkan menjadi anggotanya. Kepercayaan yang mendalam tentang arwah leluhur seperti itu khususnya cocok dengan masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok kekerabatan yang mempunyai orientasi kepada leluhur. Akan tetapi lebih dari itu, kepercayaan seperti itu memberi rasa kesinambungan yang kuat, di mana masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang semuanya saling berkaitan. Tegasnya dalam kajian budaya lokal ini bukan semata-mata agama, melainkan sebagai fenomena kultural yang ditransformasikan kedalam kehidupan sehari-hari mereka dengan cara: 1. Memelihara lingkungan hutan merupakan amalan yang baik yang disenangi Tuhan 2. Sebagai makhluk yang berakal manusia wajib memelihara keseimbangan alam sekitar. 3. Memelihara hubungan manusia dengan alam agar tetap serasi. 4. Menjaga dan memelihara lingkungan alam merupakan bagian dari iman.

DAFTAR PUSTAKA Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : PT Raja Grafindo. Aprianto, Afif, 2008. Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kesepuhan Cibedug dengan Aturan Formal Pengetahuan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian. Bogor: Tidak diterbitkan. Biro Pusat Statistik. 2000. Sensus Kependudukan. de Vogel, E.F. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy: Theory and Practice. UNESCO For Southeast Asia. Jakarta.

152 Syahlan Mattiro Foster, 2008. Antropologi Kesehatan. Jakarta :UI-Press. Haviland. William.A. 2004. Antropologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Permadi, 1995. Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pengobatan Tradisional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Ngari, E.W., Chiuri, L.W., Kariuki, S.T., and Huckett, S. 2010. Ethnomedicine o Ogiek of River Njoro Watershed, Nakuru-Kenya. Ethnobotany Research and Applications Vol 8: 135-152. Rugayah, Retnowati,A., Windadri, F.I., dan Hidayat, A. 2004. Pengumpulan Data Taksonomi dalam Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Simpson, M.G. 2006. Plant Systematics. Canada: Elsevier Academic Press. Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Sumintarsih, et,al. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungan dengan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Pembangunan, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. Tucker, A.O and Calabrese, L. 2005. The Used and Methods of Making a Herbarium/ Plant Specimens. An Herb Society of America Guide. The Herb Society of America. Kirtland. Wahyu, 2007. Bahan Kuliah Ekologi Manusia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Syahlan Mattiro 153 154 Syahlan Mattiro MEMBONGKAR KAJIAN KEARIFAN LOKAL (Diskursus Metodologis dan Kontemplasi) Nasrullah

ABSTRAK Makalah ini membahas persoalan peneliti yang mengalami kesulitan meneliti kebudayaan sendiri, apalagi meneliti tentang kearifan lokal dalam kebudayaan penelitian tersebut. Selain itu, makalah ini juga menjawab persoalan tentang bagaimana kearifan lokal dikelola dan menjadi universal. Menjawab persoalan tersebut, peneliti melakukan telaah epistimologis terutama melacak pada kajian-kajian terdahulu dan juga kontemplasi peneliti dari pengalaman penelitian terdahulu. Hasil yang didapatkan adalah, kesulitan peneliti kebudayaan sendiri untuk menggali kearifan lokal sehingga diperlukan daya kritis peneliti serta melakukan refleksi kajian dari penelitian sejenis. Kemudian, penelitian lokal tidak hanya digali atau sekedar diketahui, tetapi dapat dikemasi dengan baik agar menjadi kebanggaan serta menjadi daya tarik bagi generasi muda maupun bagi masyarakat luas. Kata kunci: Kearifan lokal, epistimologis, peneliti.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP Unlam Banjarmasin.

Nasrullah 155 1. PENDAHULUAN Makalah ini merupakan diskursus metodologis sekaligus kontemplasi peneliti mengenai penggalian kearifan lokal terutama bagi pemilik kebudayaan atau orang lokal sendiri. Pemilik kearifan lokal cenderung tidak menyadari bahwa mereka memiliki kearifan lokal yang sangat penting memberi solusi bagi persoalan mereka sendiri bahkan sebagai sumbangan bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Selain itu, orang lokal sebagai pemilik kearifan lokal hanya menjalani siklus kehidupannya tanpa memaknai arti kehidupan tersebut sehingga dikhawatirkan kearifan lokal tidak dapat diwariskan kepada generasi penerusnya. Kearifan lokal merupakan tema yang selalu menarik untuk dikaji, karena masing-masing daerah kebudayaan memiliki ke khasan tersendiri. Kelebihannya terletak pada sifatnya lentur dan tahan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan, sehingga dalam pemanfaatannya sumberdaya alam dan lingkungan dapat berkelanjutan. Pengetahuan lokal juga lebih mengarah pada penyesuaian terhadap sistem ekologi, sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem ekologi tersebut (Wahyu, 2005: 8). Namun, menyebutkan kearifan lokal yang didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-praktik baik yang berasal dari generasi- generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi (Ahimsa-Putra, 2008: 12) sendiri tidaklah lengkap kalau tidak mendapatkan gambaran tentang kearifan lokal itu sendiri. Persoalan berikutnya, bagi orang lokal, mereka tidak menyadari bahwa praktik kehidupan sehari-hari mereka sebagai suatu kearifan lokal. Oleh karena itu, pembahasan dalam makalah ini terlebih dahulu memahami kearifan lokal dan keterkaitannya dengan pemahaman pemilik kebudayaan atau penduduk lokal tersebut. 156 Nasrullah II. PEMBAHASAN Memahami suatu fenomena kebudayaan dalam antropologi akan menemukan istilah the other (pandangan orang luar) dan insider (pandangan orang dalam). Dua istilah ini bertolak belakang. Pandangan orang dalam selalu melihat sesuatu pada dirinya sebagai hal biasa saja, sedangkan orang luar, melihat takjub dan luar biasa terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh orang dalam. Kita sering mengabaikan segenap potensi, khususnya kearifan lokal yang dimiliki. Memang, suatu pandangan dari-dalam mungkin dapat sangat menyesatkan. Ada beberapa alasan. Satu di antaranya ialah, kebanyakan orang memiliki lihatan yang sangat terbatas dan sering kali senjang mengenai cara kerja sistem tempat hidupnya (Kaplan & Manners, 2002: 29). Pengalaman melakukan penelitian tentang rumah Banjar pada tahun 2013 di Martapura, misalnya, informan mengalami kesulitan menyebutkan tipe rumah tradisional Banjar bahkan istilah-istilah lokal berhubungan dengan nama-nama ruangan dalam rumah tersebut. Padahal informan tersebut merupakan penghuni rumah tradisional Banjar yang sudah tua dan generasi penerus yang berhubungan secara langsung dengan pemilik pertama rumah Banjar. Pengalaman seperti ini juga dialami Purnama (2000) yang meneliti rumah Limas di Palembang: Ternyata pada umumnya penghuni rumah tersebut tidak menguasai lagi hal-hal yang peneliti tanyakan. Hal ini disebabkan sebagian besar penghuni rumah limas tersebut merupakan generasi penerus dari rumah pertama. Hanya generasi pertama dan kedua dari penghuni rumah tersebut yang menguasai tentang struktur bangunan arsitektur rumah limas tersebut beserta makna-makna yang terkandung di dalamnya (Purnama, 2000:30). Persoalan yang sama dirasakan oleh Abdullah ketika meneliti simbol gunung Kakung yang dilakukan orang Jawa dalam upacara Garebeg, terutama dalam memberikan interpretasi dari simbol tersebut. Menurut Abdullah (2002:18) ada bagian-bagian yang memerlukan Nasrullah 157 interpretasi peneliti karena dengan berbagai alasan si pemilik kebudayaan tidak dapat mengungkapkan secara eksplisit. Dengan demikian, seorang peneliti sebagai the other hendaknya menyadari bahwa pelaku kebudayaan sendiri mengalami kesulitan menjelaskan diri mereka sendiri. Hal yang sama dialami oleh kalangan peneliti ketika melakukan kajian riset di lingkungannya sendiri. Beberapa peneliti lokal tidak menyadari bahwa penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan kearifan lokal, seperti kajian Mattiro (2007) tentang pengetahuan masyarakat Mandar tentang pelayaran, tetapi lebih dilihat pada kajian modernitas saja. Kajian Apriati (2013) tentang perempuan pedagang di pasar terapung yang menunjukkan sesungguhnya sangat berhubungan dengan kearifan lokal. Demikian pula kajian Alfisyah (2005) terhadap pedagang dan kehidupan keagamaan orang Banjar di Sekumpul. Alfisyah mengkaji peran agama dalam meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Jika dicermati ternyata kajian Alfisyah sangat berkaitan dengan kearifan lokal orang Banjar yang terkenal agamis sekaligus pedagang. Nasrullah (2008) selain tidak menyadari kajian tesisnya mengenai konsep ruang ngaju (hulu), ngawa (hilir), ngambu (darat) dan Liwa (laut) dalam pemikiran orang Dayak Bakumpai memiliki tautan dengan kearifan lokal. Ia sendiri mengakui kesulitan melakukan penelitian tersebut. Ada data tertentu sebagai hal yang biasa saja bahkan tidak perlu dan diabaikan, padahal sebenarnya penting untuk data penelitian. Kekhawatiran terhadap seorang peneliti yang mengkaji daerahnya akan menjadi kurang sensitif melihat berbagai kajian seperti sesuatu yang semestinya penting, tetapi dianggap tidak penting. Jadi, meneliti di tempat sendiri tidak semudah yang dibayangkan (Nasrullah, 2008:26). Kesulitan yang dialami kebanyakan peneliti lokal demikian, membuat peneliti harus menyadari bahwa dapat mengurangi sensitifitas ketika melihat sisi-sisi keunikan tentang praktik-praktik kebudayaan (Hamdi, 2011:58). 158 Nasrullah Peneliti kadang-kadang mengabaikan fenomena yang terjadi di sekitarnya. Misalnya, pada permainan anak-anak dalam tradisi orang Banjar dan Dayak, mereka sering menyebutkan “dus kalalatu, mati jadi hantu”. Ucapan di kalangan anak-anak tersebut merupakan statemen agrement bahwa mereka telah berjanji dan tidak mengingkari janji yang disepakati. Sebagai pengikat janji tersebut terdapat ancaman luar biasa apabila diingkari yakni meninggal akan menjadi hantu. Kearifan lokal di balik kesepakatan dus kalalatu tersebut sungguh luhur yang ditanamkan sejak kecil agar anak- anak menjadi jujur atau tidak mengingkari janji. Nilai kearifan lokal seperti ini jika diaktualisasikan hingga dewasa merupakan tindakan preventif terhadap penyalahgunaan kewenangan, terutama pada persoalan korupsi yang menjadi masalah bangsa Indonesia. Demikian juga fenomena jual beli di kalangan masyarakat Banjar. Sejak lama kota Banjarmasin dikenal sebagai kota perdagangan, dan dikenal pula dengan kota religius. Ajaran ulama diamalkan dalam kehidupan ekonomi, terutama perdagangan mewujud dalam akad jual beli masyarakat di pasar. Apabila proses tawar menawar berhasil dengan kesepakatan harga, penjual akan menyampaikan “ku jual dengan harga ….” Atau kalimat praktis “juallah”. Pembeli akan menyahut akad itu dengan kalimat “ulun tukar seharga…” atau secara singkat “tukarlah”. Tradisi berakad “juallah” yang disahut “tukarlah” bukan hanya sekadar menjalankan syariat Islam. Kalau dicermati sebelum tercapainya kesepakatan harga antara penjual dan pembeli, sebenarnya telah terjadi negosiasi yang sengit dalam tawar menawar. Si penjual ingin mempertahankan harga barangnya, sedangkan pembeli berupaya menawar serendah-rendahnya. Terkadang bujukan si penjual menggunakan kalimat seolah mengistimewakan pembeli, “kujual dengan harga kaini tagal lawan ikam haja, kada usah bepadah ka lain dingsanaklah” (Kujual dengan harga begini, karena hanya dengan kamu saja, jangan ceritakan dengan orang lain wahai saudara). Sengitnya negosiasi dalam tawar menawar, bahkan

Nasrullah 159 selisih harga sedikit pun, membuat negosiasi alot. Praktis akad “juallah” dan “tukarlah” menjadi win-win solution yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (Nasrullah, 2013). Dari fenomena kebahasaan dus kalalatu dan akad jual beli tersebut menunjukkan bahwa kajian bahasa bukan hanya dilihat dari sudut pandang kebahasaan belaka: linguistik atau sastra, tetapi dalam antropologi salah satu dari tujuh unsur kebudayaan adalah bahasa. Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki oleh setiap manusia dan bahasa itu berkembang karena akal dan sistem pengetahuan manusia (Sibarani, 2004:9). Bahasa di sini bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai kepribadian karena di dalam bahasa yang beragam itu tersimpan sopan santun dan tata kelakuan yang berbeda (Abdullah, 2006:67). Kearifan lokal selain sebagai kajian ilmiah, terutama pada ranah praktis sebenarnya mampu menjadi daya tarik bagi orang lain. Di luar sana, banyak hal-hal yang sebenarnya biasa saja tetapi justru menjadi kebanggaan suatu daerah bahkan kebanggaan negara. Patung Manneken Pis, yakni anak kecil yang kencing dalam keadaan telanjang di Brussel, Belgia, begitu menarik minat orang untuk datang dan berfoto dengan latar patung itu. Padahal di tempat kita, ada begitu banyak anak kecil yang kencing dalam kondisi telanjang yang tidak kita hiraukan. Di tempat lain, orang akan merasa belum pergi ke Singapura kalau belum berfoto dengan latar belakang singa putih yang mulutnya mengeluarkan air. Jika contoh biasa di tempat lain, kemudian bisa menjadi luar biasa, tentu tidak mustahil juga bagi kita untuk melakukannya. Salah satu ibukota kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan, Marabahan adalah kota yang sepi, sehingga untuk mencari keramaian penduduk kota pergi ke Banjarmasin. Padahal sebagian orang, malah bersedia membayar untuk tinggal di tempat sepi, jauh dari keramaian, publisitas. Mereka adalah orang-orang yang ingin lepas dari segala rutinitas. Tentu kenyataan yang kita rasakan, berbeda dengan orang lain sebagai

160 Nasrullah paradoks dari perbedaan pengalaman hidup dan lingkungan sekitar. Contoh lain, kita setiap hari dengan mudah pergi ke sawah atau bermain di sungai. Pandangan sementara yang kita anut, bermain di sawah atau mandi di sungai adalah aktivitas biasa saja, sedangkan di tempat lain sungguh menjadi momen yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Orang bahkan rela membayar hanya ingin mengajak anak-anaknya bermain di sawah dan ikut merasakan kehidupan menjadi petani. Ada dua manfaat menggali kearifan lokal, pertama sebagai kajian keilmuan. Misalnya, peneliti memberikan analisa atau pemahaman tentang dongeng yang berkembang secara nasional tentang Malin Kundang dari Sumatera Barat. Cerita Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu, menggambarkan kuatnya dominasi matrilineal sekaligus keutamaan perempuan di kalangan orang Minang (Udasmoro, dkk. 2012). Hasil kajian tersebut dapat dijadikan bahan pengajaran di perguruan tinggi dan kemudian direkonstruksi kembali di kalangan intelektual pada dongeng-dongeng serupa. Kedua, manfaat praktis. Secara umum untuk kebanggaan suatu daerah dan tujuan komersil misalnya di sektor wisata. Kebanggaan terhadap daerah kita laksana air sungai, terkadang mengalami pasang, pada waktu lain mengalami dan lebih banyak terjadi mengalami surut. Kebanggaan terhadap budaya sendiri menjadi menebal, atau mengalami pasang manakala kita menujukkan prestasi melalui jalur kebudayaan tersebut. Bisa juga kita menjadi bangga melalui tangan orang lain. Media massa seperti televisi, media cetak, atau media internet, kadang berbaik hati melakukan liputan khusus tentang budaya suatu daerah. Begitu liputan itu ditayangkan, kita merasa bangga menyaksikannya dan memberitahukan ke berbagai kolega. Kebanggaan demikian tentu saja hanya muncul pada momentum tertentu, apalagi hanya berharap kebaikan media. Justru kebanggaan itu mestinya dipupuk dan dikembangkan dari dalam sendiri. Persoalan

Nasrullah 161 kemudian, tidaklah mudah memupuk kebanggaan tersebut, apalagi pada masa sekarang kita dengan mudah mengakses informasi dari televisi, radio, internet, hingga smartphone. Kalangan anak-muda akan sangat rentan mengalami kesenjangan budaya, mereka lebih mudah menuruti budaya luar karena dianggap lebih populer. Ketiga, penggalian kearifan lokal juga bertujuan untuk melestarikan kebudayaan. Kebudayaan merupakan blue-print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman tingkah laku. Pandangan semacam ini telah menyebabkan peneliti merunut keberlanjutan kebudayaan itu pada ekspresi simbolik individu dan kelompok, terutama melihat proses pewarisan nilai itu terjadi (Abdullah, 2006:1). Kita tidak serta merta ada begitu saja, melainkan hadir karena mewarisi kebudayaan nenek moyang kita. Namun karena sekarang ada banyak yang kita lihat, didengar, diikuti dari daerah lain, tidak bisa dihindari lagi akan terjadi percampuran kebudayaan baik secara asimilasi atau akulturasi kebudayaan. Pada kondisi tertentu kita bisa saja mengabaikan tradisi setempat, tetapi pada kondisi berbeda kita mengharapkan romantisme dan kita ingin bernostalgia, mengulang segala yang indah di masa lalu. Sebagai contoh, di tengah keasyikan kita menggunakan teknologi canggih zaman sekarang. Orang dengan mudah berhubungan satu sama lain dengan jarak yang terpisah jauh, tetapi ada kalanya kita justru mengalami adiksi teknologi. Di tengah keramaian, kita menjadi sendiri karena asyik menggunakan handphone pintar baik untuk kepentingan komunikasi maupun hanya sekedar bermain. Kondisi demikian membuat kita rindu untuk kembali ke masa lalu, menghabiskan waktu untuk mengobrol, bertatap muka atau mengingat kembali permainan anak-anak yang sudah mulai hilang, seperti bermain kelereng, kucing-kucingan dan sebagainya.

162 Nasrullah Kajian ilmiah tentang kearifan lokal biasanya dikonsumsi untuk kalangan tertentu, terutama kalangan intelektual. Padahal kearifan lokal semestinya diwariskan kepada kepada generasi sebelumnya, sedangkan generasi muda cenderung melupakan hal-hal yang dianggap masa lalu karena mereka terpengaruh oleh kehidupan global. Agar tidak ada kesenjangan antara generasi terdahulu dan pewarisan kearifan lokal perlu dilakukan pengemasan. Kemasaan itu dapat berbentuk buku, tulisan di media cetak dan blog, atau lagu. Di daerah Hulu Sungai, misalnya Kabupaten Tapin kaya akan forklore cerita rakyat terutama kisah para datu yang telah dibukukan sehingga menjadi daya tarik orang untuk melakukan wisata religius ke makam datu-datu tersebut. Kita juga memerlukan tulisan yang menceritakan riwayat suatu tempat dalam bentuk papan nama agar orang mengetahui pentingnya tempat tersebut. Cara lain adalah melalui blog. Saya pernah menulis di blog http://baritobasin.wordpress.com dan http://danummurik. wordpress.com tentang orang Bakumpai di Batola mengenai Islam di Bakumpai, tradisi bulan Ramadhan, ternyata tulisan tersebut memancing media massa untuk melakukan liputan khusus. Majalah Gatra edisi 15 Oktober 2008, menurunkan liputan khusus pada halaman 51 sampai halaman 56 berjudul “Orang Bakumpai, Oloh Sungai”. Majalah Kartini edisi 12 – 26 Juli 2012, pada halaman 92 hingga halaman 94 memuat tentang tradisi Ramadhan orang Bakumpai. Selain media cetak (majalah), Trans 7 menanyangkan Si Bolang Bakumpai Kehilangan Sepatu - Sabtu & Minggu, 28 & 29 November 2009. Selain tulisan, beberapa daerah menjadi terkenal karena diabadikan dalam lagu. Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang terkenal tahun 68-an, semenjak dinyanyikan Ernie Djohan. Kotabaru menjadi terkenal semenjak Anang Ardiansyah melantunkan lagu Paris Barantai. Untuk kota Marabahan, Sebenarnya Anang Ardiansyah, Sang Maestro lagu Banjar pernah mengabadikannya pada tahun 1970-an dalam lagu Kapal Gandengan Taksi.

Nasrullah 163 Kemasan baik melalui buku, tulisan di blog hingga lagu adalah promosi yang kuat untuk menarik orang untuk hadir ke suatu daerah. Selain itu, kita juga memerlukan suatu wadah yang konkret. Ada dua hal yang bisa jadi bahan pelajaran yakni pada komunitas Betawi di Situ Babakan Jakarta dan tradisi Dayak di Mencimai, Kutai Barat. Komunitas Betawi di Situ Babakan membuat lokasi wisata Budaya. Pengunjung diberikan tempat tinggal di rumah adat Betawi bahkan berbaur dengan masyarakat, sehingga mendapat kesempatan untuk mengenal lebih dalam budaya Betawi. Di Mencimai, terdapat museum sederhana tentang tradisi berburu pada orang Dayak. Namun, jangan dibayangkan museum tersebut seperti museum Mulawarman di Tenggarong. Seorang Jepang mendirikan rumah yang didalamnya berisi miniatur berbagai macam jenis jebakan binatang dari burung, binatang buas, kera dan sebagainya.

III. SIMPULAN Menggali kearifan lokal dan mengaktualisasikan kembali tak ubahnya seperti lagu Rhoma Irama berbunyi “ringan diucapkan berat dalam tanggungan”. Kita sering terbentur dari dalam sendiri sebagai kelemahan diri. Ketidakpedulian kepada budaya sendiri harus diakui acapkali terjadi, akibatnya dukungan biaya maupun perawatan menjadi persoalan permukaan. Tidak kalah susahnya adalah kemampuan sumberdaya manusia untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal sangat diperlukan. Solusinya antara lain, kegiatan menggiatkan kepedulian terhadap budaya daerah merupakan langkah awal yang dapat menggugah kita dan membangun kepedulian bersama. Jalan lain adalah upaya mempopulerkan budaya sendiri merupakan pekerjaan rumah yang menjadi tantangan untuk diselesaikan.

164 Nasrullah DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. ______. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Balai Pustaka. Alfisyah. 2005. Agama dan Tingkah Laku Ekonomi Orang Banjar (Studi Atas Pedagang Sekumpul Kabupaten Banjar. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Apriati, Yuli. 2013. Strategi Perempuan Pedagang di Pasar Terapung Lok Baintang. Tesis Pascarjana Sosiologi Fakulas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hamdi, Syaiful. 2011. Reproduksi Konflik Dan Kekuasaan Dalam Organisasi Nahdlatul Wathan (NW) Di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Disertasi Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kaplan & Manners. 2002. Teori Budaya, (penerjemah Landung Simatupang), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasrullah. 2008. Ngaju, Ngawa, Ngambu, Liwa (Analisis Strukturalisme Levi- Strauss terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak Bakumpai di Sungai Barito. Tesis Pascasarjana Program Studi Antropologi, UGM, Yogyakarta. ______. 2013. “Warisan Budaya Tak Benda Daerah dan Upaya Pencatatannya” makalah disampaikan dalam rangka Kegiatan Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda Daerah Menuju Penetapan dan Pengakuan sebagai Warisan Budaya Nasional” pada hari Rabu, 11 September 2013 di Hotel Biuti Banjarmasin

Nasrullah 165 Mattiro, Syahlan. 2007. Kebaharian Tradisional Suku Mandar di Kotabaru. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Orang Sungai, Oloh Bakumpai”. 2008. Gatra, 15 Oktober, 50-56 “Tradisi Menyambut Puasa di Kalimantan”. 2012. Kartini, 11-26 Januari, 92-94 Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Wasita, Sugiyanto, dan Nasrullah. 2013. Laporan Penelitian Arkeologi, “Simbol Denah Rumah Banjar: Analisis Pemikiran Masyarakat Penggunanya.” Balai Arkeologi Banjarmasin, Banjarbaru. Wahyu. 2005. “Penguatan Kearifan Sungai: Kasus Banjarmasin”. Makalah pada seminar sehari tentang Sumbangan Ilmu-ilmu Sosial (Sosiologi dan Antropologi) dalam Penguatan Kearifan Lokal Budaya Sungai. 1 Oktober 2005. Kampus Unlam Banjarmasin. Udasmoro, Kusumayanti dan Herminingsih. 2012. Sastra dan Pendidikan Karakter. Program Studi Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

166 Nasrullah KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERDAGANGAN MASYARAKAT BANJAR (Studi Perdagangan Pasar Terapung Lok Baintan) Yuli Apriati

ABSTRAK Sistem perdagangan tradisional di pasar terapung Lok Baintan merupakan warisan turun-temurun. Meskipun telah bermunculan pasar-pasar tradisional di daratan dan juga pasar-pasar modern, nyatanya pasar terapung Lok Baintan masih tetap bertahan hingga sekarang sebagai pasar tradisional yang berorientasi alam dan selaras dengan kondisi sosial budaya masyarakat Banjar yang dekat dengan sungai. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kekuatan dan kearifan lokal yang dimiliki para pedagang. Kearifan lokal yang dimiliki pedagang di pasar terapung terlihat dari sistem perdagangan baik peralatan berdagang dan tempat yang digunakan, juga hasil yang diperdagangkan, dimana kebanyakan merupakan pedagang sayur dan buah.

Kata kunci: Sistem perdagangan, pasar terapung.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP Unlam Banjarmasin.

Yuli Apriati 167 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan ribuan pulau dengan masyarakat dan kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal masing-masing. Karena itu, Indonesia merupakan negara dengan masyarakat heterogen dengan keberagaman budaya unik yang terbentuk oleh ratusan kelompok etnik yang disebut masyarakat tradisional. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Daeng (2000: 303) bahwa identitas tradisional ini dilingkari oleh batas primordial dalam wujud ikatan keluarga, desa, suku, dan agama. Kebudayaan yang beragam ini muncul karena manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan yang terjadi disekitarnya sehingga melahirkan suatu pola-pola tingkah laku yang baru. Liliweri (2003: 120) juga mengungkapkan bahwa para anggota dari setiap kebudayaan mempunyai suatu keunikan yang dijadikan sebagai identitas sosial untuk menyatakan tentang siapa mereka dan mengapa mereka ada, kemudian muncullah budaya material. Budaya material adalah hasil produksi suatu kebudayaan berupa benda yang dapat ditangkap indera dan budaya material tidak hadir dengan sendirinya tetapi dibangun berdasarkan nilai tertentu. Budaya material juga bisa muncul akibat dari adaptasi manusia dengan alamnya. Lingkungan alam yang berbeda-beda menyebabkan berbagai bentuk adaptasi dikalangan manusia yang berbeda-beda pula. Menurut Steward (1955) dan Force (1974) dalam Su Ritohardoyo (2006: 30) yang mengungkapkan adaptasi dalam arti luas yaitu sebagai aktivitas-aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan, dalam rangka mempertahankan kehidupannya, dengan tingkat budaya yang dimiliki. Adaptasi bukan hanya berarti bahwa kehidupan manusia bergantung pada lingkungan alam, tetapi adaptasi diartikan sebagai suatu kepastian proses kreatif dan tingkat penyesuaian budaya dari manusia terhadap tantangan lingkungan alam yang tidak dapat dihindarkan. Geertz

168 Yuli Apriati (1976: 10) menegaskan bahwa sifat adaptasi suatu komunitas tergantung pada perjuangan keras atau kecerdikan mereka untuk mengalahkan lingkungan alam. Proses adaptasi yang digambarkan oleh Steward ini dapat terjadi di dalam struktur masyarakat manapun. Sebagai contoh adaptasi manusia dengan alamnya adalah adaptasi masyarakat Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan terhadap lingkungan sungai, diantaranya dengan memanfaatkan sungai untuk aktivitas berdagang seperti pasar terapung Lok Baintan di Desa Lok Baintan dan ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Banjar. Tulisan ini difokuskan pada pengamatan mengenai kearifan lokal masyarakat Banjar dalam hal konsep dan sistem perdagangan di Pasar Terapung Lok Baintan, serta pewarisan kearifan lokal tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Wahyu dan Nasrullah (2011:291) pengetahuan lokal penduduk adalah “sistem pengetahuan penduduk setempat didapatkan sebagai warisan (blueprint) dari generasi ke generasi dan merupakan proses pengalaman hidup yang dijalani. Sistem pengetahuan ini beroperasi dalam tataran kehidupan sehari-hari sebagai upaya diri individu maupun kolektif untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Berdasarkan identifikasi tersebut, maka tulisan ini difokuskan pada hal berikut yaitu kearifan lokal pada sistem perdagangan di Pasar Terapung Lok Baintan.

II. PEMBAHASAN Kabupaten Banjar satu dari tiga belas daerah (kabupaten/kota) di daerah Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 4.668,50 km2 terdiri dari 19 Kecamatan dan 290 Desa/Kelurahan. Penduduknya 516.663 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 262.271 jiwa (50,76 persen) dan perempuan 254.392 jiwa (49,24 persen). Kabupaten Banjar terletak pada koordinat 2 49’ 55’’–3 43’ 38’’ pada garis Lintang Selatan dan 114 30’ 20 – 115 35’ 37’’ pada Bujur Timur. Yuli Apriati 169 Di Kabupaten Banjar terdapat banyak sungai besar diantaranya sungai Martapura. Panjang sungai Martapura 80 km, lebar 100 m, kedalaman rata-rata 10 m dengan anak-anak sungai. Pasar terapung Lok Baintan terletak di Desa Lok Baintan di aliran sungai Martapura. Masyarakat desa Lok Baintan berbudaya sungai dengan tradisi berdagang di pasar terapung Lok Baintan. Pasar terapung Lok Baintan merupakan pasar tempat bertemunya antara pedagang tangan pertama (petani yang menjual sendiri hasil panennya berasal dari sekitar pasar terapung) dan tangan kedua (pedagang yang berasal dari pasar di daratan dan anak-anak sungai sekitar pasar terapung). Pedagang di pasar terapung Lok Baintan mayoritas masyarakat sekitar pasar tersebut dengan sekitar 100 orang pedagang dengan mayoritas perempuan. Pada musim buah, bulan Oktober sampai Desember pedagang lebih ramai, sebab para petani mendagangkan hasil panennya di pasar ini. Pada masa tersebut masyarakat dari daerah lain berdatangan ke pasar Lok Baintan yang biasanya untuk berwisata sekaligus membeli keperluan sayur-mayur dan buah-buahan. Kini, wisatawan Nusantara dan mancanegara semakin banyak datang ke pasar terapung Lok Baintan. 2.1 Karakteristik Pedagang di Pasar Terapung Mayoritas pedagang di pasar terapung adalah perempuan. Perempuan pedagang di pasar terapung Lok Baintan terdiri dari dua kelompok, yaitu pedagang tetap dan pedagang tidak tetap. Untuk lebih jelasnya perbedaan karakteristik kedua kelompok pedagang tersebut digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 1

170 Yuli Apriati Karakteristik Pedagang Tetap dan Pedagang Tidak Tetap di Pasar Terapung Lok Baintan (Sumber : pengamatan dan pengolahan data lapangan)

No Karakteristik Pedagang Tetap Pedagang Tidak Tetap 1 Intensitas waktu Pedagang yang setiap Pedagang yang berda- berdagang hari berdagang gang 2-3 kali seminggu. 2 Komoditas Dagangan yang sama Tergantung hasil perkebunan dagangan setiap hari dan tanggap dan apa yang tersedia yang terhadap permintaan dapat didagangkan pelanggan, dan mampu kembali. membaca kebutuhan. 3 Modal Relatif lebih besar Kecil dan dagangan dari kebun sendiri. 4 Pelanggan Banyak pelanggan Tidak mempunyai pelanggan 5 Sistem penjualan Eceran Grosir, dalam bentuk bungkalang (keranjang).

2.2 Sistem Perdagangan Di Pasar Terapung Lok Baintan Pasar terapung Lok Baintan merupakan pasar untuk transaksi jual beli di sungai dengan jukung dan klotok. Pasar terapung Lok Baintan merupakan pasar penyedia kebutuhan sehari-hari masyarakat di sekitar desa Lok Baintan, pusat kegiatan perdagangan antar sungai, dan rantai perdagangan pasar-pasar di sepanjang sungai Martapura, seperti: Pasar Banua Hanyar, Pasar Sungai Lulut, Pasar Sungai Tabuk, Pasar Subuh, Pasar Sungai Andai, Pasar Gardu, Pasar Cemara dan Pasar A.Yani. Keberadaan pasar terapung Lok Baintan sampai saat ini tetap bertahan dalam arus dominasi pasar modern (darat). Menurut kepala desa Lok Baintan, pasar terapung Lok Baintan justru semakin ramai dan

Yuli Apriati 171 berkembang sejak 5 (lima) tahun belakangan ini, apalagi dengan banyaknya pengambilan gambar untuk tayangan TV, iklan, film, dan semakin banyaknya wisatawan yang datang. Akan tetapi, pasar terapung Lok Baintan sangat minim fasilitas penunjangnya sebagai tempat tujuan wisata. Tidak tersedia penginapan, rumah makan, kios cinderamata, kondisi jalan desa yang rusak parah sehingga cara yang nyaman untuk berwisata hanya dengan klotok. Pada awalnya, pasar terapung Lok Baintan di tepian sungai desa Lok Baintan. Sesuai perkembangnnya, lokasinya melebar mencapai 2 km dengan jarak lebar 100 meter dari tepian hingga kebagian tengah sungai (hasil observasi, 2013). Selain pasar terapung di sungai, di pinggir sungai terdapat kios “darat”. Pasar terapung sendiri, berada di sungai Martapura, dengan aktivitas jual-beli sayur-mayur, buah-buahan, dan keperluan sehari- hari lainnya, dengan pedagang memakai jukung dan klotok mengalir mengikuti arus sungai yang membawanya. Sejak tahun 2002 dibangun dermaga sebagai tempat berlabuh dan pemberhentian jukung dan klotok untuk mempermudah para wisatawan yang ingin bertransaksi di pasar terapung. Pada tahun yang sama juga pernah dibangun sebuah tempat di tepian sungai dengan tujuan untuk mempermudah para pedagang dan pembeli dalam bertransaksi sehingga tidak harus terombang-ambing di atas perahu dan terbawa arus sungai namun tidak bertahan karena pedagang menolak karena mempersulit aktivitas berdagang sebab harus menaik-turunkan barang dagangan ke atas tebing. Kekhasan terapung, selain transaksinya berlangsung di atas sungai, aneka ragam jenis perahu yang berlalu lintas di pasar terapung, seperti perahu kecil/jukung dan berbagai jenis klotok (klotok tidak beratap, klotok beratap tapi tidak ada dindingnya seperti; klotok wisata) dan kios-kios serta warung-warung usaha di pinggiran sungai.

172 Yuli Apriati Aktivitas pasar terapung Lok Baintan dimulai pukul 06.00 sampai pukul 09.30 pagi. Puncak ramainya pasar pada pukul 07.00-08.00. Setelah salat Subuh (umumnya semua pedagang beragama Islam) biasanya jukung dan klotok sudah mulai berdatangan ke arah pasar terapung. Pedagang berdatangan baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, apabila berkelompok biasanya datang bersama-sama atau beriringan dengan ditarik oleh ojek klotok (bahasa daerahnya begandeng). Para pedagang, tidak hanya berasal dari Desa Lok Baintan, tetapi juga dari desa ataupun anak- anak sungai/sungai kecil lainnya. Seperti: Sungai Lenge, Sungai Bakung, Sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tandipah, dan Sungai Lok Baintan Dalam. Waktu aktivitas tersebut bukan patokan lamanya aktivitas pasar terapung, karena ketika sungai surut aktivitas dapat berlangsung lebih lama. Tetapi, ketika air pasang maka pasar ini cepat terbawa arus sehingga proses transaksi perdagangan menjadi terganggu. Apabila barang dagangan tidak laku, para pedagang menjajakannya ke anak-anak sungai/sungai kecil di sekitar Lok Baintan, sampai barang dagangan habis terjual atau waktu sudah sore. Aktivitas perdagangan hanya libur ketika lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, karena hampir semua penduduk Desa Lok Baintan adalah beragama Islam. Waktu terbaik berkunjung ke pasar terapung Lok Baintan adalah hari Senin sampai hari Jumat karena dalam lima hari tersebut jumlah pedagang pasar terapung bisa mencapai dua kali lipat dibanding hari Sabtu dan Minggu. Hari Sabtu dan Minggu biasanya digunakan para pedagang untuk pergi memenuhi undangan atau acara keluarga, sehingga sebagian pedagang berdagang sebentar atau tidak berdagang. Sebaliknya ketika pada musim panen buah yaitu antara bulan Oktober sampai Desember. Para pedagang, disamping sebagai pedagang adalah pula sebagai petani. Komoditas yang diperjual belikan di pasar terapung Lok Baintan ini sama dengan komoditas barang yang ada di pasar tradisional di daratan. Walaupun komoditas paling banyak adalah jenis sayur dan buah-buahan.

Yuli Apriati 173 Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan ditemukan berbagai jenis barang dagangan yang diperjual-belikan di pasar terapung Lok Baintan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Komoditas Dagangan Di Pasar Terapung

No Barang Dagangan Jenis Barang 1 Sayur-sayuran Daun pucuk singkong, pucuk katok, pucuk pepaya, kangkung, ubi talas, kelakai, sulur, kembang tigaron, pakis, jantung pisang,tomat, cabe, berbagai macam kunyit, dll. 2 Buah-buahan Pisang, jeruk manis, jeruk Bali, ketapi, mangga, kuini, kesturi, nenas, sirsak, rambutan, sawu, mentega/Bisbul, semangka, jambu, pepaya, kelapa, dll. 3 Beras Siam unus, siam Anjir, siam Gambut, mutiara, dll. 4 Lauk-pauk 1. Ikan sungai: tauman, gabus, papuyu, saluang, anakan, nila, sepat, udang galah, udang biasa. 2. Ikan laut : peda, lajang, pindang, tuna, udang 3. Aneka ikan kering atau asin. 4. Telor mentah : itik, ayam kampung dan ras Telor itik asin 5. Ayam ras dijual perekor/perpotong 5 Makanan Soto Banjar, nasi sop, petai, jengkol, nasi pundut, bingka, apam, pais, serabi, kokoleh, gorengan, untuk-untuk, dll. 6 Tanaman pot Cabe, seledri, berbagai cabe hias, jeruk sambal. 7 Kain dan pakaian Berbagai jenis pakaian dari pakaian anak-anak sampai pakaian dewasa, sarung, horden, seprai. 8 Kelontongan Bumbu dapur, cabe kering, bawang merah, bawang putih, mie instan, kopi, gula putih, gula merah, minyak goreng, berbagai jenis sabun mandi dan cuci baju, asam jawa, garam, penyedap,dll.

Sumber : pengamatan dan pengolahan data lapangan 174 Yuli Apriati Sebagian besar barang dagangan merupakan kebutuhan pokok sehari-hari dan mudah disediakan oleh perempuan sesuai tugas utamanya, menyediakan kebutuhan makanan dan minuman keluarga. Selain itu, modal pun relatif lebih kecil, cepat laku, serta mudah dalam memperoleh bahan bakunya. Pedagang di pasar terapung Lok Baintan ini dapat dibedakan menjadi: pertama, pedagang dengan barang dagangan yang tetap atau tidak berubah-ubah, umumnya mereka para pedagang kelontongan, beras, kue basah, berbagai makanan tradisional dan pedagang pakaian. Kedua, para pedagang dengan barang dagangan tidak tetap/berubah-ubah tergantung musim, seperti pedagang sayur-sayuran dan buah-buahan, dan pedagang ini umumnya berdagang dalam jumlah yang banyak atau secara grosir, seperti buah dijual perkeranjang (bahasa lokalnya perbungkalang) dan sayur dalam ikatan yang besar. 2. 3 Sistem Perdagangan di Pasar Terapung Lok Baintan Pasar terapung itu sendiri berasal dari kata dasar “pasar” dan “apung”. Pasar menurut Prajithno (1980:6) sebagai suatu bidang tanah atau kompleks tempat orang berjual-beli barang, hal lain juga diungkapkan oleh Sumantoro (1990:9) pasar adalah tempat bertemunya antara penjual dan pembeli. Pengertian pasar juga telah diungkapkan Prabowo (1983:15) sebagai suatu mesin sosial yang luas dan kompleks yang mengatur kegiatan ekonomi dari individu atau suatu perusahaan. Beberapa definisi pasar yang diajukan oleh para sosiolog dan antropolog, antara lain Koentjaraningrat dan Budi Santoso (1984, dalam Endrizal, 2009:9) menyebutkan pasar adalah pranata yang mengatur komunikasi dan interaksi antara para penjual dan pembeli yang bertujuan untuk mengadakan transaksi pertukaran benda-benda dan jasa ekonomi dan uang, serta tempat hasil transaksi dapat disampaikan pada waktu yang akan datang berdasarkan harga yang telah ditetapkan. Damsar (1997)

Yuli Apriati 175 mendefinisikan pasar sebagai salah satu lembaga yang paling penting dalam institusi ekonomi, yang menggerakkan dinamika kehidupan ekonomi. Sedangkan arti “apung” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:54) adalah mengambang di permukaan air, sedangkan terapung- apung adalah terkatung-katung (tidak tenggelam) di permukaan air, maka konsep pasar terapung sendiri yang merujuk kepada teori yang diungkapkan oleh Sumantoro (1990:9) dan pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:54), sangatlah jelas pengertian “pasar terapung” sendiri dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan di atas adalah sebuah tempat berjual-beli dan terjadinya tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang dilakukan di atas air dengan menggunakan sarana utama jukung atau klotok. Pada dasarnya pasar terapung sama seperti pasar-pasar tradisional di daratan yaitu berkelompok, ramai dan gaduh atau riuh. Perbedaannya pada pasar terapung, pembeli menggunakan jukung atau klotok dan penjual akan mendekat dan menempelkan jukung atau klotok mereka pada jukung atau klotok pembeli atau mengikatkannya kepada jukung atau klotok pembeli agar tidak terpisah sehingga pembeli mudah memilih barang. Pembeli di tepian sungai (tabing)akan memanggil pedagang dan pedagang akan menghampirinya. Perbedaan lainnya, pasar terapung ini tidak ada organisasinya seperti pasar tradisional di daratan, sehingga tidak diketahui secara pasti berapa pedagangnya. Begitu pula jumlah pengunjungnya setiap harinya. Tidak ada pungutan apa pun bagi pengunjung yang berwisata atau berbelanja. Wisatawan hanya membayar sewa klotok yang tarifnya tergantung jauh dekatnya perjalanan yang akan ditempuh. Dengan demikian, kedua pasar tersebut mempunyai peran yang sama dalam hal perdagangan, namun mempunyai perbedaan. Perbedaan menjadikan ciri khas dan karakter sendiri bagi masing-masing pasar seperti tergambar dalam tabel berikut: 176 Yuli Apriati Tabel 3 Perbedaan Pasar Tradisional Di Daratan dan Pasar Tradisional Di Atas Air/Pasar Terapung

No Ciri-Ciri Pasar Tradisional Di Daratan Pasar Terapung 1 Tempat Semi rumah (toko), kios, Diatas perahu kecil Berdagang lapak-lapak dan emperan. umumnya meng- gunakan alat dayung . 2 Modal Mempunyai modal untuk Tanpa modal, tempat membeli barang dagangan gratis dan barang dan sewa tempat berdagang. dagangan dari kebun sendiri dan bermodal kepercayaan sesama pedagang. 3 Pembayaran Tunai dan utang Tunai, utang dan barter sesama pedagang. 4 Pelayanan Penjual aktif menawarkan barang, Penjual aktif diam di tempat berdagang. menawarkan barang dan menghampiri pembeli.

Sumber : Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan Di pasar terapung Lok Baintan tidak hanya menjadi aktivitas jual beli, tetapi juga menjadi tempat tukar-menukar barang dagangan, yang hanya dilakukan oleh sesama pedagang atau yang sering dikenal dengan ‘sistem barter’, dalam bahasa setempat biasa disebut dengan bapanduk atau bahurupan barang. Aktivitas di pasar terapung tidak memberlakukan aturan membayar retribusi kepada pemerintah/desa, tidak ada pengkaplingan tempat berjualan, semua tergantung pada arus sungai dan panggilan-panggilan para pembeli. Para pedagang perempuan umumnya disebut atau dipanggil “acil” dan pedagang laki-laki dipanggil “paman”. Apabila kita panggil mereka acil/paman mereka akan mendekat dan menjauh apabila transaksi selesai atau transaksi batal. Yuli Apriati 177 Harga-harga di pasar terapung Lok Baintan tergolong murah dan pedagang tidak membedakan antara pembeli lokal atau penduduk setempat dengan wisatawan. Prinsip pedagang: “Kami (pasar terapung Lok Baintan) kada handak dipadahakan pelarangan/melarangi pembeli/ wisatawan yang handak menukar, kaina meulah mereka jara datang ke sini, jadi harga yang kami tawarkan sama haja dengan orang sini”. Artinya mereka tidak ingin membuat jera pembeli yang datang ke pasar terapung Lok Baintan dengan mengambil keuntungan besar sehingga harga barang sama saja dengan yang dijual kepada penduduk sekitar dan wisatawan. Pada umumnya pedagang tidak menyediakan tempat/kantong plastik bagi para pembeli, karena barang yang dibeli biasanya langsung dimasukkan dalam jukung/klotok pembeli, sehingga jarang ditemukan para pedagang yang menyediakan kantong plastik. Khususnya para pedagang buah dan sayur. Komoditas barang yang bisa diperdagangkan dalam skala kecil yang dibawa pedagang dari kebun masing-masing dan dipasarkan kepada masyarakat yang datang untuk membeli. Pembeli ada yang membeli untuk dikonsumsi sendiri dan ada juga pedagang dari pasar-pasar tradisional di daratan untuk mereka jual kembali. Situasi yang terjadi di pasar terapung Lok Baintan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi menunjukkan satu kesatuan yang saling menunjang diantara unsur-unsur yang mendukung lingkungan fisik dengan masyarakatnya. Dalam hal ini, sarana pasar terapung berupa sungai yang sangat alami di daerah pedesaan, dan sarana berdagang berupa jukung, klotok, kios-kios dan warung-warung pinggiran sungai, komoditi yang dijual maupun pedagang dan pembeli membuat transaksi jual beli menjadi semakin menarik. Suasana pasar terapung yang unik dan khas semakin terlihat semarak, sibuk dan saling berdesak-desakan antara ratusan perahu besar dan kecil saling mencari pembeli dan penjual hilir mudik atau diam di

178 Yuli Apriati tempat bergoyang dimainkan ombak sungai Martapura. Ketika matahari mulai tinggi atau turun hujan, perempuan pedagang umumnya memakai tanggui. Perempuan pedagang umumnya menggunakan pakaian yang sopan dan sederhana (khas pedesaan) sejenis daster lengan panjang yang dilapisi sarung perempuan dan menggunakan kerudung maupun selendang untuk menutupi kepala. Hal unik lainnya dari penampilan mereka yaitu menggunakan bedak dingin di wajah (pupur dingin), tangan, dan kaki. Bedak dingin merupakan sejenis bedak tradisional yang dibuat sendiri/membeli di pasar terapung, biasanya terbuat dari beras yang direndam dan dihaluskan dengan bunga/ daun yang wangi, seperti: bunga tanjung, mawar, melati dan daun pandan, kemudian digiling dengan tangan dan dijemur. Bedak dingin tersebut digunakan untuk melindungi kulit mereka dari sinar matahari, dan konon dapat memutihkan kulit. Resep tradisional ini lah yang turun-temurun digunakan oleh perempuan Banjar pada umumnya dan perempuan pedagang di pasar terapung pada khususnya. Para pedagang ketika duduk di atas perahu, saling menawarkan barang dagangan, mencari dan menunggu pembeli dan penjual, serta melakukan transaksi jual beli. Saat-saat demikian, perahu sering bergoyang dimainkan ombak, baik karena tiupan angin, maupun yang datang dari kapal besar atau klotok besar yang lewat melintasi kawasan pasar. Bagi mereka yang jarang ke pasar terapung, sulit membedakan antara pembeli dan penjual. Para penjual umumnya menggunakan bungkalang tempat sayur dan buah yang didagangkan. Pembeli menggunakan jukung/klotok. Selain menjual beraneka macam barang dagangan mentah, ada juga jukung dengan penjual nasi, minuman dan kue jajan. Jukung makanan tersebut, biasanya diminati pedagang dengan meggandengkan perahu mereka. Sambil duduk di atas perahu dan diayun-ayun ombak air sungai, para pedagang menikmati makanan maupun kue jajanan tradisional Banjar.

Yuli Apriati 179 Terdapat beberapa sebutan lokal bagi para pedagang di pasar terapung ini yaitu: pertama, para pedagang yang berperahu (jukung), mereka adalah sebagai tangan pertama yang menjual hasil produksi/ kebunnya sendiri atau titipan tetangganya disebut dukuh, dan umumnya mereka mendagangkan secara grosir. Kedua, yaitu tangan kedua yang membeli langsung dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan (pembelantik untuk sebutan di pasar terapung Muara Kuin), umumnya berdagang secara eceran. Penyambangan memiliki dua arti, walaupun intinya sama sebagai tangan kedua dan mendagangkan barangnya secara eceran. Pertama, mereka yang membeli di pasar terapung, kemudian di dagangkan kembali di pasar terapung atau untuk di dagangkan di pasar tradisional di daratan. Kedua, mereka yang membeli di tempat lain (pasar tradisional di daratan) kemudian mereka dagangkan di pasar terapung. Para penyambang berperan dalam menghidupkan situasi dan kondisi pasar terapung. Penyambang membeli atau membawa komoditi dagangan dari produsen atau pedagang grosir kepada pembeli, sehingga penyambang yang menjadi pusat penyedia dan penyalur barang-barang yang diperdagangkan di pasar terapung dan pasar tradisional di daratan. Pedagang induk melakukan jual beli secara grosir, perdagangan dalam bentuk jumlah yang besar, perdagangan secara grosir hampir dilakukan secara umum oleh pedagang dan pembeli, khususnya oleh kalangan pedagang penyambangan dari berbagai pasar-pasar tradisional di daratan. Harga yang ditetapkan dalam jual-beli secara grosir ini tentu lebih murah dibandingkan jual-beli secara eceran. Sebagian besar pasar Lok Baintan melakukan jual-beli secara grosir. Perdagangan secara grosir khususnya dilakukan oleh pedagang sayur dan buah-buahan, biasanya menggunakan bungkalang sebagai alat ukur pengganti alat timbangan. Selain pedagang grosir/produsen dan penyambangan yang meramaikan transaksi jual-beli di atas perahu di pasar terapung pedagang

180 Yuli Apriati di kios-kios pinggiran sungai juga memiliki peran (yang dulunya adalah rumah lanting). Para pembeli biasanya menambatkan perahunya di tiang- tiang kios, dengan tujuan membeli barang yang didagangkan di kios. Barang-barang yang didagangkan di kios-kios pasar terapung ini antara lain barang kelontongan atau kebutuhan pokok sehari-hari, peralatan rumah tangga dan lain-lain, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk di dagangkan kembali. Transaksi yang dilakukan bisa secara grosir maupun eceran, dan apabila sudah langganan, juga bisa dilakukan secara kredit. Para pembeli di kios-kios ini selain warga sekitar, juga para perempuan pedagang di pasar terapung yang sudah selesai berdagang atau sudah habis terjual barang dagangannya. Mereka biasanya beristirahat sambil minum dan makan kue, juga membeli barang kebutuhan pokok sehari-hari. Suasana kekeluargaan tampak sangat tergambar dalam kerumunan para perempuan pedagang di pasar terapung yang beristirahat dan berbelanja di kios ini. Disini mereka duduk-duduk santai sambil bercerita mengenai perdagangan yang telah mereka lakukan sambil menghilangkan lelah usai berdagang. 2.4 Kearifan Lokal dalam sistem Perdagangan di Pasar Terapung Lok Baintan Sistem perdagangan yang terjadi di pasar terapung Lok Baintan pada umumnya masih tergolong sistem perdagangan tradisional yang berorientasi alam. Menurut Ali, et al (Wahyu, 2007:59) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal adalah ‘bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang melalui kehidupan dari generasi ke generasi yang berhubungan dekat dengan alam. Inti dari konsep pengetahuan lokal ini adalah bahwa manusia hidup bergantung pada alam. Mereka bukan mampu melihat ekologi, tetapi juga mampu membaca ekologi.’ Senada menurut Warren (Wahyu, 2011:59) kearifan lokal dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam Yuli Apriati 181 dalam sejarah yang bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan sistem ekologi setempat, pengetahuan lokal yang unik dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian (agriculture), kesehatan (health care), penyediaan makanan (foodpreparation), pendidikan (education), pengelolaan sumberdaya alam (natural-resource management) dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas (a host of other activities in communities). Hal ini terlihat dari segi syarat utama menjadi pedagang di pasar terapung adalah dengan menyediakan jukung atau perahu sebagai tempat perdagang, dayung, tanggui, dan terpal. Selain itu para pedagang harus menyediakan modal berupa barang yang akan didagangkan, tetapi modal tersebut bagi sebagian pedagang didapat secara gratis dari alam (tanpa modal) yang diperoleh dari hasil kebun sendiri, tempat berdagang yang gratis, juga bermodal kepercayaan antar sesama pedagang.Akan tetapi bagi pedagang sayur dan buah perlu modal tambahan bungkalang sebagai keranjang ukuran buah dan sayur yang akan dijual. Pilihan memakai bungkalang merupakan pilihan tepat karena selain barang dagangan dapat tertata dengan rapi dan menarik, juga tidak perlu susah dalam menimbang barang dagangan. Alasan lainnya efisien atau hemat tempat dan lebih aman. Hal ini juga sesuai dengan hasil riset Nielsen tahun 2005, bahwa sebanyak 85 persen konsumen berbelanja tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Hal ini berarti, keinginan membeli timbul akibat rangsangan atau gerak hati yang muncul setelah melihat barang yang dipamerkan tanpa perlu pertimbangan. Dapat dipahami bahwa tampilan barang dagangan yang rapi, bersih, dan menarik memiliki korelasi dengan interest pembeli. Sebab, sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia menyenangi sesuatu yang indah dan nyaman dipandang mata.

182 Yuli Apriati Pedagang di pasar terapung mengungkapkan alasan mereka menggunakan jukung, padahal harus didayung, tidak berisik sehingga dapat mendengar panggilan pembeli, mudah diberhentikan serta tidak perlu membeli bahan bakar. Hal ini sebagaimana menurut Weber dalam teori rasionalitas instrumental (Ritzer, 2012:220) bahwa dengan rasionalitasnya, manusia dapat mempertimbangkan dan memilih secara sadar sesuatu yang berhubungan dengan tujuan tindakan yang ingin dicapai dan “alat” yang dipergunakan untuk mencapainya. Untuk menjadi pedagang di pasar terapung tersebut, para pedagang harus mempersiapkan peralatan dagang yang lebih banyak dan berbeda dari para pedagang umumnya di pasar- pasar tradisional. Setiap manusia pasti memiliki bermacam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, begitu juga dengan para pedagang di pasar terapung yang akhirnya menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan tersebut. Dengan pilihan menjadi pedagang di pasar terapung, mereka dapat menilai alat yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih. Pilihan perempuan pedagang di pasar terapung menggunakan jukung, bukan klotok merupakan bukti adanya adaptasi dan juga sifat ‘menjaga’ terhadap alam lingkungannya. Jukung “bersahabat” dengan alam, tidak menimbulkan polusi dan tidak menimbulkan ombak yang dapat mengikis tepian sungai, lebih mudah ketika ingin memutar haluan, serta bisa menembus ke pelosok anak sungai yang paling kecil. Berbeda dengan klotok yang menimbulkan suara keras dan asap yang menyebabkan polusi udara, menimbulkan ombak yang besar pula yang lama kelamaan dapat mengikis tepian sungai, serta lebih sulit klotok ketika ingin memutar haluan.

Yuli Apriati 183 III. SIMPULAN Keberadaan pasar terapung merupakan aplikasi adaptasi masyarakat Banjar dengan lingkungan alamnya berupa sungai. Pasar terapung Lok Baintan bertahan hingga sekarang disebabkan karena pewarisan budaya berdagang dari generasi ke generasi berorientasi alam. Perdagangan di pasar terapung juga sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Banjar yang dekat dengan sungai. Pengetahuan lokal yang dibangun pedagang pasar terapung melalui kehidupan dari generasi ke generasi berhubungan dengan alam. Inti konsep pengetahuan lokal ini adalah bahwa manusia hidup bergantung pada alam. Hal ini terlihat modal awal/syarat utama berdagang (jukung, dayung, tanggui, terpal, dan bungkalang) dan barang yang didagangkan berasal dari alam (sayur dan buah hasil kebun). Kearifan lokal dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat yang unik, dan mempunyai hubungan dengan alam.

DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Sungai Tabuk Dalam Angka 2012. BPS Kabupaten Banjar. Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers. Endrizal. 2009. Strategi Pedagang Pasar Tradisional Menghadapi Persaingan dengan Pasar Modern. Yogyakarta: Tesis S2 Program Studi Sosiologi UGM. Geertz. Clifford. 1976. Involusi Pertanian. Terjemahan S.Supomo. Jakarta: Bhratara KA. Kantor Kecamatan Sungai Tabuk. 2008. Profil Kecamatan Sungai Tabuk tahun 2008. Pemerintah Kabupaten Banjar.

184 Yuli Apriati Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prabowo, Dibyo. 1983. Kegagalan Pasar (Analisis Tentang Eksternalitas dan Barang Kolektif. Yogyakarta: BPFE. Prajithno. 1980. Garis Besar Tata Niaga Umum di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Ritzer, George, via Alimandan. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ------. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumantoro. 1990. Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Su Ritohardoyo. 2006. Bahan Ajar Ekologi Manusia. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Wahyu, Soendjoto, dan Muhammad Arif. 2007. Pengelolaan Sumber Daya Alam Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Budaya dan Pengetahuan. Banjarmasin: Unlam. Wahyu. 2007. Ekologi Manusia. Banjarmasin: UNLAM. Wahyu dan Nasrullah. 2011. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Komunitas, Vol.5 No. 2.

Yuli Apriati 185 186 Yuli Apriati MENUMBUHKAN SIKAP KONSERVASI SISWA MELALUI PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL Melly Agustina Permatasari

ABSTRAK Proses pembelajaran IPS kurang menyentuh aspek nilai sosial dan kearifan lokal, kurang melibatkan peserta didik dalam proses berpikir nilai–nilai sosial budaya, lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi, seperti yang terdapat di dalam buku, konsep keilmuan dari pada kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata seperti masalah dan nilai-nilai sosial budaya. Kearifan lokal merupakan ciri khas suatu daerah tertentu yang memiliki nilai- nilai kebudayaan dan berkembang dalam lingkup lokal. Kearifan lokal sebagai salah satu hal yang perlu dikonservasi, artinya perlu dijaga, dilindungi, dan dilestarikan. Salah satu upaya untuk menjaga kearifan lokal tersebut adalah dengan memasukkan materi pendidikan berbasis kearifan lokal ke dalam pelajaran IPS. Kearifan lokal yang ada di Banjarmasi antara lain Kampung Sasirangan, wisata siring Pasar Terapung, dan masjid raya Sabilal Muhtadin. Dengan memasukkan kearifan lokal pada pembelajaran IPS melalui berbagai model, metode, media dan sumber pembelajaran diharapkan peserta didik selain dapat mempelajari masalah sosial, budaya, ekonomi, sejarah dan geografi yang ada di kota Banjamasin, juga memiliki nilai cinta terhadap budaya lokal (kearifan lokal). Sehingga para siswa memiliki sikap konservasi terhadap budaya daerahnya sendiri. Kata kunci: Sikap konservasi, Pendidikan IPS, Kearifan Lokal

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam Banjarmasin.

Melly Agustina Permatasari 187 1. PENDAHULUAN Kearifan lokal merupakan ciri khas suatu daerah atau wilayah tertentu yang memiliki nilai kebudayaan dan berkembang dalam lingkup lokal dari generasi ke generasi. Kearifan lokal mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Kearifan lokal sangat penting dalam pendidikan sebagai bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional sebagai sebuah bangsa. Untuk mencegah hilangnya kearifan lokal suatu daerah, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengenalkan kearifan lokal melalui pendidikan. Proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan kearifan lokal, kurang melibatkan peserta didik dalam proses berpikir nilai– nilai sosial budaya, lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi, seperti yang terdapat di dalam buku, konsep keilmuan dari pada kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata seperti masalah dan nilai-nilai sosial budaya. Oleh sebab itu, di sekolah perlu ada pelajaran yang memuat materi kearifan lokal. Kearifan lokal sebagai hal yang perlu dikonservasi dalam arti dijaga, dilindungi dan dilestarikan agar tidak punah. Pendidikan IPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang dapat memasukan kearifan lokal sebagai sumber belajar IPS. Kearifan lokal khususnya di kota Banjarmasin banyak sekali yang bisa dimasukkan dalam materi pendidikan IPS berbasis kearifan lokal antara lain Kampung Sasirangan, wisata siring Pasar Terapung, dan masjid raya Sabilal Muhtadin. Tujuannya untuk memberikan pemahaman mengenai konsep dasar IPS sekaligus menumbuhkan sikap konservasi siswa terhadap kearifan lokal daerahnya sendiri.

188 Melly Agustina Permatasari II. TUJUAN PENDIDIKAN IPS 2.1 Tujuan Pembelajaran IPS di SMA Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah salah satu mata pelajaran yang diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mata pelajaran IPS sebagai salah satu mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi. Pengertian IPS khusus SMP adalah bahan terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, dan ekonomi (Saliman, 2014). Tujuan mata pelajaran Sejarah: 1. Membangun kesadaran tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan 2. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan 3. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau 4. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang 5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional (Saliman, 2014). Tujuan mata pelajaran Geografi:

Melly Agustina Permatasari 189 1. Memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan 2. Menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi 3. Menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat (Saliman, 2014). Tujuan mata pelajaran Ekonomi: 1. Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan inividu, rumah tangga, masyarakat, dan negara 2. Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi 3. Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara 4. Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai- nilai sosial ekonomi dalam masyarakat majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional (Saliman, 2014). Tujuan mata pelajaran Sosiologi: 1. Memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik sampai dengan terciptanya integrasi sosial 2. Memahami berbagai peran sosial dalam kehidupan bermasyarakat 3. Menumbuhkan sikap, kesadaran dan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Saliman, 2014).

190 Melly Agustina Permatasari Tujuan mata pelajaran Antropologi yaitu: 1. Memahami dasar-dasar antropologi 2. Memahami, memecahkan dan menelaah secara kritis dan rasional tentang berbagai fenomena sosial budaya (Saliman, 2014).

III. KEARIFAN LOKAL Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom), terdiri dari kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan (Elisa, tanpa tahun). Kearifan lokal/tradisional merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002 dalam Susanto, 2014: 324). Kearifan lokal sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam, dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004 dalam Esmiyati, 2012). Kearifan lokal mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Kearifan lokal sangat penting dalam pendidikan sebagai bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional sebagai sebuah bangsa (Susanto, 2014: 325). Menurut Moendardjito dalam Ayatrohaedi (1986) (Susanto, 2014: 324) menyatakan unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Memiliki ciri- ciri sebagai berikut: 1. Mampu bertahan terhadap budaya luar 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar 3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli Melly Agustina Permatasari 191 4. Mempunyai kemampuan mengendalikan 5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek (Susanto, 2014: 325), yaitu: 1. Kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) meliputi: a. Tekstual, beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk cacatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender, dan prasi (budaya tulis di atas daun lontar). b. Bangunan/Arsitektural. c. Benda cagar budaya/tradisional (karya seni), misalnya kertas, batik, dan lain-lain. 2. Kearifan lokal yang tidak berwujud (intangible). Bentuk kearifan lokal tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun-temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dapat disimpulkan sebagai kepribadian, identitas kultural masyarakat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat dan aturan khusus yang mampu bertahan secara terus-menerus. Kearifan lokal pada prinsipnya bernilai baik dan merupakan keunggulan masyarakat setempat. Oleh karena itu, ia dapat merefleksikan budaya nusantara. 2.2 Kearifan Lokal Kota Banjarmasin Kota Banjarmasin adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kota Banjarmasin memiliki kearifan lokal yang perlu dijaga, dilindungi, dan dilestarikan yaitu sebagai berikut: 192 Melly Agustina Permatasari 1. Kampung Sasirangan Kampung Batik Sasirangan terletak di Jalan Seberang Masjid Kelurahan Kampung Melayu Kota Banjarmasin. Tepatnya terletak dipingiran sungai Martapura. Kampung Sasirangan adalah tempat pembuatan batik khas Banjarmasin yaitu kain sasirangan dimana pembuatan batik ini masih menggunakan cara tradisional seperti kerajinan batik di pulau Jawa. Kain sasirangan memiliki bermacam motif dan corak sehingga sangat tepat untuk dimiliki. Disini kita bisa melihat langsung proses pembuatan kain sasirangan dari awal hingga menjadi sebuah kain. Sebagai bentuk apresiasi kepada pengrajin sasirangan Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Banjarmasin yang bekerja sama dengan salah satu Bank BUMN sebagai salah satu sponsornya pada tahun 2010 resmi menjadikan kampung tersebut dengan nama “Kampoeng BNI Sasirangan Banjarmasin”. Tujuan pemberian nama Kampung BNI Sasirangan tersebut selain mempermudah sarana pembinaan kepada usaha mikro kecil dan menengah juga sebagai sarana pariwisata Kota Banjarmasin sehingga masyarakat luar daerah yang berkunjung ke Banjarmasin agar lebih mudah mencari oleh-oleh khas Banjarmasin untuk dibawa pulang ke daerahnya karena di Kampung Sasirangan terdapat banyak toko yang khusus menjual produk Sasirangan mulai dari kain sasirangan, pakaian jadi sasirangan ataupun aksesoris produk sasirangan lainnya. Kain Sasirangan merupakan oleh-oleh wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke Kalimantan Selatan. 2. Wisata Siring Pasar Terapung Untuk mempermudahkan masyarakat melakukan transaksi dengan pedagang yang menggunakan jukung (perahu kayuh), Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin membangun dermaga Pasar Terapung di kawasan siring Jalan Piere Tendean dan kawasan siring Jalan RE Martadinata. Hal ini untuk mendukung fasilitas objek wisata di Banjarmasin. Masyarakat dapat menikmati berbagai makanan khas daerah dan juga disediakan jukung untuk mereka yang ingin menikmati pemandangan sepanjang sungai.

Melly Agustina Permatasari 193 3. Masjid Raya Sabilal Muhtadin Masjid ini terletak di tengah Kota Banjarmasin. Nama ”Sabilal Muhtadin” merupakan nama penghargaan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary (1710-1812) yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan Islam di Kerajaan Banjar. Posisi masjid sekarang, pada zaman penjajahan Belan¬da dikenal dengan Fort Tatas atau Benteng Tatas. Masjid ini adalah masjid terbesar di Kota Banjarmasin dan menjadi kebanggaan warga kota ini. Bangunan masjid mulai dinding, lantai, menara dan turap plaza, keseluruhannya berla¬piskan marmer. Masjid Raya Sabilal Muhtadin sering sekali menjadi pusat peringatan hari-hari besar Umat Islam seperti: Salat Idul Fitri dan Idul Adha, Peringatan Isra Mi’raj, Peringatan Maulid Nabi, Peringatan Khataman Al– Qur’an dan lain-lain. Di Komplek masjid ini juga dilengkapi dengan Sekolah Islam Sabilal Muhtadin.

III. PENDIDIKAN IPS DAN KEARIFAN LOKAL (BUDAYA BANJAR) 3.1 Kampung Sasirangan Dari segi Ekonomi, peserta didik dapat mempelajari bagaimana proses pembuatan sasirangan dan bagaimana memasarkan kain sasirangan. Peserta didik dapat mempelajari tentang pasar secara langsung karena disepanjang jalan terdapat toko-toko yang menjual produk yang sejenis yaitu sasirangan baik kain, baju, jilbab, tas, maupun asesoris lainnya, dengan harga yang beraneka ragam. Kemudian peserta didik juga dapat mempelajari strategi pemasarannya, bagaimana menarik pelanggan dan penentuan harga untuk produk sasirangan pada masing-masing toko yang menjual produk sejenis. Lapangan pekerjaan terbuka kareka membutuhkan pekerja untuk membuat sasirangan maupun menjaga toko. Dari segi Sosiologi, pekerja baik yang membuat maupun yang menjual adalah masyarakat yang tinggal di lingkungan Kampung sasirangan, baik keluarga maupun tetangga. Mereka saling bekerja sama. 194 Melly Agustina Permatasari Walaupun banyak toko dan setiap toko menjual produk sejenis namun dalam kondisi sosial dan kehidupan yang harmonis. Peserta didik akan lebih mudah mempelajari kehidupan sosial disini. Dari segi Antropologi. Sasirangan dibuat dengan cara tradisional dan merupakan budaya khas Banjarmasin. Kain Sasirangan adalah kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu melalui teknik jahitan tangan dan ikatan. Sebagai bahan baku kainnya, yang banyak digunakan adalah bahan kain yang berasal dari serat kapas (katun) dan bahan baku non kapas seperti : polyester, rayon, sutera, dan lain-lain. Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan. Adapun corak atau motif yang dikenal antara lain kembang kacang, ombak sinapur karang, bintang bahambur, turun dayang, daun jaruju, kangkung kaombakan, kulit kayu, sarigading, parada dan lain-lain. Produk barang jadi yang dihasilkan dari kain Sasirangan seperti busana pria maupun wanita, selendang, jilbab, taplak meja, sapu tangan, dan lain-lain. Inilah kebudayaan Banjar yang bisa dipelajari oleh peserta didik. 2. Wisata Siring Pasar Terapung Dari segi Ekonomi, peserta didik dapat mempelajari tentang pasar tradisional secara langsung karena disepanjang sungai banyak orang memakai jukung yang menjual berbagai macam makanan khas daerah, selain makanan juga dijual buah dan sayuran. Dari segi Sosiologi, para perjual dan pembeli datang dari berbagai tempat yang saling berinteraksi untuk melakukan jual-beli, mereka melakukan tawar menawar harga atas barang yang dijual. Peserta didik akan lebih mudah mempelajari kehidupan sosial disini. Dari segi Antropologi, pasar terapung merupakan budaya banjar yang harus dipelajari oleh peserta didik. Dari segi Geografi, peserta didik dapat mempelajari sungai dan kondisi tanah disepanjang sungai. Ada bagian tanah yang diatasnya tumbuh Melly Agustina Permatasari 195 pohon besar, karena sering basah oleh air sungai, lama-lama tanah tersebut mulai runtuh, dalam bahasa Banjar “rumbih” seperti longsor. 3. Masjid Raya Sabilal Muhtadin Dari segi Sejarah, peserta didik dapat mempelajari tentang sejarah Banjar dimana nama ”Sabilal Muhtadin” merupakan nama penghargaan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary (1710-1812) yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan Islam di Kerajaan Banjar. Posisi masjid sekarang, pada zaman penjajahan Belan¬da dikenal dengan Fort Tatas atau Benteng Tatas, tempat para tentara tinggal. Benteng Tatas ini dikelilingi sungai sehingga memperkuat pertahanan dari serangan musuh. Dari segi Sosiologi dan Antropologi, di lingkungan masjid terdapat sekolah Islam Sabilal Muhtadin mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Di masjid ini peserta didik dan masyarakat selain salat, juga dapat mengikuti kegiatan ke-Islaman seperti tadarus Al-Qur’an, ceramah agama, dan sebagainya.

IV. MENUMBUHKAN SIKAP KONSERVASI SISWA MELALUI PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL Menurut Al Muchtar (2015) kelemahan pembelajaran IPS antara lain: Proses pembelajaran kurang ditunjang dengan pengembangan dan penggunaan media pembelajaran berupa berbagai kasus sosial budaya yang tumbuh di lingkungan peserta didik seperti yang melembaga pada kearifan lokal. Proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial. Proses pembelajaran terlepas dari akar sosial budaya dan nilai-nilai kearifan lokal, justru lebih menempatkan peserta didik sebagai penerima informasi dalam soal belajar satu arah, dari pada melibatkan peserta didik dalam proses berpikir nilai–nilai sosial budaya. Proses pembelajaran lebih menempatkan pendidik sebagai sumber

196 Melly Agustina Permatasari informasi yang dominan penerima informasi atau pengetahuan sosial dan budaya, di samping terbatasnya penggunaan sumber daya belajar lainnya. Proses pembelajaran lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi, seperti yang terdapat di dalam buku, konsep keilmuan dari pada kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata seperti masalah dan nilai-nilai sosial budaya. Proses pembelajaran belum banyak mengakses pada penguatan sistem nilai-nilai sosial budaya atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Proses pembelajaran belum secara tegas mengakses pada penguasaan IPTEK yang tepat guna sarat dengan nilai-nilai sosial budaya. Dalam pembelajaran IPS, kita bisa memasukkan kearifan lokal sebagai sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa demi kepentingan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kearifan lokal yang digali bisa berupa kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) meliputi tekstual, bangunan/arsitektural, benda cagar budaya/tradisional (karya seni), maupun kearifan lokal yang tidak berwujud nyata (intangible) seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun-temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Kearifan lokal yang ada di Banjarmasin antara lain Kampung Sasirangan, wisata siring Pasar Terapung, dan masjid raya Sabilal Muhtadin. Dengan memasukkan kearifan lokal pada pembelajaran IPS melalui berbagai model, metode, media dan sumber pembelajaran diharapkan peserta didik dapat mempelajari masalah sosial, budaya, ekonomi, sejarah dan geografi yang ada di kota Banjamasin, serta diharapkan peserta didik memiliki nilai cinta terhadap budaya lokal (kearifan lokal). Sehingga para siswa memiliki sikap konservasi yaitu dapat menjaga, melindungi, dan melestarikan budaya daerahnya sendiri.

Melly Agustina Permatasari 197 VII. SIMPULAN Proses pembelajaran IPS kurang menyentuh aspek nilai sosial dan kearifan lokal, kurang melibatkan peserta didik dalam proses berpikir nilai–nilai sosial budaya, lebih menempatkan pendidik sebagai sumber informasi, seperti yang terdapat di dalam buku, konsep keilmuan dari pada kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata seperti masalah dan nilai-nilai sosial budaya. Kearifan lokal merupakan ciri khas suatu daerah tertentu yang memiliki nilai-nilai kebudayaan dan berkembang dalam lingkup lokal. Kearifan lokal sebagai salah satu hal yang perlu dikonservasi, artinya perlu dijaga, dilindungi, dan dilestarikan. Salah satu upaya untuk menjaga kearifan lokal tersebut adalah dengan memasukkan materi pendidikan berbasis kearifan lokal ke dalam pelajaran di Sekolah. Dalam pembelajaran IPS, kita bisa menggunakan kearifan lokal sebagai sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa demi kepentingan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kearifan lokal yang ada di Banjarmasin antara lain Kampung Sasirangan, wisata siring Pasar Terapung, dan masjid raya Sabilal Muhtadin. Dengan memasukkan kearifan lokal pada pembelajaran IPS melalui berbagai model, metode, media dan sumber pembelajaran diharapkan peserta didik dapat mempelajari masalah sosial, budaya, ekonomi, sejarah dan geografi yang ada di kota Banjamasin, serta diharapkan peserta didik memiliki nilai cinta terhadap budaya lokal (kearifan lokal). Sehingga para siswa memiliki sikap konservasi terhadap budaya daerahnya sendiri.

198 Melly Agustina Permatasari DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. 2013. Masyarakat dan Kebudayaan Banjar Sebagai Sumber Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Melalui Ajaran dan Metode Guru Sekumpul). Bandung: Disertasi SPS UPI Bandung. ------. 2014. Mewacanakan Pendidikan IPS. Cetakan Kedua. Bandung: FKIP-Unlam Press dan Penerbit Wahana Jaya Abadi. ______. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung: FKIP-UNLAM Press dan Penerbit Niaga Sarana Mandiri. Al Muchtar, Suwarma. (2014). Paradigma Revitalisasi Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal (Kajian Epistemologik dan Paradigmatik Revitalisasi Pendidikan IPS). Makalah pada Seminar Nasional IPS. Banjarmasin: tidak diterbitkan. Anonim. Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Masjid Kebanggaan Banjarmasin. Tersedia: http://portalbanjarmasin.com/mesji-raya-sabilal-muhtadin- masjid-kebanggaan-banjarmasin/ Esmiyati, dkk. (2012). Pembudidayaan Bandeng Juwana Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Muatan Lokal Untuk Menumbuhkan Sikap Konservasi Siswa. Unnes Science Education Journal. USEJ 1 (1). Semarang: Universitas Negeri Semarang. Elisa. (Tanpa Tahun). Pengertian Kearifan Lokal (Local Wisdom). Tersedia: http://elisa.ugm.ac.id Pemerintah Kota Banjarmasin. Kampung Sasirangan. Tersedia: http:// www.banjarmasinkota.go.id/wisata/objek-wisata/kampung- sasirangan.html Permatasari, Melly Agustina. (2015). Kawasan Ekowisata Berbasis Budaya Banjar Sebagai Sumber Belajar IPS. Proceedings International Seminar The Social Studies Contribution To Reach Periodic Environmental Education Into Stunning Generation 2045. Bandung: Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Melly Agustina Permatasari 199 Saliman. (2014). Laboratorium IPS Sebuah Alternatif. Modul Bahan Ajar Pendidikan dan Pelatihan Kepala Laboratorium IPS. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Susanto, Agus. (2014). Penanaman Kearifan Lokal Dalam Hal Pelestarian Lingkurang Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Di Sekolah. Proceedings International Seminar The Social Studies Contribution To Reach Periodic Environmental Education Into Stunning Generation 2045. Bandung: Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

200 Melly Agustina Permatasari NASEHAT NENEK PETANI BERMUATAN NILAI EKONOMI DALAM KONTEKS KEARIFAN LOKAL DAN KEARIFAN TRADISIONAL Rizali Hadi

ABSTRAK Kearifan lokal dan kearifan tradisional hampir terlupakan oleh generasi sekarang, padahal generasi terdahulu dengan kearifannya mampu mempertahankan eksistensinya. Dalam masyarakat petani banyak nasehat- nasehat sebagai kearifan lokal dan kearifan tradisional yang terlihat dalam upaya memelihara peralatan kerja pertanian, memperbaiki pakarangan alat perikanan dan berburu, menanam dan merawat pohon, dan mengungkapkan rasa syukur atas segala anugerah Tuhan. Dunia pendidikan diharapkan dapat mengajarkan kearifan lokal (local wisdom), kearifan tradisional (tradisional wisdom) dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya (local genius). Diharapkan bangsa kita tidak kehilangan identitas karena mengagumi kearifan orang lain atau bangsa lain yang disadari memang ada perbedaannya. Kata kunci: Nilai ekonomi, kearifan lokal, kearifan tradisional.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam Banjarmasin.

Rizali Hadi 201 I. PENDAHULUAN Tata kehidupan kian hari semakin berkembang ke arah suatu kesempurnaan sebagai local wisdom yang di dalamnya terdapat pula local genius atau adanya nilai-nilai dalam kearifan lokal. Peradaban manusia terus berjalan, namun dibalik itu terdapat suatu nilai kearifan pada suatu tempat yang seharusnya dipelihara dan dijaga dalam bidang apa saja. Nilai-nilai dalam suatu tempat itu disebut juga sebagai nilai komunitas yang mengacu kepada kearifan tradisional.Undang-Undang No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Bab I pasal 1 butir 30 antara lain menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Apa yang diatur dalam UU No. 32/29 dipertegas oleh Ridwan (2007:2) yang menjelaskan bahwa kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu obyek dan peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Selanjutnya mengenai apa yang terjadi dalam ruang tertentu disebut sebagai kearifan tradisional, yaitu memahami seluruh aktivitas moral, misalnya dalam aktivitas bertani, berburu dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan pengetahuan ilmiah, namun di dalamnya terdapat aktivitas moral, yang berpegang kepada suatu prinsip dan karakter. Mengenai kearifan tradisional, Keraf (2010:369) menjelaskannya sebagai sesuatu yang dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi yang sekaligus membentuk pola prilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama maupun terhadap yang gaib. Dalam sosial ekonomi masyarakat petani yang relatif masih sedikit daftar kebutuhan hidupnya terdapat suatu kearifan agar orang menggunakan waktunya sebaik mungkin, seefisien mungkin, agar waktu jangan hilang dan berlalu tanpa makna dan tanpa memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat. Siklus kehidupan petani yang dahulu hanya panen sekali dalam

202 Rizali Hadi setahun, sehingga dalam umur padi mulai ditanam sampai panen adalah enam bulan, berarti terdapat enam bulan masa menganggur. Enam bulan masa menganggur ini biasanya diisi dengan satiar, berusaha bekerja selain bertani misalnya menangkap ikan, menjadi buruh, mendulang emas, mencari hasil hutan. Hasil selama enam bulan bekerja ini digunakan untuk modal mengerjakan pertanian musim selanjutnya. Harapannya adalah hasil bertani ada kelebihannya, dan hasil bekerja mengisi waktu menunggu musim tanam selanjutnya juga hasil kelebihannya, agar dapat memperbaiki taraf hidup, misalnya membangun rumah, menyekolahkan anak, membeli keperluan hidup lainnya. Penulis ingin menceriterakan apa yang sering dinasehati oleh almarhumah nenek kami, Salamah, beliau berasal dari Kuin Banjarmasin, ada campuran Kandangan, pernah lama tinggal di Anjir Serapat, tempat yang disebut Pulau Gagauk, sekarang dikenal dengan Anjir Muara Km. 25, dan kemudian ikut kakak beliau ke Tumbang Samba. Sewaktu penulis masih kecil, beliau sering dan selalu menasehati anak- anak setelah selesai panen. Sekarang ini orang sudah seperti melupakan kearifan lokal dan kearifan tradisional, karena telah terlalu sibuk dengan upaya mencari cara, teknik, taktik, strategi dalam menjalankan kehidupan yang penuh dengan persaingan. Orang menganggap kearifan lokal dan kearifan tradisional sesuatu yang sudah usang, yang tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman. Seharusnya kita sadar bahwa kearifan lokal itu masih relevan sampai sekarang, hanya refleksinya yang mungkin berbeda. Konsep dan nilai kearifan lokal dan kearifan tradisional, bisa digunakan disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Dalam dunia pendidikan juga demikian, lembaga pendidikan seperti sudah kehilangan bahan tentang bagaimana mengajarkan kearifan lokal. Makalah ini mengungkap nilai-nilai ekonomi dalam konteks kearifan lokal dan kearifan tradisional dengan Ni Butak sebagai representasi orang yang masih setia memakai kearifan lokal dan kearifan tradisional.

Rizali Hadi 203 Metode untuk menulis makalah ini adalah metode deskriptif kualitatif, dimana penulis sendiri sebagai instrumen sentral penelitiannya. Informasi diperoleh dari hasil observasi dan pengalaman historis dengan mengingat apa yang pernah dialami, yang kemudian mengambil butir-butir kearifan lokal atau kearifan tradisional yang terkandung di dalamnya. Informasi itu setelah direduksi kemudian di display, untuk direview dan mengambil konklusinya dan merefleksikannya dalam kehidupan sekarang yang tampak meninggalkan kearifan lokal dan kearifan tradisional dimaksud. Tujuan atau kajian ini bertujuan untuk memperjelas pengertian kearifan lokal dan kearifan tradisional, terutama yang berhubungan dengan nilai ekonomi dari suatu tata kehidupan, dalam hal ini adalah bagaimana kehidupan perekonomian keluarga petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya nilai-nilai ekonomi yang menjadi anutan para petani diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi guru-guru. Bagaimana refleksi dari nilai-nilai ekonomi para petani dalam mengimplementasikannya pada kehidupan mereka sehari-hari.

II. PEMBAHASAN Nenek Salamah oleh kami anak dan cucunya disebut dan dipanggil sebagai Nini Butak atau Ni Butak. Kata ‘butak’ artinya banyak bicara, banyak mengomel, suka memarahi. Kata ini pinjaman dari bahasa Bakumpai, karena di sekitar tempat kami banyak orang-orang dari Marabahan, Bakumpai. Ni Butak senantiasa menasehati anak-anak pemuda yang kelihatan galeor-galeor kahulu-kahilir kada karuan tampuh berjalan mondar mandir kesana–kemari yang tidak jelas tujuannya. Ni Butak seorang pekerja keras sebagai petani yang cerdas, terampil dalam anyam-anyaman membuat tikar, lanjung, tapan atau tampan dan sebagainya. Di balik omelan butak beliau kepada anak-anak pemuda itu sebenarnya merupakan suatu kearifan lokal yang memiliki nilai tinggi, yang berhubungan bagaimana mengisi waktu yang kosong dengan memperbaiki peralatan kerja pertanian 204 Rizali Hadi tradisional, bagaimana berinvestasi, dan merawat pakarang, alat-alat menangkap ikan atau berburu. Beberapa nasehat beliau itu pada intinya menanamkan kearifan jangan membuang waktu percuma, gunakanlah sebaik mungkin. Setelah hasil panen padi terkumpul dan tersimpan di dalam kindai, anak-anak muda merasa suatu waktu yang merdeka, orang Banjar menyebutnya dengan musim bagana, menikmati hasil bekerja bertani selama enam bulan, seharusnya jangan bagana teruslah bekerja. Jangan bermalas-malas tidur-tiduran berselonjor yang hanya mamanjangakan balikat tanpa menghasilkan apa-apa. Dari tidur-tiduran seperti itu lebih baik membaca al-Qur’an satu dua halaman, ada yang ditanam berinvestasi di akhirat, apalagi kalau digunakan menuntut ilmu belajar keterampilan, seperti bagaimana menjurai lunta bagaimana membuat gula habang dan sebagainya Pesan Ni Butak yang berkaitan dengan kearifan lokal: 1. Simpani Pakakas Bahuma Pakakas bahuma itu adalah parang, tajak, lanjung, tangkingan, tagaian, tikar, kampil, karung, yang merupakan peralatan kerja dalam pertanian tradisional. Lampau atau gubuk di tengah sawah yang digunakan untuk tempat istirahat yang dilengkapi dengan pelataran tempat mangalumpu yaitu pengumpulan padi yang baru dipanen, tempat bairik yaitu memisahkan padi dari tangkainya, tempat malabang yaitu menjemur padi, tempat batampi yaitu membuang hampa dengan tapan, merangin yaitu membuang hampa dengan bantuan tiupan angin yang dicurahkan dari tempat yang lebih tinggi. Biasanya peralatan-peralatan ini setelah selesai musim katam atau musim panen, ditinggalkan dan dibiarkan tidak terurus. Datu Salamah biasanya berujar, ayu kakanakan, simpani pakakas nang sudah tuntung dipakai, parang nang tumpul bawa ka pandai, dititik diasah, lanjung nang tumbus, talinya pagat, bingkainya patah dibaiki. Tikar, kampil, tapan, nyiru nang rusak ditambal dibaiki, nang rusak buang atau cucul, kena jadi sarang tikus. Paring lantai palataran itu paculi, randam ka sungai supaya kada jabuk. Nasehat seperti Rizali Hadi 205 ini menyampaikan pesan ekonomis agar kita senantiasa merawat peralatan kerja (maintenance). Nilai ekonomisnya adalah jangan suka menggunakan yang baru saja, perbaiki apa yang masih bisa dipakai, untuk memperpanjang umur ekonomis dan teknisnya sekaligus menyampaikan pesan bahwa kita harus mengutamakan prinsip ekonomi. 2. Tanam Pisang, Inya Makan Surangan Kalau melihat anak-anak muda terutama keluarganya Ni Butak selalu mengingatkan anak-anak yang bermalasan, duduk merumpi yang tidak jelas, biasanya berujar, jangan badiaman kaya itu, ambil sakup lawan cangkul, lihat pohon pisang nang kabanyakan anaknya, pisah tanam ka lain. Pisang itu tumbuh surangan kada ikam mambari-makaninya, kena tang timbul babuahnya, kada karasaan, timbul babuahnya haja. Lihat pohon pisang yang banyak anaknya, pisahkan, tanam ditempat lain. Pisang tumbuh sendiri tidak perlu diberi makan, nanti tidak terasa sudah berbuah. Pesan ini adalah agar kita jangan membuang waktu percuma, tetapi terus berinvestasi menanam pisang atau tanaman apa saja pada tanah-tanah yang masih kosong. Kelak tidak terasa nanti tanaman yang merupakan investasi itu akan memberi hasil atau keuntungan. Pesan ini sesuai dengan pepatah Arab man jadda wa jadda siapa menanam dia akan menuai. 3. Baiki Pakarang Pakarang adalah peralatan untuk usaha misalnya menangkap ikan, seperti lunta, rengge, tangguk, sarapang, suar, jukung. Pangayuh. Lunta atau jala yang sudah robek supaya segera ditambal, batunya yang telah runtun lepas pangukunya supaya dibetulkan. Demikian juga pukat atau rengge yang sudah robek supaya ditambal, batunya yang hilang atau lepas diperbaiki, pelampungnya yang sudah rusak diganti. Sarapang atau, tombak ikan bermata tiga, yang sudah tumpul diasah, gagang galahnya yang patah atau lapuk supaya diganti. Suar atau lampu sorot dari lampu minyak, tamengnya yang sudah kusam supaya dibersihkan, tempat minyaknya yang bocor ditambal dipateri lagi. Pesan ini adalah agar kita senantiasa siap 206 Rizali Hadi dengan peralatan tambahan ini dengan keadaan siap pakai, ready for use. Jangan sampai terjadi misalnya ikan sedang ramai di sungai waktu mau menjalanya, ternyata luntanya tidak bisa dipakai karena robek, belum ditambal.Jukung atau perahu untuk menangkap ikan supaya dirawat diperbaiki, kalau ada yang bocor ditambal, dikeringkan dijemur atau dipanaskan di atas api disirau agar tetap ringan dan banyak mengapungnya di atas air serta tidak dimakan kutu air. Pengayuh atau dayung yang patah atau hilang pegangan atasnya supaya diperbaiki agar nyaman dipakai dan daya geraknya semakin kuat. Pesan memperbaiki pakarang ini merupakan pesan agar kita selalu siap dengan peralatan kita, gunakan waku lowong untuk memperbaikinya. 4. Pohon Buah Jangan Ditabang Menanam pohon seperti durian, mempelam, kuini, nangka, rambutan dan sebagainya perlu kesabaran, apalagi penanaman secara tradisional hanya mengandalkan kesuburan tanah saja. Suatu hari paman saya ingin menebang pohon durian yang sudah ditanam puluhan tahun tidak kunjung berbuah. Dia kesal karena sering diledek orang kenapa duriannya tidak berbuah juga, sedangkan yang lain sudah berbuah. Ledekkan orang itu macam-macam, disebut tangan kadadaraman, tangan tidak beruntung dan semacamnya. Ni Butak melihatnya dan bertanya kenapa mau ditebang, jawabnya mau dijadikan lesung penumbuk padi. Kata Ni Butak menasehatinya, sayang, sudah puluhan tahun ditanam, coba bersihkan kulit batangnya dari lumut, dan sasap sedikit kulitnya sekeliling pohon bagian bawah agar berganti dengan kulit baru. Setelah itu tepuk batang durian itu tiga kali dan bisikkan perlahan, lakasi babuah, kena amun banyak buahnya dibariakan ka masigit pakai aruh bamuludan, cepat berbuah, nanti kalau buahnya banyak diberikan ke acara muludan di masjid.Ternyata musim durian tahun berikutnya durian ini berbunga dan berbuah lebat, berkat dibersihkan dan didoakan, sesuai nasehat Ni Butak. Nasehat Ni Butak ini mengingatkan kita bahwa menanam sesuatu itu perlu

Rizali Hadi 207 kesabaran, perlu usaha menyuburkannya, dan terakhir berdoalah baik- baik, karena durian itu mahluk Tuhan juga. 5. Basalamatan Batanam dan Mahanyari Baras. Suatu tradisi yang bersifat keagamaan biasanya Ni Butak selalu mengingatkan agar memulai usaha dengan mengadakan selamatan dan berdo’a yaitu berkumpulnya keluarga waktu memulai membersihkan lahan sawah atau ladang mengadakan selamatan sekeluarga atau tetangga dekat, dengan hidangan ala kadarnya, berdo’a kepada Tuhan, semoga usaha perladangan ini memperoleh hasil yang banyak bisa cukup hisab dan nisabnya untuk dikeluarkan zakatnya. Ada juga acara tradisional dengan melakukan tampung tawar, tepung tawar, pada penjuru-penjuru ladang, memohon kepada yang gaib-gaib jangan mengganggu, serta meminta kepada binatang jangan memakan, merusak sawah dan ladang yang akan ditanam. Acara tradisional tampung tawar ini agak mistis, tapi itulah kepercayaan zaman itu. Sewaktu memulai panen diupayakan untuk menuai sedikit padi dahulu, dijadikan beras dan dimasak secukupnya untuk selamatan sederhana dalam acara mahanyari baras memulai makan beras hasil panen. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan bahwa telah diberikan nikmat padi telah berbuah siap untuk dipanen bersama-sama. Doa pada waktu mahanyari baras ini sebagai ungkapan kearifan bahwa seharusnyalah kita bersyukur atas segala rakhmat karunia yang telah diberikanNya. Dari berbagai contoh pesan Ni Butak ini dapat ditarik dan dihubungkan dengan beberapa pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya. Semua pemikiran Ni Butak yang disampaikannya sambil bamamai, sambil marah-marah itu sebenarnya merupakan warisan nenek moyangnya. Warisan kearifan lokal yang juga merupakan kearifan tradisional sebagai peradaban yang terus berkembang, yang perlu dijaga, dirawat dan diwariskan yang merupakan local wisdom atau juga sebagai kearifan tradisional. Karena kearifan ini mengandung kebenaran, maka nilai itu tetap

208 Rizali Hadi terjaga dan perlu diwariskan (Keraf, 2010). Hanya saja peradaban itu makin maju, yang bisa melupakan kearifan lokal atau kearifan tradisional ini. Petani sekarang sudah memiliki mesin pemanen dan perontok padi, mesin pompa dan pengeringannya, yang menggeser pekerjaan para petani. Namun demikian nilai dari pesan memelihara peralatan pertanian, memperbaiki pakarang tetap realistis. Petani yang memiliki mesin-mesin alat pertanian harus merawat dan memperbaiki peralatannya setelah dipakai mengerjakan sawah atau ladang. Kearifan lokal kerja sama, gotong royong berganti hari, bahandep baharian, bisa saja makin menurun, tetapi kearifan itu masih bisa dimunculkan dalam bentuk lain, namun nilai kearifannya tetap terjaga. Untuk mengisi waktu setelah panen ke panen berikutnya supaya diisi dengan kerja yang bermanfaat. Walaupun sekarang pertanian sudah lebih maju yang bisa menanam padi dua kali sampai tiga kali panen setahun, dengan mengatur tempat tanam secara bergantian, menggunakan pupuk buatan, dan peralatan mekanis, sehingga waktu luang seperti petani yang panen hanya satu kali dalam setahun hampir tidak memiliki masa istirahat bagana tadi. Namun demikian agar tekad untuk mengisi waktu dengan kerja yang bermanfaat, yang mendukung pekerjaan utama, maka perlu mengatur waktu yang lebih ketat dalam mengisi waktu-waktu luang tersebut. Dalam perkembangan kehidupan sekarang ini dimana sudah terbuka juga lapangan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Pendapat yang mengatakan bahwa suatu negara akan lebih maju kalau penduduknya lebih banyak bekerja pada sektor produktif seperti pertanian dan industri, ada benarnya. Sektor usaha lain lebih banyak masuk dalam usaha steril yang hanya memberikan jasa saja. Kalau sekarang pemerintah berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri, tidaklah terlalu salah kalau pemerintah terus mengembangkan pertanian. Untuk pengembangan sektor pertanian tersebut, diharapkan supaya tetap menjaga kearifan lokal dan kearifan tradisional, agar pengembangan pertanian tidak menimbulkan gesekan yang merugikan, apalagi kalau sampai kehilangan identitas budaya bangsa sendiri. Rizali Hadi 209 III. SIMPULAN Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kekuatan ekonomi suatu keluarga itu perlu, hemat, investasi, dan siap kerja. Hemat bisa direfleksikan dengan memelihara peralatan untuk bertani, memelihara pakarang alat menangkap ikan, merupakan tindakan ekonomis menambahkan pendapatan yang non pembayaran atau penghasilan langsung. Hidup harus tetap ditingkatkan dengan meningkatkan investasi, walau tidak dengan penyimpanan deposito, atau menanam uang pada instrumen investasi, tetapi bisa direfleksikan dengan menanam pohon tanaman yang bisa memberikan hasil pada waktu yang akan datang, dan memelihara tanaman itu agar bisa segera berbuah. Investasi bisa juga dilakukan dengan kerja dan tenaga bisa juga melakukan investasi. Terakhir segala hasil yang diperoleh harus disyukuri.Semua itu adalah kearifan lokal dan kearifan tradisional, yang perlu dijaga kelestariannya dalam bentuk lain sesuai dengan perkembangan kehidupan dan tata ekonomi masyarakat. Kemudian disarankan agar kita sebagai generasi penerus, agar tetap menggali rahasia apa yang ada dalam kearifan lokal dan kearifan tradisional, yang bisa terus dikembangkan, dipakai dan diwariskan bagi generasi yang akan datang agar mereka tidak kehilangan identitas aslinya. Nilai-nilai kearifan lokal dan kearifan tradisional tersebut supaya dapat diajarkan di sekolah-sekolah sesuai jenjangnya.

DAFTAR BACAAN Ewintribengkulu.blogspot.com, Konsep Kearifan Lokal-Ilmu Pendidikan, tersedia 29-5-2015. Keraf, A.S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ridwan, N.A. 2007. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Jurnal Studi Islam dan Budaya Vol.5, 27-38.

210 Rizali Hadi PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL Sri Setiti

ABSTRAK Pembelajaran kewirausahaan bertujuan agar mahasiswa memiliki pola pikir yang kreatif. inovatif dan mandiri, sehingga dengan mempelajari kewirausahaan diharapkan dapat memecahkan masalah dalam menghadapi kehidupan dan kepedulian sosial. Pembelajaran kewirausahaan yang dilaksanakan di FKIP Unlam selain teori juga mahasiswa melakukan praktik bisnis. Kegiatan yang dilakukan mahasiswa meliputi: membuat kelompok, mengidentifikasi dan mengekplorasi potensi daerah yang dapat dikembangkan baik secara individual, kelompok atau bermitra, merencanakan apa yang bisa dilakukan, bagaimana cara melakukan, siapa nantinya yang akan melakukan, melakukan investigasi dengan cara berdiskusi dalam satu kelompok, menetapkan potensi yang dapat dikembangkan di daerah masing-masing, menetapkan produk atau jasa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa baik secara individual maupun kelompok, membuat produk atau bermitra dengan produsen yang telah memproduk barang atau jasa yang menjadi potensi daerah tersebut, kegiatan pemasaran, membuat laporan akhir dari kegiatan. Kata Kunci: Pembelajaran, kewirausahaan, kearifan lokal.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam Banjarmasin.

Sri Setiti 211 I. PENDAHULUAN Untuk menjadi wirausaha yang berhasil, persyaratan utama yang harus dimiliki adalah memiliki jiwa dan watak kewirausahaan. Jiwa dan watak kewirausahaan tersebut dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan, atau kompetensi. Kompetensi itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman. Wirausahawan adalah seseorang yang memiliki jiwa dan kemampuan tertentu dalam berkreasi dan berinovasi, ia memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Kemauan dan kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan terutama untuk (1). Menghasilkan produk atau jasa baru, (2). Menghasilkan nilai tambah baru, (3). Merintis usaha baru, (4). Melakukan proses/teknik baru, (5). Mengembangkan organisasi baru (http://muhammadghazali. wordpress.com/tag/bekal-pengetahuan-dan-kompetensi-kewirausahaan// 9/10/13). Dimensi kompetensi kewirausahaan meliputi kegiatan belajar: (1). konsep dan latihan kewirausahaan, (2). konsep dan latihan inovasi, (3). konsep dan latihan bekerja keras, (4). konsep dan latihan motivasi kuat (komitmen) dan pantang menyerah, (5). konsep dan latihan kreativitas untuk selalu mencari solusi terbaik, dan (6) evaluasi diri memiliki naluri kewirausahaan (http://www.slideshare.net/NASuprawoto/kompetensi- kewirausahaan-kepala-sekolah,9/10/13). Untuk mencapai kompetensi tersebut maka pembelajaran kewirausahaan yang dikembangkan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin selain teori di kelas juga mahasiswa melakukan praktik bisnis. Dengan praktik bisnis ini diharapkan mampu membentuk perilaku wirausaha dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah hidup. Pembelajaran kewirausahaan dengan praktik bisnis ini dilakukan sesuai dengan pernyataan yang mengatakan bahwa teori tanpa praktik kurang bermanfaat. Perubahan pembelajaran kewirausahaan dari teori 212 Sri Setiti menjadi praktik diarahkan pada pencapaian tiga kompetansi yang meliputi penanaman karakter wirausaha, pemahaman konsep dan skill, dengan bobot yang lebih besar pada pencapaian kompetensi jiwa dan skill dibandingkan dengan pemahaman konsep (Akhmad Sudrajat, 2011). Pembelajaran kewirausahaan melalui praktik mengubah kebiasaan mahasiswa yang hanya terbiasa duduk diruang kuliah dan dengan praktik. Mahasiswa harus dapat bermitra dengan pelaku bisnis atau mengeluarkan modal untuk membuat suatu produk yang kreatif sehingga mampu menarik pembeli. Oleh karena itu perlu pembelajaran kewirausahaan berbasis kearifan lokal agar dapat mengajarkan mahasiswa untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan keterampilan serta potensi lokal pada tiap- tiap daerah. Dengan pemanfaatan potensi lokal diharapkan pembelajaran kewirausahaan melalui praktik akan mampu mengenal potensi, memanfaatkan dan mengembangkan potensi lokal.

III. PEMBAHASAN 2.1 Tujuan Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Kearifan Lokal Pendidikan kewirausahaan bertujuan agar peserta didik memiliki kreativitas, inovasi dan dapat mandiri yang dilandasi dengan sikap kepedulian sosial. Kepedulian sosial menurut Adler dalam Feist (2008:68) merupakan kondisi alamiah setiap manusia dan perekat yang mengikat masyarakat secara bersama-sama. Kepedulian sosial merupakan sikap keterhubungan dengan kemanusiaan pada umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota komunitas manusia.

Sri Setiti 213 Peserta didik perlu memanifestasikan diri sebagai kerjasama dengan orang lain demi kemajuan sosial, lebih dari pada perolehan pribadi semata. Kepedulian sosial merupakan alat untuk menilai harga sebuah pribadi. Manusia yang telah memiliki kepeduliah sosial, dia telah mencapai kedewasaan psikologis. Manusia yang tidak dewasa tidak akan memiliki kepedulian sosial karena lebih memusatkan pada diri sendiri dan berjuang demi kekuasaan dan keunggulan pribadi terhadap manusia lainnya. Individu yang sehat adalah yang benar-benar memperdulikan masyarakat dan memiliki tujuan keberhasilan yang menjadi kompas kesejahteraan semua orang. Kepedulian sosial dalam bahasa Jerman disebut Gemeinschaftsgefuhl tidak sama dengan kedermawanan (charity) ataupun ketidakegoisan (unselfishness). Pembelajaran kewirausahaan berbasis kearifan lokal bertujuan agar mahasiswa mengetahui keunggulan lokal daerah dimana dia tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal daerah tersebut, selanjutnya siswa mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan/jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan lokal sehingga memperoleh pendapatan dan melestarikan budaya/tradisi/ sumber daya yang menjadi unggulan daerah serta mampu bersaing secara nasional maupun global menjadi sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal yang kita miliki sangat banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, bahasa daerah, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Mahasiswa membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Dosen yang bijaksana harus dapat menyelipkan nilai- 214 Sri Setiti nilai kearifan lokal mahasiswa dalam proses pembelajaran yang mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah.(http://koleksi-skripsi. blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan- karakter.html.). Keunggulan daerah dapat menyejahterakan masyarakat dan diharapkan keunggulan daerah dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat. Sehingga masyarakat dapat menjaga kelestarian potensi daerahnya dan dapat memanfaatkan potensi daerahnya sendiri dengan semaksimal mungkin, sehingga bermanfaat bagi hidupnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka.http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian- kearifan-lokal.html, 20/5/15. Pembelajaran kewirausahaan dapat memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. Dengan pembelajaran kewirausahaan berbasis kearifan lokal maka diharapkan mahasiswa mampu mengidentifikasi potensi daerah masing- masing mampu membaca peluang, memanfaatkan potensi tersebut sehingga mahasiswa memiliki jadi diri dan mencintai daerahnya. Kecintaan mahasiswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.

Sri Setiti 215 2.1 Model Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Kearifan Lokal Mata kuliah kewirausahaan selain teori juga mahasiswa melakukan praktik bisnis. Praktik bisnis dilakukan secara berkelompok maupun mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Joyce dan Weil (2009:296) usaha yang dilakukan bersama pada dasarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan, mendatangkan kebahagiaan, semangat, supel dan mencegah konflik sosial yang dekonstruktif. Selain itu usaha yang dilakukan bersama juga mendorong peningkatan aspek sosial tetapi juga mendorong aspek intelektual. Oleh karena itu tugas akademik yang dikerjakan dengan interaksi sosial bisa disiasati sedemikian rupa untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Perkembangan tingkah laku sosial yang produktif, skill akademik dan pengetahuan akan tercapai. Secara filosofi bahwa pendidikan sebagai wadah untuk mengembangkan kapasitas individual yang tercermin dengan cara- cara siswa mengolah informasi dan menggabungkan dengan konsep, kepercayaan dan nilai-nilai. Sebuah masyarakat yang suka berfikir reflektif akan mampu meningkatkan kapasitas dirinya sendiri dan mempertahankan ciri khas serta keunikan yang dimilikinya. Filosofi ini mengandung gagasan atau saran yang umum digunakan dalam filsafat proses demokratis (Joyce dan Weil, 2009:312). Joyce danWeil, dan Calhoun (2009:295-325) mendeskripsikan kelompok model pengajaran sosial meliputi model investigasi kelompok dan model bermain peran dan model penelitian yurisprudensi. Investigasi atau penyelidikan merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil benar sesuai pengembangan yang dilalui siswa (Soppeng, 2009) . Menurut Height (dalam Krismanto, 2004), investigasi berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut 216 Sri Setiti mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Menurut Soedjadi (dalam Sutrisno, 1999 : 162), model belajar “investigasi” sebenarnya dapat dipandang sebagai model belajar “pemecahan masalah” atau model “penemuan”. Tetapi model belajar “investigasi” memiliki kemungkinan besar berhadapan dengan masalah yang divergen serta alternatif perluasan masalahnya. Sudah barang tentu dalam pelaksanaannya selalu perlu diperhatikan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai, mungkin tentang suatu konsep atau mungkin tentang suatu prinsip. Pada investigasi, siswa bekerja secara bebas, individual atau berkelompok. Guru hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator yang memberikan dorongan siswa untuk dapat mengungkapkan pendapat atau menuangkan pemikiran mereka serta menggunakan pengetahuan awal mereka dalam memahami situasi baru. Guru juga berperan dalam mendorong siswa untuk dapat memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya. Kadang mereka memang memerlukan orang lain, termasuk guru untuk dapat menggali pengetahuan yang diperlukan, misalnya melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terarah, detail atau rinci. Dengan demikian guru harus selalu menjaga suasana agar investigasi tidak berhenti di tengah jalan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Menurut Aunurrahman (2009:152), seorang guru dapat menggunakan strategi investigation kelompok di dalam proses pembelajaran dengan beberapa keadaan, antara lain sebagai berikut:

Sri Setiti 217 1. Bilamana guru bermaksud agar siswa-siswa mencapai studi yang mendalam tentang isi atau materi, yang tidak dapat dipahami secara memadai dari sajian-sajian informasi yang terpusat pada guru. 2. Bilamana guru bermaksud mendorong siswa untuk lebih skeptis tentang ide-ide yang disajikan dari fakta-fakta yang mereka dapatkan. 3. Bilamana guru bermaksud meningkatkan minat siswa terhadap suatu topik yang memotivasi mereka membicarakan berbagai persoalan di luar kelas. 4. Bilamana guru bermaksud membantu siswa memahami tindakan- tindakan pencegahan yang diperlukan atas interpretasi informasi yang berasal dari penelitian-penelitian orang lain yang mungkin dapat mengarah pada pemahaman yang kurang positif. 5. Bilamana guru bermaksud mengembangkan keterampilan- keterampilan penelitian, yang selanjutnya dapat mereka pergunakan di dalam situasi belajar yang lain, seperti halnya cooperative learning. 6. Bilamana guru menginginkan peningkatan dan perluasan kemampuan siswa. Menurut Killen (Aunurrahman, 1998: 146) memaparkan beberapa ciri essensial investigasi kelompok sebagai pendekatan pembelajaran adalah: Para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dan memiliki independensi terhadap guru. 1. Kegiatan-kegiatan siswa terfokus pada upaya menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan. 2. Kegiatan belajar siswa akan selalu mempersaratkan mereka untuk mengumpulkan sejumlah data, menganalisisnya dan mencapai beberapa kesimpulan. 3. Siswa akan menggunakan pendekatan yang beragam di dalam belajar. 4. Hasil-hasil dari penelitian siswa dipertukarkan di antara seluruh siswa.

218 Sri Setiti Slavin (2009: 218), mengemukakan tahapan-tahapan dalam menerapkan pembelajaran investigasi kelompok: Tahap 1: Mengidentifikasikan Topik dan Mengatur Murid ke dalam Kelompok. Para siswa meneliti beberapa sumber, memilih topik, dan mengkategorikan saran-saran. • Para siswa bergabung dengan kelompoknya untuk mempelajari topik yang telah mereka pilih. • Komposisi kelompok didasarkan pada ketertarikan siswa dan harus bersifat heterogen. • Guru membantu dalam pengumpulan informasi dan memfasilitasi pengaturan. Tahap 2: Merencanakan Tugas yang akan Dipelajari • Para siswa merencanakan bersama mengenai: apa yang kita pelajari?, bagaimana kita mempelajarinya?, siapa melakukan apa? (pembagian tugas), untuk tujuan atau kepentingan apa kita menginvestigasi topik ini? Tahap 3: Melaksanakan Investigasi • Para siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. • Tiap anggota kelompok berkontribusi untuk usaha-usaha yang dilakukan kelompoknya. • Para siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi, dan mensintesis semua gagasan. Tahap 4: Menyiapkan Laporan Akhir • Anggota kelompok menentukan pesan-pesan essensial dari proyek mereka. • Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan, dan bagaimana mereka akan membuat presentasi mereka

Sri Setiti 219 • Wakil-wakil kelompok membentuk sebuah panitia acara untuk mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi. Tahap 5: Mempresentasikan Laporan Akhir. • Presentasi yang dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai macam bentuk • Bagian presentasi tersebut harus dapat melibatkan pendengarnya secara aktif • Para pendengar tersebut mengevaluasi kejelasan dan penampilan presentasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh seluruh anggota kelas. Tahap 6: Evaluasi. • Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik tersebut, mengenai tugas yang telah mereka kerjakan, mengenai keefektifan pengalaman-pengalaman mereka • Guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran siswa. • Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran paling tinggi Berdasarkan uraian di atas bahwa model pembelajaran investigasi kelompok ialah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok yang bersifat heterogen dimana setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Zuriah Nurul ( 2012:145), model PKn multikultural berbasis kearifan lokal yang dikembangkan berdasarkan interaksi sosial dengan metode inkuiri sosial dengan sintak pembelajaran meliputi: (1). Orientasi, (2). Hipotesis, (3). Definisi/ penjelasan istilah (4) Eksplorasi, (5). Pembuktian hipotesis dan (6). Eksplorasi.Model desain konseptual terdiri dari desain perencanaan, desain pelaksanaan dan desain evaluasi. Model pembelajaran kewirausahaan di FKIP-UNLAM melalui praktik kewirausahaan berbasis kearifan lokal beberapa langkah yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai berikut.

220 Sri Setiti 1. Mahasiswa secara berkelompok sesuai dengan asal daerah dan kelompok berdasarkan kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Mahasiswa yang berasal dari luar Provinsi Kalimantan Selatan membentuk kelompok tersendiri. 2. Mahasiswa secara berkelompok mengidentifikasi dan mengekplorasi potensi daerah yang dapat dikembangkan baik secara individual, kelompok atau bermitra. 3. Mahasiswa merencanakan apa yang bisa dilakukan, bagaimana cara melakukan, siapa nantinya yang akan melakukan. 4. Mahasiswa melakukan investigasi dengan cara berdiskusi dalam satu kelompok. 5. Mahasiswa menetapkan potensi yang dapat dikembangkan di daerah masing-masing, menetapkan produk atau jasa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa baik secara individual maupun kelompok. 6. Mahasiswa membuat produk atau bermitra dengan produsen yang telah memproduk barang atau jasa yang menjadi potensi daerah tersebut. 7. Melakukan kegiatan pemasaran. 8. Membuat laporan akhir dari kegiatan.

III. SIMPULAN Pembelajaran kewirausahaan berbasis kearifan lokal yang telah dilakukan pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-UNLAM dengan cara mahasiswa mengidentifikasi potensi lokal yang dapat dikembangkan. Dengan mengidentifikasi potensi lokal mahasiswa akan mengenal lebih jauh tentang potensi di daerah masing-masing dan keinginan untuk menggali dan mengembangkan sehingga dapat memajukan daerah masing-masing. Dari mengidentifikasi tersebut selanjutnya mahasiswa merancang bisnis dengan membuat produk sendiri maupun bermitra.

Sri Setiti 221 Model ini sudah dilakukan oleh dosen dan hasilnya mahasiswa membuat produk yang menjadikan ciri khas daerah masing-masing. Namun demikian model pembelajaran kewirausahaan berbasis kearifan lokal ini belum pernah diadakan penelitian untuk melihat keefektifannya.

DAFTAR PUSTAKA Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Feist Jess at all. 2006. Theories of Personality. New York: McGraw Hill. http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian-kearifan-lokal.html, 20/5/15 .(http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan- karakter.html.). http://muhammadghazali.wordpress.com/tag/bekal-pengetahuan-dan- kompetensi-kewirausahaan//9/10/13 http://www.slideshare.net/NASuprawoto/kompetensi-kewirausahaan- kepala-sekolah,9/10/13 Joyce Bruce dan Weil Marsha. 2009. Models Of Teaching (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Slavin. 2009. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media. Zuriah Nurul. 2012. Dimensi-Dimensi Praktik Pendidikan Karakter. Bandung: Widy Aksara Press.

222 Sri Setiti PENDIDIKAN HUMANIORA DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN Mohammad Zaenal Arifin Anis

ABSTRAK Pendidikan humaniora dalam masyarakat Banjar secara formal terpadu dalam mata pelajaran fiqih, hadist, tasawuf, tarikh, tauhid, tafsir dan adab yang diajarkan di pengajian maupun madrasah. Secara informal terwujud juga dalam ritual-ritual keagamaan yang terkadang seni, tetapi tetap ada pembeda antara substansi ajaran agama dengan seni sebagai asesoris ritual atau pelengkap sebuah ritual. Pendidikan humaniora juga mampu membangun pemikiran masyarakat Banjar untuk membaca dan mensiasati gejala alam dengan penuh kearifan (local wisdom). Kata Kunci: Pendidikan humaniora, masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.

Mohammad Zaenal Arifin Anis 223 I. PENDAHULUAN Manusia merupakan pencipta budaya. Dalam penciptaan budaya ia lalui melalui proses belajar kemudian ditransmisikan kepada generasi berikutnya melalui pendidikan. Proses belajar dan pendidikan yang dilakukan oleh manusia membuat ia menyandang predikat sebagai animal edocandum, animal educabili dan animal edukator (Tilaar & Nugroho, 2008: 24). Melalui proses pendidikan manusia menjadi manusiawi sehingga dapat mensiasati lingkungan fisik dan sosial sesuai dengan jiwa zamannya. Pendidikan diselenggarakan oleh setiap kelompok- kelompok sosial melalui sebuah lembaga pendidikan baik secara formal maupun informal melalui beragam bentuk komunikasi sosial (Kuntowijoyo, 1987: 37).Dalam konteks ini, pendidikan merupakan suatu kesatuan yang berhubung kait dengan lainnya dalam suatu sistem budaya yang dianut oleh masing-masing kelompok sosial dan menjadi jalan yang lurus menuju peradaban. Pada masa kekinian terdapat dikotomi antara pendidikan modern dan tradisional. Anggapan umum tampaknya berpihak kepada pendidikan modern yang mampu memproduksi peradaban. Padahal setiap zaman selalu melahirkan peradaban. Katakan saja, peradaban sebelum dikaryakan selalu digagas oleh kejernihan berpikir dari mereka yang berahlak mulia. Pada masyarakat tradisional penggagas peradaban selalu dikaryakan oleh kaum literati atau kaum intelektual yang umumnya mengecap pendidikan yang bermuara dari lembaga agama. Kita abaikan dikotomi pendidikan modern dan tradisonal.Kita coba simak fenomena lembaga pendidikan dalam sistem sosial masyarakat Banjar. Secara sosio kultural masyarakat Banjar khususnya di Maratapura sangat lekat dengan orientasi keIslamannya. Pandangan ini diperkuat oleh Lesley Poter (2000,370-418) ketika ia menulis tentang kemandirian budaya, peluang ekonomi dan mobilitas orang Banjar. Lesly Porter (2000:371) menyebutkan latar belakang ekonomi sesuai dengan wilayah adat masing- masing etnis Banjar, untuk orang Banjar Martapura dikenal dengan

224 Mohammad Zaenal Arifin Anis pendulangan intan dan pengajaran agama Islamnya. Keberadaan pengajaran agama Islam di masyarakat Banjar tentunya melalui proses panjang. Katakan saja peran dari seorang intelektual Banjar yang hidup pada abad XVIII dan awal abad XX, yaitu Syech Arsad al Banjari. Keintelektualannya ia karyakan dalam beberapa kitab, diantaranya adalah kitab Sabilal Muhtadin yang paling masyur dari lima buku lainnya. Arsyad Al Banjari tidak melulu menuangkan buah pikirannya ke dalam karya-karya berwujud buku, ia juga membangun kampung baru, dan membuat irigrasi untuk kepentingan pertanian di kampung itu. Kampung itu dikenal dengan nama Kampung Dalam Pagar Martapura. Dari kampung ini ia bermuasal berdawah, sehingga ia mencetak ulama-ulama yang kelak menyebar untuk menyiarkan agama di dan luar wilayah kesultanan. Realitas ini, membuat masyarakat Banjar umumnya dan Martapura khususnya tidak ada yang menyandang predikat buta hurup aksara yang tertulis dalam kitab suci Al- Quran dan huruf Arab Melayu yang dulunya dikenal dengan aksara Arab – Melayu . Dalam konteks ini, orang Banjar secara umum dan khususnya Martapura akar pendidikannya bermuasal dari pendidikan agama. Kuatnya pengaruh pendidikan agama membuat pendidikan Barat yang masyur dengan trilogi politik etisnya yang diintrodusir Pemerintah Kolonial Belanda (PKB) tidak pernah memapakan dirinya di Martapura. Jika ada pendidikan Barat itu juga hanya terdapat di Banjarmasin yaitu sekolah raja yaitu kwekschool voor inlandse onderwijzers antara 1875-1889 (Ideham, et.all, 2007: 121). Bisa jadi PKB tahu persis, bahwa di Martapura pendidikan agama akan lebih dihiraukan oleh masyarakatnya ketimbang pendidikan Baratnya sehingga mengakibatkan terjadinya gesakan kultural. Pada masa kekinian, dalam masyarakat Martapura membelah lembaga pendidikan dalam dikotomi pendidikan umum dan pendidikan madrasah Islam. Pendidikan umum biasa disebut sekolah negeri biaya operasionalnya seluruhnya didanai oleh negara, sedangkan pendidikan madrasah Islam terbelah lagi menjadi dua bagian, yaitu pendidikan Islam

Mohammad Zaenal Arifin Anis 225 yang berlabel negeri tentunya didanai oleh negara dan swasta yang diprakasai dan didanai oleh masyarakat. Pendidikan madrasah swasta menunjukan kontinuitas sejarah pendidikan Islam di Martapura. Keberadaan pendidikan madrasah swasta merupakan sebuah fenomena menarik jika ditelisik secara sosio kultural. Mendiskusikan pendidikan humaniora yang diselenggarakan masyarakat Banjar secara historis maka di dalamnya terdapat tiga bentuk pendidikan agama, yaitu Dalam Pagar, pengajian dan madrasah. Tulisan ini diasakan menjelaskan tentang bagaimana pendidikan humaniora agama yang erat taliannya dengan kultural masyarakat Banjar.

II. PEMBAHASAN 2.1 Islam dan Masyarakat Banjar Muasal tentang pendidikan pada masyarakat Banjar harus dimulai tentang masuk dan dianut agama Islam oleh masyarakat Banjar. Saya memulai tulisan ini dengan Islam dan masyarakat Banjar bukan masyarakat Banjar dan Islam. Begini muasalnya, Islam diduga masuk, tersebar dan dianut oleh sebagian kecil penduduk yang bermukim di wilayah pra kesultanan Banjar. Islam tersebar secara intensif, pada abad XVI ketika Khatib Dayan memimpin pasukan Demak untuk membantu Pangeran Samudra yang tengah perseteruan politik dalam memperebutkan kekuasaan dengan pamannya. Bernama Pangeran Temanggung.Pangeran Samudra dibantu oleh Khatib Dayan berhasil mengalahkan pamannya. Pasca kemenangannya akhirnya Pangeran Samudra memeluk agama Islam dan ditasbihkan menjadi sultan pertama dan bergelar Sultan Suriansyah di Kesultanan Banjar dengan ibukota Banjarmasin. Islam kemudian menjadi ideologi Kesultanan Banjarmasin. Fenomena ini mengisyaratkan, bahwa Islam oleh Sultan Suriansyah dijadikan basis untuk membangun budaya bernegara yang di dalamnya termasuk penataan masyarakat.

226 Mohammad Zaenal Arifin Anis Menarik untuk dicermati pasukan Demak yang dipimpin Khatib Dayan sebagai pembawa pasukan dari Demak (Jawa) ke wilayah Banjar seperti yang diinformasikan dalam Hikayat Banjar (Ras, 1968: 400). Hemat saya, ini perlu direinterpretasi. Jika tidak maka tapsiran, bahwa siar Islam di Banua Banjar identik dengan bantuan militer dan pedang. Coba kita simak, bukankah arti dari khatib adalah sebutan untuk guru. Ini dapat diartikan, bahwa Khatib Dayan adalah Guru Dayan yang memimpin para guru agama sebagai bentuk realisasi bantuan Demak ke Pangeran Samudra. Dalam bahasa lain, bantuan Demak ke Pangeran Samudra bukan pasukan militer melainkan bantuan para guru agama Islam yang dipimpin oleh Khatib Dayan ( Anis,2011: 8). Ini juga dapat diartikan, bahwa Khatib Dayan bukan seorang panglima perang, sebab dalam tradisi Jawa pemimpin perang harus bergelar Temanggung dan biasa selalu ditambahi kata yuda dinamanya, katakan saja Temangung Wirayuda .Pandangan ini dapat diartikan, bahwa masuknya Islam ke Banua Banjar secara formal bukan oleh kaum kesatria yang akhli dalam memainkan pedang melainkan oleh para guru agama. Ketika Banjarmasin dipilih menjadi ibukota kesultanan Banjar maka Sultan Suriansyah memindahkan penduduk yang menjadi pengikut rivalnya di Daha ke Banjarmasin. Pemindahan penduduk merupakan salah satu dari tujuan perang tradisional yaitu merekrut jumlah penduduk. Pembauran penduduk di kota Banjarmasin yang terdiri dari Orang Daha, Melayu, Dayak dan Jawa terjadi.Pembauran ini dapat dikatakan sebagai suatu gambaran tentang beragam kelompok manusia menjadi suatu kelompok yang besar dan baru, yaitu Urang Banjar (Anis, 2011: 9). Kelak sebutan orang Banjar tidak hanya sebatas penduduk yang menghuni wilayah Banjarmasin. Sebutan Urang Banjar semakin meluas seluas wilayah kesultanan Banjar. Proses dimulai, ketika Kesultanan Banjar melakukan proses Pembanjaran (siar agama dan perluasan kekuasaan), maka sebutan urang Banjar berkembang dan tersebar ke seluruh kelompok yang menghuni wilayah kesultanan, yaitu di daerah Pahuluan, Batang Banyu dan

Mohammad Zaenal Arifin Anis 227 Kuala.Berdasarkan pemisahan area secara geografis ini, Idwar Saleh (Potter, 2000:)membagi sub etnis Banjar menjadi; (1) Banjar Kuala; (2) Banjar Batang Banyu dan (3) Banjar Pahuluan. Ketiga subetnis yang dapat dikatakan Urang Banjar dengan Islam sebagai identitasnya yang membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, yaitu kelompok sosial Dayak yang masih beragam etnis. Apabila ada Orang Dayak memeluk agama Islam, berarti ia sudah babarsih dan boleh menyandang predikat menjadi Urang Banjar. Kata babarsih dapat ditapsirkan, bahwa yang bersangkutan sudah membersihkan diri dari keyakinan lama yang dianutnya dan siap menerima keyakinan baru yaitu Islam. Awalnya identitas ke-Banjaran dibangun melalui transmisi nilai- nilai agama Islam oleh guru-guru agama dipimpin oleh Khatib Dayan. Dapat dikatakan, bahwa pendidikan humaniora dalam agama Islam dijadikan sebagai rekayasa budaya yang secara intensif bermuasal dari kalangan istana terus merembes ketataran bawah di wilayah-wilayah kesultanan. Di kalangan istana terdapat ulama-ulama yang disebut sebagai Tuan Guru sebagai penasehat sultan, tuan penghulu, mufti dan qadi. Hal ini, dapat dikatakan, bahwa istana merupakan pelembagaan produksi dan distribusi nilai-nilai dan simbol-simbol dibawah patronase sultan (Kuntowijoyo, 1987: 40). Nilai-nilai dalam menata dan melaksanakan pemerintahan ditekankan kepada etika agama tentang bagaimana seseorang memperoleh amanah dalam kekuasaan. Dalam konteks ini patronase sultan disebut tetuha bubuhan (pemimpin kelompok sosial) yang harus memberikan perlindungan baik fisik maupun non fisik sesuai dengan ketentuan agama. Para tuan guru sebagai agen perubahan juga sangat aktif memberikan pendidikan agama di luar istana. Informasi tentang bagaimana mengajar agama tidak diperoleh. Besar kemungkinan dengan cara mengaji duduk.

228 Mohammad Zaenal Arifin Anis Secara ekologis dan sumber ekonominya, kesultanan Banjar merupakan kesultanan maritim dan menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. Kondisi membuat kesultanan bersifat kosmopolit sehingga interaksi dengan luar terbangun sehingga menentukan corak keIslaman masyarakat Banjar. Katakan saja, ketika Sultan Tamjidullah I mengirimkan seorang anak dari Kampung Lok Gabang Martapura bernama Muhamad Arsyad untuk menuntut agama Islam ke Mekah dan Madinah pada tahun 1746 (Subiyakto,2011;9). Guru yang dipilihnya adalah pakar dibidangnya masing-masing. Dua di antaranya gurunya yang kondang karena ke dalaman ilmu adalah seorang berasal dari Mekah bernama Alimul allamah Syekh Athailah bin Ahmad al Mishry al Azhary, sedangkan gurunya yang berasal dari Medinah Syeikhul Islam Imamul Haramain Alimul allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdie. Di bidang tasawuf guru Syekh Arsyad memiliki beberapa orang guru, yang masing-masing bernama: (1) Sayyidul Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd, (2) Karim al-Qadari, dan (3) Asy- Syahrir bis-Samman al- Madani (Husain, 2006:94). Selama di Mekah ia menuntut ilmu keagamaan, ilmu hitung, beragam anak cabang bahasa Arab, geografi, falaq, sehingga ia memperoleh predikat gelar syekh (Zamzam dalam Subiyakto, 2011:40). Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari dari hasil pencarian ilmu dan pengalamannya merantau tidak berlebihan jika ia juga mempunyai predikat ulama yang mempunyai pengalaman kosmopolitan dan menyumbangkan pikiran tentang jabatan mufti dalam struktur pemerintahan. Syekh Muhamad Arsyad Al Banjari menjadi penasehat (mufti) di kesultanan. Fenomena ini mengisyaratkan terintegrasinya antara agama dan negara dalam masyarakat Banjar. Sisi lainnya, atas persetujuan sultan, Syekh Muhamad Arsyad Al Banjari mendirikan sebuah kampung baru di area tanah kosong jauh dari keraton yang dikenal dengan sebutan Kampung Dalam Pagar Martapura. Di kampung baru ini Syekh Muhamad Arsyad Al Banjar menggali saluran air baru (kanal) yang berfungsi sebagai irigrasi untuk kepentingan pertanian,

Mohammad Zaenal Arifin Anis 229 sehingga tanah di area itu menjadi tanah produktif. Keuletan Syekh Arsyad Al Banjari yang dibantu oleh menantunya bernama Syekh Abdul Wahab Bugis dan anak cucunya dalam membangun kampung Dalam Pagar membuat kampung ini menjadi makmur dibandingkan dengan kampung lainnya. Bahkan sampai saat ini Kampung Dalam Pagar masih memperlihatkan kemakmurannya. Dalam sisi lainnya Syekh Arsyad Al Banjari sudah berhasil membawa masyarakat di kampung itu untuk mengembangkan hidup mandiri tanpa ketergantungan kepada orang lain termasuk pemerintah (Daud, 2000: 8). Selain membangun kemakmuran dan kemandirian yang paling utama ketika Syekh Arsyad Al Banjari membangun pendidikan keagamaan di kampung ini. Upaya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam kadernisasi ulama berhasil dengan munculnya seorang ulama dan seorang alamah cucunya sendiri, yaitu Muhammad Asad, anak Syarifah dari suaminya bernama Usman dan Fatimah anaknya Syarifah dari suaminya bernama Syekh Abdul Wahab Bugis (Husain, 2006: 100). Muhammad Asad diberi tugas untuk mengajari murid-murid pria, sedangkan bagi murid kaum perempuan diajar oleh Fatimah. Pendidikan agama yang dibangun oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang dibantu oleh menant dan cucunya merupakan muasal sebagai pusat pengajian, pengembangan Islam dan pengkaderan bagi para murid yang kelak menjadi para tuan guru (ulama) di tanah Kalimantan. Di Kampung Dalam Pagar sebagai awal pusat pendidikan Islam, Syekh Arsyad Al Banjari mengajarkan baca tulis Arab Melayu sebagai pintu masuk untuk pemula yang belajar agama Islam. Besar kemungkinan transmisi pendidikan (pengajian) berpusat di rumah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, langgar atau mushalla dan masjid yang ada di kampung baru itu. Pada tataran berikutnya para muridnya diajarkan tentang tauhid, fiqih. Setelah itu, nahwu dan syaraf dalam pelajaran bahasa arab (Subiyakto, 2011: 41). Syekh Muhamad Arsyad Al Banjari dalam menyiarkan pendidikan

230 Mohammad Zaenal Arifin Anis agama, pertama ia mengembangkan model dakwah bil haal yaitu dengan perbuatan nyata dengan beragam aktivitas yang dirasakan manfaatnya, yaitu kaderisasi ulama , memurnikan ajaran agama, dan integritas antara penguasa dan masyarakat, kedua dakwah melalui tulisan. Syekh Muhamad Arsyad sebagaimana layaknya seorang intelektual ia mengkaryakan kitab- kitab yang menjadi rujukan tentang persoalan hukum dan fiqih. Karya- karyanya antara lain ; (1) Parukunan Basar; (2) Fathul Jawad; (3) Luqtatul Ajlan; (4) Kitanun Nikah; (5) Kitabul Faraid dan (6) Kitab yang paling monumental adalah kitab Sabilal Mutadin littafaquh fiamriddin (Ideham, dkk., 2005:55). Bahkan Alamah Fatimah cucu Syekh Muhamad Arsyad Al Banjari menghasilkan sebuah karya kitab kuning yang berjudul Perukunan Jamaluddin dalam bahasa Melayu berisi rukun Islam dan rukun Iman (Martin van Bruisnessen dalam Syarkawi B. Husain,2006: 100). Kaderisasi ulama dengan pengajaran agama yang ketat di Kampung Dalam Pagar menghasilkan para ulama yang piawai, kemudian mereka oleh Syekh Arsyad Al Banjari dikembalikan ke kampung asal mereka masing-masing untuk membangun pengajian dan mereka diberi gelar oleh masyarakat disekitarnya sebagai Tuan Guru (ulama). Pengajian dengan cara Tuan Guru membaca dan menjelaskan, sedangkan murid memegang kitab yang sama dan diberikan kesempatan bertanya jika ada yang tidak dipahaminya. Cara ini disebut dengan sebutan mengaji duduk. Selain itu ada sebutan pengajian yang sesuai dengan nama hari ketika pengajian itu dilaksanakan, misalnya pengajian manyalasa, pengajian maarba (pengajian yang dilaksanakan pada hari Selasa dan Rabu). Keberadaan Kampung Dalam Pagar dengan irigasi untuk kepentingan masyarakat merupakan sebuah simbol tentang terintegrasinya antara kesultanan, ulama dan masyarakat. Kerekatan relasi dan integrasi ketentuan agama semakin diintensifkan untuk membangun ketertiban, solidaritas dan budaya bernegara. Katakan saja ketika Sultan Adam (1835- 1857) pada tahun 1835 memberlakukan Undang-Undan Sultan Adam (UUSA)

Mohammad Zaenal Arifin Anis 231 yang terdiri dari 31 pasal dan ditetapkan pada tanggal 15 al Muharam 1251 Hijrah. Menurut Abdurahman (Ideham, dkk, cet’ ke 3, 2007: 221) naskah UUSA ditulis dalam aksara Arab-Melayu Banjar disertai dengan terjemahannya dalam Bahasa Belanda. Publikasi pertama dari naskah UUSA dikaryakan oleh A.M. Joekes tahun 1891 dimuat dalam majalah Indische Gids. Pada periode berikutnya naskah ini direvisi oleh Komisi Hukum Adat Koninklijke Voor de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlands Inde di Negeri Belanda yang dikemudian dipublikasikan di dalam Adatrehct Bundels, jilid XIII tahun 1917. UUSA isinya dapat dikelompokan sebagai berikut: (1) Persoalan Agama dan Peribadatan; (2) Hukum tata pemerintahan; (3) Hukum peradilan; dan (4) Hukum tanah. Dukungan terhadap intensifnya dan meluasnya siar pengajian dalam masyarakat Banjar tersurat pada UUSA pekara dua, yaitu: “ Tiap-tiap tatuha kampung kusuruhkan baolah langgar supaya didirikan mereka itu solat berjamaah pada tiap-tiap waktu dengan sekalian anak buahnya dan kusuruhkan mereka itu membawai anak buahnya solat barjamaah dan solat Jumat pada tiap-tiap hari Jumat lamun ada anggan padakan kayah daku.“ Isi UUSA perkara 2 merupakan instruksi sultan kepada orang-orang yang dituakan karena mereka memiliki wibawa yang kharismatik di setiap kampung harus membuat langgar dan mewajibkan semua warga untuk salat berjamaah. Dalam langgar-langgar itu proses pengajian semakin menyebar ke seluruh pelosok wilayah kesultanan. Aktivitas membuat langgar kelak tidak hanya dilakukan oleh para ketua kampung melainkan masyarakat lainnya turut juga membangun langgar. Pada sisi ini membangun langgar mengajar dalam pengajian tanpa imbalan bukan karena instruksi dari sultan, melainkan diyakini bagian dari nilai taqwa. Apabila dicermati keberadaan UUSA merupakan internalisasi dan pertalian antara hukum-hukum Islam ke dalam tatahukum kesultanan, sehingga dapat dikatakan ajaran agama memberikan andil dalam

232 Mohammad Zaenal Arifin Anis membangun budaya bernegara di kesultanan Banjar. UUSA dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai aturan yang apa bila dicermati berisikan kandungan humaniora produk istana yang ditujukan bagi kepentingan kalangan istana maupun kalangan masyarakat diluar istana kesultanan. Sisi lain UUDSA juga merupakan sebuah simbol tentang perubahan orientasi, bahwa kesultanan Banjar yang awalnya memiliki etos pedagang yang mobil bercorak urban katakan saja kosmopolit berubah menjadi kesultanan agraris dengan sistem ekonomi patrimonial feodal (Anis, 2011: 75). Menarik juga dicermati, secara historis ketika kesultanan Banjar menjadi kesultanan agraris dominasi sistem feodal tidak terlalu kuat. Sebab secara lingkungan fisik dan sosial, kesultanan Banjar terletak di wilayah Banjar Kuala memiliki tradisi berlayar untuk berdagang. Watak dagang yang mobil memberikan warna tegas dalam kehidupan masyarakat Banjar. Akan tetapi watak dagangnya tidak mengutamakan kehidupan materislistik melainkan jiwa dan semangat keagamaan yang diutamakan, sehingga orientasi berdagangnya dilandasi oleh untung rugi dalam aspek religi (Daud,200: 4) Selain itu, sultan sudah mendelagasikan kekuasannya kepada tetuha kampung, yaitu para tuan guru dan pambakal agar masyarakatnya selalu berpijak kepada ketentuan agama, yakni bermusyawarah jika terdapat persoalan,. Hal ini tersurat dalam UUSA perkara ke tiga: “Tiap-tiap tatoeha kampung koesoroehkan memadahi anak boehnya dengan bermoefakat astimewah lagi antar karabat soepaya djanan jadi banyak bicara dan berbantahan” Dalam konteks ini orientasi pendidikan masyarakat lebih mengakomodasi apa yang diberikan dan diajarkan oleh para tuan guru dan tetuha kampung lainnya ketimbang dari pusat kekuasaan. Dalam konteks ini pendidikan agama Islam secara sosio historis telah membangun identitas keBanjaran dan merefleksikan pembentukan sosok budaya Banjar Islam yang egaliter yang kelak tentunya sangat berpengaruh terhadap generasi-genaris berikutnya. Egaliter dalam konteks ini bisa diartikan, bahwa masyarakat Banjar khususnya di Dalam Pagar tidak mengenal kelas dalam Mohammad Zaenal Arifin Anis 233 basis ekonomi melainkan posisi dalam struktur, yaitu ulama (tuan Guru) dan masyarakat. Tuan guru di mata masyarakat Banjar sangat tinggi karena tuan guru diyakini sebagai pengikut jejak Rasulullah SAW. Menurut Zarmuji (Dhofier 1982:82), dalam hadist disebut, murid harus menganggap gurunya sebagai orang tuanya. Relasi Tuan Guru dengan murid dalam bahasa Weber (2012: 194-195) diklasifikasikan antara dua individu yang Zarmuji (Dhofier,1982:82) melibatkan rasa penghormatan yang tinggi. Pada sisi lain, walaupun kesultanan Banjar sudah menjadi kesultanan agraris akan tetapi penyebaran Islam tidak mandeg melainkan semakin menggurita di daerah-daerah kesultanan yang menopang ekonominya pada pertanian secara mandiri.

2.2 Pendidikan Humaniora di Pengajian dan Madrasah Humaniora bukan sosiologi budaya atau psikologi budaya melainkan sebuah ilmu yang committed terhadap kelangsungan hidup obyeknya, begitulah ucap Huizingga (Kuntowijoyo, 1987: 67). Humaniora dapat dikatakan bagian dari pendidikan tentang bagaimana menjadi manusia. Manusia kodratnya percaya kepada kekuatan keilahian atau superhuman tempat meminta tolong ketika mereka menghadapi persoalan di dunia. Hal ini bisa dilihat tentang adanya keyakinan terhadap animisme dan dynamisme, polytheisme dan monotheisme. Bagi pemeluk agama Islam kekuatan superhuman disebut dengan nama Allah SWT pencipta dan buana dan segenap isinya, pemilik kebenaran dan pemilik keadilan. Agar manusia dekat dengan Allah, ia harus melakukan ibadah sesuai dengan ketentuan dalam kitab suci dan hadist. Orang Banjar meyakini, bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah. Dalam konteks ini menuntut ilmu (agama) merupakan sebuah kewajiban. Selain menuntut ilmu pemberian wakaf, infaq dan sadaqah untuk membangun masjid dan madrasah lebih besar nilai ibadahnya ketimbang membangun sarana fisik untuk transportasi. Fenomena ini diaktualkan dalam

234 Mohammad Zaenal Arifin Anis makalah Alfani Daud (2000: 9), bahwa pada masa lampau orang Banjar membangun madrasah termasuk menggaji para ustadnya dan membangun sarana ibadah oleh individu, bahkan tidak jarang pula mereka selepas salat Jumat mentraktir orang yang sedang berada di warung. Informasi ini merupakan sebuah fakta tentang tapsiran Orang Banjar terhadap ibadah. Orientasi pencarian ilmu dan menyisihkan sebagian harta untuk ibadah yang diyakini oleh masyarakat Banjar, membuat menjamurnya pengajian- pengajian Islam dipelosok-pelosok wilayah kesultanan. Fenomena menjamurnya pengajian ini selaras dengan yang diucapkan Al-Ghazali, tujuan pengajian merupakan bagian dari pendidikan Islam yang akan membawa kesempurnaan manusia di dunia dan akherat melalui ilmu pengetahuan (Safroni dalam Rabini Sayyidati, 2014:28). Pendidikan humaniora di masyarakat Banjar Berbeda dengan pendidikan humaniora di Jawa yang menyelipkan di pasantren seperti yang ditulis oleh Kuntowijoyo (1987:44), pendidikan humaniora di Banjar secara lembaga dapat dilacak di pengajian-pengajian dan madrasah- madrasah. Kemunculan madrasah-madrasah pada dasarnya merupakan bentuk perlawanan melalui pendidikan melawan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda ketika mereka membangun sekolah-umum untuk kepentingan kolonialismenya. Katakan saja pada tahun 1914 di Martapura berdiri Madrasah Islam, pada tahun yang sama di Banjarmasin berdiri madrasah Sarekat Islam, pada tahun 1920 berdiri Sekolah Muhamadiyah di Banjarmasin, di Amuntai berdiri madrasah Ma ahad Rasyidiyah pada tahun 1930, di Banjarmasin berdiri juga madrasah Musyawattutthalibin, 1930, pada 1932 di Barabai berdiri Diniyah Islamiyah, (Ramli Nawawi dalam Ideham, dkk,2007:382). Awalnya bentuk pendidikan ini dalam bentuk pengajian atau biasa disebut dengan sebutan majelis taklim, kemudian berkembang menjadi madrasah dengan menggunakan sistem klasikal. Kelak aluminya menjadi pemimpin-pemimpin muda Islam yang menjadi aktivis dalam gerakan-gerakan keagamaan, sosial dan politik. Fenomena

Mohammad Zaenal Arifin Anis 235 ini mengisyaratkan, bahwa berdirinya madrasah-madrasah itu merupakan budaya tandingan yang sangat cerdas oleh masyarakat Banjar dalam membangun nasionalisme. Semangat membangun pengajian dan madrasah sampai saat ini masih bergelora. Khususnya untuk membangun madrasah dengan dana swadaya masyarakat di kampung-kampung biasanya digagas oleh para pambakal yang umumnya adalah para haji. Tanah untuk kepentingan madrasah biasanya berasal dari tanah wakaf, sedangkan untuk perawatannya ditanggung oleh swadana masyarakat kampung dan sumbangan dari para haji di luar kampung. Pendidikan humaniora dalam pengajian yang pesertanya adalah orang-orang dewasa seperti yang ditulis oleh Alfisah (2008: 25) pada masa kekinian berbentuk kegiatan arisan pengajian yang didalamnya terdapat pengajaran fiqih baik yang transdental maupun horizontal, tasawuf, tauhid dan etika.Lebih lanjut lagi Alfisah menuliskan, bahwa sistem pendidikan dalam pengajian dalam beberapa bentuk, katakan saja: ceramah, pembacaan kitab-kitab klasik, dan pengajaran bertahap (batahap), sedangkan kitab yang digunakan adalah Ihya Ulumuddin, Bidayatul Hidayah dan Hidayatus Salikin. Materi yang disampaikan tentang tatalaku kaum sufi untuk dicintai oleh Allah ( Alfisah, 2008: 26). Tujuannya secara ideal mengajak masyarakat Banjar agar meniru para sufi agar menjadi muslim yang sempurna. Kelompok-kelopok pengajian setiap tahun selalu menyelengarakan ritual Maulid Nabi Muhamammad SAW, dan ritual peringatan khaul, yaitu peringatan khaul Syekh Seman dan haul Tuan Guru Ijay. Almarhum Tuan Guru Ijay merupakan ulama kharismatik yang dimiliki oleh Martapura pada abad ini.Semasa beliau hidup pejabat nasional, artis- artis dari Jakarta menyempatkan bersilahturami dengan almarhum. Dalam acara khaul ini selalu dibacakan sejarah hidup (manaqib) kedua tokoh itu. Pembacaan manaqib menjadi penting untuk mengingatkan umat tentang sisi kehumanisan kedua tokoh itu tanpa unsur pengkultusan.

236 Mohammad Zaenal Arifin Anis Berbeda dengan pengajian maka madrasah dengan sistem klasikalnya. Di Madrasah mata pelajaran dibelah menjadi 2 katagori , yaitu kelompok dasar dan kelompok pokok (umum). Kelompok dasar terdiri dari: tauhid, fiqih, ushul fiqih, faroidh, Al Quran, Tafsir, Hadist, Mutsthalah Hadist, dan Usul Tafsir, sedangkan Kelompok Umum adalah Nahwu, Shorof, Mantiq, Balaqhah, Lughat, Tarikh, dan Aklaq. Menarik dicermati dalam pembelajaran tarikh, pembelajaran tarikh pada dasarnya adalah sejarah tentang apa yang dilakukan oleh para sahabat, dan aktivitas yang menyejarah ketika umat Islam terlibat dalam dinamika sejarah. Dalam konteks ini, para pelajar pada dasarnya telah diajak dan ditanamkan berpikir emperik tentang tokoh-tokoh Islam yang sangat manusiawi bukan tokoh yang diselimuti oleh mitos dan bukan tokoh fiktif. Pelajar pada dasarnya menggandrungi tokoh-tokoh hero dalam tarikh ia memperoleh contoh dari sifat hero yang dimiliki oleh Hamzah, Ali Bin Abi Thalib, Umur Bin Khatob, Khalid Bin Walid, dan lain sebagainya. Dalam pengembangan dan ketekunan menuntut ilmu para siswa akan memperoleh kegigihan Ali bin Abi Thalib dalam menuntut ilmu, bahkan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah kaum muslim berkarya banyak dalam ilmu pengetahuan. Narasi di atas menginformasikan, bahwa pelajaran-pelajaran yang diselenggarakan di pengajian dan madrasah dapat dikatakan pendidikan humaniora yang berhubung kait dengan agama, sedangkan ritual-ritual dalam kehidupan kultural di lingkungan pengajian dan madrasah juga merupakan pendidikan humaniora. Bagi komunitas pengajian dan siswa madrasah ritual pada Bulan Maulid dan Bulan Rajab yang tidak pernah diabaikan. Dalam ritual Maulid biasanya didendangkan syair-syair Ad-Dibai, Syareful Anam dan Berjanzi, dan Al-Habsy yang terkadang diiringi oleh musik rebana dan acara pamungkas adalah ceramah agama. Penceramah biasanya tuan guru yang diundang untuk membacakan sejarah (tarikh) Nabi Muhammad SAW. Pembacaan tarikh sangat penting, karena ucap dan tatalaku Nabi harus dicontoh dan dituruti oleh umat Islam. Biasanya selesai ritual diakhiri dengan tahlil dan doa kemudian bersama-sama makan yang dihidangkan oleh Mohammad Zaenal Arifin Anis 237 penyelenggara ritual. Menurut penelitian Rabini Sayyidati (2014: 99) di Kampung Tambak Anyar Ulu Martapura ritual bulan Maulid dan Rajab yang difokuskan di madrasah selalu dilengkapi acara saprah amal yang dilakukan pada siang atau sore sebelum acara maulid itu dimulai. Acara saprah amal pada dasarnya merupakan kegiatan sosial dengan tujuan menghimpun dana di masyarakat untuk kepentingan keberlangsungan keberadaan madrasah untuk kepentingan pendidikan Islam. Pembacaan syair-syair pujian terhadap Nabi Muhamammad SAW dan para sahabat, serta dendangan dari music rebana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pengajian dan dan para siswa di madrasah mengisyaratkan adanya pertalian antara agama dengan seni. Patut dicermati tidak semua agama mempunyai sikap yang sama terhadap seni, sebab agama awal cenderung menyatukan agama dengan seni, sedangkan agama monotheisme perlakuan sikap terhadap seni berbeda. Katakan saja Weber (2012: 507) menginformasikan, bahwa agama orgiastik mengutamakan pengakomodasian lagu dan musik; agama ritualisti cenderung mengarah kepada ke seni gambar; sedangkan agama kasih mendukung kepada pengembangan puisi dan musikans. Agak sukar saya mengkategorikan seni yang dilakukan oleh jemaah pengajian dan para santri atau murid madrasah ketika mereka menyelenggarakan ritual maulid dengan katagori pembedaan perlakuan seperti yang dikemukakan oleh Weber. Penegasan penting yang harus tertanam dalam, bahwa dalam ritual agama Islam hanya terdapat dua macam, yaitu wajib dan sunah. Kuntowijoyo (1987: 56) berpendapat, bahwa maksudnya keindahan ritual adalah asesori dari ritual bukan substansinya, bukan atribut atau asesorisnya. Berpijak dari pendapat Kuntowijoyo, dapat dikatakan, bahwa pegelaran musik rebana dalam ritual maulid hanya atribut atau pelengkap ritual bukan substansinya. Pagelaran musik rebana iramanya sangat dinamis menggambarkan suasana pemain dan kelompok pendengarnya. Dalam konteks ini pagelaran musik rebana dalam perayaan ritual maulid menggambarkan kegembiraan umat muslim kepada Allah atas kelahiran 238 Mohammad Zaenal Arifin Anis Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir pembawa wahyu yang akan membawa manusia menuju kebahagiaan sebagai hamba Allah. Menarik juga dicermati, bahwa musik rebana sampai saat ini keberadaannya selalu terjaga dan tidak bisa digantikan, oleh musik dangdut yang bernafaskan siar Islam seperti lagu-lagu Raja Dangdut Oma Irama yang banyak digemari oleh sebagian masyarakat Banjar. Bisa jadi jawabannya, bahwa musik dangdut merupakan budaya pop, sedangkan musik rebana merupakan musik tradisional yang masih melekat dengan unsur agama dan selalu berada di dalam hati masyarakat Banjar. Pada sisi lain, dalam asesori hiasan sebagai pelengkap keindahan pada masjid dan rumah-rumah di masyarakat Banjar selalu bermotifkan tumbuh-tumbuhan bersulur dan buah nenas dan tidak ada ditemukan motif yang menggambarkan mahluk hidup. Begitu juga dalam lukisan yang tergantung dalam rumah dan masjid selalu dalam bentuk kaligrafi yang bertuliskan Allah dan Nabi Muhammad. Hiasan-hiasan dan kaligrafi pada dasarnya merupakan bagian seni yang merupakan pengembangan dari ide, dan bentuk yang secara substansi tidak ada hubungannya dengan agama melainkan hanya atribut. Menarik juga dicermati tentang tuan guru yang diyakini oleh masyarakat sebagai sumber pengetahuan termasuk membaca fenomena alam, atau dikenal sebutan kearifan lokal. Misalnya di daerah Martapura yang menggantungkan surplus sawahnya dari sistem pengairan yang sangat tergantung pada air sungai. Pada musim hujan sering terjadi baah (banjir). Banjir menurut tuan guru seperti yang dicatat oleh Rabini Sayyidati (2012: 107) dapat juga berguna bagi pertanian, karena padi-padi yang membusuk karena terendam air baah dapat menyuburkan tanah, tanah tidak perlu dicangkul lagi, banyaknya ikan saluang, junu, sanggiringan, burung. Dalam pembacaan alam menjelang musim hujan dan adanya indikasi akan datangnya baah (banjir) ditandai dengan tanda adanya hintalu kalambuay (telur gondang atau keong) menempel di pohon setinggi satu meter di

Mohammad Zaenal Arifin Anis 239 atas permukan air maka diperkirakan ketinggian banjir satu meter. Jika pohon jambu biji berbuat lebat itu juga merupakan isyarat akan datangnya baah, semakin lebat buah jambu biji semakin dalam juga baahnya. Apabila pohon kasturi dan mangga berkembang dengan bunga berwarna putih itu pertanda akan datangnya musim hujan. Tidak bisa dipungkiri, fenomena sebagian tuan guru juga memberikan air yang sudah dibacakan doa-doa dari ayat suci Al-Quran untuk dibasuhkan ke seluruh tubuh, untuk diminum dan dipercikan keseluruh ruangan rumah sesuai dari niat individu yang datang ke tuan guru itu. Biasanya untuk memudahkan jodoh, membuka aura, agar dipercaya oleh atasan, berobat (batatamba) tetapi bukan untuk penyakit fisik contoh kemasukan roh yang jahat, dan kataguhan (kekebalan) tubuh dari benda tajam. Selain itu juga mengenal wafak dan jimat. Wafak berbentuk kertas segi empat yang ditulisi ayat-ayat suci Al-Quran dan ditemani sebuah jarum lalu dibungkus oleh kain putih dan simpan di empat sudut rumah untuk menjaga rumah dari gangguan dari orang yang berniat jahat. Terkadang wafak juga diyakini untuk penglaris dagangan, biasanya disimpan di dalam laci meja tempat menyimpan uang. Jimat bentuk mirip dengan wafak akan tetap jimat selalu dibawa oleh individu ke mana-mana. Selain itu, sebagian orang Banjar juga meyakini, bahwa keris, pisau dan parang selalu ada kekuatan gaibnya. Menurut Kuntowijoyo (1987: 47) fenomena di atas tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan humaniora, akan tetapi keyakinan- keyakinan itu ketika diajarkan selalu terdapat aturan dan larangan. Aturan dan larangan itu merupakan pencerminan pandangan kemanusiaan, begitul pandangan Kuntowijoyo. Keyakinan ini bisa juga dikatakan berbalut dengan keyakinan pra Islam. Fenomena ini memberikan informasi, bahwa budaya terkadang tidak bisa hilang begitu saja melainkan budaya juga mempunyai sifat kebertahanan (survival of culture). Keyakinan ini dapat dikatakan sebuah perwujudan dari sebuah dialog budaya yang melahirkan sebuah sinkretisme. Akan tetapi sinkretisme pun terjadi dalam setiap agama.

240 Mohammad Zaenal Arifin Anis III. SIMPULAN Menelusuri pendidikan humaniora dalam masyarakat Banjar dimulai dari pendidikan agama Islam.Tidak dapat dipungkiri, peran istana sebagai penjaga gawang budaya ke Islaman sangat erat. Sebab hubungan antar para tuan guru dengan para pelaku tatanan istana layaknya guru dan murid. Pada Abad XIX secara ekonomi Kesultanan Banjar mengalami proses agrisasi. Justru pada fase ini dibawah bimbingan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari pendidikan humaniora dilembagakan dalam bentuk pengajian semakin intensif, sehingga melahirkan masyarakat Banjar yang mandiri. Kemandirian masyarakat Banjar pada awal abad XX sampai saat ini semakin dimanifestasikan dalam bentuk membangun madrasah sebagai budaya tandingan dengan munculnya sekolah yang dibangun oleh pemerintah. Adapun pendidikan humaniora di dan terselipkan dalam pelajaran fiqih, hadist, tarikh, tauhid, tasawuf dan akhlak yang diajarkan dalam pengajian-pengajian maupun madrasah-madrasah. Dalam ritual keagamaan terdapat juga kesenian, akan tetapi masyarakat Banjar mampu membedakan antara ajaran agama yang substansi dengan seni yang hanya dijadikan asesori dalam sebuah ritual. Pendidikan humaniora juga menghasilkan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Banjar dalam membaca fenomena alam dan mensiasati dengan kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA Alfisah. 2008. Tradisi Arisan Pengajian: Pendidikan Humaniora Di kalangan Perempuan Banjar dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Edisi 17, Tahun VI, Mei-Juli 2008. Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Anis, MZ Arifin. 2011. Undang-Undang Sultan Adam Sebagai Budaya Tandingan dalam Prosiding Seminar Undang-Undang Sultan Adam Dalam Persfektif Kekinian Banjarmasin 7 Desember 2011. Banjarmasin: Kerjasama Prodi Pendidikan Sejarah FKIP UNLAM dengan Kesultanan Banjar. Mohammad Zaenal Arifin Anis 241 Daud, Alfani. 2000. Perilaku Orang Banjar Dalam Berbagai Tata Pergaulan. Makalah disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Banua Kalimantan Selatan di Banjarmasin 10 -13 Agustus 2000. Ideham Suriansyah, Sjarifuddin, MZ.Arifin Anis. Wajidi,2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Balitbangda Kalsel Husain B. Sarkawi. 2006. Syekh Muhammad a rsyad Al- Banjari: Pemikir dan Aktivitas Keagamaannya di Kalimantan Selatan” dalam Historia Jurnal Pendidikan Sejarah. No.13, Vol.VII (Juni 2006). Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiarawacana Potter, Lesley. 2000. ”Orang Banjar di dan Luar Hulu Sungai, Kalimantan Selatan: Studi Tentang Kemandirian Budaya, Peluang Ekonomi dan Mobilitas” dalam J. Thomas Lindblad (eds), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia B erbagai tantangan, penerjemah; M. Arief Rohman dan Bambang Purwanto. Jakarta: LP3ES Sayyidati, Rabini. 2014. Spirit Religi Masyarakat Tambak Anyar Ulu Dalam Meningkatkan Partisipasi di Bidang Pendidikan Madrasah Swasta. Tesis,. Banjarmasin: Program Studi Master Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat. Sayyidati, Rabini. 2012. Kearifan Lokal Komunitas di Pinggiran Batang Banyu Martapura. Skripsi. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam. Subiyakto, Bambang. 2008. “Urang Banjar: Menuntut Ilmu Dunia dan Akherat” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil, Edisi 17, Tahun VI, Mei-juli 2008. Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Tilaar, H. A,R &Riant Nugroho. 2008. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

242 Mohammad Zaenal Arifin Anis ORANG BUGIS DALAM KERAJAAN PAGATAN DAN BUDAYA ADAT MAPPANRETASI 1735–1912 Rusdi Effendi

ABSTRAK Seiring dengan perpindahan orang-orang Bugis keluar dari daerah Sulawesi Selatan karena desakan V.O.C Belanda, salah satu rombongan mereka dibawah pimpinan Puanna Dekke sekitar 1733 berhasil berdiplomasi dengan mendapatkan izin dari Sultan Banjar Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734) untuk bermukim di wilayah Kesultanan Banjar khususnya di bagian hilir Sungai Kusan yang dikenal dengan daerah Pagatan bagian Tenggara Kalimantan Selatan. Atas jasa pengabdian kepada Sultan Banjar, maka izin pendirian Kerajaan Pagatan berlanjut dari beberapa generasi Sultan Banjar hingga tahun 1912 dimana Kerajaan Pagatan dilebur dalam pemerintahan kolonial Belanda. Salah satu tradisi maritim orang Bugis Pagatan yang berhasil beradaptasi dengan proses akulturasi dan assimilasi budaya berhasil melestarikan Budaya Adat Mappanretasi. Upacara Mappanretasi tidak lain adalah acara syukuran yang setiap tahun dilakukan oleh kelompok nelayan atas hasil panen ikan musiman yang bisa lestari hingga saat ini di daerah Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Kata Kunci: Orang Bugis, Kerajaan Pagatan dan Budaya Adat Mappanretasi.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.

Rusdi Effendi 243 I. PENDAHULUAN Orang Bugis memang tersebar dimana-mana di belahan kepulauan Indonesia, diantaranya bermukim di bagian Tenggara Kalimantan Selatan, di Pagatan. Saat ini Pagatan adalah ibukota Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Kedatangan orang Bugis ke Pagatan atas gagasan dan diplomasi pimpinan rombongan yang bernama Puanna Dekke yang berhasil mendapatkan izin dari Sultan Banjar untuk menetap hingga mendirikan kerajaan Pagatan sebagai vazal dari Kesultanan Banjar. Keberhasilan Puanna Dekke membuka pemukiman hingga merajakan Hasan La Pangewa sebagai raja pertama Kerajaan Pagatan, mewariskan regenerasi raja-raja Pagatan hingga dihapuskannya Kesultanan Banjar 1860 oleh kerajaan Belanda setelah Perang Banjar (1859-1865). Kerajaan Pagatan tetap eksis hingga tahun 1912 yang kemudian digabung oleh pemerintahan kolonial Belanda ke dalam wilayah Tenggara dan Timur Kalimantan. Kedatangan orang Bugis ke Pagatan berkaitan dengan peristiwa sebelumnya di daerah Wajo Sulawesi Selatan. Antara tahun 1669-1670 di wilayah Timur, khususnya di kawasan Sulawesi Selatan, terjadi perubahan politik. Bandar internasional Makasar telah dikontrol Fort Rotterdam, bersendikan perjanjian Bongaya, 18 November 1667, antara kerajaan Gowa dengan pihak V.O.C. Ketidakpuasan atas perjanjian tersebut menyebabkan orang Makasar dan orang Bugis melakukan perpindahan ke luar daerahnya secara besar-besaran. Satu sisi yang harus dipahami dalam melihat masyarakat Bugis kegiatan berlayar, mengembara, berdagang dan merantau merupakan satu tradisi utuh dalam kehidupan mereka. Sebagai suku bangsa yang terkenal dalam aktivitas pelayaran antar samudera, pelaut Bugis telah mengembangkan kebudayaan maritim, baik pelayaran lokal, antar pulau

244 Rusdi Effendi hingga Mancanegara. Untuk melakukan pelayaran, tentunya penunjang sarana transportasi mereka adalah perahu. Perahu-perahu mereka dari jenis Phinisi dan Lambo, telah mengarungi perairan Nusantara untuk berdagang dan merantau.1 Istilah “Sompe” (berlayar) dalam masyarakat Bugis juga berarti merantau. 2 Terjadinya penghijrahan secara besar-besaran pada abad ke -17 dan awal abad ke 18 di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan adalah karena salah satu akibat rasa tertekan tersebut. Mereka telah berhijrah ke Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa, Sumatera, Borneo 3 dan Indragiri, Riau serta Alam Melayu. Secara internal yang mempengaruhi puncak penghijrahan masyarakat Bugis ke luar adalah karena keadaan politik di wilayah Sulawesi Selatan yang tidak stabil. Sebelum Belanda memasuki kepedalaman tanah Bugis, wilayah-wilayah itu sudah dalam keadaan kacau-balau. 4 Disamping itu disebabkan ketidakamanan di tempat tinggal mereka menyebabkan kebanyakan kegiatan ekonomi mereka tidak bisa dijalankan. Abdul Razak Daeng Pantunru (1993) dalam Rafiudin Afkari Hj. Abdul Rajak dkk. (2011) menyatakan: Dikalangan bangsawan-bangsawan Bugis sesama sendiri seringkali terjadi sengketa karena masing –masing menganggap dirinya lebih berhak akan mewarisi suatu kerajaan atau pemerintah. Keadaan seumpama ini menyebabkan banyaknya berlaku pertumpahan darah, perang saudara dan peperangan antar daerah-daerah. 5 Puncak permusuhan antara Gowa dengan Bone dan meningkatnya ketegangan antara V.O.C. Belanda dengan Gowa telah menyebabkan terjadinya perang Makasar. Pergolakan perang Makasar tersebut telah menjadi faktor pendorong penghijrahan masyarakat Bugis ke luar Sulawesi Selatan. Pada pertengahan abad ke-17 Gowa menjadi salah satu kerajaan terkuat dan terbesar dalam sejarah Nusantara. Begitu tersohornya kekuatan dan kejayaan Gowa sehingga orang-orang di Nusantara bagian Timur sukar mempercayai bahwa V.O.C. Belanda berani menentang kerajaan Gowa. 6

Rusdi Effendi 245 Dalam perjalanan panjang pencarian sumber perdagangan lada pada kerajaaan-kerajaaan di Nusantara kongsi dagang Belanda yang bernama V.O.C. sama sekali tidak tertarik untuk berhubungan dengan kerajaan Gowa terutama dalam perjalanan ke Timur, tentang pentingnya kedudukan pelabuhan Gowa baru diketahui Belanda setelah mereka merampas kapal Portugis di dekat perairan Malaka yang ternyata memiliki seorang awak kapal Makasar. Dari awak kapal orang Makasar inilah mereka mengetahui bahwa pelabuhan Gowa merupakan pelabuhan transito bagi kapal-kapal yang berlayar dari atau ke Maluku. Selain itu ketika mereka bertemu dengan kapal Gowa yang memuat orang-orang Portugis tidak diserang, untuk memberi kesan baik pada raja Gowa.7 Perang terbuka mulai digelar pada tahun 1654 berlangsung hingga 1655 antara V.O.C Belanda dengan sekutu kerajaan Gowa. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984) memaparkan: “Meskipun perjanjian Bongaya ditandatangani tanggal 18 November 1667 antara kerajaan Gowa dan Kompeni, keadaan yang diharapkan Kompeni tidak terlaksanakan begitu saja. Gowa sangat merasa tertekan oleh isi perjanjian ini, sehingga mengajukan protes kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Gowa pun tetap mempersiapkan diri untuk kembali melawan Kompeni, karena merasa sangat dirugikan. Pada tanggal 16 April 1668, Gowa memulai penyerangan terhadap pendudukan Belanda di wilayahnya yang mengakibatkan banyak korban. Diantaranya Aru Palaka pun tidak luput dari serangan itu dan menderita luka-luka. Kompeni sangat menderita akibat serangan ini, sehingga Speelman memutuskan untuk meninggalkan Gowa beberapa waktu. Tanggal 5 Agustus, Gowa mencoba lagi untuk memulai perang. Pasukan Sultan Hasanuddin berhasil mengepung Aru Palaka akan tetapi Kompeni dibantu oleh orang-orang Ternate berhasil memberi bantuan kepada Aru Palaka, Meskipun demikian Speelman memuji Sultan atas kebenarannya. Bagi Sultan ini adalah kewenangan terakhir, karena Speelman mulai melakukan penyerangan total terhadap Gowa, sehingga Gowa dapat ditundukan…Banyak orang- orang Makasar yang merasa sangat dirugikan oleh perjanjian 246 Rusdi Effendi Bongaya meninggalkan Gowa dan mengembara serta memberi bantuan-bantuan kepada musuh Kompeni, misalnya kepada Trunojoyo dari Madura. Orang-orang Makasar yang mulai mengembara dibawah pimpinan Karaeng Montemara Monmaranu dan Karaeng Galesung ternyata tidak mau tunduk kepada Kompeni.8 Pada tahun 1669, Sombaopu, ialah benteng ibu kota kerajaan Gowa yang sangat kuat dan yang menjadi simbol kemegahan kerajaan Gowa, jatuh ketangan musuh. Setelah kejatuhan Gowa pemimpin baru yang muncul dan berkuasa di Sulawesi Selatan adalah Arung Palaka ialah pahlawan Bugis Bone-Soppeng Berjaya mendominasi kekuasaan wilayah Sulawesi. Kesan pergolakan di Sulawesi Selatan yang melibatkan pihak Belanda dengan kerajaan setempat ini telah memberikan implikasi terhadap migrasi besar-besaran masyarakat Bugis pada akhir abad ke-17.9 Dalam kancah perang di Sulawesi Selatan melawan V.O.C Belanda yang umumnya disebut melawan pihak Kompeni, ternyata bantuan tenaga- tenaga orang Wajo kepada Gowa untuk perang antara Gowa dengan Kompeni sangat besar berjumlah 10.000 orang. Setelah perjanjian, tenaga bantuan itu dikirim kembali ke Wajo. Bone yang menjadi sekutu dengan Kompeni ditundukan tahun 1670. Pada akhir tahun 1670 itu juga Kota Tosora sebagai pusat awal perkembangan Islam10 dan pusat Kerajaan Bugis Wajo telah dihancurkan, hal ini semakin menambah arus penghijrahan dalam kalangan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu bilangan perantauan orang Bugis Wajo selepas 1670 menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok lain di daerah-daerah lain di Makasar. 11 Dari banyaknya rombongan arus penghijrahan orang-orang Wajo yang keluar dari daerah asalnya di Sulawesi Selatan terdapat rombongan bangsawan Wajo yang bernama Puanna Dekke beserta keluarganya yang juga mencari daerah baru yang cocok dan aman terhindar dari area konflik, mereka meninggalkan kampungnya di sekitar Kampere yang merupakan vazal (kerajaan kecil) dari kerajaan Wajo yang berpusat di Tosora.

Rusdi Effendi 247 Abdurrahman Hakim (Et.al,2009) dalam buku ”Sejarah Kotabaru” memaparkan tentang proses berdirinya Kerajaan Pagatan antara lain : “ Kerajaan Pagatan didirikan oleh etnis Bugis yang datang dari Sulawesi Selatan. Kedatangan etnis Bugis ke Pagatan dipelopori atau dipimpin seorang bangsawan bernama Puanne Dekke. Beserta keluarga dan pengikutnya mereka berlayar ke Barat hingga mendarat di daerah Pasir di wilayah Kalimantan Timur sekarang. Mendarat di Pasir sambil mengolah tanah untuk penghidupan ternyata tidak memuaskan rombongan. Di Pasir Puanne Dekke tidak mungkin memperbaiki sebagaimana niatnya ketika berangkat dari kampungnya Kampere, Wajo Sulawesi Selatan. Karena itulah akhirnya rombongan Puanne Dekke berlayar ke Selatan mencari daerah subur. Mereka mendarat di Tanah Bumbu dan juga tidak memuaskan. Puanne Dekke dan rombongan meneruskan perjalanannya hingga sampai di muara sungai Kusan. Setelah mengetahui bahwa daerah tersebut termasuk wilayah Kerajaan Banjar, Puanne Dekke meminta izin menetap kepada Sultan Banjar. Panembahan Kuning Raja Banjar yang berkuasa, memberi izin. Segeralah dibuka daerah tersebut untuk pertanian, untuk mencapai maksudnya guna berpenghidupan lebih baik ketimbang di daerah asalnya. Daerah tersebut akhirnya terkenal dengan nama sebutan Pagatan.12 Dari paparan di atas dapat dicermati, pertama Puanna Dekke adalah bangsawan yang memimpin keluarga dan pengikutnya melakukan penghijrahan (migrasi) untuk mencari daerah baru dan berlayar ke Barat dengan niat untuk memperbaiki kehidupan. Rombongan Puanna Dekke semula sampai di Pasir dan karena tidak cocok mereka meneruskan perjalanan ke daerah Tanah Bumbu dan menemukan bagian hilir sungai Kusan yang dirasa cocok untuk bermukim dan mengelola tanah pertanian. Pada tahun 1733 atau bagian permulaan abad ke-18 di wilayah pesisir Timur dan Tenggara Kalimantan tidak ada lagi tanah yang tidak bertuan, misalnya di wilayah Pasir telah berdiri Kesultanan Pasir dibawah pemerintahan Aji Geger Bin Aji Anom Singa Maulana dengan gelar Sultan Aji

248 Rusdi Effendi Muhammad Alamsyah (1703-1738). Di masa pemerintahan Aji Geger nama kerajaan Sadurangas diganti dengan Kesultanan Pasir.13 Bertetangga dengan Kesultanan Pasir terdapat Kerajaan Tanah Bumbu, yang diperintah Pangeran Mangu Bin Pangeran Dipati Tuha (1700-1740). Kedua kerajaan ini (Pasir dan Tanah Bumbu) berada dalam pengaruh kekuasaan Kesultanan Banjar.14 Sebelum kedatangan Puanna Dekke, wilayah teritorial pesisir telah dikuasai oleh Sultan Banjar semasa pemerintahan Sultan Inayatullah atau Ratu Agung (1620-1637), daerah bagian tenggara seperti Pulau Laut dan Satui dimasukan dalam wilayah kesultanan Banjar seperti paparan A.A. Cense dalam Goh Yoon Fong (2013): “Selama dekade awal abad ke-17, khususnya diseluruh daerah selatan kawasan barat, tenggara dan timur Kalimantan menyatakan hormat kepada Banjarmasin. Pada tahun 1636, Panembahan mengklaim Sambas, Lawei, Sukadana, Kota Waringin, Pembuang, Sampit, Mendawei, Kahayan Atas dan Kahayan Bawah, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asem-Asem, Kintap dan Sawarangan sebagai negara bagian kekuasaannya”.15 Pada tahun 1733 bagi Puanna Dekke beserta keluarga mendapatkan izin Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734) untuk bermukim di bagian hilir Sungai Kusan yang berlanjut sampai dengan masa pemerintahan Sultan Tamdjidullah (1734-1759). Dua tahun sesudahnya bulan Mei 1735 Kesultanan Banjar diserang bajak laut yang dipimpin Arung Singkang (La Madukelling) dengan tangan kanannya Toassa dari Wajo, namun Puanna Dekke bersifat netral. Perjuangan Puanne Dekke cukup berat membawa keluarga dan rombongannya melalui jalur pelayaran menuju kearah Barat seperti dipaparkan Faisal Battenie (2010): “Berkaitan dengan hal tersebut diatas tersebut tiga orang Bangsawan Bugis dari Wajo dan pengikutnya melakukan pelayaran dari Selat Makasar menuju kepulauan Kalimantan. Tiga orang saudagar yang masing-masing membawa perahu layar beserta rombongannya

Rusdi Effendi 249 adalah. Pua Janggo, La Pagala, dan Puanna Dekke sesampainya di Kalimantan Pua Janggo dan La Pagala masing-masing mampir di Tanggarong dan Pasir, sementara Puanna Dekke terus melakukan pelayaran menelusuri selat Pulau Laut menuju Laut Jawa. Akan tetapi sebelum keluar Laut Jawa perahu Puanna Dekke dihadang badai yang dahsyat, sehingga ia berlindung di Muara Sungai Kukusan (Muara Pagatan). Badai yang dahsyat belum juga reda Puanne Dekke akhirnya membatalkan niat menuju Laut Jawa, kemudian malah tertarik untuk menyelusuri perairan sungai Kukusan. Selama dalam pelayaran menyelusuri sungai Kukusan dia tidak melihat orang melakukan aktivitas dibantaran sungai atau melihat perkampungan pada hal waktu pelayaran sudah cukup lama. Tiba pada suatu tempat dia melihat sekelompok orang dibantaran sungai sedang mengambil rotan, kemudian dia menghampiri dan bertanya tempat apa nama daerah ini, orang tadi menjawab wilayah ini hutan rotan biasa kami ditempat ini melakukan pekerjaan pemagatan artinya mengambil dan mengumpulkan rotan. Puanna Dekke tertarik atas tempat pemagatan tersebut dan berniat akan membangun perkampungan diwilayah ini. Tempat pemagatan walaupun hanya ditumbuhi hutan belantara bukan berarti tidak bertuan, akhirnya Puanna Dekke berusaha mencari tahu bahwa wilayah yang diinginkan tersebut ternyata masuk dalam kekuasaan Raja Banjar “.16 Usaha Puanna Dekke tahun 1733 berhasil untuk menetap di daerah hilir Sungai Kusan dengan status tanah masih pinjaman kepada Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning ( 1700-1734) yang dilanjut ketika digantikan Sultan Tamdjidullah (1734-1759). Tentu ada syarat-syaratnya. Menurut Zainal Abidin (1983:57) dalam Faisal Batennie (2010): “Sebagai seorang pemimpin Matoa Dagang, tidak sulit buat Punna Dekke berlayar hingga bersandar ke Bandarmasih. Kemudian Puanna Dekke menghadap Panembahan Batu untuk mengutarakan keinginannya. Panembahan Batu kemudian memberikan restu dan ijin utuk membangun pemukiman sebagaimana yang dimaksud. (Lontara Latone) tertulis bahwa pada saat mohon ijin kepada panembahan, ditegaskan kepada Puanna Dekke untuk

250 Rusdi Effendi kesanggupannya menanamkan investasi untuk biaya pembangunan pemukiman baru di atas lahan hutan belantara tersebut, kemudian Puanna Dekke juga dapat menjamin keamanan perairan di Muara Pagatan yang selama ini sering digunakan para bajak laut untuk merompak di Selat Pulau Laut. Apabila kedua hal tersebut dapat diwujudkan maka daerah yang diinginkan silahkan untuk ditempati sebagai perkampungan warga orang Bugis yang dikemudian hari dapat dijaga dan diwariskan kepada anak cucu Puanna Dekke”.17 Sultan Hamidullah memahami maksud baik Puanna Dekke, terutama kesanggupan untuk memenuhi kedua syarat. Persyaratan pertama jika disederhanakan adalah membuka daerah hutan belantara dipesisir pantai dan bagian daerah bagian hilir Sungai Kusan dengan biaya sendiri, artinya pembukaan tanah atas tanggungan sendiri, bukan dibebankan kepada pihak Kesultanan Banjar. Kebijakan Sultan Hamidullah18 memberikan izin kepada Puanna Dekke beserta rombongannya untuk membuka daerah bagian hilir Sungai Kusan tentunya didasari oleh pertimbangan aspek hukum tidak tertulis yang telah berlaku secara turun-temurun dalam adat-istiadat Kesultanan Banjar. Keputusan untuk memberikan izin telah dipertimbangkan dengan matang dan telah dikonsultasikan dengan pejabat Kesultanan Banjar seperti Hakim Besar (terdiri dari Kepala Qadi, Kepala Mufti dan Kepala Chalifah) adalah jabatan ahli hukum dalam Kesultanan Banjar. Jadi jauh sebelum hukum tertulis dibuat oleh Sultan Adam al Wasik Billah tahun 1835, ketentuan hukum secara lisan atas tanah sudah secara turun-temurun diterapkan oleh Sultan- Sultan Banjar sebelumnya. Kebijakan syarat kedua yang diberikan Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734) kepada Puanna Dekke, agar dapat menjamin keamanan perairan di Muara Pagatan yang selama ini sering digunakan para bajak laut untuk merompak di Selat Pulau Laut, syarat kedua ini juga mengingatkan kepada Puana Dekke bahwa di wilayah pesisir dari Muara

Rusdi Effendi 251 Banjar, Tabonio, Sawarangan, Kintap terus ke Pagatan, Pulau Laut, Tanah Bumbu, Pasir hingga Kutai di Kalimantan Timur, serta wilayah pesisir di Kalimantan Tengah dan Barat sering menjadi ajang perompakan kelompok bajak laut. Bahkan ibu kota Kesultanan Banjar yang lama di Kuin dan ibu kota yang baru di Kayu Tangi-Karang Intan, Pulau Tatas sebagai pusat perdagangan rempah-rempah didaerah hulu Barito, serta daerah Alai, Negara, Bakumpai selalu menjadi incaran perompak, mengingat daerah tersebut adalah daerah penghasil lada. Setelah selesai beraudiensi dengan Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734) di keraton Kayu Tangi – Karang Intan dan saling menyetujui kedua syarat tersebut segeralah dalam tahun 1733 itu Puanna Dekke berlayar kembali ke daerah hilir Sungai Kusan untuk membuka lahan yang masih penuh semak belukar dan hutan belantara untuk dijadikan pemukiman awal bagi keluarga dan rombongan orang Bugis yang berasal dari kampung Kampere Wajo Sulawesi Selatan di Banua Banjar atau wilayah Kesultanan Banjar. Disini bisa diduga kuat, bahwa Puanna Dekke adalah saudagar ahli diplomasi, karena bisa bernegosiasi dengan Sultan Banjar. Selain itu Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning sudah tahu bahwa Puanna Dekke sebelumnya adalah anak buah atau orang yang dianggap dekat dengan Arung Singkang (La Madukelling). Untuk melihat dan membuktikan kedekatan Puanna Dekke dengan Arung Singkang (La Madukelling) berikut kita lihat kembali kejadian sebelumnya di daerah Wajo dan sepak terjang kelompok Arung Singkang (La Mukelling) yang tidak bisa dipungkiri dalam peristiwa sejarah, dimana terkait dengan Jaringan Diaspora La Maddukelleng dan “Embrio” Pembukaan Kerajaan Bugis Pagatan. Kelompok-kelompok orang Bugis dari Sulawesi Selatan yang bermigrasi pada abad ke-17 hingga abad ke-19 seringkali termasuk

252 Rusdi Effendi perempuan dan anak-anak. Menurut Andaya, fakta ini mendukung fakta terdapatnya pemukiman orang Bugis di daerah lain di Nusantara yang jauh dari wilayah Sulawesi Selatan. Perang antar kerajaan di Sulawesi Selatan yang terjadi hingga abad ke-19, bukan saja mengakibatkan munculnya redistribusi penduduk di kawasan Nusantara, tetapi ‘gerakan’ ke daerah- daerah terpencil di kepulauan lain yang jauh dari jaringan perdagangan Bugis. Pada periode 1667-1900, gerakan migrasi ke luar daerah Sulawesi Selatan hanya terbatas pada orang-orang Bugis dan Makassar yang terlibat dalam perdagangan. Pedagang ini menjelajah nusantara untuk mencari daerah perdagangan sesuai dengan arah angin di musim-musim tertentu, dan kembali ke Sulawesi hanya beberapa bulan setiap tahun untuk memperbaiki perahu mereka.19 Dalam proses migrasi ke luar Sulawesi Selatan, biasanya emigran Bugis dan Makassar dipimpin seorang putra raja atau pangeran dan beberapa pengikutnya yang juga keturunan bangsawan. Demikian halnya dengan migrasi suku Bugis di Kalimantan, yang dipimpin kalangan bangsawan. 20 Jaringan diaspora Bugis pada Abad XIX, sebenarnya adalah “hasil perkembangan” dari “embrio” diaspora Bugis yang dirintis oleh tokoh La Madukelleng pada tahun 1726. Seperti dituliskan dalam salah satu sumber lokal tentang migrasi orang Bugis ke Kalimantan yaitu naskah lontar suku wajo (Lontara Sukku’na Wajo) atau biasa disingkat LSW.21 Dalam LSW diceritakan tentang La Maddukkelleng.22 Setelah malang melintang menjadi bajak laut di wilayah Johor dan Selat Malaka pada tahun 1726, La Maddukelleng berlayar ke wilayah Pasir, Kalimantan bagian Timur melalui Selat Makassar. La Maddukkelleng sebagai pimpinan dan mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Dalam rombongan La Maddukkelleng ikut delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa.23

Rusdi Effendi 253 Versi Lontara Sukku’na Wajo (LSW) dalam perantauan ini, La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir, Andin Anjang atau Andeng Ajeng, putri dari Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana Sultan Aji Muhammad Alamsyah (1703-1726). Ketika Sultan wafat, istri La Maddukelleng, menjadi Ratu Pasir, namun sebagian orang-orang Pasir menolak pencalonan tersebut dan terjadi pemberontakan. Untuk meredakan keadaan, La Maddukelleng bersama pasukannya menyerang dan menaklukkan Pasir. La Madukelleng menjadi Raja Pasir pada tahun 1726 sampai tahun 1736.24 Pada bulan April 1735 pecah perang sesama perompak antara kubu pimpinan Topass Aray bergabung dengan Arung Palla melawan kubu bajak laut Arung Singkang dan panglimanya Toassa di pesisir laut Muara-Banjarmasin. Kedua kubu ini berebut daerah-daerah penghasil lada di wilayah Kesultanan Banjar maupun pusat perdagangan di Pulau Tatas Banjarmasin. Kubu Topass Aray–Arung Palla mengalami kekalahan. Pada bulan Mei 1735 Belanda dibawah komando J. Graffe dengan kapal Snip, Rotte, Tanjung Pura, Onbeschaamheijt dan Quartel membantu Sultan Tamdjidullah (1734-1759) berjaga di sungai Barito, Arung Singkang dan pasukannya berperang selama sepuluh hari dengan pasukan Banjar dan pasukan dari kapal-kapal Belanda bersenjata lengkap, ia mengalami kekalahan dan gagal menduduki Banjarmasin, Tahun itu 1735 Arung Singkang kembali ke Sulawesi. Dengan peristiwa tersebut dibuktikan oleh Puanna Dekke, bahwa dia dan rombongannya tidak memihak. Sekalipun duhulu anak buah dan teman dengan Arung Singkang serta sesama orang Bugis yang berasal dari Wajo mereka bukanlah musuh Kesultanan Banjar. Sultan Tamdjidullah (1734-1759) semakin percaya bahwa Puanna Dekke pantas diizinkan bermukim di bagian hilir Sungai Kusan.

254 Rusdi Effendi Dari catatan dan laporan orang Belanda yang pernah bertugas di Tanah Bumbu dan Pulau Laut seperti C. Nagtegaal (1939), daerah Pagatan adalah wilayah hutan belantara yang dibangun tahun 1755 oleh pedagang dan keturunan bangsawan Bugis dari wilayah Wadjo (Zuid West Celebes) bernama Poewana Deka, atas izin Sultan Banjar Panembahan Kaharuddin Haliullah. 25 Van der Aa (1847) menegaskan, bahwa daerah Pagatan atau Pagattan26 adalah kerajaan kecil di wilayah Tanah Bumbu yang dibangun orang Bugis Wajo pada tahun 1735. Van der Aa tidak menyebutkan nama pendiri Kerajaan Pagatan. Dari catatan Pieter Johannes Veth (1869) batas utara Pagatan berbatasan dengan wilayah Batulicin (yang dialiri Sungai Sakoembang), sebelah barat daerah Kusan dan Tanah Laut, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Pulau Laut.27 Veth menjelaskan tentang geografis, tetapi tidak tentang berdirinya kerajaan Pagatan. C.M. Schwaner (1853) yang melakukan eskpedisi sejak tahun 1846 sampai 1853 di Tanah Bumbu sekitarnya memberikan gambaran tentang keadaan Kerajaan Pagatan dalam tahun 1853 antara lain : “Kerajaan yang ada sekarang (1853) ini berjumlah delapan, dan dahulu merupakan daerah taklukan atau bagian dari Tanah Bumbu, yakni: Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung dengan Buntar Laut, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, dan Cengal (dalam bagian sejarah, Schwaner hanya menyebutkan daerah yang termasuk Tanah Bumbu adalah: Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Manunggul dan Cengal. Kerajaan Pagatan yang tidak lebih dari 3,38 mil persegi merupakan yang terkecil dari semua kerajaan, tetapi yang terkaya. Di sebelah utara Pagatan dipisahkan dari Batulicin oleh sungai Sekumbang, di Barat dibatasi oleh Tanah Laut dan Kusan, di selatan dan timur membentuk ujung tenggara Borneo dan dibatasi oleh Laut Jawa dan Pulau Laut. Pagatan, kira-kira 80 tahun adalah sebuah kerajaan Bugis yang diperintah oleh seorang raja, Rusdi Effendi 255 yang dibantu oleh Pua Adu (perdana menteri), Imam dan para tetuha rakyat, Raja, Pua Adu dan Imam tidak menikmati penghasilan tetap”.28 Dari laporan C.M. Schwaner tersebut memberikan gambaran batas wilayah Kerajaan Pagatan yang artinya pada tahun 1853 kerajaan Pagatan sudah terbentuk dalam sebuah susunan pemerintahan, ada raja yang memerintah dibantu Perdana Menteri (Pua Adu), Imam dan Tetuha masyarakat Bugis Pagatan. Diperkirakan berdirinya Kerajaan Pagatan sekitar 80 tahun sebelum laporan terakhir ekspedisinya. Analisisnya sederhana saja tahun 1853 dikurangi 80 tahun berarti tahun 1773 Kerajaan Pagatan berdiri. C.M. Schwaner tidak memberikan siapa perintis atau penggagas upaya pendirian kerajaan Pagatan, maupun nama raja-raja Pagatan. Prakiraan C.M. Schwaner tahun 1773 Kerajaan Pagatan sudah berdiri. Di dalam satu tulisan karangan J. Eisenberger ada disebutkan, “In 1750 Pagatan Word Gesticht Door Boeginezen”, “pada tahun 1750 Pagatan dibangun oleh orang Bugis”.Eisenberger menyebutkan tahun, tetapi tidak menyebutkan siapa pendiri kerajaan Pagatan, maupun nama-nama Raja di Kerajaan Pagatan. Dengan kata lain, hanya C. Nagtegaal saja yang menyatakan daerah Pagatan adalah wilayah hutan belantara yang dibangun pada tahun 1755 oleh pedagang dan keturunan bangsawan Bugis dari wilayah Wadjo (Zuid West Celebes) bernama Poewana Deka. Dalam Lontara Kapitan La Mattone 29 di Pagatan ia adalah seorang Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan dimana lontara tersebut ditulis pada bulan Jumadil Awal hari Juma’at tahun 1357 Hijriyah atau tanggal 21 Agustus 1868. Intinya “asal mula Pagatan dibuka oleh Puanna Dekke Pedagang dari Tanah Bugis-Wajo ”. 30 Dari paparan di atas, penafsiran (interptretasi) mengenai pendiri Kerajaan Pagatan, versi A.S. Assegaff dari Pasir yang menyatakan bahwa Pagatan didirikan tahun 1775 oleh tokoh Arung Torawe dan Ratu Intan I tidaklah didukung dengan dokumen tertulis berarti sangat lemah untuk dijadikan patokan. J. Esienberger menyatakan 1750 Pagatan dibangun 256 Rusdi Effendi oleh orang Bugis juga tidak membuktikan dasar rujukan yang kuat, walaupun pendapatnya dituangkan secara tertulis. Mengenai laporan C. Nagtegaal (1939) sangat membantu terutama tentang nama Poewana Deka, namun angka tahun dibangunnya Pagatan pada tahun 1755 atas izin Sultan Banjar Panembahan Kaharuddin Haliullah yang agak keliru berdasarkan Silsilah Raja-Raja Banjar jika memakai versi M. Idwar Saleh (1958). Tahun 1755 yang dipatok C. Nagtegaal (1939) tersebut tidak cocok dengan kronologi Silsilah Raja-Raja Banjar versi M. Idwar Saleh (1958) mengenai masa pemerintahan Panembahan Kaharuddin Haliloellah (1761- 1801), kemudian jika dirujuk ke versi J. Eisenberger (1936), ”Kronike van Zuider en Ooster Afdeling van Borneo” semakin kabur, sebab dalam Silsilah Raja-Raja Banjar versi J. Eisenberger tidak ada nama Panembahan Kaharuddin Halioellah. Tetapi jika ditujukan tahun 1755 daerah Pagatan dibangun Puanna Dekke, maka saat masa pemerintahan Sultan Tamdjidullah, sesuai dengan Silsilah Raja-Raja Banjar versi M. Idwar Saleh(1958). Dengan mempertimbangkan semua aspek penjelasan diatas dengan membandingkan pada sumber tertulis Lontara La Mattone 21 Agustus 1868, maka hasil penelitian dari tim penulis berkesimpulan yang bersifat sementara, bahwa perintis awal untuk membangun atau mendirikan Kerajaan Pagatan di bagian hilir sungai Kusan adalah Puanna Dekke beserta rombongannya dari Wajo Sulawesi Selatan, bukan Arung Torawe atau Andi Paasere (anak dari perkawinan Andi Sibengngareng Bin La Madukelling (Arung Singkang) dari Wajo dengan Puteri Aji Doja Binti Sultan Aji Sepuh Alamsyah atau Aji Negara Bin Sultan Aji Muhammad dari Kesultanan Pasir), atau pun Ratu Intan I anak dari Sultan Banjar yang bernama Tamdjidillah I. Ratu Intan versi laporan C.M. Schwaner anak hasil perkawinan antara Ratu Mas (1740-1780) dengan Daeng Malewa (Pangeran Dipati) pada Kerajaan Tanah Bumbu. Nama Ratu Intan I sama sekali tidak ditemukan anak dari silsilah Sultan Tamdjidullah (1734-1759)).

Rusdi Effendi 257 Puanna Dekke beserta keluarga dan pengikutnya telah melakukan penghijrahan (migrasi) tentu memerlukan pengorbanan untuk bisa membuka lahan di daerah bagian hilir Sungai Kusan tersebut. Dalam hal ini selain Lontara La Mattone (1868) tidak ada lagi Lontara lainnya sebagai sumber tertulis tentang riwayat Pagatan. Dalam Lontara Kapitan La Mattone, disebutkan bahwa pedagang Bugis dari Wajo Sulawesi Selatan tiba di Pagatan pada tahun 1735 yang dipimpin oleh Puanna Dekke.31 Dari semua pendapat tersebut yang paling mendekati kebenaran menurut penulis adalah sekitar tahun 1735 sesuai versi Lontara Kapiten La Mattone, karena bila dibandingkan dengan tahun pelayaran La Maddukelling ke Pasir tahun 1726 (menurut versi LSW), rentang waktunya tidak terlalu jauh. Peran tokoh perintis pembukaan wilayah pemukiman di bagian hilir Sungai Kusan, Puanna Dekke, tidak diragukan lagi, atas izin Sultan Banjar yang memerintah saat itu, kemungkinan besar antara tahun 1733 sampai 1735 wilayah ini dibuka, pemukiman dibangun di pesisir pantai yang dikenal dengan nama Pagatan. Namun satu hal yang menjadi pemikiran Puanna Dekke siapa yang harus dirajakan untuk memimpin wilayah Pagatan. Langkah Puanna Dekke untuk merajakan La Pangewa seperti dituturkan Faisal Batennie (2014): “Kehormatan yang diberikan Panembahan ini yang kemudian menjadi semangat bagi pembagunan pemukiman baru, sampai akhirnya menjadi sebuah Kampung oleh Puanna Dekke memberi nama Kampoung Pegatan (asal kata dari tempat pemagatan). Kampoeng Pagatan dalam tatanan Puanna Dekke berkembang sebagai salah satu bandar yang strategis yang diapit oleh Laut Jawa dan di belah oleh Sungai Kukusan (sekarang Sungai Kusan), sehingga cepat mengalami kemajuan sebagai salah satu bandar yang penting di wilayah Kerajaan Banjar. Kemudian Puanna Dekke mengundang saudaranya Pua Janggo dan La Pagala untuk membicarakan pemimpin mengatur pemerintahan internal di kampoeng Pagatan. Dalam perundingan tiga bersaudara ini 258 Rusdi Effendi akhirnya menyiapkan Hasan Panggewa sebagai calon raja Pagatan, Hasan Panggewa sendiri ketika itu masih berumur belia termasuk keturunan salah seorang raja Kampiri di Wajo. Hasan Pengewa atau La Penggewa adalah Raja Pagatan yang pertama beliau cucu dari Punna Dekke pendiri Kerajaan Pagatan. La Panggewa masih keturunan dari Raja Kampiri (Wajo), sejak kecil diboyong Puanne Dekke dari Kampiri (Kampere) ke Pagatan, bahkan konon di Pagatan-lah La Panggewa dikhitan kemudian dinobatkan menjadi Raja Pagatan yang pertama. Mengingat umurnya masih belia maka untuk mengatur pemerintahan untuk sementara dipercayakan kepada pamannya Raja Bolo, sambil mendidik dan membimbing La Pangewa untuk bisa menjadi pemimpin dan mengatur pemerintahan setelah dewasa, atas gembelengan Puanna Dekke dan Raja Bolo La Pengewa menjadi orang perkasa”.32 Dari paparan di atas, Hasan La Pangewa (La Pangewa) bukan dirajakan saat dewasa, tetapi saat masih kecil, kemudian dibimbing oleh Puanne Dekke selaku kakeknya bersama pamannya Raja Bolo sehingga La Pengewa arif dan bijak setelah dinobatkan menjadi Raja Pagatan yang mendapat pengakuan dari Sultan Banjar dengan Gelar Kapitan Laut Pulo. Mengenai La Pangewa menurut K.G Anderson, penunjukannya menjadi Raja Pagatan ditujukan untuk membina hubungan baik dan ikatan kekeluargaan dengan daerah asal di Sulawesi Selatan. Pada masa kepemimpinannya, pemukim orang-orang Wajo membuka wilayah yang berdekatan dengan Kampoeng Pegattang yang bernama Kampoeng Baroe. Sementara orang Banjar yang sebelumnya berada di Pagatan banyak yang pindah ke wilayah hulu di wilayah Kusan.33 Dalam dinamika politiknya, Kerajaan Pagatan cukup disegani di wilayah Kalimantan Tenggara karena armada lautnya. Seperti diceritakan dalam naskah Lontara Kapitan La Mattone, Kerajaan Pagatan menunjukkan perannya ketika Pangeran Amir Bin Muhammad Aminullah atau Ratu Anom Bin Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Amir pada tahun 1785 memblokade dan mengganggu arus lalu

Rusdi Effendi 259 lintas Muara Banjarmasin, menghalang-halangi dan menahan perahu-perahu pedagang yang masuk ke Banjarmasin. Mendengar hal tersebut, Puanna Dekke memerintahkan cucunya La Pangewa menemui Panembahan di Banjarmasin. Setiba di Banjarmasin, La Pangewa diberi tugas untuk menggempur Pangeran Amir hingga Pangeran Amir beserta pengikutnya mengundurkan diri ke Kuala Biyajo (wilayah Kuala Kapuas). Atas keberhasilan La Pangewa diberi gelar Kapitan Laut Pulo (Pulau Laut) sekaligus pengakuan sebagai raja Bugis Pagatan pertama oleh Panembahan. Kemungkinan besar Hasan La Pangewa mendapatkan gelar “Kapitan Laut Polo” dan pengakuan kedaulatan atas Kerajaan Pagatan diberikan Susuhunan Nata Alam secara lisan. Untuk memperkuat Hasan La Pangewa diberikan gelar “Kapitan Laut Polo” dan selaku Raja Pagatan pertama dan telah diakui kedaulatannya terbukti ketika Susuhunan Nata Alam meninggal dunia tahun 1801, digantikan anaknya Sultan Soleiman Saidullah (1801-1825) ia pernah dengan keraguannya dan kecurigaan kepada Hasan La Pangewa ketika La Pangewa meminta bantuan persenjataan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memerangi bajak laut di wilayah perairan Kerajaan Banjar pada tahun 1805. Sultan Soleiman Saidullah mencurigai kalau senjata tersebut akan dipakai memerangi vazal Kerajaan Banjar. Seperti di dalam Surat Sultan Soleiman Saidullah kepada Willem Bloom tahun 1805.34 terjemahannya sebagai beikut: “Surat dari Paduka Sultan Banjar Kepada Tuan Blom. Bahwa dengan ikhlas dan kesucian hati yang tiada terhingga, Sultan Banjar mengirimkan salam kepada Tuan Blom dan mendoakan semoga panjang umur. Kemudian daripada itu kami ingin mengabarkan bahwa kami mendapat kabar dari Kapitan Laut Pulo tentang permintaannya untuk memerangi ilanun (bajak laut). Karena itu kompeni jangan begitu percaya dengan perkataannya, karena kemungkinan dia (Kapitan Laut Pulo) berdusta dan barangkali memiliki niat “jahat” (kurang baik) kepada negeri negeri (vazal) Banjar seperti Kotawaringin. Karena itulah masalah Kapitan Laut 260 Rusdi Effendi Pulo kami ingatkan kepada kompeni. Tertulis pada hari Jumat, tanggal 28 Bulan Ramadhan tahun 1220 Hijriyah (20 Desember 1805 Masehi).” 35 Dengan surat tersebut dapat disimpulkan, gelar Kapitan Laut Polo yang diberikan Susuhunan Nata Alam atas jasa Hasan La Pangewa dalam penumpasan pemberontakan Pangeran Amir. Menurut K.G. Anderson, raja pertama Pagatan La Pangewa diperkirakan memerintah tahun 1761- 1838. La Pangewa menikah dengan I Wale’ Petta Coa, tetapi tidak diketahui apakah istrinya berasal dari wilayah Pagatan atau Sulawesi Selatan. Perkawinan ini memiliki tiga putra putri yakni La Palebbi’, La Paliweng dan Besse' Pegatan. Ketika La Pangewa meninggal tahun 1838, ia digantikan oleh putranya La Palebbi’. Penerus raja Pagatan Pertama Hasan La Pangewa adalah: Raja Arung Abdul Rahim La Palebbi (1838-1855); Raja Arung Abdul Karim La Matunru (1855-1871); Raja Arung Abdul Djabbar (1871-1875); Ratu Sengngeng / Daeng Mangkau (1875-1883) ; H. Andi Tangkung / Petta Ratu (1883-1893); dan Andi Sallo/Arung Abdul Rahim (1893-1908).

III. MASYARAKAT MARITIM DAN BUDAYA ADAT MAPPANRETASI Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Indonesia adalah negara kepulauan (17.506 pulau) terbesar di dunia, dengan perairan laut teritorial (3,2 juta km2) terluas di dunia (belum termasuk 2,9 juta km2 perairan zona ekonomi eksklusif, terluas ke-12 di dunia), dan 95.108 km garis pantai yang terpanjang kelima di dunia. Perairan laut Indonesia memiliki posisi geografis strategis sebagai jalur komersial dan militer. Rusdi Effendi 261 Dari tinjauan geografisnya, menurut Lapian (1996) dalam Susanto Zuhdi (2014): Republik Indonesia lebih cocok disebut “negara kelautan” atau “negara maritim” daripada sebutan “negara kepulauan” sebagai terjemahan dari archipelagic state. Istilah itu terdiri atas dua suku kata: arce berarti utama dan pelago yang artinya laut. Jadi, yang “utama itu laut” atau bisa juga berarti “laut yang utama”. Dari persepektif tersebut, wilayah Indonesia mestinya dilihat sebagai “laut yang ditaburi pulau” bukan “pulau- pulau yang dikelilingi laut”.36 Disini yang hendak ditekankan adalah peran laut sebagai penghubung atau pemersatu pulau-pulau dan daratan. Kendati demikian, sebutan terhadap negeri ini Tanah Air. 37 Alfred Thayer Mahan (1840-1914), Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power upon History”(1660-1783) mengemukakan teori bahwa sea power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.38 Pepatah lama sezaman dengan kejayaan di laut seiring teori Mahan di atas dengan semboyan “Barang siapa yang menguasai laut, ia akan menguasai dunia”. Alfred Thayer Mahan menggambarkan proses pertumbuhan Inggris yang pada abad ke-19 telah menjadi adidaya laut yang menguasai dunia pada waktu itu. Angkatan lautnya disegani dunia, kemudian armada niaganya menjelajahi seluruh samudera, bangsa yang menguasai daratan betapa pun besar dan kuatnya angkatan daratnya, tidak akan mampu menguasai dunia. Di daratan banyak rintangan berupa gunung, jurang dan sebagainya, namun laut merupakan lapangan yang luas, bebas dan terbuka. Buku Mahan berpengaruh terhadap kekuatan-kekuatan dunia pada waktu itu, Inggris semakin meningkatkan kemampuan maritim. Pada akhir

262 Rusdi Effendi abad ke-19, Amerika serikat di bawah Theodore Roosevelt, Jerman di bawah kaisar Wilhem II dan Jepang dibawah pemerintahan Kaisar Meiji mulai membangun kekuatan laut yang besar. Bagi bangsa Indonesia sebelumnya saat kerajaan-kerajaan Nusantara telah berabad-abad di masa lampaunya memanfaatkan maritim dengan pelayaran dan menggunakan laut sebagai sumber mata pencaharian dan perekonomian. Kegiatan di laut yang dominan dalam kehidupan bangsa kita dimasa lampau tercermin dalam sebutan ”zaman bahari” yang sinonim dengan zaman purbakala. Jauh sebelum dikenal mesin uap yang menggerakan kapal, pelaut-pelaut Nusantara telah pandai menggunakan perahu-perahu layar dengan tenaga angin. Pengetahuan lokal tentang angin darat dan angin laut adalah pengetahuan penting bagi para nelayan yang mengandalkan hidupnya mencari ikan dan binatang laut karena dengan demikian mereka bisa memanfaatkan angin bila mau berlayar keluar pada pagi hari dan pulang kampung pada sore harinya.Bagi pelaut-pelaut Makasar dan Bugis mengarungi laut luas (samudera) adalah hal yang biasa, selain mata pencaharian juga memang falsafah hidup mereka untuk merantau. Ketika pantai Barat Australia mulai dikenal oleh awak kapal Belanda yang berlayar dan terbelok di kawasan sekitar pulau Dirk Hartogs, artinya kapal-kapal Belanda tersebut secara kebetulan datang sampai ke pantai Barat Australia, bukanlah demikian halnya dengan kapal-kapal Bugis dan Makasar yang berlayar sampai ke pantai utara benua ini. A.A. Cense dan H.J. Heeren (1972) mengutipkan kisah dari pelaut Bugis – Makasar yang sampai ke benua Australia disebutkan : ” Menurut kisah Daeng Sarro dari kampung Bontorannu pelayaran tersebut yang terutama diadakan untuk mencari tripang yang sangat laku dalam perdagangan dengan orang Cina, telah dikenal pada abad ke-18, dan ada kemungkinan besar bahwa pelayar tersebut sudah mulai pada abad ke-17 atau sebelumnya. Pelayaran penangkap-penangkap tripang dari Sulawesi Selatan ke Tanah Rusdi Effendi 263 Marege (yaitu nama penduduk Australia dalam bahasa Bugis dan Makasar) mengambil route sebagai berikut : Ujung Pandang, Salayar, Wetar, Kisar, Leti, Moa, selanjutnya ke arah Selatan Tenggara ke pelabuhan Darwin, dan seterusnya. Seperti diketahui, kunjungan kapal-kapal dari Sulawesi Selatan ini telah meninggalkan bekasnya pula pada budaya penduduk pantai utara Australia, misalnya pemasangan tiang layar dalam upacara pemakaman orang mati yang walaupun sebenarnya merupakan penemuan baru oleh Suku Australia sendiri diambilnya dari kebiasaan orang Bugis dan Makasar memasang tiang layar pada waktu mereka hendak berlayar pulang. 39 Dalam pembahasan buku terjemahan karya Christian Peltras yang berjudul ”Manusia Bugis”, di Makasar beberapa tahun lalu telah terjadi pembicaraan cukup seru mengenai apakah orang Bugis sudah sejak berabad-abad menjadi pelaut atau mulanya hanya petani. Bahwa orang Bugis sudah sejak ’dulu kala’ berkarakter pelaut, merupakan anggapan yang diyakini oleh orang Sulawesi Selatan saat ini.40 Hal itu bertentangan dengan pendapat Peltras yang mengatakan, bahwa sebenarnya baru dalam abad ke-18, orang Bugis berkembang aktivitasnya dilaut. 41 Peltras menyadari adanya anggapan orang Bugis merupakan pelaut sudah sejak berabad-abad lampau. Hal itu bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 berlabuh di banyak pelabuhan di berbagai wilayah Nusantara, Singapura, Papua, di bagian selatan Filipina hingga pantai barat laut Australia. Ada yang mengatakan orang Bugis telah berlayar menyeberangi Samudera Hindia sampai ke Madagaskar. Padahal kenyataannya orang Bugis pada dasarnya adalah petani. Akan halnya perahu Phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhir baru ditemukan di akhir abad ke-19 hingga dekade 1930-an. Demikian pula anggapan keliru tentang bajak laut yang dilekatkan pada orang Bugis.42

264 Rusdi Effendi Dalam konteks penggunaan sumber daya alam kemaritiman Eymal B. Demmallino (et,al, 2011)43 mengemukakan terdapat tiga komunitas masyarakat maritim yang secara okupasi berbeda satu sama lain, tetapi kebanyakan orang kerapkali keliru dalam memahaminya. Dalam perspektif Budaya Bugis-Makasar, ketiga komunitas itu secara tegas dibedakan satu sama lain, yakni: (1) Komunitas Pallawa (Pallaonruma), adalah menunjuk pada komunitas masyarakat yang berkecimpung dalam pemuliaan tanaman ataupun hewan, dalam masyarakat maritim dikenal dengan sebutan Komunitas Petani Tambak; (2) Komunitas Pakkaja adalah menunjuk pada komunitas masyarakat maritim yang berkecimpung dalam kegiatan penangkapan atau perampokan – pemburu (hunter) hewan-hewan di laut, lebih banyak dikenal dengan sebutan nelayan; dan (3) Komunitas Pasompe, yakni menunjuk pada komunitas masyarakat maritim yang berkecimpung dalam kegiatan transportasi dan perdagangan di laut, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan pelaut pedagang.44 Untuk melihat masyarakat Bugis Pagatan saat ini apakah termasuk bagian dari pekerjaan dan mata pencahariannya dikelompokkan sebagai masyarakat maritim atau agraris, atau memadukan keduanya, tentu berkaitan dengan masyarakat Bugis yang berasal dari Wajo Sulawesi Selatan. Kedatangan Puanna Dekke beserta rombongannya ke bagian hilir sungai Kusan untuk membuka hutan dimana Puanna Dekke dari kalangan saudagar–bangsawan yang merangkap pelaut–pedagang, pembukaan areal hutan tersebut tentunya dari rombongan Puanna Dekke tersebut terdapat kalangan petani atau Pallawa (Pallaonruma) dan nelayan atau Pakkaja, karena akan menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup di daerah yang baru dibuka. Catatan ekspedisi orang Barat setelah masa pemerintahan Hasan La Pangewa (1761-1838) sebagai Raja pertama di Kerajaan Pagatan yang telah menunjukan kesetiaannya kepada Kesultanan Banjar mendapat gelar Kapitan Laut Pulo dari Susuhunan Nata Alam (1761-1801) atas jasanya

Rusdi Effendi 265 membantu Sultan dalam menumpas pemberontakan Pangeran Amir tahun 1789. Diantara laporan orang Barat tersebut seperti : laporan Van der Ven tahun 1846, menyebutkan mengenai berbagai komoditas produk kesultanan Banjarmasin atau pemerintahan Karesidenan Kalimantan bagian Tenggara yang diekspor meliputi sarang burung, kayu gaharu, kapas, kelapa, minyak, tembakau, gula aren, telur, pisang, sirih, lilin, cadik perahu, perahu, buah- buahan, sarung tenun, katun, tanduk rusa, tembikar, kerajinan rotan, tikar, sirap, kayu ulin, berbagai jenis kayu, bambu, ikan, sagu, indigo, kerbau, kambing, ayam dan itik. Jenis komoditas impornya adalah garam, gambir, asam dan bawang, tembikar, porselin, kerajinan dari bahan logam (besi, tembaga dan timah), peralatan tenun, kerajinan kertas, gadung dan katun.45 Dari catatan Solomon Muller, Kampoeng Pagattan terletak di wilayah pesisir yang datar, dekat dengan laut. Diperlukan waktu tiga jam untuk menuju Tandjong Betung dari wilayah ini. Sungai Pagattan cukup lebar dan berkelok kelok serta pinggir sungai ditutupi dengan hutan lebat. Jarak antara rumah di wilayah Pagatan pada beberapa tempat, cukup jarang dan terdapat banyak sawah terbuka. Daerah ini juga memiliki kontur yang berbukit-bukit.46 Dari semua komoditas barang dagangan yang dihasilkan daerah ini, hasil alam rotan dan lilin adalah komoditas utama yang dihasilkan di daerah Pagatan, Tanah Bumbu.47 Van der Ven dalam Veth (1869) juga mengungkapkan nelayan ikan laut seperti dari daerah Pagatan dan Batulicin tahun 1846, mengangkut dan menjual hasil tangkapannya dalam bentuk ikan kering ke Banjarmasin. Perahu nelayan laut (pantai) memerlukan modal sekitar f. 350 dengan perincian anggaran perahu f. 100, jala f. 100, garam dan konsumsi f. 150. Hasil laut lainnya yang biasa diperdagangkan ke luar daerah adalah tripang. 48 Satu hal yang barang kali bisa memberikan gambaran keadaan perekonomian dan yang dikaitkan dengan struktur pemerintahan dalam Kerajaan Pagatan berikut penghasilan kerajaan saat itu dapat dibayangkan ketika masa pemerintahan Arung Abdul Rahim La Palebbi (1838-1855),

266 Rusdi Effendi dimana tanpa disadari oleh pihak pemerintah maupun masyarakat di Pagatan dan kawasan Tanah Bumbu telah hadir sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh C.M. Schwaner, ia bertualang dari tahun 1846 hingga laporan C.M. Schwaner dirampungkan tahun 1853. Ketika dilakukan diskusi kecil antara tim peneliti – penulis dengan Arsiparis pada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), diduga C.M. Schwaner bukanlah orang Belanda, dari nama diduga ia orang Jerman yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan ekspedisi. Laporan C.M. Schwaner (1853) untuk menggambarkan keadaan wilayah Pagatan dengan perekonomiannya antara tahun 1846 hingga 1853 diilustrasikan diantaranya: “Penghasilannya (Kerajaan Pagatan) terdiri atas cukai yang harus dibayarkan oleh perahu yang keluar dan masuk, dan biasanya berjumlah seperduapuluh dari nilai muatan. Dari uang ini, raja menerima separuh; separuh lainnya dibagi antara Pua Adu (Perdana Menteri) dan dua pertiga dan Imam sepertiga (Perahu- perahu yang datang tidak membayar cukai. Di Pagatan hanya ada cukai eksport yang dipungut, merupakan tarif tetap. Penghasilannya hanya disetorkan kepada raja atau Arung. Imam menerima 1/10 dari jumlah padi keluarga yang mencapai 600 gantang atau lebih sebagai hasil panen. Pua Adu memperoleh penghasilan terbesar dari perahu-perahu yang mengangkut makanan dan dari andil ruang kapal diatas perahu-perahu yang termasuk berasal dari Pagatan).”49 Dari laporan diatas menunjukkan, bahwa daerah Pagatan memainkan peranan penting dalam perdagangan di Kalimantan bagian Tenggara, apabila ada perahu dan kapal-kapal yang keluar masuk, maka jelas di Pagatan sudah ada pelabuhan atau Bandar perdagangan, sehingga Raja Pagatan dan bawahannya bisa hidup dari pembayaran cukai atas kapal-kapal. C.M. Schwaner tidak menyebutkan pusat perdagangan dan lokasi pelabuhan yang ramai tersebut di Pagatan. Memang C.M. Schwaner juga menyatakan, bahwa Pagatan walaupun wilayah kerajaannya kecil jika

Rusdi Effendi 267 dibandingkan dengan kawasan kerajaan lainnya di Tanah Bumbu, tetapi Kerajaan Pagatan merupakan kerajaan yang terkaya. Lebih lanjut C.M. Schwaner menyatakan dalam laporannya : “Kerajaan Pagatan yang tidak lebih dari 3,38 mil persegi luasnya merupakan yang terkecil dari semua kerajaan itu tetapi juga yang terkaya dan paling banyak tanamannya.”50 Selain sumber kas negara Kerajaan Pagatan dari sumber pemasukan cukai dan pajak ekspor, daerahnya tersubur dan banyak tanaman yang bisa dihasilkan, dari bidang pertanian yang ada jika dibandingkan dengan daerah lainnya di kawasan Kerajaan Tanah Bumbu. Berikut C.M. Schwaner (1853) melaporkan tentang keadaan agraris di Kerajaan Pagatan: “ Karena sebagian besar dataran pantai setiap hari digenangi oleh air, maka di daerah ini sangat banyak ditemukan kubangan dan rawa. Tanahnya tertutup oleh hutan yang sulit dimasuki dan bagian yang ditanami sangat sedikit sehingga hampir tidak bisa diperbandingkan dengan daerah yang tidak ditanami. Pertanian sawah hanya dijumpai di dataran tinggi dan kerajaan kecil Pagatan di pantai timur Borneo, satu- satunya tempat dimana terdapat bentangan persawahan luas.” 51 Dari laporan diatas, mengingat C.M. Schwaner sudah berkeliling dari pesisir hingga pedalaman di kawasan Kalimantan bagian tenggara seperti ke Kusan, Sela, Seliau, Temunih, ke Cantung, Batulicin, Sampanahan, Bangkalaan, Menunggul, Pulau Laut hingga ke Cengal yang berbatasan dengan Pasir, maka wajar ia membandingkan semua daerah tadi dan faktanya ia melihat keadaan pertanian atau areal persawahan padi dijumpainya hanya di dataran tinggi dan kerajaan Pagatan, bahkan satu- satunya diseluruh kawasan Tanah Bumbu dan Pulau Laut, ternyata Pagatan memiliki bentangan persawahan yang luas. Dengan demikian telah terlihat Kerajaan Pagatan juga telah mengembangkan sistem pertanian atau menerapkan pola agraris, jika sistem pertanian-agraris telah diterapkan dihitung pada akhir laporan C.M. Schwaner, maka sampai tahun 1853

268 Rusdi Effendi kerajaan Pagatan telah memadukan sistem negara kerajaan maritim dan agraris, maka negaranya dinamakan maritim-agraris. Sekarang bisa kita tafsirkan, bahwa Kerajaan Pagatan semasa pemerintahan Raja Arung Abdul Rahim La Palebbi (1838-1855) dimana C.M. Schwaner berkunjung dan meneliti dalam ekspedisinya dari tahun 1846-1853 ke daerah Pagatan dan kawasan Tanah Bumbu sekitarnya, Pagatan merupakan areal lumbung padi terbesar saat itu, karena hanya di areal Pagatan saja satu-satunya yang terdapat persawahan yang luas di Kalimantan Tenggara. Kemudian diduga kuat, bahwa raja yang memerintah saat itu telah berhasil mengembangkan sektor pertanian dan perdagangan tentunya menghasilkan devisa negara kerajaan Pagatan. Laporan C.M. Schwaner (1853) juga memaparkan tentang perdagangan dan barang-barang yang diperdagangkan di pusat perdagangan Kerajaan Pagatan antara lain : “ Perdagangan Pagatan sangat penting dan kebanyakan terdiri dari produk asing karena tanahnya tidak menghasilkan produk sendiri mengingat luasnya. Barang dagangan terpenting terdiri atas sarang burung, kerang, lilin, tripang, intan, emas, candu, rotan, minyak, gula, kain, tembakau, gambir, garam, kerbau, beras dan kelapa. Pertanian, pembuatan gula aren, perikanan, pembukaan kebun buah, tenun sarung, penggalian intan dan sebagainya menjadi mata pencaharian kalangan rakyat.”52 Dari berbagai komoditi barang dagangan jika ditelaah dalam laporan ekspedisi C.M. Schwaner (1853) menyebutkan selain barang impor, ternyata jika diverifikasi Pagatan juga menghasilkan sarang burung, kerang, tripang, beras, kelapa, minyak goreng, rotan, kerbau (hasil peternakan lokal), pembutan gula aren, perikanan, pembukaan kebun buah dan tenun sarung (tentunya tenunan sarung Pagatan asli). Kemudian barang-barang yang menrupakan impor dari luar Pagatan seperti garam, gula, gambir, kain, dan candu mungkin dari luar Kalimantan. Untuk emas dan intan negara tetangga yakni Kusan di daerah Sela, Selilau dan Temunih adalah penghasil

Rusdi Effendi 269 logam mulia dan batu mulia seperti emas dan intan, artinya bukan barang dari luar, melainkan produk lokal saat itu. Satu hal yang perlu dipahami, bahwa sarana jalan sebagai bagian dari transportasi dan mobilisasi penduduk dari satu tempat ke tempat lain pada akhir laporan ekspedisi C.M. Schwaner (1853) janganlah disamakan dengan keadaan sarana jalan seperti sekarang ini yang begitu mudah dilintasi melalui jalan darat. Untuk memberikan deskripsi tentang keadaan jalan darat dan transportasi yang digunakan penduduk dari Pagatan ke negeri lain di kawasan Tanah Bumbu dan daerah disekitarnya saat itu berikut C.M. Schwaner memaparkan: “Jalan darat dari satu negeri ke negeri lain tidak ada. Untuk hubungan lewat darat, orang hanya menemukan jalan setapak lewat hutan yang disana-sini tidak bisa dilewati karena kubangan. Disana pada saat itu orang tidak banyak menggunakannya, karena pelayaran dengan perahu menjadi sarana hubungan yang jauh lebih cepat dan lebih mudah. Jadi jalan ini penuh dengan tanaman lebat sehingga jika orang ingin menggunakannya dia harus menebangi ranting pepohonan itu. Pada masa lalu jalan-jalan muncul dari negeri Cengal, meskipun ibukota negeri itu saling dihubungkan dengan jalan di tanah Kusan. Disepanjang jalan ini dari Cengal, dalam waktu sehari orang bisa mencapai Menunggul. Dari sana juga dalam sehari Sampanahan bisa dicapai lewat lahan datar. Dari Sampanahan ke Bangkalaan perjalanan bisa ditempuh dalam dua jalan. Yang satu disebut Burit Luang dan membentang ke barat dari bagian Bangkalaan yang membentuk semenanjung. Melalui rawa yang luas, jalan ini hanya bisa dilalui selama musim kemarau. Jalan lain disebut Tanka Siluang (Singuang), yang lebih pendek dan lebih pasti tetapi sulit dan membentang lewat punggung pegunungan (mungkin Tangga Singguang). Orang bisa menyelesaikan perjalanan ini selama satu setengah hari. Dari Bangkalaan melalui sebuah jalan berkarang yang berbahaya dalam sehari orang bisa mencapai Buntar Laut. Dan dalam setengah hari dari tempat itu

270 Rusdi Effendi ke Cantung. Dari Cantung tiga jalan setapak membentang melalui tanah Kusan ke Sella dan Selillau. Di luar jalan-jalan ini negeri utama membentang jalan-jalan kecil melalui Gunung Meratus memasuki tanah Sultan Banjarmasin. Disana hubungan menjadi semakin ramai sehingga kondisi jalan menjadi semakin baik. Tentang ini telah dikatakan bahwa seluruh bagian pantai timur Borneo dari Tanjung Petang sampai Tanjung Aru yang disebelah barat dibatasi dengan Gunung Meratus menjadi suatu kerajaan yang di sebut Tanah Bumbu melalui berbagai peristiwa muncul akibat pembagian wilayah.53 Jika disimak dari laporan C.M. Schwaner (1853) diatas, jelas tergambar, bahwa di kawasan Tanah Bumbu, Pulau Laut dan Pagatan sekitarnya saat itu jalan darat tidak begitu mudah dilalui, jadi yang sangat memungkinkan adalah jalur pelayaran dengan perahu menjadi sarana hubungan yang jauh lebih cepat dan lebih mudah. Hal ini mengingatkan kita pada ciri-ciri negara atau kerajaan yang menekankan pada aspek maritim, bahwa pemanfaatan laut selain hasil lautnya juga jalur transportasi menggunakan berbagai jenis perahu untuk sarana transportasi dan perhubungan sangat diperlukan, tentunya pembuatan perahu-perahu dan perangkatnya lebih memungkinkan dikerjakan orang lokal maupun orang Bugis Pagatan saat itu. Jadi jika disimpulkan, bahwa Kerajaan Pagatan sejak dirintis oleh tokoh saudagar-bangsawan Puanna Dekke diperkirakan tahun 1733 hingga dirajakannya La Pangewa (Hasan La Pangewa) dan berakhir dengan masa pemerintahan Arung Abdul Rahim Andi Sallo (1893-1908) adalah kerajaan yang menekankan pada aspek negara maritim-agraris, di dalamnya terdapat aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, penanaman pohon buah- buahan, perikanan darat dan penangkapan ikan laut dan binatang laut yang bernilai ekonomis sebagai karakeristik aktivitas orang Bugis Pagatan yang dilakukan terus-menerus hingga memasuki masa penjajahan kolonial Belanda, masa kemerdekaan, kemudian menjadi bagian dari Kabupaten

Rusdi Effendi 271 Kotabaru, termasuk tradisi maritim adat orang Bugis Pagatan, khususnya masyarakat nelayan dalam menghormati laut melakukan upacara Mappanretasi (Acara Syukuran di Laut) dengan tujuan untuk bersyukur atas nikmat melimpahnya hasil laut kepada Tuhan Yang Maha Esa yang jauh sebelumnya dilakukan secara perorangan, keluarga dan simbolis dilakukan kelompok adat bekerjasama pemerintah daerah Kabupaten Kotabaru. Pendirian Kabupaten kotabaru didasari atas Undang-Undang Daerah No. 3 Tahun 1953 tentang pembentukan (resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam lingkungan Daerah di Propinsi Kalimantan Selatan adalah Wilayah Kabupaten Kotabaru meliputi kewedanaan-kewedanaan Pulau Laut, Tanah Bumbu dan Pasir. Kemudian berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1959, menetapkan Undang-Undang Darurat No.3 Tahun 1953 sebelumnya sebagai Undang-Undang, maka wilayah Kabupaten Kotabaru dikurangi dengan kewedanaan Pasir. Dengan demikian Kabupaten Kotabaru sejak tahun 1959 adalah wilayah adminsitratif pemerintahannya meliputi Pulau Laut dan Tanah Bumbu, Pagatan masuk dalam Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Pulau Laut (Kotabaru) saat itu. Masyarakat Bugis Pagatan, khususnya di kalangan nelayan yang secara historis dimulai dengan komunitas pemukiman nelayan di Kampung Pejala di daerah Kusan Hilir adalah perkampungan para nelayan penangkap ikan laut dan binatang laut lainnya yang bernilai ekonomis. Kehidupan para nelayan yang tinggal di pesisir pantai Pagatan tentu sangat menghormati laut sebagai sumber utama penghasilan mereka, terhadap hasil tangkapan ikan, udang, kerang, telor penyu, teripang, ubur-ubur dan binatang laut lainnya yang berharga dan bernilai jual tinggi. Diperkirakan Kampung Pejala sudah ada sejak pembukaan daerah Pagatan oleh Puanna Dekke antara tahun 1733 sampai tahun 1750-an. (walaupun perlu diteliti kembali).

272 Rusdi Effendi Apabila berakhir musim tangkapan ikan dan kebutuhan ekonomi keluarga tercukupi, mereka melakukan upacara sebagai ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT), atas rezeki yang telah diberikan-Nya, kemudian secara tradisional mereka memberikan sesajen untuk menghormati “Penguasa Laut” yang dilakukan dalam keluarga mereka dengan melakukan upacara kecil Mappanretasi (acara syukuran di laut) dalam artian pada kepercayaan tradisional masyarakat maritim di pesisir pantai Pagatan yang merupakan bagian budaya lokal. Fenomena ini bukan saja terdapat pada orang Bugis di Pagatan, juga terdapat di daerah Jawa sebagai fenomena tradisi dan kebudayaan kemaritiman. Susanto Zuhdi (2014) mengemukakan berbagai aktivitas kehidupan yang bertumpu pada sektor kelautan berbasis agraris, sesungguhnya merupakan perwujudan tradisi dan budaya masyarakat pesisir selatan Jawa. Secara garis besar, banyak masyarakat di pesisir selatan bergantung pada sektor kelautan meskipun tidak meninggalkan basis agraris. Kepercayaan mengenai Nyai Roro Kidul penguasa Laut Selatan lebih dinilai sebagai sosok yang menakutkan, walaupun dari sisi lainnya diharapkan kebaikannya.54 Tampaknya belum terlalu lama tradisi nelayan di selatan D.I.Y. Yogyakarta dibanding kawasan timur maupun baratnya, yakni tahun-tahun 1980-an. Adalah nelayan dari Cilacap yang mengajari penduduk Baron, pantai selatan Kabupaten Gunung Kidul menangkap ikan, menggantikan tradisi sebelumnya sebagai petani ladang.55 Kini sudah banyak bermunculan nelayan kecil dengan perahu motor tempel disana. Mengapa potensi laut telah lama tak disentuh rupanya karena mitos Nyai Roro Kidul yang meminta kekuasaan raja Mataram agar rakyatnya tidak mengeksploitasi laut selatan. Kemarahan penguasa Laut Selatan sangat ditakuti oleh nelayan pesisir selatan. Akan tetapi, dalam beberapa dekade belakangan ini keangkeran Laut Selatan memudar seiring meningkatnya hasil tangkapan ikan. Fakta ini menunjukkan adanya perubahan nilai yang dipandang sakral dan harus diikuti.56

Rusdi Effendi 273 Mengingat daerah selatan Jawa dan khususnya dikenal Laut Selatan dimana adanya kepercayaan tentang mitos Nyai Roro Kidul sebagaimana diuraikan diatas, masyarakat pesisir pantai selatan Jawa juga sebahagian kelompok nelayan melakukan upacara ritual dan penghormatan kepada Nyai Roro Kidul sebagai persembahan sesajen atas keselamatan dan keberhasilan mereka dalam mencari nafkah di kawasan penguasa Laut Selatan tersebut. Upacara dilakukan berkaitan dengan kepercayaan, dalam istilah ilmu antropologi disebut Religi ataupun Magi, misalnya Antropolog Bronislaw Malinowski (1972) dalam Fudiat Suyadikara (1996) membedakan antara magi, ilmu pengetahuan dan religi. Malinowski menjelaskan, bahwa manusia primitif telah mengembangkan tehnik yang memungkinkan menghadapi masalah kehidupan sehari-hari yang menyangkut mendapatkan penghasilan. Tetapi disana tidaklah terdapat aspek-aspek tertentu dari kehidupan yang ia kontrol, karena ia menghadapinya, menurut Malinowski manusia primitif itu berpaling kepada Magi.57 Dalam masyarakat tradisional banyak orang percaya dengan kekuatan gaib, sehingga oleh Malinowski tertarik pada fungsi psikologi, dimana magi dan religi bertugas menghilangkan rasa takut dan cemas bagi individu. Berbeda dengan Radcliffe Brown (1965), ia tertarik pada fungsi sosial religi. Baginya fungsi sosial ritus dalam religi mengatur mempertahankan kestabilan ketertiban masyarakat.58 Fudiat suryadikara (1996) dalam memandang magi dan religi, menyatakan bahwa: ”Semua cara interaksi dengan alam gaib dapat dikategorikan dengan berbagai cara. Satu dimensi variasi adalah berapa banyak orang dalam masyarakat percaya pada imbalan atau memohon atau mencoba membujuk makhluk gaib untuk bertindak atas nama mereka, sebagai lawan apakah mereka percaya dapat memaksa perilaku seperti itu dengan tindakan tertentu. Magi mungkin melibatkan manipulasi kekuatan gaib untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Banyak masyarakat yang melakukan itu, magi untuk memastikan hasil panen yang baik, penambahan binatang buruan, kesuburan hewan peliharaan, dan penghindaran penyakit dan 274 Rusdi Effendi penyembuhan penyakit manusia. Seperti telah kita ketahui dukun dan shaman menggunakan magi untuk membawa sesuatu yang membahayakan telah membangkitkan perhatian terbanyak.”59 Upacara adalah menyangkut keyakinan , maupun tindakan-tindakan ritual adalah dua unusur religi yang saling melengkapi. Maksudnya hal-hal yang masih samar dalam keyakinan diperjelas dengan upacara. Disisi lain tindakan keupacaraan merupakan perwujudan isi keyakinan dan menjadi syahdu, penuh makna dan tanpa cela bila didasarkan pada keyakinan tersebut.60 Upacara-upacara memperlihatkan struktur yang horizontal maupun vertikal. Struktur horizontal menjelaskan pada bidang-bidang kehidupan apa saja tindakan berupacara itu harus atau tidak harus dilaksanakan, dan struktur yang vertikal menggambarkan hubungan dan cara berkomunikasi orang-orang dengan ’Sang Penguasa’ tertentu, roh alam, ataupun roh lainnya. Koentjaraningrat (1974) mengidentifikasikan sebelas unsur upacara (ritus) yakni: bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, bersenidrama, berpuasa, intoksinasi, bertapa dan bersemedi. 61 Dari beberapa paparan pakar antropologi tersebut diatas bisa kita tarik hubung kait dengan upacara Mappanretasi secara tradisional yang kental dengan mistis pada tradisi kemaritiman para nelayan yang hidupnya melaut untuk mencari ikan-ikan laut dan binatang laut yang bernilai ekonomis. Kegiatan ritual para nelayan yang hidup malang melintang dengan mata pencaharian juga asal-usulnya tidaklah lepas dari kegiatan magi yang bersifat religi tradisional, hal ini harus dilihat dari latar belakang daerah asal orang Pagatan sebelumnya, yakni di kampung Kampere yang merupakan bagian vazal Kerajaan Wajo. Kemungkinan sebelum Kerajaan Wajo diembargo oleh V.O.C. Belanda kegiatan upacara ini sudah secara legal dilakukan oleh para nelayan Wajo di Sulawesi Selatan. Ketika mereka pindah ke daerah Pagatan dan ikut membangun Kerajaan Pagatan yang berdaulat atas pengakuan Kesultanan Banjar, maka

Rusdi Effendi 275 kegiatan seremonial ritual Mappanretasi (memberi makan laut ) yang sudah umum diketahui secara mistis ditujukan kepada Penguasa Laut ”Sawerigading” tidaklah bisa dilakukan secara legal, artinya kegiatan ini secara tersembunyi dan bersifat antar keluarga saja, apalagi di zaman kolonial Belanda, jika dilakukan secara beramai-ramai, maka akan dicurigai sebagai kumpulan pemberontak atau berupaya makar terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Satu hal yang harus dipahami, bahwa masuknya agama Islam ke daerah Sulawesi Selatan bervariasi, misalnya awal masuknya agama Islam di Wajo. Sumber sejarah menunjukkan bahwa agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Wajo ketika Arung Matowa Wajo XII La Sangkuru Patau Mulajaji memeluk agama Islam pada tahun 1610 dengan gelar Sultan Abdurrahman. Ketika rombongan Puanna Dekke melakukan penghijrahan taruh saja tahun 1733 sampai 1735, anggap saja tahun 1735 mulai menetap dibagian hilir Sungai Kusan, maka jika dihitung usia agama Islam yang dianut rombongannya yang juga sebagai masyarakat Kerajaan Pagatan nantinya baru berusia 125 tahun agama Islam melekat dalam regenerasi orang Bugis Pagatan. Jadi nuansa mistis dan religi lama yang ada pada orang Bugis Wajo asal kampong Kampere tentunya masih kental dengan kepercayaan aslinya saat itu. Tidak perlu jauh memandang tradisi maritim orang Bugis Pagatan dengan nuansa mistisnya, bagi orang Banjar sendiri dimana sejak tahun 1526 telah beragama Islam setelah di Islamkan oleh penghulu dari Demak bernama Khatib Dayyan, Rajanya sendiri yang bernama Raden Samudera berganti gelar dengan Sultan Suriansyah, jika dihitung dari tahun 1526 hingga saat ini tahun 2015, maka agama Islam telah dipeluk oleh kalangan masyarakat Banjar hampir selama 489 tahun, namun masih ada saja pada lingkungan keluarga-keluarga orang Banjar tertentu yang masih mempertahankan budaya akan kepercayaan lama dan tradisi mereka yang diwariskan dari keluarganya terdahulu kepada generasi berikutnya hingga

276 Rusdi Effendi masih melekat pada keluarga tertentu pada lingkungan masyarakat Banjar hingga sampai saat ini keberadaannya, tetapi tidak semua orang juga mempertahankan tradisi tersebut, tergantung pada pola berpikir rasionalitas dari hasil pendidikan individu dan rasionalitas pemahaman agama yang dianut dan diyakini. Kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib dan mitos hingga kini masih terdapat pada masyarakat Banjar atau orang Banjar, baik orang Banjar Pahuluan, orang Banjar Batang Banyu, maupun orang Banjar Kuala 62 yang masih percaya secara magi dengan beberapa tokoh gaib dan mistis yang terwujud dalam upacara seperti : Upacara Manyanggar Banua, Upacara Sampir Besar, Upacara Memberi Makan Tahun 63 dan sebagainya, belum lagi dengan upacara antar keluarga, misalnya : Upacara Memberi Makan Buaya; Upacara Memberi Makan Sangkala; Upacara Memberi Makan Macan Putih dan lain-lain yang masih ada pada orang Banjar yang telah beragama Islam yang dilakukan secara turun-temurun dan dianggap tradisi masyarakat Banjar. Jadi apabila menilai tentang nuansa mistis pada setiap upacara adat yang dimiliki oleh lingkungan budaya etnik tertentu, maka kunci utama untuk memahaminya adalah harus dipandang dari unsur sudut budaya saja, walaupun tekadang apabila dikaitkan dengan agama, maka tentunya akan banyak berbenturan, namun diambil jalan tengah saja, bahwa urusan mistis tidak bisa disamakan kepada semua orang untuk mengikisnya, artinya kita cukup memahaminya saja dengan satu prinsip, bahwa dikembalikan kepada individu masing-masing sesuai dengan tingkat pendidikan dan pemahaman agama yang dianutnya.

Rusdi Effendi 277 IV. MAPPANRETASI ANTARA MITOLOGI (LEGENDA) DAN SEJARAH 1.Ceritera Tradisi Lisan Masyarakat Pagatan Versi Tokoh Sawerigading Syarifuddin R. (et.al,,2008) memberikan gambaran latar belakang mengapa masyarakat nelayan di Pagatan melakukan upacara Mappanretasi, ternyata ada kepercayan khusus tentang tokoh Sawerigading yang dipercayai secara turun-temurun, sehingga tradisi lisan (oral tradition) yang ada berkembang pada keluarga dan masyarakat nelayan dipesisir pantai Pagatan setiap tahunnya harus melakukan upacara tersebut. Versi Sawerigading berdasarkan hasil penelitian mengungkapkan, bahwa cerita ini berasal dari Sulawesi Selatan. Berikut kutipan wawancara saat penelitian Syarifuddin R. (et.al,2008) 64 memaparkan tentang versi tokoh Sawerigading yang legendaris tersebut dituturkan sebagai berikut : “Menurut cerita lisan (oral tradition), di Sulawesi Selatan zaman dahulu hidup seorang manusia sakti bernama Sawerigading. Sawerigading tidak lahir dari seorang ibu, tetapi ia datang dengan sendirinya dari sebatang bambu daun kuning di lereng gunung Bawa Karaeng di Sulawesi. Sawerigading yang hidup sezaman Nabi Nuh As. membawa risalah bahwa ia adalah Tuhan. Risalah tersebut diyakini masyarakat, maka jadilah ia Tuhan yang disembah oleh pengikutnya. Demikian kepercayaan masyarakat sampai suatu ketika Sawerigading bertemu dengan Nabi Nuh As. Menurut cerita Nabi Nuh As, menyeru Sawerigading dan pengikutnya agar beriman atau mempercayai bahwa Tuhan itu adalah Allah SWT, bukan Sawerigading. Seruan tersebut tidak diindahkan oleh Sawerigading dan pengikutnya, bahkan Nabi Nuh diejeknya. Ejekan dan penghinaan itu makin hari makin seru. Akhirnya Allah SWT, mengutus malaikat Jibril menyampaikan perintah Allah SWT kepada Nabi Nuh agar membuat sebuah kapal diatas gunung. Nabi Nuh segera melaksanakan perintah tersebut dengan pengikutnya hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama kapal tersebut terwujud. Sawerigading semakin tidak senang dengan Nabi Nuh As. Bersama pengikutnya kapal tersebut 278 Rusdi Effendi dijadikan tempat pembuangan hajat hingga akhirnya penuh dengan kotoran manusia. Setelah semua orang membuang hajat di kapal tersebut dan Nabi Nuh tidak juga berhenti dengan seruannya, maka Sawerigading pun makin marah. Seorang yang sudah tua renta tidak kuat lagi berjalan dipaksakan naik gunung menuju kapal Nabi Nuh untuk membuang hajat. Maka dengan tertatih-tatih orang tua tersebut terpaksa melaksanakan perintah Sawerigading, ia bukan berhasil membuang hajat, ia terjatuh ke dalam kapal yang penuh dengan kotoran manusia tersebut. Tetapi apa yang terjadi? Orang tua tersebut setelah terjatuh, bukan berlumuran kotoran manusia, malahan menjelma menjadi pemuda gagah, sehat dan kuat. Terjadilah kegegeran besar. Pengikut Sawerigading jadi bingung, dan merekapun berlomba-lomba mendapatkan kotoran mereka sendiri. Sebab kotoran tersebut ternyata mujarab untuk mengobati segala penyakit. Maka dalam waktu singkat kapal Nabi Nuh menjadi bersih kembali. Peristiwa tersebut berlanjut dengan pudarnya kepercayaan masyarakat kepada Sawerigading dan beralih mengikuti seruan Nabi Nuh As. Sawerigading bukannya sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, malahan menantang Nabi Nuh bertaruh dengan menyabung ayam dan tantangan itupun diterima oleh Nabi Nuh. Pada hari yang telah ditetapkan, Sawerigading membawa ayam besar dan tegap berwarna merah, Nabi Nuh membawa ayam putih. Sawerigading yakin dapat menang, mengingat ayamnya adalah ayam petanding pilihan yang tiada duanya. Tapi kenyataannya tidak sebagaimana diharapkan oleh Sawerigading, sebab begitu pertandingan dimulai, malaikat Jibril datang membawa petunjuk kepada Nabi Nuh, agar Rasul Allah tersebut menghentakkan kakinya ke tanah. Begitu perintah dilaksanakan, bumipun terbelah dua. Nabi Nuh beserta pengikutnya naik ke kapal beserta ayamnya, dan Sawerigading beserta pengikutnya yang tersisa dan ayamnya tenggelam di laut. Dari kisah tersebut akhirnya timbul kepercayaan, bahwa Sawerigading adalah penguasa laut. Sawerigading bukan mati lantaran tenggelam ditelan laut,

Rusdi Effendi 279 tapi ia tetap hidup dan menjadi “Dewa Laut”. Di laut Sawerigading menguasai segala penghuninya, terutama ikan-ikan.”65 Kepercayaan tersebut terus berkembang yang akhirnya membawa konsekuensi, apabila ingin mendapatkan tangkapan ikan di laut, maka haruslah menghormati penguasanya dengan jalan memberikan sesajen. Dengan kata lain memberi makan laut atau dalam bahasa Bugisnya “Mappanretasi”, dimaksudkan sebagai sebuah sikap tunduk dan rasa hormat para nelayan kepada penguasa laut dengan tujuan agar sumber rezeki mereka dapat digali terus menerus disekitar mereka bertempat tinggal dengan mata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan. Akhirnya kepercayaan tersebut dimanifestasikan setiap tahun hingga sekarang ini, walaupun ceritera versi Sawerigading sudah lama dan daerah asal ceritera tersebut dari Sulawesi Selatan, namun sampai saat ini sebahagian masyarakat Bugis Pagatan masih kental dengan kepercayaan tentang tokoh Sawerigading sebagai bagian budaya dan tradisi lokal, walaupun masyarakat yang tinggal di Pagatan umumnya telah beragama Islam sejak kedatangan Puanna Dekke sekitar tahun 1733 di daerah bagian Sungai Kusan. 2. Cerita Tradisi Lisan Masyarakat Pagatan Versi Muhammad Saleh Mengenai latar belakang dilakukannya upacara Mappanretasi, Syarifuddin R. (et.al,2008) 66 memaparkan tentang versi Muhammad Saleh dituturkan: “Pada awalnya Mappanretasi dilakukan oleh keluarga Muhammad Saleh pada sekitar tahun 1850. Muhammad Saleh bermata pencaharian pokok nelayan. Pada suatu hari dia atau Muhammad Saleh menjala di laut. Bukan ikan yang terjala melainkan seorang bersurban putih dengan mengenakan baju dan menerima kedatangannya kapan saja. Dan Ketiga, selalu mengingat orang itu baik diwaktu senang maupun susah. Setelah disepakati, maka Muhammad Saleh berdiam sejenak, dan setelah itu ia meneruskan 280 Rusdi Effendi pekerjaannya menangkap ikan. Jala dibentangkan dan setelah diangkat ternyata penuh dengan ikan. Muhammad Saleh berdiam diri dan bertanya-tanya dalam hati siapa orang tersebut. Tidak mendapat jawaban, akhirnya Muhammad Saleh pulang dengan perahu penuh dengan ikan. Tiba di rumah ia menceritakan kejadian tersebut kepada istri dan kepada anak-anaknya. Sejak itu Muhammad Saleh banyak berdiam diri, memikirkan tentang kejadian yang baru saja dialaminya. Ketika keesokan harinya Muhammad Saleh turun ke laut untuk menangkap ikan lagi. Demikianlah seterusnya, setiap kali Muhammad Saleh turun ke laut, maka ia kembali dengan perahu penuh ikan. Beberapa hari kemudian, tepatnya malam Jum’at, orang tersebut datang ke rumah Muhammad Saleh. Pada waktu ia datang tercium bau semerbak. Muhammad Saleh menerima kedatangan saudaranya itu dengan rasa gembira. Namun anak dan istrinya tidak dapat melihat wujud tamu tersebut. Setelah itu mereka bertemu dalam mimpi di malam hari. Dalam mimpi, Muhammad Saleh menerima berbagai permintaan. Demikian pula mimpi-mimpi malam berikutnya. Setelah kejadian itu, Muhammad Saleh pun menemui Sandro (dukun) guna minta penjelasan tentang peristiwa yang ia alami. Setelah mendengar penjelasan dan keterangan Muhammad Saleh, maka Sandro pun menyuruhnya memberikan apa-apa yang diminta oleh saudaranya itu. Pada malam Jum’at berikutnya Muhammad Saleh mendapat mimpi, agar permintaan saudaranya itu diserahkan ke tempat saudaranya di laut. Sejak saat itu, maka setiap malam Jum’at Muhammad Saleh menghidupkan perapen dalam rumahnya, karena tiap malam Jum’at saudara itu selalu datang menemuinya dengan tidak menampakan wujudnya. Muhammad Saleh pun mengabulkan permintaan–permintaan tersebut dengan bantuan tehnis Sandro. Yang menjadi Sandro waktu itu adalah Wa’ Icu’ atau Pua’ Deceng adik dari istri Muhammad Saleh sendiri. Sebagai nelayan Muhammad Saleh selalu membawa pulang ikan yang banyak. Akhirnya iapun menjadi kaya dan banyak memiliki anak buah serta beberapa buah perahu. Karena itulah,

Rusdi Effendi 281 diapun diangkat menjadi pemimpin atau Kepala Toa (Kepala Desa). Setelah menjadi Kepala Toa, Muhammad Saleh mengajak masyarakatnya memberi sesajen kepada saudaranya. Masyarakatpun mematuhinya dan bersama- sama memberi sesajen ke laut yang dipimpin oleh Sandro. Sejak itu, pemberian makanan atau sesajen tidak lagi hanya dilakukan oleh keluarga Muhammad Saleh, tetapi sudah melibatkan para nelayan dan pihak kerajaan Bugis Pagatan. Pemberian sesajen dilakukan setahun sekali, yaitu pada hari Senin bulan Sya’ban. Pelaksanaannya dilakukan pada jam 06.00 Wita meninggalkan rumah menuju laut, dan tepat jam 08,00 Wita, maka penyerahan sesajen pun dilakukan. Pengolah sesajen dilakukan oleh saudara Muhammad Saleh yang bernama Wa’Selli. Penyerahan sesajen setahun sekali menjadi tradisi masyarakat Pagatan dalam hal ini masyarakat nelayan secara turun–temurun hingga sekarang. Menurut kepercayaan mereka, saudara Muhammad Saleh yang diberi sesajen di laut itu adalah penjelmaan dari Nabi Khaidir, yang menguasai laut dengan segala isinya.”67 Jika disimak isi ceritera rakyat tersebut, terutama latar belakang dilakukannya upacara pemberian sesajen pada Mappanretasi versi Muhammad Saleh sangatlah menarik jika dihubungkan dengan peristiwa sejarah saat Kerajaan Pagatan sudah ada dan mapan di masa itu, misalnya ketika infroman Konding atau Wa’Konding yang menuturkan cerita tersebut menunjukkan bukti tertulis seperti Lontara saja dan menuangkan beberapa catatan tertulis yang dimilikinya dengan pernyataan bahwa sejak tahun 1850 (pertengahan abad ke-19) keluarga Muhammad Saleh telah memberikan Sesajen kepada saudaranya tersebut dan dianggap memberikan makan di laut (Mappanretasi), maka sangat membantu dalam memberikan penafsiran (interpretasi) sejarah berdasarkan dari sumber dokumen Lontara. Namun sangatlah disayangkan orang-orang dahulu terbiasa dengan tradisi lisan (oral tradition), sehingga sulit untuk dijadikan dokumen tertulis sebagai bukti otentik sumber-sumber penunjang penulisan sejarah.

282 Rusdi Effendi Jika memang benar sekitar tahun 1850-an keluarga Muhammad Saleh setelah ia kaya menjabat sebagai Kepala Toa (Kepala Desa) dan telah melakukan upacara ritual tersebut, maka ia sezaman dengan masa pemerintahan Raja Pagatan Arung Abdul Rahim La Palebbi (1838-1855), namun ketika Lontara Kapitan La Mattone dibuat 2 Jumadil Awal 1285 Hijriyah atau 21 Agustus 1868, artinya delapanbelas tahun sesudah peristiwa upacara yang setiap tahunnya dilakukan oleh keluarga Muhammad Saleh, ternyata catatan Menteri La Mattone tidak ada menjelaskan kegiatan masyarakat dalam wilayah kerajaannya tentang adanya upacara Mappanretasi tersebut. Saat itu di kawasan Pagatan, Kusan dan Tanah Bumbu C. M. Schwaner yang ditugaskan pemerintah kolonial Belanda telah hadir meneliti dan bertualang sezaman dengan kegiatan upacara pemberian sesajen terhadap penguasa laut saat itu, karena C.M. Schwaner sejak tahun 1846 hingga tahun 1853 berada di Pagatan, Kusan dan Tanah Bumbu, namun C.M. Schwaner sama sekali dalam laporannya tidak menyentuh dan memberitakan tentang adanya upacara Mappanretasi yang dilakukan masyarakat nelayan dipesisir pantai Pagatan. Jika memang ada seremonial ritual upacara tersebut seperti sekarang ini sudah dapat dipastikan akan dilaporkan oleh C.M. Schwaner, paling tidak selama hampir delapan tahun lamanya ia disana, berarti telah dilakukan 8 kali upacara Mappanretasi. Kemungkinan besar diduga upacara Mappanretasi sejak tahun 1850–an dari prakiraan nara sumber yang menceritakan tentang versi Muhammad Saleh tersebut dilakukan hanya dilingkungan keluarga dan sekitar kampung nelayan saja, tanpa melibatkan pihak Kerajaan Pagatan. Hal inilah bagi peneliti - penulis sangat sulit untuk menentukan tahun pasti kapan dimulainya upacara adat Mappanretasi di Pagatan. Jadi, sejak tahun 1850 tersebut hanyalah prakiraan saja dimulainya upacara Mappanretasi berdasarkan tradisi lisan (oral tradition) masyarakat Bugis Pagatan bukan tahun kronologi sejarah.

Rusdi Effendi 283 3.Telaahan Rasional Tentang Tokoh Sawerigading Antara Mitologi dan Sejarah Menurut tulisan bebas di Wikipedia, bahwa Tokoh Sawerigading adalah nama seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawerigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung.68 Nama Sawerigading tersebut dikenal melalui cerita yang termuat dalam “Sureq Galigo” (Periksa edisi H. Kern 1939),69 dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu. Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan.70 Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu : pertama Versi Sulawesi Tenggara menyatakan 284 Rusdi Effendi sekitar abad ke-5 Masehi; kemudian tentang mengenai masa hidup Sawerigading terdapat pada versi kedua di Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850, atau masa hidupnya sekitar tahun 850 Masehi dan terakhir sebagai Versi Kelantan-Terengganu memperkirakan masa hidup Sawerigading sekitar tahun 710 Masehi (namun semua ini tetap berada pada koridor mitos atau legenda, sulit dibuktikan menurut kronologisya berdasarkan sumber sejarah). Sepertinya, versi Sulawesi Tenggara lebih dekat dengan versi yang dikemukakan oleh masyarakat Towani-Tolotang. Mereka menetapkan versi ini sebab menurut kepercayaan mereka Sawerigading sezaman dengan Nabi Muhammad SAW, bahkan pernah bertemu, namun tidak ada bukti tertulis yang mendukung pernyataan tersebut, karena isi ceritanya telah bercampur baur antara zaman pra Islam dengan zaman Islam di Sulawesi Selatan. Pada kitab sastra kuno yang berupa manuskrip Sureq Galigo diceritakan tentang perjalanan Sawerigading: “Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan saling jatuh cinta. Namun suratan menentukan yang lain, sebab dirantau Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. Sejak itu hatinya resah hingga pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri kebingungan. Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perawakannya sama benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Rusdi Effendi 285 Remmang ri Langi. Dengan mengatasi hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tengah laut dalam perjalanan menuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu: I La Galigo, I Tenridia dan Tenribalobo. Dari seorang selirnya I We Cimpau, Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru. Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa-dewa yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil. Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi. Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.” 71 Dipandang dari berbagai sudut, beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya tentang cerita Sawerigading. Fachruddin Ambo Enre, dalam disertasinya berjudul “Rintumpanna Welenrennge” 286 Rusdi Effendi (1993), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskah Sureq Galigo yaitu sebagai naskah mitos dan legenda, sebagai naskah sejarah dan sebagai karya sastra. Sebahagian berpendapat yang menyatakan sebagai mitos ataupun legenda cukup beralasan dalam ceritera tersebut terdapat ciri- ciri cerita yang berkaitan dengan mitos penciptaan oleh dewa di langit dengan mengirim anaknya Batara Guru dan We Nyilitimo ke bumi. Batara Gurulah yang menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau. Menyusul kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti: ubi, keladi, pisang, tebu dan lainnya. Kekuatan supernatural yang dimiliki para tokohnya, seperti naik ke langit, turun ke peretiwi, atau menyeberang ke maja (dunia roh), kemampuannya meredakan angin ribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan aspek budaya lainnya merupakan ciri- ciri cerita mitos yang umum. Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai legenda ataupun mitos didasarkan pada benda-benda alam yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading, misalnya di daerah Bulupoloe di dekat malili, dikatakan sebagai bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya Batu cadas di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora, daerah Mangkedek, Tana Toraja terdapat batu yang dianggap penjelmaan We Pinrakati, isteri Sawerigading yang meninggal dalam keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh. Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma menjadi batu. Gunung batu di daerah Bambapuang Enrekang, yang dari jauh nampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong Nekara yang terdapat di Selayar

Rusdi Effendi 287 dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula kepingan perahu yang terdapat di Bontote’ne dianggap perahu Sawerigading. Kitab sastra yang berupa manuskrip Sureq Galigo tersebut berasal dari abad ke-19, ketika Christian Peltras (2006) menerbitkan bukunya “The Bugis” 72 banyak menuai kritikan tentang cerita La Galigo tersebut, misalnya George Junus Aditjondro 73 mengkritisi tentang percampuran orang Luwu yang memiliki legenda tersebut dicampurkan etnisnya menjadi orang Bugis seperti dituliskan Christian Peltras dipaparkannya antara lain : “Sebagai seorang antropolog, Peltras tidak perlu memberikan penilaian baik atau buruknya aliran-aliran itu. Namun sebagai ilmuan, janganlah ia memungkiri kenyataan itu. Sebab tugas seorang ilmuan sosial, seperti yang dikemukakan oleh salah seorang nabinya Max Weber, adalah berusaha memahami (verstaben) gejala-gejala itu. Kelemahan yang lebih prinsif adalah pengaburan identitas To Luwu sebagai suku (kelompok etno-linguistik), dan bukan sebagai kelompok sub-etnis Bugis. Dalam bukunya Peltras berkali-kali merujukan ke Luwu’ sebagai suatu “kerajaan” atau “kedatuan Bugis” (hal. 43, 56, 58, 63, 101 , 106, 109,111-3, 136, 201, 203-8, 296), sebagai “pusat kebudayaan Bugis” (hal. 96), sebagai tempat “asal-usul stratifikasi sosial dalam masyarakat Bugis ” (hal.196-7), dan sebagai “sumber mitos asal-usul bangsawan dan kebudayaan Bugis” (hal. 198). Seizin dengan itu, La Galigo, “salah satu epos terbesar di dunia, dan lebih panjang dari epos Mahabarata” (hal. 37). “salah satu karya epos terpanjang di dunia” (hal. 224), yang ditulis antara tahun 1360-1470 dan mengambil sebagai titik pangkalnya daerah Luwu’, di klaim sebagai“ kesusasteraan Bugis ( hal .224 ,234 ) yang ditulis dalam “bahasa Bugis paling kuno” (hal.58, 236) dari “periode Bugis awal”, yang menggambarkan “kondisi sosio-kultural orang Bugis pada periode sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13 (hal.394-5).74 Dari buku Peltras (2006) tersebut terdapat sumber kitab La Galigo, kemudian dikritisi oleh George Junus Aditjondro merupakan salah satu

288 Rusdi Effendi epos terbesar di dunia, dan lebih panjang dari epos Mahabarata”. Karya sastra tersebut diperkirakan ditulis antara tahun 1360-1470 dan mengambil sebagai titik pangkalnya daerah Luwu’ sebagai “kesusastraan Bugis”. George Junus Aditjondro (2006) memaparkan, diantaranya: “Dalam kesimpulan buku (Bab 11), ia membicarakan tentang kemunculan “proto Bugis”, sepanjang melinieum pertama tarikh masehi, yang mungkin bisa disebut: Proto-Bugis-Luwu’–Makasar–Mandar- Ma’senrempulu - Toraja atau Proto-BLMMMT (hal 393). Dalam menuturkan dinamika Islamisasi di Sulawesi Selatan, Peltras mengakui Luwu’ dipercaya oleh penduduk di Sulawesi Selatan sebagai “pusat mitos” dan tempat “asal semua arung”, sehingga ”harus di Islam- kan dulu” (hal.160). Kalau begitu, dapatkah kita katakan Luwu’ merupakan kerajaan Bugis? Keyakinan Peltras bahwa Luwu’ dapat dianggap suatu etnisitas politik Bugis, dilemahkan oleh keterangannya sendiri dalan Catatan Kaki no.9 dihalaman 124 yang menyebutkan: ” Sebenarnya, pada mulanya kerajaan Luwu’ bukan kerajaan Bugis, melainkan kerajaan multi etnis, yang lama kelamaan, sebagai akibat proses perkawinan antar bangsawan tinggi se-Sulawesi Selatan, akhirnya dipimpin oleh elite yang mengaku Bugis. Dalam Sureq’ Galigo, tampak jelas bahwa penduduk Tanah Bugis tidak mengerti pembicaraan orang Luwu’ dan dalam sejarah Wajo, sekurang- kurangnya sampai abad ke-15, orang Luwu’ dan orang Bugis masih dibedakan”. Sesungguhnya , evolusi dari kebudayaan Proto-BLMMMT dulu ke kebudayaan Bugis sekarang, tidaklah selinier seperti digambarkan Peltras, dengan mengaburkan evolusi kultural orang Luwu’. Orang Luwu’ sendiri lebih cenderung menggambarkan nenek moyang mereka yang hidup di zaman Sawerigading, sebagai cikal-bakal suku-suku di Sulawesi Selatan, dan bukan sebagai sub-etnis Bugis. Mereka lebih suka menggambarkan diri mereka, To Luwu, sebagai sesama “keturunan “Sawerigading” atau Wija To Luwu’, bersama-sama orang Bugis, Makasar, dan Toraja, yang sama-sama berpegang pada filsafat hidup La Galigo.” 75

Rusdi Effendi 289 Dari paparan di atas terlepas pada persoalan redaksional dan makna dari buku Christian Peltras (2006) yang pada tahun itu juga telah dikritisi secara ilmiah oleh George Junus Aditjondro (2006) kita bisa menarik kesimpulan tentang tokoh “Sawerigading” terdapat dalam manuskrip Sureq La Galigo, yang ternyata berupa kitab kesusastraan orang Luwu’, namun pengaruh mitologi Luwu’ sangat kuat terhadap orang-orang Bugis, Makasar, Mandar, Ma’senrempulu dan juga terhadap orang Toraja, terutama mitos atau disebut epos dituliskan dalam “ bahasa Bugis paling kuno” antara tahun 1360-1470 dan mengambil sebagai titik pangkalnya daerah Luwu’, di klaim sebagai “kesusasteraan Bugis”, artinya jauh sebelum agama Islam masuk ke Kerajaan Wajo. Menyangkut mitos Sawerigading Susanto Zuhdi (2014) mengulas: “Tampaknya suatu kemunculan awal pelayaran-pelayaran dari Sulawesi di kepulauan ini barulah sesudah jatuhnya Sriwijaya. Lalu apakah anggapan telah berabad-abad aktivitas orang Bugis di dunia maritim disebabkan pengaruh bacaan atau pengetahuan orang akan mitos Sawerigading dalam epos La Galigo. Dalam mahakarya sastra itu diungkapkan suatu wilayah yang mencakupi dunia pelayaran yang luas termasuk Sriwijaya. Sebagai epos adalah wajar kalau La Galigo mengisahkan hal secara berlebihan, misalnya menyebut perahu tokoh utama sebagai Wakka Tana (“perahu sebesar daratan”). Penggambaran simbolis bahwa kapal raja mewakili seluruh kekuasaan yang ditaklukan sang tokoh selama pelayarannya. Bahwa kemaritiman Bugis (Wajo) baru tampak bekembang dalam abad ke-18, tidak mengurangi apresiasi terhadap peran Bugis dalam sejarah kelautan. Justru terlihat kemauan untuk berubah pada diri orang Bugis dalam menjawab tantangan zaman. Dalam talian ini, orang Bugis telah membuat sejarah baru, yakni semakin berkembang kemampuan dalam bidang pelayaran dengan segi–segi teknologi dan sarana pendukungnya.”76 Memang sebenarnya ada perahu besar yang bernama jong, semula cerita kapal ajaib yang dibuat di Cina Selatan. Tetapi perahu Bugis 290 Rusdi Effendi tidak sebesar itu.77 Peta pelayaan yang digambarkan La Galigo, dengan menyebut Sunra dan Jawa sama dengan Jawa dan Sunda dalam pengertian sekarang telah kacau. Menurut Peltras perlu dengan empat makna, yang salah satu maknanya berkaitan dengan pembicaraan ini adalah: Jawa berarti “tanah sabrang di Nusantara bagian barat”, yang meliputi Pulau Jawa sekarang. Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan Barat. Adapun kata Malaju (Melayu) dikaitkan dengan tiga kerajaan Patani, Melaka, dan Marangkabo (Minangkabau). Dalam pembabakan masa ini Peltras menyebutnya sebagai masa La Galigo, masa pra-sejarah. Untuk melihat nilai budaya dan seberapa besar sebagai sumber motivasi dari petualangan Sawerigading dalam epos La Galigo, kembali Susanto Zuhdi (2014) memaparkan : “Epos La Galigo merupakan salah satu sumber nilai budaya manusia Bugis, terutama kisah-kisah pengembaraan dan kepahlawanan Sawerigading. La Galigo menggambarkan betapa luasnya dunia pengaruh Bugis di Nusantara. Melalui pengembaraan Sawerigading dapat dipetakan bagian-bagian dari dunia imajinasi kedalam geo-historis (Zuhdi,2003), Kekacauan nama dan tempat dalam La Galigo seperti dikemukakan Peltras harus dicermati terutama dengan metode mengungkap makna dan simbol. Dari sumber La Galigo ada dua nilai yang melekat pada perantauan Bugis, disadari atau tidak, yaitu jiwa perantauan dan kepahlawanan atau keberanian. Saluran yang memudahkan orang Bugis berhasil di negeri rantau melalui ikatan perkawinan dan kemampuan dalam “berdiplomasi”, sehingga dapat berperan menjadi pemimpin lokal dalam pemerintahan setempat.”78 Susanto Zuhdi (2014) memaparkan tentang latar belakang dan motivasi suksesnya orang Bugis di perantauan dijelaskan diantaranya : “Apa sesungguhnya yang melatar belakangi atau mendorong suksesnya orang Bugis dalam perantauan. Pertanyaan itu bisa dijawab dengan mengacu pada nilai budaya orang Bugis. Salah satu nilai budaya yang terkait dengan jiwa bahari adalah yang disebut ini “Takunjungaq ‘bangung turu//Nakugunciriq’ gulingku // Rusdi Effendi 291 Kulleangua // Tallanga natoalia. Arti harfiah : “Saya tidak begitu saja mengikuti akan arah angin // Tidak begitu saja memutar akan kemudi saya// Saya lebih suka// tenggelam daripada kembali. Kalau syair ini disadur secara bebas, maka dapat dibaca “Kalau layar sudah terbentang// Kalau kemudi sudah terpasang// Dalam mengarungi samudera lepas// Meski dihempas ombak dan gelombang// Meski diserang badai dan topan// biarkan itu kemudi patah//Biarkan itu layar robek// Lebih baik tenggelam// Berpantang membalik haluan pulang. (M. Ide Said D.M.:50-51). Selain itu, terdapat nilai utama, yaitu kejujuran (alempureng), kecendikiaan (amaccang), kepatutan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan rasa malu (siri’) (Rahim,1992:100).“79 Satu hal yang perlu dipahami, bahwa betapa kuatnya kepercayaan diri orang-orang disekitar Luwu’ mendapat pengaruh kuat mitologi tokoh “Sawerigading” dalam kehidupannya, karena semua cerita berbentuk epos tersebut menjadi pegangan filsafat hidup bukan saja pada orang Luwu’, tetapi juga menjadi pegangan filsafat hidup bagi orang-orang Bugis pra- Islam, termasuk orang Bugis Pagatan yang sebelumnya tinggal di kampung Kampere–Kerajaan Wajo di Sulawesi Selatan. Hal lain yang harus dipahami juga menyangkut religi asli orang- orang yang tinggal di Sulawesi Selatan pra-Islam, artinya sebelum agama Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan telah berkembang religi asli di lingkungan tempat tinggal mereka. Di Jawa misalnya pengaruh Hindu– Budha cukup kuat dan kepercayaan animisme dan ainamisme di luar Pulau Jawa, bahkan di negeri Bugis-Makasar, khususnya di negeri Wajo (Bugis) pada waktu itu telah dikenal apa yang disebut Dewata SewuE (Tuhan Yang Satu atau Monotisme) yang ditokohi oleh Karaeng Matowa Wajo.80 Mengenai masuknya agama Islam di Wajo disimpulkan Akin Duli (2012) intinya Kota Tosora menurut kronik Lontara disebutkan sebagai pusat kerajaan Wajo di masa lampau. Pusat Kerajaan Wajo diperkirakan berpindah dari Cinnottabi ke Tosora pada awal masuknya agama Islam di Wajo. Sumber sejarah menunjukkan bahwa agama Islam resmi sebagai agama 292 Rusdi Effendi Kerajaan Wajo ketika Arung Matowa Wajo XII La Sangkuru Patau Mulajaji memeluk agama Islam pada tahun 1610 dengan gelar Sultan Abdurrahman. Versi lain menyatakan agama Islam masuk ke Tosora dibawa oleh Jamaluddin al-Akbar al-Husaini pada tahun 1320 Masehi. Kemudian Mesjid Raya pertamakali dibangun pada tahun 1612 oleh Arung Matowa Wajo XV La Pakallongi To Allinrungi. 81 Jika dihubungkan dengan tahun masuknya agama Islam di Kerajaan Wajo Sulawesi selatan sekitar tahun 1610, apabila dikaitkan dengan kedatangan Puanna Dekke tahun 1733 dan mendapatkan izin tanah pinjaman di bagian hilir Sungai Kusan dari Kesultanan Banjar yang saat itu memerintah adalah Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734), maka usia agama Islam yang sudah melekat pada diri orang-orang Bugis asal Wajo kampung Kampere dalam rombongan Puanna Dekke sudah berusia sekitar 123 tahun lamanya mereka menganut agama Islam. Kuatnya filsafat La Galigo dengan kultus tokoh Sawerigading tetap melekat hingga kini. Menandakan kuatnya kepercayaan terhadap tokoh tersebut bagi sebahagian orang-orang Bugis di Pagatan saat ini. Begitulahdinamika budaya lama berpadu dengan Islam yang unik di daerah Pedalaman dan pesisir pantai di Kalimantan Selatan bagian Tenggara.

V. SIMPULAN Jauh sebelum kedatangan Puanna Dekke dengan rombongan imigran Bugis dari Wajo Sulawesi Selatan ke daerah Kusan Hilir atau Pagatan, wilayah tersebut merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Banjar. Pada masa pemerintahan Sultan Inayatullah atau Ratu Agung (1620-1637) daerah tersebut dimasukan ke dalam wilayah kesultanan Banjar. Tahun 1733 Puanna Dekke beserta rombongan mendapatkan izin Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734) untuk bermukim di hilir Sungai Kusan dengan sebutan Pagatan yang izinnya berlanjut sampai masa pemerintahan Sultan Tamdjidullah (1734- 1759) hingga sultan-sultan Banjar berikutnya. Rusdi Effendi 293 Menurut catatan laporan perjalanan Van Der Aa (1847), Pieter Johannes Veth (1869), C.M. Schwaner (1846 - 1853), J. Eisenberger, hanya C. Nagtegaal (1939) daerah Pagatan adalah wilayah hutan belantara yang dibangun pada tahun 1755 oleh pedagang dan keturunan bangsawan Bugis dari wilayah Wadjo (Zuid West Celebes) bernama Poewana Deka. Dalam Lontara Kapitan La Mattone di Pagatan, Kapitan La Mattone adalah Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan. Intinya, Pagatan dibuka Puanna Dekke pedagang dari Tanah Bugis-Wajo.” Dengan demikian, daerah Pagatan dibuka oleh rombongan orang Bugis dari Wajo Sulawesi Selatan dibawah pimpinan Puanna Dekke seizin Sultan Banjar Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734). Kerajaan Pagatan merupakan kerajaan vazal kesultanan Banjar di kawasan Tenggara Kalimantan Selatan dipertengahan abad ke-18 yang meletakkan dasar perekonomiannya dengan pola agraris-pertanian, kemudian mengembangkan pola negara maritim yang menekankan pelayaran dan perdagangan, serta memanfaatkan hasil laut. Barang-barang yang diekspor meliputi sarang burung, kayu gaharu, kapas, kelapa, minyak, tembakau, gula aren, telur, pisang, sirih, lilin, cadik perahu, perahu, buah- buahan, sarung tenun, katun, tanduk rusa, tembikar, kerajinan rotan, tikar, sirap, kayu ulin, berbagai jenis kayu, bambu, ikan, sagu, indigo, kerbau, kambing, ayam dan itik. Jenis komoditas impornya adalah garam, gambir, asam dan bawang, tembikar, porselin, kerajinan dari bahan logam (besi, tembaga dan timah), peralatan tenun, kerajinan kertas, gadung dan katun. Hasil alam rotan dan lilin merupakan komoditas utama. Perdagangan Pagatan terdiri dari produk asing karena tanahnya tidak menghasilkan produk sendiri. Barang dagangan terpenting terdiri atas sarang burung, kerang, lilin, tripang, intan, emas, candu, rotan, minyak, gula, kain, tembakau, gambir, garam, kerbau, beras dan kelapa. Pertanian, pembuatan gula aren, perikanan, pembukaan kebun buah, tenun sarung, penggalian intan dan sebagainya menjadi mata pencaharian kalangan rakyat.

294 Rusdi Effendi Penghasilan Kerajaan Pagatan terdiri atas cukai yang harus dibayarkan oleh perahu yang keluar dan masuk, dan biasanya berjumlah seperduapuluh dari nilai muatan. Dari uang ini, raja menerima separuh; separuh lainnya dibagi antara Pua Adu (Perdana Menteri) dan dua pertiga dan Imam sepertiga (perahu-perahu yang datang tidak membayar cukai. Di Pagatan hanya ada cukai eksport yang dipungut, merupakan tarif tetap. Penghasilannya hanya disetorkan kepada raja atau Arung. Imam menerima 1/10 dari jumlah padi keluarga yang mencapai 600 gantang atau lebih sebagai hasil panen. Pua Adu memperoleh penghasilan terbesar dari perahu-perahu yang mengangkut makanan dan dari andil ruang kapal diatas perahu-perahu yang termasuk berasal dari Pagatan. Masyarakat Bugis Pagatan, khususnya di kalangan kelas bawah atau warga nelayan Bugis di Pagatan yang secara historis dimulai dengan komunitas pemukiman nelayan di Kampung Pejala di daerah Kusan Hilir adalah perkampungan para nelayan penangkap ikan laut dan binatang laut lainnya yang bernilai ekonomis. Kehidupan para nelayan sangat menghormati laut sebagai sumber utama penghasilan mereka. Diperkirakan Kampung Pejala sudah ada sejak pembukaan daerah Pagatan oleh Puanna Dekke antara tahun 1733 sampai tahun 1750-an. Apabila berakhir musim tangkapan ikan dan kebutuhan ekonomi keluarga tercukupi, mereka melakukan upacara ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT), atas rezeki yang telah diberikan-Nya, kemudian memberikan sesajen untuk menghormati “Penguasa Laut” yang dilakukan dalam keluarga dengan upacara kecil Mappanretasi (acara syukuran di laut) dalam artian pada kepercayaan tradisional masyarakat maritim di pesisir pantai Pagatan yang merupakan bagian budaya lokal. Upacara Mappanretasi merupakan ungkapan yang diaplikasikan warga nelayan Suku Bugis Pagatan dengan “Rasa Syukur” kepada Allah SWT atas rezeki dalam satu musim dari hasil laut berupa ikan yang dapat memberikan kesejahteraan.

Rusdi Effendi 295 Istilah Mappanretasi berasal dari bahasa Bugis “Mappanre ritasi’e yang berarti “Mappanre” (acara syukuran) dan “Massorong ritasi’e” (menyuguhkan berbagai makanan) di laut atau pesta laut yang terkenal menjadi Pesta Laut Mappanretasi atau Pesta Adat Mappanretasi. Mappanretasi dilakukan para nelayan Bugis Pagatan setelah musim ikan dan hasil laut sebagai acara syukuran dengan menyuguhkan berbagai makanan di laut sebagai syukuran atas rezeki yang diberikan Allah SWT. Sumber sejarah menunjukkan bahwa agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Wajo ketika Arung Matowa Wajo XII La Sangkuru Patau Mulajaji memeluk agama Islam pada tahun 1610 dengan gelar Sultan Abdurrahman. Ketika rombongan Puanna Dekke melakukan penghijrahan ke hilir Sungai Kusan agama Islam menajdi anutan orang Bugis Pagatan. Sekalipun demikian, nuansa mistis dan religi lama orang Bugis Wajo asal kampong Kampere masih melekad dalam upacara Mappanretasi. Tata cara tradisional Mappanretasi bagi orang Bugis Pagatan masih kental dengan kepercayaan lama sebagai penghormatan terhadap tokoh Sawerigading dalam epos ceritera La Galigo dan disatu sisi dengan kepercayaan lokal versi Muhammad Saleh dengan pengormatan terhadap laut akan kepercayaan terhadap ketokohan Nabi Khaidir. Pergeseran ritual bernuansa mistis mulai dikurangi berganti dengan tatanan budaya yang mengarah kepada pariwisata yang dikelola secara profesional oleh Lembaga Adat Ade Ogie Pagatan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu yang digelar setiap tahunnya pada minggu keempat di bulan April. Sejarah kerajaan dengan upacara adat Mappanretasi merupakan kekayaan buadaya lokal berbasis kearidan lokal. Kearifan lokal Mappanretasi dilestarikan sebagai event budaya dan kepariwisataan berbasis kearifan lokal sebagai sumber pembelajaran IPS.

296 Rusdi Effendi CATATAN KAKI: 1. Rafiudin Afkari Hj. Abdul Fattah, Mikdar Rusdi, Md. Akbal Abdullah, Penghijrahan Masyarakat Bugis ke Alam Melayu, Kajian Kes Bugis di Indragiri Hilir,”Makalah disampaikan pada Semi- nar Serumpun Melayu V, (Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin Makasar Indonesia dengan Universiti Kebangsaan Malaysia, Makasar, 8-9 Juni 2011), hal.2. 2. Soehartoko, “Merantau Bagi Orang Wajo” Makasar, Ringkasan Penelitian, (Makasar,Pusat Latihan penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1971), hal 27. Istilah ‘Pasompe’, adalah proses pemindahan penduduk Wajo ke luar Sulawesi selatan dengan tujuan merantau, mencari pengalaman hidup dan kehidupan baru di daerah lain dengan berlayar. 3. Lihat Christian Peltras, The Bugis, (Oxford,Blackwell Publisher, 1996), hal. 321. Dikawasan Borneo (Kalimantan) penduduk Bugis di Borneo seperti di Pontianak, Mampawa, di Pulau Laut, Pagatan, Pasir, Kutai (Samarinda), Bolongan dan Gunung Tabur. 4. Pada tahun 1840-an, James Brooke pernah berkunjung ke tanah Bugis dan menyaksikan keadaan yang terlalu kacau, sehingga dia mencari tempat lain untuk mendirikan kerajaan sendiri. Akhirnya ia pergi ke Sarawak dan mendirikan dinastinya disana. Lihat James Brooke, A Narrative of event in Borneo and Celebes down to the accupation of Labuan, dlm R. Mundy (ed), London J Murray. 5. Rafiudin Afkari Hj. Abdul Fattah, Mikdar Rusdi, Md. Akbal Abdullah, Op,cit, hal. 6. Paparan pergolakan antara kerajaan Makasar dan Bone Bugis adalah salah satu contoh perang saudara di Sulawesi, lebih lanjut dapat dilihat Abdul Razak Daeng Patunru, Et,al., Sejarah Bone, (Ujung Pandang, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara,1993). Untuk membanding paparan diatas lihat Andi Muhammad Ali, Bone Selayang Pandang, (Watampone, Depdikbud, 1986. 6. Ibid. 7. Marwati Djoened Poesponegero, Nugroho Notosusanto, Jilid III,(Jakarta, Depdikbud, PN Balai Pustaka, 1984). hlm. 78-79. Diambil dari sumber F.W. Stapel, Het Bongaaisch Verdrag, J.B. Wolters Um Groningen,den Haag, 1922 , hal 9. 8. Ibid. hlm.91-92 9. Rafiudin Afkari Hj. Abdul Fattah, Mikdar Rusdi, Md. Akbal Abdullah, Op,cit, hlm. 6, dimana dalam makalah Rafiudin Afkari Hj. Abdul Fatah dkk. mengutip pendapat Leonard Andaya dalam bukunya : Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, (terjemahan) Nurhady Srimorok, (Makasar, Ininmawa, 2004),hal 4. 10. Lihat: Akin Duli, Kajian Terhadap Peninggalan Budaya Awal Kejayaan Islam di Tosora- Wajo, Abad XVII – XVIII, Jurnal “Al-Fikr” Volume 16 Nomor 3 Tahun 2012,(Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Hasanuddin (UNHAS), 2012), hlm. 156-168. Intinya Kota Tosora menurut kronik Lontara disebutkan sebagai pusat kerajaan Wajo di masa lampau. Pusat Kerajaan Wajo diperkirakan berpindah dari Cinnottabi ke Tosora pada awal masuknya agama Islam di Wajo. Sumber sejarah menunjukkan bahwa agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Wajo ketika Arung Matowa Wajo XII La Sangkuru Patau Mulajaji memeluk agama Islam pada tahun 1610 dengan gelar Sultan Abdurrahman. Versi lain menyatakan agama Islam masuk ke Tosora dibawa oleh Jamaluddin al-Akbar al-Husaini pada tahun Rusdi Effendi 297 1320 Masehi. Kemudian Mesjid Raya pertamakali dibangun pada tahun 1612 oleh Arung Matowa Wajo XV La Pakallongi To Allinrungi. (lihat hal, 158). 11. Rafiudin Afkari Hj. Abdul Fattah, Mikdar Rusdi, Md. Akbal Abdullah, Op,cit, hal. 7, untuk memperjelaspaparan tersbut bisa dilihat dari Suraya Sintang, Sejarah dan Budaya Bugis di Tawau, Sabah Universiti Malaysia, (Sabah, Universiti Malaysia,2007), hal. 48. 12. Abdurrahman Hakim, et,al, Sejarah Kotabaru, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru, (Bandung, Penerbit Rekaya Sains,2009) hal.62-63. 13. A.S. Assegaf, Sejarah Kerajaan Sadurangas Atau Kesultanan Pasir, (Tanah Grogot, Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Pasir,Tanpa tahun) hal. 77-79. Pada hasil penelitian Hariyadi, Rusdi Effendi, Wisno Subroto, Et,al, 2005, “Sejarah Masyarakat Paser di Tanah Pasir”, berkesimpulan bahwa, sebelum berganti nama menjadi Kesultanan Pasir kerajaan ini bernama Kerajaan Sadurangas, Setelah perkawinan Puteri Petung dan Abu Mansyur Indra Jaya tahun 1530 Masehi kerajaan ini berjalan dengan tata cara Islam. Tahun 1530 Masehi tersebut dipakai sebagai patokan agama Islam masuk diwilayah Kerajaan Pasir, atau empat tahun lebih kebelakang jika dibandingkan dengan Banjarmasin 24 September 1526, hal yang dianggap sama adalah Penghulu yang meng-Islamkan Puteri Petung saat kawin dengan Abu Mansyur Indra Jaya adalah sama dengan di Banjarmasin yakni Khatib Dayyan. (Khatib Dayyan Sesudah meng-Islam Banjarmasin diduga terus ke Pasir). Kemudian setelah perkawinan Puteri Petung dengan Abu Mansyur Indra Jaya, dimana sebuah perkawinan antara Pembesar lokal Puteri Petung yang berasal dari Pasir dengan Abu Mansyur Indra Jaya dari Jawa (Giri). Percampuran adat-istiadat inilah yang membuat nuansa baru dalam sislsilah Raja-Raja Paser di Kerajaan Pasir. Pada masa pemerintahan Aji Geger Bin Aji Anom Singa Maulana dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alamsyah (1703-1738) atau dikenal dengan Aji Geger inilah nama kerajaan Sadurangas diganti dengan nama Kesultanan Pasir. (lihat kembali A.S. Assegaff, hal 79-80). 14. Keterkaitan Kesultanan Pasir dengan Kerajaan Banjar adalah ketika masa pemerintahan sebelumnya saat Aji Anom Singa Maulana (1664-1667) di Kesultanan Pasir, keraton Libur Dinding diserang dan diduduki pasukan Tanah Dusun. Setelah utusan Imam Mampawa Sayyid Abdurrahman menghadap Sultan Banjar diperkirakan saat Sultan Surianata (1663- 1679), gabungan pasukan Banjar dikirim bersama Pasukan Kesultanan Pasir berhasil mengusir pasukan Tanah Dusun. Sejak itulah Kesultanan Pasir mengakui dan tunduk kepada Kesultanan Banjar (lihat Hariyadi,et,al, hal 61-62). Demikian dengan Pangeran Mangu (1700-1740) Raja di Tanah Bumbu, ia anak Pangeran Dipati Tuha atau Raden Basu (1660-1700) adalah kerajaan bawahan Kesultanan Banjar, sebelumnya ayahnya Pangeran Dipati Tuha (Raden Basu) dikirim kakaknya Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663) untuk mengamankan wilayah tersebut dari pendatang asing dan menjadi Raja Tanah Bumbu I. 15. Goh Yoon Fong, Perdagangan dan Politik Banjarmasin 1700-1747, Judul asli “ Trade and Politics in Banjarmasin 1700-1747”, Penterjemah: Ika Diyah Candra, Editor: Wisno Subroto, Cetakan I, Mei 2013, (Yogyakarta, Penerbit Lilin, 2013), hal.22. Dalam buku terbaru Goh Yoon Fong (2013) ini lebih banyak menggunakan sumber arsip-arsip Barat. Wilayah- wilayah tersebut diatas diangkat Goh Yoon Fong dari sumber : A.A. Cense, De Kroniek

298 Rusdi Effendi van Bandjarmasin, (Santport, 1928), hlm. 54. 16. Faisal Batennie, Kerajaan Tanah Bumbu dan Pulau Laut, sub Kerajaan Pagatan, dapat dilihat pada situs : http ://faisalbatennie.blogspot.com/2010/07/ kerajaan-di-tanah-bumbu.html. lihat Hal. 3. 17. Ibid. 18 Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734) dikenal orang yang bijak, sebelumnya ia juga seorang sultan yang memperhatikan pendidikan agama Islam, dimana Syekh Mohammad Arsyad al Banjari (1710-1812) berhasil belajar memperdalam pengetahuan agama Islam ke Mekkah selama 30 tahun adalah atas jasa Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning, dimana beliau sebelumnya mengangkatnya sebagai anak angkat, karena kecerdasan dan budi pekerti yang baik, beliau disekolahkan ke Mekkah dengan biaya Sultan Hamidullah. Semasa menjalani pendidikan di Mekkah Syekh Mohammad Arsyad al Banjari berteman dengan Syekh Abdus Samad Palembang, Abdul Wahab Bugis dan Abdurrahman Masri dari Betawi. Lihat A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam sejarah, (Banjarmasin, Lambung Mangkurat University Press,1989), hlm. 56. 19 Lihat Mattulada, “The spread of the Buginese in Southeast Asia” (makalah) dipresentasikan pada National Seminar on Southeast Asia, Yogyakarta, 3-4 Mei, 1978), hlm.1. Mengenai perahu perahu yang digunakan oleh pengembara Bugis serta pembuatannya secara lebih lengkapnya lihat Horst H. Liebner, “Tradisi Kebaharian di Sulawesi Selatan: Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran”, dalam Heather Sutherland, et.al. (ed), Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm.78-81 20. Kathryn Gray Anderson, “The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora” (Disertasi : University of Hawaii, Agustus 2003), hlm. 140-141. 21. Naskah lotr sukun wjo (Lontara Sukku’na Wajo) atau LSW) ditulis oleh La Sangaji Puanna La Sengngeng, ‘Arung Bettempola Wajo' (1764-1767), lihat Andi Zainal Abidin, “The Emer- gence Of Early Kingdoms In South Sulawesi, A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century”, dalam Southeast Asian Studies, Vol. 20, No.4, March 1983, hlm.476. 22. La Madukelleng adalah Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 109/TK/1998, 6 Nopember 1998. 23. Naskah Lontara Sukku’na Wajo (LSW), hlm. 3. 24. Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, tahun 1730-1732. La Maddukkelleng, mempunyai tiga putera, yang kemudian berkeluarga dengan raja-raja di Kalimantan Timur. Ketiga anaknya ialah, Petta To Sibengngareng, Petta To Rawe (Arung Turawe), serta Petta To Siangka. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris). Naskah Lontara Sukku’na Wajo (LSW), hlm.3. Mengenai La Madukelling menjadi Raja Pasir (1726-1736) harus di cek kembali kebenarannya perlu dibandingkan dengan penelitian Hariyadi, Rusdi Effendi, Wisno Subroto, Et,al (2005) dan perlu ditinjau kembali kebenarannya dengan A.S. Assegaff, (tanpa tahun), karena dalam A.S. Assegaff masa pemerintahan Aji Geger Bin Aji Anom Singa Maulana Gelar Sultan Aji Muhammad Alamsyah

Rusdi Effendi 299 (1703-1738).Lihat hal. 77-87. Apabila La Madukelling menjadi Raja Pasir (1726-1736) maka akan terjadi kontradiksi dengan masa pemerintahan Aji Geger (1703-1738). Keterangan Naskah Lontara Sukku’na Wajo (LSW) hal. 3 perlu diuji kebenarannya dibandingkan dengan sumber-sumber sejarah Pasir. 25. C. Nagtegaal, De voormalige Zelfbesture en Gouvernements Landschappen In Zuid-Oost Borneo (Utrecht: N.V.A. Oosthoek’s Uitgevers-Maatschappij, 1939), hlm. 80. Keterangan : C. Nagtegaal pernah bertugas sebagai pegawai distrik pemerintah Hindia Belanda (Kontroler) yang pernah di tempatkan di Pelaihari tahun 1936 dan di Pulau Laut dan Tanah Bumbu tahun 1938, diambil dari sumber : Memories van Overgave (MvO) oleh Asisten Residen dan Kontroler (Pegawai Distrik) di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ARA, Kol.1901-63 MvO KIT. Dalam daftar tersebut terdapat Nama J. Eisenberger juga bertugas di Marabahan tahun 1936, Semua catatan Residen dan Asisten Residen, serta Kontroler (pegawai distrik) dalam zaman Kolonial Belanda di Kalimantan Tmur dan Kalimantan Selatan terdapat dalam buku J. Thomas Lindblad, Peter E.F. Verhagen, Antara Dayak dan Belanda, Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880 – 1942, Terjemahan Ika Diyah Candra dari judul buku aslinya Between Dayak an Dutch : The Economic History of Southeast Kalimantan 1880-1942,(1988), Editor Wisno Subroto dkk. (Sawojajar-Malang Lilin Persada Press & Kebayoran Baru, Jakarta KITLV-Jakarta, 2012). hlm. 242-243. Menurut C. Nagtegaal, daerah Pagatan adalah wilayah hutan belantara yang dibangun pada tahun 1755 oleh seorang pedagang dan keturunan bangsawan Bugis dari wilayah Wadjo (Zuid West Celebes) bernama Poewana Deka, atas izin Sultan Banjar Panembahan Kaharuddin Haliullah, maka tahun tersebut tidak cocok dengan kronologi Silsilah Raja-Raja Banjar versi M. Idwar Saleh (1958) mengenai masa pemerintahan Panembahan Kaharuddin Haliloellah (1761-1762), kemudian jika dirujuk ke versi J. Eisenberger (1936),”Kronike van Zuider en Ooster Afdeling van Borneo” semakin kabur, sebab dalam Silsilah Raja-Raja Banjar versi J. Eisenberger tidak ada nama Panembahan Kaharuddin Haliullah. Tetapi jika ditujukan tahun 1755 daerah Pagatan dibangun Puanna Dekke, maka saat masa pemerintahan Sultan Tamdjidullah (1734- 1759), maka sangat sesuai dengan Silsilah Raja-Raja Banjar versi M. Idwar Saleh). 26. Van der Aa, “Pagatan of Pagattan”, Aardrijkskundig Woordenboek der Nederlanden (te Gorinchem, bij Jacobus Noorduyn, 1847), hlm. 17. Tidak menunjukkan nama tokoh pendiri Kerajaan Pagatan. 27. Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 637. Sekoembang (Nama asli Segumbang). 28. C.M. Schwaner, (1853), Historische, Geographische en Statistieke Aanteekeningen Betreeffende Tanah Boembo” (Sumber:TBG, Tahun 1853, Jilid I, ANRI, diterjemahkan Wisno Subroto SS, et,al, 2012, hlm. 358. Sumber asli : C.M. Schwaner, Historische, Geographische en Statistieke Aanteekeningen Betreeffende Tanah Boembo, dalam : Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Tijdschrift voor Indische taalland, en volkenkunde, Jilid 1, Batavia, Lange & Co., 1853. P. 336-371. 29. SKH. Radar Banjar, Menelusuri Sejarah Masyarakat Bugis Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, Kamis 26 Agustus 2010, Dapat dilihat pada Situs : http : // www. Radarbanjarmasin

300 Rusdi Effendi .co.id/index.php/berita/59/4742. Diunduh 25 Nopember 2011, jam 22,23 Wita. 30. Nama Poewana Deka adalah penulisan versi Nagtegaal, sedangkan Puanna Dekke’ adalah penulisan versi naskah lokal lotr kpit l mtoen (Lontara Kapitan La Mattone), yang ditulis La Mattone, Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan tanggal 21 Agustus 1868. Lontara ini sekarang dikoleksi Lembaga Ade Ogi Pagatan di Kecamatan Kusan Hilir, Tanah Bumbu. 31. Naskah Lontara Kapitan La Mattone, hlm. 2. 32. Faisal Batennie, Kerajaan Tanah Bumbu dan Pulau Laut, dapat dilihat pada situs http : // mappanretasi . com / v 2014 / index.php/profile/117-kerajaan-tanah-bumbu-dan-pulau- laut, hlm. 4-5. 33. Kathryn Gray Anderson, Loc.cit., hlm.159. 34. Lihat H.C. Klinkert, “Surat dari Seri Paduka Sultan Banjar Kepada Tuan Blom”, dalam Bloemlezing uit de Maleische Geschriften, Ten Behoeve van de Gouvernement Inlandsche Scholen en van hen, die het Maleisch met Latijnsch Karakter Behoevenen, Derde Druk (Leiden: E.J. Brill, 1913), hlm.261-262. 35. Ibid. 36. Susanto Zuhdi, mengutipkan pendapat A. B. Lapian (1996), dalam “Perspektif Tanah Air Dalam Sejarah Indonesia” Pada pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 25 Maret 2006. Lihat Susanto Zuhdi, Nasionalisme, Laut, dan Sejarah, (Depok, Komunitas Bambu, 2014), hlm. 71. 37. Ibid. Dengan karakteristik kemaritiman yang sangat menonjol, menjadikan pulau-pulau memiliki sejarah yang dengan tegas sebagai Sejarah Tanah Air.Lihat A.B.Lapian “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, 1992, dalam Susanto Zuhdi, 2014, 38. Lihat : Richard W. Turk, “The Ambiguous Relationship: Theodore Roosevelt and Alfred Thayer Mahan”(Greenwood Press, 1987). 183 pgs. hlm. 10. Lihat juga : Larrie D. Ferreiro 'Mahan and the "English Club” of Lima, Peru: The Genesis of The Influence of Sea Power upon History', The Journal of Military History – (Volume 72, Number 3, July 2008),hlm. 901-906. Bandingkan dengan Robert Seager , Alfred Thayer Mahan: The Man and his Letters". Annapolis, (Maryland: Naval Institute Press. 1977) hlm. 360. Karya Mahan dipengaruhi doktrin setiap angkatan laut utama di masa antar-perang; Pengaruh Kekuatan laut Setelah Sejarah, 1660-1783 diterjemahkan ke Bahasa Jepang dan digunakan sebagai buku teks di Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN). Hal ini sangat memengaruhi IJN pada Perang Pasifik. 39. A.A. Cense dan H.J. Heeren, Pelayaran dan Pengaruh Kebudayaan Makasar-Bugis di Pantai Utara Australia, (Jakarta, Bharata, 1972), hlm. 10,32, 28-31,44-45. 40. Susanto Zuhdi, (2014), Op.cit, hlm. 92, lihat Makalah beliau berjudul ”Kemaritiman dan Migrasi Orang Bugis” pada Seminar Internasional “Peran Bugis Dalam pengembangan Alam Melayu Raya”, Pusat Tamdun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Jakarta 10-11 Juni, 2008. 41 Christian Peltras, The Bugis, (Oxford, Blackwell,1996), diterjemahkan dengan judul “Manusia Bugis”, oleh Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok, (Jakarta,

Rusdi Effendi 301 Nalar, 2006),hlm. 4. 42. Ibid. hlm.3-4. 43. Eymal B. Demmallino, M. Saleh S. Ali, Abd. Qadir Gassing, Munsi Lampe, Sufisme dan Perilaku Ekonomi Masyarakat Maritim (Studi Kasus Pada Komunitas Pakkaja di Sulawesi Selatan), Jurnal Agrisistem,ISSN 2089-0036, ( Desember 2011), hlm. 98-99. 44. Ibid. Silakan lihat buku A. Hamid, Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, (Makasar, Pustaka Refleksi, 2005). 45. Bambang Subiyakto, “Penyelundupan dan perdagangan Gelap di Wilayah Perairan Kalimantan Selatan Pada Abad XIX (Bahan Ajar Muatan Lokal)”, Vidya Karya Tahun XXI, No.1, April 2003), hlm.96. Lihat juga Van der Ven, “Aanteekeningen om thent het rijk Bandjermasin”, Tijdschrift voor Indische taal land en volkenkunde, Deel 9 (Batavia: Lange & Co,tt), hlm.80. 46. Solomon Muller, “Reis door een gedeelte der Sultans en zoogenaamde Lawut landen, ten oosten en zuidoosten van de hoofdlaats Bandjermasin”, Reizen en Onderzoekingen in den Indischen Archipel, gedaan op last der Nederlansche Indische Regering, Tusschen de Jaren 1828 en 1836, Eerste Deel (Amsterdam: Frederik Muller, 1857), hlm.308. Mengenai keberadaan Kampung Baru Pagatan dan Sungai Pagatan pada awal abad ke-19, lihat Solomon Muller, “Reis in Het Zuidelijk Gedeelte van Borneo, Gedaan in Het Jaar 1836” Reizen in Onderzoekingen in den Indischen Archivel, Eerste Deel (Amsterdam: Frederik Muller, 1857), hlm. 301. 47. Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 637. 48. Ibid. 49. C.M. Schwaner, (1853), Loc.cit, hlm.358. lihat kembali sumber C.M. Schwaner, Historische, Geographische en Statistieke Aanteekeningen Betreeffende Tanah Boembo” (Sumber:TBG, Tahun 1853, Jilid I, ANRI, diterjemahkan Wisno Subroto SS, et,al, 2012, hlm. 358. Sumber asli : C.M. Schwaner, Historische, Geographische en Statistieke Aanteekeningen Betreeffende Tanah Boembo, dalam : Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Jilid 1, Batavia, Lange & Co., 1853. P. 336-371. 50. Ibid. 51. Ibid. hlm. 356. 52. Ibid. hlm. 358. 53. Ibid. hlm. 357- 358. 54 Susanto Zuhdi, Op.cit, hlm. 105. Lihat “Tradisi dan Masyarakat Maritim Pesisir Selatan Jawa dalam Persepektif Sejarah dan Pengembangan Wilayah”, Makalah, Susanto Zuhdi Pada Pertemuan Ilmiah “Indonesia dan Negara Maritim”, Komisi Ilmu Sosial-Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Manado, 11 Desember 2009. 55. Ibid. 56. Ibid. hlm. 105-106 302 Rusdi Effendi 57. Fudiat Suryadikara, Antropologi Budaya, (Banjarmasin, Antra Ewa Book Company, 1996), hlm. 343. Lihat buku B. Malinowski, 1972, The Role and Magic and Religion in Reader in Comparative Religion, ed, William A Lessa and Evon Z. vogt. New York : Harper & Publisher. 58. Ibid. hlm. 344. 59. Ibid. hlm. 374. 60. Noer’id Haloei Radam, Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi Dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi, Disertasi, Bidang Antropologi, (Universitas Indonesia, 1987),hlm. 53. 61. Koentjarningrat, Beberapa Pokok Antroplogi Sosial, (Jakarta, Dian Rakyat, 1974), hlm. 251. 62. M. Idwar Saleh, Sekilas Mengenai Derah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad-19, (Banjarbaru, Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1986), hlm. 12. Istilah Suku Banjar itu menurut M. Idwar Saleh (1986) adalah Group yang dibangun dari percampuran unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan dan Bukit dan suku kecil lainnya yang diikat oleh agama Islam. Lambat laun kelompok ini dibagi menjadi 3 (tiga) golongan besar karena tempat diamnya dan persatuan etnik sebagai inti pembentukannya. Pertama adalah group atau kelompok besar Banjar Kuala, yaitu orang Banjar yang mendiami daerah Banjar Kuala sampai daerah Martapura, berasal dari kesatuan etnik Ngaju; Kedua, adalah group atau kelompok besar Banjar Batang Banyu, tinggal disepanjang Sungai Tabalong dari muaranya di Sungai Barito sampai dengan Kelua, berasal dari kesatuan etnik Maanyan; dan Ketiga, Banjar Pahuluan tinggal di kaki Pegunungan Meratus dari Tanjung sampai ke Pelaihari, berasal dari kesatuan etnik Bukit. 63. Ibid. hlm. 23. Dalam zaman animisme, sebelum orang Banjar beragama Islam, orang Ngaju mempercayai Hak Dwi Tunggal Kekuasaan Tinggang dan Tambon. Hak –hak pengantara dipimpin 5 penghulu menurut kelompoknya, seperti Raja Pali untuk menghukum pelanggar adat, Raja Ontong yang memberikan rezeki dan kemakmuran, Raja Sial mendatangkan segala macam kejahatan, Raja Hantuen, yang mendatangkan bala dan menggangu manusia dan Raja Peres ,menyebar penyakit-penyakit. Keika agama Hindu masuk berbentuk Syiwa-Budha, salah satu sektenya yang ekstrem adalah sekte Bhairawa di zaman Kertanegara, telah masuk dalam zaman Negara Daha. Sekte ini amat memuja Batara Kala sebagai Raja segala Hantu. Dengan masuknya ke Kalimantan Selatan Raja Hantuen Kaharingan berubah sekarang menjadi Batara Kalanya Syiwa-Buddha yang bagi orang Banjar merupakan jelmaan Sang Kala yang dipuja mulai masuknya agama Islam hingga abad ke-20 masih dipanggil orang saat mengadakan upacara Manyanggar Banua, Sampir Besar, Memberi Makan Tahun dan sebagainya. Lihat M. Idwar Saleh (1986), hlm. 23-28. 64. Syarifuddin R, H.M. Yusran, Agus Triatno, Et.al, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin : Disbudpar Pemprov Kalimantan Selatan, 2008), hlm. 18-21. Kutipan diatas adalah hasil wawancara Tim Peneliti dengan Ibu Nurmasnah Penilik Kebudayaan Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2008 yang menuturkan tentang cerita latar belakang dilakukannya upacara Rusdi Effendi 303 Mappanretasi versi Sawerigading. 65. Ibid. 66. Ibid. hlm 22-25. Kutipan diatas adalah hasil wawancara Tim Peneliti dari Disbudpar Provinsi Kalsel, dengan tokoh nelayan Pagatan bernama Konding atau Wa’Konding di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2008 yang menuturkan tentang cerita latar belakang dilakukannya upacara Mappanretasi versi Muhammad Saleh. 67. Ibid. 68. Lihat situs Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Sawerigading yang menceritakan tentang tokoh Sawerigading. 69. Ibid. 70. Ibid. situ Wikipedia memberikan kutipan dari sumber : Setia Negara (9 desember 2011). "lontaraproject.com". Sawerigading dikisahkan memiliki saudara kembar.. Diakses 4 feb 2012. 71. Ibid. hlm 2-3. 72. Lihat pada buku Christian Peltras, 2006, The Bugis, diterjemahkan dengan judul “Manusia Bugis”, oleh Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok, Nalar dan Forum Jakarta Paris, EFEO, Jakarta. 73. George Junus Aditjondro,”Terlalu Bugis-Sentris, Kurang “Perancis”, makalah dari kegiatan Diskusi Buku Manusia Bugis, di Bentara Budaya, Jakarta 16 Maret 2006. George Junus Aditjondro adalah seorang Konsultan Penelitian dan Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Anggota Dewan Penasihat Center for Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSos), Jakarta. Pengajar pada Program Studi Ilmu Religi & Budaya (IRB) Program Pascasarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Alumni dari Cornell University,AS tahun 1993. 74. Ibid. hal. 4 75. Ibid. hal. 4-5, lihat Asdar Muis WMS, Luthfi A. Mutty: Pioner Luwu Utara, (Makasar, Era Media, 2004), hlm. 90, 108,115. 76. Susanto Zuhdi, Loc,cit, hlm. 93. Lihat buku terbaru Susanto Zuhdi tahun 2014, Nasionalisme, Laut, dan Sejarah terbitan Komunitas Bambu, Depok, 2014. Periksa halaman 91-102, ulasan tentang Kemaritiman dan Migrasi Orang Bugis. 77. Christian Peltras, Op.cit. hlm. 81. Lihat kembali buku Christian Peltras, The Bugis, diterjemahkan dengan judul “Manusia Bugis”, oleh Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok, terbitan Nalar. Jakarta, 2006. 78. Susanto Zuhdi, Op.cit. hlm. 100. 79. Ibid. hlm. 100-101. 80. Eymal B. Demmallino, Et,al, Loc.cit hlm 105, Lihat kembali, Sufisme dan Perilaku Ekonomi Masyarakat Maritim (Studi Kasus Pada Komunitas Pakkaja di Sulawesi Selatan), Jurnal Agrisistem, (ISSN 2089-0036, Vol.7 No. 2, Desember, 2011), hal. 105. 81. Akin Duli, Kajian Terhadap Peninggalan Budaya Awal Kejayaan Islam di Tosora-Wajo, Abad XVII – XVIII, Jurnal “Al-Fikr” Volume 16 Nomor 3 Tahun 2012,(Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Hasanuddin (UNHAS), 2012), hlm. 158.

304 Rusdi Effendi DAFTAR PUSTAKA Aa,Van Der, 1847. “Pagatan of Pagattan”, Aardrijkskundig Woordenboek der Nederlanden (te Gorinchem, bij Jacobus Noorduyn, 1847). Abidin, Andi Zainal. 1983. “The Emergence Of Early Kingdoms In South Sulawesi, A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century” dalam Southeast Asian Studies, Vol. 20, No.4, March 1983. Aditjondro, George Junus. 2006. ”Terlalu Bugis-Sentris, Kurang “Perancis”. Makalah dari kegiatan Diskusi Buku Manusia Bugis di Bentara Budaya, Jakarta 16 Maret 2006. Afkari , Rafiundin, Hj. Abdul Fattah, Mikdar Rusdi, Md. Akbal Abdullah. 2011. Penghijrahan Masyarakat Bugis ke Alam Melayu, Kajian Kes Bugis di Indragiri Hilir”. Makalah, disampaikan pada Seminar Serumpun Melayu V, (Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin Makasar Indonesia dengan Universiti Kebangsaan Malaysia, Makasar, 8-9 Juni 2011. Ali, Andi Muhammad. 1986. Bone Selayang Pandang. Watampone: Depdikbud. Anderson, Kathryn Gray. 2003. “The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora”. Disertasi pada University of Hawaii: tidak diterbitkan. Assegaf, A.S., (tt). Sejarah Kerajaan Sadurangas Atau Kesultanan Pasir. Tanah Grogot: Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Pasir Tanah Grogot. Batennie, Faisal. 2010. Kerajaan Tanah Bumbu dan Pulau Laut, sub Kerajaan Pagatan. [Online], Tersedia: http : // faisalbatennie . blogspot . com /2010/07/ kerajaan-di-tanah-bumbu.html. [ 20 Juli 2010] Batennie, Faisal. 2014. Kerajaan Tanah Bumbu dan Pulau Laut. [Online], Tersedia: http : // mappanretasi . com / v 2014 / index.php/profile/ 117-kerajaan-tanah-bumbu-dan-pulau-laut, hlm. 4-5. Brooke, James. A Narrative of event in Borneo and Celebes down to the accupation of Labuan dalam R. Mundy (ed), London: J Murray. Demmallino, Eymal, B. M. Saleh S. Ali, Abd. Qadir Gassing, dan Munsi Lampe. 2011. Sufisme dan Perilaku Ekonomi Masyarakat Maritim (Studi Kasus Pada Komunitas Pakkaja di Sulawesi Selatan. Jurnal Agrisistem, ISSN 2089-0036, ( Desember 2011), hlm. 98-99. Rusdi Effendi 305 Duli, A. 2012. Kajian Terhadap Peninggalan Budaya Awal Kejayaan Islam di Tosora-Wajo, Abad XVII – XVIII. Jurnal “Al-Fikr” Volume 16 Nomor 3 Tahun 2012. (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (UNHAS), Fong, Goh Yoon. 2013. Perdagangan dan Politik Banjarmasin 1700-1747, Judul asli “Trade and Politics in Banjarmasin 1700-1747”, Penterjemah: Ika Diyah Candra, Editor: Wisnu Subroto, Cetakan I, Mei 2013. Yogyakarta : Penerbit Lilin. Hamid, A. 2005. Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis. Makasar: Pustaka Refleksi. Hakim, Abadurrahman, et,al., 2009. Sejarah Kotabaru, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru. Bandung : Penerbit Rekaya Sains. Hariyadi, Rusdi Effendi, Wisnu Subroto, Et, al., 2005. “Sejarah Masyarakat Paser di Tanah Pasir”, Laporan Penelitian, Kerjasama Pemerintah Kabupaten Pasir, Lembaga Adat Paser dan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Banjarmasin: Unlam Banjarmasin. Johannes Veth, P., 1869. Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie. Amsterdam: Van Kampen. Klinkert, H.C. 1913. “Surat dari Seri Paduka Sultan Banjar Kepada Tuan Blom”, dalam Bloemlezing uit de Maleische Geschriften, Ten Behoeve van de Gouvernement Inlandsche Scholen en van hen, die het Maleisch met Latijnsch Karakter Behoevenen, Derde Druk, Leiden: E.J. Brill. Koentjarningrat. 1974. Beberapa Pokok Antroplogi Sosial. Jakarta : Dian Rakyat. Lindblad, J. Thomas, dan Peter E.F. Verhagen. 2012. Antara Dayak dan Belanda, Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880–1942. Terjemahan Ika Diyah Candra dari judul buku aslinya Between Dayak an Dutch: The Economic History of Southeast Kalimantan 1880-1942,(1988), Editor Wisno Subroto dkk. Jakarta: Sawojajar-Malang Lilin Persada Press & Kebayoran Baru, Jakarta KITLV. Mattulada. 1978. “The spread of the Buginese in Southeast Asia”. Makalah pada National Seminar on Southeast Asia, Yogyakarta, 3-4 Mei 1978.

306 Rusdi Effendi Muller, S. 1857. “Reis door een gedeelte der Sultans en zoogenaamde Lawut landen, ten oosten en zuidoosten van de hoofdlaats Bandjermasin”, Reizen en Onderzoekingen in den Indischen Archipel, gedaan op last der Nederlansche Indische Regering, Tusschen de Jaren 1828 en 1836, Eerste Deel. Amsterdam: Frederik Muller. Nagtegaal, C. 1939. De voormalige Zelfbesture en Gouvernements Landschappen In Zuid-Oost Borneo. Utrecht: N.V.A. Oosthoek’s Uitgevers-Maatschappij. Peltras, C., 2006. The Bugis. (Oxford, Blackwell Publisher, 1996), diterjemahkan dengan judul “Manusia Bugis”, 2006, oleh Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok. Jakarta: Penerbit Nalar. Poesponegero, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indoensia, Jilid III, Depdikbud. Jakarta : PN Balai Pustaka. Radam, Noer’id Haloei. 1987. Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi Dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi. Disertasi Bidang Antropologi pada Universitas Indonesia: tidak diterbitkan. Saleh, M, Idwar. 1986. Sekilas Mengenai Derah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad-19. Banjarbaru : Museum Negeri Lambung Mangkurat. Schwaner, C.M., 1853. Historische, Geographische en Statistieke Aanteekeningen Betreeffende Tanah Boembo. (Sumber: TBG, Tahun 1853, Jilid I, ANRI, diterjemahkan Wisnu Subroto SS, et,al, 2012, Sumber asli: C.M. Schwaner, Historische, Geographische en Statistieke Aanteekeningen Betreeffende Tanah Boembo, dalam: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Tijdschrift voor Indische taal, land, en volkenkunde, Jilid 1, Batavia, Lange & Co., 1853. P. 336-371. SKH. Radar Banjar. 2010, 26 Agusutus. Menelusuri Sejarah Masyarakat Bugis Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. [Online], Tersedia: http:/ /www.Radarbanjarmasin .co.id/index.php/berita/59/4742. [25Nopember 2011] Soehartoko. 1971. “Merantau Bagi Orang Wajo” Makasar. Ringkasan Penelitian, Makasar: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.

Rusdi Effendi 307 Subiyakto, B. 2003. “Penyelundupan dan Perdagangan Gelap di Wilayah Perairan Kalimantan Selatan Pada Abad XIX (Bahan Ajar Muatan Lokal)”. Vidya Karya Tahun XXI, No.1, April 2003. Suryadikara, F. 1996. Antropologi Budaya. Banjarmasin: Antra Ewa Book Company. Syarifuddin R, H.M. Yusran, dan Agus Triatno, Et.al, 2008. Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalimantan Selatan. Turk, Richard, W. 1987. “The Ambiguous Relationship: Theodore Roosevelt and Alfred Thayer Mahan”. Greenwood Press. Usman, A. Gazali. 1989. Urang Banjar Dalam Sejarah. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press. Wikipedia, 2014. Sawerigading. [Online], Tersedia: http:// id. wikipedia.org / wiki / Sawerigading [20 Desember 2014] Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Penerbit Komunitas Bambu. ______, 2008. ”Kemaritiman dan Migrasi Orang Bugis” pada Seminar Internasional “Peran Bugis Dalam pengembangan Alam Melayu Raya”, Pusat Tamdun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Jakarta 10-11 Juni. Jakarta: Universitas Indonesia. ______, 2009. “Tradisi dan Masyarakat Maritim Pesisir Selatan Jawa dalam Persepektif Sejarah dan Pengembangan Wilayah”. Makalah, Susanto Zuhdi Pada Pertemuan Ilmiah “Indonesia dan Negara Maritim”, Komisi Ilmu Sosial-Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Manado, 11 Desember 2009.

308 Rusdi Effendi TEROMPET RAKYAT: KORAN PERJUANGAN DI AFDEELING HOELOE SOENGAI ONDERAFDEELING AMOENTAI TAHUN 1946-1947 Melisa Prawitasari

ABSTRAK Perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, satu diantaranya melalui media massa/pers. Media massa nasional mempunyai kontribusi terhadap perjuangan bangsa termasuk media massa lokal. Di Kalimantan Selatan, di Afdeeling Holoe Soengai Onderafdeeling Amoentai (kota Amuntai) diterbitkannya Koran Terompet Rakyat sebagai corong perjuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Terompet Rakyat sebagai media massa perjuangan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Metode penelitian ini adalah metode sejarah dengan langkah-langkah: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan, Terompet Rakyat berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Terompet Rakyat terbit di Amuntai, 2 Desember 1946 sebagai koran perjuangan yang diterbitkan Hamran Ambrie dan Yusni Antemas dan pejuang lainnya dari organisasi Gerpindom. Terompet Rakyat memuat berita perjuangan dari Radio Pemberontak Bung Tomo dan terkenal dengan berita pojoknya yang mengkritik dan mengecam pemerintahan Belanda. Berita-berita tersebut disambut hangat masyarakat yang membangkitkan semangat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.

Melisa Prawitasari 309 I. PENDAHULUAN Istilah pers berasal dari bahasa Belanda de pers yang artinya menekan yang merujuk pada mesin cetak kuno yang harus ditekan dengan keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi yang dicetak (printed publication). Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain, maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak (Suhartinah, 1995:19). Peranan pers sangatlah penting artinya dalam upaya menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Media pers dijadikan sarana menyebarluaskan paham kebangsaan dan menentang segala bentuk kedholiman yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada zaman revolusi fisik (1945-1949). Salah satu bagian dari pers adalah surat kabar atau koran yang merupakan sarana komunikasi yang utama dalam menumbuhkan kesadaran nasional dan membangkitkan semangat perjuangan guna mencapai cita-cita perjuangan kemerdekaan. Dalam alam penjajahan kolonial Belanda, nasib pers dan wartawan pergerakan Indonesia berbeda dengan pers milik Belanda dan Cina. Pers Belanda dan Cina pada umumnya lebih unggul secara material dibanding pers pribumi. Ditinjau dari segi ideal perbedaan tersebut lebih tajam.

310 Melisa Prawitasari Menurut Suratmin (1995:32) sejak pergerakan nasional pers dan wartawan Indonesia memenuhi dua syarat pokok : Pertama, memperjuangkan cita rasa kebangsaan dengan memotivasi dasar menegakkan kemerdekaan guna mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera. Kedua, mengusahakan keadaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pers dalam kerangka perjuangan kebangsaan tersebut. Pejuang pena bangsa kita sadar bahwa pers merupakan senjata tajam yang penting untuk membangkitkan dan mengobarkan semangat juang. Pers lokal di daerah Kalimantan Selatan, khususnya media cetak, muncul tunas-tunas pers lokal di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara yaitu surat kabar Terompet Rakyat. Koran yang dicetak dalam bentuk stensilan ini, nomor pertamanya lahir pada tanggal 2 Desember 1946 (Sjarifuddin, dkk, 2003:422). Wilayah Amuntai pada saat tersebut berstatus Onderafdeeling Amoentai, yakni suatu wilayah yang diperintah oleh seorang Controleur (Wedana bangsa Belanda) (Wajidi, 2008:70). Onderafdeeling Amoentai tersebut termasuk dalam bagian wilayah Afdeeling Holoe Soengai, yakni wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh seorang asisten Residen. Secara vertikal, Afdeeling berada di bawah keresidenan (Wajidi, 2008:3). Terompet Rakyat dipimpin Hamran Ambrie dan Yusni Antemas, belum banyak orang yang mengetahui koran tersebut namun dari awal terbit telah berkontribusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan.

II. PEMBAHASAN 2.1 Pers Nasional Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik Pers pada umumnya dan pers Indonesia pada khususnya adalah sarana sosialisasi per excellence. Apa saja yang dilakukan lewat pers kemudian berubah wujudnya menjadi komunikasi sosial, perkenalan pribadi

Melisa Prawitasari 311 menjadi pergaulan sosial, kritik pribadi menjadi kritik sosial, dan peringatan pribadi menjadi kontrol sosial. Dengan kata lain perkataan apapun yang diumumkan lewat pers sebetulnya telah keluar dari ruang privat dan memasuki apa yang dinamakan forum publik (Ignas Kleden dalam Jakob Oetama, 1987:ix). Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Pers nasional lahirnya di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengenal arti ”pers daerah” (Arthum Artha, 15:1981). Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, pers Indonesia menikmati masa bulan madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru, pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya bagaimana mengamankan dan mengisi kekosongan kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tidak ada tugas yang mulia kecuali mengibarkan merah putih setinggi-tingginya. Pada tahun 1945-1950-an, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Surat Kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal pers nasional sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Aly, 2000:2.14). Pada bulan September- Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Walaupun masih mendapat ancaman dari

312 Melisa Prawitasari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Pada tahun 1947-1949 Belanda menyerang Indonesia dengan aksi militer pertama dan kedua serta berhasil menduduki beberapa daerah. Mereka mulai menerbitkan surat kabar lagi dan beberapa koran Indonesia dilarang terbit. Beberapa koran tersebut adalah lanjutan surat kabar Belanda sebelum perang dunia kedua (Tebbel, 2000:33). Pada tahun 1947, pers kita terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda dan golongan kedua telah mengungsi ke wilayah pedalaman yang dikuasai RI. Walaupun aktif di wilayah musuh yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republiken (Tebbel, 2000:34). Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena isi beritanya selalu untuk kepentingan penguasa, sedangkan pada masa kemerdekaan, koran selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian pada hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Masyarakat tampaknya tidak ingin ketinggalan seharipun dalam mengikuti berita perkembangan negara Indonesia yang baru merdeka pada saat itu. Minat baca semakin meningkat dan orang-orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media massa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali dan sejak saat itu para kuli tinta/ wartawan pemburu berita semakin banyak jumlahnya. Melihat keadaan yang demikian para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembangunan bangsa. Kalangan pers sendiri

Melisa Prawitasari 313 masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi untuk masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Febuari 1946 dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta (Aly, 2000:2.15). Untuk memecah belah kekuatan ataupun semangat rakyat Indonesia, serta untuk menimbulkan keresahan yang dapat berakibat tumbuhnya kekacauan dalam masyarakat, maka pihak penguasa Belanda dibantu kaum separatis pro Belanda menerbitkan surat kabar sendiri, baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Indonesia. Di Jawa, surat kabar pihak Belanda (Non Republiken) yang terbit dalam bahasa Indonesia adalah Fadjar (Jakarta), Soeloh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya) dan Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Di daerah-daerah Belanda dan pendukung negara-negara bagian di luar Republik Indonesia juga menerbitkan surat kabar, antara lain : 1. Surat Kabar Pelita terbit di Tomohon, Sulawesi Utara 2. Surat kabar Soeloh Ambon terbit di Ambon 3. Surat kabar Makassarse Courant, Negara Baroe dan Nusantara terbit di Ujung Pandang. Surat kabar-surat kabar Belanda dalam bahasa Belanda adalah: surat kabar Het Midden (Semarang) yang kemudian berganti nama menjadi De Locomotief. Kemudian De Courant di Bandung berganti nama menjadi AID de Preanger Bode. Selain itu ada surat kabar De Java Bode, Het Nieuws van den Dag dan De Nieuwsgier. Surat kabar-surat kabar dalam bahasa Belanda bukan merupakan suatu bahaya bagi pemerintah Hindia-Belanda karena suratkabar tersebut mendukung politik penjajah Belanda, bahkan seringkali bersikap reaksioner terhadap penduduk pribumi, dan umumnya membawakan suara sang majikan belaka tanpa mengindahkan prinsip kebebasan penerangan yang seharusnya menyajikan berita dan pendapat mengenai segala

314 Melisa Prawitasari peristiwa yang bukan saja terjadi di Hindia-Belanda melainkan juga di luar kawasan itu (Marbangun, 1984:27). Tentara nasional Indonesia juga menerbitkan surat kabar dan untuk memperjelas hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1 : Nama-nama penerbitan Militer dan para Militer Masa Revolusi Fisik (Per 15 Juli 1948)

NAMA PENERBIT BENTUK PENERBIT KOTA

Banteng Berkala Badan Penerangan Bukittinggi Tentara Divisi, Banteng I Penoentoen Berkala Komandan Tentara Perjoeangan Sumatera Bukittinggi Prajorit Mingguan Divisi VI & VIII Kediri Pahlawan Berkala Jabatan Penerangan Tentara RI Divisi X Banda Aceh Soeara Lasjkar Berkala Markas Besar Lasjkar Rakyat Magelang Darma Pahlawan Mingguan Penerangan Resmi TNI Brigade XII P. Sidempuan Kesatria Berkala Divisi VI Sibolga Banteng Berkala Markas Besar Barisan Banteng RI Surakarta Lambang Tentara Berkala Divisi IV Surakarta Panggilan Samoedra Berkala Kementrian Pertahanan ALRI Bagian Penerangan Yogyakarta

Sumber : RVD, Perslijst Indonesia van de Regerings Voorlichtings Dients, Batavia – C, 1 Agoestoes 1948, dalam Phil. Bachtiar Aly, 2000 : 2.26)

Melisa Prawitasari 315 Pada saat itu terjadi blokade militer Belanda serta pembredelan surat kabar yang sangat memukul keberadaan serta pertumbuhan pers Republik Indonesia. Blokade militer menutup jalur persediaan kertas, sedangkan pembredelan mengakibatkan penyusutan dana karena tertutupnya sumber pemasukan penerbit. Di samping itu, penangkapan- penangkapan yang dilakukan terhadap para wartawan Republik juga jelas bertujuan mematikan pers Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia, sangat memperhatikan hambatan- hambatan yang dialami oleh pers RI tersebut. Justru karena menyadari pentingnya kehadiran media komunikasi massa untuk meneguhkan semangat perjuangan mutlak ditingkatkan, maka pemerintah RI pada saat yang memungkinkan memberikan bantuan-bantuannya. Bahkan di kota- kota tertentu, pemerintah RI mengusahakan penerbitan surat kabar sendiri. Sejak Proklamasi Kemerdekaan RI dan selama masa perang mempertahankan kemerdekaan (masa revolusi fisik), jumlah surat kabar meningkat pesat karena memang tidak ada ketentuan pembatasan. Bahkan, pemerintah RI menganjurkan kepada warga pers perjuangan untuk memperbanyak penerbitan surat kabar di tanah air. Tabel 2 : Data Global per akhir tahun 1949

PENERBIT JUMLAH OPLAH Indonesia 45 227.000 Belanda 13 102.000 Cina 17 84.000

Sumber: Phil. Bachtiar Aly, 2000:2.27 Catatan : Pengelompokkan penerbitan tersebut dibuat atas dasar bahasa, bukan aliran politik.

316 Melisa Prawitasari 2.1 Pers Daerah Kalimantan Selatan Masa Revolusi Fisik Dalam suasana perjuangan kemerdekaan sebenarnya tidak ada pers daerah. Semuanya dalam kesatuan pers kebangsaan Indonesia. Mungkin karena surat kabar dan majalah terbit di daerah (luar) Jakarta, lalu wajahnya dikenal sebagai ”pers daerah”, walaupun azas tujuannya, sifat dan sikapnya juga satu bahasa, satu bangsa dan satu nusa, berarti saling hidup dalam pers Pancasila atau saling hidup dalam demokrasi Pancasila (Artha, 1981:16). Dalam sejarah persuratkabaran di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan, media cetak yang cukup tua adalah surat kabar Suara Kalimantan pimpinan A. A Hamidhan yang tercatat terbit di Banjarmasin sejak tahun 1930 hingga tahun 1942 (Seman, 2004:70). Dengan adanya surat kabar tersebut nama Kalimantan menjadi tenar sebagai ganti nama Borneo yang dipergunakan Belanda. Dengan begitu, Kalimantan mempunyai nama politis dalam gerakan kebangsaan dan nama Kalimantan digunakan organisasi-organisasi politik dan gerakan kebangsaan, seperti Sarekat Kalimantan yang mula-mula berdiri di Marabahan dipimpin H. M Arief, Partai Politik Ekonomi Kalimantan (pimpinan Djaksa A. Atjil), Persatuan Kaum Motor Kalimantan di Banjarmasin. Menjelang akhir pemerintahan Hindia Belanda, kaum penjajah mulai menerima nama Kalimantan dan mempergunakan kata-kata Indonesia. Tetapi, di waktu penjajahan Jepang, nama Kalimantan kembali diganti dengan Borneo. Surat kabar Kalimantan Raya yang diterbitkan ketika tentara Jepang mendarat di Banjarmasin diganti dengan Borneo Shimboen (Serikat Penerbit Surat kabar, 1971:89). Perjuangan rakyat Kalimantan Selatan melalui pers kembali muncul setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan berakhirnya Perang Dunia II. Pers perjuangan muncul kembali diantaranya: penerbitan berkala Kedaulatan di Banjarmasin dipimpin Fachruddin Mohani dan Masdari. Pada tahun 1946 itu pula, terbit Majalah Islam Berjuang dipimpin Darmawi Saruji. Kedua media ini tidak berusia lama karena berhaluan republiken. Pers perjuangan di Kalimantan Selatan masa revolusi fisik seperti pada tabel 3:

Melisa Prawitasari 317 Tabel 3 : Pers Perjuangan di Kalimantan Selatan Masa Revolusi Fisik :

NANA PENDIRI THN TERBIT KOTA

Kedaulatan Fachruddin Mohani dan Masdari 1946 Berkala Banjarmasin Majalah Islam Berjuang Darmawi Saruji 1946 Berkala Banjarmasin Majalah Samarata Saberi Tobeng dan Saberi Utis 1946 Berkala Kandangan

Majalah Republik Zafry Zamzam 1946 Berkala Kandangan Kalimantan Berdjoang Abdoel Djabar dan Haspan Hadna 1946 Harian Kandangan

Terompet Rakyat Hamran Ambrie dan Yusni Antemas 1946 Berkala Amuntai Majalah Waspada Haspan Hadna dan M. Syaidillah 1947 Mingguan Banjarmasin Menara Indonesia Hamran Ambrie dan Yusni Antemas 1947 Berkala Amuntai

Majalah Pedoman Perjuangan Tamar Eka dan Noora’in AS 1947 Berkala Barabai Majalah Pedoman PoetriH. Roehayah B 1947 Bulanan Kandangan

Majalah Piala Maseri Matali, S.M Daroel dan Masdan Rozani 1947 Bulanan Kandangan

Berita Merdeka H. M Thalhah dan A. M karim 1947 Mingguan Kandangan Majalah Fajar Timur Haris Muchtar 1947 Berkala Banjarmasin Suara SKI D. S Diapari, E. S Handaroen

dan A. A Rivai1947 - - Majalah Soeloeh H. Roehayah B 1948 Bulanan Kandangan

Nyata H. A Djohansyah 1948 Mingguan Banjarmasin Tekad A. Samad 1948 Mingguan Banjarmasin Remadja Zainal dan Arthun Artha 1948 Bulanan Banjarmasin

Majalah Pawana Masdan Rasyifani 1948 Bulanan Kandangan Majalah Madjilis Muhammad Arsjad 1948 Bulanan Kandangan Djantoeng Indonesia Arthum Artha 1949 Harian Kandangan

Sumber: diolah dari berbagai sumber bacaan

318 Melisa Prawitasari Pers-pers tersebut terbit hanya dalam waktu relatif singkat karena adanya larangan terbit dari pemerintah Belanda. Pada kurun waktu yang relatif singkat tersebut peranan perjuangan pers melalui berbagai media yang sangat sederhana menyuplai masyarakat dengan berbagai informasi pergerakan perjuangan merebut kemerdekaan. Surat kabar yang berjiwa Republiken ini penyebarannya sampai ke desa-desa sehingga dibaca oleh seluruh rakyat (Nawawi, 1979/1980: 226).

2.1 Pers di Kalimantan Selatan Pada Masa Revolusi Fisik Kalimantan Selatan pada hari-hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dalam situasi dan kondisi tidak menentu karena simpang siurnya berita yang sampai ke daerah ini. Berita paling dinanti- nantikan oleh rakyat Indonesia, termasuk rakyat di Kalimantan adalah berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 (Seman, 2004:70). Berita pertama tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disiarkan oleh surat kabar Borneo Simboen di Banjarmasin dan Kandangan. Sumber berita berasal dari Radio Domei cabang Banjarmasin yang menerima berita Proklamasi dari Radio Domei Jakarta (Wajidi, 2007:9). Sarana percetakan bekas surat kabar Borneo Simboen yang ada di Banjarmasin ternyata telah lebih dahulu dimanfaatkan oleh NICA untuk melahirkan Surat Kabar Suara Kalimantan yang pro kepada penjajah. Berbeda halnya dengan sarana percetakan bekas Surat Kabar Jepang Borneo Simboen yang ada di Kandangan oleh para tokoh pers setempat dimanfaatkan untuk melahirkan koran tengah mingguan yang diberi nama ”Sinar Hoeloe Soengai” (Syarifuddin, dkk. 2003:418). Surat kabar Sinar Hoeloe Sungai merupakan cikal bakal pers perjuangan di Kalimantan Selatan. Terinsipirasi dari Surat Kabar Sinar Hoeloe Soengai, kemudian di Amuntai juga muncul tunas pers perjuangan yaitu Surat Kabar Terompet Rakyat. Pelopor media massa baru ini Hamran Ambrie dan Yusni Antemas,

Melisa Prawitasari 319 mereka tidak hanya tokoh pers yang memihak perjuangan, tetapi JUGA anggota GERPINDOM (Gerakan Pembela Pengejar Indonesia Merdeka). Yusni Antemas menjabat sebagai sekretaris GERPINDOM, sedangkan Hamran Ambrie salah seorang pembantu dalam kepengurusan gerakan tersebut (Syarifuddin, dkk. 2003:422). Organisasi tersebut merupakan organisasi rahasia dan illegal bagi Belanda (wawancara dengan Yusni Antemas, Sabtu 19 Desember 2009). Terompet Rakyat adalah harian yang membawakan misi perjuangan mempertahankan negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 (Antemas, 1994:183). Harian Terompet Rakyat nomor pertamanya diterbitkan pada hari Senin 2 Desember 1946, tepat di saat-saat sedang hangatnya separatisme Belanda mempersiapkan konferensi Denpasar. Lima hari setelah penerbitan tersebut, meletuslah aksi Belanda di Makassar yang terkenal dengan nama 7 Desember Divisi atau peristiwa korban 40.000 jiwa oleh Westerling (Banjarmasin Post, 2 Februari 1981). Pada saat itu Belanda melakukan operasi pembersihan dimana-mana termasuk di Kalimantan Selatan. Dapat dibayangkan pada saat seperti itulah Koran Terompet Rakyat diterbitkan dengan isi berita yang berani memberitakan dan mengecam kekejaman yang dilakukan oleh Belanda pada saat itu. Terompet Rakyat berani dengan tegas mencantumkan motto ”Berhaluan mempertahankan Republik Indonesia”. Terompet Rakyat mempunyai lambang atau logo yang sama seperti namanya yaitu gambar orang yang sedang meniup terompet, yang artinya terompet tersebut digunakan untuk menyuarakan berita kepada masyarakat. Gambar tersebut dipilih karena dalam sebuah perang, peranan terompet sangatlah penting untuk mengerahkan dan memberi semangat para tentara/ pasukan untuk berperang (wawancara dengan Yusni Antemas, Kamis 25 Maret 2010).

320 Melisa Prawitasari Pojok Koran ini disebut “Djamoe Kuripan” yang sering menyerang kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Belanda. Pojok ini terletak di halaman belakang sebelah kanan atas bagian koran tersebut. Hamran Ambrie adalah pengisi/penulis pojok tersebut dengan gelarnya ”Abang Betel”. Pojok ini berisi tulisan-tulisan yang dengan berani mengkritik serta mengecam pemerintahan Belanda pada masa itu. Nomor perdana Terompet Rakyat terbit 2 Desember 1946 ini dicetak dalam bentuk satu stensilan seukuran kertas folio menggunakan mesin stensil, yang terdiri dari halaman bolak-balik dari satu lembar stensil sheet tersebut dengan perwajahan yang sangat sederhana. Percetakan koran ini berada di rumah Hamran Ambrie (pimpinan redaksi) di jalan Pasar Amuntai (sekarang jalan Abdul Azis). Percetakan tidak memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sesuai kondisi zaman dan diterbitkan para pejuang yang tergabung dalam GERPINDOM dan karena dilakukan secara diam-diam dan berpindah-pindah tempat (wawancara dengan M. Said, Kamis 25 Maret 2010). Selain di rumah Hamran Ambrie, percetakan dilakukan di markas GERPINDOM. Terompet Rakyat tidak pernah menerima dan memuat iklan (wawancara dengan Yati Anggraini Antemas, Kamis 25 Maret 2010). Dana yang digunakan untuk percetakan berasal dari anggota GERPINDOM dan dibantu hartawan Amuntai yaitu H. Mohammad Idris bin Tuhumar. Selain sebagai pemberi dana tetap, ia juga menjabat sebagai pimpinan usaha dalam redaksi. Terompet Rakyat hanya untuk langganan, tetapi karena banyaknya permintaan akhirnya dicetak pula untuk dijual eceran. Walaupun koran ini disebut harian, tetapi terbit sekitar dua atau tiga kali dalam seminggu (wawancara dengan Yusni Antemas, Sabtu 19 Desember 2009). Hal ini dikarenakan sulitnya dana, bahan baku dan percetakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari Belanda.

Melisa Prawitasari 321 Bahan baku penerbitan seperti kertas, tinta cetak (stensil) secara berangsur dapat teratasi, kecuali stensil shet karena tidak ada yang menjualnya karena itu adakalnya digunakan stensil shet yang sudah kering, keras, dan rapuh. Dari sekian usaha yang dilakukan, ditemukanlah cara terbaik dengan cara stensil shet itu harus di ”pepes” dulu agar agak lunak, sehingga tidak bolong atau hancur kalau diketik (Dinamika Berita, Rabu 24 Agustus 1994). Dengan cara ”pepesan” itulah koran Republiken pertama Terompet Rakyat dapat diterbitkan dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya oleh masyarakat daerah Hulu Sungai Utara tetapi juga tersebar sampai ke luar daerah Kalimantan Selatan. Harga langganan koran tersebut adalah f 1 selama satu minggu dan f 4 selama sebulan (wawancara dengan Yusni Antemas, Sabtu 19 Desember 2009), akan tetapi orang sering membayar lebih karena orang- orang menganggap koran tersebut sangat bermanfaat dan penting untuk perjuangan. Orang-orang yang ikut membayar lebih untuk percetakan koran tersebut, nama mereka akan dimuat pada edisi berikutnya. Namun, tidak pada setiap edisi dapat dimuat nama penyumbang karena terbatasnya tempat dan dimuat pada edisi berikutnya. Distribusi atau penyebarannya dilakukan anggota redaksi dan diedarkan ke Banjarmasin agen Terompet Rakyat bernama Muhammad Ys. Sekali terbitnya bisa mencapai 1.000 eksemplar (wawancara dengan Yusni Antemas, Kamis 25 Maret 2010). Koran ini bahkan sampai ke Samarinda dan di daerah Jawa yang dikirim melalui pos. Hamran Ambrie yang bertindak sebagai pimpinan redaksi juga bertindak sebagai pekerja yang serbaguna, ia juga yang biasanya menempelkan prangko untuk langganan yang dikirim melalui pos. Sebagaimana kita kerahui, surat kabar tidak hanya sekadar bacaan yang setelah dibaca dibuang, tetapi adalah suatu publikasi yang hidup seperti ditulis kolomnis David Lawrence : ”Karena surat kabar bukanlah sebuah benda mati, ia bukan hanya kertas dan tinta saja, ia adalah hasil

322 Melisa Prawitasari dari banyak pikiran, akan tetapi ia adalah pula hasil dari satu pikiran” (Seman, 2004:70). Pengaruh positif surat kabar terhadap rakyat adalah memberikan berita aktual, baik nasional maupun internasional, mendorong rakyat untuk mencapai kemajuan serta partisipasi untuk mengadakan sosial kontrol. Pada masa revolusi fisik fungsi surat kabar memegang peranan penting, sebab surat kabar menjadi alat propaganda politik untuk mendukung perjuangan kemerdekaan atau mendukung pemerintah Belanda (Nawawi, dkk, 1979/1980:223). Di Kalimantan Selatan persuratkabaran dipelopori oleh tokoh-tokoh politik. Mereka tidak mau memisahkan kepentingan surat kabar dengan kepentingan politik karena itu lewat surat kabar, rakyat diberi informasi tentang politik sehingga sering surat kabar dianggap oleh Belanda sebagai ”tukang fitnah” dan dikenakan sanksi persbriedel ordonantie (larangan terbit) (Nawawi, dkk, 1979/1980:222). Untuk mempercepat proses pemenangan perjuangan Bangsa, dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, organisasi illegal Gerpindom (Gerakan Pengejar Pembela Indonesia Merdeka) yang diketuai oleh Abdulhamidhan Cs, berusaha memadukan perjuangan fisik bergerilya dengan perjuangan politik terbuka, diantaranya dengan menerbitkan surat kabar Republiken ”Terompet Rakyat” di Amuntai (Dinamika Berita, Rabu 24 Agustus 1994). Oleh karena itulah Terompet Rakyat dapat dikatakan sebagai koran perjuangan, pendirinya para pejuang- pejuang dari Gerpindom. Seperti yang dinyatakan oleh Bapak Sjarifuddin (mantan Kepala Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru yang sekarang diperbantukan menjadi pengurus Museum Wasaka Banjarmasin, tempat dimana satu-satunya Koran Terompet Rakyat diamankan) Terompet Rakyat benar-benar koran perjuangan dan didirikan para pejuang di Amuntai dari Gerpindom yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia(wawancara dengan Bapak Sjarifuddin, Selasa 13 April 2010). Pada umumnya isi surat kabar dan majalah yang terbit di Kalimantan Selatan tidak berbeda jauh dengan pemberitaan yang terdapat dalam surat

Melisa Prawitasari 323 kabar atau majalah di Jawa, sama-sama menyebarkan paham kerakyatan, Kebangsaan Indonesia (Wajidi, 2007:82). Begitupula dengan Terompet Rakyat, beritanya berita seputar perjuangan di daerah, berita-berita medan pertempuran di Jawa, Sumatera dan lain-lain diambil dari siaran-siaran ”Radio Pemberontak/Radio Bung Tomo” di Jawa Timur dan dari pemancar- pemancar gelap lainnya. Berita-berita seperti inilah yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Pada koran edisi ini juga dimuat berita dari daerah di sekitar Amuntai dan Kalimantan yang dirangkum dengan nama ”Warta Daerah”, berita ini terdapat di halaman belakang. Berikut kutipannya: WARTA DAERAH Dari Kloea. Oesoel2 S.K.I Kloea, jg akan dibawa ke kongres nanti, jg dipoetoeskan tgl. 10 tadi, antaranja : Soepaja padoman tjabang Kloea menoesoelkan di moe’tamar, agar Anggaran Dasar S.K.I diroebah mendjadi ”S.K.I noncoperatie”. Begitoepoen hari itoe telah dipilih wakil2 ke kongres. Oesoel2 dan oetoesan ini akan disjahkan dalam rapat anggota j.a.d. (pemb.)

BORNEO BARAT Dari pihak Angkatan Laut Repoeblik, didapat kabar, bahwa rakjat Kalimantan Barat, dari Singkawang sampai ke Mampawah, teroes berdjoeang mengadakan perlawanan terhadap Belanda (K.B.)

Berita dari luar daerah Kalimantan Selatan sebagai berikut: DARI MAGELANG : Pada tgl 8/12 jtl, J. M President dan J.M. wk President mengadakan perdjalanan ke Wonosobo. Sampai di Magelang, tamoe agoeng singgah diroemah pd.t Resident, dimana diadakan perdjamoean jg

324 Melisa Prawitasari dihadiri leh Gobnor Djawa Timoer, Kepala Daerah, Kepala Kota, Boepati dan pers. Poekoel 10 pagi J.M President, melandjoetkan perdjalanan ke Wonosobo dan poelang dari itoe djoega ke Djogjakarta, sedangkan J.M. wk. President bermalam di Wonosobo. Hari ini J.M wk. President mengoendjoengi peroesahaan Koperasi Rakjat.

DARI DJAKARTA : Berhoeboeng dg gagalnja peroendingan oentoek menetapkan demerkatie, dibeberapa front, menteri penerangan M. Natsir, baroe2 ini dalam pertjakapannja pada para wartawan, bahwa oentoek menghadapi kesoelitan atas perselisihan2 jg timbul dalam menjelenggarakan genjtatan perang dibeberapa medan pertempoeran, soedah dari bermoela ditentoekan tjara penjelesaian. Selain itu, Terompet Rakyat terkenal dengan berita pojoknya. Pojok adalah “karikatur tertulis” dengan pendek menyindir, menyinggung, menyerempet dan mengkritik ketidakadilan, keculasan, kepalsuan dan segala kepincangan (A.A Hakim S.I, dkk, 1970:31). Berikut kutipan berita pojok Terompet Rakyat bernama Djamoe Koeripan dengan edisi 11 Desember 1946 : Berita Pojok : Djamoe Koeripan ”MANDJOEAL BANGSA” ”...bahwa rakjat Belanda menganggap kalaoe menjetodjoei naskah itoe, berarti keradjaan Belanda didjoeal kepada Repoeblik Indonesia” oedjar wartawan Joesoep memberi keterangan di Radio. Wah..wah..wah !! Kalimantan poelang anggapan orang sana. Hanjar oeroesan naskah- persetoedjoean, oeroes damai tjara bersahabat, soedah dikatakan kerajaan tadjoeal. Pina takoetan menir2 di sana kaloe tadjoeal, sebab boleh djadi sidin menganggap moen tadjoeal.

Melisa Prawitasari 325 - sebenarnja tjoema tapisah, kada kawa lagi makan bamantiga lagi, sekoerangnja tangalih sadikit dari nang soedah-soedah. Kelewar biar handak didjoeal , koerasa kada balioer djoea manoekari moen soedah baroesak-roesak oleh si nani, apalagi boeboehankoe kada sanggoep mangganii pamakanja nang sarba mantiga-sosoe : kada kaja kita2 ni maoe hadja sambal2 kangkoeng dan nomor doeanja, kada kawa mangganii mambajariakan hoetang sidin nang batimbal lapis itoe, pambagian kain gin kaja apakah, amoen kawa manaboesi. Akoe maambil tasmak dadahoeloe. Hanjar bahimat kita bapandir poelitik =ko tjak= Isi berita pojok tersebut menggunakan Bahasa Banjar, agar masyarakat di Kalimantan Selatan dan Amuntai khususnya lebih mengerti berita yang disampaikan dengan jenaka karena isinya menggunakan Bahasa Banjar totok, sehingga pemerintah Belanda tidak mengerti isinya. Berita pojok hampir sama dengan editorial surat kabar masa kini dan menjadi bacaan favorit. Tahun 1946 adalah tahun tersulit bagi para pejuang kemerdekaan karena kuatnya tekanan Belanda. Tidaklah mudah menerbitkan surat kabar perjuangan pada masa pemerintah kolonial berkuasa. Selain itu, dana serta bahan baku sulit untuk mendapatkannya, nyawa para pejuang pena taruhannya. Apabila ada wartawan atau media massa yang berani mengecam/mengkritik pemerintah Belanda, tantangannya adalah rumah penjara atau siksaan militer Belanda. Wartawan seperti Zafry Zamzam (pejuang/Kalimantan Berjuang di Kandangan), Haspan Dadna (pejuang/ wartawan dan pimpinan redaksi Kalimantan Berjuang), Hamran Ambrie dan Yusni Antemas tercatat sebagai zwaarte journalist (wartawan hitam) yang masuk-keluar tahanan Belanda dan pernah selama 3 tahun menjadi langganan penjara dan tawanan penjajah (Banjarmasin Post, 2 Februari 1981). Mereka ditangkap dan ditahan karena tulisan mereka membahayakan

326 Melisa Prawitasari pemerintah kolonial. Muhammad Ys, agen penjual Terompet Rakyat, di Banjarmasin mendapat peringatan keras dari penguasa Belanda karena aktivitasnya menjadi agen surat kabar republiken. Hamran Ambrie selaku pimpinan redaksi Terompet Rakyat dikenal sebagai ”Abang Betel”, yakni penjaga/penulis pojok yang sering melontarkan protes, sindiran dan kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda. Keberanian Terompet Rakyat menyebabkan media massa awaknya mendapat sorotan penguasa. Tindakan pihak penguasa untuk membendung tulisan-tulisan tajam dari Harian Terompet Rakyat ini mula- mula dengan memanggil Hamran Ambrie dan Yusni Antemas masing-masing selaku pimpinan redaksi dan wakilnya untuk menghadap Kiai Besar Afdeling Hulu Sungai Merah Nadalsyah yang datang dari Kandangan. Kedua tokoh pers ini diminta untuk menghentikan kegiatannya sebagai wartawan Republiken (Syarifuddin, dkk, 2003:422-423). Mereka ditawarkan bantuan dana dan sarana apabila bersedia menghentikan penerbitan Terompet Rakyat, atau setidak-tidaknya mau merubah sikap dan mau bekerja sama dengan surat kabar Belanda di Kalimantan Selatan. Upaya yang dilakukan pihak penguasa tidak menyurutkan jiwa tekad para pengasuh Terompet Rakyat sehingga ajakan Kiai Besar Merah Nadalsyah yang diajukan kepada tokoh-tokoh pers di Amuntai tersebut dengan tegas tidak mereka terima (Yusni Antemas, 2004:184). Seperti yang diungkapkannya: Pada waktu itu saya dan Hamran Ambrie pernah dipanggil oleh Kiai Besar dari Kandangan. Ia menginginkan kami berhenti menerbitkan koran Terompet Rakyat, mengurangi kritik-kritik terhadap pemerintah Belanda dan ia memberi kami iming-iming berupa uang dan berbagai macam fasilitas untuk hidup dan kami juga disuruh mengubah motto Koran kami menjadi pro/berpihak dan bekerja sama pada Belanda. Namun, ajakan tersebut dengan tegas kami tolak, karena kami mempunyai tekad kuat berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (wawancara dengan Yusni Antemas, Sabtu 19 Desember 2009). Melisa Prawitasari 327 Tindakan berani berani tersebut tersebut berisiko. Dampak lanjut dari gagalnya bujukan yang dilakukan oleh Militer Belanda kepada tokoh- tokoh Terompet Rakyat tersebut adalah terjadinya peristiwa pemukulan tidak berprikemanusiaan yang dilakukan oleh militer Belanda terhadap Yusni Antemas pada tanggal 6 Mei 1947 ketika yang bersangkutan sedang bepergian ke Kota Tanjung (Yusni Antemas, 1994:184). Pada tanggal 6 Mei 1947, Yusni Antemas seorang wartawan Republiken Harian Terompet Rakyat, telah ditangkap oleh militer Belanda di Tanjung, kemudian disiksa dan pingsan sebelum digantung (Antemas, 2007:35). Mereka menuduh Yusni Antemas sebagai ekstremis yang berbulu wartawan (Dwikala Arema Medan, Februari 1958). Peristiwa tersebut dimuat dalam harian Masyarakat Baru pimpinan Oemar Dachlan yang terbit di Samarinda. Koran ini memberitakan tentang protes yang disampaikan oleh Hamran Ambrie kepada Residen dan Auditeur Militer di Banjarmasin atas pemukulan dan ancaman terhadap Yusni Antemas tanpa alasan, hanya karena kedudukannya sebagai redaktur Koran Terompet Rakyat. Berikut kutipan beritanya: REDAKTUR “TROMPET RAKYAT” MENDAPAT PUKULAN DARI MILITER.Samarinda (MB). Tuan Antemas, redaktur “Trompet Rakyat” di Amuntai (surat kabarnya Abang Betel. Pen) sewaktu bepergian ke Tanjung baru- baru ini tgl. 6 Mei 1947, setelah mengetahui bahwa ia adalah seorang wartawan, oleh pihak militer di tempat tersebut dipukul dengan cara yang sangat menusuk perasaan. Berhubung dengan kejadian yang tidak pantas ini, maka Hoofd redacteur dari surat kabar itu (Tuan Hamran Ambrie. Pen) mengirim kawat kepada tuan-tuan Resident dan Auditeur Militer di Banjarmasin, memprotes kejadian itu, yang berbunyi kawatnya sbb: “Sangat menyesali tindakan militer Tanjung atas terjadinya pemukulan dan ancaman pada Antemas, anggota redaksi kita yang tidak ada beralasan kesalahan selain dari karena kedudukannya sebagi redaktur surat kabar. Mengharap tindakan Paduka”. 328 Melisa Prawitasari Kabar belakangan menyatakan bahwa di pihak yang berwajib berjanji untuk memeriksa ini lebih jauh”. Namun, janji tersebut tidak ditepati. Bahkan, tekanan-tekanan penguasa Belanda semakin ketat. Karena tekanan pihak penguasa Belanda semakin kuat, pada tahun 1947 penerbitan Terompet Rakyat dipindahkan ke kota Alabio bersaman dengan Hamran Ambrie pimpinan pindah ke Alabio. Di Alabio Hamran Ambrie mendapat tambahan staf redaksi yaitu Nawawi Z. Terompet Rakyat terbit secara darurat dengan kekurangan modal dan sarana terbatas. Akhirnya berhenti terbit lagi pada akhir tahun 1947 sehubungan dengan dikeluarkannya Persbreidel (larangan terbit) oleh pemerintah Belanda (wawancara dengan Yusni Antemas, Kamis 25 Maret 2010). Bahwasanya pers merupakan ancaman bagi penguasa kolonial tidak dapat diragukan lagi. Kesempatan mengeluarkan pendapat menjadi fasilitas untuk mengecam sistem kolonial serta unsur-unsur prakteknya. Agitasi politik juga berbahaya sekali bagi “ketentraman dan ketertiban” masyarakat, lagi pula secara langsung membuat pemerintah kolonial sebagai target kritik. Tidak mengherankan apabila beberapa surat kabar berkali-kali kena “pemberangusan” (persbreidel). Hanya pers yang moderat saja dapat mengalami hidup cukup panjang (Sartono Kartodirdjo, 1993:115). Oleh para pendirinya, ada rencana untuk menerbitkan kembali Terompet Rakyat dengan nama lain tetapi tidak sempat terlaksana, hingga akhirnya terjadi aksi militer Belanda II terhadap Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 (Yusni Antemas, 1994:185). Agresi militer ke-2 dilancarkan Belanda terhadap Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 berhasil menduduki ibukota Yogyakarta dan menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta H. Agus Salim, Sutan Syahrir dan lain-lain yang ditempatkan terpisah-pisah, ternyata berimbas ke seluruh tanah air termasuk Kalimantan. Ratusan tokoh masyarakat republiken di Kalimantan Selatan diringkus dan dimasukkan ke penjara dan kamp-kamp tawanan yang dipusatkan di Banjarmasin.

Melisa Prawitasari 329 Diantaranya, tercatat tujuh orang wartawan republiken dari beberapa media massa yang terkenal menyuarakan perjuangan rakyat dan anti kepada kolonialisme Belanda. Waratawan-wartawan tersebut adalah Zafry Zamzam dari majalah ”Republik” Kandangan, Haspan Hadna, Adonis Samad dan Arsyad Manan dari ”Kalimantan Berjuang” Banjarmasin. Termasuk Yusni Antemas dan Hamran Ambrie dari Terompet Rakyat Amuntai dan Merah Daniel Bangsawan dari Sinar Hulu Sungai Kandangan. Ada 2 orang wartawan republiken lainnya yakni H. Ahmad Basuni dan Azikin Zuhri yang sudah lebih dulu berangkat ke Yogyakarta dan bergabung dengan Ikatan Pejuang Kalimantan yang ada di sana (Demokrasi Plus, Edisi Februari 2010). Hampir semua wartawan, terutama redaktur surat kabar nasional mengalami rasa ditangkap, masuk rumah penjara dan sekurang-kurangnya masuk ruangan tahanan Pemerintah NICA di Banjarmasin (Wajidi, 2008:73). Pada saat di kamp tawanan tersebut mereka membaur dengan para ulama, pengusaha dan orang-orang yang dicap ekstremis yang berasal dari Banjarmasin, Hulu Sungai Banua Lima, dan Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah). Pada saat ditawan, mereka dilecehkan oleh polisi/ militer Belanda. Bahkan mereka sempat diberikan ransum makanan dari daging babi. Akibat penangkapan tersebut rencana untuk penerbitan kembali koran tersebut gagal total. Akan tetapi meskipun koran tersebut telah diberangus oleh penguasa, namun usaha menerompetkan perjuangan membela proklamasi 17 Agustus 1945 itu takkan pernah padam. Proses keberadaan Koran Terompet Rakyat tersebut cukup unik dan misi yang dibawakannya untuk menggerak dan menggelorakan semangat perjuangan rakyat mampu mencapai sasarannya. Hal tersebut patut dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itulah Koran Terompet Rakyat dianggap dokumen sejarah yang sangat penting dan sangat perlu dijaga keberadaannya sebagai saksi dan media perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Satu-satunya lembaran Koran Terompet Rakyat yang masih tersisa

330 Melisa Prawitasari diserahkan oleh Yusni Antemas kepada pihak Museum Waja Sampai Kaputing (Wasaka) Banjarmasin. Sampai sekarang Koran Terompet Rakyat tersebut masih tersimpan dengan baik di Museum Wasaka.

III. SIMPULAN Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan melalui perang dan diplomasi, tetapi juga melalui media (pers). Terompet Rakyat adalah media yang digunakan para pejuang untuk berjuang sehingga disebut sebagai koran perjuangan dengan motto “Berhaluan Mempertahankan Republik Indonesia”. Keberadaan Terompet Rakyat unik dengan misinya untuk menggerak dan menggelorakan semangat perjuangan rakyat. Hal tersebut menjadikan Terompet Rakyat sebagai dokumen sejarah sangat penting. Saat ini, masih ada lembaran Terompet Rakyat masih tersimpan di Museum Waja Sampai Kaputing (Wasaka) Banjarmasin.

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku A. A. Hakim. 1970. Kritis Mengupas Surat Kabar. Jakarta : Cipta Loka Caraka. Anggraini Antemas. 2007. Kami Rakyat Tabalong Berjuang. Amuntai : Ananda Nusantara. Arthum Artha. 1981. Wartawan-Wartawan Kalimantan Raya Lintasan Sejarah Pers di Kalimantan. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset. Bahdin Nur Tanjung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal,Skripsi, dan Tesis) dan Mempersiapkan Diri Menjadi Penulis Artikel Ilmiah. Jakarta : Kencana. Djarani E.M. 1996. Lintas Revolusi Fisik Tahun 1945-1949 Daerah Kalimantan Selatan di Hulu Sungai Selatan. HSS : Pemkab Daerah Tingkat II. G. Rusdi Effendi. 2003. Sinergi Pers, Pemerintah dan Masyarakat. Dalam Buku Kenangan Purna Tugas M.P Lambut (hal. 45-48). Banjarmasin: LPKPK. Melisa Prawitasari 331 Helius Syamsuddin. 1997. Metodologi Sejarah. Jakarta. Hassan Basry. 2003. Kisah Gerilya Kalimantan Periode Tahun 1945-1949. Banjarmasin : Yayasan Bhakti Banua. Jakob Oetama. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta : LP3ES. John Tebbel. 2000. Karier Jurnalistik. Semarang : Effhar & Dahara Prize. Kamal Hidayat. Apa dan Siapa dari Utara, Profil dan Kinerja Anak Banua. Jakarta : CV. Surya Garni. Marbangun Hardjowirogo. 1984. Kebebasan Penerangan Landasan Operasi Media Massa. Jakarta. M. Syamsiar Seman. 2004. Lahirnya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Kalimantan Selatan: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan. Phil Bachiar Aly. 2000. Sejarah Media Massa. Pusat Penerbitan UniversitasTerbuka. Ramli Nawawi, dkk. 1979/ 1980. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat. 1971. Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia. Jakarta : SPS. Sjarifuddin, dkk. 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Suhartiah. 1995. Kehidupan Persuratkabaran di Yogyakarta Pada Masa Revolusi Fisik : Sebuah Studi Awal. Dalam Sejarah Lokal, Kumpulan Makalah Diskusi (Hal. 19-31). Jakarta : CV. Dwi Jaya Karya. Suratmin. 1995. Peranan Pers pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta tahun 1945-1949. Dalam Sejarah Lokal, Kumpulan Makalah Diskusi (Hal. 32-61). Jakarta : CV. Dwi Jaya Karya. Wajidi. 2007. Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942. Banjarmasin : Pustaka Banua. ______, 2007. Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik. Banjarmasin : Pustaka Banua.

332 Melisa Prawitasari ______, 2008. Arthum Artha, Sastrawan, Wartawan, Budayawan Kalimantan Selatan. Yogyakarta : Debut Press. ______, 2008. Glosarium Sejarah Lokal Kalimantan Selatan Periode 1900- 1950. Yogyakarta : Debut Press. Yusni Antemas. 1994. Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan Periode 1945-1949. Kalimantan Selatan: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I. ______, 2002. Lintas Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Berdirinya Kabupaten HSU. Pemkab HSU : PT. Grafika Wangi Kalimantan. 2. Koran/Majalah Aam Niu, ”Kita Perkenalkan : Anggraini Antemas”, Majalah Dwikala Arena, IV (2) : 44-46, 17 Febuari 1958 Anggraini Antemas, ”Nostalgia 35 Tahun Lalu : TEROMPET RAKYAT Surat Kabar Perjuangan”, Banjarmasin Post, 2 Februari 1981, hal. 6. ______, ”Terompet Rakyat”, Dinamika Berita, 24 Agustus, 1994. ______, ”Tujuh Wartawan Republiken Ditangkap Bersama Tokoh-Tokoh Pejuang di Kalsel”, Majalah Demokrasi Plus, III (17) : 2, Febuari 2010. ”Monumen Perjuangan”, Banjarmasin Post, 2 Juni, 1986. Terompet Rakyat, edisi tahun pertama Arba 13 Desember 1946.

3. Internet Hamran Ambrie. 2007. HAMRAN AMBRIE My Life, (online), (http:www. hamran-ambrie.tripod.com/id, diakses 12 Desember 2009). Bhogenk.2007. Bung Tomo yang Terlupakan, (online), (http:www. detikforum.com, diakses 17 April 2010).

Melisa Prawitasari 333 334 Melisa Prawitasari CROSS-INDIGENOUS PEMBELAJARAN IPS DALAM MENGAJARKAN NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME MELALUI PEMAHAMAN KEARIFAN LOKAL Heri Susanto

ABSTRAK Pendidikan IPS mengalami perkembangan baik dalam aspek muatannya maupun dalam aspek pedagogisnya, diantaranya pendekatan dalam pembelajaran IPS. Pendekatan cross-indigenous berkembang dari konsep indigenous dalam psikologi. Indigenous dan cross-indigenous mempunyai fokus kajian terhadap masyarakat dalam lingkungan native culture-nya yang dalam tinjauan ini berusaha mengaplikasikan cross-indigenous sebagai pendekatan pembelajaran IPS dalam menanamkan pemahaman budaya dan kearifan lokal; bagaimana menggunakan prinsip dan konsep sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi dan antropologi dari berbagai lingkungan budaya sebagai sumber belajar IPS sehingga pemahaman peserta didik tidak hanya dari satu kelompok etnik, melainkan pemahaman nilai-nilai universalitas lintas budaya. Pendekatan ini mengarahkan pemahaman siswa bahwa dalam setiap budaya terdapat nilai-nilai kearifan lokal. Lebih spesifik, memahami kearifan lokal pada banyak lingkungan budaya adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai mutikulturalisme. Pendekatan cross-indigenous menjadi alternatif mensinergikan nilai-nilai kearifan lokal dan multikulturalisme dalam pembelajaran IPS.

Kata kunci: cross-indigenous, pembelajaran IPS, kearifan lokal, dan multikulturisme.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.

Heri Susanto 335 I. PENDAHULUAN Pendidikan IPS merupakan upaya untuk memperkenalkan kondisi bangsa kepada peserta didik, baik dari segi geografis, sejarah, sosial, politik, maupun budaya. Dengan konsep tersebut pendidikan IPS haruslah mampu mewadahi segala permasalahan dan memberikan pemahaman yang benar terhadap permasalahan-permasalahan tersebut kepada peserta didik. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan IPS harus dikembangkan dengan perspektif yang benar terhadap kondisi bangsa. Menjadi sebuah kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kental dengan nuansa multikultural. Keadaan ini merupakan kekayaan, ancaman, sekaligus tantangan dalam kehidupan berbangsa, Indonesia dikenal sebagai satu negara dengan potensi kekayaan budaya yang sangat beragam, akan tetapi keberagaman itu juga sebenarnya dapat menjadi potensi konflik. Fakta lain yang perlu mendapat perhatian adalah perkembangan globalisasi yang menyebabkan semakin gencarnya penetrasi budaya asing. Kondisi ini dapat menyebabkan semakin terkikisnya nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, dan bila dibiarkan akan melahirkan masyarakat imitative yang kehilangan identitasnya. Kenyataan tersebut memberikan tantangan bagi dunia pendidikan, terlebih pendidikan IPS untuk mampu memberikan pemahaman dan menumbuhkan kesadaran multikulturalisme bagi peserta didik. Sebagai disiplin sosial pembelajaran IPS selayaknya mampu mengakomodir nilai- nilai multikulturalisme bangsa menjadi nilai-nilai keunggulan berbasis kearifan lokal dengan mengedepankan pemahaman prinsip psikologi lintas budaya. Pendidikan IPS atau social study memiliki konten yang berbeda pada tiap negara, akan tetapi seringkali memiliki tujuan yang sama, yaitu memperkenalkan kondisi bangsa kepada peserta didik. Kondisi negara kita sebagai negara kepulauan dengan berbagai macam kebudayaan dan karakteristik masyarakat menjadikan pendidikan IPS mempunyai peran penting untuk memberikan pemahaman yang benar pada peserta didik. 336 Heri Susanto Perbedaan budaya yang ada membawa konsekuensi bahwa, budaya merupakan faktor penting dalam pendidikan IPS harus mendapat prioritas. Pembelajaran IPS diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam upaya menumbuhkan pemahaman multikulturalisme dan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal menjadi keunggulan lokal.Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran IPS yang menempatkan nilai-nilai multikulturalisme sebagai misi pembelajaran. Alternatif yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan upaya membawa peserta didik untuk memahami masyarakat sebagai objek kajian dalam IPS sesuai dengan konteksnya masing-masing, sehingga peserta didik dapat memahami bahwa konteks budaya, historis, filosofis dan ekologis suatu masyarakat akan sangat berperan dalam pembentukan ketahanan dan keunggulan di tiap daerah.

II. PEMBAHASAN 2.1 Pendidikan IPS Berbasis Multikulturalisme Seperti telah dikemukakan bahwa pendidikan IPS pada hakekatnya adalah upaya memperkenalkan kondisi bangsa kepada peserta didik. Sasaran dari proses tersebut adalah adanya kesadaran nasional sebagai warga negara Indonesia. Sedangkan tujuan akhir dari proses tersebut salah satunya adalah sikap nasionalisme peserta didik. Dalam tinjauan ini sikap nasionalisme dimaksud merupakan sikap nasionalisme yang diawali dari pemahaman budaya bangsa dan selanjutnya menerima keberagaman sebagai identitas bangsa. Kesediaan menerima berbagai keberagaman budaya merupakan langkah awal untuk membangun persepsi positif terhadap keberagaman budaya sebagai kekayaan bangsa yang pada akhirnya akan melahirkan kesadaran kolektif. Dengan demikian untuk mencapai kesadaran kolektif tersebut seseorang harus menerima sekumpulan nilai yang akan menjadi

Heri Susanto 337 dasar kesadarannya. Lebih spesifik, bila ditelusuri lebih jauh nilai-nilai tersebut pada hakikatnya merupakan kearifan lokal yang ada pada setiap masyarakat. Tiap budaya punya kesadaran kolektif ---atas sebuah ‘semangat nasional’ (O’neil, 2008: 207). Pada saat individu sebagai anggota masyarakat telah mempunyai kesadaran kolektif atas sebuah semangat nasional maka pada dasarnya individu tersebut juga telah memiliki sikap nasionalisme, hal tersebut karena sikap nasionalisme pada hakekatnya juga merupakan wujud kesadaran kolektif atas dimilikinya cita-cita dan identitas bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian persepsi terhadap keberagaman budaya dapat memberikan kontribusi terhadap sikap nasionalisme. Merupakan kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekontruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keberagaman etnis dan budaya tersebut (Azra, 2011: 20). Kondisi tersebut membutuhkan sebuah strategi pencapaian yang secara normatif sesuai dengan prinsip kebhinekaan dan secara ideologis mampu memperkuat persatuan bangsa.Pada kondisi inilah persepsi positif terhadap keberagaman budaya menjadi faktor penting dalam menanamkan sikap nasionalisme Indonesia. Penafsiran merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari persepsi, dalam hal ini penafsiran dimaksud merupakan upaya untuk mengidentifikasi dan memahami tiap unsur budaya sehingga terbentuk sikap mental sebagai tafsiran dari pengetahuan tentang budaya yang diterima seseorang. Dalam proses ini tiap individu akan memunculkan 338 Heri Susanto pandangan yang berbeda terhadap objek persepsi, dalam hal ini adalah budaya. Persepsi positif akan muncul ketika seseorang mampu menerima dan memahami nilai-nilai budaya di luar lingkungan alam budayanya sendiri. Kita bangga berbangsa Indonesia bukan semata-mata karena adanya alam tanah air Indonesia, melainkan juga karena nenek moyang kita sudah mempunyai nilai kebudayaan yang tinggi menurut ukuran waktu itu (Kansil, 2011: 154). Kenyataan inilah yang menjadi faktor penentu mengapa setiap suku bangsa memiliki kebudayaan kuat sebagai identitas mereka. Keadaan ini merupakan realitas kebangsaan yang menjadi warna nasionalisme Indonesia, persepsi positif terhadap keberagaman budaya secara tidak langsung juga merupakan refleksi dari sikap nasionalisme seseorang.Kenyataan tersebut juga menggambarkan adanya linearitas antara persepsi terhadap keberagaman budaya dengan sikap nasionalisme. Penjelasan lain yang dapat dipergunakan untuk menguatkan asumsi hubungan antara persepsi terhadap keberagaman budaya dengan sikap nasionalisme adalah kenyataan bahwa nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme yang didasari oleh empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu: Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Bukan tanpa alasan tentunya jika keempat hal tersebut menjadi pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, secara substansi keempatnya mempunyai pola hubungan yang saling melengkapi.Penerimaan terhadap konsep kebhinekaan telah melahirkan negara kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 45 sebagai landasan bernegara dan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Dengan demikian menerima keberagaman berarti mengakui dan menerima identitas kebangsaan Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke dari berbagai pulau, Indonesia tidak punya pilihan selain menerima keberagaman itu. Negara yang terbentuk dari belasan ribu pulau, sudah dengan sendirinya akan menerima keberagaman itu. Menolak

Heri Susanto 339 keragaman itu sama saja dengan menolak keberadaan manusia dari belasan ribu pulau itu. Menolaknya sama saja dengan mengabaikan keberadaan hakiki dan jati-diri [ke-Indonesiaan] manusia-manusia tersebut (Titaley, 2011: xxi). Dapat disimpulkan bahwa keberagaman merupakan identitas kebangsaan Indonesia, menerima keberagaman melalui persepsi positif terhadap keberagaman budaya merupakan ciri sikap nasionalisme Indonesia.Dengan demikian dapat dirumuskan sebuah justifikasi bahwa persepsi terhadap keberagaman budaya memberikan kontribusi nyata bagi karakter kebangsaan peserta didik. 2.2 Cross-Indigenous dan Studi Sosial Pada awalnya indigenous dan cross-indigenous merupakan konsep psikologi, akan tetapi konsep ini juga dapat dipakai dalam kajian studi sosial, terlebih dalam konsep indigenous mengharuskan menempatkan aspek kultural dalam upaya memahami seseorang sehingga pendekatan ini menjadi sangat relevan untuk digunakan dalam studi sosial. Indigenous memberi perhatian lebih pada nilai-nilai native culture sebagai lapangan penyelidikan dan menempatkannya sebagai faktor penentu dalam upaya memahami individu sebagai anggota masyarakatnya. Konsep cross-indigenous berkembang dari konsep indigenous, jika indigenous diartikan sebagai kajian ilmiah tentang perilaku atau pikiran manusia yang native (asli), yang tidak ditransportasikan dari wilayah lain, dan yang dirancang untuk masyarakatnya.Maka cross-indigenous berasal dari penyadapan berbagai sumber budaya menjadi pengetahuan lintas budaya sebagai sumber pengetahuan budaya (Kim, Yang dan Hwang, 2010). Dengan cross-indigenous tersebut berbagai nilai budaya dilihat dan dikaji berdasarkan sudut pandang penganut budayanya, kemudian nilai- nilai dari berbagai budaya yang berbeda tersebut dijadikan sumber pengetahuan lintas budaya.Konsep tersebut menempatkan setiap budaya sebagai sesuatu yang bernilai dan memberi kontribusi sumber belajar 340 Heri Susanto serta upaya menempatkan multikulturalisme dalam satu bingkai studi sosial. Konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Budaya 1 Budaya 2 Sebagai Sumber Sebagai Sumber

Pengetahuan Lintas Budaya

Budaya 3 Budaya 4 Sebagai Sumber Sebagai Sumber

Sehubunan dengan studi sosial atau dalam hal ini pembelajaran IPS, tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat (Sudrajat, 2011). Dengan konsep tersebut berarti pendidikan IPS di Indonesia yang memiliki ciri multikultural harus diarahkan untuk mengenal segala potensi lokal dan mengantisipasi segala ancaman melalui pengetahuan lintas budaya. Relevansi cross-indigenous dalam studi sosial terlihat pada bagaimana cross-indigenous menempatkan budaya sebagai sumber belajar, hal tersebut senada dengan studi sosial yang juga menempatkan masyarakat dan budayanya sebagai sumber belajar.Dengan demikian pendekatan cross-indigenous dapat diaplikasikan dalam studi sosial.Jika dalam studi sosial kita dapat mengidentifikasi nilai-nilai dan gejala-gejala sosial yang nampak, maka dengan konsep indigenous kita dapat memahami bagaimana gejala tersebut muncul dari sisi psikologi native culture.

Heri Susanto 341 2.3 Cross-Indigenous dan Pembentukan Persepsi terhadap Multikulturalisme Telah dikemukakan bahwa Indonesia adalah negara dengan banyak budaya, keunikan ini selain kekayaan juga menjadi tantangan tersendiri terhadap identitas kebangsaan kita. Susahnya membentuk persepsi bersama terhadap identitas budaya bangsa adalah masalah pokok yang dihadapi negara dengan banyak budaya, fanatisme kesukuan dan persepsi stereotipe terhadap budaya lain adalah masalah lain yang juga sering muncul dalam pergaulan masyarakat dengan ciri plural yang kental seperti Indonesia. Pluralisme mengarah pada apa yang disebut kesadaran akan adanya pihak lain dan perbedaan baik dalam kehidupan nyata maupun kehidupan filosofis dengan representasinya (Dzuhayatin, 2007: 412). Kesadaran ini bermula dari adanya persepsi positif terhadap keberagaman budaya. Di lain pihak, ketika pluralisme budaya dunia memberi peluang kepada masyarakat negara berkembang untuk “tampil beda”, maka seharusnya diartikan sebagai peluang untuk menggali kebudayaan “lokal” yang memang unik, yang khas, sekaligus dapat membantu pencapaian kepentingan nasional dalam percaturan politik internasional (Warsito & Kartikasari, 2007: 45). Dengan keadaan tersebut sudah selayaknya pendidikan dalam hal ini pembelajaran IPS juga harus kongruen dengan konstruksi bangsa yang plural dan heterogen. Hal ini dapat tercapai apabila pembelajaran yang dilakukan mampu menggali dan memberi pemahaman perspektif keberagaman budaya sehingga pada akhirnya akan tercipta persepsi positif terhadap keberagaman budaya. Pendidikan yang kongruen dengan pluralitas kebangsaan adalah pendidikan yang ramah terhadap keberagaman, yang menempatkan keberagaman sebagai pondasi dalam membangun “nations state”. IPS 342 Heri Susanto sebagai sebuah disiplin mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya membentuk “moral precepts” bagi peserta didik, yaitu persepsi positif terhadap keberagaman budaya bangsa. Ajaran moral inilah yang nantinya akan melahirkan kesadaran budaya yang utuh sebagai sebuah bangsa dengan ciri pluralitas yang kental. Bagaimana persepsi terhadap budaya dibentuk, setidaknya ajaran moral yang ditanamkan dalam proses pembelajaran akan turut mewarnainya. Persepsi terhadap budaya yang bermuara pada kesadaran budaya tersebut dimulai dari; pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-keunggulannya; kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri, dengan kata lain kesediaan untuk saling kenal; ketiga, pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam; dan keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu sedang mengembangkan sebuah kebudayaan baru, yaitu kebudayaan nasional (Sedyawati, 2006). Keadaan yang beragam dalam berbagai hal itu ---selain tidak dapat dihindari--- memang tidak dapat dipungkiri juga memiliki dimensi positif dan negatif.Belakangan ini, kurang lebih menjelang akhir abad XX, berkembang pandangan multikulturalisme yang pada hakikatnya berupaya menjembatani keadaan plural dan heterogen itu agar terjadi pertautan arah yang pada akhirnya bermuara pada keberanian hidup bersatu dalam keberagaman, bukan disatukan dalam keseragaman.Menurut multikulturalisme, harus diterima adanya realitas empiris keanekaragaman, perbedaan, namun bersamaan dengan itu harus dikembangkan pula pandangan kesederajatan, toleransi, persamaan, penghargaan terhadap demokrasi, hak asasi, dan solidaritas (Mulkhan dan Atmadja dalam Astra, 2010: 255)

Heri Susanto 343 Secara sederhana upaya tersebut dapat dilakukan dengan memupuk persepsi positif terhadap keberagaman budaya. Hal ini menjadi penting karena inti masyarakat multikulturalisme adalah adanya kesediaan menerima dan menghargai budaya lain yang tercermin dalam persepsi terhadap keberagaman budaya. Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya kelompok etnis, terutama golongan minoritas, harus dibuka terlebih dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga negara yang bisa melampaui identitas etniknya/post etnic condition (Latif, 2011: 365). Persepsi terhadap budaya bangsa yang berciri multikulturalisme pada umumnya selalu berkaitan dengan anggapan bahwa “tiap budaya mempunyai tipe kepribadian dominan” (Kaplan & Manners, 2002: 184).Hal ini nampak misalnya ketika kita mempersepsikan bahwa seseorang dari suku bangsa tertentu cenderung memiliki ciri perilaku tertentu sesuai dengan ciri dominan masyarakat asalnya. Persepsi positif akan muncul manakala objek yang dipersepsi mempunyai kecenderungan untuk sama atau setidaknya tidak bertentangan dengan pemahaman perseptor. Sebaliknya bila objek persepsi memiliki banyak perbedaan apalagi sangat bertentangan dengan nilai budaya yang dianut dan dipahami perseptor maka akan menimbulkan persepsi negatif. Jika persepsi positif akan mengarah pada integrasi maka persepsi negatif akan mengarah pada disintegrasi. Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat mungkin terjadi kesalahpahaman sebagai akibat dari beragamnya perbedaan yang ada, oleh karenanya untuk membentuk persepsi positif terhadap keberagaman perlu pemahaman prinsif kebhinekaan sebagai roh dari integrasi kebangsaan Indonesia. Prinsif kebhinekaan dimaksud adalah penerimaan dan saling menghargai terhadap keberagaman bangsa 344 Heri Susanto yang mencakup keberagaman ras, suku, bahasa, budaya, sosial, ekonomi, politik dan religi. Beragamnya unsur pembentuk budaya inilah yang menyebabkan munculnya ciri khas masyarakat sebagai pemilik budaya tersebut. Menurut tinjauan Kuntowijoyo (2006: xii), hal tersebut menjadi faktor yang menyababkan sistem budaya tidak pernah berhenti, namun selalu mengalami perubahan dan perkembangan baik karena dorongan dari dalam maupun dari luar, tidak terkecuali pada kebudayaan daerah tentunya. Keragaman, atau kebhinekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk.Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal (Azra, 2011:21). Dapat ditarik kesimpulan kemudian, bahwa multikultur adalah tempat pembelajaran masyarakat dari berbagai kultur yang berbeda-beda, melalui proses komunikasi, melahirkan tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai bersama, membangun struktur kelembagaan. Multikultur adalah proses transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasi pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju ke arah kebaruan kultur (Purwasito, 2003: 138). Dengan paradigma tersebut seharusnya dipahami bahwa keberagaman budaya yang terdapat pada tiap daerah adalah unsur yang memperkaya proses pembentukan identitas ke-Indonesiaan. Untuk dapat mencapai keadaan tersebut diperlukan pendekatan cross-indigenous agar persepsi budaya yang terbentuk dilandasi pemahaman terhadap aneka warna kebudayaan dari sudut pandang masyarakat dalam native culture-nya. Pemahaman yang bersumber dari

Heri Susanto 345 pengetahuan lintas budaya ini diharapkan memperkuat makna kebhinekaan bagi peserta didik. 2.4 Mengajarkan Nilai-Nilai Multikulturalisme Melalui Pemahaman Kearifan Lokal Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup. Di Indonesia ---yang kita kenal sebagai Nusantara--- kearifan lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional.Sebagai contoh, hampir di setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan lokal yang mengajarkan gotong-royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, folklore), dan manuskrip (Suyatno, 2015). Konsep kearifan lokal yang juga bersifat lintas budaya ini menjadikan kearifan lokal sebenarnya juga merupakan komponen- komponen penyusun masyarakat multikulturalisme Indonesia.Dengan demikian pembentukan nilai-nilai multikulturalisme dalam diri peserta didik dapat dimulai dari memahami kearifan lokal yang terdapat pada banyak budaya di Nusantara. Poin terpentingnya adalah, memahami kearifan lokal pada masyarakat yang berbeda secara tidak langsung akan memberikan pemahaman tentang berbagai etos budaya pada masyarakat yang berbeda dan pada gilirannya akan melahirkan persepsi positif terhadap keberagaman budaya sebagai inti dari multikulturalisme. Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang

346 Heri Susanto mewujud dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya). Sekadar contoh, kearifan lokal yang bertumpu pada keselarasan alam telah menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa. Pendopo dengan konsep ruang terbuka menjamin ventilasi dan sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu penyejuk udara (Suyatno, 2015). Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa membentuk jiwa multikulturalisme pada diri peserta didik dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang kearifan-kearifan lokal kepada peserta didik melalui pembelajaran IPS yang berbasis pada kearifan lokal.Secara pedagogis alternatif yang dapat digunakan untuk mensinergikan nilai-nilai kearifan lokal dengan nilai multikulturalisme adalah dengan menggunakan pendekatan cross-indigenous dalam pembelajaran IPS. 2.5 Pembelajaran IPS dengan Pendekatan Cross-Indigenous Pembelajaran dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai proses membelajarkan atau proses membuat seseorang menjadi belajar. Esensi dari belajar adalah adanya peningkatan kemampuan atau dikuasainya seperangkat pengetahuan menjadi milik individu yang belajar yang tercermin dalam peningkatan aspek kognisi, apeksi dan psikomotor. Dengan demikian makna dari belajar bukan hanya dikuasainya seperangkat pengetahuan baru, akan tetapi juga adanya proses pembentukan sikap yang diakibatkan oleh dikuasainya pengetahuan tersebut. Dalam konteks ini pembelajaran IPS merupakan sarana untuk membentuk sikap sebagai warga negara yang baik, indikator dari keadaan ini adalah peserta didik memahami dan menghayati nilai-nilai dan kondisi objektif negara dan bangsa Indonesia yang kental dengan corak multikultural. Untuk memberi pemahaman tersebut pendekatan cross- indigenous perlu digunakan, sehingga peserta didik mampu memahami berbagai sudut pandang masyarakat menurut native culture-nya. Dengan pendekatan ini berbagai unsur dalam IPS seperti; sejarah, sosiologi,

Heri Susanto 347 antropologi, ekonomi, geografi dan politik dapat diterjemahkan berbeda- beda sesuai konteks native culture-nya dan pada akhirnya dipadukan dalam jejaring IPS. Ilustrasi sederhana dari konsep ini misalnya untuk suatu tema tertentu, tema tersebut dapat ditinjau dari sudut pandang berbagai latar budaya dengan aspek-aspek ekonomi, sejarah, sosiologi, dan aspek lain dalam IPS. Sehingga akan diperoleh gambaran bahwa masyarakat dengan latar budaya yang berbeda akan cenderung mengembangkan nilai-nilai sosiologis, historis, ekonomis, dan kesadaran geografis yang berbeda pula sesuai dengan konsep native culture yang mereka pahami. Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya.Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan IPS berusaha membantu peserta didik dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakatnya (Kosasih dalam Sudrajat, 2011). Dalam rangka untuk memahami lingkungan sosial masyarakat inilah pendekatan cross-indigenous digunakan untuk memberikan pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Pendekatan ini juga berusaha menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.Artinya, peserta didik tidak lagi terjebak pada kecenderungan mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan kelompok-kelompok sosial yang relative self sufficient dari pad dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang

348 Heri Susanto anak didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik (Mahfud, 2011). Poin terpenting dari pendekatan ini adalah bagaimana menggunakan berbagai macam budaya sebagai sumber belajar dalam IPS. Dari mempelajari pengetahuan lintas budaya inilah peserta didik akan mampu memahami tentang nilai-nilai keberagaman dan menumbuhkan kesadaran multikulturalisme. Dengan menggunakan pendekatan ini peserta didik diajak untuk memahami berbagai nilai, teknologi dan sistem sosial- ekonomi yang dikembangkan oleh berbagai budaya dari sudut pandang pemilik budayanya. Memahami berbagai latar belakang budaya dari sudut pandang yang tepat tentu akan menghindarkan peserta didik dari berfikir stereotype dan pada akhirnya menimbulkan pemahaman multikulturalisme.

III. SIMPULAN Isu utama yang dikembangkan dalam konsep ini adalah, bagaimana mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme dalam pembelajaran IPS melalui pembelajaran yang berbasis pada pemahaman kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan cross-indigenous. Pendekatan cross-indigenous pembelajaran IPS pada hakekatnya berusaha memberikan alternatif dalam upaya pendidikan multikulturalisme. Pendekatan ini menggunakan pemahaman lintas budaya sebagai simpul pengikat keberagaman budaya, dengan demikian pemahaman lintas budaya menjadi sangat penting dalam tinjauan ini. Penggunaan konsep cross-indigenous bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana memberikan respon dan bersikap terhadap keberagaman budaya, sehingga pada gilirannya akan tumbuh pemahaman multikulturalisme.

Heri Susanto 349 Titik poinnya adalah bagaimana memberikan pemahaman lintas budaya dengan cara mempelajari nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat pada lingkungan budaya yang berbeda. Meskipun pendekatan ini mengadopsi konsep yang dikembangkan oleh disiplin psikologi akan tetapi pendekatan ini memiliki relevansi dan urgensi dalam pembelajaran IPS. Hal ini karena pembelajaran IPS pada dasarnya adalah bagaimana membangun kesadaran tentang kewarganegaraan, nasionalisme dan kesadaran terhadap lingkungan fisik dan budaya, sehingga unsur psikologis memang tidak bisa dilepaskan dari pembelajaran IPS.

DAFTAR PUSTAKA Akhmad Sudrajat. 2011. Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/03/ 12/karakteristik-mata-pelajaran-ilmu-pengetahuan-sosial-ips/ (diakses pada Kamis, 19 April 2012). Andrik Purwasito. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Azyumardi Azra. 2011. “Jati Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme” dalam Jusuf Sutanto (edt.). The Dancing Leader, Hening-Mengalir- Bertindak. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Choirul Mahfud. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. I Gde Semadi Astra. 2010. “Pluralitas dan Heterogenitas dalam Konteks Pembinaan Kesatuan Bangsa” dalam Endang Sri Hardiati dan Rr. Triwurjani (edt.). Pentas Ilmu di Ranah Budaya, sembilan windu Prof. Dr. Edi Sedyawati. Denpasar: Pustaka Larasan.

350 Heri Susanto John Titaley. 2011.”Hikmah Sebuah Keragaman” dalam Jusuf Sutanto (edt.). The Dancing Leader, Hening-Mengalir-Bertindak. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Kansil, C.S.T. dan Christine Kansil. 2011. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Rineka Cipta. Kaplan, David dan Manners, Robert A. 2002.Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kim, Uichol, Kuo-Shu Yang dan Kwang-Kwo Hwang. 2010. Indigenous and Cultural Psychology, Memahami Orang dalam Konteksnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. O’neil, William F. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siti Ruhaimi Dzuhayatin. 2007. “Gender dan Pluralisme di Indonesia” dalam Robert W. Hefner (edt.): Politik Multikulturalisme. Yogyakarta: Impuls-Kanisius. Suyono Suyatno. 2015. Revitalisasi Kearifan Lokal Sebagai Upaya Penguatan Identitas Ke-Indonesiaan. Tersedia http:// badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366 (diakses pada 3 Mei 2015) Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari. 2007. Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang; Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Yudi Latif. 2011. Negara Peripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Heri Susanto 351 352 Heri Susanto BAB IV MENGGALI PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL

BAB IV Menggali Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal 353 354 BAB IV Menggali Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal NILAI-NILAI PENGAJIAN GURU SEKUMPUL SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS Tri Hayat Ariwibowo

ABSTRAK Arus globalisasi dengan segala muatannya, tentu mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Indonesia, sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan “tumpangan” hal-hal negatifnya. Dalam suasana demikian, pengajian Guru Sekumpul memberi pencerahan sekaligus penguatan menghadapi arus kehidupan era globalisasi berbasis nilai-nilai meaningfull dan powerfull yang relevan sebagai sumber pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dalam praktriknya, pengajian Guru Sekumpul dilakukan sejak dari daerah Keraton sampai ke Sekumpul dalam tiga (3) kategori, yaitu: pengajian pria, pengajian perempuan, dan pengajian anak-anak. Pengajian Guru Sekumpul memuat nilai-nilai teoritik, ekonomis, estetik, sosial, politik dan agama. Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dan dijadikan sumber pembelajaran IPS. Pada kerangka demikian, nilai-nilai kearifan lokal muatannya direkomendasi kepada guru-guru IPS, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, birokrat pendidikan untuk dikembangkan untuk pembelajaran IPS. Kata kunci: Guru Sekumpul, pengajian, nilai-nilai dan pendidikan IPS

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Guru SMA Negeri 3 Banjarbaru dan alumnus Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Tri Hayat Ariwibowo 355 I. PENDAHULUAN Proses globalisasi bukanlah suatu proses yang baru mulai akhir- akhir ini, yang disebabkan oleh lonjakan perkembangan sistem komunikasi, tetapi sejak masa lalu setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan suatu “masyarakat global” (Sahlins 1994: 387). Kuatnya arus globalisasi meniadakan batas-batas geografis dalam arti interaksi tanpa dibatasi hambatan territorial. Hal tersebut menjadikan semakin intensnya interaksi masyarakat dunia yang berakibat terjadinya revolusi di berbagai sektor kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, teknologi, dan kebudayaan. Kemajuan di suatu wilayah dengan cepat dapat diketahui di tempat lain. Sekalipun demikian, dampak negatifnya tidak kalah mencemaskan karena globalisasi menjadi kendaraan bangsa maju untuk menguasai bangsa tertinggal (Abbas, 2013: 2). Globalisasi yang didukung teknologi informasi, membawa dampak terhadap ideologi, agama, budaya, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana ditulis Anon (2010) dalam Abbas (2013: 3) pada aspek sosial ekonomi, telah mengakibatkan tumbuhnya jumlah kemiskinan dan pengangguran, bidang sosial budaya berpengaruh terhadap nilai-nilai solidaritas sosial, seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik, dan sebaliknya memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi antar agama, menipisnya solidaritas antar sesama, dan pada akhirnya terkikisnya rasa nasionalisme. Dengan kata lain, pengaruh globalisasi negatif berdampak terhadap memudarnya nilai-nilai budaya bangsa yang semakin ditinggalkan sebagai pedoman kehidupan. Nilai-nilai budaya bangsa, terutama bagi generasi muda, tidak lagi menjadi acuan utama dalam kehidupan yang mengakibatkan mengagung-agungkan apa yang datang dari luar dan kurang menghargai terhadap bangsa sendiri. Akibatnya sebagai bangsa rasa cinta tanah air dan bangsa mulai terkikis oleh kuatnya arus globalisasi. Generasi muda lebih suka mengimitasi atau pun mengidentifikasi sekaligus bertindak

356 Tri Hayat Ariwibowo dengan budaya “luar”. Budaya-budaya luar cenderung “menguasai” budaya nasional dan budaya lokal membuat kehilangan jatidiri sebagai bangsa. Padahal Indonesia kaya nilai-nilai budaya yang baik. Dalam konteks kekinian K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul (1942-2005), ulama kharismatik Kalimantan Selatan adalah panutan masyarakat Banjar.Guru Sekumpul melalui pengajian Sekumpul menanamkan nilai-nilai yang baik untuk diterapkan dan dilaksanakan. Nilai- nilai keislaman yang disampaikan Guru Sekumpul telah membawa pengaruh besar bagi perkembangan Islam di Martapura dan Kalimantan Selatan pada umumnya.Pengajian yang Beliau lakukan tidak hanya untuk orang tertentu saja tetapi untuk semua orang. Bahkan Guru Sekumpul memberikan perhatian dengan melaksanakan pengajian untuk laki-laki dan pengajian untuk perempuan, serta perhatian khusus dengan melaksanakan pengajian untuk anak-anak. Apa yang dilakukan Guru Sekumpul adalah suatu yang luar biasa. Perhatian terhadap pendidikan tidak perlu diragukan lagi. Di tengah derasnya arus modernisasi pendidikan dan ketika orang berlomba-lomba mencari format pendidikan modern, Guru Sekumpul tetap melaksanakan pengajian dengan metode halaqah. Hal yang terus terjaga melalui murid- murid Beliau yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Hal ini menarik untuk diteliti, tentang nilai-nilai pengajian Guru Sekumpul dalam kaitannya dengan pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Guru Sekumpul memberikan tauladan baik bagi masyarakat. Pengajian tidak hanya masalah keagamaan tetapi berisi masalah sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan lainnya dalam kemasan baik. Mengikuti pengajian Guru Sekumpul memberikan rasa tenang dan nyaman sehingga tidak heran jika setiap pengajian ribuan orang datang. Jika Guru Sekumpul berhalangan hadir atau sakit maka jamaah turut merasakan sedih. Pengajian Guru Sekumpul merupakan sumber inspiratif dan merupakan “jalan keluar” bagi permasalahan pembelajaran IPS.

Tri Hayat Ariwibowo 357 II. PEMBAHASAN Kelurahan Sekumpul mempunyai luas 192.22 Ha. Kelurahan Sekumpul mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kelurahan Tanjung Rema Darat dan Kelurahan Jawa. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sungai Ulin, Kota Banjarbaru. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sungai Paring dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Indrasari (Renstra Kelurahan Sekumpul Tahun 2011-2015:5). Menurut Lurah Sekumpul, Gusti Marhusin (wawancara, 25/03/2015) pembentukan Kelurahan Sekumpul berdasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pemekaran Kelurahan Jawa dan Sekumpul, Gambut dan Gambut Barat. Namun begitu pelayanan pemerintahan di Kelurahan Sekumpul baru aktif mulai 01 Januari 2009. Pengembangan Sekumpul sebagai kelurahan sebagai dedikasi dan penghormatan kepada Guru Sekumpul yang telah berjasa membangun dan mengembangkan wilayah ini sekaligus untuk memenuhi kebutuhan guna memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Hal ini membuat Sekumpul menjadi kawasan padat di Kabupaten Banjar. Hampir tidak ada tanah kosong di Sekumpul, hampir semua lahan dijadikan rumah, toko, dan kios. Pada perkembangannya, Kelurahan Sekumpul terdiri dari 28 Rukun Tetangga (RT) dan 5 Rukun Warga (RW). Penduduk Kelurahan Sekumpul menurut data tahun 2011 sebanyak 11.574 jiwa, tahun 2012 menjadi 12.650, tahun 2013 menjadi 12.657, dan tahun 2014 turun menjadi 12.643 (Renstra Kelurahan Sekumpul Tahun 2011-2015). Di Sekumpul ulama dan tuan guru memiliki status sosial yang tinggi dibandingkan yang lain. Menurut Sobari (1999: 80), ulama dan tuan guru memperoleh posisi prestisius dalam masyarakat bukan karena memiliki wewenang formal melainkan karena kelebihan intelektual mereka. Baik ulama maupun tuan guru biasanya dianggap sebagai pemimpin moral keagamaan, sosial dan kadang-kadang politis.

358 Tri Hayat Ariwibowo Tugas ulama menurut Horikoshi (1987: 149) untuk mengajarkan doktrin agama, yaitu seperangkat nilai-nilai untuk membimbing tingkah laku moral anggota-anggota masyarakat. Dalam masyarakat Banjar tradisional pengakuan terhadap seorang tuan guru didasarkan pada kriteria lamanya masa menuntut ilmu di tanah suci Mekkah, atau paling tidak berguru kepada tuan guru-tuan guru lokal yang dianggap sangat alim dalam berbagai cabang ilmu agama, khususnya dalam ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Selain itu, pengaruh seorang tuan guru juga ditentukan oleh kharisma yang dimiliki serta berapa banyak jama’ahnya. Di Sekumpul, tuan guru yang paling utama dan paling dihormati adalah Tuan Guru Zaini atau Guru Sekumpul. Banyak tuan guru yang telah dikenal masyarakat karena kepandaian dan penguasaan tentang Islam. Selain karena kepandaiannya dalam ilmu agama, beberapa tuan guru dihormati juga karena asal-usul geneologisnya sebagai keturunan dan pewaris ilmu dari tokoh tuan guru terkenal sebelumnya. Pengabdian Guru Sekumpul dalam dunia dakwah dimulai ketika beliau diminta menjadi guru di Pesantren Darussalam, Martapura. Pada tahun 1962 Guru Sekumpul mengajar di Pesantren Darussalam. Selain itu Guru Sekumpul juga membuka pengajian di rumah beliau di Jalan Sasaran, Keraton Martapura. Pengajian di Keraton ini diikuti oleh laki-laki dilaksanakan pada hari Senin dan hari Kamis setelah salat Ashar dan pengajian perempuan setiap Kamis ba'da salat Ashar. Pada pengajian anak-anak laki-laki Guru Sekumpul mempercayakannya kepada Guru Duan dan Guru Fauzi. Menurut Guru Duan (Wawancara, 18/03/2015), materi pengajian Guru Sekumpul membaca iqra, ahlak lilbanin (dibacakan), fiqih dasar (salat, wudhu dan bersuci), tauhid dengan membaca bersama, tulis indah (qot). Untuk bacaan, membaca iqra, juz’amma dan Al Qur’an. Sifat Duapuluh, kitab Perukunan Kecil, Aqidatul Awam mencakup sifat yang wajib bagi nabi, kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, mengenal nama-nama malaikat dan nama-nama rasul sebagai pelajaran pembuka dan dibaca bersama.

Tri Hayat Ariwibowo 359 Kepedulian Guru Sekumpul terhadap pendidikan Islam ditunjukkan dengan membangun sekolah agama Islam, yaitu Madrasah Mangun Jaya di Pesayangan dan Madrasah Darul Ma’rifah di Sekumpul. Pada awalnya pendiriannya Guru Sekumpul bersama M. Hamdani Muhdat langsung turun tangan, kemudian urusan madrasah ini diserahkan Guru Sekumpul kepada M. Hamdani Muhdat selaku Kepala Madrasah untuk keduanya. 2.1 Nilai-Nilai Pengajian Guru Sekumpul Spranger (Mulyana, 2004: 32-35) menjelaskan ada enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Keenam nilai tersebut adalah sebagai berikut: (1). Nilai teoritik; melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu, (2). Nilai ekonomis; terkait dengan perimbangan nilai yang berkadar untung dan rugi, yang berarti mengutamakan kegunaan sesuatu bagi manusia, (3). Nilai estetik; disebut juga sebagai nilai keindahan yang sangat tergantung pada subjektif seseorang, (4). Nilai sosial; berakumulasi pada nilai tertinggi yakni kasih sayang antar manusia, (5). Nilai politik; kadar nilainya bergerak dari pengaruh yang rendah menuju tinggi, atau sering disebut sebagai nilai kekuasaan, dan (6). Nilai agama; merupakan nilai yang bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. 2.1.1 Nilai Teoritik Dalam pengajian Guru Sekumpul, nilai teoritik ditemukan pada penyampaian konsep-konsep keimanan dan ketaqwaan bersumber pada Al Qur’an dan Hadist untuk selanjutnya dijabarkan melalui berbagai kitab- kitab yang disampaikan. Kitab-kitab yang diajarkan yaitu kitab-kitab karya para ulama salafus sholih yang bersanad ijazah (bersambung) kepada Guru Beliau hingga kepada Rasulullah SAW. Pada tataran konsep dan pengetahuan pengajian Guru Sekumpul mengandung nilai teoritik. Para

360 Tri Hayat Ariwibowo jamaah yang hadir diberikan konsep-konsep keimanan dan ketaqwaan yang secara teoritis disampaikan Guru Sekumpul. 2.1.2 Nilai Ekonomis. Dalam pengajian Guru Sekumpul, nilai ekonomis ini dapat ditemui pada praktik-praktik kegiatan ekonomi Guru Sekumpul dengan konsep wirausaha ataupun pengusaha Islami. Menurut Hamdani Muhdat (Wawancara, 30/03/2015), Guru Sekumpul selalu berpesan bahwa dalam berusaha ingat rumus sepertiga (1/3): hasil usaha dibagi tiga. Sepertiga untuk disimpan sebagai modal, kemudian sepertiga digunakan untuk keperluan sehari- hari dan sepertiga lainnya untuk disedekahkan kepada yang berhak. Guru Sekumpul memilih kehidupan sederhana, tidak bermewah- mewah. Harta-harta pencaharian Guru Sekumpul disedekahkan untuk berbagai keperluan. Contoh jamaah yang datang ke Pengajian Sekumpul disediakan air minum, roti, dan buku. Tidak sedikit individu atau lembaga yang membutuhkan dana dibantu Guru Sekumpul. Guru Sekumpul banyak diberi uang oleh berbagai kalangan dan uang tersebut disedekahkan kepada pihak yang membutuhkan. Untuk membiayai kehidupan keluarga, Guru Sekumpul mempunyai berbagai usaha. 2.1.3 Nilai Estetik. Nilai estetik secara tidak langsung terlihat dari pribadi Guru Sekumpul. Sebagai ulama besar, sosok Guru Sekumpul mempunyai tinggi badan (sekitar 172 cm) dan perawakan yang ideal. Tinggi beliau diatas rata-rata membuat pesona karismatik Guru Sekumpul begitu terlihat. Tutur kata yang halus, lembut dan bersahaja membuat sosok beliau begitu dikagumi banyak orang. Senyuman khas beliau dibalut baju gamis putih seakan menjadi ‘made’ dari Guru Sekumpul. Apalagi kalau diingat wajahnya yang tampan dan berperawakan yang bagus rambut hitam tidak ikal dan tidak juga lurus, dahinya lebar, jika berdiam tampak berwibawa dan bila berkata menarik, bicaranya sopan

Tri Hayat Ariwibowo 361 santun dan manis, suaranya merdu, perangainya lemah lembut, punya kharisma yang memancar dari dirinya, tentulah membuat sebagian perempuan memimpikannya sebagai suami (Az Zahra, 2007: 182). Cara berpakaian dan penampilan Guru Sekumpul yang selalu terlihat indah membuktikan bahwa Guru Sekumpul sangat memperhatikan nilai estetik, seni berpakaian, kerapian dan kebersihan. Dalam banyak gambar ataupun poster terlihat Guru Sekumpul yang tinggi dengan pakaian gamis putih yang bagus. Dengan penampilan seperti itu, kharisma Guru Sekumpul semakin terlihat. Guru Sekumpul mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan dan penampilan diri. Sering juga terlihat Guru Sekumpul memakai jas atau sorban. Ketika sakit, Beliau melaksanakan pengajian dari kamar beliau dan direlay melalui TV Ar Raudhah. 2.1.4 Nilai Sosial Nilai sosial ini jelas terdapat dalam pengajian Guru Sekumpul. Dalam setiap pengajian, Guru Sekumpul menyampaikan tentang konsep hablum minallah dan hablum minan-nas. Hablum minallah dimaknai sebagai hubungan dengan Allah dan hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Terutama konsep hablum minan-nas, Guru Sekumpul selalu menyampaikan agar selalu berbuat baik kepada sesama manusia. Wasiat Guru Sekumpul sebagian besar menyangkut masalah hubungan manusia dengan manusia. Guru Sekumpul menekankan dalam bergaul sesama manusia perlu dijaga hubungan sosial dan toleransi. Karena itu Guru Sekumpul berwasiat untuk; selalu baik sangka terhadap muslimin, murah harta, manis muka, jangan menyakiti orang lain, mengampunkan kesalahan orang lain dan jangan bermusuh-musuhan serta jangan tamak dan serakah. Nilai sosial tidak saja disampaikan secara lisan tetapi juga dipraktekkan (bil-hal) Guru Sekumpul sebagai bagian dari wujud kecintaan terhadap sesama muslim. Sebagai ulama, beliau dikenal sebagai orang yang lembut, kasih sayang, sabar, tekun dan dermawan serta tolong menolong. 362 Tri Hayat Ariwibowo 2.1.5 Nilai Politik Untuk nilai politik ini tidak terdapat dalam pengajian Guru Sekumpul. Bahkan Guru Sekumpul dengan tegas menolak pengajian beliau dimanfaatkan untuk ajang politik praktis. Guru Sekumpul dengan tegas menyampaikan penolakan Sekumpul dijadikan ajang kampanye ataupun kegiatan politik saat pengajian. “Tempat ini handak diolah cagar bekampanye partai, aku kada ridho. Cara apapun kampanyenya, aku kada ridho. Hidupkah aku, matikah sudah jangan digunakan selain gasan menuntut ilmu dan ibadah. Jangan digunakan untuk politik tempat yang mulia ini, nanti bala akan turun habis-habisan di Sekumpul ini bahkan Martapura” (Jika tempat ini dibuat sebagai ajang kampanye, saya tidak rela/ridho. Cara apapun bentuk kampanyenya saya tidak rela/ridho. Jika aku masih hidup atau sudah meninggal maka jangan digunakan selain untuk menuntut ilmu dan ibadah. Jangan digunakan untuk berpolitik tempat yang mulia ini, nanti musibah akan turun tanpa henti di Sekumpul ini bahkan Martapura). Penolakan Guru Sekumpul berpolitik bukan “harga mati”, melainkan sikap bijaksana karena walaupun menolak berpolitik, Guru Sekumpul tidak pernah melarang siapa pun untuk datang ke Sekumpul. Guru Sekumpul memberikan pelajaran tentang pentingnya toleransi dan sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Berbeda boleh namun tidak untuk menjadikan perpecahan. Guru Sekumpul adalah alim ulama besar, beliau bukan milik golongan ataupun partai politik melainkan milik ummat karena itu beliau menempatkan diri berada ditengah-tengah ummat. 2.1.6 Nilai Agama Dalam nilai agama, pengajian Guru Sekumpul tidak saja terbatas pada masalah tauhid dan fikih tetapi juga pada ilmu lainnya, yaitu tasawuf. Menurut Siradjuddin Abbas (2000: 30), Ilmu tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu tauhid (ushuluddin), ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ilmu tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad. Tri Hayat Ariwibowo 363 Nilai-nilai keagamaan dalam diri Guru Sekumpul dipraktikkan dalam bentuk ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dalam menuntut ilmu agama, sehingga tidak berlebihan jika Abah Anom menyebut Guru Sekumpul sebagai “lautan ilmu”. 3.2 Nilai-Nilai Pengajian Guru Sekumpul Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Guru Sekumpul telah memberikan teladan tentang bagaimana pentingnya pendidikan dalam nilai-nilai keislaman.Kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya diinstitusikan.Institusional nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Pandangan Freeman But yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib (1993: 127) menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai. Nilai merupakan fondasi penting dalam menentukan karakter suatu masyarakat bahkan suatu bangsa. Nilai tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi melalui proses penyebaran dan penyadaran, yang salah satunya adalah pendidikan di sekolah. Nilai-nilai yang terdapat dalam pengajian Guru Sekumpul sebagaimana dirumuskan oleh Spranger dalam Mulyana (2004: 32-35) yakni nilai teoritik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama, menjadi lebih bermakna jika nilai-nilai tersebut dimasukkan dalam pendidikan di sekolah. Guru Sekumpul telah memberikan tauladan bagaimana nilai-nilai yang terdapat dalam pengajiannya ternyata mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik.Sekumpul yang semula sepi berubah menjadi sentral kegiatan dakwah Islam yang luar biasa.Sekumpul mampu menjalankan nilai-nilai keislaman dibawah arahan dan bimbingan Guru Sekumpul.Kini warisan nilai-nilai Guru Sekumpul masih tertanam kuat dalam masyarakat Sekumpul.Karena itulah sangat disayangkan jika penerapan 364 Tri Hayat Ariwibowo nilai-nilai tersebut berhasil dilaksanakan di masyarakat mengapa tidak dicoba untuk diterapkan dalam dunia pendidikan. Terutama dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Mulyana (2004: 119) mengungkapkan bahwa pendidikan nilai mencakup seluruh aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Tujuan pendidikan di sekolah ditentukan oleh kurikulum sekolah. Kurikulum pendidikan nilai di sekolah menurut Wahjudin (1996: 24) harus terdiri atas nilai-nilai, norma-norma, kebudayaan dan kegiatan-kegiatan yang mampu membentuk anak didik menjadi manusia berkemampuan tinggi, sehingga dapat mencapai ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, mampu mandiri dan berkepribadian. Pengajian yang Guru Sekumpul lakukan sejak di Keraton sampai di Sekumpul adalah bagian dari pendidikan Islam yang dikemas melalui bentuk pengajian.Dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isinya adalah Al-Qur’an dan Al Hadits menjadi pondamen, karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan.Sebagai bagian dari pendidikan, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) selayaknya disampaikan secara menarik dan penuh makna dengan memadukan seluruh komponen pembelajaran secara efektif.Selain itu, IPS sebagai disiplin ilmu yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap dinamika perkembangan masyarakat.Dalam praktek pembelajarannya harus senantiasa memperhatikan konteks yang berkembang.Pendekatan- pendekatan pembelajaran efektif yang diramu dari teori pendidikan modern menjadi salah satu instrumen penting untuk diperhatikan agar pembelajaran tetap menarik bagi peserta didik serta senantiasa relevan dengan konteks yang berkembang.

Tri Hayat Ariwibowo 365 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk pendidikan dasar dan menengah memuat tentang Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial.Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi.Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Menurut Wahyu (2013: 5) IPS adalah label untuk mata pelajaran disiplin IIS, seperti antropologi, ekonomi, geografi, sejarah, sosiologi, dan ilmu politik pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.Menurut Diknas (2004: 3) Ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Menurut Abbas (2013: 25), pengembangan nilai dalam Pendidikan IPS akan efektif apabila nilai-nilai yang melekat pada setiap konsep bahasan materi pelajaran dijadikan media stimulus bagi terjadinya klarifikasi dan penalaran nilai sebagai proses pengembangan kemampuan mengiternalisasi dan internalisasi nilai. Dalam konteks pendidikan kekinian, apa yang dilakukan Guru Sekumpul sangatlah sesuai dengan nilai-nilai pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Guru Sekumpul memberikan contoh bagaimana pendidikan dilakukan sejak dari anak-anak sampai dewasa. Pendidikan tidak mengenal usia. Pendidikan dilakukan dengan sepenuh hati, ikhlas dan sabar dalam prosesnya.Pendidikan tidak dinikmati sekarang tetapi hasilnya terlihat dikemudian hari.Muaranya adalah pada perubahan sikap untuk menjadi lebih baik, menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Meneladani Rasulullah dan bermanfaat bagi orang lain. Itulah nilai-nilai

366 Tri Hayat Ariwibowo pengajian Guru Sekumpul yang dapat dipetik dari masa dakwah beliau (1989-2005). Praktik-praktik pengajian yang Guru Sekumpul lakukan sangat relevan dengan nilai-nilai pendidikan IPS. Dalam praktiknya, Guru Sekumpul mengintegrasikan pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, dan sikap yang disampaikan melalui pengajian Sekumpul.Pengetahuan tersebut kemudian dipahami, diinternalisasikan, dan dipraktikkan oleh murid-murid dan jamaah pengajian Sekumpul dalam kehidupan sehari-hari sehingga sangat bermakna (meaningful) (Abbas, 2013: 275). Hal yang tentu saja tidak mungkin kita temukan pada guru-guru IPS di sekolah. Sebagaimana disampaikan Riri (Wawancara, 8/04/2015), guru masuk kelas kemudian langsung menyuruh peserta didik untuk membuka LKS (Lembar Kerja Siswa) dan meminta siswa untuk mengerjakan soal latihan yang tertera di LKS.Tidak ada pengantar (apersepsi dan elaborasi) hanya perintah untuk mengerjakan soal lalu dikumpulkan dan diperparah keterbatasan sarana dan buku-buku penunjang membuat pembelajaran IPS jauh dari kata sempurna. Guru Sekumpul menciptakan suasana belajar menyenangkan, para jamaah tidak bosan dalam mengikuti pengajian.Tata bahasa disusun Guru Sekumpul dengan baik, tidak kaku, suara yang jelas terkadang disertai canda cerita membuat suasana pengajian menjadi menyenangkan. Bahkan waktu yang ada terasa sangat cepat karena para jamaah tidak akan beranjak sebelum Guru Sekumpul menutup pengajian. Pengajian Sekumpul masuk dalam kategori value-based (berbasis nilai-nilai).Pengajian Sekumpul memfokuskan pada nilai-nilai Islam dan secara komprehensif yang mampu mengatasi sekat-sekat jamaah, misalnya umur, pendidikan, suku, kedudukan dan pandangan politik.Nilai-nilai Islam disampaikan secara universal sebagai pantulan aplikasi Islam sebagai rahmatan lilalamin (Abbas, 2013: 277).

Tri Hayat Ariwibowo 367 Pengajian Guru Sekumpul telah mempraktikkan keberhasilan pendidikan yang mengandalkan kepada kesadaran untuk menerima disertai dengan keikhlasan untuk memberi sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Guru Sekumpul memberikan contoh pengajaran yang berhasil dan layak untuk dicontoh guna diterapkan di sekolah-sekolah.Dengan belajar dan mengembangkan ajaran Guru Sekumpul, para guru dapat mempersiapkan peserta didik mejadi waga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, berakhlak mulia dan mempunyai kepekaan sosial.

III. SIMPULAN Pengajian Guru Sekumpul merupakan pengajian yang banyak dihadiri oleh ribuan jamaah. Pengajian Guru Sekumpul terbagi 3 (tiga), yaitu pengajian untuk laki-laki yang dilaksanakan setiap hari Senin dan hari Kamis setelah salat Ashar, pengajian untuk perempuan pada hari Senin dan Kamis. Sedangkan untuk pengajian anak-anak di laksanakan setiap hari Senin sampai Kamis, dari pukul 16.00-17.00 WITA. Nilai-nilai dalam pengajian Guru Sekumpul: (1) Nilai teoritik; melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu, (2) Nilai ekonomis; terkait dengan perimbangan nilai yang berkadar untung dan rugi, yang berarti mengutamakan kegunaan sesuatu bagi manusia, (3) Nilai estetik; disebut juga sebagai nilai keindahan yang sangat tergantung pada subjektif seseorang, (4) Nilai sosial; berakumulasi pada nilai tertinggi yakni kasih sayang antar manusia, (5) Nilai politik; kadar nilainya bergerak dari pengaruh yang rendah menuju tinggi, atau sering disebut sebagai nilai kekuasaan. (6) Nilai agama; merupakan nilai yang bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan.

368 Tri Hayat Ariwibowo Dengan adanya nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa pengajian Guru Sekumpul mempunyai hubungan erat dengan pembelajaran IPS. Pengajian Guru Sekumpul memiliki nilai-nilai keteladanan, nilai keikhlasan, nilai sabar, nilai pantang menyerah, nilai kekeluargaan, nilai gotong royong, dan sebagainya yang sangat bagus untuk dilaksanakan di sekolah. Guru Sekumpul telah memberikan keteladanan dengan pengajian yang beliau lakukan.

DAFTAR PUSTAKA Buku: Abbas, Ersis Warmansyah. 2013. Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: 2013. ______. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung:FKIP UNLAM Press. ______dan Bambang Subiyakto. 2005. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. Al-Banjari, M. Z. A. G. 1995. Al-Risalat al- Nuraniyyah fi Syarh al-Tawassulat al-Sammaniyyah. Banjarbaru: Penerbit Al-Raudah. Al Muchtar, S. 2004. Epistemologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri. ------2004. Strategi Pembelajaran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI. Arifin. 1976. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. Jakarta : Bulan Bintang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar. 2012. Kecamatan Martapura Dalam Angka 2012. Martapura: BPS Kab.Banjar Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tri Hayat Ariwibowo 369 Daudi, A. 1996. Muhammad Arsyad Al-Banjari. Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul ‘Ulum. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standard Isi. Jakarta. Hasjmy, A. 1993. Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Maryati, E. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Peningkatan Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta. Megawangi, R. 2007. Membangun SDM Indonesia melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, dalam Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung: UPI. Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muhaimin dan Abdul Mujib, (1993).Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya. M. Numan Somantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosda Karya. Nata, Abudin. 1999. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. NCSS.2000. National Standards for Social Studies Teachers: National Standards forSocial Studies Teaching, Vol. 1. Washington, DC: NCSS. Nugroho, N. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia, UI- Press. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor 22 Tahun 2006. Rosyadi, A. 2004. Bertamu ke Sekumpul, Cet. III. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Antara. 370 Tri Hayat Ariwibowo RHA Soenarjo, et. al, (1993). AL-Qur’an dan terjemahnya. Semarang: Al Wa’ah. Sapriya. 2009. Pendidikan IPS; Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saleh, I. 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Banua. Saripudin, W. U. 1989. Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Sosial di Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikbud. Satori, D., Aan K. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sjamsuddin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Sjamsuddin, H. 2001. Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Jakarta: Balai Pustaka. Somantri, M. N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suyanto, B. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Zein, I. 2012. Al’Alimul ‘Allamah Al’Arif Billah As-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani. Martapura: Yayasan Pendidikan Dalam Pagar. Zein, I. 2012. Manaqib Guru Sekumpul. Martapura: Yayasan Pendidikan Dalam Pagar. Wahyu. 2014. Fenomena Sosial Perspektif Sosiologi. YogYakarta: Aswaja Pressindo. Penelitian: Abbas, E. W., Bambang S, dan Syaharuddin. (2009). Kesiapan Sekolah Tingkat Dasar dan Menengah dalam Menghadapi Peraturan Daerah (PERDA) Khatam Al-Qur’an di Kabupaten Banjar. Banjarmasin: FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Alfisah. (2005). Agama dan Tingkah Laku Ekonomi Urang Banjar: Studi atas Pedagang Sekumpul Martapura Kalimantan Selatan. Yogyakarta: Tesis Program Pascarjana UGM Yogyakarta: Tidak diterbitkan. Tri Hayat Ariwibowo 371 Alfisah, dkk (2013). Laporan Penelitian “Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan di Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Mirhan AM. 2012. K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani di Martapura Kalimantan Selatan (1942-2005): Telaah terhadap Karisma dan Peran Sosial. Program Pascasarjana UIN Alauddin Makasar: Tidak diterbitkan. Rafi’ah Gazali. 2013. Laporan Penelitian Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sahriansyah, dkk. 2012. “Pendidikan Aqidah dan Akhlak dalam Perspektif Muhammad Zaini Ghani”. Banjarmasin: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Antasari. Tim Peneliti Fakultas Ushuluddin. 2000. Pemikiran Keagamaan KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin. Jurnal dan Makalah: Alfisyah. 2013. Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan di Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura. Universitas Lambung Mangkurat: Banjarmasin. ------. 2009) . Pengajian dan Transformasi Sosiokultural dalam Masyarakat Muslim Tradisionalis Banjar. KOMUNIKA. Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009. STAIN Purwokerto: Purwokerto. Ersis Warmansyah Abbas dan Suwarma Al Muchtar. Integritas, Vol. 1 No. 2, April 2013. “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Melalui Ajaran dan Metode Guru Sekumpul”. Bandung. Muslikh. 2011.Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu dan Implikasinya.Widyatama No. 02 Volume. 20 Tahun 2011 Nor Hashimah Jalaluddin. 2012. Peluasan Makna Alim: Analisis Semantik.

372 Tri Hayat Ariwibowo PERAN SARJANA PENDAMPING DESA SEJAHTERA DI DESA ANGKINANG SELATAN KECAMATAN ANGKINANG KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN Fauzil Adha

ABSTRAK Untuk mewujudkan desa mandiri dan sejahtera Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan melaksanakan program sarjana pendamping desa (SaMping DeSa) untuk mendorong, mengembangkan dan meningkatkan pembangunan desa mandiri dan sejahtera berbasis pemberdayaan kemasyarakatan di desa. Desa yang didampingi SaMping DeSa adalah Desa Angkinang Selatan karena belum berjalan dengan baik dan potensi UKM belum berkembang. Desa Angkinang Selatan terletak di dataran rendah dan dilintasi Jalan Nasional Trans Kalimantan, pelaksanaan program SaMping DeSa Kabupaten Hulu Sungai Selatan meliputi pendampingan pemerintahan desa dan masyarakat desa. Peran SaMping DeSa lebih mengaktifkan aparat pemerintahan desa dan mendampingi usaha kecil dan menengah meliputi: UKM kue roko, kelompok warung amanah dan UKM gula merah. Dengan pendampingan SaMping DeSa di Desa Angkinang Selatan Pemerintah Desa lebih baik dan UKM dampingan mulai berkembang yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar IPS. Kata kunci: Peran, SaMping DeSa, masyarakat desa.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Alumnus Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Fauzil Adha 373 I. PENDAHULUAN Pemerintahan desa sebagai pemerintahan yang terendah dalam penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, maka kedudukan desa dalam pelaksanaan pembangunan mempunyai arti yang sangat penting. Desa sebagai unit pemerintahan terendah merupakan sasaran program-program dari hampir semua instansi pemerintah. Kegagalan program ditingkat desa akan membawa dampak bagi kegagalan program pemerintahan diatasnya. Kegagalan program ditingkat desa dapat menimbulkan permasalahan kesejahteraan masyarakat desa seperti kemiskinan. Data Susenas 2013 (Pedoman Umum SP3 Kemenpora, 2014: 9), menunjukan bahwa 17,92 juta jiwa (14,42%) dari total penduduk di Indonesia tinggal dan menyebar di wilayah perdesaan berada dalam situasi kemiskinan dengan konsumsi di bawah Rp.275.779/kapita/bulan. Sedangkan penduduk miskin perkotaan sekitar 10,63 juta jiwa (8.52%) dengan konsumsi di bawah Rp. 308.826/kapita/bulan. Keberhasilan pembangunan masyarakat desa dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki keunggulan daya saing, menjadi salah satu kunci dalam membuka peluang dan kemajuan diberbagai sektor pembangunan dan masa depan desa-desa di Indonesia. Oleh sebab itu, jiwa kepeloporan pemuda (sarjana) sebagai agen of change sangat menentukan perkembangan dan kesuksesan pembangunan desa. Untuk menjawab persoalan tersebut dan dalam upaya mendorong, mengembangkan, serta meningkatkan pembangunan desa mandiri dan sejahtera berbasis pemberdayaan kemasyarakatan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan memfasilitasi potensi pemuda terdidik, yaitu sarjana lulusan Perguruan Tinggi berbagai disiplin ilmu untuk menjadi tenaga pendamping desa melalui program Sarjana Pendamping Desa Sejahtera (SaMping DeSa). 374 Fauzil Adha Program Sarjana Pendamping Desa Sejahtera (SaMping DeSa) Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini dikembangkan dengan tujuan untuk membangun desa dan masyarakatnya menjadi lebih baik melalui pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa dan masyarakat (Tim Pembina SaMping DeSa, 2014:1). Program ini diharapkan menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan yang dapat memperbaiki taraf kehidupan masyarakat desa yang lebih baik dalam hal kemandirian administaratif pemerintahan desa dan kemandirian usaha produktif masyarakat desa. Pada tahun 2014 menempatkan sarjana pendamping 50 orang yang tersebar di 50 desa model (11 kecamatan) di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Salah satu desa model yang mendapat pendampingan SaMping DeSa adalah Desa Angkinang Selatan Kecamatan Angkinang. Berdasarkan wawancara awal dengan SaMping DeSa di Desa Angkinang Selatan kondisi pemerintahan desa (awal pendampingan) belum baik, dapat dilihat dari buku-buku administrasi desa hanya sebagian terisi, aparat desa kurang aktif sehingga pelayanan masyarakat tidak maksimal dan lembaga-lembaga organisasi di desa (BPD, LPM dan Karang Taruna) tidak bergerak. Selanjutnya Desa Angkinang Selatan merupakan akses jalan nasional Trans Kalimantan yang memiliki potensi persinggahan pengemudi kendaraan bermotor, akan tetapi usaha kecil menengah di bidang makanan khas dan warung belum berkembang. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi SaMping DeSa dalam menginsprasi dan memberikan ide-ide, gagasan dan inovasi untuk mewujudkan desa mandiri dan sejahtera dalam arti bagaimana peran sarjana pendamping desa sejahtera di Desa Angkinang Selatan yang meliputi kondisi objektif Desa Angkinang Selatan, pelaksanaan program SaMping DeSa serta peran SaMping DeSa. Penelitian ini termasuk kedalam ruang lingkup isu-isu Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kategori kekuasaan, otoritas dan pemerintahan (pemerintahan desa) dan kategori sains, teknologi dan masyarakat dalam hal ini masyarakat desa (Wahyu et al, 2010: 15).

Fauzil Adha 375 Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan kondisi objektif Desa Angkinang Selatan, mendeskripsikan pelaksanaan program sarjana pendamping desa sejahtera Kabupaten Hulu Sungai Selatan, mendeskripsikan peran sarjana pendamping desa di Desa Angkinang Selatan Kecamatan Angkinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan, serta mendeskripsikan keterkaitan peran sarjana pendamping desa sejahtera dalam ruang lingkup Pendidikan IPS.

II. PEMBAHASAN Desa Angkinang Selatan merupakan salah satu desa definitif yang terletak di Kecamatan Angkinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Luas wilayah Desa Angkinang Selatan adalah 258 Ha yang secara geografis tergolong dataran rendah. Desa yang terletak di sebelah selatan Kecamatan Angkinang ini dilintasi oleh Jalan Trans Kalimantan, yaitu Jalan Ahmad Yani sepanjang 1,4 Km. Pemerintahan Desa Angkinang Selatan dipimpin oleh kepala desa atau yang sering disebut warga dengan Pambakal yang dipilih langsung oleh masyarakat secara demokratis. Pambakal bekerja membawahi 4 Rukun Tetangga (RT) dan 2 Rukun Warga (RW). Pambakal memimpin penduduk Desa Angkinang Selatan yang berjumlah 1.116 jiwa dengan 380 KK. Mayoritas penduduk Desa Angkinang Selatan berprofesi sebagai wiraswasta, yaitu berjumlah 17,83% dan profesi petani/pekebun berjumlah 15,41% penduduk. Selanjutnya etnis Banjar mendominasi di Desa Angkinang Selatan yaitu berjumlah 85,57% penduduk. Tingkat pendidikan penduduk mayoritas SLTA/sederajat yaitu berjumlah 26,7%. Penduduk Desa Angkinang Selatan merupakan masyarakat kelas menengah kebawah dengah presentasi 65,52%. Mayoritas masyarakat bertani/ berkebun di lahan tadah hujan dan irigasi ½ teknis dengan hasil produksi unggulan tomat, padi, ubi kayu dan jeruk. 376 Fauzil Adha 2. 1 Pelaksanaan Program Sarjana Pendamping Desa Sejahtera (SaMping DeSa) Kabupaten Hulu Sungai Selatan UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal 1, berbunyi desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan SDA, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Walaupun desa bersifat otonom tidak serta merta pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab. Untuk itu, dalam rangka implementasi visi dan misi Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan periode 2013-2018 untuk mewujudkan masyarakat yang “sejahtera, agamis dan produktif” Program SaMping DeSa merupakan program strategis sebagai respon isu aktual pembangunan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dalam hal pembinaan lembaga pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam rangka menuju desa mandiri dan sejahtera. Tujuan utama dari program SaMping DeSa yaitu pendampingan lembaga pemerintahan desa untuk mendorong kemandirian dan peningkatan pelayanan lembaga pemerintahan desa dalam melayani masyarakat dan pendampingan masyarakat desa melalui pengembangan kelembagaan ekonomi desa, pengembangan jaringan usaha, menjembatani akses permodalan (baik pemerintah maupun pihak swasta). Program SaMping DeSa diharapkan mampu dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat desa. Masyarakat dapat secara maksimal mendapat pelayan di kantor desa seperti misalnya mengurus administrasi kependudukan dan surat menyurat. Kemudian diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Hal ini sesuai dengan UU. No. 6 tahun 2014 tentang Fauzil Adha 377 Desa, bahwa masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang mempelopori, menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang disebut sebagai agen perubahan (Soekanto, 2005:273). Sarjana pendamping desa sejahtera agen perubahan yang merupakan tenaga kontrak Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang diperbantukan untuk melakukan pendampingan terhadap upaya pemberdayaan kelembagaan desa dan kelompok masyarakat. Sehingga outcome yang dihasilkan nantinya menjadikan desa sejahtera dan mandiri. Sasaran yang dipilih menjadi tenaga sosial ini adalah para sarjana lulusan dari multidisiplin ilmu di Perguruan Tinggi, dikarenakan mereka memiki kemampuan akademis yang sesuai dengan tujuan Program SaMping DeSa. Hal ini senada dengan pendapat Adi (1994: 23) pendidikan pekerjaaan sosial (tenaga sosial) secara profesional prioritasnya adalah dua tahun pendidikan tinggi (Diploma 2), 4 tahun pendidikan tinggi (Strata 1), pendidikan 1 tahun pasca sarjana (keprofesian), Magister (Strata 2) dan Doktor atau Strata 3. Sasaran SaMping DeSa adalah lembaga pemerintahan desa dalam rangka mewujudkan pemerintahan desa mandiri dalam mengelola administrasi desa dan mengoptimalkan pelayanan masyarakat desa. Kedua, pendampingan kelompok desa yang diutamakan masyarakat desa yang kurang mampu untuk mendorong mereka berwirausaha sesuai potensi yang dimiliki desa masing-masing. Tugas SaMping DeSa dalam pendampingan lembaga pemerintahan desa sebagai berikut:

378 Fauzil Adha 1. Mendampingi penyusunan dan implementasi produk hukum pemerintahan desa, seperti penyusunan PERDES, RPJMDES dan RKPDES. 2. Mendampingi pengelolaan keuangan dan aset desa. 3. Mendampingi pelayanan masyarakat di kantor desa. 4. Mendampingi pengelolaan administrasi seperti buku induk penduduk (BIP), buku inventaris desa, surat-menyurat dan sebagainya. Tugas SaMping DeSa dalam pendampingan kelompok masyarakat desa adalah sebagai berikut : 1. Pembentukan kelompok/mendampingi kelompok yang sudah ada. Tahapan yang dilakukan meliputi: pemetaan potensi desa, pemetaan permasalahan kemasyarakatan di desa, sosialisasi maksud dan tujuan kegiatan pendampingan, serta memfasilitasi pembentukan kelompok atau mengaktifkan kelompok yang sudah ada. 2. Pengembangan kelompok usaha. Tahapan yang dilakukan meliputi: merencanakan pola pendampingan kelompok, mengumpulkan dan mengolah data hasil identifikasi, merekomendasikan jenis usaha yang bisa dijalankan, menganalisis kelayakan usaha, serta menginventarisir lembaga mitra. 3. Pembinaan usaha, tahapan ini meliputi: memfasilitasi penyusunan rencana kerja dan anggaran, membuka jejaring dengan lembaga mitra, memfasilitasi kebutuhan bagi kelompok dampingan, memediasi penyampaian proposal ke berbagai akses permodalan, serta melakukan monitoring dan evaluasi. SaMping DeSa bekerja purna waktu dan berkantor di kantor desa masing-masing. Aktivitas yang dilakukan dalam pendampingan pemerintahan desa dan kelompok dampingan bisa dilakukan pagi, siang ataupun malam. Mula-mula SaMping DeSa memperkenalkan diri kepada masyarakat desa dan mensosialisasikan maksud dan tujuan kegiatan pendampingan kemudian mengidentifikasi potensi sumber daya manusia Fauzil Adha 379 dan sumber daya alam. SaMping DeSa bekerjasama dengan aparat desa dan masyarakat untuk membentuk atau memberdayakan kelompok yang sudah ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat . Untuk menjalankan tugas SaMping DeSa harus memiliki pengetahuan tentang kondisi sosial-budaya masyarakat desa, memahami administrasi pelayanan pemerintahan desa yang baik, memahami teknik wawancara yang baik, memahami manajemen usaha kecil dan mampu mengoperasikan komputer dan jaringan internet. Hal ini diperoleh tidak hanya dari bimbingan teknis dari pemerintah kabupaten, akan tetapi juga harus belajar secara autodidak. Sejalan dengan pendapat Adi (1994: 22) bahwa pengetahuan dasar pekerja sosial meliputi: memahami usaha kesejahteraan sosial, memahami tingkah laku manusia dan lingkungan sosial, mengetahui praktek pekerjaan sosial di lapangan dan memiliki keterampilan dan integrasi ilmu/pengalaman lapangan. 2. 2. Peran Sarjana Pendamping Desa di Desa Angkinang Selatan Pada dasaranya peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status), artinya seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan suatu peran (Narwoko dan Suyanto, 2006:158). Kedudukan SaMping DeSa Angkinang Selatan yaitu sebagai sarjana yang mendampingi perangkat pemerintahan desa dan masyarakat Desa Angkinang Selatan agar dapat meningkatkan pelayanan lembaga pemerintahan desa untuk mendorong menjadi desa yang mandiri serta mampu mengoptimalkan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam di Desa Angkinang Selatan. Seluruh penduduk desa Angkinang Selatan beragama Islam sehingga masyarakat Desa Angkinang Selatan adalah masyarakat yang islami. Pada awal ke lapangan yang dilakukan SaMping DeSa bersilaturahmi dan memperkenalkan diri, memahami/mentaati ketentuan dan norma kehidupan yang berlaku, menunjukkan sikap saling

380 Fauzil Adha menghormati, santun, ramah tamah, serta menunjukkan sikap kebersediaan untuk mendampingi lembaga pemerintahan desa dan masyarakat desa. Dalam melaksanakan tugas SaMping DeSa selalu berpakaian sopan, tidak menggunakan pakaian yang berlebihan dan menggunakan jilbab sehingga masyarakat tidak canggung untuk berinteraksi. Pendampingan lembaga pemerintahan Desa Angkinang Selatan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan peningkatan pelayanan aparat desa kepada masyarakat Desa Angkinang Selatan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa (sekdes, KAUR, perwakilan wilayah/RT) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa untuk membantu tugas-tugas melayani masyarakat (UU.No.6 Tahun 2014 tentang Desa). Pendampingan pemerintahan Desa Angkinang Selatan yang dilakukan SaMping DeSa adalah sebagai berikut: 1. Bersama-sama kepala desa dan sekretaris desa menjalankan pemerintahan desa dan membantu pelayanan masyarakat desa. 2. Merumuskan dan melaksanakan program pembangunan desa dan kemasyarakatan. 3. Mendampingi pengisian buku-buku administrasi desa. Pendampingan pelaksanaan pencatatan data pada buku administrasi pemerintahan Desa Angkinang Selatan dikelompokkan menjadi 6 jenis Buku Administrasi Desa yaitu: model A: buku Administrasi Umum, model B: buku Administrasi Penduduk, model C: Administrasi Keuangan, model D: buku Administrasi Pembangunan, model E: buku Administrasi Badan Permusyawaratan Desa, serta model F: buku Administrasi Lainnya. Kelompok desa yang didampingi SaMping DeSa adalah kelompok UKM Desa Angkinang Selatan melakukan usaha di bidang, UKM produksi kue ruku, warung Amanah (makan dan kue basah) dan UKM produksi gula merah (aren). Potensi Desa Angkinang Selatan yang merupakan salah satu transit atau tempat persinggahan para pengemudi roda dua ataupun empat Fauzil Adha 381 di Jalan A.Yani (jalan nasional) yang menuju ke arah timur meliputi Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Tabalong, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah atau sebaliknya yang menuju ke arah barat meliputi Tapin, Kabupaten Banjar, Banjarbaru dan Banjarmasin menjadikan desa Angkinang Selatan strategis untuk dijadikan pengembangan usaha di bidang makanan dan minuman. SaMping DeSa bekerjasama dengan aparat desa dan masyarakat dalam pendampingan UKM Desa Angkinang Selatan yang bergerak di bidang makanan di pinggiran jalan A. Yani yaitu UKM produksi kue ruku Ibu Wahidah (anggota PKK), kelompok UKM Warung Amanah, dan UKM produksi gula merah Ibu Hatimah (anggota PKK). Berikut adalah tahapan yang dilakukan SaMping DeSa dalam pendampingan yang telah dilakukan: 1. SaMping DeSa memperkenalkan diri kepada masyarakat. 2. Mensosialisasikan maksud dan tujuan pembentukan kelompok. 3. Bersama-sama mengidentifikasi potensi SDM dan SDA yang ada di Desa Angkinang Selatan. 4. Merekomendasi jenis usaha yang dijalankan. Langkah selanjutnya yang dilakukan SaMping DeSa dalam pendampingan kelompok di Desa Angkinang Selatan yaitu memfasilitasi kelompok di desa/kelompok binaan untuk mengakses sumber pembiayaan, izin UKM, membuat kemasan agar menarik, mempromosikan dan membangun jaringan pemasaran. Target sasaran pendampingan SaMping DeSa lembaga pemerintahan di Desa Angkinang Selatan adalah menata kembali pelaksanaan administrasi desa agar dapat berjalan sebagaimana fungsinya sehingga dapat bekerja lebih baik sejalan dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Target sasaran pendampingan kelompok UKM Desa Angkinang Selatan yaitu penghasilan kelompok binaan meningkat sehingga kualitas hidup dan kemandirian kelompok meningkat dan merangsang masyarakat lainnya untuk meningkatkan taraf hidup yang

382 Fauzil Adha lebih baik untuk mewujudkan desa Angkinang Selatan yang sejahtera. Hal ini selaras dengan pendapat Abdulsyani (2002: 95) bahwa pertimbangan fungsi peran sayogianya dilekatkan pada individu yang oleh masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. Mereka harus terlebih dahulu terlatih dan mempunyai pendorong untuk melaksanakannya. 2. 3 Keterkaitan Peran Sarjana Pendamping Desa Sejahtera Dalam Ruang Lingkup Pendidikan IPS Berdasarkan hasil penelitian kondisi Pendidikan IPS di beberapa SMA Negeri di Kotamadya Bandung, ditemukan adanya beberapa kelemahan yang mengakibatkan rendahnya mutu baik dari segi proses maupun hasil pembelajaran dari Pendidikan IPS. Proses belajar mengajar terpusat pada guru dalam satu arah, siswa pasif dan sumber belajar terpaku pada buku teks, sementara itu lingkungan masyarakat dalam lingkup kecil ataupun besar hampir tidak tersentuh untuk dijadikan sumber belajar Pendidikan IPS (Al Muchtar, 2014 :58-60). Satu objek sumber belajar IPS adalah masyarakat Desa Angkinang Selatan. Kondisi objektif desa di dataran rendah mendorong masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya, mereka melakukan aktivitas bidang pertanian/perkebunan. Disamping itu, karena Desa Angkinang Selatan dilintasi oleh jalan nasional lintas Trans Kalimantan, masyarakat dapat memanfaatkannya dengan berdagang dan wiraswasta. Nilai-nilai adaptasi dan kebermanfaatan dapat dijadikan sumber berbasis nilai karakter yang baik. Tema pembelajaran IPS tidak hanya terfokus pada bidang studi tertentu tetapi sejumlah bidang ilmu. Pendidikan IPS bukanlah kajian keilmuan, tetapi memanfaatkan nilai-nilai positif ilmu untuk kepentingan pendidikan (Abbas, 2013: 35:37). Program SaMping DeSa merupakan program untuk mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan mandiri. Tujuan program ini senada dengan tujuan Pendidikan IPS yaitu, mewujudkan siswa cakap di masyarakat, mampu menyelesaikan masalah dan menjadi warga negara baik. Tujuan tersebut mengandung pendidikan karakter yang baik. Menurut

Fauzil Adha 383 Lickona (Wahyu, 2014: 279) karakter dapat dimaknai sebagai kehidupan berperilaku baik/penuh bijaksana, serta berperilaku baik di masyarakat. Peran SaMping DeSa berfokus pada pendampingan pemerintahan desa dan kelompok dampingan desa. Di Desa Angkinang Selatan, pemerintahan desa mengalami kemajuan dalam keaktifan aparat desa, kebersihan kantor dan kecakapan mengisi buku administrasi desa. Kelompok dampingan berjalan lancar untuk menambah penghasilan mereka seperti pendampingan UKM Kue Ruku, sebelum pendampingan omzet UKM kue ruku tidak pasti, setelah pendampingan menjadi Rp. 480.000,00 per bulan. Dengan pendampingan SaMping DeSa masyarakat dan aparat desa lebih sering berkumpul mengadakan rapat mufakat untuk membangun Desa Angkinang Selatan. Nilai-nilai manfaat tersebut sebagai teladan dalam pembelajaran Pendidikan IPS selaras dengan pendapat Supriadi (Abbas, 2013: 97). Pendidikan IPS sangat penting diberikan pada setiap jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dengan adanya pendampingan SaMping DeSa, Pemerintahan Desa Angkinang Selatan mendapat wawasan dan pengetahuan tentang administrasi pemerintahan desa, komputer dan internet (data desa online) kemudian untuk UKM dampingan memdapat wawasan tentang sistem produksi dan pemasaran.

III. SIMPULAN 1. Desa Angkinang Selatan merupakan desa yang strategis karena dilalui oleh jalan nasional lintas Kalimantan yaitu jalan Ahmad Yani. Kemudian desa Angkinang Selatan berada di daerah dataran rendah yang memiliki luas. 2. Pelaksanaan Program Sarjana Pendamping Desa Sejahtera (SaMping DeSa) Kabupaten Hulu Sungai Selatan dilaksanakan untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

384 Fauzil Adha 3. Peran Sarjana Pendamping Desa dalam meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat di desa Angkinang Selatan adalah untuk meningkatkan pelayanan lembaga pemerintahan desa, untuk mendorong menjadi desa yang mandiri serta mampu mengoptimalkan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam di desa Angkinang Selatan. 4. Dengan adanya SaMping DeSa, pengetahuan dan pelayanan pemerintahan desa lebih baik, kebersamaan masyarakat dan kesejahteraan kelompok dampingan Desa Angkinang Selatan sudah mulai terlihat. Sehingga peran sarjana pendamping desa sejahtera di Desa Angkinang Selatan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar IPS karena memiliki kebermanfaatan dan nilai-nilai karakter yang positif.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. 2013. Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: WAHANA Jaya Abadi. ______. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung: WAHANA Jaya Abadi. Abdulsyani. 2002. Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi, Pekerja Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Al Muchtar, Suwarma. 2014. Epistemologi Pendidikan IPS. Bandung: WAHANA Jaya Abadi. Kemenpora. 2014. Pedoman Umum Pelaksanaan Program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (Psp3) Tahun 2014. Jakarta: Kemenpora. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (Eds). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prebada Media. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Fauzil Adha 385 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Administrasi Desa. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tim Pembina SaMping Desa. 2014. Buku Panduan Sarjana Pendamping Desa Sejahtera. Kandangan: Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Wahyu. 2014. Fenomena Sosial Perspektif Sosiologis. Yogyakarta: CV. ASWAJA PRESSINDO. Wahyu, et.al. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Sosiologi dan PPKN Universitas Lambung Mangkurat.

386 Fauzil Adha NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SEKITAR TAMAN HUTAN RAYA SULTAN ADAM SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS Khaerullah Azhar

ABSTRAK Isu-isu lingkungan menjadi topik hangat diperbincangkan oleh banyak orang, khususnya kerusakan hutan. Karena itu perlu peran serta masyarakat sekitar memiliki pengetahuan lokal dan cara-cara dalam merawat serta menjaga lingkungan. Dalam hal ini, kearifan lokal masyarakat desa di Mandiangin dalam menjaga lingkungan ditilik dalam kaitannya dengan Pendidikan IPS. Masyarakat Mandiangin mempunyai pandangan, keberadaan hutan yang tetap terjaga sangat berguna bagi kelangsungan kehidupan warga masyarakat dan masyarakat Mandiangin memiliki pengetahuan lokal, yaitu usaha penanaman hutan rakyat dengan sistem agroforestri, penggunaan pupuk alami, keterampilan lokal dalam bertahan hidup, memanfaatkan sumber air secara baik, dan solidaritas kelompok lokal dilihat dari gotong royong masyarakat, dan nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS. Karena itu, Pemerintah Daerah hendaknya memberdayakan dan mengikutsertakan masyarakat dalam usaha konservasi kawasan hutan di Tahura Sultan Adam Mandiangin. Pengelolaan lahan masyarakat dapat lebih dimaksimalkan dengan pembentukan lembaga desa yang mewadahi aspirasi dan forum masyarakat dalam peningkatan usaha hutan rakyat.

Kata kunci: Kearifan lokal, masyarakat, dan lingkungan.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Alumnus Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Khaerullah Azbar 387 I. PENDAHULUAN Isu-isu lingkungan sekarang menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh banyak orang, terutama di forum internasional khususnya mengenai kerusakan hutan. Eksploitasi yang berlebihan tanpa memperhatikan kelangsungannya menyebabkan keadaan hutan sekarang ini menjadi rusak dan jauh berkurang. Deforestasi yang sangat cepat mencapai 1,1 juta hektar per tahun menjadikan hutan di Indonesia semakin rusak. Rusaknya hutan memberikan berbagai kerugian bagi seluruh makhluk hidup seperti menyebabkan krisis air bersih, bencana banjir dan kekeringan akibat tidak ada lagi pepohonan yang mengikat air. Pemerintah Republik Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan khususnya hutan yang terjadi di Indonesia, dengan menetapkan kawasan sebagai Taman Hutan Raya, (Tahura) merupakan kawasan hutan pelestarian alam. Hal tersebut tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1990 pasal 6 “Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk” dan pasal 7 “Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”. Keberadaan hutan di Tahura tidak terlepas dari masalah, seperti adanya penebangan liar, kebakaran hutan, dan keberadaan perusahaan- perusahaan perkebunan serta pertambangan disekitar kawasan, keadaan ini tentu saja akan semakin merusak hutan yang ada di Tahura. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan Tahura sedikit sekali mengikutsertakan masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar Tahura seolah hanya menjadi penonton atas berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka Dalam menjaga kawasan Tahura petugas yang ada sangat sedikit, jumlahnya tidak sebanding dengan luas kawasan yang dikelola. 388 Khaerullah Azbar Diperlukan peran dari masyarakat sekitar untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat sekitar sudah lebih dahulu tinggal menetap sebelum ditetapkannya kawasan Tahura memiliki pengetahuan lokal dan cara-cara dalam merawat serta menjaga lingkungan mereka. Kehidupan masyarakat yang sangat dekat dengan lingkungan hutan membuat mereka memiliki keterikatan diantara keduanya. Keterikatan yang ada membuat bagaimana pengetahuan dan cara- cara masyarakat memperlakukan lingkungan alam dengan baik. Cara hidup, pengetahuan lokal, peraturan yang ada suatu suatu komunitas atau masyarakat disebut dengan kearifan lokal membuat masyarakat mampu menjaga dan merawat lingkungan mereka. Menurut Wahyu (2014:247) lebih menitikberatkan bahwa kelebihan kearifan lokal diperoleh dari hasil uji coba yang terus-menerus dan bersifat lokal. Kelebihannya terletak pada sifatnya lentur dan tahan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan, sehingga dalam pemanfaatannya sumber daya alam dan lingkungan dapat berkelanjutan. Masyarakat pedesaan yang tinggal disekitar hutan sebagian besar mempunyai pekerjaan dengan memanfaatkan hasil hutan dan pertanian pada umumnya mempunyai hubungan sangat dekat dengan lingkungannya. Pada pasal 1 (3) dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 01/Menhut- II/2004 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan atau di sekitar hutan dalam rangka Social Forestry “Masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau disekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan”. Cara berpikir dan perilaku masyarakat masih berpegang pada nilai dan norma warisan turun-temurun orang tua terdahulu. Kurangnya masyarakat untuk diikutsertakan dalam usaha menjaga lingkungan yang ada padahal Tahura sangat berperan besar bagi kelangsungan kehidupan.

Khaerullah Azbar 389 Masyarakat sekitar Tahura sebenarnya mempunyai cara-cara untuk merawat dan menjaga lingkungan mereka. Masyarakat lokal tidak hanya dipengaruhi secara langsung oleh berbagai kegiatan konservasi tetapi juga merupakan kelompok target utama yang akan memperoleh manfaat jangka panjang dari program konservasi. Oleh karena itu masyarakat sekitar hutan harus dilibatkan ke dalam program perlindungan sumber daya genetik hutan (Pamungkas, 2008: 5). Taman Hutan Raya Sultan Adam yang berada di Mandiangin berfungsi sebagai hutan lindung, hutan pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, bumi perkemahan, dan objek wisata alam. Mandiangin merupakan pintu masuk untuk menuju Taman Hutan Raya Sultan Adam. Lokasi Tahura Sultan Adam Mandiangin tidak terlalu jauh dari kota Banjarbaru yaitu sekitar 15 Km, sedangkan dari kota Banjarmasin berjarak sekitar 45 Km. Untuk mencapai lokasi dapat menggunakan kendaraan roda empat ataupun motor, jalanan yang dilalui menuju lokasi adalah beraspal dengan di beberapa tempat kondisi jalan ada yang rusak akibat sering dilewati truk-truk pengangkut batu gunung. Masyarakat yang berada di sekitar Tahura Sultan Adam Mandiangin merupakan masyarakat yang tinggal di desa Kiram, desa Mandiangin Barat, dan desa Mandiangin Timur. Ketiga desa tersebut termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Karang Intan. Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa atau Pembakal, dimana setiap desa memiliki masing-masing tiga rukun tetangga (RT). Desa Kiram merupakan desa dengan wilayah yang paling luas dibandingkan dengan desa lainnya di Mandiangin yaitu 23,12 Km2, sedangkan Desa Mandiangin Barat dan Mandiangin Timur masing-masing memiliki luas 5,64 Km2 dan 5,80 Km2. Sebelum terbagi menjadi tiga desa, Mandiangin hanya memiliki satu desa yaitu Desa Mandiangin. Kemudian pada tahun 1975 terjadi pemekaran, Desa Mandiangin dibagi menjadi tiga yaitu Desa Kiram, Mandiangin Barat, dan Mandiangin Timur.

390 Khaerullah Azbar II. PEMBAHASAN 2. 1 Pandangan Masyarakat Desa di Mandiangin Mengenai Tahura Sultan Adam Pandangan masyarakat mengenai fungsi Tahura Sultan Adam Mandiangin memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi ekologi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam fungsi ekologi, pengetahuan masyarakat mengenai Tahura adalah hutan yang termasuk ke dalam kawasan Tahura Sultan Adam sebagai daerah penyangga, yaitu daerah yang harus dibiarkan sebagaimana aslinya, sehingga tidak boleh digunakan atau dibangun apapun, hutan lindung dibiarkan sebagaimana aslinya. Tahura juga berfungsi sebagai menara air yang dapat memenuhi kebutuhan air warga sekitar, aliran air di Tahura digunakan untuk pengairan lahan-lahan pertanian warga setempat, jika hutan di Tahura dirusak dan tidak dijaga maka akan berakibat buruk terhadap pertanian warga setempat karena tidak ada lagi air yang mengalir. Fungsi sosial dari Tahura Sultan Adam di Mandiangin menurut masyarakat adalah sebagai tempat wisata, yaitu dengan adanya tempat wisata alam Mandiangin yang menawarkan pemandangan indah dan berbagai fasilitas rekreasi keluarga seperti outbond dan bumi perkemahan. Keberadaan tempat wisata di Tahura Sultan Adam menjadi sarana interaksi bagi pengunjung khususnya mereka yang membawa keluarga untuk datang berekreasi. Fungsi ekonomi, yaitu keberadaan tempat wisata di Tahura Sultan Adam dapat menambah pendapatan masyarakat sekitar. Dengan banyaknya pengunjung yang datang, mereka membuka warung di tempat wisata maupun diluar tempat wisata alam Mandiangin, tepatnya disepanjang jalan menuju tempat wisata. Keberadaan hutan yang terjaga mempunyai peran yang sangat vital dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang hidup disekitarnya, terutama dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti buah dan kayu yang dapat dimanfaatkan. Hutan yang ada disekitar dan di dalam kawasan

Khaerullah Azbar 391 Tahura Sultan Adam Mandiangin keberadaannya sangat penting bagi masyarakat sekitar. Kesadaran masyarakat bahwa kebutuhan hidup warga desa sebagian besar bergantung dari hutan, seperti memanfaatkan lahan yang ada untuk ditanami berbagai tanaman kayu dan buah yang memiliki nilai ekonomi. Hutan di Mandiangin menyediakan sumber air yang berguna untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat dan pengairan ke sawah-sawah milik warga, jika pohon yang ada ditebang sembarangan, bukan tidak mungkin sumber air yang ada menjadi kering sehingga memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan Tahura di Mandiangin belum memberikan manfaat yang dapat dirasakan oleh seluruh warga desa sekitar. Keterlibatan masyarakat lokal masih sangat kecil terhadap berbagai kegiatan konservasi yang dilakukan di kawasan Tahura. Kurangnya komunikasi yang terjalin antara petugas di lapangan dengan masyarakat lokal dikarenakan sangat jarang ada petugas yang datang ke masyarakat untuk berdialog mengenai Tahura. Komunikasi dan kerjasama yang terjalin antar petugas dan masyarakat lokal sangat menentukan keberhasilan konservasi kawasan Tahura. Oleh karena itu, keterlibatan aktif masyarakat sangat diperlukan sebagai upaya mendukung keberhasilan konservasi Tahura Sultan Adam di Mandiangin. 2. 2 Kearifan Lokal Masyarakat Desa Sekitar Tahura Sultan Adam Mandiangin Dalam Menjaga Lingkungan Masyarakat desa di sekitar Tahura Sultan Adam Mandiangin sebagian besar menggantungkan hidup dari lahan milik warga yang dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan ekonomi seperti hasil kebun karet, duku, pertanian, kolam ikan, dan peternakan.

392 Khaerullah Azbar Pemanfaatan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomi diluar kawasan Tahura Sultan Adam Mandiangin adalah dengan yang disebut hutan rakyat sistem agroforestri, yaitu penanaman campuran antara tanaman hutan seperti jenis kayu dengan tanaman non kayu seperti buah, tanaman pangan, kolam ikan, dan ternak. Masyarakat merawat lahan milik dengan menggunakan peralatan sederhana seperti parang dan arit. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan masyarakat Mandiangin lebih banyak melibatkan keluarga pemilik lahan seperti istri, anak, maupun kerabat sendiri. Gambar I Penggunaan Lahan Masyarakat

Sumber: Diolah dari data lapangan 2015

Khaerullah Azbar 393 Hal tersebut dapat dilihat dari para perempuan terutama istri yang terlibat aktif bekerja membantu suami dalam mengelola lahan milik mereka. Pengelolaan lahan dengan melibatkan keluarga sendiri bertujuan untuk memberdayakan anggota keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan. Perilaku masyarakat Mandiangin dapat dilihat dari cara mereka mengelola dukuh milik secara perseorangan yang ditanami berbagai tanaman buah dan kayu. Dukuh milik masyarakat sebagian berbatasan langsung dengan hutan di kawasan Tahura Sultan Adam. Secara umum masyarakat Mandiangin memiliki kebiasaan tidak sembarangan menebang pohon meskipun berada di dukuh mereka sendiri. Pohon yang ditebang biasanya sudah tidak produktif lagi atau yang sudah mati untuk dapat dimanfaatkan batangnya. Perilaku tersebut dapat dilihat sebagai upaya masyarakat untuk tetap menjaga keasrian dan kualitas lingkungan sekitar mereka. Kehidupan masyarakat yang memiliki keterikatan, membuat gotong royong masyarakat di Mandiangin masih sangat tinggi, segala kegiatan yang dilaksanakan di desa selalu melibatkan warga. Hal ini dapat dilihat dalam kegiatan pembangunan masjid, masing-masing kepala keluarga disekitar tempat pembangunan masjid ikut berpartisipasi dengan menyumbang dua rapun (pohon) karet yang kayunya digunakan sebagai bahan sementara pembangunan masjid sebelum dijadikan secara permanen. Aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan masyarakat sekitar Tahura Sultan Adam Mandiangin, baik dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan, serta perilaku terhadap lingkungan, ternyata memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Penanaman tanaman kayu atau non kayu yang dilakukan masyarakat di dukuh masing-masing merupakan salah satu bentuk kearifan sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan, disamping sebagai memenuhi kebutuhan hidup.

394 Khaerullah Azbar 3. 3 Kearifan Lokal Masyarakat Desa Sekitar Tahura Sultan Adam Mandiangin Dalam Menjaga Lingkungan Sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Pendidikan IPS dengan menggunakan kearifan lokal dapat mengajarkan peserta didik untuk menghadapi situasi konkrit yang terjadi disekitar lingkungan mereka. Dengan dihadapkan pada permasalahan dan situasi yang konkrit, membuat peserta didik menjadi tertantang untuk menanggapi permasahan yang ada sesuai dengan tingkat kemampuan dan melatih kemandiriannya. Masyarakat Mandiangin yang tinggal disekitar Tahura Sultan Adam memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS, yaitu nilai ekologis, nilai ekonomi, nilai sosial. Nilai ekologis yaitu dalam hal kepedulian lingkungan dan rehabilitasi lahan seperti penggunaan pupuk alami dari sekam padi, penanaman tanaman kayu dan non kayu, tidak menebang pohon sembarangan. Nilai ekonomi yaitu kemandirian dan kesederhanaan yang dapat dilihat dari cara masyarakat mengelola lahan milik secara mandiri dan sederhana. Nilai sosial yaitu gotong royong, kebersamaan, kerjasama, solidaritas yang dapat dilihat dari aktivitas masyarakat Mandiangin dalam menjaga sumber mata air, membersihkan ilalang, gotong royong dalam pembangunan masjid. Kegiatan bersama dalam melaksanakan suatu pekerjaan, seperti membersihkan sumber mata air, membantu pembangunan masjid kerjasama, kebersamaan, solidaritas Peduli lingkungan

Khaerullah Azbar 395 TABEL I NILAI PEMBELAJARAN DALAM AKTIVITAS DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT

Nama Pengertian Nilai yang terkandung Linjuang Hijau Tanaman yang digunakan Peduli lingkungan, masyarakat pembatas alami toleransi, antar lahan warga kebersamaan Linjuang Merah Tanaman yang digunakan Peduli lingkungan sebagai tanaman hias dan dipercaya masyarakat mencegah makhluk halus masuk ke dalam rumah Sekam Padi Kulit padi yang dibakar, Peduli lingkungan digunakan sebagai pupuk alami Hutan Rakyat Pemanfaatan lahan pribadi Peduli lingkungan, dengan sistem dengan melakukan penanaman rehabilitasi lahan kritis Agroforestri campuran antara tanaman hutan jenis kayu dan non kayu, tanaman pangan/pertanian, kolam ikan, dan ternak

Sumber: Diolah dari data lapangan 2015

396 Khaerullah Azbar III. SIMPULAN 1. Masyarakat di Mandiangin memiliki pengalaman dalam menggambarkan hutan. Mereka mempunyai pandangan yang sama dengan keberadaan hutan, baik yang termasuk dalam kawasan maupun disekitar kawasan Tahura Sultan Adam, yaitu keberadaan hutan yang tetap terjaga sangat berguna bagi kelangsungan kehidupan warga masyarakat. Masyarakat sangat menyesalkan jika ada tindakan-tindakan yang merusak lingkungan, terutama hutan disekitar mereka karena hal tersebut juga dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitarnya. 2. Usaha penanaman hutan rakyat dengan sistem agroforestri yang dilakukan masyarakat memberikan keuntungan secara ekonomi dan ekologi, yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat dan dapat berfungsi sebagai pelindung hutan dari kegiatan-kegiatan yang dapat mengancam keberadaan hutan dan rehabilitasi lahan kritis. 3. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat sekitar Tahura Sultan Adam Mandiangin dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS. Nilai ekologis yaitu dalam hal kepedulian lingkungan dan rehabilitasi lahan seperti penggunaan pupuk alami dari sekam padi, penanaman tanaman kayu dan non kayu, tidak menebang pohon sembarangan. Nilai ekonomi yaitu kemandirian dan kesederhanaan yang dapat dilihat dari cara masyarakat mengelola lahan milik secara mandiri dan sederhana. Nilai sosial yaitu gotong royong, kebersamaan, kerjasama, solidaritas yang dapat dilihat dari aktivitas masyarakat Mandiangin dalam menjaga sumber mata air, membersihkan ilalang, gotong royong dalam pembangunan masjid.

Khaerullah Azbar 397 DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. (Eds), 2013. Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: Wahana Jaya Abadi. Adi, Isbandi Rukminto,. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Dasar-Dasar Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Al Muchtar, Suwarma. 2014. Epistemologi Pendidikan IPS. Bandung: Wahana Jaya Abadi. Daldjoeni & Suyitno. 1985. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: Alumni. Fauziyah, et.al. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Bawah Tegakan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Ciamis: Balai Kehutanan Ciamis. Gerungan, W. A., 1991. Psikologi sosial. Bandung: Eresco. Huasein, Harum M. 1993. Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakkan Hukumnya. Jakarta: Bumi Aksara. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Neolaka, Amos. 2008. Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Ramly, Nadjmuddin. 2005. Membangun Lingkungan Hidup yang Harmonis & Berperadaban. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Sapriya, 2009. Pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sarwono, Sarlito W. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Shadily, Hasan. 1999. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

398 Khaerullah Azbar Sumarwoto, Otto. 1978. Ekologi Desa: Lingkungan Hidup dan Kualitas Hidup. Jakarta: LP3ES. Sunarto, Kamanto. 2005. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Supardi, Imam H. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bogor: Amalia. Suradi, et.al., 2002. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Yogyakarta: Kanisius. Wahyu. 2006. Penelitian Kualitatif. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Wahyu, et.al. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Sosiologi dan PPKN Universitas Lambung Mangkurat. Warner J. Severin & James W. Tankard, Jr., 2009. Teori Komunikasi: Sejarah Metode & Terapan di Dalam Media Massa. Edisi Ke-5. Jakarta: Kencana. Yunus, Rasid. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakterk Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish. Zain, Alam Setia, 1995. Hukum Lingkungan. Kaidah-Kaidah Pengelolaan Hutan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2014. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjar dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, 2006. Kontribusi Hutan Rakyat Dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Bogor: Departemen Kehutanan.

Khaerullah Azbar 399 Peraturan Pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Kearifan Tradisional Dalam Upaya Pemeliharaan Lingkungan Hidup di Daerah Timor Timur. Timor- Timur: Depdikbud Provinsi Timor-Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Peranan Nilai Budaya Daerah Dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud Provinsi DIY. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP No.68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. P.10/Menhut-II/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Hutan Raya. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 01/Menhut-II/2004 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan atau disekitar hutan dalam rangka Social Forestry. Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91 tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan. Berita Resmi Statistik. Badan Pusat Statistik. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Tahun 2014. SK Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997. Jurnal Amri, Fauzul, et.al, 2013. Kearifan Lokal Lubuk Larangan Sebagai Upaya Pelestarian Sumberdaya Perairan di Desa Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan Singingi. Dalam Jurnal Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau [Online], 11 halaman. Tersedia. http://ejournal.unri.ac.id/. [3 Februari 2015]. 400 Khaerullah Azbar Ariyanto, et.al, 2014. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala. Dalam Jurnal Warta Rimba [Online], Vol. 2 (2), 8 halaman. Tersedia. http:// jurnal.untad.ac.id/. [3 Februari 2015]. Effendi, Agus. S. 2011. Implementasi Kearifan Lingkungan Dalam Budaya Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Dalam Jurnal Edisi Khusus [Online], No. 2, 14 halaman. Tersedia. http:// [2 Mei 2015]. Muspida, 2008. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Dalam Jurnal Hutan dan Masyarakat [Online], Vol. III (2), 13 halaman. Tersedia. http:// journal.unhas.ac.id/. [3 Februari 2015]. Prasetyo, Ahmad Baliyo Eko, 2011. Peran Kearifan Lokal Dalam Menjaga Kelestarian Hutan. [Online], 13 halaman. Tersedia. http:// stainmetro.ac.id/. [2 Mei 2015]. Siswadi, et.al, 2011. Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Mata Air. (Studi Kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Koja, Kabupaten Kendal. Dalam Jurnal Ilmu Lingkungan [Online], Vol. 9 (2), 6 halaman. Tersedia. http:// eprints.undip.ac.id/ [3 Februari 2015]. Suparmini, et.al, 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18 No. 1 [Online], 11 halaman. Tersedia. http://journal.uny.ac.id/. [2 Mei 2015]. Internet (tahurasultanadam.kalselprov.go.id, diakses 17 Desember 2014). Nurdin, Yurnalis. Sumber Belajar dan Pengorganisasian Bahan Pembelajaran IPS Madrasah Ibtidaiyah. [Online], 21 halaman. Tersedia. http://sumsel.kemenag.go.id/ [5 Mei 2015].

Khaerullah Azbar 401 Wuryandani, Wuri, 2010. Integrasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pembelajaran Untuk Menanamkan Nasionalisme di Sekolah Dasar. [Online], 10 halaman. Tersedia. http://staff.uny.ac.id/. [27 April 2015].

402 Khaerullah Azbar BAB V MENGAPUNGKAN PENDIDIKAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL

BAB V Mengapungkan Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal 403 404 BAB V Mengapungkan Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal TRADISI BUDAYA MULTIKULTUR DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN ADAT KESULTANAN BANJAR Wajidi

ABSTRAK Sejarah Kesultanan Banjar menggambarkan peran para sultan mengedepankan nilai-nilai, norma, etika kemanusiaan, toleransi, kesetaraan, dan perdamaian dalam hubungan antarvarian budaya dalam menghadapi konflik atau hubungan antaretnis . Peran kebudayaan dalam pembentukan karakter sangat diperlukan, terlebih lagi sekarang mobilitas penduduk, kontak antaretnis dan antarbudaya semakin meningkat dan terus akan meningkat akan di masa datang. Dalam perspektif historis dan adat kesultanan Banjar, nilai-nilai budaya dapat digali dalam pembentukan karakter. Sejarah dan kebudayaan Banjar diwarnai oleh konflik, akan tetapi mencerminkan adanya nilai dan tradisi multikultur yakni penghormatan terhadap perbedaan etnis dan budaya. Esensi nilai-nilai kedamaian atau adat kesultanan yang mengedepankan multikulturisme. Penguatan nilai- nilai adat dan tradisi multikultur oleh Kesultanan Banjar dahulu sangat diperlukan untuk menegakkan motto bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika di tanah Banjar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata kunci: Tradisi budaya, multikultur, nilai-nilai, dan Kesultanan Banjar.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Peneliti Madya pada Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Wajidi 405 I. PENDAHULUAN “Wahai sekalian anak bangsa yang biajokah, balandiankah, dusunkah, jawakah, dan yang di sungai atawa di gunungkah…. kalian semua adalah banjaranku (rakyatku) ... hendaklah hidup damai di negeri dan dalam perlindunganku”. Maklumat Sultan Suriansyah, sultan pertama Kesultanan Banjar berkaitan dengan menciptakan kedamaian dan harmoni pada semua anak bangsa yang mendiami tanah Banjar. Kerajaan Banjar atau biasa juga disebut Kesultanan Banjarmasin adalah kerajaan Islam yang terbentuk pada tahun 1526. Sejak Kesultanan Banjar berdiri sampai dihapuskan oleh kolonial Belanda pada tahun 1860, kesultanan ini memiliki kekuasaan teritorial yang luas. Pengaruh kesultanan ini meliputi gabungan seluruh wilayah yang saat ini dikenal sebagai Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan sebagian Kalimantan Timur bahkan ada beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Sebagai sebuah kesultanan yang pernah eksis dalam panggung sejarah, keberlangsungan kesultanan ini tidak hanya diwarnai dengan kedamaian, melainkan juga perselisihan, pertentangan atau konflik yang disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan kepentingan, perebutan tahta, penetrasi kolonial Belanda. Secara teori, perselisihan, pertentangan atau konflik sebenarnya tidak selalu bersifat negatif, karena pada dasarnya hasil yang terjadi dari interaksi kelompok yang berbeda akan sangat tergantung dari kemampuan pengelolaan (management) para peserta konflik itu sendiri (Daihani, 2001: 8). Konflik yang bersifat positif adalah pertentangan yang menyangkut suatu tujuan, nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan yang tidak berlawanan dengan pola-pola hubungan sosial di dalam struktur sosial tertentu (Soekanto, 1987: 99). Dengan kata lain suatu konflik atau keragaman yang memunculkan sinergi akan menimbulkan perubahan bersifat produktif.

406 Wajidi Sebaliknya, jika yang muncul dari keragaman adalah dominasi akan menimbulkan perpecahan. Karena konflik banyak menyangkut pluralistis, maka suatu pendekatan budaya, sejarah, bahasa dan keagamaan tidak dapat dipandang kecil dalam meredamnya. Kaitannya dengan pengambil kebijakan adalah bahwa dalam rangka pengembangan pendidikan perdamaian sangat diperlukan rekayasa sosial berupa penciptaan hubungan sosial yang inklusif, terbuka, multikultur, atau tidak memandang perbedaan identitas suku, agama maupun atribut-atribut sosial lainnya. Sikap multikultur itu dapat dimulai melalui pengenalan, pemahaman dan penghormatan kebudayaan yang berbeda-beda sehingga kemudian muncul sikap toleransi terhadap keragaman budaya itu. Dengan sikap multikultur, maka potensi konflik yang bisa terjadi akibat kontak antarbudaya dapat dihindarkan, dan diganti dengan pendekatan perdamaian. Tulisan berikut memaparkan sejarah Kesultanan Banjar yang menggambarkan peran para sultan dan bangsa Banjar mengedepankan nilai-nilai, norma, etika kemanusiaan, toleransi, kesetaraan, dan perdamaian dalam hubungan antarvarian budaya dalam menghadapi konflik atau hubungan antaretnis di tanah Banjar sehingga menjadi ingatan kolektif dan tradisi yang berkembang hingga sekarang ini.

II. PEMBAHASAN Berdirinya Kesultanan Banjar di tahun 1526 tidak terlepas dari upaya Pangeran Samudera di Banjarmasih, yang mengangkat senjata dari arah muara sungai Barito, untuk merebut tahtanya dari Pangeran Tumenggung, Raja Negara Daha. Akan tetapi, meski dengan kekuatan senjata dan meminta bantuan Kesultanan Demak untuk merebut tahtanya itu, Pangeran Samudera mengedepankan bahasa perdamaian untuk menghadapi Pangeran Tumenggung yang tiada lain pamannya.

Wajidi 407 Pengeran Samudera menyetujui kemufakatan bahwa untuk menghindari pertumpahan darah, Pangeran Samudera dan Pangeran Tumenggung melakukan duel. Tetapi, ketika keduanya sudah berhadapan di atas perahu, duel itu tidak terjadi karena Pangeran Samudera tidak mau melawan pamannya yang ia anggap sebagai pengganti orang tua dan mempersilakan Pangeran Tumenggung jika ingin membunuhnya. Pangeran Tumenggung menjadi iba dan kemudian memeluk keponakannya itu dan menyatakan menyerahkan tahtanya kepada Pangeran Samudera. Hikayat Banjar merekam momen yang mengharukan itu dengan kalimat: “ ... Kata Pangeran Samudera merakak andika Tumenggung tombak kula atau pedang kula, karana dahulu sampiyan kasini, sampian masih handak membunuh kula, sakian ulun tuluskan karsa andika, tapi kula tiada handak durhaka pada andika, karna kula tiada lupa akan andika itu akan ganti ibu bapa kula, sekarang mau andika bunuh kalaf, maka Pangeran Tumenggung mendengar demikian itu maras hatinya serta ia menangis, pedang dan perisai dilepaskannya, maka ia lumpat pada perahu Pangeran Samudera itu serta mamaluk mencium Pangeran Samudera (Ideham, dkk., 2007: 99). Setelah kemenangan itu, maka bertepatan dengan tanggal 24 September 1526, Pangeran Samudera resmi diangkat sebagai raja Kerajaan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah, setelah sebelumnya memeluk agama Islam dan diikuti oleh rakyatnya. Pada saat penobatannya sebagai sultan, kembali Pangeran Samudera memperlihatkan keluhuran budinya mengedepankan rekonsiliasi untuk menciptakan kedamaian dan harmoni pada semua anak bangsa yang mendiami negeri Banjar. Sultan Suriansyah berkata: “Wahai sekalian anak bangsa yang biajokah, balandiankah, dusunkah, jawakah, dan yang di sungai atawa di gunungkah…. kalian semua adalah banjaranku (rakyatku)….hendaklah hidup damai di negeri dan dalam perlindunganku” (Wajidi, 2014; Saleh Al Mu’tashim Billah, 2013). Sultan Suriansyah menyadari bahwa kedamaian sangat penting untuk menjalankan pemerintahan. Ia berhasil menangani konflik dengan

408 Wajidi baik, dan memberikan rasa aman kepada semua suku yang ada di bawah kesultanan Banjar. Ia memahami bahwa ketika diangkat sebagai sultan ia harus menjadi raja yang inklusif atau bersifat terbuka dan multikultur. Ia tidak lagi memposisikan dirinya milik suku atau kelompok yang dahulu mendukungnya untuk merebut tahta. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku asli yakni Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai, Lawangan, Abal), maupun pendatang (a.l. Jawa, Bajau, Bugis) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”. Oleh karena itu, Sultan adalah milik semua dan mengayomi semuanya; tanpa memandang perbedaan identitas suku, agama, kepercayaan maupun atribut-atribut sosial lainnya yang berbeda. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam yang menjadi agama resmi kesultanan. Dalam QS. Al-Hujurat 49:13 disebutkan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Dalam hal ini Islam yang dijadikan sebagai agama resmi kesultanan adalah ideologi dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin nilai-nilainya ditegakkan dan diagungkan dalam adat kesultanan sehingga membawa kebaikan dan kemuliaan bagi setiap anak bangsa di tanah Banjar atau di luar tanah Banjar. Hal ini untuk menegaskan adat dijunjung, kebersamaan dibangun, dan harmoni sesama anak bangsa disanjung untuk mencapai kedamaian dan kemakmuran bersama. Sebelum Kesultanan Banjar berdiri atas bantuan Demak, agama Islam telah masuk dan menyebar dengan damai sampai ke daerah-daerah Wajidi 409 hulu sungai. Ketika agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan, maka raja-raja Banjar mengembangkan Islam dengan kedamaian. Betapapun kuatnya perkembangan Islam saat itu, tidak lantas berbagai tradisi atau upacara adat yang berkaitan dengan kepercayaan lama hilang begitu saja. Padahal pendukung unsur-unsur kepercayaan lama itu tidak hanya ada pada bangsawan Banjar, tetapi juga masyarakat yang tinggal di perdesaan. Kedatangan Islam tidak lantas menghapuskan unsur-unsur lama, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya. Islamisasi atau perubahan agama istana dari dari Hindu menjadi Islam dipandang oleh rakyat awam sebagai hal yang sewajarnya saja, dan tidak perlu mengubah loyalitas mereka. Kenyataan itu terekam, umpamanya, pada dongeng atau mitos yang berkembang di kalangan kelompok- kelompok Dayak, yaitu tentang rasa memiliki yang mereka rasakan turun temurun terhadap masjid Pusaka di Banua Lawas (Kabupaten Tabalong) dan Masjid Banua Halat (Kabupaten Tapin), masing-masing oleh suatu kelompok Dayak Maanyan dan Dayak Bukit. Mitos yang berkembang, antara orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu sesungguhnya “badangsanak” (bersaudara; hubungan genealogis) karena berasal dari keturunan dua bersaudara kandung: Intingan (Palui Anum) dan Dayuhan (Palui Tuha) yang berasal dari Banua Halat. Ketika Islam masuk ke desa (waktu itu belum bernama Banua Halat), Intingan tertarik dan menyatakan meninggalkan kepercayaan lamanya dengan memeluk agama Islam. Sedangkan Dayuhan beserta pengikutnya yang tetap berkeinginan mempertahankan kepercayaan dan adat istiadat nenek moyangnya, berpindah ke daerah terpencil di pegunungan Meratus. Akan tetapi, perbedaan keyakinan diantara kedua saudara kandung ini tidak serta merta memisahkan persaudaraan mereka. Bahkan, orang Dayak Meratus memercayai bahwa Masjid Banua Halat dahulunya dibangun

410 Wajidi oleh Intingan yang berislam, dengan bantuan sepenuhnya dari saudara kandungnya Dayuhan atau kerabatnya dari kelompok Dayak. Pada kasus ini, anak cucu mereka masih mengenang peristiwa itu sebagai ingatan kolektif, dan ketika orang Dayak Meratus Kabupaten Tapin datang ke Banua Halat maka mereka sempatkan untuk berziarah ke Masjid Banua Halat dan memanggil orang Banua Halat yang beragama Islam dengan sebutan dangsanak yang berarti saudara atau badangsanak (bersaudara), sebab mereka meyakini nenek moyang mereka bersaudara kandung dengan nenek moyang orang Banua Halat. Dalam kasus ini, Alfani Daud menyebut Masjid Banua Halat itu sebagai barang perpantangan yakni milik bersama antara orang Dayak Meratus di Tapin dengan orang Banua Halat (Daud, 1997: 49). Seperti halnya Masjid Banua Halat sebagai barang perpantangan karena dibangun Intingan dengan bantuan Dayuhan, maka Masjid Pusaka Banua Lawas juga berstatus barang perpantangan karena dibangun atas bantuan orang Maanyan yang menganut kepercayaan Kaharingan. Oleh karena itu adalah hal yang wajar ketika orang-orang Maanyan berbelanja ke Pasar Arba di Banua Lawas, mereka menyempatkan diri menziarahi Masjid Pusaka Banua Lawas. Apalagi di lokasi masjid ini dahulunya adalah bekas bangunan suci orang Maanyan dan di belakangnya terdapat kuburan tokoh-tokoh Maanyan (Wajidi, 2011:103). Adanya interaksi, adaptasi, dan akulturasi dengan budaya lokal terlihat dan berjalan harmonis di berbagai bidang seni budaya seperti dalam bidang seni bangunan (konstruksi dan ornamentasi masjid dan rumah Banjar), seni rupa, dan seni sastra (peribahasa; kiasan, papadah, papadah, pepatah-petitih), maupun seni pertunjukan (wayang, madihin, mamanda) melainkan juga upacara daur hidup masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Pengaruh unsur agama Islam pada upacara-upacara tradisional seperti pada tradisi manyanggar banua terlihat pada setiap pembukaan selalu didahului dengan ucapan Bismillahirrahmaanirrahiim, setelah itu baru

Wajidi 411 diteruskan seperti memanggil-manggil makhluk gaib yang diyakininya untuk mencicipi sesajen yang telah disediakan. Kemudian pada upacara penutup, setelah selesai mengembalikan makhluk gaib, dari sesajen- sesajen yang ada itu dibacakan kembali doa selamat. Perkembangan selanjutnya, Islam mempengaruhi sesajen. Yang diundang bukan lagi makhluk halus melainkan para tetangga atau kerabat. Mereka diundang untuk menghadiri selamatan, yakni berdoa selamat yang diringi dengan makan bersama. Hidangan tidak lagi dimaknai sebagai sesajen melainkan sedekah untuk para undangan. Dari hal yang demikian itu, dapat dikatakan bahwa berbagai upacara selamatan atau kenduri (aruh, bahasa Banjar) dengan mengundang orang banyak dengan menyediakan hidangan berupa makanan, kue-kue, dan minuman untuk disantap bersama dalam berbagai upacara daur hidup seperti pada saat kehamilan, kelahiran, perkawinan, pindah rumah, kematian, dan sebagainya berasal dari budaya lokal yakni sesajen yang telah mendapat pengaruh Islam. Sebagaimana dikatakan Clifford Geerzt (1995:77) bentuk ritual inti dari sinkritisme adalah sebuah perayaan bersama yang disebut slametan. Selain pada upacara tradisional, kesenian merupakan salah satu ciri dan identitas tersendiri dalam budaya Banjar. Seni ukiran yang dulunya berpijak pada konsep-konsep kepercayaan lama tetap diwarisi sebagaimana terlihat pada arsitektur dan ornamen rumah-rumah tradisi Banjar yang memiliki makna atau simbol tertentu, antara lain rumah Banjar Bubungan Tinggi, Gajah Baliku, Gajah Manyusu, Palimbangan, Balai Laki, Balai Bini, Tadah Alas, dan masjid-masjid kuno beratap tumpang, misalnya, Masjid Su’ada (Masjid Baangkat), Masjid Banua Halat, Masjid Sultan Suriansyah, dan Masjid Pusaka Banua Lawas. Bagian-bagian tertentu pada masjid kuno beratap tumpang seperti lengkung pola kalamakara pada mimbar, pataka (mustaka, molo) pada puncak atap masjid sebagai perlambang pohon Hayat, dan berbagai tatah

412 Wajidi atau ukiran bergaya klasik menunjukkan pengaruh seni bangunan tradisional yang telah dikenal sebelum kedatangan Islam. Motif-motif ukiran yang dihasilkan pada zaman Hindu-Budha masih dipelihara, karena dianggap pusaka yang tidak bertentangan dengan kaidah Islam. Bahkan kemudian, motif ukiran diperkaya dengan kehadiran ornamen bernuansa Islam dalam bentuk tatah surut (relief) maupun tatah bakurawang seperti ukiran kaligrafi dua kalimah syahadat, ayat-ayat Al-Quran, nama Allah, Rasul, dan nama para sahabat nabi pada ventilasi, tawing halat pada rumah Banjar maupun pada masjid. Bentuk bangunan pada masjid kuno yang mengadaptasi pola-pola bangunan atau keyakinan lama tersebut menunjukkan bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan strategi dakwah, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga bisa menarik orang-orang non Islam untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya (Pusponegoro, 1990:194). Begitupula halnya dengan adat istiadat, betapapun kuatnya perkembangan Islam yang tersebar di kalangan masyarakat Banjar sejak abad ke-16 sampai masa kehidupan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) yang melalui kitab Tuhfah al-Raghibin bermaksud memurnikan akidah dari faham-faham bid’ah dan tradisi lama seperti upacara manyanggar banua dan mambuang pasilih, tidak lantas budaya lokal atau upacara-upacara yang berkaitan dengan unsur kepercayaan lama hilang begitu saja, dan bahkan pada kenyataannya sampai sekarang pun sisa- sisa kepercayaan lama itu masih ada di daerah tertentu, akan tetapi budaya lokal itu kemudian berakulturasi dengan Islam misalnya tradisi tolak bala, tradisi batapung tawar kehamilan, mandi tian mandaring (bapagar mayang), mandi baya, bapalas bidan, baayun maulid yang merupakan suatu bentuk perpaduan tradisi lama dengan Islam.

Wajidi 413 Keberadaan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Kesultanan Banjar sangat memberikan warna kepada syiar Islam, karena selain mengajar para da’i, beliau banyak mengarang berbagai kitab. Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, lengkapnya Sabilul Muhtadin Lit-Tafaqquh Fi Amriedien. Kitab tersbut sangat terkenal di seluruh Asia Tenggara; Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam dan Laos, karena kaum Muslimin di daerah-daerah tersebut menggunakan bahasa Melayu. Nilai apa yang dapat diambil dari ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari? Ternyata dakwah Islamiyah dan karya tulis, dan keturunan beliau yang juga ulama berperan sebagai perekat persaudaraan seagama (Ukhuwah Islamiyah). Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah juga simpul perekat keindonesiaan, karena mewariskan karya tulis yang menjadi rujukan khususnya dalam ilmu fikih dan tasawuf, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Melalui karya tulisnya yang berbahasa Melayu- Banjar dengan sendirinya telah memantapkan fungsi bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan atau berkomunikasi (lingua franca) di Nusantara. Dengan karya tulisnya itu, tokoh ulama Banjar ini telah mewariskan tradisi menulis yang patut dicontoh oleh generasi sekarang. Diterimanya Islam dengan penuh damai di kesultanan Banjar bisa terjadi, karena toleransi dakwah Islam itu didukung oleh fleksibilitas (daya lentur) ajaran Islam itu sendiri. Dalam pengertian bahwa Islam merupakan kodifikasi nilai-nilai universal. Karenanya, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Sebagaimana dikatakan Noor Huda (2007:44) dengan watak semacam ini, maka kehadiran Islam di suatu wilayah tidak lantas merombak tatanan nilai yang telah mapan. Fleksibelitas dan toleransi Islam itulah yang terlihat dalam proses Islamisasi di Kesultanan Banjar.

414 Wajidi Pada saat kontak dengan masyarakat lokal, akulturasi Islam dengan budaya lokal merupakan pilihan terbaik bagi juru dakwah sehingga Islam tersebar dan berkembang dengan pesat dan damai. Ajaran tasawuf dalam Islam, misalnya diramu sedemikian rupa sehingga sesuai dengan alam fikiran (mistik) masyarakat lokal yang sudah dibentuk dalam kebudayaan dan kepercayaan nenek moyang, Hindu, dan Budha. Oleh karena mendapat sentuhan Islam, maka bagi mereka yang mengerjakan, dianggap bukan membahayakan iman. Untuk menciptakan kedamaian, ketenteraman dan hubungan harmonis Sultan Suriansyah juga membawa nilai-nilai kesantunan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti halnya raja-raja Negara Dipa dan Negara Daha, Sultan Suriansyah sebagai sultan pertama Kesultanan Banjar misalnya selalu mengingatkan untuk mengikuti adat dan istiadat tata cara keraton yang pernah dipakai di keraton Negara Dipa dan Negara Daha yang mengajarkan nilai-nilai luhur dalam membangun hubungan interaksi seperti bainggih, ba-pun, andika dan bahasa santun lainnya dalam tata laku kemasyarakatan dan kekeratonan. Ketika keraton menjadi sentral kebudayaan dan tradisi masyarakat atau bangsa Banjar memiliki panutan dan pijakan, tentu tata krama dan tata laku demikian dianggap sebagai manusia yang berpendidikan dan berbudi bahasa, sangat kuat pengaruhnya pada bangsa Banjar hingga ke pelosok dan menunjukkan status sosial untuk membedakan dengan orang yang tidak bertata laku sopan santun dan berpendidikan. Dalam mengatur kehidupan bangsa Banjar, maka raja Banjar di kemudian hari yakni Sultan Adam al-Wasik Billah bin Sultan Sulaiman Saidullah II (1825-1857) mengeluarkan undang-undang yang terkenal sebagai Undang-Undang Sultan Adam tahun 1835. Dalam undang-undang tersebut diatur urusan dunia dan pemerintahan berlandaskan nilai-nilai Islam. Undang-Undang Sultan Adam Tahun 1835 sebagai sebuah produk hukum yang telah menjadikan bangsa Banjar memiliki marwah dan harga diri

Wajidi 415 sebagai bangsa Islami di Nusantara, dimana terdapat pasal-pasal yang mengatur bangsa Banjar untuk taat kepada pandangan Islam yakni Ahlussunnah wal jamaah, adanya suruhan tentang hak dan kewajiban atas tanah dan perwatasan, adanya suruhan membuat masjid dan langgar, adanya suruhan agar saling asih dan asuh, adanya suruhan mengaji dan sembahyang berjamaah setiap waktu dan berjamaah salat Jumat dan sebagainya (Rahmatillah, 2013). Dalam kebudayaan Banjar, nilai-nilai Islam tercermin jelas dalam berbagai tradisi yang bertahan hingga sekarang ini. Nilai-nilai itu antara lain yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari dari tradisi basalamatan yang mencerminkan nilai syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Pada tradisi mahaul yang sudah meninggal dan ziarah kepada makam-makam keramat seperti makam yang mereka anggap wali atau punya kelebihan tertentu, terdapat nilai untuk mengingat mati, meneladani kehidupan tokoh yang diziarahi. Sementara itu, dalam berziarah harus ada etika atau adab yang harus dipatuhi seperti berpakaian, berperilaku yang sopan dan membacakan bacaan-bacaan tertentu. Selain itu terkait dengan perputaran tata surya dan tata alam yang memunculkan musim kemarau panjang, maka masyarakat Banjar juga melaksanakan salat minta hujan, atau jika terjadi gerhana maka melaksanakan salat gerhana matahari atau bulan di masjid. Karena Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas orang Banjar maka dalam berbagai tradisi tidak terlepas dari nilai-nilai Islam seperti terlihat dalam berbagai upacara daur hidup: Upacara kehamilan (Upacara Batapung Tawar Tian Tiga Bulan, Upacara Mandi Tian Mandaring, Upacara baumur, dsb), Upacara Kelahiran (upacara bapalas bidan, mangarani anak, ba-ayun maulid, dsb), Upacara menjelang dewasa (Upacara basunat, Batamat Quran), Upacara perkawinan (Basasuluh, Badatang, Bapayuan, Upacara Nikah dsb), Upacara kematian (Upacara Penguburan, Baaruah).

416 Wajidi Sebagai contoh: basasuluh adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang pasti mengenai keadaan seorang gadis. Basasuluh berarti menyelidiki segala aspek kehidupan, baik kepada gadis yang dituju untuk dilamar maupun asal-usul keluarganya. Nilai atau makna perlambangan, basasuluh merupakan lambang dari sikap pribadi anggota suku Banjar yang selalu berhati-hati dalam memilih calon istri bagi anaknya. Setelah basasuluh ada yang disebut badatang, yang merupakan lambang dari sikap pribadi anggota suku Banjar yang selalu berusaha mengikuti tata aturan yang sudah diadatkan dalam proses memilih calon istri bagi anaknya. Nilai-nilai agama juga terlihat dalam berbagai falsafah hidup. Dengan berpedoman kepada Alquran dan sunnah Rasul, para orang tua mengenalkan anak-anaknya tentang keimanan, mengaji, salat, puasa, dan zakat, serta sistem akhlak keagamaan, dan sebagainya. Pada arsitektur rumah Banjar, nila-nilai yang Islam terlihat dari berbagai ukiran kaligrafi dengan kalimat-kalimat mulia: asma Allah, Rasulullah, para sahabat, atau ayat suci Alquran. Pentingnya motif kaligrafi itu tidak terlepas dari budaya masyarakat Banjar yang religius, disamping bermakna sebagai harapan akan keselamatan atau tolak bala. Orang Banjar mengenal peribahasa seperti papadah yang diwarisi secara turun temurun. Banyak peribahasa Banjar yang mengandung konsep nilai kebaikan (goodness) seperti keadilan, kearifan, kedisiplinan, ketabahan, kesetiaan, dan kejujuran sebagai pembentuk karakter. Sebagai contoh peribahasa untuk membentuk perilaku atau sopan santun, (1) Amun bapandir jangan kada baapik (kalau bicara jangan tidak bertata); (2) amun bapandir jangan mahapak (kalau bicara jangan mengejek/ meremehkan), (3) amun bapandir lamah limambut, batu gin lamah, apalagi hati manusia (jika bicara lemah lembut, batu yang keras pun akan lemah, apalagi hati manusia), (4) banganga dahulu hanyar baucap (berpikir terlebih dahulu baru bicara), dan sebagainya (Ganie, 2010).

Wajidi 417 Terkait dengan nilai hubungan antarmanusia, orang Banjar dikesankan memiliki sosok budaya demokratik-egaliter seperti budaya demokratik dalam kesamaan dan menanggalkan segala sifat hierarkis/ paternalistik, sehingga orang Banjar mempunyai sikap budaya terbuka terhadap etnis pendatang, terlebih lagi selama etnis bersangkutan memegang teguh dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa dalam sejarah Banjar konflik horisontal atau konflik antaretnis hampir tidak pernah terjadi. Upaya pihak kesultanan Banjar untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, terbuka, multikultur, namun tetap berlandaskan kepada nilai-nilai Islam mendapat halangan berat Belanda melakukan penetrasi di kesultanan Banjar. Penetrasi pertama bermula ketika kompeni Belanda (VOC) menghancurkan keraton Banjar di Kuin tahun 1612 sehingga ibukota kerajaan dipindah ke daerah Kayutangi, Martapura. Selanjutnya, untuk melindungi kepentingan ekonominya dan penguasaan wilayah teritorial kesultanan, Belanda memanfaatkan adanya persaingan dinasti maupun usurpasi di Kesultanan Banjarmasin. Belanda berupaya menciptakan permusuhan antaretnis dalam rangka menancapkan kuku kekuasaannya. Keterlibatan Belanda dalam intrik istana kesultanan mengakibatkan Belanda lebih dengan mudah bermain dan membantu salah satu pihak yang bertikai dengan syarat berupa kontrak-kontrak yang disepakati kedua belah pihak, sampai kemudian meletus Perang Banjar. Oleh karena itu, Perang Banjar merupakan perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kerajaan Banjar di satu pihak dengan pihak Belanda. Pangeran Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis Banjar dan Dayak untuk bersama- sama melawan Belanda, baik melalui perkawinan, agama, budaya maupun politis. Hubungan antar etnis Banjar-Dayak untuk bersama-sama melawan penjajah Belanda pada masa Perang Banjar adalah bukti nyata semangat

418 Wajidi persaudaraan dan cinta tanah air untuk mempertahankan kedaulatan telah melampaui batas-batas kesukuan. Hanya saja kemudian orang-orang Eropa mencari-cari perbedaan karena Dayak dikotomikan dengan orang Melayu berdasarkan kepada prasangka keagamaan. Dalam menghadapi perlawanan, selain dengan kekuatan senjata, secara sepihak Belanda menghapuskan Kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860. Secara administratif, bekas wilayah kerajaan Banjar yang dihapuskan, sejak 1865 dijadikan Belanda Keresidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Runtuhnya Kesultanan Banjar sebagai sebuah kenyataan sejarah telah memunculkan sebuah “malapetaka budaya” bagi masyarakat Banjar. Selama lebih kurang 150 tahun, zuriat dan kerabat kesultanan Banjar tercerai-berai di berbagai tempat, begitupula bangunan keraton Banjar musnah dibakar tanpa sisa sedikitpun. Yang sangat memprihatinkan adalah ketika etika, norma, aturan dan adat istiadat kesultanan Banjar yang bersendikan nilai-nilai Islam semakin luntur dan tidak lagi dijunjung karena kehilangan maruah. Ditambah lagi dengan tantangan zaman yang terus berubah, yang memunculkan pergeseran tata nilai diberbagai sendi kehidupan masyarakat Banjar. Kesultanan Banjar memang telah runtuh, akan tetapi nilai-nilai kesejarahannya yang mengedepankan keterbukaan, harmonisasi dan multikulturisme atas semua anak bangsa patut untuk dijadikan pedoman generasi kini untuk menghadapi tantangan ke depan.

III. SIMPULAN Dari paparan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa ini peran kebudayaan dalam pembentukan karakter di tengah masyarakat majemuk sangat diperlukan, terlebih lagi sekarang ini mobilitas penduduk, kontak antaretnis dan antarbudaya semakin meningkat dan terus akan meningkat lagi di masa datang. Dalam kondisi yang demikian itu, keragaman yang bisa memunculkan konflik harus dihindarkan, dan

Wajidi 419 diganti dengan pendekatan perdamaian melalui sikap dan tradisi multikultur agar tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat yang berbeda latar belakang budaya. Sikap itu dapat dimulai melalui pengenalan, pemahaman dan penghormatan kebudayaan yang berbeda-beda sehingga kemudian muncul sikap toleransi terhadap keragaman budaya itu. Dalam perspektif historis dan adat kesultanan Banjar, nilai-nilai budaya dapat digali dalam pembentukan karakter. Tidak dipungkiri bahwa dalam sejarah dan kebudayaan Banjar di Kalimantan Selatan juga diwarnai oleh konflik atau pertentangan, akan tetapi tidak sedikit peristiwa sejarah dan budaya masyarakat Banjar yang mencerminkan adanya nilai dan tradisi multikultur yakni penghormatan terhadap perbedaan etnis dan budaya dalam masyarakat Banjar. Esensi nilai-nilai kedamaian atau adat kesultanan yang mengedepankan multikulturisme yang diagungkan oleh Sultan Suriansyah raja pertama kesultanan Banjar tetap relevan dalam konteks kekinian. Sebab kenyataannya, masyarakat yang menempati Provinsi Kalimantan Selatan adalah masyarakat majemuk yang sejak dahulu hingga sekarang ini berinteraksi dengan harmonis dan perdamaian di tengah-tengah keragaman suku dan budayanya. Penguatan nilai-nilai adat dan tradisi multikultur oleh Kesultanan Banjar dahulu sangat diperlukan untuk menegakkan motto bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika di tanah Banjar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

420 Wajidi DAFTAR PUSTAKA Daihani, Dadan Umar. 2001. “Lansekap dan Potensi Konflik Indonesia”, dalam Masyarakat Indonesia, Jilid XXVII, No. 1, 2001. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ganie, Tajuddin Noor. 2010. Kamus Peribahasa Banjar. Banjarmasin: Rumah Pustaka Folklore. Geerzt, Clifford. 1995. Kebudayaan dan Agama. Terjemahan Fransisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Huda, Noor. 2007. Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Ideham, M. Suriansyah, dkk (editor). 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Ideham, M. Suriansyah, dkk. (ed.). 2007. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Naskah Pidato Sultan Haji Khairul Saleh Al Mu’tashim Billah Pada Milad 509 Kesultanan Banjar, Martapura, 12 Muharram 1435H/16 November 2013. Patji, Abdul Rachman. 2001. “Primordialisme, Konflik Sosial dan Globalisasi”, dalam Masyarakat Indonesia, Jilid XXVII, No. 1, 2001. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusponegro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka. Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Semesta. Rahmatillah, H Pangeran Suryasari. Sejarah Kesultanan Banjar Dalam Perspektif Kebudayaan Banjar. Makalah disampaikan pada seminar Sejarah dan Kebudayaan Banjar oleh Kesbangpolinmas Provinsi Kalimantan Selatan, Kamis 19 Desember 2013. Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.

Wajidi 421 Wajidi, 2011. Akulturasi Budaya Banjar di Banua Halat. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Wajidi. Bahasa Perdamaian Dalam Perspektif Historis dan Adat Kesultanan Banjar. Makalah disampaikan pada Seminar Bahasa dan Lokakarya Lembaga Adat di Hotel Santika, TMII, Jakarta, 18 – 21 Agustus 2014.

422 Wajidi KESULTANAN BANJAR SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN IPS Norbaiti Ilhamiah

ABSTRAK Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan studi tentang manusia yang dipelajari oleh anak didik di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Materi mata pelajaran IPS bukan saja bersandarkan prinsip dan konsep-konsep antropologi-sosiologi, ekonomi, geografi, sejarah, ilmu politik, psikologi atau pun psikologi sosial, tetapi juga semestinya “muatan lokal”. Muatan lokal dalam padanan kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan pengetahuan yang tercipta dari adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam kehidupan. Kesultanan Banjar dengan muatan nilai-nilai luhur (kearifan lokal) budaya Banjar merupakan pilihan yang tepat dalam konteks pembelajaran IPS. Kata Kunci: Pendidikan IPS, kearifan lokal, Kesultanan Banjar.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Norbaiti Ilhamiah 423 I. PENDAHULUAN Pendidikan, seperti sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifat sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beranekaragam, dan kandungannya berbeda yang satu dengan yang lain (Umar, 2008: 33). Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) studi tentang manusia yang dipelajari oleh anak didik di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah. Dalam kenyataannya bidang studi tersebut sering disebut dengan istilah antropologi-sosiologi, ekonomi, geografi, sejarah, ilmu politik, psikologi ataupun psikologi sosial (Abdul, 2009: 1.3). Pembelajaran merupakan suatu bentuk interaksi yang bersifat edukatif antara guru dengan siswa. Mata pelajaran IPS membutuhkan interaksi yang teratur antara guru dengan siswa, sebab mata pelajaran IPS bertujuan agar siswa memahami konsep- konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Melalui mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk menyadari akan pentingnya hidup bermasyarakat. Pembelajaran IPS dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut agar siswa mampu berkomunikasi, berpikir kritis, dan bekerjasama dalam kehidupan sosial (http://erwinblog- erwinpermana12.blogspot.com). Kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama (http://fzhsafarina.blogspot.com).

424 Norbaiti Ilhamiah Budaya Kesultanan Banjar semakin redup dan tidak diketahui lagi, karena itu perlu diangkat kepermukaan dan dilestarikan sebagai nilai-nilai luhur dan kearifan lokal budaya Banjar (Ahmad, 2013: 163). Akan halnya pembelajaran IPS dianggap sebagai pelajaran yang sulit, kurang penting, dan membosankan. Hal ini disebabkan karena mata pelajaran IPS sebagian besar materinya menekankan pada aspek kognitif dan kurangnya penekanan pada aspek afektif dan psikomotor. Untuk menyeimbangkan aspek-aspek tersebut guru menerapkan beberapa cara untuk mengatasi kesulitannya, diantaranya dengan pembelajaran berbasis kearifan lokal.

II. PEMBAHASAN 2.1 Pendidikan IPS Dalam bidang pengetahuan sosial, kita mengenal beberapa istilah yang kadang-kadang dapat membuat kekacauan pemahmanan. Istilah- istilah tersebut meliputi Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Untuk itu, agar pemahaman tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersandar kepada esensinya, terlebih dahulu disajikan tentang pengertian IPS. Secara sederhana IPS ada yang mengartikan sebagai studi tentang manusia yang dipelajari oleh anak didik di tingkat sekolah dasar dan menengah. Dalam kenyataannya bidang studi tersebut disebut dengan istilah-istilah antropologi-sosiologi, ekonomi, geografi, sejarah, ilmu politik, psikologi, ataupun psikologi sosial. Terkadang pula ada yang mengaitkan bidang studi IPS dengan filsafat atau religi, seni dan musik, kesusastraan, bahkan dihubungkan pula dengan science. Social Education dan Social Learning, kedua istilah tersebut menurut Cheppy lebih menitik beratkan kepada berbagai pengalaman di sekolah yang dipandang dapat membantu anak didik untuk lebih mampu bergaul di tengah-tengah masyarakat.

Norbaiti Ilhamiah 425 Pemahaman yang keliru tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu-Ilmu Sosial (IIS) pada sebagian guru atau pembelajar sehingga sering menimbulkan implementasi yang kurang tepat, bahkan jauh dari yang diharapkan. Aplikasi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sering dipraktikkan sebagai Ilmu-Ilmu Sosial (IIS). Padahal antara IPS dengan IIS memiliki perbedaan mendasar sekalipun keduanya tidak bisa dipisahkan karena saling berhubungan. Pendekatan disiplin IIS hendaknya tidak diterapkan dalam pembelajaran IPS, sebab IPS lebih menekankan kepada pendekatan multidisiplin atau interdisiplin, di mana topik-topik dalam IPS dapat kita manipulasi menjadi suatu isu, pertanyaan atau permasalahan yang berperspektif interdisiplin. Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di dunia pendidikan Indonesia tidak lepas dari perkembangan Social Studies di Amerika Serikat banyak mempengaruhi pemikiran mengenai Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Indonesia. Social Studies bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin bidang akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah sosial. Dalam kerangka kerja pengkajian Studi Sosial menggunakan bidang-bidang keilmuan yang termasuk bidang-bidang ilmu sosial (Abdul, 2009:1.5). National Council for the Social Studies dalam pengembangan kurikulum telah mengemukakan The Curriculum Standar for the Social Studies dan National Council for the Social Studies (2000) dalam pengembangan Subject Matter Standars mengemukakan Thematic Standars yaitu: 1. Cultur and Cultur Diversity 2. Time, Continuity, and change 3. People, Places, and Enviroments 4. Individual Development and Identity 5. Individual, Groups, and Institutions 6. Power, Authority, and Governance 7. Production, Distribution, and Counsumtion 8. Science, Technology, and society

426 Norbaiti Ilhamiah 9. Global Connections 10. Civic Ideals and Prectices Model pengembangan sedemikian dengan jelas dan tegas meamarkan bahwa ambilan PIPS dari IIS merupakan tema-tema tertentu, dan karena itu bukan keilmuannya, melainkan hal-hal yang diperlukan sesuai keperluan PIPS (Abbas, 2014:35). 2.2 Pendidikan IPS dan Kearifan Lokal Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya universal. Menurut pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Keraf (2002), kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yanag menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Menurut Naritoom (Wagiran, 2010) paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu:(1) kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku seseorang; (2) kearifan Norbaiti Ilhamiah 427 lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya; dan (3) kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Konsep demikian juga sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Menurut pendapat lain, paling tidak cakupan kearifan lokal meliputi: 1. Pemikiran, sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang) 2. Pemikiran, sikap, dan tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi, lukisan, dan sebagainya. 3. Pemikiran, sikap, dan tindakan sosial bermasyarakat, seperti unggah-ungguh, dan sopan santun. Secara garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible) dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata berupa gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana, dan berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan simbolik patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Sungri yang meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, philosophi, agama dan budaya serta makanan tradisional (http://.blogspot.com). Definisi kearifan lokal dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai- nilai budaya yang ada di dalam wilayah tersebut. Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis juga membuat definisi tentang pengertian kearifan lokal. Menurut penulis, kearifan lokal adalah tradisi dan budaya yang mempunyai nilai-nilai luhur dan sudah diajarkan turun temurun.

428 Norbaiti Ilhamiah 2.3 Pendidikan IPS, Kearifan Lokal dan Kesultanan Banjar Studi sosial harus mencakup pengalaman yang memberikan untuk studi tentang bagaimana orang membuat, berinteraksi dengan, dan mengubah struktur Power, Authority, and Goverance (kekuasaan, wewenang, dan pemerintahan). Power (kekuasaan) dapat menentukan nasib berjuta- juta manusia. Oleh karena itu, kekuasaan sangat menarik perhatian para ahli ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Penilaian baik buruk senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat. Karena kekuasaan mempunyai sifat yang netral, maka menilai baik atau buruknya harus dilihat pada penggunaannya bagi keperluan masyarakat. Makna pokok dari kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan (Soekanto, 2014: 225). Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan- kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannnya terhadap tindakan- tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu (Soekanto, 2009: 230). Jadi, kekuasaan dapat didefinisikan sebagai hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang, sehingga dengan begitu dapat merupakan sesuatu konsep kuantitatif karena dapat dihitung hasilnya. Misalnya berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa banyak orang yang dipengaruhinya, berapa lama yang bersangkutan berkuasa, berapa banyak uang, barang dan jasa dikuasainya (Syafiie, 2010: 86). Authority (wewenang) berasal dari kata Latin auctoritas berarti kekuasaan yang diberikan oleh negara (dalam bentuk pemerintah, hakim, polisi, dll). Robert Bierdstedt dalam An Analysis of Social Power menyatakan bahwa otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Society mengemukakan bahwa otoritas adalah kekuasaan formal (formal power). Dianggap bahwa yang

Norbaiti Ilhamiah 429 punya wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya (Budiardjo, 2008:64). Dalam pemerintahan, istilah otoritas sering digunakan secara bergantian dengan kekuatan. Namun, maknanya berbeda: sementara daya didefinisikan sebagai "kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang dia tidak akan melakukan", otoritas mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk menjalankan kekuasaan itu. Sebagai contoh, sementara massa memiliki kekuatan untuk menghukum penjahat, misalnya dengan hukuman mati tanpa pengadilan, orang-orang yang percaya pada aturan hukum menganggap bahwa hanya pengadilan memiliki kewenangan untuk menghukum penjahat. Dalam filsafat politik, yurisdiksi otoritas politik, lokasi kedaulatan, keseimbangan kebebasan dan otoritas (Cristi, 2005), dan persyaratan kewajiban politik telah pertanyaan inti dari Plato dan Aristoteles hingga saat ini. Kebanyakan masyarakat demokratis terlibat dalam diskusi yang sedang berlangsung mengenai tingkat sah pelaksanaan kewenangan pemerintah. Sejak munculnya ilmu-ilmu sosial, otoritas telah menjadi subjek penelitian di berbagai pengaturan empiris: keluarga (otoritas orangtua), kelompok-kelompok kecil (otoritas informal kepemimpinan), organisasi menengah seperti sekolah, gereja, tentara, industri dan birokrasi (organisasi dan birokrasi pemerintah), dan organisasi masyarakat luas atau inklusif, mulai dari masyarakat suku yang paling primitif modern negara-bangsa dan organisasi menengah (otoritas politik). Max Weber, dalam sosiologis dan filosofis karyanya, diidentifikasi dan dibedakan tiga jenis dominasi yang sah (Herrschaft dalam bahasa Jerman, yang umumnya berarti 'dominasi' atau 'aturan'), yang kadang- kadang diberikan dalam terjemahan bahasa Inggris sebagai jenis otoritas, karena dominasi tidak dilihat sebagai konsep politik di tempat pertama. 430 Norbaiti Ilhamiah Weber mendefinisikan dominasi (otoritas) sebagai kesempatan perintah yang ditaati oleh sekelompok orang. Otoritas yang sah adalah yang diakui sebagai yang sah dan dibenarkan oleh penguasa dan yang dikuasai. Weber membagi otoritas yang sah menjadi tiga jenis: 1. Otoritas rasional-legal ini adalah bentuk otoritas yang tergantung untuk legitimasi pada aturan formal dan hukum yang ditetapkan negara, yang biasanya ditulis dan seringkali sangat kompleks. Kekuatan otoritas hukum rasional disebutkan dalam konstitusi. Masyarakat modern tergantung pada otoritas legal-rasional. Pejabat pemerintah adalah contoh terbaik dari bentuk otoritas, yang lazim di seluruh dunia. 2. Otoritas tradisional, yang berasal dari lama berdiri adat, kebiasaan dan struktur sosial. Bila daya berpindah dari satu generasi ke generasi yang lain, maka dikenal sebagai otoritas tradisional. Hak raja keturunan memerintah memoles sebuah contoh nyata. The Tudor dinasti di Inggris dan keluarga penguasa Mewar, di Rajasthan (India) adalah beberapa contoh otoritas tradisional. 3. Bentuk ketiga otoritas kewenangan Karismatik. Di sini, karisma individu atau pemimpin memainkan peran penting. Otoritas karismatik adalah bahwa otoritas yang berasal dari "karunia rahmat" atau ketika pemimpin mengklaim bahwa kekuasaannya berasal dari "kekuatan yang lebih tinggi" (misalnya Tuhan atau hukum alam atau hak) atau "inspirasi", yang unggul baik validitas otoritas dan pengikut tradisional dan rasional-hukum menerima ini dan bersedia mengikuti otoritas yang lebih tinggi atau terinspirasi ini, di tempat otoritas bahwa mereka sampai sekarang telah mengikuti. Contoh dalam hal ini dapat menjadi NT Rama Rao, idola pertunjukan siang, yang kemudian menjadi salah satu Ketua Menteri paling kuat dari Andhra Pradesh. Konsep otoritas, seperti konsep terkait dengan yang sering terkait daya, pengaruh, dan kepemimpinan digunakan dalam berbagai cara dalam filsafat politik dan ilmu-ilmu sosial. Pada bagian, keragaman berasal dari mana-mana fenomena tersebut. Apakah itu didefinisikan sebagai (1) milik Norbaiti Ilhamiah 431 seseorang atau kantor, terutama hak untuk mengeluarkan perintah; (2) hubungan antara dua kantor, satu unggul dan lainnya bawahan, sehingga kedua pemain lama menganggap hubungan sah; (3) kualitas dari komunikasi berdasarkan yang diterima; atau (4) variasi yang tak terhitung jumlahnya pada satu atau lebih dari bentuk-bentuk logis dari definisi, fenomena otoritas dasar untuk perilaku manusia. Pemerintahan adalah suatu institusi yang dirancang untuk menciptakan kedamaian dan bukan pertunjukan yang memihak jika terjadi persoalan antara individu dan negara pemegang kekuasaan. Tujuan yang ingin dicapai menurut Jhon Locke ialah untuk melindungi perikehidupan, kebebasan, dan kesejahteraan (Thoha, 2014:119). Pemerintahan adalah kegiatan pemerintah saja, sehingga apapun yang dilakukan pemerintah, itulah pemerintahan (Ndraha, 2005:57). Pendidikan IPS berbasis kearifan lokal mempresentasikan Power, Authority, dan Governance Kesultanan Banjar. Para antropologi, sejarawan dan budayawan Banjar tidak selalu sama dalam memandang asal usul etnis Banjar. Menurut Djantera Kawi (2011), ada beberapa asumsi terkait dengan orang Banjar. Pertama, orang Banjar berasal dari daratan Asia Tenggara. Kedua, orang Banjar penduduk asli Kalimantan. Kedua pendapat ini sering diperdebatkan, dan hingga sekarang belum ada kesepakatan. Namun dari beberapa pendapat itu ada kecenderungan mengatakan bahwa orang Banjar tergolong etnis Melayu- Polinesia, dan asal usul orang Banjar tersebut adalah dari daratan Champa (Thailand), Vietnam, Kamboja, dan Pesisir Asia Tenggara. Mereka datang berimigrasi ke Kalimantan melalui beberapa periode disebabkan pulau ini sangat jarang penduduknya. Mengenai komunitas Banjar yang kemudian membentuk lembaga kekuasaan atau kerajaan diperkirakan berasal dari kerajaan Keling (Kalingga). Mereka mendatangi tanah Banjar yang disebut dengan Hujung Tanah untuk mencari daerah yang subur untuk pertanian, sekaligus memiliki 432 Norbaiti Ilhamiah prospek untuk membangun pemerintahan. Setelah berlayar menyeberangi lautan dan menyusuri sungai-sungai yang ada di Kalimantan (Selatan) akhirnya mereka memilih bermukim di Hulu Sungai, sehingga terbentuklah Kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha. Mengacu kepada beberapa buku tentang sejarah awal Kerajaan Banjar, diterangkan bahwa sekitar tahun 1400 M seorang putra saudagar bernama Mpu Jatmika berlayar ke Kalimantan. Ia berasal dari Keling (sekitar Kediri) dan ditemani istrinya Sira Manguntur. Mereka tiba di Marampiau (Margasari), lalu menetap karena alamnya cocok untuk membangun kehidupan baru. Pasangan ini memiliki dua orang anak, yaitu Mpu Mandastana dan Lambung Mangkurat, yang selanjutnya juga beranak pinak. Guna mengisi kekosongan kepemimpinan, Mpu Jatmika mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Maharaja di Candi. Kerajaannya dinamakan Negara Dipa dengan ibu kota Kuripan, di sekitar Candi Agung Amuntai. Mengingat mereka bukan berasal dari ksatria, dia dan keturunannya tidak mau menjadi raja yang permanen karena takut terhadap kutukan Dewata. Kedua putranya, yaitu Mpu Mandastana dan Lambung Mangkurat disuruh bertapa di gunung guna mencari seorang putri yang kelak akan dikawinkan dengan pangeran dari Majapahit. Pertapaan di gunung tidak berhasil yang kemudian dialihkan ke laut (sungai), sampai akhirnya Lambung Mangkurat menemukan Putri Junjung Buih yang keluar dari pusaran air. Lambung Mangkurat selanjutnya berlayar menuju Majapahit menggunkaan kapal Prabayaksa guna memohon agar Majapahit berkenan mengirimkan seorang putra atau pengeran ke tanah Banjar untuk menjadi raja Banjar dan mengawini Putri Junjung Buih. Raja Majapahit yang saat itu diduduki oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana mengirim putra angkatnya, Raden Putra dan mengawini Putri Junjung Buih dan diangkat menjadi Raja Negara Dipa dengan gelar Pengeran Suryanata.

Norbaiti Ilhamiah 433 Setelah kerajaan Negara Dipa berlanjut dengan kerajaan Negara Daha kerajaan di Tanah Banjar berlanjut dengan kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar dihapuskan Belanda 11 Juni 1960 M, setelah Belanda menduduki wilayah dan menghancurkan istana Kerajaan Banjar di Banjarmasin dan Martapura. Namun anak keturunan raja-raja Banjar tidak menerima kekalahan tersebut. Mereka melakukan perlawanan gerilya dan keturunan Raja Banjar tetap berupaya untuk “menghidupkan” kembali kesultanan Banjar. Setelah pangeran Hidayatullah dibuang ke Cianjur Jawa Barat, tercatat Pangeran Antasari dinobatkan pengikutnya sebagai Raja Banjar dengan gelar Amiruddin Khalifatul Mukminin, yang setelah wafat diteruskan oleh putranya Pangeran Muhammad Seman. Tetapi energi para pejuang dan pengikutnya saat itu lebih difokuskan untuk melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah, bukan untuk berkuasa. Karena itu upaya merestorasi Kesultanan Banjar sangat sulit. Di awal era kemerdekaan, upaya ke arah itu kembali dilakukan. Khawatir kesultanan Banjar semakin pudar, seorang putra Banjar Mohammad Noor diangkat menjadi pangeran. Tetapi, beliau disibukkan karena berkarir di Jakarta sebagai menteri PU pada awal kemerdekaan RI yang berakibat upaya merestorasi tidak sebagaimana diharapkan. Kedatangan kembali Belanda (NICA) ke Indonesia pascaproklamasi 17 Agustus 1945 serta instabilitas politik nasional semakin memustahilkan upaya restorasi Kesultanan Banjar. Menurut Seman (2003) dan Said (2011) setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda 11 Juni 1860, di masa Pangeran Antasari telah ada upaya untuk menghidupkan kembali Kesultanan Banjar dengan mengangkat beliau sebagai sultan Banjar bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Pengangkatan itu dikenal dengan proklamasi 14 Maret 1862 di Puruk Cahu. Rakyat yang mengangkat beliau berasal dari kawasan Barito, Sihong, Murung, Teweh, Kapuas, Kahayan dan Dusun Hulu.

434 Norbaiti Ilhamiah Setelah Pangeran Antasari wafat pada tanggal 11 Oktober 1962, kedudukannya digantikan oleh putranya Muhammad Seman. Setelah Sultan Muhammad Semman gugur pada bulan Januari 1905, kedudukannya digantikan lagi oleh putrinya Ratu Zalekha. Jadi telah ada upaya-upaya untuk meneruskan Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan oleh Belanda. Namun karena masih dalam suasana perang dan kehidupan yang prihatin, maka lembaga kesultanan tersebut tidak dapat bertahan sebagaimana mestinya. Di masa-masa awal kemerdekaan, kembali usaha itu dilakukan. Kali ini dengan mengangkat Gusti Muhammad Noor sebagai pangeran. Namun karena kesibukan beliau sebagai Menteri Pekerjaan Umum di masa itu, maka lembaga kesultanan yang ingin diaktualisasikan tidak kunjung terwujud. Mengingat zuriat para sultan Banjar dalam hal ini para pagustian masih tersebar di Kalimantan Selatan dan luar daerah, maka keinginan itu selalu muncul tetapi sifatnya timbul tenggelam. Di era orde baru keinginan itu juga muncul, tetapi tak kunjung terwujud. Akhirnya di masa reformasi dibentuk organisasi sebagai wadahnya setelah melalui musyawarah dan pertemuan, yaitu: Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB). Pembentukan LAKKB dilakukan melalui Musyawarah Tinggi Adat, 12 Sya’ban 1431 H, bertepatan dengan 24 Juli 2010, di Hotel Arum Banjarmasin. Khairul Saleh menyarankan sejumlah nama yang layak untuk menerima anugerah diantaranya Gusti Muhammad Hatta (Menteri Lingkungan Hidup), Gusti Iskandar Alamsyah (anggota DPD-RI) dan Gusti Farid Perdana Hasan Aman (anggota DPD-RI) dan Gusti Perdana Kusuma (anggota DPRD Kalsel). Musyawarah Tinggi Adat secara aklamasi meminta kesediaan Gusti Khairul Saleh bin H Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Abu Bakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman untuk menerima gelar Pangeran seklaigus diangkat sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar. Khairul Saleh

Norbaiti Ilhamiah 435 merupakan Sultan Banjar ke-23, sedangkan yang terakhir (22) adalah Sultan Mohammad Seman bin Pangeran Antasari. Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 2010 dilakukan penobatan Pangeran H. Khairul Saleh sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar oleh Ketua Forum Silaturahmi Kesultanan Nusantara (FSKN) Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Tedjowulan. Belakangan, pada Milad Kesultanan Banjar tahun 2012, LAKKB melalui Ketua Dewan Mahkota, Pangeran H. Rusdi Effendi, menetapkan Pangeran Khairul Saleh al-Mu’tashim Billah. Pembentukan Lembaga Adat Kesultanan Banjar memiliki payung hukum, yaitu UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar budaya (Lembaga Negara RI Nomor 27 tahun 1992) tambahan Lembaran Negara Nomor 3470 serta Peaturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Dengan demikian, lembaga adat, kesultanan dan keraton merupakan warisan budaya yang perlu dihidupkan, dijaga dan dilestarikan oleh semua kepala daerah dan didukung oleh peran serta masyarakat. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari usaha pengembangan budaya daerah. Ketua FSKN Susuhunan Pakubuwono XIII Tedjo Wulan mengatakan bahwa dari kebanyakan negara di dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan. Dalam pada itu, Gusti Khairul Saleh terpilih secara demokratis oleh masyarakat Kabupaten Banjar sebagai Bupati Kabupaten Banjar. Hal tersebut lebih memudahkan untuk menghidupkan kembali kesultanan Banjar. Sebagai Bupati Kabupaten Banjar dan Sultan Banjar, Gusti Khairul Saleh memimpin pembangunan Kabupaten Banjar dengan hasil pembangunan, fisik maupun non fisik dengan peningkatan positif. Pembangun fisik terlihat dari peningkatan kualitas infrastruktur jalan dan jembatan terlebih untuk kawasan perdesaan melalui pembangunan jalan- 436 Norbaiti Ilhamiah jalan poros desa. Jembatan yang sebagian besar dari bahan kayu ulin yang kondisinya memprihatinkan karena termakan usia diganti dengan konstruksi baja maupun beton. Infrastruktur publik lainnya yang menjadi perhatian khusus dari Gusti Khairul Saleh adalah kantor pemerintahan khususnya Kantor Kepala Desa atau disebut juga Kantor Pambakal. Dengan program khususnya maka saat ini di Kabupaten Banjar tidak ada kepala desa atau pembakal yang tidak memiliki kantor. Demikian pula untuk meningkatkan kualitas pelayanan-pelayanan dasar lainnya, Gusti Khairul Saleh juga terus memacu pembangunan puskesmas, poliklinik desa, sekolah dan prasarana pendidikan lainnya. Karya pembangunan monumental lainnya penanda kesuksesannya adalam membangun Lapangan Sepak Bola Demang Lehman yang berstandar nasional. Karena standar yang dicapai maka dipercaya untuk digunakan sebagai stadion pelaksanaan laga Indonesia Super League (ISL) 2013. Kota Martapura semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia. Selain pembangunan stadion olah raga berstandar nasional juga dibangun berbagai prasarana dengan skala cukup besar antara lain Gedung Dekranasda, Guest House Sultan Sulaiman, melanjutkan pembangunan RSUD Ratu Zaleckha sehingga memadai sebagai rumah sakit rujukan, pembangunan Gedung Iqra sebagai tempat pengkajian Al-Qur’an dan syiar Islam, dan pembangunan Taman Terbuka Hijau atau alun- alun Ratu Zalecha sebagai salah satu bentuk upaya perbaikan lingkungan hidup dan penyediaan fasilitas rekreasi dan olah raga masyarakat Kota Martapura. Gusti Khairul Saleh juga mencanangkan gagasan pengembangan wilayah kota Martapura ke arah Timur, dengan direncanakannya pemindahan Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Banjar di kawasan baru yaitu: Martapura Jadid. Sejalan dengan itu, kota Martapura merupakan tonggak awal perkembangan Kota Martapura berwawasan lingkungan dan berlandaskan perencanaan tata ruang (eco-friendly and

Norbaiti Ilhamiah 437 spatial based city development). Didirikan di atas lahan seluas 100 Ha, yang berada di Kecamatan Martapura dan Kecamatan Karang Intan. Konsep Martapura Jadid mengacu pada kehidupan masyarakat Banjar yang akrab dengan air, dengan luasan ruang terbuka hijau melebihi 50% luas kawasan komplek perkantoran, meliputi danau, kanal, dan hutan kota serta taman. Dalam komplek perkantoran itu akan didirikan seluruh bangunan perkantoran dalam lingkup Pemerintah Kabupaten Banjar, yaitu Kantor Bupati atau Sekretariat Daerah, Balai Rakyat (Gedung DPRD), seluruh kantor SKPD, Masjid Raya, Balai Agung (Convention Hall), Pasar Rakyat Shopping Mall, Café ‘n Resto Area, dan bangunan pelengkap lainnya. Tidak heran Martapura menerima anugerah lingkungan dari Pemerintah Pusat. Kota Martapura juga meraih anugerah Adipura 2012 untuk Kategori Kota Kecil. Penghargaan Adipura memang tidak mudah didapat, setelah 26 tahun Adipura dianugerahkan pada daerah-daerah yang berhasil mengelola lingkungan dengan baik, baru pada tahun 2012 ini lah Martapura mendapatkannya.

III. SIMPULAN Sebagaimana dikhawatarirkan berbagai kalangan (budaya) Kesultanan Banjar semakin redup sehingga perlu diangkat ke permukaan dan dilestarikan sebagai nilai-nilai luhur dan kearifan lokal budaya banjar. Dalam kaitan dengan pembelajaran IPS selama ini yang dianggap sebagai pelajaran sulit, kurang penting, dan membosankan karena bertumpu pada aspek kognitif diperlukan menyeimbangkan aspek-aspek, dan dengan memberikan materi “muatan lokal” dalam hal ini Kesultanan Banjar. Diasumsikan, pemberian materi Kesultanan Banjar pada ,mata pelajaran IPS untuk siswa-siwa di Kalimantan Selatan akan sangat menarik dan bermanfaat bagi siswa-siswa karena berkaitan langsung dengan akar budaya (kehidupan) mereka. Dengan demikian, melalui mata pelajaran IPS diterapkan pembelajaran berbasis kearifan lokal. 438 Norbaiti Ilhamiah DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. 2014. Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: Wahana Jaya Abadi. Abdul, Aziz, Wahab. 2009. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka Ahmad, Barjie B. 2013. Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara. Banjarmasin: Rahmat Hafiz Al Mubaraq. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Erwin, Permana. 2012. Makalah Kearifan Lokal. http:// erwinblog erwinpermana12. blogspot. com/ 2012/ 03/ makalah-kearifan- lokal.html. (Online) (diakses 19 Mei 2015). Inu Kencana, Syafiee. 2010. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta Miftah, Thoha, 2014. Birokrasi dan Dinamika Kekuasaan. Jakarta: Prenada Media Group. Ndraha, Taliziduhu. 2005. Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta. Sedarmayanti. 2004. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Mandar Maju. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said. Sosiologi Politik Konsep Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: Pustaka Setia. Soerjono, Soekanto. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudartono, Yanwar. 2013. Kearifan Lokal dalam Pembelajaran IPS. http:// omah23.blogspot.com/2013/12/kearifan-lokal-dalam- pembelajaran-ips.html. Sulo, Tirtarahardja, Umar, 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta Kesultanan Banjar. http://kesultananbanjar.com/id/?page_id=428. (Online) (diakses 22 Maret 2015). Pengertian Kearifan Lokal. http:// kubuskecil.blogspot.com/ 2014/ 02/ pengertian-kearifan-lokal.html. (Online) (diakses 19 Mei 2015).

Norbaiti Ilhamiah 439 440 Norbaiti Ilhamiah UPACARA TIWAH SUKU DAYAK NGAJU Allura Agustise

ABSTRAK Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak Ngaju. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung. Sandung adalah semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama yang tersisa hanya tulangnya saja. Tiwah merupakan ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (surga dalam bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah juga dimaksudkan sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas rutas atau kesialan bagi keluarga almarhum dari pengaruh-pengaruh buruk. Kata Kunci : Upacara tiwah, Dayak Ngaju.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Allura Agustise 441 I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara multikultural. Kondisi sosio-kultural Indonesia, agama maupun geografis begitu beragam. Pulau di wilayah negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa. Selain itu penduduknya menganut agama dan kepercayaan beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan. Kebudayaan adalah aset penting bagi negara sebagai sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, aset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata, dan sebagainya. Suku Dayak Kalimantan Tengah terkenal dengan budaya ibadah untuk menyembah Sang Pencipta sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah dari masyarakat Dayak Ngaju sebagai tradisi kepercayaan Kaharingan. Berbagai prosesi tersebut, diantaranya: Ngayau (penggal kepala), Tabuh (tidak tidur selama dua malam dengan diselingi minum. Tiwah merupakan upacara besar dimaksudkan untuk mengantar jiwa/roh orang yang telah meninggal ke alam baka, yaitu negeri langit ketujuh yang dinamakan lewu tatau Habaras Bulau Habusung Intan Hakarangan Lamiang Atau lewu tatau Dia rumpung tulang Rundung Raja Dia kamalesu uhat di Batang Danom Tiawu Bulau ( Tjilik Riwut, 1993:375).

II. PEMBAHASAN Pulau Kalimantan dinamakan juga Borneo. Konon, nama Borneo berasal dari nama Brunei sedangkan nama Kalimantan karena mempunyai banyak kali (sungai), emas, dan intan. Ada pula yang menyatakan berasal dari Lamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah. Nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis pemerintahan Indonesia dan Borneo untuk wilayah Malaysia.

442 Allura Agustise Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya pindah ke pedalaman. Akibatnya, suku Dayak terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri. Kelompok suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Adat istiadat suku Dayak yang masih terpelihara hingga kini. Adat istiadat merupakan kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan sebagai bagian kebudayaan Indonesia. Menurut Koentjaraningrat,“Kebudayaan adalah suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Kebudayaan yang jarang disoroti melalui media adalah upacara Tiwah dari suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upacara Tiwah adalah upacara kematian di kalangan suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upacara Tiwah dilakukan secara tradisional tanpa aturan baku atau tertulis. Hal ini mengakibatkan tatacara pelaksanaan antara satu tempat dan tempat lain memiliki versi yang berbeda-beda. Perbedaan masing-masing daerah tidak pernah dipermasalahkan, karena hakekat upacara Tiwah selalu sama, yaitu mengantar para arwah ke negeri yang kekal yakni surga (Tiwah dan Perlengkapannya,1998: 01). Tiwah merupakan upacara kematian kedua, karena sebelum dilaksanakan Tiwah, ada upacara kematian yang pertama dengan memimpin liau menuju tempat peristirahatan sementara, yaitu di bukit pasahan raung. Pasahan raung adalah tempat pemondokan sementara peti mayat orang

Allura Agustise 443 yang mati dan biasanya dibuat di hutan yang jauh dari perkampungan. Upacara Tiwah tidak boleh diabaikan karena pengabaiannya akan menyebabkan liau yag bertahan di bukit dipercaya dapat mendatangkan bencana bagi keluarga yang masih hidup. Oleh karena itu, suku Dayak Ngaju percaya bahwa orang yang sudah meninggal sangat bergantung dengan keluarganya yang masih hidup. Keluarga yang masih hidup pun bergantung kepada arwah nenek moyang mereka yang dipercayai sewaktu- waktu dapat datang kembali ke dunia untuk berhubungan dengan keluarga yang masih hidup untuk menyampaikan petuah, nasihat, ataupun teguran apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran adat leluhur di dunia, terutama di kalangan keluarga arwah. Bilamana teguran tersebut terjadi maka yang ditegur akan menderita penyakit puji liau (teguran arwah) yang kalau tidak segera dijawab dengan tepat akan menyebabkan kematian. Dalam kehidupannya, suku Dayak Ngaju harus melestarikan budaya dan adat istiadat yang ada, sehingga ketika meninggal, arwahnya akan diterima oleh nenek moyang yang terlebih dahulu pulang ke negeri para arwah atau lewu liau. Apalagi ada orang yang meninggal secara tidak wajar, misalnya karena dibunuh, maka dianggap mati secara tidak luhur karena menurut mereka ia mati dengan terpaksa dan belum waktunya untuk mati. Rohnya akan mengalami penderitaan, baik di dunia maupun di akhirat karena tidak diberikan tempat. Arwahnya akan bergentayangan di bumi dan di langit dan tidak diterima oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, tidak heran jika orang Dayak Ngaju sangat menghormati dan mentaati adat-istiadatnya serta takut untuk melakukan kejahatan, karena jika tidak, maka penderitaan di akhirat menanti. Akan tetapi penderitaan tersebut akan dapat diakhiri melalui upacara Tiwah. Upacara Tiwah berhubungan dengan agama Kaharingan atau agama Helo (dibaca Helu). Agama Kaharingan adalah agama suku bagi orang Dayak di Kalimantan. Mereka yang menganut kepercayaan tersebut, hidup dalam mitos-mitos yang dibangun berdasarkan kepercayaan yang

444 Allura Agustise mereka anut. Kaharingan berasal dari kata haring ditambah dengan awalan ka dan akhiran an. Haring artinya hidup atau bisa juga berarti tumbuh dengan sendirinya. Jadi Kaharingan sama dengan agama yang hidup dan tumbuh berdasarkan pesan Tuhan atau Ranying Hattala Langit melalui perantara para leluhur atau nenek moyang. Kaharingan ada semenjak Ranying Hatalla Langit menciptakan manusia dan mengatur segala sesuatunya agar kelak manusia dapat menuju kehidupan yang sempurna dan abadi. Menurut kepercayaan ini, manusia diciptakan dari tanah milik Ranying Hattala Langit. Mengapa diciptakan berasal dari tanah milik Ranying Hattala Langit, karena jika dari tanah milik manusia di dunia, tanah itu dikatakan tanah sial. Menurut kepercayaan agama Kaharingan setiap manusia diciptakan atau dilahirkan dari tiga unsur, yaitu unsur yang berasal dari Ranying Hattala Langit, ayah dan ibu secara biologis. Jika salah satu dari ketiga unsur tidak ada, maka kelahiran dianggap tidak sempurna. Setalah manusia itu wafat, maka ketiga unsur diantar oleh Duhung Maha Tandang ke tempat yang telah ditetapkan Ranying Hattala Langit sejak awal. Tujuan Suci Tiwah ialah mempersatukan ketiga unsur yaitu unsur Allah (Hatalla), Bapak, Ibu. Upacara ini tidak hanya diperuntukan bagi orang yang mati secara tidak wajar (dibunuh, tabrakan, dll) melainkan untuk semua penganut agama Kaharingan yang meninggal. Jika keluarga dari orang yang meninggal tidak menyelenggarakan upacara suci Tiwah, maka keluarga yang bersangkutan akan hidup dengan kesialan atau hidup di dalam hukum karma (pali). Contohnya, dalam pendidikan gagal dan hidupnya selalu tertuju dalam hal-hal negatif. Selain itu arwah yang tidak ditiwahkan itu akan tetap tinggal di pulau Raung dan akan bergentayangan. Oleh karena itu, upacara Tiwah harus dilakukan agar arwah orang yang sudah meninggal dapat mencapai surga atau disebut Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raka Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau.

Allura Agustise 445 Tahapan pelaksanaan upacara kematian menurut suku Dayak: 1. Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai penjaga kuburan. 2. Tantulak Ambun Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas pali yaitu untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan dan kematian. 3. Upacara Suci Tiwah ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa dan roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh (Nila Riwut, 2004: 268). Dalam tahap persiapan ini diadakan pertemuan keluarga (rapat sederhana) untuk membicarakan tentang rencana akan diadakan upacara tiwah. Diawali dengan musyawarah para bakas lewu, yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan upacara Tiwah, sehingga siapapun yang berniat me-niwah-kan keluarganya mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkannya siapapun yang ingin bergabung terlebih dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan sejumlah salupuk liau yang akan bergabung untuk diantarkan ke lewu liau, barulah ditentukan dengan pemilihan siapa dari bakas lewu yang pantas menjadi bakas Tiwah. Disamping ditawarkan kebutuhan-kebutuhan upacara tiwah sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga salumpuk liau, masih ada beberapa persyaratan yang wajib harus disediakan seekor ayam untuk setiap salumpuk liau. Upacara diadakan di rumah bakas Tiwah dengan waktu pelaksanaan ditentukan musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah bakas Tiwah (Nila Riwut, 2003: 261) Jika segala sesuatu dalam upacara Tiwah sudah siap maka ketua penyelenggara (Bakas Tiwah) mengutus peserta Tiwah (Anaka Tiwah) untuk mendatangi Tukang Hantaran dan Tukang Balian menanyakan kesediaan

446 Allura Agustise mereka. Apabila mereka bersedia maka Anak Tiwah akan memberikan uang atau dapat juga berupa barang kepada Tukang Hantaran dan Tukang Balian. Uang atau barang tersebut dikenal dengan istilah Duit Mandehen Punduk (Tiwah dan Perlengkapannya, 2008: 04) Di dalam pelaksanaan upacara Tiwah selalu ada pelaku-pelaku utama, yaitu : - Tukang Hantaran merupakan imam yamg memiliki kewenangan untuk memimpin upacara Tiwah. - Tukang Balian yang selalu berjumlah ganjil, biasanya 7 (Tujuh) orang;satu diantaranya disebut Upu Balian yang bertindak sebagai ketua kelompok. - Bakas Tiwah, merupakan ketua penyelenggara pesta Tiwah yang ditunjuk oleh peserta tiwah. - Anak Tiwah, merupakan anggota-anggota peserta Tiwah yang ikut menitipkan kerangka/tulang familinya dalam upacara tersebut. Setelah ada kepastian mengenai tanggal pelaksanaan upacara Tiwah maka dimulailah dilakukan persiapan lainnya terutama yang bersifat fisik, diantaranya adalah : 1. Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan balai pangun jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu hari. Dimulai dengan kegiatan kaum pria secara bersama-sama pergi kehutan untuk mencari kayu, bambu, rotan, kulit kayu dan lain-lain untuk keperluan bahan bangunan balai Tiwah. Pada kesempatan yang sama juga dicari bahan bangunan untuk keperluan pembuatan Sangkaraya, sedangkan kaum wanita mempersiapkan rempah-rempah dan membersihkan beras dan keperluan dapur lainnya di rumah Bakas Tiwah. 2. Muluh Gandang yaitu menurunkan atau menyediakan gendang. Pengertian Muluh Gandang disini memiliki arti yang sangat luas yaitu meliputi pemasangan gong (garantung) dan kenong (kankanong), mendirikan Sambabulu, Sangkaraya, Pasah pali, pasah patahu dll. Allura Agustise 447 3. Manganahi (memasak ketan hitam) dimaksudkan untuk membuat tuak atau minuman keras yang kegunaannya sangat menentukan dalam memeriahkan pesta Tiwah itu nanti. 4. Mampendeng pantar (mendirikan tiang tinggi) di halaman rumah keluarga yang mati, dimaksudkan untuk dipergunakan oleh arwah nanti mendaki ke alam atas menuju ke negeri para arwah. 5. Hinjam tempe mekei (Gotong royong menumbuk padi) untuk bahan pesta makan dan minum selama pesta Tiwah berlangsung. 6. Hinjam mintih behas (gotong royong membersihkan beras yang sudah ditumbuk) agar nanti waktu pesta Tiwah berlangsung, semuanya sudah siap untuk dimasak. Ini adalah kelanjutan dari kegiatan pada tahap kelima diatas. 7. Mampunduk hanteran (menyediakan tempat duduk) bagi imam hanteran yang akan memimpin upacara mengantar arwah. Tempat duduk ini disediakan secara khusus diruangan tengah keluarga si mati. 8. Mangkatan Tulang (mengangkat dan mengambil tulang) si mati dari kuburan atau pasahan ruang. Para anggota keluarga yang turut mengambil bagian dalam kegiatan itu diharuskan memasang lilies merjan pada tangan masing-masing supaya dikenal oleh arwah sehingga yang bersangkutan tidak diganggu arwah. 9. Halaluhan adalah upacara penyambutan atau kedatangan para pembalas atau penanam jasa yang turut memeriahkan pesta Tiwah tesebut. 10. Manganjan (menari untuk arwah) bila dilakukan dengan pedang pusaka Mandau oleh kaum lelaki dengan kakamban (selendang) oleh kaum wanita yang bersama-sama mengelilingi sangkaraya yang dibuat dari batang bambu sambambulu. 11. Mampatei sapi Handangan yaitu upacara membunuh dan memotong sapi dan kerbau secara massal. Pemotongan hewan secara massal ini dilakukan dengan mengikat hidung setiap hewan itu dengan rotan yang kuat dan ujung rotan yang satunya lagi diikat pula pada batang sapundu (patung orang-orangan dari kayu besar) yang kakinya ditancapkan pada tanah. 448 Allura Agustise 12. Nyakean tulang adalah upacara memasukkan tulang-tulang si mati kedalam rumah-rumah khusus yang disebut sandong. Sandong ini mengingatkan kita pada rumah pertama dalam mitos kejadian manusia pertama di negeri Batu Nindan Tarong. 13. Upacara berikutnya adalah Hanteran atau magah liau,upacara mengantar arwah ketempat tinggalnya yang terakhir di negeri para arwah yang dinamakan juga dengan julukan Lewu batu Nindan Tarong.Liang Agkar Bantilong Nyaring. Upacara ini dilakukan pada malam hari selama semalam suntuk, dipimpin oleh seorang imam hanteran yang pendudukan nya telah disediakan. 14. Upacara magah liau itu diakhiri dengan upacara Kangkahem (pengaraman perahu) dalam rangka mengantar arwah ke negeri asalnya. Upacara ini dilakukan pada bagian upacara hamteran yang disebut liau ngalingu (arwah bernostalgia) yaitu pada saat arwah teringat dan terharu mengenangkan kembali masa dan hari-hari hidupnya yang sudah berlalu selama tinggal dialam dunia ini. Kini semua kenangan itu sudah berlalu dan ia harus kembali kepada asalnya di negeri para arwah (Ugang, 2010:138- 139). Dengan selesainya upacara Tiwah, keluarga terdekat/ ahli waris arwah yang ditiwahkan merasa lega karena telah melaksanakan tugas dan kewajiban juga sebagai bakti bagi mereka yang telah pulang ke alam baka. Itulah akhir dari seluruh rangkain pesta upacara Tiwah yang dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah penganut Hindu Kaharingan. Upacara Tiwah adalah kebudayaan suku Dayak Ngaju yang hadir melalui kehadiran agama Kaharingan. Oleh karena itu, Kaharingan tidak akan dapat dipisahkan dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat suku Dayak Ngaju. Upacara ini terus dilakukan juga dengan alasan untuk melestarikan kebudayaan. Masyarakat Dayak Ngaju sangat melekat dengan budaya gotong royong. Sebagai contoh, ketika menanam dan musim panen tiba, maka Allura Agustise 449 masyarakat Dayak Ngaju saling bergotong-royong untuk membantu keluarga atau kerabatnya. Sama halnya dengan upacara pernikahan dan upacara kematian. Rasa tanggung jawab yang tinggi menuntut peran yang penting bagi keluarga dalam proses pelaksanaan upacara Tiwah, diantaranya ialah: biaya yang besar, tanggung jawab terhadap arwah yang ditiwahkan, memerlukan kebersamaan dan rasa sosial yang tinggi karena upacara ini memakan waktu yang cukup lama dan melibatkan banyak orang. Walaupun sudah menganut agama Kristen, pengaruh agama Kaharingan yang pernah mereka anut tidak hilang begitu saja. Faktor pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapat atau pandangan masyarakat tentang upacara Tiwah. Walaupun masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan SMP, SMU sampai pendidikan S1. Karena upacara Tiwah sangat mahal dan membutuhkan waktu yang lama, banyak masyarakat Suku Dayak yang melakukan upacara Tiwah secara koletif, bersama-sama dengan keluarga lainnya. Dengan demikian biaya yang ditanggung lebih ringan.

III. SIMPULAN Masyarakat suku Dayak sangat menghargai kebudayaan leluhur dan menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apa pun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka akan ada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang yang ada di sekitar mereka. Sebagai warga Negara Indonesia kita perlu mengetahui kebudayaan-kebudayaan di negara kita. Kadang kita lebih mengenal budaya di negara lain dibandingkan dengan budaya kita. Salah satu budaya dari negara kita adalah budaya suku Dayak Ngaju. Tentu bukan hanya budaya Dayak yang ada di negara Indonesia, melainkan masih banyak 450 Allura Agustise budaya-budaya yang belum kita ketahui. Maka dari itu kita harus mengenal budaya kita sendiri dengan memberikan wawasan kepada anak-anak sejak dini agar memahami beragam budaya yang ada di Negeri tercinta ini. Dalam pembelajaran IPS upacara Tiwah dapat dimasukkan sebagai muatan lokal agar para siswa mengetahui upacara leluhur dan lingkungannya untuk membentuk jati diri dan kesadaran kemasyarakatnya agar cakap dalam kehidupan sosialnya.

DAFTAR PUSTAKA Harimanto, Winarno. 2009. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara. Kusumohamodjojo, Budiono . 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Grasindo. Lontaan, J.U. 1975. Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat Nusan, Timotius, Sri Uteri, Yemina Yulita,Rustina, Anting Jimat. 1997/1998. Tiwah dan Perlengkapannya. Palangkaraya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Tengah. Riwut, Nila. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang.Jakarta :Pusaka Lima. Riwut, Nila (penyunting). 2004. Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelam Kekayaan Leluhur. Palangkaraya: PUSAKALIMA. Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. : PUSAKALIMA. Salam, Burhanudin. 1997. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Ugang, Hermogenes. 2010. Menelusuri Jalur-jalur Leluhur. Cetakan kedua. Palangka Raya: Kembang Dayak Panarung Kal-teng.

Allura Agustise 451 452 Allura Agustise PRODUKSI KAIN SASIRANGAN SEBAGAI ASET BUDAYA MASYARAKAT KALIMANTAN SELATAN Rokyanto Setiawan

ABSTRACT

Abstract: Economics is the science of human behavior and actions to meet their needs vary and evolve with existing resources through the choices of production, distribution and consumption. Sasirangan fabric which originally was as a tool batatamba or healing, it is begeser a result of the globalization of fashion. Cloth production Sasirangan no longer as a healing tool but rather as a means of satisfying consumers in their daily needs, such as the manufacture of clothing and others. Nevertheless, The Sasirangan remains the pride, heritage and local wisdom that all that needs to be preserved as an identity and the identity of the Indonesian nation is all that we need to pass on to children and grandchildren. Keywodrs: production, distribution and consumption, and sasirangan,

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Rokyanto Setiawan 453 I. PENDAHULUAN Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Secara umum ekonomi adalah bidang kajian tentang pengurusan sumber daya material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Karena ekonomi merupakan ilmu tentang perilaku dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bervariasi dan berkembang dengan sumber daya yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia meliputi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi. Ketiga kegiatan tersebut tidak bisa dipisahkan sehingga ketiganya membentuk suatu sistem baru yang disebut sistem ekonomi. Dalam produksi lokal Banjarmasin Kalimantan Selatan, yang marak sekarang adalah kain Sasirangan. Kain Sasirangan merupakan kain yang dulunya digunakan sebagai alat untuk “batatamba” atau penyembuhan untuk orang yang sakit. Seiring perubahan zaman, kain Sasirangan digunakan sebagai bahan pemuas konsumen yang bisa dijadikan untuk membuat baju, kemeja, taplak meja dan lain sebagainya.

II. PEMBAHASAN 2.1 Produksi Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa.

454 Rokyanto Setiawan Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Suatu kegiatan produksi mempunyai implikasi permintaan akan barang dan jasa lain yang nilainya sebesar surplus produksi yang dihasilkannya (Mulyadi, 2006: 5). Kegiatan produksi tentunya memerlukan unsur-unsur yang dapat digunakan dalam proses produksi yang disebut faktor produksi. Faktor produksi yang bisa digunakan dalam proses produksi terdiri atas sumberdaya alam, tenaga kerja manusia, modal dan kewirausahaan. 1. Sumberdaya Alam Sumberdaya alam adalah segala sesuatu yang disediakan oleh alam yang dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Faktor produksi sumberdaya alam merupakan faktor produksi asli karena telah tersedia di alam langsung. Sumberdaya alam di sini meliputi segala sesuatu yang ada di dalam bumi, seperti tanah, tumbuhan, hewan, udara, sinar matahari, hujan, bahan tambang dan lain sebagainya. 2. Sumber daya manusia (tenaga kerja manusia) Mulyadi (2006:59) mengatakan, tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Tenaga kerja manusia adalah segala kegiatan manusia baik jasmani maupun rohani yang dicurahkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa maupun faedah suatu barang. Tenaga kerja manusia dapat diklasifikasikan menurut tingkatannya (kualitasnya) yang terbagi atas: 1. Tenaga kerja terdidik (skilled labour), adalah tenaga kerja yang memperoleh pendidikan baik formal maupun non formal. Contoh nya seperti guru, dokter, pengacara, akuntan, psikolog, peneliti.

Rokyanto Setiawan 455 2. Tenaga kerja terlatih (trained labour), adalah tenaga kerja yang memperoleh keahlian berdasarkan latihan dan pengalaman. Contohnya seperti montir, tukang kayu, tukang ukir, sopir, teknisi. 3. Tenaga kerja tak terdidik dan tak terlatih (unskilled and untrained labour), adalah tenaga kerja yang mengandalkan kekuatan jasmani daripada rohani. Contohnya seperti tenaga kuli pikul, tukang sapu, pemulung, buruh tani. 3. Sumberdaya Modal Modal menurut pengertian ekonomi adalah barang atau hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lebih lanjut. Di dalam proses produksi, modal dapat berupa peralatan-peralatan dan bahan- bahan. Modal dapat dibedakan menurut: 1. Kegunaan dalam proses produksi Modal tetap adalah barang-barang modal yang dapat digunakan berkali-kali dalam proses produksi. Contohnya seperti gedung, mesin-mesin pabrik. Modal lancar adalah barang-barang modal yang habis sekali pakai dalam proses produksi. Contohnya seperti bahan baku, bahan pembantu. 2. Bentuk modal: Modal konkret (nyata) adalah modal yang dapat dilihat secara nyata dalam proses produksi. Contohnya seperti mesin, bahan baku, gedung pabrik. Modal abstrak (tidak nyata) adalah modal yang tidak dapat dilihat tetapi mempunyai nilai dalam perusahaan. Contohnya seperti nama baik perusahaan dan merek produk. 4. Sumberdaya Pengusaha Sumberdaya ini disebut juga kewirausahaan. Pengusaha berperan mengatur dan mengkombinasikan faktor-faktor produksi dalam rangka meningkatkan kegunaan barang atau jasa secara efektif dan efisien.

456 Rokyanto Setiawan Pengusaha berkaitan dengan managemen. Sebagai pemicu proses produksi, pengusaha perlu memiliki kemampuan yang dapat diandalkan. Untuk mengatur dan mengkombinasikan faktor-faktor produksi, pengusaha harus mempunyai kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan usaha. Adapun tujuan kegiatan produksi adalah sebagai berikut (http:// www.kampus.com): 1.Menghasilkan atau menciptakan suatu barang. 2. Menambah serta meningkatkan nilai guna barang yang sudah ada. 3. Memenuhi kebutuhan manusia. 4. Memperoleh tambahan penghasil untuk mendapatkan alat pemuas lainnya. 2.2 Sasirangan Kata Sasirangan berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah bahasa berarti menjahit dengan cara menjelujur. Sasirangan adalah kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan yang proses pembuatannya dengan cara memola/ menggambar, me-nyirang (menjahit jelujur), mengerutkan dan menali dan selanjutnya diwarna untuk mengetahui motifnya, benang jahitan dilepas. Bagian kain yang tidak terkena warna adalah motifnya (https:// addinelfuego.wordpress.com). Kain sasirangan umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali rafia dan selanjutnya dicelup. Hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual. Menurut sejarahnya, sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya

Rokyanto Setiawan 457 sasirangan dikenal sebagai kain untuk batatamba atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintaan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat. Pada zaman dahulu kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang (http://www.asikbelajar.com). Arti warna Sasirangan: 1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa). 2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (insonia). 3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke). 4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal. 5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera). 6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress).

458 Rokyanto Setiawan Contoh gambar warna kain sasirangan sebagai berikut: 2. Motif kain Sasirangan 1. Iris Pudak 2. Kambang Raja 3. Bayam Raja 4. Kulit Kurikit 5. Ombak Sinapur Karang 6. Bintang Bahambur 7. Sari Gading 8. Kulit Kayu 9. Naga Balimbur 10. Jajumputan 11. Turun Dayang 12. Kambang Tampuk Manggis 13. Daun Jaruju 14. Kangkung Kaombakan 15. Sisik Tanggiling 16. Kambang Tanjung Secara singkat, proses pembuatan kain sasirangan dengan menyirang kain. Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif adat, lantas disirang atau dijahit dengan tangan agak renggang mengikuti motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya dengan tujuan untuk mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut dengan rapat dan kain sudah siap untuk masuk proses selanjutnya. Kedua penyiapan zat warna. Zat warna yang digunakan adalah zat warna untuk membatik. Semua zat warna yang untuk membatik dapat digunakan untuk pewarnaan kain sasirangan. Tapi zat warna yang sering digunakan saat ini adalah zat warna naphtol dengan garamnya. Bahan lainnya sebagai pembantu adalah soda api (NaOH), TRO/Sepritus, air panas yang mendidih. Mula-mula zat warna diambil secukupnya, kemudian diencerkan/ dibuat pasta dengan menambahkan TRO/Spirtus, lantas diaduk sampai semua larut.

Rokyanto Setiawan 459 Setelah zat melarut semua, kemudian ditambahkan beberapa tetes soda api dan terakhir ditambahkan dengan air panas dan air dingin sesuai dengan keperluan. Larutan harus bening/jernih. Untuk melarutkan zat warna naphtol sudah dianggap selesai dan sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan. Untuk membuat warna yang dikehendaki, maka zat warna naphtol harus ditimbulkan/dipeksasi dengan garamnya. Untuk melarutkan garamnya, diambil sesuai dengan keperluan kemudian ditambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk kuat-kuat sehingga zat melarut semua dan didapatkan larutan yang bening. Banyaknya larutan disesuaikan dengan keperluan. Kedua larutan, naphtol dan garam sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan, yaitu dengan cara pertama-tama mengoleskan/ menyapukan zat warna naphtol pada kain yang telah disirang yang kemudian disapukan lagi/dioleskan larutan garamnya sehingga akan timbul warna pada kain sasirangan yang sudah diolesi sesuai dengan warna yang diinginkan. Setelah seluruh kain diberi warna, kain dicuci bersih-bersih sampai air cucian tidak berwarna lagi. Kain yang sudah bersih, kemudian dilepaskan jahitannya sehingga terlihat motif-motif bekas jahitan diantara warna-warna yang ada pada kain tersebut. Sampai disini proses pembuatan kain sasirangan telah selesai dan dijemur selanjutnya disetrika dan siap untuk dipasarkan. Kain sasirangan merupakan kain telah melewati proses sejarah panjang sehingga penggunaan dan mencerminkan budaya Kalimantan Selatan. Selayaknya kita mengapresiasi kain yang unik sekaligus indah ini sebagai warisan budaya. Kita harus mampu belajar dari sasirangan sebagai warisan budaya tetap eksis sebagai kearifan. Kearifan lokal warisan nenek moyang sarat nilai-nilai seperti gotong royong, ramah tamah, saling menghargai dan membantu. Hal tersebut perlu kita wariskan kepada anak cucu.

460 Rokyanto Setiawan Kain sasirangan telah tumbuh bersama tumbuhnya banua Banjar menuju peradaban baru beriringan arus globalisasi dan kain sasirangan menjadi tren berbusana, setidaknya untuk masyarakat lokal. Baju sasirangan menjadi pakaian yang populer, bukan hanya sebagai wujud kebanggaan terhadap warisan budaya, tetapi juga karena memiliki nilai seni yang tinggi. Hampir semua lembaga pemerintah atau swasta, dan sekolah di Kalimantan Selatan mewajibkan memakai sasirangan pada hari-hari tertentu.

III. SIMPULAN Kain sasirangan pada mulanya adalah digunakan sebagai batatamba atau penyembuhan telah merubah fungsi di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan seiring dengan perkembangan zaman. Nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya seolah-olah ikut memudar tergerus arus globalisasi. Saat ini, kain sasirangan peruntukannya tidak lagi untuk kegiatan ritual, tetapi menjadi pakaian untuk kegiatan sehari-hari, dan merupakan ciri khas sandang dari Tanah Banjar. Kain sasirangan merupakan produksi lokal Banjarmasin yang tempat pembuatannya, antara lain, di jalan Seberang Masjid kelurahan Kampung Melayu yang sejak tahun 2010 menjadi satu objek wisata souvenir kerajinan kain dan busana sasirangan. Kain sasirangan menjadi pakaian yang sering dipakai, bukan saja sebagai wujud kebanggaan terhadap warisan budaya, tetapi juga karena nilai seni tinggi. Hampir semua lembaga pemerintah atau swasta di Kalimantan Selatan mewajibkan pegawainya untuk memakai sasirangan setiap pada hari-hari tertentu. Di samping itu, pembuatan kain sasirangan juga bertujuan sebagai sarana untuk mempermudah masyarakat khususnya peserta didik untuk menambah pengetahuan dalam membuka usaha dengan harapan agar bisa lebih mandiri melalui pendidikan di sekolah masing-masing.

Rokyanto Setiawan 461 DAFTAR PUSTAKA Mulyadi, S. 2006. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. https://addinelfuego.wordpress.com/2012/04/29/sasirangan/ https://taufik79.wordpress.com/2012/12/24/sasirangan-warisan- kebanggaan-banua/ http://www.asikbelajar.com/2014/04/sasirangan-sejarah-arti-dan-motif.html http://www.kampus-info.com/2013/02/pengertian-produksi-dan- tujuannya.html?=1

462 Rokyanto Setiawan SASIRANGAN SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL Firda Wahyuni

ABSTRAK Sasirangan merupakan refleksi kearifan lokal Kalimantan Selatan sekaligus menjadi identitas Urang Banjar. Sasirangan mempunyai berbagai motif, dimana setiap motif tersebut mempunyai makna. Melalui pendidikan IPS, diharapkan siswa mampu memahami nilai-nilai kandungan sasirangan dalam membentuk karakter siswa. Pembentukan karekter melalui nilai-nilai yang diekspresikan secara kontemporer. Dengan demikian, melalui tuntunan dan tauladan orang tua dan guru di sekolah nilai-nilai tersebut menjadi landasan jati diri, dalam hal ini melalui sasirangan.

Kata kunci: Sasirangan, identitas, kearifan lokal, pendidikan IPS, pendidikan karakter.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Firda Wahyuni 463 I. PENDAHULUAN National Council for the Social Studies dalam pengembangan kurikulum, The Curriculum Standar for the Social Studies (1994) mengemukakan Ten Thematic Strands in Social Studies (2000) standar pengembangan subject matter, yaitu Thematic Standars: Cultural and Cultural Diversity, Time, Continuity, and Change, People, Places, and Environment, Individuals Development and Identity, Individuals, Groups, and Institutions, Power, Authority and Governance, Production, Distribution and Consumtion, Science, Technology, and Society, Global Connections, Civic Ideals and Ptactites. Ilmu Pengetahuan Sosial harus mencakup pengalaman yang memberikan untuk studi pengembangan individu dan identitas. Identitas pribadi dibentuk oleh budaya seseorang, kelompok, dan oleh pengaruh institusional. Pendidikan IPS sedapatnya dapat memberikan kesempatan dan pengalaman bagi siswa untuk belajar pengembangan individu dan identitas. Untuk itulah di dalam makalah ini akan dibahas lebih mendalam tentang kearifan lokal Kalimantan Selatan yaitu sasirangan yang mampu memberikan pemahaman identitas sebagai urang Banjar dan pendidikan karakter kepada siswa melalui pendidikan IPS. Sasirangan sebagai salah satu kearifan lokal yang mampu mewakili identitas dari Kalimantan Selatan terutama sekali sebagai identitasnya Urang Banjar.

II. PEMBAHASAN Setiap daerah di Indonesia tentu memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi identitasnya. Kalimantan Selatan mempunyai kain yang khas, yang disebut sasirangan. Kain sasirangan adalah kain yang dibuat dengan cara menyirang atau menjeruju, yaitu mengikat kain dengan motif yang diinginkan menggunakan benang, kemudian kain tersebut dicelupkan ke dalam pewarna.

464 Firda Wahyuni Dalam kaitan kearifan lokal dengan sasirangan sebagai identitas budaya berarti mengidentifikasi diri dengan warisan budaya. Sebagai kearifan lokal, sasirangan mampu mengangkat identitas Kalimantan Selatan. Sebagai pengetahuan lokal, sasirangan berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan terbuka. Asal mula kain sasirangan dikenal sebagai kain pamintan. Istilah pamintan dari parmintaan (permintaan) atau selembar kain putih yang diberi warna tertentu dengan motif tertentu atas permintaan seseorang yang berobat kepada seorang pengrajin kain pamintan. Dengan menggunakan kain pamintan tersebut maka diharapkan penyakitnya akan menjadi sembuh. Kain pamintan berfungsi sebagai sarana pengobatan atas petunjuk tabib. Berbagai macam penyakit dari seorang atau keluarganya yang sakit, seperti sakit perut, sakit kepala, bisul, sawan, badan panas dingin, kapingitan sampai gangguan jiwa serta sakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus atau gangguan roh jahat. Sasirangan sebagai pengobatan alternatif yang disebut batatamba yang dipakaikan secara berkala. Pengrajin membuat kain pamintan untuk keperluan pengobatan sesuai jenis penyakit untuk dibuatkan corak kain pamintan yang sesuai. Pada saat ini sudah jarang Urang Banjar yang batatamba dengan kain khas Banjar tersebut. Pada saat sekarang, kain sasirangan berkembang melalui alur aspek bisnis, di samping upaya pelestariannya. Usaha-usaha pengrajin kain sasirangan tumbuh di Banjarmasin dan Martapura dan menjadi industri rumah tangga. Para pengarajin sekaligus sebagai pengrajin dan penjual. Ciri khas kain sasirangan terlihat dari motifnya yang pada umum komposisinya secara vertikal. Jarang susunan motifnya horizontal. Komposisi motif vertikal inilah yang membedakan dengan kain batik dari Jawa. Warna dasar kain awalnya putih, setelah menjadi kain sasirangan

Firda Wahyuni 465 menjadi berwarna, baik merah, coklat, biru, hijau, atau hitam. Motif tradisional sasirangan antara lain: gigi haruan, kambang kacang, hiris gagatas, kambang sakaki, daun jaruju, tampuk manggis, bintang, kangkung kaumbakan, ombak sinapur karang, bayam raja, kulat kurikit, hiris pudak, ular lidi, mayang maurai, naga balimbur, banawati, dara manginang, turun dayang, ramak sahang, gelombang, dan daun katu (Seman, 2013: 1) Pada zaman dahulu kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, sebagai pelengkap terapi pengobatan penyakit yang diderita oleh seseorang. Arti warna sasirangan : 1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa) 2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia) 3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke) 4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal 5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera) 6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress) Dahulu kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri. Ada enam warna utama kain sasirangan yaitu:

466 Firda Wahyuni 1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak. 2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba (sonokeling, pen) 3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe 4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar 5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar ramania) 6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan Agar warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, atau terusi. Motif-motif sasirangan mengadung maknanya sehingga dapat menanamkan karakter kepada siswa yaitu antara lain (Seman, 2013) 1. Gigi Haruan

Ikan Haruan ikan air tawar di Kalimantan Selatan adalah “ikan haruan” atau ikan gabus yang berwarna hitam pekat dan dagingnya empuk dimakan. Memilki gigi yang runcing tajam, karenanya motif ini sebagai lambang “ketajaman berfikir”. 2. Kambang Kacang

Firda Wahyuni 467 Kambang kacang adalah sejenis tanaman. Buahnya yang menjulur panjang selalu menjadi sayuran yang dicampur dengan sayuran lain seperti buah labu. Sayur kacang panjang ini termasuk sayuran makanan sehari- hari orang Kalimantan Selatan, sehingga hubungannya akrab dengan dapur, karenanya memiliki simbol keakraban. 3. Hiris Gagatas

Gagatas disebut juga rincung gagatas yang bermakna bungas, langkar, atau cantik. 4. Kambang Sakaki

Sekuntum bunga sebagai lambang keindahan banyak dipergunakan dalam ornamen khas Kalimantan Selatan, seperti ukiran arsitektur rumah adat Kalimantan Selatan, pada dinding airguci dan relief tempat kapur sirih yang disebut panginangan. 5. Daun Jaruju

468 Firda Wahyuni Orang Kalimantan Selatan dahulu, terutama di kampung menempatkan daun jaruju di sudut lantai dapur untuk mencegah tikus, karena tikus takut dengan duri daun jaruju. Daun jaruju sebagai simbol tolak bala. 6. Tampuk Manggis

Tampuk Manggis ini memiliki dua makna: kejujuran, yaitu apa yang diucapkan sama dengan yang terlintas didalam hati (lima atau enam motif manggis pastilah lima atau enam isinya didalam). Kedua, kulit buahnya yang masak berwarna hitam dan terasa pahit, namun isinya putih dan manis, yang bermakna bekerja keras. 7. Bintang

Bintang sebagai benda alam dilangit, sebagai tanda kebesaran TuhanYang Maha Pencipta. Bintang-bintang digambarkan dengan sudut empat, lima, tujuh, delapan bahkan tergambar gugusan beribu-ribu bintang dilangit yang tak mampu dihitung sebagai Bintang Batabur atau Bintang Bahambur. 8. Kangkung Kaumbakan

Firda Wahyuni 469 Tumbuhan kangkung ini hidup diatas air dengan batangnya yang panjang, berdaun warna hijau kecil. Bilamana airnya bergelombang tentu permukaan air berombak, namun batang kangkung tidak putus karenanya. Kangkung kaumbakan mengandung makna “tahan godaan”. 9. Ombak Sinapur Karang

Ombak terjadi disebabkan gelombang, sementara gelombang ada dalam riak yang kecil atau besar. Tiupan angin keras di laut dapat menyebabkan ombak besar dan ombak bisa menerjang karang. Ombak bisa diibaratkan sebagai gelombang perjuangan hidup manusia. 10. Bayam Raja

Raja adalah seseorang yang dihormati dan bermartabat. Karenanya motif ini mengandung makna leluhur yang bermartabat dan dihormati. 11. Kulat Kurikit

470 Firda Wahyuni Tumbuhan jenis cendawan yang hidup menempel pada batang atau dahan pohon, tetapi tidak merugikan tumbuhan yang ditumpangi. Kulat kurikit hidup mandiri, cari makan sendiri, karenanya bermakna hidup mandiri, tahan menderita. 12. Hiris Pudak

Pudak disebut juga pandan adalah tanaman sekitar rumah tangga, yang daunnya berbau harum. Bentuk daunnya agak panjang dan ramping yang mempunyai banyak kegunaan. 13. Ular Lidi

Ular lidi dalam salah satu dongeng orang Banjar dianggap sebagai simbol kecerdikan karena ular lidi yang kecil itu gagah dan cerdik namun berbisa. 14. Mayang Maurai

Peranan mayang pinang sangat penting dalam acara badudus, suatu adat orang Kalimantan Selatan. Mayang maurai setelah dicelupkan ke dalam air yang bertabur macam-macam kembang disiramkan ke tubuh seseorang dari atas kepala hingga sekujur badan wanita, terutama kedua orang mempelai yang akan bersanding.

Firda Wahyuni 471 15. Naga Balimbur

Sebuah dongeng Urang Banjar yang menceritakan tentang naga sedang bermandi-mandi di tengah sungai waktu pagi. Dengan riangnya mandi sambil berjemur dengan cahaya matahari. Menggambarkan suasana menyenangkan atau menggembirakan. 16. Ramak Sahang

Sahang adalah rempah dapur atau merica. Ramak artinya hancur karena sahang digilas dengan ulak diatas cobek. Motif ramak sahang adalah motif hiris pudak berganda dua, tetapi gambarnya terputus-putus. 17. Gelombang

Terjadinya gelombang di laut akibat angin yang bertiup kencang atau lembutnya angin menyebabkan besar-kecilnya gelombang. Gelombang tersebut ibarat kehidupan manusia yang menuntut adanya keuletan dan kesabaran.

472 Firda Wahyuni 18. Daun Katu.

Tanaman sekitar rumah dikenal sebagai katu yang tingginya sekitar satu sampai dua meter, memiliki daun yang berganda, dengan warna hijau tua. Pucuk daun katu dijadikan sayur. Sayur daun katu dapat memperbanyak ASI sehingga bernilai manfaat. Makna dari motif sasirangan dalam kaitan dengan kecakapan hidup (life skills), mulai menyadarkan kalangan pendidikan akan pentingnya intensitas dan efektifitas pengembangan aspek-aspek kecakapan hidup pada pembelajaran. Untuk itu setiap guru dituntut untuk mengintegrasikan life skills dalam kegiatan pembelajaran. Keterampilan merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan untuk membekali kecakapan hidup siswa. Melalui mata pelajaran IPS bermuatan kain sasirangan siswa dilatih mensinergikan pengalaman belajarnya sehingga tumbuh kreativitas menciptakan kerajinan maupun produk teknologi. Dengan demikian, menuntut guru lebih terampil, aktif dan kreatif dalam memilih dan mengembangkan materi maupun strategi pembelajaran sehingga mampu membekali siswa dengan berbagai jenis kerajinan dan produk teknologi dalam hal ini kain sasirangan. Pembangunan budaya karakter bangsa haruslah mengarah pada implementasi nilai-nilai kearifan lokal dan secara nasional menjadi jiwa bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Adapun kearifan budaya lokal ialah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Firda Wahyuni 473 Seorang guru IPS harus memiliki pengetahuan, kemampuan, untuk mengatur danmemberikan instruksi di tingkat sekolah yang sesuai untuk studi perkembangan Individu dan identitas. Guru IPS harus menguasai psikologi di dalam pengembangan individu peserta didik, karena perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya yang berkaitan dengan kecerdasan dan bakat tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Guru IPS dapat memulai pembelajaran dengan melakukan apersepsi, siswa diarahkan dengan melihat keadaan lingkungan sekitarnya. Jika kita melihat orang atau para tokoh di televisi menggunakan kain sasirangan pastilah muncul rasa bangga. Misalnya seperti yang dilakukan Denny Indrayana. Dengan melihat hal tersebut, siswa diharapkan mampu memahami bahwa dengan menggunakan kain sasirangan mampu menampilkan identitas pemakainya. Kain sasirangan mampu menjadi identitas Urang Banjar karena keunikan motif dan warnanya. Gambar motif yang timbul adalah putih atau agak keputih-putihan, yang dipengaruhi oleh warna yang menjadi dasarnya. Kain sasirangan juga berbeda dalam proses pembuatannya yang menggunakan teknik jumput dan sisit. Saat ini motif sasirangan mulai dikembangkan, untuk menambah variasi motif. Sekarang kain sasirangan lebih popular, banyak institusi atau bahkan sekolah di Kalimantan Selatan yang menjadikannya sebagai pakaian wajib pada hari tertentu. Untuk itu sebaiknya pelajar mengikuti pelatihan pembuatan sasirangan agar lebih memahami makna dan proses bagaimana kain sasirangan menjadi identitas urang Banjar. Pendidikan harus menanamkan kebudayaan yang abstrak tadi melalui keikutsertaan anak didik melalui “ritus-ritus” proses budaya. Jadi anak-anak tidak hanya menjadi konsumen tapi harus mengalami proses 474 Firda Wahyuni sebuah kebudayaan tersebut karena disana ada proses internalisasi nilai- nilai, baik melalui kegiatan agama, kegiatan sosial, kegiatan budaya dan lainnya. Melalui pendidikan IPS siswa diharapkan tidak hanya mengetahui cara pembuatannya, tetapi mengetahui sejarah sasirangan itu sendiri dan makna dari setiap motif yang ada. Siswa terlebih dahulu diberikan pembelajaran tentang asal dan sejarah dari kain sasirangan. Kemudian siswa diajarkan mengenal motif, bahan serta alat pembuatan kain sasirangan. Jika ingin lebih mendalam lagi, terlebih dahulu latih siswa membuat motif- motif kain sasirangan di atas kertas dan mewarnainya. Jika sudah terampil membuat motif, barulah guru dapat melatih siswa membuat kain sasirangan secara langsung. Praktik membuat sasirangan dilakukan selama dua kali pertemuan. Pada pertemuan pertama siswa membuat pola diatas kain putih yang telah disediakan kemudian kain di-sirang (dijahit jelujur) dengan menggunakan benang sirang dan jarum, dikerut sampai rapat sehingga kuat. Proses selanjutnya yaitu memberikan warna. Untuk mendapatkan motif sasirangan yang bagus diperlukan ketelitian pada saat me-nyirang atau merajut, jika penusukan jarum yang mengikuti pola motif yang ada pada lembaran kain itu jaraknya tidak terlalu jauh dan juga menarik ikatan benangnya pada masing-masing motif itu kuat, maka hasilnya akan jauh lebih baik dan motif sasirangan terlihat jelas. Guna menggalakkan eksistensi kain sasirangan maka perlu disebarluaskan kepada masyarakat lokal di daerah Kalimantan Selatan sendiri terutama di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan agar siswa mampu mengaplikasikan dan mengembangkannya. Siswa dapat diarahkan untuk bisa berkreasi, misalnya saja membuat taplak meja sasirangan, tas sasirangan, dasi sasirangan, sarung kursi sasirangan, sarung bantal sasirangan, dan berbagai kreasi lainnya yang disesuaikan dengan keinginan siswa.

Firda Wahyuni 475 Pembelajaran IPS sebagai pengembangan pribadi seseorang (social studies as personal development of the individual) memang tidak langsung tampak hasilnya, tetapi setidaknya akan membekali dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial. Pendidikan IPS membekali siswa tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai, sehingga semua itu dapat membentuk citra diri siswa menjadi manusia yang memiliki jati diri yang mampu hidup di tengah masyarakat dengan damai, dan dapat menjadikan contoh teladan serta memberikan kelebihannya pada orang lain (Gunawan, 2013:12). Pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai dimaksudkan agar peserta didik mampu memahami diri dan posisi dirinya, berperan dan berfungsi sebagai anggota masyarakat, mampu memahami dan menyelesaikan isu- isu sosial dengan rasional, sensitif terhadap keberagaman dan kebersamaan, dan berkomitmen dalam tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, pembelajaran IPS dalam katup tujuannya agar peserta didik cakap dalam kehidupan sosial dan menjadi warga negara yang baik. Pada tataran demikian pembelajaran IPS berpilin padu dengan pendidikan karakter; pendidikan kepribadian bukan pendidikan dalam artian mendapatkan pengetahuan saja (Abbas, 2014: 34). Kearifan lokal tadi, jika didayagunakan dengan tepat, diyakini akan mampu mendorong inovasi dan perubahan ke arah kemegahan serta kegemilangan seutuhnya. Pembangunan yang dilakukan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku di masyarakat seharusnya dapat mengakomodir pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai itu diperlukan para perencana yang paham dan mengerti nilai kearifan lokal sehingga selaras antara perkembangan dan nilai-nilai kearifan lokal.

476 Firda Wahyuni III. SIMPULAN Kain sasirangan merupakan identitas Urang Banjar. Dalam kaitan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan IPS, kain sasirangan bermuatan nilai-nilai luhur dalam konteks kearifan lokal. Hal tersebut sangat dibutuhkan siswa dalam rangka membangun kesadaran jadi diri dan keterampilan sosial sekaligus dalam upaya pengembangan dan pelestarian kearifan lokal Urang Banjar. Kearifan lokal Urang Banjar juga tercermin dari motif kain sasirangan. Makna dari motif sasirangan, antara lain: ketajaman berfikir, keakraban, bungas, langkar, atau cantik, keindahan, tolak bala, kejujuran, bekerja keras, tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Pencipta, tahan godaan, gelombang perjuangan dalam hidup manusia, bermartabat dan dihormati, bermakna hidup mandiri, tahan menderita, banyak kegunaan, kecerdikan, suasana yang menyenangkan atau menggembirakan, adanya keuletan dan kesabaran dalam menghadapi kehidupan, bernilai manfaat. Makna tersebut mampu memberi pemahaman kepada siswa sehingga karakter siswa akan terbentuk berbasis kearifan lokal. Melalui pendidikan IPS siswa diharapkan tidak hanya mengetahui cara pembuatannya, tetapi mengetahui sejarah kain sasirangan dan makna motifnya. Pada awalnya siswa diberikan informasi tentang asal dan sejarahnya kemudian mengenal motif, bahan serta alat pembuatannya dan akhirnya melatih siswa membuat kain sasirangan. Dengan demikian, pembelajaran IPS bukan saja berfokus kepada ranah kognitif, tetapi juga keterampilan dan sikap yang demikian menjadikan siswa mengenali jatidirinya dan cakap secara sosial dalam kehidupannya.

Firda Wahyuni 477 DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung: Niaga Sarana Mandiri. Berry, David. 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers. Feist, Jess dan Feist Gregory J. 2009. Teori Kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika. Gunawan, Rudy. 2013. Pendidikan IPS. Bandung: Alfabeta. NCSS. 1994. Curriculum Standar for Social Studies : Expectations of Excellence. Washington DC: NCSS. Pusbindiklatren Bappenas. 2013. Kearifan Lokal vs Modernisasi. http:// www.pusbindiklatren.bappenas.go.id (online) (diakses tanggal 23 Mei 2015) Salam, Abdul. 2010. Pembentukan Identitas. http://lib.ui.ac.id /filefile = digital /134138 -T27922 –Pembentukan identitas - Literatur.pdf (online) (diakses tanggal 6 Maret 2015) Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta : Erlangga. Seman, Syamsiar. 2013. Sasirangan Kain Khas Banjar. Banjarmasin: Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar Kalimantan Selatan. Upton, Penney. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Yolanda, Dee. 2014. Pengembangan Individu dan Identitas. http:// deeyolanda. blogspot.com / 2014 / 04 /pengembangan-individu- dan-identitas.html (online) (diakses tanggal 7 Maret 2015)

478 Firda Wahyuni SEJARAH KERAJAAN BANJAR DAN ENKULTURASI UPACARA ADAT BANJAR Eti Lindasari

ABSTRAK Budaya merupakan hasil ide, gagasan masyarakat dalam interaksinya dengan manusia yang lain. Perkembangan budaya Banjar dipengaruhi oleh kerajaan dengan kepemimpinan raja yang berganti dan oleh agama yang berkembang pada kerajaan yang pernah ada. Generasi sekarang perlu memahami sejarah Banjar agar memahami warisan budaya Banjar yang “dibangun” atas kebudayaan asli meliputi: etnis Banjar, Dayak Dusun Dayah dan Balangan, Maanyan serta etnis asli lain, etnis pendatang: Bugis, Madura, Bajau, Jawa dan etnis lainnya. Garis besar sejarah Banjar dimulai: Masa Prasejarah pada Kala Pasca Pleistosen/awal Kala Holosen dengan kebudayaan gua, Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Tanjung Puri dan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar. Perkembangan kebudayaan Banjar melalui: akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Upacara adat yang berkembang dipengaruhi oleh budaya dan agama. Enkulturasi budaya Islam yang dipengaruhi Kesultanan Banjar berupa upacara adat: Mangarani Anak(Batasmiyah) dan Ba-ayun Maulid. Kata Kunci: Sejarah kerajaan Banjar, enkulturasi, upacara adat.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Eti Lindasari 479 I. PENDAHULUAN Kata Banjarmasin mempunyai dua makna yang mengarahkan pada nama ibukota provinsi Kalimantan Selatan dan hamparan sejarah kerajaan yang pernah ada di Kalimantan. Dinyatakan di Kalimantan karena pengaruh Kerajaan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin meliputi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Barat. Disebut Tanah Banjar karena daerah daerah tersebut (1526-1905) adalah bekas wilayah Kerajaan Banjar dan mayoritas penduduknya disebut etnis Banjar. Istilah Banjar berasal dari sebuah nama kerajaan Islam yang dahulu berada di Banjarmasin. Dalam proses pembentukannya Kerajaan Banjar dengan sebutan Bandar Masih (bandarnya orang Melayu). Kata “Banjar” mengacu pada pengertian wilayah kesultanan yaitu kesulatanan Banjar, dengan penduduknya disebut orang Banjar, dan rajanya disebut Raja (Sultan) Banjar. Secara sejarah berbagai kerajaan yang pernah tumbuh di Kalimantan Selatan sebelum kesultanan Banjar terbentuk tahun 1526, antara lain kerajaan Nan Sarunai, Negara Dipa, dan Negara Daha seperti yang diceritakan dalam cerita rakyat dan Hikayat Banjar. Bergantinya kerajaan di daerah Banjar tentu membawa pengaruh terhadap kebiasaan masyarakatnya. Satu diantaranya, agama yang dibawa pada masing-masing masa kerajaan berbeda. Dengan perbedaan ini maka menciptakan kebiasaan yang berbeda-beda. Dengan kebiasaan yang berbeda ini melahirkan budaya yang berbeda pula. Budaya dapat dikatakan sebagai hasil ide, gagasan dari masyarakat dalam interaksinya dengan manusia yang lain, seperti yang sering disampaikan oleh Koentjaraningrat. Bahwa pada masa kerajaan Nan Sarunai dipengaruhi oleh agama Hindu. Pada masa kerajaan Negara Dipa (1362-1448) yang lokasinya berada tidak jauh dari Candi Agung di sekitar kota Amuntai masih dipengaruhi agama Hindu. Kerajaan Negara Dipa dipimpin oleh Pangeran Suryanata yang merupakan putra dari raja Hayam Wuruk dari Majapahit bersama dengan Putri Junjung Buih sebagai putri 480 Eti Lindasari sulung dari raja terakhir kerajaan Nan Sarunai yang diikat dalam pernikahan, sehingga menyatukan antara dua kerajaan yang memupus konflik diantara suku Maanyan sebagai masyarakat asli dan suku Jawa sebagai pendatang. Negara Dipa berada di wilayah bekas kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan lain yang juga ada adalah kerajaan Negara Daha (1448- 1526). Kerajaan Negara Daha merupakan momen pulihnya kembali kepemimpinan Maanyan sebagai pemimpin di tanah leluhur sendiri. Hal ini dikarenakan raja Negara Daha adalah Raden Sari Kaburangan yang memiliki darah Jawa dari kakek buyutnya Pangeran Suryanata, generasi keempat. Peninggalan Negara Daha, Candi Laras, mencerminkan ciri-ciri candi Budha. Penduduk kerajaan Negara Daha menganut agama Budha. Kerajaan berikutnya adalah Kerajaan Banjar (1526-1905). Kerajaan Banjar lebih dikenal dengan Kesultanan Banjar berdiri 25 September 1526 dengan raja Pangeran Samudera. Pangeran Samudera berhasil menduduki tahta atas bantuan Sultan Trenggono dari Demak yang mengirimkan pasukan perang untuk membantu Pangeran Samudera melawan Pangeran Tumenggung dalam peperangan di Muara Kuin. Pangeran Samudera mendapat bantuan dari Sultan Trenggono dengan syarat apabila Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung maka Pangeran Samudera harus memeluk agama Islam. Disinilah momen ketika Kerajaan Banjar dalam hal ini Kesultanan Banjar berkembang sebagai negara dengan agama mayoritas Islam. Proses perkembangan Kesultanan Banjar dengan mayoritas penduduk beragama Islam berpengaruh pada perkembangan kebudayaannya dalam hal ini pada upacara-upacara adat melalui beberapa cara seperti asimilasi, akulturasi, dan enkulturasi budaya. Proses tersebut melewati masa yang panjang sehingga mewariskan berbagai macam upacara adat yang dipengaruhi agama Islam. Terdapat berbagai macam upacara adat suku Banjar yang berhubungan dengan kehidupan seseorang sejak masih dalam kandungan sampai Eti Lindasari 481 meninggal. Diantaranya, upacara Mangarani Anak, Ba-ayun Maulid dan upacara Basunat. Namun demikian, tradisi tersebut tidak banyak dikenal generasi sekarang, khususnya pelajar. Agar peninggalan kebudayaan dapat dipertahankan maka perlu diberikan pemahaman tentang sejarah terbentuknya uapacara adat tersebut, dan pewarisannya. Dengan demikian diharapkan generasi penerus akan kembali mewariskan peninggalan tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS yang menghasilkan generasi yang aktif, kreatif, dan inovatif serta dapat menjadi warga masyarakat yang mampu mengambil keputusan dengan tepat pada era masa kini dan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.

II. PEMBAHASAN 2.1 Kerajaan Banjar Pengenalan kepada peserta didik tentang Kesultanan Banjar dimulai dengan mengenali lingkungannya. Secara geografis, posisi astronomis Provinsi Kalimantan Selatan berada di antara 1°21’49” - 4°10’14” Lintang Selatan dan 116°33’ 28” - 114°19’13” Bujur Timur. Secara administratif Provinsi Kalimantan Selatan terletak di bagian tenggara pulau Kalimantan dengan batas-batas: sebelah utara dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Selat Makasar, sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Luas Provinsi Kalimantan Selatan 37.530,52 km2 atau 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan. Provinsi Kalimantan Selatan disebut juga Tanah Banjar karena dulunya merupakan wilayah Kesultanan Banjar dan penduduknya disebut Urang Banjar (etnis Banjar). Istilah Banjar berasal dari kerajaan Islam di Banjarmasin yang erat kaitannya dengan Bandar Masih (bandarnya orang orang Melayu). Kata “Banjar” mengacu pada wilayah Kesultanan Banjar, dengan penduduknya orang Banjar, dan rajanya disebut Sultan Banjar.

482 Eti Lindasari Penduduk asli Kalimantan Selatan terdiri dari berbagai kelompok etnik, antara lain: 1. Suku Banjar, yang mendiami daerah aliran sungai dari Banjarmasin sampai Amuntai, dan daerah pahuluan atau pedalaman dari Banjarmasin, Martapura, Pleihari, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, dan Tanjung. b. Suku Dayak Dusun Deyah, yang mendiami daerah Upau Pangelak, Gunung Riyut, Kawang, Haruai, Mangkupum, dan Kinarum di daerah Kabupaten Tabalong. c. Suku Dayak Balangan, yang mendiami daerah Halong dan sekitarnya di Kabupaten Balangan. d. Suku Maanyan, mendiami daerah Warukin dan Pasar Panas di Kabupaten Tabalong. e. Suku Lawangan, yang mendiami daerah Muara Uya Utara, Kabupaten Tabalong. f. Suku Abal, yang mendiami daerah Kampung Agung sampai ke Haratai, Kabupaten Tabalong. g. Suku Bukit yang mendiami pegunungan Meratus antara lain di daerah pegunungan di Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tapin, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Kota Baru dan lain- lain. h. Suku Bakumpai, yang mendiami daerah Kabupaten Barito Kuala, yaitu Marabahan dan sekitarnya. Selain penduduk asli, terdapat pula penduduk pendatang dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari luar Kalimantan Selatan. Penduduk pendatang ini antara lain terdiri atas : a. Suku Bugis, yang mendiami daerah Pagatan dan sekitarnya di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru. b. Suku Madura, yang sejak sebelum pertengahan abad ke-20 telah bermukim di daerah Madurejo dan sekitarnya di Kecamatan Pengaron daerah Riam Kiwa Kabupaten Banjar.

Eti Lindasari 483 c. Suku Bajau, yang mendiami rampa-rampa (perkampungan- perkampungan di tepi laut) Bajau di daerah Kotabaru. d. Suku Mandar, yang mendiami daerah Pulau Laut dan Pulau Sebuku di Kabupaten Kotabaru. e. Suku Jawa Tamban, yang mendiami daerah Purwasari Tamban Kabupaten Barito Kuala sejak awal abad ke-20 dan daerah transmigrasi sekarang. f. Cina Parit, yang mendiami daerah Sungai Parit Pleihari, Kabupaten Tanah Laut. g. Suku Bali, yang bermukim di daerah transmigrasi Barambai Kabupaten Barito Kuala, Sebamban di Kabupaten Kotabaru dan sedikit di daerah sekitar Pleihari, Kabupaten Tanah Laut (Aziddin, 1990: 7-9). Selain itu, terdapat pula pula etnis keturunan Arab yang menempati perkampungan Arab di daerah-daerah tertentu di Kalimantan Selatan. Perkembangan keberadaan masyarakat Banjarmasin dimulai dari kerajaan Nan Sarunai, Tanjung Puri, Negara Dipa, dan Negara Daha. Kerajaan Nan Sarunai terletak di dekat Amuntai sekarang (Hudson, 1967:26) dan dapat dikategorikan sebagai negara primitif. Dalam kerajaan Nan Sarunai hubungan fundamentalnya tercipta berdasarkan geneologis. Seiring dengan keberadaan Negara Nan Sarunai, muncul juga kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri diduga berada di sekitar kota Tanjung merupakan kolonisasi orang-orang Melayu Palembang dari Sriwijaya melalui Laut Jawa sampai ke Kalimantan Selatan. Pasca Tanjung Puri, muncul emigran dari Jawa, mereka kemudian membangun sebuah kerajaan bernama Negara Dipa yang terletak di daerah Hujungtanah. Daerah Hujungtanah merupakan tempat pertemuan Sungai Amandit dan Sungai Negara. Raja dari kerajaan itu bernama Mpu Jatmika dengan gelar Maharaja. Kekuasaan Negara Dipa melebar meliputi Batang Tabalong,

484 Eti Lindasari Batang Balangan, Batang Perak, Batang Alai, Batang Amandit dan bukit- bukit di sekitarnya. Setelah Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata wafat maka tahta kekuasaan Negara Dipa dipegang oleh anaknya bernama Suryaganggawangsa, kemudian Carang Calean, dan akhirnya Raden Sarikaburangan. Semasa Raden Sarikaburangan memerintah pusat kekuasaan dipindahkan ke Muara Hulak, sedangkan Muarabahan dipilih sebagai pelabuhannya dan nama kerajaan itu berubah namanya menjadi Negara Daha. Keberadaan kota Banjarmasin sebagai ibukota Kerajaan Banjar tidak lepas dari dampak perebutan tahta di Negara Daha, yaitu antara Pangeran Temanggung dengan pewaris tahta yang sah yakni Raden Samudera. Dalam kemelut istana itu, Raden Samudera mengasingkan diri di hilir Sungai Barito dan dilindungi oleh komunitas Melayu yang dipimpin oleh Patih Masih. Daerah hilir sungai Barito itu oleh orang Dayak Ngaju disebut sebagai Banjar Oloh Masih atau kampung orang Melayu yang saat ini dikenal dengan nama Banjarmasin. Akhirnya setelah melalui suatu proses politik, Raden Samudera dan pengikutnya berhasil mengalahkan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera atas Pangeran Temanggung merupakan suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari kerajaan pedalaman agraris kepada kerajaan yang bersifat maritim dan Islam dijadikan agama negara. Raden Samudera kemudian, merubah nama dan gelarnya dari maharaja menjadi Sultan Suryanallah. Adapun Banjarmasin dijadikan ibukota merangkap bandar dari Kerajaan Banjar, yaitu sekitar abad ke-16 sedangkan rakyatnya dinamai Orang Banjar. Bagi orang Banjar agama Islam dijadikan sebagai pendukung kewarganegaraan dan status daerahnya, di samping terkadang menjadi basis perspektif yang kritis pada kebijakan negara (Tsing, 1998: 72-73). Hal ini juga tampak dari penyebutan gelar sultan mengisyaratkan agar ia sebagai kepala negara memperoleh pengakuan dan dukungan

Eti Lindasari 485 dari negara–negara Islam. Dalam arti lain, bahwa sultan merupakan sumber satu-satunya dari segenap kekuasaan. Akan tetapi konsep sultan pada kesultanan Banjar tidak mutlak sebab kekuasaannya hanya berupa simbol, kekuasaan bernegara dilimpahkan kepada kedudukan mangkubumi. Adapun nama sultan yang memerintah di Kerajaan Banjar sebagai berikut (Norlander, 1935:188-190). Sultan Samudera dengan gelar Sultan Surian Allah atau Sultan Suriansyah bergelar Panembahan Batu Habang yang memerintah pada abad ke-16. Sultan Rakmat Ollah atau Sultan Rakmatullah disebut dengan nama Panembahan Batu Putih memerintah sekitar abad ke-16. Sultan Hidayat Ollah atau Sultan Hidayatullah dikenal dengan nama Panembahan Batu Irang dan seterusnya. Sultan Mustakim Billah dikenal juiga Panembahan Marhum, Sultan Inayat Allah, Sultan Said Allah, Sultan Rakyat Allah atau Sultan Tahlil Allah disebut juga Panembahan Tinggi, Sultan Amr Allah memerintah pada abad ke-17 (1661-1663), Sultan Suryanata memerintah (1663-1679), sampai dengan Sultan Tamjid Allah ( 1857-1859). Proses perkembangan kebudayaan pada umumnya dan kebudayaan Banjar khususnya dapat melalui berbagai cara. Beberapa cara diantaranya adalah: Proses perkembangan kebudayaan akulturasi adalah pertemuan antara dua kebudayaan dari bangsa yang berbeda sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan terjadi perpaduan kebudayaan yang prosesnya berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus sehingga mengakibatkan adanya perubahan-perubahan dari pola budaya semula. Misalnya perubahan kebudayaan dari pengaruh Hindu ke Budha, kemudian dari Budha ke Islam, yang tampak perubahannya dari peninggalan Kerajaan Daha dan Negara Dipa dengan bentuk candi seperti Candi Agung dan Candi Laras, berubah dengan peninggalan berupa masjid diantaranya Masjid Sultan Suriansyah pada masa Kesultanan Banjar. Proses ini menunjukkan keberlanjutan dari suatu periode ke periode lain sesuai dengan perubahan agama pada negara atau kerajaan tersebut (Kesultanan Banjar).

486 Eti Lindasari Proses perkembangan kebudayaan melalui asimilasi adalah proses sosial antara dua kebudayaan secara berangsur angsur sehingga berkembang dan melahirkan kebudayaan baru. Asimilasi sebenarnya merupakan proses lanjutan dari proses interaksi antara dua pihak yang berbeda dan saling bermusuhan untuk menyesuaikan diri. Proses ini melahirkan sesuatu yang baru sebagai hasil kombinasi dari unsur yang berbeda. Namun demikian perubahan ini dapat diselesaikan dengan baik saat Raden Samudera menjadi penguasa dengan persebaran Islam yang terjadi secara damai. Proses penyatuan diantaranya dengan penyatuan yang terjadi dan hilangnya konflik antara etnis Maanyan dan Jawa dengan diangkatnya Raden Sari Kaburangan sebagai Raja yang merupakan putra dari hasil perkawinan Putri Junjung Buih dan Pangeran Surianata dari Kerajaan Majapahit. Proses enkulturasi sering disebut pembudayaan maupun pewarisan budaya adalah konsep yang menyatakan sebagai proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil mulai dari lingkungan keluarga ke lingkungan yang lebih besar di masyarakat. Dimulai dari mengenal kebiasaan-kebiasaan yang sederhana sampai mengenal kebudayaan masyarakat suku atau bahkan negaranya. Misalnya mengenal nama tarian daerahnya sampai mengetahui bahwa tarian tersebut adalah peninggalan budaya kerajaan yang pernah ada di daerahnya. Mulai dari mengenal sejarah awal kerajaan Banjar sehingga menjadi Kesultanan Banjar dan peninggalan-peninggalan yang ada mulai dari seni, artifak dan enkulturasi budaya upacara adat yang diwarisi sebagai sesuatu yang bermakna dan bukan hanya upacara/ritual yang tidak dipahami maknanya. Karena itu proses ini harus dimulai sejak dini dari keluarga, dilanjutkan di lingkungan terdekat teman sebaya dengan

Eti Lindasari 487 permainan anak-anak yang memiliki nilai, serta kesenian daerah bahkan upacara-upacara adat sepanjang hayat. Upacara adat ini pada masyarakat Banjar biasa disebut dengan upacara daur hidup seperti yang diceritakan dalam buku daur hidup masyarakat Suku Banjar. Bukti peninggalan kebudayaan dari kesultanan Banjar yang menganut agama Islam bermacam-macam. Satu diantaranya adalah upacara adat Mangarani Anak. Selain itu upacara adat yang sarat dengan muatan agama Islam adalah Baayun Maulid. Upacara Mangarani Anak dijumpai pada masyarakat Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Upacara ini berisi pemberian nama kepada anak yang baru lahir dan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan oleh bidan (dukun beranak) yang membantu persalinan, yaitu ketika pemotongan tangking (tangkai/ tali pusat), pada saat itu diberi nama sementara oleh bidan yang diperkirakan cocok untuk si anak. Kemudian pada waktu pemotongan tangkai pusar bayi itu pula, dilantakkan (dimasukkan) serbuk rautan emas atau intan lantakan dimasukkan kedalam lobang pangkal pusatnya. Semua itu dilakukan dengan harapan apabila dewasa agar si anak memiliki semangat keras dan bisa hidup berharga seperti emas dan intan. Setelah perkembangan Islam di daerah ini, maka dilaksanakan upacara pemberian nama secara resmi yang disebut batasmiah (tasmiah). Kadangkala atau bagi masyarakat yang ekonominya mampu, upacara batasmiah didahului dengan pelaksanaan aqiqah yakni menyembelih hewan tertentu sehubungan dengan kelahiran anak sesuai ketentuan syariah agama Islam. Biasanya penyembelihan hewan dua ekor kambing untuk anak laki- laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Setelah itu diberikan nama yang resmi oleh orang tua si anak yang akan dipakai terus. Kadangkala pemberian nama setelah meminta petunjuk orang alim atau patuan guru (ulama). 488 Eti Lindasari Sebagai bukti upacara ini merupakan pewarisan budaya Islam adalah dibacakannya ayat suci Al Qur’an dari seorang Qari. Biasanya surah yang dibaca surah Ali Imran ayat 33 s.d 37. Setelah pembacaan surah selesai dilanjutkan dengan peresmian nama yang dilakukan oleh patuan guru atau pemuka agama. Begitu pemberian nama selesai diucapkan, rambut si anak dipotong sedikit, pada bibirnya diusapkan garam, madu dan air kelapa. Si anak yang baru diberi nama tersebut kemudian dibawa berkeliling untuk ditapung tawari dengan minyak likat baburih/ babareh. Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang tua yang hadir dalam upacara tersebut (terutama kakeknya) dengan disertai doa untuk si anak. Setelah selesai acara tapung tawar kemudian dibacakan doa selamat, dan kadangkala dilaksanakan ceramah agama oleh ulama sekitar pemberian nama bayi. Juga disuguhkan hidangan makanan, kue-kue/ wadai dan minuman untuk dinikmati para tamu yang hadir. Upacara Ba-ayun Maulid merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Banjar. Ba-ayun dari kata ayun berarti “melakukan proses ayunan”. Upacara ini disebut Ba-ayun Maulid, karena dilaksanakan pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yakni pada bulan Maulid (bulan Rabiul Awal) yang sering disebut juga dengan “mulud” atau kadang “maulud”, dan “bamaulutan” untuk menyebut bermaulidan. Upacara ini dilaksanakan didalam masjid. Oleh karenanya pada ruangan masjid digantungkan ayunan 9 buaian yang membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang digunakan dibuat dalam tiga lapis. Lapisan atas digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari pati kunyit) dan lapisan bawah tapih bahalai (kain panjang wanita). Untuk pada tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsul, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan berbentuk buah-buahan dan kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, kelapa dan lain lain.

Eti Lindasari 489 Setiap orang tua yang Ma-ayun anaknya pada upacara itu harus menyerahkan piduduk yaitu sebuah sasanggan yang diisi beras kurang lebih 31/2 liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum dan sebongkah garam serta uang perak. Upacara Ba-ayun Maulid ini merupakan upacara tahunan, yang memang berasal dari kabupaten Tapin tepatnya di Banua Halat, tetapi telah dilaksanakan juga oleh sebagian masyarakat Banjarmasin. Ketika upacara ini diselenggarakan banyak ayunan bergelantungan di tiang-tiang masjid. Dalam upacara Ba-ayun Maulud ini dibacakan beberapa syair seperti syair Barzanji, syair Syarafal Anam dan syair Diba’i. Anak-anak yang akan diayun dalam upacara baru dibawa menjelang tibanya pembacaan Asyarakal dan si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan. Tepat pada pembacaan Asyarakal anak yang ada dalam ayunan diayun secara perlahan, yakni dengan menarik selendang yang diikat pada ayunan tersebut. Maksud diayun pada saat itu untuk mengambil berkah atas kelahiran dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW yang kelahirannya diperingati saat itu. Semua anak yang diayun dalam masjid itu didoakan oleh pemuka agama (tuan guru) dan seluruh peserta upacara. Mereka semua berharap dan berdoa agar anak-anak tersebut kelak menjadi ummat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan RasulNya. Upacara Ba-ayun Maulid dilaksanakan pada pagi hari sekitar pukul 10.00 bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Orang tua dan mereka yang mengikuti upacara adat ini merasa sangat bergembira dan menyambut sebagai acara tahunan. Upacara adat Ba-ayun Maulid yang dilaksanakan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya. Sedangkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat ke muka bumi ini disambut dengan puji-pujian dan diucapkan dalam syair-syair berlagu merdu.

490 Eti Lindasari III. SIMPULAN Wilayah Banjarmasin, termasuk Kalimantan Selatan pada awalnya berasal dari wilayah Kesultanan Banjar, dengan penduduknya disebut orang Banjar, dan rajanya disebut Raja (Sultan) Banjar. Beberapa kerajaan pernah tumbuh di Kalimantan Selatan sebelum kesultanan Banjar terbentuk tahun 1526, antara lain kerajaan Nan Sarunai, Negara Dipa, dan Negara Daha seperti yang diceritakan dalam cerita rakyat dan Hikayat Banjar. Perkembangan kerajaan Banjar menjadi Kesultanan Banjar mempengaruhi kebudayaan masyarakat dikarenakan agama negara yang dianut kerajaan tersebut; dari Hindu ke Budha, dari Budha ke Islam sehingga warisan budayanyapun berbeda-beda. Proses perkembangan budaya tersebut melalui akulturasi, asimilasi dan enkulturasi menjadikan terbentuknya budaya Banjar. Wujud proses tersebut sebagian masih bisa dilihat pada kehidupan masyarakat Banjar. Peninggalan tersebut adalah upacara adat yang dipengaruhi agama Islam seperti upacara Mangarani Anak (Batasmiyah) dan Ba-ayun Maulid yang masih terus dilestarikan oleh masyarakat dan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ersis Warmansyah. 2014. Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: Wahana Jaya Abadi. Anggar Kaswati. 1998. Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Beta Offset. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Prov. Kalimantan Selatan. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Kalimantan: Grafika Wangi. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Prov. Kalimantan Selatan. Sejarah Banjar. Kalimantan: Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan. Hendrawati, Wajidi, dkk. Upacara Daur Hidup Masyarakat Banjar. Pontianak: STAN Pontianak Press.

Eti Lindasari 491 Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Nurseno. 2007. Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

492 Eti Lindasari PEMANFAATAN HASIL LAUT UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN DI PEGATAN KECAMATAN KATINGAN KUALA Titik Maryati

ABSTRACT Paper writing is done to see the extent of utilization of the marine products every day obtained by the fishermen in the area pegatan to increase their income and improve their lives. In this study aims to see how the utilization of marine products processing industry in the household (home). The parameters used in the measurement of this writing is to see the potential of marine and fisheries are not optimal and obstacles often faced by the fishermen. Results of this study indicate turns the catches of fishermen are not optimal due to the use of technology are minimal by relying on a small boat (raft) and catching a very simple tool. As the season winds and waves / waves higher then the fishermen can not go to sea. Leaned live just as fishermen making them still in poverty. That's why there needs to be a sideline to supplement the income of their lives that are labor intensive and home-based businesses. Keywords: Fishermen, income, home-based business.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Titik Maryati 493 I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 7.870 pulau yang bernama dan 9.634 pulau tidak bernama. Pulau di Indonesia yang berpenghuni sekitar 6.000 pulau. Pulau-pulau yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki potensi kelautan sangat besar. Indonesia mempunyai wilayah yang sangat luas yang membentang dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan membujur dari utara ke selatan sepanjang 1.888 km dengan luas 5.193.252 km2 terdiri atas 1.890.754 km2 daratan dan 3.302.498 km2 lautan atau dua pertiganya berupa lautan sehingga disebut negara maritim. Kekayaan sumber daya ikan laut dengan luas perairan laut diperkirakan 5,8 juta km2 serta merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua didunia yaitu sepanjang 81.000 km2 (Nikijuluw, 2002) menjadikan indonesia sebagai negara yang mempunyai kekayaan dan potensi sumber daya alam kelautan yang melimpah. Pegatan adalah sebuah daerah kecil yang berada dipesisir pantai lebih tepatnya daerah paling selatan dari Kabupaten Katingan. Dengan daerah yang dikelilingi oleh lautan menjadikan masyarakatnya berprofesi mayoritas sebagai nelayan. Dengan menggantungkan hidup sebagai nelayan menjadikan mereka sebagai masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang terbatas. Kondisi alam yang sering berubah-ubah juga telah menyebabkan mereka sebagai pengangguran musiman. Sehingga dengan kemampuan yang terbatas menjadikan keterbatasan juga dalam hal yang lain, seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan kehidupan yang layak. Dengan kondisi inilah, kemudian nelayan mulai mengubah profesi mereka, ada yang menjadi buruh diperkebunan kelapa sawit ada juga yang membuka usaha baru yang sifatnya padat karya. Dengan adanya tambahan dari keanekaragaman jenis pekerjaan tentunya ini diharapkan bisa menambah pula pundi-pundi keuangan mereka dan dapat terpenuhinya kebutuhan hidup untuk keluarga.

494 Titik Maryati II. PEMBAHASAN Kabupaten Katingan merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Katingan mempunyai luas wilayah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002 adalah ± 17.500 km2. Secara geografis terletak diantara 1120 0’BT – 00 20’LS dan 1130 45’ BT-30 30‘ LS Secara topografis sebagian besar wilayah kabupaten Katingan berada di bantaran sungai. Wilayahnya dialiri oleh puluhan sungai dan danau yang sekaligus sebagai penghubung antar perkampungan atau pedukuhan. Sungai Katingan merupakan sungai yang memiliki panjang ± 650 km2 dari utara ke selatan, lebar ±300m serta kedalaman ±6m adapun sungai-sungai yang barada di Kabupaten Katingan meliputi : Sungai Kalanaman, Sungai Hiran, Sungai Samba, Sungai Bemban, Sungai Senamang, Sungai Bulan, Sungai Kelarau, Sungai Baraoi, Sungai Taranei, Sungai Sebangau Besar, dan Sungai Sebangau Kecil. Kabupaten Katingan berdasarkan data dari BPS tahun 2013 memiliki luas ± 17.800 Km2 dengan permukaan bervariasi mulai dataran rendah, landai hingga bergelombang dengan ketinggian antara 0-5 m dpl serta komposisi tanah yang berupa gambut, rawa, tanah miniral, dan pasir. Secara administratif batas wilayah kabupaten Katingan adalah: Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Malawi Provinsi Kalimantan Barat ; Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas, kota Palangkaraya serta Kabupaten Pulang pisau; Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa; Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin Timur. Kabupaten Katingan memiliki kawasan pesisir dengan panjang pantai sekitar 54 km2 dan luas perairan laut 21.000 km2 yang memiliki sumber daya perikanan dan kelautan bernilai ekonomis penting dan merupakan daerah penyebaran berbagai jenis ikan. Kekayaan alam berupa potensi bermanfaat dan selaras dengan pembangunan daerah. Titik Maryati 495 Penduduk di Kabupaten Katingan sebagian besar bertempat tinggal ditepi aliran sungai menggunakan ces/ klotok sebagai sarana transportasi air. Kecamatan Katingan Kuala merupakan satu-satunya wilayah di Kabupaten Katingan yang berbatasan langsung dengan laut. Kecamatan ini merupakan satu daerah di dalam wilayah Kabupaten Katingan dengan ibu kota kecamatannya Pegatan. Adapun posisi Pegatan berada diujung sebelah selatan Kabupaten Katingan. Pegatan berada pada posisi 113 051-113 0 20 1 BT dan 30161 LU. Mempunyai luas wilayah sekitar ±1.440 km2 dan tinggi wilayah diatas permukan laut (DPL) adalah ± 500 m (BPS, 2013). Dengan jumlah penduduk ± 7.214 jiwa (tahun 2010). Pegatan merupakan desa yang terapit sungai, laut dan pulau. Di sebelah timur desa Pegatan terbentang muara sungai Katingan dan di sebelah barat lautan luas, laut Jawa dan pulau kecil tidak berpenghuni yaitu pulau Damar. Di pantai bagian utara berjejal berbagai pohon, dari pohon bakau sampai pohon cemara. Transportasi penghubung antar desa Pegatan dengan daerah lain maupun ke ibukota, tidak bisa menggunakan jalur darat karena itu jalur laut dan sungai menjadi pilihan utama. Penduduk Pegatan berjumlah ± 7.214 (tahun 2010) tersebar di dua kelurahan yaitu kelurahan Pegatan Hilir dengan jumlah penduduknya 4.003 jiwa dan kelurahan Pegatan Hulu dengan jumlah penduduk 3.211 jiwa (BPS, 2010). Masyarakat Pegatan memiliki kecendrungan heterogen dalam profesi dan setelah illegal loging diberantas pemerintah, masyarakat memang banyak yang pindah menjadi pekerja di perkebunan sawit dengan impian, ketika mereka pindah tempat dan meninggalkan kampung halaman, agar mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan menjadi pekerja di perkebunan kelapa sawit. Selain itu ada pula yang menjadi PNS, pedagang, petani dan pengusaha burung wallet. Usaha sarang burung walet ini dimulai sekitar tahun 2000 yang kemudian berkembang karena nilai ekonomisnya yang tinggi.

496 Titik Maryati Penduduk Pegatan terdiri dari suku Dayak, Banjar, Madura, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dari segi pendidikan, penduduk Pegatan telah menempuh pendidikan SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tua kebanyakan peserta didik terhenti hanya sampai SMA/MA atau SMP/MTS. Untuk anak-anak yang usia sekolah tingkatan SD/MI mereka yang tinggal di paling hilir atau sebutannya ujung Mualatayur atau yang tinggal paling hulu atau sebutannya Kampung Baru karena kondisi ekonomi orang tua yang terbatas, jauhnya rumah mereka dengan sekolah dan pengaruh dari teman-teman mereka yang sudah bekerja menjadi nelayan dan buruh kebun sawit, kebanyakan mereka terhenti hanya sampai tingkatan SD/MI. Akibatnya, anak-anak usia sekolah tersebut putus sekolah, “sudah bisa mencari duit pang.” Karena kebutuhan hidup yang semakin tinggi, anak- anak tersebut mencari uang untuk membeli handphone dan kebutuhan lainnya. Dilihat dari segi geografis, daerah Pegatan memiliki potensi kelautan menjanjikan. Hasil perikanan laut yang diperoleh oleh penduduk sangat melimpah. Pada tahun 2009 (data dari PIKK) saja, total produksi perikanan tangkap mencapai 4.977,7 ton perikanan laut. Komoditas unggulan perikanan tangkap terdiri dari udang putih, udang dogol, tongkol, bawal hitam, kakap, belanak, telang, senangin, kembung, selar, bambangan, toda, puput, pari, peda, cumi-cumi dan kepiting. Selain dari usaha penangkapan, dikawasan pesisir Pegatan juga mulai dikembangkan usaha budidaya tambak udang dan ikan bandeng. Selain itu ada juga pembudidayaan berbagai jenis ikan seperti patin, nila, mas, dan jelawat. Melihat dari berbagai potensi yang ada maka peluang untuk investasi yang ditawarkan adalah modernisasi sarana dan prasarana penangkapan ikan serta pengembangan budidaya perikanan yang masih terbatas.

Titik Maryati 497 Dengan keanekaragaman hasil tangkapan dan potensi yang dimiliki dari hasil perikanan tersebut, jadi tidaklah mengherankan apabila penduduk Pegatan mayoritas profesi sebagai nelayan. Dan profesi ini sudah digeluti selama bertahun-tahun dan mereka menggantungkan hidup dan kehidupannya dari situ. Selain itu ada juga yang sebagian dari penduduk yang bekerja menjadi pedagang, bekerja disektor pertanian dan perkebunan. Sekarang ini seiring bertambahnya waktu dan kemajuan teknologi sebagian masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih, mereka mulai membuka usaha baru yaitu sebagai pengusaha jual-beli sarang burung walet. Dan pertumbuhan sarang burung walet ini dari tahun ke tahun semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya permintaan terhadap sarang burung walet. Daerah Pegatan merupakan sebuah desa yang daerahnya dikelilingi oleh sungai dan lautan yang menjadi hambatan pembangunan jalur transfortasi darat. Sulitnya akses transportasi ini menjadikan penduduknya ketertinggalan dalam hal informasi maupun transportasi. Hal ini pula yang menyebabkan mobilitas penduduk menjadi lambat. Pegatan merupakan daerah dengan kondisi air yang pasang dan surut. Kondisi ini mengikuti tinggi rendahnya pasang surut air laut. Karena begitu dekatnya jarak antara perkampungan dengan laut sehingga bagaimanapun kondisi pada saat itu seperti keadaan cuaca, perubahan angin, dan tinggi rendahnya ombak bisa terbaca. Bagi mereka yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan maka mereka harus menghadapi bagaimana kerasnya alam yang mereka lawan ketika melaut. Pada musim-musim tertentu ada kalanya mereka mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah tapi pada musim yang lain hasil tangkapan menipis bahkan kata mereka “asal kawa membulikkan harga minyak aja, sudah syukur”. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi alam yang berubah, maka berubah pula pendapatan mereka. 498 Titik Maryati Ketika telah memasuki musim kemarau atau musim tenggara, air pasang dan diiringi dengan angin ribut/kencang maka menyebabkan tingginya gelombang/ombak sehingga meraka tidak bisa melakukan pekerjaan seperti biasa yaitu melaut. Dan hal ini bisa terjadi selama berbulan-bulan. Sehingga pada masa inilah kesulitan perekonomian mulai dirasakan oleh para nelayan. Minimnya kemampuan dan keterampilan menyebabkan mereka hanya mengandalkan satu pekerjaan saja. Kadang- kadang pada masa inilah ketika kebutuhan hidup semakin meningkat sedangkan penghasilan tidak ada, mereka mengubah profesi dari menjadi buruh musiman, bekerja menjadi buruh diperkebunan kelapa sawit atau berdiam diri dirumah sampai bisa melaut kembali. Tapi kalau sudah masuk musim penghujan atau musim barat cuaca cenderung teduh dan tak bergelombang sehingga aktivitas pencarian dan penangkapan ikan di laut bisa terlaksana. Dimusim ini para nelayan kebanjiran ikan dan udang. Dengan kelebihan dan potensi yang ada sangatlah disayangkan apabila tidak dimanfaatkan dengan baik. Seiring dengan kemajuan tekhnologi, sekarang ini ikan-ikan dan udang yang telah mereka dapatkan, baik dalam kondisi yang masih segar ataupun yang telah dikeringkan dengan cara yang sederhana (penggaraman dan pengeringan), ikan-ikan tersebut tidak hanya dijual di daerah sekitar Pegatan tapi juga dijual keluar seperti ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit dan Jawa. Udang-udang kecil/udang papay selain dikeringkan atau ebi mereka juga menjadikannya sebagai terasi. Dan terasi udang ini sudah mulai dikenal, disukai oleh para konsumen dan mempunyai pasar tersendiri. Ikan-ikan seperti haruan, tenggiri dan udang (udang bintik atau udang Bron) diolah menjadi kerupuk. Dan pertumbuhan serta minat dalam pengolahan kerupuk ini semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang apabila memperoleh ikan yang kecil atau ikan yang tidak disukai pembeli mereka akan membuangnya atau dijadikan umpan kembali atau juga dijual dengan harga yang sangat rendah.

Titik Maryati 499 Ketika mereka mengetahui bagaimana cara pengolahan kerupuk dan kerupuk tersebut diminati oleh konsumen maka ikan-ikan yang tidak berharga tadi menjadi lebih bernilai. Pengolahan kerupuk pun sekarang mulai berkembang dengan cepat ditambah lagi dengan adanya perhatian dan bantuan dari pemerintah. Dan sekarang kerupuk tersebut tidak hanya dijual di sekitar Pegatan tapi juga ke luar daerah. Ketika banyak orang yang datang ke Pegatan baik sekedar mengunjungi keluarga ataupun hanya sekedar perjalanan biasa, maka kerupuk tersebut menjadi buah tangan mereka. Dengan adanya penambahan bidang usaha tersebut, sekarang ketika memasuki masa dimusim tenggara, ketika alam sudah tidak bersahabat lagi mereka mulai mengubah usaha lain yang sifatnya padat karya. Seperti pengolahan kue, abon ikan, dan yang lain sehingga dengan kondisi geografis tersebut masyarakat tetap mendapatkan pemasukan dan penambahan pendapatan bagi pundi-pundi keuangan keluarga. Dengan pemasukan tersebut diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup bagi nelayan. Walaupun sebagian orang sudah mulai mengubah usahanya, ketika alam mulai berubah tetapi masih ada sebagian masyarakat yang mempunyai kemampuan terbatas, yang menetap dirumah, berdiam diri sampai keadaan musim tenggara tersebut berubah.

III. SIMPULAN Kondisi geografis yang sulit bukanlah sebuah penghalang bagi setiap orang yang ingin berubah. Alam sudah menyediakan begitu banyak kekayaan tinggal manusianyalah menggali, memakai dan mengelola secara arif dan bijaksana. Sangatlah disayangkan apabila kondisi kelautan perikanan Pegatan yang luas dan melimpah ini tidak dipergunakan, diolah dan dipakai secara optimal.

500 Titik Maryati Pemanfaatan terhadap hasil kelautan perikanan Pegatan sangatlah berpotensi baik untuk kemajuan daerah. Dengan optimalisasi semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah terhadap pengelolaan hasil kelautan tersebut maka kemajuan bagi tingkat pendapatan daerah, kemampuan ekonomi dan pendapatan masyarakat juga semakin baik. Ketika pendapatan masyarakat bertambah maka kebutuhan primer yang diperlukan pun akan terpenuhi. Ketidakmampuan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, pemenuhan kesehatan yang layak, dan lain-lain akan dapat terlaksana apabila masyarakatnya memiliki tingkat pendapatan yang baik pula. Dengan pemanfaatan hasil perikanan laut dari ikan segar, ikan kering, ebi, terasi, udang, kerupuk, ataupun yang lain diharapkan bisa mendapatkan sisi positif bagi pertumbuhan pertambahan pendapatan penduduk di daerah Pegatan. Daerah Pegatan yang dikelilingi oleh sungai dan laut memang sebuah kondisi yang harus kita terima, karena ketidakadaan akses jalur transfortasi darat yang entah sampai kapan bisa ditempuh dan dilaksanakan oleh pemerintah (jalan tembus darat) sehingga masyarakat bisa melakukan mobilitas keluar daerah tanpa harus dihadapkan dengan kondisi alam yang sulit seperi ombak besar. Selain itu dengan adanya kelancaran arus melalui jalur darat akses jual beli atau perdagangan pun bisa menjadi lancar.

DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Katingan. 2011. Katingan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Katingan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan. 2010. Katingan Kuala Dalam Angka 2009.

Titik Maryati 501 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal. 2011. Pendapatan Regional Kabupaten Katingan Tahun 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal. 2011. Profil Daerah Kabupaten Katingan Tahun 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal. 2001. Profil Of Investment Potential In Katingan Regency. Badan Pusat Statistik Kabupaten Katingan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan.2008. Profil Kabupaten Katingan 2007. Selayang Pandang Kabupaten Katingan 2007. Selayang Pandang Kabupaten Katingan 2009.

502 Titik Maryati KEARIFAN LOKAL UNTUK MENCEGAH KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Fatmawasi Ermitha

Falsafah hidup masyarakat Dayak yang bersumber dari simbol batang garing yang diwujudkan dalam upacara adat manyanggar dan mamapas lewu merupakan kearifan lokal yang berdasarkan prinsip memelihara keseimbangan hubungan antar manusia, hubungan dengan alam semesta dan hubungan dengan sang pencipta. Kawasan kelola (hutan) dimanfaatkan untuk berladang, berburu, mencari hasil hutan non kayu dan menangkap ikan yang perlu dijaga dan dipelihara dari kerusakan maupun bahaya kebakaran. Di daerah kawasan kelola terdapat gana (roh) dengan melakukan ritual adat sebagai wujud menghormati roh leluhur. Wujud kearifan lokal yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan fisik, ekonomi dan sosial budaya. Penguatan nilai-nilai dari kearifan lokal masyarakat Dayak merupakan sumber pembelajaran IPS. Kata kunci: Hutan, kebakaran hutan, dan kearifan lokal.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Fatmawasi Ermitha 503 I. PENDAHULUAN Hutan Kalimantan bukan hanya memberikan kemakmuran dan kebahagiaan untuk beratus ratus ribu manusia dalam satu atau dua abad saja, tetapi akan memberikan kemakmuran bagi beribu-ribu juta manusia sampai beratus-ratus abad (Tjilik Riwut).

Desa atau menurut orang Dayak disebut dengan Lewu atau kampung adalah wilayah pemukiman penduduk lokal yang umumnya berada di daerah aliran sungai. Dalam interaksi masyarakat dengan lingkungan alam, dikenal kawasan kelola yang jaraknya dari pinggir sungai sejauh bunyi gong atau kurang lebih lima kilo meter kiri-kanan sungai. Kawasan tersebut pada umumnya digunakan warga masyarakat untuk berladang, berburu, mencari hasil hutan non kayu dan menangkap ikan. Dalam kehidupan masyarakat Dayak, hutan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk memenuhi fungsi ritual dan kelangsungan hidup masyarakat pada masa yang akan datang. Dalam sistem pemerintah lewu, terdapat lembaga kedamangan yang berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat adat seperti adat gawi belum seperti upacara manyanggar dan mamapas lewu; dan upacara kematian seperti upacara tiwah. Dalam menjalankan tugasnya Damang dapat dibantu oleh perangkat adat seperti mantir dan tokoh-tokoh masyarakat lewu. Sebagai bentuk dukungan Pemerintah Daerah terhadap keberadaan masyarakat adat Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah telah dikeluarkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di Provinsi Kalimantan Tengah. 504 Fatmawasi Ermitha Berikut dipaparkan beberapa kearifan masyarakat lokal di Kalimantan Tengah terkait dengan tatanan sosial budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan termasuk upaya mencegah kebakaran hutan dan lahan.

II. PEMBAHASAN Dalam kehidupan masyarakat Dayak, hutan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk memenuhi fungsi ritual dan kelangsungan hidup masyarakat pada masa yang akan datang. Terganggunya fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat ini, akan mendorong munculnya konflik sosial seperti yang terjadi antara masyarakat pemegang ijin IUPHHK, pertambangan maupun perkebunan. Dalam kehidupan sehari-hari, hutan memiliki fungsi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti berladang, mencari hasil hutan non kayu: gemor, getah jelutung, damar, tengkawang, madu, obat-obatan, rotan dan karet. Algadri (2001) melaporkan bahwa kehadiran HPH telah menghilangkan mata pencaharian masyarakat yang sangat tergantung dengan hutan. Demikian juga dengan Barber dan Scheithelm (2001:34) bahwa di Kalimantan Tengah, pada pembukaan lahan satu juta hektar telah menghancurkan usaha masyarakat Dayak di tujuh aliran sungai di Mangkatif yang mengakibatkan kerugian masyarakat hingga mencapai US 7 juta dengan nilai tukar pada pertengahan tahun 1997. Cornelius Rintuh (2001) menyebutkan sekitar 80% dari hasil HPH menguap keluar dari Kalimantan Tengah, sehingga tidak mampu menciptakan efek ganda (multiplier effects) dalam mendorong perekonomian di Kalimantan Tengah. Sungai memiliki peran sangat penting sebagai sarana tranportasi dan pengangkutan hasil-hasil usaha masyarakat. Oleh karena itu lokasi tempat usaha masyarakat tersebut selalu tidak jauh dari sungai dan anak- anak sungai, sehingga menyebabkan pola pemukiman masyarakat yang menyebar di sepanjang sungai. Umumnya masyarakat Dayak berpatokan Fatmawasi Ermitha 505 dengan sungai untuk menentukan arah, ketika mereka berdiri di pinggir sungai dimana ketika mereka akan turun ke batang mereka akan menyebutnya ngiwa, kembali ke atas atau ke daratan mereka akan menyebutnya ngambu sedangkan ke ngaju atau hulu bila searah dengan air pasang sedangkan ke ngawa atau hilir bila searah dengan air surut. Pada fungsi ritual, upacara tiwah untuk mengangkat tulang belulang dari orang yang sudah mati,yaitu sebagai kesempurnaan menuju Lewu Tatau (surga) merupakan pesta yang besar, dimana kegiatan tersebut merupakan proses penanaman nilai-nilai Belum Bahadat yang mendorong timbulnya pali (pantangan) yang tidak boleh dilanggar yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat Dayak pada masa yang akan datang. Berkaitan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam ini, terdapat beberapa kegiatan adat yang harus dilakukan agar usaha-usaha mereka tidak mendapat gangguan dari roh-roh yang mendiami lingkungan alam sekitar tempat mereka berusaha tersebut. Adapun kegiatan adat tersebut adalah mamapas lewu yang biasa dilakukan untuk membersihkan kampung dari gangguan roh jahat sekaligus sebagai ucapan terimakasih atas hasil usaha yang dilakukan selama satu tahun. Oleh karena itu biasanya tawur disampaikan kepada roh penghuni di sungai, di hutan dan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat lokal. Pada masa kini mamapas lewu dipahami sebagai konsep untuk memulihkan hubungan manusia dengan alam, keseimbangan hubungan dengan sesama manusia serta hubungan manusia dengan penciptanya. Dengan dilakukan upacara ini diharapkan kesadaran manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam secara arif bijaksana, termasuk memelihara kerukunan sesama manusia serta mencegah orang tidak serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam sebagai perwujudan iman kepada sang pencipta.

506 Fatmawasi Ermitha Menurut masyarakat ada beberapa kawasan atau tempat yang keberadaannya karena dianggap gaib atau sakral sehingga perlu dilakukan Upacara manyanggar. Pahewan adalah tanah yang dianggap ada penunggunya/roh gaib, tapi boleh digarap/dikelola dengan syarat harus melakukan ritual menurut adat Dayak dengan maksud memindahkan roh gaib tersebut ketempat lain. Manyanggar pada awalnya dipahami oleh masyarakat sebagai upacara adat untuk menghormati roh leluhur pada waktu membuka usaha/ lahan baru dengan pemahaman bahwa dalam kawasan tersebut terdapat gana (roh) jika upacara tersebut tidak dilakukan, dikhatirkan akan mengganggu usaha yang dilakukan pada kawasan tersebut. Dalam konteks dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini pahewan dipahami sebagai konsep kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga orang tidak semena-mena memperlakukan alam semesta ini. Menjaga dan melindungi sumber plasmanuftah serta menjaga kawasan hutan dari bahaya kebakaran. Pahewan, yaitu kawasan hutan lebat dengan pepohonan yang besar, baik dan bersifat monokultur seperti kawasan hutan tabalien (kayu besi) di desa Rakumpit maupun aneka pepohonan yang dianggap keramat oleh masyarakat seperti kawasan Sumbukurung di Kahayan. Kawasan Pahewan ini menurut keyakinan masyarakat Dayak tidak boleh diganggu, karena akan melanggar wilayah pali (pantangan) yang dapat membuat orang tersebut mendapat sakit atau celaka. Pahewan sebagai kawasan konservasi masyarakat terdiri atas, hutan keramat (zona inti), wilayah hutan pali (zona buffer) dan wilayah kelola masyarakat (zona pengembang usaha). Dasar pemikiran ini adalah pada setiap upaya pelestarian hutan, maka kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat yang berada di sekitar hutan harus lebih baik, agar mereka tidak merambah ke kawasan hutan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Selain itu secara adat, kawasan tersebut selalu dikaitkan dengan adanya

Fatmawasi Ermitha 507 roh penunggu, sehingga pada tempat tersebut terdapat pula pasah keramat (rumah kecil) yang biasanya digunakan untuk menaruh sesajen pada waktu mereka berhajat (meminta sesuatu) dan membayar hajat kalau usaha mereka tersebut terkabul. Upacara manyanggar dan mamapas lewu ini merupakan prinsip dasar dalam perwujudan aktivitas manusia yang menganut falsafah Batang Garing, sehingga keseimbangan alam semesta tetap terpelihara bagi kehidupan umat manusia. Dengan memahami makna upacara tersebut di atas akan mendorong munculnya kesadaran dan kepedulian kita terhadap keberlangsungan lingkungan fisik, lingkungan ekonomi dan lingkungan sosial. Kesadaran dan kepedulian ini akan semakin kuat dengan dukungan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam kegiatan sehari- hari dimana diatur sangsi denda adat bagi masyarakat yang melanggar larangan. Berikut contoh pasal denda adat sebagai berikut: Pasal 157. Singer Tajahan Antang Singer Tajahan Antang artinya: tuntunan terhadap orang yang bekerja dan merusak tajahan antang. Asal mulanya disebut tajahan antang adalah pulau kayuan, kayu-kayu besar dan orang jaman dahulu tidak sembarang mencari pulau kayu mereka dengan ongkos dan tabur beras dimana pulau kayu yang harus ditinggal tidak menjadi tempat bersawah ladang. Mereka membuat satu pesta yang dinamakan manajah. Kata-kata manajah ini berarti menabur kepada orang halus yang baik dimana harus menjadi tempat antang-antang (tempat lang-lang orang halus) maka dalam upacara manajah terdapat ketentuan dari orang halus di pulau kayuan itu baik menjadi tempat burung-burung elang yang berguna selesai pestanya pertama, lalu pesta kedua memotong ayam, babi, sapi untuk menetapkan tempat serta dinamakan: tajahan Sudah dapat nama tajahan baru disambung antang atau burung lang. Tempat itu dinamakan: tajahan antang. Maksud tajahan antang 508 Fatmawasi Ermitha memelihara pulau kayuan dengan beberapa kalinya pesta ditempat itu mendirikan rumah keramat, rumah orang halus, dan di tempat bertanya dengan antang atau burung lang. Pulau kayuan itu ada yang menyebutnya pahewan. Pahewan artinya pulau kayuan yang dipelihara orang-orang tua jaman dahulu, tempat bertanya dengan burung lang, tempat pertapaan, maka oleh itu tanah adat tempat pahewan tajahan antang tidak dapat dirusak oleh orang lain. Barang siapa yang berani manabas tempat pulau kayuan pahewan tajahan antang dihukum membayar kerugian. Pasal 158 . Singer Pahewan Keramat Singer pahewan keramat artinya siapa saja orang bekerja menebas di pulau kayuan tanah adat tempat burung lang, tempat orang halus yang dapat menolong orang Dayak Ngaju jaman dahulu dihukum membayar sebesar mengganti kerugian balian dan ongkos-ongkos pesta memotong ayam, babi, besarnya dihitung oleh yang berwenang memelihara tanah adat dan pahewan tajahan antang (kepala kampung atau damang) kalau keramat dirusak dihukum mengganti keramat tanggung ongkos mendirikan keramat. Wilayah kelola masyarakat yang berada pada posisi 5 km dari kiri- kanan sungai yang disebut eka malan manana satiar. Fungsi kawasan kelola tersebut adalah sebagai tempat berladang, tanaman karet, menangkap ikan, berburu dan mencari hasil hutan non kayu seperti gemur, jelutung, gaharu,tanaman obat dan rotan. Pada kawasan kelola ini sering juga di temui situs-situs budaya yang merupakan perlengkapan pasca tiwah (upacara kematian) seperti sandung, pantar yaitu tiang panjang menuju lewu tatau (surga). Dasar pemikiran ini menempatkan wilayah kelola masyarakat bukan hanya sebagai kepentingan ekonomi, tetapi merupakan identitas dari komunitas Dayak. Untuk menjaga kelestarian kawasan terutama dari bahaya kebakaran diatur Denda Adat Kehun Apui. Denda adat kehun apui yaitu denda adat

Fatmawasi Ermitha 509 apabila saat melakukan pembakaran ladang, api tersebut merambat ke lokasi kebun atau ladang milik orang lain (Damang salilah). Pasal 26. Singer manusul tana dia mansanan labih helu Artinya kesalahan waktu membakar ladangnya dengan tidak memberi tahu kepada orang yang berbatasan. Barang siapa membakar ladang yang bertambitan dengan ladang orang lain, api menjalar keladang- ladang yang lain, ladang yang lain tidak terbakar dengan sempurna, dia tidak mau bersepakat lebih dahulu, orang yang bersangkutan di hukum denda sebesar Rp.30,- (Thn 1970) tiap-tiap bantalan yang berbatasan tidak terbakar dengan baik, kecuali kalau ada kebun orang terbakar, maka termasuk dalam perkara membakar ladang. Pasal 27.Singer manusul dia manatas Singer manusul dia manatas artinya: tuntutan dengan orang bersalah, membakar ladangnya tidak ada tatas maka dia berladang dekat sekali dengan kebun orang, harus orang-orang yang berladang dekat dengan kebun orang yang lebih dahulu dari ladangnya, seharusnya dahulu dari membakar ladang : Ke-1. Membuat tatas atas tanah sekurang-kurangnya lebar 2 depa supaya api tidak menjalar keseberang tatas. Ke-2. Harus satu minggu terlebih dahulu si peladang memberitahu kepada orang yang punya kebun, agar bersama-sama menjaga api. Siapa saja membakar ladangnya yang berbatasan dengan ladang orang lain dengan tidak memberi tahu lebih dahulu, maka orang bersalah itu pertama membayar kepada adat desa dengan singer sebesar Rp 90,- (Tahun 1970) dan kedua membanyar menurut keputusan adat menurut kerusakan sebelah menyebelah, dia harus membayar. Pasal 29.Singer Tusul Dirik Tana Artinya : tuntutan kepada orang bersalah membakar tebasan ladang yang belum ditebang. Siapa saja bersalah membakar tebasan dalam ladang yang belum di tebang kayu-kayunya, dihukum oleh adat, oleh kesalahannya 510 Fatmawasi Ermitha sengaja atau tidak sengaja, membanyar Rp 20,- (Tahun 1970) kepada orang yang punya ladang. Demikian juga dengan acara pakanan batu, merupakan ucapan terima kasih kepada peralatan pertanian yang dipakai dengan pemahaman bahwa di dalam peralatan tersebut terdapat gana (roh) sehingga pada kegiatan berikutnya peralatan tersebut akan memberikan hasil yang baik kepada pemiliknya. Sedangkan manajah antang merupakan sarana untuk meminta petunjuk kepada roh leluhur tempat-tempat usaha baru yang lebih baik, misalnya lokasi mencari ikan atau perladangan. Fungsi ritual yang menempatkan roh sebagai penghuni alam sekitarnya, dipahami pula oleh masyarakat sebagai pahewan yang biasanya banyak terdapat pada hutan yang lebat dan biasanya mereka sebut sebagai kawasan pahewan. Hutan pahewan tersebut dipahami oleh masyarakat sebagai hutan konservasi adat yang berpungsi sebagai penyangga kerusakan lingkungan dan kepunahan aneka sumber hayati. Untuk memanfaatkan hasil non hutan seperti madu melalui pola Upun Tanggiran. Upun Tanggiran adalah kawasan usaha masyarakat yang memanfaatkan pohon tanggiran sebagai tempat bersarangnya lebah madu. Dalam pemeliharaan madu tersebut kawasan tempat lebah menghasilkan madu menjadi bagian penting yang harus terpelihara untuk menghasilkan madu. Satu pohon dapat menghasilkan kurang lebih satu drum madu. Kawasan Tanggiran ini merupakan kawasan usaha masyarakat, sekaligus upaya melestarikan kawasan hutan. Dengan memadukan konsep kesejahteraan dan upaya pelestarian lingkungan maka pencegahan kebakaran oleh masyarakat sangat menjadi penting untuk mempertahankan kawasan lebah madu tersebut. Untuk konsep mencari ikan masyarakat adat melalui pola Saka. Saka merupakan kanal yang dibuat masyarakat untuk sarana transportasi pengangkutan hasil, tata air untuk mengurangi tingkat keasaman dan

Fatmawasi Ermitha 511 mencegah lahan gambut tidak kekeringan. Di samping itu ada yang disebut beje juga berfungsi sebagai penghasil ikan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan konsep keberlangsungan lingkungan yang memadukan kelestarian alam, keberlangsungan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, maka pengelolaan saka ataupun beje juga merupakan upaya untuk mencegah kebakaran hutan dengan pola saka ataupun beje yang memelihara tata air di wilayah lahan gambut. Beberapa sistem perladangan yang masih dilakukan masyarakat berdasarkan kearifan lokal seperti : 1. Perladangan berpindah Pembuatan ladang oleh petani ladang menjelang pembakaran terlebih dahulu membersihkan tepi yang berbatasan dengan semak belukar liar dan hutan. Maksudnya apabila pembakaran nanti api tidak dapat merambat untuk membakar semak belukar dan hutan di luar batas ladang. Musim pembakaran harus sesuai sebelum musim hujan tiba. Petani ladang menyadari bahwa dalam pembakaran hasil tebasan dan tebangan merupakan kegiatan yang paling berbahaya dari seluruh kegiatan bertani ladang. Oleh karenanya sebelum dibakar, di sekeliling area yang berbatasan dengan hutan/semak belukar, kampong dibuat rintisan (dibersihkan ) sesuai dengan kebutuhan agar api tidak menjalar/merambat keluar areal perladangan. Merintis ini menurut istilah masyarakat disebut manatas, lebar jalur manatas ini tergantung pada tebal/tipisnya belukar yang ditebas. Makin lebar jalur manatas makin lebar pula jalur penyanggah, namun tidak lebih dari 3-4 meter. Musim pembakaran ladang biasanya di antara bulan Agustus sampai dengan Oktober dan itupun tergantung pada kondisi alamnya. Namun pada musim kemarau panjang dilaksanakan sore hari jam 15.00 WIB. Biasanya setelah pembakaran para peladang tidak langsung menanam padi atau tanaman lainnya. Setiap peladang selalu mengharapkan agar pembakaran terjadi merata di seluruh ladang, sehingga ladang betul-betul bersih, makin merata tentu akan makin banyak

512 Fatmawasi Ermitha menghasilkan abu dari kayu-kayu yang terbakar, sehingga zat makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak mungkin kedalam tanah. 2. Perladangan menetap Model perladangan menetap yang dimaksud adalah pengembangan dari model berpindah, namun semakin pendeknya rotasi perladangan dan meningkatnya jumlah penduduk harus ada upaya efisiensi dalam pemanfaatan lahan. Kegiatan yang dilakukan adalah perladangan yang berpindah dalam areal seluas 5 hektar. Pada setiap petak dengan luasan 1 Ha setelah dua kali tanam kepetak berikutnya, dan petak yang di tinggalkan ditanami kebun karet. Setelah selesai petak yang kelima petani kembali ke petak yang pertama dengan mengelola usaha perkebunan karet. Model perladangan menetap ini sudah pernah di praktikan di Kabupaten Barito Utara. 3.Perladangan pada wilayah handel ; Handel adalah sebuah sungai (parit)untuk sistem pengairan tradisional pada daerah pasang surut pada kawasan rawa gambut yang di gunakan untuk pengelolaan pertanian dan perkebunan yang dilakukan kebanyakan masyarakat Kalimantan Tengah pada daerah hilir. Handel merupakan konsep pengelolaan kawasan yang unik dimana pada awalnya adalah sebuah sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang dan lurus untuk mengatur arus sungai. Pada sisi kiri dan kanan handel dijadikan masyarakat tempat untuk dijadikan lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah. Handel juga digunakan masyarakat sebagai sarana atau jalur menuju kebun/ladang dan sebagai jalur transportasi. Perladangan di wilayah handel lebih memanfaatkan dan mengandalkan pasang surut air sungai. Pasang surut ini digunakan warga untuk menjaga dan mempertahankan kualitas air gambut yang banyak mengandung asam dan membuang racun (pirit). Sistem tabat adalah salah satu model yang biasa digunakan oleh pengelola handel. Handel dipimpin oleh seorang kepala handel. Peran penting dari kepala handel adalah mengkoordinir setiap kegiatan

Fatmawasi Ermitha 513 pengaturan, pemeliharaan sungai dan handel. Selain itu juga adalah mengatur pembagian lahan dikiri dan kanan handel. Oleh karena itu Kepala Handel sangat berperan dalam pembagian lahan untuk masyarakat di kampung. Kepala Handel dipilih oleh anggota handel dengan sistem musyawarah bersama anggotan handel. Untuk membantu pengelolaan lahan, kepala handel dibantu oleh seorang kepala padang dan seorang penggerak. Kepala padang adalah orang yang mengkoordinir kegiatan berladang pada musim tanam padi. Dan penggerak adalah seorang yang biasanya mengumpulkan warga untuk berkumpul apabila diadakan musyawarah atau kegiatan, misalnya gotong royong atau handep. Lama kepemimpinan kepala handel tidak terbatas selama kepala handel tersebut masih mampu dan akan dipilih lagi bersama anggota handel dengan asas mufakat dan kekeluargaan. 4. Budidaya Kebun Rotan Bagi masyarakat lokal, rotan bukan hasil ikutan dari tanaman hutan dalam klasifikasi Departemen Kehutanan, melainkan sudah merupakan tanaman budidaya. Mereka pernah mengalami masa penghasilan rotan yang besar sebelum adanya pelarangan ekspor rotan pada tahun 1990. Pada kondisi tersebut belum ada terpikirkan oleh masyarakat untuk terlibat dalam perambahan hutan untuk mengambil kayu, karena hasil rotan dan hasil-hasil non kayu lainnya serta karet masih memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada era reformasi dewasa ini, kreatifitas dan inisiatif sudah mulai dikembangkan untuk mengolah rotan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga budidaya rotan dapat dilakukan sekaligus manfaat bagi pelestarian hutan dan pencegahan kebakaran hutan. III. SIMPULAN Dari paparan yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa falsafah hidup masyarakat Dayak yang bersumber dari simbol

514 Fatmawasi Ermitha batang garing yang diwujudkan dalam upacara adat manyanggar dan mamapas lewu merupakan kearifan lokal yang berdasarkan prinsip memelihara keseimbangan hubungan antar manusia, hubungan dengan alam semesta dan hubungan dengan sang pencipta. Penduduk lokal yang umumnya berada di daerah aliran sungai dengan kawasan kelola yang dianggap terdapat gana (roh) melakukan ritual adat tertentu sebagai wujud menghormati roh leluhur mereka. Kawasan kelola dimanfaatkan untuk berladang, berburu, mencari hasil hutan non kayu dan menangkap ikan juga terdapat pula situs-situs budaya yang merupakan identitas orang Dayak seperti sandung, pantar ataupun tanah rutas yang perlu dijaga dan dipelihara dari kerusakan maupun bahaya kebakaran. Wujud kearifan lokal yang dipraktikan dalam kehidupan sehari- hari, bila dibandingkan kondisi sekarang masih relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan fisik, ekonomi dan sosial budaya. Penguatan nilai-nilai dari kearifan lokal masyarakat Dayak dalam rangka memelihara keseimbangan alam dari kerusakan baik oleh faktor manusia maupun faktor alam seperti kebakaran hutan perlu lebih dikembangkan dan lebih dimodernkan sesuai dengan perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran. Jakarta Anonim. 2012. Modul Pendidikan dan Pelatihan Penanganan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta.

Fatmawasi Ermitha 515 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan .2007. Prosedur Tetap Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Hutabarat, A.A. dkk. 2002. Modul Pelatihan Pencegahan Kebakaran hutan Bagi Polhut. Bogor: Departemen Kehutanan.

516 Fatmawasi Ermitha BUDAYA BETANG MASYARAKAT DAYAK KALIMANTAN TENGAH Yuni Betharia

ABSTRAK Betang sebagai hunian dalam bahasa Dayak Huma Hai yang berarti rumah besar. Dalam Betang seluruh atau sebagian warga bertumbuh kembang dalam kebudayaan, adat istiadat, dan hukum adat masyarakat Dayak. Warga betang dipimpin Kepala Betang dibantu perangkat organisasi di lingkungan betang. Berbagai hal menyangkut kepentingan bersama dibahas melalui musyawarah untuk mufakat. Seiring perkembangan zaman, Betang sebagai tempat hunian bersama tidak dipertahankan dan semakin ditinggalkan meskipun disadari bahwa kearifan dan kebijakan yang diterapkan oleh Kepala Betang masa lampau memiliki nilai budaya yang luhur dan tinggi.Nenek moyang kita telah mewariskan suatu pandangan hidup yang mampu bertahan sepanjang masa. Banyak tokoh masyarakat dan budayawan daerah berpandangan adalah menjadi kewajiban bersama untuk mengangkat, nilai-nilai luhur masyarakat Betang menjadi suatu falsafah hidup disebut falsafah Budaya Betang yang dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS. Kata kunci: Betang, budaya betang, dan pendidikan IPS.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Yuni Betharia 517 I. PENDAHULUAN Kota Palangkaraya adalah suatu daerah otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Sebelum Kalimantan Tengah sebagai provinsi sendiri, terpisah dari Provinsi Kalimantan Selatan sampai periode A.W.Gara sebagai Gubernur (1978-1983) suku Dayak diperkirakan etnik mayoritas di Provinsi Kalimantan Tengah. Perubahan komposisi demografis menonjol sejak Gatot Amrin (1984-1989) menjadi Gubernur. Pada masa Teras-Diran menjadi Gubernur “Membuka Isolasi Menuju Kalimantan Tengah Yang Sejahtera Dan Bermartabat” laju kedatangan pendatang ke Kalimantan Tengah mengalir lebih deras lagi (Budaya Dayak, 2011 : 247). Melihat perkembangan komposisi etnik, Purwo Santoso menulis : “Keterbukaan biasa diperlakukan sebagai prasyarat atau peluang untuk berkembang, namun perlu juga dibaca secara hati-hati sebagai ekpose terhadap resiko. Sebagai contoh, terbukanya suatu daerah memungkinkan para pendatang yang memiliki kualifikasi lebih, masuk ke daerah yang bersangkutan. Mereka hadir dalam jumlah besar dan membawa serta tata krama dan adat istiadatnya, dan hidup secara ekslusif di daerah baru. Kerawananan sosial dalam kondisi ini mudah mengedepankan. Kealpaan mengantisipasi resiko yang hadir sebagai konsekuensi keterbukaan dari isolasi bisa berakibat fatal” (Santoso, 2009 : 2 ). Adanya kerawanan sosial adanya masyarakat “dikalahkan” dan teredukasi sekedar sebagai penduduk menujukkan bahwa perubahan komposisi etnis demografi membawa serta bom waktu yang jika meletus akan membakar Kalimantan Tengah dalam nyala konflik besar tak terhitungkan apabila tidak diprediksi sejak dini. Tidak terelakan bahwa cepat atau lambat orang Dayak akan “menggali lagi apa yang sudah mereka kubur di Tumbang Anoi tahun 1894” (Perjanjian Damai Tumbang Anoi ).

518 Yuni Betharia Tahun 2001 merupakan tahun kelabu dan lembaran hitam dalam sejarah provinsi Kalimantan Tengah dengan terjadinya konflik fisik antar etnis Madura dan etnis Dayak yang didukung oleh etnis–etnis lainnya. Konflik berdarah meledak di Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur pada tanggal 18 Februari 2001. Dalam waktu yang sangat singkat konflik merambah kesemua daerah kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Untuk mencegah konflik, hendaknya memulai sikap melalui pengenalan budaya di Kalimantan Tengah. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang mempunyai akar budaya sendiri, mempunyai adat istiadat yang dihormati dan menjadi pedoman sikap dan perilaku dalam pergaulan sehari-hari. Budaya di Kalimantan Tengah mengandung nilai luhur, adat istiadat yang dihormati, rasa persatuan dan kesatuan, toleransi, kerukunan serta menjadi pedoman bagi warga masyarakat pendatang baru agar mampu melakukan penyesuaian diri khususnya yang terkait dengan bentuk-bentuk perilaku sesuai dengan adat-istiadat masyarakat Dayak.

II. PEMBAHASAN Provinsi Kalimantan Tengah memiliki beberapa suku diantaranya Manyan, Ot Danum dan Ngaju. Suku Dayak Ngaju mendiami daerah sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan, suku Dayak Ot Danum mendiami daerah sepanjang hulu-hulu sungai besar seperti sungai Kahayan, Rungan, Barito dan Kapuas, hulu Sungai Mahakam, sekitar Long Pahangei di pedalaman. Suku Dayak Ngaju adalah mereka yang berdiam di sebelah hilir, dan suku Dayak Ot Danum berdiam di sebelah hulu. Batas kediaman suku Dayak Ngaju di Hulu Kahayan, hanya sampai desa Tumbang Miri saja. Kediaman suku Ot Danum di hulu Kahayan, di daerah utara Tumbang Miri, dan di hulu Sungai Katingan, yaitu Sungai Samba, hulu Sungai Kapuas, dan sebagian hulu Sungai Seruyan , disungai Kale, desa Tumbang Sabetung (Riwut, 2003: 59). Yuni Betharia 519 Bahasa suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah bahasa Ngaju sebagai bahasa komunikasi antar warga dari berbagai anak suku, disamping menggunakan bahasa ibu masing-masing sebagai bahasa sehari-hari di wilayahnya. Sebaliknya mereka yang lahir dan dibesarkan dilingkungan suku-Induk Dayak Ngaju tidak mampu berbicara menggunakan bahasa-bahasa lokal anak-anak tersebut. Dengan demikian bahasa Dayak Ngaju berfungsi menjadi bahasa pengantar atau Lingua Franca pada sebagian besar warga suku-suku kecil. Sebagian kecil lainnya, meskipun belum dapat berkomunikasi lisan, paling tidak mereka memahami apa yang diucapkan dalam bahasa Dayak Ngaju tersebut. Hal unik dan perlu pengkajian lebih lanjut sejumlah kata-kata dalam bahasa Dayak Ngaju banyak persamaannya dengan bahasa Tagalog di Philipina, misalnya kuman artinya makan serta nama-nama sejumlah binatang seperti langau (lalat), manuk (ayam), bawui (babi), pusa/pus (kucing). Menurut Koentjaraningrat (1979) Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya. Kebudayaan sedikitnya mempunyai 3 (tiga) wujud : a). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide- ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, b). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. c). Wujud kebudayaan sebagai benda- benda hasil karya manusia. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau dilihat, berada dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup. Lebih lanjut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa untuk memahami suatu kebudayaan harus dilihat dari unsur-unsurnya yang terdiri atas 7 (tujuh) sistem :a). Sistem Religi, dan Upacara Keagamaan, b). Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan. c). Sistem ilmu pengetahuan, d). Bahasa. e). Kesenian, f). Sistem mata pencaharian Hidup, g). Sistem teknologi dan peralatan.

520 Yuni Betharia Pada masa dulu, mengenai penduduk dan kebudayaan masyarakat Dayak, kepada masyarakat bangsa Indonesia diJawa, Bali, Sumatera atau Sulawesi diinformasikan bahwa hal-hal jelek tentang orang Dayak misalnya orang Dayak adalah suku primitif, berambut keriting, kulit hitam, pemotong kepala, bahkan memakan manusia (kanibal). Memperhatikan ketujuh sistem yang merupakan unsur-unsur suatu kebudayaan sebagaimana disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa suku Dayak telah mempunyai kebudayaan sendiri. Unsur-unsur tersebut telah dibawa oleh nenek moyang orang Dayak dari negeri asal mereka di lembah pegunungan Yunan sebelah selatan. Meskipun demikian, setelah mereka sampai dan bermukim ditempat yang baru (Kalimantan Tengah) sedikitnya ada 2 (dua) unsur yang tidak/kurang berkembang yaitu: 1). Sistem ilmu pengetahuan dan 2). Sistem teknologi dan peralatan. Lebih dari 1500 tahun lalu nenek moyang masyarakat Dayak yang datang ke pulau Kalimantan merupakan masyarakat yang memiliki budaya yang tinggi dan membangun rumah panjang Betang. Betang sebagai hunian dalam bahasa Dayak Huma Hai yang berarti rumah besar. Dalam betang seluruh atau sebagian warga bertumbuh kembang dalam kebudayaan, adat istiadat, dan hukum adat masyarakat Dayak. Warga Betang dipimpin Kepala Betang dibantu perangkat organisasi di lingkungan Betang. Berbagai hal menyangkut kepentingan bersama dibahas melalui musyawarah untuk mufakat. Seiring perkembangan zaman, betang sebagai tempat hunian bersama tidak dipertahankan dan semakin ditinggalkan meskipun disadari bahwa kearifan dan kebijakan yang diterapkan oleh kepala Betang masa lampau memiliki nilai budaya yang luhur dan tinggi. Nenek moyang kita telah mewariskan suatu pandangan hidup yang mampu bertahan sepanjang masa. Banyak tokoh masyarakat dan budayawan daerah berpandangan adalah menjadi kewajiban bersama untuk mengangkat, nilai-nilai luhur masyarakat Betang menjadi suatu falsafah hidup disebut falsafah Budaya Betang (Buku Adat Istiadat Dayak Ngaju, 2003:2).

Yuni Betharia 521 Falsafah merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup. Jadi, falsafah Huma Betang adalah merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat Dayak sebagai pegangan hidup didalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat. Sesuai dengan visi Kalimantan Tengah “ Terwujudnya Palangkaraya yang tertata, tertib dan berwawasan lingkungan, dalam suasana kehidupan masyarakat yang aman, sejahtera dan dinamis sesuai dengan Budaya Betang” (Buku selayang pandang Kota Palangka Raya 2006:7). Bila melihat sejarah Huma Betang ada banyak hal yang menjadi aspek kenapa Huma Betang itu ada, pada masyarakat Kalimantan Tengah Huma Betang bukan hanya sekedar tempat tinggal namun mempunyai maksud dan tujuan mengapa Huma Betang tersebut ada. Dimasa yang telah lalu, merupakan tradisi bagi suku Dayak apabila membangun rumah dilaksanakan bersama-sama secara bergotong royong oleh seluruh keluarga. Huma Betang dapat dikatakan sebagai ciri khas rumah adat bagi masyarakat Kalimantan Tengah. Hal inilah yang nantinya akan melandasi adanya Huma Betang bila dilihat dari kontek saat itu maka tidaklah heran bahwa Huma Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi masyarakat Kalimantan Tengah. Mengenai model bangunan perlu disampaikan bahwa Huma Betang menyerupai rumah panggung yang apabila dilihat dari model dan kontruksi bangunan tersebut tinggi dan memanjang, secara tidak langsung hal tersebut merujuk kepada maksud dan tujuan. Pada dasarnya ada banyak aspek yang mendasari Huma Betang tersebut khususnya pada masyarakat Dayak Ngaju. Aspek-aspek yang dimaksudkan adalah gejala alam, hal keamanan dari serangan musuh.

522 Yuni Betharia Huma Betang adalah tempat bernaungnya puluhan bahkan ratusan kepala keluarga yang hidup dalam satu wadah. Huma Betang itu sendiri yang dibagi hanya dengan pembatas yang dapat juga dikatakan dengan sekat sebagai pembatas antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Namun walaupun demikian halnya dalam Huma Betang tersebut setiap kehidupan yang terjalin dari para penghuni-penghuni Huma Betang tersebut aman, damai dan tentram sekalipun dalam perbedaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Inilah yang sekiranya tentang Huma Betang apabila ditinjau sekilas, namun yang unik tidak hanya sekadar mengetahui apa itu Huma Betang akan tetapi bila diperdalam maka akan banyak ditemukan hal-hal yang berkaitan erat dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Huma Betang tersebut. H.KMA.M. Usop, budayawan yang banyak melakukan kajian serta mendalami kebudayaan masyarakat Dayak khususnya Dayak Nagaju, mengenai Budaya Betang membuat Kesimpulan: 1. Budaya Betang (Budaya Rumah Panjang ) adalah sistem nilai-nilai/ norma kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan dalam masyarakat terbuka (civil society) yang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan sub-kultur dari Pancasila. Tradisi atau adat yang berkembang selama satu abad ini sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894 mengandung : 1. Nilai- nilai damai (menentang cara-cara kekerasan), menekankan nilai / cara-cara hapakat/basara (musyawarah) mufakat dalam menyelesaikan masalah. 2). Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (kebebasan beragama). 3). Menjunjung Tinggi nilai-nilai kemanusiaan 4). Kebangsaan dan 5). Nilai-nilai kesejahteraan bersama yang berkeadilan. 2. Mengingat secara historis semua suku Dayak di pulau Kalimantan memiliki tradisi hidup dalam rumah panjang dengan kesetiakawanan/solidaritas yang tinggi, mengetahui dan menghayati Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, dan kepercayaan kepada TYME serta dengan berbagai variasi dinamis (kepercayaan segala sesuatu memiliki tenaga dan kekuatan yang dapat Yuni Betharia 523 mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup), budaya Betang tidak hanya mampu menjadi bingkai budaya pemersatu suku-suku Dayak di Kalimantan Tengah saja, bahkan juga suku-suku Dayak di seluruh pulau Kalimantan apapun agama yang mereka peluk. Paham dinamisme ini tidak hanya dapat menginteraksi dan mengintegrasi diri dengan sistem nilai yang lain dan dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern, bahkan juga dengan agama-agama yang ada. Masyarakat Dayak dewasa ini memeluk berbagai agama, tetapi tetap hidup berdampingan secara damai dibawah naungan rumah panjang. 3. Kerukunan dan kesetaraan dalam perbedaan dan kemajemukan dalam suatu masyarakat terbuka, masyarakat madani, masyarakat Bhineka Tunggal Ika sangat sesuai dengan ciri-ciri masyarakat Dayak. Polarisasi yang tajam dan dominasi satu atas lainnya tidak akan menjamin kedamaian di bumi Kalimantan. Pengertian dari Belum Bahadat adalah dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Kalimantan Tengah khususnya Dayak Ngaju, adat istiadat mengajarkan bahwa setiap orang harus belum bahadat artinya hidup beradat. Ketentuan belum bahadat berlaku bagi setiap insan, yang diajarkan mulai dari masa anak-anak, masa remaja, masa akil balig/pemuda. Belum bahadat juga dituntut kepada orang dewasa atau terhadap mereka yang kaya atau miskin maupun yang berpangkat atau warga masyarakat biasa. Pada tahun 1968-1978 mulailah berdatangan suku-suku Madura dan Jawa ke Kalimantan melalui transmigrasi. Amu Lanu A. Lingu, M.Si. sebagai ilmuwan Dayak untuk menyunting dolumen MAD-KT membuat buku Majelis Adat Dayak Kalteng Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan Tengah. Peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001 lalu adalah masa kelam provinsi ini. Kerusuhan terjadi antara masyarakat suku Dayak dan masyarakat suku pendatang, yaitu suku Madura. Perselisihan yang ada sempat membuat provinsi ini tidak aman, perkelahian dimana-mana, termasuk peristiwa pembantaian.

524 Yuni Betharia Untuk menyelesaikan masalah tersebut dilakukan Musyawarah Rakyat Kabupaten/Kota, bulan April-Mei 2001 dan Musyawarah Rakyat kota Palangka Raya, 24-27 April 2001, Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) dengan kesimpulan: Penyebab utama konflik etnik tersebut akibat adanya benturan budaya yang sudah akut. Masyarakat pendatang menerapkan sikap dan perilaku “kekerasan” berlatar belakang “budaya Carok”. Hal tersebut tidak cocok dengan budaya, adat istiadat, adat kebiasaan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Dalam Musyawarah Rakyat dan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah kembali diangkat kembali motto lama: “ Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung ” “ Falsafah Huma Betang” (Adat Istiadat dayak Ngaju, 2003 : 4). Motto Di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung mempunyai makna bahwa setiap warga pendatang baru, wajib menghormati budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Falsafah Budaya Betang dimaksudkan sebagai pedoman yang mengatur pergaulan hidup antar sesama warga masyarakat yang bersifat rukun dan damai, toleransi tinggi sesama warga atau kelompok masyarakat. Falsafah Betang melandasi visi Provinsi Kalimantan Tengah: Terwujudnya Kota Palangkaraya yang tertata, tertib dan berwawasan lingkungan, dalam suasana kehidupan masyarakat yang aman, sejahtera dan dinamis sesuai dengan Budaya Betang.

III. SIMPULAN Untuk mencegah berbagai konflik dimulai dengan pengenalan budaya Kalimantan Tengah, mempraktikkan, dijadikan sikap dan dijunjung tinggi. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah mempunyai akar budaya, adat istiadat yang dihormati, menjadi pedoman sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Yuni Betharia 525 Huma Betang merupakan rumah adat masyarakat Kalimantan Tengah yang menyimpan nilai-nilai kehidupan masyarakatnya. Filosofi nilai- nilai Huma Betang dapat diimplementasikan dan dikelola dengan baik untuk melawan pengaruh negatif arus globalisasi dan modernisasi sebagai aplikasi kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity). Artinya semangat persatuan, etos kerja dan toleran tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan dalam kebersamaan. Filosofi Huma Betang diwarisi dan dapat dikembangkan untuk Huma Betang yang lebih besar bernama Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Amu Lanu A. 2001. Lingu: Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan Tengah. Edisi ke 2. Palangkaraya: MAD-KT. H.M, Abubakar, dkk. Falsafah Hidup Budaya Huma Betang Dalam Membangun Hidup Umat Beragama Di Kota Palangkaraya, Kalimatan Tengah. LSM Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah. 2003. Adat Istiadat Dayak Ngaju. Palangkaraya. Riwut, Nila. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Palangkaraya: Pustaka Lima. Sulang, Kusmi, dkk. 2011. Budaya Dayak (Tradisi di Kampung Halaman Memandang Tanah Air Merangkul Dunia). Santoso, Purwo. 2009. Kalimantan Tengah Membangun Dari Pedalaman. Tim Peneliti dan Pengevaluasi kerja Empat Tahun Teras Diran dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

526 Yuni Betharia TRADISI BUDAYA PERKAWINAN ADAT BANJAR DI DESA KARANGAN PUTIH KECAMATAN KELUA Laily Mahrita

ABSTRAK Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri karena perlu berinteraksi dengan orang lain. Perkawinan merupakan “lembaga” yang berkembang di masyarakat Banjar bersamaan dengan keberadaannya. Sebagai “lembaga” kemasyarakatan perkawinan tidak hanya sebagai peristiwa budaya atau tradisi, sebab dari perkawinan dibentuk keluarga yang selanjutnya berfungsi membentuk karakter generasi. Dari perkawinan karakter yang dapat dikembangkan untuk generasi muda yaitu karakter religius, toleransi, tanggung jawab, kreatif. Kearifan lokal pada lembaga kemasyarakatan dapat dijadikan contoh dalam bekerjasama, gotong royong, kerukunannya, dan sebagainya bagi generasi muda dan turut melestarikannya yang ditanamkan melalui pembelajaran IPS. Kata kunci: Kearifan lokal, epistimologis, peneliti.

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 30 Mei 2015. * Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Laily Mahrita 527 I. PENDAHULUAN Di dalam kehidupan, hal yang tidak pernah dilupakan dan menarik adalah acara perkawinan. Perkawinan adalah upacara kehidupan dan telah “melembaga” dalam tata cara tertentu bagi masyarakat yang khas dan unik. Perkawinan terjalin berlandaskan ketentuan-ketentuan agama dan menurut adat istiadat sesuai yang dipatuhi masyarakat. Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Manusia berkehidupan bersama manusia lainnya dalam kelompok-kelompok sosial. Kelompok- kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan sebagai lembaga kemasyarakatan yang juga tidak mungkin lepas dari lembaga masyarakat lainnya semisal lembaga perkawinan dan lain sebagainya. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga kesadaran untuk saling tolong menolong. Kerjasama ialah suatu bentuk interaksi sosial dimana orang-orang atau kelompok-kelompok bekerja sama atau saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi sosial dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai diaplikasikan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran, maka proses interaksi sosial tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di satu sisi, hak diperoleh dengan melaksanakan kepentingan individu sementara kewajiban dengan melaksanakan kepentingan masyarakat juga harus dilakukan. Lembaga kemasyarakatan dalam hal ini acara perkawinan merupakan kearifan lokal yang bisa dijadikan contoh kerjasama, gotong royong, kerukunannya, dan sebagainya. Masyarakat desa Karangan Putih multisuku, tetapi mayoritas sukunya suku Banjar, atau disebut juga orang hulu sungai di Kecamatan Kelua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Masyarakat Karangan Putih mempunyai tata cara keadatan tentang perkawinan yang sesuai kebiasaan adat setempat dalam perkawinan sekalipun berasal dari kabupaten Banjar, Rantau, Kandangan, Barabai, Tanjung, Amuntai/ Hulu Sungai.

528 Laily Mahrita II. PEMBAHASAN Lembaga perkawinan mengandung pesan-pesan dan contoh- contoh yang baik untuk kita amalkan dan lestarikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Upacara perkawinan menurut adat suku Banjar di desa Karangan Putih kecamatan Kelua mempunyai tata urut. 1. Basasuluh. Seseorang pria bila sudah cukup usia dan ada keinginan untuk berkeluarga, maka orang tua dan keluarga dekat mencarikan jodoh yang baik. Dulu pada umumnya didasarkan pilihan keluarga dan yang bersangkutan sendiri. Basasuluh dari kata suluh yaitu mencari keterangan- keterangan tentang calon istri yang diinginkan. Informasi yang dicari mengenai: 1. Agama: dilihat dari keluarga yang ta’at menjalankan ibadah 2. Akhlaq: keturunan dari keluarga yang baik budi pekertinya, penyabar, bertanggung jawab, dan lain-lain. 3. Harta: kekayaannya, apakah dari keluarga kaya atau biasa. 4. Kecantikannya. Dari keempat hal tersebut yang menjadi pilihan utama adalah agama dan akhlaqnya sedangkan dari keluarga calon istri, selain agama dan akhlaq, pekerjaan calon suami merupakan informasi penting untuk diketahui. 2. Badatang Badatang berarti “bertemu” secara resmi dari pihak pria yang sebelumnya sudah diberitahukan kepada pihak perempuan. Kedatangan disambut sehingga kedua keluarga bertemu sebagai “wakil pembicaranya” (orang yang sudah biasa membawakan lamaran). Intinya umpat batakun (bertanya) apakah si gadis sudah ada yang punya? Bila dijawab ”belum” maka pihak pria mengutarakan maksudnya untuk melamar. Dalam badatang adakalanya diisi dengan baturai pantun (berbalas pantun) antara pihak

Laily Mahrita 529 keduabelah pihak yang dilanjutkan dengan tanya jawab timbal balik untuk memperoleh gambaran tentang calon kedua belah pihak. Setelah lamaran diterima, biasanya diikuti dengan menanyakan tentang jujuran (mas kawin). Pertemuan biasanya diakhiri dengan kesepakatan untuk pertemuan berikutnya bila ada hal yang perlu disepakati. Pembicaraan lainnya, misal tentang hari pelaksanaan pernikahan dan pesta perkawinan. Setelah tercapai kesepakatan mengenai jujuran dengan tenggang waktu akan dilakukan maantar jujuran. Di zaman sekarang sebelum pernikahan dikenal maantar patalian atau bisa bersamaan dengan acara pernikahan dikemas sedemikian rupa atau nikah dikantor KUA. Maantar patalian suatu upacara kecil untuk menyampaikan tanda bukti ikatan dari calon suami dengan menyerahkan minimal barang salambar (satu): pakaian selengkapnya, alat-alat make up, dan lain-lain. Acara diisi babalas pantun antara kedua keluarga. Adat orang Banjar tidak mengenal bertunangan atau bapacaran. Istilah balarangan adalah rencana orang tua masing-masing menjodohkan kelak akhirnya diperkawinan. Balarangan artinya terlarang dilamar orang lain kerena sudah ada yang melamar. Seorang gadis yang akan kawin, tidak diperkenankan ke luar rumah untuk membersihkan diri, balulur, bakasai, untuk mempercantik diri dan diberi beberapa nasehat. 3. Nikah Nikah adalah upacara keagamaan (Islam). Untuk melangsungkan acara akad nikah dengan mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu dan saksi-saksi. Sekalian maantar jujuran. Calon suami yang sudah sah menjadi suami itu kembali ke rumahnya bersama rombongan pengantar. 4. Batimung Sebelum bersanding dilaksanakan batimung beberapa kali. Caranya sambil duduk di kursi yang di bawahnya diletakan kuantan tanah atau panci yang berisi air panas dengan jajarangan ramuan yang wangi, misal daun lengkuas, daun dilam, pandan, serai wangi, limau purut, bunga- 530 Laily Mahrita bungaan,urung katupat (rarampahan),dan lain-lain ditutupi dengan gulungan tikar purun,kecuali kepala dan dibungkus lagi dengan kain tebal selama beberapa puluh menit. Batimung akan menguras keringat, menyehatkan dan mengharumkan badan penganten (wanita/pria). 5. Mandi-Mandi Menjelang bersanding esok paginya, siangnya mandi-mandi kedua penganten dirumah mempelai wanita.Dengan air yang ditaburi macam- macam bunga.mayang pinang.Acara mandi-mandi dimulai dengan wanita yang tua-tua dipimpin oleh seorang pamandian penganten(bidan kampong).Ketika selesai mandi-mandi ,penganten wanita wajahnya “balarap” atau bacukur. Pada sa’at itu juga dilaksanakan “batapung tawar” maksudnya berakhirnya masa perawan bagi seorang wanita dan disediakan “piduduk” seperangkat keperluan pokok bahan makanan dalam wadah sasanggan, terdiri dari segantang beras (melambangkan rezeki), sebiji nyiur/kelapa (lambang lemak/kehidupan), gula merah (lambang manis/kehidupan), seekor ayam kampung betina (lambang cangkal bacari/berusaha), telur ayam 3 biji (lambing sum-sum), lading (makna semangat yang keras). lilin (lambang penerangan),uang perak (persediaan dalam hidup), jarum dan benang (lambang ikatan suami istri), sirih sesuap (lambang kesatuan), rokok daun (lambang kelaki-lakian), rerempah dapur (lambang keterampilan kerja di dapur). Kemudian diikuti acara selamatan kecil setelah selesai acara tersebut. Dihadiri keluarga wanita dan tetangga dengan suguhan air teh dan kopi dengan kue-kue lakatan bainti, bubur habang, bubur putih, cucur, apam habang, apam putih, cincin, dan lain-lain. Wadai/kue khas Banjar yang jumlah macamnya ganjil sampai 41 macam tergantung tradisi orang biasa, keturunan bangsawan dan hartawan orang Banjar. 6. Batamat Qur’an Penganten pria maupun pengantin wanita pada waktu sore atau malam di rumah mempelai masing-masing batamat qur’an/khotam Al Qur’an, Laily Mahrita 531 ditutup dengan do’a khatam Qur’an. Yang membaca do’a biasanya guru mengajinya. Yang diundang semua keluarga, tetangga dan undangan lainnya. Pada acara tersebut disediakan nasi lakatan bainti atau sarunding di puncaknya ditaruh telur masak, sekelilingnya juga bisa ditaruh telur-telur titipan (maksudnya para anak-anak ikut taruh telur di lakatan orang batamat, dan telur diambil setelah acara do’a untuk mengambil berkatnya sebagai penerang hati pintar mengaji). 7. Walimah Walimah adalah pesta perkawinan, besar kecilnya tergantung kemampuan kepala keluarga. Bisa menyembelih sapi/kerbau atau cukup beberapa kilogram daging atau ayam, ikan, telur, dan lain-lain. Setelah ditentukan hari perkawinannya, diadakan persiapan duduk gawi. Seminggu sebelum hari “H”, kepala keluarga mengundang tetangga untuk berkumpul di rumahnya mengadakan rapat kerja membentuk panitia perkawinan, untuk membagi-bagi tugas yang akan dilaksanakan para tetangga yang biasanya dipimpin RT atau orang yang dihormati ditunjuk untuk memimpin rapat tersebut. Tugas-tugas tersebut biasanya : 1. Kepala gawi (pimpinan kegiatan) 2. Tajak sarubung (pengurus mendirikan tarup/tenda) 3. Pangawahan (pengurus memasak nasi dan air) 4. Galas piring (pengurus barang pecah belah) 5. Karasmin (pengurus kesenian) 6. Jaga tamu (orang-orang yang ditunjuk baik bapak-bapak atau ibu-ibu untuk menerima para undangan). 7. Basaruan (bapak dan ibu yang ditunjuk untuk mengundang para undangan). 8. Mandekor dan dokumentasi (pengurus untuk dekorasi dan foto) Dahulu undangan dianggap tidak lazim seperti sekarang, saruan secara lisan lebih afdhal yang bersifat kekeluargaan. Di dalam pembagian tugas ini terlihat jelas kegotongroyongannya, para tetangga tanpa diminta

532 Laily Mahrita akan memberikan bantuan tenaga dan jasa untuk kepentingan acara perkawinan. Minimal dua hari menjelang pesta perkawinan, pihak mempelai dan masyarakat sekitar bergotong royong baik dalam mendirikan tenda- tenda, menyusun meja dan kursi serta mengatur dan membersihkan tempat yang dilakukan oleh laki-laki (bapak-bapak). Para wanita (ibu-ibu) membantu dan mempersiapkan konsumsi untuk pestanya. Tradisi sehari sebelum hari pestanya dinamakan duduk aruh setelah bergotong royong disajikan kuliner tradisional (khas makanan duduk aruh yang hanya ditemui pada saat itu saja ). Misalnya: nasi (padi sihirang ), gangan basantan kuning (humbut, nangka, kacang, labu kuning, singkong), lauknya iwak wadi atau ikan asin, sambal acan. Walaupun menunya sangat sederhana banyak warga yang berpendapat, menu duduk aruh sangat enak dan nikmat. Hidangan untuk para undangan yang disunguhkan dihari perayaan itu khas makanan Banjar, banyak macamnya ditentukan kemampuan pohon (yang punya hajatan), misalnya: masak habang, upur putih, karih, paliat (makan khas Kelua yang tidak pernah tertinggal), nasi sup/soto, iwak karing haruan batanak, gado-gado, dan lain-lain. Hidangan ditaruh di atas meja panjang semua macamnya untuk memudahkan orang memilih, laki-laki dan perempuan khusus tempatnya masing-masing. Para undangan setelah menikmati hidangan kemudian memberikan selamat dan do’a restu sambil bersalaman memberikan amplop berisi uang seikhlasnya kepada pohon (tuan rumah). Para undangan ibu-ibu di desa, biasanya membawa carana (tempat beras 1 liter) untuk pahindai pengganti amplop, yang nanti pulang diisikan makanan gangan pahindai (gangan humbut bercampur kacang ayam dan jeroan sapi serta nasi). Panitia kerja bekerja sampai sore sampai selesai acara perkawinan dan malam diundang pohon untuk rapat pembubaran panitia dan ucapan terimakasih atas partisipasi dan bantuan warga masyarakat.

Laily Mahrita 533 8. Patataian Patataian (pelaminan) khas Banjar air guci diletakan diruang tamu atau sekarang di ambin rumah atau di halaman rumah/tanah lapangan yang dulu hanya untuk penganten berdua sekarang disamping ditambah untuk orang tua, tetapi tidak menghilangkan ciri pelaminan Banjar. Ada bunga sarai ditaruh dipeludahan kuningan (jambangan besar), piduduk. Di muka pelaminan diatas meja osin disajikan wadai pengantin, misal: kue bolu dihias kembang mentega macam bentuk, agar-agar, bingka, aloa kestela dibentuk rangkaian bunga dijambangan, gulali dibentuk kapal/keranjang bunga, dan lain-lain. 9. Batatai Puncak acara perkawian adat Banjar adalah batatai. Pengantin wanita memakai tata rias Baamar Galung Pancar Matahari dan pakaian penganten Banjar wanita asesoris lengkap yang sekarang dimodifikasi dengan berhijab dan alas kaki. Saat bersanding membawa kembang palimbaian (dari tangkai daun sirih, mawar dan melati). Pengantin pria, mengenakan baju jas buka yang terdiri baju warna putih/kemeja berwiru,celana sesuai jas dilengkapi sarung serta tertancap keris sampan/naga runting dihiasi bogam melati dan jurainya. Tutup kepala/ laung tutup, asesoris lengkap dan alas kaki dan membawa kembang palimbaian menuju rumah penganten wanita. Pengantin pria diantar ke rumah pengantin wanita disambut shalawat atas Nabi Muhammad SAW, sebanyak tiga kali dan disahut oleh semua yang hadir. Pengantin pria diiringi rombongan sinoman hadrah atau kelompok habsi. Penganten wanita keluar menjemput suami dipangkal tangga. Kemudian disandingkan di patataian. Sujud kedua penganten kepada orangtua penganten wanita sebagai simbolik untuk meminta do’a restu. Acara sujud diteruskan kepada seluruh keluarga dan hadirin yang hadir di situ.

534 Laily Mahrita III. SIMPULAN Perkawinan merupakan “institusi’ yang ada di masyarakat. Perkawinan mengandung pesan-pesan dan contoh-contoh yang baik untuk diamalkan dan dilestarikan di dalam kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri karena perlu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dari perkawinan karakter yang dapat dikembangkan untuk generasi muda yaitu karakter religius, toleransi, tanggung jawab, kreatif. Kearifan lokal pada lembaga kemasyarakatan dapat dijadikan contoh dalam bekerjasama, gotong royong, kerukunannya, dan sebagainya bagi generasi muda dan turut melestarikannya.

DAFTAR PUSTAKA Juliardi, Budi. 2014. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: Alfabeta. Soekamto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Herimanto dan Winarno. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI. 2014. IPS SMP/MTs Kelas VIII Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Purwanto, Bambang. 2008. IPS Kelas VIII Semester I Dan II. Jakarta: Balai Pustaka. Seman, Syamsiar. 2014. Perkawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar Kal-Sel

Laily Mahrita 535 536 Laily Mahrita PENYUNTING

Ersis Warmansyah Abbas dosen pada FKIP Unlam Banjarmasin. Lahir di Muaralabuh, Solok Selatan, 15 November 1957. Doktor Pedidikan IPS UPI Bandung (2013), Magister Pengembangan Kurikulum IKIP Bandung (1995), Sarjana Pendidikan Sejarah IKIP Yogyakarta (1980), Sarjana Muda Pendidikan Sejarah IKIP Padang (1978). Tamatan PGAN 6 Tahun Padang, PGAN 4 Tahun Muaralabuh dan SDN 1 Muaralabuh. Pernah kuliah di FK Filsafat UGM (1982), dan alumnus Pendidikan (Kursus) Teori, Metodologi dan Aplikasi Antropologi UGM (1993). Tulisannya dimuat beberapa jurnal, dan atau, dipresentasikan pada berbagai seminar, baik di dalam maupun di luar negeri, misalnya pada 5th UPSI-UPI Conference on Education, Selangor Malaysia (2012). Untuk mendukung dan mengembangan keprofesionalannya, Presiden Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Kalimantan Selatan (LPPPKS), dan Pusat Studi Sejarah dan Nilai Budaya Kalimantan Selatan (PSNBKS), mengikuti berbagai seminar dan workhsop dalam berbagai bidang dan melakukan kerja sama penelitian dengan Asia Foundation, PT Djarum Kudus, Pemkab, Pemko dan Pemprov Kalimantan Selatan serta instansi lainnya.

Penyunting 537 Ratusan tulisannya dimuat berbagai media cetak, antara lain HU Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Jayakarta, Pelita, Bandung Pos, Haluan, Radar Banjarmasin, Dinamika Berita, Banjarmasin Pos, Bandjarbaroe Post, Sinar Kalimantan dan media cetak lainnya. Pemimpin Umum Bandjarbaroe Post dan majalah GAGAH mengusung prinsip: Tulis apa yang ada di pikiran bukan memikirkan apa yang akan ditulis. Tulis apa yang hendak ditulis, pasti jadi tulisan. Publikasi harian tulisannya dapat diikuti melalui www. ersisweb.com dan facebook Ersis Warmansyah Abbas. Sebagai penyaluran kehendak menulis dan memotivasi berbagai kalangan untuk menulis, Ersis mendirikan dan mengembangkan Gerakan Persahabatan Menulis (GPM) berbasis dunia maya yang cabang daratnya berkembang di kota-kota Indonesia dengan pelibat di Singapura, Taiwan, Hongkong, Mesir, dan berbagai Negara lainnya. GPM wilayah melakukan kegiatan menulis dan telah menerbitkan puluhan buku dan untuk itulah sering bepergian ke berbagai kota dalam lakon sharing menulis atau pelatihan menulis. Ersis Warmansyah Abbas menerbitkan beragam buku dengan berbagai tema:

I. TENTANG MENULIS 1. Menulis Sangat Mudah, Mata Khatulistiwa, Yogyakarta, 2007. 2 Menulis Mari Menulis, Mata Khatulistiwa, Yogyakarta, 2007. 3. Menulis dengan Gembira, Gama Media, Yogyakarta, 2008. 4. Menulis Berbunga-Bunga, Gama Media, Yogyakarta, 2008. 5. Virus Menulis Zikir Menulis, Gama Media, Yogyakarta, 2008. 6. Menulis Mudah: Dari Babu Sampai Pak Dosen, Gama Media Yogyakarta, 2008.

538 Penyunting 7. Menulis Tanpa Berguru, Gama Media, Yogyakarta, 2009. 8. Menulis Membangun Peradaban, Gama Media, Yogyakarta, 2009. 9. ‘Jatuh Cinta’ Menulis, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011. 10. Indonesia Menulis, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011. 11. Suer, Menulis Itu Mudah, Elex Media Komputindo, KK Gramedia, Jakarta, 2012. 12. Percaya Ngak Percaya, Menulis Itu Mudah, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012 13. Mudah Menulis Memudahkan Menerbitkan Buku. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 14. Menulis Menyenangkan. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 15. Menulis Mudah Memudahkan Menulis. 2013. Bandung: Wahana Jaya `Abadi. 16. Indonesia Menulis: Perjalanan Spiritual. 2013. Bandung: Wahana Jaya Abadi 17. Menulis di Otak. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 18. Menulis Menuliskan Diri. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 19. Menulis Mengasyikkan. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 20. Menulis Membangun Midset. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 21. Menulis Menjinakkan Kegagalan. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 22. Menghancurkan Belenggu Menulis. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 23. Menulis Enjoy-Enjoy Sajalah. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

II. FIKSI 1. Surat Buat Kekasih, antologi Puisi, Gama Media, Yogyakarta, 2006. 2. Garunum, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006 3. Taman Banjarbaru, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006 4. Kolaborasi Nusantara, Antologi Puisi Bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006.

Penyunting 539 5. Tajuk Bunga, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006 6. ASAP (Novel), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2010 7. Menjaring Cakrawala, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011. 8. Zikir Rindu, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011 9. Deru Awang-Awang, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012. 10. Senyawa Kata Kita, antologi puisi bersama, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012. 11. Astagfirullah, Antologi Cerpen (bersama), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012. 12. Bogor Kasohor, Antologi Puisi (bersama), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.

III. MOTIVASIONAL SPIRITUAL 1. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media. 2. Sabar, Ikhlas, dan Bersyukur: Melejitkan Potensi Diri. 2013. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

IV BUKU AJAR, PEMIKIRAN, DAN PENELITIAN 1. Pemuda dan Kepahlawanan .1988. Bandung: Materpamur. 2. Bab-Bab Antropologi. 1996. Penyunting tulisan Fudiat Suryadikara. Banjarmasin: EWA Book Company. 3. Memahami Sejarah. 1997. Banjarmasin: EWA Book Company. 4. Pembangunan Kalimantan. 1998. Penyunting tulisan Ismet Ahmad. Banjarmasin: EWA Book Company. 5. Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar dalam Revolusi Fisik 1945-1949. 2000. Martapaura: Pemkab Banjar dan LPKPK. 6. Tanah Laut: Sejarah dan Potensi. 2000. Pelaihari: Pemkab Tanah Laut dan LPKPK. 540 Penyunting 7. Data Dasar Banjarbaru: Banjarbaru Menuju Metropolitan2002. Banjarbaru Pemko Banjarbaru dan LPKPK. 8. Banjarbaru. 2002. Banjarbaru: Pemko Banjarbaru dan LPKPK. 9. Menguak Atmosfir Akademik. 2004. Penyunting bersama Sutarto Hadi. Banjarmasin: FKIP Unlam. 10. Menggugat Kepedulian Pendidikan Kalimantan Selatan. 2005. Banjarbaru: LPKPK. 11. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media. 12. Sejarah Kotabaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains. 13. PDAM Bandarmasih: Primadona Kota Air. 2010. Bandung: Rekayasa Sains. 14. Mewacanakan Pendidikan IPS. 2013. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-Unlam Press. 15. Pendidikan Karakter. 2014. Penyunting. Bandung: Niaga Sarana Mandiri dan FKIP-Unlam Press. 16. Building Nation Character Through Education. 2014. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi dan FKIP-Unlam Press. 17. Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. 2015. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-Unlam Press.

V. BIOGRAFI 1. Buku Kenangan Purna Tugas M.P. Lambut. 2003. (Editor Bersama). Banjarmasin: FKIP Unlam, 2003. 2. Rudy Resnawan: Untukmu Banjarbaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains. 3. Guru Sekumpul: Biografi Pendidikan Profetik. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi. 4. Guru Sekumpul. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

Penyunting 541 VI TEMA BEBAS 1. Masa Kecil Yang Tak Terlupakan (bersama). 2011. Malang: Bintang Sejahtera. 2. Cinta Pertama: Kisah-Kisah Cinta Berhikmah. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

IV. PROSES TERBIT Beberapa bukunya dalam proses penerbitan.

V. SEMINAR, SHARING, TALKSHOW, DAN PELATIHAN MENULIS Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, KAMMI Kalsel, Radio MQFM Bandung, Tahajud Call Bandung, Masjid Salman ITB Bandung, UIN Malang, Malang Post Malang, Universitas Pakuan Bogor, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Institut Keislaman Hasyim As’ari Jombang, Pesantren Darul Ilmi Banjarbaru, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Banyuanyar Pamekasan, SMA/MA, dan berbagai insitusi dan instansi.

542 Penyunting Sudah menjadi hal biasa berbagai keluhan terhadap Pendidikan IPS dikemukakan berbagai pihak. Satu diantaranya, bahan ajar IPS “terperangkap” disiplin ilmu-ilmu sosial (social science) padahal IPS adalah ilmu pengetahuan sosial (sosial studies). Hal tersebut karena pembelajaran IPS di sekolah dilakukan guru-guru IPS yang dididik disiplin pendidikan Ilmu-ilmu sosial (IIS), bukan dididik dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Bahwa sesungguhnya, keterkaitan antara IPS dan IIS sangatlah erat. IPS mustahil menjadi tanpa IIS. Prinsip dan konsep IIS menjadi “titik tumpu” pengembangan IPS. Pengembangan IPS hendaklah berbasis epistemologi kokoh demi pengembangan potensinya secara teoritik dan empirik. IPS yang digadhang- gadhang membekali peserta didik agar cakap berkehidupan sosial ditopang kearifan lokal berakar lingkungan kehidupan peserta didik diformulasikan agar sentuhannya meraih kecakapan sosial (social skill). Seiring tersedianya ahli dan guru-guru IPS akademik, tibalah saatnya pembenahan pendidikan IPS. Sarjana-sarjana IIS dan sarjana-sarjana pendidikan IIS tentu mempunyai tanggung jawab sesuai peran masing-masing dalam pengembangan pendidikan IPS. Buku Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal sebagai bukti “kerja sama” ilmuwan IIS, sarjana Pendidikan IIS, dan sarjana-sarjana IPS yang tentunya positif bagi pengembangan IPS dan IIS.

543 544