1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Kesadaran merek merupakan hal yang sangat menarik karena merek merupakan identitas dari suatu produk. Merek juga yang membedakan antara produk yang satu dengan produk yang lainnya. Lebih lanjut lagi merek dapat menciptakan persepsi di benak konsumen. Merek yang memiliki citra yang baik akan mendapatkan penilaian yang baik di mata konsumen dan tentu saja hal ini akan meningkatkan nilai dari produk itu sendiri. Saat ini penelitian mengenai kesadaran merek cukup berkembang, telah banyak penelitian tentang merek dilakukan baik yang dilakukan oleh pihak akademisi maupun yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Perusahaan semakin menyadari bahwa merek merupakan asset yang sangat penting bagi perusahaan dan merek juga merupakan asset perusahaan yang bernilai. Produk menjelaskan atribut inti sebagai suatu komoditi yang dipertukarkan, sedangkan merek menjelaskan spesifikasi pelanggannya. Memasuki millenium baru di era globalisasi ini produsen dihadapkan pada persaingan untuk meraih dominasi merek. Setelah tercipta kesadaran merek maka hal selanjutanya adalah loyalitas konsumen. Loyalitas konsumen sangat penting karena dengan adanya loyalitas maka konsumen akan tetap mekakukan pembelian ulang terhadap produk dan juga lebih jauh lagi merekomendasikan produk tersebut kepada orang lain. Mengingat loyalitas ini sangat penting, maka banyak penelitan mengenai loyalitas dilakukan. Bahkan loyalitas ini dalam penelitian yang dilakukan dapat juga dihubungkan dengan kesadaran merek, persepsi konsumen, kepuasan atau variabel lainnya.

1.1.1 Definisi Minuman Ready To Drink (RTD) Minuman ready to drink (RTD) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan jenis minuman yang dijual dalam sebuah kemasan khusus sehingga dapat langsung dikonsumsi tanpa harus diolah lebih lanjut. Istilah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbedaan dengan jenis minuman lain yang juga dijual dalam bentuk kemasan khusus namun memerlukan pengolahan lebih lanjut untuk dapat menikmatinya misalnya kemasan dalam bentuk serbuk,

2

sirup, celup, cairan dan lainnya.

1.1.2 Industri Minuman Ready To Drink (RTD) Masuk dalam kelompok makanan dan minuman, sejak 2002 bisnis ini selalu tumbuh dua digit – suatu hal yang jarang dialami oleh industri lain. Bahkan, ketika di tahun 2008 situasi ekonomi sedang melempem akibat krisis global, bisnis ini masih meningkat 14,9%. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan industri makanan dan minuman berturut-turut: 13,5% (2004); 20,1% (2005); 31% (2006); 17,5% (2007); dan 14,9% (2008). (Palupi, 2009).

Gambar 1 Pertumbuhan industri makanan dan minuman di Sumber: Palupi, Dyah Hasto. (2009, Februari 19). Pertarungan elegan merebut 500 T. Swa, 04/XXV. Hlm 30.

Ini adalah industri yang tidak tergoyahkan oleh krisis. Setiap orang perlu makan dan minum untuk bisa bertahan hidup, sehingga sektor ini tidak akan pernah mati. Pasar produk makanan dan minuman ini memang merupakan daya tarik kuat bagi pebisnis karena pasar Indonesia menyediakan segalanya: bahan baku melimpah, tenaga kerja murah, dan jumlah konsumen yang sangat besar. Menurut perhitungan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), potensi pasar Indonesia mencapai Rp 500 triliun, sedangkan omset 2008 baru sekitar Rp 400 triliun – masih ada sekitar Rp 100 triliun yang belum tergarap. Pasar inilah yang kini diperebutkan perusahaan-

3

perusahaan raksasa nasional ataupun global. Potensi pertumbuhan Rp. 100 triliun tersebut kemudian diperkirakan akan terdistribusi terhadap produk kategori makanan dan minuman. Industri minuman di Indonesia lebih berkembang dibandingkan dengan industri makanan, terbukti dengan jumlah produk kategorinya yang lebih banyak (mengindikasikan pergerakan yang dinamis) dan total market size nya yang lebih besar (Rp. 50.6 Triliun untuk total market size minuman dan Rp. 33.6 Triliun untuk makanan). Sementara itu untuk industri minuman sendiri, sebagian besar didominasi oleh minuman ready to drink (RTD). Inilah yang kemudian menjadi alasan kuat mengapa objek penelitian ini akan difokuskan pada industri minuman ready to drink (RTD) lebih spesifik lagi pada produk minumuan larutan penyegar.

1.1.3 Belanja Iklan Perusahaan Minuman Ready To Drink (RTD) Pembahasan mengenai gambaran umum industri dibahasa juga mengenai belanja iklan perusahaan karena hal ini dianggap berhubungan dengan kesadaran merek. Iklan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran merek. Selain karena grafik pertumbuhannya yang terus menaik, pemilihan minuman ready to drink (RTD) untuk dijadikan sebagai objek penelitian juga dikarenakan oleh belanja iklan perusahaannya yang sangat besar sehingga relevan dengan topik penelitian ini yaitu mengukur ada atau tidaknya pengaruh antara banyaknya consumer information exposure (dalam hal ini salah satunya adalah iklan) terhadap tingkat product knowledge dan impulse purchasing behavior dari konsumen. Iklan adalah media yang dianggap paling efektif untuk melakukan promosi secara massal. Oleh karena itu banyak perusahaan tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang besar untuk beriklan. Terbukti dengan fakta bahwa walaupun jumlah iklan sudah sampai dengan 16 ribu per hari (Palupi, 2009), namun iklan tetap dibutuhkan karena iklan merupakan penyulut api atau pembuka jalan bagi pemasaran produk (Sudarmadi, 2009). Untuk industri minuman ready to drink (RTD) sendiri, berikut adalah gambaran dari besaran biaya ber iklan yang dikeluarkan oleh beberapa perusahaan

4

market leader selama tahun 2008: Coca- mengeluarkan biaya sebesar Rp. 147 miliar, Pocari Sweat mengeluarkan biaya sebesar Rp. 46 miliar, Teh Sosro mengeluarkan biaya Rp. 66 miliar, Susu Ultra mengeluarkan biaya sebesar Rp. 25 miliar, dan Aqua mengeluarkan biaya sebesar Rp. 219 miliar. Perusahaan minuman ready to drink (RTD) sudah menyadari bahwa persaingan semakin ketat karena untuk pasar Indonesia persaingannya tak hanya melibatkan pemain dalam subkategori produk yang sama, tetapi juga pemain lain dalam kategori minuman. Produk air minum dalam kemasan, contohnya, selain harus bertarung melawan sesamanya, juga harus berhadapan dengan produk minuman teh, minuman berkarbonasi, dan produk minuman lainnya. Demikian juga halnya dengan produk minuman larutan penyegar, persaingan antara larutan penyegar cap Badak dan larutan penyegar cap Kaki Tiga juga melibatkan iklan yang tentu saja dengan biaya yang cukup besar. Kegiatan beriklan ini didukung juga dengan pemilihan brand ambasador dari kalangan artis atau sebebriti yang terkenal. Bukan hanya itu, karakter pasar juga cenderung semakin tak mudah ditembus, penuh tantangan, dan bila tidak disikapi dengan strategi yang tepat, akan menjadi ancaman yang berbuntut kegagalan. Tunjuk contoh, konsumen pasar minuman cenderung mengarah ke impulse buyer sehingga mereka mudah berganti merek. Konsumen yang biasanya suka minuman Arinda, misalnya, tidak akan terlalu berpikir banyak ketika harus pindah ke Frutang, Okky Jelly atau yang lain. Bandingkan dengan pasar elektronik atau pasar apparel yang konsumennya cenderung lebih loyal pada merek. (Sudarmadi, 2009). Inilah konsekuensi bergerak di bisnis yang tidak berjarak dengan konsumen. Sekali terjun ke bisnis, maka perusahaan harus berkomitmen selamanya, bukan sekedar bisnis yang bisa dilakukan dengan “hit and run”.

1.1.4 Industri Larutan Penyegar Dalam persaingan industri air minum dalam kemasan, inovasi, kualitas, atribut, citra merek, dan tingkat harga produk, menjadi hal-hal yang harus diperhatikan oleh produsen agar tidak dikalahkan oleh pesaingnya. Salah satu produk air minum dalam kemasan yang sudah lama dipasarkan di Indonesia

5

adalah larutan penyegar. Larutan penyegar cap Kaki Tiga sudah dipercaya masyarakat Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Wen Ken Drugs adalah perusahaan farmasi pemilik merek larutan penyegar cap Kaki Tiga. Diproduksi sejak tahun 1937, larutan penyegar cap Kaki Tiga telah hadir selama 74 tahun dan 30 tahun menemani masyarakat Indonesia. Alkisah “Kaki Tiga” menjadi akrab di telinga tak bisa lepas dari peran PT Sinde Budi Sentosa, sebuah perusahaan farmasi yang berdiri sejak 1978. Melalui produk larutan penyegar dalam botol, perusahaan yang semula bermarkas di Tambun, Jawa Barat itu, pada tahun 1981 langsung disukai konsumen. Maklum, larutan tersebut tanpa rasa, tanpa warna, tanpa bahan pengawet dan murah. Merek “Kaki Tiga” memang hoki, karena sejak itu PT Sinde Budi Sentosa langsung melakukan pengembangan produk, di antaranya membuat tujuh rasa berbeda dalam kemasan kaleng dan juga dalam bentuk kaleng yang beragam sebagai produk baru, memperluas ragam produk dengan memproduksi versi baru dari Balsem Pala (Bapala) dan sekaligus memperluas distribusinya dengan penambahan gudang seluas 6.000 m2. Tak cuma itu, pada 1995 PT Sinde Budi Sentosa memperoleh lisensi Sirup Obat Batuk Nin Jiam Pei Pa Koa dari Hong Kong, dan Pil Chi Kit Teck Aun dari Malaysia dan memindahkan kantor pusat ke Wisma SMR di Utara. Sementara pada tahun 2002, PT Sinde Budi Sentosa memperkenalkan Ena’O, minuman energi, dan mendiversifikasikannya ke dalam kemasan botol, kaleng dan sachet bubuk dan sachet cair. Diperoleh informasi, perjanjian lisensi ternyata sudah dituangkan sejak 1978. Perjanjian itu ditandatangani oleh Fu Weng Leng, Direktur Sinde Budi kala itu. Isinya meminta Sinde Budi untuk memproduksi dan memasarkan produk Cap Kaki Tiga di Indonesia. Sinde Budi juga diminta untuk mendaftarkan merek dan produk Cap Kaki Tiga ke Direktorat Paten. Namun, pada Februari 2008 lalu, kehandalan pengelola mengembangkan menjadi perusahaan farmasi ternama tercoreng. Bahkan, sejak Maret 2008, saat sejumlah koran mengumumkan PT Sinde Budi Sentosa bukan pemegang lisensi merek Cap Kaki Tiga. Sang induk pengumuman, Wen Ken Drug Co Pte Ltd, perusahaan yang berkedudukan di Singapura, mengungkapkan bahwa Wen Ken

6

Drug adalah pemilik sah merek dagang “Cap Kaki Tiga”, termasuk produk larutan penyegar cap Kaki Tiga. Sejak 2000, menurut penggugat, Wen Ken Drug Co Pte Ltd dan PT Sinde Budi Sentosa berupaya untuk membahas masalah pembuatan suatu perjanjian lisensi. Mengingat perundingan tidak mencapai titik temu. Lisensi dari Wen Ken Drug Singapore tersebut diberikan kepada Kinocare Era Kosmetindo pada tanggal 28 April 2011 dan memberikan kewenangan kepada Kinocare Era Kosmetindo untuk memproduksi, menjual, memasarkan dan mendistribusikan produk di Indonesia. Sementara, kerja sama Wen Ken Drug Singapore dengan perusahaan manufaktur Indonesia yang lama (PT Sinde Budi Sentosa) telah berakhir pada tanggal 4 Februari 2008. Wen ken Drug akhirnya menunjuk pihak lain (PT. Kinocare Era Kosmetindo) untuk memasarkan larutan penyegar cap Kaki Tiga, Kinocare Era Kosmetindo mendaftarkan produknya dan menyatakan bahwa lukisan cap kaki tiga adalah milik mereka, dan hasil pengadilan menyatakan bahw merek dan lukisan cap kaki tiga adalah milik Wen Ken Drug Co Pte Ltd, danPT. Sinde Budi diminta melepaskan lukisan kaki tiga dari produknya, dan diminta menarik seluruh produknya yang masih terdapat lukisan cap kaki tiga. Sehingga PT. Budi Sentosa melakukan perbaikan label produknya, tidak ada lagi lukisan kaki tiga pada label produk merek dan juga mengganti nama produk menjadi larutan penyegar cap Badak. Karena telah mendaftarken lukisan badak ke dirjen HAKI, Sinde Budi merasa, lukisan badak dan tulisan larutan penyegar adalah milik mereka, maka mereka menggugat ke pengadilan, jadilah mereka "berperang" kembali di pengadilan. dan tampaknya Kinocare Era Kosmetindo kalah, akhirnya mereka harus menghilangkan lukisan badak dan tulisan larutan penyegar (dalam huruf arab) dari produk mereka. Sehingga saat ini di pasaran masyarakat dapat menjumpai dua jenis kemasan larutan penyegar yaitu pertama larutan penyegar cap Badak produksi PT Sinde Budi Sentosa dengan gambar lukisan badak pada kemasan dan kedua larutan penyegar cap Kaki Tiga produksi PT Kinocare Era Kosmetindo dengan gambar lukisan kaki tiga pada kemasan. Berdasarkan ulasan diatas, maka penelitian ini

7

akan membahas tentang analisis brand awareness dan brand design awareness terhadap brand loyalty. Di Indonesia sendiri saat ini terdapat 3 merek untuk produk larutan penyegar yaitu Kaki Tiga, Badak, Lasegar dan Adem Sari. Produk disebut larutan penyegar karena bentuk sediaannya cair. Namun karena khasiatnya untuk meredakan panas dalam, sebagian orang mengasosiasikan larutan penyegar dengan semua produk yang mempunyai khasiat meredakan panas dalam baik sediaan cair maupun sediaan lainnya.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, diketahui bahwa mulai tahun 1978 – 2010 kemasan larutan penyegar panas dalam diproduksi oleh PT Sinde Budi Sentosa, dengan nama larutan penyegar cap Kaki Tiga dimana dalam kemasan terdapat lukisan badak dan logo kaki tiga. Kemudian pada awal tahun 2011 munculah dua jenis kemasan larutan penyegar pereda panas dalam ini, pertama larutan penyegar cap Badak yang diproduksi oleh PT Sinde Budi Sentosa dimana pada kemasan hanya terdapat gambar badak dan yang kedua adalah larutan penyegar cap Kaki Tiga yang di produksi oleh PT Kinocare Era Kosmetindo dengan gambar badak dan gambar logo cap kaki tiga. Namun pada akhir tahun 2011 produk larutan penyegar cap Kaki Tiga” mengalami perubahan kemasan dengan hanya terdapat gambar logo cap kaki tiga saja pada kemasan. Dengan adanya perubahan ini tentu saja hal ini berpengaruh terhadap konsumen. Perubahan kemasan ini tidak hanya berpengaruh terhadap konsumen, namun berdampak juga kepada produsen produk larutan penyegar. Semenjak penghilangan tulisan dan gambar logo cap Kaki Tiga pada kemasan larutan penyegar produksi PT Sinde Budi mengalami penurunan penjualan sebesar sekitar 1,5 milyar per bulan, hal ini setara dengan penurunan omset sebesar 5% per bulan. Dengan komposisi market share diperkiran cap Kaki Tiga 10%, cap Badak 50%, Adem Sari 25%, Lasegar 10% dan Lainnya 5%. Maka dapat disimpulkan rumusan masalahnya adalah perpindahan dari pemegang lisensi larutan penyegar cap Kaki Tiga yang sebelumnya dipegang oleh

8

PT Sinde Budi Sentosa dan saat ini dipegang oleh PT Kinocare Era Kosmetindo telah memberikan implikasi pada nama merek dan gambar logo pada kemasan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat disimpulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah konsumen mempunyai kesadaran terhadap merek. 2. Apakah faktor yang mempengaruhi kesadaran terhadap merek dan kemasan. 3. Bagaimana manfaat yang dirasakan konsumen dari merek, kemasan dan citra merek. 4. Apakah faktor kemasan ini mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap merek

1.3 Tujuan Penelitian Berdasakan uraian diatas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisa kesadaran konsumen terhadap merek. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran terhadap merek dan kemasan. 3. Menganalisa nilai yang dirasakan konsumen terhadap merek, kemasan dan citra merek. 4. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya antara lain adalah untuk menelaah pengaruh brand awareness terhadap brand loyalty suatu produk dan membantu pihak perusahaan dalam mengambil keputusan dalam berbisnis. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi: 1. Pihak perusahaan, diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan brand awareness sehingga dapat membentuk brand loyalty serta dalam memberikan arah bagi perusahaan dalam menentukan strategi pemasaran apa yang akan dilakukan.

9

2. Pihak-pihak yang berkepentingan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang hal-hal yang menyangkut brand awareness sehingga dapat membentuk brand loyalty.

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB