PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh :

Daniel Dwi Nugroho NIM: 024314014 NIMR

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

Skripsi

PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948

Oleh Daniel Dwi Nugroho NIM: 024314014 NIRM:

Pembimbing

Drs. Ig. Sandiwan Suharso. tanggal Februari 2009

ii

Skripsi

PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948

Dipersiapkan dan ditulis oleh Daniel Dwi Nugroho NIM: 024314014 NIMR:

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal Januari 2009 dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Ketua : Prof. Dr. P. J. Suwarno., S.H.

Sekretaris : Drs. H. Purwanta., M.A.

Anggota : Drs. Hb. Hery Santosa., M.Hum.

Drs. Ig. Sandiwan Suharso.

Drs. Silverio R.L.A.S., M.Hum.

Yogyakarta, Januari 2009 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Dekan,

Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.,

iii

Halaman Persembahan

Ibu, Ayah ….. Hanya tulisan ini yang bisa Anakda persembahkan untuk pengorbanan dan kesabaran kalian selama ini.

Untuk mereka di seantero bumi ini.

iv

Pernyataan Keaslian Karya

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya-karya ilmiah.

Yogyakarta, Februari 2009

Penulis,

Daniel Dwi Nugroho

v

ABSTRAK

Daniel Dwi Nugroho UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Skripsi ini berjudul “Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948” ini beranjak dari dua permasalahan. Pertama, peran kaum kiri dalam perjuangan kemerdekaan. Kedua, latar belakang kegiatan kaum kiri dalam pergerakan Komunis di tahun 1947 – 1948. Untuk membahas masalah itu maka skripsi ini akan mendekati dengan teori konflik. Penulisan sejarah politik, terutama yang berkaitan dengan kaum kiri merupakan masalah yang selalu menarik untuk diangkat. Kaum kiri identik dengan pemikiran yang bersebrangan dengan pemerintah yang sah yaitu Negara, golongan agamawan dan militer. Kaum kiri terdiri dari kelompok-kelompok yang berideologi kerakyatan. Selain itu kaum kiri diidentifikasikan sebagai golongan yang menentang pemerintah dan sering disamakan ideologinya dengan ideologi komunis. Padahal dalam kenyataannya kaum kiri sering terdiri dari beberapa kelompok ideologi yang berbeda-beda. Perselisihan antara kaum kiri dengan Pemerintah di tahun 1947 – 1948 semakin meruncing sehingga mengakibatkan konflik yang berujung pada konflik bersenjata. Penulisan ini bertujuan mendiskripsi dan menganalisa perjuangan kaum kiri di Madiun 1948 dan ada tidaknya actor intelektual yang bertanggung-jawab atas peristiwa Madiun 1948. Tulisan ini memuat pembahasan serta analisa mengenai latar belakang, perjuangan kaum kiri sampai peristiwa Madiun 1948. Metode yang di gunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif – analitis. Penulisan ini didasarkan pada sumber berupa buku-buku dan artikel di internet. Secara garis besar, tulisan ini ingin membuka ingatan masa lalu kita bahwa pernah ada perjuangan yang dilakukan oleh kaum kiri di Madiun 1948. Peristiwa Madiun 1948 sebenarnya bukan merupakan sebuah pemberontakan, melainkan sebuah pergolakan rakyat di Madiun yang kemudian di politisir. Di sisi lain kaum kiri khususnya PKI menerima tekanan dari dalam, yang dilakukan oleh Pemerintah Hatta dan dari luar yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

vi

ABSTRACT

Daniel Dwi Nugroho UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

The title of this thesis, “The Left-ish group struggle in Madiun 1948” came from two problems. The first was the role of the Left-ish group in the struggle of independence. The second is the background of the left-ish group activity in the Communist movement in Indonesia in 1947 – 1948. In describing these problems this thesis will approach the problems with political theoris. The writing of the political history, especially one that is related with the left-ish movement is always an interesting problem to write about. The left-ish movement is always identified as a movement that is opposed to the government, religion and military group. The left-ish group is made up of groups that make it’s ideology based on the society. Besides, the left-ish movement is often thought as an opposition the government and its ideology thought to be the same as one from the Communist party. But actually the left is always made up of many different groups with different ideologies. The conflict between the left-ish group and the government in 1947 – 1948 keeps on getting deeper and lead up to a struggle of arms. This thesis is written to describe and analyze the left-ish group struggle in Madiun 1948 and the fact if there is or there is no intelectuall actor that is responsible for the Madiun 1948 incident. This writing describes and analyzes the background, and the struggle of the left-ish group upto the Madiun 1948 incident. The method used in this thesis is descriptive – analytical. The writing is based from books and internet articles. Broadly, this writing wants us to remember the past and that there was a struggle that was done by the left-ish group in Madiun 1948. The Madiun 1948 incident is actually not a rebellion, it is a revolt of the people in Madiun that was later on politicized. On the other hand the left-ish group, especially PKI is being pressed down internally from that of the Hatta government and externally from the United States America.

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Daniel Dwi Nugroho

Nomor Mahasiswa : 024314014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : “PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 25 Maret 2009

Yang menyatakan

Daniel Dwi Nugroho

viii

KATA PENGANTAR

Akhirnya proses panjang itu selesai juga bersamaan dengan selesainya penulisan skripsi ini. Satu tahap dari sebuah proses pencarian akan ilmu pengetahuan telah dilalui. Begitu banyak tantangan yang mengiringi dinamika penulisan skripsi ini. Mulai dari keharusan untuk segera menyelesaikan studi, beban ekonomi keluarga, kebingungan akan topik skripsi, kesulitan mencari bahan-bahan untuk mendukung tulisan hingga rasa jenuh dan bosan akan situasi.

Beruntung orang-orang disekeliling penulis, mulai dari staf pengajar dan kawan- kawan mahasiswa di jurusan ilmu sejarah tak bosan dan tak henti-hentinya memberi dukungan moril untuk menyelesaikan apa yang sudah penulis tempuh.

Semua itu telah memberi warna dalam proses panjang ini.

Dengan selesainya skripsi ini, maka sudah sepantasnya penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Sang pemilik hidup, yang telah melimpahkan begitu banyak kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Tanpa dampingan Tuhan, penulis tak akan pernah mampu mengarungi tahap yang kadang membuat penulis ingin menyerah di tengah jalan. Tapi berkat-Nya yang telah menguatkan hati penulis untuk senantiasa percaya bahwa garis akhir akan mampu ditempuh.

Penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak yang secara terus- menerus bersedia membimbing, mengarahkan, mendukung dan memberikan bantuan serta doa pada penulis. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada mereka dan tak akan pernah melupakan perhatian serta sumbangan ide-ide baru. Ucapan terima kasih pertama kali penulis sampaikan

ix kepada kedua orang tua tercinta. Kepada ibuku yang tercinta Kusmulatsih yang selalu percaya dan sabar dalam mengasuh, membesarkan, dan membimbing anak- anaknya. Beliaulah sumber inspirasi terbesar yang selalu mengiringi setiap langkah penulis untuk selalu memberikan dan mempersembahkan yang terbaik.

Kepada Opa Supangat dan Oma Kusyati yang selalu mendukung dan mengingatkan penulis tentang “bagaimana perkembangan skripsi”, menjadi cambuk sekaligus dukungan dan semangat bagi penulis untuk segera mungkin mengabulkan keinginan mereka untuk lulus.

Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada segenap staf pengajar di

Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberi banyak dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada

Bapak Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah yang sejak awal senantiasa menanamkan kepercayaan diri kepada para mahasiswanya serta membuka tangan dan ruang kerjanya lebar-lebar untuk menampung kelah kesah dan gelak tawa penulis.

Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, dan Drs. H. Purwanta, M.A. selaku pembimbing yang selalu memotivasi dengan penuh kesabaran dan bersedia meluangkan waktu di sela-sela aktivitasnya untuk memberikan bimbingan, konsultasi, referensi, dan koreksi terhadap skripsi ini. Penulis yakin tanpa bantuan dukungan, motivasi dan kepercayaan yang beliau berikan, skripsi ini tak akan pernah selesai.

Terima kasih pula kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi Ilmu

Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai ilmu yang

x mencerahkan penulis dalam setiap materi perkuliahan yaitu: Bapak Drs. Silverio

R.L. Aji Sampurno, M.Hum. atas berbagai kepercayaan dan beberapa pengalaman yang luar biasa. Romo Dr. F. X. Baskara Tulus Wardaya, S.J atas berbagai ide-ide yang hebat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Drs. H. Purwanta, M.A. atas pengenalan tentang dasar-dasar metode sejarah. Dr. St. Sunardi, Drs. Anton

Haryono, M. Hum., Prof. Dr. P. J. Suwarno, Alm. G. Moedjanto dan Drs. Manu joyoatmojo.

Kepada kawan-kawan seperjuangan Ilmu Sejarah angkatan 2002: Eka

Rama Kanalebe (teman dalam suka dan duka, sekaligus guru bagi penulis),

Sukarno “Samuel Etto”, Kwirinus Yosida Kurniawan “Ello”, Vila, Nana, Markus, adek Atik dan Domi. penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan yang telah kita jalin selama ini. Terima kasih juga atas berbagai diskusi-diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas, yang telah memberi cakrawala baru pada penulis dalam melihat dunia dan kehidupan. Dari perjalanan diskusi-diskusi kecil bersama kawan-kawan, penulis mendapat inspirasi awal tentang topik skripsi ini

Kepada yang terkasih, Sara Pingki Sabrina Hayuningtias “Bunda” yang telah bersedia memahami, memberikan dorongan, semangat serta dukungan di saat penulis mengalami kejenuhan akan hidup yang terasa monoton ini. Terima kasih karena telah bersedia berbagi rindu, tawa, suka, duka,serta telah mewarnai hidupku selama kurang lebih 5 bulan ini. Kamu adalah perempuan terhebat yang pernah kukenal.

Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih sekaligus permintaan maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

xi membantu dan memberikan dukungan yang tidak dapat tercantum namanya satu persatu. Akhir kata penulis sepenuhnya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan untuk sebuah karya ilmiah. Untuk itu, penulis sangat membutuhkan masukan, saran, dan kritik. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna, khususnya bagi orang lain.

Yogyakarta, Februari 2009

Daniel Dwi Nugroho

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii HALAMAN PENGESAHAN ...... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ...... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... v ABSTRAK ...... vi ABSTRACT ...... vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...... viii KATAPENGANTAR ...... ix DAFTAR ISI ...... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Rumusan Masalah ...... 6 D. Tujuan Penulisan ...... 7 E. Manfaat Penulisan ...... 7 F. Tinjauan Pustaka ...... 8 G. Kerangka Pemikiran ...... 9 H. Metode Penelitian dan Penulisan ...... 11 I. Sistematika Penulisan ...... 12

BAB II PERAN KAUM KIRI DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN 14 A. Sebelum Kemerdekaan...... 14 B. Setelah Kemerdekaan 1945 ...... 23

BAB III PERAN KAUM KIRI DALAM SEJARAH PERGERAKAN KOMUNIS DI INDONESIA TAHUN 1947-1948 ...... 31 A. Kondisi Politik Indonesia 1947-1948...... 31 B. Meletusnya Peristiwa Madiun 1948 ...... 39

xiii

1. Peristiwa Madiun 1948 menurut Pandangan Pemerintah RI....40 2. Peristiwa Madiun 1948 menurut Pandangan Non-Pemerintah.44 C. Partai Komunis Indonesia Merupakan Korban Perang Dingin ...... 50

BAB IV PENUTUP ...... 55 DAFTAR PUSTAKA ...... 55 LAMPIRAN

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunisme lahir di Jerman, ketika seorang filsuf dari Eropa yang bernama Karl Marx menerbitkan pamflet yang bernama The Communist

Manifesto. Komunisme berkembang di Uni Soviet ketika Revolusi Industri mengakibatkan terjadinya perbedaan yang mencolok antara kelas borjuis dan kelas proletar.

Tulisan-tulisan Karl Marx menyebabkan kaum proletar bersatu untuk berjuang secara revolusioner di bawah partai Bolsevik pimpinan Lenin, yang ternyata mampu menggulingkan rezim pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.

Keberhasilan perjuangan revolusioner kaum proletar: buruh pabrik/petani di Uni

Soviet, membuat inspirasi orang-orang di Indonesia untuk meneruskan perjuangan kaum komunis di Indonesia.

Paham atau ajaran komunis pertama kali dibawa masuk ke Indonesia, yang pada waktu itu masih dalam kekuasaan Hindia Belanda, oleh seorang warga negara berkebangsaan Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet pada tahun

1931.1 Selang satu tahun kemudian 1932 Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang yang ada di Belanda yang berhaluan sosialis yang berada di wilayah

Hindia Belanda. Pada tahun itu juga Sneevliet bersama J.A. Brandsteder, H.W.

Dekker dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis pertama kali di Asia

1 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. 1994. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hal:7

1 2

Tenggara, dengan nama Indishe Social Democratische Vereeniging yang kemudian lebih dikenal dengan nama ISDV.2

Sneevliet melihat bahwa Sarekat Islam (SI) dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Marxisme. Strategi yang diterapkan oleh Sneevliet adalah dengan cara memasukan atau menyusupkan anggota-anggota ISDV ke dalam tubuh Sarekat Islam, hal ini tercermin dengan adanya sistem “keanggotaan rangkap”. Anggota ISDV boleh merangkap sebagai anggota Sarekat Islam begitu pula sebaliknya. Seiring perjalanan waktu Sarekat Islam terpecah menjadi dua kelompok, yaitu Sarekat Islam Merah (SI Merah) dan Sarekat Islam Putih (SI

Putih). SI Merah identik dengan penganut ajaran Marxisme yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan SI Putih identik dengan kelompok yang menentang Marxisme. Dari kelompok SI Merah, tokoh yang terkenal antara lain Semaoen dan Darsono.

Pada tahun 1927-1928 PKI melakukan pemberontakan bersama para petani di beberapa daerah seperti Banten dan Sumatera Barat. Pada waktu itu pemberontakan masih bersifat kedaerahan sehingga dapat dengan mudah diantisipasi oleh Pemerintah Belanda, kegagalan pemberontakan mengakibatkan para petinggi PKI seperti Muso dan melarikan diri ke Uni soviet.

Sebenarnya aksi pemberontakan dan pemogokan yang akan dilakukan oleh para petani dan PKI ditentang keras oleh yang pada waktu itu sedang berada di luar negeri. Tan Malaka beranggapan bahwa pemberontakan, yang dipimpin oleh Muso melawan Belanda, masih bersifat prematur atau belum tepat

2 Ibid hal:7 3

pada waktunya. Menanggapi hal itu, Tan Malaka mengeluarkan pamflet yang berjudul ”Menuju Republik Indonesia”. Pamflet ini dikeluarkan atas dasar situasi yang belum mendukung dilancarkan sebuah revolusi.

Pamflet yang dikeluarkan Tan Malaka ternyata tidak mampu menghentikan keinginan para petinggi PKI seperti Muso, Alimin, Semaoen dan para petani untuk melakukan pemberontakan dan pemogokan. Pandangan Tan

Malaka ini terbukti ketika pemogokan dan pemberontakan para petani serta PKI dapat dipatahkan oleh Belanda. Pemogokan dan pemberontakan para petani serta

PKI harus dibayar mahal. Sebanyak 13.000 orang ditahan dan 4.500 orang dipenjarakan serta 1.380 orang dibuang ke Boven Digul. Sementara itu para petinggi PKI seperti Muso, Alimin, Semaoen melarikan diri ke Rusia.

Ada dua jenis perjuangan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, yang pertama perjuangan secara fisik dimana perjuangan ini dilakukan dengan cara mengangkat senjata atau berperang secara langsung melawan Pemerintah

Belanda, yang kedua adalah perjuangan secara diplomasi yang lebih menekankan dialog untuk mencari kesepakatan diantara kedua belah pihak. Perjuangan secara diplomasi ini tercermin dari perjanjian antara pihak Belanda dan Indonesia dalam

Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.

Dalam Perjanjian Linggarjati Indonesia diwakili oleh Syahrir sedangkan dalam Perjanjian Renville Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin. Perjanjian

Linggarjari dan Perjanjian Renville merupakan dua hal yang berbeda tetapi pada umumnya tujuannya sama. Pasca Perjanjian Renville Amir Syarifuddin dianggap gagal oleh sebagian besar rakyat Indonesia sehingga partai-partai besar yang pada 4

awalnya mendukung dirinya beralih menarik dukungannya sehingga mengakibatkan kabinet yang telah dipersiapkan Amir Syarifuddin jatuh. Setelah kabinetnya jatuh Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden

Sukarno.

Pasca Perjanjian Renville Amir Syarifuddin lebih aktif dalam Partai

Sosialis yang merupakan partai oposisi yang kemudian melebur dan menyatukan

Partai Sosialis ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dalam perjalanannya

FDR menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 31 Agustus 1948. Di tengah perkembangan PKI, partai ini mendapat kado istimewa dengan kedatangan seseorang dari Moskow yang kemudian dikenal dengan nama Muso. Kedatangan

Muso pada waktu itu dianggap sebagai angin segar dalam perkembangan PKI, bahkan pada waktu itu popularitas Muso mengalahkan Amir Syarifuddin.

Sukarno kemudian menunjuk Hatta untuk mengantikan peran Amir

Syarifuddin sebagai Perdana Menteri (PM) dan meneruskan Perjanjian Renville.

Strategi politik yang diterapkan Hatta yaitu dengan mengganti sistem pemerintahannya dari Parlementer menjadi Presidensial dan juga meneruskan

Perjanjian Renville serta melaksanakan program Rekontruksi dan Rasionalisasi

(Re-Ra). Program-program Rasionalisasi yang telah dijalankan Hatta dinilai paling berat, yakni Rasionalisasi pada tubuh militer sehingga dalam tubuh militer terjadi perpecahan antara yang mendukung dan menolak Rasionalisasi. Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, maka tentara-tentara RI khususnya Divisi

Siliwangi harus meninggalkan wilayah Jawa Barat. 5

Pada masa orde baru (orba) pimpinan mantan Presiden Suharto kaum kiri mendapat perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah. Segala bentuk gerakan kaum kiri diawasi dan aktivitasnya dibatasi oleh pemerintah pada waktu itu.

Karena kuatnya kedudukan dan kekuasaan mantan Presiden Suharto sehingga mendapat julukan sebagai pemimpin yang otoriter dan bertangan besi. Tidak jarang dalam menyelesaikan permasahanan dengan orang-orang yang bersebrangan dengan mantan Presiden Suharto khususnya kaum kiri mendapat teror bahkan berujung pada penculikan.

Sejak mantan Presiden Suharto mundur pada Mei 1998, lewat demonstrasi oleh mahasiswa dan rakyat yang sudah tidak simpati dan percaya padanya. Kaum kiri perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukan yang dilakukan oleh pemerintah. Eksitensi kaum kiri mulai terlihat ketika mengadakan berbagai dialog dan seminar yang membahas tentang kaum kiri. Walaupun begitu masih ada beberapa kelompok yang tidak senang terhadap eksitensi kaum kiri yang sering dipandang sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh beberapa orang yang berpandangan sempit.

Penulisan skripsi ini lebih fokus pada peristiwa yang terjadi pada tahun

1947-1948, dengan judul Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948. Tulisan ini membahas gerakan kaum kiri sampai dengan kontroversi Peristiwa Madiun 1948.

B. Identifikasi Masalah

Tahun 1947-1948 merupakan tahun-tahun terpanas dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia, untuk pertama kalinya setelah bangsa Indonesia 6

dengan bersusah payah memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan, terjadi perang saudara lewat Peristiwa Madiun 1948. Pada waktu yang relatif singkat setelah meraih kemerdekaan bangsa ini harus dihadapkan pada peristiwa yang pahit. Peristiwa bersejarah ini tidak hanya memakan korban harta benda yang banyak tetapi juga memakan banyak korban jiwa.

Terkait situasi yang terjadi di Madiun 1948 kaum kiri khususnya Partai

Komunis Indonesia menjadi korban atas peristiwa tersebut. Kaum kiri difitnah melakukan pemberontakan di Madiun 1948. Faktanya yang terjadi di Madiun tanggal 19 September 1948 tidak pernah terjadi pemberontakan seperti yang diberitakan selama ini, melainkan sebuah pergolakan rakyat biasa yang kemudian dipolitisir oleh elit-elit politik.

Banyak hal yang ganjil dalam peristiwa yang terjadi di Madiun 1948, dimana diduga ada aktor-aktor intelektual yang membuat sejarah diputar sedemikian rupa sehingga yang terang menjadi kabur dan yang gelap segaja diterangkan. Terkait situasi di atas maka tulisan ini bermaksud memberi penjelasan tentang Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948.

C. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul skripsi yang ditulis dalam rangka mengetahui

Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948 secara mendalam, maka ada dua masalah yang akan dijawab pada skripsi ini, antara lain:

1. Bagaimana peran kaum kiri dalam Perjuangan Kemerdekaan? 7

2. Bagaimana latar belakang keterlibatan kaum kiri dalam Pergerakan

Komunis di Indonesia tahun 1947-1948?

D. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan tentang Perjuangan Kaum

Kiri di Madiun 1948 adalah sebagai berikut:

1. Mendiskripsi dan menganalisa Peristiwa Madiun 1948.

2. Mendiskripsi dan menganalisa tentang ada tidaknya aktor intelektual

yang bertanggung jawab atas Peristiwa Madiun 1948.

3. Menginterpretasi kembali penumpasan kaum kiri di Madiun 1948.

E. Manfaat Penulisan

Karya tulis ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai Peristiwa Madium 1948, mengingat selama ini buku- buku yang membahas Peristiwa Madium 1948 tidak secara mendetail dalam membahas permasalahan yang sebenarnya. Buku-buku yang banyak beredar mengenai Peristiwa Madium 1948 lebih banyak memihak pada satu pihak saja yaitu pemerintah, sehingga isinya cenderung kurang obyektif. Dengan begitu tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap tulisan sejarah politik dan juga berharap agar pembaca lebih jeli dalam memahami Peristiwa

Madium 1948 secara obyektif, agar nantinya generasi penerus bangsa tidak terjebak situasi yang sama.

8

F. Tinjauan Pustaka

Dalam menyelesaikan tulisan ini, digunakan bahan pustaka sebagai sumber utama dalam rangka mendiskripsikan dan menganalisis Perjuangan Kaum

Kiri di Madiun 1948. ada beberapa buku yang membahas tentang topik ini.

Meskipun begitu tidak semua buku dapat dijadikan acuan dalam penyususnan tulusan ini.

Buku atau karya tulis yang sangat membantu dalam proses penulisan ini adalah karya tulis berdasarkan Skripsi Diah Palupi Normalasari, yang berjudul

Pemogokan Buruh Delanggu 1948 dan Penumpasan Gerakan Kiri pada tahun

1948. Karya tulis ini membahas secara luas tentang pemberontakan petani dan

PKI yang terjadi tahun 1926-1927 melawan Pemerintah Hindia Belanda, Peristiwa

Pemogokan Buruh di Delanggu 1948 sampai Provokasi Madiun 1948. Karya

Tulis ini juga lebih fokus pada gerakan buruh di Indonesia dan proses bersatunya kaum buruh dan kaum kiri di Indonesia. Hal ini tercermin pada peristiwa

Pemogokan Buruh yang terjadi di Delanggu, dimana hal ini merupakan titik awal yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. Buku ini juga memberikan penjelasan yang cukup komperhensif mengenai proses panjang Perjuangan kaum kiri di Indonesia.

Karya tulis Diah Palupi Normalasari yang berjudul Pemogokan Buruh

Delanggu 1948 dan Penumpasan Gerakan Kiri pada tahun 1948, juga mempunyai beberapa kelemahan-kelemahan di dalamnya antara lain: alur cerita masih terkesan melompat-lompot dan alur ceritanya monoton sehingga dapat 9

membuat pembaca kurang fokus, untuk itu karya tulis ini dapat dijadikan untuk mengisi kelemahan dan kekurangan dalam karya tulis tersebut.

G. Kerangka Pemikiran

Dalam membahas perjuangan suatu kelompok minoritas, perlu dipahami keadaan dan situasi yang bergolak yang bisa menyebabkan terjadinya perjuangan ini. Perlu dipahami faktor eksternal yang turut berperan serta dalam membentuk terjadinya perjuangan ini. Ada beberapa paham yang berkembang yaitu kapitalisme, imperialisme, dan komunisme. Kapitalisme adalah faham yang menekankan pada perekonomian swasta dimana tujuan utama ialah mencari keuntungan setinggi-tingginya, para kelas pekerja (buruh) tidak ikut memperoleh keuntungannya.3 Imperialisme adalah sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sepihak yang lebih besar. Imperialisme ditandai dengan adanya hubungan superior-inferior dengan keadaan yang menggambarkan wilayah dan rakyatnya tunduk terhadap kehendak negara asing.4

Dari definisi kapitalisme dan imperialisme di atas, terlihat keterkaitan yang sangat erat, dimana faham kapitalisme bisa melahirkan faham imperialisme.

Hal ini tercermin pada institusi yang lebih besar yaitu negara, dengan adanya faham kapitalisme yang berkembang dan melahirkan faham imperialisme maka akan memunculkan negara-negara jajahan atau koloni-koloni. Pada umumnya

3 B.N. Marbun, SH. 2007. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hal:233 4 Ibid hal:198 10

faham kolonialisme dianut oleh negara-negara Barat dengan tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Komunisme sendiri adalah suatu faham yang menekankan pada pertentangan kelas yang terdapat dalam struktur masyarakat, dimana faham komunisme menghendaki baik hasil-hasil produksi atau maupun alat-alat produksi hendaknya menjadi milik bersama.5 Terlihat dari sini bahwa faham komunisme bertentangan dengan kedua faham yang menjadi pendahulunya. Berangkat dari pemikiran ini, persaingan dari faham-faham ini sudah pasti akan melahirkan pertentangan menuju pada konflik yang berkepanjangan.

Realitas sosial bertalian dengan sistem kekuasaan dari suatu sistem kenegaraan yang merupakan realitas dengan skala makro. Teori konflik, sejalan dengan rujukan yang diberikan oleh George Ritzer, memberi bantuan dalam menjelaskan realitas pada tataran makro obyektif.6 Pandangan dasar teori ini berlawanan dengan teori fungsional struktural. Perspektif konflik beranggapan sebuah tatanan sosial terus-menerus didesak oleh dorongan perubahan untuk mengubah situasi. Dengan dua pengertian kunci, yaitu kekuasaan dan kepentingan. Menurut perspektif ini suatu tatanan sosial dari segi kekuasaan ditemukan dua kutub yang berbeda. Satu sisi adalah kutub yang berkuasa dan kutub lain adalah yang dikuasai. Kedua kutub itu memiliki kepentingan yang berbeda.

5Ibid hal: 253 6 George Ritzer. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali, hal: 30-32 11

H. Metode Penelitian dan Penulisan

Tulisan sejarah mengenai peristiwa yang terjadi di Madiun 1948 cukup banyak kita jumpai, khususnya di perpustakaan. Kebanyakan dari tulisan-tulisan yang sudah ada dan beredar luas di masyarakat lebih mengarah ke tindakan diskriminatif yang dilakukan terhadap PKI baik secara langsung atau tidak langsung, dimana pada Peristiwa Madiun 1948, PKI divonis bersalah dengan dituduh melakukan pemberontakan di Madiun 1948. Tidak bisa dipungkiri bahwa rezim yang berkuasa pada saat itu juga mempengaruhi tulisan-tulisan para sejarawan. Lewat karya ilmiah ini mencoba untuk merubah melawan kemapanan yang sudah ada selama ini dengan menyuguhkan tulisan yang berbeda dengan para sejarawan-sejarawan sebelumnya mengenai topik Perjuangan Kaum Kiri di

Madiun 1948.

Tahap awal pada penelitian ini adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah (heuristik) baik berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer berasal seorang yang menyaksikan peristiwa-peristiwa atau yang ikut berpartisipasi dalam peristiwa tersebut. Sumber sekunder mencatat penemuan dari seseorang yang tidak mengamati peristiwa tapi mereka menyelidiki bukti-bukti primer.

Tidak semua sumber yang ditemukan dapat digunakan dalam proses penulisan. Untuk itu, perlu dilakukan verifikasi atau kritik sumber, baik berupa kritik intern (dari dalam) ataupun kritik ekstern (dari luar) dan interpretasi. Proses ini sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mendapatkan fakta-fakta yang sesuai dengan peristiwa yang akan ditulis. Sumber sejarah yang dipakai dibedakan 12

menjadi dua yaitu, pertama sumber primer yang berupa dokumen-dokumen atau arsip-arsip nasional yang berkaitan dengan Perjanjian Renville dan peristiwa yang terjadi di Madiun 1948. Kedua adalah sumber sekunder yang berupa buku-buku dan artikel yang didapat dari internet. Semua sumber diatas sangat membantu upaya mendiskripsikan dan menganalisa serta mencapai hasil yang valid dalam proses penulisan tentang topik yang akan dibahas.

I. Sistematika Penulisan

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh terhadap isi dari skripsi ini dari bab pendahuluan sampai bab kesimpulan, maka dalam tulisan skripsi ini akan disusun sistematika penulisan yang terbagi dalam lima bab:

Bab I membahas tentang berbagai aspek yang merupakan awal dari penulisan skripsi ini. Mencakup Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Rumusan

Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan

Teori, Metode Penelitian dan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II membahas tentang Peran Kaum Kiri dalam Perjuangan

Kemerdekaan. Sub. bab pertama akan dibahas peran kaum kiri sebelum kemerdekaan. Sub. bab kedua akan membahas peran kaum kiri setelah kemerdekaan tahun 1945-1948.

Bab III membahas Latar Belakang Keterlibatan Kaum Kiri dalam

Pergerakan Komunis di Indonesia tahun 1947-1948. Sub. bab pertama akan dibahas kondisi politik di Indonesia tahun 1947-1948. Sub. bab kedua akan membahas meletusnya Peristiwa Madiun 1948. 13

Bab V akan menutup skripsi ini dengan mengetengahkan jawaban dari setiap permasalahan yang muncul dari Rumusan Permasalahan.

BAB II

PERAN KAUM KIRI DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN

A. Sebelum Kemerdekaan

Dalam peta perpolitikan di Indonesia yang termasuk kaum kiri antara lain

PKI, Partai Sosialis, Persindo, SOBSI, BTI dan Laskar Rakyat. Kaum kiri sering disamakan dengan komunis, padahal dalam realitasnya kaum kiri terdiri dari beberapa kelompok dengan ideologi yang berbeda-beda. Salah satu kaum kiri yang berideologi Komunis dan dianggap berbahaya adalah PKI.

Komunisme sendiri berasal dari Jerman tetapi berkembang pesat di Uni

Soviet. Komunisme berasal dari pemikiran filsuf Eropa yang bernama Karl Marx, ketika Karl Marx menerbitkan pamflet yang bernama The Communist Manifesto.

Karl Marx menuntut agar antara kelas atas atau para pemilik modal mau berkerja sama dan mau menghargai kelas proletar atau buruh pabrik, karena tanpa buruh pabrik para pemilik modal juga tidak bisa berbuat apa-apa, sebaliknya tanpa para pemilik modal para buruh pabrik juga tidak berbuat apa-apa. Tulisan-tulisan Karl

Marx menyebabkan kaum ploletar bersatu untuk berjuang secara Revolusioner di bawah partai Bolsevik pimpinan Lenin, yang ternyata mampu menggulingkan rezim pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.

Latar belakang munculnya ideologi Komunis di Uni Soviet lebih dikarenakan terdapat jurang pemisah yang cukup tinggi antara kelas atas (Tuan

Tanah atau pemilik modal) dan kelas bawah atau proletar (buruh atau petani). Hal ini diperparah dengan adanya Revolusi Industri dimana tenaga-tenaga manusia

14 15

atau buruh-buruh pabrik mulai diganti dengan tenaga mesin. Tentu saja dengan adanya Revolusi Industri ini menguntungkan kelompok pemilik modal dan merugikan para buruh pabrik. Imbas dari ini semua upah buruh pabrik menjadi sangat rendah, sehingga mengakibatkan kelas atas semakin kaya dan kelas bawah atau proletar semakin memprihatinkan.

Keberhasilan perjuangan Revolusioner kaum proletar: buruh pabrik/petani di Uni Soviet, memberikan inspirasi terhadap orang-orang di Indonesia untuk meneruskan perjuangan kaum komunis di Indonesia. Ideologi yang berkembang di Eropa ini kemudian dibawa masuk ke Indonesia oleh H.J.F.M. Sneevliet.

Kedatangan Sneevliet membawa misi untuk menyebarkan ajaran Sosialis-Marxis.

Ideologi baru ini sebelumnya belum dikenal oleh orang-orang di Asia karena ideologi ini sebelumnya hanya dianut oleh orang-orang Eropa. Sneevliet kemudian mengajarkan paham Sosialis-Marxis pada orang-orang di Indonesia, baik dari golongan muda maupun golongan tua. Sasaran utama ajaran ini adalah masyarakat yang tertindas, baik yang berada di kota maupun di desa, terutama kelas pekerja.

Tahun 1909 praktek-praktek perdagangan yang dilakukan orang-orang

Cina dengan cara memonopoli perdagangan menyebabkan para pedagang Jawa lainnya membentuk suatu organisasi dagang bersama yang bernama Sarekat

Dagang Islam (SDI), dengan tujuan utama melindungi pedagang Jawa dari para pedagang besar Cina. Tahun 1912 Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi

Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan Umar Said Cokroaminoto, yang merupakan seorang pegawai sebuah firma dagang di Surabaya yang mempunyai latar

16

belakang pendidikan barat. Sarekat Islam terus berkembang dengan pesat, bahkan organisasi ini pun menyatakan anggotanya berjumlah lebih dari dua juta orang.

Tak heran apabila dikatakan, bahwa Sarekat Islam umumnya dianggap sebagai gerakan massa pertama di Indonesia.

Sarekat Islam erat berhubungan dengan pribadi Raden Umar Said

Cokroaminoto, dimana ia merupakan seorang pembicara yang menarik dan juga bersemangat. Raden Cokroaminoto telah menawan hati orang banyak dan menjadi simbol harapan bagi mereka yang merasa dirinya tertekan dan yang sudah merasa bebas. Ia telah menjadi suatu perantara yang menyuarakan kesusahan-kesusahan yang nyata maupun yang dibayangkan. Tak heran kalau pada tahun 1914 ia telah dianggap sebagai Ratu Adil, raja yang membawa kebenaran yang akan memimpin jalan ke surga.

Di sisi lain Sneevliet mendirikan organisasi Sosialis-Marxis yang bernama ISDV (Indishe Social Democratische Vereeninging). Sneevliet melihat bahwa Sarekat Islam (SI) mempunyai potensi yang besar untuk menyebarkan paham Sosialis-Marxis secara lebih besar di Indonesia. Sementara itu di

Semarang, ISDV memperluas gerakan dengan cara mencoba menarik partisipasi

SI dan berkerjasama dengan SI. Hal ini dilakukan karena SI mempunyai massa yang cukup besar dan para anggotanya sebagian besar merupakan masyarakat menengah ke bawah. Strategi yang diterapkan ISDV adalah dengan menerapkan sistem keanggotaan rangkap, dimana anggota partai ISDV boleh menjadi anggota lebih dari satu partai. Pada kenyataannya setiap orang yang menjadi anggota partai ISDV boleh menjadi anggota partai SI begitu pula sebaliknya.

17

Dalam perkembangnya Sarekat Islam tidak terfokus pada masyarakat yang berada di desa saja, tetapi Sarekat Islam mulai melirik untuk mengumpulkan masa dari kota khususnya kelas pekerja atau buruh pabrik. Inilah realita yang terjadi pada tahun-tahun sesudah 1916. Karena tekanan yang makin berat dari makin banyaknya cabang Sarekat Islam yang makin berorientasi Marxis, dan karena tidak mempunyai sarana yang efektif untuk mendisiplinkan semua unsur-unsur yang berbeda itu, maka pemimpin pusat organisasi itu lambat laun terpaksa mengkompromikan ajaran-ajaran modernis.

Sadar bahwa buruh-buruh kota dan kaum tani yang miskin memberi tanggapan yang simpatik kepada slogan-slogan Marxis, maka Sarekat Islam merasa tergugah untuk bergerak lebih jauh mendukung suatu program politik yang revolusioner dan gagasan-gagasan Marxis. Pada gilirannya politik yang revolusioner itu Disamping itu pergerakan revolusioner itu sekali waktu tampak mengancam Belanda. Pimpinan organisasi itu memberanikan diri untuk membuat kesan bahwa hubungan-hubungan politik tradisional di seluruh dunia sedang atau akan berubah.

Kondisi interen yang terjadi dalam tubuh SI mulai terlihat ada perpecahan.

Sarekat Islam mulai terpecah kedalam dua kelompok. Kelompok pertama yaitu SI

Merah yang identik dengan penganut ajaran Marxisme, yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Kelompok kedua, yaitu SI

Putih yang identik dengan pandangan yang menentang Marxisme.Untuk menghambat meluasnya paham Sosialis-Marxis, Cokroaminoto selaku petinggi SI putih mengeluarkan larangan bagi SI menjadi anggota partai lain. Larangan yang

18

dikeluarkan Cokroaminoto membuat PKI dan SI Merah tertantang. karenanya dalam kongres darurat di Bandung dan Sukabumi SI Merah memutuskan untuk keluar dari SI.

Hal lain yang merupakan basis keanggotaan yang penting bagi PKI adalah kalangan PKI itu sendiri. Para petani direkrut oleh PKI lewat pemimpin- pemimpin mereka yang telah menjadi anggota PKI. Pemimpin-pemimpin PKI ini kemudian menyebarkan berita bahwa kedatangan para pendatang (bangsa

Belanda) adalah pembawa kehancuran bagi petani, terlebih pemerintah kolonial juga mengeluarkan perintah untuk membayar pajak dan kerja bakti di perkebunan maupun rumah-rumah dinas pemerintah. Hal ini menimbulkan kejengkelan bagi kalangan para petani. Situasi ini disebarkan para pemimpin PKI, sehingga para petani berhasil diajak untuk bergabung dengan PKI untuk melawan Pemerintah

Belanda. Protes yang dilakukan para petani dan PKI ini dikenal dengan pergolakan petani Banten dan Sumatera Barat, pada tahun 1926-1927.

Sebenarnya aksi pemogokan dan pemberontakan yang akan dilakukan oleh para petani dan PKI tidak mendapat restu dari Moskow, tidak hanya itu saja

Tan Malaka yang pada waktu itu sedang berada di luar negeri juga menolak keras pemogokan dan pemberontakan yang akan dilakukan oleh para petani dan PKI.

Tan Malaka beranggapan bahwa pemberontakan, yang dipimpin oleh Muso melawan Belanda, masih bersifat prematur atau belum tepat waktunya.

Menanggapi hal itu, Tan Malaka mengeluarkan pamflet yang berjudul ”Menuju

Republik Indonesia”. Pamflet ini dikeluarkan atas dasar situasi yang belum mendukung dilancarkannya sebuah revolusi.

19

Pamflet yang dikeluarkan Tan Malaka ternyata tidak mampu menghentikan keinginan para petinggi PKI seperti Muso, Alimin, dan para petani untuk melakukan pemberontakan dan pemogokan. Pandangan Tan

Malaka ini terbukti ketika pemogokan dan pemberontakan para petani serta PKI dapat dipatahkan oleh Belanda. Pemogokan dan pemberontakan para petani serta

PKI yang belum tepat waktunya harus dibayar mahal. Mahkamah Agung Hindia

Belanda memerintahkan penangkapan semua orang PKI. Sebanyak 13.000 orang ditahan dan 4.500 orang dipenjarakan dan 1.380 orang dibuang ke Boven Digul.

Sementara itu para petinggi-petinggi PKI seperti Alimin, Muso, Semaoen melarikan diri ke Rusia. Oleh karena itu Patai Komunis Indonesia kemudian terpaksa berkerja di bawah tanah berhubungan dengan kehilangan pemimpin- pemimpin intelektualnya. Kegiatan-kegiatannya makin lama tidak terkoordinasi secara baik. Tahun 1935 Muso kembali ke tanah air dan sempat berusaha mendirikan PKI-ilegal, akan tetapi usaha Muso untuk menghidupkan PKI seperti semula tidak berhasil. Keadaan semakin tidak menguntungkan kaum kiri ketika kedatangan Jepang ke Indonesia.

Kekalahan Belanda atas Jepang membawa dua akibat yang nyata, pertama gengsi Belanda benar-benar jatuh di mata orang Indonesia. Kedua banyak orang

Indonesia yang berpendapat bahwa dengan angkatan perang semacam itu, seharusnya Belanda mampu berperang sebaik Jepang. Kedatangan Jepang pada awalnya diterima dengan baik, rakyat percaya bahwa Jepang datang untuk memerdekakan dan Jepang semakin disenangi karena segera mengizinkan dikibarkannya bendera nasional Indonesia merah putih, dan dikumandangkan lagu

20

kebangsaan Indonesia Raya. Dua hal penting itu dulu dilarang oleh pemerintah

Belanda.

Tidak lama setelah masuk Indonesia, Jepang membebaskan tokoh Sukarno dari pembuangannya di Bengkulu, dan mengizinkan Sukarno langsung pulang ke

Jawa. Sukarno segera menghubungi Hatta dan Syahrir, yang sebelumnya sudah mengadakan kontak dengan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Amir

Syarifuddin dan Darmawan Mangoenkoesoemo. Akhirnya diputuskan bahwa perjuangan nasional paling baik dilaksanakan dengan dua cara: secara resmi

(terang-terangan) dan di bawah tanah (secara diam-diam). Sukarno dan Hatta berkerja secara resmi dengan penguasa Jepang, sedang Amir Syarifuddin berjuang melalui organisasi bawah tanah.1

Dengan maksud memperoleh dukungan Sukarno, Hatta dan sementara pemimpin nasionalis yang berpengaruh lainnya untuk tujuan perang mereka, orang Jepang berjanji tidak lama lagi akan memberi Indonesia suatu pemerintahan sendiri dan mengizinkan berdirinya suatu organisasi Putera, tanggal 9 Maret 1943.

Organisasi ini mencakup semua perkumpulan politik dan non-politik Indonesia terdahulu yang bertempat di Jawa dan Madura. Bagaimanapun juga, tidak diragukan lagi bahwa hasil jangka panjang terpenting dari aktivitas-aktivitas

Putera adalah peningkatan besar-besaran kesadaran politik rakyat Indonesia, dan khususnya keinginan mereka untuk merdeka.

Orang Jepang terutama menyadari bahwa dengan mengorganisasi pemuda

Indonesia yang tidak punya latar belakang pendidikan, mungkin akan diperoleh

1 George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: UNS Press. hal:133

21

hasil-hasil politik yang nyata. Karena hanya punya latar belakang pengetahuan

Barat yang sedikit itu, mereka dengan mudah dapat diindoktrinasi untuk membenci dan melawan Sekutu.

Semula organisasi bawah tanah anti-Jepang yang paling besar diketuai oleh Amir Syarifuddin. Organisasi ini dibentuk beberapa minggu sebelum Jepang mendarat di Indonesia. Amir Syarifuddin menerima bantuan keuangan dari pemerintah Belanda sebesar 25.000 gulden yan diserahkan oleh Dr Charles van der Plas.2 Organisasi ini menarik berbagai orang yang sangat anti-fasis, yang kebanyakan berasal dari anggota partai komunis bawah tanah (PKI tidak resmi) hal ini dikarenakan Amir Syarfuddin sudah punya hubungan baik dengan mereka.

Tujuan utama organisasi bawah tanah ini adalah masuk ke dalam Peta dan organisasi-organisasi pemuda yang di sponsori oleh Jepang. Pertama, dengan sebanyak mungkin memegang kendali dalam unit-unit semua organisasi itu lewat para pemegang posisi kunci yang dapat dipercaya. Kedua, menggiring para anggotanya ke arah sikap anti-Jepang dan pro-Sekutu, terutama menyiapkan mereka untuk bangkit melawan Jepang, bila invasi Sekutu datang. Kebanyakan pemimpin bawah tanah setuju dengan Syahrir bahwa kedudukan tawar menawar

Indonesia dengan Sekutu untuk memperoleh kemerdekaannya bakal sangat kuat bila Indonesia bangkit dengan kekuatan penuh melawan Jepang berbarengan dengan pendaratan Sekutu.3

Pada masa Pemerintah Jepang gerakan kaum kiri dilarang berdiri. Sikap represif Pemerintah Jepang terbukti ketika menangkap seorang tokoh nasional

2 Ibid hal:141 3 Ibid hal:144

22

yang bernama Amir Syarifuddin dengan dakwaan sebagai kelompok bawah tanah.

Amir Syarifuddin bahkan divonis dengan hukuman mati, beruntung Amir

Syarifuddin mendapat pembelaan dari Sukarno dan Hatta. Kedua tokoh tersebut meminta keringanan hukuman sehingga Amir Syarifuddin hanya dijatuhi hukuman seumur hidup.

Desas-desus bahwa Jepang akan menyerah kepada Sekutu memacu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang telah bersepakat untuk bangkit melawan

Jepang bila sekutu mendarat. Tanggal 10 Agustus 1945, setelah mendengar siaran radio yang kebetulan tidak disegel oleh pemerintah militer Jepang bahwa Jepang sudah memutuskan untuk menyerah. Maka Syahrir mendesak Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menyakinkannya bahwa

Sukarno-Hatta akan didukung para pejuang bawah tanah maupun banyak unit

Peta.

Sukarno-Hatta yang belum begitu yakin bahwa Jepang telah menyerah, merasa bahwa kelompok-kelompok bawah tanah belum mampu menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Jepang dan khawatir bila hal ini akan mengakibatkan pertumpahan darah yang sia-sia. Sukarno-Hatta masih berharap untuk menghindari pertumpahan darah, sedangkan kelompok-kelompok bawah tanah mengikuti tuntutan Syahrir untuk segera memproklamasikan kemerdekaan

Indonesia.

Sementara itu gerakan bawah tanah pimpinan Sukarni yang didukung oleh sejumlah kelompok Persatuan Mahasiswa telah kehilangan kesabaran, sehingga tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 pagi mereka menculik Sukarno-Hatta untuk

23

dibawa ke garnisun Peta di Rengasdengklok. Di sana mereka meyakinkan

Sukarno-Hatta bahwa Jepang benar-benar menyerah. Kemudian mereka berusaha mendesak keduanya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Akhirnya, di rumah seorang warga negara Jepang yang bernama Laksamana Maeda di jalan

Pegangsaan Timur, Sukarno-Hatta merumuskan teks Proklamasi Kemerdekaan.

Kemudian tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan Republik

Indonesia.

B. Setelah Kemerdekaan 1945

Setelah Jepang menderita kekalahan atas Sekutu, para pemuda secepatnya mendesak Presiden Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Atas desakan para pemuda itu pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden

Hatta. Perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun suatu bangsa yang utuh semakin berat dikarenakan bangsa ini juga harus kembali mempertahankan bangsa ini dari pihak Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Dengan terlaksananya Proklamasi kemerdekaan bukan berati bangsa ini terlepas dari belenggu penjajahan, karena Belanda berusaha menguasai Indonesia kembali setelah Jepang kalah dari sekutu. Tentara Belanda datang kembali ke

Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu yang datang ke Indonesia. Namur demikian Proklamasi kemerdekaan telah memberi semangat baru bagi pemuda untuk menghadapi kedatangan kembali tentara Belanda yang membonceng tentara

Sekutu.

24

Sementara itu Indonesia tidak mempunyai anggaran yang cukup guna mempersenjatai para pejuangnya, padahal kedatangan Sekutu dengan persenjataan yang lengkap dapat mengancam kemerdekaan Indonesia. Pada kondisi demikian pada tanggal 1 September 1945 para pemuda membentuk API (Angkatan Pemuda

Indonesia). Beberapa tokoh pemuda kaum kiri seperti , Chaerul Saleh, dan

Aidit ikut terlibat dalam barisan tersebut. Selain API dibentuk juga Barisan Tani

Indonesia (BTI) dan Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang ikut serta berjuang membela Indonesia.

Untuk menghadapi tentara Belanda yang mempunyai persenjataan yang lengkap dan modern, para pemuda melakukan perampasan terhadap persenjataan tentara Jepang yang sudah menyerah terhadap sekutu. Perampasan persenjataan tentara Jepang dilakukan di beberapa kota besar seperti Bandung, Semarang,

Magelang, Yogyakarta dan Surabaya. Perebutan senjata dan pengambilalihan kekuasaan berjalan tanpa adanya perlawanan secara berati oleh tentara Jepang, bahkan pihak Jepang lewat Jenderal Nakamura mendukung perjuangan bangsa

Indonesia. Jenderal Nakamura bersedia berkerjasama dalam pengambilalihan kekuasaan, Hal itu terlaksana karena ia dalam posisi terdesak oleh pemuda

Indonesia.

Tidak semua perampasan persenjataan tentara Jepang berjalan dengan mulus. Jika di Magelang perebutan senjata dan pengambilan kekuasaan berjalan tanpa hambatan, tapi berbeda halnya di kota-kota besar seperti Semarang,

Bandung, Surabaya. Di ketiga kota tersebut, usaha perebutan persenjataan tentara

Jepang harus dibayar mahal dengan banyak nyawa para pemuda. Para pemuda di

25

Surabaya tak kalah semangatnya dengan pemuda-pemuda di Bandung dan

Semarang.

Setelah Jepang menyerah dari Sekutu, pemerintah Belanda segera mengambil alih kekuasaan atas wilayah Indonesia. Untuk itu pertempuran antara pihak Indonesia melawan pihak Belanda tidak dapat dihindari lagi. Perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan Belanda dilakukan dalam dua cara: pertama perjuangan yang dilakukan secara fisik dimana para pejuang melakukan pertempuran secara langsung melawan Belanda yang dipimpin oleh TNI, kedua perjuangan secara diplomasi perjuangan yang dilakukan secara persuasif dengan pihak lawan dengan cara melakukan dialog dan berbagai perjanjian-perjanjian.

Dua hal ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi, perjuangan secara fisik tanpa dilakukan dengan perjuangan diplomasi hasilnya pasti akan kurang optimal, begitu pula sebaliknya. Wujud dari perjuangan diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia tercermin dengan adanya Perjanjian

Linggarjati dan Perjanjian Renville. Dalam Perjanjian Linggarjati Indonesia diwakili oleh Syahrir sedangkan dalam Perjanjian Renville Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin.

Pada tahun 1948 setelah Amir Syarifuddin dianggap gagal dalam

Perjanjian Renville oleh Parlemen RI, membuat kabinet yang telah dipersiapkan

Amir Syarifuddin jatuh karena sudah lagi tidak mendapat dukungan dari partai- partai besar seperti PNI dan Masyumi. Dalam strategi politiknya Amir

Syarifuddin memilih menjadi kelompok oposisi dan berusaha keras untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Hatta dalam pemerintahannya.

26

Persoalan yang baru muncul, ketika perpecahan yang terjadi dalam Partai

Sosialis tidak dapat lagi dihindari antara pengikut yang pro Amir Syarifuddin dan pengikut yang pro Syahrir. Karena persoalan ini sudah tidak bisa diselesaikan dengan baik secara intern, bahkan cenderung semakin meruncing maka pada tanggal 13 Februari 1948 Syahrir dan pengikutnya memilih keluar dari Partai

Sosialis dan mendirikan partai baru yang bernama Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Sebenarnya alasan keluarnya Syahrir dari Partai Sosialis lebih dikarnakan perbedaan pandangan antara Amir Syarifuddin dengan Syahrir yang tidak dapat satukan lagi. Dengan keluarnya Syahrir dari Partai Sosialis pasti akan melemahkan kedudukan Partai Sosialis yang dipimpin Amir Syarifuddin, karena banyak anggota KNIP dan BP-KNIP yang memihak dan mendukung langkah yang dilakukan Syahrir.4

Selang berapa hari kemudian setelah Syahrir keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan partai baru, maka pada tanggal 26 Februari 1948 untuk memperkuat partainya Amir Syarifuddin berusaha menghimpun seluruh kekuatan golongan kiri yang terdiri atas kelompok-kelompok yang menentang Reorganisasi dan

Rasionalisasi (Re-Ra) dengan mendirikan partai baru yang bernama Front

Demokrasi Rakyat (FDR). FDR merupakan gabungan antara Partai Sosialis,

Partai Buruh Tani (PBT), Pemuda Sosialis Indonesia (Persindo), dan Sarekat

Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) yang semuanya melebur menjadi satu. FDR memilih menjadi partai oposisi yang selalu mengkritik

4 Drs. G. Moedjanto. M.A. 1988. Indonesia Abad Ke-20 jilid II. Yogyakarta: Kanisius. Hal:31

27

kebijakan yang dikeluarkan Pemerintahan Hatta. Adapun program-program FDR antara lain:

a. Pembatalan Persetujuan Renville. b. Penghentian perundingan-perundingan dengan Belanda sampai mereka menarik diri dari bumi Indonesia. c. Nasionalisasi semua kekayaan Belanda tanpa pemberian ganti rugi. d. Pembubaran Kabinet Presidensiel Hatta dan pembentukan Kabinet Parlementer dimana wakil-wakil FDR diikut-sertakan dengan mendudukin kursi penting5.

Pada dasarnya Hatta sendiri tidak keberatan dan merasa sepaham dengan progam-program yang dijalankan FDR. Hatta juga berani mengatakan bahwa pada dasarnya program yang dijalankan oleh FDR juga sejalan dengan program pemerintah, hanya saja Hatta tidak sepaham dan sejalan dengan program pembubaran Kabinet Presidensiel Hatta dan pembentukan Kabinet Parlementer dimana wakil-wakil FDR diikut-sertakan dengan menduduki kursi penting.

Pihak FDR pimpinan Amir Syarifuddin juga mempunyai tujuan untuk dapat membentuk kekuatan bersenjata. Hal ini dapat terealisasi ketika Amir

Syarifuddin menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Amir

Syarifuddin membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan sebutan laskar rakyat. Atmadji yang merupakan bekas sekertaris Gerindo menjabat sebagai Direktor Jenderal Angkatan Laut di Lawang.

Direktorat Jenderal ini kemudian membentuk Tentara Laut Republik Indonesia

(TLRI). Melalui organisasi TNI Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan sebutan laskar rakyat, pihak komunis dapat mewujudkan keinginnanya membentuk kekuatan bersenjata, yang pada dasarnya pro terhadap Amir

Syarifuddin.

5 Ibid hal:31

28

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Hatta pasca Perjanjian

Renville digunakan pihak Amir Syarifuddin dan pengikutnya untuk membuat propaganda yang bertujuan menjatuhkan kabinet yang dipimpin Hatta, khususnya terkait masalah Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) yang ada dalam tubuh militer. Amir Syarifuddin menilai masalah Reorganisasi dan Rasionalisasi yang terjadi pada tubuh militer mempunyai potensi yang besar untuk merongrong pemerintahan yang dipimpin Hatta dan memecah-belah kekuatan militer Tentara

Nasional Indonesia. Sebenarnya orang yang pertama kali yang mengenalkan atau membuat progran Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tidak lain adalah Amir

Syarifuddin itu sendiri, karena konsep ini sudah muncul ketika periode

Pemerintahan Amir Syarifuddin tapi belum sempat dijalankan, sehingga ia tau persis akan kelemahan dan kekurangan dari progran Reorganisasi dan

Rasionalisasi (Re-Ra)

Pihak FDR mendapat angin segar, ketika Suripno 11 Agustus 1948 telah tiba di Yogyakarta dengan membawa oleh-oleh seorang sekretaris yang bernama

Suparto yang ternyata merupakan nama samaran karena nama aslinya adalah

Muso. Pada tanggal 13 Agustus 1948 bersama Suripno, Muso menemui Sukarno.

Pada pertemuan itu keduanya saling berpelukan, hal ini menunjukan tidak adanya permasalahan diantara mereka. Muso merupakan teman Sukarno ketika mereka masih kuliah bersama. Keduanya dengan akrabnya saling menceritakan panjang lebar tentang pengalaman masing-masing selama mereka tidak bertemu. Bahkan sebelum berpisah, Sukarno minta supaya Muso mau membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi, hal ini langsung dijawab Muso.

29

Muso adalah seorang tokoh komunis yang pada tahun 1926-1927 memimpin pemberontakan PKI melawan Pemerintahan Hindia Belanda. Pada waktu itu pemberontakannya masih terkesan terburu-buru dan belum matang, maka dengan muda dapat dipadamkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda sehingga menyebabkan Muso kabur ke Moskow. Sedangkan Suripno sendiri adalah seorang tokoh komunis muda yang pada waktu Amir Syarifuddin menjadi

Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, ditugaskan untuk menjajaki kemungkinan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Negara-negara Eropa

Timur.

Kontroversi mengenai kedatangan Muso sengaja ditiupkan oleh pihak yang segaja ingin menjatuhkan Muso, bahkan ada yang menyebarkan isu bahwa

Muso segaja dikirim ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran Marx. Selain itu mereka juga menyebarkan isu bahwa kedatangan Muso kembali ke Indonesia dikawal oleh sebelas orang pasukan khusus yang sengaja ditinggalkan di

Singapura. Tidak lama setelah kedatangannya kembali di Indonesia popularitas

Muso terus meningkat bahkan popularitasnya pada waktu itu mengalahkan Amir

Syarifuddin serta tokoh-tokoh FDR yang lain, sehingga tidak lama kemudian

Muso dapat mengambil alih pimpinan kaum kiri Indonesia dan mencetuskan konsepsinya dengan nama Jalan Baru Republik Indonesia. Konsepsi ini berisi dua pokok sebagai berikut:

a. Hanya boleh ada satu partai yang berdasarkan Marxisme-Leninisme. Oleh karna itu, semua partai-partai yang bernaung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) harus menyatukan diri dengan partai kelas pekerja. b. Partai komunis harus mengadakan Front Pemersatu Nasional yang dikendalikan oleh dirinya sendiri. Konsep ini dilaksanakan dengan patuh oleh Amir Syarifuddin,

30

Setiadjit, dll. Sehingga semua partai dalam Front Demokrasi Rakyat bergabung menjadi satu menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).6

Dalam perkembangannya Amir Syarifuddin dan Muso dan tokoh-tokoh

PKI gencar melakukan kampaye penolakan terhadap kebijakan yang dikeluarkan

Pemerintahan Hatta dengan mengadakan pidoto-pidato diberbagai tempat yang bernada membakar emosi massa khususnya yang terjadi di Yogyakarta, Sragen,

Solo, dan Madiun.

6 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. 1944. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hal:7

BAB III

LATAR BELAKANG KETERLIBATAN KAUM KIRI DALAM

PERGERAKAN KOMUNIS DI INDONESIA TAHUN 1947-1948

A. Kondisi Politik Indonesia 1947-1948

Agresi Militer Belanda yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan kekacauan di wilayah Indonesia. Adapun tujuan utama Agresi

Militer Belanda lebih untuk penghancuran RI. Berbagai cara ditempuh pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menghadapi Belanda. Kelompok Syahrir mengusulkan penyelesaian dengan pihak Belanda lewat jalur diplomasi. Hal ini didasarkan pada kekuatan militer (jumlah personel) serta persediaan persenjataan yang mulai menipis. Disisi lain Tan Malaka berpandangan bahwa penyelesaian lewat jalur diplomasi tidak efektik karena pihak Belanda tidak pernah menepati janjianya, untuk itu kemerdekaan mutlak merupakan harga mati bagi Indonesia.

Setelah Agresi Militer Belanda di tahun 1947, pihak Indonesia kembali berhadapan dengan Belanda lewat Perjanjian Renville. Tahun 1948 diawali dengan Perjanjian Renville, yaitu perjanjian antara pihak Belanda dengan pihak

Indonesia yang diprakasai oleh KTN (Komisi Tiga Negara) yang dilaksanakan di atas kapal Amerika Serikat yang bernama USS Renville.

Di lain tempat, Perang Dingin yang terjadi antara Amerika Serika dengan

Uni Soviet mulai terasa di Asia. Oleh sebab itu untuk membendung masuknya komunis ke Asia Tenggara, Amerika Serikat memutuskan untuk berkerjasama dengan Belanda, Perancis dan Inggris. Sikap Amerika Serikat nampak ketika

31 32

pemberian bantuan kepada Belanda berupa persenjataan yang meliputi truk, tank dan pesawat-pesawat yang diberi tanda ”US Marine” atas usul Truman dan

Churchill. Usaha-usaha Amerika Serikat ini dikenal dengan sebutan ”Containment

Policy”, yaitu berbagai kebijakan untuk membendung lajunya pengaruh komunisme di dunia termasuk Asia Tenggara.

Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville yaitu semakin kecilnya wilayah RI sementara jumlah penduduk semakin tinggi. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan kekurangan pangan dan persenjataan. Persenjataan yang dimiliki pihak RI mulai menipis, dan jika sewaktu-waktu terjadi genjatan senjata dengan pihak Belanda maka bisa dipastikan pasukan RI akan mengalami kekalahan.

Hatta melihat banyak laskar di luar Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mempunyai persenjataan yang tak kalah dengan TNI. Hatta berpendapat bahwa dengan banyaknya laskar yang mempunyai senjata justru nantinya akan menjadi bumerang bagi Pemerintahan RI. Laskar-laskar itu dicurigai bisa memanfaatkan dan mengambil kesempatan pada saat Pemerintah RI sedang sibuk melawan

Belanda. Jalan satu-satunya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menyatukan laskar-laskar dengan TNI, agar dapat menambah kekuatan militer dan juga memudahkan dalam mengkoordinasi pasukan.

Rasionalisasi merupakan salah-satu dari kebijakan yang dikeluarkan oleh

Pemerintahan Hatta. Hatta melihat terjadi pembengkakan yang besar dalam pengeluaran keuangan dibidang militer, hal ini dikarnakan banyaknya jumlah tentara atau laskar-laskar (yang dibentuk oleh Amir Syarifuddin ketika menjadi

Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan) yang masih harus dibiayai oleh Negara. 33

Untuk melengkapi pelaksanaan Program Rasionalisasi, Perdana Menteri (PM)

Hatta juga menerapkan Reorganisasi. Program ini pada hakekatnya bertujuan membersihkan anasir-anasir komunis yang terdapat dalam tubuh TNI. Tujuan itu menyertai dalam upaya penataan kembali divisi-divisi dalam tubuh Angkatan

Perang Republik Indonesia (APRI) yang semula berada di belakang Garis

Dermakasi Van Mook dan kini tidak mempunyai divisi lagi.

Rasionalisasi tentara dijalankan dengan tiga cara. Pertama, dengan melepas kembali tentara yang sukarela mau meninggalkan keanggotaannya di TNI atau laskar dan bergabung kembali ke masyarakat dengan berkerja selain sebagai tentara. Selain itu cara yang kedua, yaitu para pejuang akan diserahkan kepada

Kementerian Pembangunan dan Pemuda yang menyiapkan obyek-obyek usaha bagi mereka. Ketiga, dengan mengembalikan seratus ribu orang ke dalam masyarakat desa.

Program Rasionalisasi militer yang diusung Pemerintahan Hatta menyebabkan penyusutan tentara secara besar-besaran sangat mengelisahkan masyarakat dan kalangan militer. Adapun kalangan militer yang mengalami kegelisahan itu ialah kesatuan militer yang telah dibina oleh Amir Syarifuddin ketika ia menjadi Perdana Meteri dan Menteri Pertahanan, terutama Divisi IV yang bermarkas di Sala. Disamping itu akan dirasionalisasikan juga kesatuan- kesatuan militer ciptaan Amir Syarifuddin yang dikenal sebagai TNI Masyarakat atau laskar rakyat, yang merupakan kesatuan militer yang berdiri diluar dari TNI.

Respon dan tanggapan dari masyarakat dan militer yang terjadi di

Surakarta terkait memorandum tentang Rasionalisasi laskar rakyat untuk menjadi 34

satu divisi tidak mendapat sambutan yang hangat. Program Reorganisasi dan

Rasionalisasi (Re-Ra) juga menimbulkan sikap anti-Hatta. Salah satu contoh sikap anti-Hatta ditunjukan dengan digelarnya pawai militer besar-besaran oleh Pemuda

Sosialis Indonesia (Persindo) dan Tentara Laut Indonesia (TLRI) pada tanggal 20 mei 1948 di Surakarta. Aksi ini menuntut pembatalan Reorganisasi dan

Rasionalisasi (Re-Ra) yang dipandang tidak relevan dengan keadaan negara yang sedang menghadapi tekanan dari Belanda.

Kondisi demikian mendorong Amir Syarifuddin dan Muso beserta petinggi PKI semakin gencar melakukan propaganda kampaye anti Kabinet Hatta, dimana mereka menuding Kabinet Hatta bertanggung jawab atas kesulitan hidup yang dialami masyarakat akibat blokade yang dilakukan Pemerintah Belanda.

Rasionalisasi juga digunakan sebagai senjata untuk merongrong Pemerintahan

Hatta. Akibatnya banyak orang yang tidak puas dengan kinerja Kabinet Hatta terutama kaum buruh dan tentara.

Selain gerakan yang bersifat militer yang mereaksi program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra), kaum buruh juga melancarkan protes terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hatta. Ketidakpuasan terhadap

Pemerintah Hatta dilakukan oleh kelompok Sarekat Buruh Tani Republik

Indonesia (Sarbupri) dengan melancarkan pemogakan besar-besaran di Delanggu pada bulan Mei-Juni 1948. Sarekat Buruh Tani Perkebunan Republik Indonesia

(Sarbupri) merupakan sebuah organisasi serikat kerja yang berada di bawah

Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Hal ini dipicu dengan rendahnya upah yang diterima para buruh dan keadaan ekonomi yang sedang 35

kacau. Pemogokan yang dilakukan buruh-buruh perkebunan telah membuat kerugian yang besar pada Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Perkebunan dan tanaman menjadi tidak terawat, akibatnya produksi menurun

Hal ini dijawab oleh Pemerintah Hatta dengan mengantikan seluruh buruh

Sarbupri yang mogok dengan Sarekat Tani Islam Indonesia (STII).1 Sikap STII yang menerjukan anggotanya mengantikan buruh yang mogok mendapat tanggapan dari buruh yang mogok. Para buruh yang mogok merasa STII tidak sejalan dengan tujuan pemogokan buruh Sarbupri dan SOBSI. Petani STII dianggap tidak mempunyai solidaritas terhadap buruh-buruh yang sedang mogok.

Mereka berpendapat bahwa STII sedang mencari kesempatan untuk mendekati pemerintah. Sebaliknya para petani STII merasa buruh-buruh yang mogok telah berkhianat pada perjuangan bangsa, karena dimasa negara sedang berperang melawan Belanda para buruh malah melawan pemerintah yang sah. Selain itu para petani STII berpendapat bahwa pemogokan bukan merigankan beban pemerintah, namun menambah beban yang dihadapi pemerintah.

Akhirnya bentrokan antara STII dan buruh SOBSI tak dapat dihindari lagi.

Hal ini dikarnakan perbuatan para petani STII dianggap membangkang oleh buruh

Sarbupri dan membuat berang buruh-buruh yang mogok. Sebanyak lima ratus orang buruh SOBSI menyerang para petani STII yang sedang bekerja. Pihak FDR menyatakan mendukung semua tindakan buruh yang mogok dan mencela perbuatan STII yang mengunakan kesempatan untuk menggagalkan pemogokan tersebut. Merasa tertekan para petani STII mengadukan tindakan yang telah

1 Drs. G Moedjanto. MA. Op Cit. hal:93-94 36

dilakukan SOBSI pada Hisbullah. Hal ini kemudian menyebabkan perselisihan semakin meluas karna tidak hanya melibatkan dua kelompok ini saja, tetapi juga menyeret permusuhan antara Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang pro

Sarbupri dan Hisbullah yang pro STII. Situasi semakin memanas ketika perselisihan mereka disertai dengan adu senjata.

Terkait dengan situasi yang semakin tidak kondusif maka Pemerintah

Hatta mengirim pasukan dari Divisi Siliwangi yang ditugaskan didaerah Surakarta untuk menjaga dan memulihkan kembali konflik di Surakarta. Dengan ditugaskannya pasukan Divisi Siliwangi untuk mengamankan daerah tersebut, menyebabkan timbul kejengkelan di kalangan Divisi IV karena Surakarta sebenarnya merupakan daerah otoritasnya. Pasukan Divisi IV merasa tersinggung mengapa yang ditugaskan bukan Pasukan Divisi IV, padahal seharusnya merekalah yang berhak memulihkan keadaan itu. Ketegangan menjadi-jadi setelah terlibatnya Pasukan Divisi IV (yang akan terkena Rasionalisasi) yang pro terhadap

Sarbupri dan Persindo melawan Pasukan Divisi Siliwangi (pasukan Pemerintah yang sah) yang pro terhadap STII dan Hisbullah.

Divisi IV tidak setuju dengan rencana Rasionalisasi, untuk itu rencana

Rasionalisasi diminta untuk ditangguhkan. Situasi semakin memanas ketika pada tanggal 2 Juli 1948 Komandan Divisi IV, Kolonel Sutarto dibunuh. Hal ini segera direspon Pemerintah Hatta, pada bulan Agustus mengangkat Letkol Suadi sebagai pengantinya. Akan tetapi Letkol Suadi pun mendesak pemerintah agar program

Rasionalisasi ditangguhkan. 37

Dengan pengangkatan Letkol Suadi sebagai Komandan Divisi IV tidak mengurangi ketegangan yang terjadi, bahkan 11 September 1948 terjadi penculikan demi penculikan atas beberapa pengurus FDR—PKI di Sala, antara lain Slamet Wijaya dan Pardiya. Penculikan tersebut diikuti oleh penculikan lain atas sejumlah perwira-perwira Divisi IV yang dianggap berperan penting dalam penolakan pelaksanaan Rasionalisasi. Pada tanggal 7 September 1948, Komandan

Divisi IV, Letkol Suadi menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto,

Kapten Supardi untuk pergi mengusut penculikan-penculikan itu. Demikian pula halnya, mereka yang ditugaskan oleh Komandan Divisi IV Letkol Suadi tidak kembali, hanya sepeda mereka saja yang ditemukan di daerah Srambatan. Pada tanggal 8 September 1948 Letkol Suharman dari TNI Masyarakat atau yang sering dikenal dengan sebutan laskar rakyat juga ditugaskan untuk mengusut penculikan-penculikan itu tapi juga hilang.

Esok harinya tanggal 9 September 1948, Suharman dibawa oleh Pasukan

Divisi Siliwangi ke markas Batalion Siliwangi di Tasikmadu. Ternyata tidak hanya Suharman yang ditangkap oleh Pasukan Divisi Siliwangi tetapi Slamet

Wijaya dan Pardiya juga ditahan ditempat yang sama. Pada tanggal 19 September

1948 mereka dipindahkan ke Staf I Divisi Siliwangi Kletjo dan pada 24

September 1948 mereka dibawa ke penjara Wirogunan.

Letkol Suadi meminta ketegasan sikap Pemerintah Pusat, mengenai penangkapan-penangkapan ini. Sebagai Pemimpin TNI, Panglima Besar

Sudirman pada tanggal 8 September 1948 memberi izin kepada Letkol Suadi 38

untuk mengambil tindakan terhadap kekacauan-kekacauan di Solo.2 Berdasarkan izin Panglima Besar Sudirman itu, pada tanggal 10 September 1948 mengeluarkan ultimatum yang menuntut pengembalian perwira-perwira Divisi IV yang diculik selambat-lambatnya tanggal 13 September 1948 jam 14.00 WIB.3 Ultimatum itu tidak diindahkan oleh Pasukan Divisi Siliwangi, maka 13 september 1948 jam

14.00 tepat konflik bersenjata mulai meletus antara pasukan Siliwangi dengan

Divisi IV dan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Konflik tersebut juga melibatkan ALRI yang merupakan binaan Amir Syarifuddin sewaktu menjabat sebagai Perdana Meteri dan Menteri Pertahanan. Komandan Batalion dari ALRI,

Sutarno, gugur pada konflik bersenjata itu.

Pukul 18.00 tanggal 13 September 1948 Panglima Besar Sudirman memerintahkan diadakan Cease Fire.4 Pelaksanaan perintah Cease Fire disaksikan sendiri oleh Menteri Pertahanan, Panglima Besar, Pejabat dari

Kehakiman Tinggi Militer, Residen Sudiro. Perintah Cease Fire ditaati oleh

Pasukan Divisi IV, tetapi dengan diam-diam Komandan Siliwangi memerintahkan supaya seluruh kesatuan Siliwangi di sekitar Solo bergerak menduduki Solo.

Setelah Pasukan Divisi Siliwangi tidak taat pada perintah Cease Fire, maka tanggal 15 September 1948 pukul 18.00 Pasukan Divisi IV dan ALRI bergerak mengempur Pasukan Siliwangi. Pelanggaran Cease Fire dibenarkan oleh

Pemerintah Pusat, sedangkan Letkol Suadi dengan semua pasukannya dicap

“Pengacau” oleh Pemerintah Hatta.

2 D.N. Aidit. Suroso Suar, Leclerc Jacques, . 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madium 1948). Jakarta: ERA Publisher, hal:64. 3 Drs. G. Moedjanto. MA. Op Cit. hal:36 4 D.N. Aidit. Suroso Suar, Leclerc Jacques, Musso. Op Cit. hal:64 39

Berhubung dengan keadaan yang kacau itu, maka tanggal 17 September

1948 pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer dengan tugas menentralkan keadaan. Untuk itu pemerintah meyerukan melalui

Radio dan surat-surat selebaran supaya rakyat membantu Pasukan Siliwangi yang bertugas secara resmi. Jadi arena pertempuran dipenuhi oleh pasukan-pasukan yang pro PKI: Divisi IV, Persindo dan kesatuan Angkatan Laut ( yang karena blokade Belanda harus berjuang didarat) melawan pasukan-pasukan pemerintah yang diwakili oleh Pasukan Divisi Siliwangi yang dibantu oleh Barisan Banteng dan Pelajar berserta rakyat. Pertempuran itu menunjukan keungulan dipihak

Pemerintah RI atas pasukan-pasukan yang pro PKI, mereka terpaksa meninggalkan Sala pada 17 September 1948, sejak saat itu kekuatan Pasukan

Divisi IV dan PKI tercerai-berai.

B. Melutusnya Peristiwa Madiun 1948

Madiun adalah salah satu kota penting, karena merupakan di wilayah RI pada masa itu (1948). Secara geografis, kota Madiun berbatasan dengan

Karesidenan Pati dan Karesidenan Bojonegoro. Selain itu letak kota Madiun sangat strategis, karena berada diantara gunung Wilis dan gunung Lawu. Letak strategis ini dimana diapit oleh dua pegunungan merupakan jaminan kekayaan alamnya dan juga menjadi benteng pertahanan.

Dalam perkembangannya di kota Madiun banyak berdiri pabrik dan perkebunan yang semakin menambah daya tarik bagi pendatang. Banyak bermunculan pabrik-pabrik dan perkebunan sehingga menimbulkan sebuah 40

persatuan buruh, hal ini didorong oleh masuknya paham Marxis di Indonesia.

Salah satu organisasi buruh yang mendapat dukungan dari kaum buruh adalah

SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). SOBSI merupakan salah satu organisasi dari FDR (Front Demokrasi Rakyat).

1. Peristiwa Madiun 1948 menurut pandangan Pemerintah RI

Ketika seluruh perhatian ditujukan ke kota Solo, Pemerintah RI sudah dikejutkan lagi dengan peristiwa Coup (perebutan kekuasaan) yang dilakukan oleh

Persindo dan Brigade 29 di Madium. Peristiwa Coup (perebutan kekuasaan) ditandai dengan suara letusan pistol tiga kali, pada pukul 03.00 WIB. Dengan didukung oleh kekuatan Brigade 29/PKI dibawah pimpinan Sumarsono dan

Kolonel Djokosujono, kaum komunis melakukan perebutan kekuasaan di Madiun dan memproklamasikan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”.5

Strategi yang dipakai oleh PKI dengan menjadikan Surakarta sebagai daerah Wild West atau daerah liar dan Madiun sebagai basisnya ternyata cukup efektif guna menghambat serangan tentara Pemerintah RI masuk Madiun.6 Hal ini terungkap setelah Presiden Sukarno secara khusus memerintahkan penggrebekan atas rumah Amir Syarifuddin. Dalam melancarkan tindakan Coup ini para pemberontak tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan yang berujung penculikan dan pembunuhan. Dibawah teror dan berbagai tindakan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan para pemberontak terhadap aparatur

Pemerintahan RI dan penduduk setempat, menjadikan Madiun seperti kota mati.

5 Gerakan 30 September:Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. 1944. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hal:22 6 Maksum, Sunyoto Agus, Zainuddin. A . 1990. Lubang-Lubang Pembantaian : Petualangan PKI di Madium. Jakarta: PT. Temprint, hal:12. 41

Penduduk Madiun memilih untuk tetap tinggal dirumah mereka masing-masing dan tidak mau keluar bila tidak ada keperluan yang penting.

Mempertimbangkan kenyataan yang terjadi dilapangan, maka Presiden

Sukarno dalam mengantisipasi kemelut ditubuh tentara dengan memerintahkan

Mayor Jendral A.H. Nasution, untuk menyusun rencana penumpasan pemberontakan FDR/PKI di Madiun. Untuk itu Pemerintah RI menugaskan pasukan dari Divisi Siliwangi yang terkenal sangat loyal dan setia kepada

Pemerintah RI.

Perang urat saraf antara Presiden Sukarno dan pemimpin PKI Muso pun tak dapat dihindari, hal ini terbukti ketika kedua tokoh saling-serang mengunakan media radio. Muso selaku pimpinan tertinggi PKI mengeluarkan seruan yang berbunyi:

“Sekarang sudah tiba saatnya mengorbarkan revolusi. Republik berusaha menyerahkan Bangsa dan tanah Indonesia kepada Bangsa Belanda. Republik dengan Belanda bekerja sama untuk menindas Bangsa Indonesia. Korabolator fasis Hatta memperalat Republik untuk menjajah kaum buruh dan tani. Pemerintah Republik seluruhnya terdiri dari penghianat-penghianat.”

Selanjutnya Muso menyerukan:

“Madium sudah bangkit. Revolusi harus dikobarkan. Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik. Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk. Mulai saat ini senjata kita tidak boleh berhenti memutahkan peluru sampai kemerdekaan, keamanan dan ketentraman pulih di Negri Indonesia tercinta ini.”7

Setelah pemimpin Partai Komunis Indonesia Muso berpidato melalui media radio yang isinya mengecam Pemerintahan Sukarno-Hatta, hal ini segera direspon Sukarno. Malam harinya tanggal 19 September 1948, Presiden Sukarno berbicara melalui radio kepada seluruh Bangsa Indonesia, demikian:

7 K.M.L. Tobing. 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta: PT.Gunung Agung, hal:116 42

“Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan di sana mendirikan suatu Pemerintahan Sovyet dibawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permualaan untuk merebut seluruh Pemerintahan RI. Nyata dengan ini, bahwa peristiwa Solo dan Madiun itu tidak berdiri sendiri, melaikan adalah suatu rangkaian tindakan untuk merobohkan Pemerintahan RI. Buat itu digunakan kesatuan dari Brigade 29, bekas laskar dibawah pimpinan Letnan Kolonen Dahlan. Dengan itu, Dahlan berhianat pada Negara dan melanggar sumpah tentara. Dahlan ini kami pecat dari tentara. Saudara-saudara, camkanlah benar-benar apa yang telah terjadi itu. Negara RI hendak direbut oleh PKI Muso. Rakyat yang kucintai, atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu: pada saat yang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri; dan kita haruslah memilih satu antara dua: ikut Muso dengan PKI-nya, yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan, akan memimpin Negara RI yang merdeka, tidak dijajah oleh Negara apapun juga. Madium harus lekas ditangan kita kembali.” 8

Muso tidak menyadari bahwa strategi saling serang dengan Presiden

Sukarno dengan mengunakan media radio dimuka umum justru akan menjadi sebuah bumerang dirinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa dimata seluruh rakyat

Indonesia Presiden Sukarno mempunyai kharisma yang kuat daripada Muso, selain itu Sukarno merupakan seorang orator yang baik. Akhirnya rakyat

Indonesia khususnya yang berada di Madiun memilih untuk ikut Sukarno-Hatta, yang akan memimpin Negara RI yang merdeka, tidak dijajah oleh Negara apapun juga.

Untuk itu satuan militer Divisi Siliwanggi yang telah ditunjuk oleh

Pemerintah RI segera menyusun kekuatan untuk menyerang Madiun. Lewat serangan kilat yang dilakukan oleh pasukan Brigade Surachmad pimpinan Mayor

Jonosewojo (Divisi Siliwangi) rupanya telah membuat porak-poranda strategi pertahanan FDR/PKI . Bataliyon Maladi Jusuf, batalion Mustofa dan pasukan inti

Brigade 29 (satuan militer yang akan terkena program Rasionalisasi) dibawah

Letkol Dakhlan yang dicadangkan akan menjadi pasukan “Penggebuk” justru

8 Ibid. hal:116-117 43

kalang kabut dengan serangan tak terduga itu yang dilakukan oleh pasukan Divisi

Siliwangi dari segala penjuru.

Namun demikian, bataliyon Maladi Jusuf dan bataliyon Mustofa dengan cepat mengadakan konsolidasi kekuatan. Tertawannya Letkol Dakhlan dan 300 orang pasukannya, lewat serangan kilat yang dilakukan pasukan Brigade

Surachmad tampaknya telah membuat separuh kekuatan inti pasukan elite Brigade

29 berhasil dilumpuhkan. Gencarnya serangan yang dilakukan tentara Pemerintah

RI dibawah Divisi Siliwanggi dari berbagai penjuru dan serangan seporadis yang dilakukan oleh kelompok pelajar dibantu masyarakat membuat para pemberontak kabur meninggalkan Madiun. Tentara Pemerintah RI dibawah pimpinan Divisi

Siliwangi terus melakukan pengejaran secara intensif terhadap para pemberontak yang kabur meninggalkan Madiun.

Gerakan mundur pasukan pemberontak banyak melewati kawasan hutan dan pegunungan kapur ke arah barat. Perburuan terhadap para pemberontak, khususnya para pimpinan pemberontak dilakukan sampai Gunung Lawu. Bahkan mereka terpaksa berpencar untuk mengindari kejaran tentara Pemerintah RI dibawah pimpinan Pasukan Divisi Siliwangi. Karena tidak terbiasa berjalan jauh dan bergerilya di hutan, maka Muso tertinggal dengan rombongan lainnya. Pada tanggal 31 Oktober 1948 di Ponorogo dalam suatu pertempuran, Muso tertembak mati. Tanggal 29 November 1948, didesa Penawangan, 19 km dari Purwodadi, dalam keadaan luka-luka Amir Syarifuddin berserta para petinggi PKI ditangkap.

Sesudah ditahan beberapa waktu di Yogyakarta, maka Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya dikembalikan ke Solo dan dipenjarakan disana. 44

2. Peristiwa Madiun 1948 menurut pandangan Non-Pemerintah

Selama ini banyak tulisan-tulisan dan opini-opini publik yang mendiskriminasikan Partai Komunis Indonesia (PKI), terkait peristiwa Madiun

1948. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi, dimana diduga peristiwa

Madiun 1948 ditunggani oleh elit-elit politik yang sengaja memanfaatkan situasi kekacauan di Madiun untuk keuntungan sendiri ataupun kelompoknya.

Peristiwa ini bermula, tanggal 9 September 1948, mulai pukul 01.00 sampai 08.00, di Madiun pasukan TNI setempat (Brigade 29) melucuti pasukan- pasukan yang dikirim Pemerintah Pusat dan pasukan Mobrig, suatu insiden yang bukan pertama kalinya, bahkan sudah sering terjadi. Hal ini dipandang oleh

Pemerintah Pusat merupakan suatu bentuk pembangkangan dalam upaya merong- rong pemerintahan yang sah. Malam hari itu juga Presiden Sukarno mengucapkan pidato radio yang antara lain menyatakan bahwa:

“kemarin pagi PKI-Musso mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana satu Pemerintahan Soviet, dibawah pimpinan Musso”.

Pidato itu langsung disusul oleh pidato Sultan Hamengku Buwono IX, yang menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya yang berada di

Madiun untuk:

“secepat mungkin menghancurkan kaum Pemberontak”.9

Disini terlihat bahwa Hatta yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana

Menteri terkesan memanfaatkan Presiden Sukarno dan Sultan Hamengku Buwono

IX, untuk menggerakan pihak militer dan rakyat. Hatta sadar tanpa memanfaatkan

9 D.N. Aidit , Suroso Suar, Leclerc Jacques, Musso. Op Cit. Hal:71 45

kedua tokoh tersebut tujuan utamanya atas penghancuran Partai Komunis

Indonesia tidak akan tercapai.

Banyak hal yang ganjil dalam peristiwa Madiun 1948 ini, dimana pidato

Presiden Sukarno yang menyatakan bahwa:

“kemarin pagi PKI-Musso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana satu Pemerintahan Soviet, dibawah pimpinan Musso”.

Hal ini kemudian menjadi ironis ketika tidak dijumpai Amir Syarifuddin dan Musso di Madiun pada saat terjadi peristiwa Madiun 1948. Amir Syarifuddin dan Musso pada waktu terjadi peristiwa Madiun 1948, justru sedang berada di

Cepu, dalam perjalanan menuju Magelang dan Purworejo dalam rangka kampaye program-program FDR.10 Selain itu adanya gosip yang santer menyebutkan bahwa Muso dan Amir Syarifuddin akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden di

Madiun. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk tindakan provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab yang ingin mendiskriminasikan

Partai Komunis Indonesia.

Dengan fakta yang ada demikian, tidaklah mungkin bahwa Amir

Syarifuddin dan Musso berada didalam dua tempat disaat yang bersamaan. Jelas berati tidaklah benar pidato Presiden Sukarno yang menyebutkan bahwa kemarin pagi Amir Syarifuddin dan Musso telah telah mengadakan coup (perampasan kekuasaan) di Madiun, dan mendirikan disana satu Pemerintahan Soviet, dibawah

Musso.

Faktanya yang terjadi di Madiun tanggal 19 September 1948, karena

Residen sedang berpergian, Wakil Residen sedang sakit, sedangkan Walikota

10 Ibid hal:72 46

tidak mau berbuat apa-apa, padahal harus ada yang bertanggung-jawab atas keamanan di daerah itu. Untuk itu Wakil Walikota Madiun yang bernama Supardi atas usul organisasi-organisasi rakyat diangkat sebagai Residen. Pengangkatan itu ditandatanggani juga oleh Komandan Teritorial, Overste Sumantri, Wakil

Residen, dan Walikota Purbo. Kemudian Overste Sumantri, Isdharto dan Supardi, atas nama Pemerintah Daerah mengirim kawat ke Pemerintah Pusat di Yogyakarta sebagai berikut:

“Di Madiun terjadi pelucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas Batalion Siliwangi dan Mobrig, berhubung dengan kepergiannya Kepala Daerah dan Walikota sedang sakit, untuk sementara pimpinan Pemerintahan Daerah kami pegang, keamanan kembali normal. Minta instruksi-instruksi lebih lanjut, laporan tertulis segera menyusul”.11

Terkait dengan peristiwa pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi

Residen ternyata berbuntut panjang, dikarnakan Pemerintah Pusat menganggap tindakan tersebut sebagai suatu bentuk pemberontakan. Tindakan secara sepihak yang terjadi di Madiun dianggap oleh Pemerintah Pusat sebagai suatu pelanggaran berat. Untuk itu, tanggal 22 September 1948 Presiden Sukarno menugaskan

Letnan Kolonel Suharto untuk datang ke Madiun dan menyaksikan sendiri keadaan di Madiun. Penugasan Letkol Suharto ke Madiun lebih disebabkan,

Suharto telah berteman baik dengan Sumarsono (yang memimpin Daerah Madiun pada saat itu). Oleh Sumarsono, Suharto diajak berkeliling kota Madiun untuk melihat keadaan kota Madiun, selain itu Suharto diajak memeriksa Lembaga

Pemasyarakatan (LP) yang ada Madiun. Dengan argumentasi dari Sumarsono jika ada peristiwa pemberontakan di Madiun pasti banyak tahanan baru.

11 Ibid hal:72 47

Setelah selesai berkeliling kota Madiun dan memeriksa Lembaga

Pemasyarakatan (LP) di Madium, Suharto dan Sumarsono sampai pada kesimpulan bahwa di Madiun tidak ada pemberontakan seperti yang diberitakan.

Untuk itu Sumarsono menulis surat yang ditujukan kepada Kepala Pemerintah

Pusat yang isinya melaporkan bahwa di Madiun keadaan aman dan normal, tidak ada pemberontakan seperti yang diberitakan, kemudian surat itu dititipkan kepada

Letkol Suharto. Berkaitan dengan surat yang dititipkan Sumarsono kepada Letkol

Suharto ternyata tidak ada kabar beritanya, hal inilah yang kemudian menyebabkan kota Madiun diserang oleh tentara Pemerintah RI, dibawah pasukan

Divisi Siliwangi.

Terkait situasi yang semakin memanas, yang berujung terhadap penangkapan-penangkapan terhadap beberapa petinggi PKI seperti: Tan Ling Djie yang merupakan Sekretaris Jenderal II PKI, dan juga anggota Polit Biro yang bernama Abdulmadjid, dan Sekretaris Jenderal III dan IV yang bernama Maruto

Darusman dan Ngadiman. Untuk itu pada tanggal 23 September 1948, Amir

Syarifuddin dimuka corong radio Madiun mengatakan:

“Perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak lebih tidak kurang daripada gerakan untuk mengoreksi jalannya revolusi. Maka itu dasarnya tetap sama tidak berubah. Revolusi menurut pendapat kita tetap berwatak nasional, yang dapat disebut revolusi demokratis. Konstitusi kita tetap sama, bendera kita tetap merah putih, sedang lagu kebangsaan kita tidak lain daripada Indonesia Raya”.12

Pada tanggal 24 September 1948 pasukan Pemerintah RI dibawah pimpinan Divisi Siliwangi menduduki dan membersihkan Sarangan dan tanggal

25 September 1948 menduduki Tegal. Tanggal 26 September 1948 Kementerian

Pertahanan mengumumkan bahwa seluruh daerah Jawa Timur termasuk Madura

12 Ibid hal:74 48

berada dibawah kontrol pasukan Pemerintah. Tanggal 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan Pemerintah RI. Amir Syarifuddin, Muso dan sejumlah tokoh lainnya mundur dari Madiun Ke daerah Dugus, 9 km dari Madiun dan kandengan,

16 km dari Madiun.

Tanggal 28 Oktober 1948 rombongan terakhir sejumlah 1500 orang ditangkap. Karena tidak terbiasa bergerilya seperti orang kebanyakan, akhirnya

Muso tertinggal dengan rombongannya. Pada tanggal 31 Oktober 1948 di

Ponorogo dalam suatu pertempuran, Muso tertembak mati. Tanggal 29 November

1948, didesa Penawangan, 19 km dari Purwodadi, dalam keadaan luka-luka Amir

Syarifuddin berserta para petinggi PKI ditangkap. Sesudah ditahan beberapa waktu di Yogyakarta, maka Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya dikembalikan ke Solo dan dipenjarakan disana.

Dalam suatu rapat kabinet tanggal 8 Desember 1948, dibicarakan tindakan yang akan diambil terhadap pemimpin-pemimpin Partai Komunis Indonesia jika

Belanda mengadakan agresi militernya. Hadir pada waktu itu 12 orang Menteri.

Dalam sidang tersebut, empat orang Menteri menghendaki agar Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya ditembak mati, empat orang berpendapat bahwa supaya

Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya dibebaskan (jangan ditembak), empat orang lainnya tidak memberikan suara. Kemudian Presiden Sukarno keluar dengan hak vetonya, bahwa Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya tidak boleh ditembak.

Akan tetapi tanggal 19 Desember 1948 malam, dikala Belanda mulai melancarkan Agresi Militernya yang kedua, kira-kira pukul 23.30 telah dijalankan 49

hukuman mati, atas sebelas tokoh PKI dan FDR yaitu: Amir Syarifuddin, Maroeto

Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono,

Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku didesa Ngaliyan, kelurahan lalung,

Kabupaten Karanganyar, Keresidenan Surakarta. Eksekusi dilakukan tanpa proses peradilan terlebih dahulu.

Dari kedua pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Madiun 1948, merupakan suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan

Pemerintah RI terhadap kelompok-kelompok minoritas. Berangkat dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam peristiwa Madiun 1948 pihak yang paling dirugikan adalah rakyat Indonesia khususnya yang berada di kota Madiun. Seharusnya pihak-pihak yang sedang bertikai antara Pemerintah RI dan Partai Komunis

Indonesia mau menahan diri sehingga tidak menimbulkan ribuan korban jiwa. Hal ini merupakan pertama kalinya terjadi perang saudara setelah Indonesia dengan bersusah payah memperoleh kemerdekaan dari Pemerintah Hindia Belanda.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap kelompok minoritas yang dilakukan oleh Pemerintah RI, nampak jelas dengan berbagai bentuk upaya Pemerintah RI dengan mendiskriminasikan kelompok tertentu. Hatta merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Madiun, sehingga menimbulkan ribuan korban jiwa. Hal ini dikarnakan pada waktu itu Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri yang secara otomatis bertanggung jawab atas seluruh peristiwa yang terjadi di Indonesia, termasuk yang terjadi di Madiun.

Hatta yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri juga memanfaatkan Presiden Sukarno dan Sultan Hamengku Buwono IX, untuk 50

menggerakan pihak militer dan rakyat. Hatta sadar tanpa memanfaatkan kedua tokoh penting tersebut sulit bagi dirinya menghancurkan komunis di Indonesia, sebab kharisma yang dimiliki Hatta belum kuat untuk menggerakan militer dan rakyat. Catatan hitam yang telah dilakukan Pemerintahan Hatta tidak sampai disitu saja, hal ini terbukti ketika sebelas petinggi Partai Komunis Indonesia yang tertangkap antara lain: Amir Syarifuddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee

Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan

D. Mangku kemudian dieksekusi mati tanpa proses peradilan terlebih dahulu.

C. Partai Komunis Indonesia merupakan korban Perang Dingin.

Tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa Madiun 1948, ditunggani oleh kepentinggan dari pihak luar dan dalam negeri sendiri. Yang dimaksud pihak luar dalam hal ini adalah pihak Amerika, dimana adanya perang kepentingan antara pihak Amerika melawan pihak Uni Soviet dalam usahanya menyebarkan ideologinya masing-masing ke seluruh dunia (Perang Dingin). Memang pada awalnya pihak Amerika memihak pada Pemerintah Hindia Belanda dengan alasan

Amerika takut kalau Indonesia merdeka maka Indonesia akan menjadi Negara

Komunis.

Keberpihakan Amerika nampak jelas dari bantuan peralatan dan senjata yang dipakai pasukan Belanda masih memasang tanda-tanda militer Amerika

Serikat, seperti: Truk, Tank maupun Pesawat Terbang. Amerika juga memberikan bantuan keuangan untuk berlangsungnya usaha Belanda menguasai Indonesia.

Sebuah laporan CIA bertanggal 14 November 1947 menyatakan: 51

“di Indonesia dan Indocina, para penduduk setempat sudah menduga bahwa usaha Perancis dan Belanda untuk kembali berkuasa berlangsung atas bantuan Amerika Serikat”.13

Seiring waktu berjalan Amerika mulai melunak terhadap Pemerintah RI dan memberi dukungan kepada pihak RI, Amerika memberikan bantuan dan dukungan sepenuhnya dalam rangka usahanya mengusir komunisme. Amerika takut jika sampai salah satu Negara Asia Tenggara jatuh ke tangan komunis maka

Negara-negara disekitarnya akan jatuh juga ke tangan komunis (Teori Domino).

Dukungan ini tampak jelas diberikan kepada Pemerintahan Hatta, dalam rangka memeranggi komunisme. Salah satu program Pemerintah Hatta yaitu Re-Ra

(Rekontruksi dan Rasionalisasi) yang terjadi didalam tubuh militer. Rasionalisasi sendiri merupakan upaya Pemerintah Hatta dalam membersihkan analisir-analisir yang terdapat dalam tubuh militer.

Pihak Amerika Serikat sebenarnya kurang puas terhadap kinerja progran

Rasionalisasi dan Rekontruksi (Re-Ra) yang dijalankan Pemerintahan Hatta, karena dianggap terlalu lambat. Untuk itu Amerika kemudian menempuh usaha yang kasar, dengan cara mencampuri secara langsung urusan dalam Negeri

Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1948, diselenggarakan Konferensi Sarangan, pertemuan antara dua orang Amerika, Gerard Hopkins (Penasihat Urusan Politik

Luar Negeri dari Presiden Truman) dan Cochran (wakil Amerika pada Komisi

Jasa-jasa baik PBB) dengan enam orang Indonesia yaitu Presiden Sukarno,

Mohamad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem.14

13 Ibid hal: 30 14 Ibid hal:48 52

Kita ketahui bersama bahwa pada saat itu kapasitas Mohamad Hatta menjabat sebagai (Perdana Menteri), Natsir (Menteri Penerangan-Masyumi),

Sukiman (Menteri Dalam Negeri-Masyumi). Sangat beralasan jika mereka mau berkerja sama dengan pihak Amerika untuk melawan Partai Komunis Indonesia, seperti kita ketahui bersama Masyumi dengan Partai Komunis Indonesia seperti minyak dan air, dimana keduanya selalu berseteru. Mereka berusaha sedemikian rupa agar dapat menghambat bahkan menumpas pergerakan komunis di

Indonesia.

Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama Red Drive Proposals yang berhubungan dengan pembasmian kaum merah.15 Tentang biaya untuk menjalankan Red Drive Proposals yang telah disetujui kedua pihak, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State

Departement (Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dolar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok.

Red Drive Proposals dipraktekan dengan bermacam-macam provokasi.

Tiap-tiap kejadian buruk dilemparkan kepada FDR/PKI. Secara provokatif gedung-gedung Persido, Partai Sosialis, Sarbupri diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh di Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Pemalsuan dokumen-dokomen FDR/PKI berlangsung untuk memfitnah bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, surat kabar Murba menyiarkan dokumen palsu

15 Ibid hal:48 53

FDR/PKI yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR/PKI mengenai usahanya untuk memberontak RI. Antara lain:

a. Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demontrasi. b. Mengadakan pemogokan-pemogokan. c. Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan. d. Perampasan kekuasaan.16

Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Perdana Menteri Hatta dalam pidatonya pada sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia merebut kekuasaan di Madiun.

Sekertaris pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman dibeberapa surat kabar di Yogyakarta ketiga mengetahui adanya dukumen palsu FDR yang sengaja disebarkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Pihak FDR sendiri juga telah mengadukan masalah ini kepada pihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekertariat Pusat FDR kepada FDR yang berada didaerah- daerah melalui pos, jadi tidak ada yang sifat kerahasiaannya. Jadi sangat tidak relevan dengan realitas yang terjadi di lapangan.

Hal ini menunjukan bentuk intervensi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dalam hal ini merupakan pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hatta sedangkan kelompok minoritas adalah kaum kiri khususnya Front Demokrasi Nasional

(FDR). Pemerintahan Hatta mengangap perkembangan kaum kiri khususnya FDR merupakan duri di dalam daging bagi pemerintah Republik Indonesia. Hatta tidak ingin kaum kiri menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintah. Untuk itu

16 Ibid hal:49-50 54

Hatta berupaya keras untuk menghambat perkembangan kaun kiri khususnya FDR dengan segala cara.

BAB IV

PENUTUP

Konflik yang terjadi di Surakarta merupakan latar belakang peristiwa yang terjadi di Madiun 1948. Konflik awalnya terjadi antara kelompok Sarekat Buruh

Tani Republik Indonesia (Sarbupri) dengan kelompok Sarekat Tani Islam

Indonesia (STTI). Pemogokan kelompok Sarbupri terhadap pemerintah kemudian dijawab oleh pihak pemerintah dengan menganti seluruh buruh Sarbupri dengan kelompok STTI. Perselisihan semakin meluas karena tidak hanya melibatkan dua kelompok ini saja, tetapi juga menyeret permusuhan antara Pemuda Sosialis

Indonesia (Persindo) yang pro Sarbupri dan Hisbullah yang pro STTI.

Konflik yang semula antara Persindo yang pro Sarbupri dan Hisbullah yang pro STTI, konflik semakin meruncing ketika masuknya pasukan Divisi

Siliwangi yang dikirim oleh pemerintah untuk mengatasi konflik yang terjadi di

Surakarta. Pasukan Divisi IV merasa tersinggu mengapa pemerintah justru mengirim pasukan Divisi Siliwangi, padahal secara teritorial wilayah Surakarta masih dalam wilayahnya. Hal ini berujung pada konflik pada konflik bersenjata yang melibatkan kelompok Persindo yang pro Sarbupri dibantu oleh Divisi IV melawan Hisbullah yang pro STTI dibantu Divisi Siliwangi.

Dalam konflik bersenjata dimenangkan oleh kelompok Hisbullah yang pro

STTI dibantu oleh Divisi Siliwangi, sehingga mengakibatkan kelompok Persindo yang pro Sarbupri dibantu Divisi IV tercerai berai. Sebagian pasukan Divisi IV dan kelompok Persindo dan Sarbupri melarikan diri menuju kota Madiun. Di

55 56

Madiun Divisi IV, Persindo dan Sarbupri kemudian bergabung dengan kelompok kiri untuk membangun kekuatan kembali.

Tahun 1947-1948 merupakan tahun-tahun terpanas dalam sejarah perjalanan RI, dimana untuk pertama kalinya setelah bangsa Indonesia dengan bersusah payah memperoleh dan mempertahankan Kemerdekaan (17 Agustus

1945), terjadi perang saudara untuk pertama kalinya, lewat peristiwa Madiun

1948. Dalam usia yang masih relatif singkat bangsa ini harus dihadapkan pada peristiwa yang pahit. Peristiwa bersejarah ini tidak hanya memakan korban harta benda yang banyak tetapi juga memakan banyak korban jiwa.

Dalam perkembangannya kaum kiri khususnya PKI mendapat tekanan dari dalam negeri dan luar negeri. Dari dalam negeri sendiri tekanan diberikan oleh

Pemerintahan Hatta, dimana Pemerintahan Hatta tidak senang terhadap perkembangan komunisme di Indonesia. Dari luar negeri sendiri tekanan diberikan oleh pihak Amerika Serikat yang tidak ingin komunisme berkembang luas di Asia Tenggara, Khususnya di Indonesia.

Perlawanan pihak Amerika terhadap komunisme yang terjadi di Indonesia, terkait dengan Perang Dingin yang terjadi antara negara imperalis pimpinan

Amerika Serikat melawan negara komunis pimpinan Uni Soviet. Perang Dingin disini bukan merupakan perang yang dilakukan secara langsung atau perang secara fisik, tetapi lebih merupakan perang ideologi yang disebarkan keseluruh dunia. Dalam Perang Dingin ini kedua negara sering mengunakan negara ketiga untuk berperang, dengan cara mencampuri urusan dalam negeri tersebut, 57

contohnya yang terjadi atas Perang Korea, Perang Vietnam, bahkan perang saudara yang terjadi di Madiun pada tahun 1948.

Dalam perang saudara yang terjadi di Madium 1948, memakan banyak korban jiwa, dimana merupakan perang saudara untuk pertama kalinya setelah RI memproklamasikan Kemerdekaannya. Selama ini kita mengetahui peristiwa

Madiun 1948, merupakan suatu peristiwa dimana Partai Komunis Indonesia melakukan coup (perebutan kekuasaan) dan mendirikan Negara Soviet di Madiun.

Sampai sekarang ini opini publik yang muncul ditengah-tengah masyarakat tentang peristiwa Madium 1948 selalu mendiskriminasikan Partai Komunis

Indonesia.

Faktanya yang terjadi di Madiun tanggal 19 September 1948, karena

Residen sedang berpergian, Wakil Residen sedang sakit, sedang Walikota Madiun tidak mau berbuat apa-apa, padahal harus ada yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah Madiun. Untuk itu Wakil Walikota Madiun yang bernama

Supardi atas desakan organisasi-organisasi masyarakat diangkat sebagai Residen.

Pengangkatan itu juga ditandatanggani juga oleh Komandan Teritorial, Overste

Sumantri, Wakil Residen dan Walikota Madiun. Kemudian Overste Sumantri,

Isdharto dan Supardi berinisiatif mengirim surat kepada Pemerintah Pusat di

Yogyakarta, yang intinya mengatakan di Madiun telah terjadi konflik, keamanan kembali normal, minta instruksi lebih lanjut. Walaupun sudah mengirim laporan kepada Pemerintah Pusat tetap saja Madiun diserang oleh pasukan Pemerintah RI dibawah pimpinan Divisi Siliwangi. 58

Dalam peristiwa Madium 1948 yang telah memakan banyak korban jiwa,

Hatta adalah orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Hal ini dikarnakan pada waktu itu Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) yang berarti secara otomatis dia harus bertanggung jawab terhadap segala peristiwa yang terjadi diseluruh Indonesia. Dalam peristiwa Madium 1948 ini juga terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang cukup berat, dimana sebelas petinggi PKI termasuk Amir Syarifuddin dieksekusi secara mendadak tanpa proses peradilan terlebih dahulu.

59

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Aidit D.N, Suroso Suar, Leclerc Jacques, Muso, 2001. PKI Korban Perang Dingin: Sejarah Peristiwa Madiun, Jakarta: ERA Publisher.

Ide Anak Agung Gde Agung, 1983. Renville, Jakarta: Sinar Harapan.

Kahin, Mc Turnan George, 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.

Maksum, 1900. Lubang-Lubang Pembantaian: Pembantaian di Madiun. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Moedjanto. G, 1988. Indonesia Abad ke-20 jilid II: Dari Perang Kemerdekaan Pertama sampai PELITA III, Yogyakarta: Kanisius.

Sartono Kartodirjo, 1990. Pengantar Sejarah Nasional Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dan Komunisme sampai Nasionalisme, Jakarta: PT Gramedia.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994. Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.

Siregar, M.R, 2007. Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Resist Book.

Soedjono Imam, 2006. Yang Berlawanan: Membongkar Tabir Pemalsuaan Sejarah PKI, Yogyakarta: Resist Book.

Soetanto Himawan, 1944. Perintah Presiden Sukarno: ”Rebut Kembali Madiun...”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sunarto Kamanto, 1985. Pengantar Sosiologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Obor Indonesia.

Tobing. K.M.L, 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville, Jakarta: PT. Gunung Agung.

60

B. WEBSITE http://www.24bringster/indomarxist/0000015e.htm Peristiwa Madiun: PKI Korban Perdana Perang Dingin.

LAMPIRAN

Naskah Persetujuan Renville

A. Perjanjian Gencatan perang yang disetujui oleh Republik Indonesia dan Belanda, dan ditandatangani pada sidang ke-empat di atas kapal “Renville” pada tanggal 17 Januari 1948

Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia dan seterusnya dinamai pihak-pihak, telah mengadakan persetujuan sebagai berikut: 1. Dengan segera, setelah perjajian ditandatangani, kedua belah pihak akan mengeluarkan perintah menghentikan tembak-menembak dalam tempo 48 jam. Perintah ini akan berlaku atas pasukan- pasukan kedua belah pihak, pada sebelah tempat masing-masing yang telah diterangkan dalam pengumuman dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947; garis-garis tersebut dinamakan garis statusquo dan di daerah-daerah termaksud dalam ayat yang berikut; 2. Dalam instasi (tingkatan) pertama dan untuk sementara akan diadakan daerah-daerah (zone) sesuai dengan garis statusquo; sebagai kebiasaan daerah-daerah ini melingkungi garis-garis statusquo pada sebelah pihak, garis dari pihak Belanda yang terkemuka dan pada pihak lain, garis dari pihak Republik Indonesia yang paling depan, sedang lebarnya sesuatu daerah (zone) harus sama; 3. Mengadakan daerah-daerah yang tidak diduduki oleh militer (gedemilitairiseerd) sekali-sekali tidak menyangkut hak dari kedua belah pihak menurut resolusi dari Dewan Keamanan pada tanggal 1, 25 dan 26 Agustus dan tanggal 1 November 1947; 4. Setelah yang tertulis di atas diterima oleh kedua belah pihak, maka komisi akan menyerahkan pembantu-pembantu militernya kepada kedua belah pihak, sedang pembantu-pembantu tersebut akan menerima petunjuk-petunjuk (instructies) dan menerima pertanggungjawaban untuk menentukan, apakah penyelidikan atas sesuatu insiden diperlukan oleh pembesar-pembesar dari satu atau kedua belah pihak; 5. Sambil menunggu keputusan dalam soal politik, tanggung jawab atas tertib-tentram dan keselamatan jiwa dan harta benda penduduk dalam daerah-daerah yang dikosongkan (gedemilitairiseerd) akan dipegang oleh polisi sipil dari kedua belah pihak. Polisi untuk sementara waktu, memakai tenaga personil militer sebagai polisi sipil dengan perjanjian, bahwa kekuasaan polisi di bawah kontrol sipil. Pembantu-pembantu militer dari komisi setiap waktu bersedia memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menyerahkan tenaganya, bila dianggap perlu. Di antaranya mereka itu mesti: a. mendapat bantuan dari opsir-opsir polisi, yang ditempatkan salah satu pihak dalam tempat-tempat yang tidak diduduki lagi oleh militer untuk menemani mereka itu dalam menyelenggarakan kewajiban mereka. Opsir- opsir polisi dari satu pihak tidak dibenarkan berada di daerah pihak lainnya, kecuali bersama-sama dengan pembantu militer Komisi dan opsir polisi dari pihak lain; b. menambah kerja sama antara kedua belah pihak polisi; 6. Perdagangan dan lalu lintas antara daerah-daerah diusahakan supaya lebih maju dan meningkat pada hal-hal yang perlu, maka kedua belah pihak akan mengadakan perjanjian di bawah pengawasan Komisi dan wakil-wakilnya, bilamana hal ini dirasa perlu 7. Perjanjian ini juga memuat hal-hal sebagai tertulis di bawah ini, yang mana dasar-dasarnya telah disetujui oleh kedua belah pihak: a. Dilarang mengadakan sabotase, menakut-nakuti (intimidasi), pembalasan dendam dan lain-lain tindakan yang serupa terhadap orang-orang dan harta benda, baikpun perusahaan atau barang-barang dari apa saja dan dari tiap-tiap orang dan memakai alat-alat apa saja, supaya mencapai maksud tersebut; b. Tidak akan mengadakan siaran-siaran radio atau propaganda-propaganda yang lain untuk menentang atau mengacaukan tentara dan rakyat; c. Siaran-siaran radio dan lain-lain untuk maksud memberi tahu kepada tentara dan rakyat tentang kesukaran- kesukaran dan untuk menempati pasal-pasal yang tersebut dalam sub a dan b; d. Memberi segala kesempatan untuk penyelidikan oleh pembantu-pembantu milter dan sipil yang diperbantukan pada Komisi Tiga Negara. e. Penghentian dengan segera penyiaran-penyiaran pengumuman harian tentang gerakan-gerakan atau macam pemberitahuan tentang gerakan-gerakan ketentaraan, kecuali jika sebelumnya telah disetujui dengan tulisan oleh kedua pihak, tidak termasuk penyiaran-penyiaran minggu dari daftar orang-orang (dengan menyebutkan nama, nomor, kenyataan dan alamat rumah), yang tewas atau meninggal karena luka- luka yang didapatnya dalam menjalankan kewajiban? f. Penerimaan atas pembebasan tawanan-tawanan dari kedua pihak dan pemulaian perundingan tentang sesuatu pengwujudan yang secepat-cepatnya dan setepat- tepatnya, pembebasan mana dalam asasnya akan berlaku dengan tidak mengingat pada jumlah tawanan kedua pihak; 8. Bahwa, setelah menerima hal tersebut tadi, pembantu-pembantu militer Komisi itu akan segeramengadakan penyelidikan untuk menentukan apakan atau di mana, terutama di Jawa Barat, kesatuan-kesatuan tentara Republik mengadakan perlawanan di belakang kedudukan terdepan dari dari Tentara Belanda yang sekarang. Jika penyelidikan itu membuktikan adanya kesatuan- kesatuan yang semacam itu maka kesatuan-kesatuan itu secepat mungkin, tapi bagaimanapun juga dalam waktu 21 hari, akan mengundurkan diri secara yang disebutkan dalam pasal berikut; 9. Bahwa seluruh kekuatan tentara dari kedua pihak masing-masing dalam sesuatu daerah, yang diterima sebagai daerah yang didemiliterisasi, atau dalam sesuatu daerah di sebelah daerah yang didemiliterisasi dari pihak yang lain, akan mengundurkan diri, di bawah pengawasan pembantu militer Komisi itu dan dengan membawa senjatanya dan keperluan bertempur, dengan tenang menuju daerah yang didemiliteriasi. Kedua oihak berjanji akan melancarkan pengungsian kekuatan tentaranya masing-masing dengan cepat dan tenang; 10. Pesetujuan ini dipandang masih mengikat selama waktu empat belas (14) hari dan selalu dengan sendirinya diperpanjang dengan empat belas (14) hari, kecuali jika salah satu pihak memberitahukan pada KTN dan pihak yang lain, yang berpendapat bahwa peraturan-peraturan gencatan senjata tidak ditaati oleh pihak yang lain dan oleh karenanya persetujuan itu hendaknya diakhiri pada akhir waktu empat belas hari yang berlangsung

Renville, 17 Januari 1948.

B. Dua Belas Dasar Persetujuan Politik Renville. Pokok-pokok yang merupakan dasar-dasar yang sudah disetujui delegasi pemerintah Belanda dengan delegasi pemerintah Republik Indonesia untuk perundingan-perundingan politik pada sidang keempat yang diadakan Komisi Tiga Negara pada tanggal 17 Januari 1948.

Komisi Tiga Negara telah diberitahukan oleh kedua delegasi, bahwa pemerintah masing-masing telah menerima pokok-pokok perjanjian penghentian permusuhan yang sudah ditandatangani dan merupakan dasar untuk perundingan politik buat selanjutnya, ialah sebagai berikut: 1. Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan diteruskan untuk melaksanakan dan mengadakan perjanjian untuk menyelesaikan pertikaian politik di pulau-pulau Jawa, Sumatera dan Madura, berdasarkan prinsip naskah perjanjian “Linggarjati” 2. Telah sewajarnya, bahwa kedua pihak tidak berhak menghalang- halangi pergerakan-pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan leluasa dan merdeka, yang sesuai dengan perjanjian Linggarjati. Juga telah disetujui, bahwa kedua pihak akan memberi jaminan tentang adanya kemerdekaan bersidang dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan suara dan pendapatnya dan kemerdekaan dalam penyiaran (publikasi), asal jaminan ini tidak dianggap meliputi juga propaganda untuk menjalankan kekerasan dan pembalasan (repressailles); 3. Telah sewajarnya, bahwa keputusan untuk mengadakan perubahan- perubahan dalam pemerintahan pamong praja di daerah-daerah hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sepenuhnya dan suka rela dari penduduk di daerah-daerah itu pada suatu saat, setelah dapat dijamin keamanan dan ketenteraman dan tidak adanya lagi paksaan kepada rakyat; 4. Bahwa dalam mengadakan suatu perjanjlan politik pula persiapan - persiapan untuk lambat laun mengurangi jumlah kekuatan tentaranya masing – masing; 5. Bahwa, setelah dilakukan penandatanganan perjanjian perhentian permusuhan dan sebaiknya dapat dilaksanakan perjanjian itu, maka kegiatan dalam ekonomi, perdagangan, perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki segera, dengan bekerja bersama – sama di mana harus diperhatikan kepentingan – kepentingan semua bagian lain di Indonesia; 6. Bahwa akan diadakan plebisit sesidah waktu yang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun, setelah ditanda-tangani perjanjian, dalam waktu mana terjadi tukar – menukar pikiran, dan pertimbangan tentang soal – soal yang penting secara merdeka dan dengan tidak ada paksaan. Dalam waktu itu, dapat diadakan pemilihan umum secara merdeka, agar rakyat Indonesia dapat menentukan kedudukannya sendiri di lapangan politik dalam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat; 7. Bahwa suatu dewan yang akan menetapkan undang – undang dasar ( konstitusi) akan dipilih secara demokratis intuk menetapkan suatu undang – undang dasar buat Negara Indonesia Serikat; 8. Telah didapat persetujuan, bahwa, setelah ditandatanganinya perjanjian, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, jika salah satu dari kedua pihak meminta kepada Perserikatan Bangsa – Bangsa untuk mengadakan suatu badan buat melakukan pengawasan sampai saat diserahkannya kedaulatan pemerintahan Belanda kepada pemerintah Negara Indonesia Serikat, maka pihak yang kedua akan menimbangnya dengan sungguh – sungguh. Dasar – Dasar di bawah ini diambil dari naskah parjanjian “ Linggarjati”; 9. Kemerdekaan bebas buat nangsa Indonesia seluruhnya; 10. Bekerja bersama antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia; 11. Suatu negara berdasarkan federasi yang berdaulat, dan dengan suatu undang – undang dasar yang timbulnya melalui jalur – jaur demokrasi; 12. Suatu (Uni) persatuan dari Negara Indonesia Serikat dengan kerajaan Belanda dan bagian – bagiannya yang lain, di dawah turunan raja Belanda.

Renville, 17 Januari1948.

C. Enam Dasar Tambahan dari Komisi Tiga Negara untuk pembukaan perundingan Politik antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Kerajaan Belanda, tanggal 17 Januari 1948 dan disetujui tanggal 19 Januari 1948.

Komisi Tiga Negara berpendapat, bahwa keterangan dasar dibawah ini antara lain akan dipergunakan sebagai dasar perundingan untuk menyelesaikan politik, yaitu sebaigai berikut: 1. Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada ditangan Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan. Kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat. Sebelum masa peralihan demikian itu habis temponya, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan hak – hak, kewajiban – kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah federal sementara yang dibentuk dari daerah – daerah yang nantinya akan merupakan Negara Indonesia Serikat. Jika sudah terbentuk, Negara Indonesia Serikat akan merupakan negara yang berdaulat dan merdeka nerkedudukan sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Belanda Indonesia, dikepalai oleh turunan raja Belanda. Hal status Repiblik Indonesia adalah sebagai negara yang bergabung dengan Negara Indonesia Serikat; 2. Dalam pemerintah federal sementara, sebelum diadakan perubahan dalam undang-undang Negara Indonesia Serikat, kepada negara- negara bagian akan diberikan perwakilan yang adil; 3. Sebelum komisi Tiga Negara dibubarkan, tiap-tiap pihak boleh meminta supaya pekerjaan komisi diteruskan, yaitu guna membantu menyelesaikan perselisihan berkenaan dengan penyelesaian politik, yang mungkin terbit selama masa peralihan. Pihak lainnya tidak boleh berkeberatan atas permintaan demikian itu; permintaan itu harus dimajukan oleh pemerintah Belanda kepada Dewan Keamanan; 4. Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan tidak lebih dari satu tahun sesudah persetujuan lnl ditandatangani, maka di daerah-daerah seperti Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara ( plebisit) untuk menentukan apakah rakyat didaerah-daerah tersebut akan turut dalam Repunlik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat. Plebisit ini di lakikan dibawah pengawasan Komisi Tiga Negara, jika kedua pihak dapat persetujuan dalam artikel 3 yang menentukan, supaya Komisi Tiga Negara memberikan bantuan dalam soal tersebut. Kemungkinan tetap terbuka jika kedua pihak dapat persetujuan akan menggunakan cara lain dalam pemungutan suara untuk menyatakan kehendak rakyat dl daerah-daerah itu; 5. Sesudah ditetapkan batas-batas negara-negara bagian yang dimaksud itu, maka akan diadakan rapat pembentukan undang- undang dasar menurut cara demokrasi, untuk menetapkan konstitusi buat Negara Indonesia Serikat. Wakil-wakil dari negara- negara bagian akan mewakili seluruh rakyat; 6. Jika ada negara bagian memutuskan tidak akan turut serta menanda-tangani konstitusi tersebut sesuai dengan pasal 3 dan 4 dalam persetujuan Linggarjati, kedua pihak tidak akan keberatan diadakan perundingan untuk menetapkan perhubungan istimewa dengan Negara Indonesia Serikat.

Renville, 19 Januari 1948

Semua dokumen persetujuan ditandatangani: Untuk Pemerintah Kerajaan Belanda, Abdulkadir Wijoyoatmojo Ketua Delegasi

Untuk Pemerintah Republik Indonesia, Amir Syarifuddin Ketua Delegasi

Wakil-wakil Komisi Tiga Negara dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa: Ketua: Mr. Justice Richard C. Kirby ( Australia ) Wakil-wakil: Mr. Paul Van Zeeland ( Belgia ) Dr. Frank P.Graham ( Amerika Serikat ) Sekretaris: Mr. T. G. Narayanan

Keanggotaan Kabinet Syarifuddin:

Kedudukan Nama Partai

Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin Sosialis

Wakil Perdana Menteri Dr. A. K. Gani PNI

Wakil Pedana Menteri Setiadjit Buruh

Menteri Dalam Negeri Wondoamiseno PSII

Wakil Menteri Dalam Negeri Mr. Andulmadjid Sosialis

Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim Non- partai

Wakil Menteri Luar Negari Mr. Tamzill Sosialis

Menteri Perekonomian Dr. A. K. Gani PNI

Wakil Menteri Perekonomian Kasimo Katolik

Wakil Menteri Perekonomian Dr. A. Tjokronegoro Sosialis

Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifuddin Sosialis

Wakil Menteri Pertahanan Aruji Kartawinata PSII

Menteri Pendidikan Mr. Ali Sastroamijoyo PNI

Menteri Kuangan Mr. A. A. Maramis PNI

Wakil Menteri Kuangan Dr. Ong Eng Djie Sosialis

Menteri penerangan Sjahbudin Latif PSII

Wakil Menteri Penerangan Setiadi Non- partai

Menteri Perhubungan Ir. Juanda Non- partai

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Ir. Laoh PNI

Menteri Kesehatan Dr. J. Leimena Kristen Wakil Menteri Kesehatan Dr. Satrio Buruh

Menteri Sosial Suprojo Buruh

Wakil Menteri Sosial Sukroso Wijosaputro PSII

Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprojo PNI

Menteri Agama Kiaji Acmad Asj’ari PSII

Wakil Menteri Agama H. Anwarudin PSII

Menteri Perhubungan Nona S. K. Trimurti Buruh

Wakil Menteri Perhubungan Mr. Wilopo PNI

Menteri Negara Sultan Hamungku Non-partai

Bowono

Menteri Negara Wikanan Kongres 107) Pemuda

Menteri Negara Sojas Legium 108) Petani

Menteri Negara Kominitas Cina

Menteri Negara Maruto Darusman PKI

Keanggotaan Kabinet Hatta:

Menteri Nama Partai

Perdana Menteri Drs. Mohammad Hatta Non-partai

Menteri Pertahanan Drs. Mohammad Hatta Non-partai

Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman Wiryosandjojo Masyumi

Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim Non-partai

Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprodjo PNI

Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis PNI

Menteri Perekonomian Mr. Syafudin Prawironegara PNI

Menteri Pangan Kasimo Partai Katholik

Menteri Pendidikan dan Mr. Ali Sastro PNI

Kebudayaan

Menteri Kesehatan Dr. Yohanes Leimena Partai Kristen (PKRI)

Menteri Agama Kiaji Hadji Maskoer Masyimi

Menteri Sosial Koesnan PGRI (Persatuan Guru

RI)

Menteri Pembangunan dan Supeno Partai Sosialis

Kepemudaan

Menteri Perhubungan Ir. Juanda Non-partai

Menteri Perkejaan Umum Ir. Loah PNI

Menteri Penerangan Mohammad Natsir Masyumi

Menteri Tanpa Postfolio Hamengku Buwono Non-partai