STUDI VARIASI, PEMANFAATAN, PENGOLAHAN DAN PENGELOLAAN AREN DI DESA RANCAKALONG, KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT *) Oleh : Budi Irawan, Eka Rahmayani dan Johan Iskandar

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran

ABSTRAK Penelitian mengenai variasi, pemanfaatan, pengolahan dan pengelolaan aren di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat telah dilakukan antara bulan Februari-Agustus 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan etnobotani. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara baik secara terstruktur maupun semi-struktur, observasi partisipatif, pencatatan individu, koleksi, identifikasi tanaman aren dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara emik di Desa Rancakalong terdapat 4 variasi aren, yaitu ‘kawung ageung’, ‘kawung saeran’, ‘kawung kembang’ dan ‘kawung monyet’. Secara umum masyarakat Rancakalong memanfaatkan dan mengolah aren secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang sederhana pula. Pengetahuan masyarakat lokal Desa Rancakalong mengenai pemanfaatan dan pengolahan aren pada umumnya diperoleh secara turun-temurun. Berdasarkan penelitian, tanaman aren ini dimanfaatkan oleh masyarakat Rancakalong untuk berbagai keperluan, baik untuk sumber makanan seperti “gula kawung”,” cangkaleng”, dan “aci kawung”, maupun untuk tujuan lain seperti ornamen upacara adat, kerajinan tangan, obat tradisional dan pakan ternak. Kata kunci : Aren, Etnobotani, Pemanfaatan, Pengolahan dan Pengelolaan Aren, Masyarakat Rancakalong

ABSTRACT A research on variation, usage, processing and management of sugar palm in Rancakalong village, Rancakalong Subregency, Sumedang Regency, West Java, was conducted between February and August 2007. Qualitative method with descriptive analysis based on ethnobotanic approach. Structured and semi-structured interviews, participant observation, total census of sugar palm individu were used in this study identification of palms and literature study were applied for collecting data. The result of study shows that based on an emic approach in Rancakalong village it has been found that four variations of sugar palm, which are called ‘kawung ageung’, ‘kawung saeran’, ‘kawung kembang’ and ‘kawung monyet’. Generally, the usage and processing of sugar palm by local community in Rancakalong village are usually the traditional method with using simple tools. The knowledge of local community of Rancakalong village regarding usage and processing of sugar palm in generally is obtained by inheriting from generation to generation. Based on study, the sugar palms have been commonly used by local community in Rancakalong village for various purposes, namely for food such as “gula kawung”, “cangkaleng”, “aci kawung”, and other purposes including ceremonial ornament, handicraft, traditional medicine and cattle food. Keywords : Sugar Palm, Ethnobotany, Usage, Processing and Sugar Palm Management, Rancakalong Community

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Etnobotani IV, Cibinong 18 Mei 2009

1 PENDAHULUAN Hubungan antara masyarakat dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup berlangsung sepanjang masa, sedangkan sifat dan intensitasnya mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan kependudukkan dan kebudayaannya. Kehidupan masyarakat desa sangat bergantung pada sumber daya alam yang tersedia disekitarnya, fungsi tata guna lahan (pertanian dan hutan) sebagai sumber daya alam memberikan manfaat pengetahuan dan juga pengalaman masyarakat lokal tentang pemanfaatan berbagai tumbuhan dalam kehidupan sehari-harinya. Aren [Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.] merupakan salah satu sumber daya alam di daerah tropis, distribusinya tersebar luas, sangat diperlukan dan mudah didapatkan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat setempat sebagai sumber daya yang berkesinambungan. Di pohon aren sebagian besar secara nyata digunakan untuk bahan bangunan, keranjang, kerajinan tangan, atap rumah, gula, manisan buah dan lain sebagainya (Sumarni, dkk., 2003). Aren merupakan tumbuhan serbaguna, dimana setiap bagian pohon aren tersebut dapat diambil manfaatnya, mulai dari akar untuk obat tradisional, batang untuk berbagai macam peralatan dan bangunan, daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok. Hasil produksinya juga dapat dimanfaatkan, misalnya buah aren muda diolah menjadi kolang-kaling, air nira untuk bahan pembuatan gula merah/cuka dan pati/tepung dalam batang untuk bahan pembuatan berbagai macam makanan. Ramlan (1995) dalam Juanda (2005) melakukan penelitian etnobotani mengenai potensi aren di Jawa Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Barat memanfaatkan aren sebagai bahan makanan, obat, juga berguna untuk meningkatkan pendapatan penduduk desa tertinggal dengan menjadikannya sebagai sumber usaha, diantaranya adalah dari produksi gula aren, bahan rokok, bahan cindera mata dan bahan sapu. Menurut Soma, Komunikasi Pribadi (2006) masyarakat lokal di Desa Rancakalong sudah lama mengetahui cara pemanfaatan dan pengolahan berbagai jenis tumbuhan secara tradisional. Dimana pengetahuan lokal dari masyarakat setempat ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aren merupakan salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Rancakalong, bahkan mata pencaharian sebagai petani aren ini merupakan mata pencaharian sekunder yang banyak dilakukan oleh masyarakat Desa Rancakalong. Saat ini populasi aren di alam semakin berkurang. Hal ini disebabkan banyaknya pohon yang sudah tua, sehingga tidak produktif lagi sedangkan upaya peremajaan populasi

2 aren belum dilakukan secara maksimal (Mujahidin, dkk., 2003). Banyaknya masyarakat yang memanfaatkan aren untuk kegiatan industri rumah tangga, tanpa adanya upaya peremajaan dikhawatirkan akan menyebabkan populasi aren tersebut semakin terancam (Lutony, 1993). Menurut Rukmana, Komunikasi Pribadi (2006) dalam penyebaran aren, masyarakat Desa Rancakalong sangat mengandalkan jasa dari alam (regenerasi alam) yaitu melalui peranan musang (Paradoxurus hermaphroditus). Dimana musang memakan buah aren yang sudah matang. Buah aren yang dimakan oleh musang bijinya tidak hancur, tetapi terbawa keluar bersama kotorannya. Biji inilah yang sering mudah berkecambah dan tumbuh secara liar menjadi aren. Di Kecamatan Rancakalong-Sumedang pada akhir 1983 terdapat 4 (empat) penggilingan pati aren, yang masing-masing setiap harinya menumbangkan 3 batang pohon aren. Ini berarti 4320 pohon aren harus ditebang tiap tahunnya. Hal ini merupakan suatu jumlah yang patut dirisaukan dan diperlukan upaya untuk melestarikannya (Soeseno, 2000). Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat pula mengakibatkan erosi pengetahuan masyarakat mengenai potensi dan pemanfaatan aren secara tradisional seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, sehingga akan menimbulkan krisis pengetahuan, yaitu dengan hilangnya pengetahuan masyarakat akan pemanfaatan dan pengolahan aren secara tradisional yang sifatnya turun temurun. Oleh karena itu studi pemanfaatan dan pengolahan aren perlu dilakukan di Desa Rancakalong ini, sehingga diharapkan masyarakat menyadari akan keberadaan pohon aren yang semakin jarang dan dapat segera mengambil tindakan untuk upaya pelestariannya. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan etnobotani. Teknik pengumpulan data lapangan dilakukan dengan cara teknik observasi langsung di lapangan, wawancara (terstruktur dan semi-struktur), pengamatan morfologi, pengamatan anatomi, analisis vegetasi, koleksi, identifikasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan secara terstruktur terhadap beberapa responden dan semi-struktur dengan beberapa informan kunci (Martin 1995; Waluyo 2004). Pada observasi partisipatif dilakukan juga pengumpulan sampel tumbuhan setiap variasi aren yang terdapat di Desa Rancakalong. Setiap variasi diamati ciri morfologinya (Vogel 1987), yaitu karakteristik pada batang, daun, bunga, buah, dan biji. Lalu diamati ciri anatominya, yaitu bagian epidermis daun bagian bawah (abaksial) yang terdiri atas sel epidermis dan

3 stomata. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui populasi pohon aren yang terdapat di Desa Rancakalong dengan metode total sensus pada kebun milik petani aren. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Petani Aren di Desa Rancakalong

Petani aren adalah orang yang memanfaatkan pohon aren untuk diambil nira, buah, ijuk, serta patinya. Petani aren di Desa Rancakalong terdiri dari penyadap nira, pengolah kolang-kaling (cangkaleng), pengumpul ijuk, dan pembuat tepung aren (aci kawung) tetapi umumnya petani aren di Desa Rancakalong ini dikenal andal dalam memproduksi gula aren (gula kawung). Mata pencaharian sebagai petani aren ini hanya bersifat sampingan, umumnya mata pencaharian pokok masyarakat Desa Rancakalong adalah bertani. Menurut Data Potensi Kecamatan Rancakalong (2005), masyarakat Desa Rancakalong terdiri dari 1079 Kepala Keluarga (KK) dengan total jumlah penduduk sebanyak 4124 orang. Berdasarkan hasil wawancara, dari jumlah keseluruhan tersebut hanya terdapat 100 orang yang memiliki mata pencaharian sampingan sebagai petani aren dan hanya 49 orang saja yang dipilih untuk dijadikan responden dalam penelitian ini, yang terdiri dari 25 orang penyadap nira, 11 orang pembuat gula kawung, 5 orang pengolah kolang-kaling, 5 orang pembuat rokok kawung (kolobot) dan 3 orang merupakan pengrajin sapu lidi. Jumlah responden pengolah kolang-kaling, rokok kawung, dan pengrajin sapu lidi lebih sedikit dibandingkan dengan penyadap nira dan pembuat gula kawung, dikarenakan bahan-bahan utama untuk membuatnya sudah sulit diperoleh.

Pembuat kolobot Pengolah Pengrajin 10% kolang- Sapu lidi kaling 6% 10%

Penyadap Pembuat 52% Gula kaw ung 22%

Gambar 1.Persentase Petani Aren di Desa Rancakalong Kegiatan menyadap nira aren hanya dilakukan oleh kaum lelaki, karena untuk melalukan kegiatan nyadap ini diperlukan keahlian dan keberanian. Yang dimaksud keahlian disini adalah keahlian untuk memanjat pohon aren dengan menggunakan sigai dan

4 keberanian untuk bertahan cukup lama di atas pohon aren yang tinggi. Sedangkan yang sangat berperan dalam proses pembuatan gula kawung adalah kaum perempuan. Untuk pembuatan kolang-kaling, sapu ijuk, dan rokok daun kawung, umumnya dilakukan baik oleh kaum lelaki maupun perempuan. Menurut hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa umumnya petani aren di Desa Rancakalong sebanyak 43% adalah berumur antara 51-60 tahun, 61-70 tahun (27%), 41-50 (20%), 71-80 tahun (6%), dan 31-40 (4%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sebagian besar petani aren ini sudah berusia cukup tua. Hal ini disebabkan oleh kuatnya tradisi dalam proses penyadapan aren yang sifatnya turun temurun, sehingga tidak semua orang dapat melakukan pekerjaan sebagai petani aren karena diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang matang. Para petani aren di Desa Rancakalong memiliki cara tersendiri untuk mengolah setiap hasil panennya menjadi produk yang siap dipasarkan. Proses pengolahannya dilakukan secara tradisional dengan teknik dan peralatan yang sederhana. Cara-cara yang mereka miliki itu merupakan peninggalan nenek moyang yang diwariskan turun-temurun dan terus dipertahankan hingga sekarang. Sebagian besar pemanfaatan aren, seperti produksi gula kawung, cangkaleng, dan ijuk ini masih dikelola masyarakat sebagai usaha keluarga. Sebagian besar pohon aren yang dimiliki para petani aren di Desa Rancakalong tumbuh secara liar di kebun, oleh karena itu pertumbuhannya menjadi tidak merata. Pohon aren yang dikelola oleh setiap petani berkisar antara 1-7 pohon dalam keadaan sedang disadap. Dalam pengelolaannya, umumnya dilakukan oleh pemilik pohon aren itu sendiri tetapi ada juga petani aren yang mempekerjakannya pada orang lain dengan sistem bagi hasil.

Variasi dan Karakteristik Aren Di Desa Rancakalong Berdasarkan Pengetahuan Masyarakat Lokal (Emic Character)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan informan kunci diketahui bahwa di Desa Rancakalong terdapat 4 (empat) variasi aren, yaitu kawung ageung, kawung saeran, kawung kembang, dan kawung monyet. Keempat variasi aren tersebut diperoleh masyarakat Rancakalong berdasarkan pengetahuan turun temurun baik dari orang tua maupun dari para sesepuh di Desa Rancakalong. Masyarakat Rancakalong pada umumnya membedakan keempat variasi aren dengan melihat ciri morfologi dari pohon aren tersebut, seperti tinggi pohon, diameter batang, banyak/sedikitnya tandan caruluk (bunga betina), bisa/tidaknya untuk disadap dan habitatnya (Tabel1).

5 Tabel 1 Macam-macam Variasi Aren yang Terdapat di Desa Rancakalong

Penggolongan Variasi Nama No. Berdasarkan Berdasarkan Berdasarkan Berdasarkan Aren Berdasarkan Ilmiah Tinggi Diameter Jumlah Bisa/Tidak Habitat Pohon Batang Caruluk Disadap Kawung Tempat Arenga 1 Tinggi Besar Banyak Bisa ageung Terbuka pinnata Kawung Kadang bisa; Tempat Arenga 2 Tinggi Besar Sedikit kembang kadang tidak ternaungi pinnata Kawung Tempat Arenga 3 Pendek Kecil Sedang Bisa saeran ternaungi pinnata Kawung Tempat Caryota 4 Pendek Kecil Sedikit Tidak monyet ternaungi mitis

Dilihat dari jumlah bunga betinanya (caruluk), ternyata variasi aren yang mempunyai banyak tandan caruluk (± 4-5 tandan) adalah kawung ageung. Banyak atau sedikitnya tandan caruluk, menurut hasil wawancara tergantung pada subur atau tidaknya pohon aren tersebut, begitupun dengan bisa atau tidaknya pohon aren tersebut untuk disadap. Pohon aren yang memiliki sedikit (1-3 tandan) caruluk dan tidak bisa disadap dikategorikan sebagai pohon aren yang kurang subur. Variasi aren yang tidak dapat menghasilkan nira untuk disadap, yaitu kawung kembang dan kawung monyet. Jumlah tandan caruluk pada variasi kawung kembang dan kawung monyet biasanya hanya berjumlah 1-2 tandan saja. Berdasarkan hasil penelitian, pengelompokkan variasi aren tersebut didasarkan pada karakter morfologinya. Dimana dari ke-4 (empat) variasi aren menurut masyarakat lokal, ternyata secara etik dapat dibedakan menjadi 2 jenis/spesies yang berbeda, yaitu Arenga pinnata dan Caryota mitis. Setelah diidentifikasi, variasi aren seperti kawung ageung, kawung saeran dan kawung kembang merupakan jenis Arenga pinnata, sedangkan kawung monyet merupakan jenis Caryota mitis. Meskipun keempat variasi aren tersebut terbagi menjadi 2 jenis tetapi keduanya termasuk dalam famili Arecaceae. Identifikasi Variasi Aren Berdasarkan Pengetahuan Ilmu Botani (Etic Character)

Identifikasi variasi aren secara etik atau pembuktian persepsi dan konsepsi masyarakat yang didasarkan pada kaidah ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu peneliti, dilakukan melalui pengamatan morfologi dan anatomi pada variasi aren tersebut. Ciri/karakter morfologi yang diamati pada semua variasi aren yang terdapat di Desa Rancakalong yaitu karakter batang, daun, bunga, buah dan biji. Pengamatan karakter anatomi hanya dilakukan pada variasi kawung ageung, kawung saeran, dan kawung kembang, sedangkan pada variasi kawung monyet tidak dilakukan pengamatan anatominya

6 karena variasi kawung monyet ini sudah dapat diidentifikasi sebagai sarai (Caryota mitis L.). Variasi kawung ageung, kawung saeran, dan kawung kembang secara morfologi daunnya tidak menunjukkan adanya perbedaan, oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan anatomi pada ketiga variasi aren tersebut. Ciri/karakter anatomi yang diamati yaitu karakter epidermis bagian bawah (abaksial) dan stomata. Berdasarkan pengamatan, variasi kawung ageung memiliki bentuk sel epidermis menyegi empat, sedangkan variasi kawung saeran dan kawung kembang bentuk sel epidermisnya memanjang. Berdasarkan hasil pengamatan, ketiga variasi aren (kawung ageung, kawung saeran, dan kawung kembang) memiliki tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh 4-6 sel tetangga. Hasil tersebut selaras dengan pernyataan Stebbins & Kush (1961) dalam Fahn (1995), bahwa pada banyak spesies Palmae memiliki tipe stomata yang sel penjaganya dikelilingi oleh 4-6 sel tetangga, 2 diantaranya berbentuk bulat dengan ukuran yang lebih kecil dan terletak di ujung sel penjaga.

Tabel 2 Perbandingan Emik Karakter dan Etik Karakter Aren Nama No. Karakter Emik Etik Variasi Ilmiah - tinggi, diameter batang - tingginya antara 20-25 - kawung - Arenga besar, berijuk (pohon yang m, diameter 50-68 cm ageung; pinnata berusia > 5thn) kawung - tingginya 14-18 m, kembang - pendek, diameter batang diameter 42-47 cm - kawung - Arenga 1 Batang kecil, berijuk (pohon yang saeran pinnata berusia > 5thn) - pendek, diameter batang - tingginya 6-7 m, kecil, tidak berijuk diameter 15-17 cm - kawung - Caryota monyet mitis

- daun majemuk - daun majemuk menyirip - ciri/karakter khas daun pada gasal ke-3 variasi aren (kawung - panjang helaian daun - kawung - Arenga ageung; kawung saeran; 5,93-9,5 m, panjang & ageung pinnata kawung kembang) tidak dapat lebar anak daun 162- dibedakan 174,5 x 6,5-7 cm - panjang helaian daun - kawung - Arenga 5,13-7,35 m, panjang & saeran pinnata lebar anak daun 144-149 2 Daun x 7-8,5 cm - panjang helaian daun - kawung - Arenga 5,29-9,21 m, panjang & kembang pinnata lebar anak daun 143- 164,3 x 6,5-7 cm

- panjang helaian daun - kawung - Caryota 52-60 cm, panjang & monyet mitis lebar anak daun 20,7-23 x 2,5-6,3 cm - bentuk bulat panjang dan - bentuk bulat telur - kawung - Arenga 3 Bunga mahkota bunga berwarna memanjang/lonjong, ageung; pinnata bungur (ungu) mahkota bunga kawung

7 berwarna ungu (Greyed- saeran; Purple Group 183 A) kawung - bentuk bulat telur kembang - bentuk bulat panjang, memanjang/lonjong, - kawung - Caryota mahkota bunga berwarna mahkota bunga monyet mitis hijau muda berwarna hijau muda (Yellow-Green Group 249 D) - bentuk buah seperti bunga - bentuk buah bulat - kawung - Arenga betina pada kelapa dan seperti peluru (ellipsoid) ageung; pinnata berwarna hijau - kulit buah berwarna kawung hijau (Green Group 143 saeran; A 143 B) kawung - bentuk bulat seperti kembang 4 Buah - bentuk buah bulat seperti bola (globose) - kawung - Caryota bola dan memiliki beberapa - kulit buah berwarna monyet mitis warna yaitu hijau tua, merah, hijau (Yellow-Green dan oranye Group N144 C), merah (Red Group 45 A), dan oranye (Orange Group 25 A) - bentuk biji lonjong dan - bentuk biji bulat - kawung - Arenga berwarna hitam memanjang (ellipsoid), ageung; pinnata berwarna hitam (Black kawung Group 202 A) saeran; - panjang biji berkisar kawung 5 Biji antara 2,5-3 cm kembang - bentuk biji bulat - bentuk biji bulat, berwarna (globose), berwarna - kawung - Caryota hitam dan berselaput hitam (Black Group 202 monyet mitis A), dan berselaput - panjang biji 1-1,2 cm

Populasi Aren di Desa Rancakalong

Populasi Aren di Desa Rancakalong menurut keterangan informan kunci, keberadaannya di alam saat ini semakin berkurang. Hal ini sangat dirasakan oleh para petani aren, dimana mereka kesulitan mencari bahan baku untuk membuat gula kawung dan kolang-kaling. Dibandingkan dengan kondisi 20 tahun yang lalu sebelum adanya kegiatan penebangan pohon aren untuk bahan baku aci kawung, keberadaan pohon aren ini sangat melimpah walaupun tumbuh secara alami dengan bantuan careuh. Hal tersebut selaras dengan yang dikemukakan oleh Soeseno (2000), yang menyatakan bahwa pada akhir 1983 di Kecamatan Rancakalong, Sumedang terdapat 4 pabrik aci kawung yang setiap harinya masing-masing pabrik memerlukan 3 batang pohon aren. Hasil observasi lapangan pada 49 kebun responden dengan luas kebun yang berbeda-beda mulai dari kebun dengan luas 30 bata (420 m2) sampai dengan kebun yang luasnya mencapai 700 bata (1 ha), diperoleh data total sensus populasi aren di Desa Rancakalong sebanyak 751 pohon aren, yang terbagi atas 218 (29%) seedling dengan usia

8 tumbuhan kurang dari 2 tahun, 390 (52%) pohon muda yang berusia antara 4-8 tahun, dan 143 (19%) pohon dewasa yang produktif berusia lebih dari 8 tahun.

Pohon Dew asa Seedling 19% 29%

Pohon Muda 52%

Gambar 2 Persentase Total Sensus Pohon Aren di Desa Rancakalong Menurut beberapa responden, jumlah tersebut dikatakan sudah sangat mengkhawatirkan, dimana sangat berdampak terhadap para penyadap nira aren yang biasanya dapat memasang 6-15 lodong, saat ini rata-rata paling banyak hanya memasang 2- 3 lodong saja. Begitupun dengan para pembuat cangkaleng, kolobot, dan pengumpul ijuk, mereka kesulitan memperoleh bahan baku sehingga harus mencari dan membeli pohon aren dari petani aren lainnya. Faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi adalah kematian pohon aren baik yang disebabkan oleh kegiatan penebangan pohon aren untuk produksi aci kawung maupun secara alami, juga disebabkan karena upaya pembudidayaan aren belum dilakukan secara maksimal. Menurut keterangan informan kunci, sekitar tahun 1990-an di Desa Rancakalong ini pernah dilakukan upaya pembudidayaan Aren dengan memberikan benih berupa biji dari pemerintah, tetapi masyarakat sekitar kurang antusias mengikutinya. Dari keseluruhan responden yang diwawancarai 32,65 % menyatakan pernah melakukan upaya pembudidayaan aren dengan menanam bijinya di pekarangan kemudian memindahkan anakannya ke kebun dan 67,35% belum pernah melakukan upaya pembudidayaan, dengan alasan sudah banyak pohon aren yang tumbuh alami, barabe : sulit (setiap benih yang ditanam tidak pernah tumbuh) dan proses tumbuh pohon aren yang sangat lama membuat para petani aren malas untuk menanamnya.

Pengetahuan Masyarakat dalam Memanfaatkan Aren

Berdasarkan hasil wawancara kepada responden, diketahui bahwa pengetahuan masyarakat Desa Rancakalong mengenai pemanfaatan aren untuk berbagai keperluan pada umumnya diperoleh secara turun temurun yaitu sebanyak 79, 59% seperti yang telihat pada Gambar 3.

9 79.59%

80% 60% Persentase Jumlah 40% 10.20% (%) 4.08% 6.12% 20% 0% Asal Pengetahuan

Turun Temurun Bertanya Turun temurun & Bertanya Belajar sendiri & Bertanya

Gambar 3. Cara Masyarakat Desa Rancakalong dalam Memperoleh Pengetahuan Pemanfaatan Aren. Selain diperoleh secara turun temurun, sebanyak 10,2% responden memperoleh pengetahuan pemanfaatan aren dengan cara mempelajari sendiri dan bertanya. Menurut salah seorang responden, kelebihan dari bertanya dan mempelajari sendiri mengenai pemanfaatan aren maka dengan sendirinya akan diperoleh pengalaman yang dapat menjadi guru bagi diri sendiri. Sedangkan beberapa dari responden lainnya menyatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan tersebut baik secara turun temurun maupun dari bertanya.

Pemanfaatan Aren

Aren merupakan tumbuhan dari suku Palmae yang memiliki banyak manfaat dan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena semua bagian aren mulai dari daun sampai akar dapat bermanfaat bagi manusia (Gambar 4). Menurut Anonim (2005) aren ternyata dapat menghasilkan 60 jenis produk bernilai ekonomi dan berpotensi ekspor, diantaranya yaitu aren sebagai sumber gula, pensuplai energi dan berfungsi dalam pelestarian lingkungan hidup.

10 77.55% 80%

70% 53.06% 60% Persentase 50% 28.57% Jumlah 40% 20.41% 18.37% (%) 30% 12.24% 4.08% 8.16% 20% 2.04% 10% 0% Pemanfaatan Aren nira--gula buah--kolang-kaling ijuk--sapu ijuk tulang daun--sapu lidi anak daun muda--kolobot abu tangkai daun--sarerangkaw ung batang--tepung kayu bakar lain-lain

Gambar 4. Macam-macam Pemanfaatan Aren oleh Masyarakat Desa Rancakalong. (Sumber : Data Tabulasi Primer, 2007)

Berdasarkan pernyataan tersebut, pemanfaatan aren dapat dikelompokkan menjadi : Sumber Pangan, Alat Kerajinan Tangan, dan Pemanfaatan Lain. Hasil yang utama aren adalah nira sebagai bahan baku dalam pembuatan gula kawung (77,55%), batangnya untuk kayu bakar (53,6%) dan aci kawung (4,08%), anak daun mudanya untuk kolobot (28,57%), buah mudanya dapat dijadikan cangkaleng (18,37%), tulang daunnya untuk bahan baku sapu nyere (20,41%), ijuknya untuk bahan baku sapu injuk (12,24%), kemudian abu tangkai daunnya dapat digunakan sebagai obat untuk menghilangkan noda bekas jerawat dan cacar air yang dikenal dengan sarerangkawung atau bedak hideung (2,04%), serta 8,16% digunakan untuk pakan ternak, talang air dan bahan bangunan. Sumber Pangan Aren dapat dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, seperti gula kawung yang berasal dari nira aren dapat digunakan untuk membuat berbagai macam jenis makanan dan minuman tradisional. Contohnya , sampeu wedang, angleng, wajit, , dan lain-lain. Begitu juga dengan buah muda aren dapat dijadikan cangkaleng sebagai bahan campuran , manisan kolang-kaling dan sebagainya. Kemudian dari batang aren dihasilkan aci kawung yang merupakan bahan baku untuk membuat bihun, , hunkwe dan masih banyak lagi. Alat Kerajinan Tangan Selain sebagai sumber pangan, aren juga dapat dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. Umumnya bagian aren yang dapat dijadikan kerajinan tangan berasal dari tulang daun, ijuk dan akarnya. Dari tulang daun dan ijuk dapat dibuat kerajinan tangan rumah

11 tangga, seperti sapu lidi dan sapu ijuk. Sedangkan dari akar dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pecut. Pemanfaatan Lain Obat Tradisional Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan informan kunci diketahui bahwa ada beberapa bagian aren yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Salah satu jenis obat tradisional yang banyak diketahui oleh masyarakat Desa Rancakalong, yaitu sarerang kawung. Obat tradisional tersebut berasal dari hasil pembakaran tangkai daun aren. Sarerang kawung ini dikenal sebagai bahan kosmetik tradisional untuk menghilangkan luka bekas jerawat, cacar dan luka bakar juga dipercaya dapat menghaluskan kulit. Sedangkan dari hasil studi literatur, diketahui bahwa akar aren yang masih muda dapat dimanfaatkan untuk obat batu ginjal dan akar tuanya untuk obat sakit gigi (Mujahidin,dkk., 2003). Pakan Ternak Selain untuk konsumsi manusia, pemanfaatan lain dari aren adalah untuk pakan ternak. Limbah dari pemarutan batang aren yang disebut dengan cipo (serat yang halus) dapat dimanfaatkan sebagai pakan bebek dan itik dengan cara dicampur dengan dedak limbah penggilingan gabah atau bekatul. Kemudian batang dari langari juga dapat digunakan untuk pakan kambing dengan cara diberikan langsung pada ternak. Ornamen Upacara Adat Menurut beberapa responden dan informan kunci, aren juga sangat diperlukan dalam kegiatan upacara adat yang diadakan oleh masyarakat Desa Rancakalong. Bagian aren yang banyak digunakan yaitu bagian daun, langari dan caruluk sebagai ornamen dalam upacara adat seperti, ngalaksa dan nyalin. Dalam upacara adat ngalaksa, daun aren digunakan untuk menghias bale-bale, tempat meuseul pare, dan lain-lain. Sedangkan dalam upacara nyalin, daun aren tersebut digunakan untuk membuat sawen (janur) dimana pada bagian ujung daun aren diikatkan buah langari dan daun handarusa, serta digunakan untuk menghias sanggar.

Cara Pengolahan Aren Oleh Masyarakat Desa Rancakalong Penyadapan Nira

Sebelum dilakukan penyadapan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti persiapan peralatan yang akan digunakan, kesiapan pohon yang akan disadap dan pengetahuan mengenai cara penyadapan.yang dapat mempengaruhi mutu nira yang akan

12 dihasilkan. Alat-alat yang digunakan masyarakat Desa Rancakalong untuk menyadap nira sebagian besar merupakan hasil buatan sendiri yang bahan bakunya berasal dari kebun atau pekarangan, kecuali untuk bedog dan peso sadap yang diperoleh dengan cara membeli ke pasar atau pandai besi (Tabel 3) Tabel 3. Peralatan untuk Menyadap Berikut Asal Bahan, Kegunaan dan Cara Memperolehnya Alat dan Cara Asal Bahan Kegunaan Bahan Memperoleh Batang/akar kayu Alat untuk memukul-mukul langari Paninggur nangka (Artocarpus dengan tujuan untuk memperlancar Buat sendiri integra Merr.) keluarnya nira Beli dari pandai Bedog Besi Untuk membuka salumpit (pelepah) besi Awi gombong Lodong (Dendrocalamus Untuk menampung nira Buat sendiri giganteus Munro.) Awi tali (Gigantochloa Sigai Tangga untuk menaiki pohon aren Buat sendiri apus)/awi surat (G. pseudoarudinaceae) Beli dari pandai Peso sadap Besi Untuk memotong ujung langari besi Ijuk (Arenga pinnata Untuk mengikat lodong pada Tali ijuk Buat sendiri (Wurmb.) Merr.) pelepah daun Tali ijuk (Arenga Tali pinnata (Wurmb.) Untuk sabuk pengaman penyadap Beli Pengaman Merr.)/tali rafia Awi tali Untuk pijakan penyadap saat (Gigantochloa Jeuntas menyimpan, menyadap, dan Buat sendiri apus)/awi surat (G. mengambil lodong pseudoarudinaceae)

Penyadapan dapat dilakukan pada pohon aren yang sudah berumur 10-12 tahun dan setelah bunga jantan mekar (tua). Berdasarkan hasil wawancara, ciri-ciri bunga jantan yang sudah tua dan siap untuk disadap dapat dilihat dari beberapa tahapan sebagai berikut : • Barenghor, yaitu langari terlihat sudah beukah atau mekar dan bagian dalam bunga (benang sari) berwarna kuning. • Humangit, yaitu tercium bau langari yang sangat tajam apabila kita berada di bawah pohon aren tetapi apabila berada di atas pohon aren, bau langari ini tidak tercium sama sekali. • Jeugang, yaitu disekitar tandan langari keluar getah yang sangat lengket. • Lumejar, yaitu langari sudah berwarna hijau tua, hitam atau ungu kehitaman. Persiapan penyadapan dimulai dengan membersihkan batang pohon aren dari ijuk dan membuka salumpitnya (pelepah), kemudian disigaian (memasang sigai) dan memasang

13 jeuntas. Selanjutnya dilakukan proses ninggur, ngayun, dipagas dan dipoko. Lebih jelasnya kedua proses tersebut akan dijelaskan di bawah ini. Proses Ninggur dan Ngayun

Ninggur dan ngayun ini merupakan salah satu upaya yang banyak dilakukan oleh para penyadap pada umumnya sebelum penyadapan nira dimulai. Ninggur adalah proses pemukulan tandan bunga jantan dengan cara memukulkan sebatang kayu yang disebut dengan paninggur pada tangkai bunga jantan dengan arah memutar mulai dari ujung ke arah pangkal, kemudian sebaliknya sebanyak 3-6 kali putaran yang dilakukan secara perlahan dan hati-hati. Proses ninggur ini dapat dilakukan pagi, siang ataupun sore hari sebanyak 1-2 kali dalam seminggu selama 1 bulan. Pemukulan tandan bunga jantan ini dilakukan lebih keras daripada sebelumnya pada saat proses ninggur hampir berakhir, yaitu sekitar minggu ke-3 dan ke-4. Pada proses ninggur ini disertai juga dengan proses ngayun, yaitu menggoyang-goyangkan tandan bunga jantan pada saat sebelum dan sesudah ditinggur. Ngayun setiap kalinya dilakukan sebanyak 20-30 kali ayunan. Kedua proses ini dilakukan dengan tujuan untuk memperbesar pori-pori dan melunakkan tandan bunga jantan, sehingga nira mudah keluar. Dipagas dan Dipoko

Setelah proses ninggur dan ngayun selesai, selanjutnya dilakukan proses magas/dipagas dan poko/dipoko. Dipagas, yaitu memotong ujung tandan bunga jantan dengan menggunakan pisau sadap, kemudian dibiarkan 1-2 hari sampai niranya keluar. Apabila dari tandan bunga jantan tersebut keluar buih/busa, maka buih yang keluar harus dibersihkan dengan cara tandan bunga jantan disayat tipis menggunakan pisau sadap kemudian digosok dengan ijuk. Buih atau yang disebut kekejoan ini dapat menyebabkan nira menjadi asam. Selanjutnya, setelah tandan bunga jantan bersih dari buih, tandan bunga jantan tersebut dibungkus dengan daun waluh gedè/labu (Cucurbita pepo) dan didiamkan kembali selama 1-3 hari. Pembungkusan ini dikenal dengan istilah dipoko. Menurut responden, proses pembungkusan ini ditujukan untuk menarik nira keluar lebih banyak. Hal tersebut disebabkan karena daun waluh gedè tersebut mengandung asam yang dapat menarik nira (Muchtadi & Sugiono, 1992). Jika setelah dipoko banyak nira yang keluar, maka tandan bunga jantan tersebut sudah bisa untuk disadap. Sebelum memulai proses penyadapan, umumnya para penyadap di Desa Rancakalong ini mengadakan ritual penyadapan terlebih dahulu.

14 Teknik Penyadapan Berdasarkan hasil wawancara kepada informan kunci, teknik penyadapan yang dilakukan oleh para penyadap di Desa Rancakalong, meliputi : - Penyadapan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pukul 05.30 sampai 06.30 pagi dan pukul 16.00 sampai 17.00 pada sore hari. Penyadapan yang dilakukan pagi hari diambil sore harinya sambil memasang lodong baru untuk diambil keesokan harinya. - Apabila bunga jantan terlihat mekar, tandan bunga jantannya dipotong (dipagas) tepat pada ruas paling ujung. - Jika pada tandan bunga jantan yang telah dipagas, niranya terus menetes sampai keesokan harinya, berarti nira sudah siap untuk disadap. - Selanjutnya tandan bunga jantan dibersihkan dari buih dan disayat 1-2 mm setiap hari untuk memperlancar keluarnya nira. - Kemudian ujung tandan bekas pemotongan dibungkus dengan daun waluh gedè (Cucurbita pepo) atau ijuk (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.), jika nira yang keluar keesokan harinya semakin banyak, maka pembungkusnya sudah bisa dilepas dan diganti dengan lodong yang diikatkan pada tandan daun. - Sebelum mengganti dengan lodong, buih-buih yang terdapat disekitar tandan yang telah dipotong dibersihkan kembali. - Agar diperoleh nira yang baik, lodong yang akan dipakai sebaiknya dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir, kemudian diasapi dengan menggunakan bara api dari suluh sampai lodong terasa panas dan kering. Proses tersebut dikenal dengan istilah digorok. - Selanjutnya dimasukkan raru, biasanya berasal dari daun-daunan, seperti daun togog (famili Moraceae), daun jambu air (Syzigium aquea Burn.f.), daun manggis (Garcinia mangostana L.) dan pucuk awi tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz.). Adapun raru yang berasal dari bahan sintetis juga, seperti sabun batangan. Raru diartikan sebagai obat atau bahan pengawet untuk mencegah agar nira tidak menjadi asam. - Untuk mencegah masuknya kotoran seperti debu dan semut, biasanya celah di antara tangkai bunga aren dan mulut lodong disumbat dengan ijuk. Untuk mencegah masuknya air hujan, di atas mulut lodong diberi atap dari kakaban ijuk atau karung.

15 Namun bila air hujan masih dapat masuk ke dalam lodong dapat diatasi dengan cara membuang airnya, karena air hujan tidak bercampur dengan nira. Setiap tandan bunga jantan dapat disadap niranya setiap hari, selama kira-kira 5-7 bulan berturut-turut, tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada tandan dan kesuburan pohonnya. Pengolahan Gula Kawung Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan gula kawung, yaitu tungku/hawu, ijuk untuk penyaring, wajan besar, pengaduk kayu, pangaclèk, cetakan gula (ganduan), tampah (èbèg). Ganduan terbuat dari potongan bambu jenis awi tali sepanjang 3-4 cm dengan diameter 5-8 cm. Bahan-bahan yang digunakan adalah nira aren, minyak tanah, kayu bakar/suluh, raru, tali bambu dan daun kelapa kering (baralak) untuk pembungkus gula aren. Raru biasanya dari daun togog, daun jambu, daun manggis, atau pucuk awi tali. Ngagolakkeun lahang

Nira (lahang) yang diambil pada pagi hari langsung digolakkeun/digodog dalam wajan untuk dijadikan gula. Nira yang diambil pada sore hari, biasanya hanya digodog setengah matang/tidak sampai mengental yaitu hanya sampai mendidih kemudian dimasak keesokan harinya dicampur dengan nira yang diambil pada pagi hari. Nira yang terdapat dalam lodong dituang sambil disaring dengan ijuk yang halus, kemudian ditampung dalam wajan di atas hawu. Penggodogan dilakukan selama kurang lebih 3-4 jam, tergantung banyaknya nira. Saat nira mulai mendidih, di permukaannya akan terdapat buih. Buih ini sebaiknya dibuang dengan menggunakan alat penciduk agar diperoleh gula yang tidak berwarna gelap (hitam), kering dan tahan lama. Ngaduga Pada saat cairan gula mulai mengental, dilakukan proses ngaduga, yaitu cara memeriksa ketepatan kekentalan gula, dengan cara meneteskan cairan gula ke dalam air dingin, bila cairan gula sudah tidak terasa lengket maka cairan gula tersebut telah mengental. Setelah cairan gula mengental, wajan diturunkan dari hawu supaya gula tidak hangus, kemudian diguis atau diaduk terus menerus sampai cairan gula benar-benar kental atau kolot. Apabila cairan gula saat diangkat masih berupa serat-serat (ramatan) berarti cairan gula tersebut belum matang. Dititis Selanjutnya cairan gula yang sudah matang dititis/dituang ke dalam cetakan gula dengan menggunakan pangaclèk. Sebelum digunakan, cetakan gula dicelupkan ke dalam air

16 dingin terlebih dahulu, untuk membantu pendinginan dan memudahkan saat mengeluarkan gula dari cetakan. Biasanya cairan gula yang matang dapat mengeras menjadi gula selama kurang lebih 10-15 menit. Dibungkus Setelah cairan gula mengeras menjadi gula, lalu gula dibungkus dengan menggunakan 2 lembar daun kelapa kering dan diikat dengan tali bambu (. Setiap bungkus berisi 10 buah/gandu gula aren. Dalam sehari para petani dapat membuat 8-14 bungkus gula aren. Pengawetan Nira

Kerusakan nira yang menyebabkan nira menjadi asam, berbuih putih dan berlendir akan menghasilkan gula berwarna cokelat kehitaman, lembek atau lunak sampai tidak dapat dicetak. Kerusakan nira dapat disebabkan akibat pisau sadap dan wadah/lodong yang kurang bersih. Untuk mengatasinya menurut Tjiptadi (1984) dalam Kusumah (1992), pisau sadap dan lodong harus dijaga kebersihannya. Menurut Dachlan (1984) dalam Kusumah (1992) pisau sadap sebaiknya dibersihkan dengan air bersih dan dibilas dengan air panas, kemudian dikeringkan baru disimpan. Petani aren di Desa Rancakalong biasanya mengasapi lodong yang sudah digunakan untuk menyadap dengan memasukkan sebatang kayu/suluh yang sudah dibakar ke dalam lodong. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Sardjono (1984) dalam Kusumah (1992), bahwa lodong harus dibilas beberapa kali dengan air dingin dan air panas lalu diasapi untuk mempercepat proses pengeringan. Untuk mencegah kerusakan nira, petani aren di Desa Rancakalong menambahkan bahan pengawet alami ke dalam lodong sebelum digunakan. Bahan pengawet ini disebut dengan raru yang artinya obat. Raru/bahan pengawet yang umum digunakan oleh petani aren di Desa Rancakalong adalah pucuk/daun muda togog (Lea sp.), manggis (Garcinia mangostana L.), jambu air (Syzigium aquea Burm.f.), awi tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz.). Raru yang berasal dari tumbuhan digunakan dengan cara menggelang atau meremas-remas 2-3 lembar daunnya dengan tangan, kemudian dimasukkan ke dalam lodong. Sedangkan raru yang berasal dari sabun batangan, digunakan dengan cara memasukkan sedikit bubuk sabun batangan ke dalam lodong. Bahan pengawet alami atau raru yang digunakan oleh petani aren di Desa Rancakalong diduga mengandung komponen tannin yang aktif sebagai bahan antimikrobial. Menurut Maynard (1970) dalam Kusumah (1992), sifat-sifat tannin yang penting sebagai bahan pengawet adalah bersifat fungisida dan menghambat adsorpsi permukaan oleh khamir.

17 Pengolahan Kolang-Kaling (Cangkaleng)

Pengolahan cangkaleng ini merupakan pemanfaatan aren yang berasal dari buah muda tandan bunga betina (caruluk). Dalam proses pengolahan cangkaleng ini dimulai dengan pemetikkan caruluk terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan cara pengolahannya. Tabel 4. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Pemetikkan Caruluk Dilengkapi dengan Asal Bahan, Kegunaan serta Cara Memperolehnya.

Alat dan Cara Asal bahan Kegunaan Bahan Memperoleh Caruluk/buah Dari pohon - Bahan baku cangkaleng aren muda aren Beli dari pandai Golok tebas Besi Untuk memotong tandan caruluk besi Sigai Awi tali/awi surat Tangga untuk naik ke pohon aren Buat sendiri Untuk mengikat caruluk yang telah Tali tambang Tambang dipotong agar mudah diturunkan Beli dari pohon Sabuk pengaman untuk pemetik Buat Tali pengaman Tali ijuk/rafia aren sendiri/beli

Berdasarkan pengetahuan responden, caruluk atau buah aren yang dapat dipetik untuk dijadikan cangkaleng (kolang-kaling) yaitu buah aren yang muda. Biasanya buah aren yang berusia sekitar 1–1,5 tahun atau buah aren yang langari-nya sudah disadap sebanyak 5-7 kali. Pemetikan buah aren ini adalah dengan cara memotong tandan caruluk dengan golok tebas yang tandannya diikat terkebih dahulu dengan tali tambang kemudian diulur ke bawah. Hal ini ditujukan agar pemetik tidak terkena getah dari buah aren yang akan menimbulkan rasa gatal. Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan kolang-kaling adalah tungku, kayu bakar, serbuk gergaji, drum besar, penutup drum yang dibalut dengan karung, peso raut, carangka, ayakan gede, baskom, gegendil dan batu talenan. Pengolahan buah aren dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara dibakar atau direbus. Buah-buah aren yang dibakar dapat sekaligus dengan tandannya atau dilepas satu per satu dari tandannya terlebih dahulu. Hasil pembakaran bisasanya tidak merata bahkan terdapat buah-buah yang hangus. Kelemahan ini dapat diatasi dengan perebusan.

Pembuatan Rokok Kawung (Kolobot)

Pohon kawung yang baik untuk diambil pucuk daunnya adalah pohon yang berumur 3-8 tahun. Pohon kawung yang sudah disadap, pucuknya kurang baik untuk dijadikan kolobot. Proses pengambilan pucuk daun kawung ini cukup dengan memanjat pohon kemudian dipilih tandan daun yang daunnya muda lalu potong tandannya dengan golok.

18 Pengrajin kolobot ini kadang membeli pucuk daun kawung dari pohon orang lain seharga Rp. 1.000,-/pohon. Kolobot adalah pembungkus rokok yang terbuat dari daun kawung, dikenal dengan istilah rokok daun kawung. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan kolobot adalah peso paud, dan gantar (tongkat bambu). Setelah tandan daun dipotong dari tandannya, tiap helai pucuk daun kawung dilepaskan satu per satu dari tandannya dengan menggunakan golok. Tiap helai daun dibuang tulang daunnya, proses ini disebut dengan disebet. Kemudian dipaud, yaitu melepaskan lapisan kutikula daun (kulumud) yang terdapat pada daun dengan peso paud. Selanjutnya digulung/digolongan, kemudian dijemur dibawah sinar matahari dengan cara digantung pada sebatang bambu yang disebut gantar. Pengolahan Aci Kawung Pohon kawung yang memiliki produksi nira yang tinggi biasanya memiliki produksi aci kawung yang tinggi pula. Pohon kawung yang memiliki produksi aci kawung yang tinggi ditandai dengan pertumbuhan pohon yang subur dengan daun-daun yang rimbun dan panjang. Waktu yang tepat untuk memanen aci kawung adalah pada saat muncul tandan bunga yang pertama, karena pada saat itu kandungan pati yang terkandung sangat banyak. Batang kawung yang akan diambil acinya ditebang dengan menggunakan patik dan golok tebas, kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Tiap potongnya biasanya berukuran panjang antara 1,5 – 2 m untuk memudahkan pengangkutan. Potongan batang kawung ini kemudian diangkut ke pabrik untuk proses pengolahan dengan menggunakan truk. Penebangan dan pengangkutan ini dilakukan setiap 4 hari sekali sebanyak 1 truk batang kawung yang berisi sekitar ± 5-8 pohon kawung. Setelah tiba di pabrik pengolahan, tiap potong batang kawung tersebut dibelah kembali secara membujur menjadi 4-6 bagian yang sama besar. Belahan batang kemudian dibersihkan dari bagian kulit luar dan kulit dalamnya, sehingga yang tersisa hanya bagian tengah batang saja yang biasa disebut dengan empulur. Bagian empulur inilah yang dimasukkan ke dalam mesin pemarut sehingga menghasilkan serat-serat yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu serat kasar yang disebut jajaba dan serat lembut yang disebut cipo. Kemudian serat-serat tersebut dimasukkan ke dalam bak pemerasan yang telah berisi air. Proses pemerasan ini dapat dilakukan dengan cara diaduk dengan menggunakan tongkat kayu atau dapat juga dengan cara diinjak-injak. Dari bak pemerasan serat-serat ini langsung ditampung dalam bak penyaringan. Hasil dari penyaringan tersebut kemudian ditampung dalam bak penampungan dan dibiarkan selama ± 4 – 5 jam. Setelah dibiarkan selama

19 beberapa jam, maka akan terbentuk endapan aci pada lapisan bawah dan air lapisan bawah dibuang. Proses pembuangan air ini dikenal dengan istilah dibedahkeun. Hasil endapan pertama disaring kembali dengan menggunakan kain saring untuk menghasilkan endapan aci kawung yang lebih putih. Setelah terbentuk endapan putih, kemudian dimasukkan ke dalam karung lalu digantung selama 1 hari untuk proses pengeringan. Setelah terbentuk bongkahan putih, lalu dihancurkan sampai terbentuk serbuk dan dijemur selama 3-5 hari. Selanjutnya aci kawung dimasukkan ke dalam karung dan siap untuk dipasarkan. Pembuatan Sapu Lidi

Tulang daun dilepaskan dari daun-daunnya dengan cara diraut dengan peso raut sehingga menjadi lidi. Lidi tersebut kemudian dijemur selama ± 1 hari. Setelah itu lalu diikat dengan membuat simpul dari tali terlebih dahulu yang disebut simpai. Untuk simpai ini dapat dibuat dari tali plastik atau dari lidi itu sendiri. 1 ikat sapu lidi terdiri dari 150 batang lidi, dimana dari 1 tandan daun kawung dapat dihasilkan 2 buah sapu lidi. Pengumpulan Ijuk Ijuk yang baik biasanya berasal dari pohon kawung yang umurnya ± 5-8 tahun sampai belum berbunga. Bila pohon sudah berbunga maka jumlah dan kualitas ijuk yang dihasilkan akan menurun. Cara pengambilannya yaitu ijuk yang menempel pada batang pohon kawung diambil dengan menggunakan bedog bentelu dan menggunakan sigai sebagai tangga. Pelepah daun yang menutupi anyaman ijuk dibuang terlebih dahulu. Anyaman ijuk kemudian dilepas dengan bedog bentelu kemudian dikumpulkan lalu digulung dan diikat untuk dibawa ke tempat penyisiran. Di tempat penyisiran ini ijuk yang sudah terkumpul direndam dalam bak perendaman selama 1 hari yang ditujukan agar ijuk menjadi empuk. Kemudian dijemur ± selama 3 hari sampai kering. Selanjutnya ijuk disisir dengan menggunakan alat penyisir dari kawat sehingga menjadi serat ijuk. Serat ijuk ini terbagi menjadi 6 tingkatan yang biasa disebut dengan kualitas ijuk no.1, no.2, no.3, dan seterusnya sampai no. 6. Ijuk no. 1 sampai no.3 merupakan ijuk dengan kualitas yang terbaik dan biasanya diekspor ke luar negeri. Sedangkan ijuk no.4 s.d no.6 merupakan ijuk kualitas lokal, yang biasa digunakan untuk sapu ijuk, kursi mebel, sikat, dan lain-lain. Urutan nomor ijuk ini didasarkan pada panjang pendeknya serat ijuk. Ijuk dengan serat yang panjang merupakan ijuk kualitas no.1 (satu) dengan panjang ± 2 m. Selain itu, setelah proses penyisiran diperoleh pula awul-awul atau ijuk yang paling hancur tetapi masih dapat dimanfaatkan. Awul-awul ini biasanya dimanfaatkan untuk membuat tali tambang. Harupat, ijuk yang keras hampir menyerupai lidi dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar.

20 Distribusi Pemasaran Hasil Panen Aren

Di Desa Rancakalong terdapat 3 (tiga) saluran pemasaran hasil panen aren dari para pengrajin, yaitu ke pedagang pengumpul/bandar, warung di sekitar tempat tinggal pengrajin dan dijual langsung ke konsumen (Gambar 7.). Sebagian besar pengrajin hasil aren di Desa Rancakalong menginginkan langsung menjualnya ke pedagang pengumpul/bandar karena dianggap lebih efisien, walaupun dijual dengan harga yang lebih rendah daripada dijual langsung ke konsumen. Misalnya untuk penjualan gula kawung, pada pedagang pengumpul/bandar gula kawung dijual dengan harga Rp. 2.500,-/bungkus, sedangkan pada konsumen dijual dengan harga Rp. 300,-/gandu atau Rp.3.000,-/bungkus. Pengelolaan Aren

Pengelolaan aren yang dilakukan para petani aren di Desa Rancakalong belum menuju pada arah pembudidayaan, karena umumnya mereka masih bergantung pada peranan musang/careuh (Paradoxurus hermaphroditus) sebagai hewan yang sangat berperan dalam penyebaran aren, padahal mereka mengetahui bahwa populasi aren saat ini sudah semakin berkurang. Petani aren di Desa Rancakalong kurang memperhatikan mengenai upaya pengelolaan aren, dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka mengenai upaya pengelolaan aren itu sendiri. Aren yang tumbuh secara alami dibiarkan tumbuh begitu saja. Dalam hal ini sebaiknya diperlukan adanya upaya pengelolaan aren agar dapat tumbuh subur. Biasanya upaya pengelolaan ini meliputi penyiangan, pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit (Mujahidin, dkk., 2003). Pengelolaan dan pembudidayaan aren perlu dilakukan mengingat tumbuhan tersebut mempunyai prospek yang baik karena mempunyai kegunaan bagi kehidupan manusia, juga merupakan tumbuhan yang dapat berperan dalam mencegah erosi tanah terutama pada daerah-daerah yang terjal karena akar aren dapat mencapai kurang lebih 6 meter pada kedalaman tanah. Pengelolaan aren yang dilakukan oleh petani aren di Desa Rancakalong hanya terbatas pada upaya pengendalian hama dan ritual penyadapan (ritual jeunah) saja. Upaya pengendalian hama pada aren hanya dilakukan oleh sebagian kecil petani aren saja, sedangkan untuk ritual jeunah umumnya dilakukan oleh semua petani aren di Desa Rancakalong. Pengendalian Hama dan Penyakit

21 Hama dan penyakit yang menyerang aren sampai saat ini belum banyak diketahui. Hal ini disebabkan belum dibudidayakannya aren secara intensif oleh masyarakat khususnya para petani aren (Anonim, 2005). Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci, hama yang biasa menyerang aren mereka adalah bangbung, yaitu sejenis serangga bersayap yang menyerang pucuk aren, daun muda dan daun tua. Apabila dibiarkan begitu saja maka dapat menyebabkan kematian pada pohon aren tersebut. Biasanya mereka mengendalikannya dengan cara mengencingi bagian daun yang terkena hama tersebut. Menurut Mujahidin, dkk (2003) dan Anonim (2005) hama yang sering menyerang daun aren seperti pucuk, daun muda maupun daun tua adalah sejenis kumbang kelapa (Oryctes rhinoceros) dan Rinchoporus sp.. Kumbang ini menyerang pucuk pada pohon aren sampai masuk ke dalam batang atas dan menembus pangkal pelepah daun muda. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan membersihkan sampah di sekitar pohon yang dapat menjadi sarang larvanya. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan penggunaan insektisida sistemik atau menaburkan insektisida butiran ke dalam pelepah daun. Ritual Penyadapan Ritual penyadapan di Desa Rancakalong dikenal dengan istilah jeunah. Ritual jeunah ini hanya dilakukan 1 kali untuk setiap pohon aren, yaitu hanya dilakukan pada saat pohon akan disadap untuk pertama kalinya. Nama jeunah sendiri diartikan dari tandan langari yang pertama kali muncul dan disadap dari masing-masing pohon aren, sedangkan tandan yang ke-2 disebut adi jeunah, yang ke-3 disebut bengkel dan yang ke-4 sampai seterusnya disebut kelesed. Menurut hasil wawancara dari beberapa informan kunci, tidak ada yang mengetahui asal-usul penamaan setiap tandan langari tersebut. Pengetahuan itu diperoleh para penyadap dari cerita yang sifatnya turun temurun. Ritual jeunah ini dilakukan oleh pemilik aren sehari sebelum proses nyadap dimulai. Dalam ritual ini biasanya pemilik aren membuat sesaji untuk upacara. Sesaji yang disajikan yaitu berupa bubur beureum, bubur bodas, puncak manik, kupat, dupi, leupeut, congcot ketan,serta rurujakan seperti rujak asem, rujak cau, rujak kalapa, dan rujak seureuh. Kemudian dilakukan prosesi ngukus, dengan membakar kemenyan diatas sabut kelapa yang dilengkapi dengan seuseupeun, yaitu berupa rokok dan cerutu. Untuk ngukus ini ada beberapa responden yang memintanya langsung kepada sesepuh Desa Rancakalong. Selanjutnya sesaji tersebut disimpan dalam tampan/nyiru dan dibawa ke kebun, kemudian disimpan dibawah pohon aren yang akan disadap. Sambil membakar kemenyan, pemilik aren yang melaksanakan ritual tersebut mengucapkan jampe-jampe/amitan khusus yang

22 sifatnya turun temurun juga. Adapun beberapa jampe/amitan yang diucapkan para penyadap saat ritual jeunah ini antara lain: • ”Ka Semar, Ka Togog, ulah ngaganggu Tah baktian ku nira sasorok. Cing salamet nu nyadapna, Cing salamet nu disadapna” Artinya : Ke semar dan togog, jangan mengganggu Ini diganti dengan selodong nira Semoga selamat penyadapnya dan yang disadapnya

• ”Ka Enéng Rumanangai, rek nyuhunkeun karidhoanana, sing juuh banyuna, sing beuneur gulana, Ka Aki Antai-antai jeung Nini Antai-antai, Ka Aki Panetep jeung Nini Panetep, Rek nyuhunkeun karidhoanana ka bumi jeung ka langit.”

Artinya : Ke Enéng Rumanangai, meminta keridhoannya Saya meminta airnya keluar, gulanya bagus Kepada Aki dan Nini Antai-antai, kepada Aki dan Nini Panetep Meminta keridhoannya dari bumi dan langit

• ”Nyuhunkeun karidhoanana bade dipotong Nyanggakeun sasondonganana Rujak cau kanggo kersaning Ibu Rujak kalapa kanggo kersaning Rama Rujak asem kanggo kersaning ka Nyai anu Geulis (pare) Bade diteukteuk leunjeuranana, ditilas adeganana.” Artinya : Memohon keridhoannya untuk dipotong tandannya Memberikan sesajiannya Rujak pisang untuk Sang Ibu Rujak kelapa untuk Sang Bapak Rujan asam untuk Nyai yang cantik (padi) Untuk dipotong tandannya, ditebang pohonnya

Walaupun setiap penyadap memiliki jampe yang berbeda-beda tetapi secara keseluruhan ritual ini dilakukan sebagai suatu etika untuk meminta izin kepada para leluhur dan dewa/dewi yang melindungi pohon tersebut serta memohon semoga diberikan rizki dan keselamatan selama melakukan proses nyadap. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara emik variasi aren di Desa Rancakalong terdiri dari 4 variasi, yaitu kawung ageung, kawung saeran, kawung kembang, dan kawung monyet. Sedangkan secara

23 etik dari ke-4 variasi aren tersebut ternyata dibedakan menjadikan 2 jenis, yaitu Arenga pinnata (Wurmb.) Merr. (kawung ageung, kawung saeran, kawung kembang) dan Caryota mitis L. (kawung monyet). 2. Pengetahuan masyarakat Desa Rancakalong mengenai aren seperti karakteristik khas, pemanfaatan serta pengolahannya sangat mendalam, dimana mereka dapat mengetahui berbagai pemanfaatan dan pengolahan aren dengan baik meskipun dengan menggunakan peralatan yang tradisional dan sederhana serta tetap mempertahankan pengetahuan lokal yang sifatnya turun temurun. 3. Upaya pengelolaan aren di Desa Rancakalong belum dilakukan secara maksimal begitupun dengan upaya pembudidayaannya. Hal ini disebabkan masyarakat Desa Rancakalong menganggap bahwa upaya budidaya aren belum perlu dilakukan, mengingat masih saja terdapat pohon aren yang tumbuh secara alami dengan bantuan musang (Paradoxurus hermaphroditus) meskipun dalam jumlah sedikit. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Aren. www.biosvr01.biotrop.org. Diakses tanggal 12 Agustus 2007.

Backer, C. A. and R. C. Bakhuizen Van Den Brink Jr. 1968. Flora of Java (Spermatophytes Only). Vol I. Netherland: Wolters-Noordhoff N. V. -Groningen. Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula. Vol. I (A- Cod). London : Crown Agents For The Colonies. Fahn, A. 1995. Anatomi Tumbuhan. Edisi ketiga. Penerjemah : Ahmad Soediarto, dkk. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 1. Jakarta : Badan Litbang Departemen Kehutanan. Juanda, J. 2005. Studi Etnobotani Kayu Angin (Usnea spp.) di Kabupaten Garut – Jawa Barat. Skripsi. Jatinangor : Jurusan Biologi FMIPA Unpad. Kusumah, R.D. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Pengawet pada Nira Aren (Arenga pinnata Merr.) Terhadap Mutu Gula Merah, Gula Semut, Sirup Nira dan Gula Putih yang Dihasilkan. Skripsi. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Lutony, T. L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Jakarta : Penebar Swadaya. Martin, G. J. 1995. Ethnobotany: a Methods Manual. London : Chapman & Hall. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudyaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan gizi IPB. Mujahidin,. Sutrisno,. Dian, L,. Tri, H. dan Izu, A. F. 2003. Aren Budidaya dan Prospeknya. Bogor : Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI.

Rukmana. 2006. Sesepuh Desa Rancakalong. Komunikasi Pribadi pada tanggal 19 September 2006.

24 Sastrapradja, S,. Johanis, P. M,. Harini, M. dan Johar, J. M. 1980. Palem Indonesia. Jakarta : Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Balai Pustaka.. Soeseno, S. 2000. Bertanam Aren. Jakarta : Penebar Swadaya. Soma. 2006. Juru Adat di Desa RancaKalong. Komunikasi Pribadi pada tanggal 19 September 2006. Uhl, N.W and John. D. 1987. Genera Palmarum : A Classification of Palms Based on the Work of Harold E. Moore, Jr. Kansas : Allen Press Lawrence. Vogel, E. F. D. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy Theory and Practice. Netherland : Rijksherbarium Leiden. Walujo, E. B. 2004. Pengumpulan Data Etnobotani dalam Rugayah, E. A. Widjaja, dan Praptiwi (ed). Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian Biologi-LIPI. pp: 77-90. Wibowo, S. dan Sentot A. S. 2005. Kajian Pengolahan dan Sistem Pemasaran Gula Merah Aren di Desa Kuta Raja, Tiga Binanga Tanah Karo, Sumatera Utara. Info Hasil Hutan Vol. II April 2005. Hal. 41-49. Jakarta : Puslitbang Teknologi Hasil Hutan.

.

25