Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa

PENDIRIAN STASIUN WILLEM I DI KOTA AMBARAWA

Sri Chiirullia Sukandar (Balai Arkeologi Jayapura)

Abstract Ambarawa in colonial times included in the residency of . Despite having a hilly landscape in the area but Ambarawa built rail networks and a station. In this city the Dutch colonial government also built a substantial fort is Fort Willem I and make Ambarawa as a military center. In addition Ambarawa area is also a growing region that the results are transported to Semarang to the colonial government and then traded to the worldwide market.

Keywords: rail network, transported, trade and politic

Pendahuluan

1. Latar Belakang Kota Ambarawa terletak pada jalur penghubung antara dan Semarang. Secara geografi s Ambarawa berada pada posisi 110o22’0,9” sampai 110o24’57” BT dan 7o12’30, 28” sampai 7o17’2, 95” LS, dengan ketinggian berkisar antara 475 m – 975 m dari permukaan laut, temperaturnya berkisar antara 16oC – 31oC (Debyosaputro dan Widiyanto, 1995:17). Kondisi tersebut menjadikan Ambarawa sebagai daerah dengan bentang lahan yang berbukit-bukit terutama di bagian utara Kota Ambarawa. Secara geomorfologis Ambarawa terletak pada lereng tengah suatu perbukitan. Selain itu Ambarawa juga memiliki hawa yang sejuk.

Secara administratif Ambarawa merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Ambarawa terdiri dari sembilan kelurahan, yaitu Kelurahan Lodoyong, Kelurahan Panjang, Kelurahan Ngampin, Kelurahan Pojoksari, Kelurahan Kupang, Kelurahan Kranggan, Kelurahan Tambakboyo, Kelurahan Bejalen dan Kelurahan Baran. Adapun wilayah Kecamatan

Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 97 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa Ambarawa berbatasan dengan Kecamatan Banyubiru di sebelah selatan, Kecamatan Jambu di sebelah barat, Kecamatan Bawen di sebelah utara dan Kecamatan Tuntang di sebelah timur.

Pada masa Hindia Belanda, Ambarawa merupakan salah satu daerah perkebunan dalam wilayah Karesidenan Semarang. Selain di Ambarawa perkebunan yang berada di daerah pegunungan juga terdapat di , Boja, dan Selokaton. Perkebunan ini mengusahakan hasil bumi untuk ekspor seperti karet, kopi, teh, kina, coklat, lada, pala dan panili (ANRI, 1977:XLIII).

Pada tahun 1833 Ambarawa dijadikan daerah militer oleh pemerintah Hindia Belanda dengan dibangunnya sebuah benteng untuk keperluan militer bernama Willem I. Pembangunan benteng ini atas persetujuan Gubernur Jendral J.C. Bond. Benteng Willem I yang ada di Ambarawa ini merupakan suatu poros perbentengan Semarang – Ambarawa – Yogyakarta (Suroyo, 2000:140). Benteng ini merupakan benteng besar yang difungsikan sebagai kamp tawanan dan sekaligus gudang perbekalan pasukan Belanda (Abbas, 2001:18).

Adanya perkebunan yang semakin berkembang dan peningkatan produksi yang berlipat-lipat menimbulkan masalah dan kesulitan berkaitan dengan cara untuk mengangkut barang-barang hasil perkebunan dari tempat produksi ke pelabuhan, karena daerah perkebunan yang ada kebanyakan berada di wilayah pedalaman. Selain perkebunan adanya benteng Willem I yang penting artinya dari segi kemiliteran untuk menghubungkan pusat-pusat kedudukan tentara kolonial Belanda, maka dibutuhkan sarana transportasi yang memadai. Dengan demikian kebutuhan transportasi yang cepat dan efi sien semakin mendesak. Jenis transportasi yang dimaksud adalah jenis yang dapat mengangkut komoditi hasil perkebunan pada suatu masa panen ke tempat pengelolaan selanjutnya, yaitu kereta api (Sutjipto ed., 1990:83)

2. Permasalahan

Wilayah Ambarawa yang memiliki bentang lahan berbukit-bukit tentu kurang cocok untuk dilewati jaringan rel kereta api. Oleh karena itu pembangunan stasiun di Ambarawa mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi pendirian Stasiun Kereta Api Willem I di Ambarawa?

98 Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa 3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi dibangunnya stasiun kereta api di daerah Ambarawa.

4. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, sebagai penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang data yang ditemukan (Sukendar, 1999: 20).

Hasil dan Pembahasan

Kota Ambarawa merupakan daerah yang cukup strategis karena terletak pada persimpangan jalan yang menghubungkan pelabuhan Semarang dan Magelang dan Salatiga. Sejak abad ke-17 Kota Ambarawa telah dikuasai oleh VOC, di kota ini pula pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah mendirikan beberapa bangunan bagi kepentingan pihak kolonial.

Pertengahan abad ke-19 di Ambarawa dibangun sebuah benteng dengan nama Willem I yang cukup besar untuk menampung para anggota militer Belanda. Selanjutnya pada tahun 1873 di Ambarawa dibangun lintasan rel dan stasiun kereta api. Kedua bangunan kolonial itu akan diuraikan sebagai berikut: a. Stasiun Kereta Api

Stasiun kereta api di Ambarawa ini bernama Willem I, terletak di Kelurahan Panjang. Bangunan stasiun berada sejauh kurang lebih 500 meter ke arah barat dari benteng Willem I.

Stasiun kereta api Willem I dibangun pada tahun 1873. Stasiun ini menempati tanah seluas 127.500 m2 (Astuti, 1994/1995:23). Bangunan stasiun memiliki denah empat persegi panjang, yang memanjang dari timur ke barat. Semua emplasmen relnya berada di kedua sisi bangunan stasiun, sehingga Stasiun Willem I merupakan stasiun pulau.

Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 99 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa Stasiun ini terdiri dari dua bangunan utama, yang berada di depan (sisi timur) dibagi dalam beberapa ruang yang difungsikan sebagai ruang loket pembelian karcis, ruang kepala stasiun, ruang pemimpin perjalanan kereta api, dan ruang telegraf. Bangunan utama yang ada di sisi barat difungsikan sebagai ruang tunggu untuk penumpang VIP. Bangunan stasiun ini sekarang digunakan sebagai Museum Kereta Api Ambarawa.

Selain bangunan utama, stasiun Willem I juga memiliki bangunan penunjang stasiun. Bangunan-bangunan tersebut antara lain:

- Gudang Gudang untuk menyimpan barang-barang terletak di selatan stasiun serta bersebrangan dengan lintasan rel kereta api. Bangunan ini menghadap ke timur dengan pintu utama di timur dan terdapat tiga buah pintu geser, masing-masing di samping kanan dan kiri bangunan. - Depo Lokomotif Bangunan ini terletak kurang lebih 100 meter di sebelah timur stasiun kereta api Willem I. Depo lokomotif merupakan gedung yang digunakan untuk perbaikan dan perawatan lokomotif. Bangunan depo memiliki satu buah bengkel yang tepat di tengahnya terdapat tiga buah lintasan rel. Di sebelah selatan ruang bengkel terdapat empat ruangan, salah satu ruangan tersebut digunakan sebagai kantor kepala depo. - Toilet Seperti pada umumnya, Stasiun Willem I juga memiliki bangunan fasilitas umum berupa toilet. Bangunan ini berada di sebelah barat bangunan utama (ruang tunggu VIP). b. Benteng Willem I

Lokasi Benteng Willem I berada agak tersembunyi atau cukup jauh dari jalur utama di Kota Ambarawa. Secara administratif terletak di wilayah Kelurahan Lodoyong. Bangunan benteng ini didirikan antara tahun 1834-1847 (Abbas, 2001:17).

100 Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa

Benteng Willem I Ambarawa (dokumentasi Sri Chiirullia S.)

Benteng ini berdenah empat persegi panjang dengan luas areal benteng secara keseluruhan adalah 3,24 Ha. Keseluruhan kompleks benteng ini terdiri dari kelompok bangunan utama, yaitu bangunan penjara dan perkantoran. Pintu masuk utama pada kelompok bangunan utama terletak di sisi barat. Kelompok bangunan lain yang berada di luar kelompok utama terdiri dari empat bangunan penjagaan yang terdapat pada masing- masing sudut bangunan. Selanjutnya gudang amunisi terdapat pada arah masing-masing sumbu bangunan penjara, sedangkan tempat penyimpanan tank berada di bawah tanah (Abbas, 2001:17-18).

Sejak dibangunnya jaringan perkeretaapian di pada pertengahan abad ke-19, transportasi kereta api mampu memberikan kelebihan-kelebihan berupa kecepatan yang mampu menghemat waktu perjalanan dan biaya jika dibandingkan dengan sarana transportasi lainnya. Sebaliknya kapasitas sarana transportasi jalan raya seperti kuda, gerobak atau cikar yang menghubungkan antar daerah sangat terbatas, sehingga kereta api dapat memegang peranan utama yang terpadu, baik sebagai angkutan barang maupun angkutan manusia.

Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai dalam pembangunan Stasiun Willem I Ambarawa, terutama diorientasikan kepada kepentingan penguasa waktu itu. Seperti

Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 101 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa diketahui bahwa pihak penguasa yaitu pemerintah kolonial Belanda memerlukan sarana transportasi yang cepat dan efi sien guna mengangkut pasukan militer Belanda dari Ambarawa menuju ke Semarang. Meskipun demikian, pembangunan jaringan rel dan alat transportasi kereta api di Pulau Jawa tujuan awalnya adalah digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari daerah pedalaman ke pelabuhan di Semarang.

Latar belakang pembangunan Stasiun Willem I di Ambarawa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah faktor ekonomi dan faktor militer.

1. Faktor Ekonomi

Stasiun kereta api Willem I dalam kaitannya dengan awal pendiriannya untuk kepentingan ekonomi, yaitu digunakan sebagai pengangkut hasil-hasil perkebunan dari daerah pedalaman seperti Magelang, Yogyakarta, dan daerah sekitar Ambarawa ke pelabuhan Semarang oleh pihak kolonial Belanda.

Sebelum adanya alat transportasi kereta api, satu-satunya alat pengangkutan yang digunakan adalah gerobak yang ditarik dengan lembu atau kerbau, bahkan masih ada yang dipikul. Akibatnya untuk menuju ke pelabuhan makan waktu cukup lama. Kondisi-kondisi semacam ini amat merugikan bagi pemerintah kolonial Belanda, sehingga dirasakan perlunya transportasi yang lebih cepat dan efi sien yaitu kereta api.

Untuk mendukung kegiatan perkebunan, maka dibangunlah jalur kereta api guna menghubungkan daerah perkebunan dengan pelabuhan. Pembangunan jalur kereta api pertama dilaksanakan pada tahun 1864 dari Semarang menuju Tanggung sepanjang 23 km (Oemar, dkk., 1994:101). Pemasangan jalur rel kereta api dilakukan oleh pihak swasta yang telah mendapatkan konsesi. Perluasan jaringan rel ke Ambarawa dibangun dari jalur Yogyakarta-Magelang melalui Secang sampai ke Ambarawa. Di jalur ini dipasang rel kereta api bergigi karena terdapat tanjakan di Bedono.

Dibangunnya stasiun tentu saja berkaitan pula dengan keberadaan jalur kereta api. Di stasiun inilah kereta api berhenti dan kemudian melakukan perjalanan lagi. Di stasiun pula penumpang dan barang akan dinaikkan dan diturunkan, sehingga seringkali di stasiun terdapat gudang untuk menyimpan barang-barang sebelum diangkut dengan kereta api maupun sesudah diturunkan dari kereta api untuk kemudian dibawa ke tempat tujuan.

102 Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa Keberadaan stasiun di Ambarawa dianggap penting karena di tempat inilah penumpang dan barang dinaikkan dan diturunkan. Stasiun kereta api Willem I Ambarawa merupakan stasiun yang terletak pada pertemuan jalur rel kereta api dari Kedungjati menuju Ambarawa dan jalur rel dari Magelang menuju Ambarawa. Kedua jalur tersebut memiliki lebar rel yang berbeda, sehingga penumpang harus berganti kereta api di stasiun Willem I bila akan melanjutkan perjalanan sampai ke Semarang. Ambarawa sendiri merupakan salah satu daerah perkebunan di wilayah Karesidenan Semarang. Hasil perkebunan di Ambarawa antara lain kopi, coklat, karet, rempah- rempah dan kina (Ensyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1917:34).

2. Faktor Militer

Ambarawa sebagai daerah militer dirasakan adanya keperluan angkutan militer yang cepat dan efi sien guna mengangkut pasukan menuju daerah lain. Dengan dibangunnya jalur rel dan stasiun kereta api di Ambarawa maka mobilitas tentara Belanda akan menjadi semakin mudah karena kereta api mampu menampung banyak penumpang dan barang sehingga melancarkan hubungan dengan pusat-pusat kedudukan tentara Belanda di kota lain, seperti Semarang, Magelang dan Yogyakarta.

Perluasan jalur rel dari Kedungjati menuju Ambarawa merupakan persyaratan yang diajukan pemerintah kolonial Belanda dalam konsesi. Perluasan ini dimasukkan dalam persyaratan konsesi karena penting artinya ditinjau dari segi militer guna memperlancar mobilitas tentara Belanda yang berkedudukan di Benteng Willem I. Faktor militer inilah yang merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam membangun stasiun kereta api di Ambarawa.

Kesimpulan

Kota Ambarawa memiliki letak yang cukup strategis karena berada pada pertigaan jalan yang menghubungkan Kota Semarang, Magelang dan Salatiga. Ambarawa oleh pemerintah kolonial Belanda dijadikan pusat militer dengan tangsi militer dan bentengnya yang cukup besar yaitu Benteng Willem I. Ambarawa yang berada di daerah pedalaman juga merupakan daerah perkebunan. Hasil tanaman perkebunan ini oleh pihak kolonial kemudian diangkut dan dikumpulkan ke pelabuhan ekspor di Semarang.

Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011 103 Sri Chiirullia Sukandar Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa Faktor ekonomi dari pembangunan Stasiun Willem I di Ambarawa terlihat dari adanya kebutuhan akan alat transportasi kereta api guna mengangkut hasil-hasil perkebunan dari pedalaman menuju ke pelabuhan ekspor di Semarang. Faktor militer pembangunan Stasiun Willem I di Ambarawa karena Ambarawa merupakan daerah pusat militer sehingga membutuhkan kereta api sebagai alat transportasi yang cepat dan efi sien guna mengangkut pasukan militer Belanda hingga mobilitas tentara Belanda menjadi semakin lancar.

Daftar Pustaka

Abbas, Novida. 2001. “Sarana Pertahanan Kolonial di Jawa Tengah dan Jawa Timur”, BPA No.14. Balai Arkeologi Yogyakarta. Arsip Nasional Republik Indonesia. 1977. Pemberitaan Sumber-Sumber Sejarah No.9 Memori Serah Jabatan 1921- 1930 (Jawa Tengah). Jakarta: ANRI.

Astuti, Sri Retna. 1994/1995. “Kereta Api Ambarawa-Yogyakarta: Suatu Kajian Sejarah Sosial Ekonomi Pada Abad XIX”. Laporan Penelitian Jarahnitra No.002/P/1994. Yogyakarta: Balai Penelitian Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Dibyosaputro, Suprapto dan Widiyanto. 1995. “Pembangunan Kota Ambarawa Jawa Tengah Ditinjau dari Segi Geomorfologi”. Majalah Geografi Indonesia Th.8-9. No. 14-15. September 1994-Maret 1995. Hlm.13-28.

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. 1917. Tweede Druk. Eerste Deel. ‘sGravenhage: Martinus Nijhoff.

Oemar, Moh., dkk. 1994. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Sukendar, Haris., dkk. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Suroyo, A.M. Djuliati. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Sutjipto, F.A. (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: P.T. Grafi tas.

104 Papua TH. III NO. 1 / Juni 2011