PSIKOLOGI JUNGIAN, FILM, SASTRA

Archetype, Anima/ Animus, Ekstrovert/Introvert

Anas Ahmadi PSIKOLOGI JUNGIAN, FILM, SASTRA Archetype, Anima/ Animus, Ekstrovert/introvert

Penulis Anas Ahmadi Editor Nuria Reny Desain Sampul Galang M. Damar Sejati Lay out Alek Subairi Cetakan pertama, April 2019 Penerbit Temalitera Anggota IKAPI (201/JTI/2018) Jln. Palem Kartika 1-03 Perum Japan Asri Sooko, Mojokerto Web: temalitera.com, email: [email protected] telp. 085231586507

xii + 366 halaman, 15 x 23 cm ISBN: 978-602-0769-48-6

Sanksi Pelanggaran Pasal 27 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii Psikologi Jungian, Film, Sastra “Anima inter bona et mala sita” (soul placed between good and evil) (Jung, 1963:6).

Psikologi Jungian, Film, Sastra iii

KATA PENGANTAR

uku monograf yang berjudul Psikologi Jungian, Film, BSastra: Archetype, Anima/ Animus, Ekstrovert/Introvert merupakan hasil ekstraksi pikiran penulis tentang Psikologi Jungian. Buku ini merupakan mozaik pemikiran penulis –tentang psikologi kepribadian-- yang sejak lama masih berkelijatan di imaji. Jika ditelusur secara historis, tulisan- tulisan tentang psikologi sudah pernah penulis lahirkan, mulai dari Psikologi Berbicara (2012), Psikologi Menulis (2015), sampai Psikologi Sastra (2015). Tentunya, dunia psikologi secara tidak sadar memengaruhi pemikiran penulis untuk menulis tentang psikologi. Dalam relevansinya dengan psikologi, deretan tokoh psikoanalisis, Freud, Jung, Fromm, Anna Freud, Karen Horney, Adler, dan Erikson (psikoanalisis klasik), Jung tampaknya lebih estetis dari segi pemikiran. Keestetisan

Psikologi Jungian, Film, Sastra v tersebut bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang rumit, circulus, dan unpredictable sehingga tidak semua orang menyukai pemikiran Jung yang mistis, teleologis, telepatis, occultis, dan simbolis. Namun, di situlah sisi keestetisan psikologi Jungian. Jung, dengan pandangan-pandangannya, berusaha membongkar ar- chety pe yang konon sudah hilang ditelan masa, tetapi dia menyebutnya dengan rhizoma, muncul dan tenggelam, datang dan pergi. Psikologi atau dikenal juga dengan studi psikologi di era kekinian semakin marak seiring dengan kesadaran psikologis masyarakat modern tentang pentingnya pemahaman terhadap (1) psikologi manusia dengan dirinya sendiri; (2) psikologi manusia dengan orang lain; (3) psikologi manusia dengan masyarakat; (4) psikologi manusia dengan lingkungan, dan (5) psikologi manusia dengan Tuhan. Manusia modern sebagai homo sapiens, homo ludens, homo esperans, dan homo socius, tentunya memang membutuhkan pemahaman diri yang mendalam dan fi losofi s. Karena itu, tidak salah jika Socrates mengatakan Gnoti Seaton, kenalilah dirimu. Mempelajari psikologi ibarat menelusuri jalan panjang tak bertepi yang semakin lama semakin mengecil, menggelap, tetapi semakin lama semakin mengasyikkan.

vi Psikologi Jungian, Film, Sastra Buku monograf ini terbagi menjadi (1) pendahuluan, di dalamnya memaparkan historisme psikologi Jungian; (2) jung, kehidupan, dan karyanya, di dalamnya memaparkan kehidupan Jung sebagai seorang anak, pemuda, mahasiswa, dosen, suami, psikolog, dan karya-karyanya; (3) archetype, di dalamnya dipaparkan teori archetype dalam hubungannya dengan konteks fi lm, sastra, dan agama; (4) anima/animus, di dalamnya dipaparkan teori anima/animus dan dikaitkan dengan konteks fi lm dan sastra; (5) tipe kepribadian, ekstrovert, introvert, di dalamnya dipaparka karakteristik tipikal manusia yang terbuka dan yang tertutup; (6) simbolisme mimpi, di dalamnya dipaparkan teori mimpi dan metodologi dalam studi mimpi; (7) Jung dan fi lm, di dalamnya di paparkan psikologi Jungian dalam konteks studi fi lm; (8) Jung dan sastra di dalamnya di paparkan psikologi Jungian dalam konteks studi sastra; (9) penutup, di dalamnya dipaparkan tentang psikologi Jungian menatap masa depan. Buku ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang substansial, baik secara teoretis maupun metodologis untuk perkembangan studi psikologi sastra. Tentunya, buku ini bisa digunakan oleh (1) mahasiswa bidang: bahasa, sastra, fi lm, (2) guru, (2) dosen, ataupun (3) praktisi yang konsern pada bidang psikologi, sastra, dan fi lm. Sebagai

Psikologi Jungian, Film, Sastra vii sebuah tulisan tentunya celah masih berjumpalitan di sana- sini. Untuk itu, kritik konstruktif senantiasa dinantikan oleh penulis di [email protected]

Surabaya, 2019

Penyusun

viii Psikologi Jungian, Film, Sastra DAFTAR ISI

MOTTO ...... iii KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR TABEL ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xi

1. PENDAHULUAN: JUNG SEBUAH JALAN AWAL ...... 3 2. JUNG, KEHIDUPAN, DAN KARYANYA ...... 35 3. ARCHETYPE ...... 89 4. ANIMA/ANIMUS ...... 125 5. EKSTROVERT/INTROVERT ...... 141 6. SIMBOLISME MIMPI ...... 155 7. JUNG DAN FILM ...... 177 8. JUNG DAN SASTRA ...... 259 9. PENUTUP: PSIKOLOGI JUNGIAN MENATAP MASA DEPAN ...... 309

DAFTAR RUJUKAN ...... 322 GLOSARIUM...... 343 INDEX...... 347 BIOGRAFI PENULIS...... 352

Psikologi Jungian, Film, Sastra ix DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Karya dalam Bentuk Buku Mandiri ...... 68 Tabel 2 : Time line Jung ...... 86 Tabel 3 : Postulat Tipe Kepribadian Jung ...... 150 Tabel 4 : Perbandingan Film (2011) dan The Soul Keeper (2002) ...... 227

x Psikologi Jungian, Film, Sastra DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Jung pada usia muda ...... 5 Gambar 2 : Jung pada usia tua ...... 27 Gambar 3 : Jung bersama istri (Emma Rauscenbach) dan anak-anaknya ...... 51 Gambar 4 : ...... 81 Gambar 5 : Archetype great mother ...... 105 Gambar 6 : Archetype spirit ...... 110 Gambar 7 : Ibu dan spirit ...... 112 Gambar 8 : Quan Yin di kuil Buddhisme, Tiongkok ... 130 Gambar 9 : Tokoh Kevin Wendell Crumb dengan 12 kepribadian ...... 146 Gambar 10 : Website resmi MBTI ...... 153 Gambar 11 : Jung memberikan terapi kepada klien ...194 Gambar 12 : Diskusi Jung dengan Sabina Spielrien di Sebuah Kapal ...... 199 Gambar 13 : Jung yang berdiskusi dengan Freud ...... 209 Gambar 14 : Keluarga Sabina Spielrein yang datang ke Zurich ...... 212 Gambar 15 : Jung dan Sabina Spielrein sedang berdialog ...... 216

Psikologi Jungian, Film, Sastra xi Gambar 16 : Jung memulai terapi dengan Sabina Spielrein ...... 218 Gambar 17 : Jung dan Sabina Spielrein di tempat makan...... 222 Gambar 18 : Sabina Spielrein yang akan dieksekusi oleh tentara Nazi ...... 224 Gambar 19 : Mr. Saito dan Dom Cobb yang berada dalam mimpi ...... 233 Gambar 20 : Totem yang digunakan sebagai penanda mimpi ...... 235 Gambar 21 : Dom Cobb yang mendiskusikan inception ...... 236 Gambar 22 : Dom Cobb yang berdialog dengan temannya ...... 239 Gambar 23 : Dom Cobb, kawan-kawan, dan skenario yang di luar rencana ...... 243 Gambar 24 : Dom Cobb dan kawan-kawan menyoal limbo ...... 245 Gambar 25 : Dom Cobb bertemu istrinya di mimpi tingkat ketiga ...... 248 Gambar 26 : Mr. Saito yang menjadi tua ...... 257 Gambar 27 : Proses perkembangan kehidupan manusia ...... 317

xii Psikologi Jungian, Film, Sastra PSIKOLOGI JUNGIAN, FILM, SASTRA

Archetype, Anima/ Animus, Ekstrovert/Introvert

1

PENDAHULUAN: JUNG SEBUAH JALAN AWAL

ama besar dalam psikologi dunia terutama psikologi Nketidaksadaran tidak lepas dari nama seorang pemuda yang berasal dari Swiss, Carl Gustav Jung (1875- 1961). Sebuah jalan awal untuk seorang pemuda yang konon mampu menggerakkan geliat energi psikologi yang berkesadaran menuju sebuah kebaruan yang bernama psikologi ketidaksadaran –dengan seniornya () yang dianggap pula sebagai bapak ‘akademis’ yang memberikan pengaruh besar pada dirinya. Jung (sebutan yang terkenal di buku-buku, jurnal, dan diskusi psikologi) nama tersebut sampai sekarang masih bergaung dan memberikan pengaruh besar dalam dunia psikiatri,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 3 psikologi, dan psikoterapi. Dalam konteks yang lebih makro, nama Jung merasuki dunia spiritual, seksologi, maskulinitas, feminitas, sosial, budaya, dan bahkan dunia kerja. Riset yang dilakukan oleh Cohen (2015:4) menunjukkan bahwa Jung sebagai seorang terapis dan psikolog telah menangani ratusan kasus psikologis. Riset Cohen tersebut menunjukkan bahwa Jung merupakan seorang terapis dan psikolog yang handal dalam menangani masalah psikologis. Nama besar Jung memang disandingkan dengan nama besar Freud –yang merupakan pendiri dan pelopor psikoanalisis di Jerman [Eropa] dan berkembang sampai saat ini—sebagai seniornya. Pertemuan Jung dan Freud membuahkan hasil yang besar, yakni adanya kesatupaduan dalam menumbuhkembangkan psikoanalisis di Jerman pada masa itu. Mulanya, Jung muda sebagai seorang psikolog dan psikiatri, memang sangat simpati dan apresiatif pada Freud dengan pemikiran-pemikirannya yang membuka dunia baru dalam wilayah psikologi (Jung, 1912). Kesimpatian dan keapresiasian tersebut muncul dalam diri Jung sebab dia merasakan bahwa Freud adalah sosok pembaharu dalam psikologi modern yang selama ini cenderung berada dalam bayang-banyak kesadaran dan tidak pernah melewati batas kesadaran, yakni ketidaksadaran. Freud sebagai seorang psikiatri sekaligus psikolog lebih banyak mendalami psikologi ketidaksadaran dan Jung tampaknya kagum

4 Psikologi Jungian, Film, Sastra dengan psikologi ketidaksadaran yang dikembangkan oleh Freud tersebut. Dalam surat menyuratnya dengan Freud, Jung (1912; McGuire, 1974) seringkali mendiskusikan klien dan pemikirannya tentang dunia psikiatri. Melalui surat- surat tersebut Jung menunjukkan rasa hormat kepada Freud sebagai seniornya di bidang psikiatri. Jung (1959:144) juga menunjukkan sikap apresiatif terhadap Freud dalam kaitannya dengan penyusunan biogra fi Freud yang ditulis oleh Ernest Jones. Jung muda kala itu memang sangat obsesif dengan dunia ketidaksadaran terutama yang berhubungan dengan psikologi yang sedang digelutinya. Dalam pandangannya, dunia ketidaksadaran merupakan sesuatu yang besar, sedangkan dunia kesadaran merupakan sesuatu yang kecil dan berada di permukaan.

Gambar 1: Jung pada usia muda (Sumber: http://www.jungsocietymelbourne.com/carl-gustav-jung)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 5 Pada masa kejayaan psikoanalisis, muncul pula nama- nama besar psikoanalisis yang lain, misalnya Erich Fromm yang banyak berbicara tentang fi lsafat, psikologi, dan sosial. Karena itu, ia dianggap sebagai seorang psikolog yang lebih dekat pada pandangan yang fi losofi s. Begitu juga dengan nama Adler yang lebih banyak mendiskusikan masalah psikologi dengan ke-diri-an sehingga dia dikenal dengan studi tentang psikoanalisis yang fokus pada psikologi individual. Sikap apresiatif terhadap Freud memang benar-benar ditunjukkan oleh Jung dalam bentuk diskusi dan surat-surat kepada Freud. Ketika menghadapi pasien, seringkali Jung berkonsultasi dengan Freud. Hal itulah yang menyebabkan Jung sangat disayang oleh Freud. Bahkan, karena pemikirannya yang brilian, Freud sampai mengangkat Jung sebagai Presiden Psikoanalisis. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai seorang anak, Jung memiliki pemikiran yang berbeda dengan bapaknya, Freud. Karena itu, beberapa pemikiran Jung berseberangan dengan pemikiran Freud terutama mengenai ketidaksadaran. Masa inilah yang dianggap sebagai masa kontra (Jung, 1961) yang membuat perpecahan antara Freud dan Jung. Keduanya, mulai menunjukkan kekuatan pikiran masing-masing dalam kaitannya dengan psikologi.

6 Psikologi Jungian, Film, Sastra Freud sebagai psikoanalis lebih mengedepankan pandangan bahwa manusia lebih banyak didorong oleh pulsi libido. Karena itu dia dianggap sebagai psikoanalis yang mengarah pada panseksisme, sedangkan Jung memandang bahwa manusia didorong oleh energi kreatif. Jung sebagai psikoanalis lebih berpandangan optimistis dalam memandang manusia, baik masa lalu, masa sekarang, ataupun masa depan. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan pandangan Freud yang lebih determinis dalam memandang kehidupan manusia. hal inilah yang menyebabkan Freud lebih banyak memandang masa lalu untuk memandang masa kini dan masa depan. Pandangan Freud tersebut lebih banyak mengandalkan eksperimentasi yang mengarah pada pandangan determinis dan agnostis dalam memandang manusia. Jika Freud melahirkan keti - daksa daran individual, Jung (1968:v) melahirkan “collec- tive unconscious,”a source of energy and insight in the depth of the human psyche which has operated in and through man from theearliest periods of which we have records”. Ketidaksadaran kolektif dalam pandangan Jung tersebut didasarkan pada archetype yang muncul dalam spiritualisme, mitologi, ataupun seni. Sebagai seorang psikolog, psikiatri, dan dosen bidang psikiatri, Jung pun banyak mendapatkan berbagai julukan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 7 dari orang-orang yang pro pada dirinya ataupun orang yang kontra pada dirinya. Lihat saja, sebutan “occultist, scientist, prophet, charlatan, philosopher, racist, guru, anti-semite, liberator of women, misogynist, Freudian apostate, gnostic, post-modernist, polygamist, healer, poet, con-artist, psychiatrist, and anti-psychiatrist” (Samdhasani, 2003:1); “deep psychotherapy” (Douglas, 2010), “great creative thinkers” (Cervone & Pervin, 2013). Sebutan tersebut dilabelkan pada Jung tersebut dimunculkan dalam konteks yang positif –tentunya yang menggunakan konsep positif adalah yang pro Jungian. Dalam konteks kontra, orang- orang yang mengkritik Jung menggunakan bahasa yang sama dengan orang-orang yang pro Jungian, tetapi mereka melihatnya dari konsep yang pesimistis. Keduanya, baik pro maupun yang kontra memang merupakan sebuah titik keseimbangan, ibarat yin yang dalam fi losofi China. Jung sebagai seorang psikolog dikenal sebagai sosok yang mendalam ketika menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Karena itu, beberapa pandangannya agak sulit diikuti oleh para pembaca, terutama pembaca psikologi Jungian pada tahap pemula. Diakui atau tidak, memang tulisan-tulisan Jung yang banyak berserakan tentang istilah- istilah yang berkait dengan bidang yang nonpsikologi, misal saja istilah numinous, archetype, oposisi, persona,

8 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang merupakan diksi dalam wilayah fi lsafat, spiritual, dan antropologi. Samdhasani (1961:xv) memang memberikan gambaran konkret bahwa Jung memadupadankan ilmu psikologi yang berkait dengan mitologi dan agama dengan konteks antropologi. Hal tersebut menunjukkan tingkat akademis Jung yang memang suka membaca. Tentunya, dalam hal ini tidak jauh dari karakter introvertnya yang membuat dirinya menjadi penyuka buku bacaan. Sebagai seorang psikolog, Jung terinspirasi oleh pemikir-pemikir besar dunia, misalnya Imanuel Kant, Nietszche, dan Scopenhauer. Berkait dengan Scopenhauer, Jung (1989:4-5) mengakui bahwa adalah mahasiswa kedokteran yang menyukai dunia fi lsafat dia banyak belajar pada Scopenhauer tentang fi losofi kehidupan “it happens in the creative will to make the world”. Dalam perjalanan akademik dan eksperimental yang berkait dengan psikologi dan psikoterapi, pengaruh yang paling besar dalam pemikiran Jung adalah Sigmund Freud dan Eugen Bleuleur. Sosok Eugen Bleuleur adalah profesor dan sekaligus promotor Jung sewaktu dia mengambil studi doktor dengan judul disertasi “On the Psychology and Pathology of So-Called Occult Phenomena” (1902). Beberapa waktu kemudian, disertasi Jung tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Psychology and Occult (1966) yang diterbitkan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 9 oleh publisher Routledge. Sebagai seorang promotor, Profesor Eugen Bleuleur juga menjadikan Jung sebagai kolega dalam menangani psikoterapi. Kebetulan, Eugen Bleuleur memang memiliki tempat praktik psikoterapi. Pada masa-masa gemilang ini, Jung mempraktikkan studi eksperimental yang berkait dengan asosiasi kata. Jung berusaha mengembangkan asosiasi kata dalam hubungan dengan orang-orang yang terkena gangguan psikologis, misalnya schizophrenia, psikosis, ataupun histeria. Jung terinspirasi oleh Eeugen Bleuler yang sudah mengumpulkan 165 asosiasi kata yang digunakan untuk mengenali orang- orang yang normal ataupun yang abnormal dalam kaitannya dengan masalah kejiwaan. Dalam pandangan Jung (1981:16), asosiasi yang dikembangkan oleh Eeugen Bleuler tersebut masih kurang optimal dalam pemilahan orang yang kategori normal dan abnormal. Untuk itu, Jung berusaha mengembangkan asosiasi kata tersebut menjadi lebih kompleks dan lebih utuh sehingga eksperimentasi tentang asosiasi tersebut memudahkan seorang psikiater dalam melakukan pemilihan seseorang yang terkategorikan normal ataupun abnormal. Selain itu, melalui eksperimentasi asosiasi kata tersebut diharapkan pasien lebih mudah disembuhkan. Jung mengembangkan metode eksperimentasi asosiasi kata tersebut dibantu oleh paseinnya yang bernama Sabina

10 Psikologi Jungian, Film, Sastra Nikolayevna Spielrein. Sosok Sabina Nikolayevna Spielrein adalah seorang pasien perempuan yang masih muda dan dia bisa diajak bekerja sama oleh Jung untuk mengembangkan riset yang sedang dilakukannya. Dalam A Dangerous Method (2011), digambarkan sosok tokoh Jung yang memunculkan kata, sedangkan pasiennya yang memberikan jawaban. 00:12:07,433 --> 00:12:08,307 Kotak.

183 00:12:08,308 --> 00:12:09,767 Tempat tidur.

184 00:12:10,868 --> 00:12:12,103 Uang.

00:12:12,145 --> 00:12:13,396 Bank.

00:12:30,670 --> 00:12:31,663 Seks.

00:12:31,704 --> 00:12:32,789 Uh...

00:12:38,128 --> 00:12:39,004 Bunga.

00:12:42,874 --> 00:12:43,841 Muda.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 11 Jawaban dari sang pasien tersebut dianalisis dan disesuaikan dengan konteks yang permasalahan sang pasein. Dalam fi lm itu, sang pasien mengalami masalah dengan keluarganya. Karena itu, dia diterapi di klinik yang diketuai oleh Eugen Bleuleur. Jung dengan metode asosiasi kata tersebut akhirnya menemukan jawaban bahwa masalah yang dihadapi oleh si pasien tersebut disebabkan oleh sang suami. Untuk itu, sebagai seorang terapis harus mampu memberikan solusi terkait dengan masalah tersebut. Asosiasi kata yang dikembangkan oleh Jung tersebut dianggap sebagai rintisan dan pengembangan dari Jung, tetapi awal dasar yang memunculkan asosiasi kata tersebut diduga merupakan ide dari Eugen Bleuleur dan juga atas masukan dari koleganya, Freud. Dalam perkembangan selanjutnya, memang Jung yang lebih dikenal dengan metode asosiasi kata tersebut. Kerr (2011) menunjukkan bahwa Jung bekerja di tempat praktik Eugen Bleuleur dan di tempat tersebut Eugen Bleuleur adalah direkturnya. Di sanalah Jung merawat perempuan yang bernama Sabina Nikolayevna Spielrein –seorang perempuan muda yang terkena histeria— yang dalam perkembangan selanjutnya Sabina Nikolayevna Spielrein menjadi mahasiswa Jung dalam studi psikiatri. Melalui kedekatan kerja dan kedekatan akademik inilah Jung semakin

12 Psikologi Jungian, Film, Sastra meningkat ilmu dan juga pengalaman eksperimentasinya tentang psikologi dan psikiatri. Selain itu, Jung juga banyak belajar dari kakek moyangnya, Goethe yang turut serta dalam penginspirasian Jung untuk melahirkan karya-karyanya. Jung merasakan bahwa kepandaiannya juga tidak lepas dari kakek moyangnya tersebut. Jung sebagai seorang psikolog juga menyentuh dunia fi lsafat. Beberapa peneliti psikologi Jungian, misal Falzeder (2016), Lowinsky (2012), Mills (2013; 2014), Willeford (1992) menggambarkan bahwa Jung adalah sosok psikolog yang juga berbicara tentang metafi sika, superpersonal, dan fi lsafat. Pemikiran Jung memang dipengaruhi oleh Immauel Kant, fi lsafat China, ataupun yang lainnya, terutama yang berkait dengan pemikiran fi losofi s klasik, misal saja tentang dewa-dewi, dan agama. Hal tersebut terbukti dalam beberapa karyanya yang memang tidak lepas dari pemikiran fi losofi s dan masalah religiusitas yang bersifat metafi sika.

Jung, Freud, dan Fromm: Tokoh Utama dalam Psikoanalisis Nama besar Jung masuk dalam psikoanalisis. Nama besar psikoanalisis tidak lepas dari nama Jung, Freud, dan Fromm. Ketiganya, adalah tokoh utama dalam psiko- analisis. Merekalah yang membesarkan psikoanalisis,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 13 baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik di barat dan di timur. Meskipun demikian, nama tokoh psikoanalisis, misalnya Anna Freud, Karen Horney, Adler, dan Erikson, tidak bisa dilupakan juga kontribusinya dalam perkembangan psikoanalisis dunia. Namun, dalam paparan ini, lebih diketengahkan paparan tentang pemikiran psikoanalisis Freudian dan Frommian dalam psikoanalisis yang memiliki kedekatan pemikiran dengan Jung. Para psikoanalisis tersebut memiliki konsep yang berbeda dalam psikoanalisis. Tentunya, hal tersebut merupakan kategori yang wajar sebab mereka memiki latarbelakang keilmuan dan minat yang berbeda. Karena itu, mereka juga melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Berikut tokoh psikoanalisis dan pemikirannya. Sigmund Freud. Sebagai seorang psikoanalisis, Freud merupakan tokoh pendiri dan sekaligus tokoh utama dalam psikoanalisis. Dia dianggap sebagai tokoh dalam psikoanalisis klasik yang memperkenalkan psikoanalisis sebagai psikologi yang lebih mengarahpandangkan pada terapi wicara. Sebagai seorang psikoanalisis yang ortodoks, Freud banyak memunculkan pemikiran-pemikiran yang kontroversial. Meskipun demikian, pemikirannya merupa- kan pemikiran yang banyak merasuki pemikiran-pemikiran para psikoanalisis lainnya.

14 Psikologi Jungian, Film, Sastra Freud (1901) memunculkan pandangannnya yang berkait dengan psikopatologi. Buku yang berjudul Psychopa- thology of Everyday Life merupakan hasil kerja Freud dalam kaitannya dengan psikopatologi. Freud menggambarkan karakteristik orang-orang yang mengalami gangguan mental, yakni histeria dan kompulsif-neorosis. Studi yang dilakukan Freud ini tidak lepas juga dari pandangan beberapa tim yang menjadi grup dalam psikoanalisis, misalnya Sabina Spielrein. Suatu kebetulan juga bahwa pada masa lalu, Sabina Spielrein merupakan orang yang mengalami histeria. Dalam memperkuat dan mempertajam psikoanalisis Freud (1914) menerbitkan buku The History of the Psychoanalytic Movement. Dalam buku tersebut Freud benar-benar menyebut bahwa dirinya adalah pencetus psikoanalisis dan penggagas psikoanalisis. Karena itu, Freud (1914:1) menyatakan “For is my creation; for ten years I was the only one occupied with it….”

Freud (1910) memunculkan teori yang memperkuat psikoanalisis, misalnya teori tahapan kepribadian, teori struktur kepribadian, teori seksual (Freud, 1920), instink kematian dan instink kehidupan, dan mekanisme pertaha- nan ego. Dalam pandangan Freud, manusia sebagai sosok yang dido rong oleh energi alam bawah sadar, memiliki mekanis me pertahanan ego. Mekanisme pertahanan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 15 ego tersebut disebabkan oleh adanya pemertahanan diri ketika ada sesuatu yang kurang menyenangkan muncul/ menyerang diri seseorang. Mekanisme pertahanan ego dalam pandangan Freud, di antaranya rasionalisasi, proyeksi, kompensasi. Freud (1955) memunculkan teori mimpi. Dalam teori mimpi tersebut, Freud mengidentifi kasi historisme mimpi mulai zaman pra-sejarah, zaman Dewa-Dewi, zaman kenabian, sampai dengan zaman modern. Ia mengutip beberapa mimpi- mimpi yang terdapat dalam kitab suci dan dikaitkan dengan mimpi- mimpi yang ada pada masa sekarang ini. Freud juga menunjukkan karakteristik mimpi, jenis-jenis mimpi dan juga metodologi mimpi. Sebagai seorang psikoanalis yang lebih memfokuskan pada eksperimentasi, Freud juga menunjukkan bukti riset yang telah dilakukannya dalam kaitannya dengan studi mimpi. Fromm adalah tokoh dalam psikoanalisis yang kuat dalam perspektif fi lsafat dan masalah-masalah sosial. Karena itu, dia dianggap sebagai seorang psikoanalis yang mengarah pada fi lsafat dan psikologi sosial. Kajian- kajiannya memang mengarah pada wilayah fi lsafat dan sosial. Pemikiran Fromm (1947, 1954, 1964, 1966, 1968,1973) yang berkait dengan psikoanalisis yang mengarah pada konteks sosial mengarah pada konteks berikut (1) manusia

16 Psikologi Jungian, Film, Sastra dalam hubungannya dengan diri sendiri, agresi, kompulsif, sadism, masochism; (2) manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain, alienasi, hubungan relasional ; dan (3) manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, biophilia dan necrophilia. Fromm adalah sosok yang memfi lsuf sehingga bahasa dalam pemikirannya banyak yang menggunakan bahasa-bahasa fi losofi s, idealis, dan membaca masa depan. Ia sebagai seorang psikolog agak terpengaruh pemikirannya Marx tentang alienasi. Karena itu, Fromm dianggap agak Marxian. Meskipun demikian, dia masih menunjukkan optimisme dalam kehidupan sehingga dia memunculkan the art of loving, sebuah pemikiran tentang teori cinta.

Sekolah/Perguruan Tinggi yang Konsentrasi pada Psikologi Jungian Nama Jung tidak hanya terkenal dalam konteks psikologi, tetapi terkenal juga dalam konteks sekolah/ perguruan tinggi. Sekolah/perguruan tinggi yang membuka kelas/program untuk psikologi Jungian tersebar di berbagai negara di seluruh dunia. Sekolah/perguruan tinggi/institut tersebut menawarkan studi S1, S2, ataupun S3. Dengan demikian, psikologi Jungian tidak hanya diakui di level S1 saja, melainkan sampai pada level S2 dan S3. Hal ini

Psikologi Jungian, Film, Sastra 17 mengindikasikan bahwa psikologi Jungian merupakan psikologi yang diminati di berbagai negara. Sekolah/ perguruan tinggi yang berkonsentrasi pada psikologi Jungian, misalnya sebagai berikut. Pertama, International School of Zurich, yang terdapat di Stampfenbachstrasse 115 CH-8006 Zürich, Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Carl Gustav Jung. Lembaga ini memiliki konsentrasi pada terapi Jungian dan konseling yang menggunakan psikologi Jungian yang dikaitkan dengan pendidikan. Dengan demikian, psikologi Jungian tidak hanya berbicara di konteks psikologi, tetapi juga berkait di konteks dengan pendidikan juga sehingga lebih komprehensif antara pendidikan dan psikologi. Kedua, Pasifi ca Graduate Institute, Lambert, Santa Barbara, CA, (https://www.pacifi ca.edu/) merupakan insti- tut yang menawarkan kajian psikologi untuk S2 dan S3, di antaranya adalah Jungian dan Archetypal Studies (MA/ Ph.D.), Mythological Studies (MA/Ph.D.). Pasifi ca Graduate Institute, Lambert, Santa Barbara, CA, merupakan institut yang sangat kuat dalam menawarkan kajian-kajian tentang psikologi Jungian, beberapa judul dari hasil penelitian tesis/ disertasi yang berkait dengan psikologi Jungian diterbitkan pula oleh institut ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah institut yang memfokuskan kajian pada

18 Psikologi Jungian, Film, Sastra psikologi Jungian, Pasifi ca Graduate Institute tidak hanya konsern pada bidang penelitian saja, tetapi juga konsern pada bidang publikasi tesis/disertasi. Dengan demikian, nama Pasifi ca Graduate Institute menjadi lebih kuat sebab menguatkan psikologi Jungian dari dua sisi, penelitian dan publikasi hasil penelitian. Studi tentang psikologi Jungian di Pasifi ca Graduate Institute, Lambert, Santa Barbara, CA tersebut berkait dengan konteks (1) mempelajari dan mendalami psikologi Jungian secara kritis dalam kaitannya dengan studi: mimpi, penyembuhan jiwa, mistisisme, fi lm, sastra, ekologi, agama, kreativitas, transformasi pribadi, individuasi, pengembangan kesadaran , dan lainnya; (2) mempertajam dan memperdalam pemikiran tentang studi imajinal, simbolik, mistis, kritis, teoretis, dan arketipal; (3) mengasah kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam kaitannya dengan penulisan, dan publikasi hasil penelitian, baik bentuk jurnal ataupun buku. Dengan demikian, mahasiswa yang menembuh studi di tempat tersebut tidak hanya memahami konteks teoretis dalam kepenulisan, tetapi mereka juga memahami konteks praktis dalam hal kepenulisan. Ketiga, CG Jung Institute Chicago, 53 W Jackson Blvd, Ste 438, Chicago, IL 60604. Institut ini menawarkan Jungian Psychotherapy Program (JPP) dan Jungian Studies

Psikologi Jungian, Film, Sastra 19 Program (JSP). Program inilah yang dikaitkan dengan perspektif psikologi Jungian. Selain itu, tempat tersebut menawarkan terapi model Jungian. Sekolah/perguruan tinggi tersebut tidak hanya melahirkan Jungian baru dari perspektif psikologi, tetapi juga melahirkan Jungian baru dalam perspektif terapi dan konseling. Diakui atau tidak, perkembangan psikologi saat ini memang bersanding dengan konseling. Keduanya, psikologi dan konseling, saat ini memang menjadi tren di dunia. Seiring dengan perkembangan zaman, terapi dan konseling memang menaik dan mulai banyak diminati berbagai penjuru negara terutama negara yang berkembang dan negara maju yang lebih konsern dan ingin menguatkan bisa terapi dan konseling. Diakui atau tidak, kebutuhan terapis dan konseling semakin lama semakin meningkat sebab dengan perkembangan modernitas yang tanpa batas ini membuat manusia modern lebih cepat stress dan mengalami gangguan psikologis. Karena itu, mereka membutuhkan terapis dan konselor untuk mendampinginya. Pemikiran Jung memang dalam, problematik, ambiguistik, mistik, dan saintik. Karena itu, bagi sebagian orang hal tersebut membingungkan. Tapi, di sisi yang lain, hal tersebut merupakan sebuah komplektisitas sebuah pemikiran yang benar-benar mendalam. Bertolak

20 Psikologi Jungian, Film, Sastra dari karakter pemikiran Jung yang demikian komplikatif tersebut tidak semua orang suka membaca dan bahkan untuk mengikuti pemikiran Jung dalam kaitannya dengan konteks psikologi yang konon mistisis dan teleologis. Ada sebuah pengalaman individual seorang dosen yang ingin mengajarkan studi Jungian. Dosen tersebut bernama Tacey. Ternyata, ia kurang begitu diminati, bukan si Tacey-nya, tetapi psikologi Jungian-nya. Tacey (2007:56) mengisahkan bahwa ketika dia mencoba menawarkan psikologi Jungian di tempatnya mengajar, tetapi ada beberapa hal yang dilematis. Menurut orang-orang fi lsafat, pemikiran Jung bukanlah fi lsafat melainkan empirisme. Menurut orang-orang empirisme, pemikiran Jung intuitif. Menurut orang-orang psikologi, pemikiran Jung lebih ke agama. Menurut orang-orang agama, pemikiran Jung lebih ke sains. Akhirnya, hanya satu pintu terakhirnya, yakni studi Jungian bisa masuk dalam kritik sastra. Hal ini menunjukkan bahwa psikologi Jungian pada masa itu hanya berterima (dan sangat kuat) pada bidang sastra, meski pada bidang yang lain juga bisa masuk. Jika dipandang dari perspektif yang lebih mendalam, pengalaman Tacey sebagai seorang tersebut menunjukkan bahwa Jung tidak hanya dikenal dalam bidang psikologi saja, melainkan dikenal juga dalam bidang yang lain,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 21 yakni fi lsafat, agama, sains, dan juga sastra. Hal tersebut menunjukkan kedalaman dan kemampuan Jung untuk masuk ke dalam ilmu-ilmu tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Jung suka belajar tentang wilayah yang humaniora, misal psikologi, fi lsafat, dan agama. Karena itu juga, pemikiran-pemikirannya banyak yang terpengaruh oleh bidang-bidang tersebut dan akhirnya dia juga bisa masuk ke dalam bidang tersebut.

Jurnal tentang Psikologi Jungian Sebagai sebuah aliran psikologi jalur utama, baik di tempat kelahirannya, Jerman (Eropa) atau bahkan di wilayah yang lain, Amerika dan Jepang, Douglas (2010) menunjukkan perkembangan yang signifi kan dalam studi psikologi Jungian. Menurutnya, psikologi Jungian semakin menggeliat dan ramai di berbagai negara. Pada tahun 2019, Association for Analytical Psychology memberikan 2929 sertifi kat pada member di 45 negara yang tersebar di belahan dunia, 51 masyarakat profesional bidang psikologi Jungian. Hal tersebut menunjukkan bahwa minat terhadap psikologi Jungian semakin menguat sebab psikologi Jungian merupakan psikologi jalur utama. Dari segi masyarakat profesional yang mendalami psikologi Jungian, muncul jurnal-jurnal berikut. Journal of Analytical Psychology

22 Psikologi Jungian, Film, Sastra (Inggris) Jung Journal: Culture and Psyche (San Fransisco); Psychological Perspectives (Los Angeles Institute) Journal of Jungian Theory and Practice (New York Institute); Chiron (Chicago’s series of monographs on clinical practice); Spring; Cahiers de Psychologie Jungienne (Paris); Zeitschrift fürm Analytische Psychologie (Berlin); dan La Rivista di Psicologia Analitica (Roma). Kesemua bidang tersebut berkonsentrasi pada psikologi Jungian, baik konteks teoretis, metodologis, ataupun praktis. Jurnal yang bertemakan tentang psikologi Jungian merupakan jurnal internasional yang reputatif. Dengan demikian, hal tersebut sangat membanggakan sebab Jung tidak hanya dikenal dan dikenang dari segi karya dan psikologi yang kuat, tetapi dikenal dan dikenang juga dalam kaitannya dengan perkembangan psikologi kekinian yang lebih banyak mengarah pada studi interdisipliner dan multidipliner. Adanya jurnal yang banyak membicarakan psikologi Jungian juga menunjukkan bahwa eksistensi psikologi Jungian sampai sekarang benar-benar masih bertahan bahkan menguat. Psikologi Jungian memang saling bertalian dengan psikologi Freudian. Hanya saja, psikologi Jungian dan psikologi Freudian sama-sama memiliki penganut yang berbeda. Para penganut psikologi Jungian merupakan penganut psikoanalisis yang mengarahkan kajiannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 23 pada bidang-bidang archetype, anima/animus, , mimpi, ataupun ketidaksadaran kolektif. Adapun psikologi Freudian lebih mengandalkan dan mengedepankan ketidaksadaran individual, insting kehidupan dan insting kematian, seksisme dan mimpi. Keduanya, jika digali lebih dalam memang bersumber pada satu core yang sama, yakni psikologi ketidaksadaran. Perkembangan psikologi Jungian memang sangat kuat pada saat ini dan pengaruhnya besar dalam bidang psikologi ataupun psikiatri. Perkembangan tersebut didukung oleh menguatnya pandangan masyarakat terhadap psikologi dan meningkatnya studi psikologi di dunia. Meskipun demikian, pada mulanya, psikologi Jungian merupakan psikologi yang kurang diminati di kawasan barat, terutama Amerika. Begitu pula dengan psikoanalisis Freudian. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut. Pertama, psikologi yang ditawarkan dan dikembangkan oleh Freud dan Jung merupakan psikologi yang mengede- pankan alam ketidaksadaran yang mengendalikan manusia dalam melakukan tindakan. Psikologi yang mengedepankan alam ketidaksadaran merupakan psikologi yang kurang berterima bagi masyarakat barat yang mengandalkan rasio dan keilmiahan. Pada masa masa itu, masa tahun 1910-an masih belum kuat yang namanya psikologi ketidaksadaran

24 Psikologi Jungian, Film, Sastra memang tidak begitu marak dan tidak begitu dikenal oleh masyarakat. Karena itu, ketika masyarakat menemukan psikologi yang berbicara tentang alam ketidaksadaran. Diakui atau tidak, psikologi Jungian memang lebih mengarah pada mistisisme, occultisme, dan teleologisme tersebut membuat alam berpikir barat sulit menerimanya sehingga psikologi ini lama masuknya ke barat pada awal kemunculannya –meskipun sudah berkembang pesat di wilayah Eropa. Hal ini menyebabkan psikologi Jungian memang benar-benar tertinggal di dunia barat. Bahkan, gaungnya memang kurang terdengar sebab orang yang menawarkan dan membawa pengaruh psikologi Jungian ke barat juga sangat minim –tentunya keminiman tersebut berdasarkan pada masa itu—didiskusikan, diteliti, dan didiseminasikan. Meskipun demikian, psikologi Jungian di barat saat ini sudah ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan dijadikan sebagai studi ataupun terapi. Kedua, barat dengan paham rasionalitasnya lebih banyak mengandalkan psikologi kesadaran. Psikologi kesadaran adalah psikologi yang secara keilmiahan sangat terukur sebab berdasarkan pada perilaku dan empirisme sehingga kadar keilmiahannya dapat dipertanggungjawabkan dalam perspektif sains. Kerlinger (1990) menunjukkan bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, kekuatannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 25 terletak pada sisi sistematis, metodologis, dan bisa dikaji secara empiris. Selain itu, terlepas dari masalah politis- akademik, gelombang psikoanalisis ataupun psikologi Jungian memang dimulai dari Eropa dan bukan dari Amerika sehingga gaung psikologi Jungian pada awal- awal perkembangannya memang masih sulit berterima di barat. Tentunya, hal tersebut bisa dimaklumi sebab pada masa lalu akses keilmuan dan sains memang tidak semudah dan tidak sepesat sekarang sehingga hal tersebut menyebabkan perkembagan suatu ilmu pengetahuan tidak berjalan dengan cepat seperti sekarang yang seolah ‘berlari’ maraton atau seperti dunia yang dilipat. Kedua hal tersebut mengimplikasikan bahwa psikologi Jungian di barat memang pada mulanya berat untuk bersanding dengan psikologi yang lain yang terdapat di barat sebab barat lebih mengandalkan metodologi yang berdasarkan pada eksperimentasi, empirisme, dan juga kevaliditasan yang tinggi. Dengan demikian, segala ilmu pengetahuan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keilmiahan tersebut akan tampak ketika diujicoba oleh orang banyak. Dalam pandangan orang saintifi ks, ilmu yang memenuhi standar ilmu pengetahuan adalah penggeneralisasian. Tatkala suatu pengetahuan tersebut diujicoba menjadi ilmu pengetahuan, ujicoba tersebut

26 Psikologi Jungian, Film, Sastra harus mampu muncul dalam konteks generalisasi. Jika yang muncul lebih banyak unsur subjektivitas, falsi fi kasi, ataupun fabrikasi dalam pengujicobaan tersebut, ilmu pengetahuan kurang kuat bahkan disebut tidak kuat. Namun, sesuatu dengan hukum survavilitas, kekuatan yang besar akan mengalahkan kekuatan yang kecil dan itulah homo homini lupus, yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Begitu juga dengan dunia pemikiran dan dunia ilmu pengetahuan, ada yang tumbuh-kembang dan ada pula yang timbul-tenggelam. Psikologi Jungian lama-kelamaan tumbuh dan berkembang di barat dan sampai akhirnya berterima sebagai bagian dari psikologi dan psikiatri yang masuk jalur utama dan bukan merupakan mumbo jumbo.

Gambar 2: Jung pada usia tua (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=xK2Uv-82z_M)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 27 Jung sebagai sosok psikolog muda yang kreatif, inovatif, dan sedikit sensitif ternyata membawa pemikirannya lebih jauh lagi ke depan. Karena itu, ketika Jung menginjak usia kematangan sekitar 40-an ke atas, dia semakin menunjukkan dengan jelas bahwa psikologi yang dipelajarinya tidak lepas dari konteks teleologis, membaca masa depan yang masih menjadi misteri. Pemikiran Jung yang demikian itu, dianggap oleh sebagian orang kurang akademik sebab terkesan mistis dan bersifat tahayul. Namun, bagi kalangan yang pro-Jungian, tentunya pandangan Jung tersebut dianggap sebagai sebuah warna baru dalam dunia psikologi ketidaksadaran. Warna baru yang dimunculkan oleh Jung dalam psikologi memang berbeda dengan warna yang lain dalam psikologi. Karena itu, Jung sebagai seorang psikolog memi- liki kelebihan dan kekuatan dalam menarasikan psiko- logi dengan konteks-relevansi intuisi dan spiritualistis- mistis (Ellis, 2018; Dourley, 2015; Robertson, 2002; Senn, 1989). Hal itulah yang membuat pemikiran Jung mampu membangkitkan pemikiran orang lain di bidang psikologi yang selama ini tampaknya tidak mau ataupun tidak berani menjamah wilayah yang terra incognito tersebut. Selama ini, sebagaimana diketahui bersama, psikologi lebih banyak mengandalkan konteks kesadaran. Namun, dalam pandangan Jung yang memang membawahi

28 Psikologi Jungian, Film, Sastra pemikiran psikoanalisis, ia mencoba memberikan warna baru dengan memunculkan psikologi ketidaksadaran sebab lawan tanding dari psikologi yang berkesadaran. Tidak hanya itu, Jung menambahkan psikologi yang lebih dalam lagi, yakni psikologi spiritual, sebuah psikologi yang berbicara tentang keberkaitan antara psikologi, agama, dan mistisisme. Pemikiran yang demikian jika digali secara fi losofi s lebih dekat dengan wilayah kajian studi agama daripada psikologi. Meskipun demikian, akar dari studi agama dalam pandangan Jung bermula dari psikologi sehingga induk dari kajian terhadap pemikiran Jung lebih mengarah dan tetap pada fokus psikologi. Pemikiran- pemikiran tentang psikologi, agama, dan mistisisme ternyata saat ini ramai didiskusikan sebab ketiganya memang merupakan satu kesatuan yang bukan merupakan fragmentaria.

Tahapan Perkembangan Manusia

Jung seperti halnya psikolog yang lainnya, misal Freud, Adler, dan Erikson, memunculkan pembagian dalam tahapan perkembangan kepribadian manusia. Tahapan perkembangan kepribadian dalam konteks psikologi berkaitan dengan realisasi diri manusia dalam melalui tahapan kehidupan mulai dari bayi sampai dengan usia senja. Proses perkembangan kepribadian tersebut tidak lepas dari

Psikologi Jungian, Film, Sastra 29 adanya distorsi-distorsi dalam kehidupan sehingga dalam menjalankan proses perkembangan tersebut manusia ada yang mengalami perkembangan kepribadian secara normal dan ada juga yang kurang normal sebab terkait dengan konteks pribadi dan juga lingkungan. Jung (Feist & Feist, 2009) membagi tahapan perkem- bangan manusia menjadi (1) masa kanak-kanak, (2) masa remaja, (3) masa dewasa, (4) masa paruh baya, dan (5) masa tua. Masa perkembangan tersebut dalam pandangan Jung diibaratkan seperti matahari. Dalam konteks kehidupan keseharian, manusia pada awalnya ibarat masih matahari di ufuk timur dan kagori matahari pagi. Dalam kehidupan perkembangan dewasa, manusia memasuki masa matahari siang. Pada masa ini, kekuatan manusia memang berada pada puncak-puncaknya. Manusia pada masa ini adalah manusia yang mencapai usia kematangan jiwa. Karena itu, mereka akan menjadi manusia yang benar-benar memahami dirinya. Ketika mencapai usia dewasa, Jung memunculkan istilah individuasi. Istilah ini untuk menunjukkan kemata- ngan diri manusia dalam prosesi kehidupan (Feist & Feist, 2009). Manusia sebagai ‘the real man’, muncul pada masa ini. Sebuah masa ketika manusia dihadapkan pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Beberapa kasus terjadi manusia di masa dewasa, banyak dikejar dan dibayang-bayangi oleh

30 Psikologi Jungian, Film, Sastra masa lalu mereka yang penuh dengan kejayaan, tetapi di masa kini mereka mengalami penurunan. Bayang-bayang masa lalu tersebut membuat mereka menjadi manusia yang ketakutan dengan diri mereka sendiri, sebuah ketakutan yang paling menakutkan sebab takut dengan diri sendiri, bukan takut dengan orang lain. Sebagai manusia yang memahami dirinya sendiri, dia harus mampu mengalahkan bayangan masa lalunya dan menatap masa depan yang lebih pasti dan lebih real sebab masa depanlah yang akan dihadapi manusia, bukan masa lalu. Miller (2004:xi) menyebut individuasi dengan “the transcendent function is the core of ’s theory of psychological growth and the heart of what he called “individuation”. Karena itu, seseorang yang mampu melalui tahapan dan mencapai tahapan individuasi ini merupakan orang-orang yang sudah tercerahkan dan mencapai tahapan iluminasi dan menjadi manusia yang wholeness, memiliki kesatuan jiwa dengan ketubuhan. Diakui atau tidak, tidak banyak manusia yang mencapai individuasi dengan baik. Kebanyakan, malah semakin gagal memahami dirinya sendiri sehingga kehilangan jati diri dalam konteks psikologis. Dalam pandangan Jung (1956:265), individuasi yang terdapat dalam diri manusia memang berbeda-beda sebab manusia memiliki alam pikir psikologis yang berbeda.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 31 Manusia sebagai sosok yang unik tidak bisa disamakan secara psikologis, tetapi dalam alam ketidaksadarannya, mereka memiliki kemiripan dalam hal individuasi tersebut. Kemiripan tersebut disebabkan manusia memiliki archetype yang sama dalam derajat yang berbeda –tentunya dalam hal pemikiran tentang kematangan jiwa—sehingga setiap orang jika diamati secara seksama memunculkan karakteristik yang tidak jauh beda. Pada masa ini, seseorang sudah mampu mengenali dirinya sendiri dengan baik, manusia yang sudah mampu mereduksi hasrat-hasrat persona yang masuk dalam shadow yang akan membawa pada jurang kegelapan manusia. Jika seseorang tidak mampu menarik dirinya dari kegelapan yang dalam, ia akan terjebak dalam kegelapan tersebut dan tidak akan bisa kembali menjadi manusia yang seutuhnya. Manusia yang gelap adalah manusia yang tidak bisa membenahi dirinya dan tidak bisa menyadarkan dirinya sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik. Padahal, pada masa kedewasaan ini, manusia bisa mengendalikan diri dan mengendalikan elemen-elemen yang terdapat dalam dirinya sehingga dia menjadi manusia yang real bukan unreal. Dalam konteks manusia modern, pemahaman tentang kedirian yang disebut juga dengan self dalam psikologi Jungian memang membutuhkan pemahaman

32 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang mendalam. Manusia yang sudah mampu mengenali diri, mengendalikan diri, dan mengevaluasi dirinya akan menjadi manusia yang individuasi dan mencapai titik mandala. Secara historis, istilah mandala diadaptasi dari Budhisme yang berkait dengan sesuatu yang melingkar, konsep tersebut hampir sama dengan yin dan yang ataupun konsep ouroboros. Mandala merupakan titik puncak dari kehidupan manusia. Menurut Miller (2005), mandala dalam konteks psiko- terapi memang diujicobakan oleh Jung dalam menerapi kliennya. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa juga mampu memunculkan mandala. Konsep mandala dalam diri orang yang mengalami gangguan jiwa berbeda dengan mandala yang berada dalam diri manusia yang normal. Dalam diri manusia yang mengalami gangguan jiwa mereka memiliki konsep dalam diri tentang mandala dan konsep tersebut bisa muncul dalam bentuk karya seni, gambar ataupun tulisan. Untuk itu, Jung menggunakan seni yang dikaitkan dengan konteks psikoterapi sehingga membuat pasien lebih merasa nyaman dengan terapi-seni. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep tentang mandala tersebut masuk dalam wilayah transpersonal psikologi yang dalam masa modern ini juga ramai diperbincangkan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 33 Manuskrip: Surat-surat Jung kepada Freud (Sumber: The Freud/ Jung Letters [McGuire, 1974])

34 Psikologi Jungian, Film, Sastra 2

JUNG, KEHIDUPAN, DAN KARYANYA

ujukan yang dianggap sebagai semiautobiografi Rataupun biografi tentang Carl Gustav Jung pernah ditulis Carl Gustav Jung (rentang tahun 1957-1961) dengan judul Memories, Dream, Reflections (1961). Buku ini merupakan buku yang ditulis oleh Jung di masa tuanya –waktu itu ia berusia sekitar 82 tahun-- dan buku tersebut terbit setelah dia meninggal dunia. Dalam proses menulis buku tersebut, Jung dibantu oleh asistennya yang bernama Aniela Jaffé, dia adalah sosok asisten yang sangat setia dan sabar pada Jung terutama menyelesaikan tugas-tugas yang berkait dengan dunia tulis-menulis.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 35 Jika dikaitkan dengan psikoanalisis, Jung memiliki semibiografi yang berjudul Memories, Dream, Reflections (1961), sedangkan senior/guru/mentornya yang bernama Freud juga memiliki biografi yang ditulis oleh Ernest Jones, yakni The Life and Work of Sigmund Freud (1967), The Complete Correspondence of Sigmund Freud and Ernest Jones (1993) yang berbicara tentang korespondensi antara Freud dan Ernest Jones. Bedanya, biografi yang ditulis oleh Jung lebih dominan karya Jung –sehingga disebut dengan semiotobiografi--, sedangkan untuk biografi Freud lebih dominan ditulis oleh Ernest Jones. Kedua biografi tersebut, baik tentang Jung ataupun tentang Freud, sama-sama memiliki celah di dalamnya. Dalam The Life and Work of Sigmund Freud (1967), sang penulis biografi menunjukkan bahwa penulisan biografi tentang Freud masih memiliki celah, ada kekurangan, distorsi, ataupun hal yang lainnya. Dalam hal ini, Jones (1967) sebagai sang penulis biografi memang memaparkan secara terbuka bahwa apa yang ditulis di dalam buku biografi tentang Freud tersebut belum tentu benar adanya sebab Freud juga kurang setuju ketika buku biografi tersebut diterbitkan secara terbuka untuk khalayak luas. Diakui atau tidak, Freud dan juga keluarganya merasa kurang suka jika masalah

36 Psikologi Jungian, Film, Sastra privasi diangkat ke ruang publik. Karena itulah, Jones mengungkapkan bahwa biografi yang dia tulis bukanlah biografi yang populer, tetapi lebih tepatnya biografi yang berisikan pemikiran Freud. Dengan demikian, biografi tersebut lebih mengarah apda tataran yang akademik daripada tataran yang mengungkap masalah privasi Freud dalam kehidupan kesehariannya. Terlepas dari apapun yang terjadi, usaha menerbitkan biografi ataupun autobiografi merupakan hal yang berat sebab hal tersebut seperti mengumpulkan mozaik-mozaik kecil layaknya sejarah yang tercecer untuk menjadi sebuah karya yang bermartabat dan berkontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan. Salah satu bagian dalam biografi Freud memang ada yang dianggap sensitif. Dalam biografi tersebut, Jones (1967) menunjukkan bahwa dalam melakukan terapi penyembuhan kepada klien. Freud menggunakan terapi kokain. Dalam biografi tersebut Jones memang mengutip penjelasan dari Freud terkait dengan penggunaan kokain kepada kliennya. Tentunya, dalam hal ini secara etika tidak diperkenankan. Freud juga merasa bersalah terhadap dirinya sendiri sebab dia merasa telah menggunakan jalan yang salah dalam melakukan pengobatan kepada klien dengan menggunakan kokain. Hal inilah yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 37 tampaknya kurang begitu diminati oleh Freud sebab mengungkapkan Freud yang terkesan melegalkan narkoba dalam melakukan terapi penyembuhan kepada klien terlepas dari argumentasi rasional apapun. Taylor (2007) menandai bahwa pemikiran Jung yang tertuang dalam buku berjudul Memories, Dream, Reflections (1961) sebenarnya terinspirasi oleh pemikiran Imanuel Kant yang berjudul Dreams of a Spirit-seer (1900). Salah satu hal yang tampak kelihatan terpegaruh adalah dalam kaitannya dengan masalah after the death. Dalam pandangan Kant (1900), setelah seseorang mati, jiwa (anima) masih tetap ada dalam diri, tetapi dia sudah meninggalkan raga. Tentunya, Jung dan Kant, merupakan seorang yang memegang konsep religiusitas. Karena itu, mereka berpandangan bahwa kehidupan setelah kematian memang ada sebab itu oleh Tuhan diciptakan surga dan neraka sebagai tempat yang kekal bagi manusia. Manusia tidak akan bisa lari dari kematian dan memang mereka sebagai makhluk yang memiliki jiwa akan menuju ke dunia setelah kematian. Sebagaimana otobiografi ataupun biografi yang beredar di masyarakat, Jaffé (1961) menjelaskan bahwa biografi Jung bukanlah sebuah biografi yang dianggap sebagai rujukan komprehensif, tetapi rujukan yang

38 Psikologi Jungian, Film, Sastra bersifat restropektif tentang perjalanan kehidupan Jung mulai dari kecil, remaja, dewasa, sampai masa tuanya. Penjelasan Jaffé tersebut menunjukkan secara implisit bahwa biogra fi Jung ataupun biogra fi yang lain yang berbicara tentang alur kehidupan dan alur pemikiran seseorang tentunya memiliki ‘celah’ yang memang dengan sengaja ditenggelamkan demi sesuatu hal yang tentunya bersifat positif. Tanpa berpretensi apapun, biogra fi dalam paparan ini hampir sama dengan apa yang diungkapkan oleh Jaffé, biografi yang bersifat restrospektif, bukan yang mengarah pada justifikatif. Carl Gustav Jung (dikenal dengan sebutan Jung) lahir di Kesswil, Switzerland, Swiss, 26 Juli 1875 dan meninggal pada 6 Juni 1961 (usia 85). Ia lahir dari pasangan suami istri yang bernama Paul Achilles Jung (seorang pastur dari Protestan) dan Emilie Preiswerk. Jung merupakan anak dari keluarga yang terkategorikan berada. Hidup dan kehidupan Jung merupakan sebuah realisasi dan konkretisasi dari manifestasi alam bawah sadarnya. Ia memang lebih banyak mengungkapkan bahwa pemikiran- pemikirannya pun tidak lepas dari alam bawah sadar. Karena itu, Jung banyak memunculkan pemikiran tentang psikologi yang berhubungan dengan alam bawah sadar dan ketidaksadaran. Kehidupan manusia yang banyak dirasuki

Psikologi Jungian, Film, Sastra 39 oleh pengalaman-pengalaman bawah sadar tersebut tidak lepas dari mitologi (cerita rakyat). Bishop (2014:22) menuliskan bahwa Jung adalah keturunan dari Goethe (1749-1832) –seorang sastrawan Jerman yang terkenal dengan novelnya Faust. Jika ditelusuri secara garis keturunan Goethe merupakan kakek moyang Carl Gustav Jung. Hal itu menunjukkan bahwa secara garis keturunan Jung memiliki bakat alam dalam kaitannya dengan seni terutama sastra. Karena itu, Jung juga menulis tentang psikologi yang berkait dengan masalah kesastraan dan mitologi. Minat itulah yang tidak lepas dari pengaruh kakek buyutnya, Goethe.

Masa Pagi: Kehidupan Kanak-kanak Kehidupan Jung kecil sampai beranjak remaja tidak lepas dari bayang-bayang introversi. Karena itu, McLynn mendeskripsikan Jung tidak lepas dari tipikal yang suka bertahayul, xenophobia, dan introvert (McLynn, 2014:1). Karakter Jung yang demikian, menurut Hyde & McGuinness (2004) tidak lepas dari konteks psike individu yang melankolis. Kemelankolisannya tersebut tampak dalam kehidupan kesehariannya dia. Ia memang tipe anak yang suka berkhayal, bermimpi, memiliki ketakutan-

40 Psikologi Jungian, Film, Sastra ketakutan kepada dunia luar sehingga hal tersebut semakin membuat dirinya menjadi seorang anak yang pendiam dan cenderung menutup diri dalam pergaulan di luar. Hal itulah yang tampaknya memperkuat dirinya sebagai sosok yang introvert dan melankolis dalam menghadapi kehidupan. Dari sisi keluarga, baik ayah dan ibu, Jung tampaknya agak jauh dengan sosok ayahnya. Mungkin karena kesibukan ayahnya dalam bekerja. Namun, ia lebih dekat dengan ibunya. Dalam kehidupan keseharian, sang ibu memiliki dua karakter, yakni kadang muncul dengan sisi yang hangat (warm) dan kadang muncul dalam sisi yang buruk (terrible) sehingga membuat Jung melahirkan kehidupan pagi dan kehidupan malam. Sang ibu ketika pagi merupakan sosok yang baik, sedangkan ketika malam sang ibu menjadi sosok yang buruk (Douglas, 2010:118). Ibu Jung tersebut diduga mengalami gangguan psikologis, ia mengalami fantasi bertemu dengan orang-orang mati. Karena itu, Casement (2001:4) menunjukkan bahwa ibunya Jung memang pernah masuk di rumah sakit jiwa selama berbulan-bulan karena penyakit yang dideritanya. Hal tersebut membuat Jung kecil merasa dalam kesendirian dan kesepian. Ia sempat merasakan bahwa orang tuanya terkesan meninggalkan dirinya sebab orang tuanya sibuk dengan masalahnya sendiri. Pengalaman masa kecil ini merupakan masa yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 41 tidak terlupa dalam diri Jung kecil sebab dia merasa masa- masa dekat dengan ibunya sempat hilang. Hilangnya masa bahagia dengan ibunya tersebut memang disebabkan oleh faktor gangguan psikologis yang melanda ibunya, bukan karena faktor yang lainnya. Namun, kelak pada usia remaja, ia menjadikan pengalaman individualnya di masa kecil ini sebagai pondasi untuk menulis disertasi tentang occultism yang sebenarnya secara archetypis tidak lepas dari historisme yang pernah dia alami pada masa kecil. Pernah pada masa kecil Jung mengisahkan bahwa dirinya pernah Ia disakiti oleh temannya, dipukul dan membuatnya cidera (Kerr, 2011). Cidera tersebut mengakibatkan dirinya tidak bisa masuk sekolah seperti biasanya dalam beberapa waktu. Cidera yang dialami oleh dirinya tersebut membuat dia mengalami neurosis yang kelak di kemudian waktu tatkala dia menginjak dewasa, baru dipahami neurosis yang terdapat dalam dirinya tersebut (Jung, 1989). Karakter Jung yang memang introvert dan melancholis tampaknya memperparah neurosis yang terdapat dalam dirinya ketika dia masih kanak-kanak. Karena itu, ketika besar pun, Jung masih teringat dengan masa lalunya yang berkait dengan neurosis tersebut. Untungnya, dia mampu menyembuhkan neurosis yang menjangkiti dirinya. Ternyata, tidak hanya Jung saja yang mengalami masalah psikologis ketika masih

42 Psikologi Jungian, Film, Sastra kanak-kanak, psikolog yang lainnya, misal Erik H. Erikson, yang mengalami depresi dan konfl ik batin dalam dirinya. Namun, dia mampu memanfaatkan depresi dan konfl ik batin yang menjangkiti dirinya dan menjadikannya sebagai katalis. Ketika dewasa, dia pun akhirnya menjadi psikoanalis dan bergabung dengan aliran Freudian. Begitu pula dengan Jung, dia bisa menyembuhkan masalah psikologis yang terdapat dalam dirinya sehingga ia bisa menjadi psikolog yang handal pada zaman kejayaan psikoanalisis dan ia memang sampai sekarang gaungnya masih menggema ke mana-mana. Pada masa kanak-kanak ini, Jung menuliskan bahwa ia mengalami beberapa mimpi yang diingat sampai dia beranjak dewasa. Mulanya, ketika ia masih kanak-kanak, ia bingung dengan mimpi-mimpinya yang tidak bisa dipahami dan tidak bisa diterjemahkan oleh dirinya. Ia juga bingung sebab tidak ada orang yang bisa diajak untuk berdiskusi tentang mimpi- mimpi yang selalu berkelijatan dalam pikirannya. Jung (1961) mengisahkan bahwa sewaktu dirinya berusia 4 tahunan ia pernah bermimpi tentang tentang batu, singgasana, dan pohon yang sangat besar. Mimpi tersebut sangatlah mengganggu Jung kecil. Ia sangat ketakutan sehingga di hari-hari berikutnya ia pun kesulitan tidur sebab merasa dihantui oleh mimpi tersebut. Mimpi yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 43 baginya menakutkan dan buruk tersebut dirahasiakannya kepada siapapun. Ia takut jika menceritakan mimpi tersebut kepada orang lain, bisa jadi mimpi tersebut akan menguak siapa sebenarnya Jung yang real. Pada masa itu, Jung adalah anak yang introvert dan sensitif sehingga ia kurang begitu suka mendiskusikan masalah pribadinya kepada orang lain. Jung dalam masa-masa ini memang berada pada masa kebimbangan dalam kaitannya dengan masalah mimpi- mimpi yang harus digelutinya sendiri dan harus dipikirkannya sendiri dalam-dalam. Barulah ketika dia beranjak dewasa dia membukanya dan menuliskannya dalam autobiografi nya, Memories, Dreams, Refl ections (1961). Jung pun juga baru memahami bahwa apa yang dimimpikannya di masa lalu adalah mimpi tentang phalus, sebuah simbol laki-laki. Kekuatan mimpi Jung yang dianggap sebagai sesuatu yang memiliki simbolisme ini ternyata berkait juga dengan kekuatan Jung yang dalam hal pelihatan. Jung sebagai psikolog yang occultism, memercayai bahwa pelihatan adalah kinerja dari psike alam bawah sadar manusia. Sebagai manusia yang banyak didorong oleh energi bawah sadar, manusia juga memiliki kekuatan pelihatan. Tentunya, dalam hal ini, pelihatan yang muncul dalam diri seseorang tersebut memiliki keberbedaan yang disebabkan oleh (1)

44 Psikologi Jungian, Film, Sastra kemampuan dalam melakukan pelihatan yang dialaminya dan (2) kemampuan dalam menafsirkan pelihatan tersebut. Dengan demikian, pelihatan seseorang tersebut tidak lepas dari simbol-simbol yang harus dipecahkan dan ditafsirkan oleh sang pelihat. Melalui tafsir dari simbol-simbol tersebut seorang pelihat bisa melihat ‘apa yang sebenarnya’ dari esensi simbol yang muncul dalam pelihatan tersebut. Di samping itu, seorang pelihat harus benar-benar mampu melihat apakah yang dilihatnya itu adalah suatu pelihatan yang dianggap sebagai sebuah tanda (sign) yang memiliki makna bagi kehidupan manusia sebab pemahaman terhadap tanda dalam pelihatan sangat diperlukan agar manusia bisa menjadi manusia yang lebih baik, bukan menjadi manusia yang lebih buruk. Pemikiran Jung yang berkait dengan pelihatan ini pada akhirnya membuat dirinya lebih dekat dengan istilah cenayang, dukun, saman, ataupun peramal. Beberapa peneliti, misalnya Senn (1989), Keith (1976), Richter (2018) menyatakan bahwa psikologi Jungian memang tidak lepas dari dunia supranatural. Karena itu, di dalam psikologi didiskusikan masalah manusia dengan dunia yang lain, misal saja yang berkait dengan roh, kematian, ataupun ramalan. Pemikiran Jung yang berkait dengan pelihatan ini juga dihubungkaitkan dengan telepati manusia. Dalam kaitannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 45 dengan pemikiran tentang telepati dan mistis, Freud sebagai senior dan mentornya merasa kurang sependapat dengan Jung sebab masalah telepati sebenarnya bukan wilayah kajian dalam psikoanalisis. Namun, Jung dengan pemikirannya yang masih muda dan masih bersemangat, ia ingin menunjukkan bahwa ide yang dipikirkannya itu adalah sebuah pemikiran yang benar dan bukan pemikiran yang mengada-ada sehingga menyebabkan sebuah sesat pikir dalam psikologi.

Masa Kuliah

Jung secara pribadi mengungkapkan bahwa dirinya merasa bahwa keluarganya dari sisi fi nansial tidak begitu mewah. Karena itu, dia ingin berkuliah di kampus yang menurutnya sesuai dengan fi nansial keluarga. Tampaknya, Jung tidak ingin membebani orang tuanya, terutama sang ayah. Namun, sang ayahlah yang tampaknya ingin anaknya berkuliah di tempat yang prestisius dan mahal (dalam hal ini versi Jung), Universitas Basel. Di kampus itu, ternyata sang ayah meminta keringanan untuk biaya kuliah dan ternyata keringanan tersebut diterima oleh pihak kampus. Tentunya, hal ini membuat Jung merasa bahagia dan juga malu (Jung, 1989) ketika hal tersebut terjadi. Kebahagiaan tersebut muncul ketika dia diterima di Universitas Basel dan

46 Psikologi Jungian, Film, Sastra rasa malu tersebut muncul ketika orang tunya meminta keringanan biaya di Universitas Basel. Meskipun demikian, Jung sangat bangga dengan orang tua terutama ayahnya yang rela berjuang agar anaknya bisa studi di kampus yang bergengsi tersebut. Dengan berbekal semangat dan serta motivasi dari keluarga, akhirnya Jung memang berkuliah di Universitas Basel. Sebagai seorang pelajar, Jung mengakui bahwa dirinya adalah anak yang kurang menyenangkan bagi orang lain. Rasa tersebut disebabkan dirinya yang memang cenderung introvert sehingga menjustifi kasi bahwa dirinya kurang menyenangkan bagi orang lain. Tidak hanya itu, dia juga merasa bahwa dirinya adalah sosok yang temperamen dan tidak mampu mengendalikan diri. Namun, di lain pihak, dia mengungkapkan bahwa dirinya adalah pelajar yang hebat yang memiliki ambisi-ambisi besar (Jung, 1989). Karakterisasi Jung tersebut memang menunjukkan bahwa dia adalah tipe manusia yang kurang begitu terbuka pada dunia luar. Masa- masa kuliah memang merupakan masa Jung yang lebih dominan dengan keintrovertannya. Ia masih terbawa dengan karakter kanak-kanak yang dibawanya. Namun, pada masa kuliah ini Jung mulai memunculkan optimisme dalam studi karena dia merasa bahwa dirinya memiliki ambisi untuk menjadi orang yang kreatif.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 47 Masa Perkembangan Pemikiran dan Mengajar

Jung dianggap sebagai sosok pioner bidang psikiatri yang pemikirannya memunculkan banyak pengaruh pada berbagai spektrum, pengobatan/terapi, psikologi, religi, antropologi, sosiologi, sastra (Stephenson, 2016), seni, sains-humaniora (Dunne, 2015:1) yang mengarah pada mistisisme (Stein, 2015). Pemikiran Jung yang banyak memberikan pengaruh dalam berbagai disiplin ilmu tersebut disebabkan kemampuan Jung yang tidak hanya mengarah pada psikologi saja, tetapi bidang yang lainnya. Dengan begitu, psikologi yang dikembangkan oleh Jung dirasuki oleh pemikiran dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain sehingga memperkaya pandangannya tentang psikologi dan psikiatri. Hal tersebut dibuktikan dengan pemikirannya yang berkait dengan bidang-bidang tersebut, misal dalam konteks psikologi dan sastra, Jung (1966) menulis Spirit in Man, Art, and Literature. Kehebatan Jung sebagai seorang psikolog dan psikiatris yang mendunia memang tidak lepas dari kritikan. Salah satu analis Jungian, Spiegelman (2007:66) menunjukkan bahwa banyak orang yang mengkritik keberadaan Jung sebagai psikolog yang anti-Semit, occultism, rasism, dan misoginism. Pascameninggalnya Jung dan orang-orang dekatnya Jung – yang turut mengembangkan Psikologi Jungian, misalnya C. A. Meier and Marie-Louise von Franz—tampak jelas bahwa

48 Psikologi Jungian, Film, Sastra orang beranggapan dan mengkritik tajam bahwa kekuatan psikologi Jungian sebenarnya dipertanyakan kesahihannya. Para praktisi bidang psikologi dan bidang psikiatri mempertanyakan studi yang dilakukan oleh Jung sebab dalam pandangan mereka psikologi Jungian merupakan psikologi yang lebih mengarah pada hal yang occultism dan beberapa kasus pemikiran Jung sulit diinterpretasikan sebab menggunakan bahasa yang ‘seolah-olah’ hanya mampu dipahami oleh Jung itu sendiri. Diakui atau tidak bahasa yang digunakan oleh Jung dalam buku, seminar, ataupun artikel yang ditulisnya menggunakan bahasa-bahasa yang banyak memunculkan perlambangan, baik konteks spiritual, antropologi, dan fi losofi . Hal inilah yang agak memberatkan bagi peneliti psikologi terutama peneliti psikologi yang masih pemula –dengan segala keterbatasan pemahamannya tentang simbolisme yang terdapat dalam konteks fi lsafat, psikologi, dan antropologi—dengan ilmu yang pemula juga. Dalam konteks psikologi yang mengarah pada ketidaksadaran (yang dalam perjalanannya lebih dikenal dengan psikoanalisis) Jung, Freud, dan Adler adalah tokoh yang berpengaruh dalam psikoanalisis. Ketiga orang tersebut merupakan tokoh generasi pertama dalam pergerakan psikoanalisis yang memiliki pengaruh besar di Jerman (Shamdasani, 2018) dan memberikan dampak yang besar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 49 bagi perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai negara di dunia. Gelombang psikoanalisis memang besar pada masa Freud, Jung, dan Fromm dan gelombangnya tersebut sampai ke Amerika. Sampai saat ini, gelombang psikoanalisis sebagai salah satu psikologi arus utama masih kuat dan bertahan dan bahkan tumbuh kembang di berbagai negara. Meskipun demikian, tidak dinafi kkan adanya gelombang feminisme yang dimunculkan oleh perempuan psikoanalis, misalnya Anna Freud, Karen Horney, dan Sabina Spielrein. Tahun 1903 Jung menikah dengan seorang perempuan yang bernama Emma Rauscenbach. Melalui pernikahannya dengan Emma Rauscenbach tersebut, Jung dikaruniai lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki. Kelima anak tersebut bernama (1) Gathe Niehus, (2) Franz Jung- Merker, (3) Gret Baumann, (4) Helene Hoerni, dan (5) Marianne Niehus (Krapp, 2015). Sosok Emma Rauscenbach adalah perempuan dari keluarga kaya raya sehingga hal tersebut membuat taraf kehidupan Jung dan keluarganya menjadi meningkat dari sisi fi nansial. Dalam kehidupan keseharian, sosok Emma Rauscenbach merupakan istri yang baik dan memiliki kemampuan intelektual di bidang psikologi yang bagus sebab dia turut membantu Jung dalam mengembangkan psikologi Jungian. Ia menulis buku, Anima dan Animus (1985) dan The Grail Legend (1998). Buku-buku

50 Psikologi Jungian, Film, Sastra karya Emma Jung itu turut mengiringi kekuatan psikologi Jungian di kancah psikologi internasional. Kehidupan Jung pada masa pernikahan memang merupakan masa tumbuh kembang dari sisi fi nansial. Hal itu diperkuat oleh paparan Nelson-Jones (2006) yang menyebutkan bahwa Undang-undang yang terdapat di Swiss, Jerman –pada masa itu— menjelaskan dan memberikan kemudahan kepada para suami untuk memiliki akses penuh pada fi nansial istri dan bisa menggunakan semuanya tanpa harus diketahui oleh disyahkan oleh istri sebagai pemilik utama kekayaan tersebut. Seorang suami benar-benar diberi kekuatan dan hegemoni dalam hal kehidupan rumah tangga. Meskipun demikian, Jung masih tetap berusaha mandiri dengan bekerja sebagai psikiatri dan dosen di universitas.

Gambar 3: Jung bersama istri (Emma Rauscenbach) dan anak-anaknya (Sumber: Carl Jung [Bishop, 2014])

Psikologi Jungian, Film, Sastra 51 Rentang tahun 1904-1910 Jung dilanda masalah etika profesi. Praktisi yang pro-Jungian mengungkapkan bahwa Jung tidak melakukan kesalahan ketika menangani Sabina Nikolayevna Spielrein1. Misal saja, tulisan Lothane (2003:191) yang menegaskan bahwa Jung memang sebenarnya tidak melakukan tindakan nonetik ketika melakukan terapi kepada Sabina Nikolayevna Spielrein (Сабина Николаевна Шпильрейн). Ia menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Jung kepada kliennya tersebut merupakan bentuk yang wajar antara seorang terapis dengan kliennya dalam rangka upaya penyembuhan. Namun, kalangan yang berbeda menunjukkan bahwa Jung memang melanggar etika profesi dalam hubungannya dengan klien yang bernama Sabina Nikolayevna Spielrein tersebut. Dalam konteks pro dan kontra tentang Sabina Nikolayevna Spielrein, penulis tidak berusaha menelusuri lebih jauh tentang hubungan Jung dengan Sabina Nikolayevna Spielrein tersebut sebab biogra fi ini lebih mengarah pada restropektif. Dengan begitu, pembaca yang ingin menelaah lebih jauh tentang perjalanan Jung dan Sabina Nikolayevna Spielrein bisa mencari rujukan

1 Ia adalah sosok perempuan psikoanalisis yang berasal dari Rusia. Sebagai pasien yang terkena histeria, Sabina Nikolayevna Spielrein juga mahasiswa yang dibimbing oleh Jung dan Freud. Dalam perkembangan selanjutnya, Sabina Nikolayevna Spielrein bisa mengatasi masalah psikologisnya dan menjadi psikoanalis.

52 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang lain. Dalam konteks restropektif, Sabina Nikolayevna Spielrein sebagai klien Jung sebenarnya sudah memberikan kontribusi yang sangat baik dalam psikoanalisis. Sabina Nikolayevna Spielrein mampu menjadi seorang perempuan psikoanalisis. Diakui atau tidak, selama ini memang psikoanalisis lebih banyak digawangi oleh kaum laki-laki, misal saja, Freud, Jung, Adler, Fromm, Erikson, ataupun psikologi neo-Freudian, misalnya Lacan. Adapun psiko- analisis yang digawangi perempuan memang sangat sedikit, yakni Anna Freud 2, Karen Horney, dan Sabina Nikolayevna Spielrein 3. Para perempuan inilah yang membawa nama besar psikoanalisis di mata perempuan. Menurut studi yang ditulis oleh Graf-Nold (2005), Jung mulai aktif mengajar di perguruan tinggi (lagi) sekitar

2 Anna Freud merupakan anak biologis Sigmund Freud yang turut serta menumbuhkembangkan psikoanalisis di Wina, Jerman. Salah satu tokoh yang menjadi tim dalam psikoanalisis yang dipegang oleh Anna Freud adalah Erik H Erikson. Ia banyak berguru kepada Anna Freud dan kelak dikemudian waktu ia (Erik H Erikson) akhirnya menjadi terapis psikoanalisis dan bergabung dengan timnya Anna Freud. 3 Sabina Nikolayevna Spielrein adalah psikoanalisis yang terkenal di Rusia. Mulanya memang dia adalah klien Jung dalam terapi, tetapi dalam perjalanan kehidupannya, dia menikah dengan orang Rusia (dan ia mengikuti suaminya tersebut). Di Rusia, Sabina Nikolayevna Spielrein membuka terapi psikoanalisis. Sabina Nikolayevna Spielrein juga pernah bekerja sama dengan Jean Piaget dalam konteks psikologi. Ia pun dikenal sebagai sosok perempuan psikoanalisis yang memunculkan teori tentang hasrat kematian. Sebagai psikoanalis, ia melahirkan buku, misalnya The Essential Writing of Sabina Spielrein (2018).

Psikologi Jungian, Film, Sastra 53 tahun 1933. Jung pada waktu itu menjadi dosen di Institut Teknologi Federal Swiss (ETH) yang terdapat di Zurich. Kuliah perdana dalam bidang psikologi tersebut diberi judul “Modern Psychology” as part of the “General Division”. Dalam perkembangan selanjutnya, Jung sebagai seorang dosen diangkat menjadi profesor di ETH pada tahun 1935 dan ia mengajar di kampus tersebut sampai tahun 1941. Sebelumnya, Shamdasani (2005a) menunjukkan bahwa Jung sudah pernah mengajar di perguruan tinggi. Sekitar tahun 1914, Jung memang sudah pernah menjadi dosen yang mengajar di Universitas Zurich (di bidang medis). Pada waktu itu, ia memang mengundurkan diri dengan alasan tertentu. Karena itu, ketika tahun 1933 dia mengajar lagi, hal tersebut menunjukkan eksistensinya di perguruan tinggi setelah ia vacum dari dunia perguruan tinggi beberapa tahun. Pada 30 Juli dan 6 Agustus 1938 Jung mengikuti seminar Tenth International Medical Congress for Psychotherapy di Oxford. Dalam acara tersebut, Jung mengungkapkan salah satu point penting yang berkait dengan bagaimana Masyarakat Psikoterapi Swiss bisa menggunakan analisis psikologi (psychological analysis) dalam melakukan terapi (Shamsadani, 2005b). Jung mendapatkan banyak apre- siasi terkait dengan pemikirannya tentang psikoterapi yang dikaitkan dengan konteks psikologi analitik yang

54 Psikologi Jungian, Film, Sastra dikembangkannya. Munculnya psikologi analitik tersebut sebagai bentuk perpecahan dari psikonalisis yang semula ia ikut dalam jalur utama psikoanalisis. Namun, sebagaimana diketahui bersama bahwa Jung tidak bisa lepas dari jalur utama psikoanalisis sebab dia juga turut membesarkan nama psikoanalisis dan dia juga pernah menjadi anak emasnya Freud dalam bidang psikoanalisis.

Masa Inkubasi dan Katalis Masa inkubasi adalah perspektif fi lsafat dan spiritual adalah masa ketika seseorang mengalami suatu permeditasian/hening untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik yang berkait dengan nominous ataupun iluminatif. Masa inkubasi inilah masa ketenangan seseorang dalam menemukan jati diri. Dalam konteks biologi dan kesehatan, masa inkubasi berkait dengan masa awal sampai dengan masa munculnya suatu penyakit. Dalam konteks psikologis, masa ini adalah masa ketika Jung mengalami “kebuntuan intelektual” atau stagnasi akademik sebab ia sulit dalam melahirkan tulisan. Hal ini terjadi ketika Jung mengalami perpecahan dengan Freud dalam kaitannya dengan pandangan tentang psikologi, terutama berkait dengan psikologi ketidaksadaran. Namun, masa kesulitan ini

Psikologi Jungian, Film, Sastra 55 ibarat sebuah proses menuju ke proses intelektualitas dan kreativitas yang tinggi. Ibaratnya, ketika seseorang ketika mengalami proses stagnasi intelektual, sebenarnya tahapan ini merupakan proses pengendapan pemikiran sehingga pada masa selanjutnya seseorang mampu melahirkan sebuah karya akademik maupun nonakademik. Moura (2005) mencatat bahwa masa konfrontasi antara Jung dan Freud terjadi pada rentang tahun 1906 and 1913. Pada masa ini memang Jung mulai menunjukkan pemikiran- pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Freud. Sebagai seorang senior, Freud juga merasa kurang setuju dengan pandangan-pandangan Jung tentang alam ketidaksadaran. Meskipun demikian, mulanya, keduanya sangat akrab dalam hubungan kolegial dan saling mendukung dalam menguatkan pemikiran-pemikirannya. Artinya, Jung mendukung pemiki- ran Freud tentang psikologi ketidaksadaran dengan berbagai postulat yang dia munculkan. Begitu juga dengan Freud juga mendukung pemikiran Jung berkait dengan psikologi ketidaksadaran –tentang occultism, agama, spiritualisme, ataupun mitologi yang sebenarnya agak mengarah pada dunia mistisisme— yang terdapat dalam diri manusia. Jung kurang begitu menerima pandangan Freud bahwa manusia didorong oleh energi libido yang menyebabkan manusia lebih cenderung didorong oleh hasrat seksual dalam

56 Psikologi Jungian, Film, Sastra alam bawah sadarnya. Perpecahan Jung dan Freud tersebut akhirnya dibukukan Jung Contra Freud. The Collected Works of C.G.Jung Volume 4, Part 2 (Jung, 1961). Perpecahan ini memang di sisi lain membuat Jung mengalami kebuntuan intelektual, tetapi pada sisi lain, Jung mampu berdiri sendiri tanpa berada di bawah bayang-bayang Freud. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran Jung banyak dipengaruhi oleh pemikiran Freud yang dalam hal ini sebagai guru ataupun kolega dalam bekerja untuk mengembangkan psikoanalisis. Namun, ada juga pandangan yang menunjukkan bahwa Jung mengalami konfrontasi dengan Freud karena adanya Sabina Spielrein. Munculnya perempuan muda di antara mereka berdua, Jung dan Freud, ternyata membuahkan masalah yang besar sebab Jung diduga melakukan tindakan yang melanggar etika. Jung menyadari bahwa pandangan-pandangan Freud sudah mulai semakin surut pengaruhnya dalam dirinya. Ia benar-benar merasakan hal tersebut. Namun, sebagai seorang murid yang sekaligus sebagai seorang kolega, Jung tetap merasakan dan mengakui bahwa sosok Freud adalah sosok yang kuat dan superior (Jung, 1969) sehingga dia sulit untuk memadamkan itu. Pada masa-masa kontra ini, Jung memang mulai memberikan kritikan-kritikan terhadap pandangan Freud yang tidak relevan dengan pemikirannya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 57 Freud sebagai seorang psikolog dan senior tentunya merasa bahwa apa yang menjadi pikiran Jung tidaklah sesuai dengan apa yang dia pikirkan dan apa yang dia cita-citakan untuk masa depan psikoanalisis yang lebih baik. Jung sebagai seorang yang memiliki tipikal introvert memang merasa depresi secara psikologi sebab dia yang biasanya berdiskusi dengan Freud terkait masalah psikologi. Ia merasakan hal yang berbeda ketika tidak ada Freud sebagai teman diskusi akademik. Diakui atau tidak, rasa kesepian memang menjangkiti Jung. Ditambah lagi, dia juga keluar dari asosiasi psikoanalisis yang didirikan oleh Freud. Jung merasa benar-benar tidak bisa melakukan kegiatan intelektual pada masa itu. Namun, setelah pasca inkubasi tersebut, Jung bisa menulis satu buku yang berjudul Psychological Types (Jung, 1921). Dalam buku tersebut Jung memunculkan dua tipe kepribadian dasar, yakni ekstrovert dan introvert. Pandangan Jung tersebut sebenarnya tidak lepas dari eksperimentasi dirinya yang berkait dengan introversi dan dia memunculkan oposisi dari introversi, yakni ekstroversi.

Agama dan Spiritualitas

Jung adalah seorang anak yang terlahir dari kalangan agamis. Ia adalah anak seorang pastur dari Protestan.

58 Psikologi Jungian, Film, Sastra Dengan begitu, dia sudah dibekali agama dan keyakinan yang kuat dari keluarganya. Hal tersebut memang benar- benar dibuktikan oleh dirinya sendiri bahwa dia memang seorang yang agamis dan memiliki kepercayaan pada ranah spiritualisme. Sebagai seorang psikolog, sejak kecil dia sudah banyak belajar membaca tentang bidang kesastraan, drama,sejarah, ataupun ilmiah. Baginya, membaca buku adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Tidak hanya itu, ia juga suka membaca kitab-kitab suci. Karena itu, dengan tegas Jung mengungkapkan bahwa dirinya adalah penganut Kristiani yang patuh. Keyakinan Jung yang sangat kuat memang ditampakkan secara eksplisit dalam pemikirannya. Misal saja, Jung (1961) menegaskan bahwa dia kurang begitu menyukai orang- orang yang terkesan mengabaikan Tuhan karena masalah ilmu pengetahuan, agnostik. Dalam pandangan Jung, Tuhan sebagai zat yang tertinggi memang nyata adanya dan bukanlah sesuatu yang tidak nyata. Memahami Tuhan memang harus menggunakan pemahaman yang benar- benar religius agar manusia bisa menemukan Tuhan. Keyakinan Jung ini mengimplikasikan bahwa dia menya- yangkan pemikir yang tampaknya mengabaikan eksistensi Tuhan. Pemikiran-pemikiran Jung tentang ketuhanan pada akhirnya memang banyak memengaruhi pandangan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 59 psikologis sehingga dia mendapatkan sebutan sebagai psikolog yang beraliran mistisisme dan spiritualisme (Zemmelman, 2012). Sampai saat ini pun, sebutan untuk Jung sebagai psikolog mistisisme dan spiritualisme tidak pernah luntur sebab memang kemampuannya dalam menulis psikologi dan spiritualisme yang masih merupakan karya besar sampai sekarang. Pandangan Jung tentang agama dan spiritualisme tidak hanya berhenti sampai pada tahap keyakinan dan tindakan dalam melakukan spiritualisme, Jung juga menuangkan pemikirannya yang berkait dengan spiritualisme. Tulisan Jung yang berkait dengan agama dan spiritualisme, yakni Psychology and Religion: West and East (Jung, 1958). Dalam buku tersebut Jung membicarakan historisme spiritualisme dunia, baik barat dan timur. Mulanya, ia memaparkan agama Kristiani (dan agama sebelum itu, Mesir dan Yunani). Dalam konteks ketimuran, Jung membicarakan agama di Tibet, di India (Brahman), I Ching (orang tua bijak dari China [Biksu Budha]), dan Zen di Jepang. Selain itu, Jung juga menulis Psychology and Alchemy (1968). Dalam buku tersebut Jung (1968) berbicara tentang agama Kristiani dan hubungannya dengan alchemy. Kedua buku tersebut sangat kental berbicara tentang psikologi, religi, dan spiritualitas. Kekuatan tersebut didukung oleh pengalaman empiris

60 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jung yang memang seorang yang kuat dalam memegang agamanya sehingga memengaruhi pemikiran tentang psikologi yang peloporinya. Jung juga menulis spiritualisme dalam kaitannya dengan fi lsafat zen (aliran fi lsafat yang terdapat di Jepang) dengan Suzuki DT. Pandangan Jung tentang psikologi yang dihubungkait- kan dengan agama, menurut Kay (1997:6), membuat Jung menjadi sosok yang menawarkan sebuah alternatif dalam interpretasi simbol agama. Simbol-simbol agama sebagai sebuah simbol yang memiliki ‘kedalaman’ perlu untuk direinterpretasi untuk menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, simbol-simbol dalam agama perlu diredefi nisi, reinterpretasi, dan rekonseptualisasi. Beberapa penulis, misalnya Segal (2018), Dourley (1995), Gaist (2014) menunjukkan bahwa Jung sebagai psikolog memiliki pemahaman tingkat tinggi yang berhubu- ngan dengan keilahian dan kemanusiaan. Pandangan Jung yang mengolaborasikan hubungan antara psikologi dan aga ma secara universal merupakan sebuah pemikiran yang rumit, dalam, sekaligus refl ektif. Hal inilah yang menyebab- kan tidak semua orang mampu memahami dan mengikuti alur berpikir Jung dalam kaitannya psikologi dan agama yang memiliki energi-energi kekuatan yang dialami dalam diri manusia dan agama. Bentuk transendensi dan imanensi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 61 manusia dalam kaitannya dengan psikologi ketidaksadaran yang terepresentasikan dalam archetype. Dengan begitu, manusia mau tidak mau akan sadar secara psikologis bahwa mereka sebagai makhluk akan menuju pada keilahian. Mereka adalah makhluk yang memiliki psike-spiritualitas.

Masa Sore: Sebuah Pelihatan Masa sore (meminjam istilah Jung dalam kaitannya dengan psikologi sore) dalam kehidupan semua manusia hampir sama, yakni masa mendekati kematian, masa menjelang ajal datang menjemput, dan masa seseorang sudah mulai menua. Tentunya, masa tersebut adalah masa bagi manusia yang hidup dengan usia normal sehingga dia bisa mencapai masa sore. Ketika mengalami sakit jantung dan tampaknya agak parah, Jung merasakan sesuatu yang berbeda. Dalam koridor fi losofi s inilah yang disebut dengan pelihatan. Karena itu dia menggungkapkan “the images were so tremendous that I myself concluded that I was close to death” (Jung, 1989:289). Melalui pelihatannya, Jung merasa bahwa dirinya dekat dengan kematian. Seseorang yang mengalami sakit parah memang biasanya mengalami fantasi yang luar biasa. Penyebab munculnya fantasi tersebut disebabkan oleh fungsi otak

62 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang terganggu karena efek sakit sehingga tidak bisa melakukan kinerja yang normal. Karena itu, Jung juga merasakan hal yang demikian. Ia seolah-olah bisa melihat dunia beserta isinya. Dia merasakan bahwa dirinya seolah- olah terbang melayang ke udara dan melihat semuanya. Pada suatu titik, Jung merasa bahwa apa yang dia lihat akan menjadi kenyataan. Salah satu dokter yang merawat dirinya –dalam pelihatan yang dialaminya—akan meninggal dunia. Ketika mengetahui hal tersebut Jung segera menceritakan kepada dokter yang bersangkutan. Namun, sang dokter tampaknya tidak menggubrisnya sebab kematian mungkin bukanlah hal yang patut diperbincangkan. Apalagi perbincangan tersebut berkait dengan pasien dan dokter. Kenyataan pun terjadi, sang dokter dalam pelihatan Jung tersebut akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian (Jung, 1989). Pelihatan Jung ini menunjukkan bahwa dalam konteks psikologi-spiritual, sesuatu yang kasat mata ternyata bisa dilogikakan dalam perspektif sains. Namun, dalam pandangan orang-orang yang mengandalkan logika, tentunya apa yang dipaparkan oleh Jung tersebut tentunya masih perlu diuji lagi kebenarannya. Sebelum kematian istrinya, Jung juga mengalami pelihatan yang berkait dengan kematian istrinya tersebut. Ia bermimpi bahwa istrinya menjadi sosok perempuan yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 63 masih muda. Sang istri menggunakan pakaian yang bagus dan serasi. Wajahnya menampakkan aura bahagia dan tidak tebersit rasa-rasa yang tidak bahagia (Jung, 1989). Pelihatan Jung itu pun benar-benar terjadi bahwa sang istri tercinta pada akhirnya meninggalkan dirinya dalam kesendirian di dunia ini. Sampai pada usia senja dan sampai meninggal dunia, Jung masih menyendiri sehingga ia pun mendapatkan julukan “orang tua bijak dari Wina”. Ia masih mengenang memori bersama dengan istri tercintanya, Emma Jung.

Karya-karya Jung

Jung sebagai seorang psikolog merupakan sosok yang kreatif dan produktif dalam menulis. Karya-karya Jung mulanya berbahasa Jerman. Kemudian, dalam rangka memperkuat pengaruh keilmuan psikologi, karya-karyanya haruslah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Akhirnya, banyak karya-karya Jung tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahan terhadap karya Jung yang dilakukan secara besar-besaran tersebut dilakukan agar pikiran-pikiran Jung tentang psikologi tidak hanya terkenal di Eropa, tetapi terkenal juga di wilayah Amerika. Tidak hanya itu, sebagaimana diketahui bersama bahwa bahasa

64 Psikologi Jungian, Film, Sastra Inggris merupakan bahasa internasional yang benar-benar bahasa internasional. Dengan demikian, untuk menembus pangsa pasar akademik dunia, pemikiran-pemikiran tersebut harus bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Bahkan, terdapat ungkapan dalam dunia ilmu pengetahuan, pemikiran yang tidak diterjemahkan dalam bahasa Inggris akan sulit berkembang sebab bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang mendunia. Karya-karya Jung yang berbahasa Jerman diterjemahkan dalam bahasa Inggris berdasarkan rekomendasi dari Jung. Orang-orang yang menerjemahkan karyanya Jung diharap- kan mampu menelusuri dan menyelami karya Jung secara mendalam. Jika sang penerjemah bisa memahami dan menyelami karya Jung secara mendalam, diharapkan tidak terjadi misunderstanding. Untuk itu, orang-orang yang menerjemahkan karya Jung merupakan orang yang benar- benar pilihan dari segi keilmuan sehingga penerjemahan bisa sesuai dengan yang diinginkan oleh sang penulis buku aslinya. Shamdasani (2007:174) mencatat bahwa Jung pernah mengungkapkan kepada tim penerjemah bukunya bahwa bahasa yang ditulisnya (oleh Jung) merupakan bahasa psikologi, tetapi bahasanya lebih menyastra. Dengan demikian, Jung merekomendasikan agar sang penerjemah

Psikologi Jungian, Film, Sastra 65 –dalam hal ini Richard Hull—memiliki kapasitas dalam menerjemahkan secara mendalam dan komprehensif, memahami dunia psikiatri, dan mampu menerjemahkan dengan menggunakan bahasa yang ambiguistis, samar, dan mendalam sehingga muncul kesan estetisnya daripada kesan ilmiah. Karya-karya Jung dalam perkembangan selanjutnya memang lebih banyak diterjemahkan oleh Richard Hull. Jung pun tampaknya memang merasa cocok dan nyaman menggunakan Richard Hull sebagai penerjemah bukunya. Hal tersebut tampak dari puluhan bukunya yang menggunakan terjemahan dari Richard Hull, buku tersebut misalnya Psychology and Religion:West and East (1953) yang dieditori oleh Sir Herbert Read, Michael Fordham, dan Gerhard Adler; Psychiatric Studies (1970) yang diterjemahkan oleh Richard Hull dari bahasa Jerman ke dalam Bahasa Inggris. Sepanjang amatan penulis, Jung merupakan penulis yang kreatif dan produktif. Berikut beberapa karya- karya Jung, baik yang dalam bentuk menulis pribadi ataupun dalam bentuk menulis kolektif. Perlu diketahui bahwa buku-buku Jung sebenarnya terbagi menjadi lima kategorial, yakni (1) buku yang merupakan hasil seminar- seminar/catatan/manuskrip Jung yang di kemudian hari dibukukan (buku ini disebut juga dengan collected works

66 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang dikumpulkan/ditulis oleh Jung [diterbitkan secara penuh oleh Bolingen Series dan Princeton University Press); (2) buku yang merupakan hasil dari disertasi yang ditulis oleh Jung; (3) buku yang ditulis oleh Jung secara pribadi; (4) buku yang ditulis oleh Jung, tetapi di dalamnya juga digabung dengan beberapa tulisan karya orang lain, hal tersebut tampak pada Man and His Symbols; (5) buku yang ditulis dari interviu, misal saja Jung Speaking: Interviews and Encounters (1977); dan (6) surat-menyurat yang ditulis oleh Jung kepada Freud ataupun koleganya yang lain,misalnya Sabina Spielrein. Surat-menyurat yang masih dalam bentuk manuskrip dikumpulkan dan diarsip oleh asistennya Jung dan surat menyurat tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Jung Letters Volume 1. 1906-1950 dan Jung Letters Volume 2. 1951-1961 yang diterbitkan oleh publisher Routledge. Surat Jung kepada Sabina Spielrein memang jarang didiskusikan. Baru-baru ini marak dimunculkan dan didiskusikan surat Jung dan Sabina Spielrein setelah Sabina Spielrein meninggal dunia. Buku biogra fi Jung yang ditulis oleh Jung dan dibantu oleh asistennya, merupakan buku yang ditulis ketika Jung mendekati kematiannya. Secara teperinci, karya-karya Jung terpapar sebagai berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 67 Tabel 1: Karya dalam Bentuk Buku Mandiri

1912 Jung Letters Volume 1. 1906-1950. London: Routledge. 1933 Modern Man in Search of a Soul 1934 Archetypes and the . London: Roudletge. 1938 Psychology and Religion 1959 Jung Letters Volume 2. 1951-1961. London: Routledge. 1921 Psychological Types. In Collected Works (Volume. 6, R. F. C. Hull, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press. 1951 Aion: Researches into the Phenomenology of the Self 1952 Symbols of Transformation (revised edition of Psychology of the Unconscious) 1952 Synchronicity: An Acausal Connecting Principle 1953 Four Archetypes Mother, Rebirth, Spirit, Trickster. London: Roudletge. 1954 Answer to Job 1955 Mysterium Coniunctionis: An Inquiry into the Separation and Synthesis of Psychic Opposites in Alchemy 1957 Animus and Anima 1961 Memories, Dreams, Refl ections. New York:Vintage Books.

68 Psikologi Jungian, Film, Sastra 1961 Introduction to Jungian Psychology: Notes of the Seminar on Analytical Psychology Given in 1925. Princeton: Princeton University. 1961 Psychology and Religion: West and East. New York: Pantheon Books. 1963 Analytical Psychology: Its Theory and Practice 1964 Man and His Symbols. New York: Anchor Press Books. 1966 Spirit in Man, Art, and Literature: Collected Works Vol. 15. Princeton: Princeton University Press. 1966 Pyschology and Occult. London: Routledge. 1968 Psychology and Alchemy. Collected Works Volume 12. Princeton: Princeton University Press. 1977 CG Jung Speaking: Interviews and Encounters. Princeton: Princeton University Press. 1989 Jung Contra Freud. The Collected Works of C.G.Jung Volume 4, Part 2. Princeton: Princeton University Press. Buku yang ditulis dengan Orang Lain 1969 Essays on A Science of Mythology: The Myth of the Divine Child and the Mysteries of Eleusis. New York: Pantheon Books (ditulis oleh Jung, Carl G. & Kerenyi, C) 1964 Man and His Symbols. New York: Anchor Press Books (ditulis oleh Jung, dkk). Sumber: diolah dari berbagai referensi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 69 Data tersebut diolah dan dikompilasi dari berbagai sumber. Buku yang ditulis Jung memang beberapa muncul pascakematiannya. Buku-buku yang diterbitkan pascakematian Jung merupakan upaya dari sahabat, publisher, dan donatur yang memiliki konsern pada psikologi Jungian.

Narasi Pascakematian Stephens (2016) memperkuat pemikiran Jung tentang konsepsi kematian. Dalam studi yang dilakukan oleh Stephens tersebut Jung sudah menunjukkan narasi yang berkait dengan kematian yang muncul dalam mimpi- mimpinya. Munculnya mimpi tentang kematian: bertemu dengan orang mati, berbicara dengan orang mati, ataupun melihat orang mati, dalam kehidupan Jung muncul rentang 1911–1912. Hal tersebut menjadi penanda fase kehidupan Jung dalam kaitannya dengan konteks ketidaksadaran dalam kaitannya dengan kematian. Menyoal kematian, Jung memang sejak kecil sudah mengalami banyak eksperimentasi dengan fakta kematian. Hall & Norbdby (1973) memberikan gambaran yang jelas bahwa pada masa kecil Jung sudah sering bergesekan dengan fakta kematian, mulai dari fakta kematian nelayan yang tenggelam, orang yang mati karena banjir, dan kemuraman-

70 Psikologi Jungian, Film, Sastra kemuraman dari keluarga yang ditinggalkan. Imaji tentang kematian sangat kuat dalam diri Jung sebab dia adalah sosok anak yang introvert pada masa itu. Kejadian-kejadian yang berkait dengan kematian yang dekat dengan dirinya tersebut di masa tua, memperkuat dirinya untuk berbicara tentang kematian dan pascakematian. Tentunya, tema tentang kematian tersebut sudah digalinya pada masa kecilnya dulu dan ia memunculkannya dalam bentuk pemikiran pada masa tuanya. Dalam konteks memori individual, manusia yang berusia dewasa akan mengenang memori masa lalu yang belum terpecahkan. Memori masa lalu yang belum terpecahkan tersebut disebabkan adanya perbedaan pemiki- ran antara usia kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Karena itu, ketika mereka berusia dewasa, terkadang kembali ke masa lalu untuk mengenang memori-memori yang belum sempat terpecahkan ketika mereka berusia kanak-kanak.

Jung (1999:12) menjelaskan kematian itu simpel sebab maknanya adalah sesuatu yang selesai. Namun, faktanya kematian tidaklah sesedehana itu. Sebagaimana diketahui bersama bahwa banyak orang yang panik dan takut dengan kematian. Mereka takut jika meninggal dunia dan meninggalkan dunia ini. Padahal, kematian itu adalah sebuah kepastian sebab manusia yang pernah dihidupkan, pasti mereka akan dimatikan. Hal itu juga sudah menjadi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 71 hukum alam dalam konteks ketuhanan ataupun dalam konteks ekologis. Dalam konteks ketuhanan, manusia diciptakan, dilahirkan, hidup di muka bumi, selanjutnya adalah menuju pada kematian. Semua orang tidak bisa lari dari kematian. Menjadi mati itu adalah kepastian sehingga manusia diharapkan bisa berdamai dengan kematian. Ketika mereka dekat dengan kematian, bukanlah ketakutan yang mereka munculkan dalam diri, tetapi sebuah kebahagian jiwa. Namun, hal tersebut sangat tidak mudah sebab untuk menjadi manusia yang mampu berdamai dengan kematian memang sulit. Tak ada kisah dan juga tidak pernah ada orang yang kembali dari kematian dan orang tersebut bercerita pada manusia yang masih hidup tentang bagaimana kehidupan yang ada di alam kematian sana. Karena itulah, manusia- manusia yang belum mampu berdamai dengan kematian akan merasa selalu dikejar-kejar oleh bayangan kematian. Dalam fi lm Final Destination (2000, 2003, 2006, 2009, 2011) menunjukkan dan mengisahkan tentang remaja yang berusaha lari dari takdir yang disebut dengan kematian. Mereka yang mendapatkan tanda kematian berusaha lari dari kematian agar mereka bisa terselamatkan dari maut yang akan merenggutnya. Untuk itu, remaja-remaja yang sudah mengetahui tanda kematian yang akan datang

72 Psikologi Jungian, Film, Sastra padanya, ia melarikan diri sejauh-jauhnya agar malaikat maut tidak datang menjemputnya. Namun, sejauh apapun manusia akan lari dari kematian, tetapi saja sang maut akan menjemput sebab mati itu merupakan sebuah kepastian yang memang tidak pasti, tetapi pasti dalam ketidakpastian. Seseorang tidak tahu pasti dia kapan akan mati, di mana dia akan mati, dan faktor apakah yang menyebabkan kematiannya, mereka tidak akan pernah tahu sebab hal itu adalah misteri yang tidak akan pernah terpecahkan oleh umat manusia. Buku semiautobiografi Jung memang ditulis ketika dia berusia senja. Bahkan, setelah merampungkan semi- autobio gra fi tersebut tidak seberapa lama Jung meninggal dunia dengan usia 85 tahun. Pada bagian terakhir buku Memories, Dreams, and Refl ection (1961) tersebut memunculkan narasi pascakematian. Sebuah tema yang jarang ditulis/dibicarakan oleh kalangan psikolog. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Jung sebab dia adalah sosok psikolog-spiritual. Dengan demikian, hal yang berkait dengan masalah supranatural, kematian, ataupun bahkan pascakematian bukanlah hal yang tabu untuk diperbincangkan dan ditulis oleh Jung. Pandangan Jung tentang kematian dan pascakematian sebenarnya tidak lepas dari pengaruh fi lsafat dan spiritualisme, misal saja

Psikologi Jungian, Film, Sastra 73 pandangan spiritualisme Budhisme yang di dalamnya –di antaranya—berkaitan dengan kehidupan setelah kematian atau yang dikenal dengan reinkarnasi. Dalam konteks ajaran agama langit, misalnya Islam dan Kristen, di dalamnya juga berkait dengan kehidupan setelah kematian, yakni adanya surga dan neraka. Setelah manusia mati, mereka akan menemukan surga atau neraka sebagai balasan perbuatan mereka di masa lalu, masa sebelum kematian. Orang-orang yang masuk surga adalah orang yang memiliki perilaku baik dan menjalankan perintah Tuhan serta menjauhi larangan-larangannya. Adapun orang yang masuk neraka adalah orang yang tidak mau menjalankan perintah Tuhan dan melanggar larangan-larangan Tuhan sehingga mereka akan masuk ke dalam neraka. Surga adalah tempat yang menyenangkan sebab surga merupakan tempat orang yang baik-baik. Adapun neraka adalah tempat yang menyakitkan sebab neraka adalah tempat orang yang jahat.

Untuk menulis narasi tentang kematian ataupun pascakematian memang membutuhkan kekuatan yang luar biasa sebab tidak semua orang bisa seperti itu. Menulis tentang narasi kematian ataupun pascakematian agak ditakuti sebab ada mitos bahwa orang yang menuliskan narasi tentang kematian adalah orang yang dekat dengan kematian. Tentunya, dalam logika berpikir, hal tersebut

74 Psikologi Jungian, Film, Sastra tidak berterima sebab psikologi kematian berbicara tentang kematian dan penulisnya juga bukanlah orang-orang yang dekat dengan kematian. Memang, ada fakta bahwa seseorang yang menulis tentang kematian adalah orang- orang yang memang sebenarnya sudah dibayang-bayangi oleh kematian. Tahun 2015 saya pernah menulis artikel “Sastra dan Jiwa-jiwa yang Terbungkam: Memahami Cerpen dan Puisi Ayu Meita Silviana” (Ahmadi, 2013). Dalam artikel tersebut saya menceritakan seorang perempuan yang menulis cerpen dan puisi yang berkait dengan diksi-diksi kematian. Tentunya, cerpen dan puisinya tersebut tidak hanya sekali saja –yang berkait dengan kematian—tetapi ia memunculkannya beberapa kali dalam penggunaan diksi kematian //genjer-genjer neng kedokan pating keleler// diksi tersebut berkait dengan sebuah lagu di era tahun 1965-an. Lagu itu, konon, didendangkan pada zaman PKI untuk mengiringi kematian. Bulu kuduk rasanya merinding jika mendengar lagu itu. Tampaknya, sang tokoh mulai menikmati dendang-dendang kematian. Ah, sebuah langkah awal untuk mati, mendengarkan dan mendendangkan lagu kematian. Gairah kematian itu semakin menguat dan menguat. Ia pun mencoba beraudiensi dengan sang maut. Ia sudah mulai bermain-main dengan sang malaikat pencabut nyawa yang siap siaga untuk menebas lehernya. Dalam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 75 imajinya, sang tokoh, membangun rumah mungil yang ubinnya dari pahatannya sendiri. Ini adalah rumah kematian, nisan dan makam. Sebuah rumah mungil yang diidamkan sang tokoh. Ia ingin tinggal di sana, mengadu, pada sang khalik. Ternyata, Ayu Meitha (sang penulis fi ksi) tersebut benar-benar meninggal di tahun itu. Dalam pandangan psikologi Jungian, apa yang dialami oleh Ayu Meitha tentang kematian merupakan pelihatan dirinya tentang bayang-bayang kematian. Ia sudah mulai dekat dengan bayang-bayang kematian. Terkadang, dalam pandangan orang-orang yang percaya pada konteks mistisisme dan occultisme, seseorang yang dekat dengan kematian akan diberi pelihatan tentang bayang-bayang kematian yang sudah mendekatinya. Dalam hal ini, tidak semua orang mampu memahami pelihatan yang dialaminya sebab pelihatan tersebut bisa berkait dengan fenomena alam yang tidak biasa ataupun berkait dengan simbol tertentu yang tiba-tiba muncul sebagai sebuah pertanda tentang dekatnya sebuah kematian.

Berkait dengan pelihatan dan bayang-bayang kema- tian, suatu ketika Jung bermimpi tentang kuburan dan ada bayangan yang mirip dengan istrinya. Ia pun terjaga dari mimpinya dan melihat jam yang menunjukkan pukul 3 dini hari. Itu adalah sebuah mimpi yang aneh. Keesokan harinya,

76 Psikologi Jungian, Film, Sastra ternyata, keponakan istrinya Jung meninggal dunia (Jung, 1961). Bertolak dari hal tersebut Jung ingin menunjukkan bahwa Jung melihat bayang-bayang kematian dan orang yang mampu melihat bayang-bayang kematian adalah orang yang memiliki kedekatan dengan kematian.

Seseorang menuju usia senja memang mau tidak mau memiliki kedekatan dengan kematian. Begitu pula dengan Jung yang merupakan psikolog dengan pandangan spiritualnya. Ketika dia berusia senja, ia berusaha membim- bing dirinya untuk menuju alam selanjutnya, yakni alam setelah kematian (Jung, 1961). Alam kematian adalah alam kebangkitan setelah kita meninggal di alam yang fana. Orang-orang yang menganut pandangan ateis tidak akan berpandangan demikian sebab orang yang ateisme berpandangan tidak ada dunia setelah kematian sebab mereka percaya bahwa Tuhan sebagai zat yang paling tinggi tidak ada di muka bumi ini.

Jung dan Sisi Lain

Sisi lain Jung memang tidak lepas apa yang disebutnya sendiri dengan istilah shadow. Sama seperti manusia pada umumnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap.Tentunya, sisi gelap tersebut tidak lepas dari kontekstualisasi manusia

Psikologi Jungian, Film, Sastra 77 yang memiliki oposit-dualistik yang menjadi manusia sebagai sosok yang berdiri pada wilayah archetypis yang dualitis. Jung memang terkenal sebagai seorang psikolog yang membesarkan nama psikoanalisis, psikoanalitik, dan psikologi Jungian. Namun, di sisi lain, dia juga memunculkan sisi yang lain tentang dirinya yang merupakan bagian dari dirinya.

Jung dalam perjalanan karier akademiknya sebagai seorang psikolog sekaligus sebagai seorang dosen memang sempat tersandung masalah aff air dengan kliennya yang bernama Sabina Spielrein. Seorang perempuan yang berasal dari Rusia yang mengalami histeria. Dalam perkembangan terapi yang dilakukan oleh Jung –dalam konteks ini Jung berkonsultasi pada Bleuler dan Freud—ternyata Sabina Spielrein bisa sembuh dan dia menjadi mahasiswanya bahkan bimbingannya Jung dan Prof. Bleuler dalam menulis disertasi. Sosok Sabina Spielrein dalam dunia psikoanalisis sebenarnya kuat, tetapi terlepas dari konteks patriarkhi, sampai sekarang data yang berusaha merilis perjalanan hidup Sabina Spielrein masih minim, salah satunya adalah yang dikumpulkan oleh Allain-Dupr´e (2004) tentang biogra fi Sabina Spielrein dan Kerr (2011) yang berbicara tentang hubungan Jung, Freud, dan Sabina Spielrein, dan yang terakhir buku tentang pemikiran Sabina Spielrein

78 Psikologi Jungian, Film, Sastra (2018) The Essential Writing of Sabina Spielrein: Pioneer of Psychonalysis yang diterbitkan oleh Routledge. Tulisan Kerr (2011) menunjukkan sebuah fakta baru tentang kisah perjalanan hidup antara Jung, Sabina Spielrein, dan Freud. Kisah tersebut berkait dengan aff air antara Jung dan Sabina Spielrein. Namun, bagi para pendukung Jung, tulisan Kerr bukanlah tulisan yang mengarah pada fakta-fakta yang kuat, tetapi lebih mengarah pada narasi. Keduanya, baik pihak yang pro-Jungian dan kontra-Jungian sama-sama memiliki fakta yang dipegang dalam kaitannya dengan Jung dan Sabina yang masih kontroversial tersebut. Tulisan yang mendiskusikan hubungan Jung dengan Sabina, misalnya Launer (2015), menulis secara teperinci dan detil tentang hubungan keduanya. Launer mencoba menelusuri tulisan-tulisan yang berkait dengan hubungan antara Jung dan Sabina Spielrein. Pada tahap selanjutnya, ia menggali lebih dalam informasi dari data-data diari dan catatan-catatan lain yang ditulis oleh Sabina Spielrein. Berdasar dari data-data tersebut Launer menunjukkan dengan gaya kritis-refl ektif di mana posisi Jung pada waktu itu berperan sebagai seorang terapis dan di mana posisi Sabina Spielrein yang berperan sebagai seorang klien. Lothane (1996) menunjukkan bahwa Sabina Spiel- rein adalah seorang pasien yang berasal dari Rusia (usia

Psikologi Jungian, Film, Sastra 79 pada waktu itu 20 tahun) yang mengidap histeria karena kekerasan dan perlakuan orang tua (sang ayah) kepada anak-anaknya. Perpecahan Jung dan Freud konon salah satu di antaranya tidak lepas juga dari nama Sabina Spielrein. Salah satu kutipan Lothane (1996:207) tentang Jung adalah “a cure by love”. Hal ini menunjukkan bahwa Jung pada waktu terjadinya peristiwa tersebut ingin menunjukkan bahwa penyembuhan dalam terapi tidak mengandalkan hal-hal yang terkesan kejam dan sadis. Jung sebagai seorang terapis memunculkan terobosan baru bahwa ia menggunakan metode yang lebih baik dan tidak kejam, yakni dengan metode terapi wicara. Melalui metode tersebut diharapkan pasien tidak lagi merasa tersakiti ataupun merasa tidak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh terapis pada pasiennya.

Sebagaimana diketahui bersama, pada masa lalu, terapis memang menggunakan metode yang dianggap sadis untuk ukuran etika sekarang ini dalam hubungannya untuk menyembuhkan pasien, misal saja mulai dari teknik perendaman dalam bak air sampai dengan diguyur dengan air dingin. Hal itu, dalam perkembangan psikiatri sekarang dianggap kurang manusiawi sebab tidak memperlakukan manusia sebagaimana manusia yang lain, meskipun mereka adalah orang yang mengalami gangguan secara psikologis.

80 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar 4: Sabina Spielrein Sumber: https://www.freud-museum.at/ de/veranstaltung/Russian

Beberapa temuan yang kritis-mendalam, misalnya tulisan Skea (2006), secara komprehensif menunjukkan data eksplisit bahwa pemikiran Sabina Spielrein tentang psikoanalisis yang dimasukkan dalam karya Jung dan Freud, sama sekali tidak diberikan kontribusi. Artinya, Sabina

Psikologi Jungian, Film, Sastra 81 Spielrein yang waktu itu memang pada mulanya sakit dan kemudian bisa disembuhkan. Dalam perkembangan selanjutnya, Sabina Spielrein ternyata bisa mengikuti jalan pemikiran Jung dan Freud terkait dengan psikoanalisis. Bahkan, Skea mengungkap jika pemikiran Sabina Spielrein yang cemerlang tentang psikoanalisis agak diabaikan oleh Jung dan Freud. Untuk Jung, pemikiran tentang ketidaksadaran kolektif juga tidak lepas dari pandangan Sabina Spielrein. Untuk Freud, pemikiran tentang instink kematian sama sekali tidak memasukkan kontribusi Sabina Spielrein. Pemikiran Sabina Spielrein dalam diskusi tentang teori agresi dan teori kematian sama sekali tidak muncul dalam karya-karya Freud. Pandangan Lothane (2016) tentang Jung dan Sabina Spielrein semakin dipertajam dan semakin berkembang. Lothane menunjukkan tentang adanya fakta biografi s bahwa masalah Jung dan Sabina Spielrein terbagi menjadi data yang bersifat fakta dan fi ksi. Karena itu, data-data yang berserak dan muncul dalam masyarakat tersebut bergantung pada interpretasi teks sang pembaca dalam memahami konteks tentang Jung dan Spielrein. Untuk itu, dalam paparan di sini, semuanya dikembalikan kepada sang pembaca dalam memaknai sisi lain Jung.

82 Psikologi Jungian, Film, Sastra Pemikir yang Memengaruhi Jung Jung sebagai seorang psikolog yang kategori kreatif banyak mempelajari bidang ilmu yang di luar wilayahnya. Karena itu, Jung juga banyak terpengaruh oleh pemikiran- pemikiran dari para pendahulunya ataupun pengaruh dari pemikir yang muncul pada zamannya. Tentunya, dalam konteks ini, istilah keterpengaruhan merupakan hal yang wajar dan bukan dianggap sebagai epigoner ataupun bahkan plagiasi. Pemikiran Jung yang terasuki oleh pemikiran- pemikiran dari pemikir yang lain merupakan sebuah sisi kreativitas yang lebih meningkatkan mutu pemikiran Jung dalam melahirkan pemikiran di bidang psikologi. Berikut pemikir/pemikiran yang memengaruhi pemikiran Jung dalam melahirkan psikologi Jungian. Pemikiran Imanuel Kant. Pemikiran Kant (1900) meme- ngaruhi Jung dalam ide-idenya tentang mimpi. Jung banyak terinspirasi tentang ide-ide yang berkait dengan mimpi, kematian, dan alam bawah sadar. Pikiran Jung tentang archetype yang berkait dengan ide dasar yang instinktif tidak lepas pula dari pandangan Imanuel Kant. Pemikiran Levi-Strauss. Pemikiran Levi-Strauss (1963) yang banyak menginspirasi dan memengaruhi dalam kaitannya dengan konteks oposisi biner. Dalam pandangan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 83 Jung, istilah oposisi biner dikaitkan dengan pandangan tentang anima/animus. Anima/animus merupakan jiwa yang terdapat dalam diri manusia. Seorang perempuan memiliki anima untuk memahami laki-laki, seorang laki-laki memiki animus untuk memahami perempuan. Keduanya, merupakan sebuah oposisi. Jika Levi-Strauss mengarahkan pandangannya yang berkait dengan oposisi biner pada konteks budaya, Jung mengarahkan oposisi biner pada konteks psikologi. Pemikiran Freud. Pemikiran Freud (1955) merupakan pemikiran yang paling banyak memengaruhi pemikiran Jung dalam mengembangkan psikoanalis versi Jung (yang dalam perkembangannya dikenal dengan psikoanalitis/psikologi Jungian). Pemikiran Jung yang terpengaruh oleh pemikiran Freud adalah sebagai berikut. Pemikiran tentang ketidaksadaran individual (versi Freud) dan Jung memunculkan ketidaksadaran kolektif. Pemikiran tentang instink kematian dalam pandangan Freud dan Jung memunculkan pandangan tentang kehidupan setelah kematian. Instink kematian dalam pandangan Freud muncul ketika seseorang memiliki hasrat kematian karena sesuatu masalah dalam kehidupan. Jung tidak begitu menguatkan masalah instink kematian, tetapi dia menguatkan pemikiran tentang kehidupan setelah

84 Psikologi Jungian, Film, Sastra kematian. Perbedaan pandangan antara Freud dan Jung tersebut disebabkan oleh aliran Freud yang agnostik dan Jung adalah sosok yang gnostik. Pemikiran Freud tentang psikoanalisis yang didorong oleh energi libidinal tidak sepenuhnya diikuti oleh Jung. Dalam kaitannya dengan ini, Jung malah bertentangan dengan Freud. Jung mengungkapkan bahwa energi libidinal dalam diri manusia akan mendorong manusia ke arah yang kreatif. Perbedaan pandangan ini merupakan salah satu pemicu terjadinya konfrontasi intelektual antara Jung dan Freud. Jung memang banyak terpengaruh sebab dia memang berguru kepada Freud tentang psikoanalisis dan psikologi. Jung menganggap Freud sebagai guru dan juga mentor dalam terapi. Ketika menyembuhkan klien yang terkena masalah psikologis, Jung lebih banyak konsultasi kepada Freud. Dalam konteks teori mimpi Jungian, Jung juga banyak terinspirasi oleh pemikirannya Freud. Karena itu, ia sangat simpati dan apresiatif terhadap karyanya Freud The Interpretation of Dreams (1955), yang diakui atau tidak merupakan buku yang berbobot dalam memaparkan hakikat, teori, metode, dan implementasi. Jung merasa sejalan dengan pemikiran Freud dalam memandang mimpi. Dalam pandangan Freud, mimpi merupakan hasil dari pemikiran alam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 85 bawah sadar. Begitu juga dengan Jung, mimpi merupakan hasil konkretisasi dari alam bawah sadar. Mimpi juga penuh dengan simbolisme-simbolisme dan harus bisa dimaknai secara tepat sesuai dengan konteksnya. Jung pun menulis buku tentang mimpi yang berjudul Memories, Dreams, Refl ections (1961) yang di dalamnya salah satu babnya membahas tentang mimpi. Namun, kekuatan tentang menulis mimpi yang ditulis oleh Jung masih kalah dengan kekuatan menulis tentang mimpi yang ditulis oleh Freud.

Time Line Jung Jung merupakan sosok yang melegenda dalam dunia psikologi, baik di wilayah Eropa, Asia, ataupun Amerika. Sebagai seorang psikolog, ia adalah sosok psikolog yang berumur panjang. Time line Jung sebagai seorang akademisi, psikiatri, dan psikolog terpapar sebagai berikut. Tabel 2: Time line Jung Tahun Keterangan 1875Jung lahir di Keswill, Swiss, Jerman Jung mengikuti pelatihan medis di Universitas 1895-1900 Basel 1896Kematian ayahnya

86 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jung jadi psikiatris di Rumah Sakit Universitas 1900 Psikiatri Klinik Zürich di bawah arahan Prof. Eugen Bleuler {1857-1939} Jung bersama Pierre Janet di Paris untuk studi 1901-1902 psikopatologi teoretis Disertasi Jung berjudul “On the Psychology 1902 and Pathology of So-Called Occult Pheno- mena” diterbitkan Pernikahan Jung dengan Emma Rauschen- 1903 bach {1882-1955} Kelahiran anak pertamanya, Agathe Regina 1904 Niehus-Jung dan berteman dengan Sabina Spielrein {1885-1942} Menempati jabatan dokter staf senior dan 1905-1909 dosen di Universitas Zürich Memulai korespondensi dengan Sigmund 1906 Freud (1856-1939) dan kelahiran anak kedua Anna Margaretha 1907 Menemui Sigmund Freud di Wina Kelahiran anak ketiganya, Franz Karl Jung- 1908 Merker Pindah ke Küsnacht, dekat Zürich, dan meng- 1909 abd ikan dirinya untuk praktik pribadi Presiden pertama Asosiasi Psikoanalisis In- 1910 terna sional; Kelahiran anak keempatnya, Marianne Niehus-Jung

Psikologi Jungian, Film, Sastra 87 Mengundurkan diri sebagai presiden Asosiasi 1914 Psikoanalisis Internasional; Kelahiran anak kelimanya, Helene Hoerni-Jung Pendirian Klub Psikologi Zürich; deskripsi imajinasi aktif, dan penggunaan istilah 1916 ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, individuasi, animus / anima, persona; Memulai studi tentang tulisan-tulisan Gnostik 1920 Perjalanan ke Afrika Utara (Aljazair dan Tunisia) Kematian ibunya;mulai membangun menara 1923 di Bollingen di pantai Cekungan Obersee di Danau Zürich 1924-1925 Perjalanan Jung ke Amerika Serikat Perjalanan Jung ke Afrika Timur (Kenya, 1925-1926 Uganda, dan Nil) 1935Jung diangkat sebagai profesor di ETH Zürich Mengundurkan diri dari jabatan sebagai 1942 profesor di ETH Zürich 1948 Inagurasi CG Jung Institut di Zurich 1955 Istri Jung, Emma meninggal dunia Jung dan Aniela Jaff é menulis Memories, 1957 Dreams, Refl ections Jung menyelesaikan bukunya Approaching the 1961 Unconscious dan meninggal pada tahun ini juga. (Sumber:https://speakingofj ung.com/jung,https://www.carl-jung.net/ timeline.html, http://oaks.nvg.org/jung-timeline.html#r) 3

88 Psikologi Jungian, Film, Sastra 3 ARCHETYPE

rchetype adalah pemikiran Jung yang paling banyak Adikenal oleh para peneliti psikologi. Sebagai sebuah teori, archetype Jungian tidak hanya digunakan dalam perspektif monodisipliner, tetapi archetype juga digunakan dalam konteks yang interdisipliner. Karena itu, archetype bisa muncul dalam konteks yang hibridatif, masuk dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan archetype, Jung memang puluhan tahun bekerja untuk mencari dan menemukenali sisi-sisi yang kurang dari teori archtype yang dibangunnya dengan harapan agar teorinya menjadi kokoh. Jung memang banyak mengaitkan hal psikologis dengan archetype sebab hampir semua ide tidak lepas dari archetype.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 89 Jung (1969:154)menyebut archetype dengan pemak- naan “primordial images”. Disebut dengan primordial images sebab archetype merupakan ciri dasariah yang muncul dalam mimpi, agama, dan juga mitologi. Selain muncul dalam segmentasi tersebut archetype juga bisa muncul dalam perfi lman. Munculnya archetype dalam perfi lman sebenarnya tidak lepas dari proyeksi sang penulis fi lm dalam melahirkan fi lm tersebut. Meskipun di fi lm, archetype bisa muncul sebab narasi dalam fi lm tersebut ditulis berdasarkan ide yang terkadang muncul dalam alam bawah sadar manusia sehingga jika dikaitkan dengan pandangan Levi-Strauss, alam bawah sadar yang muncul secara archetypis dan tercecer bisa terpolakan dengan baik sebab alam sebenarnya sudah memiliki pola yang teratur. Hanya saja pola tersebut membutuhkan interpretasi dari manusia agar bisa membaca pola alam tersebut dengan baik dan tepat. Jung (1960) mengidenfi kasikan bahwa archetype merupakan sebuah struktur sebab memiliki fungsi yang berpola instinktif dari lingkungan/konteks. Struktur archetype bisa ditemukan pada folklor –dalam konteks ini foklor bisa berkait dengan mitologi, cerita rakyat, puisi rakyat, ataupun lagu rakyat-- primitif yang terdapat di Mesir, Yunani, ataupun di Meksiko kuno. Tidak hanya itu, struktur archetype bisa

90 Psikologi Jungian, Film, Sastra muncul juga dalam bentuk khayali, imajinasi, dan juga mimpi- mimpi purba yang terpendalam dalam soulnya manusia masa lalu yang timbul juga pada masa modern seperti sekarang ini. Jung sebagai seorang psikolog memang agak condong pada sesuatu yang berkait dengan imajinasi dan fantasi. Karena itu, ketika berbicara tentang archetype pun, hal tersebut tidak lepas juga dari konteks imajinasi. Archetype sebagai bentuk yang mengalami perulangan dari masa ke masa sebenarnya memang tidak lepas dari pemikiran manusia. Sebagai makhuk yang memiliki kemampuan dalam bersimbolisme, manusia memunculkan simbol-simbol yang diduga muncul dari pemikiran-pemikiran yang primordial. Pemikiran tersebut tidak akan pernah hilang sebab bersifat simultan dan akan tetap ada selama masih ada ide-ide tentang sesuatu. Archetype muncul dalam konteks perulangan sebab pada dasarnya manusia zaman dahulu dengan manusia zaman sekarang memiliki kesamaan dalam hal idea. Simbolisme yang muncul dalam bentuk archetype memang tidak boleh diinterpretasikan sampai di situ saja. Namun, dalam hal penginterpretasian, seorang ahli psikologi harus mampu mengaitkan archetype dengan konteks masa lalu dan konteks masa sekarang. Harapannya, jika seseorang mampu mengaitkan masa lalu dan masa sekarang dalam perspektif psikologis terutama

Psikologi Jungian, Film, Sastra 91 dalam memandang archetype, akan ditemukan ciri asali yang hubungannya dengan pikiran yang primordial. Pandangan tentang primordial dalam psikologi memang bukanlah hal yang mudah sebab berkait juga dengan alam ketidaksadaran. Banyak orang yang menyangkal kekuatan dan kekokohan istilah primordialisme dalam psikologi Jungian sebab dalam mengungkapkan hal yang ilmiah, seseorang harus berpijak pada hal yang ilmiah pula. Pemikiran Jung tentang archetype banyak muncul pada buku Archetypes and the Collective Unconscious (1934) dan Four Archetypes Mother, Rebirth, Spirit, Trickster (1953). Jung memang lebih banyak mencurahkan pembahasan tentang archetype sebab bahasan tersebut tidak lepas dari disertasinya yang berkait dengan psikologi dan occultism “The Psychology and Pathology of So Called Occult Phenomena” (1902) yang diterbitkan menjadi buku Psychology and the Occult (1982). Archetype dalam pandangan Jung sebenarnya merupakan jejak-jejak pengalaman pribadi yang bersifat instinktif (Jung,1961). Pengalaman pribadi yang instinktif tersebut terkategorikan sebagai instinksi primordial yang muncul dalam bentuk ketidaksadaran kolektif (collectives uncounsciousness) manusia. Dengan demikian, archetype memiliki sifat-sifat yang arketipis dan yang muncul bisa berkait dengan hal yang bersifat nominous. Untuk menggali

92 Psikologi Jungian, Film, Sastra archetype yang terserak dalam mitologi, mimpi, imajinasi, ataupun dalam samanisme, seseorang memang memerlukan tingkat interpretasi yang lebih dalam agar tidak gagal dalam menginterpretasikan archetype. Menurut Stevens (2006), Jung memperkenalkan dan mempromosikan archetype dalam artikelnya “Instinct and the Unconscious” (1919) yang dimunculkan dalam sebuah Simposium yang dipresentasikan pada Pertemuan Bersama British Psychological Society, Aristotelian Society dan the Mind Association, di London, 12 Juli 1919. Pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipaparkan Graf- Nold (2005) bahwa Jung sebagao sosok psikolog sekaligus psikiatri mulai menguatkan dan mengembangkan teori archetype (dan juga tipologi serta individuasi) pada tahun 1933. Jung memang bekerja maksimal untuk archetype dan hal tersebut terbukti dengan menguatnya teori archetype. Ketiga teori tersebut dianggap sebagai konsep utama yang terdapat dalam psikologi Jungian. Meskipun demikian, teori yang lain tentang anima dan animus juga merupakan bagian yang tidak terlupakan dari psikologi Jungian sebab anima dan animus juga tidak lepas dari alam ketidaksadaran kolektif. Begitu juga dengan archetype, sebagai sebuah komponen yang tidak lepas ketidaksadaran kolektif manusia purba ataupun manusia modern seperti sekarang ini.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 93 Jung menjelaskan bahwa munculnya konsep archetype sudah sejak lama ada. Bahkan, konsep tersebut sudah muncul pada masa Yunani Kuno. Dalam konteks ini, misal saja, archetype berkait dengan prototipe semua cahaya yang berkait dengan ketuhanan. Dalam konteks yang lain, archetype bisa muncul dalam mitologi, dongeng, mimpi, yang muncul dalam ketidaksadaran kolektif yang muncul dalam berbagai tempat/wilayah (Jung, 1953; 1981). Pandangan Jung bahwa archetype sudah muncul sejak lama sebab archetype merupakan pemikiran dan idea-idea yang memurba dan dalam hal ini disebut dengan archaik. Archetype memiliki karakter yang kadang manifest ataupun laten sehingga membutuhkan interpretasi dalam pembong- karan makna yang terkandung di dalamnya. Selama ini, --pada masa Jung masih aktif dalam mengem bang kan psikologi yang archetypian—memang belum ada psikolog lain yang memperbincangkan ataupun mendiskusikan pemikiran tentang archetype. Freud sebagai mentor dan juga guru psikoanalisisnya, juga tidak pernah menyinggng- nyinggung istilah archetype dalam tulisan-tulisannya. Begitu juga dengan koleganya Jung –yang sesama tokoh besar psikoanalisis--, misalnya Fromm dan Adler, juga tidak mendiskusikan archetype secara panjang lebar. Karena itu, dalam psikoanalisis, Jung memang sebagai pelopor dalam

94 Psikologi Jungian, Film, Sastra pemunculan dan pengembangan teori archetype yang masuk di wilayah psikologi. Tokoh psikoanalisis memang memiliki keunikan tersendiri dalam pemikirannya sehingga meskipun mereka memiliki satu arus utama dalam kaitannya dengan konteks psikoanalisis, tetapi mereka memiliki keunikan dalam pemikiran untuk memunculkan penciri yang berbeda. Dengan begitu, pemikir-pemikir dalam psikoanalisis tidak akan bertumbukan secara pemikiran sebab mereka memiliki wilayah tersendiri dalam hal orisinalitas ide. Dalam kaitannya dengan archetype, perlu diketahui bersama bahwa istilah archetype memang bukan dimunculkan kali pertama oleh Jung, tetapi Jung sebagai seorang psikolog, dialah yang mengembangkan dan membesarkan teori archetype hingga terkenal ke penjuru dunia bahkan sampai sekarang pun akhirnya banyak bermunculan buku-buku tentang archetype dan juga studi ilmiah tentang archetype. Archetype adalah teori Jung yang paling banyak pengaruhnya pada disiplin ilmu yang lain, misalnya antropologi, religi (Leeming, 2014), sosiologi, seni (rupa/ desain) (Hunter, 2008), ataupun sastra (Zimmerman, 2016; Ahmadi, 2015; Rowland, 1999). Jika ditelusur secara historis, sebagai seorang pembaca yang handal, Jung memang suka membaca buku-buku tentang fi lsafat, psikologi,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 95 dan antropologi. Salah satunya adalah pemikiran fi lsuf Immanuel Kant. Palmquist (2015:178) mengungkapkan bahwa Jung terinspirasi pemikiran Imanuel Kant tentang archetype sebab dia (Jung) membaca karya-karya Immanuel Kant. Dalam pandangan Imanuel Kant, archetype memiliki makna ide yang individual yang terdapat dalam diri manusia. Archetype merupakan sebuah pola dasar yang dikre- asik an mulai zaman dahulu dan memiliki konten yang unik di dalam budaya tertentu, seni tertentu, dan mimpi tertentu (Hollis, 2000:5). Archetype tersebut dianggap unik sebab sebagai ciri primordial memiliki persamaan meskipun di tempat yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa alam berpikir manusia sejak zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang tidak jauh berbeda. Hal inilah yang membuat Jung berpandangan bahwa manusia zaman dahulu dengan manusia dengan zaman modern seperti sekarang ini merupakan sosok individu yang memiliki psike ketidakdadaran kolektif mirip. Dengan demikian, jejak masa lalu dalam pandangan Jung sangatlah berarti sebab berkait dengan archetype yang muncul di dalam berbagai budaya yang terdapat di berbagai negara di dunia. Pandangan yang berkait dengan jejak masa lalu dalam alam berpikir Jung agak berbeda dengan pandangan jejak masa lalu dalam pandangan Freud. Dalam pandangan Freud, jejak masa lalu yang berkait dengan kegagalan perampungan tahapan kepribadian akan berakibat tidak

96 Psikologi Jungian, Film, Sastra baik bagi perkembangan psikologis manusia di masa yang akan datang. Karena itu, Freud sebagai seorang psikolog lebih pesimistis dalam memandang masa lalu, sedangkan Jung lebih optimistis dalam memandang masa depan. Dengan demikian, kedua psikolog tersebut, meskipun memiliki mazhab yang sama dalam psikoanalisis, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang sangat kuat terutama dalam memandang psike manusia. Franz 4(1997, 1999) mendukung pemikiran Jung tentang archetype yang diarahkan ke studi dongeng. Karena itu, dia (Franz) melakukan studi terhadap dongeng di berbagai negara, yakni Perancis, China, Denmark, Spanyol, Africa, dan Jerman. Franz menunjukkan bahwa dongeng purba yang terdapat di berbagai negara sebenarnya memiliki keunikan sebagai bentuk archetype. Tentunya, dalam hal ini keunikan tersebut berkait dengan ciri arkaistis yang terdapat dalam dongeng yang merupakan manifestasi alam ketidaksadaran kolektif psike manusia. Franz (1980) juga menunjukkan bahwa penebusan (redemption) dalam dongeng sebenarnya juga tidak lepas dari archetype yang memurba.

4 Maria-Louise von Franz adalah penganut psikoanalisis dan merupakan teman akrab Carl Gustav Jung dalam mengembangkan psikoanalisis Jungian (atau yang lebih dikenal dengan psikologi Jungian). Karena itu, dia juga menulis buku yang bertalian dengan psikologi Jungian, misalnya The Psychological Meaning of Redemption Motifs in Fairy Tales (1980); On Divination and Synchronicity: The Psychology of Meaningful Chance (1980); Alchemy: An Introduction to the Symbolism and the Psychology (1981)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 97 Dalam rangka memperkuat dan mempertajam pemikir- an tentang archetype, Jung memang memperbanyak dan memperdalam literatur yang berkait dengan spiritualis- me dan juga mitologi. Literatur yang berkait dengan spiritualisme dan mitologi merupakan representasi alam ketidaksadaran kolektif yang muncul secara spontan yang diarahkan pada alam kesadaran kolektif (Jung, 1981). Istri Jung juga turut memperkuat pemikiran Jung tentang archetype, Jung (1985:6) menunjukkan bahwa spiritualisme dan mitologi pada hakikatnya memiliki kemiripan satu sama lainnya. Kemiripan tersebut tidak lepas dari ketidaksadaran kolektif psike manusia. Dunia spiritualisme bukanlah dunia yang mudah dipelajari sebab dunia spiritualisme adalah dunia yang tidak semua orang mampu menginterpretasikannya. Seseorang bisa menginterpretasikan artchetype yang terdapat dalam dunia spiritualisme sebab archetype tersebut memiliki ciri archaik yang sama dengan yang lainnya (dalam derajat yang berbeda). Hal tersebut mengimplikasikan bahwa interpretasi terhadap archetype yang terdapat dalam dunia spiritualisme memang membutuhkan interpretasi yang lebih dalam. Interpretasi yang lebih dalam tersebut akan menghasilkan temuan yang tepat untuk archetype sehingga makna asali dari archetype tersebut bisa muncul dengan tepat.

98 Psikologi Jungian, Film, Sastra Archetype sebagai sesuatu yang archaik dan merupakan konkretisasi dari ketidaksadaran kolektif terkadang mengalami fusi. Hal ini yang mengakibatkan bahwa archetype orang tua bijak dan pahlawan berfusi sehingga memunculkan dualisme dalam satu psyche (Hall & Linzey, 1978). Archetype memiliki fungsi untuk kompensasi dan memberikan perbaikan pada alam kesadaran manusia (Jung & Kerenyi, 1969). Archetype tersebut pada akhirnya tidak bisa dijadikan patokan bahwa archetype memiliki karakter dan tipikalitas tunggal dalam suatu psike, tetapi bisa jadi menjadi karakter yang dualistis karena adanya fusi dalam archetype yang muncul. Archetype yang model fusi tersebut hampir mirip dengan archetype yang lainnya, ia bisa muncul dalam neurosis, upacara-upacara, mistisisme, karya seni, spiritualitas, mitologi, dan juga mimpi. Archetype itu akan muncul secara berulang, tetapi dalam derajat yang berbeda. Derajat perbedaan tersebut disebabkan adanya alam budaya yang berbeda, waktu yang berbeda, dan juga kondisi lingkungan yang berbeda. Hal itu akan mengakibatkan archetype tersebut memiliki kemiripan, tetapi berbeda secara kederajatan. Archetype memiliki ciri dasar dalam pemunculannya sehingga karakterisasi archetype tersebut bersifat monoar- chetype, misal saja ayah, ibu, Tuhan, iblis, malaikat. Namun, adapula kategori multiarchetype atau disebut pula dengan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 99 hibridarchetype. Model yang bersifat hibrid tersebut disebabkan oleh adanya pemikiran yang kompleks sehingga melahirkan komplektisitas. Dalam archetype yang hibrid memunculkan karakterisasi sosok yang memiliki dualitas dalam satu idea. Tentunya, hal ini sangat jarang muncul sebab pemikiran yang kompleks dalam kaitannya dengan archetype memang tidak begitu kuat dimunculkan oleh Jung. Tampaknya, Jung lebih banyak memunculkan dan menguatkan karakter archetype yang bersifat monotipe sehingga karakter tersebut memudahkan peneliti ataupun orang yang belajar tentang archetype. Namun, untuk mengatasi adanya kemunculan dualtipe, Jung memunculkan juga tipe hibrid dalam archetype sebab adanya dualtipe tersebut tidak bisa dipungkiri juga dalam ciri dasar yang archaistis. Begitu juga dengan kehidupan yang berada di alam real, monotipe memang banyak ditemukan dalam kehidupan keseharian, tetapi dualtipe juga akan muncul seiring dengan perkembangan zaman yang meminta dan memaksa manusia untuk menjadi karakter dualtipe ataupun bahkan tripletipe. Archetype lebih kuat muncul dalam monotipe di antaranya juga disebabkan oleh karakterisasi idea yang muncul pada zaman dahulu dan tang tertemukan di mitologi memang lebih banyak memunculkan monotipe daripada dualtipe. Hal inilah yang tampaknya turut memengaruhi pemikiran Jung dalam melahirkan monotipe.

100 Psikologi Jungian, Film, Sastra Ibu Agung (Great Mother) Archetype Ibu Agung (Great Mother) merupakan archetype yang masuk dalam wilayah studi agama dan berhubungan juga dengan mitologi para dewi (Jung, 1953). Ibu Agung5 memang lebih banyak ditemukan dalam literatur spiritual ataupun dalam konteks mitologi sebab karakter dan imaji tentang Ibu Agung memang lebih mengarah pada pemaknaan yang bertalian dengan pemikiran orang-orang yang agamis dan/atau keyakinan. Sebagai sebuah archetype, Ibu Agung memiliki ciri prototipe dan memiliki ciri derivatif yang terdapat dalam ketidaksadaran kolektif (collective uncounsciousness). Untuk archetype kategori prototipe muncul secara terbatas. Adapun ciri derivatif dalam archetype Ibu Agung tidak terbatas jumlahnya. Jung menandai bahwa ciri Ibu Agung sebagai prototipe ataupun derivatifnya memang memiliki kemiripan di berbagai wilayah sebab kemiripan tersebut tidak lepas dari ketidaksadaran kolektif. Archetype Ibu Agung memiliki varian yang banyak sebagai bentuk derivasinya, tentunya dalam hal ini berkait dengan tipikal ibu yang manifest ataupun ibu yang laten. 5 Pemikiran Jung tentang archetype Ibu Agung memang lebih banyak dipengaruhi oleh keyakinannya sebagai seorang yang lebih mengarah pada agama dan lebih mengarahkan psikologinya pada psikologi spiritualisme. Sebagaimana diketahui, Jung banyak mempelajari literature tentang spiritualisme dan occultism. Hal itu banyak memengaruhi cara pandangnya dalam mewujudkan narasi tentang archetype.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 101 Jung (1953) menegaskan bahwa archetype ibu yang muncul sebagai ciri dasar, misalnya archetype ibu, archetype nenek, archetype ibu tiri, dan archetype ibu mertua. Selain itu, ada pula ibu yang merupakan archetype dari bagian yang lainnya, tetapi masih memiliki relevansi dan pertalian dengan pola dasar, yakni ibu pengasuh, ibu suri, ataupun ibu yang berkait dengan nenek moyang. Archetype ibu dalam konteks mitologi -- kedewian, bisa muncul pada dewi-dewi, misalnya Demeter, Persephone, atau juga Bunda Maria, Shopia, ibu yang berada di surga. Archetype Ibu Agung juga bisa diasosiasikan dalam bentuk simbolisme kesuburan, kebun, ladang yang di bajak, sawah, mata air, sumur yang dalam, lotus, yoni, ataupun bejana (Jung, 1953). Asosiasi tentang sosok Ibu agung ataupun dalam hal ini Jung lebih sering menggunakan kata ibu, --meskipun dia lebih menekankan pada kunci utama Ibu Agung—memiliki hubungan dengan alam. Archetype ibu yang digambarkan oleh Jung dalam bentuk yang laten merupakan asosiasi dari alam yang memiliki karakterisasi sosok ibu sebagai manusia yang bisa memberikan kehidupan, kelahiran, dan juga kebaruan. Karena itu, fenomena alam yang memiliki keberkaitan dengan kehidupan merupakan simbolisme seorang ibu. Archetype yang merupakan asosiasi dari ibu tidak hanya yang memiliki karakter yang positif, tetapi karakter yang negatif juga merupakan archetype ibu, misalnya Medusa. Simbolisme

102 Psikologi Jungian, Film, Sastra ibu dapat muncul juga dalam konteks yang berkebalikan dengan simbol ibu yang positif. Pada masa lampau dan masa sekarang simbolisme tentang ibu sebagai manifestasi yang positif akan bertentangan dengan simbolisme ibu sebagai manifestasi yang negatif. Meskipun demikian, dalam mitologi yang terdapat pada masyarakat masa lampau menunjukkan bahwa bentuk-bentuk postif ataupun negatif terkadang saling menguatkan. Dengan demikian, pada satu sisi kadang simbol ibu yang positif yang menang dan terkadang simbol ibu yang negatif yang menang. Sebaliknya, hal tersebut terjadi dalam bentuk perulangan. Archetype Ibu Agung sebenarnya tidak hanya muncul dalam konteks agama ataupun para dewi (dalam masyarakat penganut dewa/dewi, misalnya Yunani), tetapi archetype tersebut bisa muncul dalam konteks yang lain, misalnya dalam mimpi, sastra modern, ataupun fi lm. Jika pada mulanya Jung membatasi adanya archetype sebagai prototipe ataupun derivatif, pada era modern ini sebenarnya archetype tersebut bisa bergeser, berubah, ataupun mengalami transformasi. Namun, sekali lagi, dalam pandangan Jung, perubahan, pergeseran, ataupun transformasi tersebut tidaklah dianggap sebagai sebuah perubahan, tetapi dikaitkan dengan masalah derajat wilayah dan perkembangan zaman. Karena itu, manusia masa lalu dan manusia masa sekarang sebenarnya memiliki kemiripan dalam hal ketidaksadaran kolektif yang bersemayam dalam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 103 diri manusia. ketidak sadaran kolektif itulah yang tidak akan pernah hilang ataupun musnah. Memang, ketidaksadaran itu sesekali bisa tidak muncul, tetapi ketidakmunculan tersebut bersifat temporal. Ketika ada spirit yang membuat ketidaksadaran tersebut bangun, ketidaksadaran tersebut memunculkan archetype yang sempat ‘tidur’. Dalam konteks spiritualisme, sosok Ibu Agung muncul pada nama-nama Dewi dalam Mitologi Yunani Kuno, misalnya Athena, Hestia, Artemis, Hecate, Hera, Aphrodite, dan Psyche. Riset tentang archetype Ibu Agung pernah dilakukan Bolen (2004) dengan menggunakan perspektif psikologi Jungian yang difokuskan pada archetype. Bolen meneliti tentang mitologi dewi-dewi Yunani Kuno. Berdasarkan riset yang dilakukannya, Bolen menunjukkan bahwa archetype mitologi Dewi Yunani Kuno memunculkan temuan sebagai berikut: dewi yang perawan (Dewi Artemis, Dewi Athena, Dewi Hestia; dewi yang rentan dengan masalah: Dewi Hera, Dewi Persephone, Dewi Demeter). Bolen tidak hanya berbicara tentang kategorialisasi para dewi, terapi dia juga mengklasifi kasikan karakter para dewi tersebut dalam bentuk penabelan sehingga memudahkan pembaca untuk memahami para dewi beserta archetype yang muncul. Riset yang dilakukan oleh tersebut turut memperkuat dan mendukung psikologi Jungian yang lebih diarahkan pada studi archetype.

104 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar 5: Archetype great mother Sumber: https://www.pinterest.de/pin/416090453052573956/

Eksplanasi Jung tentang archetype Ibu Agung sangat kaya dan eksploratif. Dalam tulisan ini hanya dibatasi sampai pada eksplanasi archetype Ibu Agung yang banyak digunakan dan diperbincangkan oleh para peneliti bidang psikologi,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 105 antropologi, ataupun bidang kesastraan. Pembatasan archetype Ibu Agung ini juga didasari pada pemunculan archetype Ibu Agung dalam wilayah seni dan sastra. Carter & Seifert (2013) menggarisbawahi bahwa archetype ibu agung memiliki karakterisasi cinta yang nirbatas dalam kehidupan. Pandangan tersebut mengindikasikan bahwa Ibu Agung memang dikategorialisasikan dalam dewi ataupun sosok yang dimuliakan sehingga karakter mereka adalah karakter baik. Dalam konteks kesekarangan, munculnya tokoh won- derwomen, catwomen, merupakan salah satu representasi dari adanya archetype ibu agung, ibu, yang sebenarnya sudah ada pada zaman dahulu kala. Archetype tersebut akan timbul dalam suatu masa dan akan tenggelam dalam suatu masa yang lain sebab pemunculan tersebut tentang dalam lingkungan (istilah lingkungan di sini dikaitkan dengan konteks sosial- budaya suatu masyarakat). Pandangan tentang karakter ibu agung yang memiliki cinta nirbatas tersebut memiliki kemiripan pandangan Fromm dalam kaitannya dengan cinta yang dimiliki oleh ibu. Seorang ibu dalam pandangan Fromm (1956) memiliki cinta yang nirbatas. Sebagai seorang ibu, ia memiliki cinta tanpa syarat. Cinta inilah yang membedakan cinta yang dimiliki oleh ayah. Cinta yang dimiliki oleh ayah adalah yang bersyarat.

106 Psikologi Jungian, Film, Sastra Kelahiran Kembali (Rebirth) Kelahiran kembali secara harafi ah memiliki makna sesuatu yang dilahirkan/dimunculkan kembali ke dunia. Kelahiran kembali banyak ditemui dalam studi spiritualisme Hinduisme dan juga Budhisme. Dalam konteks hinduisme dan Budhisme, kelahiran kembali dikenal dengan istilah reinkarnasi. Mitologi spiritual banyak menggambarkan bahwa reinkarnasi bisa dalam bentuk yang lain dari wujud yang semula. Film White Snake Legend (1990) yang tayang di Indonesia merupakan saah satu bentuk fi lm yang berkait dengan reinkarnasi. Film tersebut menarasikan ular putih dan ular hijau yang bereinkarnasi menjadi manusia. Keduanya, adalah ular yang bertapa selama ribuan tahun sehingga mereka bisa bereinkarnasi menjadi manusia. Sebagai manusia yang sebenarnya bukan manusia atau istilahnya siluman, ular hijau dan ular putih tersebut berusaha menjadi manusia yang baik untuk menebus kesalahan dan kejahatan mereka di masa lalu. Namun, dalam catatan legenda tentang ular putih dan ular hijau, mereka melakukan reinkarnasi menjadi manusia yang dikategorikan siluman dan menjadi siluman yang mengganggu manusia. Kelahiran kembali dalam pandangan Jung bukanlah sesuatu yang memiliki makna yang stagnan. Namun, kelahiran kembali dalam pandangan psikologi Jungian memiliki

Psikologi Jungian, Film, Sastra 107 makna yang dinamis. Dengan begitu, makna simbolis yang terdapat dalam berbagai ketidaksadaran kolektif (mitologi, spiritualisme, dan mimpi) memiliki keberagaman interpretasi. Sampai sejauh ini, konsep kelahiran kembali dalam pandangan Jung lebih banyak dipengaruhi oleh dunia spiritualisme yang digelutinya sejak dia kecil. Hal inilah yang membuat penganut psikologi Jungian generasi ketiga merevisi beberapa hal yang berkait dengan konsep dan pandangan Jung yang dianggap kurang kontekstual dengan dunia kesekarangan. Jung memunculkan lima hal utama yang berkait dengan kelahiran kembali, yakni sebagai berikut. Pertama, metempsychosis , kelahiran kembali yang berkait dengan transmigrasi jiwa. Kedua, reincarnation, kelahiran kembali yang berhubungan dengan kontinuitas jiwa. Ketiga, resurrection, kebangkitan, kelahiran kembali yang berhubu- ngan dengan pembentukan kembali manusia yang telah mati melalui transmutasi ataupun transformasi. Keempat, rebirth- renovatio, kelahiran kembali yang berhubungan dengan kebaruan. Kelima, participation in the process of transfor- mation (partisipasi dalam proses transformasi), kelahiran kembali yang berkait dengan keikutsertaan dalam kelahiran kembali, tetapi tidak secara langsung (Jung, 1953). Kelima hal utama yang dimunculkan oleh Jung tersebut lebih banyak bersandarkan pada konteks spiritualitas.

108 Psikologi Jungian, Film, Sastra Spirit Spirit6 dalam ungkapan Jung, merupakan sesuatu yang membutuhkan upaya yang sangat besar dalam pendefi nisian dan pemaknaannya. Spirit merupakan sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang lain. Dalam hal ini, yang menduduki level universal adalah Tuhan (Jung, 1953). Dalam konteks yang lebih makro, spirit dihubungkaitkan dengan roh ‘sesuatu yang tidak terlihat’, baik hantu, orang mati, ataupun sesuatu yang gaib’. Dengan demikian, spirit lebih banyak mengarah pada hal yang kasat mata. Pandangan Jung tentang spirit jika ditelusuri lebih dalam memang memiliki kesamaan dalam pandangan folklorian. Sejauh ini, kajian yang banyak melakukan studi pada spirit adalah folklor yang secara spesifi k masuk dalam studi. Watts (2007) memberikan batasan bahwa ghostlore merupakan studi dalam folklor yang menelaah dunia perhantuan dalam konteks lampau, sekarang, ataupun masa yang akan datang. Spirit dalam hal ini sesuatu yang tidak terlihat pada hakikatnya adalah roh yang termanifestasikan dalam simbolisme suara, kelebatan, mimpi, ataupun meminjam tubuh manusia. Spirit memang muncul dengan 6 Penggunaan kata ‘spirit’ di sini tentang digunakan spirit oleh penulis dengan catatan bahwa spirit memiliki makna psikologi Jungian dan tidak diterjemahkan dalam kata ‘roh’ sebagai pengganti spirit. Meskipun demikian, sesekali dalam paparan buku ini bentuk ‘spirit’ dan bentuk ’roh’ akan muncul secara bersamaan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 109 karakterisasi yang berbeda sehingga setiap orang juga memberikan pemaknaan yang berbeda dalam relevansinya dengan spirit. Masyarakat intelektual sebagaimana kalangan barat kurang begitu memercayai spirit sebab pemunculan spirit dalam kehidupan keseharian tidak bisa dipertanggungjawabkan secara logika. Masyarakat intelektual lebih mengedepankan rasio dan akal. Karena itu, spirit yang muncul di luar batas kontruksi pikiran manusia tidak begitu disukai oleh masyarakat intelektual sebab dianggap sebagai sesuatu yang irrasional.

Gambar 6: Archetype spirit Sumber: Film Insidious: The Last Key (2018)

Dalam kaitannya dengan memandang spirit, masyarakat intelektual berpandangan bahwa spirit merupakan persepsi

110 Psikologi Jungian, Film, Sastra dan bahkan halusinasi dari seseorang yang mengalami deviasi pikiran. karena itu, seseorang yang mengalami pertemuan dengan spirit ataupun seseorang yang memang bertemu dengan hal yang berkait dengan kespiritan memang lebih banyak dialami oleh orang-orang yang mengalami gangguan psikologis. Orang-orang yang mengalami malpersepsi akan memunculkan persepsi lain tentang persepsi yang dialami sehingga hal itulah yang menyebabkan seseorang bisa bertemu dengan hantu berdiskusi dengan hantu atau bahkan disakiti oleh hantu. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa seseorang yang bertemu dengan spirit (hantu) bukan disebabkan dia memang bertemu dengan hantu, tetapi karena alam pikirannya sedang terganggu sehingga muncullan hantu dalam pikiran-pikirannya. Banyak dugaan terutama orang-orang dari kalangan intelektual, orang-orang yang sering bertemu hantu adalah orang yang memang terganggu persepsinya. Bertolah dari spirit yang ditengarai disebabkan oleh persepsi seseorang yang keliru dalam memunculkan persepsi. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fi lm-fi lm yang berkait dengan hantu sampai sekarang masih banyak dan masih laris manis. Film yang berkait dengan spirit misalnya, Insidious yang muncul sampai beberapa sekuel, Insidious (2010), Insidious (2013), Insidious (2015),

Psikologi Jungian, Film, Sastra 111 Last keys (2018). Film ini merupakan kategori fi lm yang bertemakan supranatural yang mengisahkan perjalanan seorang laki-laki yang masuk ke dalam dunia yang lain. Namun, laki-laki yang masuk ke dalam dunia yang lain tersebut tidak memahami bahwa dirinya masuk dalam dunia yang lain sebab masuknya dia ke dalam dunia yang lain itu terjadi pada masa kecilnya dan dia baru memahami itu ketika dia dewasa.

Gambar 7: Ibu dan spirit Sumber: Film Insidious (2010)

Seseorang yang terlalu modern memang menjadi dunia yang irrasional sebab tidak bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya, baik secara teoretis maupun metodologis. Namun, di sisi lain, mereka merindui sisi yang hilang itu,

112 Psikologi Jungian, Film, Sastra yakni sisi tentang manusia yang merindui dunia irrasional. Melalui dunia itulah manusia bisa berekreasi ke alam yang irrasional sebagai penyembuh dari lelah karena menggunakan pikiran-pikiran rasional. Spirit dalam psikologi Jungian memang lebih mengarah pada dunia spiritualisme yang tentunya tidak lepas pula dari masa kanak-kanak Jung yang banyak bertemu dengan dunia spiritualisme baik dalam konteks kehidupan keseharian ataupun mimpi-mimpinya. Dalam konteks sastra ataupun mitologi, spirit muncul dalam bentuk mimpi yang berkait dengan orang tua yang muncul dalam mimpi seorang pahlawan. Spirit dalam manifestasi orang tua tersebut memiliki kemampuan dalam kaitannya dengan memberikan pertolongan kepada sang tokoh (Jung, 1969). Hal ini menunjukkan bahwa orang tua yang muncul tersebut merupakan archetype orang tua bijak yang menjadi sebuah spirit. Beberapa fi lm, misalnya saja How to Train Your Dragon (2019)7 menarasikan tokoh laki-laki muda sang penunggang naga. Namun, dalam suatu peristiwa naga hitam yang dimilikinya menghilang

7 Film ini merupakan fi lm ketiga dari sekuel pertama yang berjudul How to Train Your Dragon 1 yang rilis pada tahun 2010 dan sekuel kedua berjudul How to Train Your Dragon 2 yang rilis pada tahun 2014. Film ini didasarkan pada novel anak How to Train Your Dragon karya Cressida Cowell.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 113 sebab dia (sang naga hitam) bertemu dengan pasangannya naga putih. Ketika sang tokoh berada dalam kesedihan sebab tidak mampu menghadapi musuh yang kuat tanpa memiliki tunggangan naga hitam, spirit orang tua muncul dalam imajinya. Spirit inilah yang menjadi energi si tokoh untuk mampu mandiri menjadi sosok pria muda yang tidak hanya mengandalkan kemampuan naga tunggangannya saja, tetapi ia juga bisa berdiri sendiri tanpa naga tersebut. Ternyata, apa yang dilakukan oleh sang tokoh itu benar- benar menjadikan kekuatan buat dirinya sehingga dia memang menjadi sosok laki-laki yang sebenarnya tanpa pertolongan dari sang naga pun dia mampu mengatasi sendiri. Itulah sebuah jiwa kepemimpinan. Mereka, sang pemimpin, harus mampu mengatasi masalahnya sendiri terlebih dahulu kemudian mengatasi masalah orang lain. Tentunya, hal tersebut memang merupakan rumus yang utama, seseorang yang mampu mengatasi diri sendiri, secara tidak langsung akan mampu mengatasi masalah dari anggota ataupun anak buah yang dipimpinnya. Jika seseorang menjadi pemimpin padahal dirinya tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, hal tersebut menjadi sebuah stigma yang kurang bagus. Ibaratnya, ingin memimpin masyarakat yang jumlahnya banyak dengan harapan memperbaiki pemerintahan, tetapi dirinya sendiri tidak mampu dia kendalikan ataupun ditata terlebih dahulu.

114 Psikologi Jungian, Film, Sastra Karena itu, sampai muncul istilah sebelum memperbaiki orang lain, perbaikilah diri sendiri terlebih dahulu. Meskipun demikian, tidak semua orang melakukan demikian sebab setiap kehidupan manusia memiliki masalah yang berbeda- beda, mereka bisa memimpin masyarakat, tetapi tidak mampu memimpin keluarga. Ada yang mampu memimpin keluarga, tetapi tidak mampu memimpin masyarakat. Bahkan, ada yang hanya mampu memimpin diri sendiri. Tapi, itu masih lebih baik daripada orang yang tidak mampu untuk memimpin diri sendiri. Artinya, orang tersebut tidak mampu mengendalikan diri sendiri.

Shadow

Shadow adalah sisi gelap manusia bersumber dari archetype yang bersifat alamiah, naluriah, dan instinktif kebinatangan yang berdiam dalam diri manusia melalui sebuah proses pentransformasian (Jung, 1948) yang sangat panjang. Karena berkait dengan sisi gelap, Carter & Seifert (2013) menegaskan bahwa shadow dalam pandangan Jung –sebagai sebuah archetype-- merupakan sisi terburuk manusia sebab berkait dengan instinksi purba yang sebenarnya dalam konteks idea masih sangat jauh dari konsep tertinggi. Dalam artian, shadow adalah sesuatu yang negatif yang terdapat dalam diri manusia. Manusia

Psikologi Jungian, Film, Sastra 115 yang mengikuti jalan shadow berarti dia menuju pada jalan kegelapan. Nelson-Jones (2006) memberikan batasan bahwa shadow merupakan hasrat instinktif manusia yang archaik yang tidak lepas dari hasrat kebinatangan. Shadow sebagai bagian dari archetype yang terdapat di berbagai wilayah bisa muncul dalam bentuk “iri (envy), agresi (aggression), serakah (greed), kemalasan (laziness), dan kecemburuan (jealousy)” (Casement, 2006). Sebagai sebuah archetype, shadow memang lebih banyak mengarah pada hal yang cenderung berorientasi negatif yang mendorong manusia sebagai pemilik archetype tersebut untuk melakukan tindakan yang negatif pula. Namun, kecenderungan yang masih orientatif tersebut tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa shadow mengarah pada hal yang negatif. Jika energi shadow sebagai archetype itu mampu diarahkan pada energi yang positif, shadow akan melahirkan hal yang positif pula. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, shadow sebagai sebuah archetype dianggap sebagai sesuatu yang melanggar etika. Hal ini berlandaskan pada fakta jika shadow tersebut mengarah pada energi yang negatif sehingga dalam hal ini, shadow yang (1) mengarahkan energi yang ke luar diri dan (2) mengarahkan energi ke dalam diri akan memberikan dampak yang merugikan bagi individu ataupun kolektif. Seseorang yang sangat kuat ditopang

116 Psikologi Jungian, Film, Sastra oleh archetype shadow akan cenderung mendrobrak tatanan etika yang terdapat dalam masyarakat sebab dia lebih mengedepankan energi shadow-nya sebagai energi yang kuat dalam diri yang mendorongnya untuk melakukan pikiran dan tindakan yang mengarah pada fi losofi estetis saja, bukan etis, ataupun spiritualistis. Simbol archetype yang berkait dengan shadow muncul dalam manifestasi ular, monster, iblis, ataupun penjahat. Jika dihubungkaitkan dengan simbolisme dalam mimpi, seseorang yang memimpikan shadow yang mengarah pada sisi gelap dan sisi kejahatan, sebenarnya hal tersebut merupakan representasi dari dirinya sendiri. Si pemimpi yang memimpikan mimpi simbolik tersebut sedang bertarung dengan shadow yang terdapat dalam dirinya sendiri. Pertarungan antara shadow dengan tokoh pahlawan merupakan sebuah pergulatan diri untuk menerapi secara individual diri sendiri agar bisa menjadi lebih baik. Jung (1959) menunjukkan bahwa archetype tentang shadow adalah archetype yang merupakan elemen yang bersifat negatif yang terdapat dalam alam ketidaksadaran kolektif. Shadow sebagai archetype pada akhirnya merupakan elemen yang merugikan bagi manusia sebab archetype tersebut merupakan bayang-bayang kegelapan. Bayang-bayang yang memiliki dan memunculkan energi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 117 nonpositif dalam kepribadian manusia. Namun, dalam konteks dialektikal, archetype shadow juga dibutuhkan dalam kaitannya dengan penyeimbang archetype lainnya.

Penipu Archetype penipu bisa ditemukan dalam mitologi dan cerita rakyat (Jung, 1953). Archetype penipu banyak muncul dalam mitologi dan cerita rakyat sebab penipu merupakan karakter yang berada di antara dua oposisi, yakni tokoh yang baik dan tokoh yang buruk. Penipu yang muncul dalam mitologi merupakan keseimbangan dalam sebuah mitologi. Begitu juga dalam kehidupan, penipu juga muncul di antara kebaikan dan keburukan. Penipu pada suatu ketika akan berwajah baik sebab dia menginginkan sesuatu dan penipu akan berwajah buruk sebab dia juga menginginkan sesuatu. Dalam Mahabaratha, sosok yang menjadi penipu –dalam konteks antropologi stukturalnya Levi-Strauss hal itu disebut dengan tokoh liminal sebab dia berada di tengah, tetapi dia adalah sosok yang bukan menjadi mediator, tetapi provokator. Tokoh jenis ini diwakili oleh Sengkuni –sosok yang menimbulkan prahara antara keluarga Kurawa dan keluarga Pandawa yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya peperangan di antara keluarga besar tersebut. Pada akhirnya juga, Sengkuni sebagai sosok penipu akhirnya mati di tangan Pandawa.

118 Psikologi Jungian, Film, Sastra Munculnya karakter penipu dalam mitologi, sastra, ataupun dalam cerita rakyat sebenarnya tidak lepas dari diri manusia. Sebagai individu, manusia juga memiliki instink penipu. Dalam konteks ini, modulasi yang aneh dan memang muncul dalam mitologi yang sebenarnya merupakan representasi jati diri manusia purba dan/ atau manusia modern. Dalam kehidupan real, manusia juga memiliki sifat sebagai penipu. Munculnya sifat penipu tersebut disebabkan oleh faktor berikut. Pertama, keinginan untuk menjadi pejabat/penguasa. Seseorang yang menginginkan kekuasaan –dalam hal ini konteks yang negatif—akan melakukan orientasi destruktif. Ia akan menjadi manusia penipu sebab dia ingin menjadi penguasa dengan melakukan berbagai cara. Jika seseorang melakukan penipuan tersebut ia berharap bisa menjadi penguasa. Meskipun belum tentu orang tersebut bisa menjadi penguasa karena kemampuan menipunya. Kedua, seseorang yang terpepet. Ketika seseorang dalam kondisi terpepet, ia akan cenderung melakukan penipuan –dalam konteks ini penipuan yang dijadikan landasan utama adalah penipuan demi kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan orang banyak. Diakui atau tidak, seseorang yang terpepet dalam suatu masalah, akan cenderung mengeluarkan mekanisme pertahanan diri dengan harapan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 119 mampu menjaga dirinya dari ‘muka’ yang dipermalukan ataupun dirugikan. Ketiga, penipu yang muncul karena keadaan. Ada seorang penipu yang menjadi penipu karena keadaan lingkungan yang terdapat dis sekitarnya, mulanya ia adalah orang yang baik-baik saja, tetapi karena lingkungan yang membentuk dirinya, akhirnya dia menjadi seorang penipu. Keempat, penipu yang memang jejak masa lalunya adalah penipu. Dalam pandangan Freudian yang mengarah pada determinisme. Orang-orang yang kehidupan masa lalunya buruk, kehidupan masa sekarangnya tidak jauh beda dengan hal tersebut. Dalam konteks perfi lman juga demikian adanya, tokoh penipu akan selalu dimunculkan sebagai penguat fi lm. Dalam fi lm kategori pembunuhan, misteri, ataupun detektif, sosok penipu sangat dibutuhkan untuk menarik dan menguatkan jalannya cerita dalam fi lm tersebut. Jika tidak ada penipu, fi lm tersebut kurang kuat sebab tanpa adanya penipu fi lm menjadi hambar dan kurang estetis. Di tambah lagi, jika ternyata sosok yang penipu tersebut sebenarnya bukanlah penipu pada awalnya. Namun, dalam perjalanan, tokoh tersebut menjadi penipu. Hal tersebut tentu akan menggiring penonton untuk semakin menikmati fi lm tersebut.

120 Psikologi Jungian, Film, Sastra Persona Persona adalah wajah seseorang yang dimunculkan dalam konteks publik/umum (Douglas, 2010). Secara harafi ah, persona dikaitkan dengan topeng. Seorang manusia sebagai sosok individual akan menggunakan topeng dalam kehidupan keseharian yang berkait dengan masyarakat. Melalui topeng yang digunakan, seseorang bisa menutupi dirinya agar diri yang asli tidak terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang tidak menggunakan topeng sama sekali dalam kehidupan bermasyarakat juga tidak sepenuhnya benar sebab dia membuka apa saja yang berkait dengan dirinya sebab tidak semuanya harus dibuka dalam kaitannya dengan masalah privasi kehidupan. Dengan demikian, persona dalam diri manusia yang sebenarnya merupakan salah satu representasi ketidaksadaran individual dan ketidaksadaran kolektif memiliki sisi elemen positif dan juga sisi elemen yang negatif. Persona dalam konteks psikologi Jungian berkait dengan muka seseorang dalam hal ini secara spesifi k mengarah pada muka psikologis. Seseorang yang menggunakan muka baik di konteks publik merupakan muka publik yang diketahui oleh masyarakat. Adapun muka pribadi tidak dimunculkan. Tentunya, dalam hal ini muka pribadi tidak dimunculkan dalam konteks publik sebab yang ditakutkan adalah mukanya akan tercemar oleh hal yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 121 bersifat sensitif. Kesensitifan dalam tiap budaya memiliki etika yang berbeda-beda dengan demikian, kesensitifan di negara barat akan berbeda dengan masalah kesensitifan yang berada di negara timur. Tentunya, hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah sebab setiap budaya memiliki tradisi dan kepercayaan yang berbeda-beda.

Studi-studi tentang Archetype: Dulu dan Sekarang Teori tentang archetype merupakan teori yang banyak digunakan oleh para peneliti bidang psikologi, terutama yang menjadi penganut psikologi Jungian. Penelitian ten- tang archetype yang menggunakan perspektif Jungian masuk dalam ranah sastra, budaya, dan agama. Berikut peneliti yang menggunakan perspektif archetype. Khenu (2013) meneliti musik dan agama yang dikaitkan dengan rasa dan sensibilitas jiwa manusia. Khenu menun- jukkan bahwa musik dan agama sebenarnya memiliki keberkaitan. Ia menunjukkan bahwa dalam musik dan agama zaman dahulu dan zaman sekarang memiliki pola archetypes yang sama sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks primordial psike tidak ada perubahan yang esensial sebab pada dasarnya alam berpikir manusia memiliki kemiripan. Hanya saja, kemiripan tersebut akan memiliki perbedaan dalam kaitannya dengan masalah derajat kewaktuan.

122 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jacoby (2006) menelaah hasrat kerinduan pada surga dalam kaitannya dengan orang-orang yang hidup di dunia. Dalam hal ini, tentunya merupakan impian semua orang (terutama orang-orang yang menganut agama) untuk bisa masuk dalam surga yang dirindukan. Mereka sangat merindukan surga sebab surga adalah tempat yang paling indah dan merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Studi ini merupakan studi psikologi, fi lsafat, religi, dan antropologi sebab mengaji wilayah manusia dalam kaitannya dengan surga. Jacoby menunjukkan bahwa di kitab suci (Bible) ditunjukkan surga yang dirindukan oleh manusia. Surga inilah yang dianggap sebagai archetype dalam konteks religiusitas. Sebenarnya, dalam konteks agama besar dunia, surga memang benar-benar dirindukan. Karena itu, banyak manusia yang berlomba-lomba untuk menuju ke surga tersebut. Manusia yang religius dan agamis akan berusaha menjauhi larangan Tuhan dan melaksanakan perintahnya. Hal itu merupakan sebuah bukti sebagai seorang manusia yang agamis. Meskipun demikian, belum menjadi suatu ukuran bahwa seseorang yang agamis akan masuk surga dengan mudah sebab bisa jadi dia menjadi agamis karena sebatas kulit saja. Tidak hanya itu, orang-orang yang agamanya biasa-biasa saja juga merindukan surga sebab surga merupakan milik bersama bukan miliki perseorangan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 123 Adapun neraka merupakan hal yang tidak dimimpikan oleh semua orang sebab manusia memang merindukan surga, bukan merindukan neraka. Studi archetype memang bukanlah menjadi klaim bagi psikologi Jungian saja, melainkan bagi masyarakat pecinta riset dalam konteks yang lain. Karena itu, kajian- kajian dalam konteks antropologi juga bisa menggunakan archetype dalam kaitannya dengan budaya. pemahaman ini juga tidak lepas dari studi masa kini yang berhubungan dengan rekoneksi dalam ilmu pengetahuan. Saat ini, ilmu pengetahuan bersanding dengan ilmu pengetahuan yang lain dalam rangka mengatasi masalah kompleksitas kehidupan dan menjawab tantangan global yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu pengetahuan sebagai ujung tombak untuk memecahkan masalah dalam kehidupan memang harus mampu bertransformasi dan berkawin silang dengan ilmu pengetahuan yang lain agar kuat dalam menghasilkan temuan yang lebih jenis dan benar-benar genuine yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia, bukan masyarakat lokal. Karena itu, psikologi Jungian dalam kaitannya dengan archetype bisa dikoneksikan dengan teori-teori yang lain sebagai bentuk dari tranformasi ilmu pengetahuan yang saat ini sedang ramai memperbincangkan studi interdisipliner, multidisipliner, dan trandisipliner.

124 Psikologi Jungian, Film, Sastra 4

ANIMA/ANIMUS

alam psikologi Jungian terdapat istilah yang Dbersinggungan, yakni anima yang berkait dengan jiwa (soul) dan anima yang berkait dengan archetype manusia. Secara historis, istilah anima berasal dari bahasa Latin yang bermakna jiwa, kehidupan. Anima dalam konteks ini sebagai jiwa merupakan sesuatu yang murni dan numinous. Karena itu, “anima inter bona et mala sita”(soul placed between good and evil) (Jung, 1963:6). Anima memang berdiri di antara keduanya, good dan evil sebab untuk menjadi jiwa yang baik manusia berarti memiliki jiwa kategori malaikat yang bersih dan suci. Adapun untuk menjadi manusia yang berjiwa jahat, mereka bisa menjadi setan yang memiliki

Psikologi Jungian, Film, Sastra 125 karakter jahat dan merusak. Manusia memang bukan keduanya, sebab malaikat dan setan merupakan sebuah sisi ekstrim yang sama-sama memiliki karakter penguat dalam konteks sebagai sang perusak dan sang pembangun, konstruktif dan destruktif. Manusia yang memiliki karakter jahat, mereka akan dianggap seperti setan, sedangkan manusia yang memiliki karakter baik akan dianggap seperti malaikat. Namun, yang lebih baik adalah manusia yang bisa menyeimbangkan keduanya sebab manusia memang bukanlah keduanya. Manusia adalah makhluk yang memiliki keunikan yang luar biasa dibandingkan makhluk Tuhan yang lainnya. Tentunya, inilah yang dianggap sebagai anugerah manusia sebagai makhluk yang memiliki anima (jiwa) yang bisa digunakan untuk memahami dan mengenali manusia yang lain di muka bumi ini. Anima dalam diri manusia berkiblat pada alam sebab alam sudah menawarkan segalanya berkait dengan oposisi. Terbentuknya oposisi tersebut muncul mulai sejak zaman dahulu kala dan tidak diketahui secara pasti kapan awal munculnya dalam kehidupan sejarah manusia. Melalui oposisi inilah alam dan manusia bisa hidup. Jung (1963) menunjukkan secara gamblang bahwa di muka bumi ini sudah muncul yang namanya oposisi sebagai bentuk tandingan dalam segala segmentasi kehidupan.

126 Psikologi Jungian, Film, Sastra for instance the opposites are humidum (moist)/siccum (dry), frigidum (cold) j calidum (warm), superiora (upper, higher) / inferiora (lower), spiritus-anima (spirit-soul)/corpus(body), coelum (heaven) / terra (earth), ignis (fi re) / aqua (water), bright/dark, agens (active)/patiens (passive), volatile (volatile, gaseous)/fi xum (solid), pretiosum (precious, costly; also carum, dear) / vile (cheap, common), bonum (good)/ malum (evil), manifestum (open) / occultum (occult; also celatum, hidden), oriens (East) J occidens (West), vivum (living) / mortuum (dead, inert), masculus (masculine) / foemina (feminine), Sol /Luna. (Jung, 1963:3).

Melalui kutipan tersebut Jung ingin menunjukkan bahwa oposisi tersebut dipetik dari alam. Artinya, alam sebagai sebuah makrokosmos sudah menyediakan bentuk oposisi sebagai manifestasi dari archetype. Alam tempat manusia tinggal jika digali sangat banyak memunculkan opposite. Tentunya, penggalian bentuk-bentuk oposisi tersebut membutuhkan ketajaman dalam berpikir, waktu, dan tenaga. Sangatlah berat jika seseorang ingin menggali tentang oposisi yang terdapat di alam semesta tanpa melakukan studi eksperimentasi, perenungan, inkubasi, dan juga verifi kasi. Untuk itu, orang-orang yang konsern ke wilayah tersebut sangat jarang dengan alasan studi ke wilayah archetype merupakan studi yang incognito.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 127 Anima ialah elemen perempuan yang terdapat dalam diri laki-laki, sedangkan animus ialah elemen laki-laki yang terdapat dalam diri perempuan (Jung, 1961:177). Anima dan animus dalam konteks psikologi ketidaksadaran merupakan bagian dari archetype. Anima sebagai elemen perempuan yang terdapat dalam diri laki-laki bisa digunakan untuk memahami sisi feminim dalam diri. Melalui pemahaman yang mendalam tentang sisi feminim dalam diri laki-laki, laki-laki bisa memahami perempuan melalui bantuan elemen lain yang terdapat dalam diri. Sebaliknya, ketika seorang perempuan memahami seorang laki-laki, dia akan memanfaatkan animus yang terdapat dalam dirinya. Melalui animus tersebut seorang perempuan bisa memahami laki-laki melalui sisi maskulinitas yang dimilikinya. Melalui keduanya, baik anima ataupun animus, psike manusia bisa menjadi lebih baik sebab mereka bisa mengenali dan mengendalikan dirinya terkait dengan interaksi dengan individu yang lain. Istilah anima dan animus ini dikenal juga dengan “the syzygy, lying in the unconscious” (Casement, 2001:87). Anima dan animus dalam diri manusia sudah dimiliki sejak dulu kala. Namun, tidak semua orang menyadari sebab anima dan animus merupakan pikiran bawah sadar manusia dalam memahami manusia yang lain. Karena itu, anima dan animus merupakan proyeksi diri dari diri masing-masing pribadi. Dengan demikian, seseorang dengan kemampuan animanya sebenarnya ingin mengenali dirinya sendiri melalui sebuah

128 Psikologi Jungian, Film, Sastra proyeksi. Jika pemahaman tentang proyeksi tersebut baik, ia akan mampu menemukan dirinya yang ber-anima ataupun ber-animus. Melalui penemuan inilah seseorang membawa dirinya menuju jalan yang lebih baik atas pertolongan dari anima dan animus yang terdapat dalam diri masing-masing individu. Tentunya, seorang manusia yang tersadarkan dengan anima dan animus yang terdapat dalam dirinya, dia akan berusaha untuk memperbaiki dirinya. Namun, ada juga seseorang yang sudah menemukan dirinya dan memahami dirinya, tetapi tidak mau mengubah dirinya sehingga hal tersebut mengakibatkan tidak terjadinya transformasi pada diri. Sebenarnya, orang yang sudah bisa memahami dirinya dengan anima dan animus yang berada dalam dirinya, sudah tentu akan membuat mereka lebih mudah untuk memahami dan mengenali orang lain sehingga mereka tidak melakukan hal yang melanggar etika ataupun secara psikologis tidak membawa perkembangan yang positif untuk diri sendiri. Pandangan Jung tentang anima dan animus jika ditelusuri lebih dalam memiliki relevansi dengan dunia spiritualitas. Anima dan animus merupakan dualitas dalam satu diri manusia, baik manusia yang memurba ataupun manusia modern. Pria dengan elemen animusnya dan wanita dengan elemen animanya akan berusaha menjadi pribadi yang lebih memahami diri sendiri dan diri orang lain. Ia lebih banyak mengambil konteks spiritualitas yang dikaitkan dengan anima dan animus sebab Jung memang lebih banyak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 129 mempelajari dunia spiritualitas ketika dia masih kecil dan hal itu terus dikembangkannya hingga dia dewasa. Dalam spiritualisme Budhisme, sosok Quan Yin bisa direpresentasikan dan dimanifestasikan dalam wujud perempuan ataupun bisa bermanifestasi menjadi pria. Dalam konteks ini, Quan Yin bisa melampaui apa yang terdapat dalam kontruksi psikologis manusia. Ia adalah sosok yang bisa melahirkan anima dan animus. Karena itu, dalam pandangan masyarakat yang menganut Quan Yin, mereka tidak menggunakan istilah perempuan atau laki-laki ataupun dewa atau dewi dalam penyebutan untuk Quan Yin.

Gambar 8: Quan Yin di kuil Buddhisme, Tiongkok (Sumber: Dokumentasi Anas Ahmadi)

130 Psikologi Jungian, Film, Sastra Dalam beberapa mitologi, Quan Yin dikisahkan sebagai sosok perempuan yang bisa menjadi dewi. Namun, dalam manifestasinya sebagai seorang dewi, Quan Yin juga bisa mengalami bertransformasi wujud menjadi pria (Idema, 2008; Levine, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya dalam ranah spiritualisme pada masa lampau manusia sudah mengenal dan memahami anima dan animus. Hanya saja, dalam pengenalan terhadap anima dan animus tersebut manusia pada masa lampu belum banyak memikirkan apa yang mereka ‘tindakkan’ dalam simbolisme-simbolisme yang berkait dengan ketidaksadaran kolektif. Dalam pandangan orang-orang yang menganut agama Budha, sosok Quan Yin merupakan sosok Dewi yang memang bisa berantromorf menjadi dewa. Hal itu menunjukkan bahwa Quan Yin memiliki kekuatan yang luar biasa. Masyarakat pada masa primitif memang sudah menemukan dan memahami apa itu simbolisme dan mereka banyak membuat karya yang di dalamnya mengandung simbol-simbol tertentu. Dalam hal ini, simbol-simbol pada masa lalu masih sederhana sebab berkait dengan pengetahuan masa lalu yang juga masih sederhana. Meskipun demikian, simbol- simbol sederhana pada masa lalu sampai sekarang pun simbolisme tersebut masih ada dan muncul di kehidupan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 131 manusia modern. Manusia pada masa lalu dengan manusia pada masa sekarang memiliki keberbedaan derajat dan waktu dalam memikirkan dan menafsirkan simbolisme. Hal tersebutlah yang menciptakan keberbedaan dalam masalah pemaknaan simbolisme. Yin dan yang juga menjadi simbol purba yang archaik dalam kaitannya dengan hitam dan putih. Yin dan yang disimbolkan warna hitam dan warna putih dalam satu lingkaran. Keduanya, baik hitam dan putih memiliki batas tegas, tetapi batas tersebut akan melebur menjadi satu sebagai bentuk keseimbangan. Karena itu, dalam anima dan animusnya-Jung, keduanya, sama-sama muncul dalam bentuk yang berbeda untuk memunculkan keseimbangan alam psike manusia. alam psike manusia tersebut sangatlah purba, tetapi dalam kepurbaan tersebut bisa ditarik hal yang paling archaik yakni yin dan yang, konsep pertemuan hitam dan putih. Simbol yin dan yang merupakan simbol archaik yang bisa digunakan manusia untuk membangkitkan energi positif dan kreatif yang terdapat dalam diri mereka. Sampai saat ini pun, simbol yin dan yang banyak dipercayai dan digunakan oleh masyarakat modern sebagai sebuah simbol kekuatan dan keseimbangan. Simbol yin dan yang tersebut bisa digunakan dan dimunculkan dalam bentuk seni, gambar, desain, ataupun dalam bentuk puisi.

132 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar: Yin dan yang (Sumber: Karya Ardiansyah Putra Annur [2019])

Anima dan animus tidak hanya termanifestasikan dalam spiritualisme saja. Munculnya anima dan animus bisa termanifestasikan melalui mimpi. Sebagai bentuk pemenuhan pulsi ketidaksadaran kolektif, mimpi menawar- kan ‘jalan’ bagi manusia untuk memahami dirinya. Dalam hal ini, muncullah anima dan animus yang merupakan elemen

Psikologi Jungian, Film, Sastra 133 pembantu untuk merampungkan masalah psike yang belum ataupun kurang terpecahkan dalam dunia realitas. Lebih jauh, Kas (2006:65) menandaskan bahwa anima dan animus memiliki fungsi untuk “vitality, creativity, and fl exibility”. Tidak hanya itu, anima dan animus juga merupakan konektivitas antara psike dan alam ketidaksadaran. Anima dan animus merupakan bagian kecil dari archetype yang terdapat dalam alam ketidasadaran kolektif. Sama seperti halnya archetype yang lainnya, anima dan animus tidak lepas dari ciri elemen yang memurba dan bersifat archaik. Pada masa lampau, manusia sebenarnya sudah memahami anima dan animus dalam diri mereka, sebagai bentuk dari alam ketidaksadaran. Namun, pemaha- man tentang simbolisme dalam anima dan animus manusia pada zaman lampau terkadang masih terlewatkan. Pada masa lampu manusia lebih cenderung mengandalkan konteks kefi sikan. Artinya, manusia lebih mengedepankan tindakan-tindakan yang bersifat spiritual ataupun nonspiri- tual. Adapun pemahaman tentang simbolisme-simbolisme yang arkhaik masih kurang diperhatikan pada masa lampau. Jung (1961) secara eksplisit mencontohkan bahwa anima dan animus juga bisa muncul dalam konteks perfi lman dan juga dalam konteks sastra. Secara sadar ataupun tidak sadar, tokoh dalam fi lm dan sastra memunculkan anima

134 Psikologi Jungian, Film, Sastra dan animusnya. Dalam konteks fi lm, Jung merujuk (salah satunya) fi lm Ugetsu Monogatari (1953)8. Film kategori fantasi romantik dan kisah hantu tersebut mengisahkan tokoh Genjuro yang bertemu dengan perempuan hantu. Berkait dengan konteks anima, fi lm tersebut memunculkan sisi anima yang bersifat destruktif. Sisi kedestruktifan tersebut disebabkan oleh karakter jahat yang muncul dalam diri tokoh perempuan yang berusaha memengaruhi (secara psikologis ke arah yang nonetik) tokoh utama. Dalam kaitannya dengan sastra, Jung memunculkan Madame Bovary (1856)9 karya Gustave Flaubert. Dalam novel tersebut, Jung menunjukkan bahwa ada anima proyektif yang muncul dalam diri tokoh perempuan. Tokoh perempuan dalam novel tersebut dimanifestasikan sebagai sosok perempuan yang memiliki hasrat seksual yang tinggi sehingga dia menyukai banyak laki-laki. Jung sebagai seorang psikolog ternyata tidak hanya mengamati dunia perilaku saja, melainkan dia juga mengamati dan mempelajari dunia perfi lman. Untuk itu, Jung menggunakan fi lm sebagai bentuk konkretisasi dari 8 Film Ugetsu Monogatari (1953) diangkat dari dongeng Jepang yang ditulis oleh Akira Ueda yang terbit kali pertama tahun 1776 dengan judul yang sama Ugetsu Monogatari. Film ini mengisahkan perjalanan hidup seorang pria yang sudah berkeluarga. Dalam perjalanan hidupnya, dia hantui oleh seorang perempuan hantu. 9 Novel Madame Bovary (1856) karya Gustave Flaubert pernah diangkat perfi lman dengan judul yang sama Madame Bovary (2014).

Psikologi Jungian, Film, Sastra 135 perilaku manusia yang muncul dalam kehidupan keseharian. Memang, fi lm tidak bisa merepresentasikan kehidupan secara utuh. Namun, fi lm merupakan manifestasi dari imaji manusia yang dikonretisasikan melalui sebuah ide kreatif yang berbentuk fi lm. Di dalamnya, sejauh-jauhnya seorang scriptor berlari menjauh, tetapi saja napas ketidaksadarannya muncul dalam fi lm tersebut dalam bentuk mekanisme pertahanan ego. Dalam kaitannya dengan masalah anima dan animus, seorang pria dilahirkan ke muka bumi ini tidak hanya memiliki sisi maskulinitas saja dalam kehidupannya, tetapi dia juga memiliki sisi feminitas (Karaban, 1992:39). Begitu juga dengan perempuan, mereka dilahirkan di muka bumi ini tidak hanya memiliki sisi feminitas saja, melainkan dia juga memiliki sisi maskulinitas. Pandangan Jung tentang anima dan animus ini sebenarnya memiliki pertalian dengan pandangan Lévi-Strauss10 (1963) tentang oposisi biner. Dalam pandangan Lévi-Strauss, segala sesuatu di dunia memiliki elemen-elemen yang bersifat oposisi biner (saling bertolak belakang), baik diadik, triadik, kwardik, ataupun

10 Levi-Strauss merupakan antropolog yang dikenal dengan konsep oposisi biner dalam memahami konteks budaya suatu masyarakat. Dalam pandangan Levi-Strauss, suku, desa, ataupun masyarakat memiliki oposisi, baik oposisi kategori mutlak ataupun oposisi kategori biasa. Untuk memahami oposisi tersebut seorang peneliti harus mampu membongkar simbol yang terdapat di masyarakat.

136 Psikologi Jungian, Film, Sastra pentadik. Oposisi biner tersebut bisa berkembang semakin banyak seiring dengan kemampuan interpretasi manusia dalam memahami simbol-simbol yang dimunculkan oleh alam. Sebagai kesatuan yang makrokosmos, simbol-simbol alam sangat banyak dan berserak sehingga dibutuhkan pemahaman dan pembongkaran terhadap simbol-simbol tersebut. Manusia yang kemampuan interpretatifnya bagus, akan bagus pula dalam menafsirkan simbol-simbol yang terdapat di alam raya ini. Oposisi biner yang muncul di dalam sebuah budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat sebenarnya tidak lepas dari ketidaksadaran manusia. Secara tidak sadar, manusia hidup berdampingan dengan oposisi dan oposisi biner tersebut jika dihubungkaitkan dengan perspektif Jungian tidaklah lepas dari konteks archetype. Manusia tidak tahu asal-muasal munculnya oposisi biner yang bersifat diadik, triadik, kwardik, dan pentadik. Dalam konteks yang spiritual, munculnya oposisi tersebut merupakan archetype yang ‘prime’ yang bersifat keilahian. Dengan demikian, munculnya oposisi yang paling dasar sebenarnya tidak lepas dari konteks agama. Pemikiran Jung yang demikian kuatnya dalam psikologi dan agama tersebut akhirnya memunculkan warna baru bahwa psikologi dan agama sebenarnya bertalian sebab keduanya memang tidak bisa

Psikologi Jungian, Film, Sastra 137 dipisahkan. Psikologi yang berbicara tentang perilaku dan agama yang berbicara juga tentang perilaku manusia yang ber-Tuhan. Pada tataran yang lebih rendah, opisisi biner ditemukan dalam jumlah yang rendah pula. Adapun pada tataran yang lebih tinggi, oposisi biner juga ditemukan dalam bentuk yang lebih tinggi pula. Temuan tentang oposisi biner yang mendalam atau tidak dalam konteks antropologi sangat tergantung kepada peneliti sebagai eksekutor dalam menginterpretasi data-data yang berkait dengan ke- antropologi-an. Elemen yang oposisi biner (baik dalam bidang antropologi antaupun psikologi) tersebut memang secara alamiah ada di dunia sebagai suatu elemen yang saling menguatkan. Dalam konteks kemasalaluan, untuk tingkatan dewa pun ternyata juga memunculkan oposisi biner sebagai penyeimbang. Dewa langit beroposisi dengan dewa bumi, dewa air akan beroposisi dengan dewa api, dewi beroposisi dengan dewa. Kesemua opisisi tersebut memang akan selalu bergesekan sehingga bisa menghasilkan mediasi dalam kehidupan. Mediasi kehidupan inilah yang dibutuhkan manusia agar mereka bisa langgeng dalam kehidupan di muka bumi ini. Pandangan Lévi-Strauss tersebut banyak memengaruhi bidang yang lain, misalnya psikologi dan sastra. Dalam

138 Psikologi Jungian, Film, Sastra konteks psikologi, tampaknya Jung adalah sosok yang memang menyukai dan ia juga terpengaruh oleh pemikiran Lévi-Strauss dalain kaitannya dengan elemen oposisi biner. Memang, keduanya, baik Jung ataupun Lévi-Strauss memiliki pemikiran yang hampir sama dalam kaitannya dengan masalah ketidaksadaran kolektif. Jung lebih mengarahkan pada ketidaksadaran kolektif dalam konteks psikologis, sedangkan Lévi-Strauss lebih mengarahkan pada ketidaksadaran kolektif dalam konteks antropologis. Ia meneliti budaya masyarakat pedesaan yang memiliki oposisi dengan masyarakat pedesaan yang lainnya. Begitu juga dengan kondisi geografi s. Lévi-Strauss menguatkan bahwa kondisi geografi s dalam suatu masyarakat tertentu memiliki oposisi biner. Karena itu, ada letak geografi s yang di pegunungan, di pebukitan, di lereng, di darat, dan di tepian pantai, dan di laut. Hal tersebut menunjukkan keberbedaan yang disebut dengan oposisi dalam kaitannya dengan budaya suatu masyarakat tertentu. Tipikal anima bisa muncul dalam bentuk elemen ibu, cinta, istri (Jamalinesari, 2015) ataupun yang memiliki kemiripan dengan elemen keibuan tersebut. Anima tersebut muncul dan beriringan dengan animus sebagai bentuk penyeimbangnya. Munculnya anima tersebut bisa dalam bentuk karakterisasi yang kontruktif maupun karakteristik

Psikologi Jungian, Film, Sastra 139 yang destruktif. Keduanya, sebenarnya muncul untuk saling mengisi dan saling menguatkan sebagai bentuk dari adanya keseimbangan alam. Dalam konteks keseimbangan, memang dibutuhkan adanya sisi gelap dan sisi terang untuk memunculkan ‘kesejajaran’ dalam kehidupan. Keduanya, tidak akan bermakna jika tidak ada lawannya. Kegelapan tidak akan bermakna kegelapan jika tidak ada terang. Sebaliknya, terang juga tidak akan menjadi hal yang terang jika tidak ada kegelapan. Kesemuanya memang saling membutuhkan untuk saling memberikan pengaruh dan memengaruhi dan saling memberikan kontribusi.

140 Psikologi Jungian, Film, Sastra 5

EKSTROVERT/INTROVERT

ejak zaman dahulu kala, manusia sudah berusaha Smembagi dan mencari karakteristik manusia melalui perspektif fi lsafat ataupun psikologi. Manusia dengan hasrat yang instinktif dalam kaitannya dengan diri (self) tidak pernah berhenti untuk digali dan ditemukan. Manusia selalu mencari dirinya dalam kesejatian yang sejati- sejatinya. Manusia berusaha memahami siapa dirinya yang sebenarnya. Untuk itu, berbagai eksperimentasi, metode, dan pengalaman-pengalaman diperas dan diekstraksikan untuk menemukan kesejatian. Manusia memang sosok makhluk yang kata Sartre (2002) sebagai sosok yang “etre- pour-soi”, manusia yang mengada di muka bumi sehingga

Psikologi Jungian, Film, Sastra 141 manusia tidak akan pernah berhenti mencari dirinya. Manusia akan selalu berusaha menemukan dirinya dan tidak akan pernah puas dengan dirinya. Jika manusia puas dengan dirinya, dia hanya sebatas “etre-en-soi”, manusia yang hanya mengandalkan ke-ada-annya saja dan tidak ingin melakukan pencarian dalam rangka menemukan jati diri yang sejati. Dalam kaitannya dengan karakterisasi kepribadian, pada masa lalu, ada nama besar yang turut menyumbangkan penggolongan dalam psikologi, misalnya (1) Galen yang memunculkan empat tipe manusia: sanguine, phlegmatic, choleric, dan melancholic; (2) Hippocrates yang memun- culkan tipe manusia: air, water, fi re, dan earth (Jung, 1921). Pemikiran para pendahulu tersebut menginspirasi Jung dalam memunculkan tipe kepribadian. Dalam konteks tipe kepribadian, Jung sebenarnya mengaca pada dirinya sendiri yang pada mulanya dia merasa adalah sosok introvert. Keintrovertannya tersebut dia rasakan ketika dia masih usia kanak-kanak. Bertolak dari hal itulah, Jung sedikit-demi sedikit menguatkan tipe kepribadian dalam psikologi. Pemikiran tentang tipe kepribadian sebelum Jung, pada masa Jung, dan masa pasca-Jung juga muncul beberapa. Namun, dalam konteks psikologi kepribadian, karakter tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yang dimunculkan

142 Psikologi Jungian, Film, Sastra oleh Jung sangat dikenal bahkan sampai digunakan sebagai alat tes untuk masuk dalam perusahaan/akademik. Hal itu menunjukkan bahwa tipe kepribadian yang ditawarkan oleh Jung merupakan tipe kepribadian yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Namun, dalam perkembangan zaman yang kekinian tersebut beberapa pandangan Jung yang terkait dengan studi psikologi memunculkan dua model, yakni model yang tetap mengikuti pandangan Jung yang terdahulu sehingga dianggap sebagai psikologi Jungian klasik dan model yang kedua adalah psikologi Jungian yang diadaptasi dan mengikuti pandangan pemikiran yang relevan dengan kesekarangan. Pandangan ini yang disebut dengan psikologi Jungian modern. Keduanya, memang sama- sama memiliki alasan pemikiran yang kuat dan fi losofi s sehingga keduanya sampai sekarang masih bertahan dengan kekuatannya masing-masing dan membangun komunitas dengan sesama pandangan tersebut. Jung (1921) mengungkapkan bahwa karakter merupa- kan bentuk dasar manusia. Karakteristik dari tipe kepriba- dian manusia adalah sesuatu yang sudah melekat dalam diri sehingga seseorang sulit untuk lepas dari hal itu. Karena itu, pada zaman dahulu, seseorang yang memiliki karakteristik pemurung, akan cenderung menjadi pemurung selamanya. Jika pada suatu ketika dia tidak murung, hal tersebut

Psikologi Jungian, Film, Sastra 143 bukanlah sebuah indikasi bahwa dia sudah lepas dari karakter murungnya. Itulah yang disebut oleh Jung dengan sesuatu yang sudah tetap dalam diri manusia. karena itu, ada sebuah anggapan bahwa seseorang yang memiliki karakter temperamental akan sulit menjadi karakter yang baik dan sabar sebab karakter tersebut sudah menjadi bagian dari dirinya. Begitu juga dengan seseorang yang memiliki karakter ceria, dia juga akan sulit menjadi karakter pemurung. Jika sudatu ketika orang yang memiliki karakter ceria tersebut murung, hal tersebut bukan menjadi sebuah acuan bahwa dirinya adalah sosok yang murung atau dia berubah menjadi sosok yang pemurung. Namun, dalam beberapa kasus yang langka, memang tidak menutup kemungkinan seseorang yang bertipe pemurung akhirnya berubah menjadi orang yang bertipe ceria. Hal itu tentunya disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kuat sehingga bisa mengubah karakter awal yang terdapat dalam diri orang tersebut. Tipe kepribadian utama dalam pandangan Jung (1921) ada dua, yakni ekstrovert dan introvert. Tipe orang yang ekstrovert memiliki ciri mengarahkan energinya keluar diri, sedangkan introvert mengarahkan energinya ke dalam diri. Orang yang memiliki kepribadian ekstrovert cenderung terbuka terhadap lingkungan di sekitarnya, sedangkan orang yang introvert cenderung tertutup terhadap lingkungan

144 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang terdapat di sekitarnya. Keduanya, baik ekstrovert maupun introvert tidak membicarakan kepribadian yang paling baik ataupun kepribadian yang paling tepat, tetapi hanya menemukenali karakter orang-orang yang memiliki keunikan dengan tipikal masing-masing. Dengan demikian, seseorang yang memiliki tipikal ekstrovert tidak lebih baik ataupun lebih sukses dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tipikal introvert. Dalam kaitannya dengan tipe kepribadian, seseorang yang memiliki tipe kepribadian ganda tidaklah masuk dalam kategori ekstrovert ataupun introvert. Dalam psikologi, orang yang memiliki kepribadian ganda tersebut dengan istilah Dissociative Identity Disorder (DID). Orang yang dengan tipe DID disebabkan oleh faktor keterpecahbelahan identitas. Hal itulah yang menyebabkan karakternya menjadi multipersonality. Film Split (2017) merupakan fi lm yang mengisahkan seorang laki-laki yang mengalami 12 kepribadian (diperankan oleh Kevin Wendell Crumb). Ia adalah sosok yang laki-laki yang bisa menjadi karakter sabar, baik, jahat, dan kejam dalam sepersekian menit. Karakter seperti ini sangat langka dalam konteks psikologi sebab orang yang memiliki keterpecahbelahan identitas memang jarang ditemukan. Karakter yang seperti ini sangat berbahaya jika tidak tertangani dengan baik sebab

Psikologi Jungian, Film, Sastra 145 dia sebagai sang pelaku terkadang tidak memahami yang mana dirinya yang sebenarnya sebab dia memiliki banyak karakter kepribadian.

Gambar 9: Tokoh Kevin Wendell Crumb dengan 12 kepribadian (Sumber: Film Split, 2017)

Dari kedua sikap yang ekstrovert dan introvert tersebut Jung memunculkan empat fungsi sebagai penopangnya. Empat fungsi tersebut, yakni pemikir (thingking), perasa (feeling), sensasi (sensation), intuisi (intuition) (Jung, 1921). Setiap orang tidak ada yang memiliki kepribadian tunggal yang kuat dalam kaitannya dengan ekstroversi dan introversi. Seseorang hanya dominan dengan salah satu tipe, yakni introvert ataupun ekstrovert. Melalui ekstroversi dan introversi tersebut seseorang akan dibantu oleh empat fungsi sikap yakni (thingking), perasa (feeling), sensasi

146 Psikologi Jungian, Film, Sastra (sensation), intuisi (intuition) yang akan membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik dan seimbang dalam menjalani kehidupan. Ekstrovert memiliki tipikal yang berkecenderungan suka travelling, menyukai orang baru, melihat tempat- tempat yang baru. Sosok ekstrovert adalah manusia yang memiliki tipikal petualangan yang unik, khas, dan menarik. Kehidupannya terbuka dan penuh keramahan. Adapun introvert adalah sosok yang bertipikal konservatif, suka memiliki teman yang akrab, memiliki rutinitas, dan cenderung memiliki kemandirian (Sharp, 1987). Tipe-tipe tersebut memiliki orientasi yang berbeda dan kadang skala preferensinya juga berbeda, seseorang yang ekstrovert terkadang tidak sepenuhnya ekstrovert sebab dia juga memiliki sisi lain yang berada dalam dirinya. Begitu juga orang yang bertipe introvert, mereka juga kadang tidak sepenuhnya berkarakter introvert sebab memiliki sisi lain yang terdapat dalam dirinya. Dalam kaitannya dengan masalah kekuasaan, manusia yang bertipe ekstrovert akan mengarahkan kekuatan energinya keluar (outwards), sedangkan untuk manusia yang bertipe introvert akan mengarahkan kekuatan energinya ke dalam (inwards) (Odajnyk, 2012). Seorang penguasa yang mengarahkan energinya ke luar, dia akan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 147 cenderung menjadi agresor sebab dia lebih suka melakukan ekspansi. Kekuatan menghegemoni seorang penguasa yang ekstrovert juga lebih besar sebab dia memiliki kekuatan untuk melakukan lobi yang besar pula. Berbeda halnya dengan seorang penguasa yang mengarahkan energinya ke dalam, ia akan lebih banyak bekerja dengan menggunakan energinya untuk mengoptimalkan kekuatan yang terdapat di dalam. Ia tidak begitu banyak menggunakan energi untuk menghegemoni anak buahnya. Jung (1921) mengusulkan bahwa seseorang yang bertipologi ekstrovert ataupun introvert tidak lepas dari energi libidonya. Seseorang yang ekstrovert berarti mengarahkan energi libidonya keluar, sedangkan seseorang yang introvert mengarahkan energi libidonya ke dalam. Keduanya, baik tipe ekstrovert dan ekstrovert bukanlah tipe yang baik ataupun yang buruk, melainkan sebuah tipe yang berkait dengan karakter yang mengeksplosifk an energi ke dalam ataupun ke luar. Dalam hubungannya dengan orang yang mengidap schizoprenia, Jung menunjukkan bahwa orang yang mengalami halusinasi tampak pula dari karakter yang melekat pada dirinya. Seseorang yang bertipe ekstrovert akan memunculkan halusinasi yang berasal dari luar dirinya, sedangkan seseorang yang bertipe introvert akan memunculkan halusinasi yang berasal dari dalam

148 Psikologi Jungian, Film, Sastra dirinya. Pandangan Jung tersebut rasional sebab dalam mimpi- mimpi orang-orang yang mengalami schizoprenia, antara yang ekstrovert dan introvert akan berbeda. Ekstrovert suka bepergian, bertemu orang baru, melihat tempat baru. Mereka adalah petualang yang khas, kehidupan pesta, terbuka dan ramah. Introvert pada dasarnya konservatif, lebih menyukai lingkungan rumah yang akrab, masa intim dengan beberapa teman dekat. Sebagai tambahan, introvert adalah suka dalam rutinitas, tidak begitu suka dengan kebaruan, dan dapat diprediksi. Sebaliknya, introvert, yang cenderung lebih mandiri daripada ekstrovert, mungkin menggambarkan yang terakhir itu sebagai kegembiraan, sesuatu yang dangkal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua tipe tidak berbicara tentang masalah konteks benar dan salah dalam diri manusia, tetapi lebih sebagai elemen yang mendorong dan mengawal manusia dalam menjalani kehidupan. Dalam perkembangan kekinian, tipe kepribadian Jung diadaptasi oleh peneliti yang lain, misal saja Wilde (2011) yang memunculkan postulat dalam kaitannya dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Wilde memunculkan tiga postulat, yakni (1) pembagian ekstroversi dan introversi; (2) fungsi tipe ekstroversi dan introversi; dan (3) persepsi dan domain penelitian. Untuk kategori postulat yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 149 pertama, Wilde membagi kategori ekstroversi pada wilayah kiri dengan karakter: sociable, expressive, groups, listening, talkative, sedangkan introversi pada sebelah kanan dengan karakter: reserved, contained, individuals, (i) reading, dan (i) quiet. Jika divisualisasikan, gambaran tersebut tampak pada tabel berikut. Tabel 3: Postulat Tipe Kepribadian Jung EI1 You are more (e) sociable (i) reserved EI2 You are more (e) expressive (i) contained EI3 You prefer (e) groups (i) individuals EI4 You learn better by: (e) listening (i) reading EI5 You are more: (e) talkative (i) quiet Sumber: Wilde (2011) Jung’s Qualitative Personality Theory. London: Springer.

Postulat yang dimunculkan oleh Wilde tersebut hampir sama dengan model yang dibuat oleh Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan dari segi penggunaan istilah postulat.

Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) Seorang ibu dan seorang anak perempuan -- Katharine Cook Briggs dan Isabel Myers-- yang mendalami tipe kpribadian Jung membuat tes kepribadian kepribadian

150 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang diberi nama Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Tes ini merupakan pengembangan dari kepribadian Jung tentang ekstroversi dan introversi. Sebagai sebuah tes psikologi, tes ini merupakan tes yang banyak digunakan dalam konteks perusahaan ataupun untuk menerima pegawai sebab tes MBTI tersebut lebih mengarah pada memahami karakter atau sikap seseorang yang berhubungan dengan pekerjaan. Sampai sejauh ini, memang tes kepribadian dianggap sebagai sebuah kata kunci dalam memberikan justifi kasi seseorang layak atau tidak diterima sebagai mahasiswa, dosen, pekerja, ataupun naik jabatan. Padahal, kesemua itu hanyalah sebagian kecil saja dari pemahaman seseorang terhadap si klien yang dites. Artinya, alat tes kepribadian hanya menunjukkan sebagian kecil saja tentang kemampuan seseorang ataupun karakter seseorang. Jika merujuk pada pandangan Freudian, karakter manusia itu hanya sebagian kecil yang terlihat, sedangkan bagian besarnya tidak terlihat sebab berada di alam bawah sadar. Alam bawah sadar itulah yang paling besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) muncul sekitar tahun 1940-an dan tipe kepribadian tersebut dikembangkan dan diperbaiki selama bertahun-tahun oleh si pemiliknya --Katharine Cook Briggs dan Isabel Myers-- sehingga menjadi tes kepribadian yang lebih kokoh. Dalam perkembangannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 151 sekarang, Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) telah menjadi merek dagang terdaftar yang berkait dengan tes psikologi (Tieger et al., 1992). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) harus mendapatkan izin dari pihak yang memiliki merek dagang tersebut. Meskipun demikian, tes yang menggunakan Myers- Briggs Type Indicator (MBTI) juga ada yang tidak berbayar – tersedia secara gratis di website. Hal itulah yang memudahkan seseorang dalam mengenali kepribadiannya sendiri tanpa harus datang ke tempat tes kepribadian ataupun merogoh uang untuk tes kepribadian. Bidang yang terdapat dalam MBTI ditrainer oleh orang- orang yang memiliki keahlian di bidang psikologi. Adapun bidang yang dimunculkan dalam MBTI berkait dengan ranah berikut  Sumber daya manusia  Pengembangan organisasi  Konsultasi manajemen  Pembinaan pribadi  Pengembangan kepemimpinan  Membangun tim  Pendidikan dan pembelajaran  Konseling untuk individu dan keluarga

152 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar 10: Website resmi MBTI (Sumber: https://mbtitraininginstitute.myersbriggs.org/about-us/)

Sebagai sebuah lembaga psikologi yang memiliki lisensi untuk tes kepribadian, MBTI termasuk lembaga yang profesional dan harga untuk tes pun juga kategori profesional. Lembaga ini banyak digunakan di beberapa negara besar, di antaranya Amerika dan Eropa. Pada web resmi MBTI, harga untuk tes MBTI mencapai 2295 USD. Harga yang dibanderol tersebut terkategorikan harga kelas premium untuk sebuah tes psikologi. Karena itu, tidak semua orang yang bersedia ikut untuk tes MBTI sebab harga tes yang dipatok oleh MBTI sangat mahal jika dibandingkan dengan tes psikologi yang lain. Namun, MBTI sebagai sebuah lembaga yang menyelenggarakan tes kepribadian memang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 153 mempunyai kelebihan dalam kaitannya dengan tes masuk untuk pegawai di sebuah perusahaan dan perusahaan pun sangat membutuhkan tes tersebut untuk memahami dan mengenali pegawai.

154 Psikologi Jungian, Film, Sastra 6 SIMBOLISME MIMPI

The dream is a natural phenomenon” (Jung, 2006:8). “Pernyataan Jung sejak awal sudah menunjukkan dengan tegas bahwa mimpi adalah sesuatu yang alamiah. Mimpi merupakan produksi dari kegiatan ketika manusia tidur. Dalam tidur, manusia cenderung bermimpi. Bahkan, boleh dibilang ketika manusia tidur pasti bermimpi. Hanya saja, mimpi tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga kadang mimpi sulit diingat ataupun dipanggil lagi. Sampai saat ini mimpi masih menjadi misteri bagi sebagaian orang sebab mimpi memang memliki simbol-simbol yang terkadang masih belum bisa dipecahkan. Berkait dengan mimpi, secara umum, dalam kaitannya dengan masalah ingatan, mimpi terbagi menjadi tiga, yakni sebagai berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 155 Pertama, mimpi yang utuh. Mimpi yang muncul dalam tidur seseorang dan mimpi tersebut bisa dipanggil secara utuh. Mimpi kategori ini merupakan mimpi yang mudah dipahami dan mudah dikenali sehingga sang pemimpi bisa mengingat mimpi tersebut secara utuh ketika dia sadar dalam mimpi. Dalam mimpi tersebut sang pemimpi bisa mengisahkan mulai dari awal mimpi, peristiwa yang terjadi dalam mimpi dan akhir mimpi. Seorang yang mengalami mimpi tentang perjalanan ke luar negeri, ia akan ingat dengan detil kisah perjalanannya, mulai dari dia berangkat menuju bandara, menggunakan pesawat yang berjenis air bus dengan merek tertentu. Dalam perjalanan udara pun dia masih ingat bahwa dirinya bercengkerama dengan seorang pria tua memberikan informasi tentang negara yang akan dikunjunginya. Setelah sampai di negara yang dituju, ia pun juga masih ingat bahwa tiba di negara tersebut pukul 01 dini hari dan dalam kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Hujan dan badai disertai angin kencang. Dengan demikian, mimpi yang muncul dan mimpi yang dikisahkan oleh sang pemimpi tersebut dimunculkan secara utuh. Kedua, mimpi yang fragmentaris. Mimpi ini merupakan mimpi yang muncul secara utuh dalam tidurnya seseorang. Namun, mimpi tersebut hanya bisa dikenali dan dipanggil dalam bentuk parsial. Mimpi ini memang muncul dan

156 Psikologi Jungian, Film, Sastra hanya dipahami oleh sang pemimpi hanya dalam bentuk potongan-potongan saja sebab dia (sang pemimpi) tidak mampu memanggil mimpi tersebut secara utuh. Banyak faktor yang menyebabkan hilangnya fragmen dalam mimpi tersebut, salah satu di antaranya adalah berkait dengan isi cerita tersebut yang terlalu pendek sehingga ketika dipanggil yang muncul hanya parsial saja dan sang pemimpi tidak bisa memanggil lagi sebab selain terlalu pendek bisa jadi mimpi tersebut tertindas oleh pikiran-pikiran yang lain. Dalam kaitannya dengan mimpi ini, seorang pemimpi mungkin hanya mampu mengingat bahwa dia sedang berjalan di sebuah tempat yang sepi dan dia menyendiri. Namun, untuk mengetahui ada apa dia di tempat yang sepi itu dan mengapa dia ada disitu tidak bisa dijawab melalui mimpi tersebut. Ketiga, mimpi yang tidak bisa dipanggil. Mimpi jenis ini merupakan mimpi yang benar-benar sedikit sekali sehingga sulit untuk dipanggil. Potongan mimpi yang terdapat dalam diri sang pemimpi sangat kecil, tipis, dan tidak bermakna sehingga sulit untuk dipanggil muncul ke permukaan. Bahkan, tidak hanya itu, sang pemimpi tidak mampu mengingat-ingat isi mimpi tersebut. Meskipun, sebenarnya dia ingat bahwa ia sebenarnya mengalami mimpi dalam tidurnya. Namun, untuk memanggil mimpi- mimpi tersebut

Psikologi Jungian, Film, Sastra 157 agar muncul ke permukaan sulit dilakukan. Seseorang yang terbangun dari tidur merasa bahwa dia bermimpi, tetapi dia tidak mampu memanggil mimpinya. Jika bisa, terkadang yang muncul hanya mozaik mimpi, misalnya jatuh, jalan, lari, tetapi mimpi tentang hal itu tidak bisa diperjelas jatuh di mana dan apa yang menyebabkan kejatuhan tersebut. Begitu juga dengan jalan, sang pemimpi sulit menunjukkan dan mengenali di mana posisi jalan tersebut atau dia berjalan dengan siapa waktu berjalan tersebut dan waktu itu dia berjalan pada kondisi siang hari, malam hari, atau sore hari. Pada era modern seperti sekarang ini, manusia sudah tidak begitu memercayai lagi mimpi. Mereka lebih mengandalkan keilmiahan dan kelogikaan yang terdapat dalam diri. Karena itu, manusia modern dianggap sebagai manusia yang mengandalkan rasionalitas. Manusia yang menuhankan logika. Namun, dibalik manusia modern seperti sekarang ini kepercayaan terhadap mimpi masih kuat dan melekat dalam diri manusia modern, tetapi cara berpikir mereka masih kategori awam. Makna awam di sini adalah cara berpikir tentang mimpi yang masih kategori awan. Mereka adalah manusia modern yang masih memercayai mistisisme, spiritualisme, dan dukunisme. Dengan demikian, mereka masih memercayai ritual-ritual yang dilakukan oleh para spiritual, mistisis, ataupun dukun.

158 Psikologi Jungian, Film, Sastra Dalam pandangan mereka, para spiritual, dukun, ataupun cenayang adalah sosok yang masih mampu melihat mimpi dengan jernih. Merekalah yang mampu memecahkan simbol-simbol mimpi dengan benar sebab mereka memiliki kedekatan dengan ruh atau bahkan Tuhan. Lihat saja, seseorang habis bermimpi sesuatu yang dianggapnya jahat atau berbahaya, misal berkait dengan masalah suami, keluarga, atau harta benda. Sang pemimpi itu akan datang ke guru spiritual 11. Mereka (si klien yang bermimpi) akan mendatangi guru spiritual dan bertanya (lebih dalam lagi bahasanya meminta petunjuk) tentang persoalan mimpi yang dialaminya. Sang guru spiritual dengan kemampuannya akan melakukan ritual berupa pemujaan ataupun pengorbanan. Melalui pemujaan dan pengorbanan tersebut sang guru spiritual akan ditampakkan bagaimana tafsir dari simbolisme mimpi yang dialami sang klien. Entah benar ataupun salah dalam konteks interpretasi mimpi, sampai sekarang masih ada orang yang menaruh kepercayaan tafsir mimpinya kepada guru spiritual. Mimpi bagi sebagian orang memang tidak memiliki arti sebab mimpi dianggap sebagai ‘sesuatu yang nirmaknawi’.

11 Guru spiritual adalah sosok guru yang dianggap mampu dan mumpuni di bidang spiritualitas. Untuk kategori guru spiritual ini sebenarnya bisa dipilah menjadi dua, yakni guru spiritual kategori agama dan guru spiritual kategori dukun.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 159 Kenirmaknawian tersebut disebabkan mimpi tidak memiliki fungsi untuk manusia, baik fungsi dalam konteks terapi ataupun fungsi dalam konteks budaya. Karena itu, ada pula anggapa bahwa mimpi adalah bunga tidur. Jika dianggap sebagai bunga tidur, mimpi memang tidak memiliki apa- apa selain hanya untuk memperindah seseorang ketika mereka sedang tidur. Mimpi yang penuh misteri tersebut menjadi perhatian bagi kalangan psikolog. Mimpi dalam masyarakat Tiongkok klasik (sekitar 4 SM) berkait dengan representasi hubungan kausalitas. Seseorang yang bermimpi sebenarnya mendapatkan sebuah tanda, peringatan tentang sesuatu, entah yang berkait dengan kebaikan, kejahatan, keburukan, ataupun yang berkait dengan hal yang lainnya (Li, 1999:17). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa mimpi dipenuhi oleh simbol-simbol dan memang sang pemimpi harus mampu menafsirkannya agar bisa memahami mimpi tersebut dengan baik.

Mimpi Konteks Agama Mimpi dan simbolisme mimpi banyak dijumpai dalam kehidupan keseharian. Mimpi dan simbolisme mimpi juga muncul dalam konteks agama. Dalam konteks agama, mimpi memiliki simbolisme sebagai tanda wahyu kenabian,

160 Psikologi Jungian, Film, Sastra tanda tentang masa depan, teguran (datangnya dari Tuhan) terkait dengan sesuatu, ataupun tanda akan terjadinya sesuatu. Mimpi-mimpi tersebut merupakan mimpi yang memang susbtansial sebab orang yang mendapatkan mimpi adalah orang-orang yang terpilih. Dalam konteks yang lain, mimpi dalam kaitannya dengan agama bisa jadi merupakan mimpi yang berasal dari setan. Karena itu, seorang pemimpi harus mampu menafsirkan mimpi tersebut. Jika mereka tidak mampu menerjemahkan, menginterpretasikan, mereka memerlukan penafsir mimpi. Dengan demikian, diharapkan simbolisme mimpi tersebut bisa terjawab dengan bagus dan tidak menyesatkan. Nuruddin (2016) menjelaskan secara spefi sik bahwa dalam konteks agama Islam, mimpi dalam pandangan ulama terkategorikan menjadi dua, yakni mimpi yang jelas dan mimpi yang kosong. Mimpi yang jelas adalah mimpi yang memang benar-benar berkait dengan wahyu keilahian, sedangkan mimpi yang kosong adalah mimpi yang tidak ada kaitannya dengan konteks ataupun yang lain. Selain itu, mimpi juga muncul dua kategori dalam kaitannya dengan masalah nilai, yakni mimpi yang benar dan mimpi yang salah. Mimpi yang benar merupakan mimpi yang memang datangnya dari orang-orang terpilih (nabi, sahabat, ulama), sedangkan mimpi yang bohong

Psikologi Jungian, Film, Sastra 161 adalah mimpi yang muncul dari dukun ataupun cenayang. Para dukun ataupun cenayang memunculkan tafsir mimpi (takwil) dalam kaitannya dengan persekutuan dengan setan sehingga mimpi tersebut dianggap mimpi yang kategori bohong. Mimpi dalam konteks agama memang berbeda dengan mimpi yang dalam konteks biasa. Mimpi dalam konteks agama lebih kompleks dan lebih sensitif sebab berkait dengan masalah keagamaan. Karena itu, sang penafsir mimpi dalam mimpi agama harus berhati-hati dalam menafsirkan mimpi agama sebab berkait dengan masalah tafsir keilahian.

Mimpi dan Psikoanalisis Pandangan tentang mimpi yang paling terkenal selama ini adalah tulisannya Freud (1955) tentang interpretasi mimpi. Dalam buku tersebut, Freud dengan tangkas dan jeli memaparkan apa yang disebut dengan mimpi, karakterisasi mimpi, teori mimpi, cara kerja mimpi, dan metodologi mimpi. Freud juga menunjukkan dengan tegas simbolisme- simbolisme yang muncul dalam mimpi. Sebagai psikolog yang lebih tendens pada konsepsi seksisme, Freud lebih mengedepankan simbolisme-simbolisme yang berkait

162 Psikologi Jungian, Film, Sastra dengan seksisme. Pandangan Freud tersebut memunculkan kubu yang pro-Freudian (yang mendukung pemikiran Freud dalam kaitannya dengan panseksisme) dan kubu yang kontra-Freudian (yang tidak mendukung pemikiran Freud dalam kaitannya dengan panseksisme). Mimpi- mimpi dalam pandangan Freud adalah mimpi yang muncul dalam orang-orang yang mengalami neurosis lebih banyak memunculkan fenomena represi ataupun sublimasi yang terkait dengan masalah seksual. Mimpi dalam pandangan Freud (1955) sebenarnya tidak lepas drai genealogi mimpi- mimpi purba. Freud banyak mengutip mimpi dan simbolisme mimpi keagamaan dan dikaitkan dengan mimpi konteks kontemporer. Tidak hanya itu, Freud juga mengaitkan dengan mimpi yang terdapat dalam mitologi kuno. Sumber mimpi utama yang digunakan oleh Freud memang tidak bisa lepas dari keduanya, mimpi dalam kitab suci keagamaan dan mimpi yang terdapat dalam mitologi sebab keduanya dianggap sebagai sumber yang memiliki otoritas. Freud sebagai psikolog yang memunculkan psikologi mimpi dan dia dianggap sebagai sosok yang mengawali keberkaitan psikologi dan mimpi. Meskipun demikian, jauh sebelum itu, rujukan tentang mimpi sudah pernah ditulis oleh Andrew Lang –seorang antropolog yang sangat

Psikologi Jungian, Film, Sastra 163 aktif dalam melakukan riset dan publikasi sehingga ia menghasilkan puluhan buku tentang antropologi dan juga buku yang berkait dengan folklore/cerita rakyat yang sampai saat ini karya-karya tersebut masih melegenda-- (1897) The Book of Dreams and Ghosts. Dalam buku tersebut, Lang (1897) sebagai sosok antropolog menjelaskan bahwa tidur itu sealami bangun tidur. Artinya, dalam mimpi seseorang bisa melakukan apa saja sebab mimpi merupakan dunia lain yang berada dalam alam ketidaksadaran fi sik, tetapi berada dalam alam kesadaran psikis. Karena itu, seseorang yang bermimpi dikejar oleh sesuatu yang menakutkan, ia akan cenderung berlari sebab naluri manusia yang ketakutan menunjukkan bahwa mereka akan berlari. Dalam kaitannya dengan budaya, pikiran yang muncul dalam mimpi tentu dibentuk oleh budaya yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Seseorang yang berasal dari Indonesia tidak akan pernah memimpikan hal yang berkait dengan Eropa, misal Jerman. Tentunya, dalam konteks ini seseorang tersebut tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang apa itu negara Jerman. Dengan demikian, memori yang terdapat dalam otaknya tidak akan pernah bisa memunculkan budaya Jerman dalam mimpinya sebab pikirannya memang tidak pernah menginput materi tentang budaya Jerman. Begitu

164 Psikologi Jungian, Film, Sastra juga sebaliknya, orang yang tidak pernah ke kutub dan tidak mengetahui budaya kutub akan sulit memimpikan sesuatu tentang kutub sebab dia tidak pernah mendapatkan asupan materi tentang kutub, baik secara empiris maupun secara informasi pengetahuan yang diperolehnya dari rujukan, media, ataupun diskusi dengan orang lain. Selain teori mimpi yang dimunculkan oleh Freud, buku- buku yang berbicara tentang mimpi juga sudah ada pada masa-masa Freud dan Jung, salah satunya adalah tulisannya Nicoll (1917) yang mengetengahkan keberkaitan antara psikologi dan mimpi. Dalam pandangan Nicoll, psikoterapi bisa menggunakan medium mimpi sebagai sarana terapi bagi orang-orang yang mengalami neurosis. Pandangan Nicoll ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Freud dan Jung bahwa mimpi bisa digunakan sebagai sarana untuk menemukenali masalah psike yang terdapat dalam diri manusia. Pandangan Freud tentang mimpi tersebut mengins- pirasi pemikiran Jung dalam melahirkan pandangan ten- tang mimpi. Jung memang sangat kagum pada karya Freud yang secara detil dan komprehensif menggali mimpi dan mengolahnya menjadi kajian yang bersifat ilmiah. Kegaguman Jung terhadap buku tentang mimpi tersebut ditunjukkan melalui diskusi dan juga surat-menyurat yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 165 dilakukan oleh Jung dan Freud selama beberapa tahun. Kekaguman Jung terhadap Freud dalam hubungannya dengan mimpi yang ternyata dijadikan sebagai jalur utama oleh Jung adalah konsep tentang ketidaksadaran yang muncul dalam mimpi. Namun, perbedaannya adalah Jung tidak bersepakat dengan pandangan Freud bahwa mimpi sebagai bentuk dari alam ketidaksadaran yang lebih banyak didorong oleh elemen yang mengarah pada hasrat seksisme. Jung berpandangan lebih positif bahwa mimpi merupakan sarana bagi manusia untuk mengenali dan menyembuhkan dirinya melalui mimpi- mimpi yang dipecahkan melalui simbol-simbol. Tentunya, dalam konteks ini, penginterpretasian mimpi tidak hanya bersifat fragmentaris, tetapi harus bersifat simultan dan holistis sehingga bisa ditemukenali simbolisme mimpi yang lebih relevan. Jika merujuk pada pandangan Ackroyd (1993), psikologi mimpi tidak lepas dari nama besar Freud, Jung, dan psikologi gestalt. Dalam konteks psikologi gestalt, mimpi tidak seperti pandangan psikoanalisis Freudian ataupun Jungian yang dimodelkan dengan klien mengisahkan mimpinya pada sang terapis dan dokter membantu menginterpretasikan simbol-simbol mimpi tersebut untuk digunakan sebagai penyembuhan (healer). Dalam gestalt, mimpi dianggap

166 Psikologi Jungian, Film, Sastra sebagai sebuah jalan menuju integrasi diri. Dengan begitu, sang pemimpi diajak untuk membangunkan/membangkitkan kembali mimpinya. Dalam peradaban barat, diakui atau tidak, buku interpretasi mimpi yang melegenda memang hanya ada dua, yakni Freud dan Jung. Keduanya memang memberikan pengaruh besar kepada dunia barat dan juga berbagai negara di seluruh dunia (Shamdasani, 2003:100). Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan pemikiran Freud dan Jung sangat kuat sebab keduanya memang berbicara tentang alam ketidaksadaran yang terkadang muncul dalam mimpi. Tidak hanya itu, mimpi- mimpi yang terdapat dalam diri orang-orang yang mengalami neurosis bisa digunakan sebagai bahan psikoterapi untuk penyembuhan klien. Dalam pandangan Jung (1961) mimpi merupakan suatu energi yang muncul tidak dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan muncul dari alam yang di dalamnya memiliki unsur positif dan negatif. Unsur-unsur tersebut tentunya tidak lepas dari ruh yang memiliki tipikal kebaikan dan kejahatan. Untuk memahami dunia mimpi yang dalam tersebut manusia harus mampu mengenali mitologi, fabel, dan spiritualisme yang di dalamnya memang berbicara tentang sesuatu yang dalam dan fi losofi s. Bersepakat atau tidak, manusia modern saat ini memang harus belajar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 167 pada manusia primitif di zaman lampau sebab banyak simbol-simbol yang belum terpecahkan pada masa kini. Pemecahan simbol-simbol tersebut bisa dipecahkan dengan pemahaman terhadap mitologi dan kehidupan manusia primitif pada zaman lampau. Catatan terapi yang berhubungan dengan mimpi dalam psikologi Jungian tidak jauh dari neurosis. Orang- orang yang mengalami neurosis bisa diterapi dengan mengisahkan mimpinya kepada sang terapis. Sebagai seorang terapis, Jung telah melakukan beberapa terapi mimpi orang-orang yang mengalami neurosis. Jung (1961) mengisahkan salah seorang kliennya yang mengalami mimpi yang berulang. Mimpi yang dialami oleh klien adalah mimpi yang menggambarkan bahwa sang klien berada di sebuah tempat yang tinggi. Di tempat yang tinggi tersebut dia bisa memandang berbagai keindahan alam, mulai dari hutan, sungai, dan danau. Ia ingin menujuk ke sana, tetapi seolah-olah ada kekuatan besar yang menahannya. Karena memiliki kekuatan dan keinginan besar, si klien berusaha menuju ke danau yang diingin. Namun, hawa dan udara yang tidak bersahabat menghalangi dirinya untuk mencapai danau tersebut. Melalui mimpi tersebut Jung menunjukkan bahwa mimpi yang dialami kliennya tersebut memiliki pertalian

168 Psikologi Jungian, Film, Sastra dengan kondisi spiritual sang klien. Klien itu adalah seorang teolog yang berusahan memperdalam spiritualitasnya. Namun, dia masih ketakutan dengan beberapa hal yang menghalangi cara berpikirnya dalam relevansinya dengan masalah agama. Ia merasa terkungkung dengan dogma yang terdapat di dalam agama yang dianutnya. Ia merasakan bahwa ada sekat dan batas yang berkait dengan dogma dan keinginannya sebagai seorang teolog (Jung, 1961). Mimpi-mimpi yang disajikan dalam terapi yang dilakukan oleh Jung lebih banyak mengisahkan mimpi yang berkait dengan konteks spiritual klien. Tampaknya, hal tersebut dipengaruhi oleh tipikal Jung yang memang lebih mengedepankan psikologi spiritul dan karena dia juga sosok psikolog yang lebih ‘bernada’ occultism. Dengan begitu, narasi tentang mimpi- mimpi Jung banyak dimunculkan dalam (Jung, 1964) Memories, Dreams, Refl ections, Jung (1964) Man and his Symbols; (Jung, 1934) Archetypes and the Collective Unconscious. Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat tinggi dibandingkan dengan mimpi yang paparkan oleh Freud. Mimpi- mimpi yang dialami oleh kliennya Freud lebih banyak yang berkait dengan masalah simbolisme seksual. Pandangan Jung tentang simbolisme mimpi memang tidak sebanyak dan sekompleks pandangan Freud tentang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 169 mimpi. Jung memunculkan pandangan-pandangan tentang simbolisme mimpi dan juga terapi mimpi yang memang menjadi pengalaman individualnya dalam melakukan terapi pada klien-kliennya. Sampai akhir kematiannya, Jung memang tidak pernah menuliskan manuskrip tentang simbolisme mimpi ataupun psikologi mimpi dalam satu monograf. Ia menulis mimpi dalam bentuk segmentasi yang tersebut dalam berbagai tulisannya. Namun, apapun yang terjadi Jung tetap memberikan sumbangan besar dalam perkembangan studi mimpi yang sampai saat ini digunakan dalam studi psikologi kontemporer. Mimpi dalam pandangan Jung merupakan sebuah kompensasi. Mimpi merupakan suatu proses psikologis yang mengatur kompensasi dalam diri manusia. Kompensasi dalam mimpi tersebut terbagi menjadi tiga. Pertama, mimpi yang merupakan distorsi dari ego si pemimpi. Mimpi tersebut mendistorsi hasrat ego menjadi sesuatu yang tereduksi. Kedua, mimpi yang merupakan representasi ego. Ketiga mimpi yang berkait dengan archetype yang bertalian dengan individuasi (Hall, 1983:24). Kategorialisasi mimpi itu merupakan urutan bahwa semakin dalam mimpi, akan semakin misterius pula simbolisme yang terdapat di dalamnya.

170 Psikologi Jungian, Film, Sastra Pendekatan Mimpi Model Jungian Guna memahami simbolisme mimpi yang berkait dengan imaji, ornament, ataupun animasi dibutuhkan cara untuk menghampirinya. Penghampiran simbolisme mimpi dalam perspektif psikologi Jungian memiliki tiga tahapan, yakni (1) pemahaman yang jelas dan detil tentang mimpi; (2) pengumpulan asosiasi dan amplifi kasi yang menduduki tiga level, personal, kultural, dan arketipal; dan (3) penempatan mimpi yang disesuaikan dengan konteks situasi dan kondisi sang pemimpi dan juga dikaitkan dengan proses individuasinya (Hall, 1983). Tahapan dalam memahami simbolisme tersebut sangat penting sebab sangat berpengaruh dalam interpretasi penelitian. Tidak hanya itu, seorang peneliti mimpi harus mampu memahami situasi kehidupan sang pemimpi. Untuk memahami konteks kehidupan sang pemimpi tersebut sehingga tidak terjadi misunderstanding. Ketangkasan dan ketepatan seorang analis dan terapis dalam memaknai mimpi sangatlah diperlukan karena data mimpi yang terserak terkadang memerlukan interpretasi lebih dalam. Mimpi-mimpi yang terserak tersebut membutuhkan kedalaman dan ketangkasan dalam menata mozaik-mozaik yang terserak sehingga menjadi gambaran utuh yang mampu merepresentasikan makna mimpi dari

Psikologi Jungian, Film, Sastra 171 sang klien. Mimpi orang yang normal dan mimpi orang yang tidak normal memiliki asosiasi dan kompensasi yang berbeda. Seseorang yang mengalami neurosis akan mengalami mimpi yang cenderung berulang, mimpi yang berkait dengan pengejaran, dan mimpi- mimpi yang menakutkan. Hal tersebut memang disebabkan oleh alam berpikirnya yang mengalami gangguan sehingga gangguan alam berpikir tersebut akan masuk dalam alam bawah sadar dan alam bawah sadar tersebut akan muncul dalam mimpi. Munculnya mimpi tersebut merupakan bentuk kompensasi dari neurosis yang dialami oleh sang klien. Pengalaman dan jam terbang seorang terapis akan menentukan pula kemampuan terapis dalam memecahkan simbolisme- simbolisme mimpi yang dialami oleh si klien. Dalam mimpi terdapat beberapa karakter yang muncul, yakni mimpi yang berhubungan dengan depresi, mimpi yang berhubungan dengan kecemasan, mimip yang berhubungan dengan psikosis, mimpi yang berhubungan dengan masalah fi sik (Hall, 1983). Mimpi-mimpi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan mimpi orang yang normal. Karena itu, sang pemimpi juga harus mampu menceritakan latar belakang dan konteks sosial cerita yang berkait dengan mimpi yang dialaminya. Melalui pengenalan mimpi tersebut sang terapis akan lebih mudah

172 Psikologi Jungian, Film, Sastra untuk mengenali dan menganalisis simbol-simbol mimpi dari sang klien. Ketika seorang terapis mimpi menggali mimpi sang klien, sang terapis harus mampu menggali dan menautkannya dengan konteks yang lain yang memiliki relevansi dengan konteks mimpi. Hal tersebut sangat diperlukan sebab beberapa kasus terjadi terutama pada mimpi anak-anak yang kurang kuat dalam memanggil mimpinya. Ketika pasien kurang baik dalam memanggil mimpinya, akan terjadi kesalahan fatal dalam penafsiran terhadap mimpi. Tentunya, kesalahan fatal tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya disebabkan oleh si penafsir mimpi, tetapi disebabkan juga oleh sang klien yang ternyata mengalami kegagalan dalam memanggil mimpi secara utuh dan secara jelas. Perlu diketahui juga bahwa seorang psikolog sebagai terapis yang diharapkan mampu menyembuhkan klien, tetapi mereka juga manusia sehingga hal tersebut tidak akan sepenuhnya benar sebab mereka juga manusia yang berusaha mencari kebenaran dalam penafsiran. Namun, terkadang mereka gagal dalam menafsirkan. Hal ini sama dengan seorang psikolog yang menggunakan terapi tertentu kepada klien ternyata si klien tidak semakin sembuh, tetapi semakin parah. Mimpi memiliki motif-motif yang jika digeneralisasikan memiliki kesamaan. Motif dalam mimpi tidak ada lepas

Psikologi Jungian, Film, Sastra 173 dari adanya kontekstualisasi dari mimpi yang dimimpikan oleh sang pemimpi. Karena itu, motif mimpi yang umum bisa dikenali oleh manusia sebab tidak lepas dari konteks kehidupan mereka. Di tangan seorang terapis yang handal dan mumpuni, potongan mimpi yang tidak lengkap ataupun mimpi fragmentaris yang konon nirmaknawi, bisa digunakan untuk menginterpretasikan mimpi- mimpi yang fragmentaris lainnya. Dengan demikian, seorang terapis harus mampu menyatukan lubang-lubang puzzle yang belum lengkap sehingga menjadi puzzle yang utuh dan memiliki makna. Motif mimpi yang sering muncul, antara lain mimpi yang berkait dengan (1) incest –mimpi yang berhubungan dengan perkawinan sedarah/hubungan sedarah (ayah dengan anak ataupun ibu dengan anak; (2) duka –mimpi yang di dalamnya berhubungan dengan kematian seseorang sehingga sang pemimpi bisa melihatnya dalam mimpinya; (3) rumah – merupakan mimpi yang berhubungan dengan kondisi jiwa seseorang; (4) kendaraan –merupakan mimpi yang berkait dengan transformasi jiwa/perjalanan jiwa seseorang dalam menemukan dirinya atau bisa jadi berkait dengan struktur ego; (5) narkoba dan alkohol –merupakan mimpi yang berkaitan dengan seseorang yang terlibat/menjadi pecandu narkoba ataupun alkohol; (6) kematian –merupakan mimpi

174 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang berkaitan dengan kematian, tetapi kematian di sini jarang terjadi sebagai bentuk mimpi yang aktual/sebenarnya, mimpi kematian merupakan simbol transformasi archetype seseorang ketika mengalami perubahan; (7) ular – merupakan mimpi yang memiliki simbol kemiripan dengan phallus sehingga bisa jadi memiliki keberkaitan dengan maskulinitas. Namun, bisa jadi simbolisme ular tersebut berkait dengan keotonoman ataupun penyembuhan (Hall, 1983). Karakterisasi motif mimpi tersebut merupakan sebuah kriterium standar yang banyak muncul dalam konteks sosial- budaya. Karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya motif-motif lain dalam mimpi yang memiliki relevansi dengan konteks sang pemimpi. Guna mempermudah seseorang dalam menginter- pretasi mimpi, Jung (2006) memberikan alternatif contoh metode penganalisisan mimpi dengan tahapan berikut (1) locale –berkait dengan tempat, waktu, dan dramatik persona; (2) exposition –berkait dengan ilustrasi/ pemaparan masalah; (3) peripateia –berkait dengan ilustrasi transformatif; dan (4) lisis –berkait dengan hasil mimpi dan interpretasi terhadap mimpi, kompensasi mimpi. Metode mimpi yang dimunculkan Jung bukanlah metode mimpi yang paten dan tidak bisa diubah. Ia hanya menawarkan sebuah alternatif dalam pendekatan sebuah mimpi.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 175 Terkadang, oleh para pengguna analisis mimpi, mereka menggunakan sepenuhnya apa yang dipaparkan oleh Jung sebab hal tersebut dianggap sebagai pemikiran Jung yang orisinal dan pakem. Karena itu, mereka sebagai analis mimpi tidak mau keluar dari apa yang ditawarkan oleh Jung.

176 Psikologi Jungian, Film, Sastra 7

JUNG DAN FILM

emikiran Jung tidak hanya memengaruhi bidang Pspiritual, antropologi, sastra, tetapi juga masuk dalam studi fi lm (Fredericson, 1980; Hauke & Alister, 2001; Hauke & Luke, 2011; Rountree, 2007; Rockefeller, 1994) ). Film yang merupakan hasil dari proses kreatif tidak lepas dari konteks psikologis. Karena itu, psikologi Jungian bisa dimasukkan dalam konteks studi perfi lman. Dalam perfi lman, psikologi bisa muncul melalui tiga hal, yakni sebagai berikut. Pertama, psikologi penulis/sutradara. Dalam konteks ini, studi psikologi dihubungkaitkan dengan psikologi sang penulis/sutradara fi lm. Seperti halnya karya kreatif lainnya –dalam hal ini fi lm dianggap seperti karya sastra-- fi lm tidak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 177 lepas dari sang pengarang yang melahirkan fi lm tersebut. Dalam fi lm, karakterisasi tokoh yang dimunculkan tidak lepas dari psikologi sang pengarang sebagai sosok yang melahirkan karya kreatif tersebut. Pemunculan psikologi dalam fi lm tersebut bisa dalam bentuk yang real, sublimasi, ataupun dalam bentuk kompensasi. Dalam pandangan Freudian klasik, manusia yang memunculkan sesuatu melalui sesuatu yang lain sebenarnya tidak lepas dari sang pengarang/penulis. Seorang penulis/sutradara yang menyukai tema-tema psikologis akan cenderung memilih menggarap fi lm yang bertemakan psikologis. Tentunya, dalam konteks ini sang penulis merupakan penulis yang memiliki idealisme dalam kaitannya dengan perfi lman yang berkait dengan psikologis. Kedua, psikologi dalam fi lm. Psikologi dalam fi lm pada hakikatnya berkait dengan unsur psikologis yang muncul dalam fi lm. Munculnya unsur psikologis dalam fi lm tampak dalam segmentasi (1) monolog sang tokoh dalam fi lm. Monolog dalam fi lm tersebut bisa muncul dalam suasana senang, sedih, rindu, gembira, ataupun gila. Dalam fi lm A Beautiful Mind (2001), monolog muncul dalam diri tokoh utama yang bernama John Nash. Ia sering bermonolog dan monolog tersebut merupakan halusinasi dari dalam dirinya sendiri. Karena itu, monolog yang dia munculkan

178 Psikologi Jungian, Film, Sastra merepresentasikan dirinya yang mengidap skizofrenia. Seseorang yang melakukan monolog dengan preferensi yang tinggi dalam kehidupan keseharian memang merupakan hal yang tidak wajar sebab dalam konteks orang yang mengalami schizophrenia, monolog dalam diri muncul sebab orang tersebut mengalami ilusi dan delusi. Psikologi dalam konteks teks/monolog/dialog dalam fi lm merupakan studi yang paling banyak dilakukan oleh peneliti. Faktor yang melatarbelakangi maraknya penelitian yang berkait dengan studi psikologi dalam fi lm ini di antaranya adalah kemudahan dalam mengambil data. Ketika seseorang menonton fi lm, pada saat itu juga dia bisa melakukan identifi kasi, klasifi kasi, dan reduksi data penelitian. Hal ini merupakan kemudahan tersendiri yang bisa dilakukan oleh peneliti dalam menngolah data berdasarkan teks/monolog/dialog dalam fi lm. Ketiga, psikologi penonton fi lm. Psikologi penonton fi lm pada hakikatnya berkait dengan kondisi psikologis sang penonton fi lm pada saat menonton fi lm ataupun pascamenonton fi lm. Kondisi psikologis tersebut berkait dengan apa yang dirasakan oleh sang penonton ketika menonton fi lm tertentu. Dalam fi lm Happy Death Day 2 U (2019), fi lm yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang dikejar oleh kematian, berusaha menemukan jalan agar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 179 dia tidak mengalami kematian. Dalam fi lm tersebut, sang tokoh utama tersebut berusaha menemukan jalan untuk kehidupan sebab ia terjebak dalam masa lalunya. Untuk kembali dalam ke masa depan, ia harus mampu melakukan tindakan bunuh diri agar dia bisa kembali ke dunia masa depan. Ketika menonton fi lm tersebut, penonton seolah- olah merasakan bagaimana rasanya seorang perempuan yang dikejar-kejar oleh kematian. Perasaan ketakutan dan marah menghinggapi penon- ton fi lm tersebut. Hal itulah yang menjadi salah satu kajian dalam psikologi penonton. Kajian psikologi penonton tidak begitu ramai diperbincangkan dalam konteks perfi lman. Setidaknya, salah satu penyebab utamanya adalah infor- man yang terkait dengan fi lm tersebut. Seorang peneliti psikologi penonton harus memahami, mengenali, dan memiliki kedekatan dengan informan terkait dengan fi lm yang akan dijadikan bahan penelitian. Untuk itu, butuh waktu, tenaga, dan biaya yang lebih besar dalam melahirkan kajian psikologi penonton. Selain itu, fi lm sebenarnya secara tidak langsung memiliki peta penonton. Dalam hal ini, seseorang yang masih remaja secara psikologis akan mencari fi lm yang sesuai dengan psikologi dirinya. Dengan begitu, ia akan menikmati fi lm yang ia tonton. Misal saja, remaja yang suka

180 Psikologi Jungian, Film, Sastra dengan romantisme akan menyukai fi lm-fi lm romantisme, misal Titanic yang mengisahkan percintaan antara seorang perempuan dari kalangan bangsawan dengan laki-laki yang berasal dari kalangan biasa. Dalam perjalanan kisah cinta mereka, ternyata perjalanan cinta mereka terpisah oleh kematian. Kapal pesiar yang mereka naiki ternyata tenggelam dan sang laki-laki meninggal dunia, sedangkan si tokoh perempuan terselamatkan. Untuk perfi lman anak- anak, mereka akan menyukai fi lm yang berkait dengan masalah anak-anak, misalnya animasi ataupun fi lm kartun. Itulah psikologi fi lm untuk anak-anak. Untuk anak-anak, fi lm How to Train Your Dragon (2019), tentunya disukai oleh anak-anak sebab psikologi anak-anak memang menyukai fi lm yang bertemakan dengan fantasi, imajinasi, dan juga animasi. How to Train Your Dragon merupakan fi lm anak yang digemari oleh anak-anak sebab selain fi lmnya bagus dan animatif, fi lm tersebut mengisahkan seorang anak pria yang menunggangi naga hitam. Dalam fi lm tersebut sang naga hitam meninggalkan tokoh utama sebab dia bertemu dengan sang naga putih. Naga hitam merupakan naga jantan, sedangkan naga putih merupakan naga betina. Interpretasi dalam studi psikologi perfi lman tentunya bukan hal yang mudah. Seorang peneliti tidka boleh terjebak pada teori tertentu dan fanatik pada teori tertentu

Psikologi Jungian, Film, Sastra 181 sehingga semua data fi lm diarahkan dengan menggunakan pendekatan psikologi tertentu, misalnya, seseorang yang sudah fanatik denngan psikologi Freudian, semua fi lm dianalisis dengan perspektif psikologi Freudian. Padahal, tidak semua fi lm bisa ‘match’ jika dikaji melalui perspektif psikologi Freudian. Karena itu, dalam studi psikologi fi lm ada hal yang sebaiknya diikuti oleh peneliti, terutama peneliti yang masih tahapan pemula, yakni sebagai berikut. Pertama, pemahaman tentang ilmu psikologi. Seorang peneliti psikologi dan fi lm harus mengenali, memahami, dan menguasai (1) teori-teori yang terdapat dalam psikologi; (2) cara aplikasi/teknik penerapan psikologi tersebut (3) dan jenis psikologi; psikologi klinis, psikologi agama, psikologi antropologi, psikologi anak-anak, psikologi abnormal, psikologi kepribadian, psikologi maskulinitas, psikologi massa, psikologi sosial, psikologi feminisme, psikologi posmodernisme. Melalui pemahaman yang mendalam tentang psikologi tersebut, seorang peneliti bisa menggali lebih dalam tentang isi fi lm jika dikaitkan dengan masalah psikologis. Kedua, ketajaman dalam menganalisis. Seorang peneliti harus memiliki ‘mata analisis’ yang tajam agar hasil analisis yang dilakukannya sesuai dengan yang diharapkan. Seorang peneliti bisa melakukan analisis dengan model

182 Psikologi Jungian, Film, Sastra verifi katif, yakni melakukan perulangan pada hasil analisis dalam rangka mempertajam analisis. Ketika hasil analisis diverifi kasi secara berulang-ulang, hasil analisis tersebut akan menjadi lebih baik. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa seseorang yang melakukan verifi kasi penelitian harus benar-benar melakukan verifi kasi dan ada perubahan yang signifi kan dalam penelitian. Dengan demikian, hasil penelitian bisa menjadi lebih baik dan lebih tajam. Ketiga, jam terbang penelitian yang simultan. Untuk menjadi seorang peneliti yang bagus dan mendalam tidak hanya berbicara tentang hasil saja, melainkan juga berbicara tentang proses. Seorang peneliti yang handal akan selalu berproses dan berproses untuk melahirkan karya bidang psikologi dan fi lm. Semakin banyak dan semakin sering dia melakukan penelitian, kemampuan dan ketangkasan dalam melakukan penelitian menjadi lebih baik dan lebih bagus. Seorang peneliti harus selalu mengasah kemampuannya dalam melakukan penelitian agar ilmunya tidak hilang. Ibaratnya, semakin sering seseorang mengasah pedang, akan pedang tersebut semakin lama akan semakin tajam. Pedang yang semakin tajam tersebut tentunya akan membuat mudah si pengguna tatkala akan menggunakan pedang tersebut untuk menebas pohon ataupun menebas musuhnya. Jika tidak diasah dengan baik, pedang tersebut

Psikologi Jungian, Film, Sastra 183 akan menyusahkan si pemilikinya. Ketika pedang digunakan untuk menebas musuh, belum tentu musuh akan terbunuh sebab pedang yang digunakan untuk menebas musuh tersebut tidak tajam. Selain itu, hal utama yang perlu diperhatikan dalam mengasah adalah cara mengasah yang benar. Jangan sampai, seseorang mengasah pedang, tetapi tidak memahami dan tidak menguasai cara mengasah yang benar. Memang, kadang dijumpai seseorang yang sudah melakukan penelitian yang banyak dan sering, tetapi ternyata penelitiannya tersebut hanya itu-itu saja. Hal tersebut memang tidak sebabkan minimnya jam terbang, tetapi disebabkan minimnya kemampuan dalam menajamkan analisis. Keempat, mentoring pada yang memiliki otoritas. Ketika seseorang sudah melakukan eksplorasi penelitian terkait dengan asupan gizi dalam psikologi, penajaman penelitian, peningkatan jam terbang penelitian, tetapi seorang peneliti tidak boleh lupa bahwa ia juga membutuhkan mentoring dari sang otoritas. Artinya, seorang peneliti harus memiliki guru akademik yang bisa mengarahkan hasil penelitiannya menjadi tulisan yang lebih baik. Seorang mentor, supervisor, pembimbing, tentunya memiliki kapabilitas dalam bidang penelitian. Untuk itu, seorang peneliti harus mampu memilah dan memilih

184 Psikologi Jungian, Film, Sastra seorang mentor yang benar-benar memiliki otoritas. Jika seseorang melakukan kekeliruan dalam memilih otoritas, ia akan mendapatkan masukan yang sedikit bahkan lebih parah lagi ia akan mendapatkan masukan yang sebenarnya masuk dalam ‘kekeliruan intelektual’ atau lebih parah lagi disebut dengan ‘sesat intelektualitas’. Kelima, praktik dan pengomunikasian hasil. Seorang peneliti tidak hanya belajar memahami, menguasai, menulis, tetapi juga harus mampu mempraktikkan dan mengomunikasikan hasil penelitian. Seseorang yang sudah mampu menghasilkan karya berkait dengan penelitian psikologi dan fi lm, ia harus mampu mengomunikasikannya kepada orang lain. Jika ia mampu mengomunikasikan hasil penelitian, ia akan menjadi lebih convidence dan lebih mantap dalam mengapresiasikan, mempresentasikan, dan berargumentasi mengenai hasil penelitian yang dilakukannya. Dalam konteks riset, tahapan yang paling akhir dan paling utama adalah tahapan pengomunikasian hasil. Tahapan pengomunikasian hasil tersebut disebut pula dengan tahapan diseminasi. Tahap diseminasi merupakan tahapan ketika seseorang mengomunikasikan hasil penelitian kepada khalayak luas. Hal tersebut dilakukan agar hasil penelitian tersebut dikenali dan bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat luas.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 185 Kelima faktor tersebut bukanlah hal yang utama dalam kaitannya dengan studi psikologi dan fi lm. Kelima hal tersebut merupakan alternatif dalam kaitannya dengan cara untuk memantapkan penelitian tentang psikologi dan fi lm. Jika seseorang sudah bisa melakukan kelima tahapan tersebut, ia akan bisa lebih mudah dalam melakukan penelitian konteks psikologi dan fi lm. Tentunya, setiap orang memiliki kemampuan sendiri dalam mengikuti kelima faktor tersebut. Film memang bukan dunia real tempat manusia hidup. Film memiliki logika sendiri dalam kaitannya dengan menghidupkan logika-logika baru di dalamnya. Namun, fi lm sebagai hasil proses kreatif sang penulis tentu tidak lepas dari logika-logika psikologi sebab sang penulis dalam menuangkan ide juga menggunakan psikologi, tentunya psikologi akan masuk dalam naskah fi lm tersebut. Film itu sendiri memiliki karakter yang berbeda-beda dalam pemunculannya. Jika dikaitkan dengan kategorialisasi fi lm: drama, komedi, perang, action, romantisme, fantasi, kriminal, noir, sci-fi , dokumenter, ataupun animasi. Tentunya, karak te ri sasi dalam fi lm-fi lm tersebut akan berbeda isinya sebab disesuaikan dengan konteks perfi lman tersebut. Untuk kategori komedi, tentu karakterisasi psikolo- gis yang diangkat ringan sebab para penontonnya

186 Psikologi Jungian, Film, Sastra menginginkan bacaan yang ringan pula sehingga mereka bisa tertawa dan terhibur dengan karakterisasi tokoh yang terdapat dalam fi lm tersebut –yang muncul dalam model konyol, lucu, dan kadang menyakitkan sang tokoh— sehingga konteks psikologis digunakan model yang menarik dan memotivasi seseorang untuk tertawa. Film kategori ini memang tidak menguras pikiran sebab memang kategori komedi, bahasa dan isi yang dimunculkan di dalamnya dibuat ringan sehingga penonton bisa mengikutinya dengan mudah tanpa harus menguras energi psikologi. Jika ingin menonton fi lm yang karakterisasi psikologinya dalam, seseorang bisa memilih kategori drama yang di dalamnya memang berusaha mengandalkan karakterisasi psikologis. Dalam drama tersebut masih terdapat subgenre yang berkait dengan: drama romantisme, drama pembunuhan, drama komedi, drama politik, ataupun drama perang. Film drama tersebut kadang membosankan sebab yang dikuatkan adalah dialog-dialog dalam fi lm tersebut sehingga penonton yang mengandalkan kekuatan fi sik, misal perang, silat, tanding, ataupun duel , akan mengalami kebosanan ketika menonton fi lm yang model demikian. Karena itu, setiap penonton memang memiliki kecintaan terhadap genre fi lm yang dia sukai. Dengan demikian, fi lm dengan sendirinya akan menarik penonton yang sesuai

Psikologi Jungian, Film, Sastra 187 dengan karakter genre fi lm tersebut sehingga sangat jarang seorang penonton fi lm action, tetapi dia menonton fi lm drama. Sungguh hal tersebut membutuhkan kesabaran tingkat tinggi sebab di fi lm action yang diandalkan adalah laga, sedangkan drama yang diandalkan adalah dialog. Sebuah jalan yang sulit dipertemukan, meskipun bisa-bisa saja dipertemukan. Dalam kaitannya dengan psikogi dan fi lm, dalam subbab ini dipaparkan Jung dan fi lm berkait dengan fi lm yang di dalamnya berkaitan dengan kehidupan Jung selama ia muda. Dua fi lm yang digunakan dalam paparan bab ini adalah A Dangerous Method (2011) dan fi lm The Soul Keeper (2002).Kedua fi lm tersebut dipilih sebab merepresentasikan kehidupan Jung pada masa muda dalam hubungannya dengan seorang pasien yang bernama Sabina Spielrein. Pemilihan fi lm tersebut tidak berkait dengan konteks benar ataupun salah dalam kaitannya dokumenter Jung dan Sabina, tetapi karena fi lm tersebut berkait dengan Jung.

Film dan Studi Jungian Penelitian tentang fi lm perspektif Jungian bukanlah hal baru. Film san psikologi merupakan sebuah fakta empiris bahwa keduanya memang sulit dipisahkan.

188 Psikologi Jungian, Film, Sastra Dengan demikian, studi Jungian dalam perspektif perfi lman merupakan hal yang menarik dan unik sebab mengaitkan fi lm dengan konteks psikologi ketidaksadaran. Berikut peneliti yang pernah melakukan penelitian fi lm menggunakan perspektif psikologi Jungian. Palmer (2013) yang meneliti fi lm The King’s Speech, melalui perspektif psikologi Jungian. Ia menunjukkan bahwa pangeran Albert yang mengalami kegagapan (suttering) dalam berbicara tidak hanya disebabkan oleh semata-mata faktor fi sik dan faktor psikologis. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, sang pangeran Albert memang memiliki masalah dengan bayangan masa kecilnya. Hal inilah yang perlu ditelusuri sebab dalam konteks psikoanalisis yang berpegang pada determinis, memandang masa lalu memiliki dampak pada kehidupan manusia di masa yang akan datang. Sang pangeran kesulitan berbicara, tetapi ketika dia marah, energinya tereksplosifk an dan dia bisa berbicara dengan lancar. Karena itu, sang mentor meminta agar pangeran harus bisa berbicara yang all out sehingga semua energi dalam dirinya bisa muncul dan dia bisa berbicara dengan lancar tanpa ada hambatan. Film The King’s Speech ini akhirnya ber-ending bahagia dengan penuh kemenangan sebab sang tokoh, yakni Pangeran Albert sudah mampu berbicara dengan lancar.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 189 Merritt, Merritt, & Lu, Kevin (2018) meneliti film Hunger Games menggunakan pendekatan psikologi Jungian dengan perspektif archetype. Ketiga peneliti tersebut menunjukkan bahwa Hunger Games sebagai sebuah fi lm merepresentasikan simbolisme kehidupan masa lalu yang ada hubungannya dengan kehidupan masa kekinian. Karena itu, sebenarnya fi lm Hunger Games tersebut merupakan simbolisme dari kepemimpinan sekarang. Dalam konteks ini, sang peneliti mengaitkan Hunger Games dengan simbolisme ketidakpuasan terhadap pemerintahan Bush. Cooper (2019) meneliti tentang fi lm Les Enfants du Paradis [Children of Paradise]. Penelitian yang dilakukan oleh Cooper menggunakan anima/animus Jungian. Untuk memperdalam analisis, peneliti tidak hanya mengarah pada Jungian saja, ia juga mengolaborasikannya dengan dengan pandangan Lacan yang berkait dengan pandangan neo-Freudian. Ia menunjukkan bahwa fi lm Les Enfants du Paradis [Children of Paradise] merupakan fi lm yang berbicara tentang psikoseksual. Cooper menunjukkan bahwa anima, surialisme, dan wanita yang harus mampu mengalahkan proyeksi laki-laki agar mereka bisa hidup bahagia dan bebas. Iaccino (1998) melakukan riset tentang psikologi Jungian dengan menggunakan studi arketipal pada fi lm-fi lm yang science-fi ction. Film yang digunakan, yakni The Star Wars,

190 Psikologi Jungian, Film, Sastra Planet of the Apes, Superman, Batman, Indiana Jones, The Higlanders. Iaccino mengaitkan fi lm-fi lm tersebut dalam hubungannya dengan archetype yang kait dengan heroisme, orang tua, dan juga perjalanan. Iaccino membandingkan juga karakter fi lm-fi lm setting zaman dulu dengan fi lm zaman sekarang dalam kaitannya dengan archtype. Tidak hanya dari fi lm yang diangkat ke layar lebar, Iaccino juga menelaah fi lm yang muncul di televisi, salah satunya adalah Hulk, manusia raksasa hijau. Dalam konteks ini, Iaccino berbicara tentang shadow yang terdapat dalam diri sang tokoh dalam Hulk tersebut. Penelitian tentang Jung dan fi lm memang tidak sebanyak kajian sosial yang dikaitkan dengan fi lm. Diakui atau tidak, kajian fi lm dan psikologi memang kalah ramai dengan kajian fi lm dan sosiologi ataupun antropologi. Tentunya, tinjauan tersebut berdasarkan pada kecenderungan kajian fi lm yang saat ini marak diperbincangkan. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan minimnya studi fi lm yang dikaitkan dengan perspektif psikologi. Pertama, studi psikologi tidak begitu jauh berbeda dengan studi fi lsafat. Meskipun demikian, studi fi lsafat lebih sedikit lagi peminatnya. Faktor penyebabnya adalah studi psikologi –begitu juga dengan studi fi lsafat—merupakan studi pemikiran, yakni sebuah studi yang berbicara tentang dunia dalam manusia, baik yang berbicara tentang alam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 191 sadar maupun alam bawah sadar. Beberapa kecenderungan manusia, lebih suka memilih studi yang tidak begitu berat. Suatu ketika, tatkala saya mengajar matakuliah Filsafat Ilmu, dari 40 mahasiswa yang memprogram matakuliah tersebut hanya 10% saja yang menyukai studi fi lsafat. Ketika saya kaitkan dengan psikologi, yang respek terhadap psikologi hanya 20%. Hal tersebut disebabkan oleh asumsi bahwa belajar psikologi sangat rumit sebab berbicara tentang kejiwaan. Begitu pula dengan mahasiswa saya pemprogram matakuliah Psikologi Sastra, peminatnya juga sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa materi tentang psikologi tampaknya dihindari oleh sebagaian orang dengan alasan bahwa studi psikologi adalah studi yang berat. Kedua, literatur tentang psikologi dalam kaitannya dengan konteks perfi lman tidak sebanyak kajian yang lainnya, misal sosiologi ataupun antropologi. Karena itu, para calon peneliti merasa kesulitan untuk melakukan penelitian yang terkait dengan fi lm dan psikologi. Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah alasan bahwa minimnya suatu penelitian disebabkan oleh kurangnya literatur. Kebanyakan, minimnya suatu penelitian disebabkan oleh kurangnya minat penelitian di bidang itu. Ketiga, adanya asumsi bahwa studi konteks psikologi tidak semarak dan tidak semenguntungkan studi yang lainnya. Hal tersebut mengakibatkan studi psikologi dan

192 Psikologi Jungian, Film, Sastra fi lm tidak sebegitu ramai dan marak seperti studi yang lainnya. Asumsi tersebut memang kuat jika didasarkan pada fakta bahwa publisher yang memberikan ruang untuk studi psikologi tidak semarak dengan studi yang lebih populer, misal sosial science ataupun antropologi yang memang banyak peminatnya dibandingkan dengan studi psikologi. Hal itu juga memengaruhi adanya seminar-seminar yang dihelat dalam kaitannya dengan konteks fi lm dan psikologi sebab pihak penyelenggara seminar tidak mau rugi ketika mengadakan kegiatan tersebut.

Jung dan Film A Dangerous Method (2011) A Dangerous Method (2011) merupakan fi lm dokumen- ter yang mengisahkan Jung dan kliennya. Ia adalah seorang klien yang mengalami histeria. Film ini merupakan fi lm yang oleh sebagian praktisi di bidang psikologi sebagai fi lm dokumenter pada umumnya. Namun, pada sisi lain, fi lm tersebut merupakan fi lm yang hanya merupakan narasi dari kehidupan Jung yang diangkat dari sebuah buku. Karena itu, masalah kebenaran yang terdapat dalam fi lm tersebut masih pro dan kontra sebab secara historis biogra fi Jung sampai sekarang masih dinamis. Artinya, data tentang kehidupan Jung yang ditulis oleh penulis (biogra fi / peneliti) mengalami perubahan dan kadang bertentangan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 193 antara satu dan yang lainnya. Namun, satu hal yang bisa digarisbawahi bahwa Jung adalah seorang psikolog yang tidak diragukan kontribusinya dalam dunia psikologi dunia. Film A Dangerous Method (2011) pada tahap awal dibuka dengan narasi Jung yang memberikan terapi pada kliennya yang bernama Sabina Spielrein yang merupakan sosok perempuan yang mengalami histeria yang salah satu penyebabnya adalah adanya trauma masa lalu. Histeria yang muncul dalam diri klien tersebut salah satunya adalah bentuk ketidakmampuan mengendalikan tuturan. Untuk itulah, Jung memberikan terapi pada perempuan klien tersebut. Gambaran tersebut tampak pada adegan berikut.

Gambar 11: Jung memberikan terapi kepada klien (Sumber: A Dangerous Method, 2011)

194 Psikologi Jungian, Film, Sastra Adegan tersebut terjadi ketika Jung memberikan terapi psikoanalisis kepada kliennya. Jung menggunakan metode terapi wicara dengan kliennya. Ia berusaha menggali pulsi ketidaksadaran individual ataupun pulsi ketidaksadaran kolektif dari kliennya. Sabina Spielrien, sang klien memiliki masalah traumatis dengan masa lalunya. Ia pernah mengalami masalah psikologis dengan orang tuanya. Karena itulah, dia mengalami histeria yang ditandai dengan ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri ketika ia berbicara dengan orang lain. Pada masa itu, seseorang yang mengalami histeria dianggap sebagai orang yang kerasukan setan sebab salah satu tanda dari orang yang terkena histeria adalah orang yang berbicara ngelantur dan tidak jelas. Padahal, dalam konteks kejadian ini, orang tersebut bukan karena dirasuki oleh setan melainkan karena ada gangguan psikologis dalam dirinya dan salah satunya bisa disembuhkan dengan terapi psikoanalisis. Diskusi dan terapi wicara Jung dengan Sabina Spielrien dilakukan secara simultan dan bertahap. Sabina Spielrien yang terkena histeria, memang menginginkan Jung agar menjadi terapis untuk mennyembuhkan dirinya dari kejaran trauma masa lalu yang menyebabkan dirinya mengalami histeria. Hal tersebut tentunya dengan persetujuan kedua belah pihak. Gambaran tersebut tampak pada penggalan dialog berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 195 00:02:06,846 --> 00:02:08,167 Saya yang merawatmu kemarin.

00:02:11,512 --> 00:02:12,419 Aku tidak...

00:02:13,452 --> 00:02:15,849 Aku tidak... tidak marah , kau tahu.

00:02:19,647 --> 00:02:21,423 Biarkan saya jelaskan apa yang ada dipikiran saya.

00:03:26,794 --> 00:03:31,750 Semacam, Aku tak bisa melihatnya dan ini membuatku merasa ingin muntah.

00:03:31,790 --> 00:03:36,498 Aku mulai berkeringat, Keringat dingin.

Penggalan dialog antara Jung dan Sabina Spielrien menunjukkan hubungan yang akrab dan menyenangkan. Hal itu memang dilakukan oleh seorang terapis psikoanalis ketika menggali masalah trauma ataupun masalah ketidaksadaran yang terdapat dalam diri sang klien. Hal tersebut dilakukan agar seorang klien bisa menceritakan apa-apa yang selama ini dipendamnya secara mendalam.

196 Psikologi Jungian, Film, Sastra Melalui terapi yang bersifat akrab dan menenangkan tersebut, seorang klien akan dengan mudah mengeksplorasi masalah individualnya dengan tanpa hambatan. Jung sebagai seorang terapis menyilakan si klien Sabina Spielrien mencoba berdamai dengan masalah yang terdapat dalam dirinya. Ia pun memberikan solusi-solusi atau yang disebut dengan treatment psikologis guna penyembuhan si klien. Dialog tersebut muncul ketika Jung menanyai bagai- mana tanggapan Sabina Spielrein tentang dirinya sendiri. Sabina Spielrein sangat tidak suka dan muak jika melihat ayahnya sendiri. Menurutnya, sang ayah adalah sosok yang pemarah, temperamental, dan melecehkan Sabina Spielrein . Hal itulah yang membuat Sabina Spielrein sema- kin traumatis dengan masa lalunya yang menurutnya kelam dan membuat dirinya ketakutan dengan masa lalu itu. Melalui dialog-dialog yang dilakukan secara simultan tersebut tekanan yang berada dalam diri sang klien diharap- kan akan berangsur-angsur menurun. Dengan demikian, si klien akan merasa lebih lega sebab bisa mengeluarkan uneg- uneg yang masuk dalam alam bawah sadar yang selama ini dipendamnya begitu lama. Dalam kasus Sabina Spielrien, ia merasa dilecehkan secara seksual oleh orang ayahnya semasa ia kecil. Hal tersebut menjadi masalah traumatis dalam dirinya. Ia tidak berani bercerita kepada siapa-siapa.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 197 Jika ia bercerita kepada orang lain, ia akan merasa malu dan takut jika cerita individualnya tersebut diceritakan kepada orang lain. Rasa malu dan menyakitkan yang dipendam semakin lama tersebut mengakibatkan dirinya mengalami gangguan psikologis. Untuk itu, dalam konteks psikoanalisis, masalah yang terpendam dan terepresi tersebut harus dipanggil lagi dan kemudian dikeluarkan melalui terapi wicara.

00:32:17,530 --> 00:32:20,982 Menurutmu apakah mungkin aku bisas menjadi psikiater? 00:32:22,608 --> 00:32:24,018 Aku tahu kau bisa.

00:32:24,844 --> 00:32:27,754 Aku tak mendengar apapun kecuali reputasi baikmu dalam pekerjaan di universitas.

00:32:28,873 --> 00:32:31,050 Kau benar-benar orang yang kita butuhkan.

Dalam perjalanan terapi yang berjalan secara simultan, Jung dan Sabina Spielrien merasakan hal yang berbeda. Tampaknya, keduanya saling memendam rasa suka. Terapi yang dilakukan pun tidak hanya di dalam ruangan, tetapi bisa juga di luar ruangan. Dalam perkembangan selanjutnya,

198 Psikologi Jungian, Film, Sastra keduanya berdiskusi di sebuah kapal. Berdasarkan pada dialog tersebut, Sabina Spielrien menanyakan apakah dirinya bisa menjadi seorang psikiater –pertanyaan tersebut ditujukan kepada Jung sebagai seorang doktor yang sekaligus pembimbing mahasiswa doktoral. Jung pun mengungkapkan bahwa Sabina Spielrien adalah seorang perempuan yang sangat cocok dan bagus untuk menjadi seorang psikiater. Memang, pada tahap selanjutnya Jung adalah pembimbing Sabina Spielrien dalam pengerjaan disertasi.

Gambar 12: Diskusi Jung dengan Sabina Spielrien di Sebuah Kapal (Sumber: A Dangerous Method, 2011)

Hubungan Jung dengan Sabina Spielrien yang semakin lama semakin akrab dan dalam ternyata tidak hanya di konteks hubungan terapis-pasien, tetapi lebih dari itu.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 199 Keduanya, ternyata menjalin hubungan asmara. Jalinan hubungan asmara yang dilakukan Jung dan Sabina Spielrien merupakan hal yang masih pro dan kontra. Beberapa penulis, misalnya Covington (2003:1) menunjuk kan secara eksplisit bahwa “Sabina Spielrein is perhaps best known for her love aff air with Carl Jung”. Covington sebenarnya menunjukkan bahwa dirinya juga mengikuti fakta-fakta yang ada jika Jung memang terlibat hubungan asmara dengan Sabina Spielrein. Covington juga menunjukkan bahwa hubungan asmara tersebut tidak hanya berhenti pada titik itu, tetapi mengarah juga pada konteks yang akademik. Jung dan Spielrein akhirnya menjadi orang yang memperkuat studi psikoanalisis, terutama psikoanalisis yang dimunculkan oleh Jung dengan nama psikoanalitik –yang kelak di kemudian hari lebih dikenal dengan nama psikologi Jungian. Begitu juga dengan Cremerius (2003:64). Ia mengungkapkan bahwa percintaan antara Jung dan Sabina “It is a terrible story” . Aff air di antara keduanya ini dianggap sebagai kisah yang terlupakan (forgotten). Ini adalah kisah tragis dan buruk sebab terjadi antara seorang pasien dan terapis. Sigmund Freud dalam konteks kejadian ini merupakan pihak ketiga yang muncul sebagai mediator. Dalam konteks ini, Cremerius terlihat sebagai sosok yang kritis. Ia menginterpretasikan bahwa

200 Psikologi Jungian, Film, Sastra tindakan yang dilakukan oleh Jung dan Sabina tersebut merupakan tindakan yang melanggar etika dan disebut dengan istilah “professional blunder” sebab keduanya, sama-sama bersalah dalam aff air. Memang, bersepakat atau tidak, dalam konteks etika, seorang terapis tetap harus memegang teguh etika terapis yang dipegangnya. Tidaklah etis jika seorang terapis menjalin aff air dengan kliennya dengan alasan pengobatan dan alasan yang lainnya. Di tambah lagi, waktu itu, Jung sebagai seorang terapis sudah memiliki istri. Hal itulah yang semakin membuat masalah Jung dan Sabina Spielrein menjadi tambah buruk dan tragis dalam dunia terapi psikoanalisis. Tentunya, pandangan Cremerius tersebut tidak lepas juga dari kacamata perempuan yang tidak suka melihat seorang terapis ‘memanfaatkan’ kepentingan individualnya dengan alasan tertentu. Minder (2003:137) menunjukkan bahwa aff air yang terjadi antara Jung dan Sabina Spielrein sudah diketahui orang tuanya. Namun, Jung sebagai seorang psikolog yang memang menjalin hubungan dengan Sabina Spielrein tampaknya kesulitan untuk memutus jalinan asmara tersebut. Diduga, Jung sebagai terapis memang sengaja tidak melepaskan hubungan aff airnya dengan Sabina Spielrein. Hal itu tampak dari surat orang tua Sabina

Psikologi Jungian, Film, Sastra 201 Spielrein yang tidak diserahkan kepada Freud. Surat tersebut diduga berisikan keinginan orang tua (dalam hal ini ibunya) agar anaknya, Sabina Spielrein, tidak lagi dirawat oleh Jung. Bersepakat atau tidak, Sigmund Freud juga sudah memberikan diskusi dan arahan kepada Jung dan juga Sabina Spielrein dalam kaitannya dengan masalah aff air tersebut. Karena itu, dalam tragedi ini, ada tiga nama besar yakni Jung, Freud, dan Sabina Spielrein. Kembali pada konteks fi lm A Dangerous Method, hubungan aff air antara Jung dengan Sabina Spielrein juga ditampilkan secara eksplisit. Mulanya, memang Jung biasa saja dalam melakukan terapi kepada Sabina Spielrein. Namun, lama-kelamaan terapi tersebut membuahkan hasil yang disebut dengan aff air. Hubungan Jung dan Sabina Spielrein tersebut terdengar oleh umum, suatu ketika, ia pun dikritik dan disindir oleh temannya yang kebetulan menjadi sesama terapis. Gambaran sindiran tersebut tampak pada narasi berikut.

00:35:40,049 --> 00:35:41,419 Misalkan saja kau ingin mencumbu mereka?

Dialog tersebut terjadi ketika Otto, teman Jung, mengunjungi dirinya dan berdiskusi tentang masalah

202 Psikologi Jungian, Film, Sastra pasien. Otto dengan secara terang-terangan menyindir Jung bahwa terapi yang terlalu nyaman akan bisa membuat seorang terapis mencumbu klien. Tentunya, dalam hal ini didasarkan pada rasionalitas adanya hubungan relasional yang terarah antara terapis dan klien. Namun, Jung dengan tegas mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan melakukan hal yang tidak etis dengan melakukan hubungan seksual dengan klien. Gambaran tersebut tampak pada narasi berikut.

00:36:41,728 --> 00:36:44,295 Jadi kau tak pernah tidur dengan pasienmu?

00:36:45,814 --> 00:36:46,798 Tentu tidak.

Jung mengungkapkan bahwa dirinya tidak melaku- kan hubungan seksual dengan perempuan yang dijadi- kan kliennya. Tentunya, dalam hal ini Jung berusaha menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang terapis yang profesional, bukan seorang terapis yang sembrono dalam melakukan treatment terapi kepada kliennya. Namun, ketika kisah aff air antara Jung dan Sabina semakin berkembang, Freud juuga turun tangan dan memberikan masukan kepada Jung agar tidak terjebak asmara dengan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 203 pasien. Jika ia terjebak aff air dengan pasien tentunya hal tersebut merupakan indikasi yang tidak bagus sebab Jung adalah seorang psikiater yang ternama. Hal tersebut akan menjatuhkan reputasinya sebagai seorang psikiater muda. Jung pun melakukan tindakan kompensasif dalam rangka melindungi dirinya dari masalah aff air tersebut. Karena itu, dia segera menemui Sabina Spielrein dan mengungkapkan bahwa dia harus mampu menjaga diri agar tidak terjebak pada sesuatu hal yang tidak etis.

00:55:56,545 --> 00:55:59,533 Cobalah untuk mengingat cinta dan pasien yang aku tunjukkan padamu saat kau sakit. 00:55:59,534 --> 00:56:01,375 - Itulah yang aku butuhkan darimu sekarang. - Tentu saja.

00:56:01,780 --> 00:56:03,224 Kau selalu memilikinya.

00:56:03,265 --> 00:56:06,188 - Oh, Tolong jangan pergi. - Aku harus.

Melalui narasi fi lm tersebut tampak bahwa Junglah yang berusaha menghindar dari aff air yang sudah terbangun antara dirinya dan Sabina. Namun, Sabina

204 Psikologi Jungian, Film, Sastra Speilrein yang terlihat dan terkesan tidak mau ditinggalkan oleh Jung. Sabina Speilrein sebenarnya merasa nyaman ketika dirinya berada dekat dengan Jung. Karena itu, ketika Jung memutuskan untuk menyelesaikan masalah aff air tersebut dengan cepat, tetapi Sabina Speilrein malah ingin melanjutkan kisah aff air yang terjadi di antara mereka berdua. Namun, dalam lubuk hati yang paling dalam, Jung sebenarnya sulit untuk meninggalkan Sabina Speilrein. Karena itu, dirinya merasa dalam dilema yang berkepanjangan. Di satu sisi dia merasa menyukai Sabina Speilrein, di satu sisi yang lain, hal tersebut melanggar etika sebab dia sudah memiliki istri, Emma Rauschenbach. Dalam perkembangan keilmuan Jung di bidang psikoanalisis, dia tidak serta merta mengikuti pemikiran pendahulunya, Sigmund Freud. Salah satunya adalah pemi- kiran tentang bahwa manusia yang kehidupannya didorong oleh hasrat seksual. Freud sebagai seorang psikolog lebih mengarah pada kajian yang eksperimentatif. Dengan demi- kian, pemikirannya lebih banyak ditopang pada pengalaman empiris daripada penelitian yang bersifat eksploratif. Gambaran tersebut tampak pada narasi berikut.

00:37:44,142 --> 00:37:47,587 Menurutku obsesi Freud pada seks mungkin karena ada banyak…

Psikologi Jungian, Film, Sastra 205 Jung menunjukkan bahwa dirinya memang memp- unyai pemikiran yang berseberangan dengan Freud masalah wanita dan seks. Dalam pandangan Freud, manusia memiliki pulsi instinktif yang sangat kuat yaitu energi libidinal yang mendorong manusia untuk melakukan apa saja yang diinginkan dalam konteks itu. Jung sebagai seorang psikoanalis muda lebih cenderung mengungkapkan bahwa manusia lebih banyak ditopang oleh kekuatan alam bawah sadar yang berkait dengan ketidaksadaran kolektif. Dalam alam ketidaksadaran kolektif tersebut manusia akan memperbaiki dirinya sendiri melalui penemuan jati diri yang disebut Jung sebagai individuasi. Jung memiliki pikiran tersendiri dalam kaitannya dengan perempuan. Jung mengungkapkan bahwa dirinya berpandangan jika manusia itu memiliki dua sisi. Seoarang laki-laki memiliki sisi perempuan, sedangkan seorang perempuan memiliki sisi laki-laki. Hal tersebut muncul sebab manusia memang dianugerahi dua sisi. Dua sisi tersebut digunakan untuk menjadikan manusia sebagai sosok pribadi yang bisa mengenal diri sendiri dan diri orang lain dengan sebaik-baiknya. Itulah yang disebut Jung dengan anima dan animus. 00:40:15,938 --> 00:40:18,033 Pernahkah kau berpikir bahwa ada sisi laki-laki pada setiap wanita...

206 Psikologi Jungian, Film, Sastra Istilah anima dan animus yang dimunculkan oleh Jung menjadi terkenal dan dianggap sebagai teori yang dimunculkan oleh Jung. Anima adalah sisi laki-laki yang terdapat dalam diri perempuan, sedangkan animus adalah sisi perempuan yang terdapat dalam diri laki-laki. Keduanya, akan saling mencocokkan dan saling memberikan pemahaman tentang psikologi perempuan dan psikologi laki-laki. Dalam perkembangan selanjutnya, Sabina Spielrien menjadi anak bimbing Jung untuk disertasi yang ditulisnya. Sabina Spielrien menulis disertasi tentang “On the Psychological Content of a Case Schizophrenia (Dementia Praecox) (1911)” yang pada tahap berikutnya –pada masa sekarang ini-- dibukukan dengan judul The Essential Writing of Sabina Spielrein (Spielrein, 2019). Buku tersebut berbicara tentang praktik psikoanalisis yang dilakukan oleh Spielrein kepada para kliennya. Ia mengutip data-data penelitian ketika dia melakukan terapi wicara dengan klien-kliennya. Pandangan Jung sebagai seorang psikoanalis semakin berkembang dan memang benar-benar menunjukkan arah yang berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Freud. Jung memiliki pandangan yang berkait dengan psikologi mistis yang digelutinya termasuk yang dijadikan sebagai bahan dalam disertasinya. Namun, Freud sebagai sang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 207 guru, mentor, dan juga teman diskusi, ternyat tidak begitu sepemahaman dengan Jung. Hal itulah yang membuat keduanya mulai renggang. Gambaran Jung dan Freud yang mendiskusikan tentang perbedaan pemikiran tersebut tampak pada kutipan berikut. 00:52:45,494 --> 00:52:48,557 Kita tak bisa hanya berkeliaran di daerah spekulatif.

1000:52:48,600 --> 00:52:53,199 Telepati, Sampul buku yang bisa menyanyi, peri yang berada di dasar taman.

00:52:53,636 --> 00:52:54,836 Itu takkan berhasil.

Narasi tersebut menunjukkan betapa tidak setuju Freud dengan pemikiran Jung tentang psikologi yang mengarah pada dunia spekulatif. Dunia yang berbicara tentang mistisisme dan hal yang mengarah pada konteks tahayu. Namun, Jung sebagai seorang psikolog yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan Freud, dia tetap memang teguh apa yang dipikirkannya. Ia ingin menunjukkan bahwa psikologi tidak hanya berbicara dalam konteks kesadaran, ketidaksadaran, tetapi juga dalam konteks yang mistis sebab kemistisan tersebut sebenarnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

208 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar 13: Jung yang berdiskusi dengan Freud (Sumber: A Dangerous Method, 2011)

Perjalanan pemikiran Jung dalam psikoanalisis ternya- ta memang tidak berjalan dengan mulus sebab dalam beberapa tahun kemudian, Jung memutuskan untuk keluar dari psikoanalisis. Jung selanjutnya mendirikan psikoanalitik yang merupakan varian baru dari psikoanalisis. Namun, Jung sebenarnya tidak mengungkapkan bahwa psikoanalitik merupakan varian baru dari psikoanalisis. Hanya saja, pandangan dalam psikoanalitik memang tidak jauh beda dengan psikoanalisis. Karena itu, sebagian pengikutnya menyebut dengan istilah psikologi Jungian. Ketika terjadi konfl ik intelektualitas dengan Freud, Jung merasa dirinya dalam depresi. Ia merasa bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia mengalami kebuntulan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 209 intelektual dalam menulis dan melakukan kegiatannya dalam hal psikoterapi. Pada masa ini, Jung juga sudah berpisah dengan Sabina Speilrein. Berdasarkan paparan Sabina Speilrein, ia sudah menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Rusia. Ketika dalam masa depresi, istri Jung, Emma, menemui Sabina Speilrein. Ia mengungkapkan bahwa Jung saat itu dalam kondisi yang kurang stabil secara psikologis. Karena itu, ia berharap Sabina Speilrein berkenan menemui Jung agar bisa memberikan masukan kepada Jung yang sedang dilanda masalah psikologis. Gambaran tersebut tampak pada paparan berikut. 01:26:17,062 --> 01:26:18,273 Jadi kau sudah menikah.

01:26:20,165 --> 01:26:21,091 Ya.

01:26:23,396 --> 01:26:24,717 Dia seorang dokter?

01:26:26,914 --> 01:26:28,944 Ya. Namanya Pavel Scheftel. 01:26:31,292 --> 01:26:32,217 Orang Rusia.

01:26:40,483 --> 01:26:41,632 Seperti apa dia?

210 Psikologi Jungian, Film, Sastra 01:26:44,120 --> 01:26:45,025 Mirip.

Sabina Spielrein akhirnya bersedia menemui Jung. Pertemuan keduanya pun berlangsung dengan biasa saja sebab keduanya saat itu sudah berkeluarga dan Sabina Speilrein dalam kondisi hamil. Sabina Speilrein menjelaskan secara gamblang tentang siapa suaminya, sosok laki-laki yang berasal dari Rusia dan secara tidak langsung memang memiliki kemiripan dengan Jung. Pada akhir fi lm ini dinarasikan bahwa Sabina Speilrein pada akhirnya menuju ke Rusia hidup dengan suaminya di sana. Film ini merupakan fi lm dokumenter yang menggambarkan perjalanan kehidupan Jung dalam perspektif intelektual dan asmaranya. Terlepas dari konteks apapun, fi lm ini ingin menunjukkan bahwa seorang psikolog yang ternama pun bisa mengalami masalah psikologis dan masalah aff air. Karena itu, tidak salah jika fi lm ini diberi nama sesuai dengan judul bukunya, A Dangerous Method.

Jung dan The Soul Keeper (2002) Film The Soul Keeper (2002) merupakan fi lm roman- tisme yang mengisahkan romantisme Jung dan Sabina Speilrein. Jung adalah seorang psikiater dan Sabina Speilrein adalah kliennya. Film ini berdurasi pendek hanya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 211 90 menit. The Soul Keeper merupakan fi lm yang tidak jauh beda dengan A Dangerous Method (2011). Keduanya, sama- sama mengisahkan hubungan romantisme antara Jung dan Sabina Speilrein. Namun, perbedaannya, fi lm The Soul Keeper (2002) digarap secara biasa saja jika dibandingkan dengan fi lm A Dangerous Method (2011) yang digarap dengan lebih baik dan lebih intelektual sebab banyak memunculkan dan mengutip pemikiran-pemikiran tokoh psikoanalisis, yakni Jung, Freud, dan juga Sabina Speilrein. Dalam adegan awal fi lm tersebut dinarasikan bahwa keluarga dari Sabina Speilrein mendatangi Jung.

Gambar 14: Keluarga Sabina Spielrein yang datang ke Zurich (Sumber: The Soul Keeper, 2002)

Keluarga Sabina Spielrein menceritakan bahwa Sabina Spielrein mengalami histeria semenjak adiknya meninggal

212 Psikologi Jungian, Film, Sastra dunia. Meskipun demikian, pada mulanya Sabina Spielrein sudah mengalami histeria dan histeria yang menjangkiti Sabina Spielrein semakin lama semakin menguat ketika adiknya meninggal dunia. Orang tua Sabina Spielrein tampaknya tidak mampu mengatasi masalah yang mendera Sabina Spielrein yang konon semakin lama semakin memburuk. Untuk itu, keluarganya datang dari Russia menuju ke Jerman, Zurich, untuk menyembuhkan anaknya tersebut dari histeria. Narasi tersebut tampak pada dialog berikut. 00: 02: 10,760 -> 00: 02: 13,069 Kami benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, Profesor.

00: 02: 13.240 -> 00: 02: 15.435 Dia sudah seperti ini selama setahun sekarang ...

00: 02: 15.640 -> 00: 02: 19.110 ... Sejak adik perempuannya, Irina, meninggal karena pneumonia.

00: 02: 19.520 -> 00: 02: 21.397 Dia semakin buruk setiap hari.

Perilaku dan kondisi psikologis Sabina Spielrein memang tidak terkendali dan menunjukkan bahwa dia tidak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 213 mampu mengontrol kemampuan berbicaranya. Ia berbicara yang di luar bahasa yang biasa atau dalam psikologi dianggap sebagai bahasa yang neologisme. Seseorang yang mengalami histeria akan mengeluarkan bahasa-bahasa yang terkadang tidak dipahami oleh orang lain. Hal tersebut disebabkan orang yang mengalami histeria tidak mampu mengontrol kemampuan berbahasanya. Ia memang bisa berbicara dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, tetapi ia tidak bisa mengendalikan bahasa yang secara tiba-tiba muncul dari alam pikirannya yang tidak terkendali. Adegan yang muncul dalam fi lm The Soul Keeper pada segmen keluarga yang datang pada Jung tidak muncul dalam A Dangerous Method. Karena itu, adegan ini lebih detil dalam mengisahkan perjalanan Sabina Spielrein dari Rusia menuju ke Jerman dalam rangka penyembuhan dirinya yang mengidap histeria. Ketika diwawancarai Jung dalam kaitannya dengan terapi, Sabina Spielrein mengungkapkan kata-kata yang merupakan representasi dari histerianya. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut. 00: 05: 25.400 -> 00: 05: 28.073 Profesor Bleuler telah menempatkan saya yang bertanggung jawab atas kasus Anda.

00: 05: 33.680 -> 00: 05: 34.635 Tidak, dengan lembut.

214 Psikologi Jungian, Film, Sastra 00: 05: 38.960 -> 00: 05: 40.757 Pergi! Biarkan aku mati!

00: 05: 46.600 -> 00: 05: 47.430 Tinggalkan saya.

00: 06: 00.640 -> 00: 06: 05.191 - Mengapa kamu ingin mati? - Karena aku jahat!

00: 06: 06.600 -> 00: 06: 08.192 Itu hampir tidak cukup alasan.

Narasi dialog antara Jung dan Sabina Spielrein menunjukkan bahwa Sabina Spielrein merasa bahwa dirinya tidak nyaman hidup. Ia ingin mati. Ia ingin melakukan tindak bunuh diri. Memang, waktu itu, sebagai seorang perempuan yang agak rentan, Sabina Spielrein, mencoba melakukan bunuh diri dengan cara melukai dirinya sendiri. Sabina Spielrein merasa dirinya bukan perempuan yang baik-baik. Ia mengungkapkan itu pada Jung –dalam konteks ini dia adalah dokter yang diminta oleh sang direktur, Bleuler, untuk menangani Sabina Spielrein-- dan menganggap Jung sebagai seorang laki-laki yang baik-baik. Adegan dalam fi lm tersebut menunjukkan bahwa Sabina Spielrein berbicara dengan kondisi ketakutan. Jung

Psikologi Jungian, Film, Sastra 215 mengungkapkan bahwa dirinya adalah dokter yang akan menanganinya. Karena itu, Sabina Spielrein tidaklah boleh merasa takut kepada Jung sebab Jung adalah terapisnya yang akan berusaha dengan segala upaya agar Sabina Speilrein bisa sembuh dari penyakit yang diidapnya tersebut. Namun, Sabina Speilrein seolah-olah takut berbicara dengan Jung yang dianggapnya sebagai orang yang masih baru ‘orang asing’ dalam kehidupan kesehariannya.

Gambar 15: Jung dan Sabina Spielrein sedang berdialog (Sumber: The Soul Keeper, 2002)

Jung sebagai seorang doktor dan dokter muda dalam dunia terapi ingin memunculkan metode baru dalam hal terapi. Karena itu, ketika dia diperintahkan oleh direktur rumah sakit untuk menangani Sabina Speilrein, ia ingin

216 Psikologi Jungian, Film, Sastra memunculkan metode tersebut. Sebuah metode yang digunakan untuk menerapi pasien dengan menggunakan terapi wicara. Terapi ini sebenarnya merupakan konsep utama dari psikoanalisis yang dikembangkan dan dipelopori oleh Sigmund Freud. Karena itu, Jung sebagai teman kolegial Freud, juga mengembangkan terapi tersebut. Terapi itu dikenal dan disebut dengan psikoanalisis. Dalam perkembangan selanjutnya, psikoanalisis masuk dalam psikologi kepribadian, psikologi klinis. Psikologi yang berbicara tentang masalah psikologi dalam, jiwa dan masalah kejiwaan (kompleks, waham, delusi, ilusi). 00: 06: 19.760 -> 00: 06: 22.069 Saya ingin mencoba perawatan baru dengan Anda.

00: 06: 22.280 -> 00: 06: 24.430 Tidak ada yang dipaksakan. Tidak ada pancuran air dingin ...

00: 06: 24.680 -> 00: 06: 26.875 ... tidak membelenggumu ke tempat tidur.

00: 06: 27.760 -> 00: 06: 30.479 Ini pada dasarnya terdiri membiarkan Anda berbicara.

00: 06: 31.000 -> 00: 06: 35.039 Apa pun yang muncul di kepala Anda. Anda berbicara, saya mendengarkan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 217 Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Jung sebagai seorang terapis tidak ingin memunculkan model terapi yang dianggapnya kejam dan sadis. Beberapa contoh hal yang dianggap kurang etis dan sadis dalam terapi, misalnya, pasien yang diguyur dengan air dingin, pasien yang diikat ketika dia meronta dan marah-marah, ataupun pasien yang dimasukkan dalam kamar yang kecil. Jung berusaha menghilangkan semua metode-metode dalam terapi yang demikian sebab baginya terapi tersebut menyakitkan. Ia akan menerapi klien dengan model yang membiarkan pasien berbicara tentang masalah yang dialaminya.

Gambar 16: Jung memulai terapi dengan Sabina Spielrein (Sumber: The Soul Keeper, 2002)

218 Psikologi Jungian, Film, Sastra Usaha Jung dalam menerapi Sabina Spielrein tidaklah sia-sia. Sabina Spielrein mengalami perkembangan yang luar biasa dalam masa-masa pemberian terapi dan penyembuhan. Sabina Spielrein berangsur-angsur bisa mengendalikan dirinya dari histeria yang dialaminya. Perlahan, dengan menggunakan terapi wicara, Sabina Spielrein mulai mence ri takan masalah yang terdapat dalam dirinya. Ia mengungkapkan kisah individualnya yang selama ini tidak ia ceritakan kepada siapapun. Ia sangat malu jika menceritakan hal tersebut. Namun, kepada Jung, ia menceritakan hal tersebut sebab ia sudah merasa nyaman dekat dengan Jung. Gambaran tersebut tampak pada narasi berikut. 00: 23: 32.600 -> 00: 23: 35.319 ... dengan satu atau lain cara, melibatkan unsur cinta.

00: 23: 35.480 -> 00: 23: 38.074 Bisakah saya memberi tahu Anda salah satu rahasiaku, kalau begitu?

00: 23: 40.600 -> 00: 23: 43.273 Terkadang, saat aku sendirian ...

00: 23: 46,440 -> 00: 23: 47,759 ... aku menyentuh diriku sendiri.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 219 Dalam suatu adegan makan, Sabina Spielrein mengi- sahkan bahwa dirinya suka menyentuh dirinya sendiri. Tentunya, dalam konteks ini dia melakukan dan menuruti hasrat libidis yang terdapat dalam dirinya. Sejalan dengan pandangan Freud bahwa hasrat libidis merupakan hasrat yang berada dalam alam bawah sadar dan suatu saat akan keluar dalam bentuk yang ‘sebenarnya’ ataupun dalam bentuk yang lain. Sabina Spielrein merasa malu mengungkapkan hal tersebut kepada Jung sebab Jung adalah dokternya. Dalam konteks psikologis, seseorang yang merasa bahwa dirinya bersalah akan merasa malu akan hal dilakukannya. Hal tersebut disebabkan kuatnya etika yang terdapat dalam diri personal tersebut sehingga dia merasakan rasa bersalah yang sangat besar dan rasa bersalah tersebut akan berkepanjangan. Rasa bersalah tersebut akan semakin menumpuk dan menumpuk. Ketika semakin menumpuk dan tidak terbendung lagi, seseorang akan mengalami depresi dengan masalah yang menumpuk tersebut. Untuk itu, dibutuhkan sarana untuk menyalurkan jiwa yang berada dalam masalah tersebut. Dalam beberapa kasus yang terjadi di lapangan, seorang klien rata-rata malu untuk mengungkapkan masalah pribadinya kepada orang lain. Ketika seseorang malu untuk mengungkapkan masalah individunya kepada orang lain,

220 Psikologi Jungian, Film, Sastra masalah tersebut akan semakin menguat dan semakin banyak terpendam dalam alam bawah sadarnya. Hal tersebut sangat kuat terjadi sebab seseorang yang memiliki masalah individual akan berusaha memendamnya ke alam bawah sadar dengan menggunakan alam sadar yang masih bisa dikuasai dan dikendalikan oleh pikiran. Dengan begitu, seseorang memang bisa memendam, melupakan, dan menutupi masalah individualnya yang menurut pandangan pribadi tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Namun, lama-kelamaan akan terjadi apa yang disebut dengan eksplosif jiwa, seseorang yang sudah tidak kuat menahan gelombang dari alam bawah sadar yang berkecamuk dan siap untuk muncul ke permukaan. Dalam pandangan taoime, hal seperti ini diibaratkan seperti seseorang yang memendamkan bola ke dalam air. Bola yang di dalamnya terisi udara tersebut, ketika semakin ditekan ke dalam air, akan semakin kuat tekanannya. Dengan begitu, ketika bola tersebut dilepaskan, bola tersebut akan meloncat keluar dari air dengan tenaga yang dimunculkan dari air tersebut. Seperti itulah fi losofi jiwa. Jika semakin ditekan, semakin lama jiwa tersebut menumbuk dan akan meledak seperti bom waktu. Bom waktu dalam konteks ini, jika belum meledak, semakin lama semakin besar dan semakin kuat daya eksplosifnya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 221 Sabina Spielrein sebagai pasien dari Jung tampaknya dia tidak begitu sungkan sebab Jung memberikan terapi yang bersifat wicara dan bukan terapi yang menyakitkan. Jung sebagai seorang psikiater juga menunjukkan tanggapan yang tidak serta merta menghakimi bahwa apa yang dilakukan oleh Sabina Spielrein merupakan tindakan yang salah dalam perspektif etika ataupun dalam perspektif psikologis.

Gambar 17: Jung dan Sabina Spielrein di tempat makan (Sumber: The Soul Keeper, 2002)

Mereka berdua, Jung dan Sabina Spielrein, ternyata menjalin aff air. Namun, dalam perjalanan aff air dilakukan oleh keduanya, Jung merasa bahwa apa yang dilakukanny adalah perbuatan yang salah sebab dia adalah seorang

222 Psikologi Jungian, Film, Sastra terapis dan Sabina Spielrein merupakan kliennya yang harus disembuhkan. Sebagai seorang yang masih memegang teguh agama dan juga sebagai seorang psikiater yang memegang etika profesi, tentunya Jung sebagai orang yang terlibat dengan masalah tersebut merasa benar-benar bersalah. Karena itu, ia benar-benar ingin menjauhi Sabina Spielrein dan ingin menghilangkannya dalam ingatannya. Namun, apa yang ingin dilakukannya tersebut bukanlah yang mudah sebab dia harus menghilangkan dan memendam memorinya tentang Sabina Spielrein dalam alam sadar dan alam bawah sadarnya. Ternyata, hal tersebut sulit dilakukan. Keduanya, sama-sama saling menyukai sehingga keduanya juga sulit untuk melepaskan dari hal tersebut. Gambaran tersebut tampak pada penggalan dialog fi lm berikut. 00: 33: 50.400 -> 00: 33: 51.310 Waktunya habis.

00: 34: 07.240 -> 00: 34: 09.993 - Maafk an aku. Maafk an aku. - Untuk apa?

00: 34: 13.920 -> 00: 34: 16.514 Kadang-kadang Saya tidak bisa mengendalikan diri.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 223 Jung sebagai seorang psikiater merasa bahwa dirinya adalah sosok yang paling bersalah dalam kejadian aff air tersebut. Romantisme yang dilakukannya dengan Sabina Spielrein bukanlah romantisme yang biasa sebab romantisme ini terjadi antara terapis dan pasien. Setelah selesai terapi dengan Jung, Sabina Spielrein berpisah dengannya dan ia menikah dengan laki-laki yang berasal dari Rusia dan Sabina Spielrein mendapatkan gelar doktor. Sabina Spielrein selanjutnya tinggal di Rusia bersama suaminya. Di sana, pada masa itu masih ramai Nazi. Pada masa ini, banyak orang yang dibunuh, termasuk Sabina Spielrein. Ketika ia ditangkap oleh Nazi, ia pun masih mengenang Jung dalam dirinya. Gambaran tersebut tampak pada adegan berikut.

Gambar 18: Sabina Spielrein yang akan dieksekusi oleh tentara Nazi (Sumber: The Soul Keeper, 2002)

224 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambaran pada masa itu memang mencekam sebab tentara Nazi memang merajai dan menguasai negara. Mereka, para tentara Nazi dengan segala kekuatannya, tidak akan segan-segan membunuh orang-orang yang tidak sepemikiran dengan idelologi. Karena itu, pada masa itu banyak orang yang tidak berdosa dibunuh, termasuk orang- orang yang berasal dari golonganYahudi. Pada masa ini, Nazi sangat terkenal dengan holocaust, pembantaian membuat jutaan jiwa manusia yang tidak bersalah melayang. Banyak orang yang dijadikan tenaga kerja paksa di kamp konsentasi. Mereka dipaksa bekerja tanpa diperhatikan asupan gizinya sehingga banyak yang mengalami malagizi dan meninggal dunia. Untuk orang-orang yang sudah tidak produktif, mereka dibawa ke kamp pemusnahan, dimasukkan ke dalam ruangan gas dan di bakar di dalamnya. Dalam fi lm The Boy in the Striped Pajamas (2008) kamp pemusnahan itu memiliki sebuah tempat khusus yang berasal dari besi. Para tahanan diminta mandi terlebih dahulu agar bersih. Kemudian, secara bersama-sama, mereka digiring tempat pembakaran tersebut. Ketika mereka masuk dalam ruang besi tersebut. Pintu pun ditutup rapat-rapat. Kemudian, dari atas ruangan tersebut dituangkan minyak dan selang beberapa detik kemudian api pun menjalar di dalam ruangan tersebut dan semua orang terbakar-terpanggang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 225 di dalamnya. Ini adalah salah satu kekejaman Nazi dalam melakukan pemusnahan manusia secara kolektif. Mereka membakar orang-orang yang dianggap sudah tidak layak ataupun orang-orang yang dianggap membahayakan Nazi. Ketika Sabina Spielrein menjelang ajal, ia benar-benar masih teringat dan terkenang dengan Jung sampai dia mengungkapkan “ When I am dead, I want Dr. Jung to have my head”. Ketika prosesi pembunuhan terhadap Sabina Spielrein, Jung –yang waktu itu berada di tempat yang lain- - merasakan sesuatu yang berbeda yang dianggap sebuah pelihatan. Kala itu, ia sedang tidur dan ia tiba-tiba terbangun dan mendengar sebuah tembakan. Padahal, mereka berada di tempat yang berbeda. Namun, Jung bisa merasakan hal tersebut. Ia merasakan ada sesuatu yang terjadi. Inilah yang menurut Jung dianggap sebagai psikologi mistisisme, sebuah telepati yang muncul ketika empati disstres.

Perbandingan A Dangerous Method (2011) dan fi lm The Soul Keeper (2002) Kedua fi lm, yakni A Dangerous Method (2011) dan fi lm The Soul Keeper (2002) sama-sama merupakan fi lm semidokumenter yang mengisahkan kehidupan Jung dan Sabina Spielrein. Kedua fi lm tersebut mendapatkan apresiasi dari orang-orang yang memiliki konsern kepada dunia

226 Psikologi Jungian, Film, Sastra psikologi, terutama yang mengarah pada psikologi Jungian. Selama ini, fi lm yang digarap oleh masyarakat fi lm memang lebih banyak mengandalkan dan memilih fi lm yang memang populer dan memiki daya jual di masyarakat dunia. Jika tidak, produksi perfi lman akan gulung tikar sebab sebagaimana sebuah prediksi klasik bahwa fi lm yang menayangkan idea akan cenderung dikalahkan oleh fi lm yang menawarkan kepopuleran. Hal tersebut memang diakui tepat sebab tidak bisa dipungkiri bahwa orang yang konsern pada dunia fi losofi s tentunya sedikit jika dibandingkan dengan orang yang konsern pada dunia sosial- budaya. Hal tersebut memang sudah menjadi fakta umum. Jika ditelusuri lebih dalam, kedua fi lm tersebut A Dangerous Method (2011) dan fi lm The Soul Keeper (2002, memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk mempermudah, persamaan dan perbedaan tersebut dimunculkan dalam bentuk tabel berikut. Tabel 4: Perbandingan Film A Dangerous Method (2011) dan The Soul Keeper (2002) Kategori A Dangerous The Soul Keeper Method (2011) (2002) Tokoh utamaJung Sabina Speilrein Adegan pembuka Sabina Speilrein Sabina Speilrein yang dibawa yang dibawa ke menemui Jung rumah sakit di Zurich

Psikologi Jungian, Film, Sastra 227 Penarasian Lebih banyak Bercerita tentang bercerita tentang kehidupan kehidupan Jung Sabina Speilrein dan Sabina mulai dari awal Speilrein sampai akhir (dibunuh Nazi) Proses terapi Tidak begitu Sangat dikuatkan psikoanalisis (yang dikuatkan dan menunjukkan dilakukan Jung) perbedaan dengan terapi model klasik Sosok Freud Sangat kuat Kurang begitu dimunculkan kuat dalam pemunculannya Keluarga Jung Dimunculkan Dimunculkan dengan kuat secara biasa saja Adegan penutupJung bertemu Sabina Speilrein dengan Sabina yang ditembak Speilrein yang mati oleh tentara sudah menikah Nazi dengan laki-laki dari Rusia Tema Romantisme Romantisme Gaya penceritaan Film digarap Film digarap dengan lebih kurang optimal baik sebab lebih dalam kaitannya kuat dalam dengan memunculkan memunculkan pemikiran tokoh pemikiran yang dalam kaitannya berkait dengan dengan psikologi masalah psikologi

228 Psikologi Jungian, Film, Sastra Kedua fi lm semidokumenter tersebut menunjukkan persamaan dalam kaitannya dengan masalah romantisme antara Jung dan Sabina Speilrein yang dianggap sebagai kesalahan intelektual dan kesalahan profesional dalam dunia psikologi, terutama psikoanalisis. Namun, bagi sebagian kalangan akademis yang pro-Jungian berusaha --menguak, mengungkap, dan mengeksplorasi fakta-fakta empiris-- menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang sekiranya tidak dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan nama baik Jung yang telah banyak berkiprah di dunia psikoanalisis. Tentunya, nama besar seseorang akan lebih mudah jatuh ketika tersandung dengan sesuatu yang kurang bagus. Namun, dalam pepatah lama diungkapkan “semakin tinggi pohon, akan semakin besar angin yang akan meniupnya.” Jika ditinjau dari segi perbedaan, kedua fi lm tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda. Dalam fi lm A Dangerous Method (2011), gaya penceritaan lebih mengarah pada narasi Jung dalam menjalani kehidupan pada saat ia masih muda. Jung sebagai seorang psikoanalis muda, banyak memunculkan terobosan dalam kaitannya dengan psikologi. Ia memang sosok yang kreatif dan inovatif dalam memunculkan ide-ide yang cemerlang. Karena itu, Freud sebagai senior dalam bidang psikoanalisis sangat bangga kepadanya –sebab dia melihat Jung adalah sosok yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 229 visioner dan mampu mengembangkan psikoanalisis di masa yang akan datang dengan baik dan lebih bermartabat di mata dunia-- dan bahkan mengangkat Jung sebagai putra mahkotanya dalam psikoanalisis. Jung beranggapan bahwa Freud merupakan bapak akademiknya yang turut menyukseskan dirinya dalam mengembangkan pemikiran tentang psikoanalisis yang dikembangkannya. Namun, dalam perkembangan pemikiran, Jung pada akhirnya memang harus berpisah dengan Freud karena masalah beda pandangan. Keduanya, baik Jung dan Freud, memutuskan untuk tidak berdiskusi tentang konteks psikoanalisis sebab mereka ternyata sama-sama memiliki mazhab yang berbeda dalam memandang alam bawah sadar manusia. Dalam The Soul Keeper (2002), kesan pemunculan teori dan pandangan Jung ataupun Freud tentang psikoanalisis kurang begitu ditampilkan dengan baik sebab yang lebih banyak difokuskan adalah penceritaan tentang Sabina Spielrein secara mendetil dan mendalam. Sisi inilah yang lebih banyak dibidik dalam fi lm A Dangerous Method agar memiliki sisi keberbedaan –meskipun fi lm ini lebih didasarkan pada buku-- dengan The Soul Keeper. Dengan demikian, kedua fi lm tersebut sama-sama memiliki kekuatan dan gaya penceritaan yang berbeda sehingga mampu menarik pangsa pasar yang berbeda pula.

230 Psikologi Jungian, Film, Sastra Mimpi, Realita, dan Inception (2010) Jika di dunia bisa kita temukan mimpi, dalam dunia fi lm pun kita juga bisa menemukan mimpi. Sebuah alam yang muncul dari alam bawah sadar manusia adalah alam mimpi. Film yang berbicara tentang mimpi tentunya banyak dan tentunya juga menarik, tetapi sampai sekarang tampaknya belum ada yang semenarik Inception. Film Inception (2010) adalah fi lm yang berdurasi panjang sebab 148 menit (sekitar 2:28). Film ini dianggap sebagai fi lm yang kategori science-fi ction yang berat sebab selain durasi fi lmnya panjang, fi lm ini juga membutuhkan keseriusan dalam menonton dan menikmatinya. Jika tidak, segmen fi lm yang terlewatkan akan membuat penonton kehilangan alur fi lm yang meloncat-loncat tersebut. Ibaratnya, jika kita menonton fi lm ini dan kita tinggalkan sejenak untuk ke kamar kecil ataupun membuat kopi di dapur, tentunya kita akan kehilangan beberapa sekuen dalam fi lm tersebut. Film Inception sebagai sebuah fi lm yang bergenre science-fi ction tersebut benar-benar membuktikan kekua- tannya sebagai fi lm yang bermutu secara internasional, hal tersebut tampak dari empat penghargaan yang diperolenya, yakni (1) best picture, (2) best original screenplay, (3) best art direction, dan (4) best original score. Bahkan, fi lm Inception ini juga tembus box offi ce.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 231 Film ini mengangkat tema tentang mimpi dalam mimpi. Dalam fi lm ini, sang tokoh utama Dom Cobb, seorang pencuri kelas kakap. Dalam konteks ini, Dom Cobb adalah pencuri yang bisa masuk dalam dunia mimpi seseorang. Karena itu, dia merupakan penjahat yang model baru dalam melakukan pencurian. Ia menawarkan model tersebut kepada seseorang yang bernama Mr. Saito. Gambaran tersebut tampak pada penggalan dialog berikut. 00:14:19,316 --> 00:14:23,444 Mimpi di dalam mimpi, ya? Aku terkesan.

00:14:24,697 --> 00:14:28,199 Tapi dalam mimpi saya, Kau bermain dengan aturan saya.

00:14:28,367 --> 00:14:30,618 Ah, ya, tapi Anda lihat, Mr Saito ...

Dom Cobb sebagai seorang muda yang memiliki idealisme menjelaskan bahwa apa yang dilihat oleh Mr. Saito adalah mimpi. Melalui mimpi tersebut seseorang bisa mencuri sesuatu melalui alam pikirannya. Agar sang klien percaya, Dom Cobb mengujicobakannya kepada Mr. Saito dan ternyata Mr. Saito apresiatif dan terkesan dengan teknik masuk ke dalam dunia mimpi yang ditawarkan oleh Dom Cobb. Namun, Mr. Saito meminta lebih dari hal tersebut.

232 Psikologi Jungian, Film, Sastra Mr. Saito menginginkan agar Dom Cobb tidak hanya masuk dalam mimpi orang lain saja, melainkan masuk dan juga menanamkan pikiran pada orang lain. memang, hal tersebut bukanlah hal yang mudah sebab untuk masuk ke dalam mimpi orang lain saja sudah membutuhkan banyak strategi, ditambah lagi dengan menanamkan pikiran orang lain dengan cara masuk ke dalam mimpi orang yang akan dijadikan sebagai korban yang pikirannya ditanami pikiran yang lain.

Gambar 19: Mr. Saito dan Dom Cobb yang berada dalam mimpi (Sumber: Inception, 2010)

Mimpi yang muncul ketika tidur memang merupakan hal yang berada dalam alam bawah sadar. Namun, dalam konteks psikoanalisis, mimpi sebenarnya merupakan alam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 233 sadar manusia. Seseorang yang sedang bermimpi, dalam pandangan masyarakat awam, dianggap tidak sadar sebab yang bersangkutan sedang tidur dan orang yang tidur tidak bisa merasakan apa-apa dan tidak bisa melakukan apa- apa. Namun, dalam pandangan psikoanalisis, seseorang yang bermimpi tersebut sadar dengan rasioanalisasi (1) seseorang yang bermimpi dikejar-kejar oleh anjing, ia akan berusaha melarikan diri dari kejaran anjing tersebut ataupun dia akan menghajar anjing tersebut sampai mati; (2) seseo- rang yang bermimpi bisa mengendalikan mimpinya. Ketika dia bermimpi sesuatu yang tidak menyenangkan, ia akan berusaha melakukan kompensasi menuju jalan yang menye- nangkan; dan (3) ketika seseorang bermimpi, dia masih bisa merekam dan menceritakan mimpinya dengan detil (catatan: beberapa kasus tertentu memang ada orang yang merasa bahwa dia bermimpi, tetapi dia tidak mampu menjelaskan ataupun menceritakan mimpinya kepada orang lain). Cara masuk dalam alam mimpi ternyata sangat menarik. Untuk memahami bahwa seseorang sedang dalam mimpi ataukah berada dalam alam nyata, dia menggunakan sebuah alat yang mirip gasing (dalam konteks ini disebut dengan totem). Alat tersebut memiliki kekuatan sebagai penanda bahwa seseorang pada kondisi itu sedang berada di alam realitas ataupun berada di alam mimpi.

234 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jika totem tersebut diputar, sang pemimpi akan segera tahu bahwa dirinya sedang dalam posisi di mimpi ataukah di alam realitas. Jika dia berada di alam realitas, sang pemimpi tersebut tidak akan mengalami perubahan tempat. Artinya, dia tidak dalam kondisi berada di suatu tempat tertentu. Adapun ketika seorang pemimpi berada di dunia realitas, tetapi ia ingin memahami benarkah ia berada di dunia realitas ataukah berada di di dalam dunia realitas yang terdapat dalam dunia mimpi, ia tinggal menggunakan totem tersebut. Jika tidak mengalami perubahan berarti dia berada di dunia realitas yang benar-benar realitas dan bukan berada dalam dunia relitas yang berada dalam mimpi. Berikut visualisasi dari totem yang digunakan sebagai alat untuk memahami apakah seseorang bermimpi atau tidak.

Gambar 20: Totem yang digunakan sebagai penanda mimpi (Sumber: Inception, 2010)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 235 Alat yang berupa gasing tersebut (catatan: selanjutnya disebut dengan totem) tidak boleh dilupakan ataupun hilang sebab alat tersebut sangat penting. Dalam kondisi apapun, alat tersebut harus dijaga dengan aman dan di simpan ditempat yang benar-benar aman, di dalam saku, di kotak, ataupun di dalam dompet. Sang pemimpi dan alat itu tidak boleh jauh sebab jika jauh nanti alat tersebut mudah hilang. Jika alat tersebut hilang, seseorang yang sedang masuk dalam dunia mimpi akan kesulitan kembali ke dalam alam real. Dalam jangka waktu yang lama, orang yang masuk dalam mimpi dan jika ia tidak sadar tatkala berada dalam mimpi, mau tidak mau dia akan tersesat dalam mimpi dan menjadi mimpi yang tak bertepi. Jika sudah demikian, seseorang yang masuk dalam mimpi itu akan sangat sulit kembali ke alam nyata.

Gambar 21: Dom Cobb yang mendiskusikan inception (Sumber: Inception, 2010)

236 Psikologi Jungian, Film, Sastra Tawaran Dom Cobb yang ditunjukkan kepada Mr. Saito yang berkait masuk ke alam mimpi. Mr. Saito lebih menginginkan menanamkan sesuatu di pikiran orang lain. Melalui penanaman pikiran kepada orang lain tersebut masuk dalam mimpi, itulah yang disebut dengan inception. Penanaman pikiran dengan pikiran tersebut memang belum pernah dilakukan oleh Dom Cobb sebab hal tersebut sulit untuk dilakukan, meskipun bisa dilakukan. Mr. Saito ingin agar Dom Cobb masuk dalam pikiran Fischer dan memberikan pikiran-pikiran yang lain. gambaran tersebut tampak pada penggalan narasi berikut.

00:47:35,435 --> 00:47:38,688 Dan menyarankan konsep-konsep ke pikiran sadar Fischer.

00:47:38,855 --> 00:47:40,690 Kemudian, ketika kita membawanya ke tingkat yang lebih ...

00:47:40,857 --> 00:47:44,360 ... proyeksi Browning sendiri yang harus memberi makan untuk kembali kepadanya.

00:47:44,528 --> 00:47:46,445 Jadi dia memberi dirinya sendiri ide.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 237 Dom Cobb dan kawan-kawan berusaha merancang strategi dalam kaitannya masuk ke dalam pikiran orang lain. Untuk masuk ke dalam pikiran orang lain tersebut melalui tiga tahapan mimpi. Tingkatan dalam mimpi tersebut memiliki tahapan dan durasi yang berbeda. Dom Cobb menjelaskan bahwa tingkatan pertama dalam mimpi berdurasi selama seminggu. Enam bulan di tingkatan kedua. Adapun durasi untuk mimpi tingkatan ketiga sangat lama, yakni 10 tahun. Kawan-kawannya Dom Cobb merasa keberatan ketika berbicara tentang mimpi tingkat ketiga. Mereka berpandangan ketika menuju ke mimpi ke tingkat ketiga tentu penuh dengan risiko yang tinggi dan harus disertai dengan kemauan yang kuat. Seseorang yang menuju ke tingkat mimpi yang ketiga harus mampu mempersiapkan diri untuk menjelajahi mimpi selama sepuluh tahun dengan catatan itupun mereka belum tentu bisa kembali ke alam realitas. Hal itulah yang tampaknya membuat teman Dom Cobb merasa canggung untuk masuk ke dalam mimpi tingkat ketiga –seandainya mereka ternyata terpaksa masuk ke dalam mimpi ketiga tersebut-- yang sangat berat.

238 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar 22: Dom Cobb yang berdialog dengan temannya (Sumber: Inception, 2010)

Diskusi tentang mimpi pun semakin mendalam, tim Dom Cobb pemikiran futuristiknya mampu menata dan memprediksi hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Mereka sudah memikirkan bagaimana caranya masuk dalam mimpi yang berlapis-lapis. Namun, yang menjadi masalah utama adalah siapa yang mau masuk ke dalam mimpi yang ketiga, mimpi yang memiliki durasi selama 10 tahun. Durasi tersebut bukanlah durasi yang cepat dalam kehidupan keseharian. Namun, sebagai tim yang solid mereka berusaha agar tetap bisa melakukan agenda untuk masuk ke dalam mimpi yang memang sudah menjadi rencana mereka. Dom Cobb menunjukkan bahwa

Psikologi Jungian, Film, Sastra 239 salah satu cara jitu untuk mengembalikan seseorang yang masuk dalam mimpi tahap ketiga, harus ada hentakan yang kuat. Sebuah hentakan yang mampu menembus tiga tahapan mimpi. Hentakan tersebut tentunya haruslah hentakan yang kuat sebab harus mampu melampaui ketiga mimpi. Gambaran tersebut tampak pada penggalan narasi berikut. 00:52:19,094 --> 00:52:21,762 Ini minggu, tingkat pertama ke bawah.

00:52:22,472 --> 00:52:25,307 Enam bulan tingkat kedua ke bawah, dan tingkat ketiga ...

00:52:25,475 --> 00:52:26,892 Itu 10 tahun.

00:52:29,562 --> 00:52:31,730 Siapa yang ingin terjebak dalam mimpi selama 10 tahun?

Berdasarkan narasi tersebut tampak bahwa mimpi tahap ketiga tampaknya merupakan mimpi yang menakutkan sebab mimpi tersebut sangat dalam dan sangat lama untuk dilalui oleh seseorang. Jika saat ini dia masuk dalam mimpi berusia 50 tahun, ia akan keluar dari dalam mimpi tersebut pada usia 60 tahun. Tentunya, dalam

240 Psikologi Jungian, Film, Sastra masa tunggu selama 10 tahun tersebut akan muncul suatu masalah, yakni bagaimana d engan kondisi fi sik dan psikis orang tersebut. Kondisi fi sik dan psikis harus bisa dijaga dengan baik sebab jika tidak, akan menjadi masalah besar. Munculnya masalah tersebut tatkala seseorang yang kembali dari mimpi ternyata fi siknya sudah rusak sehingga ia sulit untuk kembali lagi ke fi siknya tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, kawan Dom Cobb memberikan solusi yang jitu,yakni memberikan obat penenang yang banyak dan juga obat penunjang kesehatan. Hal tersebut dilakukan jika mereka terpaksa masuk dalam mimpi tahap ketiga, mereka tidak akan mudah terbangun sebab mengonsumsi banyak obat-obatan penenang. Selain itu, untuk menjaga fi sik, mereka mengonsumsi obat penunjang kesehatan. Dalam perjalanan mimpi tahap pertama yang diujicoba oleh Dom Cobb, ternyata dia bisa menemui istrinya –yang sudah meninggal sejak lama-- dalam mimpi tersebut. Tentunya, Dom Cobb sangat senang sebab dia bisa menemui istri tercinta yang sudah lama meninggal. Ia memang benar-benar merasa kehilangan ketika istrinya meninggal dunia dan Dom Cobb sangat bahagia ketika dia bisa bertemu dengan istrinya tersebut. Namun, yang menjadi masalah adalah istrinya ingin mengikuti dirinya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 241 keluar dari mimpi. Dom Cobb dalam hal ini mengalami dilema yang berkepanjangan. Hatinya berada di antara dua sisi. Pada satu sisi, Dom Cobb ingin tetap bersama istrinya di dunia mimpi. Pada sisi yang lain, dia ingin tetap hidup di dunia sebab di dunia itu kedua anaknya yang masih kecil menunggu dirinya kembali dari perjalanan jauh dalam rangka mencari jawaban tentang kematian sang istri. Tim Dom Cobb pun akhirnya mencoba mempraktikkan masuk ke dunia mimpi lawannya, Fischer. Cara yang dilakukannya sangat jitu, mereka memesan pesawat yang kebetulan pesawat tersebut ditumpangi oleh Fischer. Melalui bantuan Mr, Saito, maskapai pesawat tersebut dibeli olehnya langsung. Dengan demikian, di pesawat, Dom Cobb dan kawan-kawan bisa melakukan aksinya dengan leluasa tanpa harus takut diketahui oleh si Fischer ataupun juga bodyguardnya (pada waktu naik pesawat ternyata Fischer hanya sendirian). Di pesawat tersebut, Dom Cobb dan kawan-kawan mulai beraksi untuk masuk ke dalam mimpi Fische. Langkah awalnya, mereka membius Fischer dan memasang peralatan –ditempelkan ke tangan Fischer-- yang digunakan untuk masuk ke dunia mimpi. Merekapun masuk dalam dunia mimpi secara bersama-sama. Namun, dalam dunia mimpi mereka bersama Fischer, ternyata ada hal yang muncul di luar dugaan.

242 Psikologi Jungian, Film, Sastra Di tengah jalan, mereka (Dom Cobb dan kawan-kawan) memang bisa menyandera Fischer, tetapi langkah tersebut tiba-tiba berantakan gara-gara ada kereta yang muncul di tengah jalan. Tentu saja, kereta yang berjalan dengan cepat tersebut di luar dugaan Dom Cobb dan kawan-kawan. Mereka tidak menyangka bahwa ada kereta di tengah jalan yang menabrak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga diserang oleh kelompok yang tidak dikenal. Kelompok tersebut bersenjata lengkap dan menyerang Dom Cobb dan kawan-kawan dengan cara yang membabi buta. Hal inilah yang membuat mereka bingung sebab tidak sesuai dengan skenario di awal sewaktu akan masuk ke dalam mimpi.

Gambar 23: Dom Cobb, kawan-kawan, dan skenario yang di luar rencana (Sumber: Inception, 2010)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 243 Mereka sangat bingung ketika rencana masuk dalam mimpi Fischer tersebut sudah diketahui oleh si musuhnya. Tentunya, dalam hal ini mereka baru memahami bahwa kemungkinan Fischer memiliki ekstraktor yang mampu menangkal ataupun melawan seseorang yang ingin masuk dalam pikirannya. Namun, hal tersebut baru diketahui oleh Dom Cobb dan kawan-kawan ketika mereka masuk dalam mimpi. Dalam kondisi yang seperti itu, Mr. Saito mengalami pendarahan dan sekarat. Hal itu membuat Dom Cobb dan kawan-kawan semakin bingung sebab untuk menyelamatkan Mr. Saito bukanlah perkara mudah karena mereka ada dalam dunia mimpi. Gambaran tersebut tampak pada narasi berikut. 01:07:47,980 --> 01:07:49,747 Lalu kenapa kami disergap?

01:07:49,815 --> 01:07:52,233 Mereka bukan proyeksi normal. Mereka sudah dilatih, demi Allah.

01:07:54,320 --> 01:07:55,945 - Bagaimana ia bisa dilatih? - Fischer memiliki extractor ...

01:07:56,113 --> 01:08:00,325 ... Mengajarkan alam bawah sadarnya untuk membela diri, sehingga alam bawah sadarnya adalah militer.

01:08:00,492 --> 01:08:02,118 Ini seharusnya ditunjukkan dalam penelitian

244 Psikologi Jungian, Film, Sastra Dom Cobb dan kawan-kawan merasa bahwa prediksi mereka meleset dari dugaan. Mereka ternyata tidak mengetahui bahwa lawannya adalah sosok yang tanggunh. Lawan yang sudah mempersiapkan diri ketika dia akan didatangi musuh melalui alam bawah sadarnya. Tentunya, hal tersebut mengagetkan Dom Cobb dan kawan-kawan. Karena itu, Dom Cobb sangat marah kepada temannya yang tidak memantau lebih dalam mengenai kehidupan Fischer sebelumnya agar tidak terjadi kegagalan kelak di kemudian hari. Ketika mereka mendapati Mr. Saito terluka parah, mereka-- Dom Cobb dan kawan-kawan—ingin kembali ke alam nyata, alam real yang bukan tempat mimpi. Namun, untuk kembali ke dunia real bukanlah perkara yang mudah sebab mereka ternyata diberi obat penenang yang terlalu tinggi dosisnya. Dengan demikian, untuk kembali ke alam real dibutuhkan tenaga yang begitu kuat.

Gambar 24: Dom Cobb dan kawan-kawan menyoal limbo (Sumber: Inception, 2010)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 245 Perjalanan mimpi mereka ternyata tidak hanya masuk pada tahapan mimpi kedua. Mereka ingin masuk pada tahapan mimpi yang ketiga sebab mereka ingin bisa benar- benar masuk dalam pikiran Fischer. Namun, sama seperti halnya dalam mimpi yang pertama dan mimpi yang kedua, mereka dikejar oleh orang-orang yang muncul sebagai proyeksi dari Fischer yang dianggap sebagai ekstraktor. Orang-orang inilah yang menyerang perjalanan Dom Cobb dan kawan-kawan dalam mimpi mereka. Perjalanan dalam mimpi mereka tidaklah semudah yang dibayangkan sebab banyak elemen yang tiba-tiba muncul dalam mimpi yang sebenarnya sudah diprediksi oleh mereka. Dalam mimpi yang ketiga, tokoh Dom Cobb ternyata bertemu lagi dengan istrinya yang sudah meninggal dunia. Sang istri, Mal namanya, mengajak dia untuk hidup di dunia mimpi tersebut. Sang istri mengungkapkan bahwa inilah kehidupan yang sebenarnya, sebuah kehidupan yang real dan bukan kehidupan yang unreal. Namun, Dom Cobb sadar bahwa dirinya tidak mungkin melakukan hal tersebut. Ia tahu bahwa yang berkata pada dirinya adalah bayangan istrinya yang ada di masa lalu dan bukan istrinya yang ada di masa yang sekarang sebab istrinya sudah meninggal dunia.

246 Psikologi Jungian, Film, Sastra 02:08:08,221 --> 02:08:10,999 ... Saya tidak bisa membayangkanmu dengan semua kompleksitas yang ada ...

02:08:11,099 --> 02:08:13,643 ... Semua kesempurnaan Anda, semua ketidaksempurnaan Anda.

02:08:14,770 --> 02:08:15,770 - Kau baik-baik saja? - Ya.

02:08:15,937 --> 02:08:17,772 Lihatlah dirimu.

02:08:19,024 --> 02:08:23,944 Kau hanya naungan. Kau hanya bayangan dari istri saya yang sebenarnya.

Dom Cobb memang mengakui bahwa dirinya sangat cinta kepada istrinya. Ia sangat sedih ketika ditinggal oleh istrinya mati –dengan cara yang tragis, yakni bunuh diri, meskipun dalam pandangan istrinya kematian itu adalah untuk menemukan dunia yang real, bukan berada dalam dunia mimpi—dan ia merasa yang paling bertanggung jawab atas kematian istrinya. Dom Cobb sama sekali tidak menduga bahwa istrinya berani melakukan bunuh diri sebab berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog, istrinya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 247 dalam kondisi yang sehat jiwanya dan tidak ada masalah dengan konteks pikiran. Namun, malapetaka tetap terjadi, sang istri bunuh diri tepat di depan matanya Dom Cobb dan lebih parah lagi bunuh diri tersebut dilakukan ketika mereka berdua memperingati hari ulang tahun pernikahan.

Gambar 25: Dom Cobb bertemu istrinya di mimpi tingkat ketiga (Sumber: Inception, 2010)

Dom Cobb sebenarnya merasa senang dan nyaman ketika bertemu istrinya. Sebagai seorang suami, ia merasa bersalah membiarkan sang istri bunuh diri –sewaktu berada dalam dunia nyata—dan ia tidak mampu menolongnya. Karena itu, Dom Cobb berusaha mencari jalan untuk menemui istrinya, salah satunya adalah melalui jalan masuk ke dalam mimpi. Dalam pandangan Jung (1961), seseorang

248 Psikologi Jungian, Film, Sastra memang bisa bertemu seseorang yang lain dalam mimpinya. Hal tersebut merupakan wilayah dalam alam ketidaksadaran kolektif manusia. Jung menunjukkan bahwa ketika dia mengalami sakit parah, dirinya bermimpi bahwa dia bertemu dengan sosok istrinya (catatan: istrinya Jung sudah meninggal). Dalam mimpinya tersebut Jung melihat bahwa istrinya berparas sederhana dan biasa saja. Jung percaya bahwa yang dilihat dalam mimpinya tersebut adalah istrinya. Selang beberapa waktu kemudian, Jung tutup usia. Hal ini menunjukkan bahwa mimpi memang bisa membuka jalan seseorang untuk bertemu dengan orang lain yang terdapat dalam mimpi tersebut. Hanya saja, pertemuan dalam mimpi tersebut bisa muncul dalam bentuk mimpi yang kategori laten dan mimpi yang kategori manifest. Pertama, mimpi laten. Mimpi laten (Freud, 1955) ialah mimpi yang tidak terlihat secara kasat mata. Dalam hal ini, mimpi yang muncul banyak dibalut dengan simbolisme- simbolisme, baik simbolisme yang kontemporer ataupun simbolisme yang archaik. Untuk itu, seorang pemimpi harus mampu menginterpretasikan mimpi dengan bagus berdasarkan simbolisme-simbolisme tersebut. Begitu juga seorang interpreter, mereka juga harus mampu mengaitkan simbolisme dengan konteks mimpi sang pemimpi. Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 249 kesalahan interpretasi simbol-simbol mimpi. Jika terjadi kesalahan dalam penafsiran simbol mimpi, hal tersebut akan berakibat fatal. Tafsir simbolisme yang archaik memang lebih berat dan sulit sebab seseorang –dalam hal ini adalah sang interpreter—harus memahami simbolisme yang berada dalam kitab suci, mitologi, ataupun bahkan data-data yang muncul pada masa prasejarah. Hal tersebut sangat penting sebab seseorang bisa memahami simbolisme archaik dari data-data tersebut. Pemahaman yang komprehensif tentang simbolisme yang archaik lebih mudah dan memudahkan sang interpreter dalam memaknai simbolisme daripada yang kurang memahami teks-teks kuno dalam kaitannya dengan simbolisme. Karea itu, Freud (1955) menunjukkan bahwa simbolisme yang muncul dalam mimpi dalam konteks modern terkadang tidak lepas dari simbolisme-simbolisme yang archaik. Hal ini mengisyaratkan bahwa sang pemimpi tidak mungkin bisa memunculkan simbolisme yang archaik jika dia tidak mempelajari kitab-kitab kuno ataupun tentang mitologi- mitologi yang terdapat pada masyarakat masa lampau. Dalam sebuah mitologi Yunani, Oedipus Rex, mengisahkan seorang anak (Oedipus) yang membunuh ayahnya sendiri (seorang raja Thebe, Lailos). Kesalahan

250 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang muncul dalam tragedi pembunuhan ini adalah adanya salah interpretasi terhadap ramalan yang dimunculkan oleh Oracle Delphi. Berdasarkan pelihatan Oracle Delphi, ditunjukkan bahwa Oedipus kelak akan membunuh ayahnya sendiri. Dalam konteks ini, pelihatan/terawangan/ ramalan, hampir sama dengan dunia mimpi, di dalamnya banyak simbolisme-simbolisme yang harus ditafsirkan dengan tepat sebab ketidaktepatan dalam menafsirkan akan berakibat malapetaka. Hal itupun terjadi pada kisah Oedipus Rex, ia pada akhirnya membunuh ayahnya sendiri. Padahal, dia sudah berusaha melarikan diri dan menjauh dari orang tuanya. Dalam kisah ini, Oedipus memang dibuang oleh ayah aslinya dan dia ditemukan oleh seorang bapak. Ketika Oedipus besar, ia tidak tahu bahwa ayah yang dianggap sebagai orang tua kandung adalah ayah tirinya. Karena itu, ketika dia berusaha menjauhi orang tua aslinya (padahal ayah tiri) agar dia tidak membunuh ayahnya, tetapi dia malah bertemu dengan seorang raja yang ternyata raja tersebut ayah kandungnya sendiri. Ia pun pada akhirnya membunuh ayah kandungnya tersebut. Itulah sebuah kegagalan dalam menafsirkan simbol-simbol yang muncul dalam pelihatan ataupun dalam mimpi yang laten. Dalam konteks mimpi yang laten, terkadang tidak hanya dibaluti oleh banyaknya simbol yang samar-samar, tetapi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 251 juga munculnya mimpi laten yang bersifat distorsi. Istilah distorsi pada hakikatnya berkait dengan penyimpangan mimpi, seseorang yang bermimpi bertemu dengan orang yang dicintainya, bisa jadi dalam alam kenyataan ia gagal bertemu dengan orang yang dicintainya. Dengan demikian, seseorang yang menafsirkan mimpi harus mampu mencoba mendistorsi mimpi- mimpi tersebut. Pada beberapa kasus mimpi yang berkait dengan judi, para pejudi berusaha membolak-balik karakter yang muncul dalam mimpi, misal saja seseorang yang bermimpi tentang membunuh kadal, digigit kadal, kadal masuk rumah. Mimpi tentang kadal dalam perjudian tersebut bisa muncul dengan angka 40, 60. Namun, angka togel tersebut bisa dibalik sebab angka dalam mimpi tersebut bersifat distorsi. Penggunaan distorsi tersebut tidak selamanya benar sebab pendistorsian tersebut bisa muncul secara tepat dan tidak tepat. Mimpi yang terlalu banyak simbolisme, mimpi aneh, mimpi yang menakutkan, jika preferensinya tinggi, bisa jadi disebabkan bukan karena isi mimpi, melainkan karena isi pikiran. seseorang yang jiwanya dalam masalah atau mengalami gangguan jiwa, isi pikirannya cenderung memunculkan hal yang aneh-aneh. Hal yang aneh-aneh tersebut akan muncul dalam mimpi mereka. Karena itu, seseorang yang mengalami schizhoprenia, akan mengalami

252 Psikologi Jungian, Film, Sastra mimpi yang didatang hantu jahat, orang yang sangat besar dan menakutkan, mimpi dikejar-kejar orang yang tidak dikenal, mimpi dipukuli oleh orang yang tidak dikenal. Mimpi-mimpi tersebut sebenarnya merupakan representasi dari pikiran sang pemimpi yang sebenarnya terganggu oleh masalah alam berpikir. Karena itu, dalam konteks ini, yang harus menafsirkan mimpi adalah sang terapis mimpi. Melalui mimpi- mimpi tersebut sang terapis bisa menyembuhkan seseorang yang sedang mengidap schizophrenia. Kedua, mimpi manifest, mimpi yang manifest (Freud, 1955) berarti mimpi yang benar-benar sesuai dengan realitas kejadian yang ada dalam kehidupan real, misal saja seseorang yang bermimpi bertemu dengan orang yang sangat dibencinya, ternyata dalam kehidupan yang nyata, orang tersebut benar-benar bertemu dengan orang yang dibencinya. Kejadiannya pun terkadang sama tempat, sama waktu, dan sama suasana. Mimpi yang jenis kedua ini lebih mudah ditafsirkan sebab tidak banyak simbol yang muncul di dalamnya. Dengan begitu, kemungkinan terjadi salah tafsir terhadap mimpi tersebut sangat jarang. Mimpi bagi orang-orang yang normal biasanya lebih cenderung muncul dalam bentuk yang biasa-biasa saja dan tidak aneh sebab mimpi juga bisa dipengaruhi oleh alam berpikir seseorang. Seseorang yang jiwanya dalam kondisi normal dan stabil,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 253 akan memunculkan mimpi yang normal dan stabil juga, tetapi seseorang yang jiwanya tidak stabil, sulit untuk memunculkan mimpi yang normal dan stabil. Dalam pandangan Jung (1961) mimpi- mimpi yang muncul sebenarnya bisa menjadi penyembuh dalam diri manusia. Karena itu, ketika ada masalah, terkadang mimpi akan menuntun manusia untuk menemui jalan pencerahan, sebuah jalan mediator untuk menuju sebuah resolusi dalam sebuah masalah. Karena itu, Jung tidak begitu mendukung panda ngan Freud bahwa mimpi lebih cenderung ditopang oleh simbolisme-simbolisme yang seksisme. Jung lebih berpandangan bahwa mimpi merupakan sebuah proses trans- formasi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik selama dia bisa menginterpretasikan mimpi tersebut dengan baik. Kembali pada fi lm Inception (2010), setelah mereka –Dom Cobb dan kawan-kawan—berhasil memengaruhi pikiran Fischer, mereka kembali ke alam real dengan menggunakan hentakan yang kuat. Dom Cobb, dengan berat hati meninggalkan istrinya, Mal, yang berada dalam mimpi tingkat ketiga. Sebenarnya ia sangat menyukai istrinya, namun satu hal yang berada dalam pikirannya bahwa istrinya adalah proyeksi diri saja dan bukanlah istrinya yang sebenarnya. Di alam real, dia masih mempunyai dua anak yang masih menunggunya. Karena itu, Dom Cobb

254 Psikologi Jungian, Film, Sastra mencoba kembali ke alam real demi anak-anaknya yang sangat dicintainya. Tentunya, untuk kembali ke alam real tersebut membutuhkan kekuatan yang sangat besar sebab dia akan meninggalkan istrinya yang berada di alam mimpi tingkat yang ketiga. Sebelum menuju ke alam real, Dom Cobb mencoba menemui Mr. Saito. Padahal, teman-temannya Dom Cobb sudah keluar dari mimpi tahap ketiga. Mereka sudah menuju ke mimpi tahap kedua –yang pada waktu itu kondisinya mereka jatuh di sungai bersama dengan Fischer dan Peter (pamannya Fischer). Mereka mempertanyakan mengapa Dom Cobb tidak ikut keluar dari mobil yang tenggelam. Ternyata, Dom Cobb masih mencari Mr. Saito, bukan mencari istrinya sebab Dom Cobb sudah mampu mengendalikan alam pikirannya. Dalam perjalanannya tersebut, Dom Cobb memang benar-benar bertemu dengan Mr. Saito dan pada waktu itu Mr. Saito sudah tua. Dalam pertemuan itu, Mr. Saito pun sudah mulai melupa tentang kejadian yang terjadi di masa mudanya. Diskusipun terjadi di antara mereka berdua. 02:16:33,393 --> 02:16:35,769 Sesuatu yang pernah Anda tahu.

02:16:38,606 --> 02:16:40,858 >”Bahwa dunia ini tidak nyata”

Psikologi Jungian, Film, Sastra 255 02:16:45,780 --> 02:16:50,284 Untuk meyakinkan saya untuk menghormati pengaturan kita?

02:16:51,119 --> 02:16:53,871 Untuk melakukan lompatan kepercayaan, ya?

02:16:59,961 --> 02:17:01,295 Kembalilah ...

02:17:03,840 --> 02:17:07,217 ... Sehingga kita dapat muda bersama lagi.

Dom Coob menunjukkan kenangan lama mereka berdua bahwa semasa muda mereka pernah mendiskusikan tentang kesepakatan di antara mereka. Sebuah kesepakatan untuk menjadi muda lagi dalam sebuah pertemuan di tempat yang real, bukan di tempat yang namanya alam mimpi sebab mimpi bukanlah tempat yang real bagi kehidupan manusia. Mimpi adalah tempat bersemayamnya alam bawah sadar manusia yang penuh dengan simbolisme- simbolisme. Mimpi itu akan selalu ada dan selalu bermain di dalam alam pikiran bawah sadar manusia. Untuk itu, Dom Coob menemui Mr. Saito tua dan mengajaknya kembali ke dunia yang real, bukan dunia mimpi.

256 Psikologi Jungian, Film, Sastra Gambar 26: Mr. Saito yang menjadi tua (Sumber: Inception, 2010)

Film Inception tersebut memang sangat kuat berbicara tentang mimpi dan memang mengandalkan alur fi lm dari kekuatan mimpi. Film ini mulai dari awal sampai akhir lebih banyak berbicara tentang alam mimpi. Sebuah lompatan tentang mimpi dalam mimpi dalam mimpi dan kembali dari mimpi menuju alam real. Kekuatan mimpi sangat besar dalam fi lm ini sehingga mimpi dikaitkan dengan inception, penanaman pikiran dengan pikiran. Jika disimpulkan, fi lm Inception tersebut memunculkan tiga hal utama tentang mimpi. Pertama, mimpi sebagai kerja dari alam bawah sadar memiliki tingkatan yang disebut dengan tahapan dalam mimpi, meliputi tahapan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 257 pertama, tahapan kedua, dan tahapan ketiga. Ketiga tahapan tersebut miliki durasi yang berbeda, semakin dalam tahapan mimpi, akan semakin lama. Kedua, mimpi bisa dimasuki melalui alam pikiran dan untuk masuk dalam mimpi menggunakan alat, selanjutnya untuk kembali ke alam real si pemimpi tersebut menggunakan totem. Keempat, mimpi yang terdapat dalam alam bawah sadar bisa dikendalikan oleh manusia sebab mimpi juga merupakan alam pikiran manusia. Dengan demikian, mimpi tersebut bisa dikendalikan oleh manusia.

258 Psikologi Jungian, Film, Sastra 8 JUNG DAN SASTRA

ebagai seorang psikolog, Jung tidak melupakan wilayah Skajian yang lain, yakni wilayah sastra. Jung memandang sastra sebagai teks yang di dalamnya memunculkan jiwa di dalamnya. Melalui sastra, seseorang bisa belajar dan menggali kearifan, kehidupan, archetype, ataupun hal yang berkait dengan masalah psikologis lainnya. Karena itu, Jung dalam perspektif sastra: melalui pandangan masa lalu atau yang disebut dengan mite dianggap sebagai sebuah pemikiran yang tidak akan lekang oleh masa sebab di dalamnya mengandung archtype yang bersifat archaistik. Mite tersebut masih akan relevan dengan zaman sekarang sebab mite merupakan hasil dari pemikiran manusia yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 259 ‘memurba’. Dalam konteks sastra kontemporer, Jung (1961, 1981) menyukai bacaan-bacaan sastra dari pengarang yang terkenal pada masa itu, yakni Goethe, Gustave Flaubert, Dante, dan Nietzche. Sosok Goethe sebagai seorang pengarang sangat disukai oleh Jung sebab Goethe adalah kakek buyutnya. Jung (1961) membaca karya Goethe, Faust. Seorang penganut psikologi Jungian, von Franz (1980) menegaskan bahwa Jung sebagai psikolog memang menyukai bacaan kesastraan. Untuk itu, Jung mene- laah bidang kesastraan dan memberikan contoh psikologi yang dikaitkan dengan sastra. Tacey (2007) menunjukkan bahwa studi psikologi Jungian bisa digunakan untuk meneliti karya sastra. Begitu juga dengan Rowland (1999), Fike (2014) semakin memperkuat fakta bahwa studi psikologi Jungian bisa digunakan dalam konteks kesastraan terutama sastra kontemporer. Adapun Leigh (2015), Gill (2019) menelaah sastra dengan perspektif psikologi Jungian dengan fokus utama archetypal. Studi yang dilakukan oleh peneliti sastra tersebut menunjukkan bahwa psikologi Jungian memang bisa digunakan untuk meneliti sastra, baik perspektif penulis/ pengarang; perspektif karya; dan perspektif pembaca. Berdasarkan paparan tentang Jung dalam konteks sastra tampak bahwa (1) Jung memang merupakan seorang psikolog yang sekaligus menyukai bidang kesastraan sehingga ilmu

260 Psikologi Jungian, Film, Sastra psikologinya dikombinasikan dengan ilmu sastra dan Jung memang menggunakan (beberapa) data sastra untuk bidang psikologi yang dikembangkannya tersebut. Hal tersebut mempermudah Jung dalam menjelaskan fakta-fakta psiko- logis sebab sastra juga tidak lepas dari fakta psikologis kemanusiaan; (2) berdasarkan riset yang dilakukan oleh para psikolog yang propsikologi Jungian, mereka memang melakukan riset dengan menggunakan data sastra. Hasilnya, para peneliti tersebut bisa menemukan hal lain dalam kaitannya dengan psikologi Jungian yang digunakan dalam karya sastra. Mereka –para penganut psikologi Jungian— percaya bahwa studi psikologi Jungian bisa dilakukan dengan menggunakan data sastra dan hal tersebut juga telah diuji oleh Jung ketika menggunakan data sastra . Melalui studi yang dilakukan dengan menggunakan data sastra, hal tersebut semakin menunjukkan pula bahwa sastra memang kaya akan jiwa manusia, baik sebagai eksplorasi ataupun sebagai narasi tentang jiwa manusia; dan (3) menunjukkan adanya hubungan timbal-balik antara psikologi dan sastra dan sastra dengan psikologi sebab keduanya merupakan studi yang juga membicarakan jiwa manusia. Diakui atau tidak, tidak banyak seorang psikolog yang memang menyukai sastra dan mengaitkan sastra dengan studi psikologi yang digelutinya. Jung sebagai

Psikologi Jungian, Film, Sastra 261 seorang psikolog merupakan satu di antara sekian banyak psikolog yang mau menggeluti dunia sastra dan mengim- plimentasikan teori psikologi dengan sastra. Sebagaimana diketahui bersama, psikolog yang lainnya, --sesama psikoanalisis--, misalnya Freud, Anna Freud, Fromm, dan Adler, tidak begitu banyak mengaitkan teori psikologinya dengan konteks kesastraan. Para tokoh psikoanalisis yang lainnya, berdasarkan amatan penulis, memang kurang dieksplorasi tentang diskusi ilmiah yang mengaitkan psikologi dengan sastra. Hal tersebut sangat wajar dan maklum sebab kecintaan terhadap sastra tidaklah dipaksakan. Karena itu, muncullah pepatah yang berbunyi “de gustibus non est disputandum” yang bermakna bahwa tak ada yang patut diperdebatkan jika menyangkut masalah selera. Memang demikianlah adanya, seorang psikolog yang menyukai sastra, biarlah dia menyukai sastra sedangkan psikolog yang menyukai nonsastra, biarlah dia menyukai hal tersebut sebab keberbedaan dalam keilmuan merupakan suatu keindahan tersendiri dalam kehidupan. Jika dalam kehidupan ini sama saja antara yang satu dengan yang lainnya, tentunya kehidupan ini menjadi tidak asyik dan tidak menyenangkan. Tampaknya, pengaitan antara sastra dan psikologi dan pengaitan psikologi dengan sastra tidak lepas dari minat

262 Psikologi Jungian, Film, Sastra seseorang. Siapapun itu, ketika minat sastranya tinggi, mau tidak mau dia akan mempertahankan dan mengaitkannya dengan bidang keilmuan yang lain selama hal tersebut masih relevan dan masih memiliki ketepatan dalam berlogika. Hal itulah yang dipegang oleh Jung sebagai seorang psikolog yang menaruh minat pada bidang kesastraan. Adanya keberkaitan dan antara sastra dan psikologi dan psikologi dengan sastra hal ini tentunya merupakan angin segar bagi para pecinta sastra, baik yang teoretis, akademis, maupun praktis. Melalui sastra yang merupakan hasil proses kreatif sang pengarang, seorang pembaca bisa menggali lebih dalam apa yang terdapat di dalamnya. Sebuah penggalian tentang dunia yang berbicara tentang psike manusia. Seorang sastrawan dalam melahirkan karya sastra tidaklah lepas dari psikologi. Dalam hal itu, seorang pengarang muncul dalam tiga kategorial, yakni sebagai berikut. Pertama, seorang pengarang yang memahami dan menguasai ilmu psikologi. Pengarang jenis ini merupakan pengarang yang multitalenta sebab dia bisa mempelajari, memahami, dan menguasai ilmu psikologi, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pengarang jenis ini sangatlah jarang sebab untuk mampu memahami dan menguasai dua wilayah keilmuan merupakan hal yang berat

Psikologi Jungian, Film, Sastra 263 dan tidak semua orang bisa menguasainya dengan baik. Sastrawan jenis ini akan sangat baik dalam menarasikan konteks psikologi yang muncul dalam karya sastra yang dibuatnya sebab dia memang memahami dan menguasai ilmu psikologi. Karakter tokoh dalam sastra juga akan tampak lebih hidup sebab secara psikologis sang tokoh sudah dinarasikan seperti manusia yang memiliki jiwa. Selain itu, sastrawan kategori ini merupakan sastrawan yang secara sadar memunculkan ilmu psikologi dalam karya sastra. Untuk pembaca, sastra jenis ini sangat bagus dipelajari terutama bagi pembaca yang menginginkan mempelajari psikologi melalui jalur kesastraan. Jika mempelajari psikologi melalui jalur murni, artinya belajar psikologi dengan teks-teks psikologi, tentunya rasanya menjadi kering dan kaku. Image ini muncul disebabkan bidang keilmuan yang berbeda, tetapi bagi orang yang memang memiliki bakat dan penyuka psikologi, tentunya kering dan kaku merupakan sesuatu yang menyenangkan sebab orisinal. Namun, dalam konteks dunia sastra, seseorang akan merasa lebih estetis ketika membaca perpaduan antara sastra dan psikologi yang diramu dan diracik menjadi satu narasi. Guna memahami konteks ini, seorang pembaca sastra juga harus memiliki bekal keilmuan yang berkait dengan

264 Psikologi Jungian, Film, Sastra psikologi. Hal ini sangat perlu dan sangat dibutuhkan guna menguatkan interpretasi seseorang dalam melahirkan interpretasi psikologis yang tepat terhadap karya sastra. Jika sang pembaca sastra kurang kuat dalam memahami bidang keilmuan psikologi, ia akan terseok-seok dalam memahami psikologi yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Bahkan, yang lebih parah lagi adalah ketika sang pembaca mengungkapkan ia tidak mendapatkan apa- apa dari apa yang dipelajarinya. Tentunya, fi losofi yang digunakan “hanya orang yang tidak tahu apa-apa yang mampu mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan apa- apa dari sesuatu yang dibacanya”. Hal itu, menunjukkan kadar kemampuan seseorang dalam menafsirkan sesuatu sehingga dirinya mengatakan dia tidak mendapatkan apa- apa. Padahal, apa yang dibacanya tersebut sangat berbobot dan bagus. Kedua, sastrawan yang memunculkan psikologi di dalam karya sastra secara parsial. Artinya, sastrawan dalam konteks ini adalah sastrawan yang memahami psikologi, tetapi hanya konteks yang umum saja. Dengan begitu, pemahaman tentang psikologi masih di permukaan. Meskipun demikian, sang sastrawan menyisipkan psikologi dalam sastranya sehingga sastra tersebut masih memunculkan kekuatan psikologinya. Tentunya, dalam hal

Psikologi Jungian, Film, Sastra 265 ini, sang pembaca bisa mengambil ilmu psikologi dari sastra yang ditulis oleh sastrawan tersebut. Namun, sang pembaca juga harus mampu mengenali dan memahami latarbelakang sastrawan tersebut dalam kaitannya dengan psikologi yang dianut oleh sang sastrawan. Sastrawan yang melahirkan sastra kategori ini memang kadar sadar ataupun tidak sadar memasukkan ilmu psikologi tertentu dalam karyanya. Untuk kategori ini, psikologi sastra masuk kategori kedua dari segi isi. Meskipun demikian, ketika kekuatan psikologinya kategori umum, tetapi karya sastranya bagus, tetap saja karya sastra yang dilahirkan tersebut bagus sebab psikologi hanyalah pemanis saja dalam sastra. Ketiga, sastrawan yang kurang memahami ilmu psikologi. Sastrawan kategori ini merupakan sastrawan yang memang memiliki keahlian dalam menulis sastra. Sastrawan yang memang memiliki bakat dalam kaitannya dengan melahirkan karya sastra. Namun, beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa sastrawan kategori ini secara akademis jenjang pendidikannya tidak tinggi sehingga pemahaman tentang ilmu psikologi tidak mendalam. Bahkan, jika boleh mengatakan sastrawan tersebut tidak mempelajari ilmu psikologi. Meskipun demikian, sastrawan kategori ini memiliki kelebihan kaitannya dengan orisinalitas.

266 Psikologi Jungian, Film, Sastra Sastrawan jenis ketiga ini bisa menulis dengan orisinal karakter tokoh yang terdapat di dalamnya. Jika merujuk pada archetype, manusia memiliki pikiran yang sama dalam derajat yang berbeda. Dengan demikian, sastrawan kategori ini memang tidak memunculkan ilmu psikologi di dalam karya sastranya. Namun, ia secara tidak sadar memang memunculkan ilmu psikologi di dalamnya. Tentunya, mun- culnya ilmu psikologi tersebut bukan disebabkan sang sastrawan mempelajari ilmu psikologi, tetapi lebih pada kemampuannya dalam memunculkan ilmu psikologi yang muncul secara tidak sadar dari dalam dirinya. Tipe-tipe sastrawan seperti ini merupakan sastrawan yang memiliki kekhasan tersendiri sebab bahasa menggunakan bahasa yang orisinal dari kehidupan keseharian dan pengalaman empiris yang telah mereka lalui. Sastrawan memiliki strategi tersendiri dalam memba- ngun psikologi tokoh dalam karya sastra. seorang sastrawan yang mumpuni di bidang keilmuan psikologi bukan berar- ti dia akan bagus dalam melahirkan karya sastra. begitu juga seorang sastrawan yang kurang mumpuni dalam memahami psikologi, berarti kurang bagus dalam memun- culkan karya sastra yang dilahirkannya. Semuanya, baik yang ahli psikologi dan yang tidak ahli psikologi sama- sama memiliki kemampuan dalam melahirkan karya sastra.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 267 hanya saja, yang menjadi penentu adalah masyarakat pembaca. Di tangan merekalah karya sastra yang dilahirkan oleh sang pengarang dikritik, nikmati, dan dinilai apakah sastra ini merupakan sastra kanon ataupun yang bukan sastra kanon. Namun, satu hal yang paling penting adalah melahirkan karya sastra adalah sebuah ungkapan jiwa dan pengungkapan jiwa itu adalah ilmu psikologi dalam bentuk yang lain. Sastra bisa digunakan sebagai mitra dialog (partner of a dialogue) dalam kaitannya dengan psikologi (Jauregue, 2017:1169). Pemikiran Jauregue tersebut tidak lepas dari pandangan psikoanalisis bahwa sastra dan psikologi memang memiliki keberkaitan. Tentunya, keberkaitan tersebut harus mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah agar terbukti benar-benar sebagai ilmu pengetahuan yang kokoh. Selama ini, studi psikoanalis –dalam pandangan orang-orang yang beraliran psikologi kesadaran—dianggap sebagai psikologi yang kurang mampu mempertanggungjawabkan kadar keilmiahannya sebab menggunakan kajian yang fokusnya pada alam ketidaksadaran. Padahal, alam ketidaksadaran tersebut sulit untuk diukur dengan menggunakan skala keilmuan yang mengandalkan adanya fakta empiris. Jika fakta empiris tersebut sulit dimunculkan dan ditampakkan sebagai penguat keterandalan suatu ilmu pengetahuan,

268 Psikologi Jungian, Film, Sastra ilmu pengetahuan tersebut akan sulit berterima di kalangan masyarakat luas. Diakui atau tidak, masyarakat saat ini lebih mengandal- kan keilmiahan dalam berbagai ilmu pengetahuan. Jika tidak mampu memunculkan hal tersebut, mau tidak mau ilmu tersebut akan tenggelam dengan sendirinya sebab digerus oleh perkembangan keilmuan yang semakin lama semakin menuntut keilmiahan, keempirisan, dan kegeneralisasian. Studi psikologi dalam sastra memang memunculkan pro dan kontra sebab sastra sebagai teks kreatif tentunya agak sulit digunakan sebagai data empiris dalam kaitannya dengan psikologi. Hal itu wajar sebab memang sastra dilahirkan dalam rangka proses kreatif sang pengarang dan tidak ada tendensi dalam kaitannya dengan masalah psikologis, meskipun memang ada riak tendensi psikologis. Berkait dengan kontroversi psikologi dalam studi sastra, Santos et al. (2018:767) mengemukakan bahwa logika dalam psikologi bertentangan dengan kesastraan (opposite to literature). Logika dalam psikologi tersebut tidak bisa dikaitkan dengan logika dalam sastra sebab keduanya sebagai disiplin ilmu memiliki logika yang berbeda dalam keilmuan dan penerapannya. Logika yang berbeda tersebut tidak bisa disandingkan, tetapi di dalamnya bisa dikaitkan dan diselaraskan sehingga bisa memunculkan keberhubungan yang saling berkaitan antara satu dan lainnya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 269 Melalui kajian psikologi sastra yang sudah marak saat ini –meski tidak semarak bidang keilmuan yang lainnya--, studi tentang sastra tidak hanya berorientasu di konteks sosiologi ataupun antropologi tetapi juga mengarah pada bidang yang psikologi. Dengan begitu, kekuatan studi psikologi sastra bisa sejajar dengan studi sosiologi sastra yang terdapat dalam konteks kritik sastra. Semoga para peminat dan pendukung psikologi sastra berjuang agar studi psikologi sastra masih kuat dan makin lama harus lebih kuat.

Studi Sastra dan Cerita Rakyat dan Psikologi Jungian Studi sastra dan cerita rakyat yang berkait dengan psikologi Jungian bukanlah sebuah studi yang baru. Studi kategori psikologi Jungian dalam konteks sastra dan cerita rakyat cenderung mengarah pada studi archetype. Salah satu hal yang paling mendasari mengapa studi sastra dan cerita rakyat lebih mengarah pada archetype sebab archetype merupakan teori Jungyang dianggap sebagai teori yang paling kokoh dan paling orisinal. Faktanya, Jung memang banyak bergelut dengan teori archetype selama puluhan tahun agar archetype benar-benar menjadi teori yang teori.

270 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jika ditelusuri lebih dalam, studi psikologi Jungian memang banyak terasuki oleh pemikiran Jung tentang archetype, misal saja dalam simbolisme mimpi dan anima/ animus. Kesemuanya tidak lepas dari diskusi tentang archetype. Untuk menemukenali archetype yang sebenar- nya tidak lepas dari ketidaksadaran kolektif manusia, lebih mudah mendapatkannya dari sumber data mitologi sebab sumber data tersebut sampai sekarang masih ada dan masih konkret. Hal itu tampaknya juga dijadikan pedoman bagi para psikolog untuk menemukan archetype. Studi sastra dan cerita rakyat yang berkait dengan psikologi Jungian sudah pernah dilakukan oleh peneliti berikut (catatan: data sementara yang dilakukan oleh penulis sampai tahun 2019). Neumann (1963) memperdalam studi archetype Jungian dengan menelaah mitologi Yunani kuno. Ia menggali mito logi Yunani kuno dan dihubungkaitkan dengan konteks pattern of archetype. Neumann menunjukkan bahwa struktur dalam dewi yang terdapat dalam mitologi Yunani kuno sebenarnya terpolakan dan memiliki simbolisme- simbolisme yang memerlukan pemaknaan secara men- dalam. Merujuk pada pandangan Jung, archetype dalam mitologi salah satunya adalah dewi. Karena itu, Neumann lebih mengarahkan pada dewi yang terdapat dalam mitologi Yunani. Neumann menemukan bahwa dewi dalam Yunani

Psikologi Jungian, Film, Sastra 271 kuno muncul dalam tipikal perusak-pembangun, baik-jahat, bumi-langit. Studi yang dilakukan oleh Neumann (1963) tersebut sangat bagus dan detil dalam menggali data sebab dia menunjukkan paparan hasil analisis yang berkait dengan dewa-dewi pada bagian lampiran. Hal tersebut sangat memudahkan pembaca untuk memahami bagaimana struktur pola archetype dewa-dewi Yunani jika meng- gunakan pandangan psikologi Jungian yang difokuskan pada archetype. Neumann juga sangat mengenali dan memahami data naratif tentang para dewa-dewi sehingga hal tersebut memudahkan dirinya dalam memaparkan archetype tentang dewa-dewi Yunani. Von Franz (1997) menggali archetype dari cerita rakyat yang terdapat di berbagai negara. Sebagai seorang penganut psikologi Jungian, ia menunjukkan secara komprehensif cerita rakyat dunia yang memiliki pola archetypes. Studi tersebut merupakan hasil interpretasinya selama bertahun- tahun dalam kaitannya dengan archetype. Hasil penelitian tentang archetype dan cerita rakyat tersebut dirangkum dari serangkaian kuliah Von Franz pada tahun 1974 di C.G. Jung Institut di Zürich dan kemudian dibukukan menjadi buku yang berkait dengan archtype.

272 Psikologi Jungian, Film, Sastra Ahmadi (2011) meneliti tentang cerita rakyat Pulau Raas, Madura dengan menggunakan psikologi Jungian. Ia menggunakan teori archetype yang biasanya secara umum digunakan dalam penelitian cerita rakyat, yakni (1) tokoh, (2) perjalanan, (3) peristiwa, dan (4) imaji. Ia melakukan penelitian dengan studi etnografi s untuk mendapatkan data tentang cerita rakyat sehingga data yang diperolehnya berupa data sastra lisan yang ditransliterasikan dan kemudian ditranskripsikan. Berdasarkan hasil penelitian, Ahmadi menunjukkan bahwa cerita rakyat Pulau Raas sebagai hasil pemikiran primordial memiliki archeytpe yang sama. Kesamaan dengan yang cerita rakyat yang lainnya tersebut disebabkan karena keterpengaruhan dan juga karena disebabkan adanya idea yang sama dalam archetype. Ahmadi (2017) meneliti tentang cerita rakyat Jerman dengan menggunakan perspektif psikologi Jungian. Pene- litian tersebut menggunakan pendekatan psikologi kualitatif dengan sumber data cerita rakyat Jerman. Teori yang digu- nakan yakni archetype Jungian dan sakralitas-profanitas Mircae. Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan archetype Jungian, cerita rakyat Jerman memunculkan perempuan yang bertipikal sakral dan bertipikal profan. Munculnya sakralitas dan profanitas dalam diri perempuan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 273 tersebut tidak lepas dari archetype manusia yang muncul secara primodial dalam diri manusia. Studi yang dilakukan oleh Ahmadi tersebut agak berbeda dengan studi yang dilakukan dengan studi yang dilakukannya ketika menggunakan psikologi Jungian untuk menganalisis data cerita rakyat. Dalam kaitannya dengan cerita rakyat Jerman, dia menggunakan data teks tulis cerita rakyat Jerman yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Begitu juga dengan sudut pandang penelitiannya, dalam mendekati cerita rakyat Jerman digunakan konsep sakral dan profan Mircea sehingga hasil penelitian tidak hanya berbicara tentang archetype yang berkait dengan tipe perempuan, tetapi juga dikaitkan dengan sakral dan profan dengan harapan hasil temuan lebih komprehensif.

Jung, Archetype, dan Sastra Kontemporer Psikologi Jungian tidak hanya bisa dan masuk dalam studi sastra klasik ataupun cerita rakyat. Psikologi Jungian juga bisa digunakan dalam studi terhadap sastra kontemporer. Sastra kontemporer sebagaimana sastra klasik juga menarasikan hal yang berkait dengan masalah psikologi, terutama yang muncul melalui tokoh- tokoh yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Tidak

274 Psikologi Jungian, Film, Sastra hanya itu, sang pengarang yang melahirkan karya sastra tersebut tidak lepas juga dari unsur penelitian. Bahkan, sang pembaca juga. Dengan demikian, seorang pembaca. Dengan demikian, dalam studi sastra kontemporer, sang peneliti bisa menelaah lebih dalam dan lebih kompleks sebab sekarang ini masalah kejiwaan semakin kompleks dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan manusia modern. Salah satu novel yang saya sukai adalah Musashi karya Eiji Yoshikawa. Novel ini merupakan novel yang legendaris sebab di pengantarnya dipaparkan bahwa novel Musashi terjual lebih dari jumlah penduduk Jepang pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa novel tersebut sangat laris manis dan memang benar-benar disukai oleh masyarakat. Ketika saya membaca novel tersebut (tentunya yang sudah terjemahan dalam bahasa Indonesia) ada hal yang menarik, yakni sebagai berikut. Pertama, segi gaya penceritaan yang enak, renyah, dan mengalir. Tapi, sang pengarang sebagai sosok penulis yang sudah mumpuni, tetap tidak meninggalkan kesan estetis sebagai bentuk penciri dari sastra. Sang pengarang, dalam hal ini Eiji Yoshikawa, menggunakan bahasa yang memang enak didengar, dibaca, dan dirasakan. Karena itu, bahasanya menjadi mengalir. Tampaknya, dia bukan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 275 seorang pengarang yang suka menggunakan bahasa yang penuh dengan simbolisme. Kedua, narasi di dalam novel tersebut dibuat sederhana, tetapi pembaca seolah diajak tersedot ke dalamnya sehingga pembaca sulit berhenti. Jika dikaitkan dengan istilah sekarang, pembaca seolah tersihir untuk selalu membaca dan membaca buku tersebut. Saya pun demikian, novel yang tebalnya 1247 halaman tersebut akhirnya habis terbaca dalam jangka waktu dua minggu. Ketika narasi menggunakan bahasa yang sederhana, kalangan remaja, dewasa, ataupun tua akan mudah dan senang mengikuti jalan cerita novel tersebut mulai dari awal sampai akhir. Ketiga, sang penerjemah yang bernama Koesalah S. Toer tampaknya lihai dalam menerjemahkan sehingga bahasa yang digunakan masih nyaman. Terkadang, karya yang besar ketika diterjemahkan oleh seseorang yang kurang ahli dalam menafsirkan teks kategori kesastraan, esensi dari sastra tersebut akan hilang sebab sang penerjemah kurang mampu menangkap makna bahasa sastra tersebut secara tepat. Memang, dalam seni translasi, yang menjadi kendala adalah pemahaman bahasa seorang penerjemah. Untuk itu, seorang penerjemah bidang kesastraan, harus mampu memahami bidang kesastraan agar tidak terjadi salah interpretasi dan salah dalam penerjemahan, terutama untuk makna-makna yang kurang akrab didengar.

276 Psikologi Jungian, Film, Sastra Kelima, tema yang digarap oleh sang pengarang berkait dengan seni pedang, tetapi di dalamnya dibalut dengan kisah cinta dan perjalanan fi lsafat zen. Perpaduan tentang pedang, cinta, dan fi lsafat ini ternyata diramu dengan bagus oleh sang pengarang sehingga novel yang tebal tersebut tidak membosankan di mata pembaca. Tentunya, tidak membosankan dalam pikiran dan imaji pembaca yang seolah diajak menyelami kehidupan dalam novel tersebut. Sebagai novel yang bersekuel panjang, novel Musashi memunculkan archetype orang tua yang muncul sebagai berikut. Orang tua yang berkarakter kuat dan tangguh. Karakter ini muncul pada sosok yang bernama Osugi, ia merupakan seorang ibu yang berusia sekitar hampir 60- an tahun. Sebagai seorang ibu, dia digambarkan sebagai sosok yang kuat dan tangguh dalam memimpin kehidupan keluarga. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut. Di musim tanam ia mencangkul ladang, dan sesudah panen. la menebah butir-butirnya dengan menginjak-injaknya. Kalau senja memaksanya berhenti bekerja, ada saja yang dapat ditemukannya untuk disandangkan ke punggungnya yang bungkuk dan diangkutnya pulang ke rumah (Yoshikawa, 2001).

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa tokoh Osugi sebagai seorang ibu benar-benar merupakan sosok yang tangguh dalam kehidupan keseharian, ia kuat untuk //

Psikologi Jungian, Film, Sastra 277 mencangkul ladang dan memanen// sehingga hal tersebut merupakan representasi dari seorang perempuan yang luar biasa. Tidak hanya itu, jika pagi dia ke ladang, ketika malam “ia dapat ditemui sedang mengurus ulat sutranya” (Yoshikawa, 2001). Osugi sebagai sosok ibu bukanlah ibu yang biasa-biasa saja, melainkan ibu yang luar biasa dalam cara kerja dan cara bertindak. Ia sulit untuk berhenti bekerja sebab hal tersebut sudah mejadi kebiasaanya dalam hidup. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Ia bekerja mulai dari pagi sampai dengan malam dan dia juga tidak mengenal rasa lelah sedikitpun. Di sisi lain, sebagai seorang ibu, ia adalah sosok yang sangat sayang kepada anaknya, Matahachi. Ketika selesai perang, ia mencari temannya Matahachi, Takezo namanya. Osugi berpikir bahwa ketika Takezo pulang dari perang di Sekigahara dalam kondisi selamat, tentunya juga Matahachi juga akan pulang dengan kondisi selamat pula sebab keduanya merupakan teman akrab sehingga tidak mungkin Takezo akan meninggalkan Matahachi di medan laga sendirian. Bahkan lebih parah lagi, membiarkan Matahachi terbunuh di medan laga. Ketika bertemu dengan Takezo, ia pun menanyakan di manakah posisi Matahachi saat itu. Takezo pun menjelaskan bahwa Matahachi melarikan diri dalam perang. Karena itu, dia tidak bisa bertemu dengan Matahachi. Ketika mengetahui bahwa Mathachi tidak ada dalam perang dan Matahachi melarikan

278 Psikologi Jungian, Film, Sastra diri, Osugi merasa bahwa Takezolah yang meninggalkan Matahachi sendirian di medan perang. Ia sangat kasihan kepada Matahachi. Perasaan yang demikian merupakan perasaan sayang yang dimunculkan oleh seorang ibu kepada anaknya. Dalam pandangan Fromm (1998), cinta seorang ibu merupakan cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat adalah cinta yang tidak meminta apa-apa. Cinta yang tidak meminta imbalan kepada anaknya. Cinta yang tidak menginginkan balas budi dari orang yang paling dia cinta. Cinta kategori ini merupakan cinta yang berat sebab cinta tersebut membutuhkan kekuatan dan pengorbanan yang besar dan energi yang besar pula. Cinta tanpa syarat adalah sebuah cinta yang memang sangat besar pengorbanannya untuk orang lain sebab yang cinta tanpa syarakat adalh cinta yang tidak memiliki syarat apa-apa dalam mencinta. Tidak semua ibu mampu memunculkan cinta tanpa syarat, tetapi kebanyakan seorang ibu memang memiliki cinta tanpa syarat. Bahkan, seorang perempuan (meskipun bukan ibu) memang memiliki cinta tanpa syarat. Karena itu, dalam pepatah Inggris ada ungkapan perempuan itu “give and forgive” dan laki-laki itu “get and forget”. Pepatah Inggris tersebut menunjukkan secara eksplisit bahwa perempuan memang benar-benar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 279 merupakan sosok yang memiliki kekuatan dalam masalah cinta yang sejati. Cinta yang tidak mengharapkan imbalan ataupun balas budi dari orang yang dicintainya. Sungguh hal tersebut merupakan sebuah cinta yang sulit dilakukan sebab membutuhkan kekuatan dan kesabaran yang luar biasa. Di balik sisi kekuatan dan cinta, tokoh Osugi merupakan sosok yang pemarah. Ia sangat marah dengan Takezo dan Osugi ingin membunuhnya. Padahal, jika ditinjau dari segi fi sik, Osugi sudah tua sedangkan Takezo masih muda dan hebat dalam bermain pedang. Namun, terkadang kekuatan kemarahan akan mengalahkan segalanya. Seseorang yang sedang marah memiliki energi yang sangat besar sehingga dia bisa meledak-ledak dan lupa segalanya, termasuk kondisi tentang kekuatan dirinya. Manusia terkadang lupa dengan kemampuan dirinya sehingga hal tersebut membuat dirinya seolah-olah kuat padahal yang sebenarnya mereka lemah dari sisi fi sik. Ketika rencana membunuh Takezo dengan model face to face gagal. Ia pun meminta bantuan orang lain. Osugi meminta bantuan orang-orang yang tidak suka dengan Takezo agar Takezo ditangkap dan dibunuh. Cara yang dilakukannya merupakan cara yang licik sebab dia menjebak Takezo untuk datang ke rumahnya dan ajak makan-makan. Kemudian, Takezo diminta untuk mandi

280 Psikologi Jungian, Film, Sastra agar tubuhnya bersih. Dalam kondisi itu, pasukan yang siap menyerang Takezo sudah mengepung kamar mandi. “Lekas sana ke kamar mandi,” desak Osugi dengan nada seorang nenek. “Bahaya sekali berdiri di sini orang bisa melihatmu. Akan kuambilkan kimono dan pakaian dalam Matahachi untukmu. Sekarang tenang-tenang saja dan mandilah yang baik.” (Yoshikawa, 2001)

Berdasarkan kutipan tersebut Takezo memang benar- benar diperlakukan secara baik oleh Osugi. Namun, sikap baik yang dilakukan oleh Osugi tersebut bukanlah sikap yang baik sesungguhnya. Karena itu, Takezo pun tidak merasa dijebak sebab dia menafsirkan bahwa sang nenek tersebut perpikiran dan bersikap benar-benar baik. Dalam konteks fi lsafat kritis seorang harus mampu menggunakan konsep “saya percaya jika saya tidak percaya dan saya percaya dalam ketidakpercayaan saya”. Itu adalah konsep orang yang berpikir kritis sehingga mereka tidak mudah ditipu orang dan tidak mudah percaya dengan omongan orang lain. Pandangan tersebut akan membuat orang tidak akan tersesat dan mudah dijebak oleh orang lain. Si ibu yang bernama Osugi tersebut dalam konteks psikologi Jungian merupakan archetype perempuan. Archetype tersebut muncul dalam representasi kuat, sayang, dan pemarah. Dalam pandangan Jung (1953),

Psikologi Jungian, Film, Sastra 281 archetype seorang ibu muncul dalam berbagai segmentasi sehingga karakter yang dimunculkan juga memiliki keber- bedaan. Namun, secara genealogis, karakterisasi itu bersifat archetype sehingga akan muncul dan mengalami perulangan pada masa yang mendatang. Sifat yang berulang diistilahkan dengan ouroboros. Dalam konteks kefi lsafatan, istilah ouroboros dikaitkan dengan fi losofi bahwa dalam semua kehidupan, segala sesuatu akan mengalami perulangan. Munculnya dan adanya perulangan tersebut disimbolkan dengan ular yang menggigit ekornya sendiri dalam kondisi melingkar. Hal itu memang merupakan fi losofi hidup bahwa hidup merupakan sebuah perputaran pemikiran. Seseorang yang perpikiran tentang bagaimana cara terbang yang muncul pada 10 ribu tahun yang lalu akan muncul lagi sekarang, tetapi dengan cara dan karakter yang berbeda sebab zaman dan pemikiran manusia sudah mengalami perkembangan. Jika pada zaman dahulu, manusia terbang dengan menggunakan payung terbang yang bertenagakan angin, sedangkan manusia sekarang menggunakan balon terbang yang menggunakan tenaga gas. Kekuatan alam berpikir yang demikian memang sama seperti masa lalu sebab pikiran merupakan sesuatu yang archetype dan akan selalu mengalami perulangan dalam berbagai masa bahkan sampai akhir zaman.

282 Psikologi Jungian, Film, Sastra Tokoh Osugi dalam Musashi merepresentasikan archetype yang dualtipe sehingga dia tidak berdiri pada satu titik elemen. Osugi sebagai representasi dari perempuan menunjukkan elemen yang positif dan elemen yang negatif. Elemen dalam diri perempuan yang bernama Osugi memang tidak menunjukkan kekuatan satu elemen saja, tetapi menunjukkan lebih dari satu elemen. Munculnya elemen yang positif dan negatif dalam diri perempuan merupakan archetype sebab elemen tersebut akan muncul dan tenggelam seiring dengan perubahan waktu. Pemunculan dan penenggelaman elemen tersebut bergantung pada archetype tersebut muncul dan disimbolkan. Perempuan itu bilang, tidak cukup membunuhnya seketika, kita harus menyiksanya dulu (Yoshikawa, 2001)

Osugi sebagai seorang ibu ternyata memang benar- benar memunculkan naluri kejahatannya. Ia sebagai seorang ibu sangat tidak terima ketika Matahachi yang ditinggalkan oleh Takezo di medan perang dan mengakibatkan Matahachi terbunuh di medan perang tersebut sedangkan Takezo sampai sekarang masih hidup dan masih kuat seperti sediakala. Bahkan, sekarang Takezo semakin brutal dalam membunuh orang-orang yang dianggap sebagai lawan tandingnya. Ketika Takezo tertangkap oleh Takuan, banyak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 283 orang yang berdatangan untuk menyaksikan hal tersebut dan salah satunya adalah Osugi. Waktu itu, Osugi sangat ingin agar Takezo dibunuh saja sebab gara-gara Takezolah anaka kesayangannya yang bernama Matahachi meninggal dunia di medan perang. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut. Perempuan itu bilang, tidak cukup membunuhnya seketika, kita harus menyiksanya dulu (Yoshikawa, 2001)

Gambaran tersebut menunjukkan betapa jahatnya seorang ibu terhadap orang lain. Hal itu memang menun- jukkan karakter archetype ibu sebagai sebuah elemen yang negatif sebab dia ingin membunuh orang lain. Dalam konteks ini, dia ingin membunuh bukan karena kebaikan, melainkan karena dia ingin membalas dendam. Situasi ini menunjukkan bahwa elemen negatif seorang ibu tersebut sangat kuat disebabkan rasa cinta dan rasa sayang yang terlalu tinggi kepada anaknya. Energi itulah yang muncul dalam dirinya sehingga dalam konteks psikologi Jungian dianggap sebagai dualtipe yang sebenarnya bersumber pada monotipe. Selain archetype ibu yang direpresentasikan melalui tokoh Osugi, dalam Musashi juga memunculkan archetype orang tua bijak. Archetype orang tua bijak banyak muncul

284 Psikologi Jungian, Film, Sastra dan berulang dalam mitologi sebab karakterisasi ini memang secara fakta banyak mitologi yang memunculkan orang tua. Dalam mitologi, orang tua bijaksana muncul dalam bentuk segmentasi sebagai berikut. Pertama, orang tua yang bijaksana dalam mitologi yang muncul dalam bentuk orang tua yang membantu tokoh utama ketika dalam masalah. Orang tua bijaksana ini biasanya memberikan pertolongan kepada tokoh utama yang pada awalnya dia sangat membutuhkan bantuan tersebut. Bantuan yang dimunculkan oleh orang tua yang bijak bisa berupa pemberian ilmu kepada tokoh utama. Ilmu tersebut diberikan dengan cara pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada sang tokoh utama. Dalam Harry Potter, dikisahkan bahwa sosok Dombledore adalah sosok orang tua yang bijak. Beliau merupakan sosok yang bijak sebab tidak mau menunjukkan keberpihakan ketika Harry Potter –sebagai tokoh utama—mendapatkan serangan dari musuh- musuhnya. Namun, di balik itu, Dombledore memang tetap mendukung dan membantu Harry Potter. Dombledore lah yang mengusahakan agar Harry Potter bisa menjadi seorang penyihir yang sukses dan hebat. Dombledore sebagai seorang yang bijak sangat paham bahwa Harry Potter dalam bahaya sebab dia tidak lepas dari bayang-bayang Lord Voldermort. Sang musuh, Lord Voldemort ini hanya bisa dibunuh oleh

Psikologi Jungian, Film, Sastra 285 Harry Potter. Dalam fi lm Teenage Ninja Turtle, muncul sosok orang tua yang muncul dalam bentuk tikus tua. Sebagai seekor tikus tua, dia memberikan wejangan-wejangan dan petuah kepada para kura-kura ninja. Melalui petuah tersebut para kura-kura ninja bisa berjalan dengan baik sebab mereka mendapatkan nasihat dari orang tua yang bijak dalam hal ini dipresentasikan oleh seekor tikus tua. Kedua, archetype orang tua bijak yang memberikan alat dan/atau senjata. Dalam mitologi banyak dimunculkan orang tua bijak yang memberikan senjata kepada tokoh utama. Orang tua bijak tersebut memberikan senjata agar sang tokoh utama bisa mengalahkan musuhnya. Orang tua bijak tersebut memberikan senjata tersebut dengan persyararatan tertentu dan ada juga yang memberikan senjata tanpa peralatan tertentu. Pemberian senjata tersebut bisa diberikan langsung kepada tokoh utama ataupun melalui perantara. Ketiga, pemberian kendaraan/tunggangan. Dalam konteks mitologi, archetype orang tua bija tidak hanya memberikan senjata, tetapi ada yang memberikan sarana transportasi. Tentu saja, pada masa kemitologian, sarana transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam melakukan perjalanan terutama perjalana jauh. Karena itu, orang tua bijak biasanya memberikan kendaraan/tunggangan yang memudahkan

286 Psikologi Jungian, Film, Sastra tokoh utama dalam melakukan perjalanan. Kendaraan/ tunggangan biasanya kuda, burung raksasa, dan naga. Dalam mitologi Yunani kuno, Unicorn merupakan salah satu tunggangan yang digunakan oleh tokoh utama dalam melaksanakan tugas untuk membasmi kejahatan. Archetype orang tua bijak tersebut bernama Takuan. Dalam novel tersebut sosok tokoh yang bernama Takuan, seorang kakek yang bijaksana. Kebijaksanaan seorang kakek tersebut tampak dari pemikiran dan perilakunya yang muncul dalam kehidupan keseharian. Ia tidaklah menjadi orang tua yang sombong dan congkak. Takuan sebagai orang tua yang bijaksana terepresentasikan dalam bentuk sosok welas asih, tidak sombong, dan baik hati. Sosok ketidaksombongan tersebut ditampakkan ketika dia bisa menangkap Takezo, seorang ronin yang kuat dan ugal- ugalan dalam bertanding melawan musuhnya. Ia memang sudah bisa menangkap Takezo, tetapi dia mengungkapkan bahwa dirinya bukanlah yang menangkap Takezo, melainkan alam yang menangkapnya. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut. “Bukan aku yang berjasa atas penangkapan Takezo. Bukan aku yang melaksanakannya, tapi hukum alam. Orang yang melanggar hukum alam akhirnya akan kalah. Hukum itulah yang harus kalian hormati.” (Yoshikawa, 2001)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 287 Gambaran tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa orang tua yang bernama Takuan tersebut bukanlah orang tua yang sombong ketika dia dapat melakukan sesuatu dengan baik. Dia sebagai orang tua menunjukkan karakter yang rendah hati. Masyarakat sangat ketakutan dengan adanya Takezo yang berkeliaran dan dianggap akan membunuh orang yang tidak disukainya. Padahal, Takezo hanya akan membunuh orang-orang yang memang bertanding dengan dirinya dan mati secara terhormat di medan laga. Tentunya, hal tersebut sangat berbeda dengan pembunuh berdarah dingin yang membunuh siapa yang berada didekatnya. Takuan sebagai orang tua yang bijak memahami hal tersebut. Takuan bukanlah karakter yang seperti orang- orang pikirkan. Ketika dapat melakukan sesuatu yang besar, dia tidak menjadi besar kepala dan lupa diri. Sebelum Takuan memang mengungkapkan bahwa dirinya akan menangkap Takezo, seorang diri. Dia akan menangkap Takezo dengan tangan kosong dan tidak meminta bantuan orang lain. Waktu itu, orang-orang desa banyak yang menertawakannya sebab siapa yang akan percaya dengan kemampuan Takuan yang sudah tua untuk menangkap Takezo yang masih muda, liar, dan brutal. Memang, diakui atau tidak, siapa yang akan percaya dengan omongan Takuan sebab secara logika pastilah tidak logis untuk melakukan hal itu. Ketika

288 Psikologi Jungian, Film, Sastra Takuan ternyata mampu menangkap Takezo seorang diri, Takuan tidak menyombongkan diri bahwa dirinya ternyata mampu membuktikan apa yang dia omongkan. Perilaku Takuan tidak hanya muncul dalam konteks tidak sombong saja, tetapi ia juga sosok yang welas asih dan sangat sabar dalam menghadapi permasalahan. Gambaran tersebut tampak pada saat dia mampu menangkap Takezo dengan tangan kosong. Ketika banyak orang yang ingin menyaksikan agar Takezo disiksa dan selanjutnya dibunuh, dia sama sekali tidak sepakat dengan hal tersebut. Hal itu menunjukkan kadar kewelasasihannya terhadap orang lain, meskipun orang lain tersebut dianggap membahayakan nyawa orang banyak sebab pada waktu itu Takezo dianggap sebagai orang yang brutal dalam membunuh siapa saja yang dianggap musuh tandingnya. Takuan tidak membunuh ataupun mengajak orang-orang desa untuk membunuh Takezo yang konon katanya brutal. Ia hanya menghukum Takezo yang diikat di pohon Kriptomeria yang sangat besar. Itulah hukuman yang diberikan Takuan kepada Takezo. Tidak ada penyiksaan, pemukulan, ataupun hal lain yang menyakiti Takezo ketika dia diikat di Kriptomeria yang sudah tua itu. Takuan sebagai seorang Budhisme adalah sosok yang penyabar. Ketika Takezo dihukum di Kriptomeria tua

Psikologi Jungian, Film, Sastra 289 tersebut sebenarnya niatnya adalah untuk menurunkan hasrat kebinatangan yang ada dalam diri Takezo. Ia adalah sosok yang mengandalkan pikiran, kekuatan, dan tenaga. Padahal, dalam kehidupan di dunia ini ada satu hal yang lebih kuat, yaitu alam. Takuan ingin menunjukkan bahwa kekuatan Takezo yang sangat besar akan hilang ketika dia diikat di Kriptomeria tua dan si Takezo akan diterjang badai siang-malam, tentunya tidak seberapa lama tenaganya akan habis. Itulah kekuatan alam yang mengalahkan kekuatan manusia. Sosok manusia hanya merupakan sebagian kecil saja dari alam yang sangat besar. Dalam konteks fi losofi s, inilah yang disebut dengan mikrokosmos dan makrokosmos. Keberaturan dalam konteks yang kecil ataupun kehidupan dalam konteks besar yang dianggap sebagai kesemestaan. Manusia memang tidak boleh lupa bahwa ada kekuatan lain yang sangat besar dibandingkan dengan manusia, yaitu alam. Sebagai sebuah energi yang sangat besar, manusia tidak akan pernah mampu mengalahkan alam, sampai kapanpun. Hal tersebut disebabkan manusia adalah bagian kecil dari alam dan bukan sebaliknya alam adalah bagian kecil dari manusia. Manusia memang tidak diajari untuk untuk saja kepada alam, tetapi bagaimana cara mengendalikan alam. Jika mengendalikan alam, manusia tentu masih bisa sebab alam memiliki jalan sendiri untuk hidup. Karena itu, manusia bisa menggunakannya untuk membantu prosesi kehidupannya di dunia.

290 Psikologi Jungian, Film, Sastra “Kau memang betul-betul kuat, Takezo! Seluruh pohon bergoyang. Tapi maaf saja, tidak kulihat tanah bergetar. Susahnya, kenyataannya kamu itu lemah. Kemarahanmu itu tidak lebih dari kedengkian pribadi. Kemarahan lelaki sejati adalah ungkapan kemarahan moral. Kemarahan karena tetek-bengek emosional yang tak ada artinya adalah untuk perempuan, bukan lelaki.” (Yoshikawa, 2001)

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Takezo sebagai seorang laki-laki yang perkasa tidak akan mampu melawan dan mengalahkan alam. Semakin dia meronta dan membabi buta untuk mengalahkan alam, dia akan semakin dikalahkan oleh alam. Itulah kekuatan alam yang sebenarnya kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga kekuatannya manusia tidak dapat mengalahkan alam. Takuan sebagai seorang biksu Budha hanya menunjukkan kewelasasihan bahwa manusia tidaklah boleh melawan alam sebab hal tersebut merupakan hal yang sangat percuma dan tentu hanya akan menghabiskan tenaga sebab tenaga manusia hanyalah ujung jari jika dikaitkan dengan kekuatan alam yang mahadahsyat. Yang dapat kulakukan hanyalah memberikan nasihat padamu. Hadapilah maut dengan berani dan tenang. Ucapkan doa dan berharaplah ada orang yang mau mendengarkan. Dan demi nenek moyangmu, Takezo, matilah dengan layak, dengan wajah damai!” (Yoshikawa, 2001)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 291 Takuan sebagai seorang laki-laki tua bijak memberikan petuahnya kepada Takezo. Dalam situasi ini, Takezo semakin lama semakin melemah sebab kekuatannya semakin lama semakin berkurang seiring dengan tubuhnya yang diikat di Kriptomeria tua. Takuan menjelaskan dengan welas asih bahwa janganlah pernah takut dengan sesuatu apapun, terutama dengan kematian. Hadapilah semuanya dengan ketenangan jiwa walaupun pada saat itu kita akan meninggal dunia. Hal tersebut berkait dengan fi losofi kehidupan orang-orang yang mengikuti fi lsafat Budhisme bahwa segala sesuatu itu memiliki jalannya sendiri. Karena itu, sebagai manusia harus siap dengan segala sesuatu tersebut. Begitu juga ketika seseorang mendekati kematian atau yang disebut juga dengna istilah sudah dibayang- bayangi oleh kematian, manusia tersebut sudah harus siap sedia dengan penuh kedamaian untuk menghadapinya. Manusia tidak bisa melawan kematian sebab kematian pasti akan datang, pasti akan menjemput manusia karena kematian adalah suatu hal yang pasti dalam ketidakpastian. Manusia tidak bisa mengejar kematian sebab kematian itu sudah memiliki jalannya sendiri. Kematian dalam pandangan fi lsafat dianggap sebagai sesuatu yang di luar konstruksi pikiran manusia sehingga manusia tidak mampu mengonstruksinya dan memikirnya sebab itu di luar batas pemikiran manusia. Jika sudah tiba jalan kematian

292 Psikologi Jungian, Film, Sastra tersebut datang, tidak ada satupun manusia yang bisa mengelaknya. Itulah jalan kematian. Takezo dalam situasi ini memang takut mati. Padahal, pada mulanya dia lebih memilih mati daripada dia harus hidup dan diikat di bawah pohon Kriptomeria tua dan disaksikan oleh banyak orang. Tentunya, hal tersebut membuat dirinya malu. Namun, sebagai seorang ronin yang brutal dan ganas, dia lebih memilih mati daripada dipermalukan oleh orang-orang desa yang memiliki dendam kepadanya. Petikan-petikan ajaran Takuan pun melintas dalam kepalanya, “Belajarlah takut pada apa yang menakutkan.... Kekuatan yang kasar dalam permainan anak-anak, kekuatan binatang yang tak berakal.... Punyailah kekuatan prajurit sejati... keberanian yang nyata.... Hidup itu berharga.” (Yoshikawa, 2001)

Petuah yang dimunculkan oleh Takuan kepada Takezo merupakan ilmu kesejatian. Dalam konteks ini, sama seperti seorang guru yang memberikan ilmu kepada muridnya.. Hanya saja, dalam kisah ini, Takuan tidak seperti guru formal yang memberikan ilmu secara formal kepada Takezo. Takuan hanya memberikan petuah-petuah yang fi losofi s terhadap Takezo. Petuah tersebut berkait dengan kehidupan kesejatian. Dengan demikian, ilmu yang diberikan kepada Takezo bukan ilmu perkuliahan yang diberikan dengan konsep yang tertata dan sistematis

Psikologi Jungian, Film, Sastra 293 sehingga memudahkan mahasiswanya untuk belajar ilmu pengetahuan dan selanjutnya menerapkan menjadi ilmu yang lebih baik dan berguna untuk masyarakat. Takezo sebagai orang yang memiliki pemikiran yang baik ternyata mampu menangkap petuah yang baik dari Takuan. Sebagai seorang murid yang tidak dilantik secara formal, dia masih ingat ungkapan Takuan tersebut. Memang, menjadi manusia harus memiliki keberanian, kesejatian, dan kedamaian dalam diri. Menjadi manusia tidak hanya cukup dengan menjadi sosok yang kuat dan perkasa saja, tetapi harus mampu menghadapi segala masalah yang ada di depannyannya. Tidak hanya itu, manusia juga harus mampu berdamai dengan dirinya sebab jika manusia tidak mampu berdamai dengan dirinya, dia akan menjadi manusia yang tidak akan merasa bahagia sebab tidak mampu menaklukkan dirinya sendiri. Ketika Takezo melarikan diri dari Kriptomeria tua –atas bantuan dari Otsu, perempuan yang merasa bersalah pada Takezo sebab ikut menangkap Takezo waktu pertama—namun dalam pelariannya Takezo tetap tertangkap lagi. Namun, kali ini Takezo tidak lagi ditaruh di pohon Kriptomeria tua. Ia di penjara. Namun,dalam pemenjaraan tersebut Takezo belajar memahami kehidupan. Ia membaca buku-buku tentang Zen dan berusaha memaknai kehidupan yang saat

294 Psikologi Jungian, Film, Sastra ini sedang dia lalui. Karena itu, dia banyak mendapatkan pelajaran dari hidupnya tersebut, meskipun dia di penjara. Penjara memang suatu tempat yang menakutkan dan menyakitkan bagi seorang pesakitan. Artinya, penjara adalah ruangan yang mengkungkung manusia sebab dia telah melakukan kesalahan sehingga dia harus di penjara sebagai ganti dari kesalahannya tersebut. Namun, di sisi lain, penjara merupakan tempat agar manusia tersebut mau sadar dan mau memperbaiki dirinya atas segala kesalahannya yang dilakukan pada masa lalu. Manusia yang bijak akan belajar dari kesalahan-kesalahannya di masa lalu dan berusaha menjadi orang yang baik. Dengan demikian, penjara adalah sebuah tempat yang katalis bagi manusia, tempat melakukan transformasi pikiran dari pikiran- pikiran yang brutal dan liar sehingga menjadi manusia yang baik dan bijak. Namun, fakta di lapangan yang diketahui bersama, banyak orang yang keluar masuk penjara tetapi tidak tercerahkan alam berpikirnya sehingga dia tetap saja menjadi penjahat meskipun sudah keluar-masuk penjara. Archetype kesabaran yang muncul dalam diri orang tua yang bernama Takuan memang membawa dalam yang positif bagi manusia yang lain. kepositifan tersebut tampak pada segmentasi ketika Takuan bisa menangkap Takezo dengan tangan kosong. Hal itu tentulah bukanlah

Psikologi Jungian, Film, Sastra 295 hal yang mudah sebab butuh kekuatan kesabaran tingkat dewa dalam menundukkan kekuatan yang besar dan brutal. Ternyata, Takuan memang benar-benar bisa menangkap Takezo dengan tangan kosong. Kedua, kesabaran yang dimunculkan oleh Takuan tidak hanya membuat Takezo sebagai seorang ronin yang brutal tertangkap, tetapi juga membuat Takezo akhirnya menjadi seorang laki-laki yang mampu memahami kesejatian. Ia menjadi manusia yang mampu mengendalikan pikirannya dan mampu berdamai dengan dirinya sendiri sehingga sebagai manusia dia tidak takut dengan apapun sebab ketakutan yang harus dipahami, dipelajari, dikendalikan adalah ketakutan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Untuk itu, Takezo belajar mengenali, memahami, menguasai, dan mengenalikan hawa nafsu yang terdapat dalam dirinya. Hawa nafsu adalah bagian hitam dari dalam diri yang merupakan lawan dari kesabaran. Seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu adalah orang yang tidak memiliki kesabaran tingkat dewa dalam mengendalikan dirinya sehingga dia menjadi orang yang ceroboh dan sembrono. Kita sering melihat fakta yang berkait dengan kecerobohan tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang lebih mengandalkan hawa nafsu memang kuat dalam segala hal sebab dia didorong oleh energi instinktif yang terdapat

296 Psikologi Jungian, Film, Sastra dalam dirinya. Energi tersebut sangat kuat sebab tidak ada yang mampu membendung energi instinktif yang primitif dalam diri. Namun, kelemahan utama dari energi yang instinktif tersebut adalah ketidak mampuan mengendalikan diri sehingga dia mudah terjerumus ke dalam kesalahan, keteledoran, kesembronoan, dan ketidaktelitian. Karena itu, banyak orang yang memang mengandalkan kekuatan dari hawa nafsu akhirnya kalah oleh orang lain yang mengandalkan kesabaran. Kesabaran dalam diri memang biasanya diikuti oleh adanya unsur religiusitas dalam diri manusia. Sosok manusia yang memiliki religiusitas tinggi biasanya dibarengi dengan adanya kesabaran tingkat tinggi pula. Itu memang sebuah keseimbangan bahwa kesabaran akan berbanding lurus dengan kereligiusitasan seseorang. Dalam Harry Potter dan Batu Bertuah (1997) archetype orang tua bijak muncul pada sosok Albus Dombledore –seorang kepala sekolah ilmu sihir yang digambarkan berjanggut panjang, berpeci penyihir, menggunakan tongkat, dan memiliki tubuh/perawakan yang tinggi. Ia adalah sosok orang tua yang bijak sebab ketika menjadi seorang penyihir dialah yang mengalahkan penyihir hitam dan dia tidak mau bergabung dengan penyihir hitam – yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti orang lain. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 297 ‘Profesor Dumbledore khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penyihir aliran hitam Grindelwald pada tahun 1945, penemuannya untuk dua belas kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya bersama mitranya, Nicolas Flamel!” (Rowling, 1997).

Sungguh luar biasa bahwa Dumbledore bisa me- ngalah kan aliran hitam yang terdapat di tempatnya, Grindelwald. Di tempatnya tersebut memang terdapat dualisme kepemimpinan, yakni aliran putih dan aliran hitam. Keduanya, sama-sama duduk di pemerintahan dan keduanya juga sama-sama memiliki murid-murid yang dianggap sebagai penganut alirannya masing-masing. Dengan demikian, murid yang mengikuti aliran hitam akan diajari oleh pemimpin yang beraliran hitam dan murid yang beraliran putih akan ikut pemimpin yang beraliran putih. Hal itu memang sesuai dengan pepatah “orang yang beraliran putih akan bergabung dengan orang yang beraliran putih lainnya, sedangkan orang yang beraliran hitam akan bergabung dengan orang yang beraliran hitam lainnya”. Hal tersebut sudah menjadi ketentuan alam dan dalam konteks psikologi Taoisme berkait dengan yin dan yang. Keduanya, akan saling bersaing dan berkompetisi untuk saling mendapatkan kekuatan dalam menjaga keseimbangan alam.

298 Psikologi Jungian, Film, Sastra Dombledore sebagai seorang penyihir digambarkan sebagai sosok penyihir yang baik. Ia adalah sosok yang memiliki archetype orang tua bijak. Dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah tersebut, Dombledore melindungin Harry Potter –seorang anak yatim piatu yang ikut di sekolah ilmu penyihir. Dombledore melindungi Harry Potter dari musuhnya yang paling kuat dan memiliki ilmu sihir hitam, Voldemort. Dialah yang menginginkan Harry Potter sebab hanya melalui dialah Voldemort bisa terbunuh. Namun, ketika ada Dombledore di sisinya Harry Potter, Voldemort tidak akan berani mendekat sebab kekuatan Dombledore sangat kuat dalam hal ilmu sihir. Ketika Harry Potter sangat ketakutan dengan adanya Voldemort yang akan membunuhnya, Dombledore memberikan petuah agar dia tidak takut dengan sesuatu apapun sebab hal tersebut akan merugikan dirinya sendiri. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut. “Panggil dia Voldemort, Harry. Selalu gunakan nama yang benar untuk apa saja. Ketakutan akan nama memperbesar ketakutan akan benda itu sendiri.” (Rowling, 1997).

Harry Potter sebagai seorang anak yang masih remaja sangatlah takut dengan isu yang berkumandang bahwa Voldemort adalah sosok yang disebut dengan Anda-

Psikologi Jungian, Film, Sastra 299 Tahu-Siapa. Sosok yang paling menakutkan dan memiliki kekuatan aura yang sangat jahat di dalamnya. Namun, Dombledore menegaskan bahwa untuk menjadi manusia yang kuat tidak boleh takut dengan ketakutan sebab ketakutan yang terdapat dalam diri sendiri akan membuat manusia takut dengan yang lain. Dalam konteks ini, hanya untuk menyebutkan namanya saja, Harry Potter sangat ketakutan sebab dia merasa bahwa Voldemort sangat kuat sedangkan dirinya adalah anak yang masih belia dan takkan mampu menghadapi Voldemort yang begitu kuat. Dombledore sebagai orang tua yang bijaksana tidak hanya memberikan petuah bijak kepada Harry Potter yang dalam kondisi labil terutama masalah orang tuanya. Dalam penjelasan Voldemort, sang ibu konon mau membunuh Harry Potter. Karena itu, Voldemort membunuh ibunya Harry Potter dengan alasan ingin menyelamatkan Harry Potter. Namun, Dombledore sebagai orang tua yang bijaksana menunjukkan bahwa ibunya adalah sosok orang yang sangat mencintai Harry Potter. Bukti bahwa dia sangat cinta kepada Harry Potter adalah bekas luka yang terdapat di tubuhnya –itu adalah berian dari sang ibu—untuk melindungi dirinya dari bahaya dan kejahatan Voldemort. Berkat penjelasan itulah, Harry Potter akhirnya bisa memahami bayang-bayang yang selama ini membayangi dirinya dalam

300 Psikologi Jungian, Film, Sastra kaitannya dengan siapa sang ibu dan Voldemort yang selalu muncul dalam bayang-bayang dirinya. Dombledore memberikan sebuah jubah gaib kepada Harry Potter. Jubah gaib tersebut bisa digunakan untuk menghilang dan menyelinap ketika seseorang terdesak untuk keluar ataupun pergi ke suatu ruangan tertentu dengan harapan tanpa terlihat oleh orang lain. Pemberian jubah gaib tersebut merupakan archetype dari orang tua yang bijak berkait dengan senjata ataupun alat tertentu yang bisa membantu tokoh utama dalam melakukan suatu tindakan, perlawanan, ataupun perjalanan. Dengan menggunakan alat tersebut ternyata memang benar-benar membantu Harry Potter untuk menyelinap dan keluar dari ruangan tanpa di ketahui oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, secara hukum yang terdapat di sekolah sihir, Harry Potter tidak melanggar undang-undang ketika dia menyelinap ketika jam tidur sebab dia tidak kelihatan oleh kasat mata. Jubah yang diberikan Dumbledore kepada Harry Potter merupakan peninggalan dari ayahnya Harry Potter. Dulu, jubah tersebut digunakan untuk menyelinap ke dapur oleh ayahnya, untuk mencari makan. Harry Potter sangat senang dengan jubah yang dia miliki tersebut sebab dengan jubah itu dia bisa keluar-masuk dengan mudah dan tanpa diketahui oleh orang-orang yang berada di sekolah penyihir.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 301 Dalam Harry Potter and the Chamber of Secrets (Rowling, 2000) archetype orang tua yang bijak dimunculkan lagi dalam sosok yang dimanifestasikan oleh Albus Dumbledore. Ia adalah sosok orang tua yang bijak, sabar, dan mampu mengendalikan diri. Ia adalah sosok kepala sekolah yang disegani dan ditakuti oleh anak buahnya dan juga lawannnya yang terkuat, Voldemort. Keduanya, Dumbledore dan Voldemort sebenarnya merupakan archetype yang oposit sebab keduanya merupakan jalan hukum yang saling berseberangan. Dumbledore adalah orang yang sangat kuat dengan ilmu sihir putihnya dan Voldemort adalah orang yang sangat kuat dengan ilmu sihir hitamnya. Dengan demikian, keduanya memiliki kekuatan masing-masing dan memiliki mazhab masing- masing. Namun, keberbedaan di antara keduanya tersebut bisa membuat kisah Harry Potter tersebut berjalan dengan baik. Dalam logika makrokosmos, kebaikan dan kejahatan akan saling berperang untuk menjalankan ekosistemnya masing-masing. Keduanya, ibarat sebuah kutukan yang tidak akan pernah hilang sampai akhir zaman. Jika tidak ada hitam, kehidupan akan menjadi sesuatu yang hambar dan tidak akan menjadi kehidupan sebab hanya satu warna saja dalam kehidupan sehingga tidak ada motivasi ataupun keinginan yang muncul dalam diri manusia dalam kaitannya

302 Psikologi Jungian, Film, Sastra membangun sebab mereka merasa tidak ada musuh sama sekali. Karena itu, muncul pepatah yang menyatakan bahwa “dibutuhkan musuh untuk membutuhkan pertahanan yang kuat”. Dalam kehidupan juga demikian, manusia membutuhkan musuh dari luar agar mereka kuat untuk bersaing secara kompetitif. Jika tidak ada musuh dari luar, mereka akan lemah sebab tidak ada pikiran ataupun energi untuk memperkuat diri mereka. Namun, jika lawan dari luar terlalu besar juga berbahaya dan membuat mereka diserang dengan mudah sebab musuhnya terlalu kuat. Archetype dalam Harry Potter and the Chamber of Secrets (Rowling, 2000) juga muncul dalam bentuk yang lain, yakni archetype tentang phoenix. Dalam mitologi Mesir, phoenix adalah binatang yang tidak pernah bisa mati sebab setelah dia mati, dia akan dilahirkan kembali. Tulisan Clark (1959:245) menunjukkan bahwa Phoenix merupakan mitologi yang berasal dari Mesir. Phoenix merupakan simbolisme dari infi nitas, kelahiran, dan kematian. Dengan demikian, phoenix sebagai binatang melambangkan kehidupan yang akan selalu berjalan dan berputar dan juga kematian yang akan selalu berjalan dan berputar. Itulah sebuah fenomena dari archetype yang tidak akan pernah berhenti dan selesai sebab dunia juga belum berhenti. Gambaran tentang Phoenix yang terdapat dalam Harry Potter tampak pada kutipan berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 303 “Fawkes itu phoenix, Harry. Burung phoenix terbakar kalau sudah waktunya mati dan dilahirkan kembali dari abunya. Lihat dia...” (Rowling, 2000)

Mitologi tentang burung keabadian memang muncul juga dalam mitologi yang lainnya, tetapi mitologi Phoenix yang berasal dari Mesir dianggap sebagai archetype dari munculnya archetype lainnya yang berkait dengan burung keabadian yang muncul saat ini. Dalam mitologi Mesir, Mckenzie (1907:50) menjelaskan bahwa Phoenix digambarkan sebagai burung yang sangat indah dan estetis. Karena itu, burung ini dianggap burung keabadian sehingga dia juga memiliki keindahan yang abadi, sayap dan bulunya berwarna emas sehingga burung ini tampil dengan karakter estetis dan memesona. Burung jenis ini akan hidup-mati- hidup lagi seiring dengan perputaran dirinya. Ketika dia akan mati, bulunya akan rontok secara perlahan dan lama kelamaan dia akan meninggal dunia ketika terpapar matahari dan dia akan menjadi abu. Setelah menjadi abu, dia akan dilahirkan kembali menjadi burung baru dengan jenis yang sama. Fenomena mitologi ini masuk juga dalam ajaran Budha yang berkait dengan konteks reinkarnasi. Dalam reinkarnasi, ada makhluk yang bisa bereinkarnasi menjadi lebih baik, ada

304 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang bereinkarnasi menjadi lebih buruk, tetapi ada juga yang tidak bisa bereinkarnasi. Dalam ajaran Budhisme, reinkarnasi bisa terjadi dari manusia yang bereinkarnasi menjadi makhluk lainnya, tetapi bisa juga mahkluk lainnya bereinkarnasi menjadi manusia. Setiap reinkarnasi yang terjadi tentu tidak lepas dari masa lalu yang dilakukan oleh makhluk tersebut. Dalam fi lm White Snake Legend, siluman ular bertapa selama ribuan tahun dan berupaya untuk menjadi manusia. Upaya tersebut dilakukan agar mereka bisa menebus kejahatan mereka di masa lalu yang banyak mengganggu kehidupan manusia. Sebagai siluman yang suka mengganggu, tentunya mereka tidak akan bisa menjadi manusia biasa. Namun, karena mereka adalah sosok siluman yang insyaf dan berusahan menjadi makhluk yang baik, mereka pun pada akhirnya bisa menjadi manusia, tetapi dengan masa bertapa yang lama sampai ribuan tahun demi bisa bereinkarnasi menjadi manusia. Ketika menjadi manusia pun mereka tidak bisa menjadi manusia yang seratus persen manusia sebab mereka akan bisa kembali berubah menjadi siluman sebab pada dasarnya mereka adalah siluman yang menjelma menjadi manusia karena mereka mampu bertapa selama ribuan tahun. Dalam sastra konteks cerita rakyat Indonesia, archetype perempuan siluman (di barat lebih banyak dikenal dengan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 305 istilah penyihir [witch]). Istilah siluman dan penyihir memang bersinggungan dan sebagaimana yang dipaparkan oleh Jung (1953) bahwa elemen dalam archetype bisa muncul dalam bentuk elemen postif ataupun elemen negatif. Terkadang, ada pula elemen yang bersifat gabungan dari keduanya sebagai bentuk dari dualtipe. Namun, karakterisasi dualtipe tersebut jarang muncul dalam kaitannya dengan archetype. Di Indonesia, muncul cerita rakyat yang kemudian ada yang diangkat ke televisi. Legenda tentang Nyi Roro kidul merupakan legenda tentang seorang perempuan penunggu yang berada di pantai selatan. Dalam pandangan masyarakat pendukungnya, Nyi Roro Kidul adalah penunggu pantai selatan. Nyi Roro Kidul digambarkan sebagai seorang yang sangat cantik dengan menggunakan pakaian hijau laut – yang menjadi mitos bahwa beberapa masyarakat daerah pesisir laut Selatan agar tidak menggunakan warnah baju hijau laut sebab warna tersebut merupakan kesukaan Nyi Roro Kidul— pakaian warna tersebut konon sering digunakan oleh Nyi Roro Kidul. Di sisi lain, nama Nyi Roro Kidul dikaitkan juga dengan nama Nyi Blorong. Dalam cerita rakyat Indonesia, kedua nama tersebut populer dan ada yang beranggapan keduanya adalah satu bentuk. Dengan demikian, Nyi Roro Kidul adalah nama lain dari Nyi Blorong. Jika dikaitkan dengan archetype, mitologi Yunani kuno juga

306 Psikologi Jungian, Film, Sastra memiliki Dewa penunggu laut yang bernama Poseidon. Dewa ini merupakan dewa yang menjadi raja di lautan. ia digambarkan dengan menggunakan trisula sebagai senjata utamanya dalam berperang. Di Jerman, archetype tentang penyihir muncul dalam karya-karya yang dikumpulkan dan ditulis oleh Grimm bersaudara tentang cerita rakyat Jerman (Grimm & Grimm, 2003) yang saat ini sudah terkenal mendunia dan banyak diadaptasi dalam layar lebar. Dalam “Cerita Rapunzel” dalam cerita rakyat Jerman tersebut, dikisahkan bahwa seorang penyihir yang mengambil seorang anak perempuan dan dipeliharanya di sebuah menara yang tinggi. Perempuan penyihir tersebut sengaja memisahkan kehidupan sang keluarga dengan Rapunzel. Begitu juga dengan “Cerita Hanzel and Gretel” yang mengisahkan dua orang anak yang dibuang oleh ibu tirinya ke hutan. Mulanya, keduanya bisa pulang sebab mereka menggunakan tanda kerikil yang disebar selama mereka melakukan perjalanan ke hutan. Namun, ketika mereka dibuang lagi oleh ibunya ke hutan mereka tidak bisa melakukan apa-apa sebab jejak yang mereka tinggalkan (menggunakan kue) ternayata telah hilang sebab dimakan oleh binatang. Mereka pun sedih bukan main sebab tidak bisa kembali ke rumah. Namun, dalam kesedihan tersebut mereka senang sebab

Psikologi Jungian, Film, Sastra 307 di hutan mereka bertemu dengan seorang nenek yang mau menolong mereka. Ternyata, sebuah kebaikan belum tentulah kebaikan, nenek tersebut adalah sosok penyihir yang ingin memakan mereka. Dalam cerita tersebut, tampak bahwa archetype perempuan penyihir merupakan elemen negatif sebab dia tidak memberikan bantuan kepada anak kecil yang tersesat melainkan ingin memakan anak tersebut. Penyihir memang memiliki elemen negatif dan elemen positif. Namun, dalam konteks sastra ada juga yang mengalami transformasi. Pentransformasian tersebut memang disebabkan karena adanya perubahan jiwa dalam diri seseorang. Orang yang mulanya jahat bisa berubah menjadi manusia yang buruk. Kesemuanya tersebut berkait dengan manusia ataupun pribadi masing-masing. Dalam kaitannya dengan archetype, seorang penyihir bisa mengalami transformasi ketika mereka memang mengalami pencerahan jiwa. Namun, selama ini sangat jarang dibahas adanya perubahan jiwa penyihir dari yang jahat menuju baik ataupun sebaliknya dari yang baik menuju ke jahat. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri dan memang akan terjadi tetapi jarang terjadi.

308 Psikologi Jungian, Film, Sastra 9

PENUTUP: PSIKOLOGI JUNGIAN MENATAP MASA DEPAN

emikiran Jung dalam konstelasi psikologi memang Ptidak bisa dipungkiri. Kekuatan psikologi Jungian dengan teori utamanya yang dikenal dengan archetype, anima/animus, dan mimpi (Codorow, 2015), merupakan peninggalan keilmuan yang sampai hari ini masih kokoh. Sebagaimana diketahui bersama, hari ini dan kelak di masa yang akan datang peminat psikologi akan semakin menaik. Psikologi akan bersaing dengan ilmu humaniora lainnya, yakni sosiologi dan antropologi. Tentunya, kita juga mahfum bahwa menaiknya studi psikologi memang tidak sepesat studi antropologi dan sosiologi sebab mempelajari psikologi bukanlah hal yang mudah. Namun, tetap apresiasi untuk

Psikologi Jungian, Film, Sastra 309 psikologi yang menaik dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa psikologi memang sudah menjadi ilmu yang akrab di pikiran para peneliti dan masyarakat. Menaiknya minat masyarakat terhadap psikologi di masa yang akan datang disebabkan oleh hal berikut. Pertama, studi tentang psikologi semakin lama semakin diminati sebab saat ini manusia mulai banyak yang merasa jauh dengan dirinya sendiri. Mereka kehilangan jati diri. Dalam pandangan Fromm (1947) inilah yang disebut dengan alienasi, kemenyendirian di tengah keramaian. Manusia modern saat ini memang ramai dalam sepi dan sepi dalam keramaian. Kesepian dalam keramaian tersebut tampak konkret ketika mereka bertemu dengan teman-teman di sebuah perjamuan makan, misal di café ataupun restoran. Namun, ketika mereka benar-benar bertemu di tempat tersebut mereka tampaknya kurang menghargai pertemuan tersebut sehingga mereka berselfi e dengan menggunakan HP, mereka juga sibuk dengan HP masing-masing, dan seolah-olah lupa bahwa yang ada di hadapannya adalah teman yang diajak janian untuk bertemu dan berdiskusi. Hal itu memang merupakan perilaku yang boleh dianggap sepele, tetapi jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akhirnya bisa menjadi penyakit-alienatif. Karena itu, mereka membutuhkan psikologi untuk memahami dirinya.

310 Psikologi Jungian, Film, Sastra Kedua, psikologi Jungian merupakan psikologi arus utama yang mengandalkan konsep ketidaksadaran kolektif. Jika pada masa jalan awal, psikologi ini kurang atau bahkan tidak diminati sebab melawan psikologi arus utama yang mengandalkan kesadaran. Kelak, psikologi kesadaran dan psikologi ketidaksadaran akan terus bersaing dan bertanding. Namun, percayalah bahwa ketidaksadaran merupakan sebuah energi yang paling besar dalam diri manusia. ketidaksadaran merupakan rizhomaid yang akan selalu muncul di kala masa-masa rizhoma itu muncul. Ketika, maraknya studi interdisipliner yang merambah berbagai disiplin ilmu pengetahuan membuat psikologi semakin kuat sebab dia (sebagai ilmu psikologi) akan digandeng dan dikolaborasi dengan ilmu yang lain, misalnya ekologi –yang melahirkan studi ecopsychology— dan studi psikologi interdisipliner lainnya. Karena itu, kelak sangat tidak mengherankan jika psikologi Jungian bisa digunakan dalam berbagai studi yang selama ini mustahil untuk dijangkau oleh psikologi Jungian. Misal saja, psikologi Jungian tentu sudah akrab dalam konteks sastra dan fi lm, tetapi mungkin belum akrab di bidang matematik ataupun sains. Untuk itu, dalam hitungan bulan, psikologi Jungian bisa merambah ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Masa depan memang wilayah yang masuk dalam suatu ketidakpastian. Ilmu pengetahuan pun juga demikian.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 311 Daya kompetitif ilmu pengetahuan di masa depan akan selalu dipertandingkan. Ilmu pengetahuan yang kuat akan tetap bertahan, sedangkan ilmu pengetahuan yang lemah akan jatuh dan tenggelam. Tentunya, dalam hal ini, psikologi Jungian akan mampu bertahan sebab psikologi merupakan dunia yang tidak akan pernah habis untuk digali. Psikologi Jungian akan mampu bertahan sampai kapanpun. Kebertahanan tersebut muncul dalam dua jalan, yakni jalan utama yang mampu menunjukkan bahwa psikologi Jungian masih ada dan bertahan. Jalan kedua adalah jalan hibridatif. Kelak, akan bermunculan juga psikologi Jungian yang jalur hibridasi, psikologi Jungian akan masuk dalam psikologi- psikologi yang lain dan memunculkan karakteristik psikologi baru, tetapi roh utamanya masih tetap psikologi Jungian. Jika hal tersebut terjadi, psikologi Jungian akan semakin banyak pengikutnya sebab ada dua jalur, yakni (1) peneliti psikologi arus utama dan (2) peneliti psikologi arus populer. Saat ini memang banyak penikmat bidang keilmuan yang muncul dari wilayah populer. Mereka memang memiliki skil yang biasa saja jika dibandingkan dengan orang-orang yang memang ahli di bidang psikologi. Tentunya, hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat mereka adalah seorang pecinta ilmu yang belajar dengan jalur otodidak ataupun ikut acara pertemuan yang berkait dengan bidang keilmuan tersebut. Jika diadu secara kompetensi, tentunya

312 Psikologi Jungian, Film, Sastra kategori kedua tersebut akan kalah jauh dengan bidang keahlian psikologi yang memang belajar di bidangnya.

Masa Depan yang tak Bermasa Depan: Sebuah Persepsi Jika memandang dengan perspektif teleologis, manusia yang sekarang bisa melihat bahwa dunia yang di depan sebagai masa depan merupakan masa depan yang tak bermasa depan. Manusia memang bisa melewati masa lalu, menuju masa kini, dan selanjutnya menuju ke masa depan. Namun, manusia tidak bisa lepas dari apa yang disebut oleh fi lsafat zen sebagai “kesepertian”. Dalam pandangan fi lsafat zen, kesepertian berkait dengan sesuatu yang bersifat seperti. Jadi, pada hakikatnya sesuatu itu bukanlah hal yang asali, melainkan hanya kesepertian saja. Seperti halnya ketika seseorang melihat esok sebagai masa depan. Namun, ketika orang tersebut beranjak menuju esok sebagai hari ini, masa depan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Ketika hari ini dilalui, hari ini pun akan hilang dan menjadi kemarin. Tentunya, hari ini berubah menjadi kemarin sebagai sesuatu yang lampau. Dengan begitu, kemarin, hari ini, dan masa depan hanyalah sebuah persepsi. Sebuah persepi tentang pemikiran yang disebut dengan kesepertian. Dalam konteks psikologi Jungian, sebuah masa depan memang masih jauh dan memunculkan hal-hal yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 313 penuh dengan modernisme. Namun, jangan salah bahwa pemikiran manusia yang penuh dengan modernisme tersebut tidak lepas dari pemikiran manusia masa lalu yang kelak akan muncul di masa yang akan datang dan pemikiran masa yang akan datang yang sebenarnya bersumber dari masa lalu. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh archetype yang muncul dalam diri manusia. Archetype yang akan selalu muncul dari zaman ke zaman dengan karakterisasi yang berbeda dalam derajat yang berbeda pula. Namun, tetap saja optimisme bahwa manusia akan mengalami perubahan itu pasti dan harus sebab pepatah mengatakan “dunia ini akan tetap dalam perubahan dan perubahan akan tetap dalam ketetapan”.

Merindui Masa Lalu Manusia yang berada di masa kini, tidak akan pernah lepas dari kemerinduan masa lalu. Manusia masa kini akan memiliki memori kolektif ataupun memori individual yang tidak akan terlupakan dalam dirinya. Memori tersebut hanya tenggelam saja dalam pikiran manusia yang memiliki banyak kompleksitas. Namun, satu hal yang pasti bahwa memori itu beberapa akan tertanam dengan kuat di dalam ingatan dan tidak akan pernah bisa hilang sebab sudah tertanam jauh dalam core pikiran manusia.

314 Psikologi Jungian, Film, Sastra Manusia memang bisa melupakan pikiran-pikiran yang tidak disukainya ke dalam pikiran yang terdalam. Namun, dalam konteks yang fi losofi s, manusia menenggelamkan pikiran dan menghilangkan pikiran juga dengan pikiran sehingga hal tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, manusia memang tidka bisa melawan pikiran. Semakin kuat pikiran untuk melupakan, akan semakin kuat pula pikiran untuk mengingatnya sebab pikiran tersebut sama-sama bekerja untuk membangun dan menenggelamkan dalam satu waktu. Manusia sebagai sang pemilik sah pikiran hanya mampu mengendalikan alam pikirannya. Dengan begitu, dia sebagai manusia bisa mengarahkan pikirannnya untuk diajak ke mana, tetapi untuk mengalahkan dan melawan pikiran dengan pikiran, manusia tampaknya kesulitan. Kehidupan manusia yang saat ini dalam kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan, akan sesekali muncul dan tebersit keinginan untuk mengingat masa lalu yang penuh dengan kesedihan, kesengsaraan, dan ketidakbahagiaan. Itulah ciri dari pemikiran yang tidak bisa dibendung oleh keinginan manusia. Ketika dia sedang dalam kondisi dan masa kekinian, ia akan merindui masa lalu yang waktu itu dia belum bahagia dan penuh kesengsaraan. Memori individual memang tidak hanya berkait dengan konteks kebahagiaan saja, melainkan juga berkait dengan konteks ketidakbahagiaan. Hal itu menandakan bahwa manusia tidak hanya merindui kebahagiaan, tetapi dia juga

Psikologi Jungian, Film, Sastra 315 merindui ketidakbahagiaan. Tentunya, dalam konteks ini ketidakbahagiaan adalah sebuah kisah masa lalu dan masa kesekarangan adalah kebahagiaan. Banyak fakta yang kita ditemui di lapangan bahwa orang-orang memang masih mengenang masa lalu. Itulah kehidupan dalam pandangan ouroboros, sesuatu yang akan berputar dan berputar lagi. Dari awal menuju akhir dan dari akhir akan kembali menuju awal. Sebuah perputaran yang tidak akan berhenti berputar. Kita kadang menemui seseorang yang mengingat kepedihan masa lalu, misal saja ada teman saja yang dulu semasa kuliah S-1 lulus di masa ambang kritis. Ia sebagai seorang mahasiswa tampaknya sudah berjuang mati-matian untuk bimbingan, menemui sang dosen, termasuk diskusi dengan sang dosen tentang esensi dari skripsinya. Menurutnya, dia sudah berdarah- darah untuk bimbingan. Namun, mengapa dia tidak selesai- selesai, rasanya dia ingin saja melarikan diri alisan dropout. Namun, dia masih berusaha bertahan. Dia berjanji pada dirinya tidak akan pulang sebelum dirinya selesai skripsi. Sungguh luar biasa keinginannya itu, dia memang benar- benar tidak pulang ke rumah ketika hari raya, meski orang tuanya memohon pada dirinya agar dia pulang. Namun, sekali lagi dia pantang pulang jika belum selesai skripsi. Sungguh luar biasa, hasilnya, semester injury time, dia bisa merampungkan skripsinya dan lulus. Kini, dia menjadi

316 Psikologi Jungian, Film, Sastra seorang guru di sebuah sekolah bergengsi di Malang, tapi dia masih terkenang dengan memori masa lalunya itu. Dalam pandangan psikologi Jungian, memori individual merupakan archetype yang akan bertahan sampai kapanpun sebab memori tersebut akan memfosil dalam diri. Kelak, dalam kaitannya dengan apa yang dikisahkan oleh si teman saya tadi, akan terulang kembali dan muncul kembali dalam derajat yang berbeda. Tentunya, di kampus yang berbeda juga akan terjadi hal yang demikian sebab itulah archetype yang konon akan selalu bersemayam dalam kehidupan manusia, dalam sebuah bingkai besar yang namanya jiwa.

Gambar 27: Proses perkembangan kehidupan manusia (Sumber: Karya Athaya Putri Annur, 2019)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 317 Manusia yang merindui masa lalu memang tidak salah sebab kadang masa lalu adalah masa yang menyenangkan, sedangkan masa kini adalah masa yang tidak menyenangkan. Namun, manusia sebagai sosok yang menuju pada konsep individuasi haruslah mampu menuju pada masa puncak diri yang disebut sebagai individuasi. Ketika manusia menuju pada tahapan tua, itu adalah sebuah kepastian sebab mulanya manusia berasal dari tidak ada dan dimunculkan ke muka bumi dalam bentuk bayi. Selanjutnya, mengalami perkembangan: bayi, anak-anak, remaja, dewasa, paruh baya, dan tua. Selanjutnya adalah kematian. Kesemuanya itu, adalah tahapan yang normal untuk manusia sebab ada juga yang tidak melalui tahapan itu, misal saja pada usia masih kecil sudah meninggal karena suatu sebab tertentu dan dalam konteks religiusitas kematian itu memang sudah menjadi takdir Tuhan.

Kritisi Pemikiran Jung dalam Perspektif Kontemporer

Sebagai sebuah pemikiran dalam konteks psikologis, tentunya sama dengan pemikiran yang lain, ada sisi yang perlu dikritisi dan memang ada celahnya. Pandangan Jung sebagai sebuah hasil pemikiran dari manusia, tentunya tidak lepas drai kritik dan pujian. Disitulah letak kekuatan keilmuan. Pada satu sisi diikuti, sedangkan pada satu sisi

318 Psikologi Jungian, Film, Sastra yang lain ditentang dan dikritisi. Kritisi pemikiran Jung dalam perspektif psikologi kontemporer adalah sebagai berikut. Pertama, dalam konteks kesekarangan, pandangan Jung yang teleologis, mistis dan occultis, tidak semua orang mendukung pemikiran tersebut. Terutama, untuk orang-orang yang mengandalkan ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan metodologis bisa diuji secara empiris kebenarannya. Tentunya, semua mahfum bahwa dalam menginterpretasikan mimpi- mimpi yang berkait dengan simbolisme yang archaik ada beberapa hal yang tidak mampu dipaparkan secara sistematis dan metodologis. Ketika Jung bisa memaparkan secara sistematis dan metodologis, pandangan yang berbeda menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Jung tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan Levi-Strauss. Sebagai seorang antropolog, Levi-Strauss lebih banyak meneliti data-data tentang budaya masyarakat tertentu dan dikait dengan konteks antropologi. Levi-Strauss juga menggunakan data-data yang berasal dari mitologi dan dihubungkaitkan dengan antropologi yang sedang dikembangkannya, yakni struktural antropologi. Data yang digunakan oleh Jung dan Levi-Strauss tampaknya merupakan data yang terpilih sengaja terkesan data tersebut memang dipilih oleh sang peneliti.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 319 Kedua, studi psikologi Jungian merupakan studi psikologi yang membutuhkan kemampuan ekstra dalam memahami teks-teks yang archetypis. Artinya, seorang psikolog yang tidak mendalami dunia psikologi Jungian secara mendalam akan mengalami kesulitan jika menafsirkan teks ataupun mitologi yang berkait dengan psikologi Jungian. Hal itu terjadi sebab analisis psikologi Jungian hampir sama dengan apa yang dilakukan Levi- Strauss, sebuah penelitian yang berada dalam rimba belantara sebab memerlukan penggalian yang lebih dalam. Jika tidak, yang ditemukan hanyalah permukaan. Ketiga, psikologi Jungian memiliki perbedaan dengan psikologi Freudian. Hal ini membuat kubu pemikiran psikoanalisis sebagai psikologi arus utama yang berbicara tentang ketidaksadaran individual ataupun tentang keti- daksadaran kolektif terpecahbelah. Kedua kubu tersebut tentunya memunculkan pro dan kontra secara akademis. Meskipun demikian, adanya pro dan kontra dalam konteks akademis merupakan hal yang bagus sebab untuk memunculkan sebuah keilmuan yang semakin kokoh haruslah melalui tahapan kritikan tajam, tetapi konstruktif. Arus kontroversi dalam psikologi Jungian juga tidak terelakkan. Psikologi Jungian yang tradisional dan psikologi Jungian yang modern selalu menunjukkan kekuatan masing-

320 Psikologi Jungian, Film, Sastra masing dan kelebihan masing-masing mazhab. Psikologi Jungian mazhab tradisional lebih mengedepankan pakem, sedangkan psikologi Jungian modern lebih mengedepankan pengembangan pemikiran yang kolaboratif dan inter disip- liner-multidisipliner-transdisipliner. Dalam perkembangan psikologi yang kekinian, semua para penganut psikologi dengan ideologinya masing-masing memiliki kekuatan masing-masing sehingga mereka sama-sama memperkuat diri agar psikologi yang dianut oleh mereka tetap bertahan dan bila perlu semakin berjaya. Namun, apapun yang terjadi, psikologi Jungian adalah buah pemikiran psikologi abad modern yang tidak terlupakan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 321 DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, Anas. 2011. Cerita Rakyat Pulau Raas dalam Konteks Psikoanalisis Carl G. Jung. Manusia, Kebudayaan, dan Politik, 24 (2): 109-116 Ahmadi, Anas. 2013. “Sastra dan Jiwa-jiwa yang Terbung- kam: Memahami Cerpen dan Puisi Ayu Meita Silviana”. Radar Bojonegoro. Ahmadi, Anas. 2015. Psikologi Sastra. Surabaya: Unesa Press. Ahmadi, Anas. 2017. Cerita Rakyat Jerman Perspektif Psikologi Jungian. Toto Buang, 4 (2) 147-149 Allain-Dupr´e, B. 2004. ‘Sabina Spielrein: a bibliography’. Journal of Analytical Psychology, 49, 421–33, https:// doi.org/10.1111/j.1465-5922.2004.00469.x Bell, Robert E. 1991. Women of Classical Mythology. California: Santa Barbara.

322 Psikologi Jungian, Film, Sastra Bishop, Paul. 2008. Analytical Psychology and German Classical Aesthetics: Goethe, Schiller, and JungVolume 1 The Development of the Personality. London: Routledge. Bishop, Paul. 2014. Carl Jung . London: Reaktion Books, Ltd. Bolen, Shinoda. 2004. Goddesses in Every Women: Powerful Archetypes in Women’s Lives. California: Harpercollins. Botterill, George & Carruthers, Peter. 1999. The Philosophy of Psychology. Cambridge: Cambridge University. Bletzer, Keith V. (2012) Castaneda›s Shaman Don Juan: ‘Sorcerer’ Or Literary Vehicle?, Journal of Psychedelic Drugs, 8:4, 327-329, DOI: 10.1080/ 02791072.1976.10471858 Blum, Jason. 2010. Insidious. Canada: Blumhouse Productions. Blum, Jason. 2018. Insidious: The Last Key. California: Universal Pictures. Carter, Kenneth & Seifert, Colleen, M. 2013. Learn Psychology. Burlington: Jones and Bartlett, LLC. Codorow, Joan. 2015. Encountering Jung: On Active Imagination. New Jersey: Princeton.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 323 Cooper, Carol. 2019. The Sexual “Other” in Children of Paradise. Jung Journal, 13 (1):35-48, DOI: 10.1080/ 19342039.2019.1560793 Casement, Ann. 2001. Carl Gustav Jung . London: Sage Publications. Casement, Ann. 2006. The Shadow. In Renos K. Papa- dopoulos. (Ed), The Handbook of Jungian Psychology Theory, Practice And Applications. Pp. 94-112. New York: Routledge. Cervone, Deniel & Pervin, Lawrence A. 2013. Personality: Theory and Research. New York: Wiley. Cohen, Betsy. 2015. Dr. Jung and His Patients, Jung Journal, 9(2): 34-49, DOI: 10.1080/ 19342039. 2015. 1021231 Covington, Coline. 2003. Introduction. In Coline Covington and Barbara Wharton (Eds). Sabina Spielrein Forgot- ten Pioneer of Psychoanalysis, pp. 1-14. London: Routledge. Cremerius, Johannes. 2003. Foreword to Carotenuto’s Tagebuch einer heimlichen Symmetrie. In Coline Covington and Barbara Wharton (Eds). Sabina Spielrein Forgotten Pioneer of Psychoanalysis, pp. 64-81. London: Routledge.

324 Psikologi Jungian, Film, Sastra Cronenberg, David. 2011. A Dangerous Method. Story by Christopher Hampton, John Kerr. Hanway Films. Clark, R.T.R. 1959. Myth and Symbol: In Ancient Egypt. London: Thames & Hudson. Douglas, Claire. 2010. Analytical Psychotherapy. In Raymond J. Corsini & Danny Wedding (Eds), Current Psychotherapies. Pp, 113-145. Belmont, CA: Brooks/ Cole. Dourley, John P. 2015. Jung, a Mystical Aesthetic, and Abstract art. International Journal of Jungian Studies, 7 (1):4-18, DOI: 10.1080/19409052.2014.924687 Dourley, John P. 1995 The Religious Significance of Jung›s Psychology. The International Journal for the Psychology of Religion, 5 (2): 73-89, DOI: 10.1207/ s15327582ijpr0502_1 Dunne, Claire. 2015. Carl Jung: of the Soul (An Illustrated Biography. London:Watkind Media Ltd. Ellis, Sian. 2018. Jung and intuition: On the Centrality and Variety of Forms of Intuition in Jung and Post- Jungians. Psychodynamic Practice, DOI: 10.1080/ 14753634.2018.1536559

Psikologi Jungian, Film, Sastra 325 Faenza, Roberto. 2002. The Soul Keeper. Moscow: Medusa. Fike, Matthew A. 2014. The One Mind: CG Jung and the Literary Criticism. London: Routledge. Gaist, Byron. 2014. The Darkening Spirit: Jung, Spirituality, Religion. International Journal of Jungian Studies,6 (2): 168-170, DOI: 10.1080/19409052.2013.874099 Falzeder, Ernst. 2016. Types of Truth. Jung Journal, 10 (3): 14-30, DOI: 10.1080/19342039.2016.1191110 Feist, Jess & Feist Gregory J. 2009. Theory of Personality. New York: Mc Grawhill: New York. Fredericksen, Don. 1980. Two Aspects of A Jungian Perspective Upon Film: Jung and Freud; The Psychology of Types. Journal of The University Film Association, 32 (1,2):49-57. Freud, Sigmund. 1901. Psychopathology of Everyday Life. New York: Nervous and Mental Disease Pub. Co. Freud, Sigmund. 1910. The Origin and Development of Psychoanalysis. New York: Nervous and Mental Disease Pub. Co.

Freud, Sigmund. 1914. The History of the Psychoanalytic Movement. New York: Nervous and Mental Disease Pub. Co.

326 Psikologi Jungian, Film, Sastra Freud, Sigmund. 1920. Three Contributions to the Theory of Sex. New York: Nervous and Mental Disease Pub. Co. Freud, Sigmund. 1955. The Interpretation of Dreams. New York: Basic Books. Freud, Sigmund & Jones, Ernest. 1993. The Complete Correspondence of Sigmund Freud and Ernest Jones. London: Harvard University. Fromm, Erich. 1947. Man for Him Self. London: Routledge. Fromm, Erich. 1954. The Fear of Freedom.London: Routledge. Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. New York: Holt, Rinehart, & Winston. Fromm, Erich. 1964. The Heart of Man. New York: Harper & Row. Fromm, Erich. 1966. Marx’s Concept of Man. New York: Continuum. Fromm, Erich. 1968. Revolution of Hope:Toward of Humanized Tecnology. New York: Harper & Row Publishers. Fromm, Erich. 1973. The Anatomy of Destructiveness. New York: Holt, Rinehart, & Winston. Fromm, Erich. 1998. The Art of Loving. Korea: Choun Publishing.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 327 Franz, Marie-Louise von. 1997. Archetypal Patterns in Fairy Tales Studies in Jungian Psychology: By Jungian Analysts. Canada: Inner City Books. Franz, Marie-Louise von. 1980. The Psychological Meaning of Redemption Motifs in Fairytales. Canada: Inner City Books. Franz, Marie-Louise von. 1999. Archetypal Dimensions of the Psyche. Boston: Shambhala Publications, Inc. Freeman, Jhon. 1964. Introduction. In Carl Gustav Jung (Ed), Man and His Symbols, pp 9-17. New York: Anchor Press Books. Fromm, Erich. 1956. The Art of Loving. New York: Harper & Row, Publisher Inc. Graf-Nold, A. 2005. Jung’s Lectures at the Swiss Federal Institute of Technology (ETH): Collating the Text of the Course “Modern Psychology”. Jung History: A Semi-Annual Publication of the Philemon Foundation, 1(1):12-14. Gill, G. R. 2019. Archetypal Criticism: Jung and Frey. In D. H. Richter (Ed.). A Companion to Literary Theory, pp. 397-407. John Wiley & Sons Ltd. Grimm, Jacob & Grimm, Wilhelm. 2003. Grimm’s Fairly Tales. New York: Barnes & Noble Classics.

328 Psikologi Jungian, Film, Sastra Hall, Calvin S. & Nordby,Vernon J. 1973. A Primer of Jungian Psychology. New Yor: Mentor. Hall, Calvin S. & Linzey, Gardner. 1993. Teori-teori Psikodinamik Klinis. Terjemahan oleh Yustinus. Yogyakarta: Kanisius. Hauke, Cristopher & Alister, Ian (Ed). 2001. Jung and Film: Post Jungian Takes on the Moving Images. London: Routledge. Hauke, Christopher and Hockley, Luke (Ed). 2011. Jung & Film II: New Post Jungian and Refl ections on Film. London: Routledge. Hollis, James. 2000. The Archetypal Imagination. Texas: Texas University Press. Hunter, Alan G. 2008. The Six Archetypes of Love: From Orphan to Magician. Scotland: Findhorn Press. Hyde, Maggie & McGuinness, Michael. 2004. Introducing Jung: A Graphic Guide. London: Icon Books Ltd. Iaccino, James. 1998. Jungian Refl ections Within the Cinema: A Psychological Analysis of Sci-Fi and Fantasy Archetypes. London: Greenwood Publishing Group, Inc. Idema, W. 2008. Two Precious Scroll Narrative of Guanyin and her Acoltyes. Honolulu: Kuroda Institute Book.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 329 Jacoby, Mario. 2006. Longing For Paradise: Psychological Perspectives On an Archetype. Canada: Innercity Books. Jaff eé, Aniella. 1961. Introduction. In Memories, Dreams, Refl ections, pp v-viii. New York:Vintage Books. Jamalinesari, Ali. 2015. Anima/ Animus and Wise Old Man in Six Characters in Search of an Author. Advances in Language and Literary Studies, 6 (3):34-36, http:// dx.doi.org/10.7575/aiac.alls.v.6n.3p.33. Jauregui, Inmaculada. 2002. Psychology and Literature: The Question of Reading Otherwise. The International Journal of Psychoanalysis, 83 (5):1169- 1180, DOI: 10.1516/842E-00L2-PRJX-E26R. Jones, Ernest. 1967. The Life and Work of Sigmund Freud . London: Hogan Press. Jung, Carl G. 1912. Jung Letters Volume 1. 1906-1950. London: Routledge. Jung, Carl G. 1959. Jung Letters Volume 2. 1951-1961. London: Routledge. Jung, Carl G. 1921. Psychological Types. In Collected Works (Volume. 6, R. F. C. Hull, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

330 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jung, Carl G. 1948. Shadow. In Collected Works Volume 9 part 2 Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1953. Four Archetypes Mother, Rebirth, Spirit, Trickster. London: Roudletge. Jung, Carl G. 1961. Memories, Dreams, Refl ections. New York:Vintage Books. Jung, Carl G. 1964. Man and His Symbols. New York: Anchor Press Books. Jung, Carl G. 1966. Spirit in Man, Art, and Literature: Collected Works Vol. 15. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1966. Pyschology and Occult. London: Routledge. Jung, Carl G. 1968. Psychology and Alchemy. Collected Works Vol. 12. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1934. Archetypes and the Collective Unconscious. London: Roudletge. Jung, Carl G. 1956. Symbols of Transformation: An Analysis of the Prelude to A Case of Schizophrenia. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1958. Psychology and Religion: West and East. New York: Pantheon Books.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 331 Jung, Carl G. 1960. Psychogenesis of Mental Diseases. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1961. Jung Contra Freud. The Collected Works of C.G.Jung Volume 4, Part 2. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1963. Mysterium Coniunctionis: An Inquiry Into The Separation And Synthesis of Psychic Opposites In Alchemy. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1969. Structure & Dynamics of the Psyche. Princeton: Princeton University. Jung, Carl G. 1977.CG Jung Speaking: Interviews and Encounters. Princeton: Princeton University Press. Jung, Carl G. 1989. Introduction to Jungian Psychology: Notes of the Seminar on Analytical Psychology Given in 1925. Princeton: Princeton University. Jung, Carl G. & Kerenyi, C. 1969. Essays on A Science of Mythology: The Myth of the Divine Child and the Mysteries of Eleusis. New York: Pantheon Books. Jung, Carl G. 2006. On the Method of Dream Interpretation. Jung History: A Semi-Annual Publication of the Philemon Foundation, 2 (1):8-28. Jung, Carl G. 1981. Experimental Researches. London: Routledge.

332 Psikologi Jungian, Film, Sastra Jung, Carl G. 1999. Jung: On the Death and Immortality. Princeton: Princeton University. Jung, Emma. 1985. Animus E Anima. Saulo Paulo: Editoria Cultrix, Ltda. Leigh, David J. 2015. Carl Jung’s Archetypal Psychology, Literature, and Ultimate Meaning. URAM, 34, 1-2. Lowinsky, Naomi Ruth. 2012. The Rabbi, the Goddess, and Jung. Jung Journal, 6 (1):85-103, DOI: 10.1525/ jung.2012.6.1.85 Karaban, Roslyn A. 1992. Jung’s Concept of the Anima/ Animus: Enlightening or Frightening. Pastoral Psychology , 41 (1): 39-44. Kant, Immanuel. 1900. Dreams of a Spirit-Seer. New York: McMilan. Kay, William, K. 1997. Jung and World Religions. Journal of Beliefs and Values, 18 (1):109-112 . Kast, Verena. 2006. Anima/ Animus. In Renos K. Papado- poulos (Ed), The Handbook of Jungian Psychology: Theory, Practice and Applications, pp. 113-129. London: Routledge. Kerr, Jhon. 2011. A Dangerous Method: The Story of Freud, Jung, and Sabina Spielrein. New York: Vintage Books.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 333 Kerlinger, Freed N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral. Diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang. Yogyakarta: UGM Press. Krapp, Kristine. 2015. A Study Guide for Psychologists and Their Theories for Students: Carl Jung . Farmington Hills: Gale. Lang, Andrew. 1897. The Book of Dreams and Ghosts. London Longmann. Launer, John. 2015. Carl Jung’s relationship with Sabina Spielrein: a reassessment. International Journal of Jungian Studies, 7 (3):179-193, DOI: 10.1080/ 19409052.2015.1050597 Leeming, David A. 2014. Encyclopedia of Psychology and Religion. Second Edition. London: Springer. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Book. Levine, S. 2013. Becoming Kuan Yin: The Evolution of Compassion. San Fransico: Weisser Books. Lothane, Zvi (1996) In Defense of Sabina Spielrein . Inter- national Forum of Psychoanalysis, 5 (3): 203- 217, DOI: 10.1080/08037069608412741

334 Psikologi Jungian, Film, Sastra Lothane, Henry Zvi. 2016. Sabina Spielrein’s Siegfried and Other Myths: Facts Versus Fictions. International Forum of Psychoanalysis, 25 (1):40- 49, DOI: 10.1080/0803706X.2015.1111523 Li, Wai-Yee. 1999.Dreams of Interpretation in Early Chinese Historical and Philosophical Writings. David Shulman and Guy G. Stroumsa (Eds). Dream Cultures: Explorations in the Comparative History of Dreaming, pp. 17-42. New York: Oxford. McLynn, Frank. 2014. Carl Gustav Jung. New York: St Martins Press. Merritt, Frazer, Merritt, Dennis & Lu, Kevin. 2018. A Jungian Interpretation of The Hunger Games. Jung Journal, 12 (3): 26-44, DOI: 10.1080/19342039.2018.1478558 Minder, Bernard. 2003. A Document. Jung to Freud 1905: A Report on Sabina Spielrein. In Coline Covington and Barbara Wharton (Eds). Sabina Spielrein Forgotten Pioneer of Psychoanalysis, pp. Pp. 137:142. London: Routledge. Miller, David. 2005. Mandala Symbolism in Psychotherapy: The Potential Utility of the Lowenfeld Mosaic Technique For Enhancing the Individuation Process. The Journal of Transpersonal Psychology, 37 (2):164-177.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 335 Miller, Jeff rey C. 2004. The Transcendent Function : Jung’s Model of Psychological Growth Through Dialogue with the Unconscious. New York: State University Of New York Press. Mills, Jon. 2013. Jung›s metaphysics. International Journal of Jungian Studies, 5 (1): 19-43, DOI: 10.1080/ 19409052.2012.671182 Mills, Jon. 2014. Jung as Philosopher: Archetypes, the Psychoid Factor, and the Question of the Super- natural. International Journal of Jungian Studies, 6 (3):227-242, DOI: 10.1080/ 19409052. 2014.921226 Millon, Irving B. 2003. Evolution: A Generative Source For Conceptualizing The Attributes of Personality. In Theodore Millon & Melvin J. Lerner (Eds), Handbook of Psycholog: Personality and Social Psychology, Pp. 3-30. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. McGuire, William. 1974. The Freud Jung/Letters . Princeton: Princeton University Press. Moura, Vicente. 2005. Some Critical Issues About Jungian Analysis. Jung History, 1 (2):22-25. Nelson-Jones, Richard. 2006. Theory and Practice of Counselling and Therapy. California: Sage Publi- cations, Inc.

336 Psikologi Jungian, Film, Sastra Mackenzie, Donald. 1907. With Historical Narrative, Notes on Race Problems, Comparative Beliefs, etc. London: Gresham Publishing. Neumann, Erik.1963. The Great Mother. New York: Princenton. Nurudin, Habibullah. 2016. Mimpi dalam Islam: Perspektif Psikologi Islam. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: UIN Kalijaga. Odajnyk, V. Walter. 2012. Archetype and Character Power, Eros, Spirit, and Matter Personality Types. London: Palgrave McMillan. Palmer, James. 2012. The King’s Speech. Jung Journal, 6 (2):68-85, DOI: 10.1525/jung.2012.6.2.68 Palmquist, Stephen. 2005. Fondasi Psikologi Perkembangan: Menyelami Mimpi, Mencapai Kematangan Diri. Diterjemahkan oleh Muhammad Sodiq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rountree, Cathleen. 2007. Cinema Culture and Psyche. Jung Journal, 1(3): 81-83, DOI: 10.1525/jung.2007.1.3.81 Rockefeller, Kirwan. 1994. Film and dream imagery in personal mythology. The Humanistic Psychologist,22 (2): 182-202, DOI: 10.1080/08873267.1994.9976946

Psikologi Jungian, Film, Sastra 337 Robertson, Robin.2002) Stairway to Heaven: Jung and Neoplatonism. Psychological Perspectives, 44 (1): 80- 95, DOI: 10.1080/00332920208402883 Rowland, Susan. 1999. C. G. Jung and Literary Theory:The Challenge from Fiction. London: Palgrave Mcmillan. Rowling, J.K. 1997. Harry Potter dan Batu Bertuah. Terjemahan. Jakarta: Gramedia. Rowling, J.K. 2000. Harry Potter and the Camber of Secrets. Terjemahan. Jakarta: Gramedia. Richter, Claudia. 2018. Self-Refl ection and Projection in Jungian ‘Spirituality’: Carl Gustav Jung’s Encounter with India and His Critique of Indian Psy- Sciences. South Asian History and Culture, 9 (3):323- 339, DOI: 10.1080/19472498.2018.1488363 Sartre, J.P. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Terje- mahan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santos, Rosemary Conceição et al. 2018. Psicologia da Literatura e Psicologia na Literatura. Trends in Psychology/Temas em Psicologia, 26 (2): 767-780. Segal, RobertA. 2018. Merkur on Jung on ethics, mysticism, and religion. International Journal of Jungian Studies, 10 (2): 147-154, DOI: 10.1080/19409052.2018.1446505

338 Psikologi Jungian, Film, Sastra Senn, Harry A. 1989 Jungian Shamanism. Journal of Psychoactive Drugs, 21(1): 113-121, DOI: 10.1080/ 02791072.1989.10472148 Skea, Brian R. 2006. Sabina Spielrein: out from the Shadow of Jung and Freud. Journal of Analytical Psychology, 51, 527–552, doi. org/10.1111/j.1468-5922.2006.00496.x Spielrein, Sabina. 2018. The Essential Writing of Sabina Spielrein: Pioneer of Psychonalysis. London: Routledge. Shamdasani, Sonu. 1961. Introduction: Jung, New York, 1912. In Jung Contra Freud: The 1912 New York Lectures on the Theory of Psychoanalysis. pp. vii-xxi. London: Routledge. Shamdasani, Sonu. 2005a. Modern Psychology, Jung History: A Semi-Annual Publication of the Philemon Foundation, 1 (1):10-14. Shamdasani, Sonu. 2005b. From the Uncollected Jung: Jung In Oxford, 1938, Jung History: A Semi-Annual Publication of the Philemon Foundation, 1 (1):5-7. Shamdasani, Sonu. 2007. The incomplete works of Jung. In Ann Casement (Ed), WHO OWNS JUNG? pp.173- 188. London:Karnac Books Ltd.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 339 Shamdasani, Sonu. 2018. Jung Stripped Bare: By His Biographers, Even. London: Taylor & Francis. Stevens, Anthony. 2006. The Archetypes. In Renos K. Papadopoulos (Ed), The Handbook of Jungian Psy- chology: Theory, Practice and Applications, pp. 74-93. London: Routledge. Stephens, Stephani (2016) Active imagination and the dead, International Journal of Jungian Studies, 8:1, 46- 59, DOI: 10.1080/19409052.2015.1111842 Stephenson, Craig E. 2016. W. H. Auden’s Use of Jung’s Typology. Jung Journal, 10(3): 31-51, http://dx.doi.org/10.1080/19342039.20 16.1191910 Schultz, Duane P. & Schultz, Sydney E. 2011. History of Modern Psychology. California: Wadsworth. Sharp, Daryl. 1987. Personality types: Jung’s model of typology. Toronto:Inner City Books. Singh, Khenu. 2013. The Unstruck Sound: Archetypes of Rhythm and Emotion in Indian Alchemy and Jungian Analysis. Jung Journal, 7(2):35-61, DOI: 10.1080/ 19342039.2013.787887 Spiegelman, J. Marvin. 2007. On the Mortifi catio of Jungian Psychology. Jung Journal: Culture & Psyche, 1(2): 65- 79, http://dx.doi.org/10.1525/jung.2007.1.2.65.

340 Psikologi Jungian, Film, Sastra Stein, Leslie. 2015. Jung and Divine Self-Revelation. Jung Journal: Culture & Psyche, 9:1, 18-30, http://dx.doi.org/10.1080/19342039.2015 .988061 Taylor, Eugene. 2007. Jung On Swedenborg, Redivivus. Jung History, 2 (2):27-32. Tacey, David. 2007. The challenge of teaching Jung in the university. In In Ann Casement (Ed), Who Owns Jung? pp.53-74. London:Karnac Books Ltd. Tieger, Paul D., et al. 1992. Do What You Are. New York: Little, Brown, and Company. Von Franz, Marie-Louise. (1980). Analytical Psychology and Literary Criticism. New Literary History, 12(1), 119- 126. doi:10.2307/468809. Von Franz, Marie-Louise. 1997. Archetypal Patterns in Fairly Tales. Canada: City Book. Watts, S.L. 2007. Encyclopedia American Folklore. USA:Infobase Publishing. Whan, Michael. 2006. Figures of Time And Meaning In Jung’s Interpretation Of Dreams, Jung History: A Semi-Annual Publication of the Philemon Foundation, 2 (1):4-7. Willeford, William (1992) Jung as Philosopher, The San Francisco Jung Institute Library Journal, 11:1, 57- 67,DOI: 10.1525/jung.1.1992.11.1.57

Psikologi Jungian, Film, Sastra 341 Wilde, D. J. 2011. Jung’s Personality Theory Quantifi ed. London: Springer. Yoshikawa, Eiji. 2001. Musashi. Terjemahan. Jakarta: Gramedia. Zemmelman, Steve. (2012) C. G. Jung and the Jewish Soul. Jung Journal: Culture & Psyche, 6:1, 104-123, http://dx.doi.org/10.1525/ jung.2012.6.1.104. Zimmerman, Shadow. 2016. The Anima In Theatre: Animating A Jungian Concept For Devisers, Directors, And Actors. Thesis Unpublished. Califor- nia: University Of California.

Rujukan Website https://mbtitraininginstitute.myersbriggs.org, diakses 20 Februari 2019 http://philemonfoundation.org, diakses 21 Februari 2019 https://speakingofj ung.com/jung, diakses 22 Februari 2019 https://www.carl-jung.net/timeline.html. diakses 23 Februari 2019 http://oaks.nvg.org/jung-timeline.html#r, diakses 24 Februari 2019 https://www.freud-museum.at/de/veranstaltung/Russian_ , diakses 25 Februari 2019.

342 Psikologi Jungian, Film, Sastra GLOSARIUM

anima : jiwa laki-laki yang terdapat dalam diri perempuan animus : jiwa perempuan yang terdapat dalam diri laki-laki archetype : ciri primordial yang dasariah agoraphobia : ketakutan pada kerumunan acrophobia : ketakutan pada ketinggian biophilia : hasrat yang membangun jiwa, positif, realistis necrophilia : hasrat yang merusak jiwa, negatif, unrealistis daimyo : keluarga terhormat/bangsawan di masa ke-samurai-an jepang borjuis : kalangan/kelompok majikan yang memiliki otoritas menguasai perusahaan ekstrovert : kepribadian yang bersifat terbuka introvert : kepribadian yang bersifat tertutup proletar : kalangan/kelompok buruh yang tidak memiliki otoritas

Psikologi Jungian, Film, Sastra 343 sadistis : perilaku menyimpang yang ditandai dengan rasa senang ketika menyakiti secara fi sik dan psikis lawan jenis (biasanya dalam konteks seksual) masochis : perilaku menyimpang yang ditandai dengan rasa senang disakiti menyakiti secara fi sik dan psikis lawan jenis (biasanya dalam konteks seksual) mistisisme : hal yang berkait dengan konteks mitical, gaib, supranatural mesias : sosok yang dianggap sebagai juru selamat sublimasi : salah satu bentuk mekanisme pertahanan ego yang dimunculkan dalam bentuk yang lain, misalnya seseorang yang sabar, disublimasikan dalam sastra dalam bentuk tokoh yang pemarah neurosis : kecemasan yang berlebihan nominous : sesuatu yang bersifat keilahian, kitab suci, kesakralan demonologi : seseorang yang dianggap dirasuki setan/ iblis; ilmu pengetahuan/studi tentang setan/iblis proyeksi : mekanisme pertahanan ego yang berkait dengan pelimpahan pada objek yang lain

344 Psikologi Jungian, Film, Sastra asosiasi kata : metode psikoterapi yang dikembangkan Jung dengan menggunakan kata-kata pnigophobia : ketakutan menulis bizzar : aneh, janggal parathimi : apa yang seharusnya membuat penderita merasa senang dan gembira malah muncul sebaliknya paramimi : penderita merasa senang tetapi ia menangis phallus : lambang yang diasosiasikan seperti kelamin laki-laki opresi : penindasan/penekanan terhadap seseorang ekspulsif : hasrat yang tidak terkendali yang meng- arah ke luar diri ronin : samurai yang berkelana dan tidak memiliki daimyo (Jepang) impulsif : hasrat yang tidak terkendali yang meng- arah ke dalam diri grimas : mimik yang aneh dan berulang katalepsi : mempertahankan tubuh yang kaku oedipus kompleks : hasrat seorang anak laki-laki yang mencintai ibunya elektra compleks : hasrat seorang anak perempuan yang mencintai ayahnya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 345 jonah kompleks : hasrat ketakutan untuk sukses cassandra kompleks : hasrat ketakutan akan bayangan masa depan mumbo jumbo : omong kosong yang tidak ada artinya oculltisme : kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib, mistis mimpi : kinerja alam bawah sadar ketika orang sedang dalam kondisi tidur mimpi laten : mimpi yang berhubungan dengan konteks yang real dan lebih mudah ditafsirkan mimpi manifest : mimpi yang berhubungan dengan konteks yang unreal dan sulit ditafsirkan masa pagi : masa kehidupan untuk anak-anak masa siang : masa kehidupan untuk orang dewasa masa senja : masa kehidupan untuk paruh baya dan tua psikologi Jungian klasik : penganut psikologi Jungian yang mengikuti pakem Jung psikologi Jungan modern : penganut psikologi Jungian yang mengem- bangkan pemikiran Jung

346 Psikologi Jungian, Film, Sastra INDEX

A 117, 118, 122, 123, 124, Adler iii, 6, 14, 29, 49, 53, 125, 127, 128, 134, 137, 66, 94, 262 170, 175, 190, 191, 259, agama iv, 9, 13, 19, 21, 22, 267, 270, 271, 272, 273, 29, 56, 59, 60, 61, 74, 274, 277, 281, 282, 283, 90, 101, 103, 122, 123, 284, 286, 297, 299, 131, 137, 138, 159, 160, 301, 302, 303, 304, 305, 161, 162, 169, 182, 223 306, 307, 308, 309, 314, agresi 17, 82, 116 317, 343 Anima i, iii, 1, 50, 68, 84, 125, 126, 128, 129, 133, B 134, 139, 207, 330, 333, biografi 5, 35, 36, 37, 38, 39, 342 52, 67, 78, 193 Animus i, iii, 1, 50, 68, 330, budaya 4, 84, 96, 99, 106, 333 122, 124, 136, 137, 139, Anna Freud iii, 14, 50, 53, 160, 164, 165, 175, 227, 262 319 archetype iv, 7, 8, 24, 32, 62, 83, 89, 90, 91, 92, 93, C 94, 95, 96, 97, 98, 99, Carl Gustav Jung 3, 35, 39, 100, 101, 102, 103, 104, 40, 97, 324, 328, 335, 105, 106, 113, 115, 116, 338

Psikologi Jungian, Film, Sastra 347 E 200, 202, 203, 205, ekstrovert v, 58, 142, 144, 206, 207, 208, 209, 145, 146, 147, 148, 212, 217, 220, 228, 149, 343 229, 230, 249, 250, Emma Rauscenbach ix, 50, 253, 254, 262, 326, 327, 51 330, 332, 333, 335, 336, empiris 26, 60, 165, 188, 339 205, 229, 267, 268, Fromm iii, 6, 13, 16, 17, 50, 269, 319 53, 94, 106, 262, 279, Erikson iii, 14, 29, 43, 53 310, 327, 328 Ernest Jones 5, 36, 327 Eugen Bleuleur 9, 10, 12 G Goethe 13, 40, 260, 323 F fabrikasi 27 I falsifi kasi 27 Imanuel Kant 9, 38, 83, 96 feminitas 4, 136 interdisipliner 23, 89, 124, fi lsafat 6, 9, 13, 16, 21, 22, 311, 321 49, 55, 61, 73, 95, 123, introvert v, 40, 41, 42, 44, 141, 191, 192, 277, 281, 47, 58, 71, 142, 144, 292, 313 145, 146, 147, 148, Freud iii, ix, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 149, 343 12, 13, 14, 15, 16, 24, 29, 34, 36, 37, 38, 46, J 49, 50, 52, 53, 55, 56, Jung iii, iv, v, viii, ix, x, 3, 4, 57, 58, 67, 69, 78, 79, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 80, 81, 82, 84, 85, 86, 13, 14, 17, 18, 19, 20, 87, 94, 96, 97, 162, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 163, 165, 166, 167, 169, 29, 30, 31, 33, 34, 35,

348 Psikologi Jungian, Film, Sastra 36, 38, 39, 40, 41, 42, 274, 282, 306, 309, 318, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 319, 322, 323, 324, 325, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 326, 328, 329, 330, 331, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 332, 333, 334, 335, 336, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 337, 338, 339, 340, 341, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 342, 345, 346 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, K 88, 89, 90, 91, 92, 93, Karen Horney iii, 14, 50, 53 94, 95, 96, 97, 98, 99, Kematian 86, 88, 292 100, 101, 102, 103, 105, kompulsif 15, 17 107, 108, 109, 113, 115, 117, 118, 125, 126, 127, L 128, 129, 130, 132, 134, Lacan 53, 190 135, 136, 137, 139, 142, 143, 144, 146, 148, M 149, 150, 151, 155, 165, Mandala 33, 335 166, 167, 168, 169, 170, Marie-Louise von Franz 48 175, 176, 177, 188, 191, maskulinitas 4, 128, 136, 193, 194, 195, 196, 197, 175, 182 198, 199, 200, 201, masochism 17 202, 203, 204, 205, Mekanisme pertahanan ego 206, 207, 208, 209, 16 210, 211, 212, 214, 215, melankolis 40, 41 216, 217, 218, 219, 220, metodologi mimpi 16, 162 222, 223, 224, 226, 227, mimpi v, x, 16, 19, 24, 43, 228, 229, 230, 249, 44, 70, 76, 83, 85, 86, 254, 259, 260, 261, 90, 91, 93, 94, 96, 99, 262, 263, 270, 271, 272, 103, 108, 109, 113, 117,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 349 133, 149, 155, 156, 157, O 158, 159, 160, 161, 162, occultisme 25, 76 163, 164, 165, 166, 167, oposisi 8, 58, 83, 84, 118, 168, 169, 170, 171, 172, 126, 127, 136, 137, 138, 173, 174, 175, 176, 231, 139 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, P 242, 243, 244, 245, Pelihatan 62, 63, 64 246, 247, 248, 249, persona 8, 32, 88, 121, 175 250, 251, 252, 253, 254, pro-Jungian 28, 52, 79, 229 255, 256, 257, 258, 271, Psikiatri 87 309, 319, 346 Psikoanalisis 6, 13, 87, 88, mistisisme 19, 25, 29, 48, 162, 322 56, 60, 76, 99, 158, psikologi arus utama 50, 208, 226, 344 311, 312, 320 mitologi 7, 9, 40, 56, 90, 93, psikologi Freudian 23, 24, 94, 98, 99, 100, 101, 182, 320 102, 103, 104, 108, 113, psikologi Jungian iii, iv, v, 8, 118, 119, 131, 163, 167, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 168, 250, 271, 285, 286, 23, 24, 25, 26, 32, 45, 287, 303, 304, 306, 319, 49, 50, 51, 70, 76, 78, 320 83, 84, 92, 93, 97, 104, multidipliner 23 107, 108, 109, 113, 121, 122, 124, 125, 143, 168, N 171, 177, 189, 190, 200, neurosis 42, 99, 163, 165, 209, 227, 260, 261, 167, 168, 172, 344 270, 271, 272, 273, 274, Nietszche 9 281, 284, 309, 311, 312, numinous 8, 125 313, 317, 320, 321, 346

350 Psikologi Jungian, Film, Sastra psikologi ketidaksadaran 3, 53, 87, 200, 202, 205, 4, 5, 24, 25, 28, 29, 55, 217, 327, 330 56, 62, 128, 189, 311 Simbolisme 91, 102 sosial 4, 6, 16, 17, 106, 172, S 175, 182, 191, 193, 227 Sabina Nikolayevna Spielrein Spielrein ix, x, 11, 12, 15, 50, 10, 11, 12, 52, 53 52, 53, 57, 67, 78, 79, sadism 17 80, 81, 82, 87, 188, 197, sains 21, 22, 25, 26, 48, 63, 200, 201, 202, 204, 311 207, 211, 212, 213, 214, sastra iv, v, 19, 21, 22, 40, 215, 216, 218, 219, 48, 95, 103, 106, 113, 220, 222, 223, 224, 119, 122, 134, 135, 138, 226, 230, 322, 324, 333, 177, 259, 260, 261, 334, 335, 339 262, 263, 264, 265, spiritual 4, 9, 29, 49, 55, 63, 266, 267, 268, 269, 73, 101, 107, 134, 137, 270, 271, 273, 274, 275, 158, 159, 169, 177 276, 305, 308, 311, 344 subjektivitas 27 Scopenhauer 9 seksologi 4 T semibiografi 36 teleologisme 25 Shadow 115, 116, 117, 324, teori mimpi v, 16, 85, 162, 331, 339, 342 165 Sigmund Freud 3, 9, 14, 36, terra incognito 28

Psikologi Jungian, Film, Sastra 351 Nama : Anas Ahmadi, S.Pd.,M.Pd. NIP/NIDN : 198005112008121001/0011058005 Pangkat/Golongan : IIId/Penata Tk.1 Jabatan Fungsional : Lektor ORCID ID : orcid.org/0000-0003-2583-2703 Scopus ID : 57201349400 Sinta ID : 5991463 TTL : Sidoarjo, 11 Mei 1980 NPWP : 25.514.077.4-617.000 Pekerjaan : Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya Alamat Rumah : Perum. Kota Baru Driyorejo, Granit Kumala I/12, Gresik Alamat Kantor : Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Univ. Negeri Surabaya Telepon/e-mail : 081357827429/anasahmadi@unesa. ac.id Status : Menikah Agama : Islam Pendidikan terakhir : S-3 di Universitas Negeri Malang (UM)

352 Psikologi Jungian, Film, Sastra Pengalaman Pendidikan 2015—2018 S-3 Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang 2004—2006 S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Surabaya 2000—2004 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya 2013—2014 Short Course Bahasa Mandarin, Huaqiao University, Cina 2007—2009 Short Course Pend. Bahasa Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Pengalaman Penelitian 2018 Tipikal Manusia Biofi lia dan Nekrofi lia dalam Novel Indonesia:PerspektifEcopsychologi (Hibah Penelitian Disertasi Doktor) 2017 Pengembangan Creative Writing Berbasis Integrative Writing Model (IWM) Berbantuan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) untuk Menunjang Literacy Competence dan Mendukung Millenium Development Goals (MDGs). Penelitian Produl Terapan (DRPM). 2017 Pengembangan Keterampilan Menulis Berbasis Psychowriting untuk Menunjang Literacy Competence tahun ke-2. Hibah Kompetensi (DRPM). 2016 Pengembangan Keterampilan Menulis Berbasis Psychowriting untuk Menunjang Literacy Compe- tence. Hibah Kompetensi (DRPM).

Psikologi Jungian, Film, Sastra 353 2015 Pengembangan RPP Bahasa Indonesia yang Efektif dan Efi sien. Hibah Kompetensi (DP2M). 2015 Ecopsychology dalam Cerpen Indonesia. Swadana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Swadana FBS Unesa/ 2014 Perkembangan Prosa Fiksi Jawa. Fundamental (DP2M) 2013 Pengembangan Buku Cerita Rakyat Berbasis Budaya Lokal Madura. Hibah Bersaing (DP2M). 2012 Konstruksi Perempuan dalam Cerita Rakyat. Swadana Fakultas Bahasa dan Seni. 2011 Pengembangan Sastra Lisan Pulau Raas sebagai Mediasi Kolektif. Hibah Bersaing (DP2M) 2011 Pengembangan Kurikulum Prototipe Prodi Pendidik- an Bahasa dan Sastra. Stranas (DP2M) 2010 Representasi Nilai Budaya dan Fungsi dalam Cerita Rakyat di Pulau Mandangin (tahap II). Fundamental (DP2M) 2009 Representasi Nilai Budaya dan Fungsi dalam Cerita Rakyat di Pulau Mandangin (tahap I). Fundamental (DP2M) 2008 Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Puslibang- jaknov. 2004 Eksistensialisme tokoh Utama dalam Novel Olenka. Penelitian Kreativitas Mahasiswa.

354 Psikologi Jungian, Film, Sastra Pengalaman Menulis Artikel di Jurnal 2019 Ecopsychology and Psychology of Literature: Concretization of Human Biophilia That Loves the Environment in Two Indonesian Novels. The International Journal of Literary Humanities Volume 17, Issue 1 2019 The Use Of Sinta (Science and Technology Index) Database to Map the Development Of Literature Study In Indonesia. International Journal of Mechani- cal Engineering and Technology (IJMET), 10 (2):918- 923 2018 Indonesian Literature, Trans-species, Posthumanism Aesthetic:Interpreting Novel O,Animal Studies Perspective. Theory and Practise in Language studies, v 2no 8:257-265. 2017 Film, Literature, and Education: Trace of Eco- psychology Research in Indonesia. Advances in Language and Literary Studies, 8(4):136-140 2017 Indonesian Short Story, Perspective Environnmental Psychology. Asian of Jurnal Humanity, Art and Literature, 42 (2):55—58 2017 Pertarungan Maskulinitas dan Feminitas dalam Cerpen Indonesia Mutakhir.Bebasan 4 (1):38—47 2017 Prototipe Integrative Writing Model (IWM) Berbasis Psychowriting MBTI dalam Pembelajaran Menulis. Inovasi, 11 (1):11--21

Psikologi Jungian, Film, Sastra 355 2017 Maskulinitas dalam Sastra Tiongkok. Jurnal MKP (akreditasi dikti) 2016 Archetype Dongeng Jerman: Kajian Psikoanalisis Jungian. Jurnal Toto Buang (4/2). 2015 Perempuan dalam Sastra Lisan di Pulau Raas: Kajian Gender. JurnalBahasa dan Seni (terakreditasi B Dikti), 43 (1): 57—65. 2015 Perempuan Pembunuh Tuhan dalam Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin MD: Perspektif Feminis Eksistensialis. Jurnal Lentera, 11 (2): 15—28. 2014 Perempuan Agresif dan Opresif dalam Antologi Cerpen Kompas 2012: Tinjauan Psikologi Gender. Jurnal Lentera, 10 (1): 65—74. 2014 Kuan Im di Kuil Budaya Tiongkok Selatan.Jurnal Urna, 3 (1): 98—108. 2012 Selamat Datang Pentafonik Seni. Jurnal Urna, 1 (1): 205—207. 2011 Cerita Rakyat Pulau Raas dalam Konteks Psikoanalisis Carl G. Jung.Jurnal Manusia, Kebudayaan, dan Politik (terakreditasi B Dikti), 24 (2): 109—116. 2011 Representasi Ketimpangan Gender dalamCerita Rakyat Indonesia.Jurnal Sastra dan Seni, 3 (1): 19— 26. 2010 Cerita Rakyat Pulau Mandangin: Kajian Struktural- Antropologi C. Levis-Strauss. Jurnal Manusia, Kebuda- yaan, dan Politik (terakreditasi B Dikti), 24 (4): 304—311.

356 Psikologi Jungian, Film, Sastra 2010 Filsafat Zen dalam Musashi Karya Eiji Yoshikawa. Jurnal Frase, 9 (1): 10—15. 2009 Legenda Kera Sakti dari Cina: Kajian Psikoanalisis C.G. Jung. Jurnal Sastra dan Seni, 1 (1): 77—86. 2009 Melejitkan Pembelajaran Menulis melalui Strategi Bersafari. Jurnal Pelangi, 3 (1): 30—40. 2006 Memahami Arketipe Anima-Animus Manusia Jepang Melalui Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa.Jurnal Prasasti, 17 (1):39—48. 2004 Perbandingan Eksistensialisme Tokoh Utama dalam Olenka dan The Age of Reason. Jurnal Prasasti (terakreditasi B Dikti, 54: 287—301.

Pengalaman Menulis Artikel di Media 2019 Politik, Megalomania, dan Demonologi. Jawa Pos (25/01/2019) 2018 Mempromosikan Ecopsychology di Indonesia. Jawa Pos (04/11/2018) 2018 Korupsifi lia: Fiksi dan Fakta. Duta Masyarakat (19/05/2018) 2018 Hate Speech dan Matinya Etika Bahasa. Jawa Pos (10/10/2018) 2017 Penerbit Indie, Penerbit Bajakan, dan Sastra: Catatan Super Pendek. Widyawara (No 10, Th. XXXIII) 2017 Sastra Hijau, Sastra Biru, “Blue Cultural Studies” dan Psychoteraphy. Majalah Widyawara (8/XXXII, 18—20)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 357 2017 Melawan Alienasi Lingkungan. Jawa Pos, 3 Februari. 2016 Mendamba Sosok Pendidik Humanis di Indonesia: Perspektif Psikologi Maslow dan Roger. Unesa, 99/17, 30—32. 2016 Etika, Plagiarisme, dan Perguruan Tinggi di Indonesia. Unesa,100, 17, hlm 22--25 2016 Tanding Tuturan Jokowi-Sby tentang Ahok.Jawa Pos,19 November 2016 Menguji Superioritas Bahasa Indonesia?Radar Bojonegoro, 14 Oktober. 2016 “Keterbukaan” dan Dinamisasi Bahasa Indonesia. Jawa Pos, 7 Oktober. 2015 Film Anak, Ecopsychology, dan Kita. Harian Radar Bojonegoro. 2015 Local Knowledge Sidoarjo. Jawa Pos. 2015 Perempuan, Sastra, dan Kebangkitan Masokisme. Majalah Widayawara. 2014 Ludah Muncrat (cerpen). Radar Bojonegoro. 2014 Air Mata Kupu-kupu (cerpen). Radar Bojonegoro. 2014 Sejumput Budaya dari Tiongkok.Majalah Unesa. 2013 Mahasiswa dan Glamorista. Harian Radar Surabaya. 2012 Perempuan Buruh, Kebisuan Purba, dan Efek Plasebo. Harian Duta Masyarakat. 2012 Indonesia, Guncangan Besar, dan Titik Balik Per- adaban. Harian Duta Masyarakat. 2012 Problematika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Majalah Unesa.

358 Psikologi Jungian, Film, Sastra 2011 Sastra dan Jiwa-jiwa yang Terbungkam. Harian Radar Bojonegoro. 2011 Ramadan, Pasar, dan Psikologi Masyarakat. Harian Radar Bojonegoro. 2008 Pembelajaran Humanisme. Harian Surya.

Pengalaman Menulis Artikel yang dibukukan (Antologi Bersama) 2017 Wajah Laut dalam Sastra Indonesia, Perspektif Blue Cultural Studies. Dalam Ali Mustofa (Ed). Menulis dan Memprovokasi. Surabaya: Delima. 2017 Sastra, Auto-Etnografi , dan Etnografi . Dalam Endras- wara (Ed). Sastra Etnografi . Yogyakarta: Morfolingua. 2013 Legenda Hantu Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu Kontemporer. Dalam S. Endraswara (Ed.), Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi (hlm. 229—241).Yogyakarta: Ombak. 2011 Pendidikan karakter, Personal Branding, dan Entrepreneurship. Dalam Syirikit Syah dan Martadi (Eds.), Bunga Rampai Pendidikan Karakter (hlm. 206—216). Surabaya: Unesapress.

Pengalaman Menulis Buku (Individual) 2018 Ekofi ksi Indonesia dalam Perspektif Ecopsychology. Gresik: Graniti. 2018 Ecopsychology dalam Studi Sastra. Gresik: Graniti.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 359 2017 Ecopsychology Studies in Indonesia. Baubassin, Jerman: Lambert Publishing. 2017 Orang Kiri dalam Buku Tempo. Gresik: Graniti. 2015 Psikologi Menulis. Yogyakarta: Ombak. 2015 Psikologi Sastra. Surabaya: Unesapress. 2013 Psikologi Berbicara. Surabaya: Grafi ka. 2013 Kajian Budaya. Surabaya: Unesapress. 2012 Sastra dan Filsafat. Surabaya: Unesapress. 2012 Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya: Unesapress. 2011 Budaya Masyarakat Kepulauan. Surabaya: Unesapress. 2011 Menyusur Mandangin. Surabaya: Akedemos. 2010 Sastra Multiperspektif. Surabaya: FBS Press.

Pengalaman Menulis Buku (Kolektif) 2018 Plagiasi: Hakikat, Jenis,dan Cara Pencegahannya. Gresik: Graniti. 2018 Cerita Anak Islami Berbasis Traditional Ecological Knowledge. Gresik: Graniti. 2018 Menulis Kreatif: Teori dan Praktik. Gresik: Graniti. 2017 Pengembangan Creative Writing Berbasis MBTI. Gresik: Graniti. 2017 Pengembangan Keterampilan Menulis Berbasis Psychowriting. Gresik: Graniti. 2017 Pengembangan Cerita Anak Berbasis Ecological Knowledge. Gresik: Graniti. 2016 Bahasa Indonesia Keilmuan. Surabaya: Madril Publishing.

360 Psikologi Jungian, Film, Sastra 2016 Strategi Menulis Berbasis Psychowriting. Surabaya: Unesapress. 2016 Pengembangan RPP yang Efektif dan Efi sien bagi Guru SMP. Surabaya: Revka. 2016 Menulis Ilmiah: Buku Ajar MPK Bahasa Indonesia (revisi). Surabaya: Unesapress. 2012 Indahnya jadi Pemula. Surabaya: Freshmedia. 2008 Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Surabaya: Unesapress.

Pengalaman Menulis Artikel yang Dipresentasikan 2018 Eff ectiveness Learning of Critical Reading Using Susiso Model. Seminar Internasional, Solok. 2018 Sikap Pengarang Terhadap Lingkungan dalam Novel Indonesia.Seminar Nasional, Surabaya. 2018 Pendekatan Interdisipliner dalam Konteks Kepenu- lisan. Seminar Nasional, Surabaya. 2018 Writing Development and Psychowriting. Seminar Internasional, Malaysia. 2018 Integrative Writing Model (IWM), Psychowriting, Myers-Briggs Type Indicators (MBTI), and Writing. Seminar Internasional, Malang. 2018 Promoting the Environment to Children through Animated Movie: An Alternative to Growing Love to the Environment.Seminar Internasional, Surabaya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 361 2017 Sastra Lisan Madura (Sebuah Tinjauan Psikologis Terhadap Sastra Lisan Madura).Seminar Nasional, Madura. 2017 Development of short Indonesian lesson plan to improve teacher performance. Seminar Interna- sional, Surabaya. 2016 Ecopsychology, Green Literature, Nature. Konfe- rensi Internasional HISKI di Yogyakarta. 2016 Psikologi Menulis, Psikologi Kepribadian, dan Strategi Menulis. Seminar Nasional Paramasastra, 30 Juli di Universitas Negeri Surabaya. 2016 Ecological Knowledge. Seminar Nasional Bahasa Konteks Etika dan Logika, 11 Juni di Universitas Negeri Malang. 2015 Literature Research in Indonesia, Ecopsychology Perspective. International Conference on Educa- tional Research and Development (ICERD) tanggal 5 Desember di Unesa, Surabaya. 2015 Literasi Ecopsychology: Film dan Sastra. Seminar Nasional Literasi, 19 Oktober di Unesa. 2015 Cerita Rakyat Indonesia Perspektif Ecopsychology. Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Industri Kreatif, 13 Desember di Universitas Negeri Malang. 2015 Sastra Indonesia dan Kriminologi.Seminar Nasional Sastra (Senasi I), 13 Mei di Unesa. 2014 Lanskap Ekofeminisme dalam Sastra Indonesia. Seminar Nasional Paramasastra, 1 November di Unesa. 2014 Literasi Hantu Sungai di Jawa Timur.Seminar Nasional Literasi, 19 Oktober di Unesa.

362 Psikologi Jungian, Film, Sastra 2013 Urban Legends di Indonesia, Folklor Kontemporer, dan Psikoanalisis. Konferensi Internasional Folklor Asia, 11—13 Maret di Yogyakarta. 2013 Archetype Perempuan, Dongeng Jerman, dan Psikoanalisis. Seminar Nasional Perempuan di Era Globalisasi, 20 April di Unesa. 2012 Menyadap Kearifan Filsafat Cina melalui Sastranya. Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Mandarin, 15 Oktober di Unesa. 2012 Teacher, Personal Branding, and Networking. Seminar Internasional Sang Guru, 20 November di Unesa. 2012 Also Sprach Appettitus: Menilik Lompatan Budaya Korea di Indonesia. Seminar Internasional, 16 Juli di Unesa. 2012 Representasi Demonologis Perempuan dalam Cerita Rakyat Empat Negara: Kajian Psikologi Gender. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (Senabastra) 16 Juni di Unijoyo. 2012 Sastra Lisan Pulau Mandangin, Gairah Kematian, dan Kesetiaan Perempuan. Seminar Internasional Bahasa Ibu, 19—21 Juni di Balai Bahasa Bandung. 2011 Pembelajaran Sastra Lisan Jawa sebagai Alternatif Pembentukan Karakter. Kongres Bahasa Jawa V, 27—29 November di JW Marriot, Surabaya. 2011 Maduresse Local Knowledge and Character Education. International Colloqium, 18—19 Mei di UMM, Malang. 2011 Konstruksi Psikologis dan Demonologis Perempuan Siluman: Menyingkap Cerita Rakyat Cina. Seminar Nasional Bahasa Mandarin, 29 Oktober di Unesa.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 363 2011 Representasi Pendidikan Karakter dalam cerita Rakyat.Seminar Internasional Bahasa dan Sastra, 18—19 Januari di STKIP PGRI Ngawi. 2011 Pembelajaran Folklor sebagai Alternatif Pendidikan Karakter. Seminar Nasional Pendidikan Karakter, 19 Januari di UM Surabaya. 2010 Revitalisasi Sastra Lisan Madura di Pulau Raas. Seminar Internasional Bahasa Ibu, 11—13 Februari di Udayana, Bali. 2010 Problematika Bahasa, Sastra, dan Budaya Lokal di Indonesia. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia, 25 November di Unesa. 2010 Anjangsana Filosofi s ke Padang Filsafat Sastra. Seminar Regional Filsafat dan Sastra, 20 Desember di Unesa. 2010 Wajah Perempuan Skizofrenia dalam Cerpen Indonesia.Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia, 10 Oktober di Unesa. 2009 Melejitkan Kemampuan Menulis. Seminar Jurnalis- tik, 10 Desember di Univ Muhammadiyah, Sidoarjo.

Pengalaman Editor Buku 2017 Penggunaan Media Flash Point untuk Meningkatkan Hasil Belajar Laju Reaksi pada Peserta Didik Kelas XI MIIA-2. Gresik: Graniti. 2015 Porodisa di Talaud. Surabaya: Unesapress.

364 Psikologi Jungian, Film, Sastra 2014 Mohon Maaf, masih Compang-Camping: Catatan Rektor Unesa. Surabaya: Unesapress. 2014 Dialektika Konstruksi Langen Tayub dalam Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat. Surabaya: Jaudarpress. 2012 Indahnya jadi Pemula. Surabaya: Freshmedia. 2011 Menulis Ilmiah. Surabaya: Unesapress.

Keanggotaan Profesi 2016 Himpunan Sarjana Kesusastraaan (HISKI). 2016 Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)

Pengabdian/Pelatihan pada Masyarakat 2019 Pelatihan Menulis untuk Mahasiswa PLS, Unesa 2018 Pelatihan Menulis bagi Siswa SMP 1 Gresik 2017 Pelatihan Menulis bagi Guru Bahasa Indonesia MGMP Sidoarjo 2017 Pelatihan Menulis Proposal Penelitian Edisi XI di Akfar Surabaya. 2016 Pelatihan Menulis Cerpen bagi Siswa SMK Pariwisata, Surabaya. 2015 Pelatihan Menulis Cerpen bagi Siswa SMP se- Surabaya Selatan. 2015 Pelatihan Menulis Perspektif Psikologis di MTsN 2 Surabaya. 2015 Pelatihan Menulis Karya Ilmiah bagi Guru TK Mutiara Hati Kab.Gresik.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 365 2014 Pelatihan Menulis Berbasis K-13 di SD Insan Mulia, Gresik. 2014 Pelatihan Menulis Berbasis Saintifi k bagi Guru SMP, Gresik. 2012 Pelatihan Menulis Deskripsi bagi Guru SD di Pulau Bawean, Gresik. 2011 Pelatihan Menulis Strategi Bersafari bagi Guru SD di Pulau Bawean, Gresik.

Pengalaman Mengajar 2008—sekarang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya 2014—sekarang Poltekkes Surabaya 2011—2012 Akademi Farmasi Surabaya 2010—2011 IAIN Surabaya 2006—2010 IKIP Widyadarma Surabaya 2006—2015 STKIP PGRI Sampang 2006—2015 Universitas Terbuka (UT) 2004—2008 Universitas Dr. Sutomo 2007—2009 Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) 2004—2005 SMP Muhammadiyah Sidoarjo 2004—2004 SD Al Azhar Surabaya 2004—2006 LBB IPIEMS Surabaya 2003—2004 LBB Prisma Sidoarjo

366 Psikologi Jungian, Film, Sastra