ANALISIS INTERAKSI SOSIAL GEIKO DAN MAIKO DI KYOTO

KYOUTO DE NO GEIKO TO MAIKO NO SOUGO SAYO NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

NABILA ANASTASYA

NIM. 140708067

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobilalamin puji syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, karunia, kasih sayang, dan ridho-Nya atas apa yang telah dan akan terjadi, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa salawat beriring salam kepada junjungan besar serta panutan penulis, Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat manusia.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Interaksi Sosial Geiko dan

Maiko di Kyoto”. ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai kesarjanaan di Fakultas Ilmu budaya Program Studi Strata-1 Sastra Jepang

Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril dan materil dari beerbagai pihak. untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono M.S, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.,Ph.D, selaku Ketua Program Studi

S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Siti Muharami Malayu M.Hum, selaku Dosen Pembimbing , yang

dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi

ini, dari awal hingga ujian akhir skripsi ini selesai.

4. Seluruh bapak/ Ibu Dosen Program Studi Sastra Jepang S-1 Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu dan pendidikan kepada

penulis.

5. Yang tak tergantikan di dunia dan akhirat, serta yang paling berpengaruh,

tentulah ibunda, Irma Yuni dan ayahanda, Edwardsyah, untuk semua dukungan

moril, kasih sayang, kesabaran, doa untuk kebahagian dan keberhasilan anak-

anaknya, keringat dan air mata serta dukungan materil yang tak terhingga

untuk pendidikan anak-anaknya sehingga penulis dapat menyelesaikan

studinya saat ini. semoga Allah membalas semua kebaikan mereka. Dan, Adik-

adik tersayang Jibril Khalil Gibran dan Nida Aulia, terima kasih atas segala

dukungannya.

6. Untuk teman-teman penulis di Sastra Jepang Stambuk 2014, Dewinta, Putri

Hira , Ade Maylina, Nurfat’aini Intan, Hanni Zumira , serta seluruh teman-

teman lain dan senior junior Aotake yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, Terima kasih sudah menemani suka maupun duka serta memberikan

sokongan semangat selama perkuliahan hingga ujian akhir.

7. Dan, kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kesalah disana-sini. Oleh karena itu penulis memohon maaf dan mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan mendatang. Akhir kata kepada Allah SWT penulis kembalikan segala

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sesuatu persoalan persoalan serta berserah diri dan selalu meminta petunjuk agar senantiasa dalam lindunganNya.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi maasyarakat luas pada umunnya khususnya mahasiswa sastra

Jepang.

Medan, 21 Agustus 2018

Penulis

Nabila Anastasya

NIM. 140708067

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...... i

Daftar Isi...... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 4

1.3 Ruang Lingkup Masalah ...... 5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...... 5

1.4.1 Tinjauan Pustaka ...... 5

1.4.2 Kerangka Teori ...... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8

1.6 Metode Penelitian...... 9

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG SEJARAH DAN KEBERADAAN

GEISHA

2.1 Definisi ………………...... 11

2.2 Sejarah Geisha………………...... 11

2.3 Tahapan menjadi Geisha ...... 21

BAB III INTERAKSI SOSIAL GEIKO DAN MAIKO DI KYOTO

3.1 Interaksi Sosial antara Geiko dan Maiko ...... 37

3.2 Interaksi Sosial Masyarakat Jepang terhadap Geiko dan

Maiko di Kyoto ...... 44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ...... 54

4.2 Saran …………………...... 55

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang adalah suatu negara yang mempunyai budaya dan kebudayaan yang sangat menarik untuk diteliti. Menurut Situmorang (2011:2-3) , Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya. Jikalau ditanya apa contoh kebudayaan jepang, maka mungkin akan di jawab adalah chanoyu, ikebana, masakan sukiyaki atau pakaian kimono. Tetapi kalau ditanya budaya jepang maka akan dijawab adalah rasa malu, budaya kelompok atau budaya nenkoujoretsu (senioritas) dan sebagainya. Salah satu kebudayaan tradisional jepang yang mencolok dan menarik perhatian adalah geisha. Geisha adalah kebudayaan tradisional Jepang yang masih bisa kita temui di Jepang, tepatnya di kawasan di Kyoto.

Secara bahasa, Geisha dalam bahasa Jepang adalah seniman atau penghibur tradisional. Banyak pandangan umum yang salah tentang definisi geisha sesungguhnya. Geisha bukan hanya sekedar wanita pekerja prostitusi semata, tapi geisha adalah wanita-wanita yang memiliki tingkat intelektual dan kemampuan seni yang cukup mumpuni. Geisha dididik dan dilatih untuk menjadi seorang wanita penghibur professional. Para Geisha menghibur dengan cara bernyanyi, menari, berbincang-bincang, memainkan alat musik. Seorang Geisha harus menjalani pelatihan seni seperti bermain alat musik, seni tari dan mempelajari budaya tradisional Jepang. Seperti, instrumen tradisional: shamisen, shakuhachi, dan drum, serta belajar permainan, lagu tradisional, kaligrafi, tarian tradisional Jepang (dalam gaya nihonbuyō), sastra, dan puisi. Geisha sudah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadi ikon jepang sejak dahulu hingga sekarang. Saat ini Geisha adalah salah satu ikon jepang yang paling menarik perhatian dunia. Sudah banyak buku-buku yang telah ditulis mengenai geisha baik itu fiksi maupun non-fiksi.

Tidak sembarang wanita biasa menjadi geisha, dengan kecerdasan intelektual yang tinggi, paras yang mempesona, serta mempunyai keterampilan seni, seorang geisha harus mampu mengangkat derajat dirinya sebagai geisha sejati. Seorang wanita yang memasuki komunitas geisha tidak harus memulai sebagai maiko atau geisha magang, mereka memiliki kesempatan untuk memulai karirnya sebagai geisha penuh. Meskipun, biasanya satu tahun akan ada pelatihan sebelum memulai debutnya sebagai geisha. Seorang wanita berusia di atas 21 dianggap terlalu tua untuk menjadi maiko dan menjadi geisha penuh saat inisiasi ke komunitas geisha. Mereka harus mampu menghibur para pria yang berkedudukan tinggi, pandai berbicara, menjaga rahasia, bahkan mampu menciptakan suasana dramatis hanya dengan menggerakkan kipas atau menggodai seseorang dengan sedikit menampilkan belakang lehernya atau pergelangan tangannya serta berdandan atau mempercantik diri.

Calon Geisha biasanya berumur 8 tahun dan berasal dari keluarga miskin yang kemudian dijual dan dibawa kerumah Geisha bernama Okiya. Selama usianya masih anak-anak para calon Geisha ini dipekerjakan menjadi pembantu atau pelayan. Di Kyoto, anak perempuan sering memulai pelatihan geisha mereka di usia muda dengan bergabung dengan okiya, atau rumah geisha. Mereka dididik dan latih menjadi seorang geisha oleh okaa-san atau ibu, ibu dalam arti bukan ibu biologis tapi pemilik okiya (rumah geisha). Ada Tiga tahap latihan untuk menuju menjadi geiko atau geisha seutuhnya yaitu shikomi, minarai, dan maiko. Maiko

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sangat membayangi seorang mentor geisha senior dan guru, atau onê-san.

Hubungan antara maiko dan onê-san sangat penting. Maiko belajar seni melayani sake, percakapan cerdas, dan bersikap wibawa dari onê-san mereka. Seorang magang bisa menjadi maiko selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum menjadi geiko atau geisha profesional. Sejak muda calon-calon geisha dituntut menjadi seorang wanita yang sempurna.

Secara tampilan, Geiko dan Maiko mempunyai tampilan yang berbeda.

Geisha mengenakan make-up yang rumit dan memakan waktu yang cukup lama.

Riasan wajah putih dan kimono serta tatanan rambut maiko yang rumit merupakan gambaran populer yang dimiliki geisha. Make-up yang digunakanpun cukup rumit dan mempunyai banyak lapisan. Dalam hal menggunakan make-up, riasan rambut geiko dan maiko mempunyai riasan yang berbeda. Kimono yang mereka kenakanpun mempunyai corak yang berbeda. Tanda dari okiya makmur adalah geisha yang tidak memakai kimono lebih dari sekali, yang berarti bahwa mereka dengan status ekonomi yang lebih tinggi dan memiliki "gudang" kimono disimpan dan dipertukarkan antara geisha.

Geisha adalah salah satu profesi penghibur tertua di Jepang, menurut

Downer (2000,23-24) profesi ini memiliki sejarah panjang yang melewati berabad-abad dan memiliki berbagai macam cerita yang mengikuti, meskipun itu fakta atau mitos. Mereka juga banyak berperan dalam acara besar saat zaman mereka, mereka mendampingi pria-pria yang paling berpengaruh di negaranya sebagai teman, menjadi wanita kepercayaan atau wanita simpanan, bahkan ada yang dijadikan sebagai istri. Geisha atau geiko dan maiko merupakan suatu organisasi dalam masyarakat Jepang yang sudah ada sejak dahulu dan menjadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bagian sejarah negara Jepang. Pada masa kejayaan mereka yaitu pada masa keshogunan, mereka adalah puncak dari organisasi masyarakat yang hina, seperti bintang rock and roll hari ini. Pendapat masyarakat saat itu menjadikan geisha adalah salah satu profesi yang tidak cukup baik.

Sesuai dengan uraian diatas penulis tertarik menganalisis hubungan sosiologis para geisha terhadap masyarakat, serta hubungan peran geisha senior

(geiko) dan geisha junior (maiko). Untuk itu penulis mengambil judul “Interaksi sosial geiko dan maiko di Kyoto”

1.2 Rumusan Masalah

Profesi geisha sudah menjadi ikon Jepang sejak dahulu hingga sekarang.

Profesi ini sudah lahir sejak jaman Edo. Profesi Geisha seringkali dihubungkan dengan tempat prostitusi, stigma masyrakat luas mengenai profesei ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Masyarakat mempunyai pandangan masing-masing mengenai profesi ini. Ada yang mempunyai pandangan positif ada pula yang negatif.

Sebelum diangkat menjadi geisha penuh atau profesional, mereka akan dididik sejak dini dan melewati berbagai proses ritual untuk menjadi geisha yang profesional. Selain itu, mereka memiliki hierarki dan kode etik yang ketat. Dalam hal ini, berlaku sistem geisha senior (geiko) dan geisha junior (maiko).

Selain itu, peneliti menganalisis dan mengangkat masalah berdasarkan data dari buku yang ditulis oleh Lesley Downer yang berjudul Geisha:The secret history of a vanishing world diterbitkan oleh Headline Book Publishing tahun

2000.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Berdasarkan uraian tersebut, penulis merangkum permasalahan ini dalam

dua hal yaitu:

1. Bagaimana Interaksi sosial antara geiko dengan maiko

2. Bagaimana Interaksi sosial antara masyarakat Jepang di Kyoto dengan

geiko dan maiko.

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penelitian ini penulis mencoba membatasi ruang lingkup penilitian, hal ini dilakukan untuk menghindari penelitian tidak terfokus dan menyebar luas.

Pembahasan kebudayaan geisha mempunyai cakupan sangat luas, agar pembahasan terarah dan cakupan tidak begitu luas, sehingga dapat memudahkan dalam menganalisis.

Penulis hanya memfokuskan faktor yang mempengaruhi interaksi sosial antara geisha atau geiko dan maiko, maupun calon geisha bersosialisasi dengan masyarakat, serta pandangan masyarakat Kyoto mengenai profesi geisha lebih tepatnya masyarakat yang berdomisili didaerah rumah-rumah geisha (okiya) kawasan (distrik geisha). Untuk mendukung adanya penelitian ini, penulis memberikan ulasan pada bab 3 dan terlebih dahulu penulis juga memberikan sedikit pemamaparan pada bab 2 mengenai definisi geisha, geiko dan maiko.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebelumnya, terdapat banyak penelitian mengenai tema geisha yang diangkat berdasarkan karya sastra, tapi berdasarkan pengetauhan penulis belum ada penelitian skripsi mengenai tema geisha, geiko dan maiko yang diangkat berdasarkan kebudayaan dan menggunakan pendekatan sosiologi.

Aisyah (2009) dalam penelitian skripsi Analisis Sosiologis terhadap

Kehidupan Geisha dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Doroty &

Thomas Hoobler,Peneliatianya membahas tentang hubungan social geisha dalam novel tersebut bahwa fakta sosialnya profesi geisha terpisah dengan istri secara eksklusif mereka mempunyai ruang berbeda antara kepentingan rumah dan kepentingan bisnis. Dalam pemikiran penulis novel, geisha mempunyai makna konotasi suatu makhluk mitologi yang eksotis dan mempunyai anggapan gesha adalah wanita cantik yang melakukan apapun yang diminta majikanya.

Hartati Sinambela (2017) dalam penelitian skripsi Analisis Kehidupan

Geisha di Jepang melalui Novel “Snow Contry (Yukiguni )” Karya Yasunari

Kawabata. Penelitianya membahas tentang tata kerja, serta hubungan seorang geisha dan laki-laki dalam novel tersebut. Hasil dari penelitianya dalam novel tersebut bagaimana penampilan dan keahlian seorang geisha, serta hubungan geisha dengan tamunya hanya hubungan sesaat saja, geisha tidak menikah kecuali sesudah pensiun.

Oppy Cristika (2017) dalam penelitian skripsi Hubungan antara Bushi dan

Nomin pada Zaman Edo. Dalam penelitianya membahas tentang hubungan social anatara bushi dan nomin dalam sistem feodal Zaman Edo, serta membahas dampak positif dan dampak negatif yang timbul antara hubungan bushi dan nomin. Hasil penelitianya berupa dampak positif yang mana kebijakan bushi akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menerima pajak dari petani atau nomin, dan menjamin kehidupan bushi yang tertanggung oleh petani. Sedangkan dampak negatif dari penelitianya yaitu para petani akan terbebani menanggung beban pajak yang harus diberikan kepada daimyo dan bushi. Penelitianya menggunakan pendekatan sosiologis dan menggunakan pendekatan historis sebagai penunjang.

Selain itu, terdapat penelitian Johan Khristian Napitupulu (2008) penelitianya mengangkat analisis nilai kesetiaan bushido dihubungkan dengan karoushi. Penelitianya mengangkat bagaimana hubungan kesetiaan bushido pada zaman feudal dengan fenomena karoushi saat ini. Dalam penelitianya menggunakan pendekatan sosiologi dan pendekatan historis. Hasil penelitiannya ssemangat pekerja saat ini yang menyebabkan fenomena karoushi merupakan hasil warisan semangat bushidou, yang mana semangat para pekerja yang loyal terhadap perusahaan yang telah memperkerjakan mereka.

Keempat penelitian diatas mempunyai persamaan dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis yaitu dua penelitian diatas mengangkat objek penelitian yang sama dengan penulis, menegenai geisha yang diangkat dari karya sastra. Dua penelitian lagi mempunyai mempunyai objek yang berbeda dengan penulis, tapi mempunyai teori dan analisis yang sama dengan penulis. Selain keempat penelitian diatas, penulis mengambil data dari Downer (2000) yang mengangkat kehidupan sejarah geisha hingga jaman modern.

1.4.2 Kerangka Teori

Pada penelitian ini penulis akan meneliti menggunakan beberapa pendekatan-pendekatan yang sudah ada sebagai acuan. Penulis akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menggunakan pendekatan penelitian sosiologi dan pendekatan penelitian historis sebagai teori penunjang. Penulis akan mengambil teori sosiologi dari Soekanto.

Sosiologi adalah studi ilmiah masyarakat, termasuk pola hubungan sosial, interaksi sosial, dan budaya. Sosiologi merupakan ilmu sosial yang menggunakan berbagai metode penyelidikan empiris dan analisis kritis untuk mengembangkan pengetahuan tentang tatanan, penerimaan, dan perubahan sosial.

(https://en.wikipedia.org/wiki/Sociology)

Menurut Soekanto, sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat. Soekanto (2009: 107) juga mengatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah kompleks bahwa individu sudah menjadi bagian kelompok sosial tertentu misalnya atas dasar suku ras dan lain sebagainya. Tetapi dalam bidang pekerjaan rekreasi dan sebagainya keanggotaanya bersifat sukarela. Dengan begitu terdapat derajat tertentu serta arti tertentu bagi individu-individu tadi sehubungan dengan keanggotan kelompok social yang tertentu sehingga bagi individu terdapat dorongan-dorongan tertentu pula sebagai anggota suatu kelompok sosial.

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian historis (Historical

Research ). Menurut Suryabrata ( 1997 : 16 ) tujuan penelitian ini adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti – bukti yang menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan kuat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Adapun tujan penulis melakukan penelitian ini adalah

1. Untuk menjelaskan hubungan sosiologis antara Geiko (Geisha Senior)

dan Maiko (Geisha Junior)

2. Untuk mendeskripsikan mengenai interaksi sosial antara geisha dan

masyrakat Jepang, lebih tepatnya di Kyoto

Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat meanambah wawasan bagi pembaca

mengenai hubungan sosiologis geisha.

2. Selain itu penelitian ini juga diharapkan menjadi sebagai referensi bagi

penelitian selanjutnya mengenai ketertarikan terhadap hasil budaya

jepang yaitu Geisha.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono 2004 : 1). Metode Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. (Nazir

1983 : 63)

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat,

1976 : 30).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penulis akan menggunakan metode penelitian bersifat kulitatif yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti.

Penelitian ini bertjuan mendapatakan gambaran seutuhnya mengenai objek yang akan diteliti.

Dalam pemecahan masalah penelitian ini seperti pendapat para ahli diatas perlu adanya metode penelitian. Metode penelitian adalah cara untuk menemukan, mengembangkan dan menguji masalah yang dihadapi. Penulis menggunakan metode penilitian diskriptif dalam cakupan kulitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakanpun adalah studi pustaka, dengan mencari sumber-sumber data melalui kepustakaan dan buku-buku serta data-data yang diperoleh dari internet.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG SEJARAH GEISHA DAN

KEBERADAAN GEISHA

2.1 Definisi Geisha

Geisha (芸 者) atau geigi (芸 妓) adalah penghibur tradisional wanita

Jepang. Mereka terampil dalam kesenian tradisional Jepang , seperti memainkan musik Jepang klasik, menari, dan puisi. Sebagian orang percaya bahwa geisha adalah pelacur, namun ini salah. Istilah "geisha" terdiri dari dua kata Jepang, 芸

(gei) yang berarti "seni" dan 者 (sha) yang berarti "orang yang melakukan" atau

"dipekerjakan di". Terjemahan paling harfiah dari geisha ke bahasa Indonesia adalah "artis atau seniman".

Istilah lain untuk geisha adalah Geiko (芸 子). Kata ini terutama digunakan di Kyoto. Kyoto adalah kota tempat tradisi geisha lebih tua dan lebih kuat. Menjadi geisha profesional (geiko) di Kyoto biasanya membutuhkan lima tahun pelatihan.

2.2 Sejarah Geisha

Wanita penghibur sudah cukup lekat dikalangan masyarakat dari dahulu hingga sekarang, setiap negara mempunyai wanita penghiburnya, dengan sistem dan gaya yang berbeda-beda sesuai kebudayaanya masing-masing. Begitupula dengan Jepang, pada era Hidoyosi Toyotomi, salah satu tangan kanan beliau bernama Saburoemon Hara meminta izin untuk membuka tempat hiburan.

Toyotomi memberi izin untuk dibukanya tempat hiburan yang tak jauh dari kastil,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA apabila dari kastil cukup berjalan kaki sebentar saja. Dia menyebut tempat itu dengan Yanamagachi (Willow town). Tujuan awalnya untuk memikat para petinggi dan orang-orang berpendidikan untuk datang ke Kyoto. Seiring berjalanya waktu Toyotomi memiliki kecurigaan terhadap tempat hiburan tersebut. Toyotomi mulai masuk dan menyamar bersama pelayanya. Tempat hiburan tersebut memiliki ketidaksopanan dan menjadi tempat pelacuran liar yang letaknya dekat dengan kawasan istana. Mereka segera pindah lebih jauh kearah selatan dan berganti nama Shimabara.

Di tempat hiburan tersebut terdapat berbagai hiburan yang ada, dimulai dari (wanita penghibur) dan pemain drum serta komedian. Wanita penghibur atau oiran awalnya sebutan untuk pelacur yang dianggap terhormat pada saat itu. Oiran memiliki berbagai tingkatan, dan tingkatan paling tinggi adalah Tayuu. (paling dihormati). Tayuu adalah cikal bakal dari terbentuknya sistem geisha seperti saat ini. Yang membedakan Tayuu dengan wanita penghibur yang lain yaitu mereka memiliki keahlian lebih dibandingkan yang lain seperti, mampu memainkan alat musik tradisional, memiliki tingkat seni yang tinggi tak hanya memiliki kecantikan yang luar biasa, mereka mampu menghibur para tamu.

Geisha dimana gei 芸 adalah seni, sha 者adalah pelaku, sehingga berarti orang seni. Dalam bahasa Jepang bisa disebut dengan seniman atau entertainer.

Pada awal kemunculanya geisha bukanlah wanita, tapi pria. Pada tempat hiburan mereka bekerja dengan cara menghibur tamu dengan permainan musik drama serta berlawak komedi. Geisha pria ini disebut dengan Taikomochi. Secara harafiah Taikomochi berarti pembawa drum, ini berhubungan dengan mereka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang beberapa diantaranya membawa drum kecil. Sebelum abad ke 17, tempat hiburan tidak hanya didukung dengan wanita penghibur atau prostitusi semata, tapi ada banyak pendukung lainya seperti, penjaga tempat hiburan, pelayan, juru masak, pengawal , pembantu dan bayak yang lainya. Termasuk Taikomochi didalamnya, mereka yang menjadi pembawa acara pesta dan menjaga suasana pesta tetap bahagia serta membawakan permainan-permainan seru. Sama seperti seniman lainya mereka bernyanyi, berjoget dan menceritakan suatu cerita atau lawakan.

Taikomochi adalah geisha pertama yang ada di Jepang, jauh sebelum munculnya geisha yang kita kenal saat ini. Ada banyak versi menyebutkan bahwa banyak dari laki-laki Jepang pada saat itu ketika karirnya sedang hancur, bisnis bankrut, dan istri-istri mereka meninggalkan mereka. Mereka banyak lari ke tempat-tempat hiburan dan cerita kepada taikomochi. Mereka banyak melihat kehidupan perkerjaan taikomochi baik-baik saja dan terlihat bahagia. Maka banyak dari mereka memutuskan untuk beralih profesi menjadi taikomochi.

Adapula yang menganggap mereka laki-laki penyuka sesama jenis tapi mereka bukanlah gay, mereka hanya penghibur. Saat ini jumlah taikomochi masih ada tetapi hanya tinggal enam orang diseluruh Jepang, dan mereka berkerja secara eksklusif di Asakusa.

Pada awalnya para wanita penghibur tertinggi atau biasa yang disebut dengan Tayuu, saat menghadiri pesta mereka datang dengan beberapa anak-anak calon wanita penghibur dan tayuu junior. Tayuu duduk dengan anggun di kursi mewah, anak-anak duduk disekitarnya serta tayuu junior ikut menghibur tamu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bersama taikomochi. Perlahan-lahan tayuu mulai menggeser perannya dari wanita penghibur dan prostitusi, menjadi seniman yang sempurna. (Downer, 2000:42 )

Tayuu mempunyai konsep yang terputus dari masyarakat, terkunci ke dalam sangkar emas dari kesenangan tanpa akhir dan ini mempunyai pakaian, rambut, dan perilaku yang semakin mencekik. Harga pelacur high-end naik untuk memenuhi biaya display yang aneh ini. Mulailah munculnya Geisha, jika Tayuu dan Oiran dirancang untuk menjadi penghibur tetapi mempunyai kostum yang rumit, pidato formal dan biaya pelacuran lisensi membuat mereka tidak dapat dijangkau oleh banyak orang. di sisi lain Geisha memakai kostum yang lebih sederhana, dilarang mengenakan pakaian seksual dan menawarkan layanan untuk menarik setiap pria - bernyanyi, menari, bermain musik dan menyajikan minuman.

Pemakaian istilah geisha pertama kali tercatat pada tahun 1751 di Kyoto dan 1752 di Edo (sekarang Tokyo). Pada tahun 1751, para pelanggan di tempat pelacuran shimabara di kejutkan oleh penampilan seorang wanita pembawa gendang (onna taiko-mochi) muncul di pesta mereka. Wanita-wanita ini dikenal sebagai geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai ganti geisha.

Beberapa tahun kemudian, di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha, atau geisha wanita. Pada tahun

1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian mulai menyebut otoko geisha untuk menyebut geisha pria. Pada tahun 1800, seorang geisha, dan tidak tergantikan lagi, pastilah seorang wanita. (Dalby, 2005:

56 ).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menjadi seorang geisha wanita tidak dapat sukses secara instan. Tidak seperti pelacur dan prostitusi yang lainya dari tempat hiburan pelacuran, mereka berdiri sendiri, tapi mereka pintar yang hidup dengan keahlian seni dan kecerdasan intelektual dan mereka tidak terkenal dengan cara terikat oleh tradisi yang memaksa mereka untuk berkelakuan baik. Mereka tidak harus dipesan dan terlibat dalam acara formalitas yang tidak ada habis-habisnya, dan dapat menerima pasangan yang mereka senangin asal mereka senang. Mereka adalah perempuan tangguh didunia dan daerah geisha terkumpul disuatu bagian kota tertentu, tidak berbatas. Wanita-wanita lain bisa datang dengan bebas, mereka bukan burung dalam sangkar. (Downer, 2000: 68 )

Calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat sejak usia dini.

Seperti berlatih alat musik petik shamizen yang membuat calon geisha harus merendam jarinya di air es. Tidak hanya shamisen tapi alat musik lainnya juga seperti drum kecil hingga taiko. Seni tari salah satu kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan atas umumnya adalah penari. Tari Topeng Noh yang sering dimainkan oleh geisha dihadirkan bagi masyarakat kelas atas berbeda segmennya dengan pertunjukkan Kabuki yang lebih disukai rakyat jelata. Mereka juga harus berlatih seni upacara minum teh, yang pada masa medieval dianggap sama pentingnya dengan seni perang. Dan berbagai latihan berat lain yang harus dijalani. Dan latihan itu masih terus dijalani setiap geisha hingga akhir karirnya.

Seorang calon geisha sedari awal menginjakkan kakinya ke rumah barunya , sudah memiliki hutang awal sebesar biaya yang dikeluarkan pemilik Okiya untuk membelinya atau biasa disebut Okasaan (ibu pemilik Okiya). Seiring berjalan waktu, hutang itu terus bertambah. Karena biaya pendidikan geisha, biaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perawatan kecantikan, biaya dokter yang ditalangi oleh Okiya, nyatanya dibebankan balik sebagai hutang geisha. Geisha dengan level standar akan terus terikat hingga akhir hayatnya, berbeda dengan geisha sukses yang dapat menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20 tahunan.

Pemilik okiya atau Okaasan yang berarti ibu, akan menjadi guru bagi mereka. Okasaan adalah point penting yang utama bagi kesuksesan geisha di

Kyoto. Dia akan menjadi ibu bagi mereka selama masa pendidikan, akan mengayomi bagaimana keadaan geishanya. Sebelumnya dia dulunya juga seorang geisha kemudian dibeli oleh danna seseorang laki-laki yang mendanai geisha selama sisa hidupnya atau yang sudah menjadi suaminya saat dia mulai pensiun.

Dia mendirikan okiya dan mendidik geisha sesuai pengalamanya dulu dan berhenti seutuhnya menjadi geisha.

Di Jepang , pada masa kejayaan geisha, hubungan antara lelaki dan wanita sangatlah berbeda dengan keadaan sekarang ini. Pada saat itu pernikahan bukanlah dilandasi dengan kemauan atau cinta, tapi pernikahan didasar atas mempertahankan hubungan keluarga terlebih lagi dari golongan atas atau bangsawan. Bahkan para lelaki tidak pernah menbayangkan hanya berhubungan sex dengan satu istri saja. Maka pada saat itu banyak bermunculan rumah-rumah pelacuran yang mana geisha masih mau diajak berhubungan badan dengan pelangganya.

Pada sekitar abad 17 , akan didapati tempat hiburan yang cukup terkenal didaerah hamparan pinggir sungai Kamo. Disana terdapat banyak geisha yang menyediakan berbagai hiburan, bahkan mereka melakkukan pagelaran seni.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Mereka akan menghibur sesuai dengan harga yang akan ditawarkan. Seiring berjalanya waktu pemerintah tidak memperbolehkan geisha bersaing dengan oiran atau yujo (prostitusi). Pemerintah menganggap geisha harus sesuai mengarah makna namanya secara harafiah, walaupun lama kelamaan perbedaan diantara keduanya semakin tak terlihat. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi pakaian geisha. Saat itu pemerintah juga sengaja merekrut wanita-wanita tua untuk menjadi geisha agar mendapatkan perbedaan antara geisha dan pekerja prostitusi. Sistem geisha diperkirakan telah muncul pada abad ke-17 disediakan kelas penghibur yang terpisah dari pelacur, yang melakukan perdagangan masing- masing di antara kaum bangsawan dan samurai. Sistem geisha secara tradisional merupakan bentuk kerja yang terikat.

Pada tahun 1779, pemerintah membentuk kenban. Di Jepang ada semacam instansi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengatur dan menjaga kegiatan para geisha yang disebut dengan “kenban” lebih tepatnya kenban pertama dibentuk di daerah . Sementara itu pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang larangan prostitusi. Tetapi peraturan ini tidak berlaku pada komunitas geisha. Mereka tetap menjalankan profesi seperti biasanya. (Dalby, 1983 : 180). Sejak pemerintah membentuk kenban, geisha harus mendaftarkan dirinya di kenban yang terdapat ditempat-tempat seperti di distrik yang telah disediakan dan tempat tersebut memiliki hubungan kerja dengan sejumlah Ochaya atau rumah minum teh. Para tamu yang akan mengundang geisha harus menghubungi restoran atau ochaya tersebut, lalu pihak restoran akan menghubungi kenban. Kemudian kenban akan menghubungi okiya, tempat geisha

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA itu tinggal – untuk memesan sejumlah geisha. Kenban mengambil 30 persen sampai 50 persen dari penghasilan geisha.

Tamu yang memesan geisha harus mengerti dan mengikuti standarisasi upah bagi geisha yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada tahun 1886 pemerintah menetapkan standarisasi upah bagi geisha yang pertama kali diberlakukan di daerah Pontochoo, Kyoto. Standarisasi upah ini biasa disebut dengan hanadai.

Pada pertengahan abad ke 18, fungsi geisha juga dipakai untuk mengarah pada profesi hiburan, yaitu shiro geisha dan kido geisha. Shiro geisha merupakan penghibur seperti halnya geisha professional yang menghibur para tamu dengan suguhan tarian dan nyanyian tradisional, dan kido geisha merupakan penghibur yang berdiri di pintu masuk acara karnaval atau acara tahunan dan mereka memainkan alat musik shamisen untuk menarik perhatian para pengunjung.

(Dalby, 1983 : 58 )

Sebelum masa restorasi Meiji profesi ini sudah menjadi panduan model fashion atau berpakaian pada wanita Jepang. Tapi saat memasuki masa restorasi

Meiji perkembangan fashion pun mulai bergeser, para wanita Jepang mulai beralih ke pakaian ala barat.

Pada masa kejayaan geisha hingga sekarang profesi geisha dituntut untuk berkerja secara professional agar tidak dipandang sebelah mata dan dapat bersaing dengan geisha lainya. Mereka harus mampu menyuguhkan penampilan seni yang menarik dan tidak membosankan, serta mampu menghibur para tamu yang sudah memesan mereka terlebih dahulu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di akhir Zaman Edo sampai sekarng ini, geisha telah mempunyai hubungan yang lekat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang merupakan pendukung Restorasi Meiji pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah-rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana- rencana politik mereka yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadap kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan

Meiji di Tokyo, beberapa dari pemimpin – pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang dari Yoshiwara( Edo) ataupun dari tempat lain, bahkan ada yang keemudian menikahi geisha yang setia kepada mereka( Dalby,

2005:64).

Setiap golongan kepemerintahan mempunyai distrik-distrik geisha atau hanamachi yang mana seringkali mereka melakukan negosiasi politik yang dilatar belakangi dengan bersenang-senang dan minum-minum sake. Oleh karena itu, terkadang jatuh bangunya distrik geisha tergantung dari golongan politik yang berkuasa dan akan melindunginya.

Profesi geisha pertama kali diakui sebagai sebuah profesi oleh pemerintah pada tahun 1813 di Kyoto dan pada saat itu sebagian besar yang berprofesi ini sudah mapan. Profesi geisha dibagi-bagi sesuai dengan seberapa pelayanan yang mereka berikan, ada geisha kelas atas dan geisha kelas bawah. Geisha kelas atas serta berlisensi dan berkerja secara professional mereka tidak menjual tubuh mereka. Sedangkan geisha dengan kelas bawah atau rendah mereka menjual tubuh mereka dan mereka tidak mempunyai lisensi. Geisha berkerja dengan cara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menghibur dan tidak memperjualkan tubuh mereka. Tingkat kemampuan seni dan intelektaual yang membedakan bagaimana geisha atas dan bawah, semakin tinggi kemampuanya semakin mahal bayaranya dan dapat menjaga imagenya didepan para pelanggan serta tidak sembarang orang bisa membayarnya. Sebenernya profesi ini tidak tunduk dan patuh secara tertulis, namun beberapa dari sejarah geisha yang sukses secara financial dan emosional adalah mereka yang tunduk dan patuh.

Geisha menganggap diri mereka sebagai seniman sejati( Cobb, 1997: 23).

Ini menunjukkan bahwa geisha adalah lebih dari sebagai seorang peneliti dan pencipta seni bukan hanya sekedar bagian dari dirinya. Seorang geisha seninya mengandung di dalam dirinya sendiri, dan karena tubuhnya memiliki seni ini, hidupnya akan disimpan. Itulah kekuatan seni - keselamatan jiwa seseorang . Hal ini menunjukkan bahwa geisha adalah kampas dan pencipta seni daripada murni manifestasi dari itu; ia memberi seseorang pengalaman potensi untuk seni dan melalui pengalaman seni ini sifat keindahan sejati.( Cobb,1997 : 100).

Pada awal tahun 1940-an pertunjukan geisha dilarang untuk umum dan kebanyakan wanita dipaksakan untuk bekerja di pabrik-pabrik untuk upaya perang. Pada akhir tahun 1970-an jumlah geisha hanya sekitar 17.000 orang, dan sekarang hanya ada kurang dari 1000 orang. Penurunan jumlah geisha ini disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya yaitu lamanya masa pendidikan geisha yang memakan waktu bertahun-tahun dan lebih memilih menjadi hostess di bar-bar yang sudah banyak dibuka saat ini. Geisha masa kini juga belajar bahasa

Inggris dan terkadang dipanggil untuk berpartisipasi untuk acara-acara khusus, baik itu di jepang maupun untuk tujuan Internasional.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3 Tahapan menjadi Geisha

芸者は古典的な踊ることのような様々な従来の芸術のなり, hanamachi (芸

者のコミュニティー) で歌うことの Shamisen 訓練しなければ及び複数の様

式をする。

Artinya :

Geisha harus melatih diri mereka sendiri dalam berbagai macam kesenian tradisional seperti tarian klasik, bermain shamisen, dan beberapa nyanyian di

Hanamachi (tempat komunitas geisha).

(http://marian.creighton.edu/japan.geisha.html)

Menjadi seorang geisha tidak serta merta begitu langsung menginjakan kaki ke okiya akan menjadi geisha langsung. Seperti kutipan diatas, menjadi seorang geisha tidaklah mudah, mereka harus berlatih seni, mengasah kemampuan intelektual, dan banyak lagi yang harus dipelajari. Mereka juga harus melewati berbagai tahapan dan berbagai ritual yang akan mengikuti karir mereka sebagai seorang geisha professional.

2.3.1 Shikomi (仕 込 み )

Tahap pertama yang harus dilalui sorang gadis belia yang ingin menjadi geisha yaitu, shikomi. Shikomi (仕 込 み ) secara harafiah bahasa Jepang berarti persiapan. Pada tahap ini seorang gadis belia yang baru dijual kepada okaasan mereka harus mengikuti tahap persiapan menjadi geisha. Saat seorang gadis masih muda masuk dan tinggal di okiya mereka akan melakukan pentas Shikomi. Hal ini biasanya hanya dihadiri kerabat pemilik okiya atau geisha yang bekerja, orang tua yang memiliki putri dan berencana menjadi geisha sendir. Meskipun begitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA gadis-gadis muda yang dijual ke okiya, mereka akan bekerja di tahap ini untuk mulai melunasi utang mereka. Shikomi adalah tahap perbudakan di mana seorang gadis muda bekerja sebagai pembantu atau pembantu di okiya, membersihkan, melakukan tugas rumah bahkan sampai harus merawat hewan peliharaan, karena biasanya okaa-san memiliki hewan peliharaan.

Menurut undang-undang saat ini, seorang gadis muda juga harus bersekolah sampai dia berusia 15 tahun. Saat ini untuk sebagian besar, proses dimulai dari sekitar usia 14 atau 15, ketika gadis-gadis muda memasuki sekolah yang mengkhususkan diri dalam pelatihan geisha. Namun di masa lalu, pelatihan ini dapat dimulai sedini sebelum usia sepuluh tahun, tetapi praktik ini berakhir dengan perubahan dalam undang-undang tenaga kerja Jepang pada 1950-an.

Okaa-san adalah orang yang akan membayar biaya magang. Ini termasuk pakaian, peralatan, makanan, perumahan, dan pelatihan yang sebenarnya, yang berarti bahwa seorang peserta akan memperoleh jumlah hutang yang sangat besar sebelum dia dapat mulai bekerja. Seorang geisha pasti akan bekerja bertahun- tahun setelah menyelesaikan pelatihannya hanya untuk membayar utang ini ke okiya. Selanjutnya, dia akan tetap terikat kontrak dengannya sampai dia melunasi semua hutangnya, setelah itu dia dapat memilih untuk hidup mandiri jika dia lebih suka.

Seorang siswa yang baru diterima pertama kali menjalani masa pelatihan, di mana ia dikenal sebagai shikomi-san (仕 込 み さ ん). Selama waktu ini, dia akan menghadiri kelasnya, melakukan tugas untuk membantu memelihara okiya, dan juga melayani sebagai asisten geisha lainnya. Tujuan utamanya yaitu untuk mengadaptasikan diri dengan rumah yang dia tempati (okiya) dan dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mendisiplin kan diri. Biasanya, periode pelatihan ini akan memakan waktu bertahun-tahun.

Para shikomi-san juga harus mulai menghadiri nyokoba, Nyokoba adalah sekolah kejuruan untuk geisha dalam pelatihan sehingga mereka dapat mempelajari berbagai jenis seni pertunjukan tradisional Jepang untuk menghibur tamu mereka. Pelatihan Ini termasuk berbagai alat musik, seperti kotsuzumi (drum kecil yang dipanggul di bahu yang dimainkan dengan tangan), shimedaiko (drum kecil yang dimainkan dengan tongkat), shamisen, dan fue (seruling yang terbuat dari satu potongan bambu) dan kesenian tradisional lainya. Tidak hanya kesenian, mereka akan diajarkan menegani lokakarya budaya dan sejarah Jepang , yang nantinya akan menambah pengetahuan serta wawasan calon geisha.

Sementara di luar kelas, sebagian besar waktunya dihabiskan hanya untuk mempelajari perilaku geisha yang benar, termasuk bagaimana ia berbicara kepada para tetua dan tamu, merias wajah, berpakaian, bahkan mereka juga mempelajari bagaimana tidur dengan bantal geisha atau biasa disebut dengan takamakura, mereka tidur tanpa merusak sanggul rambut mereka.

Saat pertama kali masuk ke okiya, Shikomi berpakaian dengan pakaian biasa, seperti gadis normal, dan perlahan-lahan beralih ke memakai yukata saat mereka belajar cara berpakaian kimono. Mereka biasanya terlihat menemani kakak-kakaknya ke pertunangan, membawa tas mereka dan semacamnya. Tetapi biasanya mereka ditugaskan ke satu maiko / geiko tertentu yang terutama ditemani.

Shikomi memiliki ujian di akhir dan shikomi-san harus lulus. Tetapi tidak semua shikomi berkembang menjadi maiko; rata-rata, dari lima gadis hanya satu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang menjadi maiko. Setelah melewati ujian, shikomi akan memilih geimei (nama seni) dengan okaasannya di kuil distrik. Nama ini akan dicocokkan dengan geimei kakak perempuannya, dan guratan dan karakter yang dihitung untuk keberuntungan. Sejak saat itu gadis itu akan dikenal sebagai geimei-nya di dalam distrik.

2.3.2 Minarai (見習い)

Tahap selanjutnya yang harus mereka lewati yaitu Minarai. Minarai dalam bahasa Jepang berarti “belajar dengan mengamati”. Pada tahap ini mereka sudah boleh mengikuti kakak senior geisha ke pesta-pesta atau ochaya. Mereka belajar dengan cara mengobsevasi langsung bagaimana kegiatan one-san mereka menjamu tamu dan menghibur tamu.

Pada tahap ini, minarai dibebaskan dari tugas rumah tangga mereka. Tahap minarai berfokus pada pelatihan di lapangan. Meskipun minarai menghadiri ozashiki (jamuan makan malam di mana para tamu dihadiri oleh geisha), mereka tidak berpartisipasi di tingkat lanjutan. Kimono yang mereka gunakan lebih rumit daripada maiko, obi mereka lebih pendek dari yang digunakan maiko atau biasa yang disebut handara obi. Minarai dapat disewa untuk pesta, tetapi biasanya tamu yang tidak diundang (namun disambut) di pesta dimana onee-san mereka (yang berarti "kakak perempuan" dan senior Minarai) dikontrak untuk hadir, dengan cara seperti ini maka akan mudah untuk mereka setelah debut dapat dikenal oleh para tamu. Mereka mengenakan sepertiga dari hanadai, atau biaya kinerja, yang diterima geiko. Minarai umumnya bekerja dekat dengan rumah teh tertentu

(disebut minarai-jaya) belajar dari okaa-san (pemilik rumah). Teknik-teknik ini tidak diajarkan di sekolah, karena keterampilan seperti percakapan dan permainan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA hanya dapat diserap melalui latihan. Tahap ini hanya berlangsung sekitar satu bulan atau lebih.

2.3.3 Misedashi

“Upacara pergantian usia” Ritual misedashi adalah debut maiko, dan banyak fanfair diberikan untuk upacara. Fans dan spanduk bertuliskan kaligrafi dan nama maiko baru diberikan kepada pelanggan setia dan anggota hanamachi lainnya. Untuk mengikat maiko ke onesan-nya biasanya di depan umum di kaburenjo (panggung teater di kawasan Gion) dan diikuti oleh pesta. Upacara ini adalah salah satu acara yang paling mengenang dan mengharukan bagi geisha, karena pada masa ini menjadi perubahan dimana wajah remaja polos menjadi wajah dan krakter yang lebih dewasa menuju dunia geisha yang sesungguhnya.

Upacara ini seperti pesta publik besar dimana namanya akan ada tersebar di seluruh hanamachi. Akan ada ritual yang disebut san san kudo (juga dilakukan dalam upacara pernikahan) di mana mereka akan bertukar cangkir dengan oneesan, geisha lainnya, dan senior maiko, orang-orang disekitar yang sekarang terikat dengan mereka. Setelah itu, sekarang mereka bebas untuk mengadakan pesta sendiri dan tampil di festival; tetapi mereka juga akan selalu bergabung dengan oneesan mereka di acara-acaranya dan mereka juga akan terus belajar darinya.

Pada tahap ini mereka akan didandani layaknya seorang maiko, mulai rambut, kimono, obi dan make up. Tapi pada bagian make-up, lipstick hanya bagian bawah saja yang diwarnai, menandai bahwa dia maiko tingkat bawah.

Orang tua kandung mereka akan diundang pada acara ini, okaasan (pemilik okiya) akan memberikan wejangan kepada calon maiko, dan calon maiko akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh perangkat yang terlibat dalam upacara. Bagian ini adalah bagian yang paling menyentuh atau emosional, biasanya ibu kandung calon geisha dan sang calon geisha akan menangis. Pada upacara ini mereka juga akan dipandu oleh otokoshi (pria yang membantu mereka berpakaian kimono) mengunjungi seluruh ochaya yang ada di seluruh hanamachi, ini bertujuan untuk lebih memperkenalkan mereka kepada pemilik ochaya tempat mereka berkerja.

2.3.4. Maiko

Pada tahap ini mereka akan menjadi maiko, dan sudah bisa mengikuti geiko atau geisha seutuhnya. Mereka sudah bisa mengikuti pesta bersama oneesan. Maiko dalam bahasa jepang berarti 舞妓 = gadis penari, tapi banyak yang mengartikan menjadi geisha magang. Dan biasanya mereka disebut dengan geisha junior. Penampilan maiko adalah penampilan geisha yang orang awam biasa tau. Tapi sebenarnya mereka adalah geisha junior dan belum menjadi geisha professional atau geisha yang utuh. Mereka harus banyak belajar dari oneesan saat mereka menghibur para tamu di pesta. Penampilan mereka jauh berebeda denga geisha utuh atau professional. Maiko memakai kimono dan hiasan rambut lebih ramai daripada geisha senior (geiko)

Mereka hanya ditemukan di Kyoto dan sering digunakan sebagai simbol utama Jepang. Gambaran geisha yang kita kenal adalah sosok Maiko. Saat ini maiko adalah jenis langka, dan beberapa waktu hanya terbatas, terutama di distrik

Gion dan Pontocho.

Maiko bergerak melalui beberapa tahap kedewasaan saat magang mereka berlanjut. Banyak perubahan kostum ritual yang dibuat untuk mengidentifikasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bagian waktu seberapa lama mereka magang. Maiko memiliki beberapa gaya rambut yang berbeda, perubahan kompleksitas riasan dan pola kerah bergerak dari warna-warni menjadi putih dan sopan. Perubahan ini adalah indikator fisik dari kematangan gadis yang bergerak dari kekanak-kanakan dan girlish menuju kearah sopan dan feminin.

Maiko mudah dikenali dengan pakaian mereka. Dalam cara Jepang, sebagai gadis muda sebelum mereka menjadi wanita, gaun Maiko lebih aneh daripada Geisha yang dewasa. Obi dan Kimono dari Maiko berwarna cerah dan penuh hiasan, Kimono adalah gaya Furisode (lebih khusus dari kimono tipe oburisode) dengan lengan panjang mengepakkan yang jatuh ke lantai. Kerah bawah kimono yang dikenakan oleh Maiko biasanya dari bahan bermotif merah, dan menunjukkan jelas pada leher putih Maiko.

Maiko tahun pertama terus melukis bibir bawahnya, dan dia memakai shidare kanzashi yang panjang dan menggantung. Kerahnya didominasi merah dengan tambalan kecil sulaman putih, dan kimono hikizuri-nya biasanya memiliki pola yang ramai. Begitu dia menyelesaikan tahun pertama magangnya, dia akan mulai mengecat bibir atasnya, dan berhenti memakai shidare kanzashi. Tomitae dari Gion Higashi sebagai junior maiko.

Meskipun indah saat melihat Maiko yang masih gadis-gadis, dan penguasaan sosial yang mereka harapkan untuk mencapai seperti yang diharapkan. Geisha masih belum sepenuhnya terbentuk dalam diri maiko sehingga biasanya diharapkan untuk menari yang hanya dilihat paara tamu, selanjutnya melakukan tugas-tugas seperti mengisi minuman, tidak dimaksudkan untuk menghibur tamu dengan derajat yang sama seperti Geisha. Gadis-gadis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA muda dapat menjadi Maiko pada usia 16 tahun, di bawah naungan hukum Jepang saat ini, karena semua remaja harus menghadiri sekolah menengah atas pada usia ini. Magang Maiko biasanya 5 tahun, dan pada usia 21 ia bisa menjadi Geisha yang sepenuhnya matang.

Meskipun tidak menghadiri sekolah konvensional setelah menjadi Maiko, mereka tetap harus menghadiri kelas setiap pagi yang mempelajari tarian,

Shamisen, nyanyian dan seni lainnya. Maiko belajar kesenian artistik serta harus belajar rahmat sosial dan dialek gaya lama Kyoto sebelum menjadi Geisha.

Sebagai ikon budaya tradisional Jepang yang dapat diidentifikasi, Maiko sering diminati, terutama untuk fotografi. Kegiatan wisata yang populer di Kyoto adalah untuk menangkap foto Maiko yang bergegas untuk membuat janji.

2.3.5. Mizuage

Menurut antropologi Dalby (2005 : 110) mizuage adalah inisiasi penting bagi kewanitaan dan dunia geisha. Mizuage memberi jalan menuju tahap pelatihan berikutnya sebagai maiko senior.

Mizuage (水 揚 げ "mengangkat dari air") adalah upacara yang dialami oleh maiko Jepang (geisha magang) untuk menandakan datangnya usianya. Ketika geisha yang lebih tua (yang bertanggung jawab atas pelatihan maiko) menganggap maiko muda siap untuk dewasa, jambul rambutnya dipotong secara simbolis.

Ritual ini dilarang sampai pada tahun 1959. Maiko yang menjalani mizuage sering disponsori oleh seorang patron yang disebut danna, kemudian memiliki hak untuk mengambil keperawanan maiko. Mizuage telah lama berhubungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan hilangnya keperawanan seorang maiko, dan akan diadakan pesta untuk maiko.

Dalam perjalanan magangnya, maiko diharapkan melewati proses mizuage. Yang berarti bahwa keperawanannya dijual kepada klien. Tapi sekarang hukum prostitusi di Jepang melarang ini, meskipun menurut rumor masih ada yang melakukanya secara diam-diam. Namun saat ini tahap mizuage adalah masalah pribadi dan sekarang menjadi perhatian maiko saja. Ini bukan sesuatu yang dibicarakan di depan umum, tetapi perubahan chignon atau sanggul dalam gaya rambut maiko yang menjadi penanda kedewasaan daripada keperawanan dan biasanya terjadi ketika dia berumur 18 tahun. Ada 5 gaya rambut yang harus dipakai maiko yang menandai tahap berbeda dari magangnya.

Dalam Autobiografi seorang Geisha, Sayo Masuda menggambarkan pengalaman mizuage sebagai eksploitasi seksual. Beliau menulis pada tahun

1956, dan menjelaskan bahwa mereka dijual berkali-kali oleh okiya-nya kepada para lelaki untuk mizuage, dengan dalih bahwa mereka belum melakukannya, untuk membuat mereka mendapat untung lebih besar. Transaksi itu secara eksplisit adalah pengaturan seksual. Namun, sebagai seorang penulis, Masuda berpendapat menentang pelarangan prostitusi di Jepang, ia menjelaskan itu bisa menjadi cara yang berharga bagi perempuan untuk membuat hidup mandiri.

Mizuage suatu peristiwa yang benar-benar mengerikan bagi orang awam, tapi disatu sisi mereka akan merayakan upacara ini. Maiko yang sudah dianggap mampu akan dibayar oleh patron atau danna dengan uang yang cukup banyak, lalu mereka menghabiskan sebagian untuk perayaan, dan sebagian untuk promo debutnya sebagai geisha. tentu saja ini tidaklah sesuatu yang memalukan. Ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA adalah suatu yang normal dilakukan, malah akan memalukan jika mereka terlambat melakukannya, maka akan dianggap tidak dapat dan mampu mencari danna yang tepat. (Downer, 2000: 112 )

Sebelum tahun 1958, mizuage bukanlah sesuatu hal yang dianggap biasa, tetapi hal yang dianggap paling penting dalam karir maiko. Seperti khitanan dalam seorang pria muda, menyakitkan tapi tidak dapat dihindari. Itu adalah ritual inisiasi. Ini menandai perubahan seseorang yag identik dengan pertumbuhan menuju dewasa. Sampai ada yang mengatakan “seorang perawan geisha sama halnya dengan seorang istri yang masih perawan”.

Dari sudut pelanggan, tentu saja ini adalah kesempatan yang baik untuk memilih dan memiliki seorang maiko yang sempurna dimata mereka. Para maiko pun bersaing dengan ketat agar dapat dipilih oleh danna yang berpotensial dari segi keuangan agar dapat menunjang kehidupan mereka yang lebih baik. Mereka akan mengeluarkan seluruh kemampuan mereka, dari segi kecantikanpun yang paling utama. Harga yang dikeluarkan danna untuk ritual ini tidaklah sedikit.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa membeli satu maiko dapat seharga dengan membeli satu rumah.

Mineko Iwasaki, seorang geisha yang ditemui Arthur Golden saat menulis

Memoirs of a Geisha menggambarkan pengalaman mizuage dalam otobiografinya sebagai pesta inisiasi, melambangkan geisha-to-be (menjadi geisha sesungguhnya) dengan perubahan gaya rambut daripada kehilangan keperawanan.

Iwasaki menggambarkannya sebagai perayaan perjalanan gadis (maiko) ke wanita

(geisha), dan menghubungkannya dengan upacara Erikae (memutar kerah) ketika seorang maiko lulus lalu dapat berpakaian sebagai geisha atau geiko.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3.6. Erikae

Erikae (襟 替 え, pergantian kerah) adalah upacara di mana maiko (geisha magang) menjadi geisha, dan mulai mengenakan kerah kimono berwarna putih beralih kerah berwarna merah yang akan dikenakan oleh maiko. Gaya rambutnya juga akan diubah dari gaya touku ke shimada yang dikenakan oleh wanita yang lebih tua. (https://en.wikipedia.org/wiki/Erikae)

Menjadi geisha adalah sebuah panggilan. Dan mereka harus melewati upacara “perubahan kerah”. Mungkin karena mereka menyukai tarian dan music tradisional sehingga ingin mengambilnya sebagai profesi penuh waktu,atau karena ingin menikmati hidup dan tidak ingin pergi.tetapi jika mereka memilih melanjutkanya, mereka akan menghabiskan sebagian besar waktunya untk menghibur tamu pria-pria tua. Jika setelah itu ingin menikah, barulah mereka akan menemukan jati diri mereka sendiri (Downer, 2000 : 217)

Tidak lama setelah melewati proses mizuage, maiko akan segera dinobatkan sebagai geiko dan melewati acara erikae. Pada acara ini, mereka akan menyelenggarakan sebuah acara dan akan mengalami beberapa perubahan dalam segi penampilan maupun nama. Mereka akan menyelenggarakan “San San Kudo” bersama senior mereka dan para undangan. Mereka juga akan menyuguhkan sebuah tarian untuk tamu undangan. Acara ini juga cukup tertutup, hanya anggota okiya saja.

Maiko yang beralih menjadi geiko pada acara ini akan diberikan nama geisha oleh onee-san. Onee-san akan memilihkan nama baru yang seuai dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA karakter maiko, yang didiskusikan terlebih dahulu dengan maiko itu sendiri dan okaa-san.

Pakaian yang dikenakan untuk Erikae, Semua anggota okiya yang berencana untuk hadir akan mengenakan kimono hitam seremonial. Maiko dan

Geisha mengenakan pakaian, tata rias rambut, dan tata rias wajah yang formal.

Mereka tidak akan lagi memakai furisode berlengan panjang dan darari obi. Mereka sekarang bisa mengenakan katsura (wig) di rambutnya sedangkan dulu rambutnya yang sering ditata menyerupai sanggul, dan menukar okobonya yang tidak praktis (sandal dengan alas kayu besar) dengan zori (sandal).

Mulai sekarang gaya rambut tradisionalnya berubah menjadi dewasa. Gaya kimono dan corak kimononya berubah . Kimono maiko didasarkan pada gaya yang dikenakan oleh wanita yang belum menikah, Sedangkan kimono geisha atau geiko berdasarkan gaya orang dewasa yang akan menunjukan kematanganya dalam bersikap. Mereka akan bertanggung jawab di jamuan makan dan dipesta- pesta.

2.3.7 Geiko atau Geisha

Di Kyoto gei-sha atau “seniman” biasa dipanggil gei-ko secara harafiah bermakna “seniman anak-anak” atau untuk memberikan sedikit kesan politik dan terjemahan yang benar ialah “seniman wanita”. (Downer, 2000 : 78)

Geiko dan Geisha adalah orang yang sama, dan sebenarnya mempunyai harafiah yang sama. Tapi yang membedakan hanya penyebutan dan dimana keberadaan mereka. Geiko adalah sebutan bagi orang-orang yang berada tinggal di daerah Kyoto,namun geisha sebutan umum bagi masyarakat luas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setelah melewati berbagai tahap dan ritual, sampailah pada tahap menjadi geisha seutuhnya. Mereka akan menjadi wanita yang matang secara fisik maupun psikis. Dan cara mereka berkerja menghibur tamu juga semakin matang. Mereka sudah mampu bertanggung terhadap acara maupun tamu-tamu yang mengundang mereka. Nama mereka sudah dikenal banyak pihak untuk menjadi geisha.

Seorang geiko pada kelas pertama menggunakan semua keterampilan pada perintah untuk menyenangkan pendengarnya, dan membuat setiap orang yang berhubungan dengan dia merasa luar biasa. Geiko kelas satu ibarat pohon willow yang indah yang melengkung untuk melayani yang lain sementara aku selalu keras kepala dan bertentangan dengan alam.(Iwasaki,2002 :5 )

Mereka adalah maiko yang telah mendapatkan status sebagai geisha. Para wanita tersebut mendapatkan gaji dan mengkhususkan diri dalam salah satu seni, baik itu tari tradisional Jepang, lagu atau shamisen yang menjadi taggung jawab utama mereka

Dalam pakaian tradisional Jepang, gadis muda bisa berpakaian lebih rumit daripada wanita yang lebih tua. Umumnya ketika seorang wanita menikah mereka mengubah rambut, pakaian dan perhiasan mereka untuk mencerminkan status mereka yang lebih sopan. Di dunia geisha, tradisi ini dilakukan ketika seorang gadis lulus dari maiko (geisha magang) menjadi geiko (seorang profesional yang terlatih penuh).

Kimono Geisha biasanya memiliki warna lebih solid yang halus dengan desain menyapu dari tepi, dan corak berdasarkan pemandangan alam atau tema tradisional Jepang, sesuai dengan musim. Demikian pula obi dari Geisha lebih halus dan sering brokat warna tunggal dengan sabuk obi dan bros minimalis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Hari ke hari gaya rambut Geisha yang relatif sederhana, namun mereka akan menggunakan wig yang rumit untuk acara-acara resmi dan resital tari.

Geisha memakai kerah putih di bawah kimono mereka yang merupakan tanda kedewasaan. Dan memiliki lengan yang lebih pendek.

Tidak menggunakan Okobo yang jangkung seperti Maiko, Geisha memakai Zohri berpernis datar, dengan atau tanpa Tabi (kantung kaos kaki).

Memakai Zohri dan Okobo tanpa Tabi adalah mode yang dimulai pada masa kejayaan Geisha dan dianggap sebagai mode “iki”.

Tidak hanya dari segi penampilan mereka yang berubah, tapi porsi kerja dan tanggung jawab mereka juga berubah. Sejumlah besar waktu mereka dikhususkan untuk mempelajari seni geisha, baik selama magang dan memasuki periode profesional. Kelas tari dan musik sangat melelahkan bagi mereka diperlukan latihan bertahun-tahun untuk pertunjukan. Selama musim tari publik, mungkin ada sejumlah besar praktik kelompok yang dibutuhkan dengan wanita lain dari hanamachi. Kelas-kelas lain dapat dilakukan seperti permainan belajar, belajar dialek lokal dan seni percakapan, kelas rias, kimono, atau upacara minum teh. Pada saat seorang geisha telah lulus dia akan menghabiskan 5 atau 6 tahun dalam mempelajari seni tradisional. Geisha diharapkan untuk memainkan “kakak perempuan” (oneesan) ke Maiko muda.

Seorang geisha adalah gadis sangat halus dalam segala hal, kostumnya karya besar seorang seni dekoratif, dia terlihat sopan namun melengkung, sopan santunnya tenang dan mandiri, namun cerah dan menyenangkan, gerakannya lembut dan tidak mengganggu, tetapi musiknya anggun; percakapannya merupakan campuran tak menarik dari ketidaksesuaian feminis dan komentar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang gemerlap, daftar pencapaian cahayanya tak habis-habisnya, kesederhanaan subjektifnya adalah model, dan kepuasannya yang tidak terukur.

(https://books.google.co.id/books?id=7frPAgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl= id#v=onepage&q&f=false)

Pada dasarnya ada dua jenis geiko, tachikata dan jikata. tachikata adalah pemain utama. dia dilatih untuk menari dan memainkan instrumen lain kemudian shamisen, seperti seruling atau drum tangan. seorang jikata adalah seorang pemain piano yang saya latih untuk memainkan shamisen dan bernyanyi. tachikata memulai awal dan debut mereka sebagai maiko ketika mereka berada di awal remaja mereka sedangkan jikata, yang keluar sebagai geiko biasa, cenderung belajar untuk periode waktu yang lebih singkat dan debut ketika mereka lebih tua.

(Iwasaki,2002 : 138)

Sistem pembayaran geisha atau biasa disebut hanadai dihitung sekitaran waktu dalam 15 menit yang kemudian ditagih ke klien atau tamu. Harga yang dikeluarkan tamu untuk sekali sewa mereka sekitar 40.000-50.000 yen per jam.

Selain pelanggan membayar hanadai, juga memberikan tips uang tunai (goshugi), yang mereka tempatkan di amplop putih kecil dan dapat diselipkan ke obi atau lengan bajunya. Dia bebas menyimpan ini untuk dirinya sendiri tidak diserahkan ke okiya atau ochaya.

2.3.8 Hiki-iwai

Ketika seorang geisha pensiun dari kehidupan geisha, dan tampil dihadapan public, mereka memiliki perayaan yaitu hiki-iwai. Upacara hiki-iwai menandai pensiunnya geisha. Dia tidak lagi menghibur di pesta-pesta, dan dia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mungkin tidak melanjutkan studinya. Pada titik ini, seorang mantan geisha mungkin menjadi kepala okiya atau kedai teh, atau mungkin meninggalkan kehidupan geisha sepenuhnya.

Dahulu kata hiki-iwai mempunyai makna "pulling out celeberation", terjadi di tempat-tempat geisha. ketika utang mereka kepada okaasan akhirnya dibayar (entah dengan usahanya sendiri atau oleh sumbangan dari danna) dan dia kemudian bisa masuk kembali ke masyarakat biasa. Saat ini, frasa itu merujuk pada pengunduran geisha dari profesinya dengan alasan apa pun. Perkawinan atau ingin pekerjaan yang berbeda adalah beberapa alasan yang lebih umum untuk pergi. (Dalby, 1983 :44 )

Jika mereka memustukan untuk mengambil tawaran sebagai seorang istri atau selir, mereka hars menghapus namanya dari daftar geisha. Sebagai salam perpisahan mereka akan merayakan “hiki-iwai” mempunyai arti “merayakan ditarik” dari okaasan, teman, junior, rekan kerja sesama komunitas geisha.

Mereka akan menyediakan nasi putih untuk seluruh tamu dalam perayaan.

Putihnya beras itu melambangkan bahwa dia akan bersama danna itu sampai rambutnya memutih. (Downer, 2000 : 235)

Perayaan ini dapat berarti banyak hal dalam masyarakat saat ini, bahwa mereka telah pensiun secara formal, keluar dari kehidupan geisha, menjadi terlalu tua untuk bekerja secara publik, atau akan menikah atau menjadi seorang okami- san (seorang pensiunan geisha yang mempunyai bisnis okiya atau ochaya)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

INTERAKSI SOSIAL GEIKO DAN MAIKO DI KYOTO

Menurut Soekanto (2009 :58) di dalam pengantar sosiologi, interaksi sosial merupakan kunci rotasi semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu bentuk proses sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, maka kegiatan– kegiatan antar satu individu dengan yang lain tidak dapat disebut interaksi.

Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Yang didalamnya terdapat satu keterkaitan dan komunikasi antar individu.

Profesi geisha saat ini dan sejak dahulu sudah masuk dalam tatanan atau elemen masyarakat Jepang. Mereka juga bagian dari Masyarakat dimana mereka menetap dan berkerja. Profesi ini cukup melekat dikalangan masyarakat Jepang sehingga pemerintah Jepang menetapkan Geisha menjadi salah satu ikon Jepang.

3.1 Interaksi Sosial antara Geiko dan Maiko

Meiko dan Geiko memulai karir dengan tinggal dan latihan di sebuah perusahaan atau yang biasa dikenal dengan okiya (rumah geisha). mereka mengikuti aturan hidup yang sangat ketat dari kelas-kelas konstan dan latihan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA serupa dalam intensitas dengan seorang balerina prima, pianis konser, atau penyanyi opera di barat. (Iwasaki,2002 : 3)

Geiko dan maiko yaitu dua geisha yang saling berkaitan saat menghibur tamu. Secara tahapan menjadi geisha, mereka berdua sudah menjadi geisha karena telah dapat terjun langsung untuk menghibur tamu. Perbedaan pada mereka adalah senior dan junior. Sistem senior dan junior di Jepang cukup lekat, dari dulu hingga sekarang bahkan sampai masuk ke setiap elemen profesi masyarakat Jepang.

Profesi geisha sudah masuk dalam tatanan dan elemen masyarakat Jepang sejak jaman tokugawa. Dalam tatanan masyarakat Jepang, sudah ada budaya senioritas sejak dahulu. Senpai yang membayangi kohai sejak profesi ini belum lahir. Di Jepang setiap profesi mempunyai sistem ini, yang terlebih dulu masuk dan berpengalamn disebuah institusi akan terus membayangi individu yang baru masuk.

Sistem heirarki geisha sudah muncul sejak pada abad ke-17. Mereka memiliki sistem dan displin yang cukup ketat. Sistem yang teratur dan tahap-tahap yang dilalui seorang gadis untuk menjadi geisha menandakan bahwa perjalanan mereka tidak mudah serta memiliki budaya senioritas yang ketat didalamnya.

Untuk menjadi geiko atau maiko, mereka membutuhkan oneesan, atau seorang kakak perempuan, dengan siapa mereka bersumpah demi secangkir sake

(saat upacara san san kudo), dan yang memberikan pengaruh terbesar pada geiko dan maiko baru ketika mereka debut di hanamachi. Pemlihan senior atau oneesan menentukan bagaimana nasib juniornya kedepanya, jika mereka memilih oneesan yang terkenal dan cerdas, maka akan terkenal pula juniornya dengan cepat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Persyaratan lain adalah bahwa calon geiko dan maiko harus menjadi milik okiya, dan mereka juga perlu membangun hubungan orangtua-anak semu dengan okaasan (pemilik okiya, sekaligus manajer mereka). Dalam dunia geisha, bisa saja umur oneesan lebih muda dari maiko atau juniornya, karena dalam sistem hierarki geisha umur tidak berlaku, tapi pengalaman dan pengetahuan yang lebih diutamakan. (Iwasaki, 2002 : 46 )

Sistem mentor pada geiko dan maiko masih ada hingga saat ini. Sistem mentor ini diperuntukan pembelajaran kepada dua belah pihak. Ketika maiko berbuat sesuatu yang salah maka oneesan-nya akan bertanggun jawab penuh mengenai perbuatan “adik perempuanya”. Karena bagaimanapun mereka menentukan pilihan mereka masing-masing tanpa ada paksaan darimana pun, dan mereka memilih karena adanya kecocokan komunikasi selama calon maiko masih diperingkat minarai (mengobservasi lapangan).

Pada saat melewati tahap pertama masuk ke okiya mereka tidak mempunyai interaksi social apapun terhadap senior-senior yang telah lebih dulu tinggal di okiya hanya saja mereka mempunyai interaksi social terhapa okaasan, yang mana telah membeli mereka kepada orang tua mereka dan mengeluarkan biaya yang cukup mahal. Calon geisha akan diberi perintah untuk membersihkan seluruh okiya, yang ditujukan untuk membentuk krakter disiplin calon geisha sejak dini. Mereka juga akan diberi pelatihan langsung atau disekolahkan, otomatis berhubungan langsung dengan para senior akan sedikit kemungkinan terjadi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setelah melewati tahap awal calon geisha atau para junior akan mulai mengamati para senior mereka mulai memilah bagaimana akan masa depan mereka di dunia geisha, calon geisha harus lebih selektif memilih senior. Tidak hanya junior yang memilih senior, tetapi senior berhak memilih dan mengadopsi junior mana yang mereka inginkan. Karena peran senior dan junior cukup besar untuk karier mereka berdua kedepanya. Setelah memilih senior dan melewati upacara dan pesta san san kudo bersama seniornya kedepanya maiko akan lebih banyak menghabiskan waktu dan latihan bersama senior atau oneesan.

Tahapan yang harus mereka lewati cukup panjang dan melewati berbagai proses yang berat, terkadang bagi calon geisha berkomunikasi dan berinteraksi dengan senior mereka cukup susah. Pada masa shikomi dan disekolahkan di nyokoba, komunikasi mereka dengan senior atau yang lebih tua nyaris tak ada, mereka hanya berkomunikasi dengan sesama dan guru yang melatih mereka saja, itupun hanya sebatas ruang lingkup seni dan kebudayaan tradisional Jepang yang akan mereka pelajari saja.

Setiap maiko yang saya jumpai mereka akan mengatakan hal yang sama.

Yang mana hal terburuk dan tersulit menjadi seorang maiko adalah bukan kelas menari atau bermusik, bukan juga jauh dari rumah dan ditinggal keluarga. Tapi

„hubugan manusia‟- belajar bagaimana menyesuaikan diri dengan komunitas geisha. mereka harus belajar menjadi diri sendiri untuk bisa bertahan, dengan berada di bagian paling bawah hierarki geisha, dan belajar untuk menerima tanpa perna menjawab kembali kata-kata kasar yang diucapkan oleh “oneesan”. Seperti yang mereka katakan di dunia geisha jika seseorang memberi tahu bahwa “rumput berwarna hitam” maka biasanya kita akan menjawab “jangan bodoh, tentu saja

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA warna hijau”, tapi dalam dunia geisha mereka harus menjawab bahwa itu memang hitam, tanpa membantah dengan kata-kata apapun. (Downer, 2000 : 187 )

Calon geisha akan ditugasi ke seorang kakak perempuan atau oneesan oleh okaasan, dan saudari itu mengajarkan semua aturan dan tata krama. Mereka juga mewarisi nama maiko dari saudari itu. Misalnya, nama saudara perempuan tertua adalah Toshi-hana dan nama junior Toshi-chika.

Geisha dilatih dalam seni percakapan, yaitu bagaimana melibatkan restoran dan membuat mereka terhibur atau mendapat informasi. Secara historis ada banyak geisha terkenal yang terkenal karena pandangan mereka tentang seni atau politik yang mampu menghibur kelompok intelektual sepanjang malam.

Bentuk hiburan tradisional Jepang juga ada yang membuat puisi sambil melihat bulan atau saat pesta hanami mungkin akan menampilkan geisha yang penulis produktif. Saat ini banyak geisha yang fokus pada pujian tamu dan bagaimana cara untuk terhubung dengan ochaya dan ozashiki mana pun, karena ozashiki sering kali menampilkan tamu-tamu terhormat dan turis daripada pelanggan biasa yang dapat menunjang kepopuleran mereka. Geiko di Kyoto diajarkan untuk berbicara Kyoto-ben dialek kuno dengan nada lembut yang manis dan dianggap menawan serta unik di Jepang.

Ozashiki secara harafiah berarti O-zashiki, O bermakna kesopanan, dan zashiki bermakna ruangan bertatami yang mana pesta diadakan, dalam dunia geisha bermakna “ruangan kehormatan”. Ozashiki adalah pertemuan geisha, saat ini sebagian besar diadakan untuk urusan formal yang menampilkan perjamuan tradisional dan diikuti dengan pertunjukan. Para tamu dihibur dengan hiburan

Geisha yang liar dan beragam tetapi kebanyakan fokus pada menghibur dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menyanjung tamu terhormat, dengan jumlah minum yang cukup dan kekonyolan atau lelucon khas geisha.

Saat berkomunikasi dengan tamu, geisha zaman modern dituntut pandai berbahasa asing, tetapi tidak menghilangkan dialek Kyoto-ben dan menjaga budaya tradisional Jepang seorisinil mungkin. Geiko yang lebih dahulu masuk didunia geisha sudah pasti lebih tahu dan berpengalaman mengenai seluk beluk para tamu, geiko berperan mengenalkan maiko serta mementorin maiko bagaimana cara berkomunikasi dengan baik agar dapat mengambil hati tamu atau klien saat menjamu tamu biasa atau saat di acara penting seperti ozashiki.

Oneesan juga berfungsi sebagai ibu angkat bagi “adik perempuan” mereka yang biasanya berumur 13 tahun dan hubungan semu ini berlangsung selama mereka berada dalam bisnis. Dengan perhatian yang terus-menerus terhadap adik- adik perempuan mereka di perjamuan ozashiki dan dalam komunitas hanamachi, mereka adalah figur otoritas mutlak bagi para saudara yang lebih muda.

Seorang kakak perempuan harus bertanggung jawab atas apa pun yang dilakukan adik perempuannya, yang bisa menjadi beban yang cukup besar. Lebih dari itu, figur “kakak perempuan” itu penting ketika seorang junior bekerja di komunitas hanamachi sebagai seorang adik perempuan dapat meminta nasihat kakak perempuannya kapan saja dan jika sesuatu terjadi, mereka dapat berkonsultasi dengan kakak perempuan mereka mengenai proses tumbuh sebagai anggota komunitas hanamachi. Meskipun geiko dan maiko yang memulai debutnya pada saat yang sama, berbagi kesadaran yang sama tentang hubungan lateral mereka, hubungan persaudaraan ini membentuk bagian dari hirarki dunia geiko dan maiko, yaitu bahwa lebih awal debutnya, semakin tinggi dalam hierarki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mereka ditempatkan . Oleh karena itu, siapa pun yang telah menjadi geiko atau maiko lebih awal dari yang lain akan dianggap sebagai onesan seseorang. Dengan menjadi bagian dari hubungan keluarga dari komunitas hanamachi, yang terdiri dari hubungan persaudaraan dan hubungan orangtua-anak semu.

Interaksi sosial antara geiko dan maiko, tidak hanya ketika mereka berkerja menjamu atau menghibur para tamu. Tetapi Geiko bertangung jawab kepada maiko mengenai attitude dan sikap mereka selama di okiya atau lingkungan hanamachi, serta sikap mereka saat berkerja terhadap para tamu.

Tahap awal para junior memiliki kesulitan dalam melakukan perkerjaan dan beradaptasi kepada senior maupun perangkat sekitar yang mendukung bisnis okiya. Geiko akan menunjukan cara bersikap dan bertata karma dengan baik kepada maiko. Maiko harus menjaga segala peringainya agar nama oneesan tidak buruk sehingga akan berpengaruh terhadap seberapa banyak penghasilan mereka nanti. Tanggung jawab ini hanya berlaku saat mereka berada dilingkungan hanamachi dan ketika mereka libur atau keluar tidak sebagai geisha tidak adanya hubungan tanggung jawab ini.

Saat berada di okiya mereka harus berlatih melakukan pertunjukan seni. geiko dan maiko akan berdiskusi panjang dan apa adanya mengenai bisnis ini.

Mereka akan mendiskusikan trik dan cara menghibur tamu dengan tepat. Adanya komunikasi diskusi dan interaksi social ini maka akan mencetak terjadinya siklus hubungan social organisasi geisha antar senior dan junior. Selain itu komunikasi ini juga akan menunjang terjadinya pesta yang menghibur serta berkualitas saat geiko dan maiko menghibur tamu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Hubungan saudari semu antara geiko dan maiko cukup dekat jika dalam hal bisnis. Mereka akan sering latihan bersama dan diskusi masalah penampilan apa yang akan mereka bawakan saat akan menjamu para klien. Saat geiko dan maiko menghibur para tamu, mereka akan berekerja sama dalam memberikan suguhan yang menarik. Pada sesi memberikan hiburan seni tradisional biasanya mereka akan berkerja sama secara kompak untuk memuaskan para pelanggan, biasanya maiko akan menari dengan lemah gemulai dan cantik sambil diiringi oleh geiko yang akan bermain shamisen sambil bernyanyi.

Peran senior atau peran oneesan dalam profesi ini sesuai dengan kutipan

Soetanto bahwa hubungan sosiologi yang mana memusatkan perhatian pada segi- segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola- pola umum kehidupan masyarakat. Setiap profesi di Jepang mempunyai sistem seperti ini dan mendekati kebiasaan dan kebudayaan yang sudah ada di Jepang.

Senioritas dalam profesi geisha terbukti adanya, Karena geiko sebagai senior dari maiko akan mengayomi dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap junior atau maiko. Dalam hubungan social senior junior terdapat adanya interaksi social, sejauh mana mereka dapat menjalin komunikasi dan berinteraksi yang akan menunjukan kualitas tampilan yang akan mereka suguhkan kepada para tamu.

3.2 Interaksi Sosial Masyarakat Jepang terhadap Geiko dan Maiko di Kyoto

Masyarakat ialah sekumpulan individu sekurang-kurangnya dua orang, yang sadar akan hidup bersama, saling ketergantungan dan menghasilkan kebudayaan. Masyarakat dapat menghasilkan kebudayaan dalam masyarakat karena adanya interaksi sosial yang mana terdapat hubungan timbal balik dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pengaruh antar individu, antar individu dan kelompok, maupun antar kelompok.

Hubungan dan pengaruh timbal balik ini terdapat dalam suatu susunan dalam kelompok masyarakat yang tinggal didaerah hanamachi (distrik tempat geisha).

Hubungan antara kelompok masyarakat disana dan hubungan dengan organisasi geisha pasti mempengaruhi sejauh mana perkembangan distrik tersebut.

Hanamachi - secara harfiah "kota bunga" adalah distrik tempat hiburan geisha terpusat. Setiap kabupaten memiliki okiya sendiri (rumah geisha), ochaya

(kedai teh untuk hiburan) dan kaburenjo (kantor distrik geisha). Pada hari-hari bersejarah geisha, masing-masing hanamachi memiliki peringkat dan garis keturunannya sendiri yang mana nama-nama, kimono, tarian dan budaya diturunkan dari generasi ke generasi. Saat ini beberapa kabupaten masih bertahan dan perbedaan dari setiap distrik tidak tampak berbeda, masih ada kesetiaan dan kebanggaan di setiap kabupaten.

Okiya yang didalam hanamachi terdapat mempunyai aturan tersendiri yang sangat ketat. Maiko dan geiko tidak diizinkan memiliki ponsel, laptop, internet, dan tentu saja tidak ada teman laki-laki. Hari libur hanya sekali setiap tiga bulan. Tidak ada gaji yang diberikan. Setiap malam mereka menerima tips dari klien, tetapi mereka menyerahkan semuanya kepada Okaasan. Mereka selalu mempercayai okaasan dan tidak mempertanyakan berapa banyak yang mereka hasilkan. Jika mereka ingin membeli sesuatu, mereka pergi ke okaasan untuk meminta uang. Okiya mengikuti hubungan hierarkis yang ketat saat pertama kali mendirikan okiya.

Peraturan yang sangat ketat terhadap geiko dan maiko ini membuat komunikasi ataupun interaksi social mereka ke komunitas luar terkekang dan tak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bisa berkomunikasi sama sekali. Kehidupan mereka telah disibukan dengan tugas- tugas dan pelatihan-pelatihan sebagai geisha sehingga untuk bermain-main dengan ponsel, laptop, internet dianggap akan mengganggu kegiatan mereka.

Begitu pula dengan teman laki-laki, mereka tidak memiliki teman laki-laki karena akan ditakutkan terajdi hubungan yang dilarang oleh okaasan karena bagaimana pun seluruh kehidupan geiko dan maiko bahkan calon geisha diatur oleh okaasan.

Pada saat awal kemunculan geisha, calon geisha akan dibeli oleh okaasan namun saat ini, calon geisha akan dengan suka rela datang ke okiya untuk dilatih menjadi geisha. Dahulu orang tua akan menjual anaknya ke okaasan karena alasan kebutuhan ekonomi, namun saat ini, orang tua dengan suka rela membiarkan anaknya terjun ke dunia geisha demi mempertahankan kebudayaan tradisional mereka. Ini dibuktikan pada saat ritual-ritual kedewasaan pada geisha, kedua orang tua mereka datang dengan gembira melihat prestasi anak gadisnya, mereka juga turut terharu melihat perkembangan anak gadisnya.

Saat ini ada lima hanamachi aktif di Kyoto (di Kyoto ini biasanya disebut sebagai kagai bukannya "hanamachi"), kadang-kadang disebut sebagai gokagai

(五 花街, 5 hanamachi); sebelumnya ada enam, tapi Shimabara sekarang mati, yang tersisa sebagai objek wisata.yaitu Ponto-chō, Miyagawachō, Kamishichiken,

Gion Kōbu dan Gion Higashi. Setiap kagai mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing. Di dalam dunia geisha Kyoto sendiri, ada urutan pengemasan yang sangat jelas. Geisha dari gion menganggap diri mereka yang tertinggi dan yang lainnya setuju dengan pemikiran ini. Setiap kali geisha yang berbeda bertemu, misalnya, untuk konvensi tarian besar, geisha gion secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA otomatis diberikan preseden. Mereka mengakui bahwa pontocho dan kamishichiken mungkin juga dianggap pelestarian terhormat dari warisan geisha.

Tapi Miyagawa-cho dan gion timur, yang dulu pernah menjinakkan pelacur.

(Downer, 2000: 8 )

Ponto-chō berpusat di sekitar satu lorong panjang dari Shijō-dori ke Sanjō- dōri, satu blok di sebelah barat Sungai Kamo. Ponto-chō telah menjadi distrik geisha aktif sejak abad ke-16 dan arsitektur tradisional dengan teras kayu dan atap bambu melengkung dipertahankan di seluruh area. Saat ini sebagian besar bisnis di Ponto-chō adalah tempat hiburan kelas atas seperti rumah-rumah teh dan restoran yang menampilkan Kyoto-ryori – masakan khas Kyoto yang disajikan di beranda yang menghadap ke sungai Kamo.

Gion adalah distrik Geisha yang paling terkenal. Menjadi sangat populer melayani para peziarah yang bepergian dengan Tokkaido ke Kuil Yasaka. Gion

Kōbu (祇 園 甲 部) dan Gion Higashi (祇 園 東) berpisah beberapa tahun yang lalu; Kōbu ("Bump") lebih besar, menempati sebagian besar distrik, sementara

Higashi (Timur) lebih kecil dan menempati sudut timur laut, berpusat di aula latihannya. Gion Kobu memiliki Teater Kaburenjo sendiri di mana Miyako Odori yang terkenal “tarian dari ibu kota lama” diadakan setiap tahun. Gion dikatakan paling eksklusif dari distrik geisha. Banyak geisha terkenal berasal dari daerah ini dan dipopulerkan di Barat melalui memoar Minako Iwesaki dan novel Memoriess of a Geisha karya Arthur Golden.

Kamishichiken adalah distrik geisha tertua yang tersisa. Kamishichiken berarti "tujuh rumah atas" dan mengacu pada tujuh kedai teh yang dibangun di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA daerah itu dari Kuil Kitano pada periode Muromachi. Kamishichiken terletak di

Kyoto Timur Utara di daerah Nishijin yang merupakan distrik tekstil, jaraknya dari pusat kota membuatnya lebih tenang dan kurang dikenal oleh wisatawan.

Berdekatan dengan wilayah Kamigyo-ku dibatasi oleh sungai Kamo di timur dan jalan-jalannya dilapisi dengan bangunan kayu gelap tradisional, terutama ochaya

(kedai teh) dan okiya (rumah geisha). Saat ini ada sekitar 25 maiko dan geiko di

Kamishichiken, bersama dengan 11 kedai teh.

Miyagawa-Cho adalah tempat di mana penghibur berkumpul. Kabuki dilakukan di banyak bioskop kecil di tepi Sungai Kamo. Beberapa kedai teh bahkan kapal yang beroperasi di sungai. Seperti Kabuki hanya kemudian berkembang menjadi massa tontonan hiburan seperti yang ada sekarang, wilayah ini sangat populer. Miyagawa-Cho cepat tumbuh menjadi sebuah kota yang penuh kedai teh. Miyagawa-chō memiliki kaburenjō atau teater sendiri di mana tarian geisha dilakukan.

Kondisi hanamachi yang berbeda membuat kondisi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut berbeda pula. Kondisi hanamachi yang berbeda dan memiliki latar belakang sejarah yang berbeda membuat pandangan masyarakat yang tinggal didaerah tersebut mempunyai pandangan yang berbeda. Misalnya, kondisi masyarakat yang tinggal didaerah gion, gion yang sebagai pusat distrik geisha, masyarakat disana menganggap tidak masalah dengan hadirnya profesi ini, karena secara tidak langsung akan menaikan nama distrik sebagai pusat wisata, dan masyrakat juga mempunyai pendapat dari hadirnya profesi ini, dengan membangun ochaya, tempat pembuatan wig, ataupun yang lain sebagainya.Tapi sebagain besar distrik geisha ini, hadir dengan masyarakat yang pro dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA profesi ini, karena saat ini mereka menganggap profesi ini bukanlah profesi yang buruk, dan dapat menaikan kebudayaan tradisional mereka.

Saat penjamuan penting seperti ozashiki geisha harus menjaga segala sikap santun dan etika dihadapan para tamu. Maiko dan geiko tidak diizinkan untuk makan di jamuan pribadi, tidak peduli betapa mewahnya makanan lezat yang ditampilkan di hadapan mereka. Mereka ada di sana untuk menghibur para tamu, untuk memberi tidak mengambil. Pengecualian terhadap aturan ketika geiko diundang untuk bergabung dengan pelanggan untuk makan di restoran.

Interaksi sosial adalah proses sosial yang berkaitan dengan cara berhubungan antara individu dan kelompok untuk membangun sistem dalam hubungan sosial. Interaksi social yang terjadi antara geisha dan para tamu adalah proses social sejauh mana hubungan social tersebut akan dibangun kedepanya.

Geisha dilatih dan didoktrin hanya untuk memberi hiburan dengan elegan tanpa adanya meminta dari tamu. Geiko dan maiko akan memberikan hiburan bahkan lelucon khas mereka kepada tamu serta memberikan suasana yang hangat saat perjamuan tersebut, tapi mereka tidak bisa bersikap sembarangan, mereka harus memperhatikan bagaimana bersikap santun, sopan tapi tidak kaku. Ketika mereka mampu dan berhasil berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik kepada tamu, maka tidak menutup kemungkinan hubungan social yang mereka dapat kedepanya akan baik misalnya mereka akan kembali memesan pelayanan geiko dan maiko tersebut, bahkan akan diberikan uang tips yang besar.

Di setiap hanamachi terdapat ̅ , Karyukai berarti “the flower and willow world.” Setiap geisha bagaikan bunga, indah dengan caranya sendiri, dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA seperti pohon willow, ramah, fleksibel, dan kuat. Tidak ada wanita dalam sejarah tiga ratus tahun dari para karyukai yang pernah tampil di depan umum untuk menceritakan kisahnya. kita telah dibatasi oleh peraturan tidak tertulis untuk tidak melakukannya, oleh jubah tradisi, dan oleh kesucian yang kita panggilan eksklusif. ̅ adalah istilah conventional untuk kelompok geisha.

(Iwasaki,2002 : 1 )

Karyūkai adalah kumpulan orang yang membutuhkan kerja sama dari orang lain untuk berjalan dengan sukses. Para wanita menjalankannya, mereka bekerja di dalamnya, mereka hidup di dalamnya dan itu adalah mata pencaharian mereka, serta bertahun-tahun yang lalu itu menyelamatkan banyak orang dari gaya hidup prostitusi beracun. Meskipun geisha memiliki banyak klien pria, ada sebagian para wanita juga merendahkan mereka, ini suatu tindakan yang ketinggalan jaman bahwa geisha hanya melayani klien pria dan bahwa mereka adalah pelacur, Mereka tidak seperti oiran. Dalam karyūkai itu sendiri ialah masyarakat yang didominasi wanita itu sendiri, orang-orang di sana memiliki anak-anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki karena hanya perempuan yang dapat meneruskan tradisi seorang geisha. Dan karena dilarang bagi pria untuk hidup di okiya, jika seorang wanita memiliki anak laki-laki, dia harus pindah atau memberikannya kepada anggota keluarga untuk diadopsi. Ini juga mengapa kebanyakan geisha tidak pernah menikah.

Secara tidak langsung Karyūkai adalah organisasi yang mengikat persatuan geisha didalamnya banyak perangkat-perangkat yang mendukung perkembangan profesi ini. Total karyukai diseluruh Kyoto ada 5, mereka berkomunikasi dan berhubungan dengan satu sama lain demi penghasilan diri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mereka. komunikasi dan interaksi didalam karyukai cukup dalam yang harus mereka jalin, karena mereka harus menjalin kekompakan antar sesame individu demi memajukan karyukai mereka. interaksi social mereka terjadi untuk tujuan hidup bersama dan adanya saling ketergantungan dari satu pihak ke pihak yang lain. Seperti contoh, ochaya akan ramai dan dapat bertahan lama karena adanya geisha yang dapat menghibur mereka dengan keahlian mereka, selain itu geisha dapat terus hadir karena adanya ochaya sebagai wadah mereka untuk terus mencari nafkah dan berkarya.

Interaksi social tidak hanya terjadi antar anggota yang didalam karyukai.

Tetapi antar karyukai di Kyoto, misalnya saat Kyoto melakukan festival tarian geisha tahunan, mereka akan berekerja sama dari tahun ketahun membagi waktu yang adil untuk setiap distrik. Semua tarian geisha dipublikasikan di panggung

Kyoto setiap hanamachi setiap tahun, atau odori, menampilkan maiko dan geiko.festival Ini juga menampilkan upacara minum teh opsional (teh dan wagashi yang disajikan oleh maiko) sebelum pertunjukan. Ini dilakukan selama beberapa minggu, sebagian besar di musim semi - empat hanamachi malakukan festival di musim semi, satu (Gion Higashi) mengadakan pertunjukan mereka di musim gugur. Kabupaten yang berbeda memulai pertunjukan publik di tahun yang berbeda; yang tertua adalah Gion Kōbu dan Pontocho, yang pertunjukannya dimulai pada pameran Kyoto tahun 1872, sementara yang lain (Kamishichiken,

Miyagawachō) mulai tampil di tahun 1950-an. Ada banyak pertunjukan, dengan tiket yang murah, mulai dari sekitar 1.500 yen hingga 4.500 yen. Yang paling terkenal adalah Miyako odori, oleh Gion Kōbu, yang merupakan salah satu dari dua tertua dan memiliki pertunjukan paling banyak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Festival tarian geisha ini secara tidak langsung dapat mempererat hubungan sosiologis geisha dengan masyarakat sekitar maupun para touris sekitar.

Adanya festival ini, dapat mempererat interaksi social didalam lingkungan geisha maupun diluar lingkungan geisha. adanya pesan yang ingin mereka sampaikan melalui festival tarian kepada para penonton, penonton dapat merasakan simpati dan empati dari tampilan yang mereka suguhkan merupakan salah satu interaksi social yang terjadi antara geisha dengan masyarakat lingkungan sekitar bahkan dengan para pendatang.

Saat banyak yang berfikir bagaimana hubungan geisha dengan wanita- wanita di Jepang yang mana suami mereka sudah menjadi danna bagi geisha, dan berpendapat bahwa mereka dapat merusak ruamah tangga wanita serta muncul pandangan negatif terhadap profesi ini. Sejak dahulu, pemikiran konfesiusme yang menggiring pemikiran mereka bahwa laki-laki tidak masalah mempunyai perempuan lain diluar.

Peran istri di Jepang menempatkan seorang wanita di pusat rumah, dalam lingkup sosial, geisha (atau sebagai mitra modern, bar hostes) mengambil alih.

Banyak wanita Jepang yang tenang menyadari posisi mereka sebagai istri dibandingkan geisha, mereka melihat perbedaan dalam hal komplain, sebagai pembagian kerja yang feminin, di mana tidak ada pihak yang perlu cemburu karena satu identitas tidak tumpang tindih dengan yang lain. (Downer,2000 : 316 )

Wanita-wanita istri dari danna tidak mempermasalahkan hadirnya geisha dalam kehidupan ruamah tangga mereka, tetapi dengan syarat para istri haruslah lebih utama dan yang paling penting dari apapun. Karena mereka berfikir, saat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kamu masih menjalani hubungan pacaran, kamu akan menjadi kekasih bagi pasangan mu, tetapi saat sudah menjadi isteri dan sudah menikah, kamu akan menjadi ibu secara keseluruhan buat anak-anak bahkan buat suami.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dan menimbang dengan data dan analisis diatas, maka penulis menarik kesimpulan :

1. Hubungan senioritas dalam setiap profesi yang ada di Jepang pasti ada,

begitupula dalam profesi ini. Interaksi sosial geiko maiko tidak hanya

sebatas senior dan junior saja, tapi mereka akan berkerja sama dalam

hal bisnis, geiko akan bertanggung jawab terhadap maiko ketika berada

dilingkungan perkerjaan dan maiko akan membawa nama baik geiko.

Ketika maiko mendapatkan geiko yang sudah terkenal dan mempunyai

karier yang bagus maka akan gampang maiko mendapatkan karier yang

bagus pula. Hubungan mereka juga diperkuat dengan mereka tinggal

bersama di okiya, mereka akan berinteraksi dan membangun kedekatan

secara emosional diantara mereka. Dari dulu hingga sekarang geisha

mempunyai beberapa tahapan dan ritual untuk menjadi geisha

professional, dimulai shikomi, minarai, maiko dan geiko, serta ritual

yang harus mereka jalanin seperti misedashi, erikae, dan hiki-iwai.

Mereka harus saling menghormati setiap tingkatan geisha dan mereka

juga ikut turut serta dan berkerja sama dalam setiap ritual yang ada.

2. Hadirnya suatu profesi ditengah masyarakat tentu didukung dengan

peran penting masyarakat sekitar itu sendiri. Sesuai sejarah sejak

lahirnya profesi geisha, mereka mendapat dukungan dari beberapa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kaum bangsawan dan samurai, terbukti dari kedekatan geisha dengan

para politikus-politikus Jepang, walaupun ada beberapa kaum agamis

yang menolak profesi ini dengan alasan tidak kesopanan. Kyoto adalah

salah satu kota di Jepang yang terdapat banyak hanamachi, terdapat 5

hanamachi atau distrik geisha, ̅, Gion Kobu, Gion Higashi,

Miyagawa- ̅, dan Kamishichiken. Kondisi latar belakang distrik yang

berbeda-beda membuat pandang masyarakat tentu saja berbeda-beda.

Tetapi untuk saat ini sebagian besar masyarakat sudah menerima

profesi ini, bahkan mereka bangga dengan adanya profesi ini di daerah

mereka karena mampu menaikan pendapatan mereka serta menarik

perhatian pendatang. Pandangan masyarakat terhadap profesi ini

berangsur-angsur membaik, dari pandang prostitusi menjadi ikon

kebudayaan tradisional Jepang. Serta pandangan wanita-wanita yang

sudah menjadi istri dari danna (sponsor geisha) yang tidak

mengkhawatirkan hadirnya geisha dikehidupan rumah tangga mereka

karena ini sudah menjadi budaya, yang mana sudah wajar laki-laki di

Jepang akan bermain dengan wanita lain diluar. Karena prinsipnya isteri

akan mengurursi semua apapun yang berkaitan dengan anak dan rumah,

sementara geisha akan menjadi teman, diskusi politik, bisnis dan

kekasih.

4.2 Saran

1. Penulis mengharapkan kita dapat meniru kebudayaan yang baik dari

profesi ini, seperti geisha senior (geiko) yang mengayomi geisha junior

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (maiko), terlebih mereka akan menjadi penerus kebudayaan tradisional

Jepang, walaupun dari segi jumlah kuantitas mereka mulai berkurang.

2. Selain itu penulis mengharapkan akan hadirnya ikon atau symbol

kebudayaan tradisional suatu negara, karena secara tidak langsung

dengan hadirnya profesi ini, kebudayaan Jepang akan terus tetap eksis

dimata dunia, dan mereka menjadi simbol dari hampir seluruh

kebudayaan Jepang.

3. Bagi geisha senior yang terlebih dahulu memasuki dunia geisha dan

mempunyai pengalaman yang mendalam serta terkenal dikalangan

geisha. Sebaiknya lebih meningkatkan interaksi dan komunikasi dengan

calon geisha yang masih baru, agar mereka mampu dan tidak kesulitan

dalam menyesuaikan diri di komunitas geisha.

4. Terdapat 5 hanamachi di Kyoto, dan mereka sudah mampu membagi

waktu untuk perayaan festival geisha. Tetapi adanya tumpang tindih

disini, yang mana distrik didaerah gion masyarakat dan geisha menjadi

pusat dan cukup besar tetapi didaerah kamishichiken, hanya terdapat 25

orang maiko dan geiko tersisa, padahal distrik ini adalah distrik geisha

yang tertua yang tersisa. Pemerintah harus mempertahankan distrik ini

agar maiko dan geiko berkembang di distrik ini, karena dikhawatirkan

akan seperti distrik Shimabara yang sudah hilang dan tak menjadi distrik

geisha lagi, hanya menjadi daerah wisata saja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Daftar Pustaka

Aisyah.2009.Analisis Sosiologis terhadap Kehidupan Geisha dalam Novel The Demon

In The Tea House Karya Doroty & Thomas Hoobler. Medan:Universitas

Sumatera Utara

Christika,Oppy.2015.Hubungan Antara Bushi Dan Nomin pada Zaman Edo.Medan:

Universitas Sumatera Utara

Cobb, Jody. 1997. Geisha : The Life, The Voice, The Art. New York: USA : Alfred A

knopf.

Dalby, Liza. 1983. Geisha. California : University of California Press

------.2005. Little Songs of The Geisha. Tokyo, Japan: Tuttle Publishing

Downer,Lesley.2000.Geisha: the secret history of a vanishing world.London:

Headline Book Publishing

Iwasaki,Mineko.2002.Geisha:A Life. New York :Simon and Schuster

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta: Gajahmada

University Press

Napitupulu,Johan K.2008.Analisis Nilai Kesetiaan Bushido dihubunngkan dengan

Karoushi.Medan:Universitas Sumatera Utara

Nazir,Moh.1983.Metode Penelitian.Jakarta:Ghalila Indonesia

Sinambela, Hartati.2017. Analisis Kehidupan Geisha di Jepang melalui Novel “Snow

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Contry (Yukiguni )” Karya Yasunari Kawabata. Medan:Universitas Sumatera

Utara

Situmorang, Hamzon., dan Rospita Uli. 2011.Telaah Budaya dan Masyarakat

Jepang.Medan: USU Press

Soekanto, Soerjono. 2009.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:PT. Raja Grafindo

Sugiyono. 2004.Metode Penelitian Bisnis.Bandung:Penerbit CV. Alfabeta

Suryabrata, Sumadi.1997. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. https://en.wikipedia.org/wiki/Sociology https://simple.wikipedia.org/wiki/Geisha http://web.newworldencyclopedia.org/entry/Geisha http://geishaofjapan.com/society/stages-a-career/ http://www.lizadalby.com/LD/ng_stages.html http://www.geishagold.com/maiko8erikae.htm https://arabica.coffee/2016/05/06/yuka-interview-a-life-of-maiko/ https://www.insidekyoto.com/kyoto-festivals-events https://books.google.co.id/books?id=7frPAgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=o nepage&q&f=false

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN

shikomi

minarai

maiko

geiko

Gambar 1 : Tahapan menjadi geisha atau geiko

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 2 : salah satu bentuk pengabdian shikomi kepada maiko yang akan berkerja (shikomi membukakan pintu untuk maiko)

Gambar 3 : Bentuk pengabdian shikomi yang lainya kepada maiko yaitu dengan membantu maiko memakai kimono

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4 : Geisha saat menghibur tamu di teater kaburenjo

Gambar 5 : Geiko dan Maiko menghibur tamu dengan tarian saat jamuan makan

Gambar 6 : geiko dan maiko keluar dari okiya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Abstrak

Kebudayaan dan sejarah Jepang tidak bisa dipisahkan oleh profesi Geisha. Geisha juga turut menjadi bagian perjalanan panjang terbentuknya negara Jepang. Profesi ini dilatar belakangin berbagai cerita baik fakta maupun mitos. Ada beberapa karangan yang ditulis berdasarkan kisah biografi langsung dari geisha, maupun hanya sebuah karangan fiktif belaka.

Selain menjadi ikon Negara Jepang, profesi ini banyak menarik peminat kebudayaan Jepang dari negara selain Jepang.

Kehidupan geisha yang cukup glamor pada zamannya dan bagaimana kehidupan geisha saat ini yang jumlahnya mulai tersisih menjadi tolak ukur peneliti untuk mengangkat tema kehidupan sosiologis mereka. Kehidupan dan tahap setiap profesi mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Pada penelitain ini, peneliti memaparkan sejarah singkat dan mengangkat bagaimana proses seorang geisha yang masi baru hingga menjadi pensiun dan menemukan pasangan.

Geisha adalah salah satu profesi penghibur di Jepang yang muncul pada jaman Edo, sesuai dengan statusnya, mereka menghibur para tamu atau klien dengan mengandalkan keahlian seninya. Peranan lainnya dalam masyarakat yaitu sebagai penghibur publik melalui pementasan tarian unuk umum pada sebuah teater (kaburenjo) yang diselenggarakan setiap tahunnya. Selain itu, profesi ini sebagai penghibur juga memiliki status sebagai prostitusi walaupun bukan prostitusi murni. Hal ini dapat dilihat dari hubungan geisha dengan dannanya. Peranan mereka dalam hal ini, hampir seperti prostitusi pada umumnya, yaitu memberikan pelayanan seks dengan pelanggannya, hanya saja sangat jarang dilakukan.

Adanya prostitusi pada profesi ini, memberikan pro dan kontra pada pandangan masyarakat, terlebih masyarakat yang tinggal didaerah hanamachi (distrik geisha). Kehidupan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA interaksi sosial mereka terhadap masyarakat didaerah Kyoto yang terdapat banyak Hanamachi cukup menjadi perhatian peneliti. Tidak hanya bagaimana kehidupan mereka didalam bermasyarakat, tetapi bagaimana interaksi sesama mereka, dan interaksi antara senior dan junior didalam kehidupan profesi ni. Sebagaimana yang kita ketahui setiap profesi di Jepang mempunyai budaya senior dan junior yang cukup kental, peneliti juga memaparkan hubungan senior dan junior dalam profesi geisha.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA