Spiritualitas Budaya Jawa dalam Seni Tari Klasik Gaya Surakarta

Silvester Pamardi, Timbul Haryono, R.M. Soedarsono, AM. Hermien Kusmayati Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jl. Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126

ABSTRACT

Javanese classical dance has grown dynamically in line with the history of the palaces in Central , especially aft er the fi ft eenth century that began in the era of the kingdom of Demak. It has lived and thrived in the court of Mataram Islam since the period of Panembahan Senapati at Kotagede, the time of Sultan Agung in the palace Plered, until the moving of the palace of Mataram to Kartasura. This research methods is focused on the use of qualitative data with the questions of ‘why’ and ‘how’ to unravel the mystery behind of the phenomenon. This actions are carried out with approach of multi- disciplinary such as science of history, social science, and choreography. The events of Gianti agreement in 1755 did not give only infl uence and impact on the power of the king of Mataram to had to be split into two regions, namely the region of Surakarta and Yogyakarta Sul- tanate region, but also had implications to the life of Javanese culture. The culture of Javanese which was originally derived from the one kingdom, namely Mataram Kasunanan, then divided into two styles, namely Javanese culture of Surakarta and Yogyakarta. Fortunately, in the palace of Kasunanan Surakarta as well as in the Kasultanan Yogyakarta palace is still being developed classical Javanese arts based on cultural and adiluhung values; respectivelly developed in the diff erent patt erns or styles. The values of spiritual ‘Javanese’ is remained as a source of reference.

Keywords: the art of dance, classical, spirituality of Javanese

ABSTRAK

Seni tari klasik Jawa telah berkembang secara dinamis seiring dengan sejarah perkembang- an keraton-keraton di Jawa Tengah, terutama setelah abad XV yang dimulai pada era kerajaan Demak. Seni tari klasik Jawa hidup dan berkembang di lingkungan istana Mataram Islam sejak periode Panembahan Senapati di Kotagede, atau jaman Sultan Agung di keraton Plered sampai dengan berpindahnya keraton Mataram ke Kartasura. Metode penelitian ini konsentrasi utamanya pada penggunaan data kualitatif dengan per- tanyaan-pertanyaan ’mengapa’ dan ’bagaimana’ untuk mengungkap misteri yang berada di belakang fenomena yang ada. Tindakannya dilakukan dengan pendekatan multi disiplin dari ilmu-ilmu sejarah, sosial, dan koreografi . Peristiwa perjanjian Gianti pada tahun 1755 tidak saja berpengaruh dan berdampak pada kekuasaan raja Mataram yang harus membagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Kasunanan Surakarta dan wilayah Kasultanan Yogyakarta, tetapi juga berimplikasi pada kehidupan ke- budayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang semula bersumber dari satu kerajaan, yaitu Mataram Kasunanan, kemudian menjadi dua corak, yaitu kebudayaan Jawa Surakarta dan Yogyakarta. Namun demikian, baik di istana Kasunanan Surakarta maupun istana Kasultanan Yogyakarta tetap mengembangkan kesenian klasik Jawa berdasarkan nilai-nilai budaya adiluhung walau- pun dalam corak atau gaya yang berbeda. Nilai-nilai spiritualitas ‘kejawen’ tetap menjadi sum- ber acuannya.

Kata kunci: seni tari, klasik, spiritualitas Jawa Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 199

PENDAHULUAN tan Agung Hanyakrakusuma nata ing Plèrèd (tlatah Bantul) (2006: 15).

Kajian terhadap tari Jawa gaya Surakar- [“Menurut cerita bahwa Keraton Kasunan- ta di dalam keraton pada hakikatnya meru- an Surakarta akan memperbarui Kebudaya- pakan usaha untuk memahami persoalan- an Mataram dengan caranya sendiri, ada- pun Kasultanan Yogyakarta akan menggali persoalan yang lebih mendasar terhadap dan mengambil intisari Seni Budaya Mata- nilai-nilai tari Keraton yang eksistensinya ram yang pernah terkenal pada jamannya berakar dari budaya Jawa. Tari keraton, Kangjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma raja di Plered yang sekarang termasuk baik yang bersumber dari keraton Kasu- wilayah daerah Bantul”]. nanan Surakarta ataupun keraton Kasul- tanan Yogyakarta, pada awalnya bermula Perpecahan Budaya Mataram tersebut dari struktur budaya yang sama, yaitu tidak lepas dari adanya upaya dari masing- suatu struktur budaya yang berorientasi masing pihak yang menginginkan legiti- pada budaya keraton Mataram beserta masi diri melalui kebudayaan yang menu- dan aspek tradisinya (Sumaryono, 2003: 93). rut Edi Sedyawati ditentukan, terutama Setelah kerajaan Mataram terpecah menjadi dalam bidang kesenian yang merupakan dua, maka Kanjeng Sunan Pakubuwono III salah satu aspek penegak kewibawaan raja dan Sri Sultan Hamengkubuwono I meng- (Sedyawati, 1981: 27), yang pada gilirannya adakan semacam kesepakatan bersama di menimbulkan semacam persaingan bu- bidang seni budaya yaitu untuk melestari- daya. Menurut Soedarsono persaingan di- kan dan mengembangkan seni kebudayaan lakukan dengan cara lembut dan tak henti- Mataram menurut otoritas pemerintahan hentinya dalam tari, , pewayangan, masing-masing. dan tata busana (Soedarsono, 1997: 92). Keraton Kasunanan Surakarta dalam Sejak berdirinya keraton Yogyakarta menyikapi budaya Mataram bersifat mem- sebagai belahan Surakarta maka terbelah perbarui dengan caranya sendiri. Sikap ini pula struktur masyarakat dalam budaya, pada gilirannya melahirkan identitas buda- adat, dan tradisi kejawaannya. Selanjutnya ya yang berbeda dengan sebelumnya dan keraton Yogyakarta segera menentukan kemudian disebut sebagai budaya Jawa. Di identitas budayanya. Pada akhirnya mun- sisi lain, Kasultanan Yogyakarta lebih bersi- cullah perbedaan-perbedaan hampir di se- kap menggali dan mengambil intisari Seni gala bidang, baik yang bersifat tatanan adat, Budaya Mataram, oleh karena itu identitas kesenian ataupun yang berupa kebendaan, budaya Yogyakarta masih disebut dengan Dalam kaitan ini terdapatlah corak dan gaya gaya Mataraman, termasuk dalam hal seni kebudayaan Jawa dari Surakarta dan Yog- tari yang kemudian disebut Joged Mataram. yakarta yang sama-sama bersumber dari Adapun tari keraton Surakarta, sekalipun budaya Mataram (Ibid, 2003: 94). Menurut lebih awal dalam mengembangkan Bu- Sumaryono, dari sinilah kemudian terben- daya Mataram kemudian lebih dikenali tuk suatu corak budaya beserta unsur-un- dengan sebutan Tari Jawa Gaya Surakarta. surnya yang meliputi upacara adat, tata Pemahaman itu sejalan dengan pemikiran pakaian daerah, kesenian, bahasa, arsitek- Sumaryono berikut ini. tur, dan lain sebagainya. Bertolak dari uraian di atas, maka agar “Kacarios bilih kraton Kasunan Surakarta badhe ngénggalaken seni Kabudayan Mataram dapat diperoleh pengetahuan yang men- miturut gagragipun piyambak, wondéné Ka- dasar tentang eksistensi tari keraton, ada sultanan Ngayogyakarta badhé ndhidhah lan pentingnya untuk mengetahui tentang seluk mendhet sari-sarining seni Budaya Mataram ingkang naté kuncara ing jaman Kangjeng Sul- beluk kebudayaan Jawa terlebih dahulu. Pamardi, dkk.: Spiritualitas Budaya Jawa 200

METODE Islam dalam budaya Jawa. Pengaruh ke- budayaan kerajaan Demak juga memiliki Dalam kajian ini konsentrasi utama- pengaruh kuat terhadap segala aspek ke- nya pada penggunaan data kualitatif yang hidupan masyarakat di luar keraton, meng- mengacu pada pemikiran Pertt i Alasuu- ingat hal itu berkaitan dengan adanya misi tari yang menyatakan bahwa penelitian syiar agama Islam. Apa yang kemudian yang mengandalkan data kualitatif disa- terjadi adalah dimulainya persebaran ke- rankan untuk menyelidiki data itu seba- budayaan Islam yang kompleks sejalan nyak mungkin sehingga akan dimuncul- dengan pengertian bahwa kebudayaan se- kan pertanyaan-pertanyaan ’mengapa’ dan bagai keseluruhan kompleksitanya meli- ’bagaimana’ dalam mengungkap misteri puti pengetahuan, keyakinan, seni, moral, yang berada di belakang data kualitatif hukum, adat-istiadat dan kapabilitas, serta (1996: 22). kebiasaan lainnya yang dimiliki oleh manu- Penelitian ini dirancang dengan meng- sia sebagai anggota masyarakatnya (Saifu- gunakan asumsi-asumsi penelitian kuali- din, 2006: 82) itu pada gilirannya mengakar tatif yang multi disiplin, bertolak dari il- dalam budaya Jawa. mu-ilmu sejarah, sosial, dan koreografi . Masa kerajaan Demak sampai dengan Penggalian data awal dilakukan dari hasil- kerajaan Pajang dapat diasumsikan sebagai hasil penelitian yang sudah pernah dilaku- proses pembentukan seni-seni pertunjukan kan termasuk tulisan-tulisan yang berkaitan Jawa yang dilatarbelakangi oleh akulturasi dengan topik ini. Kajian-kajiannya diharap- budaya Jawa dengan unsur-unsur agama kan dapat memberikan inspirasi untuk me- Islam. Kemunculan kerajaan Mataram Is- nelusuri permasalahan tentang “Spirituali- lam di Kotagedé, Plèrèd, sampai berpindah- tas Budaya Jawa dalam Seni Tari Klasik Gaya nya kerajaan Mataram ke Kartasura adalah Surakarta”. Untuk mempertajam aktualitas masa-masa pemantapan seni-budaya Mata- data maka studi kepustakaan ditindaklan- ram yang kemudian menjadi sumber ke- juti dengan memasuki wilayah dinamika hidupan dan perkembangan seni-budaya pemikiran baru dalam perkembangan tari Jawa seiring dengan perkembangan dan pe- Jawa gaya Surakarta. nyebaran agama Islam di Jawa. Fakta-fakta inilah yang membedakan pada kehidupan dan perkembangan seni-budaya Jawa sebe- HASIL DAN PEMBAHASAN lum munculnya kerajaan Demak. Kehidup- an dan perkembangan seni-budaya Jawa Seni Pertunjukan Jawa: di Luar dan di dalam sebelum kerajaan Demak masih berkait- Keraton an erat dengan kebudayaan India, agama Budha, dan agama Hindu. Sampai pada Kehidupan dan perkembangan seni- jaman Majapahit, pengaruh kebudayaan seni pertunjukan Jawa (tari, karawitan, dan Hindu masih sangat kuat. Hal itu sejalan wayang kulit) setelah abad XV senantiasa dengan keterangan Timbul Haryono beri- seiring dengan perkembangan syiar agama kut ini. Islam di Jawa, yang dimulai sejak kerajaan Demak. Kebudayaan Jawa yang bersumber “Dilihat dari perspektif historis selama ku- dari budaya Mataram sebagaimana yang run waktu antara abad VIII sampai abad XV Masehi, kebudayaan Jawa mendapat ada sekarang ini tidak dapat dipisahkan pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. dari kerajaan Demak yang telah memberi- Tampaknya unsur-unsur India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan kan pengaruh kuat terhadap ajaran agama seni tari. Transformasi budaya musik ke Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 201

Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha” tunjukan rakyat di seluruh Jawa. Adanya (2002: 3). persentuhan budaya tersebut, salah sa- tunya tercermin dari penuturan Tati Nara- Keterangan di atas mengindikasikan wati bahwa untuk menundukkan Pangeran bahwa kehidupan tari Jawa pada jaman Welang, yang meme- Majapahit sebelumnya telah memiliki per- gang pemerintahan Kerajaan Islam jalanan panjang sejak abad VIII sebagaima- saat itu dibantu oleh Sunan Kalij aga meng- na dinyatakan Soedarsono bahwa dalam gunakan diplomasi budaya. Mereka meng- Prasasti Jaha tahun 840 pertunjukan tari To- adakan pertunjukan keliling tari topeng peng sudah ada dan disebut dengan istilah yang kemudian menjadi terkenal, terutama Atapukan (1974: 8). Dalam perkembangan- kehebatan seorang penari cantik Nyi Mas nya pada abad XII dalam kitab Sumanasan- Gandasari. Berita kehebatan pertunjukan taka disebut juga sebagai Wayang Wwang, rakyat itu sampailah ke telinga Pangeran yang secara etimologis istilah ini mempu- Welang yang dengan serta merta ingin me- nyai arti yang sama dengan Wayang Wong, nyaksikannya lantas jatuh cinta, kemudian meskipun keduanya berlainan bentuknya. dengan mudah ditundukkan dan diislam- Dapat diperkirakan bahwa Wayang Wwang kan (2003: 70). dan Atapukan merupakan drama Tari To- Pengembangan pertunjukan tari versi peng yang membawakan cerita Ramayana Sunan Kalij aga yang bermuatan syiar Is- atau Mahabharata (Soedarsono, 1974: 7-8). lam tersebut, pada gilirannya berbaur de- Pada jaman keemasannya, Raja Ha- ngan pertunjukan rakyat yaitu tarian ritual yamwuruk sendiri tampil sebagai seorang dan hiburan yang memang secara alami penari topeng pada upacara-upacara khu- telah berkembang di kalangan masyara- sus kerajaan. Pertunjukan drama tari To- kat tradisi, mengingat sebagaimana yang peng dengan cerita Panji ini terus berlanjut dinyatakan Malinowski bahwa tidak ada sampai pada periode peralihan Hindu ke bangsa, bagaimanapun primitifnya, yang Islam, terutama setelah munculnya kera- tidak memiliki agama dan magi (Soekadij o, jaan Demak pada awal abad ke-16. Periode 1985: 194), sebagaimana dikatakan Tommy ini, oleh Sumaryono dianggap sebagai titik F. Awuy bahwa seni adalah sebuah kegiatan perubahan yang cukup berarti bagi tradisi ritual manusia untuk berhubungan dengan topeng sebagai seni pertunjukan. Tradisi kekuatan supranatural. Hubungan manu- pertunjukan topeng pada masa ini kemu- sia dengan kekuatan supranatural tersebut, dian merakyat dan dikenal sebagai tradisi di antaranya sebagai wujud dari ungkapan Sunan Kalij aga (2003: 127). Hal itu sejalan rasa syukur ketika menyambut panen atau dengan pendapat Soedarsono berikut ini. kelahiran, rasa duka karena menghadapi “Drama Tari Topeng dengan cerita Panji ini bencana alam atau kematian, rasa suka cita kemudian juga dikenal dengan istilah ba- menyambut kemenangan dari peperangan, hasa Jawa baru Wayang Topèng yang pada dan lain sebagainya. Wujud itu tak lain jaman Islam mulai tersebar di kalangan berupa tarian, nyanyian, musik, gambar, rakyat jelata, yang sampai sekarang masih patung, dan lain-lain (2004: 4). ada di beberapa desa” (1974: 9). Lebih lanjut menurut Soedarsono tari- Peran Sunan Kalij aga pada jaman Kera- an tradisional yang bersifat magis dan jaan Demak tersebut dapat ditengarai se- sakral merupakan ekspresi jiwa manusia bagai tokoh sentral dari masa transisi bu- yang didominir oleh kehendak, bentuknya daya yang membuka jalan persentuhan dapat berupa tarian keagamaan dan tarian budaya antara pertunjukan istana dan per- bergembira yang lazim disebut tari sosial Pamardi, dkk.: Spiritualitas Budaya Jawa 202 atau pergaulan (1997: 18). Sebagai contoh dan alami untuk menghadapi tantangan tari Sangyang adalah tarian upacara yang hidupnya. Pemahaman itu sejalan dengan diadakan dan didasari oleh kepercayaan pengkategorian tradisi kecil dan tradisi be- aliran Syiwa dalam agama Hindu di desa sar yang diperkenalkan oleh Robert Red- Cungking Kabupaten Banyuwangi; oleh fi eld pada tahun 19561 sebagai bentuk ke- karena datangnya pengaruh Islam dan se- budayaan kembar sebagaimana dij elaskan makin sedikit penganut Hindu di Banyu- berikut ini. wangi, selanjutnya tari ini beralih fungsi menjadi seni pertunjukan (Supardjan dan “Robert Redifi eld developed the twin concept of Litt le Tradition and Great Tradition. Tradition Supartha, 1982: 29). Demikian halnya tari means handing down of information, beliefs and Tayub, pada awalnya merupakan tari upa- customs by word of mouth in way of examples cara pada masa petani selesai panen yang from one generation to another. In other words, tradition is the inherited practices or opinion and disebut upacara “Bersih Desa”. Tarian conventions associated with a social group for a ini terdapat di Jawa Tengah yang banyak particular period. This also includes att itudes of the people, durable interactional patt erns and dipentaskan di pedesaan. Tari Tayub ini socio-cultural institutions. Great tradition is dalam kelanjutannya juga berkembang associated with the elites, literate and refl ective menjadi pertunjukan hiburan (Ibid, 1982: few who are capable of analysing, interpreting and refl ecting cultural knowledge. Great tradi- 35). Sejak jaman Demak tersebut, maka tion is a body of knowledge which functions as dapat dikatakan seni pertunjukan Jawa di the beacon light of knowledge.”2 luar istana mengalami perkembangan, ter- [Robert Redifi eld mengembangkan konsep kait dengan adanya syiar agama Islam yang Tradisi Kecil dan Tradisi Besar sebagai ben- memanfaatkan medium budaya tradisi. tuk yang kembar. Tradisi kecil berarti me- Dalam pandangan kebudayaan seba- wariskan informasi, kepercayaan dan adat istiadat dengan cara dari mulut ke mulut gaimana dipaparkan di atas, terkait de- dari satu generasi ke generasi berikutnya . ngan struktur masyarakat tradisi Jawa, Dengan kata lain, tradisi kecil adalah prak- tek tradisi yang diwariskan berdasarkan ke- maka dapat dibedakan adanya dua bentuk sepakatan di dalam kelompok sosial untuk kesenian dalam perkembangannya yaitu jangka waktu tertentu. Dalam hal ini juga kesenian keraton yang dapat disebut se- mencakup sikap rakyat, pola interaksi yang bertahan lama dan lembaga sosial-budaya. bagai bentuk tradisi besar dan kesenian Tradisi besar dikaitkan dengan elit, melek yang berkembang di luar keraton disebut huruf dan terpelajar yang mampu menga- sebagai tradisi kecil. Hal itu sejalan dengan nalisis, menafsirkan dan mencerminkan pengetahuan budaya. Tradisi besar adalah pendapat Timbul Haryono bahwa wilayah tubuh pengetahuan yang berfungsi sebagai tradisi besar adalah wilayah keraton se- cahaya mercusuar pengetahuan]. dangkan tradisi kecil adalah wilayah di luar keraton (Haryono, 2002: 120). Bertolak dari paparan di atas tentang Tradisi besar untuk mengidentifi kasi adanya tradisi kecil dan tradisi besar maka adanya perkembangan budaya elit yang dalam pertunjukan Wayang Topeng di dapat menjadi wahana untuk mencapai Klaten, misalnya, dapat dikatakan sebagai cita-cita kehidupan manusia berdasarkan bentuk persilangan budaya karena pertun- pengetahuan lahir dan batin yang mencer- jukan topeng yang berkembang di desa minkan kompleksitas dan bentuk penge- Manjungan bersumber dari tradisi besar tahuan budayanya yaitu Kabudayan Jawi dan pertunjukan topeng yang berkembang yang dikembangkan di keraton. Adapun di desa Palar Klaten bersumber dari tradisi tradisi kecil untuk menyebut kebalikannya, kecil yaitu pertunjukan rakyat yang dimo- yaitu pengembangan budaya di luar kera- tori oeh Sunan Kalij aga dalam rangka syi- ton yang lebih bersifat sederhana, spontan, ar agama Islam. Hal itu dapat diartikan Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 203 bahwa seniman topeng yang mewarisi tra- nakan nama ’kusuma’ dibelakangnya. Maka disi Sunan Kalij aga yaitu, seperti halnya Ki kemudian Ki Mloyokusuma diganti dengan Widiyono dan Ki Widiguno, pada masa lalu nama Ki Mloyodimejo.3 ada yang pernah masuk ke wilayah tradisi Demikianlah tradisi besar dan tradisi besar, dan sebaliknya, seniman topeng dari kecil selalu berinteraksi antar generasi yang tradisi besar abdidalem dari lingkungan ke- juga terjadi sebelum jaman Majapahit yang raton ada yang kemudian masuk ke wilayah tentunya juga ada perubahan budaya dari tradisi kecil yaitu Ki Mloyokusuma. Dalam suatu masa kerajaan ke masa kerajaan beri- peristiwa ini penulis cenderung mengisti- kutnya. Maka dapatlah dikatakan bahwa lahkan tradisi besar dan tradisi kecil sebagai dalam jangka waktu tertentu, semua ke- bentuk pasangan kebudayaan yang dibeda- budayaan itu selalu berubah sebagai tang- kan karena struktur kemasyarakatan Jawa. gapan atas hal-hal seperti masuknya orang Adanya perubahan perubahan struktur itu luar, atau terjadinya modifi kasi perilaku dan membuat Ki Mloyokusuma dianggap ti- nilai-nilai di dalam kebudayaan (Soekadij o, dak layak menggunakan nama itu karena 1985: 351). Demikian juga dalam bidang seni setelah berada di lingkungan masyarakat tari, tentulah terjadi kesinambungan dalam tradisi kecil otomatis kelas sosialnya menu- perkembangan antar generasi, di mana run, maka kemudian ia berganti nama men- eksistensi tari keraton Jawa yang bersumber jadi Ki Mloyodimeja. dari kebudayaan Mataram cenderung ada Adanya perubahan status sosial dalam hubungannya dengan kebudayaan India. persilangan seniman antar tradisi besar Ini terdapat pada tarian relief candi agama dan tradisi kecil itu sejalan dengan paparan Hindu dan agama Budha, meskipun dalam Timbul Haryono berikut. penggarapannya didasarkan pada rasa, jiwa dan alam pikiran budaya Jawa, sebagaimana “Di dalam Kitab Slokantara bahkan mene- dinyatakan Sumaryono berikut ini. gaskan bahwa seniman termasuk golongan candala yakni masyarakat luar kasta. Gam- “Saged kemawon dipun wastani bilih beksan ga- baran ini menunjukkan bahwa kelompok grag Surakarta lan Ngayogyakarta tetep mboten seniman mempunyai kedudukan sosial ren- saged kapisahaken kaliyan bab rembesan saking dah. Namun demikian di lain pihak kera- seni kabudayan India. Awit wontenipun seni ton juga memerlukan seniman yang akhir- kabudayan beksan ing jaman Mataram Kotage- nya kelompok seniman tersebut berada di dé, Plèrèd lan Kartasura temtu kemawon mbo- dalam lingkungan kehidupan keraton. Hal ten lajeng tumuli wonten kemawon, nanging ini berarti bahwa mereka termasuk dalam kathah utawi sekedhik ugi wonten sambetipun kedudukan sosial yang tinggi. Di dalam kaliyan seni-seni kabudayan sak dèrèngipun. prasasti sekitar abad IX Masehi mereka ter- Ananging rembesan wau sampun dipun olah, masuk di dalam kelompok mangilala drwa dipun garap miturut raos kajiwanipun Kabu- haji dan watek i jro artinya golongan dalam dayan Jawi (2006: 17-18). atau pada masa sekarang ’abdi dalem’ (2002: 13). [“Dapat saja dikatakan bahwa tari gaya Surakarta dan Yogyakarta tetap tidak dapat Tentang kelas sosial yang rendah dalam dipisahkan dengan hal adanya pengaruh dari India. Mengingat adanya seni tari pada tradisi kecil tersebut, pada kasus pertunjuk- jaman Mataram Kotagede, Plered dan Kar- an topeng Klaten di atas, juga tercermin dari tasura tentu saja tidak ada begitu saja, akan penuturan Surono, penari topeng yang men- tetapi sedikit banyak juha ada hubungan- nya dengan seni-seni dan kebudayaan se- jadi salah satu penerus Ki Mloyokusuma. Di- belumnya. Akan tetapi pengaruh itu sudah katakannya bahwa nama Ki Mloyokusuma dikembangkan dan digarap menurut jiwa dan rasa Budaya Jawa]. itu oleh Bupati Klaten saat itu tidak boleh digunakan. Alasannya nama itu menyamai Hasil dari pengolahan budaya yang di- nama Bupati yang saat itu juga menggu- dasarkan pada rasa, jiwa, dan alam pikiran Pamardi, dkk.: Spiritualitas Budaya Jawa 204 budaya Jawa itulah pada akhirnya tari ke- Pengaruh kebudayaan India yang pa- raton memiliki kemandirian bentuk, tema ling intens dalam budaya Jawa adalah ha- dan fungsi yang berbeda dengan kebu- dirnya cerita Ramayana dan Mahabharata. dayaan-kebudayaan sebelumnya yaitu, di Cerita wayang India ini sangat kuat menga- antaranya India dengan agama Hindu dan kar dalam budaya Jawa, tercermin dari per- Budha, dan agama Islam yang kemudian nyataan Paul Stange bahwa ‘orang-orang menyertainya. Demikian juga kebudaya- kejawèn’ adalah yang paling taat pada ritu- an Eropa dengan konsep modernisasinya al-ritual tradisional yang dipengaruhi oleh yang mempengaruhinya itu tidaklah ke- keraton dan fi losofi yang terkandung dalam mudian hilang, tetapi mengalami akultur- mitologi wayang yang berasal dari India. asi. Ini adalah perubahan-perubahan besar Lebih lanjut dikatakannya, istilah kejawèn dalam kebudayaan yang terjadi sebagai aslinya menunjuk pada wilayah geografi s akibat dari kontak antar kebudayaan yang yang berpusat pada keraton Surakarta dan berlangsung lama (Soekadij o, 1985: 263). Yogyakarta. Istilah itu juga mengacu pada Unsur-unsur budaya lain tersebut menyatu gaya budaya yang menempatkan keuta- dalam kebudayaan Jawa yang pada giliran- maan pada ‘kejawaan’ (Stange, Paul, 1992: nya melahirkan tari Keraton Jawa. Dalam 131-132). pandangan pertumbuhan tari, maka tari keraton Jawa dapat dikatakan memiliki akar pertumbuhan sejak ratusan tahun yang Spiritualitas Kejawen Dalam Seni Tari Klasik lalu sebagaimana dinyatakan Sumaryono Di Istana Kasunanan Surakarta berikut ini. Tari keraton itu pada hakikatnya meru- “Bilih seni kabudayan beksan sampun tuwuh, pakan suatu pernyataan budaya dalam gesang lan ngrembaka ing madyaning ma- bentuk tari yang memiliki sifat, gaya, dan syarakat sampun wonten atusan tahun. Saking gambar-gambar relief ing candhi Borobudur lan peranan yang tidak dapat dipisahkan dari Prambanan, ingkang nggambaraken sawarni- adanya kebudayaan Jawa atau Kabudayan ning wewujudan langen beksan, pandugi kula bilih rikalanipun candhi-candhi wau kabangun Jawi yang bersumber dan berkembang di ing abad IX, wekdal semanten seni kabudayan lingkungan keraton Kasunanan Surakarta. sampun ngrembaka kanthi saé kados ingkang Pengertian itu sejalan dengan pernyataan kagambaraken ing relief-relief candhi wau. Kasambet kaliyan wontenipun beksan gagrak Edi Sedyawati berikut. Surakarta lan Ngayogyakarta ing abad XXI sak punika, ateges seni kabudayan beksan sampun “Bahwa tari adalah suatu pernyataan bu- lumampah 13 abad, inggih 1.300 tahunan da- daya. Oleh karena itu maka sifat, gaya, dan ngunipun (2006: 18). fungsi tari selalu tak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang menghasilkannya. Hidup [“Bahwa budaya seni tari itu sudah tum- dan tumbuhnya tari sangat erat berkaitan buh, hidup dan berkembang di masyara- dengan dengan citra masing-masing kebu- kat lebih dari ratusan tahun yang lalu. Dari dayaan itu (1986: 1-2). gambar-gambar relief di candi Borobudur dan Prambanan, yang menggambarkan Mengingat lingkungan keraton Kasu- aneka rupa perwujudan gerak tari, dalam pemikiran saya bahwa pada saat candi-can- nanan Surakarta itu merupakan sumber di dibangun pada abad IX, ketika itu seni kebudayaan Jawa yang memiliki komplek- budaya sudah berkembang dengan baik sitas nilai-nilai dari berbagai bentuk gejala sebagaimana digambarkan pada relief-re- lief candi itu. Terkait dengan adanya tari kehidupan seperti halnya dalam dimensi gaya Surakarta dan Yogyakarta di abad XXI ekonomi, politik, agama, hukum, seni bu- sekarang, artinya budaya seni tari sudah berjalan 13 abad yaitu sudah 1.300 tahun daya dan lain-lainnya, maka kajian ini akan lamanya”]. membatasi persoalannya pada bidang seni Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 205 tari yang bersumber dari Kabudayan Jawi dan lain-lain, sebagaimana dinyatakan Sa- sebagaimana yang dimaksud dalam per- pardi Yosodipuro berikut ini. nyataan Sapardi Yosodipuro berikut ini. ‘Amargi budi punika golonganing ‘alus’ pra- “Awit saking ing Karaton Surakarta wonten mila pangolahinipun ugi sinartan ”ke-alusan” te- barang-barang utawi uwoh-pangolahing-budi gesipun kasutapan, pasemeden utawi pamesu budi. ingkang kaanggep wonten daya-prabawanipun, Munggahing tata lahir, budi punika tegesipun pa- mila Karaton Surakarta inggih lajeng nama karti ingkang awewaton sunar, kadosta suci, asih, Sumber Kabudayan. Rehdéné dunungipun adil, rahayu, utama lan sasaminipun” (1982: 1). wonten ing Tanah Jawi, sarto uwoh pakarti- nipun tiyang Jawi, jangkepipun lajeng nama [“Mengingat budi itu termasuk golongan Sumber Kabudayan Jawi” (1987: 2). alus (mistik), maka pengolahannya juga disebut ke-alusan (bersifat mistik) artinya bersifat melalui [“Mengingat di Keraton Surakarta ada pertapaan, bersemedi atau untuk membangkit- benda-benda atau hasil budi daya yang di- kan kekuatan budi. Dalam perwujudannya, budi anggap mempunyai kekuatan dan wibawa, itu artinya perbuatan yang didasarkan pada maka Keraton Surakarta disebut sebagai cahaya yang bersifat suci, kasih, adil, selamat, sumber kebudayaan. Mengingat tempatnya luhur dan lain sebagainya yang setara itu]. di tanah Jawa, serta hasil budi daya orang Jawa, maka kemudian disebut Sumber Ke- Selanjutnya mengenai sebutan keraton budayaan Jawa”]. atau karaton dalam pengetahuan Kejawèn didasarkan pada nilai bangunannya yang Kebudayaaan Jawa atau Kabudayan Jawi mempunyai pengertian bahwa keraton yang berdasarkan pengetahuan kejawèn, adalah tempat dan ruang gerak para pangem- pemahamannya didasarkan pada penger- ban nugrahanéng Pangèran (orang-orang yang tian bahwa manusia itu oleh Sang Pencip- mendapatkan anugerah Tuhan) yaitu wah- tanya diberi papadanging Pangèran (Terang yu yang disebut wahyuning ratu. Maka oleh Tuhan) yang sinuksma atau disertakan dan karena tempatnya ratu maka disebut karaton disatukan dalam ”budi manusia.” Dalam yang dalam pengucapan menjadi kraton dan pengertian kejawèn”budi” adalah seperti kemudian dalam bahasa Indonesia disebut halnya damar (lampu kecil) yang memberi- ‘keraton’. Makna keraton juga mempunyai kan terang kepada manusia dan selanjut- kedudukan dan fungsi sebagai tempat: (1) nya terang itu wajib digunakan, dimanfaat- raja sebagai pemimpin pemerintahan; (2) kan, dan dipraktikkan atau diberi ”bentuk” Kerabat Keraton yang menjalankan perintah (Yosodipuro, 1982: 1). raja; dan (3) sebagai pelindung secara lahir Setelah dipraktikkan dan diberi bentuk, dan batin, sejalan dengan pernyataan Sapardi penerapan ”budi” manusia tersebut dise- Yosodipura berikut ini. but budaya. Adapun buah tindakan yang mengolah ”budi manusia” tersebut dina- “Karaton ugi sinebut manunggalipun 3 makan kabudayan. Mengingat pengetahuan prekawis, inggih punika : (1) Pangemban wahyu di situ dasarnya adalah budaya Jawa atau ajejuluk Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhun- an; (2) Kerabat Keraton (Sentana, Abdi dalem, kejawèn maka kemudian disebut Kabudayan Kawula- Hangadep); (3) Karaton minangka Jawi atau kebudayaan Jawa. Maka jelasnya pangoyaman4 (lahir-batos) tumraping Kera- yang disebut kebudayaan Jawa itu hasil bat” (1982: 1). pengolahan ”budi” dan karena ”budi” itu (Keraton juga disebut sebagai tempat me- termasuk golongan alus maka cara pengo- nyatunya 3 hal, yaitu (1) Pemimpin kerajaan (yang mendapatkan anugerah dari Tuhan lahannya disebut kaalusan yang berarti ka- untuk memimpin) bergelar Ingkang Sinu- sutapan, pasemèdèn atau pamesu budi. Dalam hun Kangjeng Susuhunan; (2) Kerabat Keraton pemahaman rasionalnya, ”budi” itu daya (Keluarga, Pejabat dan pegawai keraton); (3) Keraton sebagai pemberi perlindungan perbuatan yang berdasarkan Terang Illahi, dan pertolongan secara lahir dan batin bagi maka sifatnya suci, asih, adil, rahayu, utama, kawula.) Pamardi, dkk.: Spiritualitas Budaya Jawa 206

Keraton untuk menjalankan fungsinya Tari dan gamelan menyatukan irama ke- dilakukan dengan cara lahiriah dan batin- hidupan melalui perpaduan gerak tubuh iah seperti halnya khusuk sembayang, ber- dengan suara gendhing yang mengalunkan semedi, bertapa, yang dalam pemahaman lagu, cengkok, wiled, wirama, sehingga me- Keraton Surakarta disebut mengolah budi, numbuhkan suasana yang menggugah rasa di mana hasilnya adalah kebudayaan. Kebu- keindahan melalui gerakan penari yang dayaan keraton ini bercabang-cabang, seper- bersambut dengan tabuhan gamelan para ti halnya tatacara adat, upacara adat, aneka pengrawit yang membuat pikiran terasa rupa pusaka, gendhing, tari, tembang, dan melayang-layang menghanyutkan, ibarat lain sebagainya. Dalam pembuatannya ada masih harus mencari sumber suara dari yang dilakukan oleh raja sendiri atau melalui atas yang akan memberikan kedamaian perintah raja kepada para empu, pujangga, dan keluhuran jiwa manusia. Perspektif tari juru, suranata5, patih, dan lain-lainnya. Ciri keraton yang demikian itu sejalan dengan kebudayaan Jawa dari keraton Surakarta paparan Sapardi Yasadipura berikut ini. Hadiningrat ini merupakan tuntunan untuk “Begsan Karaton punika, kajawi awit saking mencapai watak dan jiwa luhur yang me- kayasanan adhedhasar pangolahing budi (ke- mancarkan prabawa dari kekuatan batinnya nalaran sareng kaliyan tapabrata), mekaten dan secara lahiriah memancarkan wibawa, ugi Gendhingipun, hangrewat : wirama, léng- gotbawa, hamiraga, hamirasa, manunggalaken sebagaimana pernyataan Sapardi Yasadipura jiwanipun ingkang hambegsa kaliyan ingkang berikut ini. hamirsani sarta hamidanget, rumasuk warda- ya. Déné karawitanipun, hanggadhahi lagu, céngkok, wiled, wirama, nuwuhaken swasana “Ciri Kabudayan Surakarta, dhedhasar saking hanggigah raos rarasing gendhing, hanyembuh Karaton Surakarta Hadiningrat, minongko je- suwantenipun panabuhing pradongga hang- jeripun Sumber Budaya Jawi, ateges: Tuntunan rangin hangayut-hayut, bebasan taksih kedah hanggayuh Watak lan Jiwa Luhur. Watak lan Jiwa ngupadi tuking suwara-linuhung” (1987: 9). Luhur punika, mencaraken kekiyatan batos ing- kang winastan Prabawa. Sarta ugi mencaraken [“Tari keraton itu, di samping karena dari kekiyatan lahir, ingkang saged dados titikan: kasat- proses penciptaan yang didasarkan pada tingal, titikan awit saking kapireng, titikan saged usaha mengolah budi secara lahir batin karaosaken, titikan lumantar ingkang kagondo. (melalui penalaran dan membersihkan Ing kaweruh Karaton, pencaring kekiyatan lahir hawa napsu), demikian juga Gendhing-nya punika namanipun Wibawa”(1987: 17). mencakup : irama, mengiringi tari, menya- tu dalam tindakan, menyatu dalam rasa, (Ciri kebudayaan Surakarta, berpij ak dari menyatukan jiwanya yang menari dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, sebagai yang menonton dan mendengarkan yang sumber Budaya Jawa, artinya: tuntunan un- merasuk di kalbu. Adapun karawitannya, tuk mencapai watak dan jiwa luhur. Watak mempunyai lagu, cengkok, wiled, wirama, dan jiwa luhur ini, memancarkan kekuat- menumbuhkan suasana yang menggugah an batin yang disebut Prabawa. Serta juga rasa penabuh gamelan melayang-layang ke memancarkan kekuatan lahir yang dapat langit, ibarat masih harus mencari sumber dikenali melalui penglihatan, pendengar- suara yang indah dan luhur”]. an, perasaan, penciuman. Di dalam pema- haman keraton, pancaran kekuatan lahir tersebut namanya Wibawa.) Apabila sudah demikian halnya yaitu antara penari, pengrawit, dan penonton Berdasarkan pemahaman di atas, un- sama-sama merasakan suatu pencarian ke- tuk mengenali ciri kebudayaan Jawa yang damaian dan keluhuran jiwa manusia arti- memiliki nilai tuntunan untuk mencapai nya, apa yang dialaminya sudah menyatu watak dan jiwa luhur tersebut dapat dicer- dalam satu maksud. Atas dasar itulah, yang mati dari adanya tari keraton yang dicip- menyebabkan tarian dan pusaka keraton ti- takan berdasarkan ”pangolahing budi” yang dak boleh dipertontonkan di luar keraton, artinya melalui penalaran dan tapabrata.6 atau dengan kata lain harus sumimpen.7 Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 207

Bentuk dan perwujudan kebudayaan prabawa dan kekuatan alus, oleh karena itu Jawa yang bersumber dari keraton dapatlah seperti halnya tari Bedhaya Ketawang dalam diketahui dari adanya hal-hal yang sumim- pementasannya memiliki nilai kekhususan, pen tersebut, seperti halnya tata cara adat, tidak dapat dipertunjukkan di sembarang tata susila, tata krama, pusaka, gamelan, waktu dan tempat (Yosodipuro, 1987: 14- gendhing, begsan, kesusasteraan, tata bahasa, 5). Tari Bedhaya Ketawang ini adalah ciptaan arsitektur; semuanya mengandung makna: Sultan Agung raja terbesar jaman Mata- hayom – hayem – tentrem – aprabawa (1982: 1). ram pada tengah abad XVII. Isi ceritanya Untuk memahaminya maka persoalan melukiskan hubungan sakral antara Sul- tari keraton tentu tidak dapat dilepaskan tan Agung dengan Kanjeng Ratu Kidul. dari persoalan kebatinan dan kepercayaan Pengungkapan ceritanya dilakukan dalam alam Kejawen yang mendasari adanya kebu- bentuk gerak tari yang sangat halus dan dayaan Jawa. Demikian juga halnya tari se- simbolis sehingga sulit untuk memahami bagai hasil pengolahan budi lahir batin yang maksud dari pengungkapan tarinya, di kemudian disebut budaya, kalau dihormati samping memang ceriteranya bersifat re- atau dihargai dengan semestinya akan ada ligius magis (Supardjan dan Supartha, berkahnya; sebaliknya apabila disia-siakan 1982: 29). Sampai sekarang tari Bedhaya tari akan mendatangkan kesialan. Hal itu Ketawang diyakini sebagai induk dari ben- termuat dalam ungkapan Paku Buwana IX tuk tari Bedhaya yang ada dan secara turun yang sekaligus dapat untuk mencari penge- temurun dij adikan pusaka keraton Jawa. tahuan tentang jiwa Kejawen sebagaimana Dalam kepercayaan keraton sebagaima- dituturkan Sapardi Yosodipuro dalam sekar na telah disinggung di atas, kekuatan daya- Dhandhanggula berikut ini. prabawa yang bersumber dari anugerah Tuhan itu juga ada halad-nya yang kalau ti- “Hugemana pepelinge Gusti dak terpenuhi dapat mendatangkan sesiku Yen Budaya hiku nora beda Lan Pusaka Kadhatone yaitu mendapatkan persoalan atau hal-hal Manawa dipun rengkuh yang tidak menyenangkan, seperti misal- Dipun pepudhi hambarkahi nya memperoleh penderitaan baik ringan Lamun siniya-siya Tuwuh halatipun ataupun berat, sebagaimana diterangkan Marma pra setyeng budaya Sapardi Yosodipuro: “Halad punika saged Pepetrinen huwoh pangoahing budi Hing salami-laminya” (1987: 130). tumanduk dhateng sintena kemawon ingkang tumindak lepat, katemaha utawi boten kajarag. [“Peganglah peringatan Tuhan Dene Panandhang punika tataranipun wonten Kalau Budaya itu tidaklah berbeda Dengan Pusaka Keraton ingkang entheng lan wonten ingkang awrat” Kalau dipelihara dengan baik (Sapardi Yosodipuro, 1982: 4) atau ‘Kuwalat Dan dihargai akan mendatangkan berkah atau akibat buruk itu dapat mengenai ke- Tetapi kalau disia-siakan Akan mengakibatkan kesialan pada siapa saja yang melakukan kesalahan, Maka baiklah setia kepada budaya baik karena disengaja atau pun tidak. Ada- Rawatlah hasil pengolahan pikir lahir dan pun beban penderitaan itu tingkatannya batin Di sepanjang waktu ada yang sifatnya ringan dan ada yang si- fatnya berat’. Suasana-suasana kebatinan dan keper- Orang-orang yang punya kelebihan, cayaan terhadap seni tari di lingkungan orang-orang suci, memiliki kemampuan masyarakat tradisi bentuknya adalah men- untuk menghindari halad tersebut, ataupun dudukkan nilai seni tari sebagai pepundhen melalui barang-barang keramat seperti hal- yaitu dianggap mempunyai kekuatan daya- nya pusaka dan tempat keramat. Demikian Pamardi, dkk.: Spiritualitas Budaya Jawa 208 juga yang berbentuk begsan seperti halnya hir batin dalam rangka untuk memben- tari Bedhaya Ketawang, tari Srimpi Anglirmen- tuk keluhuran jiwa manusia, sebagaimana dhung yang juga dapat dij adikan sarana un- pernah diamanahkan Paku Buwono IX tuk mencapai keselamatan, sebagaimana bahwa “nyandhang menganggo hiku dadya diterangkan bahwa begsa ugi wonten ingkang srana hamemangun wataking manungsa jaba- memalad, upaminipun Badhaya Ketawang, Srim- jero (Sapardi Yosodipuro, 1982: 18) atau pi Anglir Mendhung (Yosodipuro, 1982: 4). ‘cara berpakaian itu adalah menjadi sarana Oleh karenanya, pementasan tari Be- dalam membangun matak manusia, lahir dhaya pada saat peringatan penobatan raja dan batin’, Dalam kehidupan masyarakat adalah peristiwa yang paling penting kare- Surakarta, tari tidak hanya dihayati sebagai na adanya fungsi sakti sebagai pusaka ke- ekspresi seni semata, tetapi dalam gerak rajaan yang tuahnya akan senantiasa mem- tari dan tata busananya juga mengandung berikan keteguhan terhadap kekuatan, nilai tuntunan untuk pembentukan watak kekuasaan, dan kesejahteraan bagi kawula dan jiwa luhur secara lahir dan batin. dan kerajaannya (Hadi, 2005: 66-67). Kehidupan tari di dalam lingkungan masyarakat tradisi keraton sangatlah dili- PENUTUP puti oleh suasana kebatinan, kepercayaan, dan nilai-nilai tuntunan untuk mencapai Aspek-aspek kebudayaan Jawa yang keluhuran watak dan jiwa manusia yang meliputi perilaku, simbol, fi losofi , sikap, secara lahiriah akan terlihat melalui gerak dan pandangan serta spiritualitas ’Kejawen’ tarinya yang memiliki makna tatakrama menjadi sumber acuan penting dalam ke- dan kasusilan yang didalamnya mencakup hidupan dan perkembangan seni tari klasik cara bicara, bahasa, pancaran bola mata, si- di keraton Kasunanan Surakarta. Seni tari kap, tata busana, sebagaimana diterangkan klasik gaya Surakarta di lingkungan keraton Sapardi Yosodipuro berikut ini. Kasunanan Surakarta merepresentasikan tingkat kemajuan peradaban masyarakat “Ciri Kabudayan Surakarta minongko jejer- Jawa. Seni tari klasik gaya Surakarta hidup ing Budaya Jawi, ateges tuntunan hanggayuh dan berkembang dalam lingkungan ’tradisi watak lan jiwa luhur. Ingkang gampil dipun besar’ yang memiliki nilai-nilai adiluhung. wuningani saking pancaran lahir, punika: tata krama lan kasusilan nyakup ing bab muna- Keberadaan seni tari klasik di dalam istana muni, polatan, patrap, pangageman/pangang- Kasunanan Surakarta memiliki arti penting gon” (1982: 17-18). karena sebagai simbol kewibawaan raja. [“Ciri-ciri Kebudayaan Surakarta sebagai Para penari di lingkungan keraton Kasu- perwujudan Budaya Jawa, artinya sebagai nanan Surakarta dituntut untuk memiliki penuntun untuk mencapai perwatakan dan wawasan, pengetahuan, dan penghayatan kejiwaan yang memiliki keluhuran. Secara sederhana akan dapat dilihat dari sikap tentang budaya Jawa dengan segala nilai kelahirannya yaitu sopan santun dan tata yang terkandung di dalamnya. Aspek ini- susila yang mencakup perihal berbicara, lah yang membedakan dengan para pelaku pandangan mata, sikap, tata busana atau pakaian”]. seni di lingkungan pedesaan yang berada dalam atmosfi r budaya ’tradisi kecil’. Na- Dalam hal berbusana yaitu cara dan mun demikian seni-budaya keraton juga bentuk pakaian yang dikenakan seseorang menjadi sumber kehidupan dan perkem- dapat ditandaskan, bahwa dalam kehi- bangan seni-seni pertunjukan di luarnya dupan tari keraton disikapinya sebagai walaupun lebih difungsikan sebagai sarana cerminan perwatakan manusia secara la- hiburan dan upacara-upacara adat di pede- saan. Panggung Vol. 24 No. 2, Juni 2014 209

Catatan Akhir N. Supardjan dan I Gusti Ngurah Supartha 1982 Pengantar Pengetahuan Tari. : 1 htt p://www.encyclopedia.com/doc/1O101- Depdikbud Greatt radition.html 2 http://www.preservearticles. com/2011083012468/1528-words-essay-on-the- Pincuk Suroto litt le-and-great-tradition-of-india.html 2003 “Mbah Gondo Sukasno, Empu Da- 3Wawancara dengan Surono pada tanggal 3 Februari 2014 di SMK Negeri 8 Surakarta. lang Penopeng”. Yogyakarta: Ma- 4Dari kata ayom menjadi ngayom artinya min- jalah Media dan Seni Tradisi GONG, ta supaya ditolong dan dilindungi. Pangayoman artinya orang dan lain sebagainya yang dapat No. 42/2003 memberikan pertolongan dan perlindungan (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, Yogyakarta: R.G. Soekadij o Kanisius, 2001), 35. 5Abdi dalem mutihan di keraton. (Tim Penyu- 1985 Antropologi. Edisi ke-4 Jilid 2. Jakar- sun Balai Bahasa Yogyakarta, 2001, 748). ta: Erlangga 6Nglakoni mati raga sarta sumingkir saka ing alam rame ‘menjalankan puasa tanpa makan dan minum disertai manjauhkan diri dari alam R. M. Soedarsono keramaian manusia’. (Tim Penyusun Balai Ba- 1974. Beberapa Catatan Tentang Seni Pertun- hasa Yogyakarta, 2001,764). jukan Indonesia. Yogyakarta: Konser- 7Sesuatu yang disimpan dan dij aga dengan sangat hati-hati serta dirawat dengan baik agar vatori Tari Indonesia nilai-nilai kekuatan yaitu daya prabawa dan wibawanya terjaga. ------, 1997 Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kene- Daft ar Pustaka garaan di Keraton Yogyakarta. Yogya- karta: Gadjah Mada University Press. Abdullah Ciptoprawiro 1992 Filsafat Jawa. Semarang: Balai Pustaka ------, 1997 Tari-tarian Indonesia I. Jakarta: Dir- Achmad Fedyani Saifudin jen Kebudayaan Depdikbud. 2006 Antropologi Kontemporer: Suatu Peng- antar kritis Mengenai Paradigma. Ja- Sapardi Yosodipuro karta: Prenada Media Group 1982 ”Kabudayan Jawi Hasumber Saking Karaton Surokarto”. Manuskrip Rek- Alasuutari, Pertt i so Pustoko: H.380. 1996 ’Researching Culture: Qualitative Me- thod and Cultural Studies. London, ------, Thouson Oaks, New Delhi: SAGE 1987 ”Cirinipun Kabudayan Surakarta”. Publication Makalah Seminar Mencari Identitas Kebudayaan Surakarta, 6 Agustus Edi Sedyawati 1987 di Mangkunegaran, Rekso 1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakar- Pustoko: MN.982 ta: Sinar Harapan Stange, Paul Edi Sedyawati, dkk. 1992 “Politik Perhatian: Rasa dalam Kebu- 1986 Pengetahuan Elementer Tari dan Bebe- dayaan Jawa”. Diterjemahkan oleh rapa Masalah Tari. Jakarta: Direktor- Hairus Salim H. S. dari The Politics at Kesenian of Attention: Intuition in Javanese Culture. Yogyakarta: LKiS. Pamardi, dkk.: Spiritualitas Budaya Jawa 210

Sumandyo Hadi Timbul Haryono 2005 Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka. 2002 “Historiografi Seni Masyarakat Jawa Kuna dalam Perspektif Arkeologis: Sumaryono Studi Kasus Seni Pertunjukan”. Ma- 2003 Restorasi Seni Tari & Transformasi kalah Seminar Internasional, 20, 21 Budaya. Yogyakarta: éLKAPHI. Desember 2002 di STSI Surakarta

------, Tommy F. Awuy 2006 Dedongengan Bab Beksan, Yogyakarta: 2004 Sisi Indah Kehidupan, Pemikiran Seni Dewan Kesenian Bantul & éLKA dan Kritik Teater. Jakarta: Ford Foun- PHI. dation dan MSPI.

------, Webtografi 2007 Jejak dan Problematika Seni Pertunjuk- an Kita. Yogyakarta: Prasista htt p://www.encyclopedia.com/doc/1O101- Greatt radition.html Tati Narawati 2003 Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa. http://www.preservearticles. com/2011083012468/1528-words-essay-on- Bandung: P4ST UPI. the-litt le-and-great-tradition-of-india.html.