VERNAKULARITAS TEKSTUAL DALAM PENSYARAHAN HADIS DI NUSANTARA ABAD 20 Studi Atas Kitab Baḥr al-Mādhī karya Muhammad Idris al-Marbawi

Tesis Diajukan ke Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister (MA) dalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh: Hilmy Firdausy NIM. 21181200000018

Di Bawah Bimbingan: Dr. H. Fuad Tohari, M.Ag.

Konsentrasi Hadis dan Tradisi Kenabian Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2020

KATA PENGANTAR

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا والدين والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين سيدنا محمد ﷺ الذي تنحل به العقد وتنفرج به القرب وتقضى به الجوائج وعلى آله وأصحابه أجمعين.

Alhamdulillah, tibalah saya di penghujung penelitian yang saya dalami hampi dua tahun terakhir ini. Dalam proses pengerjaan tesis ini, tentu banyak sekali pihak yang berkontribusi, mendukung, dan mempengaruhi jalan pikiran saya. Kontribusi dalam berbagai macam bentuk, yang secara tidak langsung juga menjadi faktor penting dalam proses pembentukan gagasan yang saya tuangkan dalam tesis ini Paling pertama saya haturkan terima kasih pada Ayahanda Muhammad Kurdi Rawi dan Ayahanda Nur Iman Rakhmatillah. Kepada Ibunda alm. Badriyyah dan Ibunda Suwaibah. Seluruh keluarga Bani Hafidz di kampung halaman. Kepada Bapak Widodo dan Ibu Siti, orang tua mertua saya. Semoga Allah menjaga mereka semua dan memberkahi petak-petak usia mereka dengan amal salih yang bermanfaat. Terima kasih kepada guru dan kiai-kiai saya. Kepada al-Sufi Kiai Zuhri Zaini dan masyayikh Nurul Jadid, Mbah Kiai Noor Muttaqin al-Hafidz dan al- Mufassir Mbah Kiai Sya’roni Ahmadi al-Hafidz, almarhum al-Muhaddith Kiai Ali Mustafa Yaqub. Karena mereka lah saya “ada” dan “bernyawa”. Seluruh karakter dan jati diri saya ditempa melalui kebijaksanaan dan kesabaran kiai- kiai saya. Terima kasih juga saya haturkan kepada seluruh jajaran pengurus Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. kepada Prof. Dr. Asep Saipudin Jahar, MA. selaku Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Bapak Arif Zamhari, Ph.D selaku Ketua Program Magister Pengkajian Islam. Kepada Dr. Imam Sujoko, sekretaris Program Magister dan seluruh jajaran TU yang telah membantu proses administrasi dan fase-fase diujikannya tesis ini. Saya juga haturkan matur sembah nuwun kepada Kiai Dr. H. Fuad Tohari yang telah membimbing selama pengerjaan tesis ini. Kepada seluruh penguji dan reviewer yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, saya haturkan juga terima kasih. Terima kasih juga saya haturkan untuk Kiai Ahmad Baso pengasuh Pondok Belakang Pasar Ciputat; tempat saya memperdalam al-Jabiri, Studi Postra dan Studi Poskol. Dari beliaulah saya mendapati sebuah kitab luar biasa bernama Bahr al-Madhi ini. Terima kasih juga untuk seluruh kawan, teman dan sahabat yang sedikit banyak membantu proses penyelesaian tesis ini; kepada kawan-kawan

iv

SPs angkatan 2018; dewa asatidz, musyrif dan mahasantri Darus-Sunnah dan seluruh pihak yang sudah membantu. Terima kasih kepada Kangmas Abdurrouf dan seluruh kamerad di Harakah ID yang telah memberi dukungan, baik langsung maupun tak langsung. Terakhir, terima kasih juga untuk istri saya, Lili Siwidyaningsih. Tanpanya, mungkin tesis ini tidak akan pernah muncul ke permukaan. Terima kasih untuk kesabaran dan perhatiannya. Saya percaya, kalimat “terima kasih” yang meskipun diucap ribuan kali, tidak akan pernah sepadan dengan peran istri saya. Bukan hanya dalam pengerjaan tesis ini, tapi dalam seluruh fase kehidupan yang saya jalani kini dan ke depannya. Tesis ini adalah bentuk komitmen dan ucap syukur untuk jabang bayi yang sebentar lagi lahir dari rahimnya. Bukan berarti mereka yang tidak saya sebut namanya, tidak memiliki kontribusi dalam pengerjaan tesis ini. Banyak sekali bantuan dan kedermawanan yang saya dapatkan. Tentunya masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam tesis ini. Idha tamma al-amru, bada al-naqsu. Karena itu, kritik dan saran selalu saya nanti-harapkan. Akhirnya, seluruh usaha dan upaya yang telah saya tuangkan dalam tesis ini saya kembalikan kepada muara tempat doa-doa saya berlabuh. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal salih. Dan semoga Kanjeng Nabi Muhammad menerimanya sebagai bukti kecintaan saya kepadanya.

Ciputat, 13 November 2020

Al-faqir, Hilmy Firdausy

v

ABSTRAK

Tesis ini ingin mempertegas kalau proses vernakularisasi Islam, begitu juga vernakularisasi dalam syarah hadis ternyata memang melahirkan satu nuansa baru dalam pemaknaan terhadap hadis-hadis Nabi. Kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī yang ditulis oleh Muhammad Idris al-Marbawi memberikan data yang cukup kaya mengenai hal itu. Alih-alih mengaburkan hadis Nabi, subyektifitas dan lokalitas al-Marbawi sebagai orang Nusantara justru memperkaya kontekstualisasi makna hadis sehingga umat non-Arab pun dapat menikmatinya. Kekayaan data tekstual dalam Baḥr al-Mādhī juga mempertegas kalau kajian hadis Nusantara sebenarnya sudah matang di abad 19 dan 20 M. Tesis ini sepakat dan mentaukid Oman Fathurrahman yang sudah menunjukkan akar tradisi penulisan hadis Nusantara pada abad 17. Sebaliknya, tesis ini membedai pendapat dan kesimpulan akademisi yang mengatakan kalau studi hadis mengalami stagnansi dan status quo. Namun demikian, meskipun memiliki kekayaan data tekstual dan merupakan satu kitab hadis yang paling kompeherensif, Baḥr al-Mādhī masih belum banyak dibahas secara holistik. Di tengah tradisi pensyarahan kitab-kitab hadis arba’īn dan targhīb wa al-tarhib yang cenderung tipis dan non induk, al- Marbawi justru datang dengan proyek mensyarah satu kitab dari jajaran al- Kutub al-Sittah yaitu Sunan al-Tirmidhī. Meskipun belum selesai, 22 jilid Baḥr al-Mādhī lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana wacana hadis Nusantara menampilkan diri, baik dalam konteks studi hadis an sich maupun dialektika sosial-keagamaan di Nusantara. Tesis ini hadir untuk menguak hal-hal yang domestik dan yang lokal dalam Baḥr al-Mādhī. Sebuah situasi vernakular yang menarik, yang menunjukkan tarik ulur paradigma antara subyektifitas al-Marbawi sebagai pensyarah dan hadis-hadis Nabi sebagai teks yang disyarahi. Sejauh apa yang telah diamati, tesis ini menemukan kalau proses vernakularisasi terjadi di seluruh level semio-hermeneutis teks Baḥr al-Mādhī; level tanda, petanda, penanda dan wacana. Tidak hanya itu, tesis ini juga hendak menggambarkan bagaimana Baḥr al-Mādhī dibentuk sekaligus membentuk wacana sosial-keagamaan di Nusantara pada abad 20. Tesis ini yakin kalau teks tidak lahir dari tabula konteks yang kosong. Teks, termasuk Baḥr al-Mādhī, akan selalu berdialog dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Proses dialog inlah yang sedikit banyak juga memicu terjadinya proses vernakularisasi.

v

ABSTRACT

This thesis wants to emphasize that the process of vernacular Islam, as well as vernacular in sharah ’s case, actually gave the birth of the new nuance of the meaning of the Prophet's hadith. Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī that written by Muhammad Idris al-Marbawi provides quite rich data on this matter. Instead of obscuring the Prophet's , the subjectivity and locality of al-Marbawi as an nusantara people actually enriched the contextualization of the meaning of hadith so that non-Arabs could enjoy it. The richness of textual data in Baḥr al-Mādhī also confirms that the study of hadith in Nusantara actually matured in the 19th and 20th centuries. This thesis agrees with Oman Fathurrahman who has shown the roots of the tradition of writing hadith in Nusantara in the 17th century. On the contrary, this thesis differs from the conclusion of academics who say that the study of hadith in Nusantara has stagnated and on status quo. However, despite having a wealth of textual data and one of the most comprehensive hadith books, Baḥr al-Mādhī is still not widely discussed in a holistic manner. In the midst of the tradition of sharah arba'īn and targhīb wa al-tarhib books which tend to be thin and non-parent, al-Marbawi actually came up with the project to explain (sharah) one book from al-Kutub al-Sittah, Sunan al-Tirmidhī. Although not yet finished, the 22 volumes of Baḥr al-Mādhī are more than sufficient to describe how the discourse of hadith in Nusantara presents itself, both in the context of the study of hadith an sich and the socio- religious dialectic in the Nusantara context. This thesis is attend to uncover “the domestic” and “the local” matters in Baḥr al-Mādhī. An interesting vernacular situation, which shows the paradigm tug of exposition between the subjectivity of al-Marbawi as a sharih and the Prophet's traditions as a text. As far as has been observed, this thesis finds that the vernacular process occurred at all semio-hermeneutical levels of the Baḥr al-Mādhī text; sign, signifier, signified and discourse level. Not only that, this thesis also intends to describe how Baḥr al-Mādhī was formed and at the same time shaped the socio-religious discourse in the Nusantara in the 20th century. This thesis believes that the text was not born from an empty. Texts, including Baḥr al-Mādhī, will always have a dialogue with the situation and conditions around them. This dialogue process, in a sense, also triggers the vernacular process.

vi

ملخص البحث

يهدف هذا البحث إلى التأكيد على أن العامية في اإلسالم، وكذلك العامية في شرح الحديث، ولدت في الواقع فارقًا بسي ًطا جديدًا في مفهوم األحاديث النبوية. يقدم كتاب بحر الماذي شرح باڬي مختار صحيح الترمذي الذي ألفه محمد إدريس المربوي تعطى بيانات ثرية عن هذا الموضوع. إن ذاتية ومكانة المربوي بصفته نوسانتارا قد أثرت في الواقع سياق معنى الحديث حتى يتمكن لغير العرب من االستمتاع بالحديث الشريف. البيانات الثرية النصية في بحر الماضي أي ًضا تؤكد أن دراسة الحديث في نوسانتارا نضجت بالفعل في القرن التاسع عشر والعشرين. يوافق هذا البحث وتؤكد ُعمان فتح الرحمن الذي أظهر جذور تقليد كتابة األحاديث في انوسانتارا في القرن السابع عشر. على العكس من ذلك، تختلف هذا البحث عن استنتاج األكاديميين الذين يقولون إن الدراسات الحديثية قد ركدت وال تتحرك. وعلى الرغم، وجود ثروة من البيانات النصية في البحر الماذي وكونه أحد كتب الحديث شامال ،بحثه ال يزال هذا الكتاب يناقش على نطاق واسع بطريقة شاملة. في خضم تقليد كتابة شروح لكتب األربعين والترغيب والترهيب، توصل المربوي في الواقع إلى مشروع شرح كتاب سنن الترمذي أحد من الكتب الستّة. وعلى الرغم من أنها لم تنتهى بعد ، فإن 22 المجلدات من بحر الماذي تكتفي لوصف كيفية تقديم الخطاب الحديثىي النوسانتاروي نفسه، سواء في سياق دراسة الحديث فقط أو في الخطاب االجتماعي والديني في نوسانترا. هذا البحث حاضر لكشف أمور المحلية في البحر الماذي، العناصر العامية المثيرة لالهتمام التي تظهر نموذج شد الحبل بين ذاتية المربوي كالشارح الذي عاش في ومن الشعورية النفسية النوسانتاروية وبين كون االحاديث النبوية كنصوص مشروحة. وبقدرما لحظت، وجد هذا البحث أن العناصر العامية موجودة في جميع المستويات النصية في بحر الماذي: المستوى اللفظي، المستوى المعنوي، المستوى التصوري والمستوى الخطابي. ليس هذا فحسب، يهدف هذا البحث أي ًضا إلى وصف كون بحر الماذي يشكل عن و يشكل وفي نفس الوقت شكل الخطاب االجتماعي الديني في نوسانتارا في القرن العشرين. تؤمن هذا البحث بأن النص لم يولد من سياق فارغ. النصوص، وكذلك بحر الماذي، ستجري دائ ًما حوا ًرا مع الوضع والظروف المحيطة بها. إن هذه الحوار تؤدي أي ًضا إلى إطالق العامية في بحر الماذي.

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Nama

Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا B be ب T te ت Th Te dan ha ث J je ج (H} Ha (dengan titik di bawah ح Kh ka dan ha خ D de د Dh De dan ha ذ R er ر Z zet ز S es س Sh es dan ha ش (S} Es (dengan titik di bawah ص (D} De (dengan titik di bawah ض (T} Te (dengan titik dibawah ط (Z} zet (dengan titik di bawah ظ (koma terbalik (di atas ‘ ع Gh Ge dan ha غ F ef ف Q qi ق K ka ك L el ل M em م

viii

N en ن W we و H ha ه apostrof ‘ ء Y ya ي

2. Vokal a. Vokal tunggal: Tanda Nama Huruf Latin Nama Vokal Fathah A A َ Kasrah I I َ Dammah U U َُ

b. Vokal Panjang (maddah) Tanda Nama Huruf Latin Nama Fathah dan alif a> A dengan garis di ا atas Kasrah dan ya i> I dengan garis di ي atas Dammah dan u> U dengan garis di ُو wau atas

ix

DAFTAR TABEL, DIAGRAM DAN GAMBAR

Daftar Tabel Tabel 2.1 : Rangkuman tiga corak yang mengisi sejarah perkembangan Syarah Hadis Tabel 3.1 : Rincian isi naskah kitab Bahr al-Madhi, tahun penulisan serta tahun cetak Tabel 4.1 : Level-level vernakular dalam Syarah Bahr al-Madhi

Daftar Diagram Diagram 2.1 : Perbedaan skema syarah istidlali dan istintaji Diagram 2.2 : Fase-fase epistemologis dalam perkembangan Syarah Hadis Diagram 3.1 : Jejaring keilmuan al-Marbawi

Daftar Gambar Gambar 4.1 : Tampilan naskah kitab Bahr al-Madhi Gambar 4.2 : Contoh tampilan syarah visual dalam Bahr al-Madhi Gambar 4.3 : Contoh lain syarah visual dalam Bahr al-Madhi Gambar 4.4 : Contoh lain syarah visual dalam Bahr al-Madhi

x

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ……………………… i PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………. ii KATA PENGANTAR ………………………….…………... iv ABSTRAK ………………………………….………..……… v PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………… viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ……………………….. x DAFTAR ISI ………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………….…….. 1 B. Ruang Lingkup Permasalahan ……………………….. 9 1. Identifikasi Masalah ……………………………… 9 2. Rumusan Masalah ……………………………….. 11 3. Pembatasan Masalah …………………………….. 12 C. Tujuan Penelitian …………………………………….. 13 D. Signifikansi Penelitian ……………………………….. 13 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ………………….. 13 F. Metode dan Pendekatan ……………………………… 19 1. Metode Pengumpulan Data ………………………. 19 2. Metode Olah Data ………………………………... 20 3. Pendekatan ……………………………………….. 21 G. Teknik Penulisan ……………………………………... 22 H. Sistematika Penulisan …………………………….…... 22

BAB II HISTORISITAS MENSYARAH HADIS DAN FORMASI DISKURSIF SOSIAL-KEAGAMAAN DI NUSANTARA ABAD 20 M A. Dialektika Sejarah di Sekitar Perkembangan Syarah Hadis Arab- Islam …...... 24 B. Diskursus Syarah Hadis di Nusantara ……..………….. 32 1. Vernakularisasi Islam dan Format Epistemologi Syarah Hadis Nusantara ….……………...……………….. 32 2. Ciri Khas dan Karakteristik Umum Syarah Hadis Nusantara Hingga Abad 19 M ….………………… 36 C. Relasi Islam dan Kolonial: Dua Wacana Besar Konfrontasi Agama Vis A Vis Budaya ……………...…..………….. 48 1. Antara Wacana Puritanisasi dan Ambivalensi: Kasus Usman dan Haji Hasan Mustapa …..……… 41 D. Format Hermeneutis Bahasa Melayu dan Karakter Manhaji dalam Nomenklatur Islam di Nusantara ………………... 47 E. Vernakularitas Tekstual dan Relasi Subyek-Obyek: Tawaran al-Jabiri ………………………………………………… 49

xi

1. Mekanisme al-Faṣl dan Problem Jarak Subyek-Obyek 51 2. Mekanisme al-Waṣl dan Problem Internalisasi Problematika (Wiḥdah al-Ishkāliyyah) …………………………… 54

BAB III MENGAMATI AL-MARBAWI DAN BAḤR AL-MĀDHĪ A. Mengamati al-Marbawi ……………………………..…. 57 1. Biografi Muhammad bin Idris al-Marbawi …….... 57 2. Al-Marbawi dalam Peta Jaringan Nusantara 58 3. Karya-Karya al-Marbawi ………………………… 61 B. Mengamati Kitab Baḥr al-Mādhī ……………..………... 62 1. Alasan, Kitab Rujukan dan Proses Pensyarahan Baḥr al-Mādhī …………………………………………. 63 2. Karakteristik Bahasa; Antara Melayu-Jawi dan Aksara Pegon al-Marbawi….…………………………….. 66 3. Sistematika Penjilidan, Pembaban dan “Yang Belum Selesai” Dalam Bahr al-Madhi..………………….. 68 C. Situasi Politik dan Kondisi Wacana Keberagamaan di Mesir Abad 20; Kecamuk di Sekitar Penulisan Baḥr al-Mādhī 71

BAB IV VERNAKULARITAS SYARAH HADIS BAḤR AL-MĀDHĪ DAN AGREGASI WACANA SOSIAL-KEAGAMAAN A. Metode Pensyarahan Umum dalam Baḥr al-Mādhī …… 77 1. Syarah Hadis dengan al- …………………….. 77 2. Syarah Hadid dengan Hadis dan Jam’u al-Riwāyāt 78 3. Melakukan Takhrīj al-Hadīth ……………………… 80 4. Menjelaskan Asbāb al-Wurūd Hadis ………………. 82 5. Penyuguhan Perdebatan Kaul Ulama Lintas Mazhab 82 6. Menakwil Makna Hadis yang Mustashābih ……….. 84 7. Kompromisasi Hadi-Hadis yang Dianggap Ikhtilaf 85 B. Vernakularisasi Metodis dan Variasi Metode Pensyarahan Khusus dalam Baḥr al-Mādhī.………………………….. 86 1. Syarah Visual-Ilustratif dan Metode Menjelaskan Makna Hadis dengan Gambar ……………………………… 90 2. Syarah Fabula dan Strategi Tamsil Maksud ……..… 93 3. Syarah Interaktif dan Dialog Dua Arah Pengarang- Pembaca ………………………………………….... 95 4. Pointer Petunjuk Pelaksanaan Syariat …………….. 97 5. Klasterisasi Kutipan dan Otoritas Rujukan dalam Baḥr al-Mādhī …………………………………..…. 98 C. Vernakularisasi di Level Petanda Dalam Pensyarahan Hadis Baḥr al-Mādhī; Problem Beban Makna Kata .…………. 100 D. Vernakularisasi di Level Wacana Dalam Pensyarahan Hadis Baḥr al-Mādhī; ProblematikaDiskursus Sosial-Keagamaan di Nusantara Abad 20 …………………………….…….. 105

xii

1. Tarik Ulur Otoritas Tradisi Taklid dan Bermazhab 106 2. Agama Versus Budaya dan Silang Sengketa Perebutan Makna Bid’ah ……………………………………. 118 E. Vernakularitas Baḥr al-Mādhī; Momentum Keterputusan Epistemologis dan Praktek Membaca Hadis yang Sadar Tradisi ………………………………………………… 126

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………… 128 B. Saran dan Rekomendasi ……………………………… 129

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………… 130 GLOSARIUM ………………………………………………… 142 INDEKS ………………………………………………………. 145 BIODATA PENULIS ………………………………………… 149

xiii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Permasalahan Kalau merujuk ke beberapa penelitian yang mengangkat isu perkembangan kajian hadis di Nusantara, maka akan banyak ditemukan kitab- kitab hadis yang secara tidak langsung membuktikan bahwa studi dan penulisan hadis di Nusantara sebenarnya sudah kuat.1 Temuan-temuan filologis semacam ini otomatis merevisi beberapa hasil penelitian yang mengatakan bahwa perkembangan kajian hadis di Indonesia sepi, stagnan dan tidak berkembang.2 Di tengah tumpukan karya-karya ulama Nusantara di bidang hadis, kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī karya Muhammad Idrīs al-Marbawi al-Jāwi termasuk salah satu kitab yang spesial, yang menunjukkan bagaimana kematangan struktur kajian ilmu hadis di Nusantara benar-benar tampak kala itu. Namun sayangnya, pengakuan akan keberadaan Baḥr al-Mādhī masih samar dalam literatur dan penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan, baik yang mengangkat isu perkembangan kajian hadis di Nusantara, ataupun

1 Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al- by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol. 19, no. 1, 2012, h. 47-48. 2 Perdebatan mengenai ini sudah banyak dikutip dan dibahas. Secara umum asumsinya terbagi menjadi dua: kajian hadis sepi dan stagnan atau kajian hadis bergerak dan berkembang. Asumsi stagnansi bisa kita lihat dalam temuan Daniel Brown, Nasr Hāmid Abū Zayd, Fazlurrahman, dan lainnya. Lihat: Daniel W Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Terj. Charles Kurzman (New York: Cambridge University Press, 1966), h. 7; Nashr Ḥamīd Abū Zayd, Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an. Penerjemah Khairon Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 3-4; Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. X; Azyumardi Azra, “Kecenderungan Kajian Islam di Indonesia Studi Tentang Disertasi Doktor Program Pascasarjana IAIN Jakarta,” Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997, h. 23 dan beberapa penelitian lainnya. Asumsi sebaliknya ditawarkan oleh Jonathan Brown, Muhammad Ali, Rifqi Muhammad Fatkhi dan Zulkifli. Lihat: Jonathan Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: One World, 2009); Muhammad Ali, “Dari Kajian Naskah Kepada Living Qur’an dan Living Hadis: Pengantar Metodologi Penelitian Kontemporer al-Qur’an dan Hadis,” makalah Seminar Tahunan Qur’an and Hadith Academic Society (QUHAS) Peta Kajian al-Qur’an dan Hadits di Indonesia tanggal 3 Desember 2015 (Ciputat: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 9; Rifqi Muhammad Fatkhi, Popularitas Hadis Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Ciputat: HIPIUS, 2012), h. 9; dan Zulfikri, “Orientalisme Hadis Peta Kajian Hadis Orientalis,” TAJDID XVI, no. 2 (November 2013): h. 205 dan beberapa penelitian lainnya.

1

fenomena Islam di Nusantara secara umum. Keterasingan Baḥr al-Mādhī itu bisa berbentuk ia memang tidak dikaji, atau hanya disebutkan saja tanpa ada deskripsi dan analisa yang lebih spesifik. Howard Federspiel misalnya, dalam artikel yang terbit tahun 2002 menyatakan bahwa abad 20 adalah satu momentum ketika lokalitas mengambil peran sebagai media bahasa dan paradigma untuk memahami hadis secara khusus, dan memahami Islam dalam konteks kenusantaraan secara umum. Untuk menunjukkan fenomena ini, Federspiel hanya berangkat dari produk terjemahan kitab-kitab hadis yang muncul di abad 20 M. Menurutnya, buku- buku terjemahan inilah yang merekam peralihan dimensi dalam pemaknaan hadis. Tak ada nama Baḥr al-Mādhī disebutkan, atau kitab-kitab hadis beraksara pegon lainnya. Federspiel mempersempit pemahaman lokalitas hanya pada produk terjemahan saja.3 Penelitian sejenis dengan Federspiel juga banyak dan bisa dipastikan tidak menyebut nama Baḥr al-Mādhī. Kalau kita kerucutkan, ada beberapa penelitian yang menyebutkan Baḥr al-Mādhī namun tanpa ulasan yang lengkap. Oman Fathurrahman misalnya, dalam artikelnya berjudul “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidāyat al-Ḥabīb by Nur al-Din al-Raniri” menyebut nama Baḥr al-Mādhī meskipun secara bibliografis. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Oman hanya ingin menunjukkan “akar” keilmuan hadis di Nusantara yang dianggapnya sudah mapan sejak abad 17 M.4 Selain Oman, Ahmad Sagir juga menyebutkan Baḥr al-Mādhī sebagai salah satu kitab syarah hadis Nusantara.5 Tapi lagi-lagi, Sagir hanya mengulasnya secara singkat dan tanpa memberikan footnote.6 Ketiadaan rujukan dan catatan kaki dalam penelitian Sagir adalah indikasi bahwa Baḥr al- Mādhī sebenarnya belum mendapatkan tempat sebagai obyek penelitian dan

3 Howard Federspiel, “Hadit Literature In Twentieth Centurty Indonesia” dalam Oriente Moderno, Nouva Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam (2002), h. 116-119. 4 Dalam artikelnya ini, Oman fokus untuk membahas kitab Hidāyat al-Ḥabīb karya Nūr al-Dīn al-Ranirī yang dianggap sebagai pionir. Selain itu, Oman juga menyebutkan beberapa kitab hadis Nusantara lainnya, seperti: Sharh Laṭīf ‘alā Arba’īn Hadīthan li al-Imām al-Nawāwī karya Abd al-Ra’ūf ibn ‘Alī al-Jāwī al-Fansurī, Tanbīh al-Ghāfilīn karya Abdullah bin Lebai Abd al-Mubīn Pauh Bok al-Fatanī, Farā’id Fawā’id al-Fikr fi al-Imām al-Mahdī dan Kashf al-Ghummah karya Dāwud bin Abdullah al-Fatanī, Tanqīh al-Qawl al-Hathīth karya Nawawī al-Bantanī dan Manhaj Dhawi al-Naẓar Sharah Manẓūmah ‘Ilm al-Athar karya Mahfūẓ al-Tarmasī. Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara”, h. 48. 5 Akhmad Sagir, “Perkembangan Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam” dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 9, No. 2 (Juli 2010). 6 Akhmad Sagir, “Perkembangan Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam”, h. 145.

2

belum diulas secara kompeherensif. Fakta ini semakin jelas seiring dengan proses penelusuran yang telah lakukan terhadap penelitian-penelitian terdahulu, yang menunjukkan bahwa Baḥr al-Mādhī adalah dokumen yang masih belum banyak disentuh secara kompeherensif. Keterasingan kitab Baḥr al-Mādhī dalam kancah penelitian dan kajian naskah hadis Nusantara juga terlihat dari hampir tidak adanya satu penelitian pun yang fokus mengkaji Baḥr al-Mādhī secara utuh. Tercatat hanya ada beberapa artikel jurnal yang mayoritas ditulis oleh orang Malaysia, antara lain: Latifah Abdul Majid dan Nurullah Kurt7, Faisal bin Ahmad Shah8 dan beberapa peneliti lainnya.9 Dalam beberapa artikel yang dihasilkan, tak satu pun yang mengkaji Baḥr al-Mādhī sebagai totalitas korpus yang memuat informasi lengkap tentang wacana hadis Nusantara. Lubang penelitian semacam ini menarik karena ia disertai beberapa fakta: Pertama, sejauh penelusuran yang telah dilakukan, dari belasan korpus hadis Nusantara yang disebut Oman, Baḥr al-Mādhī adalah korpus yang paling tebal dan memuat data tekstual paling kaya dibanding kitab-kitab hadis Nusantara lainnya. Kedua, meskipun sudah ada beberapa kitab syarah yang muncul sebelum Baḥr al-Mādhī, namun kemungkinan semuanya hanya akan mensyarah kitab-kitab hadis non induk atau kitab ilmu hadis.10 Sedangkan Baḥr al-Mādhī secara eksplisit dan kompeherensif mensyarahi salah satu kitab induk hadis yang masuk dalam jajaran al-Kutub al-Sittah. Ketiga, dengan data tekstual yang tertuang dalam 22 jilid, tentu saja Baḥr al-Mādhī menjadi dokumen sejarah sekaligus titik picu paling maksimum kalau ingin melihat parodi diskursus, baik kajian hadis secara khusus, maupun dialektika keislaman di Nusantara secara umum.

7 Latifah Abdul Majid and Nurullah Kurt, “Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith Century” dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 05, no. 20 (Rome: MCSER Publishing, September 2014). 8 Faisal bin Ahmad Shah, “Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: Kontribusinya dalam al-Hadis”, dalam MIQOT vol. XXXIV, no. 1, Januari-Juni 2010 dan Faisal bin Ahmad Shah, “Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi” dalam HADIS, vol. 1, no. 1 (Malaysia, Juli 2010). 9 Salah satunya adalah: Mesbahul Hoque dkk. “Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah” dalam Journal of Hadith Studies, vol. 3, no. 1 (Juni 2018). 10 Seperti misalnya Sharh Laṭīf ‘alā Arba’īna Hadithan li Imām al-Nawawī karya ‘Abd al-Ra’ūf ibn ‘Alī al-Jāwī al-Fansurī, Tanqīh al-Qawl al-Hathīth Sharah Lubāb al-Hadīth karya Nawawī al-Bantanī, al-Jawhar al-Mauhūb karya Wan ‘Alī Ibn ‘Abd al-Rahman Kutan al-Kelantanī yang juga mengomentari Lubāb al-Hadīth-nya al- Suyūṭī dan Manhaj Dhawi al-Naẓar Sharah Manẓūmah ‘Ilm al-Athar karya Mahfūẓ al- Tarmasī.

3

Artinya, kalaupun yang hendak diukur adalah sejauh mana perkembangan kajian hadis di Indonesia terekam dalam satu dokumen ilmiah, maka Baḥr al-Mādhī harusnya menjadi pilihan utama karena kekayaan tekstualnya akan memberikan banyak informasi seputar itu. Belum lagi dengan sajian menggunakan Bahasa Melayu dan Aksara Pegon, jejak-jejak lokalitas dan tubrukan kosmologi dalam pensyarahan hadis akan benar-benar terparodikan dengan sempurna. Baḥr al-Mādhī juga mampu memperlihatkan bagaimana subyektifitas kenusantaraan menjadi satu media untuk merekontekstualisasi sabda-sabda Nabi Muhammad SAW. Posisi kitab syarah dan kerja pensyarahan sendiri cukup menarik dalam peta perkembangan kajian hadis Arab-Islam. Secara umum, bisa disimpulkan bahwa kerja pensyarahan hadis, secara diskursif dan sistematis, baru dimulai di abad 4 H/10 M. Sebelumnya, mensyarah hadis dilakukan secara terpencar dan sesuai kebutuhan diskursus yang terpotong-potong. Dalam al-Kutub al-Sittah misalnya, mensyarah hadis lahir hanya sebagai konsekuensi logis dari kajian sanad yang dikembangkan di abad itu.11 Diskursus semacam Ikhtilāf al-Hadīth

11 Di abad 4 H, ketika para muhaddis mulai membukukan hadis-hadis dalam kitab tersendiri dan memulai melakukan pengkajian mendalam sehingga ditemukan metode untuk menyaring mana hadis yang sahih dan tidak, syarah hadis sebenarnya sudah lahir sebagai konsekuensi logisnya. Para Muhaddis, yang mayoritas memiliki pemahaman dan kepakaran, bukan hanya soal problematika seputar sanad hadis, juga memiliki kedalaman dalam mengetahui kandungan dan substansi hadis yang dihafalnya. Meskipun tidak menjelaskan hadis sebagaimana laiknya kitab syarah yang ditemui hari ini, al-Bukhārī misalnya, menunjukkan proses mensyarah hadis tersebut melalui strategi pembaban dan peletakan sebuah hadis dalam tema tertentu. Seringkali al-Bukhārī juga secara tidak langsung sedang menjelaskan hadis melalui judul bab yang ditulisnya. Selain menyuguhkan hadis dengan tingkat otentisitas di bawah al-Qur’an, al-Bukhārī juga merupakan seorang mustanbiṭ bahkan mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari hadis-hadis yang dicantumkannya. Hal ini, meskipun tidak kentara dalam al-Ṣaḥīḥ, merupakan totalitas beliau sebagai muḥaddith. Setidaknya baca kebiasaan al-Bukhārī, termasuk kaitannya dengan istinbaṭ hukum. ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd al-Wāhid al-Hāshimī, ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Ṣaḥīḥihi (Kuwayt: Maktāb al- Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428 H./ 2007 M.), h. 71-110. Hal yang sama juga kita temukan dalam Ṣaḥīḥ Muslim. Bahkan dalam Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaymah, hal tersebut terlihat lebih jelas, lihat: Hilmy Firdausy, “Mengenal Sahih Ibn Khuzaymah: Sistematika, Metodologi dan [O]Posisinya di Antara Kitab Sahih” dalam Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no. 2, Juli-Desember 2017, h. 198-205. Dalam kitab-kitab sunan seperti Sunan al-Tirmidhī, proses pensyarahan juga mulai melebar tidak terbatas pada metode peletakan hadis dalam tema tertentu atau menentukan judul sebuah sub bab pembahasan. Lihat: Abū ‘Īsā Muhammad bin ‘Īsā al- Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī (Bayrūt: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1988 M.), h. 272. Artinya, pemahaman hadis dan kehendak untuk menjelaskannya adalah konsekuensi logis dan satu bilah mata uang yang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kajian sanad hadis itu sendiri.

4

dan Gharīb al-Hadīth12, hanyalah dua potongan cara mensyarah hadis yang berdiri secara parsial. Di abad 4 H, muncullah satu acuan yang lebih kompeherensif terkait praktik mensyarah hadis. Tradisi pensyarahan di abad 4 H ini kemudian melebur seluruh bentuk dan pola kerja menjelaskan hadis yang sudah dilakukan di abad-abad sebelumnya, baik pola yang terlihat dalam kitab hadis induk maupun pola yang sudah terbakukan sebagai diskursus tersendiri. Di abad 4 H, mensyarah hadis mulai mengental dalam satu kerja yang lebih sistematis dan metodis.13 Di abad 5 H/11 M penulisan syarah hadis sudah mulai marak. Muncul secara serempak beberapa kitab syarah hadis yang ditulis oleh para ulama hadis. Ada banyak faktor yang mendukung kerja pensyarahan hadis di abad ini; ketersediaan literatur yang sudah dicetak dan diperbanyak serta disebarkan kepada masyarakat luas, munculnya pengajian-pengajian kitab hadis dan kelas- kelas yang mengkaji hadis sebagai sebuah ilmu independen, adalah beberapa di antara banyak faktor pendukungnya. Namun di abad ini, kitab yang menjadi primadona bagi para pensyarah adalah al-Muwaṭṭa’ karya Mālik bin Anas. Meskipun ada juga satu dua kitab syarah yang mulai melirik al-Kutub al-Sittah.14 Di abad 6 H/12 M hingga abad-abad setelahnya, muncul kitab syarah yang lebih beragam. Tidak hanya terbatas pada syarah atas kitab al- Muwaṭṭa’, di periode ini muncul juga kitab-kitab syarah atas enam kitab hadis

12 Ilmu Gharīb al-Hadīth yang pertama kali diperkenalkan sebagai sebuah konsep oleh Abū al-Ḥasan al-Naḍir Ibn Shāmil al-Muzannī (W. 203 H.). Muhammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīth ‘Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu. (Bayrūt: Dār al-Fikr, 2009/1430), h. 33. 13 Di abad IV hijriyah misalnya ada kitab bernama A’lām al-Sunan dan Ma’ālim al-Sunan yang ditulis oleh al-Khaṭṭābī (w. 388 H.). A’lām al-Sunan ditulis sebagai syarah atas Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, sedangkan Ma’ālim al-Sunan ditulis sebagai syarah atas Sunan Abū Dāwūd. Menurut al-Qusṭanṭīnī, kitab A’lām al-Sunan yang merupakan syarah Sahih al-Bukhari tidak berhasil diselesaikan. al-Khaṭṭābī hanya menyelesaikan kitab Ma’ālim al-Sunan yang sempat juga dicetak oleh Dār al-Fikr Bayrūt. Lihat: Musṭafā ibn ‘Abdillah al-Qusṭanṭīnī al-Rūmī al-Ḥanafī, Kashf al-Ẓunūn ‘an Asmā’ al-Kutub wa al-Funūn (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), Juz 1, 430-431. 14 Sebut saja misalnya: al-Namā’ fi Sharh al-Muwaṭṭa’ karya Ahmad ibn Naṣr al-Sādi (w.402 H.); Sharh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī li Ibn al-Baṭṭāl karya Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Khalaf ibn ‘Abd al-Mālik (w. 449 H.); Al-Tamhīd Limā fī al-Muwaṭṭa’ min al- Ma’ānī wa al-Asānīd dan al-Taqṣīd fi Ikhtiṣār al-Muwaṭṭa’ Bayān Musnad al- Muwaṭṭa’ wa Mursalihi karya Abū ‘Amr Yūsuf ibn ‘Abdullah ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-Bārr al-Andalūsi al-Qurṭūbī (w. 463 H.); Al-Muntaqā Sharh al-Muwaṭṭa’ Imām Mālik dan Al-Istifā’ fī Sharh al-Muwaṭṭa’ karya Abū al-Wālid Sulaymān ibn Khalaf ibn Sa’ad ibn Ayyūb al-Bājī (w. 474 H.). Cek sejarah pensyarahan terhadap al-Muwaṭṭa’ dalam: Muhammad Zakariyā al-Kāndahlawī, Awjaz Al-Masālik Ilā Muwaṭṭa’ Mālik (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1980).

5

lainnya dalam jajaran al-Kutub al-Sittah.15 Semarak penulisan kitab-kitab syarah hadis semakin ramai di abad-abad setelahnya, bahkan hingga abad 14 H/20 M. Salah satu faktor yang mendorong dimulainya kerja-kerja pensyarahan hadis adalah karena kematangan struktur pengetahuan ilmu hadis yang mencapai taraf kesempurnaan di abad 4 dan 5 H. Hal ini ditandai misalnya oleh terbukukannya hadis-hadis sahih dalam satu kitab khusus. Perjalanan panjang para muhaddis mencari hadis, kerja keras yang mereka tagah untuk memilah hadis dan diskusi-diskusi kolektif yang dilakukan di dalam internal komunitas perawi secara tidak langsung melahirkan satu metode ilmiah yang obyektif dan teruji. Artinya, ketika seorang muhaddis dengan obyektif dan terukur dapat menjelaskan dan berargumentasi tentang status sebuah hadis, maka sebenarnya sudah ada kerangka metodologis yang diacu dan dijadikan pondasi. Di sinilah muncul istilah “sharṭ al-imām al-Bukhārī”, “sharṭ al-imām Muslim” dan lainnya. Selanjutnya, kajian yang mendalam terhadap sanad hadis, juga memaksa lahirnya diskursus al-Jarḥ wa al-Ta’dīl dan dibukukannya kitab mengenai Rijāl al-Hadīth.16 Tak sampai di sana, pembukukan diktat-diktat ilmiah terkait “’Ulūm al-Hadīth” juga mulai muncul sebagai penanda selanjutnya bahwa kajian hadis sudah matang secara epistemologis. Di abad 4 H sudah muncul kitab yang ditengarai sebagai pionir kitab-kitab ’Ulūm al- Hadīth yaitu Al-Muhaddith al-Fāṣil Bayna al-Rāwī wa al-Wā’ī karya al- Ramahurmuzī (360 H.) yang kemudian disusul oleh rentetan kemunculan kitab- kitab lain di abad 5, 6 hingga 10 H.17

15 Beberapa di antaranya adalah: Al-Ikmāl bī Fawā’id Sharh Muslim karya al- Qāḍī ‘Iyāḍ ibn Mūsā al-Mālikī (w. 544 H.);‘Āriḍatu al-Aḥwadhī fī Sharh Sunan al- Tirmidhī karya Abū Bakar Muhammad ibn ‘Abdillah al-Isbilī Ibn al-‘Arabī al-Mālikī (w.546 H.); Majālatu al-‘Ālim min Kitāb al-Mu’allim karya Abū al-Ṭayyīb Muhammad Shams al-Haq al-‘Aẓīm al-Ābādī (w.765 H.) yang merupakan ringkasan dari Ma’ālim al-Sunan karya al-Khaṭṭābī; Mā Tamassa Ilayhi al-Hājah ‘alā Sunan Ibn Mājah karya Siraj al-Dīn ‘Umar ibn al-Mulqīn al-Shāfi’ī (w. 804 H.) dan kitab-kitab syarah hadis lainnya. 16 Seperti kitab al-Ṭabaqāt al-Kubrā karya Abū ‘Abdillah Muhammad bin Sa’ad Khāṭīb al-Wāḥidī (w. 230 H.), al-Tārīkh al-Kabīr karya al-Bukhārī (w. 256 H.), al-Thiqāt karya Ibn Hibbān (w. 342 H.), al-Jarḥ wa al-Ta’dīl karya Ibn Abī Hātim al- Rāzī (w. 327 H.) dan kitab-kitab lainnya. 17 Ma’rifat ‘Ulūm al-Hadīth, karya al-Hākim al-Naysābūrī (405 H.), al- Mustakhraj ‘alā Ma’rifati ‘Ulum al-Hadis, karya Abū Nu’aym al-Aṣbihānī (430 H.) dan al-Kifāyah fī ‘Ilm al-Riwāyah, karya al-Khatīb al-Baghdādī (463 H.). Di abad VI hingga abad-abad setelahnya, muncul lagi beberapa kitab ilmu hadis seperti ‘Ulūm al- Hadīth atau Muqaddimah Ibn Ṣalāḥ, karya Ibn Ṣalāḥ (643 H.), Al-Taqrīb wa al-Taysīr li Ma’rifati Sunan al-Bashīr al-Nadhīr, karya al-Nawāwī (676 H.), Alfiyah al-‘Irāqī, karya al-‘Irāqī (806 H.), Fatḥ al-Mughīth fī Sharh Alfiyah al-Hadīth, karya al-Sakhāwī

6

Kematangan struktur epistemologis dalam bagan kajian sanad inilah yang kemungkinan besar mengalihkan perhatian para muhaddis kepada satu unsur penting lainnya yakni matan hadis. Upaya-upaya pensyarahan dan pembentukan metode pemahaman yang sudah digagas di abad-abad sebelumnya, kemudian dilanjutkan dan dipermatang di abad 4 H hingga 7 H. Para muhaddis memiliki kesadaran yang sangat kuat bahwa soal pemaknaan dan pemahaman teks adalah ruang dikursus yang tidak akan pernah selesai dibahas dan diperdebatkan. Dalam konteks semacam inilah para ulama hadis kemudian mengalihkan perhatiannya kepada persoalan substansi dan pemahaman hadis. Makna dan teks adalah sumber mata air yang tak akan pernah kering, yang secara tidak langsung juga menjadi sumber permasalahan yang tak akan pernah selesai. Hadis selalu akan dibaca dari paradigma dan subyektifitas pembacanya. Faktor-faktor yang lahir dari situasi sosiologis dan kondisi etno-antropologis memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk paradigma seseorang ketika membaca hadis. Di titik inilah kemudian para pensyarah hadis menemukan momentum diskursifnya. Tradisi dan kerja-kerja pensyarahan hadis semacam itu ternyata menyumbang fungsi dan memegang peranan yang cukup krusial dalam proses pembelajaran hadis, berikut juga perkembangan Islam di belahan dunia lainnya, termasuk di Nusantara. Hasil-hasil syarah hadis membantu para pendakwah untuk memperkenalkan Islam melalui substansi ajaran dan pesan-pesan keagamaan tanpa harus terlalu ketat menampilkan nuansa yang ritualistik dan teoritik. Strategi ini dibutuhkan mengingat agama, keyakinan dan kultur masyarakat Nusantara sebelum datangnya Islam sangat beragam. Ketika Islam ingin diterima, ia harus ditampakkan sebagai substansi dan universalitas ajaran, bukan parsialitas, eksklusifitas dan hal-hal yang terlalu teoritis. Maka tidak mengherankan jika mulai abad 17, hadis dan ilmu hadis diperkenalkan dan mulai ditradisikan oleh para ulama dalam bentuk kerja-kerja mensyarah hadis. Al-Ranirī dan Hidāyah al-Ḥabīb adalah satu dokumen yang menunjukkan itu.18 Selain Hidāyah al-Ḥabīb, kitab-kitab hadis Nusantara yang pertama muncul hampir seluruh mengambil format syarah hadis. Pun misalnya di abad-abad setelahnya sampai Baḥr al-Mādhī muncul, format syarah adalah format favorit yang menusuk langsung ke jantung problematika kenusantaraan. Kitab-kitab hadis yang muncul di abad 17 sampai abad 18 sedikit banyak mewakili sebuah gambaran karakter wacana keberagamaan yang dibangun oleh para ulama Nusantara. Satu model keberagamaan yang moderat,

(902 H.), Tadrīb al-Rāwī fī Sharh Taqrīb al-Nawāwī, karya Jalaluddīn al-Suyūṭī (911 H.) dan lainnya. 18 Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri”, h. 47.

7

akomodatif, sufistik dan ramah budaya. Tidak ada misalnya, upaya untuk membenturkan agama dan budaya di masa-masa awal kedatangan Islam. Namun di abad 19 semuanya mulai bergeser. Beberapa faktor turut menyumbang peran dalam munculnya satu wacana keberagamaan baru yang dominan; kolonialisme, orientalisme pengetahuan dan ideologi puritanisme, adalah tiga hal yang saling berkait dan bertali. Ketika wacana keagamaan berubah, maka studi dan arah kajian hadis pun berubah. Di tangan Sayyid Usman, hadis-hadis bidah mulai diperkenalkan.19 Dan melalui hadis, agama menemukan titik kontradiksinya dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat. Dalam situasi semacam ini, hadis menemukan fungsi kedua yang bertolak belakang dari fungsi pertamanya. Di abad selanjutnya, Baḥr al-Mādhī muncul dan lahir dalam keterbelahan problem wacana keagamaan meskipun sudah dianggap matang.20 Di satu sisi wacana keagamaan diambil alih oleh kelompok puritan, di sisi yang lain ada kelompok yang masih bertahan dengan karakter sufistik dan mendaku Islam sebagai agama rakyat serta kebudayaan. Lalu pertanyaannya, di mana posisi Baḥr al-Mādhī? Ini pertanyaan kesekian yang membuat Baḥr al-Mādhī penting dikaji. Jawaban dari pertanyaan tersebut, dengan kata lain, akan ditemukan dalam bilah-bilah huruf dan kalimat kitab Baḥr al-Mādhī. Sebagai sebuah dokumen sejarah dan teks, Baḥr al-Mādhī membekap nuansa wacana dan menyimpan banyak cerita. Penelitian ini pun diangkat bukan hanya untuk melakukan telaah terhadap Baḥr al-Mādhī an sich, tapi juga menjadikannya jendela untuk melihat satu formasi diskursif yang lebih luas. Selain itu, sebagai sebuah kitab syarah, Baḥr al-Mādhī punya cara yang unik dalam menjelaskan hadis dan memperlihatkan proses vernakularisasi. Dalam setiap kesempatan dan permulaan pembahasan, al-Marbawi selalu mengatakan “ketauhilah kiranya wahai saudaraku”, “ya saudaraku” dan bahasa ajakan lainnya.21 Syarah interaktif yang melibatkan pembaca bukan sebagai obyek pasif akan sulit ditemukan dalam kitab-kitab syarah hadis klasik yang lahir dari konteks Arab-Islam. Al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī

19 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995), h. 22. 20 Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia- Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara , 2017), kata pengantar. 21 Muhammad Idrīs al-Marbawī, Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bāb al-Ḥalabī, 1353 H/1933 M), j. 1, h. 3. Model syarah interaktif seperti ini terulang setiap kali al- Marbawi memulai satu bahasan.

8

menjadikan pembaca sebagai subyek aktif yang terlibat dalam perbincangan dan perdebatan panjang mengenai maksud sebuah hadis. Ajakan tersebut juga membuktikan satu resapan lokalitas kenusantaraan yang terangkum dalam nilai-nilai komunalitas yang sosialis. Menganggap pembaca sebagai saudara, meskipun ia tak kenal siapa pembacanya, adalah gambaran abstrak bagaimana karakter kenusantaraan yang guyub, rukun dan bhineka itu benar-benar tampak. Al-Marbawī dan Baḥr al- Mādhī, melalui model syarah interaktif dan pilihan simbol personifikasi “saudara”-nya untuk disematkan kepada para pembacanya adalah strategi kultural yang sangat kental dengan aroma lokalitas pensyarahan. Melalui kenyataan-kenyataan semacam ini, samar-samar muncul sebuah gambaran bahwa fenomena pensyarahan hadis di Nusantara sebenarnya mengalami “keterputusan epistemologis”22 dengan tradisi pensyarahan hadis di Timur-Tengah. Ada upaya vernakularisasi, lokalisasi dan subyektifikasi dalam proses pensyarahan hadis di Nusantara. Seorang shārih tidak hanya masuk dan berupaya untuk menjelaskan kandungan makna atau substansi redaksi hadis yang ada. Sang shārih juga menyusupkan subyektifitas dan kesadarannya sebagai orang Nusantara dalam upaya menjelaskan hadis tersebut. Di sinilah Baḥr al-Mādhī, untuk kesekian kalinya menemukan momentum diskursifnya. Berdasarkan beberapa asumsi, telaah dan temuan-temuan itulah, penelitian berjudul “Vernakularitas Tekstual dalam Pensyarahan Hadis di Nusantara Abad 20: Studi Atas Kitab Baḥr al-Mādhī ini penting dilakukan.

B. Ruang Lingkup Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari judul yang diangkat dalam tesis ini, akan muncul beberapa ruang permasalahan yang seluruhnya saling berkaitan dan melengkapi serta sangat layak untuk diteruskan menjadi satu kerja penelitian tersendiri. Kajian tentang peta perkembangan kajian hadis di Nusantara merupakan sumber permasalahan pertama yang belum tuntas hingga hari ini. Naskah-naskah kitab hadis Nusantara yang berhasil dicatat hanyalah sebagian kecil dari kemungkinan adanya jejaring literasi hadis yang lebih besar yang berkembang sejak abad 17 M. Menurut Oman Fathurrahman, Nusantara adalah peradaban yang memiliki kekuatan literasi sejak lama. Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul banyak sekali skriptorium yang tersebar di

22 Istilah ini (al-qaṭī’ah al-ibistimūlūjiyah) adopsi dari Muhammad ‘Ābid al- Jābirī ketika menjelaskan pola relasional antara subyek-obyek yang teralihkan atau terputus karena adanya skema problematika yang berbeda di antara keduanya. Baca: Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al- Falsafī. (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 20.

9

berbagai wilayah di Indonesia.23 Mencari, mengumpulkan dan mendata jejaring naskah-naskah hadis ini merupakan persoalan utama mengapa sampai hari ini perkembangan kajian hadis di Nusantara belum terpetakan secara rinci dan akurat. Penelitian parsial terhadap naskah-naskah itu pun juga memiliki nilai urgensitas yang sama berharganya sebagaimana layaknya penelitian secara bibliografis. Bukan hanya materil teks tentunya yang hendak ditangkap dari naskah-naskah tersebut. Tapi lebih jauh, kondisi dan situasi apa yang terwakili dan terekam dalam naskah tersebut yang menceritakan banyak hal tentang perkembangan kajian keislaman, kebudayaan dan geliat peradaban di Nusantara. Teks, sebagaimana kata Ricoueur, adalah bentuk final dari sebuah diskursus.24 Artinya, teks dan naskah adalah perwajahan paling total kalau ingin melihat diskursus yang tengah berkembang di masa itu. Proses islamisasi di Nusantara tidak mengambil satu bentuk tunggal. Ada pertalian faktor dan problematika yang berjalin-kelindan. Budaya, tradisi, , kolonialisme, sentuhan- sentuhan trans-rasial dan faktor lainnya turut membentuk pola keberagamaan dan keberislaman di Nusantara. Menarik naskah ke dalam jejaring problematika semacam ini juga tak kalah penting. Kita ambil misalnya kasus Islam dan Kolonialisme. Ada kebijakan besar yang diambil oleh pemerintah kolonial di abad 19 M untuk merubah kesan dan perwajahan kompeni yang selama ini selalu negatif. Pemberontakan yang diinisiasi oleh kelompok tarekat di abad-abad sebelumnya membuktikan bahwa nilai-nilai keislaman adalah sumber dari gerakan antikolonialisme. Perubahan kebijakan inipun juga berdampak dalam pola interaksi dan penyikapan Islam terhadap

23 Ceramah Prof. Dr. Oman Fathurrahman dalam Kelas “Indonesia Philology and Islamic Studies” di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu 13 Maret 2019, 08.00 – 10.00 WIB. 24 Kata Paul Ricoeur, “A text is any discourse fixed by writing… With written discourse, the author’s intention and the meaning of the text cease to coincide. This dissocation of ther verbal meaning of the text and the mental intention is what is really at stake in the inscription of discource. Not that we can conceive of a text without an author; the tie between the speaker and the discourse is not abolished, but distended and complicated. The dissocation of the meaning and the intention is still an adventure of the reference of discourse to the speaking subject. But the text’s career escapes the finite horizon lived by the author. What the text says now matters more than what the author meant to say.” Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, John B. Thompson (terj.) (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), h. 145; 200-201.

10

kolonial.25 Keterkaitan Islam dengan kolonialisme dan politik pergerakan pada akhirnya juga akan berdampak pada penggunaan al-Quran dan hadis sebagai basis legitimasinya. Jika dibandingkan antara naskah hadis di Nusantara sebelum dan sesudah abad 19 M, kemungkinan besar ia akan memperlihatkan perbedaan motif dan formasi sesuai dengan tekanan diskursus yang sedang bergejolak. Fenomena pensyarahan hadis di Nusantara juga masih menyimpan banyak permasalahan. Meskipun sudah ada beberapa penelitian yang bergerak untuk mengkaji hal tersebut, tapi ruang ini masih menyisakan banyak naskah yang belum disentuh dan dikaji secara analitik. Seperti misalnya kenyataan masih sepinya penelitian terhadap kitab Baḥr al-Mādhī padahal ia adalah 22 jilid kitab syarah hadis Nusantara ditulis di puncak kematangan diskursus hadis di Nusantara. Dengan sumber data tekstual sebanyak 22 jilid, tentu akan sulit jika ia harus diselesaikan oleh satu kerja penelitian. Ada banyak hal yang sebenarnya bisa disaring dari kekayaan data tekstual Baḥr al-Mādhī; metode pensyarahan, format penyajian, lokalitas dan paradigma kenusantaraan dalam menjelaskan hadis. Belum lagi jika yang mengalihkan tilikannya pada kajian sanad; bagaimana cara Baḥr al-Mādhī mengidentifikasi perawi, menjelaskan statusnya dan seterusnya.

2. Rumusan Masalah Dari identifikasi tersebut, pertanyaan utama yang akan diangkat oleh tesis ini adalah “Bagaimana momentum vernakularitas dalam pensyarahan hadis Baḥr al-Mādhī menggambarkan peta wacana sosial-keagamaan di Nusantara abad 20?” Pertanyaaan ini akan melahirkan pertanyaan susulan, yaitu:

25 Kasus Sayyid Usman adalah contoh terbaik untuk melihat ambiguitas ini. Ada peneliti yang mengatakan Sayyid Usman pro kolonial, ada juga yang mengatakan sebenarnya Sayyid Usman kotra kolonial. Perdebatan tersebut terlihat dalam beberapa hasil penelitian berikut: Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985); Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995); Ahmad Athoillah, Pandangan Sayyid Usman bin Yahya al-Alawi Penasihat Kehormatan Bangsa Arab Terhadap Kehidupan Masyarakat Arab di Jakarta 1870-1914-an (Tesis: Universitas Gajah Mada, 2015); Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017) dan Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016), khususnya di halaman 267-283 dan 341-372.

11

a. Bagaimana aspek lokalitas dan subyektifitas kenusantaraan berdampak dalam kerja vernakularisasi pensyarahan hadis di dalam kitab Baḥr al-Mādhī? b. Formasi diskursus semacam apa membentuk sekaligus direspons oleh teks Baḥr al-Mādhī? c. Lalu di mana dan bagaimana posisi al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī dalam konstelasi wacana tersebut? Seluruh pertanyaan tersebut akan saling melengkapi dan menjawab satu dengan lainnya.

3. Pembatasan Masalah Dari beberapa masalah yang telah teridentifikasi di atas, maka diperlukan satu batasan masalah guna menjaga fokus penelitian ini pada satu pembahasan tertentu. Penelitian ini fokus pada isi dan seluk beluk dalam kitab Baḥr al-Mādhī karya al-Marbawi. Yang ingin ditangkap adalah sisi lokalitas dan gaya kitab ini mentransformasi teks-teks hadis Nabi agar sesuai dengan kontur problematika di Nusantara. Dengan menggunakan Melayu-Pegon sebagai media bahasa, kitab ini sangat kental dengan aroma keindonesiaan dan kenusantaraannya. Lalu, apakah dampak krusial dari lokalitas kenusantaraan yang ditampilkan al-Marbawi tersebut dalam kerjanya memahami hadis? Pertanyaan ini juga akan coba dijawab dalam penelitian kali ini. Selain itu, untuk memperjelas fokus penelitian, tema seputar perdebatan agama via a vis tradisi akan diangkat sebagai kerangka permasalahan untuk melihat bagaimana Baḥr al-Mādhī merespons melalui aspek lokalitasnya. Permasalahan agama via a vis tradisi, di abad XX menjadi tema sentra setelah Sayyid Usman mulai memperkenalkan hadis-hadis bidah di Indonesia. Cara pandang keagamaan, dengan mengusung hadis-hadis tersebut, secara tidak langsung membentuk satu konstelasi baru tempat agama dan tradisi diperhadapkan. Dengan kata lain, kenyataan bahwa Baḥr al-Mādhī ditulis pada abad XX melahirkan semacam asumsi bahwa ia juga akan menyinggung persoalan tersebut. Lebih spesifik, pertarungan dua dimensi tersebut akan dilihat dalam bentuk akumulasi simboliknya, yaitu perebutan makna sunnah dan bidah. Selain itu, hadis-hadis yang dianggap mewakili satu pandangan mengenai agama, tradisi, kebudayaan dan lain sebagainya akan turut dijadikan bahan untuk mempertegas formasi diskursif yang terbentuk dalam Baḥr al-Mādhī. Seluruh kajian dalam penelitian ini, dengan demikian, disandarkan sebagian besarnya pada 22 jilid kitab Baḥr al-Mādhī

12

Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī karya Muhammad Idrīs al-Marbawī yang tercetak dalam 11 bendel jilid terbitan Musṭafā al-Bāb al-Ḥalabī Mesir.

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan bukan hanya untuk mengapresiasi sebuah karya agung dalam studi hadis, namun juga bermaksud untuk mengetahui dan menggambarkan formasi diskursif, utamanya hadis, di Nusantara abad 20 melalui data tekstual yang disajikan oleh Baḥr al-Mādhī. Penelitian ini juga hendak memperjelas kekhasan, karakteristik dan proses vernakularisasi yang terjadi secara tekstual dalam kitab syarah hadis beraksara pegon dan berbahasa Melayu yang ditulis oleh ulama Nusantara, yang lantas menjadikannya berbeda dengan kitab-kitab syarah hadis yang ditulis dalam konteks Timur-Tengah.

D. Signifikansi Penelitian Penelitian ini memiliki signifikansi bukan hanya soal mengetahui perkembangan kajian hadis di Indonesia, tapi juga menggambarkan formasi diskursif yang melatarbelakanginya sekaligus bentuk dialog yang terjadi antara hadis sebagai teks dan obyek dengan orang Nusantara sebagai pembaca, pensyarah dan subyeknya. Dari situ, penelitian pun memiliki nilai manfaat dan kontribusi dalam memperluas jangkauan penelitian seputar perkembangan hadis di Nusantara, memperkaya sekaligus mengangkat kembali data-data tekstual yang lahir dari rahim ke-Nusantaraan kita. Maka kalau hari ini cendekiawan Nusantara hendak menunjukkan ragam format artikulasi Islam di Nusantara sebagai poros utama penggerak nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin, maka penelitian ini melegitimasinya dengan satu dokumen bernama Baḥr al-Mādhī. Bagaimana sebuah kitab hadis yang ditulis dalam Bahasa Melayu dan Aksara Pegon dicetak, disebarkan, mengintervensi dan menjadi sumber inspirasi serta bahan bacaan di pasar pembaca internasional.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian ini memiliki keterkaitan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Secara umum, persinggungan tersebut bisa dipetakan ke dalam tiga titik; 1) persinggungan dengan penelitian-penelitian yang mengangkat topik perkembangan kajian hadis di Nusantara, 2) persinggungan dengan penelitian-penelitian yang mengangkat topik tentang syarah hadis, baik dalam konteks Arab-Islam maupun konteks Nusantara dan 3) persinggungan dengan penelitian yang fokus pada kajian atas kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī karya Muhammad Idrīs al-Marbawī. Titik singgung pertama. Ada banyak sekali sebenarnya penelitian yang sudah dilakukan terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia. Azyumardi

13

Azra dalam karya monumentalnya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Abad XVII dan XVIII26 menjadi rujukan induk penelitian-penelitian terkait hal itu. Hanya saja, dalam buku ini, Azra hanya mengungkit soal perkembangan kajian hadis sebagai data sekunder untuk menunjukkan keterkaitan dan keterjalinan jaringan ulama Nusantara dengan para ulama di Timur Tengah. Jadi secara spesifik, tidak ada kajian mendalam terkait topik peta perkembangan kajian hadis maupun terkait satu naskah hadis tertentu. Dalam penelitiannya, Azra tercatat hanya menyebut beberapa kitab hadis saja, antara lain: Hidāyah al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Nūr al-Dīn al-Ranirī, Hadīth Arba’īn dan al-Mawā’iẓ al-Badī’ah karya ‘Abd al- Ra’ūf al-Sinkilī, dan Lubāb Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya ‘Abd al-Ṣamad al- Palimbānī. Penyebutan nama-nama kitab ini digunakan dalam konteks untuk menunjukkan eksistensi jaringan keilmuan tersebut. Jadi memang tidak ada ulasan spesifik mengenai kajian hadis di Nusantara, apalagi menyebut Baḥr al- Mādhī, karena memang lingkup penelitiannya tidak sampai abad 20 M.27 Oman Fathurrahman bisa dikatakan adalah salah satu pionir yang mulai fokus pada topik perkembangan kajian hadis di Nusantara. Dalam artikel yang ditulisnya untuk mengkaji kitab Hidāyat al-Ḥabīb karya Nūr al-Dīn al-Ranirī itu, Oman juga memberikan sub-bab khusus yang menyantumkan hampir 16 nama kitab hadis yang ditulis secara periodik sejak abad 17 M.28 Menurutnya, berdasarkan data fisik berupa keberadaan naskah-naskah hadis, akar kajian hadis di Nusantara sebenarnya sudah kuat dan mapan. Menurut Oman, kitab dan ulama hadis pionir yang memulai itu adalah Nūr al-Dīn al-Ranirī melalui kitabnya Hidāyah al-Ḥabīb. Hidāyah al-Ḥabīb sendiri merupakan kitab al-Tarhīb wa al-Targhīb yang memuat beragam hadis yang diambil dari kitab-kitab induk hadis. Ada hampir 800 hadis yang dicantumkan oleh Nūr al-Dīn al-Ranirī untuk membahas banyak tema. Kitab kompilasi hadis semacam ini mirip dengan Riyāḍ al-Ṣālihīn karya al-Nawāwī, Lubāb al-Hadīth karya al-Suyūṭī atau kitab-kitab Arba’īnāt. Agak sulit menentukan kadar perkembangan keilmuan hadis di Nusantara melalui kitab-kitab tersebut, karena: 1) yang ditekankan di dalamnya hanya penyantuman redaksi hadis tanpa menyebutkan kelengkapan rantai periwayatan dan 2) kurangnya data tekstual karena ia seringkali hanya menyantumkan hadis tanpa menjelaskan subtansi kandungannya. Oleh karena itu, untuk tujuan memastikan akar kajian dan tradisi penulisan, Hidāyat al-Ḥabīb memang harus dijadikan obyek karena ia termasuk

26 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana Pustaka Prenada Media Group, 2013). 27 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, h. 235, 260-261, 118. 28 Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol. 19, no. 1, 2012.

14

yang paling tua di antara naskah-naskah hadis yang ada. Namun untuk menangkap volume keilmuan hadis, kitab-kitab syarah lebih bisa dimanfaatkan. Pertama karena ia lahir dari kematangan diskursus kajian hadis, kedua karena ia cenderung menyediakan ruang yang lebih untuk pensyarah dalam mengeksplor pengetahuannya di bidang hadis. Di sinilah letak kesenjangan antara kajian yang diangkat Oman dengan penelitian ini. Howard Federspiel juga melakukan penelitian terkait literatur-literatur hadis di Indonesia abad 20 M.29 Menurutnya, abad 20 adalah satu momentum ketika lokalitas mengambil peran sebagai media bahasa dan paradigma untuk memahami hadis secara khusus, dan memahami Islam dalam konteks kenusantaraan secara umum. Vernakularitas semacam ini yang ditengarai Federspiel menjadi pemicu bagi peralihan model penulisan literatur hadis di Indonesia hingga abad 21 M. Namun sayangnya, untuk menunjukkan fenomena vernakularitas literatur tersebut, Federspiel hanya mengukurnya dari fenomena kemunculan terjemahan kitab hadis yang mulai marak di abad 20. Menurutnya, buku-buku terjemahan adalah dokumen yang secara implisit merekam peralihan dimensi dalam pemaknaan hadis. Federspiel memahami tubrukan dimensional hanya sebatas peralihan bahasa dari Arab ke Indonesia saja. Padahal kalau mau diperluas, naskah-naskah hadis Nusantara, baik yang ditulis dengan bahasa Arab ataupun Melayu, baik yang disajikan dengan aksara Arab, Pegon maupun Jawi, sama-sama memiliki unsur lokalitas yang menjadi distingsi dari kitab- kitab serupa yang ditulis dalam konteks Arab maupun Timur-Tengah. Maka bisa dimaklumi kemudian ketika tidak ditemukan Baḥr al-Mādhī dalam penelitian Federspiel, atau kitab-kitab hadis beraksara pegon lainnya. Penelitian ini memiliki jangkauan yang lebih luas dalam melihat fenomena vernakularitas literatur tersebut dan menarik makna subyektifitas maupun lokalitas ke dalam ruang diskursus yang lebih abstrak. Mungkin saja sebuah kitab syarah hadis Nusantara ditulis dengan Bahasa Arab, tapi tak bisa dipungkiri bahwasanya akan banyak ditemukan tanaman nilai-nilai lokalitas dari penjelasannya terhadap sebuah hadis. Pekerjaan dalam tesis ini dipermudah mengingat Baḥr al-Mādhī menggunakan Bahasa Melayu dan Aksara Pegon sebagai medianya. Aroma lokalitas akan lebih terpampang dan terlihat lebih konkret. Selain itu ada juga Daud Rasyid Harun yang menulis disertasi tahun 1996 berjudul Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah”.30 Disertasi doktoral

29 Howard Federspiel, “Hadith Literature In Twentieth Centurty Indonesia” dalam Oriente Moderno, Nouva Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam (2002). 30 Dawūd Rāshid Hārūn, Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah, Risālah Muqaddimah li-Nayli al-Darajah al-Duktūrah fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah (Jāmi’ah al- Qāhirah, 1996).

15

yang berhasil dipertahankan di Jami’ah al-Qahirah ini meyajikan banyak hal terkait usaha dan upaya ulama Indonesia dalam perkembangan kajian hadis secara khusus, dan menghidupkan sunnah secara umum. Keluasan tema dan ruang lingkup pembahasan dalam disertasi ini justru menjadi kekurangan karena ia tidak memberikan ruang yang lebih luas untuk melakukan eksplorasi terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia secara spesifik. Titik singgung kedua. Sementara, buku yang secara kompeherensif membahas seluk beluk mengenai syarah hadis mungkin adalah Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer yang ditulis oleh M. Alfatih Suryadilaga.31 Namun, sebagaimana namanya, buku terseb membahas seluruh syarah-syarah hadis dari periode klasik sampai kontemporer dan tidak terfokus pada kitab-kitab syarah hadis Nusantara. Selain buku tersebut, karya akademik yang termasuk paling awal memulai babatan kajian syarah hadis dalam konteks keindonesiaan adalah tesis yang ditulis oleh Muhammad Tasrif tahun 2002. Meskipun tak implisit menyantumkan kalimat syarah hadis di judul tesisnya, penelitian berjudul Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan Pendekatan Pemahaman Terhadapnya32 ini sejatinya memiliki obyek penelitian layaknya syarah hadis. Dalam Tesisnya, Tasrif fokus untuk menentukan kedudukan hadis dan pembentukan hukum Islam di Indonesia. Tasrif juga menjelaskan metode dan pendekatan pemahaman hadis yang selama ini teraplikasi dalam beberapa karya. Sayangnya, tesis yang ditulisnya di Yogyakarta ini hanya membatasi diri pada karya-karya yang terbit pasca kemerdekaan. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2007, Muhammad Mustaqim M. Zarif menulis kajian yang lebih terfokus pada syarah hadis.33 Disertasi yang ditulisnya itu mengangkat dua syarah hadis yang ditulis oleh ulama Nusantara atas kitab Lubāb al-Hadīth karya al-Suyūṭī. Kedua naskah tersebut adalah kitab Tanqīh al-Qawl al-Hathīth karya Nawāwī al-Bantānī dan Kitab al-Jawhar al-Mawhūb karya Wan ‘Alī ibn ‘Abd al-Raḥman Kutan al- Kelantanī. Zarif melakukan perbadingan terhadap dua kitab syarah Lubāb al- Hadīth tersebut dan mencari distingsi di antara keduanya.

31 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Suka-Press UIN , 2012). 32 Muhammad Tasrif, Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan Pendekatan Pemahaman Terhadapnya (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002). 33 Muhammad Mustaqim M. Zarif, Jawah Hadis Scholarship in The Nineteenth Centur: A Comparative Study of The Adaptions of Lubab al-Hadis Composed by Nawawi (d. 1314/1897) and Wan ‘Ali of Kelantan (d. 1331/1913) (Edinburgh: University of Edinburgh, 2007).

16

Menapaki tahun 2010 ke belakang, kajian seputar kitab hadis nusantara mulai marak. Semisal tesis yang ditulis oleh Munirah di tahun 2015, yang berjudul Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20. Dalam tesisnya ini, Munirah melakukan studi terhadap dua kitab, yaitu: al-Khil’ah al-Fikriyyah Sharh al-Minḥah al-Khayriyyah karya Muhammad Mahfūẓ al-Tarmasī dan Tabyīn al-Rāwī Sharh Arba’īn Nawāwī karya Kashf al-Anwār al-Banjarī.34 Yang hendak dilacak oleh Munirah dari kedua kitab tersebut adalah metodologi syarah apa yang digunakan oleh para ulama hadis nusantara di awal abad 20. Sedangkan di tahun 2017, Shofiatun Nikmah juga melakukan penelitian serupa dengan mengangkat studi terhadap kitab Miṣbāh al-Ẓalām Sharh Bulūgh al- Marām karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary. Kitab yang ditulis pada akhir abad 20 M ini digunakan sebagai obyek kajian untuk mengetahui peta perkembangan syarah hadis di Indonesia pada akhir abad 20 M.35 Dari seluruh penelitian tersebut, distingsi yang paling jelas, yang membedakannya dengan penelitian kali ini adalah soal obyek penelitian, materil kitabnya dan format analisisnya. Kalau diperhatikan, hampir seluruh kajian terdahulu hanya fokus pada usaha mengukur metodologi pensyarahan di dalam kitab-kitab hadis Nusantara yang ditelitinya. Dan hampir seluruhnya akan terjebak dalam kategorisasi terminologis antara taḥlīlī, ijmālī, mawḍū’ī dan muqārin. Cara menganalisa semacam ini sebenarnya sudah harus direvisi, karena tidak bisa seluruh kitab digeneralisir ke dalam beberapa bentuk metodologi yang sudah terkonsep sebelum obyeknya betul-betul diperas. Al-Jabiri mengkritik keras praktek mendahulukan metode sebelum benar-benar mengkaji obyeknya (naw’iyah al-manhaj tuhaddidu ṭabī’ah al-mawdū’). Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah “inna ṭabī’ah al-mawdū’ tuhaddidu naw’iyah al-manhaj” (karakteristik obyek yang menentukan jenis metode dan hipotesis).36 Ketika seluruh kitab syarah hadis digeneralisir ke dalam kategorisasi tersebut, maka sejatinya seorang peneliti telah mengabaikan karakteristik dan kekhasan lain dari kitab tersebut; remah-remah data yang

34 Munirah, Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20: Studi Kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah karya Muhammad Mahfudz al-Tirmasi dan Kitab al-Tabyin al-Rawi Syarh Arba’in Nawawi karya Kasyf al-Anwar al-Banjari (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya 2015). 35 Shofiatun Nikmah, Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia Akhir Abad XX: Studi Kitab Misbah al-Zolam Sharh Bulugh al-Maram karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary (Tesis UIN Surabaya, 2017). 36 Model relasi subyek-obyek ini kemudian dirinci lagi oleh al-Jābirī. Menurutnya, metodologi, apapun itu, memiliki tiga irisan; al-ṭarīqah, al-mabādi’ dan al-mafāḥim. Bagi al-Jābirī, yang harus terus menerus disesuaikan dengan karakter obyek adalah irisan al-mafāḥim. Baca: Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Aql al-Siyāsi al- Arabī: Muhaddidātuhu wa Tajliyātuhu, cet. III (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al- ‘Arabiyyah, 1995), h. 8.

17

sebenarnya dicari dan bisa menjadi data penting untuk menunjukkan distingsi kajian. Karena itu, dalam penelitian ini, data-data yang tampak minor tetap akan didaku sebagai indikator bagi kekhasan dan keunikan vernakular. Titik singgung ketiga. Sebelumnya sudah diungkap, bahwa ada beberapa artikel yang sudah terbit yang mengkaji Baḥr al-Mādhī. Mayoritas peneliti Baḥr al-Mādhī sementara ini dilakukan oleh peneliti Malaysia. Hal ini lumrah mengingat Muhammad Idris al-Marbawi adalah salah seorang ulama besar Malaysia. Al-Marbawi lahir, menghabiskan masa remaja dan meninggal di Lubuk Merbau, Kuala Langsar, Perak, Malaysia.37 Beberapa penelitian tentang Baḥr al-Mādhī yang sudah dilakukan antara lain: Sebuah artikel berjudul Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith Century yang ditulis oleh Latifah Abdul Majid dan Nurullah Kurt terbit tahun 2014.38 Meskipun tidak mengakomodir seluruh kekhasan dalam Baḥr al- Mādhī, artikel ini minimal menambah khazanah penelitian yang mengkaji Baḥr al-Mādhī. Di dalam artikel tersebut, Latifah dan Nurullah hanya mengandaikan nilai fungsional dari Baḥr al-Mādhī yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih praksis. Amatan terhadap unsur aksiologi yang dikandung Baḥr al- Mādhī sah-sah saja, namun ia akan menjadi lompatan reduktif besar jika tidak didasarkan pada kajian mendalam terhadap isi dan seluk-beluk mengenai segala hal yang ada di dalam Baḥr al-Mādhī. Ada juga dua artikel yang ditulis oleh Faisal bin Ahmad Shah, yang berjudul Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: Kontribusinya dalam Fiqh al- Hadis dan Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi. Kedua artikel tersebut masing-masing terbit tahun 2010. 39 Dua artikel yang ditulis Faisal secara parsial tersebut, sedikit banyak telah membuka lahan penelitian yang fokus pada isi dan data tekstual dalam Baḥr al-Mādhī. Dalam kedua artikel itu, Faisal

37 Beberapa artikel yang menulis biografi al-Marbawi, semuanya hampir menyatakan bahwa Lubuk Merbau adalah salah satu lokasi di Kuala Langsar, Perak. Namun berdasarkan penelurusan, al-Marbawi yang dinisbatkan kepada kecamatan Merbau ini juga berlokasi di Kepulauan Meranti, Riau. Namun ini tidak menjadi masalah besar, karena kedua lokasi tersebut masuk dalam wilayah kepulauan Nusantara. 38 Latifah Abdul Majid and Nurullah Kurt, “Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith Century” dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 05, no. 20 (Rome: MCSER Publishing, September 2014). 39 Faisal bin Ahmad Shah, “Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: dalam Fiqh al-Hadis”, dalam MIQOT vol. XXXIV, no. 1, Januari-Juni 2010 dan Faisal bin Ahmad Shah, “Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi” dalam HADIS, vol. 1, no. 1 (Malaysia, Juli 2010).

18

merujuk dan langsung menyajikan data teks dari Baḥr al-Mādhī untuk membuktikan argumentasinya mengenai satu hal. Dia menunjukkan cara al- Marbawi melakukan identifikasi dan kajian atas perawi hadis dengan menyertakan tulisan langsung al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī, begitu juga soal Fiqh al-Hadith. Namun sayangnya Faisal belum menyentuh problem yang lebih epistemologis; ia belum mengungkit soal lokalitas, tindihan subyektifitas yang membentuk konstruksi pensyarahan itu sendiri atau hal-hal lainnya yang berada di luar teks, namun memiliki peranan besar dalam membentuk teks. Selain itu ada juga artikel yang ditulis secara berkelompok, yang terbit tahun 2018 dengan judul Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah.40 Dari judulnya, kita sebenarnya sudah bisa menebak kalau artikel tersebut ditulis dengan keumuman topik dan tema pembahasan. Artikel tersebut seakan-akan ditulis hanya untuk mereka yang ingin tahu siapa al-Marbawi, apa itu Baḥr al-Mādhī dan bagaimana al-Marbawi meninggalkan pengaruh ilmiah dalam iklim pengetahuan di Malaysia. Sebatas itu. Alih-alih mengangkat kajian-kajian yang hendak menangkap sesuatu yang lebih kognitif dan epistemologis, serta ulasan analitik soal teks syarah Baḥr al-Mādhī, penelitian tersebut nampak hanya sebagai pengantar dan ulasan yang hendak memperkenalkan al-Marbawi.

F. Metode dan Pendekatan 1. Metode Pengumpulan Data Sumber data utama bagi penelitian ini adalah 22 jilid kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī yang ditulis oleh Muhammad Idrīs al-Marbawī. Selain itu, untuk memastikan dan melakukan perbandingan, kitab Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī yang menjadi rujukan al-Marbawi dalam menyusun kitabnya juga akan dirujuk sebagai salah satu dokumen kunci. Penelitian ini juga akan menggunakan kitab syarah Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī lainnya untuk membandingkan dan menemukan perbedaan muatan di dalamnya. Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian kualitatif41 yang tergolong dalam metode penelitian kepustakaan (library research). Metode ini juga memungkinkan peneliti untuk melacak

40 Mesbahul Hoque dkk. “Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah” dalam Journal of Hadith Studies, vol. 3, no. 1 (Juni 2018). 41 Secara ringkas penelitian ini bertujuan mengangkis secara substantif muatan data-data yang ada berupa tulisan, ujaran dan pemikiran objek yang diteliti secara deskriptif. Baca: Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 2-7.

19

berbagai dokumen berupa tulisan, ujaran, catatan, komentar dan berbagai dokumen lainnya.42

2. Metode Olah Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-komparatif-analitis. Sebagai tool of analysis data, penelitian ini menggunakan analisis wacana dan teori pembacaan yang dikembangkan Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī (w. 2010 M). Hal ini dimaksudkan untuk menganalisa secara jernih strategi yang dipakai guna memperjelas posisi Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī sebagai satu percikan pemikiran yang memendar lalu sampai pada kesimpulan nalar diskursus kritik hadis. Dalam lokus analisa Jabirian, al-Marbawi dan karyanya tidak diposisikan sebagai satu independensi pemikiran seseorang, namun sebagai fenomena pemikiran (ẓāhirah fikriyyah).43 Analisa wacana kritis yang dikembangkan oleh al-Jābirī menyentuh tiga lapis analisa44: analisa struktural, analisa kesejarahan dan kritik ideologi. Dalam lapis analisa pertama, menurut al-Jābirī, hal yang mesti dilakukan adalah: 1) melakukan pembacaan intertekstual, 2) melakukan kategorisasi cara pengungkapan yang digunakan. Pada lapis pertama ini, Baḥr al- Mādhī akan dibaca secara kritis, dari hadis pertama hinga hadis terakhir dengan tujuan mencari format kata, kalimat dan susunan bahasa yang menjadi ciri berbahasa al-Marbawi. Dengan apa yang telah dilakukan pada bab III penelitian ini (tentang sejarah, biodata kedirian al-Marbawi), secara tidak langsung penelitian telah menganalisa lapis kedua yaitu analisa kesejarahan. Kemungkinan-kemungkinan sejarah yang muncul dari pelacakan bio-georgafis diri al-Marbawi, menurut al-Jābirī, akan memperlihatkan kandungan teks Baḥr al-Mādhī, baik yang terkatakan maupun yang tak terkatakan. Lapis terakhir adalah melakukan kritik ideologi: yaitu menyingkap faktor ideologis yang didorong oleh konteks sosio- politik di masa al-Marbawi hidup. Analisa terhadap lapis ini bertujuan untuk menangkap alasan dan misi untuk apa Baḥr al- Mādhī ditulis.

42 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 135. 43 Muhammad ‘Ābīd al-Jābirī, al-Turāth wa-al-Hadāthah, Dirāsāt wa- Munāqashāt (Bayrut: Markaz Dirāsāt al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1999 M.), h.168-169. 44 Seluruh bahasan ini bisa dilihat dalam: Muhammad ‘Ābīd al-Jābirī, Nahnu wa al-Turāth, h. 24.

20

3. Pendekatan Untuk mematangkan kajian dalam tesis ini, pendekatan filologi dan sejarah akan digunakan sebagai alat bantu analisa. Filologi menyediakan alat untuk mengidentifikasi materil naskah yang dijadikan sumber acuan. Kajian-kajian filologis yang sudah dilakukan atas naskah-naskah hadis Nusantara juga menyediakan data berbentuk peta dan genealogi yang terkait dengan tradisi penulisan kitab hadis, ulama hadis maupun keilmuan hadis di Nusantara. Sedangkan pendekatan sejarah memungkinkan penelitian ini untuk menempatkan Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan al-Marbawi ke ruang historisitasnya, bukan hanya sebagai bagian dari diskursus besar kajian hadis atau kajian keislaman di Nusantara, namun juga meletakkannya dalam historisitas kenusantaraannya yang dibentuk dari jejaring problematika yang variatif dan berwarna. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu memperlihatkan pertalian Baḥr al- Mādhī dengan konteks sosio-antropologis kehidupan masyarakat nusantara yang diwakilinya. Pendekatan sejarah semacam ini lebih dikenal dengan pendekatan “wacana sejarah”. Pendekatan wacana atau juga dikenal dengan analisis wacana adalah model penelitian yang menempatkan teks (dokumen) sebagai representasi dari sebuah pemikiran yang mampu mempengaruhi khalayak, bukan dengan kekerasan tetapi secara halus dan diterima sebagai kebenaran.45 Dengan demikian, teks (dokumen) merupakan konstruk sebuah pemikiran ideo-politis dan sekaligus menjadi sarana perjuangan itu sendiri. Pendekatan ini disebut wacana sejarah atau historis karena menyertakan konteks sejarah suatu kelompok.46 Dalam konteks perkembangan dan arah kajian hadis di Indonesia, kitab Baḥr al- Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan seluruh karya yang memuat lokalitas kenusantaraan mengukuhkan sebuah bentuk epistem dari diskursus hadis Indonesia yang total dan mobil. Karena objek kajiannya adalah sebuah kitab yang dikarang oleh seorang tokoh di masanya, pada dasarnya penelitian ini juga beraroma biografis (sebagaimana yang nanti akan terlihat di bab III penelitian ini). Akan tetapi, karena yang hendak disisir adalah mā

45 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, cet. VIII (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 14. 46 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 17.

21

ḥaula al-naṣ, maka pendekatan yang dimaksudkan di sini adalah sejarah pemikiran.47 Selain itu, penelitian ini juga akan menimba pendekatan semiologi Barthesian. Pendekatan ini akan difungsikan sebagai kerangka level semiotis dalam teks yang akan dipakai sebagai acuan untuk menunjukkan level-level vernakularitas dalam Baḥr al-Mādhī.

G. Teknik Penulisan Sebagai pedoman penulisan tesis ini, buku pedoman penulisan tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta48 akan digunakan sebagai acuan. Untuk pedoman transliterasi, penelitian ini menggunakan model transliterasi “Romanisasi Standar Bahasa Arab” yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 oleh America Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).

H. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dimulai dari bab pertama yang menjelaskan latar belakang, permasalahan, perdebatan akademik yang meliputinya dan signifikansi penelitian, baik dalam tataran akademis maupun praksis. Berikut juga dipaparkan langkah-langkah penelitian yang dilakukan sekaligus teori- teori yang digunakan sebagai pisau analisa untuk mempermudah pembaca memahami alur logika penelitian ini. Bab kedua adalah perbincangan format pewacanaan yang menjadi tirai tempat Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan kitab hadis lainnya dibukukan. Dalam bab ini, pembahasan akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan, “mengapa Baḥr al-Mādhī?” Dengan meletakkannya kembali ke dalam formasi diskursifnya, Baḥr al-Mādhī secara tidak langsung akan menggambarkan satu konstelasi sejarah, khususnya dalam upaya menentukan bentuk perkembangan kajian hadis di Indonesia di abad XX M. Untuk memperjelas posisi historis dan diskursifnya, ada beberapa pembahasan yang juga harus diangkat. Selain membahas sejarah tradisi pensyarahan hadis dan konteks diskursus yang melahirkannya, dalam bab ini secara spesifik juga

47 Kuntowijoyo memberikan batasan tentang Sejarah Pemikiran dengan 3 tugas yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: 1) membicarakan pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh pada kejadian sejarah; 2) membicarakan konteks sejarahnya; 3) pengaruh pemikiran pada masyarakat bawah. Baca: Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 191. Perlu dicatat di sini, bahwa biografi pemikiran yang penulis maksudkan bukan yang bersifat individual, melainkan dengan menempatkan tokoh sebagai lokus pemikiran komunitasnya. 48 Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor (Ciputat: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2018).

22

akan dibahas bentuk interaksi orang Nusantara dengan segenap lokalitas dan subyektifitasnya dengan Islam yang datang dari luar. Maka, lebih spesifik lagi, bab ini juga akan menjabarkan peta diskursus keislaman secara umum, dan wacana hadis secara khusus yang terpola di abas XX M. Bab ketiga adalah pengenalan objek kajian. Dalam bab ini akan diulas secara biografis sosok Muhammad Idris al-Marbawi; siapa, di mana beliau lahir dan tumbuh, dan konteks sosiologis semacam apa yang membentuk kediriannya. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan posisi al-Marbawi dalam jejaring keilmuan ulama Nusantara yang terikat langsung dengan jaringan keilmuan ulama di Timur-Tengah. Selain itu, deskripsi mengenai kitab Baḥr al-Mādhī juga akan diulas, baik terkait informasi seputar fisik kitabnya, maupun hal-hal yang berada di sekitar kemunculan kitab tersebut. Dengan dua bekal ini, penelitian yang sedang dilakukan setidaknya telah memberikan ruang agar objek kajian berbicara mengenai dirinya sendiri; dengan tidak direbahi asumsi-asumsi terlebih dahulu. Bab keempat adalah ruang untuk menyaksikan parodi vernakurisasi tekstual langsung dari teks yang ditulis al-Marbawi dalam kitab Baḥr al-Mādhī. Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penelitian ini semaksimal mungkin akan menangkap proses dialogis dan peralihan paradigma yang dihasilkan dari sentuhan-sentuhan subyektifitas al-Marbawi sebagai orang Nusantara dengan segenap lokalitasnya, dengan teks hadis yang lahir dan terbentuk dari iklim wacana yang berbeda. Metode pensyarahan, corak, pendekatan, sistematika dan teknik penulisan adalah beberapa penampakan-penampakan yang akan tertampil dari proses vernakuralisasi tersebut. Untuk menangkap itu semua, maka model penulisan analisa wacana akan dominan digunakan dalam bab ini; trik analisa yang seolah-olah memposisikan penelitian sebagai penysrah dari kitab Baḥr al-Mādhī dan al-Marbawi. Bab kelima adalah kesimpulan dan penutup. Sebagai karya yang lahir dari upaya alamiah seorang manusia, penelitian ini tentu tidak akan segan- segan membuka ruang dialog berupa kritik dan saran. Bab ini juga akan berisi uraian sederhana mengenai kemungkinan-kemungkinan dan beberapa ruang probabilitas yang mungkin bisa dibabat demi kesempurnaan penelitian dalam cakupan tema yang sama di kemudian hari.

23

BAB II Historisitas Mensyarah Hadis Dan Formasi Diskursif Sosial- Keagamaan di Nusantara Abad 20 M

A. Dialektika Sejarah di Sekitar Perkembangan Syarah Hadis Arab- Islam Teori mengenai sejarah perkembangan syarah hadis dalam Islam selama ini terbatas pada sejarah kronologis dan periodik. Hampir semua sepakat bahwa syarah hadis telah dimulai di masa Nabi dan mengalami masa puncak di abad 6 Hijriyah.49 Namun yang belum dijelaskan, bagaimana sebenarnya sejarah “epistemologi” syarah hadis itu sendiri? Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan di sekitar proses terbentuknya sedimentasi ontologis, epistemologis dan aksiologis di balik kerja mensyarah hadis sebenarnya belum terajukan dan terjawab. Bab ini akan berusaha menjelaskan aspek tersebut guna memperjelas posisi dan diferensiasi yang muncul antara kerja mensyarah hadis dalam konteks Islam-Arab dan konteks Nusantara. Mensyarah hadis sebagai sebuah kerja menjelaskan maksud hadis memang sudah muncul sejak kemunculan hadis itu sendiri.50 Dalam literatur hadis, banyak ditemukan riwayat yang menggambarkan bahwa kegiatan menjelaskan hadis sudah dilakukan oleh Nabi sendiri dan para sahabat. Di masa-masa awal, kerja mensyarah hadis memang murni untuk menjelaskan maksud hadis. tidak ada pretensi maupun tendensi di luar keinginan untuk menangkap maksud dan substansi pesan yang disampaikan Rasulullah SAW. Di fase selanjutnya, karena situasi sosial dan politik yang berubah, mensyarah hadis mendapatkan beban kepentingan tambahan. Pecahnya kelompok Alī dan ‘Aishah menjelang peristiwa tahkim mungkin adalah satu fase yang sangat krusial dalam periode sejarah kegiatan mensyarah hadis. Hadis-hadis yang tersimpan dan terdiamkan di fase sebelumnya seketika muncul ke permukaan untuk melegitimasi satu kondisi politik tertentu. Kepentingan mensyarah hadis-hadis pun pada akhirnya juga bergerak di ruang perebutan klaim doktrinal atas sikap politik yang dipilih.51

49 Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publication, 1977), h. 76; Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, Al-Sunnah Qablā al-Tadwīn (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1981), h. 34; Hasbi Al-Shiddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 133. 50 ‘Abd al-Naṣr Tawfīq al-Athār, Dustūr al-Lammah wa ‘Ulūm al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahhāb, t.t.), h. 71. 51 Ini misalnya yang terjadi kala ‘Aishah dengan rajin mengoreksi hadis-hadis yang berbicara soal kedudukan perempuan. ‘Aishah mungkin sadar, kemunculan hadis- hadis yang mayoritas diriwayatkan oleh Abū Bakrah dan Abū Hurayrah tersebut ditujukan untuk mengikis kedudukan politiknya kala bersitegang dengan Alī dan para

24

Namun yang patut dicatat, dinamika politik yang terjadi di masa Sahabat, meskipun tampak ketat, tidak pernah melibatkan hadis-hadis palsu. Secara tekstual, hadis-hadis yang beredar, utamanya yang dilibatkan sebagai legitimator sikap politik, memang asli datang dari Rasulullah. Namun yang problematis adalah waktu dan momentum hadis-hadis tersebut dimunculkan ke permukaan. Dengan kata lain, hadis-hadis yang beredar asli secara teks, namun palsu secara konteks. Di fase selanjutnya, peristiwa tahkim memegang peranan dalam mengubah format epistemologis di balik kegiatan mensyarah hadis-hadis Nabi. Kegiatan memalsukan hadis marak terjadi di masa Umawiyah. Kebijakan dan strategi politik yang dipilih menjadi faktor utama mengapa kekhalifahan harus didukung penuh secara teologis melalui hadis-hadis Nabi. Kekhalifahan memanfaatkan fanatisme akidah untuk menciptakan status quo kekuasaan, termasuk ketika produk pemahaman teologi Jabariyah muncul sebagai pedoman. Di fase dalam rentang abad pertama hijriyah ini, hadis direproduksi menjadi bulir-bulir konsep teologis sekaligus direformulasi agar sesuai dengan kepentingan teo-politik yang dicanangkan. Ketika hadis-hadis sahih tidak menyediakan bahan untuk itu, maka pilihannya adalah membuat hadis-hadis palsu. Fakta sejarah bahwa produksi hadis-hadis palsu dimulai sejak rezim Umawiyah adalah sesuatu yang tak perlu diulang lagi di sini. Salah satu dampak yang kelak memiliki efek bagi cara pandang terhadap teks adalah munculnya garis diferensiasi epistemik berdasarkan faktor geografi dan demografi. Irak sebagai kota politik dan metropolitan, yang mengedepankan karakteristik rasional dan kontekstual, dinilai sebagai basis pemalsuan hadis dan beredarnya hadis-hadis daif. Sampai-sampai al-Zuhrī berkata, “semua yang kalian dengar dari Aḥl al-Irak, tinggalkan!” Sedangkan Jazirah justru menciptakan satu iklim kebudayaan yang berupaya merawat model berpikir tekstual dan tradisionis. Dari sini terbentuklah Madrasah Aḥl al-Ra’y yang berbasis di Irak dan Madrasah Aḥl al-Hadīth yang memiliki basis di Jazirah. Mālik bin Anas dan Abū Ḥanīfah mungkin adalah dua tokoh yang representatif untuk melihat bagaimana kontrasnya gaya berpikir Aḥl al-Ra’y dan Aḥl al-Hadīth, utamanya dalam memahami hadis-hadis hukum.52

pengikutnya. Seperti misalnya riwayat Abū Hurayrah mengenai persamaan perempuan, keledai dan anjing hitam. 52 Konfrontasi epistemologis yang terjadi antara kedua kubu ini masyhur dan hampir diinformasikan oleh seluruh kitab sejarah. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad bin Hanbal misalnya, “bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dari Ahl al- Hijaz sama sekali tidak memperdulikan riwayat Ahl al-Irak dan tidak mengambil hal- hal yang diriwayatkan oleh kalangan mereka [Ahl al-Irak]” Abū al-Qāsim Ibn ‘Asākir al-Shafi’ī, Tārīkh Madīnah Dimashq (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1997), jil. 57, h. 386. Sebaliknya, Aḥl al-‘Irāq juga tidak memperdulikan keilmuan ulama-ulama Aḥl al-

25

Di akhir abad 2 H, muncul al-Shafi’ī sebagai penengahnya.53 Selain menghatamkan al-Muwaṭṭā’ dan epistemologi Malikian langsung kepada Mālik bin Anas, al-Shafi’ī juga mendalami epistemologi Hanafian meskipun tak langsung kepada Abū Ḥanīfah. Di sini, al-Shafi’ī mungkin sadar bahwa ada dua persoalan yang diwariskan oleh situasi wacana di abad sebelumnya dan harus dia selesaikan; pertama soal otentifikasi periwayatan dan yang kedua soal otoritas teks dalam menjawab persoalan zaman, utamanya soal hukum.54 Selain mengumpulkan berbagai riwayat dalam Musnad-nya, al-Shafi’ī juga menggagas Ilmu Mukhtalif al-Hadīth. Di fase inilah, yang kurang lebih terjadi di abad-abad menjelang abad kodifikasi dan al-Shafi’ī sebagai pionirnya, prosesi pensyarahan hadis bergerak di ruang-ruang fikhi. Proses kelahiran ilmu hadis sebagai satu taksonomi keislaman yang independen pun dibidani oleh para fuqahā’. Di ruang-ruang fikhi inilah beberapa cabang ilmu hadis lahir sebagai sebuah keniscayaan proses ijtihad hukum yang diupayakan oleh para fuqahā’. Selain Ilmu Mukhtalif al-Hadīth, Ilmu Asbāb Wurūd al- Hadīth, Gharīb al-Hadīth dan lain sebagainya lahir sebagai alat pendukung bagi ulama fikih untuk memahami proses terbentuknya situasi hukum dalam teks hadis, yang pada tahap selanjutnya berguna untuk menyimpulkan satu hukum baru berdasarkan problematika yang ada. Di abad kodifikasi, proses sistematisasi ilmu hadis semakin matang. Lahirnya tipologi baru “muhaddith”, lahirnya kitab-kitab matan hadis dan kodifikasi metode otentifikasi riwayat adalah beberapa indikator yang menunjukkan hal itu. Fokus yang dominan muncul di fase ini adalah upaya untuk memilah hadis-hadis sesuai dengan tingkat keabsahannya. Standart yang digunakan pun juga berbeda-beda. Setidaknya, ada lima hal yang secara ijmak diacu oleh para ulama dalam menyitir hadis-hadis yang beredar untuk didokumentasi ke dalam sebuah kitab; soal ketersambungan transmisi periwayatan, soal keadilan dan keḍābitan perawi, soal ‘illah beserta shadz.

Hijāz. Ibn Farhūn al-Mālikī, Al-Dībāj al-Madhhab fī Ma’rifah ‘Ulamā’ A’yān al- Madhhab (Dār al-Turāth li al-Tab’i wa al-Nashr, 2011), jil. 1, h. 72. 53 Al-Shafi’ī memulai satu era yang sedikit demi sedikit meringkus di antara dua geo-epistemologis tersebut. Ketersalingan ini terjadi kala al-Shafi’ī mengambil riwayat sahih dari Aḥl al-‘Irāq sebagaimana ia juga mengambil riwayat sahih dari Aḥl al-Hijāz. Masyhur perkataan al-Shafi’ī, “idhā ṣaḥḥa ‘indakum al-hadīth faqūlū lanā ḥattā nadhhaba ilayhi”. Ibn ‘Asākir al-Shafi’ī, Tārīkh Madīnah Dimashq, jil. 57, h. 385. 54 Kedua persoalan tersebut sebenarnya sudah diamati oleh ulama generasi pra al-Shafi’ī. Mālik bin Anas, dengan al-Muwaṭṭā’ nya menjadi dokumentasi riwayat- riwayat sahih yang beredar di kalangan Aḥl al-Madīnah. Abū Ḥanīfah juga mendokumentasikan hal serupa dalam Musnad. Dua-duanya masih diformat sebagaimana layaknya pembahasan fikih. Namun yang penting dicatat, keduanya masih terpola dalam diferensiasi yang muncul.

26

Kelahiran ilmu hadis tidak serta merta menghilangkan warna-warna fikih sebagai taksonomi induknya. Diferensiasi Aḥl al-‘Irāq atau Aḥl al-Ra’y dan Aḥl al-Hijāz mungkin saja sudah terlebur, namun lahir diferensiasi baru yang menggambarkan corak dan karakteristik ilmu hadis yang dikembangkan, yaitu antara Aḥl al-Hadīth dan Aḥl al-Fiqh. Keduanya sama-sama bergerak dan menyumbang peran dalam terbentuknya ilmu hadis. Lalu di mana posisi kerja pensyarahan hadis? Di abad kodifikasi, kerja mensyarah hadis setidaknya terejawantah dalam dua wujud; pertama dalam produk-produk fiqh al-hadīth yang dihasilkan oleh para muhaddith, yang secara eksplisit tertampil dalam kitab-kitab hadis yang mereka tulis.55 Kedua dalam produk pensyarahan konvensional ketika seorang ulama mensyarah sebuah kitab hadis atau berupa kitab-kitab fikih. Mereka yang berada dalam kategori Aḥl al-Hadīth, mayoritas tidak terlalu memfokuskan diri pada unsur-unsur fikih dari hadis-hadis yang dikompilasi. Apa yang mereka pentingkan adalah standar keabsahan sebuah riwayat, meskipun pada kenyataannya sebuah hadis tidak masyhur sebagai sebuah praktek fikhi.56 Tapi pada kenyataannya, konsekuensi fikhi yang terkandung dalam hadis yang terkompilasi secara tidak sadar ikut tampil dalam sistematika penyusunan kitab atau pembaban tema-temanya. Ini menunjukkan bahwa kombinasi sanad-matan selalu bergerak beriringan dalam sejarah perkembangan hadis, termasuk di abad kodifikasi.57 Begitu juga, bisa

55 Selain menyuguhkan hadis dengan tingkat otentisitas di bawah al-Quran, al- Bukhārī juga merupakan seorang mustanbiṭ bahkan mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari hadis-hadis yang dicantumkannya. Hal ini, meskipun tidak kentara dalam al-Ṣaḥīḥ, merupakan totalitas beliau sebagai muḥaddith. Baca kebiasaan al-Bukhārī, termasuk kaitannya dengan istinbaṭ hukum dalam: ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd al-Wāhid al-Hāshimī, ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Ṣaḥīḥihi (Kuwayt: Maktāb al- Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428/ 2007), h. 71-110. 56 Meskipun asumsi ini nampaknya masih melahirkan cabang pendapat. Misal, oleh Rifqi Muhammad Fatkhi yang mengandaikan orientasi fikhi tetap tagah dalam tradisi ulama hadis meski hadis sudah independen. Lihat: Rifqi Muhammad Fatkhi, Sahih Ibn Hibban dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Tawaran Alternatif (Tesis, SPs UIn Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Perdebatan soal dominasi fikih dalam tradisi muhaddis secara spesifik tertuang dalam: Rifqi Muhammad Fatkhi, “Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis”, dalam Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 2, 2012 dan “Hadith dalam Hegemoni Fiqh: Membandingkan Sahih Ibn Hibban dan Sunan Ibn Majah” dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol, 1, No. 1, 2012. 57 Kenyataan ini berbeda dengan sebagian asumsi yang dipegang oleh para sarjana Barat, yang menyatakan bahwa pada mulanya ulama hadis hanya fokus pada sanad dan tidak membahas matan. Ibrāhīm Amīn al-Jāf al-Shahrāwarzī, Manāhīj al- Muḥaddithīn; fī Naqd al-Riwāyah al-Tārikhiyyah li al-Qurūn al-Hijriyah al-Thalāthah al-Ūlā (Dubay: Dār al-Qalam, 2014), jil. 1, h. 111. Selain itu, beberapa sarjana Muslim juga memandang sejarah perkembangan hadis secara parsial seperti itu. Baca: Aḥmad

27

dipastikan bahwa para muhaddith sejatinya juga memiliki kompetensi di bidang fikih, begitu juga sebaliknya.58 Sebaliknya, mereka yang berada dalam golongan Aḥl al-Fiqh, mayoritas menyantumkan hadis untuk tujuan istinbat hukum. Kalaupun ada kepentingan untuk menjelaskan asal-muasal dan kualitas hadisnya, Aḥl al-Fiqh tidak terlalu fokus sebagaimana Aḥl al-Hadīth. maka produk karya yang biasanya lahir adalah kitab-kitab kompilasi hadis hukum, kitab syarah atau justru kitab fikih yang hanya meletakkan hadis sebagai sumber pendasaran kesimpulan hukum. Ketika ilmu hadis semakin matang, kitab-kitab rijāl al-hadīth mulai dibukukan dan mayoritas riwayat sudah terkompilasi, orientasi ulama hadis juga bergeser kepada kerja-kerja peninjauan hadis (takhrīj hadīth) dan mensyarah hadis.59 Di fase inilah syarah hadis sampai pada momentum puncaknya sebagai sebuah bidang keilmuan dan cabang tersendiri dalam kerja- kerja keilmuan hadis. Dengan kata lain, mensyarah hadis adalah puncak perkembangan keilmuan hadis dalam konteks Arab-Islam. Selain karena pekerjaan mengurai sanad telah rampung, para ulama hadis dihadapkan pada persoalan baru yakni bagaimana cara menjelaskan kandungan hadis demi kepentingan kontekstualisasi dan reaktualisasi hadis-hadis Nabi dalam menyelesaikan problem-problem baru.

Āmīn, Ḍuhā al-Islām (Lajnah al-Talīf, 1933), h. 130-132 dan Mahmūd Abū Rayyah, Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Nabawiyyah, cet. I (Dār al-Ta’līf, 1377/1958), h. 300. Ahmad Amin juga berkata, “kita lihat sendiri, bahkan Imam al-Bukhārī dengan reputasi ilmiahnya yang begitu tinggi dan kecermatan penelitiannya, beliau masih menyantumkan hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah. Hal ini disebabkan karena penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja.” Lihat: Aḥmad Āmīn, Fajr al-Islām (: Sulaymān Mar’i, 1965), h. 217-218. 58 Sufyān al-Thawrī berkata, “law kāna ahadunā qāḍiyan laḍarabnā bi al- jarīd faqīhan la yata’allam al-hadīth wa muhaddithan lā yata’allam al-fiqh”. Perkataan ini masyhur dan bukan hanya berasal dari Sufyān al-Thawrī, tapi juga Sufyān Ibn ‘Uyaynah dan ‘Abdullah bin Sinān. Lihat: Abū ‘Abdillah Muḥammad bin Ja’far al- Kattānī, Naẓm al-Mutanāthir min al-Hadīth al-Mutawātir (Mesir: Dār al-Kutub al- Salafiyyah, t.t.), h. 6. 59 Ini sebagaimana yang diakui oleh ‘Alī al-Qārī terkait tugas para ulama mutaakhirīn yang memang punya tanggung jawab melanjutkan estafet keilmuan dengan cara mengkaji kembali, menguatkan dan menjelaskan. Alī bin Sulṭān Muhammad al-Qārī, Mirqāt al-Mafātīh Sharh Mishkāt al-Maṣābīh (Bayrūt: Dār al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H./ 2001 M.), juz 5, h. 647.

28

Skema Sharah Istidlali

Problem

Hukum Hadis

Skema Sharah Istintaji Diagram 2.1: Perbedaan skema syarah istidlali dan istintaji

Perkembangan sharah istintājī kemudian dilanjutkan oleh al-Nawawī (w. 676 H) ketika menulis al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj. Menurut Qāsim al-Ḥaddād, salah satu pembaharuan yang dibawa oleh al- Nawawī adalah, selain ia menyajikan kaul-kaul ulama terkait hal-hal yang berkaitan dengan sebuah hadis sebagaimana format yang muncul dalam syarah- syarah hadis sejak al-Khaṭṭābī, al-Nawawī juga menunjukkan sikap di hadapan berbagai macam pendapat dan pandangan tersebut. Al-Nawawī melakukan penyaringan, menelaah argumentasi pendapat yang ada dan melakukan tarjih pendapat.60 Dengan kata lain, al-Nawawī mulai memperkenalkan cara pensyarahan yang melibatkan subyektifitas si pensyarah hadis dalam upayanya menjelaskan kandungan hadis. Keterlibatan si pensyarah ini tampak misal dalam cara al-Nawawī menjelaskan hadis;

عن سالم مولى شداد قال دخلت على عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم يوم توفي سعد بن أبي وقاص فدخل عبدالرحمن بن أبي بكر فتوضأ عندها فقالت يا

60 ‘Abd al-'Azīz Qāsim al-Ḥaddād, al-Imām al-Nawawī wa Athāruhu fī al- Hadīth wa 'Ulūmuh (Bayrūt: Dār al-Bashā'ir al-Islāmiyyah, 1992), h. 569.

29

عبدالرحمن أسبغ الوضوء فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ويل لألعقاب من النار.61 Dalam syarahnya, al-Nawawī menjelaskan banyak hal. Dari aspek sanad, al-Nawawī menjelaskan Sālim bin Shidād. Menurutnya, yang benar adalah tanpa “bin”, dan hanya menggunakan “mawlā”. Menurut al-Nawawī, tidak pernah ditemukan anak Shidād bernama Sālim, justru yang ada adalah nama budaknya.62 Dari aspek matan, al-Nawawī menjelaskan kandungan kalimat hadis tersebut. apa yang dimaksud “waylun li al-a’qābi min al-nār”. Al-Nawawī juga menjelaskan konsekuensi hukum perihal kewajiban membasuh kaki sampai tumit. Ia juga menyitir kesepakata para ulama mengenai ha itu.63 Jauh setelah al-Nawawī menulis al-Minhāj, Ibn Ḥajar al-Athqalānī (w. 852 H) kemudian muncul dan mensyarah Saḥīḥ al-Bukhārī. Kemunculan al- Athqalānī dan karyanya Fatḥ al-Bārī dianggap sebagai puncak perkembangan sharah istintājī berikut ilmu syarah hadis itu sendiri. Bahkan al-Shawkānī mengatakan, “la hijrata ba’da al-Fatḥ…(Fatḥ al-Bārī)”64 untuk menggambarkan kompeherensitas standar pensyarahan hadis yang telah diletakkan oleh al-Athqalānī. Dalam menjelaskan sebuah hadis, al-Athqalānī hampir menggunakan seluruh model pendekatan secara analitik-komparatif (tahlīlī-muqāran). Tak hanya dari aspek matan, al-Athqalānī juga menjelaskan seluk beluk persoalan di aspek sanad. Tak hanya itu, al-Athqalānī juga menjelaskan persoalan gharīb al-hadīth, asbāb al-wurūd, ikhtilāf al-hadīth dan hampir seluruh cabang keilmuan hadis dalam setiap hadis yang disyarahkannya. Al-Athqalānī juga dengan jeli mengurutkan secara intertekstual pemaknaan hadis dengan hadis yang lain.

61 Muslim bin al-Hajjāj, Saḥīḥ Muslim (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, tt.), jil. 1, h. 213. No hadis 240. 62 Abū Zakariyā Yaḥyā bin Sharaf al-Nawawī, al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, 1392 H.), jil. 3, h. 129. 63 al-Nawawī, al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj, jil. 3, h. 129. 64 Muḥammad bin Maṭhar al-Zahrānī, Tadwīn al-Sunnah al-Nabawiyyah: Nash'atuhu wa Taṭawwuru min al-Qarn al-Awwal ilā Nihāyah al-Qarn al-Tāsi' al-Hijrī (Riyāḍ: Dār al-Hijrah li al-Nashr wa al-Tawzī', 1996), h. 122.

30

al-Ṭabarī al-Khaṭṭābi al-Nawawī al-Athqalānī al-Shāfi'ī (204 Rasulullah (310 H) dan (388 H) mulai (676 H) (852) menulis H) menulis dan para al-Ṭaḥāwī mensyarah menulis al- Fatḥ al-Bārī. Ikhtilāf al- sahabat (321 H) Saḥīḥ al- Minhāj dan Dianggap Hadīth dan mensyarah mengembang Bukhārī. Fase menyempurn puncak memulai hadis (1 - 2 kan model sharah akan model perkembanga proyek Uṣūl H) sharah istintājī sharah n Syarah al-Fiqh istidlālī dimulai istintājī Hadis

Diagram 2.2: Fase-fase epistemologis dalam perkembangan Syarah Hadis

Kesimpulannya, ketiga fase transformasi epistemologis dalam syarah hadis ditentukan oleh setidaknya enam momentum. Dimulai oleh Nabi dan para sahabat di abad 1 hingga 2 H, dilanjutkan oleh al-Shāfi’ī di abad 3 H, dikembangkan oleh al-Ṭabarī dan al-Ṭaḥāwī di abad 4 H, kemudian dilanjutkan lagi oleh al-Khaṭṭābī di akhir abad 4 H, dilengkapi oleh al-Nawawī di abad 7 H dan disempurnakan oleh Ibn Ḥajar al-Athqalānī di abad 9 H. Di abad-abad setelahnya, kerja pensyarahan hadis selalu mengacu kepada kitab-kitab berikut format pensyarahan sebagaimana yang telah diperlihatkan dalam fase-fase perkembangan sebelumnya.

Format Periode Karakteristik Fokus Metode Contoh

Hanya menjelaskan satu hadis yang Masa problematik. Sharah Nabi Makna Ijmālī - Ishkālī dan Bersifat Hadis Sahabat individual. Syarah sangat simple dan sederhana

31

Ikhtilāf al- Hadis tidak Kandungan Hadīth karya menjadi obyek hadis dan al-Shāfi’ī. utama. konsekuensi Ta’wīl Hadis hanya hukum yang Mukhtalaf dijadikan al-Hadīth Masa terkandung Tabi’in argumentasi di dalamnya. karya Ibn Ijmālī- Sharah sampai penguat sebuah Qutaybah. Fokus pada muqāra Istidlālī Abad gagasan. Tahdhīb al- Ikhtilāf al- n-tahlīl Kodifik Proses syarah Athār karya Hadīth, al-matn asi disertai dengan al-Ṭabarī. Gharīb al- penyimpulan Bayān Hadīth dan hukum yang Mushkil al- terkandung Mushkil al- Athār karya Hadīth. al-Ṭaḥāwī, dll. al-Minhāj Para pensyarih Sharh Saḥīḥ mulai fokus Muslim bin Pasca membahas al-Hajjāj Kodifik Seluruh Tahlīlī- hadis-hadis karya al- asi Aspek dalam muqāra dalam satu kitab Nawawī. Sharah sampai Hadis, baik n fī al- matan hadis Fatḥ al-Bārī Istintājī Periode dalam sanad sanad tertentu. Sharah Saḥīḥ Puncak maupun wa al- al-Bukhārī Syarah Syarah sangat matan. matn. karya Ibn Hadis panjang dan kitab berjilid- Ḥajar al- jilid Athqalānī, dll.

Tabel 2.1: Rangkuman tiga corak yang mengisi sejarah perkembangan Syarah Hadis

B. Diskursus Syarah Hadis di Nusantara Selanjutnya, ada dua hal yang perlu diurai secara singkat terlebih dahulu. Dua hal yang berkaitan dengan persoalan diskursus syarah hadis Nusantara itu sendiri. Keduanya diperlukan untuk memetakan gelombang dan retakan-retakan epistemologis yang secara tidak langsung turut membentuk situasi wacana hadis yang dihadapai Baḥr al-Mādhī maupun subyektifitas al- Marbawi sebagai orang Nusantara.

32

1. Vernakularisasi Islam dan Format Epistemologi Syarah Hadis Nusantara Para sejarawan sepakat bahwa tradisi penulisan hadis di Nusantara telah dimulai di abad 17 M.65 al-Raniri dan al-Sinkili adalah dua tokoh yang dianggap pionir dalam kerja penulisan hadis, utamanya dalam kerja mensyarah hadis di Nusantara.66 Keberadaan naskah kitab hadis yang muncul dari abad 17 ini sedikit banyak memberikan informasi bahwa jauh sebelum itu, para ulama Nusantara sebenarnya sudah memberikan perhatian besar kepada studi hadis meskipun memang belum berwujud karya. Ada beberapa catatan yang harus diberikan mengenai mengapa kitab-kitab hadis baru muncul di Nusantara abad 17 M. Pertama, karateristik kedatangan Islam di Nusantara yang sufistik67 dan praksis, menjadikan kegiatan menulis hadis-hadis secara parsial tidak terlalu krusial dan dibutuhkan. Dalam situasi keberagamaan yang membutuhkan contoh langsung dan produk- produk reaktual kaitannya dengan realitas budaya masyarakat setempat, Islam secara tidak langsung mewujudkan diri secara kultural. Kalaupun studi hadis memiliki tempat, begitu juga studi keislaman lainnya, ia hanya bergerak dalam ruang-ruang kognitif dan menjadi basis metodologis yang diacu para ulama pembawa Islam ketika hendak mengejawantahkannya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, secara spesifik saya, menggunakan istilah “tradisi penulisan”, bukan “perkembangan” sebagaimana juga yang digunakan oleh Oman. Ini dikarenakan, istilah

65 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2013), h. 210. Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol. 19, no. 1, 2012. 66 Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara, h. 67 Mengenai temuan bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah para sufi didasarkan pada data berupa surat permintaan Raja Nusantara kepada Khalifah untuk mendatangkan pengajar profesional untuk mengenalkan Islam. S.Q. Fatimi, “Two Letters From The Mahajara to The Khalifah: A Study In The Early History of Islam In The East” dalam Islamic Studies Islamabad 2:1 (1963), h. 121-140. Selain itu, Ahmad Baso juga melakukan pelacakan dan menemukan bahwa aktor penyebar Islam di Nusantara adalah keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Ali. Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo [Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara] (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018). Asumsi mengenai sufi-sufi pendakwah ini juga dipertegas oleh Azyumardi Azra dalam kelas sejarah dan peradaban yang beliau ampu.

33

“perkembangan” memiliki karakteristik yang lebih beragam dan kompleks, tidak hanya merujuk kepada muncul dan lahirnya karya. Perkembangan kajian hadis di Nusantara, sebagai sebuah bagian dari Islam itu sendiri, tentu saja lahir bersamaan dengan datangnya Islam di Nusantara. Namun dalam konteks “penulisan [studi] hadis”, abad 17 M adalah awalnya. Kedua, munculnya kitab syarah hadis yang ditulis oleh al- Raniri beriringan dengan mulai munculnya satu komunitas yang mengabdikan dirinya untuk belajar ilmu keislaman. Muncullah lembaga bernama pesantren dan kaum yang mengaji kepada seorang kiai.68 Secara tidak langsung, bidang-bidang keilmuan Islam yang awalnya terlebur sebagai pola pikir dan agenda-agenda kultural, menetas sebagai sebuah disiplin keilmuan independen dan teoritis yang dipelajari satu per satu. Kemunculan komunitas santri juga meniscayakan ruang-ruang pengajian yang secara spesifik mengkaji sebuah karya, entah itu fikih, tasawwuf, tafsir, termasuk hadis.69 Komunitas-komunitas pengajian sebagai lembaga pendidikan, dengan demikian menjadi wadah penting dalam agenda keilmuan dalam konteks Islam di Nusantara.70 Melalui dua faktor tersebut, tradisi penulisan hadis, berikut tradisi penulisan syarah hadis muncul dari situasi diskursif yang sangat spesifik dan berbeda dengan kelahirannya dalam konteks Arab-Islam. Format perkembangan syarah hadis di Nusantara pun cukup diakronik kalau dibandingkan dengan fase-fase perkembangan syarah hadis dalam Islam. Karena itu, prosesi

68 Menurut Karel A. Steenberink, ada dua arus utama soal pendapat mengenai asal-usul pesantren. Ada kelompok yang mengatakan ia berasal dari tradisi Hindu, sebagian lagi mengatakan kalau ia asli lahir dari tradisi dunia Islam atau Arab. Karel A. Steenberink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1986), h. 26. Pendapat pertama misalnya muncul dari I. J. Brugman dan K. Meys yang berargumen kalau tata nilai sebagaimana yang ditunjukkan dalam pesantren tidak nampak dalam kasus negara-negara Islam. Baca: Rohadi Abdul Fattah dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan: Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern (Jakarta, Listafariska Putra, 2005), h. 13. Namun Mahmud Yunus punya pendapat sebaliknya. Mahmud Yunus , Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979). Namun terlepas dari itu semua, pesantren adalah sistem sekaligus format pendidikan tertua yang menjadi identitas Kenusantaraan. Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitanisme Kebangsaannya (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), h. 45. 69 Aboe Bakar, Sedjarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952), h. 286. 70 Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia II: Tradisi, Intelektual dan Sosial (Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, 2015), h. 6.

34

tumbuhnya tradisi penulisan syarah hadis di Nusantara tidak bisa diukur sebagaimana perkembangan penulisan syarah hadis diukur dalam konteks Arab-Islam. Dengan kata lain, menakar perkembangan tradisi penulisan syarah hadis di Nusantara tidak bisa hanya diacu kepada kuantitas karya yang muncul ataupun format metodologis yang tersaji di dalamnya. Proses vernakularisasi yang terjadi antara seorang pensyarah hadis dan teks hadis yang disyarah, sejatinya adalah esensi dari perkembangan hadis Nusantara itu sendiri. Karena itu, amatan yang harus dilakukan harus melampaui amatan-amatan terhadap aspek sistematika, teknik pensyarahan dan klasifikasi metodologi pensyarahan. Yang lebih relevan untuk dilakukan justru adalah model amatan yang menelusur hingga ke ruang konfigurasi wacana yang bertindihan di balik teks, yang menjadi ruang pertarungan antara realitas teks dengan subyektifitas seorang pensyarah hadis. Ini alasan yang kemudian melatarbelakangi sebuah fakta bahwa perkembangan studi hadis atau tradisi penulisan hadis di Nusantara diawali dengan kegiatan mensyarah hadis. Studi hadis Nusantara tidak berkembang sebagaimana kronologi perkembangan studi hadis dalam sejarah Islam. Hadis Nusantara tidak sedang menghadapi problem pemalsuan hadis atau memiliki masalah otentitas periwayatan. Ia mengalami keterputusan epistemologis71 dengan konteksnya yang Arab-Islam. Oleh karena itu, penulisan kitab-kitab ilmu hadis di Nusantara hanya segelintir, dan kalaupun ada, bisa dipastikan terformat sebagaimana layaknya kitab syarah. Berdasarkan fakta tersebut, yang tengah dihadapi oleh ulama hadis Nusantara adalah problematika vernakularisasi Islam, yang pada saat bersamaan menuntut hadis-hadis Nabi yang lahir dari konteks Arab-Islam dilebur dan ditemukan dengan bentuk ejawantahannya yang baru. Maka epistemologi hadis Nusantara pun pada akhirnya dibentuk oleh upaya-upaya konseptual,

71 Menurut al-Jabiri, yang dimaksud dengan “keterputusan epistemologis” (al- qati’ah al-ibistimulujiyah) adalah fusi keterputusan yang mengandaikan satu proses transisi kesadaran subyek, dari yang awalnya sangat “hadisionalis” (ka’inah hadithiyyah; kondisi ketika subyek tertindih oleh beban konteks hadis-hadis Nabi yang arabsentris ) menuju kondisi “hadisionis” (ka’inah laha hadith; kondisi ketika subyek merdeka dan secara produktif serta aktif mendialogkan hadis-hadis Nabi dengan subyektifitasnya). Muhammad ‘Ābīd al-Jābirī, Nahnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī, (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 21. Fase ini yang kemudian menentukan suksesnya proses reaktualisasi dan kontekstualisasi hadis-hadis Nabi dalam ruang kenusantaran.

35

metodologis dan praksis soal bagaimana mereaktualisasi dan merekontekstualisasi hadis-hadis Nabi dalam ruang kenusantaraan.

2. Ciri Khas dan Karakteristik Umum Syarah Hadis Nusantara Hingga Abad 17 M Pionir penulisan syarah hadis di abad 17 adalah Nuruddin al-Raniri dengan karyanya Hidāyat al-Ḥabīb. Peran al-Raniri yang mengawali tradisi penulisan hadis di Nusantara telah diulas oleh Oman Fathurrahman. Namun sayangnya, Oman lebih banyak menjelaskan persoalan materil naskah Hidāyat al-Ḥabīb.72 Apa yang hendak ditampilkan dalam sub bab ini justru adalah mode al-Raniri ketika menulis maupun mensyarah hadis. gaya, model dan karakteristik semacam itu bisa saja terkuak dari diksi, cara al-Raniri menggunakan kata, simbol, penamaan bab dan substansi dari hadis-hadis yang ia kompilasi. Telaah atas karakteristik semacam ini sedikit banyak akan menguji asumsi yang sudah saya jelaskan di awal mengenai latar epistemologis di balik kerja al-Raniri dan seluruh ulama hadis Nusantara dalam mensyarah hadis. Ada beberapa informasi dari artikel Oman yang bisa dijadikan acuan awal untuk melihat karakteristik syarah hadis di Nusantara melalui karya al-Raniri; Pertama, meskipun tidak menyematkan materi sanad dalam kitabnya, al-Raniri tetap memberikan simbol rujukan untuk memperjelas kitab hadis apa yang dia acu. Dalam catatan Oman, ada setidaknya 22 kitab hadis yang dirujuk oleh al-Raniri dalam menyusun Hidāyat al-Ḥabīb. Al-Raniri merujuk kepada Al-Kutub al-Sittah kecuali Sunan al-Nasa’i, tiga kitab al-Sahih al-Mujarrad, Musnad Ahmad bin Hanbal, karya al-Daruqutni, al-Bayhaqi, al- Daylami dan kitab-kitab lainnya.73 Kedua, al-Raniri menyajikan materi dalam kitabnya dengan dua bahasa; Bahasa Arab dan Bahasa Melayu. Ada sekitar 831 hadis yang disuguhkan al-Raniri dalam kitabnya tersebut. Mula- mula hadis-hadis tersebut ditulis dalam teks aslinya yang berbahasa Arab, lalu hadis tersebut akan diterjemah dan dijelaskan oleh al-Raniri dalam Bahasa Melayu.

72 Ini bisa dimaklumi mengingat Oman adalah seorang filolog. Lihat dalam: Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol. 19, no. 1, 2012. 73 Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri”.

36

Ketiga, ke 831 hadis yang tersaji, ditebar ke dalam 53 bab. Gaya penamaan bab nya pun deskriptif, seolah-olah al-Raniri sudah menjuruskan hadis yang dia sajikan kepada makna dan maksud tertentu. Menariknya, ada dua kata kata yang sering digunakan oleh al-Raniri dalam penjudulan bab-bab tersebut, yaitu kata “menggemari” dan “menakut”. Dalam tradisi penulisan hadis di periode akhir, model sistematika “al-targhib wa al-tarhib” memang banyak dilakukan. Model semacam ini merupakan wujud kesekian dari kerja mensyarah hadis. Simplisitas, to the point dan praksis adalah beberapa kelebihan format kitab “al-targhib wa al- tarhib”. Tampaknya, al-Raniri juga memilih menggunakan format tersebut semata-mata karena alasan fungsionalisasi hadis dalam tema hidup sehari-hari. Keempat, dilihat dari penjudulan bab-babnya, karakteristik sufisme sangat kentara.74 Ini terlihat misalnya dalam penjelasan al- Raniri, bahwa sistematika syarah hadis yang dipilihnya memang dimaksudkan untuk pecinta akhirat. Al-Raniri menulis “wa ja’altuhu mubawwaban li-yu’imma al-naf’a li al-raghibin” yang dia terjemah “dan kujadikan ia beberapa bab supaya manfaatnya bagi segala yang menggemari akhirat.” Dan memang, dalam penjudulan bab, kata “akhirat” muncul beberapa kali. Begitu juga dengan tema-tema yang diangkat, yang al-Raniri arahkan agar pembacanya menujukan hidupnya pada akhirat dan tidak berorientasi dunia. Kelima, dalam bab keenam kitabnya, al-Raniri memberikan judul “Bab pada menyatakan menggemari berjamu-jamuan”. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, al-Raniri menggunakan kata “menggemari” untuk menjelaskan maksud “al-targhib”. Dalam penulisan judul tersebut, al-Raniri juga menyitir kalimat “berjamu- jamuan”. Jamu-menjamu memang sudah menjadi karakter orang Nusantara. Berbagai acara dihelat dalam bentuk makan bersama dengan keluarga, kerabat, tetangga dan orang kampung.75

74 Sufisme yang dimaksud bisa bermakna tata nilai sufistik yang menjadi spirit kehidupan berikut kesadaran beragama Muslim Nusantara, maupun tema-tema spesifik yang biasa diperbincangkan dalam nomenklatur tasawwuf. Selain al-Raniri, al-Singkili juga punya karakteristik yang sama. Dalam kitabnya Mawa’idh al-Badi’ah, al-Singkili masuk dalam perdebatan soal wujudiyah. Lihat: Mawa’izhul Badi’ah MSS 3565 Perpustakaan Negara Malaysia; Voorhoeve, Bayan Tajalli (Bahan-bahan untuk mengadakan penyelidikan lebih mendalam tentang Abdurrauf Singkel), terj. Aboebakar Atjeh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980), h. 19. 75 Karakteristik ini sama dengan narasi-narasi sosialistik yang dipakai al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī. Contoh kecilnya, al-Marbawi selalu memulai perbincangan sebuah masalah dengan salam sapaan interaktif “wahai saudaraku”, “duhai saudaraku” dan “ya saudaraku”. Karakter semacam ini tidak akan ditemukan

37

Secara umum, apa yang ditampilkan dalam karya al-Raniri adalah warna karakter yang bisa ditemukan hampir dalam seluruh karya ulama Nusantara.76 Tidak hanya hadis, tapi juga karya fikih, tafsir, teologi sampai tasawwuf. Meskipun di akhir abad 19 dan awal 20 M, karena faktor kolonialisme, muncul varian lain yang berupaya menggugurkan otoritas diskursus hadis yang telah dibangun di abad-abad sebelumnya.77

C. Relasi Islam dan Kolonial: Dua Wacana Besar Konfrontasi Agama Vis A Vis Budaya Membicarakan dialektika syarah hadis di Indonesia tentu tidak bisa terlepas dari problematika perkembangan Islam itu sendiri. Di abad 19, Islam Indonesia sebagai wacana keilmuan dianggap sudah matang. Nico Kaptein misalnya, mengatakan bahwa Islam Indonesia telah menemukan formulasinya dan stabil secara struktur pengetahuan di abad 19.78 Dan al-Marbawi sendiri, merupakan tokoh dengan karya yang muncul di abad setelahnya. Kalaupun

dalam syarah-syarah hadis lain. Tidak akan ditemukan misalnya narasi sapaan “ya akhi” dan lain sebagainya dalam proses pensyarahan, termasuk hadis. Sebagai contoh, lihat dalam: al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, hl. 3-10. Al-Marbawi selalu memberikan tanda kurung ketika menggunakan sapaan tersebut. 76 Meskipun para sejarawan cenderung sepakat, pasca al-Raniri dan al- Singkili, tradisi penulisan hadis mengalami kevakuman. Tradisi tersebut kemudian muncul kembali di akhir abad XIX melalui Mahfudh al-Termasi, Nawawi al-Bantani dan beberapa ulama Nusantara lain yang mulai menulis karya-karya di bidang hadis. Namun yang perlu dicatat di sini, makna vakum diukur berdasarkan indikator karya yang muncul. Meski begitu, tradisi pengajian, periwayatan dan pensyarahan hadis secara oral kemungkinan besar masih ramai dilakukan di abad-abad kevakuman tersebut. Pertanyaan lain yang muncul, faktor apa yang menyebabkan kevakuman? Setidaknya ada dua pendapat yang muncul; pertama, dominasi fikih dan syariat yang membuat diskursus hadis tenggelam. Kedua, kesibukan para ulama menginisiasi perlawanan terhadap kolonial. 77 Kemunculan varian ini disepakati oleh Agung Danarta dan peneliti peta perkembangan studi hadis Nusantara lainnya. Menurut Danarta, munculnya geliat diskursus hadis di akhir abad 19 dan awal abad 20, salah satunya dipengaruhi oleh faktor menguatnya gerakan purifikasi dan kampanye “kembali ke al-Quran dan Hadis”. Fase ini juga menandai lahirnya pergeseran otoritas sosial-keagamaan yang awalnya diacu kepada madzhab fikih, lalu diacu kepada hadis langsung. Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Pemetaan”, dalam Jurnal Tarjih edisi 7 (Januari 2004), h. 74. Salah satu tokoh hadis yang menjadi kunci munculnya varian otoritas hadis semacam itu adalah Sayyid Usman. 78 Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia- Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), kata pengantar.

38

asumsi tersebut benar, al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī berarti lahir dalam situasi wacana yang sudah [di]stabil[kan]. Lalu pertanyaannya, penstabilan dan peresmian wacana semacam apa yang terjadi? Di sini pentingnya membahas setidaknya tiga hal, yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain; Pertama soal Islam Indonesia sebagai materi wacana [di]resmi[kan]. Kedua soal dialektika kolonialisme dan realitas keberagamaan di Indonesia, seperti tarekat, yang sedikit banyak menyumbang bentuk dan mengisi makna “Islam Indonesia” itu sendiri. Ketiga adalah soal peran kolaborator dari kalangan ulama dan posisinya dalam sengkarut relasi kolonial yang muncul.79 Hipotesa terbaru menyatakan bahwa Islam menyebar ke Indonesia melalui guru-guru sufi keturunan langsung Rasulullah SAW dari jalur ‘Alī bin Abī Ṭalib.80 Corak Islam yang datang pun tampak sufistik. Sebagaimana karakteristik sufisme, Islam di Nusantara dikenal luwes, adoptif dan moderat. Maka diskursus hadis, termasuk kegiatan mensyarah hadis, awalnya juga bercorak sufistik dan akhlaqi. Materi-materi yang muncul tak jauh dari persoalan iman, etika Islam, ibadah dan lain sebagainya. Tema-tema dalam nuansa al-Targhib wa al-Tadhhib mewarnai kitab-kitab syarah di abad 17.81 Menariknya, sufisme di Nusantara tidak lantas hanya berwujud praktek dzikir dan ritual. Ajaran-ajaran sufi berikut tata lakunya menginspirasi Muslim pribumi untuk menagah perlawanan anti-kolonial dan sedikit banyak menyuplai basis bagi kesadaran berbangsa. Puncaknya terjadi di masa Diponegoro.82 Meskipun kalah, Perang Jawa tetap mewarisi trauma bagi status quo kekuasaan kolonial. Belum lagi dengan aksi pemberontakan beruntun yang

79 Misalnya Sayyid Usman dan proyek syariahisasinya yang menjadi ventilasi untuk melihat bagaimana variabel-variabel tersebut bersentuhan. Selain Sayyid Usman, ada juga Haji Hasan Mustapa dan Raden Aboe Bakar. Ketiganya mewakili keragaman relasi antara kolonial dan intelektual pribumi kaitannya dengan Islam. 80 Asumsi ini didasarkan pada temuan S.Q. Fatimi sebelumnya. Soal ator-aktor ini adalah keturunan Rasul, bisa dibaca dalam: Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo [Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara] (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018). 81 Ini sebagaimana yang terlihat dalam Hidāyah al-Ḥabīb. 82 Perang Diponegoro 1825-1830 adalah titik picu untuk mendapatkan gambar bagaimana sufisme mewujudkan dirinya dalam bentuk pembangkangan terhadap kuasa kolonial. Selama hampir lima tahun peperangan yang sengit, kolonial Belanda ternyata tak cukup kuat untuk mengimbangi dan menghabisi pasukan Diponegoro. Skema dan bentuk pertempuran yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hadir dengan rupa yang paling menakutkan sekaligus membingungkan. Kemenangan tak kunjung diraih meskipun 25 juta gulden (setara + 2,5 miliar US$) dan 15.000 serdadu sudah dikeluarkan pemerintah belanda. Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (Jakarta: Kompas, 2014), h. xxi.

39

terjadi di tahun-tahun setelahnya, yang ternyata juga diinisasi oleh para ulama dan kelompok tarekat.83 Secara tidak langsung, realitas tersebut membuka perspektif baru mengenai posisi dan fungsi agama di tengah masyarakat pribumi. Sekaligus, ia menyumbang format baru bagi praktek kolonialisasi di tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, kolonialisme berkesimpulan bahwa ada dua tantangan yang akan mengguncang status quo mereka. Pertama adalah konfigurasi agama dan budaya yang menjadi tata nilai normatif yang dianut untuk menjaga sumber daya alam. Kedua, konfigurasi agama dan budaya juga jadi pemicu lahirnya sikap antipasti dan gerakan pemberontakan. Maka, cara yang paling efektif untuk dilakukan guna mengurai problem tersebut adalah dengan mengkonfrontasi relasi agama-budaya melalui pendekatan puritanisme dan sekularisme. Di sini posisi Snouck Hugronje menjadi sangat penting. Dalam sebuah surat yang ditulisnya tak lama dari tahun meletusnya peristiwa pemberontakan petani di Banten, Snouck menulis sebuah rekomendasi untuk Pemerintah Kolonial untuk menjalan program pengawasan:

“Pengawasan yang teratur dari pihak Pemerintah Daerah atas pengajaran agama Mohammadan. Ini tidak semata-mata dapat disebut pengajaran agama. Sebab bukan hanya bidang-bidang sastra termasuk di situ, melainkan juga bidang hukum dalam seluruh aspeknya. Sementara itu, pengajaran mistik kepada beberapa orang saja memberikan kekuasaan atas orang lain sedemikian rupa, sehingga Pemerintah Pusat boleh dianggap perlu mengenal ‘penguasa-penguasa’ itu secara lebih dekat, yaitu sebelum mereka menyalahgunakan kekuasaan mereka.”84

Ini yang juga mendorong Snouck dan pemerintah kolonial membuat kategorisasi yang; Islam politik dan Islam kultural.85 Melalui agenda pengawasan dan politik terminologi tersebut, pemerintah kolonial berupaya untuk menghapus “ekses politis” dari agama.86 Tentu saja yang dimaksud

83 Pemberontakan Petani Banten atau Geger Cilegon di tahun 1888. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Depok: Komunitas Bambu, 2015), h. 155. 84 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS XI, terj. Sukarsi (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1995), h. 2142. 85 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague, 1958), h. 20. 86 Bagi Snouck, yang harus dibasmi adalah Islam politik. Sebaliknya, pemerintah kolonial harus memberikan ruang dan tidak ikut campur dalam gerakan-

40

politik oleh pemerintah kolonial sangat spesifik. Yaitu sikap pembangkangan dan gerakan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial. Dan untuk mendorong suksesnya sekularisasi tersebut, pemerintah kolonial mengadopsi ideologi Islam Puritan yang menganggap budaya dan hal-hal lain selain yang tergambar dalam teks agama, adalah penyimpangan. Dalam program dan agenda inilah Sayyid Usman dan para kolaborator dari kalangan tokoh agama “ditemukan”. Mereka diproyeksikan sebagai aktor ganda; selain diposisikan aktor kunci yang diarahkan untuk mengambil peran sebagai pengendali proyek puritanisasi atau depolitisasi gerakan umat Islam yang berpijak dan bersandar kepada semangat tarekat-sufistik, para kolaborator juga diposisikan sebagai telik sandi yang melaporkan kabar-kabar terbaru mengenai kejadian yang terjadi di masyarakat.

1. Antara Wacana Puritanisasi dan Wacana Ambivalensi: Kasus Sayyid Usman dan Haji Hasan Mustapa Para kolaborator yang diinvensi oleh kolonial memang tidak tunggal. Ada yang sesuai dengan proyeksi awal untuk menjadi juru bicara puritanisme agama dan actor kunci suksesnya sekularisasi Islam-Politik dan Islam-Budaya, ada juga yang diam-diam membelot, menemukan caranya sendiri untuk terus melawan dari dalam. Sayyid Usman adalah tokoh yang bisa dijadikan sampel untuk melihat realitas kolaborator sekaligus keberlangsungan wacana keagamaan Indonesia di bawah tekanan kolonial. Kajian tentang Sayyid Usman sendiri terbelah pada dua sudut pandang umum. Ada yang memandangnya sebagai kolaborator kolonial, yang selalu berkaitan dengan agenda kolonialisasi, termasuk produksi gagasan dan karya-karyanya. Ini terlihat misalnya dalam Islam Pasca-Kolonial karya Ahmad Baso.87 Namun

gerakan Islam kultural. Oleh karena itu, Snouck tidak setuju dengan cara Belanda mengintervensi dan melarang umat Islam untuk bergerak dalam bidang-bidang kultural, seperti membangun madrasah, mengadakan pengajian serta ritual ibadah lainnya seperti pelaksanaan ibadah haji. Menurut Aqib Suminto, tidak selamanya kolonial netral dalam soal agama. Belanda masih memiliki keyakinan bahwasanya kristenisasi adalah cara ampuh untuk masuk dan mengubah kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 162. 87 Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016). Dalam buku ini Sayyid Usman banyak disebut; h. 267-283 dan 341-372. Namun Ahmad Baso juga mengakui bahwa ada semacam ambivalensi dalam posisi Sayyid Usman di hadapan kolonialisme. Penggambaran A. Baso tentang sosok Sayyid Usman dalam bukunya itu juga tidak mengarah pada satu bentuk relasi yang tunggal. Tapi memang, faktor kolonialisme harus diperhitungkan karena Sayyid Usman memang memiliki relasi

41

beberapa peneliti seperti Azyumardi Azra, Aqib Suminto, Nico Kaptein dan Ahmad Athoillah memilah posisi Sayyid Usman secara lebih spesifik. Azra misalnya, memposisikan kritik Sayyid Usman terhadap sebagai kritik terhadap substansi ritualnya saja, bukan pada impuls politik yang mendorongnya lahir.88 Ahmad Athoillah dalam tesisnya juga memperkuat hal itu dengan menyajikan data-data empirik-historis yang memperlihatkan retakan relasi antara Sayyid Usman sebagai ulama “Arab” dan petugas pemerintah kolonial.89 Perbedaan cara pandang mengenai Sayyid Usman merupakan indikasi betapa rumitnya dan kompleksnya relasi yang terbentuk dalam konteks kolonialisme. Dalam perbincangan soal nalar atau al-aql, posisi Sayyid Usman sebagai Hadrami-Alawi, ulama hadis, penasehat kehormatan kolonial, bagian dari masyarakat terjajah dan subyek yang ada dalam konteks wacana sosial-ekopol seluruhnya akan dipandang berkaitan dan berjalin kelindan layaknya montase dalam satu dramaturgi kesejarahan.90 Maka untuk menangkap apa yang sebenarnya terjadi, data-data sarat kronologi akan disisir guna menemukan jaringan mekanisme kerja yang menyambungkan satu kejadian dengan kejadian lainnya. Politik pecah belah Snouck dengan mendikotomi Islam politik dan Islam kultural langsung digarap oleh Sayyid Usman melalui beberapa kitab yang berisi kritik terhadap praktek tarekat saat itu. Kitab-kitab varian ini juga yang awalnya menarik perhatian Snouck atas sosok Sayyid Usman. Terlepas dari asumsi-asumsi bahwa Sayyid Usman melakukan kritik tersebut dalam tataran ritual dan syariat bukan impuls politiknya91, bagi saya apa yang terlihat sama colonial encounter dengan kolonial. Di sinilah pembacaan lanjutan harus dilakukan. Satu-satunya cara yang bisa memperjelas posisi dan nalar Sayyid Usman adalah dengan membaca seluruh karya-karya yang muncul. 88 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995), h. 18. 89 Ahmad Athoillah, Pandangan Sayyid Usman bin Yahya al-Alawi Penasihat Kehormatan Bangsa Arab Terhadap Kehidupan Masyarakat Arab di Jakarta 1870- 1914-an (Tesis: Universitas Gajah Mada, 2015). 90 Al-Aql bagi al-Jābirī adalah distingsi yang mendorong bukan hanya bagi munculnya pemikiran, pendapat, gagasan dan identitas primordial (ke-Arab-an atau ke- Indonesia-an), tapi juga bagi lahirnya metode berpikir yang menghubungkan dan melampaui batas periode maupun tema. Lihat: Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al- ‘Aql al-‘Arabī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1991), h. 12. 91 Sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh Azra dalam “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora” serta diperkuat oleh Noupal dalam: Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya (1822-1914):

42

sekali tidak bisa dilepaskan dari jaringan orientalisme kolonial yang kebetulan memiliki niat yang sama. Beberapa kitab Sayyid Usman sontak memantik ruang perdebatan. Al-Naṣīḥah al-Anīqah lil Mutalabbisīna bi al-Ṭarīqah, al-Dīn al-Salāmah dan beberapa buklet kitab yang disusun memang untuk meluruskan amalan kelompok tarekat ditebar dan disponsori oleh kolonial. Dari sini, strategi divide et impera melahirkan sub politik pecah belah lainnya berwujud Islam Murni dan Islam Tradisi. Yang pertama harus ditegakkan, yang kedua harus disingkirkan karena sesat dan bidah. Dalam konstruksi wacana semacam ini, muncul untuk pertama kalinya penggunaan term “bidah” guna mempertegas kontradiksi Islam Murni dan Islam Tradisi tersebut.92 Hadis “kullu bid’ah ḍalālah, wa kullu ḍalālah fiī al-nār” pun diperkenalkan dan dalam waktu singkat menjadi slogan. Secara otomatis, gerakan-gerakan anti-kolonialisme yang dirawat di langgar-langgar dan cangkruk tarekat juga terlibas secara ontologis dan terlumpuhkan. Islam politik versus Islam kultural mengarah pada pembelahan antara Islam bidah versus Islam ‘alā manhaj al-Qur’ān wa ṭarīqah al- nubuwwah. Ada sekitar dua puluh dua amalan dan tradisi yang dikritik melalui terminologi bid’ah oleh Sayyid Usman, yang menurutnya sudah menyimpang dari ajaran Islam.93 Seiring dengan itu, upaya untuk mengembalikan wujud Islam kepada bentuknya yang paling puritan dilakukan oleh Sayyid Usman melalui media yang sama: penulisan dan penyebaran kitab-kitab serta fatwa. Ini di satu sisi. Di sisi yang lain, posisi Sayyid Usman sebagai seorang pribumi juga bermanfaat bagi pemerintahan kolonial untuk merekonstruksi ruh hukum Islam agar sejalan dengan hukum dan agenda kolonial. Sayyid Usman kembali mendapatkan peran keduanya sebagai arsitektur wacana dalam agenda konfrontasi lanjutan dari puritanisme Islam, yakni Hukum Islam vis a vis Hukum Adat. Bagi Sayyid Usman – dan Kolonial –, hukum Islam

Respons dan Kritik Terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia (Disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) dan Ahmad Athoillah dalam: Ahmad Athoillah, “Kritik Sayyid Utsman bin Yahya terhadap Ideologi Jihad dalam Gerakan Sosial Islam pada Abad 19 dan 20” dalam Jurnal Refleksi vol. 12, no, 5 (Oktober 2013), h. 582. 92 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, h. 20-23. 93 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, h. 22.

43

memiliki otoritas yang lebih besar dan berposisi jauh di atas hukum adat.94 Dalam konteks kolonialisme, Sayyid Usman adalah komparador atau subyek yang tidak sepenuhnya berada dalam ruang subyektifitasnya sebagai orang Indonesia, tidak pula sepenuhnya berada dalam ruang subyektifitas kolonial sebagai The Other-nya. Kompleksitas posisi inilah yang membuat Sayyid Usman meniscayakan kontroversi dan sulit untuk diidentifikasi. Namun sebaliknya, peran Sayyid Usman juga mampu menjelaskan dan menggambarkan satu situasi keterbelahan subyek. Keberadaan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual yang merawat kekaburan biner seperti Sayyid Usman memang lumrah ditemukan dalam banyak kasus kolonialisme. Fanon menyatakan bahwa proses tarik ulur relasi antara subyek kolonial dan subyek jajahan ditentukan oleh posisi kaum intelektual bangsa jajahan.95 Kekaburan relasi ini bisa melahirkan dua konsekuensi yang bertolak belakang sekaligus; apropriasi subyek terjajah ke dalam subyek penjajah (disciplinary gaze) atau hibriditas yang mengandaikan proses dekolonisasi (displacing gaze).96 Dalam ruang pembelahan inilah kajian hadis yang dibawa Sayyid Usman digulirkan. Kalaupun Sayyid Usman diposisikan sebagai tokoh kajian hadis di abad 19, bagi saya perannya bukan semata melanjutkan jalinan epistemologis wacana hadis Nusantara sebagaimana yang telah dibangun di abad-abad sebelumnya. Sayyid Usman muncul dengan pretensi diskursus yang lebih politis sehingga kajian hadis yang dihadirkan sama sekali berbeda. Dengan kata lain, kehadiran Sayyid Usman justru memutus pertalian epistemologis dengan tradisi kajian hadis sebelumnya. Kalaupun Nico Kaptein berulang kali menyatakan bahwa Sayyid Usman adala aktor utama yang membentuk “Islam

94 Lihat misalnya dalam: Sayyid Usman bin Yahya, al-Qawānīn al-Shar’iyyah li Aḥl al-Majālis al-Hukmiyyah bi Taḥqīq al-Masā’il li Yatamayyaza Lahum al-Ḥaq wa al-Bāṭil (Jumadil Akhir 1298/ Mei 1881). Lihat juga: Nico Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda, h. 137-138. 95 “Colonized intellectual. In its narcissistic monologue the colonialist bourgeois, by way of its academics, had implanted in te minds of the colonized that the essential values – meaning Wstern values – remain eternal despite all errors attributable to man”. Frantz Fanon, The Wretched of The Earth (New York: Grove Press, 2004 [1963]), h. 10-11. 96 Babha dengan bagus menjelaskan proses pembalikan gaze (tatapan) dalam relasi kolonial, “unsettles the mimetic and narcissistic demands of colonial power but reimplicates its identifications in strategies of subversion that turn the gaze of the discriminated back upon the eye of power”. Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London & New York: Routledge, 1994), h. 159.

44

Indonesia”97, berdasarkan ulasan sebelumnya saya juga harus bertanya, “Islam Indonesia seperti apa yang dibentuk? Atmosfer kesarjanaan muslim seperti apa yang dikatakan mapan? Dan model reformasi Islam seperti apa yang muncul?” Jawabannya adalah Islam yang muncul dan keterbelahan antara politik dan kultural, antara yang asli dan yang bidah, antara yang murni dan yang adat dan dikotomi-dikotomi orientalistik lainnya. Dengan bahasa yang lebih mudah, kodifikasi Islam Indonesia yang terbentuk di abad 19 adalah kodifikasi Islam yang praktis, mengaku paling syar’i dan berbasis al-Quran plus Hadis. Dari kondisi wacana semacam ini, hadis-hadis ibadah, tibb al- nabawi dan amaliyah sekunder lain yang sebenarnya tidak begitu fundamental muncul dan bertebaran. Intinya, yang laku kemudian adalah hadis-hadis yang menawarkan satu model keberagamaan yang terlihat syar’i, mudah dan sederhana sekaligus praktis. Hadis- hadis yang digunakan mendobrak amaliyah keagamaan yang sosialis dan mengakar dalam tradisi Islam di Nusantara sejak lama. Lain halnya dengan Haji Hasan Mustapa.98 Dalam surat- suratnya dengan Snouck Hugronje, tampak sekali bahwa Hasan Mustapa memiliki karakteristik subyektifitas yang berbeda. Visi keagamaan dan caranya bergerak dalam relasi kolonial pun berbeda dengan Sayyid Usman.99 Dalam surat-suratnya dengan Snouck Hugronje, Haji Hasan Mustapa tidak begitu mempermasalahkan kegiatan-kegiatan tarekat sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Sayyid Usman. Dalam satu surat, ketika Snouck menanyakan sebuah kasus yang menyangkut kelompok tarekat, Haji Hasan Mustapa dengan tenang dan hibrid menjelaskan kalau itu adalah gambar dari keragaman sikap keberagamaan orang Indonesia.100 Tidak ada yang perlu

97 Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia- Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914). 98 Haji Hasan Mustapa lahir di Cikajang, Garut Selatan, 3 Juni 1852 M./ 15 Sha’ban 1268 H. Sejak usia 8 tahun, Hasan Mustapa sudah dikenalkan pada model pendidikan Barat oleh K.F. Holle. Ia pun dikenal sebagai sahabat dekat Snouck, yang banyak membantu Snouck membuat laporan mengenai Aceh. Sampai akhir hayatnya, Hasan Mustapa dan Snouck tetap saling berkirim surat. Edi S. Ekajati dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 25-30. 99 Ini nampaknya juga disadari Martin Van Bruinessen. Dia mengelompokkan komparador Snouck menjad dua; Kelompok Sayid Usman dan Hoesein Hadjajadiningrat. Martin Van Bruinessen, “Foreward”, dalam Julian Millie (ed.), Hasan Mustapa: Ethnicity and (Australia: Monash University, 2017), h. vii. 100 Kedekatan Haji Hasan Mustapa dengan Snouck pun melahirkan banyak persepsi dan stigma konspiratif. Salah satunya dari Sayyid Usman. Dalam sebuah

45

dikhawatirkan, apalagi sampai menganggapnya sebagai lembaga pemberontakan.101 Penghargaan Haji Hasan Mustapa dan kesadarannya mengenai lokalitas benar-benar terbentuk. Selain itu, Hasan Mustapa adalah seorang sufi dan penganut waḥdat al-wujūd.102 Kesadaran mengenai budaya dan sufisme yang dianutnya kemudian mendorong Hasan Mustapa untuk menulis karya-karya sastra sufistik berbentuk danding dan lain sebagainya.103 Dengan kata lain, ada wacana keagamaan dan kesadaran tandingan yang sebenarnya terpolakan di abad 19 dan 20 M. Selain wacana purifikasi dan fundamentalisasi agama model Sayyid Usman, muncul juga wacana sufistik dan ambivalensi sebagaimana yang diperlihatkan oleh Haji Hasan Mustapa.104 Sebagai tulisannya yang diterbitkan di sebuah surat kabar berbahasa Arab di Timur Tengah, Usman benar-benar “membantai” Mustafa dan menuduhnya sebagai “setan dari Bandung”. Tulisan Sayyid Usman ini jelas memiliki dampak yang luas, apalagi ia adalah tokoh yang sangat berpengaruh. Jajang Jahroni, The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930) (MA Thesis. Leiden University, 1999). Dinukil lagi dalam; Jajang Jahroni, “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)” dalam Studia Islamika, vol. 25, No. 12 (2018), h. 413. 101 Jajang Jahroni, Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 (Yogyakarta: Octopus Publishing, 2018), h. 254. 102 Jajang Jahroni, “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)”, h. 417. Meskipun berlatar Sunda, Menurut Nancy Florida, Hasan Mustapa juga dipengaruhi oleh suluk Jawa. 103 Lebih dari 10.000 bait danding dan guguritan sufistik yang sudah ditulis Hasan Mustapa. Ajip Rosidi, “Menjejaki Karya-Karya Haji Hasan Mustapa”, dalam Ahmad Rifa’i Hassan, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Atas Karya-Karya Klasik (Bandung, Mizan, 1992), h. 84. Dalam dangding-dangdingnya, Hasan Mustapa berupaya mempertemukan dan mendomestifikasi ajaran-ajaran sufisme yang abstrak ke dalam alam budaya orang Sunda. Di Nusantara, praktek semacam ini hampir dilakukan di seluruh kawasan. Namun yang patut dicatat, proses pertemuan semacam itu tidak selalu mengandakan “tradisi besar” dan “tradisi kecil” sebagaimana yang diasumsikan Bowen dan Bruinessen. John R. Bowen, “Islamic Transformation: From Sufi Poetry to Gayo Ritual”, dalam Rita S. Kipp and Susan Rodgers, Indonesian Religions in Transition (Tuscon: University of Arizona Press, 1987.), 113-135 dan Martin van Bruinessen “Studies of and Sufi Orders in Indonesia”, dalam Die Welt des Islams, 38, 2 (1998), 203. Cara pandang hegemonik semacam ini tidak lagi relevan untuk melihat proses dialog antara sufisme dan lokus kebudayaan yang terjadi secara hibrid dan ambivalen. 104 Sebenarnya masih ada satu lagi nama, Raden Aboe Bakar (Aboe Bakar Djajadiningrat), salah seorang informan Snouck di Jeddah. Posisinya sebagai kolaborator sangat tampak dengan memperlihatkan keberpihakan dan pengabdiannya kepada kolonial. Sebagai salah satu komparador kolonial yang paling loyal, Raden Aboe Bakar memainkan peranannya dalam memberikan informasi, rekomendasi dan

46

komparador dan kolaborator kolonial, keduanya berada di area jangkau colonial encounter yang paling rapat. Karena itu, keduanya bisa dijadikan representasi untuk melihat kontestasi wacana yang berkembang.

D. Skema Hermenutis Bahasa Melayu dan Karakter Manhaji dalam Nomenklatur Islam di Nusantara Ada dua rumpun konsep yang hendak dibicarakan dalam sub bab ini. Pertama soal skema hermeneutis dalam Bahasa Melayu dan penjelasan soal makna vernakularitas tekstual itu sendiri. Dua-duanya saling berkaitan dan menentukan langkah metodologis dalam penelitian kali ini. Sebagai langkah analisis, keduanya akan dilakukan dalam sekali tepuk tanpa harus diperbedakan antara satu kategori analisa dengan kategori yang lain. Pertama, yang harus diperjelas adalah soal skema hermeneutis dalam Bahasa Melayu. Kitab Bahr al-Madhi yang jadi obyek adalah kitab berbahasa Melayu dan beraksara pegon. Pertanyaannya, bagaimana teks dan narasi semacam itu harus diperlakukan? Mengenatui karakteristik obyek akan menentukan skema analisa yang akan diterapkan. Dalam hal ini, G. L. Koster dan H. M. J. Maier punya penjelasan yang bisa dijadikan pembuka;

“The Malay textual system was fundamentally encyclopedic and citational: every word, phrase and sentence in one way or another referred to, and was a variation on, similar words, phrases and sentences in other texts. Every text was a play on previous texts, an imitation in everchanging ways of existing and already accepted phrases and fragments, and presented already sanctioned nations and codes of behavior. In short every texts was in some sense exemplary, deriving much of its authority from its appeal to hallowed tradition.”105

Poin pertama yang bisa dicatat dari kutipan di atas adalah sistem tekstual Bahasa Melayu bersifat ensiklopedik dan saling kutip. Setiap unit bahasa, baik itu kata, kalimat, frasa dan pengibaratan, adalah representasi rujukan, kutipan sekaligus variasi dari kata, kalimat, frasa dan cara pengibaratan dalam teks-teks yang lain. Teks, sebagaimana layaknya sekelompok anak kecil, muncul sebagai strategi mempermainkan – melalui cara

lain-lain. M. Laffan, “Raden Aboe Bakar; An introductory Note Concerning Snouck Hurgronje's Informant in Jeddah (1884-1912)” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 155, no: 4, (Leiden, 1999), 517-542. 105 G. L. Koster and H. M. J. Maier, “A Medicine of Sweetmeats: On the Power of Malay Narrative” dalam BKI, vol. 141, no. 4 (1985), h. 446.

47

mencontoh aktif – teks-teks sebelumnya dalam hal fragmentasi berbahasa umum yang dipakai dalam konteks kebudayaan tertentu. Tidak hanya di level kata, kalimat, frasa ataupun ibarat, permainan saling contoh dan saling kutip terjadi dalam level gagasan maupun adat tata- krama yang diyakini bersama. Dengan kata lain, menurut Koster dan Maier, setiap teks Melayu adalah “sebuah contoh terbaik yang ditulis dan disalin kembali, di mana otoritasnya diperoleh dari keakrabannya dengan tradisi yang dihormati itu.” Dari sini, teks Melayu selalu mengalami intertekstualitas dengan teks-teks lainnya.106 Selain intertekstualitas, Ahmad Baso menambah tiga hal yang patut diperhatikan dalam aspek manhaji teks-teks Nusantara, yaitu: prinsip hakikat nusus, prinsip al-ta’āmul ma’a al-nuṣūṣ dan faidah-istifadah.107 Pada prinsip yang pertama, teks dipahami sebagai sesuatu yang menyebar, sirkulatif dan beredar (tadawuli). Prinsip ini memberikan perhatian pada aspek material dari suatu teks. ia dibentuk dan membentuk identitas subyek, komunitas pembaca dan khalayak sosialnya.108 Ia bukan tabula rasa yang kosong dan tanpa warna. Selain sirkulatif, teks juga merupakan sesuatu yang bergerak, cair dan selalu dalam proses menjadi (in state becoming).109 Prinsip selanjutnya adalah interaksi dengan teks. Ahmad Baso dalam hal ini menyitir teori resepsi sastra.110 Dari konsep tersebut, prinsip interaksi dengan teks bisa dimaknai ke dalam lima aspek utama; 1) pembaca sebagai produsen makna, 2) tradisi dan kerangka imajinasi pembaca, 3) sifat pembawaan, cara kehadiran dan tampilan suatu teks kepada dunia khalayaknya,

106 Hal ini sewarna dengan apa yang disampaikan Jonathan Culler. Menurutnya, “In all reading and writing the constitutive principle is intertextuality…” G.L. Koster, “The Soothing Works of The Seducer and Their Dubious Fruits; Interpreting The Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig and S.O. Robson (ed.), A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Professor A. Teeuw (Seri VKI No. 121) (Dordrecht: Foris, 1986), h. 78. 107 Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra Pesantren”, dalam Ahmad Baso, Pesantren Studies 2b; Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-Teks Aswaja-Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19 (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), h. 1-9. 108 Sejalan dengan Foucault yang menjelaskan teks atau arsip sebagai “a discursive system of historical a priori that rules over the formation of particular discourse”. Michel Foucault, The Archeology of Knowledge and The Discourse an Language, A.M. Sheridan Smith (terj.) (New York: Pantheon Books, 1972), h. 21. 109 Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra Pesantren”, h. 1. 110 Ahmad Baso menimba konsep ini dari: Umar Junus, Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1985) dan Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses”, dalam Julian Rivkin dan Michel Ryan (ed), Literary Theory: An Anthology (Oxford: Blackwell, 2004).

48

4) horizon penerimaan sosial-budaya dalam kerja-kerja kongkretisasi dan rekonstruksi dan 5) suatu sistem yang kompleks dari berbagai macam unsur yang diharapkan komunitas penerimanya.111 Prinsip ketiga adalah faidah-istifadah. Prinsip ini mengandaikan bahwa semua varian teks dan dokumen sejajar sama penting. Semua data teks akan diposisikan sebagai satu kesatuan dengan teks induknya. Dari prinsip ini tidak ada diferensiasi antara “yang induk” dan “yang pinggiran”.112 Eskpresi berbahasa, data tekstual pinggiran, termasuk ulasan-ulasan dan penjelasan berfungsi sebagai revisi atas teks induk yang memungkinkan hadirnya keterbukaan dan ketakterdugaan. Keterbukaan ini mewakili satu kondisi kemerdekaan subyektifitas, yang dalam kasus tertentu – khususnya masyarakat korban kolonialisme – merupakan suatu pemberontakan atas suara dominan yang dipaksakan.113 Dengan demikian, Baḥr al-Mādhī sebagai sebuah dokumen, teks dan arsip keislaman di Nusantara akan diperlakukan dalam empat prinsip tersebut. Setiap data tekstual yang tampil akan dihargai dan diacu untuk melihat situs wacana kebudayaan yang melatarbelakanginya.

E. Vernakularitas Tekstual dan Relasi Subyek-Obyek: Tawaran al- Jabiri Setelah memahami obyek yang hendak diteliti, tugas selanjutnya adalah menentukan metode dan langkah yang tepat, yang sesuai dengan karakteristik obyek. Karena itu, penelitian ini menggunakan kerangka konsep vernakularisasi dan menimba isinya dari Muḥammad ‘Ābīd al-Jābirī. Secara umum, vernakular berasal dari kata vernacullus yang bermakna lokal, domestik, asli dan pribumi. Istilah ini awalnya dikenal dalam dunia arsitektur untuk membahasakan sebuah gaya arsitektur yang dirancang dan dikembangkan berdasarkan lokalitas bahan, fungsi dan nilai sebuah bangunan. Teori arsitektur vernakular menyandarkan model kepada format dan prinsip pembangunan yang muncul dari proses panjang dialektika manusia dengan kondisi dan alam sekitarnya.

111 Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra Pesantren”, h. 5. 112 “Yang induk” dan “yang pinggiran” berposisi sama layaknya langue dan parole. Langue adalah bahasa sebagai sistem resmi, sedangkan parole adalah ekspresi berbahasa. Di kalangan strukturalis klasik, keduanya diperbedakan dan disenjangkan. Lihat misalnya: Roland Barthes, Elements of Semiology (Ney York: Hill and Wang, 1994). 113 Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra Pesantren”, h. 6-7.

49

Dalam terminologi yang lebih luas, Menurut Johns, vernakularisasi adalah proses akulturasi budaya atau pembahasa-lokalan.114 Vernakularisasi tidak hanya terjadi dalam bentuk mengalihkan bahasa dan menerjemah saja, tapi juga mengandaikan satu olah gagasan berdasar format bahasa, tradisi dan budaya masyarakat lokal.115 Gusmian dan Nur Ichwan memberikan catatan, bahwa vernakularisasi tidak selamanya kerja pembahasa-lokalan saja, namun juga bisa berbentuk penyerapan struktur linguistik Bahasa Arab itu sendiri.116 Lalu Ashcroft, Griffiths dan Tiffin memberikan perluasan maksud, bahwa terkadang vernakularisasi bisa berwujud abrogasi. Yakni ketika bahasa asli tetap digunakan dalam struktur fonetiknya, namun dalam kondisi dimana relasi semiotis makna yang terangkai di dalamnya sudah dipatahkan oleh lokalitas dan paradigma kebudayaan subyek.117 Dengan kata lain, vernakularisasi adalah upaya untuk merawat apa “yang lama”, “yang lokal”, “yang asli” dan domestik dalam setiap usaha untuk merumuskan konsep bangunan baru, yang bahkan paling modern sekalipun. Pemahaman ini selaras dengan visi kerja pensyarahan hadis di Nusantara. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh para ulama hadis adalah upaya untuk menampilkan unsur-unsur kenusantaraan sebagai “yang lokal” dan “yang domestik” dalam sebuah bangunan teks dan wacana hadis Arab-Islam. Vernakularisasi, dalam konteks kitab syarah hadis, terekam dalam pemilihan diksi, istilah dan cara seorang syarih menjelaskan hadis berdasarkan subyektifitasnya. Skema relasi obyek-subyek dalam vernakularisasi, atau bahkan cara kerja vernakularisasi itu sendiri, akan menjadi sangat jelas dengan

114 Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in The Malay World”, dalam Andrew Rippin (ed.), Approaches to The History of The Interpretation of The Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988), h. 579. 115 Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in The Malay World”, h. 258-260. Baca juga: Farid F Saenong, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir al-Qur’an di Indonesia.” Interview dengan A. H. Johns, Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, hlm. 579. 116 Moch. Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Al-Qur’an Melayu Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa, Pergeseran dan Kematian”, Visi Islam vol. 1 No. 1 Januari 2002, h. 13; Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca”, dalam Jurnal Tsaqafah, vol. 6, No. 1, 2010, h. 1-25. 117 Makna abrogasi ini relevan jika melihat realitas penulisan karya oleh ulama Nusantara yang tidak hanya berbahasa Melayu, namun juga berbahasa Arab. Namun yang menarik, meskipun menggunakan Bahasa Arab, orang Arab sebagai penutur aslinya tetap susah mengakses karena struktur epistem dalam rangkaian maknanya telah diperkaya oleh alam kenusantaraan. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Helen Tiffin, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (London and New York: Routledge, 2002), h. 37-42.

50

memanfaatkan tawaran metodologi dari al-Jābirī. Dalam karya-karyanya, al- Jābirī hampir menjejakkan seluruh analisisnya dalam dua skema metodologi yang dia ramu sendiri; al-faṣl dan al-waṣl. Al-faṣl dan al-waṣl mulanya dirumuskan oleh al-Jābirī untuk membangun metodologi pembacaan baru yang lebih kontemporer atas tradisi. Dari amatan yang dilakukannya terhadap tiga model pembacaan besar yang dominan digunakan oleh para sarjana, intelektual dan pemikir Arab modern- kontemporer atas tradisi selama ini, al-Jābirī menemukan bahwa seluruh model pembacaan itu ternyata ahistoris dan tidak obyektif.118 Dua hal tersebut muncul karena dua penyakit yang masing-masing teridap dalam struktur metodologi (al-manhaj) dan struktur perspektif atau visinya (al-ru’yah) sekaligus.119

1. Mekanisme al-Faṣl dan Problem Jarak Subyek-Obyek Mulanya, al-faṣl merupakan skema analisis yang ditujukan untuk menyelesaikan problem metodologis (al-manhaj) yang hampir menjangkiti tiga wacana besar pemikiran Arab Modern- Kontemporer tentang relasi dengan tradisi (al-turāth). Namun secara umum, langkah al-faṣl harus ditunaikan dalam setiap kerja membaca, mengingat masalah utama yang muncul ketika seseorang berhadap-hadapan dengan teks adalah, antara dirinya yang tertelan teks, atau dia yang menelan teks. Al-faṣl, dengan demikian, menyasar problem obyektifikasi dan distansiasi fenomenologis subyek-obyek. Problem metodologi (afāt wa ‘illat fī al-manhaj) yang ada mengandaikan satu problem keterkurungan subyektifitas dan ketiadaan independensi, baik bagi subyek maupun obyek untuk berbicara atas dirinya sendiri. Melalui al-faṣl, al-Jābirī menghendaki satu model vernakularisasi yang proporsional, yang dialogis dan produktif, antara subyek dan obyek. Kalau mau menggunakan bahasa al-Jābirī, bahwa tujuan dari proses obyektifikasi al-faṣl adalah agar masing-masing dari subyek

118 Al-Jābirī melakukan kritik terhadap Fundamentalisme Agama, Fundamentalisme-Orientalistik dan Fundamentalisme Kiri-Marxis sebagai tiga model pembacaan besar yang banyak dianut oleh pemikir Arab modern-kontemporer ketika membahas tradisi. Muḥammad ‘Ābīd al-Jābirī, Nahnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 12- 16. 119 Pemetaan antara al-manhaj dan al-ru’yah dalam analisa Jabirian adalah pemetaan dasar untuk mengetahui seluruh kegiatan membaca yang akan dilangsungkan. Pemetaaan ini berkaitan dengan dua ranah garapan dalam proses membaca yang masing-masing mengandaikan satu tahapan tertentu namun berkaitan antara satu dengan yang lain. Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 26.

51

maupun obyek bisa relevan dengan dirinya sendiri (mu’āṣiran li nafsihi). Dan ini harus ditunaikan melalui skema ganda al-faṣl, yakni faṣl al-qāri’ ‘an al-maqrū’ dan faṣl al-maqrū’ ‘an al-qāri’.120 Skema analisa ganda tersebut kemudian dikonkretkan lagi al- Jābirī menjadi tiga lapis analisa; kritik struktural, kritik ideologi dan kritik sejarah.121 Kritik struktural (al-mu’ālajah al-bunyawiyyah) dilakukan untuk memilah unsur yang tetap nan stabil (thābit) dan berubah-ubah (taḥawwulāt) dalam obyek. Lapis analisa ini masuk ke dalam struktur untuk memahami keseluruhan konfigurasi pemikiran yang terbentuk. Kritik struktural, menurut al-Jābirī, ditempuh dengan kerja-kerja mengumpulkan, membaca, memahami dan membandingkan seluruh korpus dan literatur terkait obyek, baik yang ditulis secara khusus maupun secara umum. Selanjutnya adalah kritik atau studi sejarah (al-tahlīl al- tārīkhī). Kritik ini didominasi oleh amatan terhadap ruang historis obyek dari seluruh lininya; sosial, politik, ideologi dan kebudayaan. Ia dilakukan bukan hanya untuk mengetahui unsur kesejarahan obyek, namun juga untuk melacak “kemungkinan-kemungkinan sejarah” (al-imkān al-tārīkhī) yang ada. Dengan kata lain, analisa sejarah dilakukan untuk memvalidasi keabsahan “inti pengetahuan” (al-bunyawi). Kritik sejarah akan melalukan pengujian apakah yang dianggap “inti” itu memang benar-benar inti, bukan kamuflase inti atau inti cangkokan.122 Tapi al-Jābirī memberikan catatan penting. Pertama, kritik sejarah tidak hanya berfungsi untuk menguji kontradiksi “inti pengetahuan” dengan fakta-fakta sejarah yang muncul. Meskipun nantinya dibutuhkan, ia tidak dominan. Kedua, yang paling penting untuk dilakukan dalam tahap analisa sejarah adalah mencari “kemungkinan-kemungkinan sejarah” (al-imkān al-tārīkhī); beragam kemungkinan yang jadi bahan untuk mengamati dengan jelas “apa yang seharusnya terkandung dalam teks” dan “apa yang seharusnya tidak”, “apa yang seharusnya terkatakan dalam teks”

120 al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 21. Memisah subyek dari obyek adalah upaya untuk mengembalikan keadaan obyek yang sudah tercabik-cabik oleh asumsi dan anggapan subyek. Stigma, perasaan, anggapan, imajinasi dan prediksi yang ditagahkan subyek di awal pembacaan, yang sudah terlebih dahulu menindih obyek yang hendak dibaca, akan meniadakan obyektifitas obyek itu sendiri. Maka mengembalikan keadaan obyek sebagaimana ia lahir di awal sebagai pra-kondisi adalah medan pertama al-faṣl yang harus dituntaskan. 121 al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 24. 122 Al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 24.

52

dan “apa yang seharusnya tidak” berikut “apa yang seharusnya terdiamkan dalam teks” dan “apa yang dipaksa diam”.123 Lapis analisa ketiga yang juga tak kalah penting adalah kritik ideologi (al-ṭarh al-idiyūlūjī). Menurut al-Jābirī, kritik sejarah tidak akan sempurna jika tidak digenapi oleh kritik ideologi. Kritik ideologi bertugas di sisi yang lain. Ia dilakukan untuk melihat fungsi-fungsi ideologis yang menggerakkan sebuah pemikiran tertentu. Mengapa kritik ideologi menjadi penting? Ini soal bagaimana menggerakkan dan menghidupkan kembali fungsi medan sejarah yang dinonaktifkan dalam proses kritik struktural. Sebelumnya, dalam kritik struktural, medan historis adalah salah satu unsur yang dinonaktifkan karena ia mengikat dan membatasi prosedur hanya pada cara baca kronologis. Karena yang hendak dicari adalah kesatuan dan keutuhan sebuah struktur pengetahuan sekaligus unsur yang fundamental dan menggerakkan, maka cara baca kronologi harus dilampaui dan tiap sekat pembatasan pembacaan lainnya harus diterabas. Melalui kritik struktural bisa saja akan melahirkan –dan ini sering– satu fakta dan kesimpulan yang nampaknya ahistoris.124 Penampakan ini memang akan terlihat begitu ketika ia ditatap dari sudut pandang kronologis. Kritik struktural bekerja bukan dalam medan amatan yang kronologis, ia justru lebih banyak bekerja secara diakronis dan intertekstualitas. Maka sudah menjadi kebutuhan dan keniscayaan ketika fungsi historisitas teks dinonaktifkan sementara waktu. Kritik ideologi membangkitkan kembali fungsi historis dari sebuah teks. Maka kata al-Jābirī, sudah barang tentu proses kritik ideologi menjelma satu tahapan penting ketika kita hendak menjadi teks relevan dengan dirinya sendiri berikut seluruh unsur yang melingkupi dan membentuknya (mu’āṣiran li nafsihi). Kritik ideologi adalah instrumen metodologis untuk mengembalikan ruh kesejarahan dan nilai relevansi teks bagi teks itu sendiri. Kritik

123 Al-Jābirī memberikan contoh bagus mengenai kritik sejarah ketika mengamati proses ‘aṣr al-tadwīn. Al-Jābirī menemukan sesuatu “yang didiamkan” dalam teks al-Dhahabī yang dikutip al-Ṣuyūṭī dalam Tārikh al-Khulafā’ terkait proses kodifikasi. Jalāluddīn al-Ṣuyūṭī, Tārikh al-Khulafā’ (Kairo, 1959), h. 115. Amati kritik al-Jābirī dalam: Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1991), h. 62-63. 124 Ini misalnya yang dihasilkan al-Jābirī ketika mengatakan al-Ghazālī itu “yufassiru ma qablahu wa mā ba’dahu”. Baca dalam: Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, “Fikr al-Ghazālī: Mukawwinātuhu wa Tanāquḍātuhu” dalam Muḥammad ‘Ābid al- Jābirī, al-Turāth wa al-Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al- Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1991), h. 161-174.

53

ideologi adalah tahapan ketika fungsi kesejarahan diaktivasi kembali untuk kepentingan selanjutnya. Dalam kasus al-Marbawī dan Baḥr al-Mādhī, skema ini akan digunakan untuk mengurai relasi yang terbentuk antara al-Marbawī sebagai orang Nusantara dengan teks hadis yang muncul dari wacana keagamaan Arab-Islam. Ada dua realitas yang tengah berdialog; realitas al-Marbawī dan alam kenusantaraan, serta realitas teks hadis berikut seluruh problematika Arab-Islamnya. Melalui teks-teks Baḥr al-Mādhī dan perangkat analisa al-Jābirī, akan dilihat model interaksi semacam apa yang tengah berlangsung.

2. Mekanisme al-Waṣl dan Problem Internalisasi Problematika (Wiḥdah al-Ishkāliyyah) Skema al-waṣl ditujukan untuk problem visi (al-ru’yah), yang menurut al-Jābirī tak kalah pentingnya untuk melihat pola kerja vernakularisasi yang terjadi. Al-waṣl adalah momentum ketika subyek mampu mengurai obyek tanpa intervensi dan pemaksaan dan menemukan titik sambungnya dengan alam realitas subyeknya. Sekelumit tentang proses al-faṣl hanya upaya untuk mengamputasi problem metodologi dan menggantinya dengan bangunan baru yang lebih relevan dan kontemporer (al-qaṭī’ah al- ibistimūlūjiyah). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemikiran juga memiliki problem di ranah perspektif atau visi (al-ru’yah).125 Secara umum, al-ru’yah bisa dimaknai kosmologi, pandangan dunia atau world view yang membentuk cara pandang seorang individu ataupun masyarakat terhadap sesuatu. Sisi ini juga memiliki urgensi dan relevansinya ketika seorang pembaca hendak mengambil istifadah dari teks yang dibacanya untuk kepentingan peneguhan kekiniannya sebagai anak zaman. Ada beberapa kata kunci yang diungkap al-Jābirī terkait karakter metodis proses al-waṣl. Selain visi atau kosmologi, al-waṣl juga terkait dengan problem kontinuitas (al-istimrāriyah), subyektifitas dan instumennya, yakni “intuisi matematis”.126

125 Keterikatan antara metodologi dan visi dijelaskan oleh al-Jābirī, “kullu manhaj yaṣduru ‘an ru’yah… wa al-wa’yu bi ab’ād al-ru’yah sharṭun ḍarūrī li isti’māli al-manhaj isti’mālan salīman muthmiran. Al-ru’yah Tu’aṭṭir al-manhaj, tuḥaddidu lahu ufuqahu wa ab’ādahu, wa al-manhaj yughni al-ru’yah wa yuṣaḥḥiḥuhā.” al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 26. Artinya ada ikatan yang kuat antara metodologi dan visi sebagai dwitunggal, yang saling melengkapi dan menyempurnakan proses membaca dan mengaji. Karena itu, selain menopang soal metodologi, al-Jābirī juga hendak mengurai persoalan “visi” yang juga tak kalah krusial. Di sinilah kita akan mulai membicarakan al-waṣl. 126 al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 27.

54

Ketika al-faṣl bisa disimpulkan sebagai proses obyektifikasi [atau distansiasi], maka al-waṣl adalah proses subyektifikasi [atau internalisasi dan personifikasi]. Yakni sebuah proses kembali kepada pembaca sebagai subyek yang relevan dengan dirinya, kekiniannya dan ke-naḥnu-annya. Pada tahap selanjutnya, proses personifikasi tersebut mengandaikan terjadinya kesatuan dan kontinuitas. Artinya, tradisi atau obyek bacaan tidak hanya berhenti dan berjarak dengan subyek setelah di-faṣl. Tapi ia juga harus berlanjut, mengalir dan bersatu bersama sang pembaca dalam menyelesaikan dan merespon problematika kekinian sang pembaca. Dengan kata lain, seorang pembaca melihat dan membaca dirinya dalam obyek yang dibacanya. Ia melakukan dialog bersama obyek dengan tetap mempertahankan independensi struktur obyek sebagaimana adanya, sekaligus menjaga kesadarannya sebagai subyek dan konsisten merawat subyektifitasnya. Proses al-waṣl mempertemukan independensi obyek dan independensi subyek yang kukuh merawat kesadaran, relevansi berikut kekiniannya. Oleh karena itu, menurut al-Jābirī , instrumen yang digunakan dalam proses al-waṣl harus melampaui batasan bahasa dan logika (manṭiq). Mengapa? Karena dua instumen tersebut tidak akan mampu menangkap dan melampaui hasil dari titik singgung dialektis antara subyek pembaca dan obyek bacaan melalui data- data obyektif yang berhasil diperas pasca al-faṣl. Maka “intuisi” (al- hads) merupakan instrumen satu-satunya yang bisa mengoptimalkan kerja al-waṣl. Intuisi yang dimaksud oleh al-Jābirī bukanlah intuisi ala sufi, Bergsonian atau fenomenologi, tapi “intuisi matematis” (al-hads al-riyāḍī) yang merupakan pandangan langsung, bersifat “segera”, dan menjadi pionir yang mampu menyingkap fenomena.127 Ahmad Baso, mengutip penjelasan langsung al-Jābirī dalam al- Madkhal ilā Falsafah al-‘Ulūm menjelaskan maksud dari “intuisi matematis” lebih lanjut. Intuisi matematis bisa dimulai dari pemahaman bahwa “setiap pernyataan, interpretasi atau konklusi yang berbasis intuisi merupakan keputusan ‘segera’ (immediate) terhadap suatu situasi atau masalah.” Oleh karena itu, “Intuisi merupakan ‘kognisi segera’ (immediate cognition).” Cara kerja intuisi matematis bisa dicontohkan misalnya dalam kasus ketika “seseorang dengan segera dapat menyimpulkan bahwa meja-meja

127 al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 27.

55

di depannya berbeda ukurannya, berbeda warnanya atau berbeda bentuknya”.128 Kesegeraan yang menjadi karakter kunci intuisi adalah cara satu- satunya untuk melampaui batasan dalam logika dan bahasa. Spontanitas seseorang dalam merespons sesuatu adalah cara kerja kognisi yang biasanya berpangkal pada kemurnian dan produksi pengetahuan berbasis intensitas dan sensitifitas. Artinya, tidak perlu proses yang cukup lama dalam merespons sesuatu karena ia sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri, dia hidupi dan gumuli selama ini. Al-waṣl adalah proses yang mengandalkan subyektifitas. Subyektifitas lahir dan muncul dalam bentuk spontanitas dan immediate cognition. Sedangkan logika dan bahasa adalah non- immediate cognition yang tak lagi murni, telah bersentuhan dengan banyak bentuk dan seringkali sudah ditekan sekaligus dibentuk oleh aturan dan disiplin tertentu

128 Ahmad Baso, Al-Jābirī, Eropa dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara Untuk Dunia (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018), h. 93. Lihat footnote no. 139.

56

BAB III Mengamati Al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī

A. Mengamati Idris al-Marbawi Al-Marbawi harus diakui adalah seorang ulama dengan tingkat produktifitas tinggi yang karyanya menjangkau berbagai lintas disiplin. Tidak hanya hadis, al-Marbawi juga tercatat memiliki karya di bidang fikih, akidah dan tafsir, bahkan kebahasaan. Kapabilitasnya di berbagai bidang keilmuan tidak lantas menggerus posisi al-Marbawi dari statusnya sebagai muhaddis. Sebaliknya, keragaman ilmu dan kemampuan yang dimiliki al-Marbawi membuatnya mampu menjelaskan hadis dari berbagai aspek, dan lebih jauh lagi, menulis sebuah karya tebal di bidang syarah hadis. Berikut akan dijelaskan biografi sosok al-Marbawi dan pemikirannya; dari mana ia berasal, dengan dan di mana dia belajar serta karya apa saja yang sudah dihasilkan?

1. Biografi Muhammad Idris al-Marbawi Muhaddis yang bernama lengkap Muhammad Idris bin Abdul Rauf bin Ja’far bin Idris al-Marbawi al-Azhari ini lahir di Misfalah Mekkah pada 12 Mei 1896 M atau 28 Dzulqa’dah 1313 H.129 Pada tahun 1990-an, al-Marbawi dan keluarganya yang memang berasal dari Lubuk Merbau pulang ke kampung halamannya. Di Nusantara, al-Marbawi memulai proses pengajiannya di Sekolah Melayu Lubuk Merbau. Setelah itu, secara beruntutan, al-Marbawi mengaji kepada Syeikh wan Muhammad Wan (w. 1929) Husein di Bukit Chandan Kuala Langsar selama tiga tahun, kepada Tuan Husein al-Mas’udi (w. 1936) di Kedah, di Pesantren al-Masriyah milik Syeikh Ahmad al-Fattani di Bukit Mertajam selama empat tahun dan kepada Syeikh Muhammad bin Yusuf atau Tok kenali (w. 1933). 130 Pada tahun 1924 al-Marbawi melanjutkan perantauannya ke al-Azhar Mesir. Al-Marbawi tidak mencukupkan diri hanya pada perkuliahan di kampus, dia juga mengikuti beberapa pengajian di luar kampus. Salah seorang guru yang disebut oleh al-Marbawi dan turut mendorong ketertarikannya di bidang hadis adalah Syeikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti (w. 1355 H). Pengajian Syeikh al-

129 Mohamed Idris ‘Abd al-Rauf al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi Arabi- Melayu (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 292. 130 Mesbahul Hoque dkk., Phase In The Life of The Malaysian Scholar Sheikh Muhammad Idris al-Marbawi and His Contribution of Knowledge, dalam Journal of Hadith Studies, vol. 3, no. 1 (June 2018).

57

Samaluti yang biasa digelar di Masjid Sayyidina Husain dan Masjid Sayyidah Zainab ini rajin diikuti al-Marbawi. Melalui Syeikh al-Samaluti juga al-Marbawi terpukau kepada Sunan al- Tirmidhi dan berazam akan mensyarahinya kelak. Selain Syeikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti, al-Marbawi juga berguru kepada Syeikh Mahmud Ghunaym131, Syeikh Muhammad Bakhit, Syeikh Abu al-A’la al-Falaki132, Syeikh Muhammad Ali al-Maliki133, Syeikh Abdul Wasif bin Muhammad dan Syeikh Yusuf al-Hawi.134 Bakat menulis dan konsistensi al-Marbawi dalam berkarya sudah nampak sejak berguru kepada Tok Kenali. Di al-Azhar, al- Marbawi sempat dipercaya menjadi redaktur sebuah majalah bernama Seruan al-Azhar. Selain itu, pada tahun 1927, al-Marbawi menginisasi sebuah penerbitan bernama al-Matba’ah al- Marbawiyyah dan sempat menyunting serta menerbitkan beberapa buku. Sejak lulus dari al-Azhar, al-Marbawi lebih banyak menghabiskan waktunya di Mesir. Sampai tahun kewafatannya, al- Marbawi tercatat beberapa kali kembali ke Nusantara; tahun 1967 hingga 1969, tahun 1980, 1987 dan 1988. Kebanyakan dari kunjungan yang dilakukan al-Marbawi adalah menerima penghargaan dari kerajaan maupun perguruan tinggi Malaysia. Al-Marbawi wafat di Ipoh, sebuah kota di Malaysia, pada tanggal 13 Oktober 1989 dan dimakamkan di Lubuk Merbau Kuala Langsar, di samping pusara istrinya yang meninggal lima bulan sebelumnya.

2. Al-Marbawi dalam Peta Jaringan Ulama Nusantara Dalam biografi ringkas yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa orang guru yang menjadi titik masuk bagi al-Marbawi

131 Namanya gurunya ini disebut langsung oleh al-Marbawi dalam Bahr al- Madhi. Lihat: al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 22, h. 226-227. 132 Salah seorang guru yang mengajarkan Ilmu Falak kepada al-Marbawi, sekaligus orang yang mencetuskan dan menginspirasi al-Marbawi menyusun Kamus al-Marbawi. Faisal bin Ahmad Shah, “Malay Success and Excellence Factors as Perceived by Mohamed Idris al-Marbawi” dalam Jurnal Pengajian Melayu, jil. 20 (2009), h. 29. 133 Nama guru yang disebut al-Marbawi dalam karyanya Terjemah Bulugh al- Maram. Muhammad Idris bin Abdul Rauf al-Marbawi, Bulugh al-Maram Serta Terjemah Melayu (Mesir: Matba’ah al-Anwar al-Muhammadiyyah), halaman mukadimah. 134 Seorang guru al-Marbawi yang turut mentashih Kamus al-Marbawi. Faisal bin Ahmad Shah, “Malay Success and Excellence Factors as Perceived by Mohamed Idris al-Marbawi”, h. 30.

58

dalam lintasan jaringan ulama Nusantara. Jaringan keulamaan dan sanad keilmuan al-Marbawi setidaknya bisa ditelusuri dari tiga orang nama; Tok Kenali, Syeikh Ibrahim al-Samaluthi dan Syeikh Muhammad Bakhit al-Mu’thi. Disadari atau tidak, masuknya al- Marbawi ke dalam jaringan ulama Nusantara memberinya dua keuntungan; warisan otoritas keilmuan yang diakui di Timur Tengah dan mudahnya al-Marbawi masuk ke dalam jaringan percetakan, yang memungkinkan karya-karyanya terpublikasi dan diterbitkan untuk pembaca Internasional. Guru pertama yang menjadi gerbang masuknya al-Marbawi ke dalam peta jaringan ulama Nusantara adalah Tok Kenali al- Kelantani, atau Syeikh Muhammad bin Yusuf (w. 1933).135 Tok Kenali adalah salah seorang ulama berpengaruh di zamannya. Sanad keilmuan Tok Kenali bersambung kepada Syeikh Ahmad al- Fatani. Dari Tok Kenali dan melalui Pesantren Masriyah, al- Marbawi terlibat dalam jaringan ulama Fattani. Syeikh Ahmad Fattani masyhur dikenal sebagai seorang pembaharu, ulama kenamaan, pemikir dan aktivis yang punya sikap politik. Selain Tok Kenali, Syeikh Ahmad al-Fatani adalah guru bagi sejumlah ulama Nusantara lain. Muridnya antara lain, KH. Muhammad Kholil Bangkalan, Syeikh Mahfudh Termas, Syeikh Abdul Hamid Asahan dan lain-lain. Syeikh Ahmad al- Fatani juga dikenal dekat dengan Syeikh Mustafa, pendiri percetakan terkenal Mustafā al-Bābi al-Halabī, dan lama bekerja sebagai editor bagi kitab-kitab yang hendak diterbitkan. Dengan kata lain, sejak abad 18, Syeikh Ahmad al-Fatani adalah salah satu ulama Nusantara yang menjadi kunci bagi penerbitan kitab-kitab karya ulama Nusantara di Timur Tengah.136

135 Muhammad Yusuf bin Ahmad atau lebih dikenali dengan nama Tok Kenali. Dilahirkan pada 1870 M di Kampung Kubang Kerian, Mukim Kenali, Kota Bharu, Kelantan. Menurut Abdullah al-Qari, Tok Kenali ialah seorang ilmuwan, ulama, serta guru agama di Nusantara pada awal abad ke-20 Masihi. Tok Kenali juga dikenal memiliki karomah sebagaimana layaknya seorang wali. Lihat Abdullah al-Qari Haji Salleh, Tuk Kenali Penggerak Ummah (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2009), h. 5. Tok Kenal juga diposisikan sebagai tokoh pembaharu Islam di abad 20. Ia disejajarkan dengan , Said Nursi, Muhammad Abduh dan tokoh pembaharu lainnya. Alexander Wain and Mohammad Hashim Kamali (ed.), The Architects of Islamic Civilisation (Malaysia: Pelanduk Publications and IAIS, 2017), h. 264. 136 Meskipun pada akhirnya muncul konflik antara Syeikh Ahmad al-Fatani dan Syeikh Mustafa. Misinya untuk terus mencetak dan menerbitkan buku-buku ulama Nusantara masih dipegang oleh Syeikh Ahmad al-Fatani pasca konflik internal yang terjadi antara dirinya dan Syeikh Mustafa. Syeikh Ahmad kemudian menginisiasi penerbitan bersama pemodal Turki. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Syeikh Ahmad al-

59

Ibrahim al-Samaluti Muhammad Bakhit

Al-Marbawi Yasin al-Fadani

Syeikh Mahfudz Termas Tok Kenali KH. Kholil Bangkalan

Syeikh Ahmad al-Fatani

Diagram 3.1: Jejaring keilmuan al-Marbawi

Dari jalur Syeikh Ibrahim al-Samaluti137, al-Marbawi bergabung dalam jaringan keilmuan Syeikh Yasin al-Fadani. Syeikh Yasin sendiri adalah murid dari Syeikh Ibrahim al- Samaluti, sekaligus murid dari Syeikh Muhammad Bakhit al- Mu’thi138 yang juga merupakan guru al-Marbawi. Dikenal sebagai seorang muhaddis, Syeikh Ibrahim al-Samaluti semasa dengan Syeikh Shiddiq al-Ghumari, salah seorang muhaddis Maroko. Dari Syeikh Yasin, al-Marbawi terlibat dalam satu jejaring yang teramat luas mengenai sanad, silsilah dan lintasan tali pengetahuan ulama Nusantara.

Fathani; Pemikir Agung Melayu dan Islam jilid II (Kuala Lumpur: Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara dan Khazanah Fathaniyah, 2005). 137 Ibrahim al-Samaluthi memegang ijazah keilmuan hadis yang terhubung sampai al-Bukhari. Ahmad 'Umar Hashim, al-Muhaddithūn fī Miṣr wa al-Azhar wa Dawruhum fi Ihyā' al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Sharifah (Mesir: Maktabah Gharīb, tt.), h. 378. 138 Dalam Baḥr al-Mādhī,, al-Marbawi bercerita, "… adapun Syeikh Muhammad Bahich ada pengarang Bahr al-Madhi ini hadir mengaji di hadapannya dan tuan syeikh ini seorang yang tua di dalam mazhab Abu Hanifah dan ia sebesar- besar ulama dalam mazhab Abi Hanifah mahsyur bijaknya dan alimnya di dalam Mesir dan ia masa muda telah menjadi mufti Kerajaan Mesir di dalam Madzhab Hanafi sampai tua ia bersara dan menghambur fatwa yang penting-penting dan mengajar sampai kembali ke rahmat Allah. Maka kepadanyalah kerajaan dan orang-orang Mesir bersandar fatwa yang penting-pentingdan kepadanya tempat keputusan masalah- masalah di dalam Madzhab Hanafi". Lihat al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 12, h.133.

60

3. Karya-Karya al-Marbawi Al-Marbawi, sebagaimana yang sudah diulas di awal, memiliki karya hampir di setiap bidang keilmuan. Produktifitas al-Marbawi dipengaruhi oleh beberapa orang gurunya, terutama Tok Kenali murid Syeikh Ahmad al-Fatani yang juga terkenal produktif dalam berkarya. Dalam bidang bahasa, perkamusan dan ensiklopedia, al- Marbawi memiliki beberapa karya: Kamus al-Marbawi139, Ringkasan Kamus Melayu-Arab Bergambar Dan Teladan Belajar Arabnya yang Senang, Al- Marbawi Qamus al-Jayb ‘Arabi – Melayu Latin, Kitab Perbendaharaan Ilmu dan Mu‘jam al-Kainah. Dalam bidang tafsir al-Quran, al-Marbawi memiliki dua karya: Tafsir al-Quran al-Marbawi Juzu’ Alif Lam Mim dan Tafsir Surah Yasin Bahasa Melayu.140 Sedangkan dalam bidang hadis, beliau

139 Kamus yang akrab digunakan oleh para santri dan pelajar di Indonesia. Kamus al-Marbawi terdiri dari dua jilid dengan total tebal 800-an halaman. Kamus ini memuat hampir 36.000 kata berikut dengan gambar, ilustrasi dan contoh kalimat atau ungkapan untuk menunjukkan indikator penggunaan kata. Muhammad Idris 'Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi, cet. V, (Mesir: Dar al-'Ulum, 1354 H.). Menurut Adian Hizani, sebagai sebuah kamus, hanya ada satu kekurangan yang bisa ditemukan dalam Kamus al-Marbawi. Yakni penggunaan Bahasa Melayu beraksara Arab sebagai padanannya. Menurut Hizani, hal itu justru menyulitkan pembaca yang tidak terbiasa dengan pegon melayu. Selain itu, rentang jarak yang seringkali menimbulkan pergeseran perbendaharaan kata maupun makna, turut membentuk masalah lain yang membuat Kamus al-Marbawi sulit diakses bagi sebagian orang. Adian Hizani, Kamus Idris al-Marbawi dalam Tinjauan Leksikologi (Analisis Metode dan Isi), dalam Jurnal Alfaz, vol. 2, No. 2 (Juli-Desember 2014). 140 Selain dua kitab tersebut, sebenarnya banyak karya tafsir lain yang ditulis al-Marbawi. Baik itu tulisan asli atau karya saduran dari kitab tafsir lain. Selain dua kitab tersebut, al-Marbawi juga menulis Quran Bergantung Makna, Tafsir Surah Yasin (Terjemahan Tafsir Fath al-Qadir), Tafsir al-Qur’an al-Marbawi, Tafsir Quran Marbawi, Surah Yasin, Tafsir al-Qur’an Nur al-Yaqin, Tafsir Juz ‘Amma dan Tafsir al- Fatihah. Sayangnya, beberapa naskah di antaranya tidak bisa ditemukan. Nor Azlida Aziz, Metodologi Pentafsiran Sheikh Muhammad Idris al-Marbawi dalam Kitab Tafsir Quran Marbawi (Disertasi Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 2010). Namun menurut Abdul Salam dan Haziyah Husein dkk, beberapa judul kitab tersebut adalah nama lain untuk kitab yang sama. Misal, Tafsir Fath al-Qadir adalah nama lain dari Tafsir Surah Yasin dan kitab Tafsir Qur’an al-Marbawi Juz Alif Lam Mim adalah nama lain dari Tafsir al-Qur’an al-Marbawi. Abdul Salam Muhamad Shukri, “Al-Sheikh Dr. Muhammad Idris al-Marbawi’s Contribution to Islamic Studies in The Malay World,” dalam Mohamad Som Sujimon (ed.), Monograph on Selected Malay Intellectuals (Kuala Lumpur: Research Centre International Islamic University Malaysia, 2003), h. 87-112. Baca juga: Haziyah Husein dkk., “Pemikiran Tafsir Sheikh Mohamed Idris al- Marbawi dalam Manuskrip Quran Bergantung Makna Melayu”, dalam Jurnal al- Turath vol. 1 No. 1 (2016).

61

memiliki beberapa karya: selain Bahr al-Madhi, kitab yang dikaji sebagai obyek dalam penelitian ini, beliau juga menulis Kitab Idangan Guru Sahih al-Bukhari dan Muslim dan Kitab Bulugh al- Maram Serta Terjemah Melayu. Di bidang lainnya yang meliputi fikih, ahlak-tasawwuf dan tauhid, al-Marbawi juga menulis beberapa kitab: Punca Agama dan Pati Hukum Ibadat, Nidham al-Hayat (Peraturan Hidup Umat Islam) dan Asas Islam. Selain kitab dan karya ilmiah utuh, al- Marbawi juga menjadi redaktur dan rajin menulis dalam majalah serta surat kabar. Beberapa di antaranya dalam Majalah Pengasoh dan Seruan al-Azhar.

B. Mengamati Kitab Baḥr al-Mādhī Nama lengkap dari kitab Baḥr al-Mādhī adalah Baḥr al-Mādhī Syarh Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī.141 Namun dalam penamaan yang lain, judul kitabnya kadang bernama Mukhtaṣar al-Tirmidhī wa Sharhuhu bi Lughah al- Jāwī al-Malayū al-Musammā Baḥr al-Mādhī.142 Keduanya memang identik. Perbedaannya hanya terletak pada kalimat “Syarh Bagi” dan “Sharhuhu bi Lughah al-Jāwī al-Malayū”. Baḥr al-Mādhī secara keseluruhan berjumlah 22 jilid. Ia pertama kali dicetak, diterbitkan dan didistribusikan oleh Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bābī al-Halabī wa Awlāduhu di Mesir. 22 jilid Baḥr al-Mādhī tidak dicetak dalam waktu yang bersamaan. Jilid pertamanya mulai dicetak pada tahun 1933 M/1352 H143, sedangkan juz atau jilid terakhirnya baru tercetak pada tahun 1960 M./1379 H. Baḥr al-Mādhī adalah kitab yang mensyarahi Sunan al-Tirmidhi, atau yang dikenal hari ini sebagai Sunan al-Tirmidhi. Untuk mensyarahi 2781 hadis yang ada dalam Sunan al-Tirmidhī, Al-Marbawi membutuhkan 5068 total halaman yang terbagi dalam 22 jilid. Selain itu, al-Marbawi juga membuat sekitar 8282 sub “masalah” yang dikhususkannya untuk membicarakan banyak

141 Dalam naskah yang saya miliki, judul ini tertulis dalam lembar judul utama. Muhammad Idris al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī Syarah Bagi Mukhtasar Sahih al- Tirmidhi (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bābī al-Halabī wa Awlāduhu, 1933 M./ 1352 H.), j. 1, lembaran judul. 142 Sedangkan judul ini tertulis dalam lembar judul dalam yang juga memuat informasi tentang juz kitab dan tema apa saja yang dibahas di dalamnya. Dalam al-Juz al-Awwal misalnya, ada informasi berupa; “al-Juz’u al-Awwal yaḥtawī ‘alā kitāb al- ṭaharah wa mā yata’allaqu bihā. Ini kitab menerangkan bicara bersuci dan barang yang taklukannya. Dikeluarkan daripada Sahih al-Tirmidhi”. Al-Marbawi, Baḥr al- Mādhī, j. 1, h. 1. 143 Ini tertulis dalam kolofon naskah yang saya pegang, yang kebetulan merupakan cetakan pertama Baḥr al-Mādhī yang masih menggunakan kertas buram dan stensilan tinta sederhana untuk cetakan teks di dalamnya.

62

isu dan problem yang masih berkaitan dengan hadis-hadis yang disyarah maupun dengan kekinian masyarakat.

1. Alasan, Kitab Rujukan dan Proses Pensyarahan Baḥr al-Mādhī Dalam lembaran awal juz pertama Baḥr al-Mādhī, al-Marbawi memberikan sedikit pengantar kitab. Seperti biasa dalam tradisi menulis kitab, al-Marbawi membukanya dengan memuji Allah dan menghanturkan salawat kepada Nabi Muhammad. Setelah itu, baru al-Marbawi menjelaskan mengapa Sunan al-Tirmidhī yang dipilihnya untuk disyarahi. Apa yang melatarbelakangi dan siapa yang memotivasinya;

اداله كمدين درفد سوده اكو مڠاجى كتاب يڠبر نام صحيح الترمذي سودهله جاتوه ددالم هاتيكو براهي دان سوكا كفداڽ اوله اتورانڽ دان كپتأنڽ فد سڬل حكم شريعة نبي محمد صل الله عليه وسلم. دڠن كران بريبو2 باب دان احاديث سرت دايكوتڽ تيف2 حديثڽ كتراڠن امام2 مذهب لبه درى مذهب امفت يڠ معروف. جاڠن بچارا الڬى فد سند حديث ايت بوكن ماين الڬى دفرهالوسڽ دان الين درفداڽ ببراف علمو.

“Adalah kemudian daripada sudah aku mengaji kitab yang beri nama Sahih al-Tirmidhi sudahlah jatuh di dalam hatiku birahi dan suka kepadanya oleh aturannya dan dan kenyatannya pada segala hukum syariat Nabi Muhammad SAW. Dengan karena beribu-ribu bab dan ahadis serta diikutnya tiap-tiap hadisnya keterangan imam- imam madzhab lebih dari madzhab empat yang maruf. Jangan bicara lagi pada sanad hadis itu, bukan main lagi diperhaluskannya dan lain daripadanya beberapa ilmu.”144

Dalam penjelasan al-Marbawi, pemilihan Sunan al-Tirmidhī untuka disyarah murni karena kecenderungan subyektif al-Marbawi terhadap kitab tersebut. Dia merasa takjub, jatuh hati dan “birahi” karena kepiawaian al-Tirmidhi dalam menyusun kitabnya sekaligus mengelaborasinya dengan persoalan fikih. Al-Marbawi tampaknya juga terpukau bahwa al-Tirmidhi selalu merujuk penjelasan- penjelasannya kepada para imam mazhab. Dengan kata lain, satu hal yang paling membuat Sunan al- Tirmidhī menarik hati al-Marbawi adalah cara kitab tersebut masuk

144 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 2.

63

dan terlibat dalam perbincangan seputar persoalan hukum melalui hadis-hadis Nabi. Tidak berhenti di situ. Al-Marbawi juga mendapati, bahwa Sunan al-Tirmidhī tidak hanya memiliki karakteristik dan keunggulan di persoalan otoritas hadis, tapi juga soal otentisitas hadis. Dalam paragraf selanjutnya, al-Marbawi bercerita tentang sosok yang membuatnya tertarik pada Sunan al-Tirmidhī serta menginspirasinya untuk melakukan pensyarahan;

كفد اكو تياف2 كالى اكو مڠاجى دان مڠهادف ڬوروكو حضرة صاحب الفضيلة موالنا مربى ارواحنا األستاذ األكبر: الشيخ محمد ابراهيم السمالوطى من هيئة كبار علماء األزهر الشريف ڬورو حديث يڠ مشهور مڠاجر برفوله2 تاهن د جامع سيدنا الحسين )چوچو رسول الله) دكوتا قاهرة )مصر) دكت أزهر الشريف، سودهله اكو براسا مينم مادو، دڠن كران ايتوله برسوڠڬوه اكو تيف2 فاڬى فرڬى منريما فداڽ دڠن كتيدأن لوڬو.

“Kepada aku tiap-tiap kali aku mengaji dan menghadap guruku Hadratu Sahib al-Fadilah Maulana Murabbi Arwahina al-Ustadh al- Akbar al-Shaikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti, salah seorang ulama besar al-Azhar [dan] seorang guru hadis yang masyhur mengajar berpuluh-puluh tahun di Jami’ Sayyidina al-Hasan (cucu Rasulullah) di Kota Mesir dekat al-Azhar, sudahlah aku berasa minum madu, dengan kerana itulah bersungguh-sungguh aku tiap- tiap pagi pergi menerima padanya dengan ketiadaan lugu.”145

Syeikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti, sebagaimana yang sudah diulas dalam peta jaringan keulamaan al-Marbawi sebelumnya, adalah mahaguru bagi banyak sekali ulama Nusantara. Satu di antaranya adalah Syeikh Yasin al-Fadani. Dikenal sebagai seorang muhaddis yang fakih, Syeikh Ibrahim al-Samaluti sudah berpuluh tahun mengajar dan menggelar pengajian di Masjid Sayyidina al-Husain, dekat al-Azhar. Melalui Syeikh Ibrahim, al- Marbawi mendapati dirinya bagai “minum madu” dari kitab-kitab hadis yang dikaji, termasuk Sunan al-Tirmidhi. Selain Sunan al-Tirmidhi, al-Marbawi juga mengakui telah menyelesaikan mengaji Ṣaḥīḥ Muslim dan beberapa kitab lainnya.

145 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 2.

64

Dia juga mengakui mendapatkan syahadah berkat ketekunannya mengikuti pengajian yang dilangsungkan setiap pagi itu.146 Ketekunan al-Marbawi tidak hanya dia tunjukkan dalam proses belajar. Ketekunan itu juga ia terapkan dalam proses panjang mensyarah hadis yang dilakukannya dengan berangsur. Dalam paragraf selanjutnya al-Marbawi menceritakan proses pensyarahan kitab;

... كمدين منكال اكو فولڠ كرومه تياداله الڬى برفاليڠ ملينكن اكو جالنكن باتڠ قلم اكو دفيفى صحيفة2 سبڬيمان يڠاكو ايڠت دان اكو فهم درفداڽ

“... Kemudian menakala aku pulang ke rumah tiadalah lagi berpaling melainkan aku jalankan batang qalam aku di pipi sahifah- sahifah sebagaimana yang aku ingat dan aku pahami daripadanya...”147

Menjadi maklum jika proses pensyarahan Baḥr al-Mādhī – berdasarkan rentang waktu cetak juz pertama hingga juz terakhir – memakan waktu hingga puluhan tahun. Ketekunan al-Marbawi dalam menuangkan ingatan dan pemahamannya setiap kali selesai mengaji adalah proses panjang di balik kelahiran Baḥr al-Mādhī. Dari sini juga bisa disimpulkan, Baḥr al-Mādhī adalah produk syarah yang dihasilkan oleh al-Marbawi melalui proses mendengar penjelasan gurunya Ibrahim al-Samaluti sekaligus informasi yang didapatnya dari berbagai literatur. Setelah menceritakan kontribusi gurunya dalam proses penulisan, al-Marbawi juga menceritakan soal literatur rujukan yang seringkali digunakan dalam proses pensyarahan;

... برايكوت دڠن سديكيت2 فركتأن إمام شافعى ددالم األم، دان فركتأن نووى ددالم شرح مسلم، دان فركـتأن القسطالنى، دان ابن العربى، دان الينڽ

146 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī. j. 1, h. 2. 147 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3.

65

“...berikut dengan sedikit-sedikit perkataan Imam Syafi’i di dalam al-Umm, dan perkataan Nawawi di dalam Syarah Muslim, dan perkataan al-Qastalani, dan Ibn al-Arabi dan lainnya.”148

Al-Umm karya al-Shāfi’ī, al-Muhadhdhab karya al-Nawawi, Irshād al-Sārī Li Sharhi Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya al-Qasṭalānī dan karya Ibn Arabi adalah beberapa kitab utama yang dirujuk oleh al- Marbawi dalam proses pensyarahan Sunan al-Tirmidhī. Meskipun nanti tidak disebutkan secara implisit dalam badan teks Baḥr al- Mādhī, namun setidaknya empat kitab itulah yang membentuk al- Marbawi sekaligus kerangka gagasan dalam Baḥr al-Mādhī.

2. Karakteristik Bahasa; Antara Melayu-Jawi dan Aksara Pegon al-Marbawi Secara umum, bahasa yang digunakan oleh al-Marbawi adalah Bahasa Melayu yang disajikan dengan huruf Arab-Pegon.149 Tidak ada aturan ketat bagaimana Arab-Pegon harus dituliskan. Namun dari Baḥr al-Mādhī ada beberapa karakteristik berbahasa dan beraksara yang akan sedikit diulas.150

148 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3. 149 Arab-Pegon atau tulisan Jawi tersebar dan berkembang di Kepulauan Melayu seiring penyebaran Islam sebagai agama resmi di kawasan Selatan. Terdapat catatan pengembara China yang menyatakan pada tahun 55 H/674 M ada penempatan orang Islam di Sumatera Timur. Saat itu dimulailah perkembangan Bahasa Melayu dengan meminjam huruf-huruf Arab yang menyamai tulisan Jawi dan dimasukkan ke dalam Bahasa Melayu, sama ada dikekalkan sebutan dan ejaannya mahupun diserapkan dan disesuaikan lafaz serta ejaannya dengan lidah sebutan Melayu. Abd Rahman Hamzah, Khat dan Jawi Mutiara Kesenian Islam Sejagat (Skudai: Universiti Teknologi Malaysia, 2008) dan Hashim Musa, Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006). Bahas Jawi atau Arab-Pegon yang merupakan bentuk vernakularisasi Bahasa Melayu dengan aksara Arab menjadi media pemersatu intelektualitas Islam Nusantara, selain Islam itu sendiri. melalui tulisan Jawi ini pula, “orang Melayu” secara politis menjadi terhubungkan dengan sebuah komunitas yang lebih besar, yakni komunitas masyarakat Muslim yang memiliki tradisi keberaksaraan (literate), dan sejajar dengan komunitas bangsa-bangsa yang telah terlebih dahulu menggunakan tulisan Arab tersebut untuk menuliskan bahasa-bahasa mereka, seperti Parsi, Urdu, dan Turki. Dengan karakteristik literasi semacam ini, ulama Nusantara dimungkinkan juga masuk dan mewarnai jaringan intelektualitas Islam global, termasuk komunitas Haramayn. Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia II: Tradisi, Intelektual dan Sosial (Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, 2015), h. 5-6. 150 Data-data terkait karakteristik bahasa ini diacu kepada halaman-halaman awal juz pertama Baḥr al-Mādhī. Apa yang ditemukan di halaman-halaman awal ini

66

Dari aspek huruf, Al-Marbawi membedakan huruf “nya” sebagai bagian dari kalimat dan huruf “nya” sebagai imbuhan. Untuk kasus huruf “nya” sebagai bagian dari kalimat, al-Marbawi menggunakan huruf pegon nun dengan titik tiga di bawah. Seperti Sedangkan untuk huruf “nya” sebagai .مپبوتكن ,كپتأنڽ contoh kata ”huruf “nun) ڽ imbuhan, al-Marbawi menggunakan huruf pegon .درفداڽ dan سندڽ ,سكيراڽ dengan titik tiga di atas). Seperti contoh Selain itu, dalam penggunaan huruf “g”, al-Marbawi huruf “kaf” dengan titik di atas). Ini) ڬ mengambil huruf pegon berbeda dengan lumrahnya penulisan pegon yang biasa menggunakan huruf ࢴ dengan titik di bawah sebagai huruf “g”. dan باڬي ,سبڬيمان :Seperti contoh kalimat yang digunakan al-Marbawi .الڬى Selebihnya, al-Marbawi menggunakan huruf pegon yang jim dengan titik tiga) digunakan untuk) چ lumrah dipakai. Huruf ayn dengan titik tiga di atas) digunakan untuk‘) ڠ huruf “c”. Huruf digunakan untuk huruf “h”. Al-Marbawi juga هـ ng”. Huruf“ untuk huruf “k”, terkadang juga ك menggunakan huruf .كهنداق untuk huruf yang sama, seperti kata ق menggunakan Untuk penulisan huruf vokal, al-Marbawi tidak punya pakem terkadang juga ,ا khusus. Terkadang “a” disimbolkan dengan dibiarkan dan langsung disambung dengan kata yang lain. Misal, تيدقكو اوبه menggunakan alif untuk “a”, sedangkan kata تراڠكن kata tidak menggunakan alif. Hal yang sama terjadi dalam penulisan huruf “i”, “e”, “u” dan untuk “i”, seperti ي o”. Terkadang al-Marbawi menggunakan huruf“ -Untuk huruf “e”, al .ددالم kadang juga tidak seperti kata ,سديكيت kata Marbawi hampir tidak pernah menggunakan huruf tertentu. Sedangkan untuk huruf “u”, al-Marbawi di satu sisi menggunakan namun kadang juga tidak ,مپبوتكن seperti kata و huruf .كمدين menggunakannya, seperti kata Dalam aspek kalimat, al-Marbawi secara umum mengikuti format penulisan berdasarkan suku kata dan rumpun kata dalam Bahasa Melayu. Namun ada beberapa kalimat yang memang tidak tunduk pada format suku kata dan penggalan yang dikenal dalam ,(yanga kanjadi) يڠا كنجادي model latinnya. Seperti misalnya kalimat tidakku) dan) تيدقكو ,(yangdi hadapan) يڠد هدافن ,(yanglepas) يڠلفس kalimat-kalimat lainnya. Dalam konteks uslub bahasa, secara umum Bahasa Melayu al- Marbawi cenderung lebih mudah dipahami dibanding Bahasa Melayu yang kini akrab diperdengarkan dari mulut orang Malaysia. adalah representasi dari tulisan al-Marbawi di halaman-halaman dan juz-juz berikutnya.

67

Mayoritas kata, kalimat dan gaya bahasanya mudah dipahami, khususnya dari sudut pandang Bahasa Indonesia. Selain itu tidak banyak kata asing yang muncul. Kalaupun ada, level perbedaan sebenarnya berkisar hanya pada soal sinonimitas bahasa. Misal, al-Marbawi menggunakan kalimat “yang lepas” dan “yang di hadapan”. Kalimat “yang lepas” adalah yang lumrah ditemukan dalam nomenklatur ما قد سلف terjemah dari Islam, yang bermakna “[pembahasan] yang telah lalu”. Sedangkan yang juga كما سيأتى yang di hadapan” adalah terjemah dari istilah“ lumrah ditemukan dan bermakna “pembahasan yang akan dibahas selanjutnya”.151 Dengan kata lain, sebagai satu kesatuan naratif, Bahasa Melayu al-Marbawi adalah Bahasa Indonesia dalam struktur klasik yang masih mudah dipahami dalam konteks berbahasa Indonesia hari ini.

3. Sistematika Penjilidan, Pembaban dan “Yang Belum Selesai” Dalam Baḥr al-Mādhī Pembahasan ini akan spesifik menjelaskan bagan isi Baḥr al-Mādhī berdasarkan naskah yang saya gunakan. Naskah Baḥr al-Mādhī yang saya gunakan adalah naskah kitab cetakan pertama yang diterbitkan oleh Muṣṭafā al-Bābi al-Halabī Mesir tahun 1933 M./1352 H. Berikut uraian soal penjilidan dan bagian-bagian juz dari Baḥr al-Mādhī.

Jilid Juz Kitab Ditulis Terbit 1 Kitab al-Ṭaharah - 1933/1352 1 2 Kitab al-Ṣalāh - 1933/1352 3 Kitab al-Ṣalāh - 1934/1353 2 4 Kitab al-Ṣalāh dan al-Zakah - 1934/1353 3 5 Kitab al-Ṣaum - 1934/1353 6 Kitab al-Haj - 1936/1355 Kitab al-‘Umrah dan al- 7 - 1936/1355 4 Janā’iz Kitab al-Janā’iz dan al- 8 - 1937/1356 Nikāh

151 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3.

68

Selesai ditulis Kitab al-Ṭalaq wa al-Li’ān Malam Rabu 9 1938/1357 wa al-Bay’ 29 Syawal 5 1357152 Kitab al-Bay’, al-Ahkām wa 10 - 1939/1358 al-Diyāt Kitab al-Aḍāhī wa al- 11 Nudhūr wa al-Aymān wa al- - 1939/1358 11 Siyār [6] Kitab al-Jihād, al-Libās wa 12 - 1940/1359 al-Aṭ’imah Kitab al-Ashribah wa al-Bir 13 - 1940/1359 wa al-Ṣilāh 7 Kitab al-Bir wa al-Ṣilāh wa al-Ṭib wa al-Farā’id wa al- 14 - 1940/1359 Waṣāyā wa al-Walā’ wa al- Hibah wa al-Qadar Kitab al-Fitan wa al-Ru’ya 15 - 1940/1359 wa al-Shahādāt 8 Kitab al-Ru’ya wa al- 16 - 1940/1359 Shahādāt wa al-Zuhd Kitab Ṣifat al-Qiyāmah wa 17 - 1941/1360 al-Raqā’iq wa al-Wara’ 9 Kitab Ṣifat al-Jannah wa al- 18 - - Nār wa al-Īmān Kitab al-‘Ilm wa al- 19 - 1941/1360 Isti’dhān Selesai ditulis 10 pada Rabu, 25 Kitab al-Adāb wa al-Amthal 20 Ramadan 1374 1941/1360 wa Thawāb al-Qur’ān H./ 18 Mei 1955.153

152 Dalam kolofon naskah tertulis “di sinilah saya tamatkan juz kesembilan ini yaitu pada malam arbi’a 29 Syawal tahun 1357 dirumah dekat Sekolah Tinggi Azhar di Mesir al-Qahirah”. Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 9, h. 224. 153 Di sini ada perbedaan antara tahun selesai tulis dan tahun terbit. Di halaman cover juz 20 tertulis tahun 1941/1374, sedangkan dalam kolofon naskah di bagian akhir juz tertulis kalau ia selesai ditulis pada “Malam Arbi’a’ 25 Ramadan 1374 berbetulan dengan 18 Mei tahun 1955”. Namun al-Marbawi juga menulis dalam kolofon naskah, تله سلسى همب درفد منوليسكن دان مڠارڠكن جزء يڠكدوا فوله اين دڠن كرنيا الله سبحانه وتعالى كمدين درفد تركنداال مڠارڠڽ انم بلس تاهن يأيت موال فرڠ اڠكريس دڠن جرمان دان جفون دان ايتالى فد تاهن 1191...

69

Mulai ditulis Kamis 26 21 Kitab al-Tafsīr Sya’ban 1374 1955/1374 H./ 19 Mei 1955.154 6 1955/1374. [11] Juz ini selesai Kitab Tafsir al-Āyāt min al- dicetak 22 Māidah Ramadan 1379 H./ Maret 1960.155

Tabel 3.1: Rincian isi naskah kitab Bahr al-Madhi, tahun penulisan serta tahun cetak

Hal kedua yang menarik dicatat juga adalah fakta bahwa al- Marbawi menambah satu bab ringkas sebelum Kitab al-Taharah. Sunan al-Tirmidhi, sebagaimana layaknya kitab-kitab sunan, menggunakan tema-tema fikih sebagai sacuan sistematika penyusunan hadis-hadisnya. Maka lumrah kitab-kitab Sunan selalu dimulai dari Kitab al-Taharah. Berbeda dengan Kitab Sunan, Kitab Jami’ biasanya selalu dimulai dari Bab Niat. Tapi al-Marbawi tampaknya merasa penting untuk tetap memulainya dengan Bab Niat. Asumsi saya, al-Marbawi hendak menegaskan basis niat yang dia bangun dalam proses penulisan Kitab Baḥr al-Mādhī.156

“telah selesai hamba daripada menuliskan dan mengarangkan juz yangkedua puluh ini dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian daripada terkendala mengarang enam belas tahun yaitu mula perang Inggris dengan Jerman dan Jepang dan Itali pada tahun 1949...”. Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 20, h. 242. Berdasarkan data kolofon ini, hampir bisa dipastikan bahwa proses pengerjaan juz 20 terkendala di tengah-tengah penulisan karena perang. Beberapa bab hadis dalam juz 20 memang sudah diselesaikan al-Marbawi pada tahun 1941 dan dicetak oleh Mustafa al-Babi al- Halabi, tapi naskah lengkapnya baru rampung pada tahun 1955. 154 Tanggal 24 Sya’ban yang tertulis dalam kolofon naskah, kemungkinan besar yang benar adalah 24 Ramadan 1374. Lihat: Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 21, h. 1. Karena Bulan Ramadan pada tahun 1955 jatuh pada Bulan Mei, sedangkan Sya’ban jatuh pada Bulan April 1955. 155 Tertulis dalam kolofon naskah Bahr al-Madhi. Al-Marbawi, Baḥr al- Mādhī, j. 22, h. j. 156 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 8-15.

70

Selain itu, sebagaimana tabel di atas, Baḥr al-Mādhī sejatinya belum tuntas. Dalam kolofon kitab Baḥr al-Mādhī di juz 22, al- Marbawi menulis,

بحمد الله تم طبع الجزء الثانى والعشرون من كتاب )) مختصر صحيح الترمذى )) وشرحه بلغة الجاوى ويليه الجزء الثالث والعشرون...157

Catatan tersebut menunjukkan rencana untuk melanjutkannya ke juz 23. Memang, secara tema dan bab, Baḥr al-Mādhī belum tuntas dan hanya membahas Bab Tafsir al-Qur’an Surat al-Maidah sampai Surat al-Kahfi.158 Selain masih menyisakan setengah pembahasan pada Kitab Tafsir al-Qur’an, al-Marbawi juga menyisakan Kitab al-Da’awāt dan Kitab al-Manāqib yang belum disyarahi.159

C. Situasi Politik dan Kondisi Wacana Keberagamaan di Mesir Abad 20; Kecamuk di Sekitar Penulisan Baḥr al-Mādhī Ketika al-Marbawi menulis Baḥr al-Mādhī, Mesir sebenarnya tengah berada dalam situasi transisi, baik secara politik maupun kebudayaan. Berikut akan dibahas secara ringkas bagaimana kondisi politik dan kondisi wacana keberagamaan di Mesir pada akhir abad 19 hingga abad 20. Secara politik, di masa-masa al-Marbawi menulis Baḥr al-Mādhī, kondisi Mesir sebenarnya tengah berada di masa transisi sistem pemerintahan.

157 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 22, h. j. 158 Dugaan bahwa Baḥr al-Mādhī sebetulnya belum tuntas diperkuat oleh versi lain cetakan Baḥr al-Mādhī, yang bisa dipastikan seluruhnya berjumlah 11 jilid/22 juz. Lihat misalnya: Muhammad Idris al-Marbawi, Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī wa Sharhuhu bi Lughah al-Jāwī al-Malāyū al-Musammā Baḥr al-Mādhī (Bayrūt: Dār al- Kutub al-‘Ilmiyyah li al-Nashr wa al-Tawzī’, 2003); Muhammad Idris al-Marbawi, Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī wa Sharhuhu bi Lughah al-Jāwī al-Malāyū al-Musammā Baḥr al-Mādhī (Bayrūt: Dār al-Fikr al-Islāmī al-Hadīth, 2001) dan cetakan lainnya. 159 Saya belum mendapat penjelasan mengenai alasan terhentinya proses pensyarahan. Juz 22 ditulis dan terbit pada tahun 1960. Artinya masih ada rentang waktu 29 tahun sampai al-Marbawi wafat di Ipoh pada 13 Oktober 1989. Tentu berhentinya proses pensyarahan Baḥr al-Mādhī dimungkinkan karena beragam faktor. Salah satunya – dan yang saya anggap asumsi paling akurat sementara ini – adalah faktor kesibukan dan aktivitas al-Marbawi sebagai akademisi dan ulama yang diperhitungkan. Tercatat sejak 1967-1989, al-Marbawi tercatat lima sampai enam kali mengunjungi Malaysia untuk mengisi kuliah dan menerima penghargaan. Dengan kata lain, pasca penerbitan juz 22, al-Marbawi mulai dikenal. Kesibukan menghadiri undangan ceramah, mengisi kelas, menerima penghargaan, belum lagi faktor usia, semuanya mempengaruhi kelanjutan proses penulisan Baḥr al-Mādhī.

71

Sistem monarki yang telah berlangsung hampir 2 abad mengalami stagnansi dan melahirkan konsekuensi berupa krisis kebudayaan akut. Hal ini kemudian dipuncaki oleh kekalahan Mesir dari Israel pada Perang 1948. Sejak itu, upaya untuk menggulingkan pemerintahan dan meruntuhkan sistem monarki dimulai lebih kencang. Masyarakat Mesir, yang mewarisi ingatan sebagai sebuah bangsa dan peradaban besar di dunia, mungkin tidak akan pernah menyangka kalau dirinya akan bertekuk lutut di hadapan negara baru bernama Israel. Dengan pasukan gabungan yang hampir melibatkan 7 negara ditambah Liga Arab, Mesir sebagai pelopor tetap saja tumbang dalam Perang Arab-Israel 1948. Raja Faruk yang memegang tampuk kepemimpinan pun jadi sasaran. Jauh sebelum Perang 1948 pecah, pemerintahan monarki Raja Faruk sebenarnya sudah menciptakan berbagai macam kebijakan kontroversial. Pasca Perang Dunia II, cengkeraman Inggris di Mesir semakin kuat. Raja Faruk juga terkenal sangat “patuh” dan militan terhadap Kerajaan Inggris.160 Kecenderungan semacam ini, secara tidak langsung mengakibatkan gejolak sosial, ekonomi maupun politik di Mesir. Sebagaimana layaknya sistem monarki, feodalisme menjadi karakter kebijakan ekopol Kerajaan Mesir. Feodalisme – berikut problem lainnya seperti korupsi keluarga raja – ditengarai menjadi salah satu dari faktor kunci yang mengakibatkan kemiskinan parah di Mesir. Lebih jauh lagi, sistem monarki yang tampak mulai usah juga turut melahirkan kemunduran dan kemerosotan parah di seluruh sektor kebudayaan.

“….hampir separuh dari tanah pertanian di negara Mesir dikuasai oleh hanya sekitar 12.400 tuan tanah. Selebihnya 2.282.000 petani, menguasai sekitar sepertiganya saja. Kebanyakan menjadi buruh tani yang hidup ibarat budak. Sementara hanya sebagian kecil orang Mesir asli (pribumi Mesir) yang bergerak di bidang industri, perdagangan, dan menjadi kaum intelektual. Di tahun 1936, pendapatan perkapita rata-rata hanya 50 dollar per tahun. Tingkat buta huruf mencapai 90%.”161

Keprihatinan pada situasi dan kondisi Mesir kala itu yang berwujud kemunduran ekonomi, sosial dan politik sejak tahun 1939 sampai kemudian pecah Perang 1948 tidak hanya muncul dan bermekaran di level masyarakat

160 “Boneka Inggris” adalah julukan yang sering disematkan kepada Raja Faruk karena kepatuhannya kepada Monarki Ratu Elizabeth itu. John L. Esposito, Agama dan Perubahan Sosiopolitik (Aksara Persada Press, 1985), h. 185. 161 Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, Anwar Sadat: Di Tengah Teror dan Damai (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1981), h. 12.

72

sipil. Beberapa diskusi dan obrolan di dalam internal militer tentang kondisi Mesir juga muncul. Dan di saat itulah satu sosok penting bernama Gamal Abdul Nasser muncul ke permukaan.162 Gamal Abdul Nasser adalah mayor pasukan Mesir ketika Perang 1948. Bersama-sama dengan beberapa perwira lainnya, Gamal Abdul Nasser kemudian membentuk Free Officers. Salah satu misi utama yang menjiwai pembentukan Free Officers adalah melakukan kudeta terhadap pemerintahan Raja Faruk.163 Di level sipil, secara bersamaan juga muncul sebuah organisasi oposisi yang mengusung semangat Islamisme; Ikhwanul Muslimin. Kelompok yang awalnya hanya bergerak sebagaimana layaknya organisasi masyarakat ini pada akhirnya juga memiliki visi politiknya sendiri. Lagi-lagi, berbagai pengalaman di lapangan yang mereka alami terkait kondisi pendidikan, ekonomi dan krisis sosial, turut mendorong Hasan al-Bana dan Ihwanul Muslimin menjadi salah satu oposisi paling tangguh kala itu.164 Sejak Perang 1948, berkat kesamaan visi dan misi, Free Officers menjalin ikatan kuat dengan Ikhwanul Muslim. Di Perang 1948, Free Officers bersama-sama dengan Ikhwanul Muslimin berperang di garda terdepan melawan Zionisme Yahudi. Terbunuhnya Hasan al-Bana di tengah kecamuk perang membuat ikatan tersebut semakin kuat sampai pecahnya revolusi 1952.165 Dukungan dari masyarakat sipil untuk kubu oposisi pun semakin menguat. Rakyat Mesir menaruh harapan besar kepada Gamal Abdul Nasser, Free Officers dan sekutunya; Ikhwanul Muslimin. Dukungan tersebut berasal dari berbagai kalangan; masyarakat biasa, para mahasiswa al-Azhar sampai cendekiawan dan ulama. Derasnya banjir dukungan ini membuat Gamal Abdul Nasser semakin yakin akan misi kudetanya. Revolusi yang awalnya direncanakan pada tahun 1954 itupun meletus dua tahun lebih awal.166

162 Anne Alexander, Nasser: His Live and Time (London: Haus Publishing Limited, 2005). 163 Kamaluddin Hussein, Abdul Hakim Amir, Hasan Ibrahim, Abdul Moniem, Abdul Rauf, Salah Salim, Jamal Salim, Abdul Latief Baghdadi, Khalid Moheiddin, dan Anwar Sadat. M. Hamdan Basyar “Bagaimana Militer Menguasai Mesir”, Jurnal Ilmu Politik 3 (Jakarta: Gramedia, 1998). 164 Ishak Mussa Al Husaini Ikhwanul Muslimun: Tinjauan Sejarah Sebuah Gerakan Islam (Bawah Tanah) (Jakarta: Grafiti Pers, 1983). 165 Selain kesamaan visi dan misi soal keterpurukan peradaban Mesir, Ikhwanul Muslimin juga gagasan yang sama soal posisi Inggris di Mesir. Namun alasan yang melatarbelakangi penolakan Ikhwanul Muslimin akan kehadiran Inggris adalah upaya sekularisasi. Sekularisme adalah hambatan bagi misi Ikhwanul Muslimin untuk menciptakan satu pemerintahan yang islami dan syar’i. Peter Mansfield, A History of The Middle East (Harmondsworth: Penguin Books, 1991), h. 239-240. 166 Peter Mansfield, A History of The Middle East, h. 242.

73

23 Juli 1952 revolusi pun pecah. Aksi turun ke jalan, demonstrasi besar-besaran hingga bentrokan yang berakhir pada pertumpahan darah mewarnai revolusi 23 Juli. Gamal Abdul Nasser yang didapuk sebagai pemimpin besar revolusi menempatkan tentara Mesir di lokasi-lokasi penting. Kontak dengan pasukan kerajaan pun tidak bisa terelakkan. Secara umum, revolusi menuntut Raja Farouk untuk segera mengubah pasal-pasal yang ada pada Undang-Undang Dasar Mesir, yakni tentang pembubaran parlemen. Eskalasi yang terus meningkat berhasil memaksa Raja Faruk turun tahta. Raja Faruk disingkirkan ke Maroko dan tampuk pemerintahan dialihkan kepada putranya, Raja Fuad II yang saat itu masih bayi. Meskipun tampuk kerajaan beralih, sistem monarki sebenarnya telah dihapus secara de facto pasca revolusi 23 Juli. Dan setahun berikutnya, tepatnya pada 18 Juni 1953, pemerintahan monarki resmi dihapus dan Mesir menganut sistem pemerintahan republik.167 Pasca transformasi sistem pemerintahan, Gamal Abdul Nasser tidak lantas maju sebagai Presiden. Meski tampak dominan dan berposisi sebagai pemimpin revolusi, Gamal Abdul Nasser mengajukan – juga dengan dukungan banyak pihak - Muhammad Naquib sebagai Presiden Mesir. Gamal Abdul Nasser sendiri menjadi Presiden Mesir secara resmi baru pada 1956. Gamal Abdul Nasser menjadi calon tunggal dan secara aklamasi terpilih menjadi Presiden Republik Mesir sampai tahun 1970. Gamal Abdul Nasser adalah satu di antara banyak nasionalis yang memikul visi Pan-Arabisme. Menurutnya persatuan berdasarkan basis ras harus menjadi semangat kesatuan berikut kebangkitan negara-negara Arab. Pandangan ini bertolakbelakang dengan pandangan Ikhwanul Muslimin yang mulanya adalah kompatriot Nasser sejak 1948. Keduanya memiliki banyak perbedaan soal posisi agama dalam tata sistem politik dan format kebangkitan yang hendak dijalankan. Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang sudah diungkap di awal, bergerak berdasarkan semangat keislaman. Dan itu tidak berubah sampai Nasser menjadi Presiden.168 Di luar faktor Ikhwanul Muslimin, gagasan soal kebangkitan dan kesatuan Islamisme sebenarnya sudah dimulai sejak akhir abad 19. Jamaluddin al-Afghani, salah satu pionir dan sosok kunci dalam gagasan Pan-Islamisme sebenarnya memiliki keresahan yang sama soal kehadiran kolonial di Mesir. Di masa-masa itu, al-Afghani ada dalam posisi yang dilematik; di satu sisi Islam mengalami kemunduran, di sisi yang lain Barat – melaluai representasi kolonialisme – mencapai kejayaan peradaban. Kondisi semacam ini lalu

167 Peter Mansfield, A History of The Middle East, h. 244. 168 L. Carl Brown, Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 211. John L. Esposito, Dunia Islam Modern, jilid II (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 268.

74

memaksa al-Afghani berpikir bagaimana caranya membangkitkan kembali kejayaan Islam dan umat Muslim.169 Meskipun tampak progresif, solusi yang ditawarkan al-Afghani sebenarnya sangat salafis. Al-Afghani menengarai kalau kemunduran umat Islam disebabkan oleh hilangnya nilai-nilai asli dalam Islam itu sendiri. Umat Islam, di benak al-Afghani, tidak lagi merujuk langsung kepada al-Quran dan Hadis, tapi mengandalkan kaul ulama dan sumber rujukan keberislaman yang sebenarnya sekunder. Dalam proyek al-Nahḍah dan Pan-Islamismenya, al- Afghani menganjurkan untuk kembali ke al-Quran dan Hadis.170 Serupa dengan gurunya, Muhammad Abduh muncul dengan tawaran yang sama. Abduh menekankan umat Muslim untuk mengoptimalkan kerja- kerja ijtihad, berupaya semaksimal mungkin untuk lepas dari bayang-bayang imam mazhab dan meninggalkan kerja-kerja taqlidiyah.171 Bagi Abduh, masa lalu, apalagi yang terkerangkeng dalam satu kerangka acuan yang tidak primer, adalah sebab kebuntuan-kebuntuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam. Namun berbeda dengan gurunya yang menempuh jalur politik, Abduh menempuh jalur pendidikan. Menurut Abduh, upaya untuk menendang kolonialisme dan mencapai kemerdekaan tidak akan bisa dicapai dan mustahil diwujudkan tanpa adalah kerja-kerja pencerahan, pencerdesan dan peningkatan sumber daya masyarakatnya. Di sini Abduh melihat pentingnya ruang-ruang pendidikan.172 Abduh pun berkolaborasi dengan pemerintah Inggris untuk menyukseskan proyek pencerahannya.173 Meski begitu, perbedaan media kampanye Pan-Islamisme antara Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh tidak kemudian membuat

169 Hossein Nasr, Seyyed, Menjelajah Dunia Modern : Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, Bandung : Mizan. 1994. 5. 170 Lihat misalnya dalam: Muhammad Imarah (ed.), al-A’māl al-Kāmilah li Jamāluddīn al-Afghānī (Bayrūt: al-Mu’assasah al-‘Arabiyah li al-Dirāsāt wa al-Nashr, 1979). Gagasan-gagasan Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani dalam kitab ini lantas direformulasi menjadi paham politik yang lahir saat Perang Dunia II tahun 1936. Dipertegas lagi oleh al-Jabiri dalam: Muhammad ‘Abid al-Jābirī, Mashrū’ al-Nahḍawī al-Arabi; Murāja’ah Naqdiyyah (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-Arabiyyah, 1996), h. 70. 171 Adonis, al-Thābit wa al-Mutahawwil; Bahthun fi al-Ibdā’ wa al-Ittibā’ ‘inda al-‘Arab (London: Dār al-Sāqī, 2002), vol. 3, h. 96. 172 Elle Kedourie, Afghani and Abduh; An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Class, 1997), h. 54. 173 Sebagaimana layaknya sebutan Snocuk Hugronje untuk Sayyid Usman, Muhammad Abduh juga disebut sebagai “the natural allies of European reformer” dari Lord Cromer, Penguasa Inggris di Mesir. Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial; Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018), h. 108.

75

gagasan keduanya berbeda. Menurut al-Jabiri, baik Al-Afghani maupun Abduh – berikut juga pemikir Arab-Islam [Mesir] yang muncul di tahun-tahun berikutnya – mengidap satu penyakit pemikiran yang al-Jabiri sebut “salafi”.174 Dengan kata lain, al-Marbawi sebenarnya tengah berada dalam situasi wacana keberagamaan yang didominasi oleh model berpikir salafi. Ajakan untuk meninggalkan tradisi bermazhab, praktik taklid dan kembali langsung kepada al-Quran dan Hadis adalah beberapa hal yang muncul ke permukaan. Dalam konteks yang lebih spesifik, al-Marbawi sedang berhadapan dengan pergulatan sebuah bangsa yang tengah menarik diri dan berupaya untuk mendestruksi masa lalunya. Maka tidak heran jika kemudian al-Marbawi turut meresponsnya dalam Baḥr al-Mādhī. Beberapa tema yang muncul dalam Baḥr al-Mādhī memiliki keterikatan diskursif dengan apa yang tengah terjadi di Mesir kala itu. Dan yang penting juga dicatat, situasi yang sama nyatanya juga muncul di Indonesia. Puritanisme dan fundamentalisme, baik yang disokong oleh pemahaman Pan- Islamisme maupun Wahabisme, mudah kita temukan di masa-masa pra- kemerdekaan Indonesia.175

174 al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 12. 175 Ini sebagaimana yang akan nanti diulas dalam Bab IV penelitian ini.

76

BAB IV Vernakularitas Syarah Hadis Baḥr al-Mādhī dan Agregasi Wacana Sosial-Keagamaan

A. Metode Pensyarahan Umum dalam Baḥr al-Mādhī Dalam bab sebelumnya sudah dijelaskan secara ringkas mengenai karakteristik materil bahasa, skema pembaban dan sistematika syarah hadis dalam Baḥr al-Mādhī. Namun kali ini, pembahasan akan lebih mendalam dan spesifik pada isi kitab Baḥr al-Mādhī. Dalam bab ini akan diurai perihal panduan metodologi yang ditulis oleh al-Marbawi dan alasannya. Bab ini juga akan mengurai hal-hal yang sebenarnya tidak dijelaskan oleh al-Marbawi, tapi tampak dan terulang merupa karakter konstruksi narasi pensyarahan hadis dalam Baḥr al-Mādhī. Sebagaimana layaknya kitab-kitab syarah hadis, Baḥr al-Mādhī juga menunaikan beberapa langkah pensyarahan umum sebagaimana yang dilakukan ulama hadis. Beberapa langkah dan metode pensyarahan yang berhasil dirangkum antara lain;

1. Syarah Hadis Dengan al-Quran Al-Quran dan Hadis, sebagai dua sumber syariat, meniscayakan keteriringan dan kesamaan. Maka terkadang ayat al-Quran mampu memperjelas makna hadis. Sebaliknya, Hadis juga punya potensi menjelaskan al-Qur’an. Menjelaskan hadis dengan ayat al-Quran, dengan demikian, lumrah dilakukan dalam mensyarah hadis. Tak terkecuali al-Marbawi. Dalam Bab Ṭaharah misalnya, ketika menjelaskan hadis:

ع ن ا ْب ن ُع م ر ع ن النَّب ّي صلَّى اللَّهُ عل ْي ه و سلَّ م ق ا ل ال تُ ْقب ُل ص الةٌ ب غ ْي ر ُط ُهو ر و ال صد ق ةٌ م ْن ُغلُو ل 176

Al-Marbawi bertanya dalam masalah 33,

برسوجى ايت فرض اتس سياف؟ اتس اورڠيڠ برحدثكه اتو اتس تيف2 اورڠيڠ هندق سمبهيڠ سام ادا برحدث اتو تياد؟177

176 Muhammad bin Isā al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhi (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Muṣṭafā al-Babi al-Halabī, 1975 M./1395 H.), j. 1, h. 6. 177 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 17.

77

Al-Marbawi lalu membenturkannya dengan ayat “idhā qumtum ilā al-ṣalāti...”178. Apakah setiap orang yang hendak salat wajib bersesuci, baik ia punya hadas atau masih suci? Al-Marbawi, dengan menukil al-Nawawi lalu menjelaskan kalau hadis tersebut tidak bertolak belakang dengan ayat al-Quran. Karena yang dimaksud dalam ayat al-Quran tersebut adalah mereka yang berhadas saja yang wajib bersesuci jikalau hendak salat.179 Selain dalam Bab Ṭaharah, metode ini juga ditemukan di banyak tempat. Misal dalam Masalah 297 dalam Bab Zakat180, Masalah 82 dalam Bab Sifat al-Qiyāmah wa al-Raqā’iq wa al- Wara’181, Masalah 247 dalam Bab Salat182 dan di beberapa tempat lainnya.

2. Syarah Hadis Dengan Hadis dan Jam’u al-Riwāyāt Selain menjelaskan hadis dengan ayat al-Quran, al-Marbawi juga menjelaskan hadis dengan hadis lainnya. Dalam tradisi pensyarahan hadis, langkah muqāranah al-riwāyah dan jam’u al- riwāyah merupakan langkah yang pasti dilakukan. Hal ini disebabkan karena sebuah postulat bahwa hadis-hadis Nabi membentuk sirkulasi wacana yang seragam dan tidak berlawanan. Satu hadis bisa menjelaskan hadis yang lain. Langkah ini dilakukan al-Marbawi misalnya ketika menjelaskan hadis dalam Bab Ma Jā’a fī Ṣalāh al-‘Īdayni Qabla al-Khutbah;

ع ْن ا ْب ن ُع م ر ق ال كا ن ر ُسو ُل اللَّ ه ص َّلى اللَّهُ عل ْي ه و سلَّ م وأ بُو ب ْك ر و ُع م ُر يُ صلُّو ن ف ي ال عيد ْي ن ق ْب ل ال ُخ ْطب ة ثُ َّم ي ْخ ُطبُو ن 183

Untuk memperjelas hadis ini, al-Marbawi menyuguhkan hadis lain yang lebih rinci soal pelaksanaan Salat ‘Id. Al-Marbawi

178 Surat al-Maidah [5]: 6. 179 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 17. 180 Al-Marbawi mengutip ayat al-Quran “walladhīna yaknizūna al-dhahaba wa al-fiḍḍata wa lā yunfiqūnahā fī sabilillahi fa bashshirhum bi ‘adhābin ‘alīm”. Al- Marbawi, Baḥr al-Mādhī, jil. 4, h. 122-123. 181 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 17, h. 101. 182 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 3, h. 89. 183 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, j. 2, h. 412.

78

dengan cerdas menyuguhkan hadis fi’li yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya184;

ع ن ا ْب ن عبَّا س ق ا ل ش ه ْد ُت صال ة ا ْل ف ْط ر م ع ن ب ّي الل ه صلَّى اللَّهُ ع ل ْي ه و سلَّ م وأ ب ي ب ْك ر و ُع م ر و ُعثْ ما ن ف ُكلُّ ُه ْم يُ ص لّي ها ق ْب ل ا ْل ُخ ْطب ة ثُ َّم ي ْخ ُط ُب ق ا ل ف ن ز ل ن ب ُّي الل ه صلَّى اللَّهُ عل ْي ه و سلَّ م كأ ن ّي أ ْن ُظ ُر إ ل ْي ه حي ن يُ ج ّل ُس ال ّر جا ل ب ي د ه ثُ َّم أ ْقب ل ي ُشقُّ ُه ْم حتَّى جا ء الن ّ سا ء و مع هُ ب ال ٌل ف ق ا ل ي ا أ يُّ ها النَّب ُّي }إ ذ ا جا ء ك ا ْل ُم ْؤ م ن ا ُت يُب اي ْعن ك عل ى أ ْن ال يُ ْش ر ْك ن ب اللَّ ه ش ْيئًا{ ف ت ال ه ذ ه اآلي ة حتَّى ف ر غ م ْن ها ثُ َّم ق ا ل حي ن ف ر غ م ْن ها أ ْنتُ َّن عل ى ذ ل ك ف ق ال ت ا ْم رأ ةٌ وا حد ةٌ ل ْم يُ ج ْبهُ غ ْي ُر ها م ْن ُه َّن ن ع ْم ي ا ن ب َّي الل ه ال يُ ْد رى حين ئ ذ م ْن ُ ه ي ق ا ل ف ت صدَّ ْق ن ف ب س ط ب ال ٌل ث ْوب هُ ثُ َّم ق ا ل هلُ َّم ف دًى ل ُك َّن أ ب ي وأ ّمي ف جع ْل ن يُ ْل قي ن ا ْلف ت خ وا ْل خ وات م ف ي ث ْو ب ب ال ل 185

Di tempat yang lain, al-Marbawi juga melakukan hal yang sama. Mayoritas hadis yang dimunculkan dalam rangka memperjelas makna hadis yang sedang dibahas adalah riwayat- riwayat lain yang memiliki relasi “aḥādīth al-bāb”186. Skema muqāranah al-riwāyah yang dilakukan al-Marbawi berbasis tema. Maka sangat jarang ditemukan penyuguhan hadis shawāhid dan tawābi’.187

184 Al-Marbawi menjelaskan hadis riwayat Muslim frasa per frasa. Sebagaimana karakteristik Baḥr al-Mādhī yang selalu rinci ketika menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan syariat, al-Marbawi juga secara rinci, dengan menyandar pada hadis tersebut, menjelaskan tata pelaksanaan Salat ‘Id. Al-Marbawi, Baḥr al- Mādhī, j. 4, h. 3-5. 185 Muslim bin Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Bayrūt: Dār al-Jayl, 1334 H.), j. 3, h. 18. 186 Istilah “ahādīth al-bāb” adalah istilah yang menurut Mahmud Tahhan diperkenalkan oleh al-Zayla’i dalam Naṣb al-Rāyah li Aḥādīth al-Hidāyah. “Ahādīth al-bāb” adalah hadis-hadis yang memiliki kaitan tematik dengan sebuah hadis. Kaitan tematik ini melampaui standar kemiripan tekstual; hadis dalam ahādīth al-bāb bisa saja sangat berbeda secara redaksional dan tidak memuat variabel dalam teks hadis yang ditakhrij. Menurut Mahmud Tahhan, kemunculan ahādīth al-bāb juga menicyakan adanya ahādīth al-khuṣūm (hadis-hadis yang secara tematik berlawanan). Mahmūd Ṭahhān, Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd (Riyāḍ: Maktabah al-Ma’ārif li al-Nashr wa al-Tawzī’,1996 M./1417 H.), h. 17-21. 187 Shawāhid adalah jamak shāhid. Dalam ilmu hadis, istilah ini digunakan untuk menggambarkan percabangan sanad hadis yang sama, baik matan plus maknanya atau maknanya saja. Percabangan riwayat shāhid. adalah percabangan yang memang dimulai dari level sahabat. Dalam artian, hadis A tidak hanya diriwayatkan oleh sahabat C, tapi juga sahabat D dan sahabat E. Baca: Mahmūd Ṭahhān, Taysīr Musṭalaḥ al- Hadīth, (Jeddah: al-Haramayn, t.t.), h. 75. Namun Ibn al-Ṣalāḥ memiliki versi lain yang

79

Penyuguhan ahādīth al-bāb tampil seperti dalam contoh hadis di atas. Selain hadis tersebut, hal yang sama juga dilakukan al- Marbawi ketika menjelaskan hadis yang lain. Misalnya, ketika al- Marbawi menjelaskan hadis-hadis tentang kehidupan para sahabat188, hadis-hadis tentang laylah al-qadar189 dan hadis-hadis lainnya yang tersebar dalam Baḥr al-Mādhī.

3. Melakukan Takhrīj al-Hadīth Takhrīj al-Hadīth secara bahasa adalah mengeluarkan hadis. Secara definitif, takhrīj al-hadīth adalah proses melacak keberadaan dan letak hadis dalam kitab-kitab sumber yang asli dengan sanadnya sembari menjelaskan kualitas hadisnya.190 Jadi secara umum, proses takhrīj al-hadīth dilakukan dengan menjelaskan di kitab induk hadis mana sebuah riwayat berada, bagaimana sanadnya dan apa kualitasnya. Misal, “hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Sahih”. Dalam Baḥr al-Mādhī, al-Marbawi juga memenuhi standart minimum takhrīj al-hadīth tersebut. Di dalam Baḥr al-Mādhī, al- Marbawi menulis seperti:

berbeda dengan definisi sebelumnya. Apa yang disebutnya shāhid. adalah jalur periwayatan yang bercabang di level sahabat bahkan di level tabi’in.. Baca: ‘Uthmān bin Abdirrahman [Ibn al-Ṣalāḥ], Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ (Bayrūt: Dār al-Fikr al- Mu’āṣir, 1986 M./1406 H.), jil. 1, h. 48. Sedangkan tawabi’ adalah jamak tābi’. Ia dikenal juga dengan nama mutābi’ dan mutāba’at; seluruhnya bermakna sama. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan kesatuan jalur periwayatan yang berpangkal pada sahabat yang sama, baca: Mahmūd Ṭahhān, Taysīr Musṭalaḥ al-Hadīth, h. 75. Namun Ibn al-Ṣalāḥ memahami riwayat mutāba’at dengan pengertian yang berbeda. Kriteria yang Ibn al-Ṣalāḥ bangun untuk mendefinisikan mutāba’at adalah kesatuan jalur periwayatan yang ada di 3 level periwayatan sekaligus. Kalau kurang, maka dinamakan al-mutāba’ah al-ūlā atau shāhid. Contoh begini: atbā’ tābi’īn A meriwayatkan hadis dari tābi’īn B, yang juga meriwayatkan hadis dari sahabat C. Ketika ada jalur periwayatan lain yang melalui jalur A-B-C, maka Ibn al-Ṣalāḥ menyebutnya al- mutāba’ah al-tammah. Tapi ketika ada jalur yang hanya melalui jalur B saja, jalur C dan jalur B-C, maka Ibn Salah menyebutnya al-mutāba’ah al-ūlā atau shāhid. Baca: Ibn al-Ṣalāḥ, Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, h. 48. 188 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 11, h. 138. 189 Dalam perbincangan soal malam qadar, al-Marbawi menyuguhkan banyak sekali riwayat untuk memperjelas soal perdebatan kapan laylah al-qadar akan jatuh. Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 5, h. 178-183. 190 Mahmūd Ṭahhān, Uṣūl al-Takhrīj, h. 10.

80

)كان أبو عيسى) برمول حديث اين سهابس2 صح دان سهابس2 ايلوق فد باب اين. دان ادا رواية درفد أبي هريرة دان أنس اهـ. دان جوڬئ ادا دكلواركن اوله بخاري دان مسلم دالم صحيح كدوا2ڽ111

Pertama, al-Marbawi menjelaskan riwayat lain yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Anas bin Malik dan perawi lainnya. Artinya ada riwayat lain dari versi riwayat al-Tirmidhi, yang juga diriwayatkan oleh sahabat yang beragam. Kedua, al- Marbawi menjelaskan lokasi hadis yang menurutnya juga ada dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim. Ketiga, meskipun tidak memberikan penjelasan terkait kualitas hadis, tampaknya al- Marbawi mencukupkan diri pada kenyataan kalau hadis-hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim berpotensi besar sahih. Contoh lainnya yang serupa dengan model takhrīj al-hadīth di atas terdapat dalam hadis bab ma ja’ā fī hukmi qāti’ al-ṭarīq. Al- Marbawi menjelaskan bahwa hadis yang diriwayatkan al-Tirmidhi, terdapat di beberapa tempat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan juga disebutkan Muslim dalam Sahihnya.192 Namun yang menarik, ada perbedaan persepsi antara al- Marbawi dengan para muhaddis soal kitab-kitab yang tergolong dalam al-maṣādir al-aṣliyyah atau al-kutub al-ummahāt. Pada umumnya, al-maṣādir al-aṣliyyah dalam konteks riwayat disematkan kepada kitab-kitab matan hadis, baik al-Kutub al- Sittah sampai al-Kutub al-‘Ashrah. Tapi menariknya, alih-alih menyebut kitab-kitab hadis selain al-Saḥīḥayn dalam jajaran al- Kutub al-Sittah, al-Marbawi justru menyebut Kitab al-Umm karya al-Shāfi’ī. Seperti misalnya:

)كات أبو عيسى) دان فدا باب اين ادا رواية درفد جابر دان ابن عباس دان كاتڽ الڬى – برمول حديث ابن عمر ايت حديث حسن الڬى صحيح اهـ. دان تله دكلواركن اوله بخاري دان مسلم كدواڽ. دان دكلواركن اوله شافعى ددالم األم113

Dan dengan terang-terangan al-Marbawi seringkali menjelaskan kalau riwayat-riwayat al-Shāfi’ī dalam al-Umm

191 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 17. 192 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 106. 193 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 4, h. 4.

81

berguna untuk menerangkan masalah yang masih menyimpan persoalan.

... دان حديث اين بوله دافت تراڠ واقعڽ سباڬى اكو تراڠكن ددالم األم باڬى إمام شافعى... دان داتڠ رواية ساتو الڬى دكلواركن اوله امام شافعى سمفى سندڽ كفد ابن عمر...119

4. Menjelaskan Asbāb al-Wurūd Hadis Sebagai konteks dan sebab munculnya hadis, asbāb al-wurūd195 seringkali difungsikan untuk menjelaskan duduk persoalan dan illat hukum yang dikandung sebuah hadis. ia juga difungsikan sebagai lingkaran problem agar makna hadis tidak rembes ke mana-mana. Dalam langkah pensyarahan hadis, menjelaskan asbāb al-wurūd menjadi unsur yang pasti ada. Tak terkecuali dalam Baḥr al-Mādhī. Proses menjelaskan asbāb al-wurūd hadis misalnya terjadi ketika al-Marbawi menjelaskan, kenapa muncul term “aw imra’atin yankihuhā” dalam hadis niat. Al-Marbawi pun menulis,

برمول أصل حديث مپبوتكن نكاح ايت، اياله كران برالكو كأتس سؤرڠ فد زمان نبى يائت منورت رواية األعمش دان لفظڽ درفد أبى وائل درفد عبد الله بن مسعود رضي الله عنه كاتڽ...116

Penjelasan asbāb al-wurūd hadis dalam Baḥr al-Mādhī, kalau diamati dari teks di atas, juga bersandar kepada riwayat lain. Metode menjelaskan asbāb al-wurūd hadis semacam ini ditemukan di banyak tempat dalam Baḥr al-Mādhī.

5. Penyuguhan Perdebatan Kaul Ulama Lintas Mazhab Selain memperbandingkan makna hadis dengan al-Quran dan hadis lainnya, al-Marbawi juga memperbandingkan tafsiran dan produk

194 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 112. 195 Orientasi dan fungsi semacam ini yang mengisi definisi asbāb al-wurūd itu sendiri. Menurut al-Suyuti, asbāb al-wurūd adalah hal yang digunakan untuk membatasi maksud dari sebuah hadis, baik soal ‘ām-khaṣ, muṭlaq-muyaqqad, nasakh- mansūkh dan lain sebagainya. Jalāluddīn Al-Suyūṭī, Asbāb Wurūd al-Hadīth aw al- Lummā’ fi Asbāb al-Hadīth (Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1984 M./1404 H.), h. 11. 196 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 14.

82

istidlal para ulama mazhab terkait dengan kandungan hukum dalam hadis yang sedang dibahas. Karena corak syarah hadis yang diperlihatkan oleh al-Marbawi cenderung fikhi, maka suguhan perdebatan soal hukum dan maksud hadis sangat banyak ditemukan, utamanya dalam hadis-hadis ibadah, mu’amalah dan munakahah. Sebagai seorang Shafi’iyah tulen197 dan menjadikan Kitab al- Umm sebagai salah rujukan pensyarahannya, tak luput al-Marbawi juga mengikutsertakan kaul mazhab lainnya. Dalam uraian dan suguhan perdebatan tersebut, sekali lagi tampaknya al-Marbawi sangat menguasai fiqh madhāhib al-arba’ah. Hal ini tidak mengherankan karena sewaktu di Mesir dia belajar kepada banyak ulama yang berlatar belakang mazhab yang berbeda. Gurunya, Syeikh al-Sammālūṭī adalah seorang ulama Maliki. Sedangkan gurunya yang lain, Syeikh Bākhit al-Mu’ṭī adalah seorang Hanafi.198 Satu contoh yang sangat kompeherensif untuk membuktikan hal ini adalah ketika al-Marbawi membahas soal hukum wudu orang yang menyentuh kemaluan. Tulis al-Marbawi,

317 – مسئلة : توجه مسئلة مپنتوه ذكر تركمفول )يڠفرتامڽ)...111

Langkah pertama yang dilakukan al-Marbawi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan membuat pointer masalah dan mengurainya satu per satu. Masalah menyentuh kemaluan, kata al-Marbawi, memiliki 7 masalah; 1) perbedaan ulama soal status hukum wudu orang yang menyentuh kemaluan. Al-Marbawi kembali merinci, menurutnya ada 4 kaul soal status hukum tersebut. 2) Penjelasan dalil ulama yang mengatakan tidak batal wudunya karena menyentuh kemaluan. 3) Penjelasan soal argumen Ulama Malikiyah dan perdebatan soal riwayat yang dijadikan rujukan istidlal. Dalam masalah ketiga ini, al-Marbawi kembali merincinya ke dalam 6 sub pointer. 4) Menyentuh dengan telapak tangan. 5) Perdebatan ulama soal menyentuh dengan “perut-perut jari”. 6) Menyentuh dengan “perut lengan” tidak membatalkan wudu menurut Shafi’i, tapi kalau terasa nikmat maka

197 Al-Marbawi selalu menyisipkan kata “kita” di antara kata “mazhab” dan “shafi’i” yang sering dia sebutkan ketika menjelaskan hadis. Al-Marbawi, Baḥr al- Mādhī, jil. 2, h. 143. 198 Lihat Bab III penelitian ini. 199 Saya tidak mengutip seluruh ulasan al-Marbawi karena sangat panjang. Lengkapnya bisa dibaca di: Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 120-122.

83

batal menurut Malik. 7) Menyentuh kemaluan dengan belakang tangan.200 Masih banyak suguhan-suguhan perbandingan kaul ulama yang dihadirkan oleh al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī.

6. Menakwil Makna Hadis yang Mutashābih Mentakwil hadis adalah satu di antara sekian banyak metode pemahaman hadis, khususnya jika hadis tersebut masuk dalam kategori mutashabihat dan berpotensi melenceng jika dipahami apa adanya.201 Al-Marbawi juga menerapkan takwil ketika menjelaskan hadis-hadis tertentu. Salah satunya ketika menjelaskan hadis Allah turun ke langit dunia

ع ْن أ ب ي ُه ر ْي رة أ َّن ر ُسو ل اللَّ ه صلَّى اللَّهُ عل ْي ه و سلَّ م ق ا ل ي ْن ز ُل ال َّل ُه ت ب ا ر ك وت ع ال ى إ ل ى ال َّس ما ء الدُّ ْني ا ُك َّل ل ْيل ة حي ن ي ْم ضي ثُلُ ُث اللَّ ْي ل األ َّو ُل ف ي قُو ُل أ ن ا ال م ل ُك م ْن ذ ا الَّ ذي ي ْد ُعون ي ف أ ْست جي ب ل هُ م ْن ذ ا الَّ ذي ي ْسأ لُن ي ف أُ ْع طي هُ م ْن ذ ا الَّ ذي ي ْست ْغ ف ُرن ي ف أ ْغ ف ر ل هُ ف ال ي زا ُل كذ ل ك حتَّى يُ ضي ء الف ْج ُر 202

Al-Marbawi menjelaskan makna hadis tersebut dalam lima masalah (masalah 370-373).203 Dalam masalah 370, al-Marbawi berbicara tentang hadis tersebut secara umum. Dalam masalah 371, al-Marbawi baru memulai perbincangan tentang “Tuhan turun ke langit dunia apakah maknanya?”. Dalam sub masalah ini, al-Marbawi menjelaskan bahwa hadis tersebut adalah hadis mutashabihat dan perlunya melakukan takwil terhadap maknanya. Kata “nazala” atau “turun” menicayakan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain; satu sifat yang tidak mungkin ada pada Tuhan.204

200 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 121. 201 Ali Mustafa Yaqub memberikan catatan terkait syarat penakwilan yang harus dipenuhi; 1) takwil harus sesuai dengan aspek kebahasaan atau ‘urf lughawi, 2) takwil harus diperkuat dengan dalil lain yang selaras, 3) Jika takwil dilakukan dengan qiyas, maka syarat-syarat qiyas juga harus dipenuhi dan 4) Takwil tidak boleh kembali kepada nas asal (nas yang ditakwil). Ali Mustafa Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Faḥm al-Sunnah al-Nabawiyyah (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2016), h. 39. 202 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhī, j. 2, h. 307-308. 203 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 3, h. 150-152. 204 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 3, h. 151.

84

Sedangkan dalam masalah 372, al-Marbawi menjelaskan soal “Tuhan turun ke langit dan takwilannya”. Di sub bab ini al- Marbawi menyuguhkan ragam pendapat soal penakwilan. Al- Marbawi juga menghadirkan versi ulama salaf dan ulama khalaf terkait takwil dan proses penakwilan.205 Dan dalam masalah 373, al-Marbawi menjelaskan “Tuhan turun ke langit dan makna yang layak dengan Dzat-Nya Allah Ta’ala” serta menyimpulkan bahwa,

... دڠن كتراڠن دالم مسئلة 372 ايت تاهوله كيت اكن تنتو ادا معنى يڠاليق دڠن ذات االله تعالى يأيت تورن توهن كالڠيت ايت معناڽ تورن رحمة دان لمفه كرنيا دان مستجابكن دعا دان تريما...206

7. Kompromisasi Hadis-Hadis yang Dianggap Ikhtilaf Seringkali muncul kontradiksi antara satu hadis dengan hadis lainnya. Jika demikian, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah kompromisasi atau al-jam’u wa al-tawfīq. Jika dua hadis sudah tidak bisa dikompromisasi, maka dilakukan tarjīh. Jika tarjīh juga tidak mampu menyelesaikan kontradiksi hadis, maka dilakukan nasakh-mansūkh. Jika nasakh-mansūkh juga tidak mampu menyelesaikan kontradiksi, maka dua hadis ditawqif.207 Langkah kompromisasi dua hadis yang tampak berlawanan juga dilakukan al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī. Tepatnya ketika sedang membahas hadis tentang status keislaman seorang pezina.208 Setidaknya ada dua hadis yang tampak berlawanan;

ع ْن أ ب ي ُه ر ْي رة ق ا ل ق ا ل ر ُسو ُل اللَّ ه صلَّى ال َّل ُه عل ْي ه و سلَّ م ال ي ْزن ي ال َّزان ي حي ن ي ْزن ي و ُه و ُم ْؤ م ٌن و ال ي ْس ر ُق ال َّسا ر ُق حي ن ي ْس ر ُق و ُه و ُم ْؤ م ٌن ول ك َّن التَّ ْوب ة م ْع ُرو ض ٌة 201

205 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 3, h. 151-152. 206 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 3, h. 152. 207 Abū Bakar Muhammad bin Hāzim al-Hamdānī, al-I’tibār fī al-Nāsikh wa al-Mansūkh min al-Āthār (Ḥimṣ: Rātib Hākimī, 1966 M./ 1386 H.), h. 11. 208 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 18, h. 175-177. 209 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, j 5, h. 15.

85

ع ْن أ ب ي ذ ّر ق ا ل ق ا ل ر ُسو ُل اللَّ ه صلَّى اللَّهُ عل ْي ه و سلَّ م م ْن ق ا ل ال إ ل ه إ الَّ اللَّهُ د خ ل ا ْل جنَّة ف ُق ْل ُت وإ ْن زن ى وإ ْن س ر ق ق ا ل وإ ْن زن ى و إ ْن س ر ق.210

Maka, menurut al-Marbawi, dengan mengutip ijma’ ulama, yang dimaksud dengan tidak disebut mukmin orang yang berzina dan yang mencuri dalam riwayat al-Tirmidhi bukanlah mengarah pada makna keluarnya mereka berdua dari Islam dan menjadi kafir. Tapi yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah simbol kefasikan dan keluarnya cahaya keimanan dari dalam hatinya.211 Karena,

بهواسڽ اورڠيڠ برزنا دان اورڠيڠ منچورى دان اورڠ يڠ ممبونه اورڠ دانالين درفد مريكئيت درفد اورڠ2 يڠبردوسابسر الين درفد سكوتوكن توهن تياد جادي كافر مريكئيت دڠن دمكين...212

Itulah beberapa hak terkait skema pensyarahan umum yang bisa dirangkum dalam Kitab Baḥr al-Mādhī.

B. Vernakularisasi Metodis dan Variasi Skema Pensyarahan Khusus dalam Baḥr al-Mādhī Selain skema pensyarahan yang umum dalam tradisi penulisan dan langkah pensyarahan hadis, al-Marbawi juga menawarkan beberapa ciri dan skema khusus ketika mensyarah hadis. Skema-skema pensyarahan khusus ini lahir dari situasi subyektifitas al-Marbawi yang juga spesifik. Beberapa skema yang tidak akan ditemui dalam kitab-kitab syarah hadis yang lahir dalam konteks Arab-Islam. Pertama, akan diurai terlebih dahulu penjelasan yang sudah al- Marbawi tulis dalam pendahuluan Kitab Baḥr al-Mādhī. Sebuah catatan ringkas tentang metode dan sistematika pensyarahan yang dilakukannya dalam Baḥr al-Mādhī. Dalam halaman-halaman kitabnya, selain menjelaskan soal motivasi dan latar belakang penulisan, al-Marbawi juga memberikan sedikit catatan mengenai sistematika dan metode pensyarahan yang telah dilakukannya.

210 ‘Alā’uddin Alī bin Balabbān al-Fārisī, Ṣaḥīḥ Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn al- Balabbān. Shu’ayb Arnauṭ (ed.(, (Bayrūt: Mu’assasah al-Risālah, 1414/1993), jil. 1, h. 391. 211 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 18, h. 176-177 212 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 18, h. 177.

86

)كتهويله كيراڽ يا سودراكو) تياداله اكو ترجمهكن كتاب )صحيح الترمذى) ايت فد سندڽ، بهكن تله اكو تيڠڬلكن تيتيهنڽ دان بحثڽ سام سكالى كران مننتوت رڠكس فد متن، دان اكو ترجمة كفال2 بابڽ سباڬيمان لتقڽ، ادافون جالنڽ دان اتو رانڽ درفد باب2ڽ تيدقكو اوبه، هاڽ تركادڠ كوتورت دان تركادڠ دڠن ببراف كتراڠن دان مسئلة اكو تمبه.

“(Ketahuilah kiranya ya saudaraku) tiadalah aku terjemahkan kitab (Sahih al- Tirmidhi) itu pada sanadnya, bahkan telah aku tinggalkan titiannya dan bahasnya sama sekali karena menuntut ringkas pada matan, dan aku terjemah kepala-kepala babnya sebagaimana letaknya, adapun jalannya dan atau ronanya daripada bab-babnya tidak aku ubah, hanya terkadang kuturut dan terkadang dengan beberapa keterangan dan masalah aku tambah.”213

Poin pertama dari ulasan al-Marbawi di atas adalah, Baḥr al-Mādhī tidaklah membahas dan menjelaskan sanad hadis-hadis Sunan al-Tirmidhi. Hal ini dilakukan karena Baḥr al-Mādhī hendak fokus pada pembahasan matannya. Selebihnya, al-Marbawi menyuguhkan alur pensyarahan berdasarkan urutan hadis dan pembahasan dalam Sunan al-Tirmidhi. Selanjutnya al-Marbawi melanjutkan penjelasannya,

مك سبلوم مپبوتكن حديث اكو تراڠكن سديكيت موضوع )بچاراڽ) منورت سبڬيمان كفال باب، كمدين اكو توروت دڠن حديث يڠا كنجادي حجة دان دليل باڬى مذهب شافعى دان الينڽ دڠن منراڠكن كهنداق حديث دان كهنداق )أبو عيسى: مؤلف صحيح الترمذى) دان اكو جاديكان مسائل بالك باڬي مپنڠكن فننتوتڽ استميوا فول سكلين مسئلة يڠلفس دان يڠد هدافن الڬى. مك جك سكيراڽ برتالى مالى دڠن يڠلفس مك اكو جاڬاكن دالمڽ دڠى كات ))ليهت مسئله نمبر سكين)) تله لفس. دان جك برتالى مالى دڠن مسئله يڠد هدافن الڬى ايتفون دجاڬاكن جوڬئ دڠن كات ))ليهت مسئله نمبر سكين)) دهدافن.

“Maka sebelum menyebutkan hadis aku terangkan sedikit maudu’ (bicaranya) menurut sebagaimana kepala bab, kemudian aku turut dengan hadis yang [a]kan jadi hujjah dan dalil bagi Madhab Shafi’i dan lainnya dengan menerangkan kehendak hadis dan kehendak (Abu Isa: muallif Sahih al- Tirmidhi) dan aku jadikan masa’il belaka bagi menyenangkan penuntutnya istimewa pula sekalian masalah yang lepas dan yang di hadapan lagi. Maka jika sekiranya bertali mali dengan yang lepas maka aku jagakan dalamnya dengan

213 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3.

87

kata ((lihat masalah nomer sekian)) telah lepas. Dan jika bertali mali dengan masalah yang di hadapan lagi, itupun dijagakan juga dengan kata ((lihat masalah nomer sekian)) di hadapan.”214

Uraian al-Marbawi ini mengandung beberapa poin penting terkait karakteristik metodologi dan sistematika kitab Baḥr al-Mādhī; Pertama, al-Marbawi seringkali menyajikan pembahasan pembuka yang menurutnya penting sebelum masuk ke dalam hadis Sunan al-Tirmidhi. Misal, sebelum masuk ke dalam bab niat – hadis pertama dalam Sunan al- Tirmidhi – al-Marbawi terlebih dahulu menyajikan uraian tentang Umar bin al- Khattab.215 Ini yang dimaksud al-Marbawi dengan “Maka sebelum menyebutkan hadis aku terangkan sedikit maudu’ (bicaranya) menurut sebagaimana kepala bab”. Kedua, model pensyarahan al-Marbawi tidak terlalu statis dan fokus pada setiap kata atau kalimat yang ada dalam teks hadis. Untuk kesekian kalinya, Baḥr al-Mādhī berbeda dengan kitab syarah Arab-Islam dari aspek mekanisme pensyarahan. Sebaliknya, al-Marbawi justru membuat mekanisme baru yang tidak bersandar pada kata dan kalimat dalam teks hadis, tapi variabel- variabel “masalah”.216 Ketiga, sub-sub “masalah” yang disajikan al-Marbawi adalah mekanisme pensyarahan yang berbasis problematika, utamanya fikih dan sosial kemasyarakatan.217 Poin-poin masalah inilah yang sebenarnya menjadi daya jual Baḥr al-Mādhī dengan karakternya yang langsung menjurus pada persoalan. Akan tetapi, masalah-masalah yang dibicarakan masih dan selalu berkaitan dengan hadis yang tengah dibahas, sesuai urutan Sunan al-Tirmidhi maupun penjudulan babnya. Dari versi cetakan yang saya acu, penampakan layout Baḥr al-Mādhī tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab syarah pada umumnya. Hadis pertama- tama ditulis dengan font yang lebih besar dan terletak di bagian atas halaman. Di bawah teks hadis, ada terjemahan yang ditulis dalam Bahasa Melayu. Di bawahnya terdapat garis yang memisahkan antara teks hadis plus terjemahannya dengan teks syarah al-Marbawi. Di bawah garis itulah ruang

214 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3. 215 Perbincangan ini diangkat karena hadis niat yang tercantum diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab. Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 5-7, masalah 4-9. 216 Lihat misalnya dalam: Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 8. Al-Marbawi memberikan nomer pada setiap masalah yang diangkat. 217 Dalam halaman-halaman awal tiap jilidnya, selain menyajikan daftar isi bab hadis, al-Marbawi juga menyajikan daftar isi masalah-masalah yang dibicarakan. Ini strategi yang mempermudah pembaca dalam pencarian jawaban atas masalah yang ada. Lihat contohnya dalam: Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. g-p.

88

pensyarahan al-Marbawi. Sekali lagi, pensyarahan dibagi ke dalam indikator- indikator berdasarkan “masalah”.

Gambar 4.1: Tampilan naskah kitab Bahr al-Madhi

Dari gambaran tekstual di atas, tampaknya al-Marbawi menerapkan metode pensyarahan taḥlīlī-ishkālī. Ia taḥlīlī karena jangkauan pensyarahannya luas, khususnya terkait aspek substansial dalam hadis yang dicantumkan. Ia juga ishkālī karena mendasarkan perbincangan pada persoalan dan problematika keseharian. Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, al- Marbawi menggunakan skema dan sistematika pensyarahan berbasis “masalah”. Sedangkan corak yang diperlihatkan Baḥr al-Mādhī, secara dominan, adalah corak fikih. Al-Marbawi banyak mengutip kaul al-Nawawi dan mendasarkan argumen syarahnya kepada Mazhab Shāfi’ī218 dan madhhab

218 Ini diakui sendiri oleh al-Marbawi, seperti perkatannya, “Maka sebelum menyebutkan hadis aku terangkan sedikit maudu’ (bicaranya) menurut sebagaimana kepala bab, kemudian aku turut dengan hadis yang [a]kan jadi hujjah dan dalil bagi Madhab Shafi’i” dan “berikut dengan sedikit-sedikit perkataan Imam Syafi’i di dalam al-Umm…”. Lihat: Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 2. Sedangkan untuk contoh terapannya, al-Marbawi misal, dalam bab hadis niat nomer masalah 14 menjelaskan soal tidak perlunya niat ketika menghilangkan najis. Ia berkata, “maka telah dijawab ulama – adapun seperti menghilangkan najis itu yang masyhurnya di sisi madzhab kita Shafi’i tiada berhajat kepada niat…” Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 9.

89

mu’tabarah lainnya.219 Meskipun memang tidak menutup kemungkinan ada banyak sekali varian corak yang disajikan al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī. Selain sajian-sajian syarah fikhi, dalam Baḥr al-Mādhī juga ditemukan sajian- sajian kesejarahan220, akidah dan tema lain. Namun selain apa yang dijelaskan oleh al-Marbawi sendiri, ada beberapa skema dan ciri khas metode pensyarahan khusus yang berhasil saya rangkum berdasarkan amatan langsung kepada 22 jilid Kitab Baḥr al-Mādhī, antara lain;

1. Syarah Visual-Ilustratif dan Metode Menjelaskan Makna Hadis Dengan Gambar Karakter khusus pertama yang perlu dicatat adalah pensyarahan hadis dalam Baḥr al-Mādhī, di beberapa tempat, menggunakan ilustrasi gambar atau visual. Visualisasi terminologis atau istilah dalam hadis tentu saja efektif, utamanya dalam kasus nama benda ataupun petunjuk pelaksanaan syariat yang membutuhkan kejelasan. Al-Marbawi memanfaatkan gambar.221 Misalnya ketika menjelaskan hadis tentang air dua qullah. Dalam syarahnya, al-Marbawi menjelaskan awal mula munculnya standart qullah. Menyitir kaul al-Shāfi’ī, yang dimaksud qullah pada ketentuan air dalam bersesuci pada mulanya adalah “qullah hajar”. Yaitu ukuran yang dipakai di desa “hajar”, desa kecil dekat Madinah. Qullah dinisbatkan kepada jenis wadah yang digunakan di desa tersebut,

... مك قلة ايت اياله تمفاين بسر بر تليڠا دوا، دان لواس مولوتپا222

219 Seperti Madzhab Hanafi. Al-Marbawi juga menguasai madzhab ini berkat belajar kepada Muhammad Bakhit al-Mu’ti. Seperti contoh pembahasan masalah 17, “mengapa Abu Hanifah sah wudu dengan tanpa niat? Dan sekalian imam mewajibkan?” Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 9. 220 Seperti contoh kisah Umar. Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 5-8. 221 Dalam semiologi, kata sebagai sign nyatanya memiliki dua lipatan; lipatan penanda dan lipatan petanda. Penanda (signifier) adalah kata atau materil bahasa. Sedangkan petanda (signified) adalah mental benda yang muncul dari citra akuistik. Dengan kata lain. Makna kata sebenarnya bukan berbentuk materil bahasa, tapi konsepsi kebendaan yang muncul dari citra akuistik atau suara. Lihat: Roland Barthes, Elements of Semiology (New York: Hill and Wang, 1994), h. 36. Dengan kata lain, dalam kegiatan mensyarah (yang notabene adalah kegiatan menjelaskan “sign” dalam hadis), penggunaan gambar dan ilustrasi lebih efektif dibanding penggunaan kata-kata. Sebuah trik yang lumrah diterapkan dalam kamus. Lihat misalnya: al-Mu’jam al-Wāsiṭ (Mesir: Maktabah al-Shurūq al-Dawliyah, 2011 M./1432 H), h. 286-287, 423, 612, dst. 222 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 94.

90

Untuk memudahkan pembacanya, al-Marbawi kemudian melacak persamaan dalam istilah Melayu. Al-Marbawi memilih nama “griba”, yaitu,

... مك مڠنل ڬريبا ايت اياله بكس منڠڬوڠ دان مڠڠكوت اير درى تالڬك كرومه مثال. يائت دفربواتكندى درفد كوليت سبواه2 بادن بيرى2 يڠد سليت اكندى كمدين دسامق دان دجاهيت تمفت برلوبڠ2ڽ سفرة امفت كاكيڽ دان سباڬين ليهت ڬمبرڽ ايت.223

Lalu al-Marbawi memberikan sisipan gambar untuk menjelaskan bentuk “griba” sebagai ukuran qullah yang dimaksud;

Gambar 4.2: Contoh tampilan syarah visual dalam Baḥr al- Mādhī

Di pembahasan yang lain, penghadiran gambar dan trik syarah visual juga ditemukan seperti contoh di atas;

223 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 94

91

Gambar 4.3 dan 4.4: Contoh lain syarah visual dalam Baḥr al- Mādhī

Gambar di sebelah kanan, tampak dua gambar seperti tangga. Keduanya adalah ilutrasi keranda jenazah untuk memikul mayyit. Menurut al-Marbawi, ada dua bentuk keranda yang bisa diaplikasikan. Keranda model pertama [gambar atas] memiliki model kerucut. Bagian depan lebih sempit daripada bagian belakang. Ini model keranda yang bisa dipikul tiga orang. Sedangkan yang bawah adalah keranda pikulan empat yang juga bisa diaplikasikan untuk memikul jenazah.224 Sedangkan gambar yang kiri adalah gambar dan ilustrasi visual untuk menjelaskan hadis relasi manusia, ajal, bencana dan angan- angan;

ع ْن عبْ د اللَّ ه ْب ن م ْسعُو د ق ا ل خ َّط ل ن ا ر ُسو ُل اللَّ ه صلَّى اللَّهُ عل ْي ه و سلَّ م خ ًّطا ُم ربَّعًا و خ َّط ف ي و س ط ال خ ّط خ ًّطا و خ َّط خا ر ًجا م ن ال خ ّط خ ًّطا

224 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 7, h. 189.

92

و ح ْو ل الَّ ذي ف ي ال و س ط ُخ ُطو ًطا ف ق ا ل هذ ا ا ْب ُن آد م و هذ ا أ جلُهُ ُم حي ٌط ب ه و هذ ا الَّ ذي ف ي ال و س ط ا إل ْن سا ُن و ه ذ ه ال ُخ ُطو ُط ُع ُرو ُضهُ إ ْن ن جا م ْن ه ذ ا ي ْن ه ُشهُ هذ ا وال خ ُّط ال خا ر ُج األ م ُل 225

Itulah beberapa contoh dan data terkait syarah visual dan trik menghadirkan gambar dalam proses menjelaskan makna hadis yang dilakukan al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī. Sebuah trik yang jarang – atau bahkan tidak akan – ditemukan dalam kitab- kitab syarah hadis pada umumnya.

2. Syarah Fabula Dan Strategi Tamsil Maksud Tradisi bercerita dan menggunakan dongeng sebagai strategi literasi sudah menjadi karakter naratif orang Nusantara. Melalui cerita dan kisah-kisah fabel, orang Nusantara menyisipkan gagasan, mengajarkan hal-hal etis bahkan media tumbuh bagi ideologi kebangsaan. Sebelum al-Marbawi, strategi narasi yang memanfaatkan cerita dan dongeng juga dilakukan para wali. mengarang kitab Damarwulan, mengarang kitab Jaka Partwa Nggandingan Majapahit, Sunan Padusan mengarang cerita Jaka Karewet, Sunan Maryapada mengarang kitab Jaka Sureng, Sunan Kalijaga mengarang kitab Jaka Sumantri dan Sutakara, mengarang kitab Jaka Bodo dan Sunan Geseng mengarang kitab Jaka Sujalma.226 Personifikasi “Jaka” dalam narasi-narasi kenusantaraan pun menjadi simbol dan media naratif untuk membicarakan banyak hal; perubahan sosial, wacana keagamaan sampai konstelasi politik pribumi sudra versus raja.227 Jaka menjadi simbol personifikatif yang telah direkonstruksi oleh para wali untuk menyebarkan ideologi kebangsaan dan mengajarkan karakter kenusantaraan.228

225 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhī, j. 4, h. 635. 226 Sri Mulyono, Wayang: Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: Alda, 1975), h. 211. Dijelaskan lebih rinci oleh Ahmad Baso dalam: Ahmad Baso, Pesantren Studies 2A; Pesantren Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan- Kebangsaannya (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), h. 1-2. 227 Menurut Ahmad Baso, model penerasian kisah si Jaka mengikuti model santri pengembara yang hidup di desa, yang ngaji kepada seorang guru-ulama, kemudian menjadi pembela orang-orang desa, menumpas kejahatan, merawat sumber ekonomi dan alam di desa, mempelajari suatu ilmu tertentu yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Ahmad Baso, Pesantren Studies 2A, h. 3. 228 Contoh narasi “Jaka” yang merupakan hasil konstruksi Wali Songo ini bisa dilihat dalam Serat Babad Tembayad, Moelyono Sastronaryono (alih bahasa dan

93

Model fabula dan penarasian semacam ini tampaknya juga dianut oleh al-Marbawi ketika mensyarah dalam Baḥr al-Mādhī. Ada satu kisah dan dongeng yang akan saya cantumkan secara lengkap. Kisah yang dihadirkan oleh al-Marbawi untuk menjelaskan kalimat “likulli imri’in mā nawā”;

22 – مسئلة : حكاية دوا سودارا برتوكر نية. دڠر يا سوداراكو، اداله دوا اورڠبر سودارا سؤرڠڽ فمبورس دان سؤرڠڽ موات بربوات عبادة كفد الله. مك يڠكوات بربوات عبادة ايت منچيتا اى هندق مليهت ابليس. تيبا2 فد ساتو هارى ظاهرله ابليس باڬيڽ. كاتڽ – امبوى روڬيڽ كامو مسيا2 كن عمر كامو امفت فوله تاهن ددالم مپمفيت2 دان مپوسه2هى بادن اڠكو. سكارڠ ادا الڬى عمر اڠكو سباڬيمان يڠتله هابس ايت. چافيله دهولو راسا2 كسدافن دنيا كمدين كمباليله كامو بربواة عبادة. جادى تياداله روڬى كامو دنيا دان اخرة. مك كات هاتى اورڠ يڠكوات عبادة ايت – سوڠڬوه فول، روڬى اكو ببراف الم: بايكله اكو تورن كفد سودار اكو موافقة برسام2. ماكن دان مينم برسدف2 ددالم دوا فوله تاهن، كمدين اكو توبت دان مپمبه الله تعالى ددالم دوا فوله تاهن يڠ باقى. مك ايفون تورن درى تيڠكت رومهڽ يڠداتس كباوه مندافتكن سوداراڽ دڠن نية يڠدمكين. ادافون سوداراڽ يڠ فمبورس تادى دودق دڠن ممبورس مينم ارق دان بربواة ماچم2 كجهاتن. فد ساتو ماس اى ددالم سدر فد مابوقڽ ددافتڽ ديريڽ ددالم سبوسق2 حال كران بادانڽ دان كأينڽ برلومر دڠن كنچيڠ دان كوتر2. دان اياڽ تربيتڠ داتس تانه ددالم كلم مالم فول، بيال سدراكنديريڽ جاتوه يڠدمكين، بركاتله هاتيڽ – امبوى سيا2ڽ اكو، امبوى! روڬيڽ اكو. هابسله عمر اكو ددالم معصية دان برعذاب2 ديرى دان ممبوات2 بوده دان سوداراكو برسدف2 اى دڠن بربوات طاعت كفد الله تعالى برمناجة دڠن توهن، ايسى شرڬاله اى دڠن سبب طاعتڽ. دان اكو ايسى نراكله روفاڽ جكالو اكو برككلن ددالم بوده دان معصية اين. ايفون بيال ترايڠتكن دمكين اللو توبت اى دان برزينة بربوات بايك دان هندق طاعة دان مڠرجاكن عبادة كفد الله تعالى : مك ايفون نايك هندق مندافتكن

aksara) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Proyek Pengkajian Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya], 1986), jil. 1, dalam Serat Jaka Rusul, Serat Menak, Carub Kandha (Carang Seket) dan naskah lainnya. Lihat: Ahmad Baso, Pesantren Studies 2A, h. 4.

94

سوداراڽ كتيڠكت يڠأتس سفاى موافقة سام2 سوداراڽ بربوات عبادة. تله اللو داتس تادى دچريتاكن ابڠڽ تورون دڠن نية هندق ممفربوات معصية دڠن اديق، دان اديقڽ دڠن سكتيك ايت دچريتاكن تله نايك كأتس دڠن نية هندق بربوات عبادة. ددالم سوداراڠ يعنى ايڠن تورن درى اتس تادى ترڬليچيق كاكيڽ اللو جاتوه كأتس اديقڽ برتمفا2 كدواڽ جاتوه لڠسوڠ ماتى. مك ماتيله يڠكوات برعبادة اتس نية معصية. دان يڠكوات معصية اتس نية توبة دان طاعة...221

Kisah dua saudara yang bertolak belakang secara sifat dan karakter, yang pada akhirnya mati dalam kondisi yang tak terduga, adalah kisah yang secara representatif sudah menjelaskan makna hadis tentang niat. Dengan menghadirkan kisah tersebut, al- Marbawi memberikan penjelasan dengan contoh yang pastinya akan membantu awam dalam memahami hadis. Syarah fabula dan trik bercerita untuk menjelaskan makna hadis juga dilakukan al-Marbawi di bab yang lain. Misal dalam hadis,

ع ْن أ ب ي ُه ر ْي رة ق ا ل ق ا ل ر ُسو ُل اللَّ ه صلَّى ال َّلهُ عل ْي ه و سلَّ م اتْ ُر ُكون ي ما ت ر ْكتُ ُك ْم ف إ ذ ا حدَّثْتُ ُك ْم ف ُخذُوا عن ّي ف إ نَّ ما هل ك م ْن كا ن ق ْبل ُك ْم ب كثْ رة ُس ؤا ل ه ْم وا ْخت الف ه ْم عل ى أ ْنب ي ائ ه ْم 230

Untuk menjelaskan maksud dari kalimat “bi kathrati su’ālihim” al-Marbawi menyajikan kisah yang sangat panjang tentang seorang Bani Israil yang soleh, yang mempunyai seorang putra dan seekor lembu.231 Strategi bercerita, berdongeng, berkisah fabel dan drama fabula memang efektif dalam menyampaikan pesan, utamanya terkait nilai-nilai yang sangat abstrak, yang cenderung sulit dipahami orang awam.

3. Syarah Interaktif dan Dialog Dua Arah Pengarang-Pembaca Jarang sekali menemukan kitab syarah yang melibatkan pembaca. Umumnya, model narasi dalam kitab syarah adalah model

229 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 11. 230 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, j. 5, h. 47. 231 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, 63-66.

95

monolog dan seolah-olah berbicara sendiri tentang sebuah hadis. Tapi tampaknya model seperti ini tidak berlaku bagi al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī. Dalam Baḥr al-Mādhī, sejak di awal, al-Marbawi sudah memperlihatkan model syarah interaktif. Al-Marbawi berusaha mengajak pembacanya untuk berdiskusi, berpikir dan terlibat bersama-sama dalam mensyarah sebuah hadis. al-Marbawi juga mengajak pembacanya untuk meniti dan menyelesaikan masalah- masalah. Karakter pertama yang mencerminkan model syarah interaktif dalam Baḥr al-Mādhī adalah munculnya variasi sapaan dalam tiap awal perbincangan mengenai sebuah masalah. Kalimat sapaan yang digunakan oleh al-Marbawi muncul dalam ragam variasi, yaitu:

كتهويله كراڽ يا سوداراكو232 يا سوداراكو233 كتهويله يا سوداراكو239 يا اخوان235

Kalimat sapaan dan panggilan ini secara tidak langsung hendak membangun satu model komunikasi dua arah yang melibatkan pengarang dan pembacanya. Dengan penggunaan kata “saudaraku”, al-Marbawi secara tidak langsung juga membangun situasi keakraban yang menipiskan jarak antara pembaca dan pengarang kitab. Terminologi “saudara” dalam konteks kenusantaraan meniscayakan posisi yang egaliter sehingga masing-masing pihak, baik pengarang maupun pembaca, sama- sama mampu berdialog dengan bebas dan menawarkan cara pandangnya.236 Tanda kedua yang menggambarkan model pensyarahan interaktif dalam Baḥr al-Mādhī adalah model tanya-jawab

232 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 25 dan di juz berikut halaman-halaman yang lain dalam Baḥr al-Mādhī. 233 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, Jil 8, 50 174 234 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, Jil 1, 173 235 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, Jil 7, h. 103. 236 Model semacam ini, kalau diamati, tidak muncul dalam tradisi penulisan kitab syarah hadis yang konteks Arab-Islam. Lihat misalnya dalam: Muhammad Abdurrahman al-Mubārakfūri, Tuḥfah al-Ahwadhi bi Sharh Jāmi’ al-Tirmidhī (Mesir: Dar al-Hadith, 2001).

96

permasalahan. Dalam setiap masalah yang diangkat, al-Marbawi selalu memulainya dengan mengajukan sebuah pertanyaan. misal;

5 – مسئلة : برخطبة دهولو درفد سمبهيڠ هارى رايا اف حكمڽ237 8 – مسئلة : برخطبة داتس ممبر فد هارى رايا اف حكمڽ238 275 – مسئلة : كنچيڠ كانق الكى2 دفرچيق اف دليلڽ231

Mengajukan pertanyaan dan menjawabnya sendiri adalah cara menjelaskan yang dominan digunakan oleh al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī. Skema bertanya dan menjawab semacam ini adalah upaya untuk membuka ruang dialog dan mendekatkan teks hadis dengan problematika keseharian yang kemungkinan besar dialami oleh khalayak pembacanya.

4. Pointer Petunjuk Pelaksanaan Syariat Dalam Baḥr al-Mādhī, al-Marbawi tidak hanya bertujuan menjelaskan hadis. Tapi yang lebih penting dari itu, bagaimana ia mampu menyelesaikan masalah-masalah keseharian dan membuat pedoman pelaksanaan praksis bagi pembacanya. Al-Marbawi tidak hanya memproyeksikan Baḥr al-Mādhī sebagai kitab syarah hadis, tapi juga kitab pedoman praksis pelaksanaan ibadah yang bisa diacu oleh pembacanya. Untuk mendukung visi tersebut, al-Marbawi seringkali membuat pointer soal pedoman rinci tata laku dan pelaksanaan syariat. Al-Marbawi tidak menjelaskannya dalam bentuk deskripsi murni berwujud paragraf seperti yang biasa dilakukan dalam kitab- kitab syarah hadis, tapi membaginya ke dalam beberapa sub poin yang runtut menggunakan angka. Umumnya, skema pointer digunakan oleh al-Marbawi untuk menjelaskan aturan-aturan dasar dalam pelaksanaan syariat. Misal menjelaskan syarat, sunnah, dan kadang menjelaskan keutamaan- keutamaan. Contoh:

مك ادافون شرط2 يڠ واجب باڬيڽ يائت دالفن يڠبرسال2هن علماء فد ستڠهڽ:

237 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, Jil 4, h. 5. 238 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, Jil 4, h. 5. 239 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, Jil 4, h. 113

97

)1) سوچى درفد نجس فد كاينڽ دان بادنڽ دان تمفت يڠدفيجقڽ فد ماس طوافڽ )2) طواف ايت هندقله ددالم مسجد )3) مپمفرناكن توجه كليلڠ )9)ترتيب يائت دموالئى درفد حجر اسود دان ماللوى اتس كيريڽ )5) بهوا ادا سكلين بادنڽ ايت كلوار درفد سكلين بيت الله. مك ليما فركارا اين واجب دڠن تياد خالف، مك الڬى اكنداتڠ تفصيل ساتو2ڽ ددالم ببراف باڽق مسئلة )6) نية طواف )7) سمبهيڠ طواف 290... (8(

Selain pointer soal syarat tawaf, al-Marbawi juga menyajikan pointer pada permasalahan sunnah-sunnah wukuf di Arafah241, keutaman dan fadilah membaca al-Quran242 dan pembahasan lainnya. Selain menjelaskan aturan pensyariatan dengan pointer, al- Marbawi juga menyertakan doa-doa yang bisa dibaca di tiap-tiap segmen dalam sebuah deretan ibadah.243

5. Klasterisasi Kutipan dan Otoritas Rujukan dalam Baḥr al- Mādhī Al-Marbawi juga memiliki karakter yang sangat khas soal referensi dan rujukan. Dalam mensyarah hadis dan memperbincangkan sebuah permasalahan, seringkali al-Marbawi menukil kaul-kaul ulama. Dan kalau diamati, ada pola penukilan kaul ulama sesuai dengan tema masalah yang ada. Dalam perbincangan-perbincangan fikih, al-Marbawi seringkali mengutip pendapat dua orang; al-Shāfi’ī dan al-Nawawi. Kaul al-Shāfi’ī langsung dinukil dari kitabnya al-Umm, sedangkan kaul al-Nawawi seringkali al-Marbawi ambil dari Syarah al- Muhadhdhab. Contoh:

240 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 6, h. 109. 241 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 6, h. 161. 242 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 20, h. 174-175. 243 Ini misalnya bisa kita temukan dalam Bab Haji. Al-Marbawi, Baḥr al- Mādhī, j. 6, h. 30-32, 35-36.

98

71 – مسئلة : مپڬراكن منانم ميت دان حكمڽ )يا سوداراكو) فد مسئلة 69 ايت ادا حديث رسول الله مپبوتكن جاڠن تأخيركم جنازة )كات شافعى) ددالم األم فد باب العمل فى الجنائز...299 116 – مسئلة : سمبهيڠ برجماعة ايت اداكه ديراتى مڠرجاكن )كات إمام شافعى) ددالم األم...295 9 – مسئلة : عمرة ايت واجبكه فد سكلين مذهب )كات نووى) ددالم شرح المهذب...296 23 – مسئلة : دودق باڬى تعزية )كات نووى) ددالم شرح المهذب...297

Selain al-Shāfi’ī dan al-Nawāwī, al-Marbawi sebenarnya juga mengutip dan menukil pendapat beberapa ulama. Misalnya Ibn al- Qudāmah, al-Qāḍī ‘Iyāḍ, Ibn al-‘Arabī seorang ulama Maliki dan al-Qastalani dalam kitabnya Sharah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Misal:

... مك مڠهيالكن ايكور كاين ايت داتس بومى اياله كلكوان اورڠيڠ ممبسر دان ممڬه2 كنديرى )كات ابن العربى)...298

Sedangkan dalam konteks perbincangan seputar ahlak dan tasawuf, al-Marbawi seringkali mengutip al-Ghazāli dan Ihyā’ Ulūm al-Dīn.

256 – مسئلة : مڠومفت ايت داتڠ اى درفد دالفن سبب، سباڬى )كات امام الغزالى) ددالم احياء بڬينى...291

Selain al-Ghazali, dalam tema-tema ahlak dan tasawuf, al- Marbawi juga mengutip al-Zubaydi dan kitabnya Ittihāf al-Sādah al-Muttaqīn bi Sharh Ihyā’ Ulūm al-Dīn. Contoh:

244 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 2, h. 32. 245 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 2, h. 97. 246 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 7, h. 4. 247 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 8, h. 23. 248 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 3, h. 83. 249 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 13, h. 126.

99

61 – مسئلة : صبر ايت منجاديكن امام متقين دان منچافى أمانة دالم اوڬام )كات زبيدى) دالم اتحاف السادة - ...250

Dalam konteks akidah, al-Marbawi memang tidak merinci siapa ulama yang dia nukil pendapatnya. Tapi sejauh yang saya amati, dalam perbincangan seputar akidah, selalu muncul terminologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.251 Dalam konteks perbincangan seputar tafsir al-Quran, al- Marbawi mengutip dua mufassir; Tafsir Khāzin dan Tafsir al- Bayḍāwi.

10 – مسئلة : دان ستڠه درفد جملة سورة الفاتحة ايت اياله بسم الله الرحمن الرحيم يعنى بسملة ايت بربيلڠ اى ساتو اية درفد فاتحة الكتاب )كات امام بيضاوى) ددالم تفسيرڽ...252 11 – مسئلة : فاتحة ددالم سمبهيڠ اداكه واجب دباچ )كات خازن) رحمه الله تعالى ددالم تفسيرڽ.253

Itulah beberapa klasterisasi rujukan yang telah disesuaikan oleh al-Marbawi berdasarkan otoritas keilmuan ulama yang ia rujuk.

C. Vernakularisasi di Level Petanda Dalam Pensyarahan Hadis Baḥr al-Mādhī; Problem Beban Makna Kata Vernakularitas, sebagaimana yang telah diulas dalam Bab II penelitian ini, bisa ditilik dari seluruh aspek tekstual yang ada. Level yang paling dasar dan implisit untuk melihat proses vernakularisasi dalam kasus Baḥr al-Mādhī adalah pegonisasi Bahasa Melayu itu sendiri. Penggunaan Bahasa Melayu sebagai media pensyarahan tentu saja akan banyak meniscayakan penyesuaian- penyesuaian semantis terhadap makna hadis. Dalam kasus penggunaan Bahasa Melayu dan aksara pegon, vernakularisasi terjadi di level penanda (signifier). Selain itu, tekukan vernakular juga terjadi di level kontekstualisasi “petanda” (signified). Dengan kata lain, vernakularisasi tidak hanya sebatas pada proses alih aksara dan kosakata saja, tapi terjadi level kedua dalam tanda

250 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 14, h. 33 251 Misal ketika al-Marbawi mendiskusikan soal takwil dan teologi al-asma’ wa al-sifat. Lihat: Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 4, 203-205. 252 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 21, h. 7. 253 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 21, h. 8.

100

(sign). Di level vernakularisasi ini, penyesuaian-penyesuaian terjadi di tingkat makna kononasi, makna asosiasi maupun makna paradigmatik. Sebenarnya, proses penyesuaian terminologi dalam kerja transliterasi dan penerjemahan juga termasuk momentum vernakularisasi itu sendiri. Menerjemahkan kata “salat” ke kata “sembahyang” misalnya – meskipun tampak sederhana dan tak lebih dari hanya sekedar menerjemahkan – sebenarnya mewakili satu momentum perubahan semantik dan peralihan dimensi makna. Hal ini diakui oleh Woodward;

"Any translation is in a sense a 'new work', because changing the language of a text changes the 'semantic fields' and contexts in which is situated. He goes on to suggest that -bringing old texts into the present' is a common Malay world phenomena.”254

Momentum perubahan medan semantik dalam kerja penerjemahan dan transliterasi banyak ditemukan dalam Baḥr al-Mādhī. Tapi saya hanya akan memberikan dua contoh yang saya kira mampu mewakili proses vernakularisasi di level petanda; pertama adalah soal “jampi-jampi” dan yang kedua adalah soal “perang sabil”. Pertama adalah munculnya terminologi “jampi-jampi”. Kalimat “jampi” digunakan oleh al-Marbawi untuk mengganti makna “doa”. Menurut al-Marbawi, dalam bab mengunjungi orang yang sakit, mereka yang mengunjungi orang yang sakit boleh – atau bahkan dianjurkan – mengucapkan jampi kepada orang yang sakit.

181 – باب : يڠتله داتڠ اى فد مپاتكن مڠوچفكن دعا اتو جمفى با ڬى اورڠيڠ ساكيت )كتهويله كيراڽ يا سوداراكو) افبيل فرڬى سؤرڠ زيارة اورڠساكيت مك بوله اى دعاكن اتو جمفيكن...255

Dalam bab yang lain, al-Marbawi juga menulis;

254 M.R. Woodward, “Textual Exegesis As Social Commentary: Religious, Social and Political Meanings of Indonesian Translations of Hadith Texts”, dalam Journal of Asian Studies 53 (3), 1993, h. 565-583. 255 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 7, h. 82.

101

196 – باب : يڠتله داتڠ اى فد مپتاكن تڬه منجمفى ساكيت )كتهويله كراڽ يا سوداراكو) اداله حكم اورڠ منجمفى اورڠ ساكيت هارس اى...256

Penggunaan kalimat dan istilah “jampi” yang digunakan al-Marbawi menunjukkan bahwa kata tersebut mulanya bermakna doa dalam konteks masyarakat Nusantara. Menjampi artinya mendoakan. Dalam aturan syariat, mendoakan orang lain merupakan anjuran, bahkan kewajiban. Awalnya istilah “jampi” tidak ada hubungannya dengan “perdukunan” dan praktek-praktek bidah yang menyalahi aturan syariat.257 Terminologi “jampi” dalam konteks naskah-naskah Nusantara justru mengandung makna yang lain. Dalam naskah Serat Primbon Jampi Jawi258, “jampi” justru bermakna ramuan dan obat. Dalam naskah tersebut misalnya, disebutkan resep ramuan sakit kepala;

“Jampi sakit ngelu; sakit ngelu limrah; [1] jae, manis jangan, kemukus, sami kapipis lembat, kapilisaken ing bathuk, [2] pala, cabe, kunir, kapipis lembat, kapilisaken ing bathuk, [3] temupethak, dringo, kunir, apu, kapipis lajeng kapilisaken ing bathuk, [4] jae, brambang, sunthi, kapipis lajeng kapilisaken ing bathuk, [5] bonggol sere, dhedhes, kapipis kapilisaken ing bathuk, [6] ron galing sateken, kunir

256 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 14, h. 75. 257 Terminologi “jampi” hari ini sangat dekat dengan variabel-variabel perdukunan dan praktek mistis. Pertama, hal ini terekam dalam arti kata “jampi” yang diresmikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, jampi adalah “kata- kata atau kalimat yang dibaca dan diucapkan, dapat menyebabkan daya gaib (untuk mengobati penyakit dsb)”. KBBI menyamakan kata “jampi” dengan “mantra”. Dalam contoh verb “men.jam-pi”, KBBI memberikan contoh “dukun itu sedang ~ air”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia, 2013), h. 563. Sedangkan untuk kata “doa”, KBBI mengarikan “permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 337. Ada jarak semantis yang cukup jauh, yang diresmikan oleh KBBI terkait “jampi” dan “doa”. Pembengkakan makna dalam kata “jampi” kemudian dikukuhkan sebagai bentuk sinkretisme dalam tradisi metafisis masyarakat Nusantara dan dianggap sebagai bagian dari praktek perdukunan. Tengku Syarfina, “Singkretisme Dalam Jampi Melayu Deli: Tinjauan Transformasi Budaya” dalam Jurnal Atavisme, Vol. 14, No. 1 (Kementerikan Pendidikan dan Kebudayaan, 2011). Pertanyaannya, sejak kapan makna kata “jampi” membengkak? 258 Putri Utami, Serat Primbon Jampi Jawi Koleksi Perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya Taman Siswa (Suntingan Teks dan Terjemahan) (Yogyakarya: Universitas Gajah Mada, 2010).

102

tigang iris, jinten cemeng sajumput, kapipis lembat, kapilisaken ing bathuk...”259

Namun pada akhirnya, kata jampi memang mengalami pembengkakan makna. Ia tidak lagi dipahami sebagai doa dan obat, tapi “kalimat yang diyakini dapat menyebabkan daya gaib dalam konteks perdukunan”. Dengan kata lain, munculnya term “jampi” dalam Baḥr al-Mādhī secara tidak langsung bertalian dengan formasi diskursif keagamaan di Nusantara – dan Timur Tengah – di abad XX; momentum ketika kata “jampi” menemukan fase pembengkakannya. Munculnya term “jampi” yang disepadankan dengan kata “doa” sedikit banyak juga menunjukkan posisi al-Marbawi dalam pertarungan wacana yang sedang berlangsung. Contoh kedua untuk menunjukkan tekukan vernakular di level penanda adalah munculnya terminologi “Perang Sabil” dalam Baḥr al-Mādhī. Misal:

926 – مسئلة : فراڠ سبيل ايت اداكه بايك سمات260.2 969 – مسئلة : فراڠ سبيل ددالم فواس...261

Terminologi “Perang Sabil” yang dipakai al-Marbawi banyak ditemukan, khususnya dalam bab keutamaan berjihad. Istilah “Perang Sabil” sendiri sebenarnya bermakna “berperang di jalan Allah” (jihād fī sabīlillah). Dalam konteks kenusantaraan, proses perjuangan dan peperangan di jalan Allah kemudian dibahasakan “Perang Sabil”. Perang Sabil tidak hanya ejawantahan dari perintah untuk jihad di jalan Allah. Perang Sabil sudah menjadi ideologi perlawanan yang diinisiasi masyarakat Nusantara atas hegemoni dan represi kolonial.262

259 Muhammad Taufiq al-Makmun dkk., “Construing Traditional Javanese Herbal Medicine of Headache: Transliteraling, Translating and Interpreting Serat Primbon Jampi Jawi”, dalam Procedia; Social and Behavioral Sciences, No. 134 (2014), h. 241. Munculnya resep jampi obat dalam tradisi pengobatan masyarakat Nusantara menunjukkan satu ikatan yang produktif antara manusia dan alam. A. Wulandari, “Serat Primbon Jampi Jawi Koleksi Perpustakaan Dewantara Kirti Griya Tamansiswa; Sebuah Dokumentasi Pengobatan Tradisional”, dalam JUMANTARA, vol. 2, no. 2 (2011), h. 30-56. 260 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 11, h. 198 261 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 11, h. 201 262 Bagus Kurniawan, “Hegemoni Ideologi Perang Sabil Sebagai Wacana Antikolonial dalam Teks Syair Raja Siak”, dalam JUMANTARA, vol. 6, no. 2 (2015), h. 74. Selain ideologi Perang Sabil, nama lain yang biasa muncul dalam nomenklatur naskah politik Nusantara adalah “Sabilolah”. Menurut Ahmad Baso, baik Perang Sabil maupun Sabilolah, sama-sama merupakan aktualisasi dari ilmu politik Nusantara yang

103

Ideologi Perang Sabil juga banyak ditemukan dalam naskah-naskah Nusantara; Syair Raja Siak, Syair Perang Siak, Syair Perang Banjarmasin, Hikayat Prang Sabi, Hikayat Perang Aceh, Syair Perang Menteng, Syair Perang Mengkasar dan naskah-naskah perang sabil lainnya. Seluruhnya berbicara soal jihad dan anjuran untuk bertempur melawan kolonial. Munculnya term Perang Sabil dalam Baḥr al-Mādhī, disadari atau tidak, adalah rembesan dari subyektifitas al-Marbawi sebagai orang Nusantara dalam memahami konsep soal “jihad”. Dengan demikian, konsep jihad yang dipahami al-Marbawi dalam hadis-hadis Nabi bukanlah jihad model ISIS ataupun jihadis yang teroristik, tapi ia adalah konsep perlawanan yang disandarkan kepada ideologi Perang Sabil yang bersandar pada logika menjaga apa yang kita punya. Ia adalah bentuk perjuangan dan perlawanan terhadap kolonial dalam rangka menjaga sumber daya alam, tradisi, kosmologi dan kekayaan dari segala aspek yang dimiliki bangsa Nusantara.263 Muatan ideologis dalam penyebutan Perang Sabil diperkuat oleh penjelasan al-Marbawi soal cinta tanah air dan keharusan untuk menjaganya dari setiap gangguan yang datang;

71 – مسئلة : برسديا منجاڬك وطن دڠن آلة سنجاتڽ )سوڠڬوهڽ) اورڠ يڠ سبايك2 اورڠ ايت اياله اورڠيڠ ادا چوكف فرسديأن آلة ففراڠن درفد سنجاة دان كودا دانالينڽ اللو منوڠڬو اى اكن نڬريڽ درفد لڠڬران ستروڽ دان ممفرتاهنكنديرى درفد سراڠ موسوه...269

Penjelasan tersebut merupakan satu masalah dari syarah al-Marbawi atas hadis;

ditujukan untuk merawat sumber daya alam dan manusia Nusantara. Ahmad Baso, Pesantren Studies 4A: Akar Historis dan Fondasi Normatif Ilmu Politik-Kenegaraan Pesantren, Jaringan dan Pergerakannya se-Nusantara Abad 17 dan 18 (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), h. 273 263 Menurut Lombard, gagasan Perang Sabil menemukan momentumnya ketika Perang Jawa 1825-1830 yang diinisasi Dipenegoro pecah. Perang selama lima tahun yang dianggap sukses tersebut – meskipun berakhir dengan dibuangnya Diponegoro dan Kiai Mojo – menginspirasi gerakan sekaligus menumbuh-suburkan ideologi Perang Sabil. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018), h. 441. 264 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 47.

104

2177 - ع ْن أُ ّم ما ل ك الب ْه زيَّ ة ق ال ْت ذ ك ر ر ُسو ُل اللَّ ه ص َّلى ال َّلهُ عل ْي ه و سلَّ م ف تْن ةً ف ق َّرب ها ق ال ْت قُ ْل ُت ي ا ر ُسو ل اللَّ ه م ْن خ ْي ُر النَّا س ف ي ها ق ا ل ر ُج ٌل ف ي ما شي ت ه يُ ؤ دّي حقَّ ها وي ْعبُدُ ربَّهُ و ر ُج ٌل آ خذٌ ب رأْ س ف ر س ه يُ خي ُف الع دُ َّو ويُ خيفُون ُه 265

Dalam hadis tersebut, frase “wa rajulun ākhidhu bi ra’si farasihi yukhīfu al-‘aduwwa wa yukhīfunahu” dipahami sebagai sebuah dalil agar seseorang mencintai negaranya dan terus berjuang untuk mempertahankan bangsanya. Syarah al-Marbawi terhadap hadis di atas bertemu secara ideologis dengan munculnya term Perang Sabil di pembahasan sebelumnya. Itulah dua contoh tekukan vernakular yang terjadi di level petanda dalam syarah hadis Baḥr al-Mādhī. Selanjutnya pembahasan akan masuk ke level wacana, satu tingkat di atas petanda. Yakni fase ketika sebuah kata mengalami proses ideologisasi dan mitologisasi karena tekakan wacana yang tengah bergulir.

D. Vernakularisasi di Level Wacana Dalam Pensyarahan Hadis Baḥr al-Mādhī; Problematika Diskursus Sosial-Keagamaan di Nusantara Abad 20 Selain terjadi di level penanda dan petanda, tekukan vernakular dalam Baḥr al-Mādhī juga bisa ditemukan di level wacana. Level wacana yang dimaksud – dalam semiotika Bathesian – berada di level ideologi dan mitologi. Di level ini, vernakularisasi terjadi dalam sifatnya yang spontan dan tidak sadar. Ini karena subyektifitas memiliki ruang untuk berperan meskipun tidak direncanakan. Ada setidaknya dua problematika yang bisa dijadikan sampel untuk melihat keterlibatan al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī dalam dialektika wacana sosial-keagamaan di Nusantara pada abad 20. Meskipun tidak spesifik berbicara soal masalah-masalah sosial-keagamaan, namun dari materi syarah yang disajikan al-Marbawi, akan terlihat sejauh mana al-Marbawi mengambil posisi dalam pertarungan wacana yang sedang berlangsung. Dua problematika yang akan dijadikan sampel adalah problem taklid maupun tradisi bermazhab dan problem sirkulasi wacana bidah dalam konteks sosial-keagamaan di Nusantara abad 20. Meskipun kedua problematika tersebut nampak berbeda, tapi keduanya memiliki irisan yang sama. Keduanya adalah hilir yang berhulu pada wacana puritanisme agama dan semangat revivalisme ala Pan-Islamis yang mulai berkembang secara diskursif di abad XX.

265 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, j. 4, h. 473.

105

Vernakularitas Tekstual dalam Baḥr al-Mādhī

Pegonisasi Bahaya Melayu sebagai media bahasa Level Penanda; syarah dan terjemahan kata dalam Bahasa Arab ke Makna Denotasi Bahaya Melayu (seperti sembahyang, beras dll.)

Level Petanda; Variasi khusus dalam Syarah Hadis. Munculnya Makna Konotatif, terminologi khas seperti “Perang Sabil”, “Jampi- Asosiatif dan Jampi” dll. Paradigmatis

Level Wacana: Problematika Taklid dan Tradisi Bermazhab. Makna Ideologi Perebutan Makna Sunnah dan Bidah dalam dan Mitologi konteks Agama vs Budaya

Tabel 4.1: Level-level vernakular dalam Syarah Bahr al-Madhi

1. Tarik Ulur Otoritas Tradisi Taklid dan Bermazhab Satu dari sekian banyak model pemikiran di abad modern- kontemporer yang masuk ke Nusantara pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 adalah fundamentalisme dan salafisme agama.266 Satu corak pemikiran yang menjadikan “masa lalu jauh”267 sebagai pijakannya. Kejayaan-kejayaan dan kedigdayaan Islam di masa lalu yang mencapai puncaknya di masa Khulafā’ al-Rāshidūn sampai Abbasiyah coba dihidupkan kembali di masa kini, menjadi ruh yang dihidupi sekaligus proyeksi untuk masa depan. Para

266 Selain fundamentalisme agama, menurut al-Jābirī, ada dua corak nalar lainnya yang dominan dalam dinamika pemikiran Islam modern-kontemporer, yakni Islam Kiri dan Islam Liberal yang orientalistik. Meskipun tampak berbeda, al-Jabiri menegaskan bahwa secara substansial ketiganya sama saja; salafi. Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’aṣirah fī Turāthina al-Falsafī (Bayrūt: Markaz al-Thaqafī al-‘Arabī, 1993), 12. 267 Ada dua jenis masa lalu menurut al-Jābirī, masa lalu dekat dan masa lalu jauh. Masa lalu dekat adalah masa lalu yang berdampingan langsung dengan masa kini dan menjadi bagian yang turut membangun masa kini. Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, “Ishkāliyyāt al-Aṣālah wa al-Mu’āṣarah fi al-Fikr al-Arabī al-Hadīth al-Mu’āṣir: Shirā’ Ṭabaqī am Mushkil Thaqafi?” dalam Ishkāliyyāt al-Fikr al-Arabī al-Mu’āṣir (Bayrut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-Arabiyyah, 1990), h. 20-21; Ahmad Baso, Al-Jabiri, Eropa dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara Untuk Dunia (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018), footnote 444.

106

fundamentalis menjadikan masa lalu sebagai masa kini sekaligus masa depannya. Mereka yang mengidap cara pikir fundamentalis-salafis adalah mereka yang terjebak dalam pola pikir romantik dan glorifikatif.268 Kekalahan beruntun secara politis dan mundurnya peradaban adalah dua dari sekian banyak faktor yang mendorong terbentuknya aura psiko-traumatik dan lahirnya kecenderungan sindrom inferior. Maka upaya-upaya menduplikasi dan mereplikasi memori kejayaan di masa lalu dianggap langkah yang paling instan dan satu-satunya yang bisa memberikan makna bagi subyektifitasnya yang luluh lantah di masa kini. Dampaknya, kebudayaan salafis meniscayakan upaya meruntuhkan hal-hal yang berbau tradisi, yang muncul dari “masa lalu dekat”, yang dianggap sebagai abad kemunduran dan merusak siklus determiner dari fase kejayaan peradaban di abad-abad sebelumnya. Dari sini, kampanye anti taklid, upaya meninggalkan mazhab dan meruntuhkan otoritas ulama-ulama yang menjadi transmitor keilmuan dari abad kemunduran muncul dalam wujudnya yang paling maksimum.269 Sebagai gantinya, kampanye kembali ke asal (al-asālah) dan akar (al-judhur) – yaitu al-Quran dan Hadis – dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk menemukan kembali basis kedigdayaan Islam seperti yang pernah terjadi di masa lalu.270 Eksesnya dalam konteks pemikiran Islam di Nusantara bisa diamati dari kasus Soekarno. Dalam serial Surat-Surat Islam dari Endeh, banyak sekali ditemukan data tekstual yang mengafirmasi pengaruh cara pikir fundamentalisme dan salafisme agama. Tiga kriteria, yaitu mempersoalkan taklid, tradisi bermazhab dan upaya meruntuhkan otoritas ulama sebagai transmitor pengetahuan ada dalam surat-surat tersebut.

268 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan (Disertasi SPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017). Disertasi ini kemudian diterbitkan kembali dalam bentuk buku berjudul Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2017). 269 Baca format nalar salafisme ala Pan-Islamis dari Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh ini dalam analisa al-Jabiri atas salah satu tulisan dalam al-Urwah al-Wuthqa (sebuah majalah yang dikelola oleh Afgani dan Abduh) berjudul “mādi al- ummah wa hāḍiruhā wa ‘ilaju ‘ilālihā” dalam: al-Jabiri, al-Mashrū’ al-Nahḍawi al- ‘Arabī, h. 68. Permasalahan ini kemudian disyarahi kembali secara analitik oleh Ahmad Baso dalam bab 3 buku Islam Pasca-Kolonial, h. 75-133. 270 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats; Qira’at Mu’ashirah fī Turatsina al-Falsafī (Bayrut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 12-13

107

“... Sekarang hati saja malahan mendjadi lebih luka dan gegetun kalau saja melihat keadaan-keadaan dikalangan umat Islam jang seakan-akan menentang Allah dan menentang Rasul itu. Lebih luka dan lebih gegetun kalau saja melihat kedjumudan dan kekunoan guru-guru dan kjai-kjai Islam, lebih luka dan lebih gegetun kalau melihat mereka mengokoh-ngokohkan taqlidisme dan hadramautisme...”271

Dalam surat-surat yang ditulis Soekarno di Endeh ada beberapa pokok bahasan inti yang menggambarkan visinya tentang Islam di masa itu. Diskusi panjangnya dengan Ahmad Hassan mengenai budaya taklidisme, kemunduran Islam dan berujung pada kritik terhadap para kiai dan guru agama beserta “kitab-kitab fikih” dan “Kitab Parukunan” adalah beberapa isu yang selalu terulang hampir dalam setiap surat yang dikirimnya. Dari data tekstual surat-surat Endeh yang ada, beberapa kata kunci yang Soekarno gunakan menjadi cerminan bagaimana dinamika pemikirannya tentang Islam saat itu benar-benar diuji. Upaya yang menguras tenaga dan kemampuan bernalarnya. Hal itu terlihat dari “kerakusan” Soekarno terhadap buku-buku bertemakan Islam dengan “memaksa” Ahmad Hassan untuk memenuhi kebutuhan gizi rohaninya tersebut. Dalam surat-surat tersebut, kata-kata “kolot”, “mesum”, “kuno”, “takhayyul”, “musyrik”, “bidah”, “jumud” dan sejenisnya dominan muncul dan tampaknya dipakai Soekarno untuk menggambarkan realitas keberagamaan umat Islam saat itu. Istilah “Taqlidisme”, “anti-rasionalisme”, “Hadramautisme” dan lain- lain juga sering Soekarno munculkan guna meneguhkan bayangannya mengenai realitas tersebut. Soekarno bahkan memperjelas yang dimaksud takhayyul dan musyrik itu adalah “pertjaja kepada azimat-azimat, tangkal-tangkal, dan “keramat- keramat” kaum kuno.”272 Kalau seluruh isi Surat-Surat Islam dari Endeh diamati, maka akan ditemukan format narasi dan pola premis narasi salafisme agama yang dibangun Soekarno. Soekarno terlebih dahulu mencari, apa penyebab munculnya kekolotan dan fenomena takhayyul. Menurut Soekarno – berdasarkan buku-buku yang dia

271 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh” 17 Oktober 1936 dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid I (Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1959), h. 343. 272 Soekarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, 17 Juli 1935.

108

baca – penyebabnya adalah penggunaan hadis-hadis daif.273 Hadis daif melahirkan taklidisme274, sedangkan taklidisme melahirkan kejumudan berpikir.275 Soekarno pun melakukan kritik terhadap otoritas pemangku keilmuan seperti para Kiai.276 Selain itu, Soekarno juga menyayangkan penggunaan kitab-kitab fikih dan parukunan sebagai bahan ajar.277 Harusnya, menurut Soekarno, yang dipakai langsung adalah al-Quran dan Hadis Sahih.278

273 “Padahal saja membatja keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa inggeris, bahwa di Buchari pun masih terselip hadits-hadits lemah itu – jang sering lebih “laku” dari ajat-ajat al-Qur’an. Saja kira anggapan ini adalah benar. Berapa besarkah kebentjanaan jang telah datang pada umat Islam dari misalnja “hadits” jang mengatakan bahwa “dunia” bagi orang Serani, achirat bagi orang “Muslim” atau “hadits” bahwa satu djam bertafakkur adalah lebih baik daripada beriibadat satu tahun, atau “hadits” bahwa orang-orang Mukmin harus lembek dan menurut seperti onta jang ditusuk hidungnja.” Soekarno, Surat-Surat Islam Dari Endeh, 25 Januari 1935. 274 “Karena hadits-hadits jang demikian itulah, maka agama Islam mendjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketachajulan, bidah-bidah, anti rasonalisme dll. Padahal tak ada agama jang lebih rasional dan simplistis daripada Islam. saja ada sangkaan keras bahwa rantai-taqlid jang merantaikan roch dan semangat Islam dan jang merantaikan pintu-pintunja Bab el-Idjtihad, antara lain-lain, ialah hasilnja hadits-hadits jang dla’if dan palsu itu.” Soekarno, Surat-Surat Islam Dari Endeh, 26 maret 1935 275 “Taqlid adalah salah satu sebab jang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. semendjak ada aturan taqlid, disitulah, kemunduran Islam tjepat sekali. Tak hairan! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.” Soekarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, 26 Maret 1935. 276 “Tetapi bagaimana kita punja kjai-kjai dan ulama-ulama? Tadjwid tetapi pengetahuannja tentang sedjarah umumnja “nihil”. “chabar tentang berdirinja pesantren, sangat sekali menggembirakan hati saja. Kalua saja boleh memadjukan sedikit usul: hendaklah ditambah banjaknja ‘pengetahuan Barat’ jang hendak dikasihkan kepada murid-murid pesantren itu. Umumnja adalah sangat saja sesalkan, bahwa kita punja Islam-scholars masih sangat sekali kurang pengetahuan modern- science.” Soekarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, 22 April 1936. 277 “Bahwa dunia Islam adalah laksana bangkai jang hidup, semendjak ada anggapan, bahwa pintu-idjtihad sekarang termasuk tanah jang sangar. Bahwa dunia Islam adalah mati geniusnja, semendjak ada anggapan, bahwa mustahil ada mudjtahid jang bisa melebihi “imam jang empat”, djadi harus mentaqlid sahadja kepada tiap- tiap kjai atau ulama dari suatu madzhab imam jang empat itu! alangkah baiknja, kalau kita punja pemuka-pemuka agama melihat garis-kebawahnja sedjarah semendjak ada taqlid-taqlidan itu, dan tidak hanja mati-hidup, bangun-tidur dengan kitab fiqih dan kitab parukunan sahadja!” Soekarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, 14 Desember 1935. 278 “Di Endeh sendiri tak ada seorangpun jang bisa saja tanjai, karena semuanja memang kurang pengetahuan (seperti biasa) dan kolot-bin-kolot. Semuanja hanja mentaqlid sahadja zonder tahu sendiri apa-apa jang pokok; ada satu-dua

109

Soekarno juga menawarkan hipotesa bahwa akar kejumudan Islam adalah karena mereka menganut teologi Ash’ariyah, bukan rasionalisme ala Muktazilah.279 Di bagian yang lain, Soekarno mengapresiasi Pan-Islamisme dan Wahabisme sebagai model pergerakan Islam progresif seperti yang ia bayangkan.280 Memiliki kerangka berpikir salafi tidak mesti orang itu harus beramaliah model salafi-wahabi. Kerangka nalar semacam ini bermain pada tataran ketidaksadaran kolektif281, yang secara tidak langsung membentuk orang agar berpikir melalui mekanisme semacam itu, tanpa memandang kelompok mana yang didiami. Nalar orang Arab, sebagaimana yang dikritik oleh al-Jabiri, memiliki mekanisme bernalar ala-“salafi” (nalar, bukan praktek keagaman!) semacam itu. Sebagai pembaca, Soekarno juga terseret arus yang sama. Hal itu yang kemudian mendorong

berpengetahuan sedikit – di Endeh ada seorang “sajid” jang sedikit terpelajar, - tetapi tak dapat memuaskan saja, karena pengetahuannja tak keluar sedikitpun dari “kitab fiqih”: mati hidup dengan kitab fiqih itu, dus – kolot, dependent, unfree, taqlid. Qur’an dan Api-Islam seakan-akan mati, karena kitab fiqih itulah jang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam ilahi sendiri.” Soekarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, 17 Juli 1935. 279 “Mengapa bukan Asy’arisme? Karena bagi Soekarno ia adalah aliran yang mengembangkan haluan sifatiyah dan menjadi pelopor bagi gerakan rohaniah. Di akhir, dari saking emosinya, Soekarno menyamakan Asy’arisme dengan kelompok Anti-Nasionalisme!” Soekarno, “Me-Muda-Kan Pengertian Islam”, dalam Dibawah Bendera Revolusi jilid 1, h. 395. 280 “Kita mengetahui djasa Wahabisme jang terbesar; ia punja kemurnian, ia punja keaslian, - murni dan asli sebagai udara padang pasir. ‘kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada Islam dizamannja Muhammad!’… “Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannja seribu-satu tachajul dan seribu-satu bidah. Lemparkanlah djauh-djauh tahajul dan bidah itu, njahkanlah segala barang sesuatu jang membawa kepada kemusjrikan! Murni dan asli sebagai hawa padang-pasir, - begitulah Islam musti mendjadi...” Soekarno, “Me- Muda-Kan Pengertian Islam”, h. 390. 281 Secara kompeherensif, konsep “ketidaksadaran kolektif” (allā shu’ūri al- jam’ī) ini digunakan oleh al-Jābirī untuk mencari unsur “ketidaksadaran politis” (allā shu’ūri al-siyāsī). Dalam pengantar panjangnya, konsep tersebut, menurut al-Jābirī, merupakan pondasi analisa untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai kritik “nalar politik Arab”. Konsep tersebut, antara lain, dia timba dari Carl Gustav Jung yang menyempurnakan temuan “ketidaksadaran” Sigmund Freud sekaligus menunjukkan kolektifitas ketidaksadaran tersebut bekerja. Lihat: Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Aql al-Siyāsī al-‘Arabī: Muhaddidātuhu wa Tajliyātuhu (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al- Wihdah al-‘Arabiyyah, 1995), h.12-14.

110

Soekarno untuk melakukan kritik pada tradisi populis dan kosmopolitanisme orang Nusantara seperti tahlilan.282 Data-data tekstual dalam Surat-Surat dari Endeh dan fakta bahwa Soekarno sempat teridap model berpikir salafis adalah satu variabel yang merepresentasikan kondisi wacana sosial- keagamaan di Nusantara pada sepertiga abad XX M. Lalu bagaimana al-Marbawi terlibat dalam perdebatan panjang soal isu ini? Di mana posisi al-Marawi dalam sengketa wacana yang tengah bergulir tersebut? Al-Marbawi, dalam kasus wacana fundamentalisme Islam, memiliki dua momentum krusial; al-Marbawi sebagai orang Nusantara yang tengah menulis syarah hadis dalam Bahasa Melayu, dan al-Marbawi sebagai pelajar yang merantau di Timur Tengah dan menulis kitab syarahnya di Mesir. Mesir, sebagaimana yang diketahui, merupakan pusat dari penyebaran gerakan Pan- Islamis yang lalu masuk ke Indonesia dan berpengaruh pada pola pikir Soekarno dan tokoh Islam lainnya. di tengah-tengah dua kutub medan magnet yang saling menarik inilah al-Marbawi duduk dan menulis syarah hadisnya. Bagaimana hasilnya? Pertama, bukti bahwasanya al-Marbawi selalu peka terhadap kondisi dan situasi yang sedang terjadi terekam dalam satu paragraf di bawah ini. Ada nuansa penyesalan dan sedikit geram dari al-Marbawi kala dirinya mengamati situasi umat Islam yang sedang dirundung konflik. Di pusat pergerakan Islam di Mesir, al- Marbawi merasakan betul bagaimana panas konflik membakar hangus ikatan ukhuwah saat itu. al-Marbawi menulis;

... يأيت كيراڽ جاڠن اورڠ اسالم ايت برهنتم برفراڠ سام سنديريڽ، دان برتاون2، دان برمفس2سن هرت، دان برفرنته2هن، دان برالونن سام سنديرى فد دنيا. مك سموا ايت تيدق دقبولكن. ايتوله يڠكيت ليهت سكارڠ2، دان كيت دڠر ددالم تاريخ، سمنجق درزمان صحابة نبى سمفى كفد ساتو ابد كفد ساتو ابد، ساتو سلطان كفد ساتو الفيس سلطان، سمفى كفد زمان تركى، سمفى زمان كيت اين، مسلمين ايت برهنتم برفرڠ سام سيديريڽ.283

282 “Kaum kolot di Endeh – dibawah andjuran beberapa orang Hadramaut - belum tenteram djuga membitjarakan halnja saja tidak bikin “selamatan-tahlil” buat saja punja ibu-mertua jang baru wafat itu.” Soekarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, 14 Desember 1935. 283 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 42.

111

Dari paragraf tersebut, ada beberapa kalimat yang menunjukkan situasi konflik saat itu; “berhantam berperang sama sendirinya”, “berampas-rampasan harta”, “berperintah- perintahan”, “berlawanan sama sendirinya” dan “muslimin itu berhantam berperang sama sendirinya”. Kalimat-kalimat al- Marbawi dengan implisit menyinggung konflik sektarian yang memang menjadi hantu kemunduran di Mesir pada abad 19 sampai 20.284 Selain mengomentari dan menyinggung gambaran besar situasi sosial-keagamaan pada saat itu, al-Marbawi dengan peka juga menangkap ekses lain dari wacana keagamaan yang muncul di zaman modern-kontemporer. Semangat Pan-Islamisme yang marak di Mesir mengandaikan satu sikap keberagamaan baru yang mendorong untuk melakukan “tajdid” sekaligus meninggalkan tradisi taklid dan bermazhab. Terkait hal itu tersebut al-Marbawi menulis,

21 – باب : يڠتله داتڠ اى فد مپتاكن حديث يڠ مميچاراكن تياد منچيل درفد جماعة علماء )كتهويله كيراڽ يا سوداراكو) اداله معنى تياد منچيل درفد جماعة علماء ايت يعنى تياد برسؤرڠديرى درفد مريكئيت فد اعتقاد دان مذهب دانالينڽ درفد فيكيران. دان حكم2 الله يڠتربيت درفد قرآن دان حديث رسول الله. مك افبيل سؤرڠ يڠعالم ايت منچيل اى فد فهم درفد سڬل فهم جماعة علماء، اتوفون سؤرڠيڠ جاهل دان تياد تاهو اف اصول اصل حكم الله ايت منورة اى اكن فهم عالم يڠ منچيل فهم درفد سڬل فهم علماء ايت مك اياله اورڠ2 تياد برسام2 ددالم سيداڠ جماعة علماء نماڽ...285

Dalam paragraf di atas, secara eksplisit al-Marbawi menegaskan kalau taklid dan tradisi bermazhab harus tetap dilestarikan. Ia merupakan bentuk keikutsertaan seseorang dalam “sidang jamaah ulama”. Sebaliknya, al-Marbawi melalui hadis yang disyarahnya menegaskan bahwa seseorang harusnya tidak “mencil” dan “berseorang diri daripada mereka itu pada iktiqad dan mazhab dan lainnya daripada pikiran”. Dalam paragraf lain, al-Marbawi kembali menegaskan,

284 Di akhir abad 19, kepentingan faksi-faksi mendorong munculnya konflik sektarian yang terjadi di antara sesama muslimin. Ameer Ali, The Spirit of Islam; A History of The Evolution and Ideals of Islam (London: Christopers, 1946), h. 290. 285 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 15.

112

35 – مسئلة : تياد برچراى دڠن سيداڠ علماء ايتوله يڠدسوروه اوله شرع كيت... مك معنى تيدق برچراى دڠن علماء ايت يعنى تيدق ممچليكنديرى مماكى حكم الله، بهكن موافقة دڠن سيداڠ علماء ايت مماكى اف حكم يڠداجتهاد دان يڠداستنباط درفد قرآن دان حديث نبى صلى الله عليه وسلم، مك افبيل سؤرڠ ايت مماكى حكم يڠتياد سموافقة امبيلڽ درفد قرآن دان حديث نسچاى برچراى نماڽ اى درفد جماعة علماء، بايكفون براجتهاد دڠن سنديرى اتوفون منورة اجتهاد دان مذهب اورڠيڠ برفيكير سنديرى، يڠبرفنچيلن اى درفد علماء2 يڠ مجتهدين...286

Bahwa taklid dan bermazhab sebagai bentuk keikutsertaan seseorang pada sidang ulama adalah perintah syara’. Maka, tidak patut bagi seseorang untuk “bercerai dengan sidang ulama”. Dan tidak patut bagi seseorang “berijtihad dengan sendiri ataupun menurut ijtihad dan mazhab orangyang berpikir sendiri, yang berpencilan ia daripada ulama-ulama yang mujtahidin.” Mereka yang mengajak untuk berpikir sendiri dan meninggalkan sidang ulama adalah mereka yang terjerumus dalam bisikan setan. Tradisi bermazhab dan taklid berfungsi untuk menjaga seseorang pada koridor syariat yang benar berdasarkan otoritas yang obyektif dari para ulama yang kapabel dan kredibel. Mengenai ini al-Marbawi menambahi penjelasannya,

... ايتوله سببڽ شرع كيت كواتكن جاڠن برلكڠ دان جاڠن برچراى دڠن سيداڠ علماء فد اف2 حكم شرع، كران تله دكاتكن تادى – شيطان جاوه تيفو داياڽ دان سستڽ دان وسواسڽ سرة اورڠ بردوا يڠساتو كات دان فيكيران، افتهالڬى بسرة سيداڠ علماء، مك لبه2 ترفلهرا درفد تيفو دايا شيطان ايت. كران علماء ايت سولوه، مك برسام دڠن علماء يڠ باڽق ايت تنتوله لبه دفرچيائى أمان درفد بهيا دڠن سبب دودق دالم چهيا يڠباڽق، تياد مپنڠكن هاتى تڠڬل دباوه چهيا يڠ سديكيت. مك بارڠسياف مسلم يڠ ماو هيدف دڠن سالمة درفد دنيا سمفى كأخرة جاڠنله منڠڬلكن سيداڠ علماء يڠ موافقة

286 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 19.

113

اجتهادڽ فد حكم2 الله يڠدامبيلڽ درفد قرأن دان حديث نبى صلى الله عليه وسلم.287

Maka, “itulah sebabnya syara’ kita kuatkan jangan berlekang dan jangan bercerai dengan sidang ulama pada apa- apa hukum syara’, karena telah dikatakan tadi – setan jauh tipu dayanya dan sesatnya dan waswasnya serta orang berdua yang satu kata dan pikiran, apatahulagi beserta sidang ulama, maka lebih-lebih terpelihara daripada tipu data setan itu. Karena ulama itu suluh, maka bersama dengan ulama yang banyak itu tentulah lebih dipercayai aman daripada bahaya dengan sebab duduk dalam cahaya yang banyak, tiada menyenangkan hati tingkal dibawah cahaya yang sedikit. Maka barangsiapa muslim yang mau hidup dengan selamat daripada dunia sampai ke akhirat janganlah meninggalkan sidang ulama yang muwafaqah ijtihadnya pada hukum2 Allah yang diambilnya daripada Quran dan Hadis Nabi SAW.” Dalam paragraf di atas, al-Marbawi menyamakan ulama seperti lampu (suluh). Semakin banyak ulama yang bersepakat pada satu hal, mengikutinya berarti seseorang tengah berada di bawah terpaan cahaya yang sangat terang. Sebaliknya, dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri dan menolak segala otoritas keilmuan yang dihasilkan sidang ulama mujtahid dalam mazhab, seseorang sejatinya tengah berada dalam cahaya yang redup atau bahkan kegelapan total. Selain kampanye anti taklid dan mazhab, al-Marbawi juga mengkritisi upaya-upaya meruntuhkan otoritas keilmuan para ulama yang menjadi transmitor keilmuan dari abad-abad sebelumnya. Sebagaimana yang telah diurai dalam permulaan sub bab ini, gerakan-gerakan fundamentalis menengarai ulama-ulama yang datang dari “masa kemunduran” adalah penyebab utama mundurnya peradaban Islam di masa kini. Maka maklum ketika gerakan salafisme agama mengembalikan basis keberagamaannya langsung pada al-Quran dan Hadis, yang dalam sekali tepuk juga merontokkan basis legitimasi kitab-kitab, mazhab dan ulama- ulama yang ada. Dengan sangat keras dan sarkas, al-Marbawi menulis,

287 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 19-20.

114

185 – مسئلة : اورڠ سكارڠ مڠوتؤ دان منچاچى اورڠ2 دهولو )اين) ساتو فركارا يڠفاتوت كيت تاكوتو باڬى ديرى كيت، يأيت فركارا اورڠ سكارڠ منچاچى اورڠ يڠدهولو2. مك سكارڠ تله ادا اورڠيڠ برانى مظاهر كنديريڽ منچاچى اورڠ2 دهولو ايت، يأيت دسوت2ڽ اداله اورڠ توا2 دان علماء اسالم يڠدهولو ايت تله منجاديكن كيت مسلمين بركمندوران سفرة يڠادا كيت سكارڠ اين. منجاديكن دباوه فرنته اورڠ، دان منجاديكن كيت دالم كلم جاهل، دان منجاديكن كيت تيدق بركمردهكأن، دان منجاديكن كيت بوده، ماتڽ الڬى – سبتولڽ زمان اورڠتوا2 دان علماء توا ايت زمان كبودهن، دان زمان كيت اين زمان كمودنن دان چوكف كفينتاران... ايتوله ستڠه درفد بوكو2 چاچين اورڠ سكارڠ كأتس اورڠيڠ دهولو. كمدين كاتڽ – منكال اورڠ سكارڠ لبه سموا فركارا درفد اورڠيڠ دهولو، مك تيدقله سڬياڽ كيت امبيل بچارا حال اورڠيڠ دهولو، تأوسهله دايكوت تورت اف2 جال أحوال يڠ سوده برالفوق. بهكن كيت ايكوت تورت سماچم حال أحوال زمان كيت يڠبر كمودنن اين فول.288

Menurut al-Marbawi, “orang sekarang mengutuk dan mencaci orang-orang dahulu (ini) satu perkara yang patut kita takuti bagi diri kita, yaitu perkata orang sekarang mencaci orang yang dahulu-dahulu. Maka sekarang telah ada orang yang berani mezahirkan dirinya mencaci orang-orang dahulu itu, yaitu desut- desutnya adalah orang tua-tua dan ulama Islam yang dahulu itu telah menjadikan kita muslimin berkemunduran seperti yang ada kita sekarang ini. Menjadikan di bawah perintah orang, dan menjadikan kita dalam kelam jahil, dan menjadikan kita tidak berkemerdekaan, dan menjadikan kita bodoh.” Frase utama yang patut diperhatikan dari tulisan al-Marbawi adalah “yaitu desut-desutnya adalah orang tua-tua dan ulama Islam yang dahulu itu telah menjadikan kita muslimin berkemunduran seperti yang ada kita sekarang ini.” Asumsi- asumsi semacam ini banyak sekali kita temukan dalam agenda- agenda pembaharuan pemikiran Islam. Satu dari sekian banyak yang dikritisi dan dianggap sebagai biang kemunduran Islam di masa kini adalah al-Shāfi’ī.289

288 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 130. 289 Banyak buku yang menyesalkan proyek al-Shāfi’ī. Naṣr Hāmid Abū Zayd misalnya, menyatakan bahwa Uṣūl al-Fiqh adalah faktor utama yang menjadikan

115

Dari sekian banyak kritik yang dilontarkan kepada al-Shāfi’ī, kemunculan Uṣūl al-Fiqh adalah momentum yang paling banyak dihujat. Uṣūl al-Fiqh dianggap sebagai kurungan tekstualisme yang juga ditengarai sebagai penyebab kemunduran Islam. Karena Uṣūl al-Fiqh, orang tidak lagi bebas berpikir dan berijtihad. Tekstualisme Uṣūl al-Fiqh bermasalah, karena ia 1) meniscayakan munculnya ambiguitas pemaknaan sebuah teks. Ini bisa dimaklumi karena selama ini Uṣūl al-Fiqh dikenal sebagai diskursus yang meletakkan dominasi fokusnya pada hal-hal yang berbau kebahasaan.290 Bukannya justru menemukan atau menyepakati sebuah makna teks, para ulama justru senantiasa berbeda dalam menentukannya. Ketika bahasa hukum kita sepakati harus mengandung kepastian, maka ruang ambiguitas semacam ini tentu saja tidak cukup sehat bagi sirkulasi proses istinbath hukum. Selain itu, tekstualitas dalam Uṣūl al-Fiqh juga menyebabkan lahirnya 2) cara baca struktural291, sebagaimana yang diperlihatkan Uṣūl al-Fiqh sampai hari ini. Hal ini, menurut beberapa pemikir kontemporer Arab menjadi sebab utama tercerabutnya sebuah teks dari akar konteksnya.292 Alih-alih ingin mengungkap makna sebenarnya sebuah teks, dengan keterpakuan yang berlebihan pada struktur teks, Uṣūl al-Fiqh justru mengalienasi sebuah teks dari faktor-faktor sosio-antropologis,

tekstualisme terlalu dominan dalam cara berpikir umat Islam hingga hari ini. Naṣr Hāmid Abū Zayd, al-Imāmu al-Shāfi’ī wa Ta’sīs al-Idiyūlūjiyyah al-Wasaṭiyyah (Maghrib: Markaz al-Thaqafī al-‘Arabī, 2007). Hal yang sama juga diajukan oleh Aksin Wijaya. Selain al-Shāfi’ī, al-Ghazāli juga dianggap memiliki kontribusi bagi kemunduran di sektor pemikiran Islam. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: LKiS, 2004). 290 Hengky Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda (Tangerang Selatan: Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhari, 2017), h. 40-41. Kenyataannya sebagian besar pembahasan dalam Uṣūl al-Fiqh didominasi oleh pembahasan mengenai jenis dan ragam kalimat. Kalimat ‘ām dan khāṣ, muṭlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan dan kategorisasi jenis kalimat lainnya. Baca: Abdul Karīm Zaydān, al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh (Mesir: Mu’assasah Qurtubah, 1976). 291 Yakni cara membaca yang dimulai dari unit paling sederhana dalam sebuah teks. Ini biasa dilakukan kaum santri di pesantren dengan tradisi ‘i’rab, ‘i’lal dan tashrif. Istilah “struktural” sendiri hari ini menjadi mazhab tersendiri dalam filsafat bahasa; strukturalisme dan post-strukturalisme. Modelnya sama, yang pertama kali dilakukan dalam proses membaca adalah aturan close reading, yaitu dengan meniti sign, signified dan signifier dalam sebuah teks. Baca: ST Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), h. 37. 292 Hengky Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, h. 45-46.

116

bahkan benturan-benturan ideo-politiknya yang membentuknya.293 Lanjut al-Marbawi, “... sebetulnya zaman orang tua-orang tua dan ulama tua itu zaman kebodohan, dan zaman kita ini zaman kemodenan dan cukup kepintaran...” Dalam potongan kalimat ini, ada stigma yang muncul seperti stigma dan proyeksi yang dibuat kaum salafis-fundamentalis tentang “abad kemunduran” (aṣr al-inhiṭāṭ). Kalimat “zaman kebodohan” yang digunakan al-Marbawi menyinggung proyeksi dan asumsi “zaman kemunduran” yang ditagah dalam wacana salafisme. Al-Marbawi melanjutkan lagi ulasannya, “... itulah setengah daripada buku-buku cacian orang sekarang ke atas orang yang dahulu. Kemudian katanya – manakala orang sekarang lebih semua perkara daripada orang yang dahulu, maka tidaklah segoyanya kita ambil bicara hal orang yang dahulu, tak usahlah diikut turut apa-apa hal ahwal yang sudah berlapuk. Bahkan kita ikut turut semacam hal ahwal zaman kita yang berkemodenan ini pula.” Beberapa ulasan al-Marbawi di atas menegaskan posisi al- Marbawi dalam sengketa problematika soal taklid dan mazhab dalam pusaran wacana salafisme keagamaan yang berkembang, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Dengan mantap dan tegas al-Marbawi menyatakan urgensi mazhab dan tradisi taqlid di zaman modern. Kepercayaan kepada otoritas ulama juga dianggap krusial di tengah situasi standar obyektifitas ijtihad yang mulai digeser dengan dalih kebebasan berpikir dan kontekstualisme [radikal].

293 Tak berhenti sampai di sini, Uṣūl al-Fiqh juga memiliki latar sejarah yang tidak ramah terhadap, apa yang kita kenal hari ini dengan, “kebebasan berpikir”. Ada tiga alasan utama al-Shāfi’ī merumuskan Uṣūl al-Fiqh; 1) munculnya faksi Hijaz dan faksi Iraq yang saat itu memiliki perbedaan orientasi dalam memahami dan merumuskan hukum syariat, 2) penyebaran Islam ke daerah-daerah belahan Dunia lain berimplikasi pada lahirnya fenomana kontaminasi bahasa. Bahasa Arab sebagai media utama untuk memahami al-Qur’an dan Hadis, digerus akibat tubrukan-tubrukan peradaban dan mulai menyusut secara internal. Akibatnya, semakin sedikit orang yang mampu memahami al-Qur’an serta teks-teks keagamaan lain, baik orang Arab sendiri apalagi non-Arab. 3) Perkembangan peradaban ditambah keragaman kondisi sosial lantas melahirkan persoalan-persoalan baru yang belum diakomodir dalam regulasi hukum Islam dan membutuhkan pendekatan atau metode berpikir baru untuk menyelesaikannya. Rusli Hasbi, al-Madkhal Iā Dirāsah Uṣūl al-Fiqh (Jakarta: FDI Press, 2009), h. 30-31.

117

2. Agama Versus Budaya dan Silang Sengketa Perebutan Makna Bidah Untuk melihat ilustrasi pertarungan sederhana yang mengarus di sekitar problem Islam dan tradisi, pintu masuk yang paling mudah ya apalagi kalau bukan pertarungan simbol-simbol. Sunnah dan bidah adalah dua simbol yang hari ini mungkin mengakomodir perdebatan soal itu. Di satu sisi ada kelompok yang keras memperjuangkan dominasi Islamisme, di sisi yang lain juga muncul kelompok yang terlihat hendak menetralisir hal itu dengan menunjukkan signifikansi tradisi dalam proses pembentukan keberislaman itu sendiri. Dengan kata lain, melalui dua simbol dan terminologi ideologis ini kita bisa sedikit mengintip proses berikut jejak-jejak pertarungan wacana tersebut langsung dari struktur internalnya. Problem pembengkakan makna memang fenomena yang tidak bisa dihindari. Ada satu momentum ketika faktor-faktor eksternal teks membentuk arus dan berdampak kepada kata atau kalimat tertentu. Selain kata sunnah dan bidah, kejadian yang sama juga bisa kita lihat dalam kata “marxisme” dan “sosialisme”. Kandungan maknanya berubah sejak orde lama, orde baru hingga masa reformasi. Ketika dua kata tersebut diperdengarkan, sebagian besar masyarakat kita – terutama yang hidup dan mewarisi wacana orde baru – mungkin langsung menghadirkan realitas PKI sebagai referennya. Begitu juga yang terjadi dalam kata “perempuan”, “pesantren” dan lain sebagainya.294

294 Trik mengurai terminologi simbolik semacam ini pernah diterapkan al- Jābirī. Dalam beberapa tulisannya, nampak bahwa “turath” adalah teks yang paling sering al-Jabiri otak-atik. Konsentrasinya pada persoalan tradisi adalah alasan yang mendorongnya untuk terus memproblematisir term turath bahkan sampai unit wacananya yang paling kecil. Salah satu upaya tersebut terlihat misalnya dalam sebuah artikel berjudul “mā al-turāth?... wa ayyu minhāj?” Dalam artikel tersebut, al-Jabiri melakukan pelacakan asal muasal derivasi kata turast dan konsekuensi maknanya. Sesuai temuan al-Jabiri, kata waratha dalam bentuk derivasi turath tidak pernah muncul dalam al-Qur’an, hadis maupun korpus ulama-ulama salaf. Kata turath baru muncul dengan massif sejak genderang al-Nahdlah ditabuh oleh para intelektual Arab modern-kontemporer. Seketika, kata turath menjadi simbol, slogan, ikon dan mantra. Dalam setiap literatur yang ditulis para intelektual Arab pasca Afghani-Abduh, bisa dipastikan turath muncul sebagai variabel utamanya. Genealogi munculnya kata turath yang dipaksa oleh kondisi wacana semacam itu lantas berimbas kepada perubahan pola dalam struktur makna dasar kata turunan dari “waratha” itu sendiri. Kata turast tidak hanya mengandung makna warisan harta yang diberikan seseorang kepada orang lain di generasi setelahnya, namun meluas dan mengakomodir seluruh bentuk warisan non fisik yang bahkan sangat abstrak seperti ideologi, ambisi bahkan peradaban. Tak hanya itu, kata turath pada akhirnya juga menjadi ruang pembekaman impian, mimpi,

118

Mengamati sirkulasi makna bidah, dengan demikian, sejatinya mengamati sirkulasi pertarungan wacana dan tarik ulur tafsir agama yang sedang berlangsung. Ketika irisan makna yang menggelembung berhasil dipetakan dan diurai, sejatinya kita juga tengah memetakan pertarungan model apa yang sedang terjadi. Sedikit demi sedikit kita juga akan menyaksikan sampai ke batas mana kata sunnah dan bidah dibawa, ditarik dan diseret oleh medan wacana eksternalnya. Dengan kata lain, urgensitas mengurai dua terminologi ini sama halnya dengan urgensitas mengurai problematika wacana itu sendiri. Fenomena bidah, sama seperti problem anti-taklid dan bermadzhab, muncul dari pusaran wacana salafisme agama. Ketika kampanye anti taklid dan mazhab dimunculkan dalam konteks distorsifikasi masa lalu yang dianggap mundur dan berdampak di masa kini, maka term bidah muncul dalam konteks dualisasi agama dan budaya. Di balik muncul dan berkembangnya term bidah adalah konfigurasi perdebatan soal “Islam asli” dan “Islam tidak asli”. Apa yang disebut asli adalah doktrin yang sama sekali belum disentuh warna dan nuansa budaya, sedangkan yang tidak asli adalah doktrin yang sudah mengalami pengondisian dengan situasi kontekstual dari penganut agama. 295 keinginan sekaligus emosi, keluhan, mentalitas orang Arab yang mendambakan kebangkitan. Pada tahapan ini, kata turath mereprsentasikan sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan dengan referen aslinya. Al-Jabiri menyebutnya ishbā’ (pembengkakan, penggemukan dan penggendutan [makna]). Ishba’ menurut al-Jabiri bukan hanya fenomena kegemukan, namun juga ketertindihan dan keterbelahan makna. Baca: Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, “Mā al-Turāth? Wa Ayyu Minhaj?” dalam Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Turāth wal Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-Arabiyyah, 1991), h. 21-25. 295 Konstruksi budaya-agama yang menarik salafis-wahabisme tumbuh berkembang di Indonesia pertama kali bermula dari nasehat-nasehat Snouck Hugronje kepada Gubernur Jenderal Kolonial terkait masalah pemberontakan yang mayoritas diinisiasi oleh gerakan-gerakan tarekat di pedesaan. E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS XI, terj. Sukarsi (Jakarta: Indonesia- Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1995), h. 2142. Pada akhirnya ditempuhlah jalur doktrinal untuk meredam pemberontakan yang ada. Salah satu strateginya adalah menyusupkan paham “kemurnian” dan puritanisasi agama untuk menebang seluruh praktek keagamaan produk “tarekat” berupa jimat, tangkal dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi basis pemberontakan rakyat terjajah. Dari sini kemudian muncul konstruksi bi’dah muncul. Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016), h. 270-280. Sayyid Usman misalnya, menulis beberapa kitab yang menjadi brosur resmi-ilmiah kampanye salafisme berkedok reformisme Islam, antara lain: an-Nashihah al-‘Aniqah lil Mutalabbisina bi-t-Thariqah, ad-Dinu-

119

Pertama-tama, hadis-hadis bidah yang selama ini digunakan untuk mendiversifikasi unsur keaslian doktrinal kaitannya dengan budaya dan tradisi sebenarnya adalah hadis yang diajukan untuk sesuatu yang menyimpang dari syariat.296 Yang dimaksud bidah – jika mengacu pada riwayat-riwayat yang secara tematik berbicara soal bidah – adalah penambahan atau pengurangan dalam konteks ibadah yang sudah rigid diatur oleh syari’.297 s-Salamah, at-Thariqah as-Shahihah dan lain sebagainya yang berisi tuntunan “cara beragama yang benar” dan sesuai dengan al-Qur’an-Hadis. Terkait rekomendasi Snouck mengenai kontrol dalam “bidang hukum dalam seluruh aspeknya”, Sayyid Usman juga menulis sebuah kitab berjudul Al-Qawanin as-Syar’iyyah li Ahli-l- Majalisi-l-Hukmiyyah wa-l-Ifta’iyyah yang menjadi rujukan resmi-utama bagi para penghulu, qadi dan hakim di masa itu. 296 Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, “Qira’ah ‘Ashriyyah lit Turast: Manhaj wat Tahtbiq” dalam Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Turāth wal Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt, h. 50-54. 297 Baca analisa inter-riwayat terkait hadis bidah ini dalam; Hilmy Firdausy, “Genealogi Semiotis Term Sunnah dan Bidah: Dari Syariat Hingga Ideo-Politis”, dalam Jurnal Living Hadis, vol. 3, no. 2 (2018). Menurut H. Firdausy, ada dua ruang pemaknaan yang dimiliki kata tersebut. Pertama adalah ruang makna bidah sebagai bid’ah shar’iyyah dan yang kedua adalah ruang makna bidah sebagai bid’ah lughāwiyah. Yang kedua lebih umum dibandingkan yang pertama. Yang pertama secara spesifik hanya diletakkan sebagai pagar pembatas sesuatu yang ushul, seperti keimanan, tauhid dan ibadah uṣul yang lain. Dalam konteks yang pertama ini, menyekutukan Allah adalah perkara bidah, tidak percaya terhadap kerasulan Nabi Muhammad adalah perkara bidah serta hal-hal dasar lainnya dalam kegiatan beragama. Ketika ada praktek yang menyeleweng dari perkara-perkara yang uṣul itu, maka ia termasuk bidah dan dianggap keluar dari Islam. Ada orang yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan bisa dilakukan di Bulan Muharram; ini bidah. Salat subuh yang awalnya dua rakaat, ditambah jadi empat rakaat; ini bidah. Dan seterusnya. Sedangkan yang kedua memiliki jangkauan makna yang lebih luas. Secara lughawi, ketika bidah dimaknai sebagai apa yang tidak ada di masa Nabi Muhammad SAW, maka perbincangannya akan meluas dan menyentuh soal tradisi, kebiasaan dan simpul- simpul sosial kemasyarakatan lainnya. Sebagaimana yang terlihat dalam perkataan Umar bin Khattab terkait salat tarawih berjamaah yang hanya ada di masanya; “ni’ma al-bid’ah hadhihi”. Dari konteks pemaknaan yang kedua ini kemudian muncul spesifikasi bidah; mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang wajib, sunnah, makruh dan seterusnya. Artinya, untuk soal tradisi dan hal-hal di luar ibadah, terminologi bidah yang harusnya digunakan adalah versi bidah yang kedua, bukan yang pertama. Maka nanti pembahasannya akan berlanjut pada spesifikasi; apakah itu tradisi yang baik atau buruk, diperbolehkan atau tidak, melanggar norma atau tidak dan seterusnya. Namun faktanya, dalam banyak kasus pembidahan yang terjadi belakangan ini, peristiwa-peristiwa yang muncul dari konfigurasi bidah yang kedua, dijustifikasi dan dinilai dengan format bidah yang pertama. Maka yang lahir kemudian adalah kontradiksi-kontradiksi yang ahistoris dan tidak obyektif. Hilmy Firdausy, Ngaji Hadis Ngaji Tradisi (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2020), h. 165-166.

120

Al-Marbawi terlebih dahulu mendefinisikan apa itu bidah;

53 – باب يڠتله داتڠ اى فد مپتاكن حديث يڠ منراڠكن اورڠيڠ بربوات بدعة اكن سباڬى بدعة كسساتن يڠتياد سوكا توهن )كتهويله كيراڽ يا سوداراكو) بدعة ايت اياله فركارا يڠتربيت بارو مپالهى سوره شرع. مك اياله يڠدكانكن بدعة ضاللة تتافى معنى بدعة فد لغة ايت اياله بارڠيڠ تله ادا دريكائى بارو تيدق ادا اومفماڽ دهولو مك تربهاڬى اتس دوا بهاڬى، فرتماڽ بدعة حسنة ارتيڽ بدعة يڠ ايلوق، كدواڽ بدعة سيئة ارتيڽ بدعة كجى دان يوسوق، اتو بدعة يڠ كسساتن. مك بدعة يڠ كسساتن ايت ساله دكرجاكن اكندى دان دافت بالسڽ جاهت دآخرة...218

Dalam paragraf di atas, al-Marbawi mendefinisikan kalau bidah itu adalah “perkara yang terbit baru menyalahi suruh syara’. Maka iyalah yang dikenakan bidah dalalah tetapi makna bidah pada lughah itu iyalah barang yang telah ada direkai baru tidak umpamanya dahulu.” Dari uraian ini, al-Marbawi membedakan antara pengertian bidah secara umum dan bidah yang lebih spesifik dalam kategori dalalah atau sesat. Makna umum (‘am) dan spesifik (khas) dalam term bidah diperjelas oleh al-Marbawi,

55 – مسئلة : بدعة ايت ادا معناڽ فد لغة دان ادا معناڽ فد شرع. برمول معنى بدعة فد لغة ايت اياله بارڠيڠ تله ادا دريكائى اتس كتيدأن اومفماڽ دهولوڽ. دان معنى بدعة فد شرع ايت اياله بارڠيڠ ادا جادى بارو دان تربيت بارو اتس مپالهى سوره شرع. مك دليلڽ ادا خاص دان ادا عام، كران يڠحق اية فد يارڠيڠ دداتڠكن دڠندى اوله شرع، مك تياد كمدين درفد حق ايت ملينكن سست.211

Dalam paragraf masalah 53, al-Marbawi telah menjelaskan kalau bidah secara umum ada dua; bidah hasanah dan bidah sayyi’ah. Bidah hasanah adalah “bidah yang elok”, sedangkan

298 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 56-57 299 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 58-59

121

bidah sayyi’ah adalah “bidah yang keji dan busuk, atau bidah yang kesesatan”. Dua tipe bidah ini kemudian diperinci oleh al- Marbawi berdasarkan hukum-hukum pengerjaannya. Al-Marbawi menjelaskan,

دان تربهاڬى بدعة ايت كفد حكم يڠليما )فرتماڽ) بدعة واجبة مثالڽ سفرة بربيمبڠ دڠن مننتوت علم نحو دان صرف دان سؤمفما كدواڽ )كدواڽ) بدعة يڠ حرام سفرة مذهب سكالين اورڠيڠ بربوات بدعة يڠ مپالهى باڬى أهل السنة )كتيڬاڽ) بدعة يڠ سنة سفرة مڠاداكن فوندوق دان مدرسة2 دان سوراو، )كأمفتڽ) بدعة يڠ مكروه سفرة بربواة اوكيران بوڠا2 باڬي مسجد2، جان مهياسى2 قرآن )كليماڽ) بدعة يڠ هارس سفرة برلواس فد مكانن يڠسدف2 دان مينومن يڠلذات، دان فكاين يڠ هالوس2، دان ملواسكن تاڠن باجو دان برجابة تاڠن كمدين درفد سمبهيڠ.300

Menurut al-Marbawi ada lima jenis variasi hukum bidah. Pertama, “bidah wajibah misalnya seperti berbimbing dengan menuntut ilmu Nahwu dan Sarraf dan seumpama keduanya”. Kedua, “bidah yang haram seperti mazhab sekalian orang yang berbuat bidah yang menyalahi bagi ahlus sunnah”. Ketiga, “bidah yang sunnah seperti mengadakan pondok dan madrasah- madrasah dan ”. Keempat, “bidah yang makruh seperti berbuat ukiran bunga-bunga bagi masjid-masjid, dan mehias- hiasi Quran.” Kelima, “bidah yang harus seperti berluas pada makanan yang sedap-sedap dan minuman yang lezat, dan pakaian yang halus-halus, dan meluaskan tangan baju dan berjabat tangan kemudian daripada sembahyang”. Dari kelima hukum yang sudah dijelaskan di atas, yang menarik untuk diamati sebenarnya adalah makna bidah yang sesat atau haram dikerjakan. Menurut al-Marbawi, selama praktek- praktek bidah tidak melanggar syariat, maka praktek tersebut boleh dikerjakan. Dari definisi dan tipologi bidah yang diurai al- Marbawi, ada dua karakter yang sebenarnya mengisi makna bidah yang ḍalālah. Pertama adalah karakter bidah dalam bentuk penyelewengan dalam konteks ibadah yang sudah diatur rigid oleh

300 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 59.

122

syariat, sedangkan yang kedua adalah bidah dalam bentuk penyelewengan dalam konteks akidah. Karakter bidah yang sesat karena praktek penyelewengan dalam konteks ibadah dijelaskan al-Marbawi,

... سبدا نبى صلى الله عليه وسلم )اياكم ومحدثات األمور فإنها ضاللة) دان جاوهكن ديرى سكالين كامو درفد سڬل فركارا اوڬام يڠبارو دظاهركن اوله اورڠ2 بدعة...301 51 – مسئله : برفڬڠ دڠن جالن نبى صلى الله عليه وسلم ابت تله دسوره نبى دڠن برسوڠڬوهڽ مك برفڬڠ دڠن جالن نبى ايت يأيت برفڬڠ جالن يڠدسمفيكنڽ دان دخبركنڽ درفد سڬل حكم يڠ چارا اعتقاد دان چارا عمل2 يڠ واجب دان سنة دان هارس، دان بارڠيڠ تتف درفد معنى سنة ايت اياله جالن يڠ بتول، يأيت بارڠيڠ موافقة فداڽ لغة دان شرع. دان برمول كتنتوانڽ دڠن بارڠيڠ دتنتوت اكندى اكن سباڬى تنتوت يڠكتيدأن جزم يأيت اصطالح بارو: قصد مريكئيت ممبيزاكن انتاراڽ دان انتارا فرض. تله بركات عبد الرحمن ابن زيد تله برجومفا ابن مسعود اكن سؤرڠ الكى2 يڠ احرام دڠن مماكى فكاينڽ، مك بركات اى كفداڽ تڠڬلكن فكاين كامو اين. مك جواب الكي2 ايت : هى ابن مسعود كامو مالرڠ اكو مماكى فكاين ددالم ايت اكو ماو اكن دليلڽ، باچ اولهمو اتسكو دڠن اين اكن ساتو آية درفد قرآن، جواب ابن مسعود يأيكله. مك دباچكنڽ )وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا)...302

Dalam paragraf di atas, al-Marbawi menyertakan contoh sebuah praktek bidah (muhdathat al-umur) dengan sebuah kisah Ibn Mas’ud yang menegur seseorang yang berihram dengan masih mengenakan pakaiannya. Padahal dalam aturan syara, mereka yang berihram diwajibkan untuk melepas seluruh pernak-pernik keduniawiannya, termasuk pakaian. Hal-hal yang menyeleweng dari aturan syariat, menurut al-Marbawi, adalah hakikat bidah yang dilarang dalam konteks hadis Nabi.

301 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 52. 302 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 53.

123

Tidak hanya dalam konteks ibadah, bidah sebagai praktek kebaharuan yang dilarang dalam Islam juga dipahami al-Marbawi dalam konteks akidah. Al-Marbawi menjelaskan panjang lebar seputar kelompok-kelompok pelaku bidah dalam konteks akidah.

56 – مسئلة : أهل بدعة ايت سياف2 اى )برمول ) يڠ مشهور دسيسى علماء دهولو أهل البدعة ايت توجه )فرتماڽ) معتزلة يڠيبركات كريكئيت بهواسڽ سڬل همب ايت منجادى اكن عمل2ڽ، دان تيدق كيت مليهت توهن دنڬرى آخرة، دان دواجبكنڽ توهن ممبالس فهال دان ممبالس سكسا. مك مريكئيت ادا دوا فوله مذهب اتو دوا فوله فرقة ماسيڠ2 اجا برالين2 جالنڽ. )كدواڽ) الشيعة يأيت قوم يڠ ملمفو2 كاسيه كفد سيدنا على كرم الله وجهه. مك كريكئيت فون دوا فوله دوا فرقة. )كتيڬاڽ) الخوارج يڠ ملمفو2 سمفى مكفركن اورڠيڠ مؤمن يڠبردوسا اكن سباڬى دوسا بسر. مك مريكئيت دوا فوله فرقة فول )كأمفتڽ) مرجئة يڠ بركات مريكئيت تياد ممبرى مضرة سرة ايمان ايت اوله معصية، دان تياد برفائدة سرة كفر ايت اوله طاعة. مك مريكئيت ليما فرقة. دان )كليماڽ) البخارية يڠ موافقة باڬى أهل السنة فى منجاديكن سڬل فعل، دان موافقة باڬى معتزلة فد منفيكن ضفة2 دان يهارو كالم، مك مريكئيت تيڬك فرقة. )كأنمڽ) الجبرية يڠبركات مريكئيت تيدق ادا اختيار درفد همب2 الله، مك كريكئيت ساتو فرقة )كتوجهڽ) المشبهة ارتيڽ يڠ مپروفاكن توهن دڠن مخلوقڽ مك مريكئيت ساتو فرقة. مك جملة سمواڽ توجه فوله دوا فرقة اتو توجه فوله دوا مذهب سمواڽ ددالم نراك. دان فرقة يڠ لفس درفد نراك اياله أهل السنة والجماعة جوا. مك هندقله جاوهكن اوله سكالين كامو درفد أهل البدعة...303

Ada setidaknya tujuh kelompok yang ditengarai oleh al- Marbawi sebagai pelaku bidah yang menerapkan ajaran yang bidah pula. Muktazilah, Shi’ah, Khawarij, Murji’ah, al- Bukhariyah, Jabariyah dan al-Mushabbihah. Terlepas dari kelompok-kelompok tersebut, secara umum praktek bidah menurut al-Marbawi juga terjadi dalam konteks akidah. Dan ini

303 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 59.

124

juga termasuk bidah yang sesat, yang dilarang oleh syara’ dan dianjurkan untuk dijauhi. Dengan kata lain, bidah menurut al-Marbawi sama sekali tidak memiliki kaitannya dengan persoalan tradisi atau unsur-unsur muamalah. Al-Marbawi juga menegaskan bahwa tidak seluruh bidah itu sesat dan dimaknai sebagai penyelewengan dari ajaran agama. Membangun pondok, surau, madrasah, menyajikan makanan yang enak, berjabat tangan setelah salat dan tradisi baik lainnya adalah tipe bidah yang baik, boleh dilakukan dan mengandung pahala yang besar. Dalam uraian yang lain, al-Marbawi justru mengapresiasi mereka yang sudah mewariskan sebuah kebiasaan baik meskipun itu baru dan tidak ada di zaman Nabi.

... بارڠسياف مڠاداكن ساتو جالن كبيجيكن يڠبلوم ادا دهولوڽ... كمدين دتورت اورڠ اتس جالن يڠدكمباليكن اتو داداكن ايت مك باڬى اورڠ ايت فهالڽ دان سأومفما سڬل فهال اورڠ يڠ منورت اكندى دڠن كتيدأن كورڠ درفد فهال مريكئيت سواتو.309

Itulah dua simpul problematika yang muncul dalam konteks siklus wacana sosial-keagamaan di Nusantara abad XX, yang melibatkan al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī dalam lintas perbincangannya. Apa yang ditampilkan dalam Baḥr al-Mādhī terkait dua problematika tersebut merupakan tekukan vernakular di level wacana, yang untuk kesekian kalinya menunjukkan vernakularitas dalam pensyarahan hadis dalam Baḥr al-Mādhī.

304 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 48

125

E. Vernakularitas Baḥr al-Mādhī; Momentum Keterputusan Epistemologis305 dan Praktek Membaca Hadis yang Sadar Tradisi Dalam proses berhadap-hadapan dengan tradisi, ada dua kemungkinan yang akan dialami subyek; antara dia yang masuk dan tenggelam dalam tradisi, atau tradisi yang justru masuk ke dalam subyektifitasnya. Proses “indimaj” dan “tadakhul” yang terjadi antara subyek dan tradisi sama-sama mengandaikan distorsi, entah itu distorsi di level subyek, maupun distorsi di level obyek atau tradisi.306 Al-Jabiri menegaskan bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan di balik terminologi “tradisionalis” dan “bertradisi”.307 Yang pertama adalah wujud relasi yang membenamkan salah satu di antara subyek dan obyek. Mereka yang tradisionalis sejatinya adalah subyek-subyek yang secara tidak sadar tenggelam di dalam tradisi dan menyerahkan seluruh subyektifitasnya secara tidak sadar untuk direduksi ke dalam unsur masa lalu di dalam tradisi. Proses semacam ini bukan hanya menjadikan subyek tidak mampu mengistifadahi tradisi untuk kepentingan pengayaan subyektifitas kekiniannya, namun juga menjadikan obyek tak bergerak dan terdiam layaknya berhala. Berbeda dengan itu, term “bertradisi” (lahu al-turath atau lana al- turath) justru menggambarkan satu relasi yang sadar, egaliter dan dialogis antara subyek dan tradisi. Keduanya memiliki jarak, namun tidak terputus. Jarak diciptakan untuk menemukan titik pandang yang proporsional antara subyek dan obyek. Cara memandang dan menemukan titik pertemuan yang dimulai dengan menciptakan jarak semacam ini adalah awal bagi sebuah proses pemaknaan tempat subyek dan obyek mengidentifikasi dirinya sendiri. Proses

305 Momentum keterputusan epistemologis sejatinya adalah momentum kunci dalam setiap fase vernakularisasi. Ia yang menentukan sukses tidaknya kerja-kerja vernakularisasi. Al-Jabiri menjelaskan, bahwa yang disebut keterputusan epistemologis adalah; "... إن القطيعة التي ندعو اليها ليست القطيعة مع التراث بل القطيعة مع نوع من العالقة مع التراث، القطيعة التى تحولنا من ))كائنة تراثية)) الى كائنات لها تراث، اي الى شخصيات يشكل التراث أحد مقوماته، المقوم الجامع بينها في شخصية أعم، هي شخصية األمة صاحبة التراث." “...keterputusan [epistemologi] yang kami kehendaki bukanlah keterputusan dengan tradisi, tapi keterputusan dengan model relasi yang terbentuk dengan tradisi. Sebuah proses keterputusan yang berupaya mentransformasi kita dari ‘subyek tradisionalis’ kepada ‘subyek-subyek yang memiliki tradisi’. Artinya, [bertransformasi] menjadi karakter subyek yang menjadikan tradisi sebagai salah satu unsur pembentuknya, dan dalam bentuk yang lebih umum, membentuk sebuah karakter ummat yang memiliki tradisi.” Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’aṣirah fī Turāthina al-Falsafī (Bayrūt: Markaz al-Thaqafī al-‘Arabī, 1993), h. 21. 306 Al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 20-21. 307 Al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 21.

126

dialog antara subyek dan obyek yang sama-sama sadar, kata al-Jabiri, akan melahirkan satu model pembacaan yang produktif; subyek mampu merelevansi tradisi sebagai obyek dan obyek mampu memperkaya diri subyek berdasarkan unsur-unsur orisinil yang berasal dari masa lalu. Membaca hadis, juga mengandaikan relasi subyek-obyek semacam itu. Kala hadis dibaca melalui semangat “tradisionalisme”, maka yang muncul adalah kehendak untuk menduplikasi dan merepetisi masa lalu ke masa kini. Subyektifitas subyek luruh, berikut seluruh unsur kekinian yang membentuk entitasnya. Pembacaan yang terbentuk tak lebih dari sekedar upaya untuk membangkitkan kembali masa lalu, di masa kini, secara total. Masa lalu hadir dengan kelapukan konteks. Masa kini ditindih dan diimplan. Nabi pun akhirnya dipaksa untuk berbicara segala hal, bahkan untuk persoalan spesifik dan kasuistik yang bahkan tak sekalipun terjadi di masa Nabi hidup. Hasilnya akan berbeda kala hadis dibaca dengan semangat “bertradisi”. Hadis ditempatkan di ruang diskursifnya. Ia dibiarkan untuk mengurai diri dan memperjelas unsur-unsur berikut problematika apa saja yang membentuknya. Masa lalu, melalui teks-teks hadis, dijelaskan diretakkan untuk mendapatkan satu gambaran baru yang bisa dimanfaatkan subyek untuk memperkaya kekiniannya. Dalam proses semacam ini, praktek duplikasi dan repetisi tidak terjadi karena obyek atau tradisi diiris oleh unsur kekinian dalam diri subyek. Produktifitas pembacaan pun terjadi. Meskipun sekilas hasilnya tampak “mengkhianati” teks, sejatinya teks direproduksi dalam bangunan makna baru yang memiliki relasi substansional dengan wajah teks asli. Dalam konteks membaca hadis dan mensyarahi hadis, semangat bertradisi tampak dalam tiap ulasan dan momentum-momentum vernakular dalam Baḥr al-Mādhī. Meskipun menulis di Mesir, subyektifitas al-Marbawi sebagai orang Nusantara mengisi seluruh sudut pandang dan caranya menjelaskan persoalan. Rembesan subyektifitas tersebut meluap dan mengeras dalam bentuk data-data tekstual yang tersaji dalam Baḥr al-Mādhī yang sebagian sudah diungkap oleh penelitian ini. Kosmopolitanisme kebudayaan Nusantara, komunalisme dan karakter kehidupan di Nusantara yang moderat dihadirkan oleh al-Marbawi sebagai obat yang mampu menyembuhkan penyakit konflik sektarian yang muncul serempak di Timur Tengah kala itu.308

308 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 15, h. 26.

127

BAB V Penutup

A. Kesimpulan Penelitian ini secara umum telah mengurai dan menyimpulkan beberapa hal; Al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī memperlihatkan kerja-kerja vernakular dalam proses mensyarah hadis di seluruh level tekstual yang ada. Baḥr al-Mādhī sebagai sebuah kitab syarah hadis yang memiliki kekayaan data tekstual sedikit banyak telah merepresentasikan karakteristik mensyarah hadis di Nusantara abad XX. Baḥr al-Mādhī juga menunjukkan sketsa bagaimana hadis-hadis Nabi mengalami pengondisian kontekstual dalam situasi kebudayaan yang ada di Nusantara. Berbekal subyektifitas kenusantaraan yang disadari betul oleh al- Marbawi, Baḥr al-Mādhī menampilkan sebuah sudut pandang yang khas dalam merepons situasi dan kondisi wacana sosial-keagamaan yang tengah bergejolak di abad-abad ketika kitab tersebut ditulis. Meksipun ditulis dengan Bahasa Melayu dan menggunakan media Aksara Pegon, Baḥr al-Mādhī tetap mendapatkan tempat di pasar pembaca Timur-Tengah dan internasional. Alasan utama di balik penerimaan dan apresiasi yang diterima al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī adalah karena warna dan kentalnya corak kenusantaraan dalam pemahaman serta sajian syarah hadis di dalamnya. Al-Marbawi memberikan nuansa baru dalam menghadirkan hadis-hadis Nabi dalam konteks perbincangan mengenai berbagai isu, utamanya isu yang sedang ramai di tengah-tengah masyarakat. Vernakularitas yang ditunjukkan al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī menyebar di seluruh level semiotis yang ada. Melalui pegonisasi Bahasa Melayunya, Baḥr al-Mādhī menunjukkan proses vernakularisasi di leven penanda. Melalui beberapa istilah-istilah khasnya dalam menjelaskan unit kata dan kalimat dalam hadis Nabi, al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī juga menunjukkan proses vernakularisasi di level petanda. Dengan ikutserta dan terlibat dalam perbincangan seputar problematika sosial-keagamaan yang tengah bergulir, al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī juga menunjukkan proses vernakularisasi di level wacana. Dalam konteks pertarungan wacana sosial-keagamaan di Nusantara pada abad XX, al-Marbawi duduk dalam posisi yang jelas. Ketika wacana puritanisme dan fundamentalisme menggerus basis otoritas dalam tradisi keberagamaan di Nusantara, al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī justru hadir dalam kondisi subyektifitas yang sadar tradisi. Al-Marbawi dengan tegas menolak dikotomi agama-budaya dalam konteks perdebatan wacana bidah. al-Marbawi juga dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa tradisi dan keterikatan dengan

128

masa lalu harus tetap dihargai, bukan justru diringkus karena dianggap simbol kemunduran dan kekolotan.

B. Saran dan Rekomendasi Penelitian ini tentu saja bukanlah penelitian yang sempurna, yang mampu menggambarkan dengan kompeherensif karakteristik tradisi pensyarahan hadis di Nusantara pada abad XX. Masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus ditunaikan, yang tentu tidak bisa diandalkan hanya pada satu kerja penelitian saja. Penelitian dan kajian seputar naskah-naskah hadis Nusantara juga perlu dilakukan secara serentak. Bukan hanya kajian filologis dan dokumentatif, tapi penelitian analitik yang mampu mengurai isi dan jejaring wacana yang mendorong lahirnya sebuah naskah atau kitab. Dalam konteks studi hadis dan syarah hadis di Nusantara abad XX tentu masih banyak naskah, kitab atau dokumen yang perlu diteliti. Baik naskah atau kitab yang sudah dipublikasi dan dicetak, maupun naskah-naskah yang masih tersimpan dan belum terpublikasi. Dokumen-dokumen lainnya yang berbentuk oral juga mesti diteliti. Karena sejarah, ketika hanya diacu pada dokumen yang tertulis, tentu saja tidak akan pernah menggambarkan realitas secara lengkap.

129

DAFTAR PUSTAKA

Buku Al-Mu’jam al-Wāsiṭ (Mesir: Maktabah al-Shurūq al-Dawliyah, 2011 M./1432 H). Al-Abādī, Muḥammad Abū al-Layth al-Khayr. ‘Ulūm al-Hadīth Aṣīluhā wa Mu'āṣiruhā. (Bangi: Dār al-Shāhir, 2005). Abdillah, Masykuri dkk. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor. (Ciputat: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2018). Abdullah, Taufik dan Endjat Djaenuderadjat. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia II: Tradisi, Intelektual dan Sosial. (Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, 2015). Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. Syeikh Ahmad al-Fathani; Pemikir Agung Melayu dan Islam jilid II. (Kuala Lumpur: Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara dan Khazanah Fathaniyah, 2005). Adonis. Al-Thābit wa al-Mutahawwil; Bahthun fi al-Ibdā’ wa al-Ittibā’ ‘inda al-‘Arab. (London: Dār al-Sāqī, 2002). Alexander, Anne. Nasser: His Live and Time. (London: Haus Publishing Limited, 2005). Al-Husaini, Ishak Mussa. Ikhwanul Muslimun: Tinjauan Sejarah Sebuah Gerakan Islam (Bawah Tanah). (Jakarta: Grafiti Pers, 1983). Ali, Ameer. The Spirit of Islam; A History of The Evolution and Ideals of Islam. (London: Christopers, 1946). Āmīn, Aḥmad. Ḍuhā al-Islām. (Lajnah al-Talīf, 1933). ______. Fajr al-Islām. (Singapore: Sulaymān Mar’i, 1965). Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. (Jakarta: Rajawali Press, 1990). Ashcroft, Bill Gareth Griffiths and Helen Tiffin. The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures. (London and New York: Routledge, 2002). Al-Athār, ‘Abd al-Naṣr Tawfīq. Dustūr al-Lammah wa ‘Ulūm al-Sunnah. (Kairo: Maktabah Wahhāb, t.t.). Athoillah, Ahmad. Pandangan Sayyid Usman bin Yahya al-Alawi Penasihat Kehormatan Bangsa Arab Terhadap Kehidupan Masyarakat Arab di Jakarta 1870-1914-an. (Tesis: Universitas Gajah Mada, 2015).

130

Atjeh, Aboebakar (terj). Mawa’izhul Badi’ah MSS 3565. Perpustakaan Negara Malaysia; Voorhoeve. Bayan Tajalli (Bahan-bahan untuk mengadakan penyelidikan lebih mendalam tentang Abdurrauf Singkel). (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980). Azami, Muhammad Mustafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. (Indianapolis: American Trust Publication, 1977). Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Abad XVII dan XVIII. (Jakarta: Kencana Pustaka Prenada Media Group, 2013). Bakar, Aboe. Sedjarah al-Qur’an. (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952). Barthes, Roland. Elements of Semiology (Ney York: Hill and Wang, 1994). Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. (Jakarta: Erlangga, 2006). ______. Pesantren Studies 4A: Akar Historis dan Fondasi Normatif Ilmu Politik-Kenegaraan Pesantren, Jaringan dan Pergerakannya se- Nusantara Abad 17 dan 18. (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012). ______. Al-Jabiri, Eropa dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara Untuk Dunia. (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018). ______. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016). ______. Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo [Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara]. (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018). ______. Pesantren Studies 2a: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitanisme Kebangsaannya (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012). ______. Pesantren Studies 2A; Pesantren Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), h. 1-2. Benda, Harry J. The Crescent and The Rising Sun. (The Hague, 1958). Bhabha, Homi K. The Location of Culture. (London & New York: Routledge, 1994). Brown, Daniel W., Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Terj. Charles Kurzman. (New York: Cambridge University Press, 1966). Brown, Jonathan. Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World. (Oxford: One World, 2009).

131

Brown, L. Carl. Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat. (Jakarta: Serambi, 2003). Bruinessen. Martin van. “Studies of Sufism and Sufi Orders in Indonesia”. Die Welt des Islams, 38, 2 (1998). Al-Bukhārī, Muḥammad bin ‘Ismā’īl bin Ibrāhim. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009/1430). Carey, Peter. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). (Jakarta: Kompas, 2014). Ekajati Edi S. dkk. Empat Sastrawan Sunda Lama. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKiS, 2008). Esposito, John L. Agama dan Perubahan Sosiopolitik. (Aksara Persada Press, 1985). ______. Dunia Islam Modern. Jilid II (Bandung: Mizan, 2001). Fanon, Frantz. The Wretched of The Earth. (New York: Grove Press, 2004 [1963]). Farhūn al-Mālikī, Ibn. Al-Dībāj al-Madhhab fī Ma’rifah ‘Ulamā’ A’yān al- Madhhab. (Dār al-Turāth li al-Tab’ wa al-Nashr, 2011). Al-Fārisī, ‘Alā’uddin Alī bin Balabbā. Ṣaḥīḥ Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn al- Balabbān. Shu’ayb Arnauṭ (ed.(. (Bayrūt: Mu’assasah al-Risālah, 1414/1993). Fatkhi, Rifqi Muhammad. Popularitas Tafsir Hadis Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Ciputat: HIPIUS, 2012). ______. Sahih Ibn Hibban dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Tawaran Alternatif. (Tesis, SPs UIn Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Fattah, Rohadi Abdul dkk. Rekonstruksi Pesantren Masa Depan: Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern. (Jakarta, Listafariska Putra, 2005). Ferdiansyah, Hengky. Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda. (Tangerang Selatan: Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhari, 2017). Foucault, Michel. The Archeology of Knowledge and The Discourse an Language. A.M. Sheridan Smith (terj.) (New York: Pantheon Books, 1972).

132

Gobee, E. dan C. Adriaanse. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Seri Khusus INIS XI, terj. Sukarsi. (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1995). Gusmian, Islah. “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca”. Jurnal Tsaqafah, vol. 6, No. 1, 2010. Al-Ḥaddād, ‘Abd al-'Azīz Qāsim. al-Imām al-Nawawī wa Athāruhu fī al- Hadīth wa 'Ulūmuh. (Bayrūt: Dār al-Bashā'ir al-Islāmiyyah, 1992). Haji Salleh, Abdullah al-Qari. Tuk Kenali Penggerak Ummah. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2009). Al-Hajjāj, Muslim bin. Saḥīḥ Muslim. (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, tt.). Al-Hamdānī, Abū Bakar Muhammad bin Hāzim. al-I’tibār fī al-Nāsikh wa al- Mansūkh min al-Āthār. (Ḥimṣ: Rātib Hākimī, 1966 M./ 1386 H.). Hamzah, Abd Rahman. Khat dan Jawi Mutiara Kesenian Islam Sejagat. (Skudai: Universiti Teknologi Malaysia, 2008). Al-Ḥanafī, Musṭafā ibn ‘Abdillah al-Qusṭanṭīnī al-Rūmī. Kashf al-Ẓunūn ‘an Asmā’ al-Kutub wa al-Funūn. (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994). Hārūn, Dawūd Rāshid. Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah. Risālah Muqaddimah li-Nayli al-Darajah al-Duktūrah fī al-Sharī’ah al- Islāmiyyah (Jāmi’ah al-Qāhirah, 1996). Hasbi, Rusli. al-Madkhal Iā Dirāsah Uṣūl al-Fiqh. (Jakarta: FDI Press, 2009). Hashim, Ahmad 'Umar. al-Muhaddithūn fī Miṣr wa al-Azhar wa Dawruhum fi Ihyā' al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Sharifah. (Mesir: Maktabah Gharīb, tt.). Al-Hāshimī, ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd al-Wāhid. ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Ṣaḥīḥihi (Kuwayt: Maktāb al-Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428 H./ 2007 M.). Hassan, Ahmad Rifa’i. Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Atas Karya-Karya Klasik. (Bandung, Mizan, 1992). Hasyim, Arrazy. Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi. (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2017). Hellwig, C.M.S. and S.O. Robson (ed.). A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Professor A. Teeuw (Seri VKI No. 121) (Dordrecht: Foris, 1986). Ibn ‘Asākir, Abū al-Qāsim. Tārīkh Madīnah Dimashq. (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1997).

133

Ibn al-Ṣalāḥ, ‘Uthmān bin Abdirrahman. Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ. (Bayrūt: Dār al-Fikr al-Mu’āṣir, 1986 M./1406 H.). Imarah, Muhammad (ed.). al-A’māl al-Kāmilah li Jamāluddīn al-Afghānī. (Bayrūt: al-Mu’assasah al-‘Arabiyah li al-Dirāsāt wa al-Nashr, 1979). Al-Jābirī, Muḥammad ‘Ābid. al-Aql al-Siyāsi al-Arabī: Muhaddidātuhu wa Tajliyātuhu, cet. III. (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al- ‘Arabiyyah, 1995). ______. Ishkāliyyāt al-Fikr al-Arabī al-Mu’āṣir (Bayrut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-Arabiyyah, 1990). ______. al-Turāth wa al-Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt. (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1991). ______. Naḥnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī. (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993). ______. Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī. (Bayrūt: Markaz al- Thaqāfī al-‘Arabī, 1991). ______. Mashrū’ al-Nahḍawī al-Arabi; Murāja’ah Naqdiyyah. (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-Arabiyyah, 1996). Jahroni, Jajang. Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923. (Yogyakarta: Octopus Publishing, 2018). ______. The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852- 1930). (MA Thesis. Leiden University, 1999). Johns, Anthony H. “Qur’anic Exegesis in The Malay World”. dalam Andrew Rippin (ed.). Approaches to The History of The Interpretation of The Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988). Junus, Umar. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1985). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia, 2013), Al-Kāndahlawī, Muhammad Zakariyā. Awjaz Al-Masālik Ilā Muwaṭṭa’ Mālik. (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1980). Kaptein, Nico J.G. Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia- Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914). (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017). Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015).

134

Kedourie, Elle. Afghani and Abduh; An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam. (London: Frank Class, 1997). Al-Kattānī, Abū ‘Abdillah Muḥammad bin Ja’far. Naẓm al-Mutanāthir min al- Hadīth al-Mutawātir. (Mesir: Dār al-Kutub al-Salafiyyah, t.t.). Al-Khātib, Muhammad ‘Ajjāj. Al-Sunnah Qablā al-Tadwīn. (Bayrūt: Dār al- Fikr, 1981). ______. Uṣūl al-Hadīth ‘Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu. (Bayrūt: Dār al-Fikr, 2009/1430). Al-Khaṭṭābī, Abū Sulaymān Ḥammad bin Muḥammad. A’lām al-Hadīth fī Sharh Saḥīḥ al-Bukhārī. (Jami’ah Umm al-Qurā, 1408 H./1988 M.). Kipp, Rita S. and Susan Rodgers. Indonesian Religions in Transition. (Tuscon: University of Arizona Press, 1987.). Koster, G. L. and H. M. J. Maier. “A Medicine of Sweetmeats: On the Power of Malay Narrative” dalam BKI, vol. 141, no. 4 (1985). Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003). Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya II Jaringan Asia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018). Al-Mālikī, Ibn Farhūn. Al-Dībāj al-Madhhab fī Ma’rifah ‘Ulamā’ A’yān al- Madhhab. (Dār al-Turāth li al-Tab’ wa al-Nashr, 2011). Mansfield, Peter. A History of The Middle East. (Harmondsworth: Penguin Books, 1991). Al-Marbawī, Muhammad Idrīs. Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī. (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bāb al-Ḥalabī, 1353 H/1933 M). ______. Bulugh al-Maram Serta Terjemah Melayu (Mesir: Matba’ah al-Anwar al-Muhammadiyyah, tt.). ______. Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī wa Sharhuhu bi Lughah al-Jāwī al-Malāyū al-Musammā Baḥr al-Mādhī (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah li al-Nashr wa al-Tawzī’, 2003). ______. Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī wa Sharhuhu bi Lughah al-Jāwī al-Malāyū al-Musammā Baḥr al-Mādhī (Bayrūt: Dār al-Fikr al-Islāmī al-Hadīth, 2001). ______. Kamus Idris al-Marbawi Arabi-Melayu. (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.). Millie, Julian (ed.). Hasan Mustapa: Ethnicity and Islam in Indonesia. (Australia: Monash University, 2017).

135

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006). Al-Mubārakfūri, Muhammad Abdurrahman. Tuḥfah al-Ahwadhi bi Sharh Jāmi’ al-Tirmidhī. (Mesir: Dar al-Hadith, 2001). Mulyono, Sri. Wayang: Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. (Jakarta: Alda, 1975). Munirah. Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20: Studi Kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah karya Muhammad Mahfudz al-Tirmasi dan Kitab al-Tabyin al-Rawi Syarh Arba’in Nawawi karya Kasyf al-Anwar al-Banjari. (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya 2015). Musa, Hashim. Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006). Nasr, Seyyed Hossein. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim. (Bandung: Mizan. 1994). Al-Nawawī, Abū Zakariyā Yaḥyā bin Sharaf. al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj. (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, 1392 H.). Nikmah, Shofiatun. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia Akhir Abad XX: Studi Kitab Misbah al-Zolam Sharh Bulugh al-Maram karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary. (Tesis UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017). Noupal, Muhammad. Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya (1822- 1914): Respons dan Kritik Terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia. (Disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Al-Qārī, Alī bin Sulṭān Muhammad. Mirqāt al-Mafātīh Sharh Mishkāt al- Maṣābīh. (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H./ 2001 M.). Rahman, Fazlur. Wacana Studi Hadis Kontemporer. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002). Rayyah, Mahmūd Abū. Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Nabawiyyah. cet. I. (Dār al- Ta’līf, 1377/1958). Ricoeur, Paul. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation. John B. Thompson (terj.). (Cambridge: Cambridge University Press, 1984). Rippin, Andrew (ed.). Approaches to The History of The Interpretation of The Qur’an. (Oxford: Clarendon Press, 1988). Rivkin, Julian dan Michel Ryan (ed). Literary Theory: An Anthology. (Oxford: Blackwell, 2004).

136

Sastronaryono, Moelyono (alih bahasa dan aksara). Serat Babad Tembayad. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Proyek Pengkajian Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya], 1986). Al-Shāfi’ī, Muḥammad bin Idrīs. al-Risālah. (Bayrūt: Dār al-Nafā’is, 1431/2010). Al-Shahrāwarzī, Ibrāhīm Amīn al-Jāf. Manāhīj al-Muḥaddithīn; fī Naqd al- Riwāyah al-Tārikhiyyah li al-Qurūn al-Hijriyah al-Thalāthah al-Ūlā. (Dubay: Dār al-Qalam, 2014). Al-Shiddiqie, Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). Shukri, Abdul Salam Muhamad. “Al-Sheikh Dr. Muhammad Idris al- Marbawi’s Contribution to Islamic Studies in The Malay World”. Mohamad Som Sujimon (ed.). Monograph on Selected Malay Intellectuals. (Kuala Lumpur: Research Centre International Islamic University Malaysia, 2003). Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi, jilid I. (Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1959). Steenberink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1986). Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta: LP3ES, 1985). Sunardi, ST. Semiotika Negativa. (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004). Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer. (Yogyakarta: Suka-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012). Al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Asbāb Wurūd al-Hadīth aw al-Lummā’ fi Asbāb al- Hadīth. (Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1984 M./1404 H.). Al-Ṭaḥāwī, Abū Ja'far Aḥmad bin Muḥammad bin 'Abd al-Mālik. Sharah Ma’āni al-Athār. (Bayrūt: Dār al-Kutub, 1979). Ṭahhān, Mahmūd .Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd. (Riyāḍ: Maktabah al-Ma’ārif li al-Nashr wa al-Tawzī’,1996 M./1417 H.). Tasrif, Muhammad. Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan Pendekatan Pemahaman Terhadapnya. (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002). Thayib, Anshari dan Anas Sadaruwan. Anwar Sadat: Di Tengah Teror dan Damai (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1981). Al-Tirmidhī, Muhammad bin Isā. Sunan al-Tirmidhi. (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Muṣṭafā al-Babi al-Halabī, 1975 M./1395 H.).

137

Utami, Putri. Serat Primbon Jampi Jawi Koleksi Perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya Taman Siswa (Suntingan Teks dan Terjemahan). (Yogyakarya: Universitas Gajah Mada, 2010). Wain, Alexander and Mohammad Hashim Kamali (ed.). The Architects of Islamic Civilisation. (Malaysia: Pelanduk Publications and IAIS, 2017). Wijaya, Aksin. Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir. Gender (Yogyakarta: LKiS, 2004). Yahya, Sayyid Usman bin. al-Qawānīn al-Shar’iyyah li Aḥl al-Majālis al- Hukmiyyah bi Taḥqīq al-Masā’il li Yatamayyaza Lahum al-Ḥaq wa al- Bāṭil. (Jumadil Akhir 1298/ Mei 1881). Yaqub, Ali Mustafa. al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Faḥm al-Sunnah al-Nabawiyyah. (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2016). Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979). Al-Zahrānī, Muḥammad bin Maṭhar. Tadwīn al-Sunnah al-Nabawiyyah: Nash'atuhu wa Taṭawwuru min al-Qarn al-Awwal ilā Nihāyah al-Qarn al-Tāsi' al-Hijrī. (Riyāḍ: Dār al-Hijrah li al-Nashr wa al-Tawzī', 1996). Zarif, Muhammad Mustaqim M. Jawah Hadis Scholarship in The Nineteenth Centur: A Comparative Study of The Adaptions of Lubab al-Hadis Composed by Nawawi Banten (d. 1314/1897) and Wan ‘Ali of Kelantan (d. 1331/1913. (Edinburgh: University of Edinburgh, 2007). Zayd, Naṣr Hāmid Abū. al-Imāmu al-Shāfi’ī wa Ta’sīs al-Idiyūlūjiyyah al- Wasaṭiyyah. (Maghrib: Markaz al-Thaqafī al-‘Arabī, 2007). ______. Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an. Penerjemah Khairon Nahdliyyin. (Yogyakarta: LKiS, 2000). Zaydān, Abdul Karīm. al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh. (Mesir: Mu’assasah Qurtubah, 1976).

Jurnal Dan Artikel Seminar Ali, Muhammad. “Dari Kajian Naskah Kepada Living Qur’an dan Living Hadis: Pengantar Metodologi Penelitian Kontemporer al-Qur’an dan Hadis,” makalah Seminar Tahunan Qur’an and Hadith Academic Society (QUHAS) Peta Kajian al-Qur’an dan Hadits di Indonesia tanggal 3 Desember 2015 (Ciputat: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, 2015).

138

Athoillah, Ahmad. “Kritik Sayyid Utsman bin Yahya terhadap Ideologi Jihad dalam Gerakan Sosial Islam pada Abad 19 dan 20”. Jurnal Refleksi vol. 12, no, 5 (Oktober 2013). Azra, Azyumardi. “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995). Basyar, M. Hamdan. “Bagaimana Militer Menguasai Mesir”. Jurnal Ilmu Politik 3. (Jakarta: Gramedia, 1998). Danarta, Agung. “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Pemetaan”, dalam Jurnal Tarjih edisi 7 (Januari 2004). Fathurrahman, Oman. “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol. 19, no. 1, 2012. ______. Ceramah dalam Kelas “Indonesia Philology and Islamic Studies” di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu 13 Maret 2019, 08.00 – 10.00 WIB. Fatimi, S.Q. “Two Letters From The Mahajara to The Khalifah: A Study In The Early History of Islam In The East”. Islamic Studies Islamabad 2:1 (1963). Fatkhi, Rifqi Muhammad. “Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis”. Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 2, 2012. ______. “Kecederungan Kajian Islam di Indonesia Studi Tentang Disertasi Doktor Program Pascasarjana IAIN Jakarta,” Laporan Hasil Penelitian. (Balai Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997). ______. “Hadith dalam Hegemoni Fiqh: Membandingkan Sahih Ibn Hibban dan Sunan Ibn Majah”. Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol, 1, No. 1, 2012. Federspiel, Howard. “Hadith Literature in Twentieth Centurty Indonesia” dalam Oriente Moderno, Nouva Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam (2002). Firdausy, Hilmy. “Genealogi Semiotis Term Sunnah dan Bidah: Dari Syariat Hingga Ideo-Politis”. Jurnal Living Hadis, vol. 3, no. 2 (2018). ______. Ngaji Hadis Ngaji Tradisi. (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2020).

139

______. “Mengenal Sahih Ibn Khuzaymah: Sistematika, Metodologi dan [O]Posisinya di Antara Kitab Sahih”. Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no. 2, Juli-Desember 2017. Hizani, Adian. “Kamus Idris al-Marbawi dalam Tinjauan Leksikologi (Analisis Metode dan Isi)”. Jurnal Alfaz, vol. 2, No. 2 (Juli-Desember 2014). Hoque, Mesbahul (dkk). “Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah” dalam Journal of Hadith Studies, vol. 3, no. 1 (Juni 2018). Husein, Haziyah dkk. “Pemikiran Tafsir Sheikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Manuskrip Quran Bergantung Makna Melayu”. Jurnal al- Turath vol. 1 No. 1 (2016). Ichwan, Moch. Nur. “Literatur Tafsir Al-Qur’an Melayu Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa, Pergeseran dan Kematian”. Visi Islam vol. 1 No. 1 Januari 2002. Jahroni, Jajang. “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)”. Studia Islamika, vol. 25, No. 12 (2018). Kurniawan, Bagus. “Hegemoni Ideologi Perang Sabil Sebagai Wacana Antikolonial dalam Teks Syair Raja Siak”. JUMANTARA, vol. 6, no. 2 (2015). Laffan, M. “Raden Aboe Bakar; An introductory Note Concerning Snouck Hurgronje's Informant in Jeddah (1884-1912)”. Bijdragen tot de Taal- , Land- en Volkenkunde 155, no: 4, (Leiden, 1999). Majid, Latifah Abdul, and Nurullah Kurt. “Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith Century” dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 05, no. 20 (Rome: MCSER Publishing, September 2014). Makmun, Muhammad Taufiq dkk. “Construing Traditional Javanese Herbal Medicine of Headache: Transliteraling, Translating and Interpreting Serat Primbon Jampi Jawi”. Procedia; Social and Behavioral Sciences, No. 134 (2014). Saenong, Farid F. “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir al-Qur’an di Indonesia.” Interview dengan A. H. Johns. Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006. Sagir, Akhmad. “Perkembangan Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam” dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 9, No. 2 (Juli 2010).

140

Shah, Faisal bin Ahmad. “Malay Success and Excellence Factors as Perceived by Mohamed Idris al-Marbawi” dalam Jurnal Pengajian Melayu, jil. 20. (2009). ______. “Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: Kontribusinya dalam Fiqh al-Hadis”, dalam MIQOT vol. XXXIV, no. 1, Januari-Juni 2010. ______. “Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al- Madhi” dalam HADIS, vol. 1, no. 1 (Malaysia, Juli 2010). Syarfina, Tengku. “Singkretisme Dalam Jampi Melayu Deli: Tinjauan Transformasi Budaya”. Jurnal Atavisme, Vol. 14, No. 1 (Kementerikan Pendidikan dan Kebudayaan, 2011). Woodward, M. R. “Textual Exegesis As Social Commentary: Religious, Social and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts”. Journal of Asian Studies 53 (3), 1993. Wulandari, A. “Serat Primbon Jampi Jawi Koleksi Perpustakaan Dewantara Kirti Griya Tamansiswa; Sebuah Dokumentasi Pengobatan Tradisional”. JUMANTARA, vol. 2, no. 2 (2011). Zulfikri. “Orientalisme Hadis Peta Kajian Hadis Orientalis”. TAJDID XVI, no. 2 (November 2013).

141

GLOSARIUM

Disciplinary Gaze : Istilah ini dipakai dalam Studi Poskolonial untuk menunjuk hubungan penjajah dan yang dijajah yang berlangsung melalui permainan, siasat atau manipulasi budaya. Subyek yang memandang, yang berkuasa. Displacing Gaze : Subyek yang memandang, yang berkuasa, dalam proses mimikri, bisa jadi kemudian balik menjadi obyek yang dipandang dalam proses hibriditas atau dekolonisasi. Faidah-Istifadah : Adalah prinsip yang mengandaikan bahwa semua varian teks dan dokumen sejajar sama penting. Semua data teks akan diposisikan sebagai satu kesatuan dengan teks induknya. Dari prinsip ini tidak ada diferensiasi antara “yang induk” dan “yang pinggiran”. Eskpresi berbahasa, data tekstual pinggiran, termasuk ulasan-ulasan dan penjelasan berfungsi sebagai revisi atas teks induk yang memungkinkan hadirnya keterbukaan dan ketakterdugaan. Keterbukaan ini mewakili satu kondisi kemerdekaan subyektifitas, yang dalam kasus tertentu – khususnya masyarakat korban kolonialisme – merupakan suatu pemberontakan atas suara dominan yang dipaksakan Al-Fasl : Adalah momentum obyektifikasi. Yakni momentum menciptakan jarak agar subyek dan obyek merdeka dan tidak saling mendominasi. Obyektifikasi dilakukan, baik dalam kasus menarik obyek dari bayangan subyek, maupun menarik subyek dari bayangan obyek. Hakikat Nusus : Adalah aspek material dari suatu teks. Ia meniscayakan maksud bahwa teks dibentuk dan membentuk identitas subyek, komunitas pembaca dan khalayak sosialnya. Ia bukan tabula rasa yang kosong dan tanpa warna. Selain sirkulatif, teks juga merupakan sesuatu yang bergerak, cair dan selalu dalam proses menjadi (in state becoming).

142

Keterputusan Epistemologis : Adalah momentum kunci dalam setiap fase vernakularisasi. Ia bukanlah keterputusan dengan tradisi, tapi keterputusan dengan model relasi yang terbentuk dengan tradisi. Sebuah proses keterputusan yang berupaya mentransformasi ‘subyek tradisionalis’ kepada ‘subyek-subyek yang memiliki tradisi’. Artinya, [bertransformasi] menjadi karakter subyek yang menjadikan tradisi sebagai salah satu unsur pembentuknya, dan dalam bentuk yang lebih umum, membentuk sebuah karakter ummat yang memiliki tradisi.” Kolonialisme : Sebutan ini dipakai untuk menggambarkan situasi perjumpaan penduduk pribumi dan bangsa asing dalam konteks spesifik. Pegon : Adalah jenis aksara yang memadukan antara Bahasa Melayu dan huruf hijaiyah. Dalam aksara pegon, beberapa huruf dalam hijaiyah mengalami modifikasi morfologis karena ada perbedaan di level fonologi. Sharah Ishkālī : Adalah pratik menjelaskan satu hadis berdasarkan problem yang muncul. Model syarah ini umumnya terjadi di masa Nabi dan bersifat individu. Syarahnya simpel, sederhana dan ijmali. Sharah Istidlālī : Adalah praktik menjelaskan hadis berdasarkan kebutuhan subyek di luar teks. Dalam model syarah ini hadis tidak menjadi obyek utama. Model syarah ini fokus pada kandungan hadis dan konsekuensi hukum yang ada dalam hadis. Proses syarah ini biasanya disertai dengan penyimpulan hukum yang terkandung Sharah Istintājī : Model syarah yang berkembang pasca kodifikasi sampai periode puncak syarah hadis. model syarah ini lahir keika para pensyarih mulai fokus membahas hadis-hadis dalam satu kitab matan hadis tertentu. Model syarah ini menjadikan teks hadis sebagai obyek utama. Ia adalah upaya untuk mengurai dan mengulik isi dan kandungan hadis. Maka biasanya, model syarah ini sangat panjang dan berwujud kitab berjilid-jilid karena yang

143

digunakan adalah metode tahlīlī-muqāran fī al-sanad wa al-matn. Al-Ta’amul Ma’a al-Nusus : Adalah prinsip interaksi dengan teks. Ia juga bisa dimaknai ke dalam lima aspek utama; 1) pembaca sebagai produsen makna, 2) tradisi dan kerangka imajinasi pembaca, 3) sifat pembawaan, cara kehadiran dan tampilan suatu teks kepada dunia khalayaknya, 4) horizon penerimaan sosial-budaya dalam kerja-kerja kongkretisasi dan rekonstruksi dan 5) suatu sistem yang kompleks dari berbagai macam unsur yang diharapkan komunitas penerimanya. The Other : Subyek diri-pribumi hasil perjumpaan dengan yang kolonial, di mana subyek itu menegasikan dirinya sebagai sumber pemaknaan dan identifikasi, lalu mendaku pemaknaan yang diberikan penjajah, hingga membuat dirinya “terasing” atau menjadi “yang lain”. Ini diumpamakan orang yang bercermin: ia tidak percaya gambaran atau pantulan yang diberikan oleh cermin itu tentang dirinya. Vernakularisasi : Berasal dari kata vernacullus yang bermakna lokal, domestik, asli dan pribumi. Ia adalah upaya untuk merawat apa “yang lama”, “yang lokal”, “yang asli” dan domestik dalam setiap usaha untuk merumuskan konsep bangunan baru, yang bahkan paling modern sekalipun. Wacana : Yaitu setiap pernyataan yang mempunyai makna, sejumlah pernyataan yang terkelompokkan, sehingga struktur, identitas, dan aturannya koheren dan mirip satu sama lain sekaligus tindakan dalam keteraturan yang mendukung sejumlah pernyataan. Atau dengan kata lain, ia adalah sekumpulan gagasan dan pemahaman yang terlibat dalam pembentukan individu-individu sosial serta menentukan cara berpikir mereka tentang dunia Al-Wasl : Adalah momentum ketika subyek mampu mengurai obyek tanpa intervensi dan pemaksaan dan menemukan titik sambungnya dengan alam realitas subyektifitasnya.

144

INDEKS

al-waṣl · 51, 54, 55 A al-Zubaydi · 99 Ambivalensi · xi, 41 Arab-Pegon · 66 Abd al-Ṣamad al-Palimbānī · 14 asbāb al-wurūd · 30, 82 Abdul Hamid Asahan · 59 Asbāb Wurūd al-Hadīth · 26, 82, 137 Abu al-A’la al-Falaki · 58 Azyumardi Azra · 1, 8, 11, 14, 33, 42, 43 Abū Ḥanīfah · 25, 26 aḥādīth al-bāb · 79 Aḥl al-Hadīth · 25, 27, 28 B Aḥl al-Ra’y · 25, 27 Ahmad al-Fattani · 57 bahasa Melayu · 4, 13, 15 al-‘Irāqī · 6 Baḥr al-Mādhī · 1, v, vi, xii, xiii, 1, 2, 3, 4, al-Azhar · 57, 58, 60, 62, 64, 133 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 19, 20, al-Fansurī · 2, 3 21, 22, 23, 32, 37, 38, 39, 49, 54, 57, al-faṣl · 51, 52, 54, 55 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, al-Ghazāli · 99, 116 71, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, al-Ghumari · 60 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, Al-Jabiri · 17, 106, 119, 126, 131 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, al-Kelantanī · 3, 16 105, 106, 111, 112, 113, 114, 115, 121, al-Khaṭṭābī · 5, 6, 29, 31 122, 123, 124, 125, 126, 127, 135 al-Kutub al-Sittah · 3, 4, 5, 27, 81, 132 Bakhit al-Mu’thi · 59, 60 al-Marbawi · 1, x, xii, 1, 3, 8, 12, 18, 19, Bermazhab · xiii, 106 20, 21, 23, 32, 37, 39, 57, 58, 59, 60, bertradisi · 126, 127 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, bidah · 8, 12, 43, 45, 102, 108, 109, 110, 71, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 128 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 135, 137, D 140, 141 al-Matba’ah al-Marbawiyyah · 58 Dāwud bin Abdullah al-Fatanī · 2 al-Muwaṭṭa’ · 5 Diponegoro · 39, 104, 132 Al-Nawawī · 29, 30, 136 diskursus · 3, 4, 5, 6, 10, 11, 12, 15, 20, 21, al-Qāḍī ‘Iyāḍ · 6, 99 22, 32, 38, 39, 44, 116 al-Ramahurmuzī · 6 al-Raniri · 1, 2, 7, 14, 33, 34, 36, 37, 38, 139 al-Sakhāwī · 6 F al-Samaluti · 57, 60, 64, 65 al-Shafi’ī · 14, 25, 26 fikih · 26, 27, 28, 34, 38, 57, 62, 63, 70, al-Sinkili · 33 88, 89, 98, 108, 109 al-Ṭabarī · 31, 32 filologi · 21 al-Ṭaḥāwī · 31, 32 fiqh al-hadīth · 27

145

fundamentalisme · 106, 107, 111, 128 J

G Jabariyah · 25, 124 jam’u al-riwāyah · 78 Jawi · xii, 15, 50, 66, 102, 103, 133, 136, Gharīb al-Hadīth · 5, 26, 32 138, 140, 141 jihad · 42, 103, 104 H jumud · 108 hadis daif · 25, 109 K hadis hukum · 25, 28 hadis Nusantara · 3, 9, 11, 35, 129 kajian hadis · 1, 3, 4, 6, 8, 9, 13, 14, 15, 16, hadis palsu · 25 21, 22, 34, 44 hadis sahih · 6, 25, 80 kaum santri · 34, 116 Hasan Mustapa · xi, 39, 41, 45, 46, 134, keterputusan epistemologis · 9, 35, 126 135 Kholil Bangkalan · 59 Hidāyah al-Ḥabīb · 7, 39 kodifikasi · 26, 27, 45, 53 Howard Federspiel · 2, 15 kolonial · 10, 11, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45, Hukum Adat · 43 46, 47, 103, 104 Hukum Islam · 16, 43, 116, 132 kolonialisme · 8, 10, 11, 38, 39, 40, 43, 44, 49, 142 I Kritik ideologi · 53 kritik sejarah · 52, 53 kritik struktural · 52, 53 Ibn al-Qudāmah · 99 Ibn Arabi · 66 Ibn Ḥajar al-Athqalānī · 30, 31, 32 L Ibn Ṣalāḥ · 6 ideologi · 8, 20, 41, 52, 53, 93, 103, 104, lokalisasi · 9 105, 118 lokalitas · 2, 4, 9, 11, 12, 15, 19, 21, 23, Ihyā’ · 14, 30, 99, 133, 136 46, 49, 50 Ikhtilāf al-Hadīth · 4, 32 ilmu hadis · 1, 3, 6, 7, 13, 26, 27, 28, 35, 79 M intertekstualitas · 48, 53 intuisi matematis · 54, 55 Madrasah Aḥl al-Hadīth · 25 Ishkālī · 31 Madrasah Aḥl al-Ra’y · 25 Islam Indonesia · 34, 38, 39, 45, 46, 66, Mahfūẓ al-Tarmasī · 2, 3, 17 130, 133 Mahmud Ghunaym · 58 Islam kultural · 40, 41, 42, 43 Malaysia · 3, 18, 19, 37, 58, 59, 61, 66, 67, Islam politik · 40, 42, 43 71, 131, 133, 137, 138, 141 Islam Puritan · 41 Mālik bin Anas · 5, 25, 26 Istidlālī · 32 matan · 7, 26, 27, 30, 32, 79, 81, 87, 143 Mazhab · xii, 82, 89

146

Melayu · xi, xii, 12, 13, 15, 36, 47, 48, 50, pensyarahan · 4, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 17, 19, 57, 58, 60, 61, 66, 67, 68, 88, 91, 100, 22, 23, 26, 27, 29, 30, 31, 35, 38, 50, 102, 106, 111, 128, 130, 135, 140, 141 64, 65, 66, 71, 77, 78, 82, 86, 87, 88, muhaddis · 4, 6, 7, 14, 26, 27, 28, 57, 60, 89, 90, 96, 100, 125, 129 64, 81 Perang Jawa · 39, 104 Muhajirin Amsar al-Dary · 17, 136 Perang Sabil · 103, 104, 105, 106, 140 Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī · 20, 51, 53, pesantren · 34, 109, 116, 118 110 Pesantren Masriyah · 59 Mukhtalif al-Hadīth · 26 puritanisme · 8, 40, 41, 43, 105, 128 muqāranah al-riwāyah · 78, 79 Muslim · 4, 6, 27, 29, 30, 32, 37, 39, 45, 62, 64, 66, 79, 81, 107, 109, 133, 136 R Musnad · 5, 26, 36 Musṭafā al-Bāb al-Ḥalabī · 8, 13, 135 Rijāl al-Hadīth · 6 musyrik · 108 S N Saḥīḥ al-Bukhārī · 30, 32, 135 Nabi Muhammad · 4, 63, 120 salafi · 106, 110 nasakh · 82, 85 salafisme · 106, 107, 108, 114, 117, 119 Nawawī al-Bantanī · 2, 3 sanad · 4, 6, 7, 11, 27, 28, 30, 32, 36, 59, Nūr al-Dīn al-Ranirī · 2, 14 60, 63, 79, 87, 144 Nusantara · xi, xii, 1, 2, 3, 7, 9, 10, 11, 12, Sayyid Usman · xi, 8, 11, 12, 38, 39, 41, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 23, 24, 32, 42, 43, 44, 45, 46, 119, 130, 136, 138 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 44, 45, 46, sekularisasi · 41 47, 48, 49, 50, 54, 56, 57, 58, 59, 60, sharah istintājī · 29, 30 64, 66, 93, 102, 103, 104, 105, 106, shārih · 9 107, 111, 125, 127, 128, 129, 130, 131, shawāhid · 79 139 Snouck Hugronje · 40, 45, 119 Soekarno · 107, 108, 109, 110, 111, 137, 148 O subyektifikasi · 9, 55 subyektifitas · 4, 7, 9, 12, 15, 19, 23, 29, obyektifikasi · 51, 55, 142 32, 35, 44, 45, 49, 51, 54, 56, 86, 104, Oman Fathurrahman · 1, 2, 7, 9, 10, 14, 33, 105, 126, 127, 128, 142 36 sufi · 33, 39, 46, 55 orientalisme · 8, 43 sufisme · 37, 39, 46 Sunan al-Tirmidhī · 4, 6, 62, 63, 64, 66, 84, 58, 62, 64, 70, 77, 78, 85, 87, 88, P 93, 95, 105, 137 sunnah · 12, 97, 98, 118, 119, 120, 122 Pan-Islamisme · 110, 112 syarah · x, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 13, 15, Pauh Bok al-Fatanī · 2 16, 17, 19, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 34, pegon · 2, 4, 13, 15, 47, 61, 67, 100, 128 35, 36, 37, 38, 39, 50, 57, 65, 77, 83,

147

86, 88, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 104, U 105, 106, 111, 128, 129, 143 syarah hadis · x, xi, xii, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 11, Umawiyah · 25 13, 15, 16, 17, 24, 28, 29, 30, 31, 32, Uṣūl al-Fiqh · 115, 116, 117, 133, 138 34, 35, 36, 37, 38, 50, 57, 77, 83, 86, 93, 96, 97, 105, 111, 128, 129, 136, 137, 140 V

T vernakular · x, 49, 100, 103, 105, 106, 125, 127, 128 vernakularisasi · 8, 9, 12, 13, 35, 49, 50, tahkim · 24, 25 51, 54, 66, 100, 101, 105, 126, 128, 143 tajdid · 112 Vernakularitas · xi, xiii, 9, 49, 77, 100, 106, takhayyul · 108 126, 128 takhrīj al-hadīth · 80, 81 Taklid · xiii, 106 takwil · 84, 85, 100 tarekat · 10, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 119 W tarjīh · 85 tawābi’ · 79 Wahabisme · 110 Tekstualisme · 116 Timur-Tengah · 9, 13, 15, 23 Tok kenali · 57 Y tradisi · 1, xiii, 2, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 14, 21, 22, 27, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 43, 44, Yasin al-Fadani · 60, 64 45, 46, 48, 50, 51, 55, 63, 66, 78, 86, Yusuf al-Hawi · 58 96, 102, 103, 104, 105, 107, 111, 112, 116, 117, 118, 120, 125, 126, 127, 128, 129, 143, 144 Z tradisionalis · 126, 143 Zuhrī · 25

148

BIODATA PENULIS

Hilmy Firdausy. Lahir di Bondowoso Mei 1993. Menghabiskan masa-masa sekolah dasarnya di Bondosowo sampai tahun 2005. Tahun 2005 nyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo sampai tahun 2011. Di Ponpes Nurul Jadid, Penulis menyelesaikan Tsanawiyah dan Aliyahnya. Tahun 2011 nyantri lagi di Pondok Pesantren Mazra’atul Ulum Damaran Kudus sampai tahun 2012. Tahun 2012 nyantri dan belajar hadis di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Ciputat sampai tahun 2016. Di tahun 2012 juga, Penulis duduk di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai tahun 2017. Penulis juga sempat aktif di beberapa organisasi. Di antaranya menjadi Sekretaris Kepala Ma’had Darus-Sunnah tahun 2018-2019 dan Kepala Bagian Kurikulum Ma’had Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences tahun 2019-2020. Penulis juga pernah diberi amanah sebagai Direktur Ali Mustafa Yaqub Institute tahun 2017-2020. Kini Penulis duduk di meja redaktur Harakah ID dan pengajar Studi Kritik Hadis di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences. Selain studi hadis, Penulis juga mempunyai minat di bidang kajian sejarah, utamanya sejarah pemikiran, studi tradisi dan poskolonialisme. Beberapa artikel Penulis sudah pernah dimuat di jurnal nasional maupun diikutsertakan dalam seminar internasional. Penulis juga aktif menulis artikel-artikel pendek di beberapa portal, seperti harakah.id, islambergerak.com, islami.co, bincangsyariah.com dan lainnya. Penulis juga sudah menulis beberapa buku, di antaranya: Soekarno Studies: Ketika Santri Membaca Sang Proklamator (GDN, 2018), Ngaji Hadis Ngaji Tradisi (Maktabah Darus-Sunnah, 2020) dan Islam Santuy Ala Gus Baha [editor] (Harakah Books, 2020). Bisa berdiskusi via [email protected]

149

LAMPIRAN-LAMPIRAN