DINAMIKA PENGUATAN IDENTITAS ETNIK SIMALUNGUN (HASIMALUNGUNON) DI BALIK BERDIRINYA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Studi Pembangunan Pada Program Studi Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Dengan Wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum.

Dipertahankan pada Tanggal 9 Nopember 2018 di Sumatera Utara

HISARMA SARAGIH NIM : 158122002

PROGRAM DOKTOR STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Telah Diuji pada Ujian Tertutup Disertasi Tanggal : 24 Juli 2018 ______

Tim Penguji Ujian Tertutup Disertasi :

Ketua Penguji/Promotor : Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D. Anggota Penguji/Co-Promotor : Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, MS. Anggota Penguji/Co-Promotor : Amir Purba, M.A., Ph.D Anggota Penguji : Prof. Dr. Badaruddin, MSi. Anggota Penguji : Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant. Anggota Penguji : Dr.Anatona, M.Hum.

Dengan Keputusan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Nomor :755/UN5.2.1.9/SK/SSA/2018. Tanggal 8 Juni 2018.

Universitas Sumatera Utara Telah Diuji pada Ujian Terbuka Disertasi (Promosi Doktor) Tanggal : 09 Nopember 2018 ______

Tim Penguji Ujian Terbuka Disertasi (Promosi Doktor) :

Pimpinan Sidang :Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum. Ketua Penguji/Promotor : Prof. Subhilhar, Ph.D. Anggota Penguji/Co-Promotor : Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, MS. Anggota Penguji/Co-Promotor : Amir Purba, MA, Ph.D Anggota Penguji : Prof. Dr. Badaruddin, MSi. Anggota Penguji : Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant. Anggota Penguji : Dr.Anatona, M.Hum. Anggota Penguji : Dr.Muryanto Amin, M.Si.

Dengan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor : 2023/UN5.1.R/SK/SSA/2018. Tanggal 18 Oktober 2018.

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

DINAMIKA PENGUATAN IDENTITAS ETNIK SIMALUNGUN (HASIMALUNGUNON) DI BALIK BERDIRINYA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN Oleh : Hisarma Saragih e-mail: [email protected] Prof. Subhilhar, Ph.D. (Promotor) Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, MS. (Ko-Promotor I ) Amir Purba, MA, Ph.D (Ko-Promotor II)

Disertasi ini membahas tentang dinamika penguatan identitas etnik yang dialami orang Simalungun di balik berdirinya GKPS pada 1963 di Simalungun. Perjuangan komunitas orang Kristen Simalungun menunjukkan identitasnya sebagai reaksi atas aksi zending 1903 melakukan misi menyebarkan agama Kristen, politik kolonial Belanda 1907 menguasai Simalungun, dominasi orang Toba dalam Gereja Batak yang dikenal Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menumbuhkan kesadaran identitas orang Simalungun. Pandangan zending yang menganggap identitas orang Batak Toba sama dengan orang Simalungun ternyata keliru, sehingga proses konversi agama berjalan lambat. Namun pada sisi lain orang Simalungun sadar akan identitasnya (hasimalungunon) yang diabaikan dalam organisasi gereja Batak Toba yang dibentuk zending. Fokus pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana dinamika penguatan identitas etnik Simalungun dalam berdirinya GKPS? Dengan sub fokus khusus yaitu : Bagaimana identitas etnik Simalungun sebelumnya; Dinamika apa di balik berdirinya institusi GKPS ?, Bagaimana GKPS menjadi lembaga penyangga identitas Simalungun?, dan Bagaimana keterkaitan identitas etnik dengan pembangunan di Simalungun ?. Untuk menjawab fokus penelitian, digunakan metode penelitian kualitatif, wawancara mendalam dilakukan terhadap lebih 17 orang informan, observasi di wilayah Kecamatan Raya dan Pematang Siantar, serta didukung sejumlah dokumen arsip yang sezaman, dan literatur yang bertalian dengan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan identitas primordial orang Simalungun telah menguat dalam proses terbentuknya GKPS, dalam dinamika tahapan historis temporal 1903, 1928, 1953 dan 1963 yang merupakan puncak perjuangan sehingga berdiri gereja mereka dengan nama GKPS. Identitas orang Simalungun telah ditunjukkan dengan kebersamaan dalam „ahab Simalungun‟, dan meluas bukan hanya di kalangan komunitas Simalungun Kristen. Orang Simalungun memiliki motivasi untuk bekerja maksimal bukan hanya secara kolektif namun juga secara individu, untuk kemajuan dirinya serta pada gilirannya dalam segala aspek kehidupan dengan tetap memperhatikan identitas etnis „hasimalungunon‟, dalam melaksanakan pembangunan di Simalungun.

Kata Kunci : Dinamika – Penguatan - Identitas Etnik Simalungun – GKPS.

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

THE DYNAMICS OF STRENGTHENING THE SIMALUNGUN ETHNIC IDENTITY (HASIMALUNGUNON) BEHIND THE ESTABLISHMENT OF CHRISTIAN PROTESTAN CHURCH OF SIMALUNGUN By: Hisarma Saragih e-mail: [email protected] Prof. Subhilhar, Ph.D. (Promoter) Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, MS. (Co-Promoter I) Amir Purba, MA, Ph.D (Co-Promoter II)

This dissertation is focused on the dynamics of strengthening ethnic identity experienced by Simalungun people behind the establishment of Christian Protestant Church of Simalungun in 1963 in Simalungun. The struggle of the Simalungun Christian community shows its identity as a reaction to the zending 1903 carry out the mission of spreading . Dutch colonial politics in 1907 controlled Simalungun, domination of the in a church known as the Huria Kristen Batak Protestant (HKBP), raise awareness of Simalungun identity. Zending view who thinks the identity of the Toba Batak people the same as Simalungun turns out to be wrong, so the process of religious conversion is going slow. But on the other side Simalungun people are aware of their identity (hasimalungunon) which is neglected in the church organization of Batak Toba formed by zending. The problem of the research is how is the dynamics of strengthening the Simalungun ethnic identity in the establishment of GKPS? With a special sub focuses: How was the previous Simalungun ethnic identity; What is the dynamic behind the establishment of GKPS institution?; How does GKPS become a Simalungun identity support institution? And how does ethnic identity relate to development in Simalungun? Qualitative methods were used to answer this research, in-depth interviews were conducted with more than 17 informants, observations done in the Raya and Pematang Siantar Districts, and supported by a number of contemporary archival documents, and literature related to this research. The results of this research indicate that the primordial identity of Simalungun people has strengthened in the process of the formation of GKPS, in the dynamic of the temporal historical stages of 1903, 1928, 1953 and 1963 which is the peak of the struggle so that their church stands under the name GKPS. The identity of the Simalungun people has been shown in togetherness with 'Ahab Simalungun', and extends not only to the community of Simalungun Christian. Simalungun people have the motivation to work optimally not only collectively but also individually, for the progress and it turn in all aspects of life while still paying attention to hasimalungunon “ethnic identity”, in carrying out development in Simalungun.

Keywords : Dynamics - Strengthening - Simalungun Ethnic Identity - GKPS.

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha kuasa, hanya karena penyertaan dan kuasaNya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang merupakan bagian dari penyelesaian studi Program Doktor (S-3) pada Program

Doktor Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara Medan. Selama penulisan dan masa-masa studi penulis telah banyak menerima bantuan moral dan materil, yang kesemuanya itu memberikan motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini guna disampaikan secara khusus kepada Program Doktor Studi Pembangunan FISIPOL Universitas Sumatera

Utara Medan.

Disertasi ini diberi judul DINAMIKA PENGUATAN IDENTITAS ETNIK SIMALUNGUN

(HASIMALUNGUNON) DI BALIK BERDIRINYA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN.

Disertasi ini merupakan suatu studi untuk memahami etnisitas orang Simalungun, dengan bimbingan komisi pembimbing yang berjumlah tiga orang dengan susunan satu

Promotor dan dua Ko-Promotor.

Dengan selesainya studi ini maka ungkapan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat

Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D selaku Promotor, serta yang terhormat Bapak Prof.

Dr. R. Hamdani Harahap,M.Si, sebagai Ko-Promotor I, dan bapak Amir Purba,

MA, Ph.D sebagai Ko-Promotor II, yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan motivasi kepada penulis mulai dari kuliah, prakualifikasi, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga selesainya penulisan disertasi ini. Selain itu penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan

i

Universitas Sumatera Utara yang begitu besar kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Pembangunan Program Doktor dan sekaligus sebagai penguji, demikian juga kepada Bapak Dr. Fikarwin Zusha, M.Ant. sebagai penguji, dan Bapak Dr.Anatona,M.Hum, dari Universitas Andalas Padang sebagai penguji dari luar USU.

Selanjutnya dengan selesainya studi ini maka sudah sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada berbagai pihak baik secara lembaga maupun secara pribadi yang tulus memberi dukungan dan bantuan moral dan atau meteril selama proses studi, yaitu kepada :

1. Terhormat dan terpelajar, Rektor Universitas Sumatera Utara Medan Bapak

Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum.

2. Terhormat dan terpelajar, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak

Dr. Muryanto Amin, M.Si yang memberi dukungan terutama dalam proses

administrasi selama penyelesaian studi.

3. Terhormat dan terpelajar, Ketua Program Studi Program Doktor Studi

Pembangunan FISIP USU Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si. yang selalu

mendukung proses administrasi dalam studi ini.

4. Terhormat dan terpelajar, kepada para guru dan dosen saya pada Program

Doktor Studi Pembangunan FISIP USU yaitu Bapak Prof. Dr. M. Arif

Nasution, MA, Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA, Bapak Warjio, MA,

Ph. D., Bapak Dr. Rustam Efendi, MA, Bapak Dr. Ir. Budi Derita Sinulingga,

M.Si, Bapak Heri Kusmanto,MA, Ph.D. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si dan

Bapak Dr. Abdul Kadir, M.Si.

ii

Universitas Sumatera Utara 5. Terhormat dan terpelajar, Rektor Universitas Simalungun Pematang Siantar,

Bapak Prof. Dr. Marihot Manullang, yang memberi motivasi serta dukungan

penyelesaian studi saya.

6. Terhormat dan terpelajar, Bapak Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. tokoh

orang Simalungun yang begitu antusias dan memberikan bantuannya kepada

penulis dalam menyelesaikan Program Doktor saya.

7. Terhormat dan terpelajar, Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun di

Pematangsiantar Bapak Pdt.Martin Rumanja Purba,M.Si, dan Sekjend GKPS

Bapak Pdt. Dr. Paul Ulrich Munthe yang telah memberikan ijin penelitian.

8. Terhormat dan terpelajar, Bapak Dr. Eron L. Damanik, M.Si, ilmuan muda

berbakat orang Simalungun sebagai teman dan sahabat yang telah memberikan

saran dan masukan dan literaturnya, serta perhatiannya tentang Studi ini,

sehingga dapat selesai.

9. Terhormat dan terpelajar, Dekan FKIP USI beserta jajarannya, terutama juga

para rekan saya, dosen Prodi Pendidikan Sejarah turut memberi inspirasi dan

motivasi studi ini.

10. Bapak Ir. Amsar Saragih, MM. selaku Ketua Pengurus Y-USI yang turut

memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini, demikian juga Bapak

Muden Saragih, SH, dan ibu Elviera Damanik sebagai bendahara dan

sekretaris Pengurus Y-USI.

11. Bapak Marsma (Purn) Ir.Budi Manggala Purba,M.Sc selaku ketua Dewan

Pembina Y-USI, beserta seluruh Dewan Pembina Y-USI yang memberikan

kesempatan kepada penulis mengikuti pendidikan Program Doktor.

iii

Universitas Sumatera Utara 12. Para sahabat Mahasiswa angkatan IV Program Doktor Studi Pembangunan

FISIP USU, Mas Hatta Ridho, Hendra Siregar, Mukhrizal Efendi, Usman

Sitorus, Simon Manalu, atas kebersamaan kita selama masa-masa studi

menjadi motivasi untuk berbagi pengetahuan dan referensi.

13. Staf Administrasi Program Doktor Studi Pembangunan FISIP USU, ibu Dina

dan Rasyid yang turut memperlancar studi saya.

14. Kepala Yayasan Museum Simalungun Bapak St.Drs. Jomen Purba yang telah

member ijin penelitian kepada penulis pada lembaga ini dan juga sekaligus

sebagai informan.

15. Ketua Partuha Maujana Simalungun Cabang Pematang Siantar Bapak DR

(HC) Minten Saragih, dan Sekjend Bapak Rohdian Purba,SSi, M.Si yang telah

memberikan ijin penelitian dan juga sebagai informan studi ini.

16. Bapak Pdt. Sarinus Saragih, STh. di kantor Pusat GKPS yang telah

menunjukkan arsip dan referensi tentang GKPS. Seluruh informan yang tidak

disebut satu persatu namanya yang telah tulus hati memberikan informasi

yang diketahuinya guna penulisan disertasi ini.

17. Kepada ibunda tersayang Inang Uli br Purba Sidadolog di desa Merek Karo,

yang selalu memberi nasehat kepada kami anak-anaknya. Kepada Amang

Alm. Gr. Markus Saragih Sitio, yang telah pergi kepada khalikNya ketika

penulis masih kelas 6 SD pantas dikenang saat ini. Terima kasih juga penulis

sampaikan kepada keluarga mertua L. Poerba, dan S br Saragih. Demikian

juga sanina saya keluarga Bima Sakti Saragih di Merek-Karo, juga keluarga

kedua ipar saya Girsang dan kedua botou serta panogolan seluruhnya, kaha M

boru Sibagariang dan Fernando Saragih.

iv

Universitas Sumatera Utara 18. Keluarga saya, isteri tercinta Elly Risnawaty Purba, S. Kep. (Ners), dengan

sabar, tabah serta semangat selalu memberi motivasi dalam penyelesaian studi

ini. Trinitaty Saragih, S.H, yang saat ini sebagai mahasiswa Magister

Kenotarisan USU, Irmawardani Saragih S.Si, mahasiswa Magister

Matematika FMIPA-USU dan Yael Argani Saragih, sebagai anak-anak

terkasih yang ikut serta sebagai motivasi dalam studi ini.

Akhirnya dengan segala kelemahan dan kekuatan yang penulis miliki adalah hal yang sewajarnya menerima saran yang bersifat konstruktif, dengan beralaskan kerendahan hati penulis menyampaikan disertasi ini kepada sidang pembaca yang terhormat. Siraman dalam bentuk kritik dan saran merupakan penyejuk kalbu bagi penulis dalam rangka menyempurnakan karya ini. Kiranya

Tuhan memberkati kita semuanya.

Medan, ……Juli 2018.

Hormat penulis,

HISARMA SARAGIH

NIM : 158122002

v

Universitas Sumatera Utara DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Hisarma Saragih, Lahir di desa Merek Situnggaling (Tanah Karo), pada 9 Januari 1964 anak ke-tiga dari lima bersaudara, dari Pasangan Alm.Gr.Markus Saragih dan Uli br.Purba Sidadolog. Menikah dengan Elly Risnawati Purba Tambak, dan telah dikaruniai tiga orang putri, yaitu : Trinitaty Saragih,SH (Mhs.semester 3 Program Magister Notariat USU), Irmawardani Saragih,SSi. (Mhs.semester 1 Program Magister Matematika USU), dan Yael Argani Saragih (Mhs.semester 7 Fak.Hukum UNDIP Semarang).

Menyelesaikan pendidikan SD Negeri 2 Pamatang Raya (1975), SMP Negeri 1 Pamatang Raya (1979), SMA Negeri Seribudolok (1982). Pada tahun 1982 mulai studi pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU, dan selesai tahun 1988. Pada 1998 melanjutkan studi pada Jurusan Sejarah Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (dengan biaya BPPS Dikti), dan selesai tahun 2000. Pada tahun 2015 melanjutkan studi pada Program Doktor Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, dan selesai Promosi Doktor 2018. Penulis bekerja sebagai dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Simalungun Pematang Siantar (Dosen Tetap Yayasan) sejak tahun 1988 sampai saat ini 2018. Selama menjadi dosen mengikuti berbagai pelatihan diantaranya T o T Paket C-1 SCB-DP Project 2008 di Jakarta oleh LAN dan SCBD, dan menjadi Instruktur Pada CBAP Proyek SCBD Kabupaten Simalungun. T o T Pembelajaran Soft Skill Oktober di Batam oleh Dikti. Tahun 2008 lulus sebagai Instruktur dalam Pendidikan Dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dalam rangka sertifikasi guru dalam jabatan dan menjadi Instruktur PLPG di wilayah Sumut. Selama menjadi dosen Universitas Simalungun Pematang Siantar berbagai jabatan telah diampu penulis seperti: 1996-1998 Pembantu Dekan III FKIP USI ; 2001-2002 sekretaris LPPM Univ.Simalungun; 2002-2005 Dekan FKIP USI; 2005-2009 Pembantu Rektor II USI; 2009-2012 Pembantu Rektor I USI; dan 2012-2014 Rektor Universitas Simalungun; Periode 2015-2019 sebagai Direktur Badan Penjaminan Mutu USI. Penulis telah mencapai Jabatan fungsional Lektor Kepala sejak 1/9/2007 oleh Depdiknas RI, pada unit Prodi Pendidikan Sejarah FKIP USI. Sebagai asesor Laporan Kinerja Dosen Kemenristekdikti sejak 2011.

vi

Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Hisarma Saragih NPM : 158122002 Program Studi : Program Doktor (S-3)Studi Pembangunan Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Medan

Menyatakan bahwa Disertasi saya yang berjudul : DINAMIKA PENGUATAN IDENTITAS ETNIK SIMALUNGUN (HASIMALUNGUNON) DI BALIK BERDIRINYA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN, adalah asli karya saya sendiri, bebas plagiat. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti dan terdapat plagiat dalam karya tersebut, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Oktober 2018 Penulis,

Hisarma Saragih

vii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Abstrak Kata Pengantar ……………………………………………………………………… (i) Riwayat Hidup Penulis …………………………………………………………….. (vi) Pernyataan ………………………………………………………………………… (vii) Daftar Isi …………………………………………………………………...... (viii) Daftar Tabel ……………………………………………………………………….. (xii) BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang Masalah...... 1 1.2 Fokus Masalah ……………………………………………………… 24 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………… 26 1.4 ManfaatPenelitian …………………………………………...... 27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS ……………… 28 2.1 Tinjauan Pustaka Terdahulu …………………………………...... 28 2.1.1 Pustaka Simalungun setara Tesis dan Disertasi………...... 28 2.1.2 Pustaka Simalungun bukan hasil studi akademik (Tesis atau Disertasi) ………………………………...... 34 2.1.3 Pustaka Tentang Identitas Etnis di ………………….. 36 2.2 Kerangka Teoritis …………………………………………………… 49 2.2.1 Paradigma Penelitian ….. …………………………………….. 49 2.2.2 Grand Teory …………………………………………………… 52 2.2.3 Identitas Etnik Primordial …………………………………….. 54 2.2.4 Dinamika Penguatan Identitas Etnik ………………………….. 57 2.3 Identitas Etnik dan Studi Pembangunan ……………...... 64 2.4 Kerangka Pemikiran ………………………………………………… 71 BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………… 74 3.1 Jenis Penelitian ……………………………………………………… 74 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………… 79 3.3 Teknik Pengumpulan Data ...... 84 3.4 Teknik Analisa Data ……...... 90 3.5 Sumber Data ………………………………………………………… 91 BAB IV HASIL PENELITIAN ………………………………………...... 96 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………….. 96 4.1.1 Kecamatan Raya ……………………………………………… 97

viii

Universitas Sumatera Utara 4.1.2 Pematang Siantar …………………………………………….. 99 4.2 Identitas Etnis Simalungun ………………………………………… 102 4.2.1 Seputar Penamaan orang Simalungun………………………… 103 4.2.2 Leluhur orang Simalungun……………………………………. 109 4.2.3 Marga orang Simalungun……………………………………… 119 4.2.4 Wilayah teritorial orang Simalungun………………………… 127 4.2.5 Adat Kebiasaan orang Simalungun………………………… 130 4.2.6 Sistem Mata Pencaharian……………………………...... 136 4.2.7 Bahasa dan Aksara orang Simalungun……………………… 138 4.2.8 Busana orang Simalungun…………………………………… 141 4.2.9 Sistim kepercayaan awal orang Simalungun………...... 145 4.3 Perjumpaan orang Simalungun dengan orang asing………...... 148 4.3.1 Orang Belanda sebagai Kolonial (1907: Korte Verklaring)….. 148 4.3.2 Zending Kristen Protestan, Kolonial Belanda, Batak Toba dan orang Simalungun sebelum 1903 …..…...... 155 4.3.3 Orang Simalungun dan Zending Kristen Protestan………… 164 1. Tahap Awal ………………………………………………. 164 2. Zendeling August Theis di Pamatang Raya…………...... 172 4.4 Terbentuknya komunitas Simalungun Kristen Protestan 1903-1928. 176 4.4.1 Kaum Bangsawan Simalungun……………………………….. 176 4.4.2 Orang Simalungun kebanyakan ……………………………… 183 4.4.3 Daerah Raya dan Simalungun Atas …………………………. 185 4.4.4 Daerah Siantar dan Simalungun Bawah …………………….. 194 4.4.5 Zending dan Identitas Orang Simalungun …………………… 198 4.5 Pertumbuhan komunitas Kristen Simalungun 1928-1953 ………… 204 4.5.1 Kesadaran akan Identitas Etnis dalam Gereja ……………….. 205 4.5.2 Penegasan Identitas Simalungun dalam Gereja …………… 221 4.5.2.1 Penguasaan Bahasa Simalungun…………………….. 221 4.5.2.2 Alkitab diterjemahkan dalam bahasa Simalungun.. 226 4.5.2.3 Pendidikan Pendeta orang Simalungun …………… 230 4.6 Berdirinya HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun) 1953………………………………………………………………. 232

ix

Universitas Sumatera Utara 4.7 Berdirinya GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) 1963……………………………………………………………….. 244 4.7.1 Penguatan Identitas Simalungun dalam komunitas Kristen … 244 4.7.2 Simalungun dimata Pimpinan HKBP Pearaja ………………. 248 4.7.3 Langkah selanjutnya Identitas Simalungun …………………. 252 4.7.4 Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) 1 September 1963 diresmikan …………………………………………… 256 4.7.5 Pertumbuhan orang Kristen Simalungun ………………...... 261 BAB V PEMBAHASAN …………………………………………….. ……….. 266 5.1 Kesadaran orang Simalungun akan Identitas etnik Simalungun ...... 266 5.2 Identitas Orang Simalungun dalam arus zending …………………… 269 5.3 Kesadaran Identitas orang Kristen Simalungun …………………… 273 5.3.1 Perjuangan menggunakan Bahasa Simalungun sebagai Bahasa Pengantar di Sekolah ……………………………… 273 5.3.2 Perjuangan orang Simalungun untuk diprioritaskan Pada Sekolah Pendidikan Guru di Pamatang Siantar …………… 275 5.3.3 Perjuangan orang Simalungun akan Identitasnya dalam organisasi Gereja…………………………………………... 278 5.3.3.1 Masalah kebaktian berbahasa Simalungun di Pematang Siantar ………………………………...... 278 5.3.3.2 Perjuangan Keanggotaan orang Simalungun untuk duduk dalam Pimpinan HKBP ……………………… 280 5.3.3.3 Perjuangan untuk memulihkan nama Distrik Simalungun …..……………………………………… 283 5.4 Berdirinya GKPS sebagai Penguatan Identitas Etnis Simalungun … 287 5.4.1 Dinamika Penguatan Identitas Etnis Simalungun di Kecamatan Raya …………………………………………… 289 5.4.2 Dinamika Penguatan Identitas Etnis Simalungun di Pematang Siantar………………………………………...... 290

5.5 Identitas Etnik Simalungun dan Pembangunan …………………… 291 5.6 Temuan Penelitian ………………………………………………… 294 BAB VI KESIMPULAN ……………………………………………………….. 297

x

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA ...... 301 LAMPIRAN ……………………………………………………………………….. 318 I. Panduan wawancara Dan Informan………………………………………… 318 II. Foto / Gambar ……………………………………………………………… 322 III. Peta Wilayah orang Batak, Peta Batak zaman Zending, Peta Migrasi Orang Batak Toba Kristen Protestan ke Tanah Simalungun, Peta Kabupaten Simalungun, dan Peta Onderafdeeling Simalungun………………. ………… 346 IV. Surat-surat Penelitian………………………………………………………… 350

xi

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel Keterangan Tebel hlm

Tabel 1 Jumlah Pendatang Batak Toba ke Simalungun ………………….. 15 Tabel 2 Raja, marganya, dan asal permaisurinya (Puang Bolon) pada masa sebelum kemerdekaan RI (1945) di Simalungun…………………… 123 Tabel 3 Marga utama, Cabang marga orang Simalungun……………………. 124 Tabel 4 Marga utama, Cabang marga yang datang dan menyesuaikan dengan Marga Utama di Simalungun………………………………………… 127 Tabel 5 Tipologi, nama dan jenis upacara adat orang Simalungun………….. 133 Tabel 6 Bahagian Pokok Busana tradisional orang Simalungun…………….. 144 Tabel 7 Jumlah Anggota Babtis di Daerah Batak Toba …………………….. 160 Tabel 8 Anggota Baptis 25 Desember 1909…………………………………. 191 Tabel 9 Jumlah orang Simalungun yang dibabtis 1903-1927……………….. 198 Tabel 10 Pengurus Komite Na Ra Marpodah 1928………………………….. 209 Tabel 11 Pengurus Kongsi Sintua Protestan Simalungun (KPSP) 1934 ……… 216 Tabel 12 Pertumbuhan orang Simalungun Kristen 1928-1953 dalam gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) ……………………………. 220 Tabel 13 Pertumbuhan Jumlah orang Simalungun Kristen 1954-1963 dalam Distrik gereja HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun) 262 Tabel 14 Perkiraan jumlah Orang Simalungun di tanah Simalungun (Kabupaten Simalungun) dengan Etnis lain tahun 1962…………….. 263 Tabel 15 Keadaan Anggota Jemaat GKPS tahun 2017………………………… 265

xii

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Simalungun adalah satu diantara sub Etnis Batak yang berada di provinsi

Sumatera Utara, Indonesia, dan pusat wilayah kediamannya adalah Simalungun yang secara pemerintahan saat ini adalah kabupaten Simalungun dan kota Siantar.

Menurut Tideman (1936) bahwa leluhur orang Simalungun berasal dari daerah

India Selatan, dan pendapat itu juga dikuatkan oleh Agustono dkk.(2012:21) yang menyatakan bahwa asal muasal orang Simalungun pastilah berasal dari pendatang yaitu India Selatan mengingat adanya persamaan budaya yang dianut orang

Simalungun maupun oleh beberapa kelompok masyarakat yang terdapat di

Sumatera Utara. Sementara itu Joustra (1926:59) menyebut Simalungun adalah

Orang Batak Timur, yang menghuni Tano Simalungun yang berada di sebelah

Timur Tanah Batak Toba, dan juga disebelah timur dari Tanah Karo. Sangti

(1977: 146) menyebut ‟simalungun‟ adalah “Tano - Jau” yang diartikan sebagai tempat orang-orang Toba-tua yang “memelayukan” diri ke masyarakat suku lain, atau orang-orang pendatang ke-negeri Toba-tua. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam buku-buku Pustaha di Pusat negeri Toba-Tua nama „Batak‟ tidak dijumpai seperti dalam buku-buku „Pustaha‟ Simalungun.

Menurut Keuning (1996: 283), bahwa suku Batak adalah satu dalam pokok-pokok azas peradabannya, namun berbeda-beda dalam perwujudannya dalam kehidupan materil dan spiritual. Ia membedakan bahwa Batak itu meliputi :

1

Universitas Sumatera Utara Karo, Simalungun, Dairi atau Pakpak, Toba, Angkola dan Sipirok, serta

Mandailing.

Orang Simalungun secara sosial budaya memiliki 4 (empat) kalan (marga) pokok yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Masing-masing marga pokok ini memiliki cabang-cabangnya, dan marga pendatang ke daerah ini kemudian menyesuaikan diri mengikuti atau menjadi sub-marga dari 4 marga pokok tersebut. Dari pokok marga Saragih, dibagi kedalam berbagai sub-marga antara lain: Saragih Garingging, Saragih Damunthe, Saragih Sitanggang, Saragih Turnip,

Saragih Dajawak, Saragih Dasalak, Saragih Sumbayak, dan Saragih Simarmata,

(Tideman, 1922: 90-91.; Juga Joustra, 1926: 199).

Dari pokok marga Purba, dibagi dalam sub-marga: Purba Dasuha, Purba

Sidadolog, Purba Girsang, Purba Tambak, Purba Bawang, Purba Dagambir, dan

Purba Pakpak. Dari kelompok marga Purba ini Purba Pakpak adalah marga yang menjadi raja di Kerajaan Purba. Marga Purba Dasuha menjadi Raja di Kerajaan

Pane. Dari pokok marga Sinaga juga memiliki sub-marga yaitu: Sinaga Nadi

Hoyong Hataran, Sinaga Nadi Hoyong Bodat, Sinaga Sidahapintu, Sinaga

Sidasuhut, Sinaga Porti, Sinaga Mandalahi, Sinaga Simanjorang, Sinaga

Sidanlogan, Sinaga Simaibang, Sinaga Sidabariba, dan Sinaga Sidagugur. Dari kelompok marga Damanik, mempunyai sub-marga yaitu: Damanik Tomok,

Damanik Ambarita, Damanik Gurning, dan Damanik Malau. Marga Damanik ini menempati dan kemudian menjadi raja di kerajaan Siantar yang pada saat ini telah menjadi kota (Tarigan, 1971:15, ; Juga Clauss, 1982: 42, ; Juga

Damanik, 1974: 16).

2

Universitas Sumatera Utara Pada sekitar tahun 1900 orang Simalungun memasuki episode sejarah baru yang membawa mereka dalam dinamika sosial budaya. Pada periode ini orang

Belanda dengan politik kolonial melakukan ekspansi „pax nederlandica‟ dengan meluaskan pengaruhnya keluar pulau Jawa, dan salah satu sasaran adalah

Sumatera Timur dan Simalungun. Pada sisi lain periode ini orang Jerman juga datang dan berjumpa dengan orang Simalungun. Misi Jerman adalah menyebarkan agama Kristen Protestan kepada orang Simalungun, dengan disponsori oleh badan zending Rheinische Mission Gesselscaft (RMG).

Ekspansi pemerintahan kolonial Belanda ke Simalungun bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonominya berupa pengamanan dan pembukaan daerah perkebunan, sehingga perlu dilakukan usaha pasifikasi terhadap wilayah yang sebelumnya dianggap merdeka. Dampak pembukaan dan perluasan perkebunan di

Simalungun, menyebabkan semakin banyaknya jumlah orang dari berbagai etnik yang bermigrasi ke daerah ini dengan berbagai motif dan ideologi. Kelompok etnis yang bermigrasi ke daerah ini terdiri dari: bangsa Eropa, Cina, Keling, Jawa,

Batak Toba, Batak Mandailing, Karo, Pakpak, Nias dan lain-lain. Bangsa Eropa,

Cina, Keling, lebih berorientasi motif ekonomi perkebunan, dan hidup di areal perkebunan sehingga kurang bergaul dengan penduduk setempat. Pada sisi lain etnis Simalungun sebagai penduduk asli harus bangkit menghadapi arus zaman dan harus memberi makna akan kehidupan mereka dan mengambil sikap rasional maupun primordial.

Sementara ekspansi yang dilakukan zending dalam misinya menyebarkan

Injil Kristen Protestan ke Simalungun telah menyertakan pula penyebaran budaya

Barat (Eropa) dan menyebabkan derasnya migran etnis lokal khususnya orang

3

Universitas Sumatera Utara Tapanuli ke Simalungun. Para migran ini juga masuk dengan membawa etnisitasnya, agamanya. Motivasi awal mereka membuka persawahan, dan membentuk pemukiman menetap di wilayah orang Simalungun. Pemerintah kolonial Belanda tampaknya membiarkan migran lokal masuk ke Simalungun sebab dapat menguntungkan pembangunan ekonomi perkebunan, serta keseimbangan politik pemerintahan kolonial. Migran lainnya seperti orang

Mandailing masuk ke Simalungun dan memilih hidup di perkotaan. Sementara orang Simalungun dengan keberadaannya sebagai tuan rumah dihadapkan dengan para pendatang dengan kondisi budaya, ekonomi, dan politik, serta ideologi masing-masing.

Dalam melegalkan kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda telah berhasil membujuk penguasa etnik Simalungun menandatangani Pelakat Pendek

(Korte Verklaring). Isinya menyangkut tiga pasal yaitu: (1) Pengakuan takluk kerajaannya sebagai bagian dari Hindia Belanda, (2) Tidak akan mengadakan hubungan politik dengan negeri asing, (3) Sepenuhnya melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui pamongpraja

Belanda (ANRI, SoK Bisluit No. 24, 6 Januari 1904, Bijlagen 1).

Menurut Tideman (1922: 48-49) bahwa Pengesahan oleh Gubernur

Jenderal Hindia Belanda terhadap Verklaring kerajaan-kerajaan di Simalungun adalah : tanggal 4 September 1907 untuk Panei, Raya, dan Silimakuta, 5

September 1907 untuk Purba, 6 September 1907 untuk Tanah Jawa, 10 September

1907 untuk Dolok Silou, dan 16 Oktober 1907 untuk Siantar. Setelah penandatanganan Korte Verklaring, selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan bentuk pemerintahan baru (landschap), dengan memberikan

4

Universitas Sumatera Utara pengakuan otonomi terhadap kekuasaan raja orang Simalungun. Dalam prakteknya kekuasaan para raja orang Simalungun berada dibawah pengawasan kontrolir, dan dipandang lebih tertib dari sebelumnya.

Berdasarkan (ANRI, SoK Besluit No. 22, 12 Desember 1906. Juga dalam

Staatsblad Van Nederlandsch-Indie, 1906, No. 531) tercatat bahwa sebelum 1906 daerah Simalungun (Tanah Jawa dan Siantar) berada dibawah pengawasan

Onderafdeeling Batu Bara, dan sejak 12 Desember 1906 dibentuk Afdeeling baru meliputi Simalungun dan Tanah Karo sebagai daerah-daerah Batak yang baru ditaklukkan. Wilayah Simalungun dikukuhkan menjadi bagian pemerintah Hindia

Belanda dalam sebuah onderafdeeling dari afdeeling Simeloengoen en

Karolanden, residensi Oostkust van . Afdeeling Simeloengoen en

Karolanden pada awal pembentukannya tahun 1906 berpusat di Seribudolok, namun sejak tahun 1912 dengan pertimbangan strategis ekonomis dipindahkan ke

Pematangsiantar. Para raja orang Simalungun diharuskan untuk melakukan tertib administrasi kerajaannya, menetapkan batas-batas wilayah tiap kerajaan dengan lebih tegas. Dengan demikian secara resmi pemerintahan Hindia Belanda mengakui tujuh kerajaan Simalungun. Menurut Purba (1972: 12), bahwa setiap kerajaan di Simalungun dibagi atas beberapa distrik, dan perkampungan. Sebagai contoh bahwa kerajan Siantar terdiri dari tiga distrik yaitu : (1) Siantar, (2)

Bandar, (3) Sidamanik.

Masa kolonial kekuasaan para raja orang Simalungun berada dibawah tertib administrasi politik kolonial Belanda, sistem kemasyarakatan orang

Simalungun tetap berjalan seperti semula, bahkan dikukuhkan demi kepentingan ekonomi dan politik kolonial di Simalungun. Para raja orang Simalungun diberi

5

Universitas Sumatera Utara kekuasaan untuk memimpin Peradilan persidangan pada wilayah kerajaannya bersama-sama dengan Partuanon. Persidangan itu disebut kerapatan oeroeng yang berwenang memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana dan perdata dikalangan penduduk. Keputusan yang diambil dalam kerapatan ini harus mengikuti petunjuk hukum yang digariskan pemerintah kolonial (Liddle, 1970: 22-24; juga De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen

1908-1931: 84-85).

Pada peradilan di tingkat onderafdeeling Simalungun yakni kerapatan nabolon, pemerintah kolonial menunjuk salah seorang diantara para raja etnik

Simalungun untuk menjadi ketua persidangan, yaitu atas hunjukan asisten residen afdeeling Simeloengoen en Karolanden. Perkara-perkara yang dapat disidangkan dalam kerapatan nabolon ini ialah perkara yang berbiaya f.150 dan perkara yang berbiaya f.60, menurut hukum adat etnik Simalungun serta perkara-perkara yang berhubungan dengan pegawai-pegawai kerajaan. Pada prakteknya, walaupun ketua persidangan ditunjuk dari seorang raja etnik Simalungun akan tetapi tetap dibawah kendali pemerintah kolonial. Hal ini ditandai dengan ditugaskannya seorang ambtenar mengawasi jalannya persidangan. Namun dalam rangka memperkukuh wibawa raja sebagai ketua persidangan, maka segala perkara yang diputuskan dalam kerapatan nabolon tidak dibenarkan naik banding lagi.

Strategi pemerintah kolonial Belanda untuk memperkokoh kedudukan raja tampak juga dalam hal pembebasan kerja rodi (kerja paksa). Para raja etnik

Simalungun beserta keluarga dekat, pegawai kerajaan, pegawai agama, guru sekolah, guru penolong serta para murid sekolah dibebaskan dari kewajiban itu.

Selain itu para raja juga memperoleh upah raja, setiap penduduk yang pindah dari

6

Universitas Sumatera Utara satu kampung ke kampung lain wajib membayar biaya adat pindah sebesar f. 3 dengan perincian: f. 1 untuk raja, f. 0,50 untuk gamot kampung dan f. 1,50 untuk penghulu kampung (De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen 1932: 50).

Gamot adalah pegawai pemerintah yang bertugas sebagai pembantu pemerintahan desa (Saragih, 1989: 70).

Upaya pemerintahan kolonial Belanda dalam memperkokoh posisi para raja orang Simalungun merupakan politik identitas budaya etnik lokal. Belanda memberi ruang kepada etnik lokal untuk mengukuhkan identitas budaya etniknya dalam rangka mempertahankan supremasi ekonomi dan politiknya. Sekalipun para raja lokal berhak mengambil keputusan di wilayah kerajaannya, keputusan itu senantiasa berada dibawah pengawasan dan kekuasaan pihak kolonial. Dalam kondisi ini pemerintahan di Simalungun ditandai dengan semakin intensifnya kekuasaan kolonial dan pada sisi lain semakin terbatasnya kekuasaan para raja local (Liddle, 1970: 25-26).

Masuknya kekuasaan kolonial ke Simalungun telah membawa perubahan, misalnya untuk mendukung tata administrasi pemerintahan kolonial Belanda dibangun berbagai sarana penunjang seperti kantor kerajaan dan personilnya.

Sejumlah kantor yang dibangun meliputi kantor pengadilan, kantor polisi, rumah- sakit, rumah sekolah, kantor urusan garam dan candu. Sejak 1917 di setiap kerajaan diangkat seorang personal yang bertugas mengepalai urusan administrasi kerajaan yang disebut pangulu bale (De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen

1908-1932, : 85).

Pemerintah Hindia Belanda juga menerapkan berbagai peraturan seperti : aturan kebersihan, penertiban dalam pemeliharaan ternak, perambahan hutan,

7

Universitas Sumatera Utara irigasi, penggajian pegawai kerajaan, penertiban harga sandang pangan dan papan.

Para raja lokal etnik Simalungun secara perlahan-lahan membuka mata untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan bangsa Eropah (bangsa Barat) serta hasrat untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam sistem organisasi pemerintahan. Untuk mencapai hasrat demikian tidak boleh tidak harus didukung oleh beberapa persyaratan tertentu diantaranya kemampuan membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, yang keseluruhannya itu tidak tersedia dalam lembaga pendidikan etnik Simalungun pada saat itu. Keadaan demikian mendorong kalangan para raja lokal mulai mengejar dan menikmati pendidikan Barat yang disediakan badan zending, maupun kolonial (ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21,

MvO F. J. Neiboer, 1934,: 24).

Etnik Simalungun pra-zending telah mengenal pendidikan non formal, yaitu model pendidikan yang diajarkan oleh Datu atau disebut Guru Bolon sebagai guru, dengan materi pelajaran meliputi pengetahuan praktis seperti

Mandihar (bela diri silat), menulis di atas potongan bamboo atau kulit kayu

(laklak), pengetahuan kesehatan, ilmu-ilmu kebatinan dan lain-lain. Pendidikan ini menekankan nilai-nilai religius, moral, budaya, maupun politik dan ekonomi

(Damanik, 1974: 25.; Juga Aritonang, 1988: 41).

Dengan masuknya pengaruh kolonial Belanda tersebut, kehidupan rakyat semakin terperosok kepada jaring politik kebudayaan kolonial. Kolonial menanamkan sikap kepada rakyat untuk patuh dan mengabdi kepada raja serta punggawanya sesuai dengan aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah.

Menurut Reid, (1979:54) bahwa perlawanan rakyat terhadap para raja lokal dikalangan etnik Simalungun hampir tidak pernah muncul sepanjang periode

8

Universitas Sumatera Utara kolonial, meskipun rakyat tidak puas dengan kondisi demikian, namun sifat masyarakat agraris yang melekat dan keterikatannya terhadap adat tradisinya yang kuat membuat mereka enggan melakukan protes apalagi sampai melawan rajanya.

Perbedaan sosial antara golongan bangsawan dengan rakyat semakin tampak.

Golongan para raja lokal etnik Simalungun semakin menunjukkan rasa superioritasnya. Perhatian mereka lebih banyak ditujukan kepada tugas-tugas kerajaan yang berorientasi kepentingan ekonomi dan politik kolonial, menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah kebangsaan Indonesia.

Sejak ditanda tangani dan diberlakukan Korte Verklaring, telah merintis jalan bagi perluasan perkebunan asing ke tanah-tanah pegunungan wilayah etnik

Simalungun. Menurut Pelzer (1985: 77) bahwa antara tahun 1910 dan 1920, modal Jerman dan Inggris telah mengembangkan onderneming teh di daerah

Pematang Siantar. Kepentingan Inggris diwakili oleh Rubber Plantation

Investmen Trust, telah berhasil memperoleh konsesi yang luas dari raja lokal yaitu

Siantar dan Tanah Jawa. Langkah ini diikuti oleh pengusaha perkebunan Belanda

Handels Vereeniging Amsterdam (HVA) untuk memulai pengembangan perkebunan teh sesudah tahun 1918.

Bagi para raja lokal etnik Simalungun pembukaan perkebunan itu telah mendatangkan keuntungan yang luar biasa dari pihak pengusaha perkebunan meskipun tidak sehebat penghasilan para sultan Melayu di daerah Deli dan

Serdang. Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik dan Raja Tanah Jawa Tuan

Sangma Sinaga adalah raja terkaya di antara para raja lokal etnik Simalungun tahun 1938. Kedua raja ini memperoleh gaji sebesar f.6,720 setahun, uang jalan

9

Universitas Sumatera Utara f.1,800 setahun, ditambah lagi penghasilan upeti dari rakyatnya (ANRI, G. W.

Meindersma, 1938 :24 ; Juga Reid, 1979 : 54).

Pada sisi lain orang Simalungun sebagai kawula kerajaan tidak dapat menikmati keuntungan terhadap perkebunan ini, malahan mereka diberatkan kewajiban pajak. Adanya tanah yang dikonsesikan oleh raja untuk perkebunan membuat rakyat setempat kehilangan tanah dan mata pencahariannya. Untuk menutupi kekecewaan penduduk, pihak perkebunan menawarkan tanah pengganti di sekitar pinggiran perkebunan untuk ditanami dengan jenis tanaman pangan seperti: padi, jagung, ubi dan lain-lain. Tawaran demikian kurang mendapat tanggapan dari penduduk etnik Simalungun, mereka khawatir bila pada satu saat akan dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap sebagai pekerjaan yang sangat berat dan melelahkan. Orang

Simalungun lebih menyukai bekerja sebagai petani di ladangnya sebab dirasa lebih ringan dan bebas. Orang Simalungun juga harus memikul beban saro berupa wajib kerja tradisional untuk mengerjakan tanah dan ladang sang Raja atau pekerjaan lain yang diperintahkannya selama sepuluh hari per-tahun. Selain itu ada pula kerja rodi, yaitu berupa wajib kerja untuk gubernemen dalam pembukaan jalan. Menurut C. J. Westenberg pembukaan jalan raya untuk menghubungkan daerah-daerah Simalungun dengan Sumatera Timur, seperti jalan raya Kabanjahe-

Seribudolok-Pematang Purba telah dimulai tahun 1907, dengan menggunakan tenaga penduduk setempat (Rodi) yang dikordinir oleh raja-raja setempat.

Aturannya bahwa setiap desa yang dilalui jalan maka desa itu harus menyediakan

40 tenaga kerja selama 10 hari dalam satu bulan (ANRI, MvO, Westenberg,1908,

: 34).

10

Universitas Sumatera Utara Orang Simalungun yang tidak berkenaan, kurang berani untuk melawan, sebab mereka tidak mendapat dukungan dari pemimpinnya. Diantara pemimpin etnik Simalungun yang mencoba melakukan perlawanan adalah Tuan Raimbang dari Dolok Panribuan tahun 1916 dengan menghimpun penduduk etnik

Simalungun menentang penguasa perkebunan yang dianggap tidak adil dan menguasai tanah mereka. Perlawanan diwujudkan dalam bentuk pembakaran gudang-gudang kebun, merusak tanaman perkebunan. Namun perlawanan tersebut dapat diamankan pemerintah kolonial dengan menurunkan aparat kepolisian

(Sinar, 1988 : 3).

Akibat semakin meluasnya pembukaan lahan perkebunan di daerah

Simalungun, menimbulkan masalah baru yaitu sulitnya tenaga kerja kasar terutama dalam merintis hutanbelantara untuk dijadikan lahan perkebunan. Orang

Simalungun kurang tertarik sebagai tenaga kerja kasar membuka lahan perkebunan kolonial, sebab mereka mempunyai ladang yang luas, disamping jumlahnya juga sedikit. Untuk mengatasi ini pihak perkebuanan mendatangkan tenaga kerja dari Cina, Keling, dan pulau Jawa. Selain itu juga bermigrasi ke

Simalungun penduduk dari daerah Tapanuli Batak Toba, Mandailing, Karo dan sebagainya. Kelompok etnik pendatang ini membentuk komunitas masing-masing dalam dan sekitar areal perkebunan. Hal ini dapat dimengerti karena kedatangan mereka ini memang atas kontrak pihak perkebunan, sementara etnikdari Tapanuli

Batak Toba hidup dan bekerja di luar areal perkebunan, membuka persawahan

(Sidjabat, 1983: 130-132).

Ketrampilan yang dimiliki oleh etnik Batak Toba adalah kemampuan mengelola sistem pertanian sawah, sementara etnik Simalungun lebih dominan

11

Universitas Sumatera Utara dengan sistem perladangan. Seluk beluk persawahan (wet-rice culture) cukup dikuasai orang Batak Toba. Ketrampilan untuk mencetak sawah dipebukitan, pembuatan tali air dengan sistem yang memanfaatkan tenaga arus air (gravity feed system) semuanya dibawah kordinasi seorang Raja Bondar yang merupakan arsitek, manager dan pemrakarsa pembuatan sistem pengairan itu. Modal ketrampilan inilah yangmereka terapkan di daerah Simalungun Bawah (Aritonang,

1988: 64-65).

Untuk memperoleh hasil panen padi maksimal tidak akan terpenuhi jika hanya mengandalkan sistem perladangan, sehingga kolonial mendorong perluasan pembukaan lahan sawah baru. Produksi padi orang Simalungun untuk menghasilkan padi bagi kebutuhan pangan penduduk yang semakin padat berkenaan dengan para migrant buruh perkebunan tidak mencukupi. Usaha yang mula-mula dilakukan kolonial adalah mengalihkan pola pertanian dari sistem perladangan ke sistem persawahan, namun tidak berhasil. Usaha berikutnya dengan membuka jalan-raya menghubungkan daerah Simalungun ke Tapanuli sebagai lumbung penghasil padi, namun produksi padi daerah ini juga tidak mampu ditingkatkan lagi karena luas lahan di Tapanuli sangat terbatas, sementara jumlah penduduknya cepat meningkat (Liddle, 1970 : 30).

Program demikian merupakan daya tarik etnik Batak Toba dari Tapanuli ke daerah Simalungun. Sebagai rangsangan, pemerintah kolonial Belanda disamping memberikan tanah secukupnya, juga memberi jaminan keselamatan para pendatang dari Tapanuli. Kebijakan kolonial Belanda antara lain adalah dengan mengadakan perjanjian dengan para raja orang Simalungun, tahun 1908

12

Universitas Sumatera Utara yaitu Raja Siantar, Raja Pane untuk memberi jaminan keamanan bagi orang Batak

Toba yang membuka persawahan di wilayahnya (Tideman, 1922: 186-187).

Sebagai dampaknya dapat dilihat bahwa etnik pendatang dari Tapanuli

Batak Toba telah mampu membentuk pemukiman disekitar tepi sungai, disepanjang jalan-raya dari wilayah Tapanuli sampai ke Pematang Siantar, dan sistem irigasi persawahan telah dapat dibangun secara meluas. Pihak kolonial

Belanda telah berhasil membangun jalan-raya yang menghubungkan daerah

Balige-Porsea-Parapat-Pematang Siantar tahun 1915, sehingga mempercepat mobilisasi penduduk daerah ini (Cunningham, 1958: 85).

Gelombang pendatang orang Batak Toba dari Tapanuli ke wilayah

Simalungun mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal itu tidak terlepas dari daya tarik yang dibuat oleh pihak pemerintah kolonial Belanda yang khawatir akan kekurangan pangan. Pemerintah kolonial menyodorkan beberapa jabatan kepala bagi yang berhasil membawa beberapa keluarga pindah ke daerah

Simalungun. Jabatan kepala tersebut diatur sedemikian rupa dalam beberapa tingkatan berdasarkan banyaknya keluarga yang mereka bawa sebagai anak buahnya. Jabatan kepala rodi diberikan kepada mereka yang berhasil membawa 5

Kepala Keluarga (untuk selanjutnya disebut KK), pangulu dengan membawa 7

KK, dan raja ihutan dengan membawa 50 KK (Tideman, 1922: 188). Pemerintah kolonial Belanda berharap bahwa jabatan-jabatan ini akan menarik perhatian sebagian orang Batak Toba, terutama mereka yang tidak mendapat jabatan atau gagal dalam pemilihan kepala di kampung masing-masing. Sejalan dengan hasrat yang begitu besar untuk meraih jabatan kepala, beberapa orang mulai melakukan pendekatan dikampung masing-masing dan membawa mereka bagi yang bersedia

13

Universitas Sumatera Utara pindah. Pada tahun 1914 Andreas Simangunsong seorang guru zending yang berasal dari Sigumpar pernah bertugas sebagai pegawai Raja Purba, atas saran zendeling Nommensen diangkat pemerintah kolonial menjadi Hoofd der

Tobanezen (Raja ihutan) dan bersama dengan itu dibukalah Immigrate Bureau

Tobaneezen (Biro urusan Migrasi Toba) untuk mengatur proses perpindahan orang-orang Batak Toba (Lihat Koloniaal Verslag 1915: 95; Juga Purba & Purba

1998 : 11; Juga Sangti, 1977: 184).

Menurut Panjaitan dan juga Purba & Purba, bahwa sejak meluasnya pembukaan irigasi persawahan di wilayah Simalungun, hasil produksi pertanian mengalami kenaikan dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Dikawasan Siantar, sekolah yang didirikan badan zending tahun 1907 secara darurat, pada tahun 1910 telah diperbaiki dan atapnya diganti menjadi seng.

Rumah penduduk semakin lebih baik, bangunan gereja diperbesar dan diperbaiki menjadi beratap seng, lantai dan dinding terbuat dari papan (Panjaitan, 1982: 21-

22; Juga Purba & Purba, 1998 : 11).

Menurut laporan Jan Tideman jumlah pendatang etnik Batak Toba dari Tapanuli ke daerah Simalungun seperti dalam tabel berikut ini: Tabel 1. Jumlah Pendatang Batak Toba ke Simalungun Tahun Jumlah Migran 1913 6.500 Jiwa 1915 8.800 Jiwa 1917 11.250 Jiwa 1919 12.840 Jiwa 1920 20.460 Jiwa. 1930 30.433 Jiwa 1935 41.000 Jiwa 1942 50.000 Jiwa

14

Universitas Sumatera Utara (Sumber : Tideman 1922: 187; Juga ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21 Aanvullende Memorie van Overgave van de Assistant Resident van Simelongoen en Karolanden, Sumatra Oostkust M. van Rhijn, 1936 : 6; Juga Reid,1977:54, diolah ).

Sebagaimana menurut Meuraxa (1973: 633) dan juga Sangti (1977: 181) menyebutkan bahwa pertambahan jumlah etnik Batak Toba ke Simalungun pada akhirnya membuat pemerintah kolonial kewalahan, apalagi jika dikaitkan dengan status mereka. Akhirnya pada tahun 1921 pemerintah kolonial menghapuskan jabatan-jabatan kepala rodi dan penghulu. Sejak tahun 1926 muncul percekcokan antara petani-petani etnik Batak Toba dengan para raja lokal Simalungun karena pembebanan pajak irigasi yang cukup tinggi, yang sebelumnya tidak dikenal di

Tapanuli. Hal ini sesuai dengan tuntutan para raja lokal etnik Batak Simalungun agar kaum pendatang tunduk dan memenuhi kewajiban kepada raja, karena mereka adalah rakyat dari raja tersebut.

Di lain pihak para petani Batak Toba tidak menerima sepenuhnya hal tersebut karena mereka merasa keberatan dibawah perintah para raja lokal etnik

Simalungun yang masih beragama suku dan merasa lebih cerdas dari para raja lokal itu. Perbedaan pandangan demikian menyebabkan tumbuhnya bibit konflik yang berkepanjangan. Para raja lokal etnik Simalungun menganggap hal tersebut sebagai tidak menghormatinya dan bahkan dianggap menentang mereka

(Meuraxa, 1973: 634.; Juga Sangti, 1977: 180).

Masalah pembebasan pajak irigasi yang tinggi terus berlanjut bahkan diikuti pula dengan pemecatan beberapa orang Batak Toba pegawai pemerintah.

Pemecatan ini diprakarsai oleh kontrolir J. C. C. Haar dari Pematangsiantar, tanpa mendapat teguran dari pihak atasan. Hal ini telah dipandang oleh orang Batak

15

Universitas Sumatera Utara Toba sebagai persekongkolan antara para raja orang Simalungun dengan pemerintah kolonial Belanda. Mereka protes dan sebagai puncaknya terjadi tahun

1933 ditandai dengan pindahnya 400 KK atau lebih 2000 orang petani Batak Toba dari daerah Panei Simalungun ke Padang Bedagei, daerah Deli Serdang (Castles,

1972: 194).

Penduduk Tapanuli Selatan terutama yang berasal dari daerah yang sangat banyak penduduk Islamnya, seperti Angkola, Mandailing, dan Sipirok di sepanjang pantai Barat Sumatra, juga banyak yang bermigrasi ke Simalungun.

Pola migrasi orang Batak dari Tapanuli Selatan berbeda dengan pola migrasi

Batak Toba yang mendiami Tapanuli Utara. Orang Batak Toba terutama adalah para petani yang mencari tanah yang dapat dijadikan sawah, sedangkan mereka yang dari Selatan sangat tertarik bagi prospek perdagangan dan sebagian besar menetap di kota pasar dan kota administratif. Hanya sejumlah kecil petani dari

Tapanuli Selatan, dan tidak kesulitan untuk memperoleh tanah seperti halnya dengan Batak Toba yang ikut bermigrasi (Castles, 1972: 194).

Disamping unsur pedagang, ada juga kelompok penting orang Batak muslim yang menjadi pegawai administratif pemerintah, perkebunan, dan kerajaan tradisional Simalungun. Pada paroh terakhir abad ke-19 orang-orang

Tapanuli Selatan yang pergi naik haji sangat terpengaruh oleh gerakan pembaharuan di Timur Tengah, yang menekankan pendidikan modern. Lagi pula badan zending RMG dari Jerman, yang lebih dahulu bekerja di Tapanuli

Selatan sebelum masuk ke Tapanuli Utara, juga sudah mendirikan sekolah, dan sebagian muridnya beragama Islam. Dengan demikian banyak migran dari

Tapanuli Selatan itu sekurang-kurangnya telah memperoleh unsur-unsur

16

Universitas Sumatera Utara pendidikan yang bergaya Barat. Sekolah zending pertama kali didirikan di daerah

Parausorat Sipirok Tapanuli Selatan tahun 1868, dimana daerah ini penduduknya mayoritas muslim (Aritonang, 1988: 180; Juga Harahap, 1960: 68).

Sebagaimana pendatang dari Tapanuli etnik Batak Toba adalah dominan beragama Kristen. Pendatang dari Tapanuli Selatan Batak Mandailing dominan beragama Islam dan tertarik untuk menyebarkan agama Islam di Sumatera Timur dan termasuk di Pematang Siantar. Banyak guru agama datang ke Pematang

Siantar dan Simalungun. Di wilayah ini mereka mendirikan sekolah serta beberapa lembaga pendidikan dan sosial dengan bantuan para pedagang dan kaum muslim terpelajar lainnya. Yang paling menonjol diantara organisasi-organisasi ini adalah cabang Muhammadiyah, yang didirikan pada 1927, dan Aljamiyatul

Wasliyah, yang didirikan pada 1930 dan sampai dewasa ini merupakan organisasi

Islam terbesar di daerah Simalungun (Liddle, 1992:28).

Orang Simalungun sebagai penduduk asli, banyak dirugikan dengan pertumbuhan perkebunan dan dibukanya persawahan baru terutama di wilayah kerajaan Siantar, Tanah Jawa dan Panei. Luas lahan tanah semakin sempit, sementara pola mata pencaharian masih tetap bercocok tanam di ladang, dan karena kurang mampu berasimilasi dengan kebudayaan kelompok pendatang, banyak diantara mereka yang kemudian pindah ke daerah pedalaman dan sebagian keluar dari daerah Simalungun. Pada tahun 1930, etnik Simalungun menjadi kelompok minoritas di Simalungun, dari 285.301 jiwa penduduk, jumlah orang etnik Simalungun hanya 76.759 jiwa (Volkstelling 1930, Deel IV : 1935: 30-31:

113).

17

Universitas Sumatera Utara Sebagian besar orang Simalungun tinggal di desa-desa pusat kerajaan dan disekitarnya yang semakin menyusut. Sebagian diantara mereka yang enggan pindah itu, termasuk kaum bangsawan tradisional, memeluk agama Islam melalui guru-guru agama dan para pedagang etnik Batak Tapanuli Selatan dan etnik

Melayu yang datang dari pesisir Sumatera Timur (Liddle, 1992:28).

Sepanjang data yang diperoleh pada masa prakolonial tidak ditemukan kerusuhan yang berlatar kesukuan (etnis) di Simalungun. Pada waktu penduduk masih jarang dan komunikasi masih terbatas, loyalitas ini terutama berpusat pada satuan huta (desa), kelompok kekerabatan setempat, atau kerajaan-kerajaan tradisional. Namun sejak abad ke-20 ketika orang-orang dari berbagai latar belakang mengadakan kontak langsung, maka mulai muncul persaingan terutama di kota-kota, perasaan etnisitas yang eksklusif yaitu pembentukan struktur hubungan sosial dalam arti halak hita (orang kita) dan halak nalegan (bukan kita), pun mulai tumbuh.

Para kelompok etnik pendatang ini masing-masing mempunyai tradisi budaya, bentuk-bentuk organisasi sosial, dan bahasa mereka sendiri-sendiri sebagai dasar perbedaan etnik. Orang Jawa, berkat bahasanya, sistem kekerabatan bilateralnya, dan budaya Hindu-Budhanya, tentu saja lebih menonjol. Sementara orang Batak mengenal sistem kekerabtan patrilineal dan aneka tradisi serta kebiasaan (adat) yang hampir serupa. Kontak yang sangat jarang terjadi selama beratus-ratus tahun telah menghasilkan dialek, adat, dan perbedaan-perbedaan lain, yang dalam kondisi daerah Simalungun awal abad ke-20, memungkinkan masing-masing kelompok mengembangkan ciri khasnya sendiri yang saling berbeda.

18

Universitas Sumatera Utara Secara umum agama memperbesar keeksklusifan etnisitas. Etnik Batak

Toba terpisah dari kelompok-kelompok lain karena beragama Kristen. Sementara itu etnik Batak Tapanuli Selatan dominan beragama Islam, namun tidak ditemukan perpecahan antara keduanya (End, 1989: 173). Meskipun orang Batak

Tapanuli Selatan dan orang Jawa sama-sama beragama Islam, di antara mereka ada perbedaan besar dalam ketaatan dan amalan. Sebagian besar orang Jawa berkepercayaan Abangan, yakni varian Islam yang lebih bersifat sinkritis, animistis, dan terpengaruh agama Hindu. Orang Tapanuli Selatan tergolong unsur

Santri yang taat beragama Islam di Indonesia. Pada umunya kelompok yang terakhir inilah yang ikut aktif dalam kegiatan keagamaan, sistem pendidikan

Islam, dan organisasi sosial muslim. Mengenai adanya pembagian Santri-Abangan yang dimaksudkan disini adalah berasal dari Geertz, Abangan, Santri, Priyayi

Dalam Masyarakat Jawa (Geertz, 1983: 6-7).

Perbedaan tempat tinggal, sebagai akibat dari perbedaan pekerjaan dan agama, juga mendorong perkembangan identitas etnik yang berbeda. Kuli kontrak

Jawa ditempatkan di perkebunan-perkebunan, orang Batak Tapanuli Selatan yang dominan pedagang tinggal di kota, dan orang Simalungun yang dominan petani cenderung tetap tinggal di desa-desa prakolonial mereka. Dalam perkampungan orang Batak Toba, terdapat ternak babi, dan karena itu perkampungan tersebut dihindari oleh kelompok muslim (Liddle, 1992: 31). Daging babi merupakan makanan utama dalam upacara-upacara keagamaan orang Batak Toba, dan setiap ada acara adat makanan ini akan selalu ditampilkan (Pedersen, 1970: 46; Juga

Tambunan, 1982: 25).

19

Universitas Sumatera Utara Dalam kondisi demikian didaerah Simalungun tidak ditemukan adanya elite sosial penghubung yang mampu dan diterima oleh semua suku di kawasan ini. Setiap kelompok etnis pendatang masing-masing mengembangkan elitenya sendiri-sendiri. Orang Simalungun memiliki identitas etnik sebagai bagian dari sub etnis Batak.

Menurut Liliweri (2009: 9) bahwa istilah etnik mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi kelompoknya, tidak mau tahu ideologi kelompok lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Kelompok etnik seringkali diartikan pula sebagai sekelompok orang, baik karena alasan rasial maupun sejarah atau hubungan antara keduanya, yang memiliki kebudayaan yang sama sehingga membedakannya dengan kelompok lain.

Etnisitas bersifat primordialisme yaitu sebuah pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial merupakan faktor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain. Gejala primordialisme terjadi karena : (a) adanya sesuatu

20

Universitas Sumatera Utara yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial ; (b) adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial dari ancaman luar; (c) adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagaman dan pandangan hidup.

Identitas merupakan bagian dari konsep diri, dengan pertimbangan bahwa identitas terbentuk karena adanya kesediaan untuk mengidentifikasi diri, tidak selamanya dipaksakan termasuk dalam identitas sosial; identitas sosial seringkali terjadi karena adanya dorongan personal; cara orang dalam membangun identitas personalnya juga seringkali diturunkan dari sifat-sifat atau ciri-ciri kelompok yang dinaunginya; identitas sosial bukanlah entitas tunggal dan bervariasi, sehingga setiap orang dimungkinkan memiliki identitas sosial lebih dari satu; dan identitas personal maupun identitas sosial merupakan dua hal yang sama-sama menopang konsep diri seseorang (Afif, 2015: 21).

Orang Simalungun memiliki identitas sebagai Simalungun. Mereka merasakan proses historis bahwa mereka memiliki kebanggaan akan asal-usul leluhurnya yaitu dari India Selatan. Setelah melalui perjalanan panjang sampai di wilayah Nusantara yang disebut Proto Melayu diperkirakan tahun 500 SM.

Seiring dengan itu seribu tahun berikutnya di wilayah Sumatera bagian timur berdiri kerajaan Nagur tahun 500 Masehi. Pada kerajaan Nagur telah terdapat pemukiman penduduk yang menggunakan bahasa pengantar sehari-hari bahasa

Simalungun (Saragih, 2008: 23-28).

Orang Simalungun ketika berhadapan dengan orang asing (halak nalegan) memiliki sikap untuk bertahan bersama dengan penduduk dipimpin oleh elite penguasa, hal ini tercermin dari adanya falsafah Simalungun yang mengatakan :

21

Universitas Sumatera Utara “Gatap ni sin Badagei isalong i huta Damak, Adat ni na so pandei gabe ipahiri halak” (Terjemahan bebas : Sirih muda dari Bedagai dipetik di kampung Damak, orang yang kurang pandai ber-adat jadi kerdil dimata orang lain) yang dimaknai sebagai adat mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial dari ancaman luar.

Penelitian ini dilakukan di dua wilayah Simalungun yaitu (1) kecamatan

Raya, dan (2) di kota Pematang Siantar. Pemilihan untuk wilayah kecamatan Raya adalah didasarkan pertimbangan bahwa fenomena lahirnya kekristenan adalah bermula di Pematang Raya dengan berdirinya gereja awal oleh zendeling RMG; orang-orang dari Pematang Raya merupakan aktifis dalam kekristenan; juga di wilayah ini pertamakali didirikan sekolah zending, juga poliklinik kesehatan zending; selain itu letak Raya berada dipertengahan geografis Simalungun yang dipandang lebih netral; kemudian dari segi etnisitas bahwa wilayah ini masih relatif homogen dan dominan orang Simalungun; dari wilayah inilah menyebar kekristenan ke berbagai wilayah lainnya di Simalungun; dan sejak tahun 2000 menjadi ibukota kabupaten Simalungun. Selanjutnya pilihan wilayah kedua yaitu kota Pematang Siantar, adalah didasarkan bahwa peristiwa berdirinya GKPS adalah berada di kota ini pada tahun 1963,; kemudian di kota ini pula tempat kantor pusat GKPS berdiri sebagai sentral pengaturan kegiatan jemaat-jemaat di seluruh Indonesia sampai saat ini; dan dari segi etnisitas wilayah ini sudah relatif heterogen dan dihuni multi kultural dan multi agama, bukan dominan etnis

Simalungun, bukan dominan Kristen atau Islam namun tampaknya adalah seimbang; dan kota ini merupakan ibukota kabupaten Simalungun sampai tahun

2000, dan sesudahnya pindah ke Pematang Raya.

22

Universitas Sumatera Utara

1.2 Fokus Masalah

Orang Simalungun meyakini wilayah leluhur mereka „tanah Simalungun” secara territorial saat ini kabupaten Simalungun, telah mengalami sejarah yang panjang, dimana mereka menghadapi lajunya para migran etnis non Simalungun ke wilayahnya dengan membawa berbagai pengaruh asing. Pengaruh asing tersebut diantaranya adalah agama Kristen Protestan. Agama Kristen Protestan tersebut dibawa oleh para missionaris yang disponsori Badan Zending Rheinische

Mission Geselschaft (RMG) dari Jerman. Missionaris RMG dari Jerman, bekerja sama dengan orang Batak Toba yang telah terlebih dahulu menjadi pemeluk

Kristen Protestan dan telah berdiri lembaga Gereja Batak yang disebut Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP) serta diangkat sebagai evangelish menyebarkan agama Kristen Protestan dikalangan orang Simalungun.

Badan zending RMG missi utamanya menyebarkan agama Kristen

Protestan melalui kontak missi langsung terhadap orang Simalungun. Aktor penyebar adalah missionaris Jerman dan dibantu oleh asistennya orang Batak

Toba. Orang Simalungun secara bertahap mengkonversikan agamanya dari agama asli menjadi agama Kristen Protestan, dan mendirikan lembaga gereja yang dinamai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Kolonial Belanda membentuk pemerintahan gubernemen dan menempatkan birokratnya yang juga non Simalungun. Etnik lain non Simalungun masuk ke wilayah ini bertujuan mencari kehidupan yang lebih baik dengan berusaha menyesuaikan dengan kehidupan setempat. Dengan kondisi demikian maka dikalangan orang

23

Universitas Sumatera Utara Simalungun dihadapkan dalam zaman yang penuh dengan tantangan dan bagaimana upaya untuk menjawabnya dalam kesatuan identitas etnis, dapat dilihat dari persfektif dinamika identitas melewati zamannya.

Identitas orang Simalungun yang memiliki pola pemerintahan, bahasa, budaya, adat-istiadat, dan sistem kepercayaan bergerak dan digerakkan keadaan zaman. Pada kenyataannya di sekitar mereka telah berdiri gereja, namun bukan mereka pemimpinnya, telah berdiri sekolah namun bukan mereka jadi gurunya atau pengelolanya, bukan bahasa mereka sebagai bahasa pengantarnya, adat- istiadat sopan santun yang tersisih dan butuh penguatan, sistem kepercayaan lama berubah, terbentuk pemerintahan gubernemen, namun bukan mereka menjadi pejabatnya, bahkan wilayahnya telah dikuasai oleh bukan orang Simalungun.

Di tengah-tengah orang Simalungun sampai dengan saat ini sudah berdiri

Gereja Kristen Protestan Simalungun (selanjutnya disebut GKPS), nama GKPS tersebut disahkan pada 1 September 1963, melalui perjuangan identitas etnis

Simalungun dalam organisasi gereja, dimana sebelum tahun 1953 identitas

Simalungun tidak kelihatan dalam lembaga Gereja Batak yang berbahasa Batak

Toba. Namun setelah adanya permintaan secara terus menerus kepada pimpinan

HKBP di Pearaja, maka Pearaja melunak dengan memberikan otonomi kepada orang Simalungun yang ditandai dengan munculnya Huria Kristen Batak

Protestan Simalungun (HKBPS) dan sebelum tahun 1953 nama Simalungun sama sekali tidak disebutkan. Perjuangan orang Simalungun terus menerus dilakukan semakin intensif sejak 1953 dan akhirnya membuahkan hasil pada tahun 1963.

Dalam pandangan lembaga gereja HKBP orang Simalungun dimasukkan dalam

Batak Simalungun wilayah distrik Sumatera Timur.

24

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian diatas maka fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dinamika penguatan identitas etnik Simalungun

(hasimalungunon) dibalik berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun ?.

Pertanyaan utama sebagaimana diajukan diatas selanjutnya dijabarkan didalam beberapa pertanyaan khusus yaitu :

1. Bagaimana identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) sebelum

berdirinya institusi GKPS ?

2. Dinamika apa dibalik berdirinya institusi GKPS ?

3. Bagaimana GKPS menjadi lembaga penyangga identitas Simalungun

(hasimalungunon) ?

4. Bagaimana keterkaitan identitas etnik dengan pembangunan di

Simalungun ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagaimana berkaitan dengan fokus pertanyaan penelitian maka tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dinamika penguatan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) dalam berdirinya Gereja Kristen

Protestan Simalungun, dengan pertanyaan utama yaitu bagaimana dinamika penguatan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) dalam berdirinya GKPS? yang dijabarkan didalam beberapa pertanyaan khusus yaitu :

1. Menjelaskan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) sebelum

berdirinya institusi GKPS.

2. Menjelaskan dinamika identitas etnik Simalungun di balik berdirinya

institusi GKPS.

25

Universitas Sumatera Utara 3. Menjelaskan institusi GKPS menjadi lembaga penyangga identitas

Simalungun (hasimalungunon) ?

4. Menjelaskan keterkaitan identitas etnik dengan pembangunan di

Simalungun ?

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara praktis atau teoritis yaitu :

1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan informasi akan dinamika

penguatan identitas etnis Simalungun (hasimalungunon) dalam berdirinya

Gereja Kristen Protestan Simalungun, bagi pemangku kepentingan yakni

GKPS, pemerintah setempat, dan elemen masyarakat dalam membuat

kebijakan.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasnah teori-

teori sosiologi-antropologi tentang etnisitas dan secara khusus dinamika

penguatan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon).

3. Dari persfektif studi pembangunan dapat memberikan alternatif bahwa

keberhasilan pembangunan diperlukan pemahaman identitas etnis dan

keterlibatannya dalam merencanakan, mengelola, mengawasi proses

pembangunan sehingga pembangunan tersebut bermanfaat dan didukung

sepenuhnya oleh komunitas masyarakat etnik tersebut.

26

Universitas Sumatera Utara BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka Terdahulu

2.1.1 Pustaka Simalungun setara Tesis dan Disertasi

Sampai sejauh ini studi pustaka tentang identitas etnis dan agama Kristen di Simalungun antara lain telah dilakukan oleh Liddle (1970), Damanik (2012),

Damanik (2000), Sinaga (2008), Purba & Sinaga (2003).

Studi yang dilakukan orang luar Simalungun adalah Liddel (1970) tentang

Simalungun adalah buku yang berjudul Ethnicity, Party, and National Integration, yang mengkaji tentang hubungan kesukuan (etnisitas) dengan loyalitas terhadap perilaku politik di Simalungun pada era tahun 1955. Liddle berpendapat bahwa masyarakat Indonesia mengandung unsur-unsur primordial, yang terbagi dalam kelompok etnis, bangsa, daerah dan agama. Selanjutnya disebutkannya bahwa primordialisme dan partai di Indonesia bagaikan zat dan sifatnya. Yang pertama merupakan kenyataan sosial-budaya, dan yang kedua adalah ekspresi alamiahnya di bidang politik. Dalam kasus di Simalungun yang berkaitan dengan dampak primordialisme pada pola-pola organisasi politik disimpulkan dengan tiga pola yaitu : (1) bahwa loyalitas dan kebencian primordial jelas tidak “tradisional” di

Simalungun.; (2) bahwa loyalitas etnis telah melingkupi politik partisan. Etnisitas telah memberikan titik fokus tidak hanya pada rasa identitas pribadi seseorang dan penilaiannya terhadap orang lain, tetapi juga pada konsepsinya terhadap hubungannya dengan sistem pemerintahan Indonesia. Termasuk kedalam kelompok etnis tertentu mempunyai konsekwensi tertentu terhadap sikap politik

27

Universitas Sumatera Utara seseorang dan bagi cara bagaimana ia melihat struktur persaingan politik demi nilai-nilai yang langka. Persepsi demikian menyebabkan adanya identifikasi

Parkindo dengan orang Batak Toba, Masyumi dengan orang Batak Tapanuli

Selatan, dan PNI dengan komunitas orang Jawa. Karena tidak berhasil meraih kedudukan yang berpengaruh dalam partai-partai ini orang Batak Simalungun membentuk organisasi etnis sendiri yang eksplisit yakni Kebangunan Rakyat

Simalungun Sumatera Timur (KRSST). ; (3) kesukuan bukan hanya satu-satunya basis bagi organisasi politik di Simalungun, namun ada lagi yang lebih rumit dengan afiliasi agama.

Dengan demikian studi ini adalah menekankan kepada aspek etnisitas dan politik. Sementara bagaimana dinamika penguatan identitas etnik Simalungun dalam institusi GKPS belum kelihatan.

Selain itu studi tentang Etnis Simalungun juga ditulis oleh Damanik

(2012), hasil dari penelitian disertasi dan dijadikan buku dengan judul : Dari Ilah

Menuju Allah: Sejarah Kekristenan di Simalungun dalam Aras Perjumpaan Injil dengan Kebudayaan. Studi ini menjelaskan Sejarah Perjumpaan dua pihak yaitu ; pihak pertama yakni masyarakat dan kebudayaan Simalungun; serta pihak kedua yakni para zendeling RMG Jerman dengan asistennya pengerja dari Tapanuli

Utara, pengerja kaum Kristen Simalungun, dan GKPS. Studi ini bersifat theologis

Kristen Protestan yang memandang adanya hubungan penyelamatan yang dari semula oleh Ilahi (tradisional) bergeser kepada Allah (Injili) sebagai Juru selamat,

Kepala Gereja, Kebenaran dan Hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja sesuai dengan firman Allah. Melalui pengakuan akan Allah yang Injili komunitas orang Simalungun menghargai , memelihara, dan melestarikan secara

28

Universitas Sumatera Utara kritis budaya dan adat istiadatnya, sebab hal itu adalah juga merupakan ciptaan, dan berasal dari Allah.

Studi tentang Simalungun juga dihasilkan Damanik (2000), dengan bukunya yang berjudul: Agama, Perubahan Sosial dan Identitas Etnik; Moralitas,

Agama dan Kultural di Simalungun. Studi ini menggambarkan bahwa agama dapat memoles identitas kelompok etnik. Doktrin agama mengajarkan kepatuhan anggotanya menjunjung tinggi identitas agamanya, disebabkan agama menuntut loyalitas dan kesetiaan anggota pada agamanya. Sehingga agama menjadi penentu batas kelompok etnik. Namun identitas yang diletakkan pada agama ini cenderung menutup ruang terhadap identitas lain yang berbeda agama. Identitas yang diletakkan pada basis agama hanya menciptakan anggota etnik yang fanatik dan bahkan radikal guna menjunjung tinggi agamanya. Sementara itu, dalam tatanan sosial masyarakat prularis dan multikultural kenyataan ini menimbulkan kesenjangan dengan tumbuhnya identitas parsial antara penganut agama yang berbeda.

Selanjutnya Damanik (2000) menjelaskan bahwa perubahan sosial budaya sangat mempengaruhi identitas etnik dalam masyarakat. Perubahan sosial budaya menghadirkan kesempatan, peluang, keuntungan, kenyamanan dan keseimbangan sosial dimana semuanya harus diraih. Setiap upaya meraih kesempatan dan peluang itu membutuhkan strategi adaptasi yang berbeda. Karena itu identitas etnik mengalami perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi. Dengan demikian identitas etnik tidak semata-mata bercirikan primordial, tetapi juga konstruktif atau bahkan kombinatif. Individu merasa lebih beradab (civilized) apabila mengenakan identitas agama daripada

29

Universitas Sumatera Utara sekedar menjunjung identitas kultural. Perbedaan dogmatika agama menyebabkan perbedaan cara pandang terhadap atribut kultural. Perbedaan cara pandang ini menjadi faktor eliminasi bukan saja atribut kultural tetapi juga keanggotaan kelompok etnik. Kesetiaan kepada agama dan menganulir atribut kultural atau keanggotaan etnik menciptakan fanatisme dan radikalisme agama. Selanjutnya

Damanik menjelaskan bahwa orang Simalungun merumuskan identitas etniknya berdasarkan moralitas agama dan kultural yang bersifat universum yang disebut ahap simalungun. Hal ini merupakan perumusan dan perevitalisasian identitas setelah mengalami berbagai perubahan sosial budaya. Adanya hegemoni dan dominasi etnis lain memaksa orang Simalungun menentukan basis identitasnya sebagai cara membedakannya dengan kelompok lain.

Studi tentang Simalungun juga dilakukan oleh Sinaga (2004), dengan judul bukunya: Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil:

Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun. Studi ini mendeskripsikan identitas poskolonial yang dihadapi oleh seorang perintis awal kekristenan di tanah Simalungun yang bernama Jaulung Wismar Saragih.

Karakter poskolonial identitasnya itu muncul karena bergulat dengan pusat-pusat kekuasaan yang masuk ke dalam keseharian hidupnya dan komunitasnya sendiri yaitu orang Simalungun. Menghadapi kekuasaan yang menyebar itu dan adanya anggapan posisi etnik Simalungun yang marginal di tanahnya sendiri menyebabkan ia mengerahkan “ke-lain-an” dirinya. Kelainan itu ia ajukan terutama lewat negosiasi teologisnya untuk menghadapi kebenaran atau wacana religius misi / zending pietisme Jerman dan juga institusi modern para zendeling dan pembantu-pembantunya yang melakukan penetrasi ke tanah Simalungun.

30

Universitas Sumatera Utara Negosiasi-negosiasi dan tangapan-tangapan Jaulung Wismar Saragih dalam menghadapi unsur-unsur kolonial ini pada akhirnya membantunya untuk merumuskan identitasnya, yang secara tidak langsung menjadi identitas komunitas Kristen Simalungun sendiri. Identitas poskolonial tersebut dapat diraihnya karena, setelah melakukan resistensi, ia juga melakukan problematisasi atas wacana penguasa dan melewati proses hibriditas jati diri. Dari situ ia mengajukan teks dan wacananya sendiri, yang akhirnya diterima sebagai wacana komunitasnya. Pada gilirannya konsekwensi-konsekwensi materiilnya juga tampak, khususnya melalui gerakan-gerakan sosial yang dipelopori Jaulung

Wismar Saragih sendiri. Studi ini mengaitkan persoalan ini kepada kekinian dengan mengaitkannya dengan isu masyarakat sipil sebagai persoalan dan konteks negosiasi-negosiasi baru komunitas greja etnik yang dipelopori Jaulung Wismar

Saragih tersebut. Dengan demikian studi Sinaga ini menegaskan bahwa dalam menghadapi wacana dan representasi kolonial Wismar Saragih melakukan berbagai negosiasi yang pada akhirnya membantunya menemukan identitas poskolonialnya. Dalam meraih identitas itu ia secara kreatif memanfaatkan unsur religius lokalnya Simalungun seperti „sesembahan‟ dan „Allah tertinggi‟ untuk menampung teologi Kristen, namun sekaligus melakukan kritik atas keduanya. Ia juga menemukan sebentuk pergerakan sosial untuk membentuk ulang komunitasnya dan memandirikan institusi-institusi yang tumbu di tanah

Simalungun sebagai hasil dari perjumpaan dengan dunia Kristen. Proses peralihan identitas itu menjadi modal sosial dalam menghadapi problematika kehidupan masyarakat majemuk dan terbuka masa kini.

31

Universitas Sumatera Utara Studi lain tentang Simalungun adalah karya dari Dasuha & Sinaga (2003), yang berjudul : Tole den Timorlanden Das Evangelium! , Sejarah Seratus Tahun

Pekabaran Injil di Simalungun, 2 September 1903-2003. Karya ini mengungkapkan suatu lintasan historis perjalanan suatu komunitas Kristen

Simalungun ditengah-tengah perubahan zaman yang dahsyat selama seratus tahun.

Dalam perjalanan sejarah itu telah terjadi sebuah transformasi dalam bentuk iman

(kekristenan) dan keetnisan (kesukuan) yang telah mewarnai proses penerimaan terhadap Injil. Injil telah menjadi injil sosial di Simalungun, dimana telinga yang mendengar injil itu adalah telinga suatu komunitas dengan seluruh problem sosialnya, bukan telinga pribadi lepas pribadi. Sebagai akibatnya identitas baru akibat Injil bukan hanya ditemukan pada pribadi yang percaya, tetapi terutama pada suatu komunitas Kristen Simalungun yang terus melangsungkan kehidupannya dan menjaga pertumbuhannya. Selanjutnya Purba & Sinaga menegaskan bahwa kesimpulan dari sejarah komunitas Kristen Simalungun adalah “mandiri” yang artinya adalah berdiri sendiri agar semakin bertanggungjawab menghargai dan menyaksikan karya penyelamatan Kristus yang telah dianugerahkan-Nya kepada orang Simalungun. Melalui kekristenan dan kemandirian maka kemajuan bisa dirasakan, dan harga diri orang Simalungun dapat dipulihkan. Dan orang Kristen Simalungun telah mengalami diaspora dan membentuk persekutuan di daerah luar Simalungun seperti di Tebing Tingi, Deli

Serdang, Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Dairi, Tapanuli, Medan, Asahan,

Labuhan Batu, Jambi, Sumatera Selatan, , Batam, Jakarta dan pulau Jawa,

Kalimantan dan Papua.

32

Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Pustaka Simalungun bukan hasil Studi Akademik (Tesis atau Disertasi)

Selain studi akademik dalam bentuk Tesis atau Disertasi, ada juga tulisan tentang Simalungun yang dihasilkan oleh awam, bukan akademisi tetapi mereka adalah sebagai peminat, atau yang berpengalaman serta peduli tentang

Simalungun. Diantaranya adalah Saragih (2008), Purba (1977), Sumbayak,

(2001), Damanik (1974) dan Purba (1995). Karya mereka ini dikemukakan disini adalah untuk meihat perbandingan tentang studi terdahulu tentang orang

Simalungun yang ditinjau dari persfektif mereka selaku awam. Hal ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi awal, untuk melengkapi studi ini, dan merupakan penghargaan bagi mereka atas kepedulian mereka menuliskan hasil pengalamannya.

Saragih (2008) menulis buku yang berjudul: Orang Simalungun, diterbitkan Cv. Citama Vigora Depok, yang menjelaskan perjalanan sejarah orang

Simalungun yang dimulai abad ke-5. Inisiatif penulisan ini menurut penulisnya adalah didorong keprihatinan akan keberadaan orang Simalunguntidak banyak ditulis dan bahkan belum pernah tuntas diurai secara lengkap. Sehingga dikatakannya sebagai salah satu etnis di Indonesia yang sudah 63 tahun (ditulis

2008) merdeka sangat perlu mengenalkan etnis Simaungun diantara suku lain di

Nusantara. Ia mengatakan bahwa karya ini member uraian secara historis dan psikologis, sejarah orang Simalungun tentang apa, siapa, dan bagaimana keberadaannya, sehingga dapat mengenal, memahami secara objektif. Dan pada uraiannya dapat dibaca apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan karakter orang

Simalungun, serta adanya solusi terhadap karater tersebut.

33

Universitas Sumatera Utara Purba (1977), menulis tentang Simalungun dengan judul bukunya :

Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun. Buku ini diterbitkan di Medan tahun 1977, adalah merupakan hasil pengalaman penulisnya sebagai orang

Simalungun. Latar belakangnya sebagai orang keturunan partongah atau bangsawan Simalungun dari Kerajaan Panei, dan ditambah dengan pengalamannya sebagai Perwira TNI AD dapat menggoreskannya dalam bentuk buku. Dalam buku ini sebagai intinya adalah informasi tentang masalah sejarah kebudayaan Simalungun.

Sumbayak, (2001), menulis buku Refleksi Habonaron Do Bona Dalam

Adat Budaya Simalungun. Inti dari buku ini adalah pedoman bagi orang

Simalungun dalam pelaksanaan adat-istiadat sebagai akibat dari adanya hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Dapat sebagai informasi bagaimana orang

Simalungun meneruskan atau mewariskan adat kebiasaannya.

Purba, (1987) adalah pensiunan PNS di kantor bupati Simalungn menulis buku: Sejarah Simalungun, menceritakan secara umum sejarah Simalungun dari segi pemerintahannya yang dimulai dari masa tradisional, masa kolonial dan awal kemerdekaan. Buku ini dapat dijadikan sebaga perbandingan dalam mempelajari kesejarahan pemerintahan tradisional berupa bentuk kerajaan di Simalungun pada sebelum kemerdekaan 1945.

Damanik (1974) seorang purnawiraan TNI-AD, menulis buku dengan judul: Jalannya Hukum Adat Simalungun, diterbitkan di Pematangsiantar oleh

P.D.Aslan. Inti buku ini adalah memberikan informasi tentang hukum adat istiadat orang Simalungun pada masa tradisional, yaitu masa sistem kerajaan dilanjutkan masa kolonial, dan awal kemerdekaan.

34

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Pustaka Tentang Identitas Etnis di Indonesia

Studi tentang identitas etnis di Indonesia telah dilakukan antara lain oleh

Maunati (2006), Hasselgreen (2008), Perret (2010), Agustono (2010),

Nainggolan (2012), Zuska (2012) dan (2017). Maunati (2006) melakukan kajian tentang Identitas Dayak di Kalimantan Timur dengan judul : Identitas

Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Titik perhatian sentaral dalam penelitian ini berkaitan dengan identitas kebudayaan orang Dayak di Kalimantan

Timut, Indonesia. Melalui penelitian ini, sudah menjadi jelas bahwa proses pembentukan identitas bagi orang Dayak adalah sebuah proses yang dialektis.

Yaitu kendati kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi merupakan factor-faktor utama dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas Dayak, orang-orang Dayak sendiri adalah pelaku-pelaku aktif dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, tanggapan-tanggapan orang-orang Dayak sendiri terhadap dan negosiasi hubungan-hubungan politik dan ekonomi semacam itu juga sangat signifikan dalam pembentukan identitas Dayak.

Penelitian ini juga mengeksploitasi dinamika yang mempengaruhi proses- proses pembentukan identitas dari persfektif ekonomi. Secara lebih spesifik karya inimenimbang dampak kuat meningkatnya komodifikasi kebudayaan Dayak dalam merespon tuntutan pasar dalam industry pariwisata Kalimantan Timur.

Kajian apapun mengenai masalah identitas Dayak ini harus melibatkan refleksi sejarah. Guna menunjukkan dengan jelas kenyataan bahwa konstruksi identitas merupakan sebuah proses yang terus berubah dengan sendirinya, dan peneliti mencurahkan waktu untuk menilik pendekatan-pendekatan colonial dan

35

Universitas Sumatera Utara pasca colonial terhadap orang-orang Dayak, dan bagaimana tulisan-tulisan semacam itu terlibat aktif dalam konstruksi tentang orang lain. Kategori „orang

Dayak‟ secara historis tidaklah abadi, bukan pula merupakan realitas objektif yang sudah kuno, melainkan sebuah konstruksi yang relatif modern.

Maunati melacak konstruksi-konstruksi identitas budaya Dayak sehingga dapat menjadi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi. Bagi komunitas Dayak, identitas budaya sangat penting dan penanda-penanda ke-Dayakan mereka kerap kali dipersoalkan secara terang-terangan. Kekuatan-kekuatan eksternal, melalui komodifikasi kebudayaan Dayak yang mengolahnya lagi di dalam konstruksi sebuah desa tradisional yang otentik sebagai sebuah daerah tujuan wisata, tidak menghancurkan identitas Dayak, sebaliknya memperkuat identitas dan menciptakan bentuk-bentuk identitas yang baru.

Meskipun pariwisata merupakan pengaruh yang penting dalam konstruksi identitas Dayak, tetapi bukan satu-satunya arena pergulatan identitas tersebut. Di saat yang bersamaan elite Dayak berupaya untuk membangun sebuah identitas

Dayak yang „modern‟, guna mengalahkan citra-citra yang dominan berlaku tentang Dayak sebagai masyarakat „terbelakang‟ yang telah menyebabkan suku

Dayak terkucil dari kekuasaan dan kekuatan politik, serta menegaskan marjinalisasi ekonomi mereka.

Dengan cara mengupayakan partisipasi politik yang lebih besar dan berkampanye agar hukum adat Dayak diterima oleh negara, elite Dayak secara efektif menolak citra-citra negatip tentang dirinya. Misalnya, masyarakat Dayak dianggap „primitif‟, tak berpendidikan, dan menegaskan citra diri yang mereka

36

Universitas Sumatera Utara bangun, yaitu sebagai masyarakat „modern‟ dan merupakan aspiran-aspiran yang sah bagi kekuatan dan kekuasaan politik lokal.

Studi tentang Identitas etnis di Indonesia yang berada di Sumatera ditulis

Hasselgreen (2008), Batak Toba di Medan : Perkembangan Identitas Etno-

Religius Batak Toba di Medan (1912-1965). Studi ini melakukan konstruk orang

Batak Toba dalam kerangka arus etnis, religious, sosial dan politis di kota Medan.

Identitas etno-religius dalam batasan interaksi dengan asal-usul kampung halaman mereka di Tapanuli Utara, serta relasi dengan kelompok etnis dan religious lain, upaya-upaya organisasional di kota Medan. Hasselgreen berpendapat bahwa konstruk identitas etno-religius orang Batak Toba, sebagaimana di Tapanuli Utara, berakar pada inteaksi dengan aktivitas dan keyakinan teologis Kristen. Di kota

Medan, kolonial Belanda berperan membentuk identitas etnis, dengan mengakui dominasi Muslim Melayu sehingga munculnya identitas minoritas hingga 1950- an. Setelah tahun 1950 kelompok-kelompok etnis Muslim dan Kristen saling berebut pengaruh. Dalam proses ini komunitas Batak Toba dan organisasi- organisasinya merupakan faktor yang penting, untuk mengubah mereka dari sebuah kelompok kecil identitas mereka menjadi sebuah kelompok yang percaya diri menguasai kota Medan. Melalui lembaga-lembaganya, mereka juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat secara luas.

Bagi orang Batak Toba di Medan, hubungan dengan kampung halaman di

Tapanuli Utara terus terjaga. Setelah tahun 1950-an orang Batak Toba di kota

Medan berupaya untuk menciptakan kembali kehidupan etnis dan religious

Tapanuli di kampung Batak Toba di Medan. Komunitas Batak Toba berkembang dari suatu kelompok kecil terisolasi yang hanya terjangkau oleh segelintir individu

37

Universitas Sumatera Utara terdidik menjadi sebuah magnet yang menarik ribuan orang dari daerah-daerah pedesaan di Tapanuli. Akan tetapi semuanya telah berjuang untuk memenuhi missi budaya ideal mereka, diantaranya tentang harajaon (kerajaan) merupakan yang pokok. Sejak jemat pertama yang berafiliasi kepada RMG dibentuk sampai dengan perkembangan Gereja kampung setelah tahun 1950, orang Batak Toba mampu dan mau menjaga identitas etnis dan agama mereka tetap terintegrasi.

Dalam organisasi politis orang Batak Toba di kota Medan bergabung dengan

PARKINDO, hal ini untuk membangun organisasinya dimana kepentingan etno- religius dapat dipromosikan. Secara simultan, hal ini memberikan jawaban terhadap tantangan bagaimana mereka, sebagai orang Kristen, menjadi aktor yang bertanggungjawab dalam kehidupan politis bangsa Indonesia. Akan halnya organisasi-organisasi sukarela Batak Toba, kaitan dengan struktur-struktur Gereja formal sangat penting selama fase pertama migrasi Batak Toba. Meskipun koneksi-koneksi formal dengan orgaisasi gereja setelah masa itu menurun arti pentingnya, keragaman organisasi merupakan dampak peningkatan komunitas dan semakin mapannya posisi kelompok orang Batak Toba di kota Medan.

Untuk tujuan yang berlainan orang Batak Toba juga memilih untuk mencari partner di luar kelompok mereka sendiri, demi untuk memperoleh kekuatan. Dalam proses ini orang Batak Toba memutuskan untuk menekankan suatu aspek dari identitas eto-religius mereka. Dalam kebangkitan kembali orang

Batak pada tahun 1920-an, dan dalam beberapa kasus lain, mereka kembali mencoba mengumpulkan kekuatan dengan mempersekutukan diri dengan kelompok-kelompok Batak Muslim, dengan menekankan identitas bersama Batak dan mengabaikan kenyataan bahwa mereka adalah orang Kristen. Orang Batak

38

Universitas Sumatera Utara Toba juga dalam situasi berbeda menekankan elemen Kristen dalam identitas mereka. Sebagai contoh adalah beragam upaya ekumenis dimana mereka turut ambil bagian. Sesekali, kerjasama hanya terbatas pada kelompok etnis mereka sendiri, tetapi kecenderungan utamanya adalah dengan menekankan identitas bersama dengan orang-orang Kristen dari kelompok etnis lain. Situasi etnis dan denominasi di kota Medan berarti bahwa kota Medan merupakan sebuah konteks yang membuahkan hasil untuk mengembangkan kerjasama ekumenis. Beragam perjuangan politis orang Batak Toba juga mewakili suatu sarana mencari kepentingan bersama dengan orang-orang Kristen lain di Indonesia yang aktif secara politis. Selama masa pendudukan Jepang, identitas Kristen orang Batak

Toba ditantang oleh kebijakan Jepang terhadap agama. Meskipun pendeta Batak

Toba di Medan pada saat itu bekerja bagi kebaikan Gerejanya, perjuangan utama mereka adalah untuk membela orang-orang Kristen di daerah tersebut dari kebijakan dan tuduhan-tuduhan orang Jepang.

Kajian tentang etnis juga dilakukan oleh Perret (2010), Kolonialisme dan

Etnisitas : Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Perret melihat bahwa keberagaman kelompok etnis di Indonesia, dengan karakter masing-masing, selalu menarik untuk penelitian etnologi ataupun etnografi. Bahkan tak jarang kajian terhadap satu kelompok etnis dilakukan lewat pendekatan berbeda oleh beberapa pakar. Termasuk telaah tentang akulturasi etnik Batak dan Melayu. Lewat kajian selama empat tahun, Perret menulis buku ini, menggunakan pendekatan sejarah untuk meneliti etnisitas dan identitas etnis Batak dan Melayu. Wilayah kajiannya yang mencakup wilayah timur laut Sumatera Utara, mencoba menelusuri seberapa jauh kolonialisme memberi pengaruh terhadap identitas etnis di kawasan itu.

39

Universitas Sumatera Utara Perret menemukan jejak pengaruh besar pemerintah kolonial Belanda terhadap pola hubungan dan akulturasi dua kelompok penyandang budaya itu. Batak di satu pihak dan Melayu di pihak lain, dengan ciri khas bahasa, pakaian, dan adat istiadat masing-masing. Proses akulturasi itu berjalan seiring dengan pengembangan perkebunan-perkebunan di daerah pesisir timur, khususnya Deli sebagai lokasi utama penelitian. Perret berpandangan, munculnya perkebunan- perkebunan itu membawa inovasi dalam hal ketenagakerjaan: sistem gaji dan migrasi semi permanen. Dahulu jaringan perdagangan hasil hutan didasarkan pada migrasi sementara. Setelah muncul perkebunan, para pekerja yang umumnya pendatang mulai menetap di tempat tinggal bersama. Belakangan, para pekerja perkebunan itu diisi orang Batak dari daerah pedalaman sisi utara Danau Toba, karena para pekebun kesulitan mendapatkan tenaga kerja murah.

Tenaga kerja tidak hanya didatangkan dari pedalaman sampai dataran tinggi, melainkan juga dari kawasan yang bedekatan di sisi selatan dan timur

Danau Toba. Jalur kedatangan mereka lazimnya melalui Asahan. Diperkirakan, para pekerja ini mulai berada di Deli pada awal abad ke-19. Keberadaan mereka yang kemudian kian banyak mendahului para kuli Tionghoa yang didatangkan dari Semenanjung Melayu. Ihwal istilah Batak sendiri sebenarnya terdapat dua pandangan yang berbeda. Ada pakar yang menyebut istilah itu sebagai ciptaan penjajah berdasarkan rujukan teks Belanda. Pakar lain meyakini, istilah itu asli berasal dari masyarakat setempat, setidaknya orang Karo dan Simalungun. Perret rupanya lebih berpegang pada pendapat pertama dan melihat istilah Batak berkonotasi merendahkan, sebutan orang luar bagi orang pedalaman yang beradat kasar.

40

Universitas Sumatera Utara Perret (2010) menjelaskan, seiring dengan proses Islamisasi pesisir timur

Sumatera Utara, juga berlangsung proses akulturasi yang ditandai dengan pengambilan identitas Melayu. Proses seperti itu juga dialami orang-orang Batak yang bermigrasi ke pesisir sebagai pekerja perkebunan. Mereka mengadopsi identitas Melayu, antara lain dengan memeluk agama Islam, agar tidak lagi rendah atau direndahkan.

Proses Islamisasi itu juga meluas hingga ke dataran tinggi di utara Danau

Toba yang dibawa para perantau di pesisir yang mengislamkan keluarganya.

Perkembangan ini cukup mencemaskan pemerintah jajahan. Walhasil, mereka pun menempuh kebijakan yang menghalangi dakwah di daerah yang telah dikristenkan dan larangan mengangkat warga muslim sebagai pegawai pemerintah setempat.

Kecemasan pemerintah jajahan atas perkembangan Islam di pedalaman

Sumatera Utara itu memang cukup beralasan. Terutama dalam kaitannya dengan pengalaman pahit dalam Perang Aceh. Pengaruh Aceh sebagai pusat penyebaran

Islam yang terus bergerak masuk wilayah Batak dinilai mengancam kolonialisasi.

Itu sebabnya, pemerintah jajahan merasa perlu mengintensifkan Kristenisasi di tanah Batak. Perret memperlihatkan betapa kepentingan luar turut memberi warna dan pengaruh besar pada proses akulturasi kelompok etnis Batak. Lebih dari itu, pembatasan wilayah dan penyebaran agama yang dilakukan penjajah menguatkan identitas kebatakan mereka pula.

Agustono, (2010) Rekonstruksi Identitas Etnik : Sejarah Sosial – Politik

Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003, mengemukakan bahwa rekonstruksi identitas etnik dapat terjadi karena adanya pendefinisian etnisitas, adaptasi atau tradisi, di samping adanya peluang elit yang memegang kekuasaan

41

Universitas Sumatera Utara dan memanipulasi sentimen etnisitas. Dari keseluruhan proses reka ulang identitas etnik ini dihasilkan transformasi orang Pakpak menuju entitas politik yang sadar akan kelompok etniknya. Entitas politik ini memproduksi simbol teritorial dan simbol politis, yakni Kabupaten Pakpak Barat. Namun, sebagai akibat dari proses historis yang berbeda-beda dalam subkelompok etnik ini, terutama terbelahnya orang Pakpak menjadi lima suku dengan orientasi keagamaan yang berbeda, membuat etnik Pakpak menghadapi persoalan dalam membentuk sebuah entitas kultural yang terpancang berdiri tegak sebagai satu kesatuan di tanah adatnya. Hal ini menjadi tantangan besar dalam mengonsolidasi dan mengkristalkan konstruksi identitas etnik Pakpak pada masa mendatang. Dari seluruh proses reka ulang identitas etnik ini akhirnya menghasilkan orang Pakpak menuju entitas politik yang sadar akan kelompok etniknya. Agustono memaparkan bahwa penelitian yang dilakukannya adalah untuk menjelaskan politik identitas dan perebutan ruang politik dalam pembentukan identitas kultural kelompok etnik di tengah perubahan rezim sejak Indonesia merdeka. Kajian etnisitas dan formasi identitas sebagian besar banyak dikerjakan oleh antropolog dan sosiolog, sedangkan sejarawan masih sedikit yang memberi perhatian terhadap kajian etnisitas ini.

Teori penelitian ini adalah bahwa relasi antara etnisitas dan identitas saling berkaitan. Etnisitas dapat berubah-ubah, tergantung dengan siapa ia berinteraksi.

Identitas etnik merupakan fenomena yang adaptif dan dalam merespon situasi yang berubah, batasan-batasan kolektifitas dapat meluas, bahkan orang atau sebagian orang dapat keluar dan masuk dalam lebih dari satu komunitas. Dengan demikian, etnisitas merupakan hal yang dinamis, tidak pasti, not a fixed, dan berubah dalam hubungan politik dan sosial. Penelitian ini sekaligus memakai

42

Universitas Sumatera Utara pendekatan instrumentalis dalam menjelaskan rekonstruksi identitas etnik Pakpak.

Beberapa hasil penelitian yang diperoleh, antara lain, pertama, kedatangan

Belanda selain menggabungkan Tanah Pakpak dalam orbit kekuasaan kolonial, juga memarginalisasi elit tradisional Pakpak. Kedua, migrasi Batak Toba ke

Tanah Pakpak yang dimulai pada awal abad kedua puluh telah melemahkan identitas kultural penduduk asli ini. Setelah itu, muncul pelabelan-pelabelan etnik yang merendahkan orang Pakpak. Ketiga, setelah menguasai permukiman dan mayoritas penduduk di wilayah ini, terutama di Sidikalang, orang Batak Toba mulai mengganti nama-nama tempat yang menyimbolkan identitas kultural

Pakpak dengan bahasa Batak Toba, misalnya sungai yang sebelumnya bernama aek sibellen (Pakpak) diubah menjadi lae simbolon (Batak Toba), Desa Sikaliki

(Pakpak) menjadi Palipi, dll. Keempat, sejak kristenisasi masuk ke Tanah Pakpak, orang Pakpak bergereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Bersamaan dengan semakin menguatnya identitas etnik, orang Pakpak melakukan gerakan pemisahan gereja dari HKBP. Setelah melakukan serangkaian konflik antara orang Pakpak dengan HKBP, akhirnya pada 1991 berdiri gereja etnik Pakpak bernama Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).

Nainggolan (2012), Batak Toba di Jakara : Kontinuitas dan Perubahan

Identitas, melihat bahwa adanya fenomena masyarakat yang makin sadar akan siapakah dirinya dan bagaimana mereka mengidentifikasikan diri dalam masyarakat modern, kompleks dan multi-kultural. Kajian ini membahas tentang identitas orang Batak Toba modern, baik yang tinggal dikampung halaman maupun mereka yang bermigrasi ke kota-kota besar seperti Medan, Bandung dan

Jakarta. Sorotan lebih jauh ialah kontinuitas dan perubahan identitas migran Batak

43

Universitas Sumatera Utara Toba yang tinggal di Jakarta. Para migran ini berasal dari Tapanuli Utara, daerah asal mereka di Propinsi Sumatera Utara. Dengan focus penelitiannya dalam pokok pertanyaan adalah: perubahan manakah yang terjadi pada identitas orang Batak

Toba di Jakarta sehubungan dengan etnisitas, network dan religi mereka. Dengan bermigrasi ke Jakarta orang Batak Toba meninggalkan kampong halaman mereka yang monokultur dan menukarnya dengan kehidupan kota yang multikultural.

Karena itu orang Batak Toba harus berasimilasi dengan kehidupan kota Jakarta.

Asimilasi orang Batak Toba di kota Jakarta Nampak lebih jelas pada generasi kedua daripada generasi pertama.

Karena di Jakarta tidak ada kultur homogen dan dominan, maka yang terjadi ialah asimiliasi sebagian (segmented assimilation), artinya sejumlah unsur penting dari identitas orang Batak Toba tetap bertahan. Unsur-unsur esensial dari identitas etnis Batak Toba yang hingga saat ini nyata ialah marga, dalihan natolu, dan adat Batak Toba. Sementara itu mereka menyesuaikan diri dengan kultur kota dari metropolitan Jakarta. Mereka adalah Batak Toba Jakarta. Penelitian ini menggunakan sumber-sumber tertulis seperti literature, arsip dan surat kabar.

Zuska (2012) dalam Jurnal Antropologi Indonesia Volume 33 nomor 3 tahun 2012, menerbitkan hasil penelitiannya dengan judul: Politik Etnisitas dalam

Pemekaran Daerah. Penelitian ini dilakukan terhadap orang Pakpak di Kabupaten

Dairi Propinsi Sumatera Utara, yang hasilnya menunjukkan bahwa politik etnisitas tidak kalah kuat memicu tindakan politik pemekaran daerah. Politik etnisitas di dalam kasus ini adalah adanya interaksi antara kelompok etnis Toba dengan kelompok etnis Pakpak yang hidu bersama di Kabupaten Dairi dalam waktu yang relatif sudah cukup lama. Dalam interaksi mereka mengedepankan

44

Universitas Sumatera Utara kelompok etnis dan identitas etnis masing-masing sebagai sumber daya politik mereka. Kesadaran akan identitas etnis dan penggunaan identitas etnis kolektif untuk tindakan politik merupakan kekuatan yang menyemburkan energy yang langgeng dan tidak habis-haisnya, sert tidak harus dengan kekerasan. Hal demikianlah perilaku politik etnisitas yang ditunjukkan orang Pakpak menghadapi orang Batak Toba dalam rangka pemekaran kabupaten Dairi, dan hasilnya berdiri kabupaten Pakpak Bharat terpisah dari Kabupaten Dairi dalam bingkai Propinsi

Sumatera Utara pada tanggal 28 Juli 2003.

Itulah politik etnisitas yang terjadi dikalangan orang Pakpak dalam menunjukkan identitas dirinya, kelompoknya sebagai orang Pakpak yang dapat melakukannya dengan cara damai.

Sakai (2017) melakukan penelitian dengan Judul bukunya Kacang tidak

Lupa Kulitnya: Identitas Gumay, Islam, dan Merantau di Sumatera Selatan. Buku ini berasal dari sebuah disertasi dengan studi etnografi mengenai masyarakat

Gumay di Sumatera Selatan. Orang Gumay satu diantara kelomok etnik penutur bahasa Melayu di dataran tinggi yang kurang dikenal di tengah masyarakat.

Tentang siapakah orang Gumay, studi ini menjelaskan bahwa di dataran tinggi

Sumatera Selatan ditemukan beberapa etnik yaitu : Gumay, Besemah, Semendo,

Kikim, Belida, Empat Lawang, Kisam dan Lembak. Etnis ini bertutur bahasa

Melayu dan mata pencaharian mereka bercocok tanam dengan tanaman utama kopi dan karet. Kehidupan tradisional mereka terbagi antara aktivitas berkebun dan menetap di dusun. Secara historis praktek tradisional ini menyoko ng konstruksi identitas mereka sebagai orang ulu atau dataran tinggi sebagai kebalikan dari orang ilir atau pesisir seperti kesultanan Palembang. Meskipun

45

Universitas Sumatera Utara secara adat istiadat, orang Palembang dan suku-suku dataran tinggi lainnya berbeda satu sama lain, mereka mempunyai kesamaan, yaitu sebagai pemeluk agama Islam. Keberadaan kesultanan sampai abad ke-19 telah menambah kompleksitas orang luar untuk memperoleh pemgertian rinci mengenai suku-suku di Sumatera Selatan karena kuatnya pengaruh Kesultanan Palembang. Minako

Sakai menyoroti identitas suku-suku dataran tinggi di Sumatera Selatan, termasuk daerah Jambi dan Bengkulu yang karena kuatnya pengaruh Islam reformis telah menggeser praktik dan pelaksanaan ritual arwah leluhur di tengah masyarakat suku dataran tinggi Sumatera Selatan sehingga perbedaan identitas suku-suku dataran tinggi termasuk orang Gumay menjadi lenyap dan kabur pada masa kini.

Elemen kunci dalam membedakan etnisitas di kalangan Melayu dataran tinggi adalah gagasan mengenai asal-usul leluhur terkait dengan tempat-tempat khusus. Konstruksi sosial mengenai asal-usul yang terkait tempat khusus merupakan dasar adat istiadat mereka. Pelaksanaan ritual asal-usul ini membatasi wilayah etnisitas. Orang Gumay percaya bahwa menyebut nama arwah leluhur sama dengan memanggil mereka dan karenanya mereka harus menyiapkan sesajen yang layak. Kalau tidak ada sesajen, arwah leluhur bisa murka kepada para keturunannya. Karena itulah, pewarisan pengetahuan ini sangat dirahasiakan.

Akibatnya, pengetahuan dan geneaologi orang Gumay menjadi pudar dan hamper lenyap dari masyarakat. Penelitian ini dapat menjelaskan eksplorasi proses konstruksi sosial identitas Gumay dengan mengkaji geneaologi, praktik ritual dan struktur sosial utama, yang semuanya merupakan tulang-punggung identitas

Gumay.

46

Universitas Sumatera Utara 2.2 Kerangka Teoritis

2.2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma, istilah yang dipopulerkan oleh Thomas Kuhn (1993), yang dapat dimaknai suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.

Paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan sosial. Sebuah paradigma adalah jendela keilmuan yang dapat digunakan untuk „melihat‟ dunia sosial. Sebagai sebuah jendela ilmu, akan sangat mempengaruhi pemahaman seseorang tentang apa dan bagaimana sesungghnya dunia sosial itu, baik menurut fakta subjektif maupun fakta objektif. Bertitik tolak dari suatu paradigma tertentu, seorang ilmuan, dapat memusatkan dan merumuskan permasalahan objek kajian yang menjadi sasaran bidang ilmunya, lalu memilih dan menetapkan teori dalam rumpun paradigm itu yang relevan dengan persoalan yang tengah dikaji, serta menetapkan metode penelitian untuk dan menemukan atau bukti-bukti empirisnya di lapangan.

Menurut Ritzer (2016), bahwa sosiologi dikenal sebagai ilmu berparadigma ganda. Selanjutnya dijelaskannya bahwa ada tiga paradigma yang dikenal dalam sosiologi yaitu : (1) paradigma fakta sosial; (2) paradigma defenisi sosial; dan (3) paradigma perilaku sosial.

Paradigma fakta sosial melihat masyarakat manusia dari sudut pandang makro strukturnya. Kehidupan masyarakat dilihat sebagai realitas yang berdiri sendiri, lepas dari persoalan apakah individu-individu anggota masyarakat itu suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Masyarakat jika dilihat dari struktur sosialnya yang secara analitis merupakan fakta yang terpisah dari individu warga masyarakat, akan tetapi dapat mempengaruhi perilaku kesehariannya. Kehidupan

47

Universitas Sumatera Utara sosial manusia merupakan kenyataan (fakta) tersendiri yang tidak mungkin dapat dimengerti berdasarkan ciri-ciri personal individu semata. Kehidupan sosial memiliki seperangkat hukum, dampak dan akibatnya sendiri. Dalam setiap individu ada fakta yang bersifat psikis, tetapi dalam konteks masyarakat dilihat sebagai fakta sosial. Menurut Ritzer (2016:20), bahwa penganut paradigma fakta sosial, yang memusatkan perhatian kepada struktur sosial atau pranata sosial memandang bahwa keduanya sungguh sebagai dalam bentuk material yang utuh dan komplek. Perhatian utama penganut paradigma ini terpaut kepada hubungan antara individu dengan pranata sosial.

Paradigma defenisi sosial bertolak dari proses berpikir manusia itu sendiri sebagai individu. Dalam merancang dan mendefenisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai pelaku tindakan yang bebas tapi tetap bertanggungjawab. Bahwa didalam bertindak atau berinteraksi itu, seseorang tetap dibawah pengaruh baying-bayang struktur sosial dan pranata-pranata dalam masyarakat, tetapi fokus perhatian tetap pada individu dengan tindakannya.

Paradigma ini berpandangan bahwa proses-proses aksi dan interaksi yang bersumber pada kemauan individu itulah yang menjadi pokok persoalan. Bahwa hakekat dari realitas sosial itu lebih bersifat subjektif dibandingkan objektif menyangkut keinginan dan tindakan individual. Realitas sosial itu, lebih didasarkan kepada defenisi subjektif dari pelaku-pelaku individual. Menurut paradigm ini tindakan sosial tidak pertama-tama menunjuk kepada struktur- struktur sosial, tetapi sebaliknya, bahwa struktur sosial itu merujuk pada agregat defenisi (makna tindakan) yang telah dilakukan oleh individu-individu anggota masyarakat itu. Menurut Weber dalam Ritzer (2016:38-40), bahwa dalam

48

Universitas Sumatera Utara mempelajari tindakan sosial dianjurkan melalui penafsiran dan pemahaman atau menurut terminology Weber dengan verstehen. Hal ini tidak mudah sebab bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja dia tidak akan yakin bahwa perbuatan itu mempunyai arti subjektif dan diarahkan kepada orang lain.

Dalam artian mendasar harus memahami motif dari tindakan si aktor.

Paradigma perilaku sosial sangat menekankan pada pendekatan yang bersifat objektif empiris. Menggunakan sudut pandang „perilaku sosial yang teramati dan dapat dipelajari‟. Dalam paradigm ini perilaku sosial itulah yang menjadi persoalan utama, karena dapat diamati dan dipelajari secara empiris.

Sementara apa yang ada di balik perilaku itu (misalnya saja: maksud dari perilaku tertentu, mitivasi dibalik periaku itu, kebebasan, tanggung jawab) berada di luar sudut pandang paradigm perilaku sosial. Ritzer menjelaskan bahwa sosiologi menerima paradigm ini karena paradigm perilaku sosial memusatkan perhatian pada persoalan tingkah laku dan pengulangan tingkah laku tertentu sebagai pokok persoalan. Dalam paradigma ini, perilaku manusia dalam interaksi sosial itu dilihat sebagai respons atau tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat otomatis) dari sejumlah stimulus atau rangsangan yang muncul dalam interaksi tersebut.

Ketiga paradigma yang dikemukakan diatas, masing-masing mengungkapkan sebagian kebenaran, dengan asumsi-asumsi teoritis dan sudut pandang tertentu dalam memahami dunia sosial yang kompleks dan luas.

Sadar bahwa tidak satupun paradigma yang sanggup mengungguli yang lain, mengingat setiap paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu (Salim, 2006: 73). Disertasi ini mencoba memperhatikan paradigma defenisi sosial sebagai paradigma dalam

49

Universitas Sumatera Utara melakukan penelitian dan menjelaskan dinamika penguatan identitas etnik

Simalungun (hasimalungunon) di balik berdirinya Gereja Kristen Protestan

Simalungun. Dengan paradigma defenisi sosial sebagai alat potret peneliti, sehingga realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, serta tergantung pada pihak yang melakukannya. Karena itu realitas yang diamati tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang.

2.2.2 Grand Teory

Sebagai tokoh yang sangat popular dalam paradigma defenisi sosial adalah

Max Weber. Weber memperkenalkan konsep tentang makna suatu tindakan. Inti tesisnya adalah bahwa suatu „tindakan manusia itu penuh dengan arti‟. Karena itulah maka Weber digolongkan kepada tokoh yang menghasilkan teori yang dapat digolongkan dalam paradigma defenisi sosial. Weber telah banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan teori sosial modern seperti: (1) teori tindakan sosial (social action); (2) teori interaksi; (3) teori konflik neo-Weberian; dan (4) teori etika Protestan. Karya Weber yang sangat menonjol adalah The

Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism yang mencoba menjelaskan asosiasi antara Protestanisme dan kapitalisme. Ia tidak menggunakan konsep sebab akibat dalam hubungan antar keduanya, akan tetapi menggunakan konsep elective affinity (afinitas elektif), yaitu konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbale balik. Di dalam Prostestan terdapat elemen yang memberikan motivasi dan dukungan psikologis yang dapat merangsang jenis perilaku yang dibutuhkan atas lahirnya kapitalisme borjuis. Basis teori Weber

50

Universitas Sumatera Utara mengenai teori sosial ialah tindakan sosial, yaitu tindakan yang terkait dan ditujukan kepada orang lain. Berdasarkan fenomena yang dikaji, maka dapat dinyatakan bahwa penjelasan yang diinginkan ialah interpretatif atau makna. Hal demikian juga dilakukan oleh Geertz (1992) dengan bukunya Tafsir Kebudayaan, menganalisis kebudayaan dengan metode tafsir.

Tokoh lain dalam paradigma defenisi sosial yaitu teori konstruksi sosial

Peter L.Berger dan Thomas Luckman, teori interaksi simbolik George Herbert

Mead dan teori etnometodologi Herbert Blumer, teori fenomenologi Edmun

Husserl, teori etnografi James Spradley (Wirawan,2012: 97). Menurut Ritzer

(2016: 43) ada tiga teori yang masuk dalam paradigma defenisi sosial yaitu: Teori

Aksi (Action theory), Interaksionisme simbolik (Simbolic interaktionism) dan fenomenologi (Phenomenology).

Fenomenologi melahirkan etnometodologi, sementara etnometodologi merupakan metodologi dalam membuat laporan etnografik, yaitu model penelitian yang mempelajari peristiwa cultural, menyajikan pandangan hidup subjek yang menjadi objek studi dengan landasan filsafat fenomenologi. Etnografi menggunakan metode kualitatif dan analisis holistik. Disertasi ini berupaya untuk meneliti fenomena dinamika identitas etnis Simalungun di balik berdirinya GKPS, dengan mengemukakan teori etnik primordial oleh Gerrtz (1973), teori Frederick

Barth (1988), dan Weber (2006), Bellah, Robert N. 1992, dalam kaitannya dengan pembangunan.

2.2.3 Identitas Etnik Primordial

51

Universitas Sumatera Utara Dalam menganalisa dinamika identitas etnik, dapat dilihat berdasarkan tiga persfektif yaitu: primordial (primordialism), konstruktif (constructivism) dan kombinatif (combinative). Adapun yang mendasari perdebatan teoritis memandang etnisitas terletak pada tiga aspek, yaitu: (1) paradigma memandang etnisitas,; (2) pemisahan kedua paradigma yang memandang fenomena dan realitas etnisitas,; dan (3) memandang etnisitas sebagai satu variabel dan tidak terkait dengan variabel lain (Damanik, 2017: 23).

Teori identitas etnik menurut Cliforrd Geertz (1973) bahwa etnisitas merupakan sentimen primordial. Selanjutnya dijelaskannya bahwa etnisitas dibentuk oleh berbagai sentimen primordial seperti kekerabatan, agama dan bahasa. Namun demikian Geertz tidak menekuni studi-studi konflik antar etnis secara mendalam, namun dari posisinya melihat bahwa etnisitas dibangun atas sentiment primordial, maka sebetulnya bibit konflik antar etnis dapat terjadi karena adanya dorongan pembentukan identitas etnis akibat berkembangnya parokialisme, komunalisme dan rasialisme. Implikasi metodologis dari posisi teoritis Geertz yang dikenal dengan interpretasi simbolik adalah “unit analisis” yang bersifat komunitas dalam upayanya melihat simbol-simbol yang disepakati bersama sebagai suatu “kebudayaan” oleh masyarakat.

Sejalan dengan itu pula Liliwery (2009: 14) menjelaskan etnisitas merupakan bagian identitas kelompok yang didasarkan pada kesamaan karakteristik bahasa, kebudayaan, sejarah dan asal usul geografis. Dan pembagian atau pertukaran kebudayaan yang berbasis pada bahasa, agama, dan kebangsaan, selalu dihubungkan dengan keyakinan yang berlebihan pada bahasa, agama, dan kebangsaan melebihi kelompok bahasa, agama, dan kebudayaan lain, oleh sebab

52

Universitas Sumatera Utara itu hal demikian dapat digunakan menganalisis dinamika penguatan identitas etnis sepanjang sejarah etnis itu.

Identitas etnik primordial menurut van den Berghe (dalam Damanik, 2017) diperoleh secara askriptif dan diwariskan antar generasi guna menjaga kebertahanan biologis (biological survival), sekaligus membedakan dengan kelompok lainnya. Pandangan primordialist, identitas etnik adalah permanen yang muncul dari diri etnik (itself) serta diyakini sebagai identitas bersama common identity), relatif sulit berubah dan menjadi criteria yang paling ketat dalam mengidentifikasi kelompoknya.

Pendekatan identitas etnik konstrkutif memandang idenitas etnik sebagai konstruk sosial (ethnic identities are socially constructed). Pendekatan konstruktivis menekankan konteks sosial dan sejarah yang membentuk, mentransformasi dan menorehkan batas-batas etnis, serta basis konflik (Bertrand,

2012: 18). Identitas etnik adalah konstruksi yang sengaja diperbuat. Identitas etnis adalah proses kognisi (cognitive process) guna menentukan basis identitasnya.

Identitas etnik pada masyarakat bukanlah sesuatu yang „tunggal‟ tetapi cenderung

„jamak‟. Kaum konstruktivis memandang bahwa identitas etnik adalah instrument referensi personal, serta sumber motivasi dan perilaku pada kehidupan sosial warga etniknya. Sebagai bentukan sosial identitas etnik dapat mengalami perubahan serta mengadaptasi perubahan itu guna disesuaikan dengan identitas sosialnya (Damanik, 2017:24).

Pendekatan identitas etnik kombinatif memandang identitas etnik kombinatif adalah radar sosial yang mengarahkan dan membimbing dunia kepentingan yang berintikan peluang sosial. Karenanya etnisitas adalah reduksi

53

Universitas Sumatera Utara terhadap ketidakpastian. Identitas etnik senantiasa mengalami perubahan melanjut sejalan dengan perubahan sosiokultural yang terjadi. Dengan demikian, identitas etnik memerlukan adaptasi sosiokultural guna memahami sosiokulturalnya.

Dalam pendekatan identitas etnik peneliti juga mencoba menggunakan konsep inkulturasi, sebagaimana dikemukakan Pinto dalam Kwang soo (2000:15) yang mengatakan bahwa inkulturasi adalah proses yang didalamnya komunitas gereja menghayati iman dan pengalamannya dalam konteks budayanya sedemikian rupa, sehingga hal-hal itu tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur budaya lokal tetapi malahan menjadi kekuatan pencipta pola-pola persatuan komunitas baru serta menjadi kekuatan yang menyemangati, membentuk dan dengan jelas memperbaharui kebudayaan itu seolah-olah menjadi ciptaan baru.

Munculnya pendapat ini sehubungan dengan amanat Paus Johanes Paulus II bahwa pesan dan warta Kristus harus berakar dalam kebudayaan setempat

(Kwang soo, 2000:20).

Kebudayaan merupakan kunci pendekatan untuk mengetahui rahasia kehidupan yang paling dalam dan dipelihara dengan sungguh-sungguh dari suatu suku bangsa. Dengan demikian inkulturasi adalah sangat penting guna menyebarkan agama Kristen di berbagai pelosok dunia dan beraneka suku bangsa, juga dikalangan etnis dan wilayah Simalungun. Dalam hal ini inkulturasi dapat diartikan memasukkan ajaran agama Kristen ke dalam sistem kepercayaan masyarakat Simalungun sehingga terjadi peralihan agama, dan merupakan suatu proses yang terus menerus, serta selalu menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang sifatnya dinamis dan terbuka berubah bersama dengan waktu. Penyesuaian

54

Universitas Sumatera Utara diri ini tidak terpisahkan dari nilai-nilai serta tradisi baku yang telah dibentuk masyarakat.

2.2.4 Dinamika Penguatan Identitas Etnik

Untuk menganalisa dinamika penguatan identitas etnik, saya mencoba memotret melalui teori Frederick Barth (1988) dalam bukunya yang berjudul

Kelompok-Kelompok Etnik dan Batasannya. Menurut Barth (1988:10) ada dua pandangan tentang identitas etnik sebagaimana yang diamatinya yaitu : (1) batas- batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur. Dengan kata lain adanya perbedaan antar etnis tidak ditentukan oleh tidak terjadinya pembauran, kontak, dan pertukaran informasi, namun lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga perbedaan kategori tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran serta keanggotaan diantara unit-unit etnis dalam perjalanan hidup seseorang. (2) dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama dan penting antara dua kelompok etnis yang berbeda, yang biasanya terjadi karena adanya status etnis yang terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri-ciri masing-masing kelompok etnis yang berbeda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosial, tetapi sebaliknya justru karena disadari oleh terbentuknya sistem sosial tertentu.

Kelompok etnis ditentukan oleh batas-batas dan mempunyai atau berciri khas yang ditentukan oleh kelompok itu sendiri yang kemudian membentuk polanya tersendiri. Disamping itu batas budaya dapat bertahan walaupun antara dua etnis dapat berbaur. Adanya perbedaan etnis dalam masyarakat lebih

55

Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh proses berupa pemisahan dan penyatuan sehingga perbedaan dapat dipertahankan dalam perjalanan hidup seseorang. Disamping itu hubungan sosial dalam masyarakat yang begitu lama dan berjalan sedemikian rupa dalam masyarakat yang multietnis biasanya terjadi lebih disebabkan adanya status etnis.

Demikian halnya masing-masing kelompok etnis yang berbeda tersebut didasari oleh terbentuknya sistem sosial dalam masyarakat. Kelompok etnis yang berbeda tersebut antara lain : (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, ;

(2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, ; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, ; (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Barth, 1988:11).

Memang setiap etnis secara biologis dapat berkembang dan bertahan serta mempunyai nilai-nilai budaya dan nilai moral sehingga menjadi ciri khas dari etnis tersebut. Demikian halnya setiap etnis ditandai dengan sistem komunikasi dan berinteraksi sekaligus ciri kelompok etnis tersebut dapat diterima dan dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnis dalam masyarakat yang telah mapan batasan etnisnya sangat jelas sehingga interaksi antar etnis ditandai dengan sistem sosial yang telah disepakati.

Secara eksplisit teori Barth ini menjelaskan bahwa, didalam masyarakat walaupun saling berbeda budaya dan etnis akan tetapi terdapat penyatuan dan pemisahan berdasarkan proses yang terus berlangsung dalam masyarakat, ; dalam suatu kelompok dapat mempertahankan identitasnya sementara anggotanya berinteraksi dengan masyarakat lainnya sehingga adanya kriteria dan batasan dari suatu masyarakat guna menjalin hubungan dan menjaga keharmonisan dalam

56

Universitas Sumatera Utara masyarakat, ; bahwa bila sebuah kelompok tetap mempertahankan identitasnya sementara angotanya berinteraksi dengan kelompok lain, hal ini menandakan adanya suatu kriteria untuk menentukan keanggotaannya dalam kelompok tersebut dan ini merupakan cara untuk menandakan mana yang anggota kelompoknya dan mana yang bukan anggota kelompoknya. Kelompok etnis bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang didudukinya ; berbagai cara digunakan untuk mempertahankan kelompok ini, bukan dengan cara sekali mendapatkan untuk seterusnya tetapi dengan pengungkapan dan pengukuhan yang terus menerus (Barth, 1988:16).

Batas etnis menyalurkan kehidupan sosial sehinga merupakan tatanan sosial dan hubungan sosial yang kompleks. Mengidentifikasikan seseorang dalam suatu kelompok etnis sekaligus menerapkan criteria etnis baginya. Disamping itu seseorang dikatakan asing atau orang lain dari kelompok etnisnya, maka dalam hal ini adanya pembatasan dalam pengertian bersama mengenai nilai-nilai maupun interaksi dalam masyarakat. Barth menjelaskan bahwa kelompok etnis hanya dikenal sebagai unit bila kelompok itu memperlihatkan perilaku yang berbeda.

Jadi ada perbedaan budaya. Tetapi bila ada orang-orang dengan budaya yang berbeda berinteraksi, diharapkan perbedaannya akan berkurang karena interaksi memerlukan dan membentuk kesatuan tanda dan nilai, atau dengan kata lain, harus ada budaya yang sama atau umum (Barth, 1988;17).

Jadi kelompok-kelompok etnis yang tetap mengadakan kontak ini tidak hanya menunjukkan adanya criteria dan tanda untuk identifikasi, tetapi juga membentuk struktur interaksi yang memungkinkan menetapnya perbedaan- perbedaan budaya. Menurut Barth, sifat dan tatanan harus bersifat umum bagi

57

Universitas Sumatera Utara semua hubungan antaretnis dan merupakan seperangkat peraturan yang sistematis untuk mengatur kontak sosial antar-etnis. Demikian halnya identitas etnis berhubungan dengan nilai-nilai budaya yang dianutnya sehingga dalam berinteraksi dengan individu lainnya identitas etnis akan muncul, dan identitas tersebut biasanya dipertahankan oleh etnis yang bersangkutan.

Didalam masyarakat dimanapun bahwa kontak budaya tidak dapat dihindari sehingga hubungan antar budaya tersebut menjadi kemutlakan guna lancarnya interaksi dan komunikasi dalam masyarakat. Untuk dapat berpartisipasi dalam sistem sosial di masyarakat dalam memilih strategi adalah sebagai berikut :

(1) mereka berusaha bergabung dan masuk ke dalam kelompok masyarakat dan budaya industri,; (2) mereka menerima status “minoritas” dan berusaha mengatasi serta mengurangi minoritasnya dengan cara membatasi budayanya hanya untuk sector kegiatan yang tidak dikerjakan bersama sekaligus berperan serta dalam kelompok industry yang lebih besar untuk kegiatan lainnya.; (3) mereka baru menonjolkan identitas etnisnyadan menggunakannya untuk mengembangkan posisinya serta kegiatan yang selama ini belum terjamah dalam masyarakat itu

(Barth, 1988:35).

Menurut Barth, jika strategi (1) pertama yang digunakan maka kelompok etnis ini akan berkembang menjadi kelompok yang konservatif dengan tingkat artikulasi yang rendah dan menempati status terendah dalam sistem masyarakat sosial yang besar itu. Jika strategi (2) yang dipilih maka timbulnya tatanan masyarakat polietnis yang terdikotomi akan dapat dihindari dan mengingat beragamnya masyarakat industri dan kemungkinan berkembangnya bidang artikulasi baru, maka akan terjadi pembauran di dalam kelompok minoritas.

58

Universitas Sumatera Utara Strategi (3) dapat menimbulkan berbagai gerakan yang menarik seperti gerakan nativisme sampai terbentuknya negara baru (Barth, 1988:35-36).

Barth (1988:130-2) meneliti orang-orang Pathan (Pasthun, Pakhtun,

Aganistan) tentang proses pelestarian batas etnis yang meliputi tiga lembaga yang mendominasi tiga bidang aktivitas yaitu: Melmastia (keramahtamahan, penggunaan berbagai barang secara tepat), jirga (lembaga kerapatan suku, dan tujuan yang mulia dalam setiap masalah umumnya), dan Purdah (pengasingan wanita dan tatanan kehidupan rumah tangga yang mulia). Keramah-tamahan

(melmastia) merupakan peraturan tidak tertulis yang mewajibkan seseorang melayani tamu di rumah atau tanahnya agar bergabung dalam kelompoknya, dan ia bertanggungjawab atas keselamatan tamunya dan memenuhi kebutuhannya.

Lembaga kerapatan suku dan tujuan yang mulia (jirga) bagi bangsa Pathan adalah sebuah pertemuan yang dihadiri kaum lelaki yang diundang untuk membahas keputusan bersama tentang suatu masalah bersama. Lembaga ini dapat bersifat sementara atau tetap. Masalah bersama yang dibahas, misalnya konflik antar berbagai golongan atau suatu perencanaan. Kedudukan diantara anggota adalah setara. Terakhir adalah pengasingan wanita (purdah) adalah kegiatan yang sekaligus menunjukkan keperkasaan dan keutamaan kaum pria dan mencegah agar setiap kenyataan hidup rumah tangga tidak mepengaruhi pandangan / citra umum tentang seorang pria. Dengan adanya purdah, masyarakat Pathan dapat hidup harmonis dalam rumah tangga.

Menurut Barth (1988:133), ketiga bidang aktivitas utama ini: keramah- tamahan (melmastia), lembaga kerapatan suku (jirga), pengasingan wanita

(purdah), menjamin mekanisme yang baik bagi orang-orang Pathan untuk mampu

59

Universitas Sumatera Utara menyadari nilai budayanya dalam berbagai kondisi luar. Aktivitas ini juga memungkinkan terpeliharanya nilai dan identitas bersama dalam populasi yang terpisah-pisah serta tanpa pimpinan. Jadi nilai yang kemudian disadari akan dianut oleh orang banyak dan merupakan keberhasilan orang-orang Pathan yang dikagumi orang luar suku Pathan. Oleh karena itu ciri etnis menjadi suatu yang amat dihargai dan dipertahankan oleh para anggota kelompok ini. Dengan kata lain, jika lembaga etnis tertata dengan rapi maka hubungan antar etnis berjalan dengan baik. Fenomena ini merupakan hasil penelitian Barth di Pathan

Afganistan.

Pada sisi lain Tilaar (2007) berpandangan bahwa rasa solidaritas etnis telah merupakan dasar dari banyak konflik di dalam sejarah umat manusia. Pada masa kolonial misalnya, pemerintah kolonial telah mengeksploitasi etnisitas didalam memperkuat cengkramannya terhadap rakyat jajahan. Masa pemerintahan

Hindia Belanda di Nusantara (Indonesia) dikenal adanya kelompok orang

Bumiputra, Timur Asing dan Barat. Kelompok orang Timur Asing memegang peranan penting didalam bidang ekonomi yang menghubungkan antara rakyat miskin dengan pemerintah Belanda. Maka tidak mengherankan manakala kelompok orang Bumiputra merasa tertindas bukan saja oleh pemerintah Belanda

(ras putih) juga oleh orang Timur Asing sebagai perantara. Stigma demikian terus berjalan sampai sesudah kemerdekaan bahkan sampai kepada sebelum undang- undang kewarganegaraan tahun 2006. Stigma telah melahirkan adanya warganegara kelas satu dan warganegara kelas dua atau adanya diskriminasi rasial. Dengan adanya Undang-Undang Kewarganegaraan nomor 12 Tahun 2006

60

Universitas Sumatera Utara maka tidak dikenal lagi perbedaan warganegara berdasarkan ras seperti adanya warganegara keturunan dan warganegara asli.

Simalungun sebagai etnis telah mengidentifikasi identitasnya sebagai orang Simalungun yang didasari atas asal muasalnya, akar yang sama, leluhur yang sama, budaya yang sama : bahasa, system pemerintahan, mata pencaharian, religi, pada masa lalu. Selain itu juga mengalami peristiwa historis secara internal dan eksternal. Etnisitas memiliki identitas, yang dalam masyarakat mungkin diangap sangat penting. Akan tetapi perbedaan etnis di suatu masyarakat majemuk menjadi kajian yang sangat menarik bagi para ilmuan sosial atau misalnya

Sosiologi dan Studi Pembangunan. Kenyataan tersebut dalam masyarakat yang multi budaya masing-masing etnis saling menjaga eksistensinya. Disamping itu etnis yang dominan menjadi penentu dalam kebijakan dan strategi pembangunan, sehingga pihak minoritas dirugikan secara kultural. Etnisitas merupakan suatu kelompok masyarakat yang hidup bersama masyarakat lainnya, tetapi mereka berbeda secara budaya, bahasa, ras, dan system organisasi. Manakala sustu masyarakat keetnisannya lebih kental atau ego kesukuannya tinggi, masyarakat itu disebut egosentris, atau sangat etnosentris.

Etnis Simalungun sebagai etnis lokal di kabupaten Simalungun dalam berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk telah memiliki identitas diri mereka yang disebut dengan ahap simalungun. Ahap simalungun dapat diartikan sebagai jiwa memiliki budaya dan adat Simalungun. Identitas diri ini telah menunjukkan hasimalungunon sebagai bagian identitas diri sebagai pembeda dari identitas lain dalam memajukan kehidupannya pada skala kepentingan yang lebih luas yaitu negara nasional Indonesia. Hasimalungunon secara grammatikal adalah

61

Universitas Sumatera Utara kesimalungunan, dapat diartikan sebagai orang yang beretnis Simalungun dan totalitas kecintaannya terhadap Simalungun.

2.3 Penguatan Identitas Etnik dan Studi Pembangunan

Dalam menganalisis studi dinamika penguatan Identitas Etnik dan Studi

Pembangunan, saya mencoba melihat dari persfektif Max Weber (2006) dalam bukunya : Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Weber menyebut “Etika

Protestan” dan hubungannya dengan “semangat kapitalisme”, yang memperlihat- kan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku individu (etos) kerja.

Dengan persfektif Weber ini dapat digunakan menjelaskan agama sebagai jalan pintas untuk pembangunan. Sebab dengan melihat unusur motivasi beragama dalam sistem tindakan menyebabkan munculnya semangat baru meningkatkan kehidupannya melalui berbagai usaha secara sadar oleh komunitas dengan identitas yang menganutnya. Hal demikian menyebabkan orang-orang Eropah yang ada di Amerika yang terdiri dari berbagai etnis selalu menunjukkan identitasnya sebagai penganut sekte Protestan, dan itu merupakan kebangaan bagi mereka.

Senada dengan itu Bellah (1992) dalam bukunya : Religi Tokugawa: Akar- akar Budaya Jepang, menjelaskan Jepang negara non-Barat dalam pembangunan negaranya mampu mentransformasikan dirinya menjadi negara industri, dengan faktor-faktor masa pra-modern tertentu yang mempengaruhinya, dalam agama

Jepang. Bellah menemukan tiga kemungkinan keterkaitan antara agama dan pembangunan ekonomi Jepang. Pertama agama secara langsung mempengaruhi etika ekonomi, kedua pengaruh agama terhadap ekonomi terjadi melalui pranata

62

Universitas Sumatera Utara politik, dan ketiga pengaruh agama terjadi melalui pranata keluarga. Dengan kata lain bahwa terbentuknya Jepang menjadi suatu masyarakat industri modern tak terlepas dari kuatnya nilai-nilai politik yang dominan, yang mana nilai-nilai politik tersebut menjembatani aspek-aspek ekonomi dengan religius dalam masyarakat.

Kemudian, religi berperan penting dalam proses rasionalisasi politik dan ekonomi di Jepang dengan cara memperkuat ketertarikan pada nilai-nilai sentral, memberikan motivasi dan legitimasi untuk beberapa inovasi politik dan menguatkan sikap rajin dan hemat. Dan dalam religi Jepang pada masa Tokugawa bahkan hingga masa kini, adanya suatu keharusan bekerja keras tanpa mementingkan diri sendiri dan membatasi nafsu konsumsi sangat ditekankan dalam religi Jepang serta tekanan betapa pentingnya sikap rajin dan ugahari memberi makna religius terhadapnya. Etika semacam ini sangat mendukung rasionalisasi ekonomi merupakan pokok pikiran utama dalam studi Weber (2006) tentang Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme dan hal yang sama nampaknya juga terjadi di Jepang. Religi Jepang telah mengantar Jepang menjadi negara modern yang menakjubkan dari “kekalahan” Jepang pada Perang Dunia II 1945.

Dampak positif maupun negatif dari religi tersebut akan terus berlangsung jika religi tetaplah menjadi religi, tegangan masyarakat dan religi terus berlangsung, tak mustahil religi mengubah kekalahan manusia menjadi kemenangan.

Koencaraningrat (2015) dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan

Pembangunan, menyatakan bahwa sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai

63

Universitas Sumatera Utara hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, yaitu: Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (MH); Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (MK); Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW); Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA); Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM). Selanjutnya dijelaskan perlunya mentalitas yang diartikan sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menganggapi lingkungannya. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, ada lima kelemahan mentalitas bangsa Indonesia dalam pembangunan yaitu : (1)

Sifat mentalitet yang meremehkan mutu.; (2) Sifat mentalitet yang suka menerabas,; (3) Sifat tidak percaya kepada diri sendiri, : (4) Sifat tidak berdisiplin murni, ; (5) Sifat tidak bertanggung jawab.

Selanjutnya Koentjaraningrat, mengajukan alternatif tentang mentalitas nilai budaya yang harus dimiliki oleh suatu bangsa yang ingin mengintensifkan usaha pembangunan, antara lain: (1) Nilai budaya yang berorientasi masa depan, ini akan mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih teliti,; (2) Nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam, ini akan menambah kemungkinan inovasi, terutama inovasi dalam teknologi, ; (3) Nilai budaya yang menilai tinggi

(achievement) hasil karya dari manusia, dan pada akhirnya dapat mewujudkan mentalitet berusaha atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab. Dalam pembangunan kondisi mentalitas masyarakat akan mewarnai perencanaan dan menentukan keberhasilan

64

Universitas Sumatera Utara program pembangunan itu sendiri. Faktor mentalitas seringkali juga disebut dengan faktor manusia, faktor kultural, faktor non-ekonomi, faktor psikokultural, atau sikap mental. Masyarakat yang memiliki mentalitas pembangunan adalah masyarakat yang berorientasi untuk meningkatkan kapasitas dirinya untuk berinovasi, lebih menilai tinggi usaha atas kemampuan sendiri, disiplin dan berani bertanggungjawab sendiri (Koentjaraningrat, 2015: 40).

Berangkat dari kajian ini maka identitas etnik itu sangat menentukan arah

Pembangunan. Menguatnya identitas etnik akan tergambar dalam pembangunan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai hasil atau wujud pembangunan baik itu fisik maupun non fisik.

Pembangunan dalam masyarakat Indonesia, telah menjadi kata kunci dalam upaya untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya, sebagai perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak suatu bangsa. Kemajuan kehidupan sesungguhnya bukan saja dalam hal material atau ekonomi namun tentu juga mencakup dalam aspek manusianya berupa kehidupan sosial, budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu studi pembangunan bukan hanya di dominasi oleh ilmu ekonomi semata, tetapi dapat dilakukan dengan kajian-kajian antar disiplin ilmu sosial lainnya.

Studi Pembangunan sebagai cabang ilmu sosial merupakan program studi inter dan multi disiplin dalam ilmu sosial yang mempelajari tentang isu-isu pembangunan terutama di negara berkembang yang memfokuskan perhatian kepada isu-isu sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, psikologi dan ilmu yang relevan dengan persoalan-persoalan pembangunan. Soedjatmoko, menjelaskan

65

Universitas Sumatera Utara pada tingkat kebudayaan, negara mungkin dapat menemukan kunci dari semangat, motivasi, dan penampilan-diri yang diperlukan guna menyusun pola-pola pembangunan yang baru dan berbeda. Kreativitas dan kepercayaan pada diri sendiri bagaimana juga adalah tertanam dalam suatu rasa identitas nasional serta cultural, dan dalam kebanggaan serta harga diri yang melekat padanya. Sumber- sumber kegiatan sosial dari kebanyakan masyarakat terdapat dalam acuan religio- kultural masyarakat itu sendiri. Dalam titik ini perlu dicari motivasi yang lebih kuat dan awet bagi pola-pola pembanguan yang bersifat pribumi atau kearifan lokal (Soedjatmoko, 1995:76).

Konsep tentang pembangunan sebagai penggerak sistem sosial untuk mengejar-tujuan-tujuan baru, makin mendasarkan betapa pentingnya motivasi, tujuan, dan makna dalam proses pembaharuan diri mulai dari lokal sampai nasional. Manakala tujuan-tujuan pembangunan hanya mempunyai arti dalam kerangka peningkatan kemakmuran material, dan tidak dalam kerangka cita-cita hidup yang lebih luas sebagaimana tersarikan dalam kebudayaan lokal tradisional maka amat kecil kemungkinannya bahwa dorongan untuk perubahan, penyesuaian kreatif, dan pembaharuan akan tahan berlangsung dan kuat menanggung diri- sendiri.

Pembangunan yang kompleks menuntut tenaga ahli yang dapat melihat, mengkaji, meneliti, merencanakan dan melaksanakan pembangunan bangsa secara komprehensif dan integral dari berbagai persfektif ilmu sosial, sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, politik, ekonomi, teknologi dan pertahanan keamanan. Pemecahan problema pembangunan membutuhkan daya inovasi dan kreativitas yang tinggi dari sumber daya insaninya di semua sektor; pemerintah,

66

Universitas Sumatera Utara swasta, dan masyarakat sipil dalam usaha mencapai tujuan negara yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan tidak saja sebagai masalah ekonomi, tetapi juga merupakan masalah kebudayaan dan pembudayaan yang harus senantiasa mengacu kepada dimensi moral, etika dan norma dari manusia yang menjelajahi dan menggumuli proses transformasi sosial. Hal itu terkait dengan keberadaan pembangunan yang pada dasarnya diupayakan dalam rangka pemberadaan dan pembebasan manusia. Selanjutnya dalam perencanaan pembangunan diperlukan peran serta berbagai pihak dengan berbagai latar belakang keilmuannya seperti ilmu sosial humaniora, meliputi bidang sejarah, sosiologi, antropologi (Mudana, 2015:13-14).

Higgins dalam Mudana (2015:15) mengatakan bahwa pembangunan pada dasarnya merupakan pertumbuhan manusia itu sendiri. Pertumbuhan semua manusia yang menyangkut inti nilai-nilai manusiawi, baik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan biologis, kejiwaan, sosial, budaya, ideology, spiritual, kebatinan, dan aspirasi-aspirasi transedentalnya.

Indonesia sebagai negara bangsa yang mempunyai masyarakat multietnik telah disadari oleh pendiri negara ini yang dirumuskan dalam suatu ideologi

Bineka Tunggal Ika. Untuk itu diperlukan pemahaman konseptual tentang etnis dan etnisitas. Melalui pemahaman demikian akan memungkinkan diadakannya bagi terjadinya dialog antaretnik yang multicultural. Dialog semacam ini sangat penting sekali bagi proses integrasi masyarakat bangsa. Karena melalui hal itu akan tumbuh manusia lintas budaya. Manusia lintas budaya memiliki ciri-ciri tertentu yakni: menghormati semua budaya; memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dipercayai oleh orang yang memiliki budaya berbeda, dan menghargai

67

Universitas Sumatera Utara perbedaan-perbedaan budaya. Menjadi manusia lintas budaya berarti akan dapat mengurangi kesalah-pahaman maupun konflik sosial antar etnik. Namun demikian bukan berarti harus menghilangkan identitas budaya etnik yang bersangkutan.

Sebab yang terpenting setiap manusia lintas budaya dapat berfikir, bersikap dan berperilaku dengan cara-cara yang dapat diterima budaya orang lain dan juga budayanya sendiri (Mudana, 2015:124).

Etnisitas dan hubungan antar kelompok etnik dipandang memiliki hubungan yang erat dengan masalah-masalah pembangunan masyarakat

Indonesia. Keberagaman etnis, budaya, agama, bahasa telah menunjukkan identitas etnis dengan budaya, agama, bahasa yang dimiliki, sudah sewajarnya mendapat tempat masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

2.4 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam disertasi ini merupakan alur pikir dalam melaksanakan penelitian yang digambarkan dalam bentuk bagan. Latar belakang utama disertasi ini adalah melihat fenomena sosial yang dirumuskan sebagai

Dinamika Penguatan Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) dibalik

Simalungun dapat dilihat dari peristiwa historis yang dialami etnik Simalungun ketika telah menerima pengaruh asing yaitu agama Kristen Protestan yang dibawa oleh Missionaris RMG, bersama dengan para pembantunya (penatua, guru, evangelish, pendeta) etnik lokal dari Tapanuli Utara dimana telah terjadi konflik internal dan konflik eksternal, walaupun belum sampai pada tingkat kerusuhan

68

Universitas Sumatera Utara etnik. Dengan demikian peneliti membuat bagan alur kerangka pikir disertasi ini sebagai berikut :

Bagan 1 : Alur Kerangka berpikir Penelitian

Tahun 1907 : Tahun 1963 :  Simalungun dan  Berdiri GKPS Korte Verklaring  Penguatan Identitas Etnis  Awal dari Kolo-  GKPS Penyangga nialisme Belanda identitas Simalungun di Simalungun  Identitas Etnis dan Etnis Simalungun Pembangunan Pada 1903

Dinamika Penguatan identitas Etnis Simalungun di balik berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun tahun 1963

Tahun 1903 : Tahun 1928 : Tahun 1953 :  Zendeling RMG  Kesadaran Penegasan Identitas Etnis  Asisten Zendeling Identitas Etnis bukan Simalungun  Pernyataan Simalungun dalam (Batak) Gereja Huria Kristen Identitas Etnis Batak Protestan  Zending dan Simalungun etnisitas Simalungun (HKBPS)

Keterangan : Dinamika penguatan identitas Etnis Simalungun di balik berdirinya GKPS 1963, berada dalam kurun waktu, secara bertahap : 1903 Simalungun sebagai titik awal dan mulai berinteraksi dengan zendeling dan perangkatnya; 1907 Simalungun terbuka terhadap kekuasaan kolonial Belanda; 1928 kesadaran Identitas Etnis dalam tubuh gereja Batak (HKBP); 1953 penegasan identitas etnis ditandai dengan munculnya nama Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS); 1963 berdirinya GKPS sebagai bukti kemenangan Simalungun dalam tubuh HKBP. GKPS berdiri sendiri melalui keadaan damai dan berpisah dari HKBP („manjae‟).

69

Universitas Sumatera Utara BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Untuk menjelaskan dinamika penguatan identitas etnik Simalungun di balik berdirinya GKPS tahun 1963, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Denzin & Lincoln (2009:6) mengatakan bahwa kualitatif adalah berupa penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekwensinya, pada sisi lain menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penyelidikan. Peneliti mementingkan sifat penyelidikan yang sarat nilai, dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya. Pendapat ini juga didukung

Salim (2006:36) yang mengatakan tidak mengistimewakan salah satu metodologi atas metodologi lain.

Peneliti sudah sejak tahun 1988 tinggal di kota Pematang Siantar, dan juga terlibat sebagai bagian komunitas etnis Simalungun dan juga sebagai warga dalam sekte Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang bersentuhan langsung dengan orang Pematang Siantar dan orang Simalungun lainnya. Sebab bahwa walaupun disebut dalam penelitian ini “penguatan identitas etnis Simalungun dalam GKPS”, itu bukan berarti etnis Simalungun itu hanya memeluk agama

Protestan. Orang Simalungun itu selain memeluk Kristen juga, ada memeluk

Islam, Katolik, dan Aliran kepercayaan. Berdasarkan lembaga elemen orang

70

Universitas Sumatera Utara Simalungun, saya mengamati seperti : GKPS, Partuha Maujana Simalungun

(PMS), Museum Simalungun, Universitas Simalungun (USI), Pemerintah kabupaten Simalungun, Ikatan Keluarga Simalungun Islam (IKEIS). Menurut pengamatan peneliti, bahwa dari elemen Simalungun tersebut yang paling menonjol dalam merawat dan menggunakan identitas Simalungun, adalah GKPS.

Peneliti mencoba secara konstruktif dengan asumsi bahwa identitas etnis

Simalungun itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan dengan Informan kunci. Peneliti berpendapat bahwa kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap informan melalui interaksi dengan situasi sosial mereka. Perspektif

Informan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif dan fleksibel, untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut pandang mereka. Peneliti mengumpulkan kata-kata atau kalimat dari informan, buku, dan sumber lain.

Peneliti melakukan wawancara dalam mengumpul data agar mampu menggali informasi lebih dalam mengenai interpretasi informan.

Berpedoman kepada Moleong (1997:4-8) dan juga Creswell (2015:60-63), bahwa ada ciri pokok karakteristik dalam melakukan penelitian yaitu : (1) Latar alamiah, yaitu melakukan penelitian pada latar alamiah (entity),; (2) Peneliti sendiri dengan bantuan orang lain adalah alat (instrument) pengumpul data utama.; (3) Metode kualitatif, ; (4) Analisa data secara induktif, ; (5) teori dari dasar (grounded theory), lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data. (6) Deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.; (7) Lebih mementingkan „proses‟ daripada

71

Universitas Sumatera Utara „hasil‟, hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.; (8) Adanya „batas‟ yang ditentukan oleh „fokus‟, menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.; (9) Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, meredefenisikan validitas, reliabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.;

(10) Desain yang bersifat sementara, menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi; (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama, penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data.

Simalungun sebagai latar penelitian adalah sebagai kultur orang

Simalungun, ada yang tinggal di wilayah geografis orang Simalungun yaitu daerah Kecamatan Raya dan Kota Siantar, maka dari wilayah ini peneliti mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan dinamika identitas

Simalungun, dalam GKPS.

Peneliti sebagai instrument penting dalam mengumpulkan data sendiri dengan mempelajari dokumen-dokumen, mengamati perilaku, dan mewawancarai para informan, dan hasilnya diolah dengan pemikiran yang kompleks melalui logika induktif dan deduktif. Peneliti membangun berbagai pola, kategori dan tema dari informan dengan mengorganisasikan data secara induktif. Dalam proses penelitian peneliti menjaga fokus penelitian ini yaitu dinamika penguatan identitas etnis Simalungun yang berasal dari para informan.

72

Universitas Sumatera Utara Untuk menganalisis dan menyajikan fenomena etnisitas sebagai hasil penelitian, tipe penelitian deskriptif dianggap tepat untuk tujuan itu. Tipe penelitian ini biasanya digunakan tanpa hipotesis yang dirumuskan secara ketat

(Singarimbun & Effendi,ed.,1898:4-5). Untuk mengoperasionalkan dan memfokuskan pelaksanaan pengumpulan data sampai kepada pembahasan masalah maka dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan penelitian (research question). Dasar pertimbangan untuk menggunakan tipe penelitian deskriptif karena dalam kegiatan penelitian ini, dimaksudkan untuk mengungkap dan menjelaskan dinamika penguatan identitas etnis Simalungun (hasimalungunon) di balik berdirinya GKPS.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan etnografi. Sebab dalam operasional penelitian kualitatif itu setidaknya tersedia 5 (lima) pendekatan dan dapat dipilih satu di antara pendekatan tersebut. Creswell (2015) berpendapat bahwa ada lima pendekatan penelitian kualitatif yaitu : (1) pendekatan Naratif,;

(2) Fenomenologi, ; (3) Grounded Theory; (4) Etnografi, dan ; (5) Studi Kasus.

Kahija (2017) menawarkan adanya enam pendekatan dalam penelitian kualitatif yaitu : (1) pendekatan naratif-biografis,; (2) pendekatan Grounded Theory,: (3) pendekatan studi kasus,; (4) pendekatan analisis diskursus, ; (5) pendekatan etnografis,; dan (6) pendekatan fenomenologis. Kedua pendapat tersebut menunjukkan kesamaan dan keduanya menunjukkan adanya pendekatan etnografi dalam penelitian kualitatif. Selanjutnya bahwa pendekatan tersebut memiliki kesamaan dalam proses riset yang umumnya dimulai dengan permasalahan riset dan berlanjut pada pertanyaan, pengumpulan data, analisis data, dan laporan riset.

73

Universitas Sumatera Utara Menurut Arthur dan Stanford dalam Lincoln,eds. (2009: 30) bahwa etnografis mempunyai makna yang luas, yaitu ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada upaya untuk menggambarkan cara-cara hidup umat manusia. Kajian etnografis yang dipelopori oleh Malinowski (antropolog kelahiran Polandia 7 April 1884, dan meraih Doktor dari London School of

Economics Inggris 1916), terkenal lewat monografnya tentang masyarakat di

Kepulauan Trobriand, yang memandang kelompok etnik sebagai suatu kesatuan budaya teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam sebuah peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well-defined boundaries), memisahkan kelompok etnik dengan lainnya (Pelly, 2015: 4-5).

Penelitian etnografis memiliki ciri umum berupa deskripsi yang mendetail, yang bersumber dari wawancara dengan informan kunci, observasi partisipasi, dan catatan-catatan lapangan selama observasi. Data etnografis bisa berupa peristiwa, perilaku, atau artefak. Tujuan dari penelitian etnografi adalah memberi deskripsi yang berisi informasi tentang persfektif orang dalam (Kahija, 2017:16).

Duneier dalam Ritzer.ed. (2013:121) mengatakan bahwa dalam bidang sosiologi, metode-metode kualitatif cenderung merujuk pada etnografi, wawancara, dan sosiologi sejarah. Etnografi mencakup peleburan total peneliti kedalam dunia manusia atau dunia sosial yang ditelitinya dan menjabarkan hubungan antara perkataan manusia dengan perbuatan mereka; wawancara, yang dilakukan dalam kurun yang panjang ataupun sekali selesai, menjunjung tinggi subjektivitas dan defenisi situasinya aktor; dan manakala etnografi dengan melakukan wawancara cenderung mengandalkan informasi dari para aktor pada masa kini, maka sosiologi sejarah mengutamakan pusat perhatian pada peristiwa-

74

Universitas Sumatera Utara peristiwa masa lalu dengan menggunakan catatan tertulis yang tersimpan dalam arsip. Selain itu penelti juga menggunakan life history Pdt.J.Wismar Saragih, yang merupakan pengalaman pribadinya sebagai orang Simalungun, sebagai sumber informasi data.

.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini membicarakan dinamika identitas etnis Simalungun dibalik berdirinya GKPS, dengan meneliti fenomena etnis Simalungun, sehingga wilayah penelitian ini adalah wilayah Budaya Simalungun, yang juga mengalami perubahan historis secara administratif pemerintahan sampai saat ini, yang dahulunya wilayah Simalungun menjadi kabupaten Simalungun dan kini telah menjadi kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun. Dengan pengalaman peneliti selama bermukim di kota Pematang Siantar, dan berdasarkan studi literatur awal yang saya lakukan ternyata wilayah Simalungun yang berkaitan dengan berdirinya GKPS, adalah Pematang Raya Kecamatan Raya (Kabupaten

Simalungun) dan kota Pematang Siantar di mana di kota ini disyahkan berdirinya

GKPS tahun 1963.

Dengan pertimbangan tersebut lokasi fokus penelitian ini adalah wilayah budaya Simalungun yaitu Pematang Raya Kecamatan Raya (Kabupaten

Simalungun) dan kota Pamatang Siantar. Simalungun pada saat ini identik dengan kabupaten Simalungun yang sejak awal ibukotanya sampai dengan tahun 2008 adalah kota Pamatang Siantar. Setelah tahun 2008 ibukota berpindah ke Pamatang

Raya, sehingga secara geografis teritorial kota Pamatang Siantar berada di wilayah Simalungun (Saodoran, 2013:9). Barkaitan dengan itu maka tidak

75

Universitas Sumatera Utara tertutup kemungkinan bahwa wilayah yang berbatasan dengan kabupaten

Simalungun atau di luarnya juga menjadi perhatian untuk diamati seperti Serdang

Bedagai, Tebing Tinggi, Asahan yang juga berbatasan dengan wilayah etnis

Simalungun. Juga di wilayah luar kabupaten Simalungun dan kota Pamatang

Siantar, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, , Papua dan di santero

Indonesia sudah menyebar orang Simalungun. Secara historis kota Pamatang

Siantar saat ini adalah bagian dari Simalungun yang secara politis dikuasai oleh

Raja Siantar dari dinasti Damanik, dengan raja yang terkenal adalah Sang

Nawaluh Damanik yang diasingkan Kolonial Belanda ke Bengkalis 1906. Sejak bulan Juni 1907 pemerintah Hindia Belanda menetapkan kota ini sebagai pusat administrasi pemerintahan Afdeeling Simalungun and Karolanden (Mariohandono

& Juwono, 2009:11).

Penelitian ini oleh peneliti telah dimulai melakukan pengamatan sejak tahun 2015, dan sejak 2016 dalam tugas-tugas perkuliahan Doktor telah dicoba dikemukaan tema-tema kajian ini dalam tugas-tugas mata kuliah, yang dilanjutkan dengan kualifikasi, dan proposal disertasi bulan Juni 2017. Bagi peneliti sendiri yang dilahirkan di Tanah Karo, telah tinggal menetap di kota Pematang Siantar jauh sebelumnya yaitu tahun 1988, dan wilayah Kecamatan Raya merupakan wilayah leluhur ayah dan ibu saya sehingga tidak kesulitan mengamati fenomena dinamika identitas etnis Simalungun dibalik berdirinya GKPS.

Dalam pelaksanaan penelitian ini yang menjadi informan pokok dan informan pangkal adalah orang Simalungun yang mengetahui, atau memahami sejarah berdirinya GKPS, sejarah Etnis Simalungun, yang pernah sebagai birokrat di pemerintahan, teknokrat, petugas gereja yaitu Pendeta GKPS, Penginjil GKPS,

76

Universitas Sumatera Utara warga GKPS, tokoh adat orang Simalungun. Dasar pemikiran untuk memilih informan tersebut dianggap dapat mewakili unsur dinamika identitas etnis

Simalungun dibalik berdirinya GKPS, dengan demikian data penelitian yang diperoleh tingkat viliditas, dan realibilitasnya dapat teruji kesahihannya.

Sebagai peneliti untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan penelitian maka peneliti akan mencari data dan informasi dari literature, arsip, dan wawancara secara mendalam, yang cenderung merujuk pada metode etnografi, kesejarahan, wawancara, dan sosiologi sejarah. Menggunakan pendapat

Duneier (2013) bahwa sosiologi sejarah mengutamakan pusat perhatian pada peristiwa-peristiwa masa lalu dengan menggunakan catatan tertulis yang tersimpan dalam arsip.

Informan adalah orang dalam pada latar penelitian. Sehingga dalam penelitian ini saya telah melakukan wawancara terhadap sejumlah Pendeta GKPS yang masih aktif sebagai pembimbing jemaat memiliki resort, dan juga Pendeta

GKPS yang sudah emeritus pensiun secara organisatoris birokrasi dalam tubuh

GKPS karena usia sudah melewati 65 tahun, namun mereka ini tetap aktif ditengah-tengah jemaat memberikan pelayanan grejawi dan dihormati oleh jemaatnya yang bukan lain adalah orang Simalungun. Pendeta inilah memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian identitas etnis dalam GKPS.

Mereka ini melalui sebuah pendekatan yang dilakukan peneliti secara suka rela memperlakukan peneliti sebagai bagian dari kewajiban mereka untuk memberi keterangan pengetahuan, pengalaman, dan bahkan literatur mereka, sehingga dengan kebaikan dan kesukarelaan mereka dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam tentang nilai-nilai identitas etnis Simalungun (hasimalungunon),

77

Universitas Sumatera Utara yang tercakup juga dengan sikap, model bangunan, proses sejarah, dan makna kebudayaannya dan pembangunan bernegara yang mereka pahami, dan hal ini menjadi latar penelitian etnisitas Simalungun.

Penentuan informan dalam penelitian ini adalah didasarkan atas pertimbangan akan pengetahuan mereka yang relatif luas tentang masalah dinamika identitas etnis Simalungun dan sejarah berdirinya GKPS sehinga dapat memberikan petunjuk dan informasi kepada peneliti tentang adanya informan lain dalam masyarakat yang dapat memberikan keterangan tentang data yang dibutuhkan oleh peneliti seperti pengetahuan akan bahasa Simalungun, adat- istiadat Simalungun, penggunaan ornament fisik bangunan Simalungun, busana

Simalungun, dan perayaan keagamaan. Sebagai informan pokok adalah didasarkan atas pengetahuan khusus yang dimilikinya tentang hal-hal khusus yang berhubungan dengan masalah penelitian seperti latar belakang masuknya

Missionaris RMG ke Simalungun. Informan pangkal adalah orang yang saya anggap mempunyai kemampuan untuk memperkenalkan dan mendalami peneliti kepada informan atau responden lain yang ahli tentang data penelitian yang dibutuhkan untuk melengkapi penelitian ini.

Dengan demikian sebagai pertimbangan untuk memilih informan dari dinamika penguatan identitas etnis Simalungun (hasimalungunon) dalam berdirinya GKPS sebagai berikut :

1. Orang yang saya anggap memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam

tentang identitas etnis Simalungun (hasimalungunon) sebelum munculnya

nama GKPS.

78

Universitas Sumatera Utara 2. Orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang

sejarah etnis Simalungun dalam berdirinya GKPS.

3. Orang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah GKPS, dan dari

kalangan ini adalah Pendeta yang masih aktif memimpin Jemaat yang

tergabung dalam resort, maupun Pendeta yang sudah pensiun (emeritus)

namun masih dapat melayani, juga para Penginjil (Evangelis), Sintua,

anggota, dari jemaat GKPS.

4. Orang yang memiliki aksesibilitas dan terlibat dalam kegiatan kelembagaan

identitas etnis Simalungun (hasimalungunon) seperti : Partuha Maujana

Simalungun (PMS), Museum Simalungun, dan Universitas Simalungun

(USI).

Bertolak dari kriteria tersebut dan sesuai dengan sifat pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif maka jumlah informan pangkal dan informan pokok dalam penelitian ini berjumlah 17 (tujuh belas) orang. Hal ini dilakukan peneliti sebab dari hasil pelaksanaan pengumpulan data di lapangan telah diperoleh jawaban, pandangan harapan dan persepsi dari informan sebagai hasil wawancara sudah menunjukkan keseragaman pola, untuk menjawab Fokus Masalah yang telah dirumuskan dalam Bab I disertasi ini, sehingga peneliti berpendapat bahwa wawancara sudah cukup. Pola demikian sesuai dengan pandangan Koentjaraningrat (1985:46), bahwa wawancara sudah dapat dihentikan ketika telah ditemukan jawaban, pandangan harapan dan persepsi dari informan sebagai hasil wawancara sudah menunjukkan keseragaman pola.

3,3 Teknik Pengumpulan Data

79

Universitas Sumatera Utara Peneliti melakukan pengumpulan data melalui berbagai teknik yaitu: melakukan observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan triangulasi atau gabungan. Peneliti melakukan observasi di Kecamatan Raya, daerah ini adalah sebagai awal masuknya zendeling RMG dan di daerah ini juga bangunan gereja didirikan pada tahun 1903, dan bangunan itu masih tampak sampai saat ini. Selain itu di daerah ini masih dapat dilihat bekas bangunan istana Raja Raya, (Etnis

Simalungun) yang bermarga Saragih Garingging sehingga dapat dipahami, dan daerah tersebut saat ini telah menjadi ibukota kabupaten Simalungun, sehingga peneliti dapat melihat perilaku orang Simalungun. Keberadaan peneliti sebagai orang Simalungun, dan pernah sekolah di daerah ini memudahkan untuk melakukan wawancara dan bergabung dengan penduduk setempat. Hal demikian oleh Moleong (1997:134) dimungkinkan memperoleh wawancara, untuk memperoleh informasi penelitian. Peneliti juga melakukan pengamatan terhadap sejumlah gereja GKPS sebagai tempat berkumpulnya komunitas orang Kristen

Simalungun khususnya pada hari Minggu, dan pada hari keagamaan mereka melakukan ritual keagamaan. Interaksi sosial orang Simalungun Kristen sebagai warga GKPS terutama saat peristiwa kematian, perkawinan, dan pelaksanaan adat yang dilakukan dan menunjukkan identitas etniknya. Ketika berada di lokasi gedung GKPS peneliti juga memperhatikan model bangunan GKPS yang menunjukkan gaya etnis Simalungun. Ketika ada upacara keagamaan, misalnya olob-olob GKPS atau „ulang tahun‟, peneliti mengobservasi symbol etnik yang digunakan dalam hal pakaian atau busana yang digunakan, musik etnik yang digunakan jika menggunakan musik, tarian etnik, dan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar yang digunakan oleh komunitas etnik Simalungun.

80

Universitas Sumatera Utara Peneliti juga melakukan kunjungan dan pertemuan ke rumah para informan untuk bertukar informasi dan ide melalui „tanya jawab‟, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu tentang identitas etnik

Simalungun. Di rumah informan ketika peneliti mewawancarai bapak sebagai kepala rumah tangga kadang juga isteri informan ikut nimbrung dan membantu suaminya memberikan banyak informasi, sehingga teknik pengumpulan data demikian semakin mendalam lagi. Kalaupun pada hari itu belum tuntas, informan juga bersedia didatangi, bahkan diundang untuk berbicara mengenai keberadaan etnis Simalungun sebagaimana yang dipahaminya, berdasarkan realita yang ada di sekitarnya. Ketika wawancara memang peneliti tidak membawa daftar pertanyaan tertentu, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah tidak terlepas dari topik penelitian, sebab hal ini mencegah kekakuan antara informan dengan peneliti sehingga informasi tidak sampai menyimpang atau bias. Jadi sifatnya adalah peneliti menjaga persaudaraan, dan peneliti selalu berusaha untk menarik garis hubungan kekerabatan terlebih dahulu dengan informan, dan sesudah itu jika sudah saling mengetahui posisinya sebagai apa dalam tutur maka wawancara dilanjutkan. Misalnya kalau peneliti sebagai marga Saragih, mewawancarai informan yang bermarga Purba, maka selalu peneliti panggil “Tulang” (Paman), dan kadangkala informan tersebut juga protes tidak mau dipanggil “Tulang” dengan alasan isterinya juga “boru Saragih”, sehingga perlu negosiasi, dengan jawaban melihat di mana tempatnya (Sim.) “manorih ija parhundulni”, sehingga kalau peneliti datang ke rumahnya peneliti boleh panggil “Paman”, dan kalau dia nantinya datang kerumah peneliti maka ia juga akan panggil peneliti “Paman”.

81

Universitas Sumatera Utara Dalam pengumpulan data, peneliti juga melakukan wawancara dengan pucuk pimpinan pusat GKPS, yaitu Ephorus GKPS bapak Pdt.M.Rumanja Purba,

M.Si, untuk member ijin penelitian sebagai pintu untuk masuk mewawancarai informan lain yang berasal dari petugas yang bekerja pada institusi GKPS.

Selanjutnya, dilakukan wawancara dengan pendeta GKPS lain seperti Pdt.

Sarinus Sipayung, STh, yang bertugas sebagai kepala biro dalam Kantor Pusat

GKPS. Mereka ini merupakan informasi kunci untuk menjawab fokus masalah penelitian ini, dari sini ditunjukkan informan lain seperti Pendeta Berlian

Saragih,MTh, Pendeta J.K.Purba, STh. Pendeta Jadasri D Saragih,STh., Secara berantai dari mereka ini juga merekomendasikan informan lain yaitu

St.Drs.Kamen Purba, St.Drs.Jomen Purba, St.Drs.Kadim M Damanik, Drs.Kemal

Purba. Ada sebanyak 17 informan yang dapat memberikan keterangan jawaban fokus masalah. Dari mereka ini diperoleh informasi sekitar Sejarah dan dinamika berdirinya GKPS, Perjuangan menguatkan identitas etnik Simalungun dan program kerja GKPS.

Pengumpulan data Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dapat berbentuk sumber tertulis, foto, gambar, data statistik atau karya-karya monumental dari seseorang (Moleong, 1997: 113-117). Studi dokumen merupakan bagian dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian ini. Dokumen yang diperoleh digunakan untuk memperkuat penelitian ini agar dapat lebih sahih dan terpercaya. Peneliti juga memanfaatkan secara optimal dokumen yang diperoleh untuk menjawab fokus masalah penelitian yang telah dirumuskan. Beberapa dokumen yang diperoleh dan digunakan adalah berupa :

82

Universitas Sumatera Utara a) Dokumen Gereja GKPS yang terdapat di kantor pusat GKPS, juga koleksi

pribadi Informan. Dokumen itu berupa arsip tentang rapat-rapat, surat-surat

keputusan tentang GKPS. b) Gambar berupa foto masa lalu ketika peristiwa penting dalam sejarah

komunitas Kristen orang Simalungun, gambar tokoh, gambar gereja, gambar

kegiatan, busana, musik etnik Simalungun. c) Majalah pada zamannya seperti „SINALSAL‟ yang terbit sekitar tahun 1931-

1942. d) Arsip kolonial seputar tahun 1905 sampai 1907 pada saat raja Simalungun

menandatangani perjanjian pengakuan tunduk kepada Belanda yang disebut

Koorte Verklaring. e) Arsip zending berupa Surat Keputusan zendeling August Theis dari RMG

Jerman ditempatkan di tanah Simalungun tahun 1903. f) Majalah Kolonial seperti „Indische Gids‟ tahun 1937. g) Sejumlah literatur berupa buku sebagaimana dicantumkan dalam daftar

pustaka disertasi ini. h) Peta wilayah kediaman orang Batak, peta zending Batak 1903-1936, peta

migrasi orang Batak Toba Kristen Protestan ke tanah Simalungun, peta

kabupaten Simalungun, dan peta Onderafdeling Simalungun tahun1922-1945.

Peneliti juga melakukan pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Hal ini merujuk pada suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna, memverifikasi kemungkinan pengulangan dari suatu observasi ataupun interpretasi, namun harus

83

Universitas Sumatera Utara dengan prinsip bahwa tidak ada observasi atau interpretasi yang 100% dapat diulang. Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengklarifikasi makna dengan cara mengidentifikasi cara pandang yang berbeda terhadap berbagai fenomena dinamika penguatan identitas etnis Simalungun dibalik berdirinya GKPS. Bila peneliti melakukan pengumpulan data, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang seklaigus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dari berbagai sumber data. Dalam hal ini peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipasif, wawancara mendalam dan dokumentasi untuk sumber data yang sama, yang bertujuan bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah dikemukakan. Seperti untuk melihat penguatan identitas etnis Simalungun dibalik berdirinya GKPS dapat dilihat langsung ketika acara kebaktian oleh komunitas orang Kristen Simalungun sebagaimana tertulis dalam dokumen berupa program yang tercantum dalam arsip, pelaksanaan diacara, pelaksanaan keseharian, dan penjelasan wawancara dari informan.

Data yang telah terkumpul perlu diuji keabsahannya adalah jika informasi yang diperoleh berasal dari hasil wawancara misalnya, perlu diuji dengan hasil observasi dan seterusnya. Dengan ungkapan lain, kebenaran (keabsahan) informasi diperiksa dengan teknik pengumpulan data yang berbeda. Pada sisi lain kalau ada informasi yang diperoleh peneliti dari dokumen berbeda dengan wawancara maka data diperiksa melalui dokumen yang berbeda. Kemudian jika informasi tertentu misalnya ditanyakan kepada informan yang berbeda atau antara

84

Universitas Sumatera Utara informan dengan dokumentasi, juga dilakukan data pembanding dengan sumber pembanding. Dalam peelitian ini kadang kala situasi lingkungan wawancara dapat mempengaruhi informan dalam bertutur, sehingga peneliti mencoba menemui informan dalam kesendiriannya sehingga ada perasaan bebas menyampaikan sesuatu. Demikian juga dalam hal teori, peneliti memperhatikan apakah ada keparalelan penjelasan dan analisis atau tidak antara satu teori dengan teori yang lain terhadap data hasil penelitian.

3.4 Teknik Analisa Data

Penelitian ini merupakan hasil dari suatu kumulatif pengetahuan dan pengalaman peneliti, sebagai peneliti dan juga sebagai anggota jemaat GKPS yang melihat secara langsung aktivitas orang Simalungun di kota Pematang Siantar, dan juga di kecamatan Raya kabupaten Simalungun. Penulis pernah tinggal di

Pematang Raya selama 5 tahun, mengikuti pendidikan, 2 tahun Sekolah Dasar, dan 3,5 tahun Sekolah Menengah Pertama. Karena itu penulis dapat mengunjungi gereja GKPS yang berdiri di Kecamatan Raya, dan aktivitas warganya dan hubungannya dengan bukan orang Simalungun, dan bagaimana percakapan- percakapan mereka tentang diri mereka, dan orang lain. Demikian juga akan aktivitas mereka dalam keseharian dalam menunjukkan identitas etnis mereka yang berbeda dengan yang “bukan mereka”. Peneliti juga sejak tahun 1988, yang berarti sudah 30 tahun tinggal di Pematang Siantar, dan ikut serta sebagai warga

GKPS, dapat melihat, mendengar, aktivitas orang Simalungun sebagai warga

85

Universitas Sumatera Utara GKPS dalam berinteraksi internal sesama dan eksternal yang berkaitan dengan identitas etnis Simalungun.

Maka penelitian ini mencoba melakukan sinkronisasi sumber data yang dipilih dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Proses pengumpulan data mengutamakan perspektif emik yaitu dengan mementingkan bagaimana informan memandang dan menafsirkan dunia sekitarnya. Sesuai dengan jenis data, disertasi ini menggunakan metode pengumpulan data melalui metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi.

Penelitian ini dalam menjelaskan dinamika mencoba menggunakan pendekatan kesejarahan dengan memberikan perhatian terhadap “pengalaman” individu dan kolektif dalam memahami dinamika identitas etnis Simalungun, sehingga life history menjadi alat pengumpulan data dalam penelitian ini. Bahwa dalam tradisi etnografi, bahwa life history dapat menjadi salah satu pengumpulan data, karena memberikan ruang yang besar pada terjadinya laporan yang baik antara peneliti dan informan dalam sebuah penelitian. Sebuah pengalaman individual yang ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yaitu pengalaman pada suatu lokalitas di wilayah kecamatan Raya, kabupaten Simalungun dan kota

Pematang Siantar dan tempat wilayah lainnya oleh para informan mempengaruhi pandangannya tentang dinamika identitas etnis Simalungun. Kehidupan kesejarahan dapat diperoleh melalui wawancara yang mendalam, dan pengalaman tingkah laku aktifitas, serta studi dokumen para informan. Pengalaman hidup dari

Pdt. J.Wismar Saragih, yang ditulisnya sendiri dalam Memorial Peringatan

Pendeta Jaulung Wismar Saragih (Marsinalsal) merupakan sumber yang sangat berharga sebab ditulis sendiri pada zamannya.

86

Universitas Sumatera Utara 3.5 Sumber Data

Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen yang difokuskan mengenai sejarah perkembangan kabupaten Simalungun dan yang didalamnya terdapat kota Pematang Siantar, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan agama Kristen Protestan hingga berdirinya GKPS, dan juga perkembangan masuknya pendatang asing “etnis lain”, terutama dari Tapanuli Utara yaitu orang

Toba, demikian juga dari Karo, Pakpak, Nias, Mandailing, Angkola, Melayu,

Cina, India, dan Eropa, serta kelompok etnis lain. Perhatian juga tidak terlepas dari sejarah perkembangan pemerintahan dari masa sebelum kolonial Belanda, masa kolonial Belanda, masa kemerdekaan. Sejarah pemerintahan mempengaruhi terhadap kebijakan perluasan penyebaran agama Kristen Protestan di Simalungun, dan juga mempengaruhi terhadap solidaritas etnis dan pada gilirannya menguatkan identitas etnis Simalungun.

Demikian halnya maka dilakukan pengumpulan dokumen yang berkaitan dengan kesejarahan pada masa pra-zending Kristen Protestan, dan zaman zending yang dimulai 1903. Selanjutnya sejak 1907 orang Simalungun berhadapan dengan kolonial Belanda, dalam periode ini peneliti mengumpulkan dokumen kolonial yang berkaitan dengan kekuasaan para raja orang Simalungun.

Dalam menjelaskan menguatnya kesadaran identitas etnis Simalungun dengan peristiwa tahun 1928 dimana komunitas Kristen Simalungun membentuk organisasi keetnisan yang bertujuan memajukan kehidupan mereka sendiri melalui kekristenan dimulai dari Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Peneliti juga mengumpulkan dokumen terkait dengan kesejarahan komunitas Kristen

Simalungun hal mana mereka menuntut identitas etnis Simalungun ditegakkan

87

Universitas Sumatera Utara dalam organisasi gereja Batak dan berdirilah Huria Kristen Batak Protestan

Simalungun (HKBPS) tahun 1953.

Dinamika berikutnya penguatan identitas orang Simalungun peneliti mengumpulkan dokumen peristiwa tahun 1963, komunitas orang Simalungun

Kristen berhasil mendirikan gereja sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan

Simalungun (GKPS), yang terlepas dari gereja Batak yang bernama Huria Kristen

Batak Protestan (HKBP) peristiwa ini berlangsung di Pematang Siantar.

Dinamika berikutnya adalah dokumen yang terkait dengan sesudah 1963 orang Simalungun Kristen telah menunjukkan identitas etnis mereka pada lingkungan organisasi GKPS, dan dari sini mereka juga dapat dibaca oleh etnis lain dalam interaksi ditengah masyarakat yang pluralis di tanah mereka sendiri, wilayah budaya mereka Siantar Simalungun. Untuk penjelasan ini selain dokumen terkait peneliti melakukan wawancara dengan informan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan penelitian. Peneliti juga mengumpulkan data yang bersifat monumental dalam mendukung data dokumen, berupa foto Gereja GKPS, kegiatan aktivitas yang dilakukan oleh komunitas etnis

Simalungun Kristen.

Sumber data dalam penelitian disertasi ini berupa arsip, peneliti memperolehnya dari Arsip Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Arsip itu sebagian tersimpan di kantor pusat GKPS di Pematang Siantar. Juga ada pada jemaat-jemaat GKPS yang berada di Pamatang Raya, Seribu Dolok, dan wilayah

Simalungun lainnya. Selain itu bahwa monument Gereja awal juga masih ada ditemukan bertahan dan dipertahankan bentuk bangunannya seperti di Pematang

Raya. Untuk melihat keasliannya peneliti dapat memperoleh gambarnya dari

88

Universitas Sumatera Utara koleksi pribadi para Pendeta GKPS, dan juga para Penginjil GKPS, serta para

Sintua yang sudah purnabakti namun peduli akan kebudayaan Simalungun.

Bangunan berupa gedung GKPS, sekolah maupun rumah Pendeta atau Penginjil yang dapat member lukisan tentang identitas Simalungun. Arsip dapat berupa register keanggotaan GKPS, notulen rapat Gereja, Peraturan-peraturan, surat kabar.

Kemudian dalam menggali informasi pada periode awal sekitar tahun

1903, peneliti memperoleh arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Cilandak DKI Jakarta. Arsip ini adalah memberikan informasi orang

Simalungun terutama dari kalangan bangsawan yang oleh Belanda menyebutnya kaum Swapraja atau pemerintah lokal. Setiap pejabat kolonial yang berkuasa memberikan laporan tertulis mengenai penduduk dengan kondisi sosial, ekonomi, keamanan, kebudayaan, agama, politik, kehutanan, mata pencaharian, dan pembangunan yang terjadi diwilayah Simalungun.

Dalam hal sumber tertulis keberadaan perjuangan orang Simalungun dalam tubuh Gereja Batak itu, penulis memperoleh majalah Gereja yang diterbitkan oleh orang Simalungun pada zamannya yaitu majalah „Sinalsal‟.

Majalah „Sinalsal‟ adalah majalah orang Simalungun yang terbit sekitar tahun

1931-1942. Selain itu peneliti juga membaca majalah “Ambilan Pakon Barita‟ yang terbit mulai tahun 1970, oleh GKPS dan diedarkan dalam lingkungan jemaat

GKPS dengan berita seputar GKPS.

Buku referensi berupa buku yang diterbitkan sejaman, baik yang ditulis oleh oleh orang Simalungun seperti Pendeta J.Wismar Saragih, dan orang luar

Simalungun seperti Jan Tideman yang pernah menjadi asisten residen di wilayah

89

Universitas Sumatera Utara Simalungun dan Tanah Karo (Simelungun en Karolanden) dan juga M. Joustra dengan bukunya Batakspiegel, yang terbit tahun 1926.

Selanjutnya untuk melengkapi sumber data penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan berbagai pihak, yaitu para pelayan berupa Pendeta

GKPS, seperti dari kalangan Pendeta, para Penginjil, para Sintua, dan juga warga jemaat.

Dengan demikian bahwa peneliti menggunakan sumber data yang dikategorikan atas dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama), sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. Data primer diperoleh dari hasil obervasi, hasil wawancara mendalam atas pendapat informan kunci (key informan) dan informan pokok. Sebagai contoh data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui wawancara peneliti dengan nara sumber.

Data sekunder misalnya catatan atau dokumentasi berupa koran, arsip, literatur, jurnal, karya monumental, laporan pemerintah, dokumen pribadi, internet, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu data sekunder diperoleh dari buku-buku kepustakaan melalui penelitian kepustakaan dan dokumen lainnya. Sumber data penelitian berupa : dokumen, arsip, buku referensi, bangunan atau artefak, wawancara dari para Informan. Dokumen berupa catatan perihal orang Simalungun, dapat yang dihasilkan orang perorangan atau koleksi pribadi, lembaga resmi pemerintah dan non pemerintahan mulai dari zaman pra kolonial, kolonial, dan masa kemerdekaan.

90

Universitas Sumatera Utara BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dinamika penguatan identitas etnik Simalungun dibalik berdirinya GKPS mengambil lokasi wilayah identitas kultural etnik Simalungun, peneliti memilih dua tempat yaitu Simalungun Atas tepatnya di Kecamatan Raya, dan Pematang Siantar, yang biasanya disingkat dengan Siantar, adalah merupakan wilayah kultural etnis Simalungun, dan kedua tempat ini berdasarkan data sejarahnya adalah tempat yang menyaksikan peristiwa terhadap dinamika pendirian GKPS, yang walaupun saat ini secara administrasi tata pemerintahan telah menjadi bagian sendiri-sendiri yaitu kota Pematang Siantar dan kabupaten

Simalungun. Di Pematang Raya kecamatan Raya yang merupakan ibu kota kabupaten Simalungun saat ini, adalah daerah pertama didirikannya sebuah gereja oleh pihak zending tahun 1903, dan ijin pemberian lokasi gereja pertama itu adalah dari raja kerajaan Raya, raja yang memerintah pada saat itu. Pematang

Siantar yang saat ini telah menjadi kotamadya secara administrasi pemerintahan, secara budaya adalah budaya Simalungun yang merupakan warisan raja Siantar dinasti Damanik, dan di tempat inilah disahkan dan ditandatangani pendirian secara syah GKPS pada tahun 1963. Pematang Siantar adalah kota lokasi gedung kantor pusat GKPS, sebagai pusat administrasi pengelolaan organisasi gereja

GKPS yang telah berdiri di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Papua dan

Sulawesi. Menurut statistik GKPS bahwa pada tahun 2017 jumlah Gereja (jemat)

624, yang dikelola secara administrasi dalam 137 Resort, dan 137 Resort ini

91

Universitas Sumatera Utara dikelola dalam 9 Dstrik. Total keseluruhan warga GKPS adalah 222.932 jiwa

(Susukkara GKPS 2018: 462).

4.1.1. Kecamatan Raya

Kecamatan Raya merupakan kecamatan terbesar dan terluas di Kabupaten

Simalungun, dengan luas 328,50 Km2, dengan letak geografis sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Raya Kahean dan Silou Kahean, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Purba dan Dolok Silou, dan sebelah Timur berbatasan dengan

Kecamatan Panombeian Panei.

Daerah ini merupakan daerah pertanian, dengan lahan sawah dan non sawah yang cukup luas, dengan jarak tempuh ± 30 Km dari kota Pematangsiantar, dan di kecamatan ini terdapat daerah Pematang Raya, ibukota kabupaten

Simalungun.

Pada masa pra kolonial kecamatan Raya dengan penduduk orang

Simalungun mempunyai loyalitas dan berpusat pada satuan desa „nagori‟, kelompok kekerabatan setempat, dan kepada raja Raya yang berkedudukan di

Pematang Raya dari dinasti Saragih Garingging. Hal ini dapat dimaklumi sebab pada masa itu penduduk masih jarang dan komunikasi serta transportasi yang masih terbatas. Baru kemudian setelah tahun 1907, masuk kolonial Belanda, orang

Jerman (zending RMG), orang Batak Toba dengan latar belakang budaya mereka masing-masing, terjadilah kontak langsung dengan orang Simalungun secara waktu yang berkepanjangan sehingga muncul persaingan, maka perasaan kesukuan yang eksklusif yakni pembentukan struktur hubungan sosial dalam arti

“kita” lawan “mereka” mulai muncul.

92

Universitas Sumatera Utara Pada tahun 2016 kecamatan Raya mencakup 17 nagori (desa) yaitu:

Nagori Dolog Huluan, Raya Usang, Raya Bayu, Dalig Raya, Merek Raya,

Bahapal Raya, Sondi Raya, Bah Bolon, Raya Huluan, Siporkas, Silou Huluan,

Silou Buttu, Bonguron Kariahan, Sihubu Raya, Raya Bosi, Simbou Baru, Bintang

Mariah dan 1 kelurahan, yaitu Kelurahan Pematang Raya.

Dari 17 nagori tersebut yang paling luas adalah kelurahan Pematang Raya sebesar 38 Km2, dan nagori Bah Bolon seluas 9,8 kilometer bujursangkar yang terkecil. Berdasarkan Statistik kabupaten Simalungun 2016 kecamatan ini berpenduduk 32.260 jiwa dengan rincian laki-laki: 16.240 jiwa dan perempuan:

16.020 jiwa. Penduduk terpadat adalah di kelurahan Pematang Raya, yaitu 6.571 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 1.679. Sementara itu jumlah penduduk terkecil adalah nagori Sihubu Raya yaitu 495 jiwa, terdiri dari 164 rumah tangga.

Berdasarkan Susukkara GKPS bahwa sampai tahun 2017 di wilayah ini telah berdiri sejumlah 89 jemaat GKPS, yang dikelompokkan dalam Distrik II

GKPS, dengan keanggotaan 31.554 jiwa (Susukkara GKPS 2018: 459). Dengan demikian sekitar 98 % penduduknya adalah berada pada jemaat GKPS.

Ketika peneliti berjalan mengunjungi beberapa nagori di kecamatan Raya, bertemu dengan penduduk dan berbicara maka mereka menggunakan bahasa daerah Batak Simalungun, dan peneliti juga menjawab dan berdiskusi dengan bahasa yang sama. Ketika peneliti menanyakkan marga diantara penduduk di

Pamatang Raya, ada yang marganya „Sinurat‟ , „Naibaho‟ , Situmorang, (bukan marga Batak Simalungun). Namun ketika peneliti memulai berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa Indonesia, Bapak Sinurat menjawab:

93

Universitas Sumatera Utara “lang pala mar bahasa Indonesia ham, marbahasa Simalungun ma hita ai Simalungun do hanami, bapakku pe tubuh i huta on do, sonai age au tubuh i huta on do, homa hanami margareja i GKPS, janah parhorja ni kuria in do au” artinya “bapak tidak usah berbahasa Indonesia, kita berbahasa Simalungun saja karena bapakku juga lahir di kampong ini, demikian juga saya, kami adalah orang Simalungun dan warga jemaat GKPS dan sebagai pelayan gereja”

4.1.2 Pematang Siantar

Pematang Siantar saat ini secara administrasi pemerintahan merupakan kotamadya Tingkat II yang posisinya dikeliling oleh kabupaten Simalungun, dan secara historis kultural merupakan bagian dari Simalungun. Kabupaten

Simalungun merupakan daerah yang menyokong perekonomian kota Pematang

Siantar. Bahan-bahan hasil dari pertanian, perkebunan, peternakan, dan segala jenisnya mengalir ke Siantar untuk memenuhi kebutuhan pokok warga Siantar.

Tata letak dari kota ini juga tergolong strategis, kantor-kantor pemerintahan dengan pusat perdagangan, pusat perindustrian, perhotelan dan sebagainya sangat berdekatan, sehingga dapat diakses dengan cukup mudah, ditambah dengan sarana transportasi yang sangat memadai.

Penduduk kota Pematang Siantar terdiri dari aneka etnis. Suku Batak

Simalungun dan Batak Toba tampaknya menjadi suku dominan di Pematang

Siantar. Suku lain seperti suku Batak Mandailing, Batak Karo, Minang, Jawa,

Melayu, dan Tionghoa, turut memperkaya aneka penduduk di kota ini.

Luas kota Pematang Siantar mencapai 79,971 Km², kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22,723 km² atau sama dengan 28,41% dari total luas wilayah kota Pematang Siantar. Pematang

Siantar dibagi atas 8 (delapan) kecamatan dan 53 (lima puluh tiga) kelurahan.

Jumlah penduduk mencapai 236.947 jiwa, dengan kepadatan penduduk sekitar

94

Universitas Sumatera Utara 2.963 jiwa per km² pada tahun 2012. Dari penduduk tersebut terdiri dari berbagai macam etnis, atau suku bangsa seperti: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak

Karo, Batak Mandailig, Batak Pakpak, Jawa, Minang, Melayu, Tionghoa, dan lainnya. Para penduduk itu menganut agama, sekte dan kepercayaan yang beraneka pula seperti : agama Islam, Kristen Protestan, Roma Katolik, Advent,

Hindu, dan Buddha, serta aliran kepercayaan. Pemeluk Kristen Protestan dan

Katolik, mayoritasnya terdapat di kelurahan Kebun Sayur, Kampung Kristen.

Pemeluk Islam mayoritas terdapat di kelurahan Timbang Galung dan Kampung

Banjar. Pemeluk agama Hindu mayoritas di daerah jalan HOS.Cokroaminoto dan

Jalan Cipto Mangunkusumo. Pemeluk agama Buddha mayoritas berada di pusat kota Pematang Siantar. Keberadaan pemeluk agama telah menjadikan kota ini menjadi salah satu kota terbaik dengan toleransi beragama yang paling tinggi di

Indonesia tahun 2016. Tidak adanya pergesekan sosial ataupun konflik antar umat beragama di kota Pematang Siantar.

Penduduk asli daerah Siantar adalah orang Batak Simalungun. Namun pada tahun 1900, diketahui mulai ada orang bukan Batak Simalungun, mereka pendatang, yaitu orang Cina dan Tamil (Keling). Sekitar 1903, orang Batak dari selatan juga mulai datang, terutama orang Batak Mandailing, yang kemudian menetap di bagian Utara Pulau Holing, yang sekarang bernama Kampung

Timbang Galung dan Kampung Melayu. Kemudian, orang Batak Toba masuk sekitar tahun 1907 semakin deras masuk, hal ini disebabkan: dua hal yaitu : (1) kebijakan kolonial Belanda, dan (2) Perkembangan zending RMG.

Kolonial Belanda membuat garis kebijaksanaan pemerintah kolonial

Belanda menjaga ketersediaan pangan berupa produksi beras untuk kebutuhan

95

Universitas Sumatera Utara penduduk terutama akibat banyaknya pendatang yang bekerja di sektor

Perkebunan Belanda di Siantar. Pemerintah Belanda menilai bahwa orang Batak

Toba memiliki ketrampilan dalam pertanian padi sawah. Karena itu mereka membutuhkan ketrampilan petani orang Batak Toba yang dianggap berdayaguna dalam mengolah pertanian sawah, dan perlu membuat persawahan baru. Orang

Batak Toba yang bersawah, memilih tempat tinggal di pinggiran istana Kerajaan

Siantar, yaitu kawasan arah ke Pematang Tanah Jawa dan arah ke Parapat, sekarang bernama Kampung Kristen. Tidak mengherankan jika sekarang ini di daerah Kampung Kristen mayoritas penduduknya adalah orang Batak Toba.

Memang mereka tidak lagi bertani, akan tetapi berdagang dan bekerja di kantor pemerintahan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Berdasarkan Susukkara GKPS bahwa sampai tahun 2017 di wilayah

Distrik I Pematang Siantar telah berdiri sejumlah 80 jemaat GKPS, yang menurut tahun pendiriannya jemaat GKPS Jalan Sudirman berdiri tahun 1951, dan jemaat bertumbuh secara bertahap di daerah ini. Jumlah anggota GKPS pada Distrik I

Pematang Siantar adalah 29.730 jiwa (Susukkara GKPS 2018: 458).

4.2 Identitas Etnis Simalungun

Ketika peneliti melakukan wawancara dengan bapak Purba di Pematang

Raya, saya membuka pernyataan bahwa saya bangga sebagai orang Simalungun, lantas informan tersebut menyatakan bahwa „ia sungguh bangga menjadi orang

Simalungun‟. Selanjutnya saya bertanya apa saja kebanggaannya tentang

Simalungun, ia menjawab lagi :

96

Universitas Sumatera Utara “orang Simalungun mempunyai motto hidup „Habonaron do Bona‟ artinya kebenaran adalah pangkal utama, leluhur orang Simalungun mengajarkan „semua diawali dengan kebenaran‟ walaupun saya belum tentu benar”. Selanjutnya Purba mengatakan kemanapun saya pergi saya menunjukkan identitas saya sebagai orang Simalungun.

Percakapan itu menunjukkan bahwa tidak ada orang yang tidak memiliki identitas, karena identitas merupakan suatu pertanda bahwa seseorang, atau kelompok orang itu berada. Liliweri, (2009: 10) menjelaskan bahwa kelompok orang yang memiliki identitas berupa adanya kesamaan dalam beberapa hal seperti : memiliki cerita asal-usul, mempunyai kenangan terhadap masa lalu, yang terfokus pada satu unsur simbolik atau lebih yang mendefenisikan identitas kelompok, seperti kekerabatan, agama, bahasa, pembagian wilayah, tampilan nasionalitas dan fisik, yang anggotanya sadar bahwa mereka merupakan anggota kelompoknya. Senada dengan itu juga dikemukakan Pelly (2015:4-5) bahwa setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas, memisahkan satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya, dan dapat dibedakan dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi, maupun pola hubungan antar etnik.

Selanjutnya ketika peneliti wawancara dengan B.Saragih di Pematang

Siantar, saya bertanya: “pak B.Saragih, Saragih apa ?” lantas ia menjawab : “saya

Saragih Garingging” asli dari keturunan Raja Raya. Saya baca di literatur bahwa

Raja Raya adalah marga Saragih Garingging. Dengan demikian bahwa orang

Simalungun sadar bahwa mereka mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama, yang berbeda dengan tradisi dan sejarah kelompok lain. Orang Simalungun mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adat-istiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Orang Simalungun mempunyai perasaan sendiri yang

97

Universitas Sumatera Utara secara tradisional berbeda dengan kelompok lain. Orang Simalungun menganggap diri mereka sebagai suatu etnis yang dalam pergaulan sehari-hari menamakan diri halak Simalungun. Menurut Tarigan (1971:4) bahwa orang Simalungun pada awalnya mempunyai tempat tinggal di wilayah Simalungun, dan mereka sama- sama merasa terikat oleh kesatuan turunan dan kesatuan nenek moyang, yang merasa dan mengakui bahwa mereka berasal dari suatu rumpun.

Dalam menjelaskan identitas Etnik Simalungun dapat dilihat dalam hal asal-usul nama Simalungun, leluhur orang Simalungun, marga orang Simalungun, wilayah teritorial orang Simalungun, adat Kebiasaan orang Simalungun, busana orang Simalungun, sistim kepercayaan tradisi dan atau agama orang Simalungun, bahasa orang Simalungun dan sistem mata pencaharian orang Simalungun.

4.2.1 Seputar penamaan orang Simalungun

Menurut Saragih (2008: 42), dan Damanik (2017: 11), juga Purba

(1977:10), bahwa nama Simalungun secara tradisi lisan diwariskan secara turun temurun oleh leluhur orang Simalungun dari generasi ke generasi. Istilah

Simalungun menunjukkan identitas orang Simalungun dan etnis Simalungun.

Terhadap kata „Simalungun‟ berasal dari dua kata yaitu : „sima‟ yang artinya

‟peninggalan‟ dan „lungun‟ yang artinya „sepi‟, „lengang‟ dengan demikian

Simalungun artinya peninggalan yang sepi. Kemudian kata Simalungun juga dilafalkan dari kata „si‟ artinya yang, dan „malungun‟ artinya rindu, berdasarkan pelafalan ini Simalungun adalah daerah yang sepi dan sekaligus dirindukan oleh orang yang telah meninggalkannya.

98

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pendapat Purba (1987: 2-3) dan Damanik (1974:13), mengatakan bahwa mereka bukan „Sibalungun‟, bukan „Simelungun‟, melainkan

Simalungun. Simalungun berasal dari kata : Si-ma-lungun, yang diartikan secara etimologis bahwa „si‟ adalah kata penunjuk, „ma‟ adalah awalan dan „lungun‟ artinya sunyi atau rindu. Simalungun juga dapat dieja dari kata „siou‟-„ma‟-

„lungun‟ yang diartikan „siou‟ adalah daerah atau wilayah, „ma‟ adalah awalan, dan „lungun‟ adalah „sunyi‟ atau „rindu‟. Malungun berarti yang sunyi atau yang dirindui. Simalungun juga diartikan berasal dari kata „Silou-ma-lungun‟ hal ini berkaitan dengan sejarah runtuhnya Kerajaan Siloutua sebagai lanjutan dari kerajaan Nagur dan terjadi perpindahan penduduknya ke daerah Samosir, dan terjadinya wabah penyakit sampar di kerajaan Siloutua tersebut. Simalungun juga dilafalkan dengan kata „simou‟ dan „lungun‟, dengan pengertian „simou‟ adalah samar-samar yakni antara nampak dan tidak nampak dengan terang, tetapi jelas ada. Ibarat sima (kuman) tidak dapat dilihat dengan terang tetapi nyata ada.

Lungun artinya sunyi atau lengang, karena wilayah itu dulunya merupakan belantara yang sunyi dan lengang dimana penduduknya sedikit hampir tidak kelihatan. Simalungun juga dilafalkan dengan „sima‟-„lungun‟, „sima‟ artinya sisa,

„lungun‟ artinya kesedihan, sehingga Simalungun diartikan sisa dari kesedihan.

„Sima-sima ni lungun‟ dilafalkan menjadi Simalungun.

Beberapa orang Simalungun yang saya wawancarai seperti : pak

K.Damanik di Siantar, dan pak KC.Sinaga mengatakan bahwa penggunaan nama

Simalungun berkaitan erat dengan sejarah orang Simalungun itu sendiri. Informan ini menceritakan bahwa:

Sejarah Simalungun diawali dengan zaman pra-sejarah Simalungun bermula dari Kerajaan Nagur yang diperkirakan tahun 500 sampai dengan

99

Universitas Sumatera Utara tahun 1367. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan berikut yang disebut zaman Kerajaan-kerajaan Batak Timur Raya 1367 sampai dengan 1833. Kemudian tahun 1833 sebutan nama Batak Timur dianggap tidak sesuai lagi disebabkan Kerajaan Harou (Karo) sudah tidak termasuk dalam Raja Naoppat (Dolog Silou, Tanoh Jawa, Siantar dan Panei). Para raja melaksanakan sumpah marbija atau ikrar bahwa mereka harus kompak dan bersatu mengusir musuh dengan ihktiar : „si sada parmaluan si sada lungun‟ artinya senasib dan sependeritaan yang akhirnya mereka sebut Simalungun.

Saragih (2008) menuliskan bahwa sejak tahun 1833 nama Simalungun semakin tegas sebab merupakan hasil harungguan bolon atau musyawarah para raja Simalungun beserta unsur pemerintahannya yaitu partuanon, partuha maujana, satu dalam ikrar adanya ahab simalungun yaitu perasaan senasib sepenanggungan. „Ahab‟ (Simalungun) dimaknai sebagai satu perasaan senasip dan sepenanggungan dalam perjuangan yang dimiliki bersama dan saling pengertian.

Dalam hal ahab Simalungun ketika peneliti melakukan wawancara dengan informan (bapak Purba di Pematang Siantar), beliau berpendapat bahwa :

“Ahab Simalungun adalah rasa sepenanggungan sesama „orang Simalungun‟ yang meskipun tidak diucapkan, sudah saling memahami perasaan orang lain serta ada rasa keberpihakan kepada orang Simalungun. Dalam bahasa orang Simalungun ada ungkapan yang mengatakan “madabuh jarum bani napotpot lang taridah mata tapi taridah uhur” (jarum terjatuh ditempat yang gulita tidak terlihat di mata namun terasa di hati). Artinya, meskipun perasaan seseorang tidak diungkapkan secara langsung, diharapkan orang lain dapat memahami dan merasakan, serta memiliki rasa keberpihakan kepada sesama orang Simalungun” .

Berdasarkan catatan orang asing seorang asisten residen Belanda yang pernah bertugas di Simalungun, yaitu Tideman (1924: 214) peneliti memperoleh informasi bahwa sejak menguasai Simalungun maka pemerintah kolonial Belanda mempertegas nama Simalungun dalam struktur pemerintahan kolonial dengan

100

Universitas Sumatera Utara nama afdeeling Simelungun en Karo-landen pada tanggal 12 Desember 1906, dicatatkan dalam Lembaran Staatsblad van Nederlandsch-Indie no.531. Nama tempat geografi Simalungun menunjukkan juga orang atau identitas etnis

Simalungun dalam onder afdeeling Simelungun. Dan ketika pemerintah kolonial

Belanda menguasai wilayah Simalungun mereka menyebut sebagai kawasan

Batak Timur (Timoer Bataksche landscahppen), dengan alasan letaknya diantara

Deli, Serdang, dan Asahan di satu sisi dan danau Toba, sebelah Timur dari

Tapanuli. Hal ini diwujudkan Kolonial Belanda dengan membentuk pemerintahan kolonial onderafdeeling Simalungun, dari afdeeling Simalungun en Karolanden

Kresidenan Sumatera Timur .

Joustra (1926: 59-60) menyebut nama Simalungun sebagai orang Batak

Timur, yang berada sebelah Timur Danau Toba. Ia juga menyebut wilayah ini dengan Tanah Timur (Het Timoerland) atau Tano Si Balungun: Simalungun, yang dihuni oleh orang berbahasa Simalungun dan masuk dalam pemerintahan

Residensi Sumatera Timur.

Demikian juga berdasarkan catatan dari Anderson (1971:225), sudah menyebut adanya nama Simalungun (semalongan), yang dia temui ketika mengunjungi pantai timur Sumatera selama enam bulan pada bulan Januari sampai dengan Juni tahun 1823. Ia menyebut nama Simalungun dengan ejaan : semalongan atau semilongan, dan kadang-kadang juga menyebutnya „Kataran‟.

Sebutan demikian tentunya adalah berdasarkan informasi yang dia peroleh dari penduduk setempat yang dikunjungi dari pesisir pantai timur Sumatera sampai ke daerah Simalungun melalui perjalanan menelusuri sungai yang menghubungkan

Simalungun dengan pantai timur Sumatera. Anderson mengunjungi daerah pantai

101

Universitas Sumatera Utara pesisir Selat Malaka dan berhenti di Labuhandeli, Serdang, Batubara dan Asahan, namun Simalungun tidak dikunjungi secara keseluruhan dan hanya Simalungun bagian timur (Simalungun bawah) dan tidak sampai ke danau Toba. Ia menyebut bahwa di pedalaman ada sebuah danau besar yang dapat ditempuh selama 9 hari dari Langkat atau lima hari dari Labuhan Deli.

Anderson (1971: 225-226) menjelaskan bahwa Simalungun memiliki sistem bernegara (principal cannibal state) seperti Siantar, Silou, Tanah Jawa,

Sipinggan, Purba, Raya, Panei, Marihat, Pagar Tongah, Nagasaribu, Nagur,

Bandar, Raya Usang dan Dolok Silou. Seluruh wilayah ini dipimpin seorang „raja‟ yang independen dibawah raja-raja yang terpisah. Setiap wilayah memiliki dialek

(logat) maupun variasi kebiasaan dan perilaku.

Keuning (1996 : 283-284) juga telah meneliti dan menyebut nama Batak-

Simelungun, sebutan demikian didasarkan kepada daerah tempat tinggalnya yakni daerah Simelungun berada di sebelah Timur-Laut danau Toba yang diperkirakan penduduknya pada tahun 1950 telah berjumlah 275.000 orang. Dijelaskan pula bahwa orang Batak Simalungun mempunyai logat bahasa Simalungun, yang berbeda dengan logat bahasa Batak Utara (Karo dan Dairi) dan Batak Selatan

(Toba, Mandailing, Angkola dan Sipirok).

Demikianlah penamaan Simalungun secara terus menerus sampai jaman kemerdekaan dan sampai terbentuknya sebuah kabupaten yang disebut kabupaten

Simalungun, sebagai pertanda bahwa identitas Simalungun berada di wilayah ini.

Hal demikian turut menjadi perhatian pemerintah Indonesia yaitu dengan menghargai identitas lokal yang terdapat di seluruh nusantara dari Sabang sampai

102

Universitas Sumatera Utara Merauke untuk dapat dijadikan sebagai perekat Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Pada tanggal 24-29 Pebruari 1964 di Pematang Siantar telah dilaksanakan

Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia, yang dihadiri 300 orang peserta utusan-utusan dari mahasiswa Simalungun, kecamatan-kecamatan se kabupaten

Simalungun, para orangtua (penatua) Simalungun, cendekiawan Simalungun, alim ulama dan undangan serta simpatisan. Materi budaya yang dibahas dalam seminar itu adalah soal identitas Simalungun yang meliputi: silsilah marga-marga di Simalungun, hukum adat perkawinan Simalungun, bahasa dan aksara

Simalungun, kesenian Simalungun, olah-raga dan permainan tradisional, hukum dan penguasaan tanah di Simalungun, dan persfektif kebudayaan Simalungun. Hal ini menunjukkan bahwa orang Simalungun berusaha untuk menunjukkan, menyatukan identitas mereka sebagai etnis Simalungun (Purba & Saragih.dkk.

2011).

4.2.2 Leluhur orang Simalungun

Penduduk pedalaman Sumatera Utara yang berdiam di sekitar pantai

Danau Toba bermula dari pesisir Pantai Timur Sumatera. Ditemukannya bukit- bukit kerang disepanjang pantai pesisir Timur Sumatera seperti Langkat menunjukkan bahwa nenek moyang orang Simalungun sebelum sampai ke kawasan Danau Toba sebelumnya telah tinggal di Pantai Timur Sumatera. Namun selanjutnya bahwa sebelum mereka sampai di Pantai Timur Sumatera ada dugaan bahwa mereka berasal dari Indocina.

103

Universitas Sumatera Utara Apabila dihubungkan dengan kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia datang melalui lautan maka jalur yang ditempuh adalah dari Pantai Timur

Sumatera atau dari Pantai Barat Sumatera, melalui „kota‟ Barus sebagai pelabuhan tua di kawasan ini. Dalam sejarahnya bahwa pelabuhan Barus merupakan kota tua yang sudah dikenal Internasional sebagai kota dagang sejak awal abad Masehi, yang menyediakan barang dagangan seperti kemenyan, kamper (kapur barus), yang sangat diminati pedagang internasional yang datang dari Timur Tengah, maupun Eropah.

Pada sisi lain bilamana mereka masuk melalui Pantai Timur Sumatera, maka kawasan ini merupakan jalur perdagangan internasional dengan pelayaran sutra yang menghubungkan negeri China, India, Arab, Afrika dan Eropah. Di

Pantai Timur Sumatera mereka mencari tempat hunian yang menurut mereka layak dan nyaman. Dengan demikian disepanjang Pantai Timur Sumatera ditemukan pemukiman tua seperti: Pasai, Lamuri (Aceh), Medan, Riau, Jambi,

Palembang, dan Jambi.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut kedatangan nenek moyang orang Batak adalah dari Pantai Timur Sumatera melalui Selat Malaka. Dari Selat Malaka dan setelah sampai di Pantai Timur Sumatera mereka mendirikan pemukiman dan dari pemukiman ini terbentuklah kota, yang pada awalnya menjadi pelabuhan yang biasanya juga dekat dengan hilir sungai dari pedalaman. Dengan menyelusuri sungai-sungai mereka menuju ke pedalaman sehingga terjadi perpindahan dari pesisir pantai menuju ke pedalaman dan terbentuk mata rantai perdagangan antara orang pesisir dengan orang pedalaman. Seiring dengan perkembangan waktu dan ruang tersebut maka dapat dipahami bahwa asal muasal pemukiman yang ada di

104

Universitas Sumatera Utara wilayah pegunungan tersebut adalah dari pantai yang kemudian pindah ke pegunungan untuk mencari pemukiman yang kondusif sekaligus mencari sumber daya alam yang layak untuk diperdagangkan ataupun untuk dikonsumsi sendiri memenuhi kebutuhan kehidupan.

Kinnon (2013:23) telah melakukan penelitian arkheologis di kota Cina dan mengemukakan bahwa Selat Malaka telah berperan penting sebagai jalur migrasi dan perdagangan di pesisir Pantai Timur Sumatera. Telah dicatat ada orang-orang dari pedalaman masuk ke pelabuhan kota Cina Pantai Timur Sumatera mereka masuk melalui tujuh lintasan melalui pegunungan Bukit Barisan, salah satu lintasan itu adalah lintasan Buaya, yaitu sebah lintasan yang mengikuti bagian atas sungai ular, yang memberikan akses ke daerah Seribudolok wilayah Batak Timur

(Simalungun). Sebagai bukti adanya perdagangan telah ditemukannya koin cina, porselin, keramik, tembikar, archa (Budha, Siwa dan Lakhsmi) di situs Kota Cina, dan situs Kota Rentang Hamparan Perak serta Benteng Putri Hijau Delitua. Selat

Malaka menghubungkan kota-kota di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara khususnya yang terhubung dengan wilayah Asia seperti Burma, Siam dan

Tiongkok, Timur Tengah dan Eropa. Selat Malaka terhubung dengan sungai yaitu

Sei Wampu, Sei Bilah, Sei Deli ke Tanah Karo sebagai wilayah pedalaman, dan sungai Bah Bolon sampai ke wilayah Simalungun, sungai Asahan sampai ke pedalaman ke Danau Toba setelah melalui wilayah Simalungun, demikian juga sungai Barumun ke Padang Lawas dan melalui sungai Batangtoru sampai ke

Barus. Dengan demikian bahwa wilayah Simalungun yang memiliki sungai Bah

Bolon, Bah Karei, Bah Boluk, mempunyai akses ke pantai timur Sumatera.

105

Universitas Sumatera Utara Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti darimana dan kapan, munculnya leluhur suku bangsa Batak. Untuk menjawab darimana dan kapan, jawabannya selalu dikaitkan dengan adanya mitologi Batak yang sangat mempengaruhi sistem adat-istiadat Batak. Dalam hal ini masing-masing sub etnis

Batak memang mempunyai mitologi sendiri yang pada pokoknya sama yaitu berkisar pada lahirnya Si Raja Batak yang menjadi nenek moyang semua orang

Batak.

Lumbantobing (1992: xii) berpendapat bahwa adanya perbedaan yang kini nampak di antara masing-masing sub etnis Batak adalah hal yang wajar, sebab pengaruh luar yang mereka alami masing-masing selama beratus-ratus tahun berbeda-beda. Namun pada dasarnya mereka mempunyai persamaan dalam genealogi, mempuyai tradisi bermarga, mempunyai hubungan „segitiga‟ kekerabatan (tungku nan tiga) sebagai akibat adanya hubungan perkawinan dengan eksogami marga, dalam hal ini orang Simalungun menyebut tolu sahundulan. Menurut Bangun (1981:109-110), bahwa masing-masing sub etnik

Batak memiliki istilah seperti: Karo dengan Singkep Sitelu, Toba dengan Dalihan

Natolu.

Untuk menelusuri asal usul orang Simalungun bisa ditarik garis perkembangan penyebaran manusia ke arah lebih awal. Vlekke (2016:8-10), menjelaskan tentang teori Sarasin bersaudara perihal asal usul nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari daratan Asia, yaitu dari Yunan di Cina Selatan pada hulu sungai Mekong, sebagai akibat faktor-faktor sosial ekonomi tertentu mereka meninggalkan tempat tersebut pindah ke arah Selatan menuju Hindia

Belakang (Campa, Kambodja dan Thailand), lalu dari sana menyebar ke

106

Universitas Sumatera Utara Indonesia. Pengungsian bangsa-bangsa ini terjadi dalam dua gelombang yaitu: (1)

Proto Melayu yang diperkirakan berlangsung tahun 3000 Sebelum Masehi, dan

(2) Deutro Melayu yang diperkirakan berlangsung antara tahun 300-200 Sebelum

Masehi.

Orang Simalungun termasuk golongan Proto Melayu, sedangkan gelombang yang datang kemudian Deutro Melayu kebanyakan tinggal di pantai dan menyatukan diri ke pedalaman dengan Melayu Tua. Besar kemungkinan yang masuk ke Simalungun terjadi dalam dua gelombang. Gelombang yang pertama masuk dari Aceh dan Pantai Timur Sumatera yang berasal dari Campa atau

Kamboja di Hindia Belakang, dan mereka ini disebut Proto Simalungun.

Kelompok Proto Simalungun ini dalam evolusi kehidupannya telah membentuk suatu sistem kemasyarakatan yang disebut „dusun‟ yang kemudian berkembang menjadi suatu persekutuan kelompok masyarakat yang lebih luas yang disebut

„nagori‟.

Sangti (1977: 148) dengan berpedoman pada Ypes berpendapat bahwa, diantara 1000 tahun Sebelum Masehi, suku Batak telah ada di daerah Batak yang masuk dari daerah Gayo dan Alas yang juga mempunyai marga seperti di Tanah

Batak. Kemungkinan orang Simalungun datang dalam dua periode, yang pertama disebut Proto Simalungun dan yang kedua Deutro Simalungun yang datangnya dari daerah Toba.

Perkembangan selanjutnya kelompok Proto Simalungun ini mendirikan

Kerajaan Nagur 500-1295, dengan pusat kerajaan di daerah Kerasaan, tepi Sungai

Bah Bolon dekat kota Perdagangan sekarang. Kerajaan Nagur ini sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan sebelah Barat dengan Danau Toba. Kerajaan

107

Universitas Sumatera Utara ini kemudian beralih menjadi Kerajaan Silou, yang didirikan pada tahun 1295 oleh Panglima Indrawarman dari Damasraya Jambi. Raja dari Kerajaan Nagur adalah bermarga Damanik (Kroesen, 1904:1. ; juga Parkin, 1978:80, dan Purba,

1977:16).

Sementara itu akibat wabah epidemi Sappar (penyakit yang mudah berjangkit dan mematikan) dan kekeringan yang berkepanjangan, kelompok orang

Simalungun yang pertama itu (Proto Simalungun) kemudian berpindah ke daerah di sepanjang pantai Danau Toba, Pulo Samosir sampai ke Pusuk Buhit. Dari

Pusuk Buhit ini kemudian menyebar ke daerah sekitarnya yang dinamakan Tanah

Batak. Proto Simalungun lain ada juga yang mengungsi ke Timur ke daerah

Melayu yaitu Pantai Timur Sumatera yang didiami orang Melayu dengan kehidupannya dominan sebagai nelayan. Sebagian lagi ada yang masih tetap bertahan di Tanah Simalungun.

Ketika wabah epidemi Sappar dan kekeringan itu berakhir, kelompok orang Simalungun pengungsi yang dari Toba-Samosir maupun dari pesisir timur kembali ke wilayah Simalungun. Akibat pergaulan dan hubungan perkawinan dengan penduduk setempat selama di daerah pengungsian terjadilah proses asimilasi dan integrasi antara penduduk Proto Simalungun dan penduduk Toba-

Samosir serta Melayu. Hal ini didukung dengan bukti adanya persamaan budaya, sifat, dan dialek, terutama di daerah Simalungun Atas dengan penduduk Toba-

Samosir maupun perpaduan dengan penduduk dengan kebudayaan Melayu.

Mereka yang kembali dari pengungsian dan kemudian menetap tinggal di tanah asalnya Simalungun disebut Deutro Simalungun yang berasal dari Toba dan daerah-daerah lain. Perjalanan historis demikian pula yang menyebabkan adanya

108

Universitas Sumatera Utara beberapa marga orang Simalungun ada dijumpai di daerah Toba-Samosir. Marga merupakan ikatan persekutuan dari orang-orang yang menganggap diri Saboltok

(seperut) atau sedarah, berdasarkan struktur geneaologis atau garis silsilah tertentu

(Aritonang, 1988: 43-44).

Marga pokok orang Simalungun ada empat yaitu: (1) Saragih, yang dapat dibagi kedalam sub-marga antara lain: Saragih Garingging, Saragih Sumbayak,

Saragih Turnip, Saragih Dajawak, Saragih Damunthe, Saragih Sitanggang,

Saragih Dabalok, dan Saragih Simarmata. Dalam hal ini Sitanggang, Dabalok,

Simarmata, dan Turnip, juga dijumpai di Toba-Samosir. Selain itu sebutan marga

Saragih, di Toba mereka sebut Saragi. (2) Purba, diduga berasal dari Bakkara

Pulau Samosir, kemudian berpindah ke Pakpak Dairi dan selanjutnya masuk ke tanah Simalungun. Marga Purba ini terdiri dari sub-marga: Purba Dasuha, Purba

Sidadolog, Purba Girsang, Purba Tambak, Purba Dagambir, Purba Pakpak, dan

Purba Bawang. Dari kelompok ini Purba Pakpak menjadi raja di Kerajaan Purba.

Purba Dasuha menjadi Raja di Kerajaan Pane. (3) Damanik, terdiri dari sub- marga: Damanik Tomok, Damanik Ambarita, Damanik Gurning, dan Damanik

Malau. Dari sub-marga ini Tomok, Ambarita, dan Gurning adalah merupakan nama desa yang ada di Pulo Samosir. Sebutan marga Damanik di Toba-Samosir adalah marga Manik. Marga Damanik ini menempati dan kemudian menjadi raja di daerah Siantar, yang sebelumnya telah memaksa marga Sinaga yang terlebih dahulu mendiami daerah itu pindah ke Tanah Jawa. (4) Sinaga disebut semula berasal dari desa Urat di Pulo Samosir. Marga ini meliputi Sinaga Simalungun dengan sub-marga: Sinaga Nadi Hoyong Hataran dan Sinaga Nadi Hoyong Bodat.

Sinaga Toba yang meliputi sub-marga yaitu: Sinaga Sidahapintu, Sinaga

109

Universitas Sumatera Utara Sidasuhut, Sinaga Porti, Sinaga Mandalahi, Sinaga Simanjorang, Sinaga

Sidanlogan, Sinaga Simaibang, Sinaga Sidabariba, dan Sinaga Sidagugur, mereka ini mendiami desa-desa Girsang, Simpangan Bolon, dan Parapat (Tarigan,

1971:15.; Clauss, 1982: 42.; Damanik, 1974:16. ; Tideman, 1922:91.; dan

Joustra, 1926: 199).

Adanya persamaan marga orang Simalungun dan Toba tersebut, membuat adanya klaim di kalangan orang Toba bahwa marga-marga orang Simalungun yang empat tersebut berasal dari keturunan orang-orang Toba, seperti yang dikemukakan dalam tarombo-tarombo orang Toba. Hutagalung (1991:25) misalnya mengklaim empat marga orang Simalungun itu berasal dari Toba.

Aritonang (1988: 44) mengatakan bahwa, ada enam kemungkinan jalur atau proses pembentukan marga: (1) yang lazim: menurut garis geneaologis; (2) yang diluar kebiasaan: (a). lewat adopsi; (b) lewat kelahiran diluar perkawinan

(=perjinahan); (c) lewat peristiwa khusus atau upacara tertentu; (d) lewat persebaran diluar bona pasogit (kampung halaman), dimana suatu marga berkembang biak menjadi banyak, atau satu marga bergabung dengan marga lain; dan (e) lewat pelanggaran asas eksogami-berarti kawin semarga, sehingga diciptakan marga baru. Hal ini bisa saja terjadi akibat proses pembauran dengan penduduk setempat baik melalui perkawinan maupun adopsi dari raja-raja setempat.

Tobing (1963:25) berpendapat bahwa proses migrasi diperkirakan telah berlangsung sekitar abad ke-11 sampai abad ke-14, pada masa itu pengaruh

Hinduisme sudah ada di daerah Batak, yang datang dari kerajaan Hindu di

Sumatera Selatan. Lebih jauh lagi Pedersen (1975: 17-18) berpendapat bahwa

110

Universitas Sumatera Utara kebudayaan Batak yang disebutnya dengan: Toba, Pak-Pak, Karo, Simalungun,

Angkola dan Mandailing telah dipengaruhi peradaban Hindu-Budha sejak 2000 thn - sampai dengan 1500 tahun Sebelum Masehi, terutama di daerah sebelah

Selatan dan Pesisir Sumatera Utara. Pengaruh itu besar kemungkinan berasal dari

India atau dari Jawa, dan paling besar kemungkinannya adalah dari orang-orang

Melayu Minangkabau di Sumatera Tengah-Barat, hal itu ditandai dengan adanya peninggalan candi di Tapanuli Selatan, yang berkembang pada abad ke-12 dan ke-

13.

Selanjutnya Loeb (2013: 20-21), telah mencatat bahwa banyak aspek budaya Batak, termasuk orang Simalungun yang merupakan hasil persentuhan dengan Hinduisme, misalnya: aksara huruf 19 atau Surat sapuluh siah, permainan catur, menunggang kuda, meluku sawah, religi, dan adanya perbendaharaan kata- kata yang berasal dari bahasa Sansekerta. Bukti adanya permainan catur bagi orang Simalungun adalah dengan dikenalnya desa „nagori‟ yang bernama Buttu

Parsaturan (bukit permainan catur). Kemudian Parkin (1978:79-81) berpendapat bahwa adanya nama kerajaan Tanah Jawa di Simalungun yang saat ini Kecamatan

Tanah Jawa dalam Kabupaten Simalungun, menunjukkan adanya masa pengaruh

Hindu-Jawa yang pernah mendominasi daerah Simalungun pada masa lalu. Lebih jauh lagi Tideman (1922: 58-59) seorang Asisten Residen di Simalungun pada tahun 1922, menduga bahwa nama Tanah Jawa berkaitan dengan masa lalu bahwa wilayah ini merupakan tempat tinggal koloni orang Jawa, yang dikaitkan dengan adanya dominasi Jawa atas Sumatera Selatan dan Tengah pada abad ke-14 dan 15.

Pengaruh itu juga tercermin dari adanya pemerintahan tradisional bentuk kerajaan di Simalungun.

111

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan paparan ini dapat disimpulkan sebuah pandangan bahwa jalur migrasi manusia pertamakali memasuki wilayah Sumatera bagian Utara lewat

Malaka adalah masuk dari pesisir pantai Sumatera Timur. Letak geografis

Simalungun yang membentang dari pesisir pantai timur Sumatera yaitu Selat

Malaka („laut asin‟ Simalungun) disebelah Timur sampai dengan sebelah timur danau Toba („laut tawar‟ Simalungun), adalah lebih memungkinkan dihuni terlabih dahulu sebelum masuk ke pedalaman Bukit Barisan. Hal ini adalah secara hipotesis, yang tidak tertutup kemungkinan dapat dibantah dengan alasan ilmiah lainnya, perihal asal usul orang Simalungun. Hal demikian juga diyakini oleh orang Simalungun itu sendiri yang ditunjukkan dalam penyampaian pendapat ketika dilaksanakan Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia I (pertama) yang dilaksanakan 20 Pebruari 1964. Dan dapat dijelaskan pula bahwa wilayah kabupaten Simalungun pada saat ini, bukanlah merupakan total wilayah

Simalungun pada awalnya sebagaimana yang disebutkan membentang dari „laut tawar‟ (sekarang danau Toba) sampai „laut asin‟ (sekarang selat Malaka).

Ketika peneliti melakukan wawancara dengan informan K.Purba di

Siantar, saya bertanya : “Bagaimana menurut pendapat bapak bahwa leluhur orang

Simalungun berasal dari Pusuk Buhit Toba Samosir ?” informan ini menjawab:

“saya tidak sependapat”. Leluhur Orang Simalungun adalah lebih dahulu ada, ketimbang mereka di Pusuk Buhit, sebab „kita‟ lebih dekat ke Pantai sementara mereka adalah di „pedalaman‟ dan „bukit „ lagi , jadi itu adalah „mitos‟ jawabnya.

Saya memperoleh gambaran jawaban ini bahwa identitas sebagai orang

Simalungun ditunjukkannya, dan tidak mau merasa inferior dari orang „Batak

112

Universitas Sumatera Utara Toba” yang mengklaim semua orang Batak berasal dari Pusuk Buhit dan dianggap mendominasi „orang Simalungun‟.

4.2.3 Marga orang Simalungun

Agustono dkk, (2012: 20-21); juga Kaco (2012: 23), berpendapat bahwa setiap bangsa di dunia ini memiliki cerita sendiri asal usul marga mereka yang disebut folklore. Sebagai contoh bahwa orang Yunani menghubungkan nenek moyangnya dengan Dewa Zeus, orang Jepang dengan Dewi Amaterasu Omikami, orang Gowa Sulawesi Selatan dengan mitos Tumanurunga, orang Toba dengan mitos Si Raja Batak yang menurut mitos diturunkan para dewa di Pusuk Buhit.

Orang Minangkabau percaya bahwa mereka diturunkan di Bukit Siguntang dari

Sang Sapurba yang konon adalah turunan Iskandar Zulkarnain. Orang Simalungun sendiri percaya mereka datang dari seberang atau tepatnya dari suatu tempat nun jauh dari daratan pulau Sumatera yang dalam cerita rakyat disebutkan datang dari

Banua Holing, Tanah India.

Folklore orang Simalungun menceritakan bahwa zaman dahulukala di

Simalungun berdiri kerajaan Nagur sebagai penguasa yang cukup kuat melindungi rakyatnya, namun pada masa kerajaan ini terjadi wabah penyakit sampar (kolera) yang sangat meluas. Penyakit ini sendiri menurut orang Simalungun dahulu berawal dari kutukan „dewa‟ (orang Simalungun Naibata) sehingga banyak orang meninggal. Untuk menghindari penyakit ini maka para „tabib‟ Simalungun menganjurkan bahwa orang Simalungun harus keluar dari kerajaan Nagur dan harus menyeberangi „air‟ supaya wabah penyakit tidak dapat mengikutinya, akibatnya orang Simalungun pergi menyeberang dan menuju Danau Toba yang

113

Universitas Sumatera Utara orang Simalungun menyebut dengan „laut tawar‟ atau „Bah Sibongbong‟. Menurut alam pikiran orang Simalungun ketika itu bahwa air danau berhasiat selain sebagai penangkal ‟Hantu Sampar‟ juga sebagai penawar atau „tawar‟ (obat).

Begitu kejam dan sadisnya penyakit sampar sampai orang Simalungun memberi makian atau sumpah serapah dikaitkan dengan „sampar‟ misalnya “matei ma ho ibuat Sampar Hantu Bedagai” artinya matilah engkau dimakan Hantu Bedagai.

Hal ini mengingatkan akan kekejaman wabah sampar di kampung Bedagai pada zaman dulu. Dari kerajaan Nagur orang Simalungun pergi menyeberangi danau dan sampai ke satu daerah yang mereka sebut „sahali misir‟ (sekali berangkat ke seberang) sekarang disebut Samosir. Setelah beberapa tahun kemudian orang

Simalungun yang mengungsi sudah merasakan bahwa kerajaan Nagur telah aman dari wabah penyakit tersebut, maka mereka pulang kembali ke daerah asalnya

Nagur yang sudah „sepi‟ mereka merindukan daerah itu (malungun) dan sadar bahwa apa yang tertinggal hanya sima-sima (peninggalan) saja, dengan demikian nama daerah itu disebut simalungun, yang merupakan perpaduan kata „sima-sima‟ dan „lungun‟.

Orang Simalungun membantah nenek moyang mereka berasal dari keturunan orang Batak dari Toba seperti yang diceritakan dalam tarombo

(silsilah) orang Batak Toba. Ketika peneliti bertanya kepada KM. Damanik dalam suatu percakapan tentang hal diatas maka beliau berpendapat :

bahwa leluhur „kami‟ Simalungun berasal dari seberang lautan (dipar) yaitu dari Tanah India (Banua Holing), datang dalam dua gelombang, rombongan pertama disebut Simalungun Naparlobei atau Proto Simalungun. Rombongan ini sampai ke Simalungun setelah melewati daerah Assam di India Timur, menyusuri Birma (Myanmar), Siam dan Malaka, terus menyeberang ke Sumatera Timur tepatnya di daerah Kabupaten Batu Bara sekarang. Kemudian mereka bertempat dan menetap di sekitar pesisir Timur (sekarang kabupaten Serdang Bedagai, Batubara,

114

Universitas Sumatera Utara Tebing Tinggi) dan membentuk kerajaan yang pertama yang bernama Kerajaan Nagur. Menurut Agustono.dkk, (2012:23-24) dan juga Purba, (1977:8), bahwa nama kerajaan Nagur ini sama dengan nama daerah di India yaitu Kerajaan

„Nagpur‟ atau „Nagore‟. Kerajaan Nagur sudah dicatat di Tiongkok pada zaman dinasti Sui abad ke-6. Raja Nagur yang pertama bernama Datuk Parmanik-manik yang kemudian berubah menjadi Damanik („da‟ artinya ‟Sang‟ dan „manik artinya „berwibawa‟). Diyakini marga Damanik merupakan marga penguasa pertama di Simalungun, dan keturunan Damanik ini juga menjadi penguasa di

Kerajaan Siantar sekitar abad ke-14. Kerajaan Siantar merupakan bagian dari

Simalungun dan sekarang sudah menjadi daerah Tingkat II kota Pematang Siantar.

Kerajaan Nagur ternyata tidak abadi sebab mengalami perpecahan diantara elite kerajaannya, terjadi saling berebut kekuasaan dan perang saudara.

Dalam suasana perang saudara tersebut, muncul kesadaran diantara elite kerajaan disebabkan munculnya musuh dari luar kerajaan yaitu dari negeri India, sehingga mereka berdamai dan bersatu menghadapi musuh dari luar kerajaan. Dari perdamaian ini maka mereka membentuk empat kelompok marga di Simalungun seturut dengan nama Panglima Kerajaan Nagur yaitu: (1) Raja Banua Purba

(Purba artinya „timur‟) menjadi Raja Silou (membentuk kerajaan Dolog Silou,

Panei dan Silimakuta) bermarga Purba; (2) Raja Banua Sobou Parnabolon menjadi marga Saragih (Sa-Ragih artinya „sang pemilik aturan‟) dan keturunannya menjadi yang dipertuan di daerah Raya (sekarang kabupaten

Simalungun), Padang Bedagai (sekarang kota Tebing Tinggi dan Serdang

Bedagai), dan Deli Serdang (sekarang wilayah Tanjung Merawa) dikenal dengan marga Saragih Garingging dan Saragih Dasalak; (3) Raja Saniang Naga yaitu

115

Universitas Sumatera Utara nama dewa penguasa lautan yang menjadi marga Sinaga penguasa di Kerajaan

Batangiou (kemudian beralih menjadi kerajaan Si Tonggang dan terakhir Tanah

Jawa) dan (4) Raja Nagur marga Damanik sebagai raja di kerajaan Nagur.

Berdasarkan keterangan tersebut diatas disimpulkan bahwa orang

Simalungun mengakui adanya empat marga induk yang disingkat dengan Si Sa

Da Pur, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Marga ini yang merupakan marga utama yang menjadi pemilik tanah di Simalungun semenjak zaman dahulu.

Masing-masing marga berdiri sendiri dan bersifat eksogami. Untuk mengikat persaudaraan dan kekerabatan diantara keempat marga ini, maka masing-masing kerajaan yang empat ini (kerajaan Tanah Jawa/Sinaga, kerajaan Siantar/Damanik, kerajaan Panei/Purba Dasuha, kerajaan Dolog Silou/Purba Tambak, kerajaan

Raya/Saragih) memiliki tradisi budaya perkawinan antar kerajaan dimana permaisuri (Puang Bolon) haruslah berasal dari putri raja tetangganya yang berbeda marga. Adat yang berlaku adalah bahwa pewaris mahkota raja di seluruh

Simalungun haruslah anak laki-laki tertua yang dilahirkan Puang Bolon. Dan yang dapat menjadi Puang Bolon haruslah berasal dari putri raja tetangganya, demikian secara turun temurun tanpa terputus demi melanggengkan kekerabatan sesama raja Simalungun. Berdasarkan informasi bagaimana raja, marganya, dan asal / sumber permaisurinya (Puang Bolon) pada masa sebelum kemerdekaan RI (1945) adalah sebagai berikut :

Tabel 2 : Raja, marganya, dan asal permaisurinya (Puang Bolon) pada masa sebelum kemerdekaan RI (1945) di Simalungun No Nama Kerajaan Marga Raja Asal / sumber Permaisuri

116

Universitas Sumatera Utara (Puang Bolon) 1 Nagur Damanik Padang Rapuhan (Padang Lawas) 2 Batangiou Sinaga Nagur (Damanik) 3 Silou Purba Tambak Silou Nagur (Damanik) Buttu 4 Dolog Silou Purba Tambak Nagur (Damanik), kemudian Lombang Saragih Garingging (Raya) 5 Tanah Jawa Sinaga Siantar (Damanik), Tuan Girsang dari Raya (Saragih Garingging), Tuan Dolog Panribuan dan Jorlang Hataran dari Simarimbun (Panei). 6 Panei Purba Dasuha Siantar atau Tuan Marihat (Damanik) 7 Siantar Damanik Tuan Silampuyang atau Sipoldas (Saragih Sidabuhit) 8 Purba Purba Pakpak Siantar (Damanik) 9 Raya Saragih Garingging Panei atau Bajalinggei atau Guru Raya (Purba Dasuha) 10 Silima Kuta Purba Girsang Raya (Saragih Garingging) atau dari Tongging (Saragih Munthe) Sumber: Agustono.dkk, (2012 : 23-24): Juga Tideman, (1922:50-83): (diolah).

Berdasarkan sistem perkawinan permaisuri yang berlaku pada raja orang

Simalungun maka dapat diduga bahwa ada politik perkawinan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas kekuasaan masing-masing raja untuk saling menjaga tidak saling menyerang sebab sudah memiliki pertalian keluarga. Selain itu orang

Simalungun juga mengakui adanya marga marga cabang dari marga utama tersebut yaitu :

Tabel 3 : Marga utama, Cabang marga orang Simalungun

117

Universitas Sumatera Utara No Marga Utama Cabang marga Daerah 1 Sinaga Nadihoyong Jorlang Hataran Hataran Dolog Panribuan Nadihoyong Bodat Girsang Sipangan Bolon Sidahapintu Sibaganding Sidasuhut Girsang Sipangan Bolon Porti Tanah Jawa Simandalahi Girsang Sipangan Bolon Sidanlogan Dolok Panribuan Simanjorang Dolok Panribuan Simaibang Girsang Sipangan Bolon Sidabariba Girsang Sipangan Bolon Sidagugur Girsang Sipangan Bolon 2 Saragih Sumbayak Raya, Raya Kahean Garingging Silou Kahean Dasalak Raya Kahean, Padang Bedagai Dajawak Rakut Bessi Simanihuruk Raya Simarmata Silimakuta Sitio Haranggaol, Silumbak Turnip Tigaras Sitanggang Tanah Jawa, Raya Sidauruk Raya, Dolok Pardamean,Sidamanik Sijabat Dolok Pardamean, Sidamanik Munthe Raya, Dolok Pardamean, Silimakuta Simbolon Purba, Horisan 3 Damanik Nagur/Rappogos Nagur Raya, Raya Kahean Usang Raya Bariba Padang Bedagai Bayu Siantar, Bandar Hajangan Sidamanik Simaringga Sipolha, Nagasaribu

118

Universitas Sumatera Utara Tomok Silimakuta Soula Dolok Malela Sarasan Tambun Raya, Tomok Manik Saribu, Ambarita Sihilon, Gurning Hutamula. Malau Sidamanik 4 Purba Tambak Dolog Silou, Tambak Lombang Siloubuttu, Tambak Bawang Serdang Tambak Tualang Cingkes Pakpak Purba, Panombean, Pane Tua Dolog Silou, Serdang Silangit Pane, Dolog Silou Sigumonrong Raya, Dolog Silou Sidasuha Lokkung, Marubun, Pane Sidadolog Raya, Sinaman, Lokkung, Cingkes Sidagambir Panei, Raya, Bajalinggei Tondang Marihat, Raya Tambunsaribu Sinaman, Raya, Saribudolok Siboro Raya, Huta Hinalang, Huta Tano Manorsa Haranggaol, Siboro Gaunggungan, Girsang Nagasaribu, Girsang Parhara Silimakuta, Girsang Jongjong Purbasaribu Girsang Jabubolon Nagasaribu, Girsang Tambun Silimakuta, Girsang Siseat Hambing Purbasaribu Tanjung Sipinggan, Hinalang Sinomba Tigarunggu, Hinalang Sumber : Claus, (1982: 42) ; Agustono.dkk, (2012 : 26-28); Tideman, (1922: 90- 91); Saragih, (1964: 7): (diolah)

119

Universitas Sumatera Utara Seiring dengan perjalanan waktu, dan manusia semakin banyak jumlahnya serta munculnya kebutuhan akan kehidupan yang lebih layak maka wilayah

Simalungun menjadi salah satu daerah yang menjanjikan kehidupan karena tersedia lahan yang luas, relatif subur dan jumlah orang Simalungun relatif sedikit suasana yang masih „sunyi‟ atau lungun. Orang Simalungun juga menerima arus pendatang disebabkan kebutuhan akan tenaga kerja untuk lahan pertanian mereka.

Mereka yang datang dan bekerja pada lahan orang Simalungun menyebutnya dengan istilah parombou atau „pekerja‟. Mereka yang datang ini pada awalnya berasal dari Toba, dan Samosir. Para Raja Simalungun dan penguasa Simalungun menerima orang dari Toba dan Samosir menjadi warganya yang dijadikan sebagai pekerja dan harus menyesuaikan diri marga asalnya dengan marga Raja orang

Simalungun (Sinaga, Saragih, Damanik, Purba), dengan demikian mereka dapat diakui sebagai kaula merdeka, dan dapat diberikan tanah oleh Raja Simalungun.

Untuk menyesuaikan dirinya orang-orang yang datang dari Toba dan Samosir itupun beradaptasi dengan marga raja dimana dia berdomisili dan melaporkannya kepada raja melalui aparatnya. Banyak marga yang menyesuaikan diri atau beradaptasi kepada marga orang Simalungun, dan mereka ini menjadi orang

Simalungun sebab sudah mengakui marganya menjadi marga Simalungun, sudah mempunyai Ahab Simalungun, mengaku dirinya orang Simalungun, berbahasa

Simalungun, berkepribadian Simalungun, berbudaya Simalungun, berkesenian

Simalungun dan beradat Simalungun. Diantara marga pendatang yang menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan marga orang Simalungun itu antara lain adalah :

Tabel 4 : Marga utama, Cabang marga yang datang dan menyesuaikan dengan Marga Utama di Simalungun

120

Universitas Sumatera Utara

No Marga Utama Marga yang datang dan menyesuaikan Simalungun dengan marga utama 1 Sinaga a. Sipayung f. Sihotang b. Sihaloho g. Simanjorang c. Silalahi h. Situngkir d. Lingga i. Sidebang e. Sitopu 2 Saragih a. Munthe b. Simarmata 3 Damanik a. Manik b. Malau 4 Purba a. Simamora b. Sihombing Sumber : Agustono dkk., (2012 : 26-28); Tideman (1922: 90-91); Saragih (1964: 7) : (diolah).

4.2.4 Wilayah teritorial orang Simalungun

Sebagai orang Simalungun memiliki identitas territorial yang diakui secara bersama oleh orang Simalungun. Menurut penuturan dari orang Simalungun bahwa wilayah teritorial mereka dapat dihubungkan dengan kekuasaan kerajaan

Nagur, yang terbentang dari „Laut Tawar‟ di sebelah Barat dan berbatasan dengan

„Laut Asin‟ di sebelah Timur. Orang Simalungun pada awalnya tidak mengenal adanya nama Danau Toba sebagaimana saat ini, namun mereka menyebut itu adalah „Laut Tawar‟, yang artinya airnya adalah tawar. Demikian juga untuk Laut

Asin mereka menyebut dan sekarang istilah itu adalah Selat Malaka atau Pantai

Timur Sumatera.

121

Universitas Sumatera Utara Ketika peneliti melakukan wawancara dengan pak St.G.Sinaga dari desa

Dolok Panribuan, peneliti bertanya : Bagaimana pendapat bapak tentang nama

„Laut Tawar‟ dan „Laut Asin‟ bagi orang Simalungun ? Beliau menjawab:

“Bahwa dahulunya wilayah yang membentang dari „Laut Tawar‟ sampai ke „Laut Asin‟ itu adalah merupakan teritorial orang Simalungun. Tidak dikenal Danau Toba, yang kami kenal adalah „Laut Tawar‟ airnya tawar yaitu sepanjang pantai mulai dari desa Bage, Haranggaol, Langgiung, Sipolha sampai ke Parapat. Dan „Laut Asin‟ adalah pantai Timur Sumatera bagian Utara, seperti Tanjung Bale.”

Namun seiring dengan perkembangan zaman dengan terjadinya penaklukan antar penguasa di kawasan Sumatera Utara terjadilah pergeseran sebab yang kuat selalu yang menang dan menjadi penguasa, dan yang lemah akan surut dan bahkan dapat punah. Sampai saat ini marga-marga orang Simalungun juga ditemukan di kawasan pantai Timur Sumatera seperti adanya nama kampung

Nagur di kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, tepatnya dibibir pantai.

Selain itu di Propinsi Riau banyak juga ditemukan nama „Pamatang‟ (Simalungun

= ibukota), seperti Pematang Peranap, Pematang Pudu, Pematang Reba, Pematang

Tinggi, Pematang Tebih, dan Pematang Ibul (Purba, 2016: 10).

Peneliti memperoleh informasi dari informan bpk G.Sinaga di Balata

Simalungun, bahwa wilayah teritorial orang Simalungun selalu dihubungkan dengan wilayah “kerajaan Nagur” yang dikuasai oleh dinasti marga Damanik, dan

“kerajaan Batangiou” yang dikuasai dinasti marga Saragih, keduanya telah berdiri di Simalungun sejak abad ke 5 Masehi. Berkaitan dengan itulah wilayah kekuasaan mereka terbentang dari panati „Laut Tawar‟ sampai pantai „Laut Asin‟.

Namun wilayah itu semakin berkurang ketika dua kerajaan tersebut lenyap dan muncul 4 kerajaan baru, yaitu Dolog Silou, Tanah Jawa, Siantar dan Panai. Maka

122

Universitas Sumatera Utara wilayah ke Pesisir Pantai Sumatera Timur pun lepas dan menjadi kekuasaan orang

Melayu.

Wilayah orang Simalungun semakin terdesak, ketika Kolonial Belanda melakukan intervensi, dan telah berhasil membujuk para Raja orang Simalungun menandatangani suatu perjanjian tanda takluk “Koorte Verklaring” yang dimulai pada tahun 1906, satu demi satu raja menandatangani dan akhirnya 1907 semua tunduk kepada pemerintah Kerajaan Belanda melalui Asisten Residen

Westenberg. Secara sepihak tahun 1906 wilayah Simalungun dan Karo dijadikan menjadi sebuah wilayah Afdeeling Simelongoen en de Karolanden, di bawah

Residensi Sumatera Timur. Pusat pemerintahan Afdeeling ini awalnya di

Seribudolok, namun tahun 1912 pindah ke Pematang Siantar dengan alasan kota ini lebih strategis, dan seiring dengan meningkatnya perkembangan arus modal asing. Simalungun menjadi onderafdeeling tersendiri diperintah oleh seorang

Kontrolir, dan Kontrolir pertama berkedudukan di Perdagangan Tomuan, dan sejak 1907 kedudukan kontrolir Simalungun dipindahkan ke Pematang Siantar.

Perjalanan sejarah mencatat bahwa sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, seiring dengan regulasi aturan tentang wilayah menurut pemerintahan

Republik Indonesia, maka wilayah orang Simalungun itu saat ini adalah kabupaten Simalungun, dan juga kota Pematang Siantar. Itulah secara territorial yang merupakan wilayah awal orang Simalungun dan sampai saat ini tetap merupakan bagian yang utuh dari orang Simalungun.

Tentu semangat territorial ini juga merupakan indikasi bahwa orang

Simalungun memiliki wilayah teritorial sebagai tempat beraktifitas dan merupakan tanah leluhur mereka dan dari territorial ini mereka membangun

123

Universitas Sumatera Utara bangsanya, dan menunjukkan jati dirinya dalam memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa.

4.2.5 Adat Kebiasaan orang Simalungun

Orang Simalungun sejak dulu sudah mempedomani adat kebiasaan dengan falsafah hidup yang diperoleh dari leluhurnya, yakni Habonaron do Bona,

Sapangambei manoktok hitei, Marharoan Bolon, Marsialop ari, Marsombuh

Sihol dan Hopuk. Pola interaksi selalu terikat dengan falsafah hidup yang berpedoman kepada Tolu Sahundulan Lima Saodoran, (Tungku nan tiga, lima seiringan) yang mengatur hubungan antara kerabat. Tolu Sahundulan adalah tiga kelompok dalam satu kedudukan yang utuh dan menyeluruh, dan Lima Saodoran adalah lima tapi satu rombongan perjalanan hidup (Sumbayak, 2001: 84.; juga

Damanik, 1974:144).

Menurut Purba (1997 : 23-33) bahwa sistim Tolu Sahundulan terdiri dari:

Tondong, Sanina, Boru, dan dilengkapi kesempurnaannya dengan Lima Saodoran yang terdiri dari: Tondong, Tondong ni Tondong, Sanina, Boru dan Boru ni Boru

(Anak Boru Mintori). Adanya struktur (kerangka susunan) lembaga adat ini sekaligus memberi gambaran atau besar kecilnya suatu upacara adat itu menurut besar kecilnya perhelatan adat yang akan dilaksanakan. Pola demikian di kalangan etnis di Sumatera Utara juga ditemukan pada adat orang Pakpak, yang terdiri dari

Kula-kula, Beru, dan Sinina/Dengan Sibeltek, di mana disebutkan marga „asal suami‟ dinamakan „marga Beru‟ atau Anak Beru. Kemudian marga „asal isteri‟ dinamakan marga Puang. Kedudukan keduanya adalah fungsional dalam kegiatan adat (Zuska, 1998 : 38).

124

Universitas Sumatera Utara Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun seluruhnya diikat oleh hubungan kekerabatan lewat perkawinan. Hal ini dimungkinkan karena adanya aturan yang menjadi konsep bahwa Puang Bolon (permaisuri) dan Puang

Bona (isteri yang pertama) merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja sebelumnya. Masing-masing kerajaan sudah memiliki aturan secara baku. Untuk Kerajaan Raya dari marga Saragih

Garingging, Puang Bolon haruslah puteri raja Panei, Badjalinggei atau Guru Raya dari marga Purba Dasuha. Kerajaan Purba dari marga Purba Pakpak haruslah puteri raja Siantar dari marga Damanik. Kerajaan Dolog Silou dari marga Purba

Tambak haruslah puteri raja Raya dari marga Saragih Garingging. Kerajaan Panei dari marga Purba Dasuha haruslah puteri raja Siantar marga Damanik.

Tideman (1922: 108) telah mencatat bahwa kerajaan Siantar marga

Damanik haruslah dari puteri Tuan Silampuyang atau Sipoldas dari marga Saragih

Sidauruk sebagai permaisuri. Raja Kerajaan Tanoh Jawa marga Sinaga

Nadihoyong Hataran mengawini puteri raja Siantar marga Damanik sebagai permaisurinya. Anakboru Sanina yang terdapat pada suku bangsa Simalungun turut mengikat hubungan yang lebih erat yang semakin memperkokoh hubungan kekerabatan di antara raja-raja Simalungun.

Ketika peneliti melakukan wawancara dengan pak Pendeta Siboro yang sudah berusia 72 tahun di Pematang Siantar, beliau mengatakan bahwa :

“orang Simalungun memiliki karakter : jujur, penipuan dan pencurian jarang terdapat diantara mereka, halus perasaannya, manis tutur bahasanya, hormat tingkah lakunya. Diduga bahwa karakter demikian berkaitan dengan kondisi sistim sosial dan politik pada masa berlangsungnya sistem kerajaan di daerah ini. Raja merupakan struktur tertinggi dimata masyarakat dalam system sosial dan wajibdihormati sebab dianggap merupakan wakil dari Tuhan. Hal itu juga yang menyebabkan bahwa raja bagi orang Simalungun dipanggil dengan sebutan „Tuhan‟ dan

125

Universitas Sumatera Utara dipanggil „Tuan‟. Misalnya Tuan Rondahaim Saragih Garingging, adalah Raja di Kerajaan Raya pada tahun 1888. Tuan Sangnawaluh Damanik Raja di kerajaan Siantar pada tahun 1890. Hal demikian dapat kita lihat juga pada masyarakat di Jawa Tengah khususnya di kerajaan Mataram Yogyakarta yang diperintah oleh Sultan dengan sistem kerajaan.

Memang dalam literatur yang ditulis Saputra (1979: 432) bahwa

Simalungun adalah Yogyanya Sumatera, yang diamatinya pada masa perang kemerdekaan. Orang Simalungun dikenal mempunyai karakter yang mempunyai prinsip dalam melaksanakan keputusan dengan teguh pendiriannya serta tidak mau berubah. Dan masing-masing orang menentukan sikapnya sendiri dan tidak mau turut-turutan atau ikut-ikutan.

Orang Simalungun mengenal dan melakoni upacara adat diantara mereka yang mencerminkan adat seputar lingkar hidup, seperti kehidupan yang diawali dengan seputar dalam kandungan, seputar kelahiran, seputar masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga akhir hidup berupa kematian. Adapun upacara adat menyangkut ritus peralihan dan bukan peralihan pada orang Simalungun adalah sebagai berikut :

Tabel 5 : Tipologi, nama dan jenis upacara adat orang Simalungun

No Tipologi upacara adat Nama Upacara Jenis upacara

1 Upacara seputar a. Mangalop parhorasan Malas ni uhur kelahiran (upacara tujuh bulanan) (sukacita) b. Tubuhan niombah (upacara sda kelahiran) c. Paabingkon (upacara sda memperkenalkan anak kepada kakek dan nenek) d. Patappei goran (upacara sda pemberian nama kepada anak) 2 Upacara seputar a. Manririd (upacara menjajagi Malas ni uhur Perkawinan calon pengantin perempuan) (sukacita) b. Marhusip-husip (berbisik) c. Pajabu Parsahapan

126

Universitas Sumatera Utara (musyawarah keluarga) d. Mangalop bona boli (pamit kepada paman) e. Maralop (upacara melamar atau meminang) f. Parpadanan (upacara akad nikah) g. Pamasu-masuon (upacara peresmian dan resepsi perkawinan) 3 Upacara terhadap a. Patohuhon pahompu (upacara Malas ni uhur Orangtua memperkenalkan cucu kepada (sukacita) kakek dan nenek) b. Sulang-sulang ni pahompu: paondos tungkot pakon duda- duda (upacara member makan kakek dan nenek) 4 Upacara seputar a.Marujunggoluh (kematian) Pusok ni uhur kematian b. Panimbunan (penguburan) (dukacita) 5 Upacara Lainnya a. Pariama (upacara panen) b. Martidah (upacara turun ke Malas ni uhur lading) (sukacita) c. Pauli pakon memasuki rumah tidak termasuk bayu (upacara membangun dan dalam ritus memasuki rumah baru) peralihan d. Rondang bittang (upacara muda mudi) (Sumber : Damanik, 2016: 107-108; juga Saragih 2002 diolah)

Dari keberadaan upacara adat orang Simalungun dalam pelaksanannya dapat dikategorikan dalam dua kategori yaitu : (1) pekerjaan adat besar (horja banggal) disebut juga adat nagok, dan (2) pekerjaan adat kecil (horja etek).

Sedangkan dari kandungan isi upacara adatnya dapat dibagi dua jenis yakni : (1) kerja adat sukacita (horja adat malasni uhur), dan (2) kerja adat dukacita (horja adat pusokni uhur). Kriteria dalam horja banggal atau horja etek adalah diukur dari pelibatan elemen kerabat dekat dalam pelaksanaan adatnya. Elemen kekerabatan tersebut terdiri dari : (1) tondong (pihak pemberi isteri atau semua keluarga laki-laki dari pihak isteri hasuhuton),; (2) boru (pihak penerima isteri),;

(3) sanina atau hasuhuton (keluarga bapak bersaudara atau pihak teman

127

Universitas Sumatera Utara semarga),; (4) tondong ni tondong (pihak pemberi isteri kepada tondong), dan (5) boru ni boru disebut juga boru mintori (Sumbayak 2001: 84-85; juga Damanik,

2016: 109).

Pekerjaan adat kecil (horja etek), hanya melibatkan tiga unsur yang disebut „tolu sahundulan‟ yaitu : (1) tondong (pihak pemberi isteri),; (2) boru

(pihak penerima isteri),; (3) sanina (pihak teman semarga). Menurut informan

(bapak Kadim M Damanik P.Siantar) bahwa horja etek dilaksanakan berdasarkan pertimbangan praktis dan merupakan manifestasi pencapaian hidup yang masih dalam masa transisional dimana kesempurnaan adat belum dapat diterimanya karena sesuatu dan lain hal. Namun demikian bukan berarti bahwa orang

Simalungun yang melaksanakan kerja adat horja etek tidak dapat melakukan pekerjaan adat besar (horja banggal). Masa transisional adalah situasi yang memposisikan seseorang individu maupun keluarga harus melakukan kerja adat kecil seperti: Mangalop parhorasan (upacara tujuh bulanan); Paabingkon

(upacara memperkenalkan anak kepada kakek dan nenek),; Patohuhon pahompu

(upacara memperkenalkan cucu kepada kakek dan nenek),; Sulang-sulang ni pahompu: paondos tungkot pakon duda-duda (upacara member makan kakek dan nenek),; Pauli pakon memasuki rumah bayu (upacara membangun dan memasuki rumah baru). Pada sisi lain pekerjaan adat besar (horja banggal) adalah keterlibatan lima unsur (lima saodoran) struktur sosial orang Simalungun yakni:

(1) tondong (pihak pemberi isteri),; (2) boru (pihak penerima isteri),; (3) sanina

(pihak teman semarga),; (4) tondong ni tondong (pihak pemberi isteri kepada tondong), dan (5) boru ni boru disebut juga boru mintori. Orang Simalungun memandang bahwa lima saodoran adalah manifestasi dari perwujudan kekekalan,

128

Universitas Sumatera Utara keabadian dan kesejahteraan yang saling menopang antar kerabat. Sebab untuk mencapai kesempurnaan hidup maka kelima unsur kerabat harus saling bahu membahu, topang-menopang dan dukung-mendukung. Tondong tidak dapat hidup sendiri tanpa dukungan dari sanina dan boru nya. Tondong tidak dapat mandiri tanpa dukungan penuh dari tondong ni tondong, maupun boru ni boru yang telah mendukung boru nya. Orang Simalungun yang mengerjakan adat horja adat

(suhut) harus membentuk hubungan sosial yang akrab dengan empat kekerabatan lainnya. Struktur sosial lima saodoran mengambarkan pengakuan, keterlibatan, dan dukungan antara kerabat terhadap kerabat lain dalam mendukung keberhasilan hidupnya. Pekerjaan adat besar (horja banggal) akan tampak pada upacara perkawinan (marhajabuan) baik dalam mengawinkan anak laki-laki

(paoppohon anak), mengawinkan anak perempuan (palaho boru) dan kematian usia tua (marujung goluh sayur matua).

4.2.6 Sistem Mata Pencaharian

Secara umum sebelum masuknya pengaruh asing (Kolonial Belanda,

Zending Kristen) mata pencaharian tradisional orang Simalungun sehari-hari adalah Marjuma atau berladang dengan cara menebas hutan belukar (Mangimas) dan mengolahnya menjadi lahan pertanian tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Beras menjadi makanan utama sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi, disamping ubi dan talas. Selain itu ada sebagian kecil yang mengolah persawahan (Sabah) seperti di desa Purbasaribu dan desa Girsang Simpangan Bolon dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang, orang-orang Simalungun menenun pakaian (Hiou)

129

Universitas Sumatera Utara yang biasanya dilakukan kaum ibu dan gadis-gadis. Orang Simalungun biasa menangkap ikan di sungai-sungai dan berburu ke hutan. Segala sesuatu yang perlu bagi rumah tangga harus disediakan sendiri seperti menganyam tikar sendiri, mengolah kapas menjadi benang dan menenun kain sendiri, sebab belum ada pasar yang dapat menyediakan keperluan itu. Perdagangan masih dalam bentuk barter, dan jika ada uang yang beredar adalah uang Spanyol, Inggris yang dimiliki oleh kalangan bangsawan Istana, dan keluarga kaya. Kebanyakan mereka hidup dalam keadaan miskin sebab para pria sering meninggalkan rumahnya menjalankan perintah raja, terutama dalam masa peperangan. Kecuali „raja‟,

„tungkat‟ dan „kepala kampung‟ jarang yang memelihara kerbau atau lembu, orang Simalungun memelihara kuda, kambing dan babi. Selain dari itu mereka juga mengumpulkan hasil hutan; mayang, rotan, dammar, untuk dijual ke pesisir dengan member cukai kepada raja sebesar 10% (Siboro, 1963:8).

Tideman (1922: 113-114) berpendapat bahwa ada sifat yang inferior secara rohani maupun jasmani dari orang Simalungun (Timoer ) yang disebabkan adanya tekanan yang begitu lama, bahkan bertahun-tahun yakni perbudakan (Parjabolonan) dan peperangan. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa praktek perjudian, candu merupakan penghambat kemajuan yang terbesar bagi orang Simalungun, khususnya di kalangan rakyat jelata sampai pada masa pemerintahan kolonial. Menurut Anatona (2006) bahwa tahun 1870-an institusi perbudakan di Tanah Batak, termasuk di Simalungun hidup dan berkembang.

Pada akhir abad ke-19 di Simalungun yang meliputi kerajaan Panei, kerajaan

Dolok Silou, dan kerajaan Raya tercatat 937 orang budak, yang terdiri dari 358 orang budak laki-laki dan 579 orang budak perempuan. Banyak faktor terjadinya

130

Universitas Sumatera Utara perbudakan, di Simalungun diantaranya : tidak mampu membayar hutang, kalah perang, terjadinya perampokan, tawanan yang melarikan diri, anak yang lahir diluar nikah, anak-anak pasangan budak, (Anatona 2006: 195, 200-201; juga

Tideman (1922: 110-111).

Pengaruh budaya orang pendatang dari bukan orang Simalungun turut membentuk karakter orang Simalungun. Di dekat perbatasan dengan orang Batak

Toba menonjol sifat-sifat Toba, demikian juga di dekat daerah orang Melayu di pesisir terasa adanya pengaruh agama Islam dan orang Melayu. Tentang kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu “Habonaron do Bona Hajungkaton do Sapata”. Falsafah hidup yang merupakan kebenaran itu terdiri dari: 1. Berpandangan benar, 2. Berniat benar, 3. Berbicara benar, 4.

Berbuat benar, 5. Berpenghidupan benar, 6. Berusaha benar, 7. Berperhatian benar, 8. Memusatkan fikiran dengan benar. Orang yang tidak konsisten menjunjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik.

Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan (Purba, 1977: 10).

4.2.7 Bahasa dan Aksara orang Simalungun

Orang Simalungun mempunyai bahasa dan berbicara dengan bahasa

Simalungun. Mereka juga menggunakan tulisan atau aksara Simalungun. Baik bahasa maupun aksara tersebut berbeda dengan yang digunakan rumpun sub-etnik

Batak lain seperti Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola maupun suku-suku lainnya di Indonesia. Menurut P. Voorhoeve orang Belanda yang melakukan penelitian di Simalungun tahun 1937, mengatakan bahasa Simalungun merupakan

131

Universitas Sumatera Utara bahasa rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara. Voorhoeve (1938:22-23) dan

Juga Purba (2003:16-18) menyebutkan bahwa kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati uy, dalam kata apuy dan babuy, g dalam kata dolog, b dalam kata abab, d dalam kata bagod dan ah dalam kata babah, sabah juga ei dalam kata simbei, dan ou dalam kata sopou, lopou.

Kozok (1999: 14), mengatakan bahwa bahasa Simalungun ditinjau dari sejarahnya merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari bahasa- bahasa Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Mandailing terbentuk. Dari sini, terlihat bahwa bahasa Simalungun lebih tua umurnya ketimbang bahasa

Batak Toba dan Mandailing. Dialek bahasa Simalungun itu sendiri, menurut

Tarigan (1987: 4) ada empat yaitu: dialek Silimakuta, dialek Raya, dialek Topi

Pasir (Horisan), dialek Jahe-jahe (dekat pesisir pantai timur).

Sementara itu Damanik (2017) menjelaskan tentang aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang tertua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni India Utara dan India Selatan. Aksara

Nagari dan Palawa masing-masing berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipakai diberbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk

Indonesia. Diantara kedua aksara ini, maka yang paling luas dan berpengaruh pengunaannya adalah aksara palawa, dan semua tulisan asli di Indonesia berinduk pada aksara Palawa.

Orang Simalungun memiliki bahasa penutur sehari-hari „bahasa ibu‟ yakni bahasa Simalungun, yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia,

132

Universitas Sumatera Utara yakni cabang terbesar dalam rumpun bahasa Austronesia. Voorhoeve berpendapat bahwa bahasa Simalungun berada pada posisi menengah antara bahasa rumpun

Batak Utara dan bahasa rumpun Batak Selatan. Selanjutnya Adelaar dalam

Damanik (2017) mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun Batak Selatan yang terpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum terbentuknya bahasa Toba atau Mandailing yang sekarang. Bahasa Simalungun adalah rumpun Austronesia sebagaimana juga disebut Voorhoeve.

Menurut Kozok (1999: 14), bahasa Batak terbagi dalam dua kelompok bahasa: bahasa Angkola, Mandailing dan Toba adalah rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun adalah kelompok ketiga berdiri diantara rumpun bahasa utara dan selatan. Tarigan

(1987:4) mengatakan bahwa bahasa Simalungun dapat dibedakan dalam empat dialek yaitu : (1) Silimakuta, (2) Raya, (3) Horisan atau tepi pantai sekitar danau

Toba, (4) pesisir pantai timur sering juga disebut „Jahe-Jahe‟. Dari segi intonasi bahasa Simalungun yang demikian halus dinyatakan mirip dengan bahasa

Mandailing dan Angkola serta jauh berbeda dengan bahasa Toba, Pakpak dan

Karo. Bahasa Simalungun menggambarkan struktur bertingkat serta tutur sapa yang sopan dan santun, sehingga dalam berbahasa orang Simalungun wajib menghormati dan memperagakan bahasa sesuai lingkungannya. Hal demikian juga terpengaruh dengan struktur dan tatanan sosial masyarakatnya. Bahasa

Simalungun memiliki beberapa tipe kata dan frasa euphemism seperti : (1) ekspresi figuratif, (2) metaphor, (3) sirkulomsi, (4) kliping, (5) pelesapan, (6) satu untuk satu subsitusi, (7) umum ke khusus, (8) hiperbola, (9) pernyataan tidak lengkap, (10) kolokial, (11) remodel dan (12) sebagian untuk keseluruhan.

133

Universitas Sumatera Utara Aksara orang Simalungun menggunakan aksara tersendiri, yang mereka sebut „Surat Sappuluh Siah‟ (terdiri dari 19 huruf). Naskah-naskah Simalungun pada mulanya dengan menggunakan aksara ini, yang ditulis pada kitab atau

Pustaha, yang disebut dengan Lak-Lak (kulit kayu) yang dapat dilipat. Kayu yang digunakan adalah kayu pilihan yang biasanya kayu alim (Aquilaria) yakni pohon penghasil gaharu yang diminati berbagai kawasan Indonesia termasuk luar negeri.

Kayu ini digunakan sebagai media penulisan naskah-naskah kuno ialah karena wewangian yang terkandung resin gaharu yang berfungsi bagi wewangian tubuh, wewangian upacara keagamaan, pengasapan dan fitofarmaka. Wewangian yang terkandung pada kayu alim sekaligus karena naskah-naskah yang ditulis pada media itu sering berisikan magis, fitofarmaka, ataupun almanac dan lain-lain yang dianggap „sacred‟, sehingga kulit kayu alim pun dipilih menjadi media penulisan naskah yang disebut Pustaha Laklak (Damanik, 2017: 105).

4.2.8 Busana orang Simalungun

Salah satu atribut sosiokultural (socioculture attribute) yang menandai setiap kelompok etnik (ethnic group) dapat dilihat dari busana tradisional

(traditional cloth atau traditional custom) yang digunakan oleh pendukung kebudayaan tertentu. Setiap kelompok etnik dapat ditandai dari busana tradisional yang digunakan oleh kelompok etnik itu. Bahwa jika seseorang menggunakan busana tradisional maka seseorang lain kemungkinan besar dapat mengkategorikan etnik dan budaya dari yang mengenakan busana dimaksud.

Orang Simalungun pada awalnya semenjak mereka mengetahui menenun

„martonun‟ oleh pekerja tenun „partonun‟ benang untuk menghasilkan sehelai

134

Universitas Sumatera Utara kain persegi (Simalungun “Hiou”), untuk digunakan melilitkan sehelai atau beberapa helai hiou pada sekujur tubuh yang paling vital, yaitu bagian kelamin dan dada untuk kaum perempuan „naboru‟ dan kelamin untuk kaum laki-laki

„dalahi‟. Hiou tenunan pertama belum sama sekali memiliki bentuk seperti baju, selendang „hadang-hadangan‟, gendongan (parompa) dan lain-lain. mula-mula hiou ini dipergunakan sebagai penutup badan, laki-laki dan perempuan, anak-anak atau dewasa dengan cara melilitkanya disekujur tubuhnya ataupun menaruhnya menjadi penutup kepala.

Kemudian melengkapi kesempurnaan penutup tubuh tersebut orang

Simalungun menggunakan baju, kemudian selendang „hadang-hadangan‟ berwarna gelap, dan penutup kepala laki-laki „Gotong‟. Orang Simalungun mempunyai ciri khas busana tradisional (traditional custom) yang dipergunakan dalam ritual adat istiadat, yang dipakai oleh laki-laki sebagai penutup kepala disebut disebut Gotong, dan perempuan mempunyai penutup kepala yang disebut

Bulang. Penggunaan busana ini oleh orang Simalungun mempunyai makna dan nilai sesuai dengan interpretasi mereka terhadap pandangan hidup (filosofi) maupun dunianya (cita-cita) orang Simalungun. Pandangan ini bermuara pada mimpi orang Simalungun berupa hidup makmur (welfare), hidup bermartabat

(prestise) dan memiliki nama baik (prestasi) (Damanik, 2016:4-5).

Pada perkembangan lanjutan bahwa orang Simalungun meningkatkan estetika akan hiou sehingga menjadi kemeja atau baju yang diberi kancing

„hassing‟ untuk menutup belahan kiri dan kanan dari baju yang dibentuk.

Demikian juga penutup kepala atau topi „Tangkuluk‟ ditingkatkan penggunaannya, sehingga dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu : (1) Gotong

135

Universitas Sumatera Utara penutup kepala menurut adat suka cita, (2) Porsa penutup kepala adat kematian

(Marujung Goluh), dan (3) Tangkuluk (penutup kepala sehari-hari). Sedang penutup kepala perempuan sesuai adat disebut „Bulang‟.

Menurut orang Simalungun, ‟Gotong‟ adalah penutup kepala menurut adat kebesaran yang dibuat khusus untuk upacara suka cita „malas ni uhur‟ yang hanya dipakai pada saat upacara adat atau upacara kebesaran kerajaan. Pemakaian

„Porsa‟ sebagai penutup kepala khusus dipergunakan untuk kematian „pusok ni uhur‟. Porsa ini adalah hanya berwarna putih, yang maknanya menandai kesucian yaitu kembali „putih‟ seperti sediakala saat lahir yang tidak bernoda. Porsa ini juga memiliki ukuran tertentu sesuai dengan hubungan kekerabatan dengan orang yang meningal (Damanik, 2016:157). Porsa tidak memiliki asesoris, hanya digunakan untuk merujuk penutup kepala adat orang Simalungun laki-laki, sedangkan penutup kepala bukan adat untuk laki-laki disebut „Tangkuluk‟.

Memang harus diakui bahwa seiring dengan perkembangan jaman orang

Simalungun berkenalan dengan bukan Simalungun seperti dengan orang Melayu dari Serdang, Bedagai, Batubara, telah memunculkan bentuk baru penutup kepala khususnya bagi laki-laki bangsawan yang berbentuk peci melingkar (Pasomin) di kepala. Pasomin adalah penutup kepala Raja dan Ningrat sebagai pamong praja pemerintah kolonial yang hanya dikenakan pada waktu perayaan-perayaan berkaitan dengan pemerintah kolonial seperti kelahiran raja atau Ratu Belanda maupun peringatan kemerdekaan Belanda. Sesungguhnya pasomin sama dengan priyayi di kalangan Melayu maupun di beberapa daerah lain seperti Siak,

Palembang dan lain-lain. Pada sisi lain Gotong (Lampe) adalah penutup kepala

136

Universitas Sumatera Utara Raja dan ningrat sesuai tradisi adat yang digunakan pada perayaan upacara adat maupun memenuhi undangan kerajaan Belanda di Siantar.

Penutup kepala gotong dan Bulang Lampei masih menunjukkan otensitas budaya asli Simalungun. Sampai saat ini Bulang Lampei masih digunakan perempuan orang Simalungun saat ke ladang ataupun ke pekan terutama di pedesaan.

Pada intinya identitas orang Simalungun dalam busana dewasa ini baik yang digunakan laki-laki dan perempuan adalah seperti tabel 6 berikut :

Tabel 6 : Bahagian Pokok Busana tradisional orang Simalungun

No Komponen Laki-laki Perempuan

1 Penutup kepala Gotong Bulang

2 Baju Teluk belanga Kebaya

3 Selendang Suri-suri Suri-suri

4 Penutup tubuh Ragi Panei Ragi Panei

5 Aksesoris inti Pisau (Gupag halasan) Gajut (tempat sirih)

(Sumber : Damanik, 2016: 15)

Sebagai penjelasan komponen Penutup kepala bagi kaum laki-laki disebut

„Gotong‟, sedangkan untuk kaum perempuan disebut „Bulang‟. Baju untuk laki- laki disebut „Teluk Belanga‟ dan bagi kaum perempuan disebut „Kebaya‟, selendang untuk laki-laki disebut „Suri-Suri‟ dan bagi kaum perempuan juga

„Suri-Suri‟. Penutup tubuh bagi kaum laki-laki disebut „Ragi Panei‟ dan untuk kaum perempuan juga disebut „Ragi Panei‟. Aksesoris inti bagi kaum laki-laki disebut „Pisou / Gupak Halasan), dan bagi kaum perempuan disebut ‟Gajut‟

(tempat sirih).

137

Universitas Sumatera Utara

4.2.9 Sistim kepercayaan awal orang Simalungun

Orang Simalungun pada awalnya menganut kepercayaan agama suku dan mereka menyebut parbegu atau sipajuh begu-begu. Orang Simalungun percaya bahwa setiap makhluk, tumbuh-tumbuhan atau alat tertentu mempunyai kekuatan gaib (Tambak,1982: 133). Allah yang dipuja orang Simalungun ialah Naibata, semacam tritunggal yang menguasai bumi (nagori) di atas dan di bawah, serta di tengah. Sejak zaman dahulu menurut Pustaha Parpandanan Na Bolag, orang

Simalungun sudah percaya bahwa di atas segala sesuatunya di dunia ini, hanya

Naibata yang maha kuasa atas seluruh makhluk. Naibata akan memberikan ganjaran yang adil dan setimpal bagi manusia sesuai dengan perilaku yang diperbuatnya. Apabila ada orang yang berbuat tidak adil, maka Naibata akan menimpakan kepadanya hukuman, bukan hanya kepada oknum yang melakukan ketidakadilan itu, tetapi juga kepada keturunannya.

Roh-roh yang menjadi pujaan orang Simalungun selain Naibata, adalah

Sinumbah dan Simagod. Sinumbah yaitu roh yang diyakini mendiami suatu tempat yang dianggap keramat, seperti kayu besar, batu, sungai dan medium lainnya yang dianggap berkuasa yang disebut parsinumbahan yang disucikan dan dikeramatkan penduduk sebuah kampung atau harajaan. Kekuatan gaib Sinumbah diyakini dapat melindungi bahkan menandingi kuasa Sinumbah dari pihak yang lain yang ingin mencelakakan orang Simalungun dalam huta tertentu.

Orang Simalungun pada awalnya percaya Sinumbah adalah „roh‟ yang diciptakan oleh Naibata bersama dengan manusia dan dikirimkan ke dunia ini, sedangkan Simagod ialah „roh‟ yang sudah mati. Jika ada sesuatu yang mereka

138

Universitas Sumatera Utara inginkan dari Sinumbah atau Simagod maka mereka mengadakan upacara ritual khusus dengan memberikan kurban atau menyatakan nazar atau niatnya kepada sembahannya itu. Bila „roh‟ itu menepatinya, maka ia harus menepati janjinya atau nazarnya dengan upacara khusus yang disebut Manganjab Simagod atau

Sinumbah. Tradisi Manganjab Simagod ni Panakboru Anggaranim boru Damanik di kolam renang Pamatang di Siantar masih dilakukan pada masa pemerintahan

Belanda (1907-1908). Controelur J.L.O. Brien sendiri menurut Hasan Pane

Paruhum bahkan ikut mengorganisisr pesta itu (Sangti 1977: 166). Menurut legenda, upacara ini berawal dari cerita bahwa puteri Raja Siantar yang sangat cantik jelita berubah menjadi ular besar, disebabkan rasa kesalnya akibat ranting kayu yang jatuh dan melukai hidungnya. Sang puteri yang konon tinggal menunggu hari perkawinannya dengan putera Raja bermarga Purba, bersumpah pada seluruh puteri keturunan marga Damanik dari Kerajaan Siantar, agar jangan berwajah cantik, molek sebagaimana dirinya. Sebelum ia meninggalkan Tapian

Suhi Bah Bosar, dipesankannya agar keturunan Raja Siantar setiap tahun mengadakan upacara adat Manganjab Simagod. (Amin & Damanik:1976: 131-

139; Juga Sangti, 1977: 166).

Di Kerajaan Panei terkenal Sinumbah Simangalobong yang dipercaya memiliki kekuatan melindungi kerajaan dari serangan atau niat jahat musuh.

Mula-mula Sinumbah ini terletak di Suha Bolag dekat Tigarunggu (kampung asal raja Panei marga Purba Sidasuha) kemudian dipindahkan ke Panei di Kampung

Bah Kapul dekat sungai kecil bernama Bah Silobong (Purba, 1970: 7). Begitu banyaknya orang yang datang pada masa manumbah ini sebagaimana horja-horja adat (pesta adat) yang dilakukan oleh orang Simalungun. Mereka percaya bahwa

139

Universitas Sumatera Utara tonduy, tuah atau begu-begu mempunyai sifat-sifat yang berbeda, sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Martonduy na manggoluh, marbegu na dob matei” artinya, „bahwa manusia yang hidup yang mempunyai roh, sementara orang yang sudah meninggal rohnya berubah menjadi semacam “hantu” atau makhluk halus‟. Hakekatnya, pada religi asli orang Simalungun, tonduy tidak pernah mengganggu, sebaliknya begu-begu sering memberikan gangguan kepada makhluk hidup. Sipayung (1978: 21), berpendapat bahwa kebahagiaan manusia dan keberuntungannya dalam kehidupan ini ditentukan oleh tonduy. Tonduy juga memiliki tempat-tempat kediaman tertentu di tubuh manusia, seperti: Si Tarihat yang berada di kulit, Si Ramboeni yang tinggal di dalam daging, Si Goeliman yang menyerupakan dirinya dalam bentuk otot atau pembuluh darah, Si

Pangoetan yang berdiam di dalam tulang, dan Si Djoenjoengan yang menempati kepala atau otak manusia.

Keseluruhan tonduy ini merupakan unsur-unsur yang melindungi dan menolong manusia. Posisi tonduy dan hubungannya dengan tubuh (Angkula) sangat erat sekali (Tideman, 1922: 157-159). Orang Simalungun juga percaya kepada benda-benda tertentu yang dapat memberikian perlindungan kepada pemiliknya. Kepercayaan ini merupakan bagian dari “agama asli” orang

Simalungun, sebelum masuknya Islam dan penginjilan Kristen di Simalungun.

4.3 Perjumpaan orang Simalungun dengan orang asing.

4.3.1 Orang Belanda sebagai kolonial (1907: Korte Verklaring)

Orang Simalungun mulai berjumpa dengan bangsa barat sejak akhir abad ke-19 dan semakin intensip pada awal abad ke-20 yaitu dengan orang Belanda.

140

Universitas Sumatera Utara Orang Belanda datang adalah dengan misi dagang atau kepentingan ekonominya dan melakukan penjajahan, untuk melindungi usaha perkebunan yang telah dimulai di kawasan Sumatera Timur, serta melanjutkanya ke daerah Simalungun.

Orang Simalungun oleh Belanda dianggap sebagai bagian dari daerah „Batak

Merdeka‟ karena itu perlu dikuasai melalui berbagai pendekatan terhadap orang- orang Simalungun yang memiliki sistim kerajaan.

John Anderson (1971:119-152) ilmuan dari Inggris tahun 1823 telah berhasil mengunjungi daerah Sumatera Timur dan bertemu dengan orang

Simalungun di daerah Asahan, Batubara, bahkan ia sampai ke daerah Tanah Jawa

Simalungun. Kemudian menurut Tideman (1922:40) bahwa tahun 1865 pejabat kolonial Belanda Controleur A. C. Van den Boer, mengunjungi daerah Asahan,

Batubara, dan Tanah Jawa, demikian juga L. De Schumaker mengunjungi daerah hulu Batubara dan Simalungun, dengan motif ekonomi untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan perluasan perkebunan ke berbagai daerah di Sumatera

Timur.

Memasuki tahun 1888 pemerintah kolonial mulai campur tangan terhadap kebebasan orang Simalungun dengan alasan penertiban terhadap wilayah Batak merdeka untuk dimasukkan menjadi bagian pemerintahan kolonial. Orang

Simalungun dari Raja Raya yaitu Tuan Rondahaim Saragih Garingging memimpin rakyatnya melakukan perlawanan, demikian juga Raja Siantar yaitu

Sang Nawaluh Damanik, melakukan perlawanan. Namun kurangnya kesatuan di antara kerajaan-kerajaan tersebut, memudahkan kolonial Belanda untuk menguasai dengan jalan membantu salah satu dari pihak-pihak kerajaan yang bersengketa. Satu demi satu Raja orang Simalungun takluk dan mengaku tunduk

141

Universitas Sumatera Utara kepada pemerintahan Belanda, seperti raja Sang Nawaluh Damanik dari kerajaan

Siantar tunduk 1888, Raja Djittar Sinaga penguasa kerajaan Tanah Jawa tahun

1889, Raja Djontama Purba Dasuha dari kerajaan Panei menyatakan tunduk tahun

1890, berikutnya tahun 1892 giliran Raja Tandjarmahai Purba Tambak dari kerajaan Dolok Silou. Selama tahun 1896 tiga orang Raja Simalungun yaitu Tuan

Hapoltakan dari kerajaan Raya, Tuan Rahalim Purba Pakpak dari kerajaan Purba, dan Tuan Pamoraidup Girsang dari kerajaan Silimakuta juga menyatakan takluk.

Sebagai konsekwensinya maka raja orang Simalungun melanjutkan pengakuan tunduk mereka dalam bukti tertulis dihadapan pemerintah kolonial yang diwakili

C. J. Westenberg Asisten Residen urusan Batak, dengan penandatanganan Plakat

Pendek atau Korte Verklaring.

Waktu dan tempat penandatanganan Plakat Pendek atau Korte Verklaring ini ditentukan pemerintah kolonial dan dilakukan di pusat kerajaan, untuk Raya dilaksanakan tanggal 9 Nopember 1902 bertempat di Pematang Raya. Untuk Pane dilaksanakan tanggal 24 September 1903 bertempat di Pematang Panei. Untuk

Dolok Silou dilaksanakan tanggal 27 April 1904 bertempat di Pematang Dolok,

Untuk daerah Purba dilaksanakan 4 Mei 1904 di Pematang Purba (ANRI, SoK

Bisluit No. 34, 7 September 1904, Bijlagen 10).

Plakat Pendek atau Korte Verklaring intinya menyangkut tiga pasal yaitu:

(1) Pengakuan takluk kerajaannya sebagai bagian dari Hindia Belanda, (2) Tidak akan mengadakan hubungan politik dengan negeri asing, (3) Sepenuhnya melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui pamongpraja Belanda. Setelah penandatanganan Pelakat Pendek ini maka dilanjutkan dengan Pengesahan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda terhadap

142

Universitas Sumatera Utara Verklaring para Raja orang Simalungun yaitu: tanggal 4 September 1907 untuk

Panei, Raya, dan Silimakuta, 5 September 1907 untuk Purba, 6 September 1907 untuk Tanah Jawa, 10 September 1907 untuk Dolok Silou, dan 16 Oktober 1907 untuk Siantar (Tideman, 1922: 48-49).

Sebagai taktik kolonial Belanda raja orang Simalungun menerima pengakuan pemerintahan otonom, namun dalam prakteknya sudah berada dibawah pengawasan kontrolir dan Belanda menyebut lebih tertib dari pemerintahan sebelumnya. Simalungun dijadikan sebuah onderafdeeling dari afdeeling

Simeloengoen en de Karolanden, residensi Oostkust van Sumatra. Afdeeling ini pusatnya semula 1906 di Seribudolok, namun sejak 1912 dengan pertimbangan strategis ekonomis dipindahkan ke Pematangsiantar. Sebelum 1906 daerah

Simalungun (Tanah Jawa dan Siantar) berada dibawah pengawasan

Onderafdeeling Batu Bara, dan sejak 12 Desember 1906 dibentuk Afdeeling baru meliputi Simalungun dan Tanah Karo sebagai daerah-daerah Batak yang baru ditaklukkan (ANRI, SoK Besluit No. 22, 12 Desember 1906.; Juga dalam

Staatsblad Van Nederlandsch-Indie, 1906, No. 531).

Para Raja orang Simalungun diwajibkan untuk menangani tertib administrasi kerajaannya, menetapkan batas-batas wilayah tiap kerajaan dengan lebih tegas, sehingga secara resmi pemerintah kolonial Belanda mengakui tujuh kerajaan di Simalungun, dimana setiap kerajaan dibagi atas beberapa distrik, dan perkampungan. Adapun ketujuh kerajaan (landschap) tersebut terdiri dari 16 distrik meliputi:

(1) Siantar, dibagi atas tiga distrik yaitu : (1) Siantar, (2) Bandar, (3) Sidamanik.

143

Universitas Sumatera Utara (2) Tanah Jawa, terdiri atas lima distrik yaitu: (1) Tanah Jawa, (2) Bosar Maligas,

(3) Jorlang Hataran, (4) Dolok Panribuan, (5) Girsang Sipangan Bolon.

(3) Panei, terdiri atas dua distrik yaitu: (1) Panei, (2) Dolok Batunanggar.

(4) Raya, terdiri atas dua distrik yaitu: (1) Raya, (2) Raya Kahean.

(5) Dolok Silou, terdiri atas dua distrik yaitu: (1) Dolok Silou, (2) Silou Kahean.

(6) Purba, hanya satu distrik yaitu Purba

(7) Silimakuta, juga hanya satu distrik yaitu Silimakuta (ANRI, SoK Besluit 15

Nopember 1912 No. 4, Bijlagen 2, No. 5104/4: 14-15; juga Radjamin Purba,

1972: 12).

Liddle (1970: 22-24) berpendapat bahwa para raja orang Simalungun yang telah berada dibawah tertib administrasi politik kolonial Belanda tetap melaksanakan sistem kerajaan, dan kolonial Belanda memanfaatkan sistem tersebut dengan cara mengukuhkannya demi kepentingan ekonomi dan politik mereka di Simalungun. Raja orang Simalungun oleh pihak kolonial diberi kuasa untuk memimpin persidangan wilayah kerajaannya bersama-sama dengan

Partuanon. Persidangan itu disebut kerapatan oeroeng yang bertugas memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana dan perdata di tengah-tengah penduduk. Keputusan yang diambil dalam Kerapatan ini harus mengikuti petunjuk hukum yang digariskan pemerintah kolonial (De Inlandsche

Zelfbesturen in Simeloengoen 1908-1932: 84-85).

Sementara itu peradilan di tingkat onderafdeeling Simalungun yakni kerapatan nabolon, pemerintah kolonial menunjuk salah seorang diantara raja orang Simalungun untuk menjadi ketua persidangan, yaitu atas hunjukan asisten residen Afdeeling Simeloengoen en Karolanden. Perkara-perkara yang dapat

144

Universitas Sumatera Utara disidangkan dalam kerapatan nabolon ini ialah perkara yang berbiaya f.150 dan perkara yang berbiaya f.60, menurut hukum adat Batak Simalungun serta perkara- perkara yang berhubungan dengan pegawai-pegawai kerajaan. Dalam prakteknya, walaupun ketua persidangan dihunjuk dari seorang raja Simalungun akan tetapi tetap dibawah kendali pemerintah kolonial. Hal ini ditandai dengan ditugaskannya seorang ambtenar mengawasi jalannya persidangan. Namun dalam rangka memperkukuh wibawa raja sebagai ketua persidangan, maka segala perkara yang diputuskan dalam kerapatan nabolon tidak dibenarkan naik banding lagi.

Strategi pemerintah kolonial Belanda selanjutnya untuk memperkokoh kedudukan raja nampak dalam hal pembebasan kerja rodi (kerja paksa). Para orang Simalungun beserta keluarga dekat, pegawai kerajaan, pegawai agama, guru sekolah, guru penolong serta para murid sekolah dibebaskan dari kewajiban itu.

Selain itu raja juga memperoleh upah raja, setiap penduduk yang pindah dari satu kampung ke kampung lain wajib membayar biaya hadat pindah sebesar f. 3 dengan perincian: f. 1 untuk raja, f. 0,50 untuk gamot yaitu pegawai pemerintah yang bertugas sebagai pembantu pemerintahan desa (Saragih, 1989: 70) dan f.

1,50 untuk penghulu kampung (De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen

1908-1932: 40).

Dengan demikian ada upaya pemerintahan kolonial Belanda memperkokoh posisi para raja orang Simalungun, dan ini merupakan politik kebudayaan Belanda demi mempertahankan supremasi ekonomi dan politiknya di tanah orang Simalungun. Sekalipun raja berhak mengambil keputusan di wilayah kerajaannya akan tetapi keputusan itu senantiasa berada dibawah pengawasan dan kekuasaan pihak kolonial. Dapat dikatakan masa ini pemerintahan di Simalungun

145

Universitas Sumatera Utara ditandai dengan semakin intensifnya kekuasaan kolonial dan pada sisi lain semakin terbatasnya kekuasaan raja-raja pribumi (Liddle,1970: 25-26).

Memang masuknya kekuasaan kolonial ke Simalungun telah membawa perubahan, misalnya untuk mendukung tata administrasi pemerintahan kolonial dibangun sarana-sarana penunjang seperti kantor-kantor kerajaan dan personilnya.

Sejumlah kantor yang dibangun meliputi kantor pengadilan, kantor polisi, rumah- sakit, rumah sekolah, kantor urusan garam dan candu. Sejak 1917 di setiap kerajaan diangkat seorang personal yang bertugas mengepalai urusan administrasi kerajaan yang disebut pangulu bale (De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen

1908-1932: 85).

Sementara itu pihak kolonial Belanda juga menetrapkan peraturan- peraturan yang menyangkut kebersihan, penertiban dalam pemeliharaan ternak, perambahan hutan, irigasi, penggajian pegawai kerajaan, penertiban harga sandang pangan dan papan. Raja orang Simalungun secara perlahan-lahan membuka mata untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan Barat dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan tersebut, serta hasrat untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam sistem organisasi pemerintahan. Untuk mencapai hasrat demikian tidak boleh tidak harus didukung oleh persyaratan-persyaratan tertentu diantaranya kemampuan membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, yang keseluruhannya itu tidak tersedia dalam lembaga pendidikan tradisional orang Simalungun. Memang sampai dengan tahun 1900

Orang Simalungun telah mengenal pendidikan non formal, yaitu model pendidikan yang diajarkan oleh Datu atau disebut Guru Bolon sebagai guru, dengan materi pelajaran meliputi pengetahuan praktis seperti Mandihar (bela diri

146

Universitas Sumatera Utara Silat), menulis di atas potongan Bambu atau kulit kayu (Laklak), pengetahuan kesehatan, ilmu-ilmu kebatinan dan lain-lain. Pendidikan ini menekankan nilai- nilai religius, moral, budaya, maupun politik dan ekonomi. Keadaan demikian pada gilirannya mendorong kalangan raja orang Simalungun mulai mengejar dan menikmati pendidikan Barat yang disediakan kolonial dan juga badan zending

(Damanik, 1974:25.; Aritonang, 1988: 41).

Pada sisi lain dengan masuknya penetrasi kolonial tersebut, bagi kehidupan rakyat semakin terperosok kepada jaring politik kebudayaan kolonial.

Kolonial menanamkan sikap kepada rakyat untuk patuh dan mengabdi kepada raja serta punggawanya sesuai dengan aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah

(ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21, MvO F. J. Neiboer, 1934: 24). Perlawanan orang Simalungun terhadap terhadap raja hampir tidak pernah muncul sepanjang periode kolonial, meskipun rakyat tidak puas dengan kondisi demikian, namun sifat masyarakat agraris yang melekat dan keterikatannya terhadap adat tradisinya yang kuat membuat mereka enggan melakukan protes apalagi sampai melawan rajanya (Reid, 1979: 54). Perbedaan sosial antara golongan bangsawan dengan rakyat semakin tampak. Golongan raja-raja Simalungun semakin menunjukkan rasa superioritasnya (ANRI,MvO F.J.Neiboer,op.cit.,:25). Perhatian mereka lebih banyak ditujukan kepada tugas-tugas kerajaan yang berorientasi kepentingan ekonomi dan politik kolonial, menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah identitas budaya Simalungun. Masalah-masalah sosial politik yang berkenan sebagai akibat dari kolonialisme Belanda tidak dapat mengalihkan perhatian orang Simalungun ke arah situasi identitas Simalungun.

147

Universitas Sumatera Utara 4.3.2 Zending Kristen Protestan, Kolonial Belanda, Batak Toba dan

Simalungun sebelum 1903

Masuknya zending ke tanah Batak Sumatera Utara pada abad ke-19 telah membuka lembaran sejarah baru bagi orang Simalungun. Orang pertama yang menyebar Injil (zendeling) memasuki Tanah Batak tahun 1824 adalah Richard

Buton dan Nathaniel Ward dari lembaga zending Inggris yaitu Baptist Mission

Society of England (Pedersen, 1970:47-48.; Lumbantobing,1992: 65). Buton dan

Ward berangkat dari Sibolga dan berhasil mencapai daerah Batak yang paling sentral, yaitu Silindung dengan selamat. Selanjutnya pada tahun 1834 dua orang zendeling Amerika, Henry Lyman dan Samuel Munson tiba di Sibolga. Mereka melanjutkan perjalanan ke Lembah Silindung, tiba di pinggir lembah tersebut, malam tiba. Karena itu mereka berhenti dan bermalam di Lobupining. Malam itu tanggal 28 Juni 1834, Raja Panggalamei beserta dua ratus orang rakyatnya menangkap dan membunuh kedua zendeling tersebut. Berita tentang pembunuhan kedua zendeling ini agaknya simpang siur. Pedersen menyatakan tidak ada bukti dan saksi mata yang jelas terhadap peristiwa itu. Selanjutnya dengan mengutip pendapat James W. Gould, Pedersen mengatakan bahwa: (1) ada dugaan pembunuhan itu boleh jadi ada kaitannya dengan keterlibatan Belanda yang secara rahasia menentang usaha-usaha zending, kendati sikap manis mereka diluar.(2)

Mereka dicurigai orang-orang Batak sebagai mata-mata Belanda atau musuh yang mau menyerang. (3) ada kemungkinan dibunuh oleh para pembantu mereka sendiri (Pedersen, 1970: 50-52. ; Lumbantobing, 1992: 66).

Setelah peristiwa tersebut, muncul anggapan adanya kanibalisme di kalangan Batak, sehingga usaha pekabaran Injil ke daerah ini agak surut.

148

Universitas Sumatera Utara Kemudian 1861 usaha zending ke daerah ini mucul kembali oleh zendeling

Lidwig Ingwer Nommensen, yang diutus Rheinsische Missions Gesellschaft yang berpusat di Barmen, Jerman (Kruger, 1966: 208).

Ada dua alasan yang menyebabkan zending RMG untuk memasuki daerah

Batak yaitu: Pertama, zending RMG yang sejak 1835 telah mendapat ijin dari pemerintah kolonial Belanda untuk bekerja menyebarkan agama Kristen di daerah

Kalimantan Selatan harus hengkang sebagai akibat pecahnya perang Hidayat tahun 1859 (End,1996: 194). Peristiwa ini mengakibatkan sejumlah zendeling kehilangan pekerjaan dan untuk itu perlu dicari daerah zending yang baru. Kedua, informasi tentang masyarakat Batak berupa buku yang beraksara Batak hasil karya Neubronner Van der Tuuk, secara tidak sengaja ditemukan seorang

Inspektur zending RMG yang bernama Fabri, di rumah Witteven seorang tokoh zending Belanda. Buku itu ternyata berisi terjemahan kitab Injil Yohannes dalam bahasa Batak Toba karya Van der Tuuk. Neubronner van der Tuuk pada awalnya adalah zendeling Belanda, yang tahun 1849 dikirim oleh Lembaga Alkitab

Belanda tinggal di Barus, pesisir Barat Sumatera. Ia mempunyai keahlian khusus mengenai bahasa Batak dan telah menulis tata-bahasa Batak, menterjemahkan beberapa bab dari Kitab Injil ke dalam bahasa Batak yang kemudian dicetak oleh

Lembaga Alkitab Belanda. Boleh jadi ialah orang Eropa yang pertama melihat danau Toba. Ia kemudian bekerja sebagai ahli bahasa dan etnologi untuk pemerintah Belanda, dan juga mengadakan penelitian tentang bahasa Lampung,

Kawi, Bali dan menyusun kamus Batak-Belanda (Pedersen, 1970:53-54; End 2,

1996:173).

149

Universitas Sumatera Utara Setelah mengadakan pembicaraan dengan Witteven diperoleh kesepakatan untuk menyatukan pekerjaan pemberitaan injil di Tanah Batak dibawah bimbingan RMG, sehingga tenaga zending yang menganggur di Kalimantan dikirim ke Tapanuli. Pada tanggal 7 Oktober 1861, berlangsung pertemuan antara zendeling Jerman: Heine dan Klammer, dengan zendeling Belanda: Van Asselt dan Betz di Sipirok Tapanuli, untuk membicarakan cara-cara penginjilan dan daerah kerja masing-masing. Semenjak saat itu usaha perintisan pekabaran injil di tanah Batak dilakukan oleh Jerman. Perwujudan zending di daerah ini kemudian mengutus L. I. Nommensen ke Sumatera, dan tiba di Barus pada tahun 1862. Di sana untuk sementara ia tinggal sambil meningkatkan pengetahuannya mengenai bahasa dan adat Batak Toba, dan Melayu. Setelah merasa cukup lalu dari Barus dia berangkat ke Angkola, bagian Selatan Tanah Batak yang ditemukannya pada saat itu sudah tersebar agama Islam, sehingga pada tahun 1864, dia meneruskan perjalannya ke pedalaman tanah Batak yaitu lembah Silindung dan menetap di tengah-tengah masyarakat Batak yang masih memeluk agama suku itu.

(Lumbantobing, 1992: 69-71.; End 2, 1996: 174-175.; Pedersen, 1970: 57-59).

Orang Batak Toba yang tinggal di Silindung pada awalnya kurang menyenagi kehadiran Nommensen. Kesadaran demikian mereka hubungkan dengan pengalaman sejarah sebelumnya, dimana setiap kunjungan orang asing kulit putih selalu dikuti dengan bencana, kegagalan panen ataupun wabah penyakit. Penduduk beranggapan bahwa bencana-bencana itu disebabkan oleh karena orang asing kulit putih itu tidak memelihara adat, bahkan mereka berprasangka bahwa orang asing itu akan merusak adat mereka.

150

Universitas Sumatera Utara Siasat Nommensen pertama kali adalah mendekati raja-raja huta yang dijadikan sebagai sahabat dalam menyebarkan agama Kristen. Dengan kepandaianya mengobati orang yang sakit merupakan modal besar baginya untuk merebut hati penduduk setempat. Raja Ompu Tarida, Ompu Tunggul dan raja

Amandari merupakan orang yang pertama yakin bersahabat dengan Nommensen.

Raja Amandari dari Saitnihuta, Silindung memberi sebidang tanah rawa untuk tempat pendirian rumah Nommensen. Pada tanggal 27 Agustus 1865 Nommensen berhasil membabtis 13 orang Batak Toba menjadi Kristen (Pedersen, 1970: 61).

Pada mulanya orang-orang pertama jadi Kristen ini, dikucilkan dari huta oleh masyarakat, dan tidak mendapat hak dan kewajiban tata adat di Silindung misalnya hak warisan tanah, barang-barang pusaka. Mereka ini kemudian oleh pihak zending ditampung dalam sebuah huta yang disebut „Huta Dame‟

(Shcreiner, 1996: 44). Di „Huta Dame‟ ini didirikan sebuah gereja, sebuah gedung sekolah, dan beberapa rumah sebagai tempat orang-orang yang beralih agama menjadi Kristen. Disamping itu di „Huta Dame‟ juga didirikan suatu pusat pengobatan (poliklinik) yang bertujuan sebagai pelayanan sosial bagi semua penduduk. Pelayanan sosial merupakan aspek penting yang menarik perhatian penduduk untuk tertarik kepada zending. Nommensen sering membayar tebusan budak-budak yang tadinya terjerat dalam hutang (Pedersen,1970:63-64).

Tindakan-tindakan demikian mengakibatkan perluasan zending di Silindung dan bahkan terjadi konversi massal. Raja-raja dan masyarakat yang dulunya khawatir bahwa ajaran agama Kristen akan merusak nilai-nilai adat mereka, ternyata tidaklah demikian. Zending dapat menyelaraskan prinsip-prinsip agama Kristen dengan adat, sehingga keduanya hidup berdampingan dalam tata hidup

151

Universitas Sumatera Utara bermasyarakat. Pada mulanya timbul kekhawatiran di kalangan zending RMG di

Barmen terhadap kemajuan yang terlalu cepat (konversi massal) di kalangan orang Batak Toba. RMG khawatir bahwa konversi massal itu hanya merupakan mode belaka tanpa ada peningkatan rohaniah. Pusat RMG dari Barmen menganjurkan agar Nommensen membatasi perluasan Kristen secara massal, dan lebih mencurahkan perhatian kepada kepribadian masing-masing individu, sesuai dengan konsep Pietisme yang dianut para zendeling. Akan tetapi Nommensen mengatakan pada saat itu mereka bertugas bukan memancing dengan kail, melainkan menjala dengan pukat (Kruger, 1966: 218). Proses konversi di tengah- tengah masyarakat Batak Toba sungguh begitu cepat yang diperlihatkan oleh angka-angka dalam tabel berikut dalam wadah gereja Batak, yaitu Huria Kristen

Batak Protestan (selanjutnya disebut HKBP).

Tabel 7 : Jumlah Anggota Babtis di Daerah Batak Toba.

Tahun Jumlah Anggota Babtis 1861 3 orang 1871 1.250 orang 1876 2.056 orang 1881 7.500 orang 1891 27.779 orang 1900 47.779 orang 1918 185.731 orang di Sumatera Utara (Sumber: Lempp, 1976: 115. Diolah )

Setelah sukses di kalangan masyarakat Batak Toba, zending RMG selanjutnya 1903 berangkat ke Simalungun dan menjumpai orang-orang

Simalungun yang mereka anggap sama dengan orang Batak Toba (Kraemer, 1958:

48.; Tideman, 1922: 276.; Tichelman, 58 Tahun 1936,:33).

152

Universitas Sumatera Utara Aritonang (1988:109-110) menyatakan bahwa sikap zending RMG terhadap kolonialisme Belanda tidak terlepas dari pandangan Friedrich Fabri yang digelar sebagai Bapak Gerakan Kolonial Jerman. Friedrich Fabri (1824-1891) adalah Inspektur Pertama dan merangkap sebagai guru seminari dalam zending

RMG di Barmen. Pengaruhnya dalam RMG begitu mengesankan dalam setiap kebijakan lembaga itu terutama menyangkut daerah Batak. Beliau adalah penganut pietis yang menekankan kesalehan pribadi dan pemahaman alkitab sangat harafiah. Baginya tugas zending adalah penyampaian Injil dari kulit putih kepada pihak “kafir” kulit gelap, serempak dengan menyampaikan peradaban yang lebih tinggi, sehingga Bangsa Barat ditempatkannya dalam posisi super .

Friedrich Fabri melihat zending sebagai pembawa Injil serempak dengan peradaban Barat dan sebagai negara yang menganut agama Kristen, Jerman harus mendukung zending. Dengan jalan kolonisasi maka serentak bersama zending mengadakan penginjilan dan pengadaban. Kerjasama antara zending dan kolonialisme ini baginya merupakan salah satu penampakan tujuan suci pembentukan kerajaan Ilahi. Bagi Fabri yang terpenting diharapkan dari pemerintah bukanlah dukungan finansial, melainkan memberi kebebasan dan perlindungan kepada zending, sedangkan pemerintah kolonial hanyalah alat untuk mencapai Injil dan mentobatkan pribadi.

Berkaitan dengan hubungan zending dan pemerintah kolonial Belanda di

Indonesia, bahwa umumnya pemerintah kolonial Belanda memberi perhatian yang cukup besar terhadap zending Kristen, bukan karena mereka berkeinginan menyebarkan agama Kristen, namun ditolelir karena pertimbangan politik. Selain pertimbangan politik juga pertimbangan ekonomis dan militer kolonial Belanda

153

Universitas Sumatera Utara menyokong kegiatan zending di Sumatera Utara (Lumbantobing, 1992:80;

Sidjabat, 1983:155).

Pandangan demikian dapat kita temukan misalnya pada diri tokoh-tokoh kolonialisme Belanda J. T. Cremer dan D. Fock. J. T. Cremer seorang pengusaha perkebunan dan menteri daerah jajahan 1897-1901, mengusulkan agar zending

NZG segera bekerja di Tanah Batak Karo dalam upaya mengamankan daerah itu dan mencegah masuknya Islam, sehingga zending dijadikan sekutu Belanda dengan jalan pengkristenan. Dalam upaya ini Cremer pada 1889 mengumpulkan dana untuk membantu zending NZG membuka sejumlah sekolah yang harus menyebarkan agama Kristen dan peradaban Barat tersebut (Breman, 1997:2,28-

29.; Rheid, 1979:105.; Cooley, 1976:1-2). D. Fock menteri daerah jajahan 1905-

1908 memberi keyakinan akan pekerjaan zending NZG sangat berharga sekali dalam memajukan kesusilaan dan kemasyarakatan rakyat jajahan, sehingga pemerintah kolonial perlu memberi sokongan terhadap pekerjaan zending

(Randwijck, 1989: 154).

Untuk memulai pekerjaannya di setiap lokasi di Tanah Batak para zendeling RMG harus terlebih dahulu memperoleh ijin dari pemerintah kolonial.

Ijin ini biasanya sekaligus mencakup ijin menyelenggarakan sekolah. Namun demikian ada kalanya ijin membuka sekolah ini harus diminta lagi secara khusus dari pejabat setempat, terutama di lokasi yang sudah memiliki sekolah pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dubbele zending atau tumpang tindih dan persaingan dua badan zending di satu lokasi (Randwijck,

1989: 212). Ijin kerja di “daerah merdeka” mempersyaratkan persetujuan raja-raja setempat, yang juga bertujuan untuk mencegah terulangnya kasus pembunuhan

154

Universitas Sumatera Utara zendeling di Kalimantan 1859 (End 1, 1996: 194-195) yang oleh kalangan zending RMG dianggap terjadi karena kurangnya perlindungan pemerintah kolonial atas para zendeling di sana.

Pada sisi lain khususnya dalam abad ke-19 banyak orang Belanda baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda yang sangat antusias sekali untuk mendukung zending dalam rangka mengimbangi pengaruh Islam terhadap penduduk di Nusantara. Hal ini selain didasarkan pada pemahaman yang dangkal oleh masyarakat Barat ketika itu tentang keunggulan Kristen atas Islam, juga adanya anggapan yang salah bahwa sifat sinkritis Islam Nusantara di tingkat desa akan membuat peralihan kepada agama Kristen (Benda, 1989: 125).

Perkembangan selanjutnya adalah kepentingan zending dan kolonialisme mulai berbenturan sehingga sikap zending semakin kritis menilai fungsi pemerintah kolonial. Sikap ini semakin nyaring sejak dasawarsa tahun 1920-an, menjelang masuknya Jepang ke Indonesia. Ada dua faktor penyebab sikap kritis dari zending RMG khususnya dan zending di Indonesia umumnya. Pertama, pemerintah kolonial tidak selalu mendukung zending RMG yang bekerja di tanah

Batak, kendatipun adanya dukungan pemerintah terhadap zending. Hal ini semata- mata bukanlah didasarkan pada pertimbangan atau motif religius tetapi lebih banyak dalam pertimbangan politis. Kedua, zending RMG yang bekerja di tanah

Batak semakin sadar bahwa pemerintah kolonial bukanlah alat Kerajaan Allah dalam arti yang didahulukan pemerintah kolonial bukanlah kepentingan religius-

Kristiani, melainkan kepentingan sekuler sifatnya. Itulah sebabnya zending RMG yang bekerja di tanah Batak tidak lagi menyebut pemerintah kolonial sebagai pemerintah Kristen (Aritonang, 1988: 435-436).

155

Universitas Sumatera Utara Dapatlah dikatakan, bahwa sampai permulaan abad ke-20 kekristenan di

Indonesia tidak bersikap anti kolonialisme, dalam arti tidak mengecam kenyataan- kenyataan buruk dalam praktek kolonial, bukan karena mendukungnya, melainkan karena menganggap hal itu di luar urusan agama. Sikap zending terhadap kolonialisme lebih banyak besifat pasif sebagai akibat dari pengaruh pietisme yang kurang menyoroti kritik sosial terhadap kenyataan kolonialisme (Ngelow,

1994:55). Bagaimanapun sikap anti kolonialisme ini juga berdampak pada orang

Simalungun dalam menentukan sikap mereka terhadap masuknya zending ke wilayah kekuasaannya di daerah Simalungun. Ketegangan sosial-politik di

Simalungun semakin diperuncing lagi dengan masuknya kolonial Belanda maupun imigran Batak Toba yang berkat dukungan pemerintah diberi ijin membuka persawahan di Simalungun dan tidak jarang pula menimbulkan konflik dengan orang-orang Batak Simalungun (ANRI, MvO F. J.Nieboer, 1934:23).

4.3.3 Orang Simalungun dan Zending Kristen Protestan

1. Tahap Awal.

Zendeling Kristen Protestan yang berasal dari Jerman dan sangat terkenal di kalangan orang Batak Toba adalah Ludwig Ingwer Nommensen lahir 1834 dan wafat 1918 (End 2, 1989: 175; Nommensen, 1974: 1). Nommensen sebagai kepala zending Batak Toba meluaskan pekerjaannya melakukan pengkristenan terhadap orang Simalungun pada tahun 1900. Pada saat yang bersamaan pemerintah

Belanda sedang melakukan aneksasi dan pasifikasi kekuasaaanya terhadap orang

Simalungun (Kruger, 1966: 215) dalam rangka kepentingan politik ekonomi

156

Universitas Sumatera Utara penanaman modal asing dalam bentuk perluasan perkebunan yang telah meluas di kawasan Sumatera Timur sejak akhir abad ke-19 (Blink, 1918:61).

Informasi tentang daerah dan orang Simalungun diperoleh zendeling

Nommensen dari tulisan dan laporan Van Dijk controleur onderafdeeling Toba berkedudukan di Lagu Boti yang telah mengadakan penelitian mengenai daerah

Simalungun Bawah meliputi daerah Bandar, Siantar, Tanah Jawa, Purba, Panei

(Dijk, Deel 37, 1894, : 145-200).

Van Dijk dalam laporannya menyebutkan bahwa ia bersama rombongannya yang berangkat 26 Mei 1892 dari Lagu Boti menuju daerah

Simalungun diterima dengan baik oleh raja-raja Simalungun, kecuali ketika dalam perjalanan dari Simpangan Bolon menuju Tanah Jawa, tepatnya di huta Aek

Buluh mereka diserang pasukan Tuan Raimbang penguasa Dolok Panribuan 11

September 1892. Dari laporannya ini diperoleh informasi bahwa sebagian besar penduduk masih memeluk agama suku, disamping itu agama Islam telah masuk ke daerah ini (J. A. Kroesen, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en

Volkenkunde, Deel 39, 1897, hlm. 246-247).

Informasi berikutnya diberikan oleh zendeling H. Guillaume, seorang pendeta warga negara Belanda yang dididik di Barmen (Jerman) dikirim ke

Sumatera dan dipekerjakan kepada Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) di yang memulai bertemu dengan orang Batak Karo tahun 1890 (Joustra,

1926:292) dan pada tahun 1899 bekerja di kalangan orang-orang Batak Karo

(Pedersen, 1970: 105). Guillaume dalam perjalanannya ke Tanah Karo (desa

Bukum), maupun bila mengikuti rapat-rapat zending yang diadakan secara periodik di Tarutung Tapanuli, beliau selalu melintasi kampung orang

157

Universitas Sumatera Utara Simalungun yang berbatasan dengan wilayah orang Karo (Simalungun Atas) dan kadang kala singgah serta bergaul dengan orang Simalungun di desa Nagasaribu,

Seribudolok, Purba, Hinalang. Ketika singgah di sana selalu dicoba mengadakan pembicaraan dengan para penguasa daerah itu seperti Tuan Nagasaribu, Tuan

Hinalang, dan Tuan Purba, dimana ia menginap sebelum sampai ke Tarutung

Tapanuli (Immanuel No. 8, Tahun ke-12, Agustus 1901: 86; juga Tideman, 1922:

276). Melalui komunikasi yang dilakukan Guillaume diperoleh pemahaman tentang keadaan orang Simalungun yang masih menganut agama suku, sehingga disimpulkanya sudah saatnya zending memasuki wilayah orang Simalungun dimaksud.

Selain laporan Van Dijk dan Guillaume, zending RMG juga memperoleh informasi mengenai orang Simalungun dari C. J. Westenberg, kontrolir yang bertugas di afdeeling Serdang Kresidenan Pantai Timur Sumatra. Westenberg memberikan laporan tahun 1891 mengenai daerah Raya dengan rajanya Tuan

Rondahaim Saragih yang mempunyai karakter bengis (Westenberg, 1891 Deel

34:105-107).

Laporan yang diperoleh dari Van Dijk dan Guillaume serta C. J.

Westenberg menjadi bahan pertimbangan bagi zending RMG untuk memasuki daerah orang Simalungun. Sebelum memulai pekerjaan itu, pihak zending RMG terlebih dahulu mengadakan peninjauan secara langsung ke daerah orang

Simalungun untuk melihat kondisi sesungguhnya.

Zendeling G. K. Simon beserta rombongannya pada tahun 1903 memimpin perjalanan ke daerah orang Simalungun. Rombongan pemberita injil pribumi (evangelis) orang Kristen Batak Toba yaitu: Andreas Sitompul, Martin

158

Universitas Sumatera Utara Siregar, Martin Suti, dan Martin Nainggolan, berangkat dari Tarutung (Tapanuli

Utara) menuju daerah orang Simalungun dengan fokus lokasi di daerah Pamatang

Raya yang mereka anggap sebagai daerah pusat kediaman orang Simalungun

(Sitompul, 1986: 154.; juga Jubileum 50 Tahun HKBP Simalungun (1903-1953),

1979: 6-7).

Orang Simalungun di Pamatang Raya menunjukkan sikap dingin dan penuh rasa curiga terhadap kehadiran rombongan zendeling G.K.Simon. Sikap demikian muncul terutama sebagai akibat pengaruh tindakan kolonial Belanda yang telah menganeksasi daerah itu, dan juga pengaruh situasi politik di kalangan penduduk yang sering bermusuhan antara sesama partuanon. Perjumpaan itu juga semakin dipersulit karena bahasa Batak Toba sebagai alat komunikasi yang dipergunakan zendeling G.K.Simon dan rombongannya yang kurang dimengerti oleh orang Simalungun.

Bagi zendeling G.K.Simon, perjumpaan ini telah memberikan kesan untuk segera melakukan pemberitaan Injil di kalangan orang Simalungun. Kesan demikian terungkap dalam laporannya yang mengatakan, “Hendaknya selekas mungkin diberitakan Injil Tuhan kepada orang Simalungun, karena sebelah Timur agama Islam sudah mendesak. Dari sebelah Bandar telah menyebar ke Siantar, dan raja Siantar Sang Nawaluh Damanik telah memeluk agama Islam” (Siboro,

1963: 11). Laporan perjalanan rombongan G. K. Simon tersebut kemudian dibicarakan dalam rapat zending RMG pada tanggal 3-8 Pebruari 1903 di

Laguboti (Munthe,1987:8). Rapat tersebut membuat kesepakatan sebagai berikut:

(1) Pekerjaan zending ke Simalungun segera dilaksanakan, untuk itu akan diadakan peninjauan ulang oleh zendeling dan evangelis berupa perjalanan

159

Universitas Sumatera Utara keliling di daerah Simalungun. Dalam peninjauan ini diwajibkan untuk menghubungi kepala-kepala kampung dan tokoh-tokoh masyarakat setempat sambil memberitakan Injil. (2) Segala kebijakan diperbincangkan secara seksama dengan meminta bantuan dari pemerintah setempat, yaitu raja-raja Simalungun maupun kolonial Belanda. Dengan demikian diharapkan hambatan-hambatan dari pihak penguasa dapat dikurangi, sehingga akan mempermudah pekerjaan zending.

(3) Ditetapkan agar di setiap daerah penginjilan dititik beratkan bidang pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah, dan menghimpun pemuda, sehingga ini diharapkan menjadi kader-kader penginjil. (4) Ditentukan agar ada jaringan pos-zending sekaligus sebagai gudang logistik untuk perbekalan. Dengan demikian kehidupan para penginjil tidak tergantung kepada penduduk pribumi yang akan dikristenkan itu. (5) Segera dikirim surat kepada Inspektur zending

RMG di Barmen untuk meminta persetujuan, dan apabila disetujui maka zendeling dan para evangelis Batak Toba disebarkan ke seluruh daerah

Simalungun (Pedersen, 1970: 105).

Untuk memantapkan program pekerjaan zending ke Simalungun, sambil menunggu persetujuan dari Barmen, peninjauan ulang dilakukan lagi. Dalam peninjauan ulang ini zendeling berusaha meminta persetujuan orang Simalungun melalui para raja Simalungun, dan juga penguasa kolonial Belanda agar memberi ijin kepada para zendeling bekerja di daerah kekuasaannya. Rombongan yang berjumlah 23 orang zendeling dan evangelis etnis Batak Toba berangkat dari

Sigumpar daerah orang Batak Toba menuju daerah Tiga Langgiung (sekarang

Haranggaol) daerah orang Simalungun (End 2, 1996: 187). Perjalanan dengan peninjauan ini dilakukan sejak tanggal 10 Pebruari sampai dengan 10 Maret 1903,

160

Universitas Sumatera Utara yang dipimpin Nommensen untuk menjumpai para penguasa orang Simalungun di kerajaan Raya, Purba, Panei, Silou, Siantar, dan Tuan Bandar. Selanjutnya sebagian rombongan yaitu zendeling Meisel, Guillaume, Simon, meneruskan perjalanan menuju Medan untuk memberitahukan pekerjaan zending ini kepada

Residen Pantai Timur Sumatra atau pemerintah kolonial Belanda (Siboro,

1963:12.; juga Munthe, 1987:8-9).

Ketika Nommensen tiba di wilayah Simalungun, beliau mengadakan pembicaraan secara langsung dengan penguasa pribumi daerah itu. Beliau menjelaskan tujuan kehadiran zending RMG di wilayah itu adalah untuk mendidik anak-anak dengan mendirikan gedung-gedung sekolah serta mengajarkan agama yang benar. Toean Rahalim Purba sebagai penguasa kerajaan Purba, dapat menerima rencana zending, dan bahkan menyediakan sebuah daerah yaitu di desa

Purba Saribu sebagai tempat tinggal zendeling kelak. Toean Hapoltakan Saragih

Garingging, sebagai penguasa kerajaan Raya juga bersedia menerima kehadiran zendeling, dan mempersilahkan Nommensen untuk memeriksa tanah sekitar

Pamatang Raya untuk dijadikan sebagai tempat tinggal zendeling kelak. Raja ini memberi saran agar tempat tinggal zendeling berada disekitar ibu kota kerajaan

(Pamatang) sehingga kebutuhannya dapat dibantu. Atas saran ini Nommensen memilih daerah sebelah Barat Pamatang Raya yang akan dijadikan sebagai tempat tinggal zendeling. Tuan Ragaimat Purba sebagai penguasa kerajaan Panei juga menyatakan bersedia menerima kehadiran zendeling di daerahnya. Demikian juga

Tuan Saudin Damanik, sebagai partuanon di daerah Bandar bersedia menerima kehadiran zendeling dengan catatan terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan sesama punggawanya. Para raja orang Simalungun tampaknya tidak ada

161

Universitas Sumatera Utara yang menolak kedatangan zendeling di daerahnya, namun tidak ada juga yang betul-betul setuju (Moolenburgh, dalam TITLV, No. 51 Tahun 1909: 528-529;

Nommensen, 1974:192).

Untuk memeluk agama baru itu mereka berkata: “Kami pikir dulu”

(Nommensen, 1974: 192). Raja Siantar Sang Nawaluh Damanik agaknya bersikap lain, yaitu kurang menanggapi bahkan menolak akan gagasan dan kehadiran zendeling di daerahnya Pamatang Siantar. Sikap demikian dapat dipahami bila dihubungkan dengan telah masuknya pengaruh Islam terhadap penduduk sebagai akibat adanya persentuhan dengan orang-orang Melayu di pesisir melalui kontak dagang dan Raja Siantar telah memeluk agama Islam sejak tahun 1901 (ANRI,

MvO - W. C. van Gelder, 1911: 23, : juga Siboro,1963: 16.; Sitompul, 1986:155).

Pada tanggal 16 Maret 1903, Inspektur zending RMG di Barmen menyetujui rencana perluasan pekerjaan zending di kalangan orang Simalungun

(Pedersen, 1970: 105) dan mengirim telegram kepada I. L. Nommensen dengan isinya, “Tole! Den Timorlanden das Evangelium!”, artinya “Berangkatlah!

Beritakan Injil ke tanah Timur!” Timorlanden berarti tanah Batak Timur, yaitu sebutan oleh orang Eropa terhadap daerah Simalungun pada saat itu (Munthe,

1987: 9.; Joustra, 1926: 23,59). Dengan diterimanya telegram tersebut segera dipersiapkan pangkalan pekerjaan zending ke daerah itu. Zendeling G. K. Simon, dan Meisel kembali diberi tugas tanggal 3 Juni 1903 agar berangkat ke daerah

Tiga Ras, sebab daerah ini dijadikan sebagai pangkalan bagi para zendeling untuk memasuki tanah orang Simalungun (Munthe, 1987: 9). Desa Tiga Ras berada di sebelah timur tepi danau Toba dan berdekatan dengan daerah kerajaan Raya, dan kerajaan Panei, dianggap strategis untuk penyimpanan logistik maupun

162

Universitas Sumatera Utara perlengkapan lainnya dalam menunjang pekerjaan zending di wilayah orang

Simalungun pada tahap awal. Selain itu daerah ini juga merupakan sebuah pasar tradisional mingguan, pertemuan antara orang-orang Batak Simalungun dan Batak

Toba untuk menukarkan dan memperoleh barang kebutuhannya (Hutauruk, 1992:

75).

Kelompok evangelis Batak Toba yang turut mendampingi zendeling dalam pekerjaan pekabaran Injil, juga sudah mengenal kondisi daerah ini, sehingga kemudian dapat dijadikan sebagai persinggahan mereka yang bertujuan ke daerah

Batak Timur seperti ke Raya, Panei, Bandar, Siantar dan Tanah Jawa (Panjaitan,

1974: 15).

Daerah Simalungun Atas, dijadikan sebagai fokus utama pekerjaan zending oleh Nommensen didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu: (1)

Daerah ini berada di pedalaman masih merupakan wilayah yang masih bebas dari pengaruh agama Islam. (2) Sementara di daerah Simalungun Bawah penduduknya sebagian telah memeluk agama Islam, disamping itu pula telah ada penolakan raja

Siantar Sang Nawaluh Damanik terhadap zendeling di daerahnya Pematang

Siantar.

Proses pekerjaan zending segera dimulai dengan menempatkan para zendeling di daerah itu. Pada tahun 1903 zendeling August Theis ditempatkan di

Pematang Raya (Cooley,1968:69), sehingga secara intensip terjadi perjumpaan dengan penduduk setempat. Selanjutnya tahun 1904 zendeling Godfred Karel

Simon, beserta dua orang evangelis Batak Toba, ditempatkan di daerah Bandar.

Pada tahun 1905 zendeling H.Guillaume ditempatkan di daerah Purba Saribu.

163

Universitas Sumatera Utara Dengan demikian ada tiga pos zending yang dibuka RMG sebagai titik awal pekerjaan mereka untuk penyebaran injil dan mendirikan gereja di daerah ini.

2. Zendeling August Theis di Pamatang Raya

August Theis tiba di Pamatang Raya pada tanggal 2 September 1903, adalah zendeling yang pertama sekali bekerja di tengah-tengah masyarakat Batak

Simalungun, dan tinggal menetap di daerah Pamatang Raya. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi orang Batak Simalungun sebagai waktu permulaan masuknya zending ke daerah itu. Jika di kalangan orang Batak Toba, dikenal Nommensen

(Nommensen,1974; Kruyt, 1976: 9.; Kruyit, 1977: 18-19) di daerah Batak Karo dikenal Neuman, (End 2, 1987:196.; Cooley, 1976:3-4), yang berperan sejak awal pengkristenan daerah itu, maka untuk orang Simalungun dikenal nama August

Theis. Orang Simalungun Kristen telah menganggap August Theis sebagai tokoh zending dan berinteraksi secara langsung dengan orang Simalungun, peranannya cukup sentral dalam proses konversi dan pembentukan Gereja Kristen Protestan bagi orang Simalungun.

August Theis lahir 16 Pebruari 1974 di Haiger Jerman, adalah berasal dari keluarga sederhana. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, kemudian ia memasuki sekolah kejuruan, dan sejak tahun 1895 oleh direktur Zending RMG dipanggil masuk sekolah Seminari Zending di Barmen. Tujuh tahun lamanya beliau belajar dan praktek, baru kemudian ditabalkan sebagai Pendeta 6 Agustus 1902 di

Barmen bersama-sama dengan teman sekelasnya. Semenjak itu beliau disebut sebagai zendeling (misionaris) yang siap menyebarkan agama Kristen ke luar

Eropa (Munthe, 1987:5-6). Tangal 23 Oktober 1902 August Theis berangkat menuju Sumatera, setelah menempuh perjalanan berbulan-bulan tiba di Padang,

164

Universitas Sumatera Utara selanjutnya menuju Lagu Boti pusat zending Batak untuk menemui Nommensen, dan menempatkannya bekerja untuk orang Simalungun dengan lokasi di Pamatang

Raya. Bersama dengan orang Batak Toba: evangelis Theopilus Pasaribu dan guru

Ambrocius Simatupang memulai pekerjaannya di Pematang Raya.

August Theis sampai di Pamatang Raya sebelum melakukan aktivitasnya terlebih dahulu melakukan kontak persahabatan dengan raja Raya Tuan

Hapoltakan Saragih untuk memohon agar beliau bersimpati kepadanya sehingga dapat berkomunikasi langsung dengan rakyatnya yaitu orang Simalungun. Tuan

Hapoltakan Saragih sebagai raja menyatakan ijin kepada August Theis untuk menyebarkan missinya kepada warganya, namun raja ini tidak bersedia masuk menjadi pemeluk agama Kristen. Ada dugaan ketengganannya disebabkan bahwa jika seseorang sudah masuk Kristen maka ia harus meninggalkan kesenangan- kesenangannya seperti poligami, perbudakan, menyembah berhala, mengisap candu. Menurut catatan kontrolir Haar (1933:6.; juga Saragih,1935:65), bahwa raja Hapoltakan memperisteri 60 wanita, mempunyai budak (jabolon) lebih 100 orang, mempunyai pendamping sipiritual yaitu dukun (Datu Bolon) yang dianggap punya kekuatan magic untuk mempertahankan kesaktian sehingga kedudukan raja dapat bertahan, maka raja lebih senang memeluk agama suku.

Namun demikian Raja tidak menghalangi pembukaan sekolah, dan bahkan membebaskan rakyatnya memeluk agama yang disukainya. Kondisi demikian membuat August Theis segera menerapkan metode pendekatan kepada penduduk dengan membuka sekolah, gereja, dan pelayanan kesehatan (medis). Orang-orang

Batak Simalungun diharapkan akan tertarik memasuki sekolah zending. Pada awalnya murid sekolah ini diajari untuk membaca dan menulis huruf Latin,

165

Universitas Sumatera Utara sehingga diharapkan nantinya mereka dapat membaca sendiri Injil ataupun cerita- cerita Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pada gilirannya mereka dapat memahami amanat Injili untuk kemudian terpanggil untuk dibabtis oleh zendeling.

Di Pamatang Raya August Theis mulai mendirikan rumah zending, sekolah, dan gereja. Sekolah zending dan gereja adalah merupakan dua lembaga yang seiring sejalan menggiring penduduk menuju konversi agama Kristen di daerah ini. Setiap ada bangunan gereja, disitu juga dibangun sekolah, dan kadang kala bangunan gereja itu juga digunakan sebagai ruang belajar siswa. Pada awal tahun 1904 telah dibuka sekolah zending di Pamatang Raya, walaupun belum ada minat penduduk memasuki sekolah tersebut (Siboro, 1963: 18). Selanjutnya sekolah zending didirikan meluas ke daerah-daerah lain seperti di Raya Usang,

Bulu Raya, Sipoldas, Raya Tongah.

Guru Ambrocius Simatupang adalah guru yang pertama di Simalungun, yang bersama dengan August Theis berusaha membujuk anak-anak dan orang tua agar masuk sekolah. Secara lambat laun atas anjuran orang tua sekolah ini dimasuki oleh anak-anak mereka namun belum masuk Kristen. Dalam kebaktian

Minggu, pada awalnya hanya diikuti oleh keluarga guru zending, demikian juga murid sekolah berasal dari anak-anak guru.

Walaupun dari kalangan raja menolak masuk agama Kristen, August Theis tetap menyadari bahwa peranan Penguasa ini sangat dibutuhkan dalam pekerjaan zending. Itulah sebabnya zendeling berusaha tetap mengadakan pendekatan terhadap penguasa-penguasa setempat seperti Pangulu, atau Partuanon. Atas pendekatan August Theis, raja Raya Tuan Hapoltakan berkunjung ke rumah

166

Universitas Sumatera Utara Theis, dan berkenaan hadir mengikuti acara perayaan malam Natal pada tanggal

24 Desember 1905 (Munthe,1987:17). Sebagai bias dari keikutsertaan raja ini sangat berpengaruh terhadap niat penduduk setempat masuk agama Kristen.

Mereka menduga bahwa rajanya telah masuk agama Kristen. Dikalangan penduduk sering terdengar percakapan satu sama lain: “Ham pe masuk Kristen ma

?” (Artinya: Anda segera masuk Kristen kah?) (Munthe,1987:17). Percakapan ini menggambarkan munculnya antusias beralih agama sebagai akibat dari keikut sertaan raja mereka di gereja yang diduga akan menjadi Kristen.

Sampai dengan pertengahan tahun 1907, di daerah ini telah didirikan 7 buah sekolah yaitu di Pamatang Raya, Raya Usang, Bulu Raya, Sipoldas,

Hiteiurat, Hutadolog, dan Janji Mauli. Jumlah keseluruhan murid 183 orang.

Jumlah penduduk di kawasan Raya ini diperkirakan 8000 jiwa. Pada tahun ini juga jumlah pemeluk agama Kristen sebanyak 19 orang, yaitu hanya dari keluarga guru-guru sekolah zending yang berasal dari Batak Toba. Sementara dari kalangan orang Batak Simalungun belum ada yang beralih agama.

Telah disebutkan di atas bahwa August Theis adalah zendeling RMG yang pertama kali ditempatkan di daerah Simalungun tepatnya di Pamatang Raya, sehingga beliaulah yang berhadapan langsung dengan penduduk di lapangan. Hal ini membuat kebijakan-kebijakannya harus disesuaikan dengan lapangan zending sehingga konflik dengan penguasa setempat termasuk dengan kolonial dapat dihindari seoptimal mungkin. Berikut ini akan ditinjau hubungan zending dengan kolonialisme.

4.4 Terbentuknya komunitas Simalungun Kristen Protestan 1903-1928

167

Universitas Sumatera Utara 4.4.1 Kaum Bangsawan Simalungun

Kaum bangsawan Simalungun merupakan kelompok masyarakat pertama yang mengadakan kontak dengan zendeling August Theis ketika sampai di daerah

Simalungun Atas tepatnya di Pamatang Raya tanggal 3 September 1903 (Kolonial

Verslag 1904:12.: Cooley, 1968:69, ; Pedersen, 1970:105-106) untuk memperoleh ijin mendirikan rumah zending, mendirikan sekolah dan gereja. Bangunan itu didirikan di atas sebidang tanah yang diberikan raja Raya Tuan Hapoltakan sebagaimana yang telah dijanjikannya kepada Nommensen ketika mengunjungi daerah ini pada bulan Maret 1903. August Theis yang didampingi evangelis

Theopilus Pasaribu tiba di Pamatang Raya dalam suasana upacara pemakaman almarhum Tuan Rondahaim Saragih Garingging, ayahanda dari Tuan Hapoltakan.

Pada saat itu 1903 Raya sudah menjadi bagian dari pemerintahan kolonial

Belanda, sehingga timbul kesan curiga bagi raja Hapoltakan terhadap kehadiran zending di daerahnya. Sebidang tanah yang semula dijanjikan hendak dibatalkan, namun secara diam-diam raja menyuruh orangnya untuk menyelidiki apakah yang datang itu (August Theis) sebagai Tuan kebun atau tidak. August Theis dapat meyakinkan suruhan raja bahwa dia bukan Tuan Kebun, tetapi adalah bermaksud memperkenalkan sekolah untuk membawa kemajuan (hamajuon) bagi penduduk

Simalungun (Jubileum 50, 1953:2).

Raja Hapoltakan dapat meyakini, namun tidak sepenuhnya, sebab raja ini mengurangi luas lahan tanah yang dijanjikan semula. Raja ini rupanya belum bisa membedakan antara Tuan kebun (Onderneming Belanda) dan zendeling RMG.

Raja dan penduduk selalu menyebut orang Eropa adalah silopak mata, orang

„bermata putih‟, dan memandang mereka secara negatif, tidak dimengerti apakah

168

Universitas Sumatera Utara itu bangsa Belanda, Jerman, atau Eropa lainnya. Pendek kata silopak mata itu dianggap sebagai musuh yang hendak menguasai tanah mereka, karenanya harus selektif terhadap kehadirannya.

Meminta persetujuan dari penguasa di daerah lapangan pekerjaan zending merupakan bagian yang turut menentukan proses konversi, setidak-tidaknya pengalaman demikian telah dialami zendeling RMG sebelumnya di kalangan orang Batak Toba di Tapanuli Utara. Pendekatan terhadap raja-raja Batak Toba ketika itu cukup ampuh untuk mempengaruhi penduduk, sehingga terjadi konversi masal di daerah itu.

Apabila ditinjau kemajuan di Tapanuli sejak bekerjanya zending RMG pada tahun 1861, maka barulah 42 tahun kemudian Simalungun dimasuki dengan menemui banyak kesukaran (Siboro,1963:10.; Pedersen,1970: 105). Pada tahun

1901 jumlah orang Batak Toba yang dibabtis masuk Kristen telah tercatat sebanyak 47.784 jiwa, dan dua puluh tahun berikutnya yaitu 1921 mencapai

196.706 jiwa, sementara jumlah penduduk daerah tanah Batak Toba pada tahun

1920 diperkirakan 440.521 jiwa (Volkstelling 1930 Deel IV:112). Demikian pula sarana pendidikan, gereja, rumah sakit yang dibangun zending RMG telah menghantarkan suatu perubahan yang cukup besar bagi masyarakat di Tapanuli.

Dengan demikian bila dibandingkan dengan daerah Simalungun pada saat itu kemajuan demikian belum ditemukan dan keadaannya jauh tertinggal.

Salah satu faktor yang menyebabkan percepatan perkembangan konversi di Tapanuli, adalah ikut sertanya secara aktif raja-raja Batak Toba dalam upaya mendukung pekerjaan zending. Dalam hal ini dapat dicatat peranan dari Raja

Pontas Lumbantobing yang selain banyak memberikan dukungan kepada

169

Universitas Sumatera Utara zendeling Nommensen di Silindung bahkan bersedia beralih agama melalui pembabtisan dengan nama baru Obaja. Dalam perkembangan selanjutnya banyak raja-raja Batak Toba yang mengikuti langkah beliau, sehingga semakin memacu pertambahan orang-orang Batak Toba masuk agama Kristen (Lumbantobing,

1992:72-73.;Kraemer, 1958: 49). Dengan demikian dapat dikatakan sama seperti yang beraku di Eropa, azas “cuius regio, eius religio” artinya siapa pemilik wilayah, dia juga pemilik agama, berlaku juga di Tapanuli, agama penduduk ditentukan oleh kenyataan politis di daerahnya (Hutauruk, 1992 :35. ; Aritonang,

1988: 154.; Schreiner,1978: 47).

Situasi yang berlaku di Tapanuli seperti yang dikemukakan di atas ternyata kurang mengena pada struktur masyarakat Simalungun yang justru bersifat monarki-feodalistis itu (Clauss, 1982: 48.; Liddle, 1970: 22). Berbeda dengan masyarakat Batak Toba yang kolektif sifatnya, orang Simalungun dalam hal yang sifatnya menyangkut pribadi lebih banyak bersifat individualistis. Sifat demikian tercermin dari ungkapan yang mengatakan “Tuliskon laklak asal ulang pahu, Age mulih halak asal ulang ahu”, yang artinya „biarlah orang lain celaka, asalkan bukan saya‟. Dalam pengertian bahwa masing-masing pribadi mempunyai kebebasan untuk menentukan keyakinan yang dianutnya. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa di kalangan orang Simalungun jarang ditemukan adanya konversi massal seperti di Tapanuli. Tampaknya tatanan sosial budaya masyarakat orang Simalungun kurang mendukung bagi perluasan agama Kristen Protestan.

Rasa kesatuan marga, kesukuan dan ikatan kekeluargaan kurang begitu menonjol, bila dibandingkan dengan masyarakat Batak Karo dan Batak Toba (Moolenburgh,

1909:539-540. ; Tideman, 1922: 113-114).

170

Universitas Sumatera Utara Meskipun sangat sulit untuk menerobos sikap kritis raja-raja Simalungun dalam usaha membawa mereka kepada agama Kristen, bukan berarti pendekatan terhadap golongan ini diabaikan. Pendekatan tetap dilakukan dalam setiap moment yang tepat terutama dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal seperti dalam acara pesta-pesta gerejawi, kematian, dan rapat kerajaan (harapatan bolon), dimana raja sering turut menghadirinya (Munthe, 1978: 18-19). Pihak zendeling menyadari betapa besarnya pengaruh golongan raja-raja ini terhadap kawula kerajaannya. Hal ini dapat didengar August Teis dari percakapan- percakapan yang terjadi antar sesama penduduk di Pamatang Raya, “Mintor sonaha ma parrohnami, anggo rajanta sandiri pe lape roh” artinya, “bagai mana mungkin kami datang (masuk agama Kristen) kalau raja sendiri belum masuk

Kristen” (Immanuel No.3, 1 Pebruari 1906, Tahun ke-17, : 21).

Ada beberapa alasan dari kalangan raja-raja enggan masuk agama Kristen yaitu: (1) Alasan poligami, (2) Alasan perbudakan, (3) Adanya pengaruh Islam.

Budaya poligami merupakan ciri utama dalam sistem kerajaan, yang jelas ini bertentangan dengan agama Kristen. Para raja jelas tidak mampu menghilangkan budaya ini, bagi mereka adanya selir bisa merupakan prestise, lambang keperkasaaan, bahkan pengaman dalam politik kekuasaan, sebab seorang wanita dapat berfungsi sebagai mediator pada kelompok huta atau marga.

Budaya perbudakan (jabolon) bagi raja merupakan tulang punggung kehidupan pangan kerajaan, yang bertentangan dalam ajaran agama Kristen.

Adalah akan kehilangan budak jika beralih agama. Kuatnya perbudakan di daerah ini membuat zending memberi usul kepada pemerintah kolonial agar melarangnya sebab tidak sesuai dengan agama yang dianut Belanda. Atas usul Asisten Residen

171

Universitas Sumatera Utara Westenberg perbudakan ini dihapuskan 1 Januari 1910 di daerah Simalungun

(Pedersen, 1970:107).

Pengaruh agama Islam terutama di daerah Simalungun bawah sudah meluas sebagai akibat kontak dengan orang Melayu yang tinggal di daerah

Asahan, Batu Bara, dan Deli (Koloniaal Verslag, 1907:48). Raja-raja Simalungun telah banyak menggunakan orang-orang Melayu menjadi pegawai kerajaan, sehinga pola pikir mereka ini cenderung mempengaruhi minat raja masuk agama

Islam ketimbang agama Kristen. Sebagai contoh raja Siantar telah memeluk agama Islam sebelum zending masuk ke daerah ini (Koloniaal Verslag, 1905:47).

Bagi raja-raja Simalungun sering meniru pola kehidupan sultan-sultan Melayu, seperti pakaian kebesaran dalam upacara-upacara atau pesta-pesta istana, dan termasuk agamanya Islam, sehingga mereka berasumsi bahwa memeluk agama

Kristen akan menganggu hubungan dengan sultan-sultan Melayu yang kaya itu

(Immanuel No.3, 1 Pebruari 1906, Tahun ke-17 : 21).

Dari sejumlah raja-raja Simalungun pada periode awal ini, dapat disebut misalnya, Tuan Riah Kadim Damanik, seorang Putra Mahkota Kerajaan Siantar.

Setelah Belanda berhasil menangkap dan menginternir ayahnya raja Sang

Nawaluh Damanik ke Bengkalis tahun 1906, Belanda kemudian mengusahakan calon raja Siantar ini untuk menjadi pemeluk agama Kristen dengan mengirimkannya ke sekolah zending dibawah bimbingan zendeling Ed. Muller di

Purba Saribu (Koloniaal Verslag 1907:46.; Damanik,1987: 25.; Sinar, 1988:12).

Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1912, oleh Ed. Muller, Tuan

Riah Kadim dibabtis dengan nama Waldemar (ANRI, SoK Besluit no. 49, 11

Oktober 1916, lampiran 6), dan selanjutnya direncanakan melanjutkan pendidikan

172

Universitas Sumatera Utara ke Seminari Sipoholon. Namun rencana itu tidak kesampaian, ketika Belanda kemudian mengangkat Tuan Riah Kadim Waldemar Damanik sebagai raja Siantar tanggal 11 Oktober 1916 menggantikan ayahnya. Beliaulah satu-satunya diantara raja-raja Batak Simalungun yang beralih ke agama Kristen (Koloniaal Verslag

1917,:22.; juga Tideman, 1922: 277). Namun kehadiran tokoh tersebut sebagai seorang Kristen dan raja Siantar tidak sempat mempengaruhi kehidupan gerejawi di Pematang Siantar (Hutauruk, 1993:158).

Pada tahun 1913 Tuan Dolog Saribu, Salain Saragih juga ikut dibabtis bersama dengan rakyatnya yang berjumlah 8 orang (Arsip GKPS, Tauf=Register

(Daftar Babtis) Tahun 1913.; Siboro,:1963: 19). Demikian pula Tuan Jaudin

Saragih yang ketika itu menjabat Pangulu Balei di Pamatang Raya turut dibabtis bersama dengan Jonatan Sinaga pada tanggal 25 Desember 1911. Beliaulah orang

Batak Simalungun yang pertama dari kalangan pegawai pemerintah yang masuk

Kristen. Keadaan ini memberikan suatu awal perubahan menuju konversi di kalangan bangsawan Batak Simalungun yang nantinya juga mempengaruhi penduduk lainnya. Hal ini ditandai dengan peralihan agama oleh Pangulu Dolog

Saribu, R. Daud Saragih pada 2 November 1913 dan Pangulu Urung Panei, Johan

Purba pada tanggal 17 Desember 1913 (Siboro, 1963:30).

Selain Jaudin Saragih turut juga dibabtis kemenakan Tuan Bandar yang sedang mengungsi di Pamatang Raya ketika terjadinya kebakaran hebat di

Pamatang Bandar pada tahun 1915. Bahkan pemberkatan perkawinan telah dilangsungkan sendiri oleh August Teis terhadap Artianna Saragih putri dari Tuan

Anggi Raya, adik dari Raja Raya yang berasal dari Huta Dolog dengan Krani

173

Universitas Sumatera Utara Paulus Purba dari Dolog Silou (Arsip GKPS, Tauf=Register (Daftar Baptis)

Tahun 1916.; Siboro,1963: 37-40).

Di daerah Purba pekerjaan zending telah dimulai sejak tahun 1905 oleh zendeling H. Guillaume dan evangelist Andreas Simangunsong. Namun sampai tahun 1909 belum ada penduduk setempat yang berhasil dibabtis. Hubungan dengan kerajaan Purba dapat dibina, yang ditandai dengan kesediaan Raja Purba

Tuan Rahalim Purba Pakpak mempercayakan pendidikan anaknya Tuan Mogang

Purba Pakpak yang masih berumur 10 tahun kepada zendeling. Malah Raja ini pernah berjanji kepada Guillaume, bahwa ia segera memeluk agama Kristen. Niat itu diungkapkannya secara langsung kepada zendeling Guillaume saat perayaan

Natal 24 Desember 1908, sebagai berikut : “Saya telah melakukan pesta perpisahan terhadap dewa-dewa kami, sebagai persyaratan meninggalkan agama suku, sebab kami akan memeluk agama Kristen”. Akan tetapi, sampai Guillaume meninggalkan Sumatera karena cuti pada tahun 1909, keinginan raja Purba Tuan

Rahalim Purba Pakpak tidak pernah terwujud (Munthe, 1978:4-5). Meskipun beliau tidak sempat masuk agama Kristen, namun demikian harus diakui bahwa kontribusi yang diberikan Raja Purba terhadap usaha pekerjaan zending di wilayah kerajaannya cukup berarti terutama di mata golongan warga masyarakat kebanyakan (Nommensen, 1974:187).

4.3.2 Orang Simalungun kebanyakan

Pada tahun-tahun pertama pekerjaan zending di daerah Batak Simalungun merupakan periode perintisan untuk menarik perhatian penduduk setempat terhadap ajaran agama Kristen. Persoalan yang dihadapi oleh zendeling adalah

174

Universitas Sumatera Utara bagaimana cara yang tepat memperkenalkan amanat Injil di satu sisi, dan pada sisi lain bagaimana pula amanat injil itu diperkenalkan kepada penduduk sebagai kawula kerajaan, sementara raja mereka enggan memeluk agama Kristen, dapat memberikan penilaian terhadap keunggulan agama baru yang diperkenalkan zendeling sehingga tertarik dan rela untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan agama sukunya. Secara hipotesis apabila penduduk yang beragama suku itu dapat melihat keunggulan-keunggulan agama Kristen sebagai agama baru dan dapat memberikan keuntungan baginya maka akan terjadi proses konversi.

Sebagai medium yang digunakan zendeling memperkenalkan agama

Kristen kepada orang Simalungun adalah pembukaan sekolah, gereja, pelayanan kesehatan, dan penyuluhan pertanian (Pedersen, 1975 : 107). Di dalam satu atau beberapa desa yang berdekatan, dibangun sebuah sekolah disamping sebuah gereja dan rumah zendeling atau guru zending yang bertugas memberi pelajaran pada sekolah yang dibuka itu. Sekolah dimaksudkan menampung anak usia muda, sementara gereja menampung para orang tua yang tidak sudi belajar. Areal disekitar lokasi sekolah dan gereja itu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk memberi contoh kepada penduduk cara-cara pertanian yang baik. Pada waktu- waktu tertentu pelayanan kesehatan dilakukan dengan membuka pelayanan kesehatan di rumah zendeling dan menyelenggarakan poliklinik terbuka pada lokasi yang ditetapkan menurut kepentingannya. Untuk mensosialisasikan dilakukan dengan cara-cara kunjungan zendeling dari rumah ke rumah, dari perladangan ke perladangan, dan tak jarang pula itu dilakukan pada sore menjelang malam hari. Hal ini mengingat penduduk yang hidup dari pertanian ladang dengan lokasi areal yang relatif jauh dari rumah, sehingga terkadang tidak

175

Universitas Sumatera Utara kembali ke hutanya terutama bila musim panen (Immanuel No.3, 1 Pebruari 1906,

Tahun ke-17 : 20).

4.3.3 Daerah Raya dan Simalungun Atas

Untuk daerah Simalungun boleh dikatakan bahwa kawasan Raya atau dalam penelitian ini disebut „Simalungun Atas‟ merupakan basis awal penyebaran agama Kristen ke seluruh wilayah ini. Pos pekabaran Injil yang pertama dibuka zendeling tahun 1903 tepatnya di Pamatang Raya. Ada beberapa pertimbangan dari pihak zending memilih daerah Raya sebagai basis yaitu; Pertama, secara geografis daerah ini berada di pertengahan kawasan Batak Simalungun sehingga para zendeling akan lebih mudah menjangkau desa-desa Simalungun yang lain.

Kedua, dari segi politis bahwa pada saat itu wibawa kerajaan ini di mata penduduk Simalungun cukup disegani dengan keberanian Raja Raya Tuan

Rondahaim (1827-1891) memperluas wilayahnya menaklukkan daerah-daerah sekitar kerajaanya, dan bahkan memprotes keinginan kolonial Belanda masuk ke

Simalungun yang diwujudkan melalui pembakaran terhadap tanaman-tanaman perkebunan di daerah Deli, Serdang dan Tebing Tinggi (Sidjabat, 1983:149.;

Saragih,1935: 32-33). Ketiga, dari segi sosial budaya penduduk daerah ini belum dipengaruhi oleh pengaruh asing baik budaya lokal maupun antar bangsa.

Kepercayaan mereka masih asli agama suku yang disebut Sipajuhbegu-begu, sementara Islam belum masuk ke daerah ini (ANRI,SoK MvO J.C.C.Haar,

1933:7). Pertimbangan demikian selalu menjadi model bagi zending di Indonesia

176

Universitas Sumatera Utara yaitu berusaha masuk ke suatu daerah pedalaman yang penduduknya masih menganut agama suku.

Penduduk daerah Simalungun Atas sejak tahun 1903 mulai diperjumpakan dengan karya zendeling. Di Pamatang Raya pada tanggal 1 Pebruari 1904 telah dimulai membuka sekolah zending dengan jumlah murid tujuh orang yang berasal dari masyarakat setempat yaitu: Ratailam Saragih, Djabi Saragih, Kori Saragih,

Djamailam Saragih, Sarialam Saragih, Gomok Saragih, Djariaham Saragih, sementara guru yang memberikan pelajaran adalah Ambrocius Simatupang dan bahasa pengantar digunakan bahasa Batak Toba (Jubileum 50 Tahun, 1953:3).

Materi pelajaran yang diterima oleh murid-murid pada sekolah zending adalah: membaca, menulis, berhitung, ketechismus Lutheri, dan beberapa cerita yang dikutip dari Bijbel. Pada awalnya ruangan belajar yang digunakan adalah rumah raja, sebab anak-anak yang menjadi siswanya sudah biasa masuk ke ruangan itu, sementara ada keraguan terhadap silopak mata (orang asing) sehingga penduduk masih enggan belajar di rumah zendeling yang baru didirikan itu. Di kalangan penduduk pada saat itu telah terbentuk pola pemikiran bahwa anak-anak sekolah yang dididik itu nantinya akan dijadikan serdadu Belanda. Hal demikian menyebabkan penduduk masih enggan bergabung dengan zendeling. Dalam memori Westenberg menyebut bahwa Raja Dolok Silou sangat curiga kepada pemerintah kolonial, dan tidak mau memberi ijin pembukaan sekolah zending di daerahnya, sehingga sampai 1908 daerah tersebut belum memiliki sekolah zending (ANRI, SoK MvO, C. J. Westenberg, 1908:6-7).

Rasa simpatik penduduk terhadap zendeling mulai bertumbuh seiring dengan perjalanan waktu ketika mereka mulai melihat keunggulan-keunggulan

177

Universitas Sumatera Utara yang ditawarkan kepada mereka. August Theis yang mempunyai keahlian di bidang pengobatan medis, telah memanfaatkan itu sebagai sarana pekabaran Injil kepada penduduk. Berbagai penyakit yang diderita oleh penduduk setempat seperti: sampar (kudis), sanggul bolon (penyakit cacar air), cholera, bajoh bagas

(bisul), yang menjadi momok bagi penduduk berhasil diobati oleh Theis dengan menggunakan obat-obat dari Aphoteek (Tideman, 1922: 117-118). Menurut catatan Tideman, untuk mencegah penyakit kulit misalnya penduduk diberikan obat salversaan. Ketika penduduk telah merasakan kesembuhan penyakit tertentu sebagai akibat pemakaian obat yang diberikan zendeling, orang yang disembuhkan itu bersama keluarganya menurut adat telah berhutang kepada orang yang dianggap menyembuhkan itu. Menurut kepercayaan mereka utang adat harus segera dibayar dengan mengadakan acara adat agar penyakitnya jangan kambuh lagi. Orang Batak Simalungun menyebut acara adat demikian dengan mamate i naborit, dan pelaksanaan biasanya mengambil tempat di kediaman atau lokasi yang ditunjuk oleh datu bolon sebagai sosok yang dianggap mempunyai kekuatan magic yang telah berjasa mengusir penyakit dari tubuh seseorang. Dalam hubungan ini diantara penduduk ada yang membayangkan bahwa zendeling mempunyai kekuatan magic yang hampir sama atau melebihi datu bolon. Jika penduduk yang demikian datang menghadap zendeling, maka kesempatan itu digunakan memberi penjelasan tentang agama Kristen. Zendeling menjelaskan bahwa obat yang diberikannya itu adalah berasal dari Tuhan Yesus, karenanya harus percaya kepadaNya dan mematuhi perintah-perintahNya.

Adanya berita-berita kesembuhan demikian secara lambat-laun menyebar ke desa-desa yang lain dan memberi kekaguman bagi penduduk sehingga mereka

178

Universitas Sumatera Utara mengundang kehadiran zending ke daerahnya. Undangan demikian merupakan kesempatan bagi zendeling untuk segera menawarkan pembukaan sekolah di daerahnya dengan tujuan untuk mendidik anak-anak kepada kemajuan.

Pada tahun-tahun berikutnya terjadi pertambahan jumlah murid, muncul pula permintaan dari desa-desa lain untuk membuka sekolah zending di wilayahnya. Seiring dengan pertambahan murid, bertambah pula jumlah sekolah dan bertambah pula guru sebagai tenaga pengajar. Pada tahun 1905 sekolah zending telah dibuka pula di Raya Usang, Buluraya, Dologsaribu, dan Raya

Tongah. Guru yang mengajar di daerah itu adalah: Gidion Gultom, Andreas

Simangunsong, Lukkas Hutagalung, dan Fridolin Silitonga (Jubileum 50 Tahun,

1953:3).

Bila di suatu desa kepala desanya menginginkan dibukanya sekolah, maka pertambahan murid di desa itu akan meningkat pula. Namun demikian dari sejumlah murid itu belum tentu mau dibabtis masuk agama Kristen. Di Raya

Usang misalnya Pangulu huta yang bernama Bongis Saragih yang terkenal juga sebagai datu (dukun) menyetujui pembukaan sekolah dan gereja, yang membawa konsekwensi terhadap antusias penduduknya masuk sekolah tersebut. Bahkan para orangtua menganjurkan anak-anaknya masuk dan rela memberikan gihgih

(sumbangan berupa tenaga) dalam melengkapi pendirian gedung sekolah zending.

Walaupun Bongis Saragih antusias terhadap pembukaan sekolah zending, namun sampai akhir hayatnya ia tetap pada agama suku dan tidak mau merubah agamanya (Jubileum 50 Tahun, 1953:6).

Zendeling August Theis selanjutnya 1904 memasuki desa Buluraya.

Pangulu huta Buluraya telah mendengar berita bahwa di desa tetangganya Raya

179

Universitas Sumatera Utara Usang telah dibuka sekolah oleh zending, sehingga beliau meminta juga kepada zendeling untuk mendirikan sekolah di desanya. Permintaan ini sesungguhnya adalah adanya rasa ingin tahu terhadap apa yang diperkenalkan zendeling, disamping itu adanya sikap tidak mau ketinggalan dari desa tetangganya. Adalah merupakan kebiasaan terjadinya persaingan antar huta pra-zending di Simalungun, persaingan itu terutama dalam ilmu kebatinan yang berbau magic yang diperagakan oleh datu (dukun), dan kadangkala bisa menjadi konflik terbuka, apalagi jika raja berkepentingan di dalamnya. Bagi masyarakat Batak Simalungun pra zending, datu adalah sosok yang dihormati dan ditakuti karena kebolehannya dalam hal-hal yang berhubungan dengan magic. Bagi seorang pemuda yang mennginjak dewasa terlebih dahulu marguru (belajar) kepada datu tentang persiapan-persiapan berumah tangga, misalnya cara-cara memikat hati wanita yang disukainya, menulis di atas potongan bambu, ramuan-ramuan obat dan lain- lain. Tanpa adanya pengetauan demikian sulit bagi seorang pemuda memperoleh wanita untuk jodohnya (Saragih, 1977:45-46).

Sekolah zending telah dibuka di desa ini tahun 1905, dibawah pelayanan guru zending Andreas Simangunsong. Namun walaupun sudah setahun beliau memberikan pelayanan terhadap para penduduk ternyata belum ada yang bersedia dibabtis. Hingga tahun 1913 di desa ini belum terjadi pembabtisan, sementara guru-guru zending telah silih berganti ditempatkan di daerah ini diantaranya adalah Gajus Hutagalung, Enos Silitonga, Johan Siregar dan Albinus Purba

(Jubileum 50 Tahun, 1953:6).

Di daerah Dologsaribu kawasan dekat pantai danau Toba, penduduknya rupanya telah sering kontak dagang dalam bentuk barter dengan orang-orang

180

Universitas Sumatera Utara Tapanuli yang telah Kristen dari Samosir di pasar mingguan Tigaras. Pergaulan demikian rupanya telah berpengaruh kepada mereka, ketika Pangulu huta Tuan

Salain mengundang kehadiran zendeling membuka sekolah di daerah ini tahun

1903. Undangan ini rupanya mengandung nuansa politis, sebab pada saat itu daerah ini sedang terjadi ketegangan permusuhan dengan Pane, sehingga zendeling bisa diharapkan sebagai sahabat untuk menghadapinya. Namun setelah sekolah dibuka 1904 ternyata penduduk kurang memberi perhatian sebab lokasi ruang belajar ditempatkan pada daerah pekuburan penduduk yang dianggap anker.

Pemilihan lokasi ini oleh Pangulu huta rupanya disengaja untuk menguji keberanian zendeling dan evangelist Samuel Hutabarat dan Philemon Simatupang yang bertugas sebagai guru di sekolah tersebut. Terjadi proses pengujian apakah

Tuhan yang dibawa zending lebih kuat dengan Tuhan yang dikenal Pangulu huta.

Sampai tahun 1912 belum terjadi babtisan di daerah ini, walaupun para murid sekolah tetap ada yang belajar mereka belum bersedia dibabtis (Sihombing,1961:

55.; Jubileum 50 tahun, 1953:46).

Proses penyebaran agama Kristen selanjutnya pun memasuki daerah Raya

Tongah yang letaknya 4 kilometer dari Pamatang Raya. Sekolah zending dibuka dan mulai beroperasi di daerah ini 5 Oktober 1908. Murid yang pertama berjumlah 10 orang, dengan guru yang pertama Jahia Silitonga. Antusias penduduk di daerah ini rupanya cukup respon yang dibuktikan dengan terjadinya babtisan pertama di daerah ini pada 25 Desember 1909.

Berdasarkan dokumen buku register yang terdapat dalam arsip Gereja

Kristen Protestan Simalungun di Pematang Raya yang ditulis oleh Augus Theis bahwa babtisan pertama didaerah itu terjadi pada tanggal 25 Desember 1909.

181

Universitas Sumatera Utara Jumlah penduduk yang dibabtis 24 orang yang kesemuanya adalah golongan paruma atau rakyat kebanyakan. Mereka itu dapat dilihat dalam tabel 8 berikut.

Tabel 8 : Anggota Baptis 25 Desember 1909

N A M A No P/W Baptis Sebelum Babtis Marga Kampung 1 P Musa Morhadjim Damanik Pamatang Raya 2 W Marianna Ramonim Saragih Pamatang Raya 3 W Sanna Tanin Damanik Pamatang Raya 4 P Marinus Bongir Damanik Pamatang Raya 5 W Hulda Ronim Damanik Pamatang Raya 6 W Nonna Tomma Damanik Pamatang Raya 7 W Anna Rama Damanik Pamatang Raya 8 P Petrus Tilam Damanik Pamatang Raya 9 P Salomo Murdjaim Sinaga Raya Tongah 10 W Abina Omma Saragih Raya Tongah 11 W Hormainim Hormainim Sinaga Raya Tongah 12 W Martha Sinaga Manta Sinaga Raya Tongah 13 W Lamina Boras Sinaga Raya Tongah 14 P Andreas Mariah Sinaga Raya Tongah 15 P Simeon Udjat Sinaga Raya Tongah 16 W Ragina Saragih Ronim Saragih Raya Tongah 17 W Artina Sinaga Lama Sinaga Raya Tongah 18 W Teresia Tati Sinaga Raya Tongah 19 P Pilemon Bulan Sinaga Raya Tongah 20 P Abel Agam Sinaga Raya Tongah 21 W Sara Tara Sinaga Raya Tongah 22 P Daut Tori Damanik Pamatang Raya 23 P Johannes Tari Damanik Pamatang Raya 24 P Josep Igil Sinaga Naga Tongah Sumber : Arsip GKPS, Tauf = Register (Daftar Babtis) Tahun 1909.

182

Universitas Sumatera Utara Tabel 8 menunjukkan bahwa di kalangan orang Simalungun baru terjadi peralihan agama dari agama suku ke agama Kristen Protestan tahun 1909, dengan basis utama daerah Raya, (saat ini 2017 disebut kecamatan Raya) .

Pos zending yang dibuka di Purbasaribu dengan penempatan zendeling H.

Guillaume, yang dibantu oleh guru Andreas Simangunsong telah pula mendirikan sekolah di derah ini sejak 10 Juni 1905. Seperti di daerah Simalungun lainnya situasi sosial-politis budaya kurang mendukung bagi proses konversi di kalangan penduduk. Kedudukan raja yang tetap dipandang sebagai penguasa tertinggi baik di bidang pemerintahan, adat maupun agama. Itu berarti keterkaitan rakyat kepada raja selain secara politis juga terikat kepada agama dan adat yang dianut raja. Raja dipandang sebagai simbol kekuatan, kesaktian, dan kekuasaan (Liddel, 1970 : 23-

25.; Siboro, 1963 : 22-23). Metode penyebaran yang digunakan zendeling adalah kunjungan dari satu kampung ke kampung lain, dan memanfaatkan keramaian hari pekan (martiga) di Haranggaol untuk bertemu dengan para pedagang. Lonceng gereja (giring-giring) yang dipasang pada atap gereja juga memainkan peran penting dalam menarik hati penduduk setempat. Setiap pagi pukul 6.00 lonceng dibunyikan oleh zendeling sebagai aba-aba doa pagi bagi mereka yang bisa disikapi penduduk bangun pagi untuk memulai aktifitas harian. Untuk meyakinkan penduduk bahwa kedatangannya adalah membawa agama yang benar dan kemajuan, zendeling melakukan pelayanan kesehatan, pemberian makanan, dan pakaian. Penduduk setempat ternyata tidak tertarik untuk segera beralih agama, mereka mau mengikuti acara kebaktian gereja, dan masuk sekolah apabila ada imbalan nyata, misalnya jamuan makan bersama oleh pihak zending. Proses transformasi agama dan pendidikan oleh penduduk setempat terkesan sangat hati-

183

Universitas Sumatera Utara hati. Karya zending di daerah ini dari tahun 1905 sampai pertengahan 1909 tidak berhasil melakukan babtisan terhadap penduduk. Baru pada 19 September 1909 ada seorang penduduk yang berhasil dibabtis oleh zendeling C. Gabriel yang menggantikan Guillaume karena cuti ke Eropa tahun tersebut. Babtisan selanjutnya baru terjadi pada tahun 1914 terhadap dua orang penduduk yang bernama Luther Purba dan Gideon Purba (Jubileum 50 tahun, 1953: 36).

Tigalanggiung kampung yang letaknya di tepi danau Toba dan merupakan daerah pelayanan zendeling Gillaume telah mendirikan sekolah tahun 1906, yang dibantu oleh guru zending Johannes Panggabean. Penduduk daerah ini telah sering bergaul dengan orang Batak Toba yang datang dari Samosir terutama pada hari pasar (martiga) dengan tujuan barter barang kebutuhan hidup sehari-hari.

Pergaulan dengan orang Batak Toba yang telah Kristen itu ternyata mempengaruhi penduduk dalam menanggapi penerimaan agama yang ditawarkan zending. Penduduk yang beralih agama melalui babtisan pada tahun 1910 tercatat

25 orang. Proses transformasi agama melalui karya zending terus bergulir dari satu kampung ke kampung lainnya. Hingga 1913 pos zending Purbasaribu telah membuka gereja dan sekolah di sejumlah 9 kampung, yaitu: Purbasaribu,

Tigalanggiung, Purbadolog, Purba Tongah, Pamatang Purba, Nagasaribu,

Hinalang, Saribudolok, Tjingkes (Koloniaal Verslag 1914, bijlagen Q, : 21).

Pos zending yang semula di Purbasaribu kemudian 1912 dipindahkan ke

Saribudolok. Pemindahan ini berkenaan dengan sikap para datu yang merasa tersinggung dengan kotbah-kotbah para zendeling yang dianggap menyudutkan mereka dimata penduduk setempat. Datu adalah “magic ritual specialist”, bukan imam atau pendeta dalam arti umum. Dalam upacara magis yang diucapkan

184

Universitas Sumatera Utara bukanlah doa (tonggo) melainkan tabas atau mantra dalam menyampaikan korban persembahan kepada kekuatan-kekuatan supra-alamiah. Datu begitu berpengaruh bagi penduduk dalam suasana agama suku (Aritonang, 1988: 71). Kehadiran zendeling dianggap mengurangi pendapatan mereka sehingga menyulut kemarahan dengan melakukan pembakaran terhadap rumah zendeling di

Purbasaribu tahun 1911. Sikap demikian, bukan hanya di Purbasaribu saja namun juga terjadi di Dolok Silou, dan raya Kahean. Di Dolok Silou datu menghasut penduduk dengan menyebarkan rumor bahwa siapa yang masuk sekolah zending akan dijadikan tentara Belanda. Sementara di Raya Kahean daerah yang banyak dijumpai perdukunan semakin giat pula mempengaruhi penduduk untuk tetap setia kepada agama suku dengan melakuan sesajen.

4.4.4 Daerah Siantar dan Simalungun Bawah

Penduduk daerah Siantar atau dalam penelitian ini disebut „Simalungun

Bawah‟ sebagian telah memeluk agama Islam ketika zendeling Gotfred Karel

Simon membuka pos zending di daerah Bandar tahun 1904. G. K. Simon semula

1897 bertugas di Pangaloan Tapanuli Selatan, dan 1900 bertugas di afdeeling

Toba Tapanuli Utara, kemudian sejak 22 Mei 1904 bekerja di Simalungun.

Daerah Bandar dan Siantar ditetapkan sebagai wilayah kerjanya, sehingga Bandar dijadikan sebagai pos awal zending (ANRI, SoK Besluit no. 8, 10 September

1897. Juga ANRI, SoK Besluit no.1, 26 September 1900. Juga ANRI, SoK Bisluit no. 10, 22 Mei 1904). G. K. Simon dibantu oleh para evangelis Batak Toba seperti

Jonas Siregar ditugaskan di Dolok Batunaggar, dan Martin Nainggolan di

Hadiran. Selain evangelis, turut serta beberapa orang pemuda Kristen Batak Toba

185

Universitas Sumatera Utara yang tidak tertampung dalam sekolah seminari Sipoholon (Sitompul, 1986 : 154-

155.; Panjaitan, 1982 : 15-16).

Berbeda dengan penduduk Simalungun Atas, maka penduduk Simalungun

Bawah, seperti daerah Bandar yang menjadi pos zending adalah berdekatan dengan pantai timur Sumatra sudah sejak 1850 mengalami pengaruh agama Islam sebagai akibat persentuhan dengan orang-orang Melayu dari daerah Asahan, Batu

Bara. Salah seorang pengajur agama Islam dari orang Batak Simalungun pada dasawarsa 1890-an di daerah ini adalah Datuk Sahilan Saragih (Damanik, 1974 :

176.; Parlindungan, 1964:456).

Mengamati kondisi penduduk Simalungun bawah demikian, zendeling

Simon berusaha menambah tenaga pembantu dalam karya zending. Tenaga-tenaga yang direkrut adalah dari orang-orang Batak Toba Kristen yang telah bermigrasi ke daerah ini terutama di daerah Bandar Maratur. Bandar Maratur adalah sebuah desa migran Batak Toba di Simalungun bawah yang jaraknya 5 km dari Bandar

(75 Taon HKBP, 1936: 22). Mereka ini terlebih dahulu menerima pendidikan kilat selama tiga bulan dengan materi adalah: Pemahaman agama Kristen, dan penguasaan bahasa Batak Simalungun sehingga diharapkan mempunyai kemampuan komunikasi yang baik terhadap penduduk setempat yaitu orang Batak

Simalungun (Tichelman, 1936: 34.; Panjaitan, 1982: 32).

G.K.Simon menyadari perlunya bahasa Batak Simalungun digunakan dalam karya zending di daerah ini, sehingga beliau mulai menterjemahkan beberapa buku Kristen diantaranya Katekhismus Luther, beberapa cerita Alkitab dari Injil Markus dan Lukas, buku pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa

Batak Simalungun. Namun demikian sampai 1906 belum ada orang Batak

186

Universitas Sumatera Utara Simalungun yang beralih agama menjadi Kristen, sementara Simon pada tahun ini karena alasan kesehatan meninggalkan Sumatera dan kembali ke Jerman. Beliau kemudian digantikan zendeling Ed. Muller yang sejak tahun 1905 telah membantunya di daerah Bandar (Panjaitan, 1982: 33).

Seiring dengan perkembangan ekonomi dan politik kolonial di daerah ini, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang mempengaruhi proses konversi agama dikalangan penduduk setempat. Pada tahun 1907 pemerintah kolonial memindahkan pusat kegiatan ekonomi dan politik dari Bandar ke

Pematang Siantar. Perpindahan ini mempunyai implikasi terhadap perkembangan pembangunan di Pematang Siantar. Kondisi demikian dipandang sebagai kesempatan untuk lebih mengefektifkan dan mengintensifkan karya zending bagi penduduk Batak Simalungun, disamping menghimpun migran kaum Kristen

Batak Toba di daerah ini. Pos zending juga ikut dipindahkan ke Pematang Siantar tahun 1907. Di Pematang Siantar zending bertemu dengan sejumlah besar migran

Batak Toba Kristen yang mulai membentuk komunitasnya. Menurut catatan

Tideman telah ditemui sejumlah 280 jiwa imigran Batak Toba di daerah ini tahun

1907 (Tideman,1922: 186). Perhatian zendeling terhadap orang Batak Simalungun agaknya terabaikan, dan lebih memberi perhatian untuk mengorganisir migran

Batak Toba Kristen yang semakin banyak jumlahnya itu, sehingga terbentuk jemaat tersendiri bagi orang Batak Toba di Pematang Siantar.

Pesatnya perkembangan pembangunan di daerah Simalungun bawah khususnya di Pematang Siantar, agaknya kurang mempengaruhi budaya agraris orang Batak Simalungun untuk menyesuaikan diri dengan perobahan yang terjadi.

Akibatnya semakin tersisihlah orang Batak Simalungun di daerahnya sendiri.

187

Universitas Sumatera Utara Kondisi demikian menyulitkan zendeling berkarya di kalangan mereka, apalagi dengan munculnya rasa kebencian terhadap migran Batak Toba yang dituduh sebagai “perampas” tanah mereka, sementara usaha pekabaran Injil juga dilakukan dalam bahasa Batak Toba (Liddle, 1970:31-32).

Penduduk Batak Simalungun di daerah ini dihadapkan kepada dua pengaruh agama yaitu Melayu di satu sisi menawarkan Islam dan pada sisi lain

Batak Toba plus zendeling menawarkan agama Kristen. Orang-orang Simalungun yang jumlahnya minoritas itu tampaknya lebih memilih Melayu. Alasan mereka menjadi orang Melayu yang berarti Islam disamping bergengsi dianggap lebih punya peluang ekonomi atau mata pencaharian. Sehingga banyak diantara orang

Batak Simalungun bawah yang kawin dengan orang Melayu kemudian menghilangkan marganya namun tetap pasih menggunakan bahasa dan adat

Simalungun.

4.4.5 Zending dan Identitas Orang Simalungun

Proses penyebaran agama Kristen dalam rangka konversi di kalangan orang Simalungun selama periode ini adalah lambat jika dibandingkan dengan orang Batak Toba di Tapanuli, sementara yang berkarya di kedua daerah itu adalah zending RMG dari Jerman. Lambatnya pertambahan jumlah penduduk yang beralih agama (dibabtis) dan jumlah Jemat (gereja) disebabkan lambatnya transformasi pemahaman terhadap agama baru itu. Proses demikian dapat dilihat dari beberapa sisi yaitu: dari aspek geografis, aspek bahasa dan aspek sistem sosial budaya dan politik yang berlaku di kalangan orang Simalungun pada saat itu.

188

Universitas Sumatera Utara Pada tabel 9, berikut ini dapat dilihat gambaran perkembangan orang

Simalungun yang telah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen melalui kerelaannya untuk dibabtis. Setelah 25 tahun zending berkarya telah berdiri sejumlah 31 gereja yang tersebar di berbagai pelosok daerah ini dengan jumlah orang Simalungun yang dibabtis 1326 orang.

Tabel 9 : Jumlah orang Simalungun yang dibabtis 1903-1927

Tahun Jumlah yang dibabtis Jumlah Gereja

1903-1904 - 5 1905-1906 - 11 1907-1908 - 13 1909-1910 37 orang 18 1911-1912 60 orang 21 1913-1914 114 orang 23 1915-1916 273 orang 26 1917-1918 509 orang 26 1919-1920 768 orang 27 1921-1922 876 orang 27 1923-1924 983 orang 27 1925-1926 1202 orang 29 1927 1362 orang 31

Sumber: Diolah dari Arsip GKPS, Tauf=Register (Daftar Babtis) Tahun 1906- 1927. Juga dari Susukkara GKPS Tahun 1999, (Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 1999), hlm. 425-440. Juga Koloniaal Verslag tahun 1910, hlm. 9 lampiran Q.

Meskipun setiap tahun terjadi pertambahan jumlah orang-orang Batak

Simalungun yang dibabtis, dan juga pertambahan gereja yang dibangun ternyata kurang mendapat respon dari masyarakat setempat. Bagi zendeling aspek geografis merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi ketika mengunjungi penduduk dari satu kampung ke kampung yang lain. Sebuah kampung yang hanya dihuni sekitar 30 sampai 40 rumah tangga dengan jarak relatif berjauhan serta

189

Universitas Sumatera Utara medan berat semak belukar yang hanya dihubungkan jalan setapak memperlambat komunikasi dengan penduduk setempat. Menurut laporan Westenberg, Tahun

1904 penduduk di daerah kerajaan Purba di setiap desa rata-rata 38 rumah tangga, kondisi demikian tidak berbeda dengan kerajaan Simalungun lainnya

(Westenberg, “Nota Omtrent het Bataksch Landschap Silimakuta”, ANRI, SoK

MGS No. 2222, 6 Juni 1904).

Aspek bahasa Batak Toba sebagai sarana komunikasi yang digunakan zendeling dan evangelist terhadap masyarakat Batak Simalungun mempengaruhi proses konversi. Zendeling RMG mempunyai asumsi bahwa asal-usul silsilah orang Simalungun dan Toba sama saja, sehingga cenderung meremehkan perbedaan dalam hal bahasa. Asumsi demikian nampak dalam pernyataan zendeling L. Bregenstroth yang mengatakan: “Dengan tegas kini dikemukakan, bahwa orang Simalungun hampir-hampir bukan orang Batak sejati. Dalam pada itu kampung asal raja Siantar ada di Ambarita-Samosir, yang disebut

Lumbannabolak, dan orang Raya dari Simanindo, dan sebaliknya. Orang

Simalungun cukup mengerti bahasa Batak Toba, namun dewasa ini dengan sengaja setiap penyimpangan bahasa dijadikan bahasa pustaka” (Surat

Bregenstroth, kepada pusat zending di Pearaja Tapanuli Utara, hlm.2. Arsip

Koleksi J.J.Damanik). Zendeling Bregenstroth berpijak pada pandangan bahwa kawasan bahasa Simalungun akan semakin sempit akibat arus pendatang dari

Toba, sehingga dapat diramalkan bahwa bahasa itu tidak akan dapat bertahan lama sebagai bahasa pergaulan. Lagi pula, demikian dinyatakannya, bahasa

Simalungun hanya sedikit saja berbeda dari bahasa Toba (Surat Bregenstroth

190

Universitas Sumatera Utara kepada Asisten-Residen Simeloengoen en Karo Landen, 22 Nopember 1935.

(Arsip Koleksi J.J.Damanik).

Pandangan L. Bregenstroth tersebut dapat digolongkan pada pemahaman yang mengabaikan unsur budaya orang Simalungun. Bregenstroth cenderung meremehkan dan mengabaikan perbedaan yang ada dalam kedua bahasa daerah tersebut dalam tugas karyanya di kalangan orang Simalungun. Boleh ditegaskan bahwa sampai tahun 1928 agama Kristen di kalangan orang Simalungun bukanlah berpijak pada budayanya sendiri melainkan cenderung kepada budaya orang Toba tetangganya itu. Kecenderungan meremehkan perbedaan bahasa itu pada satu pihak menyebabkan orang Simalungun tercabut dari kebudayaan mereka sendiri, dan pada sisi lain mendasari tuntutan zendeling agar merekalah yang mengemban wewenang memimpin dan menentukan pelaksanaan Injil di Simalungun

(Voorhoeve,1937:2). Ketika J. Wismar Saragih masuk sekolah Zending-

Volksschool tahun 1908-1910, beliau pernah beranggapan bahwa Tuhan Yesus adalah orang Toba. Anggapan ini muncul sebab guru-guru dan para zendeling menggunakan bahasa Toba sebagai bahasa pengantar dalam pelayanan di

Simalungun (Saragih, 1974 : 53).

Persoalan bahasa ini dapat dijelaskan oleh P. Voorhoeve soerang ahli peneliti bahasa yang mencoba melakukan penelitian bahasa Simalungun.

Voorhoeve menyatakan bahwa penduduk Simalungun memang sebagian besar berasal dari pulau Samosir. Namun adalah keliru besar bila orang berpendapat bahwa bahasa Simalungun itu pada dasarnya hanya merupakan dialek bahasa

Batak Toba, apalagi kalau orang menyimpulkan bahwa bahasa Batak Toba harus dipertahankan sebagai bahasa pengantar dalam sekolah dan gereja di daerah

191

Universitas Sumatera Utara Simalungun. Hasil penelitian ini dapat disebut merupakan kritikan terhadap para zendeling RMG yang mengabaikan unsur budaya dan bahasa Simalungun dalam perluasan karya zending di daerah itu.

Sesungguhnya zendeling Simon pada tahun 1905 ketika berkarya di daerah

Bandar sudah menyadari perbedaan bahasa dan adat diantara Batak Toba dan

Simalungun. Usaha proses konversi di kalangan Batak Simalungun tidak sama dengan orang Batak Toba, sehingga Simon berusaha untuk menterjemahkan sejumlah buku-buku pelajaran sekolah zending, cerita-cerita Injil ke dalam bahasa

Simalungun, bahkan guru-guru pendampingnya diwajibkan menggunakan bahasa

Batak Simalungun dalam sekolah maupun pelayanan gereja. Namun usaha ini tidak berlanjut sebab Simon segera kembali ke Jerman (Pedersen, 1975:110).

Pada periode ini orang Simalungun menunjukkan sikap apatis terhadap karya zending yang diperkenalkan oleh zendeling dengan guru-guru zending orang Batak Toba dengan bahasanya yang kurang dipahami orang Batak

Simalungun itu. Orang Simalungun harus belajar bahasa Batak Toba terlebih dahulu baru kemudian bisa membaca buku-buku pelajaran di sekolah zending maupun mendengar khotbah yang disampaikan zendeling, yang membuat sikap apatis mereka bergabung ke dalam gereja. Selain itu ada kata-kata yang sama namun arti bertolak belakang dan tabu bagi bahasa orang Simalungun dan Batak

Toba. Kondisi demikian merupakan penghalang proses konversi.

Zendeling August Theis mulai menyadari bahwa orang-orang Simalungun harus dilibatkan dalam karya zending, sebab mereka lebih memahami budaya maupun adatnya sendiri. Pendekatan aspek budaya sesungguhnya telah sukses di kalangan orang Batak Toba di Tapanuli, orang-orang pribumi lebih mengerti

192

Universitas Sumatera Utara memberikan arahan kepada sesama kerabat mereka untuk beralih agama. Pada tahun 1911 August Theis mengusulkan kepada pusat zending di Sipoholon

Tapanuli, bahwa proses konversi di Simalungun akan lebih berhasil jika diantara mereka dilibatkan dalam karya zending dan bahasa Simalungun dijadikan sebagai alat komunukasi di gereja dan sekolah. Usul melibatkan itu diterima, sementara penggunaan bahasa belum. Pada tahun 1911 diberi kesempatan kepada dua orang pemuda dari kalangan orang Simalungun masuk sekolah Zending-Kweekschool, yang diharapkan nantinya sebagai tenaga pengajar untuk membantu zendeling di daerah mereka sendiri. Zending-Kweekschool adalah Sekolah guru zending

(Randwijck, 1989:690).

Dua pemuda Batak Simalungun yang diberi kesempatan belajar di luar daerahnya adalah Jaulung Wismar Saragih yang dikirim ke Zending-Kweekschool

Narumonda Tapanuli dan Jason Saragih yang dikirim ke sekolah seminari Depok

Jawa Barat (J. Wismar Saragih,1977:58.; juga Siboro, 1963: 21). Pada tahun

1915, kedua putra daerah Simalungun ini berhasil menyelesaikan studinya dan dipekerjakan sebagai guru sekolah zending di daerah Raya (Saragih,1977:67.;

Siboro,1963: 23).

Optimalisasi keterlibatan kedua putra daerah ini tidak tercapai sebab mereka bukan dididik dalam sekolah theologia, tentu saja mereka tidak memenuhi syarat sebagai pendeta bagi jematnya. Namun demikian kehadiran mereka sebagai guru zending di tengah-tengah komunitasnya telah memberikan nuansa baru bagi murid maupun penduduk untuk masuk sekolah mengikuti kebaktian gereja, jika dibandingkan daerah lain dengan guru zending dari Tapanuli. Bahasa pengantar dalam sekolah dan pelayanan gereja masih tetap bahasa Batak Toba dengan alasan

193

Universitas Sumatera Utara belum ada buku pelajaran dalam bahasa Simalungun (ANRI, SoK MvO, J. C. C.

Haar,1933 :7).

Suatu hal yang sepesifik mengenai karakter orang Batak Simalungun yang berbeda dengan Batak Toba adalah tingginya rasa curiga terhadap orang asing, kurang berani bertindak dalam mengambil keputusan menerima atau menolak sesuatu, dan lebih suka mogok dan tarik diri dari sesuatu hal yang tidak disetujuinya. Selain itu adanya sifat kehati-hatian dalam berpikir untuk memutuskan sikap terhadap suatu persoalan. Masing-masing orang memutuskan sikapnya sendiri dan tidak mau ikut-ikutan. Manakala sikap dalam pikiran sudah diputuskan, sikap itu tetap dan teguh, pendiriannya tidak diobah lagi. Menurut

Tideman, karakter demikian disebabkan ada kaitannya dengan struktur sosial orang Simalungun yang diperintah oleh raja-raja sehingga ada ketergantungan kepada penguasa itu (Tideman, 1922: 113-115.; Siboro, 1963:8). Karakter demikian mempengaruhi lambatnya proses konversi agama jika dibandingkan dengan suku tetangganya Batak Toba. Bagi orang Batak Toba dalam hal konversi, jika raja (marga yang sama) telah beralih agama semua warga huta akan ikut agama rajanya. Hal itu sesuai dengan ungkapan budaya mereka yang mengatakan:

“Eme namasak igagat ursa; I na masa ima niula”, terjemahannya “Padi yang masak dimakan rusa; Apa yang sedang berlangsung itulah diikuti.” Artinya ikuti arus yang terjadi di tengah-tengah komunitas (Schreiner, 1978: 46-47).

4.5 Pertumbuhan komunitas Kristen Simalungun 1928-1953

Setelah 25 tahun perjumpaan dengan zending RMG, telah terjadi proses konversi agama terhadap sejumlah 1362 orang Batak Simalungun. Bagi kalangan

194

Universitas Sumatera Utara zendeling pertambahan ini dianggap lambat, dan karena itu sangat mendesak untuk optimalisasi keterlibatan orang Simalungun dalam gereja dan sekolah untuk menggantikan orang Batak Toba. Pada sisi lain dari kalangan orang Batak

Simalungun mulai menyadari adanya keunggulan agama baru yang diperkenalkan zendeling itu. Mereka semakin menyadari keadaan sendiri yang semakin terdesak dari berbagai suku-suku lain yang masuk ke daerahnya, sehingga mereka harus bangkit menunjukkan identitasnya sebagai orang Batak Simalungun, dan dalam hal organisasi gereja ingin mandiri dan terpisah dari orang Batak Toba.

4.5.1 Kesadaran akan Identitas Etnis dalam Gereja

Salah satu perkembangan terpenting pada tahun 1928-1953 adalah tumbuhnya identitas etnis Batak Simalungun. Sebelum masuknya zending RMG, maupun kolonial Belanda, dan kaum pendatang dari Tapanuli serta Jawa, penduduk Simalungun merasa sangat terikat dengan desanya. Perselisihan sesama raja-raja Simalungun sering terjadi dan kawulanya turut angkat senjata melawan warga kerajaan lawan sengketanya. Dengan demikian boleh dikatakan sesama kerajaan dan penduduk Simalungun tidak menyadari akan kesatuan budaya dan bahasa di antara mereka. Kondisi pemukiman yang relatif terisolasi sebelumnya dialami akhirnya memudar dan harus ditinggalkan pada kurun ketiga awal abad ke-20, seiring dengan perubahan-perubahan di sekitarnya sehingga sadar akan identitas etnisnya. Kesadaran terjadi karena ada perbandingan dirinya dengan kelompok etnis lain yang dianggap telah menguasai daerah mereka.

Karya para zendeling yang diperkenalkan kepada penduduk merupakan faktor utama yang melahirkan tumbuhnya kesadaran etnis Batak Simalungun

(Tichelman, “Timoer Bataksch reveil” dalam IG No. 58, 1936:33). Masalah

195

Universitas Sumatera Utara bahasa yang dialami zendeling adalah merupakan suatu kesalahan asumsi bahwa budaya Simalungun sangat mirip dengan Batak Toba. Zendeling menduga bahwa orang Simalungun cukup bisa memahami bahasa Batak Toba untuk berkomunikasi dan mereka juga menduga bahwa reaksi mereka terhadap ajaran agama Kristen akan mengikuti jalur sebagaimana yang diterapkan terhadap orang

Batak Toba di Tapanuli. Kesulitan yang dialami oleh zendeling sebagai hasil dari asumsi yang keliru itu merupakan hambatan dalam proses konversi. Orang

Simalungun enggan mempelajari bahasa Batak Toba, sebab dalam kegiatan gereja dan sekolah zending didominasi oleh zendeling Eropa dan asistennya evangelis dan guru dari Batak Toba (Tichelman, “Timoer Bataksch reveil” dalam IG No. 58,

1936:34).

Orang Simalungun yang sudah beralih agama itu semakin menyadari bahwa proses konversi di daerah mereka tidak menggelinding disebabkan warga gereja tidak mendorong agama baru itu terhadap teman, maupun kerabatnya.

Kecurigaan terhadap orang luar pada masa lalu dirasakan bisa dihilangkan dari pola pikir sesama orang Simalungun sehingga merasa tertarik dan mau memeluk agama Kristen Protestan.

Pada hari Minggu tanggal 2 September 1928, diadakan suatu perayaan di

Pematang Raya untuk memperingati 25 tahun karya zending di daerah

Simalungun (Tichelman, “Timoer Bataksch reveil” dalam IG No. 58, 1936:37.; 60 tahun Injil, 1963:23.; Cooley, 1976:69). Walaupun para zendeling tidak begitu sukses didaerah ini sebagaimana di Tapanuli, namun ribuan orang menghadiri perayaan ini termasuk pejabat penting pemerintah kolonial Belanda dan para raja orang Simalungun. Banyak pembicaraan diadadakan para zendeling selama

196

Universitas Sumatera Utara perayaan itu berlangsung terutama mengenai kesalahan yang telah dilakukan di daerah ini, dan muncullah usulan-usulan untuk mempercepat proses konversi agama di kalangan orang Simalungun (Tichelman, dalam IG No. 59, 1937: 509).

Pembicaraan demikian juga terjadi dikalangan orang Simalungun yang telah memeluk agama Kristen itu. Mereka mulai menyadari bahwa cara terbaik untuk memacu perluasan agama barunya adalah dengan menerima tanggung jawab untuk menyebarkan ajaran agama Kristen terhadap sesama teman, maupun kerabat, serta menggunakan bahasa mereka sendiri. Orang Simalungun yang sudah Kristen itu merasa sangat mampu melakukan tugas ini, sebab lebih mengenal dan memahami sistem kemasyarakatan dan adat istiadat sendiri ketimbang para zendeling Eropa dan guru zending dari Tapanuli sehingga dapat menarik lebih banyak anggota baru. Mereka menunjukkan realita dalam karya zending yang dilakukan dengan komunikasi bahasa sendiri akan menghantarkan suasana yang lebih leluasa dalam perbincangan dengan orang yang masih memeluk agama suku itu, sehingga tidak segan-segan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan siap memperoleh jawaban dengan bahasa sendiri, yang pada gilirannya tertarik pada agama Kristen.

Jaulung Wismar Saragih dan Jason Saragih, dua orang guru zending orang

Simalungun merasakan keprihatinan akan keberadaan orang Simalungun dalam organisasi gereja mencoba melakukan penghimpunan sesama untuk memperbaiki keadaan.

Jaulung Wismar Saragih lahir di Sinondang, Pamatang Raya pada tahun

1888, dan wafat 7 Maret 1968. Ia adalah Pendeta pertama dari orang Simalungun, dan seorang Budayawan yang gigih memperjuangkan kemajuan etnis

197

Universitas Sumatera Utara Simalungun. Ia juga menterjemahkan sebagian isi Alkitab ke dalam bahasa

Simalungun yang membuatnya menjadi orang Indonesia pertama yang menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Nusantara (dalam hal ini Simalungun).

Ayahnya bernama Jalam Sumbayak dan ibunya Ronggainim Purba. Semasa kecilnya ia bersama orangtuanya tinggal diperkampungan dengan mencari nafkah dari hasil pertanian. Keluarganya masih menganut agama kepercayaan nenek moyang Simalungun, sehingga pada masa itu ritual penyembahan kepada yang diagungkan seperti benda-benda sakral, roh nenek moyang dan tempat- tempat keramat adalah sesuatu yang sering disaksikannya. Pada masa kecilnya, ia hanya mendapat pendidikan informal dari keluarganya, khususnya sang ayah yang memberikan petuah-petuah kepadanya, bagaimana untuk berlaku hidup dalam tatanan hidup orang Simalungun. Pada umur 12 tahun, ia sudah berusaha mempelajari surat batak yaitu surat sapuluh siah (abjad yang 19 ) melalui bantuan ayahnya. Pada tanggal 11 September 1910 Wismar dibabtis menjadi pemeluk Kristen, dan dia melanjutkan pendidikannya pada zending Kweekschool Narumonda tahun 1911 – 1915, dan pada tanggal 18

Oktober 1915, menjadi guru zending di daerah Pamatang Raya (J.Wismar Saragih,

1977:59-67). Pada tahun 1927-1929 J.Wismar Saragih melanjutkan pendidikannya ke sekolah Pendeta di Sipoholon, dan tahun 1930 ia diangkat sebagai Pendeta dan ditempatkan di tengah-tengah orang Simalungun tepatnya di

Pematang Raya.

Ketika diadakan pesta perak peringatan 25 tahun Jemaat Raya tanggal 2

September 1928 yang menandakan telah 25 tahun Injil berjalan di Simalungun dia berusaha menulis sejarah kekristenan orang Simalungun, dan berhasil mencetak

198

Universitas Sumatera Utara buku dengan biaya sendiri untuk dijual pada perayaan di Pematang Raya. Beribu orang berkumpul di Pematang Raya dan buku sejarah yang ditulisnya terjual habis.

Wismar menyadari bahwa orang Simalungun enggan masuk Kristen salah satu penyebabnya adalah faktor bahasa. Berita injil disampaikan dalam bahasa

Batak Toba, kurang dimengerti orang Simalungun, selain itu ada kata-kata tabu dalam bahasa Simalungun namun dalam bahasa Batak Toba tidak, hal demikian menjadi penghalang bagi orang Simalungun mempelajari Injil dari orang Batak

Toba. Mengatasi hal demikian orang Simalungun melakukan rembuk dengan sesama orang Simalungun dan membuahkan kesepakatan membentuk organisasi

Kristen Simalungun di Pamatang Raya yang diberi nama Komite Na Ra

Marpodah = Komite Penaehat Pekabaran Injil. Komite Na Ra Marpodah didirikan pada tanggal 13 Oktober 1928 di Pematang Raya (Pedersen, 1975:109).

Jaulung Wismar Saragih dan Jason Saragih, bersama dengan 12 tokoh orang Simalungun yang berasal dari Pendeta, guru zending, Tata Usaha (karani)

Pangulubalei (sekretaris kerajaan), birokrasi kerajaan (parbapaan), sintua

(penatua gereja) ketika itu secara bersama berkumpul di rumah kediaman Djaudin

Saragih di Pamatang Raya menetapkan kepengurusan komite ini dengan kepengurusan sebagaimana dalam tabel 10 berikut :

Tabel 10. Pengurus Komite Na Ra Marpodah 1928

No Nama dan Marga Pekerjaan Alamat Jabatan 1 J.Wismar Saragih Candidat Pandita Sipoholon Redaktur 2 Jason Saragih Guru Zending Raya Tongah Voorzitter Ihutan 3 Jacobus Sinaga Krani Tiga Raya Pamatang Raya Sekretaris / Penningmeester 4 Djaudin Saragih Pangulubalei Raya Pamatang Raya Komisaris

199

Universitas Sumatera Utara 5 Djotti Saragih Parbapaan Raya Usang Komisaris 6 Bendjamin Damanik Sintua Pamatang Raya Komisaris 7 Augustin Sinaga Guru Zending Jandi Mauli Komisaris 8 Djainus Saragih Guru Zending Raya Usang Komisaris 9 Kenan Saragih Guru Zending Pamatang Raya Komisaris 10 Lamsana Saragih Guru Zending Huta Bayu Komisaris 11 Kilderik Saragih Guru Zending Pamatang Raya Komisaris 12 Djonas Purba Girsang Guru Zending Sondi Raya Komisaris (Sumber : Sinalsal no.90/September 1938:6.; Dasuha dan Sinaga, 2002: 184-185 / diolah). Aktivitas utama Komite Na Ra Marpodah ini adalah memberi saran kepada evangelis, mengeluarkan buku-buku dalam bahasa Simalungun yang memuat topik agama dan juga bidang kepentingan umum untuk diserahkan kepada gereja dan sekolah-sekolah di Simalungun. Misalnya komite ini mengeluarkan beberapa buku agama yang diperlukan untuk pembangunan rohani, buku katekhismus kecil karangan Luther, ayat-ayat Alkitab, nyanyian gerejani, liturgi gerja, cerita-cerita Alkitab (Tichelman,“Timoer-Bataksch,1936: 38).

Berkaitan dengan kepentingan orang Simalungun, komite ini menyiapkan buku-buku yang menguraikan sistem pemerintahan di Simalungun yang mencakup nasehat tentang bagaimana membina organisasi kemasyarakatan dan bagaimana mendapat pekerjaan. Tahun 1935 komite ini telah menerbitkan 25 judul buku, diantara yang terpenting dapat disebut kamus bahasa Simalungun yang berjudul Partingkian ni hata Simalungun, yang disusun oleh Jaulung

Wismar Saragih (Tichelman,“Timoer-Bataksch,1936: 39).

Selain itu komite ini berhasil pula menerbitkan majalah Sinalsal yang memuat informasi tentang kegiatan zending di Simalungun. Sinalsal artinya cahaya, majalah bulanan berbahasa Simalungun terbit sejak tahun 1931-1942.

200

Universitas Sumatera Utara Sebagai satu satunya terbitan berbahasa Simalungun majalah ini menjadi terkenal di antara orang-orang Kristen dan non Kristen. Majalah ini terbit secara teratur selama masa sebelas tahun. Selama sepuluh tahun keberadaannya, Komite Na Ra

Marpodah bertindak sebagai organisasi kerja sukarela. Biaya organisasi dipikul bersama oleh para anggota dengan membayar iuran bulanan. Anggota yang bekerja di pemerintahan kolonial menyumbangkan sebanyak 2% gajinya untuk kegiatan komite ini (Sinalsal No. 48, Tahun V, Maret 1935:7. ; Siboro, 1963: 24. ;

Pedersen, 1975: 104-105).

Langenberg, (1976:65) menjelaskan bahwa meskipun Komite Na Ra

Marpodah adalah organisasi Kristen, namun merasa bertanggungjawab menyebar luaskan penggunaan bahasa Simalungun melalui buku-buku yang diterbitkannya.

Buku Ruhut Manurathon hata Simalungun (aturan dalam penulisan bahasa

Simalungun) diterbitkan komite ini dan dipergunakan di sekolah, sehingga memberi dorongan meluasnya bahasa daerah ini. Penerbitan ini mempunyai arti penting dalam meluaskan bahasa Simalungun agar tidak kehilangan pendukungnya, sebab dianggap tidak sesuai sebagai bahasa pengantar dalam sekolah dan gereja yang sepenuhnya didominasi oleh bahasa Batak Toba di semua lembaga yang ada di Simalungun. Usaha orang Kristen Simalungun untuk membela penggunaan bahasa daerahnya ternyata mendapat dukungan lapisan masyarakat Simalungun yang merasa terancam oleh kaum pendatang Tapanuli yang meningkat jumlahnya dan penggunaan bahasa Batak Toba dalam pelayanan gereja.

Pembentukan Komite Na Ra Marpodah diikuti dengan pembentukan organisasi Kristen lainnya di Simalungun. Menurut Langenberg (1976)

201

Universitas Sumatera Utara pembentukan ini memiliki corak anti Tapanuli Utara (Batak Toba) yang kuat dan dipimpin oleh para pejabat orang Simalungun dalam birokrasi kolonial dan para guru sekolah zending.

Para pemuda Kristen yang aktif mengikuti ibadah gereja dan belajar di sekolah zending membentuk kelompok yang disebut Kongsi Sauhur (organisasi bersatu). Selain secara aktif menyebarkan agama Kristen, para anggota Kongsi

Sauhur memberikan bantuan sukarela kepada anggota masyarakat dalam perkawinan, upacara pemakaman, dan sebagainya. Mereka juga membentuk paduan suara dan kadang-kadang memberikan hiburan melalui lagu-lagu himne.

Organisasi pemuda ini diawasi dan dibimbing para zendeling dengan harapan dapat sebagai penerus mereka dimasa yang akan datang dalam memimpin gereja.

Para anggota generasi tua tidak mau ketinggalan dalam aktivitas agama.

Pada tahun 1931 di Pematang Raya mereka membentuk organisasi yang disebut

Kongsi Laita („mari kita pergi‟), dengan tujuan utama menyebarkan agama

Kristen diantara teman dan kerabatnya (Sinalsal No. 72, Tahun VII, 1937, :3.;

Siboro, 1963: 62). Asal usul pembentukannya berawal dari adanya pembicaraan- pembicaraan sesama sintua mengenai isi khotbah yang didengar dalam acara kebaktian Minggu, yang kemudian menjadi pokok pembicaraan kembali dengan sesama warga jemaat di kedai kopi seusai kebaktian. Pada hari-hari Minggu sore adalah merupakan suatu kebiasaan para penatua gereja untuk mengunjungi kerabat dan teman yang masih menganut agama suku untuk memperbincangkan ide-ide yang diperoleh dari kotbah mingguan. Lambat laun pengikutnya semakin bertambah sehingga untuk selanjutnya mereka membentuk suatu organisasi.

Setelah terbentuk organisasi beserta pengurusnya, kemudian disepakati anggaran

202

Universitas Sumatera Utara dasar dengan suatu prinsip dalam piagam asli menyatakan bahwa jika seorang anggota Kongsi Laita terus bercakap-cakap lebih dari lima menit dengan orang lain, maka ia harus bersaksi tentang Injil (Pedersen, 1975: 109).

Selama lima tahun keberadaannya, Kongsi Laita memusatkan usahanya di sekitar Pematang Raya, namun sejak tahun 1936 aktivitasnya diperluas ke daerah- daerah Simalungun lainnya untuk bersaksi tentang iman mereka. Pada tanggal 6

April 1936 tujuh anggota Kongsi Laita diberangkatkan berjalan dari Pamatang

Raya ke selatan sampai ke Panei Tongah menyebarkan agama Kristen. Pada bulan

Nopember berikutnya tiga anggota dikirim ke daerah Silimakuta, dimana hampir semua penduduknya masih menganut agama suku. Pada bulan Januari 1937

Kongsi Laita memasuki daerah Sidamanik di sebelah barat Pamatang Raya, dan bulan Juli tahun yang sama lima anggota berkeliling ke kota Pematang Siantar yang mayoritas penduduknya memeluk agama suku dan sebagian telah memeluk agama Islam (Sinalsal No. 127, Tahun XI, Oktober 1941,:3).

Meskipun telah banyak orang Kristen Batak Toba di Pematang Siantar, mereka tidak berhasil menarik orang Simalungun masuk agama Kristen. Para anggota Kongsi Laita memasuki daerah ini mampu menarik rekan-rekannya untuk beralih masuk agama Kristen. Selama tahun 1938 dan 1939 para anggota Kongsi

Laita mulai memusatkan perhatiannya pada penduduk Simalungun yang tinggal di sepanjang pantai danau Toba, (Sinalsal No. 89, Tahun VIII, Agustus 1938: 11) yaitu empat anggota dikirim ke Haranggaol, dan empat ke Tigaras. Ketika tiga anggota dikirim ke Tanah Jawa 1939, mereka tidak diterima oleh para penatua gereja Batak Toba di daerah ini, dengan alasan tidak adanya surat ijin dari zendeling L. Bregenstroth selaku penanggung jawab zending di wilayah Sumatra

203

Universitas Sumatera Utara timur, dan surat ijin anggota Kongsi Laita hanya berasal dari Pamatang Raya

(Sinalsal No. 127, Tahun XI, Oktober 1941:5).

Penatua gereja Batak Toba menganjurkan agar ijin harus diperoleh dari pearaja Tarutung. Kelihatannya penatua gereja Batak Toba ini meragukan kemampuan anggoat Kongsi Laita dalam menyebarkan agama Kristen. Mereka mendasarkan penafsirannya pada kenyataan bahwa para penginjil ini belum cukup menerima pendidikan agama, tanpa memperhitungkan kemampuan mereka dalam mempengaruhi anggota kelompok etnisnya sendiri seperti yang telah dilakukan di daerah Pematang Siantar.

Insiden seperti ini menambah kesadaran orang Kristen Simalungun tentang keberadaan karya zending di Simalungun yang dikendalikan oleh orang-orang dari

Batak Toba. Sikap orang Batak Toba yang melecehkan kemampuan orang

Simalungun telah membatasi proses peralihan agama di kalangan etnis

Simalungun itu sendiri. Orang Simalungun merasa bahwa orang Batak Toba tidak melihat usaha karya zending yang mereka lakukan terhadap sesama etnisnya, tidak melihat pula adanya kesetiaan sesama etnis, dan tidak mengakui sumbangan yang diberikan Kongsi Laita dalam karya gerejawi. Seiring dengan perjalanan waktu orang Simalungun merasakan semakin perlunya memperkuat posisi mereka, bukan hanya mengenai statusnya dalam gerejawi, tetapi juga dalam non gerejawi.

Tichelman (1937:508) mencatat bahwa orang Simalungun perlu ibulang- bulangi sesuai adat. Bulang-bulang adalah sejenis ulos (kain tenunan) yang melambangkan mahkota (sahala) seseorang. Ibulang-bulangi berarti dimahkotai sebab sahala selama ini tidak ampuh lagi. Adanya kesatuan diantara sesama umat

204

Universitas Sumatera Utara Kristen yang tergabung dalam orgaisasi-organisasi gerejawi yang mempunyai kesadaran akan tanggungjawab untuk menyebarkan agama Kristen terhadap sesama etnisnya, telah mendorong kesadaran identitas budaya Simalungun.

Selanjutnya Tichelman, (1936: 40) menjelaskan bahwa adanya kekristenan telah membuat orang Simalungun semakin merevitalisasi akan kesadaran identitas

„orang kita‟. Kesadaran ini misalnya ditunjukkan ketika anggota Kongsi Laita meninggalkan rumah dan pekerjaan selama periode waktu tertentu untuk melakukan pekabaran injil ke daerah lain, umat Kristen Simalungun rela memberikan sumbangan keuangan. Jika keberangkatan anggota Kongsi Laita saat musim panen, maka padi akan diberikan sebagai sumbangan. Para anggota Kongsi

Laita bersedia sementara meninggalkan pekerjaanya di ladang maupun di pemerintahan demi berkarya sebagai penyebar agama Kristen di antara sesama etnisnya yang masih memeluk agama suku. Para anggota Kongsi Laita tidak terbatas hanya memberikan pelayanan kerokhanian saja, tetapi juga dalam karya sosial. Anggota yang memiliki keahlian bidang pertanian memanfaatkan kesempatan itu untuk membantu menjelaskan dan menunjukkan cara terbaik kepada rakyat untuk menanam sayuran, buah-buahan dan jagung. Karya sosial demikian merupakan daya tarik anggota masyarakat Simalungun non Kristen untuk segera bergabung ke gereja untuk selanjutnuya bersedia dibabtis (Sinalsal,

No. 72, Tahun VII, Maret 1937: 5-6.; juga Sinalsal No. 73, Tahun VII, April

1937: 6-7).

Langkah lebih lanjut yang diambil oleh orang Simalungun adalah membentuk Kongsi sesama penatua gereja (sintua). Mereka memberi nama

Kongsi Sintua Protestan Simalungun (KPSP) yang didirikan di Pamatang Raya

205

Universitas Sumatera Utara pada tanggal 17 Mei 1934, dimana saat itu Sintua Orang Simalungun berjumlah

32 orang sedang mengadakan kursus. Mereka bersepakat untuk menetapkan tujuan Kongsi ini antara lain adalah: membantu sintua yang duda dan membantu keluarga sintua bila meninggal. Keanggotaannya berasal dari sintua dari jemaat

Kristen Protestan dengan tidak membedakan suku, asalkan bersedia mengikuti aturan Kongsi (Sinalsal 39/Juni 1934:7-8). Kewajiban anggota membayar iuran

0,15 gulden per-tiga bulan, dan uang pangkal 0,50 gulden. Pendeta J.Wismar

Saragih dan Pendeta Gabriel dipercayakan mereka sebagai penyimpan Kas

(Sinalsal 39/Juni 1934:8. ; Dasuha dan Sinaga, 2003:196). Adapun kepengurusan

Kongsi Sintua Protestan Simalungun (KSPS) adalah seperti dalam tabel 11 berikut:

Tabel 11: Pengurus Kongsi Sintua Protestan Simalungun (KSPS) 1934

No Jabatan Nama Tempat Tinggal

1 Ketua St. Jonas Girsang Sondi Raya

2 Sekretaris Lemansius Damanik Pamatang Raya

3 Bendahara 1. Pdt.J.Wismar Saragih Pandita Pamatang Raya 2. Pdt.C.Gabriel Pandita Saribudolog 4 Komisaris I St.Salomo Simanihuruk Tiga Langgiung

5 Komisaris II St.Julianus Damanik Dolog Saribu

6 Komisaris III St.Andreas Sinaga Raya Tongah

7 Komisaris IV St. Arginius Sitopu Raya Usang

8 Komisaris V St.Tarianus Sigumonrong Tiga Raja

9 Komisaris VI St. Marinus Saragih Huta Baju

(Sumber: Sinalsal 39/Juni 1934:7-8. ; Dasuha dan Sinaga, 2003:196 / diolah).

206

Universitas Sumatera Utara Kegiatan kursus oleh KSPS diadakan sekali dalam sebulan selama 5 jam.

Materi yang dibicarakan adalah menyangkut pemahaman Kitab Injil, sejarah gereja dan sejarah Palestina. Namun sebagai inti utama adalah membahas bagaimana menemukan cara terbaik untuk menarik penganut agama suku ke dalam gereja. Kursus demikian meluas ke daerah-daerah lain di Simalungun, termasuk daerah Nagori Dolok yang terletak di perbatasan afdeeling Deli-Serdang yang dihuni orang-orang Melayu Islam. Setiap tahun diadakan konfrensi dengan tuan rumah secara bergilir, yang dihadiri para penatua gereja. Pada kesempatan ini para penatua gereja menyampaikan laporan pengalaman mereka di daerahnya masing-masing. Pada acara pertemuan demikian selain dihadiri zendeling juga dari pihak pemerintah kolonial, sambil membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan non rohani. Misalnya pada pertemuan tanggal 17-19 April 1937, Dr. P.

Voorhoeve peneliti bahasa Simalungun ikut memberikan ceramah yang isinya menceritakan perlunya penggunaan bahasa setempat dalam kekristenan (Sinalsal

No. 74, Tahun VII, Mei 1937: 2-6).

Kas Saksi Ni Kristus adalah perkumpulan orang Simalungun yang dibentuk tanda peduli akan identitas nya sebagai orang Kristen. Perkumpulan ini dibentuk untuk menangani keuangan yang muncul sehubungan dengan karya penginjilan di Simalungun, yang berdiri tahun 1934 (Sinalsal No.72,Tahun VII,

Maret 1937:4, ; Saragih, 1977: 140; Dasuha dan Sinaga 2003: 198). Orang

Simalungun yang bekerja dan berkedudukan di pemerintahan, maupun sebagai guru di berbagai sekolah zending, dengan sukarela menyumbangkan 1% dari gajinya tiap bulan untuk gaji dari guru Injil yang akan disuruh mengajar sekolah dan memberitakan injil di tempat-tempat yang dirasa perlu, terutama mengajar

207

Universitas Sumatera Utara anak-anak orang Simalungun yang berada di pedalaman seperti Pamatang Dolog

Silou, Nagori Dolog (Siboro, 1963 : 25). Banyak orang Simalungun yang berpartisipasi dalam sumbangan ini. Daerah Pamatang Dolog Silou menjadi prioritas disebabkan sampai tahun 1934, diantara kerajaan Simalungun yang belum memiliki sekolah adalah kerajaan Dolog Silou. Para anggota jemaat Kristen

Simalungun memberikan sumbangan khusus organisasi ini yang dipergunakan sebagai biaya hidup untuk setiap orang penginjil yang berkarya di pelosok

Simalungun. Jemaat orang-orang Kristen Batak Simalungun terlibat dalam kegiatan ini, kecuali Tanah Jawa dan Siantar yang penduduknya didominasi orang

Kristen Batak Toba. Daerah pertama yang memanfaatkan pengangkatan penginjilan yang dibiayai oleh Kas Saksi Ni Kristus adalah Pamatang Dolok Silou, yang merupakan satu-satunya daerah kerajaan yang belum memiliki sekolah zending.

Pada tahun 1936 zendeling Herman Voller ditugaskan ke Simalungun untuk mempelajari bahasa dan adat Batak Simalungun sebelum memusatkan diri pada karya zending (Sinalsal, No. 71, Tahun VII, Pebruari 1937:9). Kehadiran zendeling ini bagi orang Simalungun sebagai suatu pemenuhan keinginan yang ditunggu-tunggu. Melalui kehadiran zendeling ini akhirnya makna bahasa Batak

Simalungun sebagai sarana komunikasi di daerah ini diakui oleh zending RMG.

Herman Volmer dalam tugasnya di tengah-tengah etnis ini dapat menarik perhatian disebabkan keluesannya untuk bergaul dengan penduduk desa yang terisolir di pedalaman serta bergaul dengan masyarakat kebanyakan yang masih menganut agama suku. Pergaulan demikian menyebabkan banyak penduduk tertarik kepada kotbah Volmer. Mereka mengaguminya karena secara sosial dekat

208

Universitas Sumatera Utara dengan penduduk kebanyakan, dan disampaikan dalam bahasa Simalungun yang susah payah dipelajarinya (Sinalsal, No. 71, Tahun VII, Pebruari 1937:9).

Umat Kristen Simalungun pada periode ini semakin meningkat mobilitasnya. Sebagian penduduk dari Simalungun Atas cenderung bergerak ke daerah baru yang bukan hanya dihuni etnis Simalungun. Langkah ini didorong oleh keinginan mendapat penghidupan yang lebih baik, khususnya bidang perdagangan. Mereka yang pindah ke daerah Bah Hapal atau pesisir yang dihuni oleh orang-orang Melayu. Keluarga yang pindah ini ikut berperan memperkenalkan agama Kristen ke daerah itu, dengan mengadakan kebaktian secara rutin di rumahnya. Seiring dengan perjalanan waktu bertambah pula orang- orang yang pindah maupun yang ikut kebaktian di rumahnya dan pada gilirannya mereka membangun gereja. Para zendeling RMG mendorong pertumbuhan umat

Kristen di daerah yang didominasi Muslim sehingga mereka merancang pembangunan sekolah zending untuk penduduk setempat, dan mengusahakan subsidi pemerintah kolonial Belanda.

Berdasarkan perkembangan dalam tahun 1928 sampai awal tahun 1953 jumlah orang Simalungun menjadi pemeluk agama Kristen dapat dilihat melalui pertambahan jumlah anggota jemaat dalam tubuh gereja HKBP sebagaimana dalam tabel 12 berikut ini.

Tabel 12. : Pertumbuhan orang Simalungun Kristen 1928-1953 dalam gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) No Tahun Jumlah Jumlah No Tahun Jumlah Jumlah anggota gereja anggota gereja gereja gereja 1 1928 1.498 orang 34 14 1941 7.994 orang 66 2 1929 1.725 orang 39 15 1942 7.994 orang 66 3 1930 2.038 orang 39 16 1943 9.135 orang 68

209

Universitas Sumatera Utara 4 1931 2.564 orang 40 17 1944 15.000 orang 79 5 1932 2.951 orang 47 18 1945 16.250 orang 82 6 1933 3.218 orang 50 19 1946 18.500 orang 85 7 1934 3.605 orang 53 20 1947 19.000 orang 86 8 1935 4.796 orang 55 21 1948 19.400 orang 88 9 1936 5.083 orang 57 22 1949 21.500 orang 89 10 1937 5.269 orang 58 23 1950 23.870 orang 92 11 1938 5.694 orang 60 24 1951 24.500 orang 95 12 1939 6.068 orang 62 25 1952 25.000 orang 97 13 1940 6.443 orang 64 26 1953 25.630 orang 100

Sumber: Diolah dari Tauf=Register Gereja Kristen Protestan Simalungun 1928- 1941, (Arsip GKPS Pamatang Raya, Simalungun),; Purba, ”Statistik GKPS” dalam Ambilan pakon Barita, No. 53, Edisi khusus, 1978, hlm. 74-78. ; Damanik, 2012: 225.; Siboro,1963:40).

4.5.2 Penegasan Identitas Simalungun dalam Gereja

4.5.2.1 Pengunaan Bahasa Simalungun

Langenberg, (1976:65), menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Batak

Toba sebagai bahasa resmi dalam karya zending RMG di Simalungun, dan dominasi sejumlah besar orang Batak Toba dalam hirearkhi gereja mendapat reaksi negatif orang Batak Simalungun. Orang Simalungun menyadari keberadaannya yang ternyata jauh ketinggalan dalam bidang gerejawi maupun non gerejawi dengan etnis lain terutama dengan orang Batak Toba. Salah satu masalah yang dihadapi orang Batak Simalungun yang ingin lebih berperan aktif dalam pelayanan dan organisasi gereja adalah struktur organisasi gereja yang tidak mencerminkan kebutuhan mereka. Sampai tahun 1930 semua keputusan penting mengenai bagaimana proses kegiatan penyebaran agama Kristen berada di tangan badan zending RMG yang berpusat di Pearaja Tarutung untuk Tanah

210

Universitas Sumatera Utara Batak. Perubahan terjadi pada tahun 1930 dimana pimpinan RMG memanggil sinode agung, dan dalam sinode agung tersebut diterima tata-gereja dan berdirilah

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) (End, 1989:183). Kemudian Gereja HKBP diakui oleh pemerintah Belanda sebagai organisasi gereja yang sah (Castles,

1972:170).

Berhubung dengan itu pula maka pada tahun ini juga dirumuskan peraturan gereja setelah dilakukan penelitian sistematis dan terperinci atas penduduk di tanah Batak. Sebagai penanggung jawab dalam menyusun peraturan itu adalah zendeling Dr. J. Warneck yang ketika itu berkarya di daerah Batak.

Sebagai hasil rapat komite yang dihadiri oleh para pejabat gereja diputuskan bahwa peraturan-peraturan yang merupakan keputusan awal ini harus dipertahankan selama masa 10 tahun, dan sesudah itu dapat direvisi sesuai dengan kebutuhan di lapangan (Pedersen, 1975: 81).

Peraturan baru ini sangat penting bagi umat Kristen Simalungun. Sebelum

1930 struktur organisasi daerah zending Simalungun dimasukkan dalam satu distrik yang bernama Simalungun-Oostkust. Struktur organisasi zending RMG di

Tanah Batak adalah: (1) Ephorus pucuk pimpinan berkedudukan di Pearaja

Tapanuli Utara, (2) Praeses, yang memimpin distrik dan membawahi beberapa resort, (3) Resort, dipimpin pendeta dan membawahi beberapa jemat

(Pedersen,1975:82).

Namun dalam peraturan baru ini daerah Simalungun digabungkan dengan

Sumatra timur, Aceh dan Dairi, dengan nama distrik Oostkust, Aceh en

Dairilanden (Sinalsal, No. 113, Tahun X, Agustus 1940:7). Orang Simalungun protes dengan struktur ini, karena menghilangkan identitas Simalungun padahal

211

Universitas Sumatera Utara pusat distrik ada di Pematang Siantar. J. Wismar Saragih pendeta Simalungun melayangkan surat protes kepada zendeling H. Volmer yang berada di

Seribudolog ketika itu (Arsip GKPS, Surat J. Wismar Saragih kepada zendeling

H. Volmer tanggal 27 Oktober 1937).

Mereka melihat bahwa perubahan dalam pembagian administratif disebabkan oleh pendatang dari Tapanuli yang semakin meningkat memasuki daerah Simalungun dan pantai timur Sumatra. Jelas bahwa HKBP mempunyai tujuan utama untuk melayani pendatang baru Tapanuli di distrik baru Sumatra timur, ketimbang penduduk asli Simalungun yang belum terjangkau para zendeling. Kondisi demikian menimbulkan rasa kebencian terhadap pendatang

Tapanuli serta kelembagaan HKBP sulit dihindarkan.

Pecahnya Perang Dunia II menimbulkan dampak terjadinya pergolakan dalam HKBP. Aktivitas semua zendeling RMG Jerman dihentikan ketika mereka semua ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Di antara zendeling yang ditangkap adalah Herman Volmer yang mencurahkan diri terus menerus untuk melakukan karya zending di Simalungun. Di seluruh daerah Toba, para evangelis dan pendeta orang Toba terpaksa menduduki posisi tingkat tinggi yang sebelumnya hampir diisi seluruhnya oleh zendeling RMG Jerman. Dengan demikian sejak tahun 1940 kepengurusan HKBP seluruhya berada di tangan orang

Batak Toba. Walaupun HKBP telah dipimpin orang Batak Toba namun peran zendeling RMG tetap dibutuhkan sebagai penasehat, bahkan pengaruhnya tidak berkurang, sebab ketergantungan HKBP dalam soal batuan keuangan dari zending tersebut (F. A. Schiotz, “Lutheran World Mission” dalam International Review of

Missions, No. 43, 1954:317). Bahkan seusai Perang Dunia II, ketika zendeling

212

Universitas Sumatera Utara RMG Jerman kembali bekerja di daerah itu, tidak lagi menduduki jabatan administratif resmi dalam struktur gereja tetapi membatasi diri sebagai penasehat dan pendeta.

Pada tahun 1940 gereja HKBP berdiri sendiri secara organisasi dengan

Ephorus yang pertama Pendeta K. Sirait (End, 1989:184). Orang Batak

Simalungun merasa saatnya tiba untuk menuntut otonomi yang lebih luas dari

HKBP atas dasar perbedaan bahasa, adat, serta menuntut pelayanan tersendiri.

Berulang kali permintaan diajukan kepada kantor pusat HKBP di Pearaja

Tarutung, agar daerah Simalungun diakui menjadi daerah tersendiri. Namun permintaan ini selalu ditolak (Gramberg, “The Batak Church in Fiery Trials” dalam International Review of Mission, No. 31, 1942:422.; Langenbergh,

1976:67).

Orang Simalungun merasa bahwa jika mereka boleh mengelola urusan gereja di daerahnya sendiri, tanpa tergantung kepada keputusan yang dibuat di

Pearaja Tarutung, karya zending akan mencapai kemajuan yang lebih pesat. Pada bulan Juli 1940 diulangi lagi permohonan yang disertai ancaman, jika umat

Kristen Simalungun tidak boleh mengelola gereja di daerahnya sendiri, maka akan memisahkan diri dari HKBP (Gamberg,1942:325). Akhirnya orang Simalungun menerima jawaban. Sinode am HKBP tanggal 10-11 Juli 1940 di Pearaja membahas permohonan orang Batak Simalungun tersebut dan mengabulkannya

(Arsip HKBP, Notulen Sinode Luar Biasa HKBP 1940, No. VI.; Sinalsal No.113,

Tahun X, Agustus 1940:7).

Ephorus HKBP mulai mempertimbangkan usulan itu, yang disertai dengan kunjungan ke Simalungun untuk meyakinkan bahwa memang perlu diberikan

213

Universitas Sumatera Utara pelayanan khusus di daerah ini. Ephorus menyetujui agar daerah Simalungun terpisah dan pembentukannya hendaknya dalam semangat gerejawi, dan para pemimpin gerejanya akan diberi otonomi luas. Meskipun mereka masih memiliki kesetiaan ke pusat HKBP di Pearaja Tarutung, namun merekalah yang bertanggung jawab terhadap semua pelayanan dan karya zending di daerahnya sendiri. Struktur baru demikian kurang memuaskan bagi orang Batak Simalungun, karena hanya daerah Simalungun Atas yang diberikan otonomi, sementara daerah

Simalungun bawah tetap dibawah kontrol langsung HKBP.

Tujuan HKBP sesungguhnya adalah membentuk gereja Batak bersama.

Hal ini membuat keengganan para tokoh Batak Toba untuk mengakui otonomi daerah Simalungun. Zendeling RMG Jerman Volmer sudah menyadari tentang adanya perbedaan etnis Simalungun dengan orang Batak Toba yang tidak mau mengakui identitas Simalungun. HKBP mulai memainkan peranan dominan terhadap kelompok etnis Batak lain setelah otonomi lengkap dicapai dari RMG

(Langenbergh, 1976:69).

Kesadaran yang meningkat tentang identitas etnik yang belakangan dikembangkan dikalangan orang Simalungun menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan. Hubungan para tokoh Simalungun dengan para pejabat HKBP pada tahun 1940 menunjukkan bahwa mereka yakin pada kemampuan etniknya sehingga ingin menegaskan haknya, bahkan sikap ini mengarah pada benturan dengan orang-orang Batak Toba. Kesetiaan etnik atau kedaerahan nampak lebih menonjol ketimbang kekristenan merupakan yang tidak diduga sebelumnya

(Tichelman, 1937, “Locaal Patriotisme….dalam IG No. 59: 508).

214

Universitas Sumatera Utara Dilihat dari sudut pandang agama murni, konflik antara pejabat gereja

Simalungun dan Batak Toba tentang masalah siapa yang bertanggung jawab bagi penyebaran agama Kristen di Simalungun merupakan masalah picik. Namun orang Batak Simalungun tidak bisa mengabaikan realita masalah yang muncul di daerahnya sendiri dan mampu mengatasi sendiri. Bukan hanya orang Batak

Simalungun yang memberikan reaksi terhadap dominasi HKBP. Pada akhir

Oktober 1940 pertemuan diadakan di semua pemimpin HKBP termasuk para wakil daerah di Angkola, sebelah selatan Tapanuli. Pada pertemuan ini mereka semua yang terlibat menyetujui makna kesatuan gereja. Namun para wakil

Angkola dan Simalungun dengan jemat di luar Tapanuli ingin mendapat status merdeka seperti yang dialami gereja-gereja di Maluku dan Minahasa

(Gamberg,1942:325).

Selama periode ini keinginan mandiri orang Batak Simalungun tercapai dimana bahasa Simalungun mulai digunakan dalam gereja, dan sekolah sampai tahap ketika para tokoh gereja Simalungun cukup yakin untuk menuntut otonomi luas dari pimpinan HKBP. Pada tanggal 26 September 1940 secara resmi HKBP memberi otonomi kepada kaum Kristen Batak Simalungun menjadi distrik tersendiri (Sinalsal No. 116 Tahun X, Nopember 1940:3).

4.5.2.2 Alkitab diterjemahkan dalam bahasa Simalungun

Dengan semakin meningkatnya orang Simalungun menjadi Kristen maka dibutuhkan dukungan semangat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa orang Simalugun. Sebab dalam gereja HKBP selama ini Alkitab yang digunakan adalah bahasa Batak Toba. Tidak ada upaya yang serius dari pihak zending RMG untuk menerjemahkannya dalam bahasa Simalungun. Memang sebelumnya

215

Universitas Sumatera Utara zendeling G.K. Simon pernah menerjemahkan bagian-bagian Alkitab Perjanjian

Baru ke dalam bahasa Simalungun, namum tidak berlanjut, sebab pihak zending

RMG lebih sibuk melayani jemaat orang Batak Toba yang sudah mengalir deras masuk ke Simalungun sejak 1906. Kemudian pada tahun 1936 zendeling

H,Volmer yang ditempatkan kembali mulai berusaha menggunakan bahasa

Simalungun dalam pekerjaannya (Pedersen,1975: 106). Pada sisi lain dalam setiap kebaktian dan pertemuan Kristiani, jemaat orang Simalungun acap kali mendengar kotbah dalam bahasa Batak Toba, dan kurang dapat dimengerti orang

Simalungun.

Kesadaran orang Simalungun mendengar kotbah gerejawi dalam bahasa sendiri menimbulkan upaya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa

Simalungun. Pelaksanaannya pada awalnya ada berupa perikope atau bagian tertentu saja. Ada yang lebih dulu menulis dalam selembar kertas terjemahan dan menyelipkannya di antara lembaran Alkitab, bahkan ada juga yang langsung menerjemahkan perikop kotbah dari Bibel bahasa Batak Toba yang ia bacakan di hadapan jemaat, sehingga bukan perikop Toba yang sampai jemaat, melainkan perikope Simalungun. Pendeta J. Wismar Saragih dalam setiap kesempatan kotbahnya, meski belum ada Alkitab bahasa Simalungun, selalu diusahakannya berkotbah dan membaca perikop dalam bahasa Simalungun dan ini menarik minat orang Simalungun mendengar kotbahnya yang pada gilirannya semakin bertambah babtisan (Dasuha dan Sinaga, 2003: 217).

Wismar Saragih pendeta pertama orang Simalungun mencoba menerjemahkan bagian-bagian Alkitab kedalam bahasa Simalungun, hingga 1937

Injil Lukas sudah berhasil diterjemahkannya kedalam bahasa Simalungun.

216

Universitas Sumatera Utara Walaupun ia tidak mengetahui bahasa Yunani, ia membandingkan teks terjemahan Belanda, Indonesia, Toba, Karo, dan Angkola dan dengan bantuan zendeling H.Volmer, Dr.P.Voorhoeve dan Lembaga Alkitab Belanda NGB

(Nederlandsche Bijbel Gennonschaft) ia berhasil mencetak sebanyak 2000 eksemplar. Buku cetakan dijual kepada masyarakat dengan harga Rp.5 sen perbuah. Dalam beberapa minggu saja, terjemahan yang pertama itu sudah habis terjual, baik karena harganya yang rendah, maupun karena antusiasme orang

Kristen terhadap terjemahan Simalungun (Pedersen, 1977:106). Sampai dengan tahun 1930 J.Wismar Saragih dicatat sebagai orang pertama pribumi nusantara yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa etnisnya sendiri (Dasuha dan

Sinaga 2003:218).

Kongsi Bibel Simalungun

Upaya alih bahasa Alkitab secara keseluruhan ke dalam bahasa

Simalungun adalah kebutuhan mendasar, sebagai sarana pemeliharaan Iman

Jemaat, perlu dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Orang Kristen

Simalungun bersepakat membentuk „Kongsi Bibel Simaloengoen‟ (Persatuan

Alkitab Simalungun) pada 10 Agustus 1944 di Pamatang Raya. Pendeta J.Wismar

Saragih disepakati sebagai ketua penerjemah dan Jaramin Saragih sebagai ketua umum Kongsi Bibel Simalungun (Munthe, 1987:50).

Pada 23 Oktober 1944 diadakan pertemuan pengurus Kongsi Bibel

Simalungun, dan dimulailah pekerjaan menerjemahkan dan menerbitkan bagian- bagian Alkitab untuk kepentingan praktis gerejawi. J.Wismar membagikan teks yang akan diterjemahkan oleh masing-masing anggota Kongsi Bibel Simalungun, dan hasil terjemahan para anggota diserahkan kepadanya untuk diperiksa. Upaya

217

Universitas Sumatera Utara demikian sampai tiga tahun berhasi, terlebih lagi tidak ada orang Simalungun yang menguasai bahasa asli Bibel (Yunani Dan Ibrani). J.Wismar Saragih dengan kemampuannya mencoba menerjemahkan sendiri Alkitab Perjanjian Baru yang dikerjakan selama 6 tahun (1944-1950) hingga selesai 2 Agustus 1950 dalam bentuk tulisan tanggan. Hasil terjemahan disempurnakan P.Voorhoeve, dan

Zendeling H.Volmer dengan membandingkannya dalam bahasa Yunani.

Selanjutnya terjemahan dibawa ke Belanda dan dicetak oleh Nederlandsch

Bijbelsch Gonootschaft (NBG). Pada 17-31 Mei 1852, diadakan konferensi penerjemah Alkitab di Jakarta yang dihadiri J.Wismar Saragih. Pada pertemuan itu ia meminta pada sekretaris NBG J.Jkeine agar tepat pada perayaan Jubileum

50 Tahun Injil di Simalungun Alkitab Perjanjian Baru sudah dapat diedarkan kepada orang Simalungun. Permintaan J.Wismar Saragih tersebut dapat dipenuhi

NBG, yaitu dengan tibanya Mr.G.P Khouw di Pematangsiantar membawa 200 eksemplar Bibel Perjanjian Baru (Padan Nabaru). Pada perayaan jubileum 50 tahun injil di Simalungun, 6 September 1953 di Pamatang Raya dijual kepada jemaat yang hadir (J.Wismar Saragih, 1977: 184). Zendeling H.Volmer menyampaikan kepada J.Wismar Saragih, bahwa zending RMG berniat menganugerahkan gelar doktor honoris causa (DR.HC) kepadanya jika sudah selesai terjemahan Perjanjian Baru. Namun hal ini lebih dulu ditanyakan ke tanah

Batak (Pearaja). Jawab dari Pearaja: “tuan tuanlah yang menimbang, bahwa

Pdt.J.Wismar Saragih yang memisahkan HKBP Simalungun dari HKBP. Oleh sebab itu pemberian gelar itu gagal”. Pdt. J.Wismar Saragih menjawab:

“terimakasih jika karena HKBP Simalungun saya gagal mendapat titel Doktor, karena HKBP Simalungun itulah suatu jalan bagi kami untuk mempercepat

218

Universitas Sumatera Utara berkembangnya pekabaran injil bagi orang Simalungun”. Lebih berharga pada saya HKBP Simalungun dari pada titel „Doktor‟ yang tuan katakan (Saragih,

1977: 185).

Pendeta J.Wismar Saragih melanjutkan penerjemahan Perjanjian Lama, namun kesehatanya makin memburuk, pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan. Pdt.

J. Petrus Purba ditugaskan melanjutkan penerjemahan yang terbengkalai itu, dan ia berangkat ke Jerman untuk memperdalam bahasa Ibrani. Terjemahan dari teks

Ibrani perjanjian lama ke dalam bahasa Simalungun yang dikerjakan Pdt. J. Petrus

Purba akhirnya selesai pada 1968. Dan setelah mengalami revisi dan koreksi oleh tim ahli dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada 1971, naskah Perjanjian

Lama (Padan na Basaia) dan Perjanjian Baru (Padan nabaru) dalam bahasa

Simalungun dicetak LAI dan 16 Januari 1977 mukai diedarkan (Siboro, 1963: 68-

69).

4.5.2.3 Pendidikan Pendeta orang Simalungun

Setelah orang Simalungun Kristen masuk dalam Distrik tahun 1940, mereka bermaksud menambah pelayan atau pendeta dari kalangan Simalungun sendiri. Pada tahun 1949 jumlah pendeta orang Simalungun 5 orang, yaitu : Pdt.

Kerpanius Purba, Pdt. A.Wilmar Saragih, Pdt. Jenus Purba Siboro, Pdt. Jonathan

Purba dan Pdt.J.Wilmar Saragih. Pada tahun itu jemaat diperkirakan sebanyak 89 jemaat (Gereja), dan anggotanya diperkirakan 21.500 orang (Purba, 1978:76).

Mengatasi kekurangan tenaga pelayan, maka tanggal 12 Agustus 1948, diadakan kursus bijbelirouw (Penginjil Wanita) di Sondi Raya, dengan mendidik lima orang pelajar. Pada sisi lain guna menambah tenaga pendeta diadakan sekolah khusus pendeta. Untuk menetapkan diadakannya Sekolah Pendeta harus

219

Universitas Sumatera Utara melalui Sinode Distrik. Pada 15 April 1950, Sinode HKBP distrik Simalungun telah menyetujui dilaksanakannya Sekolah Pendeta di Pamatang Raya, dengan program mulai September 1950, lama pendidikan dua tahun. Untuk menangulangi biaya operasional Sekolah Pendeta, sinode membentuk kepanitiaan dengan nama

„panitia boras‟, sebagai ketua diangkat Gr Rudol Purba. Tugasnya menerima bantuan beras dari setiap rumah tangga anggota jemaat HKBP Distrik Simalungun untuk mendukung pembiayaan Sekolah Pendeta. Setiap rumah tangga menyediakan setakar beras tiap bulan selama dua tahun untuk mendukung HKBP distrik Simalungun dalam menyelenggarakan Sekolah Pendeta (Siboro, 1963 : 31;

Dasuha dan Sinaga, 2003: 221).

Pembukaan Sekolah Pendeta tidak segera disetujui pucuk pimpinan HKBP di Pearaja, Ephorus Justin Sihombing beranggapan bahwa pembukaan Sekolah

Pendeta harus lebih dulu disetujui sinode godang HKBP, walaupun pada 1949 hal itu sudah dibicarakan di sinode am HKBP di Seminari Sipoholon namun belum ada keputusan. Disarankan ephorus agar aspirasi Jemaat Simalungun itu dibawa ke sinode am HKBP berikut (Damanik, 1995 : 69.: Dasuha dan Sinaga, 2003:

222).

Pada kenyataan meski belum mendapat persetujuan sinode am HKBP,

Sekolah Pendeta sudah dimulai sejak 3 September 1950 mendahului sinode godang HKBP di Sipoholon. Adapun 7 orang siswa Sekolah Pendeta tersebut adalah: Gr.Friederik Damanik, Gr.Petrus Purba, Gr.Mailam Purba, Gr.Marinus

Girsang, Gr.Samuel Dasuha, Gr.Bonarcius Saragih, dan Gr.Williamer Saragih

(Jubileum 50 Tahun, 1979:11). Sebagai tenaga pengajar adalah para pendeta senior yang melayani disekitar Pamatang Raya, yaitu : Pdt.J.Wismar Saragih, Pdt.

220

Universitas Sumatera Utara Kerpanius Purba, Pdt.A.Wilmar Saragih. Sinode godang HKBP mendukung sekolah tersebut, dan memutuskan bantuan dana sebesar Rp.6.000 selama 6 bulan dan kekurangannya ditanggung oleh HKBP distrik Simalungun (Siboro, 1963 :

32). Ds.F.Sianipar yang pada waktu itu pendeta HKBP Resort Pamatang Raya ikut sebagai staf pengajar Sekolah Pendeta tersebut. Akirnya tujuh siswa Sekolah

Pendeta tersebut berhasil menamatkan pendidikan dan ditahbiskan oleh Ephorus

HKBP Justin Sihombing pada hari Minggu, 28 September 1952 di gereja HKBP

Pematang Raya (Jubileum 50 Tahun, 1979:11). Sebelumnya sudah dikirim surat kepada pucuk pimpinan HKBP di Pearaja agar tujuh pendeta yang ditahbiskan itu ditempatkan sebagai tenaga pelayan pada HKBP distrik Simalungun. Sebelumnya bahwa orang Simalungun yang berada pada jemaat HKBP distrik Simalungun telah dengan antusias memberikan „sumbangan beras‟ setiap bulannya untuk membiayai sekolah pendeta tersebut. Akan tetapi keinginan jemaat Simalungun tidak berkenaan bagi pimpinan HKBP Pearaja menyebabkan munculnya sikap

HKBP distrik Simalungun melakukan perlawanan dengan mengadakan sidang istimewa yang dilaksanakan pada 5 Oktober 1952, ketujuh pendeta tersebut ditempatkan untuk orang Simalungun (Dasuha dan Sinaga, 2003: 223).

4.6 Berdirinya HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun) 1953

Sinode godang HKBP yang berakhir tgl 4 November 1950 di Sipoholon telah memberi status distrik tersendiri untuk Simalungun dengan nama HKBP distrik Simalungun, namun wilayah pelayanan masih dibatasi hanya 7 (tujuh) kecamatan, padahal ada 17 kecamatan wilayah kabupaten Simalungun

(Siboro,1963:29). Keputusan ini disatu sisi dapat melegakan, namun disisi lain

221

Universitas Sumatera Utara tampaknya belum memuaskan orang Kristen Simalungun, sebab wilayah kerjanya terbatas, padahal mereka sangat bersemangat untuk mengabarkan Injil kepada sesama orang Simalungun (Siboro,1963:29.; Dasuha dan Sinaga, 2003: 223).

Sinode distrik HKBP Simalungun, 20 Juli 1952 di Pamatang Raya dan rapat Pendeta 9 Oktober 1952, memutuskan agar adanya 7 orang lulusan Sekolah

Pendeta Pematang Raya yang ditahbiskan ephorus HKBP Justin Sihombing untuk ditempatkan di Simalungun sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya

(Saragih, 1977 : 174). Keputusan ini dibuat disebabkan adanya pengingkaran pucuk pimpinan HKBP, yang ternyata mengalihkan penempatan 4 orang lulusan sekolah pendeta Pamatang Raya keluar distrik Simalungun dan hanya tiga orang yang tetap di HKBP distrik Simalungun. Bagi kelompok Kristen Simalungun hal ini dianggap suatu upaya menghalangi percepatan pekabaran Injil di Simalungun, dan menuai protes dari jemat Simalungun (Saragih, 1977: 175). Pendeta J.Wismar

Saragih bersama komunitas Kristen Simalungun memutuskan, lebih baik agar

Jemaat Distrik Simalungun yang merupakan orang Kristen Simalungun dipisah dari HKBP. Sementara itu Tuan Madja Purba sebagai bupati Simalungun saat itu mengatakan agar jangan ada pemisahan Jemaat Distrik Simalungun dengan

HKBP Pearaja. Hal demikian disampaikanya mengingat posisinya selaku pemerintah mengharapkan ketenangan.

Keputusan „memisahkan‟ ini disikapi oleh pengurus Harian HKBP distrik

Simalungun yaitu Pdt. Kerpanius Purba dan Pdt. A. Wilmar Saragih, dengan memanggil seluruh anggota sinode distrik untuk mengadakan sinode istimewa.

Karena bagaimana pun, keputusan ini bertentangan dengan maksud semula, dan harus dipertanggung jawabkan kepada seluruh jemaat Simalungun. Dalam sinode

222

Universitas Sumatera Utara istimewa HKBP distrik Simalungun yang dilaksanakan di HKBP Pematang Raya,

5 Oktober 1952 masalah ini dibahas bersama-sama dengan seluruh perwakilan sinode distrik. Walau diakui bahwa menurut Tata Gereja HKBP 1950 yang berhak mengatur dan menempatkan pendeta adalah majelis pusat HKBP, dan bukan

Distrik Simalungun. J. Wismar Saragih mengatakan :“Kita bukan anti peraturan, yang kita butuhkan sekarang adalah penambahan tenaga pendeta yang telah lama mendesak di tengah-tengah suku bangsa Simalungun, itulah yang mendasari kita membuka sekolah pendeta di Pematang Raya, agar kekurangan tenaga pendeta dapat diatasi” (Dasuha dan Sinaga, 203:226).

Setelah berembuk, sinode distrik HKBP Simalungun memutuskan menolak surat keputusan ephorus HKBP Pearaja atas penempatan tujuh pendeta alumni Sekolah Pendeta Pamatang Raya tersebut. Dibicarakan juga tentang sikap distrik Simalungun terhadap HKBP secara organisasinya. Tanggapan mengenai

HKBP Pearaja menjadi perbincangan yang hangat. Sebagian sinodisten dengan tegas mengatakan agar HKBP distrik Simalungun berdiri sendiri dan memutuskan hubungan dengan HKBP Pearaja, tidak perlu lagi berunding, dan segera diumumkan kepada seluruh Jemaat distrik Simalungun.

Pendeta Jenus Purba Siboro menenangkan peserta rapat sinode agar jangan emosional, ia dengan tegas menolak pemisahan total dari HKBP. Ia berpendapat pemisahan yang emosional tidak menunjukkan ciri khas Kristiani, sebab para pendeta ditahbiskan oleh HKBP Pearaja, dan juga ia bukannya tidak suka akan kemajuan orang Simalungun, namun kita tetap diplomat. Pendeta Jenus Purba

Siboro menggambarkan hubungan HKBP distrik Simalungun dengan HKBP

Pearaja seperti hubungan akrab seorang bapa yang baik dengan anak yang baik.

223

Universitas Sumatera Utara Apabila anak yang baik itu telah dewasa (boi manutung hudonni) maka bapa yang baik itu sudah sepantasnya memberi apa yang menjadi hak si anak baik tersebut.

Namun demikian hubungan bapa dengan anak itu tetap ada. Jadi saya mengusulkan, agar sikap kita terhadap HKBP bagikan bapa yang baik dengan anak yang baik. Kita tidak berpisah tidak pula bersatu. Kita sebagai pendeta yang melayani di Distrik Simalungun ini adalah kegiatan pelayanan di tengah-tengah jemaat sesuai dengan yang diaturkan HKBP Pearaja. Jangan kita semua pendeta

Simalungun ini menjadi Ephorus, sebaiknya kita tentukan saja dari antara pendeta

Simalungun menjadi wakil Ephorus di Simalungun. Wakil Ephorus itu yang mengatur dan berhubungan dengan Pearaja, dan juga yang mengikuti sinode godang HKBP, tidak perlu semua pendeta Simalungun, kita mendirikan kantor tersendiri, kantor HKBP di Simalungun (Dasuha dan Sinaga, 203:228).

Ternyata pendapat Pdt. Jenus Purba Siboro yang tidak menghendaki perpisahan spontan dan total dari HKBP Pearaja, member inspirasi peserta sinode istimewa dan sepakat mengambil langkah kompromi sebagi berikut :

1. Mengangkat status sinode distrik Simalungun „istimewa‟ menjadi sinode

bolon HKBP Simalungun, terhitung sejak 1952. Selanjutnya dipilih 10 orang

menjadi anggota menjadi anggota Kerkbestuur (majelis gereja) dan dua di

antaranya menjadi pengurus harian yaitu wakil ephorus dan Sekretaris

Jenderal.

2. Pendeta J. Wismar Saragih terpilih, dan diangkat sebagai wakil ephorus.

Selanjutnya Pendeta A. Wilmar Saragih diangkat sebagai Sekretaris Jenderal

HKBP Simalungun. Kerkbestuur HKBP Simalungun selanjutnya

diamanatkan untuk membuat surat keputusan penempatan ketujuh pendeta

224

Universitas Sumatera Utara yang baru ditahbiskan tersebut dan menolak surat keputusan dari HKBP

Pearaja (Saragih, 1977: 176).

3. HKBP Distrik Simalungun adalah yang berhak mengatur dan menetapkan

para pengerja dan keuangannya.

4. Menetapkan wilayah pelayanan HKBP Distrik Simalungun dalam 3 (tiga)

distrik yaitu : (1) Distrik Huluan berpusat di Seribudolog, (2) Distrik Tonga-

Tonga berpusat di Pamatang Raya dan (3) Distrik Kahean berpusat di Tebing

Tinggi , untuk memimpin distrik diangkat seorang Praeses.

5. Kedudukan HKBP Distrik Simalungun merupakan bagian dari HKBP

Pearaja.

6. Kantor pusat HKBP Distrik Simalungun ditetapkan di Pamatang Siantar.

7. Belman Sumbayak dan Deson Sinaga oleh sinode ditugaskan berangkat ke

Pearaja untuk menghadap ephorus HKBP Justin Sihombing dengan missi

menyerahkan dokumen Hasil sinode istimewa HKBP distrik Simalungun

yang berisikan antara lain : (1) Usulan Rencana Pemisahan HKBP distrik

Simalungun dari HKBP Pearaja dan (2) Surat Keputusan penempatan tujuh

pendeta alumni Sekolah Pendeta Pamatang Raya atas nama : Friederik

Damanik, Petrus Purba, Mailam Purba, Marinus Girsang, Samuel Dasuha,

Bonarcius Saragih, dan Williamer Saragih (J.Wismar Saragih, 1977: 176-

177). Surat pernyataan HKBP distrik Simalugun untuk memisahkan diri dari

HKBP Pearaja tersebut juga disampaikan kepada pemerintah Indonesia dan

beberapa gereja besar di Indonesia (Siboro, 1963: 34.; Dasuha dan Sinaga,

203:230).

225

Universitas Sumatera Utara Sebaliknya dalam menanggapi dinamika yang terjadi pada tubuh organisasi HKBP distrik Simalungun, pihak HKBP Pearaja dalam sinode godang

HKBP Pearaja pada tanggal 26-28 November 1952, di Seminari Sipohon memutuskan beberapa yakni : (1) Agar Kerkbestuur HKBP segera mengadakan pendekatan dengan pihak distrik Simalungun,: (2) Hal-hal yang berhubungan dengan bantuan luar negeri, misalnya dari Lutheran World Federation (LWF) kepada distrik Simalungun untuk semester ditunda dulu,: (3) Semua pekerja di distrik Simalungun masuk ke HKBP Pearaja, : (4) Pihak HKBP distrik

Simalungun harus tunduk dan bertanggung jawab pada kerkbestuur HKBP.

Jelaslah sudah bahwa HKBP Pearaja menolak insiatif pemisahan HKBP distrik Simalungun dari HKBP Pearaja. Dengan tegas dan nyata bahwa pengerja

HKBP yaitu seluruh pelayannya, dan para pendeta Simalungun, harus kembali masuk ke HKBP Pearaja. Penolakan ini didasarkan pada aturan dan peraturan

HKBP telah digariskan bahwa hanya Kerbestuur HKBP yang berwenang atas segala sesuatu kebijakan yang berlaku di HKBP. Selanjutnya pada tanggal 20

November 1952, HKBP Pearaja mengutus 4 orang delegasinya untuk menemui pemimpin distrik Simalungun di kantor Pusat HKBP distrik Simalungun di

Pamatang Siantar. Delegasi tersebut tidak berhasil bertemu dengan wakil Ephorus distrik Simaungun Pendeta J.Wismar Saragih sebab sedang mengadakan perjalanan ke Rantau Parapat Labuhan Batu. Berbagai utusan dari pemerintah dan gereja luar negeri datang menemui pimpinan HKBP distrik Simalungun menanyakan permasalahan antara HKBP distrik Simalungun dengan HKBP

Pearaja. Dr. Bendzt dari Amerika dan Dr. Wiliams dari India member saran kepada pihak HKBP distrik Simalungun untuk rujuk kembali dengan HKBP

226

Universitas Sumatera Utara Pearaja. Pendeta J. Wismar Saragih selaku wakil ephorus HKBP Simalungun kembali menegaskan komitmen HKBP distrik Simalungun tetap konsekuen dengan keputusan yang telah diambil sinode istimewa dan Kerkbestuur HKBP.

Jika pun diubah harus diketahui dan diputuskan melalui sinode istimewa dan

Kerkbestuur HKBP Simalungun. Pendeta J.Bos seorang Belanda dari Medan yang datang menemui Pendeta J.Wismar Saragih, dan meminta agar agar tetap bersatu dengan HKBP Pearaja, Ia menjelaskan, “bahwa hal itu masih dapat diperbaki jika

Pearaja mau memperbaikinya, karena kesalahan mereka maka terjadi seperti ini”

(Saragih, 1977:181). Selanjutnya untuk Dr. Wiliam, dijelaskan Pendeta J. Wismar

Saragih bagaimana ketidak-adilan yang dilakukan HKBP Pearaja terhadap HKBP

Simalungun, khususnya bantuan Lutheran World Federation yang sering dialihkan HKBP Pearaja dari yang seharusnya diterima HKBP Simalungun

(Saragih, 1977: 182).

Penolakan HKBP Pearaja atas pemisahan HKBP Simalungun kembali ditegaskan ephorus HKBP Pendeta Justin Sihombing yang datang menemui

Pendeta J. Wismar, dengan alasan usaha misi akan terhambat di Simalungun.

Sikap HKBP Simalungun yang konsisten dari keputusan semula, menjadi pertimbangan, sehingga pada 3 Desember 1952 pucuk pimpinan HKBP dalam surat yang ditujukan pada tenaga utusan yang ditugaskan ke Simalungun, yaitu

Pdt. H. Volmer utusan RMG dan Dr. Wiliam yang bekerja pada Rumah Sakit

Bethesda Seribudolog utusn LWF, untuk sementara ditarik sehingga tidak bekerja di HKBP Simalungun (Saragih, 1977: 183).

Pada 21-22 Januari 1953 utusan HKBP Pearaja yang terdiri dari 8 orang

Pendeta, 3 orang Praeses, anggota Kerkbestuur HKBP datang menemui pengurus

227

Universitas Sumatera Utara harian HKBP Simalungun. Delegasi HKBP Simalungun diwakili oleh Wakil

Ephorus Pendeta J. Wismar Saragih, Sekretaris Jenderal Pendeta A. Wilmar

Saragih dan Pendeta Kerpanius Purba. Pada hari pertama yaitu tanggal 21 Januari

1953 delegasi HKBP Pearaja meminta supaya HKBP Simalungun menerangkan lebih dahulu bagaimana terjadinya pemisahan itu, apa sebabnya dan bagaimana rencana Simalungun tentang pemisahan itu. Pendeta J. Wismar Saragih mengemukakan 12 penyebab keinginan komunitas Kristen Simalungun berpisah dari HKBP Pearaja. Setelah mendengar keterangan Pendeta J. Wismar Saragih utusan itu kembali dan dilanjutkan lagi pada besok harinya tanggal 22 Januari

1953. Utusan HKBP Pearaja berkumpul di kantor distrik Sumatera Timur jalan

Gereja Pematang Siantar untuk melanjutkan rapat mereka. Hasil rapat rapat di

Jalan gereja, hasilnya pada sore hari akan dikirimkan ke kantor pusat HKBP

Simalungun supaya keesokan harinya dirundingkan kembali oleh kedua belah pihak (Siboro, 1963: 96).

Setelah negosiasi yang alot dan adu argument kedua belah pihak, akhirnya delegasi HKBP Pearaja dan HKBP Simalungun menemukan titik temu dan kata sepakat. Pihak HKBP setuju dengan “panjaeon” HKBP atas HKBP Simalungun dengan menambahkan ayat 3 (tiga) pada pasal 1 (satu) dengan kalimat : “HKBP

Simalungun berhak bekerja di antara orang yang berbahasa Simalungun, walau di mana tempatnya, sesuai dengan tenaganya. “Pengakuan HKBP juga dicakup dalam kata pendahuluan keputusan rapat HKBP yang memutuskan “Mengingat kesulitan yang muncul dalam pelayanan zending di Simalungun disebabkan sifat, adat, bahasa dan pergaulan orang Simalungun, HKBP memutuskan untuk memandirikan (“Panjaeon”) HKBP Simalungun, berhak mengurus dirinya

228

Universitas Sumatera Utara sendiri dengan tetap menjaga kesatuannya dengan HKBP. Berdasarkan catatan

Siboro, (1963: 36-37) adapun naskah panjaeon HKBP atas HKBP Simalungun adalah sebagai berikut :

RAPAT BERSAMA DARI DELEGASI HKBP DENGAN PENGURUS

HARIAN HKBP SIMALUNGUN TENTANG PANDJAEON

(„KEMERDEKAAN‟) HKBP SIMALUNGUN

Pematangsiantar, 21-22 Januari 1953

Merasa kepentingan perkembangan Kerajaan Allah di Simalungun, berhubung dengan tabiat, adat, bahasa, cara pergaulan di antara orang

Simalungun, patutlah mandjae HKBP Simalungun, berhak mengurus dirinja sendiri harus didjaga perhubungan dengan HKBP, sebab beginilah keputusan rapat tentang pandjaeon dan perhubungan HKBP Simalungun dengan HKBP.

I. Pandjaeon dari HKBP

1. HKBP Simalungun berhak mengatur pekerdjanja (pegawainja).

a. Menambah Pegawainya.

b. Mengatur tempatnya.

c. Mengatur gajinya.

2. HKBP Simalungun berhak mengurus keuangannya.

a. Tentang uang masuk.

b. Pembagiannya (uang keluar)

c. Pendjagaanya.

d. Membuat anggaran jang disampaikan kepada badan gereja atau

zending luar negeri.

229

Universitas Sumatera Utara 3. HKBP Simalungun berhak bekerja di antara orang jang berbahasa

Simalungun, walau di mana tempatnja, sesuai dengan tenaganja.

II. Kesatuannya dengan HKBP

1. Satu Synode Besar

a. Satu confessi

b. Satu siasat gereja

c. Satu Liturgi

2. Satu sekolah pendeta dan rapat pendeta.

3. Satu pengakuan Gereja dari Pemerintah.

4. HKBP tetap memberikan batuan kepada HKBP Simalungun seperti jang

diberikan kepada daerah minus dari HKBP.

III. Tentang soal-soal jang lalu

1. Rapat setudju 7 orang pendeta jang baru tammat pada tempat jang

ditetapkan HKBP Simalungun.

2. Tentang bantuan dari luar negeri masuklah 2 orang dari HKBP

Simalungun djadi anggota seksi pembangunan HKBP membawahkan

permintaan kepada wakil dari zending luar negeri.

Jang berapat :

Dari HKBP

1. Ds. K. Sitompul

2. Pdt. K. Sirait

3. Pdt. J. Togatorop

4. M.L. Siagian.

5. Pdt. C. Simandjuntak

230

Universitas Sumatera Utara 6. Ds. G. Siahaan.

7. Pdt. P. Pakpahan.

8. Pdt. A. Naibaho

Dari HKBP Simalungun

1. Pdt. J. Wismar Saragih

2. Pdt. A. Wilmar Saragih

3. Pdt. Kerpanius Purba

Pematangsiantar, 22 Djanuari 1953 (Siboro, 1963: 36-37).

Dengan ditandatanganinya kesepakatan “panjaeon” (meski masih terbatas secara organisasi), apa yang diperjuangkan komunitas Kristen Simalungun sudah mendekati kenyataan. Dukungan anggota jemaat HKBP Simalungun ditunjukkan dengan antusiasme warga jemaat menyumbangkan alat-alat kantor maupun uang dibutuhkan HKBP Simalungun yang masih muda itu. Dalam sinode bolon HKBP

Simalungun pada 5-6 Desember 1953 di Pemtangsiantar, Wakil Ephorus HKBP

Simalungun Pdt. J. Wismar Saragih melaporkan: “Warga jemaat Simalungun yang mengetahui berdirinya HKBP Simalungun menunjukkan rasa gembiranya, begitu juga jemaat yang berada di Panei Huluan dan Medan. Rasa gembira itu mereka nyatakan menberi seperti kiriman uang dan juga bantuan barang untuk keperluan perlengkapan kantor, misalnya meja, lemari, bangku dan juga alat kantor seperti kapur dan kertas (Dasuha dan Sinaga, 2003:234). Jemaat Bahapal

Raya di pedalaman, menyumbangkan 2 buah kursi, jemaat Pematang Raya menyumbang satu lemari, satu meja tulis dari jemaat Sondi Raya, satu meja tulis dari sintua Osmar Sumbayak, satu, mesin tulis dari PT. Fasco Jakarta-Medan, satu

231

Universitas Sumatera Utara mesin ketik dari Pdt. H. Volmer. Sumbangan uang datang dari Fasco Medan-

Jakarta, Mr. D. Purba, Herman Saragih di Pematang Siantar (Siboro, 1963: 38).

Pada kepengurusan HKBPS, Wismar Saragih menduduki jabatan Wakil

Ephorus, yang merupakan jabatan tertinggi di kepengurusan pusat HKBPS dan diwakili oleh seorang Sekretaris Jendral. Saat itu HKBPS tidak memiliki Ephorus sebagai upaya untuk tetap memelihara hubungan baik dengan HKBP (Saragih,

1977 : 181). HKBPS merupakan rintisan menuju kemandirian penuh jemaat- jemaat di Simalungun di dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Ditandatanganinya konsep Panjaeon (kemandirian oleh HKBP distrik

Simalungun dari HKBP Pearaja pada 22 Jnauari 1953) bagi orang Kristen

Simalungun dilihat sebagai jalan kearah percepatan pekabaran injil diantara orang

Simalungun. Menyambut momentum yang sangat berharga itu, maka pada 2

September 1953 HKBP Simalungun merayakan Jubileum 50 tahun pekabaran

Injil bagi orang Simalungun yang dilaksanakan di Pamatang Raya. Hampir seluruh jemaat Simalungun menghadiri jubileum khususnya jemaat-jemaat disekitar HKBP Simalungun Resort Raya. Selain mengadakan kebaktian raya, diadakan juga kunjugan ziarah ke makam isteri August Theis di desa Aman Raya.

4.7 Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) 1963

4.7.1 Penguatan Identitas Simalungun dalam komunitas Kristen

Pada periode sesudah tahun 1953, semangat menunjukkan identitas

Simalungun semakin menguat, bukan hanya di dalam tubuh Gereja HKBP

Simalungun, tetapi juga dikalangan tokoh politik Simalungun. Dalam tubuh organisasi HKBP Simalungun mencuat keinginan untuk melepaskan diri secara

232

Universitas Sumatera Utara penuh „manjae‟ dari HKBP Pearaja. Kaum komunitas Kristen Simalungun menuntut supaya berdiri Gereja Simalungun dengan nama Gereja Kristen

Protestan Simalungun (GKPS). Dalam memperjuangkan ini oleh tokoh HKBP

Simalungun dikumandangkan dalam sinode bolon HKBP Simalungun tahun 1960 di Pematang Siantar. Pendeta A. Wilmar Saragih menyampaikan dengan halus kepada peserta sinode bolon bahwa keinginan berdiri sendiri dari HKBP harus dilihat dari sudut theologi, dan bukan semata-mata kehendak manusia. Karena itu ia mengatakan hasrat itu pasti akan tercapai, jika Tuhan mengendaki karena itu tetaplah berlandaskan iman dan kasih sesama. Gereja HKBP Simalungun lebih menekankan kemandirian „ke dalam‟ yakni kepada etnis Simalungun, agar lebih giat bekerja di jemaat atas dasar semangat Protestan. Jika hal itu dilakukan, maka jemaat Simalungun akan merasakan kemajuan rohani dan duniawi.

Pdt. Jenus Purba Siboro memberikan usulan yang lebih tegas yaitu mesti ada kejelasan organisatoris antara HKBP Simalungun dengan HKBP Pearaja, namun perlu hidup berdampingan secara sejajar dalam pergaulan antar suku bangsa. Ia mengatakan bahwa, keinginan kita untuk lepas dari HKBP dan berdiri sendiri bukan berarti kita tidak bersatu dalam iman. Tujuan kita untuk berdiri sendiri tidak lain adalah agar kita semakin bertanggung jawab menghargai dan menyaksikan karya kita orang Simalungun. Karya theologi, kita nikmati sesuai dengan budaya kita, dan itu merupakan tanggung jawab yang luas. Orang yang tidak merasakan nikmatnya karya tidak akan menyukai tanggung jawab berkarya di tengah-tengah organisasi gereja. Tetapi bagi orang yang mengetahui, merasakan dan menghayati pelayanan, maka dia akan terdorong menunjukkan tanggung jawab terhadap pelayanan di Simalungun di mana pun dia berada. Bagi

233

Universitas Sumatera Utara orang Simalungun Kristen hendaknya menyadari bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan zending, dan itu harus kita lakukan tanpa terikat kepada orang lain.

Pekerjaan zending itu bukan hanya di lingkungan kita, akan tetapi juga diarahkan kepada bangsa-bangsa di luar kita (Dasuha dan Sinaga, 2003:246.; Pangarah 2

Maret 1963:50).

Pada 11-15 April 1961 di Pematang Siantar ketika dilaksanakan Sinode

Bolon HKBP Simalungun muncul gagasan untuk „mandiri‟ terus makin menguat dari peserta sinode. Diantara peserta sinode mengungkapkan pendapatnya, “kita membutuhkan kebebasan 100% dari HKBP Pearaja, tujuan kita tidak berakhir sebagai bagian dari HKBP, tidak hanya otonom dalam HKBP, sebab hak otonom itu sesewaktu bias dicabut. Kita harus menunjukkan sikap, kita sudah mampu berdiri sendiri (Dasuha dan Sinaga, 2003:246).

Para tokoh Kristen, simpatisan dan intelektual orang Simalungun secara tegas memberikan dukungan terhadap usaha pemerdekaan HKBP Simalungun dari HKBP Pearaja. Dukungan kaum intelektual Simalungun ini turut membantu percepatan maksud kaum Kristen Simalungun memerdekakan dirinya dari HKBP

Pearaja. Semangat pembebasan dari HKBP dipacu pula dengan makin tumbuh suburnya kesadaran etnisitas dan “patriotisme-lokal” etnis Simalungun. Gejala demikian ditandai dengan dibentuknya wadah payung politik yang cukup kuat dalam KRSST (Kebangunan Rakyat Simalungun Sumatera Timur) bagi cita-cita perjuangan kesukuan orang Simalungun. KRSST memberi pressure bagi perwujudan cita-cita kebebasan orang Simalungun dari HKBP. Pendeta J. Wismar

Saragih sebagai wakil ephorus HKBP, juga memelihara komunikasi yang baik dengan pengurus KRSST Kabupaten Simalungun membicarakan masa depan

234

Universitas Sumatera Utara Gereja Simalungun (Dasuha dan Sinaga, 2003:247). Kerinduan orang Simalungun pada periode ini untuk melestarikan dan mempertahankan identitas etnis

Simalungun „hasimalungunon‟ di tengah derasnya arus penetrasi budaya dan pengaruh politik para etnis pendatang semakin membentuk kesadarannya sendiri.

Para tokoh Kristen Simalungun dalam komunikasi antar mereka juga telah memberikan pemikiran kepada tokoh gereja HKBP Simalungun akan argumen untuk meyakinkan pihak HKBP Pearaja. Para tokoh Kristen Simalungun itu adalah antara lain: Mansen Purba, Sarmaidi dan Saridin datang berkunjung ke rumah Djariaman Damanik di Pematang Siantar, mereka mendiskusikan langkah yang akan dilakukan bila HKBP Pearaja menolak keinginan HKBP distrik

Simalungun.

Djariaman Damanik tokoh etnis Simalungun memberi kesan bahwa,

Bukan saja para anggota Sinode Bolon HKBP Simalungun 1960 yang dipenuhi oleh semangat kemandirian dari HKBP Pearaja, tapi semua golongan masyarakat etnik Simalungun menginginkan dan mendambakan kemandirian Gereja sendiri bagi halak Simalungun, karena merupakan parmaluan masyarakat Simalungun itu sendiri. Orang Simalungun yang terdiri dari berbagai profesi seperti: para intelektual, pedagang, Angkatan Bersenjata (ABRI) dan para petani di pedalaman pun ikut berharap dan menunggu bagaimana “respon” dari HKBP Pearaja. Boleh dikatakan, pada saat itu bila oleh Pengurus Pusat HKBP Pearaja memberikan penolakan, maka orang Simalungun akan mengikuti garis perjuangan para pendiri/pejuang kemerdekaan Indonesia, yaitu memproklamasikan secara luas kepada dunia “kemerdekaan/ kemandirian Gereja Simalungun” lepas dari HKBP

Pearaja. Maka untuk itu diambillah kesepakatan supaya masing-masing golongan

235

Universitas Sumatera Utara ikut berjuang, berpartisipasi, sesuai dengan talenta, wewenang yang ada padanya, dengan catatan, menjunjung tinggi peraturan Negara yang berlaku. Masing- masing golongan mengambil prakarsa sendiri-sendiri melalui diskusi-diskusi, misalnya orang Simalungun yang membidangi hukum dan pemerintahan adalah,

Djariaman Damanik, Tuan Madja Purba dan Doran Damanik. Kami sepakat:

“Proklamasi kemerdekaan” dipersiapkan, Aturan dan Peraturan Dasar Gereja

Simalungun, dipersiapkan dan nama gereja adalah Gereja Kristen Protestan

Simalungun (GKPS); anggota Panitia yang menghadap ke HKBP Pearaja, jangan ada orang-orang politik (pemerintahan), tapi murni dari golongan rohaniawan saja; supaya jangan ada politisasi, mengingat yang diadakan adalah tranformasi organisasi, demi kemerdekaan dan kelancaran dalam Pekabaran Injil di kalangan orang-orang Simalungun (Dasuha dan Sinaga, 2003:248).

4.7.2 Simalungun di mata Pimpinan HKBP Pearaja

Pandangan HKBP yang disampaikan ephorus Justin Sihombing pada komunitas Kristen Simalungun dalam sinode bolon HKBP Simalungun pada 11-

15 April 1961 di Pamatang Siantar dapat dikatakan sebagai upaya untuk membujuk agar HKBP tetap bersatu. Ia menjelaskan tentang kedudukan dan makna kehadiran Gereja di dunia, adalah persekutuan orang yang percaya, orang yang sudah dikuduskan. “Walaupun ada istilah self-government”, self-supporting yang didengungkan oleh orang lain, namun tidak ada Gereja yang berdiri sendiri selain pada zaman Pentakosta. Selanjutnya Sihombing mengemukakan bahwa kemajuan jemaat atau perkembangan jemaat dengan bertolak kembali kepada

Pentakosta. Ia mengemukakan pandangannya mengenai kedudukan aturan dan organisasi di tengah-tengah jemaat, yaitu bahwa “peraturan di jemaat dapat

236

Universitas Sumatera Utara diibaratkan seperti saluran, yaitu saluran kepercayaan. Banyak pertikaian yang terjadi di tengah-tengah jemaat karena saluran, dan bukan karena air yang mengalir itu. Bagaimanapun, peraturan dan organisasi jemaat tidak akan mampu menghidupkan jemaat yang telah mati. Jadi jemaat yang hidup janganlah memakai peraturan yang kurang baik.” Lebih lanjut ia mengemukakan pandangannya mengenai kesatuan jemaat yang bertitik tolak dari kepercayaan, dan mengatakan adalah dosa besar jika terjadi perselisihan di tengah-tengah jemaat. Kalau begitu apakah yang dapat kita perbuat? Kita harus mengingat apa yang dilakukan oleh para rasul bahwa mereka tidak mendahulukan kekuatan, tetapi dengan rendah hati mereka bekerja sebagai seorang pelayan.

Di mata ephorus HKBP Justin Sihombing dalam melihat Simalungun adalah menolak keinginan HKBP Simalungun yang ingin bebas mandiri dari

HKBP dan tetap berkeinginan untuk satu dalam organisasi HKBP Pearaja. Hal ini ditegaskannya dalam suratnya kepada pimpinan pusat HKBP Simalungun tertanggal 14 Desember 1961. Dalam suratnya ephorus J.Sihombing menyampaikan isi hatinya dengan mengutarakan pandangannya dari berbagai segi, yaitu: Pertama, beliau mengajak HKBP Simalungun agar menghayati persesuaian yang ada kian antara Pengurus Pusat HKBP dengan pimpinan pusat

HKBP Simalungun. Andaikata ada unsur penghalang kelancaran pekabaran injil dalam persesuaian tersebut, maka hal itu ada baiknya dirundingkan. Nampaknya bunyi persesuaian itubagi ephorus J.Sihombing belum menjadi factor penghalang bagi usaha pekabaran injil di Simalungun. Kedua, ephorus J.Sihombing menghimbau agar HKBP Simalungun meminta pendapat dari badan pekabaran

Injil Rheneische Mission Geselshaft (RMG) sebagai perintis usaha pekabaran injil

237

Universitas Sumatera Utara di Tanah Batak. Ketiga, ephorus J.Sihombing melihat oikumene yang tengah berjalan untuk menyatukan gereja-gereja di dunia ini. Beliau disentuh oleh banyak surat dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Dewan Gereja Dunia (DGD) yang sampai di kantor pusat HKBP Pearaja. Beliau mendapat kesan bahwa gerakan oikumene sedunia dan di Indonesia berusaha menyadarkan gereja-gereja untuk bersama-sama mencapai bukan hanya keesaan dalam iman, tetapi juga keesaan dibidang organisasi. Keempat, yang erat hubungannya dengan ketiga hal diatas, ephorus J.Sihombing mengingatkan HKBP Simalungun agar tercipta keesaan gereja. Beliau melihat misalnya dampak negatif dari berbagai corak gereja seperti gereja Reformeert, Lutheri, Presbeterian yang diperkenalkan dalam satu-satu daerah pekabaran injil di Asia atau Afrika. Memang pada umumnya gereja-gereja itu adalah serumpun sebagai gereja Protestan tetapi kalau gereja- gereja itu memasyhurkan injil di daerah baru maka kehadiran mereka tidak menampakkan keesaan gereja yang mana mengakibatkan keragu-raguan di pihak orang yang hendak masuk Kristen. Hal sedemikian memang kurang Nampak di

Sumatera Utara, tetapi kehadiran gereja-gereja Batak seperti Huria Kristen

Indonesia (HKI), Mission Batak, Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan lain-lain telah menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang Kristen Batak, mengapa harus demikian banyak gereja Batak itu. Menurut gereja-gereja tersebut mereka dan anggota-anggota HKBP Pearaja mempunyai ajaran yang sama. Namun menurut ephorus J.Sihombing akibat kepelbagaian gereja Batak itu sendiri mengakibatkan banyak kemelut, misalnya kemelut yang timbul sebab dalam satu daerah yang sempit berdiri 3 sampai 5 jemaat yang berbeda-beda. Kehadiran 5 jemaat-jemaat kecil dalam satu daerah pasti membutuhkan biaya pelayanan yang

238

Universitas Sumatera Utara lebih banyak, apalagi penduduk di sana harus mendirikan gedung gereja tersendiri

(Hutauruk,1986:106-107). Akhirnya ephorus J. Sihombing menghubungkan rencana memandirikan suatu gereja di tengah-tengah etnik Simalungun dengan sejarah sosial suku bangsa Batak sendiri yang disebabkan perkembangan budaya, politik dan ekonomi di Sumatera Utara sejak jaman kemerdekaan mempunyai tendensi menuju arah kepelbagaian dan keterasingan masing-masing dan bukan kea rah kesatuan. Menurut beliau pada umumnya suku bangsa Batak dikenal dalam 6 bagian yaitu Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak

Mandailing, Batak Angkola dan Batak Toba. Dari segi sejarah gereja HKBP sampai tahun 1963 ada 5 bagian, yang terhimpun dalam HKBP: Batak Pakpak,

Simalungun, Mandailing, Angkola dan Toba; maka hanya bagian Batak Karo yang tidak terhimpun dalamnya. Perkembangan yang sebaiknya menjadi impian umat Kristen Batak; seharusnya satulah gereja yang bernama “Batak”. Impian itu menurut beliau didukung oleh pandangan para cendekiawan Batak yang mengatakan: kemajuan bangsa Batak dibidang rohani dan jasmani hanya dapat tercapai di dalam dan melalui stabilitas HKBP (Hutauruk, 1986: 107).

Kesatuan dan persatuan orang Batak yang menganut ajaran Kristen justru sedang dirindukan pada tahun 1960-an yaitu pada saat-saat orang Batak termasuk dalamnya yang Kristen sedang mengalami perselisihan dan perpecahan dalam kancah politik dan ekonomi di Indonesia. Kita ingat akan pelbagai masalah etnis

Sumatera Utara, dimana daerah ini terkenal laksana tungku besar tempat pertemuan berbagai golongan etnis. Dan dalam hal ini orang merindukan peran serta gereja Batak untuk menurunkan suhu panas masalah etnis Sumatera Utara khususnya dan kepulawan Indonesia umumnya.

239

Universitas Sumatera Utara Pandangan diatas yang disampaikan, tidak menyurutkan tuntutan HKBP

Simalungun untuk lepas dari HKBP Pearaja. Walaupun ada sikap ketidaksetujuan pucuk pimpinan HKBP dengan keingian komunitas Kristen Simalungun itu, diskusi-diskusi dan opini warga jemaat Simalungun makin keras menyuarakan pemisahan diri HKBP Simalungun dari HKBP.

4.7.3 Langkah Selanjutnya Identitas Simalungun

Dalam sinode bolon HKBP Simalungun pada 11-15 April 1961 telah diputuskan agar pimpinan HKBP Simalungun mengambil langkah-langkah kebijakan menuju kemandirian HKBP Simalungun. Menindaklanjuti keputusan tersebut maka pimpinan HKBP Simalungun, mengadakan konsolidasi dengan jemaat-jemaat HKBP Simalungun seperti: Raya, Kabanjahe, Lubuk Pakam,

Pamatang Siantar dan Medan. Pada 28 Juli 1961 di Pamatang Siantar diputuskan membentuk panitia pesta pandjaeon HKBP Simalungun (P3 HKBPS). Dihunjuk

Djariaman Damanik sebagai ketua penyusun Anggaran Dasar, Tuan Madja Purba di bidang keuangan dan Lodewijk Purba bidang penerangan dan penghubung dipercayakan pada Pdt. Lesman Purba. Keinginan mandiri juga diutarakan kepada

H.F. de Kleine (Direktur RMG), Pdt. Dr. Latuihamallo, M. Abednego dan T.B.

Simatupang (DGI). Meskipun mereka tidak tegas mendorong pemisahan HKBP

Simalungun dari HKBP, namun disarankan “agar pekabaran Injil lebih lancar di

Simalungun.” Dari HKBP Simalungun, ini ditangkap suatu sinyal positif dukungan tak langsung DGI pada keinginan kemandirian orang Kristen

Simalungun dari HKBP. Perkembangan selanjutnya bahwa pada 30 Maret 1962 beberapa orang anggota pimpinan HKBP Simalungun bernegosiasi dengan ephorus HKBP berkenaan dengan keinginan kaum Kristen Simalungun itu.

240

Universitas Sumatera Utara Melihat derasnya keinginan kaum Kristen Simalungun tersebut, HKBP dapat menunjukkan sikap menerima serta memahami keinginan orang Kristen

Simalungun. Kesepahaman antara HKBP dengan HKBP Simalungun lalu dibawa

Ephorus HKBP pada Rapat Majelis Pusat HKBP pada Juni 1962 yang juga dihadiri delegasi HKBP Simalungun (Hutauruk, 1986: 108).

Keinginan kaum Kristen Simalungun makin hangat dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan gerejawi orang Kristen Simalungun, khususnya dalam sinode bolon HKBP Simalungun, 10-14 April 1962 di Pamatang Siantar menjelang berlangsungnya Rapat Majelis Pusat HKBP. Di antara sinodisten malah ada yang langsung mengkonfirmasi Pimpinan Pusat HKBP Simalungun kepastian niat tulus HKBP menerima kemandirian HKBP Simalungun dari

HKBP. Dengan nada sengit salah seorang peserta berkata, “Apabila pertemuan dalam rapat Majelis pusat HKBP ternyata gagal memenuhi harapan kita, apakah kemerdekaan kita juga jadi tertunda ? Keinginan kita sudah jelas dipahami oleh pihak HKBP. Apabila pembicaraan nanti gagal, kita harus maju terus, jangan mundur…. bagaimanapun, tahun 1962 ini kita harus merdeka. Bila perlu kita mengikut sertakan orang-orang terkemuka Simalungun mengikuti rapat majelis pusat HKBP nanti untuk membuktikan betapa besar keinginan kita untuk mereka….jika HKBP tidak bersedia memerdekakan kita, baiklah kita sendiri yang menyatakan kemerdekaan itu (Dasuha dan Sinaga 2003: 251).

Menghadapi desakan kuat sinodisten, akhirnya sinode bolon HKBP

Simalungun memutuskan memberi wewenang kembali pada Kerkbestuur HKBP

Simalungun agar mempertimbangkan dan melakukan persiapan yang mantap agar

HKBP Simalungun dapat mandiri tahun 1962. Untuk itu segera dikirim surat

241

Universitas Sumatera Utara kepada Ephorus HKBP Justin Sihombing berkenaan dengan aspirasi orang

Kristen Simalungun ini. Kemudian diadakan pertemuan antara Ephorus HKBP

Simalungun dengan HKBP pada 30 April 1962. Lalu disepakati pertemuan lanjutan antara majelis Pusat HKBP dengan Panitia Pesta Pandjaeon HKBP

Simalungun (P3 HKBPS) pada 15 Juni 1962 di kompleks Universitas HKBP

Nommensen Pematangsiantar. Dalam pertemuan itu, HKBP Simalungun kembali menegaskan keinginan kemerdekaannya dari HKBP. Pendeta Jenus Purbasiboro menulis bahwa, keinginan untuk mandiri sudah dipertimbangkan melalui tiga kali sinode bolon berturut-turut, yakni sejak 1960-1963. HKBP Simalungun juga telah bertukar pikiran dengan badan zending luar negeri dan dalam negeri sesudah perayaan jubileum 100 tahun HKBP pada 7 Oktober 1961 di Medan. Selain itu juga telah bicara dengan ephorus HKBP di Pearaja. Tujuan kami untuk mandiri tidak lain adalah demi kelancaran pemberitaan Injil di Simalungun, dan kami sangat mengharapkan pengertian HKBP dan Majelis Pusat HKBP agar memenuhi keinginan kami tersebut (Dasuha dan Sinaga, 2003:252).

Pertemuan kesepahaman dan mencari titik temu persoalan HKBP Pearaja dengan HKBP Simalungun yang dibuka langsung oleh Ephorus HKBP Justin

Sihombing, akhirnya menyetujui keinginan kaum Kristen Simalungun mandiri dari HKBP. Diputuskan, bahwasannya HKBP akan memandirikan HKBPS dengan keputusan :“Rapot satolop padjaehon HKBP Simalungun” yaitu rapat setuju memandirikan HKBP Simalungun (Siboro,1963:51). Kemudian dibentuk panitia panjaeon yang terdiri dari 10 orang, yaitu lima orang dari HKBP dan lima orang HKBP Simalungun yang dikenal dengan nama “Panitia 10” (Hutauruk,

1986:108; Siboro,1963:51). Panitia 10, mengadakan sidang yang pertama 18

242

Universitas Sumatera Utara September 1962, yang dihadiri Pihak HKBP: Ds. G. Siahaan, Pdt. J. Togatorop,

St. T.D. Pardede, St. J. Pardede dan dari HKBP Simalungun: Pdt. Jenus

Purbasiboro, Pdt. Lesman Purba, Pdt. Hiskia Tondang, Gr. Rudolf Purba, Gr.

Lodewijk Purba. Dalam rapat itu ditentukan formasi „Panitia 10‟ yaitu ketua Ds.

G. Siahaan dari HKBP dan Sekretais Panitia Ds. Lesman Purba sekretaris jenderal

HKBP Simalungun (Siboro, 1963: 52 .; Hutauruk, 1986: 108).

Rapat „Panitia 10‟ menyetujui membicarakan 4 pokok yaitu soal dogma, soal milik, soal hubungan dan soal tanggal peresmian. Pembicaraan dan keputusan sehubungan dengan keempat pokok tersebut mengundang mereka mengerti identitas kedua gereja Batak pada saat itu. Mereka sepakat menyatakan bahwa :

(1) Panjaeon HKBP Simalungun dari HKBP bukan disebabkan perselisihan dogma atau ajaran. Dengan demikian baik HKBP maupun HKBPS tetap menganut dogma yang sama.; (2) Hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan diuraikan secara rinci. Seluruh asset harta kekayaan Gereja,baik bangunan gereja dan rumah sekolah maupun tanah-tanah milik Gereja yang selama ini dikelola

HKBP Simalungun seluruhnya diatur pemakaiannya atas nama HKBP

Simalungun.; (3) Hubungan antara HKBP dengan HKBP Simalungun tetap dilanjutkan, khususnya di bidang pendidikan teologi, diakonia social dan pekabaran Injil. Sedang mengenai hubungan oikoumene denganmitra Gereja luar negeri diserahkan pada HKBP Simalungun untuk menjajakinya.; (4) Waktu panjaeon ditetapkan 1 September 1963 yang bertepatan dengan 60 tahun pekabaran Injil di Simalungun (1903-1963).; (5) Penegasan panjaeon HKBP

Simalungun menjadi satu Gereja baik ke dalam maupun keluar dengan nama

Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).; (6) Disepakati menyelesaikan hal-

243

Universitas Sumatera Utara hal yang dirasa perlu untuk menindaklanjuti hal-hal yang timbul kemudian. Di antaranya bagi beberapa jemaat yang berlatar belakang etnis Simalungun dan

Batak Toba seperti di Tigaras dan Sipolha. Untuk itu akan dibentuk team menuntaskannya (Hutauruk, 1986: 109).

4.7.4 Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) 1 September 1963

diresmikan

Sebagaimana disepakati kedua belah pihak, tanggal peresmian HKBPS menjadi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) akan diadakan bertepatan dengan tanggal permulaan pekabaran Injil di Simalungun, 2 September. Namun, berhubung 1 September 1963 jatuh pada hari Minggu, disepakati untuk melaksanakan hari bersejarah itu pada Kebaktian Minggu di HKBP Simalungun

Jalan Sudirman Pamatang Siantar. Didahului pembacaan sejarah ringkas HKBP

Simalungun oleh Pdt. J. Wismar Saragih dan dilanjutkan dengan pidato penerimaan “panjaeon” dari pihak HKBP Simalungun yang dibacakan Pdt. Jenus

Purba Siboro. Dalam pidatonya, Wakil Ephorus HKBP Simalungun mengucapkan terimakasih pada pihak HKBP yang telah pajaehon „memandirikan‟ HKBP

Simalungun pada 1 September 1963. Dengan demikian berdirilah sebuah gereja orang Simalungun yang diberi nama „Gereja Kristen Protestan Simalungun‟

(GKPS).

Pdt. J. Wismar Saragih mengatakan,…”kami dari warga Kristen

Simalungun telah menerima penyerahan panjaeon dari HKBP dan saya sendiri sudah menandatangani naskah panjaeon itu. Mengingat 60 tahun berselang kami di dalam kepemimpinan HKBP yang telah banyak mengalami kemajuan baik dalam kekristenan maupun pendidikan. Untuk itu kami sangat berterimakasih

244

Universitas Sumatera Utara pada HKBP. Kami juga bersyukur pada Tuhan sebab Majelis Pusat HKBP dapat memahami bahwa pekerjaan zending harus dilayani secepat mungkin di

Simalungun, yakni dengan memberikan kepada HKBP Simalungun hak berdiri sendiri. Jadi tidak ada perselisihan, tidak ada pertentangan norma-norma teologi, yang ada ialah hasil-hasil pertimbangan yang mendalam untuk melaksanakan tanggung jawab bersama dari Tuhan Yesus Kristus Kepala seluruh

Gereja…walaupun kami sudah berdiri sendiri dari HKBP, namun kami tetap mengharap kepada HKBP Pearaja agar kita mengingat dan menjalankan kerjasama yang lebih akrab di hari-hari mendatang (Pangarah No. 10/Oktober

1963, hlm. 14-15).

Kepada Gereja-gereja tetangga dan lembaga gerejawi yang hadir, Pdt. J.

Wismar Saragih mengatakan:…“Kami turut meminta agar kami mendapat bantuan dari Saudara-saudara dan semoga Tuhan tetap membimbing kami seperti

Saudara-saudara, agar Gereja kami yang baru bertumbuh ini dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan….kami mengucapkan terima kasih kepada lembaga zending RMG yang kami anggap sebagai “bapak” yang mendapat berkat dari

Tuhan untuk penyebaran Injil di Simalungun oleh Pdt. Auguts Theis pada waktu yang lewat, sehingga genaplah 60 tahun pada hari ini. Harapan kami, agar RMG lebih banyak lagi menyumbangkan (dukungan) moral maupun materiil setelah

Gereja HKBP Simalungun dipajae (berdiri sendiri)…kami juga mengucapkan terimakasih kepada LWF yang telah beberapa (waktu) lamanya membantu Gereja kami di dalam moral terlebih materiil. Harapan kami agar berlipat gandalah bantuan LWF pada hari-hari mendatang, mengingat pentingnya pekerjaan zending di daerah Simalungun…rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada Dewan

245

Universitas Sumatera Utara Gereja Indonesia (DGI) yang telah turut menghadiri pesta panjaeon HKBP

Simalungun pada hari ini. Kami harap agar DGI dapat memberikan sumbangan moral maupun sumbangan lainnya agar Gereja kami dapat berjalan sebagaimana

Gereja lainnya di Indonesia….kami juga menyampaikan terima kasih kepada

Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini kementerian agama turut hadir pada peresmian panjaeon ini. Semoga kesatuan agama-agama di Indonesia ini semakin mantap demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur” (Pangarah No.

10/Oktober 1963 : 14-15).

Ds. G.H.M. Siahaan selaku ketua panitia dari HKBP dalam sambutannya menekankan perlunya tetap dipelihara kerjasama dan persekutuan antara HKBP dengan GKPS dengan mengingat ikatan historis bersama. Ia mengatakan:

“Saudara-saudara warga Kristen Simalungun, kita adalah bersaudara seperti abang dan adik di dalam Iman, khususnya kalau ditinjau dari sudut sejarah kelahiran

Gereja ini. Karena kita bersaudara, maka kami selalu menginginkan terjalinnya hubungan yang baik di antara kita pada hari-hari mendatang” (Pangarah No.

10/Oktober 1963:16).

Sekretaris Umum DGI, Ds. S. Marantika juga hadir dan menyatakan dukungannya pada peresmian GKPS dengan mencatat makin banyaknya Gereja yang terpecah bagaimanapun berakibat makin sulit mewujudkan keesaan Gereja

Protestan di Indonesia. Marantika mengatakan:

“Secara jujur harus saya katakan, bahwa kita menuju DGI untuk pembentukan satu Gereja Kristen Protestan di Indonesia ini….bahwa usaha-usaha keesaan Gereja tidak terletak pada tercapainya suatu persatuan organisasi atau institusional….Kita patut mensyukuri peristiwa berdiri sendirinya HKBP

246

Universitas Sumatera Utara Simalungun pada saat ini. Tetapi syukur kita bukan terutama sekali karena berdiri sendiri, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) selaku suatu persekutuan sosiologis, selaku suatu kegenapan dari keinginan suatu suku, melainkan kita diperingatkan hari ini agar jangan membesar-besarkan keinginan manusia, tetapi anugerah Allah yang patut kita besarkan. Berdirinya Gereja Kristen Protestan

Simalungun (GKPS) pada hari ini pada hakekatnya: “bergerak sambil menantikan dan menyegerakan kedatangan hari Tuhan.” Di sini letaknya tanggung jawab kita semua….semoga Gereja Simalungun semakin giat melakukan misi-Nya”

(Pangarah No. 10/Oktober 1963: 23).

Utusan mitra kerja grejawi luar negeri yang hadir juga antusias terhadap berdirinya GKPS. Pdt. Rutswosky dari RMG memberikan kata sambutannya yang intinya: “… merasa bergembira dapat menyaksikan peristiwa berdirinya GKPS.

Peristiwa ini tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan-kemajuan yang diperoleh jemaat ini. Sejak pemberitaan Injil dimulai tahun 1903 di Pamatang

Raya, dan dengan dibantu tenaga pekabar Injil Kristen Batak Toba, nampak secara bertahap Injil semakin meluas dan berkembang. Perkembangan dan kemajuan itu menjadi nyata pada peristiwa yang cukup penting, yakni berdiri sendiri HKBP

Simalungun menjadi GKPS dan genap 60 tahun Injil di Simalungun. Lahirnya

GKPS hari ini merupakan awal sejarah baru lagi dalam kehidupan Gereja orang

Simalungun. Para jemaat Simalungun kini memikul tanggung jawab yang besar, namun tidak sendirian. Sebab seluruh Gereja di dunia ini saling membantu satu dengan yang lain. Kita berada dalam satu kapal, kita saling mengayuh dan bersama menghadapi badai….peristiwa ini kiranya lebih mendorong dan menambah kegembiraan Saudara-saudara melaksanakan tugas pemberitaan Injil

247

Universitas Sumatera Utara sebagaimana yang diharapkan selama ini demi kebesaran nama Tuhan”

(Pangarah No. 10/Oktober 1963: 23).

Berdirinya GKPS, yang merupakan pemisahan HKBP Simalungun dari

HKBP dilukiskan sebagai sama seperti „manjae‟, dimana seorang anak laki-laki setelah mencapai kedewasaan (berumah tangga), meninggalkan rumah dan mulai melakukan tanggung-jawab berdikari sebagai anggota masyarakat. Ketika sang anak laki-laki membentuk rumah-tangganya sendiri dengan keluarganya sendiri, ia memperoleh keberdikarian di depan tetangga-tetanganya dengan suatu suara dalam menyelesaikan persoalan-persoalan internal dan eksternal masyarakat. Ini bertentangan dengan keberdikarian politik (merdeka), yang dicapai melalui revolusi dan perselisihan hebat, dalam memegang teguh suatu ikatan kasih dan keprihatinan antara pihak-pihak yang berpisah (Pedersen, 1975:112).

Menurut Jahutar Damanik, memandang hal ini berbeda, sebab menurut adat adalah orangtua yang memprakarsai pemisahan „manjae‟, sedang dalam pembentukan GKPS bukanlah HKBP yang bertindak sebagai orangtua dan HKBP

Simalungun sebagai anak.

Pdt. J. Wismar Saragih mengatakan panjaeon yang diterima GKPS dari

HKBP adalah suatu bentuk kemerdekaan orang Kristen Simalungun dari HKBP.

Dikatakannya, bahwa keberadaan GKPS sudah tentu berbeda dengan keadaan ketika masih HKBP Simalungun. Dahulu kita memakai sebutan Wakil Ephorus, tetapi sekarang kita menyebut Ephorus. Kita telah mempunyai anggaran dasar tersendiri. Kita telah dapat menentukan sikap dan cara kita sendiri untuk berhubungan dengan Gereja tetangga baik di dalam maupun di luar negeri. Jadi

248

Universitas Sumatera Utara keberadaan yang berbeda ini hendaknya kita lihat dari sudut tanggung jawab yang besar.

4.7.5 Pertumbuhan orang Kristen Simalungun

Sejak orang Simalungun memperoleh otonomi dalam tubuh organisasi

HKBP dengan nama HKBP Distrik Simalungun tahun 1953 terdapat pertumbuhan pemeluk Kristen dari orang Simalungun. Ada kebanggaan tersendiri terhadap pengakuan identitas sebagai Simalungun dalam HKBP. Walau sesungguhnya mereka sudah semakin terdesak di tanah leluhurnya sendiri, dalam penguasaan ekonomi, sosial, budaya. Hal inilah yang disadari oleh Pendeta J.Wismar Saragih sebagai orang Simalungun untuk bangkit, dan harus berani menunjukkan identitas sebagai orang Simalungun.

Selama periode 1954 sampai dengan tahun 1963 telah terjadi pertumbuhan pemeluk Kristen pada orang Simalungun sebagaimana dalam tabel 13 berikut ini.

Tabel 13 : Pertumbuhan Jumlah orang Simalungun Kristen 1954-1963 dalam Distrik gereja HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun) No Tahun Jumlah anggota gereja Jumlah gereja 1 1954 25.630 orang 110 2 1955 28.530 orang 119 3 1956 30.462 orang 125 4 1957 32.716 orang 132 5 1958 35.614 orang 141

249

Universitas Sumatera Utara 6 1959 39.377 orang 146 7 1960 47.908 orang 151 8 1961 48.874 orang 154 9 1962 53.496 orang 164 10 1963 57.298 orang 175 Sumber: Diolah dari : Susukkara GKPS 1998: 425-440.; Purba, ”Statistik GKPS” dalam Ambilan pakon Barita, No. 53, Edisi khusus, 1978:74-78.; Siboro,1963:40.; Damanik, 2012: 225, 253).

Selama periode 10 tahun telah terdapat pertambahan jumlah anggota gereja sebesar 31.668 orang. Jumlah gereja dari 110 bertambah menjadi 175 pada tahun 1963, berarti bertambah sebanyak 65 gereja. Dengan demikian jumlah total orang Simalungun anggota Jemaat GKPS adalah 57.298 orang pada tahun 1963.

Menurut Clauss, (1982: 36), bahwa perkiraan jumlah orang Simalungun di tanah Simalungun (Kabupaten Simalungun) adalah sebesar 172.048 orang, dari total penduduk sebesar 526.835 orang, dari dengan Etnis lain tahun 1962. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 14 berikut :

Tabel 14 : Perkiraan jumlah Orang Simalungun di tanah Simalungun (Kabupaten

Simalungun) dengan Etnis lain tahun 1962.

Jumlah Jumlah Etnis No Simalungun Atas penduduk Lainnya (Kecamatan) (orang) Batak Batak Jawa Simalungun Toba 1 Silimakuta 10.246 9.221 206 52 767 2 Purba 13.076 12.422 262 0 392 3 Dolok Silau 6.737 6.401 67 67 202 4 Silou Kahean 9.906 8.420 198 991 297 5 Raya Kahean 6.760 6.084 203 135 338

250

Universitas Sumatera Utara 6 Dolok Pardamean 11.054 8.844 1.658 276 276 7 Raya 19.250 18.288 385 385 192 Simalungun Bawah 8 Siantar 63.263 6.327 25.305 25.305 6.326 9 Sidamanik 28.543 8.563 5.708 8.563 5.709 10 Pane 38.210 11.463 11.463 11.463 3.821 11 Jorlang Hataran 12.710 2.542 6.355 2.542 1.271 12 Tanah Jawa 95.576 19.115 28.673 28.673 19.115 13 Bosar Maligas 48.801 9.761 14.640 14.640 9.760 14 Dolok Panribuan 15.105 1.511 9.063 1.510 3.021 15 Girsang S.Bolon 5.976 598 4.183 149 1.046 16 Dolok B.Nanggar 44.145 13.244 8.829 17.658 4.414 17 Bandar 97.477 29.244 19.495 38.990 9.748 Total 526.835 172.048 136.694 151.399 66.694 Sumber: Diolah dari : Clauss, (1982: 36).

Setelah berdirinya GKPS tahun 1963, maka di dalam tubuh organisasi gereja ini maka dikalangan komunitas orang Simalungun Kristen semakin menunjukkan penguatan identitas etnik Simalungun „hasimalungunon‟ dalam kegiatan internal gereja dan eksternal gereja. Dalam internal, gereja ini telah menyusun landasan kerja organisasinya yang disebut Tata Gereja, dimana didalam pembukaan Tata Gereja disebutkan bahwa : “…GKPS terpanggil dan disuruh untuk bersekutu, bersaksi dan melayani sebagai kawan sekerja Allah serta turut mewujudkan kehendak Allah di dunia. ….menghayati keberadaan dan perannya dalam konteks Simalungun, Indonesia dan dunia,….” Berdasarkan Tata gereja ini maka konteks identitas Simalungun tidak terlepas dari GKPS. Identitas etnis

Simalungun „hasimalungunon‟ sepanjang tidak bertentangan dengan Injili

251

Universitas Sumatera Utara digunakan melalui aktivitas sehari-hari di lingkungan keluarga, gereja maupun keluar gereja.

Identitas etnis tersebut antara lain, : (1) bahasa Simalungun adalah bahasa pengantar dalam gereja, dan juga bahasa tulisan dalam gereja, Alkitab sudah diterjemahkan dalam bahasa Simalungun disebut „Bibel‟, kitab Nyanyian yang digunakan „buku doding‟, dan buku lainnya. ; (2) busana asli (tradisional)

Simalungun oleh warga jemaat digunakan dalam setiap kegiatan ibadah mingguan, dan untuk melestarikan ini pada jemaat dilakukan sayembara berbusana asli Simalungun. (3) alat musik tradisional seperti seruling „sulim‟,

„sarunei‟, „gongrang‟, „ogung‟, (4) aktivitas adat „tolu sahundulan dan lima saodoran‟ tetap terpelihara dalam komunikasi sesama. Hal ini membuat orang

Simalungun yang anggota GKPS yang bekerja di berbagai sektor pemerintahan, atau swasta dapat menunjukkan jati diri sebagai orang Simalungun.

Berdasarkan angka Statistik GKPS tahun 2017 yang tertulis pada

Susukkara GKPS 2017 adalah sebagai mana tabel 15 berikut :

Tabel 15 : Keadaan Anggota Jemaat GKPS tahun 2017

Jumlah No Distrik dan Wilayah Resort Gereja K.Keluarga Warga jemaat (Jemaat) 1 I Pematang Siantar 17 79 8.079 30.163 2 II Pamatang Raya 18 90 8.477 31.047 3 III Saribudolok 25 121 13.408 52.660 4 IV Medan 8 37 5.178 18.374 5 V Tebing Tinggi 20 98 7.052 26.801 6 VI Pekan Baru 14 46 3.370 15.106 7 VII Jakarta 14 48 5.105 18.909 8 VIII Galang 9 55 3.528 13.263

252

Universitas Sumatera Utara 9 IX Sarimatondang 10 50 4.122 15.490 Total 135 624 58.319 221.813 Sumber : Susukkara GKPS 2017 (diolah).

Dari tabel diatas dapat menunjukkan wilayah Distrik I Pematang Siantar sudah berdiri 79 Jemaat GKPS, dengan 8.079 kepala keluarga dan jumlah keanggotaan 30.163 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk kota

Pematang Siantar berjumlah 251. 516. jiwa, maka orang Kristen Simalungun

(GKPS) hanya 12%. Sementara itu Distrik II Pematang Raya sudah berdiri 90 jemaat GKPS, dengan 8.477 kk, dan jumlah keanggotaan 31.047 orang.

Dibandingkan dengan jumlah penduduk di Distrik II Pematang Raya sekitar

32.260 orang, maka orang Kristen Simalungun (GKPS) 96,24%.

253

Universitas Sumatera Utara BAB V

PEMBAHASAN

5.2 Kesadaran orang Simalungun akan Identitas etnik Simalungun

Berdasarkan informasi yang diperoleh sebagaimana dikemukakan dalam disertasi ini bahwa identitas etnik primordial orang Simalungun memiliki kesamaan dalam hal: cerita asal-usul, mempunyai kenangan terhadap masa lalu, yang terfokus pada satu unsur simbolik atau lebih yang mendefenisikan identitas kelompok, seperti kekerabatan, agama, bahasa, pembagian wilayah, tampilan nasionalitas dan fisik, yang anggotanya sadar bahwa mereka merupakan anggota kelompoknya. Hal itu sesuai dengan teori Geertz, (1973) etnisitas merupakan sentimen primordial, mencakup unsur-unsur askriptif (Liliweri, 2009), bentuk pengorganisasian sosial yang terjadi karena adanya interaksi sosial (Barth,1988), dan memiliki batas-batas yang jelas, memisahkan satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya, dan dapat dibedakan dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi, maupun pola hubungan antar etnik

(Pelly, 2015).

Berdasarkan sumber yang diperoleh bahwa orang Simalungun sadar bahwa mereka mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama, yang berbeda dengan tradisi dan sejarah kelompok etnik lain. Orang Simalungun berbudaya Simalungun, dan memiliki sejarah kolektif yaitu sejarah orang

Simalungun.

Orang Simalungun mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa „sahap

Simalungun‟, agama atau system kepercayaan sendiri yang disebut „haporsayaon

254

Universitas Sumatera Utara sipajuh begu-begu‟, dengan perangkat acara ritualnya. Orang Simalungun memiliki adat istiadat sebagai akibat dari hasil perkawinan yang mereka sebut

„tolu sahundulan dan lima saodoran‟, dan inilah yang mengatur pola hubungan sosial sesama orang Simalungun. Orang Simalungun menganggap diri mereka sebagai „halak Simalungun‟, mempunyai wilayah territorial Simalungun yang memanjang dari tepi „laut tawar‟ danau Toba sampai ke „laut asin” pantai Timur

Sumatera Selat Malaka, dan mereka sama-sama merasa terikat oleh kesatuan halak Simalungun, turunan dan kesatuan nenek moyang dari empat marga utama yaitu Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba, (mereka mengatakan SISADAPUR) yang merasa dan mengakui bahwa mereka berasal dari suatu rumpun dan mengakui sebagai „sisada parmaluan sisada lungun (seperjuangan dan senasip).

Orang Simalungun diikat oleh „ahab simalungun‟ yang dimaknai sebagai satu perasaan senasip dan sepenanggungan dalam perjuangan yang dimiliki bersama dan saling pengertian.

Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa untuk melihat identitas etnis orang

Simalungun dapat dilihat dari lembaga Simalungun yang ada saat ini yaitu : (1)

Gereja Kristen Protestan Simalungun disingkat GKPS; (2)Universitas Simalungun disingkat USI; (3) Yayasan Museum Simalungun; (4) Pemerintah kabupaten

Simalungun disingkat Pemkab Simalungun; (5) Partuha Maujana Simalungun disingkat PMS; (6) Ikatan Keluarga Islam Simalungun (IKEIS); (7) Himpunan

Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (HIMAPSI); (8) Komite Nasional Pemuda

Simalungun Indonesia (KNPSI) dan elemen lainnya.

Pembahasan penelitian ini membahas GKPS sebagai representasi dinamika identitas Etnik Simalungun. Walaupun orang Simalungun bukan hanya

255

Universitas Sumatera Utara beragama Kristen Protestan yang tergabung dalam GKPS, namun adanya nama

„Simalungun‟ yang diperjuangkan orang Simalungun yang dipelopori oleh

Pendeta J.Wismar Saragih, Jaudin Saragih, Guru Jason Saragih, dan diikuti oleh generasi Simalungun berikutnya dari non pendeta seperti : Radjamin Purba,

Djariaman Damanik, Mansen Purba, Jabanten Damanik, Sangim P.Sidadolog, dan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdirinya GKPS merupakan penguatan identitas etnik Simalungun.

Jauh sebelum berdirinya GKPS, orang Simalungun telah hidup dalam tatanan nilai-nilai identitas „hasimalungunon‟ , namun seiring dengan derasnya arus budaya „bukan Simalungun‟ menyebabkan terjadinya pewarisan budaya identitas, dan bahkan terdesak. Namun sejak 1963 berdirinya GKPS, nilai-nilai

„hasimalungunon‟ telah dikuatkan kembali oleh orang Simalungun melalui tokoh nya yang ada di GKPS, maupun dilembaga pemerintahan, dan suasta yang melakukan aksinya memberikan sumbangan daya dan dana. Dari bapak K.Purba di Siantar, dan bapak Damanik di Siantar, penulis bertanya apa yang terjadi setelah berdirinya GKPS bagi orang Simalungun? Informan ini menjawab:

“setelah berdirinya GKPS 1963 di Pematang Siantar, maka dikalangan elite Simalungun telah menata ulang “hasimalungunon” melakukan konsolidasi identitas etnis Simalungun dengan menumbuh kembangkan akan nilai-nilai luhur habonaron do bona, (kejujuran), tolu-sahundulan lima saodoran, (bersaudara), sapangambei manoktok hitei, (kebersamaan), sistim marga, (identitas keluarga), marharoan bolon, (gotong-royong), marsialop ari, (saling berbagi), marsombuh sihol, (ingat kampung halaman), dan hopuk (tabungan bersama). Wujud dari ini bahwa pada tahun 1964 orang Simalungun telah melaksanakan Seminar Kebudayaan Simalungun se Indonesia I 24-29 Pebruari 1964, yang merumuskan kembali identitas orang Simalungun, yang membedakannya dengan orang lain. Dalam seminar itu ditegaskan bahwa orang Simalungun adalah orang yang mempunyai ahab Simalungun, dengan mengaku Simalungun, menjalankan adat-istiadat Simalungun, berbahasa Simalungun, dan

256

Universitas Sumatera Utara menjalankan budaya Simalungun. Jadi tidak hanya marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba, boleh diluarnya itu seperti marga Silalahi, Sihaloho, Sipayung, Sitopu, Simarmata, Munthe, Sitio, Turnip, dan marga lainnya tetapi harus memiliki ahab Simalungun.

Dengan jawaban ini orang Simalungun merumuskan dan menegaskan kembali akan identitas mereka di tengah arus perubahan yang terjadi, dan warga, serta tokoh GKPS merupakan pemrasaran, yang berarti penguatan identitas „kita‟, yang berbeda dengan „mereka‟.

5.3 Identitas Orang Simalungun dalam arus Zending

Sejak 1903 RMG telah memulai kegiatannya di kalangan orang

Simalungun, dengan mendirikannya Pos Pekabaran Injil (pos P.I) di Pamatang

Raya oleh August Theis. Kemudian 1904, Godfried Karel Simon mendirikan pos

P.I. di Bandar, dan mencoba menerjemahkan karangan-karangan Kristen serta buku-buku sekolah ke dalam bahasa Simalungun. Ia menyadari, bahasa Batak

Toba kurang dipahami oleh orang Simalungun.

Upaya penerjemahannya yang sangat penting bagi penyebaran agama

Kristen di kalangan orang Kristen Simalungun terbengkalai sebab Simon pindah tugas 1906 meninggalkan Sumatera. Pada sisi lain Guillaume, yang mendirikan pos Pekabaran Injil di Pematang Purba 1905, tidak menyadari betapa pentingnya bahasa Simalungun sebagai media penyebaran agama Kristen. Missionaris Ed.

Muller, pada 1907 memindahkan pos PI dari Bandar ke Pematang Siantar, memang mengusahakan beberapa pencetakan beberapa buku sekolah, namun dia tidak mengembangkan kebijaksanaan berencana berkenaan dengan penggunaan bahasa Simalungun dalam lingkungan jemaat dan sekolah. Dia lebih banyak

257

Universitas Sumatera Utara menaruh minat kepada orang Kristen Batak Toba yang merantau dari Tapanuli, sehingga pos PI itu dalam waktu singkat menjadi „Jemaat Batak Toba‟.

Pengabaian unsur kebudayaan Simalungun oleh R M G itu sulit dipahami, lebih-lebih karena R. Schneider dalam laporannya mengenai tahun 1928-1929 menonjolkan pentingnya hal itu: “Peleburan Raya (Pamatang Raya) dan Seribu

Dolok dengan Siantar (Pamatang Siantar) bagi diriku berharga dari segi lain pula.

Telah saya saksikan apa yang dilakukan oleh guru-guru Simalungun di tengah suku bangsa sendiri, namun saya juga saksikan betapa merusaknya usaha guru- guru dari Toba dan Silindung di kalangan orang Simalungun yang cara berpikir dan cara hidupnya begitu lain itu, dan betapa beratnya bagi mereka untuk mendapat sambutan yang baik” lalu diakhirinya: “Selama ini saya sudah sempat memahami, apa artinya bila orang katakan : meraih orang Simalungun melalui pengerja orang Simalungun, kini saya menyadari betapa beratnya tanggung jawab kita terhadap berpuluhan ribu orang Simalungun itu”.

Namun sampai akhir masa tugasnya di Pematang Siantar tidak ada tampak intensifikasi kegiatan berkenaan dengan identitas kebudayaan orang Kristen

Simalungun. Rupanya Schneider tidak juga menjalin hubungan dengan tokoh- tokoh Kristen Simalungun, tidak ada menyinggung gerakan orang Simalungun yang menuntut akan identitasnya.

Memang menurut jumlah pada 1931 orang Kristen Simalungun diperkirakan masih relatif sedikit yaitu; dari 120.000 orang Kristen Batak,

Simalungun hanya terdapat kira-kira 3.000 orang, sedangkan jumlah orang

Kristen Perantau Batak Toba berjumlah 26.000. Itu pun sejumlah kecil komunitas orang Kristen Simalungun berasal dari golongan penduduk kebanyakan,

258

Universitas Sumatera Utara sedangkan para Raja tetap setia pada agama sukunya, seperti Raja Raya, Raja

Purba, Raja Pane, Raja Silimakuta, di kawasan Simalungun Atas, dan masuk agama Islam bagi Raja Siantar, Raja Tanah Jawa, Raja Dolok Silou, yang berada di Simalungun Bawah. Kedudukan para raja, adalah tetap seperti sediakala menjadi raja Swapraja atau „Tuan Tanah‟, dan orang Kristen Simalungun berada dibawah pemerintahannya maka orang Simalungun menghormatinya sebagai

“Naibata na taridah” (dewa yang nampak).

Jemaat Kristen di daerah Raya atau kawasan Simalungun Atas adalah terdiri dari orang Simalungun, sebaliknya di Siantar atau kawasan Simalungun

Bawah, warga-jemaatnya terdiri atas orang Batak Toba, sebagai perantau dari

Tapanuli. Kondisi demikian menguntungkan gerakan kemandirian orang Kriten

Simalungun. Wilayah Raya, yaitu salah satu dari enam daerah Simalungun Atas, mencakup hampir separuh dari jumlah orang Kristen Simalungun. Pada tahun

1935 di Raya terdapat 2.150 orang Kristen, sedangkan di lima daerah lainnya hanya terdapat antara 56 dan 846 orang Kristen. Berlainan dengan keadaan di daerah-daerah lainnya, di Raya sejak zaman dini ada guru-guru injil dari orang

Simalungun. Sudah sejak tahun 1911 orang Kriten Simalungun dikirim ke

Seminari di pulau Jawa dan di Tapanuli guna menempuh pendidikan untuk menjadi guru injil. Inilah kiranya menjadi penyebab utama bahwa Raya menjadi pusat Gerakan kemandirian orang Kristen Simalungun. Dua „tokoh gereja‟ orang

Simalungun untuk kemadirian Simalungun, yakin Jaudin Saragih, seorang punggawa pemerintah Swapraja, dan Jaulung Wismar Saragih, yang telah menjadi pendeta Simalungun yang pertama, adalah berasal dari daerah Raya.

259

Universitas Sumatera Utara Setelah hari perayaan peringatan ulang tahun ke-25 Jemaat di Pematang

Raya, September 1928 dibentuk Panitia bahasa Simalungun ”Komite Na Ra

Marpodah” (Panitia Penasehat), yang bertujuan menggalakkan usaha pekabaran injil di kalangan penduduk orang Simalungun. Pada tahun 1929, orang Kriten

Simalungun melalui karya ”Komite Na Ra Marpodah” sudah menghasilkan

“Katekismus, buku Katekisasi, buku Nyayian Gereja, Kitab Tata Ibadah, Buku

Bacaan untuk murid kelas I dan II, buku berisi cerita-cerita Perjanjian Lama (PL), buku Renungan Harian, Petunjuk Tulis Menulis Bahasa Simalungun, Almanak

Dinding dan enam macam selebaran lainnya. Pada 1937 Wismar menerjemahkan

Injil Lukas ke dalam bahasa Simalungun dan terjemahannya itu berhasil dicetak dengan bantuan lembaga Alkitab Belanda. Segala usaha itu erat berkaitan dengan gerakan-gerakan pekabaran injil serta dengan penyebaran bahan-bahan bacaan tersebut dalam lingkungan gereja dan sekolah.

Memang tak dapat dielakkan terjadinya pertentangan dari pihak RMG dan dari orang Batak Toba yang bersikap curiga terhadap gerakan komunias orang

Simalungun Kristen. Bahkan dalam lingkungan orang Kristen Simalungun pun ada yang tidak suka terhadap daerah Raya serta penduduknya, yang termaksud marga Saragih. Pada sisi lain ada orang Simalungun setuju akan menerima bahasa

Batak Toba menjadi bahasa pengantar dalam lingkungan gereja dan sekolah.

Gerakan yang dicetuskan oleh “Komite Na Ra Marpodah” itu mengalami pertentangan dari pihak pemerintah yang telah menentukan bahwa bahasa Melayu berlaku sebagai bahasa pengantar di kelas-kelas tertinggi sekolah rakyat, pun di daerah Simalungun. Namun semangat penguatan identitas yang semakin

260

Universitas Sumatera Utara menemukan jati diri tidak menyurutkan usaha komunitas orang Simalungun

Kristen dalam lingkungan Gereja Simalungun.

5.4 Kesadaran Identitas orang Kristen Simalungun

5.3.1 Perjuangan menggunakan Bahasa Simalungun Sebagai Bahasa

Pengantar di Sekolah

Bahasa Simalungun merupakan identitas orang Simalungun. Ternyata dalam sekolah yang didirikan oleh zending RMG, sekolah HKBP, juga sekolah pemerintah tidak menggunakan bahasa Simalungun di wilayah Simalungun.

Orang Simalungun Kristen menuntut agar bahasa Simalungun digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Namun gerakan orang Kristen Simalungun itu berhasil membujuk para bangsawan pemerintah swapraja di Raya agar menentukan bahasa Simalungun sebagai satu-satunya bahasa pengantar di semua sekolah. Namun ketentuan ini tidak berlaku di Purba, (bahasa Melayu, Batak

Toba, dan Batak Simalungun) dipakai sebagai bahasa pengantar, sesuai kehendak pemerintah swapraja serta penduduk setempat. Tentang kondisi demikian oleh

Missionaris C.Gabriel melaporkan: “dalam usaha pekabaran injil lahirlah kesulitan yang istimewa karena pertentangan dengan rasa nasionalisme yang timbul disini. Namun zending sangat bersyukur karena gerakan nasionalis bersedia bekerjasama sebagai utusan zending dalam usaha Kristianisasi orang

Simalungun. Namun demikian, tuntutannya yang kehendak dipaksakannya dengan keras dan dengan tidak menghiraukan akibat-akibatnya, yaitu agar dialek daerah Raya dijadikan sebagai bahasa pergaulan umum diseluruh daerah

Simalungun, belum dapat dipenuhi. Tuntutan itu ditentang oleh daerah swapraja

261

Universitas Sumatera Utara Purba serta daerah swapraja Tongging, yang cenderung mempertahankan bahasa utama yaitu Bahasa Batak Toba. Namun orang Simalungun menuntut zendeling untuk memasukan buku-buku bacaan dari Raya di Purba dan berusaha meyakinkan swapraja Purba serta kaum penduduknya (Hutauruk, 1992: 154).

Sejak mulai berdirinya sekolah-sekolah di daerah Purba, bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar utama, sedangkan bahasa Batak Toba berlaku sebagai bahasa pembantu. Dengan diberlakukannya bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar, serta tidak mengubah kedudukan bahasa Batak Toba, hal ini dianggap orang Simalungun sebagai „tidak menghargai‟ budaya lokal. Orang Simalungun disudutkan dengan memperalat kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda, yang telah memerintahkan penggunaan bahasa Melayu disemua sekolah pemerintah dan yang diselenggarakan dengan menerima subsidi dari pemerintah. Padahal tujuan pendidikan adalah mencerdaskan jemaat. Walaupun pada Oktober 1932, pemerintah swapraja di daerah Purba memutuskan untuk memberlakukan bahasa

Melayu sebagai bahasa penghantar di semua sekolah rakyat di Purba, namun dalam praktek, bahwa tiga bahasa dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah di daerah Purba. Pada perkembangannya di Simalungun secara keseluruhan, ternyata jumlah sekolah berbahasa Simalungun bertambah banyak sedangkan yang memakai bahasa Melayu atau bahasa Batak Toba semakin berkurang. Pada tahun 1929 terdapat 49 sekolah, di antaranya 20 yang berbahasa Simalungun dan

29 yang Berbahasa Batak Toba. Pada tahun 1934 jumlah sekolah ialah 99, diantaranya 35 yang berbahasa Simalungun, 46 berbahasa Batak Toba, 17 berbahasa Melayu dan 1 yang menggunakan Bahasa Batak Karo. Namun pada tahun 1936 sudah lebih banyak sekolah yang berbahasa Simalungun ketimbang

262

Universitas Sumatera Utara berbahasa Batak Toba. Dari 102 sekolah, 46 berbahasa Batak Simalungun, 41 berbahasa Batak Toba, 14 berbahasa Melayu dan 1 berbahasa Batak Karo

(Hutauruk, 1992: 155). Dengan demikian bahasa Simalungun telah memperoleh kedudukan dominan di sekolah yang dapat dipandang sebagai sukses yang diraih gerakan orang Kristen Simalungun dalam menguatkan identitas etnisnya.

5.3.2 Perjuangan Orang Simalungun Untuk Diprioritaskan Pada Sekolah

Pendidikan Guru Di Pematangsiantar

Perjuangan orang Simalungun tidak hanya mengarahkan kegiatannya kepada lingkungan Sekolah Rakyat, namun juga lembaga pendidikan guru, yang pada tahun 1932 telah didirikan di Pematang Siantar. Lembaga ini awalnya memperoleh bantuan keuangan dari pemerintah kemudian didukung oleh dana

“Simelungunseh Volksschoolfonds “ (S.V.S) yang diselenggarakan oleh golongan bangsawan. Lembaga ini diurus oleh RMG yang diwakili oleh tokoh utusan zending di Pematang Siantar, dan diakui oleh Pemerintah.

Berkenan dengan soal hak mengelola lembaga pendidikan guru yang dikenal dengan sebutan “normalleergang” itu timbul perselisihan pendapat antara para pemuka gerakan orang Kristen Simalungun (Jaudin dan Wismar) dengan pihak RMG. Bregenstroth yang merupakan wakil RMG beranggapan bahwa baik orang Batak Toba maupun orang Simalungun dapat diterima sebagai siswa namun tokoh-tokoh gerakan Simalungun tersebut menuntut agar “normaalergang” itu hanya menerima siswa dari kalangan pendudukan orang Simalungun saja.

Bregenstroth mempertahankan pendirian RMG dengan mengacu kepada surat pemerintah dan percakapan dengan tokoh-tokoh pemerintahan di Medan. Di

263

Universitas Sumatera Utara dalamnya sama sekali tidak dinyatakan bahwa hanya orang Simalungun saja yang dapat diterima pada lembaga pendidikan guru itu. Dalam surat “Inspecteur voor

Inlandsch onderwijs” dari Medan, tertanggal 27 Mei 1930, tertulis sebagai berikut:

1. Semua sekolah zending di daerah Simalungun akan ditempatkan di bawah satu orang pengelola di Pamatang Siantar; 2. Lebih banyak mengajar bahasa Melayu di sekolah-sekolah itu untuk menghindarkan persaingan; 3. Membuka suatu lembaga pendidikan guru di Pematan Siantar untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga pengajar (Hutauruk, 1992: 155).

Selanjutnya Inspektur Pemerintahan bersama Bregensroth mengajukan surat permohonan sebagai berikut : Dengan segala hormat Dr. Warneck Ephorus RMG di Pearaja mohon memberi tahu bahwa pada tahun 1931 dia ingin membuka suatu

„normaallergang‟ di Pamatang Siantar sesuai Lembaran Negara 1924 No. 154 dengan maksud memperoleh tenaga pengajar untuk sekitar 70 Sekolah Rakyat di di onderafdeeling Simalungun dan dengan hormat dia memohon persetujuan

Paduka Tuan”. Keputusan Direktur Pengajaran dan Ibadat tertanggal 14 April

1931 memberi perkenan untuk mendirikan “leergang” itu di Pematang Siantar mulai tanggal 1 Juli 1931, yang terbuka bagi semua orang “yang berdomisili di

Pesisir Timur Sumatera, yaitu di daerah Simalungun, dan yang telah membayar pajak di daerah ini”. Sebab golongan tersebut adalah orang Simalungun, yaitu orang Bumiputera yang tunduk kepada Pemerintah Swapraja dan yang tidak berada di bawah pemerintah langsung pemerintah Hindia Belanda. Demikianlah pada tahun 1918 para perantau Batak Toba yang datang dari Tapanuli dianggap termasuk ”orang Simalungun” (Tideman, 1932: 193,;Hutauruk, 1992: 156).

264

Universitas Sumatera Utara Namun dalam bantahan terhadap pendirian RMG itu, Jaudin Saragih dapat mengacu kepada surat Bregenstroth di mana dinyatakan bahwa hanya orang Batak

Simalungun yang akan diterima pada “normalleergang” itu dan bahwa orang

Batak Toba hanya akan diterima bila jumlah calon siswa dari golongan Batak

Simalungun tidak cukup untuk mengisi tempat yang tersedia. Dan pada kenyataannya tujuan komunitas orang Simalungun itu akhirnya tercapai juga dengan bantuan pemerintah di Pematang Siantar, yang terus-menerus memprioritaskan orang Simalungun untuk diterima sebagai pelajar

”Normaalleergang”.

Pada dua tahun permulaan “Normaallergang” (1931-1932) diterima 20 orang siswa, dan diantaranya hanya 4 orang Simalungun, karena menurut keterangan Bregenstroth calon siswa dari golongan orang Simalungun kurang tersedia. Tahun 1936 jumlah siswa orang Simalungun dan Batak Toba sama-sama

11 orang. Lalu tahun 1937 Wismar Saragih melaporkan adanya mayoritas siswa orang Batak Simalungun, yaitu sebanyak tiga-perempat dari seluruh jumlah siswa

(Hutauruk, 1992: 156). Dengan demikian melalui perebutan prioritas siswa ini, identitas etnis Simalungun semakin menguat.

5.3.3 Perjuangan Orang Simalungun Akan Identitasnya Dalam

Organisasi Gereja

Tuntutan orang Simalungun atas suatu identitas etnisnya juga dalam lingkungan organisasi gereja, di mana keseluruhan Gereja Batak yang dipimpin oleh RMG menyentuh struktur-struktur asli dari masyarakat dan kebudayaan

Batak. Hal ini terutama berlaku berkenaan dengan tiga aspek, yaitu: (1) kebutuhan

265

Universitas Sumatera Utara akan kebaktian gereja khusus berbahasa Simalungun di Pamatang Siantar.; (2) orang Simalungun menuntut agar ada wakilnya dalam Struktur Pengurus besar gereja HKBP yang meliputi semua orang Batak Kristen. ; (3) orang Simalungun ingin supaya nama distrik yang baru “Distrik Pesisir Timur Sumatera, Aceh dan

Tanah Dairi” dihapuskan dan diganti lagi dengan nama asli “Distrik Simalungun”.

5.3.3.1 Masalah kebaktian berbahasa Simalungun di Pematang

Siantar

Jemaat Pamatang Siantar sejak awal kehidupannya pada tahun 1907 teruma terdiri atas kelompok etnis pendatang orang Batak Toba yang besaral dari

Tapanuli. Warga jemaat dari golongan komunitas orang Kristen Simalungun, termasuk Abraham Damanik dan Tuan Batok (Johannes) Damanik telah berpadu dengan kebatian Batak Toba. Dari warga komunitas orang Simalungun Tuan

Waldemar Damanik yang pada tahun 1915 oleh Pemerintah Belanda diangkat menjadi Raja daerah Swapraja Siantar. Namun kehadiran tokoh tersebut sebagai seorang Kristen dan sebagai Raja Siantar tidak sempat mempengaruhi kehidupan gerejawi di Jemaat Pematang Siantar.

Sementara itu telah tiba pula di Pematang Siantar beberapa orang Kristen

Simalungun dari Simalungun Atas (Raya dan Purba), untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah swapraja atau pemerintah kolonial, atau untuk belajar pada sekolah menengah di Pematang Siantar. Di antara mereka terdapat pula Jaudin

Saragih, pemuka gerakan orang Batak Simalungun. Atas anjurannya orang Kristen

Simalungun telah meminta kepada Majelis Jemaat Pematang Siantar agar

266

Universitas Sumatera Utara diadakan kebaktian berbahasa Simalungun, yang memang diselenggarakan mulai pertengahan tahun 1934 (Hutauruk, 1992: 158).

Alasan tentang bahasa yang diajukan dalam permintaan tersebut langsung diterima oleh Pendeta Israel Tambunan yang adalah orang Batak Toba. Pendeta

Tambunan sekaligus menegaskan pula keanggotan orang Kristen Simalungun dalam Gereja Batak yang besar, sehingga tidak terdapat alasan untuk perpecahan dalam jemaat Pematang Siantar. Bregenstroth memberitakan tentang perundingan yang diadakan antara wakil-wakil dari komunitas orang Kristen Simalungun dengan pengurus gereja di Pematang Siantar, namun dalam berita itu tidak disinggung masalah penggunaan bahasa Simalungun. Berita tersebut mengatakan, betapa bengisnya sikap kaum pemuda itu ternyata dari berbagai peristiwa seperti misalnya yang ini, ketika Tuan Jaudin Saragih datang kemari ia menghendaki agar untuk beberapa gelintir orang Simalungun diadakan kebaktian tersendiri, sedangkan selama ini semua orang sama-sama mengunjungi kebaktian dalam gedung gereja yang besar di sini. Pengurus gereja di sini langsung menyediakan sebuah ruang sekolah untuk keperluan itu. Namun selanjutnya orang Simalungun mengemukakan tuntutan : “kami menghendaki menggunakan gedung gereja itu setiap hari Minggu Pagi”. Orang Batak Toba dalam hal ini pun bersedia memenuhi permintaan itu, sekalipun kelompok itu hanya meliputi 30-40 orang dewasa saja, orang Simalungun menghendaki gedung gereja itu, kamilah pemilik daerah ini.

Dapat dibayangkan bagaimana perjuangan identitas orang Kristen

Simalungun dalam hal penguasaan asset, yang mereka lihat telah dikuasai oleh orang-orang bukan Simalungun. Siantar yang pada awalnya diperintah oleh Raja

267

Universitas Sumatera Utara Siantar dinasti Damanik, telah bergeser kepenguasaan asset, ruang, budaya dan ekonomi kepada orang yang bukan Simalungun, sehingga komitmen untuk menunjukkan identitas etnis Batak Simalungun semakin menguat.

5.3.3.2 Perjuangan Keanggotaan orang Simalungun untuk duduk

dalam Pimpinan HKBP

Perjuangan orang Kristen Simalungun untuk duduk dalam pimpinan

HKBP, ialah untuk mempertahankan unsur-unsur bahasa, budaya dan geografis, etnis dari orang Simalungun dalam lingkungan gereja HKBP mengingat bahwa unsur-unsur kebudayaan dan kesukuan kaum Batak Angkola dan Batak Toba tanpa ragu-ragu telah masuk kedalam HKBP selama berlangsung proses kristenisasi kedua sub suku Batak itu. Demikianlah bahasa Batak Angkola dari semula berlaku sebagai bahasa gereja dalam jemaat-jemaat di daerah Angkola.

Hal yang sama berlaku pula berkenaan dengan bahasa Batak Toba di daerah

Silindung, Humbang dan Toba. Juga berkenaan dengan keanggotaan dalam badan pengurus sinode HKBP yang telah dibentuk pada tahun 1929 orang Batak Toba mengindahkan perbedaan suku itu. Para anggota dipilih sebagai wakil distrik, sekaligus sebagai wakil golongan etnis yang menghuni distrik itu. Dan jumlah anggota Badan Pengurus sinode ditentukan oleh kehadiran unsur-unsur entis dan oleh besar-kecilnya distrik-distrik .

Berdasarkan kenyataan itu, dalam sinode distrik “Simalungun-Pesisir

Timur” tahun 1933 wakil-wakil atau ketua jemaat Raya dan Seribudolog megajukan keinginan agar pada Badan Pengurus Sinode HKBP distrik

“Simalungun-Pesisir Timur” diwakili oleh orang Simalungun. Dalam usul yang

268

Universitas Sumatera Utara diajukan oleh wakil jemaat Raya dinyatakan: “Dalam Badan Pengurus Sinode

HKBP yang baru harus ada seorang anggota dari etnis Simalungun, sama seperti didalamnya terdapat pula seorang Batak Angkola yang mewakili distrik Angkola.

Sebab kepentingan kaum Kristen Batak Toba yang menjadi perantau di daerah

Simalungun dapat dipahami dan dibela oleh anggota pengurus sinode yang mewakili daerah Silindung, Humbang dan Toba. Para calon harus dicalonkan oleh

Praeses (ketua distrik) dan dipilih oleh sinode distrik.

Dalam usul yang serupa yang diajukan oleh jemaat Seribudolog diperjelas lagi hasrat itu dengan mengesahkan keanekaragaman suku bangsa Batak menurut daerahnya: “Anggota pengurus sinode harus dipilih berdasarkan asal-asul kesukaan dan kedaerahannya, agar sifat dan kepetingan daerah sukunya dapat diketahui dan diwakilinya”.

Baik isi maupun argumentasi usul-usul itu terkandung dalam surat Jaudin

Saragih yang ditulisnya kepada Ephorus Landgrebe sebelum 1933. Di dalamnya berulang-ulang dapat ditemukan alasan utama, yaitu untuk menjamin terpeliharanya identitas etnis orang Simalungun didalam organisasi dan lingkungan gereja. Antara lain ia tidak lagi datang menghadiri sinode HKBP tahun 1931 dan 1932, karena keyakinannya sejak bertahun-tahun bahwa sinode

HKBP itu sama sekali tidak menaruh minat kepada soal bahasa (hata) dan suku

(bangso) Batak Simalungun. Ia ingin menghadirkan unsur bahasa dan kebudayaan etnik Simalungun dalam Gereja Batak, dan oleh karena itu ia mengusulkan pembentukan distrik Batak Simalungun, sehinga terdapat orang Simalungun yang membawa aspirasi orang Simalungun dalam tubuh Pengurus Sinode HKBP, sebab

„hanya orang Simalungunlah yang lebih memahami kepentingan orang

269

Universitas Sumatera Utara Simalungun‟. Karena adat dan bahasa Simalungun „tidak ada maknanya bagi orang Batak Toba‟, maka perlu orang Kristen Simalungun bersatu di dalam satu

Distrik, dan seorang diantaranya harus menjadi anggota pengurus Sinode HKBP, sebab ia dapat memahami kepetingan orang Simalungun. Realitanya bahwa orang

Batak Toba di daerah Simalungun, berapa banyak pun jumlahnya, tetap menjadi tamu yang asing bagi orang Simalungun dan bagi pemerintah swapraja yang berpola aristokratis. Namun dalam lingkungan gereja keadaannya terbalik : orang

Simalungun seakan-akan menjadi tamu yang asing, karena mereka tidak mempunyai distriknya sendiri, dan anggota pengurus sinode yang mewakili daerah Simalungun adalah seorang Batak Toba. Sesungguhnya wajarlah bila yang mewakili itu adalah seorang Batak Simalungun. Karena sekalipun anggota pengurus sinode dari Simalungun bukan seorang Batak Toba, maka tetap ada tiga anggota pengurus sinode, yaitu yang mewakili Silindung, Humbang dan Toba, yang dapat memahami dan membela kebiasaan orang Batak Toba. Namun selama ini di dalam pengurus sinode tidak terdapat seorang Batak ataupun seorang pendeta zending bangsa Eropa yang mengusai bahasa dan adat orang Batak

Simalungun. Sebaliknya di Angkola, sekalipun didaerah itu hanya terdapat 12.000 orang Kristen ditengah mayoritas yang Islam, terdapat distrik Angkola yang tersendiri, meskipun di daerah itu pun terdapat orang Batak Toba. Memang benar orang Kristen Batak Simalungun baru berjumlah 4.000 namun masih terdapat sekitar 100.000 orang Batak Simalungun yang masih dapat diajak untuk memeluk

Agama Kristen. Dengan segala alasan itu pun sinode distrik masih juga memilih seorang Batak Toba yang bermarga Hutapea dari Pamatang Siantar sebagai Wakil

Distrik itu.

270

Universitas Sumatera Utara Penguatan identitas etnis Simalungun dalam struktur organisasi Pengurus

Pusat HKBP ini terus menerus diperjuangkan orang Simalungun.

5.3.3.3 Perjuangan untuk memulihkan nama Distrik Simalungun

Perjuangan untuk memulihkan nama Distrik Simalungun, yang berlawanan dengan identitas etnis-budaya dari orang Simalungun telah diubah

“Distrik Simalungun-Pesisir Timur” menjadi “Distrik Pesisir Timur Sumatera,

Aceh dan Tanah Dairi”. Sampai tahun 1935 distrik ke-5 RMG di Tanah Batak

(HKBP) disebut Distrik Simalungun-Pesisir Timur. Nama itu mencakup semua

Jemaat orang Simalungun serta Jemaat kaum perantau Batak Toba di daerah

Simalungun dan di Pesisir Timur Sumatera. Sejak tahun 1932 distrik itu meliputi pula jemaat-jemaat orang Batak Dairi dan Pakpak dan jemaat-jemaat perantau

Batak Toba di daerah Dairi dan Pakpak. Dengan begitu distrik ke-5 itu menjadi distrik terbesar dalam HKBP. Perluasa daerah itu dijadikan alasan bagi sinode distrik tahun 1935 untuk mengubah nama lama dengan nama baru “Distrik Pesisir

Timur Sumatera, Aceh dan Tanah Dairi”, dengan mengabaikan indetitas etnis dan budaya orang Kristen Simalungun.

Dalam berita acara sinode distrik tahun 1935 tidak tercatat adanya pertentangan dari Pihak wakil Raya dan Seribudolog di sinode itu. Namun dalam sebuah surat tertanggal 27 Oktober 1937 yang dialamatkan kepada pendeta zending H.Volmer di Seribudolog, Pendeta Wismar Saragih menilai perubahan nama itu sebagai tidak adil. Bagi Pendeta Wismar Saragih adalah tidak masuk akal kalau nama Simalungun dihapuskan, padahal daerah Pesisir Timur, Tanah

Aceh dan Tanah Dairi digabungkan kepada daerah Simalungun. Sudah semenjak

271

Universitas Sumatera Utara masa awal terdapat lima distrik HKBP, yaitu Angkola, Silindung, Humbang, Toba dan Simalungun. Namun karena perluasan kawasan tugas di Pamatang Siantar maka nama Simalungun dihapuskan. Menurut pendapat ini berarti bahwa

Simalungun tidak lagi mempunyai hubungan dengan sinode HKBP, sehingga dia sebagi utusan orang Simalungun tidak akan datang lagi pada sinode HKBP itu.

Bahkan pada sinode distrik pun tidak perlu hadir seorang Kristen Simalungun, selama tidak diadakan lagi suatu Sinode Distrik Simalungun.

Penolakan berperanserta pada sinode HKBP dan sinode distrik itu merupakan tantangan. Namun utusan-utasan dari Raya dan Seribudolog, termasuk

Wismar Saragih, tetap hadir dalam sinode distrik dan dengan demikian sempat menegaskan tuntutan orang Simalungun atas pengakuan terhadap kesukuannya di dalam lingkungan HKBP. Kesempatan terakhir untuk memulihkan nama

“Simalungun-Pesisir Timur” terdapat pada sinode distrik tahun 1939. Sinode itu membahas rancangan tata gereja yang akan berlaku dalam masa 1940-1950, dan yang di dalamnya nama yang lama itu muncul kembali. Namun pemulihan nama yang lama itu jelas sekali berdasarkan kekeliruan Ephorus yang telah menyusun rancangan tata gereja itu tatkala Wismar Saragih kembali membela nama asli itu, rapat mengacu kepada keputusan tahun 1935, namun mengusulkan pula agar nama distrik itu diubah menjadi “Distrik Sumatera Utara”. Usul ini pun ditolak, dan tetap dipertahankan nama “Pesisir Timur Sumatera, Aceh dan Tanah Dairi”.

Maka kandaslah upaya komunitas orang Kristen Simalungun untuk mempertahankan identitas budaya dan etnisnya didalam struktur HKBP.

Keinginan orang Simalungun akan identitasnya itu tetap belum dipahami dan tidak dihiraukan oleh pihak RMG dan kaum Kristen Batak Toba.

272

Universitas Sumatera Utara Penyebabnya satu diantaranya adalah pandangan orang bahwa asal-asul silsilah orang Simalungun dan orang Batak Toba sama saja, sehinga orang cenderung meremehkan perbedaan dalam hal bahasa. Pandangan itu kelihatan ketika Bregenstroth (RMG) memberikan pernyataan sebagai berikut : Dengan tegas kini dikemukakan, bahwa orang Simalungun hampir-hampir bukan orang

Batak yang sejati. Dalam pada itu kampung asal Raja Siantar ada di Ambarita,

Samosir, yang disebut Lumban Nabolak. Dan orang Raya berasal dari Simanindo

: sehingga pada setiap pesta adat mereka diundang Raja Simanindo dan sebaliknya. Orang Simalungun cukup mengerti bahasa Batak Toba, namun dewasa ini dengan sengaja setiap penyimpangan bahasa dijadikan bahasa pustaka.

Pendeta Bregenstorth berpijak pada pandangan bahwa kawasan bahasa

Simalungun akan semakin sempit akibat arus perantau dari Toba, sehingga dapat diramalkan bahwa bahasa itu tidak akan bertahan lama sebagai bahasa pergaulan.

Lagi pula, demikian dinyatakannya, bahasa Simalungun hanya sedikit saja berbeda dari bahasa Batak Toba.

Namun sesungguhnya menurut sejarah orang Simalungun, adalah berbeda dengan orang Batak Toba. Demikian juga silsilah, atau tarombo versi Batak Toba, tidak diterima oleh orang Simalungun. Dan karena itu orang Batak Simalungun bukan berasal dari Toba, dan bahasa Simalungun sangat berdeda dengan Bahasa

Batak Toba, sebagaimana pandangan Bregenstroth / HKBP. Tuntutan gerakan orang Kristen Simalungun perlu ditinjau dari sudut keanekaragaman identitas etnis, budaya Batak.

Dalam laporannya yang pertama pada tahun 1937 mengenai adat serta bahasa orang Simalungun, seorang Belanda yang melakukan penelitian bahasa

273

Universitas Sumatera Utara Simalungun bernama P.Voorhoeve menyatakan bahwa, penduduk daerah

Simalungun melihat asalnya untuk sebagaian besar dari pulau Samosir. Namun keliru bila orang berpendapat bahwa Bahasa Simalungun itu pada dasarnya hanya merupakan dialek Bahasa Batak-Toba saja. Apabila kalau ada orang menyimpulkan bahwa Bahasa Batak Toba harus dipertahankan sebagai bahasa sekolah dan gereja di daerah Simalungun. Selanjutnya dalam laporan tahun 1937 oleh zendeling Bregenstroth, telah melaporkan bahwa, pemerintah telah mengangkat seorang ahli bahasa, Dr.P.Voorhoeve, dengan tugas mencatat Bahasa dan Adat orang Simalungun. Orang Simalungun banyak menaruh harapan pada karya yang dihasilkan oleh P.Voorhoeve. Namun perbedaannya tidaklah terlalu besar; mereka sama-sama berasal dari Pulau Samosir, ini menurut Bregenstroth, yang sesungguhnya keliru dalam hal memandang adat dan bahasa Batak

Simalungun dan Batak Toba sama.

Demikian seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan gereja

HKBP yang tidak menghiraukan identitas etnis Simalungun, maka dipihak orang

Simalungun justru makin berusaha menguatkan identitas etnisnya sebagai orang

Simalungun yang membedakannya dengan orang lain.

5.5 Berdirinya GKPS (1963) sebagai Penguatan Identitas Etnis Simalungun

Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian bab sebelumnya bahwa perjuangan identitas etnis Simalungun sangat dinamis. Perjuangan itu terjadi sebagai reaksi terhadap kehadiran orang asing dengan budayanya ditengah-tengah orang Simalungun. Zending RMG dengan missinya menyebarkan Injil Kristen

274

Universitas Sumatera Utara Protestan sampai bersentuhan dengan orang Simalungun yang memiliki identitas sebagai orang Simalungun.

Orang Simalungun mulai sadar bahwa orang lain sudah menguasai rumah mereka sendiri yaitu tanah Simalungun. Dengan berdirinya gereja yang bernama gereja Zending RMG, dan HKBP, ternyata bukan milik mereka, tidak ada diantara mereka berada di sana.

Semakin banyak pendatang ke Simalungun, orang Simalungun melakukan konversi agama Kristen Protestan sehingga terbentuk Jemat. Zending mendirikan gereja, mendirikan sekolah, dan juga mendirikan poliklinik kesehatan dan berkembang menjadi rumah sakit.

Ketika aktivitas zendeling semakin mendalam dan meluas di Simalungun, diantara orang Simalungun muncul sebagai pemimpin komunitasnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai etnis Simalungun. Identitas Etnis Simalungun primordial itu adalah memiliki, leluhur yang sama, bahasa yang sama, territorial yang diwariskan dari generasinya, sistim sosial berupa adat istiadat yang dikenal dengan tolu sahundulan dan lima saodoran. Memiliki sistem pemerintahan politik

„kerajaan‟ yang berdaulat terhadap warganya, memiliki pedoman hidup habonaron do bona, dan sapangambei menoktok hitei.

Dibalik lahirnya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) pada tahun

1963, identitas etnis Simalungun „hasimalungunon‟ semakin menguat. Semangat orang Simalungun yang dipelopori oleh Pendeta Wismar Saragih memicu dan memacu orang Simalungun untuk lebih berani menunjukkan kebenaran tuntutan bagi siapa saja yang dianggap menggerus identitas mereka. Selain Pendeta

Wismar Saragih, adalah Jaudin Saragih yang merupakan pegawai pemerintahan

275

Universitas Sumatera Utara ketika itu sangat memberikan sokongan dalam perjuangan orang Simalungun dalam setiap tuntutannya dalam tubuh gereja HKBP Pearaja. Sesudah itu orang

Simalungun lainnya yang meneruskan perjuangan itu adalah Guru Jason Saragih

(1883-1963) dari Pamatang Raya yang menamatkan pendidikannya pada sekolah

Zendingkweekschool Seminari di Depok Jawa Barat pada tahun 1911. Setelah tamat tahun 1915 beliau menjadi guru dan berjuang untuk dapat menunjukkan identitas orang Simalungun dalam pendidikan gereja dan masyarakat hingga pensiun tahun 1958. Ia telah melakukan pengabdianya selama 43 tahun sebagai guru.

Dengan kondisi perjalanan identitas etnik Simalungun dalam gereja yang saat ini dikenal dengan GKPS, maka dapat dikatakan bahwa dibalik berdirinya

GKPS terdapat dinamika penguatan identitas Simalungun.

5.4.1 Dinamika Penguatan Identitas Etnis Simalungun di Kecamatan

Raya

Setelah berdirinya GKPS 2 September 1963, sampai dengan tahun 2017, di wilayah Kecamatan Raya yang disebut Distrik II Pematang Raya sudah berdiri

90 Jemaat GKPS, yang terdiri dari 8.477 kk, sehingga total jumlah keanggotaan diperkirakan 31.047 orang. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Distrik

II Pematang Raya yang diperkirakan sekitar 32.260 orang, maka persentase jumlah orang Kristen Simalungun (GKPS) 96,24%. Dengan demikian di daerah ini dapat disimpulkan terjadi penguatan identitas „hasimalungunon‟ yang didukung mayoritas orang Simalungun Kristen (GKPS).

276

Universitas Sumatera Utara Seiring dengan itu pula di daerah ini budaya etnis Simalungun berupa : bahasa, adat-istiadat, busana, kesenian, arsitektur ornament, yang dilestarikan oleh

GKPS sebagai identitas „kita‟ orang Simalungun menujukkan semakin tumbuh dan berkembang sebagai simbol dan pedoman hidup bersama orang Simalungun dalam melaksanakan pembangunan. Demikian juga dalam interaksi sosial setiap harinya mereka dominan berkomunikasi dengan bahasa Simalungun, melaksanakan tata cara kehidupan upacara adat istiadat Simalungun, berbusana

Simalungun, makanan khas Simalungun.

5.4.2 Dinamika Penguatan Identitas Etnis Simalungun di Pematang

Siantar

Di Pematang Siantar adalah daerah tempat ditandatanganinya pengakuan

HKBP terhadap berdirinya GKPS tanggal 2 September 1963. Bagi komunitas orang Simalungun Kristen (GKPS) hal ini diperingati setiap tahunnya sebagai sebuah kemenangan identitas „kita‟. Sampai 2017 pada Distrik I Pematang Siantar sudah berdiri 79 Jemaat GKPS, yang terdiri dari : 8.079 kk dan diperkirakan jumlah keanggotaan 30.163 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk kota

Pematang Siantar berjumlah 251. 516. jiwa, maka orang Kristen Simalungun

(GKPS) hanya 12%.

Seiring dengan itu pula di daerah ini budaya etnis Simalungun berupa : bahasa, adat-istiadat, busana, kesenian, arsitektur ornament, yang dilestarikan oleh

GKPS sebagai identitas orang Simalungun dapat semakin surut dan mengalami erosi sebagai simbol dan pedoman hidup bersama orang Simalungun dalam melaksanakan pembangunan. Dengan keadaan komunitas Kristen Simalungun

277

Universitas Sumatera Utara hanya 12%, di daerah ini tampaknya „hasimalungunon‟ tergerus oleh budaya

„etnis lain‟ sehingga identitas „kita‟ secara eksternal terhambat oleh birokrasi dan politik pemerintahan. Sebab yang mendominasi politik pemerintahan di daerah ini adalah etnis „bukan Simalungun‟, baik sebagai kepala pemerintahan atau walikota, maupun sebagai anggota DPRD, atau ketua DPRD samasekali „bukan‟ dari orang

Simalungun.

Kalaupun terjadi di Pematang Siantar, aksi protes terhadap walikota

Pematang Siantar pada April 2018, dimana komunitas etnis Simalungun menganggap walikota telah melakukan „penistaan‟ terhadap budaya etnis

Simalungun itu merupakan pertanda bahwa identitas etnis Simalungun semakin menguat merupakan bagian dari internalisasi etnis. Pada pihak lain itu terjadi disebabkan penguasa yang „mengabaikan‟ identitas etnis Simalungun. Namun demikian dalam kondisi peristiwa ini pihak pimpinan pusat GKPS tidak memberikan pernyataan sikap, hal ini dapat dipahami sebagai lembaga agama yang tidak mencampuri urusan „politik‟, sehingga suasana kota ini masih terkendali.

5.6 Identitas Etnik Simalungun dan Pembangunan

Identitas etnik Simalungun begitu menonjol dalam perjuangan pendirian

GKPS oleh komunitas Kristen Simalungun, dan peran gereja dalam masyarakat adalah sebagai pelayan masyarakat, sehingga dalam mewujudkannya dilakukan melalui pembangunan. Peran pembangunan yang dilakukan oleh GKPS mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai hasil atau wujud pembangunan baik itu fisik maupun non fisik kelihatan dalam komunitas yang

278

Universitas Sumatera Utara dipelopori oleh lembaga GKPS. Sebagai sebuah institusi atau „sekte‟ agama

Kristen Protestan secara iman, dan kelembagaan bertanggungjawab untuk memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan warganya, sehingga dilakukan pelayanan dan pembangunan warganya, yang menyebar diberbagai wilayah

Simalungun, dan Siantar. GKPS selain mengurusi theologis umatnya juga memiliki departemen pelayanan pembangunan yang bertugas memotivasi umatnya membangun.

Gereja GKPS mampu menghadirkan nuansa etnisitas untuk membangun daerah Simalungun, sehingga mampu memanggil siapa pun yang merantau ke daerah lain untuk kembali ke kampung halamannya di Simalungun. Hal ini tampak dalam program pembangunan GKPS. Gereja selain memiliki program strategis dalam pembangunan mental dan spiritual masyarakat, juga ikut serta membangun budaya. Dalam pelaksanaannya GKPS bersama-sama dengan pemerintah berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Para

Gembala GKPS menenangkan jemaat agar tidak terpancing emosi terkait berita dan komentar-komentar yang bernada negatif dan cenderung memecah belah di media sosial. Karena dinamika yang terjadi sangat tinggi, dan perlu kebijaksanaan agar tidak terpancing emosi dan membuat suasana menjadi kacau, jangan cepat terprofokasi karena sejarah membuktikan Indonesia kuat kalau bersatu.

Kerjasama antara GKPS dan pemerintah dalam pembentukan manusia melalui nilai-nilai luhur etnis yang tidak berlawanan dengan amanat Grejawi dapat menciptakan suasana sosial yang damai, rukun, serta kondusif dalam melaksanakan pembangunan. Tanpa upaya kerjasama dengan pemerintah, gereja juga tidak dapat melaksanakan tugas pelayanan sepenuhnya, namun adanya

279

Universitas Sumatera Utara kerjasama dengan pemerintah, kendala bisa tertatasi dan hasil maksimal bisa dicapai. Kerjasama dapat menciptakan masyarakat yang damai, rukun dan harmonis serta kondusif.

Sebagai upaya GKPS sebagai pelaku pembangunan telah diwujudkan daintaranya pada tahun 1981, sebagai Penerima Kalpataru. GKPS berupaya untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat Simalungun di pedesaan Kabupaten

Simalungun melalui program penghijauan, pembagian bibit, penyuluhan lingkungan, pengelolaan limbah domestik, pemberian modal usaha, penataan rumah sehat dan diversifikasi usaha. Sejak tahun 1981 telah melaksanakan pengadaan air bersih di 72 desa, membangun 15 unit embung, membangun 10 unit pengelolaan limbah rumah tangga, membangun 146 rumah percontohan, membangun 333 unit jamban, penyaluran bibit tanaman pertanian sebanyak

30.000 pohon/tahun, membangun usaha keramba di Danau Toba, pengelolaan sampah menjadi kompos, bantuan bibit ternak ayam sebanyak 10.000 ekor/tahun, pengucuran dana bergulir sebanyak Rp 200 juta/tahun. Untuk melaksanakan seluruh program tersebut bersumber dari sponsor dalam dan luar negeri, bantuan warga Simalungun, kolekte dan sumbangan anggota jemaat GKPS.

Etnisitas dipandang memiliki hubungan yang erat dengan masalah- masalah pembangunan, dalam hal GKPS ternyata etnisitas, agama, pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk mendorong percepatan, dan partisipasi masyarakat berupa „swadaya‟.

5.6 Temuan Penelitian

280

Universitas Sumatera Utara Identitas etnis orang Simalungun dapat bertahan walaupun berbaur, kontak, terjadi tukar informasi dengan etnis lain, hal ini terjadi dalam proses berdirinya GKPS setiap warganya mempertahankan identitasnya. Hal ini sesuai dengan pandangan Barth (1998) batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur.

Identitas etnis merupakan sentimen primordial sebagaimana teori Geertz bahwa etnisitas dibentuk oleh berbagai sentimen primordial seperti kekerabatan, agama dan bahasa, berlaku bagi orang Simalungun. Orang Simalungun memiliki symbol-simbol identitas etnisnya yang disepakati bersama „kita‟ dan membedakannya dengan etnis lain „mereka‟.

Di balik berdirinya GKPS telah mempengaruhi perilaku orang Kristen

Simalungun akan identitas primordialnya „hasimalungunon‟. Orang Simalungun melakukan penguatan identitas etnis dalam „ahab Simalungun‟ melalui perjuangan yang panjang dan bukan hanya secara individu, namun menguat secara kolektip dan dibuktikan dengan dukungan terhadap GKPS. Dalam pandangan

Weber (2006) ada hubungan antara ajaran agama dengan perilaku individu (etos) kerja, dan agama sebagai jalan pintas untuk pembangunan. Sejalan dengan itu

Bellah (1992) berpandangan bahwa,; agama secara langsung mempengaruhi etika ekonomi, ; pengaruh agama terhadap ekonomi terjadi melalui pranata politik, dan; pengaruh agama terjadi melalui pranata keluarga. Terbentuknya suatu masyarakat industri modern tak terlepas dari kuatnya nilai-nilai politik yang dominan, yang menjembatani aspek-aspek ekonomi dengan religius dalam masyarakat.

281

Universitas Sumatera Utara Bahwa pandangan Weber dan Bellah terdapat pada orang Simalungun, agama Kristen telah membentuk perilaku mereka dan melalui itu pula terlaksana pembangunan, sehingga mempengaruhi kesejahteraan dan keluarga.

Penelitian ini menunjukkan bahwa orang Simalungun mampu melawan kekuatan budaya luar (asing) dan menunjukkan identitasnya dalam institusi

GKPS. Sampai pada saat ini GKPS adalah penyangga identitas etnis Simalungun.

282

Universitas Sumatera Utara BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

1. Identitas primordial orang Simalungun (hasimalungunon) telah ada sejak

etnis ini ada jauh sebelum terbentuknya Gereja Kristen Protestan

Simalungun (GKPS). Orang Simalungun menamakan diri halak

Simalungun, mempunyai wilayah Simalungun, merasa terikat oleh adanya

kesatuan turunan nenek moyang, dan mengaku bahwa mereka berasal dari

suatu rumpun, memiliki leluhur, marga „morga‟, adat Kebiasaan, busana

khas, sistim kepercayaan, bahasa „sahap‟ , serta sistem mata pencaharian.

Menyadari adanya warisan leluhur yang senasib sepenanggungan „sisada

parmaluan, sisada lungun‟ telah menggugah mereka untuk bersatu dalam

„ahab Simalungun‟ untuk menunjukkan identitas mereka sebagai orang

Simalungun.

2. Dinamika Identitas etnis Simalungun tidak terlepas dari peristiwa historis

tahun 1903 dengan hadirnya zendeling August Theis di Pamatang Raya

oleh zending RMG, yang sudah terlebih dahulu melakukan misinya

terhadap orang Batak Toba di Residensi Tapanuli. Kemudian tahun 1907

kolonial Belanda menganeksasi dan menguasai wilayah orang

Simalungun, yang ditandai dengan peandatanganan „pengakuan tunduk‟

atau korte verklaring para Raja Simalungun, sehingga kegiatan misi

zending semakin gencar, dan arus migrasi orang „asing‟ meningkat,

terutama orang Batak Toba yang didukung kolonial dan zending RMG.

Pada tahun 1928 komunitas orang Kristen Simalungun muncul yang

283

Universitas Sumatera Utara merasakan bahwa mereka „terancam punah‟ dihimpit budaya etnis lain di tanah leluhur sendiri dalam wadah Gereja Batak yang berpusat di Pearaja

Tarutung (Tapanuli). Mereka bangkit melawan dan menunjukkan serta menegaskan identitas mereka sebagai orang Simalungun dalam tubuh gereja Batak, membentuk Komite na ra marpodah, Kongsi Laita, Kongsi

Sintua, Kas Saksi Ni Kristus, menterjemahkan Alkitab ke bahasa

Simalungun, menerbitkan Majalah „SINALSAL‟ dalam bahasa

Simalungun, sehingga jumlah komunitas bertambah. Tahun 1953 mereka menjadi satu Distrik dengan nama Huria Kristen Batak Protestan

Simalungun (HKBPS) dalam organisasi gereja Batak yang berpusat di

Pearaja (Tapanuli). Komuntas ini merasakan bahwa mereka diatur dan dikendalikan oleh HKBP Pearaja, yang memandang bahwa Simalungun itu sama seperti orang Batak Toba. Orang Simalungun menuntut agar mereka lepas dari HKBP dan mendirikan gereja Simalungun yang berbudaya Simalungun dan diatur oleh orang Simalungun. Strategi dilakukan dengan mengutus anak mereka mengikuti sekolah pendeta yang disokong oleh komunitas Kristen orang Simalungun dengan memberikan sumbangan berupa menyisihkan sebagian dari gaji mereka (bagi yang pegawai) dan sebagian dari hasil panen mereka untuk membiayai sekolah pendeta. Hasilnya tujuh orang pendeta dapat menyelesaikan pendidikanya, kembali ke-Simalungun dan memperkuat HKBPS. Akhirnya pada tahun

1963, HKBP Pearaja memenuhi tuntutan orang Simalungun yang ditandai dengan pelepasan „manjae‟ orang Simalungun lepas dari HKBP, dan

284

Universitas Sumatera Utara semenjak 2 September 1963 orang Simalungun membentuk dan memberi

nama gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

3. Kesadaran identitas etnis Simalungun dalam kurun waktu yang panjang

dengan menumbuhkan kebersamaan dalam identitas primordialnya. Orang

Simalungun mempertegas identitasnya yang dipelopori Pendeta J.Wismar

Saragih, Jaudin Saragih, dan komunitas Kristen Simalungun dengan cara :

berjuang agar menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar

di sekolah-sekolah zending, sekolah pemerintah, yang beroperasi di

wilayah Simalungun; berjuang agar mendapat prioritas pada Sekolah

Pendidikan Guru yang didirikan zending RMG di Pematang Siantar;

berjuang agar Identitas orang Simalungun dicantumkan dalam organisasi

Gereja HKBP seperti nama Distrik Simalungun; berjuang agar dalam

kebaktian juga dilaksanakan dalam bahasa Simalungun di Pematang

Siantar, ; berjuang menuntut agar keanggotaan Etnis Simalungun ikut-

serta duduk dalam Pimpinan HKBP Pearaja; berjuang untuk memulihkan

nama Distrik Simalungun. Berdirinya GKPS pada 2 September 1963,

merupakan keberhasilan orang Simalungun dan sebagai penguatan

identitas etnik Simalungun. Walaupun orang Simalungun bukan

seluruhnya beragama Kristen Protestan (GKPS), namun penguatan

identitas Simalungun (hasimalungunon) sampai saat ini dijaga dan

dipelihara GKPS. Orang Simalungun dalam GKPS tetap berbahasa

Simalungun, sebab bible sudah berbahasa Simalungun, pada acara

kebaktian Minggu tertentu menggunakan busana Simalungun, juga dalam

acara suka dan duka disesuaikan dengan busana Simalungun, gedung

285

Universitas Sumatera Utara gerejanya menggunakan ornament Simalungun, lagu kebaktian diiringi

musik tradisi orang Simalungun, sistim sosial tolu sahundulan, lima

saodoran dalam acara adat suka, duka, tetap dilaksanakan setelah

kebaktian grejawi, menunjukkan identitas etnik sebagai norma sosial tetap

terpelihara. Berdasarkan penelitian ini bahwa GKPS merupakan lembaga

penyangga orang Simalungun terhadap identitas etnik Simalungun

(hasimalungunon).

4. Sebagaimana dalam penelitian ini bahwa komunitas orang Simalungun

Kristen yang tergabung dalam GKPS, memiliki motivasi untuk bekerja

maksimal bukan hanya secara kolektip namun juga secara individu, untuk

kemajuan dirinya serta pada gilirannya etnisnya dalam segala aspek

kehidupan dengan tetap memperhatikan identitas etnis „hasimalungunon‟,

dalam melaksanakan pembangunan di Simalungun.

6.2 Saran

1. Orang Simalungun sebagai warga GKPS dapat menumbuh kembangkan

akan identitas etnis Simalungun dalam berkomunikasi dan berinteraksi

dalam keluarga, dan mewariskannya secara terus menerus.

2. GKPS diharapkan tetap menumbuh kembangkan penggunaan identitas

etnis Simalungun bersama dengan warganya dalam melestarikan

pembangunan identitas etnis orang Simalungun, sehingga orang

Simalungun yang berbudaya dikenal secara luas, baik dalam lingkungan

nasional maupun internasional.

286

Universitas Sumatera Utara 3. Bagi pemerintah terutama Kabupaten Simalungun dan kota Pematang

Siantar, dapat bermitra timbal balik dengan GKPS sebagai lembaga

gerejawi dalam hal merencanakan dan melaksanakan pembangunan

daerah, sehinga identitas lokal kedua daerah ini tetap hidup dan identitas

Simalungun „hasimalungunon „ tetap mewarnai pembanguan daerah ini.

287

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Agustono, Budi dkk., 2012. Sejarah Etnis Simalungun, Medan : Diterbitkan atas kerjasama Pemda kabupaten Simalungun dengan FIB Universitas Sumatera Utara Medan.

Afrizal, 2014. Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Alwi, Hasan dkk., 2002. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Amin T. dan Damanik Sidamanik, Jaramen, 1976 : Turi-turian ni Ompung Na i Horsik, Pematangsiantar : diterbitkan Persatuan Ompung Na i Horsik.

Anderson, John. 1971. Mission To The East Coast Of Sumatera In 1823, London New York : Oxford University Press.

Aritonang, Jan Sihar. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK GunungMulia.

Barth, Fredrik ed., 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan, Jakarta :Penerbit UI Press.

Beling dan Totten, 1980. Modernisasi Masalah Model Pembangunan, Jakarta : Penerit C.V.Rajawali Pers bekerjasama dengan YIIS.

Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang, Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Benda, Harry J. 1989, “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda Terhadap Islam di Indonesia” dalam Ahmad Ibrahim (ed.), Islam di Asia Tenggara: Suatu Persfektif Historis, Jakarta: LP3ES.

Bangun, Payung. 1981.”Kebudayaan Batak” dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Kuncaraningrat (penyunting) Jakarta : Penerbit Djambatan.

Bertrand, Jacques. 2012. Nasionalisme Dan Konflik Etnis di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Blink, H. 1918, Sumatra‟s Oostkust in Hare en Ontwikkeling Als Economisch Gewest: Eene Economisch-Geographische En-Historische Studie, („S- Gravenhage: Mouton & Co.

288

Universitas Sumatera Utara Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Tuan kebun dan Kuli di Sumatera Timur Pada awal abad ke-20, Jakarta: Pt. Pustaka Utama Grafiti.

Brilman, D. 2000. Kabar Baik Di Bibir Pasifik: Zending Di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Castles, Lance. 2001. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera :Tapanuli 1915-1940, Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama denganYayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Clauss, Wolfgang. 1982. Economic and Social Change among the Simalungun Batak of , Saarbrucken Fort Lauderdale: Breilenbach.

Cooley, Frank L. 1986, Indonesia: Church & Society, New York: Friendship Press Inc.

Cooley, Frank L. 1976, Benih yang Tumbuh 4: Suatu Survei Mengenai Gereja Batak Karo Protestan, Jakarta: Lembaga Penelitian DGI.

Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset :Memilih Diantara Lima Pendekatan, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Cunningham, Clark. 1958. The Postwar Migration Of The Toba-Bataks To East Sumatra, New Haven London: Yale University.

Damanik, Erond L. 2017, Busana Simalungun: Politik Busana, Peminjaman Selektif dan Modernitas, Medan : Penerbit Simetri Institut.

Damanik, Eron L. 2017. Nilai Budaya, Hakikat Karya Dan Orientasi Hidup Orang Simalungun, Medan : Penerbit Simetri Institute.

Damanik, Eron L. 2016. Kisah dari Deli: Historisitas, Pluralitasdan Modernitas Kota Medan Tahun 1870-1942, Medan : Penerbit Simetri Publisher.

Damanik, Eron L. 2015. Amarah: Latar, Gerak Dan Ambruknya Swapraja Simalungun 3 Maret 1946, Medan : Penerit Simetri Publisher.

Damanik, Erond L. 2016, Sejarah dan Filosofi Busana Tradisional Simalungun, Makalah Seminar Sehari USI (tidak terbit).

Damanik, Jahutar. 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun, Pematangsiantar : P.D.Aslan.

289

Universitas Sumatera Utara Damanik, Jan J. 2012. Dari Ilah Menuju Allah : Sejarah Kekristenan di Simalungun dalam Aras Perjumpaan Injil dengan Kebudayaan, Yogyakarta : Penerbit ANDI.

Dasuha, Juandaha Raya Purba dan Damanik, Eron L. 2011. Kerajaan Siantar Dari Pulou Holang ke kota Pematang Siantar, Pematangsiantar: Penerbit Ihutan Bolon Hasadaon Damanik Boru pakon Panogolan Siantar Simalungun.

Dasuha, Juandaha Raya P. dan Sinaga, Martin Lukito, 2003. Tole den Timorlanden Das Evangelium: Sejarah Seratus Tahun Pekebaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003, Pematangsiantar: Kolportase GKPS.

Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Duneier, Mitchell. “Metode-Metode Kualitatif” dalam Ritzer. George,ed. 2013, The Wiley Blackwell Companion to Sosiologi,Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

End, Th.van den. 1996, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

End, Thomas Van den. 1987, Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Fauzi, Ihsan Ali.dkk. 2011.Kontroversi Gereja di Jakarta, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures : Selected Essays, New York: Basic Books Publishers.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, Jogyakarta : Penerbit Kanisius.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama, Jogyakarta : Penerbit Kanisius.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan, Jogyakarta : Penerbit Kanisius.

Glazer, Nathan and Moynihan, Daniel P.ed., 1976. Ethnicity: Theory and Experience, Cambridge, Massachusetts, and London, England: Harvard University Press.

290

Universitas Sumatera Utara Glazer, Nathan and Moynihan, Daniel P.ed., 1965. Beyond the Melting Pot: The Negroes, Puerto Ricans, Jews, Italians, and irish of new York City, Massachusetts Institute of Technology Cambridge, Massachusetts :The M.I.T. Press.

Hajar, Ibnu. 2015.Tuan Rumah dan Pendatang: Relasi Etnik dan Multikultur di kota Medan, Medan : Penerbit Unimed Press.

Hamid, Patilima. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Malang : UMM Press.

Hasselgreen, Johan. 2008. Batak Toba di Medan : Perkembangan Identitas Etno- Religius Batak Toba di Medan (1912-1965), Medan : Bina Media Perintis.

Harahap, Basyral Hamidy dan Siahaan, Hotman M. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak, Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing, Jakarta : Penerbit Sanggar Williem Iskandar.

Harahap, Elisa Sutan. 1960. Perihal Bangsa Batak, Djakarta: Dep. P.P. dan K.

Hutagalung, W.M. 1991, Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak, Medan: Tulus Jaya.

Hutauruk, J.R.1992. Kemandirian Gereja: Penelitian Historis-sistematis tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899- 1942, Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia.

Hutchinson, John and Smith, Anthony D. 1996. Ethnicity, New York : Oxford University Press.

Ihromi, T.O. ed., 2016. Pokok-Pokok Antropologi Budaya,Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ikbar, Yanuar. 2014. Metode Penelitian Sosial Kualitatif : Panduan Membuat Tugas Akhir / Karya Ilmiah, Bandung : PT. Refika Aditama.

Isaacs, Harold R.1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gonrang Simalungun: Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun, Medan : Penerbit Bina Media.

Jenks, Chris. 2008. Kebudayaan, Medan : Penerbit Bina Media Perintis.

Jenkins, Richard 2008. Identitas Sosial, Medan : Penerbit Bina Media Perintis.

Joustra, M. 1926. Batakspiegel , Leiden: S. C. Van Doesburgh.

291

Universitas Sumatera Utara

Kaco.H, Suardi. 2012, Sejarah Benteng Somba Opu Sebagai Situs Sejarah: dari Pembiaran ke Perusakan dalam M.Nurkhoiron, Ruth Indah Rahayu.ed. Identitas Urban, Migrasi dan Perjuangan Ekonomi Politik di Makassar, Depok: Yayasan Desantara.

Kahija, YF La. 2017. Penelitian Fenomenologis : Jalan memahami Pengalaman Hidup, Yogyakarta : Penerbit PT.Kanisius.

Kaplan, David dan Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Khun, Thomas S. 1993. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: Penerbit PT.Remaja Rosdakarya.

Keuning, J. 1996, Batak Toba dan Batak Mandailing: Hubungan kebudayaan dan pertentangan yang Mendasar, dalam Taufik Abdullah.ed. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Kraemer, Hendrik. 1958 From Missionfield to Independent Church, London: SCM Press Ltd.

Kroesen, J. A. 1897, “Eene Reis Door De Landschappen Tandjoeng Kasau, Siantar en Tanah Djawa (Res. Oostkust van Sumatra)” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, Deel 39.

Koencaraningrat, ed. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan.

Koencaraningrat, 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Penerbit PT.Gramedia.

Koencaraningrat, 2015. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.

Kozok, Uli. 2010. Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba, Jakarta : Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kozok, Uli. 1999, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Kepustakaan Popular Gramedia: Jakarta.

Kruger, Muller. 1966 Sejarah Geredja di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Kristen.

Kurris, R. S J, 2006. Pelangi Di Bukit Barisan, Gereja Katolik Memasuki Tapanuli, Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Kurniawan, Luthfi J. dkk, 2015. Negara Kesejateraan dan Pelayanan Sosial, Malang: Penerbit Intrans Publishing.

292

Universitas Sumatera Utara

Lempp, Walter. 1976, Benih Yang Tumbuh XII, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia.

Liddle, R. William. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration, London: Yale University Press.

Liddle, R. William. 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru, Jakarta: Grafiti.

Liliweri, Alo. 2005, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta : LkiS.

Loeb, Edwin M. 2013, Sumatra : Sejarah dan Masyarakatnya (terjemahan) Yogyakarta: Ombak.

Lumbantobing, Andar M. 1992, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Marihandono, Djoko dan Juwono, Harto. 2009. Sejarah Perlawanan Sang Naualuh Damanik Menentang Kolonialisme Belanda di Simalungun, edisi revisi (diedit oleh Eron L Damanik dan Juandaha Raya P Dasuha), Bogor, Penerbit Akademia.

Maunati, Yekti. 2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit LKiS.

Mas‟oed, Mohtar. 1999. Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

McKinnon, Edmund Edwards. 2013, Kota Cina, Konteks dan Makna dalam Perdagangan Asia Tengara pada Abad Kedua Belas hingga Abad Keempat Belas (penerjemah Surya Darma), Medan : Unimed Press.

Meuraxa, Dada. 1973. Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara, Medan: Sastrawan.

Miles B.M. & Hubbermas, 1992. Analisa data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerit PT Remaja Rosdakarya.

Mudana, I. W. 2015. Sosiologi Antropologi Pembangunan, Yogyakarta : Graha Ilmu. Muhadjir, Noeng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi III, Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin.

293

Universitas Sumatera Utara Munthe, A. 1987. Riwayat Hidup Pandita August Theis (Missionar Voller Hoffnung), Pematang Siantar: Kolportase GKPS.

Nainggolan, Togar. 2012. Batak Toba di Jakara :Kontinuitas dan Perubahan Identitas, Medan : Bina Media Perintis.

Ngelow, Zakaria J. 1994. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Nommensen, J. T. 1974, Ompu i Dr.Ingwer Ludwig Nommensen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Padmono Sk, 2012. J.W.Saragih Rasul Simalungun, Pematang Siantar – Jakarta : Penerbit Yayasan Pdt. J. Wismar Saragih.

Panjaitan, J. Th. 1974. Panggilan dan Suruhan Allah: Risalah dan Kesan-Kesan serta Pandangan-Pandangan Mengenai Pekabaran Injil Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pematang Siantar: Departemen Zending HKBP.

Panjaitan, M. S. M. 1982, Ahu Do Donganmuna: Sejarah 75 Taon HKBP Siantar Sawah (1907-1982), Pematangsiantar: Panitia Jubileum 75 Taon HKBP Siantar Sawah.

Parkin, Harry. 1978. Batak Fruit of Hindu Thought, India Madras : The Christian Literature Society.

Parlindungan, Mangaradja Onggang. 1964. Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816-1833, Jakarta: Tanjung Pengharapan.

Pedersen, Paul Bodholdt. 1975. Darah Batak Dan Jiwa Protestan :Perkembangan Gereja-gereja Batak di Sumatera Utara, Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Pelly, Usman. 2013. Urbanisasi dan Adaptasi :Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing di Perkotaan, Medan : Unimed Press.

Pelly, Usman. 2015. Etnisitas Dalam Politik Multikultural, Buku I, Medan: Casa Mesra Publisher.

Pelly, Usman. 2016. Etnisitas Dalam Politik Multikultural, Buku II, Medan: Casa Mesra Publisher. Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan.

294

Universitas Sumatera Utara Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas :Batak dan Melayu di Sumaterpa TimurLaut, Jakarta : KPG Ecole Franceised‟Extreme-Orient Forum Jakarta-Paris.

Purba, D.Kenan. 1987. Sejarah Asal-Usul, Terjadinya dan Makna Nama Simalungun, Pematang Siantar: Tanpa Penerbit.

Purba, D.Kenan. 1997. Adat Istiadat Simalungun: Pelaksanaan dan Perkembangannya, Pematangsiantar : Bina Budaya Simalungun.

Purba, Ch.E.2004. Hamuliaon Mu do Na Huhasiholi ale Jahowa : Autobiografi dan Biografi Pdt.DJ.Petrus Purba Goluh Pakon Parhorjaanni, Pematang Siantar: Tanpa Penerbit.

Purba, Mansen. 1993. Kepahlawanan Tuan Rondahaim, Suatu pengantar mendalami karyatulis Pendeta J. Wismar Saragih, Medan: Penerbit Bina Budaya Simalungun.

Purba, M.D.1980, Mengenal Sang Naualuh Damanik Sebagai Pejuang, Medan : Penerbit M.D.Purba Jl.Kap.Pattimura 441.

Purba, M.D.1978, Obyek Wisata : Museum Simalungun, Medan : Penerbit M.D.Purba Jl.Kap.Pattimura 441.

Purba, M.D.1977, Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun, Medan : Penerbit M.D.Purba Jl.Kap.Pattimura 441.

Purba, M.D. 1970, Pustaha Panei Bolon (Naskah Ketikan), Pematangsiantar: Kalangan Sendiri.

Purba, M. T. 2012. Mengenang Radjamin Purba, SH Prajurit Pejuang Pelopor Pembangunan Simalungun, Jakarta :Komite Penerbit Buku Simalungun.

Purba O. H. S. & Purba, Elvis F. 1998. Migran Batak Toba Di Luar Tapanuli Utara: Suatu Deskripsi, Medan: Monora.

Purba, Radjamin 1972. Pembangunan dan Perobahan Struktur Desa di Kabupaten Simalungun,: Pematangsiantar : Pemda Simalungun.

Purba, Rudolf dan Saragih JE..dkk. 2011. Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematang Siantar : Penerbit KPBS. Randwijck, S.C.Graaf van. 1989. Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama 1897-1942, Jakarta : BPK Gunung Mulia.

295

Universitas Sumatera Utara Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian : Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada umumnya, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Reid, Anthony. 1979, The Blood of the People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Lumpur: Oxford University.

Reid, Anthony. 2012. SUMATERA : Revolusi dan Elite Tradisional, Depok Beiji Timur: Komunitas Bambu.

Ritzer, George. 2016. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern (edisi keenam), Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (edisi terbaru), Kasihan, Bantul : KreasiWacana.

Ritzer, George dan Smart, Barry (ed.), 2015. Handbook Teori Sosial, Bandung : Penerbit Nusa Media.

Rustanto, Bambang. 2015, Masyarakat Multikultur di Indonesia, Bandung: Penerbit PT.Remaja Rosda Karya.

Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Saputra, Edi. 1979. Simalungun Jogyanya Sumatera dalam Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 1, Medan: Penerbit Binasatria 45.

Saragih, Erika Revida dkk.,2013. Napoleon Der Bataks: Kisah Perjuangan Tuan Rondahaim Saragih melawan Belanda di Sumatera Timur, 1828-1891, Medan : USU Press.

Saragih, J. E. 1989. Kamus Simalungun Indonesia, : Pematangsiantar : Kolportase GKPS.

Saragih, J. M. dkk.,1985. Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan tanah secara Tradisional Daerah Sumatera Utara Simalungun, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984/1985.

296

Universitas Sumatera Utara Saragih, J. Wismar. 1935, Barita ni Toean Rondahaim Na Ginoran ni Halak Toean Raja na Mabadjan, Pematang Raya: Stensilan.

Saragih, Pendeta J. Wismar. 1977. Memorial Peringatan Pendeta J. Wismar Saragih (Marsinalsal), Jakarta : BPK GunungMulia.

Saragih, Simon. 2014. Taralamsyah Saragih, Jejak Sepi Seorang Komponis Lagendaris, Medan: Penerit Bina Media Perintis.

Saragih, Sortaman. 2008. Orang Simalungun, Depok: Penerit CV Citama Vigora.

Sarumpaet, Riris K. Toha ed., 2016. Krisis Budaya ?: Oasis Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Jakarta :Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Schreiner, Lothar. 1996. Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta : PT. BPK GunungMulia.

Scott, John ed., 2011. Sosiologi : The Key Concepts, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Siboro, Pdt.J. Purba.1963. 60 Tahun Indjil Kristus di Simalungun (2 Sept.1903 s/d 2 Sept. 1963), Pematang Siantar : Penerbit Pimpinan Pusat Gereja Kristen Protestan Simalungun Djalan Djendral Sudirman no.24 Pematang Siantar.

Siahaan, E.K. dkk.,1980/1981. Laporan Survei Monografi Kebudayaan Suku Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun; Proyek pengembangan Permuseuman Sumatera utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Medan.

Sihombing, J. 1961. Sedjarah ni Huria Kristen Batak Protestan, Medan: Philemon & Liberty.

Sidjabat, Walter Bonar. 1983. Ahu Sisingamangaraja, Jakarta: Sinar Harapan.

Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, Yogyakarta : LKiS.

Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent and Alliance among the KaroBatak, Berkeley, Los Angeles, London : University of California Press.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. ed., 1989. Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES.

Sibarani, A.1979, Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, Jakarta: Penerbit Ever-Ready Ltd.

297

Universitas Sumatera Utara Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2015. Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun (edisi pembaruan), Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sitompul, A.A., 1986. Perintis Kekristenan di Sumatera Bagian Utara, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sinulingga, Adil, 2014. Perjumpaan Adat Karo dan Injil, Bekasi Jabar : Law Firm A.S.Lingga SH & Partners.

Soedjatmoko, 1995. Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta : Penerbit LP3 ES.

Sowell, Thomas. 1989. Mosaik Amerika, Sejarah Etnis Sebuah Bangsa, Jakarta : Penerbit Pusataka Sinar Harapan.

Sugiyono..2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatifdan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumbayak, Japiten. 2001. Refleksi Habonaron Do Bona Dalam Adat Budaya Simalungun, Pematangsiantar: PMS.

Sumbayak, Minaria S. dan Sumbayak, Jaiman, 2007. In Memorium Pdt.J.Wismar Saragih 7 Maret 1968-7 Maret 2007, Parutang do au ban ihalak Simalungun, Pematang Siantar :Tanpa Penerbit.

Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar,ed.,2004. Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius.

Tambak T.B.A. Purba, 1982, Sejarah Simalungun, Percetakan HKBP, Pematangsiantar.

Tarigan, Henry Guntur. 1971. Struktur Sosial Dan Organisasi Sosial Masyarakat Simalungun, Bandung: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung.

Tarigan, Henry Guntur. 1987, Bahasa dan Kepribadian Simalungun (Makalah seminar) pada Harungguan Bolon Partuha Maujana Simalungun Ke III, di Pematangsiantar.

Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer.

Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Bandung: Rineka Cipta.

298

Universitas Sumatera Utara Tim Lima Saodoran, 2013. Mengenal Kabupaten Simalungun, Medan : Penerbit Mitra.

Tobing, Ph. O. L. 1963. The Structure of The Toba-Batak Belief In The High God, Amsterdam : Jacob van Campen.

Usman, A. Rani. 2009, Etnis Cina Perantauan di Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jogyakarta : LKiS.

Weber, Max. 2006.Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Weber, Max. Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme, dalam Taufik Abdullah,ed. 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta : LP3ES.

Weiner, Myron. ed., 1983.Modernisasi, Dinamika dan Pertumbuhan, Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Wirutomo,Paulus ed.,2015. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Yasmine, Daisy Indira. “Hubungan Sosial Antar Kelompok Etnik” dalam Paulus Wirutomo ed., 2015. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

………… Pematangsiantar Dalam Angka 2011, Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar.

……… 1953. Jubileum 50 Tahun (Pesta Omas) ni HKBP Simalungun i Pamatang Raja, Pematang Siantar: Kolportase HKBP Simalungun.

………..1936. 75 Taon Huria Kristen Batak Protestan, Laguboti: Panitia Jubileum.

Disertasi, Tesis, Jurnal :

Agustono, Budi. 2010. Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial-Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003, disertasi pada Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

299

Universitas Sumatera Utara Anatona. 2006. Perbudakan dan Perdagangan Budak di Kawasan Selat Malaka, 1786-1880-an, disertasi pada Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Castles, Lance. 1972. “The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940”,Disertasi tidak dipublikasikan: Yale University.

Kwang Soo, Choi. 2000. Agama Kristen Dan Adat: Upaya Menuju Inkulturasi Upacara Perkawinan Orang Kristen di Pulau Nias (Tesis) pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Langenberg, Michael van. 1976. National Revolution in North Sumatera, Sumatera Timur and Tapanuli 1942-1950, Thesis Presented to the University of Sydney, in Fulfilmen of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, 1976.

Sembiring, Rosnidar. 2013. Pandangan Kritis Tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas tanah Adat Dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (Studi Di Kabupaten Simalungun) disertasi pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2013.

Yogaswara, Herry. 2012. Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan; Ingatan Kolektif dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan Antar Etnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, disertasi pada Program Studi Pascasarjana Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok.

Jurnal :

Fredrik A. Schhiotz,1954. ”Lutheran World Missions” dalam International Review of Mission, No. 43, 1954, hlm. 311-322.

Gameren Kraemer van, H., 1934, ”Dr. L. I. Nommensen, 1834-1918” dalam Algemeen Protestantsch Kerkblad No.7, 15 Pebruari 1934, hlm. 65-66.

Gramberg B. W. G., 1942. “The Batak Church in Fiery Trials” dalam International Review of Mission, No. 31.

Kroesen R. H.,1904. “Verslag over het Bataksche Landschap Panei”, dalam ANRI, Besluit 6 Januari 1904 No. 24, Lampiran 4.

Kroesen, J. A., 1899. ”Eene Reis Door De Landschappen Tandjoeng Kassau, Siantar en Tanah Djawa (Res. Oostust van Sumatra)” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-En Volkenkunde, Deel XXXIX, 1897, hlm. 229-304.

------. 1899. ”Rapport Betreffende De Aanvaarding van De Onderwerping aan het Nederlandsch Oppergezag van het Landschap Tanah Djawa”

300

Universitas Sumatera Utara dalam Tijdschrift Voor Indische Taal-, Land- En Volkenkunde, Deel XLI, 1899, hlm. 211-252.

------. 1899. ”Nota Omtrent De Bataklanden (Speciaal Simeloengoen)” dalam Tijdschrift Voor Indische Taal-, Land- En Volkenkunde, Deel XLI, 1899, hlm. 253-285.

Kroesen, R H., 1904. “Mededeelingen Betreffende Het Landschap Panei en Het Rajahgebied” dalam Bijdragen Tot De Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Deel LVI, 1904, hlm. 557-586.

Liddle, R. William, 1967. “Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of Representation” dalam Indonesia Vol.1 April 1967, hlm. 1-28.

Moolenburgh, 1909. “Nota van Toelichting betreffende de Simaloengoensche Landschappen Siantar, Panei, Tanah Djawa en Raya” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde No. 51 Tahun 1909, hlm. 527- 567.

Meulen, D. V. D, 1934. ”Uit de laatste levensdagen van Ludwig Ingwer Nommensen, den Apostel der Bataks” dalam Algemeen Protestantcshe Kerkblad, No.18, 3 Mei 1934, hlm. 177-179.

Schiotz F. A., 1954. “Lutheran World Mission” dalam International Review of Missions, No. 43.

Sinaga Kaliamsjah,1939. “Het Recht Op De Woeste Grond In Het Landschap Tanoh Djawa (S.O.K.)” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, Deel LXXIX, 1939, hlm. 202-220.

Suparlan Parsudi, 2001. ”Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”, (Antropologi Indonesia, nomor: 66, tahun 2001)

Tichelman G.,1936. “Timoer-Bataksch revil” dalam De Indische Gids Staatkundig, Economisch en Letterkundig Tijdschrift Onder Hoofdredactie van George Nypels (IG), nomor 58 Tahun 1936.

Tichelman G. L.,1937. “Locaal Patriotisme in het Timoer-Bataksch gebied ter Sum. Oostkust” dalam IG No. 59, 1937.

Tichelman, G. L.,1936. “Mededeelingen Beschrijving van Heiden- Batakschbegrafenisceremonieel in Simeloengoen (Sumatra‟S Oostkust)” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-En Volkenkunde, Dell LXXVI , 1936, hlm. 321-327.

301

Universitas Sumatera Utara ------.1936. ”Timoer-Bataksch reveil” dalam De Indische Gids Staatkundig, Economisch en Letterkundig Tijdschrift onder Hoofdredactie van George Nypels, No. 58, 1936, hlm. 32-40.

------. 1937. “Simeloengoen-Bataksche Oorlog” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-En Volkenkunde, Dell LXXVII, 1937, hlm. 280-287.

------.1937. “Locaal Patriotisme in het Timoer-Bataksch gebied ter Sum. Oostkust” dalam De Indische Gids Staatkundig, Economisch en Letterkundig Tijdschrift onder Hoofdredactie van George Nypels, No. 59, 1937, hlm. 506-511.

Van Dijk, P. A. L. E.,1894. “Rapport Betreffende de Si Baloengoensche Landscappen Tandjoeng Kasau, Tanah Djawa en Si Antar” dalam Tijdscrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, Vol. XXXVII, 1894, hlm. 145-200.

Verwiebe, E., 1938. “The Youth Problem in The Batak Church in Sumatra” dalam International Review of Missions, April 1938, hlm. 208-211.

Westenberg, C. J. 1891, “Nota Over De Onafhankelijke Bataklanden” dalam Tijdschrift Voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, Deel XXXIV, 1891, hlm. 105-116.

------.1905. ”Bataksche Rijkjes Dolok en Purba” dalam Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Deel XXII, 1905, hlm. 576-603.

Zuska, Fikarwin. 2012. “Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah” dalam Antropologi Indonesia, Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology, Vol.33 No.3 September-Desember 2012, hlm.203-2015.

Zuska, Fikarwin. 1998. “Marjinalisasi Pemerintahan Kuta Dan Privatisasi Pemilikan Tanah Adat Pakpak” dalam Brutu, Lister. Padang, Nurbani,ed. Tradisi Dan Perubahan : Konteks Masyarakat Pakpak Dairi. Monora : Medan, hlm. 35-54.

Arsip Kolonial :

ANRI, SoK Bisluit No. 24, 6 Januari 1904, Bijlagen 1.

ANRI, SoK Bisluit No. 34, 7 September 1904, Bijlagen 10.

ANRI, SoK Serie IIIe No. reel film 2 Memorie van Overgave van de Aftredenden resident van Simeloengoen en Karolanden, Sumatra‟s Oostkust C. J. Westenberg, 1908.

302

Universitas Sumatera Utara

ANRI, SoK Serie Ie. No. reel film 21 Memorie van Overgave der Onderafdeling Simeloengoen, Simeloengoen en Karolanden, Sumatra‟s Oostkust, W. C. van Gelder, 1911.

ANRI, SoK Besluit 15 Nopember 1912 No. 4, Bijlagen 2, No. 5104/4.

ANRI, SoK Besluit no. 49, 11 Oktober 1916, lampiran 6.

ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21 Nota van Toelichting Betreffende het Landschap Raja Onderafdeeling Simelongoen, Afdeeling Simelongoen en de Karolanden, Gouvernement Oostkust van Sumatra J. C. C. Haar, 1933.

ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21 Anvullende Memorie van Overgave van de Afdeeling Simeloengoen en de Karolanden F. J.Nieboer, 1934.

De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen1908-1932.

Koloniaal Verslag 1904, 1905, 1907, 1908.

………..1935, Volkstelling 1930 Deel IV, Batavia: Departement van Economische Zaken, Landsdrukkerij.

Arsip GKPS :

Arsip GKPS, Tauf=Register (Daftar Babtis) Tahun 1913.

Keputusan Sinode Bolon ke-40 Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) nomor: 23/SB-40/2010 tentang Visi dan Misi GKPS 2011-2030.

K.E.Sinaga (Kolektor) Turi-turian Parpandanan Na Bolag (Pematangsiantar: Naskah Ketikan).

K. Sipayung dalam Ambilan pakon Barita: Majalah Bulanan Gereja Kristen Protestan Simalungun, Nomor 53. Juli 1978.

P. Voorhoeve, “Uittreksel uit het verslag van Dr. P. Voorhoeve, Taalambtenaar te beschikking van de Zelfbesturen in Simeloengoen, Over het eerste Kwartaal 1937”. (Arsip Koleksi Pdt. Jan Jahaman Damanik).

Tengku Luckman Sinar, 1988, “Sang Nahualu, Raja Siantar dalam Arsip Kolonial Belanda” (Makalah pada Seminar Hari jadi Kota Pematangsiantar 1 Nopember 1988).

Artikel, Majalah GKPS :

Sinalsal No. 127, Tahun XI, Oktober 1941.

303

Universitas Sumatera Utara

Sinalsal No. 116 Tahun X, Nopember 1940.

Sinalsal, No. 113, Tahun X, Agustus 1940

Sinalsal No. 89, Tahun VIII, Agustus 1938.

Sinalsal No. 90. September 1938 hal. 22-23 “Poerloe sahap ni bangsa sandiri bani hakaristenon: Lezing ni Dr P. Voorhoeve deba bani haroenggoean ni Sintoea Simaloengoen 17 April 1987 i Pamatang Raya.

Sinalsal, No. 71, Tahun VII, Pebruari 1937.

Sinalsal, No. 72, Tahun VII, Maret 1937.

Sinalsal No. 73, Tahun VII, April 1937.

Sinalsal No. 39, Tahun IV, Juni 1934.

Immanuel No. 8, Tahun ke-12, Agustus 1901, “Pardalanan ni Evangelist (udutanna)”.

Immanuel, No.3, 1 Pebruari 1906, Tahun ke-17, Si Ambrosius, “Barita Sian Si Malungun”.

Susukkara GKPS Tahun 2016, 2017,2018.

304

Universitas Sumatera Utara 318

LAMPIRAN I : PANDUAN WAWANCARA DAN INFORMAN Fokus Permasalahan : Bagaimana dinamika penguatan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) dalam berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) ?. Pertanyaan utama sebagaimana diajukan diatas selanjutnya dijabarkan didalam beberapa pertanyaan khusus : 1. Bagaimana identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) sebelum munculnya nama institusi GKPS ? 2. Bagaimana dinamika identitas etnik Simalungun dibalik berdirinya institusi GKPS? 3. Bagaimana institusi GKPS menjadi lembaga penyangga identitas Simalungun (hasimalungunon) ? 4. Bagaimana keterkaitan identitas etnik dengan pembangunan di Simalungun ?

Tujuan Penelitian : 1. Menjelaskan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon) sebelum munculnya nama institusi GKPS. 2. Menjelaskan dinamika identitas etnik Simalungun dibalik berdirinya institusi GKPS? 3. Menjelaskan institusi GKPS menjadi lembaga penyangga identitas Simalungun (hasimalungunon) ? 4. Menjelaskan keterkaitan identitas etnik dengan pembangunan di Simalungun ?

Manfaat Penelitian: 1. Secara praktis, memberikan informasi historis yang aktual akan dinamika penguatan identitas etnis Simalungun (hasimalungunon) dalam berdirinya GKPS, bagi pemangku kepentingan yakni GKPS, pemerintah setempat, dan elemen masyarakat dalam membuat kebijakan. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasnah teori- teori sosiologi-antropologi tentang etnisitas dan secara khusus dinamika penguatan identitas etnik Simalungun (hasimalungunon). 3. Dari persfektif Studi pembangunan dapat memberikan alternatif dalam mengelola, memelihara identitas etnis ditengah-tengah masyarakat yang pluralis dalam menjaga keseimbangan sosial.

Universitas Sumatera Utara 319

Daftar Informan dan Pertanyaan Penelitian

No Nama Pertanyaan Penelitian Keterangan Informan 1 St. Drs.Kamen Bagaimana identitas etnik Warga GKPS Purba Simalungun Bangsawan dari Kerajaan Pane (hasimalungunon) Simalungun sebelum munculnya nama Mengetahui dan mengalami institusi GKPS ? sejarah Simalungun. Pensiunan PNS Berusia 78 tahun 2 St.Kadim M. Bagaimana identitas etnik  Mantan Pengurus PMS kota Damanik Simalungun Pematangsiantar (hasimalungunon)  Warga GKPS sebelum munculnya nama  Budayawan Simalungun institusi GKPS ?  Mengetahui sejarah GKPS  Pensiunan PNS kabupaten Simalungun

3 St.Drs.T.P. Bagaimana identitas etnik  Warga GKPS Damanik Simalungun  Pensiunan PNS di Pematang- (hasimalungunon) siantar sebelum munculnya nama  Mantan Pengurus Yayasan institusi GKPS ? Universitas Simalungun

4 Drs. Kemal Bagaimana identitas etnik  Warga GKPS Purba Simalungun  Bangsawan Kerajaan Purba (hasimalungunon)  Pensiunan PNS sebelum munculnya nama kab.Simalungun institusi GKPS ?  Mengetahui sejarah Simalungun

5 Pdt. Jadasri Bagaimana dinamika  Pendeta senior GKPS D Saragih identitas etnik  Keturunan (cucu) dari Simalungun dibalik Pdt.J.Wismar Saragih Pendeta berdirinya institusi pertama orang Simalungun GKPS?  Mengetahui sejarah GKPS

6 Pdt. Bagaimana dinamika  Pendeta GKPS Juandaha identitas etnik dibalik  Penulis Buku sejarah Sima- Raya Purba berdirinya GKPS? Dan lungun menjadi lembaga  Memahami budaya etnis Si- penyangga identitas malungun Simalungun  Memahami GKPS (hasimalungunon)

Universitas Sumatera Utara 320

7 St. Drs. Bagaimana dinamika  Warga GKPS dan sintua GKPS Jomen Purba identitas etnik dibalik  Ketua Pengurus Yayasan berdirinya GKPS? Dan Museum Simalungun menjadi lembaga  Tinggal di Pematangsiantar; penyangga identitas  Pensiunan PNS kabupaten Simalungun Simalungun. (hasimalungunon)  Usia 70 tahun

8 Pdt. Rumanja Bagaimana dinamika  Pendeta senior GKPS Purba,M.Si identitas etnik dibalik  Ephorus GKPS 2015-2020 berdirinya GKPS? Dan  Mantan Sekjen GKPS menjadi lembaga  Keturunan dari keluarga penyangga identitas Pendeta GKPS. Simalungun  Usia 57 tahun (hasimalungunon)

9 Ev. Joseph Bagaimana dinamika  Fulltimer GKPS 1968-2000 Sipayung identitas etnik dibalik  Pensiunan Evangelis GKPS berdirinya GKPS? Dan  Memahami adat Budaya etnis menjadi lembaga Simalungun. penyangga identitas  Usia 78 tahun lahir 1939 Simalungun (hasimalungunon)

10 Pdt.Berlian Bagaimana dinamika  Pendeta Senior GKPS, dan Saragih,MTh identitas etnik dibalik sudah pensiun. berdirinya GKPS? Dan  Pernah sebagai dosen Sekolah menjadi lembaga Tinggi Teologia ABDI penyangga identitas SABDA di Medan. Simalungun  Tinggal di kota Pematang (hasimalungunon) Siantar;  Lahir 1947. (Usia 71 tahun )

11 Pdt.J.P Bagaimana dinamika  Pendeta Senior GKPS, dan Siboro identitas etnik dibalik sudah pensiun. berdirinya GKPS? Dan  Pernah bertugas di Medan. menjadi lembaga  Tinggal di kota Pematang penyangga identitas Siantar; Simalungun  Usia 70 tahun (hasimalungunon) 12 Pdt.Sarinus Bagaimana dinamika  Full timer di kantor Pusat Sipayung,STh identitas etnik dibalik GKPS . berdirinya GKPS? Dan  Pendeta muda GKPS, dan menjadi lembaga masih aktif. penyangga identitas Simalungun (hasimalungunon)

Universitas Sumatera Utara 321

13 Pdt.Firdaus Bagaimana keterkaitan  Full timer di kantor Pusat Purba, STh. identitas etnik dengan GKPS . pelaksanaan  Pendeta senior GKPS, dan pembangunan di Siantar masih aktif. Simalungun ?  Umur 57 tahun

14 Pdt. J.K. Bagaimana keterkaitan  Pendeta Senior GKPS 1966- Purba, STh identitas etnik dengan 2001. pelaksanaan  Pensiun sejak 2001. pembangunan di Siantar  Tinggal di kota Pematang Simalungun ? Siantar.  Usia 77 tahun

15 St.R.Jutamardi Bagaimana keterkaitan  Warga GKPS dan Sintua Purba,SE,Ak. identitas etnik dengan GKPS pelaksanaan  Pernah bekerja di Kantor Pusat pembangunan di Siantar GKPS Simalungun ?  Pegiat ekonomi kreatif  Tinggal di Pematang Raya  Usia 55 tahun 16 St. Drs.Karmidin Bagaimana keterkaitan  Warga GKPS dan sintua C.Sinaga identitas etnik dengan GKPS pelaksanaan  Mantan Sekjen DPP PMS pembangunan di Siantar  Mantan PMJ GKPS Simalungun ?  Ahli adat Simalungun  Usia 67 tahun

17 DR.HC. Minten Bagaimana keterkaitan  Pengurus PMS kota Saragih identitas etnik dengan Pematangsiantar pelaksanaan  Angggota Pembina Y-USI pembangunan di Siantar  Memahami adat budaya etnis Simalungun ? Simalungun.

Universitas Sumatera Utara 322

Lampiran II.1 : Gambar Orang Simalungun tradisional dan identitas etnisnya.

Orang Simalungun sebelum masuk pengaruh asing Duduk sebelah kanan adalah Guru Raya – Borahim Purba Dasuha

Keterangan Gambar : Diabadikan di depan Gedung Museum Simalungun Pamatang Siantar tahun 1939, beberapa manuskrip Simalungun, seperti Pustaha Laklak dan Parhalaan, Hiou (tenunan tradisi), Gotong (ikat kepala) beserta hiasan. Dibelakang tertancap Tungkot Tunggal Panaluan. Duduk sebelah kanan adalah Guru Raya – Borahim Purba Dasuha. (Sumber : KITLV)

Universitas Sumatera Utara 323

Lampiran II 2 : Gambar Pendeta J.Wismar Saragih Orang Simalungun pertama menjadi Pendeta.

Gambar Bawah: Pendeta J.Wismar Saragih dengan Isteri

Sumber : Minaria Saragih Sumbayak, 2007 (Repro)

Universitas Sumatera Utara 324

Lampiran II.3 : Orang Simalungun menegaskan perjuangannya dalam memperkuat Identitas dirinya dalam menghadapi pendatang ke wilayahnya .

Duduk dari kiri ke kanan: Pandita Jaulung Wismar Saragih (Pendeta Kristen Pertama di Simalungun), Tuan Gomok alias Tuan Baja Raya (1881-1940) – Raja Kerajaan Raya, Dr. P. Voorhoeve (Orientalis, Peneliti berkebangsaan Belanda), Jason Saragih (Guru Zending dari Raya Tongah, Ketua Comite Na Ra Marpodah Simalungun yang bekerja untuk membuat Agenda Gereja, buku nyanyian “Haleluya”, dan Alkitab dalam bahasa Simalungun), berdiri memakai dasi adalah Jacoboes Sinaga (Krani Tiga Raya dari Pematang Raya, Sekretaris / Bendahara Comite Na Ra Marpodah) serta pengurus-pengurus komite.

Universitas Sumatera Utara 325

Lampiran II.4 : Gedung gereja Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) 1960.

Keterangan Gambar : Gedung Gereja Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) 1960, didirikan pada tahun oleh komunitas orang Simalungun Kristen di kota Pamatang Siantar. (Sumber KITLV). Disamping Gedung HKBPS ini telah didirikan juga pada tahun 1939 MUSEUM SIMALUNGUN oleh para Raja Simalungun, sebagai penyimpanan benda-penda pusaka orang Simalungun yang disumbangkan para Raja Simalungun.

Universitas Sumatera Utara 326

Lampiran II 5 : Foto Gedung MUSEUM SIMALUNGUN pada tahun 1940.

Keterangan Gambar Bawah : Gedung Museum Simalungun yang berada di Jl.Sudirman Kota Pematang Siantar Keadaan 2018.

(Sumber: Foto Koleksi pribadi Peneliti Pebruari 2018)

Universitas Sumatera Utara 327

Lampiran II. 6 : Gedung Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) 2018.

Keterangan Gambar : Gedung Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) 2018. Gereja ini sebelumnya adalah HKBPS, namun sejak tahun 1963 telah berubah namanya menjadi GKPS. Lokasinya : Jl.Jendral Sudirman Pamatang Siantar, berbarengan dengan MUSEUM SIMALUNGUN. (Sumber: Difoto langsung oleh Peneliti Pebruari 2018)

Universitas Sumatera Utara 328

Lampiran II.7 : GKPS di Sondi Raya Kecamatan Raya Simalungun

GKPS KONGSI LAITA didirikan pada tahun 1952, dan dipugar pada tahun 2017

(Sumber : GKPS KONGSI LAITA Difoto oleh Peneliti 28 Pebruari 2018)

Universitas Sumatera Utara 329

Lampiran II. 8 : Gedung GKPS Pamatang Raya dididikan tahun 1903, dan merupakan Gereja I (Pertama) bagi komunitas orang Kristen Simalungun.

(Sumber : Foto Dokumen Pribadi Penelti 28 Pebruari 2018.)

Universitas Sumatera Utara 330

Lampuran II.9 : Peneliti bersama dengan Informan St.Drs.Kamen Purba dan isteri 22 Pebruari 2018, di rumah Kediamannya Jl.Sudirman Pamatang Siantar. Beliau adalah Keturunan Langsung dari Raja Panei Simalungun.

Universitas Sumatera Utara 331

Lampiran II.10: Peneliti melaksanakan wawancara dengan Informan Pdt.Sarinus Sipayung, STh. Di Kantor Pusat GKPS Pamatang Siantar.

Gambar Bawah : Kantor Pusat GKPS berada di Jl.Pdt.J.Wismar Saragih Pamatang Siantar.

Universitas Sumatera Utara 332

Lampiran II.11 : Peneliti melaksanakan wawancara dengan Informan St.Drs.Jomen Purba, Ketua Pengurus Yayasan Museum Simalungun di gedung Pamatang Siantar.

.

(Sumber : Foto Dokumen Pribadi Peneliti Pebruari 2018 di Pamatang Siantar)

Universitas Sumatera Utara 333

Lampiran II.12 : Foto Pendeta J.Wismar Saragih waktu Pensiun dan anak-anak cucunya, pada 25 Mei 1961 di Pematang Siantar.

Gambar Bawah: Foto Kebaktian Grejawi GKPS menggunakan busana Adat Simalungun, sebagai penguatan Identitas Etnis

(Orang Kristen Simalungun memakai busana etnis sebagai penguatan Identitas dalam acara Ulang Tahun “Olob-olob” GKPS Resort Sondiraya 2017)

Universitas Sumatera Utara 334

Lampiran II.13: Kantor Pusat GKPS di Jalan Pendeta J. Wismar Saragih, beroperasi sejak 2 Maret 1992.

Gambar Bawah : Ephorus GKPS Pdt. M.Rumanja Purba, bersama dengan Bupati Simalungun Dr.Jopinus Ramli Saragih,SH,MM., pada acara „Olob-olob GKPS‟, menggunakan busana Simalungun sebagai penguatan identitas etnis Simalungun.

Universitas Sumatera Utara 335

Lampiran II.14: Penggunaan Musik Gondrang dan Seruling dalam mengiringi kegiatan kebaktian GKPS. Sebagai penguatan identitas etnis Simalungun

Gambar Bawah : Warga GKPS menggunakan Seruling dalam Acara Grejawi dalam rangka “Olob-Olob GKPS”, menguatkan identitas etnis Simalungun.

Universitas Sumatera Utara 336

Lampiran II.15: Peneliti selesai wawancara dengan Pdt.Jadasri D Saragih,STh. (Informan). Beliau adalah cucu dari Pdt.J.Wismar Saragih.

(Dokumen Peneliti) Gambar Bawah wawancara dengan Ev.Joseph Sipayung (Informan)

Universitas Sumatera Utara 337

Lampiran II.16: Peneliti wawancara dengan Ephorus GKPS (Pdt.Marthin Rumanja Purba,M.Si) dalam satu acara kematian warga GKPS di Siantar.

Universitas Sumatera Utara 338

Lampiran II. 17: Foto wawancara dengan Informan

Gambar Peneliti Wawancara dengan Informan St.Drs.Karmidin Sinaga, (mantan PMJ GKPS, dan Mantan Sekjen PMS) di kec. Siantar Sitalasari

Gambar Peneliti

Wawancara dengan Informan Pdt.J.K.Purba Pendeta GKPS, dan Isteri juga

(Penginjil Wanita GKPS), dan sudah pensiun) di kediaman ybs Pamatang Siantar.

Universitas Sumatera Utara 339

Lampiran II. 18 : Gambar Peneliti wawancara dengan Informan Pendeta GKPS Berlian Saragih,MTh.

Gambar bawah : Peneliti wawancara dengan Informan St.R.Jutamardi Purba,SE,Ak.(Sintua GKPS) di Pematang Raya.

Universitas Sumatera Utara 340

Lampiran II.19: Peneliti wawancara dengan Informan (Ketua Partuha Maujana Simalungun kota P.Siantar) DR.HC.Minten Saragih.

Gambar Bawah : Acara memberi penghormatan kepada Pargondang, sebelum dimulainya acara „manggondangi sayur matua‟ warga GKPS

Universitas Sumatera Utara 341

Lampiran II. 20 : Gambar Bawah : Komite Nara Marpodah Simalungun, gerakan kebudayaan dan Kristen Simalungun didirikan oleh Pdt.J.Wismar Saragih. Tampak Dr.Voorhoeve dan Raja Raya Tuan Gomok Saragih berfoto bersama di depan Kantor Komite di Pematang Raya, 1940.

(sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.242)

Gambar Bawah: Pimpinan RS Bethesda GKPS di Seribudolok bersama Staf dengan Dr.William dari India utusan LWF tahun 1950.

Universitas Sumatera Utara 342

Lampiran II 21 : Gambar Evangelis Umum Tuan Sorbaraja Saragih gelar Tuan Silumbak, bersama Penginjil lain mengabarkan Injil kepada orang Simalungun, tahun 1950.

(sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.242)

Gambar bawah : Pelantikan Pendeta HKBPS pada acara Pentahbisan Pendeta HKBPS di Jl.Mangga Pematang Siantar Tahun 1953 (Hadir Zendeling H.Volmer dari RMG, Pdt. Wilmar Saragih, Pdt.J.Wismar Saragih, Pdt.Justin Sihombing Ephorus HKBP, dan Pdt.Lesman Purba).

(sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.248)

Universitas Sumatera Utara 343

Lampiran II 22: Foto tahun 1960. Gereja HKBPS Jl.Mangga (sekarang Jl.Jend.Sudirman Pamatang Siantar) berdampingan dengan Museum Simalungun. Kekristenan dan Identitas Simalungun (Hasimalungunon) dalam satu misi mewujudkan visi GKPS, “Gabe Gareja Siboan pasu-pasu janah sari”.

(sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.245)

Gambar Bawah : Babtisan Massal orang Simalungu di Serdang tahun 1966 (Pasca Peristiwa G.30.S/PKI 1965).

(sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.242)

Universitas Sumatera Utara 344

Lampiran II 23: Gambar Rombongan pemusik tradisional orang Kristen Simalungun dalam sebuah acara Gereja. Sejak lama orang Kristen Simalungun menyadari betul bahwa dengan memakai instrument budaya Simalungun, orang Simalungun dapat lebih cepat memahami dan menerima Kekristenan.

(sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.247)

Gambar Bawah : Gambar Ds.GHM.Siahaan mewakili Pucuk Pimpinan HKBP Pearaja bersama Pdt.Jenius Purbasiboro menandatangani naskah berdirinya HKBPS dari HKBP di HKBPS Jl.Mangga Pematangsiantar, 1 September 1953. (sumber : repro Visi dan Misi GKPS 2011-2030, hlm.249)

Universitas Sumatera Utara 345

Lampiran II.24: Peneliti selesai wawancara dengan Bapak Drs.Kemal Purba di rumah kediaman beliau di Simalungun Permai.

Bapak Drs.Kemal Purba, adalah keturunan dari Raja Purba, kerajaan Purba ang istananya masih dijumpai saat ini di Pematang Purba, kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun

Peneliti selesai wawancara dengan Bapak Drs.Kemal Purba yang didampingi isteri (S boru Sitopu) di rumah kediaman beliau di Simalungun Permai.

Universitas Sumatera Utara 346

Lampiran III.1 : Peta Daerah Kediaman Orang Batak

(Sumber : direproduksi dari: Payung Bangun dalam Koentjaraningrat ed.,1981: 97)

Universitas Sumatera Utara 347

Lampiran III.2 : Peta tanah Batak Pada Zaman Zending Krisen Protestan

Lampiran : Peta lokasi Migrasi Orang Batak Toba Kristen ke Tanah Simalungun sampai tahun 1940

(Sumber: direproduksi dari ATLAS van de terreinen der Protestansche Zending in Nederlandsche Oost- en West-Indie, 1937,hlm. 5)

Universitas Sumatera Utara 348

Lampiran III.3: Peta Migrasi orang Batak Toba Kristen Protestan ke Tanah Simalungun.

(Sumber : Direproduksi dari Clarck E.Cunningham, 1958 : 96)

Universitas Sumatera Utara 349

Lampiran III.4: Peta Kabupaten Simalungun

Sumber : Simalungun Dalam Angka

Universitas Sumatera Utara