BUDAYA KERATON PADA BABAD TANAH JAWI DALAM PERSPEKTIF PEDAGOGI KRITIS

Muhammad Iqbal Birsyada Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Yogyakarta

Abstrak. Realitas sejarah menunjukkan bahwa dari beberapa versi penulisan Babad Tanah Jawi sangat dipengaruhi oleh kondisi ekspresi psikis para pujangga. Bagi keluarga kraton, para pujangga istana memiliki kewajiban untuk ngawulo pada gusti atau rajanya. Menurut ideologi Jawa, berbakti pada raja sama artinya berbakti pada Tuhan. Masyarakat Jawa berpandangan bahwa raja adalah jelmaan Tuhan (pusat mikrokosmos) di muka bumi ini. Oleh karena itu dalam perspektif critical pedagogy sastra Babad Tanah Jawi yang dibuat oleh pujangga istana tidak lain adalah sebagai wujud legitimasi serta dominasi kekuasaan raja pada kawulanya. Tujuan penelitian ini adalah memahami Babad Tanah Jawi dalam tinjauan critical pedagogy. Metode penelitian yang dipakai adalah metode sejarah dengan pendekatan multidimensional. Penelitian ini menemukan bahwa Babad Tanah Jawi menunjukkan sisi dominasi budaya kraton dengan memaparkan genealogi keluarga kraton yang penuh dengan cerita mitologi, magis dan penuh kesakralan. Oleh sebab itu, pengetahuan yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi tidak lain hanyalah representasi dari legitimasi kekuasaan dan budaya keraton. Selain itu, Babad Tanah Jawi juga menunjukkan upaya imperiumisasi budaya kerajaan dan mengembalikan sistem kelas atau kasta pra-Islam.

Kata-kata kunci: cultural empire, Babad Tanah Jawi, Critical Pedagogy

Abstract. Historical reality shows that some versions of the writing of Babad Tanah Jawi is strongly influenced by the expression of the psychic condition of the literary writer-poet. For the royal family, the poet has an obligation to work under the king. According to the Javanese ideology, devotion to the king is tantamount devoted to the God. The Javanese believe that the King is an incarnation of the Lord (center microcosm) in the face of this earth. Therefore, in the perspective of critical pedagogy literature Babad Tanah Jawi made by none other than the poet's palace as a form affirming the legitimacy and dominance of royal power in its kawula. The purpose of this study was to understand the Babad Tanah Jawi in reviews critical pedagogy. The research method used is the historical method with a multidimensional approach. This study found that Babad Tanah Jawi represents the cultural dominance by tracing the genealogy of the royal family filled with mythology, magical and full of sanctity. Therefore, the knowledge contained in Babad Tanah Jawi are nothing but representations of the legitimacy of a genealogy tool breeds royal family. Moreover, Babad Tanah Jawi also demonstrates the efforts of imperializing the empire culture and of forming back the class or caste system of pre-Islamic society.

Keywords: cultural empire, Babad Tanah Jawi, ritical pedagogy

Masyarakat Nusantara kaya akan tradisi lama sejarah tersebut sampai sekarang masih banyak yang secara kontinuitas ingin coba selalu menjadi rujukan bagi sejarawan, antropolog diwariskan oleh nenek moyang kita. Bentuk- ataupun sastrawan (Resi, 2007; Resi, 2010; bentuk pewarisan tradisi tersebut sampai Birsyada, 2012). Oleh sebab itu karya sastra sekarang kita masih dapat menikmati berbagai sejarah secara teoritik selain sebagai warisan khasanah budaya yang tidak ternilai harganya khasanah budaya Nusantara juga dapat dijadikan itu. Salah satu yang berkembang dalam sebagai rujukan dalam pelacakan dan penelusuran masyarakat adalah sastra yang berkembang pada sejarah (Suryo, 1998). cerita rakyat yang kemudian disebut sebagai Secara historis, munculnya kedua karya sastra tradisi lisan (oral tradition) dan yang kedua adalah dalam bentuk tradisi lisan ataupun tradisi tulis karya sastra yang berkembang dalam lingkup kraton sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak istana (big tradition). Secara empirik, karya sastra lain karena pada saat itu sistem sosial sekaligus

174 Muhammad Iqbal Birsyada, Budaya Jawa dalam Babad Tanah Jawi…175

pemerintahan masyarakat masih berbentuk Hal ini karena karya sastra jenis ini menjadi milik monarkhi dimana masyarakat nusantara pada istana dan lebih banyak diciptakan untuk masa lalu sangat di dominasi budaya sekaligus menopang keabsahan legitimasi dinasti yang ideologi Hindu yang melahirkan kelas rakyat berkuasa sekaligus menyokong kepentingan jelata (wong cilik) dan bangsawan ( kerajaan (Woodward, 2004: 51; Kuntowijoyo, nduwuran). Kedua ideologi budaya tersebut 1991). Tradisi yang berkembang di rakyat jelata berkembang sendiri-sendiri, tidak hanya bersifat (kawula alit) tersebut kemudian di sebut tradisi horizontal tetapi juga secara vertikal. Mereka kecil. Sedang yang berkembang di istana masing-masing mendukung budayanya yaitu dinamakan dengan tradisi besar (Resi, 2007; budaya desa dan istana. Akibatnya akan sangat Resi, 2010). sulit terjadi suatu perpindahan unsur-unsur Tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat budaya elite (priyayi nduwuran) ke budaya desa dikenal dengan sastra rakyat. Realitas historis (wong cilik), namun tidak demikian sebaliknya menunjukkan bahwasanya tradisi dalam bentuk (Resi, 2007). ini muncul dalam bentuk naratif, legenda, mitos, Realitas historis membuktikan bahwasanya maupun cerita-cerita binatang. Media yang berkembangnya agama Islam di Nusantara yang disampaikan keseluruhanya berupa penuturan lebih bercorak demokratik pada abad XVI dan secara lisan. Ketekunan pemahaman dan XVII Masehi ternyata masih belum mampu penghafalan dalam tradisi lisan ini sangat menjadi menghancurkan benteng pemisah antara ideologi prioritas agar tradisi sini senantiasa berkembang budaya kaum istana (raja) dan rakyat jelata dan terpelihara dalam masyarakat. Karya sastra (kawula). Dan sastra sejarah yang berkembang lisan cenderung mempunyai bentuk yang dari lingkup istana selain menunjukkan ekspresi sederhana, dengan model-model stereotype jiwa budaya kraton juga lebih menyokong sehingga mudah di ingat dan di sampaikan pada dominasi ideologi budaya (cultural ideology) masyarakat. Disamping itu, cerita rakyat juga yang lebih bersifat feodal dan istana sentris (Resi, disampaikan dengan pemahaman, penafsiran, 2007; Resi, 2010; Woodward, 2004; dan bahasa yang mudah sesuai dengan konteks Kuntowijoyo, 1991; Birsyada, 2012; Kersten, kehidupan sehari-hari dilingkungan pedesaan 2013). Bahkan secara historis, munculnya yang tradisional. Meskipun karya sastra ini Kerajaan-kerajaan , tidak terkesan tertutup dan statis, hal ini justru mengubah budaya feodal nusantara yang telah merupakan kekuatan sastra itu untuk terus terbangun sejak berabad-abad yang lalu bertahan sesuai dengan setting budayanya (Woodward, 2004; Kersten, 2013; De Graaf dan pendukungnya (Resi, 2007; Birsyada, 2012). Pegeaud, 2001; De Graaf, dkk, 2004; Rickelfs, Singkatnya, tradisi lisan lebih mapan berkembang M.C, 2001). pada masyarakat pedesaan ketimbang sastra yang Secara teoritik, karya sastra sejarah yang hidup di lahir dari kalangan istana (Resi, 2007). Artinya pedesaan yang tidak didukung oleh tradisi tulis sastra lisan lebih merepresentasikan ideologi menghasilkan sastra lisan (oral tradition). Tradisi budaya kawula alit ketimbang elit priyayi kraton. ini lebih mudah diterima oleh masyarakat Jan Vansina sebagaimana dikutip pedesaan karena tanpa melibatkan kemampuan Kuntowijoyo (2003: 25) memberi batasan tentang tulis menulis sehingga tradisi ini dapat melampaui tradisi lisan (oral tradision) sebagai oral testimony batas-batas budaya. Sebaliknya karya sastra transmitted verbally, from one generation to the sejarah yang berkembang di kalangan istana next one or more. Menurutnya dalam tradisi lisan dengan media bahasa tulis serta terikat oleh tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan penyalin, sehingga tidak mampu di konsumsi data lisan. Juga disini tidak termasuk rerasan oleh masyarakat umum. Artinya sastra sejarah masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak yang berkembang saat itu hanyalah sebagai dienkulturasikan dari generasi ke generasi. konsumsi kalangan elit priyayi (wong nduwuran). Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam

176 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 2, Desember 2016

kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum dengan mengambil fokus kajian pada sastra mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam Babad Tanah Jawi. masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam METODE PENELITIAN masa lampau. Dengan demikian tradisi lisan juga merupakan sumber penulisan bagi sejarawan. Metode penelitian yang dipergunakan Hal di atas sangat berbeda keadaanya dalam studi ini menggunakan metode sejarah dengan karya sastra yang hidup dalam tradisi dengan pendekatan multidimensional istana (big tradition). Karya-karya sastra yang (Kartodirdjo, 1982; Kartodirdjo, 1993). Prosedur hidup di lingkungan istana mempunyai penelitian dalam metode sejarah dilakukan kecenderungan terpelihara dengan baik dan relatif melalui tahap-tahap sebagai berikut: sebagai dapat tetap bertahan. Secara teoritis, dalam hal ini tahap awal adalah pengumpulan sumber yang ada peran raja yang dominan sebagai pemimpin sesuai dengan permasalahan penelitian baik itu tertinggi dalam kehidupan istana memegang sumber primer maupun sekunder hal itu yang peran yang sangat penting melindungi kemudian dinamakan heuristik. Pada tahap ini eksistensinya. Hal tersebut karena karya sastra kegiatan mencari serta menghimpun data dan sejarah yang berkembang di istana dalam bentuk sumber-sumber sejarah atau bahan untuk bukti tertulis lebih mengokohkan ideologi berpikir sejarah seperti: karya sastra babad, serat maupun dalam perspektif trah keluarga kraton. Artinya buku-buku referensi lain yang akan mempunyai dalam kaitan ini sang penulis sastra sejarah secara keterkaitan dengan permasalahan yang akan otomatis telah mengalami strukturisasi ideologis dibahas. Pada tahap ini peneliti mencari literatur- oleh perspektif pandangan raja dan kraton. Peran literatur kepustakaan yaitu buku-buku yang pujangga pembuat sastra sejarah tidak lebih berhubungan dengan masalah yang menjadi sebagai aktor yang telah dikuasai secara kultural bahan penelitian. Sumber-sumber yang dan ideologis oleh konsep berpikir kraton. Hal digunakan dalam riset kepustakaan berguna tersebut karena dalam tradisi tulis yang sebagai bahan pembanding, pelengkap dan berkembang dalam istana tidak mewajibkan penganalisa guna memperdalam permasalahan seorang pengarang atau sastrawan melahirkan ide yang dibahas. spontan, tetapi memberikan kesempatan bagi Tahap berikutnya adalah kritik sumber, mereka untuk memilih, menyaring, mengubah isi yaitu menilai keadaan dan keautentikan sumber karyanya. Dengan kata lain, dalam tradisi tulis yang ditemukan baik secara eksternal maupun pengarang atau sastrawan istana diizinkan untuk internal. Kritik sumber dapat dijadikan menciptakan hasil karyanya lebih sempurna pembuktian jika sumber-sumber tersebut banar- dengan memanfaatkan bahan-bahan yang lebih benar merupakan fakta historis. Kritik ekstern banyak dan kompleks sesuai dengan kepentingan digunakan untuk menentukan keaslian dan dan tujuan penulisanya (Suryo, 1998; Resi, 2010; keautentikan sumber sejarah. Hal itu untuk Birsyada, 2012). Singkatnya, tujuan penulisanya menentukan apakah sumber itu merupakan sastra Jawa tidak lain adalah lebih menunjukkan sumber sejati yang dibutuhkan atau tidak. Kritik dominasi kultural (cultural domination) serta ekstern digunakan untuk menjawab tiga hal ideologi budaya dalam perspektif istana. pokok: Keaslian sumber yang kita kehendaki; Bertolak dari pandangan di atas telah cukup jelas Apakah sumber itu sesuai dengan aslinya atau bahwasanya sebuah karya sastra sejarah secara tiruan; dan Apakah sumber itu utuh atau telah di teoritik dibuat selain menjadi ekspresi jiwa ubah-ubah (Wasino, 2007; Garaghan, S.J., Gilbert pujangga juga sebagai salah satu upaya alat J.A, 1957; Gottsschalk, 1986). Sedangkan legitimasi kekuasaan sekaligus dominasi budaya kritik intern dilakukan setelah penulis selesai kerajaan dan ideologi keluarga trah kraton. membuat kritik ekstern, setelah diketahui Penelitian ini ingin melihat lebih jauh secara kritis otentitas sumber, maka dilakukanlah kritik intern. lewat tinjauan analisis teoritik critical pedagogy Kritik intern digunakan untuk melakukan Muhammad Iqbal Birsyada, Budaya Jawa dalam Babad Tanah Jawi…177

pembuktian apakah sumber-sumber tersebut merupakan pendekatan dalam pendidikan yang benar-benar merupakan fakta historis. Kemudian menempatkan individu untuk mampu melakukan kritik intern dangan membandingkan menghadapi dominasi. Secara teoritik, Critical antara data yang satu dengan data yang lain pedagogy dalam wacana pendidikan, dalam hal melalui studi kepustakan. Langkah ketiga adalah orientasi politik cenderung berlawanan dengan tahap interpretasi atau penafsiran sejarah yang ideologi konservatif dan liberal (Nuryanto, sudah diseleksi sebelumnya. Interprestasi 2008:1). Jika dalam pandangan konservatif merupakan cara untuk menentukan maksud pendidikan bertujuan menjaga status quo, saling berhubungan antara fakta-fakta yang sementara bagi kaum liberal untuk perubahan diperoleh setelah terkumpul sejumlah informasi moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka mengenai peristiwa sejarah yang sedang diteliti. paradigma kritis menghendaki perubahan struktur Suatu peristiwa agar menjadi cerita sejarah yang secara fundamental dalam politik ekonomi baik maka perlu diinterpretasikan berbagai fakta masyarakat dimana pendidikan berada (Fakih, yang lepas satu dengan lainya harus dirangkaikan 2001; Birsyada, 2014). serta dihubungkan sehingga membentuk kesatuan Sedangkan menurut Paulo Freire yang yang bermakna. Dalam proses interpretasi tidak dikutip Monchinski (2008) menjelaskan semua fakta dapat dimasukkan tetapi harus dipilih bahwa”….make oppression and its causes objects mana yang relevan dengan gambaran cerita yang of reflection by the oppressed with the hope that akan disusun. from that reflection eill come liberation”. Tahap terakhir adalah penyusunan atau Pandangangan Paulo Freire tersebut ingin penulisan sejarah yaitu penyusunan fakta-fakta memperlihatkan pada kita semua bahwa critical dalam suatu sintesis yang utuh sebagai suatu pedagogy pada dasarnya adalah sebuah refleksi kesatuan dalam bentuk historiografi. terhadap ketertindasan dan berbagai alasan yang Historiografi adalah sebuah cerita sejarah dari menyebabkanya, sehingga dengan refleksi itu fakta-fakta hasil interprestasi diatas. Disini diharapkan akan menuju kepada kebebasan. penulis secara jelas membuat cerita sejarah sesuai Singkatnya, critical pedagogy menuntun kepada dengan fakta-fakta yang diperoleh selama seseorang maupun masyarakat agar dapat keluar penelitian. Adapun hasil penulisan sejarah yang dari berbagai tekanan dominasi suprastruktur dilakukan menggunakan pendekatan deskriptif. yang cenderung bersifat menindas. Sumber data yang dijadikan acuan penelitian Secara teoritik, Critical Pedagogy berasal dari sumber primer maupun sekunder merupakan pandangan yang bersifat transdisiplin berupa sastra sejarah, yakni Babad Tanah Jawi dan banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran dan beberapa sumber sekunder dari berbagai hasil seperti Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, penelitian terdahulu yang relevan. Dasar feminisme, poskolonialisme, postrukturalisme, pemikiran di atas dipandang cukup untuk media studies, cultural studies, anti-racis studies, dijadikan acuan dalam studi ini hingga kajian ini dan posmodernisme, selain itu dipengaruhi oleh dapat mendiskripsikan dan menganalisis secara pemikiran dari Antonio Gramsci tentang kritis konten dari Babad Tanah Jawi. Dengan pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire pendekatan critical pedagogy diharapkan dapat tentang pendidikan kaum tertindas. Ditangan dihasilkan sebuah penjelasan yang mampu Paolo Freire-lah critical pedagogy banyak mengungkapkan motif dibuatnya Babad Tanah dipakai dan dikembangkan di negara-negara Jawi secara kritis. Amerika Latin secara meluas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:9; Agus Nuryatno, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2008:4; Mclaren dan Leonard, 2004; McLaren, 1995; Birsyada, 2014). Pendidikan kritis atau dalam bahasa Sebagai pendekatan dalam pendidikan, inggris dinamai dengan Critical Pedagogy secara historis critical pedagogy mulai muncul

178 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 2, Desember 2016

pada tahun 1960-an dan berkembang secara luas Kedua, adalah masyarakat dalam tahap di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan sebagai model pendidikan dan pembelajaran yang dalam tingkatan ini adalah lebih melihat pada menyediakan inovasi pembelajaran untuk aspek manusia menjadi akar penyebab masalah pemberdayaan. Model ini mulai dikenalkan oleh masyarakat. Sedangkan pada tahap ketiga adalah Paulo Freire dan beberapa teoretisi pendidikan tingkatan pada pemahaman kesadaran kritis. lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan dan aktivitas di grass root, dan banyak mengawali struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan transformasi pendidikan yang bertujuan untuk struktural menghindari “blaming the victims” dan menghubungkan antara teori dan praktik sebagai lebih menganalisi. Untuk secara kritis menyadari upaya pemberdayaan masyarakat (Mclaren dan struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, Leonard, 2004). Pendidikan model ini juga budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. menawarkan pembebasan masyarakat dari Dalam konsepsi teoritiknya, Paolo dominasi politik yang menghegemoni Freire percaya bahwa sebuah tatanan masyarakat masyarakat kelas bawah. yang tidak adil, sistem norma, prosedur, Di dalam pendidikan, critical pedagogy memiliki kekuasaan dan hukum memaksa individu- fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan individu untuk percaya bahwa kemiskinan dan hubungan yang muncul akibat kekuasaan yang ketidak adilan adalah fakta yang tidak terelakkan mendominasi masyarakat. Dengan demikian, dalam kehidupan manusia; bahwa tatanan yang critical pedagogy mencoba melakukan tidak adil ini telah meletakkan kekuasaan di pendekatan yang lebih lentur untuk tangan segelintir orang dan menempatkan mitos- mendekonstruksi struktur hirarkis yang mitos di pikiran semua orang (Smith, 2008). melemahkan demokratisasi masyarakat, serta Kekuasaan digunakan oleh masyarakat yang melakukan redefinisi atas pengetahuan, dan tidak berkeadilan untuk memaksa dan memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat mengorbankan fisik manusia, sedangkan mitos- dan mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale, mitos sosial dan konsep-konsep distortif tentang 2008:1; Birsyada, 2014). Secara teoritik, critical kehidupan manusia menjustifikasi dan pedagogy merupakan kebiasaan berpikir, merasionalisasi pemaksaan tersebut. Oleh sebab membaca, menulis, dan mengungkapkan sesuatu itulah orang-orang yang berkuasa sangat percaya untuk memahami makna yang terdalam, bahwa mereka diharuskan menggunakan memahami akar permasalahan berdasarkan kekuasaanya untuk memelihara tatanan dan konteks sosial, ideologi, dan pemahaman stabilitas masyarakat. Sementara itu orang-orang personal atas segala macam kegiatan, peristiwa, yang tidak berdaya menerima ketidak adilan objek, proses, organisasi, pengalaman, teks, serta ketidakberdayaanya sebagai keniscayaan pokok bahasan, kebijakan, media massa, maupun dan melirik sumber-sumber harapan lain, seperti wacana. Oleh karena itu dalam critical pedagogy, surge atau keberuntungan. Freire percaya jika Freire sebagaimana dikutip Smith (2008) sistem yang tidak adil pasti bersifat menindas, mengolongkan menjadi 3 tahapan seseorang karena hanya melalui penindasan kelompok yang dalam berpikir kritis. Pertama adalah yang berkuasa bisa melanggengkan sistem yang tida dinamakan dengan kesadaran magis. Pada tahap adil tersebut. ini masyarakat tidak mampu melihat kaitan Sejalan dengan pikiran Freire, Henry antara satu faktor dengan factor lainya. Misalnya Giroux yang dikutip Monchinski (2008:2) juga masyarakat miskin yang tidak mampu melihat menyatakan bahwa critical pedagogy sama kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem dengan polical pedagogy, artinya adalah critical politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih pedagogy menyatakan bahwa proses pendidikan melihat faktor diluar manusia (natural maupun pada dasarnya bersifat politik, yang bertujuan supranatural) sebagai penyebab dan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan, ketidakberdayaan. kesepahaman, dan keterpautan secara kritis Muhammad Iqbal Birsyada, Budaya Jawa dalam Babad Tanah Jawi…179

dengan berbagai isu-isu sosial dan bagaimana Menurut Smith (2008) yang menjadi memaknainya. Oleh sebab itu maka diperlukan perbedaan antara critical pedagogy dengan sebuah proses penyadaran masyarakat dalam bentuk pendidikan lain adalah bahwa menganalisa berbagai sub-sub wacana sosial dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam budayanya. Proses penyadaran ini menurut Paulo Conscientizacao atau kesadaran tidak memiliki Freire (2008:2-3) memungkinkan seseorang jawaban yang telah diketahui sebelumnya. untuk memasuki proses sejarah sebagai subjek- Pendidikan bukanlah pengorganisasian fakta subjek yang bertanggung jawab, dan yang sudah diketahui sedemikian rupa sehingga mengantarkan mereka masuk kedalam orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang pencapaian afirmasi diri sendiri sehingga baru. Disinilah, Conscientizacao adalah sebuah menghindarkan fanatisme. Nuryanto (2008:9) pencarian jawaban-jawaban secara kooperatif lebih lanjut menjelaskan bahwa proses atas masalah-masalah yang tidak terpecahkan penyadaran menjadikan seseorang memiliki yang dihadapi oleh sekelompok orang. Dengan critical awareness, sehingga mampu melihat demikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui secara kritis kontradiksi-kontradiksi social yang jawaban-jawaban tersebut dan pekerjaanya ada di sekelilingnya dan mengubahnya. mentransfer jawaban-jawaban tadi. Setiap Dalam critical paedagogy, satu kata individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi kunci yang melingkupi keseluruhan landasan., berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang pelaksaan, dan upaya pencapaian tujuanya adalah harus didefenisikan dan cara mencari jawabanya adanya “kritik”. Kritik dalam pandangan critical yang harus diformulasikan. pedagogy berarti” usaha-usaha untuk mengensipasi diri dari penindasan dan alienasi BABAD TANAH JAWI DALAM yang di hasilkan oleh hubungan-hubungan PERSPEKTIF CRITICAL PEDAGOGY kekuasaan di dalam masyarakat, sehingga mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus Dalam tradisi kekuasaan Jawa, hendak membebaskan masyarakat (Agus hubungan antara kawula (rakyat) dengan Nuryanto, 2008:28). Secara operasional, gusti (raja) menggambarkan sebuah Kuntowijoyo (1995) lebih tegas menyatakan keniscayaan yang terangkum dalam kata bahwa critical pedagogy pada dasarnya pinesthi dan tinitah. Secara teoritik, menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa perkataan pinesthi (ditakdirkan) dan tinitah sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, (dijadikan rakyat) menunjukkan suatu serta (3) ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari hubungan kemesraan antara tuan-hamba. pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam critical Dalam aturan main yang demikian, orang pedagogy meliputi aspek (1) kausalitas, (2) akan menerima status sosial yang mereka kronologis, (3) komprehensif, serta (4) miliki, terutama karena faktor kelahiran kesinambungan. Aspek kausalitas (genealogi) atau trah dan hanya sedikit sekali menggambarkan kondisi masyarakat dalam disebabkan karena usaha. Kata kawula dan berbagai aspek yang turut melatarbelakangi gusti memiliki implikasi status sosial yang terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis segregatif. Sebutan kawula berarti abdi atau adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. hamba yang merupakan orang atau kelompok Sedangkan aspek komperhensif adalah yang menduduki status yang rendah dalam menghubungkan antara peristiwa satu dengan masyarakat, sedangkan gusti atau tuan peristiwa yang lainya secara utuh. Sedangkan menduduki status yang tinggi dalam aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tesebut dengan peristiwa masyarakat. Dalam ideologi Jawa corak lainnya. hubungan yang demikian sering disebut

180 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 2, Desember 2016

dengan hubungan manunggaling kawula lan suprastruktur. Dalam wacana critical pedagogy, gusti yang telah mengalami perkembangan sastra istana hasil karya pujangga tersebut secara secara sosiologis (Wasino, 2014; Moertono, otomatis telah di strukturkan oleh dominasi 1985; Laksono, 1985; Resi, 2007). ideologi budaya kekuasaan raja. Pada konteks pujangga sebagai abdi dalem raja, mereka secara Sedangkan Kartodirdjo (1984) kesadaran magis akan menerima kekuasaan raja memandang bahwasanya dalam tradisi tersebut dengan apa adanya serta penuh kekuasaaan Jawa selalu menunjukkan hubungan kesadaran diri sebagai wujud bentuk ketaatan ketertiban sosial antara pemegang kekuasaan pada raja yang dipersamakan dengan ketaatan (raja) dan rakyat diliputi suatu kesakralan, karena kepada Tuhan. Sebagai konsekuensi orang Jawa setiap masyarakat akan selalu mengaitkan yang sejati dimana lebih mementingkan untuk ketertiban sosialnya pada suatu ketertiban di menjadi manusia utama. Untuk itulah dalam atasnya, dan dalam hal masyarakat tradisional, ideologi Jawa ditanamkan hidup untuk tidaklah dengan kosmos. Kekuasaan itu sakral sifatnya perlu mengejar keuntungan duniawi, tetapi lebih karena setiap masyarakat mengukuhkan memberi keutamaan sifat dan sikap hidup kerinduanya untuk menjadi abadi dan takut akan sehingga dapat mencapai tingkatan pribadi orang kembalinya khaos sebagai perwujudan yang njawani (Mulyanto, 1990; Mulder, 2001:67- kematianya sendiri. Untuk itulah ketaatan 68). Singkatnya, pujangga pembuat sastra sejarah terhadap raja dalam tradisi kekuasaan Jawa telah terikat oleh kekuasaan budaya istana. Dalam dianggap sama posisinya terhadap ketaatan hal ini posisinya telah mengalami apa yang terhadap Tuhan. dinamakan dengan subordinasi oleh kepentingan- Raja dalam tradisi masyarakat Jawa kepentingan kerajaan. dipresepsikan sebagai pusat mikrokosmos (jagad Bentuk-bentuk upaya domianasi dan cilik) yang ditandai dengan adanya tiga legitimasi kekuasaan lainya dapat dilihat dalam kedudukan raja yaitu sebagai wakil Tuhan, tradisi kepemipinan Jawa dimana Raja sebagai sumber hukum, dan sebagai penerang disimbolkan mendapatkan legitimasinya lewat serta pelindung wilayahnya (Soeratman, 1989). kekuatan magis (wahyu) atau kasekten serta Raja juga mengatur, memimpin, orang yang silsilah genealogis dari para dewa atau orang memerintah, sedangkan rakyat adalah sasaran yang dianggap suci (Nabi). Oleh karena itu untuk yang diatur, dipimpin dan diperintah inilah yang melegitimasi kekuasanya setiap raja akan dinamakan dengan tradisi ikatan manuggaling mendapatkan kesakralan yaitu memperoleh kawula lan gusti (Moertono, 1989). Selain wahyu kraton. Karena kesakralan inilah isi karya kedudukan raja, masalah keturunan dalam sastra sejarah secara essensi banyak cenderung kerajaan terutama persoalan silsilah keturunan mengukuhkan legetimasi genealogi kekuasaan raja (darah biru) sangat ampuh untuk raja. Jadi, raja dalam perspektif ini adalah sebagai melanggengkan kekuasaanya. Oleh karena itu tokoh yang dianggap memiliki kesakralan secara teoritis, corak pandangan sebagaimana kekuatan supranatural yang tidak dimiliki oleh dijelaskan di atas adalah merupakan prototipe dari orang laian, juga menjadi panutan kawulanya. masyarakat tradisional di Jawa. Raja telah mendapatkan wahyu kraton untuk Bertitik tolak dari pandangan-pandangan memimpin kawulanya, artinya raja mutlak di atas maka secara teoritik penulis atau pujangga memperoleh legitimasi atas kekuasaanya yang karya satra sejarah dimana yang bersangkutan absoluth untuk memerintah rakyatnya. Untuk adalah sebagaian besar berada dalam hirarki memperkuat legitimasi inilah, raja kekuasaan kerajaan yang diwujudkan sebagai memerintahkan pujangga sastra membuat karya abdi dalem raja, maka secara tidak langsung hasil sastra yang mengokohkan kesakralan serta karya pujangga tersebut sedikit banyak legitimasi kewahyuanya tersebut (Kartodirdjo, terpengaruh oleh dominasi ideologi pemikiran 1984). Dalam sastra sejarah seperti Babad Tanah raja dan lingkungan istana sebagai pusat Jawi hal-hal di atas sangat jelas ditunjukkan Muhammad Iqbal Birsyada, Budaya Jawa dalam Babad Tanah Jawi…181

bentuk-bentuk sakralisasi kekuasaan yang akan Hindu sudah ditulis Kitab Pararaton, yang meneguhkan legitimasi genealogi keturunan raja- mempunyai ciri-ciri karya sastra seperti yang raja Jawa dimana tiap-tiap pergantian kekuasaan dimaksud. Demikian pula di Bali, masyarakat pasti akan dibarengi dengan munculnya apa yang Bali yang sampai sekarang penduduknya dinamai dengan wahyu kraton (Resi, 2007; Resi, sebagaian besar tetap menganut agama Hindu itu 2010). nenek moyang mereka juga sudah menulis Babad Secara kultural dalam tradisi Jawa, Buleleng. Namun, memang harus diakui juga jika legitimasi kekuasaan raja lewat sakralisasi kedatangan Islam telah memperkenalkan tulisan sebagaimana di jelaskan di atas sengaja Jawi pada masyarakat yang memberikan diciptakan lewat karya sastra istana untuk kontribusi besar bagi penulisan karya-karya mengokohkan posisi raja di hadapan kawulanya sastra. juga secara terus menerus bahwasanya persoalan Kedatangan Islam memberikan warna silsilah keturunan raja (darah biru) akan selalu di lain dalam pembuatan karya sastra sejarah munculkan bahkan di modifikasi sedemikian rupa terutama dalam karya bentuk babad yang jika sebagai alat legitimasi yang sangat ampuh untuk dilihat dari isinya lebih cenderung melanggengkan kekuasaanya. Fortes (dalam mempersepsikan cara berpikir Islam Jawa. Balandier: 66-67) mengemukakan bahwasanya Pandangan inilah yang menyebabkan pada masa masyarakat tradisional masalah perbedaan antara sumber karya sastra babad genealogi atau asal-usul keluarga keturunan era Islam dengan karya sastra pada era Hindu- sangatlah ampuh dalam melanggengkan posisi Budha atau karya yang ditulis oleh orang Hindu- sebagai penguasa. Karena keturunan atau Budha sebagai pujangganya (Suryo, 1998). kekerabatan merupakan salah satu sarana Perbedaan ini muncul tidak hanya dengan legitimasi yang kuat dalam melanggengkan sumber karya sastra, namun banyak juga kekuasaan dinasti (Woodward, 2004:53-54). Oleh kesimpangsiuran antara sumber babad dengan sebab itulah karya sastra dibentuk dan dibuat sumber penelitian dari barat. Ketika sang sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesadaran pujangga penulis babad beragama Islam, maka terutama para abdi dalem raja untuk memiliki sedikit banyak nilai-nilai ideologi Islam akan sikap loyalitas, patuh dan taat pada perintah raja masuk dalam tulisan pengarang babad tersebut, serta mendukung atasan dalam mencapai tujuan, begitu juga sebaliknya ketika karya sastra dalam konsepsi budaya Jawa di sebut Satya Bela tersebut yang membuat adalah orang Hindu, Bakti Prabu (Widyawati, 2010: 38-39). Karya maka ideologi konsep dalam persepsi Hindu sastra sejarah yang dibuat oleh pujangga abdi akan banyak mewarnai isi karya sastra tersebut dalem kraton dibuat untuk menumbuh (Resi, 2007; Resi, 2010; Birsyada, 2012). kembangkan kesadaran magis masyarat Jawa Kebiasaan menuliskan waktu sekaligus menundukkan bahwasanya rakyat atau merupakan salah satu unsur yang baru dalam kawula selalu dalam posisi yang inferior. penulisan karya sastra sejarah pada masa Islam, Dalam studi ini akan difokuskan kajian meskipun sebenarnya dalam masyarakat pada sastra Babad Tanah Jawi sebagai objek tradisional penentuan waktu sudah ada analisis critical pedagogy. Babad Tanah Jawi berdasarkan hitungan tahun Hindu memakai menurut Resi (2007) tergolong dalam jenis genre Saka. Pergeseran waktu yang di tandai dengan baru dalam warisan sastra Nusantara tradisional. bulan-bulan tertentu bagi umat Islam seperti Bahkan beberapa ahli menyebut bahwa jenis bulan Ramadhan, Dzulhijah, Syawal, Maulid sastra seperti Babad Tanah Jawi muncul secara tidak langsung mengubah cara berpikir bersamaan dengan berkembangnya agama Islam dan konsep kebudayaan masyarakat. Hal ini di Nusantara sekitar abad XIV dan XV Masehi. dapat ditarik sebuah pandangan awal jika Meskipun pernyataan itu sebenarnya tidak runtuhnya kerajaan yang kemudian sepenuhnya benar, karena di Jawa pada masa digantikan oleh Demak yang bercorak Islam

182 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 2, Desember 2016

menimbulkan revolusi budaya yang sangat hal-hal yang berkaitan dengan asal usul genealogi derastis di Jawa pada abad XV-XVI. Struktur raja. Oleh sebab itu cerita tentang asal usul raja budaya Hindu-Budha telah digantikan dengan yang memerintah menjadi bahan utama yang struktur Islam berlangsung secara cepat karena diperhatikan dalam sastra Babad Tanah Jawi didukung penguasa yang telah beragama Islam. tersebut. Penulis karya sastra sejarah Penguasa-penguasa Islam inilah yang mengemukakan ceritanya sendiri tentang asal- dikemudian hari lewat para pujangganya akan usul raja. Sebagaimana contoh dalam naskah banyak menulis karya sastra sejarah menurut Babad Kraton atau lazim disebut Babad Tanah persepsi penguasa. Gagasan ini diterapkan oleh Djawi Tumenggung Jayengrat (1777), kemudian raja dan keluarga istana dalam rangka upaya ditulis kembali versi Rass, JJ (1987) dan versi untuk menciptakan dominasi budaya istana Wiryapanitra (1993) semua versi Babad Tanah terhadap masyarakat Jawa. Singkatnya, isi sastra Jawi tersebut menjelaskan asal usul Raja Jawa Jawa seperti halnya Babad adalah wujud adalah keturunan Nabi Adam menurunkan Nabi- pengejawantahan pola berpikir istana untuk nabi lain, kemudian nabi-nabi itu menurunkan melegitimasi genealogi keturunan dan upaya dewa-dewa, sampai kepada Dewa Wisnu. Dewa sakralisasi keluarga raja (Kuntowijoyo, 1991; Wisnu menurunkan tokoh-tokoh dalam mitologi Kartodirdjo, 1984). pewayangan sampai raja-raja Jawa. Dewa Secara teoritik, berdasarkan isinya Wisnu dipergunakan sebagai simbol yang karya sastra sejarah Nusantara mengandung mewakili tradisi Hindu dimana sejak abad ke beberapa unsur yang mencerminkan genre karya delapan sudah menjadi pujaan bagi masyarakat itu. Paling tidak ada tiga unsur yang menjadi ciri Jawa (Kroom, NJ, 1956). dalam karya sastra sejarah Nusantara, yaitu Bertolak dari pemaparan di atas dapat menceritakan asal-usul raja, kisah pembukaan dijelaskan bahwasanya Babad Tanah Jawi selain suatu negeri, dan kedatangan Islam di Nusantara. menunukkan upaya domiansi buaya kerajaan juga Dalam ketiga unsur itu, penulis karya sastra berusaha mengintegrasikan legitimasi antara sejarah selalu menggunakan mitos sebagai ideologi Hindu dan Islam. Sehingga dengan pelengkapnya. Mitos di pergunakan seluas- demikian kekuasaan raja dianggap syah menurut luasnya oleh penulis sehingga sering dikatakan tradisi Hindu dan Islam karena jalur genealogi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam raja-raja Jawa sampai dengan Mataram Islam karya sastra sejarah Nusantara. Mitos-mitos itu di secara genealogi adalah jalur keturunan Nabi pergunakan dalam bagian-bagian cerita tertentu Adam (Islam) juga keturunan para Dewa (Hindu). dan masing-masing memperlihatkan hubunganya Dalam tradisi kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam dengan latar belakang budaya dan pemikiran di Jawa, Raja direpresentasikan sebagai pusat yang mempengaruhinya (Resi, 2010). kosmos di muka bumi disimbolkan sebagai Babad Tanah Jawi atau dalam naskah khalifatulloh fil ardhi adalah payung bagi disebut Babad Kraton yang paling tua ditulis oleh genealogi tradisi Hindu Jawa maupun tradisi Tumenggung Jayengrat yang tidak lain adalah Islam. Singkatnya, Babad Tanah Jawi ingin menantu dari Sultan Hamengkubuwana I yang menghubungkan secara genealogi antara trah penggarapanya selesai pada tahun 1777 Masehi. versi ideologi Hindu-Budha dengan Islam. Dalam studi ini yang dipergunakan sebagai Sehingga dalam tradisi kekuasaan Jawa, dengan sumber adalah naskah Babad Kraton versi menyatukan trah dari kedua jalur genealogi koleksi The British Library, London, dengan tersebut diharapkan dapat menundukkan rakyat nomor katalog BM Add. MS.12320 yang Jawa dari ideologi budaya kedua belah pihak. kemudian dibuat dalam mirofilm naskah Babad Oleh karena telah mendapat keabsahan dari jalur Kraton sekarang ada dalam Kawedanan Ageng keturunan baik dari Hindu-Budha lewat dewa- Punakawan Widya Budaya Kraton Yogyakarta. dewa maupun dari jalur Islam melalui Nabi Sebagai karya sastra yang di tulis atas perintah Adam. Dalam konteks inilah, secara kultural raja, karya ini tidak dapat dilepaskan dengan legitimasi kekuasaan raja lewat genalogi tersebut Muhammad Iqbal Birsyada, Budaya Jawa dalam Babad Tanah Jawi…183

akan di kukuhkan secara simbolik dalam usul dari keluarga trah Mataram. Suryo (1998) memerintah serta mewujudkan ketertiban tatanan sendiri tetap optimis memandang karya sastra masyarakat. Jawa merupakan dokumen historis dan kultural Menurut Resi (2007) munculnya tokoh- yang penting bagi masyarakat Jawa dan tokoh Dewa dari mitologi Hindu dalam penulisan Nusantara, karena didalamnya berisi tentang Babad Tanah Jawi merupakan upaya penulis proses Islamisasi di lingkungan masyarakat Jawa. untuk menghubungkan kembali tradisi Hindu Bila kita menengok sejarah Islamisasi di lama dengan tradisi Islam. Hal ini menguatkan tanah Jawa, munculnya Demak sebagai basis kedudukan raja-raja Jawa, terutama raja masyarakat Islam menjadikan sebuah konversi Kasultanan Yogyakarta bahwa mereka adalah agama sekaligus budaya Hindu-Budha yang keturunan garis pangiwa dari dewa-dewa Hindu sejak lama terbangun dalam pola sikap hidup dan garis panengen, adalah keturunan Nabi Adam orang Jawa yang telah turun temurun. as. Pandangan Resi (2007) sejalan dengan Kebudayaan Hindu dan Budha pada jaman pemikiran Soeratman (1989) yang Majapahit telah mengalami pertarungan dengan mengemukakan bahwasanya dalam tradisi kebudayaan Islam Asya’arie (2002:18-19; kekuasaan Jawa, kraton tidaklah hanya menjadi Atmadja, 2010; Birsyada, 2012). Konversi agama pusat pemerintahan, melainkan juga sebagai sekaligus budaya tersebut berimplikasi pada pusat kebudayaan. Dalam konteks tersebut, perpindahan dari kebudayaan Hindu dan Budha dengan menghidupkan kembali nilai-nilai lama menuju kebudayaan yang bercorak ideologi kebudayaan Hindu-Budha yang disandingkan Islamisentris (Atmadja, 2010). Secara historis, dengan kebudayaan Islam maka membenarkan kerajaan Demak dan Mataram menunjukkan titik adanya kontinuitas budaya antara tradisi pra- balik berkembangnya kebudayaan Islam terutama Islam dengan kebudayaan Islam itu sendiri. Hal dalam bidang penulisan karya sastra. Oleh sebab tersebut sangat sejalan dengan teori kontiunitas itulah karya sastra Jawa yang dibuat pada era yang diutarakan Berg bahwa budaya Jawa Hindu Kerajaan Islam ini menunjukkan eksistensinya tidak hilang begitu saja namun terus hidup sebagai bagian dari dominasi budaya Islam. menyesuaikan diri dengan budaya masyarakatnya Karya sastra pada jaman ini didominasi oleh yang terus berkembang. (Berg, C.C, 1974). Suluk, Serat dan Babad yang didalamnya banyak Dalam Babad Tanah Jawi, asal-usul mengandung unsur nilai-nilai ajaran tasawuf, keturunan raja yang di ceritakan dalam karya etika dan mistik kejawen yang cenderung sastra sejarah tersebut, di susun alur keturunan sinkretik (Rass JJ, 1987; Suryo, 1998; Florida, raja-raja dengan sangat runtut dan rapi. Alur 2003; Woodward, 2004; Resi, 2007). Pada masa keturunan itu di susun oleh pengarang (pujangga inilah, sastra seperti Babad Tanah Jawi adalah kraton) agar kedudukan dan keabsahan raja yang sebagai representasi kultural budaya kraton yang memerintahkan penulisan itu dapat di bercorak Islam. pertanggungjawabkan. Alur keturunan yang dibuat dalam cerita itu, pada awal cerita PENUTUP biasanya agak kabur dan nama-nama yang di kemukakan sering kali asing serta kurang Kesimpulan dalam penelitian ini adalah begitu di kenali. Babad Tanah Jawi adalah salah sastra Babad Tanah Jawi dalam tinjauan critical satu contoh karya sastra sejarah yang pedagogy menunjukkan upaya dominasi budaya menceritakan pembukaan suatu wilayah negeri istana (cultural empire) serta mengukuhkan sekaligus menjelaskan asal-usul Raja-raja Jawa legitimasi geneaologi trah keluarga kraton semenjak pra-Islam sampai Kerajaan Mataram sebagai pusat kekuasaan di Jawa. Dominasi Islam (Jayengrat, 1777; Rass, JJ, 1989; tersebut ditunjukkan lewat cerita-cerita mitos, Wiryapanitra, 1993). Walaupun Babad Tanah magis, sakral dan supranatural untuk Jawi terkesan memaksakan model runtutan asal- menumbuhkan kesadaran magis rakyat atau

184 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 2, Desember 2016

kawula. Singkatnya, Babad Tanah Jawi lebih volume 41 Nomor 2 Desember. menunjukkan strategi imperium kebudayaan Semarang: Fis Unnes. istana (cultural empire) yang secara halus lebih De Graaf, HJ dan Pigeaud, TH, 2001. Kerajaan cenderung menanamkan kesadaran magis Islam Pertama Di Jawa. sebagai upaya menundukkan rakyat ketimbang Yogyakarta: Pustaka Pelajar. mengembangkan pola-pola kebudayaan yang De Graaf, dkk, 2004. Cina Muslim Di Jawa Abad akan mengantarkan pada kesadaran kritis XV dan XVI antara Historisitas dan masyarakat Jawa. Babad Tanah Jawi juga Mitos. Yogyakarta: TiaraWacana. menunjukkan bahwa sistem kelas atau kasta pada Fakih, M. 2001. “Ideologi dalam Pendidikan, masa pra-Islam coba dihidupkan kembali dalam Sebuah Pengantar”. Kata Pengantar bentuk cerita sejarah untuk menopang kekuasaan dalam William F. O’neil. 2001. wibawa kraton sebagai pusat suprastruktur di Ideologi-Ideologi Pendidikan. tanah Jawa. Saran dalam studi ini adalah Penerjemah Omi Intan Naomi. mensosialisasikan temuan ini kepada khalayak Yogyakarta: Pustaka Pelajar. umum sebagai bagian dari basis pengembangan Florida, N K. 2003. Menyurat Yang Silam pendidikan kritis sekaligus menambah khasanah Menggurat Yang Menjelang pengetahuan baru bagi historiografi Nusantara. Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Kedua, critical pedagogy dapat dikembangkan Masa Kolonial. Yogyakarta: lebih luas sebagai alat analisis teks-teks sejarah. Bentang Budaya. Ketiga, temuan ini perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai studi yang mencoba untuk Garaghan, S.J., Gilbert J.A . 1957. Guide to memformulasikan berbagai pendekatan atau Historical Method. London : model pendidikan sejarah bagi masyarakat dalam Macmillan Education LTD. kerangka pendidikan kritis. Gottsschalk, L. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta :UI Press. DAFTAR RUJUKAN Kartodirdjo, S. 1982. Pemikiran dan Perkembngan Historiografi Asy’arie. M. 2002. Menggagas Revolusi . Jakarta: Gramedia. Kebudayaan Tanpa Kekerasan. ______, 1984. Kepemimpinan Dalam Dimensi Yogyakarta: LESFI. Sosial. Jakarta: LP3ES. Atmadja, N.B, 2010. Genealogi Keruntuhan ______, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Majapahit Islamisasi, Toleransi dan Metodologi Sejarah. Jakarta: Pemertahanan Agama Hindu di Gramedia. Bali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kersten, C. 2013. Review of Mark Woodward, Balandier, G. 1986. Antropologi Politik. Jakarta: Java, Indonesia and Islam. CV.Rajawali. International Journal Shopia, Berg, C.C, 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Springer vol 52. Hlm 209–212. Terjemahan. Gunawan. Jakarta: Krom, NJ, 1956. Zaman Hindu, terjemahan Arif Bhatara. Effendi. Jakarta: Pustaka Sarjana. Birsyada, M.., 2012. Peristiwa Konflik Pecahnya Kuntowijoyo, 1991. Paradigma Islam Intepretasi Keluarga Di Kerajaan Demak Untuk Aksi. Bandung: MIZAN. Dalam Persepsi Penulis Babad. ______, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Tesis UNNES. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Bentang Budaya. ______, 2014. Pengembangan Model ______, 2003. Metodologi Sejarah Edisi ke-2. Pembelajaran IPS dengan Yogyakarta: Tiara Wacana. Pendekatan Konstruktivisme di Laksono, P. M, 1985. Tradisi Dalam Struktur Sekolah. Jurnal Forum Ilmu Sosial Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Muhammad Iqbal Birsyada, Budaya Jawa dalam Babad Tanah Jawi…185

Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah getranscribeerd door W.L.Olthof. Mada University Press. Holland:Foris Publication. Lestyana, Pepi, Lavandez, Magaly& Nelson, Resi, M. 2007. Babad Kraton Analisis Thomas. 2004. “Critical pedagogy: Simbolisme Struktural Upaya Revitalizing and Demoratizing Untuk Memahami Konsep Berpikir Techer Education”. Teacher Jawa Islam. Desertasi: UIN Sunan Education Quarterly. Winter 2004. Kalijaga. Hlm. 3-15. Dalam ______, 2010. Islam Melayu vs Jawa http://www.teqjournal.org/backvols Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. /2004/31 1/volume 1. htm Di unduh Rickelfs, M.C, 2001. A History Modern of 5 Mei 2011. Indonesia Since. c. 1200 Third McLaren, P. 1995. Critical Pedagogy and Edition. Palgrave Houndmills, Predatory Culture. London & New Basingstoke, Hampshire RG21 6XS York: Routledge. Companies and representatives Mclaren, Peter, Leonard, Peter, 2004. Paulo throughout the world. Freire A Critical Encounter . Taylor Smith, W.A. 2008. Conscientizacao Tujuan & Francis e- Library. Routledge. Pendidikan Paulo Freire Monchinski, T. 2008. Critical Pedagogy and terjemahan Agung Prihantoro. Everday Classroom. New York: Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Springer. Soeratman, D. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Moretono, S.1989. Negara dan Usaha Bina Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Negara di Jawa Pada Masa Taman Siswa. Lampau: Studi Tentang Masa Suryo, D. 1998. Islam & Khasanah Budaya Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Yayasan Kebudayaan Islam Mulder, N. 2001. Mistisisme Jawa Ideologi Di Indonesia. Indonesia.Yogyakarta: LkiS. Wasino, 2007. Dari Riset Hingga Tulisan Mulyanto, dkk. 1990. Biografi Pujangga Sejarah. Semarang: Unnes Press. Ranggawarsito. Jakarta: ______, 2014. Modernisasi Di Jantung Departemen Pendidikan dan Budaya Jawa Mangkunegaran Kebudayaan. 1896-1944. Jakarta: Kompas. Nuryanto, AM. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Widyawati R, Wiwin, 2009. Serat Kalatidha. Menyingkap Relasi Pengetahuan. Yogyakarta: Pura Pustaka. Politik, Kekuasaan. Yogyakarta: Wiryapanita, 1993. Babad Tanah Jawa. Resist Book. Semarang: Dahara Prize. Ras,J.J, 1987. Babad Tanah Jawi De prosaversie Woodward, M.R. 2004. Islam Jawa Kesalehan van Ngabehi Kertapradja voor het Normatif Versus Kebatinan. uitgegeven door J.J.Meinsma en Yogyakarta: LkiS.