Prosiding Seminar Heritage Cirebon 2017 June 21, 2017 by iplbi PROSIDING SEMINAR HERITAGE CIREBON 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon Universitas Indraprastha Universitas Trisakti Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan ISBN Online: (Sedang Diproses) ISBN Cetak: (Sedang Diproses) http://seminar.iplbi.or.id/prosiding-seminar-heritage-cirebon-2017/

PEMBICARA KUNCI Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur Widjaja Martokusumo Halaman 01-10 BANGUNAN WARISAN Hasil Penelitian Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab Andi Eka Oktawati, Wasilah Sihabuddin Halaman A 001-010 Akulturasi Budaya pada Masjid Gedhe Mataram Jogjakarta Endang Setyowati, Gagoek Hardiman, Titien Woro Murtini Halaman A 011-018 Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar Andi Hildayanti, Wasilah Halaman A 019-026 Konsep Desain Atap Aula Timur dan Aula Bara Institut Teknologi Bandung Yohana Friscila Ezra Sitorus Halaman A 027-032 Penerapan Tradisi “Payango” pada Rumah Tinggal Masyarakat Gorontalo sebagai Upaya Pelestarian Budaya Lokal Ernawati , Heryati , M Muhdi Ataufiq Halaman A 033-040 Penyesuaian Ruang Arsitektur dalam Kehidupan Berbudaya Masyarakat Migran Madura Abraham Mohammad Ridjal Halaman 041-050 Perpaduan Gaya Arsitektur Jawa Kuno, Tiongkok, dan Eropa pada Arsitektur Masjid Agung Mohammad Thareq Defa Halaman A 051-054 Simbolisme Masjid Agung Demak Marwoto 1, Elisya Wulandari Halaman A 055-062 Studi Langgam pada Hotel Toeng Hoa Dengan Observasi Ornamen Bangunan Lucky Lukman Hakim Halaman A 063-066 Tipologi Arsitektural Stasiun Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Nafiah Solikhah Halaman A 067-074 Tipologi Masjid Kagungan Dalem di Imogiri, Bantul Endah Tisnawati, Dita Ayu Rani Natalia Halaman A 075-082 Diskursus Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia Adang Sujana Halaman A 083-090 Adaptasi Gaya Eropa pada Kantor Gubernur Jawa Timur Aysha Nurshabira Halaman 091-094 Akulturasi Budaya dalam Makna dan Fungsi di Masjid Agung Sumenep Adisti Yonita Widiatami Halaman A 095-102 Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Firdha Ruqmana Halaman A 103-108 Analisis Tujuh Prinsip Desain pada Bangunan Utama Hogere Burger School Semarang, SMA 1 Semarang Annisa Yulita Pertiwi Halaman A 109-116 Ekspresi Majapahit Dalam Ornamen Bangunan Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Yanuar Mandiri Halaman A 117-124 Ekspresi Tropis dalam Modernitas Karya A.F. Aalbers. Studi Kasus De Driekleur Andrew Cokro Putra, Bambang Setia Budi Halaman A 125-132 Ekspresi Vernakular Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang Ganda Saputra Sinaga Halaman A 133-138 Elemen Fisik Masjid Baiturrahman Banda sebagai Pembentuk Karakter Visual Bangunan Rihan Rizaldy Wibowo Halaman A 139-144 Identifikasi Elemen Arsitektur Khas C.P. Wolff Schoemaker dalam Arsitektur Masjid Raya Cipaganti Raudina Rachmi, Bambang Setia Budi Halaman A 145-152 Keberagaman Ornament pada Fasad Bangunan Bank Indonesia Bandung Afif Muhammad Edi Halaman A 153-160 Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri R.Bambang Gatot Soebroto, Nuffida Halaman A 161-170 Konservasi Gedung Lawang Sewu sebagai Warisan Sejarah Indonesia Jovita Liyonis Halaman A 171-174 Makna Bangunan Menara Masjid Agung Banten Ulama Andika Halaman A 175-180 Masjid Agung Kasepuhan Cirebon sebagai Masjid Kuno di Indonesia dengan Orientasi Kiblat Imega Reski Halaman A 181-186 Memaknai Lukisan Kaca Patri Lawang Sewu, Semarang Jovani Debora Emmanuella Halaman A 187-192 Pencahayaan Menggunakan Atap Kaca pada gedung Ned.- Ind. Gas. Mij., Showroom en kantoor; Becker en Co Khalil Ambiya Halaman A 193-196 Pengantar Tipologi Pintu dan Jendela pada Bangunan Gedung Sate Bandung Desti Sukmamiranti Halaman A 197-202 Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Demak Nugraha Pratama Halaman A 203-206 Pengaruh Kebudayaan Cina terhadap Arsitektur Masjid Mantingan Hasna Anindyta Halaman A 207-212 Perpaduan Budaya dan Hindu dalam Masjid Menara Kudus Andanti Puspita Sari Pradisa Halaman A 213-218 Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Timur Tengah pada Bangunan Masjid Istiqlal Fatimatuz Zahra Halaman A 219-226 Perpaduan Unsur Arsitektur Islam dan Gaya Arsitektur Kolonial pada Masjid Cut Meutia Jakarta Indah Mega Ashari Halaman A 227-232 Pertimbangan Penentuan Ketinggian Panggung pada Rumah Melayu Kampar Ratna Amanati Halaman A 233-238 Ragam Ornamen Arsitektur Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak Shinta Rizkia Putri Halaman A 239-246 Sayap Timur Gedung Sate Kemegahan Arsitektur, Kekayaan Sejarah, dan Keberlangsungannya dalam Era Milenium Annisa Fadhilah Farid Halaman A 247-250 Sejarah Pembangunan dan Renovasi pada Masjid Agung Bandung Andita Aprilina Nugraheni Halaman A 251-258 Sejarah Terbentuknya Langgam Masjid Jami Angke Putri Isti Karimah Halaman A 259-264 Transformasi Bentuk Arsitektur Masjid Agung Palembang Setyo Nugroho, Husnul Hidayat Halaman A 265-272 Usaha Preservasi pada Masjid Jami Kalipasir, Tangerang, Banten Maretta Arninda Dianty Halaman A 273-278 Kasus Studi Analisis Penulis Mengenai Akulturasi Budaya pada Aula Timur ITB Muhammad Hafiz Asyraf, Bambang Setia Budi Halaman A 279-284 Arsitektur Makam Siti Fatimah binti Maimun Gresik Luqman Arifin Siswanto Halaman A 285-288 Desain Fasad Depan dan Ornamen pada Societeit Voor Officieren dan Stasiun KAI di Kota Cimahi Jeremy Meldika Halaman A 289-294 Elemen-Elemen Arsitektural Post Kantoor di Tanah Deli Lia Veronica Wirjono Halaman A 295-302 Fungsi Makna Bentuk Gereja Katedral Santo Petrus Bandung Hero Renaldi Halaman A 303-310 Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten Alya Nadya Halaman A 311-316 Gedung Pengadilan Landraad, Memori dan Upaya Pelestariannya Muhammad Fajri Arief Mahmuda Halaman A 317-320 Gedung Sate, Keindahan Ornamen Arsitektur Indo-Eropa I Gusti Ayu Ceri Chandrika Meidiria Halaman A 321-326 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah Eko Bagus Prasetyo, Bambang Setia Budi Halaman A 327-336 Identifikasi Perubahan Tatanan Spasial Rumah Ketib Anom di Kauman Surakarta Ardhini Zulfa Halaman A 337-344 Jejak Societeit Concordia di Bandung Gusti Reynaldi Cakramurti Halaman A 345-350 Kemiripan Arsitektur Tiang Masjid Ampel Karangasem dengan Masjid Agung Demak Afrizal Fikri Halaman A-351-354 Langkah Awal Konservasi Kediaman Raden Saleh Lady Viona Yacup Halaman A 355-358 Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang Safira Halaman A 359-364 Masjid Agung Banten Perpaduan Tiga Budaya dalam Satu Arsitektur Bintang Widya Laksmi Halaman A 365-368 Masjid Cipari, Masjid Tertua dan Unik di Garut Annisa Maharani Halaman A 369-374 Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja Franciska Tjandra Halaman A 375-380 Masjid dan Makam Sendang Duwur, Perwujudan Akulturasi Ayeesha Putri Zarifa Halaman A-381-384 Masjid Pacinan Tinggi, Hancur atau Belum Selesai Rizkia Amalia Halaman A 385-392 Masjid Raya Cipaganti, Heritage Kota Bandung yang Memadukan Gaya Arsitektur Jawa dan Eropa Zulva Fachrina Halaman A 393-398 Masjid Sultan Suriansyah Sebagai Simbol Dimulainya Pergerakan Islam di Selatan Noortieni Khairulisa Halaman A 399-402 Masjid Wapauwe, Saksi Perkembangan Islam di Wilayah Timur Nusantara Dwi Astuti Halaman A 403-408 Masjid Tua Ternate, Warisan Berharga Sultan yang perlu dilestarikan Muhammad Fadhil Fathuddin Halaman A 409-414 Nilai Arsitektur Lokal Masjid Gunung Pujut, Lombok, NTB Yuninda Dian Pamungkas Halaman A 415-418 Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Lhokseumawe Cut Azmah Fithri, Sisca Olivia, Nurhaiza Halaman A 419-426 Pelestarian Bangunan dan Obyek Peninggalan Di Kutai Kartanegara Sebagai Pembentuk Identitas Kota Eva Elviana, Diyan Lesmana Halaman A 427-434 Penelusuran Warisan Budaya Jakarta melalui Heritage Bangunan Masjid Al-Alam Marunda Ahmad Darmawan Halaman A 435-440 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 – 1942 Annisha Ayuningdiah Halaman A 441-448 Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta Lilis Yuniati Halaman A 449-454 Penghawaan dan Pengaruh Psikologi pada Aula Barat dan Aula Timur ITB Muhammad Fahry Aziz, Bambang Setia Budi Halaman A 455-462 Perkuatan Struktur Pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya, Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta Augustinus Madyana Putra, Andi Prasetiyo Wibowo Halaman A 463-468 Perpaduan antara Tradisi Islam dan Kebudayaan Eropa pada Arsitektur Istana Maimun Pipin Kurniawati Halaman A 469-472 Perpaduan Elemen Arsitektur Tradisional dan Eropa pada Masjid Agung Manonjaya Maulidinda Nabila Halaman A 473-478 Perubahan Atap Masjid Agung Garut Devinna Febrianni Halaman A 479-484 Perubahan pada Masjid Tuo Kayu Jao Setelah Pemugaran Alisha Dwi Nefertity Halaman A 485-490 Perubahan pada Menara Masjid Sunan Ampel Surabaya Tahun 1870-2012 Arif Satya Wirawan, Bambang Setia Budi Halaman A 491-498 Ragam Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta Fida Windari Dewi, Bambang Setia Budi Halaman A 499-504 Sejarah Kantor Nederlands-Indische Spoorweg (NIS) di Semarang Faisal Prabowo Halaman A 505-510 Sejarah Stasiun Bandung dari Masa ke Masa Muhammad Aodyra Khaidir Halaman A 511-514 Studi Dokumentasi Area Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon Farhatul Mutiah Halaman A 515-520 Studi Kasus Bangunan Cagar Budaya, Dokumentasi Gedung “Eks Museum Mpu Tantular”Jalan Taman Mayangkara no.6, Surabaya Andy Mappajaya, Josef Prijotomo,Josephine Roosandriantini, Angger Sukma Mahendra,Tanti Satriana Rosary N, Tjahja Tribinuka, Nur Endah Nuffida, M.Dwi Hariadi, V.Totok Noerwasito , Nurfahmi Muchlis, Murtijas Sulistijowati Halaman A 521-524 Tantangan konservasi pada Rumah Bandung Rangki dan Sri Dandan di Desa Bali Aga Pedawa, Buleleng-Bali Tri Anggraini Prajnawrdhi Halaman A 525-532 Transformasi Atap Masjid Raya Bandung Zuhrissa Putrimeidia Aswati Halaman A 533-538 Transformasi Tipologi bentuk Kubah masjid raya Baiturrahman sebagai bangunan bersejarah di Aceh Armelia Dafrina Halaman A 539-546 Unsur-Unsur Budaya pada Arsitektur Masjid Agung Darussalam, Bojonegoro Uswatun Chasanah Halaman A 547-554 KAWASAN WARISAN Hasil Penelitian Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilayah Kota Malang 1917-1929 Noviani Suryasari Halaman B 001-008 Commercial Property Development and Heritage Conservation in Ho Chi Minh City’s District One Laras Primasari, Athina Ardhyanto Halaman B 009-016 Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali I Gusti Ngurah Wiras Hardy Halaman B 017-024 Identifikasi Karakter Kawasan Cagar Budaya Pakualaman Yogyakarta Angela Upitya Paramitasari Halaman B 025-032 Identifikasi Tujuan Wisata Reliji Masjid-Masjid Cirebon Dhini Dewiyanti, Dini Rosmalia, Sally Oktaviana Halaman B 033-038 Kajian Facade Rumah Tradisional Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo Dyan Agustin, Wiwik Dwi S Halaman B 039-044 Kajian Model Revitalisasi Kawasan Heritage Kesawan Medan Dwi Lindarto Hadinugroho Halaman B 045-052 Karakteristik Kawasan Tamansari Watercastle sebagai Warisan Budaya Kraton Yogyakarta Riana Viciani G, Himasari Hanan Halaman B 053-060 Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah I Made Suarya, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, Ni Ketut Agusinta Dewi, I Gusti Agung Bagus Suryada Halaman B-061-068 Konstruksi Tipologi Lanskap Budaya Jawa Kuno dari Relief Candi Panataran di Propinsi Jawa Timur Chairul Maulidi, Wara Indira Rukmi Halaman B 069-072 Kosmologi Elemen Lanskap Budaya Cirebon Dini Rosmalia, L. Edhi Prasetya Halaman B 073-082 Pelestarian dan Penataan Bangunan Kota (Urban Heritage) di Kabupaten Magelang Indah Yuliasari Halaman B 083-088 Pelestarian Kawasan Kampung Arab Almunawar Palembang Retno Purwanti Halaman B 089-094 Pelestarian Makna Universal, Kelokalan dan Wujud Arsitektur Bangsal Sitihinggil Di Kraton Yogyakarta Alwin Suryono Halaman B 095-102 Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang Gianyar Made Prarabda Karma Halaman B 103-110 Pengaruh Adaptasi Arsitektur Tropis pada Bangunan Kolonial di Koridor Jalan Blang Mee Samudera Pase Nova Purnama Lisa, Nurhaiza Halaman B 112-118 Pengaruh Kualitas Bangunan dan Kondisi Lingkungan Bangunan Bersejarah Terhadap Wisata Budaya di Kota Medan Yuanita F.D Sidabutar, Sirojuzilam, Suwardi Lubis, Rujiman Halaman B 119-128 Peran Aspek Lokal Dalam Perancangan Arsitektur Kota Karya Karsten Albertus Sidharta Muljadinata, Antariksa, Purnama Salura Halaman B 129-136 Persepesi Masyarakat terhadap Nilai Sakral dari Alun-alun Bandung Heru Wibowo, Tri Widianti Natalia Halaman B 137-140 Perubahan Ruang Bermukim di Kampung Kapitan Palembang Irma Indriani Halaman B 141-148 Pesanggrahan Ambarukmo, Mengingat yang Terlupakan Yudha Pracastino Heston, Rr. Dyah Kartika Halaman B 149-156 Pola Tata Ruang Kampung Kwarasan Magelang Karya Thomas Karsten M. Maria Sudarwani, Iwan Priyoga Halaman B 157-160 Prinsip Rancangan Koridor Komersial di Kawasan Kota Tua Kota Gorontalo Elvie F. Mokodongan, Y.P. Erick. Ambarmoko Halaman B-161-170 Revitalisasi Situs Patirtan Watugede Singosari Sebagai Obyek Wisata Spiritual Berkelanjutan Junianto, Rosalia Niniek Sri Lestari, A. Tutut Subadyo Halaman B 171-176 Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya Ni Made Yudantini, Kadek Agus Surya Darma, Wayan Wiryawan Halaman B 177-184 Diskursus Analisis VGA Sebuah Pendekatan untuk Membaca Nilai Integrasi Ruang pada Bangunan Ndalem Joyokusuman Yogyakarta Sidhi Pramudito, Gerarda Orbita Ida Cahyandari, Vincentia Reni Vita Surya Halaman B 185-192 Konservasi Nilai-nilai Hunian Bali Aga (Bali Kuno) dalam Wisata Budaya di desa Penglipuran, Bangli Ida Ayu Dyah Maharani, Imam Santosa, Prabu Wardono, Widjaja Martokusumo Halaman B 193-200 Letak Gedung De Vries di Bandung Moch Ginanjar Busiri Halaman B 201-204 Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta Nindyasti Dilla Himaya Halaman B 205-210 Ragam Ornamentasi Pada Fasad Bangunan Kolonial Di Jalan Groote Postweg, Bandung Nahrul Ulum Halaman B 211-218 Rekomendasi Restorasi Fasade De Drie Locomotiven Teresa Zefanya, Bambang Setia Budi Halaman B 219-226 Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo Syahriana Syam, Ananto Yudono, Ria Wikantari, Afifah Harisah Halaman B 227-234 Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia dalam Konservasi Kawasan Pusaka Kota Lama Christin Dameria, Roos Akbar, Petrus Natalivan Halaman B 235-240 Studi Dampak Pembangunan Stasiun Bandung Terhadap Daerah Sekitarnya Febri Nur Fitrianto Halaman B 241-246 Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra Halaman B 247-254 Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta Steven Nio, Julia Dewi Halaman B 255-260 Wajah Militair Hospitaal dan ‘Kota Militer’ Cimahi Aileen Kartiana Dewi Halaman B 261-266 Kasus Studi Dualisme Fungsi Sumur Gumuling sebagai Masjid dan Benteng Pertahanan Retno Rosati Rosati Halaman B 267-274 Elemen Tangga Pada 3 Bangunan Kolonial Di Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta Hazimah Ulfah Az Zaky Halaman B 275-282 Identifikasi Perubahan Tatanan Spasial Karang di Desa Taro Kelod Gianyar Bali Annisa Nurul Lazmi, Dita Ayu Rani Natalia Halaman B 283-292 Konsep Rancangan Ruang Terbuka Publik dengan Pendekatan Naratif Kasus Studi: Taman Lapangan Banteng Jakarta Jessica Apriliani, Julia Dewi Halaman B 293-296 Konservasi Puri Smarapura di Klungkung, Bali Ni Ketut Agusintadewi Halaman B 297-304 Penelaahan Wajah Braga Dulu dan Sekarang Yasmin Chairani Ulfhah Halaman B 305-312 Pengantar Arsitektur Bangunan Perumahan Militer Pada Zaman Kolonial Di Kota Cimahi Muhammad Rizky Mulyana Halaman B 313-316 Pengaruh Arsitektur Hindu pada Masjid Tuha Indrapuri Dininta Annisa Halaman B 317-320 Pengelolaan Kawasan Kota Heritage Pesisir Berbasis Pariwisata Kreatif Studi Kasus Kawasan Kota Lama Semarang Mussadun Halaman B 321-326 Perkembangan Pola Tata Ruang Kawasan Destinasi Pariwisata Kepulauan di Pulau Batam Nurul Nadjmi Halaman B 327-336 Studi Deret Pohon Mahoni sebagai Elemen Lanskap Heritage pada Aksis Struktur Ruang Kota Kolonis di Kota Metro Fritz Akhmad Nuzir Halaman B 337-340 Pengabdian Pendampingan dalam Pendataan Bangunan di Kawasan Permukiman Tradisional 3-4 Ulu Palembang Tutur Lussetyowati, Meivirina Hanum, Ari Siswanto Halaman B 341-348 WARISAN SEJARAH Hasil Penelitian Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan, Yogyakarta Emmelia Tricia Herliana, Himasari Hanan, Hanson Endra Kusuma Halaman C 001-008 Identifikasi Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat Erlina Laksmiani Wahjutami Halaman C 009-016 Intangible Cultural Heritage Candi Sumberawan dalam Perspektif Kosmologi Ema Y. Titisari, Antariksa, Lisa Dwi W, Surjono Halaman C 017-022 iTripbudaya Aplikasi Berbasis Android Untuk Pengembangan Heritage Tourism di Kota Gresik Karina Pradinie, Putu Gde Ariastita, Azka Nur Medha Halaman C 023-028 Pariwisata dan Pelestarian Suatu Pendekatan untuk Mencegah Kerusakan Pada Bangunan Candi Masa Sriwijaya Ari Siswanto, Farida, Ardiansyah, Hendi Warlika Sedoputra Halaman C 029-038 Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali I Nyoman Widya Paramadhyaksa Halaman C 039-046 Diskursus Alkuturasi Budaya Hindu Budha Pada Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Fenyta Rizky Rahmadhani Halaman C 047-052 Arsitektur Vernakular, Penelusuran Pengaruh Tradisi atas Lingkung Bina Ami Arfianti, Josef Prijotomo, Purwanita Setijanti Halaman C 053-060 Biro Arsitek AIA ( Algemeen Ingenieur Architectenbureau ) dan karyanya di Batavia Alvin Fauzi Halaman C 061-068 Caruban Sebagai Asal Nama “ Cirebon” Eksplorasi Spirit Arsitektur Sudarmawan Juwono, Dwi Aryanti, Kiki Maria Halaman C 069-076 Gaya Arsitektur Bioskop Majestic di Bandung Adin Baskoro Pratomo Halaman C 077-080 Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa, Utara Cynthia E.V Wuisang, Dwight, M. Rondonuwu Halaman C 081-088 Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan Yuni Rahmawati Halaman C 089-096 Schoemaker dan Jejaknya di Kota Bandung Anisa Chandra Kharimah Halaman C 097-102 Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Menteri PURP Nomor 01 PRTM 2015 Yanto Horas Mangihut Manurung Halaman C 103-110 Valuasi Cagar Budaya, Perspektif Manajemen Sumber Daya Budaya R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa Halaman C 111-116 Kasus Studi Adaptasi Karya Arsitektur Wolff Schoemaker terhadap Iklim Tropis di Kota Bandung, Indonesia Dhaifina Mazaya Halaman C 117-124 Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa dengan Pengaruh Arsitektur Eropa Haneke Tiara Halaman C 125-128 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Guino Verma Halaman C 129-136 Kota Pusaka dan Pemikiran Kembali tentang Historical Attachment dalam Persepsi Masyarakat Studi Kasus: Parakan, Temanggung Ari Widyati Purwantiasning, Kemas Ridwan Kurniawan Halaman C 137-144 Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak Pada Masjid Saka Tunggal Banyumas Awaliyah Mudhaffarah Halaman C 145-150 Savepasarcinde Upaya Penyelamatan Bangunan Cagar Budaya Johannes Adiyanto Halaman C 151-158 Telaah Wujud Kebudayaan Dalam Arsitektur Tradisional Makassar Imriyanti, Shirly Wunas, Mimi Arifin, Idawarni J. Asmal Halaman C 159-164

SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN

Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya

Ni Made Yudantini(1), Kadek Agus Surya Darma(1), Wayan Wiryawan(1) nmy [email protected]

(1)Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Program Studi A rsitektur, F akultas Teknik, Univ ersitas Uday ana.

Abstrak

Kota Denpasar merupakan ibukota Propinsi Bali yang didirikan pada masa pra-kolonial dimana Kota Denpasar mendapat pengaruh sistem pemerintahan kolonial. Asal mula perkembangan kota dapat dilihat dari sejarah Bali termasuk era pra-sejarah, periode Bali Kuno, periode Majapahit, dan pengaruh periode kedatangan Eropa ke Bali, memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap perubahan karakter sosial-budaya kota. Periode Kemerdekaan Indonesia mengakibatkan dampak terhadap sistem struktur pemerintahan dan pembangunan kota yang cenderung mengakibatkan pertumbuhan penduduk, timbulnya masalah sarana-prasarana dan utilitas kota. Melalui studi kasus pada Kota Denpasar, dengan penjelajahan evolusi sejarah dan observasi terhadap peninggalan- peninggalan yang masih terdapat di Kota Denpasar, penelitian ini menyajikan informasi, dokumentasi tentang warisan budaya Kota Denpasar yang dilandasi oleh nilai budaya lokal Tri Hita Karana, serta perkembangannya. Penelitian ini juga bertujuan untuk konservasi kekayaan warisan budaya di Kota Denpasar termasuk tempat suci (pura), puri (kerajaan), pasar tradisional, alun-alun, arsitektur kolonial, ruang terbuka hijau, koridor sungai dan lingkungan sekitarnya untuk menuju transformasi Kota Denpasar menjadi Kota Budaya.

Kata-kunci : Kota Denpasar, Kota Budaya, sejarah, Tri Hita Karana, warisan budaya

Pendahuluan

Kota Denpasar merupakan salah satu kota di Bali dan menjadi pusat perkembangan bisnis, pendidikan dan pemerintahan. Pertumbuhan Kota Denpasar tidak terlepas dari pengaruh perkembangan global dan teknologi. Kota Denpasar tumbuh dan berkembang juga karena adanya pembauran atau perpaduan budaya dan konsepsi pola pikir warga kotanya. Perpaduan ini menciptakan budaya daerah dan kehidupan sosial warga yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Berdasarkan sejarah, sistem pemerintahan Kota Denpasar telah mengalami beberapa sistem, mulai dari ibu kota kerajaan pada jaman kolonial, kemudian menjadi ibukota administratif pada jaman kemerdekaan untuk wilayah ibukota, sampai akhirnya sekarang menjadi sebuah kota.

Denpasar awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Badung sebelum menjadi sebuah kota. Pola lintas dari pola kerajaan atau Catus Patha/Pempatan Agung menciptakan pusat ibukota selama era kerajaan di Jawa dan Bali (Bappeda, 2011). Dengan pengaruh perkembangan Kota Denpasar di masa lalu, tentu saja meninggalkan budaya, pola pikir, adat istiadat serta peninggalan kekayaan warisan budaya mulai jaman kerajaan, colonial dan kemerdekaan. Dengan adanya peninggalan- peninggalan warisan kebudayaan ini, maka Kota Denpasar merumuskan visi Kota Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya dengan mewujudkan Bali yang harmoni dan berkelanjutan di segala bidang (Bappeda, 2011). Warisan budaya ditekankan pada kegiatan seni, kegiatan sosial, serta peninggalan-peninggalan masa lalu seperti pura, puri, peken, alun-alun/ruang terbuka hijau, arsitektur peninggalan colonial dan style lainnya, koridor sungai dan tempat-tempat lain yang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 177

Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a berkaitan dengan sejarah masa lampau. Selain itu, Kota Denpasar sebagai kota urban terdiri dari masyarakat campuran atau plural berdasarkan budaya yang muncul sebagai karakteristik Kota Denpasar. Adanya pikiran terbuka, kerjasama, dan kesetaraan sebagai karakteristik dari masyarakat multicultural, yang terdiri dari budaya yang dipengaruhi oleh agama Hindu, dan diperkaya dengan keragaman multi-budaya, etnis dan keragaman bangsa Indonesia. Keberagaman budaya ini telah menciptakan warna dan keunikan budaya di Kota Denpasar (Bappeda, 2011; Geriya, 2010).

Pesatnya perkembangan global dan teknologi juga turut mengambil peran dalam munculnya permasalahan-permasalahan kota yang cukup signifikan dan tidak kalah pentingnya menurunkannya rasa kesadaran akan keberadaan kekayaan warisan budaya. Untuk itulah penelitian ini memaparkan informasi tentang evolusi sejarah Kota Denpasar, menguraikan dokumentasi dari observasi pada obyek-obyek warisan budaya untuk tujuan konservasi terhadap warisan budaya yang ada di Kota Denpasar. Diharapkan, penelitian ini juga menjadi sumbangsih untuk memperkaya pengetahuan tentang warisan budaya masa lampau di Kota Denpasar.

Metodelogi

Dalam penulisan artikel ini, merupakan hasil penelitian tentang sejarah berdasarkan qualitative research. Pengumpulan data berupa data sekunder yaitu studi literatur tentang sejarah Bali dan Kota Denpasar baik melalui arsip dan dokumen instansi terkait, Internet, serta sumber-sumber sejarah lainnya. Observasi dilakukan untuk memahami keberadaan warisan budaya di Kota Denpasar kemudian disajikan dalam bentuk informasi sejarah dan dokumentasi warisan budaya Kota Denpasar. Keluaran dari penelitian ini diharapkan untuk lebih memahami tentang sejarah Kota Denpasar serta perkembangannya pada masa sekarang.

Sejarah Bali dalam Pembentukan Kota Denpasar

Kota Denpasar tidak terlepas dari sejarah Bali dimana ada lima periode sejarah yaitu pra-sejarah, Bali Kuno, Kerajaan Majapahit, kedatangan warga asing, dan jaman Kemerdekaan (Adhika, 1994; Alit, 1996; Hardiati, 2013). Periode pra-sejarah adalah ketika kehidupan masyarakat didasarkan pada kondisi alam seperti hidup di gua-gua dan menggunakan sumber daya air. Periode ini memperkenalkan teknik pertanian, "subak" sistem irigasi dan produksi padi di daerah Cekik (Ardika, 2013). Bukti lain adalah kapak batu dan adzes di Desa Sembiran, dan drum perunggu di daerah Pejeng, Ubud. Periode Bali Kuno (abad ke-9) adanya pengaruh Hindu dari Jawa dimana melahirkan sistem hidup komunal masyarakat di desa-desa tradisional (desa adat), adanya pura Kahyangan Tiga, bale banjar, serta pola pempatan agung. Periode ketiga yaitu pengaruh Kerajaan Majapahit di Bali - yang dimulai pada tahun 1343 dan didahului oleh inspansi Patih Gajah Mada ke Bali. Selama era ini, sistem sosial kasta (Tri Wangsa yang terdiri dari Brahmana, ksatrya, dan Wisya) diperkenalkan oleh Dang Hyang Nirartha pada tahun 1480, dimana Brahmana memegang peranan penting pada masa ini (Pringle, 2004). Adanya kaligrafi Bali pada daun lontar/palm yang berisikan tentang terapi, filsafat, dan norma-norma arsitektur (Hasta Kosala-Kosali). Geertz (1975) menyimpulkan bahwa Bali pada tahun 1478, seiring jatuhnya Kerajaan Majapahit, membawa perubahan besar dalam budaya Bali dan masyarakat. Banyak pendeta, tokoh-tokoh masyarakat datang ke Bali dan tercipta perubahan pengetahuan di bidang agama, sastra, budaya dan politik.

Periode kedatangan warga asing dimulai dengan jatuhnya Kerajaan Majapahit di 1515. Periode ini juga mengakibatkan pengaruh pada kedua sistem budaya dan sosial Bali. Penggunaan "uang kepeng" (koin Cina), piring Cina, serta penggunaan ornament. Pengaruh dalam arsitektur menentukan tata letak bangunan, fungsi, ornamen, bahan bangunan dan konstruksi. Kedatangan pelaut Belanda di Bali pada 1597 yang dipimpin oleh Kapten Cornelis de Houtman dan diikuti pembentukan Dutch East India Company (VOC) pada tahun 1602. Selama periode ini, ada beberapa

B 178 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ni Made Yudantini pemberontakan dan peperangan seperti Kerajaan Klungkung, Kerajaan Badung, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Tabanan. Kedatangan orang asing membawa pengaruh terhadap perubahan gaya bangunan dengan gaya Barat seperti gedung perkantoran, sekolah, istana (loji). Belanda melihat perubahan ini berdampak pada hancurnya arsitektur tradisional Bali, kemudian Belanda membuat undang-undang yang disebut Balisering untuk menjaga keberlanjutan arsitektur tradisional Bali (Geertz, 1975). Struktur pemerintah Belanda memberi pengaruh pada struktur pemerintahan tradisional dengan otoritas tertinggi adalah raja dengan dibantu oleh seorang controleur. Dalam struktur pemerintahan tradisional juga memperkenalkan patih (wakil bupati/menteri untuk raja), punggawa, perbekel dan terendah adalah kelian.

Selama Perang Dunia II, Belanda diusir oleh Jepang, dan kemudian Indonesia merdeka pada tahun 1945, meskipun Belanda tidak mencoba untuk memerintah lagi, pada pertempuran tahun 1946 di Marga-Tabanan yang mengakhiri penjajahan Belanda. Periode kemerdekaan memperkenalkan sistem pemerintahan resmi dengan perencanaan top-down dan perencanaan bottom-up. Bali ditetapkan sebagai tujuan wisata melalui Rencana Induk Pariwisata di Bali yang dibuat oleh SCETO (konsultan Perancis) pada tahun 1966-1972. Ada sekitar 21 daerah yang diplot sebagai daerah pariwisata seperti Nusa Dua, Kuta, Sanur (Denpasar), serta Ubud. Pada tahun 1930 dengan kedatangan antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson, seniman Miguel Covarrubias dan Walter Spies, dan musikolog Colin McPhee membantu munculnya pariwisata di Bali. Sejak itulah Bali semakin terkenal dengan tujuan pariwisata di mata dunia (Alit, 1996; Ardika, 2013).

Sekilas Kota Denpasar

Menurut sejarah, Denpasar dibangun dan mencerminkan perubahan kepemimpinan. Kota Denpasar diyakini berkaitan dengan keberadaan pohon beringin di sebelah utara pasar yang terletak di sebelah selatan Puri Satria. Di bawah pohon beringin terdapat taman kerajaan yang dibangun oleh raja I Gusti Ngurah Gde Pemecutan. Taman ini bernama Taman Denpasar atau taman di utara pasar, dimana 'den' yang berarti utara dan ‘pasar’ berarti pasar. Di daerah ini raja membangun puri Denpasar setelah kematian ayahnya di Kerajaan Badung pada tahun 1788. Ibukota Kerajaan Badung sebelumnya adalah di Puri Satria kemudian dipindahkan ke Puri Denpasar. Puri baru ini menerapkan pola catuspatha/pempatan agung atau pola lintas jalan (cross-road) sebagai pengaruh dari perencanaan kota selama pengaruh Kerajaan Majapahit (Bappeda, 2011).

Kota Denpasar terletak antara 08 35'31 "- 08 44'49" Lintang Selatan dan 115 10'23 "- 115 16'27" Bujur Timur, dan berbatasan dengan wilayah di Utara oleh Kecamatan Megwi dan Kabupaten Badung; di Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukawati dan Kabupaten Gianyar; di Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta, dan Kabupaten Badung; dan di Barat berbatasan dengan Kecamatan Kuta Utara dan Kabupaten Badung. Secara administratif, Kota Denpasar memiliki empat kecamatan dengan 43 desa. Empat kecamatan tersebut yaitu Denpasar Timur (22,31 km²), Denpasar Selatan (49.99 km²), Denpasar Barat (24,06 km²), dan Denpasar Utara (31,42 km²). Topografi Kota Denpasar meliputi reklamasi seluas 380 ha di Pantai Serangan. Dengan demikian Kota Denpasar memiliki luas total 127,78 km² atau 12,778 ha. Kota Denpasar terletak di wilayah dataran 0-75 m di atas permukaan laut. Kota Denpasar memiliki tiga sungai sebagai sumber air; Sungai Ayung, Sungai Badung, dan Sungai Mati dan ada beberapa anak sungai termasuk Tukad Tebe, Tukad Abianbase, Tukad Loloan, Tukad Ngejung, Tukad Punggawa, Tukad Rangda, dan Tukad Pekasih. Kota Denpasar memiliki dua musim yaitu musim hujan (musim hujan) dan musim ke ring dan masing-masing melibatkan sekitar enam bulan. Musim hujan rata-rata 236,7 mm per tahun dengan suhu antara 25.70⁰C dan 28.20⁰C. Kelembaban rata-rata 79,4% dengan mulai dari 79% menjadi 84% (Neraca Sumber Daya Alam Kota Denpasar, 2009). Populasi Kota Denpasar sebanyak 788.589 jiwa pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 880.600 jiwa pada tahun 2015. Masyarakat Kota Denpasar sebanyak 47.11% bekerja di sektor perdagangan dan bisnis, 20.9% di sektor jasa Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 179

Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a dan sosial, 10.43% di sektor industry dan sisanya tersebar pada sektor tansportasi, komunikasi, pertanian, keuangan dan ulititas (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2016).

Masa Lalu hingga Masa Kini Pergerakan Kota Denpasar

Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Denpasar (2011) mengklasifikasikan sejarah Denpasar menjadi tiga bagian sebagai berikut; Kota Denpasar dalam periode pra-kolonial; Kota Denpasar di era modern; dan pada periode pasca-modern.

1. Periode Pra Kolonial

Pendirian Kerajaan Badung

Pada jaman pra-kolonial ini beberapa bukti berupa prasasti dan tempat suci, menyebutkan tentang Kerajaan Badung (1350) diantaranya prasasti Blanjong Sanur (913), Pura Maospahit di Banjar Gerenceng dan Desa Tonja yang dibangun pada abad ke -14. Artefak-artefak menyebutkan kehidupan pada saat itu teroganisisr cukup baik yang ditandai dengan pertanian dengan sistem subaknya, pengaturan pesisir untuk kegiatan perdagangan di daerah Kuta dan Sanur. Hal ini juga menunjukkan adanya interaksi antara masyarakat setempat dengan pedagang asing seh ingga tumbuhnya berbagai komunitas etnis yang juga membentuk struktur desa-desa di Bali. Pada masa ekspedisi Patih Gajah Mada pada tahun 1343, dikenal dengan seorang panglima Arya Kenceng pendiri Kerjaan Badung dan Kerajaan Tabanan, yang menyerang Kerajaan Bedahulu kemudian dia menetap di Desa Buahan Kabupaten Tabanan, dan melahirkan keturunan-keturunan di Puri Alang Badung, Puri Pamecutan dan Puri Gelogor di Denpasar dan tetap menjalin kerjasama dengan kerajaan pusat di Kerajaan Sweca Linggarsapura Gelgel di Jawa. Pada pemerintahan Kyai Agung Di Made, Kerajaan Badung bekerjasama dengan VOC di bidang perdagangan dengan membangun kantor di pelabuhan Kuta sekitar abad ke-17 (Bappeda, 2011).

Hubungan kekerabatan antara Raja Badung, di Puri Alang Badung dan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati, berjalan sangat baik dan ini berhubungan dengan warisan kewenangan dari Raja I Gusti Ngurah Pukulbe Ketewel. Salah satu putra mereka, I Gusti Pukulbe Aeng, adalah reinkarnasi dari I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati, dan ia menjadi pewaris tahta Puri Alang Badung. I Gusti Pukulbe Aeng kemudian memindahkan tahtanya dan membangun sebuah istana di Puri Satria pada tahun 1750. Selama pemerintahan I Gusti Gde Rai di Puri Pamecutan, Raja Gusti Pukulbe Aeng di Puri Satria menguasai Kerajaan Badung. Kedua raja membentuk kemitraan yang solid yang memungkinkan stabilitas, dan pembentukan kebesaran dan integritas kerajaan Badung.

Pembentukan Puri Denpasar (1788-1906)

Puri Denpasar terbentuk secara resmi dengan raja pertama I Gusti Ngurah Made Pamecutan (1788 - 1813) yang berasal dari keturunan Puri Pamecutan. Pada masanya, beliau berhasil menguasai Kerajaan Jembrana (1805-1818). Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh put ra beliau yaitu I Gusti Gde Ngurah, sedangkan putra keduanya I Gusti Gde Kesiman menjadi raja pertama di Puri Kesiman (1813-20 Nov 1865). Puri Denpasar selanjutnya diperintah oleh raja kedua yaitu I Gusti Ngurah Pukulbe (1813-1817). Raja ketiga, I Gusti Made Ngurah yang masih muda sehingga mudah terpengaruh oleh pamannya di Puri Kesiman dan pada era ini Kerajaan Badung merupakan pusak bisnis dan kota yang sibuk di bidang perdagangan. Pada masa pemerintahan raja Denpasar ke empat, I Gusti Gde Ngurah, beliau mendapat gelar Cokorda Denpasar yang dipercaya sebagai raja yang unggul di Kerajaan Badung meskipun Puri Kesiman tetap merupakan kerajaan yang memegang andil yang cukup penting di bidang politik dan ekonomi. Setelah raja Kesiman I Gusti Gde Kesiman meninggal tahun 1865, otoritas Kerajaan Badung pindah ke Puri Denpasar. Ada tiga raja yang memerintah sebelum terjadinya Puputan Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah (raja Denpasar V, 1863 - B 180 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ni Made Yudantini 1883); I Gusti Alit Ngurah yang juga disebut I Gusti Ngurah Pukulbe Pamecutan (raja Denpasar VI, 1883-1902); dan I Gusti Made Agung (raja Denpasar VII, 1902-20 September 1906) yang meninggal bersama-sama dengan Raja Pamecutan VIII, I Gusti Ngurah Pamecutan (Desember 1890 -1820 September 1906), terbunuh oleh Dewata ring Keris pada awal September 1906 (Bappeda, 2011).

Periode Puputan Badung (1900-1906).

Selama periode Puputan Badung (1906), Badung Raja, I Gusti Alit Ngurah (Raja Denpasar VI) meninggal pada tahun 1902 dan digantikan oleh adiknya, I Gusti Ngurah Made Agung (Raja Denpasar VII). Raja Denpasar yang baru diakui sebagai pemimpin yang baik, dengan perilakunya didasarkan pada nilai-nilai yang benar dari agama Hindu, seperti yang ditunjukkan dalam Puputan Badung melawan agresi Belanda, di mana ia membela dan mempertahankan kedau latan wilayah Badung sampai kematiannya. Pertempuran bermula dari informasi yang salah pada tahun 1904 dimana tongkang Sri Kumala, yang dimiliki oleh kapten Cina, Kwee Tek Tjiang, terdampar di pantai Sanur. Orang-orang Sanur berusaha untuk membantu menyelamatkan tongkang dan muatannya, dan aturan tradisional Bali menentukan bahwa pemilik tongkang harus membayar orang Sanur yang memberikan bantuan. Namun Kwee Tek Tjiang mengeluh kepada Belanda di Singaraja dengan alasan bahwa tongkang itu disita oleh orang Sanur. Gubernur Belanda, Van Hentz, menggunakan insiden ini untuk langsung campur tangan dalam Kerajaan Badung memblokade pelabuhan dan perdagangan dari Kerajaan Badung utara, di Singaraja. Belanda juga dibantu oleh Gianyar dan Karangasem memblokade sisi timur Bali. Pertempuran ini dimulai pada tanggal 12 September 1906 dimana Belanda mengirim ekspedisi militer ke Selat Badung. Pelabuhan Sanur itu kemudian diduduki oleh Belanda. Karena benteng yang hanya 5 km dari Puri Denpasar, perkelahian pun terjadi antara pasukan Badung dan militer Belanda di daerah Sanur sampai Belanda menduduki Puri Kesiman, Denpasar, dan Pamecutan. Selama pertempuran, raja-raja Denpasar dan Pamecutan menginstruksikan staf mereka untuk membakar istana dan menghancurkan segala sesuatu di istana untuk mencegah Belanda melakukan kontrol dan menguasai tempat-tempat ini dan atribut mereka. Raja dan orang-orang Badung melakukan tradisi Bali mesatya; dalam pertempuran itu berarti mereka melakukan perang dengan ketulusan dan dengan kekudusan untuk mempertahankan bumi mereka.

2. Periode Modern (Kolonial-Republik)

Sejak Puputan tahun 1906, Kerajaan Badung dikuasai oleh Belanda dan Belanda memulai pembangunan di segala bidang termasuk konstruksi, permukiman, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan serta infrastruktur lainnya seperti jalan raya, jembatan dan lainnya. Pada masa ini Denpasar tumbuh dengan beberapa desa tradisional serta adanya multikultrs seperti adanya permukiman Kampung Jawa. Pola catuspatha/pempatan agung sebagai nol kilometer kota Denpasar, sebagai pusat pemerintahan pada masa itu. Kedatangan artis, antroplog ke Bali juga ikut memberikan warna pada perkembangan Kota Denpasar yang secara tidak langsung ikut mempromosikan budaya Bali, seperti Charlie Chaplin, Margaret Mead, Le Mayeur yg tinggal di Bali sejak 1932. Sejak kemerdekaan, Denpasar menjadi bagian dari Sunda Kecil pada tanggal 24 Desember 1946 di bawah NIT (Negara Indonesia Timur) dan juga menjadi bagian dari Kabupaten Badung. Berdasarkan pertimbangan antara Provinsi Bali dan Kabupaten Badung, kesepakatan dibuat untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar berdasarkan Peraturan No. 1/1992, 15 Januari 1992, yang memungkinkan pembentukan Kota Denpasar, dan diresmikan oleh Menteri dalam Negeri tanggal 27 Februari 1992.

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 181

Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a 3. Periode Post Modern

Dalam era ini, Kota Denpasar telah dikembangkan dari basis pertanian ke basis pariwisata dan ini telah mempengaruhi kinerja kota termasuk pengenalan arsitektur post -modern meskipun perubahan ini belum secepat kota-kota lain di Indonesia. Pariwisata adalah pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan Denpasar. Ini dimulai dengan pembangunan Bali Beach Hotel (sekarang dikenal sebagai The Grand Bali Beach) yang didirikan sebelum peraturan pada tinggi bangunan itu diberlakukan. Perkembangan bandara internasional juga telah dipengaruhi perkembangan lain dalam Denpasar dan sekitarnya. Sebagai konsekuensinya, pemerintah Bali mengeluarkan aturan untuk menjaga dan melestarikan arsitektur tradisional Bali melalui peraturan (Perda no 5/2005) termasuk arsitektur bangunan didefinisikan dalam tiga warna, yaitu Heritage Architecture, Arsitektur Tradisional Bali, dan Non-arsitektur tradisional Bali.

Warisan Budaya Kota Denpasar dan Perkembangannya

Seperti halnya UNESCO (1972) telah mengklasifikasikan cultural heritage menjadi dua yaitu tangible (fisik) dan intangible (non-fisik/maya). Demikian juga pemerintah Kota Denpasar telah memetakan kekayaan warisan budaya yang tersebar di Kota Denpasar berdasarkan sejarah kota dari masa pre- histori sampai periode saat ini. Warisan budaya ini dapat dikategorikan menjadi warisan budaya dari masa Megalithik, masa klasik, dan masa Bali Baru (Bappeda, 2011). Dari periode Megalitik, warisan budaya Kota Denpasar termasuk patung-patung megalitik yang berbentuk manusia, monumental dan ukiran menunjukkan jenis kelamin atau alat kelamin; batu alam, lumpang batu; tabel batu atau dolmen; palung batu; bangunan punden berundak terlihat seperti piramida; masker/topeng wajah dengan ukiran sederhana; takhta batu; dan menhir (batu tegak tinggi sebagai media untuk menghormati leluhur). Warisan budaya Kota Denpasar era klasik terdiri dari elemen bangunan (tumpukan batu), candi, prasasti, arca, dan warisan lain seperti lingga dan jaladwara. Warisan budaya periode Bali Baru terdiri dari istana/puri, museum, hotel, universitas, permukiman tradisional termasuk pura Tri Kahyangan Tiga, pola perumahan tradisional, tempat pertemuan masyarakat (bale banjar), pasar tradisional, pemakaman Bali (setra), dan permukiman masyarakat non-lokal seperti rumah panggung, loteng, rumah toko, masjid, dan makam kuno (Bappeda, 2011, pp. 9 -11).

Gambar 1. Pura Maospahit yang terdapat di Banjar Gerenceng, sebagai cagar budaya Kota Denpasar

B 182 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ni Made Yudantini Seiring dengan perkembangan Kota Denpasar, ada tiga budaya unggulan yang diberikan oleh UNESCO kepada Kota Denpasar sebagai Warisan Budaya Dunia (Geriya, 2016), antara lain keris pusaka yang ditetapka UNESCO pada tahun 2005, sistem irigasi tradisional subak yang ditetapkan UNESCO tahun 2012, dan seni tari Bali ditetapkan pada tahun 2015. Berbagai kegiatan dan partisipasi aktif telah dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar untuk tetap memelihara dan menumbuhkan kesadaran masyarakatnya akan kekayaan warisan budaya yang dimiliki. Setidaknya ada lima hal yang diuraikan oleh Geriya (2016) yaitu: 1. Revitalisasi pusaka budaya sebagai modal pembangunan Kota Denpasar ke depan; 2. Berkembangnya berbagai kegiatan festival yang berdasarkan pusaka budaya seperti Denpasar Festival, Sanur Village Festival, Festival Pesona Pulau Serangan; 3. Menguatnya tradisi pusaka seperti ritual Pangerebongan di Desa Kesiman dan tradisi Med-Medan di Banjar Kaja, Desa Sesetan; 4. Tumbuhnya kader-kader pelestari, komunitas kreatif hingga dibentuknya Dewan Pusaka Kota Denpasar; 5. Berkembangnya berbagai kajian, penerbitan dan dokumentasi tentang pusaka Kota Denpasar; 6. Berkembangnya ekonomi kreatif berbasis pusaka budaya unggulan sehingga meningkatkan taraf ekonomi masyarkat serta teknologi, pendidikan dan budaya. Dengan demikian, pelestarian yang telah dilakukan oleh Kota Denpasar tidak saja berbasis pada obyek-obyek yang berwujud secara phisik (tangible) namun juga telah melestarikan obyek-obyek budaya yang bersifat ‘maya’ (intangible) sebagai penyeimbang, penguat dan harmoni terhadap obyek phisik (Geriya, 2016).

Melihat kembali sejarah Kota Denpasar yang telah ditetapkan oleh Bappeda (2011) ke dalam tiga periode yaitu pra-kolonial, era modern, dan pasca modern, Geriya (2016) melihat perkembangan Kota Denpasar secara histori lebih dari dua abad (1788-2016) mencerminkan transformasi Continuity in Changes. Keberlanjutan dalam perubahan ini lebih lanjut dipaparkan oleh Geriya (2016) ke dalam tiga representasi pokok dan lima tahap pengembangan. Ketiga representasi pokok tersebut terdiri dari landasan multicultural (budaya tradisional/rakyat hingga modern), landasan legal (penet apan kelahiran Kota Denpasar 27 Pebruari 1788), dan landasan indentitas (Kota Denpasar sebagai kota berwawasan budaya). Lima tahap pengembangan dalam rangka memelihara dan mempertahankan budaya dan identitas Kota Denpasar sebagai kota budaya, terdiri dari pengembangan data dasar (kajian pemetaan kekayaan dan keragaman pusaka alam, budaya dan sujana); pengembangan jaringan kota pusaka; penguatan sinergi (sinergi kota berwawasan budaya, kota kreatif dan Denpasar sebagai kota cerdas); penguatan eksistensi (penghargaan dunia untuk tiga unggulan keris pusaka, subak dan seni tari); dan pengawalan berkelanjutan (tujuan Sustainable Development Goal’s 2015-2025).

Gambar 2. Salah satu warisan budaya intangible yaitu subak sistem yang masih terjaga di Kota Denpasar, di Desa Budaya Kertalangu, Kesiman. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 183

Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a Kesimpulan

Warisan budaya Kota Denpasar telah terpelihara dan terdokumentasi dengan baik yang berupa tangible dan intangible. Kekayaan warisan budaya ini tidak terlepas dari sejarah masa lampau serta perkembangannya hingga kini. Pemerintah Kota Denpasar semakin menyadari bahwa warisan budaya ini harus tetap dijaga dan diperkenalkan kepada generasi penerus, untuk itu berbagai kegiatan untuk pengenalan dan pemahaman terhadap kekayaan warisan budaya ini telah secara rutin dilaksanakan sehingga diharapkan senantiasa meningkatkan kewaspadaan, kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya tersebut. Bappeda (2011) menekankan bahwa konservasi warisan budaya Kota Denpasar harus memiliki tujuan yang jelas untuk melestarikan dan menjaga warisan fisik termasuk lingkungannya, dan untuk melestarikan nilai-nilai budaya untuk dapat diwarisankan kepada generasi berikutnya. Konservasi dapat dicapai melalui dokumentasi mutu, diskusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai budaya, norma dan estetika, dan dapat ditunjukkan melalui penampilan fisik dari warisan budaya yang memungkinkan orang untuk terlibat, memiliki pengalaman dan menghargai warisan budaya ini. Meskipun warisan budaya Kota Denpasar telah dipetakan secara menyeluruh, namun ke depannya untuk pengatahuan masih tetap harus dilanjutkan penelitian-penelitian berikutnya untuk menemukembangkan kekayaan warisan budaya yang mungkin ada belum tergali.

Daftar Pustaka

Adhika, I. M. (1994). Peran Banjar Dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali, Studi Kasus Kota Denpasar. Master Thesis. Bandung, Indonesia: Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Alit, I Ketut. (1996). Diskrepansi Pola Pembangunan Fasilitas Lingkungan Secara Adat dan Dinas dalam penataan Ruang Desa-Desa Wisata di Bali. Master Thesis. Bandung: Institute Teknologi Bandung. Ardika, I.W. (2009). Sejarah Bali Kuno: Bali Tempo Dulu. Retrieved 28 July 2015, from Museum Purbakala Bali http://serbasejarah.blogspot.com.au/2011/07/sejarah-bali-kuno-bali-tempodulu.html Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. (2016). Denpasar Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, retrieved from https://denpasarkota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/481, 28 Peb 2017. Bappeda. (2011). Penelusuran Sejarah Kota Denpasar. Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar. Geertz, H. & Geertz, C. (1975). Kinship in Bali: University of Chicago Press Geriya, I.W. (2016). Denpasar Kota Pusaka: Dalam Paradigma Keunggulan, Kreatif, dan Cerdas Kekuatan Baru Menuju Harmoni dan Kebahagiaan. Denpasar: Strategic Meeting Organization of World Heritage (OWHC) Asia Pacific. Hardiati, E.S. (2013). Indonesian Heritage: Sejarah Awal. Bali Pada Periode Klasik Madya: Widya Wahana Library, Indonesia Pringle, R. (2004). A Short History of Bali; Indonesia's Hindu Realm. NSW, Australia: Allen & Unwin. UNESCO. (1972). Convention concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Paris: UNESCO.

B 184 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017