DARI GULA HINGGA KARET: CONCERN MENGHADAPI BERBAGAI RINTANGAN 1924—1945

Kintan Lestari, Yuda B. Tangkilisan

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas , Depok, Indonesia

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang Oei Tiong Ham Concern di bawah generasi ketiganya, yaitu Oei Tjong Hauw. Aktivitas utama Oei Tiong Ham Concern sebelumnya bergerak dibidang perdagangan gula, kemudian datangnya depresi ekonomi pada tahun 1930-an mempengaruhi bisnis gula perusahaan ini. Perdagangan gula menjadi fluktuatif sehingga untuk meminimalkan kerugian perusahaan ini memasuki bisnis baru, yakni pengolahan karet. Berhasil bertahan melewati masa depresi, perusahaan ini kembali mendapat tantangan pada masa pendudukan Jepang. Kontrol pemerintah Jepang membuat Oei Tiong Ham Concern hanya dapat bertindak sebagai agen perdagangan saja. Depresi ekonomi dan masa pendudukan Jepang memperlihatkan bagaimana Oei Tjong Hauw, selaku pemimpin Oei Tiong Ham Concern mampu mempertahankan perusahaan ditengah situasi yang berubah.

Kata kunci: Oei Tiong Ham Concern, Oei Tjong Hauw, gula, karet, depresi ekonomi 1930, masa pendudukan Jepang

ABSTRACT

This research discusses about Oei Tiong Ham Concern under the third generation, Oei Tjong Hauw. The prominent activities from Oei Tiong Ham Concern previously engaged in the sugar trade, then the arrival of the economic depression in the 1930s affect the company’s sugar business. The sugar trade became volatile so to minimize the losses the company entering new business, i.e. rubber processing. Managed to survived through a depression, the company again received a challenge during the Japanese occupation. Japanese government controls make Oei Tiong Ham Concern can only act as a trading agent alone. The economic depression and Japanese occupation shows how Oei Tjong Hauw, as the leader of Oei Tiong Ham Concern able to survive amid the changing situations.

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017

Keywords: Oei Tiong Ham Concern, Oei Tjong Hauw, sugar, rubber, economic depression 1930s,

Pendahuluan

Di tengah perkembangan Jawa yang signifikan, seorang imigran Cina menginjakkan kaki pertama kali ke . Ia adalah Oei Tjie Sin, seorang Cina yang membangun sebuah kongsi1 dagang yang bernama Kian Gwan, yang mempunyai arti “Sumber Kemakmuran Bagi Semua Orang” pada tanggal 1 Maret 1863. Sebelum wafat, Oei Tjie Sien memilih Oei Tiong Ham sebagai pewarisnya, diantara anak-anaknya yang lain. Sebelum mewarisi Kian Gwan, Oei Tiong Ham sebenarnya sudah memulai usahanya sendiri yaitu dengan menjual gula sejak tahun 1880-an. Periode tersebut sebenarnya bukanlah periode yang menguntungkan untuk berdagang. Akan tetapi, di saat pedagang lain gagal Oei Tiong Ham justru meraih kesuksesan. Kesuksesannya menjual gula membuat Oei Tiong Ham kemudian terjun ke bidang produksi gula pada tahun 1890-an dan berhasil memperoleh pabrik gula di Ponen, Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, dan Pakis. Pada tahun 1893 Kian Gwan telah diubah menjadi perseroan terbatas dengan nama “N.V.2 Handel Maatschappij Kian Gwan”. Selain berkecimpung dalam bisnis gula, Oei Tiong Ham juga melebarkan usahanya ke komoditas lainnya seperti karet, tapioka, kapuk, kopi, lada, tekstil, beras, rotan, damar, dan beras. Tidak seperti dimasa ayahnya yang hidup dengan berbagai peraturan yang membatasi gerak-gerik orang Cina, pada saat Oei Tiong Ham melakukan ekspansi bisnisnya peraturan-peraturan tersebut sudah dihapuskan sehingga memudahkan bagi ekspansi bisnisnya keluar wilayah Semarang. Yang membuat Oei Tiong Ham lebih maju dibandingkan dengan pengusaha Cina lainnya adalah ia terbuka dengan pemikiran-pemikiran barat yang modern dan mempraktekkannya dalam strategi bisnis yang digelutinya. Ia mempekerjakan tidak hanya

1 J. L. Vleming. Jr, dalam bukunya yang berjudul Kongsi dan Spekulasi: Jaringan Kerja Bisnis Cina memberikan pengertian kongsi adalah pengelolalaan (si) atas milik bersama atau usaha umum (kong). Kongsi lebih banyak merupakan perikatan perorangan (dengan suatu ikatan yang akrab antara pengusaha dan penanam modal), dan bukan melulu asosiasi permodalan yang disediakan oleh masyarakat penanam modal. 2 Bentuk NV dipilih oleh perusahaan keluarga agar ketika pesero meninggal tidak hanya diwariskan kepada anak yang menjadi pewaris saja , tapi juga anak-anak lainnya tau jandanya. Selain itu, juga kekhawatiran akan perusahaannya yang akan berantakan ketika pesero meninggal dan anak-anaknya tidak mencapai kata sepakat. (Lihat J. L. Vleming Jr. 1988. Kongsi & Spekulasi: Jaringan Kerja Bisnis Cina. Jakarta: Pustaka Grafiti, hlm. 76)

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 pegawai Cina saja, tetapi juga orang Belanda dalam perusahaannya.3 Keputusannya tersebut disebabkan karena ia menyadari kekurangan orang-orang Cina dalam berbisnis, serta untuk tujuan politis pula. Bisnis gula Oei Tiong Ham mulai meluas ke luar Hindia Belanda. Kemudian ia mengintegrasikan usaha-usaha yang didirikannya. Ia mengelompokkan pabrik gulanya ke dalam NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken. Lalu mendirikan NV Midden Java Veen yang merupakan perusahaan pergudangan khusus untuk menyimpan gula; serta membangun NV Heap Eng Moh Steamship Co., lebih di kenal dengan Red Funnel Line, yaitu perusahaan perkapalan regional untuk melayani perdagangan dengan Singapura. Ia juga mendirikan sebuah bank pada tahun 1906 yang diberi nama NV Bank Vereeniging Oei Tiong Ham. Kelak kerajaan bisnis ini menamakan dirinya Oei Tiong Ham Concern dan berkantor pusat di Semarang.4 Pada periode sebelum perang, Oei Tiong Ham Concern merupakan perusahaan konglomerat pertama dan terbesar milik orang Cina di wilayah Asia Tenggara. Kantor cabangnya pun berada di dalam dan luar negeri, seperti di Surabaya, Jakarta, London, Singapura, Calcutta, Bombay, Karachi, Hongkong, dan Shanghai. Oleh karena itu, ia dijuluki sebagai Raja Gula dari Jawa. Pecahnya Perang Dunia I, merubah permintaan akan komoditas pasaran dunia yang tentunya berkaitan dengan barang-barang kebutuhan perang. Dampak nyata yang terlihat adalah menurunnya harga komoditi ekspor dan naiknya harga komoditi impor.5 Akibatnya Oei Tiong Ham Concern juga mengalami kerugian. Sebelum wafat pada tahun 1924, ia pindah ke Singapura untuk menghindari pemerintah ikut campur dalam urusan bisnis dan warisannya. Ia mewariskan kerajaan bisnisnya pada dua orang putranya, yaitu Oei Tjong Swan dan Oei Tjong Hauw. Kedua pewaris tersebut mewarisi kerajaan bisnis ayahnya. Dibawah kepemimpinan dua pewaris ini Oei Tiong Ham Concern mengalami banyak rintangan, diantaranya yaitu datangnya depresi ekonomi dan masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dari uraian diatas, nampak bahwa berubahnya struktur kepemilikan sebuah perusahaan akan menciptakan jalan yang berbeda dari pendahulunya. Terutama bagi

3 J. Panglaykim and I. Palmer. 1970. Study of Entrepreneurialship in Developing Countries: The Development of One Chinese Concern in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies Volume 1 No. 1 (March, 1970), pp 85— 95. Published by: Cambridge University Press on behalf of Department of History, National University of Singapore. Hlm. 88 4 Benny G. Setiono. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Hlm. 257 5 Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Hlm. 101

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 perusahaan-perusahaan milik orang Tionghoa yang mendapat stigma hanya akan bertahan sampai dua atau tiga generasi saja. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan strategi untuk mengantisipasi stigma tersebut. Selain upaya penerus Oei Tiong Ham Concern, Oei Tjong Hauw, untuk mengembangkan dan mempertahankan kerajaan bisnis warisan ayahnya. Ia juga memerlukan strategi untuk mengantisipasi berubahnya struktur politik dalam negeri saat itu, pada saat Indonesia sedang berada dibawah pendudukan Jepang. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan keberlangsungan sebuah perusahaan Cina yang besar, Oei Tiong Ham Concern, yang setelah diwariskan pada generasi selanjutnya harus menghadapi perubahan-perubahan yang berdampak pada perusahaan tersebut. Kajian mengenai Oei Tiong Ham Concern pada periode kolonial hingga pendudukan Jepang merupakan kajian yang menarik, karena dapat menjadi panutan bagi perusahaan-perusahaan saat ini untuk dapat membaca situasi dan menggunakan strategi ekonomi yang mampu mempertahankan eksistensi sebuah perusahaan besar dalam menghadapi berbagai perubahan. Bagian pertama tulisan ini berisikan nasib masyarakat Tionghoa pasca berubahnya situasi politik dalam negeri. Sementara bagian terakhir berisi kondisi Oei Tiong Ham Concern dibawah pendudukan Jepang.

Metode Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang mencakup heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah heuristik yaitu tahapan untuk mengumpulkan data, baik sumber primer maupun sekunder, yang dapat mendukung hasil penelitian penulis. Sumber-sumber primer untuk penelitian ini penulis dapatkan dari arsip di Badan Perpustakaan Dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, khususnya dalam katalog arsip Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), serta dari surat kabar Matahari, Djawa Tengah, dan Pemandangan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, sumber sekunder yang berhasil dikumpulkan adalah berupa buku-buku, diantaranya yaitu buku suntingan Yoshihara Kunio berjudul Konglomerat Oei Tiong Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara dan Elite Bisnis Cina di Indonesia Dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940—1950 karya Twang Peck Yang. Setelah data-data terkumpul, penulis melanjutkan ke tahap verifikasi dimana data-data yang sudah ada disaring terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya, yaitu interpretasi, dimana penulis menginterpretasi kembali tulisan tentang Oei Tiong Ham Concern pada tahun 1924—1945. Dan tahapan terahir adalah historiografi. Tahapan ini

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 merupakan tahapan penyusunan dan perekonstruksian suatu peristiwa ke dalam tulisan agar menjadi sebuah karya yang utuh.

Hasil Penelitian Sebagaimana yang telah diketahui, perdagangan gula merupakan bisnis utama OTHC. OTHC memiliki enam pabrik gula, antara lain Ponen, Pakkis, Redjoagung, Krebet, dan Tanggulangin, yang berada dibawah direksi NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken. Dengan aset sebesar f. 1000.0006, pabrik gula Krebet menghasilkan gula sebanyak 21.000 ton. Sementara dengan modal sebanyak f. 600.0007, pabrik gula Ponen dan Redjoagung menghasilkan gula masing-masing sebesar 12.000 ton dan 35.000 ton. Untuk pabrik gula Tanggulangin dan Pakkis, keduanya menghasilkan 20.500 ton dan 13.000 ton gula, namun jumlah modal kedua pabrik tersebut tidak diketahui. Seperti yang diketahui, gula sangat rentan terhadap udara lembab. Oleh sebab itu, tempat penyimpanannya perlulah tahan terhadap kelembapan udara. Pabrik-pabrik gula NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken semuanya sudah dilengkapi dengan peralatan yang cukup modern. Pabrik gula Krebetnya merupakan pabrik yang tempat penyimpanannya lolos uji tes tahan asam dan anti karat.8 Di pabrik ini juga digunakan generator serta memakai mesin molen untuk penelitian struktur kristal.9 Cabang OTHC lainnya yang juga mengangani perdagangan gula mendapat keuntungan sebelum datangnya depresi. Pabrik gulanya di London dalam kurun waktu sepuluh tahun, dari 1919—1929, menangani rata-rata 70.000 ton gula per tahunnya.10 Dan cabang OTHC di Calcutta yang baru didirikan pada tahun 1925, tiga tahun setelahnya memecahkan rekor penjualan gula yaitu sebesar 60.000 ton gula. Depresi yang melanda Hindia Belanda mengakibatkan mandeknya perdagangan gula sehingga jumlahnya jadi berlimpah. Lahirnya Perjanjian Chadbourne pada tahun 1931 menyebabkan Jawa harus mengurangi jumlah produksi gulanya, yang tadinya tiga juta ton menjadi 1,4 juta ton saja dimana satu juta tonnya untuk keperluan ekspor.11 Perjanjian Chadbourne ini nanti diikuti oleh Konvensi Gula Internasional yang menentukan kuota ekspor bagi negara-negara penghasil gula.

6 Handboek voor Culturen Handelsondernemingen in Nederlandsch-Indie 1929. Hlm. 770 7 Ibid, 848 dan 855 8 Surat dari Kepala Direktur Bagian Teknik Kimia kepada NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken tanggal 10 Maart 1934. 9 Lihat Aan het proefstation voor de Java Suikerindustrie, Pasoeroean, tanggal 15 Mei 1940, P3GI 10 Liem Tjwan Ling, “Raja Gula Oei Tiong Ham” dalam Yoshihara Kunio. Konglomerat Oei Tiong Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 229 11 J. Panglaykim and I. Palmer, op. cit., 184

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 Saat Konvensi Gula Internasional menentukan kuota ekspor, Kian Gwan lebih banyak terlibat dalam perdagangan gula dalam negeri. Oleh sebab itu, perdagangan gulanya tidak terlalu terpengaruh dengan pembatasan kuota tersebut. Kian Gwan bahkan juga ditunjuk sebagai anggota komite eksportir oleh Direktur Pertanian, Industri, dan Perdagangan, dimana komite tersebut bertugas untuk memberikan saran-saran tentang hal-hal yang berkaitan dengan peraturan ekspor gula. Berikut ini anggota-anggota komite eksportir tersebut12: 1. Anggota sekaligus Ketua - Kepala Departemen Perdagangan Divisi Pertanian, Industri, dan Perdagangan 2. Anggota - Perwakilan dari Firma Wellenstein Krause & Co di Batavia - Perwakilan dari Firma Erdmann & Sielcken & Co di Batavia - Perwakilan dari N. V. Patel di Surabaya - Perwakilan dari Firma Maclaine Sugar Company di Surabay - Perwakilan dari N. V. Handel Maatschappij Kian Gwan di Semarang

Tidak hanya ikut serta dalam Rencana Chadbourne, pembentukan Ordonansi Ekpsor Gula, yang juga diikuti Kian Gwan, yang mengeluarkan larangan mengekspor gula tanpa izin selama 5 tahun rupanya masih belum mampu menyelamatkan perdagangan gula Hindia Belanda. Pemerintah kemudian kembali mengeluarkan Dektrik Ekspor Gula yang menetapkan kuota untuk mengekspor gula. Pada masa krisis ini produsen gula lokal semakin banyak yang keluar dari Serikat Produsen Gula. Oleh karena itu, pemerintah mendirikan Nederlands- Indisch Vereeniging voor de Afzet van Suiker (NIVAS), sebuah organisasi yang bertanggung jawab terhadap produksi, persediaan, dan penjualan gula Hindia Belanda.13 Jika sebelumnya perdagangan gula Kian Gwan tidak terlalu berpengaruh dengan pembatasan-pembatasan tersebut, dibentuknya NIVAS justru yang menjadi penghalang bagi perdagangan gula OTHC. NIVAS memonopoli perdagangan gula Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan gula diharuskan menjual gulanya melalui NIVAS. Akibatnya, resiko bisnis yang harus ditanggung perusahaan ini jadi lebih besar. Banyaknya perubahan yang terjadi secara cepat pada masa depresi serta intervensi dari pemerintah dalam urusan perdagangan membuat Oei Tjong Hauw mengambil keputusan untuk mengurangi risiko bisnis Kian Gwan dengan cara mendiversifikasi usahanya ke bidang

12 Archief voor de Suikerindustrie in Nederlandsch-Indië 13 Willian O. Malley. Indonesia in The Great Depressions. Hlm. 68

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 usaha impor.14 Oei Tjong Hauw didampingi oleh para manajer profesional OTHC, diantaranya yaitu Tan Tek Peng, Tjoe Soe Tjong, dan Lie Hoo Soen mecari peluang bisnis baru. Tan Tek Peng mulai bekerja di OTHC pada tahun 1917. Pada saat Oei Tjong Swan dan Oei Tjong Hauw memimpin OTHC, Tan Tek Peng menjabat sebagai eksekutif direktur departemen perdagangan OTHC. Dibawah manajemen Tan Tek Peng, perdagangan OTHC berkembang semakin luas. Cabang-cabang baru dibuka di Calcutta, Bombay, Karachi pada periode 1925—1928 untuk membeli karung goni yang berfungsi untuk mengemas gula OTHC. Tak hanya sampai disitu, Tan Tek Peng juga mendirikan kantor-kantor di Amsterdam, Bangkok, Canton, dan Tsientsin.

Peta Cabang-Cabang Bisnis Oei Tiong Ham Concern di dalam Negeri.

Tan Tek Peng mencari pasar baru untuk perdagangan OTHC di negara-negara barat. Amerika Serikat menjadi pilihan Tan Tek Peng untuk mencari peluang bisnis baru. Tahun 1933, Kian Gwan mulai memasuki usaha pengolahan karet di Sumatra Selatan. Dalam usaha pengolahan karet ini, Kian Gwan menjadi pelopor dalam pembuatan slab karet menjadi blanket. Hasil blanket Kian Gwan berhasil memasuki pasar Amerika Serikat. Pada tahun- tahun setelah depresi ekonomi, komoditas utama OTHC adalah karet, bukan gula lagi. Tidak hanya karet, Kian Gwan juga membanjiri pasar Amerika dengan ekspor tepung tapiokanya.

14 Ibid

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 Jika Tan Tek Peng mencari pasar baru untuk perdagangan OTHC di negara-negara barat, Oei Tjong Hauw beserta Tjoa Soe Tjong pergi mencari pasar baru ke Asia Timur, yakni Cina dan Jepang. Cina, khususnya Shanghai, menarik minat Oei Tjong Hauw untuk membuat suatu usaha baru. Bekerjasama dengan pemerintah China, Oei Tjong Hauw mendirikan pabrik alkohol yaitu China Alcohol Distilling Company pada tahun 1934. Pabrik alkohol tersebut mampu memproduksi 4000 galon alkohol per harinya, sehingga menjadikannya sebagai pabrik alkohol terbesar di Asia Tenggara. Pabrik gula Ponen milik OTHC dijadikan pabrik untuk memproduksi asam karbon dari tetes tebu. Kemudian ia membangun pabrik pengasapan modern untuk memproduksi karet berkualitas tinggi. Sayangnya dua usaha ini berujung pada kegagalan. Usaha untuk memproduksi asam karbon hanya menghamburkan biaya. Dan pabrik pengasapan modern untuk memproduksi karet berkualitas tinggi tidak berjalan sesuai fungsinya, sebab penduduk setempat menganggap membuat slab mentah lebih mudah dibanding menggunakan asam dan bahan kimia lainnya yang diperlukan untuk memproduksi lembaran karet yang diasap dengan mesin penggilingan yang dijalankan dengan tangan.15 Usaha diversifikasi lain yang dilakukan Oei Tjong Hauw yaitu membangun tempat pemrosesan karet di Palembang untuk menunjang perdagangan karet OTHC. Hasil pemrosesan karet ini diekspor ke Amerika Serikat melalui Singapura, sehingga menjadikan pabrik ini sebagai pabrik pemrosesan karet terbesar di seluruh Hindia Belanda.16 Adanya pembatasan-pembatasan perdagangan di Hindia Belanda membuat Oei Tjong Hauw mencari pasar baru untuk ekspansi bisnisnya. Kali ini ia menjadikan Cina sebagai pasar bisnisnya. Bersama dengan pemerintah Cina beserta modal swasta Cina, OTHC mendirikan Perusahaan Penyulingan Alkohol Cina (Chung Kuo Chiu Chin Hang) di Shanghai. Pabrik alkohol ini menjadi pabrik alkohol terbesar di Asia Tenggara yang memiliki kapasitas memproduksi 4000 galon alkohol industri per hari.17 Awal tahun 1930-an OTHC mulai memasuki usaha pengolahan karet dengan menyewa pabrik pengolahan karet milik Belanda. Akibat depresi perdagangan karet Hindia Belanda dibatasi oleh Stevenson Plan, yang kemudian diganti dengan International Rubber Regulation Agreement (Perjanjian Pengaturan Karet Internasional). Bergabungnya Hindia Belanda dengan International Rubber Regulation Agreement otomatis membatasi ekspor karet Hindia Belanda.

15 Ibid, 135 16 Ibid 17 Ibid, 136

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 Tujuan Hindia Belanda bergabung dengan oganisasi yang mengatur pembatasan penjualan karet adalah untuk membatasi produksi karet rakyat yang semakin banyak. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial mengeluarkan kupon-kupon karet yang dapat ditukarkan dengan surat izin untuk mengekspor karet. Perdagangan karet Kian Gwan sendiri dengan bergabungnya Hindia Belanda dalam organisasi tersebut menjadi lebih spekulatif. Para petani kecil tidak terlalu menyukai sistem kupon, karena itu para petani tersebut menjual kupon- kupon tersebut kepada perusahaan-perusahaan pengolah karet. Sistem dengan kupon menyebabkan perdagangan karet menjadi lebih fluktuatif. Alasannya karena para pengolah karet dihadapkan pada dua pasar, dimana keuntungan marginal harus disamakan dengan pemaksimalan laba, yaitu dari pasar kupon dan pasar lempengan karet (sebagai bahan baku para pengolah karet).18 Kian Gwan, bersama dengan firma Cina lain dari Singapura yang sama-sama memiliki pabrik pengolahan di Sumatra, menjadi pelopor dalam penjualan karet dari bentuk slab menjadi blanket. Pabrik penggilingan karet Kian Gwan menjual 2000—3000 blanket per bulannya.19 Dengan demikian, Kian Gwan merebut posisi utama Singapura sebagai pelabuhan utama ekspor karet Sumatra Selatan. Oleh sebab itu, seperti telah dijelaskan sebelumnya perdagangan karet Hindia Belanda dapat langsung diekspor ke Amerika Serikat tanpa harus melalui pelabuhan Singapura. Dan karet produksi Kian Gwan diekspor langsung ke Amerika Serikat melalui KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).20 Masa pendudukan Jepang yang singkat di Indonesia justru membawa akibat yang lebih buruk bagi masyarakat di negeri jajahan. Pada awal kedatangan tentara Jepang, banyak firma-firma milik orang Tionghoa yang mengalami kerugian akibat perang antara Jepang dengan Belanda. Firma–firma Tionghoa menjadi sasaran utama dari politik bumi hangus pemerintah Hindia Belanda serta militer Jepang. Salah satunya adalah pabrik milik Oei Tiong Ham Concern. Saat itu pabrik gula Ponen milik Oei Tiong Ham Concern hancur dan pabrik penggilingan karetnya dibakar. Tidak hanya firma-firma yang mengalami kerusakan, bank-bank milik orang Tionghoa juga tidak dapat beroperasi pada masa awal pendudukan Jepang. Dalam situasi yang berubah ini Oei Tiong Ham Concern atau N.V Handel Mij Kian Gwan yang mempunyai empat

18 J. Panglaykim and I. Palmer, , op. cit., 91 19 Marleen Dieleman, Juliette Koning, dan Peter Post, op. cit., 175 20 Perusahaan pelayaran yang dibentuk pada tahun 1888 untuk mengambilalih rute-rute pos di negeri jajahan. Pada abad 20, KPM hampir memonopoli perdagangan antar pulau. Perusahaan ini juga memiliki reputasi layanan yang mahal dan berkualitas tinggi. (Lihat Robert Cribb dan Audrey Kahin. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu, hlm. 252)

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 afdeeling; yaitu Scheepsagentuur Afdeeling, Export Afdeeling, Import Afdeeling, dan Centrale Import Afdeeling tutup untuk sementara waktu.21 Meski demikian, tanpa berlama- lama perusahaan-perusahaan yang dianggap bukan ancaman oleh pemerintah Jepang diperbolehkan beroperasi kembali, “teroetama sekali peroesahaan-peroesahaan jang bekerdja dilapangan transport dan pendjoelan haroes bekerdja lagi”,22 salah satunya adalah Oei Tiong Ham Concern. Pemerintah Jepang tidak melihat Oei Tiong Ham Concern sebagai ancaman sebab “sikap” mereka pada masa praperang dianggap baik, meskipun banyak petinggi perusahaan ini berafiliasi dengan CHH. Oei Tjong Hauw selaku Direktur Oei Tiong Ham Concern memiliki hubungan dekat dengan pejabat-pejabat Jepang. Meski demikian, tetap saja terjadi beberapa perubahan dalam struktur perusahaan tersebut akibat kebijakan yang dibuat pemerintah Jepang. Sebagai firma terbesar, Oei Tiong Ham Concern dinilai berguna bagi Jepang untuk membantu memenuhi barang-barang bagi keperluan perang mereka. Sebelum bekerja sama dengan Jepang, awalnya seluruh gudang Oei Tiong Ham Concern disegel oleh pemerintah Jepang. Kemudian pihak Jepang memberikan ultimatum pada Oei Tjong Hauw apakah ia ingin bekerja sama dengan Jepang atau tidak. Oei Tjong Hauw memilih bekerja sama dan akhirnya semua gudangnya dibuka kembali. Pada masa ini Oei Tiong Ham Concern hanya bertindak sebagai agen. Konsentrasi perusahaan terfokus pada perdagangan eceran saja. Walaupun sekarang Oei Tiong Ham Concern hanya bertindak sebagai agen, tapi perusahaan ini masih dapat meraup keuntungan. Pada tahun 1942 total keseluruhan produksi gulanya sebesar 1.311.235 ton, dimana diantara pabrik gulanya, Krebet dan Ponen, masing-masing menghasilkan produksi yang sama seperti pada tahun 1930-an yaitu 21.110 ton dan 24.522 ton.23 Akan tetapi, setelah diambil alih Jepang, perusahaan ini kehilangan separuh asetnya. Menurut perhitungan Jepang aset yang masih tersisa di Jawa sebesar f. 13,06 juta, dan di luar Jawa sebesar f. 1,7 juta.24 Jadi perusahaan ini kehilanga asetnya sebesar f. 14 juta.25 Pemerintah Jepang juga memerintahkan pabrik gula Redjo Agung milik Oei Tiong Ham Concern untuk mencoba menanam varietas bibit jenis baru di lahan tebunya itu. Pabrik

21 Pemandangan. Firma Kian Gwan dan Borsumy Belum Berdagang. 9 April 1942 22 Pemandangan. Peroesahaan dan Perniagaan di Semarang. 8 April 1942 23 Economisch Weekblad voor Nederlandsch Indie (EWNI). April 20. 1946. 12jrg. No. 6:45. dalam Peter Post. Hlm 187 24 Twang Peck Yang, op. cit., 107 25 Ibid

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 gula tersebut mencoba 2 varietas bibit baru, yaitu POJ 3067 dan 3053.26 Pada saat itu pemerintah Jepang menaikkan biaya pajak-pajak. Oei Tiong Ham Concern yang hanya memiliki f. 300.000 kontan diyakini pihak Jepang tidak akan mampu membayar pajak dalam sekali pembayaran.27 Namun, pajak khusus tetap dibebankan bagi usaha gula dan tapiokanya.28 Sudah bukan rahasia lagi bahwa badan militer bentukan Jepang dibiayai oleh orang- orang Tionghoa, dengan kedok imbalan atau hadiah karena memberikan perlindungan. Oleh karena itu Oei Tiong Ham Concern, meski diluar keinginannya, memberikan hadiah kepada tentara Jepang berupa simpanan gula senilai f. 1.371.500 dan simpanan gandumnya. Perusahaan tersebut juga diwajibkan untuk menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk membiayai gunseikanbun. Sementara itu, penanggung jawab perusahaan ini diperintahkan untuk menguangkan kredit dan komoditasnya di Jawa.29 Meskipun usaha perbankan Oei Tiong Ham Concern tidak dibekukan pemerintah, nyatanya bank tersebut diharuskan untuk mengurangi asetnya. Penguasa militer memutuskan bahwa bank ini harus mengurangi asetnya sampai hanya senilai f. 1 juta; dan setelah dirombak menjadi bank dengan aset dominan dari Jepang akan dipergunakan sebagai fasilitas perbankan Cina perantauan.30 Itu artinya bank ini harus mengalami kerugian sekitar 3 perempat asetnya yang semula berjumlah f. 4 juta.31 Akan tetapi, di bawah pengawasan Jepang Kian Gwan tetap mendapat keuntungan besar dan bahkan menikmati monopoli perdagangan. Berdasarkan kesaksian pemilik Firma Liem Bwan Seng, Liem Tjauw Hoen, Kian Gwan berhasil meraup keuntungan besar karena kedekatannya dengan Jepang. Ia menyatakan bahwa sesaat sebelum pecah perang, sejumlah besar dagangannyaberupa kain gorden, atas perintah penguasa dipindahkan ke gudang NIVI (Nederlandsh Indische Vereeniging van Importeurs) di Yogya, yang tak lain milik perusahaan Oei.32 Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa selama masa penjajahan ia gagal memperoleh barang dari gunseikanbun karena yang disebut terakhir ini telah memindahtangankan gudang ke perusahaan Oey berkat kedekatannya dengan Jepang.33 Oei Tiong Ham Concern juga dapat

26 Lihat Surat dari Pabrik Gula Redjoagoeng kepada Togyo Sikenzyo, tanggal 26 Djanuari 2603, No. 1670. 27 Ibid 28 Ibid 29 Ibid 30 Ibid., 98 31 Ibid. 32 Twang Peck Yang, op. cit., 108 33 Ibid

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 membeli komoditas gula dari tentara dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang ditetapkan yaitu f. 14 per 100 kilogram dari harga resminya sebesar f. 18. Dari pemaparan diatas didapatkan kesimpulan sementara yaitu awal kemunduran Oei Tiong Ham Concern terjadi karena pergantian kepemimpinan, yang diketahui tidaklah selalu sehebat pendahulunya. Dan juga disebabkan karena perubahan struktur politik yang kemudian menimbulkan dampak pada konglomerat ini.

Kesimpulan Dalam berbinis biasanya orang Cina akan membangun beberapa usaha yang berskala kecil sesuai dengan jumlah pewarisnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian yang diterima sebuah perusahaan apabila pendiri usaha tersebut wafat, maka bisnisnya pun akan ikut mati karena tidak kompetennya beberapa pewaris usaha tersebut. Akan tetapi berbeda dengan bisnis orang Cina pada umumnya, Oei Tiong Ham yang membangun Oei Tiong Ham Concern tidak berniat mendirikan kerajaan bisnisnya tersebut dengan tujuan untuk dibagikan sesuai dengan jumlah anak-anaknya. Oei Tiong Ham secara sadar menyeleksi anak-anaknya dan yang dianggap mampu diberi wewenang untuk melanjutkan kerajaan bisnisnya tersebut. Sementara anak-anaknya yang terlihat tidak kompeten tidak diberi kesempatan untuk terjun dalam bisnisnya. Diantara pewaris-pewarisnya yang sudah dewasa, Oei Tjong Swan dan Oei Tjong Hauw yang terpilih untuk mengambil alih kerajaan bisnisnya. Adanya dua orang dalam pucuk kepemimpinan suatu perusahaan tentu menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Munculnya perbedaan- perbedaan di dalam struktur internal konglomerat tersebut, membuat Oei Tjong Swan memilih mengundurkan diri dari kursi kepemimpian OTHC. Mundurnya Oei Tjong Swan menjadikan Oei Tjong Hauw sebagai pemimpin tertinggi OTHC sekarang. Ditangan Oei Tjong Hauw, ekspansi jaringan bisnis OTHC semakin meluas dan beragam. Datangnya depresi besar yang melanda dunia membawa perubahan pada produk-produk ekspor pertanian Hindia Belanda. Ada komoditas-komoditas yang dapat bangkit kembali, dan ada yang tidak. Intervensi pemerintah juga semakin jauh pada masa ini Datangnya masa depresi membawa perubahan besar di Hindia Belanda. Komoditas- komoditas ekspor Hindia Belanda menjadi sulit terjual karena berkurangnya permintaan. Oei Tiong Ham Concern yang aktivitas utama perusahaannya berdagang gula ikut terkena dampak dari depresi meskipun tidak secara langsung. Depresi mengakibatkan perusahaan- perusahaan gula lainnya menglami kesulitan untuk menjual gulanya. Mereka meminta pemerintah untuk menormalkan kembali perdagangan gula yang semakin fluktuatif akibat

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 depresi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial merespon dengan mendirikan NIVAS, organisasi tunggal penjual gula. Perusahaan-perusahaan gula harus menjual gulanya melalui NIVAS. Penjualan melalui NIVAS berarti seluruh resiko penjualan ditanggung oleh masing-masing perusahaan. Sebelum depresi datang, OTHC berdagang gula lebih sering di dalam negeri. Akan tetapi, datangnya depresi yang direspon dengan dibentuknya NIVAS membuat resiko perdagangan gula OTHC menjadi lebih besar sebab harus mengikuti harga di pasar dunia. Adanya intervensi dari pemerintah membuat Oei Tjong Hauw mencari peluang bisnis baru untuk mengurangi resiko bisnis OTHC. OTHC mencoba untuk memproduksi asam karbon dan mendirikan pabrik pengasapan modern untuk memproduksi karet berkualitas tinggi. Sayangnya kedua usaha tersebut berujung kegagalan. Aktivitas perdagangan di Hindia Belanda yang sedang terpuruk kemudian membuat Oei Tjong Hauw mencari pasar baru untuk membuka usaha baru di luar Hindia Belanda. Pilihannya jatuh ke tanah leluhurnya di Cina. OTHC bekerjasama dengan pemerintah Cina mendirikan perusahaan penyulingan alkohol di Shanghai. Bisnis gabungan penyulingan alkohol ini sebenarnya mendatangkan keuntungan, hanya saja akibat perang yang terjadi antara Jepang dan Cina di Shanghai ikut menghancurkan bangunan pabrik ini. Di dalam negeri OTHC kembali mencoba memasuki bidang-bidang usaha baru. Kali ini OTHC terjun ke bidang pengolahan karet di Sumatra. Dalam menjalankan industri pengolahan karet ini, OTHC mengalami kesuksesan yang kemudian menjadikan bisnis ini sebagai bisnis utama OTHC pada masa setelah depresi menggantikan bisnis gulanya. Dalam usaha pengolahan karet ini, OTHC menjadi pelopor dalam pembuatan slab karet menjadi blanket yang mana pabrik penggilingan karetnya menghasilkan 2000—3000 blanket per bulannya. Berhasil bangkit dengan bisnis pengolahan karetnya, OTHC rupanya masih dihadapkan pada rintangan selanjutnya yaitu masa pendudukan Jepang di Indonesia. Awal memerintahnya balatentara Jepang, orang-orang Cina banyak yang ditangkap oleh tentara Jepang. Perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang Cina atau berjalan dengan modal orang Cina juga banyak yang ditutup oleh pemerintah Jepang. Hal ini berkaitan dengan perang yang terjadi antara dua negara tersebut sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dari pemerintah Jepang terhadap kelompok masyarakat Cina. Begitu juga yang terjadi pada OTHC pada masa awal kedatangan tentara Jepang. Pada awalnya perusahaan ini juga tidak luput dari aksi penutupan yang dilakukan pemerintah Jepang. Namun akibat perang antara Jepang dengan pemerintah kolonial yang

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 mengakibatkan perekonomian dalam negeri Hindia Belanda lumpuh maka perlu dorongan untuk menggerakkan perekonomian seperti sedia kala. Sebagai firma terbesar milik orang Cina, OTHC tentu menjadi yang pertama dicari pemerintah Jepang untuk membangkitkan kembali perekonomian dalam negeri. Meskipun ada sedikit perubahan dalam struktur internal perusahaannya, namun OTHC tetap dibiarkan berjalan seperti biasanya walau dalam skala yang lebih kecil. Ada beberapa faktor yang menyebabkan OTHC tetap dapat berjalan hampir seperti biasanya dibawah pendudukan Jepang, yaitu karena kondisi ekonomi Jepang pasca perang serta perekonomian Hindia Belanda yang lumpuh saat itu. Untuk mengisi kembali kas negara, pemerintah Jepang membutuhkan bantuan finansial untuk membangkitkan perekonomian di negaranya dan juga perekonomian Hindia Belanda. Bantuan finansial didapatkan pemerintah Jepang diantaranya dari OTHC. Pemerintah Jepang memperoleh simpanan gula senilai f. 1.371.500 dan simpanan gandum dari OTHC. Perusahaan ini juga diwajibkan untuk menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk membiayai gunseikanbun. Meskipun aset dan barang-barang yang dimiliki perusahaan ini berkurang tetapi sebagai gantinya pada saat berbagai sektor berada dibawah pengawasan pemerintah, OTHC tetap dapat menikmati keuntungan dibandingkan perusahaan lainnya. Perusahaan ini dapat memperoleh barang-barang dengan harga yang lebih murah dari harga yang ditentukan oleh pemerintah.

Daftar Referensi

Arsip Surat Toeroenan bagi P.G. Redjoagoeng kepada Togyo Sikenzyo, tanggal 26 Djanuari 2603, No. 1670. Surat dari Kepala Direktur Bagian Teknik Kimia kepada NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken tanggal 10 Maart 1934.

Dokumen Pemerintah Handboek Voor Culturen Handelsondernemingen In Nederlandsch-Indie 1929. Archief voor de Suikerindustrie in Nederlandsch-Indië

Surat Kabar Pemandangan, 8 April 1942

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017 9 April 1942

Jurnal Panglaykim. J and I. Palmer. 1970. Study of Entrepreneurialship in Developing Countries: The Development of One Chinese Concern in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies Volume 1 No. 1 (March, 1970). Published by: Cambridge University Press on behalf of Department of History, National University of Singapore.

Buku Cribb, Robert dan Audrey Kahin. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu Dick, Howard., et al. 2002. The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800—2000. Honolulu: University of Hawai’l Press Dieleman, Marleen, Juliette Koning, dan Peter Post (ed.). 2011. Chinese Indonesians and Regime Change. Leiden: Brill. J. L. Vleming. Jr. 1934. Kongsi & Spekulasi: Jaringan Kerja Bisnis Cina. Disadur oleh Bon Widyahartono. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Kunio, Yoshihara (ed.). (1991). Konglomerat Oei Tiong Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Noordjanah, Andjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya 1910—1946. Yogyakarta: Messias. O’Malley, William J. 1977. Indonesia in The Great Depressions. Ph.D. Cornell University. Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa Soejono, R.P dan R.Z. Leirisa. (ed.). (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka Twang Peck Yang. 2004. Elite Bisnis Cina di Indonesia Dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940—1950. Yogyakarta: Niagara

.

Dari Gula ..., Kintan Lestari, FIB UI, 2017