Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 (236-253) ISSN 1410-4946

Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu

Utan Parlindungan

Abstrac Merely based on the ideological struggle, the arts play an important role, especially as a means of forming unisonality, group identifi cation and emotional bridge between individuals in bringing “sense” that the goals of power may easily be achieved. No exception of music; it deliberately created and disseminated for the sake of its own nature. However, power is not as universal as music; making a claim toward music (songs) in the risk of political contestation may produce ambivalence meanings (ambiguity). In one hand, music tends to be sacred, but a moment later, it is more vulnerable to be alienated or marginalized. In some cases, the practice of politicization oft en ends up banning music and tragedy.

Keywords: music; ideological instrument; contestation of meaning; semiotics, myth.

Abstrak Pada perjuangan ideologi, kesenian memainkan peran penting terutama sebagai wujud dari unisonalitas, identifikasi kelompok, dan emosi yang menjembatani antar-individu untuk merasakan bahwa kekuasaan mudah mencapai tujuannya. Tidak terkecuali dalam musik, yang secara deliberasi membentuk dan mendiseminasi bentuk awalnya. Namun, kekuasaan tidaklah universal layaknya musik. Mengklaim musik atau lagu dalam kontestasi politik yang beresiko bisa menimbulkan makna yang ambivalen atau ambigu. Di satu sisi, musik cenderung sakral, namun kemudian rentan teralienasi atau termarjinalisasi. Di beberapa kasus, praktik politisasi kerap berakhir dengan pelarangan musik atau tragedi.

Kata Kunci: musik; instrumen ideologi; kontestasi makna; semiotik; mitos.

Sebuah artikel berjudul Bincarung, Si Kecil kota yaitu Subang, Purwakarta, dan Cirebon. yang Bernyanyi Gede dalam buku bunga rampai Bersafari mengampanyekan arti penting Politik dan Post-Kolonialitas di Indonesia (Mulyana, dan UUD 1945 sebagai ideologi dan 2003: 133-159) menceritakan Bincarung, dasar negara melalui lagu-lagu bersyair. kelompok musikal bentukan militer Orde Baru, Sebab, isu utama yang berkembang melakukan normalisasi mental pasca peristiwa sepanjang tahun 1965-1968 menyangkut soal- Gestapu tahun 1965.1 Kelompok musik ini soal pemulihan keamanan dan ketertiban. berkeliling dari kampung ke kampung di tiga Selain itu, Bincarung juga diarahkan sebagai

• Alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM Email: [email protected] 1 Gerakan September tiga puluh.

236 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu upaya menetralisir suasana traumatik pasca oleh sak tenong (dapat sebakul) konfl ik, khususnya tentang isu kemunculan mungkor sedot seng tole-tole (lalu kembali benih-benih komunisme di Jawa bergegas pergi, dapat yang kecil-kecil) Barat. Melalui lagu bermakna “ajakan” yang Genjer-genjer saiki wis digowo muleh (sekarang sudah menghibur, kelompok musik ini sengaja dibawa pulang) digembleng sebagai alat propaganda Orde Genjer-genjer Baru untuk membentengi masyarakat dari isuk-isuk didol ning pasar (pagi-pagi pengaruh komunis. dij ual dipasar) Meskipun Bincarung hanyalah kesenian isuk-isuk didol ning pasar rakyat yang bersifat lokal, namun mampu dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar merepresentasikan betapa musik menjadi salah (dibariskan, diikat, dan semua digelar) dij ejer-jejer, diuntingi, podo didasar satu instrumen ideologi yang efektif, guna emae’ Jebreng (ibunya Jebreng) memengaruhi domain psikologis masyarakat. podo tuku nggowo welasan (pada beli Musik, dalam ragam bentuk dan dimensinya membawa belasan ikat) diproyeksikan untuk kepentingan kekuasaan Genjer-genjer saiki wis arep diolah dengan dilabeli jargon-jargon politik tertentu. (Genjer-genjer pun sekarang siap Namun, penetrasi politik dalam musik diolah)” bukanlah fenomena baru di Indonesia. Jauh sebelum Bincarung, beberapa lagu daerah di Berpuluh-puluh tahun sejak peristiwa Indonesia memang sengaja diarahkan untuk Gestapu tahun 1965, lagu Genjer-Genjer sudah tujuan-tujuan kekuasaan. Salah satunya adalah tak lagi syahdu terdengar di telinga, atau lagu Genjer-Genjer. dilantunkan seperti di jaman penjajahan Jepang Genjer-Genjer, sebuah lagu yang dulu, atau bahkan sejak PKI berdiri tahun 1926 dipentaskan dalam kesenian Gandrung di dan juga setelah memasuki fase kedua dari Banyuwangi, pada masa Orde Lama diseret kebangkitannya pasca peristiwa Madiun 1948. masuk ke dalam pertarungan-pertarungan Genjer-Genjer sebagai lagu rakyat, dibungkam ideologi. Perbedaan kedua kesenian ini hanya sebagai anak haram sejarah dengan berbagai terletak pada nasib. Jika lagu-lagu Bincarung alasan. Ketika Orde Baru ambruk Mei 1998, pada masa Orde Baru bebas dinyanyikan siapa nasib Genjer-Genjer tetap saja suram, sebab saja, tidak berlaku sama dengan lagu Genjer- masyarakat masih menghakiminya sebagai Genjer. Memang Orde Baru tidak melakukan lagu PKI. Bahkan di Solo beberapa tahun lalu, pelarangan secara resmi menyanyikan lagu sebuah stasiun radio dirusak sekelompok Genjer-Genjer. Akan tetapi, beberapa kasus massa hanya lantaran memutar lagu Genjer- penangkapan di beberapa daerah juga Genjer.2 melibatkan mereka yang dituduh komunis 2 lantaran menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Kasus lain bisa diungkapkan disini, sutradara peraih Piala Citra, Hanung Bramantyo ketika fi lm terbarunya Lentera Merah dirilis tahun 2007 kecewa berat lantaran “Genjer-genjer sepotong adegan dalam fi lm itu di sensor oleh Lembaga nong kedok’an pating keleler (dipematang Sensor Film (LSF). Ketika salah satu tokoh dalam Lentera Merah, Risa Aprilianty, seorang mahasiswi sawah berhamparan) pengikut aliran komunis mati terbunuh. Simbol yang Genjer-genjer digunakan Hanung untuk menunjukkan Risa seorang nong kedok’an pating keleler pengikut aliran komunis (bagian yang di sensor-red) emak’e tole, teko-teko mbubuti genjer adalah sebuah piringan hitam berisi lagu Genjer- (ibunya anak-anak, datang-datang Genjer versi Lilies Suryani. mencabuti genjer) (www.detikhot.com/index.php/tainment. read/tahun/2006/bulan/05/tgl/19/time/183356/ emak’e tole, teko-teko mbubuti genjer idnews/598771/idkanal/229).

237 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014

Di era pemerintahan Soekarno, Genjer- setiap tahunnya dan baru dihentikan menjelang Genjer adalah lagu populer sebagaimana lagu- pengunduran diri Soeharto. lagu populer lain yang seangkatan. Bahkan di Rangkaian peristiwa di atas memberikan berbagai kesempatan, Genjer-Genjer sering sedikit penjelasan bahwa Orde Baru dinyanyikan musisi-musisi ternama ibukota telah menguras energi luar biasa, dengan di lingkungan istana. Lagu ini didendangkan menggunakan berbagai instrumen kekuasaan di atas panggung nan megah serta didukung negara, demi membinasakan segala macam seperangkat alat musik modern. Akan tetapi, pernak-pernik budaya dan atribut-atribut ketika rezim Orde Baru berkuasa, lagu ini ideologi yang berbau komunis di Indonesia. ramai disebut-sebut sebagai lagu “kebangsaan” Peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun pasca organisasi berlambang palu-arit itu. Oleh 1965, terutama setelah keluarnya TAP MPRS karenanya, pasca peristiwa Gestapu, lagu ini No. XXV 6 Juli tahun 1966, mengonfirmasi tak luput menjadi bagian yang diberangus bahwa transisi kekuasaan dari Orde Lama oleh Orde Baru. Akibatnya, Genjer-Genjer pun ke Orde Baru tengah berlangsung secara menyusul “pencipta”-nya menuju alam baka, dramatis. mengikuti masa di mana era kejayaan PKI di Namun, tidak cukup kiranya bagi Indonesia harus diakhiri. penguasa yang baru untuk sekedar menjalankan Sejarah kelam Genjer-Genjer bisa seremoni kenegaraan dalam proses pergantian dikatakan berlangsung seiring dengan proyek rezim. Bagi Orde Baru, tetap diperlukan upaya mitologi komunisme yang dibangun rezim yang sistematis untuk melanggengkan jalan Orde Baru. Melalui media massa, Orde Baru menuju kekuasaan, sekaligus mengamankan sukses melakukan manuver politik dan kekuasaan dari kemungkinan kembalinya sekaligus membangun wacana tandingan pengaruh komunis di Indonesia. Oleh karena untuk menumbangkan ideologi komunis itu, semua gelagat kaum Marxisme-Leninisme di Indonesia. Titik puncak yang signifikan di Indonesia harus dipastikan sudah tercerabut untuk menunjukkan proyek ini masih menjadi dari akarnya. skala prioritas Orde Baru yaitu ketika film Bahkan untuk kepentingan ilmu “Pengkhianatan G30S/PKI” dirilis oleh pengetahuan, teori, dan ajaran komunisme pemerintah tahun 1984. di kampus-kampus di kontrol super ketat Film produksi PPFN3 itu muncul hampir oleh pemerintah Orde Baru. Sejak itu pula, dua puluh tahun sejak terjadinya peristiwa semua hal yang identik dengan PKI tiba-tiba Gestapu. Film itu disutradarai Arifin C. “menghilang”. Seluruh aktivitas kebudayaan Noer dan tercatat dalam sejarah sebagai yang dilakukan orang-orang komunis yang film dengan budget termahal yang pernah menyebar di berbagai daerah praktis terhenti. diproduksi hingga saat ini.4 Sisi menarik Banyak dari mereka yang ditangkap, dipenjara, dari fi lm itu adalah visualisasi pembantaian dan “dihilangkan” (dibunuh). Tragisnya, bukan para jenderal diselingi lagu Genjer-Genjer. hanya nyawa manusia saja yang dihilangkan, Lagu itu dinyanyikan dan Pemuda melainkan juga budayanya. Lagu Genjer-Genjer Rakyat dengan iringan tarian striptease “Harum tidak luput dari usaha penghilangan itu karena Bunga”. Film memorable yang mencekam itu ikut dicap sebagai produk kebudayaan PKI. rutin ditayangkan pada malam 30 September Jika dilacak kembali ke masa lampau, akar sejarah penciptaan lagu Genjer-Genjer 3 Pusat Produksi Film Negara. dikatakan sama sekali tidak ada hubungannya 4 Di unduh dari laman http://www.tempo.co/read/ dengan PKI. Genjer-Genjer adalah lagu rakyat kolom/2014/02/14/1123/Perbandingan-Dua-Film- G30S. populer. Ia tak lebih merupakan hasil kreasi

238 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu

M. Arief, seorang musisi Osing terkenal reproduksi simbol ”teks”, baik di jaman asal Banyuwangi. Genjer-Genjer tercipta penjajahan, Orde Lama, maupun Orde Baru. Di ketika Banyuwangi di bawah penjajahan bagian akhir tulisan ini akan ditutup dengan Jepang tahun 1942. Genjer-Genjer difungsikan refl eksi mendalam sebagai upaya rehabilitasi oleh penciptanya sebagai media kritik atas Genjer-Genjer. Dalam karya ini, penulis penjajahan. menggunakan model studi hermeneutika Setelah terbebas dari tipu daya Jepang (pendekatan fenomenologi) yang dipertajam dan menghirup udara kemerdekaan tahun dengan pendekatan semiotika. 1945, M. Arief bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).5 Pada titik inilah Melacak Penetrasi Politik dalam Musik Genjer-Genjer menandakan fase terpenting Dialektika politik dalam musik diam- riwayat nasibnya. Sebab untuk kepentingan diam mempengaruhi kekuasaan, hal ini telah politik, lagu Genjer-Genjer dipopulerkan lama diyakini oleh sejumlah ilmuwan sosial. oleh PKI. Selanjutnya pada tahun 1963, lagu Seperti pernyataan berikut: Genjer-Genjer memasuki babak baru ketika diperdengarkan secara intensif melalui siaran “Pendidikan anak, kurikulum sekolah, RRI dan TVRI. Bahkan berkumandang di acara-acara hiburan (pertunjukan setiap kegiatan yang melibatkan anggota dan musik), hubungan seks, belum lagi simpatisan PKI. kepentingan ekonomi dan aktivitas ekonomi, semuanya secara potensial Hasilnya, praktik adopsi dan modifi kasi berhubungan dengan politik. Tetapi atau aransemen musik Genjer-Genjer, membuat masing-masing dan semuanya ‘pada makna lagu ini pun berubah status menjadi waktu dan tempat tertentu’ dan ‘di bawah “milik” PKI. Praktik politisasi musik tersebut kondisi tertentu’ yang tidak mungkin telah merombak esensi maupun substansi dilihat, bisa jadi mengasumsikan makna lagu itu secara drastis, dari konteks suatu relevansi politik…” (Macridis & kritik penjajahan Jepang ke makna paling Bernard, 2001: 11). mengerikan yaitu paham komunisme. Oleh sebab itu, pertanyaan penting Musik sebenarnya barang konsumsi yang ingin dij awab dalam tulisan ini adalah biasa, tidak memiliki makna yang serius hingga bagaimana politik makna atas sebuah lagu ia memiliki pengaruh. Meminjam istilah Ben bekerja? Tulisan ini akan memaparkan secara Anderson; musik dalam bentuk lagu-lagu singkat sekelumit peristiwa sejarah yang difungsikan untuk membentuk kesadaran berkaitan dengan perilaku musikal sebagai aural (emosional) suatu kelompok sosial perilaku politik. Lalu melihat secara spesifi k tertentu. Komunitas-komunitas terbayang, bagaimana Genjer-Genjer digunakan sebagai yang terpencar-pencar itu dapat dihubungkan instrumen ideologi dan implikasinya terhadap oleh sepenggal melodi yang khas. kekuasaan sebelum dilarang oleh Orde Baru. Petunjuk ke-tunggal-an aural komunitas Dilanjutkan dengan interpretasi penulis terbayang acapkali menggunakan musik terhadap teks/lirik Genjer-Genjer. Sebagai sebagai wahana identifi kasi. Musik sebagai upaya rekonstruksi makna yang menjelaskan media untuk membangun jaringan interaksi. adanya kontradiksi dalam tiga fase konstruksi Sasaran utama dari kebanyakan aktivitas musik ideologi dominan, berkaitan dengan produksi- mereka, sembari mengendapkan dahulu aspek sosio-ekonomi adalah persoalan kelas dan struktur kekuasaan. 5 Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat merupakan organisasi underbouw PKI.

239 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014

“…Ambillah lagu kebangsaan sebagai itu akhirnya hinggap pada titik kulminasi contoh, yang dikidungkan pada hari-hari tertinggi, yaitu kemerdekaan 17 Agustus 1945. besar nasional. Tak peduli berapa dangkal Lagu itu pun dikumandangkan setiap tahun syairnya dan betapa pas-pasan lagunya, sebagai lagu seremonial kebebasan, setelah toh ketika menyanyikan lagu itu kita sekian lama hidup teraniaya.7 alami keserempakan. Pada waktu yang sama, orang-orang yang sepenuhnya Faktanya, tidak ada satu negara merdeka tak saling kenal melantunkan syair manapun di dunia ini yang tidak memiliki lagu yang persis sama, mengikuti melodi kebangsaan sebagai embel-embel platform yang persis sama pula. Citranya: bunyi unisonalitas-nya. Bahkan di beberapa kasus, tunggal, unisonance, menembangkan musik biasa dij adikan media penandaan atau “Marseillaise”, “Waltzing Matilda”, dan identifikasi komunitas, institusi, kelompok “Indonesia Raya” memberi kesempatan kepentingan (interest-groups), atau apapun unisonalitas, bagi pengejawantahan ragawi komunitas terbayang yang kekhasan karakter yang menjalin kontiniuitas digemakan itu…betapa ketunggalan interaksi dan ritual internal. Penandaan ini bunyi ini tanpa diri. Jika kita sadar merupakan satu dari sekian banyak atribut yang bahwa orang-orang lain sedang dij aga dengan penuh konsentrasi, diperteguh melantunkan lagu-lagu itu persis pada selama mungkin, dan dimanfaatkan selama saat, dengan cara, yang sama dengan musik memang dibutuhkan oleh si-empunya kita, toh kita tidak tahu siapa sajakah musik. 8 mereka itu, mungkin kita sama sekali tak tahu dimana mereka berada, diluar Dengan menggunakan model Easton (1957: jangkauan telinga kita. Tiada yang 383-400), musik diselubungkan di tingkat asosiasi, menghubungkan kita dengan orang- kelompok kepentingan, dan dianggap ikut orang tadi selain sepenggal nada yang bertarung memperjuangkan ide-ide kelompok dibayangkan” (Anderson, 2002: 220). tertentu. Ide-ide itu kemudian dirangkum dalam suatu Weltanschauung, yaitu nilai kepercayaan Pada fase tertentu, musik dapat dan keyakinan yang dimiliki oleh individu atau diproyeksikan untuk memperlebar ruang kelompok yang akan menentukan masa depan gerak kesadaran-kesadaran politik. Musik sikap dan perilaku politiknya. difungsikan sebagai stimulan-vibratorian6 Nilai atau ide itu, ketika bersinggungan bagi pengejawantahan ragawi nasionalitas di dengan sejarah, akan muncul dalam euphoria banyak negara di dunia. Musik dapat tercipta kesejatiannya, yaitu ideologi politik (Budiardjo, karena didorong oleh kondisi sosial, politik, 1999: 32).9 Pada praktiknya, ideologi politik dan ekonomi masyarakatnya (Rachmawati, 2005: 31). 7 Kolonial Belanda tiga setengah abad?, dan Asia Timur Sebut saja satu contoh, lagu Indonesia Raya-nya Jepang selama tiga setengah tahun. Raya garapan W.R. Supratman tahun 1924 yang 8 Ada kasus menarik menjelang ritual KKN di UGM. Walaupun terdengar sembraut dan kadang diselingi “tercipta” di masa konfrontasi dengan Belanda. dengan suara-suara sumbang, mahasiswa UGM wajib Lagu Indonesia Raya mampu diorganisir oleh hapal luar kepala dua lagu sekaligus; mars dan hymne H. Agus Salim pada saat ikrar Sumpah Pemuda, yang tercantum di sampul paling belakang buku panduan, sebelum diterjunkan ke lokasi KKN. Lagu- dibacakan tahun 1928. Lagu ini difungsikan lagu seperti itu sebenarnya memberikan kesempatan sebagai akselerator utama yang mendorong unisonalitas dan penandaan yang penting bagi almamater penulis. Betapa bangga dan bersemangatnya semangat-semangat perlawanan di kalangan mahasiswa itu ketika menyanyikannya tanpa teks, dan kaum muda Indonesia. Percikan api semangat tanpa peduli pitch-control–nya sama sekali. 9 Soal propaganda dan agitasi politik, komunisme termasuk salah satu ideologi yang sangat mendoktrin 6 Perangsang yang menggetarkan. dan memiliki sifat militansi yang paling menonjol.

240 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu acapkali menggunakan seperangkat instrumen dan seterusnya sampai ke abad kita untuk mencapai tujuan-tujuannya. Musik sekarang. Semua komponis yang terkenal dianggap cukup strategis untuk mencapai ini berusaha keras membuat musik yang tujuan itu. Sehingga, musik merupakan berbau nasionalis dengan memakai lagu-lagu petani yang berabad-abad bagian penting dari sistem nilai dan sekaligus lamanya.” sistem simbolik karena ikut menonjolkan identitas kelompok dalam masyarakat. Namun, Oleh sebab itu, nilai resapan sebuah lagu pengaruh musik tetap diarahkan untuk selalu akan dihubungkan dengan konteks memotivasi suatu tindakan, serta mempunyai sejarah penciptaannya. Orang akan berkata urutan hierarki atau struktur tertentu (Rudkin: lain ketika Genjer-Genjer hadir bukan sebagai 2003). gejala politik. Penjelasan dalam skala empiris Selanjutnya, Harold Lasswell (1958: 202) ini tampak nyata ketika Ben Anderson (2002) menerangkan delapan sistem nilai dalam menyebutkan bahwa, ada kebangkitan borjuasi masyarakat, diantaranya adalah kualitas komersil dan industri yang tidak merata di hidup dan ketrampilan.10 Dalam konteks ini, negara-negara yang sama. musik menjadi bagian penting dari sistem nilai Ada persoalan struktural dan perjuangan yang sangat ditopang oleh faktor kemapanan kelas di negara-negara maju dan terbelakang. dan pengetahuan atau pengalaman musikal Di dalamnya termasuk negara yang memiliki seseorang, agar memiliki ketrampilan khusus sejarah kolonialisme, kesenjangan disengaja, di bidang musik. Konsekuensinya, dalam hubungan tak merindu dan tak mesra antara mencapai tujuan, ideologi politik acapkali metropolis dan satelitisme. Pertarungan membutuhkan orang-orang yang memang ideologis juga terjadi di dalamnya yaitu terampil di bidang musik.11 antara sosialisme-komunis versus liberalisme- Begitupun yang diungkapkan Anderson kapitalistik dan konservatisme-feodalistis (2002: 113): versus moderat-revolusioner. Jika dirunut kembali ke masa-masa lampau, “Jangan pula kita lupakan bahwa dalam abad yang sama (1800-an), sejak abad ke-17, dunia sains menemukan proses vernakularisasi serupa pun momentum, khususnya bidang teknologi berlangsung dalam bentuk lain halaman rekayasa dan informasi, untuk menapaki cetak; lembar-lembar gubahan musik. dunia baru yang kelak merangsang ekspedisi Sesudah Dobrovsky datang Bedrich teritorial dan sekaligus menambah daftar Smetana (1824-1844) di Praha, lalu panjang imperialis besar di dunia. Akibatnya, Antonin Dvorak (1841-1904), dan kebenaran ontologis mulai ditanggalkan sambil Janacek (1854-1928); sesudah Aasen di melempar hierarki pengetahuan kuno ke tong Norwegia tibalah Edvard Grieg (1843- 1907); sesudah Kazinczy di Budapest sampah jaman. Memori kolektif bangsa-bangsa, datang pula Bela Bartok (1881-1945); prinsip-prinsip keadilan, kontrak sosial yang dibawa Hobbes, John Locke, dan Rousseau 10 Delapan nilai itu diantaranya kekuasaan (power), ikut menyesaki wacana identitas lokal. Maka, pendidikan atau penerangan (enlightenment), kekayaan di sinilah musik memainkan peranan pokok. (wealth), kualitas hidup (well-being), ketrampilan (skill), Confucius dalam Rachmawati (2005: 2-3) kasih sayang (affection), kejujuran (rectitude), dan keadilan (rechtschapenheid), serta keseganan (respect). mengatakan bahwa dengan memahami musik 11 M. Arief tidak mungkin menjadi seorang arranger yang berkembang di masyarakat, kita akan lagu Genjer-Genjer dan anggota Lekra sekaligus, yang mengetahui apakah masyarakat itu terstruktur bergabung di dalamnya adalah para pekerja budaya, seniman dan musisi, jika tidak memiliki ketrampilan dengan baik, diperintah dengan baik, dan musik yang mumpuni. apakah hukum yang berlaku di masyarakat itu

241 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 dij alankan dengan benar atau tidak. Dengan Lagu lain yang digunakan untuk perjuangan kata lain, musik menjadi indikator konfl ik dan adalah Layar Kembang. Lagu ini memberikan juga indikator moral dan politik. isyarat bahwa tentara kompeni Belanda telah Demikian halnya dengan lagu Genjer- mendarat di bumi Blambangan.12 Genjer, penjelasan-penjelasan sebelumnya Karena memiliki nilai kejuangan inilah, dapat kita gunakan untuk memasuki dimensi lagu-lagu Osing banyak diadopsi oleh partai politik lagu tersebut. Bahwa masyarakat di politik pada Pemilu tahun 1955. Sebagai catatan, Banyuwangi mengalami satu babak sejarah era 1950-an adalah babak baru bagi kebangkitan penjajahan ketika Genjer-Genjer tercipta. tembang Osing di Indonesia. Setelah pemilu Sama juga ketika Genjer-Genjer diadopsi oleh I tahun 1955, di tengah ramainya kontestasi PKI, di tengah kecamuk perang dingin, yang partai, maka seperti cendawan di musim hujan, kemudian dilarang oleh Orde Baru sebagai bermunculan para pencipta tembang Osing baru. rezim pemenang kontestasi. Tembangnya cenderung mewakili kepentingan politis partai politik tertentu. Dari Gandrung ke Piringan Hitam Salah satu komponis terkenal saat itu Hanya beberapa tahun sejak runtuhnya adalah M. Arief dari kelompok musik Sri Muda. kerajaan Blambangan tahun 1772, kesenian Selain M. Arief yang mewakili kelompok sayap tradisional Banyuwangi berkembang pesat kiri, muncul kelompok yang seolah menjadi dari waktu ke waktu. Di abad ke-19, gandrung saingannya, sayap kanan, meskipun jenis merupakan salah satu kesenian yang populer instrumen yang mereka bawakan sama-sama karena mengandung nilai-nilai supranatural. musik angklung. Persaingan ini diikuti dengan Lagu Genjer-Genjer lahir dari rahim kesenian munculnya para komponis muda seperti Endro ini. Saat itu, Genjer-Genjer biasa dinyanyikan Wilis dengan lagunya yang terkenal Selendang dalam kesenian gandrung sebagai representasi Sutro, adapula BS Nurdian, MF Hendrik, dan identitas masyarakat (suku) Osing. termasuk Andang CY yang menciptakan lagu- Gandrung Banyuwangi tidak berbeda jauh lagu bermuatan pujian kepada partai, seperti dengan kesenian rakyat di daerah lain seperti Banteng Tangi, Kembang Melati, dll. tayub, ronggeng, dan cokek. Pementasannya Tak terkecuali PKI yang terbilang partai sama-sama dalam bentuk tari dan nyanyian komunis terbesar nomor tiga dunia dan partai dengan iringan musik tertentu. Namun pemenang pemilu urutan keempat saat itu. pada jaman penjajahan, tembang Osing lebih Di tangan PKI lagu Genjer-Genjer menjadi banyak bercerita tentang kesengsaraan bangsa semakin populer. Pada tahun 1963, Genjer- yang terjajah. Lagu yang dilantunkan penari Genjer telah merambah telinga “orang ”, gandrung tempo dulu digunakan sebagai bahkan telah diperdengarkan melalui siaran bahasa isyarat untuk perjuangan. RRI maupun tayangan di TVRI. Akan tetapi, Lagu yang muncul ketika itu seperti Gending pasca peristiwa berdarah Gestapu, lagu Genjer- Podo Nonton menceritakan kejamnya penjajah. Genjer dilarang oleh pers Orde Baru karena Beberapa lirik lagu ada yang mengungkapkan konon lagu itu dijadikan soundtrack dalam banyaknya korban yang jatuh akibat kerja ritual pembantaian enam Jenderal dan seorang paksa. Uniknya, semua lagu-lagu perjuangan Ajudan A.H Nasution (Letnan Tendean) di itu tidak dilantunkan secara vulgar karena Jakarta.13 maknanya sengaja disamarkan. Tujuannya, 12 untuk menghindari penciuman Belanda. Sebab htt p://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publishe r&op=viewarticle&artid=1178. jika sampai diketahui oleh penjajah, maka sang 13 A.H Nasution sendiri selamat dari percobaan penari gandrung pasti akan langsung dibunuh. pembunuhan itu.

242 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu

Pelarangan yang tak resmi itu disebabkan dicurigai memberi isyarat kepada para tapol karena Genjer-Genjer dianggap sebagai untuk melarikan diri dari Pulau Buru. lagu yang mengandung isyarat rencana pemberontakan pagi buta pada 1 Oktober Perang Ideologi 1965. Bahkan di salah satu koran yang meliput Pasca Perang Dunia II, Uni Sovyet yang peristiwa itu menyebutkan penemuan notasi komunis muncul sebagai negara adikuasa lagu Genjer-Genjer di area Lubang Buaya. di blok Timur dan Amerika yang di blok Indikasi ini semakin diperkuat oleh pers Orde Barat. Buruknya hubungan kedua negara ini Baru, karena baris kedua bait awal syair lagu telah membawa konsekuensi serius terhadap yang berbunyi “neng kedhokan pating keleler/di konstelasi politik internasional di berbagai petak sawah berhamparan” diplesetkan menjadi belahan dunia, yang ujungnya melahirkan “esuk-esuk pating keleler/di pagi buta berhamparan” babak baru perang modern yaitu, Perang (Hersri, 2003: 92). Dingin (Cold War). Tak terkecuali Indonesia, Kasus lain juga tercatat dalam Dunia Yang pada saat itu tampak terjepit di antara tarik Belum Sudah (1994), risalah yang ditulis oleh ulur kepentingan dua negara ini. Hersri Setiawan, mantan tapol dan eks-Lekra Namun, kecenderungan ke sisi kiri Yogyakarta, yang mengungkapkan sekelumit semakin tampak dari kebij akan politik yang kisah tentang lagu-lagu yang dibungkam, diambil pemerintah Orde Lama, dibawah selain Genjer-Genjer. Di dalam buku itu tertera pengaruh PKI tahun 1960-an. Tema besar nama-nama tapol Pulau Buru dari kalangan yang dikampanyekan pemerintah adalah seniman dan musisi seperti Subronto K tentang kebudayaan Indonesia yang disinyalir Atmodjo,14 M Yunanta, Go Giok Liong, dan mengalami sedimentasi akibat kapitalisme banyak lagi seterusnya. global dalam bayang-bayang neo-imperialisme Hersri menuturkan pengalamannya di Barat. kamp Pulau Buru. Sensor militer terhadap hasil Oleh sebab itu, keberadaan sastrawan dan karya cipta para seniman, baik di panggung seniman Indonesia menjadi fokus perhatian hiburan maupun di tempat-tempat kerja PKI, dalam perannya sebagai agen ganda, begitu ketat. Hersri mengutarakan beberapa untuk memperkuat basis ideologi komunis contoh, seperti yang dialami seorang aktor dan di Indonesia. Bagi PKI, pengaruh kapitalisme sutradara fi lm, Basuki Eff endy, yang disiksa global menjadi ancaman serius bagi kebudayaan habis-habisan hanya lantaran menyanyikan Indonesia. PKI secara terang-terangan lagu Come Back to Sorento. Sang penjaga mengibarkan bendera perang melawan segala mengartikan bahwa Basuki sedang melakukan bentuk neo-kolonialisme dan neo-imperialisme agitasi untuk mengembalikan kejayaan PKI di (nekolim) di Indonesia. Pulau Buru. Demikian juga Lie Bok Hoo yang PKI menetapkan imperialis Amerika ditempeleng penjaga militer hanya lantaran sebagai musuh rakyat Indonesia nomor wahid menyanyikan lagu Larilah Hai Kudaku, yang dan paling berbahaya. Bahkan, di setiap kegiatan untuk mengembangkan basis ideologinya, PKI

14 Perlu dicatat disini bahwa Subronto K Atmodjo adalah selalu melontarkan propaganda dan agitasi pencipta lagu Resopim dan Nasakom Bersatu yang politiknya tentang kebudayaan nasional dan kemudian hari dicap sebagai lagu-lagu komunis. Lagu sikap anti-Amerika-nya. Pandangan umum Nasakom Bersatu disiapkan dalam rangka menyambut hari Sumpah Pemuda tahun 1961. Sedangkan lagu yang diyakini kaum komunis kala itu adalah Resopim diarahkan untuk mendukung revolusi bahwa kaum imperialis mulai dari Belanda, sosialisme di Indonesia. (Iqbal Thawakal; “Atjungkan Inggris, Jepang, dan Amerika sedang berusaha Tindju Kita “, Lagu dan Sikap Politik Jaman Soekarno. Majalah Progress, No.1, Jilid 3, tahun 1993). mematikan kepribadian rakyat Indonesia.

243 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014

Amerika tidak hanya musuh secara melakukan gerakan bawah tanah. Menyamar ideologi karena kedudukan politik dan dalam kelompok-kelompok kesenian rakyat ekonominya, tetapi juga karena dominasi berupa drama rakyat dan kelompok-kelompok kebudayaanya, baik di bidang ilmu, film, musik tradisional. musik, dan lain-lain. Kolonialisme telah Pada waktu penjajahan Belanda, proses merubah wujud dan sistem penghisapannya penetrasi politik ke dalam ranah seni dan sastra melalui jalur ekonomi dan politik. Kemudian dengan gerakan kaum revolusioner datang dari mengintensifk an agresinya terhadap Indonesia dua aliran. Pertama, dari kaum folklore yaitu lewat jalur budaya. Bahkan, Presiden Soekarno pelaku budaya dan seniman lokal yang kreatif pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 1959 mengintegrasikan diri dengan gerakan-gerakan di telah menyerukan untuk melawan revolusioner petani. Kaum ini menciptakan karya- kebudayaan imperialis yang gila-gilaan seperti karya kritis yang progresif untuk membangun musik rock’n roll, musik ngak-ngik-ngok, text book kesadaran subjektif masyarakat agar melakukan thinking, dan perilaku masyarakatnya yang perlawanan terhadap penjajah. Seperti misalnya hedonistik.15 ludruk, ketoprak, reog, gandrung, dll. Peran penting seniman dan sastrawan Lagu-lagu perjuangan memainkan bagi ideologi PKI terutama ditujukan dalam peranan yang strategis dalam memompa upaya pembentukan jiwa, semangat, kesadaran, semangat nasionalisme dan anti-kolonialisme, moral, dan watak kader-kader partai dalam heroisme, dan humanisme lokal. Seniman- perjuangan revolusioner membela ideologi seniman musik dan drama rakyat itu melahirkan proletarian. Pengintegrasian seni dan sastra banyak kritik sosial, terutama yang berisi satire revolusioner dengan kaum buruh, tani, dan atau sindiran. Kedua, dari kalangan intelektual rakyat pekerja merupakan bagian penting dari yang bergerak di bidang jurnalistik, karikatur, propaganda PKI yang gencar dikampanyekan cerpen, esai, novel, puisi, dan seterusnya. sejak tahun 1950-an. Dapat ditebak di sini bahwa PKI dalam Kaum revolusioner PKI secara sadar manifestasi ideologisnya di bidang kebudayaan menggunakan kesenian rakyat dan media lebih banyak bergerak di ranah kultural. massa untuk keperluan agitasi dan propaganda. Oleh sebab itu, wajar apabila Genjer-Genjer Politisasi seni ini diilhami oleh gerakan-gerakan langsung mendapat tempat di hati kaum sebelumnya, seperti yang sudah dilakukan komunis. Genjer-Genjer hadir sebagai upaya oleh Sarekat Islam-SI (1912), ISDV16 (1914), manifestasi ideologi yang diperjuangkan oleh dan PKI sendiri (1920). Ketika SI, ISDV, dan PKI, melalui pekerja budayanya di Lekra. PKI dilarang oleh penjajah Belanda, peranan Genjer-Genjer dikatakan sebagai salah pengorganisasian dan mobilisasi massa secara satu karya terbaik anak negeri tercipta dari terbuka dilanjutkan oleh Gerindo, PNI, dan tangan-tangan seniman progresif dan patriotik- Partindo yang dipimpin oleh Soekarno. revolusioner di Indonesia. Lagu ini mampu Dengan kata lain, ketika kegiatan partai memobilisasi dan mengorganisasi semangat politik dilarang oleh Belanda, kader-kader PKI aural komunitas terbayangnya, dalam banyak bergerak sembunyi-sembunyi atau perjuangan revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme di Banyuwangi. 15 Perlu dicatat pula bahwa gejala pelarangan terhadap Faktor sejarah penciptaan dan fungsinya lagu-lagu Koes Plus berawal dari pernyataan Soekarno itu. Koes Plus dianggap duplikat The Beatles (grup sebagai media perlawanan inilah yang band asal Inggris), baik dari segi musikalitas maupun menyebabkan Genjer-Genjer melewati jalan dandanannya. Koes Plus dicap sebagai revisionis bertabur bunga. Usaha popularisasi pun modern produk kebudayaan nekolim. 16 Indesche Social Democratische Vereeniging. dilakukan PKI untuk menggaungkan semangat

244 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu revolusi kaum komunis, sambil menerapkan tindakan yang krusial, yaitu “budaya plesetan” manifesto ideologisnya di bidang kebudayaan. dan “parodi sistem tanda”. Pasca peristiwa itu, RRI dan TVRI merupakan media popularisasi Harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia paling efektif dan strategis yang digunakan (KAMI) yang didukung oleh kekuatan Kostrad, oleh PKI demi mewujudkan cita-cita itu. memplesetkan Genjer-Genjer menjadi Jenderal- Kemudian, artis-artis kondang pun Jenderal. dirangkul untuk menggaet sejumlah besar Dalam catatan pribadi Hasan penggemar fanatiknya. Harapannya, Genjer- Singodimayan, seniman HSBI17 dan teman Genjer tidak hanya disukai oleh kalangan akrab M. Arief, menuliskan bahwa lagu Genjer- komunis saja, tetapi juga khalayak ramai. Usaha Genjer telah diplesetkan: ini terutama ditujukan kepada kaum buruh, tani dan prajurit, termasuk juga bagi para simpatisan Jenderal-jenderal nyang ibu kota pating PKI. Sebab, salah satu kenyataan yang dihadapi keleler Emake Gerwani, teko teko nyuliki PKI ketika itu adalah bahwa masih banyak kader- jenderal kader mereka yang buta huruf. Oleh sak truk, mungkir sedot sing Oleh karenanya, jenis musik yang akan toleh-toleh dipilih untuk dikembangkan adalah jenis musik Jenderal-jenderal saiki wes dicekeli kultur atau folksong. Bukan musik yang rumit Jenderal-jenderal isuk-isuk pada dan sulit dimengerti, melainkan karya-karya disiksa terbaik anak daerah yang popular, sederhana Dij ejer ditaleni dan dipelosoro Emake Gerwani, teko kabeh milu dan mudah dicerna. Oleh sebab itu, peran ngersoyo musisi seperti M. Arief yang bergabung dengan Jenderal-jenderal maju terus dipateni Lekra semakin signifi kan di mata PKI. Namun “di bawah kondisi tertentu”, Akibat budaya plesetan itu, maka makin menunjukan secara faktual bahwa Genjer- kuat alasan Orde Baru untuk mengeliminasi Genjer diagendakan, untuk apa? dan digunakan lagu ini. Pasca peristiwa G30S 1965, siapa oleh siapa? Ambivalensi makna Genjer- pun yang tetap menyanyikan lagu Genjer- Genjer terletak di seputar dua mainstream Genjer akan ditangkap oleh aparat keamanan ini. Satu sisi, Genjer-Genjer adalah musik dan tentu saja dengan tuduhan komunis. kultur yang difungsikan sebagai media kritik Akibat larangan menyanyikan lagu-lagu terhadap kondisi sosial masyarakat yang komunis, maka beberapa seniman gandrung di ada di Banyuwangi. Jadi, karena ada bumbu Banyuwangi juga dilarang untuk menyanyikan lokalitaslah Genjer-Genjer berpengaruh dan lagu Genjer-Genjer, termasuk beberapa gendhing diterima secara nasional, khususnya di telinga yang memompa kesadaran politik masyarakat. orang Jawa. Munculnya lirik lagu Genjer-Genjer yang Sementara di sisi lain, afi liasi si pencipta mendeskreditkan itu tentu saja membuat lagu Genjer-Genjer dengan Lekra, menyebabkan berang petinggi-petinggi militer di tubuh Genjer-Genjer kembali berubah fungsi dan Angkatan Darat. diposisikan sebagai lagu manifesto PKI. Akan tetapi, jangan pula kita lupakan bahwa Dalam kasus ini, Genjer-Genjer memang kondisi-kondisi pasca 1 Oktober 1965 turut telah difungsikan oleh PKI sebagai bagian dari membidani aktualisasi kemunduran ekstrim political campaign. Lirik lagu yang sangat dekat Genjer-Genjer. dengan kehidupan rakyat kecil ini memang Setelah peristiwa G30S tahun 1965, kekuatan pendukung Orde baru melakukan dua 17 Himpunan Seniman Banyuwangi Indonesia.

245 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 cocok dan dekat dengan ideologi komunis.18 oleh kaum manipolis. Oleh sebab itu, ketika Namun tidak boleh dilupakan, sikap politik G30S terjadi, kaum manikebuis yang tergabung PKI terhadap kebudayaan Indonesia justru dalam barisan sakit hati itu, ikut mendukung memunculkan banyak musuh ideologi dalam Orde Baru untuk merongrong seluruh negeri. kebudayaan-kebudayaan PKI, termasuk Seniman dan sastrawan kanan yang Genjer-Genjer yang dianggap hasil karya tergabung dalam Dewan Film Indonesia seniman kiri atau kaum manipolis. (DFI), KPPI dan American Motion Picture Association Indonesia (AMPAI), serempak Tiga Rezim Tiga Mitos menganggap PKI seperti onak dalam daging. Jika memahami Genjer-Genjer hanya Kritik pedas yang dilontarkan PKI terhadap sebagai produk seni sebagaimana komitmen kaum revisionis modern membuat geram awalnya untuk menghibur, maka menyanyikan kelompok kanan. Sebab, kelompok kanan pada Genjer-Genjer sebagai aktivitas musik kolektif waktu itu menganggap bahwa seni dan sastra seharusnya sama sekali tidak memiliki itu memiliki nafas liberalisme dalam dirinya. ancaman potensi konfl ik. Musik bukan hanya Paham liberalis yang dianut oleh seniman memberikan media interaksi sosial dan dan sastrawan kelompok kanan ini bertolak ruang bebas resiko untuk mengeksplorasi belakang dengan paham kiri yang dianut perilaku sosial. Namun sebaliknya, sebuah lagu oleh PKI. Akibatnya, timbul friksi yang tajam dipersepsikan berbeda apabila dipahami dalam di bidang kebudayaan. Persaingan antara kerangka soft politics (politik makna). seniman dan sastrawan kiri vis a vis seniman Komunikasi pesan melalui simbol “teks” di dan sastrawan kanan mulai bergeser ke arah dalamnya tersimpan potensi aksi dan transaksi. pertarungan ideologis. Secara spesifi k, musik sengaja dirangkai untuk PKI menuduh DFI, KPPI, dan AMPAI mengeksplorasi sebuah interaksi politik karena sebagai komprador, kaum revisionis modern kemanjurannya, sekaligus memiliki makna yang latah, kaki tangan imperialis yang tidak yang potensial. Sebagai perilaku politik, unsur punya kepribadian dan penjiplak ulung. teknis musikalitas tidak begitu penting. Makna Sementara seniman dan sastrawan kanan dan isi teksnya lebih diutamakan. (manikebuis) justru menganggap bahwa PKI Penjelasan di atas senada dengan postulat membatasi kreativitas, membunuh kebebasan Hans Georg Gadamer (1977) yang mengatakan yang merupakan nafas kehidupan bagi proses- bahwa, dimensi seni adalah pemahaman proses kreatif dan produktivitas. historisitas yang harus sudah mencakup semua Konfl ik dua kubu ini sebenarnya sudah dimensi masa depan dari arti-arti simbolik atau meruncing sejak Manikebu dilarang oleh teks. Gadamer mengatakan; Soekarno atas pengaruh PKI (Hersri, 2003: 179).19 Kaum manikebuis merasa dikangkangi “Ketika kita menemukan karya seni dengan ciri khas keindahannya bukan 18 Sumber; htt p://gin2.info/?p=54. 19 Manikebu adalah manifes atau pernyataan sikap dan se-Indonesia (KPPI) pada awal Maret 1964. Presidium pendirian kaum seniman, sastrawan, dan cendekiawan KPPI diketuai oleh Brigjen TNI-AD Dr. Sujono dan Indonesia tentang cita-cita dan politik kebudayaan Bokor Hutasuhut. Manikebu ditanda-tangani oleh nasional, dengan menegaskan Pancasila sebagai falsafah dua puluh seniman dan sastrawan, dan diumumkan kebudayaan Indonesia. Tujuan manikebu adalah untuk pada tanggal 17 Agustus 1963. Atas desakan ofensif menghadapi “ofensif manipolis” dibidang kebudayaan, manipolis, manikebu dilarang oleh Soekarno tanggal terutama terhadap dominasi sikap dan pendirian “politik 8 Mei 1964. Istilah Manikebu juga dipakai sebagai sebagai Panglima”. Kecenderungan kelompok Manikebu bahan ejekan oleh PKI dan kaum manipolis dengan anti-manipolis dan anti-nasakom tampak dengan memplesetkannya menjadi “mani-kebo” yang berarti diselenggarakannya Konferensi Karyawan Pengarang sperma kerbau.

246 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu

wujud lahirnya. Kita akan merasa fact dengan mengadopsi linguistik (semiotika) bertambah asing. Sebab karya seni Ferdinand de Saussure, membongkar makna berkaitan dengan kenyataan (wujud laten yang dikandung oleh objek-objek karya seni tersebut) dan persepsi banyak simbolik. Proses dehistorisasi, demistifi kasi, orang sementara itu kita sendiri secara deformasi atau bahkan meminjam konsep pribadi sulit untuk menerimanya.” dekonstruksionisme Jacques Deridda, dij elmakan dalam kenaturalan yang disengaja Mengatasi kompleksitas ini, Gadamer dan bersifat tekstual. memformulasikan sebuah konsep yang cerdas Menurut Saussure, tanda itu selalu tentang dekomparasi estetika. Suatu interpretasi memiliki tiga wajah, yaitu tanda itu sendiri tentang karya seni, apapun bentuknya yang (sign), aspek material (suara, huruf, bentuk, dibuat di masa lampau, mempunyai sifat-sifat gambar, gerak, dll) dari tanda yang berfungsi dialektis dan aktual hingga saat ini. menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek Melalui hermeneutika, hal tersebut bisa material (signify), dan aspek mental atau diatasi melalui pemahaman, penafsiran dan konseptual yang ditunjuk oleh aspek material dialog-dialog interaktif. Penafsir dengan (signifi ed). Diformulasikan menjadi sign-sign- cara ini menempuh jalan penestapaan untuk vehicle-meaning (Sunardi, 2002: 10-35). menemukan keserasian antara si penafsir Hal yang dicari dari sistem tanda dengan objek (teks) yang sedang dikaji. (signification) bukanlah esensi objek pada Oleh sebab itu, keberadaan objek material dirinya melainkan “hanya” simulacrum mempunyai kekuatan yang dinamis, dalam (konotatif/pengganti) dari objek yang sedang artian bahwa karya seni tidak hanya dilihat diteliti.20 Sistem tanda inilah tempat potensial dari aspek estetik superfi sialnya saja, tetapi bagi mitos untuk menggerogoti realitas juga makna-makna tersembunyi atau laten sebagai benalu-benalu sejarah. Jadi, mitologi yang dikandungnya. menjadi bagian ideologi sejauh menyangkut Beragamnya apresiasi justru penting soal sejarah, yaitu mempelajari ide-ide dalam untuk meningkatkan kualitas pembacaan. bentuk (ideas-in-form). Interpretasi menjadi holistik karena tidak Oleh sebab itu, ketika bentuk-bentuk berhenti pada satu tahapan atau satu orang konotatif ini sudah mapan, maka ia akan penafsir saja. Secara garis besar dapat berubah wujud menjadi ideologi. Dalam dikatakan bahwa Gadamer menawarkan tiga sistem ideologi, untuk mempertahankan poros hermeneutika, yaitu penulis (pencipta hegemoni diperlukan simbol-simbol mitos, teks/sejarah/seni), penafsir, dan teks dalam dalam bentuk nilai. Orang atau kelompok yang pengertian umum. paling aktif memproduksi simbol-simbol mitos Penafsir merambah mulai dari pemahaman yang ada menjelang kemunculan teks, beragamnya arti sepanjang sejarah sampai 20 Sebetulnya, dalam semiologi dikenal tiga jenjang pada arti di mana penafsir hidup, dan dari pembentukan makna, yaitu penanda, pertanda, dan penafsir mencoba menyatukan rasa dengan tanda. Penanda sebagai subjek, pertanda sebagai objek, dan tanda merupakan hasil perpaduan keduanya. pencipta karya atau pembuat teks. Dengan Dalam linguistik (semiotika tingkat pertama), penanda demikian, penafsiran hermeneutik adalah diganti dengan sebutan makna, Pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan penafsiran yang berdialektis dan sirkuler dalam mitos (semiotika tingkat kedua), penanda antara penafsir, teks, dan pembuat teks. dianggap bentuk. Pertanda tetap sebagai konsep, dan Selanjutnya, Barthes dalam mythologies- tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti ini bertujuan mempermudah kita dalam nya (1972), menangkap forma fact dan aft er-the- membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiologi Barthesian.

247 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 adalah orang atau kelompok yang berpotensi terjadi adalah sebuah lagu dapat membuat orang menghegemoni. menemui ajalnya lebih cepat. Originalitas karya Akan tetapi, yang menguasai produksi- M. Arief sebagai komponis Genjer-Genjer pun reproduksi mitos adalah orang atau kelompok masih diragukan. Bisa saja lagu ini diciptakan yang pasti menjadi dominan. Semua ideologi seseorang yang tidak terkenal sebelum M. Arief bersumber dari rangkaian simbol-simbol teks populer. Pengaruh lagu itu sebagai signified yang diartikulasikan menjadi mitos (utopia, (konsep), yaitu “genjer bukan sebagai tanaman”, retorik, motivated). Jika Daniel Bell mengatakan, lebih perlu kita cermati disini. “Mari kita tinggalkan mitos dan kembali pada Karakter agraris penduduk Banyuwangi fakta-fakta”, maka penulis mengajak pembaca menunjukkan bahwa sumber-sumber ekonomi untuk mengatakan, “Mari kita melihat fakta dihasilkan terutama dari sektor pertanian. lewat mitos-mitos”. Oleh karenanya, mitos kata Dengan demikian, masyarakat Banyuwangi Barthes selalu bersifat historis. Pengalaman akrab dengan jenis tumbuhan seperti padi, atau pengetahuan tentang sejarah menjadi palawij a, genjer, bopong, semanggi, rumput, faktor kunci untuk menangkap forma dari jagung dll. Sehingga dapat dipastikan tidak sebuah mitos.21 ada seorang petani lokal yang tidak mengenal daun genjer. Pertama: Mitos Patriotik-Revolusioner Tanaman genjer di sini hanya sebatas Genjer-Genjer objek material. Akan tetapi, ketika hadir Genjer-Genjer harus dipahami sebagai dalam syair sebuah lagu, maka tanaman bagian dari systems of signification (sistem- genjer dikomodifi kasi menjadi identitas aural. sistem simbolik) yang sengaja dikonstruksi Padahal sebagai forma, genjer dianggap sebagai menghadapi ideologi dominan. Genjer-Genjer tanaman bernilai ekonomi rendah. Tanaman ini tercipta terutama disebabkan oleh analisis dicerabut dari akarnya untuk direbus bersama kreatif komponis dalam mengartikulasikan dedak atau bekatul. Kemudian disorongkan ke sistem-sistem simbolik. Penjajahan memiliki mulut-mulut ternak. pengaruh terhadap kesenjangan sosial dan Dengan bahasa lain, lagu Genjer-Genjer ekonomi masyarakat. menggantikan makna denotatif “kita sedang Meskipun demikian, lagu Genjer-Genjer ditindas” atau “penjajah membuat kita menjadi yang digunakan sebagai media kritik masih ternak”. Kecocokan simbolik ini menjadi perlu diklarifi kasi. Apalagi tidak ada postulat simulacrum bagi pengejawantahan ragawi apapun yang bisa membuktikan bahwa sebuah keterjajahan itu. Genjer-genjer mempunyai lagu menang melawan senjata, yang pernah fungsi representasi atas sejarah kolonialisme- imperialisme. 21 Mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu mutos, berarti Apabila menelaah suasana lagu Genjer- cerita. Biasanya kita pakai untuk menunjukkan cerita Genjer, komponis tampak sedang menangkap fiktif yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap satu fenomena yang tidak menyenangkan. dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan Pintu inspirasinya tergedor keras-keras. Lagu dan dirinya. Mitos-mitos ini tidak hanya kita dengar ini menjadi simbol kemarahan, frustasi, dan dari orang-orang yang lebih tua dan buku-buku tentang cerita lama, melainkan kita temukan setiap hari di kegelisahan yang akut. Sampai di bagian ini, televisi, radio, fi lm, pidato dan sebagainya. Mitos kata ketika mendengarkan musiknya kita baru bisa Barthes adalah a type of speech determinated by its intention mengartikulasikan kembali simbol-simbol (jenis wicara yang ditentukan oleh intensional). Mitos mendistorsi realita sebagai efek ideologis. Esensi mitos yang coba dilukiskan komponis itu. Syair lagu adalah kamufl ase representasi borjuis kecil sebagai ini akan mengalami kekosongan makna jika fakta dari natur universal. Seperti ideologi, mitos selalu hadir dan mustahil mengelak darinya. dilepas dari struktur musiknya.

248 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu

Selanjutnya, lagu ini mencoba untuk oleh logika-logika hegemoni. Bahwa di tanah mengajak pendengarnya untuk merefl eksikan menginjak padi, orang-orang masih saja makan kembali kehidupan keluarga miskin di genjer. Banyuwangi. Mereka berusaha bertahan hidup Daun genjer digemari karena ongkos dengan memanfaatkan apapun yang ada di derita itu telah menjangkau semua lapisan sekitarnya, termasuk tanaman genjer yang masyarakatnya. Setiap dapur pernah sebelumnya dianggap sebagai tanaman liar. memanjakan keluarganya dengan masakan Komponis itu melukiskan seorang ibu yang oseng-oseng atau tumis genjer. Dua perempuan, berjuang menafkahi anak-anaknya dengan “ibunya anak-anak” yaitu penjual dan “ibunya berjualan daun genjer. Sila melihat syair Jebreng” yaitu pembeli ditampilkan sebagai Genjer-Genjer yang telah ditulis di halaman sosok yang tegar, sekalipun ditinggal tulang sebelumnya. punggung keluarganya. Walaupun dapat yang kecil-kecil dan Sepertinya, tidak ada yang istimewa dari sebakul, sudah cukup untuk dij ual di pasar. penggambaran komponis dalam syair lagunya Sebetulnya untuk menggambarkan realitas itu. Secara harfi ah, tidak ada indikasi distorsi kemiskinan itu, agaknya komponis salah berlebihan yang mengarah pada bentuk- tempat ketika menghubungkan Genjer-Genjer bentuk konsolidasi massa, maupun semangat dengan aktivitas jual-beli di pasar. patriotik-revolusioner dalam lagu itu. Musik Tumbuhan genjer adalah tanaman liar. ditabuh dengan kemalasan yang semakin Mengapa orang miskin harus membelinya jika melemahkan jiwa. Menawarkan kesakitan yang dapat dipetik langsung untuk dikonsumsi? tak kunjung sembuh. Menghanyutkan orang Bukankah uang mereka bisa dimanfaatkan ke pembuangan terra incognito. untuk membeli kebutuhan yang lain? Itulah Hanya saja, semua kata disusun esensi lagu Genjer-Genjer, yaitu niatan menggunakan cara-cara standar komunikasi menyindir atau satire. Komponis seolah sehari-hari. Muatan sastrawinya pun mendeformasi makna bahwa daun genjer itu bisa dikatakan sangat minimalis. Penulis memiliki nilai ekonomis yang tinggi. mengamati bahwa karakter lagu-lagu populer Ada kegentingan naluriah untuk itu setidaknya memiliki dua ciri, yaitu syairnya menjualnya sehingga seorang ibu harus pagi- sederhana dan maknanya mudah dipahami. pagi ke pasar. Daun genjer digambarkan laris Oleh sebab itu, Genjer-Genjer bisa manis hingga “ibunya Jebreng” harus membeli diklasifi kasikan ke dalam jenis lagu daerah belasan ikat. Akan tetapi, “ibunya anak-anak” populer. Sekalipun simbol-simbol itu tidak dapat sebakul sementara tumbuhan genjer terlacak, paling tidak mempunyai daya pikat berhamparan di pematang sawah. Barangkali atau nilai jual/komersil dan ditularkan dari komponis ingin menonjolkan kesederhanaan telinga ke telinga. Wajar apabila Genjer-Genjer masyarakat tradisional itu. Menjual sesuatu digemari masyarakat Banyuwangi. Terlebih yang hasilnya hanya untuk dikonsumsi, bukan ketika lagu itu dianggap mewakili aural orientasi laba atau akumulasi modal. penderitaan masyarakatnya. Namun, untuk Sebab sebagai gulma, tidak ada biaya dikatakan sebagai musik yang berkarakter produksi yang harus dikeluarkan oleh patriotik-revolusioner, tidak ada ungkapan penjual selain tenaga petik, mengikat, dan yang tepat untuk kita sandangkan selain membawanya ke pasar. Nilai-nilai itu muncul mitos.22 tidak lebih merupakan takaran ilusif atas proses transaksi jual-beli komoditas palsu. 22 Jangan pula kita lupakan bahwa sebelum Soekarno membentuk panitia lagu kebangsaan tanggal 8 Nilai yang sebenarnya konotatif, tidak terjamah September 1944, dan sebelum Indonesia Raya ditetapkan

249 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014

Kedua: Mitos Romantisme-Revolusioner “Ibunya anak-anak” dan “ibunya Jebreng” Genjer-Genjer menunjukkan strata sosial yang berbeda. Pasar Tampaknya PKI mendistorsi dan disitu bisa menjadi simbol kapitalisme. “Datang- mendeformasi makna Genjer-Genjer ke datang mencabuti genjer” mengungkapkan dalam hubungan paradigmatis, yaitu simbol lemahnya posisi tawar buruh dan petani yang virtual yang tidak nyata, utopis, dan retorik. mudah dieksploitasi oleh para pemilik modal. Menghubungkan Genjer-Genjer sebagai Walaupun “dapat yang kecil-kecil” yaitu rakyat personifi kasi kaum proletar buruh dan petani. kecil/wong cilik dan “sebakul” atau sedikit, Bukan saja dari segi musikalitas lagu ini mampu namun tetap memiliki nilai jual bagi “ibunya menghadirkan kepedihan dan kesakitan. anak-anak”. Melainkan juga kemampuan dialektisnya “Dibariskan, diikat, dan semua digelar” sebagai lagu petani, besar dilingkungan petani, merupakan ekspresi ketertindasan dan dan mengungkapkan realitas kehidupan ketidakberdayaan kaum buruh dan petani. petani yang miskin dan tersingkir. Oleh sebab Ketika kita mengacu pada rivalitas PKI, itu, penulis akan mengartikulasikan kembali “ibunya anak-anak” bisa juga dikategorikan hubungan paradigmatis Genjer-Genjer sebagai sebagai kelompok revisionis modern, kaum lagu manifesto PKI. borjuis feodal atau kapitalis birokrat/kabir, dan Di sini Genjer-Genjer tidak didengar kaum manikebuis.23 sebagai lagu rakyat karena kepolosan, keluguan Ada eksploitasi yang dilakukan “ibunya ,dan spontanitas lagu tersebut telah dinodai anak-anak” terhadap buruh dan petani untuk oleh kepentingan politik. Genjer-Genjer dij ual kepada “ibunya Jebreng”. Tampaknya, mengalami alienasi dari budaya otentik suku “ibunya Jebreng” cocok digambarkan dengan Osing di Banyuwangi. Diperkosa oleh budaya imperialis Amerika dan negara-negara asing massa sebagai bentuk kontemplasi artifi sial, lainnya. Perdagangan tenaga buruh dan petani menarik esensinya untuk tunduk pada ideologi, tersebut sama dengan menjual bangsa ini dan dibantu oleh kemajuan teknologi informasi kepada para imperialis. seperti radio dan televisi. Terlebih lagi, PKI juga berkepentingan Bagi PKI, Genjer-Genjer merupakan memobilisasi kekuatan buruh dan petani, personifi kasi buruh dan petani, yang dikatakan teristimewa suku Jawa, baik di Pulau Jawa dan berhamparan di sawah. Artinya, ”berhamparan” luar Jawa, untuk merefl eksikan kedirian mereka berkaitan dengan jumlah dan “sawah” sebagai tentang ketertindasan lewat syair Genjer-Genjer sumber-sumber produksi. Sawah bisa saja itu. Mengampanyekan sosialisme-proletar dimaksudkan secara harfi ah sebagai tempat tidak cukup hanya melalui provokasi dan bekerjanya petani, atau sawah sebagai pabrik- doktrinasi lewat mimbar bebas yang berapi- pabrik tempat bekerjanya buruh. api, membakar semangat agar merapatkan barisan untuk aksi-aksi perlawanan dan pemberontakan. Hati mereka yang tertindas dan menderita sebagai lagu kebangsaan lewat PP No.44 tahun 1958, perlu disentuh dengan musik-musik melankolis. lagu Indonesia Raya pernah dikomersilkan tahun 1930. Lagu Indonesia Raya direkam ulang di Jerman dan Intinya, PKI ingin menegaskan pesan-pesan piringan hitamnya diperjual-belikan di pasar-pasar politiknya lewat lagu Genjer-Genjer bahwa Eropa dan Asia. (Wawancara RCTI dengan Roy Suryo dan pakar sejarah Des Alwi (anak angkat M. Hatt a) yang ditayangkan tanggal 6 Agustus 2007). Sekedar 23 Dalam makna konotatif, ibu bisa berarti induk, kota, tambahan, tanggal lahir W.R Supratman 9 Maret tanah, seperti ungkapan ibukota, ibu pertiwi, ibu 1903 oleh pemerintah diperingati sebagai Hari Musik negara. “Ibunya anak-anak” bisa juga kita analogikan Nasional. tokoh-tokoh dalam negeri.

250 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu perasaan yang dialami buruh dan petani sama PKI, di dalam gerakan pemberontakan dengan yang dirasakan oleh PKI. yang dimotori oleh Letkol Untung, dkk itu. Apabila maksud ideologis itu tidak Tanpa disadari, perlahan-lahan mitos sedang terbaca (unidentified), menyajikan Genjer- diproduksi. Genjer kedalam piringan hitam dapat menjadi Tak dapat dipungkiri bahwa struktur penghasilan tambahan untuk mengembangkan dominasi elite sangat tergantung pada “sayap kiri” di Indonesia. Dengan kata lain, lagu kemampuannya merekayasa sejarah, serta Genjer-Genjer sebagai manifestasi romantisme- ketaatan masyarakat yang menjadi objek revolusioner PKI dan Lekra adalah mitos. hegemoninya. Sekalipun kekuatan rezim dapat mengendalikan kekuasaan negara, selalu Ketiga: Mitos Stigma-Historis Genjer- diperlukan mitos-mitos yang secara intensional Genjer mampu memproduksi legitimasi bagi status Pasca tragedi Gestapu, pers Orde Baru quonya. menurunkan berita tentang ditemukannya Adolf Hitler (1889-1945) dalam bukunya secarik kertas yang berisi notasi lagu Genjer- yang terkenal Mein Kampf (Pejuangku) Genjer di areal Lubang Buaya. Pers tersebut mengatakan, “Kebohongan, asal besar dan terus diantaranya adalah koran Pantjasila, koran diulang-ulang akan menjadi kebenaran juga Angkatan Bersenjata, dan Berita Yudha akhirnya.”24 Oleh sebab itu, artikulasi sistem- pada tanggal 4 Oktober 1965. Notasi yang sistem simbolik bagi rezim Orba merupakan ditemukan itu dikatakan mengandung indikasi proses kreatif mitos untuk membangun realitas pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965. yang tampak sangat natural. Secarik kertas itu yang kemudian dij adikan Orde Baru secara implisit memproduksi bukti kuat oleh Orde Baru. mitos tandingan agar kelompok oposan Anehnya, syair lagu yang terdapat di dominan tidak diakui lagi eksistensinya. Media kertas itu tidak sesuai dengan syair lagu yang memiliki peran strategis dalam proses produksi- sebenarnya. Sejarah tidak pernah mencatat reproduksi mitos tersebut. Media mampu bahwa secarik kertas, yang dianggap remeh- menggiring masyarakat untuk membentuk temeh, yang berisi bait lagu bisa menjadi opini yang seragam. Masyarakat yang terjebak milestone bagi munculnya rumor keterlibatan akan langsung terkungkung oleh dusta-dusta PKI dalam G30S. Padahal alibi itu diperkuat oleh sejarah. Harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Seperti virus, kesadaran individu yang didukung oleh kekuatan Kostrad dengan mengenai kekuasaan Orba sangat tergantung memplesetkan Genjer-Genjer menjadi Jenderal- pada anti-biotik yang diproduksi oleh media. Jenderal. Jika anti-biotik itu tidak diproduksi atau Apabila boleh mengira-ngira, mengapa gagal membunuh virus, maka perkembangan penemuan secarik kertas itu menjadi fenomenal? virus akan merajalela dan menyerang Kertas yang hanya berisi bait lagu, bukan memo, sistem kekebalan rezim. Akibatnya adalah surat atau objek lain yang tercecer, misalnya 24 Buku itu sangat terkenal di Munich, Jerman dan dij adikan bendera palu-arit. Bukan pula menangkap dan kitab suci bagi kaum National-Sozialism (NAZI). Inti dari menginterogasi seseorang yang tahu tentang buku itu berbicara tentang antisemitisme, pengagungan rencana pembunuhan para jenderal. terhadap kekuasaan negara, pelecehan moralitas dan strategi menguasai dunia. Selain itu, ada cerita yang Dengan logika sederhana, Genjer-Genjer menarik menyangkut tema kita kali ini. Merit (2003) sudah mewakili simbol-simbol PKI. Bagi menjelaskan bahwa Hitler, yang memahami pengaruh Orde Baru sudah cukup indikasi kuat untuk kekuatan musik dan lagu-lagu, sering menggunakan musik Richard Wagner untuk memicu perangai agresif menjatuhkan justifi kasi awal atas keterlibatan para serdadunya.

251 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 keberlangsungan eksistensi rezim akan Pada saat itu, media massa dijadikan terancam. kendaraan politik elite untuk mendistorsi Krishna Sen dan David T Hill (2000) realitas sosial. Genjer-Genjer diartikulasikan menyebutkan ada tujuh pilar yang dianggap kembali ke dalam mindset masing-masing paling strategis memproduksi kekuasaan aktor, dengan cara membengkokkan sejarah hegemoni (mitos). Ketujuh pilar itu adalah dan memutar-balikkan fakta-fakta. Kesadaran buku, pers, radio, televisi, sinema nasional, masyarakat dipermainkan oleh fobia artifi sial industri musik, dan internet. Akan tetapi, yang sengaja dibentuk untuk memenangkan bagi Orde Baru yang paling strategis untuk pertarungan. membangun mitologi tentang PKI adalah pers, Universalisme yang dikandung dalam radio, televisi dan sinema nasional. musik bisa dikatakan hanyalah bualan kosong, jika dihadapkan pada pertarungan-pertarungan Kesimpulan ideologis.25 Di sinilah paradoks terbesar musik Pertarungan ideologi, mau tidak mau dalam politik. Ketika eksistensi musik berada juga merupakan pertarungan simbolik. Ketika dalam radar-radar pertarungan elite politik di Genjer-Genjer digunakan sebagai salah satu masyarakat, internalisasi justru menyebabkan instrumen ideologi, maka secara tidak langsung musik kehilangan ruang-ruang universal. lagu itu dianggap ikut bertarung menghadapi Ketika superioritas kekuasaan mulai ideologi lawan. Pada saat yang sama, Genjer- gaduh, kemenangan ordo penguasa perlu Genjer akan sulit keluar dari pengasingan (out membentengi diri dari para agresor politik. of exile) dan terjebak dalam restriktif ideologi Maka seluruh pernak-pernik subordinat atau atau stigmatisasi. oposan yang menyimpang dari langgam Genjer-Genjer menjadi kode-kode jawaban kekuasaan akan segera dibungkam dan dikirim (codes respons) dan apabila kemenangan ada di ke dunia para arwah (Mortimer, 1974: 366-367; pihak lawan, maka lagu itu dipaksa mati suri. Robert, 1990: 23-24).26 Di titik inilah muncul ambivalensi makna Di era Orde Baru (1966-1998), menyanyikan akibat kontestasi nilai-nilai dalam memandang Genjer-Genjer adalah bid’ah, larangan terkutuk kebudayaan nasional. Jadi, pelarangan Genjer- yang menyetarakannya seperti hukum Genjer bukan disebabkan nilai artistik lagu Tuhan, dalam kitab-kitab suci agama samawi. itu, namun lebih pada hubungan lagu itu Contohnya bila membandingkan Timor-Timur dengan ideologi dan struktur sosial masyarakat sebelum dan sesudah merdeka dari NKRI, yang luas. Secara disengaja, Genjer-Genjer adalah gejala penyimpangan makna yang 25 Universalisme musik artinya setiap ras, kelas, agama, diproyeksikan untuk tujuan-tujuan politik dan etnis, profesi, umur dan faktor-faktor pembeda ekonomi. lainnya berhak mengapresiasi musik menurut sudut pandangnya masing-masing. Nasib lagu itu lebih banyak ditentukan 26 Kurun waktu 1965-1968, diperkirakan ada ratusan oleh pertarungan dominasi hegemoni politik ribu atau bahkan jutaan orang yang tewas akibat antara Orde Lama dan Orde Baru. Bukan pembantaian anggota dan sejumlah aktivis PKI di berbagai daerah. Itupun belum termasuk orang yang lagi pada fi trahnya sebagai lagu rakyat yang tewas lantaran menyanyikan lagu Genjer-Genjer. seyogyanya diletakkan di aras terhormat Akan tetapi, perkiraan itu belum final dan masih kultural. Genjer-Genjer telah diperkosa spekulatif. Lagipula penyaji angka-angka korban pembantaian itu kebanyakan adalah publikasi para dan dinodai oleh kepentingan elite untuk peneliti asing. Menurut hitung-hitungan Rex Mortimer, menggalang opini-opini publik, dengan ia menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI dan kontrol media massa seperti pers, radio, dan onderbouw-nya seperti Pemuda Rakyat, SOBSI, BTI, Gerwani, “Lekra”, dan HIS mencapai angka dua puluh televisi. juta orang.

252 Utan Parlindungan, Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu pasca jajak pendapat 1999 merupakan satu hal Merrit. (2003). Simfoni Otak. : Kaifa. yang absurd untuk menyanyikan lagu Indonesia Mortimer, Rex. (1974). Indonesian Communism Raya untuk memperingati hari kemerdekaan Under . Itacha and London: Cornell Timor Leste. University Press. Orang pun tak peduli ketika lagu Genjer- Mulyana. (2003). Bincarung: Si Kecil yang Genjer bertengger di chart paling atas tangga Bernyanyi Gede. Politik dan Post-Kolonialitas lagu radio-radio dan menjadi hit favorit. di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Ambivalensi ini tampak diacuhkan saat Genjer- Rachmawati, Yeni. (2005). Musik sebagai Genjer, selama empat dasawarsa, tenggelam Pembentuk Budi Pekerti. Yogyakarta: melewati fase anomi. Terbuang percuma Panduan. hingga digiring ke peristirahatan terakhir, Rudkin, J.K. (2003). Community Psychology: menemukan aktualisasi kemundurannya. Guiding Principles and Orienting Concept. Genjer-Genjer disingkirkan begitu saja, tanpa New Jersey: Prentice Hall. belas kasihan dan tanpa pembelaan sama Sen, Krisna dan Hill, David T. (2000). Media, sekali, meski rezim Orde Baru ambruk 21 Mei Budaya dan Politik di Indonesia. Institut Studi 1998 silam dan tongkat estafet kekuasaan telah Arus Informasi: ISAI. empat kali digulirkan.27 Setiawan, Hesri. (2003). Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press. Daft ar Pustaka Sunardi, ST. (2002). Semiotika Negativa. Anderson, Benedict. (2002). Imagined Yogyakarta: Buku Baik. Communities. Yogyakarta: Insist-Pustaka Pelajar. Artikel Barthes, Roland. (1972). Mythologies. New York: Thawakal, Iqbal. “Atjungkan Tindju Kita: Lagu Hill and Wang. dan Sikap Politik Jaman Soekarno”. Majalah Budiarjo, Miriam. (1999). Dasar-Dasar Ilmu Progress, No.1 Jilid 3 1993. Politik. Jakarta: PT Gramedia Putakatama. Macridis, Roy. C dan Brown, Bernard E. Internet Perbandingan Politik (Edisi ke-enam). Jakarta: htt p://gin2.info/?p=54. Erlangga. htt p://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=p Cribb, Robert. (1990). The Indonesian Killings ublisher&op=viewarticle&artid=1178. 1965-1966. Australia: Monash University. www.detikhot.com/index.php/tainment.read/ Easton, David. (1957). An Approach to The tahun/2006/bulan/05/tgl/19/time/183356/ Analysis of Political System. World Politics. idnews/598771/idkanal/229. Gadamer, Hans Georg. (1977). Die Aktualitat http://www.tempo.co/read/ des Schonen: Kunst als Spiel, Symbol und Fest. kolom/2014/02/14/1123/Perbandingan- Germany: Stutt gart. Dua-Film-G30S. Lasswell, Harold D. (1958). Politics, Who gets What, When, How. New York: World Publishing.

27 BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999- 2001), Megawati Soekarno Putri (2001-2004), dan Susilo Bambang Yudoyono (2004-2014).

253