84

KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN NILAI PENDIDIKAN ANTARA NOVEL MEMOIRS OF A GEISHA KARYA ARTHUR GOLDEN DENGAN NOVEL KEMBANG JEPUN KARYA REMY SYLADO

TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh :

Diajukan oleh Titiek Suyatmi S 840209128

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERS ITAS SEBELAS MARET 2010

85

KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN NILAI PENDIDIKAN ANTARA NOVEL MEMOIRS OF A GEISHA KARYA ARTHUR GOLDEN DENGAN NOVEL KEMBANG JEPUN KARYA REMY SYLADO

Disusun oleh : Titiek Suyatmi S 840209128

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP. 19461008 198203 1 001 NIP. 1962047 198703 1 003

Mengetahui Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP. 19440315 197804 1 001

86

KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN NILAI PENDIDIKAN ANTARA NOVEL MEMOIRS OF A GEISHA KARYA ARTHUR GOLDEN DENGAN NOVEL KEMBANG JEPUN KARYA REMY SYLADO

Oleh

Titiek Suyatmi S 840209128

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal : …………………….

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd ……………… …………… NIP 19440315 197804 1 001 Sekretaris Dr. Nugraheni E.W., M.Hum ……………… …………… NIP 19700716 200212 2 001 Anggota Penguji : 1. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd ……………… …………… NIP 19461008 198203 1 001 2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd ……………… …………… NIP 1962047 198703 1 003

Surakarta, Mengetahui Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP. 19570820 198503 1 004 NIP. 19440315 197804 1 001

87

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Titiek Suyatmi

NIM : S 840209128

Program Studi : Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia

Universitas : Sebelas Maret Surakarta

menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, tesis ini tidak berisi materi yang ditulis oleh orang lain, kecuali bagian-bagain tertentu yang saya ambil sebagai acuan dengan mengikuti tata cara dan etika penulisan tesis yang lazim.

Apabila ternyata terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Yogyakarta, Juni 2010

Penulis,

Titiek Suyatmi

88

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan, maka apabila kamu selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan orang lain

(Q.S. An-Nasyrah: 76)

Ketika doa tak layak untuk dipaksa, maka kumohon berikan yang terbaik buatku Robbi

(Penulis)

89

PERSEMBAHAN

Dengan segenap sayang dan cintaku, karya ini kupersembahkan kepada:  Suamiku Ir. Subarno yang dengan ikhlas mengizinkan dan mendorongku dalam menempuh studi ini.  Ketiga anakku: Ramaniya Kirana, Dewi Hayu Kirana, dan Bima Wahyu Wijaya, yang telah menjadi motivasi dalam menyelesaikan studi ini.  Almamater tercinta.

90

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah swt, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat disusun dan diselesaikan. Tesis dengan judul

Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Antara Novel Memoirs of A Geisha Karya

Arthur Golden Dengan Novel Kembang Jepun Karya Remy Sylado ini diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister pada program Studi

Bahasa Indonesia, program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D. Direktur Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti studi di Program Pascasarjana yang dipimpin.

2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Bahasa Indonesia Pascasarjana, yang telah memberikan kesempatan dan

kemudahan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, kesempatan, dan berbagai kemudahan sehingga penulis dapat

melakukan penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd, selaku Pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.

91

5. Para dosen program studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan tesis

ini.

6. Bapak R. Boediharjo dan ibuku RA. Siti Asiam almarhum yang selalu

memberikan doa restu, dukungan, dan bimbingan setiap langkah.

7. Bapak Notodiharjo dan ibu Suyatinem mertuaku, terima kasih atas kasih sayang,

restu, dan dukungan yang telah diberikan.

8. Suami (Ir. Subarno) dan ketiga anakku (Ramania Kirana, Dewi Hayu Kirana, dan

Bima Wahyu Wijaya) yang telah banyak berkorban dan memotivasi penyelesaian

tesis ini.

Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah swt. Penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

Titiek Suyatmi

92

DAFTAR ISI

JUDUL ...... i PENGESAHAN PEMBIMBING ...... ii PENGESAHAN PENGUJI TESIS ...... iii PERNYATAAN ...... iv MOTTO ...... v PERSEMBAHAN ...... vi PENGANTAR ...... vii DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR LAMPIRAN ...... xiii ABSTRAK ...... xiv ABSTRAC ...... xv BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 9 C. Tujuan Penelitian ...... 10 D. Manfaat Penelitian ...... 11 BAB II KAJIAN TEORI ...... 12 A. Hakikat Novel ...... 12 1. Pengertian Novel ...... 15 2. Struktur Novel ...... 18 a. Tema ...... 23 b. Amanat ...... 24 c. Plot atau Alur ...... 25 d. Penokohan dan Perwatakan ...... 27 e. Latar ...... 35 f. Point of View ...... 37 3. Pendekatan Kajian Sastra ...... 39 a. Pendekatan Struktural ...... 39

93

b. Pendekatan Intertekstual ...... 43 1) Teks dan Konteks ...... 43 2) Interteks dan Intertekstual ...... 45 3) Prinsip Intertekstual ...... 48 4) Kajian Intertekstual ...... 53 4. Nilai Pendidikan ...... 56 a. Hakikat Nilai ...... 56 b. Hakikat Pendidikan ...... 59 c. Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel ...... 60 d. Nilai Pendidikan Moral ...... 63 e. Nilai Pendidikan Budaya ...... 68 B. Penelitian Relevan ...... 72 C. Kerangka Berpikir ...... 73 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 76 A. Jenis Penelitian ...... 76 B. Data dan Sumber Data ...... 78 C. Teknik Pengumpulan Data ...... 79 D. Validitas Data ...... 80 E. Teknik Analisa Data ...... 81 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 84 A. Hasil Penelitian ...... 84 1. Struktur Novel Memoirs of A Geisha ...... 84 2. Struktur Novel Kembang Jepun ...... 110 3. Persamaan antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun ...... 134 4. Perbedaan antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun ...... 135 5. Nilai Pendidikan Moral ...... 136 a. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Memoirs of A Geisha.. 136 b. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Kembang Jepun ...... 141 6. Nilai Pendidikan Budaya ...... 147

94

a. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Memoirs of A Geisha 147 b. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Kembang Jepun ...... 150 7. Hubungan Intertekstual antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun ...... 157 B. Pembahasan ...... 157 1. Struktur Novel Memoirs of A Geisha ...... 157 a. Tema ...... 157 b. Amanat ...... 160 c. Alur ...... 161 d. Penokohan dan Perwatakan...... 166 e. Latar...... 176 f. Point of View ...... 178 2. Struktur Novel Kembang Jepun ...... 180 a. Tema ...... 180 b. Amanat ...... 183 c. Alur...... 184 d. Penokohan dan Perwatakan ...... 188 e. Latar...... 208 f. Point of View...... 210 3. Persamaan antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun ...... 212 4. Perbedaan antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun ...... 214 5. Hubungan Intertekstual antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun ...... 216 6. Nilai Pendidikan Moral ...... 219 a. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Memoirs of A Geisha.. 219 b. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Kembang Jepun ...... 225 7. Nilai Pendidikan Budaya ...... 233 a. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Memoirs of A Geisha 233 b. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Kembang Jepun ...... 238

95

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...... 245 A. Simpulan ...... 245 B. Implikasi ...... 246 C. Saran-saran ...... 248 DAFTAR PUSTAKA ...... 250 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 256

96

ABSTRAK

TITIEK SUYATMI. S 840209128. Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan antara Novel Memoirs of A Geisha Karya Arthur Golden dengan Novel Kembang Jepun Karya Remy Sylado. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: (1) struktur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun; (2) unsur-unsur struktur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun; (3) persamaan dan perbedaan unsure-unsur struktur novel Memoirs of A Geisha dengan Kembang Jepun dengan pendekatan intertekstualitas; dan (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggali sumber informasi dan data yang berupa teks-teks sastra sehingga data yang tampil bukan berupa konsep-konsep secara statistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan: (1) teknik interaktif dan mencatat dokumen dengan content analisis; (2) baca catat; (3) teknik riset pustaka. Data yang sudah terkumpul dianalysis dengan model analisis interaktif tiga alur kegiatan: (1) reduksi data; (2) penyajian data, dan (3) peran kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua novel tersebut (1) mempunyai persamaan struktur naratif sehingga novel Memoirs of A Geisha sebagai hipogram, sedangkan novel Kembang Jepun sebagai teks tranformasi; (2) unsur-unsur struktur kedua novel tersebut berupa amanat, tema, alur, perwatakan, penokohan, setting, dan point of view secara struktural mempunyai persamaan dan perbedaan; (3) kedua novel tersebut mempunyai persamaan tema yaitu hidup penuh perjuangan, dan cinta penuh pengorbanan, sedangkan persamaan amanat pada kedua novel tersebut adalah untuk mencapai kebahagiaan manusia harus bekerja keras. Alur kedua novel secara umum menggunakan alur maju, karakterisasi tokoh, kedua novel menggunakan metode analitik dan dramatik penokohan kedua novel terdiri dari tokoh utama dan tokoh bawahan, latar (setting) cerita adalah Kyoto, Yokoido, dan Amerika untuk novel Memoirs of A Geisha, sedangkan setting novel Kembang Jepun adalah Surabaya, Blitar, Minahasa, dan Jepang; sudut pandang atau point of view kedua novel menggunakan sudut pandang persona pertama atau gaya aku; (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut adalah nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budaya.

97

ABSTRACT

TITEK SUYATMI, S 840209128. 2010. The Study of Intertextuality and Education Values on Arthur Golden‟s Memoirs of A Geisha and Remy Sylado‟s Kembang Jepun. A Thesis. Surakarta. The Study Program of Indonesian Education, Graduate Program. Sebelas Maret University.

This research aims to describe: 1) the narrative structure of the novel Memoirs of A Geisha and the novel Kembang Jepun, 2) the structural elements of the novel Memoirs of A Geisha and the novel Kembang Jepun, 3) the similarities and the differences between the structural elements of the two mentioned novels, and 4) education values containing in the two novels. The qualitative descriptive method was applied in this research. This method, then was used to explore the source of information and data which were presented in the form of literary texts; therefore, the data appear in this research are in the form concepts or categories which can not be statistically counted. The techniques of data collecting applied in this research were: 1) interactive technique and record technique by using content analysis,2) record technique, 3) library research technique. The data which had been collected, then were analyzed using three categories of interactive analysis : 1) data reduction, 2) data presentation, and 3 ) conclusion or verification. The result of the study showed that 1) the two novels had the similiarities in the term of narrative structure; therefore, the novel Memoirs of A Geisha functioned as a hypogram, while the novel Kembang Jepun functioned as a transformational text; 2)The two novels had both similarities and differences in term of moral teaching, theme, plot, character, characterization, setting, and point of view, 3) The two novels had similar themes: life is full of struggles, and love needs sacrifice. And the moral teachings of the two novels were similar : one has to strive to pursue happiness. Both the two novels used the progressive plot. The two novels used analytic and dramatic method in presenting the characterization. There were two kinds of characters in the two mentioned novels: major and minor characters. The settings of the novel Memoirs of A Geisha are: Kyoto, Yokoido, and America. The settings of the novel Kembang Jepun are: Surabaya, Blitar, Minahasa, and Japan. The Point of view of the two novels was the first-person point of view. 4) Both the novels had moral teaching and cultural values education.

98

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra sebagai suatu hasil kebudayaan manusia tentunya sangat menarik untuk dikaji dan dibicarakan. Karya sastra dapat dipahami secara baik melalui kerja analisis. Dalam hal ini, karya sastra sebagai bangun totalitas dianalisis, diurai menjadi bagian-bagian tertentu. Bagian yang dianalisis biasanya meliputi aspek bentuk maupun isi, menyangkut sejumlah unsur secara sekaligus maupun salah satu unsur tertentu. Pengkajian karya sastra tersebut dapat dilakukan pada sebuah karya sastra tertentu pada periode tertentu, atau beberapa karya sastra dalam periode tertentu.

Pengkajian terhadap dua karya sastra atau lebih tersebut sering disebut dengan pengkajian intertekstual.

Karya sastra dilahirkan karena dipengaruhi oleh karya sastra lain yang telah ada sebelumnya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 223). Seorang pengarang di dalam menciptakan sebuah karya sastra tidak terlepas dari hasil-hasil karya orang lain.

Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya- karya yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi konvensi. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami setelah dikaitkan dengan teks yang lain.

Kajian intertekstual ini pada dasarnya merupakan kerja pembanding antar teks. Pembandingan yang dimaksud dapat berupa usaha penemuan unsur-unsur persamaan, maupun unsur-unsur perbedaan tradisi konvensi karya sastra yang dibandingkan.

99

Karya sastra dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang pesat.

Dalam sejarah sastra Indonesia, dikenal istilah angkatan. Angkatan adalah suatu usaha pengelompokkan sastra dalam suatu masa tertentu. Pengelompokkan ini berdasarkan ciri-ciri khas karya-karya sastra yang dilahirkan oleh para pengarang pada masa itu, yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Menurut Jakob

Sumardjo (1982: 27), karya sastra lahir pertama kali pada tahun 1920, yakni dengan terbitnya novel pertama kali Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Angkatan itu disebut angkatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka. Disebut angkatan Balai Pustaka karena yang paling banyak menerbitkan buku-buku sastra adalah Balai Pustaka. Oleh karena itu, Balai Pustaka berperan besar bagi perkembangan sastra pada masa itu.

Adapun pengarang-pengarang Balai Pustaka lainnya adalah Abdul Muis, Amir

Hamzah, M. Kasim, Moh. Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, dan masih banyak lagi.

Angkatan selanjutnya disebut angkatan Pujangga Baru atau angkatan 30-an karena hidup pada tahun 30-an yaitu tahun 1933-1942. Nama Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah yang bernama Pujangga Baru. Para pengarang mengirimkan hasil-hasil karyanya ke majalah tersebut. Peran majalah Pujangga Baru sangat besar dalam memperkenalkan para pengarang maupun karya-karya sastra pada masyarakat Indonesia. Berbeda dengan Balai Pustaka karena pengarang pada masa ini mulai mempunyai pandangan tentang kesenian, kebudayaan serta pandangan tentang sastrawan sudah mulai berubah. Karya sastra mereka mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi. Adapun karya-karya yang terbit pada masa ini antara lain Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir

100

Alisyahbana, Belenggu (1940) Armijn Pane, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) Nur

Sutan Iskandar, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1933) karya Hamka, dan sebagainya.

Setelah angkatan 30-an muncul angkatan ‟45 yang dipelopori oleh Chairil

Anwar. Karya-karya angkatan ‟45 sangat berbeda dari karya sastra masa sebelumnya, mempunyai ciri-ciri khas bebas, individualistis, universalistis, dan realistis. Selain

Chairil masih banyak lagi pengarang lainnya yang menjadi pelopor angkatan ini di antaranya Idrus, Rivai Amin, HB. Jasin, Rosihan Anwar, Umar Ismail, dan Mohtar

Lubis.

Angkatan selanjutnya adalah angkatan ‟66, dikemukakan HB. Jasin lewat bukunya yang berjudul Angkatan ‟66. Angkatan ini muncul di tengah-tengah keadaan politik bangsa Indonesia yang sedang kacau, karena adanya terror PKI yang hendak mengambil alih kekuasaan Negara (Jakob Sumardjo, 1982: 30). Pengarang-pengarang yang muncul pada masa ini adalah Taufiq Ismail, WS. Rendra, Toha Mohtar, Arifin

C. Noer, Gunawan Muhammad, Sapardi Djoko Darmono, dan sebagainya.

Pada tahun 70-an kesusastraan Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Suburnya kesusastraan sesudah tahun 1970 ini disebabkan oleh makin stabilnya keadaan ekonomi Indonesia, kebebasan mencipta yang relatif terselenggara sejak tahun 1967, bantuan pers yakni hampir setiap koran belakangan ini menyediakan lembaran sastra dan budaya, serta berkembangnya konsumen sastra Indonesia terutama di kalangan muda. Pada masa itu banyak novel ringan dengan tema cinta asmara yang banyak dipilih oleh pengarang-pengarang wanita, misalnya Marga T,

Titiek W.S., La Rose, dan sebagainya.

101

Karya sastra yang berkembang sampai saat ini adalah angkatan 2000. Nama tersebut diberikan Korrie Layun Rampan pada sejumlah pengarang yang telah melahirkan wawasan estetik baru pada tahun ‟90-an. Tokoh-tokoh angkatan ini adalah Afrizal Malna (puisi), Seno Gumiro Ajidarma (cerpen), dan Ayu Utami

(novel). Pengarang lain yang digolongkan ke dalam angkatan 2000 antara lain Acep

Zamzam Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, Dorothea Rosa Herliany, Isbadi Stiawan ZS,

Joni Aradinata, Medyi Loekito, M. Shoin Anwar, Nenden Lilis, dan masih banyak lagi (Pamusuk Eneste, 2001). Dalam perkembangannya Muhammad Muhyidin juga termasuk dalam penulis angkatan ini.

Perkembangan ini menyebabkan pembaca sering menemukan adanya persamaan-persamaan antara karya sastra yang satu dengan yang lain termasuk novel.

Persamaan-persamaan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan bagi pembaca dan menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, pembaca mengadakan usaha perbandingan untuk menemukan titik temu dari pertanyaan yang muncul tersebut dengan permasalahan yang ada.

Untuk menentukan suatu karya sastra terpengaruh oleh karya sastra yang lain atau tidak, perlu diadakan pembandingan antara karya sastra yang satu dengan yang lain yang diduga memiliki kemiripan. Menurut Michael Riffaterre (1980: 52) karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutar balikkan esensi dan amanat teks sebelumnya. Unsur-unsur yang dihipogram atau diacu dari karya sebelumnya adalah unsur-unsur struktural karya sastra.

102

Seorang pengarang sering disebut terpengaruh oleh pengarang lain, sedangkan pengarang tersebut tidak pernah mengenal pengarang yang dikatakan mempengaruhi.

Banyak pula pengarang yang merasa tersinggung bila dikatakan mendapat pengaruh dari seseorang. Gide (dalam Hutagalung, 1983: 113) menyatakan “tak seorang manusia pun lepas dari pengaruh”.

Pengaruh adalah kuasa atau daya pada suatu benda atau keadaan yang lain, baik disadari maupun tidak disadari sesuatu yang dibaca dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, sikap, dan pandangan orang yang membaca, dengan disadari atau tanpa orang lain menyadari apa yang telah mempengaruhinya. Dalam hal pengaruh-mempengaruhi ini, dapatlah dikaitkan bahwa sesuatu baru dapat mempengaruhi seseorang apabila orang itu memang mempunyai persiapan untuk dipengaruhi (HB. Jassin, 1983 :12).

Keterpengaruhan pengarang dalam menciptakan karya sastra akan menghasilkan karya tersebut asli, plagiat, atau saduran. Mursyal Esten (1993: 17) dalam bukunya Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah membedakan pengertian keaslian, plagiat, maupun saduran dari hasil karya sastra. Keaslian merupakan pengucapan (pengungkapan) yang baru terhadap suatu masalah dengan pendekatan

(approach) yang segar dan kreatif. Plagiat adalah pencaplokan dan pencurian sebagian atau keseluruhan ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Saduran adalah karangan yang jalan cerita dan bahan-bahannya diambil dari karangan orang lain dengan mengubah dan menyesuaikan nama-nama, suasana, dan kejadian dengan keadaaan di negeri sendiri. Plagiat menurut teori sastra tradisional, khususnya secara fisiologis yaitu hubungan yang ditunjukkan melalui persamaan-persamaan yang

103

disebut peniruan atau jiplakan. Sekarang ini, dalam teori sastra kontemporer, selama dalam batas-batas orisinalitas, peniruan semacam ini termasuk kreativitas

(Nyoman Ratna Kutha, 2006 : 173).

Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan (Rahmad Djoko Pradopo, 1995: 223). Hal ini, mengingat bahwa karya sastra tidak ditulis dalam situasi kekosongan budaya. Maksudnya adalah dalam menulis karya sastra sebelumnya sudah ada karya sastra yang lain.

Karya sastra ditulis tidak lepas dari unsur kesejarahan dan pemahamannya pun harus mempertimbangkan unsur kesejarahan itu (Burhan Nurgiyantoro, 1995:

51). Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertekstual

(Rahmat Djoko Pradopo, 1995 :1967). Prinsip intertekstual yaitu setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, dan kerangka (A. Teeuw, 1984 :145)

Sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain, yang merupakan semacam kisi, lewat kisi ini teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri yang menonjol dan memberikannya sebuah struktur (Jonathan

Culler, 1981: 146). Yulia Kristeva (dalam A. Teeuw, 1984: 46) mengemukakan setap teks terwujud sebagai mosaic kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan

104

transformasi teks-teks lain. Hipogram (Michael Riffaterre, 1980: 23) adalah sajak

(teks) yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak (teks).

Karya sastra dalam pembacaannya umumnya terikat pada pengetahuan yang mentradisi terhadap karya sastra. Keterkaitan seseorang pada pengetahuan tentang sastra yang mentradisi akan menyebabkan ia tidak akan dapat memahami. Bahkan, mungkin menolak sebuah karya yang berbeda dari pengetahuan itu, karena itu juga kesamaan yang ada pada novel-novel yang dihasilkan oleh kelompok penulis novel bukanlah pada persamaan teknik dan style mereka, tapi pada perlawanan mereka terhadap tradisi novel sebelumnya (Umar Junus, 1983 :90-91).

Memahami novel dapat dilakukan dengan cara membandingkan. HB. Jassin

(dalam Trisman, 2003: 6) pernah mengemukakan prinsip kerja sastra bandingan ketika membela Hamka dan Chairil Anwar dari hujatan sebagai plagiat. Pada tahun 1962, Hamka dituduh sebagai plagiat ketika menulis novel Tenggelamnya

Kapal Van Derwijck. Novel ini memiliki kemiripan dengan karya seorang Mesir,

Mustahfa Luthfi Al Manfaluthi. Jassin juga mengatakan Hamka bukan plagiat, tetapi dia mengadaptasi karya pengarang Mesir tersebut. Hal yang sama juga dilakukan

Jassin ketika Chairl Anwar dituduh menjiplak karya-karya sastrawan mancanegara.

Padahal, menurut HB. Jassin, Chairil Anwar hanya menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra mancanegara tersebut.

Pada dasarnya karya sastra itu merupakan gambaran kisah manusia. Oleh karena itu, banyak nilai yang dapat dikaji dalam karya sastra. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, pendidikan dan sebagainya

(Suyitno, 1983: 3). Nilai-nilai yang merupakan amanat dalam karya sastra tercermin

105

dalam tokoh cerita, baik melalui deskripsi, pikiran maupun perilaku tokoh. Nilai-nilai inilah yang dapat diambil dan dimanfaatkan dalam menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari-hari.

Karya sastra mampu menyuguhkan hiburan yang menarik bagi pembaca, selain itu juga memberi manfaat. Horace (dalam terjemahan Melani Budianta, 1990 :

26) mengungkapkan bahwa sastra selain berfungsi menghibur juga mengajarkan sesuatu, atau sastra berfungsi dulce et utile, sweet and useful, atau indah dan berguna.

Dalam pengertian luas makna berguna sama dengan tidak membuang-buang waktu, bukan sekedar kegiatan iseng. Jadi karya sastra merupakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus, sedangkan indah sama dengan tidak membosankan, bukan kewajiban, tetapi memberi kesenangan.

Menurut Sapardi Djoko Darmono (1994: 1) tujuan diciptakannya karya sastra untuk dinikmati juga untuk dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Apa yang diambil dari karya sastra sangat banyak, diantaranya yaitu menggambarkan pola pikir, perubahan tingkah laku masyarakat, tata nilai, bentuk kebutuhan, dan lain-lain.

Sastra dapat dikatakan sebagai potret dari segala aspek kehidupan masyarakat dengan segala persoalannya. Pengarang menyodorkan karya sastra agar dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada, mengingat sastra diciptakan tidak dalam kekosongan budaya (A. Teeuw, 1984: 20). Jadi, kehadiran karya sastra itu merupakan tanggapan terhadap apa yang terjadi di dalam masyarakat.

Memoirs of A Geisha merupakan memoir dari seorang geisha bernama Sayuri.

Memoar ini diberikan kepada sejarawan bernama Jakob Haarhuis pada tahun 1985.

Baru pada tahun 1997 memoar ini ditulis oleh Arthur Golden. Kemudian memoir ini

106

dialih bahasa oleh Listiana Srisanti dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2002.

Novel Kembang Jepun karya Remy Sylado mengisahkan tentang kehidupan seorang geisha asal Manado yang bertempat tinggal di Surabaya. Novel ini sangat menarik untuk dikaji karena di samping mempunyai kemiripan dengan Memoirs of A

Geisha. Geisha tetapi juga menampilkan tiga zaman yaitu zaman kolonial, zaman

Jepang, dan masa kemerdekaan.

Alasan peneliti tertarik meneliti novel Memoirs of A Geisha karya Arthur

Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado dengan kajian intertekstual karena

(1) antara novel Memoirs of A Geisha dengan Kembang Jepun memiliki banyak persamaan dan perbedaan dari segi struktur cerita dan (2) antara novel Memoirs of A

Geisha dan Kembang Jepun mengandung nilai pendidikan terutama nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budaya. Oleh karena itu, peneliti mengkaji kedua novel tersebut dengan pendekatan intertekstual dan nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budaya yang terdapat dalam kedua novel tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden?

2. Bagaimana struktur novel Kembang Jepun karya Remy Sylado?

3. Bagaimanakah persamaan antara novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden

dan Kembang Jepun karya Remy Sylado?

107

4. Bagaimanakah perbedaan antara novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden

dan Kembang Jepun karya Remy Sylado?

5. Bagaimanakah nilai pendidikan novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden

dan Kembang Jepun karya Remy Sylado?

6. Bagaimanakah hubungan intertekstual antara novel Memoirs of A Geisha karya

Arthur Golden dengan novel Kembang Jepun karya Remy Sylado?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur novel Memoirs of a Geisha karya

Arthur Golden.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur novel Kembang Jepun karya Remy

Sylado.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan persamaan antara novel Memoirs of a Geisha

karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado.

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan perbedaan antara novel Memoirs of a Geisha

karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado.

5. Mendekripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan novel Memoirs of a Geisha

karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado.

6. Mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan intertekstual antara novel Memoirs of

A Geisha karya Arthur Golden dengan novel Kembang Jepun karya Remy Sylado.

108

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan kontribusi

bagi bidang kajian sastra. Dengan demikian, penelitian ini nantinya berperan

untuk memperkaya perkembangan sastra ataupun terhadap apresiasi sastra itu

sendiri.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pengarang, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk dapat

menciptakan karya sastra yang lebih baik lagi.

b. Bagi pembaca, penelitian ini dapat menambah minat pembaca dalam

mengapresiasi karya sastra.

c. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan

menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi

perkembangan sastra Indonesia.

d. Bagi guru dan dosen Bahasa Indonesia, penelitian ini dapat menjadi bahan

dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran apresiasi

sastra karena dalam kedua novel ini sarat dengan nilai pendidikan.

109

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Novel

Fiksi merupakan salah satu genre sastra yang makin berkembang dan banyak digemari masyarakat. Hal itu disebabkan dalam karya fiksi disuguhkan berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesama dan lingkungan. Karya fiksi itu sebenarnya merupakan karya imajiner sebagaimana dikatakan oleh Burhan

Nurgiyantoro (1995: 2-3) bahwa karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.

Novel sebenarnya merupakan salah satu jenis fiksi, tetapi dalam perkembangannya novel dianggap sama dengan prosa fiksi, sehingga pengertian fiksi berlaku juga untuk novel. Dalam novel disajikan sebuah dunia, dunia imajiner yang dibangun melalui cerita, tokoh, peristiwa demi peristiwa, dan latar yang semuanya bersifat imajiner (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 163)

Berkaitan dengan pendapat di atas, Suminto A. Sayuti (1998: 5-7) menyatakan pengertian novel bisa dilihat dari beberapa sisi.

Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya berisi 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya, novel cenderung bersifat expands „meluas‟ yang menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca dalam sekali duduk, hal tersebut berbeda dengan cerpen. Dalam novel juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat/ruang. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika posisi manusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik perhatian para novelis.

110

Akhirnya dapatlah disintesiskan bahwa novel merupakan suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di sekitar. Dengan demikian novel lebih mendekati roman. Menurutnya roman lebih banyak melukiskan seluruh hidup pelaku-pelaku, mendalami sifat-sifat watak mereka, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup, sedangkan novel tidak memandang hal tersebut sebagai detail. Novel lebih banyak melukiskan sesuatu yang bersifat sesaat dari kehidupan seseorang.

Keterangan mendetail bagi novel tidak boleh dianggap sebagai ukuran yang tidak bisa ditawar lagi, karena perkembangannya banyak ditemui pengarang-pengarang novel yang memberikan pendalaman analisis kejiwaan.

Sebuah novel lahir karena adanya reaksi terhadap suatu keadaan di dalam masyarakat sebagai novel menceritakan latar kehidupan manusia di dalam masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Korrie Layun Rampan (1984: 7) yang menyatakan novel adalah penggambaran lingkungan kemasyarakatan serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa di suatu tempat. Secara sosiologis, manusia dan peristiwa dalam novel adalah pantulan realistis yang dicerminkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu dalam suatu masyarakat dan tempat tertentu.

Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya novel merupakan karya fiksi. Sebagai karya fiksi dia bersifat imajiner. Untuk menentukan sebuah karya bisa dikategorikan novel bisa dilihat dari sisi panjang pendeknya, sifatnya, waktu bacanya, dan pola penyajiannya. Pokok permasalahan novel adalah pokok permasalahan manusia pada umumnya. Dalam sebuah novel pengarang berusaha mencapai keutuhan cerita secara inklusi (inclusion), yakni novelis mengukuhkan keseluruhannya dengan kendali tema karyanya.

111

Novel merupakan karya imajiner, tetapi pada kenyataannya banyak novel yang isinya justru sama dengan kehidupan nyata. Oleh karenanya seolah-olah cerita dalam novel itu benar-benar menceritakan peristiwa yang terjadi pada saat novel tersebut sampai ke tangan pembaca. Hal tersebut bisa saja terjadi, karena walaupun novel merupakan karya imajiner tetapi bukan berarti merupakan karya lamunan.

Novel disusun berdasarkan perenungan dan penghayatan serta pengalaman dan pengamatan pengarang. Tidak perlu heran, seandainya ditemukan sebuah novel yang sarat dengan aspek-aspek tertentu sebagaimana novel Kembang Jepun karya Remy

Sylado ini. Hal lain yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut muncul adalah karena objek kajian. Objek kajian novel adalah manusia yang hidup dalam suatu komunitas. Pengarang juga hidup dalam komunitas yang sama. Persoalan satu manusia akan juga merupakan pesoalan manusia lain, karena pada dasarnya masyarakat memiliki dimensi ruang dan waktu. Sebuah masyarakat jelas memiliki dimensi ruang dan waktu, tetapi peranan seorang tokoh dalam masyarakat akan terus berubah dan berkembang dalam waktu yang tidak terbatas.

Pada novel bisa disajikan kisah kehidupan dengan bebas, bisa melibatkan permasalahan yang kompleks yang sekaligus bisa menawarkan nilai-nilai dan cara pemecahan masalah. Dengan membaca novel akan diketahui jalan pikiran orang, bisa belajar tentang kehidupan orang lain, bisa menyelaraskan kehidupan. Seorang novelis diharapkan seorang humanis yang tinggi pengetahuannya tentang manusia.

112

1. Pengertian Novel

Karya sastra pada dasarnya terbagi atas tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan drama. Karya sastra jenis prosa sering diungkapkan dalam bentuk fiksi atau cerita rekaan. Istilah fiksi (selanjutnya disebut cerita rekaan) sering dijumpai hanya untuk menyebut sastra jenis prosa saja. Sebenarnya hal ini kurang tepat, karena pernyataan demikian memberi kesan bahwa sastra jenis puisi maupun drama bukan cerita rekaan.

Padahal ketiganya merupakan cerita rekaan yang hanya memiliki batasan (pengertian) masing-masing yang agak berbeda.

Berbicara mengenai batasan novel dengan roman seringkali dipersoalkan, padahal keduanya mempunyai pengertian sama. Di sini yang akan diuraikan penulis hanya pengertian novel karena objek penelitian penulis berupa novel.

Sebutan novel dalam bahasa Inggris yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novella). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (MH. Abrams, 1981: 119). Menurut Zaidan

(1996: 136) novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang merupakan kehidupan manusia berdasar sudut pandang pengarang, dan mengandung nilai hidup, yang diolah dengan teknik kisahan dan ragaan.

Senada dengan pendapat tersebut pendapat Panuti Sudjiman (1991: 29) yang menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.

Sementara itu Jacob Sumardjo (1994: 29) mendefinisikan novel dengan cerita berbentuk prosa dengan plot, karakter, tema, suasana cerita dan latar yang kompleks.

113

Meskipun demikian, kekomplekan unsur pembangun karya sastra tersebut tidak mutlak.

Dalam The American College Dictionary sebagaimana dikutip oleh Henry

Guntur Tarigan (1985: 165), diterangkan bahwa novel adalah suatu cerita proses yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representative dalam suatu kenyataan yang agak kacau atau kusut.

Berbagai pendapat mengenai pendapat novel telah dikemukakan oleh para ahli sastra, tetapi hingga kini belum ada satu patokan yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini karena novel terlalu luas cakupan wilayahnya atau tidak hanya mencakup satu masalah saja, tetapi banyak hal. Berikut ini penulis ketengahkan beberapa denifisi tentang novel, meskipun masih bersifat umum.

Wellek dan Warren dalam Theory of Literature (terjemahan Melani Budianta,

1990: 282) mengemukakan bahwa :

“Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu ditulis. Romansa, yang ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi.” “Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas dapat berarti cerita yang plot (alur) kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun ukuran luas juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temannya, sedang karakter, setting, dan lain-lainnya hanya satu saja.” (Jakob Sumardjo, 1994: 29).

Dalam novel terdapat perubahan nasib tokoh cerita. Ada beberapa episode yang dialami oleh tokoh utama novel. Dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.

114

Masih pengertian tentang novel, Burhan Nurgiyantoro (1995: 4) berpendapat :

“Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajiner”.

Suasana yang digambarkan novel adalah sesuatu yang realistis dan masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan bukan hanya kehebatan dan kelebihan tokoh (untuk tokoh yang dikagumi) tetapi juga cacat dan kekurangannya.

Suminto A. Sayuti (1998: 5-7) menyatakan pendapatnya, bahwa :

Pengertian “novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan0 bersifat expands, „meluas‟ yang menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selelsai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang.

Secara ringkas, cerita rekaan atau novel adalah salah satu dari genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk kehidupan manusia.

Wolf dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 164) mengatakan, “Sebuah roman atau novel ialah terutama sekali sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia”.

Menurut Atar Semi (1993: 32) dikatakan bahwa “novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang

115

tegas. Akan tetapi roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah cerita fiktif yang melukiskan para tokoh dan disusun dalam alur tertentu. Kata fiktif yang dimaksud bukan sebagai lawan dari kenyataan, melainkan lawan dari fakta, tetapi juga bukan dari hasil khayalan belaka karena yang dihasilkan pengarang adalah pemikiran atas dunia nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

2. Struktur Novel

Istilah struktur dalam strukturalisme adalah kaitan-kaitan tetap antara kelompok gejala. Hal ini berarti bahwa sebuah karya sastra diasumsikan sebagai totalitas karena adanya relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dengan keseluruhan. Hal ini tidak hanya bersifat positif seperti kemiripan dan keharmonisan, tetapi juga bersifat negatif seperti pertentangan, penyimpangan, dan konflik (Jan Van

Luxemburg, 1984: 38).

Perihal struktur, Jeans Peaget menjelaskan bahwa di dalam struktur terkandung tiga gagasan pokok, yaitu :

“(a) the idea of wholeness, internal coherence : its constituent part will conform to a set of intrinsic laws which determine its nature and theirs; (b) the idea of transformation: the structure is capable of transformational procedures, whereby new material is constantlu process by and through it; (c) the idea of set regulation: the structure makes no appeals beyond it self in order to validite its transformational procedures it is sealed off from reference to other system” (Hawkes, 1977: 16).

116

Pendapat di atas senada dengan pendapat A. Teeuw sebagai berikut.

a) gagasan keseluruhan, koherensi instrinstik: bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah instrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya; b) gagasan transformasi: struktur itu menyanggupi prosedur-prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan- bahan baru; c) gagasan regulasi diri: struktur tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya; struktur itu otonom terhadap rujukan pada sistem-sistem lain (Teeuw, 1984: 141).

Jan Van Luxemburg (1984: 38) merumuskan struktur :

Pengertian struktur pada pokoknya berarti, bahwa sebuah karya atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan. Hubungan itu tidak hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan keselarasan, melainkan juga negative seperti misalnya pertentangan dan konflik. Selain itu ditandaskan, bahwa suatu “kesatuan struktur mencakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa setiap bagian menunjukkan kepada keseluruhan ini dan bukan yang lain.

Jadi struktur merupakan sebuah totalitas yang terdiri dari kesatuan unsur- unsur pembentuknya. Unsur-unsur itu akan saling berhubungan dan saling menentukan. Tiap-tiap unsur pembangun struktur hanya akan bermakna jika ada dalam kaitannya dengan keseluruhan. Dengan kata lain dalam keadaan terpisah dari totalitas, unsur-unsur tersebut tidak ada artinya, tidak berfungsi, tidak bermakna.

Telah diuraikan di atas bahwa struktur merupakan sebuah totalitas yang terdiri dari kesatuan unsur-unsur pembentuknya. Struktur novel terdiri dari kesatuan unsur- unsur pembentuknya. Ada beberapa pendapat dari ahli tentang unsur pembentuk struktur fiksi atau novel. Di antara pendapat para ahli tersebut adalah:

Kenny (1966: 8-101) menyebut tujuh unsur pembangun struktur rekaan, yaitu:

(1) plot; (2) character; (3) setting; (4) point of view; (5) style and tone; (6) tema.

117

Robert Stanton (1995: 11) menyatakan bahwa struktur cerita terdiri dari tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Factor cerita terdiri dari tiga unsur, yaitu tokoh, plot, dan latar. Sarana cerita meliputi pusat pengisahan, gaya bahasa, nada, symbol, dan ironi.

Hudson (1963: 130-131) menyebut tujuh unsur pembangun struktur rekaan terdiri dari: (1) plot; (2) pelaku; (3) dialog dan karakteristik; (4) setting yang meliputi timing dan action; (5) gaya penceritaan (style), dan (6) filsafat hidup pengarang. Yang dimaksud dengan gaya penceritaan dapat dimasukkan point of view dan gaya bercerita pengarang. Hudson memasukkan filsafat pengarang termasuk juga gagasan, ideology, aliran kesenian yang dianut, pribadi pengarang termasuk kepedulian pada dunia dan kemanusiaan. Hudson belum memasukkan tema dan amanat termasuk unsur batin suatu cerita rekaan.

Henry Guntur Tarigan (1984: 124) menyebutkan 21 unsur pembentuk struktur cerita rekaan, yaitu (1) temal; (2) ketegangan dan pembayangan; (3) alur;

(4) pelukisan tokoh; (5) konflik; (6) kesegaran dan atmosfer; (7) latar; (8) pusat;

(9) kesatuan; (10) logika; (11) interpretasi; (12) kepercayaan; (13) pengalaman keseluruhan; (14) gerakan; (15) pola dan perencanaan; (16) tokoh dan laku;

(17) seleksi dan sugesti; (18) jarak; (19) skala; (20) kelajuan; (21) gaya.

Dalam pembagian Guntur Tarigan tersebut ada beberapa yang dapat diklasifikasikan dalam satu kelompok. Konflik, kesegaran, dan atmosfer, kesatuan, logika, pengalaman keseluruhan, gerakan, dan kelajuan dapat dikelompokkan menjadi satu unsur dari plot atau kerangka cerita. Akan tetapi pola dan perencanaan, seleksi dan sugesti, jarak pelukisan tokoh, dan skala dapat dimasukkan dalam unsur gaya atau style.

118

Roger Fowler (1977: 244-250) menyebutkan unsur-unsur yang harus dipelajari dalam menelaah cerita rekaan, yaitu: (1) waktu dan tempat (setting);

(2) karakteristik dalam arti perwatakan dan susunan tokoh-tokohnya beserta konflik dan hubungan antartokoh itu; (3) tema cerita, dan (4) bahasa yang dipergunakan pengarang. Dalam pembahasan Fowler, unsur bahasa (figurative, lambang, gaya bahasa) termasuk dalam unsur penting dalam novel. Bahasa di sini tidak hanya yang terdapat dalam tubuh cerita, tetapi juga terdapat dalam judul cerita.

Jakob Sumardjo (1984: 54) menyebutkan ada tujuh unsur-unsur fisik, yaitu:

(1) plot (alur cerita); (2) karakter (perwatakan); (3) tema (pokok pembicaraan),

(4) setting (tempat terjadinya cerita); (5) suasana cerita; (6) gaya cerita; (7) sudut pandangan pencerita. Unsur-unsur pembentuk struktur fiksi menurut Jakob Sumardjo di atas semestinya dapat ditambahkan penokohan, amanat, suspensi, dan penanjakan cerita. Ditambahkan bahwa semua unsur di atas menyatu padu dalam beberapa pengalaman yang dikisahkan secara mengasyikkan oleh pengarang.

Novel sebagaimana karya sastra lainnya terdiri dari unsur-unsur pembentuk yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

119

Seperti halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari beberapa unsur.

Unsur-unsur yang dimaksud antara lain: (1) unsur biografi pengarang; (2) unsur psikologi; (3) ekonomi; (4) sosial budaya; (5) pandangan hidup suatu bangsa, dan sebagainya. (Wellek & Warren, 1990: 135)

Forster dalam bukunya yang berjudul Aspects of the Novel (1980: 19-136) membahas unsur-unsur novel menjadi enam unsur, yaitu: (1) cerita; (2) manusia;

(3) plot; (4) khayalan; (5) ramalan, dan (6) irama. Unsur-unsur cerita, manusia, khayalan, dan ramalan mewakili istilah yang sudah popular, seperti: jalinan cerita, karakteristik, suspense, dan foreshadowing atau foregrounding. Dalam cerita rekaan ditambahkan adanya ramalan terhadap kejadian yang akan datang.

Tokoh sastra yang juga membahas unsur-unsur yang membentuk struktur novel adalah Marjorie Boulton dalam bukunya The Anatomy of the Novel. Boulton

(1984: 29-145) menguraikan unsur-unsur struktur novel menjadi enam, yaitu:

(1) point of view; (2) plot; (3) character; (4) percakapan; (5) latar dan tempat kejadian; dan (6) tema yang dominant.

Jan Van Luxemburg dalam Dick Hartoko (1984: 130-155) menyebutkan unsur-unsur struktur cerita rekaan sebagai berikut: (1) cerita, dan (2) alur. Selanjutnya unsur cerita terdiri dari: (1) fokalisator, dan (2) objek yang difokalisasikan. Objek yang difokalisasikan terdiri dari: (1) tokoh-tokoh; (2) ruang; (3) hubungan-hubungan dalam kurun waktu. Pembahasan tentang alur meliputi: (1) peristiwa; dan (2) para pelaku.

Dilihat dari pembagian Luxemburg di atas terdapat penekanan pada unsur fiksi terletak pada dua hal, yaitu pada cerita dan alur atau plot. Namun jika

120

diperhatikan, hal-hal yang pokok yang telah diuraikan dalam pembahasan oleh tokoh- tokoh di depan juga disebutkan oleh Luxemburg.

Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh sastra di atas tentang unsur-unsur dari struktur novel, telaah struktur novel pada penelitian ini dibatasi pada unsur-unsur yang penulis cukup penting yang berkaitan dengan kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas. Unsur-unsur tersebut yaitu instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik terdiri dari: (1) tema, (2) plot atau alur, (3) penokohan dan perwatakan,

(4) latar, dan (5) sudut pandang dan point of view. Unsur ekstrinsik terdiri dari nilai- nilai pendidikan. a. Tema

Tema merupakan dasar atau inti cerita. Suatu cerita harus mempunyai tema

atau dasar, dan dasar inilah yang paling penting dari seluruh cerita, karena cerita

yang tidak memiliki dasar tidak ada artinya sama sekali atau tidak berguna

(Muchtar Lubis, 1981: 15). Tema sebagai central idea and sentral purpose. Tema

merupakan ide dan tujuan sentral (Robert Stanton, 1965: 16). Tema dapat timbul

dari keseluruhan cerita, sehingga pemahaman antara seorang penikmat dengan

penikmat lain tidak sama (Jones, 12968: 31). Ada pula yang berpendapat bahwa

tema merupakan arti dan tujuan cerita (William Kenny, 1966: 88).

Menurut Burhan Nurgiyantoro (1995: 70) bahwa tema dapat dipandang

sebagai gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah

yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan

untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain cerita harus mengikuti gagasan

utama dari suatu karya sastra.

121

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) tema merupakan dasar suatu cerita rekaan; (2) tema harus ada sebelum

pengarang mulai dengan ceritanya; (3) tema dalam cerita atau novel tidak

ditampilkan secara eksplisit, tetapi tersirat di dalam seluruh cerita; (4) dalam satu

cerita atau novel terdapat tema dominan atau tema sentral dan tema-tema kecil

lainnya.

Kriteria untuk mencari tema adalah pertama persoalan mana yang paling

menonjol; kedua secara kuantitatif persoalan mana yang paling banyak

menimbulkan konflik; dan ketiga persoalan mana yang paling banyak

membutuhkan waktu penceritaan (Mursal Esten, 1993: 94). Setelah tema

ditentukan pengarang, kemudian dikembangkan dan dipadukan dengan struktur

sastra yang lain. b. Amanat

Amanat merupakan unsur cerita yang berhubungan erat sekali dengan

tema. Amanat akan berarti apabila ada dalam tema, sedangkan tema akan

sempurna apabila di dalamnya ada amanat sebagai pemecah jalan keluar bagi

tema tersebut.

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat

terdapat pada sebuah karya sastra secara implicit atau secara eksplisit. Secara

implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku

menjelang cerita berakhir dan secara eksplisit apabila pengarang pada tengah atau

akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan,

122

dan sebagainya mendasar berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita.

(Panuti Sudjiman, dalam Hasan Alwi, 1998: 8).

Berdasarkan pengertian amanat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan

bahwa amanat merupakan pesan yang disampaikan pengarang baik secara implicit

atau eksplisit kepada pembaca. c. Plot atau Alur

Setelah pengarang menentukan tema, maka segara dapat menentukan cara

menulis, cara menilai, dan menyusun karangan. Cara memulai dan menyusun cerit

oleh Tasrif dibagi menjadi lima tahapan, yakni penggambaran situasi awal

(exposition), peristiwa mulai bergerak menuju krisis diwarnai dengan konfilk-

klonflik (complication), keadaan mulai memuncak (rising action), keadaan

mencapai puncak penggawatan (klimaks), kemudian pengarang memberikan

pemecahan atau jalan keluar permasalahan sehingga cerita berakhir (denouement).

Cara memulai dan menyusun cerita seperti di atas dinamakan plot atau dramatic

conflict. (Muchtar Lubis, 1981: 18)

Plot atau alur merupakan struktur naratif sebuah novel (Wellek dan

Werren, 1990: 284). Plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk

mencapai efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan dalam hubungan temporal

dan kausalitas (Forster, 1979: 72). Jalinan kejadian secara beruntun dan kausalitas

di dalam plot itu merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh (Burhan

Nurgiyantoro, 1995: 30).

Marjoriei Boulton (1984: 45) mengatakan bahwa plot berarti seleksi

peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa

123

seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang.

Dalam plot terdapat sebab akibat logis dan itu merupakan hal yang utama. Dengan adanya sebab akibat logis tersebut, sebuah cerita novel mempunyai kesatuan dalam keseluruhan sehingga plot merupakan pengorganisasian bagian-bagian penting dalam cerita novel.

Plot atau alur, menurut Jan Van Luxemburg (1984: 149) ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logic dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.

Peristiwa-peristiwa yang dimaksud ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa terdiri dari tiga hal, yaitu: (1) peristiwa fungsional, adalah peristiwa yang mempengaruhi perkembangan alur; (2) kaitan, adalah peristiwa yang mengaitkan peristiwa-peristiwa yang penting; (3) peristiwa acuan, ialah peristiwa yang secara tidak langsung berpengaruh pada perkembangan alur, tidak menggerakkan jalan cerita, tetapi mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya bagaimana watak seseorang dan bagaimana suasana yang meliputi para pelaku.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot adalah cara pengarang menjalin peristiwa-peristiwa secara berurutan dengan memperhatikan hukum sebab akibat dan merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh.

Ditinjau dari segi penyusunan cerita, dikenal adanya plot progresif, plot regresif, dan plot campuran. Cara pengaluran yang demikian dinamakan pengaluran linier. Dalam plot progresif atau kronologis, awal cerita benar-benar merupakan “awal”, tengah benar-benar merupakan “tengah”, dan akhir cerita

124

benar-benar merupakan “akhir”. Jadi, penceritaan dimulai dari eksposisi,

melampaui komplikasi dan klimaks yang berawal dari konflik tertentu, dan

berakhir pada denouement.

Sebaliknya, dalam plot regresif atau flash back, awal cerita bisa saja

merupakan akhir, kemudian baru diikuti peristiwa-peristiwa lainnya. Pada plot

jenis ini, cerita dapat saja dimulai dari konflik tertentu, kemudian diikuti

eksposisi, lalu diteruskan komplikasi tertentu, mencapai klimaks dan menuju

pemecahan. Urutan semacam itu tidak mutlak, namun dapat dimulai dari bagian-

bagian lain yang divariasikan.

Alur campuran adalah bentuk alur gabungan antara alur progresif dan alur

regresif. Hal ini terjadi jika di dalam sebuah novel mempunyai alur maju, lalu

disambung dengan alur mundur.

Jika ditinjau dari segi akhir cerita, dikenal adanya plot “terbuka” dan plot

“tertutup”. Di dalam plot tertutup, pengarang memberikan kesimpulan cerita

kepada pembaca, sedang dalam plot terbuka, cerita sering diakhiri dengan

klimaks. Sehingga, pembaca dibiarkan untuk menentukan apa yang diduga

mungkin akan menjadi penyelesaian. Akhir cerita dibiarkan menggantung,

menganga (Suminto A. Sayuti, 1998: 29). d. Penokohan dan Perwatakan

Terjadinya peristiwa cerita karena aksi dan reaksi antar tokoh. Tokoh cerita

adalah orang yang ikut mengalami peristiwa di dalam cerita. Ada tiga macam

tokoh, yaitu tokoh protagonist (tokoh utama), antagonis (tokoh pendamping), dan

125

pelaku bawahan (MH. Abrams, 1981: 21). Ada beberapa kriteria untuk

menentukan tokoh utama, yaitu :

1. mencari tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain;

2. mencari tokoh yang paling banyak membutuhkan waktu penderitaan;

3. melihat intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa yang membangun cerita

(tema); dan tokoh yang mengalami konflik terberat dalam cerita (Mursal Esten,

1990: 93)

Dengan kriteria tersebut dapat ditentukan tokoh utamanya dan juga tokoh-

tokoh pendamping serta tokoh bawahan. Tokoh-tokoh cerita memiliki

perwatakan. Perwatakan adalah tingkah laku yang mencerminkan kehidupan

dalam suatu cerita (William Kenney, 1966: 28-29). Perwatakan adalah

penampilan keseluruhan ciri atau tipe jiwa tokoh-tokoh dalam cerita. Setiap tokoh

memiliki perwatakan tersendiri yang bertugas memberi penjelasan kepada

pembaca (Jakob Sumardjo dan Saini KM, 1986: 144).

Perwatakan tokoh-tokoh cerita digolongkan menjadi dua, yaitu simple (flat)

character dan complex (round) character (William Kenney, 1966: 28). Watak

sederhana atau watak dasar ialah watak yang tidak mengalami perubahan,

sedangkan watak kompleks atau watak bulat ialah watak yang mengalami

perubahan.

Analisis perwatakan dapat dimulai dari cara tokoh itu diperkenalkan

sampai kepada kedudukan dan fungsi perwatakan atau penokohan. Di samping

itu, analisis perwatakan harus dihubungkan dengan tema, alur, dan konflik (Atar

Semi, 1993: 69). Tokoh yang ditampilkan dapat diketahui watak, sikap serta

126

perilakunya lewat dialog, dan pendapat dari tokoh-tokoh lainnya tentang tokoh tersebut. Tokoh dalam novel dapat dipahami dengan baik karena pengarang secara langsung (dari ungkapan atau dialog para pelaku) maupun melalui narasi beserta segala pemikiran dan perasaannya, baik yang tersembunyi sekalipun.

Tokoh dalam fiksi haruslah seperti benar-benar hidup dan tidak sepenuhnya bebas, karena tokoh dalam fiksi harus ada hubungannya dengan elemen-elemen yang lain dari cerita, dan tokoh harus dipertimbangkan, dianalisis dan didiskusikan sebagai bagian dari struktur internal suatu cerita. Ada relevansi antara seorang tokoh dengan pembaca. Relevansi memudahkan pengarang menciptakan tokoh-tokoh, tanpa mengingkari hubungan yang kuat antara tokoh dan pembaca. Tokoh bisa diciptakan dari yang bersifat universal sampai pada yang eksentrik. Bagi pembaca tokoh itu dalam satu sisi mempunyai hubungan dengan pengalaman.

Tokoh bisa mempunyai bermacam-macam perangai, antara lain perangai psikologis di samping perangai sosial. Perangai psikologis seorang tokoh adalah perangai yang terlihat dari dalam hati sanubari, bisa emosional, intelektual, optimis, tegas, atau tidak tegas. Di samping hati nurani, perangai psikologis bisa meliputi tingkah laku lahiriah maupun gerak tubuh.

Untuk mengerti tokoh dalam suatu cerita, pertimbangkan apa yang dikatakan oleh tokoh, apakah tokoh itu hipokrit atau tidak; apakah tokoh itu suka berbohong pada diri sendiri; apakah tokoh itu berpikiran menyimpang. Juga perlu diketahui apa yang dikerjakan oleh tokoh, apa kegiatannya; apa yang dikatakan orang lain terhadap tokoh dan apa yang dikerjakan oleh tokoh lain itu. Perlu

127

dibicarakan juga tentang seorang tokoh, apa fungsinya, bandingkan tokoh tersebut dengan tokoh-tokoh yang lain dan ikuti perkembangan kepribadiannya.

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165). Brooks menyatakan bahwa penokohan merupakan kompleks kemungkinan tindakan bagi semua jenis tindakan, terutama hanya pada jenis-jenis tindakan terntentu dan tetap, tidak pada akhirnya tertuang satu sama lain. Dengan demikian jelas, bahwa suatu peristiwa akan hidup bila keterlibatan tokoh ada di dalamnya. Sebab pada dasarnya peristiwa bakal terjadi karena aksi tokoh-tokoh (dalam Murtini, 1997:

68).

Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan

“perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gamabaran yang jelas kepada pembaca.

Tokoh dalam seni sastra (termasuk drama) disebut tokoh “rekaan”

(dramatis personae), yang berfungsi sebagai pemegang peran watak tokoh. Itulah sebabnya mengapa “tokoh” sering di sebut “watak” atau “karakter”.

Tokoh cerita (character), menurut MH. Abrams (1981: 20) adalah orang- orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Di dalam kisahan yang efektif, pengarang membentuk tokoh-tokoh rekaan secara meyakinkan sehingga pembaca seolah-olah berhadapan dengan manusia

128

sebenarnya. Penokohan menggunakan berbagai cara, watak tokoh dapat terungkap : (a) tindakannya, (b) ujarannya, (c) pikirannya, (d) penampilan fisiknya, (e) apa yang dikatakan atau yang dipikirkan tokoh tentang dirinya

(Panuti Sudjiman, 1991: 61).

Wellek dan Warren (dalam terjemahan Melani Budianta, 1990: 81) menjelaskan cara paling sederhana menggambarkan perwatakan adalah dengan pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi kepribadian, menghidupkan.

Character atau tokoh adalah bahan yang paling aktif yang menjadi penggerak jalan cerita. Character di sini adalah tokoh hidup, bukan mati, dia adalah boneka di tangan kita. Karena Character ini berpribadi, berwatak, dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang tiga dimensional. Tiga dimensi yang di maksud adalah :

1. Dimensi Fisiologis ialah ciri-ciri badani, seperi (a) usia, tingkat kedewasaan, (b) jenis kelamin, (c) keadaan tubuhnya, (d) ciri-ciri muka. 2. Dimensi Sosiologis ialah latar belakang kemasyarakatan, misalnya : (a) status sosial, (b) pekerjaan, jabatan, peranan di dalam masyarakat, (c) pendidikan, (d) kehidupan pribadi, (e) pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideology, (f) aktifitas sosial, organisasi, hobby, (g) bangsa, suku, keturunan. 3. Dimensi Psikologis ialah latar belakang kejiwaan, meliputi : (a) mentalis, ukuran moral/membedakan antara yang baik dan tidak baik, (b) temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, (c) I.Q. tingkat kecerdasan, kecakapan, keahlian khusus dalam bidang-bidang tertentu (Herman J. Waluyo, 2009: 30-31).

Boen S. Oemaryati (1971: 67) berpendapat bahwa :

Penokohan merupakan salah satu bagian yang penting dari struktur karya satra, karena tanpa kehadiran tokoh suatu cerita tidak akan mungkin akan terjadi atau tercipta. Kehadiran tokoh akan menimbulkan setiap peristiwa yang terjadi, baik melalui dialog antar tokoh, tingkah laku tokoh-tokohnya

129

maupun melaui renungan tokohnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi tokoh berhubungan erat dengan peristiwa yang ada. Penggambaran watak yang baik adalah penggambaran watak yang wajar, yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar, baik dari sudut psikologis, fisik maupun sudut sosiologis.

Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan atas dua macam yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh bawahan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukanlah frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh di dalam peristiwa yang mendukung atau membangun cerita. Adapun yang dimaksud tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Panuti

Sudjiman, 1998: 63).

Keberhasilan pengarang dalam menggambarkan atau menampilkan penokohan diungkapkan Mursal Esten (1993: 68) bahwa penokohan yang baik ialah penokohan yang berhasil menggambarkan watak tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.

Perkembangannya harus wajar dan dapat dipertimbangkan atau diterima hubungan kausalitas.

Cara menggambarkan atau memperkenalkan tokoh ada dua macam :

Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua secara dramatik. Pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Misalnya melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan sebagainya), melalui percakapan (dialog), dan melalui perbuatan tokoh. (Mursal Esten, 1993: 27)

130

Secara lebih terinci Muchtar Lubis dalam Henry Guntur Tarigan (1985:

132-133) menyebutkan cara menggambarkan penokohan sebagai berikut.

1. Physical description (melukiskan bentuk lahir tokoh) 2. Secara Portrayal of thought stream or of conscious thought (yaitu melukiskan jalan pikiran tokoh atau siapa saja yang melintas dalam pikirannya) 3. Reaction to events (yaitu bagaimana reaksi tokoh itu terhadap kejadian) 4. Direct outhor analysis (pengarang dengan langsung menganalisis watak tokohnya) 5. Discussion of environment (melukiskan keadaan sekitar tokoh) 6. Reaction of other to character (bagaimana pandangan tokoh-tokoh) 7. Conversation of other about character (yaitu tokoh-tokoh lain dalam suatu cerita membicarakan keadaan tokoh utama tersebut. Dengan tidak langsung pembaca akan mendapat kesan tentang segala sesuatu mengenai tokoh utama tersebut).

Berkaitan dengan penokohan, Panuti Sudjiman (1991: 23) mengatakan :

“Tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam cerita rekaan pengarang, hanya pengarang yang mengenal mereka. Pembaca pun bisa mengenal watak dari tokoh-tokoh dalam novel itu melalui penggambaran dari pengarang, misalnya ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batin dari tokoh-tokoh itu. Watak dapat diterima bila dapat dipertanggungjawabkan dari sudut psikologi, fisik, dan sosiologi”.

Berdasarkan pengertian penokohan di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran, lewat kualitas nalar dan kualitas jiwanya yang kemudian mampu membedakan tokoh lain. Pada umumnya tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh manusia yang jelas kedudukannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara lahir dan batin.

Tokoh-tokoh dalam karya sastra yang sebagian besar berupa manusia.

Manusia tersebut mempunyai watak atau temperamen sendiri-sendiri. Tokoh dalam karya sastra mempunyai gambaran rupa atau pribadi atau watak pelakon.

131

Pelukisan rupa, watak atau pribadi tokoh dalam karya sastra disebut perwatakan.

Panuti Sudjiman (1991: 23) menyatakan bahwa perwatakan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dalam cerita.

Berangkat dari pengertian perwatakan di atas maka pengertian watak itu sendiri adalah sifat dan ciri yang terdapat pada tokoh, kualitas nalar dan jiwanya, yang membedakan dari tokoh lain (Panuti Sudjiman, 1998: 80). Sementara itu

Pradopo (1995: 31) berpendapat bahwa tokoh pemeran dalam cerita fiksi mempunyai sifat yang mempribadi, artinya seorang tokoh pemeran berdiri sebagai pribadi dengan watak yang berbeda dengan pemeran lainnya. Adanya perbedaan watak dalam sebuah cerita mengakibatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya, dan akibatnya timbul peristiwa-peristiwa. Perbuatan tokoh itu terjadi bukan hanya kebetulan saja, tetapi akibat watak yang dimilikinya oleh para pelaku cerita.

Dalam cerita, peristiwa-peristiwa atau perbuatan-perbuatan itu berjalan sesuai dengan perkembangan watak atau jiwa pelakunya.

Telah disebutkan di atas, bahwa tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu.

Dalam upaya memahami watak tokoh, pembaca dapat mengetahuinya dengan:

1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya

2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan

ataupun caranya berpakaian

3) perilaku sang tokoh

4) pembicaraan tokoh tentang dirinya

5) jalan pikiran tokoh

6) pembicaraan tokoh lain tentang sang tokoh

132

7) reaksi tokoh lain terhadap sang tokoh

8) reaksi sang tokoh terhadap tokoh lainnya

(Aminuddin, 1991: 80-81)

Dari pendapat di atas sebenarnya dapat disebutkan adanya dua macam cara

memperkenalkan tokoh dan perwatakannya, yaitu teknik ekspositoris dan

dramatic. Teknik ekspositoris yang sering disebut juga sebagai teknik analitik

adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi,

uraian, atau penjelasan secara langsung. Teknik dramatik artinya mirip dengan

yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung (Burhan

Nurgiyantoro, 1995: 194). e. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,

semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.

Latar dapat berwujud dekor, latar juga dapat waktu tertentu (hari, bulan, dan

tahun), cuara, atau satu periode sejarah, dimana (tempat), dan bagaimana

(keadaan/suasana) peristiwa cerita itu terjadi. Meski tidak langsung merangkum

orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Robert Stanton, 1965: 20).

Burhan Nurgiyantoro (1995: 227) menyatakan bahwa unsur latar dapat

dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga

unsur itu pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu

dengan yang lainnya. Adapun ketiga unsur tersebut meliputi.

1) Latar Tempat

133

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin

berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, mungkin lokasi tertentu. Tanpa

nama-nama jelas, tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai

dalam dunia nyata, misalnya Jogja, Magelang, dan lain-lain. Tempat dan

inisial tertentu biasanya berupa huruf awal (capital) nama suatu tempat, juga

menyaran pada tempat tertntu tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri,

misalnya kota J, M, P. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya berupa

penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa,

kecamatan, dan sebagainya.

2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”

tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada

kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan

persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk

mencoga masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan

menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya dan berasal dari

luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan

kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk memberi kesan kepada

pembaca seolah-olah itu sungguh-sungguh ada dan terjadi. Akhirnya, latar

waktu harus juga dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada

kenyataannya memang saling berkaitan. Keadaan suatu yang diceritakan mau

134

tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat itu akan berubah

sejalan dengan perubahan waktu.

3) Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya

fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah

dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat

istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan sikap.

Di samping itu, latar sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,

menengah, dan atas.

Latar sangat penting demi memberi kesan realistis kepada pembaca dan

juga latar berperan dalam kaitannya dengan unsur yang lain. Latar dapat

mempengaruhi tokoh, plot, dan tema cerita. Selain itu penggambaran latar

dapat menggugah suasana (atmosphere) di sekeliling tokoh dan bertujuan

untuk lebih memahami perilaku tokoh. Atmosfer bisa jadi merupakan cermin

yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter atau sebagai salah satu dunia

yang berada di luar diri sang karakter. Agar perilaku sang karakter atau orang-

orang di luar diirnya dapat sepenuhnya dimengerti, diperlukan pengamatan

mendalam terhadap dua kemungkinan, yaitu tone dan mood emosional yang

melingkupi sang karakter (Robert Stanton, 1965: 20). f. Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang “point of view” menyaran pada cara sebuah cerita

dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang

135

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (MH. Abrams,

1981: 42).

Sudut pandang adalah memasalahkan siapa yang bercerita, merupakan ketentuan yang dipilih oleh pengarang yang akan berpengaruh sekali dalam menentukan corak dan gaya cerita yang diciptakan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:

147). Sudut pandang ini akan menentukan posisi pengarang, apakah ia berada di luar cerita atau di dalamnya. Hal demikian mengarahkan pada dua pilihan sudut pandang “dia” atau “aku”. Jadi, sudut pandang memasalahkan siapa orang yang akan bercerita dan berkedudukan sebagai apa pengarang dalam cerita tersebut.

Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasannya dan ceritanya.

Secara garis besar sudut pandang dibedakan jadi dua, yakni sudut pandang orang pertama (akuaan) dan sudut pandang orang ketiga (diaan) atau insider dan outsider (Suminto A. Sayuti, 1998: 88). Pada kelompok “akuaan” pembaca akan merasa lebih dekat dengan segala peristiwa yang tersaji dalam fiksi dan tidak demikian halnya pada kelompok “diaan”. Secara lebih rinci, kedua kelompok tersebut dijabarkan menjadi empat jenis sudut pandang berikut ini.

Pertama, sudut pandang akuan sertaan (first person-central). Dalam sudut pandang ini pengarang sebagai tokoh sentral.

Kedua, sudut pandang akuan tak sertaan (first person-peripheral). Sudut pandang ini mendudukkan tokoh aku hanya sebagai pembantu tokoh lain yang lebih penting. Pencerita umumnya hanya muncul di awal dan di akhir cerita.

136

Ketiga, sudut pandang diaan-mahatahu (third person-omnicient).

Pengarang dalam sudut pandang ini berada di luar cerita, biasanya pengarang

menjadi seorang pengamat maha tahu dan bahkan mampu berdialog langsung

dengan pembaca.

Keempat, sudut pandang diaan terbatas (third person-limited) dalam sudut

pandang ini pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang

terbatas hak ceritanya. Pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh

tokoh yang dijadikan cerita.

3. Pendekatan Kajian Sastra a. Pendekatan Struktural

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembentuknya.

Di lain pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, p enegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (MH. Abrams, 1981: 68). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur instrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dinytakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra haruslah karya tersebut dianalisis.

137

Dalam penelitian sastra, ada beberapa model penelitian yang dapat diterapkan dan penerapan model itu sesuai dengan konsep serta tata karyanya masing-masing

(MH. Abrams, 1981: 84) misalnya telah membagi model pendekatan itu ke dalam empat kelompok besar dan empat kelompok itu dipandang sebagai model yang telah mencakup keseluruhan satuan dan orientasi karya sastra.

Dijelaskan oleh MH. Abrams (1981: 85) bahwa model yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif; yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra disebut pragmatic; yang lebih berorientasi pada aspek keferensial dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut mimetic; sedangkan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi instrinsik disebut pendekatan objektif atau pendekatan structural.

Konsep dasar dari pendekatan struktural menurut Atar Semi (1990: 67) adalah: (1) karya sastra dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah sosok yang berdiri sendiri, yang mempunyai dunianya sendiri, mempunyai rangka dan bentuknya sendiri; (2) memberi penilaian terhadap keserasian atau keharmonisan semua komponen membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan penulis menjalin hubungan antar komponen tesebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai estetik; (3) memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan harmonis antara isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang amat penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra; (4) walaupun memberikan perhatian istimewa terhadap jalinan hubungan antara bentuk dan isi, namun pendekatan ini menghendaki adanya

138

analisis yang objektif sehingga perlu dikaji atau diteliti setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut; (5) pendekatan structural berusaha berlaku adil terhadap karya sastra dengan jalan hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada di luar karya sastra; (6) yang dimaksud isi dalam kajian structural adalah persoalan, pemikiran, falsafah, cerita pusat pengisihan, tema. Sedangkan yang dimaksud bentuk adalah alur (plot), bahwa sistem penulisan, dan perangkat perwajahan sebagai karya tulis, (7) peneliti boleh melakukan analisis komponen yang diinginkan.

Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori structural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya-karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur- unsur pembangunannya yang saling berjalinan. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca (Beardsky dalam A. Teeuw, 1984: 60).

Hal yang menjadi dasar pemikiran strukturalisme sebagai gerakan otonom adalah pandangan seperti yang dijelaskan oleh Hawks. Hawks (1978: 17-18) mengatakan bahwa strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-benda itu sendiri. Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki makna sendiri-sendiri kecuali dalam hubungannya dengan anasir lain sesuai dengan posisinya di dalam keseluruhan struktural. Dalam demikian, struktur merupakan sebuah sistem yang terdiri atas

139

sejumlah anasir yang diantaranya tidak satupun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua unsur lain (Strauss dalam A. Teeuw, 1984:

140-141).

Dari konsep di atas, dapatlah dinyatakan bahwa dalam rangka studi sastra strukturalisme menolak campur tangan pihak luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur atau anasir yang membangun karya sastra. Atau, prinsip yang lebih tegas analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterikatan semua anasir karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir- anasirnya, melainkan yang penting adalah sumbangan apa yang diberikan oleh semua anasir pada keterjalinannya (A. Teeuw, 1984: 135-136).

Telah diakui bahwa model analisis structural telah berkembang dalam dunia kritik sastra dewasa ini. Akan tetapi, diakui bahwa model analisis yang hanya berdasarkan struktur mengandung berbagai kelemahan, yaitu (1) melepaskan karya sastra dari latar belakang sejarahnya; dan (2) mengasingkan karya sastra dari relevansi sosial budayanya (A. Teeuw, 1984: 140). Akibatnya berbagai kelemahan itulah kemudian para kritikus mengembangkan model-model pendekatan lain sebagai reaksi strukturalisme, missal semiotik.

Meskipun strukturalisme mengandung berbagai kelemahan, kiranya perlu disetujui pula pendapat A. Teeuw (1983: 6) bahwa bagaimanapun juga analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan dunia dalam kata (Dresden dalam A. Teeuw, 1984: 135) yang

140

mempunyai makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri. Jadi, untuk memahami makna karya sastra secara optimal, pemahaman struktur yang sulit dihindari atau secara lebih tegas harus dilakukan. Pemahaman struktur yang dimaksudkan itu adalah pemahaman atau analisis unsur atau anasir pembangunan keutuhan karya sastra.

b. Pendekatan Intertekstual

1) Teks dan Konteks

a. Pengertian Teks

Menurut Halliday, sebagaimana dikutip Ruqaiya Hasan, “teks adalah

sebagai bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melaksnaakan tugas

tertentu dalam konteks tertentu”. Dari konsep ini sangat jelas bahwa hipotesis

yang bisa dikemukakan adalah adanya hubungan erat antara teks dengan

konteks (1992: 71).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa untuk menjelaskan

permasalahan teks dan konteks tidak dapat mengungkapkan salah satu konsep

tanpa mengungkapkan yang lain. Arti yang lebih umum, kata “teks” adalah

“kata-kata yang benar-benar terdapat dalam buku, puisi, dan lain-lain, dalam

bentuknya yang asli atau bentuk yang sudah disiarkan atau diubah”.

Gambaran yang tampak dari kutipan di atas, tentang teks, adalah kesatuan

(unity).

Kesatuan dalam teks apapun – baik tulis seperti tersirat di atas,

maupun dalam tuturan – meliputi dua jenis utama, yaitu 1) kesatuan struktur,

141

dan 2) kesatuan tekstur (Ruqaiya Hasan, 1992: 72). Sifat teks yang terpenting adalah, apabila dituliskan tampak, seakan-akan, terdiri dari kata-kata dan kalimat-kalimat, dan juga makna-makna yang harus diungkapkan, atau dikodekan dalam kata-kata dan struktur dan selanjutnya dapat diungkapkan lagi – dikodekan kembali – dalam bunyi-bunyi atau lambang-lambang tulis.

Teks itu harus dikodekan dalam sesuatu untuk dapat dikomunikasikan, tetapi sebagai sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarnya adalah satuan makna.

Teks merupakan produk, yaitu merupakan keluaran (output), sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari, karena mempunyai susunan tertentu y ang dapat diungkapkan dengan peristilahan yang sistematik. Teks itu merupakan proses, yaitu proses pemilihan makna yang terus-menerus, suatu perubahan melalui jaringan tenaga makna (Halliday, 1992: 14). Lebih lanjut dikatakan Halliday

(1992: 15), bahwa “teks merupakan objek (mungkin merupakan sesuatu bernilai sangat tinggi, misalnya sesuatu yang diakui sebagai sajak besar) dan juga merupakan contoh makna sosial dalam konteks situasi tertentu”.

Dari pernyataan tersebut, yang terlintas dalam benak penulis adalah gambaran tentang kesatuan (unity). Tidak mungkin kita memahami semua buku, puisi, dan lain-lain, baik dalam bentuk aslinya atau bukan. Kita mengenal teks, dalam arti mampu membedakan teks, non-teks, teks lengkap dan teks tidak lengkap. Semuanya didasarkan – penilaiannya – pada konsep kesatuan.

142

b. Pengertian Konteks

Menurut Hilliday dan Ruqaiya, semua pemakaian bahasa mempunyai

konteks. Ciri-ciri “tekstual” memungkinkan wacana menjadi padu bukan

hanya antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan

konteks situasinya. Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks

itu benar-benar berfungsi (1992: 62).

Di dalam konteks situasi, teks itu benar-benar berfungsi karena di

dalamnya terlibat tiga unsur metafungsi, yaitu 1) medan wacana, 2) pelibat

wacana, dan 3) sarana wacana. Hal ini untuk menjelaskan mengapa hal-hal

tertentu dituturkan atau ditulis dalam suatu kesempatan, dan hal lain yang

mungkin dapat dituturkan atau ditulis tetapi tidak dituturkan atau ditulisnya.

2) Interteks dan Intertekstual

Sebelum membahas teori intertekstual lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan pengertian interteks dengan intertekstual, karena kedua istilah tersebut sering menimbulkan kerancuan.

Interteks adalah semua teks yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Teks bersifat tak terbatas dan luwes sehingga menimbulkan asosiasi pikiran setelah suatu teks dibaca.

Asosiasi pikiran tersebut dapat berkembang tergantung pada luasnya pengetahuan budaya pembaca serta banyaknya bacaan. Akan tetapi kemampuan pembaca untuk menghubungkan dan mengajarkan beberapa teks bukan merupakan

143

bukti bahwa teks yang terkumpul tersebut memiliki struktur yang sama secara interteks (Michael Riffaterre, 1980: 25).

John Frow (1990: 40) menyatakan bahwa konsep intertekstualitas mewajibkan teks dipahami bukan sebagai struktur yang mandiri. Akan tetapi sebagai sebuah struktur yang sekaligus bersifat diferensial dan histories. Teks tercipta melalui perulangan dan transformasi dari struktur tesktual yang lain, sehingga tidak ada satu teks yang mandiri. Dalam arti bahwa penciptaannya dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain (sebagai contoh teladan atau kenangan baik sebagai penentang, penyimpang ataupun justru melannutkan konversi karya sebelumnya baik berupa bentuk formal, isi pikiran, masalah, dan tema sebagai teks hipogramnya (A.

Teeuw, 2003: 120-121).

Studi interteks menurut John Frow (1990: 45-46) didasarkan beberapa asumsi kritis: (1) konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan sejarah teks, (2) teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks, (3) ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan,

(4) bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit. Teks boleh saja diciptakan ke bentuk lain di luar norma idiologi dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain,

(5) hubungan teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan- penghilangan bagian tertentu, (6) pengaruh mediasi dalam interteks sering

144

mempengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, (8) analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh.

Intertekstualitas merupakan karya asosiasi yang kompleks agar makna karya sastra dapat ditemukan. Hal ini disebabkan oleh intertekstualitas merupakan fenomena yang mengarahkan pembacaan teks yang memungkinkan untuk menentukan interpretasi dan bukan hanya pembacaan per baris. Cara ini berguna untuk memandang teks sebagai penentu pembentukan makna wacana, sehingga pembaca sadar bahwa kata-kata tidak mengacu pada benda atau konsep. Dalam hal ini kata-kata merupakan jalinan teks-teks yang telah dikenal maupun bagian-bagian teks yang muncul. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa teks tersebut telah ada sebelum muncul dalam teks yang baru (Michael Riffaterre, 1980: 26).

Kehadiran tersebut dapat bersifat fisikal maupun abstrak. Kehadiran fisikal suatu teks dalam teks lain dapat dikehendaki melalui penampilan judul secara eksplisit. Kehadiran teks lain yang bersifat abstrak dapat dikenali melalui penampilan yang tidak secara eksplisit mengacu pada hubungan atau permasalahan antara satu teks dengan teks yang telah terbit sebelumnya. Dengan demikian, hal ini terjadi karena pengarang telah membaca suatu teks yang terbit lebih dulu. Kemudian memasukkan dalam teks yang ditulisnya. Oleh karena itu, dalam membaca suatu teks pembaca harus membacanya secara berdampingan dengan teks-teks lain atau dapat dikatakan bahwa interpretasi pembaca terhadap suatu teks tidak dapat dilepaskan dari teks-teks sebelumnya.

145

Pada dasarnya, intertekstualitas tidak hanya sekedar menyusun identifikasi kehadiran suatu teks dalam teks lain, akan tetapi mengandung pengertian yang lebih dalam. Kehadiran suatu teks dalam teks lain akan membuat teks lebih bermakna.

Pewarnaan suatu teks dapat dilakukan dengan cara mengubah bagian-bagian tertentu, menambah, atau menentangnya. Dengan demikian, intertekstualitas juga berkaitan dengan penerimaan atau resepsi yaitu bagaimana seseorang memperlakukan suatu teks. Kemudian diberi makna sehingga dapat dikatakan bahwa intertekstualitas merupakan suatu bentuk resepsi sastra.

3) Prinsip Intertekstual

Prinsip intertekstual sebenarnya diawali pada masa Formalisme Rusia, yaitu ketika Bakhtin mengembangkan teori dialogis. Dikemukakan oleh Bakhtin bahwa semua karya sastra dihasilkan atas dialog antara teks dengan teks lain. Gagasan ini selanjutnya dikembangkan oleh Julia Kristeva. Seperti yang dikemukakan oleh Shiloh

(2007),

“as Kristeva, along with other poststructuralist theorists, has taught us, any tex is an amalgam of others, a part of a larger fabric of cultural discourse. A text is a multidimensional space in which a variety of writings, none of them original, blend and clash.” (“Seperti yang dikemukakan Kristeva, sejauh teori poststrukturalisme yang ada, mengajarkan kita bahwa suatu teks sebenarnya merupakan paduan dari teks yang lainnya, sebuah bagian dari suatu struktur yang lebih besar dari wacana kebudayaan. Sebuah eks merupakan bagian tertentu dari sebuah bagian multimedia yang mana merupakan jenis dari keterampilan menulis, tidak ada satupun di antaranya yang murni, perpaduan dan pertentangan.”)

Karya sastra tidak lahir dari situasi kekosongan budaya. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat terlepas dari konteks sejarah dan social masyarakat. Seperti yang

146

dikemukakan Luxemburg (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1991: 50) bahwa intertekstualitas diartikan sebagai kita menulis dan membac dalam suatu „interteks‟ suatu tradisi budaya, social, dan satra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa “kapan” pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya.

Intertekstualitas merupakan suatu analisis structural pada teks-teks dalam hubungannya dengan system yang lebih besar. Sejalan dengan penapat Landow

(1992),

“that intertextuality, as a structural analysis of texts in relation to larger system of signifying practices or uses of signs in cultur, shifts attention from the triad constituted by author/work/tradition to another constituted by text/discourse/culture. In so doing, intertextuality replaces the evolutionary model of literature as a sign system.” (Intertekstualitas, sebagai suatu analisis structural pada teks-teks dalam hubungannya dengan system yang lebih besar dari praktik-penandaan atau penggunaan tanda-tanda dalam kebudayaan, pergeseran-pergeseran perhatian dari tritunggal yang diberikan oleh penutur/karya/tradisi untuk diberikan pada yang lain oleh teks/wacana/budaya. Juga dalam tindakan, intertekstualitas meletakkan kembali model evolusioner pada sejarah sastra dengan sebuah struktur atau model sinkronis dari kesastraan sebagai sebuah system tanda”).

Setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain.

Kristeva berpendapat bahwa tidak ada sebuah teks pun yang sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-tks lain sebagai contoh, teladan, kerangka. Tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan terlebih dulu,

147

tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peran penting.

Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi dan pemahaman teks baru memerlukan latar pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya (A. Teeuw, 1984: 145-146).

Lebih lanjut dikatakan Kristeva (dalam A. Teeuw, 1984: 146) bahwa sebuah karya dapat dibaca dalam kaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain, yang merupakan semacam kisi. Lewat kisi itu, teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik cirri-ciri menonjol dan memberikannya sebuah struktur.

Sebuah karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra yang lain. Michael Riffatere (1980: 21) mengemukakan bahwa karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra sesudahnya disebut sebagai karya hipogram. Hipogram merupakan karya yang menjadi dasar hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya. Lebih lanjut diungkapkan Michael Riffatere (1980: 22) bahwa karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, makna teks tersebut menjadi jelas baik teks itu mengikuti maupun menentang hipogramnya. Begitu juga situasi yang dilukiskan, menjadi lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.

Pendapat lain yang senada dengan pendapat di atas, dikemukakan oleh

Rachmat Djoko Pradopo (1995: 228) bahwa prinsip dasar intertekstualitas adalah

148

karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Lebih lanjut dikatakan bahwa prinsip intertekstualitas yang penting adalah prinsip pemahaman dan pemberian makna teks sendiri, tidak mempersoalkan saduran atau turunan, tetapi setiap teks itu merupakan peresapan, penyerapan, dan transformasi teks lain. Oleh karena itu, berlaku prinsip bahwa untuk dapat memberikan makna penuh sebuah teks, teks harus dibicarakan dalam kaitannya dengan teks yang menjadi hipogramnya.

Ada di bagian lain, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan makna yang sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks social-budayanya, dalam hubungan pembicaraan intertekstual ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebuah karya sastra baik itu puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, membicarakan karya sastra itu sebaiknya dalam hubungannya dengan karya sezamana, sebelum, atau sesudahnya (Rahmad Djoko Pradopo, 1995: 167).

Secara garis besar, penelitian intertekstualitas memiliki dua fokus. Pertama, meminta perhatian kita tentang pentingnya teks yang terdahulu (prior texs). Tuntutan adanya otonomo teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal te4rtentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain.

Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi.

149

Berdasarkan dua fokus ini, tampak bahwa karya sastra sebelumnya banyak berperan dalam sebuah penciptaan (Suwardi Endraswara, 2003: 133).

Beberapa pendapat di atas, jelas menegaskan bahwa prinsip intertekstualitas menekankan terjadinya proses keberlangsungan pemaknaan secara luas antara teks- teks yang kemudian dan teks-teks yang terdahulu. Keberlangsungan pemaknaan menandai hubungan antarteks baik yang bersifat hubungan persamaan maupun pertentangan. Karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra sesudahnya disebut sebagai karya hipogram, sedangkan karya yang diciptakan berdasarkan hipogram disebut karya transformasi.

Jika dicermati dari asumsi di atas, penelitian interteks semual memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama resepsi teks. Asumsi paham interteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain.

Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya.

Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada yang sangat vulgar dan ada pula yang sangat halus. Semua hasus interteks tergantung kehalian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya.

Pemerhati interteks dan sastra perbandingan sebenarnya kurang lebih sama.

Baik interteks maupun sastra perbandingan, sebenarnya ingin melacak orisionalitas sebuah teks sastra. Jika karya sastra semakin tidak memuat teks lain, berarti fungsi kreativitas sangat tinggi. Pencipta telah memanfaatkan kemampuan berkreasi sehingga seakan-akan tak ada teks lain yang muncul di dalamnya. Namun, jika peneliti interteks dan atau sastra perbandingan sangat jeli, apa yang disembunyikan pencipta atas teks lain sering terungkap.

150

4) Kajian Intertekstual

Burhan Nurgiyantoro (1995: 50) mengatakan bahwa kajian intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk- bentuk hubungan tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, terjemahan Melani Budianta,

1990: 49). Sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih, apakah hubungan itu bersifat persamaan atau perbedaan, sedangkan intertekstual selain mempelajari persamaan dan perbedaan dua karya sastra atau lebih juga menentukan karya sastra mana yang menjadi hipogramnya. Untuk menentukan hipogramnya berarti ada penilaian terhadap karya sastra yang dibandingkan.

A. Teeuw (dalam Rahmat Djoko Pradopo, 2002: 223) menyatakan bahwa seorang pengarang tidak mencipta karya sastra dalam situasi kekosongan budaya, artinya bahwa karya sastra itu sebenarnya tidak begitu saja ada melainkan sebelumnya telah ada. Karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi budaya yang telah ada di masyarakat yang ditulis oleh orang lain. Dengan adanya karya sastra lain yang telah ada sebelumnya tersebut, bukan tidak mungkin pengarang telah membaca karya sastra tersebut, dan secara langsung maupun tidak langsung memasukkannya dalam karya sastra yang diciptakannya.

Karya sastra yang baru tersebut dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka karya sastra pendahulunya (Hartoko dan Rahmanto,

1986: 67). Michael Riffaterre mengemukakan bahwa karya sastra yang dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya disebut hipogram (1980: 23). Istilah

151

tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah yang menjadi fokus penelitian intertekstual. Melalui penjajaran karya sastra yang satu dengan karya sastra lain yang menghipogrami, maka karya sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh.

Adanya hubungan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain mungkin disadari oleh pengarangnya, tetapi mungkin juga tidak disadarinya (Ahmad,

1988: 12). Kesadaran pengarang terhadap karya sastra lain yang menjadi hipogramnya mungkin berupa sikap pengukuhan tradisi, atau penolakan tradisi sebelumnya.

Dalam hubungannya dengan hipogram tersebut, perlu diperhatikan keterangan

Kristeva berikut ini:

“Setiap teks itu merupakan mosaic kutipan-kutipan dan merupakan peresapan serta transformasi dari teks-teks lain. Tidak mustahil apabila pengarang dalam menulis teks itu mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks lain berdasarkan tanggapannya dan diolah dalam karyanya sendiri. Dengan demikian, meskipun sebuah karya sastra memuat unsur-unsur resapan dari berbagai teks lain, tetapi karya sastra tersebut tetap merupakan karyanya sendiri yang menyimpan dan mencerminkan kepribadiannya. Hal itu berkaitan dengan cara kerja yang dilakukannya. Unsur-unsur resapan tersebut diolah dengan wawasan dan daya kreativitias, konsep estetis, dan pikirannya sendiri. Meskipun demikian, konvensi-konvensi atau unsur-unsur yang diserap masih tetap dapat dikenali dalam teks yang terbit kemudian, dengan cara membandingkan teks yang menjadi hipogram dengan teks baru tersebut”. (Jonathan Culler, 1981: 104).

Adanya teks lain dalam suatu teks dapat diketahui dengan adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan persambungan dan pemisahan antara teks yang satu dengan teks yang lain yang diduga memiliki hubungan pengaruh. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pengarangnya telah membaca suatu teks yang terbit lebih

152

dahulu dan memasukkannya dalam teks yang ditulisnya. Dalam hal ini, kehadiran suatu teks lain bukanlah suatu yang polos, yang tidak melibatkan suatu proses pemahaman dan pemaknaan, tetapi di sini selalu ikut unsur pemaknaan dan bagaimana seseorang menerima teks tersebut (Umar Junus, 1985: 88).

Kajian intertekstualitas tersebut merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada teks yang ditulis lebih dahulu. Hal itu, mengingat bahwa sastrawan dalam menanggapi teks yang terlebih dahulu itu menggunakan pikiran, gagasan konsep estetika, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Dengan begitu, karya sastra yang diciptanya merupakan karya sastra asli. Di sini terlihat prinsip intertekstual bercampur dengan teori tanggapan sastra. Dalam teori tanggapan sastra setiap teks yang merupakan transformasi teks lain itu adalah ciptaan asli, bahkan juga turunan yang dibuat itu adalah teks aslinya (Rahmat Djoko Pradopo, 2002: 229). Hal ini disebabkan oleh adanya gagasan yang menyatakan bahwa dalam menurun teks lain, seorang pengarang selalu mengikutkan gagasan dan horizon harapannya.

Yang terpenting dalam kajian intertekstual adalah prinsip pemahaman dan pemberian makna teks sendiri tanpa mempersoalkan saduran atau tuturan, melainkan setiap teks merupakan peresapan, penyerapan, dan transformasi teks lain. Oleh karena itu, berlaku prinsip bahwa untuk memperoleh makna sebuah teks dengan lebih baik, harus dibicarakan dalam kaitannya dengan teks yang menjadi hipogramnya. A.

Teeuw (1983: 69) menguraikan prinsip intertekstual dengan lebih luas. Esensi intertekstual menurut A. Teeuw ini adalah interpretasi sebuah teks sastra baru secara tuntas dan sempurna, karena teks sastra baru mendapat makna penuh sebagai sistem tanda dalam kontrasnya dengan hipogramnya.

153

Walaupun dalam menciptakan karya sastra seorang pengarang mungkin dipengaruhi karya sastra lain yang lebih dahulu terbit, tetapi pengarang tetap terikat dengan sistem sastra yang berlaku pada zaman itu, sehingga pengaruh karya sastra yang lain tetap disaring dan disesuaikan dengan konvensi pada saat karya sastra tersebut dibuat. Penyesuaian dengan konvensi pada saat itu membuat karya sastra yang dihasilkan menjadi sesuatu yang berbeda dengan karya sastra yang dipengaruhinya.

4. Nilai Pendidikan a. Hakikat Nilai

Louis Kattsoff (2004: 325) menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang berguna, sedangkan menurut Madiatmadja (1986: 105), nilai berkaitan dengan kebaikan yang ada dalam sesuatu hal. Namun, kebaikan itu berbeda dengan nilai.

Sesuatu yang baik belum tentu bernilai. Contohnya, seseorang yang mempunyai banyak ilmu itu baik, tetapi ilmu itu tidak bernilai jika seseorang itu hampir meninggal ilmunya tidak diamalkan. Perbedaan antara kebaikan dan nilai adalah kebaikan lebih melekat pada halnya, sedangkan nilai lebih menunjukkan pada sikap seseorang terhadap sesuatu hal yang baik.

Proses nilai-nilai kehidupan manusia disadari, diidentifikasi, dan diserap menjadi milik yang lebih disadari untuk kemudian dikembangkan, sehingga yang terjadi dalam proses pendidikan, pendidikan bukan menciptakan dan memberikan atau mengajarkan nilai-nilai pada peserta didik, tetapi membantu peserta didik agar dapat menyadari adanya nilai-nilai itu, mengakui, mendalami, dan memahami hakikat

154

dan kaitannya antara yang satu dengan yang lainnya serta peranan dan kegunaannya bagi kehidupan.

Nilai merupakan kadar relasi positif antara sesuatu hal dengan orang tertentu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan nilai adalah sesuatu atau hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan. Nilai berkaitan erat dengan kebaikan yang ada pada sesuatu hal.

Namun, kebaikan itu berbeda dengan sesuatu yang baik belum tentu bernilai.

Pada hakikatnya yang dimaksud dengan nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain

(Atar Semi, 1988: 54). Lebih lanjut Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak.

Nilai tidak berubah, nilai itu mutlak. Nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan.

Tanpa memperhatikan hakikatnya, nilai itu bersifat histories, sosial, biologis atau murni individual. Nilai merupakan suatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri mampu membedakan antara yang satu dengan lainnya. Suatu nilai jika dihayati seseorang, maka nilai-nilai tersebut akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya.

Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalu dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup.

Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai mencakup beberapa komponen seperti yang dikemukakan oleh

155

Kaswardi (1993: 4), yaitu memiliki (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik), sedangkan Bertens (1997: 141) mengungkapkan pendapatnya tentang nilai sebagai berikut :

Masih berbicara tentang nilai, Louis Kattsoff (2004: 332) menyatakan nilai sebagai berikut :

Kata nilai mempunyai empat arti, yaitu : 1. mengandung nilai artinya berguna; 2. merupakan nilai, artinya „baik‟ atau „bener‟ atau „indah‟; 3. mempunyai nilai, artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan orang mengambil „sikap‟, „menyetujui‟ atau mempunyai sifat nilai tertentu; 4. memberi nilai, artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.

Suatu nilai yang dihayati seseorang akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bloom (dalam Soelaeman, 1988: 44) yang mengatakan bahwa masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotor dan kognitif, akan tetapi juga untuk perwujudannya dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang efektif.

Nilai dapat dibedakan, yaitu : (1) nilai materi yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan; (2) nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama antar sesame yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan, kemesraan, dan sebagainya; (3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung jawab atas kehidupan pribadi; (4) nilai estetika menyangkut keindahan dan rasa seni; (5) nilai spiritual yang menyangkut kebutuhan manusia akan kesempurnaan dan kelengkapan dirinya.

156

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan segala sesuatu tentang baik buruk yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasaan lahirian maupun batiniah.

b. Hakikat Pendidikan

Soedomo Hadi (2003: 18) mengatakan bahwa pendidikan adalah bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak-anak dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan.

Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri dari pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya menuju arah pertumbuhan dan perkembangan.

Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yang dilakukan secara terus-menerus seperti pendapat Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan itu dimulai sejak anak dilahirkan dan berakhir setelah ia meninggal dunia.

Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar, terencana, terus- menerus, serta penuh tanggung jawab yang merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam usaha pendewasaan melalui upaya pengajaran dan latihan.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 disebutkan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

157

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” (dalam Soedomo Hadi, 2003: 108).

Sejalan dengan rumusan pendidikan di atas dijelaskan bahwa pendidikan pada hakikatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan sengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus.

c. Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel

Realitas dalam karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan kreativitas pengarang terkadang dapat memberikan pengalaman total pada pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang bukan saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang problema hidup dan kehidupan. Bermacam-macam wawasan itu disampaikan pengarang lewat rangkaian kejadian, tingkah laku dan perwatakan para tokoh, ataupun komentar yang diberikan pengarangnya.

Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang dikandung dalam karya sastra, pada dasarnya suatu karya sastra yang bermutu atau berbobot akan selalu mengandung bermacam nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca.

158

Berkaitan dengan nilai pendidikan dalam karya sastra, Suyitno (1986: 3) mengatakan bahwa:

“Berbicara mengenai nilai pendidikan atau nilai didik dalam karya sastra, maka tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Karya sastra sebagai hasil olahan sastrawan, yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pengetahuan yang lain. Hal ini merupakan salah satu kelebihan karya sastra. Kelebihan lain ialah bahwa karya sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir mengenai hidup, baik dan buruk, salah dan benar, dan mengenai cara hidupnya sendiri dan bangsanya. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, falsafi, religi, dan sebagainya.”

Lebih jauh pengertian nilai pendidikan berkaitan dengan sastra, Nyoman

Tusthi Edy (1983: 121) memaparkan sebagai berikut:

“Sastra harus bersifat mendidik. Tetapi dalam perannya sebagai alat mendidik masyarakat tidaklah harus menggurui atau menunjukkan apa yang hendak dituju oleh seorang atau masyarakat seperti halnya yang terdapat dalam sastra propaganda atau sastra slogan Lekra. Ia dapat berupa sesuatu yang menjadi alat untuk membangkitkan rasa semangat, memulihkan kepercayaan diri sendiri dan melepaskan ketegangan-ketegangan batin. Disinilah letak edukatif karya sastra.”

Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai pendidikan moral, agama, sosial, maupun estetis (keindahan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (2002: 27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial

(menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai cultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.

159

Makna nilai dalam sastra menurut Herman J. Waluyo (2002: 28) adalah

“kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang”. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra khususnya novel, menunjukkan bahwa pada dasarnya suatu karya sastra akan selalu mengandung bermacam-macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi pembaca.

Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca. Pembaca perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibacanya itu menyentuh dirinya, maksudnya menyentuh perasaannya.

Berdasar pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai sastra, yaitu sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu yang positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki tiap manusia.

Dalam pengertian ini nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).

Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta sastrawan tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan nyata, tetapi datang dari kesadaran bahwa karya sastra sebagai suatu yang imajinatif dan fiktif. Di samping itu juga adanya pengembangan ekspresi sehingga tercipta karya sastra. Seorang sastrawan dalam menciptakan keindahan juga berkeinginan untuk menyampaikan pikiran, pendapat, dan saran terhadap sesuatu. Apa yang hendak disampaikan pengarang itu merupakan nilai-nilai pendidikan.

160

Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai didik di dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walaupun masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Sastra memiliki nilai didik kesusilaan, mengandung nilai estetika, dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar.

Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra di atas ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang bisa diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu diantaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan sebagainya.

d. Nilai Pendidikan Moral

Moral adalah aturan kesusilaan yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan dan tingkah laku yang baik (Ali, 1979: 217). Nilai pendidikan moral yang terdapat di dalam karya sastra dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pembentukan akhlak (pembaca). Pendidikan moral merupakan sarana untuk membentuk kata hati anak agar anak memiliki kepekaan terhadap baik buruknya, serta membentuk kemauan yang kuat untuk dapat menolak hal-hal yang tidak baik dan hanya berbuat sesuai dengan yang baik.

Perbuatan dan tingkah laku dapat dikatakan baik jika perbuatan dan tingkah laku tersebut tidak melanggar segala aturan atau norma yang berlaku di masyarakat, sebaliknya perbuatan dan tingkah laku dikatakan buruk jika melanggar atau

161

menyimpang dari aturan atau norma yang hidup di masyarakat. Baik buruk suatu tingkah laku tidak dapat diputuskan oleh perseorangan dan kelompok orang saja, tetapi harus berdasarkan pendapat umum.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pencipta karya sastra yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai dan kebenaran dan hal itu ingin disampaikan kepada pendengar (pembaca). Menurut Kenny (1966: 89), moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis yang dapat diambil

(dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Hal itu merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan seperti tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral bersifat praktis, sebab petunjuk itu ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata sebagai model tingkah laku tokoh-tokohnya.

Novel sebagai karya sastra menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

Sifat luhur kemanusiaan itu tidak bersifat kebangsaan tetapi bersifat universal

(Burhan Nurgiyantoro, 1995: 321-322). Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad.

Moral dalam karya sastra hampir selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang terpuji baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun pratoganis

(Burhan Nurgiyantoro, 1995: 322).

162

Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada.

Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana yang benar dan yang salah atau tidak benar. Pesan-pesan moral dapat disampaikan pengarang secara langsung dan bisa pula tidak secara langsung. Makin besar kesadaran manusia tentang baik dan buruk itu, maka makin besar moralitasnya. Pendidikan besar sekali pengaruhnya atas perkembangan moralitas. Seseorang yang makin terang pengetahuannya tentang sesuatu yang baik dan yang tidak baik, akan mudah mengadakan pilihan.

Moral diartikan sebagai norma dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang baik, seperti budi pekerti, akhlak, dan etika (Joko Widagdo, 2001: 30).

Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.

Secara umum moral merujuk pada pengertian baik buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan dan kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Nilai moral ini merupakan tata nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, apa yang harus dikerjakan, sehingga

163

tercipta baik suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi dan bermanfaat bagi orang tersebut, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.

Joko Widagdo (2001: 31-32) mengemukakan bahwa:

“Seseorang belum dikatakan bermoral apabila dia melihat atau melakukan kejahatan dan tidak berusaha memberantasnya, hanya dengan alasan amal perbuatan dan kejahatan itu tidak mengenai atau merugikan dirinya. Sebagai pengemban nilai-nilai moral setiap orang harus merasa terpanggil untuk mengadakan reaksi, kapan, dan di mana saja melihat perbuatan yang menginjak nilai-nilai moral”.

Nilai moral dalam karya sastra biasanya bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai estetika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.

Berdasarkan pengertian moral yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa moral merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran yang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, dan budi pekerti seseorang. Moral lebih sering dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukkan tingkah laku dan adat kebiasaan individu-individu atau kelompok.

Moral yang sering disinonimkan dengan istilah etika, dapat diambil kesimpulan bahwa nilai moral merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang dianggap penting dan bermanfaat untuk manusia dalam pembentukan sikap, akhlak, dan budi pekerti yang mulia. Adanya nilai-nilai moral yang ditanamkan kepada anak sejak dini inilah yang diharapkan dapat melahirkan insane sebagai sumber daya yang berkualitas.

164

Pengertian moral secara umum adalah meliputi berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Guna memperoleh batasan yang jelas dalam penelitian ini, maka pengertian moral dibatasi pada kegiatan manusia di bidang budaya khususnya moral dalam karya sastra.

Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan media komunikasi pengarang dalam penyampaian pendapat, pandangan, dan penilaiannya terhadap sesuatu kepada pembaca. Keberadaan moral dalam karya sastra tidak dapat lepas dari pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang dianutnya. Nilai moral itu pada hakikatnya merupakan sarana atau petunjuk agar pembaca memberikan respon atau mengikuti pandangan pengarang. Nilai moral yang dapat diterima pembaca umumnya yang bersifat universal, dalam arti tidak menyimpang dari kebenaran dan hak kemanusiaan. Nilai moral sastra lebih memberatkan pada sifat kodrati manusia yang hakikat, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan, dihakimi manusia (Burhan

Nurgiyantoro, 1995: 322).

Nilai moral yang diberikan oleh pengarang tidak selalu diperlihatkan secara langsung kepada pembaca, pembaca berusaha mencari sendiri nilai-nilai moral yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Langkah yang tepat untuk menemukan adanya nilai moral dalam sebuah karya sastra lewat penafsiran dengan mempertimbangkan berbagai hal, misalnya dengan memperhatikan bagaimanakah hubungan tokoh dengan diri sendiri, lingkungan, manusia lain, dan hubungan dengan Tuhan.

165

e. Nilai Pendidikan Budaya

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari kata sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata budi atau akal. Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Tylor (dalam

Setiadi, 2006: 27) budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pegnetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat, maka manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang selalu mengubah lingkungan dari kualitas hidupnya menuju kehidupan yang lebih baik. Kemampuan itulah yang menjadi salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Berdasarkan cara berpikir dan aktivitas manusia yang mampu meningkatkan taraf hidup yang disebut dengan budaya sehingga ektensinya tidak pernah statis, tetapi semuanya berjalan secara dinamis. Kekuatan kelemahan, tantangan, dan peluang yang dimiliki serta dihadapi setiap hari, mendorong untuk berfikir kreatif untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada, sebagai penumbuhan nilai-nilai norma, perilaku, dan produk-produk baru yang menyertai kehidupan. Kant (dalam

Hartoko, 1988: 14) seorang filosof Jerman mengatakan ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Jadi, manusia tidak hanya berdiam diri dan mengikuti seluruh gerak alam atau mengikuti jalan air, tetapi mengambil jarak dari alam serta mengubah kondisinya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup yang dicita-citakan manusia yang berbudi luhur dan bermoral tinggi.

166

William (dalam Strorey terjemahan Nurdin, 2003: 2-3) menawarkan dua macam tentang definisi budaya. (1) Budaya dapat digunakan untuk mengacu pada proses umum perkembangan intelektual dan estetis. Definisi ini menunjukkan bahwa budaya merupakan suatu proses hadir hidupnya dengan berupaya menjawab misteri yang ada di alamnya serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi untuk menuju taraf hidup yang lebih baik dan bermoral tinggi atau mulia. (2) Budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat periode atau kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, budaya merupakan nilai-nilai yang berkenan dengan suatu kelompok masyarakat dalam suatu periode tertentu. Pandangan tersebut dapat menyangkut sebagai sistem kepercayaan, ekonommi, politik, dan sebagainya. Dengan demikian budaya dapat mengacu pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistiknya. Dalam hal ini budaya ditinjau pada karya atau produk yang dianggap sebagai teks atau tanda (sign) sebagai hasil kerja intelektual.

Kontjaraningrat (1993: 180) mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar, maka kebudayaan mengangkat nilai-nilai perilaku dan hasil karya manusia yang dihasilkan melalui proses belajar dan dijadikan konvensi oleh masyarakatnya. Seluruh karya manusia dianggap sebagai suatu bahasa yang menyampaikan pesan-pesan tentang kehidupan yang sudah ada sejak lama untuk membawa manusia ke kemajuan zaman lebih baik.

Budaya yang bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu yang setiap saat memerlukan penafsiran kembali agar suatu budaya tersebut tidak

167

tertinggal. Bahkan, pada lambang-lambang purba yang sepanjang zaman dalam dunia mitos, kesenian, khayalan, impian, dan dunia bawah sadar. Bukanlah baru-baru yang berdiri tegak atau tulisan-tulisan yang sudah jarang terbaca namun selalu ditafsirkan kembali sesuai dengan zamannya (Peusen, 1988: 149).

Selain hal yang tertera di atas, budaya atau kebudayaan sering tampak pada gaya perilaku warga, misalnya kegemaran-kegemaran warga masyarakatnya, serta berbagai benda budaya hasil karya mereka yang dilihat dari luar oleh orang asing.

Sebagai contoh budaya orang Batak yang dilihat oleh orang Jawa sebagai orang yang agresif, kasar, kurang sopan, tegas, konsekuen, dan berbicara apa adanya. Sebaliknya, budaya orang Jawa dilihat oleh orang Batak, bahwa watak orang Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan, yang berlebihan, lamban, tingkah laku yang sukar ditebak, gagasan yang berbelit-belit, serta diskriminasi terhadap tingkatan sosial. Dengan demikian, kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang berbeda atau tidak sama.

Berkaitan dengan novel sebagai sebuah karya sastra, novel mencerminkan nilai-nilai kehidupan bersendikan pada budaya masyarakat. Budaya pada masyarakat tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan sastra pada masyarakat, karena ketiga hal itu merupakan satu kesatuan. Budaya masyarakat mencakup bahasa yang ada pada masyarakat tersebut dan juga mencakup sastranya (A.Teeuw, 1984: 100).

Konsep kebudayaan dapat dipecahkan ke dalam beberapa unsur. Unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan unsur yang universal dan merupakan unsur-unsur

168

yang dapat ditemukan di semua kebudayaan di dunia baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil, terpencil maupun masyarakat kota yang besar dan kompleks. Unsur-unsur universal menurut (Koetjaraningrat, 1984: 3-5) tersebut adalah sebagai berikut.

b. Sistem religi dan upacara keagamaan c. Sistem dan organisasi kemasyarakatan d. Sistem pengetahuan e. Bahasa f. Kesenian g. Sistem mata pencaharian hidup h. Sistem teknologi dan peralatan

Koentjaraningrat (1984: 5) juga berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu sebagai berikut :

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dalam kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, difoto, ada di dalam kepala, dalam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan tersebut hidup. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut adat tata kelakuan karena berfunsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari masyarakat itu sendiri terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan satu sama lain. Sistem sosial itu bersifat konkret dan terjadi di sekeliling kita sehari- hari.

169

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterampilan, merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret dan berupa benda- benda yang dapat dilihat dan diraba.

B. Penelitian Relevan

Penelitian menggunakan teori intertekstual pernah dilakukan oleh Pradopo

(2003) dengan judul Hubungan Intertekstual antara Novel Siti Nurbaya, Novel Layar

Terkembang, dan Novel Belenggu yang terdapat dalam bukunya berjudul Beberapa

Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (2003) diterbitkan oleh Pustaka

Pelajar. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut, yaitu (1) tema yang terkandung dalam novel Siti Nurbaya, novel Layar Terkembang, dan novel Belenggu,

(2) tokoh dan penokohan dalam novel Siti Nurbaya, novel Layar Terkembang, dan novel Belenggu, dan (3) menentukan hipogram dan teks transformasi.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Djoko Pradopo di atas dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penelitian Rahmat Djoko Pradopo jumlah subjek penelitiannya sebanyak 3 buah,

sedangkan penelitian ini menggunakan dua buah subjek, yaitu novel Memoirs of

A Geisha karya Arthur Golden dan novel Kembang Jepun karya Remy Sylado.

2. Permasalahan yang muncul pada penelitian Rahmat Djoko Pradopo adalah tema,

tokoh dan penokohan, dan penentuan hipogram serta teks transformasi,

sedangkan pada penelitian ini masalah yang dimunculkan selain penentuan

170

hipogram dan teks transformasi juga mengenai unsur-unsur struktur dan nilai-

nilai pendidikan yang terdapat di dalam kedua novel tersebut.

C. Kerangka Berpikir

Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca. Hal-hal yang diungkap oleh pengarang lahir dari pandngan hidup dan daya imajinasi yang tentu mengandung keterkaitn yang kuat dengan kehidupan. Penciptaan karya sastra, selain ada kalanya ditampilkan secara rinci seperti kenyataan sesungguhnya. Karya sastra yang mendahului digunakan sebagai contoh atau teladan bagi karya sastra yang kemudian. Dua karya sastra atau lebih yang mengangkat tema yang sama, terdapat persamaan dan perbedaan di dalamnya. Persamaan dan perbedaan tersebut menandakan bahwa setiap pengarang mempunyai pesan tersendiri yang disampaikan melalui karyanya. Persamaan dan perbedaan dalam beberapa karya sastra dapat dianalisis dengan menggunakan prinsip intertekstualitas. Adapun teknik membandingkannya adalah dengan menjajarkan unsur-unsur struktur secara menyeluruh yang terdapat dalam karya-karya sastra yang diperbandingkan.

Novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden dan novel Kembang Jepun karya Remy Sylado, kedua novel ini diangkat dari sumber yang kurang lebih lama, yaitu kehidupan geisha di Jepang dan di Surabaya. Dapat dikatakan masalah kehidupan geisha lebih dahulu ditulis oleh Arthur Golden dalam novelnya yang berjudul Memoirs of a Geisha. Masalah kehidupan geisha kemudian diangkat secara lebih mendalam oleh Remy Sylado dalam Kembang Jepun. Oleh karena itu, dapat

171

diperkirakan dengan kuat bahwa Memoirs of a Geisha yang menjadi hipogram novel

Kembang Jepun.

Sebuah karya sastra yang bermutu, di dalamnya pasti akan terkandung nilai- nilai pendidikan yang berguna bagi kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Begitu pula dengan novel Memoirs of a Geisha dan

Kembang Jepun, kedua novel ini memberikan manfaat bagi pembaca dalam kehidupan. Manfaat yang terkandung dalam karya sastra menunjukkan bahwa karya sastra yang bermutu akan mengandung nilai didik yang berguna bagi pembaca.

Peneliti sebagai instrument penelitian melakukan penelitian mendalam pada teks-teks novel Memoirs of a Geisha dan novel Kembang Jepun secara cermat dan menyeluruh. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca teks-teks yang menjadi bahan kajian. Dengan pendekatan intertekstualitas, dimungkinkan penelitian ini dapat mengungkap fungsi teks-teks tersebut, sebagai teks yang melatarbelakangi penciptaan

(hipogram) atau sebagai teks yang mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya (transformasi). Struktur kedua novel dibandingkan untuk mencari persamaan dan perbedaannya. Selain itu, juga dilakukan penelitian secara cermat dan menyeluruh terhadap nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut.

Hasil yang dicapai dari perbandingan struktur kedua novel dan penelitian terhadap nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel diharapkan memberikan pandangan baru untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan pada Bab I.

Kerangka berpikir ini dapat dilihat pada skema berikut.

172

Novel

Memoirs of a Geisha Kembang Jepun karya Arthur Golden karya Remy Sylado

Struktur Novel Struktur Novel  Tema  Tema  Alur / plot  Alur / plot  Penokohan dan  Penokohan dan perwatakan perwatakan  Latar  Latar  Sudut pandang  Sudut pandang pengarang pengarang

Kajian Intertekstual dan

Nilai Pendidikan

Simpulan

173

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian dengan pendekatan Intertekstualitas ini merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan konvensi-konvensi kesastraan antar-teks yang menjadi objek penelitian. Teks-teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu dua cerita rekaan / novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun.

Oleh karena penelitian ini menggunakan objek teks-teks sastra sebagai sumber informasi (data) yang akan digali, maka data yang muncul berupa konsep - konsep dan atau kategori-kategori yang tidak dapat dihitung dengan statistik. Model penelitian semacam ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Sifat deskriptif kualitatif penelitian ini berarti tidak menggunakan hipotesis sebagai dugaan awal penelitian. Peran teori bukanlah sebagai alat untuk menguji hipotesis tetapi untuk menelusuri berbagai fenomena yang membentuk konvensi- konvensi kesastraan baru pada teks-teks Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun dari naskah-naskah sumbernya. Teori yang sudah tersusun merupakan kerangka berpikir sesuai dengan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan prinsip intertekstual, di mana hubungan antar teks yang ditemukan bisa bersifat relasional maupun oposisional. Hasilnya kemungkinan ditemukannya teori-teori baru sebagai hasil rekonstruksi atas teks-teks Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun pada struktur novel.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan informasi kualitatif dengan cara mendeskripsikan scara detail dan cermat keadaan, gejala, fenomena, serta unsur-

174

unsur sebagai keutuhan struktur dalam teks-teks tersebut. Penelitian seperti ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Oleh karenanya, penelitian ini memilih dan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan beberapa pertimbangan, yaitu :

1. penelitian kualitatif menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati (J. Moleong,

1997: 3).

2. metode ini mengutamakan analisis data secara induktif (J. Moleong, 1997: 5).

3. riset ini memandang berbagai masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak

terlepas sendiri-sendiri. Berbagai variabel penelitian tak bisa dipelajari secara

terpisah dari keterkaitannya di dalam konteks keseluruhannya (HB. Sutopo, 1996:

41).

4. metode ini lebih mementingkan proses daripada produk (J. Moleong, 1997: 7).

5. sesuai dengan permasalahan dan tujuannya, penelitian deskriptif kualitatif

dilandasi strategi fenomenologis selalu bersifat lentur dan terbuka dengan

menekankan analisis induktif yang meletakkan data penelitian bukan sebagai alat

dasar pembuktian tetapi sebagai modal dasar bagi pemahaman, maka proses

pengumpulan data merupakan kegiatan yang lebih dinamis (HB. Sutopo, 1996:

47).

Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif ini sebagai instrument atau alat utama penelitian, sehingga kedudukan peneliti sangat penting. Oleh karena itu, penelitian dengan instrmen peneliti (human instrument) ini sifatnya lentur, terbuka dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru yang mungkin berubah setiap waktu

175

dengan beragam realitas yang juga mungkin dijumpai (Lincoln & Guba dalam HB.

Sutopo, 1996: 36).

B. Data dan Sumber Data

Penelitian apapun, sangat ditentukan oleh ketersediaan data yang menjadi bahan penelitian itu, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi (Sudaryanto, 1988: 9). Data penelitian ini adalah teks-teks novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun yang menjadi sumber informasi utama untuk diteliti dengan pendekatan intertekstual. Artinya kedua teks tersebut menjadi sumber data primer, sedangkan sumber data sekunder adalah naskah-naskah sumber yang sudah diuraikan di atas.

Sebagian besar data dalam penelitian ini adalah hasil catatan dari observasi dokumen atau teks novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun. Catatan lapangan (fieldnote) terdiri dari dua bagian, yaitu bagian deskriptif dan bagian reflektif. Bagian deskriptif merupakan suatu usaha untuk merumuskan objek yang sedang diteliti, sedangkan bagian reflektif merupakan renungan pada saat pengamatan, berbagai citra diteliti dan ditafsir berbagai makna kontekstualny a

(Bodgan & Biklen dalam Sutopo, 1996: 66,67).

Data yang menjadi bahan penelitian ini akan dikaji hubungan antar teks,

Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun, maupun hubungan antara kedua teks itu dengan naskah sumber sebagai data sekunder. Hal ini dapat diperiksa kejelasannya dari pendapat Rachmat Djoko Pradopo (1995: 178), bahwa “Karya sastra ditulis atau dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada. Karya sastra ditulis mencontoh karya

176

yang sudah ada sebelumnya. Akan tetapi, di samping itu, karya sastra adalah karya kreatif, maka karya sastra ditulis tidak semata-mata hanya mencontoh saja, melainkan juga memperkembangkan konvensi yang sudah ada, bahkan menyimpangi ciri-ciri dan konvensi-konvensi yang ada dalam batas-batas tertentu”. Dengan ketersediaan data-data, baik primer maupun sekunder, dalam penelitian ini sangat menentukan tingkat keberhasilannya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan jenis penelitian kualitatif yang dipilih. Sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen tertulis (teks). Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah struktur yang membangun teks cerita rekaan Memoirs of A Geisha dan Kembang

Jepun maupun pada naskah sumber yang ada. Sumber-sumber tersebut dapat berupa majalah, surat kabar, karya sastra, karya ilmiah, dan sebagainya. Strategi pengumpulan data yang digunakan adalah noninteraktif, yaitu dengan mencatat dokumen atau arsip (content analysis) (Sutopo, 1996: 55).

Pendapat lain senada dengan pendapat di atas, seperti dikemukakan oleh

Darmiyati Zuchdi (1993: 1), bahwa analisis konten yaitu suatu teknik yang sistematik guna menganalisis pesan dan cara mengungkapkan pesan. Dalam analisis konten, penganalisis tidak hanya tertarik pada pesan itu sendiri, tetapi pada pertanyaan- pertanyaan yang lebih luas tentang proses dan dampak komunikasi.

177

Ada di bagian lain juga dinyatakan bahwa teknik analisis konten dimanfaatkan untuk memahami pesan simbolik dalam bentuk dokumen, lukisan, lagu, tarian, seni sastra, artikel, dan sebagainya (Darmiyati Zuchdi, 1993: 6).

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa penelitian ini menggunakan data-data yang berupa teks karya sastra Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun maka teknik pengumpulan datanya dapat diperoleh melalui teknik catat (Sudaryanto,

1993: 5). Pencatatan terhadap struktur formal maupun strutur fiksional dari data-data primer dan sekunder, dilakukan untuk memperoleh gambaran secara detil hubungan structural antara kedua teks Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun serta antara kedua teks dengan naskah sumber. Teknik pencatatan dilakukan karena sumber datanya adalah pustaka, oleh karena itu teknik pengumpulan datanya juga dilakukan dengan teknik pustaka, yaitu “mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data”. Sumber-sumber tersbut dapat berupa majalah, surat kabar, karya sastra, karya ilmiah, dan sebagainya.

D. Validitas Data

Validitas data dimaksudkan untuk mengecek tingkat keabsahan data yang telah dikumpulkan dan dicatat. Untuk langkah ini menurut Sutopo (1996: 70, 71), bahwa validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif, terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk pengembangan validitas (kesahihan) data penelitian. Cara-cara ini disebut triangulasi. Teknik triangulasi ini didasari pola pikir fenomenologis, sifatnya multiperspektif. Artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak

178

hanya satu cara pandang. Beberapa cara pandang tersebut akan bisa dipertimbangkan beragam fenomena yang muncul, dan selanjutnya bisa ditarik kesimpulan lebih mantap dan lebih bisa diterima kebenarannya. Ada empat teknik triangulasi, menurut

Patton (dalam Sutopo, 1996: 70-71), yaitu (1) triangulasi data (data triangulation),

(2) triangulasi peneliti (investigator triangulation), (3) triangulasi metodologis

(methodological triangulation), dan (4) triangulasi teoritis (theoretical triangulation).

Untuk menguji validitas data penelitian yang bersumber pada novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun yang berupa teks sastra (sebagai arsip, dokumen) maka bisa digunakan triangulasi data yang sering disebut sebagai „triangulasi sumber‟.

Triangulasi sumber bisa memanfaatkan jenis sumber yang berbeda-beda, untuk menggali data yang sejenis peneliti bisa memperoleh dari narasumber (manusia), dari kondisi lokasi, dari aktivitas yang menggambarkan perilaku orang atau warga masyarakat, atau dari sumber yang berupa catatan yang berkaitan dengan data yang dimaksud peneliti (Sutopo, 1996: 71,72).

E. Teknik Analisis Data

Menurut Miles & Huberman (dalam Sutopo, 1996: 82), dinyatakan dalam analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Penelitian ini, teknik analisisnya adalah model analisis interaktif dan berupa siklus yang bergerak terus pada ketiga alur kegiatan proses penelitian.

Peneliti bergerak di antara tiga komponen selama pengumpulan data. Pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus secara keseluruhan antara pengumpulan, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen analisis dengan proses

179

pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak di antara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu tersisa bagi penelitiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar peneliti tidak banyak menghadapi kesulitan karena banyaknya data yang berupa deskripsi kalimat (Sutopo, 1996: 86-88).

Berdasarkan kutipan di atas maka teknik analisis data meliputi tiga komponen, yaitu :

1. reduksi data (data reduction)

Pada bagian ini, langkah yang dilakukan yaitu mencatat data yang

diperoleh dalam bentuk uraian secara rinci. Data yang diambil berupa kata,

kalimat, ungkapan yang terdapat dalam novel Memoirs of A Geisha karya Arthur

Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado yang mengungkapkan informasi

tentang struktur kedua novel tersebut, yang meliputi : tema, plot/alur, penokohan

dan perwatakan, setting/latar, point of view/sudut pandang pengarang, dan nilai

pendidikan dalam kedua novel tersebut. Informasi-informasi yang mengacu pada

permasalahan itulah yang menjadi data penelitian ini.

2. sajian data (data display)

Data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam beberapa bagian sesuai

dengan jenis permasalahannya agar mudah untuk dianalisis. Langkah ini telah

memasuki analisis data yang kemudian dijabarkan dan dibandingkan antara data

yang satu dan data yang lain. Hal ini bertujuan untuk menemukan persamaan dan

perbedaan kedua novel serta untuk menemukan nilai pendidikan yang terkandung

dalam kedua novel tersebut.

180

3. penarikan simpulan (conclution drawing)

Pada tahap ini peneliti telah memasuki tahap pembuatan simpulan dari

data yang telah diperoleh sejak awal penelitian dengan menggunakan alur berpikir

induktif. Simpulan ini masih bersifat sementara maka akan tetap diverifikasi

(diteliti kembali tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung.

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu data yang diperoleh dari novel

Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy

Sylado disimpulkan.

Tiga komponen tersebut terjadi secara bersama-sama dan dilakukan secara

terus-menerus, baik sebelum, pada waktu, maupun sesudah pelaksanaan

pengumpulan data. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Pengumpulan Data Pernyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan-Kesimpulan : Penarikan / Verifikasi

Skema Analisis Interaktif Data, Miles & Huberman, (Soetopo, 2006: 120)

181

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan dari novel Memoirs of

A Geisha karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado yang dijadikan sebagai sumber data penelitian. Hasil penelitian dideskripsikan sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Setelah langkah tersebut dilanjutkan dengan pembahasan terhadap hasil penelitian yang dilakukan secara deskriptif kualitatif.

A. Hasil Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil penelitian ini adalah deskripsi tentang :

1) struktur novel Memoirs of A Geisha, 2) struktur novel Kembang Jepun,

3) persamaan antara novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden dan Kembang

Jepun karya Remy Sylado, 4) perbedaan antara novel Memoirs of A Geisha karya

Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado, 5) nilai pendidikan dalam novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun, 6) hubungan intertekstual antara novel Memoirs of A Geisha dengan novel Kembang Jepun.

1. Struktur Novel Memoirs of A Geisha

a. Tema

Tema adalah dasar suatu cerita. Tema dalam novel letaknya

tersembunyi dan tersirat dalam seluruh cerita. Pengarang tidak secara eksplisit

menyatakan yang menjadi pokok permasalahan dalam novel yang ditulisnya,

182

meskipun kadang-kadang terdapat kata-kata kunci atau kalimat kunci dalam bagian novel tersebut tersirat tema yang dimaksudkan.

Untuk menuju pada kesimpulan tentang tema novel Memoirs of A

Geisha terlebih dahulu dikemukakan beberapa hal setelah membaca novel tersebut, yaitu:

1) Pengarang ingin menyampaikan tentang budaya tradisional Jepang,

khususnya geisha. Geisha, sebagai salah satu simbol budaya Jepang yang

eksotis. Selain menjadi simbol tradisional dari sebuah komunitas bangsa,

secara khusus geisha juga telah menjadi representasi dari perempuan yang

menjadi atribut dari dominasi budaya tradisional yang patrialis.

Pemunculan atau penyajian tradisionalisme Jepang melalui geisha akan

identik dengan sosok berbaju kimono, bersanggul, bermake-up tebal dan

berperilaku pendiam dan lemah lembut dihadapan pria.

2) Pengarang ingin memaparkan cinta yang penuh pengorbanan. Hal ini

terbukti melalui tokoh gadis kecil bernama Chiyo yang berniat menjadi

geisha karena cintanya kepada seorang laki-laki yaitu Ketua. Seperti

diketahui pengalaman hidup Sayuri mulai dari masa pendidikan geisha

sampai menjadi geisha penuh pengorbanan. Sayuri sering mendapat

kekerasan fisik maupun nonfisik. Semua itu ia jalani, dengan harapan bisa

bertemu dengan orang yang dicintai yaitu Ketua.

3) Pengarang ingin memaparkan kehidupan geisha di Jepang. Tokoh utama

Chiyo (Sayuri) sebagai gadis kecil dari Yoroido dijual ayahnya untuk

dijadikan seorang geisha. Berbagai kekerasan fisik maupun nonfisik ia

183

alami. Berkat perjuangan dan keteguhan hati Chiyo (Sayuri) menjadi

geisha. Akhirnya Chiyo (Sayuri) berhasil menjadi geisha yang terkenal

dan kaya. Akan tetapi kesuksesan Chiyo (Sayuri) tidak berlangsung lama

karena terjadi Perang Dunia II. Chiyo (Sayuri) harus berhenti menjadi

geisha, sehingga menjadi miskin. Chiyo (Sayuri) harus bekerja keras

untuk hidup.

Untuk menentukan tema utama dan tema tambahan terlebih dahulu

dipertimbangkan ketiga permasalahan di atas. Permasalahan pertama,

pengarang menyampaikan salah satu simbol budaya tradisional yang eksotis

yaitu geisha. Kedua, cinta penuh pengorbanan. Ketiga, permasalahan

kehidupan seorang geisha.

Dalam sebuah novel dapat ditemukan tema utama dan tema-tema

sampingan (kecil) yang disisipkan pengarang. Tema utama novel Memoirs of

A Geisha cenderung pada permasalahan yang ketiga yaitu tentang kehidupan

seorang geisha yang penuh perjuangan dan pengorbanan.

b. Amanat

Amanat yang terdapat di dalam novel Memoirs of A Geisha, yaitu

untuk mencapai kebahagiaan harus bekerja keras karena tanpa bekerja keras

apa yang diharapkan tidak akan tercapai. Manusia harus menyadari bahwa

yang bisa mengubah nasibnya adalah dirinya sendiri. Orang yang mempunyai

semangat perjuangan dan bekerja keras, pasti suatu saat akan memperoleh

kebahagiaan sesuai dengan yang diharapkan.

184

Salah satu bentuk bekerja keras yang dilakukan Sayuri, seperti kutipan

berikut.

“Aku tak akan berkata aku punya bakat alam tertentu, menari atau apapun, tetapi aku jelas bertekad bulat berusaha keras untuk mewujudkan cita-citaku. Sejak bertemu Ketua di jalan musim semi dulu itu, tak ada yang lebih aku inginkan daripada menjadi geisha dan menemukan tempatku sendiri di dunia. Sekarang setelah Mimeha memberiku kesempatan itu, aku bertekad untuk menggunakannya sebaik-baiknya.” (hlm. 165)

Kerja keras yang dilakukan Sayuri dalam kutipan di atas menunjukkan

kerja keras dengan sungguh-sungguh. Kerja keras tersebut pada akhirnya

membuahkan hasil bagi dirinya. Sayuri menjadi seorang geisha yang sukses

dan berhasil membayar semua hutang-hutangnya kepada Ibu, bahkan dia

menjadi salah satu geisha yang popular pada saat itu. Keberhasilan Sayuri

dengan bekerja keras pada saat itu yang membuatnya diangkat menjadi anak

oleh Ibu dan menandakan hasil kerja kerasnya sendiri.

c. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang mempunyai

hubungan sebab akibat (kausalis) baik dari tokoh, ruang, maupun waktu.

Jalinan sebab akibat tersebut bersifat logis. Hubungan peristiwa-peristiwa

dalam cerita berkaitan dengan perjalanan cerita tokoh-tokohnya. Sumber

terjadinya plot dalam cerita adanya konflik di antara para tokoh dalam cerita.

Perjalanan alur cerita berkaitan erat dengan perkembangan konflik antara

tokoh-tokoh yang mengalami pertikaian.

185

Alur novel Memoirs of A Geisha menggunakan alur progresif yang disisipi sedikit flashback atau sorot balik. Dalam alur progresif atau kronologis, penceritaan dimulai dari eksposisi, komplikasi, rising action, klimaks, dan berakhir denounement. Peristiwa-peristiwa yang terjalin menjadi alur novel novel Memoirs of A Geisha adalah sebagai berikut.

1) Tahap Eksposisi

Tahap eksposisi atau tahap paparan dalam novel adalah tahap

pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian cerita, waktu, tokoh-

tokoh cerita, dan permasalahan sebagai sumber konflik di antara tokoh-

tokoh.

Awal cerita dikisahkan asal tokoh utama bernama Chiyo. Ia gadis

kecil berumur 9 tahun dari keluarga nelayan miskin. Ia bertempat tinggal

di kota kecil Yoroido di Laut Jepang, seperti pada kutipan di bawah ini.

Aku tidak lahir dan dibesarkan untuk menjadi geisha Kyoto. Aku anak nelayan dari kota kecil bernama Yoroido di Laut Jepang. Sepanjang hidupku belum pernah aku memberitahu lebih dari segelintir orang tentang Yoroido ataupun rumah tempat aku dibesarkan, atau tentang ibu dan ayahku, atau kakak perempuanku – dan tentu saja tidak tentang bagaimana aku menjadi geisha, atau bagaimana rasanya menjadi geisha. Sebagian besar orang akan lebih suka meneruskan fantasi mereka bahwa ibu dan nenekku adalah geisha, dan bahwa aku mulai belajar menari begitu aku disapih, dan seterusnya. Pernah terjadi, bertahun-tahun yang lalu, ketika aku sedang menuang sake untuk seorang pria, pria itu menyelutuk bahwa dia baru dari Yoroido minggu sebelumnya. Nah, aku pastilah merasa seperti burung yang telah melintasi samudra dan bertemu makhluk lain yang tahu di mana sarangnya. Begitu kagetnya aku sehingga terlontar, “Yoroido! Itu kan tempat aku dibesarkan!” (hlm. 11)

“Mana mungkin!” katanya sambil tertawa lagi. “Kau, dibesarkan di tempat kumuh seperti Yoroio. Itu kan seperti membuat teh di dalam ember!” Dan sesudah tertawa lagi, dia berkata kepadaku,

186

“Itulah sebabnya kau begitu menyenangkan Sayuri-san. Kadang- kadang aku hampir percaya gurauanmu itu sungguh-sungguh.” Aku tak suka menganggap diriku seperti secangkir teh yang dibuat di dalam ember, tapi apa boleh buat. Aku memang dibesarkan di Yoroido, dan tak seorang pun akan menyebutnya tempat gemerlap. Nyaris tak ada yang mengunjunginya. Sedangkan orang-orang yang tinggal di sana, mereka tak punya alasan untuk meninggalkannya. Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana aku bisa meninggalkannya. Itulah awal ceritaku. (hlm. 12)

Kemiskinan keluarga Chiyo tampak lagi, ketika dokter Miura menyarankan Sakamoto-san (ayah Chiyo) untuk membuatkan kimono baru untuk istrinya, seperti kutipan di bawah ini.

“Sudah waktunya mengatakan sesuatu kepadamu, Sakamoto-san.” Dr. Miura memulai. “Kau harus bicara dengan salah satu perempuan di desa. Nyonya Sugi, mungkin. Mintalah dia membuat kimono baru untuk istrimu.” “Saya tidak punya uang, Dokter,” kata ayahku. “Kita semua menjadi lebih miskin belakangan ini. Aku mengerti kesulitanmu. Tapi kau harus menghargai istrimu. Kasihan kalau dia meninggal memakai kimono compang-camping yang dipakainya.” “Jadi sebentar lagi dia meninggal?” “Beberapa minggu lagi, mungkin. Dia kesakitan sekali. Kematian akan membebaskannya.” (hlm. 16)

Oleh karena kemiskinan itulah ayah Chiyo menjual kedua anaknya yaitu Chiyo dan Satsu kepada Tuan Tanaka untuk dijadikan geisha di

Kyoto. Dengan perasaan sedih kedua anak itu berangkat menuju kota

Kyoto.

Berdasarkan uraian di atas, tahap awal novel Memoirs of A Geisha benar-benar merupakan suatu awal, hal yang memang merupakan permulaan dan terkait dengan sifat temporal. Bagian awal ini memenuhi fungsi ekspositorus dan mampu memberikan gambaran kepada pembaca

187

terhadap arah gerak cerita selanjutnya. Kesadaran pembaca akan menjadi

lebih jelas tatkala cerita mulai bergerak dan berkembang.

2) Tahap Complication (Peristiwa Mulai Bergerak Menuju Konflik-Konflik)

Pada bagian ini pengarang menampilkan tokoh wanita yaitu Bu

Gelisah. Wanita ini berperan memeriksa anak-anak yang akan menjadi

geisha, seperti kutipan di bawah ini .

Bu Gelisah mengurai ikatan baju petani yang dipakai Satsu dan membukanya. Dia menggeraki-gerakkan pantat Satsu, melihat ke bawah lengannya, kemudian membalik tubuhnya dan memeriksa punggungnya. Aku shock, sampai nyaris tak berani melihat. Aku memang pernah melihat Satsu telanjang sebelumnya, tetapi cara Bu Gelisah menangani tubuhnya kelihatan lebih tidak senonoh dibanding yang dilakukan si Sugi waktu Satsu mengangkat baju renangnya untuknya. Kemudian, seakan ini belum cukup, Bu Gelisah merenggut celana Satsu dan memelorotkannya ke lantai, memandangnya dari atas ke bawah, dna membalikkannya menghadapnya lagi. “Buka celanamu,” katanya. Wajah Satsu kelihatan lebih bingung daripada yang pernah kulihat, tetapi dia melepas celananya dan meninggalkannya di lantai berlendir. (hlm. 31)

Perilaku Bu Gelisah ini juga menimpa tokoh Chiyo, seperti kutipan

di bawah ini.

Aku takut sekali dan ketika dia mencoba membuka lututku, dia harus menampar kakiku juga, membuat kerongkonganku serasa tertahan menahan tangis. Ketika dia menyuruhku memakai pakaianku kembali, kukira perasaanku pastilah seperti bendungan yang harus menahan sungai besar. (hlm. 31)

Kekerasan-kekerasan yang dialami Chiyo dan Satsu

mengakibatkan mereka sangat sedih, sehingga mereka bertekad melarikan

diri. Akan tetapi yang berhasil melarikan diri hanya Satsu. Akibat

188

peristiwa ini Chiyo sangat sedih, karena ia harus hidup sendirian. Pada waktu meratapi perpisahan dengan kakaknya, datanglah seorang tokoh bernama Ketua. Tokoh Ketua ini menghibur Chiyo dan memberikan sapu tangan. Dari pertemuan dan hiburan tokoh Ketua, Chiyo bertekad akan menjadi geisha hanya dengan harapan bisa bertemu lagi dengan Ketua.

Pada tahap ini cerita lebih berkembang, karena Chiyo sudah masuk sekolah pendidikan geisha. Pada bagian ini pengarang menampilkan tokoh ibu, nenek, dan Hatsumomo. Tokoh ibu adalah pemilik rumah geisha di

Gion, sedangkan tokoh nenek adalah geisha yang sudah tua. Hatsumomo dan Mimeha adalah geisha. Chiyo sering mendapatkan kekerasan dari

Hatsumomo, berupa ancaman. Ancaman kalau tidak menuruti kemauan

Hatsumomo, bahkan Chiyo terjebak dengan kelicikannya; mengenai rusaknya kimono Mimeha sehingga mendapat hukuman fisik dan harus mengganti harga kimono.

“Saya tidak melakukan apa-apa, Bibi. Betul.” “Kau jangan pernah mempercayainya, bahkan kalau dia ingin membantumu. Sekarang saja dia sudah membebanimu dengan utang yang mungkin tak akan sanggup kau lunasi.” “Saya tidak mengerti….,” kataku, “utang apa?” “Kelicikan Hatsumomo dengan kimono itu harus kaubayar dengan jauh lebih banyak uang daripada yang bisa kaubayangkan dalam hidupmu. Itu maksudku.” “Tapi …. Bagaimana saya bisa membayar?” (hlm. 83)

“Kalau kau sudah mulai bekerja sebagai geisha, kau akan membayar kembali Okiya, termasuk untuk segalanya – makananmu dan pelajaran-pelajaranmu; kalau kau sakit, bayaran doktermu. Semua itu kau bayar sendiri. Kau pikir kenapa Ibu menghabiskan begitu banyak waktu di kamarnya, menulis angka- angka dalam buku kecil-kecil itu? Kau bahkan berutang uang yang dibayarkan untuk membelimu.” (hlm. 84)

189

Bibi membawaku ke jalan di tengah halaman dan menyuruhku tengkurap di sana. Aku tak peduli apakah Bibi menghajarku atau tidak. Tampaknya bagiku tak ada yang bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Setiap kali tubuhku berjengit di bawah tongkat, aku menjerit sekeras yang aku berani, dan membayangkan wajah cantik Hatsumomo menunduk tersenyum memandangku. Ketika hukuman dera ini sudah selesai. Bibi meninggalkanku menangis di sana. (hlm. 86)

Berdasarkan kutipan di atas, kekerasan fisik maupun nonfisik yang

dialami Chiyo yang mengakibatkan alur semakin maju. Konflik semakin

meluas ketika Chiyo oleh tokoh ibu diharuskan mengganti harga kimono,

membayar seluruh biaya selama mengalami pendidikan geisha, dan biaya

perawatan sakit. Peristiwa ini merupakan suspens cerita sehingga

menimbulkan pertanyaan kepada pembaca. Sanggupkah Chiyo membayar

hutang sebanyak itu.

3) Tahap Rising Action

Peristiwa semakin memuncak ketika Chiyo menjalani mizuage

dengan harga menempati peringkat tertinggi, seperti kutipan di bawah ini.

Dari semua saat terpenting dalam kehidupan seorang geisha, mizuage jelas termasuk yang menempati peringkat tinggi. Mizuage-ku berlangsung pada awal Juli 1935, saat aku berusia 15 tahun. Dimulai pada suatu sore ketika Dr. Kepiting dan aku minum sake dalam upacara yang akan mengikat kami selamanya. (hlm. 306)

Setelah peristiwa mizuage ini, Chiyo resmi menjadi geisha dengan

nama Sayuri. Mimeha sangat bertanggung jawab pada Sayuri, Mimeha

mengharapkan Sayuri menjadi geisha yang terkenal. Mimeha berusaha

sekuat tenaga agar Sayuri menjadi seorang geisha yang sukses.

190

4) Tahap Klimaks

Perjuangan Mimeha tidak sia-sia. Sayuri berhasil menjadi geisha

yang terkenal bahkan ia bisa menaklukan Hatsumomo, seperti kutipan di

bawah ini.

Semula aku mau membantah itu tidak benar, tetapi semua tuduhannya itu tak berarti. Hatsumomo dalam kesulitan, dan apa pun yang dikatakannya tak akan mengubah keadaan. Sepuluh tahun lalu ketika dia menjadi pencari nafkah utama okiya, dia mungkin bisa menuduhku apa saja semau dia. Dia bisa menyatakan aku telah memakan tikar tatami di kamarnya, dan Ibu akan menyuruhku membayar harga tatami baru. Tetapi sekarang musim telah berganti. Karier brilian Hatsumomo telah mulai layu di ranting pohon, sedangkan karierku baru mulai mekar. Aku anak pemilik Okiyo dan geisha utamanya. Kupikir ibu tidak peduli siapa yang benar. (hlm. 352-353)

Berdasarkan kutipan di atas, peristiwa tersebut dapat disebut

sebagai klimaks cerita, karena peristiwa memuncak (klimaks). Sayuri

sekarang menjadi geisha yang terkenal sesuai dengan harapan Mimeha.

Akan tetapi kesuksesan ini mendadak harus berakhir ketika terjadi Perang

Dunia II. Sayuri harus meninggalkan Okiya. Ia harus bekerja keras untuk

hidup. Sayuri dari geisha yang terkenal menjadi miskin, seperti kutipan di

bawah ini.

Tentu saja makanan semakin langka. Kau tak bisa membayangkan apa saja yang harus belajar kami makan, seperti ampas kedelai, yang biasanya diberikan kepada ternak dan barang mengerikan yang disebut rukapan, dibuat dengan menggoreng kulit padi dengan tepung gandum. Sangat jarang kami punya sedikit kentang atau ubi jalar; daging ikan paus kering, sosis daging anjing laut, dan kadang-kadang sardin yang bagi orang Jepang tak pernah lebih dari sekedar pupuk. Aku jadi kurus sekali selama tahun-tahun itu, sehingga tak seorang pun akan mengenaliku di jalan-jalan Gion. (hlm. 379-380).

191

5) Tahap Denounement

Pada tahap berikutnya, peristiwa mulai menurun. Atas bantuan

Nobu-san, Sayuri kembali ke Gion (Okiyo). Sayuri mulai hidup baru lagi.

Ia bekerja sebagai geisha. Peristiwa semakin menurun ketika Sayuri

bertemu Ketua dan Ketua sanggup menjadi danna Sayuri. Mereka

kemudian menetap di New York. Akan tetapi kebersamaan harus berakhir

karena Ketua meninggal dunia. Bagian ini merupakan penyelesaian cerita

(denounement).

d. Penokohan dan Perwatakan

Dalam novel Memoirs of A Geisha terdapat dua tokoh yaitu tokoh

utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak

diceritakan dalam novel, selain itu tokoh utama juga berhubungan dengan

semua tokoh yang ada dalam novel tersebut, sedangkan tokoh tambahan

adalah tokoh yang memiliki peranan membantu tokoh utama. Tokoh utama

dalam novel Memoirs of A Geisha adalah Chiyo (Sayuri) karena Sayuri

merupakan tokoh yang paling dominan dalam keseluruhan cerita.

Tokoh tambahan dalam novel Memoirs of A Geisha adalah Ketua,

Hatsumomo, Lobu, Ibu Gelisah dan lain-lain.

Penokohan adalah penggambaran untuk pelaku tokoh utama suatu cerita

disebut perwatakan. Penokohan pada novel Memoirs of A Geisha

menggunakan dua metode yaitu metode langsung dan tidak langsung

(analisis). Perwatakan tokoh dalam penelitian ini dilihat dari tiga aspek yaitu

aspek psikologi, aspek fisik, dan aspek sosial.

192

Sayuri sebagai tokoh utama dilukiskan oleh pengarang seorang geisha yang cantik, jujur, sabar, penurut, tepat janji, mandiri, dan pantang menyerah.

Beberapa deskripsi tokoh Sayuri sebagai berikut.

1) Aspek Psikologis

a) Sabar dan Jujur

Kecantikan Sayuri ini tidak membuat menjadi sombong bahkan

bersifat jujur dan sabar. Sabar yaitu tahan menghadapi cobaan, tabah,

tenang, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil jalan untuk

memecahkan suatu masalah. Kesabaran Sayuri dapat ditemukan

seperti kutipan berikut.

“Oh, Nona, saya bersedia melakukan apa saja untuk memperbaiki kesalahan saya,” kataku. “Sudah dua tahun lebih saya sudah menunggu dengan sabar, berharap akan ada kesempatan yang datang”. (hlm. 135)

Di samping itu Sayuri termasuk wanita jujur. Jujur yaitu

mengatakan hal sebenarnya. Kejujuran Sayuri oleh pengarang

dilukiskan dengan teknik tidak langsung, seperti kutipan berikut.

“Tetapi dokter, sebelum Anda pergi,” kata Mimeha. “Mungkinkah telah terjadi kesalahpahaman? Sayuri gadis yang jujur dan tak akan dengan sengaja menyesatkan siapapun. Apalagi orang yang telah begitu baik kepadanya.” (hlm. 263)

b) Mandiri

Mandiri (tidak mudah menyerah) adalah rasa sadar akan diri

sendiri. Sayuri dapat dikatakan sebagai wanita mandiri. Kemandirian

193

Sayuri, dilukiskan dengan teknik tidak langsung, seperti kutipan

berikut.

“Sebagian besar tugasku jelas. Aku membereskan dan menyimpan intan di pagi hari, membersihkan ruangan-ruangan, menyapu lorong berlantai tanah, dan semacamnya. Aku disuruh ke toko obat untuk mengambil salep kudis kaki, atau ke toko jalan raya Shijo untuk membeli biscuit dan beras yang sangat disukai bibi. Untungnya pekerjaan yang tidak enak, seperti membersihkan toilet, adalah tugas salah satu pelayan yang sudah tua. Tetapi meskipun aku sudah bekerja sekeras mungkin, rasanya aku tak juga berhasil memberi kesan yang baik yang kuharapkan, karena tugas-tugasku setiap hari lebih banyak daripada yang mungkin kuselesaikan, dan masalah ini masih dipersulit oleh nenek.” (hlm. 52)

Di samping itu kemandirian Sayuri oleh pengarang dilukiskan

dengan teknik pikiran tokoh, seperti kutipan berikut.

“Kurasa tak ada hal lain yang lebih kejam yang bisa dikatakan Hatsumomo kepadaku. Sudah satu setengah tahun lamanya aku dihukum mengerjakan tugas-tugas pelayan yang membosankan. Kurasakan hidupku terbentang dihadapanku seperti jalan panjang yang tidak menuju kemana-mana. Aku tak akan mengatakan aku ingin menjadi geisha, tetapi jelas aku tak ingin menjadi pelayan selamanya”. (hlm. 119)

c) Percaya Diri

Percaya diri adalah sikap yang tidak tergantung pada orang

lain, tegas dan tidak berubah-ubah, cepat menentukan sikap,

mengambil keputusan disertai pertimbangan yang matang. Sayuri

termasuk wanita yang percaya diri, seperti kutipan berikut.

“Kuakui aku takut. Tetapi tekadku lebih besar daripada ketakutanku dan aku sudah datang sejauh ini, jelas aku tak mau pergi hanya karena perempuan itu tidak percaya kepadaku. Jadi aku kembali dan membungkuk dan berkata, “Saya minta maaf kalau kelihatan seperti pembohong. Tapi saya tidak bohong.

194

Yukiko kakak saya. Kalau ibu mau berbaik hati memberitahu dia bahwa Chiyo datang, dia akan membayar sebesar yang ibu mau.” (hlm. 91)

d) Tepat Janji

Tepat janji yaitu konsisten dengan sikap dan pemikiran serta

dengan kesepakatan yang dibuat bersama dengan orang lain. Bila

ingkar janji ia akan merasa bersalah. Sayuri memiliki sifat tepat janji,

seperti kutipan berikut.

“Mimeha-san, saya berjanji, hal seperti itu tidak akan terjadi pada saya,” kataku. “Berkat bantuan Anda, saya merasa seperti kapal yang mencicipi laut untuk pertama kali. Saya tak akan pernah memaafkan diri saya kalau mengecewakan Anda.” (hlm. 151)

e) Bekerja Keras

Tuan Tanaka menjual Sayuri ke rumah okiya dengan tujuan

supaya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ibu bersedia

menerima Sayuri di Okiya karena kecantikan dan kecerdasan yang

dimilikinya. Di Okiya dia memulai kehidupan tanpa keluarga dengan

belajar dan bekerja keras demi kehidupan. Kegiatan belajar yang

dilakukan jelas tujuannya untuk menjadikan dirinya seorang geisha,

sebagai modal hidup di masa depan. Sayuri menerima proses belajar,

seperti disajikan dengan teknik perbuatan tokoh berikut ini.

“Kira-kira sebulan setelah aku tiba di Okiya, ibu memberitahuku sudah tiba saat pendidikanku. Aku harus ikut Lobu pagi hari berikutnya untuk diperkenalkan kepada para guru. Setelah itu Hatsumomo akan membawaku ke tempat yang disebut “kantor pendaftaran” yang belum pernah kudengar, dan kemudian sorenya aku akan mengamatinya berdandan dan

195

memakai kimononya. Sudah tradisi Okiya, seorang gadis pada hari pertama pendidikannya, mengamati geisha paling senior di Okiya-nya.” (hlm. 57)

Dalam dua tahun semenjak Ibu menghentikan pelajaran- pelajaranku, aku banyak melupakan apa yang sudah kupelajari. Dan waktu itu pun belum banyak. Hlm 152)

Bentuk kerja keras yang dilakukan Sayuri, seperti kutipan

berikut.

“Semua geisha memang harus belajar menari, tetapi seperti kataku tadi, hanya yang menjanjikan dan menariklah yang didorong untuk mendalami dan meneruskan menjadi penari yang sesungguhnya, dari pada menjadi pemain shamisen atau penyanyi. Sayangnya, alasan kenapa Labu, dengan wajahnya yang bundar dan lembut, menghabiskan begitu banyak waktunya berlatih memetik shamisen adalah karena tidak terpilih menjadi penari. Sedangkan aku, aku tidak begitu cantiknya sehingga tidak diberi pilihan lain kecuali menari, seperti Hatsumomo. Tampaknya bagiku, aku akan menjadi penari hanya kalau bisa menunjukkan mungkin bila diperlukan.” (hlm 163)

“Aku tak akan berkata aku punya bakat alam tertentu, menari atau apapun, tetapi aku jelas bertekad bulat berusaha keras untuk mewujudkan cita-citaku. Sejak bertemu Ketua di jalan musim semi dulu itu, tak ada yang lebih ku inginkan daripada menjadi geisha dan menemukan tempatku sendiri di dunia. Sekarang setelah Mimeha memberiku kesempatan itu, aku bertekad untuk menggunakannya sebaik-baiknya.” (hlm. 165)

f) Semangat Hidup (Optimis)

Tokoh Sayuri bisa dikatakan sebagai wanita yang mempunyai

semangat hidup tinggi, sehingga ia mempunyai tujuan hidup yang

jelas, seperti kutipan berikut.

“Kupandang kepergiannya dengan perasaan sakit di hati meskipun sakit yang menyenangkan, kalau hal semacam itu ada. Aku ingin mengatakan bahwa jika kau mengalami sore

196

yang lebih menyenangkan daripada yang pernah kaualami seumur hidupmu, kau akan sedih jika ini berakhir, tetapi kau toh masih bersyukur ini telah terjadi. Dalam pertemuan singkat dengan Ketua, aku telah berubah dari gadis tersesat yang menghadapi hidup penuh kekosongan menjadi gadis yang memiliki tujuan hidup. Mungkin kedengarannya aneh bahwa pertemuan biasa di jalan bisa membawa perubahan semacam itu. Tapi kadang-kadang hidup memang seperti itu, bukan? Dan aku benar-benar yakin bahwa jika kau berada di sana untuk melihat apa yang kulihat dan merasakan apa yang kurasakan, hal yang sama mungkin saja terjadi padamu.” (hlm. 123)

Keinginan Sayuri untuk menjadi geisha, seperti kutipan berikut.

“Sekarang aku memahami hal yang semula tak kusadari. Tujuannya bukan bagaimana menjadi geisha, tetapi menjadi geisha. Bagaimana menjadi geisha ….. yah, itu tak bisa dijadikan tujuan hidup. Tetapi menjadi geisha ….. aku sekarang bisa melihatnya sebagai batu loncatan untuk sesuatu yang lain. Jika terkaanku tentang usia Ketua benar, dia tak mungkin lebih dari empat puluh lima tahun. Banyak geisha yang sudah sukses besar saat mereka berusia dua puluh tahun. Si geisha Izuko itu sendiri mungkin tak lebih dari dua puluh lima tahun. Aku masih anak-anak, hampir dua belas tahun lagi aku akan berusia dua puluhan. Dan bagaimana dengan Ketua ? Saat itu dia tidak akan lebih tua dari Tuan Tanaka sekarang.” (hlm. 124)

Bentuk semangat hidup Sayuri, tampak seperti berikut.

“Ketika membuka mata, aku masih bisa mendengar bisingnya lalu lintas di Jalan Raya Higashi-Oji. Pepohonan berdesau ditiup angin seperti sebelumnya. Tak ada yang berubah. Apakah para dewa mendengar doaku, aku tak bisa tahu. Tak ada yang bisa kulakukan selain menyisipkan sapu tangan Ketua di dalam bajuku dan membawanya pulang ke okiya.” (hlm. 124)

Sayuri dengan semangat hidup yang tinggi, maka tujuan hidupnya tercapai yaitu menjadi geisha yang terkenal dan kaya.

197

g) Rela Berkorban

Rela berkorban adalah sikap bersedia mengorbankan dirinya

untuk kebutuhan atau kepentingan orang lain atau bersedia dengan

ikhlas hati menyatakan kebaktian, dan kesetiaan. Pengertian yang

lebih substansial dari rela berkorban adalah mendahulukan

kepentingan yang lebih umum dari pada kepentingan pribadi demi

mencapai tujuan luhur dan mulia.

Sayuri termasuk wanita yang mau rela berkorban untuk

kepentingan orang lain, seperti kutipan berikut.

“Saya tidak bisa melakukannya, Hatsumomo-san!” seruku. “Sayang sekali nak,” kata temannya kepadaku. “Karena kalau kau membuat Hatsumomo menyuruhmu sekali lagi, kau akan kehilangan kesempatan menemukan kakakmu.” “Oh, diam, Korin. Chiyo tahu dia harus melakukan apa yang kuperintahkan. Tulis sesuatu di kain, nona bodoh. Aku tak peduli apa.” “Ketika kuas pertama kalinya menyentuh kain. Korin sedang sekali sampai dia memekik membangunkan salah seorang pelayan, yang melonok ke lorong dengan kain menyelungkup kepalanya dan kimono tidurnya menjuntai di sekelilingnya. Hatsumomo menghentakkan kaki dan bergerak seakan mau menyerang, seperti kucing dan ini cukup membuat si pelayan kembali ke futon-nya. Korin tidak puas dengan beberapa goresan ragu-ragu yang kubuat pada sutra hijau lembut itu, jadi Hatsumomo memberikan instruksi di mana aku harus mencoret dan coretan bagaimana yang harus kubuat. Semuanya tak ada artinya. Hatsumomo hanya mencoba artistic dengan caranya sendiri. Sesudah itu dia melipat kembali kimono itu, membungkusnya dengan kertas linennya, dan mengikatnya lagi. Dia dan Korin melangkah ke pintu depan untuk memakai kembali zori mereka. Ketika mereka membuat pintu luar, Hatsumomo menyuruhku ikut.” (hlm. 79-80)

198

h) Cerdik

Pengertian cerdik yaitu banyak akal dan bisa menghadapi

situasi apa saja dan keluar dari masalah-masalah yang ada. Mereka

dapat menguasai lawannya dengan kata atau tingkah lakunya.

Kutipan berikut memperlihatkan kecerdikan yang dimiliki tokoh

utama Sayuri.

Sementara itu aku mencari cara untuk membalas kekejaman Hatsumomo dan Nenek. Hatsumomo kubalas dengan kotoran merpati setiap kali aku bertugas membersihkannya dari undakan di halaman. Kucampur kotoran merpati itu dengan krim wajahnya. Krim ini sudah mengandung kotoran burung bulbul, seperti telah kuceritakan, jadi mungkin tak akan mencelakakannya, tetapi ini membuatku puas. (hlm. 86-87)

Kecerdikan tokoh utama terlihat pada kutipan di atas, ketika

Sayuri ingin membalas dendam kekejaman Hatsumomo dan Nenek.

Pembalasan dengan Sayuri ini meskipun tidak menimbulkan bahaya,

tetapi puas.

Kecerdikan Sayuri dapat dilihat juga, seperti pada kutipan

berikut.

Aku tak bisa menemukan cara membalasnya sampai suatu hari aku melihatnya mengejar tikus sepanjang lorong sambil membawa palu. Ternyata dia benci sekali pada tikus, lebih daripada kucing membenci tikus. Maka aku mengumpulkan kotoran tikus dari bawah fondasi rumah utama dan menebarkannya di sana-sini di dapur. Suatu hari aku bahkan mengambil sumpit dan melubangi bagian bawah karung beras, sehingga dia terpaksa mengeluarkan seluruh isi lemari dan mencari-cari tikusnya. (hlm. 87)

199

Kutipan di atas menggambarkan kecerdikan Sayuri karena

ingin membalas dendam kepada Nenek.

2) Aspek Sosial

a) Masyarakat Kelas Bawah

Masyarakat kelas bawah bisa dikatakan juga sebagai orang

miskin. Kehidupan kelaurga Sayuri termasuk masyarakat kelas bawah,

seperti kutipan di bawah ini.

“Nah, Sakamoto-san, bagaimana usul saya tadi?” “Saya tidak tahu Tuan,” kata ayahku. “Tak bisa saya bayangkan anak-anak itu tinggal di tempat lain.” “Saya mengerti, tetapi keadaan mereka akan lebih baik, dan Anda juga. Suruhlah mereka ke desa besok sore.” (hlm. 26)

Oleh karena kemiskinan Sakamoto-san menjual anaknya ke

Tuan Tanaka untuk dijadikan geisha. Di samping kemiskinan keluarga

Sayuri, dapat ditemukan pada kutipan berikut.

“Saya tidak punya uang, Dokter,” kata ayahku. “Kita semua menjadi lebih miskin belakangan ini. Aku mengerti kesulitanmu. Tapi kan harus menghargai istrimu. Kasihan kalau dia meninggal memakai kimono compang-camping.” (hlm. 16)

b) Bangsa Jepang

Sayuri (Chiyo) bisa dikatakan orang Jepang aslli yang turun-

temurun nenek moyangnya lahir di Jepang. Tokoh utama dalam novel

Memoirs of A Geisha merupakan orang Jepang asli, seperti kutipan di

bawah ini.

200

Aku tidak lahir dan dibesarkan menjadi geisha. Aku anak nelayan dari kota kecil bernama Yoroido di Laut Jepang. Sepanjang hidupku belum pernah aku memberitakan lebih dari segelintir orang tentang Yoroido atau rumah tempat aku dibesarkan, atau tentang ibu dan ayahku, atau kakak perempuanku, dan tentu saja tidak tentang bagaimana menjadi geisha atau rasanya menjadi geisha. (hlm. 11)

3) Aspek Fisik

a) Kuat

Dalam pengertiannya kuat adalah tidak menyerah atau tidak

terkalahkan. Tokoh Sayuri dalam novel Memoirs of A Geisha memiliki

kekuatan fisik yang baik, seperti kutipan di bawah ini.

Ini pekerjaan yang mengerikan, karena kami tak mampu membeli bahan bakar kecuali tendon, semacam bubuk bata bara yang direkat dengan ter. Kau tak bisa membayangkan baunya waktu tendon terbakar. Tangan penariku yang halus, yang dulu kurawat dengan krim yang bagus sekarang mulai mengelupas seperti kulit bawang dan berwarna kebiru-biruan seperti memar. (hlm. 384)

b) Cantik

Dalam pengertiannya cantik adalah indah, permai, dan menarik.

Sayuri sebagai tokoh utama dilukiskan sebagai wanita cantik.

Pelukisan fisik Sayuri tersebut, seperti kutipan di bawah ini.

“Astaga! Luar biasa sekali matamu. Kamu cantik! Ibu akan senang. Dalam kasus ini nama dan gadisnya selaras. Kurasa dia lebih cantik darimu.” (hlm. 44)

Selain kutipan di atas, pelukisan fisik Sayuri juga dapat dilihat

pada kutipan berikut.

201

“Nah, ini yang sudah kita semua tunggu-tunggu!” katanya. “Anak cantik ini Sayuri dari dusun, yang suatu hari nanti mungkin menjadi “Sayuri hebat dari Gion”. Kalian tak akan pernah lagi melihat mata seperti matanya, bisa kupastikan. Dan tunggu saja sampai kalian liat dan bergerak…… aku mengundangmu kemari, kemari, Sayuri semua laki-laki punya kesempatan memandangmu, jadi kau punya tugas penting.” (hlm. 279)

Tokoh Ketua

1) Aspek Psikologis

a) Pandai

Tokoh Ketua oleh pengarang dilukiskan sebagai dilukiskan

sebagai tokoh yang pandai dan sukses mengelola permasalahan,

seperti kutipan di bawah ini.

“Ketua orang yang sangat brilian,” kata Nobu. Dia payah soal sumo karena dia tidak peduli. Dia bahkan tak akan ada di sini sekarang kalau tidak berbaik hati bersedia menerima proposalku agar Iwamura Elektrik menjadi sponsor pertandingan.” (hlm. 221)

b) Di balik kesuksesan sebagai pengusaha, Ketua oleh pengarang

dilukiskan sebagai orang tidak berani memperjuangkan cintanya,

seperti kutipan di bawah ini.

“Memang Sayuri seorang geisha. Akan tetapi, mendengarkan….. Apalagi dengan perasaan panik aku hanya membiarkan waktu berlalu.” (hlm. 78)

202

2) Aspek Sosiologis

a) Pengusaha Sukses

Oleh karena kepandaiannya itu, dalam usia yang masih muda

ia berhasil mendirikan perusahaan dengan temannya pada tahun 1912.

Kesuksesan Ketua dalam mengelola perusahaan seperti kutipan di

bawah ini.

Selama beberapa tahun keadaan sulit. Kemudian pada tahun 1914, perusahaan baru Ketua memenangkan tender pemasangan kabel untuk bangunan baru di pangkalan militer di Osaka. (hlm. 224)

Perusahaannya diberi nama Iwamura Elektrik dalam waktu dua

tahun sudah berhasil memenangkan tender besar. Hal ini merupakan

bukti bahwa permasalahannya dapat dikatakan berhasil dan oleh

pengarang dilukiskan secara langsung.

3) Aspek Fisiologis

Ketua memiliki wajah yang lebar, berpenampilan tenang, dan

berpenampilan elegan, seperti kutipan di bawah ini.

Laki-laki yang menyapaku di jalan itu memiliki wajah yang sama lebar dan sama-sama tenangnya. Lebih-lebih lagi wajahnya begitu halus dan tulus. Aku punya perasaan dia akan berdiri terus dengan tenang di situ sampai aku tidak sedih lagi. Usianya mungkin sekitar empat puluh lama tahun, dengan rambutnya yang beruban disisir ke belakang. Tapi aku tak bisa lama-lama menatapnya. Dia tampak begitu elegan bagiku, sehingga pipiku memerah dan aku memalingkan muka. (hlm. 120)

203

e. Latar

Fiksi adalah dunia dalam kata yang didalamnya terjadi pula kehidupan

yaitu kehidupan para tokoh dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Oleh karena

itu maka peristiwa-peristiwa yang terjadi agar lebih realistis dan ke seperti

kehidupan harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu.

Latar dalam novel ini terdiri dari tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu,

dan sosial. Ketiga unsur tersebut meskipun masing-masing menawarkan

permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan sendiri, tetapi pada

kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Berikut ini rincian

latar dalam novel Memoirs of A Geisha.

1) Latar Waktu

Latar waktu dalam novel Memoirs of A Geisha adalah sebelum dan

sesudah Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1930 yang disebut zaman

Malaise sampai dengan tahun 1956. Pengarang dalam novel ini, latar

waktu diungkap secara rinci karena fokus dalam novel ini adalah

pengalaman kehidupan geisha dari tahun 1930 sampai selesai Perang

Dunia II, seperti kutipan di bawah ini.

Di Jepang kami menyebut tahun-tahun dari Zaman Malaise sampai Perang Dunia II sebagai kuraitani lembah kegelapan, ketika begitu banyak orang hidup seperti anak-anak yang kepalanya terbenam di bawah ombak seperti yang terjadi di Gion tidak menderita separah yang lain. Sementara sebagian besar orang Jepang hidup dalam kelembahan kegelapan sepanjang tahun 1930-an. (hlm. 364)

Perang berakhir kami dalam bulan Agustus 1945. Hampir semua orang yang tinggal di Jepang selama masa ini akan mengatakan kepadamu bahwa saat ini merupakan saat paling suram dalam malam panjang yang gelap gulita. (hlm. 382)

204

2) Latar Tempat

Latar tempat dalam novel Memoirs of A Geisha berada di Kyoto,

Yoroido, Gion, dan New York.

a) Yoroido

Yoroido, yaitu kota kecil di Jepang yang merupakan tempat

tinggal Chiyoi dengan kedua orang tuanya.

Aku anak nelayan dari kota kecil yang bernama Yoroido di Laut Jepang. Sepanjang hidupku belum pernah aku memberitahu lebih dari segelintir orang tentang Yoroido ataupun rumah tempat aku dibesarkan atau tentang ibu dan ayahku, atau kakak perempuanku. (hlm. 11)

b) Kyoto

“Kyoto” Tuan Bekhu menjawab. Mendengar ini aku cemas sekali. Aku tak lagi berani menatap mata Satsu. Bagiku Kyoto sama asingnya seperti Hongkong atau bahkan New York yang pernah kudengar dibicarakan Dr. Miura, jangan-jangan mereka menggiling daging anak- anak di Kyoto. (hlm. 12)

c) New York

Sejak pindah ke New York aku jadi tahu apa sesungguhnya arti kata geisha bagi kebanyakan orang Barat. Dari waktu ke waktu di pesta-pesta elegan, aku diperkenalkan pada wanita muda dengan pakaian dan perhiasan indah. Ketika dia tahu aku penah menjadi geisha di Kyoto, bibirnya membentuk semacam senyum meskipun sudut-sudutnya tidak terangkat seperti seharusnya. (hlm. 318)

d) Latar Sosial

Latar sosial adalah lukisan status yang menunjukkan hakikat tokoh

dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dalam novel Memoirs of A

205

Geisha, latar sosial dengan kehidupan tokoh utama sebagai geisha. Sayuri

sebagai tokoh utama berasal dari keluarga nelayan yang miskin. Sayuri

menganggap pekerjaan geisha adalah pilihan hidupnya. Ia berjuang keras

dalam bekerja, sehingga ia berhasil menjadi geisha yang terkenal dan

kaya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar dalam novel

ini meliputi latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar dalam novel

Memoirs of A Geisha mengacu kepada latar perkotaan kecil dan perkotaan

besar. Seperti Yoroido, Kyoto, Jepang, dan New York serta Perang Dunia II.

Melalui ketiga kota dan perang, terjadinya peristiwa tercermin pada

masyarakat, tingkah laku, suasana dan hal-hal lain yang berpengaruh pada

tokoh dan karakternya.

f. Point of View

Point of view atau sudut pandang cerita mengacu pada cara sebuah

cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang

digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh,

latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada

pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat

yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan

ceritanya.

Memilih pusat pengisahan berarti memilih hubungan atau relasi antara

pencerita (pengarang) dan ceritanya di mana pengarang berdiri. Secara singkat

dapat dikatakan dari mana cerita itu dilukiskan.

206

Mulai dari awal sampai akhir, pemakaian sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang akuan. Di bawah ini adalah beberapa kutipan mengenai sudut pandang tersebut.

“Aku tidak lahir dan dibesarkan untuk menjadi geisha Kyoto. Aku anak nelayan dari kota kecil bernama Yuraido di Laut Jepang. Sepanjang hidupku belum pernah aku memberitahu lebih dari segelintir orang tentang Yuraido ataupun rumah tempat aku dibesarkan atau tentang ibu dan ayahku atau kakak perempuanku.” (hlm. 11)

“Kukatakan aku akan senang sekali. Dan sebisa mungkin aku bersikap seakan tak ada orang yang baru saja mengusulkan sesuatu yang luar biasa. Tetapi di dalam kepalaku seakan terjadi ledakan. Pikirannya pecah berkeping-keping, tak dapat kusatukan kembali. Tentu saja sebagian dari diriku mengharap aku diadopsi Tuan Tanaka setelah ibuku meninggal, tetapi bagian lain diriku takut sekali. Aku merasa malu sekali membayangkan aku tinggal di tempat lain selain rumah- mabukku.” (hlm. 26)

Selama beberapa bulan di Gion, aku beruntung membayangkan bahwa pasti ada transaksi sebelum Satsu dan aku diambil dari rumah kami. Aku sering memikirkan percakapan yang tak sengaja kudengar antara Tuan Tanaka dan ayahku, dan tentang Bu Gelisah yang mengatakan Satsu dan aku “cocok”. Dengan ngeri aku bertanya-tanya sendiri apakah Tuan Tanaka memperoleh uang dengan membantu menjual kami, dan berapa harga kami. Tapi tak pernah kubayangkan bahwa aku sendiri yang harus membayarnya. (hlm. 27)

Jika kau memintaku, sewaktu aku masih gadis muda, untuk memberitahuku titik balik hubunganku dengan Hatsumomo, aku akan berkata itu adalah mizuage-ku. Tetapi meski benar mizuageku mengangkatku ke rak tinggi sehingga Hatsumomo tak bisa lagi menjangkauku, dia dan aku mungkin akan terus hidup berdampingan sampai kami berdua tua, jika tak ada lagi yang terjadi di antara kami. Itulah sebabnya, titik balik yang sebenarnya, seperti yang sejak itu kusadari, terjadi ketika Hatsumomo membaca buku harianku, dan aku menemukan bros obi yang menurut tuduhannya telah kucuri. (hlm. 255)

Pada kutipan-kutipan di atas tampak si “aku” menjadi tokoh utama dan tokoh psikologis. Hal ini membuat pembaca menjadi benar-benar terlibat.

207

Pembaca akan mengidentifikasikan aku dapat dipergunakan untuk melukiskan

dan membeberkan berbagai pengalaman kehidupan manusia yang paling

dalam.

2. Struktur Novel Kembang Jepun

a. Tema

Untuk menuju pada kesimpulan tentang tema novel Kembang Jepun

terlebih dahulu dikemukakan beberapa hal setelah membaca novel tersebut,

yaitu :

1) pengarang ingin menyampaikan tentang budaya tradisional Jepang khusus

geisha di Indonesia. Geisha sebagai salah satu simbol budaya tradisional

Jepang yang eksotis. Selain sebagai simbol tradisional dari sebuah

komunitas bangsa, secara khusus geisha juga telah menjadi representasi

dari perempuan yang menjadi atribut dari dominasi budaya tradisional

yang patriallis. Pemunculan atau penyajian tradisionalisme Jepang

melalui geisha akan identik dengan sosok berbaju kimono, bersanggul,

bermake-up tebal dan berperilaku pendiam dan lemah lembut di hadapan

pria.

2) pengarang ingin menyampaikan cinta yang penuh pengorbanan. Hal ini

terbukti melalui tokoh utama bernama Keiko (Keke). Keiko berani datang

ke markas Jepang seorang diri untuk menemui suaminya, dan rela

berkorban demi membebaskan suaminya dari tawanan Jepang yang saat

itu sedang berkuasa. Keiko sangat mencintai suaminya (Cak Broto)

meskipun dengan pengorbanan yang besar, seperti kutipan di bawah ini.

208

“Saya bersedia kau apakan saja atas diri saya. Kalau kau mau pakai tubuh saya, lakukanlah sekarang, tapi bebaskan dia.” (hlm. 200)

Dari kutipan di atas, dapat kita lihat pengorbanan Keiko demi cintanya

pada Cak Broto cukup besar. Keiko rela memberikan tubuhnya untuk

ditiduri, tidak hanya itu, dia juga rela diperlakukan bagaimanapun asal

suaminya bebas sebagai tawanan tentara Jepang.

3) pengarang ingin memaparkan kehidupan geisha di Surabaya (Jawa

Timur). Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun adalah Keiko. Keiko

(Keke) sebagai gadis kecil dari Minahasa dijual kakaknya (Jantje) untuk

dijadikan geisha. Tokoh utama ini diceritakan sebagai seorang wanita

(geisha) dengan perjalanan hidup yang cukup tragis. Sepanjang hidupnya,

Keiko telah melihat dan merasakan ketidakadilan yang terjadi pada

wanita, ketidakbebasan wanita untuk menentukan hidupnya sendiri. Ia

memperjuangkan hidupnya melawan penjajahan Jepang yang

diperlihatkan melalui perbuatannya. Ia dijajah, dianiaya, diperkosa, dan

dipaksa untuk mati, tapi tak pernah merasa kalah, tak pernah binasa. Ia

terus berjuang dalam menjalani hidup, dari kehampaannya sebagai geisha

di Shinju, diselundupkan ke Jepang, hingga kembali ke tanah

kelahirannya Manado, dan akhirnya ia menemukan kembali

kebahagiannya setelah dipertemukan lagi dengan suaminya yang sempat

mempunyai istri lagi ketika mereka berpisah. Masalah yang satu ke

masalah yang lain berhasil ia lalui.

209

Untuk menentukan tema utama dan tema sampingan terlebih dahulu

dipertimbangkan ketiga permasalahan di atas. Permasalahan pertama,

pengarang menyampaikan salah satu simbol budaya tradisional yang eksotis

yaitu geisha. Kedua, cinta penuh pengorbanan. Ketiga, kehidupan seorang

geisha. Jadi, tema utama dalam novel Kembang Jepun cenderung pada

permasalahan ketiga yaitu tentang kehidupan seorang geisha.

b. Amanat

Amanat yang terdapat di dalam novel Kembang Jepun, yaitu untuk

mencapai kebahagiaan harus bekerja keras karena tanpa bekerja keras apa

yang diharapkan tidak akan tercapai. Manusia harus menyadari bahwa yang

bisa mengubah nasibnya adalah dirinya sendiri. Orang yang mau berjuang dan

bekerja keras, pasti suatu saat akan memperoleh kebahagiaan sesuai dengan

apa yang diharapkan.

Salah satu bentuk bekerja keras, yang dilakukan oleh Keiko, seperti

kutipan berikut.

Di sini akhirnya saya sadar, bahwa tanpa bekerja, saya tidak akan makan. Sama sekali ini bertolak belakang dengan niat saya semula, bahwa saya bertahan tinggal di sini, sebab saya telah menyediakan hidup untuk bertemu ajal di sini. Dengan bekerja, dan menyadari kemauan untuk itu, maka tanpa sadar saya telah memiliki keinginan untuk hidup. (hlm. 283)

Penggalan kutipan di atas memperliharkan wujud sikap kerja keras

yang dimiliki oleh tokoh utama. Awalnya tokoh Keiko tidak menghendaki

untuk terus bisa hidup di dalam hutan seorang diri, akan tetapi secara tidak

sadar, Keiko mulai melakukan perbuatan yaitu bekerja. Ternyata dengan

210

bekerja bisa membantu Keiko untuk lebih menikmati hidupnya. Keiko

mengakui karena pekerjaannya maka tanpa disadari keinginan untuk hidup itu

muncul, dan ia terus melakukan kegiatannya sampai ia tua.

c. Alur

Novel Kembang Jepun ini menggunakan alur progresif atau alur maju.

Dalam alur progresif, penceritaan dimulai dari tahap eksposisi, komplikasi,

rising action, klimaks, dan berakhir denounement. Berikut ini tahapan alur

novel Kembang Jepun.

1) Tahap Eksposisi

Tahap ini pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian

cerita, waktu, tokoh-tokoh cerita, dan permasalahan sebagai sumber

konflik diantara tokoh-tokoh.

Awal cerita dikisahkan asal tokoh utama bernama Keiko. Ia gadis

kecil berusia 9 tahun berasal dari desa Maliku (Manado). Keiko dan

kawan-kawannya berhasil dibawa Jantje ke Surabaya dengan alasan

disekolahkan di Jawa. Keberhasilan Jantje disebabkan oleh orang

Minahasa sangat menghormati serdadu Belanda dan pergi ke Jawa bagi

mereka adalah impian. Akan tetapi setelah sampai di Surabaya, Keiko dan

teman-temannya dijual ke Kotaro Takamura untuk dijadikan geisha,

seperti kutipan berikut.

“Tidak! Tidak bisa! Saya rugi. Ongkos kapal mereka dihitung dewasa bukan setengah. Baik,” kata Kotaro Takamura setelah berpikir cepat. “Saya bayar adik Tuan dengan harga tiga orang yang tidak saya terima itu? Tidak bisa. Saya akan bawa adik saya ke Batavia,” kata Jantje tegas. Akhirnya Kotaro Takamura

211

berhasil sebagai pedang mempermainkan Jantje. “Saya baru dapat kabar, bulan edpan akan datang dua orang geisha dari Jepang. Jadi kalau Tuan tidak jadi melepaskan mereka, saya bersabar menunggu dua dari Jepang itu,” kata Kotaro Takamura. Jantje gelisah. Ia bangkit dari duduknya. Berputar sebentar di ruang itu, dan sempat memandang saya. Lalu kembali duduk lagi. Ia sudah termakan oleh gertak Kataro Takamura. “Ya sudah, ambillah semuanya,” kata Jantje akhirnya.

Berdasarkan uraian di atas, tahap awal novel Kembang Jepun

benar-benar menunjukkan suatu awal cerita. Bagian awal ini memiliki

fungsi ekspositoris dan mampu memberikan gambaran kepada pembaca

terhadap arah gerak cerita selanjutnya.

2) Tahap Complication (Peristiwa mulai bergerak)

Pada tahap ini, cerita mulai berkembang ketika Keke sudah

masuk sekolah pendidikan geisha. Selama sekolah ini, Keke sering

mendapat kekerasan-kekerasan, seperti kutipan berikut.

“Untuk sementara memang perlakuan Yoko hanya terbatas pada menyabet mulut dengan rotan. Siapa tahu di luar batas ini ia punya kecenderungan lain. Di usia semuda ini memang saya belum punya pengalaman mencurigai orang. Tapi saya percaya, seperti juga sering kali saya memutuskan sesuatu yang tidak saya rencanakan bahwa dalam hidup ini manusia dapat berubah atau menyesuaikan diri dengan keadaan tanpa diskuainya sekalipun.” (hlm. 29)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa Keke dapat

menerima kekerasan-kekerasan yang dilakukan Yoko. Cerita terus

berkembang dan maju pada tahap berikutnya, yaitu tahap rising action.

212

3) Tahap Rising Action

Pada tahap ini pengarang menampilkan tokoh Keke yang sudah

berusia 14 tahun. Pada usia ini Keke harus menyerahkan keperawanannya

kepada Kotara Takamura sebagai suatu pengabdian, seperti kutipan

berikut.

“Usia saya pun genap 14 tahun. Saya berikan keperawanan saya kepada Kotaro Takamura, dan saya telah terbina untuk menanggapnya suatu pengabdian, karena pada saat itu saya telah memulai berpikir sebagai seorang wanita yang menjadi penting karena tugasnya sebagai geisha adalah diingatkan dengan pekerjaan, pelayanan, kepasrahan, dan keindahan.” (hlm. 36)

Peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat diharapkan Keke

karena dengan peristiwa itu, Keke resmi menjadi geisha dengan nama

Keiko.

4) Tahap Klimaks

Pada tahap ini pengarang menampilkan tokoh seorang wartawan

bernama Tjak Broto. Dengan tampilnya tokoh Tjak Broto cerita semakin

berkembang dan memuncak, misal Tjak Broto dan Keiko saling jatuh

cinta dan mereka berniat akan menikah, seperti kutipan berikut.

“Betul?” katanya. “Betul,” kata saya. “Kita akan tinggal satu rumah satu atap. Makan bersama-sama. Bersenang bersama-sama. Memecahkan kesulitan bersama- sama.” (hlm. 113)

Akhirnya mereka menikah meskipun tanpa restu orang tua dan

Keiko harus meninggalkan pekerjaan sebagai geisha. Ini mereka lakukan

karena Tjak Broto dan Keiko saling mencintai.

213

Peristiwa semakin berkembang ketika Tjak Broto ditangkap

Jepang dan dipenjara. Hal ini terjadi karena ia dituduh terlibat

pemberontakan PETA di Blitar. Akibat peristiwa ini Keiko harus

memperjuangkan hidup dan cintanya kepada Tjak Broto. Ia dipijak,

dianiaya, diperkosa, dan dipaksa untuk mati tetapi tak pernah mau.

Perjuangan Keiko berhasil dan Tjak Broto bisa bebas. Akan tetapi Keiko

masih harus berjuang dalam mengalami hidup dan kehidupannya seorang

geisha di Shinju, ia diselundupkan ke Jepang.

5) Denounement

Pada tahap berikutnya peristiwa menurun ketika Keiko berhasil

kembali lagi ke tanah kelahirannya Manado. Akhirnya ia menemukan

kembali kebahagiaannya setelah dipertekukan lagi dengan suaminya yang

sempat mempunyai istri lagi ketika mereka berpisah. Masalah yang satu

ke masalah yang lain berhasil ia lalui. Mereka hidup bersama pada hari

tuanya. Bagian ini merupakan penyelesaian cerita.

d. Penokohan dan Perwatakan

Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun adalah Keiko. Hal ini dapat

dibuktikan dengan pemunculan tokoh Keiko yang mendominasi cerita, tokoh

yang banyak dikenai masalah, serta tokoh yang menjadi penghubung bagi

tokoh lain yang terdapat dalam novel Kembang Jepun karya Remy Sylado.

Perwatakan tokoh dalam penelitian ini dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek

psikologis, aspek fisik, dan aspek sosial. Aspek psikologis mewakili perasaan-

214

perasaan, pandangan-pandangan, kemauan, dan sifat tokoh utama. Aspek psikologis dalam penelitian ini adalah jujur, percaya diri, setia, mandiri, pekerja keras, rela berkorban, dan berani. Aspek fisik menggambarkan ciri- ciri fisik dan usia seorang tokoh, sedangkan aspek sosial mewakili status dan asal-usul tokoh. Dalam penelitian ini aspek sosial lebih spesifik yaitu masyarakat kelas bawah.

1) Aspek Psikologis

a) Jujur

Jujur merupakan kesesuaian antara ucapan dengan kenyataan,

atau antara keadaan yang terlihat dengan keadaan yang tersembunyi.

Jika seseorang mengucapkan perkataan sesuai dengan apa yang

terdapat di dalam hatinya dan dibuktikan dengan perbuatannya, dia

dikatakan orang jujur. Dalam novel Kembang Jepun, tokoh utama

Keiko terlihat mempunyai sikap jujur tersebut. Hal ini ditujukan dalam

kutipan novel di bawah ini.

Pada bulan yang lain, Tjak Broto datang lagi. Begitu ia jumpa dengan saya, ia langsung berkata sesuatu yang sebetulnya sama dengan saya. “Kau terus terbayang-bayang dalam pikiran saya,” katanya. “Sama,” kata saya dengan lugu dan barangkali juga jujur. (hlm. 49)

Wujud kejujuran tokoh Keiko juga dapat dijumpai pada kutipan

berikut.

“Saya kira saya sudah berubah jadi arc, dipancung putus, tidak mancurkan darah.” “Sama,” kata saya.

215

Ia kurangi latar senyum di wajahnya. Pikirannya dirangsang sukacita. Namun ia menawan. “Betul?” Cepat saya mengangguk. Sebab saya yakin betul isi hati sendiri, “Ya,” kata saya. Kejujuran seperti ini memang langka. (hlm. 94)

b) Sabar

Sabar diartikan sebagai sikap tabah, yaitu ketabahan yang

dimiliki seseorang dalam menghadapi permasalahan hidup yang

terjadi. Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun diciptakan

pengarang sebagai sosok pribadi yang tegar. Cobaan dan rintangan

yang menimpanya selama berada di Shinju seperti diperkosa, dianiaya,

diinjak-injak harkat martabatnya, dilalui dengan ketabahan dan

ketegaran jiwa. Kesabaran yang dimiliki tokoh Keiko disampaikannya

dalam kutipan berikut.

Pertanyaan itu segera memukul saya. Rasa takut pada kenyataan tentang kata-kata “apakah” yang telah mengganggu pikiran saya, terucapkan dalam lisan pada Mbah Soelis. “Tjak Broto sudah kawin, Mbah?” Saya tidak sadar betapa egoisnya pertanyaan ini. Mbah Soelis tidak segera menjawab. Dan saya harus mengerti ketidaksegeraan ini. Saya pun harus mengerti apa arti matanya menatap dengan diam. Jika begitu, saya tidak perlu mendengar jawaban. Tapi toh akhirnya Mbah Soelis menjawab. “Ya,” katanya. “Orang Sunda.” Saya tertunduk. Mencoba ikhlas. “Memang harusnya begitu,” kata saya. Padahal dalam hati saya menangis. (hlm. 264)

c) Mandiri

Menurut pengertian, mandiri adalah suatu keadaan seseorang

yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.

Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah

216

yang dihadapi. Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-

tugasnya, bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan. Hal

tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Bapak-bapak bersepatu putih yang duduk di sebelah saya menawarkan jasa mengantar ke penginapan atau ke rumahnya, berkenalan dengan istri dan anak-anaknya, tapi saya tidak memanjakan diri atas uluran tangan itu. (hlm. 262)

Di samping bentuk kemandirian, dapat ditemukan pada kutipan

berikut.

Sudah 25 tahun saya hidup terasing atas mau sendiri. Sebatang kara namun tak sendiri. Binatang-binatang sekitar belukar adalah makhluk-makhluk lain selain saya yang hidup di lereng ini. (hlm. 295)

d) Percaya Diri

Percaya diri merupakan sikap tidak tergantung pada orang lain,

tegas dan konstan (tidak berubah-ubah), cepat menentukan sikap,

mengambil keputusan dengan perhitungan dan keputusan yang matang

dan memiliki sikap yang persuasive sehingga memperoleh banyak

dukungan atau percaya diri dapat juga didefinisikan sebagai perilaku

yang menunjukkan keyakinan pada kemampuan dan penilaian diri

sendiri yang sering muncul dalam berbagai situasi untuk menghasilkan

sesuatu yang lebih baik. Sikap percaya diri yang dimiliki oleh tokoh

Keiko, salah satunya dapat diketahui dalam kutipan di bawah ini.

“Tapi sekarang saya orang Jepang. Dan orang Jepang nomor satu di dunia,” kata saya. (hlm. 42)

217

Untuk mencapai prestasi sebagai nomor satu di Shinju tentu saja

membutuhkan kepercayaan diri yang lain. Kepercayaan diri Keiko

juga muncul pada kutipan berikut.

“Saya berani mengatakan keyakinan saya, bahwa saya sudah mahir untuk kouta dan nagauta, sebab ketika saya memainkan itu, saya lihat wajah Kotaro Takamura begitu puas, sementara Yoko hanya dingin.” (hlm. 33)

e) Setia (Tepat Janji)

Kata setia berarti tetap melakukan sesuatu bagaimanapun berat

dan susahnya, berpegang teuh pada perjanjian. Kesetiaan yang

dimaksudkan dalam konteks tokoh utama Keiko adalah dalam

hubungan pribadinya dengan Tjak Broto, yaitu menunggu untuk bisa

bertemu kembali dengan orang yang sangat dicintainya itu. Hal

tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Saya sangat putus asa, sangat tertekan, sangat sengsara, dan hidup tanpa hari depan, meskipun tetap juga berdoa agar perang jahanam ini segera berakhir, supaya saya bisa jumpa lagi dengan satu-satunya lelaki yang saya kasihi itu. (hlm. 221).

Sikap setia seperti yang terlontar dalam suara hati tokoh Keiko

di atas terjadi pada saat ia menjadi tawanan asmara Hiroshi Masakuni.

Sikap setia Keiko terhadap Tjak Broto tampak pada kutipan berikut.

Kembali ia melamun. Kata-kata Tjak Broto yang mengiring kalung itu tak pernah hilang dari ingatannya. “Itu jimat. Kalau kau berubah, kau akan ingat saya, dan saya akan juga ingat kau.” (hlm. 305)

218

f) Pekerja Keras

Menurut pengertiannya, pekerja keras yakni tidak mudah

menyerah, giat, tekun, dan ulet. Hal itu pulalah yang mencerminkan

bahwa sosok Keiko mempunyai sikap pekerja keras. Sikap pekerja

keras tokoh Keiko dalam novel Kembang Jepun ditunjukkan dari

semangat hidup sang tokoh utama. Hal tersebut dapat dilihat pada

kutipan novel berikut.

Di sini akhirnya saya sadar, bahwa tanpa bekerja, saya tidak akan makan. Sama sekali ini bertolak belakang dengan niat saya semula, bahwa saya bertahan tinggal di sini, sebab saya telah menyediakan hidup untuk bertemu ajal di sini. Dengan bekerja, dan menyadari kemauan untuk itu, maka tanpa sadar saya telah memiliki keinginan untuk hidup. (hlm. 283)

Di bawah ini adalah kutipan novel yang memperlihatkan kerja

keras Keiko di usia senjanya.

Tapi si Keke Tua kuat. Bangun pagi jam 05.00 senam sebisanya. Mandi. Dan sehabis mandi mengurus kebun. Menanam yang harus ditanam, mencabut yang harus dicabut. Pekerjaan ini ditekuni si Keke Tua sampai menjelang senja. (hlm. 295)

Penggalan kutipan di atas memperlihatkan sikap kerja keras

tokoh Keiko setelah mengalami keputusasaan hidup sepulang ia dari

Jepang, ternyata suaminya sudah menikah lagi. g) Optimis

Optimis merupakan perasaan yakin terhadap sesuatu yang baik

akan terjadi, yang akan memberi harapan positif serta menjadi

pendorong untuk berusaha ke arah yang lebih baik. Sikap optimis yang

219

dimiliki oleh tokoh Keiko dapat ditangkap dari kutipan yang

mengandung keyakinan berikut ini.

“Saya berani mengatakan keyakinan saya, bahwa saya sudah mahir untuk kouta dan nagauta, sebab ketika saya memainkan itu, saya lihat wajah Kotaro Takamura begitu puas, sementara Yoko hanya dingin.” (hlm. 33)

Bentuk keoptimisan yang dimiliki tokoh Keiko juga tampak

pada kutipan berikut.

Tapi mudah-mudahan saya bisa diperkuat oleh kepercayaan, bahwa ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit, ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk. (hlm. 247)

Kutipan di atas menyuarakan apa yang ada dalam perasaan

tokoh Keiko ketika ia disekap dan dibawa ke Jepang oleh Hiroshi

Masakuni. h) Rela Berkorban

Menurut pengertiannya, rela berkorban adalah orang yang mau

mengorbankan dirinya sendiri demi membahagiakan atau memenuhi

kebutuhan orang lain atau berarti seseorang yang berani

mempertaruhkan sesuatu untuk orang lain. Dari pengertian tersebut

sosok Keiko dalam novel Kembang Jepun mempunyai sikap atau jiwa

rela berkorban. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan novel di bawah ini.

“Saya bersedia kau apakan saja atas diri saya. Kalau kau mau pakai tubuh saya, lakukanlah sekarang, tapi bebaskan dia.” (hlm. 200)

220

Keiko bersedia diapakan saja, termasuk bila dia harus merelakan

tubuhnya untuk ditiduri oleh para tentara Jepang. Tidak hanya itu,

tokoh Keiko juga memperlihatkan jiwa rela berkorbannya pada

kutipan berikut.

Mereka semua terbengong-bengong melihat bagaimana saya begitu fasih mengucapkan kalimat marah dalam bahasa Jepang. Kobayashi malah menganga lama sebelum dengan takjib ia berkata, dalam bahasa Jepang, “Kau Jepang?” Dalam takjubnya, ia lengah. Pada saat itulah, seperti kemasukan, saya tembak dia dengan bedil yang baru kami rampas. Ajaib bahwa saya yang tidak pernah memegang bedil, tak pernah membidik atau menarik picu, dapat melakukannya sekarang. Saya gemetar. Merinding. Dan menutup mata. Dor! Toh peluru muntah dari larasnya dan bersarang di dada Kobayashi. (hlm. 196)

i) Cerdik

Pengertian cerdik yaitu banyak akal dan bisa menghadapi situasi

apa saja dan keluar dari masalah-masalah yang ada. Mereka dapat

menguasai lawannya dengan kata atau tingkah lakunya. Kutipan

berikut memperlihatkan kecerdikan yang dimiliki oleh tokoh utama.

Saya ke sana sebagai perempuan Jawa, perempuan kampung, istri petani. Maksud saya, saya harus berpenampilan tidak menyolok menghadap tentara-tentara Jepang yang saya kenal betul perangainya terhadap perempuan; supaya mereka tidak berperilaku seperti singa lapar. (hlm. 190)

Sikap cerdik yang dimiliki tokoh Keiko juga sangat terlihat pada

kutipan berikut.

“Di bawah kekuasaan rasa takut seperti ini, namun diselisik pula dengan bukti adanya akal yang terancam, si Keke Tua pelan- pelan mengerat dinding bambu gubuknya. Pada angannya, jika ia menubruk dinding rapuh itu dengan kekuatan tubuhnya, pasti akan meninggalkan suara, dan itu berarti orang-orang yang

221

sekarang berdiri di depan akan langsung berputar ke belakang, lalu mementungnya seperti terhadap hewan tertentu. Maka, menurut akalnya, dan akal ini memang tidak sepenuhnya sehat, ia kerat saja dinding itu. Satu per satu.” (hlm. 300)

j) Bijaksana

Bijaksana merupakan kemampuan menilai secara benar dan

mengikuti petunjuk pelaksanaan yang baik, berdasarkan pada

pengertian dan pengetahuan atau dengan kata lain, bijaksana diartikan

sebagai “sikap arif”. Sikap bijaksana yang dimiliki tokoh Keiko,

digambarkan seperti dalam kutipan berikut.

“Saya bahagia dengan kehidupan ini, sebab saya sudah terbina sejak usia 9 tahun untuk menerima kehidupan ini sebagai kebenaran yang luhur.” (hlm. 6)

Tokoh Keiko menjalani keputusan dalam hidupnya dengan

penuh semangat dan berusaha tetap bijak, seperti kutipan di bawah ini.

“Ternyata saya harus dihukum. Sepanjang hari, sampai besok siang, saya tidak diberi makan. Hukuman seperti ini sebetulnya bukan hanya sekali ini saya alami. Sejak semula, ketika saya masih salah-salah mengucapkan lafal bahasa Jepang, Yoko bukan hanya menyabet mulut saya dengan rotan, tapi juga menghukum saya dengan tidak memberi makan. Memang saya tidak mau mengingat-ingat, sebab saya rasa dalam hal menuntut ilmu, orang harus merasa susah lebih dulu.” (hlm. 35)

k) Berani

Berani adalah melakukan sesuatu yang luar biasa, di luar

kebiasaan yang dilakukan. Keiko mempunyai sikap berani, hal ini

ditunjukkan dengan sikap dia. Di bawah ini adalah bukti bahwa Keiko

mempunyai sikap berani.

222

“Baiklah. Tembak saja kami. Biar kau puas melihat dua mayat di sini. Ayo, lakukan nafsu binatangmu itu. Kau sebetulnya tahu, suamiku tidak salah. Tapi untuk menunjukkan kekuasaanmu, kau tetap menuntut kematiannya. Nah, bunuhlah sekarang!” (hlm. 196)

Kutipan di atas memperlihatkan sikap berani yang dimiliki

tokoh utama pada saat ia melawan tentara Jepang untuk membebaskan

suaminya. Perjuangan tokoh Keiko pun berlanjut, hal tersebut dapat

dilihat pada kutipan berikut.

Mereka semua terbengong-bengong melihat bagaimana saya begitu fasih mengucapkan kalimat marah dalam bahasa Jepang. Kobayashi malah menganga lama sebelum dengan takjub dia berkata, dalam bahasa Jepang, “Kau Jepang?” Dalam takjubnya, ia lengah. Pada saat itulah, seperti kemasukan, saya tembak dia dengan bedil yang baru kami rampas. Ajaib bahwa saya yang tidak pernah memegang bedil, tak pernah membidik atau menarik picu, dapat melakukannya sekarang. Saya gemetar. Merinding. Dan menutup mata. Dor! Toh peluru muntah dari larasnya dan bersarang di dada Kobayashi. (hlm. 196)

Wujud keberanian tokoh utama semakin tampak seperti pada

kutipan di atas. Ini semua dilakukan karena ia sangat mencintai Tjak

Broto.

2) Aspek Fisik

a) Kuat

Dalam pengertiannya kuat adalah tidak menyerah atau tidak

terkalahkan. Tokoh Keiko dalam novel Kembang Jepun ini memiliki

kekuatan yang luar biasa. Hal tersebut terbukti ketika Keiko mampu

223

bertahan hidup di tengah hutan selama 25 tahun seorang diri. Hal

tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut.

Sudah 25 tahun saya hidup terasing atas mau sendiri. Sebatang kara namun tak sendiri. Binatang-binatang sekitar belukar adalah makhluk-makhluk lain selain saya yang hidup di lereng ini. (hlm. 296)

Penggalan kutipan di atas memperlihatkan kesebatangkaraan

dan kekuatan tokoh utama dalam memperjuangkan hidupnya seorang

diri di tengah hutan. Bukanlah melakukan sesuatu hal yang mudah,

akan tetapi Keiko bisa menjalani dan melewatinya.

Kekuatan Keiko tua, tampak juga pada kutipan berikut.

Ismail Roeslan menangkapnya. Tapi tangkapannya terlepas lagi, saking kuatnya si Keke Tua mengencangkan tubuhnya dan menyikut-nyikut. (hlm. 312)

b) Tua

Tua dapat diartikan lanjut usia atau tidak muda lagi. Setelah

menjalani hidup selama enam puluh dua tahun Keiko tergolong tidak

muda lagi atau bisa dikatakan sudah tua. Hal ini dapat dilihat dalam

kutipan novel di bawah ini.

Umur saya kini 62 tahun. Karena umur 62 tidak umum di bilang muda, maka katakanlah selanjutnya saya si Keke Tua. Rambut si Keke Tua ini sudah putih seluruhnya. Terjerungkau selama tidur, dan langsung dikonde pada bangun pagi. Kulit si Keke Tua pun sudah keriput. (hlm. 295)

Ketuaan Keiko, terlihat seperti kutipan berikut.

Dan anda ada cermin di biyak ini, saya bisa berkaca dan melihat muka saya sudah keriput, tua, dan tidak menarik lagi. (hlm. 284)

224

3) Aspek Sosial

a) Masyarakat Kelas Bawah

Masyarakat kelas bawah bisa dikatakan juga sebagai orang

miskin. Orang miskin bisa diartikan orang yang tidak memiliki

kekayaan yang lebih. Kehidupan keluarga Keiko termasuk dalam

masyarakat kelas bawah. Hal tersebut dapat kita lihat pada kutipan

berikut.

“Baik,” kata Kotaro Takamura setelah berpikir cepat. “Saya bayar adik Tuan dengan harga tiga orang yang tidak saya terima itu.” (hlm. 24)

Kemiskinan keluarga Keiko, juga tampak pada kutipan di bawah

ini.

Saya hanya mendapat ganti baju baru setahun sekali, dan baju itu harus dipakai dulu di gereja pada tanggal 25 Desember sebagai tanda syukur. (hlm. 28)

b) Pribumi

Pribumi adalah milik bangsa Indonesia yang berada dalam

perbendaharaan kata-katanya, bisa juga disebut orang Indonesia asli

yang turun temurun nenek moyangnya lahir di Indonesia. Tokoh

utama dalam novel Kembang Jepun merupakan orang pribumi. Hal

tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Saya memang dari sana,” jawab saya dengan yakin, dan dengan demikian saya telah mengundang masalah dengan Yoko. “Apa?” kata Tjak Broto dengan memajukan kepalanya agak ke depan saking kagetnya. “Maksudmu kau berasal dari Manado, Minahasa, kota yang di Cilebes utara itu?”

225

Dan selanjutnya kini saya terperanjat namun terlambat. Astaga, saya sadar telah membuka rahasia, dan tak mungkin meralatnya lagi. (hlm. 41)

Kepribumian Keiko juga semakin kuat terlihat pada kutipan

berikut.

“Saya kira, saya akan ke kampung halaman, Mbah,” kata saya. Mbah Soelis menganga, “Ke Minahasa?” “Ya, Mbah.” Kelihatannya pikiran yang demikian kuat tidak goyah lagi. (hlm. 265)

Tokoh Tjak Broto

1) Aspek Sosiologis

Tjak Broto digambarkan sebagai seorang wartawan. Di rumah, ia

anak sulung dari dua bersaudara. Bersama ibunya, mereka hidup di daerah

Surabaya. Keluarga ini kehilangan kepala rumah tangga sehingga mereka

hidup dengan pensiun yang cukup dari Belanda sebagai pegawai aniem.

Setelah Indonesia merdeka, beberapa tahun kemudian Tjak Broto

tidak sebagai wartawan lagi, tetapi ia bergerak di bidang politik sebagai

jurkam untuk pemilu yang pertama di zaman Orde Baru. Di samping itu,

juga sebagai pengusaha, seperti kutipan berikut.

Keuntungan ekonomis yang diperolehnya dalam penyesuaian diri dengan keadaan ini memang menyakinkan. Melalui modal yang diperolehnya dari bank, usahanya berpacu tanpa hambatan. Tapi ia tidak berusaha di bidang pers lagi. Gedung bekas Shinju di Jalan Kembang Jepun dibelinya dan dijadikannya kantor perusahaan angkutan antar kota. Busnya sekarang 6 unit. Dan mobil pribadinya sendiri semua buatan Jerman. Merek yang sangat popular di Indonesia sebagai mobil-mobil mewah. Orang menjulukinya di Duda Sukses. (hlm. 293)

226

Berdasarkan kutipan di atas, mengambarkan bahwa Tjak Broto

sebagai pengusaha yang sukses dan terkena.

2) Aspek Fisiologis

Tjak Broto dilukiskan sebagai orang laki-laki yang tampan, seperti

kutipan berikut.

Maka duduklah Tjak Broto hari itu, di kursi kayu pengadilan berpakaian rapi putih-putih, berdasi, dan bersongkak menghadapi sidang, hakim. (hlm. 75)

Berdasarkan kutipan di atas, tokoh Tjak Broto dapat dikatakan

sebagai tokoh laki-laki tampan dan selalu berpenampilan rapi.

3) Aspek Psikologis

a) Pengetahuan Luas

Tjak Broto dilukiskan sebagai wartawan yang mempunyai

pengetahuan luas tentang bahasa dan sastra, seperti kutipan di bawah

ini.

Ia banyak membaca karya sastra Barat. Ia kenal Goshe bukan melalui bahasa Belanda yang dikuasai dengan lancar, tetapi melalui bahasa aslinya. Ia juga membaca Voltraine atau Shakespeare dalam bahasa aslinya, Perancis dan Inggris. Boleh dikata ia amat khatam atas semua sastra Barat. (hlm. 52)

b) Berani

Tjak Broto dilukiskan sebagai pemuda yang berani, misal ia

berani menentang pemerintah Belanda dan Jepang sebagai penjajah.

Keberanian Tjak Broto tampak pada kutipan berikut.

227

“Tuan Joesoep Soebroto Goenawan Andangwidjaja Kesmoasidi. Apa Tuan yakin betul bahwa Tuan tidak ingin didampingi seorang advokat?” Tanya Schults. “Benar begitu, Tuan Hakim Ketua,” jawab Tjak Broto dengan tegar dan sopan. “Baik,” kata Schults. “Nah, ini di luar kebiasaan siding.” (hlm. 75)

Keberaniannya Tjak Broto kepada pemerintah Jepang, seperti

kutipan di bawah ini.

“Tuan,” kata Tjal Broto dengan suara lancang. “Saya ini bangsa Indonesia. Tiga ratus tahun lebih bangsa saya dijajah Belanda, ditindas, diperkosa, diinjak-injak. Lantas sekarang bangsa Tuan, yang mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia, juga melakukan hal yang sama seperti Belanda. Apa mungkin saya bilang tidak mendukung mereka yang berjuang melawan penjajahan.” (hlm. 189)

c) Bijaksana

Tjak Broto sebagai manusia mempunyai pengetahuan luas, ia

sangat bijaksana dalam memandang wanita, seperti kutipan di bawah

ini.

“Saya tidak pandai bicara, lagian perempuan dicipta bukan untuk berbicara tapi berbuat.” “Ah, siapa yang ajar begitu?” “Kotaro Takamura.” “Percayalah, pendapat seperti itu keliru. Nanti pada suatu waktu kau akan membenarkan, bahwa perempuan juga harus bicara, dan bicaranya haus didengar. Perempuan bukan hanya dilihat mukanya dan dinikmati badannya, tapi juga harus didengar bicaranya.” (hlm. 71)

228

e. Latar

Latar dalam novel Kembang Jepun terdiri dari tiga unsur pokok yaitu

tempat, waktu, dan sosial. Berikut rincian latar dalam novel Kembang Jepun.

1) Latar Waktu

Latar waktu dalam novel Kembang Jepun ada tiga zaman yaitu

zaman kolonialisme, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan.

Adapun latar waktu dalam novel Kembang Jepun sebagai berikut.

a) Zaman Kolonialisme

“Delapan belas tahun yang lalau, pada tahun 1911 ia menghadap Gubernur Jendral di Batavia untuk meminta hak veteran; agar mengangkat dirinya sebagai sekretaris Residen Manando; Ph. J. Van Makle. Tapi Jenderal A.WF. Inderburg mengatakan ia ngawur dan lancang. Jabatan itu memang tak mungkin dipegang oleh pribumi, walaupun orang Minahasa sejak 1879 telah dimaklumatkan sebagai sekutu Belanda.” (hlm. 14)

b) Zaman Jepang

“Segera terasa, bahwa Jepan datang bukan untuk bersahabat seperti yang mereka gembor-gemborkan dalam pidatonya. Malahan rasa setia kawan di antara suku bangsa yang telah tertanam sejak 1928 lewat Sumpah Pemuda, dirusak dengan pelbagai cara. Simbol 3A tentang “Tjhaja Asia”, “Pelindung Asia”, dan “Pemimpin Asia” yang dipajang di mana-mana adalah sama seperti semua slogan, berarti isapan jempol. Buktinya keadaan ekonomi kian memburuk.” (hlm. 171-172)

“Sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah militer Jepang bahwa rakyat harus menghasilkan bahan pangan sebanyaknya untuk menunjang perang. Maka, setiap kali kami panen, jagung ataupun padi langsung diambil.” (hlm. 180).

229

c) Zaman Kemerdekaan

“Yang jelas, akibat dibomnya Hiroshima dan Nagasaki, maka Jepang harus menghentikan kegiatan perangnya, terhitung 14 Agustus 1945. Oleh hal itu, tiga hari kemudian roda sejarah Indonesia berubah total. Bung Karno di membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat tanggal 17, dan sebagian rakyat Surabaya mendengar itu pada tanggal 18, setelah pemuda-pemuda berhasil menyerobot radio yang dikuasai Jepang. Kemudian berita proklamasi itu meluas ke semua lapisan masyarakat pada hari Senin tanggal 20, diberitakan oleh satu-satunya Koran di Surabaya yang diizinkan Jepang selama itu, yaitu Soeara Asia.” (hlm. 234)

2) Latar Tempat

Latar tempat dalam novel Kembang Jepun berada di Minahasa

(Menado), Surabaya, Blitar, dan Jepang, seperti kutipan berikut.

a) Minahasa (Menado)

Tokoh utama (Keiko) dalam novel Kembang Jepun berasal dari

sebuah desa seperti kutipan berikut.

“Orang-orang di desa Jantje, Maliku yang terletak jauh di atas Amurang arah selatan Manado, segera tertarik dan memberikan kepercayaan penuh kepadaku, ketika ia berkata hendak membawa anak-anak gadis di bawah 9 tahun untuk disekolahkan di Jawa.” (hlm. 21)

b) Surabaya

“Surabaya hari itu panas, padahal itu masih di musim hujan, Januari 1930. Semalam setiba kami di kota ini, di Shinju. Kami ditempatkan di bagian belakang bangunan suatu tempat khusus untuk para geisha, disebut okiya.” (hlm. 27)

c) Blitar

“Waktu itu kami telah sampai di Blitar, empat jam lebih dulu dari pemilik rumah, Mbak Soelis. Harus saya akui bahwa

230

menunggu begitu lama, di rumah yang pemiliknya sedang berada di Surabaya.” (hlm. 149)

d) Jepang

“Saya berada dalam kapal bersama-sama dengan para tentara dan pegawai Jepang lain yang dipulangkan ke Jepang karena kalah perangnya Jepang dengan Sekutu. Saya berada di dalam kapal ini karena Hiroshi Masakuni benar-benar ngotot dan sekaligus nekat mencatat nama saya sebagai orang Jepang yang harus pulang bersamanya. Di Jepang saya ditinggalkannya di rumah ibunya di Kushiwada, kota kecil di pesisir barat antara Osaka dan Wakayana.” (hlm. 243)

3) Latar Sosial

Latar social digunakan untuk mendeskripsikan tingkah laku

kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Latar sosial dalam novel

Kembang Jepun adalaj kehidupan seorang geisha di Surabaya. Keke

(Keiko) sebagai tokoh utama berasal dari keluarga miskin. Keiko

menganggap pekerjaan geisha adalah pilihan hidupnya. Ia berjuang keras

dalam bekerja, sehingga ia berhasil menjadi geisha yang terkenal.

f. Point of View

Pusat pengisahan yang digunakan oleh pengarang dalam Kembang

Jepun adalah sudut pandang akuan. Mulai dari awal dengan akhir pemakaian

sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang akuan. Di bawah ini

adalah beberapa kutipan mengenai sudut pandang tersebut.

Saya geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha menyenangkan. Gei berarti seni, Sha berarti pribadi. Sejak usia sembilan tahun, saya memang dibina untuk menguasai seni. Saya pandai menyanyi, memainkan shamizen dan taiko, menuangkan teh dan sake, memijat

231

dan mengurut, serta menghibur dengan menyerahkan seluruh badan saya kepada semua lelaki yang datang pada saya di Shinju. (hlm. 5) Saa tidak peduli omongan Tane Mar. Saya pamit pada Mbah Soelis, lalu cepat-cepat pergi ke markas Jepang itu. Sebetulnya, apa yang akan saya lakukan di sana, saya sendiri belum punya bayangannya. Hanya semata karena gundah gulana itu yang mendorong kehendak saya untuk ke sana. Setelah itu apa yang bakal terjadi, entahlah. (hlm. 190). Pekerjaan itu jugalah yang saya lakukan saban hari sejak awal, ketika Hiroshi Maskuni mengakui saya sebagai istrinya danoleh sebab itu, sebagai menantu “dalam tradisi Jepang”, yang bersumber pada ajaran Cina, adalah bahwa seorang istri harus mengabdi pada ibu mertua sebelum ia melahirkan anak, dan nanti setelah melahirkan ia wajib mengabdi pada anaknya itu. (hlm. 246)

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, tampak si “aku” menjadi tokoh

utama. Hal ini membuat pembaca menjadi benar-benar terlibat. Pembaca akan

mengidentifikasikan diri terhadap tokoh alur. Dengan teknik alur dapat

dipergunakan untuk melukiskan atau memberikan berbagai pengalaman

kehidupan manusia yang paling dalam.

3. Persamaan antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

Pada kenyataannya novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

memiliki persamaan pada beberapa aspek. Aspek tersebut yaitu:

a. Kedua novel tersebut memiliki persamaan tema yaitu masalah kehidupan

seorang geisha.

b. Kedua novel tersebut menggunakan alur progresif atau kronologis. Alur

kedua novel tersebut dianalisis dalam lima bagian yaitu eksposisi,

complication, rising action, klimaks, dan denounement.

232

c. Kedua novel tersebut dalam menampilkan tokoh menggunakan metode

langsung dan metode tidak langsung. Perwatakan kedua novel ditinjau dari

aspek psikologis, aspek social, dan aspek fisiologis adalah sama.

Ditinjau dari aspek psikologios tercermin watak tokoh utama dalam kedua

novel itu yaitu jujur, sabar, mandiri, percaya diri, tepat janji, bekerja keras,

semangat dalam hidup, cerdik, dan rela berkorban.

Ditinjau dari aspek social, watak dari tokoh utama dalam kedua novel

tersebut yaitu masyarakat kelas bawah sedangkan ditinjau dari aspek fisik

tokoh utama dalam kedua novel tersebut yaitu seorang wanita yang cantik

dan mempunyai kekuatan fisik yang baik.

d. Kedua novel tersebut menggunakan point of view orang petama atau first

person.

e. Kedua novel tersebut mempunyai amanat yang sama yaitu untuk mencapai

kebahagiaan harus bekerja keras.

4. Perbedaan antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun selain memiliki

persamaan, juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol antara

kedua novel ini terletak pada aspek latar dan perwatakan tokoh tambahan.

Latar tempat kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel

Memoirs of A Geisha, Jepang Kyoto dan New York (Amerika), sedangkan dalam

novel Kembang Jepun latar tempat meliputi Surabaya, Blitar, Minahasa, dan

Jepang.

233

Perbedaan perwatakan tokoh tambahan dalam kedua novel tersebut yaitu

perwatakan tokoh Ketua dalam novel Memoirs of A Geisha adalah pandai dan

seorang pengusaha yang sukses, tetapi tidak berani memperjuangkan cinta,

sedangkan dalam novel Kembang Jepun yaitu perwatakan Tjak Broto sebagai

seorang wartawan, pengusaha yang sukses, berpengetahuan luas, dan berani.

5. Nilai Pendidikan Moral

a. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Memoirs of A Geisha

Novel Memoirs of A Geisha memiliki nilai pendidikan moral yang

meliputi pengendalian emosi, berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, memberi

teladan yang baik, berjiwa besar dan jujur.

1) Pengendalian Emosi

Sikap pengendalian emosi dapat dilihat ketika Chiyo (Sayuri)

tahan menghadapi cobaan, tenang, dan tidak tergesa-gesa dalam

memecahkan suatu masalah. Sikap pengendalian emosi pada diri Sayuri,

seperti kutipan berikut.

“Oh, Nona, saya bersedia melaukan apa saja untuk memperbaiki kesalahan saya,” kataku. “Sudah dua tahun lebih saya menunggu dengan sabar, berharap akan ada kesempatan yang datang.” (hlm. 135)

2) Berdoa Kepada Tuhan

Berdoa berarti memohon sesuatu kepada Tuhan. Doa manusia

dapat berupa permohonan ampun atas segala perbuatan yang telah

234

dilakukan dan juga permohonan atas segala sesuatu yang diinginkan

manusia. Anjuran berdoa kepada Tuhan, seperti kutipan berikut.

Tetapi akhirnya aku bisa bicara, kutanya Bibi kalau-kalau dia bersedia meletakkan papan-papan arwah itu di tempat yang tak bisa kulihat, dan berdoa atas namaku, karena kutahu terlalu sedih untuk berdoa sendiri. Tetapi Bibi menolak, dan berkata bahwa bahkan hanya mempertimbangkan untuk mengabaikan leluhur sendiri pun memalukan. Bibi membantuku mengatur papan-papan arwah di rak dekat dasar tangga. Di situ aku bisa berdoa di depan papan-papan itu setiap pagi. “Jangan pernah lupa Chiyo-chan,” katanya. “Hanya papan-papan arwah itulah sisa masa kecilmu.” (hm. 113)

3) Bersyukur

Syukur adalah berbuat baik setelah merenungi nikmat Tuhan, baik

dengan cara lisan, perbuatan, maupun perwujudan perbuatan. Sikap

ucapan syukur kepada Tuhan seperti kutipan berikut.

Kemudian kami bertiga ke Kuil Gion. Di tempat itu Mameka dan aku bertepuk tanan dan menyatakan kepada para dewa bahwa sebentar lagi kami akan terikat sebagai kakak beradik. Aku memohon berkat mereka untuk tahun-tahun yang akan datang, dan kemudian memejamkan mata dan berterima kasih kepada mereka karena telah mengabulkan permohonan yang kuajukan tiga tahun sebelumnya yaitu menjadikan aku geisha. (hlm. 181)

4) Memberi Teladan yang Baik

a) Menghargai Pemberian Orang Lain

Setiap mendapatkan pertolongan atas pemberian orang lain,

sebaiknya mengucapkan terima kasih kepadanya. Sikap seperti

itulah yang patut diteladani, seperti kutipan berikut.

Tetapi ketika aku melihat bungkusan di tangannya, yang kelihatan mirip sekali dengan bungkusan kafan kupu-kupu, aku tahu aku telah menerimanya pertanda akhirnya. Kuambil

235

bungkusan itu dan aku membungkuk dalam-dalam berterima kasih kepadanya. (hlm. 123)

Sikap yang patut diteladani dapat ditemukan pada diri

Mameka, seperti kutipan berikut.

“Chiyo, tergesa-gesa dalam hidup adalah cara buruk untuk maju. Kau harus belajar bagaimana mencari waktu dan tempat untuk melakukan sesuatu. Kucing yang ingin mengelabui tikus tidak begitu saja keluar dari lubangnya kapan dia mau.” (hlm. 136)

b) Suka Menolong

Manusia hidup di dunia ini tidak sendirian. Akan tetapi

bersama-sama dengan manusia lain. Oleh karena itu, di antara

sesamanya harus bekerja sama saling menolong. Sikap suka

menolong dalam novel ini, seperti kutipan berikut.

“Ketua orang yang sangat brilian,” kata Nobu. “Dia payah soal sumo karena dia tidak peduli. Dia bahkan tak akan ada di sini sekarang kalau tidak berbaik hati bersedia menerima proposalku agar Iwamura Elektrik menjadi sponsor pertandinganku ini.” (hlm. 231)

Sikap suka menolong juga ditemukan lagi, seperti kutipan

berikut.

Keluarga Arashima memperlakukanku dengan sangat baik hati selama beberapa tahun aku tinggal di rumah mereka. Pada siang hari, aku bekerja bersama mereka menjahit parasut. Malam hari aku tidur bersama anak dan cucu laki-laki mereka di futon yang digelar di ruang kerja. (hlm. 379)

236

c) Saling Menyayangi

Sikap saling menyayangi sesama manusia merupakan ajaran

yang ditekankan dalam setiap ajaran agama serta merupakan

perwujudan kesempurnaan iman. Sikap saling menyayangi yang

terdapat dalam novel Memoirs of A Geisha, seperti kutipan berikut.

Seluruh tujuanku dalam segala hal yang kulakukan selama sepuluh terakhir ini adalah untuk memenangkan kasih sayang Ketua. (hlm. 381)

“Kau masih cantik Sayuri.” “Ah, Ketua,” kataku. “Saya tak akan pernah mempercayai sepatah kata pun lagi yang Anda ucapkan. Saya harus menghabiskan setengah jam di depan meja rias saya malam ini untuk menyembunyikan cekung pipi saya.” “Aku yakin kau telah menderita jauh lebih parah selama beberapa tahun belakangan ini daripada kehilangan berat badan. Aku tahu aku sendiri begitu.” “Ketua, jika Anda tak berkeberatan saya mengatakannya …. Saya telah mendengar sedikit dari Nobu-san tentang kesulitan yang dihadapi perusahaan Anda.” “Ya, Nak, kita tidak perlu membicarakan itu.” Dia memberiku senyum sedih yang bagiku indah sekali, sampai aku terpesona memandang lengkung senyuman bibirnya. (hlm. 405)

Di samping itu masih ditemukan sikap saling menyayangi,

seperti kutipan berikut.

“Aku minta maaf Satsu. Ini semua salahku. Dalam kegelapan ini kami tubruk dan berpelukan. Yang bisa kupikirkan hanyalah, betapa kurusnya Satsu. Dia membelai rambutku dengan lembut yang membuatku teringat ibu, dan membuat air mataku semakin deras sampai aku serasa seperti tenggelam.” (hlm. 93)

237

d) Berjiwa Besar

Sikap berjiwa besar adalah perbuatan yang terpuji. Seorang

yang mengakui kesalahannya dan minta maaf dapat dikatakan

berjiwa besar. Sikap minta maaf dalam novel ini, seperti kutipan

berikut.

“Aku minta maaf, Hatsumomo. Aku cuma mencoba membantu Chiyo dengan …..” “Tetapi Chiyo tidak ingin bantuanmu. Kalau dia perlu bantuan dengan shamisun-nya, dia akan pergi ke gurunya. Apa kepalamu itu cuma labu besar yang kosong.” (hlm. 157)

Sikap berjiwa besar dalam novel ini juga ditemukan lagi,

seperti kutipan di bawah ini.

“Astaga, Chiyo jangan meniup-niup tehmu seperti itu. Kau kelihatan seperti petani. Biarkan di meja sampai cukup dingin untuk diminum. “Maaf,” kataku. “Saya tidak sadar meniup-niupnya.” “Sudah waktunya kau sadar. Geisha harus sangat berhati-hati menjaga citra yang ditampilkannya untuk dunia luar. Seperti sudah kukatakan persyaratannya sangat ketat.” “Mameka-san, saya berjanji, hal seperti itu tidak akan terjadi pada saya,” kataku. “Saya tidak akan pernah memaafkan diri saya kalau mengecewakan Anda.” (hlm. 151)

Kutipan di atas menggambarkan sikap Chiyo yang menyesali

perbuatannya lalu ia minta maaf kepada Mameka. Saling berjiwa

bsar Chiyo kepada Mameka ditemukan lagi, seperti kutipan berikut.

“Mmm….ya, Nona. Dan meskipun saya yakin Anda tahu Hatsumomo yang berada di belakang kejadian ini, saya sungguh berharap bahwa suatu hari nanti saya akan bisa menunjukkan betapa menyesalnya saya atas apa yang telah terjadi.” “Kau boleh minta maaf, kalau mau!”

238

Maka aku membungkuk didepannya sekali lagi dan kukaakan betapa menyesalnya aku telah turut ambil bagian dalam merusakkan kimononya yang indah. “Kimononya indah, ya?” katanya. “Baik, sekarang kita lupakan saja.” (hlm. 134)

Nilai pendidikan moral yang diperoleh dalam suatu karya

sastra adalah dengan membaca karya sastra. Penulis ingin

menyampaikan suatu pesan moral atau ajaran-ajaran tentang tata

nilai dan norma-norma yang berlaku bagi suatu masyarakat. Nilai

pendidikan moral yang terdapat dalam novel Memoirs of A Geisha

adalah nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budaya. Nilai

pendidikan moral meliputi pengendalian emosi, berdoa dan

bersyukur kepada Tuhan, member teladan yang baik, berjiwa besar

dan jujur.

b. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Kembang Jepun

Novel Kembang Jepun memiliki nilai pendidikan yang dapat diambil

manfaatnya oleh pembaca yaitu nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan

budaya. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Kembang Jepun

tercermin melalui sikap atau tindakan para tokohnya.

Novel Kembang Jepun memiliki nilai pendidikan moral yang meliputi

pengendalian emosi, berjiwa besar, bersyukur dan tawakal kepada Tuhan,

dan jujur.

239

1) Pengendalian Emosi

Sikap pengendalian emosi dapat dilihat ketika Keke mengalami

cobaan dan tantangan yang menimpanya, seperti diperkosa, dianiaya,

diinjak-injak harkat dan martabatnya. Semua itu dilalui dengan ketabahan

atau ketegaran jiwa. Hal ini bukan berarti Keiko pasrah tetapi ini jarang

dilakukan manusia. Pada umumnya, seseorang yang diinjak-injak harkat

dan martabatnya pasti berontak. Hal tersebut tidak berlaku bagi Keiko,

bahkan Keiko bisa tegar dan ikhlas ketika Keiko berharap selepas dari

tawanan Hiroshi Masakuni di negeri Jepang, ia bisa pulang ke Indonesia

dan berkumpul lagi dengan suaminya yaitu Tjak Broto. Tetapi alangkah

kagetnya ketika pulang ke Indonesia, Keiko mendapat informasi dari

Mbah Soelis bahwa suaminya telah menikah lagi dengan orang Sunda.

Impian Keiko pun hancur. Di sini ketegaran Keiko muncul, ia mencoba

untuk ikhlas dan tabah menerima bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan

suaminya adalah sesuatu hal yang wajar terjadi.

2) Berjiwa Besar

Sikap berjiwa besar adalah perbuatan yang terpuji. Seorang yang

mengakui kesalahannya dan minta maaf dapat dikatakan berjiwa besar.

Akan tetapi tidak semua orang berani mengakui kesalahannya dan minta

maaf. Sikap tokoh yang berjiwa besar disampaikan dalam kutipan berikut.

Kami naik kereta. Asal naik entah kemana. Di dalam kereta ini Tjak Broto minta maaf karena perlakuan ibunya. “Saya menyesal telah menyakiti hatimu,” katanya. Saya tidak menjawab apa-apa. Saya hanya diam dan masih lama begini. Angin menebas-nebas lewat jendela, mengenai rambut dan muka, dan takkan mampu mengeringkan air mata di pipin. (hlm. 131)

240

3) Memberi Teladan yang Baik

a) Menghormati Orang Tua

Sikap Keiko (Keke) terhadap Mbah Soelis merupakan contoh yang

patut diteladani, seperti kutipan berikut.

Mbah Soelis terkejut karena kami telah lebih dulu berada di rumahnya itu. Saya berlutut menghampirinya dan mencium tangannya. Lalu ia merangkul sambil mengelus-elus saya. Kesembuhan ini mendadak membuat saya menangis. Apalagi saya menangis, maka dalamnya saya menyadari betapa fitrah manusia ini semacam permainan iseng roda kodrati belaka. (hlm. 150)

b) Saling Menyayangi

Sikap saling menyayangi sesama manusia merupakan ajaran yang

ditekankan dalam setiap ajaran agama. Sikap saling menyayangi yang

terdapat dalam novel ini, seperti kutipan berikut.

Saya menangis. Entah bagaimana mulanya. Pokoknya air mata mengucur di pipi. Tjak Broto memang lelaki yang ajaib. Saya semakin mengerti arti kasih sayang, justru di saat saya merasa gagal memberinya benih kasih sayang. Ia tidak pernah berubah memperlakukan saya. Tak terasa, hampir setahun saya menjadi istrinya, dan tak pernah sekalipun ia menunjukkan rasa jengkel, geram, atau marah. (hlm. 163)

Kutipan di atas menggambarkan kasih sayang antara Tjak Broto

dengan Keiko, meskipun mereka belum dikaruniai anak.

c) Suka Menolong

Manusia sebagai makhluk social, tidak mungkin hidup sendiri.

Mereka hidup bersama dan saling menolong. Sikap saling menolong

terdapat dalam novel ini, seperti kutipan berikut.

241

Kami diberi baju. Kami bergilir masuk ke kamar mandi untuk mengganti baju yang bersih. Dan sementara kami mengganti baju, Tjik Entin sibuk menata meja, menyiapkan makan dan minuman, nasi dan lauk pauk serta kue-kue. (hlm. 139)

Dituntunnya saya ke meja yg sudah ditata itu. Di situ sudah duduk menunggu Tjoa Tjie Liang, dua orang anaknya, Tjak Broto. “Sekalian ……………

Kutipan di atas memperlihatkan wujud suka menolong yang

dimiliki oleh tokoh Tjoa Tjie Liang dan istrinya.

4) Bersyukur

Syukur adalah berbuat baik setelah menerima nikmat Tuhan, baik

dengan cara lisan, perbuatan, hati, maupun perwujudan perbuatan. Sikap,

ucapan, syukur kepada Tuhan, seperti kutipan berikut.

“Artinya ….. ?” “Artinya, bulan Maret kita akan terbit lagi.” “Oya, syukur Alhamdulillah.” “Makanya, habis bulan madu, cepat pulang lagi ke Surabaya. Koran kita tetap dengan inisial TS. Kali ini singkatan Tadjoek Soerabaja.” (hlm. 159)

Kutipan di atas merupakan kegembiraan Tjak Broto karena

korannya terbit lagi. Di samping itu masih ada ucapan syukur kepada

Tuhan dari tokoh Keke, seperti kutipan di bawah ini.

Dalam keadaan susah ini, kami bahkan bisa bersyukur, sebab kebutuhan pokok kami, soal makan teratasi. Tidak seperti ketika kami masih di Surabaya, walaupun sebenarnya kami merasa tersiksa juga, melihat bagaimana Jepang tanpa malu merampas apa yang kami tanam di sawah dan ladang. (hlm. 179)

242

5) Tawakal

Tawakal adalah penyerahan diri atas segala persoalan kepada Tuhan

dan bersandar kepada-Nya. Tawakal juga diartikan meninggikan usaha

dalam hal-hal yang tidak terjangkau oleh kekuatan manusia. Sikap

penyerahan diri kepada Tuhan dalam novel Kembang Jepun, seperti

kutipan berikut.

Saya tidak peduli omongan Tante Man. Saya pamit Mbah Soelis, lalu cepat-cepat pergi ke markas Jepang itu. Sebetulnya apa yang akan saya lakukan di sana, saya sendiri belum punya bayangannya. Hanya semata karena gundah gulana itu yang mendorong kehendak saya untuk kesana. Setelah itu apa yang bakal terjadi, entahlah saya berserah diri saja pada kehendak-Nya. (hlm. 190)

Di samping itu,masih ada kutipan yang menggambarkan

penyerahan diri seorang tokoh pada Tuhan tentang segala peristiwa yang

dialami.

Baiklah, walaupun iman saya gersang, tak punya kesempatan mengenal sembahyang, tapi selanjutnya mengartikan doa sebagai cara untuk bersandar kepada kebenaran maka saya kira lebih baik saya menyebut asma Allah dalam segala kemelut dan kesusahan – sebab Allah yang tunggal, yang diperkenalkan oleh tiga utusan dengan nama M, yaitu Musa, Messiah, dan Muhammad, yang masing-masing membawa agama Yahudi, Masehi, dan Islam, akan mendengar saya. Demikianlah saya berseru, “Ya Allah, tolonglah saya.” (hlm. 175)

6) Etos Kerja yang Baik

Etos kerja ada pada setiap manusia. Ini timbul dari dalam diri

manusia sendiri dan terlihat hanya pada orang-orang yang biasa

menjalankan sikap ini. Motivasi serta tujuan yang jelas dapat menjadi

243

kunci setiap sikap ini. Sikap etos bekerja terdapat juga dalam novel

Kembang Jepun, seperti kutipan berikut.

Di sini akhirnya saya sadar, bahwa tanpa bekerja saya tidak akan makan. Sama sekali ini bertolak belakang dengan niat saya semula bahwa saya bertahan tinggal di sini, sebab saya telah menyerahkan hidup untuk bertemu ajal di sini. Dengan bekerja dan menyadari kemauan untuk itu, maka tanpa sadar saya telah memiliki keinginan untuk hidup. (hlm. 283)

Di samping itu masih ada kutipan yang memperlihatkan si tkoh

rajin bekerja, seperti kutipan di bawah ini.

Tapi si Keke tua kuat. Bangun pagi jam 5.00 senam sebisanya, mandi. Dan sehabis mandi mengurus kebun. Menanam yang harus ditanam, mencabut yang harus dicabut. Pekerjaan ini ditekuni si Keke tua sampai menjelang senja. (hlm. 295).

7) Jujur dan Bijaksana

Jujur yaitu mengatakan hal yang sebenarnya. Dalam novel

Kembang Jepun tokoh yang memiliki sifat jujur dan bijaksana adalah

Keiko, seperti tampak pada kutipan berikut.

Saya bahagia dengan kehidupan ini, sebab saya sudah terbina sejak usia 9 tahun untuk menerima kehidupan ini sebagai kebenaran yang luhur. (hlm. 6)

Kutipan di atas menggambarkan kebijaksanaan tokoh Keke (Keiko)

menghadapi hidup ini.

8) Berani Karena Benar

Berani adalah melaukan sesuatu yang luar biasa, di luar kebiasaan

yang dilalukan. Sikap berani karena benar ini tercermin dalam diri tokoh

Keiko. Sikap tokoh Keiko ini dilukiskan seperti kutipan berikut.

244

“Baiklah. Tembak saja kami. Biar kau puas melihat dua mayat di sini. Ayo, lakukan nafsu binatangmu itu. Kau sebetulnya tahu, suamiku tidak salah. Tapi untuk menunjukkan kekuasaanmu, kau tetap menuntut kematiannya. Nah, bunuhlah sekarang!” (hlm. 196)

Novel Kembang Jepun memiliki nilai pendidikan yang dapat diambil

manfaatnya oleh pembaca yaitu nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan

budaya. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Kembang Jepun

tercermin melalui sikap atau tindakan para tokohnya.

Novel Kembang Jepun memiliki nilai pendidikan moral yang meliputi

pengendalian emosi, berjiwa besar, bersyukur dan tawakal kepada Tuhan,

dan jujur.

6. Nilai Pendidikan Budaya

a. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Memoirs of A Geisha

Novel Memoirs of A Geisha memiliki beberapa nilai pendidikan

budaya, yaitu :

1) Jatidiri Bangsa Jepang

Keadaan Jepang sebagai Negara yang sedang berkembang

membuatnya tidak bisa menolak kebudayaan-kebudayaan yang masuk dari

luar negeri (Amerika). Contoh yang mudah untuk membuktikan bahwa tiap

masyarakat mempunyai tradisi sendiri adalah dalam hal berpakaian, seperti

kutipan di bawah ini.

Spanduk raksasa di Teater Minamiza mengumumkan pertunjukkan Kabuki sore itu berjudul Shibamiku, salah satu drama kami yang paling terkenal, meskipun waktu itu aku tak tahu apa-apa tentang Kabuki. Orang berduyun-duyun bergerombol menuju teater. Di antara

245

para laki-laki yang memakai stelan jas gaya barat atau kimono berwarna gelap, beberapa geisha tampak mencolok sekali memakai kimono berwarna-warni cerah, seperti daun-daun di musim gugur di atas air keruh sungai. (hlm. 119)

Pertama, kau harus mengerti bahwa cara ibu rumah tangga dan geisha memakai kimono sangat berbeda. Jika ibu rumah tangga biasa memakai kimono, dia memakai berbagai ganjal agar kimononya tidak menggelambir tak rapi di bagian punggung. Tetapi akibatnya dia akan kelihatan lurus saja, seperti tiang kayu di kuil. Tetapi geisha sering memakai kimono, jadi dia tak memerlukan ganjal dan nyaris tak pernah mengalami masalahan penggelambiran. (hlm. 70)

2) Keyakinan Bisa Menimbulkan Kekuatan

Sistem religi dalam novel Memoirs of A Geisha beragam, missal kepercayaan terhadap Tuhan juga terhadap animisme.

Aku tak bisa menahan haru, air mataku menggenang dan aku terpaksa menatap langit-langit untuk mencegahnya mengalir di pipiku. Sebelum meninggalkan Okiya kuambil sapu tangan yang diberikan Ketua kepadaku dan kusisipkan ke dalam obi-ku sebagai pembawa keberuntungan. (hlm. 180).

Di samping itu kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Kemudian kami bertiga ke Kuil Gion. Di tempat itu Mameka dan aku bertepuk tangan dan menyatakan kepada para dewa bahwa sebentar lagi kami akan terikat sebagai kakak beradik. Aku memohon berkat mereka untuk tahun-tahun yang akan datang dan kemudian memejamkan mata dan berterima kasih kepada mereka karena telah mengabulkan permohonan yang kuajukan tiga setengah tahun sebelumnya, yaitu menjadikan aku geisha. (hlm. 180)

3) Kesenian Harus Dihormati

Banyak kesenian yang ditampilkan dalam novel Memoirs of A Geisha.

Kesenian Jepang digambarkan pada geisha.

246

Tetapi geisha harus belajar banyak kesenian selain shamizen. Memang suku kata “gei” dalam kata “geisha” berarti seni, jadi arti kata geisha yang sebenarnya adalah seniman. (hlm. 152-153)

Bangsa Jepang terkenal sebagai bangsa yang mempunyai jiwa seni tinggi, sehingga wajar kalau bangsa Jepang menghormati seni. Hal ini seperti kutipan berikut ini.

Menari adalah kesenian geisha yang paling dihormati. Hanya geisha paling menjanjikan dan cantik yang didorong untuk mengkhususkan diri menari, dan tak ada hal lain – kecuali mungkin upacara minum teh. (hlm. 163)

Di samping seni harus dihormati, seni (geisha) juga dapat sebagai lahan bisnis, seperti kutipan berikut.

Mereka mungkin memang tak langsung mendapat bagian dari penghasilan si geisha, tetapi jelas mereka semua mendapat bagian keuntungan jika ada geisha yang punya pelanggan, karena geisha itu akan mendatangkan tamu-tamu ke Gion yang bersedia menghamburkan uang. (hlm. 140)

4) Menghargai Tradisi Bangsa

Adat atau tradisi merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri. Tradisi ini biasanya merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat.

Salah satu yang bisa dilihat dalam novel Memoirs of A Geisha ini adalah perbedaan tradisi cara memandang perempuan antara tradisi Jepang dan Barat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat kutipan berikut.

Aku harus bercerita kepadamu tentang leher di Jepang, siapa tahu kau belum tahu. Laki-laki Jepang umumnya memandang leher dan tengkuk wanita seperti para laki-laki di Barat memandang kaki. Inilah sebabnya para geisha memakai kimono yang bagian belakangnya sangat rendah,

247

sehingga beberapa tonjolan tulang punggung bagian atas kelihatan. (hlm. 69)

5) Menjalani Hidup ini Seperti Air yang Mengalir

Maksud dari ungkapan ini adalah menyerahkan diri kepada Tuhan.

Penyerahan diri kepada Tuhan, dalam novel ini dapat dilihat ketika Chiyo

(Sayuri) mengetahui dirinya dijual Tuan Tanaka untuk dijadikan geisha. Hal

ini sesuai dengan kutipan di bawah ini.

Tuan Tanaka tak membawa apa-apa bagiku kecuali penderitaan, tetapi dia juga mengubah pandanganku untuk selamanya. Kami menjalani hidup seperti air yang mengalir menuruni bukit menuju satu tujuan sampai kami tercebur ke dalam sesuatu yang memaksa kami menemukan arah baru. (hlm. 114).

Nilai pendidikan budaya adalah gambaran system nilai atau system

budaya masyarakat pada suatu tempat dan pada suatu masa. Nilai-nilai itu

mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup yang

dianut atau diyakini, dan hal-hal apa yang dijunjung tinggi. Novel Memoirs of

A Geisha memiliki beberapa nilai pendidikan budaya yang meliputi jati diri

bangsa Jepang, keyakinan bisa menimbulkan kekuatan, kesenian harus

dihormati, menghargai tradisi bangsa, dan menjalani hidup ini sebagai air

yang mengalir.

b. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Kembang Jepun

Novel Kembang Jepun memiliki beberapa nilai pendidikan budaya yaitu jati diri bangsa Indonesia (suku Jawa)

248

1) Jatidiri Bangsa Indonesia (Suku Jawa)

Keadaan Indonesia sebagai negeri yang terjajah membuatnya tidak bisa menolak kebudayaan-kebudayaan yang masuk dari negeri penjajah.

Contoh yang mudah untuk membuktikan bahwa tiap masyarakat mempunyai tradisi sendiri adalah dalam hal berpakaian, hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

“Saya tidak mengerti dan mungkin saya menyayangkan jawaban itu, berhubung saya memang menganggap Jepang tidak sepopuler Belanda. Di usia belum 9 tahun ini, kalau bukan karena ke Surabaya dan melihat dengan mata kepala sendiri rupa orang Jepang, maka orang Jepang tidak menarik, sama belaka dengan orang-orang Minahasa, kecuali bahwa mereka punya kimono dan orang Minahasa waktu itu, masih banyak yang memakai cawat di hutan. Ibu dan nenek saya selalu memuji orang Belanda, sebab orang Belanda-lah yang mengajar orang Minahasa memakai celana, jas, dan dasi bagi kaum pria, dan gaun- gaun panjang bagi wanita. Lalu berdansa walsa di pekarangan.” (hlm. 25-26)

“Kami diperkenalkan pada beberapa jenis kimono, yaitu desho untuk kimono yang sangat resmi, lantas fudangi untuk kimono yang dipakai sehari-hari, furisode untuk kimono yang dipakai perempuan yang belum menikah, haregi untuk kimono resmi, hitoe untuk kimono tanpa pola, iromuji untuk kimono warna kuat tanpa pola, nagajuban untuk kimono dalam, dan yukata untuk kimono mandi. Semuanya kami hafal, dan tahu kapan harus memakainya.” (hlm. 28)

“Maka, akhirnya saya datang ke Kalisosok. Saya cukup berjalan kaki ke situ, sebab tidak jauh dari Shinju. Dengan kebaya Jawa, orang tidak meloto seperti kalau saya memaka kimono lewat di Jembatan Merah. Setelah melewati jalan ini saya ke kanan, ke penjara yang besar itu.” (hlm. 89-90)

Dari ketiga kutipan di atas tampak bahwa masing-masing kebudayaan mempunyai kekhasan tersendiri, termasuk dengan pakaian yang digunakan masyarakatnya.

249

2) Selama Kau Menghargai Tanah, Kau Takkan Kelaparan

Ungkapan di atas maksudnya bahwa selama mau bekerja (bercocok tanam) pasti tidak akan kelaparan. Ungkapan ini menimbulkan keyakinan dan akhirnya menjadi budaya atau adat yang turun-temurun, seperti kutipan berikut.

Apabila matahari terbenam hari ini, maka pagi besuk adalah hari pertama kami bertani, mengurus sawah dan ladang Mbah Soelis. Sebelum saya berangkat, Mbah Soelis memegang bahu saya, memberi pengertian yang akan terus saya camkan sampai saya tua dan menjadi nenek-nenek. Katanya, “Selama kau menghargai tanah, kau takkan kelaparan.” (hlm. 178)

Pengertian yang diberikan oleh Mbah Soelis dijadikan pegangan dalam hidup Keke.

3) Keragaman Bahasa Merupakan Kekayaan Budaya

Novel Kembang Jepun yang menceritakan tiga zaman, didalamnya terdapat bangsa Belanda, Jepang, dan Indonesia, sehingga bahasa dari ketiga

Negara tersebut banyak terdapat dalam novel ini. Misalnya yang terdapat dalam novel ini adalah bahasa daerah Minahasa.

“Ngana bae-baer jo di sini. Broer mo pigi dulu di Batavia.”

(hlm. 25)

Kesenian Jepang yang dilakukan geisha salah satunya adalah seni musik. Mereka menghibur tamu dengan memainkan musik dari alat musik yang bernama shamisen. Memainkan shamisen merupakan tugas pertama seorang geisha.

“Itulah tugas geisha yang perdana di antara tugas-tugasnya yang lain bagi kesenangan lelaki: ia harus cekatan memainkan shamisen, alat

250

petik tiga dawai. Pameo yang umum diucapkan geisha adalah, “Sanbon ga areba, taberareru,” artinya, “jika kau memiliki tiga dawai, kau bisa makan.” Dengan alat musik tiga dawai inilah Yoko menyanyikan syair lama tentang bulan.”

Arashi fuku Oto mo oyobanu Kumo mo ue wa Ikani shizukeku Tsu kino sumuran (hlm. 10)

Kutipan di atas merupakan seni musik dan seni lukis Jepang yang dilakukan Yoko seorang geisha ketika peresmian Shinju.

Kutipan di atas menunjukkan betapa beragamnya kesenian khas

Jepang. Berbeda dengan kesenian khas Jepang yang dalam novel ini diceriakan sebagai lahan bisnis, kesenian khas Jawa, khususnya Jawa Timur yaitu ludruk digunakan rakyat sebagai bentuk perjuangan melawan penjajah.

“Dan jawab anggota ludruk itu dengan gagah beraninya, ini lambang penerangan Cak, seni harus dimanfaatkan sebagai juru penerang bagi rakyat, untuk menyadarkan bahwa penjajahan Jepang harus dilawan, sebab penjajahan ini menyebabkan rakyat sengsara.” (hlm. 207)

Dari kutipan di atas tampak bagaimana rakyat Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, dengan kesenian pun ternyata bisa mempengaruhi rakyat Indonesia yang lain untuk berani melawan penjajah.

Bahasa Jawa juga banyak terdapat dalam novel ini. Terutama bila Tjak

Broto sedang bercakap-cakap dengan keluarganya. Bahasa Jawa yang digunakan juga berlogat Jawa Timuran.

“Ibu kan gampang. Cinta bisa dibangun pelan-pelan setelah nikah.” Kata ibunya. “pepatah Jawa sendiri mengatakan, „tresno jalaran saka kulina.‟”

251

“Kuno!” sanggah Tjak Broto. “Sing ngono iku gak mathuk, Bu. Pepatah sekarang bunyinya harus „Tresno mergo sreg‟!”. (hlm. 65)

Selain bahasa-bahasa daerah seperti pada kutipan di atas, masih ada bahasa Belanda dan Jepang yang sering muncul dalam novel Kembang

Jepun ini. Bahasa Belanda selain digunakan oleh bangsa Belanda juga digunakan oleh bangsa pribumi yang berpendidikan Belanda.

“Wat is er eigenlijk?” “Mijn moeder houd niet van haar.” “Waarom houd zij niet?” “Omdat zij is een geisha. Mijn moeder beschouw een geisha evenals een hoer. Ik heb haar al gezegd dat het niet waar is. Maar U weet toch, oude vrouw.” “Ah, dat is gewoon.” “Hoe zo” …… (hlm. 142)

Bahasa asing kedua dalam novel ini adalah bahasa Jepang.

“Doko no kuni kara korare mashita ka?” Saya tidak gelagap oleh pertanyaan itu. Ia yakin betul bahwa saya orang Jepang. Olehnya sayapun harus menjawab dengan yakin pertanyaan itu. “Shikoku,” jawab saya. Ternyata itu memancing pertanyaan yang laun. “Shikoku no donohen kara kora remashita ka?” Dan seketemunya saya menjawab, “Takamatsu.” Ia mengangguk. Pasti tiada kesalahan yang saya buat. Apalagi karena ucapan bahasa Jepang saya adalah boleh dikatakan paling sempurna di antara geisha-geisha yang lain, yang semuanya berasal dari Minahasa. (hlm. 98)

4) Kesenian Sebagai Lahan Bisnis

Kesenian yang ditampilkan novel Kembang Jepun pada geisha,karena geisha dianggap sebagai jiwa seni itu sendiri.

252

“Saya geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha menyenangkan. Gei berarti seni, dan Sha berarti pribadi. Sejak umur sembilan tahun saya memang dibina untuk menjadi pribadi seni. Saya pandai menyanyi, memainkan shamisen dan taiko, menuangkan teh dan sake, memijat dan mengurut, serta menghibur dengan menyerahkan seluruh badan saya kepada semua lelaki yang datang pada saya di Shinju.” (hlm. 5)

5) Keyakinan Bisa Menimbulkan Kekuatan

Sistem religi dalam novel Kembang Jepun sangat beragam, misalnya kepercayaan terhadap Allah juga terhadap animisme.

“Bagus sekali. Terima kasih,” kata saya senang. “Apa gambar ini punya arti?” “Ya. Itu jimat.” “Jimat?” “Ya, supaya kalau kau berubah, kau akan ingat saya dan saya juga akan ingat kau.” (hlm. 72)

Kutipan di atas menunjukkan kepercayaan dan keyakinan Keke dan

Tjak Broto terhadap kalung yang dianggapnya sebagai jimat. Kepercayaan dan keyakinan terhadap Allah dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Saudara-saudara, kita memang boleh bersyukur kepada Allah, karena di saat kita lapar, kita masih dikasih makan. Tapi marilah sama-sama kita mengadukan nasib kita kepada Allah, bahwa sebetulnya tidak pantas kita menerima makanan seperti ini. Makanan yang kita makan ini berasal dari tanah air kita yang sekarang ini dirampas dan diperkosa oleh bangsa Jepang. Kita tidak boleh menerima ini dengan pasrah. Kita harus melawan.” (hlm. 229)

6) Menghargai Tradisi Bangsa

Adat atau tradisi merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri. Tradisi ini biasanya merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang yang

253

masih dijalankan di masyarakat. Dalam novel ini ditemukan beberapa tradisi yaitu tradisi bangsa Jepang, bangsa Belanda, dan bangsa Indonesia.

Salah satu yang bisa dilihat dalam novel Kembang Jepun ini adalah tradisi makan bangsa Jepang dan Belanda yang bertolak belakang. Kutipan dari pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.

“Saya diajar setiap kali makan mulut harus mengecap-ngecap rebut – tidak saya katakan seperti anjing, melainkan barangkali seperti bunyi gelombang kecil menebas-nebas buritan perahu, sebagai tanda bahwa saya orang Jepang yang lahap dan menghargai orang yang memasak. Saya tidak mudah menyesuaikan diri dengan istiadat ini, sebab lebih lama saya diajar makan menurut cara Belanda, yaitu sejak berusia 4 tahun, dan itu kepalang sudah tertanam. Dalam cara makan Belanda yang rata-rata dilakukan oleh orang Minahasa, kedua siku tidak boleh menempel di meja pada saat kedua tangan mengayunkan sendok dan garpu, lalu tak boleh bicara pada saat mengunyah.” (hlm. 30)

Perbedaan lain antara tradisi Jepang dan Belanda terdapat pada cara mereka memandang seorang perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Yang harus saya gambarkan dulu mengenai dirinya adalah, ia agak berbeda dari lelaki Jepang umumnya, yang rata-rata menganggap perempuan sebagai alas kaki belaka. Ia memperhatikan perempuan sebagai sikap orang Barat, sebagai mitra. Itu aneh, dan alih-alih, mengingat saya di sini berbicara sebagai geisha yang ditempa dan dibentuk oleh seorang lelaki Jepang yang kolot sebagaimana lelaki Jepang: Kotaro Takamura.” (hlm. 97)

Nilai pendidikan budaya adalah gambaran system nilai atau system budaya masyarakat pada suatu tempat dan pada suatu masa. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup yang dianut atau diyakini, dan hal-hal apa yang dijunjung tinggi. Novel Kembang

Jepun memiliki beberapa nilai pendidikan budaya yang meliputi jati diri

254

bangsa Indonesia (suku Jawa), selama kau menghargai tanah kau takkan

kelaparan, keragaman bahasa merupakan kekayaan budaya, kesenian sebagai

lahan bisni, dan keyakinan bisa menimbulkan kekuatan.

7. Hubungan Intertekstual antara Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

Novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden yang diterbitkan oleh PT

Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2002 merupakan hipogram, sedangkan

novel Kembang Jepun karya Remy Sylado yang diterbitkan oleh PT Gramedia

Pustaka Utama tahun 2003 sebagai teks transformasi.

B. Pembahasan

1. Struktur Novel Memoirs of A Geisha

Secara structural novel terdiri dari tema, amanat, alur, latar, dan sudut pandang atau point of view.

a. Tema

Tema novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden ada tiga

persoalan yang menonjol yang dapat digunakan untuk menentukan tema: (a)

pengarang ingin menyampaikan tentang budaya tradisional Jepang khususnya

geisha di Jepang, (b) pengarang ingin menyampaikan cinta yang penuh

pengorbanan, dan (c) pengarang ingin menyampaikan kehidupan geisha di

Jepang.

Persoalan pertama, berkaitan dengan budaya tradisional Jepang

khususnya geisha. Geisha sebagai salah satu symbol budaya tradisional

255

Jepang yang eksotis. Secara khusus geisha telah menjadi representasi dari perempuan yang menjadi atribut dari dominasi budaya tradisional patriarki.

Pada usia 9 ytahun tokoh utama Chiyo sudah mulai belajar segala hal yang harus dikuasai seorang geisha. Pada saat ia berumur 15 tahun, Chiyo harus mengalami mizuage dengan penuh kesadaran harus menyerahkan keperawanannya kepada Dr. Kepiting. Chiyo telah terbina sejak usia 9 tahun untuk menganggap hal itu sebagai sebuah pengabdian. Sejak saat itu Chiyo mulai kariernya sebagai geisha dengan nama Sayuri. Ia mulai merasa nyaman dan menikmati pekerjaan sebagai geisha. Sayuri beranggapan bahwa geisha adalah pekerjaan seni dan geisha bukanlah sesuatu yang tabu meskipun ia harus menyerahkan seluruh badannya kepada tamu-tamu di Gion.

Sayuri bahagia dan bisa menikmati profesinya sebagai geisha karena dengan sadar ia berpikir bahwa bersetubuh bagi seorang geisha adalah gabungan antara pekerjaan, pelayanan, kepasrahan, dan keindahan. Sejak usia

9 tahun ia sudah terbina untuk memberikan kehidupan ini sebagai kebenaran yang luhur. Maksudnya, dalam tradisi budaya Jepang kedudukan dia sebagai geisha itu terhormat.

Persoalan kedua berkaitan dengan cinta yang penuh pengorbanan.

Pertama kali Chiyo bertemu dengan Ketua ketika ia ditolong Ketua karena sedang menangis meratapi nasibnya yang sendirian terpisah dengan kakaknya

(Satsu). Dari pertemuan mereka itu Chiyo jatuh cinta pada Ketua. Chiyo tidak bisa melupakan Ketua bahkan Chiyo sanggup menjadi geisha tujuannya agar bisa bertemu Ketua. Selama menjalani pendidikan geisha ia mengalami

256

berbagai penderitaan fisik maupun non fisik. Akan tetapi semua penderitaan ia terima dengan hati yang sabar dan tegar. Kalau dicermati semua kekerasan fisik maupun non fisik itu merupakan pengorbanan Chiyo karena cintanya kepada Ketua.

Akhirnya semua perjuangan dan pengorbanan Chiyo tidak sia-sia, ia berhasil bertemu Ketua bahkan Ketua menjadi dannanya. Mereka hidup bahagian di New York, akan tetapi tidak lama kemudian Ketua meninggal.

Persoalan ketiga berkaitan dengan kehidupan seorang geisha. Salahb satu yang digambarkan dengan sangat menyentuh adalah kehidupan seorang geisha di Jepang. Pengalaman hidup seorang geisha yang bermula dari penderitaan, bersinar terang, tetapipada suatu saat sangat menyedihkan. Pada suatu saat ia ditimpa kesedihan yang mendalam, tetapi pada saat lain berhasil mencapai kegemilangan luar biasa. Ini semua merupakan pelajaran bagi pembaca, bahwa sesungguhnya hidup ini adalah perputaran roda nasib yang penuh rahasia. Rahasia itu dipegang teguh oleh Tuhan agar manusia itu dapat menjaga diri dan terhindar dari kesombongan.

Kehidupan geisha dimulai dari penderitaan. Hal ini dapat dilihat ketika

Chiyo (Sayuri) sebagai gadis kecil dijual ayahnya untuk dijadikan seorang geisha. Berbagai kekerasan fisik maupun non fisik ia alami. Berkat perjuangan dan keteguhan hati Chiyo berhasil menjadi geisha yang terkenal dan kaya. Akan tetapi kesuksesan Chiyo (Sayuri) tidak berlangsung lama karena terjadi Perang Dunia II. Chiyo (Sayuri) harus berhenti menjadi geisha, sehingga ia miskin. Chiyo (Sayuri) harus bekerja keras untuk hidup.

257

Atas pertolongan Nobu, akhirnya Chiyo dapat bertemu dengan Ketua.

Mereka kemudian menetap di New York dan Ketua sanggup menjadi danna

Sayuri. Akhirnya mereka hidup bahagia di New York, tetapi tidak lama

kemudian Ketua meninggal dunia.

b. Amanat

Pada saat pengarang menulis karya sastra disadari atau tidak pasti ingin

menyampaikan pesan kepada pembaca. Pesan tersebut dapat disampaikan

melalui dialog antar tokoh, paparan yang tersusun dalam paragraph atau

melalui perenungan setelah sebuah karya sastra seelsai dibaca. Pesan yang

disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya sastra disebut amanat.

Pada umumnya amanat memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis,

bahkan sebuah karya sastra yang tidak bermutu pun akan tetap mengandung

amanat. Jadi amanat ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Arthur Golden melalui novel Memoirs of A Geisha ingin

menyampaikan amanat yaitu untuk mencapai kebahagiaan harus bekerja keras

karena tanpa bekerja keras apa yang diharapkan tidak akan tercapai. Manusia

harus menyadari bahwa yang bisa mengubah nasibnya adalah dirinya sendiri.

Orang yang mempunyai semangat perjuangan dan bekerja keras, pasti suatu

saat akan memperoleh kebahagiaan sesuai dengan yang diharapkan. Demikian

juga tokoh Chiyo (Sayuri) berjuang tidak kenal putus asa, dan bekerja keras.

Semua perjuangan dan kerja keras Sayuri membuahkan sebuah kebahagiaan

yaitu ia bertemu lagi dengan Ketua. Ia menjadi seorang geisha sukses. Hal ini

258

terbukti Sayuri memiliki rumah geisha di New York (Amerika) dan hidup

berbahagia dengan Ketua di New York.

Apabila dicermati amanat yang terdapat dalam novel Memoirs of A

Geisha memberikan manfaat yang sangat berarti bagi kehidupan, sehingga

novel Memoirs of A Geisha termasuk karya sastra bermutu.

c. Alur

Novel Memoirs of A Geisha menggunakan alur progresif atau alur

wajib. Dalam alur progresif atau kronologis, penceritaan dimulai dari

eksposisi, komplikasi, rising action, klimaks, dan berakhir denounement.

Peristiwa-peristiwa yang terjalin dalam novel Memoirs of A Geisha berurutan

secara kronologis seperti berikut.

1) Tahap Eksposisi

Pada tahap ini pengarang mulai menceritakan atau pengenalan

tokoh-tokoh. Pada bagian ini pengarang menceritakan tokoh Chiyo. Ia

gadis kecil berumur 9 tahun dari keluarga miskin. Ayah Chiyo seorang

nelayan tua yang miskin dan bertempat tinggal di kota kecil Yoroido,

sedangkan ibunya dalam keadaan sakit keras. Chiyo mempunyai seorang

kakak bernama Satsu. Kedua gadis kecil ini bahagia meskipun hidup

dalam kemiskinan. Akan tetapi Sakamoto-sang (ayah Chiyo) merasa

sedih dan kasihan jika melihat kedua anaknya itu dalam kemiskinan.

Akhirnya ia memutuskan untuk menjual kedua anaknya kepada Tuan

Tanaka untuk dijadikan geisha di Kyoto. Oleh karena itu, dari kemiskinan

259

inilah dapat mengubah nasib manusia dari gadis kecil berasal dari desa

menjadi seorang geisha.

Berdasarkan uraian di atas, tahap eksposisi novel Memoirs of A

Geisha benar-benar merupakan suatu awal yaitu hal yang memang

merupakan permulaan cerita. Bagian awal ini mampu memberikan

gambaran awal kepada pembaca terhadap arah gerak cerita selanjutnya.

Pada bagian ini pengarang telah berhasil membuat pembaca menjadi lebih

jelas ketika cerita mulai bergerak dan berkembang.

2) Tahap Complication (Peristiwa Mulai bergerak Menuju Konflik-Konflik)

Pada tahap ini peristiwa-peristiwa dalam cerita mulai bergerak

maju, sehingga menimbulkan berbagai konflik yang harus dihadapi

tokoh-tokohnya, seperti tokoh Chiyo dan Satsu sering mengalami

kekerasan fisik maupun non fisik dari Bu Gehsah. Akibat dari peristiwa

ini mereka sangat sedih, sehingga bertekad melarikan diri. Akan tetapi

yang berhasil melarikan diri hanya Satsu. Akibat dari peristiwa ini Chiyo

sangat sedih, karena ia harus hidup sendirian tanpa saudara dan jauh dari

orang tua. Kesedihan Chiyo terobati yaitu ketika sedang meratapi

nasibnya datanglah tokoh bernama Ketua. Tokoh Ketua inilah berhasil

menghibur Chiyo keluar dari kesedihan, bahkan dari pertemuan ini Chiyo

bertekad akan menjadi geisha hanya dengan harapan bisa bertemu lagi

dengan Ketua. Peristiwa ini merupakan suspens cerita karena dengan

peristiwa itu pembaca pasti bertanya, dapatkah Chiyo bertemu lagi

260

dengan Ketua. Di samping itu peristiwa ini merupakan bukti bahwa Chiyo sangat mencintai tokoh Ketua.

Pada tahap ini cerita lebih berkembang, misal Chiyo sudah masuk sekolah pendidikan geisha. Pada bagian ini pengarang menampilkan tokoh ibu, nenek, dan Hatsumomo. Tokoh ibu adalah pemilik rumah geisha di Gion, sedangkan tokoh nenek adalah geisha yang sudah tua.

Hatsumomo dan Mimeka adalah seorang geisha yang masih aktif bekerja sebagai geisha.

Pada bagian pengarang menceritakan bahwa Chiyo sering mengalami kekerasan fisik maupun non fisik dari Hatsumomo. Kekerasan itu misalnya berupa ancaman bahkan Chiyo terjebak dengan kelicikannya, mengenai rusaknya kimono Mimeha. Akibat dari peristiwa ini, Chiyo harus menerima hukuman fisik dan harus mengganti harga kimono.

Sebenarnya kekerasan atau kelicikan Hatsumomo yang dilakukan terhadap Chiyo karena ia takut tersaingi atau kalah dalam kehidupan seorang geisha. Ketakutan Hatsumomo ini wajar, karena Chiyo sangat berpotensi menjadi seorang geisha yang terkenal. Seperti diketahui bahwa dalam kehidupan geisha selalu bersaing dalam menerima tamu. Oleh karena kehidupan geisha seperti itu, sdangkan Chiyo sebagai calon geisha sering mendapatkan kekerasan fisik maupun non fisik yang mengakibatkan alur semakin maju. Konflik semakin meluas ketika Chiyo oleh tokoh ibu diharuskan mengganti harga kimono, membayar seluruh biaya selama mengalami pendidikan geisha, dan biaya perawatan sakit.

261

Peristiwa ini merupakan suspens cerita sehingga menimbulkan pertanyaan

kepada pembaca. Sanggupkah Chiyo membayar hutang sebanyak itu.

Dengan adanya suspens ini cerita menjadi menarik, karena pembaca pasti

ingin mengetahui cerita selanjutnya.

3) Tahap Rising Action

Peristiwa ini semakin memuncak ketika Chiyo menjalani mizuage

dengan harga menjadi meningkat tertinggi. Setelah peristiwa mizuage itu

Chiyo resmi menjadi geisha dengan nama Sayuri dan diangkat menjadi

anak ibu (pemilik rumah geisha). Akibat dari peristiwa ini, Hatsumomo

selalu membuat ulah kepada Sayuri. Hal ini dilakukan Hatsumomo karena

iri dan takut tersaingi dalam menapaki kariernya sebagai geisha. Ia

menganggap Sayuri merupakan satu ganjalan dalam meniti kariernya

sebagai geisha yang terkenal dan sukses.

Akan tetapi berkat keuletan dan kepandaian tokoh Mimeka ulah

Hatsumomo dapat diatasi dengan baik. M ameha yang menjadi kakak

Sayuri sangat bertanggung jawab pada karier Sayuri sebagai geisha.

Mimeka mengharapkan Sayuri menjadi geisha yang sukses dan terkenal.

Mimeka berusaha sekuat tenaga untuk mencapai harapan itu. Berkat

usaha dan perjuangannya, sehingga Sayuri berhasil menjadi geisha yang

terkenal.

262

4) Tahap Klimaks

Perjuangan tokoh Mameha untuk mengantarkan Sayuri menjadi

seorang geisha yang terkenal berhasil bahkan Sayuri benar-benar bisa

mengalahkan Hatsumomo, seperti kutipan di bawah ini.

Berdasarkan kutipan di atas, peristiwa tersebut dapat disebut

sebagai klimaks cerita, karena peristiwa memuncak (klimaks) yaitu

Sayuri sekarang menjadi geisha yang terkenal sesuai dengan harapan

Mameha. Akan tetapi kesuksesan Sayuri harus berakhir ketika terjadi

Perang Dunia II, Sayuri harus meninggalkan Okiya. Ia harus bekerja

keras untuk hidup. Sayuri sebagai geisha yang terkenal dan kaya berubah

menjadi miskin.

5) Tahap Denounement

Pada tahap ini, peristiwa mulai menurun Sayuri dapat mengatasi

kemiskinan, misalnya ia mendapat bantuan dari keluarga Arishima untuk

hidup. Di samping itu atas bantuan Nobu-sang, Sayuri kembali bekerja di

Gion (Okiyo). Sayuri mulai hidup baru lagi. Ia bekerja sebagai geisha.

Peristiwa semakin menurun ketika Sayuri bertemu dengan Ketua dan

Ketua sanggup menjadi danna Sayuri. Mereka kemudian menetap di New

York. Akan tetapi kebahagiaan ini harus berakhir karena Ketua

meninggal dunia. Bagian ini merupakan penyelesaian cerita

(denounement).

Berdasarkan urutan peristiwa yang kronologis, maka alur yang

digunakan dalam ini adalah alur progresif (maju). Secara kualitatif, alur

263

yang digunakan dalam novel ini adalah alur erat (padat) karena rangkaian

peristiwa dalam novel ini sangat erat. Secara kuantitatif alur yang

digunakan dalam novel ini adalah alur tunggal karena dalam novel

tersebut terdapat hanya satu alur. Kemudian berdasarkan akhir cerita,

maka alur yang terdapat dalam novel tersebut adalah alur tertutup karena

pengarang sendiri yang memberikan penjelasan cerita yaitu kematian

Ketua, sedangkan Sayuri menjalani sisa hidupnya di Amerika.

d. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan berhubungan dengan cerita pengarang menentukan dan

memilih tokoh serta nama tokoh dalam cerita. Perwatakan adalah cara yang

digunakan oleh pengarang dalam melukiskan watak tokoh dalam cerita.

Secara garis besar cara yang digunakan pengarang untuk mendeskripsikan

tokoh ada dua cara, metode langsung dan metode tidak langsung. Metode

langsung bercirikan pemaparan watak tokoh dengan menggunakan nama

tokoh, penampilan para tokoh, dan tuturan pengarangnya. Metode tidak

langsung dilakukan dengan dialog para tokoh, tindakan para tokoh dan

melalui peristiwa yang terjadi.

Dalam novel Memoirs of A Geisha terdapat dua tokoh yaitu tokoh

utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak

diceritakan dalam novel, selain itu tokoh utama juga berhubungan dengan

semua tokoh yang ada dalam novel tersebut, sedangkan tokoh tambahan

adalah tokoh yang memiliki peranan membantu tokoh utama. Tokoh utama

264

dalam novel Memoirs of A Geisha adalah Chiyo (Sayuri) karena Sayuri merupakan tokoh yang paling dominan dalam keseluruhan cerita. Tokoh tambahan dalam novel Memoirs of A Geisha adalah Ketua, Labu, Ibu Gehsah,

Ibu, Nenek, Hatsumomo, dan Mimeha.

1) Aspek Psikologis

Tokoh utama (Sayuri) dari aspek psikologis digambarkan oleh

pengarang seorang geisha yang cantik, jujur, sabar, tepat janji, mandiri,

dan pantang menyerah.

a) Jujur dan Sabar

Kecantikan Sayuri tidak membuat menjadi sombong bahkan

ia bersifat jujur dan sabar. Sifat inilah merupakan keleibhan Sayuri

dibandingkan dengan wanita pada umumnya. Sayuri selalu sabar

dalam menghadapi cobaan atau penderitaan hidup. Sayuri bersikap

tenang dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil suatu keputusan

untuk memecahkan suatu masalah. Sayuri selalu bisa menerima dan

berlapang dada jika mendapatkan suatu yang tidak menyenangkan.

Sayuri termasuk orang yang selalu berprasangka baik kepada siapa

pun. Misalnya, Sayuri tetap bisa menerima hukuman-hukuman yang

diterimanya selama menjalani pendidikan geisha. Sayuri beranggapan

bahwa hukuman itu memang harus diterima dan wajar diberikan

kepadanya. Itu semua dijalani untuk mencapai tujuannya menjadi

geisha.

265

Di samping itu kelebihan Sayuri yaitu sebagai seorang wanita

yang jujur. Sayuri mencintai kejujuran tidak menyukai kebohongan.

Ia selalu mengatakan hal yang sebenarnya. Sebaiknya setiap manusia

mencintai kejujuran secara lahir dan batin, baik dalam ucapan

maupun perbuatan. Hal ini perlu dikatakan bahwa kejujuran dapat

menunjukkan kebenaran dan kebaikan. Dengan kebaikan

menunjukkan kedamaian. Jadi kalau kita selalu bersikap jujur atau

mengatakan yang sebenarnya hidup di dunia ini akan damai. Seperti

dikatakan bahwa perdamaian di dunia ini sangat didambakan oleh

setiap orang, karena dengan perdamaian hidup ini akan lebih tenang

dan bahagia. b) Mandiri dan Percaya Diri

Tokoh Sayuri oleh pengarang juga dilukiskan sebagai wanita

yang mandiri dan percaya diri. Sayuri termasuk wanita yang

memiliki sifat mandiri yang kuat. Sayuri tidak akan mudah menyerah

pada suatu keadaan dan selalu berusaha mengandalkan

kemandiriannya untuk mengatasi segala permasalahan yang dihadapi.

Kemandirian yang dimiliki oleh Sayuri disebabkan oleh factor

endogen (dalam) yang dibawanya, tetapi dapat pula pengaruh

eksogen (luar) berupa pendidikan, pengalaman, dan lingkungan

sekitar. Kalau dicermati sifat kemandirian ini disebabkan oleh dua

factor tersebut. Sayuri sebagai wanita yang sifat kemandiriannya

kuat, sehingga wajar kalau ia memegang teguh prinsip yang

266

diyakininya. Di samping itu Sayuri bersifat percaya diri. Sebagai

tokoh utama, Sayuri selalu percaya apa yang dilakukan adalah terbaik

dan benar.

Kepercayaan yang dimiliki Sayuri dalam novel tersebut

menunjukkan bahwa Sayuri yakin dia akan bertemu dengan

kakaknya (Satsu), setelah mereka terpisah saat Tuan Tanaka menjual

mereka. Kepercayaan diri yang dimiliki Sayuri ini dapat dijadikan

panutan dalam kehidupan. Sebagai manusia kita harus percaya diri

dalam bersikap agar hidup ini berarti. c) Tepat Janji

Sayuri dilukiskan sebagai wanita yang konsistens dengan

sikap, pemikiran, kesepakatan yang dibuat bersama dengan orang

lain. Sayuri dapat dikatakan sebagai wanita yang selalu menepati

janji. Sayuri meraa bersalah, bila ia tidak menepati janjji. Sayuri

selalu menepati janji dengan siapapun, missal dengan Mameha. Ia

akan bekerja keras dan mematuhi segala perintah yang diberikan oleh

Mameha. Ini dilakukan karena Mameha yang menyelamatkan

hidupnya. Sayuri akan merasa berdosa bila ia tidak dapat menepati

janji. Sikap Sayuri yang selalu berusaha menepati janji ini, patut

menjadi teladan dalam hidup ini, karena dengan menepati janji

kepada seseorang, hidup ini menjadi tenang.

267

d) Pekerja Keras

Dilihat dari aspek psikologis, Sayuri termasuk wanita yang

pekerja keras. Sayuri bekerja keras dengan tujuan supaya bisa

mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan

tujuan ayahnya ketika menjual Sayuri agar mendapatkan kehidupan

yang lebih baik. Di Okiya ia memulai kehidupan baru dengan belajar

dan bekerja keras.

Di samping itu, kerja keras yang dilakukan oleh Sayuri lebih

ditujukan agar dapat bertemu dengan Ketua. Kerja keras tersebut

pada akhirnya berhasil sesuai dengan tujuannya atau keinginan yang

diharapkan. Sayuri menjadi seorang geisha yang berhasil atau sukses

bahkan ia telah menjadi seorang geisha yang popular pada saat itu.

Keberhasilan Sayuri dengan bekerja keras ini merupakan sesuatu

yang sangat berharga bagi kehidupan. Hal ini dapat menyadarkan

bahwa manusia dalam mengarungi hidup ini tidak boleh malas

bekerja. Tetapi harus bekerja agar mendapatkan sesuatu yang sesuai

dengan harapannya. e) Rela Berkorban

Sifat rela berkorban juga dimiliki oleh tokoh Sayuri. Sayuri

bersedia mengorbankan dirinya untuk kebutuhan atau kepentingan

orang lain. Sayuri rela mengorbankan dirinya demi kepentingan

Hatsumomo yang ingin merusak kimono Mameha. Tindakan

Hatsumomo jelas akan mengorbankan Sayuri karena dialah yang

268

akan dituduh merusak kimono tersebut. Sikap menurut keinginan

Hatsumomo semata-mata hanya ingin mengetahui keberadaan

kakaknya Satsu. Pada awalnya Sayuri tidak bisa melakukannya,

dengan berbagai pertimbangan, Sayuri akhirnya mau merusak

kimono Mameha dengan hati yang terpaksa.

Sifat rela berkorban yang dimiliki oleh Sayuri itu patut

diperhatikan dengan baik. Oleh karena seperti diketahui bahwa sifat

rela berkorban tidak semua manusia mampu memiliki. Sebenarnya

dalam kehidupan ini sifat rela berkorban sesama manusia harus bisa

dilakukan, arena dengan kita mau berkorban untuk orang lain berarti

suatu bukti bahwa manusia sebenarnya dalam hidup harus saling

menolong atau saling menghargai sesama manusia. Mendahulukan

kepentingan oran glain dari pada kepentingan pribadi merupakan

perbuatan yang luhur dan mulia. f) Optimis

Sayuri mempunyai sikap semangat hidup yang tinggi. Sayuri

kecil yang tertekan karena kehilangan keluarga, hidup di dalam

rumah yang penuh fitnah dari Hatsumomo. Dalam lingkungan yang

tidak pernah dibayangkan membuatnya hampa. Sampai pada saat dia

mengalami suatu pertemuan yang sangat inspiratif. Pertemuannya

dengan Ketua pada saat Sayuri masih berumur kira-kira 9 tahun

membuatnya mempunyai tujuan hidup. Sayuri kecil saat itu ingin

cepat dewasa, ingin cepat menjadi geisha hanya untuk dapat dekat

269

dengan Ketua. Keinginan Sayuri disajikan dengan teknik pikiran tokoh atau apa yang melintas dalam pikirannya berikut.

Selain keinginan untuk menjadi geisha, Sayuri juga menyimpan sapu tangan yang diberikan oleh Ketua sebagai obor semangat hidup dalam dirinya. Sapu tangan tersebut disimpan dengan baik dan selalu dibawa kemanapun dia pergi. Pertemuan Sayuri dengan Ketua memang membuat dirinya mengalami pola pikir yang jauh berubah dari sebelumnya. Pertemuan pertama itu adalah sebagai pertanda bahwa Sayuri mempunyai semangat yang lebih besar dalam hidup serta berusaha untuk mendapatkan cinta. Perjuangan dan usaha

Sayuri pada akhirnya tidak sia-sia. Dengan usahanya yang keras dan mendapatkan dukungan dari Mimeha, dia berhasil mendapatkan apa yang menjadi tujuan sebelumnya yaitu menjadikan Ketua danna bagi dirinya.

Sayuri sebagai gadis yang berasal dari keluarga nelayan yang miskin dan sering mengalami kekerasan fisik maupun non fisik selama bekerja di Gion (rumah geisha). Akibat dari peristiwa ini membentuk kepribadian Sayuri menjadi tegar dan selalu optimis dalam menghadapi kehidupan ini.

Jadi tokoh Sayuri secara psikologis dapat disebut sebagai wanita yang mempunyai semangat hidup tinggi. Sayuri berpandangan bahwa dalam kehidupan ini harus mempunyai semangat hidup yang tinggi, tanpa ada semangat yang tinggi, manusia akan gagal mencapai

270

sesuatu yang sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena berbagai

permasalahan yang dihadapi, Sayuri menjadi wanita yang tegar dan

optimis dalam hidup.

Berdasarkan uraian di atas, tampak Sayuri mempunyai

semangat hidup yang tinggi, missal Sayuri kecil saat itu ingin cepat

dewasa, ingin cepat menjadi geisha hanya untuk dekat dengan Ketua.

Tujuan hidup Sayuri disajikan dengan teknik pikiran tokoh atau apa

yang yang melintas dalam pikirannya. Sayuri dengan semangat yang

tinggi akhirnya memperoleh sesuatu sesuai dengan yang diharapkan

yaitu menjadi geisha yang terkenal dan kaya. g) Cerdik

Sayuri dapat termasuk wanita yang cerdik, banyak akal dan

bisa menghadapi situasi apa saja dan keluar dari masalah-masalah

yang ada. Sayuri dapat bersikap menguasai lawannya dengan kata

atau tingkah laku. Kecerdikan Sayuri dapat dilihat, ketika ia ingin

membalas dendam kekejaman Hatsumomo dan nenek. Pembalasan

Sayuri dengan cara mencampur cream wajah dengan kotoran burung

merpati.

Kecerdikan ditemukan lagi yaitu ketika ia ingin membalas

dendam kepada nenek dengan cara menebar kotoran tikus di dapur

dan melubangi bagian bawah karung beras, sehingga nenek harus

membersihkan dapur dan karung beras dari kotoran tikus. Seperti

diketahui tokoh nenek sangat benci pada tikus. Pembalasan dendam

271

Sayuri kepada Hatsumomo dan nenek meskipun tidak menimbulkan

bahaya, tetapi ia sangat puas. Sayuri berasal dari keluarga nelayan

miskin dan sering mengalami kekerasan fisik maupun non fisik,

sehingga membentuk kepribadian yang tegar dan selalu optimis

dalam menghadapi hidup di dunia ini.

Jadi tokoh Sayuri dilihat dari aspek psikologis dapat disebut

sebagai tokoh wanita tegar, berprinsip, dan selalu optimis dalam

kehidupan, sehingga ia berhasil menjadi geisha yang sukses.

2) Aspek Sosial

Dari aspek social, Sayuri (Chiyo) bisa dikatakan sebagai masyarakat

kelas bawah atau miskin. Keluarga Sayuri adalah keluarga nelayan miskin.

Ayahnya seorang nelayan yang sudah tua, sedangkan ibunya sakit. Dalam

keadaan seperti itulah ayahnya memutuskan Sayuri dan kakaknya (Satsu)

dijual kepada Tuan Tanaka untuk dijadikan geisha. Ayah Sayuri melakukan

itu semua dengan harapan agar kedua anaknya mendapatkan kehidupan

yang lebih baik. Kemiskinan keluarga Sayuri tercermin, ketika ibunya

dalam keadaan sakit dengan berpakaian compang-camping. Kemiskinan

yang dialami keluarga Sayuri benar-benar menimbulkan rasa haru,

sehingga perlu mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Akan tetapi ayah

Sayuri (Sakamoto-san) termasuk seorang ayah yang berpegang pada

prinsip, sehingga kedua anaknya dijual untuk dijadikan geisha.

272

3) Aspek Fisiologis

Dari aspek fisiologis, Sayuri termasuk wanita yang cantik, kuat, dan

tidak mau menyerah pada keadaan. Kekuatan fisik tampak ketika terjadi

Perang Dunia II, Sayuri harus makan seadanya bahkan ampas kedelai,

akibatnya Sayuri menjadi kurus. Kekuatan fisik Sayuri juga lemah ketika ia

ditampung keluarga Arashimo. Ia harus bekerja keras untuk bertahan

hidup.

Sayuri mempunyai kekuatan fisik yang baik. Kekuatan fisik Sayuri

terbentuk karena ia berasal dari keluarga miskin sehingga ia terbiasa

dengan bekerja keras. Selain itu ia mempunyai kekuatan fisik yang baik

karena sudah terbiasa dengan kekerasan fisik maupun non fisik yang

dialaminya ketika ia berada di rumah geisha (Gion). Berdasarkan dua

pengalaman itu, maka wajarlah Sayuri mempunyai kekuatan yang baik.

Oleh karena kecantikan itulah ia sangat diharapkan menjadi geisha

yang terkenal di Jepang. Ternyata harapan Ibu (pemilik rumah geisha)

menjadi kenyataan. Sayuri menjadi geisha yang terkenal dan sukses.

Kehadiran Sayuri di Gion selalu ditunggu-tunggu banyak tamu. Dengan

kecantikan dan kelembutannya, Sayuri bisa mendatangkan banyak tamu di

Gion, sehingga menambah kekayaan Ibu (pemilik rumah geisha).

273

Tokoh Ketua

Ditinjau dari aspek psikologis, tokoh Ketua dilukiskan sebagai pengusaha yang pandai. Oleh karena kepandaiannya, perusahaan yang dipimpinnya menjadi besar dan sukses.

Meskipun Ketua seorang pengusaha yang sukses, tetapi ia mempunyai kelemahan yakni tidak berani memperjuangkan cintanya seperti diketahui bahwa sebenarnya Ketua mencintai Sayuri, tetapi karena Nobu-san ia tidak berani memperjuangkan cinta. Akibat dari peristiwa ini, Sayuri harus menunggu lama.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara psikologis tokoh Ketua termasuk tokoh yang pandai dan tidak berani, secara sosiologis tokoh Ketua termasuk pengusaha muda yang sukses, dan secara fisiologis dapat dikatakan sebagai pengusaha yang berpenampilan rapi dan tenang.

e. Setting (Latar)

Fiksi adalah dunia dalam kata yang didalamnya terjadi pula kehidupan

yaitu kehidupan para tokoh dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Oleh karena

itu maka peristiwa-peristiwa yang terjadi agar lebih realistis dan ke seperti

kehidupan harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu.

Latar dalam novel ini terdiri dari tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu,

dan sosial. Ketiga unsur tersebut meskipun masing-masing menawarkan

permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan sendiri, tetapi pada

kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Berikut ini

pembahasan latar dalam novel Memoirs of A Geisha.

274

1) Latar Waktu

Latar waktu dalam novel Memoirs of A Geisha adalah sebelum dan

sesudah Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1930 yang disebut zaman

Malaise sampai dengan tahun 1956. Pengarang dalam novel ini, latar

waktu diungkap secara rinci karena fokus dalam novel ini adalah

pengalaman kehidupan geisha dari tahun 1930 sampai selesai Perang

Dunia II.

Latar waktu dalam novel ini diungkap seperti kehidupan yang

memang terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu, misal dengan

adanya kesatuan bulan dan tahun. (hlm. 382)

2) Latar Tempat

Latar tempat dalam novel Memoirs of A Geisha berada di Kyoto,

Yoroido, Gion, dan New York. Yoroido merupakan tempat kelahiran

tokoh utama. Di kota kecil ini Chiyo dengan keluarganya. Kyoto

merupakan tempat Sayuri bekerja sebagai geisha, sedangkan Gion adalah

rumah juga merupakan tempat geisha bekerja. Latar tempat yang terakhir

adalah New York (Amerika) merupakan tempat Sayuri dan Ketua

menikmati hari tua mereka.

3) Latar Sosial

Latar sosial adalah lukisan status yang menunjukkan hakikat tokoh

dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dalam novel Memoirs of A

Geisha, latar sosial dengan kehidupan tokoh utama sebagai geisha. Sayuri

sebagai tokoh utama berasal dari keluarga nelayan yang miskin. Sayuri

275

menganggap pekerjaan geisha adalah pilihan hidupnya. Ia berjuang keras

dalam bekerja, sehingga ia berhasil menjadi geisha yang terkenal dan

kaya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar dalam novel

ini meliputi latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar dalam novel

Memoirs of A Geisha mengacu kepada latar perkotaan kecil dan perkotaan

besar. Seperti Yoroido, Kyoto, Jepang, dan New York serta Perang Dunia II.

Melalui ketiga kota dan perang, terjadinya peristiwa tercermin pada

masyarakat, tingkah laku, suasana dan hal-hal lain yang berpengaruh pada

tokoh dan karakternya.

f. Point of View

Bagi seorang pengarang point of view atau sudut pandang merupakan

strategi, teknik, siasat, atau cara yang ditempuh untuk mengemukakan ide,

gagasan yang disampaikan melalui cerita kepada pembaca. Point of view atau

sudut pandang disebut juga pusat pengisahan sebuah cerita. Sebagai sebuah

strategi, teknik, atau siasat untuk mengemukakan gagasan kreatif, pemilihan

sudut pandang dilakukan pengarang sebelum menulis cerita. Atau sebelum

mulai menulis cerita, pengarang harus memutuskan lebih dahulu sudut

pandang tertentu, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh

seorang tokohnya atau oleh seorang narrator di luar cerita itu.

Secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu

persona pertama (first-person) gaya “aku”, dan persona ketiga (third-person)

276

gaya “dia”. Melalui sudut pandang “aku” dan “dia” serta dengan berbagai variasi yang menyertai sebuah cerita dikisahkan. Berdasarkan hasil penelitian novel Memoirs of A Geisha menggunakan sudut pandang persona pertama atau first-persona. Hal ini bisa diketahui mulai dari kejadian pertama pada halaman pertama. Pada waktu tokoh utama Chiyo (Sayuri) bercerita tentang masa kecilnya.

Walaupun Arthur Golden menggunakan sudut pandang persona pertama bukan berarti kata “aku” merupakan kata ganti dirinya. Kata aku dalam novel ini adalah tokoh utama bernama Chiyo (Sayuri). Paparan yang menyatakan hal tersebut, seperti kutipan berikut.

Dengan sudut pandang pertama, novel Memoirs of A Geisha memunculkan beberapa segi positif. Pertama, dengan gaya “aku” pengarang bisa lebih mudah dan lebih bebas mengeksploitasi kemampuan dan karakter tokoh utamanya, karena ia tidak perlu mencari-cari sosok tokoh imajiner yang mampu membawa misi cerita. Kedua, novel Memoirs of A Geisha adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan memoir. Maka dengan gaya “aku”, kesan yang terkandung dalam keseluruhan alur cerita terasa lebih orisinil dan factual. Bahwa seolah-olah semua peristiwa yang terjadi didalamnya semua benar adanya.

Menurut hemat peneliti, ada dua tujuan Arthur Golden menampilkan tokoh “aku” satu orang Chiyo dalam novelnya. Arthur Golden memberi pelajaran kepada pembaca bahwa nasib seseorang ibarat misteri yang tak dapat diramalkan apalagi ditebak. Yang bisa dilakukan terhadap nasib adalah

277

perjuangan, usaha tak kenal lelah, dan ikhtiar tiada henti disertai doa kepada

Tuhan Yang Maha Kuasa agar nasib baik menjemput dirinya di masa depan.

Dalam kasus ini, Arthur Golden memposisikan Sayuri sebagai ikon tentang

keberhasilan seorang anak manusia yang ketika kecil hidup dalam jepitan

kemiskinan dan ketidakberdayaan tetapi setelah dewasa mampu meraih sukses

luar biasa.

Sebagai contoh, walaupun pengisahan kekerasan fisik maupunnon

fisik yang dialami tokoh Chiyo sangat memukau sehingga pembaca hanyut

dalam suasana yang mengharukan, pembaca akan terus bertanya-tanya, kisah

kekerasan fisik maupun non fisik itu benar-benar terjadi atau hanya hayalan

pengarang. Apabila benar-benar terjadi, berapa persen merupakan kejadian

sesungguhnya, dan berapa persen hasil rekaan. Demikian pula pada adegan-

adegan lain yang dikisahkan sangat mengalir. Semua itu sangat dipengaruhi

oleh sudut pandang yang digunakan pengarang. Bahwa karena semua kisah

mengalir dari “aku”, maka seluruh kejadian dalam novel Memoirs of A Geisha

seolah-olah factual.

2. Struktur Novel Kembang Jepun

a. Tema

Tema novel Kembang Jepun karya Remy Sylado ada tiga persoalan

yang menonjol yang dapat digunakan untuk menentukan tema: (a) pengarang

ingin menyampaikan tentang budaya tradisional Jepang khusus geisha di

Indonesia; (b) pengarang ingin menyampaikan cerita yang penuh

278

pengorbanan, dan (c) pengarang ingin menyampaikan kehidupan geisha di

Surabaya.

Persoalan pertama berkaitan dengan budaya tradisional Jepang khususnya geisha di Surabaya. Geisha sebagai salah satu symbol budaya tradisional Jepang yang eksotis. Secara khusus geisha telah menjadi representasi dari perempuan yang menjadi atribut dari dominasi budaya tradisional Jepang.

Pada usia 9 tahun Keiko mulai belajar segala hal yang harus dikuasai seorang geisha. Pada saat ia berumur 14 tahun dengan penuh kesabaran harus menyerahkan keperawanannya kepada Kotaro Takamura, pemilik Shinju.

Keiko telah terbina sejak usia 9 tahun untuk menganggap hal itu sebagai sebuah pengabdian. Sejak saat itu Keiko mulai kariernya sebagai geisha dan mulai merasa nyaman dan menikmati pekerjaan sebagai geisha. Keiko beranggapan bahwa geisha adalah pekerjaan seni dan geisha bukanlah sesuatu yang tabu meskipun ia harus menyerahkan seluruh badannya kepada tamu- tamu di Shinju.

Keiko bahagia dan bisa menikmati profesinya sebagai geisha, karena dengan sadar ia berpikir bahwa bersetubuh bagi seorang geisha adalah gabungan antara pekerjaan, pelayanan, kepasrahan, dan keindahan. Sejak usia

Sembilan tahun ia sudah terbina untuk menerima kehidupan ini sebagai kebenaran yang luhur. Maksudnya, dalam tradisi budaya Jepang, kedudukan dia sebagai geisha itu terhormat.

279

Persoalan kedua berkaitan dengan cinta yang penuh pengorbanan.

Pertama kali Keiko bertemu dengan Tjak Broto pada saat Tjak Broto diundang ke Shinju dalam acara peresmian Shinju. Ia diundang untuk menulis tentang kehebatan Shinju. Setelah pertemuan itu, maka berkelanjutan dengan pertemuan-pertemuan yang lain yang mengakibatkan keduanya saling jatuh cinta. Perasaan tersebut membuat Keiko dengan kesadarannya sendiri bertekad untuk meninggalkan Shinju demi tujun menikah dengan Tjak Broto.

Tindakan atau tekad Keiko ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengorbanan karena cintnya kepada Tjak Broto.

Kehidupan keluarga Keiko dan Tjak Broto awalnya bahagia, sampai pada saat Jepang berkuasa, Tjak Broto ditahan karena dituduh terlibat dalam pemberontakan tentara PETA. Ketika Tjak Broto ditahan, Keiko tidak diam, dia berinisiatif pergi ke markas Jepang untuk menemui dan membebaskan suaminya. Di sini Keiko harus berjuang untuk membebaskan suaminya.

Perjuangan Keiko tidak berakhir sia-sia, karena ternyata komandan yang mengurus masalah suaminya adalah Hiroshi Masakumi yang pernah menjadi tamu Keiko pada saat Keiko masih bekerja di Shinju. Hiroshi Masakumi membuat suatu persyaratan kepada Keiko, jika Keiko ingin suaminya dibebaskan, maka ia harus bersedia menjadi istrinya. Tidak ada pilihan lain kecuali menyetujui persyaratan Hiroshi, maka bebaslah Tjak Broto, sedangkan

Keiko yang menjadi tawanan asmara birahi Hiroshi. Peristiwa ini merupakan pengorbanan Keiko karena cintanya kepada suaminya.

280

Persoalan ketiga berkaitan dengan kehidupan seorang geisha. Keiko

(Keke) sebagai gadis kecil dari Minahasa dijual kakaknya (Jantje) untuk

dijadikan geisha. Tokoh utama ini diceritakan sebagai seorang wanita (geisha)

dengan perjalanan hidup yang cukup tragis. Sepanjang hidupnya, Keiko telah

melihat dan merasakan ketidakadilan yang terjadi pada wanita,

ketidakbebasan wanita untuk menentukan hidupnya sendiri. Ia

memperjuangkan hidupnya melawan penjajahan Jepang yang diperlihatkan

melalui perbuatannya. Ia dijajah, dianiaya, diperkosa, dan dipaksa untuk mati,

tapi tak pernah merasa kalah, tak pernah binasa. Ia terus berjuang dalam

menjalani hidup, dari kehampaannya sebagai geisha di Shinju, diselundupkan

ke Jepang, hingga kembali ke tanah kelahirannya Manado, dan akhirnya ia

menemukan kembali kebahagiannya setelah dipertemukan lagi dengan

suaminya yang sempat mempunyai istri lagi ketika mereka berpisah. Masalah

yang satu ke masalah yang lain berhasil ia lalui.

Berdasarkan uraian di atas lebih tepat bahwa tema novel Kembang

Jepun adalah tentang kehidupan seorang geisha. b. Amanat

Pada saat pengarang menulis karya sastra disadari atau tidak pasti

ingin menyampaikan pesan kepada pembaca. Pesan tersebut dapat

disampaikan melalui dialog antar tokoh, paparan yang tersusun dalam

paragraph atau melalui perenungan setelah sebuah karya sastra selesai dibaca.

Pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya sastra

disebut amanat. Pada umumnya amanat memberikan manfaat dalam

281

kehidupan secara praktis, bahkan sebuah karya sastra yang tidak bermutu pun

akan tetap mengandung amanat. Jadi amanat ini bermanfaat dalam kehidupan

sehari-hari.

Remy Sylado melalui novel Kembang Jepun ingin menyampaikan

amanat yaitu untuk mencapai kebahagiaan harus bekerja keras karena tanpa

bekerja keras apa yang diharapkan tidak akan tercapai. Manusia harus

menyadari bahwa yang bisa mengubah nasibnya adalah dirinya sendiri. Orang

yang mempunyai semangat perjuangan dan bekerja keras, pasti suatu saat

akan memperoleh kebahagiaan sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga

tokoh Keiko (Keke) berjuang tidak kenal putus asa, dan bekerja keras. Semua

perjuangan dan kerja keras Keiko membuahkan sebuah kebahagiaan yaitu ia

bertemu lagi dengan Tjak Broto. Ia menjadi seorang geisha sukses.

Apabila dicermati amanat yang terdapat dalam novel Kembang Jepun

memberikan manfaat yang sangat berarti bagi kehidupan, sehingga novel

Kembang Jepun termasuk karya sastra bermutu.

c. Alur

Novel Kembang Jepun menggunakan alur progresif atau alur maju.

Dalam alur progresif atau kronologis penceritaan dimulai dari eksposisi,

komplikasi, rising action, klimaks, dan berakhir denounement. Peristiwa-

peristiwa yang terjalin dalam novel Kembang Jepun berurutan secara

kronologis seperti berikut.

282

1) Tahap Eksposisi

Pada tahap ini pengarang mulai menceritakan atau pengenalan

tokoh-tokoh. Pada bagian ini pengarang menceritakan tokoh utama yang

bernama Keke. Ia gadis kecil berusia 9 tahun. Keke berasal dari keluarga

petani miskin di Minahasa. Orang Minahasa sangat mengagumi kota

Jakarta dan Jantje berjanji bahwa gadis-gadis tadi akan di sekolahkan di

Jakarta. Dengan keadaan seperti itu mempermudah atau memuliskan

rencana Jantje untuk membawa gadis-gadis kecil Minahasa ke Pulau

Jawa. Akan tetapi setelah sampai di Surabaya gadis-gadis tadi termauk

adiknya (Keke) dijual untuk dijadikan geisha.

Berdasarkan uraian di atas tahap eksposisi novel Kembang Jepun

benar-benar merupakan suatu awal yaitu hal yang memang merupakan

permulaan cerita. Bagian awal ini mampu memberikan gambaran awal

kepada pembaca terhadap arah gerak cerita selanjutnya. Pada bagian ini

pengaran telah berhasil membuat pembaca menjadi lebih jelas ketika

cerita mulai bergerak dan berkembang.

2) Tahap Complication

Pada tahap ini peristiwap-peristiwa dalam cerita mulai bergerak

maju sehingga menimbulkan berbagai konflik yang harus dihadapi tokoh-

tokohnya seperti tokoh Keke selama di rumah geisha sering mendapat

kekerasan fisik maupun non fisik dari Yoko (geisha senior). Akan tetapi,

Keke adalah seorang gadis yang tegar. Penderitaan-penderitaan yang

dialaminya, justru menguatkan keinginannya menjadi geisha dengan

283

segera. Peristwa ini merupakan suspens cerita karena dengan peristiwa

itu, pembaca pasti bertanya berhasil atau tidak keinginan Keke menjadi

geisha. Pada bagian ini pengarang mulai menceritakan kekerasan-

kekerasan yang dilakukan Yoko terhadap Keke, missal menyabet mulut

dengan rotan. Akan tetapi Keke pada saat itu bisa menerima ulah Yoko.

Cerita terus berkembang dan maju pada tahap berikutnya, yaitu ricing

action.

3) Tahap Rising Action

Pada bagian ini peristiwa semakin memuncak ketika Keke harus

menyerahkan keperawanannya kepada Kotaro Takamura sebagai bentuk

pengabdian. Setelah peristiwa ini, Keke resmi menjadi geisha dengan

nama Keiko. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat diharapkan.

Akan tetapi bagi Yoko, peristiwa ini sangat ditakutkan karena Keke

mempunyai potensi menjadi geisha yang terkenal. Akhirnya Yoko selalu

membuat ulah terhadap Keiko, misal dituduh mencuri uang pelanggan.

Pada bagian ini merupakan suspens cerita, missal apakah ulah Yoko

berhasil atau tidak?

4) Tahap Klimaks

Perjuangan Keke berhasil mengantarkannya menjadi geisha yang

terkenal. Pada tahap ini pengarang menampilkan tokoh seorang wartawan

bernama Tjak Broto. Dengan tampilnya tokoh Tjak Broto cerita semakin

berkembang dan memuncak, misal Tjak Broto dan Keiko saling jatuh

cinta dan mereka berniat menikah.

284

Kemudian pernikahan Tjak Broto dan Keiko tetap dilaksanakan,

meskipun tanpa restu orang tua. Ini mereka lakukan karena antara Tjak

Broto dan Keiko saling mencintai. Keiko sangat mencintai Tjak Broto,

misal ia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai geisha. Ini merupakan

pekerjaan yang berat atau dapat dikatakan merupakan sebuah

pengorbanan bagi seorang geisha. Seperti diketahui dari awal bahwa

Keiko menjadi geisha adl pilihan hidup. Akan tetapi semua itu

dilaksanakan karena ia sangat mencintai Tjak Broto.

Peristiwa semakin berkembang ketika Tjak Broto ditangkap

Jepang dan di penjara. Hal ini terjadi karena ia dituduh terlibat

pemberontakan PETA di Blitar. Akibat peristiwa ini Keiko harus

memperjuangkan hidup dan cintanya kepada Tjak Broto. Ia dipijak,

dianiaya, diperkosa, dan dipaksa untuk mati tetapi tak pernah mau.

Perjuangan Keiko berhasil dan Tjak Broto bisa bebas. Akan tetapi Keiko

masih harus berjuang dalam menjalani hidup dan kehidupannya seorang

geisha di Shinju, ia diselundupkan ke Jepang.

5) Tahap Denounement

Pada tahap berikutnya, peristiwa mulai menurun ketika Keiko bisa

berhasil keluar dari negeri Jepang dan kembali lagi ke tanah kelahirannya

Menado. Perjuangan dan pengorbanan Keiko (Keke) tidak sia-sia, ia

berhasil menemukan kembali kebahagiaannya dengan suaminya (Tjak

Broto) yang sempat mempunyai istri lagi ketika mereka harus berpisah.

Masalah yang satu ke masalah lain berhasil ia lalui dengan baik. Akhirnya

285

mereka hidup bersama pada hari tuanya. Bagian ini merupakan

penyelesaian cerita.

Berdasarkan urutan peristiwa yang kronologis maka alur yang

digunakan dalam novel ini adalah alur progresif (maju). Secara kualitatif,

alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur erat (padat) karena

rangkaian peristiwa dalam novel dalam novel tersebut sangat erat tidak

dapat disisipi oleh peristiwa-peritiwa lain. Secara kuantitatif alur yang

digunakan dalam novel ini adalah alur tunggal karena dalam novel

tersebut terdapat hanya satu alur. Kemudian berdasarkan akhir cerita,

maka alur yang terdapat dalam novel tersebut adalah alur tertutup karena

pengarang sendiri yang memberikan penyelesaian cerita yaitu bertemunya

kembali Keiko dan Tjak Broto yang sempat terpisah selama 25 tahun.

Kemudian mereka menikmati kebahagiaan di hari tuanya.

d. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan

memilih tokoh serta nama tokoh dalam cerita. Perwatakan adalah cara yang

digunakan dalam melukiskan watak tokoh dalam cerita. Secara garis besar

cara yang digunakan pengarang untuk mendeskripsikan tokoh ada dua cara,

metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung bercirikan

pemaparan watak tokoh dengan menggunakan nama tokoh, penampilan para

tokoh, dan tuturan pengarangnya. Metode tidak langsung dilakukan dengan

dialog para tokoh, tindakan para tokoh, dan melalui peristiwa yang terjadi.

286

Dalam novel Kembang Jepun terdapat dua tokoh yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh-tokoh yang paling banyak diceritakan dalam novel, selain itu tokoh utama juga berhubungan dengan semua tokoh yang ada dalam novel tersebut, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang memiliki peranan membantu tokoh utama. Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun adalah Keiko (Keke) karena Keiko merupakan tokoh yang paling dominan dalam keseluruhan cerita. Tokoh tambahan dalam novel Kembang Jepun adalah Tjak Broto, Jantje, Kotaro Takamura, ibunya

Tjak Broto, dan Mbah Soelis.

Perwatakan tokoh dalam penelitian ini dilihat dari tiga aspek yaitu aspek psikologis, aspek fisik, dan aspek social.

1) Aspek Psikologis

a) Jujur

Tokoh utama (Keiko) dari aspek psikologis digambarkan oleh

pengarang sebagai seorang geisha yang jujur, percaya diri, setia,

mandiri, pekerja keras, rela berkorban, dan berani.

Dalam novel Kembang Jepun, tokoh utama Keiko digambarkan

sebagai wanita yang mempunyai sifat jujur. Kejujuran tokoh utama

ini nampak ketika Keiko dan Tjak Broto bertemua lagi setelah

beberapa bulan tidak datang ke Sinju. Rasa rindu yang ada membuat

keduanya berkata jujur, sesuai dengan apa yang dirasakan dalam hati.

Keiko dengan lugu menyatakan bahwa dalam pikirannya selalu

terbayang sosok Tjak Broto. Kejujuran yang tulus dari hati keluar

287

lewat mulutnya. Keiko telah jatuh cinta, perasaan yang ada membuat

dirinya bahagia. Kejujuran demi kejujuran pun terucapkan dari

hatinya. Wujud kejujuran tokoh Keiko juga dapat dijumpai pada saat

terjadi dialog antara Keiko dengan Tjak Broto. Dalam percakapan itu

Keiko mengucapkan perkataan sesuai dengan apa yang terdapat di

dalam hatinya. (hlm. 49 dan hlm. 94).

Tokoh Keiko menyatakan bahwa ia juga memiliki perasaan

yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Tjak Broto. Kedua tokoh

sama-sama merasakan jatuh cinta, kangen, dan juga saling

mengagumi. Sikap jujur yang dimiliki tokoh Keiko diperkuat dengan

kalimat terakhir yaitu “Kejujuran seperti ini memang langka.” Tokoh

Keiko menyadari bahwa kejujuran tentang perasaan cinta yang saat

ini ia ungkapkan, jarang sekali ia lakukan. Tokoh Keiko merasa

senang dengan perasaan yang ia alami saat itu, dan perasaan tersebut

membuat Tjak Broto bahagia. Di sini terlihat berharganya sosok

Keiko bagi Tjak Broto. Kejujuran tokoh Keiko dilukiskan dengan

cara tidak langsung (cakapan). b) Mandiri

Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun digambarkan

sebagai wanita yang bersikap mandiri. Tokoh utama (Keik0) mampu

mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang

dihadapi. Di samping itu Keiko memiliki kepercayaan diri dalam

mengerjakan tugas-tugasnya. Bentuk sikap mandiri Keiko tampak

288

ketika dengan halus menolak ajakan seorang bapak yang duduk di

sebelahnya, bapak tersebut menawarkan jasanya untuk mengantar

Keiko ke penginapan atau menginap di rumahnya, berkenalan dengan

istri dan anak-anaknya. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Keiko

melakukan perjalanan menuju ke dengan menggunakan

kereta api. Pada umumnya, bagi wanita yang melakukan perjalanan

jauh seorang diri dengan membawa barang banyak, itu tidak mudah.

Akan tetapi tokoh Keiko tetap bisa menjalaninya.

Selain itu wujud mandiri yang dimiliki oleh tokoh Keiko juga

terlihat ketika terbukti Keiko dapat bertahan hidup sebatang kara di

dalam hutan selama 25 tahun. Keiko hidup terasing atas kemauan dia

sendiri. Keiko tidak hanya pasrah dalam menjalani hidupnya, tetapi

dia juga berbuat. Keiko menjalani hidupnya layaknya manusia pada

umumnya. Keiko menganggap cara hidupnya adalah suatu keputusan

untuk berbuat sesuai dengan bisikan hati. Kedua kutipan di atas

menunjukkan suatu bukti kemandirian Keiko. Tokoh Keiko masih

mampu bertahan tanpa harus menerima uluran tangan orang lain. c) Percaya Diri

Tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang

bersikap percaya diri. Keiko sebagai wanita percaya diri, ia selalu

bersikap tegas dan cepat menentukan sikap, dan mengambil

keputusan dengan perhitungan yang cukup matang.

289

Kepercayaan diri yang dimiliki oleh tokoh utama terlihat pada penggalan kutipan di atas. Dengan bangga tokoh Keiko menyatakan bahwa ia sudah menjadi orang Jepang nomor satu di dunia.

Pernyataan Keiko tersebut dikemukakan pada saat ia sedang berbincang dengan Tjak Broto di Shinju. Pernyataan Keiko sebagai orang Jepang nomor satu di dunia merupakan sebuah kepercayaan diri yang muncul pada dirinya. Tokoh Keiko berani menyatakan hal tersebut tidak lain karena Keiko telah menjadi primadonanya Shinju.

Keiko merupakan orang nomor satu di Shinju, yang mewakili kotanya orang Jepang di Surabaya. Untuk mencapai prestasi sebagai orang nomor satu di Shinju tentu saja membutuhkan kepercayaan diri yang lain. Kepercayaan diri Keiko juga tampak ketika ia memperlihatkan sikap percaya diri yang dimiliki oleh tokoh Keiko.

Kemampuannya menguasai dan memainkan alat musik Jepang, membuat induk semangnya terkagum-kagum. Rasa percaya diri yang dimiliki tokoh Keiko, sedikit banyak mampu mempenaruhi psikologisnya sehingga dapat menampilkan sesuatu dengan baik dan membuat orang yang mendengar merasa terhibur.

Sikap percaya diri yang telah tertanam dalam pribadi tokoh

Keiko, tidak hanya membuatnya merasa yakin dan mampu menunjukkan sesuatu yang telah dikuasainya kepada orang lain namun merupakan sebuah kekuatan yang membuatnya dapat bertahan hidup di Shinju dan mampu menerima segala bentuk ujian

290

dan tantangan yang berlaku padanya di tempat tersebut. Kepercayaan

diri tokoh utama ini dilukiskan dengan teknik langsung. d) Setia (Tepat Janji)

Tokoh utama dalam novel ini dilukiskan sebagai wanita tipe

setia. Dalam hal ini Keiko sangat setia bisa bertemu kembali dengan

orang yang sangat dicintai yaitu Tjak Broto. Sikap setia Keiko

terhadap Tjak Broto ketika terlontar dalam suara hatinya ketika ia

menjadi tawanan asmaran Hiroshi Masakuni seorang tentara Jepang

di gedung Kempetai. Tokoh Keiko ditawan karena ia berusaha

membebaskan suaminya dari tawanan Jepang. Keiko berhasil

berunding dengan tentara Jepang, suaminya akan dibebaskan tapi ia

harus menjadi gantinya. Tiga bulan ia menjadi tawanan Jepang,

hingga ia merasa sangat terpukul. Keiko tidak mau keluar dari

tekanan hidupnya, meskipun sudah demikian putus asa dan sengsara.

Keiko tetap bertahan dalam kesetiaannya hanya untuk bertemu

dengan Tjak Broto yang dikasihi.

Wujud kesetiaan yang dimiliki tokoh Keiko terhadap suaminya

Tjak Broto. Wujud kesetiaan tokoh Keiko yaitu dengan tetap

menyimpang kalung pemberian Tjak Broto. Kalung tersebut

diberikan oleh Tjak Broto jauh sebelum mereka menikah. Dan

sampai Keiko tua pun ketika ia terpisah dari Tjak Broto, kalung itu

tetap tersimpan olehnya, karena dengan menyimpan dan merawat

kalung tersebut, maka ia pun secara tidak langsung telah merawat

291

pula perasaannya terhadap Tjak Broto. Itulah wujud kesetiaan Keiko

terhadap suaminya. e) Sabar

Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun digambarkan

sebagai sosok pribadi yang tegar. Cobaan dan rintangan yang

menimpanya selama berada di Shinju seperti diperkosa, dianiaya,

diinjak-injak martabatnya, dilalui dengan kesabaran dan ketegaran

jiwa. Kesabaran dan ketegaran tokoh Keiko terlihat ketika Keiko

mengalami penganiayaan, pemerkosaan, dan dipaksa untuk mati, tapi

dia tidak merasa kalah dan tidak menyerah untuk memperjuangkan

cintanya terhadap Tjak Broto. Hal itu tercermin dalam sikap Keiko

dalam menghadapi dan melewati berbagai bentuk cobaan yang

diterimanya, seperti ketika tokoh Keiko harus mengambil keputusan

meninggalkan Shinju untuk menikah dengan Tjak Broto dalam

keadaan ia sedang menjadi primadona di Shinju, juga ketika orang

tua Tjak Broto tidak merestui ia untuk menjadi istri Tjak Broto.

Selain itu tokoh Keiko juga harus berjuang untuk membebaskan

Tjak Broto yang saat itu sudah menjadi suaminya dari tawanan

Jepang, dan hal yang paling luar biasa yaitu ketika tokoh Keiko harus

menjalani kehidupannya sebatang kara di tengah hutan. Keiko

sebagai tokoh utama mampu bertahan hidup seorang diri di tengah

hutam selama 25 tahun. Kesabaran itulah yang mengantarkannya

menjadi Keiko tua yang kuat dan penuh cinta. Ketegaran dan

292

kekuatan tersebut merupakan langkah tokoh utama untuk

menunjukkan upaya eksistensi dirinya sebagai tokoh utama. f) Pekerja Keras

Tokoh utama dalam novel Kembang Jepun dilukiskan sebagai

tokoh pekerja keras. Keiko sebagai sosok wanita pekeja keras sh ia

mempunyai semagat cukup tinggi. Wujud sikap kerja keras Keiko

tampak ketika pada Awalnya tokoh Keiko tidak menghendaki untuk

terus bisa hidup di dalam hutan seorang diri, akan tetapi secara tidak

sadar, Keiko mulai melakukan perbuatan yaitu bekerja. Ternyata

dengan bekerja bisa membantu Keiko untuk lebih menikmati

hidupnya. Keiko mengakui karena pekerjaannya maka tanpa disadari

keinginan untuk hidup itu muncul, dan ia terus melakukan

kegiatannya sampai ia tua.

Sikap kejra keras tokoh Keiko tampak juga setelah mengalami

keputusasaan hidup sepulang dari Jepang, suaminya sudah menikah

lagi. Tokoh Keiko hidup seorang diri di tengah hutan. Walaupun

demikian, ia tidak pernah menyerah, kehidupannya tetap ia jalani.

Keiko tetap kuat, rutinitas hidup ia jalani dengan penuh semangat.

Dengan giat ia bangun pagi, senam agar badan sehat dan mandi.

Sehabis itu dengan tekun ia menanam tanaman, mencabuti rumput,

dan dengan ulet ia mengurus kebunnya. Rutinitas tersebut ditekuni

Keiko dari pagi hingga sore hari. Tokoh Keiko walaupun sudah tua

namun etap bekerja keras, hal itu menunjukkan bahwa tokoh Keiko

293

tidak mau kalah oleh waktu. Itulah cara hidup yang telah menjadi

adat kebiasaan selama 25 tahun.

Kehidupan dalam kesebatangkaraan dengan cara hidup seperti

di atas merupakan suatu keputusan yang sudah diambil oleh tokoh

utama. Keiko tetap berbuat sesuatu untuk mempertahankan hidup

menurut bisikan hatinya sendiri. Keiko tetap menunjukkan

keberadaannya meski tak muda lagi. Semangat bekerja keras oleh

pengarang dilukiskan secara langsung. g) Optimis

Tokoh utama (Keiko) dalam novel ini digambarkan sebagai

wanita yang mempunyai semangat hidup optimis. Sikap optimis yang

dimiliki tokoh Keiko tampak ketika ia melakukan perilaku yang

menunjukkan keyakinan pada kemampuannya yaitu dapat

memainkan alat musik kouta dan nagauta. Keoptimisan Keiko

didukung oleh perasaan puas yang terlihat pada wajah Kotaro

Takamura ketika sedang melihat permainan Keiko. Sikap optimis

yang dimiliki tokoh Keiko telah mampu memberi harapan positif

bagi kegeishannya di Shinju. Kemampuan tokoh Keiko menjadi

pendorong bagi dirinya untuk bisa berusaha lebih maju dalam

pekerjaannya sebagai geisha. Wujud keoptimisan yang dimiliki oleh

tokoh Keiko juga terlihat ketika ia menyuarakan apa yang ada dalam

perasaan tokoh Keiko ketika ia disekap dibawa ke Jepang oleh

Hiroshi Masakumi (hlm. 249). Tokoh Keiko tidak pernah berhasil

294

mengerti perangai Hiroshi Masakuni. Bukan karena Keiko orang

bodoh, tetapi karena Hiroshi terlalu bedebah. Keiko dibikin seperti

robot, semua yang ia lakukan harus sesuai dengan yang diinginkan

Hiroshi. Siksaan yang ia alami amat berat. Keiko tidak tahu kapan

siksaan tersebut akan berakhir. Akan tetapi Keiko percaya dan tetap

optimis bahwa apa yang ia alami akan berakhir. Keiko yakin suatu

saat ia akan bisa tersenyum lepas, bebas dari belenggu dan tekanan

Hiroshi. h) Bijaksana

Tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang

bijaksana. Sikap bijaksana Keiko tampak ketika ia melontarkan

menggambarkan ketulusan, ketegaran, juga kebahagiaan pada diri

tokoh utama Keiko sebagai geisha.

Keiko telah berhasil melewati masa-masa sulit dalam

pencapaian identitas diri sebagai geisha. Keiko mampu menerima

kehidupannya sebagai geisha dengan perasaan bahagia. Keiko

menerima kehidupannya dengan tulus dan ikhlas karena sejak ia

berumur sembilan tahun telah dibina oleh Kotaro Takamura dan

Yoko di Shinju, untuk menerima bahwa kehidupan yang ia jalani saat

ini adalah sebuah kebenaran yang luhur.

Tokoh Keiko menjalani keputusan dalam hidupnya dengan

penuh semangat, ia melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya,

termasuk juga dalam hal belajar. Keiko berusaha untuk bisa

295

mengikuti, memahami, dan melaksanakan segala sesuatu yang

diajarkan oleh gurunya, walaupun ketika dia sudah melakukan hal

yang terbaik, tetap saja ia mendapatkan hukuman atas kesalahan kecil

yang ia perbuat. Sikap bijak Keiko tampak ia dapat menerima apapun

bentuk hukuman yang diberikan gurunya, lahir dari anggapan bahwa

untuk mencapai sesuatu, seseorang harus menempuhnya dengan

perjuangan dan perjuangan yang dilakukan Keiko adalah berusaha

menyerap semua ilmu dan aturan yang diajarkan padanya hingga ia

dapat melayani tamu yang datang ke Shinju sesuai dengan apa yang

diharapkan pemiliknya. Sikap bijaksana tokoh Keiko merupakan

pendidikan moral yang patut diteladani. i) Rela Berkorban

Tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh

wanita yang mempunyai sikap rela berkorbn. Bentuk sikap rela

berkorban yang dimiliki tokoh Keiko tampak ketika ia berani datang

ke markas Jepang.

Bentuk sikap rela berkorban yang dimiliki tokoh Keiko sangat

terasa dalam potongan dialog di atas. Dengan sikap berani Keiko

datang ke markas Jepang. Tokoh Keiko mengutarakan niatnya

kepada tentara Jepang, untuk membebaskan suaminya dari tawanan

Jepang. Rasa kasih dan cintanya yang membawa Keiko untuk

mengorbankan dirinya demi Tjak Broto yang tidak lain adalah

suaminya. Keiko bersedia diapakan saja, termasuk bila dia harus

296

merelakan tubuhnya untuk ditiduri oleh para tentara Jepang. Tidak

hanya itu, tokoh Keiko juga memperlihatkan jiwa rela berkorban

ketika terjadi pertengkaran antara Keiko dengan tentara Jepang.

Dalam peristiwa ini Keiko dapat merampas senjata api dari tentara

Jepang dan berhasil ditembakkan ke salah satu tentara Jepan. Dalam

peristiwa itu, Keiko benar-benar taruhannya nyawanya karena di

kelilingi tentara Jepang yang siap membunuuhnya.

Kepandaiannya dalam berbahasa Jepang ia gunakan untuk

memaki para tentara Jepang yang telah menyekap suaminya. Para

tentara Jepang heran dan karena saking herannya mereka terbengong

dan tidak tahu bahwa bahaya sedang mengancam mereka. Keiko

dalam keadaan marah mampu menembak salah satu tentara Jepang

yang bernama Kobayashi. Apa yang dilakukan tokoh Keiko tidak lain

hanyalah suatu pengorbanan diri demi suami yang sangat ia cintai.

Sikap tokoh utama yang mau mengorbankan diri sesungguhnya

merupakan sebuah usaha dalam memperjuangkan kehidupan

keluarganya. Tokoh Keiko bukanlah seorang istri yang penakut dan

pasrah dalam menghadapi suatu masalah. Ia berusaha, berbuat dan

berjuang untuk mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupan

keluarganya. j) Cerdik

Tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh

wanita yang cerdik. Kecerdikan tokoh Keiko tampak ketika ia akan

297

berangkat ke markas Jepang dengan tujuan mencari suaminya yang ditawan oleh penguasa Jepang. Ia menyamar dengan berpenampilan seperti perempuan Jawa, atau bisa dikatakan lebih seperti perempuan kampong layaknya istri seorang petani, dandanannyapun dibuat tidak menyolok. Penyamarannya dilakukan untuk menghindari tentara

Jepang yang ketika ketemu dengan wanita cantik maka nafsunya akan muncul melebihi singa lapar. Keiko mengetahui hal tersebut ketika dulu ia menjadi geisha di Shinju. Kecerdikan tokoh Keiko muncul karena ia tidak ingin tentara Jepang curiga atas identitas dirinya, dan semua hal yang ia lakukan semata-mata hanya karena ingin bisa menjumpai dan menyelamatkan suaminya. Sikap cerdik yang dimiliki tokoh Keiko juga sangat terlihat ketika tokoh Keiko telah menjalani hidup sebatang kara di tengah hutan selama 25 tahun.

Ia menerima kehidupannya tanpa mengeluh, ia jalani hidupnya dengan berusaha dan berjuang. Ketika tokoh Keiko sudah mreasa dan menerima bahwa itulah kehidupannya, datanglah serombongan orang yang mengusik kenyamannya. Orang-orang tersebut awalnya hanya datang untuk mencari lahan yang cocok untuk transmigrasi, akan tetapi setelah mengetahui ada kehidupan di tengah hutan, maka mereka berusaha mencari siapa orang yang telah berhasil hidup di hutan yang masih perawan tersebut. Tokoh Keiko amat takut dan merasa terancam dengan kehadiran orang-orang asing tersebut, akan tetapi ketakutannya tidak membuat buntu pikirannya. Keiko dengan

298

cekatan mencari jalan keluar untuk menghindari orang-orang

tersebut. Tokoh Keiko menghindar dengan penuh pertimbangan, ia

kerat dinding bivak satu persatu dengan hati-hati dan dengan

meminimalisir suara agar orang di depan bivak tersebut tidak

mendengarnya. Keiko sangat cerdik dalam usahanya untuk

mengamankan diri. Di sini terlihat bahwa tokoh Keiko sebagai tokoh

utama tidak pernah menyerah dan bisa menghadapi situasi apa saja,

juga keluar dari masalah-masalah yang ada dalam menjalani

kehidupannya. k) Berani

Tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh

wanita yang bersikap berani. Sikap berani Keiko tampak ketika ia

melawan tentara Jepang untuk membebaskan suaminya. Suami Keiko

menjadi tawanan Jepang karena dituduh telah menjadi penghasut.

Sebagai seorang istri yang baik dan setia pada suami, Keiko tidak

tinggal diam. Ia mencari suaminya, melakukan sebuah perundingan,

hingga terjadi perdebatan sengit antara tokoh Keiko dengan tentara

Jepang. Keiko menantang tentara Jepang dengan lantang agar tentara

Jepang tersebut membunuh ia dan suaminya. Keiko memaki tanpa

ada rasa takut. Tokoh utama wanita dalam penggalan kutipan di atas

telah melakukan suatu tindakan yang luar biasa di luar kebiasaan

yang ia lakukan. Perjuangan Keiko pun berlanjut, dengan keberanian

yang dimiliki Keiko, ia memaki tentara Jepang dengan bahasa Jepang

299

yang dikuasai sejak ia menjadi geisha di Shinju. Keiko tidak hanya

memaki, tapi ia juga mempunyai keberanian yang lebih untuk

menghabisi nyawa salah satu tentara Jepang yaitu Kobayashi. Keiko

membunuh dengan cara menembak. Senjata yang ia gunakan

membunuh adalah senjata yang berhasil ia rampas dari tentara

Jepang. Tindakan yang dilakukan Keiko merupakan tindakan yang

berani di luar kebiasaannya. Baru pertama kali tokoh Keiko

memegang bedil, kali itu juga ia berhasil meluncurkan peluru tepat

bersarang di dada Kobayashi.

Tokoh Keiko mempunyai keberanian di luar keberanian wanita

pada umumnya. Tokoh Keiko sebagai tokoh utama berani melawan

penguasa Jepang. Keiko dalam kekalutannya menunjukkan sikap

berani untuk memperjuangkan hidupnya sendiri dan suaminya.

2) Aspek Sosial

a) Masyarakat Kelas Bawah

Tokoh utama digambarkan berasal dari keluarga kelas bawah

atau dapat dikatakan dari keluarga miskin. Oleh karena kemiskinan

itu ia dijual kakaknya sendiri yang bernama Jantje kepada Kotaro

Takamura untuk dijadikan geisha.

Pada awalnya Jantje datang ke Shinju dengan membawa 5

orang gadis, termasuk adiknya. Kelima gadis tersebut akan dijual

pada Kotaro untuk dijadikan geisha di Shinju. Awalnya Jantje

300

membawa serta adiknya si Keiko untuk disekolahkan di kota, dan

Jantje pun menolak ketika Kotaro mau sekalian membelinya, tapi

ketika harga yang ditawarkan untuk Keiko sangat tinggi, maka Jantje

pun merelakan adiknya, mengingat keadaan keluarga yang

membutuhkan.

Kehidupan keluarga Keiko tergolong dalam masyarakat kelas

bawah, atau keluarga yang mempunyai tingkat ekonomi rendah atau

bisa dikatakan miskin.

Hal ini terbukti, misal Keiko ganti baju hanya sekali dalam

kurun waktu setahun, itupun harus dipakai dulu ke gereja untuk

memperingati hari natal. Walaupun begitu tokoh Keiko tetap

bersyukur atas apa yang ia dapat. b) Pribumi

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang wanita pribumi.

Hal ini terlihat ketika terjadi percakapan antara Keiko dengan Tjak

Broto. Keiko mengaku pada Tjak Broto bahwa nama asli Keiko

adalah „Keke‟. Nama „Keiko‟ bukanlah nama sebenarnya. Nama

Keiko diberikan oleh Kotaro Takamura setelah ia resmi menjadi

geisha di Shinju. Keiko juga mengakui bahwa Manado adalah tanah

kelahirannya. Kutipan di atas juga makin menunjukkan bahwa Keiko

bukanlah orang Jepang seperti yang ada di Shinju. Keiko adalah

orang Indonesia, tepatnya orang Manado yang beradat Minahasa.

Kepribumian Keiko juga semakin terlihat ketika terjadi percakapan

301

antara Keiko dengan Mbah Soelis. Ternyata Keiko merupakan

kembangnya Shinju, merupakan warga Negara Indonesia, tepatnya

wilayah Minahasa. Setelah sekian lama Keiko meninggalkan kota

kelahirannya untuk mencari jatidiri dari kora Surabaya hingga

Negara Jepang, akan tetapi akhirnya ia memutuskan untuk kembali

ke kampung halamannya.

3) Aspek Fisik

a) Kuat

Tokoh utama dalam novel yaitu Keiko. Ia digambarkan sebagai

wanita yang kuat. Kekuatan tubuh Keiko, terbukti ia mampu bertahan

hidup di tengah hutan selama 25 tahun seorang diri.

Kesebatangkaraan dan kekuatan tokoh utama dalam

memperjuangkan hidupnya seorang diri di tengah hutan. Bukanlah

melakukan sesuatu hal yang mudah, akan tetapi Keiko bisa menjalani

dan melewatinya. Tidak tanggung-tanggung tokoh Keiko mampu

bertahan selama 25 tahun, dan dalam kehidupannya, ia menjadi

terbiasa dengan segala macam keterbatasan. Keiko tidak hanya

mengambil keputusan saja untuk hidup di hutan seorang diri, tapi ia

mulai berbuat, ia membenahi tempat tinggal, mencari makan di tengah

hutan, menanam yang bisa ditanam juga merawat kebun. Tidak

disadari Keiko telah beranjak tua. Meskipun Keiko tergolong sudah

tua, tapi kekuatan Keiko tua lumayan besar. Hal tesebut terbukti ketika

302

Keiko tua berusaha untuk melarikan diri dari kejaran Ismail Roeslan.

Peristiwa itu terjadi ketika Ismail Roeslan dan Tjak Broto menemukan

Keiko tua dan Ismail Roeslan, keponakan Tjak Broto. Ismail Roeslan

berhasil menemukan Keiko tua yang hidup seorang diri di sebuah

biyak, di tengah-tengah hutan, pada saat Ismail mendampingi seorang

pejabat untuk membuka lahan transmigrasi. Setelah beberapa hari

Ismail Roeslan kembali lagi ke tempat tinggal Keiko dengan tujuan

membawa Keiko tua ke kota. Pemberontakan terjadi pada diri Keiko

tua, dengan gesit Keiko berusaha melepaskan diri dari dekapan Ismail

Roeslan.

Kekuatan fisik yang didorong oleh kekuatan hati. Kekuatan

hatinya untuk tetap bertahan dan lepas dari ancaman. Dibandingkan

Ismail Roeslan yang laki-laki pun, Keiko tetap bisa lolos dari

tangkapannya. Sikap tokoh Keiko yang kuat dan tetap berusaha untuk

bisa memperjuangkan hidupnya dari gangguan orang lain. Keiko yang

sudah menjalani kehidupan selama 25 tahun di dalam hutan seorang

diri, merasa terganggu dengan adanya orang asing yang datang

padanya. Sikap tokoh Keiko yang melawan merupakan wujud

eksistensinya untuk memperjuangkan hidupnya. b) Tua

Tokoh utama Keiko dalam novel ini disamping digambarkan

wanita cantik ia juga dilukiskan sebagai wanita yang tergolong sudah

tua karena sudah berusia 62 tahun, dengan rambut yang sudah

303

memutih semua dan tidak pernah dirawat. Ia ikat rambutnya ketika

sedang tidur dan ia konde ketika bangun di pagi hari. Kulit Keiko pun

sudah keriput.

Keiko hidup di sebuah biyak sederhana di tengah-tengah hutan,

wajar kalau di dalam biyaknya tidak ada peradaban yang lengkap,

termasuk cermin pun Keiko tidak punya. Tokoh Keiko berpikir kalau

ia punya sebuah cermin dan ia berkaca pada cermin tersebut, pastilah

ia akan melihat seraut wajah yang keriput dan tidak menarik lagi. Hal

ini menandakan kalau dirinya sudah tua.

Tokoh Tjak Broto

1) Aspek Sosiologis

Tjak Broto digambarkan sebagai seorang wartawan. Di rumah, ia

anak sulung dari dua bersaudara. Bersama ibunya, mereka hidup di daerah

Subang. Keluarga ini kehilangan kepala ru,ah tangga sehingga mereka

hidup dengan pension yang cukup dari Belanda sebagai pegawai aniem.

Setelah Indonesia merdeka, beberapa tahun kemudian Tjak Broto

tidak sebagai wartawan lagi, tetapi ia bergerak di bidang politik sebagai

jurkam untuk pemilu yang pertama di zaman Orde Baru. Di samping itu,

ia juga sebagai pengusaha yang sukses dan terkenal.

2) Aspek Fisiologis

304

Tjak Broto dilukiskan sebagai orang laki-laki yang tampan dan

selalu berpenampilan rapi. Hal ini disebabkan oleh latar belakang keluarga

yang berkecukupan dan latar belakang pendidikan yang diperoleh.

3) Aspek Psikologis

a) Pengetahuan Luas

Tjak Broto dilukiskan sebagai wartawan yang mempunyai

pengetahuan luas tentang bahasa dan sastra. Hal ini terjadi karena Tjak

Broto memperoleh pendidikan cukup tinggi dan ia termasuk siswa

yang pandai sehingga wajar kalau mempunyai pengetahuan yang luas.

b) Berani

Tjak Broto dilukiskan sebagai pemuda yang berani, missal ia

berani menentang pemerintah Belanda dan Jepang sebagai penjajah.

Keberanian Tjak Broto kepada Belanda terlihat ketika menulis opini

tentang pemerintah Hindia Belanda, khususnya gambaran keadaan

zaman Malaise. Selanjutnya Tjak Broto harus berhadapan dengan meja

hijau. Pada peristiwa ini keberanian Tjak Broto ada lagi, misal dalam

persidangan ia tdak mau didamping seorang advokat. Peristiwa ini

terjadi ketika Tjak Broto diperiksa Jepang karena dituduh terlibat

pemberontakan kepada Jepang (PETA).

c) Bijaksana

Tjak Broto disamping ia mempunyai pengetahguan luas, ia juga

dilukiskan sebagai laki-laki yang bijaksana dalam memandang

perempuan. Ia berpendapat bahwa perempuan harus didengar

305

suaranya. Perempuan harus berani mempertahankan pendapatnya.

Perempuan adalah setara dengan laki-laki. Pendapat atau anggapan

Tjak Broto ini perlu direnungkan.

e. Latar

Latar dalam novel Kembang Jepun terdiri dari tiga unsur pokok yaitu

tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut meskipun masing-masing

menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan sendiri

tetapi pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Berikut

rincian latar dalam novel Kembang Jepun.

1) Latar Waktu

Latar waktu dalam novel Kembang Jepun menceritakan tiga zaman

yaitu zaman kolonialisme, zaman penjajahan Jepang, dan zaman

kemerdekaan. Ketiga zaman saling berkaitan dan menentukan alur.

Keterkaitan waktu tadi dapat dilihat adanya satuan waktu yaitu bulan dan

tahun, sehingga sangat jelas latar waktu yang dilukiskan pengarang, misal

zaman colonial dilukiskan pada 1879, zaman Jepang dilukiskan pada

tahun 1942, dan zaman kemerdekaan dilukiskan pada tahun 1945.

Di akhir penjajahan Belanda, zaman mulai berubah, dimulai dengan

krisis ekonomi di AS, krisis ini dengan cepat menjalar ke berbagai negara.

Masalah jatuhnya ekonomi seluruh dunia ini disebut sebagai Zaman

Malaise, para pejuang kemudian memplesetkannya sebagai jaman meleset.

306

Pada tahun 1879, merupakan waktu Indonesia dijajah Belanda

sampai dengan tahun 1942. Pada Tahun 1942, Jepang resmi menduduki

Indonesia dan mengaku sebagai saudara tua Indonesia yang menjanjikan

kemerdekaan bagi Indonesia. Kehadiran Jepang ini membawa harapan dan

optimisme baru bagi rakyat Indonesia yang telah terbenam dalam

penjajahan selama 350 tahun.

Pasukan Jepang selalu berusaha untuk dapat memikat hati rakyat

Indonesia, hal ini dilakukan dengan tujuan agar bangsa Indonesia memberi

bantuan kepada pasukan Jepang. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia

maka dibentuklah organisasi resmi seperti gerakan 3A, Putera, dan PETA.

Kedatangan Jepang ke Indonesia memang bukan seperti janjinya,

terbukti, rakyat semakin menderita. Jepang meminta rakyat untuk

menanam bahan pangan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan perang

Jepang.

Pada tahun 1945 Jepang dibom sekutu yaitu kota Nagasaki dan

Hiroshima. Akibat peristiwa ini Jepang menyerah kepada sekutu.

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu, tidak disia-siakan oleh bangsa

Indonesia. Mereka segera mempersiapkan proklamasi kemerdekaan.

Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan Koran di

Surabaya.

2) Latar Tempat

Latar tempat dalam novel Kembang Jepun berada di Minahasa,

Surabaya, Blitar, dan Jepang. Minahasa merupakan tempat kelahiran

307

tokoh utama. Di kota kecil ini Keiko dengan keluarganya. Surabaya

merupakan tempat Keiko bekerja sebagai geisha, sedangkan Blitar

merupakan rumah Mbah Soelis tempat pelarian Keiko dan Tjak Broto

setelah pergi dari rumahnya. Latar tempat yang terakhir adalah Jepang

merupakan tempat Keiko ketika dibawa Hiroshi Takasumi ke Jepang.

4) Latar Sosial

Latar sosial adalah lukisan status yang menunjukkan hakikat tokoh

dalam masyarakat yang ada diseklilingnya. Dalam novel Kembang Jepun,

cerita dengan latar kebudayaan tokoh utama sebagai geisha, sedangkan

dengan latar social Keiko sebagai tokoh utama berasal dari keluarga

miskin. Keiko menganggap pekerjaan sebagai pengabdian dan merupakan

budaya leluhur nenek moyang.

f. Point of View

Bagi seorang pengarang point of view atau sudut pandang merupakan

strategi, teknik, siasat, atau cara yang ditempuh untuk mengemukakan ide,

gagasan yang disampaikan melalui cerita kepada pembaca. Point of view atau

sudut pandang disebut juga pusat pengisahan sebuah cerita. Sebagai sebuah

strategi, teknik, atau siasat untuk mengemukakan gagasan kreatif, pemilihan

sudut pandang dilakukan pengarang sebelum menulis cerita. Atau sebelum

mulai menulis cerita, pengarang harus memutuskan lebih dahulu sudut

pandang tertentu, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh

seorang tokohnya atau oleh seorang narrator di luar cerita itu.

308

Secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu persona pertama (first-person) gaya “aku”, dan persona ketiga (third-person) gaya “dia”. Melalui sudut pandang “aku” dan “dia” serta dengan berbagai variasi yang menyertai sebuah cerita dikisahkan. Berdasarkan hasil penelitian novel Kembang Jepun menggunakan sudut pandang persona pertama atau first-persona. Hal ini bisa diketahui mulai dari kejadian pertama pada halaman pertama. Pada waktu tokoh utama Keiko (Keke) bercerita tentang masa kecilnya.

Walaupun Remy Sylado menggunakan sudut pandang persona pertama bukan berarti kata “aku” merupakan kata ganti dirinya. Kata aku dalam novel ini adalah tokoh utama bernama Keiko (Keke). Paparan yang menyatakan hal tersebut, seperti kutipan berikut.

Dengan sudut pandang pertama, novel Kembang Jepun memunculkan beberapa segi positif. Pertama, dengan gaya “aku” pengarang bisa lebih mudah dan lebih bebas mengeksploitasi kemampuan dan karakter tokoh utamanya, karena ia tidak perlu mencari-cari sosok tokoh imajiner yang mampu membawa misi cerita. Kedua, novel Kembang Jepun adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan memoirs. Maka dengan gaya “aku”, kesan yang terkandung dalam keseluruhan alur cerita terasa lebih orisinil dan factual. Bahwa seolah-olah semua peristiwa yang terjadi didalamnya semua benar adanya.

Menurut hemat peneliti, ada dua tujuan Remy Sylado menampilkan tokoh “aku” satu orang Keiko dalam novelnya. Remy Sylado member

309

pelajaran kepada pembaca bahwa nasib seseorang ibarat misteri yang tak

dapat diramalkan apalagi ditebak. Yang bisa dilakukan terhadap nasib adalah

perjuangan, usaha tak kenal lelah, dan ikhtiar tiada henti disertai doa kepada

Tuhan Yang Maha Kuasa agar nasib baik menjemput dirinya di masa depan.

Dalam kasus ini, Remy Sylado memposisikan Keiko sebagai ikon tentang

keberhasilan seorang anak manusia yang ketika kecil hidup dalam jepitan

kemiskinan dan ketidakberdayaan tetapi setelah dewasa mampu meraih sukses

luar biasa.

Sebagai contoh, walaupun pengisahan kekerasan fisik maupun non fisik

yang dialami tokoh Keiko sangat memukau sehingga pembaca hanyut dalam

suasana yang mengharukan, pembaca akan terus bertanya-tanya, kisah

kekerasan fisik maupun non fisik itu benar-benar terjadi atau hanya hayalan

pengarang. Apabila benar-benar terjadi, berapa persen merupakan kejadian

sesungguhnya, dan berapa persen hasil rekaan. Demikian pula pada adegan-

adegan lain yang dikisahkan sangat mengalir. Semua itu sangat dipengaruhi

oleh sudut pandang yang digunakan pengarang. Bahwa karena semua kisah

mengalir dari “aku”, maka seluruh kejadian dalam novel Kembang Jepun

seolah-olah factual.

3. Persamaan Antara Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

Pada kenyataannya novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

memiliki persamaan pada beberapa aspek. Aspek tersebut, yaitu pada tema,

310

amanat, alur, penokohan dan perwatakan tokoh utama, point of view. Berikut rincian persamaan kedua novel ini.

a. Tema

Tema yang diangkat dalam kedua novel ini mempunyai kesamaan, yaitu

mengenai kehidupan seorang geisha. Kedua novel mewakili citra seorang

geisha. Dalam novel Memoirs of A Geisha diwakili oleh Sayuri, sedangkan

dalam novel Kembang Jepun diwakili oleh Keke (Keiko). Kedua geisha yang

mengetengahkan kehidupan seorang geisha yang menempatkan pandangan

hidup. Orang Jepang bahwa sebagai geisha merupakan suatu pengabdian dan

meneruskan budaya leluhur.

b. Amanat

Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan

yaitu untuk mencapai kebahagiaan harus bekerja keras. Dalam novel Memoirs

of A Geisha diwakili oleh Sayuri, sedangkan dalam novel Kembang Jepun

diwakili oleh tokoh Keiko. Kedua tokoh ini harus bekerja keras untuk menjadi

geisha yang sukses.

c. Alur

Dilihat dari penyusunan cerita, alur yang digunakan dalam kedua novel

tersebut adalah alur maju atau alur progresif. Jadi dalam alur progresif kedua

novel ini, penceritaan dimulai dari eksposisi, komplikasi, dan klimaks yang

berawal dari konflik tertentu, dan berakhir pada denounement atau penjelasan.

Jika ditinjau dari akhir cerita, maka dapat dikatakan kedua novel ini

menggunakan alur tertutup, karena pengarang memberikan kesimpulan

311

kepada pembaca. Namun pada novel Memoirs of A Geisha disisipi flashback

atau sorot balik.

d. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan dan perwatakan tokoh utama dalam kedua novel ini

memiliki kesamaan baik dari aspek psikologis, fisiologis, dan aspek

sosiologis. Dari aspek psikologis kedua tokoh utama dilukiskan sebagai

wanita pandai, sabar, jujur, percaya diri, setia, berani, cantik, mandiri, pekerja

keras, dan rela berkorban. Dari aspek fisiologis, kedua tokoh utama dilukiskan

sebagai wanita yang kuat, cantik, dan tua. Dari aspek sosiologis kedua tokoh

dilukiskan berasal dari kelas bawah dan pribumi.

e. Point of View

Kedua novel ini menggunakan sudut pandang “akuan” (orang pertama).

Dengan sudut pandang akuan, sehingga pembaca akan merasa lebih dekat

dengan segala peristiwa yang terdapat dalam kedua novel tersebut. Dalam

sudut pandang akuan atau orang pertama ini pengarang sebagai tokoh utama.

Dalam novel Memoirs of A Geisha diwakili oleh tokoh utama yaitu Sayuri

(Chiyo), sedang dalam novel Kembang Jepun diwakili tokoh utama yaitu

Keiko (Keke).

4. Perbedaan Antara Novel Memoirs of A Geisha dan Novel Kembang Jepun

Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun selain memiliki

kesamaan, juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol antara

312

kedua novel ini terletak pada aspek penokohan dan perwatakan tokoh tambahan dan latar. Berikut ini rincian-rincian perbedaan tersebut.

a. Penokohan dan Perwatakan

Ketua dan Tjak Broto meskipun memiliki beberapa kesamaan, tetapi

mereka juga memiliki perbedaan yaitu dari aspek psikologis dan aspek

sosiologis.

Kedua tokoh tambahan yaitu Ketua dan Tjak Broto ditinjau dari aspek

psikologis mempunyai kesamaan yaitu pandai, sehingga mereka berhasil dari

kariernya menjadi pengusaha. Selain mempunyai persamaan, kedua tokoh ini

secara psikologis mempunyai perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol,

Ketua sebagai laki-laki tidak berani memperjuangkan cintanya, sehingga

Sayuri (Chiyo) harus menunggu lama. Berbeda dengan Tjak Broto, ia berani

memperjuangkan cinta, sehingga ia berhasil menikah dengan Keke (Keiko)

meskipun pernikahan pernikahan itu tanpa direstui ibunya. Ditinjau dari aspek

fisiologis kedua tokoh tersebut mempunyai persamaan, yaitu oleh pengarang

dilukiskan sebagai laki-laki yang tampan dan berpenampilan rapi.

b. Latar

Latar dalam novel Kembang Jepun lebih kompleks daripada novel

Memoirs of A Geisha sehingga ada perbedaan latar yang terdapat dalam kedua

novel tersebut. Berikut perbedaan-perbedaan latar dalam kedua novel itu.

1) Latar tempat kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel

Memoirs of A Geisha, Jepang dan Kyoto merupakan pusat cerita.

Sedangkan dalam novel Kembang Jepun, kota Jepang dan Minahasa

313

merupakan pengembangan dan pengalaman hidup Keke (Keiko). Dalam

novel Kembang Jepun kota Surabaya dan Blitar merupakan pusat cerita.

2) Latar wwaktu kedua novel ini memiliki persamaan yaitu mempunyai

waktu penceritaan yang panjang. Akan tetapi juga mempunyai perbedaan

latar waktu yaitu dalam novel Kembang Jepun dimulai dari Zaman

Kolonial (Belanda) pada tahun 1930, Zaman Jepang, dan Zaman

kemerdekaan Indonesia. Sedangkan novel Memoirs of A Geisha

mempunyai latar waktu sebelum dan sesudah Perang Dunia II sekitar

tahun 1930-an atau disebut Zaman Malaise.

5. Hubungan Intertekstual antara Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun

Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada

karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi budaya masyarakat yang

bersangkutan. Dengan demikian, karya sastra itu meneruskan konvensi yang

sudah ada ataupun menyimpangi meskipun tidak seluruhnya. Hal ini mengingat

bahwa karya sastra itu karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan, namun

tentu tentu tidak baru sama sekali karena apabila sama sekali menyimpang dari

konvensi, ciptaan itu tidak akan dikenal ataupun tidak dapat dimengerti oleh

masyarakatnya. Mengenai konvensi sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat

berupa konvensi bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah, dan tema yang

terkandung didalamnya.

Pembicaraan hubungan intertekstual antara Memoirs of A Geisha karya

Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado adalah mengenai masalah

314

kehidupan seorang geisha. Dapat dikatakan masalah kehidupan geisha ini lebih dahulu diangkat dalam Memoirs of A Geisha (2002) oleh Arthur Golden. Masalah kehidupan seorang geisha kemudian diangkat secara lebih mendalam oleh Remy

Sylado dalam karyanya Kembang Jepun (2003). Oleh karena itu, dapat diperkirakan dengan kuat bahwa Memoirs of A Geisha-lah yang menjadi hipogram novel Kembang Jepun.

Memoirs of A Geisha menceritakan kehidupan seorang geisha khususnya di Jepang. Geisha ini berasal dari kota kecil di Jepang dan dari keluarga miskin.

Dalam Memoirs of A Geisha seorang geisha digambarkan sebagai wanita cantik, lemah lembut, dan menarik perhatian laki-laki. Prinsip hidup geisha untuk mencapai kesuksesan harus bekerja keras. Geisha disini diwakili oleh Sayuri. Ia merupakan geisha lazimnya jaman itu yang mempunyai status terhormat. Dia bekerja sebagai pengabdian dan meneruskan warisan leluhur.

Pada masa Arthur Golden menulis Memoirs of A Geisha, 1 tahun kemudian Kembang Jepun terbit tahun 2003, ia sengaja mempertegas kembali tentang kehidupan seorang geisha. Dalam novel Kembang Jepun, tampaknya memiliki nilai lebih mengenai latar budaya. Di samping latar budaya Jepang masih terdapat latar budaya Belanda dan latar budaya Jawa.

Dalam novel Kembang Jepun digambarkan sebagai seorang geisha untuk memperoleh kesuksesan harus bekerja keras. Geisha di sini diwakili oleh tokoh

Keiko (Keke). Oleh karena itu nampaknya novel Kembang Jepun mereaksi

Memoirs of A Geisha dalam hal kehidupan seorang geisha. Jadi hubungan intertekstual antara novel Memoirs of A Geisha dan novel Kembang Jepun adalah

315

hubungan kesejajaran. Pertentangan yang menonjol pada sikap tokoh tambahan yaitu tokoh Ketua dalam novel Memoirs of A Geisha dan Tjak Broto dalam novel

Kembang Jepun.

Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa Ketua adalah seorang pengusaha yang sukses tetapi mempunyai kelemahan, yaitu tidak berani memperjuangkan cinta. Berbeda dengan Tjak Broto seorang wartawan yang mempunyai sikap berani untuk menikah dengan seorang geisha meskipun ditentang oleh ibunya.

Alur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun mempunyai persamaan yaitu mulai dari eksposisi, komplikasi, rising action, klimaks, dan denounement. Demikian juga sudut pandang yang digunakan oleh kedua pengarang juga mempunyai persamaan yaitu sudut pandang orang pertama atau keakuan. Sehingga dapat dikatakan hubungan intertekstual alur dan sudut pandang adalah hubungan kesejajaran.

Demikianlah pembahasan hubungan intertekstual antara Memoirs of A

Geisha karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado. Jelaslah sekarang bahwa Memoirs of A Geisha merupakan karya hipogram, yaitu karya yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya. Sementara itu, Kembang

Jepun disebut dengan karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.

316

6. Nilai Pendidikan Moral

a. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Memoirs of A Geisha

Novel Memoirs of A Geisha memiliki nilai pendidikan yang dapat

diambil manfaatnya oleh pembaca yaitu nilai pendidikan moral. Nilai

pendidikan moral yang terdapat dalam novel Memoirs of A Geisha tercermin

melalui sikap atau tindak para tokohnya. Nilai pendidikan moral yang terdapat

dalam novel Memoirs of A Geisha meliputi pengendalian emosi, berdoa dan

bersyukur kepada Tuhan, memberi teladan yang baik, berjiwa besar dan jujur.

1) Pengendalian Emosi

Sikap pengendalian emosi dapat dilihat ketika Chiyo (Sayuri)

tahan menghadapi cobaan, tenang, dan tidak tergesa-gesa dalam

memecahkan suatu masalah. Sayuri begitu sabar ketika bekerja di Okiya.

Ia bekerja dengan tekun menjadi pelayan di Okiya. Selama menjadi

pelayan di Okiya, ia sering mendapat perlakuan kasar atau kekerasan fisik

maupun non fisik dari Ibu, Nenek, dan Hatsumomo. Sebagai contoh

sesuai dengan kesepakatan Satsu dan Chiyo, mereka bermaksud kabur

bersama. Akan tetapi Chiyo mendapat kesulitan karena semua pintu

keluar sudah terkunci, sehingga keluar mellaui atap. Namun

keberuntungan belum berpihak kepadanya. Chiyo jatuh dan tangannya

patah. Akibat ulahnya itu Chiyo terancam menjadi pelayan seumur hidup

dan berbagai pelatihan untuk menjadi geisha dihentikan. Chiyo mendapat

hukuman seperti itu, ia terima dengan tenang tanpa emosi bahkan ia

317

bekerja semakin tegar dan tekun. Sikap Chiyo ini perlu diperhatikan

karena tidak semua orang bisa menerima dengan baik.

Sebagai contoh lagi sikap pengendalian emosi tercermin ketika ia

harus mengerjekan kelicikan yang dilakukan Hatsumomo terhadapnya.

Chiyo disuruh merusak kimono Mameha. Akibat peristiwa itu, ia

mendapat hukuman fisik dari Ibu dan Nenek, tetapi Chiyo juga bisa

mengendalikan emosinya. Justru dari berbagai kekerasan fisik maupun

non fisik yang dialami member motivasi yang tinggi untuk menjadi

geisha yang terkenal. Sikap pengendalian emosi yang dimiliki Chiyo

patut diteladani, meskipun mengalami berbagai penderitaan tidak putus

asa, akan tetapi justru menimbulkan semangat tinggi agar tercapai cita-

citanya.

2) Berdoa Kepada Tuhan

Chiyo juga mempunyai sikap selalu berdoa kepada Tuhan. Hanya

kepada Tuhan manusia meminta. Apabila seseorang berdoa dengan

sungguh-sungguh tentu Tuhan akan mengabulkan doa tersebut. Doa

manusia dapat berupa permohonan ampun atas segala perbuatan yang

telah dilakukan dan juga permohonan atas segala sesuatu yang diinginkan

manusia. Anjuran berdoa kepada Tuhan dalam novel ini tercermin ketika

Bibi menganjurkan Chiyo beroda kepada orang tuanya. Bibi bersikap

tegas kepada Chiyo yaitu bahwa orang hidup harus berdoa kepada Tuhan.

Apalagi sebagai anak (Chiyo) harus selalu mendoakan orang tua atau

leluhurnya. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka akan memalukan.

318

Setelah mendengarkan atau memahami anjuran dari Bibi, lalu ia

menyadari bahwa anjuran itu benar. Akhirnya Chiyo dapat berdoa dengan

tenang untuk orang tuanya.

Sikap berdoa kepada Tuhan untuk orang tuanya ini merupakan

nilai pendidikan moral yang patut diperhatikan. Sebagai seorang anak

sebagai wujud berbakti kepada orang tua yaitu dengan cara selalu

mendoalkan keselamatan dunia dan akhirat mereka. Alangkah berdosanya

apabila sebagai anak tidak mau mendoakan orang tuanya.

3) Bersyukur

Chiyo termasuk anak yang selalu bersyukur apabila menerima

nikmat dari Tuhan. Ia selalu mengucapkan syukur kepada Tuhan baik

secara lisan, perbuatan, maupun pertolongan. Bentuk ucapan syukur

tercermin ketika Chiyo, Bibi, dan Mameha pergi ke kuil untuk berdoa

kepada Tuhan. Mereka memohon agar ikatan dChiyo dan Mameha

sebagai kakak adik selalu dlm lindungan-Nya. Di smaping itu Chiyo juga

bersyukur kepada Tuhan karena ia telah berhasil menjadi geisha.

Sikap Chiyo yang selalu berdoa dan bersyukur kepada Tuhan

merupakan nilai pendidikan moral perlu direnungkan. Keberhasilan

perjuangan manusia di dunia,hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang bisa

menentukan.

4) Menghargai Pemberian Orang Lain

Nilai pendidikan moral lain yang patut diteladani yaitu sikap

menghargai pemberian orang lain. Sebaiknya setiap mendapatkan

319

pertolongan atas pemberian orang lain, sebaiknya mengucapkan terima

kasih kepadanya. Mengucapkan terima kasih berarti menghargai

pertolongan dan pemberian orang lain. Sikap ini tercermin ketika Chiyo

(Sayuri) mendpatkan bingkisan dari tamu, ia mengucapkan terima kasih

dengan sungguh-sungguh.

Apabila sikap ini ditanamkan pada anak usia dini, maka akan

mendidikan anak selalu menghargai pemberian orang lain dan terhindar

dari sikap sombong. Anak merasa bahwa hidup di dunia itu tidak

sendirian. Akan tetapi bersama-sama dengan manusia lain. Oleh karena

itu di antara sesamanya harus bekerja sama dan saling menolong atau

saling membantu agar tercapai kerukunan antar sesama.

5) Saling Menolong

Pertolongan itu tidak harus berupa harta, tetapi dapat berupa

tenaga dan pikiran. Setiap pertolongan yang diberikan membaca

kemaslahatan bagi orang lain dan disertai rasa ikhlas. Pertolongan yang

diberikan kepada orang lain walaupun sedikit akan mendapat pahala dari

Tuhan. Menolong oran glain merupakan suatu sikap yang terpuji dalam

kehidupan. Sikap menolong dalam novel ini tampak ketika Ketua

bersedia menjadi sponsor pertandingan sumo, meksipun ia tidak mengerti

tentang sumo.

Wujud sikap suka menolong dalam novel ini juga ditemukan dari

keluarga Arashima. Awalnya ketika terjadi peperangan (Perang Dunia II)

bahkan terjadi pemboman di kota Tokyo. Akibat dari peristiwa ini

320

penduduk Jepang banyak yang kehilangan tempat tinggal termasuk

Sayuri. Akan tetapi Sayuri masih beruntung karena keluarga Arashima

mau menolongnya. Sikap Arashima ini karena ia merasa bahwa manusia

di dunia ini harus saling menolong.

Sikap menolong akan menjadi lebih lengkap apabila dilengkapi

dengan sikap saling menyayangi sesama manusia. Sikap saling

menyayangi sesama manusia merupakan ajaran yang ditekankan dalam

setiap ajaran agama serta merupakan perwujudan kesempurnaan iman.

Saling menyayangi merupakan sikap yang mulia. Setiap manusia harus

memiliki rasa sayang di dalam hatinya, agar dapat berbuat kebajikan pada

sesama manusia menurut kemampuan yang dimilikinya. Semua manusia

pasti merindukan kasih sayang seperti yang dialami tokoh Chiyo (Sayuri)

sangat merindukan kasih sayang. Sayuri berjuang dan bertahun-tahun

menjadi geisha yang terkenal hanya untuk mendapatkan kasih sayang

Ketua.

6) Saling Menyayangi

Sayuri mendambakan kasih sayang dari Ketua. Hal ini terjadi

karena pada waktu Sayuri masih berumur 9 tahun ditolong Ketua. Pada

saat ia menangis di pinggir sungai karena meratapi nasibnya. Pertemuan

pertama inilah yang membuat Sayuri selalu berharap mendapatkan kasih

sayang dari Ketua. Harapan Sayuri mendapatkan kasih sayang dari Ketua

agak terobati ketika ia bertemu dengan Ketua.

321

Sebenarnya Sayuri dan Ketua saling menyayangi hanya karena

terhalang oleh Nobu. Nobu adalah teman Ketua yang pernah

menolongnya ketika perusahaan mengalami kemunduran. Dari peristiwa

inilah Ketua tidak berani mengungkapkan secara terus terang kepada

Sayuri. Akan tetapi setelah Sayuri dilepas oleh Nobu, Ketua baru

menyatakan bahwa ia juga menyayangi Sayuri.

Di samping itu sikap saling menyayangi dalam novel Memoirs of

A Geisha ditemukan sikap kasih sayang antara adik dan kakak yaitu

Chiyo dan Satsu. Akan tetapi mereka harus berpisah mereka harus

berpisah, karena Chiyo tidak berhasil melarikan diri dari Gion. Akhirnya

mereka harus menapaki jalan hidup masing-masing.

7) Berjiwa Besar

Nilai pendidkan yang terakhir dalam novel Memoirs of A Geisha

adalah berjiwa besar. Sikap berjiwa besar adalah perbuatan yang terpuji.

Seorang yang mengakui kesalahannya dan minta maaf dapat digolongkan

sebagai orang yang berjiwa besar. Perlu diketahui bahwa tidak semua

orang berani mengakui kesalahannya dan minta maaf. Hanya orang-orang

tertentu yang bisa melakukannya yaitu orang yang berjiwa besar.

Tokoh yang berjiwa besar dalam novel Memoirs of A Geisha yaitu

Chiyo dan Labu. Labu berani meminta maaf kepada Hatsumomo karena

kesalahan yang dilakukan yaitu menolong Chiyo. Hal ini terjadi karena

antara guru Lobu (Hatsumomo) dengan guru Chiyo tidak ada kecocokan

dalam segala bidang; sedangkan Lobu berniat baik membantu Chiyo-san.

322

Demikian juga Chiyo yang menyesali perbuatannya yang salah

yaitu ketika ia akan minum teh dengan cara meniup-niup teh itu agar

cepat dingin. Perbuatan Chiyo menurut Mameha salah, maka Chiyo

dengan jiwa besar ia minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Apabila ia sampai mengulangi lagi perbuatannya itu, ia tidak akan

memaafkan dirinya. Hal ini dilakukan Chiyo agar ia dimaafkan dan

sebagai rasa hormatnya kepada guu (Mameka).

Sikap berjiwa besar Chiyo kepada Mameka ditemukan lagi ketika

Sayuri mengakui kesalahannya dan minta maaf karena yang merusak

kimono Mameha adalah dirinya sendiri. Demikian juga tokoh Mameha

bisa memaafkan kesalahan Chiyo. Pada bagian ini terlihat bahwa

Mameha dapat dikatakan sebagai tokoh yang berjiwa besar karena

mampu memaafkan kesalahan orang lain. Sikap Mameha seperti ini

jarang ditemukan pada setiap manusia, hanya orang-orang yang berjiwa

besar bisa memaafkan kesalahan orang lain. Sikap seperti ini dapat

menjaga persahabatan sesama teman. Dengan kata lain, meminta maaf

dapat menghindarkan diri dari permasalahan sehingga hidup menjadi

tenang.

b. Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Kembang Jepun

Novel Kembang Jepun memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat

bagi pembaca. Nilai pendidikan moral yang terdapat dalam novel Kembang

Jepun tercermin melalui sikap dan tindakan para tokohnya. Nilai pendidikan

323

moral yang terdapat dalam novel Kembang Jepun meliputi pengendalian emosi, berjiwa besar, bersyukur dan tawakal kepada Tuhan, dan jujur.

1) Pengendalian Emosi

Sikap pengendalian emosi dapat dilihat ketika Keke mengalami

cobaan dan tantangan yang menimpanya, seperti diperkosa, dianiaya,

diinjak-injak harkat dan martabatnya. Semua itu dilalui dengan ketabahan

atau ketegaran jiwa. Hal ini bukan berarti Keiko pasrah tetapi ini jarang

dilakukan manusia. Pada umumnya, seseorang yang diinjak-injak harkat

dan martabatnya pasti berontak. Hal tersebut tidak berlaku bagi Keiko,

bahkan keiko bisa tegar dan ikhlas ketika Keiko berharap selepas dari

tawanan bertemu dengan Tjak Broto, tetapi justru ia dibawa Hiroshi

Masakuni ke negeri Jepang Setelah ia bisa pulang ke Indonesia dan

berharap bisa berkumpul lagi dengan suaminya yaitu Tjak Broto. Tetapi

alangkah kagetnya ketika pulang ke Indonesia, Keiko mendapat informasi

dari Mbah Soelis bahwa suaminya telah menikah lagi dengan orang

Sunda. Impian Keiko pun hancur. Di sini ketegaran Keiko muncul, ia

mencoba untuk ikhlas dan tabah menerima bahwa apa yang terjadi pada

dirinya dan suaminya adalah sesuatu hal yang wajar terjadi. Di sinilah

tercermin sikap pengendalian emosi pada diri Keiko. Ia tidak marah

kepada Tjak Broto, tetapi itu memang sesuatu yang sangat wajar terjadi.

2) Bersyukur kepada Tuhan

Nilai pendidikan moral terdapat dalam novel Kembang Jepun

yang jua perlu diperhatikan yaitu bersyukur kepada Tuhan. Sebaiknya

324

manusia berbuat baik setelah menerima nikmat dari Tuhan, baik dengan

cara lisan, perbuatan, maupun perwujudan perbuatan. Sikap, ucapan,

syukur kepada Tuhan, seperti ketika Tjak Broto mengucapkan syukur

Alhamdulillah kepada Tuhan. Ini dilakukan karena kegembiraan yang ia

lamai. Ia merasa senang sekali ketika mendengar kabar bahwa korannya

terbit lagi.

Sebaiknya manusia selalu bersyukur baik dalam keadaan susah

maupun senang. Hal ini juga tampak dalam novel Kembang Jepun, seperti

ketika Keke (Keiko) masih mau mengucapkan syukur pada waktu

mengalami kesulitan hidup. Di samping itu ucapan syukur kepada Tuhan

juga ditemukan ketika Tjak Broto mengucapkan syukur dengan menyebut

nama Allah yaitu Tuhan Maha Besar, Allahu Akbar. Hal ini dilakukan

Tjak Broto sebagai rasa syukur kepada Tuhan karena meskipun sudah

terpisah 25 tahun dengan wanita yang ia cintai (Keiko) dapat bertemu

lagi. Mereka bertemu sudah tua, tidak menarik hati lagi, tetapi dengan

cinta yang tulus, mereka menemukan kedamaian.

3) Tawakal

Di samping itu,nilai pendidikan moral penyerahan diri kepada

Tuhan juga terdapat dalam novel Kembang Jepun. Semua persoalan yang

dihadapi diserahkan dan bersandar kepada-Nya. Sikap penyerahan diri

kepada Tuhan dalam novel Kembang Jepun, seperti ketika Keiko

mengetahui Tjak Broto ditawan oleh penguasa Jepang. Keiko sebagai

seorang istri yang baik tidak bisa tinggal diam. Tokoh Keiko berniat untu

325

menyelamatkan suaminya. Keiko tidak tahu apa yang akan dilakukan

setelah sampai di markas Jepang. Di sini keimanan tokoh Keiko muncul,

ia hanya berserah diri pada kehendak Tuhan, ia berpikir apapun yang

akan terjadi adalah kehendak-Nya. Dalam keadaan seperti itulah Keiko

menyerahkan semuanya kepada Tuhan karena Dialah pemilik alam

beserta isinya.

Berdasarkan uraian di atas diperoleh tingkat keimanan yang

dimiliki oleh tokoh utama. Keyakinan, kejujuran, juga kepasrahan

terhadap Tuhan, yang ada pada dirinya menunjukkan bahwa tokoh Keiko

(Keke) memiliki keimanan yang cukup baik. Keyakinan, kejujuran juga

kepasrahan yang dimiliki dan dijalani tokoh Keiko merupakan sarana

untuk menunjukkan eksistensi diri terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa

yang terdapat dalam cerita.

4) Beriman kepada Tuhan

Selanjutnya berdasarkan tokoh Keiko (Keke) digambarkan sebagai

seorang manusia yang beriman kepada Tuhan. Segala kesulitan yang ia

hadapi di dunia ini diserahkan kepada Tuhan, selalu berdoa kepada

Tuhan, dan mohon pertolongan kepada-Nya. Di samping itu,

digambarkan bahwa tokoh Keiko tak mau mendustai diri, lebih-lebih

kepada Tuhannya. Keiko pun tidak memilih jalan lain kecuali hanya

berserah diri pada Tuhan. Dengan kata lain, Keiko yang mengakui

“imannya gersang” sesungguhnya justru sangat beriman dalam p roses

hidupnya.

326

5) Etos Kerja yang Baik

Nilai pendidikan moral etos kerja yang baik juga terdapat dalam

novel Kembang Jepun. Etos kerja ada pada setiap manusia. Etos kerja

yang baik ini timbul dari dalam diri manusia sendiri. Sikap etos kerja ini

terdapat juga dalam novel Kembang Jepun, seperti ketika Keke (Keiko)

sadar bahwa tanpa bekerja keras tidak akan hidup.

Awalnya tokoh Keiko tidak menghendaki untuk terus bisa hidup

di dalam hutan seorang diri, akan tetapi secara tidak sadar Keiko mulai

melakukan perbuatan yaitu bekerja. Ternyata dengan bekerja bisa

membantu Keiko untuk lebih menikmati hidupnya. Keiko mengakui

karena pekerjaannya maka tanpa disadari keinginan untuk hidup itu

muncul, dan ia terus melakukan kegiatannya sampai tua.

Sikap etos kerja yang baik tokoh Keiko masih ditemukan lagi

setelah ia mengalami keputusasaan hidup karena sepulang ia dari Jepang,

ternyata suaminya sudah menikah lagi. Tokoh Keiko hidup seorang diri di

tengah hutan. Walaupun demikian, ia tidak pernah menyerah,

kehidupannya tetap ia jalani. Keiko tetap kuat, rutinitas hidup ia jalani

dengan penuh semangat. Dengan giat ia bangun pagi, senam agar badan

sehat dan mandi. Sehabis itu, ia dengan tekun menanam tanaman,

mencabuti rumput, dan dengan ulet ia mengurus kebunnya. Rutinitas

tersebut ditekuni Keiko dari pagi hingga sore hari. Tokoh Keiko

walaupun sudah tua namun tetap bekerja. Hal ini menunjukkan tokoh

327

Keiko tidak mau kalah dengan waktu. Itulah cara hidup yang telah

menjadi adat kebiasaan selama 25 tahun.

Kehidupan dalam kesebatangkaraan dengan cara hidup seperti di

atas merupakan suatu keputusan yang sudan diambil oleh tokoh utama.

Keiko tetap berbuat sesuatu untuk mempertahankan hidup menurut

bisikan hatinya sendiri. Keiko tetap menunjukkan keberadaannya

meskipun tak muda lagi.

6) Berjiwa Besar

Sikap tokoh berjiwa besar dalam novel Kembang Jepun tercermin

pada sikap Tjak Broto ketika ia harus meminta maaf kepada Sayuri. Hal

ini terjadi karena ibunya Tjak Broto tidak senang dengan Sayuri sehingga

seorang geisha yang identik dengan pelacur.

Sikap Tjak Broto dengan meminta maaf kepada Sayuri merupakan

sikap terpuji dan berjiwa besar. Sikap Tjak Broto seperti itu perlu

mendapat perhatian bagi manusia. Sikap Tjak Broto yang berjiwa besar

iilah yang patut diteladani karena tidak semua orang berani mengakui

kesalahannya dan minta maaf.

7) Menghormati Orang Tua

Sikap member teladan yang baik dalam novel Kembang Jepun

meliputi sikap menghormati orang tua, saling menyayangi, dan sikap suka

menolong. Sikap menghormati orang tua tercermin pada tokoh Keiko,

misal ketika mereka bertemu Keiko berlutut dan mencium tangan Mbah

Soelis merupakan rasa hormat dan orang muda kepada orang tua.

328

Demikian juga sikap Mbah Soelis dengan mengelus-elus Keiko,

merupakan rasa sayang orang tua kepada orang muda. Apabila sikap

Keiko dan Mbah Soelis itu dimiliki oleh setiap orang maka akan

mengurangi konflik atau perselisihan antara orang muda dan orang tua.

Sikap saling memahami antara orang muda dan orang tua inilah yang

patut menjadi teladan yang baik. Di samping sikap tersebut masih ada

sikap saling menyayangi dan suka menolong yang perlu diteladani.

8) Saling Menyayangi

Sikap saling menyayangi sesama manusia merupakan ajaran yang

ditekankan dalam setiap ajaran agama serta merupakan perwujudan

kesempurnaan manusia. Saling menyayangi merupakan sikap yang mulia.

Setiap manusia harus memiliki rasa sayang di dalam hatinya, agar dapat

berbuat kebajikan pada sesama manusia menurut kemampuan yang

dimilikinya. Sikap saling menyayangi yang terdapat dalam novel

Kembang Jepun, seperti ketika Keiko merasa gagal memberinya benih

kasih sayang kepada Tjak Broto, tetapi sikap Tjak Broto kepadanya tetap

menyayangi, bahkan lebih sayang lagi. Jadi, meskipun mereka belum

dikaruniai anak, kasih sayang suami terhadap istri tidak berubah. Hal ini

disebabkan oleh rasa saling menyayangi diantara mereka.

9) Suka Menolong

Manusia hidup di dunia ini tidak sendirian. Akan tetapi, bersama-

sama dengan manusia lain. Oleh karena itu, diantara sesamanya harus

bekerja sama saling menolong dan saling membantu agar tercapai

329

kerukunan antar sesama. Pertolongan itu tidak harus berupa harta, tetapi

dapat berupa tenaga dan pikiran. Setiap pertolongan yang diberikan

membawa kemaslahatan bagi orang lain dan disertai keikhlasan.

Pertolongan yang diberikan kepada orang lain walaupun sedikit akan

mendapat pahala dari Tuhan. Sikap suka menolong terdapat dalam novel

Kembang Jepun, seperti ketika Tjak Entri menolong Tjak Broto dan

Keiko dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Mereka diberi baju

sebagai ganti bajunya yang basah.

Wujud suka menolong yang dimiliki oleh tokoh Tjoa Tjie Liang

dan istrinya (Tjik Entin). Awalnya ketika Tjak Broto bertengkar dengan

ibunya mengenai hubungan dengan Keiko. Akhirnya Tjak Broto dan

Keiko melarikan diri dari rumah. Di tengah jalan, hujan turun dengan

deras, mereka basah kuyup sehinga ditolong oleh Tjon Tjie Liang dan

istrinya.

10) Jujur dan Bijaksana

Keiko adalah seorang tokoh yang jujur dan bijaksana. Sikap Keiko

seperti ini yang patut diteladani. Apabila sikap jujur dan bijaksana ini

dapat dimiliki orang pasti akan menimbulkan kesenangan dan

kebahagiaan. Sikap jujur dan bijaksana yang dimiliki tokoh Keiko,

tampak ketika ia mengatakan bahwa kehidupan geisha sebagai kebenaran

yang luhur.

330

Sikap bijaksana seperti yang dilontarkan tokoh Keiko di atas

menggambarkan ketulusan, ketegaran, juga kebahagiaan pada diri tokoh

Keiko.

11) Berani Karena Benar

Nilai pendidikan moral yang terakhir terdapat dalam novel

Kembang Jepun adalah berani karena benar. Berani adalah melakukan

sesuatu yang luar biasa, di luar kebiasaan yang dilalukan. Sikap berani

karena benar ini tercermin dalam diri tokoh Keiko pada saat ia melawan

tentara Jepang untuk membebaskan suaminya. Suami Keiko menjadi

tawanan Jepang karena dituduh telah menjadi penghasut. Sebagai seorang

istri yang baik dan setia pada suami, Keiko tidak tinggal diam. Ia mencari

suaminya, melakukan sebuah perundingan, hingga terhadap perdebatan

sengit antara tokoh Keiko dengan tentara Jepang. Keiko menantang

tentara Jepang dengan lantang agar tentara Jepang tersebut membunuh ia

dan suaminya. Keiko memaki tapa ada rasa takut. Keiko telah melakukan

suatu tindakan yang luar biasa di luar kebiasaan yang ia lakukan.

7. Nilai Pendidikan Budaya

a. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Memoirs of A Geisha

Novel Memoirs of A Geisha memiliki beberapa nilai pendidikan

budaya meliputi jati diri bangsa Jepang, keyakinan bisa menimbulkan

kekuatan, kesenian harus dihormati, menghargai tradisi bangsa, dan menjalani

hidup ini seperti air yang mengalir.

331

1) Jatidiri Bangsa Jepang

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia membutuhkan

peralatan dan perlengkapan hidup. Setiap kelompok masyarakat

mempunyai perbedaan satu dengan yang lain, misalnya dalam hal

pakaian, tempat tinggal, alat-alat rumah tangga, alat transportasi, dan lain-

lain.

Keadaan Jepang sebagai Negara yang sedang berkembang

membuatnya tidak bisa menolak kebudayaan-kebudayaan yang masuk

dari luar negeri (Amerika). Contoh yang mudah untuk membuktikan

bahwa tiap masyarakat mempunyai tradisi sendiri adalah dalam hal

berpakaian.

Orang laki-laki Jepang dalam berpakaian ada yang memakai stelan

jas gaya barat atau kimono berwarna gelap. Demikian juga cara ibu

rumah tangga Jepang dan geisha memakai kimono sangat berbeda. Jika

ibu rumah tangga biasa memakai kimono dengan berbagai ganjalan agar

kimononya tampak rapi, tetapi geisha sering memakai kimono tanpa

memerlukan ganjalan.

Jadi masing-masing kebudayaan mempunyai kekhasan sendiri,

termasuk dengan pakaian yang digunakan masyarakatnya. Hal ini

menunjukkan bahwa kebudayaan Jepang (kimono) masih tetap kuat,

meskipun kebudayaan barat tidak dapat ditolak. Tampak bahwa dalam

budaya berpakaian, bangsa Jepang memiliki kimono sebagai pakaian

332

adat, namun cara memakai kimono antara ibu rumah tangga dan geisha

berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, maka nilai pendidikan budaya yang

diperoleh yaitu meskipun kebudayaan luar negeri diterima tetapi jati diri

bangsa harus dipertahankan.

2) Keyakinan Bisa Menimbulkan Kekuatan

Religi atau system kepercayaan identik dengan hubungan manusia

terhadap Tuhan dan keyakinannya. System religi dalam novel Memoirs of

A Geisha beragam, misal kepercayaan terhadap Tuhan juga terhadap

animisme. Sebagai contoh, Sayuri menyakini dan percaya bahwa sapu

tangan yang diberikan Ketua sebagai sebagai pembawa keberuntungan.

Hal ini dilakukan Sayuri karena dia sangat percaya dan mencintai Ketua.

Dalam novel Memoirs of A Geisha juga ditemukan kepercayaan

dan keyakinan terhadap Tuhan, seperti ketika Sayuri, Bibi, dan Mameka

pergi ke kuil Gion berdoa kepada Tuhan agar ikatan kakak dan adik selalu

dalam perlindunganNya. Di samping itu mereka memohon

perlindunganNya, mereka juga mengucapkan syukur kepada Tuhan

karena Chiyo berhasil menjadi geisha. Apabila dicermati tokoh Sayuri ini,

di samping ia mempercayai bahwa suatu benda mempunyai kekuatan,

tetapi ia juga mempercayai kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan uraian di atas, maka nilai pendidikan budaya yang

diperoleh yaitu keyakinan bisa menimbulkan kekuatan.

3) Kesenian Harus Dihormati

333

Kesenian mengacu pada nilai keindahan yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata atau telinga.

Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan beberapa corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan yang kompleks. Banyak macam seni, misalnya seni suara, seni rupa, seni tari, dan sebagainya. Demikian juga kesenian yang ditampilkan dalam novel Memoirs of A Geisha yaitu geisha sebagai kesenian Jepangyg snagat dihormati dan merupakan warisan leluhur.

Bangsa Jepang terkenal sebagai bangsa yang mempunyai jiwa seni tinggi, sehingga wajar kalau bangsa Jepang menghormati seni. Hal ini terbukti menurut bangsa Jepang bahwa menari adalah kesenian yang paling dihormati dan hanya dilakukan geisha yang cantik yang mengkhususkan diri menari.

Di samping seni harus dihormati, seni (geisha) juga dapat sebagai lahan bisnis, misal dengan geisha-geisha cantik dan menarik hati pasti akan mendatangkan banyak tamu di Gion yang bersedia menghamburkan uang. Dengan banyak tamu di Gion, sehingga dapat menambah kekayaan pemilik Gion.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diperoleh nilai pendidikan budaya yaitu kesenian harus dihormati.

334

4) Menghargai Tradisi Bangsa

Adat atau tradisi merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri.

Tradisi ini biasanya merupakan warisan turun-temurun dari nenek

moyang yang masih dijalankan di masyarakat.

Salah satu yang bisa dilihat dalam novel Memoirs of A Geisha ini

adalah perbedaan tradisi cara memandang perempuan antara tradisi

Jepang dan Barat. Orang Jepang memandang daya tarik wanita terletak di

leher dan tengkuk. Hal ini terbukti kimono yang dipakai wantia-wanita

Jepang selalu bagian leher dan tengkuk longgar. Hal ini berbeda dengan

cara memandang bangsa Barat terhadap wanita, mereka memandang daya

tarik wanita terletak di kaki, sehingga wajarlah kalau wanita-wanita Barat

pada umumnya memakai rok pendek.

Manusia sebagai makhluk social menghadapi tradisi bangsa yang

berbeda harus bersikap menghormati dan tidak boleh menganggap bahwa

tradisi bangsa lain lebih jelek dibanding dengan tradisi bangsa sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diperoleh nilai pendidikan

budaya yaitu menghargai setiap tradisi bangsa.

5) Menjalani hidup ini seperti air yang mengalir

Maksud dari ungkapan ini adalah menyerahkan diri kepada Tuhan,

bukan berarti tidak mau bekerja. Akan tetapi, percaya bahwa Tuhan itu

Maha Kuasa, sedang berhasil tidaknya apa yang kita lakukan adalah atas

kehendak Tuhan. Dari ungkapan tersebut dapat diambil nilai pendidikan

yaitu kita memiliki kewajiban untuk berusaha, akan tetapi yang

335

menentukan berhasil atau tidaknya usaha kita adalah Tuhan Maha Kuasa.

Dengan sikap seperti itu hidup akan tenang, tentram, dan damai.

Dalam novel Memoirs of A Geisha ketika (Chiyo) Sayuri

mengetahui dirinya dijual Tuan Tanaka untuk dijadikan geisha.

Mengetahui peristiwa ini, Sayuri tidak marah atau menyesal, tetapi Sayuri

bisa menahan. Sayuri memahami dia dijual Tuan Tanaka itu hanya

menghasilkan penderitaan tetapi dengan awal penderitaan yang mengubah

nasibnya dari gadis kecil miskin menjadi geisha yang terkenal. Sayuri

berpandangan bahwa hidup itu seperti air yang mengalir, maksudnya

semua peristiwa yang terjadi sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan uraian di atas nilai pendidikan budaya yang diperoleh

yaitu semua peristiwa yang terjadi di dunia sudah diatur oleh Tuhan Yang

Maha Kuasa dan manusia harus menerima dengan ikhlas.

b. Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Kembang Jepun

1) Jatidiri Bangsa Indonesia (Suku Jawa)

Keadaan Indonesia sebagai negeri yang terjajah membuatnya tidak

bisa menolak kebudayaan-kebudayaan yang masuk dari negeri penjajah.

Contoh yang mudah untuk membuktikan bahwa tiap masyarakat

mempunyai tradisi sendiri adalah dalam hal berpakaian.

Masing-masing kebudayaan mempunyai kekhasan tersendiri,

termasuk dengan pakaian yang digunakan masyarakatnya. Pertama,

tampak masyarakat Minahasa masih memakai cawat sebagai penutup

336

tubuh mereka, kemudian setelah Belanda masuk dan menjadikan wilayah

Minahasa sebagai daerah persemakmuran Belanda, segera tertular dengan

kebudayaan Belanda yang masuk ke daerahnya, yaitu dengan pakaian rok

panjang untuk wanita dan jas lengkap dengan dasi untuk pria, bahkan

mereka bersenang-senang dengan cara Belanda yaitu menari walsa.

Kedua, tampak bahwa dalam budaya berpakaan bangsa Jeang memiliki

kimono sebagai pakaian adat, namun dari kimono tersebut mempunyai

berbagai jenis dan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan

pemakaianya. Ketiga, menunjukkan budaya Jawa yang tetap masih kuat,

meski dalam keadaan terjajah. Kebaya masih tetap digunakan sebagai

busana sehari-hari masyarakat Jawa di Surabaya, bahkan Keke harus

mengenakan kebaya untuk menemui kekasihnya di penjara agar tidak

menjadi perhatian orang.

Berdasarkan uraian di atas, maka nilai pendidikan budaya yang

diperoleh yaitu meskipun kebudayaan-kebudayaan luar diterima tetapi jati

diri bangsa harus dipertahankan.

2) Selama Kau Menghargai Tanah, Kau Takkan Kelaparan

Pengertian yang diberikan oleh Mbah Soelis dijadikan pegangan

dalam hidup Keke. Saat dia tinggal di tengah hutan sebatang kara, petuah

yang diberikan oleh Mbah Soelis diterapkannya. Keke bercocok tanam di

halaman gubug reotnya untuk memenuhi kebutuhan perut. Pada awalnya

Keke tidak punya semangat hidup, namun dengan tumbuh suburnya

tanaman yang ia tanam menumbuhkan semangat baru pada diri Keke.

337

Dari sebuah ungkapan yang diberikan Mbah Soelis kepada Keke+

menimbulkan keyakinan, dan keyakinan ini membudaya dalam diri Keke,

yang tadinya sama sekali tidak mengerti cara bercocok tanam, karena

pekerjaanya sebagai seorang geisha. Petuah yang diberikan oleh Mbah

Soelis dibuktikannya pada lahan yang sebenarnya dia sendiri tidk tahu

apakah baik untuk bercocok tanam atau tidak.

3) Keragaman Bahasa Merupakan Kekayaan Budaya

Bahasa merupakan perwujudan budaya yang digunakan manusia

untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik dengan tulisan, lisan,

maupun gerakan dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau

kemauan kepada lawan bicaranya. Melalui bahasa manusia dapat

menyesuaikan diri dengan adat-istiadat, tingkah laku, tatakrama

masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala

bentuk masyarakat.

Novel Kembang Jepun yang menceritakan tiga zaman, didalamnya

terdapat bangsa Belanda, Jepang, dan Indonesia, sehingga bahasa dari

ketiga Negara tersebut banyak terdapat dalam novel tersebut. Di samping

itu masih ada dua bahasa daerah yaitu bahasa daerah Minahasa dan

bahasa Jawa. Bahasa daerah Jawa logat Jawa timur digunakan dalam

percakapan antara Tjak Broto dengan ibunya yang sedang membicarakan

caon istri Tjak Broto (hlm. 65). Bahasa daerah M inahasa digunakan

dalam percakapan antara Keke dengan Jantje ketika Jantje berpamiran

akan pergi ke Jakarta (hlm. 25). Bahasa Jepang digunakan dalam

338

percakapan antara Keke dengan Hiroshi Masakuni saat kedatangan ke

Sinju (hlm. 98), sedangkan bahasa Belanda digunakan oleh bangsa

pribudmi yang berpendidikan Belanda, seperti percakapan antara Tjak

Broto dengan Tja Tjie Luang yang sedang membicarakan Keke (hlm.

142). Tokoh-tokoh dalam novel Kembang Jepun menggunakan bahasa

daerah masing-masing karena dengan menggunakan bahasa daerah

menimbulkan suasana akrab dan kekeluargaan. Berbeda dengan tokoh-

tokoh pribumi yang menggunakan bahasa asing dalam percakapan

meskipun terjadi komunikasi tetapi tidak bisa menimbulkan suasana yang

akrab dan kekeluargaan.

Oleh karena bahasa asing (Belanda dan Jepang), sebagian

masyarakat Indonesia menggunakan, wajarlah budaya-budaya asing tidak

bisa ditolak masuk ke Indonesia, misal melalui cara berpakaian dan

bidang kesenian. Pengaruh budaya Barat terhadap bangsa Indonesia

dalam bidang kesenian adalah tarian walsa saat berpesta. Demikian

bahasa Jepang mempengaruhi dalam bidang kesenian yaitu seni geisha.

Jelaslah bahwa di dalam novel Kembang Jepun terdapat

keragaman bahasa. Keragaman bahasa dari masing-masing daerah dan

Negara merupakan kekayaan budaya dari daerah ataupun Negara asal

bahasa tersebut.

4) Kesenian Sebagai Lahan Bisnis

Kesenian mengacu pada nilai keindahan yang berasal dari ekspresi

hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata atau telinga.

339

Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi manusia menghasilkan beberapa corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujuan yang kompleks. Banyak sekali macam seni, misalnya seni suara, seni rupa, seni gerak, seni tari, dan sebagainya. Banyak kesenian yang ditampilkan dalam novel Kembang Jepun. Kesenian Jepang digambarkan pada geisha. Di Jepang geisha dianggap sebagai jiwa seni itu sendiri.

Kesenian Jepang yang dilakukan geisha salah satunya adalah seni musik. Mereka menghibur tamu dengan memainkan musik dari alat musik yang bernama shamisen. Memainkan shamisen merupakan tugas pertama seorang geisha..

Jepang yang dilakukan oleh Yoko seorang geisha ketika peresmian Shinju. Jepang merupakan negeri yang penduduknya dikenal mempunyai jiwa seni yang cukup tinggi. Kecintaan orang Jepang dalam seni juga dituangkan dalam tata ruang rumah-rumah Jepang dan juga lukisan-lukisan tradisional Jepang.

Seperti diketahui kesenian geisha merupakan lahan bisnis yang bagus karena dengan banyak tamu di Shinju berarti menambah kekayaan pemiliki Shinju (pemilik geisha). Berbeda dengan kesenian khas Jawa, khususnya Jawa Timur yaitu ludruk selain sebagai lahan bisnis tetapi juga sebagai alat perjuangan melawan penjajah. Jadi dengan kesenian pun ternyata bisa mempengaruhi rakyat Indonesia yang lain untuk berani melawan penjajah. Selanjutnya nilai pendidikan yang dapat diperoleh kesenian sebagai lahan bisnis.

340

5) Keyakinan Bisa Menimbulkan Kekuatan

Religi atau system kepercayaan identik dengan hubungan manusia

terhadap Tuhan dan keyakinannya. System religi dlm novel Kembang

Jepun beragam, misal kepercayaan terhadap Tuhan dan juga terhadap

animisme. Sebagai contoh Keke meyakini dan percaya bahwa jimat

(kalung) yang diberikan Tjak Broto pembawa keberuntungan. Hal ini

dilakukan Keke karena ia sangat mencintai Tjak Broto.

Dalam novel Kembang Jepun juga ditemukan kepercayaan dan

keyakinan kepada Tuhan seperti ketika Tjak Broto berbicara dengan

teman-teman seperjuangan, untuk mengadukan nasib kepada Tuhan yang

sedang dijajah Jepang. Oleh karena menurut keyakinan dan kepercayaan

mereka semua perjuangan yang menentukan berhasil atau tidak hanya

Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan uraian di atas maka nilai pendidikan budaya yang

diperoleh yaitu keyakinan bisa menimbulkan kekuatan.

6) Menghargai Tradisi Bangsa

Adat atau tradisi merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri.

Tradisi ini biasanya merupakan warisan turun-temurun dari nenek

moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam novel ini ditemukan

beberapa tradisi yaitu tradisi bangsa Jepang, bangsa Belanda, dan bangsa

Indonesia.

Salah satu yang bisa dilihat dalam novel Kembang Jepun ini

adalah tradisi makan bangsa Jepang dan Belanda yang bertolak belakang.

341

Bangsa Jepang mempunyai tradisi kalau sedang makan harus mengecap - ngecap dan berbunyi, sedangkan bangsa Belanda pada saat makan

(mengunyah) tidak boleh berbicara. Berbeda dengan tradisi makan bangsa

Indonesia, kalau sedang makan tidak boleh bunyi (mengecap -ngecap).

Jadi tradisi makan bangsa Indonesia bertolak belakang dengan tradisi makan bangsa Jepang.

Perbedaan lain antara tradisi Jepang dan Belanda terdapat pada cara mereka memandang seorang perempuan. Bangsa Jepang memandang perempuan hanya sebagai alas kaki belaka, sedangkan bangsa Belanda menganggap perempuan sebagai mitra.

Berdasarkan uraian di atas, tampak masing-masing Negara mempunyai tradisi sendiri. Jadi, pada dasarnya semua tradisi yang ada baik di Negara Barat maupun Negara Timur walaupun bertentangan, namun mempunyai makna yang baik di negaranya masing-masing. Nilai pendidikan budaya yang diperoleh adalah menghargai tradisi bangsa.

342

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Bagian ini merupakan penyimpulan dari bab pembahasan terhadap temuan penelitian serta menjawab tujuan penelitian. Adapun penyimpulannya sebagai berikut.

Pertama, struktur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun mempunyai hubungan yang sangat kuat meskipun dilihat secara teks kedua novel tersebut berdiri sendiri-sendiri. Keeratan struktur kedua novel tersebut karena disatukan dalam tema dan amanat yang sama yaitu masalah kehidupan geisha yang penuh perjuangan dan cinta penuh pengorbanan.

Kedua, alur yang terdapat dalam Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden dengan Kembang Jepun terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua novel tersebut menggunakan alur maju (progresif), sedangkan perbedaannya pada novel Memoirs of A Geisha alur yang digunakan maju (progresif) tetapi disisipi flashback atau sorot balik kecil.

Ketiga, penokohan dan perwatakan yang terdapat dalam novel Memoirs of A

Geisha dengan Kembang Jepun terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya perwatakan pada kedua novel tersebut adalah sikap jujur, sabar, mandiri, percaya diri, setia (tepat janji), bekerja keras, optimis, rela berkorban, dan cerdik.

Perbedaan perwatakan dalam kedua novel tersebut adalah tokoh tambahan

Ketua sebagai pengusaha mempunyai watak pandai namun tidak berani

343

mengungkapkan cinta, sedangkan tokoh Tjak Broto sebagai wartawan mempunyai watak yang berani mengungkapkan cintanya.

Keempat, setting pada novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden dengan novel Kembang Jepun karya Remy Sylado terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua novel tersebut menggunakan Jepang sebagai latar.

Perbedaannya, dalam novel Memoirs of A Geishai Kyoto (Jepang) sebagai pusat cerita, sedangkan dalam novel Kembang Jepun Jepang merupakan pengembangan cerita. Dalam novel Kembang Jepun kota Surabaya dan Blitar merupakan pusat cerita.

Kelima, point of view atau sudut pandang yang digunakan dalam novel

Memoirs of A Geisha dengan Kembang Jepun adalah sudut pandang “akuan” (orang pertama).

Keenam, setelah mengetahui persamaan dan perbedaan antara novel Memoirs of A Geisha dengan Kembang Jepun dari unsur strukturnya, maka dapat diketahui bahwa novel Memoirs of A Geisha memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel

Kembang Jepun. Dengan demikian, novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden merupakan hipogram novel Kembang Jepun karya Remy Sylado. Dengan kata lain novel Kembang Jepun merupakan teks transformasi dari novel Memoirs of A Geisha.

Ketujuh, nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden dan Kembang Jepun karya Remy Sylado yaitu nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budaya. Kedua nilai pendidikan tersebut sangt berpendapat bagi pembaca dalam kehidupan sehingga kedua novel tersebut termasuk novel yang bermutu atau bernilai sastra.

344

B. Implikasi

Implikasi secara teoritis, bahwa dengan pesatnya ilmu penelitian sastra dengan berbagai pendekatannya, kajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas ini dapat memperkaya masalah telaah sastra. Model kajian secara struktural yang dilanjutkan dengan interteks menjadi acuan pengkajian sastra dengan pendekatan yang berbeda.

Telaah novel dengan pendekatan intertekstual dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemandegan dunia kajian sastra.

Implikasi secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan telaah sastra dalam rangka memperbaiki pembelajaran apresiasi sastra di sekolah-sekolah.

Kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas ini merupakan salah satu kajian novel yang menggunakan dua pendekatan dalam menelaah dan mengapresiasi dua karya novel atau lebih. Dua pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan strukturalisme dan dilanjutkan dengan pendekatan interteks.

Dalam dunia pendidikan, pendekatan interteks ini dapat dilakukan untuk pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas yang dapat diawali dengan melakukan kajian dua cerpen atau lebih, dan juga dua karya puisi atau lebih untuk dicari persamaan, perbedaan, karya yang menjadi hipogram dan karya transformasinya.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidik diharapkan mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

345

menelaah karya sastra dengan pendekatan interteks dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan amanat undang-undang Sisdiknas tersebut.

PP RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, juga mengamanatkan bahwa pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik. Indikator kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh pendidik, antara lain: (1) memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bahan ajar awal peserta didik; (2) memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Pembelajaran telaah novel dapat mengembangkan aspek kognitif dan aspek kepribadian peserta didik. Aspek kognitif yang dapat diperoleh dari pembelajaran kajian sastra adalah pengetahuan sastra dan pengetahuan mengatasi berbagai konflik yang terjadi. Aspek kepribadian yang dapat diperoleh dari kegiatan mengkaji novel adalah nilai pendidikan yang termuat di dalam novel yang ditelaah.

C. Saran-saran

Saran-saran ini ditujukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan, para peneliti sastra, penulis buku dan sastrawan untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengabdikan tugas-tugas mereka.

1. Untuk Pendidik

a. Novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun sangat baik digunakan

sebagai bahan pelajaran sastra, karena masing-masing novel mempunyai

struktur naratif yang disatukan oleh tema cerita yang hampir sama.

346

Di samping itu, dapat digunakan sebagai bahan untuk membandingkan

unsur-unsur struktur novel untuk dapat ditemukan persamaan dan

perbedaannya. b. Nilai pendidikan yang terkandung dalam Memoirs of A Geisha dan Kembang

Jepun sangat baik untuk nilai pendidikan bagi siswa SMA dan generasi

muda umumnya. Pendidikan nilai moral dan pendidikan nilai budaya sangat

baik ditanamkan kepada generasi muda.

347

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak Zaidan, dkk. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston.

Ali, M. 1985. Penelitian Kependidikan Prosedur & Strategi. Bandung: Penerbit Angkasa.

Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Atar Semi. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

______. 1988. Kritik Sastra. Padang: Angkasa Raya.

______. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

B. Trisman, dkk. 2003. Antologi Esay Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Bertens. 1977. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Boen S. Oemarjati. 1971. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Boulton, Marjoriei. 1984. The Anatomy of Novel. London: Routledge & Keagan Paul.

Burhan Nurgiyantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs. London: Routledge & Kegan Paul.

Darmiyati Zuchdi. 1993. Panduan Penelitian Analisis Kontent. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

______. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Dick Hartoko. 1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Kanisius.

Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1991. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

348

E. Cassirer. 1972. An Essay on Man. London: Yale University Press.

Eliot, T.S.. 1978. To Criticize the Critic and Other Writing. London: Faber and Faber.

Fowler, Roger. 1977. Aspects of The Novel. London: Methuen.

Frans Magnis Suseno. 1986. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT. Gramedia.

Frow, John. 1990. Intertectuality and Ontology dalam Michael Worton dan Judith Still (ed.) Intertectuality Theorities and Practices. New York: Manchester University Press.

Golden, Arthur. 2002. Memoirs of A Geisha. Jakarta: PT Gramedia Utama.

H.B. Yasin. 1983. Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia.

Hawkes, Terence. 1977. New Accents: Structuralism and Semiotic. New Jersey: Princeton University Press.

Henry Guntur Tarigan. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Herman J. Waluyo. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press.

Herman J. Waluyo dan Nugrehi E. Wardhani. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Hutagalung M.S.. 1983. Tanggapan Dunia Asrul Sani. Jakarta: Gramedia.

J. Lexy Moleong. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

J. Sumardjo dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

J. Sudarminto. 1991. Filsafat Proses. Yogyakarta: Kanisius.

Jakob Sumardjo. 1982. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya.

______. 1993. Pendidikan, Nilai, dan Sastra. Jakarta: Grasindo.

Joko Widagdo. 2001. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kaswardi, E.M.K.. 2000. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

349

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

______. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Korie Layun Rampan. 1984. Suara Pancaran Sastra. Jakarta: Yayasan Arus.

Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. (Terj. Soejono Sumardjono). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kenny, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press.

Landow, George P.. 1992. Hypertext and Intertextuality. http://65.107.211.206/epace/ht/jhup/intertext.thml. Diunduh tanggal 04 Maret 2010.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

M. A. K. Halliday, Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotic Social (terjemahan: Drs. Asruddin Barori Tou, MA). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mardiatmaja, B.S.. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Melani Budianta, dkk. 2002. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Tera.

Mochtar Lubis. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Muhammad Syafrudin. 2007. http://arc.ugm.ac.id/files/Abst(3016H-2007).pdf diunduh 20 Oktober 2009.

Munanda Soelaeman. 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Rafika Aditama.

Mursal Esten. 1993. Kesusastraan, Pengantar, Teori, dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Nyoman Kusti Edy. 1983. Nukilan Esay tentang Sastra. Flores: Nusa Indah.

Nyoman Ratna, Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Panusuk Eneste. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.

Panuti Sudjiman. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

350

______. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rahmad Djoko Pradopo. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

______. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Remy Sylado. 2003. Kembang Jepun. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Riffaterre, Michael. 1980. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co Ltd.

Sapardi Djoko Damono. 1993. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Setiadi, M. Elly. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Siriwardena R. 1987. Equality and the Religions Traditions of Asia. London: Frances Printer (Publisners).

Shiloh, Ilana. 2007. “Adaptation, Intertextuality, and the Endless Deferral of Meaning: Memento.” Dalam http://journal.media-culture.org.au/0705/08- shilohphp. Diunduh 09 Maret 2010.

Soelaeman. 1988. Suatu Telaah tentang Manusia Religi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Stanton, Robert. 1965. An Introduction Of Picture. New York Hock: Renheme An Winstor.

Sudaryanto. 2003. Metodologi Penelitian Pengajaran Bahasa, Sebuah Panduan Singkat dan Praktis. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Sudomo Hadi. 2003. Pendidikan Suatu Pengantar. Surakarta: UNS Press.

Suminto A. Sayuti. 1998. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud.

Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Suripan Sadi Hutomo. 1993. Merambah Matahari dalam Sastra Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.

Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai, dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.

351

Teeuw A.. 1983. Membaca dan Menilai Sastra: Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia.

______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Umar Junus. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Umar Kayam. 1998. Batasan Karya Sastra (http://www.geocities.com/oaris/perc/2713/esai 4 html) Diunduh tanggal 4 April 2010.

Van, Peursen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Jakarta: PT. Gramedia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan Terjemahan Melani B. Jakarta: Gramedia.

Amazon review. 2004. Memoirs of A Geisha (http://www.bookbrowse.com/ reviews/index.cfm) diunduh November 2009.

Book review. 2009. Memoirs of A Geisha (http://www.bookreview.com/$spindho. query.listereview2.booknew.56) diunduh 20 November 2009

Hanami web. 2009. Geisha (http://www.hanamiweb.com/geisha.html#intro) diunduh 20 November 2009

How geishawork. 2009. http://money.howstuffworks.com/geisha3.html. Diunduh 20 November 2009.

History of geisha. 2009. http://www.ds-arts.com/GeishaArt/historyofgeisha.html. diunduh 20 November 2009.

The history of the geisha. 2009. http://www.uoregon.edu/~hdulong/japan/ geishahistory.htm. diunduh 20 November 2009.

Answer com. 2009. Portrait (http://www.answers.com/topic/portrait) diunduh 20 November 2009.

Definition of portrait. 2009. http://en.wikipedia.org/wiki/Portrait. diunduh 20 November 2009.