BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Jejak peradaban manusia meninggalkan beberapa pertanda antara lain berupa karya sastra, kesenian dan arsitektur.1 Arsitektur merupakan titik tumpu dari hasil usaha orang-orang yang melahirkan peradaban dan merupakan suatu konsepsi yang sesuai dengan keadaan, tingkat kecakapan serta penghayatan masyarakat terhadap arsitektur. Dalam penampilan yang konkrit, arsitektur memiliki kaitan yang sangat erat dengan aktivitas kehidupan manusia, baik berupa aktivitas jasmaniyah maupun ruhaniyah.2 Bentuk arsitektur (bangunan) sering melambangkan gagasan hidup dalam masyarakat, sebagaimana bentuk gagasan mitologis dan keyakinan keagamaan yang membentuk susunan formal kehidupan seperti binatang, gunung, dan lainnya kemudian menjelma dalam perwujudan dewa dan dewi yang dipuja dan menjadi pelindung kehidupan manusia.3 Seiring dengan pertumbuhan agama-agama di dunia seperti Kristen, Hindu, Budha, , Konghuchu dan lainnya. Kelahiran Islam sebagai sebuah agama tidak hanya menyematkan unsur-unsur bernafaskan doktrinitas saja. Akan tetapi, terdapat juga apa yang disebut dengan sarana atau tempat ibadah, dalam hal ini adalah bangunan masjid dengan segala bentuk aktivitas di dalamnya.4 Masjid memiliki peranan yang penting dalam seluruh dimensi kehidupan umat Islam. Masjid merupakan simbol yang menggambarkan peta kekuatan Islam, yang menyatukan kata kita dan mereka (istilah yang penulis gunakan untuk mereka yang Muslim dan Non- muslim) dan mewujudkannya pada setiap makna kebaikan. Ketika tidak adanya masjid, persatuan kaum muslimin akan mudah dipatahkan dan bercerai-berai5 karena salah satu fungsi masjid adalah sebagai penyatu umat Islam.

1 Achmad Fanani, Arsitektur Masjid, (Yogyakarta: Bentang, 2008), hlm. 7. 2 Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung: Angkasa, tt), hlm. 2. 3 Achmad Fanani, Op. Cit., hlm. 7. 4 Dalam hal ini, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat saja, melainkan juga sebagai pusat pengajaran dan pengembangan ilmu agama dan pengetahuan. 5 Huri Yasin Husain, Fiqih Masjid, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 1. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul berbagai bentuk dan gaya bangunan masjid di dunia Islam dengan ciri khas yang berbeda di setiap wilayahnya. Hal ini terlihat dari proses akulturasi budaya yang terjadi antara tradisi tradisi daerah setempat dengan tradisi baru yang tewujud dalam bentuk morfologi arsitektur masjid. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari unsur budaya yang hadir sebelumnya, contohnya di Indonesia, di mana budaya Hindu-Budha yang menyatu dengan budaya Islam yang hadir pada masa selanjutnya.6 Budaya-budaya yang bertemu dan saling mengisi serta menciptakan keanekaragaman bentuk lagi unik.7 Keanekaragaman ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, antara lain kondisi geografis, budaya setempat, dan teknologi. Demikian pula dengan bangunan masjid yang memperlihatkan ciri tersendiri ketika iklim, material bangunan, teknologi, atau keahlian seniman yang berbeda-beda disertai dengan proses akulturasi budaya yang menyertainya.8 Seperti pada Masjid Sendang Duwur (1559 M) di Jawa Timur dengan bentuk ornamen pada gerbang makhluk hidup menyerupai Burung Merak dan Burung Garuda. Kemudian, Gerbang (kori) menara Masjid Kudus yang lebih mirip bangunan Candi Hindu (Candi Jago di Jawa Timur) dari pada sebuah menara adzan masjid pada umumnya.9 Islam hampir menguasai sebagian besar belahan dunia untuk menyebarkan dakwah Islamnya. Melalui jejak peradaban yang ditinggalkan di setiap wilayahnya memberikan tanda akan persebaran budaya Islam, tanpa terkecuali dengan jejak peradaban Islam di Indonesia (Nusantara), khususnya yang terjadi di Cirebon.10 Islam

6 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 170. 7 https//www.academia.Edu1028021Perkembangan Arsitektur Masjid Transformasi Bentuk dan Ruang, hlm. 7. Diposting Oleh M. Syaom Barliana, UPI. Download pada tanggal 5 Maret 2014. 8 Tawalinuddin Harits, Suhuf Jurnal Al-Qur'an Dan Kebudayaan Masjid-Masjid di Dunia Melayu Nusantara, Vol. 3, No. 2, (Jakarta: Badan Balitbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hlm. 282. 9 https//www.academia.Edu, Op. Cit. 10 Cirebon pada mulanya adalah sebuah desa nelayan yang tidak berarti dengan nama Dukuh Pesambangan, dukuh ini terletak kurang lebih 5 km disebelah utara kota Cirebon sekarang. Lokasinya terletak di bibir pantai antara Jawa Tengah dan Jawa Barat yang dilengkapi dengan sungai-sungai seperti Cimanuk, Pekik, Ksunean dan Cilosari yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi ke daerah pedalaman di sekitar pelabuhan Cirebon. Pada masa sebelum Islam (masa Hindu), Cirebon diduga hanya salah satu daerah bawahan Hindu di Jawa Barat yang berpusat di Kawali Galuh dan Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu-Budha. Hal ini didasarkan pada temuan prasasti Huludayeuh di desa Cikalahang Kecamatan Sumber. Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sunda, dengan tulisan prasasti itu antara lain menyebutkan Sri Maharaja Ratu Haji Di Pakwan, Sya Sang Ratu Dewata (Sri Maharaja Raja Utama di Pakwan, dialah Sang Ratu Dewata). Selain itu, ada situs patung Budha di telah diperkenalkan beberapa waktu sebelum kedatangan seorang wali yang berhasil mengislamkan masyarakat Jawa Barat bernama Sunan Gunung Jati.11 Telah ada sosok- sosok lain seperti Haji Purwa, Syekh Nurjati, empat orang bersaudara asal Baghdad (Maulana Abdurrahman atau Pangeran Panjunan, Maulana Syarifuddin atau Pangeran Plangon, Syarifah Baghdad, dan Syekh Datuk Khafid),12 Pangeran Cakrabuwana, yang mengenalkan Islam di wilayah ini.13 Selanjutnya Islam di Cirebon berkembang dan mencapai puncaknya ketika Sunan Gunung Jati masuk dan menyebarkan Islam di Cirebon sekaligus menjadi kepala pemerintahan di wilayah tersebut, salah satu hasil peradaban yang ditinggalkan adalah Masjid Sang Cipta Rasa. Sebuah bangunan selain digunakan sebagai tempat peribadatan, Masjid Sang Cipta Rasa juga digunakan sebagai sarana transfer ilmu agama dan pengetahuan, serta sebagai tempat rapat para petinggi pemerintahan yang dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati.14 Proses Islamisasi di Cirebon berlangsung secara berangsur-angsur, mengakibatkan banyaknya budaya yang berkembang kemudian menjadi ciri khas dari masyarakat yang pernah tinggal di dalamnya. Hasil dari kebudayaan-kebudayaan ini meninggalkan banyak peninggalan, baik berupa benda fisik (arkeologis) maupun non- fisik (non-arkeologis) sebagai bukti atas keanekaragaman budaya masyarakat (dan agama yang dianutnya) yang pernah singgah dan mendiami wilayah Cirebon. Salah satu dari peninggalan yang masih dapat kita lihat hingga kini adalah peninggalan arkeologi religi, yakni bangunan masjid tua seperti masjid Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Selain itu, terdapat pula dua buah tinggalan masjid penting lainnya yang ditafsirkan berasal dari masa-masa awal islamisasi di Cirebon, yaitu Masjid (langgar)

Desa Talaga, yang diduga sebagai peninggalan Kerajaan Galuh atau Kerajaan Sunda. Zainal Masduqi, Cirebon dari kota tradisional ke kota kolonial, (Cirebon: Nurjati Press, 2011), hlm. 3. 11 Ibid, hlm. 12. 12 Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan, Carub Kandha Carang Seket. Terj. (Jakarta: Proyek Penebitan Buku Sastra Indonesia Dan Daerah, 1980), Hlm. 457. Diceritakan bahwa empat bersaudara tersebut adalah anak dari Umdah Sultan Hud Baghdad yang diusir karena tidak mendengarkan nasehat ayahnya. 13 Makalah seminar Syekh Nurjati: Studi Tentang Islamisasi Pra-Walisongo Cirebon Abad Ke- 15. Oleh Didin Nurul Rosidin, pada tanggal 02 Maret 2014 di Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon lantai 2. 14 Zainal Masduqi, Op. Cit,. hlm. 14. Dikisahkan bahwa para Adipati, Bupati dan Tumenggung wajib menghadiri rapat bulanan (seba) di ibukota negara setiap hari Jum'at Kliwon. Tempat rapatnya dilaksanakan di Masjid Sang Cipta Rasa. Pejlagrahan yang terletak di pesisir Muara Jati dan Masjid Panjunan (Masjid Abang) yang dibuat oleh Syeikh Abdurahman Al-Baghdadi atau lebih dikenal dengan Pangeran Panjunan. Usia kedua bangunan tersebut diduga lebih tua dari usia bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.15 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hakim, kurang lebih terdapat delapan belas masjid tua yang diperkirakan dibangun pada masa sebelum dan sesudah masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah. Di antara masjid tersebut adalah Masjid Kanoman, Masjid Baitul Karim Pekalangan, Masjid Ki Buyut Trusmi, Masjid Kaliwulu, Masjid Ki Buyut Gamel, Masjid Megu Gede, Masjid Al-Karomah (Keramat) Depok, Masjid Kramat Pesalakan, dan Masjid Ki Buyut Sapu Angin Bondan Indramayu. Persebaran masjid tua lebih banyak terdapat di wilayah Cirebon bagian Barat ketika Kota Cirebon dijadikan sebagai titik tengahnya.16 Persebaran itu dapat dilihat dari keberadaan masjid tua yang tersebar antara wilayah Kota Cirebon dan Cirebon bagian Barat.17 Sekian banyak situs masjid yang tersebar di wilayah Cirebon, penulis tertarik pada situs Masjid Al-Karomah Depok sebagai objek kajian penelitian. Depok adalah nama salah satu desa sekaligus menjadi nama kecamatan di wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya Cirebon bagian Barat dengan luas wilayahnya sekitar 74 km².18 Sebuah desa yang tidak memiliki wilayah yang luas, akan tetapi terdapat komplek pemakaman umum pada setiap bloknya.19 Nama Depok ini, beberapa tahun silam dijadikan sebagai nama dari kecamatan yang , yakni Kecamatan Depok sebagai akibat dari pemekaran Kecamatan Plumbon.20 Selain terdapat komplek pemakaman pada setiap bloknya, terdapat pula sebuah masjid dengan nama Masjid Al-Karomah Depok. Sebuah bangunan masjid yang jika diperhatikan tidak jauh berbeda seperti Masjid Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan

15 Abdul Hakim, Suhuf Jurnal Al-Qur'an Dan Kebudayaan “Akulturasi Budaya Bangunan Masjid Tua di Cirebon”, Vol. 4, No. 2, (Jakarta: Badan Balitbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), hlm. 290-291. 16 Kawasan pusat kota dengan wilayah regional meliputi wilayah di bawah naungan wali kota. 17 Abdul Hakim, Op. Cit., hlm. 291 18 Hasil wawancara dengan Bapak Abdul Ghani selaku pejabat desa Depok bidang pengairan, pada tanggal 11 Maret 2014 di kantor kuwu Desa Depok. 19 Hal ini tidak dijumpai di desa-desa lain yang ada di wilayah kecamatan Depok sendiri. 20 Ibid. dan Masjid Kaliwulu Plered. Sebuah masjid dengan nama Masjid Al-Karomah atau lebih dikenal dengan Masjid Kramat Depok. Warna merah menghiasi seluruh bangunan masjid ini, mulai dari bagian atap, hingga pada bagian pondasi bawah. Sebuah masjid yang sederhana, namun dipenuhi dengan mitos dan eksotisme arsitektur bangunan yang menyimpan ketertarikan tersendiri untuk diteliti. Berdasarkan penuturan Bapak Mustajib Masyadi selaku Ketua Yayasan Syekh Pasiraga, bahwa Masjid Al-Karomah Depok didirikan secara tiba-tiba, hanya memerlukan waktu satu malam dan didirikan oleh orang-orang yang memiliki kelebihan (para Wali atau Auliya’). Hal ini dibuktikan dengan adanya batu yang berada di kawasan Masjid Al-Karomah Depok (sekarang berada di ruangan kedua masjid), diduga merupakan tempat singgah para wali yang melakukan musyawarah dan masjid ini kemungkinan didirikan sekitar akhir abad ke-14 M atau awal abad ke- 15 M.21 Dalam buku Mengenal 161 Situs di Kabupaten Cirebon, disebutkan bahwa masjid ini merupakan masjid peninggalan atau masjid yang didirikan oleh para wali. Hal ini ditandai dengan adanya “tatal” yang terdapat di atas tiang-tiang (saka) masjid, dan lumpang berlubang sebelas sebagai peninggalan dari Pangeran Panjunan (dahulunya digunakan untuk membuat terasi dan jamu, sampai sekarang lumpang tersebut masih ada).22 Asumsi-asumsi tersebut diperkuat pula dengan pernyataan dari juru kunci sekaligus menjadi masjid Bapak H. Hariri dan Ketua DKM Masjid Al-Karomah Depok Bapak Harjono, juga menyatakan bahwa Masjid Al-Karomah didirikan sekitar akhir abad ke-14 M atau awal abad ke-15 M.23 Arsitektur Masjid Masjid Al-Karomah terlihat sederhana dengan corak arsitektur yang cenderung mirip dengan bangunan yang ada pada masa Hindu. Baik dari konstruksi atap, bangunan maupun ornamen yang melengkapinya, begitu juga dengan mitos-mitos yang masih tertanam kuat di masyarakat tentang masjid tersebut.

21 Hasil wawancara dengan Bapak Mustajib Masyadi selaku Ketua Yayasan Syekh Pasiraga Depok, pada Hari Sabtu, 26 Oktober 2013 di kediamannya, blok Bojong-Desa Depok. 22 Bakombudpar, Mengenal Lebih Dekat 161 Situs di Kabupaten Cirebon, (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Periwisata, 2008), hlm. 27. 23 Hasil wawancara dengan Juru Kunci Bapak H. Hariri selaku juru kunci Masjid Al-Karomah Depok di komplek masjid, dan Bapak Harjono selaku Ketua DKM Masjid Al-Karomah Depok di kediamannya pada Hari Sabtu, 19 Oktober 2013. Sebagai sebuah bangunan, masjid tentunya merupakan wujud arsip visual dari gambaran kehidupan manusia yang melahirkan sesuai dengan zamannya.24 Kesinambungan tradisi lama tidak hanya terbatas pada perkembangan seni rupa pada zaman Hindu saja akan tetapi berlanjut hingga zaman Islam, sehingga ketika Islam masuk terjadi proses akulturasi yang terwujud antara Hindu dan Islam. Sebagai hasil representasi budaya yang bercampur di dalamnya, seperti tradisi seni bangunan kayu yang sudah dikenal sejak lama, sesuai dengan keadaan alam Indonesia yang kaya akan berbagai jenis kayu. Pada zaman Hindu, tradisi ini berkembang dengan menghasilkan peraturan dan pedoman seni bangunan sesuai dengan pedoman agama dan perkembangan budaya pada waktu itu. Pedoman seni bangunan ini pada zaman Islam disempurnakan dan mencapai puncak perkembangan seni bangunan kayu. Bangunan istana dan masjid adalah contoh bagaimana tradisi arsitektur kayu mencapai bentuknya pada zaman Islam.25 Rasa keingintahuan penulis untuk memperoleh pengetahuan tentang sejarah serta karakteristik yang dimiliki oleh Masjid Al-Karomah Depok membuat penulis mencoba untuk mendekatinya.26 Melalui benda-benda arkeologi yang terdapat di sekeliling Masjid Al-Karomah Depok, dapat menerangkan pada usia atau waktu pembangunan masjid dan proses akulturasi yang terjadi antara budaya pra-Islam dengan budaya Islam yang berkembang di Cirebon. Selain itu, anggapan dari beberapa kawan di jurusan sejarah yang menganggap bahwa masjid ini sulit untuk didekati, dalam arti penelitiannya. Hal yang paling membuat penulis semakin merasa ingin tahu adalah konsep arsitektur pada Masjid Al-Karomah Depok, karena ketika dilihat secara kasat mata, konsep arsitektur yang diusung sangat sederhana dan jauh dari konsep arsitektur dari masjid-masjid yang ada di sekitar wilayah Depok sendiri. Penelitian ini mencoba menelusuri wujud akulturasi budaya Hindu dan Islam pada bangunan masjid tersebut.

24 Abdul Rochym, Mesjid dalam karya arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung: Angkasa, tt), hlm. 16. 25 Wiyoso Yudpseputro, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, (Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008), hlm. 154. 26 Selain itu, melihat dari jarak antara kediaman penulis dengan objek penelitian membuat penulis semakin berkeinginan untuk menelitinya. B. Rumusan Masalah Berawal dari uraian yang dipaparkan pada latar belakang, adapun bagian yang akan menjadi titik fokus dalam rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk arsitektur Masjid Al-Karomah Depok ? 2. Bagaimana wujud akulturasi budaya Hindu pada arsitektur Masjid Al-Karomah Depok ?

C. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis cenderung menggunakan pendekatan studi lapangan “field research” dengan menghadirkan beberapa nara sumber terkait objek penelitian yang akan diteliti. Namun, agar penelitian ini tidak terlalu melebar, maka penelitian hanya ditujukan pada arsitektur bangunannya, sehingga fokus penelitian pun menjadi lebih tajam dan terarah.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian pada rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk arsitektur Masjid Al-Karomah Depok. 2. Untuk mengetahui bagimana bentuk akulturasi budaya yang ada pada arsitektur masjid Al-Karomah Depok. Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan penulis adalah hasrat penulis yang ingin memperoleh dan memberikan pengetahuan yang lebih tentang objek kajian yang diteliti, serta memberikan pengetahuan baru untuk mengembangkan ilmu pengetahuan selanjutnya. Selain itu, untuk memberikan pengetahuan dan gambaran kepada masyarakat akan warisan leluhur kita yang perlu dilestarikan, dan memberikan sebuah stimulan kepada generasi pemuda selanjutnya untuk menggali lebih dalam dari ilmu pengetahuan yang digeluti dan mengembangkannya sehingga dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas.

E. Kerangka Pemikiran Arsitektur adalah hasil dari proses perancangan dan pembangunan oleh seorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk melaksanakan kegiatan tertentu.27 Lahirnya sebuah karya arsitektur, baik itu bangunan atau benda-benda fisik lainnya tidak terlepas dari apa yang dinamakan dengan proses akulturasi. Seni rupa (arsitektur) Hindu adalah karya seni rupa yang berfungsi sebagai sarana ibadah dalam agama Hindu. Dalam hal ini, seni rupa Hindu dan Budha sebagai sarana ibadah agama tidak hanya ditujukkan untuk penghormatan kepada para dewa atau tokoh Budha saja, tetapi sekaligus untuk para raja yang dipandang sebagai keturunan atau titisan dewa, dan perkembangan seni Hindu dan Budha di Indonesia pun hanya terbatas di daerah kekuasaan raja.28 Rumusan kaidah atau pedoman seni Hindu dan Budha bersumber pada rujukan perlakuan hukum dari kedua agama tersebut. Nilai keindahan tidak hanya dihasilkan berdasarkan pertimbangan konsep yang serba rasional, tetapi juga memiliki arti spiritual yang hadir dalam perlambangan seni sesuai dengan tugas keagamaannya.29 Sedangkan, bentuk seni (arsitektur) Islam secara umum berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Banyak faktor yang turut melatarbelakangi, baik dari letak geografis, budaya, maupun kondisi sosial politik di sekitarnya. Sehingga dalam perkembangan arsitektur Islam memiliki bentuk dan gaya yang beraneka ragam, khususnya pada bangunan masjid di seluruh dunia Islam. Elemen-elemen yang umumnya harus dimiliki di setiap masjid adalah demarkasi ruang, dinding kiblat dan , mimbar, , kursi, , kolam, menara, dan portal (pintu masuk).30

27 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Mesjid Dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000). hlm. 7. 28 Seperti di daerah kerajaan Melayu dan Sriwijaya di Sumatra, daerah kerajaan Sanjaya dan Majapahit di Jawa dengan pengaruhnya sampai ke Bali. Wiyoso Yudpseputro, Ibid, hlm. 65. 29 Ibid, hlm. 71. Untuk hiasan perlambangan yang terdapat pada bentuk seni rupa bangunan hindu dan Budha sangat beragam, antara lain ragam hias tumbuh-tumbuhan (sulur, kala, kala-makara, dan lain sebagainya), hias cerita (terdapat pada dinding atau relief candi), dan masih banyak lagi ragam hias lain yang berkembang pada masa Hindu dan Budha. 30 - Demarkasi adalah batas pemisah, perbatasan; tanda batas yang memisahkan bagian luar dan dalam sebuah tempat. Ketika dikaitkan dengan konteks masjid, demarkasi dapat diartikan sebagai batas atau dinding pemisah antara ruang bagian dalam masjid (tempat sholat berjama’ah) dengan bagian luar ruangan. Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://www.ebost.web.id, diakses pada tanggal 12 Februari 2014 di Pare-Kediri, Jatim. - Mihrab adalah Sebuah bentuk pengembangan dari bagian masjid yang seiring menciptakan bangunan baru yang ditempatkan pada dinding arah kiblat sebagai tempat khusus bagi imam dalam memimpin shalat berjama’ah. Lihat Achmad Fanani, Arsitektur Masjid, (Yogyakarta: Bentang, 2008), hlm. 77. - Mimbar adalah Sebuah kelengkapan sekunder yang tidak wajib ada. Akan tetapi seiring perkembangan dunia arsitektur khususnya masjid, menghendaki adanya sebuah bagian baru dalam komponen masjid, yakni mimbar (begitu juga dengan menara dan lainnya). Hampir di setiap masjid di seluruh belahan dunia memiliki mimbar sebagai tempat untuk ceramah atau khotbah shalat Jum’at. Ibid, hlm. 81. Dari elemen umum yang ada pada bangunan masjid, ada elemen lain yang dimiliki pada arsitektur masjid di Nusantara, yakni adanya kentongan dan ,31 sebagai budaya asli Indonesia dan menara sebagai tempat atau sarana untuk muadzin menyerukan adzan atau pemanggil sholat di setiap waktu sholat. Sebagai landasan teori yang akan digunakan dalam penelitian, penulis setuju dengan teori yang dikemukakan Van Peursen tentang “Strategi Kebudayaan,”32 yang intinya adalah: 1. Tahap Kebudayaan Mistis Tahap terjadinya manusia dan adanya kesatuan yang kuat antara manusia dengan alam. Manusia belum dapat memahami gejala-gejala yang bersifat “transendental” (mengatasi hal-hal yang selit dipahami atau gaib) seperti ketakutan manusia menghadapi kematian. Manusia belum dapat mengatasinya sehingga menciptakan suatu sistem religi. 2. Tahap Kebudayaan Ontologis Tahap dimana manusia mulai bisa melakukan penelitian atau menganalisis alam sekitarnya. Pada tahap ini munculah sesuatu yang sifatnya lebih kompleks dan memerlukan sebuah penelaahan di dalamnya, yakni :  Sistem filsafat

- Dikka adalah seperti bentuk sebuah panggung dilengkapi dengan tangga yang diletakkan di ruang shalat utama dan terkadang dibagian halaman masjid. Dikka biasanya ditempatkan satu garis lurus di depan mihrab dan sebagai tempat Qadi masjid untuk mengikuti gerakan dan bacaan iman sehingga dapat didengar oleh jama’ah. Selengkapnya baca Yulianto Sumalyo, Arsitektur Mesjid Dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000). - Kursi disebut diletakkan sebagai tempat untuk meletakkan Al- dan diasanya terletak di atas Dikka. Ibid, hlm. 8. - Maqsurah adalah bagian terlindung atau berpagar tempat imam, khalifah atau gubernur melaksanakan shalat dan berlindung jika ada serangan secara tiba-tiba. Lihat Tawalinuddin Harits, Suhuf Jurnal Al- Qur'an Dan Kebudayaan “Masjid-Masjid di Dunia Melayu Nusantara”, Vol. 3, No. 2, (Jakarta: Badan Balitbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hlm. 285. - Portal atau dalam artikel Talawinuddin Harist dikatakan sebagai pintu masuk sebagai bentuk pengembangan dan sumbangsih terhadap penampilan sebuah bangunan (dalam hal ini adalah Masjid). Bahkan dalam bukunya Ahmad Fanani disebutkan portal ada pada setiap tempat dan zaman dari Aegean, Yunani Romawi) telah menjadikan portal ini sebagai selain sebagai bagian bangunan juga sebagai media mendemonstrasikan pencapaian gagasan masyarakatnya. Selengkapnya baca Achmad Fanani, Op. CIt., hlm. 107. 31 Talawinuddin Harits, Op. Cit, hlm. 287. Dalam bahasa Sunda disebut dengan Kohkol, dan Kulkul untuk bahasa Bali. 32http://books.google.co.id/books?id=GCC0hFR3Eh8C&printsec=frontcover&dq=inauthor: %22Cornelis+Anthonie+van+Peursen%22&hl=id&sa=X&ei=WfA0U7yVF4nEkwXN24HgBQ&ved =0CCwQ6AEwAA#v=onepage&q&f=true. Book View. Dibaca pada tanggal 21 Maret 2014.  Agama atau kepercayaan  Manusia sebagai individu yang keluar dari kolektivitas, dari sifat transdental menjadi menghadapi. 3. Tahap Kebudayaan Fungsional Tahap ketiga ini merupakan tahapan aplikatif atas kedua tahap yang hadir sebelumnya. Pada tahapan ini manusia memakai ide-ide ontologis atas penelitian mereka atau berupa perwujudan dari nilai-nilai filosofis yang telah berbaur antara tahap mitos dan ontologis merasuk dalam jati diri dan pemikiran. Keduanya, kemudian melahirkan apa yang dinamakan dengan wujud-wujud kebudayaan. Terdapat tiga macam bentuk perwujudan kebudayaan dalam teori yang dikemukakan Van Perseun yakni :  Ide Kebudayaan  Praktek  Artefak33 Ketika melihat kebudayaan sebagai siasat (strategi) yang digunakan manusia menghadapi hari depan, Van Perseun berpendapat bahwa kebudayaan juga merupakan penggambaran tentang perubahan-perubahan riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kehidupan yang sudah ada. Laju perjalanan kehidupan yang semakin cepat tentu saja dapat mempengaruhi perubahan, suatu kebudayaan dapat menggambarkan perkembangan dari zaman dahulu ke zaman sekarang bahkan masa yang akan datang.34 Ketiak mengaitkan antara fungsi praktis dan makna simbolisnya, akan diperoleh pemahaman yang utuh tentang makna dari sebuah wujud arsitektur itu. Van Perseun mengemukakan tentang pengertian fungsi-fungsi dalam perkembangan budaya, bagaomana seharusnya fungsi-fungsi budaya dikembalikan pada hakikatnya dalam kehidupan. Artinya, fungsi-fungsi baik kuantitatif maupun kualitatif yang dikandung sebuah produk budaya dalam kenyataannya berada pada satu kesatuan produk tersebut35 dengan melukiskan perkembangan kebudayaan dan fungsi- fungsinya secara tepat, sehingga dapat diperoleh keterangan mengapa kebudayaan

33 C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta : Kanisius, 1988), hlm. 23. 34http://antariksaartikel.blogspot.com/2007/08/arsitektur-dan-kebudayaannya-sebuah.html. Diposting Oleh: Antariksa (majalah SOLID 1, II 1987). Di download pada 16 Maret 2014. 35 Achmad Fanani, Arsitektur Masjid, (Jakarta: Bentang, 2009), hlm. 22. mempunyai wujud seperti sekarang ini. Selain strategi dalam gerak dan laju sebuah kebudayaan, perwujudan fisik sebuah bangunan merupakan manifestasi atas simbol-simbol kebudayaan yang tercurahkan dalam bentuk tanda yang dikomunikasikan melalui kesepakatan bersama, hingga kemudian terwujudlah bangunan yang terlihat baik secara fisik ataupun maknanya. Charles Sanders Pierce,36 seorang ahli filsafat dari Amerika, menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Merujuk pada teori Pierce, Pierce membagi tanda-tanda yang dapat pada tiga aspek penting dalam teori semiotiknya. Analisis semiotik Pierce disebut dengan segitiga makna atau triangle of meaning. Tiga aspek tersebut adalah :37 1. Sign atau tanda : merupakan konsep utama yang dijadikan sebagai bahan analisis di mana di dalam tanda terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Secara sederhana, tanda cenderung berbentuk visual atau fisik yang ditangkap oleh manusia. 2. Object atau objek : Objek merupakan konteks sosial yang dalam implementasinya dijadikan sebagai aspek pemaknaan atau yang dirujuk oleh tanda tersebut. 3. Interpretant atau pengguna tanda : konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya dalam sebuah makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.38 Kajian bentuk arsitektur masjid kuno memiliki nilai keterkaitan tersendiri. Selain itu, banyak teori yang dipakai oleh para peneliti guna menjabarkan bagaimana bentuk permulaan dari masjid-masjid kuno tersebut. Suatu bentuk yang berjalan bersamaan dengan kebudayaan yang hadir dan diteruskan dengan zamannya.

36httpswww.facebook.comajaxmessagingattachment.phpattach_id=05e31a334e5169a184b32 724ff284ea9&mid=mid.1404446449164%3Ad5f8d1877721e62380&hash=AQA3Bb7gfW4IlDj5 Di Download pada tanggal 29 Juni 2014 37http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2014/03/semiotik-simbol-tanda-dan-konstruksi-makna/. Di posting Oleh Arif Budi Prasetya, Universitas Brawijaya tanggal 14 March 2014. Di download pada Selasa, 24 Juni 2014. 38 http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2014/03/semiotik-simbol-tanda-dan-konstruksi-makna/. Di posting Oleh Arif Budi Prasetya, Universitas Brawijaya pada tanggal 14 March 2014. Di download pada Selasa, 24 Juni 2014. Contohnya adalah dalam tradisi kesenian pada zaman para wali kemudian diteruskan pada zaman kesultanan Cirebon, pengaruh kesenian Cina tampak sangat jelas disamping pengaruh tradisi seni Majapahit. Hal ini membuktikan bagaimana peranan kebudayaan Cina sangat berpengaruh dalam pembentukan kebudayaan Islam di Cirebon.39 F. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian di bidang Arkeologi selain dilakukan observasi terhadap objek kajian, juga membutuhkan buku-buku sebagai referensi penunjang untuk memperkaya kajian penelitiannya. Penelitian yang akan diusung lebih terfokus pada arsitektur bangunan masjid, sehingga membutuhkan rujukan terkait dengan aspek- aspek yang harus diperhatikan. Melalui referensi-referensi inilah penulis dapat menemukan bagian-bagian yang belum dapat terpaparkan ketika tinjauan lapangan. Adapun sumber-sumber pustaka yang digunakan bersifat sekunder, karena mengingat kajian lapangan pun perlu mebutuhkan referensi yang tidak sedikit dari referensi pustaka yang ada. 1. Skripsi Juhaeriyah, 2009. Pengaruh Arsitektur Hindu Terhadap Arsitektur Islam Pada Bangunan Masjid (Studi Kasus Masjid Trusmi Desa Trusmi Kecamatan trusmi Kabupaten Cirebon). Sebuah skripsi yang menjadi inspirasi awal dalam pengangkatan kajian penelitian ini, sebagai sebuah stimulan yang memberi keberanian pada penulis menelaah objek kajian tentang Arsitektur Masjid Al- Karomah Depok. 2. Abdul Rochym, 1983. Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Buku ini memaparkan tentang penampilan fisik bangunan masjid yang menjadi salah satu bagian dari perkembangan sejarah Islam di Indonesia. Dari gambaran fisik yang dipaparkan dalam buku ini, kita bisa menarik kesimpulan terhadap fungsi- fungsi dari ornamen yang ada di masjid berkaitan dengan proses pelaksanaan ajaran Islam. 3. Sidi Gazalba, 1989. Mesjid Pusat Ibadah Dan Kebudayaan Islam. Buku ini menjelaskan tentang perkembangan masjid yang ada di dunia, bagaimana fungsi dari masing-masing bagian yang ada di lingkungan masjid tersebut yang saling

39 Wiyoso Yudoseputro, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, (Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008), hlm. 63. berkaitan satu sama lain. 4. Ahmad Fanani, 2009. Arsitektur Masjid. Buku ini memaparkan tentang perkembangan dari arsitektur masjid dari masa awal Islam sampai dengan masa khalifah, dilengkapi dengan bagaimana makna yang tersirat atas pembangunan masjid-masjid tersebut, dan tidak terlepas dari apa yang dinamakan dengan makna filosofisnya. 5. Yulianto Sumalyo, 2000. Arsitektur Mesjid Dan Monumen Sejarah Muslim. Dalam buku ini memaparkan tentang macam-macam bentuk arsitektur masjid dan monumen sejarah umat muslim di seluruh dunia disertai dengan perkembangan dan penjelasan fungsi dan teknis dari aristektur bangunan masing-masing. 6. Abdul Rochym, 1983. Sejarah Arsitektur islam : Sebuah Tinjauan. Buku ini menggambarkan sebuah rentetan sejarah perkembangan arsitektur Islam dari masa ke masa sebagai sebuah bentuk peninjauan akan hasil peradaban yang telah dihasilkan oleh Islam. 7. Hasan Mu'arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis Dan Historis Islam Indonesia. Sebuah buku yang didalamnya melukiskan tentang peninggalan arkeologis Islam di Indonesia dengan disertai latar belakang sejarah yang melatarbelakanginya. 8. Made Susila Patra, 1985. Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati Bali. Buku ini menggambarkan bagaimana hubungan antara seni bangunan yang ada di daerah Bali, kaitannya dengan adat istiadat agama di Bali yang temanifestasikan dalam bentuk bangunan rumah adat Bali, sebagai sebuah wujud pengagungan kepada Tuhan dalam setiap gerak-gerik dan kebudayaan mereka sehari-hari. 9. Josef Prijotomo dan Murni Rachmawati, 1995. Petungan : Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Buku ini menjelaskan tentang bagaimana sistem pengukuran dan aturan dalam proses pembangunan sebuah bangunan dalam kebudayaan dan arsitektur Jawa. 10. A. N. Th. a. Th. Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven Ragam-ragam perhiasan Indonesia Indonesian Ornamental Design. Buku ini menjabarkan tentang bagaimana ornamen-ornamen yang ada dalam ragam hias kesenian Nusantara (Indonesia) dengan disertai gambar yang cukup memadai. 11. Wiyoso Yusdoseputro, 2008. Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama. memaparkan tentang macam-macam bentuk seni rupa Indonesia dari masa pra- sejarah hingga bentuk akulturasinya sampai datangnya Islam yang kemudian membaur dalam bentuk tradisi seninya. 12. Aryo Sunaryo, 2009. Ornamen Nusantara Kajian Khusus Tentang Ornamen Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk ornamen yang ada di Indonesia, sebagaimana kita telah mengetahui bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan suku dan budaya yang beragam, banyak sekali bentuk dan motif dari karya-karya yang dihasilkan dari para pelaku seni bangsa kita, sehingga menciptakan kesenian yang apik, unik, beragam dengan nilai seni yang sangat luhur. 13. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, 1982. Arsitektur Tradisional Jawa Barat. Buku ini memaparkan tentang bentuk-bentuk bangunan fisik yang tersebar di wilayah Jawa Barat, cara mendirikannya, ragam hias yang menyertainya dengan serangkaian upacara-upacara terkait dengan pra- pembangunan dan pasca pembangunan suatu bangunan. Tanpa dilupakan pula adanya analisis terhadap faktor-faktor yang ada di dalamnya, baik itu faktor intern bangunan maupun faktor ekstern di lingkungan bangunan. 14. Uka Tjandrasasmita, 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Buku ini memaparkan tentang ragam Historiografi Islam Indonesia dengan menggunakan metode pendekatan arkeologi. Buku ini juga menyajikan paparan mengenai proses kedatangan Islam dengan diperkuat data arkeologisnya, seperti artefak, batu nisan. Serta menyajikan pula suatu hasil dari proses akulturasi budaya yang terwujud salah satunya dalam bentuk bangunan masjid.

G. Metode Penelitian Untuk sampai pada tujuan penelitian, diperlukan seperangkat metode kerja yang komprehensif dan sistematis, sehingga penelitian pun lebih dapat dengan mudah untuk dijalankan. Penelitian sejarah merupakan penelitian yang termasuk dalam golongan "metode historis", yakni metode yang khusus digunakan dalam penelitian sejarah melalui tahapan tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto, yaitu:40 1. Heuristik Heuristik yakni menghimpun jejak-jejak masa lampau. Tahapan heuristik merupakan tahap awal dalam rangkaian penelitian sejarah. Menurut Notosusanto, Heuristik berasal dari bahasa Yunani ‘heuriskein’, artinya sama dengan ‘to find’ yang berarti tidak hanya menemukan, tetapi mencari dulu. Pada tahap pertama, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas.41 Pengumpulan sumber dilakukan dengan mencari buku-buku yang berkaitan dengan tema yang akan diangkat oleh penulis seperti di perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Cirebon, Perpustakaan 400 Cirebon, Perpustakaan Pesantren Modern As-Sakienah Indramayu, perpustakaan pribadi dosen-dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, toko buku terkemuka di Cirebon, Bandung dan Yogyakarta, serta perpustakaan pribadi dari kawan-kawan penulis. Dalam hal ini, penulis juga mencari dan mengumpulkan data melalui teknik penelitian lapangan dengan cara observasi dan wawancara terhadap orang-orang atau pihak yang mengetahui berita tentang Masjid Al-Karomah Depok. Di bawah ini adalah nara sumber yang telah berhasil penulis temui, antara lain: a. Bpk. H. Hariri, (Juru Kunci Desa Depok + Imam Masjid Al-Karomah Depok) b. Bpk. Mustajib Masyadi, (Ketua Yayasan Syekh Pasiraga Depok) c. Bpk. Harjono, (Ketua DKM Masjid Al-Karomah Depok) 2. Kritik Kritik yaitu menyelidiki apakah jejak itu asli atau dapat dipercaya, baik bentuk maupun isinya. Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada tahapan heuristik berupa buku-buku referensi terkait pembahasan, hasil wawancara serta temuan lapangan tentang bukti-bukti terkait objek penelitian, selanjutnya, diseleksi dengan mengacu pada prosedur yang ada berupa sumber yang faktual dan keasliannya terjamin. Menurut Nugroho Notosusanto yang dikutip dari Sulasman menegaskan bahwa :

40 Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah Teori, Metode, Contoh Aplikasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 75. 41 Ibid, hlm. 93. "Setiap sumber mempunyai aspek intern dan ekstern. Aspek ekstern berkaitan dengan apakah sumber itu memang layak menjadi sumber ? Kritik luar dilakukan untuk meneliti keaslian sumber tersebut apakah valid, asli atau tiruan ? Sumber tersebut utuh atau belum berubah, baik bentuk maupun isinya. Aspek intern berkaitan dengan persoalan apakah sumber itu dapat memberikan informasi yang dibutuhkan atau tidak. Kritik intern dilakukan untuk menyelidiki sumber yang berkaitan dengan sumber masalah penelitian. Tahapan ini menjadi ukuran objektivitas penulis dalam mengkolaborasi data atau sumber yang telah diperolehnya, dan tentu mengedepankan prioritas."42 Namun, dalam penyeleksian sumber yang diperoleh, penelitian ini cenderung menggunakan kritik intern, khususnya terhadap sumber lisan. Karena sebagian besar data yang diperoleh berasal dari kegiatan wawancara, yang selanjutnya menggunakan kritik ekstern terhadap sumber sekunder berupa data tertulis sebagai penguat data yang telah ada. 3. Interpretasi Interpretasi adalah penguraian fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah, serta menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada interpretasi yang bersifat final, sehingga setiap generasi berhak menerangkan interpretasinya sendiri.43 Tahapan ini berkaitan dengan apa yang masih dapat dijadikan pedoman, dan apakah masih perlu dikembangkan atau perlu dihilangkan.44 Interpretasi sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber sejarah dan bersama dengan teori disusunlah fakta itu dalam interpretasi yang menyeluruh.45 Dalam tahapan ini merupakan sebuah hasil dari kegiatan kritik di atas, sehingga diperoleh sebuah penafsiran dengan menghubungkan fakta-fakta yang diperoleh, kemudian menjadi susunan yang kronologis dan logis. 4. Historiografi Historiografi adalah proses penyusunan fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap fakta dan data yang ada, sejarawan harus mempertimbangkan struktur dan gaya penulisannya. Historiografi merupakan langkah akhir dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan, sebagai bentuk usaha mengenai penelitian ilmiah yang

42 Sulasman, Op. Cit., hlm. 101-102. 43 Ibid, hlm. 107. 44 Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, cet II, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 4. 45 Sulasman, Op. Cit., hlm. 111. cenderung menjurus pada tindakan manusia dimasa lampau,46 dengan menguraikannya dalam bentuk tulisan dari hasil penelitian tersebut.

H. Sistematika Penulisan Pada bab I, berisi tentang pendahuluan yang di dalamnya terdiri atas latar belakang masalah dengan paparan mengenai latar belakang pengambilan tema arsitektur masjid dalam ruang lingkup kajian arkeologi Islam. Selanjutnya, tersusun rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian hingga pada bagian akhir tersusun sistematika penulisan. Pada bab II, berisi tentang arsitektur masjid kuno di Indonesia. Sebagai sebuah gambaran umum dari bentuk akulturasi budaya yang hadir di Indonesia (Hindu-Islam). Dengan dipaparkan secara umum, tentang sejarah perkembangan arsitektur masjid. Kemudian akan dijelaskan pula tentang bentuk-bentuk arsitektur dari Budaya Hindu yang kemudian membentuk akulturasi atas dua kebudayaan tersebut (Hindu-Islam). Kemudian terciptalah sebuah wujud akulturasi budaya dan corak arsitektur masjid di Indonesia lama (kuna). Selanjutnya pada bab III, akan membahas tentang deskripsi tentang Masjid Al- Karomah Depok sebagai salah satu bangunan peninggalan Islam masa lalu. Pada bab ini, akan dijelaskan tentang sejarah Masjid Al-Karomah Depok, tata letak ruangan, fungsi-fungsinya serta perkembangan budaya dan aktivitas kegiatan yang ada di sekitar Masjid Al-Karomah Depok. Pada bab IV, akan dipaparkan tentang analisis arsitektur Masjid Al-Karomah Depok disertakan dengan penggambaran pola bangunan yang terdapat pada bangunan masjid, dan simbol-simbol yang terdapat pada masjid tersebut. Selain itu, pada bab ini akan dibahas pula tentang aneka ragam hias yang ada di dalamnya. Kemudian, sebagian dari ragam hias yang ada memiliki makna simbolis tersendiri, sehingga simbol-simbol tersebut apakah termasuk akulturasi pengaruh kebudayaan sebelumnya (Hindu). Karena berdirinya sebuah bangunan tidak hanya dibangun untuk legitimasi sebuah kebudayaan saja, akan tetapi di dalamnya juga terdapat nilai-nilai budaya, moril kemanusiaan dan juga kesenian yang hadir dari terciptanya sebuah bangunan

46 Ibid, hlm. 147. tersebut. Sedangkan pada bab V atau bab terakhir, berisikan tentang kesimpulan dan saran. Di dalamnya disajikan dengan bentuk hasil kajian yang dikemas secara apik atas permasalahan yang diangkat penulis dalam penelitian akulturasi budaya Hindu pada arsitektur Islam pada bangunan Masjid Al-Karomah Depok dengan paparan simbol- simbol yang terdapat di dalamnya. Dengan sebuah harapan generasi selanjutnya yang akan mewarisi peninggalan budaya ini mau dan mampu memeliharanya sebagai peninggalan sejarah Islam di Cirebon.