EDITOR Harmoni Baru Edwin Martin | Asvic Helida MANUSIA Iwan Tri Wibisono | Darwo DAN ALAM Di dataran tinggi, dataran rendah, Harmoni Baru dan lahan basah Paradigma dominasi tidak mampu MANUSIA menghilangkan-meminjam istilah Fritjop

Capra-residu peradaban. Begitu pula Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah ketika perkembangan peradaban manusia DAN ALAM memasuki fase modern. Inovasi teknologi Di dataran tinggi, dataran rendah, tidak sepenuhnya mampu mengatasi problema utama 4K: krisis pangan, krisis dan lahan basah energi, krisis ekologi, dan kemiskinan.

Solusi krisis tidak bisa hanya mengandalkan inovasi teknologi, tetapi juga dengan kasih sayang, kemurahan hati, dan kemampuan membedakan mana yang benar mana yang salah. Kerangka berpikir ini bisa kita sebut sebagai harmoni baru manusia dan alam.

Umat manusia sesungguhnya dalam keadaan lelah, karena larut dalam paradigma dominasi; Bagian 1 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi hidup seperti dalam arena perlombaan. Kita Bagian 2 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah Bagian 3 Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah perlu mengamplifikasi teladan dan praktik- praktik terbaik di bawah paradigma harmoni baru, agar menjadi pilihan.

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian km 6,5 Punti Kayu Palembang Kehutanan eISBN : 978-623-256-517-3 Didukung oleh:

Kehutanan ISBN : 978-623-256-508-1 Harmoni Baru MANUSIA DAN ALAM Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Kontributor Nur Arifatul Ulya, Ari Nurlia, Tubagus AA Syabana, Mamat Rahmat, Imam Muslimin, Fatahul Azwar, Subekti Rahayu, Ibnu Budiman, Agus Kurniawan, Iwan TC Wibisono, Fifin Fitriana, Hengki Siahaan, Dedy S Rosa, Asmaliyah, Purwanto, Sri Utami, Maliyana Ulfa, Darwo, Edwin Martin, Sahwalita, Agus Sumadi, Nanang Herdiana, Etik EW Hadi, Asvic Helida Buku ini didedikasikan untuk seluruh rimbawan yang pernah mengabdikan diri pada Balai Teknologi Reboisasi Benakat (Proyek ATA-186), Balai Teknologi Reboisasi Palembang, Balai Penelitian Hutan Tanaman Palembang, Balai Penelitian Kehutanan Palembang, dan Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang (1979 – 2021) Harmoni Baru MANUSIA DAN ALAM Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Editor Edwin Martin Asvic Helida Iwan Tri Wibisono Darwo

Penerbit IPB Press Jalan Taman Kencana No. 3, Kota Bogor - Indonesia

C.01/03.2021 Judul Buku: Harmoni Baru Manusia dan Alam di Dataran Tinggi, Dataran Rendah, dan Lahan Basah Editor: Edwin Martin Asvic Helida Iwan Tri Wibisono Darwo Penyunting Bahasa: Aditya Dwi Gumelar Korektor: Tania Panandita Desain Sampul: Makhbub Khoirul Fahmi Penata Isi: Muhamar Alwedi Kontributor foto sampul depan dan belakang: Sahwalita, Efendi A. Waluyo, Nanang Suharnak, Edwin Martin, Purwanto, Mamat Rahmat Jumlah Halaman: 270 + 12 hal romawi Edisi/Cetakan: Cetakan 1, Maret 2021

PT Penerbit IPB Press Anggota IKAPI Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected] www.ipbpress.com

ISBN: 978-623-256-508-1 eISBN: 978-623-256-517-3

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2021, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit Kata Pengantar

Buku ini merupakan hasil kristalisasi webinar-talkshow bertajuk Obrolan Pelepas Lelah (OPL): Menyingkap yang tak terungkap. OPL dilaksanakan sebanyak 7 seri, sejak Bulan September hingga Desember 2020. Tema utama yang diangkat adalah “harmoni manusia dan alam”. Tema “harmoni manusia dan alam” adalah bahan diskusi abadi dan tak pernah kering dalam kehidupan umat manusia. Jika kita membaca karya- karya ilmuwan sejarah seperti Arnold Toynbee, Yuval Noah Harari, Jared Diamond, Conrad Kottak, Karl Polanyi, atau pun Fritjop Capra, manusia pada fase perkembangan awal peradaban menghadapkan wajahnya kepada alam. Mereka hidup selaras dengan alam; beradaptasi dengan situasi, kelebihan dan keterbatasan alam. Manusia meyakini bahwa keselarasan dengan alam akan menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, dalam jangka pendek dan panjang. Jika alam dijaga, alam akan menjaga. Ini adalah kerangka pikir awal harmoni manusia dan alam. Perubahan mulai terjadi ketika jumlah populasi manusia mulai meningkat dan beberapa keterbatasan alam mulai menjadi masalah. Manusia tidak lagi menghadapkan wajahnya kepada alam, tetapi kepada manusia lainnya; kemudian muncullah prasangka dan keserakahan. Dalam perkembangannya, terbentuklah struktur sosial. Individu dan kelompok manusia ingin melebihi dari individu dan kelompok manusia lainnya, tidak hanya sisi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, tetapi juga dari sisi kemuliaan dan keyakinan. Kerangka berpikir ingin melebihi dan menguasai manusia lainnya ini dapat kita sebut sebagai paradigma dominasi. Perbudakan, penjajahan, imperalisme, dan peperangan adalah wujud dari paradigma dominasi. Alam sering kali dieksploitasi dan dikorbankan untuk memenuhi hasrat dominasi tersebut. Paradigma dominasi tidak mampu menghilangkan-meminjam istilah Fritjop Capra-residu peradaban. Begitu pula ketika perkembangan peradaban manusia memasuki fase modern. Inovasi teknologi tidak sepenuhnya mampu mengatasi problem utama 4K: krisis pangan, krisis energi, krisis Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

ekologi, dan kemiskinan. Krisis tidak kunjung usai, bahkan cenderung menganga. Teknologi, terutama yang berbasis kapital, malah melanggengkan dan memperkuat paradigma dominasi. Seiring dengan berulangnya krisis peradaban tersebut, muncul kesadaran bahwa kebencian, keserakahan, ketidaktahuan adalah musuh terbesar umat manusia. Solusi krisis tidak bisa hanya mengandalkan inovasi teknologi, tetapi juga dengan kasih sayang, kemurahan hati, dan kemampuan membedakan mana yang benar mana yang salah. Kerangka berpikir ini bisa kita sebut sebagai harmoni baru manusia dan alam. Umat manusia sesungguhnya dalam keadaan lelah, karena larut dalam paradigma dominasi; hidup seperti dalam arena perlombaan. Kita perlu mengamplifikasi teladan dan praktik-praktik terbaik di bawah paradigma harmoni baru, agar menjadi pilihan. Oleh karena itulah, tema harmoni manusia dan alam dipilih dan dikemas dalam Obrolan Pelepas Lelah (OPL), selain memang dari sisi pemilihan waktu webinar talk- show-nya dilakukan pada saat selepas siang. Dan, untuk meringankan rasa lelah tersebut, tema harmoni manusia dan alam dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian berdasarkan tipologi ekosistem; dataran tinggi, dataran rendah lahan kering, dan lahan basah. Wajah dan karakter harmoni berbeda dengan dominasi. Jika wajah dominasi terlihat glamour atau glowing dengan atribut beragam prestasi, wajah harmoni nampak bersahaja, kurang efisien, dan dengan senyum ramah. Karakter di bawah paradigma dominasi adalah pola hidup menang- kalah, sedangkan karakter harmoni memilih pola hidup sejajar. Ciri khas perilaku dominasi berupa praktik akumulasi, mementingkan diri sendiri, dan melakukan eksklusi. Ciri utama perilaku harmoni adalah adaptasi, prinsip keseimbangan, dan inklusif. Secara faktual, saat ini paradigma dominasi menjadi arus utama dalam kehidupan manusia modern, sadar atau tidak sadar. Karenanya, untuk membangkitkan ide-ide harmoni manusia dan alam, maka perlu dilakukan dalam suasana di luar kebiasaan atau rutinitas, dan dalam suasana yang menyenangkan (fun).

vi Kata Pengantar

Karena terbiasa dalam arus kompetitif; menang-kalah, para peneliti umumnya hanya percaya diri dengan temuan data primer yang mereka miliki atau akumulasi pengetahuan yang selama ini dikuasai saja. Padahal, bisa jadi banyak sekali temuan-temuan minor yang secara sengaja atau tidak, kebetulan atau tidak telah memunculkan diri kepada mereka, sebagai sebuah kebenaran baru dan bahkan menjadi anti-tesis dari arus utama pengetahuan. Oleh karena itu, tema harmoni manusia dan alam ini mengundang dan memberi wadah para peneliti untuk menyingkap banyak hal yang selama ini tak terungkap. Masa pandemi covid-19 melahirkan kebiasaan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yaitu “musim webinar”. Sebagaimana paradigma harmoni yang berbeda dengan paradigma arus utama dominasi, maka gagasan Obrolan Pelepas Lelah “harmoni manusia dan alam” ditawarkan kepada tim perumus webinar Balitbang LHK Palembang, sebagai webinar yang berbeda dan dapat melibatkan beragam “struktur sosial” peneliti dan akademisi. Gagasan ini dibahas dan di-reformulasi menjadi sebuah protokol pelaksanaan kegiatan oleh tim perumus, yang dikomandani Dr. Mamat Rahmat dengan anggota Ibu Dr. Sri Utami, Dr. Nur Arifatul Ulya, Dr Maliyana Ulfa, Nanang Herdiana, S.Hut., M.Sc., Agus Kurniawan, S.Hut., M.Sc., Fatahul Azwar, S.Hut., M.Sc., dan Edwin Martin. OPL harmoni manusia dan alam dapat terselanggara dan berlangsung selama 7 seri berkat kerja kompak, keras, dan hebat dari tim pelaksana, yang diketuai Ibu Sri Lestari, S.Hut., M.SE., MA. Apresiasi yang tinggi kepada tim pelaksana, Kepala Balai Litbang LHK Palembang dan para staf, serta seluruh sahabat OPL dari berbagai penjuru nusantara. Webinar-talkshow OPL 2020 menampilkan 10 pembicara untuk sub tema dataran tinggi, 8 pembicara untuk sub tema dataran rendah, 13 pembicara untuk sub tema lahan basah. Dari materi-materi talkshow tersebut, 24 pembicara kemudian menuliskannya menjadi makalah; 6 makalah terkait dataran tinggi, 8 makalah menyangkut sub tema dataran rendah, 10 makalah termasuk sub tema lahan basah. Kumpulan makalah inilah yang membentuk kesatuan, menjadi sebuah buku. Banyak gagasan dan

vii Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

pengetahuan baru, pengalaman-pengalaman yang selama ini tak terungkap yang dimunculkan dalam makalah-makalah buku ini. Semoga bermanfaat bagi pengelolaan lanskap lingkungan hidup dan kehutanan Indonesia.

Palembang, Januari 2021

Tim kreatif Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

viii Daftar Isi

Kata Pengantar...... v Daftar Isi...... ix

BAGIAN SATU HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI...... 1 BAB 1 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan Asvic Helida...... 2 BAB 2 Pengobatan Tradisional dan Konservasi Jenis Etik Erna Wati Hadi...... 17 BAB 3 Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu Nanang Herdiana...... 25 BAB 4 Perangkat Simulasi Pengembangan Bambang Lanang Agus Sumadi, Hengki Siahaan dan Purwanto...... 36 BAB 5 Rotan Jernang untuk Penghidupan Sahwalita...... 52 BAB 6 Blusukan Lanskap Edwin Martin...... 63

BAGIAN DUA HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH...... 75 BAB 7 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan Darwo...... 76 BAB 8 Belajar dari Jamur Alam Maliyana Ulfa...... 86 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

BAB 9 Hama dan Kebakaran Hutan Sri Utami...... 96 BAB 10 Mengangkut Bibit Revegetasi Menggunakan Gajah Purwanto, Andika Imanullah, Nuralamain, Agus Sumadi dan Hengki Siahaan...... 107 BAB 11 Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan Asmaliyah...... 114 BAB 12 Taman Koleksi Reklamasi Pascatambang Dedy Saptaria Rosa...... 126 BAB 13 Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi Hengki Siahaan...... 132 BAB 14 Menilik Kehidupan Tarsius Belitung Fifin Fitriana dan Fatahul Azwar...... 141 BAGIAN TIGA HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH...... 155 BAB 15 Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan Iwan Tri Cahyo Wibisono...... 156 BAB 16 Api dalam Gambut Agus Kurniawan...... 169 BAB 17 Paludikultur: Dari Jerman hingga Pedamaran Ibnu Budiman...... 175 BAB 18 Jelutung Gambut, Riwayatmu dulu Subekti Rahayu...... 182 BAB 19 Kantong Semar: Menghias Rumah, Menghasilkan Rupiah Fatahul Azwar...... 197 BAB 20 Mendulang Sienol di Lahan Gambut Imam Muslimin...... 207 BAB 21 Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi? Mamat Rahmat...... 222

x Daftar Isi

BAB 22 Kenali Lahan sebelum Menanam Tubagus Angga A. Syabana, Efendi A. Waluyo, Mamat Rahmat...... 237 BAB 23 Perempuan dan Gambut Ari Nurlia...... 247 BAB 24 Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut Nur Arifatul Ulya...... 256

xi

BAGIAN 1

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI BAB 1 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan

Asvic Helida1

Pendahuluan “The only thing that change is change. Tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini yang abadi adalah perubahan itu sendiri (Heraklius, 550 SM)

Harmoni adalah sesuatu yang serasi, selaras, dan seimbang. Adanya keharmonian akan menghadirkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan akan menghadirkan kenyamanan, ketertiban dan kecintaan. Sesuatu yang dicintai pasti akan sangat disukai. Alam telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan serasi, seimbang dan selaras. Sebagaimana firman-Nya yang berbunyi: “Bahwa seluruh komponen jagat raya berinteraksi satu dengan lainnya dengan ketertataan yang sempurna dan terukur” (QS: Al-Hijr : 21), “Allah telah menciptakan alam semesta beserta isinya dalam keadaan seimbang, indah dan bermanfaat” (QS Al-Mulk : 3). Harmoni manusia dan alam artinya adalah keserasian dan keselarasan hubungan manusia dan alam sekitarnya. Rambo (1983) dalam Helida et al. (2016), menyatakan adanya dua sistem yang menjadi penopang utama terciptanya harmonisasi manusia dan alam yakni system social dan ekosistem alam (natural ecosystem). Beberapa komponen natural ekosistem antara lain meliputi faktor-faktor biofisik seperti tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan

1 Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang [email protected] Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan dan lain sebagainya yang satu sama lain berinteraksi dalam suatu mekanisme tertentu sehingga perubahan pada komponen yang satu akan berpengaruh pada keberadaan komponen lainnya. Misalnya saja, perubahan iklim yang mengarah pada tingkat kekeringan tertentu akan berpengaruh pada ketersediaan air dalam tanah, yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh pada sebaran tumbuhan dan hewan yang ada di atasnya. Demikian juga dengan sistem sosial, beberapa komponen sosial seperti demografi, organisasi sosial, ekonomi, institusi politik dan sistem kepercayaan adalah hal-hal yang saling memberikan pengaruh pada terbentuknya karakter tertentu, daya tahan, stabilitas, dan tingkat kemajuan (Rambo 1983). Oleh karena itu antara kedua sistem ini harus berjalan seimbang, asupan memberi dan menerima energi harus seimbang, sebagaimana Teori Ekologi Manusia.

Landasan Teori A. Teori Ekologi Manusia Adanya hubungan timbal balik yang saling memengaruhi antara sistem sosial budaya dan sistem alami (ekosistem) merupakan konsep dasar dari harmoni manusia dan alam. Salah satu teori yang terkenal adalah teori ekologi manusia (Adiwibowo 2007). Teori ekologi manusia mendeskripsikan bagaimana interaksi manusia dan lingkungannya. Interaksi yang terjalin telah membentuk suatu hubungan timbal balik yang saling memengaruhi antara sistem sosial dengan ekosistem alam (sistem ekologi). Hubungan timbal balik antara dua subsistem ini dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya aliran energi, materi dan informasi yang saling memengaruhi. Hubungan timbal balik antara sistem sosial dan sistem natural ini dapat berubah yang akan memengaruhi harmonisasi manusia dan alam. Salah satu bentuk perubahan tersebut adalah agroekosistem. Agroekosistem adalah sistem lingkungan yang telah dimodifikasi dan dikelola oleh manusia untuk kepentingan produksi pangan, serat dan berbagai produk pertanian lainnya (Conway 1987). Untuk menjaga perubahan yang terjadi agar tetap harmoni, Conway memperkenalkan tentang sistem properti yang penting untuk diperhatikan dalam setiap analisis agroekosistem yaitu productivity, stability,

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 3 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

sustainability dan equitability. Dengan memperhatikan sistem properti ini, pengelolaan agroekosistem dapat terkontrol sedemikian rupa sehingga bisa memberikan kontribusi optimal pada sistem sosial tanpa harus menghancurkan ekosistem alam. Selain itu adanya perubahan sistem sosial budaya masyarakat juga akan memengaruhi harmoni manusia dan alam. Perubahan sistem sosial budaya merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan ini merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor internal seperti komunikasi cara dan pola pikir masyarakat, perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik. Dan faktor eksternal seperti bencana alam, perubahan iklim, peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Hubungan manusia dengan alamnya sudah berlangsung sejak lama, mulai manusia diciptakan di muka bumi ini. Hubungan ini terbentuk sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup serta mempertahankan eksistensinya di muka bumi melalui eksploitasi alam (Rambo 1983; Rachman 2006; Pei, et al. 2009). Untuk mengungkap hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungannya digunakan studi etnobiologi. B. Teori Etnobiologi Studi etnobiologi merupakan disiplin ilmu yang mampu menjelaskan praktik tradisional masyarakat lokal dan dinamikanya. Etnobiologi adalah merupakan studi interdisiplin ilmu yang mengacu pada pendekatan metode sosial dan biologi. Secara definitif, etnobiologi adalah studi hubungan timbal balik antara budaya manusia dan alam lingkungannya. Hubungan timbal balik yang mengacu pada persepsi manusia tentang lingkungan biologisnya yang pada akhirnya akan memengaruhi perilaku manusia, sedangkan perilaku manusia pada gilirannya akan memengaruhi dan membentuk lingkungan biologisnya (Pieroni et al., 2007). Etnobiologi sebagai suatu studi ilmiah terhadap dinamika hubungan di antara masyarakat, biota dan lingkungan alamiahnya, yang telah ada sejak dulu hingga sekarang ini bersifat lokal spesifik, kompak, unik, berkelanjutan dan turun-temurun (Anderson et al., 2011).

4 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan

Berbagai kajian etnobiologi, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa pengetahuan dan praktik budaya memiliki substansi nilai dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati, pengelolaan lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati. Terjadinya peningkatan kesadaran bahwa adat dan pengetahuan lokal harus dipahami dan dimanfaatkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan manusia. Etnobiologi menjadi penting karena isu kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dengan kelestarian sumberdaya di sekitar mereka tinggal. Selain itu adanya kebijakan yang bersifat back to biodiversity for life and for the future juga menjadi pemicu berbagai kajian etnobiologi di dunia (MAB 2011). Masyarakat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam didasari oleh pengetahuan yang berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Purwanto (2007) dan Waluyo (2009) menyatakan bahwa pengetahuan ini bervariasi dari satu kelompok suku ke kelompok suku lain, bergantung pada tipe ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara, perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan masing-masing kelompok. Tingkat pengetahuan yang dicapai oleh masing-masing kelompok masyarakat berasal dari akumulasi dalam berinteraksi dengan alam lingkungannya. Interaksi yang terjadi telah berjalan sejak lama dan disepakati serta dilaksanakan bersama dalam menjaga keseimbangan alam lingkungan sekitarnya. Tingkat pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masyarakat lokal ini merupakan faktor penting yang memengaruhi masyarakat dalam menentukan tindakan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Indonesia adalah negara megakultural, memiliki lebih dari 550 suku yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Mereka tersebar di lebih 73.798 desa (350.000 dusun atau kampung) yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan alami di sekitar mereka (BAPLAN 2013). Setiap kelompok masyarakat memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dengan kelompok masyarakat suku lainnya. Selain karena perbedaan kondisi lingkungan, pengetahuan mereka juga dipengaruhi oleh tingkat kemajuan kebudayaan mereka. Tingkat pengetahuan yang dicapai oleh suatu kelompok masyarakat berasal dari adanya akumulasi dalam berinteraksi dengan alam lingkungan di mana mereka tinggal.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 5 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Berbagai kelompok masyarakat ini hidup pada berbagai tipe lingkungan seperti di daerah pegunungan, daerah dataran tinggi, daerah sekitar hutan, di sepanjang sungai dan di daerah pesisir. Mereka hidup dan melakukan proses ko-eksistensi dengan alam sekitarnya. Berbagai kelompok masyarakat ini telah berinteraksi dengan alam, mereka mengamati dan belajar dengan cermat, bagaimana mengelola sumber daya dan melakukan proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi seperti gangguan iklim. Pengetahuan ini telah diturunkan dari generasi ke generasi yang secara umum disebut Pengetahuan Ekologi Tradisional (Traditional Ecological Knowledge). Pengetahuan ekologi tradisional adalah akumulatif pengetahuan, praktik dan keyakinan dari satu kelompok masyarakat tentang hubungan makhluk hidup (termasuk manusia), satu sama lain dan dengan lingkungan mereka. Pengetahuan ini berkembang dengan proses adaptif melalui transmisi budaya secara turun-temurun. Pengetahuan ekologi tradisional berguna untuk menganalisis semua aspek pengetahuan masyarakat tradisional tentang lingkungannya meliputi persepsi dan konsepsi mereka terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya, menganalisis pengaruh formatif persepsi lokal tentang lingkungan dan pembangunan pengetahuan tersebut (Anderson et al., 2011). Pengetahuan ekologi tradisional ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan yang proses penyampaiannya berupa pesan lewat perkataan dari mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai pesan tersebut menghilang. Beberapa kajian menunjukkan bahwa pengetahuan ekologi tradisional ini dapat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Helida et al., (2016) menyebutkan bahwa tradisi pelak, semacam sistem agroforestri yang dimiliki masyarakat Kerinci dapat menjaga keletarian hutan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Kerinci. Sementara Iswandono et al., (2016) juga menyatakan bahwa masyarakat Manggarai terbukti dapat menjaga kelestarian hutan dan lingkungan mereka. Zhang et al., (2015) juga menyebutkan bahwa tradisi hakka yang dimiliki oleh masyarakat lokal Cina telah memberikan kontribusi dalam proses restorasi kawasan hutan mereka. Galacgac dan Balicasan (2009) juga menyatakan bahwa peramalan tentang cuaca pada masyarakat lokal di Ilocos Norte Filipina telah memberikan keberhasilan dalam kegiatan agroforestry mereka.

6 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan

Hasil ini membuktikan bahwa masyarakat tradisional memiliki pengetahuan yang baik terhadap pengelolaan lingkungan mereka. Hal ini diperkuat dalam The United Nations (2014) yang menyatakan bahwa masyarakat dapat memberikan kontribusi pengetahuan tradisional mereka dalam pemanfaatan lingkungan secara efektif dan lestari. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat dapat menginspirasi dunia dalam menghadapi perubahan serta mengurangi risiko bencana yang diakibatkannya.

Dataran Tinggi Campur tangan manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam telah menyebabkan perubahan-perubahan, termasuk di kawasan dataran tinggi, antara lain dataran tinggi Kerinci. Dataran tinggi Kerinci yang terletak sebelah barat Provinsi Jambi berada pada ketinggian 450 hingga 1500 m dpl menunjukkan telah terjadi perubahan pola pemanfaatan lahan. Dataran tinggi yang tadinya sejauh mata memandang merupakan hutan “kayu manis” (Cinnamomun burmanii), telah menampakkan perubahan menjadi areal agroekosistem atau areal pertanian jangka pendek seperti cabai, kentang dan kubis. Masyarakat telah menebang pohon kayu manis dan menggantinya dengan tanaman pertanian yang berusia relatif pendek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen perubahan itu antara lain karena identitas yang berubah, arah dan laju perubahan, sumber perubahan, aras dan perspektif perubahan itu sendiri. Sebagaimana Lauer (2001) menyatakan sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Perspektif perubahan No Komponen Perubahan Dimensi Perubahan 1 Identitas yang berubah Sistem sosial budaya, ekonomi, dan ekologi 2 Arah dan laju perubahan Siklikal, dalam waktu yang relatif singkat dan mengalami kemunduran 3 Sumber perubahan Faktor eksogen dan indogen 4 Aras Masyarakat 5 Perspektif Materialistik

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 7 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Perubahan sosial budaya merupakan sebuah gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan ini terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Perubahan sosial budaya dapat terjadi karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain komunikasi cara dan pola pikir masyarakat, perubahan jumlah penduduk, adanya penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi. Sementara faktor eksternal antara lain bencana alam, perubahan iklim, peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Perubahan sosial budaya pada masyarakat Kerinci dapat dilihat dari berbagai bidang antara lain: a. Perubahan penggunaan peralatan dan perlengkapan hidup yaitu mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, alat produksi dan transportasi. Masyarakat Kerinci mengalami perubahan dalam penggunaan peralatan dan perlengkapan untuk keperluan produksi pertanian. Seperti penggunaan kincir air berubah dengan rice milling (mesin penggilingan padi), penggunaan bajak dengan menggunakan hewan seperti kerbau juga sudah ditinggalkan beralih ke penggunaan mesin bajak (traktor) dan sebagainya. b. Perubahan sistem mata pencaharian, dapat dilihat dalam sistem ekonomi meliputi pertanian, peternakan dan sistem produksi. Masyarakat Kerinci tadinya adalah masyarakat petani yang berhasil mengelola sumberdaya alam dan sawah dengan sistem irigasi alami yang mereka miliki. Adanya “pelak” merupakan bentuk agroforestry masyarakat Kerinci dalam memanfaatkan dan memaksimalkan hasil lahan yang terbatas. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tadinya bersifat subsisten untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari berubah mejadi pemanfaatan yang bersifat komersial. c. Perubahan sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, organisasi politik dan sistem hukum.

8 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan

Masyarakat Kerinci memiliki sistem kemasyarakatan yang khas, dengan “depati”, sebagai ketua masyarakat. Depati sangat dihormati dan dihargai oleh seluruh anggota masyarakatnya. Depati dipilih oleh anggota masyarakat dan melakukan sumpah setia yang berbunyi sebagai berikut: “....Jangan sampai dimata dipicingkan, sampai diperut dikempiskan, jangan kuning karena kunyit, jangan lemak karena santan. Kalau itu terjadi maka dikutuk qur’an 30 jus, keatas tidak berpucuk, kebawah tidak berurat, ditengah-tengah digirik kumbang, anak dipangku jadi batu ”. Sumpah di atas diyakini oleh masyarakat bahwa pemimpin atau pemangku adatnya adalah orang yang bila berkata benar, berjalan lurus dan memutus adil sehingga putusannya sangat dihormati dan ditaati oleh masyarakatnya. d. Perubahan sistem bahasa. Masyarakat Kerinci dulunya memiliki aksara tersendiri yang disebut aksara incung, bahasa disampaikan melalui tradisi lisan dan bersifat diwariskan dari mulut ke mulut. Namun sekarang aksara incung mulai dilupakan oleh masyarakat, hal ini ditunjukkan oleh semakin berkurangnya generasi muda yang paham akan aksara incung ini. Generasi muda saat ini menggunakan Bahasa Indonesia. e. Kesenian, mencakup seni rupa, seni suara, dan seni tari. f. Sistem pengetahuan, berkaitan dengan teknologi. Contohnya dahulu masyarakat Kerinci berpedoman pada gejala-gejala alam dalam menentukan musim, tetapi sekarang lebih cendrung menggunakan alat-alat modern. Dan masih banyak contoh lainnya. g. Serta keyakinan/religi. Dahulu meyakini tentang adanya roh halus (roh leluhur) yang terungkap dari pesta adat kendurisko, yaitu pesta syukur terhadap hasil pertanian yang diperoleh, merasakan hadirnya roh para leluhur mereka. Namun sekarang manusia lebih berpikir logis dan masuk akal.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 9 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Salah satu perubahan menarik pada masyarakat Kerinci adalah dalam hal pemilihan jenis padi untuk ditanam. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, telah terjadi perubahan pemilihan varietas padi yang ditanam (Helida et.al, 2016). Hal ini disebabkan karena berbagai faktor internal dan eksternal yang masuk kepada masyarakat Kerinci: a. Faktor internal adalah pertambahan dan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan sebagian masyarakat beralih kepada padi jenis unggul yang memiliki masa panen bisa 2 hingga 3 kali dalam satu tahun untuk pemenuhan kebutuhan. b. Faktor eksternal antara lain dikenalkannya varietas baru kepada masyarakat yang menyebabkan para petani mengkonstruksikan pengetahuan mereka dengan cara bereksperimen, pertukaran informasi serta pengamatan cermat tanaman padi sesama petani yang dilakukan pada hampir segala kesempatan. Karena pengetahuan ini dapat berubah-ubah maka tidak semua petani dalam sebuah desa memiliki pengetahuan dan informasi yang sama, dan keingintahuan serta kemampuan masing-masing yang tergantung pada umur dan pengalaman bertani, untuk mengaktualkan pengetahuan mereka menjadi penting maknanya.

Menyingkap yang Tak Terungkap Indonesia adalah negara megabiodiversity memiliki tingkat keanekaragaman jenis hayati yang tinggi, baik tumbuhan maupun hewan. Keberadaan beragam jenis hayati ini telah dimanfaatkan oleh manusia sejak lama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kajian terhadap berbagai jenis keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan atau yang biasa disebut bioprospeksi. Bioprospeksi berasal dari kata biodiversity dan prospecting yang berarti proses pencarian sumberdaya hayati terutama sumberdaya genetik dan materi biologi lainnya untuk kepentingan komersial (Moeljopawiro 1999; Mukhtar 2001; Riyadi 2008). Lebih luas bioprospeksi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk mengeksploirasi, mengoleksi, meneliti, dan memanfaatkan sumberdaya genetik dan biologi secara sistematis guna

10 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan mendapatkan sumber-sumber baru senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alami lainnya yang memiliki nilai ilmiah dan atau komersial (Lohan dan Johnston 2003; Gepts 2004). Bab 2 misalnya, kajian tentang pengobatan tradisional dan konservasi jenis. Etik Erna Wati Hadi ingin menyampaikan bahwa masyarakat tempatan sudah memanfaatkan tumbuhan di sekitar mereka sebagai tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit. Saat ini back to nature menjadi pilihan pengobatan untuk penyakit-penyakit yang memerlukan pengobatan secara terus-menerus dalam jangka panjang. Sehingga kebutuhan akan berbagai jenis tumbuhan obat semakin tinggi. Untuk itu perlu upaya agar pemanfaatan yang dilakukan dapat diiringi dengan upaya konservasi tumbuhan obat tersebut, sehingga keberadaannya di alam senantiasa tersedia. Bab 3, Nanang Herdiana menyampaikan informasi barangan atau saninten (Castanopsis argente Blumme) sebagai salah satu pangan potensial yang dapat dijumpai di daerah hulu Sumatera Selatan. Saat ini pemanfaatan kacang barangan di masyarakat masih bersifat subsisten, hanya dengan cara mengkonsumsi langsung atau sekadar dijual di pasar kalangan setempat. Belum ada upaya pengolahan lebih lanjut. Namun sayang pemanfaatan kacang barangan ini belum diiringi dengan upaya budidaya yang baik, sehingga keberadaannya di alam semakin langka. Untuk itu dibutuhkan peran para pihak untuk pendampingan, pembinaan dan penyediaan IPTEK baik dari institusi litbang, perguruan tinggi, dinas perindustrian dan sebagainya. Salah satu hal menarik disajikan pada Bab 4 yaitu perangkat simulasi budidaya bambang lanang yang disampaikan oleh Agus Sumadi. Perangkat ini menjadi menarik karena sesuai dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi. Perangkat ini merupakan aplikasi yang dibangun dengan program STELLA yang terdiri atas menu input dan output. Input terdiri atas variabel karakteristik lahan yang akan dibangun tegakan bambang lanangdan variabel komponen biaya pembangunan tegakan. Pada menu output berisi informasi pertumbuhan tegakan baik diameter, tinggi dan volume serta informasi finansial budidaya bambang lanang yang meliputi NPV dan BCR. Temuan ini tentu memberikan kemudahan bagi kita untuk melihat hubungan input dan output pertumbuhan bambang lanang.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 11 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Bab 5, Sahwalita ingin menyampaikan bahwa pemanfaataan rotan jernang yang dilakukan apabila tidak ada pembatasan penggunaan maka keberadaannya di alam akan habis. Resin jernang memiliki banyak manfaat sebagai obat tradisional, bahan baku industri obat, industri kosmetik dan industry pewarna. Pemanfaatan dari rotan jernang ini sudah dimiliki oleh masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba. Namun keberadaan masyarakat Suku Anak Dalam ini semakin hari semakin terancam dan populasi mereka semakin berkurang. Disisi lain, rotan jernang sudah semakin habis di alamnya, oleh karena itu diperlukan upaya penyelamatan keduanya, tentunya melalui upaya yang sungguh-sungguh dan keterlibatan para pihak. Bab 6, metode Blusukan Lanskap yang disampaikan oleh Edwin Martin adalah usulan menarik bagi peneliti bioprospeksi yang perlu dipertimbangkan. Menurut penulisnya blusukan lanskap atau disingkat BL, dapat mendorong interaksi positif antara para pihak, masyarakat lokal dan lanskap tertentu agar terjadi proses reflektif-kreatif yang menghasilkan kelestarian lanskap. Berbagai kajian yang disampaikan menunjukkan bahwa harmoni manusia dan alam itu masih. Namun ada juga kajian yang menunjukkan telah terjadi perubahan menjadi disharmoni antara manusia dan alam, seperti semakin berkurangnya keberadaan rotan jernang yang dicari oleh masyarakat karena memiliki berbagai manfaat, serta makin langkanya tumbuhan yang memiliki fungsi sebagai tanaman obat. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk menghindari terjadinya disharmoni manusia dan alam yang berlebihan. Selain upaya yang harus dilakukan oleh manusia, tentu haru diperkuat dengan kebijakan yang membantu untuk terciptanya usaha harmoni manusia dan alam ini. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain: a. Undang-undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE) merupakan turunan dari UU No 4 tahun 1982. UU ini berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan SDAHE secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Undang- undang ini mengatur tentang perlindungan sistem penyangga

12 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, kawasan suaka alam, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. b. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetika secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik, dengan alih tekonologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber- sumber daya maupun dengan pendanaan yang memadai. Undang- undang ini juga mengatur tentang akses pada sumber daya genetik, akses pada teknologi dan alih teknologi, pertukaran informasi, kerjasama teknisi dan ilmiah, penanganan bioteknologi dan pembagian keuntungan, sumber dana, dan beberapa hal mengenai aspek-aspek teknis dan kesekretariatan. Lingkup kedaulatan suatu negara berkaitan dengan komponen keanekaragaman hayati, adalah yang terdapat di dalam batas-batas yurisdiksinya. c. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Undang-undang ini menggantikan undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolalaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini juga menggariskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang tetap memperhatikan nilai- nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Pengelolaan lingkungan dilakukan secara terpadu, dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 13 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

d. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 Tentang Penyerahan sebagian urusan Pemerintahan di bidang Kehutanan kepada Pemerintah Daerah. Berbicara mengenai Pengesahan sebagian Urusan Pemerintahan di bidang kehutanan kepada Daerah penting untuk diletakan prinsip-prinsip dasar sehingga tujuan dari penyerahan urusan terrsebut yang tidak semata menyangkut mekanisme penyerahan, akan tetapi menyangkut substansi. Substansi yang dimaksud di sini, dalam konteks sumber daya alam hutan adalah adanya manfaat yang nyata dari pemanfaatan sumber daya alam hutan itu sendiri terhadap daerah dan masyarakatnya. Dalam hal mekanisme penyerahan urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah prosesnya haruslah melibatkan daerah itu sendiri. Sehingga tugas yang diberikan tersebut tidak bersifat top-down, tetapi bottom-up yang betul-betul mencerminkan kepentingan daerah Namun berdasarkan telaahan terhadap beberapa peraturan tersebut menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar yaitu antara lain: a. Terdapatnya ketidaksesuaian antara peraturan yang ada, sehingga terkesan peraturan pada tingkat yang lebih tinggi tidak diikuti oleh peraturan di bawahnya, b. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku perusakan kawasan konservasi. Berbagai aktivitas yang nyata-nyata mengancam dan merusak kawasan konservasi sering kali tidak dikenakan peringatan ataupun tindakan yang tegas. Berbagai peraturan yang memuat peran serta masyarakat, kecuali PP No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting. Masyarakat bahkan dilihat sebagai orang yang tidak mengerti tentang pengelolaan sumber daya alam termasuk konservasi sehingga disebutkan bahwa peran serta tersebut akan ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui pendidikan dan penyuluhan. Padahal tidak ada yang dapat membantah justru masyarakat adat Dayak, masyarakat adat Haruku dan berbagai masyarakat lainnya di berbagai wilayah di Indonesia dikenal secara turun-temurun memiliki konsep konservasi yang luar biasa

14 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi: Tantangan, Realitas dan Harapan dan telah menerapkannya. Sebagaimana hasil kajian pada masyarakat Kerinci yang telah menunjukkan bahwa mereka telah memiliki konsep konservasi yang terbukti mampu menjaga keberlanjutan sumber daya alam biodiversitas dan lingkungannya.

Simpulan Untuk dapat mewujudkan harmoni manusia dan alam, etnobiologi dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan pembangunan berkelanjutan. Karena etnobiologi merupakan pendekatan multidisplin ilmu pengetahuan yang menggabungkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu biologi. Etnobiologi masyarakat tradisional menunjukkan bahwa mereka telah memiliki sistem nilai dan sitem pengetahuan tradisional yang telah mereka anut sejak lama hingga sekarang secara turun-temurun. Selain itu diperlukan kesadaran dan pemahaman para pihak dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar tetap terjaga di muka bumi melalui pembatasan kuota pemanfaatan, pembatasan wilayah jelajah, pembuatan peraturan tingkat tapak, penyuluhan kepada masyarakat dan terus melakukan upaya bioprospeksi untuk mengenali sumber daya alam hayati tersedia di bumi ini.

Daftar Pustaka Adiwibowo S. 2007. Ekologi Manusia : Mata Air Integrasi Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial. Di dalam Adiwibowo S. 2007. Editor. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor (ID) Anderson EN. 2011. Ethnobiology: Overview of a Growing Field. Anderson EN, Pearsal DM, Hunn ES, Turner JN. 2011. Editor. Ethnobiology. Published by John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey Gepts, P. 2004. Who owns biodiversity and howshould the owners be compensated? PlantPhysiol. 134: 1.295−1.307 Helida A., Zuhud EAM., Hardjanto, Purwanto Y., Hikmat A. 2015. The Ethnography of Kerinci. Komunitas International Journal of Indonesian Society and Culture. 7(2): (283 – 296). DOI: 10.15294/komunitas. v7i2.4837

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 15 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Julijanti, Hermanislamet B. 2005. Perubahan pemanfaatan lahan di kawasan dataran tinggi Dieng (studi kasus difusi spasial usaha tani kentang di Desa Batur dan Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara) [tesis]. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Li, Tania Muray. 2002. Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta Lohan D, S Johnston. 2003. The Inter-national Regim for Bioprospecting. UNU/IAS All Right Reserved. 26 pp Pei SJ. 2013. Ethnobotany and sustainable use of biodiversity. Plant and Diversity Resources. 35(4): 401–406. http://dx.doi.org/10.7677/ ynzwyj201313002 Riyadi I. 2008. Potensi pengelolaan bioprospeksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (2) : 2008

16 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI BAB 2 Pengobatan Tradisional dan Konservasi Jenis

Etik Erna Wati Hadi2

Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak suku bangsa yang memiliki beragam adat dan budaya serta kearifan lokal. Keanekaragaman suku bangsa tersebut memiliki adat dan tatanan hidup yang khas, termasuk hubungannya dengan alam sekitarnya. Salah satu ciri dari hubungan manusia dengan alam adalah pemanfaatan tumbuhan untuk berbagai kebutuhan hidupnya, antara lain ekonomi, spiritual, nilai-nilai budaya, kesehatan, kecantikan bahkan untuk pengobatan berbagai penyakit. Pemanfaatan tumbuhan untuk tujuan ekonomi dilakukan oleh masyarakat pedesaan di beberapa negara Asia terutama di wilayah Himalaya (Tiwari et al., 2017), tumbuhan juga masih dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan ritual (Geng et al., 2017) seperti dilakukan oleh masyarakat Melayu Landak yang melakukan upacara adat Tumpang negeri (Hasanah et al., 2014), dan untuk pengobatan antara lain untuk menjaga kesehatan, stamina dan mengobati penyakit (Hikmat et al., 2011). Berdasarkan berbagai latar belakang budaya, sumber daya hayati dan kondisi geografis dapat memengaruhi keberagaman pengetahuan terhadap pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat tradisional. Pemanfaatan tumbuhan untuk tujuan pengobatan telah dilakukan oleh berbagai suku bangsa di Indonesia, secara turun-temurun. Gaya hidup masyarakat di zaman modern telah memberikan hasil dengan kemunculan berbagai jenis penyakit. Penyakit yang muncul antara lain penyakit degeneratif metabolik yang memerlukan pengobatan jangka panjang secara terus-menerus. Lemahnya daya beli masyarakat dan ketakutan akan dampak negatif dari konsumsi obat sintetik secara terus-menerus, memaksa masyarakat mencari alternatif bahan obat alami karena dinilai lebih 2 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, email: Etik_imkho@yahoo. co.id Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

aman (Hikmat et al., 2011) dan dikenal dengan trend “gaya hidup kembali ke alam” atau back to nature. Saat ini pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tidak hanya untuk memelihara kesehatan dan penyakit ringan, namun juga dimanfaatkan untuk penyakit berat dan penyakit-penyakit yang saat ini belum ada ditemukan pengobatannya secara memuaskan (Asmaliyah et al., 2018) sebagai contoh herbal dan rempah-rempah menawarkan solusi alternatif untuk pengobatan kanker payudara, dengan komponen bioaktif seperti alkaloid, flavonoid, antosianin, fenilopropanoid, dan terpene yang dapat menghambat proses yang terkait dengan pertumbuhan sel kanker payudara (Vutakuri & Somara, 2018). Di Sumatera Selatan, daun Oroxylum indicum digunakan oleh Suku Saling untuk mengobati penyakit kuning dan asma (Asmaliyah et al., 2016) dan di Kabupaten Kulon Progo masyarakat memanfaatkan rebusan daun Peperomia pellucida untuk obat asam urat (Hadi et al., 2016). Pengobatan atau gaya hidup back to nature perlu disupport dengan ketersediaan bahan baku. Jika selama ini masyarakat tradisional mengambil bahan baku di alam (Suleiman Abubakar et al., 2018) dalam jumlah terbatas dan sesuai kebutuhan, ketersediaan bahan baku masih bisa terjaga dengan baik. Namun saat ini eksploitasi sumber daya di alam semakin meningkat akibat perubahan tren dan gaya hidup mengakibatkan beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat menjadi sulit ditemukan bahkan masuk dalam kategori langka (Singh et al., 2012). Di India, eksploitasi berlebihan terhadap jenis-jenis tumbuhan obat hasil dari masuknya pengetahuan dari berbagai sumber menyebabkan kerusakan habitat aslinya (Sai Murali et al., 2017). Sehingga hal terpenting yang harus dilakukan adalah bagaimana menjaga ketersediaan bahan baku dengan tetap mempertahankan keberadaan jenis- jenis tersebut di alam, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan konservasi in-situ dan ex-situ atau upaya pembudidayaan jenis- jenis yang berpotensi sebagai bahan obat sebelum jenis-jenis tersebut menjadi langka dan punah (Suleiman Abubakar et al., 2018). Ilmu etnobotani mengupas tentang bagaimana hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Berbagai penelitian tentang tumbuhan obat, baik jenis, potensi maupun cara pemanfaatannya telah banyak dilakukan. Data-data tersebut bisa dijadikan base-line data, sehingga bisa dilakukan

18 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Pengobatan Tradisional dan Konservasi Jenis pengembangan berbagai jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai obat. Pengembangan jenis ini bisa dilakukan secara kolaboratif, antara teknik budidaya, pengolahan yang tepat, kandungan bahan aktifnya dan tentu saja secara ekonomi harus kita pelajari pasar yang tepat. Diharapkan celah-celah kosong tersebut dapat disempurnakan dengan berbagai kegiatan tersebut.

Realitas dan Harapan Fakta-fakta tentang pengobatan tradisional yang masih dilakukan oleh suku-suku terutama di Sumatera Selatan membuktikan bahwa masyarakat sampai saat ini masih sangat bergantung pada alam. Fakta-fakta tersebut kami dapatkan saat pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan tumbuhan berkhasiat obat degeneratif metabolik di subregion Sumatera Bagian Selatan yang dilakukan oleh tim dari Balai Litbang LHK Palembang tahun 2015. Berdasarkan realitas di lapangan (Gambar 2.1) menunjukkan bahwa dalam tatanan masyarakat tradisional terdapat orang-orang dengan pengetahuan tentang pengobatan yang didapat dari para leluhurnya secara turun-temurun.

Gambar 2.1 Pengobat tradisional asal Suku Saling, Desa Taba, Kecamatan Saling, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 19 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Pada Gambar 2.1, pengobat tradisional tersebut bernama Ibu Nol, beliau banyak memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan obat. Pengobatan tradisional di suku Saling merupakan pengobatan alternatif (Asmaliyah et al., 2015), karena sebagian masyarakat telah mengenal pengobatan medis. Masyarakat menyebut pengobatan tradisional dengan sebutan “ubat ula’an” atau obat dusun, biasanya menjadi rujukan saat pengobatan medis belum menunjukkan penyembuhan. Pengobat tradisional (battra) terdiri atas 2 jenis, yaitu pengobat yang menggunakan bahan obat dari tumbuhan untuk penyembuhannya dan pengobat yang mengobati dengan teknik penerawangan. Battra yang menggunakan tumbuhan sebagai obat, mengambil bahan dari hutan dan lingkungan sekitar (Gambar 2.2). Gambar 2.2 menunjukkan bahwa battra selama ini mengambil bahan tumbuhan untuk obat di hutan sekitar mereka, namun seiring perkembangan populasi manusia, keberadaan jenis-jenis tersebut mulai sulit ditemukan di hutan, dan battra memiliki cara untuk melestarikan jenis-jenis tersebut dengan menanam di sekitar rumah.

Gambar 2.2 Lokasi pengambilan bahan tumbuhan untuk obat

Pengobat dan masyarakat tradisional memiliki cara tersendiri dalam menjaga alam. Pengambilan bahan untuk pengobatan haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar, di antaranya jumlah dan waktu pengambilan serta ciri khas dari tumbuhan tersebut. Hal ini merupakan kearifan lokal, di mana masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam dalam batas tertentu sesuai kebutuhan mereka dan menanam beberapa jenis yang sulit ditemukan di alam agar secara pribadi mereka tidak mengalami kesulitan

20 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Pengobatan Tradisional dan Konservasi Jenis dalam mendapatkannya. Penelitian di bidang etnobotani telah banyak dilakukan, tujuan utamanya adalah menggali dan mendokumentasikan kemampuan dan pengetahuan dari para pengobat tradisional dalam meramu dan menjelaskan khasiatnya. Dari hasil-hasil penelitian tersebut kita dapat mengembangkan berbagai jenis tumbuhan yang memiliki khasiat untuk obat dari penyakit-penyakit yang belum ditemukan obatnya, bagaimana teknik budidayanya, kandungan bahan aktif, pengujian bahan aktif dan berbagai kegiatan penelitian lanjutan dari bidang sosiologi, pertanian, kehutanan, dan kesehatan. Penelitian yang komprehensif akan menjadikan pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan modern yang membawa nilai-nilai keilmiahan. Selain itu, upaya budidaya jenis merupakan salah satu bagian dari upaya konservasi jenis, di mana bahan bisa diambil dari hasil budidaya yang telah dimodifikasi dan dikembangkan, hal ini tentu menjadi langkah penyelamatan jenis-jenis yang jumlahnya sudah mulai berkurang atau langka di alam. Dalam pemanfaatan sumber obat tradisional secara luas, terdapat beberapa kendala di antaranya beberapa jenis tumbuhan belum diuji secara ilmiah khasiatnya. Hal ini dikarenakan pemanfaatan obat tersebut dilakukan secara turun-temurun, sehingga dokumentasi dari jenis-jenis tersebut belum dilakukan secara baik. Namun demikian, saat ini berbagai upaya pendokumentasian jenis tumbuhan dan pemanfaatannya sebagai obat tradisional mulai banyak dilakukan, di antaranya studi etnobotani tumbuhan obat di Cianjur, Jawa Barat (Malini et al., 2017), studi etnobotani di Suku “Topo Uma” (Yulia et al., 2017), studi tumbuhan berkhasiat obat di subregion sumbagsel (Asmaliyah et al., 2015), dan kurang lebih 150 hasil penelitian etnobotani telah dipresentasikan dan dipublikasi melalui seminar yang diadakan oleh LIPI (Walujo, 2008). Namun demikian banyak dari penelitian yang yang telah dilakukan sebatas mendokumentasikan saja, belum ada uji lebih lanjut, sehingga hal ini memberikan peluang yang sangat luas bagi penelitian lanjutan, baik dari sisi jenis tumbuhan atau dari sisi lainnya. Dengan kondisi hutan yang semakin terdegradasi, maka akan memengaruhi ketersediaan bahan baku tumbuhan untuk obat dialam. Tentu saja hal ini cukup menyulitkan bagi para battra. Namun demikian mereka berupaya utuk melakukan adaptasi dengan menanam jenis-jenis yang sulit

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 21 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

mereka temui di alam. Mereka memanfaatkan pekarangan di sekitar rumah untuk memudahkan pengambilan dan menjaga ketersediaan bahan baku. Selain itu para battra juga mengajak masyarakat setempat untuk ikut menanam jenis-jenis yang sulit ditemukan di alam. Hal ini karena masyarakat juga sadar kebutuhan mereka akan jenis tumbuhan tersebut. Ada juga yang menyimpan dalam bentuk serbuk dan diawetkan. Untuk transfer pengetahuan tentang tumbuhan berkhasiat obat, masyarakat di beberapa suku telah melakukan itu, mereka berusaha mengingat jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh para battra untuk mengobati penyakit. Yang tidak bisa diturunkan adalah mantra, ucapan atau jampi-jampinya.

Simpulan Berbagai studi etnobotani merupakan base line data bagi penelitian lanjutan dan prospek pengembangan tumbuhan obat. Penelitian tentang budidaya, farmakologi, lingkungan, sosiologi, ekonomi dan kesehatan dapat berkolaborasi menggali potensi-potensi sumberdaya obat di alam Indonesia.

Daftar Pustaka Asmaliyah, Hadi EEW, Muslimin I, Turjaman M, Thalib I. 2016. Quantitative pre-eliminary phytochemical screening of aqueous extracts of leaves of oroxylum indicum from five different places in sumatra island, Indonesia. International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research, 8(11), 1863–1869. Asmaliyah, Hadi EEW, Waluyo EA, Muslimin I, Nopriansyah A. 2018. Tumbuhan Obat dan herbal Dari Hutan Untuk Penyakit Degeneratif Metabolik: Gaya Hidup Kembali ke Alam. In Unsri Press. Asmaliyah, Muslimin I, Hadi EEW, Imanullah A. 2015. Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Berkhasiat Obat Degeneratif Metabolik di Subregional Sumbagsel. Geng Y, Hu G, Ranjitkar S, Shi Y, Zhang Y, Wang Y. 2017. The implications of ritual practices and ritual plant uses on nature conservation: a case study among the Naxi in Yunnan Province, Southwest China. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 13(1), 58. https://doi.org/10.1186/ s13002-017-0186-3

22 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Pengobatan Tradisional dan Konservasi Jenis

Hadi EEW, Widyastuti SM, Wahyuono S. 2016. Keanekaragaman dan Pemanfaatan Tumbuhan Bawah Pada Sistem Agroforestri di Perbukitan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 23(2), 206–214. Hasanah U, Linda R, Lovadi I. 2014. Pemanfaatan tumbuhan pada Upacara Adat Tumpang Negeri Suku Melayu di Keraton Ismahayana Landak. Protobiont, 3(3), 17–24. Hikmat A, Zuhud EAM, Siswoyo, Sandra E, Sari RK. 2011. Revitalisasi konservasi tumbuhan obat keluarga (Toga) guna meningkatkan kesehatan dan ekonomi keluarga mandiri di Desa Contoh Lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor (the Revitalization of Family Medicine Plant (Toga) Conservation for Crease Health and Econ. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 16(2), 71–80. http://journal.ipb.ac.id/index.php/ JIPI/article/view/6600/5128 Malini DM, Madihah, Kusmoro J, Kamilawati F, Iskandar J. 2017. Ethnobotanical Study of Medicinal Plants in Karangwangi, District of Cianjur, West Java. Journal of Biology & Biology Education, 9(2), 345– 356. https://doi.org/10.15294/biosaintifika.v9i2.5756 Sai Murali RS, Nageswara Rao G, Basavaraju R. 2017. Looking through the lens of a conservation biologist: Life of medicinal plants in the Eastern Ghats of Andhra Pradesh, India. International Journal of Conservation Science, 8(2), 333–348. Singh KN, Lal B, Chand G, Todaria NP. 2012. Ecological Features And Conservation Of Arnebia euchorma. A Critically Endangered Medicinal Plant In Western Himalaya. Iternational Journal of Concervation Science, 3(3), 189–198. https://doi.org/10.2307/2752507 Suleiman Abubakar U, Ibrahim Khalifa B, Abdu F, Sanusi M, Abdu Gawuna T, Gambo Adamu J, Saidu Rogo S. 2018. Threatened Medicinal Plants of Kano Flora and the Need for Urgent Conservation. 9(1), 173–178. www. plantlist.org Tiwari V, Negi KS, Rawat R, Mehta PS. 2017. In-situ conservation and Traditional Uses of Medicinal Plants : A Case Study of Home Gardens in Nainital , Uttarakhand. 21(1).

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 23 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Vutakuri N, Somara S. 2018. Natural and herbal medicine for breast cancer using Elettaria cardamomum (L.) Maton. Ijhm, 6(2), 91–96. Walujo EB. 2008. Research Ethnobotany in Indonesia and the Future Perspectives. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 9(1), 59–63. https://doi.org/10.13057/biodiv/d090114 Yulia C, Fachri, Ramadanil. 2017. Studi etnobotani tumbuhan obat Suku “Topo Uma” di Desa Oo Parese Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Jurnal Biocelebes, 12(2), 2580–5991. https:// bestjournal.untad.ac.id/index.php/Biocelebes/article/view/9309

24 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI BAB 3 Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu

Nanang Herdiana3

Pendahuluan Barangan, begitulah masyarakat Suku Semende di Sumatera Selatan menyebut Castanopsis argentea (Blume) A.DC, salah satu pohon lokal yang tumbuh di hutan pegunungan. Masyarakat di beberapa daerah lain, seperti di Riau, Bengkulu, Sumatera Utara dan Bangka juga mengenal tumbuhan ini dengan nama Barangan, sementara masyarakat di Jawa menyebutnya dengan nama Saninten atau Rambutan Hutan, mungkin karena daun dan buahnya mirip rambutan. Barangan merupakan tumbuhan asli Indonesia yang hidup di Sumatera dan Jawa (Heyne, 1987; Whitmore dan Tantra, 1986), pada daerah dengan ketinggian mulai dari 150–1.400 m dpl, bahkan bisa juga mencapai 1.750 m dpl (Cahyo, 2018). Dengan ketinggian tempat tumbuhnya yang demikian, barangan merupakan tanaman lokal penting di daerah hulu yang merupakan daerah pegunungan dan perbukitan (Rinandion dan Hariri, 2018). Masyarakat lokal, terutama di Sumatera, mengenal tumbuhan ini tidak hanya sebagai penghasil kayu dengan kualitas yang baik, tetapi juga memanfaatkan buahnya sebagai penganan lokal yang telah dikenal sejak lama secara turun-temurun. Mereka menyebutnya sebagai kacang barangan. Jika kita berkunjung ke masyarakat Semende pada awal tahun, mungkin kita bisa menjumpai penganan ini sebagai suguhan camilan yang telah di rebus dan menjadi teman minum kopi semende yang sudah terkenal. Kacang barangan memiliki rasa manis, gurih dan teksturnya empuk, sebenarnya rasanya mirip biji kluwih yang lebih dikenal luas di masyarakat. Tanpa disadari bahwa barangan sejak lama sudah menjadi salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan.

3 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, email: nanang_herdiana@ yahoo.co.id Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Pemanfaatan barangan oleh masyarakat lokal memang masih sangat terbatas, mereka hanya mengumpulkan buah matang yang jatuh di bawah tajuk pohon yang tumbuh liar di hutan, di sekitar pemukiman atau kebun. Buah yang terkumpul bisa jadi hanya sebagai sisa binatang liar. Hasilnya pun hanya sekadar untuk konsumsi sendiri atau dijual terbatas di sekitar tempat tinggal mereka. Upaya pengolahan kacang barangan juga belum ada, hanya sekadar direbus atau digosngseng. Dengan menjual kacang barangan dalam bentuk yang masih mentah dan terbatas, tentu harganya pun masih murah, biasanya hanya sekitar Rp2.000–5.000/kaleng bekas susu kental manis. Kondisi di atas ternyata sangat berbanding terbalik dengan chestnut atau kacang kastanya yang tumbuh dan dikembangkan di Eropa, Amerika atau negara Asia lainnya seperti Jepang dan Cina. Jika barangan termasuk marga Castanopsis, maka chestnut atau kacang kastanya masuk ke dalam marga Castanea, tetapi keduanya termasuk ke dalam suku Fagaceae. Kastanya telah dikenal sejak lama sebagai bahan makanan penting di Eropa dan Asia. Penyebaran dan budidaya chesnut yang terbesar adalah kawasan Eropa diikuti Cina, Jepang dan Amerika Latin (Castanea sativa di Eropa; Castanea dentata di Amerika; Castanea mollissima di Asia Timur dan Castanea crenata di Jepang). Tingginya produksi chestnut sebagai hasil budidaya intensif telah menjadikannya sebagai komoditas ekspor penting. Saat ini China telah berhasil menjadi negara eksportir kastanye dunia yang paling kontinu. Pada tahun 2007, China mampu mengekspor chestnut sebanyak 34.000 ton, senilai $ 73 juta atau Rp. 1,108 Triliun (Cahyo, 2018). Nilai produksi sebesar itu tentunya tidak berasal dari produksi hutan alam, tetapi dari hutan tanaman dengan luasan dan produkstivitas yang tinggi. Selain nilai produksi yang tinggi, aneka olahan dan produk turunan yang dihasilkan juga sangat bervariasi. Peningkatan nilai tambah produk sangat intensif dilakukan melalui usaha produktif yang turut menggerakan perekonomian masyarakat.

26 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu

Gambar 3.1 Pohon, bunga, buah dan biji barangan

Meskipun barangan (Castanopsis) tidak sama dengan chesnut, tetapi sejak masa penjajahan Belanda telah memanfaatkan dan memasukan barangan (saninten) sebagai sebagai sumber daya nabati yang ada di Jawa (Cahyo, 2018). Oleh karena itu, potensi barangan sebagai bahan pangan cukup potensial dan menjanjikan. Ke depan, barangan atau saninten sebagai kerabat chestnut bisa turut menjadi komoditas ekspor penting yang bernilai ekonomi tinggi. Tidak menutup kemungkinan jika barangan dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat yang tinggi dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 27 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Realitas dan Harapan Sejak dulu masyarakat lokal, baik di Jawa maupun di Sumatera, telah mengenal pohon barangan atau saninten sebagai penghasil kayu dengan kualitas yang baik dan penggunaan yang cukup luas. Kayu barangan memiliki kelas kuat II dan kelas awet III (Martawijaya et al., 1989), sehingga kayunya banyak digunakan sebagai bahan baku kontruksi bangunan, jembatan dan bahkan digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga (furnitur). Kayu Barangan juga termasuk ke dalam jenis kayu yang baik untuk digunakan sebagai bahan pembuatan alat musik dan kayu energi, baik untuk kayu bakar maupun arang (Rinadio dan Hariri, 2018). Dengan kondisi tersebut, maka ekploitasi kayu, baik legal maupun pembalakan liar, telah dilakukan secara intensif sejak dulu. Selain itu adanya konversi lahan hutan yang merupakan habitat alaminya menjadi penggunaan lain, seperti perkebunan karet, sawit atau kopi di Sumatera dan menjadi pemukiman di Jawa telah mempercepat penurunan jumlah pohon di habitat aslinya. Sebenarnya, permasalahan penurunan populasi barangan tidak hanya muncul akibat ekploitasi atau kerusakan habitat alaminya saja, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya kemampuan regenerasi alami barangan itu sendiri (Efendi, 2018). Di lapangan akan sangat jarang bisa menemukan anakan atau tingkat pertumbuhan lainnya secara alami di sekitar pohon induk. Keterbatasan regenerasi barangan terkait dengan musim buah dan perkecambahan benihnya. Musim buah barangan umumnya tidak setiap tahun, rata-rata terjadi setiap dua tahun sekali. Musim buah barangan biasanya di awal tahun, mulai bulai januari sampai april. Buah barangan juga bisa dimakan atau edible, tidak hanya dikonsumsi oleh manusia, tetapi menjadi pakan penting bagi berbagai satwa liar di hutan, mulai babi, tupai, tikus, musang, monyet dan binatang pemakan buah lainnya. Dengan kondisi seperti itu maka benih barangan yang tertinggal dan berpotensi tumbuh menjadi anakan di lantai hutan akan sangat berkurang. Benih berangan juga memiliki karakter rekalsitran, cepat rusak, sehingga tidak tahan lama jika disimpan. Daya berkecambah benih barangan segar hanya sekitar 75% dan akan cepat berkurang dengan cepat jika tidak langsung dikecambahkan (Rinandio dan Hariri, 2018; Cahyo, 2018).

28 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu

Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan jika populasi alami pohon barangan saat ini menjadi sulit dijumpai di lapangan. Di bebeberapa lokasi, pohon barangan atau saninten ini hanya bisa dijumpai di areal konservasi atau taman nasional, seperti di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun, lereng Taman Nasional Gunung Ciremai dan Kebun Raya Cibodas. Merujuk pada salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriyanto et al., (2007), bahwa jumlah populasi barangan atau saninten pada lokasi sebaran alaminya hanya mencapai 18 individu/ha. Oleh karena itu, berdasarkan Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, menegaskan dan memasukan barangan atau saninten sebagai tumbuhan yang dilindungi. Sementara berdasarkan IUCN Red List of Thretened Species, barangan masuk ke dalam status genting atau endangered, artinya memiliki risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yg akan datang (Efendi, 2018). Di Sumatera sendiri, khususnya di daerah hulu seperti di Semende Muara Enim sebagai salah satu daerah sebaran alaminya, saat ini pohon barangan bisa dijumpai di hutan atau kebun di sekitar pemukiman masyarakat, hutan sekunder dan semak belukar yang belum dibuka, di batas kebun masyarakat atau pinggir sungai. Pohon barangan yang terutama masih tumbuh di sekitar pemukiman atau kebun tersebut sebenarnya merupakan sisa pohon yang tidak ditebang oleh masyarakat, karena kurang bagus jika dijadikan sebagai penghasil kayu, biasanya berbatang bengkok dan pendek. Selain itu, masyarakat juga masih berharap untuk bisa panen buah barangan. Dari sisi produksi buah, tentunya dengan semakin berkurangnya jumlah dan sebaran populasi barangan alam akan berimplikasi langsung terhadap potensi buah yang dapat dihasilkan, baik untuk kebutuhan regenerasi maupun konsumsi. Di sisi lain, seperti telah diungkapkan di atas, pemanfaatan buah barangan oleh masyarakan lokal di daerah juga masih sangat terbatas, sederhana dan belum ada upaya pengolahan. Hal tersebut tentunya belum bisa menjadikan barangan sebagai komoditas ekonomi yang diharapkan turut mampu memberikan tambahan pendapatan dalam angka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 29 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Keterbatasan produksi bahan baku, pemasaran dan tata niaga mapun upaya peningkatan nilai tambah produk menjadi kendala yang harus dipecahkan bersama. Dibutuhkan upaya konprehensif dalam rangka pemangembangan dan pemanfaatan barangan sebagai komoditas ekologi dan ekonomi. Sebagai komoditas ekologi, kondisi ini tidak lepas dari status barangan sebagai tumbuhan dilindungi dengan potensi populasi dan sebaran alaminya yang semakin menurun. Di sisi lain, potensi pemanfaatan kayu dan buah barangan yang cukup potensial menjadikannya sebagai komoditas ekonomi menjanjikan. Dalam upaya pengembangan barangan, terdapat dua kegiatan penting yang harus dikerjakan bersamaan dan berkesinambungan, yaitu kegiatan di hulu dan di hilir. Kegiatan di hulu diarahkan sebagai upaya penyediaan bahan baku buah barangan, sedangkan kegiatan di hilir lebih diarahkan kepada upaya peningkatan nilai tambah barangan dan pemasarannya. Upaya komesrsialisasi kacang barangan tidak akan berhasil jika pasokan bahan baku tidak tersedia dan kontinu. Begitupula dengan upaya peningkatan nilai tambah yang tidak hanya diarahkan sebagai upaya penambahan variasi dan nilai ekonomi produk, tetapi juga merupakan upaya pemberdayaan masyarakat melalui usaha produktif. Upaya teknis yang dilakukan dalam rangka menjamin pasokan dan meningkatkan produksi barangan juga tidak lepas sebagai upaya konservasi barangan sebagai tumbuhan langka Indonesia. Kegiatan rehabilitasi populasi alami barangan bisa dilakukan melalui pengayaan atau re-stocking di hutan alam (areal lindung atau areal konservasi). Sementara penanaman barangan di areal budidaya masyarakat bisa diposisikan sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap barangan alam. Kegiatan penanaman di masyarakat bisa dilakukan sebagai budidaya intensif, menggunakan bahan perbanyakan berkualitas yang dikombinasikan dengan tindakan manipulasi lingkungan yang tepat, sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman. Pola campuran atau agroforestri bisa menjadi salah satu pilhan yang logis bagi masyarakat. Kombinasi dan diversifikasi komoditas yang dibudidayakan, baik tanaman berkayu yang tahunan (barangan) termasuk berbagai jenis tanaman semusim, diharapkan akan mampu memberikan keragaman hasil

30 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu dan pendapatan, periode panen berjenjang, padat tenaga kerja dan ramah lingkungan (Huxley, 1999; Sahwalita et al., 2011). Pola tanaman ini juga akan lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal, karena memanfaatkan pengetahuan, teknologi dan sesuai dengan budaya masyarakat setempat (Nair, 1987). Kegiatan budidaya akan berkaitan dengan ketersediaan bahan tanaman dan materi genetik. Penurunan populasi alami barangan yang telah terjadi di berbagai tempat dikhawatirkan akan mempersempit genetik base jenis dimaksud. Dari sisi konservasi genetik dan kepentingan budidaya intensif tentu saja akan menjadi kendala yang penting. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya inventarisasi dan koleksi materi gentik sebagai langkah preservasi genetik dan bahan baku kegiatan pemuliaan. Secara teknis, jika hasil evaluasi genetik di sutu sebaran alami, maka bisa langsung dilakukan infusi materi genetik dari lokasi sebran alami lain yang diketahui atau dianggap berbeda. Ke depan, dengan adanya proses kawin silang, maka diharapkan akan terjadi peningkatan genetik base barangan di suatu lokasi. Upaya budidaya barangan juga terkait dengan kualitas materi genetik yang telah dikoleksi di suatu lokasi. Kegiatan dalam penyediaan materi perbanyakan tanaman seyogyanya diawali dengan valuasi dan seleksi materi genetik unggul. Evaluasi parameter atau karakter fenotipe, seperti karakter pertumbuhan tanaman, luas tajuk, produktifitas buah, kualitas buah, ketahanan hama dan penyakit merupakan sebagian dari karakter seleksi yang dilakukan. Upaya selanjutnya berupa penyediaan bahan perbanyakan yang diperoleh dari pohon induk lokal unggul pada sumber benih yang telah ditetapkan, bila perlu berasal dari kegiatan pemuliaan. Pada praktiknya, kegiatan penyediaan bahan perbanyakan saninten yang dilakukan selama ini masih konvensional, dengan mengecambahkan benihnya langsung atau stek tunas (Fitria, 2015). Metoda ini terkadang akan terkendala dengan ketersediaan benih yang dihasilkan oleh pohon induk unggul. Upaya lain yang cukup potensial untuk diterapkan adalah dengan cara in vitro atau kultur jaringan (Surya et al., 2017). Dalam jangka pendek, upaya penghentian atau moratorium ekploitasi kayu barangan akan bisa menahan penurunan produksi buah dan diharapkan juga akan membantu upaya regenerasi alaminya. Di saat produksi buah

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 31 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

hasil budidiya belum tersedia, produksi buah barangan alam masih menjadi tumpuan. Untuk menjaga kelestarian dan tingkat produktivitasnya, maka dibutuhkan upaya pengaturan pemanenan, baik teknis pemanenan maupun aturan kelembagaan yang diterapkan di masyarakat. Barangan sebagai tanaman dilindungi, maka legalitas pemanfaatannya tidak bisa sembarangan, berdasarkan Peraturan Pemerintah dalam hal ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007, buah saninten termasuk salah satu komoditas HHBK yang diperkenankan untuk dimanfaatkan. Upaya peningkatan nilai tambah barangan melalui diversifikasi produk seyogyanya segera dilakukan, berkaca pada kasus kacang kastanya atau chestnut yang memiliki aneka produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi dan marketable, maka kacang barangan juga bisa diposisikan seperti demikian. Kacang barangan tidak hanya sekadar dijual berupa kacang barangan mentah atau kacang barangan gongseng, tetapi sudah diolah lebih lanjur menjadi berbagai olahan jadi maupun olahan sebagai bahan baku pembuatan makanan, semacam pasta atau tepung kacang barangan. Selain meningkatkan nilai ekonomi, pengolahan produk juga akan meningkatkan peluang dan jangkauan pasar yang lebih luas. Peran berbagai pihak, swasta, institusi pendidikan dan penelitian, pemerintahan dan stakeholder terkait lainnya dalam kegiatan pembuatan dan pengembangan produk kacang barangan harus dilakukan secara komprehensif. Upaya tersebut juga tidak lepas dari identifikasi, pembuatan dan penyediaan jaringan pemasaran dan tata niaga yang profitable dan transparan. Sehingga bisa meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan tanpa menambah biaya pemasaran. Pendekatan pemasaran daring pada saat ini sudah menjadi tren yang umum untuk berbagai produk. Belanja online sudah menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat, apalagi ditengah kondisi pandemi seperti sekarang. Luasan jangkauan dan efisiensi promosi menjadi nilai lebih dibandingkan dengan pemasaran secara konvensional. Pengelolaan kacang barangan sebagai HHBK unggulan dengan pelaku utama masyarakat lokal sekitar hutan akan membutuhkan peran penting pemangku kawasan, dalam hal ini KPH. KPH Mandiri tidak hanya mampu mengelola kawasan yang dipangkunya menjadi tetap lestari, tetapi

32 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu harus produktif, termasuk masyarakat yang ada di dalamnya (Effendi dan Rostiwati, 2014). Kelembagaan lokal di masyarakat yang didukung oleh lembaga otoritas legal, dalam hal ini KPH, bisa menjadi kombinasi apik dalam mengelola komoditas ini. Seperti yang diungkapkan oleh Uphoff (1992) dalam publikasinya “Local Institutions and Participation for Sustainable Development” bahwa kelembagaan lokal lebih dimungkinkan untuk berhasil dalam mengelola sumberdaya alam, jika sumberdayanya bersifat jelas dan hasilnya dapat diprediksi, dikelola oleh pengguna yang teridentifikasi dan didukung oleh struktur otoritas. Ke depan, perhatian dan keterlibatan berbagai pihak dalam rangka pengembangan komoditas barangan sebagai HHBK unggulan bagi masyarakat hulu tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara.

Simpulan Barangan merupakan HHBK potensial dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi, tapi pemanfaatan di masyarakat masih terbatas, hanya konsumsi langsung atau sekadar dijual di pasar kalangan, di masyarakat juga belum ada upaya pengolahan menjadi produk turunan yang komersil. Di sisi lain, ekplotasi kayu yang berlebihan, alih fungsi lahan dan keterbatasan regenerasi alami telah menyebabkan rendahnya potensi alami barangan dan menjadikannya sebagai tumbuhan langka. Dalam rangka pengembangan barangan sebagai sumber pangan potensial dan ekonomis, dibutuhkan upaya penyediaan bahan baku di hulu melalui kegiatan pengayaan di areal konservasi/lindung dan penanaman di areal budidaya masyarakat. Selain itu, upaya diversifikasi produk, pengaturan pasar dan tata niaga diharapkan turut mendukung peningkatan nilai ekonomi produk. Nilai manfaat yang diperoleh tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 33 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Daftar Pustaka Cahyo YID. 2018. Saninten: Kudapan dari hutan yang langka. Dalam Cerita 100 Pohon. A. Apriono, A. Melanie, E. Erfianto, F. Nurdiasih, H. Mahbub, M. Dominique dan R. El Hida (Editor). Fauna & Flora Internasional. Efendi M. 2018. Asa saninten dan kerabatnya di tengah ancaman kepunahan di Pegunungan Jawa. Dalam Cerita 100 Pohon. A. Apriono, A. Melanie, E. Erfianto, F. Nurdiasih, H. Mahbub, M. Dominique dan R. El Hida (Editor). Fauna & Flora Internasional. Effendi R, T Rostiwati. 2014. Pengelolaan HHBK menuju KPH mandiri (studi kasus di KPH Boalemo). Dalam Operasionalisasi KPH: langkah awal menuju kemandirian. B. Herwanto dan S. Ekowati (Editor). Kanisius. Yogyakarta. Fitria FN. 2015. Pembiakan saninten (Castanopsis argentea (Blune) A.DC.) melalui stek tunas dengan zat pengatur tumbuh komersil. Departemen Silvikultur Fahutan IPB. Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta Huxley PA. 1999. Tropical agroforestry. Blackwell Science Publisher. Oxford. London, united Kingdom. Martawijaya A, I Kertasujana, YI Mandang, SA Prawira,K Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian Dan PengembanganKehutanan. Departemen Kehutanan. Nair PKR. 1987. Agroforestry System Inventory. Agroforestry System. Netherland: Kluwer Academic Publishers. Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2018 Tentang jenis tumbuhan dan satwa yagn dilindungi. ( http://ksdae.menlhk. go.id/assets/news/peraturan/P.20_Jenis_TSL_.pdf) Rinandio DS, MR Hariri. 2018. Konservasi jenis lokal langka berpotensi untuk rehabilitasi DAS: Studi kasusu pada Castanopsis argente (BL) A.DC. Dalam Cerita 100 Pohon. A. Apriono, A. Melanie, E. Erfianto, F. Nurdiasih, H. Mahbub, M. Dominique dan R. El Hida (Editor). Fauna & Flora Internasional.

34 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Barangan: Pangan Potensial Masyarakat Hulu

Sahwalita, AH Lukman, A Sofyan, S Utami. 2011. Peningkatan Produktivitas Lahan Melalui Penanaman Pola Campuran. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran, Musi Rawas, 13 Juli 2011. SK Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (http://arsip.rimbawan.com/images/stories/aturan-pdf/P.35%20 Menhut%20II7%202007.pdf) Surya MI, NI Kurnita, L Setyaningsih, L Ismani, Z Mutaqin. 2017. Perbanyankan Castanopsis argentea secara in vitro. Prosiding Seminar Nasional Biodiversity Indonesia. 3(1) Februari 2017. Uphoff N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 35 BAB 4 Perangkat Simulasi Pengembangan Bambang Lanang

Agus Sumadi4, Hengki Siahaan dan Purwanto

Pendahuluan Budidaya kayu pertukangan dapat menjadi solusi dari merosotnya produksi kayu hutan alam. Salah satu jenis kayu pertukangan yang telah dikembangkan oleh masyarakat di wilayah Provinsi Sumatera Selatan berupa jenis bambang lanang. Jenis ini sudah dikembangkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten yang ada di Sumatera Selatan antara lain Kabupaten Empat lawang, Kabupaten Lahat, Kabupaten OKU Selatan dan Kota Pagaralam (Sumadi dan Siahaan, 2011). Menurut Lestari et al., (2015) Kayu bambang lanang dikenal masyarakat sebagai jenis kayu pertukangan dengan kualitas cukup baik, dimanfaatkan sebagai bahan untuk membangun rumah, bahan baku pembuatan pintu, kusen, jendela dan furniture seperti lemari pakaian, lemari hias, kursi, dan meja. Jenis ini memiliki pertumbuhan cepat serta dapat digunakan untuk kayu pertukangan sehingga jenis ini banyak dikembangkan oleh masyarakat (Prakosa, 2013).

4 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, email: [email protected] Rotan Jernang untuk Penghidupan

Gambar 4.1 Tegakan bambang lanang monokultur di Kabupaten Empat Lawang

Dalam pengembangan budidaya bambang lanang pada wilayah yang belum pernah di budidayakan jenis ini diperlukan perangkat yang dapat memprediksi pertumbuhan pohon dan kelayakannya secara finansial. Perangkat yang dapat dibangun untuk dapat memprediksi pertumbuhan tegakan dan produksi kayu salah satunya dengan software Stella, hal ini sesuai dengan pendapat (Darmono, 2005) mengenai software yang memudahkan pemakai untuk membangun model, tetapi juga untuk melakukan simulasi dan berbagai uji sensitivitas model, antara lain Stella. Menurut Maulana, (2016) software STELLA 9.12, merupakan suatu perangkat lunak pemodelan dan simulasi berbasis objek. Software Stela juga dapat diaplikasikan dalam simulasi proyeksi jangka panjang salah satunya dalam menilai emisi dan penyerapan

CO2 (Permatayakti et al., 2015). Simulasi dapat digunakan untuk memprediksi struktur tegakan hutan di masa yang akan datang (Meen et al., 2012). Berdasarkan data yang ada maka produksi kayu dapat dilakukan simulasi berdasarkan kaidah ilmiah (Apuy et al., 2014). Perangkat ini dapat dibangun berdasarkan hasil-hasil penelitian pada

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 37 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

wilayah-wilayah yang telah dikembangkan jenis bambang lanang. Dengan adanya simulasi dapat dilakukan percobaan-percobaan dalam manajemen hutan pada tegakan yang sebenarnya/tegakan yang akan dibudidayakan (Aswandi, 2007). Pembuatan model simulasi diharapkan dapat memberikan gambaran hasil yang akan diperoleh pada wilayah yang akan dikembangkan. Perangkat simulasi yang dibangun diharapkan dapat memberikan informasi proyeksi perkembangan diameter, tinggi dan prediksi volume tegakan yang akan diperoleh dalam melakukan budidaya hutan. Perangkat yang dibangun selain dapat memberikan informasi pertumbuhan tegakan juga dapat memberikan informasi kelayakan finansial berupa nilai NPV dan BCR dari kegiatan usaha budidaya tegakan bambang lanang yang akan dibangun. Menurut Yuniati (2011) Suatu kegiatan dikatakan layak secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan/pembudidaya pohon) bila nilai NPV positif dan BCR lebih besar dari satu serta analisis finansial merupakan analisis pemilik untuk mengetahui penilaian kelayakan kegiatan pembangunan hutan atau budidaya pohon baik dalam bentuk hutan tanaman atau bentuk lainnya.

Menu-menu dalam perangkat simulasi Perangkat simulasi budidaya bambang lanang yang dibangun terdiri atas beberapa menu di antaranya halaman/menu utama, menu input data dan menu proyeksi. Menu input data terdiri atas data kondisi lahan dan data finansial budidaya bambang lanang. Menu proyeksi berisi informasi pertumbuhan tegakan dan informasi finansial usaha budidaya bambang lanang. Bentuk tampilan menu utama seperti pada Gambar 4.2 berikut ini.

38 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan

Gambar 4.2 Menu utama perangkat simulasi budidaya bambang lanang

Perangkat simulasi yang terbangun akan memudahkan bagi pengguna dalam merencanakan usaha budidaya bambang lanang. Tampilan halaman/ menu utama dibuat simpel berisi tombol menu-menu lain dalam perangkat ini. Menu input data meliputi input data kondisi lahan yang akan dibudidayakan bambang lanang dan input data finansial berkaitan dengan biaya-biaya budidaya bambang lanang. Menu proyeksi merupakan menu untuk memproyeksikan pertumbuhan bambang lanang dan analisis finansial usaha bambang lanang berdasarkan data-data yang di inputkan pada menu input data. A. Menu input data Menu input data merupakan input masukan yang diperlukan untuk menjalankan perangkat simulasi. Input data meliputi input data karakteristik lahan yang akan dibudidayakan bambang lanang. Tampilan menu input data lahan seperti berikut ini:

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 39 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 4.3 Menu input data karakteristik lahan

Menu input data karakteristik lahan terdiri atas isian kondisi lahan dan kerapatan awal tanaman yang akan dikembangkan budidaya bambang lanang meliputi 1. Ketinggian tempat (mdpl) 2. Ketebalan solum (cm) 3. Kadar liat tanah(%) 4. Kadar N total 5. Kadar Aldd 6. PH Kcl 7. Kerapatan awal tanaman Ketinggian tempat dan ketebalan solum merupakan informasi yang langsung didapat di lokasi yang akan dikembangkan bambang lanang. Ketinggian tempat merupakan ketinggian lokasi dari permukaan laut dengan satuan meter sedangkan ketebalan solum merupakan ketebalan lapisan solum tanam dengan satuan centimeter. Data kadar liat tanah, N total, Aldd dan PH Kcl diperoleh dari analisis laboratorium pada sampel tanah dengan kedalaman tanah 0–10 cm. Kerapatan tanaman awal merupakan jumlah individu pohon yang dikembangkan pada awal penanaman. Jumlah individu pohon ini sangat ditentukan oleh keraptan jarak tanam.

40 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan

Menu input data finansial budidaya bambang lanang merupakan menu menu yang merupakan tempat menginput standar biaya yang ada dilokasi tempat yang akan dikembangakan jenis bambang lanang. Tampilan menu ini seperti pada Gambar 4.4 berikut ini:

Gambar 4.4 Menu input data finansial budidaya bambang lanang

Menu input data finansial meliputi data-data biaya yang diperlukan dalam pembudidayaan tanaman kehutanan. Data-data yang diperlukan dalam input analisis finansial meliputi: 1. Harga lahan berupa harga pasaran lahan per hektar apabila ingin mengembangkan budidaya bambang lanang pada lahan baru. Harga lahan ini bisa juga di isi dengan harga sewa lahan bila dalam budidaya bambang lanang melakukan sewa lahan dan juga pada input data harga lahan bisa di kosongkan jika ingin mengembangkan jenis ini pada lahan milik. 2. Harga bibit merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memberli satuan bibit sampai ke lokasi budidaya bambang lanang. Harga bibit di sini merupakan harga bibit di produsen dan transpot sampai ke lokasi penanaman. 3. Biaya pembukaan lahan merupakan unsur biaya dalam budidaya pohon. Biaya ini meliputi biaya pembersihan lahan baik berupa penebangan pohon yang telah ada, pembersihan semak belukar dan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 41 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

perapihan lahan sampai lahan siap untuk dilakukan penanaman. Biaya pembukaan lahan ini dalam luasan 1 hektar sesuai dengan kondisi lahan yang akan dibudidayakan pohon bambang lanang. 4. Biaya penanaman merupakan unsur biaya untuk melakukan kegiatan penanaman dalam luasan 1 hektar. Biaya ini meliputi biaya pembuatan lubang tanam, biaya pengajiran, biaya pembelian pupuk dasar dan biaya penamanan bibit bambang lanang. Biaya ini merupakan biaya total yang berkaitan dengan kegiatan penanaman. 5. Biaya pemeliharaan tahun pertama merupakan unsur biaya yang harus dikeluarkan untuk memelihara tanaman bambang lanang sejak tanam sampai umur 1 tahun. Biaya pemeliharaan meliputi biaya herbisida, biaya pemupukan dan biaya penyulaman tanaman mati. Biaya yang diinputkan merupakan akumulasi biaya total selama 1 tahun dalam pemeliharan budidaya bambang lanang. 6. Pemeliharaan tahun ke 2, 3, 4 dst merupakan biaya tahunan total yang diperlukan dalam pemeliharaan tanaman tiap tahunnya. Biaya ini merupakan semua biaya pembersihan lahan, herbisida, pemangkasan dan biaya lainnya yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman tiap tahunnya. 7. Tebang, gesek dan angkutan. Biaya ini berkaitan dengan semua biaya operasional dalam penebangan kayu sampai kayu berbentuk papan atau balok yang siap jual ke pedagang. 8. Harga kayu olahan merupakan besarnya harga kayu yang diperoleh oleh produsen kayu. Menu input data finansial ini berguna untuk memprediksi hasil budidaya bambang lanang yang dikembangkan oleh masyarakat atau pihak swasta dalam satuan hektar. B. Menu proyeksi Menu proyeksi merupakan menu dalam perangkat ini yang dapat memproyeksikan hasil dari budidaya bambang lanang yang akan dikembangkan. Menu proyeksi terdiri atas menu pertumbuhan bambang

42 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan lanang dan menu finansial bambang lanang. Kedua menu proyeksi ini sangat tergantung dari input data yang dilakukan pada menu input data baik kondisi lahan maupun input data biaya. 1. Menu proyeksi pertumbuhan Menu proyeksi pertumbuhan merupakan menu yang berisi proyeksi pertumbuhan bambang lanang baik pertumbuhan diameter, pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan volume. Proyeksi pertumbuhan bambang lanang sangat tergantung dengan kondisi input lahan pada menu sebelumnya. Pada daerah yang memiliki kecocokan dengan jenis ini maka akan memiliki pertumbuhan yang baik baik diameternya, tinggi dan volume pohon yang akan dihasilkan begitu sebaliknya bila bambang lanang ingin dikembangkan pada daerah yang tidak sesuai akan memiliki pertumbuhan yang kurang baik.

Gambar 4.5 Menu proyeksi pertumbuhan bambang lanang

Menu proyeksi pertumbuhan bambang lanang memberikan gambaran pertumbuhan diameter, tinggi dan volume. Pada menu ini pengguna dapat mendapatkan gambaran secara global budidaya bambang lanang secara monokultur pada wilayah yang baru akan ditanam bambang lanang.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 43 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

2. Menu Proyeksi finansial bambang lanang Menu proyeksi finansial bambang lanang memberikan gambaran kelayakan usaha dari budidaya bambang lanang dengan berdasarkan nilai NPV dan nilai BCR. Nilai dari dua parameter ini dapat menjadi pedoman untuk menilai kelayakan dalam pengembangan jenis bambang lanang secara monokultur pada wilayah-wilayah baru. Hasil analisis finansial ini tergantung dari input data kondisi lahan dan input data standar biaya budidaya bambang lanang. Gambaran bentuk simulasi seperti pada Gambar berikut ini.

Gambar 4.6 Nilai proyeksi finansial budidaya bambang lanang

Nilai NPV dan BCR dalam simulasi ini memberikan gambaran dalam pengusahaan bambang lanang layak atau tidak. Usaha dikatakan layak jika memiliki nilai NPV positif dan nilai BCR di atas satu.

Penggunaan Perangkat Simulasi Perangkat simulasi budidaya bambang lanang dapat berguna untuk memprediksi pertumbuhan tegakan bambang lanang dan kelayakan usahanya. Pola budidaya bambang lanang dalam simulasi berupa monokultur. Kondisi ketinggian tempat tumbuh, tingkat suku bunga maupun umur tebang akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha budidaya bambang lanang.

44 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan

1. Kelayakan usaha bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat tumbuh Pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon yang selanjutnya berpengaruh terhadap kelayakan finansialnya. Simulasi pengembangan bambang lanang pada ketinggian 50 mdpl, 200 mdpl, 500 mdpl, 800 mdpl dan 1000 mdpl. Pada simulasi ini akan memberikan informasi perkembangan pertumbuhan baik pertumbuhan diameter, tinggi dan volume per hektar serta informasi kelayakan usahanya.

Gambar 4.7 Pertumbuhan pohon bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat

Berdasarkan simulasi pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat memberikan gambaran pertumbuhan terbaik baik diameter, tinggi dan volumenya pada lahan yang memiliki ketinggian tempat tumbuh sekitar 200 mdpl. Tegakan bambang lanang memimiliki pertumbuhan kurang bagus pada lahan dengan ketinggian tempat lebih dari 800 mdpl dan pada ketinggian 50 mdpl. Pertumbuhan bambang lanang berdasarkan hasil simulasi di atas memberikan gambaran sangat terpengaruh besar dengan kondisi tempat tumbuh salah satunya ketinggian tempat tumbuh. Pengembangan bambang lanang dengan ketinggian tempat tumbuh sekitar 200 mdpl banyak terdapat

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 45 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

di wilayah Empat Lawang dan OKU Selatan. Dua wilayah ini merupakan sentra pengembangan jenis bambang lanang oleh masyarakat. Proyeksi pertumbuhan memberikan gamaran secara umum perkembangan diameter, tinggi dan volume tegakan pada tiap wilayah. Gambaran ini dapat menjadi pedoman dalam pengembangan bambang lanang baik bagi masyarakat pada lahan milik maupun perusahaan dalam bentuk hutan tanaman. Ketinggian tempat tumbuh akan memengaruhi pertumbuhan diameter, tinggi dan volume tegakan. Pada empat ketinggian yang berbeda pertumbuhan tinggi dan volume tegakan yang menunjukkan perbedaan besar. Perbedaan pertumbuhan tegakan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat tumbuh dapat di proyeksikan pada Gambar 4.8 berikut ini.

Gambar 4.8 Proyeksi pertumbuhan tegakan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat pada umur 12 tahun

Pertumbuhan tinggi terbaik berdasarkan simulasi pada ketinggian 200 mdpl diikuti pada ketinggian tempat 500 mdpl dan pertumbuhan tinggi paling lambat pada ketinggian 1000 mdpl. Jenis bambang lanang berdasarkan hasil simulasi ini kurang cocok di kembangkan pada dataran tinggi atau dataran rendah yang kurang dari 50 mdpl. Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan bambang lanang sehingga pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat tumbuh akan berpengaruh besar terhadap kelayakan usahanya. Dalam simulasi kelayakan usaha di asumsikan semua unsur biaya

46 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan budidaya di tiap wilayah sama mulai dari biaya lahan, penanaman sampai dengan pemanenan dianggap sama. Dalam simulasi ini untuk melihat pengaruh pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian terhadap kelayakan usahanya.

Gambar 4.9 Proyeksi finansial budidaya bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat

Pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat berdasarkan hasil simulasi pada gambar di atas memberikan gambaran budidaya bambang lanang tidak semua layak untuk di usahakan. Pada daerah dengan ketinggian tempat 50 mdpl hasil simulasi menunjukkan nilai NPV negatif dan BCR di bawah 1, hal ini menggambarkan budidaya bambang lanang tidak layak secara finansial. Pada ketinggian 800 mdp atau lebih juga memberikan gambaran usaha bambang lanang tidak layak untuk diusahakan. Hasil simulasi usaha bambang lanang paling layak diusahakan pada wilayah yang memiliki ketinggian tempat tumbuh 200 mdpl. 2. Kelayakan usaha bambang lanang pada ketinggian 200 mdpl dengan suku bunga yang berbeda 10%, 12 %, 14%, 16%, dan 18%. Berdasarkan simulasi sebelumnya usaha bambang lanang paling layak diusahakan pada wilayah dengan ketinggian tempat tumbuh 200 mdpl. Pada simulasi selanjutnya akan menggunakan berbagai suku bunga untuk melihat kelayakan usaha bambang lanang.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 47 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 4.10 Proyeksi finansial budidaya bambang lanang dengan berbagai suku bunga

Pengembangan bambang lanang pada wilayah yang memiliki ketinggian tempat 200 mdpl dengan berbagai suku bunga memberikan gambaran memiliki kelayakan beragam. Pada tingkat suku bunga 16% lebih usaha bambang lanang pada ketinggian tersebut sudah tidak layak untuk diusahakan. 3. Kelayakan usaha bambang lanang pada kondisi lahan dengan ketinggian tempat 200 mdpl dan suku bunga 12% berdasarkan umur tebang 6 tahun, 8 tahun, 10 tahun, 12 tahun dan 16 tahun. Simulasi selanjutnya dilakukan dengan merubah parameter umur tebang pada pengembangan bambang lanang pada ketinggian tempat 200 mdpl. Umur tebang memiliki pengaruh terhadap kelayakan usaha budidaya bambang lanang.

48 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan

Gambar 4.11 Proyeksi finansial bambang lanang dengan berbagai umur tebang

Simulasi pengembangan bambang lanang pada daerah dengan ketinggian tempat 200 mdpl dengan suku bunga sebesar 12% dengan skenario umur tebang berbeda memberikan gambaran finansialnya berbeda. Umur optimal secara finansial dilakukan penebangan berada pada umur 10 tahun. Pada penebangan umur 10 tahun nilai NPV dan BCR nya terbesar. Penebangan bambang lanang pada umur muda sekitar 6 tahun memiliki nilai finansial terendah dibandingkan dengan sekenario umur tebang lainnya. Pada umur semakin tua nilai finansial baik NPV maupun BCR cenderung terus turun. Pada simulasi umur 16 tahun nilai NPV dan BCR lebih rendah dibandingkan dengan umur 14 tahun maupun 12 tahun. Berdasarkan simulasi berbagai umur tebang memberikan gambaran secara finansial pengembangan bambang lanang secara monokultur untuk di usahakan menjadi hutan tanaman maupun hutan rakyat umur 10 tahun merupakan umur tebang paling ekonomi.

Simpulan Perangkat simulasi budidaya bambang lanang dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan budidaya bambang lanang pada areal baru dengan pola monokultur. Hasil simulasi pada ketinggian tempat kurang dari 50 mdpl dan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 49 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

lebih dari 800 mdpl usaha bambang lanang tidak layak. Pada ketinggian 200 mdpl usaha bambang lanang layak di usahakan pada suku bunga kurang dari 16% dan umur tebang optimal dalam budidaya bambang lanang pada umur 10 tahun. Perangkat ini dapat digunakan pada wilayah dengan karakteristik lahan serta standar biaya yang berbeda.

Daftar Pustaka Apuy M, Lahjie, A Bakar M, Simarangkir BDAS, Yusuf S. 2014. Simulasi produksi dan aspek finansial kebun hutan (munaan) generasi kedua di Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Hutan Tropis, 2(3), 249–260. Aswandi. 2007. Model simulasi penjarangan hutan tanaman ekaliptus*). Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, IV(2), 195–209. Darmono R. 2005. Pemodelan System Dynamics Pada Perencanaan Penataan Ruang Kota. In Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2005 (SNATI 2005) (Vol. 2005, pp. B5–B10). Lestari S, Winarno B, Premono BT. 2015. Saluran pemasaran kayu pertukangan jenis bambang lanang (Michelia chamaca) yang menguntungkan petani di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 12(2), 89–97. Maulana SI. 2016. Prediksi dampak perubahan iklim terhadap simpanan karbon berbagai jenis pohon tropis di papua barat: sebuah aplikasi pemodelan dinamis stella. In Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education) (pp. 65–82). Meen E, Nielsen A, Ohlson M. 2012. Forest stand modelling as a tool to predict performance of the understory herb Cornus suecica. Silva Fennica, 46(4), 479–499. https://doi.org/10.14214/sf.906 Permatayakti R, Nur R, Purnomo H. 2015. Model Simulasi Emisi dan Penyerapan CO 2 di Kota Bogor (Model Simulation of CO 2 Emission and Absorption in Bogor City). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(1), 47–52.

50 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan

Prakosa D. 2013. Deteksi sebaran hutan Rakyat jenis Bambang Lanang (Michelia champaca) dengan menggunakan remote sensif dan GIS. In Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang (pp. 255–260). Palembang: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan. Sumadi A, Siahaan H. 2011. Pengaturan kerapatan tegakan Bambang berdasaran hubungan antara diameter batang dan tajuk. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(5), 259–265. Yuniati D. 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembagunan hutan dipterokarpa dengan teknik silin (studi kasus PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(4), 239–249.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 51 BAB 5 Rotan Jernang untuk Penghidupan

Sahwalita5

Pendahuluan Rotan jernang sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) telah lama dimanfaatkan masyarakat yang tinggal di dalam hutan, seperti Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimbo yang ada di wilayah Provinsi Jambi. SAD memanen rotan jernang yang ada di hutan kemudian mengolahnya menjadi resin jernang. Resin jernang mereka jual dengan pengepul yang ada di desa terdekat dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. SAD memanen rotan jernang dengan mematuhi aturan adat yang telah mereka sepakati seperti pembatasan wilayah jelajah kepemilikan berlaku bagi yang pertama menemukan dan lain-lain. Aturan adat ini menjadikan rotan jernang sebagai sumber penghidupan bagi mereka dalam waktu yang lama. Kepatuhan terhadap hukum adat dipengaruhi oleh peran Temenggung yang menjadi pimpinan di kelompok tersebut. Para Temenggung dapat menerapkan hukum adat dengan memberikan denda jika ada anggota rombong yang melanggar peraturan. Saat ini terjadi pergeseran sosial, kepatuhan anggota rombong terhadap Temenggung mulai memudar akibatnya hukum adat tidak dapat ditegakkan. Ketidakpastian hukum menyebabkan sebagian anggota rombong mengambil cara sendiri dalam menyelesaikan masalah termasuk pemanfaatan rotan jernang. Jika ada anggota rombong yang tidak patuh atau melanggar aturan maka anggota yang lain membentuk “tim khusus” dalam menyelesaikan masalah dengan membentuk TIM TEBAS. Tim ini akan masuk ke dalam hutan dengan menebas semua rotan jernang yang mereka temukan. Perilaku seperti ini akan merugikan mereka karena keberadaan rotan jernang semakin langka yang berimbas langsung terhadap berkurangnya sumber penghidupan.

5 Balai Litbang LHK Palembang, email: [email protected] Rotan Jernang untuk Penghidupan

Pemanfaatan rotan jernang meluas ke masyarakat di sekitar hutan akibat adanya informasi dari pengepul tentang tingginya permintaan dan harganya yang mahal. Masyarakat di sekitar hutan memanfaatkan rotan jernang sebagai sumber penghidupan alternatif disela-sela waktu mereka bertani. Setelah panen atau menunggu waktu panen tanaman pertanian mereka masuk ke dalam hutan memanen rotan jernang. Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat di sekitar hutan bersifat open acces, siapa saja bisa mengambil dan tanpa batas. Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat meliputi seluruh bagian rotan jernang yaitu batangnya dijual untuk bahan kerajinan, buahnya dijual untuk bahan baku industri dan umbutnya dijual sebagai bahan pangan bahkan akarnya dijadikan sebagai sumber obat tradisional. Multi manfaat ini akan mempercepat laju eksploitasi terhadap rotan jernang. Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat sekitar hutan ini telah terbukti menambah penghasilan keluarga. Hal ini sangat berguna untuk menopang penghidupan mereka apalagi disaat menunggu waktu panan (musim paceklik) (Sahwalita et al., 2015). Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan telah terbukti dalam menopang penghidupan mereka. Manfaat lain rotan jernang menjaga keseimbangan lingkungan karena berasosiasi dengan tumbuhan lain dan memiliki nilai sosial karena telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Tingginya manfaat rotan jernang belum diimbangi dengan tindakan penyelamatan secara nyata, berupa konservasi baik in-situ dan ex- situ. Selain itu, budidaya yang dilakukan masih terbatas sehingga belum bisa mensubsidi hasil rotan jernang dari hutan alam. Dilain pihak, permintaan rotan jernang sebagai komoditas ekspor terus meningkat karena manfaatnya yang luas seperti bahan baku industri obat, industri kosmetik dan industri pewarna. Penelitian tentang rotan jernang telah banyak dilakukan tetapi masih bersifat parsial sehingga belum berimbas langsung terhadap penyelamatan dan pengembangan jenis ini. Perlunya kerjasama antar semua pihak dalam menggarap rotan jernang dari hulu sampai hilir sehingga benar-benar menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat dan menjadi sumber devisa bagi negara.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 53 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Realitas dan Harapan Pemanfaatan rotan jernang sudah lama dilakukan masyarakat terutama untuk obat tradisional seperti obat sakit gigi, obat ambien dan obat pendarahan serta sumber pangan keluarga. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, pemanfaatan rotan jernang mulai bergeser menjadi bahan baku obat modern. Resin jernang juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kosmetik dan industri pewarna. Pergeseran ini menyebabkan kebutuhan terhadap resin jernang terus meningkat. Tingginya permintaan terhadap resin jernang belum diiringi dengan jaminan ketersediaannya baik melalui hutan alam maupun hasil budidaya di lahan masyarakat. Diperlukan upaya yang nyata untuk meningkatkan produksi dari hutan alam maupun produktivitas hasil budidaya. Rotan jernang merupakan tanamn yang merambat sehingga memerlukan batang atau tonggak sebagai tempat menopang batangnya. Rotan merupakan jenis tumbuhan merambat dari family Palmae, hidupnya berumpun seperti bambu tetapi batang bagian dalamnya tidak berongga (Jasni et.al, 2007). Di hutan alam, rotan jernang memanfaatkan pohon-pohon yang ada di sekitarnya sebagai tempat merambat. Pohon ini hanya dijadikan sandaran, sedangkan untuk memenuhi proses kehidupannya rotan jernang mengambil hara langsung dari tanah. Untuk mendapatkan tempat merambat rotan jernang bahkan merambat jauh meninggalkan rumpunnya. Rotan jernang akan mengejar ruang di dalam hutan untuk mendapatkan sinar matahari, sehingga kebanyakan rotan menjulang di antara pepohonan. Asosiasi rotan jernang dengan tumbuhan lain di hutan alam memberikan banyak manfaat dalam menjaga lingkungan antara lain rumpun jernang sangat bermanfaat dalam menjaga tanah dari erosi permukaan. Tetapi pada hutan-hutan yang cukup rindang perkembangan anakan rotan jernang terhambat akibat kurangnya cahaya matahari yang sampai kepada mereka. Hal ini yang perlu diperhatikan untuk pemeliharaan rotan jernang di hutan alam, sehingga tetap lestari. Rotan jernang merupakan tumbuhan yang memiliki beberapa tandan bunga/buah dalam satu batang yang dikenal dengan sifat pleonantik. Buah ini tersusun dengan tingkat kematangan yang berbeda dengan demikian rotan jernang dapat menghasilkan buah sepanjang tahun. Buah rotan jernang

54 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan yang siap panen adalah buah rotan jernang yang masih muda karena resin yang menempel dikulit buah masih tebal dan akan terus menipis seiring bertambahnya umur buah (Sahwalita et al., 2015). Selain itu hindari panen buah yang masih terlalu muda atau putik karena resinnya baru mulai terbentuk dan ukuran buah terlalu kecil yang akan mengurangi rendemen resin. Putik ini juga menyulitkan dalam proses ekstraksi untuk mendapatkan resin jernang (dragon blood). Proses ekstraksi merupakan proses pemisahan resin jernang dari buah rotan jernang. Proses ini terus mengalami perkembangan mulai dari proses tumbuh yang dilakukan oleh SAD dan suku melayu, proses basah dengan menggunakan air atau cairan tertentu sampai penggunaan mesin penggiling. Resin jernang menutupi bagian luar buah rotan jernang (Sahwalita, 2014). Resin jernang merupakan resin berwarna merah bata hasil sekresi buah rotan jernang (Waluyo dan Gunawan, 2013), dan untuk mendapatkannya melalui proses ekstraksi (Nugroho, 2013). Gambar 5.1 memperlihatkan buah rotan jernang siap panen dan resin jernang.

Gambar 5.1 Buah rotan jernang dan resin jernang

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 55 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Kondisi rotan jernang di hutan alam terus mengalami penurunan terutama disebabkan oleh pola pemanfaatan yang tidak lestari. Hal ini berlaku hampir di semua tempat baik di dalam maupun di sekitar hutan. Kasus yang terjadi pada masyarakat di dalam hutan seperti SAD dengan lemahnya peran Temenggung menyebabkan anggota rombong mengambil tindakan sepihak. Sementara untuk masyarakat di sekitar hutan eksploitasi terhadap rotan jernang disebabkan belum adanya aturan tingkat tapak yang membatasi pemanenan di dalam hutan. Masyarakat memanfaatkan rotan jernang untuk berbagai kepentingan, selain untuk kepentingan pribadi dalam menopang kehidupan rumah tangga juga bermanfaat untuk kepentingan bersama, seperti menjaga sumber perairan sawah (Sahwalita et al., 2015). Lemahnya kesadaran tentang pentingnya rotan jernang dalam menopang penghidupan dan adanya sifat mementingkan diri sendiri menjadi ancaman terhadap tumbuhan ini. Hutan milik bersama sehingga perlu dijaga bersama untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan bersama. Gambar 5.2 menunjukkan rumpun rotan jernang yang ditebas oleh masyarakat untuk mendapatkan bahan pangan.

Gambar 5.2 Eksploitasi rotan jernang di hutan alam

Saat ini, keberadaan tumbuhan rotan jernang berada jauh dari pemukiman warga karena untuk wilayah yang dekat sudah di ekplotasi serta lahan hutan terdesak oleh pemanfaatan lainnya, seperti perkebunan dan ladang serta pemukiman. Para penjernang masuk ke dalam hutan dengan membentuk rombongan dengan anggota sekitar 2–7 orang. Mereka masuk ke dalam hutan selama 1–2 minggu untuk mencari rotan jernang. Jumlah yang mereka dapat

56 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan sangat minim dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di konsesi PT. REKI sekitar tahun 1997 diperoleh 440 kg namun sekitar tahun 2010 diperoleh 55 kg resin jernang saja (Sahwalita et al., 2016). Di Sumatera, wilayah Bukit Barisan menjadi tempat tumbuh yang baik untuk rotan jernang mulai dari Provinsi Lampung sampai Provinsi Aceh Darusalam. Tempat ini sesuai dengan persyaratan alami tumbuhan rotan jernang dengan jenis tanah PMK, pH tanah bersifat asam berkisar 4–6, curah hujan berkisar 1.000–2.300 mm/tahun, suhu udara berkisar 24–32°C, kelembapan berkisar 60–85% (Soemarna, 2009) dan Nugroho (2013) menambahkan bahwa karakteristik lain habitat dari rotan penghasil jernang yaitu: intensitas cahaya berkisar 182–2180 lux, suhu tanah berkisar 23,4–31,9°C, pH tanah antara 5,5–6,2, kelembapan tanah antara 55–62%, suhu udara berkisar antara 23–29,4°C, kelembapan udara antara 60–92%, curah hujan berkisar antara 1.000–1.500 mm/tahun. Selain itu habitatnya masih terjaga dan pohon-pohon tempat merambat masih tersedia. Masyarakat yang berada di sekitar Bukit Barisan sudah memanfaatkan rotan jernang dan bahkan menjadi sumber penghidupan baru untuk menambah pendapatan keluarga. Gambar 5.3 menunjukkan lanskap dataran tinggi yang menyatukan hutan dengan manusia dengan berbagai aktivitas yang dilakukannya. Indahnya alam di dataran tinggi dengan kekayaan flora dan fauna yang tersimpan, termasuk juga tumbuhan rotan jernang.

Gambar 5.3 Lanskap dataran tinggi

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 57 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Rotan jernang memiliki peran secara langsung dan menjadi bagian penting dalam menopang penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, tetapi keberadaannya terus terdesak. Hal ini perlu secepatnya disadari secara bersama karena bukan saja berkurangnya peran dalam menopang kehidupan tetapi sampai pada ancaman kepunahan. Bahkan salah satu jenis rotan jernang telah termasuk daftar spesies yang terancam punah yang ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) red of threatened spesies pada tahun 2006, yaitu Daemonorops draco (Willd.) Blume (Gupta et al., 2008). Informasi mengenai rotan jernang masih terbatas pada beberapa jenis saja, sesuai yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Sementara jenis-jenis lain masih terabaikan sehingga informasinya masih kurang. Perlunya pendataan yang rinci untuk setiap jenis supaya pemanfaatannya lebih maksimal. Adanya jenis tertentu yang dulu tidak dimanfaatan bahkan disebut racun jernang (D. hirsuta Blume), saat ini sudah mulai dimanfaatkan. Pergeseran pemanfaatan ini disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan permintaan dari luar memerlukan resin jernang sesuai peruntukannya, seperti bahan baku obat, kosmetik dan pewarna. Setiap pemanfaatan memerlukan persyaratan atau kriteria masing-masing. Selain itu adanya kesulitan untuk memperoleh resin jernang dari jenis tertentu (D. draco (Willd.) Blume) sehingga pihak pembeli mulai melirik pada jenis lainnya. Pemanfaatan resin jernang yang terus berkembang memberikan peluang dalam pengembangan pada semua jenis dan menjaga jenis tertentu yang mulai terancam. Pengembangan rotan jernang perlu memperhatikan sebaran dan karakteristik setiap jenis, ada jenis yang hanya tumbuh baik di dataran tinggi dan ada jenis yang memilih range tumbuh yang luas dari dataran rendah sampai tinggi mulai dari 20–1.600 m dpl (Sahwalita et al., 2016). Bahkan ada informasi jenis tertentu yang tumbuh di lahan gambut, tetapi ini masih perlu diteliti lebih lanjut karena informasi baru diterima dari pengepul buah rotan jernang. Sebaran rotan jernang yang luas dan terdiri atas beberapa jenis, memberikan peluang dalam memenuhi permintaan resin jernang. Penelitian rotan jernang sudah banyak dilakukan mulai dari survei potensi, biologi, budidaya sampai kandungan yang dimiliki resin dan pemasaran. Tetapi sayangnya data ini belum menjadi satu rangkai dari hulu

58 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan sampai hilir serta jenis yang diteliti masih terbatas. Ke depan diperlukan data rotan jernang setiap jenis mulai dari sebaran alami sampai kandungan kimia resin yang dihasilkan serta potensi pemanfaatannya. Kandungan resin jernang setiap jenis diperlukan untuk memudahkan dalam pemanfaatan seperti untuk bahan baku obat, kosmetik atau pewarna. Pemanfaatan ini bisa ditentukan sesuai kandungan yang dimiliki resin jernang. Menurut para eksportir, pembeli dari luar memiliki kriteria tertentu sesuai dengan pemanfaatan yang mereka inginkan. Untuk Negara Hongkong mereka memerlukan resin untuk obat, Singapura yang banyak menyuplai negara-negara Barat memerlukan resin untuk kosmetik dan ada beberapa negara seperti Perancis memerlukan untuk bahan pewarna. Minimnya data kandungan bahan pada setiap jenis resin rotan jernang sangat merugikan karena harga resin jernang jadi tidak menentu. Bahkan resin yang memiliki kwalitas tinggi bisa dijual dengan harga murah. Informasi ini diperlukan untuk pengembangan rotan jernang dan pemasaran resinnya. Masih terbuka peluang untuk melakukan penelitian tentang rotan jernang karena informasi yang ada masih terbatas dan parsial. Pengembangan rotan jernang dalam skala luas memerlukan kerjasama dari semua pihak. Selain penelitian yang lebih komprehensif dari hulu sampai hilir, diperlukan suatu lembaga atau instansi yang mengembangkan HHBK, misalnya rotan. Hal perlu menjadi pemikiran bersama untuk menjaga keragaman hayati dan pemenuhan kebutuhan pasar. Belajar dari tanaman perkebunan dan pertanian yang dikelolah dengan baik dan memerlukan wadah, seperti karet, sawit, padi, dan rempah. Tanaman sawit yang berkembang pesat setelah adanya dukungan dari semua pihak terutama pemerintah seperti mempermudah izin HGU dan memberikan fasilitas pinjaman kepada pengusaha sawit, pembangunan pabrik pengolahan, penyediaan bibit unggul dan kepastian pasar. Hal ini diperlukan masyarakat untuk mendukung kepastian berusaha di bidang kehutanan (HHBK). Dalam pemasaran masih diperlukan penjajakan ke beberapa negara yang membutuhkan resin jernang dan peluang pengembangan ke negara-negara lainnya. Jika pemasaran ini lebih terbuka dan harga lebih stabil maka akan memberikan peluang untuk menambah devisa negara dari hasil hutan bukan kayu. Selain itu pemanfaatan dalam negeri juga perlu ditingkatan mulai

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 59 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

dari pengolahan bahan setengah jadi sampai pada produk akhir. Pengobatan tradisonal yang selama ini memanfaatkan rotan jernang perlu dikembangkan dengan pengetahuan modern sehingga lebih bervariasi. Farmasi di dalam negeri perlu meningkatkan pemanfaatan bahan baku lokal sebagai bahan dasar, selain mengurangi ketergantungan terhadap impor juga menjaga kualitas dengan menggunakan bahan alami. Di lapangan masih banyak kendala yang dihadapi akibat kurangnya pengetahuan tentang tumbuhan rotan jernang dan resin jernang (dragon blood). Masyarakat masih ada yang belum memahami bahwa rotan terdiri beberapa jenis dan masing-masing memiliki karakter yang berbeda, seperti morfologi batang, buah dan rendemen yang dihasilkan. Hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan dalam memilih jenis, terutama saat pembelian bibit. Selain itu masih kurangnya keterampilan mengolah resin dan informasi kandungan kimianya. Ini sangat merugikan sehingga untuk harga hanya ditentukan oleh pembeli dari luar. Apalagi fasilitas laboratorium di dalam negeri untuk pengujian kadar kandungan kimia resin jernang masih sangat kurang. Ketidakpastian berusaha dan kurangnya pendampingan kepada petani membuat sebagian petani bingung, bahkan jika harga resin jernang lagi turun ada petani yang menebang tanaman mereka. Tindakan gegabah para petani ini terjadi pada semua komoditas (karet, sawit, kopi, merica dan lain-lain) karena mereka “stress” menghadapi ketidakpastian. Kesadaran petani untuk menanam rotan jernang perlu dilakukan pendampingan dan bimbingan supaya mengurangi risiko kegagalan. Selain itu pendampingan diperlu untuk merubah pola pikir eksploitasi dari alam menjadi petani jernang. Hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan terus-menerus sehingga mereka sadar tentang pentingnya menjaga hutan dan kepastian berusaha di lahan sendiri.

Simpulan Permasalahan rotan jernang di lapangan cukup komplek yang disebabkan adanya perubahan tatanan sosial dimasyarakat, meningkatnya kebutuhan, rusaknya lingkungan dan berkurangnya luasan hutan. Hal ini semakin bertambah parah karena kurangnya informasi yang lengkap mengenai rotan

60 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Rotan Jernang untuk Penghidupan jernang tersebut baik sebaran, produksi, kandungan resin, pemanfaatan dan pemasaran. Selama ini rotan jernang dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan cara eksploitasi di hutan alam. Pemanfaatan resin jernang masih terfokus sebagai komoditas ekspor karena pemanfaatan di dalam negeri masih sangat terbatas. Peningkatan manfaat resin di dalam negeri baik pengobatan tradisional dan obat modern, memberikan kepastian berusaha di bidang ini. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan manfaat rotan jernang terutama dalam menopang penghidupan masyarakat dan menjaga keberadaannya. Merubah cara pandang masyarakat tentang kekayaan alam dari “milik Tuhan” yang cenderung ekploitasi menjadi “milik bersama” ke arah manfaat bersama yang lebih kontinu. Konservasi dilakukan sebagai upaya menjaga rotan jernang bisa dilakukan secara in-situ atau ex-situ. Budidaya pada lahan masyarakat dapat meningkatkan nilai lahan dan pendapatan masyarakat serta mengalihkan perhatian masyarakat dari hutan alam. Hal ini harus dilakukan dengan desain yang menyeluruh dan melibatkan semua pihak.

Daftar Pustaka Sahwalita, N Herdiana, H Siahaan, E Martin, S Lestari, K Mulyadi, A Nopriansyah. 2015. Strategi konservasi, budidaya dan tata niaga rotan jernang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Palembang. (Tidak Dipublikasikan). Jasni, R Damayanti, T Kalima. 2007. Atlas rotan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor: vii + 63 hlm Sahwalita. 2014. Budidaya Rotan Jernang. Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014 WaluyoTK, G Pasaribu. 2013. Aktivitas antioksidan dan antikoagulasi resin jernang (Antioxidant and anticoagulation activities of dragon’s blood). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 31(4). Bogor. Nugroho AW. 2013. Cultivation of jernang rattan.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 61 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Sahwalita, N Herdiana, S Lestari, BT Premono, A Nopriansyah. 2016. Strategi konservasi, budidaya dan tata niaga rotan jernang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Palembang. (Tidak Dipublikasikan). Soemarna Y. 2009. Budidaya rotan jernang (Daemonorops draco Willd). Journal Litbang Kehutanan, Bogor: 2(3): 5 – 10. Gupta D, B Bleakley, RK Gupta. 2008. Dragon’s blood: Botany,chemistry and therapeutic uses. Review. Journal of Ethnopharmacology 115 (2008): 361 - 380.

62 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI BAB 6 Blusukan Lanskap

Edwin Martin6

Pendahuluan Persoalan klasik kehutanan dan lingkungan hidup adalah bagaimana menghadirkan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial dari sebuah unit ekosistem (desa, kabupaten, provinsi, pulau, kawasan tertentu, dan lain sebagainya) secara bersamaan. Di sisi lain, permintaan terhadap pangan, energi, kayu, dan jasa-jasa lingkungan terus meningkat dan saling berkompetisi. Banjir, tanah longsor, karhutlah, konflik, isu kemiskinan, perubahan iklim, pencemaran lingkungan adalah gejala dari ketidakseimbangan outcome ekosistem. Persoalan dan tantangan fenomena tersebut memerlukan pendekatan, gagasan, dan cara-cara yang lebih efektif untuk menanganinya. Semangat pembangunan dan modernisasi pasca perang dunia kedua mendorong penguatan peran negara/pemerintah (top-down approach) dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Kesadaran, kritik, ilmu pengetahuan dan praktik pemanfaatan SDA turut berkembang. Tahun 1980-an, David Korten mengkritik model pembangunan “blue-print”, sebuah cara pembangunan dengan desain dari pemerintah tanpa melibatkan pihak lokal (Korten, 1980). Korten menganjurkan “people-centre development” sebagai pendekatan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat, keadilan sosial, dan pembuatan keputusan secara partisipatif (Korten, 1987). Pada tahun 1990-an, Robert Chambers memperkenalkan Participatory Rural Appraisal (PRA), sebagai pendekatan untuk memasukkan pengetahuan dan opini masyarakat desa dalam perencanaan dan pengelolaan program- program pembangunan (bottom-up). Pada dekade tahun 2000-an, beberapa ilmuwan menyadari bahwa masalah krisis lingkungan, kemiskinan, dan 6 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, email: [email protected] Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

pengelolaan sumber daya alam makin problematis. Pendekatan monodisiplin dan multidisiplin tidak mampu menyelesaikannnya. Max-Neef (2005) menegaskan bahwa hanya pendekatan transdisiplin yang sesuai dengan karakter masalah kekinian. Pertanyaannya, metode apakah yang secara operasional dapat mewadahi beragam model pendekatan pembangunan sekaligus; top-down, bottom-up, dan transdisiplin? Publikasi Hardin (1968) tentang “The tragedy of the commons”, membuka kesadaran tentang bahaya kelebihan populasi manusia terhadap sumber daya dengan kepemilikan bersama. Tragedi kepemilikan bersama terjadi ketika individu-individu manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama, dengan prinsip keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga merugikan makhluk hidup lain. Perikanan, margasatwa, air tanah dan permukaan, padang penggembalaan, dan hutan merupakan sumber daya dengan kepemilikan bersama. Dari sisi karakteristik ukuran sumber daya, pengelolaan sumber daya milik bersama memerlukan biaya tinggi. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, isu the commons didekati pemecahannya melalui penerapan tata kelola yang baik (good governance); sebuah cara menegosiasikan, membuat dan menegakkan hasil keputusan bersama para pihak dalam pengelolaan sumber daya. Inisiatif-inisiatif untuk merekonsiliasi kompetisi tata guna lahan dan untuk mencapai produksi manfaat baik produksi maupun konservasi disebut sebagai pendekatan lanskap (Sayer et al., 2013). Situasi kekinian menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan utama bagaimana merestorasi lanskap yang rusak akibat dari klaim-klaim yang saling bertentangan (Sayer et al., 2020). Tulisan ini bertujuan menawarkan konsep Blusukan Lanskap (BL), sebagai sebuah pendekatan dan metodologi khas nusantara dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Gagasan orisinil ini diuraikan secara singkat sebagai hasil elaborasi diskusi webinar Obrolan Pelepas Lelah (OPL), tanggal 5 November 2020.

64 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Blusukan Lanskap

Realitas dan Harapan Di Indonesia dan kebanyakan negara berkembang, hutan dikuasai oleh negara. Penguasaan hutan oleh negara didasari pertimbangan bahwa hutan memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia sehingga harus dipertahankan, dijaga, dan diurus. Sebagai sumber daya dengan kepemilikan bersama (common-pool resource), kawasan hutan umumnya terletak terpencil dan sulit diakses. Sementara, berbagai data dan fakta menunjukkan bahwa ekosistem hutan cenderung menurun kondisinya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan berkelanjutan memerlukan pendekatan dan metodologi tertentu yang sesuai dengan karakter sumber daya dan kebudayaan masyarakat lokal. Nilai hutan sebagai sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat mengundang banyak pihak untuk mengurus dan peduli; secara aktif atau pasif, secara legal-formal atau informal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan tersisa dan rehabilitasi hutan erat kaitannya dengan kata kunci kolaborasi (Abdurrahim, 2015; Abrams et al., 2020; Bixler, 2014; Butler, Monroe, & McCaffrey, 2015; Butler & Schultz, 2019; Carter & Gronow, 2005; Mandal et al., 2013; Mohammed, Inoue, & Shivakoti, 2017; Schultz et al., 2018; Schultz, Jedd, & Beam, 2012; Suhardjito & Wulandari, 2019; Whyte, 2013; Wiersum, Singhal, & Benneker, 2004). Subjek atau aktor kolaborasi paling tidak terdiri atas pihak luar (outsiders) dan penduduk lokal (local residents). Kolaborasi adalah hasil dari interaksi sosial dan rasa saling percaya. Berdasarkan pengalaman penulis melaksanakan penelitian tentang praktik- praktik terbaik pengelolaan hutan dan riset aksi pengelolaan hutan oleh masyarakat (misalnya Martin et al., 2016, 2019, 2020; Martin, Premono, and Nurlia 2012; Martin and Winarno 2010, 2015) dan beragam hasil kajian peneliti lain secara global, bahwa interaksi sosial positif dan rasa saling percaya antarpihak dalam pengelolaan hutan dan lingkungan adalah akibat dari praktik sekumpulan aktivitas, yang dapat disebut sebagai Blusukan Lanskap (BL). Aktivitas menjelajahi, merasakan suasana lokal, dan mempelajari keadaan sesuatu secara langsung merupakan wujud dari konsep blusukan. Situs badanbahasa.kemendikbud.goi.id menjelaskan makna dari diksi blusukan,

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 65 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

“blusukan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa, dari kata dasar blusuk ‘masuk’ dan akhiran –an (afiks verba) yang berarti ‘masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu’. Dalam bahasa Jawa blusukan merupakan verba…”. Jika dipelajari konteks penggunaan kata, blusukan digunakan untuk menggambarkan subjek masuk atau mendatangi tempat tertentu yang kurang nyaman. Oleh karena itu, tindakan seseorang atau sekompok orang mendatangi dan bercengkerama dengan penduduk lokal yang hidup dalam kesederhanaan dan atau memasuki hutan belantara yang penuh onak duri (Gambar 6.1) merupakan blusukan.

Gambar 6.1 Masyarakat di dalam dan sekitar hutan hidup dalam kesederhanaan (kiri); Hutan dan vegetasi penyusunnya menyimpan sejuta misteri dan potensi ilmu pengetahuan, namun sulit untuk dijelajahi (kanan)

Dalam konteks pengelolaan hutan dan lingkungan, objek blusukan adalah lanskap, bukan hutan. Situs simple.wikipedia.english menjelaskan arti lanskap (landscape) yaitu, “an area of land as one can see it. This includes landforms, flora, fauna and human elements, for instance human activity or the built environment”. Menurut arti tersebut, lanskap adalah semua dalam bentang lahan yang terlihat oleh seseorang pada satu waktu dan dari tempat tertentu. Lanskap merupakan agregat situasi alamiah dan budaya manusia. Pada umumnya (Gambar 6.2), lanskap hutan terdiri atas bentuk lahan, flora dan fauna alamiah, flora dan fauna budidaya (pertanian), dan lingkungan buatan manusia (misalnya pemukiman/desa/dusun).

66 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Blusukan Lanskap

Gambar 6.2 Lanskap hutan tidak dapat dipandang hanya hutan saja, tetapi merupakan agregat yang saling berhubungan antara fenomena alamiah dan budaya.

Ketika lanskap menjadi objek dari blusukan, maka blusukan menjadi kata kerja bertujuan (purposeful activity). Blusukan tidak sekadar mempelajari atau memahami lanskap tertentu, tetapi mengubahnya menjadi lebih baik. Hasil analisis Scoones (2016) tentang politik kelestarian dan pembangunan menyebut bahwa transformasi tidak dapat dikelola dan dikendalikan, namun harus sebagai hasil dari keterlibatan banyak aktor dan beragam pengetahuan. Lanskap Hutan Desa, sebagai contoh kasus, pada awalnya didominasi kebun kopi monokultur (Gambar 6.3). Melalui serangkaian aktivitas penelitian aksi yang melibatkan para pihak, pengelola Hutan Desa kemudian dapat memroduksi bibit pohon penghasil buah, bekerja sama dengan instansi pemerintah, dan mengubah kebun kopi monokultur menjadi agroforest. Jadi, konsepsi BL mengandung makna mentransformasikan lanskap.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 67 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 6.3 Blusukan Lanskap bukan sekadar usaha memahami lanskap tetapi mengupayakan transformasi menuju visi konsensus para aktor.

BL adalah pendekatan atau sekumpulan metode yang mendorong interaksi positif antara para pihak, masyarakat lokal, dan lanskap tertentu, agar terjadi proses reflektif-kreatif menuju transformasi kelestarian lanskap. Sebagai sebuah pendekatan (approach), BL memegang asumsi bahwa sistem sosial dan sistem ekologi adalah saling terkait dan bersifat dinamis. Hubungan positif antarpihak akan mendorong perubahan positif pada lanskap. BL adalah memahami realitas untuk mengubah fenomena. Sebagai sekumpulan metode, BL meliputi kegiatan observasi, refleksi, dan silaturahmi. Kegiatan tersebut meskipun dapat dilakukan secara terpisah, tetapi saling terkait dan bercampur. Silaturahmi (making dan maintaining good relationship) selalu melekat pada kerja observasi dan refleksi. Cara kerja BL tidak linier, tetapi melingkar/siklik. BL paling tidak melingkupi beberapa kegiatan/metode: (1) Mengamati kehidupan masyarakal lokal (participant observation); (2) Mengamati jalur transek-biofisik flora fauna; (3) Wawancara mendalam sambil berjalan (walking interview); (4) Melakukan analisis diakronis-sinkronis; (5) Menghasilkan pengetahuan bersama (co-production of knowledge), sehingga menghasilkan aksi-aksi bersama (co-creation of innovation), untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik; (6) Menjalin silaturahmi tanpa henti, sebagai ciri khas pendekatan BL. Metode nomor 1 s.d. 4 dikategorikan sebagai observasi.

68 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Blusukan Lanskap

Metode nomor 5 adalah refleksi. Silahturahmi sebagai metode diaplikasikan dalam wujud komunikasi intensif dan dialogis antaraktor; antara pihak luar dan penduduk lokal. Dari sisi metodologi, BL bukanlah kumpulan metode baru, tetapi merupakan gabungan beragam metode transdisiplin penelitian sistem sosial-ekologi yang sudah dikenal. Metode-metode penelitian yang biasa digunakan oleh disiplin ilmu antropologi, geografi, sosiologi, biologi, ekologi, agroekologi, sejarah, kehutanan, dan lain-lain dapat diaplikasikan dalam BL. Karena bersifat reflektif dan menjaga hubungan baik antarpihak secara berkelanjutan, metode-metode khas semacam progressive contextualization (lihat Vayda, 1983), walking interview (lihat Evans & Jones, 2011; Jones et al., 2008), Participatory Action Research (lihat Kemmis & Wilkinson, 2002; Kindon, Pain, & Kesby, 2007; McIntyre, 2008), dan Participatory Rural Appraisal/PRA (lihat Chambers 1994c, 1994a, 1994b) adalah pilihan. Jika BL menggunakan metode PRA, lantas apakah perbedaan BL dan PRA? Sebagaimana diketahui, teknik-teknik yang dipakai PRA dipengaruhi oleh analisis agroekosistem, sementara BL menggunakan analisis pendekatan lanskap. Artinya, unit analisis BL lebih luas dan memberi tekanan pada rekonsiliasi kompetisi tata guna lahan; antara kepentingan produksi dan konservasi. Posisi pihak luar (outsiders) dalam PRA adalah penyelenggara dan fasilitator pengumpulan data oleh kelompok kecil masyarakat lokal. Sementara, BL menekankan kerja sama antara pihak luar dan lokal untuk menghasilkan pengetahuan bersama tentang lanskap; pihak luar dan masyarakat lokal sama- sama memiliki kepentingan, pengetahuan, dan visi terhadap lanskap. Jadi, BL merupakan evolusi dari PRA, bahkan Participatory, Learning, and Action/PLA (lihat Chambers, 2007). Secara paradigma, BL tidak mengikuti perubahan sebagaimana yang dianut PRA/PLA; dari top-down menjadi bottom-up, dari standar menjadi beragam, dari kontrol menjadi pemberdayaan. BL adalah pendekatan, alat, sikap, dan perilaku saling melengkapi, antara kepentingan negara dan masyarakat lokal, antara pihak luar dan penduduk setempat. BL adalah pertemuan antara top- down dan bottom-up, menggunakan standar dan keberagaman, menguatkan kontrol dan pemberdayaan.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 69 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Simpulan Sebagai sebuah konsepsi baru yang berasal dari praktik dan terminologi lokal (Jawa-nusantara), Blusukan Lanskap dapat menyempurnakan metodologi yang sudah dikenal yaitu PRA. BL melengkapi kegiatan-kegiatan yang berbasis disiplin ilmu alam, misalnya Eksplorasi. BL bahkan bisa menggantikan istilah dan praktik yang selama ini identik dengan kerja birokrasi, yaitu kunjungan kerja, dinas luar, patroli, jagawana, anjang sana, demplot uji coba, dan wawancara. BL bukan hanya alat tetapi pilihan sikap dari para pihak, untuk saling menghargai dan bekerja sama menuju lanskap lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih baik.

Daftar Pustaka Abdurrahim AY. 2015. Skema hutan kemasyarakatan (Hkm) kolaboratif sebagai solusi penyelesaian konflik pengelolaan Hutan Sesaot, Lombok Barat. Sodality : Jurnal Sosiologi Pedesaan, 03(03), 91–100. Abrams J, Huber-Stearns H, Gosnell H, Santo A, Duffey S, Moseley C. 2020. Tracking a Governance Transition: Identifying and Measuring Indicators of Social Forestry on the Willamette National Forest. Society and Natural Resources, 33(4), 504–523. https://doi.org/10.1080/08941 920.2019.1605434 Bixler RP. 2014. From community forest management to polycentric governance: Assessing evidence from the bottom up. Society & Natural Resources, 27(February 2015), 155–169. https://doi.org/10.1080/0894 1920.2013.840021 Butler WH, Monroe A, McCaffrey S. 2015. Collaborative Implementation for Ecological Restoration on US Public Lands: Implications for Legal Context, Accountability, and Adaptive Management. Environmental Management, 55(3), 564–577. https://doi.org/10.1007/s00267-014- 0430-8 Butler W, Schultz CA. 2019. A New Era for Collaborative Forest Management. In WH Butler & CA Schultz (Eds.), A New Era for Collaborative Forest Management (Issue January). Routledge. https:// doi.org/10.4324/9781351033381

70 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Blusukan Lanskap

Carter, J., & Gronow, J. (2005). Recent Experience in Collaborative Forest Management A Review Paper. CIFOR Occasional Paper, 43. Chambers, R. (1994a). Participatory rural appraisal (PRA): Analysis of experience. World Development, 22(9), 1253–1268. https://doi. org/10.1016/0305-750X(94)90003-5 Chambers, R. (1994b). Participatory rural appraisal (PRA): Challenges, potentials and paradigm. World Development, 22(10), 1437–1454. https://doi.org/10.1016/0305-750X(94)90030-2 Chambers, R. (1994c). The origins and practice of participatory rural appraisal. World Development, 22(7), 953–969. https://doi.org/10.1016/0305- 750X(94)90141-4 Chambers, R. (2007). From PRA to PLA and Pluralism: Practice and Theory. In Institute of Development Studies (Vol. 286, Issue July). Evans, J., & Jones, P. (2011). The walking interview: Methodology, mobility and place. Applied Geography, 31(2), 849–858. https://doi. org/10.1016/j.apgeog.2010.09.005 Hardin, G. (1968). The tragedy of the commons. Science, 162(3859), 1243– 1248. https://doi.org/10.1080/19390450903037302 Jones, P., Bunce, G., Evans, J., Gibbs, H., & Hein, J. R. (2008). Exploring space and place with walking interviews. Journal of Research Practice, 4(42). http://www.jrp.icaap.org/index.php/jrp/rt/printerFriendly/150/ 161%5Cnhttp://jrp.icaap.org/index.php/jrp/article/view/150/161 Kemmis, S., & Wilkinson, M. (2002). Participatory action research and the study of practice. In B. Atweh, S. Kemmis, & P. Weeks (Eds.), Action Research in Practice. Routledge. Kindon, S., Pain, R., & Kesby, M. (Eds.). (2007). Participatory Action Research Approaches and Methods Connecting people, participation and place. Routledge Taylor & Francis Group. Korten, D. C. (1980). Community Organization and Rural Development: A Learning Process Approach. Public Administration Review, 40(5), 480. https://doi.org/10.2307/3110204

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 71 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Korten, D. C. (1987). Third generation NGO strategies: A key to people- centered development. World Development, 15(SUPPL. 1), 145–159. https://doi.org/10.1016/0305-750X(87)90153-7 Mandal, R. A., Dutta, I. C., Jha, P. K., & Karmacharya, S. B. (2013). Evaluating sustainability in community and collaborative forests for carbon stocks. Proceedings of the International Academy of Ecology & Environmental Sciences, 3(2), 76–86. http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=t rue&db=eih&AN=89809744&lang=es&site=ehost-live Martin, E., Ulya, N. A., Waluyo, E. A., Kunarso, A., & Winarno, B. (2019). Forest, sawah, and culture: Civilization of food sovereignty by Semende communities at South Sumatra. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 298(1). https://doi.org/10.1088/1755- 1315/298/1/012026 Martin, E, Herdiana, N., Nurlia, A., & Premono, B. T. (2020). Kebun- Ghepang : Ecological and Institutional Reference for Social Forestry at Highlands of Sumatra. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. https://doi.org/10.1088/1755-1315/533/1/012023 Martin, Edwin, Premono, B. T., & Nurlia, A. (2012). Penting tetapi tidak mendesak: Rasionalitas penanam bambang lanang (Michelia champaca) di Hulu DAS Musi, Sumatera Selatan. In Widiyatno, E. Prasetyo, T. S. Widyaningsih, & D. P. Kuswantoro (Eds.), Seminar Nasional Agroforestri III 29 Mei 2012. Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE). Martin, Edwin, Suharjito, D., Darusman, D., Sunito, S., & Winarno, B. (2016). Tunggu Tubang and Ulu Ayek: Social Mechanism of Sustainable Protected Forest Management. JMHT, 22(2), 85–93. https://doi. org/10.7226/jtfm. Martin, Edwin, & Winarno, B. (2010). Peran parapihak dalam pemanfaatan lahan gambut; Studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatn. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 81–95.

72 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI Blusukan Lanskap

Martin, Edwin, & Winarno, B. (2015). Resiko antroposentrisme: Fenomenologi dinamika pengelolaan hutan adat di Dusun Tebat Benawa, Pagaralam, Sumatera Selatan. In Pratiwi, N. Gintings, L. Sundawati, & P. Suryanto (Eds.), Prosiding Workshop Nasional Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif- 2015 (pp. 28–39). Puslitbang Hutan, Balitbang dan Inovasi Kemen LHK. Max-Neef, M. A. (2005). Foundations of transdisciplinarity. Ecological Economics, 53(1), 5–16. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2005.01.014 McIntyre, A. (2008). Participatory Action Research. Sage Publications. Mohammed, A. J., Inoue, M., & Shivakoti, G. (2017). Moving forward in collaborative forest management: Role of external actors for sustainable Forest socio-ecological systems. Forest Policy and Economics, 74, 13–19. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2016.10.010 Sayer, J., Boedhihartono, A. K., Langston, J. D., Margules, C., Riggs, R. A., & Sari, D. A. (2020). Governance challenges to landscape restoration in Indonesia. Land Use Policy, November 2019. https://doi.org/10.1016/j. landusepol.2020.104857 Sayer, J., Sunderland, T., Ghazoul, J., Pfund, J.-L., Sheil, D., Meijaard, E., Venter, M., Boedhihartono, A. K., Day, M., Garcia, C., van Oosten, C., & Buck, L. E. (2013). Ten principles for a landscape approach to reconciling agriculture, conservation, and other competing land uses. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 110(21), 8349–8356. https://doi.org/10.1073/ pnas.1210595110 Schultz, C. A., Jedd, T., & Beam, R. D. (2012). The Collaborative Forest Landscape Restoration Program: A History and Overview of the First Projects. Journal of Forestry, 110(7), 381–391. https://doi.org/10.5849/ jof.11-082 Schultz, C., Mclntyre, K., Cyphers, L., Kooistra, C., Ellison, A., & Moseley, C. (2018). Policy Design to Support Forest Restoration: The Value of Focused Investment and Collaboration. Forests, 9(9), 512. https://doi. org/10.3390/f9090512

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI 73 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, datarandataran rendah, dandan lahanlahan basahbasah

Scoones, I. (2016). The Politics of Sustainability and Development. Annual Review of Environment and Resources, 41(1), 293–319. https://doi. org/10.1146/annurev-environ-110615-090039 Suhardjito, D., & Wulandari, C. (2019). A reflection of social forestry in 2019: Towards inclusive and collaborative government approaches. Forest and Society, 3(1), 137–140. https://doi.org/10.24259/fs.v3i1.6099 Vayda, A. P. (1983). Progressive contextualization: Methods for research in human ecology. Human Ecology, 11(3), 265–281. https://doi. org/10.1007/BF00891376 Whyte, K. P. (2013). On the role of traditional ecological knowledge as a collaborative concept: a philosophical study. Ecological Processes, 2, 7. https://doi.org/10.1186/2192-1709-2-7 Wiersum, K. F., Singhal, R., & Benneker, C. (2004). Common Property and Collaborative Forest Management: Rural Dynamics and Evolution in Community Forestry Regimes. Forests, Trees and Livelihoods, 14(October 2014), 281–293. https://doi.org/10.1080/14728028.2004.9752498

74 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN TINGGI BAGIAN 2

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH BAB 7 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Darwo7

Pendahuluan Kawasan hutan Lahan kering dataran rendah merupakan sumber daya alam yang potensial menjadi sumber pandapatan negara dan masyarakat. Sebagian besar sumber daya hutan di Indonesia dihasilkan dari kawasan hutan lahan kering di dataran rendah. Potensi kayu dari hutan alam dan hutan tanaman menjadi tumpuan devisa dari kawasan hutan. Namun dengan perkembangan penduduk Indonesia, ternyata telah menimbulkan tekanan terhadap keberadaan sumber daya hutan. Sejak tahun 1980-an, hasil hutan menjadi sektor penting peraih devisa. Lambat laun keberadaan sumber daya hutan semakin menurun potensinya. Produktivitas hutan alam semakin menurun akibat eksploitasi kayu berlebihan, illegal logging, perambahan hutan, euforia reformasi, ketidakpastian kawasan, ketidakpastian usaha, dan lain-lain (Darwo, 2020). Periode 1980–1996 luas hutan Indonesia terjadi penyusutan sebesar 20 juta ha dan tahun 1990–2010 mengalami penurunan dari 118 juta ha menjadi 94 juta ha (Kemenhut, 2012). Produksi kayu dari hutan alam pada tahun 1992 sebesar 28,27 juta m3/tahun, dan saat ini hanya mampu berproduksi 6 juta m3 (Darwo, 2019). Para pengelola hanya fokus untuk mengeksploitasi kayu, sedangkan kewajiban untuk merehabilitasi dan memulihkan hutannya kurang serius. Hal ini menimbulkan luas hutan alam tidak produktif semakin luas di antaranya berupa hutan rawang, semak belukar dan tanah kosong.

7 Pusat Litbang Hutan Bogor, email: [email protected] Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Kondisi hutan alam yang semakin rusak mencerminkan pengelolaan hutan alam di hutan produksi belum sepenuhnya dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan (Darwo, 2020). Dampak terhadap sosial akibat rusaknya sumber daya hutan bisa menimbulkan kemiskinan dan konflik tenuturial. Kesewenangan oknum pengelola hutan yang tidak memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar hutan telah menambah kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Konflik tenuturial juga telah berimbas terhadap kerusakan hutan yaitu perambahan dan pembakaran hutan. Oleh karena itu, sumber daya hutan harus dikelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian. Hutan alam dapat dipulihkan dan bahkan dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui (Darwo, 2020): (1) penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik lahannya, (2) para pengelola berkomitmen untuk merehabilitasi kawasan hutan yang tidak produktif, (3) pemanfaatan sumber daya hutan tidak boleh melebihi produktivitas hutannya. Apabila dalam pemanfaatan hasil hutan dilakukan secara lestari, maka akan terjalin harmoni antara manusia dengan alam.

Menyingkap yang tak Terungkap Hasil-hasil penelitian merupakan suatu upaya menyingkap yang tidak terungkap. Fakta di lapangan menunjukkan kondisi sumber daya hutan di dataran rendah semakin menurun produktivitasnya. Upaya memulihkan kondisi hutan yang terdegradasi, merupakan tindakan mulia. Hasil-hasil penelitian telah mengungkapkan peluang-peluang untuk meningkatkan dan memulihkan sumber daya, seperti: kayu pelawan sebagai kayu energi, budidaya jamur pelawan, jamur alam, gajah sebagai alat angkut bibit di daerah yang remote, dampak kebakaran hutan terhadap kerentanan hama, dan satwa unik tarsius Belitung, serta keberhasilan memulihkan kondisi hutan alam tidak produktif. Salah satu potensi di Sumatera Selatan yaitu jenis pelawan. Tanaman pelawan potensial digunakan sebagai kayu energi karena memiliki berat jenis mencapai 1,2 dan perbanyakannya bisa menerapkan sistem trubusan (Siahaan, 2020). Persyaratan jenis pohon menjadi kayu energi antara lain:

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 77 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

1. Nilai kalor kayu minimal 4.000 kkal/kg (Cahyono et al., 2008). Besarnya nilai kalor ditentukan oleh berat jenis kayu, kadar air, dan komposisi kimia kayu khususnya kadar lignin dan kadar ekstraktif. Berat jenis menunjukkan jumlah lignoselulosa pada volume kayu tertentu (Prayitno, 2007). Berat jenis berpengaruh terhadap nilai kalor yang dihasilkan oleh kayu sebagai sumber energi. Semakin tinggi berat jenis suatu biomassa, semakin tinggi pula nilai kalor yang dihasilkan. 2. Kadar air kayu sangat menentukan kualitas arang yang dihasilkan. Arang dengan nilai kadar air rendah cenderung memiliki nilai kalor tinggi dan menunjukkan arang ini dihasilkan dari jenis kayu yang memiliki kadar air rendah. Dalam proses karbonisasi, makin tinggi kadar air kayu, maka makin banyak pula kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air dalam kayu tersebut menjadi uap sehingga energi yang tersisa dalam arang menjadi lebih kecil (Prawirohatmodjo, 2004). 3. Kadar karbon terikat berhubungan dengan nilai kalor. Semakin tinggi kadar karbon terikat maka nilai kalor semakin tinggi pula karena reaksi oksidasi akan menghasilkan kalori (reaksi eksothermis). Arang yang bermutu baik adalah arang dengan nilai kalor dan kadar karbon terikat yang tinggi namun kadar abu rendah. Kadar karbon terikat tinggi bila lebih dari 60% (Sudrajat & Salim, 1994). 4. Spesies dengan pertumbuhan cepat dengan percabangan yang lebat, mudah tumbuh pada berbagai kondisi tempat tumbuh dan cepat bertunas setelah dipangkas (Alimah, 2016). Potensi lainnya dari tanaman pelawan yaitu mampu berasosiasi dengan jamur ektomikoriza, di mana jamurnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Asmaliah, 2020). Adanya nilai ekonomi yang tinggi tersebut, maka peluang untuk membudidayakan baik sebagai penghasil kayu maupun penghasil non kayu menjadi penting. Saat ini jamur pelawan ini masih diambil dari alam dan belum berhasil dibudidayakan. Informasi awal ini menjadi penting untuk dilakukan penelitian lanjutan agar bisa membudidayakan pohon pelawan dan sekaligus untuk menghasilkan jamur pelawan.

78 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Selain jamur pelawan, banyak jamur di alam yang berguna bagi manusia. selain bisa dikonsumsi, ada juga berfungsi sebagai obat (Ulfa, 2020). Begitu banyaknya sumber daya alam yang perlu digali kemanfaatannya. Jamur yang ada di alam yang bermanfaat bagi manusia, maka perlu upaya budidaya. Sumber daya hutan tidak hanya berupa kayu, akan tetapi hasil hutan non kayu begitu banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Upaya lainnya dalam keberhasilan dalam merehabilitasi hutan adalah kondisi bibit yang tetap dalam kedaan baik sampai lokasi penanaman. Kegagalan dalam merehabilitasi kawasan hutan salah satunya akibat bibit sudah rusak sampai di tempat penanaman. Untuk mengangkut bibit yang sulit dijangkau, maka satwa yang terlatih menjadi alternatif sebagai alat angkut bibit. Salah satunya adalah gajah sebagai alat transportasi bibit di daerah remote. Gajah mampu membawa bibit dalam jumlah banyak ke daerah dengan kondisi lahan yang terjal, dan bibit tetap dalam kondisi baik sampai di tempat penanaman (Purwanto, 2020). Dengan demikian, gajah bisa menjadi alternatif sebagai alat angkut bibit di daerah yang sulit dijangkau sehingga daerah tersebut dapat dipulihkan kondisi hutannya. Aspek lainnya yang tidak boleh ditinggalkan dalam meningkatkan produktivitas yaitu perlindungan hutan. Upaya mengendalikan serangan hama penyakit menjadi penting untuk mempertahan produktivitas tegakan. Hasil penelitian Utami (2020) menyatakan bahwa dampak kebakaran hutan telah menimbulkan tanaman rentan terhadap serangan hama penyakit. Kondisi tegakan yang terluka akan lebih mudah dimasuki hama penyakit. Untuk itu, kebakaran hutan dan lahan menjadi pelajaran berharga timbulnya hama penyakit pada tanaman. Dampak serangan hama penyakit pada tanaman hutan telah menimbulkan kerugian secara finansial yang cukup besar. Munculnya hama penyakit di tenpat tertentu dan jika tidak dikendalikan akan menyebar kemana-mana sehingga akan menimbulkan kerugian semakin besar. Menurut Lalena (2019), upaya mengendalikan serangan hama penyakit yang utama dilakukan selain menggunakan kimiawi dan biologi, maka pengendalian hama penyakit dilakukan dengan pendekatan menggunakan tanaman yang tahan. Epidemi penyakit tumbuhan terjadi jika ketiga komponen penyusun segitiga penyakit, yaitu inang, pathogen, dan lingkungan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 79 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

berada pada kondisi yang mendukung untuk terjadinya penyakit dalam waktu yang sama (Agrios, 2005). Manipulasi yang dilakukan pada satu atau lebih komponen segitiga penyakit dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman, termasuk manipulasi pada inangnya (Lalena, 2019). Upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan telah banyak dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik dari aspek silvikultur, pemuliaan tanaman, dan teknologi hasil hutan. Salah satu langkah awal yang baik dalam upaya peningkatan produktivitas hutan adalah pemilihan jenis yang tepat. Jenis-jenis yang unggul dari hasil pemuliaan tanaman sudah saatnya untuk memperluas target dan fokus keunggulan sifat tanaman yang dihasilkan. Beberapa jenis tanaman hasil pemuliaan telah menghasilkan produktivitas yang tinggi antara lain jenis Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Eucalyotus spp., akasia hybrid, dan jenis lainnya. Strategi pemecahan masalah untuk menghasilkan produk yang mampu menjawab tantangan tersebut telah dilakukan dari hasil penelitian yang bersifat adaptif, antsipatif dan inovatif (Nirsatmanto et al., 2019). Upaya lainnya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hutan yaitu mengembangkan jenis-jenis unggulan lokal. Pengembangan jenis- jenis unggulan lokal seperti tembesu, pelawan, bambang lanang harus terus dipromosikan untuk dibudidayakan di hutan tanaman maupun pengkayaan di hutan alam. Untuk itu, sudah saatnya untuk menggaungkan jenis-jenis unggulan lokal. Keberhasilan dalam membudidayakan komoditas unggulan lokal menjadi alternatif usaha hasil hutan sehingga semakin banyak jenis-jenis yang bisa dikembangkan. Kekayaan sumnberdaya hutan dataran rendah yang bergitu besarnya, jika dikelola secara optimal akan memberikan pendapatan kepada negara dan masyarakat sekitar hutan. Pengalaman memulihkan kondisi hutan yang tidak produktif dengan penerapan penanaman sistem jalur untuk jenis-jenis dipterokarpa menjadi solusi memulihkan dan merehabilitasi hutan alam tidak produktif. Kurang berhasilnya penerapan penanaman jenis meranti pada sistem TPTJ-Silin yang dilakukan di kondisi hutan alam yang potensi tegakannya masih ”baik dan sedang” menjadi pelajaran berharga. Pertumbuhan Shorea leprosula jika ditanam pada kondisi tegakan yang “baik dan sedang”, maka S. leprosula

80 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan hanya mampu tumbuh baik sampai umur 4 tahun dengan riap diameter 0,57 cm/tahun (Darwo, 2015). Untuk itu, teknik penanaman sistem jalur pada kondisi hutan tidak produktif menjadi solusi meningkatkan produktivitas hutan. Darwo (2020) menyatakan bahwa: a. Hutan alam tidak produktif di lahan kering dapat dipulihkan dengan menggunakan jenis-jenis Dipterokarpa dengan pola tanam jalur. b. TPTJ-Silin hanya tepat diterapkan pada hutan alam bekas tebangan (LOA) tidak produktif asalkan ada sisa tegakan tingkat tiang dan tidak tepat diterapkan di kondisi LOA yang masih baik. c. Pemanenan kayu di jalur tanam dan “jalur antara” pada sistem silvikultur TPTJ- Silin tidak menerapkan tebang habis, tetapi dilakukan sistem tebang pilih dengan diameter terbatas sesuai dengan aturan dalam TPTI. d. Untuk rotasi berikutnya pada areal TPTJ-Silin, pengayaan bisa dilakukan dengan sistem jalur atau cemplongan, sedangkan pemanenannya dilakukan tebang pilih dengan diameter terbatas seperti pada sistem silvikultur TPTI. e. Jika diimplementasikan dengan target rehabilitasi di LOA tidak produktif seluas 100.000 ha/tahun, maka selama 25 tahun yang akan datang mampu merehabilitasi LOA seluas 2,5 juta ha. f. Apabila target potensi tegakan 75 m3/ha (riap 3 m3/ha/tahun) pada siklus tebang 25 tahun, maka akan diperoleh tambahan produksi kayu pertukangan dari hutan alam 7,5 juta m3/tahun. Lahan terdegrasi lainnya yaitu areal bekas tambang batubara yang perlu direklamasi. Keberhasilan dalam mereklamasi dengan jenis-jenis legum menjadi upaya menghijaukan lahan terdegradasi (Rosa, 2020). Bekas lahan tambang batubara harus memberikan dampak keberlanjutan terhadap masyarakat dan lingkungan setempat yaitu digunakan sebagai tempat wisata. Lahan bekas tambang yang telah difungsikan menjadi berbagai produk, maka akan memberikan nilai tambah.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 81 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Selain vegetasi di daran rendah, maka satwa juga perlu dipertahan keberadaannya. Seperti satwa unik tarsius, yaitu semacam kera dengan besarnya sekepal tangan. tarsius temukan di Belitung yang hidup di pinggir hutan dan sering ditemukan di perkebunan (Fitriana, 2020). Untuk menjaga kepunahan tarsius, maka vegetasi yang ada di hutan dataran rendah sebagai habitatnya perlu dijaga. Peningkatan produktivitas dan pemulihan hutan menjadi penting untuk dilakukan. Para pelaku usaha jangan hanya mengeksploitasi kayunya saja, akan tetapi harus berkomitmen untuk merehabilitasinya. Darwo et al., (2017) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya hutan harus ada pergeseran titik berat pengelolaannya, yaitu pengelolaan lahan hutan tidak hanya untuk memperoleh keuntungan finansial saja, tetapi ke arah berbagai produk dan jasa hutan untuk pemulihan ekosistem hutan dan ekonomi masyarakat tanpa mengabaikan fungsi hutan terhadap perlindungan lingkungan. Pengelolaan hutan alam dengan baik akan mewujudkan keberlangsungan makhluk hidup di ekosistem hutan menjadi harmoni. Satwa akan merasa nyaman berada di hutan alam sebagai tempat hidup dan berkembang biak, dan flora yang ada di hutan alam akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan alam secara lestari merupakan wujud harmonisasi antara manusia dengan alam. Pemulihan hutan yang terdegradasi menjadi wujud manusia harmoni dengan alam. Tindakan mulia ini harus terus menjadi suatu gerakan. Kondisi alam akan semakin baik jika manusia peduli terhadap alam. Jika alam rusak, maka manusia juga yang akan kena imbasnya.

Penutup Dari hasil-hasil penelitian tersebut kepedulian manusia untuk menjaga dan memulihkan sumber daya alam merupakan upaya mewujudkan harmoni manusia dengan alam. Pulihnya sumberdaya hutan yang rusak menjadi tolok ukur adanya manusia untuk hidup berdampingan dengan alam. Pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak melebihi produktivitas tegakannya menunjukan cara pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Dalam pengelolaan hutan tidak hanya hutan sebagai sumber penghasil kayu saja, tetapi perlu digali hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.

82 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Upaya merehabilitasi hutan tidak produktif merupakan suatu tindakan mulia untuk menjalin keharmonisan dengan alam. Suatu tindakan kerja sama antara berbagai faktor sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut dapat menghasilkan suatu kesatuan yang luhur merupakan suatu tindakan yang harmoni. Harmonis dalam kehidupan merupakan suatu keadaan di mana manusia dapat saling merangkul bersama di setiap masalah sehingga terjadi keselarasan hidup guna mencapai kebahagiaan bersama dan berdampingan dengan alam. Daftar Pustaka Agrios, G.N. (2005). Plant Pathology – Fifth Edition. Elsevier Academic Press. Alimah, D. (2016). Kayu Sebagai Sumber Energi. http://foreibanjarbaru. or.id/ wp-content/uploads/2016/07/Galam-Volume-V-Nomor-2- Tahun-2011-Kayu-Sebagai-Sumber-Energi.pdf. Cahyono, T.D., Coto, Z., & Febrianto, F. (2008). Anisis nilai kalor dan kelayakan ekonomis kayu sebagai bahan bakar substitusi batu bara di pabrik semen. Forum Pascasarjana, 31(2), 105-116. Darwo. (2020). Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Tidak Produktif dengan Penerapan TPTJ-Silin. Pusat Penelian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim. Policy Brief, 14(2), 1-7. Darwo. (2015). Evaluasi pertumbuhan Shorea leprosula Miq. pada areal TPTJ-Silin di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Masyarakat Silvikultur Indonesia III, Bogor, 19 Agustus 2015. Darwo, Bramasto, Y., & Mindawati, N. (2019). Sintesa Hasil penelitian: Peningkatan Produktivitas Hutan (kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Darwo, Tata, M.H.L., Heriansyah, I., Nugroho, A., Bogidarmanti, R., Butarbutar, T., Yuniati, D., & Mawazin. (2017). Laporan Hasil Kegiatan Pilot Project Implementasi Paludikultur dan Agroforestry di Lahan Gambut. Kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dengan Badan Restorasi Gambut. Bogor.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 83 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Fitriana, F. (2020). Menilik Kehidupan Tarsius Belitung. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press. Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. (2012). Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Lalena, N,E. (2019). Hama Penyakit pada Hutan Tanaman rakyat. IPB Press, 127 - 137. https://www.forda-mof.org/berita/post/2448. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. (2005). Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Mindawati, N. (2005). “Dampak Kenaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Kerusakan Hutan dan Alternatif Penanggulangannya”. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 2(4) : 3 - 5. Nirsatmanto, A., Sunarti, S., Setiyaji, T., Handayani, B.R., Kartikaningtiyas, D., Surip, Yuliastuti, D.S., & Sumaryana. (2019). Pemuliaan tanaman penghasil kayu untuk bahan baku industry pulp dan kertas akasia eucalyptus. Dalam: Bunga Rampai: Peningkatan Produktivitas Hutan Menuju 100 Tahun Merdeka. IPB Press, 39-53. Prawirohatmodjo, S. (2004). Sifat-sifat Fisika Kayu. Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Prayitno, T.A. (2007). Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu KTT 667. Program Studi Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Purwanto. 2020). Mengangkut bibit revegetasi dengan gajah. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press. Rosa, D.S. (2020). Taman Koleksi Reklamasi Pasca-Tambang. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press. Siahaan, H. (2020). Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press. Sudradjat & Salim. (1994). Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

84 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Ulfa, M. (2020). Belajar dari jamur alam. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press. Utami, S. (2020). Hama dan Kebakaran Hutan. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 85 BAB 8 Belajar dari Jamur Alam

Maliyana Ulfa8

Pendahuluan Jamur merupakan jasad hidup yang banyak ditemukan ketika musim hujan tiba atau di tempat-tempat yang lembap. Berdasarkan penampakannya, jamur ada yang kasat mata dan tidak kasat mata. Jamur yang kasat mata tubuh buahnya dapat dilihat secara langsung tanpa menggunakan bantuan mikroskop atau yang dikenal dengan jamur makroskopis (mushroom). Keunikan jamur adalah karena jasad tersebut tidak termasuk jenis tanaman, tidak berklorofil, tidak jarang warnanya ditemukan beraneka ragam. Ada yang menyerupai tanaman karena berbatang, namun ada juga yang tidak berbatang. Asosiasi yang dibentuk dengan jasad hidup lainnya dapat berupa simbiosis mutualisme, saprofitik, dan parasitik. Karakter dan keberadaan jamur belum banyak dimanfaatkan untuk mendukung dan menjadi trouble solving ketersediaan pangan berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Jika di luar negeri, jamur telah dimanfaatkan sebagai bagian dari gaya hidup sehat berupa jamur pangan, sumber materi obat, dan layak dijadikan komoditas bernilai ekonomi tinggi. Di Indonesia, jamur pangan (edible mushroom) bernilai tinggi hanya dinikmati masyarakat kelas atas karena mengikuti tren makanan western, pada masyarakat kelas menengah biasanya dikonsumsi karena sejarah kuliner yang melekat, sedangkan jamur pangan dikonsumsi untuk masyarakat kelas bawah karena menjadi alternatif makanan yang mudah diperoleh di alam dekat dengan tempat tinggalnya. Di Indonesia, jenis jamur yang banyak dibudidayakan dan dikonsumsi adalah jamur tiram (Nurhakim, 2018), jamur kancing, jamur merang, jamur kuping, dan jamur shiitake (Siswanto, 2017). Lebih lanjut dijelaskan oleh (Siswanto, 2017) bahwa jamur-jamur tersebut mempunyai kandungan gizi 8 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang; email: [email protected] Belajar dari Jamur Alam yang tidak kalah dengan sumber protein dan serat pada umumnya. Jamur tiram misalnya, mengandung protein sebanyak 19–35% dari berat kering jamur, dan karbohidrat sebanyak 46,6–81,8%. Selain itu, jamur tiram mengandung tiamin atau vit. B1, riboflavin atau vitamin B2, niasin, biotin serta beberapa garam mineral dari unsur-unsur Ca, P, Fe, Na, dan K dalam komposisi yang seimbang. Bila dibandingkan dengan daging ayam yang kandungan proteinnya 18,2 gram, lemaknya 25,0 gram, namun karbohidratnya 0,0 gram, maka kandungan gizi jamur masih lebih lengkap sehingga tidak salah apabila dikatakan jamur merupakan bahan pangan masa depan. Jamur tiram juga bermanfaat dalam pengobatan, seperti dapat menurunkan tingkat kolesterol dalam darah. Memiliki kandungan serat mulai 7,4–24,6% yang sangat baik bagi pencernaan.

Jamur di Alam dan Perspektif Pemanfaatan Alam Indonesia menyimpan mega potensi untuk dimanfaatkan secara arif oleh manusia. Bentuk kearifan tersebut berupa pemanfaatan untuk menjaga keberlangsungan hidup yang seimbang (homoestatis) pada manusia. Perspektif homoestatis tersebut bisa berupa hubungan antara manusia dengan alam (ekosistem) atau manusia dengan diri sendirinya. Salah satu organisme di alam yang dapat mendukung homoestatis manusia adalah jamur. Jamur di alam begitu banyak dan beragam yang mempunyai peran penting untuk mendukung keberlangsungan ekosistem dan kesehatan manusia. Untuk kesehatan manusia, jamur dapat menjadi sumber pangan (edible mushroom) dan obat (medicinal mushroom). Garibay-Orijel et al., (2009) mencatat lebih dari 3.000 spesies jamur liar yang dapat dimakan dikonsumsi di seluruh dunia dengan perkiraan nilai total $ 2 miliar, yang merupakan bagian dari 5,1 juta spesies yang berhasil diketahui dengan dukungan pendekatan identifikasi secara molekuler (Blackwell, 2011). Pendekatan molekuler juga mampu mendukung kelengkapan data identitas jamur tanah dunia, yaitu 2–3,4 juta spesies yang berasal dari 365 lokasi yang tersebar di beberapa negara (Tedersoo et al., 2014). Berbagai jenis jamur pangan dan obat yang ditemukan umumnya berawal dengan adanya penemuan di alam dan dilanjutkan dengan upaya budidayanya. Langkah budidaya dilakukan setelah ada legitimasi bahwa jamur

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 87 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

tersebut tidak beracun atau tidak mempunyai efek lain yang membahayakan kesehatan manusia. Hal tersebut lebih menjamin keamanan bagi kesehatan, jika dibandingkan mengonsumsi jamur liar yang ada di alam. Untuk mengonsumsi jamur di alam, penting untuk mengenal ciri khusus jamur beracun, yang tidak sembarang orang mempunyai kemampuan tersebut. Pemahaman bahaya jamur yang beracun kini tidak hanya karena ciri tubuh buahnya yang beracun. Keluarga Amanitaceae, Amanita phalloides dan A. virosa misalnya, tubuh buah jamur tersebut tidak mempunyai warna yang mencolok, namun masing-masing ternyata menyandang nama The Death Cup dan Destroying Angel. Jamur-jamur tersebut termasuk dalam jamur amatoxins, yang gejala keracunan bermunculan setelah 12 jam setelah dikonsumsi. Status aman untuk dikonsumsipun dapat berubah, seperti yang dijumpai pada Pleurocybella porrigens atau yang juga dikenal sebagai jamur Angel Wing. Jenis tersebut pada awalnya aman untuk dikonsumsi, namun kemudian statusnya menjadi berbahaya setelah adanya laporan kematian. Dalam diskusi interaktif antar penggiat jamur di Indonesia, yang difasilitasi oleh Generasi Biologi dalam webinar GenbiTalks pada 13 September 2020, disampaikan bahwa penanggulangan awal yang penting ketika seseorang mengalami keracunan akibat jamur adalah berusaha untuk memuntahkannya disertai dengan meminum susu yang dikenal dapat menetralisir racun di dalam tubuh. Bagi para peneliti maupun penggiat jamur liar, umumnya untuk mencoba suatu jamur adalah aman atau tidak adalah dengan mengonsumsinya tidak lebih dari 300 gram karena pada kisaran berat tersebut jika suatu jamur mempunyai bioaktif racun, maka tidak mengakibatkan dampak fatal untuk kesehatan (Komunikasi pribadi, 2020). Keamanan jamur pangan tidak hanya karena jamur tersebut tidak mengandung bioaktif beracun, tetapi juga penting untuk memperhatikan sensitivitas tubuh setiap individu setelah mengonsumsi jamur. Beberapa individu kadang mempunyai rekaman medis alergi terhadap jamur, yang disadari sebelumnya ataupun tidak. Gejala umum yang dirasakan adalah batuk, mata gatal, dan keluhan gatal pada kulit. Pencegahan terpenting agar tidak mengalami alergi terhadap jamur adalah selain menghindari konsumsi yang diyakini menimbulkan alergi, juga penting untuk menjaga stamina dan

88 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Belajar dari Jamur Alam imunitas tubuh. Apabila jamur penyebab alergi terlanjur ditelan, maka obat anti alergi dapat menjadi pertolongan awal untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan intensif oleh dokter terkait. Di alam Indonesia, sebenarnya banyak jamur yang bisa dikonsumsi namun belum dikenal dan dibudidayakan. Areal perkebunan kebun karet dan kelapa sawit di desa Padamaran OKI misalnya, ditemukan jamur yang lebih dikenal dengan nama kulat tiung atau yang dikenal dengan nama latin Hygrocybe spp., dan jamur sawit yang banyak ditemukan terutama pada kondisi lembap atau di musim hujan. Kulat tiung adalah jamur berwarna merah kekuningan dan mempunyai payung, biasanya diolah dalam bentuk olahan kuliner lokal. Kulat tersebut juga ditemukan di Kalimantan (Mulyani et al., 2014) dan Malaysia (Abdullah et al., 2017). Adapun jamur sawit di perkebunan sawit merupakan jamur yang masih satu genus dengan jamur merang (Volvariela volvaceae) yang banyak ditemukan di Indonesia (Widiastuti & Panji, 2007), dan Malaysia (Fui et al., 2018).

Gambar 8.1 Jamur di perkebunan sawit yang tergolong dalam genus Volvariela

Jenis jamur yang sering ditemukan di alam dan ditemukan di lingkungan kota adalah Macrolepiota spp., yang umumnya ditemukan di padang rumput. Jenis payung dan bercincin tersebut termasuk dalam keluarga Agaricaceae. Berdasarkan pengamatan di lokasi penemuan jamur, biasanya jamur tersebut akan muncul setelah sebelumnya terjadi hujan yang berlangsung lama.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 89 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Meskipun tidak muncul secara seketika, namun seolah-olah jamur tersebut mulai tampak bersamaan dengan suburnya rerumputan yang tumbuh subur karena pengaruh kelembapan optimal akibat musim hujan. Jamur dapat dilihat dan dikenal dengan mudah terutama di tempat-tempat yang lembap, misalnya pada serasah, dan tumbuhan. Substrat yang berbeda biasanya akan menyebabkan perbedaan jenis jamur yang tumbuh, begitu pula perbedaan kondisi lingkungan, seperti kelembapan udara, kelembapan tanah, suhu, keasaman (pH) tanah, intensitas cahaya. Hal ini karena faktor lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan jamur baik miselium maupun tubuh buah jamur (Roosheroe et al., 2006). Berdasarkan penelusuran pustaka mengenai status pemanfaatannya, Ćirić et al., (2019) menyebutkan bahwa Macrolepiota spp. dapat dikonsumsi dan mempunyai potensi antioksidan, potensi antimikroba dan aktivitas sitotoksik untuk penanganan kanker. Jenis jamur lain yang berpotensi menjadi sumber obat dan tidak berpayung adalah Trametes versicolor, yang merupakan sumber yang kaya senyawa bergizi dengan sifat farmakologis penting seperti sifat antioksidan, antiinflamasi, dan anti kanker (Hobbs, 2005; Liet al., 2011; Pop et al., 2018). Jenis tersebut lebih banyak ditemukan pada kayu sisa tebangan atau yang rebah karena tumbang.

Gambar 8.2 Jamur-jamur yang ditemukan di alam dan berpotensi sebagai jamur pangan dan obat (a) Macrolepiota spp. dan (b) Trametes versicolor

90 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Belajar dari Jamur Alam

Kesadaran pentingnya pemanfaatan jamur makrofungi sebagai solusi alami permasalahan manusia, baik dalam hal ekonomi, kesehatan, sumber pangan, dan lingkungan, telah ada sejak lama ketika jamur di habitusnya menjalankan perannya fundamental dalam fungsi ekosistem hutan, yaitu siklus hara dan proses dekomposisi. Pengetahuan tradisional Indonesiapun telah memanfaatkan jamur-jamur bertubuh buah sebagai obat dan olahan kuliner. Namun hal tersebut belum diproduksi secara massal dan hanya pada skala pemakaian yang insidentil. Jamur dapat berperan multi karena pertumbuhan dan perkembangannya secara artificial dapat dimodifikasi melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika budidayanya selama ini masih menggunakan baglog yang menghasilkan limbah plastik, maka perlu terobosan budidaya menggunakan log murni, seperti yang telah dilakukan di areal hutan di timur laut Amerika Selatan. Di areal tersebut akademisi dan peneliti Universitas Cornell (Anonimous, 2013) mengembangkan budidaya jamur shiitake menggunakan log jenis kayu Quercus, Sugar maple, Ironwood (Ostrya virginia), Musclewood (Carpinus caroliniana), American Beech (Fagus grandifolia). Budidaya juga dapat dilakukan pada hamparan media yang telah disiapkan untuk menjadi tempat semai spora, seperti yang dilakukan di China dengan melakukan manipulasi lingkungan tempat tumbuh yang dibutuhkan oleh jamur (Zhang et al., 2014). Tantangan global budidaya berbasis manipulasi lingkungan menjadi penting karena pemanfaatan jamur alam terus berkurang karena aktivitas manusia. Jika dalam hal jamur sebagai sumber obat masih mengandalkan hutan sebagai sumber materinya, maka tekanan terhadap habitus jamur akan mengancam ketersediaan jamur. (Dahlberg et al., 2010) menyebutkan bahwa tebang habis dan penebangan kayu menyebabkan penurunan atau penyusutan habitus tertentu dan menyebabkan berkurangnya kayu mati sebagai tempat hidup jamur. Sementara itu, dekomposisi bahan organik harus terus berjalan agar ketersediaan hara terus terjaga dan jamur akan terus eksis untuk menjalankan perannya (Wood, 2017). Teknologi budidaya jamur yang tepat guna menjadi hal penting, yang pelan tapi pasti dibutuhkan meskipun konsumsi jamur di Indonesia tidak setinggi tingkat konsumsi jamur di negara lain.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 91 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Pembinaan dan pendampingan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di masyarakat untuk membudidayakan jamur pangan penting untuk diupayakan terutama dalam masa pandemi Covid-19. Para stakeholder dapat berupaya dengan melakukan langkah nyata melalui program stimulasi bantuan oleh pemerintah, restrukturisasi kredit oleh bank, dan transfer ilmu teknologi budidaya jamur oleh lembaga Litbang yang kompeten. Transfer ilmu tidak hanya fokus pada jenis-jenis yang telah umum dipasarkan secara domestik, namun juga perlu untuk mengenalkan, melatih, dan mengenalkan segmen pasar jenis-jenis jamur berkualitas ekspor. Selain itu, juga perlu teknologi budidaya jamur yang mampu meningkatkan dan menjaga stabilitas produksi jamur. Kendala iklim dan kualitas isolat ternyata mempunyai peranan penting dalam kelangsungan budidaya jamur.

Simpulan Iklim tropis Indonesia menjadikan biodiversitas jamur melimpah. Beberapa jamur yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dikenal pula oleh masyarakat, yang dibuktikan dengan beberapa olah kuliner yang menggunakan jamur sebagai bahannya. Namun budaya konsumsi jamur Indonesia masih kalah jika dibandingkan negara-negara lain, baik itu yang digunakan sebagai sumber pangan maupun obat. Wajar jika status riset dan pengembangannya masih tertinggal oleh negara lain. Konsumsi jamur sebenarnya sangat cocok untuk masyarakat Indonesia yang masih sulit dalam memenuhi kebutuhan gizi yang lengkap terutama kebutuhan akan protein. Terutama masyarakat sekitar hutan, pemanfaatan jamur untuk dikonsumsi telah lama dilakukan dan kemudian ditingkatkan ke level budidaya untuk dipasarkan. Namun demikian, hingga kini budaya konsumsi jamur mulai bergeser karena makin terbatasnya sumber jamur dan karena hadirnya alternatif sumber protein lain, baik yang bersumber pada hewan maupun tumbuhan. Upaya peningkatan budaya konsumsi dan teknologi budidaya jamur masih perlu ditingkatkan, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Jenis jamur yang disasar tidak hanya jenis-jenis yang telah lazim dipasarkan, namun juga jenis-jenis yang mempunyai kualitas ekspor, yang pada akhirnya

92 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Belajar dari Jamur Alam mampu mendongkrak perekonomian masyarakat. Dalam hal ini, seluruh stakeholder terkait harus berperan aktif untuk mendukung, mewujudkan, dan mendampingi kemandirian pelaku bisnis jamur tersebut. Hal tersebut juga berlaku untuk masyarakat sekitar hutan yang telah memiliki pengetahuan otodidak mengenai jamur. Perilaku masyarakat sekitar hutan memanfaatkan jamur pangan yang selama ini tersedia di hutan menjadi cara dan langkah nyata untuk turut menjaga kelestarian hutan, selain kemudian memunculkan kemandirian pangan dan peningkatan perekonomian mereka.

Daftar Pustaka Abdullah, N., Abdulghani, R., & Ismail, S. M. (2017). Immune-stimulatory potential of hot water extracts of selected edible mushrooms. Food and Agricultural Immunology, 28(3), 374–387. https://doi.org/10.1080/09 540105.2017.1293011 Anonimous. 2013. Best management practices for log-based shiitake cultivation in the Northeastern United States. University of Vermont, Extension. Universitas Cornell. Blackwell, M. (2011). The fungi: 1, 2, 3 ... 5.1 million species?American Journal of Botany, 98(3), 426–438. https://doi.org/10.3732/ajb.1000298 Ćirić, A., Kruljević, I., Stojković, D., Fernandes, Â., Barros, L., Calhelha, R. C., and Glamočlija, J. (2019). Comparative investigation on edible mushrooms Macrolepiota mastoidea, M. rhacodes and M. procera: Functional foods with diverse biological activities. Food and Function, 10(12), 7678–7686. https://doi.org/10.1039/c9fo01900f Dahlberg, A., Genney, D. R., & Heilmann-Clausen, J. (2010). Developing a comprehensive strategy for fungal conservation in Europe: current status and future needs. Fungal Ecology, 3(2), 50–64. https://doi. org/10.1016/j.funeco.2009.10.004 Fui, F. S., Saikim, F. H., Kulip, J., Seelan, J., & Seelan, S. (2018). Distribution and ethnomycological knowledge of wild edible mushrooms in Sabah (Northern Borneo), Malaysia. Journal of Tropical Biology and Conservation, 15(July), 203–222.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 93 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Garibay-Orijel, R., Córdova, J., Cifuentes, J., Valenzuela, R., Estrada-Torres, A., & Kong, A. (2009). Integrating wild mushrooms use into a model of sustainable management for indigenous community forests. Forest Ecology and Management, 258(2), 122–131. https://doi.org/10.1016/j. foreco.2009.03.051 Hobbs, C. (2005). Medicinal Value of Turkey Tail Fungus Trametes versicolor (L.:Fr.) Pilat (Aphyllophoromycetideae). International Journal of Medicinal Mushrooms, 7(3), 346–347. https://doi.org/10.1615/ intjmedmushr.v7.i3.100 Komunikasi pribadi. (2020). Diskusi dalam webinar Biodiversitas Jamur Edible di Indonesia. GenbiTalks, 13 September 2020. Li, F., Wen, H. A., Zhang, Y. J., An, M., & Liu, X. Z. (2011). Purification and characterization of a novel immunomodulatory protein from the medicinal mushroom Trametes versicolor. Science China Life Sciences, 54(4), 379–385. https://doi.org/10.1007/s11427-011-4153-2 Mulyani, R. B., Sastrahidayat, I. R., Abadi, A. L., & Djauhari, S. (2014). Exploring ectomycorrhiza in peat swamp forest of Nyaru Menteng Palangka Raya Central Borneo Faculty of Agriculture , the University of Palangka Raya , Central Borneo , Indonesia. Journal of Biodiversity and Environmental Sciences, 5(6), 133–145. Nurhakim, Y. I. (2018). Sukses Budidaya Jamur Tiram. Ilmu Cemerlang Group. Pop, R. M., Puia, I. C., Puia, A., Chedea, V. S., Leopold, N., Bocsan, I. C., & Buzoianu, A. D. (2018). Characterization of Trametes versicolor: Medicinal mushroom with important health benefits. Notulae Botanicae Horti Agrobotanici Cluj-Napoca, 46(2), 343–349. https://doi. org/10.15835/nbha46211132 Siswanto, E. (2017). Petunjuk Praktis Budidaya Jamur Kuping, Jamur Merang, Jamur Tiram, Jamur Shitake dan Jamur Kancing Sistem Semi Moderen. Tedersoo, L., Bahram, M., Põlme, S., Kõljalg, U., Yorou, N. S., Wijesundera, R., … Abarenkov, K. (2014). Global diversity and geography of soil fungi 28, 346(November). https://doi.org/10.1126/science.aaa1185

94 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Belajar dari Jamur Alam

Widiastuti, H., & Panji, T. (2007). Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa Jamur Merang (Volvariella volvacea)(TKSJ) Sebagai Pupuk Organik Pada Pembibitan Kelapa Sawit. Menara Perkebunan, 75(2), 70–79. Wood, A. R. (2017). Fungi and invasions in South Africa. Bothalia, 47(2), 1–16. https://doi.org/10.4102/abc.v47i2.2124 Zhang, Y., Geng, W., Shen, Y., Wang, Y., & Dai, Y. (2014). Edible Mushroom Cultivation for Food Security and Rural Development in China: Bio- Innovation, Technological Dissemination and Marketing. Sustainability, 6, 2961–2973. https://doi.org/10.3390/su6052961

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 95 BAB 9 Hama dan Kebakaran Hutan

Sri Utami9

Pendahuluan Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang sering terjadi di Indonesia terutama pada saat musim kering. Kebakaran hutan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun sejak 1997 terutama pada saat musim kemarau panjang meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif bervariasi. Intensitas dan frekuensi kebakaran menimbulkan variasi pada daya pengaruhnya, baik pengaruh yang merugikan maupun yang menguntungkan. Setiap daerah memiliki ciri sendiri dan masalah kebakaran hutan tidak hanya bervariasi di antara berbagai daerah atau kawasan yang berbeda, akan tetapi juga di dalam setiap daerah atau kawasan tertentu menurut keadaan habitat yang berbeda satu dengan lainnya. Feisal (2018) melaporkan bahwa sejumlah ekosistem tertentu, seperti formasi vegetasi jenis jati (Tectona gandis) di hutan musim Asia, Shorea robusta di daratan India, dan Pinus merkusii di Sumatera Utara, bahkan telah beradaptasi dengan api secara alami. Di daerah tropis timbulnya kebakaran cenderung ada kaitannya dengan bentuk kehidupan rerumputan dan tumbuhan/tanaman yang ada di sekitarnya. Dari sinilah timbul interaksi antara kebakaran hutan dengan permasalahan hama. Hama merupakan organisme yang keberadaannya menganggu atau merusak tanaman. Dalam budidaya tanaman hutan, hama merupakan salah satu kendala dalam kegiatan budidaya. Keberadaannya bisa menimbukan kerusakan pada pohon atau tegakan hutan dan hasil hutan secara langsung atau tidak langsung.

9 Balai Litbang LHK Palembang; korespondensi: [email protected] Hama dan Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan bisa memberikan pengaruh terhadap keberadaan hama dalam hal ini serangga. Beberapa referensi menyebutkan bahwa kabakaran hutan mengakibatkan populasi serangga menurun karena sebagian besar mengalami kematian. Hal ini disebabkan karena pengaruh asap panas dan gas-gas partikel dari kebakaran hutan yang diduga memengaruhi perilaku dan menyebabkan kematian serangga. Asap kebakaran mengandung banyak partikel-partikel kimia yang sangat beracun dan berbahaya bagi manusia, begitu halnya dengan serangga. Elia et al., (2012) melaporkan bahwa di antara komunitas ekologi, serangga merupakan bioindikator penting dalam kejadian pasca kebakaran hutan. Hal ini disebabkan serangga sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan habitat yang terjadi pasca kebakaran hutan. Nunes et al., (2006) melaporkan bahwa kelimpahan kumbang tanah di hutan pinus Mediterania menurun pasca kebakaran hutan. Demikian halnya Elia et al., (2012) meneliti bahwa kelimpahan serangga ordo menurun drastis setelah 2 tahun terjadi kebakaran di hutan oak. Kim dan Kwon (2018) melaporkan bahwa api dan habitat serangga pasca kebakaran berpengaruh signifikan dalam penurunan jumlah dan keanekaragaman spesies kupu- kupu. Seperti halnya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang dilaporkan Utami (2018) bahwa kejadian kebakaran hutan pada tahun 2015 di Sumatera Selatan memberikan pengaruh terhadap populasi hama defoliator hilaralis yang menyerang tegakan jabon (). Sebelum terjadi kebakaran hutan, hama A. hilaralis mengalami outbreak terutama pada saat menjelang musim hujan dan selama musim hujan, pasca kebakaran hutan terjadi penurunan populasi hama A. hilaralis pada tegakan jabon yang terbakar (Utami, 2018). Kebakaran hutan memberikan pengaruh terhadap keberadaan serangga hama tergantung traits ekologi dan perilaku jenis serangga. Berdasarkan beberapa referensi di atas, kebakaran hutan memberikan efek dalam menurunkan populasi serangga hama. Lantas adakah fenomena lain yang menunjukkan hal sebaliknya, kebakaran hutan justru memicu muncul dan berkembangnya serangga hama. Tulisan ini akan mencoba menggali informasi pengaruh kebakaran hutan terhadap keberadaan dan munculnya serangga hama pada tegakan hutan.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 97 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Realitas dan harapan Pada tahun 2018 terjadi kebakaran pada tegakan bambang lanang (Michelia champaca) umur 6 tahun yang terdapat di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luasan tegakan bambang lanang yang terbakar kurang lebih 1 ha. Tegakan bambang lanang yang terbakar, kulit batangnya menghitam karena terkena panas dan terluka atau mengelupas. Secara umum sekitar 30–50% tegakan bambang lanang terbakar. Pasca kebakaran daun mengering karena terkena asap panas dan lama kelamaan akan mengalami kerontokan. Sebagian besar tumbuhan bawah yang terbakar akan mengering dan mengalami kematian (Gambar 9.1).

Gambar 9.1 Kondisi tegakan bambang lanang pasca kebakaran hutan

Pada 3 bulan pasca kebakaran dilakukan pengamatan pada tegakan bambang lanang yang terbakar dan ditemui fenomena yang berbeda pada saat tegakan bambang lanang belum terbakar. Sebelum terjadi kebakaran hutan, tidak dijumpai serangan hama pada tegakan bambang lanang umur 6 tahun. Tiga bulan pasca kebakaran dijumpai serangan hama penggerek batang yang menginfeksi kurang lebih 30% tegakan dari total tegakan bambang lanang yang terbakar. Fakta ini menunjukkan bahwa peristiwa kebakaran hutan bisa memberikan dampak positif dan negatif terhadap keberadaan dan serangan hama. Koivula & Spence (2006) melaporkan bahwa tingkat

98 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Hama dan Kebakaran Hutan keparahan kebakaran berpengaruh signifikan terhadap keberadaan serangga khususnya Carabidae dan bersifat spesifik tergantung jenis serangganya. Beberapa referensi yang diulas sebelumnya menunjukkan bahwa hama yang tergolong ulat (Ordo Lepidoptera) terutama menyerang bagian daun cenderung menurun populasinya pasca kebakaran hutan. Hal ini disebabkan pengaruh asap panas dan partikel-partikel kimia yang terkandung dalam asap hasil kebakaran mengakibatkan kematian hama ulat. Fenomena yang ditemui di lapangan menunjukkan bahwa pasca kebakaran hutan justru muncul serangan ulat penggerek batang yang kemungkinan diduga karena adanya pengelupasan pada kulit batang yang memicu munculnya hama penggerek batang. Selain itu kondisi lingkungan mikro seperti suhu dan kelembapan udara yang mendukung munculnya serangan hama penggerek batang pada tegakan bambang lanang. O’Connor et al., (2015) melaporkan bahwa terjadi outbreak kumbang cemara/Spruce beetle (Dendroctonus rufipennis) pada hutan konifer pasca kebakaran hutan, yang disebabkan karena iklim yang cenderung hangat dan kondisi kering setelah kebakaran hutan. Demikian halnya Catry et al., (2017) melaporkan bahwa terjadi peningkatan populasi kumbang ambrosia pada hutan oak Mediterania pasca kebakaran hutan. Lebih lanjut Catry et al., (2017) melaporkan bahwa semakin tinggi intensitas kebakaran dan keparahan tegakan oak yang terbakar, semakin banyak populasi kumbang ambrosia yang ditemukan. Demikian halnya dengan adanya kemunculan hama penggerek batang pada bambang lanang pasca kebakaran menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait ekosistem pasca kebakaran. Kondisi ekosistem yang perlu diperhatikan di antaranya kondisi tanaman/tegakan, lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan biotik. Terkait kondisi tanaman/tegakan yang harus diperhatikan yaitu tingkat kerusakan/ tingkat keparahan tegakan yang terbakar, kondisi fisik pohon yang terbakar, dan ketahanan tanaman sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan pasca kebakaran hutan. Lingkungan fisik yang harus diperhatikan di antaranya suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, suhu dan kelembapan tanah, dan faktor fisik lainnya. Faktor biotik yang menjadi bahan pertimbangan dalam manajemen pasca kebakaran hutan di antaranya tumbuhan bawah (jenis, kerapatan dan dominansi) dan organisme yang terdapat di sekitar tegakan.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 99 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Organisme di sekitar tegakan dalam hal ini arthropoda (termasuk serangga), jamur, bakteri, dan organisme lainnya. Keberadaan arthropoda baik yang tergolong serangga herbivor maupun musuh alami perlu untuk dimonitor. Musuh alami adalah organisme yang berperan sebagai agen pengendali hama yang terdiri atas predator dan parasitoid. Kondisi pohon/tegakan, lingkungan fisik dan biotik juga berinteraksi satu sama lainnya. Sebagaimana dilaporkan Jactel et al., (2019) bahwa komponen lingkungan biotik dan abiotik (suhu dan kelembapan udara) memengaruhi hama hutan secara langsung atau tidak langsung melalui interaksi dengan pohon inang dan musuh alami. Gejala yang tampak pada bambang lanang yang terserang hama penggerek yaitu adanya liang gerek pada batang disertai adanya kotoran berbentuk silindris dan berwarna merah kehitaman yang keluar dari liang gerek. Kerusakan yang terlihat berupa liang gerek. Apabila larva nya masih aktif di dalam, maka akan terlihat adanya serbuk gerek berbentuk bulat kecil. Larva yang telah membuat lubang gerek akan terus menggerek menembus kulit batang, xylem dan bahkan kayu gubalnya. Pada bagian kulit batang atau cabang bambang lanang yang digerek terdapat lubang gerek berdiameter kurang lebih 2 mm. Pada permukaan tanah dekat pangkal batang banyak juga ditemukan kotoran hama penggerek berwarna merah kehitaman.

Gambar 9.2 Tegakan bambang lanang yang terserang hama penggerek batang

100 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Hama dan Kebakaran Hutan

Tegakan bambang lanang yang terserang hama penggerek batang, daunnya lama kelamaan menguning, mengering, dan rontok. Gejala lanjut dengan tingkat keparahan yang berat mengakibatkan tanaman mengalami penggundulan (Gambar 9.2). Penggundulan tanaman bisa terjadi karena serangan penggerek pada batang mengakibatkan terhambatnya proses transportasi hara ke bagian tanaman lainnya. Hal ini berdampak pada terhambatnya proses fotosintesis sehingga mengakibatkan daun mengering dan mengalami kerontokan. Selain itu, adanya liang gerek terutama yang melingkar batang akan membuat pohon bambang lanang menjadi rentan terhadap tiupan angin sehingga sering kali dijumpai pohon-pohon yang mengalami patah tajuk atau patah batang. Pada lubang gerek dalam batang bambang lanang ditemukan ulat (Gambar 9.3). Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium menunjukkan bahawa ulat penggerek batang tersebut yaitu Zeuzera sp. Hama ini termasuk ordo Lepidoptera famili Cossidae. Ulat atau larvanya berwarna kecokelatan dengan panjang kurang lebih 3–5 mm. Pada bagian kepala dan ujung tubuh ulat berwarna cokelat gelap dan terdapat garis berwarna hitam. Pupanya berwarna kecokelatan. Imagonya memiliki sayap berwarna putih, pada bagian toraks terdapat bintik hitam.

Gambar 9.3 Ulat Zeuzera sp. (tanda panah)

Kondisi yang terekam di lapangan selain munculnya serangan penggerek batang pasca kebakaran hutan, yaitu kehadiran tumbuhan bawah pada tegakan bambang lanang. Pada tegakan bambang lanang bekas terbakar dilakukan upaya pemeliharaan atau pembersihan gulma/tumbuhan bawah sehingga keberadaannya tidak menganggu pertumbuhan bambang lanang dan tidak memicu munculnya dan meningkatnya serangan hama. Pembersihan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 101 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

gulma yang dilakukan dengan penebasan secara jalur dan total. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penebasan tumbuhan bawah secara jalur memberikan pengaruh signifikan terhadap serangan hama penggerek batang dibandingkan penebasan secara total. Penebasan secara jalur dilakukan dengan membersihkan tumbuhan bawah secara jalur di sekitar pohon bambang lanang dengan tetap mempertahankan tumbuhan bawah yang berbunga. Beberapa jenis tumbuhan bawah yang dipertahankan di sekitar tegakan bambang lanang yaitu babandotan (Ageratum conyzoides), rumput kancing ungu (Borreria laevis), dan ajeran (Bidens pilota). Tiga jenis tumbuhan tersebut yang dipertahankan dan dikelola keberadaannya karena memiliki bunga, regenerasinya cepat, dan pertumbuhannya tidak menjalar sehingga tidak menganggu tegakan utama. Tiga jenis tumbuhan bawah yang dikelola keberadaannya di bawah tegakan bambang lanang tersebut tergolong refugia. Refugia adalah tumbuhan (baik tanaman maupun gulma) yang tumbuh di sekitar tanaman yang dibudidayakan, yang berpotensi sebagai mikrohabitat bagi musuh alami (predator atau parasitoid) agar pelestarian musuh alami bisa tercipta dengan baik. Refugia dapat menyediakan tempat perlindungan atau habitat, sumber pakan, dan sumber daya lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Keppel et al., (2012) melaporkan bahwa refugia merupakan area tumbuhan/gulma yang tidak menganggu karena perannya sebagai mikrohabitat yang menyediakan tempat berlindung secara spasial dan/atau temporal bagi musuh alami hama (seperti predator dan parasitoid), serta mendukung komponen interaksi biotik pada ekosistem seperti polinator atau serangga penyerbuk. Sementara itu Ahmad & Pathania (2017) melaporkan bahwa refugia merupakan salah satu jenis tumbuhan yang digunakan dalam rekayasa ekologi yang mampu melindung musuh alami pada periode yang tidak menguntungkan seperti musim dingin di dataran tinggi atau musim kemarau di daerah tropis. Manipulasi habitat merupakan salah satu cara untuk meningkatkan potensi musuh alami dalam pengelolaan hama tanaman. Gurr (2009) menyatakan bahwa manipulasi habitat merupakan salah satu program dalam pengelolaan hama terpadu, dan dapat digunakan bersamaan dengan teknik budidaya yang

102 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Hama dan Kebakaran Hutan lain. Pemanfaatan refugia merupakan salah satu contoh manipulasi habitat yang dilakukan dengan mengelola refugia dalam manajemen pengendalian hama secara terpadu. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa insidensi dan tingkat serangan hama penggerek batang menurun pada tegakan bambang lanang yang dilakukan pembersihan secara jalur dibandingkan pada pembersihan secara total. Tegakan bambang lanang yang sebelumnya terserang ulat penggerek batang dengan tingkat serangan yang tergolong sedang dan berat, lambat laun mengalami pemulihan. Lestari & Purnomo (2018) melaporkan bahwa faktor sanitasi pertanaman merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat serangan hama Zeuzera, selain faktor pola tanam dan jarak tanam. Yulinto (2007) juga melaporkan kondisi pertanaman dan gulma sangat memengaruhi insidensi serangan ulat penggerek Zeuzera. Kehadiran beberapa jenis serangga predator dan parasitoid pada tumbuhan refugia yang terdapat di sekitar tegakan bambang lanang juga memengaruhi penurunan tingkat serangan ulat penggerek. Berdasarkan pengamatan juga dijumpai parasitoid yang memarasit larva Zeuzera sp. Parasitoid yang ditemukan yaitu Apanteles sp. yang tergolong parasitoid larva. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan refugia memberikan pengaruh signifikan terhadap keberadaan musuh alami dalam hal ini parasitoid. Refugia bisa menyediakan pakan bagi serangga parasitoid seperti nektar, serbuk sari dan embun madu yang tersedia pada refugia tersebut. Tumbuhan berbunga menarik kedatangan serangga menggunakan karakter morfologi dan fisiologi dari bunga yaitu ukuran, bentuk, warna, keharuman, serta kandungan nektar dan polen. Altieri et al., (2005) melaporkan bahwa kebanyakan serangga lebih menyukai bunga yang berukuran kecil, cenderung terbuka, dengan waktu berbunga yang cukup lama biasanya terdapat pada bunga famili Compositae atau Asteraceae. Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan refugia mampu mendatangkan musuh alami bagi hama Zeuzera sp. sehingga bisa menekan serangan hama Zeuzera sp. pada tegakan bambang lanang bekas terbakar. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Skirvin et al., (2011) bahwa keberadaan refugia bisa meningkatkan populasi musuh alami dan menekan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 103 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

populasi hama kutu aphid. Zhu et al., (2013) juga melaporkan bahwa refugia Emilia sonchifolia dan Impatiens balsamina dapat meningkatkan populasi parasitoid telur Anagrus nilaparvatae. Manipulasi habitat sebagai upaya mengkonservasi musuh alami tersebut merupakan salah satu aspek atau bagian dari Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), dengan tetap memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi. Manipulasi habitat dengan mengelola refugia di bawah tegakan bambang lanang pasca kebakaran mampu menekan serangan penggerek Zeuzera sp. Dengan penurunan serangan penggerek batang, tegakan bambang lanang bekas terbakar bisa melakukan recovery secara cepat. Pada 5 bulan pasca kebakaran sudah muncul terubusan, membentuk kuncup-kuncup baru, dan batang baru pada tegakan bambang lanang. Tegakan bambang lanang lambat laun mempunyai daun dan tajuk yang mulai rimbun. Batang bambang lanang bekas gerekan juga mulai pulih dan terstimulasi pertumbuhannya.

Simpulan Kebakaran hutan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap keberadaan dan tingkat serangan hama pada tegakan bambang lanang. Pengelolaan hama terpadu dengan manipulasi habitat mampu menekan serangan hama penggerek batang yang menyerang tegakan bambang lanang pasca kebakaran hutan. Temuan ini memiliki implikasi terhadap dunia praktis dan penelitian lanjutan. Beberapa hal yang perlu dilakukan dan dijawab terkait dengan lanjutan temuan ini di antaranya apakah serangan hama penggerek batang memengaruhi kualitas kayu bambang lanang yang pernah terbakar? dan bagaimana pengaruh kombinasi jenis refugia memengaruhi kelimpahan dan tingkat parasitisme parasitoid dalam mengendalikan serangan hama penggerek batang pada tegakan bambang lanang?

104 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Hama dan Kebakaran Hutan

Daftar Pustaka Ahmad M, dan Pathania SS. 2017. Ecological Engineering for Pest Management in Agro Ecosystem-A Review. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences 6(7): 1476–1485. Altieri MA, Nicholls CI, Fritz MA. 2005. Manage on Your Farm: A Guide to Ecological Strategies. Sustainable Agriculture Network. Beltsville. Catry FX, Branco M, Sousa E, Caetano J, Naves P, Nobrega F. 2017. Presence and Dynamics of Ambrosia Beetles and Other Xylophagous Insects in a Mediterranean Cork Oak Forest Following Fire. Forest Ecology and Management 404: 45–54. Elia M, Lafortezza R, Tarasco E, Colangelo G, Sanesi G. 2012. The Spatial and Temporal Effects of Fire on Abundance in Mediterranean Forest Ecosystems. Forest Ecology and Management 263: 262–267. Feisal A. 2018. Identifikasi Faktor Penyebab Dan Dampak Kerugian Kebakaran Hutan Gambut Di Tingkat Rumah Tangga Di Desa Pulau Semambu Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir. [Skripsi] Universitas Sriwijaya. Indonesia: Palembang. Gurr GM. 2009. Planthoppers: new threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. Prospects for Ecological Engineering for Planthoppers and Other Pests in Rice. Los Banos (Philippines): International Rice Research Institute. Jactel, Hervé, Julia Koricheva, and Bastien Castagneyrol. 2019. Responses of Forest Insect Pests to Climate Change: Not so Simple. Current Opinion in Insect Science 35: 103–8. Keppel G, Van Niel KP, Johsnon GWW, Yates CJ, Byrne M, Mucina L, Schut AGT, Hopper SD, Franklins SE. 2012. Refugia: Identifying and Understanding Safe Havens for Biodiversity under Climate Change. Global Ecology and Biogeography 21(4): 393–404. Kim SS dan Kwon TS. 2018. Changes in Butterfly Assemblages and Increase of Open-Land Inhabiting Species after Forest Fires. Journal of Asia- Pacific Biodiversity 11(1): 39–48.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 105 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Koivula M, dan Spence JR. 2006. Effects of Post-Fire Salvage Logging on Boreal Mixed-Wood Ground Beetle Assemblages (Coleoptera, Carabidae).” Forest Ecology and Management 236(1): 102–112. Lestari P, dan Purnomo. 2018. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Kakao Di Perkebunan Rakyat Cipadang, Gedongtataan, Pesawaran.” Jurnal Agro Industri Perkebunan 6(1): 1-8. Nunes L, Silva I, Pite M, Rego F, Leather S, Serrano A. 2006. Carabid (Coleoptera) community changes following prescribed burning and the potential use of carabids as indicators species to evaluate the effects of fire management in Mediterraean region. Silva Lusitana 14: 85-100. O’Connor, Christopher D., Ann M. Lynch, Donald A. Falk, and Thomas W. Swetnam. 2015. Post-Fire Forest Dynamics and Climate Variability Affect Spatial and Temporal Properties of Spruce Beetle Outbreaks on a Sky Island Mountain Range. Forest Ecology and Management 336: 148–162. Skirvin DJ, Garde KL, Reynolds KW, Mead A. 2011. The Effect of Within- Crop Habitat Manipulations on the Conservation Biological Control of Aphids in Field-Grown Lettuce. Bulletin of Entomological Research 101(6): 623–631. Utami S. 2018. Bioekologi Ulat Daun Walk. (Lepidoptera: pyralidae) Pada Tanaman Jabon (Neolamarckia Cadamba (Roxb.) Bosser) di Sumatera Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Indonesia: Bogor. Yulinto. 2007. Pengendalian Hama Penggerek Batang (Zeuzera Coffeae Neitner) Pada Tanaman Kelengkeng (Dimocarpus Longan (Lour) Steud.). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 10 no 3: 218–225. Zhu P, Gurr GM, Lu Z, Heong K, Chen G, Zheng X, Xu H, Yang Y. 2013. Laboratory Screening Supports the Selection of Sesame (Sesamum Indicum) to Enhance Anagrus Spp. Parasitoids (Hymenoptera: Mymaridae) of Rice Planthoppers. Biological Control 64(1): 83–89.

106 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH BAB 10 Mengangkut Bibit Revegetasi Menggunakan Gajah

Purwanto10, Andika Imanullah, Nuralamain, Agus Sumadi dan Hengki Siahaan

Pendahuluan Kerusakan hutan terus terjadi akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Merusak hutan dilakukan dengan berbagai alasan, baik disadari maupun atau tidak. Hal ini berdampak sangat buruk terhadap keberlangsungan hidup ekosistem baik di dalam maupun di sekitar hutan. Salah satu yang terancam akibat kerusakan tersebut adalah binatang/satwa liar yang hidup di dalam hutan. Hal ini karena tempat hidup/habitat dan sumber makanan satwa liar tersebut juga hilang atau rusak. Irwanda, Astiani & Ekyastuti (2018); Hadiyan & Pambudi (2017); Saputra (2017) menuturkan eksploitasi hutan dengan pengambilan hasil kayu ataupun bukan kayu, perubahan fungsi lahan hutan menjadi fungsi yang lain turut andil dalam kerusakan hutan. Kerusakan hutan yang terus terjadi mengakibatkan lahan terdegradasi dan deforestasi tidak dapat dihindarkan. Akibatnya keseimbangan ekologis, biodiversitas, sumberdaya genetis dan sosial ekonomi terganggu. Konversi hutan dan pertambahan penduduk merupakan pemicu utama yang mempercepat degradasi hutan dan deforestasi. Revegetasi merupakan salah satu bagian dari solusi usaha untuk melindungi dan memperbaiki keberlangsungan hidup ekosistem hutan. Karena hasil dari kegiatan revegetasi tersebut akan membuat lahan kosong menjadi berhutan kembali sehingga habitat kembali nyaman ditinggali. Revegetasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki vegetasi yang rusak.

10 Balai Litbang Lingkungan Hiduwp dan Kehutanan Palembang, email: purwanto210581 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Revegetasi dilakukan melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Revegetasi diharapkan dapat mengembalikan habitat satwa liar, memperbaiki lingkungan yang rusak, biodiversitas, dan memperbaiki kualitas serta kestabilan tanah. Revegetasi dengan tanaman sebaiknya dengan tumbuhan lokal, karena apabila dari tumbuhan yang direvegetasi bukan jenis lokal (eksotik) akan merubah ekosistem, dikhawatirkan akan menyebabkan terganggu atau hilangnya sebagian jenis tumbuhan maupun hewan (Wiranda et al., 2019). Selain itu, kemampuan adaptasi untuk hidup akan lebih teruji dan peluang tumbuh memiliki potensi lebih baik disbanding tanaman eksotik. Di antara permasalahan penting yang harus dikaji dari kegiatan revegetasi adalah seberapa besar tingkat keberhasilan revegetasi dalam hal pemulihan kondisi fisik lahan dan pemulihan fungsi hutan, utamanya fungsi konservasi tanah dan air dan fungsi hutan sebagai habitat fauna. Pemulihan fungsi hutan sebagai habitat flora fauna perlu dilakukan suatu cara restorasi ekologi (ecological restoration) yaitu dengan pemilihan jenis yang tepat yang dapat mempercepat pulihnya biodiversitas (Soegiharto et al., 2017). Di Sumatera Selatan secara bertahap terus-menerus dilaksanakan kegiatan revegetasi baik pada lahan basah maupun lahan kering. Hal ini sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi hutan yang sesuai fungsi aslinya, yaitu tercapainya kelestarian hutan beserta ekosistemnya khususnya di lahan basah. Di lahan basah wilayah Sumatera Selatan banyak ditemukan kawasan hutan yang rusak diakibatkan dari perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab. Sumatera Selatan menjadi salah satu bagian prioritas program Nasional untuk kegiatan revegetasi lahan basah. Salah satu kabupaten yang sedang melaksanakan kegiatan revegetasi lahan basah adalah Kabupaten Banyuasin. Salah satu lokasi yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan revegetasi di wilayah Sumatera Selatan adalah Kawasan Suaka Marga Satwa Padang Sugihan. Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 2585/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 16 April 2014 dengan luas 88.148,05 hektar. Secara administratif SM Padang Sugihan berada di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

108 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Mengangkut Bibit Revegetasi Menggunakan Gajah

SM Padang Sugihan merupakan habitat alami gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan di dalamnya terdapat pusat latihan gajah (Kunarso et al., 2019). Suaka Margasatwa Padang Sugihan yang di dalamnya terdapat salah satwa yang dilindungi yaitu Gajah. khusus untuk satwa gajah sudah didirikannya pusat penangkaran Gajah yang salah satu fungsinya untuk melestarikan populasi Gajah baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Kendala dalam kegiatan revegetasi di areal SM Padang Sugihan adalah akses yang cukup sulit untuk dijangkau. Areal tersebut merupakan kawasan lahan basah yang didominasi oleh alang-alang dan belidang yang cukup lebat. Saat musim hujan, areal bisa tergenang hingga mencapai satu meter. Dengan kondisi lahan basah demikian menyebabkan kegiatan pengangkutan bibit dan bahan lain yang diperlukan dalam kegiatan revegetasi seperti pupuk dsb, menjadi sangat sulit dilakukan. Sarana transportasi konvensional seperti motor dan mobil menjadi tidak efektif dan efisien. Karena itu diperlukan suatu sarana transportasi alternatif untuk menunjang dan mempermudah pelaksanaan kegiatan revegetasi tersebut.

Realitas dan Harapan Pengangkutan bibit pada kegiatan revegetasi di areal konservasi pada umumnya dilakukan sebagai berikut: 1. Penggunaan tenaga manusia biasanya akan efektif dan efisien pada areal yang tidak jauh dari tempat pembibitan 2. Penggunaan kendaraan mobil. Mengangkut bibit dengan mobil baik dilakukan untuk lokasi penanaman yang jauh dari tempat pembibitan. Namun syarat utama lainnya adalah adanya jalan akses yang bias dilalui kendaraan mobil. 3. Pengangkutan bibit dengan menggunakan motor jika areal lokasi kegiatan revegetasi atau areal penanaman jauh dari tempat bibit dan tidak bisa di akses kendaraan mobil dan hanya bisa di akses kendaraan motor. 4. Pengangkutan bibit dengan sepeda. Mengangkut bibit dengan sepeda untuk kondisi kondisi jalur rintisan menuju ke areal revegetasi sama kondisinnya dengan akses yang di gunakan untuk sepeda motor.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 109 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

5. Mengangkut bibit dengan perahu bisa bermanfaat dan menjadi alternatif terbaik pada lokasi penanaman hanya bisa di akses lewat air seperti lokasi areal penanaman di pinggir sungai dan sangat berat untuk di akses melalu jalur darat. 6. Mengangkut bibit dengan menggunakan satwa. Dari keenam metode pengangkutan bibit yang tersebut terdapat satu metode pengangkutan bibit yang sangat menarik dan merupakan hal yang baru dari kegiatan revegetasi di areal SM Padang Sugihan yaitu pengangkutan bibit menggunakan tenaga gajah terlatih. Ada beberapa hal yang mendasari dalam penggunaan gajah sebagai pengangkut bibit dari kegiatan revegetasi di areal Konservasi. a. Areal SM Padang Sugihan yang di revegetasi sangat luas sehingga jumlah bibit yang dibutuhkan banyak. Di sisi lain lokasi penanaman juga cukup jauh dari perkampungan atau pemukiman penduduk sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan mengangkut bibit revegetasi terbatas. b. Akses menuju areal lokasi penanaman jauh dan sulit. Saat musim penghujan, lahan revegetasi kondisinya sangat basah/tergenang, alang-alang yang lebat dan tinggi sangat mendominasidan dijumpai banyak tumbuhan yang berduri seperti belidang. Kondisi inilah yang menyebabkan penggunaan tenaga manusia tidak efektif dalam pengangkutan bibit. c. Keberadaan sumberdaya tenaga gajah terlatih di dekat lokasi proyek revegetasi yaitu berasal dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG). Lokasi kegiatan penanaman secara alami merupakan areal jelajah gajah sehingga merupakan wilayah yang mudah bagi gajah untuk menjelajahinya. Gajah jantan dan gajah betina kedua-duanya dapat dimanfaatkan dengan baik karena keduanya memiliki kemampuan dan kekuatan yang besar untuk kegiatan mengangkut bibit. Sejauh ini belum ditemukan kendala yang signifikan dalam penggunaan tenaga gajah akibat perbedaan jenis kelamin. Dengan kata lain kedua jenis kelamin tersebut dapat membantu kegiatan pengangkutan bibit dengan efektif dan efisien.

110 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Mengangkut Bibit Revegetasi Menggunakan Gajah

Gajah yang digunakan (Gambar 10.1) untuk mengangkut bibit di areal konservasi yang direvegetasi adalah gajah yang sudah terlatih. Areal konservasi yang di revegetasi merupakan habitat gajah sehingga tidak membutuhkan adaptasi terhadap areal lokasi penanaman.

Gambar 10.1 Gajah yang digunakan untuk mengangkut bibit

Keuntungan lain dari pemanfaatan gajah tersebut adalah kemudahan dalam mendapatkan sumber pakan. Karena di lokasi kegiatan revegetasi tersedia dengan melimpah jenis-jenis rumput yang merupakan pakan alami bagi gajah tersebut. Sehingga sembari bekerja mengangkut bibit, gajah-gajah tersebut tetap dapat makan sepanjang jalan yang dilaluinya di alam. Pengangkutan bibit dengan gajah terlatih ternyata juga memberikan keuntungan dari sisi rendahnya tingkat kerusakan bibit selama proses pengangkutan sampai ke lokasi penanaman. Tidak ditemukan atau minim terjadi cabang yang patah, daun yang rontok maupun polybag yang rusak seperti yang terlihat pada Gambar 10.2a dan 10.2b berikut.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 111 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 10.2a Gajah sedang Gambar 10.2b Bibit hasil mengangkut bibit pengangkutan gajah Ini menunjukkan bahwa gajah mempunyai potensi yang besar untuk membantu meringankan pekerjaan manusia dalam mengangkut bibit, terutama pada areal yang sulit dijangkau. Pemanfaatan gajah sebagai pengangkut bibit sejauh ini baru terbatas di areal konservasi yang direvegetasi. Pemanfaatan gajah sebagai alat angkut di luar areal konservasi dinilai berpotensi untuk dilakukan namun memerlukan prosedur dan syarat administratif yang lebih sulit. Selain itu, dalam pemanfaatan gajah tentunya harus diperhatikan tingkat kemampuan gajah itu sendiri dengan tidak melampaui beban yang mampu dibawa gajah. Durasi waktu pengangkutan sebaiknya tidak terlalu lama, dan asupan gizi serta kesehatan gajah perlu mendapatkan perhatian. Pemanfaatan gajah dalam pengangkutan bibit di SM Padang Sugihan juga didasarkan pada rasa hubungan yang baik dan saling menguntungkan antara manusia dengan gajah.

Simpulan Gajah mempunyai potensi yang sangat besar untuk membantu kegiatan revegetasi di areal konservasi. Kegiatan yang dilakukan oleh gajah membantu meringankan kegiatan dengan mengangkut bibit ke areal konservasi yang sulit diakses seperti lokasi areal revegetasi yang jauh karena adanya okupasi tumbuhan seperti jenis alang-alang dan belidang, atau jalan yang mengalami genangan.

112 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Mengangkut Bibit Revegetasi Menggunakan Gajah

Lokasi kegiatan revegetasi adalah tempat alami gajah mencari pakan sehari- hari. Gajah dengan tenaganya yang kuat mampu menembus lokasi tersebut dengan baik. Di lokasi tersebut ditemukan sedikit sekali kerusakan seperti polybag rusak, cabang tanaman yang patah maupun daun yang rontok.

Daftar Pustaka Hadiyan, Y., & Pambudi, H. (2017). Memahami dan membangun pendekatan penyelesaian deforestasi dan degradasi hutan di Region Sumatera dan Kalimantan. Proceeding Biology Education Conference, 14, 166–169. Irwanda, H., Astiani, D., & Ekyastuti, W. (2018). Pengaruh degradasi hutan pada populasi anggrek epifit dan karakteristik tempat tumbuh anggrek di kawasan Gunung Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan Lestari, 6(1). Kunarso, A., Syabana, T.A.A., Mareti, S., Azwar, F., Kharis, T., & Nuralamin, N. (2019). Analisis spasial tingkat kerusakan kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 16(2), 191–207. https://doi.org/10.20886/ jphka.2019.16.2.191-206. Saputra, H. (2017). Program Forclime (Forest And Climate Change) dalam Penanggulangan Masalah Kerusakan Hutan dan Emisi Karbon di Wilayah Kalimantan 2010-2014. JOM FISIP, 4(1), 1–8. Soegiharto, S., Zuhud, E. A. M., Setiadi, Y., Masyud, B., Penelitian, B. B., & Dipterokarpa, E. (2017). Indikator Kunci Pemulihan Fungsi Habitat Burung di Lahan Reklamasi dan Revegetasi Pasca Tambang Batubara (Key Indicator for Recovery of Bird Habitat Function in The Land of Reclamation and Revegetation of farmer Coal Mine). In Jurnal Biologi Indonesia (Vol. 13, Issue 2). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. https://doi.org/10.14203/JBI.V13I2.3404. Wiranda, J., Wibowo, H., & Yulianto, E. (2019). Kajian revegetasi lahan basah konservasi (Studi kasus Sungai Kelik 2.600 ha) | Wiranda | JeLAST : Jurnal Elektronik Laut, Sipil, Tambang. Jurnal Elektronik Laut, Sipil, Tambang, 6(3), 1–7. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JMHMS/ article/view/38943/75676584938.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 113 BAB 11 Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan

Asmaliyah11

Pendahuluan Meskipun saat ini obat tradisional sudah cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan, namun profesi kesehatan atau dokter masih enggan untuk menggunakan atau meresepkan obat tradisional. Alasan utama keengganan profesi keesehatan menggunakan atau meresepkan obat tradisional karena bukti secara ilmiah mengenai khasiat dan keamanan dari obat tradisional masih kurang, sehingga masih enggan menggunakannya dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu agar obat tradisional dapat dipercaya dipelayanan kesehatan formal, maka bukti empiris harus didukung dengan bukti secara ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaan terhadap manusia. Bukti ini hanya dapat diperoleh dari penelitian secara sistemik agar nantinya dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan dalam pelayanan kesehatan formal oleh para dokter dan tenaga kesehatan lainnya baik secara tunggal atau secara integratif dengan obat modern. Kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di China, Korea dan India yang telah memadukan cara dan pengobatan tradisonal dalam sistem pelayanan kesehatan formal (Sudirman, Djuria, & Pratiwi, 2019) Salah satu jenis tanaman yang belum banyak dibahas khasiatnya sebagai obat adalah pohon pelawan (Tristaniopsis spp.). Hasil penelusuran literatur menunjukkan masih sangat sedikit kajian secara ilmiah untuk mengkonfirmasi atau membuktikan potensi tumbuhan pelawan sebagai obat dan studi yang sudah dilakukan pun masih dalam tahap awal. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan dalam rangka mengidentifikasi potensi pelawan sebagai tumbuhan obat adalah analisis fitokimia daun pelawan yang telah dilakukan

11 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, asmaliyah_bp2ht@yahoo. com Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan oleh Enggiwanto, Istiqomah, Daniati, Roanisca, & Mahardika (2018b) yang menunjukkan bahwa di dalam daun pelawan yang berasal dari Kepulauan Bangka Belitung terkandung senyawa aktif dari golongan flavonoid, saponin, tanin, alkaloid. Selanjutnya hasil penelitian (Mahardika & Roanisca, 2019; Mahardika, Roanisca, & Puspita, 2020), juga menunjukkan adanya kandungan senyawa aktif flavonoid, alkaloid dan tanin dalam ekstrak daun pelawan. Hasil penelitian (Asmaliyah et al., 2015), juga menunjukan adanya kandungan senyawa aktif golongan flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan alkaloid di dalam daun pelawan Hasil penelitian secara invitro menunjukkan bahwa ekstrak air daun pelawan ini bisa menjadi sumber antioksidan alami karena kemampuannya yang baik dalam menangkap sel radikal bebas (Asmaliyah et al., 2017; Enggiwanto et al., 2018; Al Kadri, Sunarni, Pamudji, & Zamzani, 2019) dan juga berpotensi sebagai antikolesterol (Asmaliyah et al., 2017) serta antidiabetes karena dapat menghambat aktvitas σ-glukosidase (Asmaliyah et al., 2017; Mahardika, Roanisca, & Sari, 2020). Hasil penelitian (Ramadani, 2017), menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari ekstrak kulit batang pelawan T. merquensis secara invitro karena dapat menghambat perkembangan bakteri Bacillus subtilis ATCC 6633. Lebih lanjut hasil penelitian (Handayani, Achmadi, & Agusta, 2014; Safitri, Samsiar, Astuti, & Roanisca, 2019), juga mengungkapkan adanya potensi antibakteri dari ekstrak kloroform dan ekstrak etanol daun pelawan karena dapat menghambat perkembangan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus. Dari kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak celah kosong yang bisa dilakukan untuk temuan ini sampai pada pengembangan pelawan menjadi fitofarmaka. Penelitian yang dilakukan mulai dari penapisan farmakologi secara invitro dan invivo, proses ekstraksi dan isolasi, uji toksisitas, standarisasi simplisia/ekstrak/formulasi sampai uji klinik serta upaya budidayanya. Sampai saat ini masih sangat sedikit sekali kegiatan penelitian budidaya untuk menghasilkan tumbuhan obat bermutu tinggi dengan kandungan farmakologi yang kuat, produktivitas tinggi dan kandungan abu yang rendah. Penelitian ini diawali dengan kegiatan studi etnomedisin yang bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan tanaman pelawan sebagai obat secara tradisional.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 115 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Realitas dan Harapan Studi etnomedisin ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian utama yaitu “Pengembangan dan Budidaya Tumbuhan Berkhasiat Obat Penyakit Degeneratif Di Sumatera Bagian Selatan”. Pohon pelawan (Tristaniopsis spp.) merupakan salah satu anggota dari famili Myrtaceae yang termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing). Tumbuhan pelawan ini merupakan jenis yang mendominasi hutan sekunder dan banyak tersebar di hutan-hutan Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Kalimantan. Pohon pelawan ini banyak ditemukan di Indonesia pada dataran rendah, rawa, lahan gambut, disepanjang aliran sungai, daerah berbatu dan tanah kritis bekas tambang. Pelawan ini tahan terhadap salinitas tinggi sehingga dapat tumbuh dan berkembang ditanah pantai dan tepi pantai. Salah satu jenis pelawan yang paling dominan dan mempunyai sebaran luas serta paling banyak dimanfaatkan oleh masyakarat adalah pelawan merah (Tristaniopsis merquensis Griff.) atau pelawan padang (Hartanto, Sulistyaningsih, & Walujo. 2018), yang sebelumnya bernama Tristania merquensis (Yarli, 2011). Pelawan merah (T. merquensis Griff.) merupakan pohon endemik dari Kepulauan Bangka Belitung yang termasuk anggota dari famili Myrtaceae. Pelawan merah ini mempunyai ciri batang berwarna merah dengan bagian kulit luar yang mengelupas. Daunnya berbentuk bulat telur sampai jorong. Ujung daun tumpul sampai membulat, pangkal daun meruncing kearah tangkai daun, duduk daun berseling, tangkai daun bersayap. Panjang daun berkisar antara 10–15 cm dan lebar 3–5 cm. Permukaan daun kasar, tidak berambut. Bunga majemuk,padat dan putih. Buah kapsul dengan 3 lokus. Di hutan alam pelawan, pertumbuhan tinggi bisa mencapai 4–18 m dengan pola sebaran mengelompok untuk setiap fase pertumbuhannya. Pertumbuhan diameternya yang hidup dipinggir air biasanya kecil berkisar 8–10 cm dan membentuk koloni, sedangkan yang hidup di sekitar daratan yang berawa cenderung lebih besar sekitar 20–25 cm dan soliter (Lawing, 2014) (Gambar 11.1). Teknik budidayanya belum banyak tersedia. Selama ini masyarakat membudidayakan pohon pelawan dengan anakan dan biji (Gambar 11.1). Menurut pelestari pelawan dan penangkar bibit dan hasil temuan kami, perbanyakan menggunakan biji relatif lebih mudah dan persentase hidupnya

116 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan tinggi bisa mencapai 90%. Namun pertumbuhan sangat lambat, dibutuhkan waktu sekitar 9–12 bulan mulai dari perkecambahan sampai bibit siap tanam. Selama ini pohon pelawan lebih dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar, karena menghasilkan api yang bagus, panasnya lama dan abunya sedikit (Yarli, 2011; Akbarini D, 2016. Di Sumatera Selatan kayu pelawan ini sering digunakan untuk memasak nasi minyak yang merupakan makanan khas sumatera selatan berupa olahan nasi yang dimasak dengan minyak samin dan rempah-rempah khas nusantara dan Timur Tengah. Selain itu kayu pelawan juga digunakan untuk bahan konstruksi, bagan rakit dan bagan apung karena kayunya yang sangat kuat (Hartanto et al., 2018). Bagan adalah rumah tradisonal yang dibangun seperti rumah panggung di atas laut atau sungai yang digunakan sebagai tempat berlindung atau tempat istirahat nelayan ketika pergi kelaut untuk menangkap ikan (Aliyubi, F, Boesono, & Setiyanto, 2015). Pemanfaatan lain dari pohon pelawan ini adalah sebagai inang jamur pelawan dan produksi madu pelawan yang lebih dikenal dan sering dimanfaatkan sebagai bahan obat. Jamur pelawan merupakan bahan pangan yang bergizi dan sumber antioksidan alami karena kemampuannya dalam menangkap radikal bebas (Akbarini, Iskiandar, & Partasasmita, 2017). Sampai saat ini jamur pelawan belum dikuasai budidayanya. Namun menurut kepercayaan masyarakat munculnya jamur pelawan terjadi setelah musim kemarau, adanya hujan petir dimusim hujan. Beberapa hari setelah hujan petir, jamur akan tumbuh dan bertahan selama tiga hari, setelah itu itu jamur akan membusuk (Henri, Hakim, & Batoro, 2018). Madu pelawan dihasilkan oleh lebah madu liar raksasa (Apis dorsata) yang menghisap nektar dari bunga pelawan. Madu pelawan memilki rasa agak pahit dan mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain untuk obat batuk, diabetes, tumor dan kanker (Henri et al., 2018). Jamur pelawan dan madu pelawan ini bernilai ekonomis yang tinggi dengan harga 2 juta per kg jamur pelawan kering (Henri et al., 2018) dan 200 ribu rupiah per 300 ml madu pelawan (Akbarini, 2016).

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 117 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Namun potensi pohon pelawan sebagai tumbuhan obat belum banyak dibahas. Hasil studi etnomedisin, ternyata pohon pelawan ini mempunyai potensi sebagai tumbuhan obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional oleh etnis di Sumatera dan Kalimantan untuk terapi berbagai penyakit, mulai dari penyakit ringan sampai penyakit berat, antara lain adalah penyakit darah tinggi, demam, batuk, diabetes, stroke, mag kronis/ gastritis dan lain-lain (Gambar 11.2). Cara pengolahan atau pemanfaatannya beragam, bisa memakan langsung pucuk/daun muda segar atau rebusan dalam bentuk segar dan kering atau menyeduh serbuk daun pelawan kering dan daun kering seperti teh celup dan teh tubruk (Gambar 11.3).

118 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan

a b

c d

e f

Gambar 11.1 Pohon pelawan (a. pohon pelawan, b. koloni pohon pelawan, c. pohon pelawan yang soliter, d. daun dan bunga pelawan) dan e. biji pelawan dan f. anakan pelawan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 119 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 11.2 Cara pengobatan tradisonal

Gambar 11.3 Cara konsumsi daun pelawan untuk kesehatan

Studi etnomedisin adalah studi yang mempelajari sistem medis etnis tradisonal (Silalahi, 2016). Lebih lanjut Walujo (2009) dalam Silalahi (2016) menyatakan bahwa dalam studi etnomedisin dilakukan untuk memahami budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat (emic), kemudian dibuktikan secara ilmiah (etic). Studi etnomedisin merupakan salah satu cara (1) untuk mendokumentasikan pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat oleh berbagai etnis dan (2) untuk menemukan bahan-bahan kimia baru yang berguna dalam pembuatan obat-obatan modern penyakit. Silalahi (2016) mengemukakan bahwa ada beberapa obat yang berasal dari pengetahuan lokal, di antaranya (1) kuinin yang diadaptasi dari pengetahuan suku asli Incas yang telah lama menggunakan Chinchona sebagai obat malaria, dan (2) reserpin yang berasal dari Rauwolfia serpentina telah lama digunakan penduduk India sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah.

120 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan

Dari hasil penggalian kami lebih dalam, cara penggunaan atau pengolahan tanaman pelawan untuk terapi kesehatan berbagai penyakit oleh masyarakat lokal adalah beragam, yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pelawan untuk terapi kesehatan dan cara penggunaannya oleh etnis di Sumatera dan Kalimantan Bagian tanaman No. Kegunaan Etnis Cara Penggunaan yang digunakan 1. Darah tinggi Daun pucuk/ Suku Jering, Jeruk Memakan langsung daun pucuk/ Daunmuda dan Sikak, di daun muda pelawan sebanyak Provinsi Kepulauan segenggem ditambah sedikit garam Bangka Belitung 2. Demam Daun Idem a. Daun pelawan diremas- remas sampai keluar airnya, kemudian airnya diminum, sedangkan ampas daunnya diusapkan keseluruh tubuh b. Daun pelawan sebanyak 7–12 daun secara tunggal atau dicampur dengan daun kelingkahan (Callicarpa longifolia) direbus dalam 1–1,5 liter air sampai mendidih, lalu diminum (tidak boleh dari 600 ml perhari), kemudian sisa air rebusan yang masih hangat digunakan untuk mandi 3. Batuk Akar Idem Akar pelawan disadap yang pada malam hari kemudian diambil pada pagi hari, lalu diminum 4. Diabetes Daun Bangka Tengah, Daun pelawan sebanyak 1 genggam Kepulauan Bangka direbus dalam 3 gelas air, setelah Belitung diperkirakan tinggal 1 gelas, api dimatikan, kemudian diamkan sebentar, lalu diminum selagi hangat

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 121 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Tabel 1. Pelawan untuk terapi kesehatan dan cara penggunaannya oleh etnis di Sumatera dan Kalimantan (lanjutan) Bagian tanaman No. Kegunaan Etnis Cara Penggunaan yang digunakan 5 Diabetes, Daun Etnis Melayu, Meminum air seduhan serbuk kolesterol Sungai Liat, daun kering seperti teh celup atau Pangkal Pinang seduhan daun kering seperti teh tubruk sebanyak 3 kali dalam sehari. Dosis untuk teh celup 1 saset dalam 200 ml liter air dan 1 saset bisa dipakai untuk 3 kali pemakaian (600 ml air). Daun Etnis Melayu, Sementera teh tubruk dosis 1 Kolesterol Bangka Barat, sendok makan teh tubruk dilarutkan Kepulauan Bangka dalam 200 ml air. Belitung Meminum air rebusan daun pelawan (Sudirman et al., 2019) 6. Stroke, mag Daun Pangkal Pinang, Serbuk daun pelawan kering kronis/ Provinsi Kepulauan diseduh dalam air panas, diamkan gastritis, Bangka Belitung selama ± 5 menit sampai air pelancar berwarna merah kecokelatan, air darah dan seduhan kemudian diminum selagi penyegar masih hangat badan 7. Jerawat Ampas daun Pangkal Pinang, Mengoleskan ampas seduhan daun Provinsi Kepulauan pelawan pada wajah, diamkan Bangka Belitung beberapa menit lalu bilas dengan air 8. Kutil/luka Getah batang Sungai Liat, Mengoleskan getah batang pelawan Provinsi Kepulauan keseluruh permukaan kutil/luka di Bangka Belitung atas permukaan kulit. Luka akan kering dengan cepat 9. Lever, sakit Daun, kulit Kalimantan Selatan Digunakan sebagai obat dalam Perut, bisul, kayu, batang dengan cara diminum campuran penambah dan akar semua bahan stamina 10. Pestisida Getah batang Bangka Tengah, Digunakan untuk membasmi kutu Kepulauan Bangka putih. Getah ditampung dalam Belitung wadah lalu ditambah 9 bagian air (diencerkan 10 kali) Oleh karena itu potensi pelawan sebagai tumbuhan obat perlu digali, diteliti dan dikembangkan lebih lanjut untuk membuktikan khasiat daun pelawan untuk kesehatan, sehingga pemanfaatannya dapat lebih luas di masyarakat dan dapat dipertanggung jawaban secara medis. Penelitian ini

122 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan akan berhasil jika dilakukan secara integratif dengan melibatkan berbagai stakeholder (universitas, lembaga penelitian) dan berbagai disiplin ilmu (kehutanan, kesehatan, farmasi, biologi, dan kimia).

Simpulan Pohon pelawan mempunyai potensi sebagai tumbuhan obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisonal oleh etnis di Sumatera dan Kalimantan mulai dari penyakit ringan sampai penyakit berat. Potensi pengembangan pelawan sebagai obat herbal atau fitofarmaka akan terwujud jika dilakukan secara integratif dari berbagai pihak dan berbagai disiplin ilmu. Dalam rangka menjaga keberadaan tanaman pelawan ini, maka masyarakat luas dan pemerintah harus menggalakkan penggunaan obat herbal ini dalam pengobatan sendiri dan melakukan upaya penangkaran dan bagi para pembuat kebijakan tidak terburu-buru membuat kebijakan mengonversi lahan untuk peruntukan lainnya sekalipun lahan itu semak belukar atau lahan kritis, karena di lahan tersebut masih banyak tumbuh tumbuhan obat yang potensial di dalamnya Dengan menjaga keberadaan pohon pelawan ini, berarti kita telah menyelamatkan terjadinya kepunahan suatu spesies flora yang berpotensi besar sebagai tumbuhan obat yang pengetahuannnya berasal dari masyarakat lokal. Pengetahuan lokal tentang tumbuhan obat ini merupakan kekayaan tradisional atau aset kita yang perlu diteliti, dikembangkan dan dijaga keberadaannya agar tidak hilang/tetap lestari.

Daftar Pustaka Akbarini, D., Iskiandar, J., & Partasasmita, R. (2017). Colaborative planning for developmet of the pelawan biodiversity park in Bangka, Indonesia. Biodiversitas, 18(4), 1602–1610. Akbarini D. (2016). Naskah Review Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis) : Spesies Kunci Keberlanjutan Taman Keanekaragaman Hayati Namang – Bangka Tengah, 9(1), 66–73.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 123 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Al Kadri, M.F., Sunarni, T., Pamudji, G., & Zamzani, I. (2019). Aktivitas antioksidan ektrak etanol daun pelawan (Tristaniopsis obovate Benn.) dengan metode penangkapan radikal bebas 2,2’. Journal of Current Pharmaceutical Sciences, 2(2), 167–172. Aliyubi, F.K., Boesono, H., & Setiyanto, I. (2015). Analisis perbedaan hasil tangkapan berdasarkan warna lampu pada alat tangkap bagan apung dan bagan tancap di perairan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. JFRUMT, 4(2), 93–101. Asmaliyah, Muslimin, I., Hadi, E.E.W., Imanullah, A., Nopriansyah, A., & Muara, J. (2017). Budidaya Tumbuhan Berkhasiat Obat Degeneratif Metabolik di Sub RegionalSumbagsel. LHP Balitbang LHK Palembang. Asmaliyah, Muslimin, I., Waluyo, E.A., Hadi, E.E.W., Nopriansyah, A., & Andriani, N. (2015). Pengembangan Tumbuhan Berkhasiat Obat Degeneratif Metabolik di Sub Regional Sumbagsel. LHP Balitbang LHK Palembang. Enggiwanto, S., Istiqomah, F., Daniati, K., Roanisca, O., & Mahardika, R. G. (2018a). Ekstraksi daun pelawan (Tristaniopsis merguensis) sebagai antioksidan menggunakan Microwave Assited Extraction (MAE). Indonesian Journal of Pure and Applied Chemistry, 1(2), 50–55. Enggiwanto, S., Istiqomah, F., Daniati, K., Roanisca, O., & Mahardika, R. G. (2018b). Ekstraksi daun pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) dengan metode Microwave Assisted Extrated. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat “Inovasi Sains Dan Teknologi Untuk Mendukung Kemandirian Bangsa, 2, 1–3. Handayani, D., Achmadi, S.S., & Agusta, A. (2014). Senyawa Antibakteri Daun Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana), 10(1), 93–100. Hartanto, S., Sulistyaningsih, Y.C., Walujo, E.B., & Article, H. (2018). Indigenous Knowledge Degradation of Lom Community, Bangka Island in Identifyng and using Pelawan Padang (Tristaniopsis merquensis). Biosaintifika, 10(3), 663–670. Henri, Hakim, L., & Batoro, J. (2018). Kearifan Lokal Masyarakat sebagai Upaya Konservasi Hutan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(1), 49–57. https://doi.org/10.14710/jil.16.1.49-57

124 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Etnomedisin: Pelawan untuk Kesehatan

Mahardika, R.G., & Roanisca, O. (2019). Microwave-Assisted Extraction of Polyphenol Content from Leaves of Tristaniopsis merguensis. AJChE, 19(2), 110–119. https://doi.org/10.22146/ajche.50448 Mahardika, R. G., Roanisca, O., & Puspita, I. (2020). Fenolik total fraksi etil asetat daun pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.). Jurnal Sains Dan Edukasi Sains, 3(1), 8–14. Mahardika, R.G., Roanisca, O., & Sari, F.I.P. (2020). Inhibition of α -glucosidase activity and the toxicity of Tristaniopsis merguensis Griff. leaf extract. Journal of Islamic Science and Technology, 6(1), 67–76. https://doi.org/10.22373/ekw.v6i1.5732 Ramadani, V. (2017). isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dan Aktivitas Antibakteri dari Estrak Kulit Batang Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang. Safitri, D., Samsiar, A., Astuti, D.Y., & Roanisca, O. (2019). Nano emulsi ekstrak daun pelawan (Tristaniopsis merguensis) sebagai antibakteri (Escheruchia coli dan Staphylococcus aureus) menggunakan Microwave Assisted Extraction (MAE). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat “Inovasi Sains dan Teknologi untuk Mendukung Kemandirian Bangsa, 3, 1–4. Silalahi, M. (2016). Studi etnomedisin di indonesia dan pendekatan penelitiannya. JDP, 9(3), 117–124. Sudirman, M.S., Djuria, R.F., & Pratiwi, A. (2019). The effectiveness of the use of pelawan leaf boiled water (Tristaniopsis Merguensis Griff.) as a traditional medicine for reducing blood cholesterol. Sciendo, 212–217. Yarli, N. (2011). Ekologi pohon pelawan (Tristaniopis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupzaten Bangka Tengah. Sekolah Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 125 BAB 12 Taman Koleksi Reklamasi Pascatambang

Dedy Saptaria Rosa12

Pendahuluan Pada tahun 1960, Gwalia merupakan salah satu kota yang sangat ramai dikunjungi di Australia, Terletak sekitar 800 km di sebelah timur Kota Perth, Australia Barat, Gwalia merupakan kota tambang emas terbesar pada jamannya. Namun pada tahun 1963, ratusan pekerja tambang dan keluarganya mendadak pergi meninggalkan kota tersebut lantaran tambang emas Sons of Gwalia ditutup. Setelah itu, kota Gwalia berubah menjadi sepi layaknya kota hantu (Ibrahim). Cerita di atas merupakan salah satu contoh fenomena ghost town yang cukup sering terjadi pada kota-kota yang dibangun dan berkembang oleh aktivitas pertambangan. Kota-kota ini berkembang pesat dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, namun seiring berjalannya waktu mengalami kelumpuhan dan ditinggalkan masyarakat akibat aktivitas tambang berakhir. Di Indonesia sendiri, terdapat banyak kota-kota terkenal yang berkembang akibat adanya aktivitas penambangan di daerahnya. Sebut saja Dumai (Minyak Bumi), Sawahlunto (Batubara), Bontang (Gas Alam), Sorowako (Nikel), Tembagapura (Tembaga), dll. Tanpa Perencanaan yang berkelanjutan, kota- kota ini dapat berpotensi menjadi ghost town di kemudian hari. Pemerintah Indonesia melalui berbagai peraturan dan turunannya, telah memberikan aturan hukum yang jelas terkait pelaksanaan kegiatan pertambangan yang berkelanjutan. Di antaranya melalui Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang; Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan; Keputusan Menteri ESDM No. 1827 Tahun 2018 tentang pedoman pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik; serta Peraturan Menteri 12 PT Bukit Asam Tbk ([email protected]) Taman Koleksi Reklamasi Pascatambang

ESDM No. 26 Tahun 2018 tentang pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik dan pengawasan pertambangan mineral dan batubara. Peraturan- peraturan ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi pelaksana usaha agar dapat menjalankan aktivitas usaha pertambangannya dan terbentuknya keberlanjutan pascatambang. PT Bukti Asam Tbk (PTBA) dengan pusat operasi pertambangan yang terletak di daerah Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, berkomitmen dalam mewujudkan ekosistem pascatambang yang berkelanjutan, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, dan sosial melalui program Tanjung Enim Kota Wisata (TEKW) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Muara Enim. Melalui TEKW, diharapkan kota Tanjung Enim dapat menjadi salah satu kota wisata yang dapat berkembang secara mandiri pascakegiatan pertambangan di kota tersebut selesai. Salah satu bagian dari program TEKW adalah pembangunan Taman Koleksi di lahan reklamasi pascatambang PTBA. Taman koleksi mengacu pada terminologi Taman Kehati sebagaimana dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2012 tentang taman keanekaragaman hayati, merupakan suatu kawasan pencadangan sumber daya alam hayati lokal yang mempunyai fungsi konservasi in-situ dan/ atau ex-situ. Kawasan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti koleksi tumbuhan, pengembangbiakan tumbuhan dan satwa, sumber benih dan bibit, sumber genetik tumbuhan, pengembangan ilmu pengetahuan dan ekowisata.

Realitas dan Harapan Kegiatan pertambangan batubara di daerah Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim sudah mulai dilakukan sejak jaman Belanda dengan menggunakan sistem penambangan terbuka (open pit mining). Pada tahun 1923–1940, selain menggunakan metode penambangan terbuka dilakukan pula penambangan dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining). Pada tahun 1938 mulai dilakukan produksi untuk kepentingan komersil. Setelah kolonialisme Belanda di Indonesia berakhir, status tambang berubah menjadi pertambangan nasional sehingga pada tahun 1950 terbentuk

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 127 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Perusahaan Negara tambang Arang Bukit Asam (PN TABA) yang kemudian berganti nama menjadi PT Bukti Asam Tbk. Hingga saat ini, PTBA masih terus mengembangkan kegiatan usaha pertambangan batubara di daerah Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim (Gambar 12.1).

Gambar 12.1 Kegiatan pertambangan batubara di Tanjung Enim masih terus dilakukan sejak jaman kolonial Belanda hingga saat ini (Dok. PTBA)

Kegiatan usaha pertambangan yang telah dilakukan sejak jaman dahulu dapat menimbulkan ketergantungan perkembangan kawasan Tanjung Enim terhadap industri tambang batubara yang dapat habis di masa mendatang yang dapat berpotensi terjadinya fenomena ghost town. Untuk menghadapi hal tersebut, PTBA berusaha menerapkan konsep Green Mining dan peduli lingkungan dalam kegiatan operasional usahanya. Salah satunya adalah melalui pembangunan Taman Koleksi Bukit Asam pada salah satu areal reklamasi pascatambang (Gambar 12.2).

128 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Taman Koleksi Reklamasi Pascatambang

Gambar 12.2 Lahan reklamasi pascatambang PTBA untuk pembangunan taman koleksi

Kegiatan pertambangan batubara secara terbuka (open pit mining) dapat merubah suatu bentuk bentang alam yang memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar. Penurunan nilai fungsi suatu kawasan pasca dilakukannya kegiatan penambangan batubara, baik fungsi ekologis, ekonomis, maupun sosial. Untuk mengurangi dampak tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya yang salah satunya adalah kegiatan reklamasi. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya (Munir and Setyowati). Program reklamasi lahan bekas tambang merupakan program wajib yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan baik swasta maupun non swasta, di mana peraturan kewajiban reklamasi tambang sudah di atur oleh UU No. 4 Tahun 2009 pasal 96 dan diikat oleh Perpu No. 78 Tahun 2010 pasal 2 ayat 1 tentang Reklamasi Pasca Tambang. Sebagai upaya PTBA mendukung program Tanjung Enim Kota Wisata (TEKW), maka dilakukan integrasi kegiatan reklamasi dalam program tersebut, salah satunya melalui pembangunan Taman Koleksi pada salah satu lokasi reklamasi PTBA di Tanjung Enim. Pembangunan taman koleksi ini dapat meningkatkan nilai fungsi lahan bekas tambang dan mendukung program ekowisata daerah di masa mendatang.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 129 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Konsep yang dikembangkan dalam pembangunan Taman Koleksi Bukit Asam adalah usaha dan kemandirian. Konsep ini dipilih agar pengelolaan kawasan ini dapat berjalan mandiri dan dapat memberikan insentif bagi pemerintah daerah dan masyarakat sekitar. Untuk menarik minat wisatawan, kawasan ini didesain dengan penanaman jenis tanaman yang mewakili 7 bioregion Indonesia yaitu, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Keci, Maluku, dan Papua. Selain itu dibangun sarana prasaran dan fasilitas penunjang meliputi gapura, tempat parker, jembatan, wahan air, food court, camping ground, dan bangunan edukasi. Melalui desain kawasan tersebut, wisatawan dapat menikmati objek wisata berupa wisata alam, petik buah, berperahu, wisata kuliner, dan edukasi (Gambar 12.3).

Gambar 12.3 Desain taman koleksi Bukit Asam

Taman koleksi Bukit Asam diharapkan dapat menjadi salah satu contoh program reklamasi pascatambang yang dapat memberikan berbagai manfaat terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Pembangunan Taman Koleksi juga dapat menjadi gagasan kegiatan reklamasi yang lebih bersifat tematik dan dapat dimanfaatkan selanjutnya untuk kegiatan ekowisata.

130 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Taman Koleksi Reklamasi Pascatambang

Simpulan Perencanaan pertambangan hingga tahap pascatambang mutlak diperlukan bagi para pelaku usaha pertambangan untuk menciptakan industri pertambangan yang berkelanjutan. Meningkatkan fungsi dan nilai suatu kawasan yang terdegradasi tentu bukanlah suatu kegiatan yang mudah sehingga memerlukan perencanaan yang matang dan komitmen dari pelaku usaha dan pemerintah setempat. Ekowisata dapat menjadi salah satu tema pascatambang yang berpotensi menumbuhkan kemandirian dalam perkembangan daerah setelah industri pertambangan berakhir. Namun inovasi-inovasi masih terus dibutuhkan agar tercipta kawasan ekowisata modern yang dapat mengikuti perkembangan zaman.

Daftar Pustaka Ibrahim, Farid, M. (2020) “Kisah Kota di Australia yang Ditinggalkan Penduduknya Dalam Semalam.” 20 November 2018. www.tempo.co. Dokumen. 4 12 2020. Munir, Misbakhul, & Diah Nugraheni Setyowati, D.N. (2017). “Kajian reklamasi Lahan Pasca Tambang di Jambi, Bangka, dan Kalimantan Selatan.” Klorofil, ,1 11-16. Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamai dan Pascatambang Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 26 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2012 tentang Taman Keanekaragaman Hayati Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 131 BAB 13 Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi

Hengki Siahaan13

Pendahuluan Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) merupakan jenis pohon yang mempunyai banyak manfaat (Multi purpose tree species). Pemanfaatannya sesuai dengan pengetahuan dan kebiasaan dari masyarakat di mana pelawan ditemukan. Pelawan dapat dimanfaatkan dengan cara dipanen atau secara ekologis di tempat tumbuhnya tanpa melakukan pemanenan. Pemanfaatan pelawan secara ekologis di tempat tumbuhnya antara lain berupa pemanfaatan sistem perakaran pelawan sebagai inang jamur pelawan (Heimiophorus sp.) yang merupakan jenis jamur yang dapat dimakan (Turjaman et al., 2019; Yarli, 2011). Selain itu pohon pelawan juga dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah madu (Apis dorsata) yang menghasilkan madu pelawan serta sebagai tanaman hias di taman-taman kota karena mempunyai warna merah yang cukup menarik dari sisi estetika (Henri, Hakim, & Batoro, 2018). Pemanfaatan pelawan dengan cara dipanen (ditebang) adalah pemanfaatan pelawan sebagai sumber energi yaitu dalam bentuk kayu bakar dan bahan baku pembuatan arang yang dikenal sebagai arang pelawan (Hengki Siahaan, Sumadi, & Purwanto, 2020). Pemanfaatan dengan cara memanen ini tentunya akan berdampak langsung terhadap kelestarian jenis tersebut di alam yang pada gilirannya akan memengaruhi ketersediaannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara alami pelawan yang dipanen dengan cara ditebang atau dipotong mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menghasilkan trubusan atau tunas, yaitu sekitar 10-20 tunas per tunggak sesuai dengan ukuran diameter tunggak. Trubusan ini mempunyai tingkat pertumbuhan yang cukup cepat,

13 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, email: hengki_siahaan@ yahoo.co.id Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi sehingga dapat kembali dipanen dalam tempo 1–2 tahun kemudian untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik sebagai kayu bakar maupun bahan pembuatan arang pelawan. Kemampuan pelawan untuk menghasilkan trubusan merupakan indikator penting bagi pengguna pelawan sebagai sumber energi bahwa pelawan dapat dibudidayakan dan dikelola dengan sistem pangkas. Sistem pangkas merupakan salah satu sistem silvikultur yang menggunakan tunas sebagai sumber produksi di mana batang pokok tanaman dipanen dengan cara dipangkas (dipotong) pada ketinggian tertentu dan trubusan yang dihasilkan selanjutnya dipelihara hingga umur tertentu untuk dipanen pada rotasi berikutnya secara berulang-ulang. Pengelolaan pelawan dengan sistem pangkas merupakan sistem pengelolaan yang berkesinambungan, sehingga usaha yang menggunakan pelawan sebagai bahan baku dapat berlangsung secara lestari tanpa kekurangan bahan baku.

Kayu Pelawan untuk Energi Pelawan memiliki karakteristik yang baik untuk kayu energi, baik digunakan secara langsung sebagai kayu bakar maupun dalam bentuk arang. Kayu pelawan mempunyai berat jenis yang tinggi yaitu 1,18 gr/cm3, sehingga memiliki nilai kalor yang tinggi dan sangat cocok untuk dibuat sebagai arang (Purwanto, Sumadi, & Siahaan, 2018). Karakteristik kayu pelawan yang mempunyai berat jenis dan nilai kalor yang tinggi menjadikan jenis kayu ini digunakan secara spesifik untuk membuat arang yang dikenal sebagai arang pelawan. Arang pelawan merupakan salah satu komoditas eksport dari Sumatera Selatan dan dikelola dalam bentuk industri skala rumah tangga. Kebutuhan kayu pelawan untuk memproduksi arang pelawan di Sumatera Selatan diperkirakan mencapai 16.320–21.216 ton per tahun (Siahaan, Sumadi, Kurniawan, Purwanto, & Imanullah, 2019). Hingga saat ini pemanenan kayu pelawan untuk keperluan pembuatan arang pelawan dilakukan dengan cara eksploitasi dari alam yang berupa hutan sekunder atau ladang-ladang yang tidak dikelola oleh pemiliknya di wilayah Kabupaten Muara Enim dan Ogan Ilir. Dalam hal ini, sistem pengumpulan kayu pelawan ini dari aspek hukum dapat dikatakan bersifat illegal. Eksploitasi

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 133 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

dilakukan oleh masyarakat secara berkelompok yang diketuai oleh pemilik modal, terutama alat angkut berupa truk. Kayu pelawan dikumpulkan dari lokasi-lokasi pemanenan dengan cara diangkut dengan tenaga manusia atau kendaraan roda dua ke tempat pengumpulan di tepi jalan. Setelah memenuhi jumlah yang diharapkan, selanjutnya kayu pelawan diangkut menggunakan truk ke lokasi pembuatan arang yang terdapat di Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir. Kayu pelawan untuk pembuatan arang dipanen pada ukuran diameter kecil yaitu dengan diameter pangkal yang berkisar antara 6–10 cm dan panjang sekiatar 3–4 meter. Selain itu seleksi pada saat pemanenan juga dilakukan dengan memilih kayu pelawan yang lurus dan sedikit percabangannya, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh pemilik usaha pembuatan arang pelawan (Gambar 13.1 kanan). Kayu-kayu pelawan yang tidak memenuhi kriteria sebagai bahan baku arang tetap memiliki nilai ekonomis dan laku dijual. Kayu pelawan untuk penggunaan kayu bakar ini diperdagangkan di kota Palembang dengan ukuran sortimen yang lebih pendek yaitu sekitar 80–100 cm. Kayu bakar jenis pelawan digunakan pada beberapa rumah makan yang ada di kota Palembang untuk menghasilkan makanan dengan citarasa yang khas (Hengki Siahaan et al., 2020). Ukuran diameter kayu pelawan untuk kayu bakar relatif lebih bervariasi yaitu ukuran 4–25 cm (Gambar 13.1 kiri).

Gambar 13.1 Kayu pelawan untuk kayu bakar (kiri) dan bahan pembuatan arang (kanan)

134 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi

Pemanenan kayu pelawan dilakukan secara manual menggunakan parang dengan menyisakan tunggak 10–20 cm di atas permukaan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan pada beberapa lokasi bekas pemanenan kayu pelawan, ditemukan bahwa tunggak pelawan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menghasilkan trubusan, dengan jumlah tunas dapat mencapai 30 buah. Namun demikian, hal ini tidak disadari oleh masyarakat karena mereka lebih terfokus untuk mencari lokasi-lokasi baru dan mengumpulkan kayu pelawan sebanyak mungkin dari habitatnya di hutan-hutan sekunder atau ladang yang tidak terkelola. Pertumbuhan trubusan pada lahan-lahan bekas pemanenan kayu pelawan tidak terpelihara bahkan cenderung dirusak secara tidak sengaja oleh manusia atau hewan peliharaan. Meskipun trubusan ini sebenarnya dapat tumbuh dengan baik dan berpeluang besar untuk dipanen kembali pada waktu berikutnya, ketidakpahaman masyarakat akan sistem regenerasi pelawan, mengakibatkan hanya sedikit saja trubusan yang dapat tumbuh hingga dapat dipanen kembali. Pola eksploitasi pelawan yang hanya mengandalkan ketersediaan di alam tanpa diikuti oleh kegiatan pemeliharaan trubusan atau penanaman untuk pengayaan mengakibatkan ketersediaan pelawan di alam semakin berkurang. Para pencari pelawan semakin kesulitan untuk mencari lokasi-lokasi baru untuk memperoleh pelawan. Jarak ke lokasi pengumpulan juga semakin jauh dan mengakibatkan semakin besarnya biaya transportasi, beberapa kelompok kemudian membubarkan diri dan mencari aktivitas lain. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada kurangnya pasokan bahan baku kayu pelawan untuk pembuatan arang pelawan. Penggunaan kayu pelawan sebagai sumber energi merupakan hal yang positif karena penggunaan ini bersifat ramah lingkungan dan emisi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara. Penggunaan energi biomassa seperti kayu pelawan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan manusia terhadap energi fosil. Beberapa ahli memperkirakan bahwa biomassa, pada masa yang akan datang dapat menggantikan fungsi batubara sebagai pembangkit listrik dan substitusi bahan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 135 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

bakar pada sector industri (Cahyono, Coto, & Febrianto, 2008; Erikson, Hall, & S. Helynen, 2002; Xue, Zhang, Zhou, Ma, & Ma, 2013; Yulianti & Abdullah, 2019).

Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi Pemanfaatan pelawan sebagai sumber energi, baik sebagai kayu bakar maupun sebagai bahan baku pembuatan arang pelawan akan optimal dan berlangsung secara berkelanjutan jika dikelola secara baik dengan sistem pangkas, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Jika sistem pangkas dibangun dalam bentuk hutan tanaman, maka pengelola dapat memilih lokasi sedekat mungkin dengan industri pembuatan arang untuk mengurangi biaya transportasi. Hutan tanaman yang dibangun untuk menhasilkan energi saat ini sudah mulai banyak dikembangkan di negara maju, khususnya negara- negara Eropa, China dan Amerika. Hutan ini dikenal dengan istilah Energy Forest (Rocha et al., 2016), dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah Hutan Tanaman Energi. Pembangunan hutan tanaman energi dapat mengurangi tekanan terhadap hutan alam sekaligus mengurangi kegiatan eksploitasi yang bersifat illegal. Sistem pangkas (Coppice system) merupakan pilihan sistem silvikultur paling efektif untuk pengelolaan hutan tanaman energi karena dapat dikelola dengan daur yang lebih cepat untuk menghasilkan biomassa (Erikson et al., 2002). Kemampuan pelawan untuk menghasilkan trubusan dan spesifikasi kebutuhan kayu pelawan pada sektor industri arang pelawan yang membutuhkan kayu dengan diameter kecil (6–10 cm) merupakan alasan kuat untuk membangun sistem pangkas pelawan untuk penghasil kayu energi. Pembuatan sistem pangkas pelawan dalam bentuk hutan tanaman pada tahap awal membutuhkan kegiatan penanaman. Pembuatan tanaman pelawan merupakan rangkaian proses yang memang membutuhkan pengetahuan silvikultur dan manajemen sehingga pemenuhan bahan baku pada sektor industri dan pengelolaan sistem pangkas dapat berjalan beriringan. Pengetahun silvikultur yang perlu dipahami dimulai dari kegiatan sumber benih, pembibitan, penanaman terutama pengaturan jarak tanam dan aspek pemeliharaan. Selanjutnya pada tahap pengelolaan sistem pangkas

136 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi perlu diketahui daur pangkas yang optimal, pemeliharaan trubusan termasuk jumlah trubusan yang optimal untuk dipelihara untuk tujuan produksi pada daur berikutnya. Hingga saat ini informasi sistem silvikultur pembangunan tanaman pelawan dan pengelolaannya masih sangat terbatas sehingga masih terbuka kegiatan riset terkait pengelolaan sistem pangkas pelawan untuk kayu energi. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi sebaran alaminya, pohon induk pelawan juga menghasilkan biji untuk regenerasi. Biji terdapat dalam buah yang berbentuk bulat kecil dengan diameter sekitar 0,5 cm (Gambar 13.2). Biji juga berbentuk bulat dengan diameter yang lebih kecil sekitar 0,1 cm dan dapat dikecambahkan di persemaian sebagai sumber bibit untuk penanaman. Biji yang dikecambahkan secara langsung di persemaian membutuhkan waktu yang lama untuk berkecambah yaitu sekitar 9–12 bulan (Hengki Siahaan et al., 2020), sehingga masih diperlukan penelitian untuk mempercepat atau memecahkan dormansi biji pelawan. Namun demikian, untuk memperoleh sumber benih yang lebih cepat dapat digunakan anakan yang terdapat di bawah pohon induk karena biji dapat pula berkecambah secara alami. Anakan hasil cabutan dapat dipelihara sekitar 6–9 bulan di persemaian untuk siap ditanam di lokasi penanaman. Penggunaan anakan alam merupakan strategi yang baik untuk memperoleh sumber bibit pelawan secara cepat.

Gambar 13.2 Buah pohon pelawan yang masih muda (kiri) dan yang sudah memencarkan biji (kanan)

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 137 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 13.3 Tanaman pelawan yang ditanam dengan jarak tanam 2 m x 1 m dan umur 3 tahun (kiri) dan trubusan pelawan (kanan)

Penanaman bibit pelawan dapat dilakukan dengan jarak tanam yang cukup rapat, misalnya 2 m x 1 m, 2 m x 2 m atau 2 m x 3 m, karena tanaman pelawan dipanen dengan ukuran diameter yang relatif kecil, yaitu 6–10 cm. Variasi pertumbuhan, baik variabel tinggi maupun diameter pada beberapa jarak tanam yang berbeda (2 m x 1 m; 2 m x 1,5 m; 1,5 m x 1,5 m; dan 1,5 m x 1 m) belum terlihat pada pertumbuhan awal tanaman hingga umur 3 tahun (Hengki Siahaan et al., 2020). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa riap pertumbuhan tinggi dan diameter pelawan masing-masing mencapai 153 cm/tahun dan 1,5 cm/tahun. Gambar 13.3 (kiri) menunjukkan performansi pertumbuhan tanaman pelawan umur 3 tahun dan Gambar 13.3 (kanan) menunjukkan pertumbuhan tunas umur 3 bulan setelah dipangkas. Penanaman untuk sistem pangkas pelawan dilakukan pada jarak tanam yang cukup rapat, namun demikian masih terdapat ruang pertumbuhan antar tanaman. Pemberian ruang antar tanaman dimaksudkan untuk memberi ruang pertumbuhan bagi tunas setelah pemanenan tahap pertama dilakukan. Besarnya ruang pertumbuhan yang optimal dan jumlah tunas yang dipelihara untuk daur pemanenan kedua dan seterusnya masih memerlukan kegiatan

138 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi penelitian lebih lanjut. Demikian pula bagaimana kualitas arang yang dihasilkan pada berbagai variasi jarak tanam, umur pemanenan, jumlah tunas yang dipelihara pada masing-masing daur serta aspek manajemen merupakan ruang yang masih terbuka untuk berbagai kegiatan penelitian sehingga sistem pangkas pelawan dapat menjadi sumber energi yang berkualitas bagi industri arang pelawan di Sumatera Selatan.

Simpulan Pengelolaan pelawan dengan sistem pangkas (Coppice system) merupakan salah satu alternatif strategi untuk menyediakan kayu pelawan secara berkelanjutan sebagai sumber energi bagi sektor industri, terutama industri arang pelawan di Sumatera Selatan. Penelitian lebih lanjut masih sangat terbuka terutama dari aspek silvikultur, manajemen pengelolaan serta kualitas kayu maupun arang pelawan.

Daftar Pustaka Cahyono, T.D., Coto, Z., & Febrianto, F. (2008). Analisis Nilai Kalor Dan Kelayakan Ekonomis Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi Batubara Di Pabrik Semen. Forum Pascasarjana, 31, 105–116. Erikson, H.M., Hall, J.P., & S. Helynen. (2002). Bioenergy from Sustaineble Forestry Guiding Principles and Practice. (J. Richardson, R. Bjorheden, P. Hakkila, A.T. Lowe, & C.T. Smith, Eds.). New York: Kluwer Academic Publishers. Hengki Siahaan, Sumadi, A., & Purwanto. (2020). Utilization and cultivation opportunities of pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) as a biomas energy source in Southern Sumatera Utilization and cultivation opportunities of pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) as a biomas energy source in. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. IOP Publishing. https://doi.org/10.1088/1755- 1315/415/1/012009 Henri, Hakim, L., & Batoro, J. (2018). Kearifan Lokal Masyarakat sebagai Upaya Konservasi Hutan Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(1), 49–57. https://doi. org/10.14710/jil.16.1.49-57

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 139 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Purwanto, Sumadi, A., & Siahaan, H. (2018). Seleksi Jenis-Jenis Kayu yang Potensial Dikembangkan Sebagai Sumber Energi Biomassa di Sumatera Selatan. In M. Aryadi, Y. Nugroho, Basir, Rahmiyati, & A. Natalia (Eds.), Silvikultur untuk Produksi Hutan Lestari dan Rakyat Sejahtera (pp. 893–900). Banjarbaru: Lambung Mangkurat University Press. Rocha, M.F.V, Vital, B.R., Carneiro, A.C.O., Carvalho, A., Cardoso, M.T., & Hein, P.R.G. (2016). Effect of Plant Spacing on the Phyisical, Chemical and energy Properties of Eucalyptus Wood and Bark, 28(3), 243–248. Siahaan, H., Sumadi, A., Kurniawan, A., Purwanto, & Imanullah, A. (2019). Budidaya dan pemanfaatan kayu energi jenis lokal potensial di sumatera selatan. Dalam: Pamungkas, G., Widyati, E., Abdullah, L., Yulianti, M., Narendra, B.H., Yuniati, D. … Darmawan, S. (Eds.). Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari sektor Kehutanan (pp. 175–194). Bogor: IPB Press. Turjaman, M., Faulina, S.A., Aryanto, Najmulah, Yani, A., & Hidayat, A. (2019). Isolasi, identifikasi dan pemanfaatan fungi yang berasosiasi dengan Tristaniopsis obovata. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 16(1), 73–90. Xue, Y., Zhang, W., Zhou, J., Ma, C., & Ma, L. (2013). Effects of stump diameter , stump height , and cutting season on Quercus variabilis stump sprouting, 28(3), 223–232. Yarli, N. (2011). Ekologi pohon pelawan (Tristaniopis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. Bogor Agriculture University. Yulianti, M., & Abdullah, L. (2019). Pemetaan Sebaran Kaliandra Sebagai Penghasil Kayu Energi di Majalengka dan Kuningan Jawa Barat. Dalam: Pamungkas, G., Widyati, E., Abdullah, L., Yulianti, M., Narendra, B.H., Yuniati, D. … Darmawan, S. (Eds.). Bunga Rampai Inovasi Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan menuju Kemandirian Energi Nasional (pp. 133–138). Bogor: IPB Press.

140 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH BAB 14 Menilik Kehidupan Tarsius Belitung

Fifin Fitriana dan Fatahul Azwar14

Pendahuluan Mendengar nama satwa tarsius, pasti terlintas dipikiran kita adalah satwa liar unik, kecil, langka dan dilindungi yang berasal dari Sulawesi. Hal ini wajar, mengingat publikasi ataupun pemberitaan tarsius lebih sering kita ketahui berada di Sulawesi, padahal terdapat 18 jenis tarsius dari famili Tarsiidae di dunia ini yang terklasifikasi menjadi 3 genus menurut Groves & Shekelle (2010) yaitu genus Tarsius penyebarannya di Pulau Sulawesi dan sekitarnya, genus Cephalopachus penyebarannya di Kalimantan, Sumatera bagian selatan, Pulau Bangka Belitung dan Kepulauan Natuna, serta genus Carlito yang penyebarannya di bagian selatan Filipina dan pulau-pulau sekitanya (Shekelle, 2008). Tarsius Sumatera dan Belitung sangat minim informasinya, hal ini yang menyebabkan juga persoalan konservasi jenis bagi satwa ini di kepulauan Sumatera minim dilakukan oleh parapihak terkait, dan bila hal ini terus dibiarkan tentunya akan menjadi ancaman besar bagi kelestarian jenis ini di Kepulauan Sumatera. Salah satu jenis tarsius yang ada di kepulauan Sumatera yang keberadaannya masih bias kita lihat secara pasti adalah tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus satator), sedangkan tarsius sumatera lebih sulit lagi perjumpaannya selain di pulau Bangka, tarsius Sumatera (Cephalopachus bancanus) berdasarkan penelusuran penulis terakhir terlihat penampakannya di pulau besar/induk (mainland) pada tahun 2013 di daerah Way Kanan, Lampung. Sama halnya dengan tarsius sumatera, tarsius belitung meskipun secara perjumpaan masih lebih pasti dapat dijumpai (karena bersifat endemik di satu pulau kecil saja). Oleh karena itu penyebarluasan informasi mengenai 14 Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, [email protected] Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup & Kehutanan - Palembang, rottenanarchist@ yahoo.com Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

jenis satwa ini harus lebih sering dipublikasikan guna merangsang berbagai pihak untuk melakukan upaya konservasi jenis baik melalui aksi langsung secara praktis maupun melalui kajian penelitian yang lebih dalam. Secara umum, tarsius merupakan primate yang berukuran sangat kecil yaitu sekitar 13 cm untuk panjang badannya dan panjang ekor berkisar antara 15–20 cm, serta aktif pada malam hari (MacKinnon & MacKinnon, 1980). Tarsius beraktivitas mulai dari senja saat matahari terbenam dan kembali beristirahat pada saat fajar (Amnur, 2010). Tarsius merupakan satwa insectivora atau pemakan serangga, beberapa jenis serangga yang menjadi pakan utama tarsius adalah kumbang, belalang, jangkrik, kupu- kupu, ngengat, semut, rayap, dan kecoa. Ngengat, kupu–kupu dan jangkrik merupakan sumber makanan penting tarsius di alam di alam (Sumiyarni, 2005). Selain itu tarsius juga memakan cicak, mencit, ular kecil dan burung kecil (Sesa et al., 2014). Tarsius tidak dapat menggunakan matanya untuk bergerak kekanan maupun kekiri akan tetapi kepalanya dapat memutar sebesar 1800 tanpa memutar tubuh (Napier & Napier, 1985). Hewan ini memiliki kemampuan untuk mencengkram dan melompat secara vertikal (Jolly, 1972). Tarsius bisa melompat lebih dari lima meter atau hampir setara dengan 40 kali dari ukuran panjang kepala tubuhnya (Macdonald, 2006). Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial (Whitten et al., 2002). Teritori ditandai dengan urin yang memiliki bau khas. Nietmietz (1979) menyatakan bahwa bau dengan urin dikenal sebagai komponen penting dalam perilaku tersius. Sistem perkawinan yang monogami menjadikan tarsius memiliki komposisi sex ratio antara jantan dan betina adalah 1:1 (Yustian, 2007). Adapun siklus hidup tarsius hanya 16 tahun. Tarsius belitung (Cephalopachus bancanus satator) dalam bahasa daerah disebut pelilean adalah salah satu dari empat sub spesies Cephalopachus bancanus yang endemik di Pulau Belitung (Groves & Shekelle, 2010). Secara morfologi dan sistem sosial tarsius belitung memiliki perbedaan dengan jenis lainnya terutama pada jenis dari genus Carlito dan Tarsius. Tarsius belitung memiliki bulu cenderung tipis keabuan di bagian punggung, serta hidup secara individu

142 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Menilik Kehidupan Tarsius Belitung dan tidak berkelompok, selain itu tarsius belitung tidak mengeluarkan suara panggilan duet pada pagi hari (Fogden, 1974). Sebaliknya pada genus Tarsius dan Carlito mengeluarkan suara panggilan duet pada pagi hari serta hidup secara berkelompok. Sebagian orang yang mengetahui tarsius beranggapan bahwa tarsius berasal dari Sulawesi dan Filipina. Hal ini karena penelitian terhadap tarsius Filipina dan Sulawesi sudah banyak dilakukan. Sementara penelitian dan publikasi terhadap tarsius belitung masih sangat minim. Penelitian hanya pernah dilakukan oleh Indra Yustian pada tahun 2007 tentang populasi, ekologi dan wilayah jelajah, pada tahun 2010 oleh Indra Yustian & Nadya B. Silva Lestari tentang desain kandang dan pengkayaan kandang bagi tarsius belitung dan pada tahun 2017 oleh Fifin Fitriana tentang Model spasial dari prefersni habitat tarsius, sehingga penelitian dan publikasi terhadap tarsius belitung masih sangat diperlukan. Sebelum tahun 2007 berdasarkan IUCN tarsius belitung termasuk satwa dalam kategori Vulnerable kemudian pada tahun 2008 berdasarkan penelitian Yustian (2007) status konservasi tarsius belitung menjadi Endangered Species. Meningkatnya status kerentanan tesebut dikarenakan tarsius belitung merupakan satwa endemik di Pulau Belitung yang luasan pulaunya hanya sekitar 4800 km2 dengan tekanan fragmentasi dan hilangnya habitat yang tinggi (IUCN, 2010). Yustian (2009) menyatakan bahwa kepadatan tarsius belitung di Pulau Belitung hanya sekitar 19-46 individu/km2. Angka tersebut diduga akan semakin berkurang karena adanya berbagai ancaman bagi keberadaan tarsius, baik pada populasi maupun habitatnya. Ancaman utama terhadap kelestarian tarsius belitung adalah reproduksi yang lambat dan sistem perkawinan monogami menjadi salah satu faktor kerentanan tarsius terhadap kepunahan (Norlaili, 2020). Ancaman terhadap habitat terjadi akibat adanya kegiatan perambahan dan konversi hutan karena kegiatan pertambangan timah dan perkebunan kelapa sawit dapat memicu proses kepunahan tarsius terjadi lebih cepat (Syafutra et al., 2017). Yustian (2009) menyebutkan kegiatan pertambangan dan perkebunan, terutama sawit menjadi faktor ancaman utama terhadap tarsius belitung. Adanya perubahan tutupan hutan yang dulunya mendominasi tutupan lahan di Pulau Belitung menjadi area tambang dan area perkebunan akan memengaruhi habitat alami tarsius belitung. Habitat alami tarsius belitung akan terfragmentasi menjadi kantong-

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 143 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

kantong habitat yang terisolasi. Indrawan et al., (2012) menyatakan bahwa satwa yang berada di habitat yang terisolasi akan terdorong pada fenomena kepunahan. Fragmentasi habitat dapat menyebabkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding) yang akan mengarah pada kepunahan genetik (genetic drift), Sehingga upaya konservasi sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian tarsius belitung di alam sangat diperlukan mengingat secara ekologi tarsius berperan menjaga keseimbangan ekosistem (Lowing et al., 2013).

Realitas dan Harapan Alikodra (2002) menyatakan bahwa keberhasilan satwa bertahan hidup dan meningkatkan populasinya tergantung pada kesesuaian habitat dengan kondisi spesifik yang dibutuhkannya. Kesesuaian habitat tarsius dapat diidentifikasi melalui pereferensi tarsius terhadap komponen habitat. Preferensi habitat adalah penggunaan habitat terpilih yang tidak proporsional dengan ketrersediaan habitat (Krausman, 1997). Habitat yang disukai menjadi suatu tapak yang ditempati atau ditemukan satwaliar lebih sering dibanding dengan seluruh tapak atau habitat yang tersedia (Petrides, 1975). Demikian juga pada jenis tarsius belitung. Tarsius belitung memiliki preferensi habitat untuk melangsungkan hidupannya (Fitriana et al., 2017). Preferensi tersebut diperlukan sebagai strategi dalam memperoleh mangsa (pakan), menghindari pesaing, menghindari predator dan ancaman (Petrides, 1975). Keberadaan tarsius belitung berkaitan erat dengan tipe tutupan lahan yang menjadi habitatnya. Tarsius belitung memiliki preferensi terhadap tipe tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak jika dibandingkan dengan tipe tutupan lahan seperti hutan sekunder yang berada di dalam kawasan hutan lindung atau di tutupan lahan perkebunan sawit (Fitriana, 2017) (Gambar 14.1). Hal ini ditandai dengan banyaknya perjumpaan tarsius belitung di lokasi tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak. Di Belitung tipe tutupan pertanian lahan kering dan semak memiliki koposisi vegetasi yang beragam yakni terdiri atas berbagai perkebunan di antaranya kebun lada, kebun karet, kebun nanas, kebun buah (kelekak) serta patch-patch hutan sekunder yang terbentuk dari sisa perkebunan karet. Jenis tegakan yang terdapat dalam tipe tutupan lahan ini pun beragam dari karet, tanaman perkebunan hingga semak

144 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Menilik Kehidupan Tarsius Belitung

(Fitriana, 2017). Komposisi tutupan lahan yang beragam menyebabkan serangga yang menjadi sumber pakan tarsius juga beragam. Jumlah jenis tumbuhan pada suatu tempat merupakan representasi dari keanekaragaman serangga yang berada di dalamnya (Murdoch et al., 1972). Erawati & Kahono (2010) menyatakan bahwa keanekaragaman serangga berkorelasi positif dengan tingkat kompleksitas lingkungannya. Lingkungan yang lebih kompleks (jenis tumbuhannya, iklim, ekosistemnya, dan landscape) biasanya memiliki keanekaragaman serangga yang lebih tinggi. Menurut MacKinnon & MacKinnon (1980) tarsius ditemukan hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat salah satunya adalah area perkebunan. Pendapat ini dikuatkan oleh Amnur (2010) bahwa serangga menyenangi jenis tanaman yang ditanam oleh penduduk. Tarsius kadang kala ditemukan di kebun dekat hutan (Napier & Napier 1967, Supriatna & Wahyono 2000). Hal inilah yang menjadikan tarsius banyak ditemukan di tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak.

Gambar 14.1 Kondisi habitat tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 145 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Tarsius belitung juga diketahui menyukai lokasi di tepi hutan (Fitriana, 2017) (Gambar 14.2). Pemilihan area-area tepi hutan oleh tarsius belitung sehubungan dengan kebutuhan pakan tarsius berupa serangga banyak terdapat di tepi hutan. Tepi hutan merupakan area ekoton, Laliberte et al., (2007) dalam Sartika (2013) menyatakan bahwa ekoton merupakan tempat dengan komposisi komunitas yang berubah dan terdapat pula keragaman evergreen hingga terdapat bermacam-macam karakteristik komunitas seperti rumput semak dan tumbuhan merambat. Oleh karena itu, di area ekoton memiliki biodiversitas yang lebih banyak karena merupakan daerah peralihan dua habitat, termasuk serangga kelimpahannya lebih tinggi di habitat ekoton. Area-area tepi hutan dimanfaatkan tarsius untuk mencari pakan pada malam hari sedangkan untuk berlindung tarsius memanfaatkan tegakan yang ada di dalam kawasan hutan untuk berlindung dari predator dan gangguan manusia. Berdasarkan penelitian Fitriana (2017) tarsius belitung juga menyukai area-area yang dekat dengan jalan setapak (Gambar 14.3). Meskipun tarsius sensitif terhadap keberadaan manusia namun preferensi tarsius terhadap area yang dekat dengan jalan setapak menunjukkan strategi tarsius belitung dalam berburu pakannya. Bismark (2009) dalam Hadinoto (2012) menyatakan bahwa keberadaan suatu spesies di suatu tempat tergantung dari adanya sumber pakan dan kondisi habitat yang sesuai. Tarsius menyukai area dekat dengan jalan karena tersedianya sumberdaya pakan. Cahaya matahari lebih banyak masuk di jalan dari pada di dalam hutan karena kondisi tutupan tajuk yang lebih terbuka. Rahmat (2010) menyatakan bahwa kondisi tajuk yang terbuka mengakibatkan banyaknya intensitas cahaya matahari yang masuk ke tanah. Hal ini mengakibatkan banyak semak yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan sehingga banyak serangga yang menjadi pakan. Selain itu intensitas penggunaan jalan setapak tidak seperti penggunaan jalan utama yang sering dilalui manusia. Jalan setapak biasanya hanya dimanfaatkan masyarakat untuk ke kebun atau ke hutan sehingga keberadaan jalan setapak dapat sebagai salah satu area yang dimanfaatkan tarsius untuk mencari pakan.

146 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Menilik Kehidupan Tarsius Belitung

Gambar 14.2 Area ekoton yang menjadi preferensi habitat tarsius belitung

Gambar 14.3 Area di sekitar jalan setapak yang menjadi preferensi tarsius belitung

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 147 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Tarsius belitung juga diketahui sering ditemukan di pekarangan rumah warga yang memiliki karaktersitik permukiman tidak padat dengan pekarangan berisi kebun buah maupun lada. Perkebunan di area permukiman memiliki kondisi yang hampir sama dengan perkebunan di tutupan pertanian lahan kering dan semak. Hal ini menjadikan sumber pakan tarsius juga melimpah seperti di tipe tutupan pertanian lahan kering dan semak. Preferensi habitat tarsius belitung yang demikian menjadikan tarsius belitung banyak ditemukan di luar kawasan lindung. Tarsius justru menyukai areal-areal perkebunan masyarakat dan dekat dengan permukiman. Kondisi tersebut menjadikan terancamnya keberadaan tarsius belitung di habitat alaminya. Meskipun masyarakat tidak lagi membunuh tarsius karena anggapan bahwa tarsius monyet hantu pembawa sial, namun status lahan yang menjadi hak masyarakat membuat masyarakat dihadapkan kepada dua pilihan antara kebutuhan ekonomi dengan merubah lahan menjadi perkebunan atau ekologi yaitu dengan mempertahankan lahan dan tidak merubahnya menjadi perkebunan agar dapat menjadi habitat tarsius. Pada kenyataannya masyarakat akan cenderung memilih merubah lahan untuk dijadikan perkebunan dan berujung pada hilangnya habitat tarsius. Minimnya kesadaran terhadap peran ekologi tarsius belitung menjadikan masyarakat kurang bijak dalam menentukan pilihan. Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menjadikan tarsius sebagai satwa identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan Keputusan Mendagri No:522.53-958/2010, tetapi adanya kebijakan tersebut belum dibarengi dengan langkah konservasi yang tepat. Idealnya dengan dijadikannya tarsius sebagai satwa identitas bisa dibarengi dengan kegiatan- kegiatan penyadartahuan kepada masyarakat sekitar untuk melakukan konservasi terhadap tarsius. Selain itu, pemerintah setempat harus menjadikan tarsius belitung tersebut sebagai ikon daerah baik disetiap kegiatan maupun bangunan dan menjadikannya sebagai daya tarik wisata sehingga akan banyak wisatawan yang berkunjung ke Belitung, dengan demikian kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dan rasa kebangaan memiliki tarsius akan semakin dimiliki oleh masyarakat. Sehingga akan timbul keinginan untuk mengkonservasi tarsius belitung. Tetapi pada kenyataanya upaya tersebut masih sangat minim.

148 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Menilik Kehidupan Tarsius Belitung

Perkembangan tarsius belitung sebagai objek wisata telah dilakukan oleh pelaku usaha wisata. Diketahui beberapa tempat wisata menjadikan menjadikan tarsius sebagai objek daya tarik wisata. Seperti di Batu Mentas dan wisata Bukit Meramun. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang positif karena menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengenalkan dan menyadartahukan masyarakat bahwa tarsius ada di Pulau tersebut, namun yang harus menjadi catatan adalah adanya kegiatan atraksi satwa tersebut harus dibarengi dengan kajian-kajian terkait aspek konservasi eksitu. Karena tarsius yang digunakan berasal dari alam, meskipun telah mendapatkan izin tetapi aspek kesejahteraan dan keberhasilan hidup di pengkaran harus menjadi fokus utama, mengingat tarsius merupakan satwa yang sensitif, dikhawatrikan ketika aspek-aspek tersebut tidak diperhatikan akan berdampak negatif terhadap populasi tarsius di alam. Sehingga penggalian informasi melalui penelitian terkait aspek penangkaran dengan bagaimana reproduksi, aktivitas dan kesejahteraan harus dikaji lebih lanjut serta laporan keberhasilan maupun kegagalan dalam mengkonservasi eksitu harus transparan. Upaya pemerintah untuk mengurangi kegiatan pertambangan timah dan perkebunan sawit yang merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup tarsius belitung juga masih minim. Meskipun tarsius digolongkan sebagai edge species yang menyukai tempat di tepi hutan, dekat dengan jalan dan permukiman, namun tarsius membutuhkan pohon di dalam hutan untuk beristirahat dan berlindung dari predator, sehingga kegiatan deforestasi dari pertambangan dan perkebunan sawit harus dimininalkan agar tidak merusak area yang menjadi habitat tarsius. Dengan dijadikannya hutan Lindung Gunung Tajam sebagai area konservasi tarsius bukan berarti sudah berhasil melakukan upaya konservasi. Masih perlu adanya strategi konservasi dan kajian di berbagai aspek yang harus dilakukan dengan kerjasama berbagai pihak untuk menjaga kelestarian tarsius. Area-area di tepi hutan menjadi habitat yang disukai tarsius harus dijaga dan dipertahankan. Area konservasi tarsius belitung berdasarkan karakteristik habitat preferensial tarsius belitung semestinya harus dibuat. Program kegiatan untuk meningkatkan penyadartahuan masyarakat terhadap kelestarian tarsius serta inisiatif-inisiatif gerakan konservasi harus segera mulai digalakkan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan seperti program penyuluhan terhadap peran tarsius dalam membantu menanggulangi hama,

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 149 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

pembentukan kelompok tani konservasi sebagai kader-kader konservasi agar dapat mengelola lahan perkebunan secara bijak dengan penggunaan pestisida yang tidak berlebihan, mengurangi pestisida dosis tinggi dan beralih ke biopestisida agar populasi serangga yang menjadi pakan tarsius tidak terganggu perlu dilakukan. Terlebih lagi kajian-kajian melalui penelitian diberbagai aspek terhadap tarsius belitung harus dilakukan agar memberikan pedoman yang lebih baik dalam mengelola dan mengkonservasi baik populasi maupun habitat tarsius belitung

Simpulan Tarsius merupakan satwa unik dan secara ekologi dapat menjaga keseimbangan ekosistem ternyata tidak hanya terdapat di Sulawesi dan Filipina tetapi juga ada di Belitung. Sehingga masyarakat harus bangga dengan keberadaan satwa ini, terlebih lagi dengan dijadikannya tarsius belitung ini sebagai satwa identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diharapkan kelestarian satwa ini dapat lebih diperhatikan. Kelestarian satwa ini bergantung pada kebijakan pemerintah dalam mengurangi tekanan kerusakan habitat, kesadaran masyarakat dalam menggunakan sumberdaya lahan serta kesadaran berbagai pihak untuk mengkaji dan melakukan penelitian terhadap setiap aspek pada tarsius belitung sehingga keberadaan tarsius belitung bisa banyak membawa manfaat dan populasinya lestari di alam.

Daftar Pustaka Alikodra, H.S. (2002). Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Amnur, N. (2010). Karakteristik Habitat Preferensial Tarsius (Tarsius tarsier) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Erawati, N.V, & Kahono, S. (2010). Keanekaragaman dan kelimpahan belalang dan kerabatnya (Ortophera) pada dua ekosistem pegunungan di TN Gunung Halimun-Salak. Journal Entomologi Indonesia 7(2), 100- 115.

150 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Menilik Kehidupan Tarsius Belitung

Fitriana, F., Prasetyo, L.B., & Kartono, A. P. (2016). Habitat Preferensial Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910). Media Konservasi. 21(2), 174–182. Fogden, M.P.L. (1974). A preliminary field study of the western tarsierTarsius bancanus Horsfield. Di dalam: Martin RD, Doyle GA, Walker AC, editor. Prosimian Biology. London: Duckworth, 151-165. Groves C, Shekelle M. (2010). The genera and species of tarsiidae. Int J Primatol. 31(6), 1071-1082. Hadinoto, Mulyadi, A., Siregar, Y.I. (2012). Keanekaragaman jenis burung di hutan kota Pekanbaru. J Ilmu Lingkungan 6(1), 25-42. Indrawan, M., Primack, R.B., Supriatna, J. (2007). Biologi Konservasi. Jakarta (ID) :Yayasan Obor Indonesia Isnaini, N. (2020). Pemetaan Tingkat Keterancaman Habitat Mentilin (Cephalopachus bancanus) di Taman Hutan Raya Gunung Menumbing. Yogyakarta: Universitas Gajahmada Jolly, A. (1972). The Evolution of Primate Behaviour. Macmillan. New York [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Red List of Threatened Species [internet]. [diacu 2015 Mar 07]. Tersedia dari: http://www.iucnredlist.org/. Krausman, P.R. (1997). Some Basic Principles of Habitat Use. 85–90 Lowing, A.E., Rimbing, S.C., Peternakan, F., Sam, U., & Manado, R. (2013). Karekteristik Sarang Tarsius (Tarsius spectrum) di Cagar Alam. 32(5). Macdonald, D.W. (2006). The Encyclopedia of Mammals. Oxford: Oxford University Press. MacKinnon, J., & MacKinnon, K. (1980). The behavior of wild spectral tarsiers. International Journal of Primatology, 1(4), 361–379. https:// doi.org/10.1007/BF02692280 Murdoch, W.W., Evans, F.C., Peterson, C.H. (1972). Diversity and pattern in plants and Insects. Journal Ecology. 53(5), 819-829 Napier, J.R., Napier, P.H. (1967). A Handbook of Living Primates. London :Academic Press

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 151 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Niemitz, C. (1979). Results of a field study on the western tarsier Tarsius( bancanus borneanus Horsfield, 1821) in Sarawak. Sarawak Museum Journal. 27, 171-228 Petrides, G.A. (1975). Principal foods versus preferred foods and their relation to stocking rate and range condition. Biological Conservation. 7, 161– 169 Rahmat, U.M. (2012). Sebaran spasial dan model kesesuaian habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sartika, S. (2013). Keragaman dan Pola Distribusi Vegetasi pada Daerah Ekoton di Leuweung Sancang Garut Jawa Barat. Jakarta: Universitas Indonesia Sesa, A., Yustian, I., & Negara, Z. (2014). Estimasi Populasi dan Habitat Tarsius Sumatera (Tarsius Bancanus Bancanus). Jurnal Penelitian Sains, 17(1), 168062. Shekelle, M. (2008). Distribution and biogeography of tarsiers. Primates of The Oriental Night, 1955, 13–27. Sumiyarni, N. (2005). Aktivitas yang berhubungan dengan pola konsumsi pakan tarsius (Tarsius bancanus) di penangkaran pada malam hari. Bogor: Institut Pertanian Bogor Supriatna, J., Wijayanto, I., Manullang, B.O., Anggraeni, D., Wiratno, Ellis. (2002). The state of Siege for Sumatra’s forest and protected areas: Stakeholders view durirrg devolution, and political plus economic crises in Indonesia. Proceedings of IUCN/V Taipei Conference; 2002 Mar 18-23; Taipei. 39-458 Syafutra, R., Alikodra, H.S., & Iskandar, E. (2017). Distribution and population of mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) in Bangka Regency. Current Research Journal of Biological Sciences 9(1), 9–15. https://doi.org/10.19026/crjbs.9.3421 Yustian, I. (2007.) Ecology and conservation status of Tarsius bancanus saltator on Belitung Island, Indonesia. Gottingen: Cuvillier Verlag.

152 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH Menilik Kehidupan Tarsius Belitung

Yustian, I., Merker, S., Muehlenberg, M. (2009). Luas daerah jelajah dan estimasi kepadatan populasi Tarsius bancanus saltator di Pulau Belitung. Journal Biologi Indonesia. 5 (4), 411-421 Whitten, A.J, Anwar. J, Damanik, S.J., Hisyam, N. (1984). The Ecology of Sumatra. Yogyakarta: UGM Pr

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI DATARAN RENDAH 153

BAGIAN 3

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 15 Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Iwan Tri Cahyo Wibisono15

Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara dengan lahan basah terluas di dunia, suatu anugerah yang tidak ternilai harganya. Luas lahan basah di Indonesia diperkirakan lebih dari 30 juta hektar, termasuk di dalamnya 14,6 juta hektar lahan gambut dan 3,8 juta ekosistem mangrove. Namun di sisi lain, memiliki lahan basah dengan luasan yang luar biasa ini juga merupakan amanah dan tantangan. Lahan basah dan manusia pada dasarnya memiliki ikatan yang sangat erat, membentuk suatu harmoni yang telah berlangsung sejak lama. Keberadaan lahan basah menjamin tersedianya air tawar yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk konsumsi atau mendukung berbagai kegiatan manusia sehari-hari. Lahan basah juga mampu mengatur serta mengendalikan keseimbangan hidrologi sehingga dapat menghindarkan kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim penghujan. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan basah, berbagai manfaat telah diperoleh melalui berbagai produk seperti kayu, aneka produk herbal, getah, rotan, madu, dan masih banyak produk lainnya.

15 Program coordinator of wetlands conservation and restoration - Wetlands International Indonesia (Yayasan Lahan Basah/YLBA). Email: [email protected]; wibisono_ [email protected] Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Gambar 15.1 Kondisi Hutan Rawa Gambut di Taman Nasional Berbak (@ WII)

Gambar 15.2 Potensi ikan yang diperoleh masyarakat sekitar hutan rawa gambut (@WII)

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 157 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Mengingat berbagai kebaikan lahan basah, manusia sudah seharusnya memberikan timbal balik positif melalui upaya pelestarian lahan basah. Namun sayang manusia sendiri terdiri atas berbagai ragam latar belakang, sudut pandang, dan kepentingan. Di dalam suatu lanskap lahan basah, banyak pihak yang berkepentingan, Masih ada kalangan yang peduli dan konsisten dalam melestarikan lahan basah. Di saat yang sama ada juga kalangan yang melihat lahan basah (wetlands) sebagai wasteland (lahan tidak berguna) sehingga tidak begitu memperdulikan keberadaan lahan basah. Ironisnya terdapat juga banyak kalangan yang menilai lahan basah sebagai lahan yang bisa dieksploitasi dan diusahakan semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan ekonomi. Bentuk pengusahaan ini sebagian besar dengan cara merubah lahan basah menjadi aneka bentuk usaha termasuk kebun sawit atau hutan tanaman. Dikarenakan komoditas tersebut merupakan jenis asing (eksotik) yang tidak memilki ketahanan terhadap kondisi alami di lahan basah yang selalu lembap dan basah, maka dibuatlah saluran air yang menguras air di lahan gambut. Alhasil muka air tanah di lahan gambut menjadi kering dan rawan terbakar. Berbeda dengan lahan kering, lahan basah terikat dalam satu kesatuan hidrologi di mana satu lokasi memiliki keterkaitan hidrologis dengan lokasi lain di dalam suatu lanskap. Sebagai contoh: pembangunan saluran drainase oleh suatu perusahaan menyebabkan turunnya muka air tanah di desa sekitarnya meskipun tidak ada masyarakat yang membangun parit atau kanal di desa. Dalam hal ini, suatu pepatah berlaku “seseorang yang memakan nangka, namun orang lain yang kena getahnya”. Pada saat ini, kenyataannya sebagian besar lahan basah telah mengalami perubahan dan kerusakan. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas manusia yang dilakukan di lahan gambut. Pengeringan terjadi secara masif. Di sisi lain, luas hutan mangrove juga menurun drastis dari tahun ketahun. Konversi hutan mangrove menjadi tambak di pulau jawa, sumatera dan kalimantan sangat marak terjadi di era tahun 1980-1990an. Ironisnya, saat ini sebagian besar tambak tersebut terlantar menyusul serangan virus white spot yang melumpuhkan budidaya udang saat itu. Dalam lima tahun terakhir, banyak sekali media yang memberitakan alih fungsi hutan mangrove menjadi kebun sawit. Dari pemberitaan pula, kita mengetahui berbagai cerita menyedihkan

158 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan sepanjang tahun; kebakaran lahan gambut di musim kemarau dan kebanjiran di musim penghujan. Sedih sekali mengetahui masyarakat di sekitar lahan yang terdampak secara langsung dari bencana ini, sekalipun mereka tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keberlangsungan lahan basah. Di musim kemarau, mereka meghirup asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Sementara di musim penghujan, mereka menanggung risiko dari kebanjiran.

Gambar 15.3 Kerusakan yang terjadi di lahan gambut (@WII)

Strategi pengelolaan yang kemprehensif sangat diperlukan untuk menata kembali tata kelola lahan basah dalam rangka perbaikan ke depan. Dalam konteks ini, kondisi lahan basah perlu dipetakan dengan baik sebagai basis dalam penentuan intervensi yang perlu dilakukan. Secara garis besar, terdapat tiga tipologi lahan basah yang ada saat ini yaitu: 1) lahan basah yang masih alami (intake), 2) lahan basah yang terlanjur dikelola atau dimanfaatkan, dan 3) lahan basah yang telah mengalami kerusakan atau degradasi. Untuk lahan basah yang masih tersisa, maka perlindungan dan konsevrasi merupakan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 159 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

intervensi yang perlu dilakukan. Untuk lahan basah yang telah terlanjur dimanfaatkan, maka best management practices merupakan langkah yang perlu di dorong. Dengan melakukan hal ini, maka risiko atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pemanfaatan lahan basah dapat diminimalisir. Sementara untuk lahan basah yang telah mengalami kerusakan, maka restorasi merupakan intervensi yang harus diilakukan.

Menyingkap yang tak Terungkap Obrolon Pelepas Lelah disingkat OPL merupakan salah satu webinar daring yang menyajikan berbagai muatan-muatan strategis terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem lahan basah (wetlands). Sesuai dengan namanya, webinar ini dikemas secara santai sehingga sangat tepat untuk diikuti peserta sambil beristirahat melepaskan penat dan lelah. Meskipun disajikan secara santai namun sama sekali tidak mengurangi esensi dan pesan kuncinya. Materi yang berjudul “Api di lahan gambut” oleh Agus Kurniawan secara gamblang mengupas berbagai penyebab kebakaran di lahan gambut serta dampak yang ditumbulkannya. Secara spesifik ditekankan bahwa lahan gambut yang mengalami pengeringan akan sangat rentan terhadap risiko kebakaran. Penting juga untuk diketahui apabila gambut telah terbakar, maka fungsi penyerap air akan hilang dan bahkan akan terjadi irreversible drying atau pengeringan tak balik. Upaya restorasi hidrologi perlu dilakukan melalui program pembasahan kembali atau rewetting mnelalui penyekatan kanal atau penimbunan kanal. Mengambil isyu yang berbeda, Ibnu Budiman yang merupakan peneliti WRI menyampaikan topik menarik bertajuk “Paludikultur, dari Jerman hingga Pedamaran”. Diawali dengan pengalaman negara-negara eropa dalam menerapkan budidaya lestari di lahan gambut basah, konsep paludikultur disebutkan memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia. Menariknya, meskipun masyarakat Desa Padamaran-Kabupaten OKI belum pernah mengenal istilah paludikultur, justru mereka telah menerapkannya di lapangan sejak dahulu kala. Melalui pengelolaan padang purun, masyarakat secara lestari memanfaatkan purun dan mengolahnya menjadi aneka produk kerajinan

160 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan seperti tas, tikar, dan serta aneka produk berbasis anyaman. Mengingat paludikultur merupakan hal yang baru di Indonesia, tentunya perlu upaya untuk mengenalkan konsep ini secara lebih luas serta memberikan perspektif terhadap beberapa pebdekatan dalam konsep paludikultur. Dalam konteks ini. Dalam paparannya, Ibnu Budiman menekankan perlunya kerjasama antar program paludikultur, fungsi monitoring, dan inovasi dalam menunjang pengembangan paludikultur di Indonesia. Dalam paparan yang lain, isu tentang pohon jelutung diangkat oleh Surbekti Rahayu yang merupakan peneliti senior dari ICRAF. Malalui paparan yang berjudul “jelutung riwayatmu dulu”, nara sumber memberikan atensi yang khusus tentang hilangya pasar getah jelutung yang pada masa lalu potensi ekonimi yang tinggi. Mengingat jelutung merupakan jenis pohon asli gambut, maka sangat diharapkan untuk dapat memulihkan pasar getah jelutung sepeti sediakala. Apabila ini terjadi maka aspek ekologi dan ekonomi akan bertemu dan menjadi salah satu solusi dalam pengelolaan lahan gambut di masa mendatang. Paparan lanjutan yang terkait adalah “Mendulang sineol di lahan gambut” oleh Iman Muslimin. Dalam paparan ini, tanaman kayu putih atau gelam (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) memiliki kandungan sineol yang merupakan bahan utama dalam pembuatan minyak kayu putih. Berdasarkan penelitian, penyulingan daun menjadi minyak kayu putih memiliki nilai rendemen 0,65 %. Artinya setiap 100 kg daun kayu putih akan menghasilkan 0,65 kg atau setara dengan 0,58 liter minyak kayu putih. Melihat potensi ini maka perlu kiranya dipikirkan upaya budidaya yang intensif, menjadikan jenis tanaman ini untuk revegetasi, serta mengoptimalkan potensi sineol untuk diolah menjadi minyak kayu putih. Terdapat juga pokok bahasan yang sangat menarik tentang pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Kayu (HHBK), sebagaimana tema yang diangkat oleh Mamat Rahmat yaitu “Madu Mangrove”. Dari kajian yang dilakukannya, dijumpai potensi yang besar berupa madu di hutan mangrove sembilang. Namun sayang, pola pemanfaatan yang dilakukan saat ini masih belum tertata dengan baik. Pemananen madu yang dilakukan masyarakat masih menganut hukum rimba “siapa yang cepat maka dialah yang dapat”. Pola pemanfaatan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 161 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

seperti ini sayangnya berdampak terhadap menurunnya kualitas madu sehingga berpengaruh terhadap harga jual. Penataan atau pengaturan pola pemanfaatan madu perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas madu mangrove serta menjamin kelestarian hasil di masa mendatang. Dengan dukungan para pihak sangatlah diperlukan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar sekaligus melestarikan hutan mangrove di Taman Nasional Sembilang melalui pemanfaatan madu mangrove secara lestari. Selanjutnya, Tubagus Angga Anugrah Syabana mengajak sahabat OPL untuk “mengenali lahan sebelum menanam”. Mengambil contoh program KUD di daerah lalan dalam mengelola perhutanan sosial. Sebelum dilakukan pemanaman, anggota KUD Bersama dengan peneliti melakukan survei untuk melihat karakteristik lahan yang akan ditanami. Dalam kegiatan ini, tim survei mengukur kedalam gambut, menganalisa PH dan melakukan pengecekan pirit. Hasil survei kemudian dijadikan dasar sebagai penentuan jenis tanaman untuk dikembangkan di lokasi tersebut. Isu gender diangkat oleh Ari Nurlia melalui paparannya yang bertajuk “pelibatan perempuan dalam pengelolaan lahan gambut”. Mengawali paparannya, disampaikan bahwa pelibatan perempuan dalam kegiatan pengelolaan dan restorasi gambut masih sangat kurang. Hal ini tidak terlepas dari unsur budaya di mana sistem patriarki yang dianut sebagian penduduk Indonesia sering kali menempatkan perempuan menjadi warga negara nomor dua. Padahal perempuan cenderung lebih dekat dengan lingkungan. Banyak perempuan yang menjadi penyangga ekonomi rumah tangga disaat terjadi kerentanan akibat adanya kebijakan larangan membakar lahan, misalnya menjadi pencari dan penganyam purun, para perempuan pencari ikan dan lain-lain. Selain itu terdapat suatu karakteristik perempuan yang cenderung melindungi dan menjaga nama baik suami maupun keluarganya saat berada diluar rumah. Di saat yang sama perempuan dalam dinamika rumah tangga sering kali bersifat lebih dominan dibanding laki-laki terutama dalam menentukan arah dan kebijakan dalam keluarga. Pada umumnya perempuan memiliki peran dibelakang layar namun dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi laki-laki. Mengakhiri paparannya, narasumber

162 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan menyatakan bahwa pemahaman yang baik dari perempuan akan dapat memengaruhi pemahaman yang baik juga dalam lingkup kehidupan rumah tangganya terkait ekosistem gambut. Pohon sebagai roh perekonomian rumah tangga gambut dibawakan secara menarik oleh Nur Arifah Ulya. Mengutip Gregersen dan Contreras (1979), pohon diibaratkan sebagai “pabrik sekaligus produknya”. Dengan demikian menebang pohon di hutan berarti juga menutup pabriknya. Di lahan gambut, pohon juga berfungsi sebagai sumber biomassa melalui proses paludifikasi. Begitu besar peran pohon dilahan gambut maka penerapan paludikultur perlu didorong implementasinya di dalam restorasi gambut. Lebih jauh, nara sumber merekomendasikan suatu multi usaha berbasis pohon dalam restorasi lahan gambut. Multi usaha berbasis pohon yang prospektif untuk dikembangkan antara lain karbon, ekowisata, dan HHBK (buah buahan, getah, ikan, dan madu).

Penutup Dari beragam topik OPL lahan basah ini, terlihat irisan yang sangat jelas dan keterkaitan dengan strategi pengelolaan lahan basah melalui tiga intervensi sebagaimana dijelaskan sebelumnya yaitu perlindungan-konservasi, pemanfaatan secara bijaksana/best practices, dan restorasi. Relasi antara materi yang dibahas dan diiskusikan dalam OPL digambarkan melalui diagram berikut.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 163 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 15.4 Diagram alir yang menggambarkan relasi materi OPL dengan tiga intervensi dalam strategi pengelolaan lahan basah

Kembali kepada harmoni antara manusia dan lahan basah yang sudah terkikis, diperlukan suatu keputusan dan langkah konkret menuju perbaikan pengelolaan lahan basah di masa mendatang. Berikut ini adalah langkah- langkah yang diperlukan dalam rangka memperbaiki pengelolaan lahan basah di Indonesia serta memperbaiki harmoni antara manusia dan lahan basah. Pertama, perbaikan tata kelola lahan basah. Dalam konteks ini, peran pemerintah sangatlah penting terutama untuk mengeluarkan kebijakan yang menjamin keberlangsungan lahan basah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 jo. PP no. 57 tahun 2016 telah memberikan arahan tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut. Peraturan yang untuk beberapa tipe ekosistem yang ada di lahan basah tentunya sangat diharapkan untuk perbaikan tata kelola lahan basah secara keseluruhan. Kedua, lindungi lahan basah yang masih tersisa. Belajar dari pengalaman yang ada, mencegah kerusakan jauh lebih baik dari pada memperbaiki kerusakan. Terlebih bagi lahan gambut, bila telah terganggu maka sangatlah sulit untuk dapat mengembalikan kondisi seperti semula. Moratorium hutan primer dan lahan gambut yang telah dimulai tahun 2011 dan kemudian dipermanenkan tahun 2019 merupakan salah satu contoh kebijakan yang

164 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan tepat dan sungguh bermakna bagi pelestarian lahan basah. Kebijakan lain masih perlu diambil untuk lebih memperkuat upaya perlindungan lahan basah. Ketiga, restorasi lahan basah yang mengalami kerusakan. Di lahan gambut, pembasahan kembali atau rewetting merupakan langkah yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kerusakan hidrologi sebagai akibat pembuatan kanal. Di zona budidaya, penyekatan kanal (canal blocking) perlu dilakukan untuk menakkan muka air tanah sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun untuk di zona perlindungan, maka penimbunan kanal menjadi opsi terbaik untuk membuat lahan gambut sebasah atau selembap mungkin. Apabila yang terganggu adalah vegetasinya, maka kegiatan revegetasi perlu dilakukan dengan cara melakukan penanaman berbagai jenis tanaman asli. Dengan mandat presiden, Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak tahun 2016 telah melakukan berbagai upaya dalam mengkoordinasikan serta melaksanakan kegiatan restorasi lahan gambut di Indonesia. Langkah ini tentunya perlu mendapatkan dukungan dari para pihak, termasuk komitmen untuk terus melakukan restorasi di wilayah kelola masing-maisng di masa mendatang. Untuk tipe eksosistem lain di lahan basah, restorasi juga harus dilakukan terhadap lokasi yang mengalami kerusakan. Pemetaan kerusakan perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan langkah terbaik dalam upaya restorasi ini.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 165 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 15.5 Sekat kanal dan reforestasi di areal ex PLG (@WII-CKPP)

166 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah: Tantangan, Realitas, dan Harapan

Gambar 15.6 Rehabilitasi mangrove di areal pertambakan (@WII)

Keempat, pengelolaan bijaksana (responsible management) untuk kegiatan pemanfaatan yang terlanjur dilakukan oleh pelaku usaha. Demikian luasnya lahan gambut yang telah terlanjur diusahakan sebagai hutan tanaman dan kebun sawit, maka komitman para pelaku usaha sangatlah vital. Tata kelola air haruslah dilakukan dengan serius dan terus-menerus untuk menjaga muak

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 167 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

air tanah di lahan gambut tidak lebih dari 0,4 m sebagai mana diamanatkan oleh pemerintah. Beberapa infrastruktur perlu dibangun untuk mengatur tata air di lahan gambut, termasuk sekat kanal. Hal yang penting untuk diketahui adalah, tata kelola air di wilayah konsesi tidak dapat subsidensi lahan gambut, hanyalah mengurangi lajunya saja. Cepat atau lambat subsidensi akan mencapai ambang batasnya dan umur pakai lahan gambut untuk kegiatan budidaya konvensional mencapai titik akhir. Apabila ini terjadi, maka lahan gambut akan tergenang permanen sehingga kegiatan budidaya sudah tidak bisa dilakukan. Untuk mengantisipasi hal ini, pelaku usaha perlu mulai memikirkan berbagai komoditas lokal yang memiliki nilai ekonomis sebagai opsi kegiatan budidaya di masa mendatang. Dalam konteks ini, konsep paludikultur (budidaya di lahan gambut basah) perlu dipertimbangan untuk pemanfaatan lahan gambut ke depan. Kelima, memberikan ruang dan peran aktif kepada masyarakat dalam pengelolaan lahan basah. Dengan pengalaman mengelola sumbedaya alam secara tradisional dan kerifan lokal yang dimiliki, masyarakat memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menjaga dan mememelihara lahan basah. Peran pemerintah dalam memfasilitasi masyatakat dalam pengelolaan lahan basah sangatlah penting, disamping juga dukungan dari para pihak. Keenam, kesadaran lingkungan para pihak. Peningkatan kesadaran lingkungan perlu ditingkatan agar terjadi kesadaran bersama untuk menjaga dan melestarikan lahan basah. Perhatian lebih perlu ditujukan kepada para pengambil keputusan mengingat peran kunci mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Upaya ini perlu ditunjang dengan pemberian informasi yang memadai agar mereka mengetahui peran dan fungsi lahan basah. Dengan demikian maka setiap keputusan strategis yang diambil akan terus mempertimbangkan aspek ekologis lahan basah. Potret lahan basah telah dibingkai dan langkah-langkah perbaikan telah diurai. Tibalah saatnya manusia untuk mengambil langkah konkret dalam upayanya mengembalikan harmoni dengan lahan basah. Dengan niat dan komitmen bersama, niscaya upaya yang ditempuh akan dapat berjalan dengan baik dan harmoni dapat dicapai.

168 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 16 Api dalam Gambut

Agus Kurniawan16

Pendahuluan Indonesia memiliki areal gambut lebih dari 20 juta Ha atau sekitar 10,8 persen dari seluruh luas daratan dan tebagi dalam 673 kesatuan hidrologi gambut (KHG) yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (webgis.dephut.go.id, 2019). Lahan rawa gambut merupakan bagian ekosistem yang memiliki karakteristik dan fungsi yang unik. Gambut memiliki fungsi hidrologis sebagai penampung air karena sifat gambut yang seperti spon yang dapat menyerap banyak air. Selain itu gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat besar sehingga keberadaan dan fungsinya sangat penting dalam pengendalian perubahan iklim. Karakter gambut dan fungsi gambut tersebut dapat rusak apabila terjadi pengeringan dan kebakaran gambut. Lahan gambut di Indonesia terbakar hampir setiap tahun dan mencakup luasan yang sangat besar (Adinugroho, Suryadiputra, Saharjo dan Siboro, 2005). Dampak karhutla gambut menimbulkan kerusakan yang luar biasa terhadap fungsi-fungsi ekologi yaitu menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya alama hayati gambut beserta ekosistemnya sebagai penyangga kehidupan, antara lain rusaknya fungsi hidoorologi, berkurangnya keanekaragaman jenis flora fauna sebagai sumber plasma nutfah, penurunan kualitas tanah dan pemanasan global (Saharjo & Basuki, 2019). Selain itu karhutla gambut juga merusak fungsi ekonomi, sosial dan politik kawasan. Karhutla gambut di Indonesia lebih luas dibandingkan karhutla di lahan mineral; 6. Pengendalian karhutla gambut jauh lebih sulit dan perlu biaya jauh lebih besar dibandingkan kebakaran di lahan mineral. Dampak kebakaran lahan gambut terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK),

16 Balai Litbang LHK Palembang, email: [email protected] Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

gas beracun 16–45 kali juga lebih besar dibandingkan lahan mineral (Levine, 1999; Stockwell et al., 2016). Emisi GRK di Indonesia 45% bersasal dari lahan gambut dan meningkat menjadi 60–75% pada musim kering (Triadi, Adjie, & Lasmana, 2018). Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut melibatkan risiko keselamatan sumberdaya dan biaya yang sangat besar sehingga upaya pencegahan karhutla gambut harus selalu menjadi prioritas dibandingkan upaya pemadaman. Lahan gambut merupakan laboratorium alam terbesar yang dimiliki oleh Indonesia yang selama ini masih belum sepenuhnya dapat dikelola dengan baik karena berbagai keterbatasan. Pengembangan ilmu pengetahuan sangat diperlukan untuk dapat mengelola lahan gambut dengan tepat. Lahan gambut yang sangat luas ini merupakan potensi besar untuk menggali ilmu seluas-luasnya sehingga potensi kebakaran hutan gambut dapat ditekan pada titik terendah di masa yang akan datang. Misteri dalam gambut masih sangat banyak yang belum diketahui dan ini merupakan objek penelitian yang menarik bagi dunia penelitian khususnya di Indonesia. Karhutla ditinjau dari penyebabnya secara umum disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu: 1. Adanya nyala api; 2. Tersedianya bahan bakar dan 3. Tersedianya lingkungan yang mendukung, terutama faktor oksigen (O2). Faktor nyala api yang menjadi penyebab karhutla di Indonesia 99,9% oleh manusia (Rachman, Saharjo, & Putri, 2020; Adinugroho, Suryadiputra, Saharjo, & Siboro, 2011) sehingga pendekatan pemecahan harus memperhatikan 3 faktor tersebut. Faktor lingkungan adalah faktor alam yang tidak dapat dikendalikan. Faktor kondisi bahan bakar merupakan faktor utama yang menjadi kunci terjadinya kebakaran. Kondisi kelembapan bahan bakar (moisture content/ MC) merupakan penentu utama bahan bakar menyala atau tidak jika terdapat nyala api (de Groot, Wardati, & A, 2005), sedangkan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran ditentukan oleh volume/kelimpahan bahan bakar.

170 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Api dalam Gambut

Realitas dan Harapan Bahan bakar merupakan faktor penentu terjadinya kebakaran. Bahan bakar yang tersedia di lahan gambut tidak hanya tersedia di permukaan tetapi juga tersedia di bawah permukaan dan bahkan jauh lebih besar volumenya dibandingkan dengan bahan bakar yang ada di permukaan. Lahan gambut adalah bahan organik, oleh sebab itu gambut dalam kondisi kering merupakan bahan bakar yang tersedia luar biasa melimpah. Untuk memutus proses terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut salah satu solusinya adalah menjaga supaya gambut selalu dalam keadaan basah. Gambut identik dengan kondisi basah. Pada kondisi basah maka kelestarian ekosistem dan fungsi gambut akan terjaga. Sebaliknya apabila khitahnya gambut yang basah ini dirubah kondisinya menjadi kering maka menimbulkan banyak bencana. Pengeringan gambut dapat terjadi secara alami karena adanya musim kering yang menyebabkan menurunnya tinggi muka air tanah dan juga dapat terjadi akibat upaya pengeringan yang dilakukan oleh manusia. Pengeringan oleh manusia umumnya dilakukan untuk kepentingan ekonomi yaitu pembukaan lahan perkebunan, hutan tanaman, pertanian dan kepentingan lainnya. Lahan gambut di Indonesia umumnya telah mengalami pengeringan akibat pembangunan kanal-kanal drainase. Kerusakan gambut dan risiko kebakaran hutan meningkat terutama disebabkan oleh pengeringan gambut tersebut (A Kurniawan, Graham, Applegate, & Utami, 2020). Gambut pada kondisi kering akan menjadi supply bahan bakar yang luar biasa melimpah dan berisiko terjadi karhutla yang sulit dikendalikan. Lahan gambut dalam kondisi kering adalah bahan bakar karena gambut tersusun oleh bahan organik dan berpotensi menjadi bahan bakar laten apabila gambut telah berubah sifat dari hidrofilic (menyerap air) menjadi hidrofobic (menolak air) karena telah mengalami pengeringan (A Kurniawan et al., 2020; Rachman et al., 2020). Bahan bakar gambut bersifat dinamis tergantung dari faktor jenis vegetasi dan faktor-faktor kondisi lingkungan. Kondisi kelembapan bahan bakar gambut ditentukan oleh faktor suhu, kecepatan angin, kelembapan udara, tinggi muka air tanah (TMAT), ketebalan gambut, tingkat kematangan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 171 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

gambut dan jenis vegetasi penyusun bahan bakar, semua faktor di atas sangat dipengaruhi oleh musim serta keberadaan kanal drainase. Sementara volume bahan bakar ditentukan oleh faktor (dominasi) jenis bahan bakar/jenis tumbuhan bawah/land cover, kerapatan (density), ketebalan gambut dan luas lahan. Lahan gambut di Indonesia umumnya telah mengalami pengeringan akibat pembangunan kanal-kanal drainase. Kerusakan gambut dan risiko kebakaran hutan meningkat terutama disebabkan oleh pengeringan gambut tersebut (Wasis, Saharjo, Kusumadewi, Utami, & Putra, 2018). Gambut pada kondisi kering akan menjadi supply bahan bakar yang luar biasa melimpah dan berisiko terjadi karhutla yang sulit dikendalikan. Lahan gambut dalam kondisi kering adalah bahan bakar karena gambut tersusun oleh bahan organik dan berpotensi menjadi bahan bakar laten apabila gambut telah berubah sifat dari hidrofilic (menyerap air) menjadi hidrofobic (menolak air) karena telah mengalami pengeringan (Triadi et al., 2018; Utami, Maas, Radjagukguk, & Purwanto, 2013). Fungsi penyerapan air pada gambut yang sangat kering akan sulit dilakukan karena dalam keadaan tersebut, gambut sudah tidak berfungsi sebagai tanah dan sifatnya menjadi seperti kayu kering. Sifat hidrofobic gambut ini sering juga dikenal sebagai sifat gambut yang irreversible drying (kering tak balik). Berdasarkan penelitian bobot gambut yang kering mutlak akan turun signifikan menjadi sekitar sepertiga dari bobot awalnya (kondisi basah) dan sifatnya seperti kayu kering, mengapung di atas air (Agus Kurniawan, Nurlia, Graham, & Grahamme, 2020). Hal ini dapat sedikit menjelaskan mengapa kebakaran gambut terjadi dalam waktu yang lama karena sulit dipadamkan.

Simpulan Kebakaran lahan gambut merupakan bencana yang menimbulkan kerusakan yang luar biasa besar terhadap fungsi-fungsi ekologi yaitu menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya alama hayati gambut beserta ekosistemnya sebagai penyangga kehidupan, antara lain rusaknya fungsi hidoorologi, berkurangnya keanekaragaman jenis flora fauna sebagai sumber plasma nutfah, penurunan kualitas tanah dan pemanasan global untuk itu tindakan pencegahan merupakan hal yang perlu dikedepankan.

172 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Api dalam Gambut

Pemahaman terhadap sifat fisik gambut dapat membantu dalam menentukan langkah pencegahan dan pengendalian karhutla gambut. Sifat irreversible drying merupakan sifat unik dari gambut yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan karhutla gambut dalam jangka panjang, artinya ekosistem gambut yang basah harus selalu dijaga untuk tetap basah sehingga tidak ada celah yang dapat memicu nyala api yang dapat menyebabkan kebakaran gambut.

Daftar Pustaka Adinugroho, W. C., I N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. de Groot, W. J., Wardati, B., & A, Y. W. (2005). Calibrating the Fine Fuel Moisture Code for grass ignition potential in Sumatra , Indonesia. International Journal of Wildland Fire, CSIRO, 14(2), 161–168. https:// doi.org/https://doi.org/10.1071/WF04054 Kurniawan, A, Graham, L., Applegate, G., & Utami, S. (2020). Highly grass fine fuel in contributing peat fire in South Sumatra. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 487, 012019. https://doi. org/10.1088/1755-1315/487/1/012019 Kurniawan, Agus, Nurlia, A., Graham, L., & Grahamme, A. (2020). Mid-term Project Report of ACIAR Project FST/2016/144: Impoving Community Fire Management and Peatland Restoration in Indonesia (p. 16). p. 16. Levine, J. S. (1999). The 1997 fires in Kalimantan and Sumatra, Indonesia: Gaseous and particulate emissions. Geophysical Research Letters, 26(7), 815–818. https://doi.org/10.1029/1999GL900067 Rachman, A., Saharjo, B. H., & Putri, E. I. K. (2020). Forest and Land Fire Prevention Strategies in the Forest Management Unit Kubu Raya, South Ketapang, and North Ketapang in West Kalimantan Province. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 25(2), 213–223. https://doi.org/10.18343/ jipi.25.2.213

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 173 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Saharjo, B. H., & Basuki, W. (2019). Valuasi Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Gambut Di Desa Mak Teduh Provinsi Riau. Valuasi Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Gambut Di Desa Mak Teduh Provinsi Riau, 10(1), 58–62. Stockwell, C. E., Jayarathne, T., Cochrane, M. A., Ryan, K. C., Putra, E. I., Saharjo, B. H., Yokelson, R. J. (2016). Field measurements of trace gases and aerosols emitted by peat fires in Central Kalimantan, Indonesia, during the 2015 El Niño. Atmospheric Chemistry and Physics, 16(18), 11711–11732. https://doi.org/10.5194/acp-16-11711-2016 Triadi, L. B., Adjie, F. F., & Lasmana, Y. (2018). Emisi Carbon Di Lahan Rawa Gambut Tropika the Impact of Ground Water Dynamics on Carbon Emission. Jurnal Sumber Daya Air, 14(1), 15–30. Utami, S. N. H., Maas, A., Radjagukguk, B., & Purwanto, B. H. (2013). Sifat Fisik, Kimia dan FTIR Spektrofotometri Gambut Hidrofobik Kalimantan Tengah. Journal of Tropical Soils, 14(2), 159–166. https:// doi.org/10.5400/jts.2009.v14i2.159-166 Wahyu Catur Adinugroho, Suryadiputra, I. N. N., Saharjo, B. H., & Siboro, L. (2011). Manual for the Control of Fire in Peatlands and Peatland Forest. Retrieved from www.wetlands.or.id Wasis, B., Saharjo, B. H., Kusumadewi, F., Utami, N. H., & Putra, M. H. W. (2018). Analysis of economic valuation of environmental damage due to sand mine in Gumulung Tonggoh, Cirebon District, West Java Province, Indonesia. Archives of Agriculture and Environmental Science, 3(4), 360–366. https://doi.org/10.26832/24566632.2018.030405 Webgis.dephut.go.id, 2019

174 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 17 Paludikultur: Dari Jerman hingga Pedamaran

Ibnu Budiman17

Pendahuluan Sekitar dua juta hektar lahan gambut di Indonesia masih dalam kondisi terdegradasi akibat kebakaran besar di 2015 dan 2019 yang menyebabkan kerugian ekonomi hingga 280 triliun rupiah dan bencana kesehatan serta lingkungan berupa emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim. Upaya pemerintah mengurangi risiko tersebut melalui program restorasi gambut sejak 2016 masih belum membuahkan hasil yang maksimal. Alih-alih memperbaiki upaya restorasi, pemerintah justru berencana untuk mengonversi hampir 200 ribu hektar lahan gambut di Kalimantan dan Riau untuk cetak sawah menanam padi dan tanaman lainnya dengan alasan ketahanan pangan, akibat klaim ancaman krisis pangan karena korona. Rencana cetak sawah di gambut ini berpotensi mengulangi kegagalan dan kerugian sebelumnya di proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di zaman orde baru dan proyek Food Estate di Merauke di 2010. Proyek-proyek tersebut gagal karena saat itu pemerintah tidak menyadari bahwa kapasitas petani belum cukup dalam mengolah tanah, melakukan pembenahan kesuburan dan pemupukan di ekosistem gambut yang rumit. Petani juga kesulitan menjalankan skema komersial dengan perusahaan. Selain itu, harga padi gambut juga lebih rendah dibanding padi biasa akibat perbedaan rasa. Proyek-proyek tersebut hampir tidak memproduksi beras dan justru menyebabkan kebakaran besar di tahun 1997 dan 2015. Saat ini, sejumlah lahan bekas proyek tersebut menjadi kering dan terdegradasi yang sering terbakar setiap musim kemarau.

17 WRI Indonesia dan Wageningen University and Research, [email protected] Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Pemerintah menyatakan bahwa kegagalan PLG tidak akan terulang karena pemerintah telah belajar dari kesalahan masa lalu. Menurut Kepala BRG, pengetahuan tentang pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan sekarang sudah berkembang dan pemerintah juga sudah memiliki peraturan tentang perlindungan lahan gambut yang memperbolehkan budidaya tanaman di lahan gambut dangkal. Namun, hingga saat ini, perkembangan signifikan masih belum terlihat dalam konteks kapasitas budidaya petani dan skema komersial yang sukses mendukung pertanian ramah gambut. Selain itu, penting diketahui bahwa: budidaya spesies lahan kering seperti padi tidak cocok dan tidak mendukung pemulihan lahan gambut yang terdegradasi. Hal ini akan merusak upaya restorasi gambut.

Spesies lahan kering dan restorasi Menteri LHK menyebutkan bahwa hasil kajian lingkungan hidup strategis terkait program cetak sawah di gambut menemukan 31 ribu hektar lahan gambut rusak berat dengan subsiden 3–8 meter. Ia menyatakan bahwa lahan ini bisa direstorasi dan ditanami lagi dengan cetak sawah. Hal ini jelas keliru karena spesies lahan kering seperti padi tidak membantu pembentukan kembali tanah gambut. Dalam praktik restorasi, pembasahan lahan penting diawal untuk memengaruhi pH, level oksigen, dan konsentrasi polifenol, untuk membuat tingkat dekomposisi biologis rendah. Setelah itu, penanaman vegetasi harus dilakukan menggunakan spesies asli yang dapat mendukung proses akumulasi bahan organik gambut, bukan dengan spesies lahan kering seperti padi yang juga tidak akan bertahan hidup karena lahan gambut memiliki unsur hara yang rendah. Spesies lahan kering seperti padi tidak termasuk spesies asli/native di lahan gambut. Meskipun di beberapa proyek, varietas padi seperti IR42 dan IR64 bisa tumbuh subur di ekosistem gambut, hal ini terjadi karena lahan gambut tersebut dikeringkan (Uda, Hein, & Adventa, 2020). Spesies lahan kering

176 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Paludikultur: Dari Jerman hingga Pedamaran biasanya ditanam di gambut dengan membangun bendungan/pematang sebagai upaya untuk menjaga ketinggian muka air. Banyak petani yang kesulitan dalam menjaga ketinggian muka air pada sawah di lahan gambut. Sehingganya, mereka membuat drainase yang mengeringkan lahan gambut dan menyebabkan gambut terdegradasi (Budiman, Bastoni et al., 2020). Spesies lahan kering tidak bisa memulihkan lahan gambut ke kondisi ideal dalam jangka waktu panjang, karena proses oksidasi atau interaksi antara oksigen dan zat lainnya di gambut disebabkan oleh penurunan tinggi muka air. Budidaya spesies lahan kering seperti padi sudah terbukti menyebabkan subsidens yang berakibat pada penurunan kualitas bahan organik dan peningkatan emisi di lahan gambut. Budidaya spesies lahan kering yang melibatkan drainase dan menyebabkan subsidens dan penurunan tinggi muka air tidak hanya berlawanan dengan konsep restorasi, tapi justru malah semakin meningkatkan risiko kebakaran dan emisi di lahan gambut. Sehingganya, budidaya spesies lahan kering tidak direkomendasikan dalam konteks pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.

Paludikultur, restorasi, dan harmoni Strategi alternatif untuk mendukung ketahanan pangan dan restorasi gambut bisa dilakukan dengan konsep paludikultur. Praktik ini adalah Teknik budidaya tanaman yang bernilai ekonomi dan mendukung pemulihan ekosistem gambut yang rusak (Tata, 2019). Wakil Menteri LHK menyebutkan ia akan mendorong konsep paludikultur di sebagian Kawasan eks PLG. Harusnya, ini diatur juga oleh regulasi untuk dilakukan di semua Kawasan eks PLG dan lahan gambut di Indonesia. Saat ini, pemahaman tentang konsep paludikultur masih terbatas di Indonesia. Konsep ini sering disalahpahami hanya sebagai pendekatan revegetasi untuk restorasi gambut. Sehingga kadang membuat sejumlah pihak sering melupakan kegiatan pembasahan sebelum penanaman dan salah dalam memilih spesies yang tepat, sehingga mengurangi efektivitas restorasi gambut.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 177 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Menurut konsep paludikultur, ada dua jenis spesies yang mendukung restorasi gambut, yaitu spesies asli dan spesies lain yang dapat beradaptasi pada gambut basah dan mendukung proses akumulasi bahan organik gambut. Studi dari Giesen (2015) menemukan ada 534 spesies yang tergolong ke dalam dua jenis tersebut. Spesies-spesies ini mampu beradaptasi terhadap tanah gambut yang bersifat asam dan resisten terhadap genangan. Spesies paludikultur ini mampu memproduksi biomassa, membantu akumulasi bahan organik gambut, dan menciptakan manfaat ekonomi (Giesen, 2015). 165 dari 534 spesies tersebut adalah tanaman pangan, di antaranya sagu, pare, dan kangkung. Ada juga 81 spesies lain yang dapat menjadi bahan material untuk energi, konstruksi, dan produk biokimia. Pemerintah dan para pihak seharusnya memanfaatkan spesies-spesies tersebut untuk mendukung budidaya tanaman yang sejalan dengan tujuan restorasi gambut, untuk pengelolaan lahan gambut yang menyeimbangkan manfaat ekonomi dan lingkungan. Paludikultur adalah sebuah usaha untuk menciptakan harmoni antara manusia (dari petani hingga pemangku kebijakan) dan alam lahan basah. Hal ini sedang dilakukan di berbagai benua, termasuk di Eropa, dan Asia. Ada lessons learned yang bisa dipelajari dari komparasi usaha-usaha tersebut.

Dari Jerman hingga Pedamaran Sejarah kemunculan paludikultur dimulai dari beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Belanda, dan Polandia. Konsep ini dikembangkan sejak tahun 1980an sebagai upaya untuk memberdayakan lahan basah dengan teknik yang ramah lingkungan (Joosten et al., 2014). Bagaimana perkembangannya saat ini? Di Jerman saat ini pengembangan paludikultur sudah di tahap produksi dan distribusi produk. Sejumlah upaya dilakukan untuk mendorong daya beli konsumer terhadap produk paludikultur. Di antaranya ada sebuah program bernama Paludicultur residence yang mendorong kolaborasi antara peneliti, petani, & penggiat seni untuk melahirkan inovasi produk dan inovasi sosial dari paludikultur. Program ini memberikan kesempatan bagi peneliti, seniman, dan praktisi untuk mengolah produk paludikultur seperti kayu lapis yang terbuat dari alder/alnus basah, cattails/rumput gajah dan alang-alang,

178 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Paludikultur: Dari Jerman hingga Pedamaran menjadi sebuah rumah semi permanen. Program ini juga berlokasi di area yang berdekatan dengan lahan basah, di mana para pesertanya kemudian juga berinteraksi dengan masyarakat sekitar untuk memahami dinamika sosial di lahan basah. Di Polandia dan Lithuania, komitmen dari para pihak termasuk pemerintah telah dilakukan dengan implementasi restorasi lahan basah di area lindung yang luas, via teknik paludikultur. Hal ini mendorong terciptanya harmoni manusia dan alam di lahan basah dalam skala besar (Ziegler, 2020). Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Istilah paludikultur baru kembali ramai diangkat di Indonesia setelah kebakaran besar lahan gambut di 2015 dan 2019. Namun secara konsep, praktiknya sudah dilakukan oleh sejumlah masyarakat lokal di Sumatera dan Kalimantan, di antaranya usaha kelompok masyarakat yang mengumpulkan tanaman purun dan mengolahnya menjadi ragam produk kerajinan dan anyaman. Sayangnya usaha ini masih mengalami banyak kendala dalam pengembangannya; belum adanya dukungan dan konsistensi komitmen dari pemerintah dan para pihak untuk mengembangkannya, serta kurangnya inovasi bisnis dan inovasi sosial dalam usaha ini - membuat pengembangan produk purun masih belum cukup berkembang (Budiman, Januar, Daeli, Hapsari, & Sari, 2020). Sejumlah kelompok masyarakat penggiat purun masih terjebak dalam kemiskinan. Kegiatan restorasi gambut dari pemerintah juga belum berhasil menyasar kelompok-kelompok purun dengan baik, untuk mengembangkan usaha mereka. Ditambah lagi, para pengelola konsesi perkebunan juga sering melarang masyarakat untuk mengumpulkan purun di area sekitar konsesi mereka, pada musim kemarau. Para pengelola konsesi menganggap kelompok purun berpotensi memicu kebakaran hutan dan lahan. Selain purun, ada juga upaya dari Balitbang LHK Palembang untuk mengadaptasi konsep paludikultur dalam projek restorasi gambut yang terintegrasi, antara upaya pembasahan, revegetasi, dan membantu mata pencarian masyarakat. Project ini menyesuaikan kebutuhan ekologis dari restorasi gambut dengan kebutuhan ekonomi masyarakat, dengan melibatkan kegiatan perikanan memanfaatkan kanal yang sudah di sekat di lahan gambut.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 179 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Simpulan Ada dua perbedaan dari pengembangan paludikultur di Eropa dan di Indonesia. Pertama, momentum memulai upaya pengembangan, di mana Eropa mengenal dan mengembangkan paludikultur lebih awal. Sains pertanian dan ekologi terkait paludikultur tidak lagi terlalu banyak diperdebatkan, diskursus saat ini lebih ke arah pengembangan sektor hilir nya; produk dari (budidaya) paludikultur dan strategi inovasi bisnis dan inovasi sosialnya terhadap masyarakat. Hal sebaliknya dari kondisi ini, terjadi di Indonesia. Kedua, pemerintah di Eropa lebih berkomitmen terhadap upaya pengembangan paludikultur, tidak hanya skala kecil, namun juga dalam skala besar, dengan memperuntukkan area yang luas untuk pengembangan paludikultur. Hal ini sayangnya belum terlihat (serius) di Indonesia. Kebijakan Food Estate sebaiknya berkomitmen penuh untuk menerapkan konsep paludikultur di lahan gambut dangkal yang akan dibudidayakan. Ada sejumlah langkah yang perlu diperkuat oleh para pihak di Indonesia dalam upaya pengembangan paludikultur. • Memperkuat Monitoring dan Evaluasi dari praktik atau projek- projek yang sudah (dan akan) dilakukan, sebagai upaya untuk membuktikan lebih lanjut jenis tanaman mana yang sesuai dengan konsep paludikultur; mendukung restorasi ekologi dan bernilai ekonomi • Mendorong kerjasama dengan para pihak dari sektor yang berbeda, untuk melahirkan strategi-strategi inovasi bisnis dan inovasi sosial untuk mengembangkan produk-produk paludikultur • Memperkuat kerjasama antar program paludikultur, di tingkat lokal, nasional, dan internasional; untuk mendorong melahirkan permintaan pasar terhadap produk-produk paludikultur

180 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Paludikultur: Dari Jerman hingga Pedamaran

Daftar Pustaka Budiman, I., Bastoni, Sari, E. N. N., Hadi, E. E., Asmaliyah, Siahaan, H., . . . Hapsari, R. D. (2020). Progress of paludiculture projects in supporting peatland ecosystem restoration in Indonesia. Global Ecology and Conservation, 23, e01084. Budiman, I., Januar, R., Daeli, W., Hapsari, R. D., & Sari, E. N. (2020). Designing the special pilot economic zone on peatlands. Jurnal Geografi Lingkungan Tropik, 4(1). Giesen, W. (2015). Case Study: Melaleuca cajuputi (gelam)–a useful species and an option for paludiculture in degraded peatlands. Sustainable Peatlands for People & Climate (SPPC) Project, 16. Joosten, H., Gaudig, G., Krawczynski, R., Tanneberger, F., Wichmann, S., & Wichtmann, W. (2014). 25 Managing Soil Carbon in Europe: Paludicultures as a New Perspective for Peatlands. Soil carbon: Science, management and policy for multiple benefits, 71, 297. Tata, H. L. (2019). Paludiculture: can it be a trade-off between ecology and economic benefit on peatland restoration? Paper presented at the IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Uda, S. K., Hein, L., & Adventa, A. (2020). Towards better use of Indonesian peatlands with paludiculture and low-drainage food crops. Wetlands Ecology and Management, 28(3), 509-526. doi:10.1007/s11273-020- 09728-x Ziegler, R. (2020). Paludiculture as a critical sustainability innovation mission. Research Policy, 49(5), 103979.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 181 BAB 18 Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu

Subekti Rahayu18

Pendahuluan Jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq.) Stenis) tumbuh di hutan- hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan. Jenis ini memiliki manfaat ganda, selain dimanfaatkan getahnya untuk bahan baku permen karet juga dimanfaatkan kayunya sebagai bahan baku furnitur, kayu lapis, dan pensil (Tata et al., 2015). Dalam lima tahun terakhir ini, tepatnya sejak kebakaran besar melanda areal gambut di sebagian besar wilayah bergambut Sumatra dan Kalimantan, jelutung rawa menjadi spesies yang dipromosikan dalam pemulihan ekosistem gambut karena kemampuannya beradaptasi pada kondisi tergenang. Pemulihan ekosistem gambut mengusung konsep Rewetting, Revegetation and Revitalization (3R). Konsep rewetted dengan membangun sekat-sekat kanal menyebabkan aliran air pada musim kemarau tertahan dan gambut di sekitar kanal menjadi basah. Namun, pada musim penghujan justru menahan aliran air dan menyebabkan genangan berlebih pada lahan gambut, sehingga vegetasi yang tumbuh akan terendam. Hilangnya mikrotopografi pada lahan gambut yang telah terbakar menyebabkan peluang regenerasi vegetasi menjadi sangat terbatas dalam keadaan tergenang. Perbukitan pada microtopografi dalam ekosistem gambut menyediakan tempat bagi benih untuk tumbuh karena terhindar dari genangan air di musim penghujan. Jelutung rawa adalah salah satu spesies yang mampu hidup dalam kondisi teredam, paling tidak selama periode musim penghujan. Di lain pihak, revitalization livelihood yang diusung dalam konsep pemulihan ekosistem gambut tentunya juga mempertimbangkan manfaat ekonomi dari spesies yang digunakan dalam upaya pemulihan ekosistem 18 World Agroforestry (ICRAF), email: [email protected] Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu gambut. Tidak hanya mampu memulihkan tutupan lahan, tetapi juga mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan atau bahkan masyarakat yang menggarap lahan pada kawasan hutan. Jika menengok ke belakang mengenai jelutung, ternyata pengusahaan jelutung di Jambi sudah tercatat sejak tahun 1903 (Aminah et al., 2016). Di kawasan hutan gambut Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan, Riau, jelutung juga sudah disadap sejak lama, yaitu sebelum tahun 1970an sebagai sumber pendapatan masyarakat (Sutan 2018, mantan penyadap jelutung di Kabupaten Pelalawan, Riau, komunikasi pribadi). Meskipun jelutung telah dimanfatkan getahnya sejak lama di beberapa ekosistem rawa gambut di Indonesia seperti Jambi, Riau dan Kalimantan Tengah, tetapi dokumentasi dan data mengenai produksi, harga serta nilai perdagangannya sangat terbatas. Pada periode tahun 1957–1961 tercatat bahwa Indonesia telah mengekspor getah jelutung dari Jambi ke Amerika Serikat dengan nilai rata- rata per tahun sebesar 1.549,46 Dollar Amerika (William 1963 dalam Tata et al., 2015). Ekspor jelutung dari Indonesia ke beberapa negara juga dilaporkan oleh FAO 1995 pada periode 1988–1993 dengan total terbesar adalah ekspor ke Singapura dan Jepang sebesar 21.838 ton (Joshi et al., 2010). Harun (2015) melaporkan bahwa ekspor getah jelutung dari Kalimantan Tengah ke Singapura, Jepang dan Perancis sampai dengan tahun 2011 mencapai nilai 1.348 Dollar Amerika per tahun (Harun 2015). Pada periode tahun 2010–2015 ekspor getah jelutung yang dilakukan oleh Lotte Co. ke Jepang mengalami penurunan tajam, dari sekitar 2.100 ton per tahun pada tahun 2010 dan 2011 menjadi kurang dari 100 ton pada tahun 2015 (Perdana et al., 2016). Suku Anak Dalam di Jambi termasuk suku yang telah memanfaatkan getah jelutung dari pertumbuhan alami sejak sebelum tahun 1984 (Aminah et al., 2016). Jambi Dalam Angka tahun 1985–2010 mencatat bahwa pada periode tersebut produksi jelutung sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun berkisar antara 55–1.290 ton dan menunjukkan kecenderungan menurun. Puncak produksi terjadi pada tahun 1989 (1.290 ton), 1999 (1.155 ton) dan 2006 (617,5 ton) hingga tidak ada produksi sejak tahun 2008–2010 (Sofiyuddin et al., 2012).

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 183 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Berdasarkan dokumen mengenai produksi dan nilai ekspor yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa getah jelutung di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dan Indonesia menjadi negara pengekspor getah jelutung ke Jepang dan Amerika terbesar yaitu pada periode antara tahun 1980–1990. Setelah tahun 1990 produksi dan nilai ekspor getah jelutung dari Indonesia, yang tercatat dari Jambi dan Kalimantan Tengah mengalami penurunan, bahkan tidak ada lagi data atau dokumentasinya. Hal ini sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Sutan (2018, komunikasi pribadi) bahwa tidak ada lagi yang menyadap jelutung di Pelalawan sejak tahun 1994. Penurunan jumlah populasi dan nilai ekspor serta produksi getah jelutung setelah tahun sejak 1990 merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji, ketika jelutung rawa dipromosikan menjadi spesies rekomendasi untuk pemulihan ekosistem gambut, terutama pada ekosistem gambut terdegradasi yang telah digarap oleh masyarakat menjadi kebun. Identifikasi mengenai faktor-faktor penyebab penurunan jumlah populasi, produksi dan nilai ekspornya perlu dilakukan. Data mengenai nilai ekspor getah jelutung tidak memisahkan antara getah jelutung yang disadap dari jelutung darat (Dyera costulata) dan jelutung rawa (Dyera polyphylla), karena keduanya dapat disadap dan menghasilkan getah. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kualitas dan kuantitas getah dari kedua jenis jelutung tersebut. Kualitas getah jelutung darat (Dyera costulata) lebih baik karena memiliki kandungan perca yang tinggi (Sahwalita 2009 dalam Aminah et al., 2016). Secara kuantitas, menurut Suku Anak Dalam jelutung rawa menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan dengan jelutung darat (Aminah et al., 2016), sedangkan Boer (2016) menyebutkan sebaliknya. Jelutung rawa menjadi salah satu spesies rekomendasi untuk pemulihan ekosistem hutan gambut terdegradasi seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. P.16 tahun 2016 dan termasuk hasil hutan bukan kayu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/ Menhut-II/2007. Melalui peraturan perundangan tersebut memungkinkan jelutung rawa sebagai spesies yang dapat ditanam di dalam kawasan hutan

184 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu khususnya hutan rawa gambut yang dalam kondisi tergenang untuk tujuan pemulihan ekosistem gambut, getahnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hasil hutan bukan kayu. Pemilihan jelutung rawa sebagai spesies rekomendasi dalam pemulihan ekosistem gambut dinilai cukup strategis karena memiliki karakter bioekologi yang sesuai dengan lahan gambut tergenang sebagai habitat aslinya, memiliki manfaat ekonomi yang menghasilkan getah sebagai hasil hutan bukan kayu dan memiliki nilai-nilai budaya karena masyarakat telah memanfaatkan dari sejak lama. Meskipun demikian, untuk menuju pada tahap implementasi pemulihan ekosistem gambut dengan menggunakan jelutung rawa sebagai salah satu spesiesnya, memerlukan pemecahan masalah dan perencanaan yang integratif. Apalagi bila melihat bahwa pasar getah jelutung saat ini seperti mati suri, bahkan perusahaan-perusahaan pengekspor getah jelutung sudah sulit ditemukan, sehingga masyarakat kurang tertarik untuk menanam jelutung. Membangun model bisnis jelutung dalam kerangka kerja pemulihan ekosistem gambut menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan agar upaya pemulihan ekosistem gambut dengan menanam jelutung rawa mampu memberikan manfaat bagi masyarakat dan memperbaiki ekosistem gambut terdegradasi secara berkelanjutan. Dalam membangun model bisnis getah jelutung memerlukan kajian- kajian dari berbagai aspek secara terintegrasi, yang mencakup bioekologi dari jelutung rawa itu sendiri, teknologi budidaya hingga pascapanen, peran dan fungsi jelutung rawa dalam pemulihan ekosistem gambut, peningkatan kapasitas dan penyadaran kepada masyarakat mengenai pentingnya pemulihan ekosistem gambut, pemasaran produk dan tata kelolanya. Dalam Obrolan Pelepas Lelah, hal-hal tersebut dibahas dan hasil pembahasannya dirangkum dalam artikel ini.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 185 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Realitas dan Harapan A. Karakteristik kunci jelutung rawa Memahami karakteristik kunci jelutung rawa merupakan bagian penting sebelum menentukan pilihan spesies tersebut sebagai salah satu spesies rekomendasi untuk pemulihan ekosistem gambut terdegradasi. Ini berguna untuk mengurangi risiko kegagalan, karena telah mempertimbangkan antara karakteristik spesies dengan kondisi ekologi tempat tumbuhnya. Jelutung adalah nama lokal dari genus Dyera, famili Apocynaceae yang merupakan tumbuhan tropis asli Asia Tenggara. Genus Dyera memiliki dua spesies, yaitu: (1) Dyera costulata (Miq.) Hook.f yang tumbuh di hutan dataran rendah hingga hutan berbukit dengan sebarannya di Thailand, Malaysia, Sumatra dan Kalimantan, yang dikenal sebagai jelutung darat atau jelutung bukit dan (2) Dyera polyphylla (Miq.) Steenis yang tumbuh di hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan, dikenal sebagai jelutung rawa. Meskipun kedua spesies ini menghasilkan getah putih yang bisa disadap sebagai bahan baku permen karet, tetapi memiliki karakter yang berbeda sesuai dengan tempat tumbuhnya. Jelutung darat tidak memiliki akar nafas, sedangkan jelutung rawa memiliki akar nafas atau pneumatofora. Akar nafas pada jelutung rawa inilah yang berperan sebagai penyedia udara bagi jaringan tumbuhan ketika dalam kondisi tergenang sehingga mampu bertahan hidup (Tata et al., 2016). Akar nafas jelutung rawa muncul pada saat lahan dalam kondisi tergenang, yaitu pada musim penghujan. Akar nafas berupa jaringan berongga membentuk seperti pipa dengan lubang-lubang kecil di permukaan kulit akar yang berfungsi untuk mengambil udara. Di lapangan, akar nafas tumbuh hingga mencapai beberapa centimeter dari genangan air. Ketika genangan surut yaitu pada musim kemarau, akar nafas mengeras dan menjadi berkayu, menghujam ke tanah membentuk akar seperti lutut (Gambar 18.1).

186 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu

Gambar 18.1 Akar nafar pada jelutung rawa yang sudah mengeras dan berkayu

Selain perbedaan pada akar nafas, ciri khas yang membedakan antara jelutung darat dan jelutung rawa adalah bentuk daunnya (Gambar 18.2). Daun jelutung rawa berbentuk oval, ujung daun berlekuk, pangkal daun bulat, warna daun permukaan atas hijau, permukaan bawah hijau keputihan. Sementara, daun jelutung darat berbentuk daun oval, ujung daun meruncing, pangkal daun runcing, permukaan atas daun hijau mengkilap atau hijau kemerahan, permukaan bawah daun licin atau seperti kertas berwarna hijau keputihan (Tata et al., 2015).

Gambar 18.2 Daun jelutung rawa (a) dan jelutung darat (b). Sumber: Tata et al., 2015

Dengan mengetahui secara pasti perbedaan antara jelutung rawa dan jelutung darat, maka dapat memastikan bahwa untuk tujuan pemulihan ekosistem pada lahan gambut terdegradasi yang menerapkan 3R adalah

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 187 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

menggunakan jelutung rawa. Meskipun dapat menghasilkan getah, tetapi jelutung darat belum terbukti mampu beradaptasi pada ekosistem gambut yang tergenang, karena tidak memiliki akar nafas. Namun, perbedaan pendapat mengenai kualitas getah jelutung rawa dan jelutung darat sangat menarik untuk dikaji agar mendapatkan informasi yang jelas mengenai produktivitas dari jelutung rawa, secara kualitas dan kuantitas. B. Potensi jelutung rawa untuk pemulihan ekosistem gambut Jelutung rawa memiliki potensi besar sebagai spesies untuk pemulihan ekosistem gambut, baik pada kawasan hutan gambut terdegradasi yang tidak digarap oleh masyarakat maupun yang telah digarap oleh masyarakat yang sering disebut sebagai kawasan keterlanjuran untuk memulihkan ekosistem. Karakteristik jelutung rawa dan potensi ekonominya merupakan kekuatanya sebagai spesies rekomendasi dalam pemulihan ekosistem gambut terdegradasi. Pertumbuhannya yang cepat dengan laju antara 2,0–2,5 cm per tahun untuk diameter batang dan antara 1,6–1,8 m per tahun untuk tinggi (Bastoni 2014), maka berpotensi memulihkan tutupan vegetasi di atas lahan gambut terdegradasi secara cepat. Namun, tajuk jelutung rawa yang tipis dan jarang ini menjadi pemikiran lebih lanjut dalam menentukan jarak tanam yang ideal agar tajuk yang terbentuk mampu menekan pertumbuhan alang-alang dan pakis pada lahan gambut terdegradasi secara cepat, terutama pada kawasan hutan yang tidak digarap oleh masyarakat. Penelitian lebih lanjut mengenai pengaturan jarak tanam jelutung rawa yang ideal untuk pemulihan ekosistem gambut perlu dilakukan. Selain berperan memulihkan tutupan vegetasi pada lahan gambut terdegradasi, jelutung rawa dapat dimanfaatkan getahnya sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Oleh karena itu, penanaman jelutung rawa dapat dilakukan pada kawasan hutan gambut terdegradasi yang telah digarap oleh masyarakat (kawasan keterlanjuran) sebagai win-win solusi. Skema-skema Perhutanan Sosial dapat diterapkan dalam pemulihan ekosistem gambut pada kawasan keterlanjuran, baik di kawasan hutan produksi maupun hutan lindung melalui sistem agroforestri.

188 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu

Hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penerapan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk pemulihan ekosistem gambut, terutama pada kawasan keterlanjuran yang telah digarap oleh masyarakat adalah pemilihan spesies yang tepat untuk diintegrasikan ke dalam agroforestri jelutung rawa. Diperlukan pertimbangan secara bioekologi berupa kesesuaian kebutuhan cahaya dan unsur hara bagi tanaman yang diintegrasikan dengan jelutung rawa. Pengaturan jarak tanam dan pemahaman sistem perakaran dari spesies diperlukan agar tidak terjadi persaingan dengan jelurung rawa. Selain aspek bioekologi, diperlukan juga pertimbangan ekonomi karena jelutung rawa baru bisa disadap pada umur sekitar 6–7 tahun (Bastoni 2014). Selama periode sebelum sadap, petani penggarap lahan memerlukan pendapatan dari tanaman yang cepat menghasilkan. Penelitian lebih lanjut mengenai spesies yang tepat untuk diintegrasikan dalam agroforestri berbasis jelutung rawa dengan mempertimbangkan bioekologi dan ekonomi sangat diperlukan. C. Hilangnya pasar getah jelutung Data produksi dan nilai ekspor getah jelutung dari Indonesia yang dilaporkan dari Jambi dan Kalimantan Tengah menunjukkan penurunan setelah tahun 1990an. Bahkan pasar getah jelutung tidak dilaporkan lagi di Jambi setelah tahun 2007, dan di Kalimantan Tengah setelah 2012. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi penurunan produksi dan nilai ekspor getah jelutung, terutama jelutung rawa antara lain: 1. Menurunnya populasi jelutung rawa (Harun 2015, Tata et al., 2016, Aminah et al., 2016). Penebangan kayu hutan oleh perusahaan pengelola hasil hutan kayu memanfaatkan kayu jelutung, sehingga jelutung yang sebelumnya disadap oleh masyarakatpun ikut ditebang. Hal ini menjadi salah satu alasan penyadap jelutung di Pelalawan, Riau menghentikan penyadapan jelutung. Hutan tempat mereka menyadap telah menjadi areal konsesi, sehingga mereka tidak bias lagi menyadap, bahkan pohon- pohon jelutung ditebang sebagai kayu untuk industri. Penurunan populasi jelutung rawa yang sangat signifikan akibat penebangan ini menyebabkan status konservasi jelutung rawa berada pada posisi rawan punah (vulnerable).

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 189 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

2. Ketergantungan terhadap pertumbuhan jelutung alami. Penurunan populasi jelutung rawa yang tumbuh alami berarti penurunan produksi getah. Sampai dengan tahun 2010, penyadap jelutung masih mengandalkan pohon jelutung dari pertumbuhan alami. Sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa jelutung sulit untuk dibudidayakan. Ketika mereka mencoba memindahkan anakan yang diambil dari hutan selalu gagal. Hal ini disampaikan oleh Subali, seorang petani di Sukamara, Kalimantan Tengah, 2009 (komunikasi pribadi). 3. Munculnya peraturan perundangan yang menyebutkan bahwa getah yang diambil dari kawasan hutan termasuk hasil hutan bukan kayu yang pemanfaatannya harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, yaitu melalui proses izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Masyarakat yang menyadap jelutung tanpa izin dianggap sebagai ‘ilegal’ (Tata et al., 2016), sehingga masyarakat enggan untuk menyadap. Terkait dengan peraturan perundangan dan perizinan tersebut, sampai saat ini belum ada skema kerja sama bagi penyadap jelutung di dalam kawasan konservasi (Sofiyuddin et al., 2012), sehingga para penyadap dalam kawasan konservasi tidak lagi melakukan penyadapan. Seperti yang terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, masyarakat tidak diperbolehkan lagi menyadap jelutung sehingga mereka berpindah ke daerah penyangga Suaka Marga Satwa Lamandau pada tahun 2009 dan mendapat izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (Joshi et al., 2010). Namun sejak tahun 2010 jumlah orang yang mendapat izin semakin berkurang (Harun 2015) yang tentunya berpengaruh terhadap penurunan produksi dan nilai ekspornya. 4. Teknologi budidaya dan pemanenan jelutung rawa mulai berkembang, tetapi belum tuntas (Tata et al., 2015). Teknologi budidaya sudah diterapkan di beberapa tempat, seperti di Jambi dan Kalimantan Tengah. Tanaman hasil budidaya saat ini sudah siap panen, tetapi pasar belum ada sehingga tidak dilakukan penyadapan. Berdasarkan identifikasi mengenai kemungkinan-kemungkinan penyebab menurunnya populasi, produksi dan nilai jual jelutung, maka kemungkinan penyelesaian masalahnya dapat dikembangkan, antara lain:

190 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu

1. Penurunan populasi jelutung yang tumbuh secara alami akibat penebangan dapat diatasi dengan penanaman melalui program-program rehabilitasi hutan dan lahan termasuk di dalamnya adalah penanaman untuk revegetasi pada lahan gambut terdegradasi. Tersedianya teknologi budidaya yang telah dipublikasi oleh para peneliti merupakan modal dasar pengembangan budidaya jelutung rawa di masyarakat. 2. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai teknologi budidaya jelutung dapat diatasi melalui penyuluhan dan pendampingan terhadap masyarakat. 3. Penyediaan skema kerja sama dalam Perhutanan Sosial untuk pemanfaatan jelutung, baik pada jelutung hasil pertumbuhan alami yang ada pada kawasan konservasi maupun jelutung hasil budidaya pada kawasan hutan dengan izin sangat diperlukan agar masyarakat dapat memanfaatkan jelutung dan melakukan praktik budidaya secara legal. Izin Perhutanan Sosial yang diberikan beserta pendampingnya berpotensi dalam pengembangan budidaya jelutung rawa. 4. Penelitian lebih lanjut mengenai teknik budidaya dan pemasara getah jelutung perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian dan universitas- universitas untuk menyediakan berbagai opsi bagi masyarakat. D. Menghidupkan kembali pasar getah jelutung Pasar utama getah jelutung adalah untuk memenuhi bahan baku permen karet di negara-negara importir utama getah jelutung dari Indonesia, yaitu: Jepang, Amerika Serikat dan Perancis (Joshi et al., 2010). Matinya pasar getah jelutung di Indonesia belum diketahui secara pasti penyebabnya. Kemungkinan terjadi karena suplai getah tidak ada lagi akibat jelutung ditebang untuk diambil kayunya atau ada substitusi bahan pembuat permen karet yang lebih murah dari jelutung. Hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi untuk menggali kembali potensi pasar getah jelutung. Apabila matinya pasar terjadi akibat tidak tersedianya produk getah jelutung di Indonesia, maka kemungkinan menghidupkan pasar jelutung masih terbuka lebar, karena saat ini sudah ada jelutung rawa hasil budidaya dalam program rehabilitasi lahan yang siap disadap. Hal yang perlu dikaji

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 191 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

adalah potensi produksi getah jelutung yang ada saat ini di berbagai tempat di Indonesia. Namun apabila matinya pasar jelutung terjadi karena adanya bahan substitusi yang menggantikan getah jelutung sebagai bahan baku permen karet dan secara ekonomi lebih murah, maka perlu diciptakan pemanfaatan alternatif dari getah jelutung. Diperlukan pengembangan teknologi untuk pemanfaatan alternatif getah jelutung, karena tanpa upaya tersebut maka pasar getah jelutung sulit dihidupkan kembali. E. Membangun model bisnis getah jelutung Sebagai bagian dari perencanaan pemulihan ekosistem gambut terdegradasi terutama pada kawasan hutan yang telah digarap oleh masyarakat (kawasan keterlanjuran) melalui skema perhutanan sosial, maka membangun model bisnis getah jelutung perlu dilakukan diawal. Membangun model bisnis getah jelutung dapat dilakukan melalui enam tahapan (Gambar 18.3).

Gambar 18.3 Tahapan-tahapan dalam membangun model bisnis getah jelutung rawa

Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi areal izin perhutanan sosial yang sesuai sebagai area penanaman jelutung rawa dengan mempertimbangkan kondisi bioekologi, sosial-budaya masyarakat dan ekonomi. 2. Mengidentifikasi praktik-praktik pemanfaatan jelutung yang telah dilakukan oleh masyarakat dan menganalisa praktik-praktik yang baik yang seharusnya diterapkan oleh masyarakat, mengidentifikasi faktor- faktor pendukung, para prihak yang terlibat dan peran keterlibatannya serta potensi pendanaannya. 3. Melakukan analisis keuntungan dan kelayakan usaha budidaya jelutung rawa secara agroforestri.

192 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu

4. Menganalisis rantai nilai getah jelutung rawa, megidentifikasi faktor pendukung, para pihak yang terlibat, peran keterlibatannya dan potensi pendanaannya dalam pemasaran getah jelutung. 5. Membangun matrik praktik budidaya jelutung yang baik dan peningkatan rantai nilai getah jelutung beserta intervensi-intervensi yang mungkin diberikan dalam pengembangan bisnis getah jelutung. 6. Melakukan analisis kelembagaan dan pembiayaan model bisnis getah jelutung. Model bisnis kanvas (lihat Osterwalder dan Pigneur, 2010) yang terdiri atas sembilan elemen dapat dilakukan sebagai identifikasi awal dalam membangun model bisnis getah jelutung (Tabel 1).

Tabel 1. Sembilan elemen dalam model bisnis kanvas

Mitra utama Proposisi nilai Hubungan Segmen Kegiatan utama konsumen konsumen

Sumberdaya utama Penghubung

Struktur biaya Aliran penerimaan

Dengan membangun model bisnis, maka akan dapat direncanakan potensi penanaman, produksi, pasar, keuntungan, kelayakan usaha, kelembagaan pelaksanaan usaha dan pembiayaannya. Melalui model bisnis getah jelutung pemulihan ekosistem gambut terdegradasi diharapkan dapat terwujud secara berkesinambungan dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi (Gambar 18.4).

Gambar 18.4 Pemulihan ekosistem gambut terdegradasi melalui penerapan agroforestri berbasis jelutung rawa dengan mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 193 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Simpulan Potensi jelutung rawa sebagai spesies rekomendasi dalam pemulihan ekosistem gambut terdegradasi adalah pilihan yang tepat, karena spesies ini memiliki karakter yang sesuai dengan kondisi gambut yang dibasahi kembali dan gambut yang tergenang. Di lain pihak, secara ekonomi jelutung rawa menghasilkan getah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat, sehingga penanaman jelutung rawa dalam pemulihan ekosistem gambut adalah sesuau yang tepat untuk dilakukan. Namun, penelitian lebih lanjut mengenai pengaturan jarak tanam dan pemilihan spesies yang tepat untuk dipadukan dengan tanaman jelutung perlu dilakukan. Menghidupkan kembali pasar jelutung adalah hal yang sangat penting dalam keberlanjutan upaya pemulihan ekosistem gambut melalui penanaman jelutung rawa. Tanpa ada pasar yang pasti dan jelas, masyarakat tidak tertarik untuk menanam dan memelihara tanaman jelutung sebagai bagian dari upaya pemulihan ekosistem gambut terdegradasi. Penelitian lebih lanjut mengenai faktor penyebab penurunan produksi dan hilangnya pasar jelutung rawa perlu dilakukan agar diperoleh informasi secara pasti sebagai bahan untuk intervensi di masa yang akan datang. Membangun skema kerja sama pemanfaatan getah jelutung sangat diperlukan agar masyarakat dapat memanfaatkan getah jelutung dari hutan, baik dari hasil permudaan alami maupun dari penanaman secara legal. Meningkatkan kapasitas dan pemahaman masyarakat mengenai budidaya jelutung rawa dapat dilakukan melalui pendampingan dan penyululan. Perhutanan Sosial berpotensi sebagai sarana untuk membangun skema kerja sama pemanfaatan getah jelutung rawa dan menyediakan pendampingan bagi masyarakat. Membangun bisnis model getah jelutung rawa merupakan tahapan yang perlu dilakukan melalui serangkaian penelitian dan hasilnya dapat digunakan sebagai rancangan bisnis getah jelutung rawa pada areal-areal pemulihan ekosistem gambut tergedradasi.

194 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Jelutung Gambut, Riwayatmu Dulu

Daftar Pustaka Aminah, EAM Zuhud, IZ Siregar. 2016. Pemanfaatan jelutung (Dyera spp.) oleh Suku Anak Dalam Di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Media Konservasi 21 (2): 168-173 Bastoni. 2014. Budidaya Jelutung Rawa (Dyera lowii Hook.F). Balai Penelitian Kehutanan Palembang. ISBN 978-602-98588-3-9 Boer E. 2016. Dyera. https://uses.plantnet-project.org/en/Dyera_(PROSEA_ Exudates) Harun MK. 2015. Getah jelutung sebagai hasil hutan bukan kayu unggulan di lahan gambut. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 12(1): 43-57 Joshi L, Janudianto, UP Pradhan, M van Noordwijk. 2010. Investment in carbon stocks in the eastern buffer zone of Lamandau River Wildlife Reserve, Central Kalimantan province, Indonesia: a REDD+ feasibility study. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Osterwalder A, & Pigneur Y. 2010. Business Model Generation: A Handbook for Visionaries, Game Changer, and Challengers. New Jersey: John Wiley & Son. Perdana A, Sofyuddin M, Harun M, Widayati A. 2016. Understanding Jelutung (Dyera polyphylla) value chains for the promotion in peatland restoration and sustainable peatland management in Indonesia. Brief no. 72. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF). Southeast Asia Regional Program. Sofiyuddin M, Janudianto, Perdana A. 2012. Potensi Pengembangan dan Pemasaran Jelutung di Tanjung Jabung Barat. Brief No 23. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 4p. Tata HL, Bastoni, M Sofiyuddin, E Mulyoutami, A Perdana, Janudianto. 2015. Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor. Indonesia, 62p.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 195 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Tata HL, M van Noorwijk, Jasnari, A Widayati. 2016. Domestication of Dyera polyphylla (Miq.) Steenis in peatland agroforestry systems in Jambi, Indonesia. Agroforest System 90 :617–630. DOI 10.1007/ s10457-015-9837-3.

196 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 19 Kantong Semar: Menghias Rumah, Menghasilkan Rupiah

Fatahul Azwar19

Pendahuluan Lahan basah khususnya lahan gambut memiliki kekayaaan keanekaragaman jenis baik flora maupun fauna yang cukup tinggi dan berpotensi dimanfaatkan bagi kehidupan manusia, tetapi sering kali potensi biodiversitas ini luput dari publikasi maupun upaya pemanfaatan positif baik oleh pengelola kawasan maupun oleh masyarakat sekitar lahan gambut. Salah satu kekayaan keanekaragaman jenis yang dapat dijumpai di lahan gambut adalah kantong semar (Nepenthes sp.). Kantong semar merupakan flora yang ada di lahan gambut dan memiliki estetika serta nilai ekonomi yang dapat dikembangkan sebagai komoditas tanaman hias. Secara umum Indonesia memiliki sekitar 48,9% jenis kantong semar dari seluruh jenis kantong semar yang ada di dunia (68 jenis dari keseluruhan 139 jenis kantong semar). Kantong semar memiliki keunikan dari kantongnya yang merupakan modifikasi daun guna menangkap atau menjebak serangga atau binatang kecil lainnya. Kemampuannya menyerap nutrisi dari binatang atau serangga yang terjebak dalam kantongnya tadi menjadikan tumbuhan ini digolongkan kedalam salah satu jenis tumbuhan karnivora, hal itu juga yang menjadikannya sebagai tanaman yang unik yang berpotensi sebagai tanaman hias. Habitat kantong semar di Indonesia tersebar mulai dari dataran rendah (termasuk lahan basah atau lahan gambut) hingga dataran tinggi (Mansur, 2013). Menurut beberapa penelitian yang mereviu status keberadaan kantong semar di habitat alaminya, spesies ini terancam keberadaannya oleh alih fungsi lahan, penambangan, eksploitasi, bencana alam (kebakaran hutan), polusi,

19 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkugan Hidup & Kehutanan – Palembang [email protected] Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

serta modifikasi lingkungan hidup (Hernawati, 2004; Mansur, 2006; Azwar et al., 2007; Dariana, 2009) . Begitu pula dengan kantong semar yang berada di lahan basah, ancaman terbesar datang dari alih fungsi lahan dan kebakaran hutan yang juga merupakan permasalahan umum yang kerap terjadi di lahan gambut. Pembuatan kanal-kanal pada lahan gambut (modifikasi lingkungan) juga berperan besar dalam mengubah lingkungan tempat tumbuh yang optimal bagi kantong semar ini, selain menjadi salah satu penyebab kebakaran lahan gambut secara tidak langsung. Ancaman populasi ini diperparah oleh ketidaktahuan kebanyakan orang atau awam, bahwa sesugguhnya jenis-jenis kantong semar ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman hias yang unik dan memiliki nilai jual yang cukup menggiurkan, sehingga ketika populasi kantong semar semakin sedikit di areal-areal lahan gambut banyak dari masyarakat kita yang tidak peduli akan hal ini. Sebaran informasi terkait keberadaan kantong semar di lahan gambut masih minim, meskipun secara umum kajian ilmiah mengenai kantong semar sudah ada sejak tahun 60’an dan terus berkembang hingga saat ini. Namun secara umum kajian-kajian yang ada lebih banyak pada kajian ekologi dan taksonomi saja, di Indonesia sendiri juga kajian ilmiahnya masih sangat sedikit dibandingkan yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti luar negeri, sehingga masih banyak celah kosong yang dapat kita lakukan kajiannya terkait keberadaan tumbuhan kantong semar ini. Sebagai contoh penelitian budidaya, aspek sosial dan ekonominya, pemanfaatan lainnya seperti untuk obat misalnya. Bahkan kajian penelitian kehutanan sendiri masih minim tentang tumbuhan ini dibandingkan yang dilakukan oleh teman-teman dari ilmu biologi, dan pertanian. Ada beberapa jenis kantong semar yang habitatnya berada di lahan basah, namun jenis yang sering dijumpai adalah jenis Nepenthes gracilis, N. mirabilis, dan N. ampullaria. Ketiga jenis tersebut ternyata juga merupakan jenis yang laku dipasaran dan menjadi incaran kolektor tanaman hias unik. Diharapkan dari penyebaran informasi dalam acara ini maupun media - media lainnya, keberadaan tumbuhan ini tidak lagi dianggap tidak berarti dan awam mulai memahami bahwa kantong semar khususnya yang berada di lahan basah memiliki nilai baik secara ekologi maupun ekonomi.

198 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kantong Semar: Menghias Rumah, Menghasilkan Rupiah

Realitas dan Harapan Perjalanan penelitian penulis sejak tahun 2005 hingga saat ini khususnya dalam penelitian-penelitian terkait lahan gambut, selalu mendapati penampakan atau perjumpaan dengan tumbuhan kantong semar ini di lahan rawa, lahan rawa bergambut, maupun lahan gambut. Ada tiga jenis kantong semar yang terdapat dan diketahui penulis selama ini di lahan gambut Sumatera Selatan, yaitu jenis Nepenthes gracilis, N. mirabilis, dan N. ampullaria (Gambar 19.1) di mana memang ketiga jenis ini merupakan jenis yang sebaran tempat tumbuhnya paling besar dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi (Mansur, 2006; Trubus, 2006; Azwar et al., 2007; Mansur, 2013).

Gambar 19.1 Kantong semar yang terdapat di lahan gambut Sumatera selatan (dari kanan ke kiri : Nepenthes Gracilis, N. Mirabilis, N. Ampularia)

Keberadaan ketiga jenis kantong semar ini di lahan gambut Sumatera Selatan, berdasarkan pengamatan penulis setiap tahunnya hampir dipastikan mengalami penurunan baik habitatnya maupun jumlahnya. Untuk areal- areal hutan gambut sekunder penyebab utama dari penurunan populasi ini lebih disebabkan oleh konversi lahan gambut menjadi areal perkebunan, pemukiman, serta pembangunan infrastruktur lainnya diikuti oleh kebakaran lahan dan modifikasi lingkungan seperti pembuatan kanal di lahan-lahan gambut yang ada.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 199 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Azwar et al., (2007), menyatakan ancaman populasi kantong semar di lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan disebabkan oleh aktivitas manusia seperti kegiatan mencari kayu yang di dalamnya mengakibatkan terpotong, tercabut, dan tertimpa kayu pada tumbuhan kantong semar yang berada di sekitar lokasi pencarian kayu. Selain itu kegiatan pembukaan ladang sistem sonor, serta konversi lahan baik skala kecil ataupun besar baik secara tradisional maupun modern yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan menyebabkan terjadinya pengurangan populasi kantong semar di lahan gambut. Pengamatan penulis juga menunjukkan terjadi penurunan populasi kantong semar di area lahan basah (rawa) di kota Palembang, Sumatera Selatan sejak tahun 2004 hingga saat ini, yang lebih diakibatkan oleh konversi lahan rawa menjadi pemukiman, gedung usaha, perkantoran, serta pembangunan infrastruktur lainnya. Pemanfaatan kantong semar sejak dahulu sudah terjadi pada masyarakat tradisional kita, tumbuhan ini oleh masyarakat kita pada jaman dulu sudah dimanfaatkan sebagai obat sakit mata, obat batuk, mengobati kulit yang terbakar, larutan penyegar (astringent), obat disentri, obat demam, serta sebagai wadah untuk memasak beras atau ketan (dibuat semacam wadah atau pembugkus panganan semacam lemang), penyedia air minum saat kondisi terdesak atau sulit sumber air di dalam hutan (Mansur, 2006; Trubus, 2006; Sari, 2009). Namun pemanfaatan sebagai tanaman hias baru dilakukan oleh orang-orang di luar negeri saat itu dan sudah dikomersilkan di sana yang ironisnya kebanyakan tanaman hias kantong semar yang diperjualbelikan di sana sebagian berasal dari Indonesia (Mansur, 2006; Trubus 2006). Pemanfaatan tumbuhan kantong semar sendiri sebagai tanaman hias dan mulai di perjualbelikan di Indonesia berdasarkan penelusuran dan pengamatan penulis mulai ada sejak tahun 2000’an dan khusus untuk di Sumatera Selatan mulai diperjualbelikan sebagai tanaman hias sejak tahun 2005 dalam jumlah terbatas dan semakin bertambah tiap tahunnya. Ironisnya pada tahun itu sebenarnya seluruh jenis kantong semar (Nepenthes sp.) termasuk Flora yang dilindungi oleh pemerintah melalui PP No.7 Tahun 1999 dan PP No.8 Tahun 1999. Sehingga eksploitasi kantong semar sebagai tanaman hias mulai marak dilakukan oleh segelintir masyarakat atas suruhan pemodal (pengusaha/penjual), hampir dipastikan seluruh kantong semar

200 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kantong Semar: Menghias Rumah, Menghasilkan Rupiah yang diperjualbelikan di dalam negeri saat itu merupakan cabutan alam atau hasil ekstraksi langsung dari alam bukan dari hasil budidaya (Azwar et al., 2007). Namun yang diuntungkan oleh penjualan ini hanyalah para pemodal/ pengusaha sedangkan masyarakat sekitar hutan tempat habitat kantong semar tidak lebih hanya menjadi buruh pengambilnya saja. Jual beli kantong semar sebagai tanaman hias memang tidak bisa dihindari selain bentuknya yang menarik juga permintaan pasar dari para peminatnya juga tinggi. Keindahan kantong semar sebagai tanaman hias memiliki keunikan dan daya tarik tersendiri bagi peminatnya baik sebagai tumbuhan koleksi ataupun penghias rumah yang menarik (Gambar 19.2). Seiring waktu dengan semakin banyaknya peminat kantong semar ini juga memunculkan komunitas penggemar tumbuhan ini yang menamakan dirinya penggemar tanaman karnivora baik di dalam maupun di luar negeri. Komunitas inilah yang sebenarnya memulai teknik budidaya secara coba- coba dari tumbuhan koleksinya baik secara generatif maupun vegetatif. Hasil percobaan yang berhasil ini kemudian mereka perjualbelikan ke umum. Keberhasilan budidaya oleh penggemar kantong semar ini juga disertai kesadaran pribadi dari mereka mengenai semakin menurunnya populasi kantong semar di alam baik oleh ancaman konversi lahan, bencana (seperti kebakaran lahan), juga oleh akibat pengambilan di alam, sehingga hal ini turut menurunkan jumlah perdagangan kantong semar dari cabutan alam. Bahkan dalam penjualan kantong semar secara online, para anggota komunitas ini turut memonitor serta mengedukasi baik penjual maupun pembeli akan bahaya kepunahan jenis dari kantong semar bila tumbuhan yang diperjualbelikan merupakan hasil eksploitasi dari alam. Meskipun kesadaran dari peminat kantong semar sudah semakin baik, namun penjualan kantong semar hasil eksploitasi alam tidak serta merta hilang, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan perdagangan jenis tumbuhan ini oleh pihak terkait utamanya oleh pemerintah disertai masih banyaknya masyarakat kita yang tidak tahu nilai penting baik secara ekologi maupun ekonomi dari tumbuhan ini. Pemerintah saat sudah merevisi aturan perlindungan dari tumbuhan kantong semar ini dari yang awalnya seluruh jenis kantong semar adalah dilindungi, kini hanya 58 jenis saja yang termasuk dilindungi dari 68 jenis yang ada di Indonesia.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 201 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 19.2 Pemanfaatan kantong semar sebagai tanaman hias

Revisi peraturan perlindungan kantong semar yang dilakukan pemerintah, membuka peluang bagi perdagangan jenis kantong semar yang tidak dilindungi semakin besar asalkan kantong semar yang diperdagangkan merupakan hasil budidaya. Tiga jenis kantong semar yang penulis sebutkan sebelumya yang sering dijumpai di lahan gambut atau lahan basah lain, merupakan jenis yang tidak dilindungi, sehingga peluang untuk melakukan budidaya dan perdagangannya semakin terbuka. Sementara pemanfaatan tumbuhan kantong semar yang ada di habitat alaminya tetap bias dilakukan melalui prosedur perundangan yang berlaku seperti izin tangkar/budidaya, ataupun melalui pembinaan langsung yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan mekanisme perundangan perdagangan terbatas yang berlaku menurut PP No.8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

202 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kantong Semar: Menghias Rumah, Menghasilkan Rupiah

Selain sosialisasi mengenai tumbuhan kantong semar baik manfaat ekologi maupun ekonominya, pengetahuan teknik budidaya juga tidak kalah pentingnya sebagai upaya menjaga kelestarian jenis (ekologi) maupun kelestarian hasil (ekonomi/pemanfaatan) baik secara insitu maupun eksitu. Budidaya yang saat ini banyak dilakukan oleh peminat kantong semar lebih merupakan hasil dari coba-coba dan berbagi pengalaman dari sesama penggemar atau komunitas tanaman karnivora, masih sangat minim publikasi hasil budidaya yang dilakukan melalui kajian ilmiah meskipun sudah ada beberapa penelitian yang mencobanya seperti yang dilakukan oleh peneliti LIPI melalui teknik kultur jaringan, atau melalui uji pisah (split) anakan dengan beberapa jenis media tanam (Setiawan et al., 2017). Berdasarkan pengalaman penulis, tumbuhan kantong semar merupakan jenis yang dapat dikatakan mudah-mudah gampang dalam perbanyakan secara budidaya. Faktor media tanam dan lingkungan merupakan hal terpenting yang harus dikuasai dalam teknik budidaya kantong semar, karena kantong semar merupakan tanaman yang mudah stres akibat lingkungan (termasuk iklim mikro dan media tanamnya), hal ini juga yang menyebabkan rendahnya keberhasilan pemeliharaan tanaman kantong semar yang berasal dari cabutan alam dibandingkan yang telah lebih adaptif melalui proses budidaya. Pertumbuhan optimal bias didapatkan apabila media tanam dan lingkungan dimodifikasi sedemikian rupa mendekati kondisi habitat alaminya dan tiap jenis kantong semar memerlukan perlakuan yang terkadang tidak sama tergantung ketinggian dan asal habitat alaminya. Pengetahuan budidaya ini akan menjadi lebih valid tekniknya apabila dilakukan melalui serangkaian uji coba yang berdasarkan kaidah kajian ilmiah. Penelitian teknik budidaya inilah yang seharusnya lebih banyak dilakukan sebagai salah satu upaya pelestarian jenis kantong semar di Indonesia. Tantangan berikutnya adalah strategi marketing (pasar), selama ini pangsa pasar kantong semar sebagai tanaman hias adalah masyarakat urban atau perkotaan. Masyarakat di daerah atau di sekitar kawasan hutan maupun lahan gambut sering kali tidak tertarik dengan tumbuhan ini. Ketidaktertarikan ini data disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan estetika atau keindahan yang dapat diberikan oleh tumbuhan ini bila sudah tertata baik seperti

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 203 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

penataan dengan pot dan teknik perbanyakan kantong dari tumbuhan ini yang merupakan daya tarik utamanya, juga disebabkan bagi mereka tanaman ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomi karena bisa saja hanya dianggap gulma, atau jumlahnya yang mereka pikir banyak dan mudah didapatkan di sekitar mereka. Bagi masyarakat sekitar habitat alami kantong semar tentu saja ini akan menjadi hambatan bagi mereka untuk memanfaatkan tumbuhan ini secara ekonomis (diperjualbelikan). Pemasaran terbaik untuk kantong semar saat ini melalui penjualan secara online baik melalui market place online yang ada seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee atau melalui jejaring media online seperti Facebook, Whatsapp, Twitter, dan Instagram. Sementara untuk penjualan secara langsung (offline) bisa dilakukan melalui keikutsertaan dalam pameran atau pembuatan nursery farm, atau depot tanaman hias yang menarik seperti yang terlihat pada Gambar 19.3.

Gambar 19.3 Penjualan kantong semar secara online dan offline

Kantong semar dilahan gambut juga potensial untuk dijadikan salah satu komoditas Paludikultur di Indonesia, di mana pengusahaan atau pemanfaatan komoditas ini tidak memerlukan modifikasi lingkungan ataupun merubah

204 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kantong Semar: Menghias Rumah, Menghasilkan Rupiah lanskap lahan gambut yang ada, hanya dengan menjaga kondisi habitatnya secara baik serta input teknik budidaya baik secara insitu maupun eksitu oleh masyarakat sekitar secara mandiri (bila di dalam lahan milik) atau melalui kerjasama atau model binaan dengan pemilik/pengelola kawasan seperti pemerintah maupun swasta. Model usaha melalui kerjasama model binaan ini menurut Septian (2015), di Kalimantan Barat dapat dilakukan melalui unit usaha koperasi dengan sistem budidaya yang modal awalnya di mana tumbuhan induk/bibit di pinjamkan oleh pengelola kawasan kepada masyarakat binaan melalui koperasi tadi kemudian oleh masyarakat tumbuhan induk atau bibit pinjaman tadi diperbanyak melalui teknik budidaya dan setelah berhasil bibit pinjaman tadi dikembalikan pada pengelola kawasan serta jumlah tertentu dari hasil budidaya ditanam kembali ke dalam kawasan oleh masyarakat sehingga keberhasilan upaya pelestarian secara insitu dan eksitu diharapkan dapat terjaga.

Simpulan Menjadikan kantong semar khususnya dari lahan basah, menjadi penghias rumah (tanaman hias), hingga meraup rupiah dengan tetap menjaga kelestariannya di alam memerlukan upaya-upaya konkrit dan kajian lebih jauh serta mendalam. Publikasi kajian baik yang bersifat popular maupun ilmiah harus lebih banyak lagi disebarkan agar kesadaran berbagai pihak khususnya masyarakat akan manfaat dan nilai ekologi serta ekonomi dari tumbuhan kantong semar menjadi meluas dan meningkat. Keterlibatan parapihak dalam menjadikan kantong semar sebagai komoditas tanaman hias amat diperlukan, mulai dari fleksibelitas dan sosialisasi aturan, pembinaan dan bantuan oleh pemerintah, kerjasama usaha oleh pengusaha atau pihak swasta dengan masyarakat, sampai transfer pengetahuan oleh mereka yang ahli dan berpengalaman (peneliti, akademisi, komunitas, pakar budidaya, dan lainnya) perlu diselaraskan agar kelestarian jenis (ekologi) dan hasil (ekonomi) dari tumbuhan kantong semar ini dapat tercapai.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 205 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Daftar Pustaka Azwar, F., Kunarso, A., Rahman, TS. (2007). Kantong Semar (Nepenthes Sp.) di Hutan Sumatera, Tanaman Unik yang Semakin langka. Prosiding Seminar Nasional ekspose hasil-hasil penelitian konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan. Padang, 20 september 2006. 173-181. Dariana. (2009). Keanekaragaman Nepenthes dan pohon inang di taman wisata alam sicikeh-cikeh Kabupaten Dairi Sumatra. Tesis. Universitas Sumatra Utara. Medan. Hernawati. (2004). Nepenthes Project 2002, A conservation Expedition of Nepenthes in Sumatra Island. Project Final Report. Padang (ID) : Nephentes Project Team. Mansur, M. (2006). Nepenthes, Kantong Semar yang Unik. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Mansur, M. (2013). Tinjauan Tentang Nepenthes (Nepenthaceae) di Indonesia. Berita Biologi 12 (1): 1-7. Sari, R. (2009). Keanekaragaman Jenis Kantong Semar (Nepenthes spp.) dan Manfaatnya bagi Masyarakat Lokal. Prosiding Seminar Nasional Etnobotani. Bogor, 18 Mei 2009. 308-312. Septian, I. (2015). Konservasi dan Pemanfaatan Kantong Semar (Nepenthes sp.) melalui Teknik Kultur Jaringan dan Koperasi HUTAN KAMAR ( Hasil Usaha Tani Kantong Semar ) berbasis Kearifan Lokal Kalimantan Barat. Kompasiana. Tanjungpura [Internet]. [diunduh 2020 Oktober 20]. Tersedia pada : https://www.kompasiana.com/irwin.septian/5517ae5e813311fd689de34e /konservasi-dan-pemanfaatan-kantong-semar-nepenthes-sp-melalui- teknik-kultur-jaringan-dan-koperasi-hutan-kamar-hasil-usaha-tani- kantong-semar-berbasis-kearifan-lokal-kalimantan-barat Setiawan, RB., Wahyuni RR., Kurniawan A. (2017). Konservasi Ex Situ Kantong Semar (Nepenthes sumatrana (Miq) Beck) pada Beberapa Media Tanam Menggunakan Metode Split Anakan. J Agrotek Univ. Andalas 1(1): 44-49. Trubus. (2006). Trubus Info kit Vol.05: Nepenthes. Depok (ID) :Trubus

206 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 20 Mendulang Sienol di Lahan Gambut

Imam Muslimin20

Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk mempunyai lahan gambut yang cukup besar. Tercatat pada tahun 2011 seluas 14,9 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang tersebar di Pulau Kalimantan (32%), Sumatera (43%) dan Papua (25 %). Dari beberapa pulau di Indonesia yang terdapat lahan gambut, Pulau Sumatera dan Kalimantan mempunyai luasan lahan gambut yang paling besar yaitu berturut-turut seluas 6,4 juta hektar dan 4,8 juta hektar (Pantau gambut, 2020) Lahan gambut yang sedemikian besarnya mempunyai peluang untuk dimanfaatkan. Sudah sejak jaman orde lama, gambut di manfaatkan sebagai lahan budidaya dengan “menyamakan” prinsip pengelolaan seperti lahan daratan. Pengelolaan berprinsip bahwa gambut yang akan dikelola sebagai lahan budidaya harus dalam kondisi yang tidak basah. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan drainase melalui pembuatan kanal-kanal saluran air. Namun, teknik seperti ini secara langsung ataupun tidak mempunyai dampak bagi lingkungan gambut itu sendiri seperti pemicu kebakaran akibat gambut kering, adanya subsidensi, peningkatan gas karbon dan metana, meningkatnya kandungan pirit, dan sebagainya. Keseluruhan dampak tersebut akan merubah struktur ekologi gambut yang berdampak pada ekologi yang lainnya. Solusi dalam pengelolaan lahan gambut yang harus dilakukan adalah melakukan pengelolaan dengan mengembalikan fungsi dan tipe ekologi lahan gambut itu sendiri. Pengelolaan gambut harus memperhatikan 3 R (BRG, 2020) yaitu rewetting, revegetasi dan revitalisasi. Prinsip dasar rewetting adalah bahwasanya lahan gambut harus dalam kondisi basah, hal ini dilakukan

20 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan kehutanan Palembang ([email protected]). Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

dengan melakukan pembangunan sekat kanal, pembangunan sumur bor serta usaha lain untuk mencegah mengeringnya lahan gambut dan menyediakan muka air gambut pada kondisi 40 cm untuk mempertahankan kebasahan gambut. Revegetasi dilakukan melalui kegiatan penanaman kembali lahan gambut dengan jenis terpilih yang sesuai dengan lahan gambut. Revitalisasi berprinsip untuk dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar melalu program-program pemberdayaan masyarakat sekitar. Salah satu peluang pengembangan jenis tanaman di lahan gambut yang berfungsi sebagai program revegetasi dan program revitalisasi adalah pengembangan jenis tanaman yang menghasilkan nilai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Salah satu jenis yang potensial adalah jenis tanaman penghasil minyak atsiri, khususnya yang mempunyai kandungan sineol tinggi. Minyak atsiri penghasil sineol tinggi ini mempunyai nilai penting bagi kehidupan sehari hari masyarakat. Bahkan, data dan informasi terbaru memberikan petunjuk adanya kegunaan dari kandungan sineol yang tinggi untuk dapat digunakan sebagai komponen utama antimikroba dan antivirus (Li et al., 2016). Beberapa jenis tanaman mempunyai potensi untuk dikembangkan di lahan gambut seperti beberapa tanaman Melaleuca sp dan Eucalyptus sp. Jenis tersebut mempunyai kandungan sineol yang tentu saja prospektif untuk dikembangkan baik di lahan daratan maupun di lahan gambut. Makalah ini menyajikan prospek pengembangan sineol di lahan gambut dan beberapa hal peluang dan tantangannya sebagai salah satu peluang dalam program revegetasi dan revitalisasi lahan gambut.

Lahan Gambut dan Paludikultur Seperti dikemukakan di atas bahwasanya wilayah Kalimantan dan Sumatera mempunyai lahan gambut yang sangat luas sekali. Data dan informasi menyebutkan bahwasanya terdapat sekitar 2,67 juta hektar kawasan gambut yang tergolong rusak (Pranita, 2020) dalam pengertian sering terjadi kebakaran, tidak dilakukan pengelolaan dan dilakukan pengelolaan dengan mengabaikan konsep rewetting. Pengelola dalam lahan gambut adalah beragam mulai dari perusahaan besar sampai dengan anggota masyarakat sekitar.

208 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut

Pengelolaan lahan gambut yang ideal adalah dengan menerapkan prinsip Paludikultur. Wichtmann et al., (2016) mendefinisikan konsep paludikultur sebagai praktik pertanian dan kehutanan di lahan basah atau lahan basah (wet) yang sengaja dibasahkan kembali (rewetted) dengan kondisi dapat menjaga atau mengonservasi ekosistem lahan basah tersebut. Dari istilah tersebut, terdapat beberapa kata kunci dalam pengelolaan lahan gambut dengan sistem paludikultur yaitu: a. Penggunaan lahan yang tidak melakukan pengeringan, sehingga diperlukan pemilihan jenis yang sesuai dengan ekologi lahan gambut (basah), b. Jenis yang dikembangkan adalah beragam (kehutanan dan pertanian) dan tentu saja mempunyai produksi yang berbeda waktu, c. Mengakomodir kepentingan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Konsep budidaya lahan gambut dengan Paludikultur pada dasarnya sejalan dengan pelaksanaan program Badan Restorasi Gambut sebagai pemegang mandat untuk restorasi dan pengelolaan lahan gambut. Rewetting dalam paludikultur sejalan dengan prinsip tidak adanya kegiatan pengeringan dalam lahan gambut. Kondisi gambut yang dikelola adalah sesuai dengan tipologi awal lahan gambut yang memang dalam kondisi basah dan tergenang. Periode tergenang ini akan berbeda untuk masing-masing tipologi gambut. Konsep revegetasi dalam paludikultur adalah dengan melakukan penanaman beragam jenis tanaman pada satu satuan pengelolaan lahan gambut. Tentu saja jenis tanaman terpilih merupakan jenis tanaman yang bisa dikembangkan di lahan gambut basah. Jenis tanaman ini tidak harus jenis tanaman asli setempat, bilamana pengelolaan paludikultur skala perusahaan, bisa saja menggunakan jenis pendatang yang bisa jadi mempunyai nilai komersiil lebih baik bila dibandingkan jenis lokal endemik. Jenis terpilih dalam paludikultur tentu saja harus memberikan manfaat peningkatan atau penambahan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Sesuai dengan prinsip revitalisasi yaitu pemberdayaan masyarakat sekitar dalam rangka peningkatan ekonomi. Revitalisasi ini menjadi elemen yang penting, mengingat di sekitar lahan gambut umumnya terdapat masyarakat yang mempunyai interaksi dengan lahan gambut. Peningkatan ekonomi melalui budidaya jenis komersial tinggi dipercaya akan mengurangi tekanan pada lahan gambut yang lebih parah dan bisa jadi sebagai bentuk model pengelolaan yang pada akhirnya nanti bisa di contoh dan dikembangkan oleh daerah lain yang mempunyai tipologi yang sama.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 209 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Potensi Sineol di Lahan Gambut Sineol merupakan salah satu komponen kimiawi yang terdapat dalam minyak atsiri. Komponen sineol yang paling penting adalah 1,8 sineol, senyawa ini mempunyai karakteristik segar dan aroma camphor dan rasa pedas yang memiliki bioaktivitas yang banyak manfaatnya, yaitu penurunan aktivitas lokomotor (anti kejang), anti-kanker dan anti-tumor, antibakteri baik untuk beberapa bakteri gram-positif dan beberapa bakteri gram-negatif, antifungi, antiinflamasi, antioksidan, sebagai insektisida atau repelan, dan dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Efruan et al., 2016) Minyak atsiri yang selama ini mempunyai kandungan sineol tinggi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah minyak kayu putih. Produksi minyak atsiri kayu putih Indonesia mempunyai nilai sebesar 339,29 ton per tahun (Badan Pusat Statistik, 2018). Sementara kebutuhan minyak atsiri kayu putih untuk dalam negeri Indoensia sendiri adalah sekitar 1.500 ton per tahun (Rimbawanto, 2017). Sehingga terdapat defisit atau kekurangan pasokan sebesar 1.160 ton per tahun. Adanya defisit produksi dan kebutuhan minyak kayu putih ini sebenarnya merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pengusahaan lahan budidaya untuk dapat memenuhinya. Jenis tanaman yang umumnya menghasilkan minyak atsiri dan mempunyai kandungan sineol adalah melaleuca dan eukaliptus. Eukaliptus di seluruh dunia terdapat sebanyak 700 jenis (Wikipedia, 2020). Salah satu jenis tanaman eukaliptus yang dikembangkan di lahan gambut dan rawa adalah jenis tanaman pellita (Eucalypthus pellita F. Muel). Jenis ini selain dikembangkan di lahan rawa, juga dikembangkan di lahan daratan, seperti yang banyak diupayakan di PT. RAPP (Riau) dan PT. SBA (Ogan Komering Ilir-SUMSEL). Umumnya jenis ini banyak dimanfaatkan kayunya pada kelas diameter tertentu sebagai penghasil pulp dan papper. Pellita saat ini mulai dikembangkan skala besar dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Tanaman melaleuca mempunyai jenis yang sangat banyak di dunia yaitu sekitar 290 jenis (Wikipedia, 2020b). Jenis melaleuca yang endemik terdapat di Indonesia adalah jenis Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana dan Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi. Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana di kenal dengan

210 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut nama gelam (Sumatera) atau galam (Kalimantan). Jenis ini merupakan jenis endemik lahan basah baik gambut maupun rawa yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Bilamana suatu lahan gambut terbakar, maka biasanya jenis tanaman gelam ini tumbuh secara alami sebagai tanaman pionir pada lahan gambut tersebut. Tanaman gelam banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan utama untuk konstruksi ringan bangunanseperti untuk penyangga papan cor atap rumah, bahkan tanaman gelam yang mempunyai diameter cukup besar bisa digunakan untuk rangka utama rumah (kuda-kuda rumah). Sampai dengan saat ini potensi pemanfaatan tanaman gelam hanya pada potensi yang terdapat di populasi alami. Masih sangat sedikit sekali masyarakat ataupun pengusaha yang mengelola atau memanfaatkan tanaman gelam sebagai jenis budidaya.

(a) (b)

Gambar 20.1 Habitus tanaman gelam (Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana) (a) dan produksi kayu gelam untuk konstruksi ringan (b)

Kedua jenis tanaman di atas (Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana dan Eucalypthus pellita) mempunyai minyak atsiri bilamana dilakukan penyulingan pada daun. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwasanya kandungan sineol tanaman Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana dan Eucalypthus pellita mempunyai nilai yang bervariasi. Tanaman Eucalypthus pellita mempunyai

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 211 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

kandungan sineol 25% (Ratnaningsih et al., 2018), 0,72% (Astiani et al., 2014), 19,01% (Proenza et al., 2013), 39,6–41,13% (Anggraini et al., 2019), 5,08% (Nathalia et al., 2019), 7,52% (Singh et al., 1990). Sementara untuk jenis tanaman Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana (gelam) dilaporkan oleh Todorova dan Ognyanov (1988) dan Motl et al., (1990) yang mengemukakan bahwa kandungan 1,8-cineole minyak gelam di Long An Province of Vietnam adalah 41–48%, sedangkan Doran (1999) mengemukakan bahwa kandungan 1,8-cineole pada tanaman gelam adalah 0–6%. Potensi kedua jenis tanaman tersebut di atas mampu menghasilkan minyak atsiri, namun masih mempunyai kandungan sineol yang rendah. Kandungan sineol merupakan salah satu ciri atau prasyarat dalam produksi minyak atsiri kayu putih. Standart Nasional Indonesia (SNI: 3954:2014) tentang minyak kayu putih mempersyaratkan kandungan sineol (1,8 cineol) yang terbagi dalam 3 mutu (kelas) yaitu kandungan sineol >60% termasuk kelas super, kandungan sineol 55–60% termasuk mutu utama dan kandungan sineol 50-<55% termasuk mutu pertama. Bilamana dimasukkan dalam kriteria SNI tentang minyak kayu putih, kedua jenis tanaman tersebut mempunyai kandungan sineol yang secara umum tidak termasuk dalam salah satu kelas mutu minyak kayu putih. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis ini tidak layak diusahakan untuk menghasilkan minyak atsiri.

Introduksi Kayu Putih ke Lahan Basah Salah satu jenis tanaman yang mempunyai kandungan minyak kayu putih yang tinggi dan merupakan tanaman asli Indonesia adalah jenis Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi. Jenis tanaman ini dulu dikenal dengan nama ilmiah Melaleuca leucadendron dan terkenal dengan nama nasional Kayu Putih. Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) mempunyai morfologi yang sama dengan tanaman gelam (Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana). Mulai dari bentuk dan warna batang, bentuk daun, pembungaan dan pembuahan secara visual mempunyai persamaan. Hal yang berbeda terdapat pada kandungan minyak atsiri serta kondisi ekologi alami tempat tumbuhnya. Tanaman kayu putih secara alami terdapat di Indonesia bagian timur yaitu di Provinsi Maluku (Sudaryono, 2010).

212 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut

Minyak kayu putih yang dihasilkan oleh tanaman kayu putih yang terdapat di populasi alaminya mempunyai produksi daun sebesar 1 kg, nilai rendemen yang masih rendah yaitu 0,6% dengan kandungan sineol yang < 60% (Rimbawanto, 2017b). Adanya inovasi bidang teknologi pemuliaan tanaman hutan (tree improvement) oleh Balai Besar Penelitian Biotekhnologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; berhasil menciptakan benih unggul F1 yang mampu menghasilkan sekitar 3–5 kg daun segar per pohon setiap rotasi panen, mempunyai rendemen minyak kayu putih 2% dan kandungan sineol sebesar 65% (Kartikawati, 2017). Penggunaan benih unggul untuk tanaman kayu putih, ditengarai bisa meningkatkan produksi daun sebesar 200–400% dan peningkatan rendemen minyak sebesar 100–250%. Ujicoba penanaman benih unggul tanaman kayu putih di wilayah Sumatera telah dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Banyuasin-Sumatera Selatan. Dari ujicoba ini diketahui bahwa benih unggul tersebut secara umum menghasilkan produksi daun 4 kg per pohon setiap panen, kandungan sineol 65–73% dan rendemen 0,8–1% (Muslimin et al., 2019). Ini berarti bahwa nilai kandungan sineol dan produksi daun tanaman ujicoba sama dengan asal benihnya, namun mempunyai nilai rendemen yang masih rendah yaitu dari 2% menjadi 1 % (berkurang 50%). Meskipun terjadi defisit dari nilai rendemen minyak, namun pengusahaan minyak kayu putih dengan nilai tersebut masih layak dan menguntungkan untuk dikembangkan (Muslimin et al., 2019).

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 213 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 20.2 Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) di lahan gambut (a), alat suling (b) dan hasil minyak (c)

Kemampuan produksi minyak kayu putih yang dikembangkan di luar populasi alaminya yaitu dikembangkan di Sumatera, maka berpeluang jenis tanaman ini untuk dikembangkan di ekologi lahan lain yang terdapat di wilayah Sumatera yaitu di lahan gambut. Ujicoba penanaman tanaman kayu putih di lahan gambut dilakukan pada lahan gambut di Desa Riding, Kec. Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Lahan gambut yang terdapat pada daerah tersebut merupakan lahan gambut yang tergolong gambut dangkal. Beberapa teknik sederhana yang dilakukan dalam ujicoba penanaman tersebut adalah : a. Bibit yang digunakan merupakan bibit hasil perbanyakan vegetatif dari tanaman kayu putih yang terdapat di KHDTK Kemampo. Bibit mempunyai tinggi antara 50–60 cm.

214 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut

b. Bibit yang akan di tanam harus diyakinkan bahwa perakaran bibit sudah kompak dan mengikat erat di media polibag. c. Pada saat penanaman, kondisi lahan tergenang dangkal dengan tinggi genangan antara 15–20 cm. Penanaman dilakukan pada saat bulan Januari. d. Penanaman dilakukan dengan cara membersihkan lahan dari kayu-kayu atau material lain yang menghalangi, membuat lubang seukuran lebih besar sedikit dari ukuran polibag, memasukkan bibit, membuat gundukan sedikit (10–15 cm) dan sedikit memadatkan tanah di sekitar tanaman. Pada umur 1,5 tahun; tanaman kayu putih tersebut secara umum mempunyai pertumbuhan tinggi 1,5–2 meter dan penyulingan daun menghasilkan minyak kayu putih sebesar 0,5 % artinya setiap 100 kg daun kayu putih mengasilkan minyak sebesar 0,5 kg minyak. Data dan informasi ini menggambarkan bahwasanya penanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) yang bukan endemik lahan basah (gambut) ternyata bisa dikembangkan di lahan gambut dan mempunyai produksi minyak yang menjanjikan. Tentu saja hal ini merupakan ujicoba awal yang perlu untuk mendapatkan tindak lanjut penelitian yang lebih mendalam. Salah satu kunci dalam keberhasilan kegiatan penanaman kayu putih di lahan gambut adalah pemilihan bibit tanaman yang akan di kembangkan. Muslimin et al., (2018) mengemukakan bahwasanya terdapat 3 tipe bentuk daun kayu putih yaitu tipe daun panjang tipis, panjang agak tebal dan bentuk daun oval tebal lebar. Meskipun mempunyai variasi bentuk daun yang berbeda; produksi daun dan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari masing-masing tipe daun mempunyai hasil yang sama (Khairunnisa, 2018). Variasi bentuk daun tersebut adalah merupakan hal yang wajar, mengingat potensi tanaman di alam akan saling melakukan penyerbukan silang dan menghasilkan tanaman baru yang dimungkinkan berbeda dengan induknya. Tipe daun ketiga (oval tebal lebar) merupakan bentuk daun yang mirip dengan bentuk daun pada tanaman gelam (Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana). Tanaman gelam mempunyai bentuk daun yang sedemikian rupa dan merupakan salah satu bentuk adaptasi tanaman yang berada di lahan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 215 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

gambut. Seperti diketahui bahwasanya lahan gambut mempunyai kandungan logam berat yang tinggi, sehingga salah satu fungsi daun tebal adalah untuk merespon dan menanggulangi konsentrasi logam dengan cara meminimalkan pengaruh toksik melalui pengenceran bahan toksik yang terserap (Arisandi, 2002). Penanaman tanaman kayu putih yang mempunyai tipe daun seperti tipe daun gelam, diyakini nantinya akan menghasilkan persentase pertumbuhan tanaman yang tinggi dan optimal serta tidak mempunyai kendala dalam produksi minyak. Teknik lain yang memungkinkan untuk dilakukan adalah melalui modifikasi bibit tanaman. Modifikasi bibit bisa dilakukan dengan menggabungkan tanaman gelam dan kayu putih dalam satu bibit siap tanam. Bagian bawah bibit (perakaran) menggunakan batang bawah dari tanaman gelam dan bagian atas (produksi daun) menggunakan tanaman kayu putih. Keduanya dapat disatukan melalui pembiakan vegetatif sambung (grafting). Sistem ini mempunyai teknik yang lebih rumit karena membutukan keahlian sumberdaya manusia yang mampu untuk menggabungkan dua tanaman menjadi satu dan mempunyai persentase hidup bibit yang tinggi. Namun, teknik ini perlu juga untuk dicobakan dalam rangka untuk mengetahui teknik penyiapan bibit yang nantinya mampu memberikan nilai produksi daun dan minyak atsiri kayu putih yang tinggi. Pengembangan tanaman minyak kayu putih di lahan gambut merupakan hal yang sangat menarik dan mempunyai nilai penting, yaitu : a. Kebutuhan minyak kayu putih masih sangat tinggi, sehingga dalam konteks penyerapan pasar masih sangat terbuka lebar. b. Pengembangan kayu putih di gambut tidak membutuhkan teknik penanaman yang rumit. Lokasi penanaman tidak memerlukan pengeringan sehingga ekosistem gambut yang basah masih tetap terjaga. c. Kayu putih pada periode umur 1 tahun sudah bisa dilakukan pemanenan daun dan proses penyulingan menghasilkan minyak atsiri. Produksi daun akan meningkat seiring dengan berkembangnya umur tanaman dan jumlah tunas yang semakin banyak.

216 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut

d. Produksi daun dan produksi minyak yang bisa dihasilkan pada umur yang muda, memberikan bukti adanya hasil produksi yang lebih cepat dan bisa dimanfaatkan, baik untuk memenuhi kebutuhan lingkup keluarga sendiri atau bisa diperjualbelikan secara umum. e. Minyak atsiri hasil dari penyulingan daun tanaman kayu putih termasuk dalam hasil hutan bukan kayu yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Secara ekologi, tanaman kayu putih masih tetap bisa hidup sebagai daya dukung vegetasi lahan gambut. Pengembangan tanaman kayu putih dalam konsep revegetasi lahan gambut bisa dilakukan dengan sistem paludikultur. Tanaman kayu putih bisa dikembangkan dengan jenis tanaman lainnya dengan sifat pertumbuhan dan produksi yang berbeda. Misalnya, sebagai tanaman utama kehutanan vegetasi lahan gambut dikembangkan dengan penanaman jenis jelutung rawa (Dyera polyphylla) dan belangeran (Shorea belangeran) dengan jarak tanam yang lebar (8x8 m atau 10x10m). Tanaman kayu putih sebagai tanaman sela dan tanaman di antara tanaman pokok dengan jarak tanam 2x2 m. Di antara tanaman kayu putih bisa dilakukan penanaman tanaman tanaman pertanian (sayur mayur) atau jenis tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus) yang juga menghasilkan minyak atsiri dari proses penyulingan daunnya. Untuk lebih menghasilkan nilai produk dari usaha tanaman kayu putih, pengelolaan tanaman kayu putih bisa menghasilkan produk lainnya sebagai hasil sampingan. Beberapa di antaranya, sebagai berikut: a. Proses penyulingan daun kayu putih menghasilkan limbah berupa daun sisa penyulingan yang bisa dimanfaatkan untuk kompos (Setiawan, 2018). b. Penyulingan daun kayu putih menghasilkan minyak kayu putih dan hydrosol (air). Hydrosol ini dipadukan dengan bahan-bahan lainnya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan hand sanitizer. c. Proses pemanenan daun kayu putih dilakukan dengan memangkas batang dan cabang tanaman dan dipilah antara daun (daun+ranting kecil) dan cabang atau batang sisa. Cabang atau batang sisa yang tidak masuk dalam tungku penyulingan, bisa dimanfaatkan untuk pembuatan arang aktif (Sutapa dan hidayat, 2011).

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 217 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

d. Asap hasil pembuatan arang aktif bisa diolah (pyrolisis) untuk menghasilkan cuka kayu (asap cair). Cuka kayu mentah bisa bermanfaat untuk pupuk tanaman, sedangkan pengolahan lebih lanjut dari cuka kayu melalui destilasi tahap kedua akan menghasilkan cuka kayu kualitas utama yang sangat bermanfaat untuk pengawetan makanan dan bisa menggantikan pengawet bahan kimia (Apituley et al., 2014).

Simpulan Tanaman kayu putih yang umumnya dikembangkan di lahan darat, pada dasarnya bisa dikembangkan di lahan gambut (basah) dengan sedikit modifikasi bibit (tanaman). Bibit kayu putih sebaiknya menggunakan tipe daun seperti tipe daun gelam yaitu mempunyai bentuk yang membulat, tebal dan lebar. Pengembangan kayu putih darat ini akan membuka peluang usaha untuk pemenuhan kebutuhan minyak kayu putih skala nasional yang memang sangat banyak kekurangannya, atau secara lokal bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi sehari-hari. Selain itu, juga terpenuhi aspek ekologis revegetasi lahan gambut yang tidak merombak struktur lahan gambut yang alami, dengan perkataan lain budidaya kayu putih di lahan gambut tidak memerlukan usaha pengeringan. Usaha budidaya ini didukung oleh adanya diversifikasi produk turunan dari pengolahan minyak kayu putih yang juga mempunyai nilai ekonomi untuk pengembangan bisnis. Nilai komersial minyak kayu putih dan turunannya ini berpotensi untuk diusahakan secara global dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar kawasan gambut.

Daftar Pustaka Apituley, D. A. N., Leiwakabessy, J., Nanlohy, E. E. E. M. 2014. Pemanfaatan Asap Cair kayu Putih (Melaleuca cajuputi) Sebagai Antioksidan Dalam Pengolahan Ikan Tuna Asap. Chimica et Natura Acta. 2(2): 145-151. Anggraini, R., Khabibi, J., Tamin, R. P. 2019. Karakteristik Minyak Atsiri Eucalyptus dari 3 Klon Pohon Eucalyptus pellita F. Muell. Jurnal Silva Tropika. 3(1).

218 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut

Arisandi,P.2002.Hutan Bakau Hilang Minamata Datang. Ecological Observation and Wetland Conservation. http://www.ecoton.or.id/ tulisanlengk ap.php?id=1305/16. Diakses tanggal 8 Desember 2020. Astiani DP, Jayuska A, Arrenez S. 2014. Uji aktivitas antibakteri minyak Eucalyptus pellita terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. JKK 3(3):49–53 Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Produksi Kehutanan 2018. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BRG. 2020. Strategi 3R dalam upaya restorasi gambut. http://brg. go.id/strategi-3r-dalam-upaya-restorasi-gambut/#:~:text=3R%20 adalahkepanjangan%20dari%20rewetting%2C%20 revegetation,persemaian%2C%20penanaman%20dan%20r- egerenasi%20alami. Diakses tanggl 9 Desember 2020. Doran, J. C. 1999. Cajuput Oil. Harwood Academic Publishers. Efruan, G. K., Martosupono, M., Rondonuwu, F. S. 2016. Review: Bioaktivitas Senyawa 1,8 Sineol Pada Minyak Atsiri. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan dan Saintek ke-1 tahun 2016. http://hdl.handle. net/11617/7894 Kartikawati, N. K. (2017) Minyak Kayu Putih: Peningkatan Mutu Genetik Tanaman Kayu putih. Yogyakarta: Kaliwangi Khairunnisa, R. 2018. Karakteristik Morfologi dan Kualitas Minyak Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi). Skripsi Mahasiswa Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sriwijaya. Tidak dipublikasikan. Li Y, Lai Y, Wang Y, Liu N, Zhang F, Xu P. 1, 8-Cineol Protect Against Influenza-Virus-Induced Pneumonia in Mice. Inflammation. 2016 Aug;39(4):1582-93. doi: 10.1007/s10753-016-0394-3. PMID: 27351430. Motl, O., Hodacová, J. and Ubik, K. (1990) Composition of Vietnamese cajuput essential oil. Flavour and Fragrance Journal, 5, 39–42 Muslimin, I., Kurniawan, A., Kusdi, Islam, S. 2018. Laporan Hasil Penelitian tahun 2018 : ”Pengembangan Tanaman Unggulan Hasil Pemuliaan di KHDTK”. Balai Litbang LHK Palembang. Tidak dipublikasikan.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 219 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Muslimin, I., Kurniawan, A., Kusdi, Islam, S. 2019. Laporan Hasil Penelitian tahun 2019 : ”Pengembangan Tanaman Unggulan Hasil Pemuliaan di KHDTK”. Balai Litbang LHK Palembang. Tidak dipublikasikan. Nathalia, C. 2019. Analisa Kndungan Kimia, Sifat Fisika dan Penentuan Kadar Sineol, Minyak Atsiri pada Daun Eucalyptus pellita Dari PT. Toba Pulp Lestari Dengan Metode GC-MS. Skripsi Mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Pantau gambut. 2020. Luas dan Sebaran Lahan Gambut di Indonesia. https:// pantaugambut.id/pelajari/apa-itu-gambut/luas-dan-sebaran-lahan- gambut-di-indonesia. Diakses tanggal 10 Desember 2020. Pranita, e. 2020. Semakin Terancam, ini 3 poin perlindungan lahan gambut di Indonesia.https://www.kompas.com/sains/ read/2020/10/13/100200123/semakin-terancam-ini-3-poin- perlindungan-lahan-gambut-di-indonesia?page= all#:~:text=KOMPAS. com%2D%20Indonesia%20merupakan%20negara,sekitar%20 13%2C9%20juta%20hektar.. Diakses tanggal 7 Desember 2020. Proenza, Y.G., Alvarez, R.Q., Tamayo, Y.V., Saavedra, M.A., Garcia, Y.S and Espinosa, R.H., 2013, Chemical Composition and Antibacterial Activity of the Essential Oil from Eucalyptus pellita F. Muell, J. Med. Plants Res, 7 (27), 1979-1983. Ratnaningsih, A. T., Insusanty, E., Azwin. 2018. Rendemen dan Kualitas Minyak Atsiri Eucalyptus Pellita Pada Berbagai Waktu Penyimpanan Bahan Baku. Wahana Forestra:Jurnal Kehutanan. 13:2. Rimbawanto, A. (2017) Minyak Kayu Putih: Seluk Beluk Tanaman Kayu Putih. Yogyakarta: Kaliwangi Rimbawanto, A. (2017b) Minyak Kayu Putih: Budidaya Tanaman Kayu Putih. Yogyakarta: Kaliwangi. Singh, A. K., Gupta K. C., Brophy J. J. 1990. Chemical Constituents of the Essential Oil of Eucalyptus pellita Benth., Journal of Essential Oil Research, 2:3, 147-148, DOI: 10.1080/10412905.1990.9697846 Sudaryono (2010) Evaluasi kesesuaian lahan tanaman kayu putih Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Jurnal Teknologi Lingkungan. 11(1):105:116.

220 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Mendulang Sienol di Lahan Gambut

Setiawan, W. D. 2018. Pemanfaatan Limbah Penyulingan Minyak Kayu Putih (Melaleuca cajuputi) Untuk Pembuatan Pupuk Organik. Skripsi Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Sutapa, J. P. G., Hidayat, A. N. 2011. Pemanfaatan Limbah Daun dan Ranting Penyulingan Minyak Kayu Putih (Melaleuca cajupuiti Powell) Untuk Pembuatan Arang Aktif. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIV. UGM Yogyakarta. Todorova, M. and Ognyanov, I. (1988) Composition of Vietnamese essential oil from Melaleuca leucadendron L., Perfumer and Flavorist, 13, 17–18 Wichtmann, W., Schroder, C., and Joosten, H. 2016. Paludiculture as an Inclusive Solution. In: Paludiculture-Productive Use of Wet Peatland. Schweizerbart Science Publishers. Wikipedia. 2020. Eukaliptus. https://id.wikipedia.org/wiki/Eukaliptus. Diakses tanggal 8 Desember 2020. Wikipedia. 2020b. Melaleuca. https://id.wikipedia.org/wiki/Melaleuca. Diakses tanggal 8 Desember 2020.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 221 BAB 21 Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi?

Mamat Rahmat21

Pendahuluan Pada era industrialisasi seperti sekarang ini, berburu dan meramu masih menjadi aktivitas sebagian masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Dipandang dari sudut teori ekonomi, aktivitas berburu merupakan bagian dari upaya untuk mengalokasikan sumberdaya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan yang cenderung tidak terbatas. Pada masa lampau, keterbatasan sumberdaya pada suatu lokasi direspons oleh pemburu dan peramu dengan cara berpindah ke lokasi lain yang sumberdayanya masih melimpah, demikian terus-menerus sehingga dikenal sebagai aktivitas nomaden. Pada masa itu kelimpahan sumberdaya layaknya tanpa batas, walaupun sesungguhnya terbatas. Mereka juga cenderung membuang-buang harta karena mempunyai keyakinan bahwa mereka bisa membuat lagi sesuai dengan kebutuhan (Sahlins, 1998). Pemburu dan peramu pada era itu belum memikirkan perlunya hak milik atas tanah maupun binatang. Karena keterbatasan teknologi, konsumsi bahan makanan pun dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan yang sudah tersedia di alam (Daly & Farley, 2011). Perkembangan populasi manusia dan disertai dengan invensi teknologi yang semakin memudahkan kerja manusia, menambah tekanan terhadap sumberdaya alam yang berkembang melalui tangan-tangan imperialisme. Gowdy dalam bukunya Limited Wants, Unlimited Means, juga menjelaskan bahwa teori ekonomi digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap kekayaan, kemiskinan dan eksploitasi (Gowdy, 1998). Teori ekonomi menjadi pembenaran bagaimana peran kekayaan untuk meningkatkan capital dan kuasa atas sesama dan sumberdaya alam, yang pada sisi lainnya justru menimbulkan kemiskinan. Selain itu, teori ekonomi juga menjadi pembenaran terhadap 21 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang: email: mmt_rahmat@yahoo. com Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi? eksploitasi sumber daya manusia (man power) dan sumberdaya alam. Tulisan singkat ini, akan memberikan gambaran bagaimana aktivitas perburuan madu hutan di alam liar pada eksositem hutan mangrove dilakukan dan menjadi penghidupan sekelompok masyarakat di sekitar Rimba Sembilang. Lalu, penulis mencoba memberikan analaisa terhadap apa yang kemungkinan dapat terjadi di masa depan apabila aktivitas berburu madu yang sekarang mereka praktikan tetap berpegang pada prinsip rasionalitas individu. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui paper ini adalah apakah madu hutan mangrove yang tergolong sebagai sebagai barang milik bersama (commons good) tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tantangan cukup besar, mengingat sebagai commons good, madu mangrove memiliki sifat rivalry, yaitu pemanenan madu dari alam oleh seorang individu akan memengaruhi ketersediaannya bagi orang lain. Karakteristik yang kedua adalah bersifat non-exludable, yakni tidak ada individu yang bisa dikecualikan dari penggunaan barang tersebut, siapa pun dapat melakukan ektraksi madu mangrove dari ekosistem hutan Rimba Sembilang. Temuan peneliti tentang bagaimana pengelolaan commons good yang didasari pada rasionalitas keuntungan invidu cenderung berujung pada tragedi. Apakah hal itu akan terjadi pada madu mangrove dari Rimba Sembilang? Atau masihkan ada jurus yang dapat dilakukan untuk berkelit dari kemungkinan tragedi tersebut?

Realitas dan Harapan Bab Realitas dan harapan ini memberikan gambaran bagaimana aktivitas perburuan madu yang dilakukan oleh kelompok pemburu madu mangrove di Rimba Sembilang dilakukan, latar belakang pemburu, dan deskripsi ekosistem hutan tempat mereka melakukan perburuan madu. Kemudian, Sub Bab berikutnya memberikan analisis sederhana tentang prospek perburuan madu mangrove ke depannya atas dasar prinsip berburu yang diterpakan saat ini serta menawarkan jurus yang dapat digunakan untuk berkelit dari kemungkinan tragedi akibat kepunahan madu mangrove. A. Realitas pemburu, ekositem mangrove dan aktivitas perburuan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 223 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

madu Tepat pukul 15:00 WIB pada tanggal 12 April tahun 2019, ketika saya dan Tim Peneliti Litbang LHK Palembang menginjakkan kaki di Desa Mekar Sari (P8) untuk pertama kali. Desa Mekar Sari merupakan salah satu desa transmigrasi yang dibuka pada tahun 1990-an, terletak di Kecamatan Lalan, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Sebagian penduduknya berasal dari Pulau Jawa dan sisanya dari Kabupaten lain di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, umumnya berasal dari Kabupaten Ogan Ilir. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama sebahagian besar penduduk Desa Mekar Sari. Kondisi tanah yang bersifat masam dan mengandung firit membatasi jenis tanaman yang mereka kembangkan. Komoditas yang dikembangkan di desa ini umumnya adalah kelapa sawit dan kayu sengon. Pola tanam ini sangat kontras dengan desa sebelanya, yaitu desa Sri Karang Rejo yang hampir seluruh penduduknya menanam padi sawah. Memiliki sawah merupakan impian sebagian besar masyarakat transmigrasi di kecamatan Lalan. Oleh karena itu, sering kali berbagai upaya untuk memiliki lahan sawah mereka jalani. Di antara sebagian besar masyarakat yang berprofesi sebagai petani, di desa Mekar Sari juga terdapat beberapa orang penduduk yang menekuni penghidupan sebagai pemburu madu. Pekerjaan ini belum lama mereka jalankan, baru sekitar enam tahun yang lalu. Perintisnya adalah Ramli Fahrizal bersama adik, kakak dan orang tua serta tetangganya. Pada mulanya jumlah pemburu madu di desa ini hanya 12 orang, saat ini sudah bertambah menjadi 24 orang. Di antara mereka membentuk regu yang terdiri atas dua orang per regu sebagai tandem dalam melakukan perburuan. Satu regu pemburu madu bermodalkan sebuah perahu yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan motor temple. Ukuran perahunya tidak terlalu besar, kira-kira lebar bagian terluarnya 1 meter dan panjanganya sekitar 5 meter. Dengan menggunakan perahu tersebut mereka setiap hari mengarungi Sungai Sembilang dan anak- anak sungai di sekitarnya. Beberapa anak sungai yang menjadi lokasi favorit perburuan madu adalah Sungai Sampan, Sungai Kuntul dan Sungai Batang Tengkorak. Selain itu mereka kadangkala masuk ke Sungai Buntut Buaya. Rerimbunan rumpun nipah dan rintangan akar tunjang pohon Bakau yang

224 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi? menghalangi perlintasan serta akar lutut yang bersembulan menyebabkan kaki sakit apabila terinjak, tidak menyurutkan niat para pemburu madu untu mencari peruntungan di ekosistem mangrove Rimba Sembilang.

Gambar 21.1 Pemburu madu sedang menelusuri sungai kecil (solok) di bawah rerimbunan vegetasi ekosistem mangrove Rimba Sembilang.

Tantangan para pemburu bukan hanya medan yang sulit diakses, tetapi juga ancaman dari satwa liar yang bisa saja menyerang mereka di kala lengah atau perilaku pemburu mengganggu kedamaian alam liar. Para pemburu sangat paham bahwa Rimba Sembilang merupakan habitat satwa langka Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan Buaya muara (Crocodilus porosus). Mereka umumnya sangat paham tentang tindakan apa yang diperbolehkan dan perilaku apa yang dilarang selama mereka berada di dalam hutan. Jejak kaki Harimau pada tanah mangrove yang lembek, sering kali mereka temukan. Bahkan ada satu orang pemburu yang pernah melihat satwa langka dilindungi tersebut saat ia akan menuju ke perahunya di pinggir sungai. Beruntung, binatang tersebut tidak mengganggunya. Beratnya tantangan dalam mendapatkan madu dari ekosistem mangrove

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 225 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Rimba Sembilang, tidak lantas membuat mereka segera mendapatkan uang. Pada saat saya dan Tim pertama kali bertemu para pemburu madu, yang pertama mereka sampaikan adalah keluhan mengenai sulitnya pemasaran. Padahal dari segi rasa, tergolong unik, secara umum rasanya manis namun ada sedikit rasa asam. Karena tidak cepat terjual, sering kali madu menumpuk di rumah pembeli hingga beberapa bulan. Saat kami melakukan kunjungan, seorang pemburu bercerita kepada kami bahwa di rumahnya masih tersedia stock madu sebanyak 200 Kg. Sering kali pemburu harus rela menjual madu kepada tengkulak pada harga dasar yang hanya cukup untuk melunasi utang- utang mereka di warung penyedia barang kebutuhan berburu seperti bahan bakar, suku cadang mesin perahu dan bahan pangan untuk perbekalan berburu. Berbekal informasi di muka, kami mulai mencoba mencari tahu, apa penyebab rendahnya omzet pemasaran madu mangrove dari Rimba Sembilang. Melalui diskusi kelompok dengan para pemburu madu, kami mencoba merunut mata rantai model bisnis maduyang mereka praktikan pada kondisi eksisting. Dengan menggunakan alat bantu Model Bisnis Kanvas (Osterwalder & Pigneur, 2010), kami mulai menelusuri model bisnis madu eksisting yang dilakukan oleh para pemburu dan mencoba mendiskusikan bersama-sama, upaya transformasi bisnis mereka agar keluar dari kondisi saat itu. Upaya pengembangan bisnis tersebut merupakan bagian dari upaya untuk membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Madu Hutan sebagai tidak lanjut dari Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) yang telah diperoleh KUD Sari Usaha. Pak Kusnadiono (Ketua KUD) dan Pak Fahmi (Wakil Ketua KUD) beserta sejumlah Kelompok Tani/KUD lainnya telah berkesempatan menerima Surat Keputusan Izin Perhutanan Sosial dari Presiden Joko Widodo secara langsung pada bulan November 2018 yang dilaksanakan di Hutan Kota Punti Kayu, Palembang (Sindonews.com, 2018). KUD Sari Usaha yang telah secara resmi mendapatkan izin untuk mengelola kawasan hutan produksi seluas 9.135 ha di sekitar Sungai Sembilang. Kawasan hutan tersebut berbatasan langsung areal hutan alam dan hutan tanaman serta areal perkebunan. Di sebelah Utara dan Timur, areal

226 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi? kemitraan berbatsan dengan dengan areal Taman Nasional Berbak Sembilang, di sebelah Barat berbatasan dengan areal konsesi HPHTI PT. Sumber Harapan Pratama, dan di sebelah Selatan berbatasan langsung dengan areal konsesi HPHTI PT. Sumber Harapan Pratama dan areal Raja Palma. Jarak areal kemitraan dari desa Karangsari cukup jauh dan aksesnya hanya bias dilalui melalui jalur sungai dengan menggunakan perahu motor atau speed boat. Waktu tempuh dari desa Karang Sari ke lokasi areal kemitraan sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan speed boat atau tiga jam perjalanan dengan menggunakan perahu motor biasa. Terdapat dua tipe ekosistem hutan pada areal perhutanan sosial tersebut, yaitu tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah dan tipe ekosistem hutan mangrove. Ekosistem hutan dataran rendah kondisinya sudah terdegradasi atau hanya menyisakan vegetasi pionir dan didominasi vegetasi tumbuhan bawah yang terdiri atas jenis Paku Laut (Acrostichum aureum), Paku Udang (Stenochlaena palustris), Belidang (Fimbristylis annua) dan Perumpung (Phragmites karka). Selain jenis tersebut, di beberapa lokasi ditemukan jenis pohon Laban (Vitex pubescens), Merbau (Instia sp.), Kayu Ara (Ficus benjamina), Nibung (Oncosperma tigillarium), dan Pulai Rawa (Alstonia pneumatophora), namun kerapatannya sangat rendah. Tanda-tanda aktivitas pembalakan pada ekosistem hutan dataran rendah masih terlihat jelas di beberapa lokasi. Karena sediaan kayu berdiameter besar sudah habis, maka nibung pun menjadi sasaran pembalak liar. Formasi tegakan nibung umumnya berada daerah peralihan antara hutan mangrove yang terkena air asin dan rekosistem rawa pasang surut air tawar. Nibung merupakan tumbuhan dari kelompok palma yang bercirikan batang lurus. Masyarakat nelayan umumnya menggunakan batang nibung untuk membangun rumah, bagan, kilung, dan togak (Nurlia, Siahaan, & Lukman, 2013). Tipe ekosistem yang kedua adalah ekosistem hutan mangrove. Tipe ekosistem ini sangat tepat apabila difungsikan sebagai zona lindung. Pemanfaatan yang dapat dilakkan dari zona ini hasil hutan bukan kayunya seperti ikan, kepiting dan madu hutan. Vegetasi jenis bakau (Rhizophora mucronata), Putut (Bruguiera gymnorrhiza), Jambon (Xylocarpus granatum), dan Nipah (Nypa fructicans) adalah spesies yang tersebar di ekosistem hutan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 227 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

mangrove sekitar Sungai Sembilang. Jenis-jenis pohon tersebut merupakan jenis-jenis yang sering kali dimanfaatkan oleh koloni lebah hutan (Apis dorsata) untuk meletakan sarangnya atau sebagai sumber nectar dan pollen(Adalina & Heryati, 2019; Prayoga, Burhanudin, & Wardenaar, 2020; Sihotang, Hardiansyah, & Wardenaar, 2019). Madu hutan mangrove yang yang diperoleh dari Rimba Sembilang memiliki karakteristik berwarna gelap (dark), agak encer dan rasanya manis sedikit asam. Karakter tersebut berbeda dengan madu mangrove yang diperoleh dari hutan mangrove di Kubu Raya (Provinsi Kalimantan Barat) maupun Manggarai Barat (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Madu dari kedua daerah tersebut umumnya berwarna cerah kekuningan (Adalina & Heryati, 2019). Perbedaan warna madu biasanya dipengaruhi oleh sumber nektarnya (Chayati, 2012; Prabowo, Yuliani, Prayitno, Lestari, & Kusesvara, 2020; Pribadi & Wiratmoko, 2019), dan kandungan mineral pada tanah tempat tumbuhnya tanaman sumber nektar (Pribadi & Wiratmoko, 2019). Para pemburu madu di Desa Mekar Sari lebih menyukai madu yang berwarna gelap. Mereka menganggap madu yang berwarna gelap kualitasnya lebih baik. Pengetahuan tersebut, ternyata sudah dibuktikan secara ilmiah oleh peneliti madu lebah di Australia yang menemukan bahwa madu yang berwarna lebih gelap mengandung lebih banyak mineral dibandingkan madu yang berwarna terang (Somerville, 2005). Selain itu, madu yang berwarna lebih gelap mengandung senyawa phenolik lebih tinggi dibandingkan madu berwarna terang (Lachman et al., 2010).

228 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi?

Gambar 21.2 Madu mangrove Rimba Sembilang berwarna gelap (dark) dan agak encer.

Madu mangrove yang diperoleh dari Rimba Sembilang memiliki ciri khas rasanya yang manis dan agak asam. Hal tersebut merupakan perpaduan antara nektar dari tanaman Akasia dan vegetasi hutan mangrove yang ada di sekitarnya. Sebagaimana diketahui rasa madu dipengaruhi oleh sumber nektarnya (Astrini, Wibowo, & Nugrahani, 2014). Selain mendapatkan madu rasa manis asam, pada musim tertentu, pemburu madu mangrove Rimba Sembilang juga mendapatkan madu pahit, tapi jumlahnya tidak banyak. Menurut pengalaman penuturan mereka, sumber nektar madu pahit

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 229 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

di sekitar Rimba Sembilang adalah pohon laban (Vitex pubescens). Madu pahit juga sering kali ditemukan pada madu yang nektarnya berasal dari pohon Mahoni (Swietenia mahagony) dan Pelawan (Tristaniopsis merguensis )(Astrini et al., 2014). Ciri khas madu mangrove Rimba Sembilang yang juga mirip dengan dengan madu mangrove dari Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Kubu Raya adalah kadar airnya (Adalina & Heryati, 2019) yang melebihi dari standar SNI (22%). Memang betul, kadar air madu mangrove Sembilang belum pernah diuji, namun dari penampakannya yang terlihat encer diperkirakan kadar airnya memang masih tinggi. Kadar air madu dipenagruhi oleh faktor cuaca dan kelembapan di sekitar sarang (Gariola, Tiwari, & Tiwari, 2013; Mouteira, Malacalza, Lupano, & Baldi, 2001), serta kondisi nectar, tingkat kematangan madu dan perlakuan terhadap madu saat pemanenan dan penyimpanan (Baroni et al., 2009; Gariola et al., 2013). Kondisi tersebut dapat terjadi karena madu bersifat higroskopis, yaitu mudah menyerap uap air di udara (Evahelda, Pratama, & Santoso, 2018; Wulandari, 2017). Selain iklim, ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab utama kadar air madu mangrove dari Rimba Sembilang cenderung tinggi, yaitu, masalah penanganan madu saat pemanenan, saat penyimpanan dan tingkat kematangan madu. Pemburu madu mangrove Rimba Sembilang biasanya menggunakan ember tanpa penutup saat melakukan pemanenan, membawa madu dari hutan ke rumah dan penyimpanan juga tidak menggunakan tempat yang kedap udara. Madu terkena kontak langsung dengan udara di sekitarnya, sehingga berpeluang untuk menyerap air dari udara sekitar. B. Berkelit dari tragedi rezim open access Kagum, ketika pertama kali saya mendengar cerita pemburu madu dari Desa Mekar Sari. Pemburu madu di desa tersebut, betul-betul menjadikan madu sebagai mata pencaharian utama. Aktivitas hariannya adalah berburu madu di hutan mangrove. Hanya pada musim-musim paceklik mereka terpaksa tidak berburu. Musim itu biasanya adalah pada bulan Desember hingga Januari, setiap tahunnya. Hal ini berbarengan dengan tingginya air

230 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi? pasang di Sungai Sembilang. Sementara perburuan madu di daerah Simpang Gaung, Indragiri Hilir, Riau, perburuan dilakukan tiga bulan sekali. Pohon- pohon sialang sudah dimiliki oleh beberapa orang atau beberapa kelompok. Sepintas, tidak ada permasalahan dalam praktik perburuan madu mangrove di Rimba Sembilang. Terlihat hubungan yang harmonis antara mereka dengan ekosistem di sekitarnya, hutan mangrove dan segala isinya, termasuk satwa liar yang hidup di dalamnya. Para pembaca juga kemungkinan besar akan setuju bahwa madu adalah sumber penghidupan masyarakat sekitar hutan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Karena yang dipanen oleh pemburu madu adalah hasil sampingan dari hutan yaitu dikenal sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kayu sebagai modal utama ekosietem hutan mereka jaga keberadaaanya. Para pemburu pun sangat menyadari pentingnya melestarikan hutan mangrove. Namun, setelah mencoba bergaul dengan para pemburu, sedikit demi sedikit saya mulai memahami relasi antar regu pemburu (satu regu terdiri atas dua orang), praktik pemanenan dan pengolahan madu pasca panen dan prinsip mereka dalam berburu madu. Prinsip berburu madu yang dipraktikan adalah “siapa cepat dia dapat”, tidak ada norma yang mengatur pemanenan madu. Tidak ada saling menghargai atas hak atas pohon sialang yang dihormati oleh seluruh grup-grup pemburu. Pola eksploitasi madu hanya berpedoman pada motif memaksimumkan keuntungan pribadi. Pemburu akan memanen sarang madu yang ditemuinya di hutan, apapun kondisinya, apakah sudah matang atau belum. Mereka tidak akan menunda panen madu yang masih muda untuk kemudian dipanen setelah matang, karena bisa jadi setelah madu matang justru dipanen oleh orang lain. Kasus seperti ini merupakan cerita klasik yang sering terjadi pada sumber daya alam yang bersifat open access. Benak saya mulai diliputi kegalauan, sampai kapan mereka dapat begantung pada madu sebagai sumber penghidupan? Dengan pola berburu yang saat ini mereka praktikan, dalam beberapa tahun ke depan, bisa jadi madu mangrove dari Rimba Sembilang tinggal cerita. Sebagai pencinta dan penikmat madu mangrove, saya tentu tidak ingin hal itu menjadi kenyataan. Oleh karena itu, tata kelola perburuan madu mangrove Rimba Sembilang perlu segera dirumuskan dan disepakati oleh regu-regu pemburu.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 231 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Dalam kasus sumber daya open access, siapapun berhak untuk melakukan ekstraksi, tidak ada aturan hak milik pribadi maupun kelompok. Setiap orang bertindak sesuai dengan kepentingan dan rasionalitas individu. Realitas lapangan menunjukkan bahwa pada kondisi seperti ini, tidak akan menciptakan manfaat yang lebih banyak bagi lebih banyak individu, melainkan justru keburukan bagi seluruh individu yaitu kemerosotan kualitas madu. Apabila meminjam istilahnya Herman Daly, kondisi tersebut membuktikan bahwa tindakan seseorang yang didasarkan atas rasionalitas individu tidak selalu menghadirkan tangan tuhan (invisible hand) yang mengarahkan pada manfaat terbesar untuk individu yang lebih banyak, melainkan justru menciptakan kaki yang dapat menendang/menghilangkan manfaat dari barang publik (Daly & Farley, 2011). Prinsip ekstraksi sumberdaya alam seperti ini sebenarnya telah diingatkan oleh para ilmuwan sejak tahun 1950-an, bahwa pola ekstraksi common pool resources tanpa aturan hanya akan mengakibatkan kelebihan panen (Gordon, 1954; Scott, 1955). Keduanya melakukan analisis pada sumber daya ikan, namun konsepnya dapat diadopsi pada berbagai jenis pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diakses secara terbuka (open access). Eksploitasi sumberdaya milik bersama secara open access, telah diperingatkan oleh oleh Garret Hardin (1968), yang menurut hasil kajiannya dapat berujung pada tragedy atau dikenal dengan the tragedy of the commons. Temuan tersebut telah mencuri perhatian dan menjadi acuan dalam kajian-kajian pembangunan berkelajutan. Apakah perburuan madu mangrove di Rimba Sembilang juga dapat berujung pada tragedi? Tentunya para pemburu tidak ingin tragedi, kehilangan sumber penghidupannya dari madu mangrove Rimba Sembilang, menjadi kenyataan. Para pembaca juga mungkin sepakat dengan saya, tidak menginginkan hilangnya satwa endemik Sumatera yang diakibatkan oleh punahnya madu mangrove dari Rimba Sembilang juga berdampak pada eksploitasi kayu dan konversi lahan ekosistem mangrove, yang pada ujungnya berdampak pada semakin terdesaknya ruang jelajah Harimau Sumatera. Oleh karena itu, pemanfaatan madu perlu dijaga kerberlangsungannya. Ada beberapa pihak yang dapat diikutsertakan dalam upaya tersebut, antara lain para pihak

232 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi? yang telah meguasai lahan dan hutan di sekitar itu, yaitu: PT. SHP, PT. Raja Palma, Balai Taman Nasional Berbak Sembilang, KUD Sari Usaha dan UPTD KPH Wilayah II Lalan Mendis. Apabila diidentifikasi kepemilikan lahan tempat berburu madu, sebagian besar adalah merupakan areal konsesi PT. SHP. Sisanya merupakan areal perhutanan sosial pola kemitraan antara KUD Sari Usaha dengan KPH Lalan Mendis. Kepemilikan lahan sudah jelas adalah pemegang konsesi dan pemegang izin Kulin KK. Para pemburu madu hanya membutuhkan hak akses untuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) jenis ini. Hak akses, sudah didapatkan, namun para pemburu juga perlu berpikir aksi kolektif untuk sama-sama menjaga sumberdaya madu agar dapat menjadi sumber penghidupnnya secara berkelanjutan.

Simpulan Madu dari hutan mangrove telah menjadi penghidupan masyarakat sekitar Rimba Sembilang. Oleh karena itu, pengaturan panen ataupun wilayah berburu merupakan topik yang menarik untuk dikaji. Ini menarik untuk menjadi topik riset aksi berikutnya untuk bersama-sama pemburu madu mentransformasikan pola perburuan madu yang masih tradisional menjadi lebih berkelanjutan. Yang tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana kerja sama yang perlu dijalin antara pemburu madu dengan pengelola lanksap sembilang yang beragam, yang terdiri atas pemerintah (TN Sembilang, KPH), swasta (perkebunan, HTI), dan Pemegang Izin Perhutanan Sosial (KUD). Daftar Pustaka Adalina, Y., & Heryati, Y. (2019). Characteristics of mangrove honey from the Komodo National Park Area and Kubu Raya Protected Forest. EurAsian Journal of BioSciences, 2415(December), 2407–2415. Astrini, D., Wibowo, M. S., & Nugrahani, I. (2014). Aktivitas Antibakteri Madu Pahit terhadap Bakteri Gram Negatif dan Gram Positif serta Potensinya Dibandingkan terhadap Antibiotik Kloramfenikol, Oksitetrasiklin dan Gentamisin. Acta Pharmaceutica Indonesia, 39(3 & 4), 75–83.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 233 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Baroni, M. V., Arrua, C., Nores, M. L., Fayé, P., Díaz, M. del P., Chiabrando, G. A., & Wunderlin, D. A. (2009). Composition of honey from Córdoba (Argentina): Assessment of North/South provenance by chemometrics. Food Chemistry, 114(2), 727–733. https://doi.org/10.1016/j. foodchem.2008.10.018 Chayati, I. (2012). Sifat Fisikokimia Madu Monoflora dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurnal Agritech, 28(01), 9–14. https://doi. org/10.22146/agritech.9779 Daly, H. E., & Farley, J. (2011). Ecological Economics: Principles and Applications (Second). Washington Covelo London: Island Press. Evahelda, E., Pratama, F., & Santoso, B. (2018). Sifat Fisik dan Kimia Madu dari Nektar Pohon Karet di Kabupaten Bangka Tengah, Indonesia. Agritech, 37(4), 363. https://doi.org/10.22146/agritech.16424 Gariola, A., Tiwari, P., & Tiwari, J. K. (2013). Physico-chemical Properties of Apis cerana-indica F. Honey from Uttarkashi District of Uttarakhand, India. Journal of Global Biosciences, 2(1), 20–25. Retrieved from https:// www.mutagens.co.in/jgb/vol.02/1/04.pdf Gordon, H. S. (1954). The economic theory of a common-property resource: The fishery. Journal of Political Economy, 62(2), 124–142. https://doi. org/10.1007/BF02464431 Gowdy, J. M. (1998). Limited wants, unlimited means : a reader on hunter- gatherer economics and the environment. (J. M. Gowdy, Ed.). Washington DC: Island Press. Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science, 162(December), 1243–1248. Lachman, J., Hejtmánková, A., Sýkora, J., Karban, J., Orsák, M., & Rygerová, B. (2010). Contents of major phenolic and flavonoid antioxidants in selected Czech honey. Czech Journal of Food Sciences, 28(5), 412–426. https://doi.org/10.17221/202/2009-cjfs Mouteira, M. C., Malacalza, ; N H, Lupano, C. E., & Baldi, B. M. (2001). Analysis of Honey Produced in the Province of Buenos Aires, Argentine, From 1997 To 2000. Apic. Congr, (November), 1–7. Retrieved from https://www.apimondia.com/congresses/2001/Papers/184.pdf

234 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perburuan Madu Mangrove Berujung Tragedi?

Nurlia, A., Siahaan, H., & Lukman, A. H. (2013). Pola Pemanfaatan dan Pemasaran Nibung di Sekitar Kawasan Taman Nasional Sembilang Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(4), 241–251. https://doi.org/10.20886/jpht.2013.10.4.241-251 Osterwalder, A., & Pigneur, Y. (2010). Bussiness Model Generation: A Handbook for Visionaries, Game Changers, and Challengers. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. https://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.0307- 10.2010 Prabowo, S., Yuliani, Y., Prayitno, Y. A., Lestari, K., & Kusesvara, A. (2020). Penentuan karakteristik fisiko-kimia beberapa jenis madu menggunakan metode konvensional dan metode kimia. Journal of Tropical AgriFood, 1(2), 66. https://doi.org/10.35941/jtaf.1.2.2019.2685.66-73 Prayoga, S., Burhanudin, & Wardenaar, E. (2020). The Potential Of Mangrove Vegetation As Honey Bee Feed In The Mangrove Forest Area Surya Perdana Mandiri Setapuk Besar Of North Singkawang Sub District. Jurnal Hutan Lestari, 8(2), 441–453. Pribadi, A., & Wiratmoko, M. E. (2019). KARAKTERISTIK MADU LEBAH HUTAN ( Apis dorsata Fabr .) DARI BERBAGAI BIOREGION DI RIAU ( Apis dorsata Forest Honey Characteristics from Bioregions in Riau ). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 37(3), 185–200. Sahlins, M. (1998). The Original Affluent Society. In J. M. Gowdy (Ed.), Limited wants, unlimited means : a reader on hunter-gatherer economics and the environment (pp. 5–42). Washington DC: Island Press. Scott, A. (1955). The Fishery: The Objectives of Sole Ownership. Journal of Political Economy, 63(2), 116–124. Sihotang, O. K., Hardiansyah, G., & Wardenaar, E. (2019). Potensi ekosistem hutan mangrove terhadap keberadaan madu hutan sebagai jasa lingkungan di desa Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan Lestari, 7, 335–348. Sindonews.com. (2018, November 26). Jokowi Serahkan Sertifikat 55 Ribu Hektar Hutan ke Masyarakat. Sindonews.Com. Retrieved from https://nasional.sindonews.com/berita/1357494/15/jokowi-serahkan- sertifikat-55-ribu-hektar-hutan-ke-masyarakat-sumsel

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 235 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Somerville, D. (2005). FAT BEES SKINNY BEES -a manual on honey bee nutrition for beekeepers-. Australian Government Rural Industries Research and Development Corporation, (05), 1–142. Retrieved from http://library.wur.nl/WebQuery/clc/1766764 Wulandari, D. D. (2017). Analisa Kualitas Madu (Keasaman, Kadar Air, dan Kadar Gula Pereduksi) Berdasarkan Perbedaan Suhu Penyimpanan. Jurnal Kimia Riset, 2(1), 16. https://doi.org/10.20473/jkr.v2i1.3768

236 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 22 Kenali Lahan sebelum Menanam

Tubagus Angga A. Syabana22, Efendi A. Waluyo, Mamat Rahmat

Pendahuluan Sejak tahun 1969, pemerintah telah membuka sekitar 1,2 juta hektar lahan rawa yang diintegrasikan dengan program transmigrasi. Awalnya, pembukaan lahan rawa oleh pemerintah diilhami oleh keberhasilan masyarakat Suku Banjar di Kalimantan dan Suku Bugis di pesisir Sumatera. Luas lahan rawa yang dibuka oleh masyarakat secara swadaya ini mencapai 3 juta hektar yang umumnya digunakan untuk pengembangan padi, kelapa, dan karet. Hingga saat ini masih luas lahan rawa yang belum terjamah, meski sebagian tidak potensial untuk dikembangkan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012). Pembukaan lahan rawa pada awalnya dikenal dengan istilah coba-coba atau trial and error. Salah kelola (mis-management) sumberdaya lahan dapat menyebabkan masalah serius seperti degradasi lahan, kelangkaan lahan subur, perubahan iklim hingga hilangnya biodiversitas (Haryati, 2018). Oleh sebab itu, pengembangan lahan rawa ke depan memerlukan kajian spesifik lokasi dengan pendekatan pengelolaan secara bertahap (adaptive management approach). Tulisan sederhana ini akan menggambarkan bagaimana mengenali karakteristik lahan rawa secara bersama-sama antara peneliti dan masyarakat selaku pengelola lahan. Sesuai dengan amanat Permenhut No. 83/2016, perhutanan sosial seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Permasalahan yang sering ditemukan di lapangan adalah kurangnya pendampingan kepada masyarakat selaku pengelola lahan perhutanan sosial dalam merencanakan atau memilih komoditas bisnis yang

22 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, email: angga.tubagus@ gmail.com Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

sesuai dengan kondisi karakteristik lahan yang akan dikelolanya. Adanya ketidak sesuaian dari keingan masyarakat dengan kondisi aktual lahan yang akan dikelolanya dapat menyebabkan pengelolaan yang lestari tidak akan tercapai. Dengan mengenalkan sedikit ilmu pengetahuan, meskipun sederhana, ternyata apa yang dilakukan oleh tim peneliti BP2LHK Palembang dapat memfasilitasi masyarakat membuat keputusan pemilihan jenis yang tepat sebagai komoditas bisnis perhutanan sosial.

Realitas dan Harapan Ide mengangkat tulisan untuk mengenali lahan sebelum menanam berawal dari kegiatan pendampingan Koperasi Unit Desa (KUD) Sari Usaha dalam merancang rencana kelola lahan perhutanan sosial pada tahun 2019. KUD Sari Usaha mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) pada tahun 2018 untuk memanfaatkan kawasan hutan produksi di kelompok hutan Sembilang, seluas 9.135, 50 hektar. Pola pertanaman yang diwajibkan untuk model kemitraan kehutanan di dalam areal hutan produksi adalah agroforestri. Secara sederhana, agroforestri dapat diartikan sebagai pola pertanaman campuran antara komoditas pertanian dan kehutanan dalam satu hamparan lahan dengan menerapkan pola tertentu. Pemilihan komoditas yang akan ditanam pada areal agroforestri sebaiknya memenuhi kriteria kesesuaian dengan keinginan/minat masyarakat, kondisi lahan dan ditunjang oleh pasar komoditas yang bersangkutan. Pemanfaatan areal perhutanan sosial, selain meningkatkan kesejahteraan msyarakat di sekitar hutan, juga memegang prinsip pengelolaan yang lestari. Prinsip ini kemudian menjadi pertanyaan-pertanyaan untuk pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan seperti, apakah komoditas yang menjadi keinginan dari anggota KUD Sari Usaha untuk dikembangkan di areal pehutanan sosial sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lahan perhutanan sosial, serta apa solusi untuk mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya akan digambarkan pada subbab berikut ini.

238 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kenali Lahan sebelum Menanam

A. Keinginan masyarakat Mindset awal dari masyarakat ketika mendapatkan izin untuk mengelola lahan perhutanan sosial tersebut muncul beberapa komoditas pertanian yang ingin dikembangkan pada areal kemitraan, yaitu: padi, kelapa dan jagung. Ketiga komoditas tersebut telah ada saluran pasarnya. Latar belakang budaya mereka pun menunjang untuk mengembangkan komoditas tersebut berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka. Namun modal kultural yang sudah ada tersebut belum cukup untuk dijadikan dasar memutuskan apa komoditas yang tepat untuk dikembangkan dilahan perhutanan sosial, sehingga untuk mengkaji potensi komoditas yang dapat dikembangkan di lahan perhutanan sosial dibutuhkan kajian bagaimana kondisi lahan perhutanan sosial itu sendiri. B. Mengenali lahan Sebelum melakukan survei, untuk mengenali lahan yang akan dituju, kami melakukan kajian literatur dari peta sumberdaya tanah hasil eksplorasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Berdasarkan peta tersebut terdapat 3 sub-landform diarea perhutanan sosial tersebut yaitu, (1). Sub-landform dataran gambut merupakan bagian dari landform gambut, terbentuk dari bahan induk organik. Jenis tanah yang dominan Haplohemist, namun ditemukan juga jenis Sulfihemist pada sub-landform ini; (2). Sub-landform dataran pasang surut merupakan bagian dari landform Marin, terbentuk dari bahan induk aluvial. Jenis tanah yang dominan pada sub-lanform ini adalah Hydraquents, namun ditemukan juga jenis Sulfaquents; (3). Sub-landform delta/dataran estuarin merupakan bagian dari landform Fluvio-marin, terbentuk dari bahan induk aluvial. Jenis tanah yang dominan pada sub- landform ini adalah Endoaquepts, namun ditemukan juga jenis Sulfaquents. Dari informasi tersebut ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu gambut dan lapisan sulfidik. Noor (2004), menyebutkan faktor pembatas paling utama di lahan basah, khususnya di lahan gambut dan lahan pasang surut adalah lapisan pirit, genangan pasang surut, drainase dan pH. Atas dasar itu kami fokus untuk melihat apakah faktor pembatas tersebut ada di zona pemanfaatan lahan perhutanan sosial.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 239 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Kami mencoba mendesain kegiatan yang dilakukan ketika survei untuk mengetahui faktor pembatas lahan perhutanan sosial tersebut dilakukan dengan metode sederhana, alat dan bahan yang sederhana dan mudah diperoleh serta dapat diulangi oleh masyarakat nantinya secara mandiri. Untuk itu kami menyiapkan bor tanah dan meteran untuk melihat gambut

dan kedalaman gambut, hidrogen peroksida (H2O2) untuk melihat adanya pirit pada lapisan tanah dan kertas lakmus untuk melihat pH. Meskipun bersifat kualitatif namun kami berharap sidik cepat atau uji praktis ini dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai adanya kandungan pirit dan nilai pH atau keasaman tanah dilokasi perhutanan sosial tersebut. Tim BP2LHK Palembang bersama-sama dengan masyarakat anggota KUD Sari Usaha melakukan survei lahan untuk mengenali lahan perhutanan sosial. Perjalanan untuk mencapai lahan perhutanan sosial ini, akses utamanya melalui sungai Sembilang ke arah muara sungai atau pantai timur Sumatera, kemudian menyusuri sungai kecil atau solok yang disepanjang tepiannya tumbuh tanaman mangrove yang ditetapkan sebagai zona lindung dilahan perhutanan sosial. Zona lindung merupakan formasi hutan mangrove primer yang ditumbuhi oleh vegetasi jenis bakau (Rhizophora mucronata), Putut (Bruguiera gymnorrhiza), Jabon (Xylocarpus granatum), dan Nipah (Nypa fructicans). Dari pinggir solok, dilanjutkan berjalan kaki menembus zona mangrove hingga menemukan zona pemanfaatan areal perhutanan sosial yang tidak ditumbuhi oleh mangrove. Zona pemanfaatan perhutanan sosial merupakan hutan sekunder yang didominasi oleh vegetasi pakis atau paku-pakuan seperti Paku Laut (Acrostichum aureum), Paku Udang (Stenochlaena palustris), Belidang (Fimbristylis annua) dan Perumpung (Phragmites karka) (Gambar 22.1). Selain jenis tersebut, di beberapa lokasi ditemukan jenis pohon Laban (Vitex pubescens), Merbau (Instia sp.), Kayu Ara (Ficus benjamina), Nibung (Oncosperma tigillarium), dan Pulai Rawa (Alstonia pneumatophora), namun jumlahnya sedikit. Tahun 1980-an, zona pemanfaatan ini merupakan hutan rimba yang ditumbuhi berbagai jenis pohon komersial seperti meranti (Shorea sp.) dan Jelutung (Dyera polyphylla). Pada tahun 1980–1990-an kayu-kayu di areal tersebut ditebangi oleh perusahaan HPH dan pada tahun 1993–1994 masyarakat

240 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kenali Lahan sebelum Menanam pun melakukan eksploitasi kayu di areal tersebut. Eksploitasi berhenti pada tahun 1997 karena areal hutan tersebut terbakar, yang kemudian terbakar ulang pada tahun 2010 dan 2015. Setelah itu, sampai dengan sekarang, areal tersebut tidak terbakar lagi.

Gambar 22.1 Kondisi eksisting vegetasi di zona pemanfaatan areal perhutanan sosial

Hasil sidik cepat faktor pembatas di zona pemanfaatan perhutanan sosial, formasi sublandform gambut tidak ditemukan di titik-titik pengamatan. Yang tersisa hanyalah sublandform dataran pasang surut yang dicirikan adanya tanah mineral aluvial bersulfat (sulfaquents) dan tanah aluvial bergambut atau gleihumus (Hydraquents). Berdasarkan pengujian sederhana menggunakan Hidrogen peroksida, lapisan pirit ditemukan pada kedalaman mulai dari 40 cm hingga 70 cm. Tanda adanya lapisan pirit pada tanah diketahui apabila tanah yang mengandung pirit ditetesi hidrogen peroksida maka ia akan

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 241 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

mengeluarkan busa atau buih (Wijaya-Adhi, 1995). Kemasam atau pH tanah berkisar 4 hingga 4,5 (Gambar 22.2). Dari hasil-hasil pengamatan tersebut tersebut zona pemanfaatan perhutanan sosial mempunyai tipologi lahan sulfat masam potensial dan lahan aluvial bersulfida dalam (Wijaya-Adhi et al., 1992). Pemanfaatan tanah sulfat masam harus hati-hati, kesalahan dalam pengelolaan akan membutuhkan waktu lama dan biaya yang besar untuk mengembalikan menjadi lahan yang produktif. Tentunya pengelolaan yang tidak tepat malah akan berdampak pada lingkungan sekitar, terutama kemungkinan asam dari pirit tersebut mencemari sungai sekitar, hal tersebut mungkin akan berdampak pada berkurangnya ikan-ikan di sungai.

Gambar 22.2 Kegiatan survei karakteristik lahan perhutanan sosial

Dalam proses survei tersebut secara langsung juga telah terjadi pemahaman kondisi lahan secara bersama-sama, sehingga anggota KUD yang ikut kegiatan ini memahami kondisi riil di lapangan. Kami juga menjelaskan kepada mereka adanya pirit ini merupakan masalah bagi tanaman, karena ia bersifat racun,

242 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kenali Lahan sebelum Menanam sehingga sering kali jadi faktor pembatas tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik dilahan tersebut. Adanya kandungan pirit di lahan membatasi jenis tanaman yang bisa diusahakan. Namun demikian lahan sulfat masam masih dapat dikembangkan sebagai lahan yang produktif jika ada penataan lahan dan tata air yang sesuai dengan karakteristik lahannya seperti, pemilihan komoditas dan varietas yang tepat, serta penerapan teknologi ameliorasi dan pemupukan yang tepat (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012). C. Referensi dari kondisi yang sama Dari sharing pengetahuan dan pengalaman di lapangan, salah satu anggota KUD memberi informasi ternyata di desa yang lokasinya paling dekat dengan areal perhutsos ini mempunyai masalah yang sama, bahwa di desanya sering kali gagal jika menanam padi ataupun tanaman hortikultura lainnya. Tertarik dengan apa yang telah dikerjakan di areal perhutanan sosial, anggota KUD tersebut meminta untuk bersama-sama melihat lahan di desanya. Setelah dilakukan uji tanahnya dengan metode yang sama, ternyata ditempat itu memiliki karakteristik yang mirip dengan karakteristik tanah pada lahan perhutnanan sosial. Di lokasi tersebut tidak terlihat adanya warga menanam padi atau tanaman hortikultura, tetapi menariknya, di sana banyak ditanami kelapa jenis kelapa dalam (kelapa pohon tinggi) yang dikombinasikan dengan tanaman sengon dan mereka tumbuh dengan baik (Gambar 22.3). Kedua jenis tanaman ini juga sudah mempunyai pasar tersendiri didaerah tersebut dan memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat setempat.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 243 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 22.3 Pola agroforestri kelapa – sengon di lahan masyarakat

Pengalaman-pengalaman tersebut, berdasarkan apa yang dilihat, fakta- fakta kondisi riil lapangannya, membuat anggota KUD bisa sedikit lebih mengenal kondisi lahan perhutanan sosial yang akan mereka garap. Mereka dengan sendirinya mulai menyadari dan mengurangi hasrat untuk menanam padi dilahan perhutanan sosial, sehingga akhirnya mereka pun beralih pada dua komoditas yang menunjukkan pertumbuhan baik, yang sebenarnya sudah terlihat atau sebagai referensi dari lahan sekitar mereka sendiri yaitu: kelapa dan sengon. Dari hal ini kita belajar bahwa pengetahuan mengenai kondisi karakteristik lahan dapat membantu dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan, dengan pengetahuan tersebut anggota KUD dapat menentukan jenis yang sesuai untuk diusahakan areal perhutanan sosial yang akan mereka kelola.

244 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Kenali Lahan sebelum Menanam

Simpulan Pemanfaatan lahan rawa sulfat masam masih akan menjadi isu yang menarik untuk dikaji. Belajar dari pemanfaatan lahan rawa secara tradisional, membuktikan bahwa sebenarnya lahan rawa sulfat masam masih dapat dimanfaatkan untuk produksi pangan. Pengelolaan menggunakan teknologi tepat guna menjadi kunci jika menginginkan pengelolaan lahan sulfat masam yang berkelanjutan. Pengenalan lahan sebelum menentukan jenis tanaman menjadi dasar yang harus diketahui. Terkait dengan pemanfaatan lahan rawa sulfat masam untuk lokasi perhutanan sosial, kami berharap kedepannya ada pendampingan dan transfer pengetahuan kepada pengelola areal perhutanan sosial untuk mengenal lahan mereka sebelum mereka menentukan komoditas atau jenis tanaman yang akan ditanam. Kegiatan yang dilakukan bersama dengan KUD Sari Usaha baru merupakan kajian awal, masih banyak peluang penelitian, pengembangan atau mungkin penerapan teknologi dan inovasi dilokasi ini. Sebagai catatan, informasi dari masyarakat dilokasi ini merupan wilayahnya beruang madu, homerange nya harimau sumatera dan diperairan sungai sembilang merupakan habibat buaya muara. Mungkin setelah ada kajian yang komprehensif bukan kedepannya hanya pola kelapa-sengon yang dikembangkan disini, mungkin juga bisa dengan pola-pola lainnya yang tentunya mempunyai nilai ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tetap memegang prinsip menjaga harmoni antara manusia dengan alam dan hewan.

Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2012). Lahan Rawa : Penelitian dan Pengembangan. (Haryono, M. Noor, H. Syahbuddin, & M. Sarwani, Eds.) (Vol. 4). Jakarta: IAARD Press. Haryati, U. (2018). Konservasi Tanah dan Air Sebagai Komponen Utama Sistem Pertanian Berkelanjutan. In T. Sudaryanto, I. Inounu, I. Las, E. Karmawati, S. Bahri, B. A. Husin, & I. W. Rusastra (Eds.), Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan: Agenda Inovasi Teknologi dan Kebijakan (Ed. Ke 1, pp. 35–68). Jakarta: IAARD Press.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 245 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Noor, M. (2004). Lahan Rawa : Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa. Wijaya-Adhi, I. (1995). Pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan rawa untuk usaha tani dalam pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat. Wijaya-Adhi, I., Nugroho, K., Ardi S, D., & Karama, A. (1992). Sumberdaya lahan rawa: potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. In Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak, Cisarua 3-4 Maret 1992. Bogor: Puslitbang Pertanian.

246 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH BAB 23 Perempuan dan Gambut

Ari Nurlia23

Pendahuluan Kebakaran hutan dan lahan terutama pada lahan gambut merupakan masalah yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik dan hampir selalu terjadi setiap tahunnya terutama pada musim kemarau panjang. Kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh multi-faktor yang sangat kompleks, namun sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia (anthropogenic) (Syaufina, 2008; BNPB, 2014; Akbar, 2016; Budiningsih, 2017). Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak yang luas di berbagai aspek sosial, ekonomi terutama aspek lingkungan. Bahkan pada tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan menyebabkan bencana kabut asap yang sangat parah dan mengakibatkan kerugian mencapai 16,1 Miliar USD atau setara 221 triliun rupiah (World Bank, 2015; Pinem, 2016). Dari segi kesehatan kabut asap telah menyebabkan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Loren et al., 2015; Hunawan, 2016; Glauber & Gunawan, 2016). Koplitz et al., (2016) memperkirakan 100 hingga 300 orang meninggal di Indonesia, Malaysia dan Singapura karena kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Luasnya dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan telah menjadi titik tolak bagi berbagai stakeholder untuk melakukan berbagai upaya dalam mengatasi masalah terkait kebakaran hutan dan lahan. Di tingkat pusat, melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 pemerintah mendirikan Badan Restorasi Gambut yang bertugas untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan. Sementara di tingkat daerah didirikan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas 23 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, email: ari_nurlia@yahoo. com Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

dan fungsi Badan Restorasi Gambut serta peraturan daerah lainnya yang mendukung kegiatan tersebut. Penegakkan hukum dan sosialisasi terkait karhutla mulai lebih giat dilaksanakan di berbagai daerah yang rawan terjadi Karhutla. Sosialisasi karhutla dilakukan dari mulai pemasangan spanduk hingga sosialisasi pada berbagai acara yang dilaksanakan oleh masyarakat. Berbagai program terkait karhutla dan pengelolaan lahan gambut dilakukan sebagai upaya pengendalian dan pencegahan karhutla. Namun, program-program tersebut sebagian besar hanya melibatkan laki-laki saja. Program-program yang melibatkan kaum perempuan belum banyak dilakukan, padahal fenomena saat ini, perempuan maupun laki-laki memiliki hubungan kuat dengan lingkungan. Perempuan dalam kehidupan sehari-hari cenderung lebih dekat dengan lingkungan, bahkan dampak kebakaran hutan dan lahan baik secara langsung maupun tidak langsung lebih sering dirasakan oleh perempuan. Studi terkait pengelolaan lahan gambut dalam mitigasi karhutla banyak dilakukan namun program dan penelitian yang dilakukan terbatas pada aspek biofisik, kebijakan, dan aspek sosial secara umum. Penelitian yang melihat pengelolaan lahan gambut dari perspektif gender terutama yang mendalami peran perempuan masih belum banyak dilakukan. Peran gender adalah peran perempuan atau laki-laki yang diterapkan dalam wujud nyata sesuai dengan budaya lokal yang dianut dan diterima (Hubeis, 2010). Bagaimana peran perempuan dapat berpengaruh dalam pengelolaan lahan gambut?Hasil temuan ini akan mencoba menjawab bagaimana pelibatan perempuan akan berperan penting dalam pengelolaan gambut dan mencegah karhutla.

Realitas dan Harapan Bermula dari sebuah perjalanan penelitian dari desa ke desa terkait Penguatan Inovasi dan Tata Kelola Lokal Pemanfaatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tanpa Bakar pada tahun 2019 yang merupakan kegiatan riset di BP2LHK Palembang, beberapa hal yang menarik ditemukan terkait peran perempuan yang selama ini masih belum banyak terungkap. Maskipun penelitian yang dilaksanakan sebenarnya bukan merupakan penelitian khusus

248 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perempuan dan Gambut terkait gender, namun hasil pengamatan yang ditemukan terkait gender menarik perhatian untuk dipahami lebih lanjut terutama peran perempuan dalam kaitannya dengan karhutla dan pengelolaan lahan gambut. Program-program yang dijalankan selama ini oleh berbagai stakeholder baik terkait karhutla maupun pengelolaan lahan gambut lebih banyak melibatkan laki-laki dikarenakan karhutla dan pengelolaan lahan gambut di anggap lebih membutuhkan peran laki-laki yang maskulin dengan kekuatan tenaganya dibandingkan peran perempuan yang lebih femini (Gambar 23.1).

Gambar 23.1 Diskusi bersama masyarakat di Desa Pulu Beruang, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir

Berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat baik diskusi, pelatihan maupun berbagai program lainnya, sering kali menempatkan perempuan sebagai anggota yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Padahal terkait karhutla dan pengelolaan lahan gambut, perempuan memiliki peran penting baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat terus kita tingkatkan untuk mendukung pengelolaan gambut yang lestari.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 249 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Peran langsung perempuan dalam pengelolaan lahan gambut terlihat dalam aktivitasnya di lahan gambut (Gambar 23.2). Sebagian perempuan terutama di wilayah Pedamaran, Kabupaten OKI memiliki aktivitas penghidupan di lahan gambut berupa mencari dan menganyam purun. Purun merupakan salah satu tanaman khas rawa gambut yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Giesen, 2015). Purun banyak ditemukan di sekitar lahan gambut dan jalur- jalur tanaman sawit. Purun dapat dipanen setiap hari tanpa melihat musim. Dalam satu kali pengambilan setiap harinya, masyarakat dapat mengambil hingga 10 kebat purun. Kerajinan purun banyak dilakukan oleh perempuan untuk membantu pendapatan rumah tangganya Purun dimanfaatkan oleh para perempuan untuk membuat tikar. Tikar purun dapat dijual langsung dipasar lokal atau digunakan sebagai alat tukar dengan bahan pokok atau barang tertentu. Satu lembar tikar purun dihargai Rp.15.000,- sampai dengan Rp. 60.000,- tergantung dari jenis purun yang digunakan dan warna tikar yang dibuat.

Gambar 23.2 Berbagai aktivitas perempuan di lahan gambut

250 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perempuan dan Gambut

Selain purun, aktivitas perempuan di lahan gambut adalah mencari ikan di sungai atau pada kanal-kanal di areal perkebunan. Selain menghasilkan ikan segar (ikan hidup), mereka juga sudah mulai mengusahakan sektor perikanan pada industri hilirnya yaitu menjual ikan dalam bentuk ikan asap, ikan asin dan hasil olahannya seperti kemplang. Industri hilir di sektor perikanan mempunyai potensi yang tinggi untuk di usahakan. Selain produk- produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah, produk-produk tersebut juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Permasalahan dalam industri hilir terletak pada pemasarannya di mana pemasaran industri hilir ikan masih pada tingkat lokal. Masyarakat hingga kini masih belum bisa melakukan pemasaran produk ke luar desa. Di beberapa desa di Kecamatan Tulung Selapan, kegiatan memancing terutama pada musim kemarau hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Hal ini dikarenakan kebiasaan merokok laki-laki yang dikhawatirkan dapat menyebabkan kebakaran. Kegiatan memancing dilakukan setelah masyarakat selesai menyadap getah. Budaya Indonesia yang umumnya patriarki sering kali membuat peran perempuan terkait aktivitasnya di lahan gambut menjadi tidak terlihat, namun jika diposisikan secara aktif perempuan memiliki peran menentukan dalam pencegahan karhutla dan pengelolaan lahan gambut. Permasalahan karhutla, restorasi, dan pengelolaan gambut lestari merupakan permasalahan yang penanganannya sesuai dengan karakteristik aktivitas ekonomi yang dilakoni perempuan dalam mengelola gambut seperti pengolahan purun dan pengolahan ikan di mana menjunjung nilai kearifan lokal dan menunjukkan nilai-nilai kesabaran sebagaimana teori “Small is Beautiful”-nya Shumacher, tidak instan namun menuju pencapaian hasil (outcome). Aktivitas yang dilakukan perempuan di lahan gambut dengan tidak mengeksplotasi hasil dan memanfaatkan secara secukupnya sesuai dengan tujuan dari pengelolaan gambut secara lestari. Selain peran langsung perempuan terkait aktivitasnya dilahan gambut, Perempuan juga memiliki peran tidak langsung dalam pengelolaan lahan gambut yang tidak kalah pentingnya, yaitu terkait kedudukannya dalam rumah tangga. Peran perempuan secara tidak langsung inilah yang masih belum banyak terungkap hingga kini. Mengapa peran perempuan dalam

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 251 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

rumah tangga berpengaruh dalam pengelolaan lahan gambut? Pertanyaan ini mungkin akan terlintas mengingat peran perempuan dalam rumah tangga secara sepintas tidak ada hubungannya dengan pengelolaan lahan gambut maupun karhutla. Namun jika kita mendalami kembali, tidak sedikit dalam rumah tangga perempuan memiliki peran penting yang dapat memengaruhi laki-laki dalam mengambil keputusan. Karakteristik perempuan dengan sifatnya yang melindungi dan menjaga nama baik suami maupun keluarganya saat berada diluar rumah, namun pada saat berada di dalam rumah dengan segala kesabaran dan kelembutannya sering kali dapat memengaruhi perilaku laki-laki terutama dalam menentukan arah dan kebijakan rumah tangganya. Seperti kita ketahui, dalam penegakan hukum terkait karhutlah hampir semua pelaku dari kejadian kebakaran adalah laki-laki (Gambar 23.3). Pelibatan perempuan terkait perannya dalam rumah tangga dengan segala pengaruhnya terhadap prilaku laki-laki dapat menjadi salah satu pendekatan dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi saat ini.

Gambar 23.3 Pelaku kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan adalah laki-laki (sumber: sumateranews.co.id)

252 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perempuan dan Gambut

Perempuan walau berperan dibelakang layar namun dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi laki-laki, karenanya kita sering mendengar pribahasa “Dibalik kesuksesan seorang laki-laki terdapat wanita yang hebat disampingnya”. Pribahasa ini menunjukkan bagaimana kuatnya pengaruh perempuan dalam menentukan dan membentuk kepribadian laki- laki. Aristoteles juga menggambarkan laki-laki sebagai “forma” dan perempuan sebagai “materi”, di mana forma digambarkan sebagai tubuh manusia dan perempuan sebagai jiwa. Maka, untuk dapat mengendalikan tubuhnya, kita harus dapat mengendalikan jiwanya. Pendekatan ini dapat kita adopsi dalam pengelolaan gambut dan mitigasi karhutla. Untuk dapat mengendalikan prilaku laki-laki, pendekatan pada perempuan perlu dilakukan agar dapat memberikan pengaruhnya dalam rumah tangga. Selama ini penanganan karhutla dan pengelolaan lahan gambut lebih dititik beratkan pada aspek biofisik, aspek kebijakan, dan aspek sosial secara umum. Penanganan yang meninjau dari perspektif gender masih belum banyak dilakukan. Gender tidak hanya pembagian peran berdasarkan kodrat seksualnya saja, namun lebih luas gender merupakan karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya (Hanum, 2018). Rekayasa sosial diperlukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung terciptanya pengelolaan gambut yang lestari agar dapat mencegah dan mengendalikan karhutla. Salah satu rekayasa sosial yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan potensi perempuan agar perempuan dapat berperan lebih aktif dan terus mendukung program-program pemerintah terkait pengelolaan gambut dan karhutla. Pemberdayaan perempuan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perempuan terkait pengelolaan gambut dan pentingnya menjaga lingkungan. Peran perempuan tidak harus bersentuhan langsung dengan kondisi fisik di lapangan, pemahaman yang baik dari perempuan akan dapat memengaruhi pemahaman yang baik juga dalam lingkup kehidupan rumah tangganya.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 253 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Simpulan Kebakaran hutan dan lahan, restorasi dan pengelolaan gambut yang lestari merupakan permasalahan kompleks yang tidak dapat selesai hanya dengan melihat dari beberapa sudut pandang saja. Perlu adanya penyelesaian secara komprehensif untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Rekayasa sosial berupa pelibatan perempuan dalam pengelolaan lahan gambut dan pencegahan karhutla dapat menjadi salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk melengkapi upaya-upaya yang telah dilakukan saat ini. Salah satu rekayasa sosial yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan peran perempuan dalam pengelolaan lahan gambut dan pencegahan karhutla. Peran perempuan selama ini masih belum terungkap secara tuntas, padahal perempuan memiliki peran penting baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengatasi masalah tersebut. Pelibatan perempuan terutama dalam pengelolaan lahan gambut dapat menjadi salah satu pendekatan dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi saat ini. Pemanfaatan pengaruh perempuan dalam rumah tangga diharapkan dapat menekan kejadian kebakaran yang umumnya dilakukan oleh laki-laki.

Daftar Pustaka Akbar, A. (2016). Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan: Studi Kasus di Hutan Mawas, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 8(3), 211–230. https://doi.org/10.20886/ jsek.2011.8.3.211-230 BNPB. (2014). National Disaster Management Plan (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019). Jakarta. Retrieved from https:// www.bnpb.go.id//uploads/renas/1/BUKU RENAS PB.pdf Budiningsih, K. (2017). Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(2), 165–186. Giesen, W. (2015). Utilising non-timber forest products to conserve Indonesia’s peat swamp forests and reduce carbon emissions. Journal of Indonesian Natural History, 3(2), 69–72.

254 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Perempuan dan Gambut

Glauber, A. J., & Gunawan, I. (2016). The cost of fire. An economic analysis of Indonesia’s 2015 fire crisis. The World Bank, 17(5), 403–408. Hanum, F. (2018). Kajian dan Dinamika Gender. Malang: Instrans Publishing. Hubeis, A. V. S. (2010). Pemberdayaan Perempuan dari Masa Ke Masa. Bogor: IPB Press. Hunawan, D. (2016). Menyelesaikan Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) di Indonesia melalui “ Jalan Pantas ” atau “ Jalan Pintas ”? In Revitalisasi Ideologi Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara Hukum (Vol. 2, pp. 277–292). Koplitz, S. N., Mickley, L. J., Marlier, M. E., Buonocore, J. J., Kim, P. S., Liu, T., … Myers, S. S. (2016). Public health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September-October 2015: A 2 new tool for fire management to reduce downwind smoke exposure in the future. Environmental Research L, 11(9), 1–23. Loren, A., Ruslan, M., Yusran, F. H., & Rianawati, F. (2015). Analisis Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Serta Upaya Pencegahan Yang Dilakukan Masyarakat di Kecamatan Basarang Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. EnviroScienteae, 11, 1–9. Pinem, T. (2016). Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Kajian Teologi Ekofeminisme. Gema Teologika, 1(2), 139. https://doi.org/10.21460/ gema.2016.12.219 Syaufina, L. (2008). Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia Publishing. World Bank. (2015). Indonesia Economic Quarterly: Reforming amid uncertainty. Jakarta.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 255 BAB 24 Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut

Nur Arifatul Ulya24

Pendahuluan Sektor kehutanan menjadi tulang punggung perekonomian nasional bersama sektor migas dalam menghasilkan devisa negara pada era 1970-an sampai 1990-an. Sektor kehutanan memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional melalui peningkatan penerimaan pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah (Simangunsong, 2004;Ulya & Yunardy, 2008; Yunardy et al., 2018). Kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional pada awalnya bersumber dari ekspor kayu bulat (Dohong, Aziz, & Dargusch, 2017; Ulya & Yunardy, 2008). Kayu-kayu bulat tersebut berasal dari hutan alam di luar Pulau Jawa yang dikelola dengan sistem konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Pada periode awal ekspor kayu bulat, Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan sumber utama kayu- kayu gelondongan tersebut. Hutan rawa gambut di pantai timur Sumatera Selatan juga menjadi salah satu lokasi ekstraksi kayu yang menjadi komoditas ekspor (Yunardy et al., 2018). Keberadaan konsesi HPH di hutan rawa gambut Sumatera Selatan juga memberikan manfaat bagi perekonomian rumah tangga yang berada di sekitar konsesi. Yunardy et al., (2018) menyatakan bahwa manfaat bagi masyarakat diperoleh dengan bekerja di perusahaan HPH maupun menjadi pemasok kebutuhan karyawan HPH. Keterbukaan akses juga merupakan salah satu manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar HPH. Kegiatan ekstraksi kayu di Sumatera Selatan memberikan informasi bahwa ekstraksi kayu skala kecil dalam bentuk tebangan persil sejatinya sudah dimulai di Sumatera Selatan pada periode 1950-an. Kegiatan ekstraksi kayu

24 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5, Punti Kayu, Palembang. e-mail: [email protected] Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut semakin marak mulai akhir tahun 1970-an. Kayu merupakan hasil hutan primadona dari hutan rawa gambut Sumatera Selatan sampai akhir masa ekstraksi kayu di akhir 1990-an (Dohong et al., 2017; Ulya, Waluyo, Lestari, & Premono, 2018; Yunardy et al., 2018) Namun pesona kayu sebagai hasil hutan primadona hutan rawa gambut semakin meredup di akhir tahun 1990- an seiring dengan penurunan stok kayu hutan alam, akibat pengelolaan yang tidak lestari, pembalakan liar dan kebakaran hutan dan lahan berulang. Ekstraksi kayu di hutan rawa gambut ternyata berdampak yang signifkan pada ekosistem hutan rawa gambut, karena pohon merupakan sumber bahan organik bagi pembentukan gambut dan berperan penting dalam menjaga iklim mikro ekosistem gambut tetap lembap (Dohong et al., 2017; Rydin & Jeglum, 2015). Ketika pohon di hutan rawa gambut terus ditebang, maka lahan gambut akan semakin terdegradasi, mengingat dahan, ranting, dan batang kayu yang terpaludifikasi merupakan bahan utama pembentuk gambut tropis (Page, Rieley, Shotyk, & Weiss, 1999; S. Page, Wust, & Banks, 2010; Wichtmann & Joosten, 2007). Penebangan secara terus-menerus terhadap pohon di hutan rawa gambut akan menurunkan kerapatan hutan, meningkatkan penetrasi sinar matahari sehingga meningkatkan penguapan air. Ekstraksi kayu tidak jarang juga membutuhkan pembuatan saluran drainase untuk mengeluarkan kayu dari hutan. Dohong et al., (2017) menyatakan bahwa pembuatan saluran drainase akan mengeluarkan air dari gambut sehingga menurunkan kelembapan atau bahkan mengeringkan gambut. Muara dari semua aktivitas ekstraksi kayu ini adalah penurunan kelembapan pada ekosistem hutan rawa gambut. Hilangnya kemampuan lahan gambut dalam menyimpan air akan berdampak luar biasa bagi suatu daerah aliran sungai (DAS). Pengeringan lahan gambut menyebabkan gambut kering, mengalami penurunan permukaan sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Penciutan kubah gambut setebal satu meter menurunkan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 m /ha. Dengan kata lain lahan di sekitarnya akan menerima 9.000 m3 air lebih banyak bila terjadi hujan deras, sehingga meningkatkan potensi terjadinya bencana banjir. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan air yang

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 257 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau (Agus & Subiksa, 2008). Hilangnya pohon di hutan rawa gambut secara masif tidak hanya menyebabkan degradasi ekosistem, tetapi juga berarti degradasi komoditas yang dihasilkan. Hilangnya pohon dari hutan rawa gambut menyebabkan hilangnya hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Hutan rawa gambut tidak lagi memberikan hasil dari pohon yang berupa kayu, buah- buahan, biji, kulit kayu, daun, getah dan minyak atsiri. Hasil hutan yang keberadaannya terkait dengan keberadaan pohon seperti ikan, madu, dan satwa juga mengalami degradasi bahkan hilang (Koh, Butler, & Bradshaw, 2009; Ulya, Nurlia, Kunarso, Martin, & Waluyo, 2019; Ulya et al., 2018; Wardoyo, 2006). Padahal, sebagian HHBK dari hutan rawa gambut Sumatera Selatan telah menjadi komoditas perdagangan dan ekspor dari era Kerajaan Sriwijaya (Ulya et al., 2018; Utomo, Hanafiah, & Ambary, 2012; Wolters, 2017). Hilangnya berbagai hasil hutan bukan kayu di hutan rawa gambut pada akhirnya akan mengancam kesinambungan perekonomian rumah tangga yang bermukim di sekitar hutan rawa gambut, terutama masyarakat tradisional yang bergantung pada hutan rawa gambut. Apabila tidak dilakukan upaya pencegahan, dikhawatirkan akan terjadi migrasi (urbanisasi) ke kota, sementara mereka adalah tenaga kerja dengan skill petani/pedesaan, tanpa skill untuk pekerjaan di perkotaan. Kondisi ini berpotensi menambah jumlah pengangguran atau paling tidak menambah tenaga kerja informal di kota yang dituju. Bagi yang tidak memiliki modal serta keberanian melakukan migrasi, berpotensi memperburuk kerusakan hutan rawa gambut karena terus melakukan aktivitas ekstraksi sumberdaya alam. Berbagai fakta di atas menunjukkan pentingnya pohon dalam ekosistem hutan rawa gambut. Gregersen dan Contreras pada tahun 1979 menguatkan peran penting pohon di hutan, dengan menyatakan bahwa pohon merupakan pabrik sekaligus produk. Menebang pohon di hutan untuk dipanen kayunya berarti sekaligus memanen pabriknya (Gregersen & Contreras, 1979). Untuk hutan di lahan kering relatif mudah menanam pohon kembali atau

258 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut membangun pabriknya. Tetapi untuk penanaman pohon di hutan rawa gambut, akan berbeda ceritanya. Ekosistem gambut yang secara alami tergenang menjadi salah satu pembatas kegiatan penanaman pohon dan budidaya pada umumnya. Seperti dikemukakan di atas, pohon di hutan rawa gambut berfungsi sebagai sumber biomassa (pabrik) dalam proses paludifikasi, sekaligus dianggap sebagai produk/komoditas. Membudidayakan pohon di lahan gambut tropis berarti membudidayakan gambut (paludikultur). Paludikultur adalah budidaya jenis tanaman yang dapat berkembang pada kondisi tempat tumbuh yang basah, menghasilkan biomassa yang cukup, baik dalam kualitas maupun kuantitas dan berkontribusi dalam pembentukan gambut (Biancalani & Avagyan, 2014; Wichtmann & Joosten, 2007). Saat ini, dengan kondisi lahan gambut tergradasi, diperlukan upaya restorasi ataupun perbaikan ekosistem gambut. Formulasi model paludikultur berbasis pohon dalam rangka restorasi ekositem gambut dengan menjadikan penghidupan masyarakat sebagai bagian pentingnya merupakan strategi kunci bagi restorasi gambut sebagai ekosistem esensial. Saat ini kelola hutan rawa gambut tropis di Indonesia justru didominasi oleh budidaya jenis pohon eksotik yang tidak adaptif gambut. Pemodal besar juga dominan dalam kelola gambut. Sehingga dapat dinyatakan bahwa masih terbuka peluang mengisi celah terkait kelola paludikultur berbasis pohon dengan jenis adaptif ekosistem gambut yang mampu memberikan manfaat baik secara ekologis maupun ekonomis bagi masyarakat dan dunia usaha.

Realitas dan Harapan Berbagai fakta mengenai pohon sebagai roh perekonomian rawa gambut sebenarnya merupakan akumulasi berbagai pengetahuan yang kami peroleh selama melakukan kegiatan penelitian di ekosistem hutan rawa gambut. Interaksi dengan hutan rawa gambut yang mengarahkan pada pemahaman ini diawali dari kegiatan riset “Pre-Feasibility Study for Peatland Restoration Investment in Four Most Prioritized Area In Indonesia” pada tahun 2017. Kegiatan ini merupakan kolaborasi riset dari beberapa lembaga yang tergabung dalam Konsorsium Universitas Sriwijaya-Universitas Riau-Universitas

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 259 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Palangkaraya-BP2LHK Palembang yang didanai oleh JICA, sebagai bagian dari kegiatan riset Badan Restorasi Gambut (BRG). Pemahaman kami meningkat seiring partisipasi dalam kegiatan “Preliminary Feasibility Study of Business Development for Sustainable Tamanu [Bintangor/ Nyamplung] Peatland Forest Management” yang merupakan kerjasama BP2LHK Palembang dengan JAFTA pada tahun 2018. Akumulasi pengetahuan peran pohon sebagai roh perekonomian rawa gambut semakin terakumulasi ketika kami terlibat dalam dua kegiatan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Merang- Sungai Ngirawan, Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Kedua kegiatan tersebut adalah “Riset Aksi Pendampingan Perhutanan Sosial Gapoktanhut Berkah Hijau Lestari” (Project ZSL-Kelola Sendang tahun 2018-2019) dan kegiatan konsultansi penyusunan “Rencana Teknis Pengelolaan Areal Pemberdayaan Masyarakat Medak-Sungai Pejudian di Kecamatan Bayung Lencir” pada tahun 2019. Perjalanan pengamatan dan pengumpulan data penelitian yang kami lakukan membawa pada suatu pemandangan seorang ibu dan anak yang merupakan bagian dari masyarakat lokal (Suku Anak dalam/Orang Medak Sungai Pejudian), sedang mendayung perahu di Sungai Pejudian untuk memeriksa bubu yang sudah dipasang beberapa hari sebelumnya dalam rangka menangkap ikan (Gambar 24.1). Masyarakat tradisional ini sudah beberapa generasi tinggal secara berpindah-indah di sungai atau perairan hutan rawa gambut di KHG Sungai Merang-Sungai Ngirawan. Mereka memperoleh manfaat dari hutan rawa gambut dengan melakukan ekstraksi, terutama hasil hutan bukan kayu seperti satwa, buah-buahan, biji-bijian, getah, madu, ikan yang hidup secara alami di hutan rawa gambut. Orang Medak-Sungai Pejudian melakukan ekstraksi dengan pola berburu dan meramu dilakukan sebatas pada kebutuhan sehari-hari saja (Kamocki, 1979). Seiring dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat di luar komunitasnya, hasil hutan yang diperoleh terkadang di-barter dengan kebutuhan rumah tangga seperti kopi, gula, rokok dan beras. Dalam perkembangannya masyarakat tradisional ini mulai mengenal jual beli. Komoditas yang diekstrak dari hutan rawa gambut dijual untuk mendapatkan uang, yang selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Aktivitas ekstraksi hutan rawa gambut pada akhirnya bukan sekadar untuk dikonsumsi sendiri, tetapi mulai

260 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut menjadi sumber perekonomian rumah tangga. Pada era ekstraksi kayu oleh konsesi HPH, terdapat anggota komunitas masyarakat lokal berperan sebagai tenaga kerja lepas, bahkan ada yang akhirnya menjadi karyawan perusahaan.

Gambar 24.1 Ibu dan anak anggota kelompok masyarakat tradisional bersampan untuk memeriksa hasil tangkapan ikan

Ekosistem hutan rawa gambut tempat masyarakat tradisional bermukim dan memenuhi kebutuhannya saat ini sudah terdegradasi (Gambar 24.2). Degradasi terjadi karena penebangan untuk ekstraksi kayu legal dan ilegal yang dimulai dari era HPH dan kebakaran hutan yang berulang yang dimulai tahun 1997/1998. Meskipun sudah terdegradasi, pohon yang tersisa di beberapa titik masih mampu menjadi sumber perekonomian rumah tangga di hutan rawa gambut.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 261 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Gambar 24.2 Hutan rawa gambut terdegradasi di KHG Sungai Merang- Sungai Ngirawan

Manfaat ekonomi yang saat ini paling dirasakan oleh masyarakat Medak-Sungai Pejudian dari pohon yang tersisa berupa ikan (Gambar 24.3). Perakaran pohon endemik hutan rawa gambut yang terendam air (Orang Medak-Sungai Pejudian menyebutnya sebagai busut) merupakan tempat ikan mencari makan (serangga yang hidup di busut merupaan makanan ikan rawa gambut), bertelur dan memijah. Hasil perikanan selain dikonsumsi juga dijual dalam bentuk ikan segar kepada pedagang pengepul yang berasal dari luar komunitasnya, baik kepada pemenang lelang lebak lebung maupun pedagang pengepul. Sementara masyarakat di luar Orang Medak-Sungai Pejudian yang juga menjalankan aktivitas menangkap ikan mengolah ikan segar menjadi ikan asap atau ikan asin. Ikan asin dan ikan asap tersebut diperdagangkan mulai dari pasar terdekat sampai ke Provinsi Riau.

262 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut

Gambar 24.3 Hasil perikanan tangkap masyarakat Medak Sungai Pejudian

Mempertimbangkan peran dan manfaatnya, kami menarik benang merah, bahwa pohon merupakan roh dari perekonomian di hutan rawa gambut. Pohon memberikan manfaat langsung berupa komoditas yang menjadi sumber perekonomian rumah tangga maupun dunia usaha. Komoditas yang langsung dari pohon adalah kayu, buah-buahan, biji, kulit kayu, daun, getah dan minyak atsiri. Secara tidak langsung keberadaan pohon di hutan rawa gambut menjadi pemungkin bagi berkembangnya komoditas lain seperti ikan, madu, satwa lain untuk ada, berkembang dan memberikan hasil. Selain komoditas yang dapat langsung diperdagangkan, pohon-pohon yang berasosiasi dengan komponen biotik dan abiotik membentuk ekosistem hutan rawa gambut menghasilkan jasa lingkungan seperti karbon, ekowisata, yang menjamin keberlangsungan hidup manusia dan berpotensi menjadi sumber perekonomian masyarakat dan dunia usaha. Meskipun pohon mempunyai peran sedemikian penting dalam ekosistem hutan rawa gambut, kami menjumpai fakta bahwa budidaya pohon endemik gambut atau adaptif ekosistem gambut sampai saat ini masih merupakan tantangan bagi dunia penelian dan pengembangan. Tantangan terberat

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 263 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

berasal dari kenyataan bahwa kondisi hutan rawa gambut di Indonesia dalam keadaan mengalami deforestasi dan degradasi. Meskipun demikian, seyogyanya perbaikan atau restorasi ekosistem gambut tetap mengacu pada konsep paludikultur seperti yang dijelaskan oleh Wichtmann & Joosten pada tahun 2007. Gambut basah atau gambut yang dibasahi kembali (wet and rewetted peat) dan revegetasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam konsep paludikultur. Pilihan jenis untuk revegetasi selain mempertimbangkan kesesuaian ekologis, seyogyanya juga mengakomodir kultur masyarakat sekitar ekosistem gambut dan kebutuhan industri. Kesesuaian dengan kultur masyarakat dibutuhkan karena diharapkan masyarakat dapat terjamin kelangsungan penghidupan dan perekonomiannya. Kesesuaian dengan kebutuhan industri sangat diperlukan karena budidaya di lahan gambut terutama yang terdegradasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kolaborasi dengan dunia usaha juga diperlukan agar komoditas yang dihasilkan memiliki pasar, sehingga semakin menjamin kelangsungan perekonomian berbasis lanskap ekosistem hutan rawa gambut (Ulya & Waluyo, 2017). Konsep paludikultur berbasis pohon kami tawarkan untuk perbaikan dan restorasi ekosistem hutan rawa gambut terdegradasi. Dalam konsep ini, pohon endemik atau adaptif gambut menjadi sentral atau roh. Pohon yang menjadi roh harus tahan genangan atau adaptif ekosistem gambut, menghasilkan biomassa pembentuk gambut, diproyeksikan untuk menghasilkan hasil hutan bukan kayu dari pohon dan memantik berkembangnya HHBK lain seperti ikan, madu, satwa, ekowisata. Pohon endemik gambut seperti jelutung rawa (Dyera polyphylla), ramin (Gonystylus bancanus), Shorea belangeran Burck., gemor (Alseodaphne spp. dan Nothaphoebe spp.), gelam (Melaleuca cajuputi Powell), tengkawang (Shorea spp.) merupakan beberapa pohon endemik ekosistem gambut yang potensial untuk paludikultur gambut karena menghasilkan HHBK atau memantik berkembangnya HHBK lainnya seperti ikan dan madu (Tata & Susmianto, 2016; Ulya, Waluyo, & Nurlia, 2015). Pohon-pohon tersebut dikombinasikan dengan beberapa vegetasi penghasil HHBK seperti sagu (Metroxylon spp.). Pada kondisi gambut tipis dengan genangan terbatas, pinang (Areca catechu) dan kopi liberika (Coffea

264 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut liberica) juga dapat digunakan sebagai penghasil HHBK dan untuk sumber perekonomian masyarakat dalam jangka pendek (Lestari & Martin, 2017; Tata & Susmianto, 2016; Waluyo & Nurlia, 2017).

Simpulan Pengalaman ekstraksi kayu hutan rawa gambut di masa lalu ternyata menyebabkan degradasi hutan rawa gambut. Pengarusutamaan kayu sebagai hasil dari sektor kehutanan ternyata menyebabkan tidak tersentuhnya peluang pengembangan komoditas HHBK, sehingga relatif tertinggal dengan komoditas kayu. Upaya untuk mendorong pengembangan HHBK sebenarnya tidak bisa terlepas dari keberadaan pohon di hutan rawa gambut. Pohon, diharapkan menjadi entry point untuk membangkitkan hasil hutan bukan kayu sebagai komoditas utama dari hutan rawa gambut. Selain menjadi entry point bagi pengembangan HHBK di hutan rawa gambut, pohon menjadi pabrik biomassa pembentuk gambut, sehingga paludikultur menjadi acuan bagi budidaya pohon di hutan rawa gambut terdegradasi. Pengarusutamaan pohon sebagai roh perekonomian rumah tangga masyarakat yang tinggal di hutan rawa gambut dan sekitarnya menjadi penting terutama dalam konteks restorasi hutan rawa gambut. Pemerintah Indonesia melalui Badan Restorasi Gambut melakukan restorasi gambut dengan skema 3R (Rewetting, Revegetasi, dan Revitalisasi penghidupan masyarakat) sebagai terjemahan dari paludikultur. Penanaman pohon (revegetasi) bersama rewetting menjadi kunci kegiatan restorasi gambut dalam rangka menyelamatkan hutan rawa gambut sebagai ekosistem esensial. Keberadaan pohon endemik gambut atau adaptif ekosistem gambut yang mampu menghasilkan HHBK atau pemantik tumbuh dan berkembangnya HHBK lainnya berperan untuk kelangsungan perekonomian masyarakat dan dunia usaha di lahan gambut. Formulasi pohon dengan fungsi utama sebagai pabrik biomassa, penghasil dan pemantik HHBK menjadi penting. Formulasi yang tepat diharapkan mampu memberikan sumber pendapatan yang mendukung perekonomian rumah tangga dan menjadi magnet bagi permodalan dan dunia usaha untuk berperan dalama kegiatan restorasi berbasis pohon. Multiple-use forest management dapat diacu dalam perumusan formulasi kelola.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 265 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Multiple-use Forest Management (MFM) merupakan konsep besar yang bisa diadopsi dalam skala luas, pada skala lanskap atau KHG. MFM merupakan strategi yang lebih adil untuk memenuhi permintaan dari berbagai pemangku kepentingan, pendekatan pemanenan yang lebih ramah lingkungan, dan cara untuk menambah nilai ke hutan membuatnya lebih kuat dari kemungkinan konversi (Guariguata, Sist, Nasi, 2012; Nelson, 2013). MFM bersifat umum dengan tujuan utama pengelolaan pengelolaan hutan lestari. Namun, untuk konteks restorasi gambut, kelola tanpa ekstraksi kayu lebih sesuai. Multi usaha berbasis pohon perlu didorong untuk menjadi arus utama dalam restorasi gambut. Multi usaha berbasis pohon yang prospektif untuk dikembangkan antara lain karbon, ekowisata, dan HHBK (buah buahan, getah, ikan, madu). Formulasi multi usaha, skema pendanaan, aspek kelembagaan masih menjadi pertanyaan yang harus dijawab dalam konteks pengarusutamaan pohon untuk restorasi yang berkelanjutan secara ekologi dan ekonomi. Sebagai acuan, diperlukan penelitian lanjutan yang bersifat integratif (biofisik dan sosial ekonomi) untuk memformulasikan model kelola paludikultur dengan jenis adaptif ekositem gambut yang mampu memberikan manfaat beragam. Manfaat ekologis dan ekonomis diaharapkan dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dan dunia usaha untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional.

Daftar Pustaka Agus, F., & Subiksa, I. G. M. (2008). Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Badan Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center (ICRAF). Retrieved from http://www. worldagroforestry.org/sea/publications/files/book/BK0135-09.PDF Biancalani, R., & Avagyan, A. (2014). Towards climate-responsible peatlands management. Mitigation of Climate Change in Agriculture Series (MICCA). Retrieved from http://www.fao.org/3/a-i4029e.pdf Dohong, A., Aziz, A. A., & Dargusch, P. (2017). A review of the drivers of tropical peatland degradation in South-East Asia. Land Use Policy, 69(September), 349–360. https://doi.org/10.1016/j. landusepol.2017.09.035

266 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut

Gregersen, H. M., & Contreras, A. H. (1979). Economic Analysis of Forestry Project. Rome: Food and Agricuture Organizationof The United Nations. Guariguata, M. R., Sist, P., & Nasi, R. (2012). Multiple use management of tropical production forests: How can we move from concept to reality? Forest Ecology and Management, 263, 170–174. https://doi. org/10.1016/j.foreco.2011.09.032 Kamocki, J. (1979). Medak River Kubu. Asian Folklore Studies, 38(1), 91. https://doi.org/10.2307/1177466 Koh, L. P., Butler, R. A., & Bradshaw, C. J. (2009). Conversion of Indonesia ’ s peatlands. Frontiers in Ecology and the Environment, 7, 738. https:// doi.org/10.1890/09.WB.013 Lestari, S., & Martin, E. (2017). Optimalisasi Lahan Gambut melalui Pola Campuran Tanaman Pinang : Studi Kasus Kabupaten Tanjung Jabung Barat , Provinsi Jambi Peatland Optimization through Mixed Plant Patterns of Betel Nut : Case Study of Tanjung Jabung Barat Regency , Jambi Province. In Siti Herlinda, K. Nirmala, A. Novra, B. Sahari, Suwandi, Tanbyaskur, … A. D. Sasanti (Eds.), Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal” (pp. 675–684). Palembang: UNSRI Press. Nelson, R. H. (2013). Multiple-use forest management versus ecosystem forest management: A religious question? Forest Policy and Economics, 35, 9–20. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2013.06.003 Page, S. E., Rieley, J. O., Shotyk, W., & Weiss, D. (1999). Interdependence of peat and vegetation in a tropical peat swamp forest. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. https://doi. org/10.1142/9781848160125_0014 Page, S., Wust, R., & Banks, C. (2010). Past and present carbon accumulation and loss in Southeast Asian peatlands. Science Highlight: Peatlands, 18(1), 25–27.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 267 Harmoni Baru Manusia dan Alam Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah

Rydin, H., & Jeglum, J. K. (2015). The Biology of Peatlands. The Biology of Peatlands. https://doi.org/10.1093/acprof:osobl/9780199602995.001. 0001 Simangunsong, B. C. H. (2004). the Economic Performance of Indonesia ’ S Forest Sector in the Period 1980-2002, (July). Tata, H. L., & Susmianto, A. (2016). Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut Indonesia. Bogor: Forda Press. Ulya, N. A. (2014). Penilaian kawasan hutan rawa gambut berdasarkan nilai ekonomi total (Studi kasus di Merang Kepayang Sumatera Selatan). Universitas Gadjah Mada. Ulya, N. A., Nurlia, A., Kunarso, A., Martin, E., & Waluyo, E. A. (2019). Valuation of goods and services derived from plantation forest in peat swamp forest area: The case of South Sumatra Province. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 308, p. 27). Bogor. https://doi.org/10.1088/1755-1315/308/1/012047 Ulya, N. A., & Waluyo, E. A. (2017). Skema Pembiayaan Aktivitas Ekonomi di Lahan Suboptimal untuk Mendukung Restorasi Gambut Financing Schemes for Economic Activities in Suboptimal Land to Support Peatland Restoration. In S Herlinda, K. Nirmala, A. Novra, B. Sahari, SUwandi, Tanbyaskur, … Sasanti A.D. (Eds.), Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal” (pp. 978–979). Palembang: UNSRI Press. Ulya, N. A., Waluyo, E. A., Lestari, S., & Premono, B. T. (2018). Peat Swamp Forest Degradation : Affected Communities and Losses Impacts ,. In M. Amin, F. Gulo, I. Iskandar, B. Lakitan, M. T. Kamaluddin, I. Andriana, … R. Zulfahmi (Eds.), The 1st International Conference on Environmental Issues (1st SRICOENV 2018) (Vol. 7, pp. 1–7). Palembang: EDP Sciences. https://doi.org/https://doi.org/10.1051/ e3sconf/20186803007

268 HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH Pohon, Roh Perekonomian Rawa Gambut

Ulya, N. A., Waluyo, E. A., & Nurlia, A. (2015). Development Prospect of Jelutong as Business Commodity of Forest Management Unit ( A financial review ). In C. A. Siregar, P. Pratiwi, N. Mindawati, G. Pari, M. Turjaman, H. L. Tata, … J. Balfas (Eds.), Proceedings of International Conference of Indonesia Forestry Researchers III : Forestry research to support sustainable timber production and selfsufficiency in food, energy, and water” (pp. 471–478). Bogor: Research, Development and Innovation Agency Ministry of Environment and Forestry - Republic of Indonesia. Ulya, N. A., & Yunardy, S. (2008). Analisis Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Indonesia: Sebuah Pendekatan Model Input-Output. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan (Forestry Socio Economic Journal), 5(1), 1–13. Utomo, B. B., Hanafiah, D., & Ambary, H. M. (2012).Kota Palembang : dari Wanua Sriwijaya Menuju Palembang Modern. Palembang: Pemerintah Kota Palembang. Waluyo, E. A., & Nurlia, A. (2017). Potensi Pengembangan Kopi Liberika (Coffea liberica) Pola Agroforestry dan Prospek Pemasarannya untuk Mendukung Restorasi Lahan Gambut di Sumatera Selatan ( Belajar dari Kab . Tanjung Jabung Barat , Provinsi Jambi ) Potential Development of Agroforestry. In Siti Herlinda, K. Nirmala, A. Novra, B. Sahari, Suwandi, Tanbyaskur, … A. D. Sasanti (Eds.), Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal” (pp. 255–264). Palembang: UNSRI Press. Wardoyo, S. A. (2006). Pengaruh Kerusakan Penutupan Vegetasi Rawa Gambut terhadap Komunitas Ikan di Sungai Merang Kabupaten Musi banyuasin, Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor. Wichtmann, W., & Joosten, H. (2007). Paludiculture: peat formation and renewable resources from rewetted peatlands. IMCQ Newsletter. Wolters, O. W. (2017). Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII (2nd ed.). Depok: Komunitas Bambu. Yunardy, S., Ulya, N. A., Junaedy, A., Kunarso, A., Harbi, J., & Milantara, N. (2018). Hutan OKI Kembali Lestari Pembelajaran dari Pengelolaan Hutan di Kabupaten OKI Sumatera Selatan. (D. N. Nurrochmat, Ed.). Palembang: UNSRI Press.

HARMONI MANUSIA DAN ALAM DI LAHAN BASAH 269

EDITOR Harmoni Baru Edwin Martin | Asvic Helida MANUSIA Iwan Tri Wibisono | Darwo DAN ALAM Di dataran tinggi, dataran rendah, Harmoni Baru dan lahan basah Paradigma dominasi tidak mampu MANUSIA menghilangkan-meminjam istilah Fritjop

Capra-residu peradaban. Begitu pula Di dataran tinggi, dataran rendah, dan lahan basah ketika perkembangan peradaban manusia DAN ALAM memasuki fase modern. Inovasi teknologi Di dataran tinggi, dataran rendah, tidak sepenuhnya mampu mengatasi problema utama 4K: krisis pangan, krisis dan lahan basah energi, krisis ekologi, dan kemiskinan.

Solusi krisis tidak bisa hanya mengandalkan inovasi teknologi, tetapi juga dengan kasih sayang, kemurahan hati, dan kemampuan membedakan mana yang benar mana yang salah. Kerangka berpikir ini bisa kita sebut sebagai harmoni baru manusia dan alam.

Umat manusia sesungguhnya dalam keadaan lelah, karena larut dalam paradigma dominasi; Bagian 1 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Tinggi hidup seperti dalam arena perlombaan. Kita Bagian 2 Harmoni Manusia dan Alam di Dataran Rendah Bagian 3 Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah perlu mengamplifikasi teladan dan praktik- praktik terbaik di bawah paradigma harmoni baru, agar menjadi pilihan.

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian km 6,5 Punti Kayu Palembang Kehutanan eISBN : 978-623-256-517-3 Didukung oleh:

Kehutanan ISBN : 978-623-256-508-1