See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/328630571

Lokalitas dan Pemilu Kepala Daerah

Chapter · October 2018

CITATIONS READS 0 79

1 author:

Desto Prastowo Universitas Gadjah Mada

1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Lokalitas dan Pemilu Kepala Daerah View project

All content following this page was uploaded by Desto Prastowo on 31 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

LOKALITAS DAN PEMILU KEPALA DAERAH:

Catatan Kritis Aktivis Mahasiswa Pascasarjana

Achmad Sofyan | Agung Suryo Setyantoro | Agustinus Imam Saputra | Cynthia Dewi Kusumastuti | Dennys Pradita | Desto Prastowo | Hidayatullah Rabbani| Nuril Endi Rahman | Subandi Rianto | Rahmi Ramadhianti Zain |Ulum Fasih

i

LOKALITAS DAN PEMILU KEPALA DAERAH: Catatan Kritis Aktivis Mahasiswa Pascasarjana

All right reserved ISBN: 978-602-5758-10-2

Tata Letak: Gandring A.S. Sampul: Gandring A.S.

Cetakan I, Juli 2018

Penerbit CV Saga Jawadwipa PUSTAKA SAGA Jl. Gubeng Kertajaya VE No. 12 Surabaya 60281 Email: [email protected] HP: 085655396657

Sumber gambar sampul: shutterstock.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ii

Forum Ilmu Sosial Humaniora Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

iii

iv

KATA PENGANTAR EDITOR

royek penulisan esai kritis ini merupakan program kerja Forum Ilmu Sosial Humaniora P HMP UGM 2018 untuk mewadahi minat mahasiswa pascasarjana UGM dalam menuangkan gagasan, ide dan pikiran-pikiran kritisnya mengenai “Lokalitas dan Pemilu Kepala Daerah”. Tema ini sengaja dipilih sebagai rangkaian besar evaluasi pemilu kepala daerah sebelum-sebelumnya. Serta catatan untuk tahun-tahun mendatang. Selain pilkada, kumpulan esai ini juga membicarakan mengenai lokalitas. Membincang sebuah bangunan negara dari perspektif kelokalan. Sesuatu yang amat menarik untuk dibaca, bagi mereka yang terlalu lama terhegemoni arus mainstream. Melihat daerah dari perspektif daerah itu sendiri. Bukan lagi melihat daerah dari perspektif atau ibukota.

Kumpulan esai ini terdiri atas 12 penulis dengan berbagai latar belakang. Beberapa tulisan bersifat literatur review atas fenomena kekinian, pengalaman pribadi penulis serta gabungan diantara keduanya. Untuk urutan esai dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama berbicara mengenai politik pemilu

v kepala daerah. Sementara bagian kedua meliputi kajian lokalitas di berbagai wilayah di seluruh .

Pada bab politik pilkada. Esai Achmad Sofyan membuka kegelisahan publik atas ramainya framing media pada kasus Pilkada Jakarta kemarin. Disusul Agung Suryo yang berbicara politik belah pada pilkada dikalangan masyarakat Gayo. Sementara Cynthia Dewi Kusumastuti menyinggung kesadaran politik elite-elite lokal dalam menjalani pilkada. Serta Desto Prastowo berbicara kritik atas merajalelanya rezim korup di dalam sistem pilkada. Bab politik ditutup dengan esai Rahmi Ramadhianti Zain yang mengulas pidato presiden Soeharto dalam menyikapi reformasi 1998. sebuah pembelajaran untuk generasi muda Indonesia.

Sementara pada bab lokalitas. Esai dibuka dengan tulisan Denys Pradita dan Adhi Putra Surya Wardhana yang berbicara mengenai warisan budaya di kota Surakarta. Esai Hidayatullah Rabbani berbicara gerakan Islam pasca orde baru, terutama analisa gejala di tingkat lokal yang kemudian meluas menjadi gejala nasional. Sementara esai Agustinus Imam mendiskusikan mengenai studi kasus Kulonprogo dalam mengelola kemandirian daerahnya. Dilanjutkan

vi esai Nuril Endi Rahman berbicara penguatan institusi lokal seperti desa dalam merevolusi penyakit korupsi di berbagai daerah. Esai mengenai lokalitas ditutup dua kajian; Subandi Rianto dengan kritiknya atas lemahnya nasionalisme di tingkat lokal. Serta esai Ulum Fasih yang berbicara mengenai stigma teroris di daerah Lamongan, Jawa Timur.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulisan buku ini telah diusahakan sesempurna mungkin melewati berbagai proses. Namun editor dan pengurus redaksi tetap menerima saran dan kritik untuk penerbitan-penerbitan selanjutnya. Semoga bermanfaat dan menjadi portofolio yang berguna.

Tim Editor (Subandi Rianto dan Ulum Fasih)

Korespondensi editor: [email protected]

vii

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR EDITOR | v

DAFTAR ISI| ix

BAGIAN I POLITIK DAN PEMILU KEPALA DAERAH | 1 1. Kajian Framing dalam Tahun Politik: Studi Kasus Pilkada DKI Jakarta | 3 (Achmad Sofyan)

2. Belah dan Politik Dualitas : Bersaing dan Bersanding dalam Politik Lokal Orang Gayo | 15 (Agung Suryo)

3. Membangun Politik Kesadaran | 23 (Cynthia Dewi Kusumastuti)

4. Tertawa Bersama Keledai: Sebuah Kritik Dinasti Korup di Indonesia | 33 (Desto Prastowo)

5. Representasi Makna Pidato Presiden Soeharto Mei 1998: Sebuah Kajian Peningkatan Kesadaran Politik Generasi Muda Menjelang Pemilu 2019 | 43 (Rahmi Ramadhianti Zain)

ix

BAGIAN II LOKALITAS | 59 1. Rasa Hayat Warisan Budaya dalam Bayang Modernitas Kota Surakarta | 61 (Denys Pradita dan Adhi Putra Surya Wardhana)

2. Perkembangan Islam Pasca Orde Baru | 73 (Hidayatullah Rabbani)

3. Kepala Daerah yang Berpihak Pada Lokalitas dan Kemandirian Daerah: Sebuah Kajian Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I. Yogyakarta | 85 (Agustinus Imam Saputra)

4. Penguatan Institusi Lokal Untuk Pengawasan Pola Perilaku Koruptif di Level Pemerintahan Desa | 94 (Nuril Endi Rahman)

5. Nasionalisme dan Pemekaran Wilayah: Tinjauan Politik Memori dan Sejarah Lokal | 107 (Subandi Rianto)

6. Melepas Stigma Terorisme: Membangun Kembali Narasi Kota Damai Lamongan | 118 (Ulum Fasih)

BIODATA PENULIS | 129

x

BAGIAN 1 POLITIK DAN PEMILU KEPALA DAERAH

1

2

Kajian Framing Dalam Tahun Politik : Studi Kasus Pilkada DKI 2017 Oleh: Achmad Sofyan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM

Pendahuluan

eriode 2017 sampai dengan 2019, Indonesia mengalami periode tahun politik. Pemilihan P kepala daerah (Pilkada) dan Presiden secara langsung menegaskan bahwa Indonesia masih memegang teguh asas demokrasi. Pilkada Jakarta tahun 2017 yang lalu, mungkin menjadi salah satu pilkada yang memiliki perhatian lebih, baik dalam skala

3 nasional ataupun internasional. Berbagai macam pemberitaan baik media cetak, media online ataupun media sosial para pendukung kerap meramaikan suasana politik pada tahun itu. Jakarta sebagai ibukota mungkin menjadi salah satu alasan mengapa pemberitaan pilkada DKI menjadi sangat massive. Setidaknya terjadi dua putaran dalam pilkada DKI Jakarta dan melibatkan tiga pasang calon kepala daerah yang berasal dari jalur partai mereka masing – masing.

Pada putaran pertama, kontestasi pilkada DKI melibatkan tiga pasang calon yakni Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murti (Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - Djarot Saiful Hidayat (PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem) dan Anies Rasyid Baswedan - Sandiaga Salahudin Uno (Gerindra dan PKS). Ketiga pasangan bersaing dalam pilkada putaran pertama yang dilakukan tanggal 15 Februari 2017. Hasil dari putaran pertama tersebut pasangan Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni mendapatkan 937.950 suara (17.02%), pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 2.364.577 suara (42,99%) dan Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahudin Uno memperoleh 2.197.333 suara (39,95%).

4

Karena tidak ada pasangan yang memperoleh presentase suara 50 % plus 1, ketua KPUD DKI Jakarta, Sumarno memastikan bahwa pilkada DKI Jakarta berlangsung dua putaran1.

Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan ini akan mencoba menyajikan analisis framing pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Bagaimana kedua pasang calon kepala daerah DKI Jakarta periode putaran kedua mencoba membingkai dirinya dalam upaya memenangkan hati pemilih, yakni penduduk DKI Jakarta. Framing yang secara langsung dapat dengan mudah dlihat tentu melihat bagaimana media massa membingkai calon kepala daerah. Lewat pemberitaan media yang secara terus menerus diberitakan bahkan beberapa kali menjadi headline nasional. Karena pilkada DKI bukan hanya soal kontestasi partai politik dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta saja, tetapi kerap menjadi indikator kemenangan – kemenangan partai politik dalam pemilihan kepala daerah lainnya. Tulisan ini akan memfokuskan analisis framing dua pasangan calon kepala daerah Jakarta 2017 melalui ulasan berita di media massa online. Lebih spesifik lagi

1 https://news.okezone.com/read/2017/03/04/338/1634341/ini-hasil -pilgub-dki-putaran-pertama

5 penulisan ini akan memframing dua calon kepala daerah saja yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahudin Uno yang berhasil lolos ke putaran kedua Pilkada DKI Jakarta yang akan dilaksanakan tanggal 19 April 2017.

Analisis Framing dan Media Massa

Tidak bisa dipungkiri penyajian berita dalam media massa memiliki gayanya masing – masing. Penyajian berita secara perspektif yang berbeda terhadap satu data juga kerap kita lihat dalam keseharian ini. Selain itu media massa kerap menimbulkan dan menghilangkan berita yang akan disajikan. Hal ini membentuk suatu framing yang bisa dilihat sebagai suatu obyek yang secara sengaja dibingkai atau dicirikan. Framing sendiri ialah salah satu upaya menyajikan sebuah peristiwa dalam media dengan menekankan suatu bagian tertentu ( Rieka Mustika, 2017 : 137)2. Berbicara tentang media massa yang tidak terlepas dari berita, J.B Wahyudi seperti yang dikutip oleh Ari Cahyo melihat bahwa berita merupakan laporan terkait peristiwa atau pendapat

2 Lihat juga Eriyanto dalam Analisis Framing

6 yang memiliki suatu nilai penting, menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan melalui media massa periodik (Ari Cahyo Nugroho, 2013 : 42).

Permasalahan lain terkait media massa adalah ketegantungan masyarakat terhadap media massa tersebut. Ketergantungan masyarakat akan menjadi dasar media massa untuk menentukan dan membentuk apa dan bagaimana masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa media merupakan agen konstruksi realitas. Ketergantungan yang cukup besar akan media memungkinkan tergiringnya masyarakat terhadap konstruksi yang dibangun media itu sendiri ( Dewi Prawitasari, 2013 : 48). Konstruksi media yang disajikan untuk masyarakat terkadang dipengaruhi oleh korporasi yang terkadang menjadi permasalahan lain terkait dengan perbedaan pendapat antara keharusan menjaga berita agar tetap netral dan independen dengan kepentingan korporasi. Kemudian pada akhirnya, kebutuhan akan informasi dari media massa akan sebuah berita yang kemudian sengaja dikemas menjadi sebuah konstruksi untuk membangun opini masyarakat.

7

Pembangunan opini masyarakat oleh media dilakukan melalui framing. Analisis framing sendiri ialah sebuah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Selain itu analisis framing juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dikemas dan dibingkai oleh media itu sendiri, dan sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing memiliki karakteristik yang berbeda dengan analisis kuantitatif. Perbedaan mendasarnya ialah, dalam analisis kuantitatif yang ditekankan adalah konten dari suatu pesan komunikasi, sedangkan analisis framing lebih mengedepankan bagaimana pesan tersebut dikonstruksi oleh media (Eriyanto, 2002 : 11). Analisis framing juga termasuk ke dalam paradigma konstruksionis, sebuah paradigma yang mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan (Eriyanto, 2002 : 15). Dalam framing terdapat dua aspek yang bisa kita lihat. Pertama, memilih fakta / realitas. Proses ini didasarkan pada asumsi wartawan itu sendiri, pemilihan fakta sendiri terdapat dua kemungkinan fakta yang dibuang dan fakta yang dipilih. Kedua, menuliskan fakta, dalam aspek ini berhubungan dengan bagaimana pemilihan fakta yang dipilih disajikan kepada pembaca (Eriyanto, 2002 : 81).

8

Membingkai Calon Kepala Daerah DKI Jakarta Melalui Media Massa

Sekarang kita akan melihat bagaimana media massa membingkai kedua calon kepala daerah DKI Jakarta putaran kedua. Ada dua media online yang akan kita lihat bagaimana mereka menyajikan berita terkait keduanya yakni kompas dan detik yang menulis tentang kritikan Ahok kepada Anies terkait dengan pemberian KJP untuk anak putus sekolah dan dalam bentuk tunai.

Kompas menceritakan, menurut Ahok pemberian KJP secara tunai akan merusak mental orang karena pemberian KJP secara tunai akan berakibat uang anak tersebut dipakai untuk kebutuhan harian orang tua mereka dan tidak dapat dipantau keuangan KJP itu untuk apa. Hal ini diungkap Ahok dengan pengalaman pemberian KJP tunai pada tahun pertama program KJP dilaksanakan. Sedangkan dalam tempat lainnya, Sandiaga Uno melihat bahwa pemberian KJP tunai akan digunakan untuk membeli buku pelajaran, transportasi sekolah serta kebutuhan sekolah lainnya. Untuk pengawasan keuagan, Sandiaga akan

9 melibatkan perbankan melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 3.

Detik menggambarkan hal yang sama dengan kompas, tetapi melihat dari sisi Sandiaga Uno terlebih dahulu. Menurut Sandiaga Uno, Ahok harusnya berpikiran positif tentang program pemberian KJP secara tunai. KJP versi Sandiaga dan Anies akan diberikan kepada anak – anak tidak sekolah yang akan mengambil keterampilan paket A, B dan C. Hal ini berseberangan dengan Ahok dan Djarot yang menginginkan KJP untuk mendorong anak yang bersekolah. Ahok tidak ingin anak – anak putus sekolah karena mendapatkan uang4

Dari kedua paparan di atas, kita dapat melihat bahwa ada upaya merekonstruksi dari media online terkait dengan pendapat kedua calon kepala daerah tersebut. Todd Gitlin dalam buku Analisis Framing menyatakan bahwa framing adalah strategi bagaimana realitas / dunia dibentuk dan disederhanakan

3https://megapolitan.kompas.com/read/2016/11/25/20531471/ahok.k alau.tarik.tunai.kjp.namanya.merusak.mental.orang.

4https://news.detik.com/berita/3466183/ahok-sindir-kjp-plus-sandiag a-harusnya-dia-husnuzan

10 sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa – peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas (Eriyanto, 2002 : 78). Lebih jauh lagi, framing merupakan pendekatan untuk mengetahui bagaimana cara pandang wartawan ketika menulis berita.

Framing juga berkaitan dengan opini publik, karena isu tertentu ketika dikemas dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Kedua calon memframing dirinya sendiri dengan isu yang berkembang ( KJP ) untuk mencari dukungan publik. Isu yang bisa kita lihat dari persoalan KJP tersebut ialah, Sandiaga Uno memframing bahwa KJP milik semua anak – anak tidak terkecuali yang bersekolah ataupun tidak bersekolah. Sedangkan Ahok menilai bahwa KJP adalah media pendorong anak – anak bersemangat untuk bersekolah.

Karena sekolah adalah landasan utama. Framing berikutya ialah terkait dengan bahasa yang digunakan kedua calon kepala daerah tersebut.

11

Dengan bahasa yang sangat halus, Sandiaga Uno mencoba memberikan penekanan bahwa Ahok harus bersikap positif dalam program yang akan dia lakukan. Sementara Ahok mengeluarkan kata merusak mental terkesan agak keras dengan kebijakan yang ia lakukan.

Kesimpulan

Framing adalah hal yang sangat penting untuk melihat suatu kejadian atau peristiwa yang sedang terjadi atau sengaja dibangun oleh media massa. Framing menjadi senjata utama bagaimana orang akan menilai berdasarkan konstruksi yang sengaja dibangun. Media massa sendiri adalah bagian dari agen konstruksi bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima. Media bukan saluran yang bebas, ia juga mengkonstruksi realitas berdasarkan pandangan, bias, dan sosial yang mendefinisikan sebuah realitas (Eriyanto, 2002 : 26). Proses rekonstruksi sebuah berita inilah yang kemudian akan menjadikan media sebagai mobilisasi massa dalam memilih pilihannya dalam pilkada DKI Jakarta putaran kedua.

12

Daftar Pustaka

Eriyanto, 2002, “Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media”, Yogyakarta : LKIS

Rieka Mustika, “ Analisis Framing Pemberitaan Media Online Mengenai Kasus Pedofilia di Akun Facebook”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 20, No. 2, Desember 2017, diunduh dari http://bppkibandung.id/index.php/jpk/article/view/15 9

Ario Cahyo Nugroho, “Konstruksi Media Massa Dalam Proses Pilkada Gubernur DKI Jakarta”, Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi, Vol. 4 No. 1 Juni 2013, diunduh dari https://mti.kominfo.go.id/index.php/mti/article/view/4 9

Dewi Prawitasari, “Analisis Framing Pemberitaan Kompas.com dan Viva.com Pada Peristiwa Runtuhnya Terowongan Tambang PT Freeport Indonesia”, Jurnal Commoline Departemen Komunikasi, Vol. 2, No. 2, 2013, diunduh dari http://www.journal.unair.ac.id/download-fullpapers-co mmc265908218full.pdf

13 https://news.detik.com/berita/3466183/ahok-sindir-kj p-plus-sandiaga-harusnya-dia-husnuzan https://megapolitan.kompas.com/read/2016/11/25/20 531471/ahok.kalau.tarik.tunai.kjp.namanya.merusak.m ental.orang. https://news.okezone.com/read/2017/03/04/338/1634 341/ini-hasil-pilgub-dki-putaran-pertama

14

Belah dan Politik Dualitas : Bersaing dan Bersanding dalam Politik Lokal Orang Gayo Oleh: Agung Suryo Setyantoro (Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Antropologi, UGM Yogyakarta)

PADA satu malam di pertengahan 2016 yang lalu, saya diajak oleh seorang kawan ke sebuah warung kopi “Bayakmi Kafe” di depan Rumah Sakit Datu Beru, Takengon, Aceh. Rupanya di dalam warung kopi tersebut sedang terjadi diskusi anak-anak muda yang membahas tentang persiapan Pilkada di Kabupaten

15

Aceh Tengah yang dilaksanakan tahun 2017. Dari obrolan anak-anak muda itu saya menjadi paham bahwa mereka sedang mempersiapkan persyaratan mengajukan bakal calon bupati melalui jalur independen.

Menjadi menarik ketika diskusi mulai membahas siapa yang layak menjadi calon wakil bupati mendampingi Khalis sebagai bakal calon bupati. Usulan disertai alasan saling bersahut dalam diskusi malam itu.

“Muklis orang Bintang bang... Seandainya dipasangkan dengan Bang Khalis yang orang Pegasing cocoklah dua orang ini mewakili Orang Gayo jadi bupati dan wakil bupati”, teriak salah seorang anak muda mencoba berargumentasi dalam diskusi malam itu.

Bintang merupakan salah satu daerah yang masuk dalam wilayah kelompok belah Bukit, sedangkan Pegasing masuk wilayah kelompok belah Ciq. Belah merupakan istilah yang khas dalam pola kekerabatan masyarakat Gayo, dimana mereka mengidentifikasikan diri dalam dualitas kelompok klan kerabat atau dalam studi antropologi lazim disebut

16 paruh masyarakat atau moiety (Melalatoa, 1983: 4). Dua kelompok belah yang ada di Gayo adalah belah Bukit yang disebut Uken dan belah Ciq yang disebut Toa. Setiap orang Gayo dapat dipastikan masuk salah satu kelompok belah tersebut.

Belah Uken dalam mitos yang diyakini masyarakat Gayo dianggap sebagai masyarakat asli Gayo. Sementara leluhur belah Toa merupakan pendatang yang berasal Batak. PaEni (2003: 214) menyebutkan bahwa persaingan antara keduanya diawali dengan perebutan predikat sebagai penduduk asli dan kemudian perebutan kedudukan sebagai penguasa di daerah pesisir Danau Laut Tawar. Persaingan ini kemudian meningkat ke berbagai sektor kehidupan.

Isu Uken-Toa: Bersaing atau Bersanding

Berbicara tentang dunia perpolitikan di Aceh Tengah. Maka kita tidak bisa lepas dari fakta persaingan antara dua kelompok masyarakat suku Gayo yang mendiami wilayah Gayo Lut, yang dikenal sebagai persaingan Uken – Toa. Oleh beberapa peneliti, persaingan ini diyakini sudah ada sebelum masa kolonial. Kemudian diperuncing oleh pemerintah

17 kolonial Belanda terbawa sampai ke masa kemerdekaan dan terus eksis sampai hari ini. Persaingan ini utamanya terjadi antara dua kelompok suku Gayo dari „belah‟ Ciq yang berpusat di Bebesen dengan „belah‟ Bukit yang berpusat di Kebayaken (Nur, 2011).

Ketika hajatan Pilkada 2017 digelar, suasana hangat perpolitikan di Aceh Tengah semakin terasa ketika wacana Uken-Toa dihembuskan. Bagi sebagian orang, politik Uken-Toa dianggap memecah belah masyarakat Gayo di Aceh Tengah, namun di sisi lain ada sebagian masyarakat yang justru menganggap menggunakan politik Uken-Toa sebagai upaya untuk mempersatukan masyarakat Gayo.

Sebagai basis penarik massa dalam pilkada 2017, politik Uken-Toa dianggap mampu menarik dukungan dari masyarakat Gayo. Keterwakilan kelompoknya dalam percaturan politik dan pemerintahan dianggap masyarakat mampu memberikan keuntungan.

Identitas-identitas masyarakat yang sebenarnya sudah mencair dan dilupakan. Kemudian terfragmentasikan ke dalam dua bagian yang semakin

18 jelas memisahkan. Seakan suasana saat ini kembali ke masa lalu, dimana fragmentasi antara Uken-Toa tergambar cukup jelas.

Namun ketika kita perhatikan lebih detail lagi, penggunaan politik Uken-Toa pada pra-pilkada 2017 menampilkan fragmen yang berbeda bila dibandingkan dengan masa lalu. Saat ini fragmentasi antara Uken-Toa bukan lagi untuk memposisikan keduanya berlawanan tetapi membuatnya menjadi bersatu. Hal ini seperti terlihat pada kasus yang diangkat pada diskusi di pengantar tulisan ini.

Khalisuddin yang berasal dari kelompok belah Ciq akan dimajukan sebagai bakal calon bupati. Sementara calon wakilnya diisi dari belah Bukit atau kelompok Uken. Hal inilah yang membedakan “persaingan” antara Uken-Toa di masa lalu yang benar-benar kaku dan fanatik dalam mendukung belahnya masing-masing.

Orang awam sekilas akan melihat penggunaan isu Uken-Toa pada pilkada sebagai fenomena disintegrasi pada masyarakat Gayo. Namun masyarakat sendiri tanpa sadar menikmatinya. Menengok kembali apa yang Geertz (2013: 511) tulis

19 dalam Agama Jawa, disebutkan bahwa agama tidak hanya memainkan peran yang integratif dan menciptakan harmoni sosial saja di dalam masyarakat, tetapi juga memainkan peran memecah dan dengan demikian, mencerminkan perimbangan antara kekuatan integratif serta disintegratif yang ada dalam tiap sistem sosial.

Politik Uken-Toa, yang bersumber dari belah di Aceh Tengah secara tak langsung menggambarkan apa yang diungkap Geertz. Politik Uken-Toa pada masyarakat Gayo, pada satu sisi dianggap membawa perpecahan atau disintegrasi masyarakat. Namun disisi lain juga menciptakan integrasi pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah.

Berbeda ketika kita melihat politik identitas pada banyak kasus yang umum dijumpai, bahwa politik identitas selalu terjadi benturan antar identitas etnis, antar identitas agama, dan juga identitas space (Gazalirrahman, 2009: 6-19). Di Kabupaten Aceh Tengah, politik identitas yang dimainkan sangat khas, dengan menggalang massa dengan isu penguatan identitas berbasis klan (belah) yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni Uken dan Toa.

20

Fenomena belah masyarakat Gayo yang kemudian masuk dalam pusaran politik modern ternyata memunculkan dinamika yang sangat menarik. Kita dapat melihat bagaimana dualitas belah sebagai mekanisme pembagian masyarakat Gayo yang awalnya mengarah pada persaingan kultural diantara keduanya, namun pada masa kini telah dikonstruksi ulang sebagai mekanisme untuk membangun aliansi bagi kepentingan pemenangan pilkada di Kabupaten Aceh Tengah.

Dengan demikian, paradigma relasi belah saat ini telah bertransformasi dari paradigma kompetisi bergeser pada paradigma aliansi. Sementara faktor political interest menjadi faktor utama pendorong transformasi tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa sangat benar bahwa dalam dunia politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Daftar Pustaka

Gazalirrahman. 2009. “Potret Pemilu Kepala Daerah di Kabupaten Barito Timur Propinsi Kalimantan Tengah (Studi Atas Pemanfaatan Identitas:

21

Agama, Etnisitas dan Space)”, dalam Jurnal Renai Tahun IX No.2, 2009. Hlm. 6 -19.

Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: , , Dalam Kebudayaan Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hurgronje, C. Snouck. 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke-20. Jakarta: Balai Pustaka.

Melalatoa, M.J..1983. “Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa Tentang Hubungan Sosial Menurut Kebudayaan Gayo”. Disertasi, Jakarta: Universitas Indonesia.

PaEni, Mukhlis. 2003. Riak di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Win Wan Nur. 2011. “Isu Uken-Toa, Sebelum dan Sesudah Kedatangan Belanda”. Dalam http://www.lintasgayo.com/5045/isu-Uken-To a-sebelum-dan-sesudah-kedatangan-belanda. html (akses: 6 november 2016)

22

Membangun Politik Kesadaran Oleh: Cynthia Dewi Kusumastuti S.H (Mahasiswa Magister Hukum Ketatanegaraan Universitas Gadjah Mada) e-mail : [email protected], [email protected]

SETIAP bangsa, setiap negara dan setiap jaman pasti memiliki tantanganya sendiri. Tantangan yang hanya bisa dijawab oleh kepemimpinan yang memiliki visioner, responsif dan terstruktur. Tantangan situasi dan kondisi jaman sekarang yang kita rasakan. Menunjukkan cerminan demokrasi yang tidak sehat. Melainkan cerminan permainan isu SARA yang

23 dieksploitasi di depan publik. Terlebih polanya terlihat menjelang pemilihan umum.

SARA merupakan akronim dari suku, agama, ras dan antar golongan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita (Nugroho Heru, 1997 : 2). Dalam konsep SARA tertuang pengertian konflik horizontal yang dimotori oleh suku, agama, ras dan juga konflik vertical bersumber pada perbedaan “ekonomi-politik” antar golongan (Taufik Abdullah. 1997). Gejala politik ini merupakan fenomena sosial yang tidak lepas dari dorongan kepentingan politik. Politik yang merupakan ilmu tentang negara, pemerintah dan tata cara bernegara. Di dalamnya terlibat satu unsur penting: partai politik

Partai politik sejatinya merupakan ujung tombak untuk menampung aspirasi dan kepentingan-kepentingan masyarakat yang terkadang diabaikan pemerintah. Tetapi seolah-olah partai politik menjadi ajang mencari massa. Hal ini sangat terlihat jelas apabila sudah memasuki waktu pemilu terutama menjelang Pilpres.

Demi memenangkan suara rakyat, partai politik akan menggunakan berbagai cara untuk

24 memperoleh suara dominan terbesar dalam pemilihan. Startegi yang digunakan Partai Politik pun merupakan seni, seni untuk memancing perasaan baik itu semangat berdemokrasi, menarik simpati rakyat, bahkan menguras emosi. Tujuan partai politik adalah untuk memengkan pemilu, terkadang istilah menang ini bisa diartikan kepuasaan atas keingginan (hawa nafsu) untuk menduduki suatu jabatan kekuasaan dalam suatu pemerintahan.

Politik sejatinya wadah untuk masyarakat berpastisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam alenia ke-empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Era Politik sekarang ini bisa dilihat dan dirasakan oleh masyarakat bawasanya politik saat ini benar-benar tidak sehat bahkan berujung memecah belah bangsa dengan isu ras, suku dan agama dengan menimbulkan konflik sosial. Kondisi Politik di Indonesia saat ini lebih cenderung pada politik identitas.

Politik identitas dapat dikatakan lebih buruk dari pada politik uang. Politik Identitas merupakan strategi Black Campaign yang digunakan partai politik dengan mengolah kebencian dan kebohongan publik.

25

Dampak dari adanya isu Sara yang selanjutnya menimbulkan hoax dimasyarakat merupakan pembunuhan rasionalitas. Salah satu isu SARA yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah politisasi isu Agama. Pengaruh isu agama tersebut sebagai upaya memasukkan kepentingan fanatik primodialisme kearah agenda politik guna mempengaruhi opini dan konsepsi masyarakat (Ahmed Vaezi,2006 : 43). Strategi politisasi agama yang digunakan partai-partai politik yang tidak bertanggungjawab demi memenangkan suatu kekuasaan berdampak terpecah belahnya masyarakat.

Hal ini dianggap partai-partai politik yang menggunakan isu tersebut merupakan cara yang manjur untuk melumpuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa demi sebuah kedudukan. Lasswell dalam bukunya Psychopathology and Politics mengatakan bahwa, orientasi politik lebih banyak diartikan “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how)” (Harold D. Lasswell, 1930 : 65). Gaya politik Lassweelian ini tepat untuk menggambarkan dinamika politik yang berkembang pada era reformasi (Harold D. Lasswell, 1930: 89).

26

Pada ajang pemilihan umum masyarakat hanya dijadikan objek atau bahan perbincangan yang selalu hangat dan terus digoreng garing. Karena terlalu sering digoreng permasalahan masyarakat pun bukannya terselesaikan malah menjadi gosong. Sebenarnya permasalaahan dimasyarakat sudah bisa ditebak dan tergolong mainstream yang selalu berkutik pada faktor kesenjangan (ekonomi, pendidikan, dan kesehatan) bukan persoalan Identitas. Isu SARA membuat masyarakat menjadi lupa sejatinya apa yang dibutuhkan untuk hidup melupakan kesejahteran dan hanya mepersoalkan identitasnya.

Hal ini terlihat pada masyarakat kita yang masih rendah taraf hidupnya sehingga masyarakat masih mudah dipengaruhi isu-isu politik yang tidak bertanggungjawab. Manusia (pemilih) adalah individu yang rasional sebagai pilihan dan memiliki keharusan untuk menentukan pilihan sebagai upaya untuk mempengaruhi isu sosial (James S. Coleman, 1990 : 78-79).

Keadaan masyarakat kita saat inilah dijadikan sasaran empuk partai-partai politik yang tidak bertanggungjawab. Dalam orasi kampanye calon-calon pemimpin bersama partai-partai politik pendukungnya

27 saling berlomba memenangkan suara rakyat dengan program-program kerja yang mereka yakini dapat menuntaskan permasalahan kesenjangan di masyarakat. Sering kali kita dengar program-program kerja yang diajukan bukannya ditujukan untuk kepentingan rakyat akan tetapi lebih mengarah pada sindiran-sindiran politik untuk menjatuhkan lawan mainnya. Banyak pemimpin yang setelah berhasil memenangkan suara rakyat, janji-janji manis mereka saat kampaye pun Bak ditelan lautan, hanya unsur keuntungan yang mereka pikirkan, dan hanya segelintir pemimpin yang masih memegang janjinya untuk rakyat. Berpedoman pada teori Abraham Lincoln “Jika mau menguji karakter sejati seseorang berikan dia kekuasaan” (https://www.kompasiana.com) Keadaan yang demikianlah yang mencerminkan kesadaran dalam berpolitik di Indonesia sangatlah bobrok.

Sistem kesadaran adalah sistem yang berorientasi pada keseimbangan antara rasio, rasa dan spekulasi filsafat. Pentingnya membangun sistem kesadaran dalam kehidupan bernegara demi terciptanya negara yang jujur, adil dan demokratis. Sistem kesadaran ini hendaknya dapat dibangun dengan ketekunan dan kedisiplinan bukan hanya

28 sekedar teori untuk bahan pemuas diskusi belaka. Pada hakekatnya, semakin tinggi kesadaran seseorang, maka sebagaimana dinyatakan oleh kiergaard, “semakin utuh diri seseorang”. Dengan kesadaran diri, seseorang bisa menjadi sadar atas tanggungjawabnya untuk memilih (Gerald Corey, 1988 : 64). Sistem kesadaran ini bukan hanya ditujukan untuk para pemimpin bangsa ataupun partai politik tetapi juga kepada masyarakatnya, masyarakat harus berpikir kritis dalam menanggapi gejala sosial yang terjadi bukan berbasis pada suara mayoritas dan mengambil mentah-mentah isu-isu SARA yang beredar tetapi dari kesadaran dan keyakinan masing-masing dengan membentengi diri dengan ilmu pengetahuan dan karakter yang cukup baik. Jika masyarakat memiliki sistem kesadaran akan sulit bagi pelaku politik hitam untuk mengelabui masyarakat dengan menggunakan isu SARA.

Berpolitik dengan sistem kesadaran harus mengedepankan etika, dan sewajarnya etika berpolitik ini dicontohkan oleh para pemimpin-pemimpin rakyat dan Partai Politik dengan mengedepankan asas-asas moral yang sudah disepakati bersama berdasarkan Pancasila. Partai Politik sebenarnya dapat berperan mengurangi politik identitas yang menggunakan isu

29

SARA. Isu SARA tidak mudah untuk dipisahkan dalam dinamika politik. Peran Partai Politik yang memulai adanya Politik Identitas dan Partai Politik lah yang bisa mengakhirinya. Peran partai politik menjadi penting untuk mengembalikan etika politik ke jalurnya, dimana permasalahan Indonesia bukan hanya isu-isu SARA yang dijadikan bahan untuk berkampanye tetapi sejatinya masalah utama dan tujuan bangsa kita yang terlupakan yaitu kesejahteraan, Kembali kejalur tujuan didirikannya negara Indonesia ini adalah untuk kesejahteraan rakyat, tidak menghabiskan energi untuk membahas isu-isu SARA yang memecah belah bangsa. Politik Identitas dapat di tanggulangi asalkan terbangunnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh dengan sistem kesadaran sehingga sekuat apapun politik hitam yang dilakukan oleh partai sangat sulit untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Ahmed Vaezi, “Syi‟ah Political Thought “, dalam Ali Syahab, Agama Politik: Nalar Politik Islam (Jakarta: Citra, 2006), 7. Alwi Shihab, Islam

30

Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), 43.

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, PT Eresco, Bandung,1988, hlm. 64.

Harold D. Lasswell, Psychopathology and Politics (Chicago: University of Chicago Press, 1930), 65.

______. Lasswell, Psychopathology and Politics, 89.

James S. Coleman, Foundations of Social Theory (Harvard: Harvard University Press, 1990), 78-79.

Jurnal

Heru Nugroho. 1997. Dekonstruksi Wacana SARA Negara dan Implikasinya terhadap Kemajemukanan Masyarakat Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Volume 1, No.2, November.

Muhammad Supriyadi. 2015. Politisasi Agama di Ruang Publik : Komunikasi SARA dalam Perdebatan Rational Choise Theory. Vol. 1, No. 3.

31

Internet

https://www.kompasiana.com/zen_sitorus/aho k-dan-teori-abraham lincoln_552e4f596ea83400438b4593, diakses pada tanggal 14 April 2018.

32

Tertawa Bersama Keledai: Sebuah Kritik Dinasti Korup di Indonesia Oleh: Desto Prastowo (Mahasiswa Magister Administrasi Publik FISIPOL UGM)

Korupsi, Penyakit Tak Kunjung Sembuh

KORUPSI masih menjadi pekerjaan rumah yang seakan tidak pernah selesai bagi bangsa ini. Penyakit keserakahan ini, yang disebut Artidjo Alkostar (Ali, 2011) sebagai corruption by greed, masih menghantui perjalanan bernegara bangsa ini. Korupsi tidak mengenal agama, tidak berjenis kelamin dan tidak

33 peduli seberapa besar kadar kesalehan seseorang yang ditampilkan melalui simbol-simbol agama.

Membaca data dari KPK kita hanya dapat geleng-geleng kepala saja. Sepanjang tahun lalu, hingga 30 September 2017. KPK menangani perkara tindak pidana korupsi dengan rincian : penyelidikan 70 perkara, penyidikan 78 perkara, penuntutan 58 perkara, inkracht 48 perkara, dan eksekusi 49 perkara. (KPK, Infografis, 2017)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga terus panen koruptor melalui serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sepanjang tahun 2017, hingga bulan September, ada 5 kepala daerah yang terjaring atas dugaan tindak pidana korupsi. Mereka kini berstatus tersangka (Kompas, 2017). Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebut, terdapat 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Dengan rincian, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya. (KPK, Infografis, 2017).

Semangat Korupsi yang Diwariskan

Fakta banyaknya OTT patut kita syukuri karena menunjukkan efektifitas KPK. Namun di sisi lain, kita harus meratapi nasib negeri ini yang terus digerogoti

34 keserakahan para koruptor. Lebih miris lagi, berdasarkan penelusuran penulis, “semangat” korupsi ternyata “diwariskan” yang selanjutnya kita sebut saja dengan istilah “Dinasti Korup”.

Menelusuri angka-angka yang dibariskan oleh KPK tersebut, setidaknya ada tujuh kasus yang menggambarkan dinasti korup. Pertama, kasus mantan bupati Bolaang Mangondow dan anaknya. Kedua, kasus korupsi yang menjerat ayah dan anak, Syaukana Hassan Rais dan Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara). Ketiga, kasus ayah dan anak, mantan Walikota Cilegon, Tubagus Aat Syafaat, kepemimpinan dan korupsinya kemudian “diwariskan” kepada anaknya, Tubagus Imam Ariyadi. Keempat, kasus yang menjerat ayah dan anak, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetia yang terlibat korupsi Alquran. Kelima, mantan Gubernur Banten, Ratu Atut dan keluarganya. Keenam, Kasus korupsi Bupati Tanah Laut tahun 2013, Ardiyansah dan anaknya, Bambang Alamsyah. Ketujuh, kasus korupsi mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin dan anaknya Makmun Ibnu Fuad. (KPK, 2017)

Gejala dinasti korup ini sangat membahayakan perjalanan pembangunan bangsa. Menurut Syamsudin Harris (2017), anak muda pejabat publik produk politik

35 dinasti cenderung korup jika lingkungan kerabatnya juga korup. Hal ini terjadi karena “jaringan” korupsi sudah terbentuk di sekitar penjabat publik tersebut. Pendeknya, lingkungan korup sudah mengelilinginya.

Dinasti Korup dan Oligarki.

Sistem politik yang liberal dituding menjadi pemicu munculnya politik dinasti yang korup. Di negeri ini, untuk menjadi pejabat politik, seseorang tidak perlu menaiki anak tangga jenjang karier politik. Padahal tanpa jenjang karier, partai politik rentan disusupi kepentingan neo-liberal. Menurut Susetiawan (2009), tangan-tangan politik menjadi kunci dalam perluasan pasar khas neo-liberalisme. Inilah yang membedakan liberalisme dan neo liberalisme. Jika liberalisme percaya pasar mampu dan dibiarkan bekerja sendiri secara bebas dan alami maka neo liberalisme berfikir bahwa intervensi politik terhadap pasar menjadi penting untuk memenangkan persaingan.

Biaya politik yang mahal mengantarkan kepada percintaan terlarang dari dua kepentingan yang saling membutuhkan. Partai politik membutuhkan dana untuk mengarungi kontestasi, sementara pemilik

36 modal membutuhkan kendaraan politik untuk berkuasa dan atau untuk memperluas pasar dan produksinya. Perselingkuhan mereka berkontribusi terhadap berbagai kerusakan alam dan eksploitasi sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia. (The Gecko Project dan Mongabay, 2018). Jadilah kekuasaan politik hanya berkutat pada segelintir elite dan mengarah kepada oligarki. Selanjutnya, kekuasaan politik mengintervensi birokrasi sehingga efek merusaknya, komplit sudah.

Birokrasi memang rentan diintervensi secara politik, karena yang berlaku adalah Model Executive Ascendency, yang menempatkan birokrasi sebagai subordinasi dari politik. Menurut Mihtah Thoha (2012), model ini berarti pejabat politik sebagai pemimpin atau master dan pejabat birokrasi sebagai bawahan. Hubungan semacam ini membuat birokrasi tidak mampu equal (setara) saat berhadapan dengan pejabat politik.

Merit System Sebagai Solusi

Merit system dalam politik adalah sebuah keharusan. Sistem ini menekankan profesionalisme. Menurut Radhika (2012), profesionalisme pelayanan

37 publik berarti cakap dalam pekerjaan serta memiliki standar etika atau moral yang tinggi. Sedangkan yang terjadi selama ini, jangankan standar etika, kompetensi dasar saja masih jauh dari cukup.

Tuntutan profesionalisme tidak hanya untuk jabatan di birokrasi namun juga termasuk jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Contoh : seseorang agar dapat menjadi ketua DPR maka dia harus memiliki pengalaman memimpin komisi, fraksi, DPRD atau wakil Ketua DPR sehingga memiliki pengalaman dan kompetensi yang memadai. Begitu juga, untuk dapat diajukan oleh partai dalam Pilpres atau Pilkada, seseorang seharusnya memilki karier dalam politik mulai dari karier yang rendah sampai ke tataran yang lebih tinggi sehingga mencerminkan profesionalitas politik (Thoha, 2014). Penerapan Merit System semacam ini akan mampu mematikan bibit-bibit politikus karbitan.

Besarnya peran pemerintah dalam mendayung “sampan” bernama Negara membuat inkompetensi penyelenggara negara menjadi ancaman bagi tujuan negara dalam mensejahteraan masyarakat. Menurut Ali Farazmand (2009 : 305), peran pemerintah adalah meningkatkan pertumbuhan nasional, berkembang

38 bersama sektor swasta, penyediaan layanan publik, dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu.

Kedudukan birokrasi yang menjadi subordinasi dari politik, seperti penulis ungkap sebelumnya, menciptakan ketidakseimbangan dan melahirkan kesenjangan. Ketidakseimbangan itu berwujud pada kekuasaan politik yang besar tapi tidak diikuti dengan pemahaman terhadap persoalan administrasi dan manajemen pemerintahan. Bagaimana mungkin seseorang pejabat politik yang tidak memahami persoalan utama tersebut kemudian tiba-tiba memiliki power yang besar dan mengendalikan para birokrat yang seharusnya lebih memahami persoalan tersebut. Praktik yang lazim terjadi justru intervensi politik sejak proses merancang anggaran sehingga tujuan pembangunan meleset dari harapan.

Merit system dan perbaikan kaderisasi dalam tubuh partai politik wajib segera diterapkan. Negara harus memaksa semua partai politik melakukannya melalui seperangkat regulasi. Proses rekrutmen terbuka, profesional dan karier yang berjenjang dapat memutus rantai politik dinasti. Pada gilirannya, “putra mahkota” dari politisi mantan pejabat tetap

39 saja dapat bertarung dalam berbagai kontestasi pemilu di berbagai jenjang asalkan memenuhi persyaratan yang diatur dalam regulasi tersebut. Bangsa ini harus belajar dari pengalaman di Kabupaten Klaten yang silsilah kepemimpinannya begitu mbulet, (Kompas, 2017; Detiknews, 2017) yang membuat segerombolan keledai pun akan tertawa jika mereka mampu mencernanya. Ataukah bangsa ini sudah kehilangan rasa humornya hingga fenomena yang jadi bahan tertawaan sekawanan keledai, bagi kita adalah sesuatu yang lumrah saja.

Daftar Pustaka

Artidjo Alkostar dalam Ali, M. (2011). Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Farazmand, A. (2009). Public Service Ethics and Professionalism: A primerfor Public Officials. Dalam A. Farazmand (Ed.), Bureaucracy and Administration. Boca Raton: CRC Press.

Radhika, D. (2012). Ethics in Public Administration. Journal of Public Administration and Policy Research , 28.

40

Susetiawan. (2009). Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme. Yogyakarta: Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.

Thoha, M. (2012). Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media.

Thoha, P. D. (2014). Birokrasi Politik dan Pemilihan Umum di Indonesia. Yogyakarta: Prenamedia Group.

https://news.detik.com/infografis/d-3387340/din asti-mbulet-penguasa-klaten. Dipetik April 28, 2018 https://regional.kompas.com/read/2017/01/06/131900 91/klaten.dalam.pusaran.dinasti.politik Dipetik April 28, 2018 http://nasional.kompas.com/read/2017/09/19/070000 31/hingga-september-2017-5-kepala-daerah-ter jaring-ott-kpk-siapa-saja-mereka?page=all. Dipetik April 27, 2018.

Syamsudin Haris (2017). Dipetik April 27, 2018 dari http://nasional.kompas.com/read/2017/09/19/07

41

000031/hingga-september-2017-5-kepala-daera h-terjaring-ott-kpk-siapa-saja-mereka?page=all.

The Gecko Project dan Mongabay. (2018). Dipetik April 28, 2018, dari http://www.mongabay.co.id/2018/04/18/tangan- tangan-setan-bekerja-kesepakatan-lahan-di-bali k-jatuhnya-akil-mochtar/

KPK. (2017, Oktober). Infografis. Dipetik April 28, 2018, dari https://www.kpk.go.id/id/.

KPK. (2017). laporan tahunan. Dipetik April 27, 2018, dari https://www.kpk.go.id/id.

42

Representasi Makna Pidato Presiden Soeharto Mei 1998: Sebuah Kajian Peningkatan Kesadaran Politik Generasi Muda Menjelang Pemilu 2019 Oleh: Rahmi Ramadhianti Zain (Magister Ilmu linguistik FIB UGM)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.Atas dasar

43 pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud,karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan

44

Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, kamis 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara Pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia yang juga adalah Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Jakarta, 21 Mei 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

PERISTIWA mei 1998 merupakan salah satu peristiwa yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Peristiwa yang mengakhiri rezim orde baru tersebut memang diwarnai dengan kejadian-kejadian yang memilukan. Tindakan-tindakan kriminal yang terjadi diberbagai kota merupakan ulah oknum-oknum yang memanfaatkan demonstrasi di berbagai kota, yang menuntut dilakukannya reformasi dalam berbagai lini kehidupan. Kejadian mei 1998 mengukir sebuah kesan

45 yang sangat buruk bahwa reformasi di Indonesia memang harus dibayar dengan pengorbanan para mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya.

Peristiwa mei 1998 tersebut memuat berbagai isu didalamnya, adanya isu kudeta oleh berbagai pihak, hingga isu tidak bersatunya petinggi-petinggi militer pada saat itu menyebabkan tidak optimalnya upaya pemerintah saat itu untuk mengatasi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dijakarta. Yang mana, hal ini berujung pada dikuasainya gedung DPR oleh mahasiswa yang menuntut terlaksananya reformasi.

Berkaitan dengan penguasaan gedung DPR oleh mahasiswa mei 1998, didalamnya terkandung cerita pengorbanan yang selama ini tidak begitu tersorot media. Pengorbanan hidupnya, pengorbanan cinta sejatinya, hingga fitnah terhadapnya. Dialah sang panglima, Prabowo Subianto yang selama ini tidak begitu tersorot media.

Di dalam buku biografi terbitan 2000 yang berjudul Jejak Perlawanan Begawan Pejuang Sumitro Djodjohadikusumo dipaparkan bahwa peristiwa didudukinya gedung DPR oleh mahasiswa mei 1998, disebutkan dalam buku biografi itu bahwa anak

46 presiden Soeharto Siti Hardiyanti Hastuti (tutut) dan Siti Hutami Endang Hadiningsih (mamik) marah-marah kepada Prabowo yang pada saat demonstrasi mei 1998 itu menjabat Panglima Kostrad

“kamu kemana saja dan mengapa membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR?”, Prabowo menyahut apakah dia harus menembaki para mahasiswa itu. Berkat jasa Prabowo yang membiarkan mahasiswa menduduki gedung DPR 1998, hal inilah salah satunya yang ikut berkontribusi membawa negara ini kepada arah perubahan baru, perubahan yang salah satunya membuat kita bebas berpendapat.

Perubahan menuju era reformasi yang ditandai dengan pidato pernyataan berhenti oleh presiden Soeharto mei 1998 dilatari berbagai konflik, isu dan permasalahan, sehingga bahasa pada pidato pernyataan berhenti presiden Soeharto mei 1998 tersebut merepresentasikan berbagai makna tersirat didalamnya. Hall (1977) dalam Puspita (2015) menekankan bahwa bahasa ialah hasil atau produk dari proses sosial yang terjadi, dimana dalam taraf yang sangat nyata, substansi dari bahasa ialah teks atau wacana. Puspita (2015) menyimpulkan dari teori Hall bahwa meneliti atau menganilisis wacana berarti

47 menganalisis penggunaan bahasa yang digunakan dalam mengkonstruksi wacana tersebut. Salah satu teori yang digunakan untuk menganalisis wacana ialah analisis wacana kritis (AWK). Analisis wacana kritis sendiri merupakan studi yang dikembangkan oleh Roger Fowler dan Gunther Kress. Fowler dan Kress (1979) dalam Puspita (2015) menjelaskan kharakteristik fundamental kritis pada interpretasi linguistik membongkar motif dibalik fakta yang memberikan arti sosial secara implisit. Berdasarkan konsep ini, Puspita (2015) merekomendasikan teori analisis wacana kritis Fowler dan Kress sebagai instrumen yang tepat untuk menyingkap kepentingan yang ditekankan oleh pembuat wacana.

Eriyanto (2009) dalam Puspita (2015), representasi ialah metode bagi individu, kelompok, gagasan atau pendapat tertentu yang dipaparkan dalam pemberitaan. Puspita (2015) menjelaskan bahwa representasi juga merupakan metode untuk mengungkap makna sebuah realitas karna sebuah wacana, individu, kelompok, gagasan direpresentasikan sebagai sesuatu yang baik atau buruk bergantung pada ideologi pembuat wacana tersebut, dan realitas ini direpresentasikan oleh

48 pembuat wacana melalui pemilihan bahasa tertentu yang menyimpan kepentingan atau motif dibaliknya.

Eriyanto dalam Puspita (2015) juga menjelaskan terdapat 2 proses dalam memaknai realitas, yaitu pemilihan fakta dan penulisan fakta, Eriyanto juga menjelaskan penggunaan fitur-fitur linguistik pada penulisan fakta menentukan bagaimana realitas disampaikan. Oleh karna itu, dalam menggunakan teori analisis wacana kritis untuk menganalisa representasi makna pada pidato presiden soeharto, maka analisa ini dilakukan melalui kata,kalimat dan informasi detil. Terlebih dahulu akan diidentifikasi strategi pemilihan fakta yang digunakan presiden soeharto dalam pidatonya. Hal ini dilakukan dengan menganalisa data-data kalimat yang berupa fakta .

Dalam pemaparannya, tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari proses analisa representasi makna dibalik pidato presiden soeharto menggunakan teori analisis wacana kritis Roger Fowler dan Gunther Kress. Dengan demikian, dalam tulisan ini hanya akan dipaparkan sampai pada tataran analisa pemaknaan realitas melalui proses pemilihan fakta dan penulisan fakta, sedangkan penjelasan penggunaan fitur-fitur linguistik yang berperan dalam bagaimana realitas itu

49 disampaikan tidak dipaparkan dalam tulisan ini. Hal ini karna limit konten tulisan dari penerbit. Berikut dikupas pembahasan strategi pemilihan fakta yang digunakan presiden soeharto dalam pidatonya.

Representasi Pertama ialah melalui pidatonya, Presiden Soeharto ingin melakukan suatu pembelaan kepada publik bahwa berhentinya Presiden Soeharto Saat itu ialah Semata-mata bukanlah karna ketidakoptimalan kepemimpinan Presiden Soeharto saat itu, Akan tetapi karena minimnya dukungan dari sekitar presiden Soeharto. Hal ini ditandai dengan suatu fakta yang disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya yang berbunyi “Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut” . Seperti yang diketahui publik saat itu, bahwa terdapat 14 menteri dari kabinet Presiden Soeharto yang tidak bersedia duduk di kabinet hasil rombakan.

Oleh Karna itu, fakta yang ada dalam pidato presiden menunjukkan representasi bahwa keputusan berhenti Presiden Saat itu ialah karna Minimnya Dukungan Dari Pihak Sekitar presiden Soeharto.

50

Representasi Kedua ialah bahwa adanya usaha Presiden Soeharto mempertahankan kepemimpinannya sebagai presiden. Hal ini ditandai dengan suatu kalimat fakta yang terdapat dalam pidato presiden Soeharto pada 12 mei 1998. Kalimat fakta itu berbunyi “demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII “. Mei 1998 terjadi demonstrasi di berbagai kota, pada 19 mei 1998, Presiden Soeharto memanggil beberapa tokoh seperti , Nurcholis Majid, Malik Fajar, KH Ali Yafie, dalam pertemuan itu, para tokoh membeberkan situasi terakhir bahwa massa tetap ingin Presiden Soeharto mundur. Tetapi presiden Soeharto menolak dan akhir nya mengajukan pembentukan komite reformasi, dikutip dari artikel cnnindonesia.com. Hal ini mengindikasikan adanya upaya presiden Soeharto dalam mempertahankan kepemimpinannya saat itu.

Representasi Ketiga ialah bahwasanya keputusuan berhenti Presiden Soeharto dari jabatan presiden indonesia saat itu didasari atas sikap secara sadar tanpa paksaan dari pihak manapun. Fakta

51 didalam pidato presiden tersebut berbunyi “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, kamis 21 Mei 1998”. Terlihat dari kalimat fakta tersebut bahwa dengan mempertimbangkan pasal 8 UUD 1945 (saat itu yang belum di amandemen),serta pertimbangan dari pimpinan dewan perwakilan rakyat dan para pimpinan fraksi yang ada, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang diambil oleh presiden soeharto adalah suatu keputusan yang diambil dengan pertimbangan logis, dan bahkan dengan melibatkan pertimbangan para stakeholder terkait. Oleh karna itu, hal Ini merujuk pada representasi bahwa keputusan berhenti yang diambil presiden Soeharto ialah secara sadar, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.

Representasi Keempat menunjukkan bahwa berhentinya Presiden Soeharto Sebagai Presiden Republik Indonesia Saat itu merupakan keputusan Presiden Soeharto untuk berhenti dan bukanlah suatu

52 pengajuan pengunduran diri presiden kepada MPR. Representasi ini ditandai oleh kalimat fakta yang berbunyi “saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, kamis 21 Mei 1998.” Representasi yang hadir dalam pidato ini ialah ingin menegaskan sesuatu kekuatan hukum dimana pidato pernyataan berhenti presiden soeharto bukanlah pengajuan pengunduran diri presiden kepada MPR, yang mana tidak perlu ada persidangan oleh MPR, karna pada saat itu presiden mandataris MPR.

Sebagaimana wawancara cnn pada 20 mei 2015 dengan Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara yang pada saat itu ditugaskan sebagai penulis naskah pidato presiden Soeharto 1998, Yusril dalam wawancaranya dengan cnn menyampaikan bahwa“mengingat saat itu, presiden memutuskan untuk tidak mengajukan pengunduran diri kepada MPR, tetapi menyatakan berhenti dari jabatan presiden (cnnindonesia.com). Dengan demikian, berdasarkan kalimat fakta yang ada pada pidato presiden Soeharto tersebut, hal ini merepresentasikan bahwa presiden Soeharto yang saat itu mengikuti saran Yusril Ihza Mahendra untuk menggunakan diksi berhenti bukan

53 mengundurkan diri untuk menutup pintu kemungkinan-kemungkinan kudeta oleh pihak tertentu yang saat itu ramai beredar di media, sehingga secara konstitusional kepemimpinan dapat dialihkan kepada BJ Habibie.

Hal ini karna pada saat itu menimbang pada pasal 8 yang menyebutkan bahwa jika presiden mangkat, berhenti, atau melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya. Dengan demikian, pemilihan diksi berhenti pada kalimat fakta pada yang dipaparkan di atas merepresentasikan strategi pemerintah saat itu untuk menghindari isu-isu kudeta oleh pihak-pihak tertentu dengan mengalihkan kepemimpinan kepresidenan kepada BJ Habibie secara konstitusional.

Kesimpulan terhadap representasi makna dibalik pidato presiden Soeharto mei 1998 menggunakan teori analisis wacana kritis dalam ilmu linguistik memaparkan beberapa representasi diantaranya adanya usaha Presiden Soeharto Untuk mempertahanakan kepemimpinannya sebagai presiden saat itu, berhentinya presiden Soeharto sebagai presiden saat itu karna pihak-pihak sekitarnya

54 yang tidak lagi mendukungnya yang salah satunya ditandai dengan penolakan 14 menterinya yang menolak duduk kembali di kabinet hasil rombakan presiden Soeharto. Ketiga, pernyataan berhenti presiden Soeharto dilakukannya secara sadar tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dan yang keempat ialah bahwa presiden Soeharto saat itu bukan mengundurkan diri melainkan berhenti sebagai presiden republik indonesia sehingga menutup pintu terhadap isu kudeta oleh berbagai pihak yang diisukan oleh berbagai media saat itu, yang mana representasi ini merujuk kepada pemilihan diksi tertentu supaya secara konstitusional jabatan kepresidenan dapat dialihkan kepada BJ Habibie.

Hasil representasi-representasi dalam analisis ini ditandai dengan strategi pemilihan fakta dalam pidato presiden, dan diindikasikan dengan pilihan kata yang berfungsi memarginalkan pihak yang tidak mendukung presiden serta menggunakan gaya bahasa metafora; menggiring opini publik bahwa situasi saat itu merupakan perkembangan bangsa serta menggunakan gaya bahasa eufisme, substansi argument pembelaan (fungsi kata pertarungan wacana). Yang mana dalam tulisan ini, hal ini tidak

55 dipaparkan secara rinci analisisnya dikarnakan limit tulisan oleh penerbit.

Analisis terhadap representasi makna pada pidato presiden Soeharto mei 1998 merupakan sebuah studi yang bertujuan mengingatkan kembali memori-memori kita pada kebangkitan bangsa ini menuju awal reformasi bangsa ini, yang salah satunya awal kebebasan bagi kita untuk berpendapat. Hal ini penulis tujukan sebagai bahan bakar motivator bagi bangsa ini, terutama kaula muda inteletual agar mengapresiasi perjuangan para pahlawan reformasi yang banyak gugur dan melanjutkan perjuangan mereka dengan ikut konsern menyambut pesta demokrasi yang dalam waktu dekat akan diadakan pada 2019 dengan mengetahui dengan jelas beradasarkan fakta, data dan analisis keilmuan dalam memilih pemimpin, bukan hanya sekedar termakan pencitraan media belaka, serta menjadi generasi-generasi milenial yang harusnya tidak cuek dengan kondisi dan perkembangan bangsa atau bahkan menjadi pelaku-pelaku golput.

56

Daftar Pustaka

Puspita,Ayunda riska. 2015.Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rangka Menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-69 (Analisis Wacana Kritis).Thesis.Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Kitab Undang-Undang Dasar 1945 https://news.detik.com.21 april 2014. Memori Awal kisah cinta Prabowo-Titiek Soeharto. https://www.cnnindonesia.com.21 mei 2015.Mantap Mundur, Soeharto rebut pulpen dari tangan Yusril

57

58

BAGIAN 2 LOKALITAS

59

60

Rasa Hayat Warisan Budaya dalam Bayang Modernitas Kota Surakarta Dennys Pradita (S2 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada) [email protected] Adi Putra Surya Wardhana (Sejarawan dan Pemerhati Cagar Budaya Kota Surakarta) [email protected]

eger sriwedari dan Pamedhan Mangkunegaran yang terjadi pada awal 2018 adalah bukti G bahwa tuna hayat warisan budaya kian menjangkit. Menurut pemberitaan, lahan yang pernah digunakan sebagai Taman Hiburan Rakyat Sriwedari

61 bakal dibangun sebuah Masjid Raya (Tempo.co, 29 Januari 2018). Pembangunan juga bakal menggusur sebuah joglo yang dibangun pada 1990-an dan digunakan sebagai ruang publik oleh wong Sala. Tentu pembangunan ini bakal semakin merusak Sriwedari yang menurut historis pernah menjadi sebuah Taman Kota berjuluk Kebon Raja. Kemudian, Pamedhan Mangkunegaran yang dahulu menjadi tempat berlatih Legiun, bakal dilapisi paving yang rencananya dijadikan sebagai lahan parkir (Solopos, 25 April 2018). Dua kasus ontran-ontran ini merupakan sebagian kecil dari berbagai macam kasus alih fungsi cagar budaya dan penghapusan warisan budaya yang terjadi hingga 2018 di Kota Surakarta. Virus ini bakal terus menyebar jika para pemilik otoritas hanya memikirkan kepentingan praktis dan ekonomis semata tanpa mempertimbangkan aspek sosial, historis, kultural, dan lingkungan.

Secara historis, Kota Surakarta merupakan bekas pusat pemerintahan dua kerajaan pecahan Mataram Islam, Kasunanan dan Mangkunegaran sehingga memiliki kekayaan peninggalan budaya. Sebagai salah satu pusat peradaban Jawa, Kota Surakarta memegang amanah untuk menjaga warisan budaya baik berwujud (tangible) maupun (intangible).

62

Namun, tugas ini tidak mudah. Seiring dengan perkembangan zaman, Kota Surakarta terus mengalami pembangunan. Modernitas kota pun berdampak pada eksistensi warisan budaya dan cagar budaya di kota ini. Konflik antara warisan budaya, cagar budaya, dan kepentingan pembangunan tidak dapat dihindari.

Menurut penelitian yang dilakukan Heri Priyatmoko dan Sri Asih (2010), ada beberapa kasus alih fungsi peninggalan sejarah di Kota Surakarta. Benteng Vastenburg hanya tersisa tembok dan gerbang utama saja karena barak-barak yang seharusnya ada di dalam benteng telah rata dengan tanah, malahan benteng pernah direncanakan sebagai pusat bisnis. Kemudian Gedung Societeit Harmony Lodji Wetan yang tergusur menjadi bangunan bisnis. Villa Park yang pernah menjadi kawasan elite pemukiman orang Eropa berubah fungsi menjadi monumen Banjarsari. Pada 1998, kawasan ini pernah menjadi pasar klithikan sebelum dipindah ke Semanggi. Lalu Kebon Raja Sriwedari mengalami banyak perubahan dengan pembangunan kawasan komersial. Ada beberapa kawasan yang pernah berdiri bangunan Rumah Sakit masa kolonial seperti Rumah Sakit Kadipolo, Rumah Sakit Mangkubumen, Rumah

63

Sakit Jebres telah kehilangan bangunan originalnya. Selain itu, bangunan bersejarah lainnya seperti Sono Harsono, Taman Tirtonadi dan Minapadi, dan beberapa bangunan lainnya juga mengalami nasib serupa. Malahan, masih banyak bangunan bersejarah yang belum berstempel bangunan cagar budaya sehingga rentan dengan perusakan.

Pemerintah sering mengaku kecolongan setelah terjadi aksi vandal. Aneh, alih-alih melindungi, mereka kadang turut andil dalam perusakan dengan beragam dalih hanya untuk mengejar nilai tambah ekonomi. Mereka memanfaatkan celah hukum yang kurang mengakomodasi warisan budaya yang berwujud cagar budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya (Pemerintah) dan Tim Pelestari Cagar Budaya (Akademisi) tidak mampu berbuat banyak karena kuatnya kepentingan sesaat dan kekuasaan modal.

Kepentingan praktis, pragmatis, dan oportunis masih menjadi pedoman. Mereka masih menganggap bahwa cagar budaya adalah soal romantisme kejayaan masa lampau. warisan budaya tidak selaras dengan percepatan dan pembangunan karena dianggap kuno. Tidak heran jika banyak elite dan masyarakat yang terjebak dalam pola pikir semacam ini sehingga

64 mengabaikan nilai penting cagar budaya. Nilai sosial budaya dilupakan. Tidak heran pula jika mereka mengalami amnesia sejarah, malahan mengidap schizophrenia karena tidak belajar dari masa lalu dan kearifan lokal yang direpresentasikan melalui warisan budaya, salah satunya adalah cagar budaya.

Pemerintah sejatinya telah membuat peraturan perundang-undangan untuk melindungi, menyelamatkan, dan melestarikan peninggalan- peninggalan yang menjadi warisan para leluhur. Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan:

“warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”

Undang-undang ini adalah pengganti dari Undang-undang nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Undang-undang Nomor 11 tahun 2010

65 tentang Cagar Budaya, 2010). Ini berarti, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah hanya mengakomodasi sifat kebendaan (tangible) cagar budaya saja. Peraturan perundangan justru luput menampung warisan budaya yang menurunkan cagar budaya. Inilah yang selalu dimanfaatkan para pemilik modal dan otoritas.

Menurut UNESCO, warisan budaya (heritage) adalah warisan generasi masa lalu berupa artefak fisik dan tidak berwujud (intangible) yang dipertahankan dan dianugerahkan kepada kelompok atau masyarakat generasi berikutnya untuk kepentingan di masa depan (http://www.unesco.org, diakses pada 25 Januari 2018). Menurut Marillena Vecco dalam artikel jurnal berjudul “Definition of Cultural Heritage: From the Tangible to The Intangible” (2010), kriteria Warisan Budaya mengalami perubahan setelah mempertimbangkan parameter selain sejarah dan nilai artistik dalam penetapan Warisan Budaya. Parameter tersebut di antaranya nilai budaya, nilai identitas, dan kapasitas objek untuk berinteraksi dengan memori kolektif. Oleh sebab itu, warisan budaya bukan melulu soal fisik dan material. Dengan kata lain, warisan budaya adalah segala sesuatu yang diwariskan dari generasi ke

66 generasi sebagai pengingat, perekam, dan reproduksi memori kolektif sebuah bangsa.

Sayangnya, definisi warisan budaya seperti ini belum masuk dalam peraturan perundang-undangan. Cara pandang pemerintah masih menitikberatkan pada fisik semata bukan memori, mentalitas, dan peninggalan lain yang tidak berwujud. Ini adalah celah. Atas nama modernitas dan modernisasi, warisan-warisan budaya digusur untuk memberi ruang kepada ruang-ruang komersial yang menguntungkan. Warisan-warisan budaya tergerus oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Benda-benda bernilai historis dan sosial digusur dengan alasan tidak termasuk benda cagar budaya. Kesenian tradisional diabaikan karena dianggap usang, tidak termasuk kriteria cagar budaya, dan tidak menguntungkan. Rakyat pun kehilangan peninggalan bernilai historis dan budaya.

Sesungguhnya, warisan budaya memiliki nilai yang dapat dijual secara ekonomi. Dijual yang dimaksud di sini bukan dengan meluluhlantakkan untuk dibangun sesuatu yang baru, tetapi pemanfaatan warisan budaya. Petronela (2016) menyatakan bahwa warisan budaya tak benda

67 menjembatani masa lalu, masa kini, dan masa depan sebagai kontinuitas dan perubahan struktur masyarakat dengan pengalaman seperti transisi dan transedensi. Warisan budaya tidak benda merujuk pada kekayaan pengetahuan dan kemampuan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya sebagai sebuah potensi ekonomi. Namun, nilai ekonomis warisan budaya agaknya dianalisa tidak terlalu menguntungkan dibandingkan dengan sesuatu yang komersial.

Restorasi Budaya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi diartikan sebagai pengembalian atau pemulihan terhadap keadaan semula. Oleh sebab itu, restorasi budaya dimaknai sebagai gerakan untuk memulihkan suatu budaya dan warisan leluhur yang telah luntur akibat berbagai macam bentuk tantangan. Tantangan-tantangan tersebut bisa disebabkan karena zaman, penetrasi budaya luar, dan meningkatnya sentimen SARA.

Warisan budaya merupakan wahana gerakan restorasi budaya. Warisan budaya sangat penting untuk menjaga dan menghidupkan identitas sebuah

68 bangsa. Melalui Warisan budaya, masyarakat dapat belajar tentang bagaimana para leluhur menghargai perbedaan. Warisan budaya adalah medium untuk mereproduksi ideologi kebangsaan dan toleransi yang terus tergilas laju globalisasi, puritanisme sempit, dan sektarianisme.

Restorasi budaya sebagai bentuk ngurip-urip rasa hayat warisan budaya dapat dilakukan dengan cara mengedukasi masyarakat tentang makna warisan budaya dan tidak berlaku vandal, melibatkan masyarakat dalam konservasi warisan budaya, sosialisasi melalui media (cetak, audio, visual, dan digital), mengajak partisipasi perusahaan dan investor, dan mereproduksi warisan budaya melalui berbagai macam media. Reproduksi warisan budaya dapat dilakukan dengan aktivitas dokumentasi, wisata cagar budaya (wisata minat khusus dan wisata komunitas), dan aktivitas kreatif-populer (misalnya komik dan game).

Restorasi budaya berbasis cagar budaya dapat disebarluaskan melalui lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, dan lembaga kemasyarakatan dan kerelawanan. Lembaga pendidikan mesti mampu mengedukasi arti penting warisan budaya kepada

69 siswanya dengan cara yang menyenangkan. Ini karena mempelajari masa lampau tidak melulu soal tahun dan nama tokoh sejarah tetapi tentang makna dari warisan budaya dan cagar budaya.

Lembaga pemerintahan memiliki peran strategis dalam menghidupkan cagar budaya karena otoritas regulatifnya. Lembaga pemerintahan yang terdiri dari lembaga kesejarahan dan cagar budaya berperan penting dalam perencanaan, pengelolaan, pembinaan, edukasi, dan konservasi terhadap warisan budaya. Selain itu, lembaga pemerintahan juga memiliki dana yang dapat digunakan untuk melestarikan, mereproduksi, dan mengembangkan warisan budaya agar bermanfaat bagi masyarakat.

Lembaga kemasyarakatan dan kerelawanan merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap warisal leluhurnya. Peran serta lembaga kemasyarakatan dan kerelawanan dapat meningkatkan rasa hayat cagar budaya karena masyarakat turut terlibat aktif dalam konservasi dan reproduksi cagar budaya. Perasaan ikut memiliki membuat warisan budaya sebagai warisan leluhur menjadi lebih hidup dalam kesadaran dan ketidaksadaran masyarakat untuk memupuk rasa toleransi, berbudi luhur, dan

70 bernalar merdeka. Sudah saatnya, mindset fisik (tangible) dalam definisi cagar budaya dirubah dengan mengakomodasi yang tak berwujud (intangible) dalam bingkai warisan budaya. Dengan demikian, warisan budaya dapat terus terjaga dan berkembang.

Daftar Pustaka http://www.unesco.org, diakses pada 25 Januari 2018

Petronela, T. (2016). The importance of the intangible cultural heritage in the economy. Procedia Economics and Finance, 39, 731 – 736. doi:10.1016/S2212-5671(16)30271-4

Priyatmoko, H., & Asih, S. (2010, December). Vandalisme Bangunan Bersejarah dan Ruang Publik di Kota Solo. Patrawidya, Vol. 11 No. 4, 789-819.

Solopos, 25 April 2018

Tempo.co, 29 Januari 2018

Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya

71

Vecco, M. (2010). A definition of cultural heritage: From the tangible to the intangible. Journal of Cultural Heritage, 11, 321–324. doi:doi:10.1016/j.culher.2010.01.006

72

Perkembangan Islam Pasca Orde Baru Oleh: Hidayatullah Rabbani Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM

ISLAM di Indonesia pada perkembangannya memiliki tingkat pluralitas yang tinggi, hal tersebut terlihat jelas dengan adanya berbagai macam faham dan gerakan Islam yang ada di Indonesia. Pasca Orde Baru ketika pintu kebebasan berkumpul dan bersyarikat terbuka lebar. Maka, bisa disaksikan di tanah air mencuat beberapa faham gerakan Islam, baik yang bersifat radikal yang bernuansa politik di satu sisi dan tumbuhnya faham gerakan Islam yang bersifat liberal yang mengutamakan rasio di sisi lain. Sementara di sisi lain terdapat faham gerakan Islam yang bersifat sufistik

73 bernuansa spiritual dan moral untuk memperkokoh tataran prilaku kehidupan sosial yang harmoni, santun dan toleran.(Tolkhah,ed., dkk, 2007:7).

Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, akar pluralitas faham gerakan Islam di Indonesia telah ada sejak pra kemerdekaan, yang ditandai dengan hadirnya gerakan-gerakan organisasi Islam seperti , Nahdlatul , Syarekat Islam, Persatuam Islam (Persis), Al Irsyad, Joung Islamiten Bond, dan Ahmadiyah, dan lain-lain. Pasca Indonesia merdeka pluralitas paham gerakan semakin kompleks, yang ditandai dengan munculnya partai-partai politik Islam, seperti Masyumi, PSII, Perti, yang memiliki basis massa pada organisasi-organisasi Islam yang ada pada masa pra-kemerdekaan. Pada perkembangan selanjutnya keberagaman perkembangan gerakan Islam semakin tajam dan bernuansa “politik”, seperti (DI), Tentara Islam Indonesia (TII) dan Negara Islam Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah gerakan Islam ekstrim, radikal dan fundamentalis. Di samping itu, muncul pula organisasi-organisasi yang berkembang di lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang tidak berafiliasi ketat pada salah satu

74 faham keagamaan yang dikembangkan oleh organisasi Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.(Tolkhah,ed., dkk, 2007:9 ; Sukamto, 2008: 12-13).

Adanya pluralitas paham dan gerakan Islam dalam sejarah Indonesia membawa konskuensi lain ketika faham-faham yang berbeda tersebut berbenturan, terutama ketika penganut faham-faham gerakan keagamaan tersebut masuk dalam ranah politik, baik yang hanya dimanfaatkan maupun ikut secara langsung memperebutkan posisi kekuasaan politik, baik di lingkungan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Namun, benturan yang seringkali muncul kepermukaan yaitu ketika berhadapan dengan faham-faham dari organisasi yang berasaskan nasionalis, komunis dan sosialis, bahkan dengan penganut faham keagamaan lain atau juga terhadap penganut faham yang berasasakan Islam pula. Hal tersebut, membuat kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak stabil dan akibat lainnya pembangunan menjadi tersendat-sendat. Faktor benturan antarideologi inilah yang kemudian oleh penguasa Orde Baru berusaha melakukan de pluralisasi, homogenisasi ideologi terhadap gerakan-gerakan sosial-politik, termasuk gerakan-gerakan keagamaan, dengan strategi

75 pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Semua organisasi ketika itu diharuskan mengunakan Pancasila sebagai dasar organisasinya. Konskuensinya, organisasi sosial dan politik yang tidak menggunakan asas tunggal dilarang atau beralih ke gerakan bawah tanah. Pada masa Orde Baru, gerakan Islam yang bernuansa radikal tidak nampak berkembang, tetapi faham gerakan Islam yang bernuansa sufistik tetap subur dan benih-benih faham keislaman liberal mulai berkembang.(Tolkhah,ed., dkk, 2007:9).

Setelah berakhirnya era Orde Baru pada Mei 1998, muncullah era baru yang di dikenal dengan istilah Reformasi. Era reformasi oleh beberapa pengamat dipandang sebagai situasi yang kondusif bagi kemunculan berbagai gerakan sosial, politik dan keagamaan di Indonesia. Hal ini juga merupakan salah satu faktor mencuatnya berbagai faham dan gerakan keislaman dengan berbagai nuansa seperti radikal, sufistik dan liberal.

a. Gerakan Islam Radikal

Menurut Tolkhah, radikalisme keagamaan muncul karena aksi-aksi yang mereka lakukan

76 ditenggarai memiliki ciri radikalitas yang melekat seperti pemilikan kepemimpinan dan pengorganisasian yang karismatik, kepedulian purifikasi keyakinan dan perilaku, pengajaran konsep kejihadan (martyrdom) serta terutama karena adanya pandangan organisasi yang ingin melakukan transformasi pandangan hidup bangsa, dan sebagian kegiatan yang dilakukan terkesan keras tanpa kompromi, main hakim sendiri dan bahkan merusak.(Tholkah, 2002).

Gerakan Islam yang masuk dalam kategori radikal menurut Sukamto yang di bentuk sekitar kejatuhan Orde Baru yaitu Front Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah (FKASWJ) yang dikenal dengan -nya, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah al-Ikhwan al-Muslimin (JAMI), Jamaah Islamiyah (JI), dan Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI). (Sukamto, 2008: 22).

b. Gerakan Islam Sufistik

Gerakan ini lebih berorientasi kepada pengayaan batin, pembersihan diri, perbaikan moral dan cenderung mengurangi

77 keterlibatannya dalam dunia politik praktis. Gerakan sufistik yang lahir pasca Orde Baru, gerakannya dapat di saksikan melalui majelis-majelis zikir yang biasanya dihadiri hingga ribuan massa sambil beratap tangis atau bersholawat kepada Allah SWT, seraya introspeksi diri atas pelbagai kekeliruan yang telah dilakukan. Para jamaah dzikir pun bukan dilakukan oleh kalangan Muslim pedesaan yang terbiasa menyelenggarakan acara tahlil dan dzikir di masjid-masjid, tetapi justru dilakukan oleh masyarakat Muslim perkotaan dari berbagai lapisan sosial, dan tidak jarang dari mereka adalah kalangan profesional. (Tolkhah,ed., dkk, 2007:11). Contoh gerakan sufistik yang lahir pasca Orde Baru yaitu pimpinan Habib Munzir Almusawa, Manajemen Qolbu yang di pelopori , Majeis Zikir pimpinan Arifin Ilham, Wisata Hati yang di asuh . (Saefuddin, 2011).

c. Gerakan Islam Liberal

Faham dan gerakan Islam liberal yang berkembang di Indonesia menurut Fachry Aly dan Bactiar Effendi, terdapat sedikitnya empat

78 versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi dan neo-modernism. (lihat lengkapnya pada tulisan Ali dan Effendi, 1986). Namun, yang berkembang pasca Orde Baru yaitu gerakan Islam liberal versi neo-modernism yang mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. (Noviansi, 2013: 23). Kelompok ini berasal dari golongan muda Muslim yang mencoba “mendobrak” kebekuan pemahaman keagamaanyang telah sekian lama menjadi orientasi nilai, tetapi hanya merupakan jargon kosong yang mengalami kehampaan makna. Kelompok muda ini mencoba menyegarkan kembali nilai-nilai Islam dengan pemaknaan baru yang kontekstual. .(Tolkhah,ed., dkk, 2007:12).

Kelompok-kelompok yang masuk dalam gerakan Islam liberal diantaranya Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tokoh yang terkenal yaitu Ulil Abshar Abdala, Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) dengan tokoh utama adalah Masdar F. Mas‟udi dan Zuhairi Misrawi, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

79

Pasca Orde Baru, terdapat organisasi-organisasi keislaman lain yang masih terus hidup dan tumbuh serta fahamnya tetap eksis di Indonesia yaitu diataranya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Tarbiyah, maupun gerakan dalam bentuk partai politik yang berasaskan Islam seperti Partai Keadialn Sejahtera, PBB, PPP, PKB dan lain sebagainya.

Dalam perkembangannya pasca Orde Baru, pengikut antar gerakan dan faham keislaman terkadang bersatu dengan organisasi atau kelompok lain atau bahkan tidak melibatkan diri dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada, hal ini terjadi karena setiap gerakan atau faham akan bersuara sama apabila memiliki kesamaan kepentingan, namun jika tidak sama terkadang saling bertentangan atau bahkan tidak melibatkan diri. Seperti contoh sepanjang kurun waktu 1998-2017 terdapat aksi-aksi yang dilakukan umat Islam yang menarik ribuan massa, diantaranya demonstrasi besar-besaran mendukung terlaksananya Sidang Istimewa MPR 1998, Aksi sejuta umat di Monas 7 Januari 2000 terkait solidaritas ormas-ormas Islam terkait kasus konflik di Ambon pada 2000, aktif menuntut Presiden Abdurrahman Wahid lengser dengan aksi demonstrasi yang intens dilakukan dalam

80 kurun 2000-2001, demonstrasi di kedutaan Amerika Serikat menentang invasi Amerika ke Irak pada 2003, Aksi sejuta umat menentang agresi Israel atas Palestina dan Lebanon pada 6 Agustus 2006, Aksi demonstrasi meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah pada 9 Juni 2008, dan yang terbaru rangkaiaan aksi bela Islam di akhir tahun 2016 yang dikenal aksi 212 tentang penistaan agama.

Pemerintah era reformasi dalam menanggapi setiap gerakan dan faham yang berkembang serta aksi-aksi yang dilakukan hanya bertindak sebagai pengontrol agar tidak terlewat batas yang mengganggu kestabilan nasional. Dalam beberapa kasus pemerintah menerapkan kontrol tegas terhadap gerakan dan faham yang mengganggu keutuhan NKRI, misalnya terlihat pada Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 untuk memperbaharui UU No. 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan yang kemudian di sempurnakan dengan Perppu No. 2 Tahun 2017. Sebagai contoh organisasi gerakan yang ditindak tegas pemerintah yaitu Hizbut-Tahrir Indonesia yang di bubarkan pada tahun 2017 lalu.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini memberi pesan bahwa seharusnya Umat Islam saat ini lebih fokus

81 pada kemajuan bangsa dan saling bekerja sama walau berbeda pandangan dan faham keislamannya agar keutuhan bangsa dan negara terus terjaga, karena tantangan Indonesia sebagai sebuah bangsa kedepannya akan lebih berat. Salam...

Daftar Pustaka

Imam, Tholkah dan Affiah, Neng Dara. 2007. Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam. Cetakan ke II. Jakarta: Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.

Sukamto. 2008. Dinamika Politik Islam di Indonesia: Dari Masa Orde Baru Sampai Masa Reformasi. Bandung: Enlightenment.

Imam, Tholkah, Krisis Sosial dam Kebangkitan Gerakan Radikalisme Keagamaan Era Reformasi di Indonesia, Dialog, No. 54, Tahun XXV, 2002. Dalam Jungjungan Simorangkir, Islam Pasca Orde Baru, Istinbath, No. 16, Tahun XIV Juni 2015, hal. 199-216.

Noviansi, Citra Nur., dkk. Jaringan Islam Liberal: Gerakan Liberalis Islam Serta Pergerakan dan Perkembangannya di Indonesia (20001-2010). Jurnal

82

Sejarah Lontar, Vol. 10, No. 1 Januari-Juni 2013, hal. 16-31.

Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Sukma, Rizal. 2007. Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia. Jakarta: CSIS.

Pijpe. 1984. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UIP.

Azra, Azyumardi.1999. Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Grafindo Persada.

Tentang Islam Sufistik bisa di lihat di laman www.islamsufistik.com milik Lembaga Pengembangan Islam Sufistik.

Saefuddin, Didin. 2011. Islam di Indonesia Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Dalam http://azies-site.blogspot.co.id/islam-di-indonesia-mas a-orde-lama-orde.html?m=1 di akses pada 11 Mei 2018.

Ali, Fachri dan Effendi, Bachtiar. 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.

83

https://tirto.id/pasang-surut-aksi-ormas-islam-se telah-reformasi-b1NZ di akses pada 11 Mei 2018

84

Kepala Daerah yang Berpihak Pada Lokalitas dan Kemandirian Daerah: Sebuah Kajian Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I. Yogyakarta Oleh: Agustinus Imam Saputra Mahasiswa Program Dual Degree Master of Accounting UGM dan Master of Business, Victoria University of Melbourne

TUJUAN utama pemerintah daerah ialah untuk menciptakan masyarakat adil makmur dan sejahtera. Demi tujuan tersebut pemerintah daerah melakukan pembangunan di segala bidang sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang

85 yang telah ditetapkan. Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perekonomian dan mencapai target pertumbuhan yang telah direncanakan setiap tahun dengan tiga aspek utama pro-poor, pro-growt, dan pro-job. Apabila ekonomi dapat tumbuh sesuai dengan yang direncanakan maka diharapkan akan tercipta lapangan kerja baru yang diperlukan untuk menyerap tenaga kerja sehingga akan mengurangi pengangguran. Meminimalisir angka pengangguran maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan suatu daerah dapat dicapai dengan optimal.

Kulon Progo merupakan kabupaten yang sejak hampir satu dekade lalu berusaha untuk mewujudkan pembangunan masyarakat yang pro-poor, pro-growt, dan pro-job dengan mengutamakan kemandirian daerah. Di awali dengan penerbitan Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Wajib Pajak Cabang/Lokasi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Tujuan yang melatarbelakangi peraturan tersebut adalah semangat untuk mengutamakan unsur kedaerahan dalam pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah. Semangat kedaerahan tersebut tidak lepas dari political will kepala daerah untuk memajukan masyarakat dan daerahnya.

86

NPWP Lokasi

NPWP Lokasi dapat dikatakan sebagai kolaborasi antara Pemda dan Ditjen Pajak dalam mewujudkan penerimaan pajak yang optimal. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, penerimaan negara dari PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah dimana wajib pajak terdaftar. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor Nomor SE-23/PJ.43/2000, pemotongan PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26 antara lain adalah pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, bentuk usaha tetap, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan. Pemotongan Pajak yang dilakukan oleh kantor cabang, perwakilan atau unit tempat pembayaran imbalan jasa ketenagakerjaan dimaksud dilakukan yang pada umumnya menunjuk pada tempat pelaksanaan pekerjaan, jasa dan kegiatan;

Maka sangatlah tepat bila bahwa dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak yang terkait dengan alokasi dana perimbangan bagi Pemerintah Daerah

87 serta sebagai bentuk kepedulian dan peran Wajib Pajak terhadap penerimaan Negara, maka pelaksana/rekanan pemenang tender pada kegiatan pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kulon Progo diwajibkan mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Cabang/Lokasi.

Kepala daerah membutuhkan peran serta segenap masyarakatnya untuk bergotong royong memastikan proses pembangunan berjalan dengan lancar. Peranan yang dapat dilakukan adalah dengan turut serta menjadi wajib pajak dan membayar pajak sesuai dengan kemampuan berdasarkan Undang-undang. Membayar pajak adalah salah satu cara untuk berbakti bagi tanah air tempat kita hidup dan berkembang sebagai satu bangsa. Bila dulu para pendahulu kita berperang melawan kolonialisme bangsa asing demi kemerdekaan, sekarang saatnya semua turut serta membayar pajak demi terciptanya kesejahteraan bersama.

Bela-Beli Kulon Progo

Pada pertengahan 2013, untuk mengangkat perekonomian Kabupaten Kulonprogo, Hasto Wardoyo, Bupati Kulon Progo meluncurkan program

88

"Bela & Beli Kulonprogo". Gerakan dimulai dengan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pelajar dan PNS di sana mengenakan seragam batik gebleg renteng, batik khas Kulonprogo Jumlah pegawai instansi yang berada di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2016 sebanyak 10.476 pegawai. Dari total pegawai di Kabupaten Kulon Progo sebanyak 2.852 orang merupakan pegawai instansi vertikal dan 7.624 orang merupakan pegawai pemerintah

Kabupaten Kulon Progo. Jumlah pegawai negeri sipil yang membeli batik lokal mamicu sentra kerajinan batik untuk tumbuh pesat, dari cuma 2 menjadi 50-an. Selain itu bupati mewajibkan setiap PNS membeli beras produksi petani Kulonprogo, 10 kilogram per bulan. Bahkan beras raskin yang dikelola Bulog setempat, kini menggunakan beras produksi petani Kulonprogo. Pemerintah Kulon progo juga membuat PDAM mengembangkan usaha, dengan memprodusi air kemasan merk AirKu (Air Kulonprogo). AirKu kini menjadi produk air minum kemasan kebanggaan warga Kulon Progo.

89

Pencapaian Kabupaten Kulon Progo

Salah satu indikator ekonomi dalam pencapaian tingkat kesejahteraan adalah aktifitas perputaran uang di suatu wilayah. Data Badan Pusat Statistik (Kulon Progo Dalam Angka 2017) menyebutkan bahwa realisasi pendapatan pada tahun 2016 sebesar Rp.180.273.363.594,69. Terdiri dari hasil pajak daerah sebesar Rp. 31.393.835.053,70, hasil retribusi daerah sebesar Rp. 9.857.662.642,63 dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp. 14.317.819.815,93 serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp. 124.704.046.082,43. Dibanding tahun sebelumnya, Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kulon Progo di tahun 2016 mengalami kenaikan atau surplus sebesar Rp. 9.451.037.036,35 (naik sebesar 5,53 persen). Demikian pula dengan dana perimbangan, tahun 2016 sebesar Rp 957.551.588.907,00 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015 sebesar 31,17 persen. Kenaikan ini mencakup kenaikan alokasi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan bagi hasil pajak/bukan pajak.

Data lain menyebutkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Atas

90

Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2013 yang sebesar 6,4 miliar meningkat menjadi 8,31 miliar di tahun 2016. Angka ini menggambarkan peningkatan produksi barang dan jasa masyarakat Kulon Progo dari tahun ke tahun. Angka penduduk miskin di kawasan Kulon Progo pada tahun 2010 tercatat sebesar 23,62 persen. Jumlah tersebut menyusut hingga pada tahun 2016 menjadi 20,30 persen. Kemajuan tersebut sebagai gambaran pencapaian yang diraih oleh pemerintah daerah Kulon Progo. Melalui political will kepala daerah, pembangunan yang mengedepankan local wisdom dapat menginspirasi warganya untuk bersama membangun daerahnya.

Pelajaran Yang Diperoleh

Kabupaten Kulon Progo memberikan contoh berharga tentang pembangunan daerah dengan mengutamakan potensi dan sinergi daerahnya. Kebijakan pimpinan daerah yang berpihak kepada masyarakat patut untuk dijadikan best practice oleh daerah lainnya. Terobosan yang luar biasa dengan menjalin kerjasama apik antar pemerintah daerah dan instansi pemerintah pusat (Ditjen Pajak) membawa citra hubungan yang harmonis antar tingkat

91 pemerintahan. Lebih lanjut, Bela-beli Kulon Progo membawa semangat kebersamaan dalam pembangunan daerah. Masyarakat bukan objek pembangunan namun subjek pembangunan. Siklus kesejahteraan masyarakat dan peningkatan penerimaan pajak harus terus dirawat. Dengan membayar pajak maka dana sebagai modal pembangunan akan terjaga kemudian pembangunan berorientasi kemandirian daerah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan penerimaan pajak. Suatu sinergi yang membawa dampak psostif bagi pembangunan daerah.

Daftar Pustaka

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

Surat Edaran Dirjen Pajak nomor Nomor SE-23/PJ.43/2000 tentang Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan PPh Pasal 21 Dan Atau Pasal 26

Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Wajib Pajak Cabang/Lokasi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa

92

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Kulon Progo Dalam Angka 2017, Kulon Progo, BPS Kabupaten Kulon Progo, 2017 https://news.detik.com/berita/3102031/bela-beli-kulo nprogo-spirit-dan-sukses-bupati-hasto-angkat-produ k-lokal tanggal 22 Desember 2015, diakses 23 April 2018 http://setwan.kulonprogokab.go.id/article-259-bela-b eli-kulon-progo-program-bupati-memilih-produk-lok al.html tanggal 13 Februari 2018, diakses 23 April 2018

93

Penguatan Institusi Lokal Untuk Pengawasan Pola Perilaku Koruptif di Level Pemerintahan Desa Oleh: Nuril Endi Rahman Program Studi Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

ANCAMAN terbesar bagi proses pembangunan sebuah negara ialah adanya penyakit sosial yakni perilaku koruptif yang melekat pada aparatur negara. Indonesia mengalami perjalanan panjang dalam proses pembangunan, dimana salah satu faktor kunci

94 penghambat pembangunan di Indonesia ialah perilaku koruptif yang begitu mengakar dan menjadi habit bagi aparatur negara. Perilaku ini muncul semenjak Orde baru berkuasa. Orde pemerintahan yang berfokus pada pertumbuhan, pembanguan ekonomi serta usahanya memeratakan kesejahteraan rakyat. Diiringi mentalitas korup dari pejabatnya. Dari skandal mega korupsi hingga kolusi keluarga penguasa yang menggurita di berbagai badan usaha negara.

Korupsi sendiri adalah masalah dunia. Tetapi di berbagai negara di dunia, korupsi paling banyak dijumpai di tingkat lokal, dalam pemerintah daerah. Sebagai contoh, menurut sebuah penelitian di Jepang, jumlah pegawai pemerintah provinsi tiga kali lipat jumlah pegawai pusat, tetapi kasus korupsi yang dilaporkan lima belas kali lipat dan jumlah pejabat yang ditangkap empat kali lipat (Ronald & Lindsey,2005:1).

Pasca reformasi merupakan awal perubahan menuju era desentralisasi, dimana pembangunan tidak lagi terpusat namun daerah-daerah diberikan otonomi untuk melaksanakan pembangunannya sesuai dengan arah pembangunan nasional. Era desentralisasi yang pada awalnya diprediksi akan menghadirkan

95 perubahan, namun pada realitasnya justru menunjukkan kondisi yang lebih parah dimana perilaku koruptif yang semakin melebar di daerah-daerah bahkan sampai di level desa, hal terebut selain disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum untuk tindak pidana korupsi, juga diakibatkan oleh lemahnya pengawasan pada elit-elit pemerintahan sehingga perilaku dan perbuatan korupsi sulit terkontrol dan diatasi. Penegakan hukum formal dalam memberantas korupsi menjadi kurang optimal mengingat lemahnya pengawasan.

Pada level pemerintahan desa, sebenarnya terdapat institusi lokal yang memiliki kekuatan untuk menjadi alat kontrol sosial bagi pemerintah. Desa-desa di Indonesia hampir sebagian besar memiliki institusi lokal baik itu berupa sebuah perkumpulan, paguyuban, maupun lembaga , dimana institusi lokal tersebut memiliki kedudukan sebagai pengawal jalannya suatu pemerintahan. Terlebih sejak disahkannya Undang-Undang Desa Th.2014, dimana dalam proses pembangunannya desa dituntut menggunakan pendekatan partisipatif, yakni pelibatan seluruh element masyarakat dalam pembangunan desa. Pola perilaku koruptif di daerah lebih bersifat laten dan massif, sehingga memerlukan peran multi stakeholders

96 untuk mencegah perilaku koruptif. Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana potensi institusi lokal yang dapat dijadikan alat kontrol sosial atau pengawasan pola perilaku koruptif di level pemerintahan desa.

Era Desentralisasi: Meluasnya Praktek Korupsi

Sejak berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999, pemerintah daerah lebih memilki kewenangan dalam melaksanakan pembangunan. Tujuan di implementasikannya Undang-Undang otonomi daerah ialah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan kemandirian dalam pembangunan. Namun sejumlah persoalan selalu menjadi penghambat dalam keberlangsungan pelaksanaan otonomi daerah, dan persoalan yang masih terjadi yakni penyakit sosial korupsi yang bahkan semakin meluas terjadi di hampir berbagai daerah. Undang-Undang Desa Tahun 2014, merupakan keberlanjutan dari otonomi daerah dimana desa diberikan kewenangan untuk lebih mandiri dalam menjalankan pembangunannya. Guna mendorong kemandirian desa, pemerintah telah menganggarkan dana desa yang jumlahnya sangat besar yakni rata-rata per desa bisa mendapatkan anggaran hingga 1 triliun, yang tergantung kondisi desa. Sejak pelaksanaan

97

Undang-Undang Desa Th 2014 dan dianggarkannya dana desa, hal tersebut menjadi isu besar dimana salah satunya ialah adanya potensi penyelewengan dana desa. Adanya kekhawatiran tersebut tidak terlepas dari lemahnya mekanisme pengawasan dalam mengawal dana desa, persoalan tersebut menjadi semakin nyata dengan terungkapnya sejumlah kasus di berbagai daerah khususnya desa yang kepala desanya menjadi tersangka atas korupsi dana desa.

Meskipun pada pelaksanaannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah dilibatkan, namun pada relaitasnya perilaku koruptif masih melekat pada pemerintahan desa mengingat lemahnya pengawasan secara intensif yang tidak hanya bersifat penindakan namun juga harus ada upaya preventif.

Tindak pidana korupsi memiliki definisi yang cukup luas seperti yang dijelaskan oleh Djaja (2008:4-5) terdapat empat definisi tindak pidana korupsi yakni; 1. Discreationey corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan. 2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa/maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu. 3. Mercenary corruption, ialah jenis tindak

98 pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. 4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discreanatory yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Perilaku koruptif pada level pemerintahan desa tidak terlepas dari adanya sebuah kewenangan atau kebebasan dalam melaksanakan pembangunannya, sehingga mendorong tindakan korupsi mengingat adanya kesempatan dan lemahnya kontrol, korupsi di level desa juga berkaitan dengan adanya motif keuntungan pribadi, hal ini tidak terlepas dari sistem pemilihan langsung kepala desa dimana pada proses pilkades calon kepala desa banyak mengeluarkan dana kampanye politik, sehingga ketika berhasil menjadi seorang kepala desa maka pengembalian dana kampanyenya akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan korupsi anggaran pembangunan.

Persoalan mendasar atas perilaku koruptif ialah lemahnya moral elit sehingga dengan mudahnya melakukan perbuatan korupsi, seperti yang dikemukakan oleh Lopa (2001:81-82) tentang korupsi, bahwa kelemahan sistem itu tidak berdiri sendiri. Ia, adalah produk dari integritas moral. Untuk

99 memperbaiki sistem tersebut tergantung pada integritas moral yang dimiliki oleh seseorang, karena yang dapat berpikir perlunya diperbaiki sistem, ialah orang yang bermoral pula.

Dengan demikian integrasi moral merupakan kata kunci dalam mencegah sebuah perilaku koruptif. Dan kelemahan moral itu juga secara otomatis melemahkan sistem pemerintahan di desa khususnya, dimana lemahnya kontrol sosial oleh sistem yang lain yakni element masyarakat menjadikan sistem pelaksanaan pemerintahan di desa terutama dalam pembangunan tidak transparan dan memberikan peluang untuk terjadinya perbuatan korupsi.

Urgensi Penguatan Institusi Lokal Sebagai Alat Kontrol Sosial

Strategi penegakan hukum korupsi melalui penegak hukum tentu memiliki keterbatasan dimana jumlah penegak hukum itu sendiri yang tidak sebanding dengan luas daerah dan jumlah desa yang ada di Indonesia. Untuk itu perlunya sebuah strategi yang lebih efektif dalam mencegah dan mengawasi potensi tindakan korupsi terutama di level pemerintah desa. Mengingat mayoritas desa-desa di Indonesia

100 memiliki institusi-institusi atau lembaga-lembaga yang didalamnya terdapat sistem norma, dimana sistem norma tersebut merupakan sebuah energy posistif untuk mengawasi potensi tindakan korupsi.

Dalam era pembangunan desa pada saat ini, partisipasi masyarakat merupakan kunci untuk mencapai tujuan pembangunan, termasuk dalam melakukan fungsi pengawasan pada pelaksanaan pembangunan agar berjalan transparan. Berdasarkan keterangan dari JICA (2005:4-5) pada tahun 2004-2006, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Jepang melalui Program Pengembangan Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat (PKPM), tujuan utama PKPM ialah pengembangan pemerintah lokal dan LSM-LSM dalam hal peningkatan kapasitas fasilitasi mereka di tingkat lokal khususnya di perdesaan. Dalam rangka membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan di semua level, penting sekali bagi pemerintah daerah, khususnya LSM-LSM lokal mendekati masyarakat lokal dan menginduksi masyarakat lokal untuk mengambil inisiatif dalam hal ini.

Peluang untuk institusi lokal dalam proses pembangunan sebenarnya telah terbuka lebar dengan

101 adanya berbagai regulasi yang telah diatur. Namun yang menjadi tantangannya ialah pelaksanaan di lapangan dimana masih terbatasnya fasilitasi terhadap institusi lokal untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan di desa, meskipun pada saat ini di desa telah adanya pendampingan namun pendampingan cenderung dilakukan hanya untuk membantu kerja pemerintahan, sedangkan aktivitas advokasi sosial terhadap masyarakat kurang mendapatkan perhatian.

Desa-desa di Indonesia memiliki banyak keragaman pada masyarakatnya yang terinternalisasi dalam sebuah instutusi/lembaga masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Cooley dalam Koentjaraningrat (1984:177) Allang, desa di pulau Ambon, dalam sistem sosialnya, memperlihatkan dua pola organisasi yang dapat dibedakan dalam yang asli dan yang sedang berkembang. Pola yang asli ini disebut demikian karena berlandaskan adat dan kekerabatan yang merupakan unsur-unsur pokok dalam tradisi yang diwarisi secara turun temurun. Pola yang berkembang terdiri dari bermacam unsur dan struktur yang diimpor dari berbagai sumber dan yang telah berkembang dengan baik sekali dalam kebudayaan Maluku. Termasuk contohnya; kongregasi protestan, sekolah

102 desa, dan perkumpulan-perkumpulan yang berasaskan gotong royong.

Masyarakat desa memiliki norma sosial dan aturan yang berlaku dalam kehidupan, seperti yang dicontohkan oleh Bachtiar dalam Koentjaraningrat (1984:214) Negeri Taram, masyarakat di Desa Minangkabau dimana hubungan sosial antara warga masyarakat desa sangatlah luas diatur oleh pola-pola ideal, yang umum dianggap sebagai keharusan dan mengandung peraturan lebih khusus. Sumber-sumber kekuasaan dari aturan itu, maka ada tiga golongan norma yakni; adat aseli, syariah islam, serta hukum dan peraturan dari negara Indonesia.

Contoh institusi lokal diatas memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat desa memiliki power dan modal yang berupa norma sosial yang menjadi pedoman hidup dimana norma-norma tersebut dilandasi oleh nilai-nilai agama dan berdasarkan Undang-Undang negara. Dalam hal pencegahan korupsi, institusi lokal tersebut perlu dilibatkan dan diperkuat keberadaannya yang disertai fasillitasi atau upaya penyadaran mengenai pentingnya transparansi dalam sebuah pembangunan guna meningkatkan kapasitas mereka, terutama kepekaan institusi lokal

103 dalam mengidentifikasi pola tindak korupsi pada pada pemerintah desa. Dan hal yang paling mendasar dimana norma sosial yang dimiliki adalah modal yang dimiliki untuk memperteguh moral dan menegakkan moral tersebut dengan ikut mengawal jalannya pembangunan yang bebas korupsi.

Dari sisi regulasi sendiri, kewenangan masyarakat/institusi lokal dalam melakukan pengawasan tindakan korupsi telah diatur dalam Undang-Undang No.3 Th 1999 dalam pasal 41 dan pasal 42 anggota masyarakat yang berperan serta dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diberikan perlindungan dan penghargaan oleh pemerintah. Dan ketentuan pasal 1 angka 1 peraturan pemerintah No.71 Th 2000 menyatakan bahwa: peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (Djaja,2008:162).

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi pada level pemerintahan desa, diperlukan suatu upaya yang kolaboratif dan multi stakeholders, dimana institusi lokal yang ada di desa

104 perlu dilibatkan dalam upaya pencegahan/pengawasan pola tindakan korupsi yang ada di desa. Dalam rangka penguatan institusi lokal, diperlukan suatu upaya yang berupa fasilitasi dari pihak terkait, dalam hal ini lembaga penegak hukum yang berwenang dalam tindak pidana korupsi dan lembaga-lembaga anti korupsi lain seperti Indonesian Corruption Watch ICW untuk memberikan upaya penyadaran terhadap institusi lokal guna menciptakan kepekaan dan daya kritis pada masyarakat, untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

Daftar Pustaka

Djaja, Ermansyah. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Grafika

Koentjaraningrat. (1984). Masyarakat Desa di Indonesia. Universitas Indonesia Depok

JICA & BAPPENAS. (2005). Membangun Inisiatif Lokal: Lokakarya Mataram dan Berbagai Respon Daerah Mataram. JICA: Jakarta

105

Lopa, Baharudin. (2001). Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas

Ronald,Maclean-Abaroa& Lindsey, H Parris. (2005). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

106

Nasionalisme dan Pemekaran Wilayah: Tinjauan Politik Memori dan Sejarah Lokal Oleh: Subandi Rianto Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM

Pendahuluan

NASIONALISME dan konsepsi kebangsaan seperti dua sisi mata uang. Saling mengisi satu sama lain, tetapi juga bisa saling bertolak belakang. Di belakangnya, sejarah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembentukan nasionalisme sebuah bangsa dan konsep-konsep kebangsaan. Barbara Tuchman

107 menyebut, sebuah negara tanpa ada sejarah di belakangnya. Maka tidak bisa membangun kebangsaan dan nasionalismenya.

Pertanyaan kritis selanjutnya adalah, apakah konsepsi nasionalisme dan kebangsaan mengenal kata paripurna. Atau dengan kata lain suatu saat akan berhenti pada suatu titik. Contohnya kita akan mengatakan dengan lantang konsep nasionalisme Indonesia berupa NKRI adalah harga mati. Pada faktanya, semenjak proses terbentuknya nasionalisme Indonesia masa kolonial dan kemerdekaan. dan jalan perjuangan nasionalisme berbeda antara satu golongan dengan golongan lain. Perbedaan ini tidak menutup kemungkinan terus terjadi di masa kontemporer dan akan datang.

Studi-studi mengenai nasionalisme dan kebangsaan Indonesia telah lama dilakukan para peneliti Amerika-Eropa. Bahkan semenjak Indonesia berdiri, analisis mengenai terbentuknya nasionalisme Indonesia terus dipublikasikan. Beberapa rujukan terpenting yang patut diketahui adalah George McKahin dalam Nationalisme dan Revolusi di Indonesia serta Audrey Kahin dalam Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Muhammad Natsir.

108

Di luar itu, Benedict Andersen, yang terkenal dengan Imagined Community meletakkan konsep-konsep dasar konsensus bernegara. Selain tentu karya utamanya mengenai revolusi kemerdekaan di Indonesia, yakni Revolusi Pemuda. Pada Revolusi Pemuda Benedict Andersen memperkenalkan kerangka nasionalisme Indonesia di bangun oleh pemuda-pemuda Indonesia. Bagi Andersen, gerakan perlawanan pemuda Indonesia adalah salah satu bahan bakar terbentuknya nasionalisme Indonesia pada fase kemerdekaan.

Selain studi yang lebih modern, sebenarnya pelacakan atas munculnya nasionalisme Indonesia bisa ditelusuri dari hal-hal yang makro. Semisal munculnya kaum perlawanan modernis Islam sepulang dari pendidikan di Makkah, Madinah dan Kairo. Kesadaran-kesadaran akan pan-islamisme membuat mereka melakukan perlawanan politik dan pendidikan kepada Kolonial Belanda (Alfian, 2010: 14-20). Studi soal ini dapat dilacak dengan munculnya Muhammadiyah dan beberapa gerakan islam di Sumatera dan Jawa.

Selain itu, beberapa historiografi juga menulis munculnya Nasionalisme Indonesia dipelopori dengan

109 adanya politik etis. Politik balas budi kolonial Belanda dengan melakukan pembangunan sarana pendidikan dan infrastruktur besar-besaran. Mereka-mereka yang terdidik di Belanda dan Eropa kemudian secara perlahan-lahan menggaungkan pentingnya membangun bangsa mandiri yang berdaulat. Realitas historis ini bisa kita telusuri dari berdirinya Budi Utomo di Hindia Belanda, Indische Vereneging di Belanda, diikuti serangkain organisasi-organisasi pergerakan lainnya.

Kembali pada persoalan kontemporer. Permasalahan nasionalisme Indonesia hari ini justru bukan terletak pada perbedaan tafsir. Tetapi keputusan-keputusan politik tanpa diimbangi perencanaan yang matang. Lebih berbahaya daripada sekedar perbedaan atas konsep tafsir. Putusan-putusan politik negeri ini yang tersentral, dikendalikan beberapa golongan dan cenderung menjadi oligarkhi di pusat ibukota Jakarta. Konsep-konsep otonomi daerah dan reformasi birokrasi lebih dari sekedar formalitas dan ritualisme belaka.

Salah satu kritik keras putusan politik yang berdampak pada nasionalisme di daerah adalah

110 pemekaran wilayah. Parlemen Indonesia beserta perangkat-perangkat kenegaraan dengan mudahnya menyetujui pemekaran wilayah. Dalihnya, pemekaran ini merupakan bagian dari undang-undang otonomi daerah. Dengan memberikan hak kekuasaan mengatur wilayahnya sendiri.

Hak desentralisasi ini awalnya terlihat bagus. Tetapi celah-celah kekurangannya semakin lama semakin tampak. Selain persoalan korupsi yang menjalar ke daerah, praktik kolusi, nepotisme dan dinasti politik menghegemoni seluruh daerah-daerah di Indonesia. Persoalan-persoalan ini semakin membuat kusut hubungan pusat dan daerah.

Pembahasan

Persoalan desentralisasi dengan memekarkan wilayah tidak memberikan solusi yang baik. Khususnya pada pemerataan kesejahteraan. Susanto Zuhdi dalam Nasionalisme, Laut dan Sejarah mengungkap bahwa pemekaran wilayah lebih didasari faktor primordialistik. Zuhdi mencontohkan bahwa usulan seorang tokoh Palembang mengganti nama Sumatera Selatan dengan Palembang Darussalam agar lebih menggambarkan subetnik Melayu-Palembang.

111

Pemisahan wilayah berdasar etnis ini telah dimulai lama sebelum reformasi seperti mekarnya Provinsi Jambi (1958), Lampung (1964), Begkulu (1967), Bangka Belitung (2001). (Zuhdi, 2014: 12).

Selain di Sumatera, isu serupa terjadi di Banten, Gorontalo dan Sulawesi. Bahkan di Sulawesi, pembentukan Sulawesi Barat didasari semangat etnis sangat kentara. Diawali apel besar generasi Mandar di Polewali-Mamasa. Mereka menyerukan sebuah kerinduan terbentuknya provinsi yang mengakomodasi etnis Mandar. Proses politik selanjutnya terjadi sebuah pemekaran pembentukan kabupaten baru, Kabupaten Polewali-Mamasa (Zuhdi, 2014: 11).

Selain isu primordialistik, pemekaran wilayah di daerah dipicu pemerataan kesejahteraan antar daerah yang timpang. Atau kecemburuan sosial keberhasilan daerah lain dalam mengelola wilayahnya sendiri. Zuhdi mencontohkan kasus Kabupaten Bengkalis yang memekarkan diri 6 kabupaten/kota hanya dalam waktu 6 tahun saja. Pemekaran ini diawali dengan benang kusut beberapa wilayah seperti Mandau memiliki sumber daya melimpah, tetapi hasilnya selalu didistribusikan ke daerah lain.

112

Bupati Bengkalis berdalih sumber pendapatan ini untuk pemerataan kesejahteraan. Menyumbang daerah yang memiliki sumber daya terbatas. Sementara daerah Mandau merasa otoritas pengeloaan sumber dayanya tidak adil. Mandau ingin menjadi kabupaten tersendiri, sementara Bupati Bengkalis menolaknya dengan menyurati pemerintah pusat (Zuhdi, 2014: 13-15).

Persoalan-persoalan yang disampaikan Susanto Zuhdi berakar dari perencanaan pemerintah yang kurang pertimbangan. Rencana prematur diburu-buru ego sektoral, etnisitas serta hegemoni kalangan oligarkhi. Konsekuensi yang terlihat nyata biasanya berupa kesejahteraan masyarakat tak terurus (anggaran terpakai untuk kelembagaan), kemiskinan tak tertangani, rendahnya reformasi birokrasi serta politik lokal semakin pragmatis.

Selain hasil-hasil diatas, ada sebuah persoalan terpendam yang meluap di kemudian hari. Persoalan ini adalah mengenai berubahnya politik memori dan sejarah lokal di daerah-daerah yang mengalami pemekaran wilayah. Perubahan ini dasarnya juga sama soal primordialistik dan ego kewilayahan.

113

Contoh paling nyata adalah usaha untuk mengubah sejarah-sejarah lokal, memperbaiki memori di masyarakat, serta menghadirkan sejarah yang lebih pro kelokalan. Seperti pembuatan hari jadi kabupaten/kota yang memakan biaya besar, perayaan hari jadi tingkat lokal, pendirian monumen-monumen lokal, serta usaha mendekonstruksi sejarah pembentukan sebuah kabupaten/provinsi.

Pernahkah anda membayangkan Maluku Utara selepas dari Maluku menuliskan cerita provinsinya sendiri yang berbeda dengan Maluku? Tentunya iya, dan semua daerah melakukannya. Penulisan ini didasari kebutuhkan untuk melegitimasi pendirian wilayahnya. Walaupun efeknya mendekonstruksi secara total. Maluku Utara adalah provinsi dengan mayoritas muslim. Sementara ketika bergabung dengan Maluku berbaur dengan beberapa agama lain. Tentu akan ada efek dalam re-historiografi ulang sejarah lokal.

Kasus ini tidak hanya terjadi di Maluku, tetapi juga di Sumatera dan Sulawesi dengan alasan etnis. Maka sejarah lokal yang ditulis pun akan mengedepankan ketokohan etnis dari kalangan tertentu. Penulisan-penulisan primordialistik ini secara tak

114 langsung mengkhawatirkan nasionalisme kesatuan. Daerah-daerah lebih penting mengurusi nasionalisme tingkat lokal dibanding kesatuan bersama dalam sebuah bangsa.

Penutup

Proses pengambilan keputusan politik berupa pemekaran wilayah tanpa didasari pertimbangan matang. Bisa berakibat fatal bagi konsepsi nasionalisme kebangsaan. Setidak-tidaknya secara teknis, daerah-daerah pemekaran mengalami ego sektoral, baik berupa etnis maupun ego lainnya. Di luar itu, daerah-daerah pemekaran akan sibuk melakukan re-historiografi sejarah lokal mereka. Seperti merumuskan hari jadi kabupaten/kota dan mencari tokoh lokal sebagai legitimasi politik pembentukan daerah. Tentunya proses ini akan banyak memakan biaya. Membuat keuangan daerah tercekik, dan mengabaikan program-program prioritas seperti kesehatan dan penanggulangan kemiskinan.

Selain dampak yang dijelaskan di atas, daerah-daerah akan mengalami defisit nasionalisme akibat ego primordial. Nasionalisme kesatuan sebagai sebuah bangsa direduksi dengan kepentingan

115 menaikkan kepentingan daerah/etnisnya. Proses membangun memori legitimasi daerah biasanya menegasikan memori daerah lain (sebelum pemekaran), atau provinsi lain dan sejarah nasional.

Pemekaran wilayah sejatinya bertujuan baik. Pemerataan kesejahteraan dan otonomi daerah membuka peluang kompetisi sehat antar daerah. Namun, riak-riak yang pernah terjadi ini harusnya menjadi catatan berbagai pihak untuk menimbang ulang pemekaran wilayah berlebihan. Menimbang masih luasnya daerah-daerah sebuah provinsi dan kabupaten. Potensi pemekaran akan terus terjadi bertahun-tahun kedepan. Implikasinya tidak hanya berupa efek ekonomi semata. Tetapi bisa lebih jauh, konsepsi nasionalisme akan tereduksi dengan nasionalisme lokal yang sempit, yakni primordialisme etnis.

Daftar Pustaka

Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah Terhadap Kolonialisme Belanda dalam BAB Islam dalam Politik Indonesia 1900-1942, Jakarta: Wasath Publishing, 2010

116

Mc Kahin, George. Nationalisme dan Revolusi di Indonesia, Cornell University, 1952.

Kahin, Audrey. Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Muhammad Natsir. NUS Press. 2012

Zuhdi, Susanto. Nasionalisme, Laut dan Sejarah. Jakarta: Komunitas Bambu, 2004.

117

Melepas Stigma Terorisme: Membangun Kembali Narasi Kota Damai Lamongan Oleh : Ulum Fasih Pascasarjana Ilmu Sejarah FIB UGM [email protected]

LAMONGAN merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur. Daerah ini cukup kecil jika dibandingkan dengan derah lain seperti Gresik, Surabaya, dan Malang. Pamor dari daerah ini juga kurang terkenal dari pada daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Sejarah Mencatat bahwa walaupun dearah

118

Lamongan merupakan wilayah yang berada dan berbatasan langsung dengan laut Utara Jawa tidak pernah disebut secara jelas perannya dalam dunia maritim. Bandingkan dengan daerah-derah perbatasannya yang justru merupakan daerah yang penting dalam dunia maritim pada zaman dahulu, seperti di bagian barat Lamongan yaitu Tuban, yang menjadi pelabuhan utama kerajaan Majapahit. Sedangkan di bagian timur Lamongan yaitu Gresik, merupakan daerah yang penting dalam perdagangan Nusantara sebagai pelabuhan terbesar hingga abad ke-18 Masehi (Suwardi, 1997: 72). Hal ini sungguh ironis mengingat daerah Tuban-Lamongan-Gresik merupakan satu jalur lurus di derah pantai utara Jawa. Namun demikian, walaupun Lamongan kurang memiliki peranan yang penting dalam dunia maritim di Nusantara, justru bagian pedalaman memerankan peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat waktu itu, beberapa peninggalan berupa prasasti ditemukan di pedamalam Lamongan, tepatnya di Biluluk dan Tanggulunan kerajaan Majapahit dapat ditemukan di daerah-daerah pedalaman di Lamongan, yang membuktikan bahwa Lamongan pedalaman dahulu digunakan sebagai daerah yang penting

119 khsusunya sebagai daerah administratif pemerintahan Majapahit.

Pada masa VOC Lamongan dikenal sebagai daerah pengahasil sekaligus pemasok barang-barang ekspor padi dan kayu. Dan juga salah satu dari daerah terpenting dari empat daerah lainnya seperti Surabaya, Sidayu, Gresik, dan Tuban sebagai daerah kekuasaan kolonial Belanda.5 Pada masa pemerintahan Belanda Lamongan masuk ke dalam bagian dari Karesidenan Gresik (1824-1864), sebelum kemudian beralih ke Karesidenan Surabaya (1864-1906). Tahun 1920 administratif Lamongan semakin berkembang dan hingga saat ini (2018) masuk dalam karesidenan Bojonegoro. Melihat hal tersebut, jelaslah bahwa Lamongan merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang kurang begitu mendapatkan peran penting atau bahkan kalah pamor dengan daerah lainnya, hal ini terbukti dengan keberadaanya sebagai daerah bagian dari Karesidenan.

5 Termuat dalam Makalah yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingakat II Lamongan berjudul Lamongan Memayu Raharjaning Praja, 1993.

120

Terkenalnya Lamongan dan Munculnya Stigma Negatif

Setidaknya pamor Lamongan menjadi terkenal karena dua hal: pertama, pada tahun 1983 pada saat terjadinya gerhana matahari total di Indonesia, daerah yang menjadi salah satu titik pusat gerhana matahari adalah Tanjung Kodok, Paciran Lamongan. Di daerah ini saat terjadi gerhana total merupakan daerah yang tepat berada di bawah garis tengah lintasan bayangan gerhana dan memiliki waktu kejadian yang pas ketika posisi tertinggi matahari (Tempo.co: 22 Januari 2016). Tidak mengherankan jika daerah ini digunakan sebagai titik pusat pantau fenomena langka yang hanya terjadi kurang lebih 300 tahunan tersebut, sekaligus digunakan sebagai pusat siaran televisi TVRI dalam penyiaran gerhana tersebut. Pemerintah pada waktu itu membentuk Panitia khusus Gerhana Matahari Total dan mengeluarkan berbagai aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang apada intinya masyarakat tidak diperkenankan keluar rumah melihat gerhana matahari total, sehingga kejadian gerhana matahari total tersebut disiarkan secara langsung di televisi, dengan harapan masyarakat bisa melihat fenomena tersebut tanpa harus keluar rumah. Setidaknya pada waktu itu Lamongan menjadi terkenal

121 tidak hanya pada tingakat nasional namun juga internasional, tercatat ada sekitar 30 ilmuwan yang dikirim oleh Amerika Serikat, 7 ilmuwan dari India, dan empat rombongan peneliti dari Jerman, mereka meneliti debu matahari yang berkisar di bidang eklipsika dan hanya terlihat di saat gerhana berlangsung (Tempo.co, 22 Januari 2016).

Kedua, Lamongan dikenal dunia setelah terjadinya serangkaian aksi terorisme yang dilakukan oleh warganya. Pada tahun 2002, terjadi peristiwa Bom di Bali yang merenggut nyawa 202 orang dan 209 orang cedera luka-luka baik Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri maupuan Warga Negara Asing (WNA), mengingat bahwa Bali merupakan destinasi wisata bagi para wisatawan mancanegara. Bom Bali tersebut dilakukan oleh tiga bomber asal Lamongan, yaitu Amrozi, Muhlis, dan Ali Imron. Ketiga orang ini merupakan penduduk asli desa Tergulun, kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan. Pada tahun 2013, terjadi peristiwa bom bunuh diri di kantor Polsek Poso yang kemudian setelah dilacak pelaku bom bunuh diri tersebut merupakan warga Lamongan bernama Zainul Arifin warga kelurahan Blimbing Kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.

122

Dampak dari terjadinya bom Bali dan juga bom lainnya itu tidak hanya berimbas bagi Indonesia yang kemudian dianggap sebagai negara teroris, namun lebih dalam lagi berdampak pada kota Lamongan itu sendiri. Maka kemudian stigma baru muncul dalam masyarakat Indonesia, bahwa Lamongan merupakan kota sarang teroris, sehingga orang yang memiliki identitas Kartu Tanda Penduduk yang berasal dari Lamongan patut dicurigai sebagai teroris, hal ini terjadi dimana-mana secara masif. Di tempat-tempat umum seperti bandara, terminal, pelabuhan, keberadaan orang Lamongan selalu dianggap sebagai teroris.

Pemulihan Identitas Dari Kota Teroris ke Kota Damai

Beberapa upaya dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat yang ada di Lamongan untuk melepas stigma negatif sebagai daerah sarang teroris menjadi kota damai. Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengawal para mantan teroris yang sudah insfah. Salah satu mantan teroris kombatan dan pentolan Jamaah Islamiyah yang ada di Lamongan bernama Ali Fauzi, ia terketuk hatinya untuk mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) setelah bebas dari penjara. Yayasan ini memiliki misi khusus

123 untuk menyadarkan para mantan narapidana teroris untuk kembali memiliki semangat dan cinta kepada tanah air dan memperjuangkan NKRI.

Yayasan ini bergerak dalam pendampingan mantan teroris untuk bersama membangun bangsa dan negara. karena sejatinya seseorang menjadi teroris salah satu faktor pembentuknya adalah krisis indetitas, bahwa ia merasa tidak memiliki peran dalam masyarakat, ia merasa hidup tidak ada tujuan.6 Maka untuk membangunkan semangat mendapatkan identitasnya diberikanlah pendampingan, dan juga diajarkan beberapa keterampilan bagi mantan narapida terorisme tersebut. Di samping itu, kegiatan yang paling utama dari YLP adalah dengan memberikan pendekatan dalam rangka deradikalisasi, hal ini memang suatu upaya yang kunci bagi membuka kembali pemahaman para mantan narapidana teroris untuk kembali ke jalur yang benar khususnya pemahan akan keislaman (Surya.co.id: 15 Mei 2018).

6 Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Prof. Noorhaidi, Ph.D. pada ceramah taraweh di UIN Jogjakarta pada malam ke-3 Ramadhan tahun 2018.

124

Yayasan Lingkar Perdamaian dalam kiprahnya telah banyak membina mantan narapidana teroris, tercatat kurang lebih sudah 88 orang yang mendapatkan pembinaan khusus dari YLP tersebut. Dengan berdirinya YLP dengan program-programnya tersebut, mendorong pemerintah untuk mendukung sepenuhnya YLP. Dukungan pemerintah (BNPT) Lamongan kepada YLP diwujudkan dengan memberikan bantuan mobil Suzuki APV kepada YLP sebagai sarana untuk meningkatkan program kerjanya serta terus menjaga keamanan bersama (TribunJatim.com: 23 April 2017). Di samping itu, pemerntah (BNPT) Lamongan terus melakukan pencegahan dan penanggulangan terorisme dengan meresmikan masjid dan TPA Baitul Muttaqien di desa Tenggulun Solokuro Lamongan yang merupakan desa teroris bom Bali Amrozi, hal ini sebagai wujud nyata BNPT hadir di tengah-tengah masyarakat dalam rangka memberikan rasa aman dan nyaman dari ancaman radikalisme dan terorisme (Tribunnews.com: 21 Juli 2017). Dengan dibangunnya masjid dan TPA di desa Amrozi maka semakin memperkuat nilai rasa kedamaian di Lamongan.

Kedua, upaya yang dilakukan oleh pemerintah Lamongan adalah melakukan kordinasi rutin gabungan

125 antara pemerintah, polisi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat serta para pemuda dalam pencegahan tindakan-tindakan terorisme. Upaya ini lebih merupakan tindakan preventif dari tindakan radikalisme dan terorisme di Lamongan, terbaru setelah terjadinya serangkain bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo tanggal 15 Mei 2018, sehari setelah kejadian tersebut tepatnya tanggal 16 Mei 2018 pemerintah Lamongan langsung melakukan kordinasi bersama antara toko lintas agama, polres Lamongan, serta tokoh agama dengan melakukan silaturrahim dalam rangka memerangi bersama aksi radikalisme dan terorisme, kegiatan ini merupakan sala satu bentuk keseriusan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat di lingkungan Lamongan terutama tokoh agama, tokoh masyarakat, Polri, TNI, dan juga pemerintah dalam rangka memerangi terorisme dan radikalisme (koranmemo.com: 16 Mei 2018). Melihat hal tersebut jelaslah bahwa ada upaya untuk melepas stigma negatif Lamongan sebagai kota teroris dan membangun identitas kota damai. Tanggap segera setelah terjadinya serangakain serangan bom di Surabaya menandakan pula bahwa pemerintah Lamongan seolah menunjukkan bahwa Lamongan adalah kota damai baik tempat maupun penduduknya.

126

Dengan dua upaya tersebut, masyarakat Indonesia secara keseluruhan kini melihat dengan jelas bahwa ada upaya untuk membangun identisa kota damai di Lamongan. Dan lebih lanjut bahwa Lamongan sama seperti kota-kota di Indonesia pada umumnya, tidak perlu ditakuti, bahkan dicurigai warganya sebagai teroris, melepas stigma negatif selama ini sebagai kota sarang teroris menjadi kota damai.

Daftar Pustaka:

Suwardi. 1997. Perkembangan Kota gresik Sebagai Kota Dagang pada Abad XV-XVIII: KajianSejarah Lokal Berdasarkan Wawasan Sosial Ekonomi. Surabaya: Unesa Press.

Tim Peneliti dan dan Penyusun Buku Lamongan Memayu Raharja Ning Praja. 1993. Makalah. Lamongan Memayu Raharja Ning Praja. Lamongan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan. koranmemo,com, 16 Mei 2018.

Surya.co.id, 15 Mei 2018.

Tempo.co, 22 Januari 2016.

127

Tempo.co, 22 Januari 2016.

Tempo.co, 22 Januari 2016.

TribunJatim.com, 23 April 2017.

Tribunnews.com, 21 Juli 2017.

128

Biodata Penulis

129

130

Achmad Sofyan, Lahir di Bogor 1 Mei 1990, Merupakan mahasiswa program Pascasarjana jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM. Menaruh minat dalam kajian sejarah agraria, gerakan sosial dan sejarah politik. Saat ini berkiprah dalam dunia komunitas di Yogyakarta, merupakan koordinator komunitas Jendela Jogja periode 2016 – 2018.

131

Agung Suryo Setyantoro adalah Peneliti Pertama pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatera Utara) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada Tahun 2006 menyelesaikan studi S-1 di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini sedang melanjutkan studi S-2 di Program Studi Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan melakukan penelitian dengan bidang peminatan pada antropologi politik. Korespondensi bisa melalui [email protected].

132

Agustinus Imam Saputra, Alumni Diploma III Penilai/Pajak Bumi dan Bangunan dan Diploma IV akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Karyasiswa Finance Education and Training Agency Scholarship Kementerian Keuangan, Program Dual Degree Master of Accounting UGM dan Master of Business, Victoria University of Melbourne. Praktisi perpajakan yang memiliki ketertarikan menulis di bidang keuangan negara, keuangan daerah dan perpajakan.

133

Cynthia Dewi Kusumastuti, Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 18 April 1995. Kuliah S-2 Hukum Ketatanegaraan Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta. Pernah sekolah di S-1 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (2017), Surakarta;. Memiliki pengalaman sebagai assisten Dosen dan assiten penelitain ilmiah sampai jurnal scopus. Kebijakan Pemerintah Terhadap ODHA, Koperasi, SNI, dll merupakan karya tulis dari hasil penilitian dengan Dosen selama S1. Pernah magang di BMBH Universitas Sebelas Maret dan Kejaksaan. Pernah menjadi assiten pendirian jurusan baru D4 Pencatatan Sipil Fakultas Hukum UNS Surakarta.

134

Dennys Pradita saat ini sedang menempuh Pendidikan di S2 Ilmu Sejarah UGM. Dennys tertarik dalam hal Sejarah Budaya, Sejarah Sosial, Sejarah Lingkungan, Conservation, Migrasi dan Diaspora. ([email protected])

135

Adi Putra Surwa Wardhana ([email protected]) adalah sejarawan sekaligus pemerhati budaya dan cagar budaya Surakarta memiliki ketertarikan pada Sejarah Budaya, Sejarah Sosial, Sejarah Pemikiran, Politik, Kebudayaan Pop, dan Kajian Budaya

.

136

Desto Prastowo kini tengah menyelesaikan studi S2 di Magister Administrasi Publik (MAP) Fisipol UGM melalui program beasiswa Pusbindiklatren BAPPENAS. Gelar S1-nya diraih di Fakultas Filsafat UGM dan saat ini bekerja sebagai PNS di Pemerintah Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Pria kelahiran Wonogiri pada 28 Maret 1981 ini beberapa tulisannya telah menghiasi kolom opini di Detik.com dan koran SOLOPOS.

137

Hidayatullah Rabbani, often called Rabbani, is a Researcher candidate of Research Center for Society and Culture at Indonesia Institute of Science (P2KK LIPI). He received a B.A from Diponegoro of University majoring History Science in 2015, and currently he is continuing graduate school in the program History Sciences, Faculty of Cultural Sciences at Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Indonesia. His research interest on local culture, agrarian conflict, post-new political history of the new order. Email: [email protected]

138

Nuril Endi Rahman adalah mahasiswa Pascasarjana Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Pendidikan Sarjana diperoleh di Universitas Jember Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik tahun 2016. Pengalaman karya ilmiah penulis yakni artikel dalam prociding The 4th International Conference On Indonesian Studies (ICSSIS) 2013 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan International Conference On National Philosopy (ICNP) 2013 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

139

Rahmi Ramadhianti Zain, lahir di Padang 12 April 1990. Merupakan awardee LPDP PK 86. Saat ini sedang menempuh studi magister di bidang linguistik, Universitas Gadjah Mada. Rahmi mempunyai ketertarikan pada bidang linguistik, sosial, politik. Tulisannya dalam buku ini mencoba menerapkan salah satu kajian dalam ilmu linguistik, yaitu analisis wacaan kritis yang dapat menyingkap representasi makna dibalik bahasa verbal seseorang. Rahmi dapat dihubungi di: [email protected]).

140

Subandi Rianto, adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM dengan beasiswa LPDP Kementerian Keuangan RI. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Ilmu Sejarah FIB Unair-Surabaya. Pengalaman organisasinya dimulai dengan menjadi Sekjend HIMA Ilmu Sejarah Unair hingga sebagai Menteri Kebijakan Publik BEM KM Unair 2012. Menjadi Pemakalah di Seminar Sejarah Nasional UGM 2017 dan Seminar Nasional Geografi UGM 2017. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Jawa Pos, Republika, Kedaulatan Rakyat, Radar Surabaya dan Tribun Jogja.

141

Ulum Fasih, lahir di Lamongan 12 Mei 1993. Merupakan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Menaruh minat pada kajian sejarah islam, sejarah sosial budaya dan sejarah lokal. Beberapa kiprahnya pernah berpartisipasi sebagai pemakalah dalam Seminar Sejarah Nasional di UGM Tahun 2017 dan Pemakalah di Kongres Maritim II di UGM tahun 2017.

142

View publication stats