ISSN : 0854-3232 SERI PENERBITAN FORUM ARKEOLOGI Volume 25 No. 2 Agustus 2012 No. Akreditasi 636/AU1/P2MBI/07/2011 Masa berlaku 27 Juni 2011 - 27 Juni 2013

KEMENTRIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF BALAI AEKEOLOGI DENPASAR 2012

95 96 KATA PENGANTAR

Dalam setiap terbitan Forum Arkeologi dilakukan upaya perbaikan terhadap kekeliruan, kekurangan yang terjadi dalam terbitan sebelumnya. Langkah ini dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dengan tetap mengacu pada aturan, petunjuk tentang karya tulis ilmiah dari LIPI. Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, yaitu bahasa dan bahasa Inggris, di mana dalam terbitan sebelumnya hanya menggunakan bahasa Indonesia. Forum Arkeologi volume 25 no. 2 memuat tujuh buah artikel yang terdiri dari empat artikel adalah hasil karya para peneliti Balai Arkeologi Denpasar, sebuah artikel hasil karya peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, sebuah artikel hasil karya peneliti Pusat Arkeologi Nasional , dan sebuah artikel ditulis oleh guru besar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana. Prof. DR. I Gede Parimartha membahas karakter bangsa melalui penelitian masyarakat Bali pada empat buah desa, dua buah desa di pedalaman dan dua buah desa di pesisir. Hasil penelitian memperlihatkan persamaan konsep yang berlaku umum di Bali seperti : tri hita karana, trikaya parisudha, trimandala, rwa bineda, dan sifat saling menghargai. Masyarakat pedalaman kental dengan sifat-sifat kekunaan seperti sistem hulu hapad dan nuansa homogen, sedangkan masyarakat pesisir memperlihatkan sifat heterogen dengan multikultur. Bertitik tolak dari 18 prasasti Luh Suwita Utami berupaya mengungkap jenis-jenis makanan pada masyarakat sekitar Danau Batur abad X-XIV. Berbagai jenis makanan tersebut tidak semata-mata dilihat dari sisi ekonomi untuk konsumsi semata, akan tetapi juga dari sisi nilai adat dan keagamaan. Dengan pengungkapan aneka panganan masa Bali Kuna diharapkan dapat dipakai untuk pengkayaan kuliner dewasa ini. Dengan menggunakan hasil ekskavasi di situs Tambora, baik berupa artefak, ekofak, fitur yang ditunjang berbagai laporan penelitian I Made Geria menguraikan peranan Kerajaan Tambora dalam percaturan perdagangan antar kerajaan-kerajaan lokal di Pulau maupun dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara bagian timur. Uraiannya, terutama berdasarkan atas variable komoditi, sumberdaya alam, dan aksesbilitas. Berdasarkan atas penelitian tinggalan arkeologi yang terdapat di kawasan Danau Beratan secara kualitas dan kuantitas menurut I Wayan Suantika sebagian besar merupakan sumberdaya arkeologi. Sumberdaya arkeologi tersebut sangat memungkinkan dikembangkan menjadi Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW). Untuk menuju ke arah itu perlu penanganan secara terpadu dengan melibatkan berbagai komponen mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Melalui beberapa tahap penelitian di Jatmiko memaparkan hasil penelitian terutama berdasarkan temuan berbagai artefak, fosil fauna seperti stegodon, buaya, komodo, dan kura-kura darat. Kehidupan di daerah cekungan Soa sudah berlangsung sejak kurun waktu pleistosen bawah-pleistosen tengah. Di situ pernah terjadi ajang aktifitas manusia purba. I Nyoman Rema memfokuskan penelitian pada sebuah relief jambangan bunga yang terdapat di Pura Puseh Kangin, Desa Carangsari. Berdasarkan perbandingan dengan relief-relief candi di Jawa, sumber tertulis, dan perilaku atau praktek-praktek keagamaan masyarakat Hindu di Bali dewasa ini, dijelaskan bahwa relief tersebut adalah melambangkan sumber kehidupan, kesucian, keseimbangan, dan kesinambungan alam semesta. Berbagai sumber data terutama prasasti Jawa Kuna, naskah, dan relief candi diteliti oleh Hary Lelono untuk mengungkap

iii berbagai jenis tindak kejahatan yang terjadi pada masyarakat Jawa Kuna. Dengan pengungkapan aspek-aspek kejahatan masyarakat Jawa Kuna diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu untuk mendapat masukan mencari akar permasalahan dalam upaya mencegah berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi dewasa ini. Sebagai akhir kata, kepada berbagai pihak diharapkan masukan demi kesempurnaan Forum Arkeologi sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Redaksi

iv Forum Arkeologi TH. XXIV No. 1 April 2011 (1 - 9)

ISSN : 0854-3232 SERI PENERBITAN FORUM ARKEOLOGI Volume 25 No. 1 April 2012 No. Akreditasi 636/AU1/P2MBI/07/2011 Masa berlaku 27 Juni 2011 - 27 Juni 2013

Editor : Prof. DR. I Gede Semadi Astra (Arkeologi Unud) DR. I Wayan Redig (Arkeologi Unud) Mitra Bestari : Prof. Riset DR. Dwi Purwoko (LIPI) DR. I Made Sutaba, APU (Arkeologi) Prof Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A (Sejarah Unud) Drs. I Nyoman Wardi, M.Si (Arkeologi Unud) Penanggung Jawab : Dr. Bambang Sulistyanto Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Pengarah : A.A. Gde Dalem Eka Darsana, SH Plt. Kepala Balai Arkeologi Denpasar Redaktur Pelaksana Ketua : Drs. I Made Geria, M.Si Sekretaris : Drs. I Gusti Made Suarbhawa Anggota : - Dra. Ayu Kusumawati APU - Drs. A. A. Gede Bagus Penerbit : Balai Arkeologi Denpasar Alamat Redaksi : Jln. Raya Sesetan No. 80 Denpasar 80223 Telp. (0361) 224703, 228661 Fax. (0361) 228661 Copyright @ : Balai Arkeologi Denpasar E-mail : [email protected] Cover Depan : Pura Pancering Jagat, Trunyan Forum Arkeologi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Terbit pertama kali pada bulan Januari 1988. Forum Arkeologi memuat hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan arkeologi dan kebudayaan yang dilakukan oleh peneliti, akademisi, dan pemerhati. Persyaratan naskah untuk Forum Arkeologi tercantum pada halaman belakang.

v vi ISSN : 0854-3232 SERI PENERBITAN FORUM ARKEOLOGI Volume 25 No. 2 Agustus 2012 No. Akreditasi 636/AU1/P2MBI/7/2011 Masa berlaku 27 Juni 2011- 27 Juni 2013

* I Gde Parimartha Karakter Bangsa Dan Aktualisasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali ...... 95 Character of the Nation and Its Actualization in The Life of Balinese People

* Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan di Balik Makanan dalam Prasasti Bali Kuna ...... 107 Social Aspects Behind the Foods Mentioned in Old Bali Inscriptions

* I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora Kajian Pendahuluan Hasil Ekskavasi Situs Tambora ...... 117 Trading Commodity of Tambora Sultanate A Preliminary Studies of Excavation Result at Tambora Site

* I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan ...... 131 Archaeological Tourism Potential at Beratan Lake

* Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (Homo Erectus) di Flores ...... 148 Trace Ancient Human (Homo Erectus) in Flores

* I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga di Pura Puseh Kanginan Carangsari Kecamatan Petang, Kabupaten Badung Studi Arkeologi-Religi ...... 159 Flower Vase Relief at Puseh Kanginan Carangsari Temple, Carangsari Village, Petang Subdistrict, Badung Regency an Etnoarchaeological Study

* T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah dan Relief pada Masa Jawa Kuna ...... 171 Types of Crime Based on Text And Relief from Old Period

vii viii ForumI Gde Parimartha Arkeologi TH.Volume Karakter XXIV 25 No.Bangsa No. 1 2 April Agustus2012 dan 2011 Aktualitasasinya (1 -(95 9) - 106) Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

KARAKTER BANGSA DAN AKTUALISASINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BALI

CHARACTER OF THE NATION AND ITS ACTUALIZATION IN THE LIFE OF BALINESE PEOPLE I Gde Parimartha Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana Email : [email protected] Naskah masuk : 8-5-2012 Naskah setelah perbaikan : 11-6-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 9-7-2012

Abstract Each community has a character as the values that is inherent in their daily life. The character gives traits in the way of thinking, behavior, infl uenced by a variety of input received from the environment. Therefore, instead of an existing character by nature, but rather the process of life is refl ected in his behavior. Thus the character of a nation is a long process of Indonesian people of which the data traces can be tracked from the past.This paper attempts to lift the national character of the people of Bali, which focused on four villages, in the category of rural villages and coastal villages. Four villages were: Village of Kayubihi and Bugbug (as rural village) and Kampung Baru Village and Kusamba (as coastal village). This study raised the questions: How is the national character refl ected and actualized in the public life ? Further, what factors are affecting the formation of the nation characters in the life of society ? Methodologically, this study tried to do a more comprehensive approach in the following aspects: historical, values, and the environmental community. In terms of method, this study applied qualitative methods, by taking some research steps: interviews, readings, recording, note taking, FGD, and interpretative analysis.The results showed that the character of the nation in the four villages shows similarity that the general concepts applied in Bali, such as: tri hita karana, tri kaya parisuda, tri mandala, desa kala patra, rwa bhineda, Unity in Diversity, Pancasila. While in particular, the remote villages show old tradition properties as the village inheritance, such as: ulu apad, homogeneous properties, hulu teben, the role of village kebayan, while in the coastal village is refl ected by the spirit of multicultural behavior, heterogeneous, mutual respect, and so other. The actualization is shown on people’s lives such as: on mutual understanding, consultation in the village, and the synergy of traditional and offi cial village services, worked together in mutual cooperation, each gives place to the interests of others. All the activities are affected by historical factors, the values of religion, nationality, and the environment. Key words: national character, the village system, a remote village, the beach village, local wisdom.

Abstrak Setiap kelompok masyarakat memiliki karakter sebagai nilai-nilai yang melekat dalam kehidupannya. Karakter itu memberi ciri pada cara berpikir, tingkah laku, yang dipengaruhi oleh berbagai masukan yang diterima dari lingkungannya. Karena itu, karakter sesuatu yang ada secara alamiah, melainkan hasil proses kehidupan yang tercermin dalam tingkah lakunya. Demikian karakter bangsa adalah merupakan suatu proses panjang bangsa Indonesia yang dapat dilacak jejak-jejaknya sejak masa lampau. Tulisan ini mencoba mengangkat karakter bangsa dari masyarakat Bali, yang terfokus pada empat buah desa, dalam kategori desa pedalaman dan desa pantai. Empat desa itu adalah: Desa Kayubihi dan Bugbug (sebagai desa pedalaman) dan Kelurahan Kampung Baru dan Kusamba (sebagai desa pantai). Penelitian ini mengangkat pertanyaan: Bagaimana nilai karakter bangsa

95 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 itu tercermin dan teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat ? Selanjutnya faktor-faktor apa yang memperngaruhi terbentuknya karakter bangsa dalam kehidupan masyarakat itu ? Secara metodologis dicoba melakukan pendekatan yang lebih komprehensif dari aspek-aspek: historis, nilai-nilai, dan lingkungan masyarakat. Dari segi metode, digunakan metode kualitatif, dengan melakukan langkah-langkah penelitian dengan wawancara, pembacaan, perekaman, pencatatan, FGD, dan analisis interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa karakter bangsa di empat desa itu, memperlihatkan persamaan konsep-konsep yang umum berlaku di Bali, seperti: tri hita karana, tri kaya parisuda, tri mandala, desa kala patra, rwa bhineda, bhineka tunggal ika, Pancasila. Sementara secara khusus, desa pedalaman memperlihatkan sifat-sifat kekunaan tinggalan desa, seperti: ulu apad, sifat homogeen, hulu-teben, peranan kabayan desa, sedangkan di desa pantai tercermin semangat menyama braya (multikultur), hetrogeen, saling menghargai, dan lain-lain. Aktualisasinya terlihat pada kehidupan masyarakat seperti: hidup saling memahami, musyawarah dalam desa, sinergi desa adat dan dinas, bergotong royong, saling memberikan tempat pada kepentingan yang lain. Sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: faktor sejarah, nilai- nilai agama, kebangsaan, dan keadaan lingkungan. Kata kunci: karakter bangsa, sistem desa, desa pedalaman, desa pantai, kearifan lokal.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang tumbuh dan memiliki bahasa yang satu, bahasa Indonesia”. berkembang dalam perjalanan sejarahnya yang Pernyataan, sumpah itu menunjukkan, betapa panjang. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai kesadaran berbangsa telah tumbuh subur, penuh suku bangsa, gugusan pulau, tradisi, bahasa, semangat untuk atas keinginan dan kesepakatan sistem pengetahuan, kepercayaan, karakter, bersama, membangun bangsa yang bebas dari dan lain-lain. Sebagai bangsa yang majemuk penjajahan. dan merdeka dari penjajahan, baru mulai sejak Cita-cita kemerdekaan baru dapat tahun 1945. Tahun itu dapat disebut sebagai hari dicapai pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan lahir Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia ke berdiri sama tinggi, sederajat dengan bangsa- seluruh dunia oleh Sukarno-Hatta. Selanjutnya bangsa lainnya di dunia. pada tanggal 18 Agustus 1945, ditetapkannya Kesadaran hidup berbangsa paling tidak Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalam telah ditanamkan pada awal abad ke-20. Hal itu Pembukaannya, dicantumkan dasar-dasar dipelopori oleh seorang Jawa, Sudiro Husodo, negara Indonesia merdeka yang diangkat yang membangkitkan semangat kebangsaan dari lima butir nilai Pancasila. Nilai-nilai itu sampai ke desa-desa di Jawa. Atas kesadaran disebutkan, yakni: (1) Ke-Tuhanan Yang Maha itu, dibangun Perkumpulan Budi Utomo tanggal Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 20 Mei 1908 dibawah pimpinan Sutomo, (3) Kebangsaan Indonesia (4) Kerakyatan yang ikut menggerakkan masyarakat, membangun dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam kesadaran berbangsa agar lepas dari penjajahan perwusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan yang menderitakan rakyat. Kesadaran dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh semangat itu kemudian mengental pada pencetusnya, lima dasar nilai itu telah digali Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober dari dalam bumi pertiwi Indonesia, dari nilai- 1928, dengan dikeluarkannya ikrar Sumpah nilai yang terpendam, tersimpan dalam lubuk Pemuda, yang berisi pernyataan, kebulatan hati masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ke tekad, ”berbangsa satu, ber tanah air satu, dan lima dasar nilai di atas dapat dimengerti sebagai

96 I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali nilai-nilai kearifan bangsa, karakter bangsa nilai karakter bangsa yang tersimpan di dalam Indonesia secara keseluruhan (Lihat Strategi kehidupan masyarakat. Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa, hal.15-18). Karakter bangsa atau disebut juga 1.2 Rumusan Masalah watak bangsa, dari sudut Antropologi, dapat Penelitian, ini bermaksud menggali dilihat sebagai watak kebudayaan atau gagasan nilai-nilai karakter bangsa dalam masyarakat koletif bangsa (Dananjaya, 1988: 69). Karakter Bali. Sejak dahulu penduduk Bali dimengerti bangsa atau yang disebut juga watak bangsa sebagai masyarakat yang memiliki nilai- menurut teori Antropologi Psikologi dapat nilai, pandangan hidup, praktek hidup yang dilihat sebagai watak kebudayaan atau gagasan sejalan dengan nilai karakter bangsa di atas. kolektif (Danandjaja, 1988 : 69). Berdasarkan Pertanyaannya adalah: (1) bagaimana nilai teori ini, maka penelitian mengenai karakter karakter bangsa tercermin dalam masyarakat bangsa dan nilai-nilai atau aktualisasinya Bali, (2) bagaimana aktualisasi dan peranannya dapat dilihat sebagai nilai-nilai budaya yang dalam kehidupan masyarakat di Bali ? (3) faktor- terkandung dalam watak kebudayaan atau faktor apa yang memperngaruhi terbentuknya gagasan kolektif masyarakat. Hal ini sejalan karakter bangsa dalam kehidupan masyarakat dengan pemahaman tentang karakter bangsa Bali ? Dari tiga rumusan pertanyaan itu, dicoba menurut Jero Wacik (2011 : vi) bahwa karakter mencari pemahaman tentang potensi karakter bangsa artinya akhlak, budi pekerti, watak bangsa yang ada di masyarakat, nilai-nilai, dan kepribadian yang menjadi ciri-ciri bangsa ide-ide, dan aktualisasinya dalam kehidupan berdasarkan nilai dan norma yang merupakan masyarakat Bali. budaya bangsa. Nilai-nilai itu menyebar, tersimpan dalam 1.3.1 Tujuan lubuk hati, kehidupan masyarakat Indonesia a. Memahami, mengidentifi kasi nilai-nilai yang plural, baik suku Jawa, Sasak, Makasar, karakter bangsa dan aktualisasinya dalam Bugis, Batak, Bali, maupun yang lain. Atas masyarakat Bali dasar itu, masyarakat yang majemuk ini dapat b. Mendeskripsikan nilai karakter bangsa dan dipersatukan, merasa bersama-sama memiliki aktualisasinya dalam masyarakat Bali nilai-nilai, landasan, pandangan hidup yang c. Mendorong upaya pelestarian, sama seperti tertuang dalam Pembukaan pengembangan, dan pemanfaatan nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945. Karakter bangsa karakter bangsa dalam kehidupan kolektif itu penting artinya dalam rangka persatuan masyarakat Bali. dan kesatuan bangsa, dalam satu perspektif ke d. Menggerakkan komitmen dan peran aktif Indonesiaan, menuju pembangunan masyarakat pelaku kebudayaan dalam upaya pelestarian, yang adil dan makmur. pengembangan, dan aktualisasi nilai-nilai Namun sekarang, muncul banyak konfl ik karakter bangsa, menuju kehidupan bangsa antar etnik, konfl ik di kalangan masyarakat. yang sejahtera. Terjadi konfl ik di Sambas, di Ambon, di Aceh, konfl ik di desa, dan lain-lain, sepertinya 1.3.2 Kegunaan memperingatkan kondisi kehidupan berbangsa a. Manfaat yang diharapkan adalah yang tergerus dari nilai-nilai yang dipasang di kegunaannya dalam rangka membangun awal kemerdekaan. Kondisi seperti itu tampak semangat integrasi bangsa, membangun menggugah bangsa dan pemerintah untuk kehidupan bangsa berdasarkan nilai-nilai melihat kembali akar-akar karakter yang terdapat kearifan lokal yang tersebar di seluruh di dalam masyarakat Indonesia. Tampak perlu wilayah Kepulauan Indonesia. lebih memahami dan menghayati kembali nilai- b. Diharapkan berguna bagi para pemegang

97 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

kebijakan, baik di pemerintahan maupun 1.5.2 Metode Penelitian dalam organisasi masyarakat untuk Metode yang digunakan dalam penelitian menghindarkan konfl ik yang tidak perlu. ini adalah metode kualitatif, subyek penelitian c. Berguna bagi kepentingan akademik, tidak dilihat sebagai sampel, melainkan sebagai sebagai upaya meluaskan bidang penelitian kasus-kasus yang memiliki ciri-cirinya sendiri. Meskipun demikian, berbagai keterangan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. kuantitatif juga digunakan untuk melengkapi daya analitis dari penelitian ini. Dalam 1.4 Kerangka Teori hubungan itu, sebagai teknik pengumpulan data, Yang menjadi sasaran penelitian di sini dalam penelitian dilakukan langkah-langkah: adalah empat buah desa di Bali, yang secara observasi, wawancara, pembacaan, perekaman/ teoritis, historis masing-masing termasuk desa pencatatan, dan FGD. Sumber-sumber yang dalam kategori: dua desa pedalaman dan dua dapat dimanfaatkan adalah: informan (dari desa pantai. Diasumsikan bahwa adanya desa- tokoh-tokoh masyarakat setempat), data desa itu dan karakter masyarakatnya, tidak lepas desa, bahan arsip, dokumen, dan peninggalan dari berbagai faktor seperti: faktor sejarah, nilai lainnya yang terkait dengan subyek penelitian. budaya dan lingkungannya. Oleh karena itu, Penentuan informan dilakukan secara snowball, yakni pencarian data dengan cara menemui dalam penelitian ini dilakukan pendekatan dari informan kunci terlebih dahulu, lalu diteruskan berbagai sudut seperti: historis, nilai-nilai dan kepada informan berikutnya sampai data yang lingkungan masyarakatnya. terkumpul dipandang cukup. Teknik analisis Secara teoritis dapat disebutkan, bahwa dilakukan dengan cara metode kualitatif, penelitian ini menggunakan teori hegemoni dari sehingga dengan model itu dimaksudkan bahwa Gramsci dan teori praktek dari Bourdeau, yang analisis telah dilakukan sejak awal penelitian. memberikan pemahaman mengenai berbagai Akhirnya melakukan sintesa, rekonstuksi fakta aspek yang mungkin berpengaruh, yang dikenal untuk membangun satu laporan tertulis. sebagai modal, seperti: modal ekonomi, modal budaya, politik dan modal simbolik. II. HASIL PENELITIAN DAN 1.5 Metode PEMBAHASAN 2.1 Hasil Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian Penyajian hasil penelitian dilakukan secara Sebagai subyek penelitian, yang menjadi deskriptif analitis, dengan membangun uraian perhatian dalam penelitian ini adalah: dua ke dalam bab-bab yang membagi pembahasan desa pedalaman, yakni, Desa Kayubihi di ke dalam sub-sub bab, dari pendahuluan sampai Kabupaten Bangli dan Desa Bugbug di dengan simpulan. Kabupaten Karangasem. Kedua desa terletak agak berjauhan, Kayubihi di daerah Bali Tengah 2.2 Pembahasan dan yang lain (Bugbug) di daerah Bali Timur. Dari hasil penelitian dan analisis data Termasuk desa pantai adalah: Desa Kampung yang dilakukan selama penelitian, dihasilkan Baru di Kabupaten Buleleng, Bali Utara dan suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang karakter dan nilai-nilai dari masyarakat Bali. Desa Kusamba di Kabupaten Klungkung, Bali Dimengerti bahwa nilai karakter bangsa yang Selatan. Masing-masing desa itu memiliki tergali dari penelitian itu, dapat disebutkan karakternya sendiri, sejalan dengan perjalanan sebagai satu bentuk kearifan lokal (Bali) yang sejarahnya dan sistem sosial masyarakatnya. sesungguhnya mendapat pengaruh dari keadaan Di samping itu, ada karakter yang bersamaan masyarakatnya masing-masing seperti: sejarah, dilihat dari nilai-nilai umum masyarakat di Bali. lingkungan, dan nilai sosial budayanya. Oleh Waktu penelitian dilakukan tahun 2011. karena itu, di sini muncul satu hasil yang di satu sisi memperlihatkan kekhasan karakter

98 I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali hidup yang dianut masyarakatnya yang satu banjar dinas (administrasi). Dari segi dapat dimengerti sebagai cerminan konsep budaya, tampak bahwa pola pemukiman Desa desa, kala, patra, dan juga terdapat nilai Kayubihi memperlihatkan bekas-bekas desa yang sejalan sebagai bagian dari masyarakat tua/pedalaman, yang berbentuk membujur Bali yang beragama Hindu atau Indonesia (linear) dari Utara ke Selatan, menempatkan secara keseluruhan. Semangat kebersamaan, pelinggih-pelinggih atau tempat suci di bagian menghargai orang tua, percaya kepada Tuhan hulu, Utara desa, sedangkan tempat-tempat Yang Maha Kuasa (Ida Hyang Widhi Wasa), konsep-konsep merupakan ciri umum yang pembuangan akhir, kuburan terletak di bagian nampak dari desa-desa yang diteliti. Selatan desa. Itu menunjukkan arah utara- Dalam penelitian ini, empat buah desa selatan (kaja-kleod) atau hulu-hilir (ulu-teben). yang dijadikan subyek penelitian adalah: Karang perumahan warga juga ditempatkan Desa Kayubihi di Kabupaten Bangli dan Desa sesuai dengan postur desa yang memanjang, Bugbug, Kabupaten Karangsem, termasuk semakin ke Utara semakin meninggi. Sistem dalam kategori desa tua (pedalaman). Dua desa pemeliharaan lingkungan, menerapkan konsep lainnya adalah: Desa Kampung Baru di Buleleng fi losofi Bali Hindu: Tri Mandala, Tri Hita dan Desa Kusamba di Kabupaten Klungkung Karana. Sistem mata pencaharian sebagian termasuk dalam kategori desa pantai. Di sini besar memanfaatkan lahan pertanian yang tampak ingin diperbandingkan bagaimana nilai-nilai karakter dan aktualisasinya di desa subur, beternak babi, ayam, kerajian anyaman tua/pedalaman dan desa pantai. Selanjutnya, bambu, dan sedikit usaha-usaha perdagangan mengenali faktor-faktor yang berpengaruh baru. Dengan demikian, desa Kayubihi dalam nilai-nilai karakter itu, sebagai cermin memiliki bekas-bekas sebagai desa tua yang penggalian nilai karakter bangsa dari beberapa sedang berkembang di Bali. desa di Bali. b. Desa Bugbug 2.2.1 Desa Pedalaman, Kayubihi, Kabupaten Dilihat dari postur desanya tidak jauh Bangli dan Bugbug Kabupaten berbeda dari Kayubihi. Itu terletak membujur Karangasem (lenear) dari Utara ke arah Selatan. Secara 2.2.1.1 Lingkungan Alam dan Budaya geografi s, Desa Bugbug merupakan satu a. Desa Kayubihi perbekelan (desa dinas), terletak sekitar 68 Desa Kayubihi adalah salah satu desa tua Kilometer ke timur dari Kota Denpasar, dan termasuk dalam wilayah Kecamatan Bangli, 7 Kilometer di sebelah Barat Kota Amlapura. Kabupaten Bangli, Provinsi di Bali. Lokasinya Awalnya areal itu merupakan tanah rawa- terletak sekitar 8 km ibu kota kecamatan, 8 km rawa dengan air tergenang, disebut “Telaga ke ibu kota kabupaten, dan 45 km ke ibu kota Ngembeng”. Ada penduduk di sekitar areal itu, Provinsi Bali, yaitu Denpasar. Desa Kayubihi di lereng Bukit Gumang, yang bernama Sabuni. terletak sekitar 800 mil dari permukaan laut, Ada juga penduduk memondok di bawah Bukit dengan suhu udara rata-rata 25-30 derajat Sanghyang Ambu, bernama Belong, dan ada celcius. Berdasarkan tataguna tanah, Desa penduduk di sebelah utara Belong bernama Kayubihi terdiri atas tanah perkebunan seluas Lunpadang. Di tiga tempat itu penduduk 32, 17 Ha, tanah pekarangan 59 Ha, dan tanah membuat tegalan untuk bertani. Ketiga tegalan/ladang seluas 608 Ha. Selain itu ada kelompok penduduk itu kemudian menjadi asal tanah lapang, jalan, tanah pura, kuburan, kantor mula dari penduduk Desa Bugbug. Pada saat untuk fasilitas umum. Desa Kayubihi dibangun itu, Tukad Buwu airnya mengalir menuju ke atas konsep karang kerti (karang desa), tegal timur melintasi Tukad Perasi, dan berbelok ke ayahan desa, yang merupakan satu desa adat/ selatan, menuju ke laut (tidak seperti sekarang pakraman (Kayubihi) dan sekaligus sebagai mengalir langsung ke selatan). Secara topografi s

99 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 wilayah desa Bugbug merupakan daerah DAS/ raja (1917). Sebagai lembaga tradisional, Desa bantaran Tukad Buwu, yang airnya dapat Kayubihi memiliki pengurus (prajuru) dan digunakan mengairi sawah-sawah di sekitarnya. aturan-aturan yang disebut awig-awig. Wilayah Secara keseluruhan Desa Bugbug memiliki desa Kayubihi dibagi atas tempekan-tempekan luas wilayah sebanyak 815 ha/m2. Wilayah ini (kompleks, bukan banjar seperti di tempat lain), terbagi ke dalam sawah irigasi seluas 4,50 ha/ seperti: Tempek Kelod Kangin, Tempek Kelod m2, sawah irigasi setengah teknis seluas 127, Kauh, Tempek Kaja Kauh, dan Tempek Tengah. 79 ha/m2, perkebunan seluas 35 ha/m2, tegal/ Tiap tempek memiliki kelian (pemimpin) ladang 475,590 ha/m2, hutan asli 164 ha/m2, sendiri yang disebut tetua. Pembagian tempek dan hutan rakyat 75 ha/m2 (Lihat Profi l Desa ini berkaitan dengan tugas-tugas kepengawasan Bugbug 2007). dari atas (raja, manca), yang disebut macekin Mata pencaharian penduduk sebagian dalam tinggalnya mereka di tempat itu. Ini besar dari bertani, beternak, tukang, dan ada merupakan bentuk kekhasan dibanding tempek sebagian sebagai nelayan (di dekat pantai). di tempat lain. Masyarakat Bugbug juga mengenal konsep Dari segi kepemimpinan desa di sini masih tanah ayahan desa (AYDS), karang desa, dan memperlihatkan ciri-ciri desa tua/pedalaman, pelaba pura. Berhubungan dengan lingkungan yakni berfungsinya sistem Ulu Apad, di samping alam, masyarakat desa Bugbug juga mengenal adanya sistem dinas. Sistem kepemimpinan Konsep kaja-kelod, ulu-teben. Budaya Ulu Apad (kepemimpinan berdasarkan umur pemeliharaan lingkungan, juga dikenal konsep perkawinan) masih berlaku di kedua desa itu Tri Mandala, fi losofi Tri Hita Karana, yang (Kayubihi dan Bugbug). Dalam sistem ini menunjukkan adanya pemahaman mengenai tampak terdapat tiga kelompok penting yang pentingnya memelihara hubungan dengan menjadi pengendali inti desa, yakni: Pertama, Tuhan (Hyang Widhi Wasa), hubungan dengan Gurun Desa, duduk diruang paling hulu di sesama, dan hubungan dengan lingkungan bawah ruang dulun bale agung. Itu berjumlah alam. 16 orang, enam orang yang teratas disebut: dua orang sebagai Kubayan Mucuk dan Kubayan 2.2.1.2 Sistem Sosial dan Pemerintahan Cerikan, dua orang lagi disebut Bahu Mucuk dan a. Desa Kayubihi Bahu Cerikan, sementa dua orang di bawahnya Dilihat dari segi penduduk, masyarakat disebut Singgukan Mucuk dan Singgukan desa Kayubihi terdiri atas kelompok-kelompok Cerikan. Ini merupakan kelompok yang kekerabatan, klen, yang disebut soroh. Di sini memimpin, mengambil kebijakan, menjalankan dikenal ada soroh Kubayan, kelompok warga ketentuan (awig-awig desa). Kedua, kelompok yang dipandang sebagai penduduk asli (wed). yang duduk di bagian tengah, 80 orang, disebut Selebihnya ada kelompok warga Pasek Gelgel krama uduhan, kelompok yang dapat disuruh (299 KK), Pasek Kayu Selem (250 KK), Pasek mengerjakan berbagai fungsi tugas desa, sesuai Toh Jiwa (40 KK), kelompok predewa (6 KK). dengan fungsi-fungsi prajuru. Selanjutnya Tercatat, yang termasuk warga (krama) desa kelompok ketiga, adalah kelompok terbawah, adat Kayubihi adalah setiap orang yang tinggal yang bertugas mengikuti perintah, suruhan menetap dan beragama Hindu, memegang dan dari petugas atasan sesuai kepentingan desa. mendayagunakan tanah desa, atau tanah ayahan Setelah munculnya Peraturan Daerah tentang desa (AYDS). Selain itu disebut tamyu (warga Desa Pakraman, dengan sistem kebendesaan pendatang). Sistem penguasaan tanah ayahan (bendesa pakraman sebagai ketua) terjadi desa dibuat pada masa kekuasaan Pemerintah kecenderungan semakin merosotnya peranan Kolonial Belanda, yang membangun sistem sistem Ulu Apad di bawah dominasi sistem pemilikan tanah desa lepas dari kekuasaan kebendesaan, sesuai Perda Desa Pakraman

100 I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

No.3 Tahun 2001. Dalam kaitannya dengan dan disegani di masyarakat Bugbug. Karena tugas-tugas dinas kepemerintahan, di sini besar pengaruhnya, maka hampir setiap yang terdapat pula pemerintahan desa yang disebut dipilih menjadi perbekel sampai kini selalu sistem desa dinas, yang diketuai oleh seorang dari keluarga, turunan Bendesa Mas. Hal itu Perbekel. Karena itu, Desa Kayubihi dalam tidak lepas dari perjalanan sejarah masyarakat di sana, ketika awalnya di masa kerajaan praktek kepemerintahannya menjalankan sistem (Gelgel), seorang dari Bendesa Mas dikirim ke ganda, yang membedakan dugas keadatan/ Bugbug dan dipandang berhasil mengamankan tradisi dan dinas kepemrintahan. Sistem ini keadaan. Di bawah kepemimpinan turunan telah berlangsung sejak dahulu. Bendesa Mas, masyarakat Bugbug tampak tertib, dengan semangat solidaritas tinggi b. Desa Bugbug, Karangasem sampai sekarang. Nilai-nilai kearifan leluhur Dalam sistem pemerintahannya, tidak (tri hita karana, ulu-teben, tri mandala) tetap jauh berbeda dengan sistem di Kayubihi. Dari tataati sampai sekarang. segi kewilayahan desa Bugbug merupakan satu wilayah desa pakraman (adat) dan desa 2.2.2 Desa Pantai Kampung Baru dan perbekelan. Sebagai Desa Adat Bugbug Kusamba dipimpin oleh Bendesa Adat, terdiri atas a. Kampung Baru 12 banjar adat, yakni: (1) Banjar Puseh, (2) Kelurahan Kampung Baru, merupakan Banjar Bancingah, (3) Banjar Madya, (4) sebuah wilayah yang telah tumbuh sejak jauh Banjar Darmalaksana, (5) Banjar Segaa, (7) di masa lampau, yang awalnya dikenal sebagai Banjar Celuk Kangin (8) Banjar Celuk Kauh, (9) Banjar Dukuh Tengah, (10) Banjar Garia, Bandar Pelabuhan Buleleng. Sejak awal abad dan (11) Bukit Asah, (12) Banjar Samuh. Masehi kawasan pantai Buleleng menjadi Desa Perbekelan Bugbug dikepalai oleh penting artinya dari perspektif arkeologis. seorang Perbekel. Sebagai desa perbekelan, Artefak berupa barang-barang keramik Cina Desa Bugbug terdiri atas tujuh dusun (banjar banyak ditemukan di sepanjang pantai utara dinas): Ds. Kaler, Ds. Kaleran, Ds.Tengah, Buleleng. Di areal itu dibuat Pelabuhan Ds.Tengahan, Ds. Kelod, Ds.Kelodan, dan Buleleng yang ramai didatangi pedagang- Ds. Samuh. Meski ada dua kepemimpinan di pedagang dari luar daerah, pulau. desa, kedua jenis pemimpin itu dapat bahu- Kampung Baru luasnya mencapai 151,0 membahu dalam menjalankan tugas sesuai ha/m2 dengan masing-masing pembagiannya dengan fungsinya masing-masing. Desa adat/ digunakan sebagai: Pemukiman 62,0 ha/m2; pakraman menjalankan tugas menyangkut masalah: adat/tradisi, agama yang dianut Kuburan 4,0 ha/m2; Pekarangan 65,0 ha/m2; masyarakat, sedangkan desa perbekelan Perkantoran 14,0 ha/m2; Prasarana umum mengurus soal-soal yang berkaitan dengan lainnya seluas 6,0 ha/m2. Kelurahan Kampung pemerintahan (dinas). Di dalam pemerintahan Baru memiliki fasilitas umum berupa Lapangan dinas terdapat unsur-unsur pemimpin adat Olah Raga dengan luas 100 ha/m2, fasilitas ikut mengendalikan kebijakan pemerintahan Pasar seluas 10 ha/m2, dan Terminal dengan di desa. Unsur-unsur desa adat selain sebagai luas 40 ha/m2. menjadi Bandar penting bagi partner, juga berfungsi sebagai alat kontrol laskar kerajaan Buleleng masa pemerintahan bagi langkah-langkah yang menyimpang dari I Gusti Ngurah Panji Sakti (1604-1690-an) kepentingan masyarakat. (Simpen A.B., 2002: 38-44). Tetua desa yang disebut Kubayan (atau Kini, Kampung Baru merupakan bentuk kabayan) juga masih terdapat di desa Bugbug, namun fungsinya sangat terbatas hanya pada komunitas baru dari penduduk pendatang di urusan-urusan upacara. Namun bendesa Pantai Utara Bali, yang secara administrasi pakraman, yang disebut sebagai turunan dari merupakan sebuah kelurahan, “Kelurahan klen (soroh) Bendesa Mas sangat berpengaruh Kampung Baru”. Kelurahan Kampung Baru

101 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 terletak di pinggir pantai dengan ketinggian pelabuhan Buleleng menjadi saksi bagi insiden sekitar 10 mil. Jarak Kelurahan Kampung bendera yaitu kontak senjata antara pasukan Baru dengan ibu kota kecamatan sekitar 2 RI (BKR) dengan pasukan Belanda. Insiden km dengan jarak tempuh berkisar 15 menit. penurunan bendera Belanda untuk digantikan Sebagai desa pantai yang berada di kota, jarak bendera Merah Putih terjadi di pelabuhan dan orbitasi dengan pusat kota Singaraja hanya Buleleng. Seorang pemuda bernama Merta 3 Km, sehingga lebih menopang aktivitas di yang berani menurunkan bendera Belanda, perkotaan dan terbuka dengan penduduk yang tewas ditembak oleh tentara Belanda pada heterogen. Sebagai daerah pantai, Kelurahan tahun 1945. Insiden bendera itu dapat dikatakan Kampung Baru tidak memiliki tanah pertanian, sebagai awal meletusnya revolusi bersenjata perkebunan maupun hutan, sehingga sebagai untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sumber mata air diperoleh melalui galian, sumur di Bali (Pendit, 1979: 87-91). pompa dan PAM. Walaupun sebagai daerah Akibat perkembangan dalam sejarahnya, pantai, Kelurahan Kampung Baru selama ini maka wilayah Kampung Baru kini merupakan belum dikembangkan sebagai daerah yang komunitas multikultur yang dihuni oleh berpotensi wisata. penduduk dari berbagai etnis dan agama (Bali, Secara geografi s, batas-batas Kelurahan Cina, Jawa, Bugis) dengan agama Hindu, Budha/ Kampung Baru adalah: sebelah Utara adalah Kong Hu Chu, Islam. Dari segi agama yang Laut Jawa; sebelah Timur adalah Kelurahan dianut penduduk, Kampung Baru menunjukkan Banyuning; sebelah Selatan adalah Kelurahan bahwa mereka hidup rukun penuh toleransi, Banyuning; sebelah Barat adalah Kelurahan hidup berdampingan saling bantu, gotong Kampung Kajanan. Luas wilayah Kelurahan royong masih kental. Dari segi pemukiman, Selanjutnya penduduk Kelurahan Kampung penduduk Kampung Baru menunjukkan model Baru, Buleleng, tercatat 2.030 KK, total jumlah pemukiman yang bercampur, berbaur, tidak penduduknya 7.552 jiwa, terdiri dari laki-laki jelas batas yang membedakan etnik. Secara 3.773 orang dan perempuan 3.779 orang. Jumlah sosiologis masyarakat Kelurahan Kampung penduduk usia sekolah dari pra sekolah hingga Baru merupakan masyarakat majemuk kecil, Perguruan Tinggi 5.915 orang. Selebihnya ialah yang penduduknya tinggal lebih memencar dari usia produktif yang tersebar di berbagai profesi pada mengelompok. pekerjaan seperti PNS: 122 orang, nelayan: Selanjutnya, dari segi sistem 34 orang, montir: 23 orang, TNI: 23 orang, pemerintahannya, Kelurahan Kampung Baru Polri: 77 orang, pensiunan PNS/TNI/Polri: 9 merupakan sistem desa dinas, yang membawahi orang, pengusaha kecil/menengah: 460 orang, pernduduk dari berbagai etnik agama. Kepala Pembantu Rumah Tangga dari kaum perempuan: Desa Kampung Baru disebut Lurah, dibantu 21 orang, pengacara: 1 orang, Notaris: 2 orang, oleh petugas-petugas kelurahan, yang bertugas karyawan perusahaan swasta: 223 orang, Buruh mengurus bidang, urusan tertentu, seperti laki perempuan: 500 orang. Agama yang dianut yang terdapat di desa perbekelan. Selain itu, meliputi: Hindu: 5.254 orang, Islam: 1.613 masyarakat Bali juga tergabung dalam bentuk orang, Budha: 582 orang, Kristen: 75 orang, warga desa adat/pakraman yang menjalankan Katolik: 19 orang dan Konghucu: 8 orang. Etnis fungsi-fungsi keadatan Bali, sementara Bali mendominasi di Kampung Baru. masyarakat Muslim secara tradisi tergabung Kelurahan Kampung Baru dulu dalam perkumpulan/peguyuban di bawah Pelabuhan Buleleng menjadi saksi peristiwa Mesjid atau Kelenteng bagi masyarakat orang heroik perang melawan kolonialisme Belanda Cina. Kedua sistem desa ini juga dapat saling pada perang melawan kolonialis Belanda tahun bahu membahu dalam menjalankan tugas dan 1846 dan 1848. Pada pertengahan abad ke-20, fungsinya masing-masing. Semua memahami

102 I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali adanya berbagai bentuk karakter, kearifan yang dan pedagang. Mereka inovatif kreatif dimiliki oleh etnik atau kelompok budaya yang menyumbangkan produksi hasil laut terutama hidup dan dapat saling memahami. ikan yang diproses menjadi pindang. Di tengah pemukiman terdapat pasar Desa Kusamba, b). Kelurahan Kusamba semua penduduk dapat berpartisipasi di pasar, Desa Kusamba merupakan salah dengan bahasa campuran Bali, Indonesia. satu desa yang berekotipe pantai ada di Warga Muslim di Kusamba juga berbahasa wilayah Kecamatan Dawan, Kabupaten Bali. Tipe perumahan kaum Muslim di Klungkung. Batas-batas desa itu: di sebelah Kusamba juga meniru rumah-rumah penduduk Utara Desa Dawan Kelod, di sebelah Timur, Bali dengan pagar/tembok di depan, model Desa Pesinggahan, di sebelah Selatan Desa kori dan angkul-angkul. Kampung Kusamba dan Selat Badung, dan Dari segi sistem sosial Kelurahan di sebelah Barat adalah Desa Gunaksa. Kusamba dapat dilihat sebagai desa dengan Batas desa dibuat secara permanen dalam masyarakat multikultural. Menurut catatan bentuk candi, yang pembuatan candi tahun 2010 penduduk Kusamba berjumlah: tersebut dimaksudkan sebagai batas wilayah 6.396 jiwa. Rincian menurut jenis kelamin, (wawengkon) desa secara administratif. Desa laki-laki: 3.139 jiwa dan perempuan 3.258 Kusamba dibagi menjadi 16 banjar dinas, dan jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) 1.822. KK 8 desa adat (pakraman) namun atas kesadaran tersebar secara administratif di lima dusun dan dari tokoh-tokoh masyarakat, bahwa di secara adat di 24 desa adat dan 32 banjar adat. Desa Kusamba tidak terdapat batas wilayah Jumlah penduduk usia produktif (15-56 tahun) adat. Hal ini dimaksudkan agar ke depan berjumlah 3.988 orang dan jumlah penduduk tidak menjadi bumerang atau pemicu konfl ik non produktif (> 57 tahun) berjumlah 985 orang perbatasan antar adat di Desa Kusamba. (Profi l Desa Kusamba, 2010: 3). Termasuk Luas desa Kusamba adalah 242.000 Ha juga di dalamnya penduduk penyandang cacat dengan kondisi menurut pemanfaatan lahan mental fi sik (50 orang). Dari segi keberagaman, sebagai berikut: Sawah: 108.480 Ha., Tegalan: penduduk Kusamba terdiri atas warga dari 42.785 Ha., Pekarangan: 80.735 Ha. Fasilitas berbagai etnik dan agama. Mayoritas beragama Umum: 10.000 Ha. Jumlah: 242.000 Ha. Dilihat Hindu, kemudian Islam dan Budha, Kristen. dari sudut matapencaharian, penduduk Desa Secara etnik, mereka merupakan penduduk asal Kusamba telah mengalami pergeseran dari masa Bali, Tionghoa, Jawa, Sunda, Bugis, Madura, ke masa. Awalnya, mayoritas penduduk bekerja empat yang terakhir beragama Islam. Model sebagai petani (sawah), namun kemudian sejak pemukiman, lebih mengelompok. Warga Hindu Gunung Agung meletus di tahun 1963, mata mengelompok tinggal berumah di pusat desa, pencaharian penduduk berubah, akibat banyak di pinggir jalan raya, sedangkan warga Muslim lahan pertanian mengalami kerusakan. Mata tinggal di sebelah selatannya, di pinggir pantai, pencaharian penduduk mulai bergeser ke sektor membentuk satu kompleks, Kampung Muslim, yang semakin bervariasi (petani merosot). dengan penduduk sekitar 560 jiwa. Kini mata pencaharian bergerak, semakin Kehidupan masyarakat Desa Kusamba bervariasi, seperti: nelayan tercatat 233 orang pada umumnya hampir sama dengan dan petani 230 orang, buruh (998 orang), swasta kehidupan masyarakat Bali yakni kehidupan (983 orang), pedagang (730 orang). Sebagian yang bernuansa ke-Hinduan. Pada hakekatnya lainnya bermata pencaharian sebagai PNS 118 juga dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber orang), pengrajin (7 orang), peternak (6 orang), pada ajaran agama Hindu yang terikat oleh jasa (23 orang). Dari komposisi demikian kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, dapat dikatakan, Desa Kusamba sebagai desa sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh pantai cukup terbuka dan penduduknya cukup adanya bahasa yang sama (I Gusti Ngurah produktif. Dapat dikatakan pula bahwa mata Bagus dalam Koentjaraningrat, 2004: 296). pencaharian buruh, swasta dan pedagang Sedangkan kehidupan masyarakat non- Bali adalah penopang pekerjaan nelayan, petani di Desa Kusamba, pada umumnya adalah

103 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 kehidupan yang menyerupai sistem sosial Hanya perbedaannya terjadi, tampak karena masyarakat Indonesia, ditandai oleh kenyataan adanya pengaruh lingkungan alam (pedalaman, adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan pesisir), budaya, dan sejarahnya. Konsep- perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan konsep umum Bali yang muncul seperti: Tri Hita agama, adat serta perbedaan-perbedaan Karana (kesadaran akan adanya tiga hubungan kedaerahan, bersifat multikultural. yang membangun kebahagiaan hidup, seperti: 2.2.3 Karakter Bangsa dan Aktualisasinya hubungan manusia-Tuhan, hubungan manusia- Dapat dimengerti bahwa karakter manusia, dan hubungan manusia-alam). Juga bangsa adalah merupakan suatu nilai budaya konsep desa, kala, patra (memberi kesadaran yang mempengaruhi, mengatur, memberi pada adanya pengaruh: tempat, waktu, dan arah pada sikap, perbuatan manusaia dalam keadaan terhadap satu fenomena). Konsep masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh saguluk-sagilik, yang memberi kesadaran intern, Koentjaraningrat (1982), nilai budaya terdiri bahwa perlu menumbuhkan rasa kesatuan, atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam rasa seperjuangan untuk dapat mencapai cita- alam pikiran sebagian besar warga masyarakat cita bersama. Selanjutnya konsep menyama- mengenai hal-hal yang harus mereka anggap beraya, memberi kesadaran ekstern perlunya amat bernilai atau baik dalam hidup. Nilai- setiap orang merasa bersaudara dengan orang nilai karakter bangsa pada umumnya bersifat yang lain, atau sesama, meski berlainan etnik/ universal dan memiliki kekhasannya sendiri- agama, sehingga menumbuhkan rasa saling sendiri. Bersifat universal dalam arti memiliki tolong menolong antar sesama). Konsep tri nilai-nilai kejujuran, kecerdasan, keberanian, kaya parisuda, memberikan kesadaran tentang transparansi, dan adanya komitmen. Memiliki perlunya berpikir, berkata, dan berbuat yang kekhasannya sendiri dalam arti memiliki benar, baik dalam kehidupan, agar tumbuh karakter (character) atau karakteristik di mana kehidupan yang berguna bagi semuanya. adanya kekhasan, kekhususan suatu istilah atau Selanjutnya konsep keseimbangan rwa terminologi yang dipandang berlaku dalam bhineda, diartikan sebagai kesadaran bahwa sebuah masyarakat dan dijadikan panutan oleh dalam kehidupan ini selalu ada kontras- anggota masyarakat yang lainnya. Menurut kontrasnya, seperti: benar-salah, hitam- Soehartono ada tiga hal yang perlu diperhatikan putih, utara-selatan, baik-buruk, kaya-miskin, dalam mengelola masalah karakter bangsa. kuat-lemah, laki-perempuan, dan lain-lain. Pertama adalah faktor pemimpin (leader), Semua itu menjadi pelajaran, bahwa hidup kedua pengikut (follower), dan ketiga masalah ini dipenuhi oleh perbedaan, dan dengan pokok (subject matter). Pemimpin yang perbedaan itu, manusia berdialog, berdiskusi kuat dengan blue print melaksanakannya menemukan kebenaran. Konsep karmapala, dengan tegas, jujur, bijak, dan adil. Pengikut yang memberi pemahaman terhadap perbuatan ditingkatkan apresiasinya artinya sebagai yang selalu membawa akibat (baik atau buruk), sumber daya manusia yang tangguh. Dalam sehingga perlu berbuat baik agar mendapatkan konteks ke Indonesiaan, masalah karakter hasil/pahala yang baik. Juga konsep bhineka bangsa bersumber pada Pancasila sebagai tunggal ika, yang memberi kesadaran pada subject-matter, yang kini sedang mengalami perlunya hidup saling mengerti, memahami, kemerosotan (Soehartono, 2010). toleransi terhadap adanya perbedaan tradisi, Berbicara karakter bangsa di desa budaya, keyakinan di antara sesama. Dalam penelitian, dapat dimengerti bahwa bentuk- sistem pemerintahan, semua desa penelitian bentuk nilai karakter bangsa di masyaraka menganut sistem ganda, yakni adanya sistem tempat desa yang diteliti, tidak jauh berbeda dari desa adat/pakraman dan desa dinas. Semua karakter umum yang dimiliki masyarakat Bali. itu, merupakan bentuk-bentuk karakter bangsa,

104 I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali dalam wujudnya sebagai kearifan lokal yang bentuk kemasyarakatan memberi dukungan menjiwai kehidupan bermasyarakat. atas munculnya berbagai karakter masyarakat di Dalam bentuknya yang khusus di wilayah pedesaan. desa masing-masing, dapat disampaikan, bahwa di desa pedalaman (Kayubihi dan Bugbug) masih III. PENUTUP terdapat penghargaan yang kuat terhadap posisi 3.1 Kesimpulan para tetua, dengan bentuk sistem pemerintahan Dari uraian di atas tampak bahwa pada Ulu Apad (urutan kepengurusan berdasarkan dasarnya nilai karakter bangsa masyarakat urutan perkawinan di balai desa). Penggunaan desa penelitian di Bali, menunujukkan sifat- istilah Kabayan bagi para petugas pengatur sifatnya yang bersamaan, atau tidak jauh upacara keagamaan di desa, menunjukkan berbeda mengenai nilai-nilai, konsep-konsep sistem kuna dalam masyarakat Bali. Juga konsep yang umum dimengerti, seperti: nilai Tri Hita ulu-teben sangat baik dipahami dalam rangka Karana, desa kala patra, tri kaya parisuda, mengatur lingkungan dan kemasyarakatan. menyama braya, rwa bhineda, bhineka tunggal Konsepsi Ulu Teben digunakan menata ika, Pancasila. Mengenai aktualisasinya, hal itu tempat pemukiman, dengan mana warga yang dapat dilihat lebih bervariasi sejalan dengan rumahnya lebih di hulu (utara) menetapkan batas lingkungannya. Di desa tua atau pedalaman, pekarangan terlebih dahulu, sesuai ukuran yang karakter bangsanya lebih memperlihatkan ditetapkan. Sistem perumahannya, menggunakan sifat-sifat ke kunaan, seperti adanya sistem tanah milik desa (karang desa), yang tidak Ulu Apad dalam kelembagaan desa, aturan diperjual belikan. Setiap orang yang menempati ulu-teben, menghormati peranan tetua desa karang desa adalah warga/krama desa dan seizin (kabayan), tataruang desa yang teratur (linear). desa. Di desa Kayubihi dan Bugbug mengenal Sementara untuk di desa yang lebih di bawah pula krama desa, truna, daha, bale agung, (pantai) tampak lebih luas hubungannya. yang menjadi wadah penduduk tua dan muda Bentuk aktualisasi karakaternya lebih bersifat bertemu, berkumpul membicarakan berbagai heterogen, menghargai keberagaman yang luas hal yang menyangkut kepentingan bersama. (etnik, agama, tradisi), hidup dalam suasana Berbagai bentuk organisasi kemasyarakatan itu, toleransi yang tinggi, tiap kelompok etnik, mencerminkan aktualisasi dari konsep-konsep agama dapat menjalankan tradisi keagamaan kearifan yang diwarisi, yang hidup sampai dengan aman, damai (hidup dalam suasana sekarang. menyama braya). Sementara itu, di Desa/Kelurahan Sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi Kampung Baru dan Kusamba, aktualisasi karakter dapat dimengerti, bahwa pengalaman sejarah, bangsanya nampak lebih variatif, mengadopsi nilai-nilai agama, kebangsaan, dan lingkungan berbagai pemikiran yang berkembang di (alam dan masyarakat) memberi dukungan masa ini. Penduduk yang lebih bercampur penting atas munculnya karakter bangsa yang memberikan dorongan bagi mereka untuk hidup terus berkembang. saling memahami dan berdampingan satu sama lain. Mereka tidak mempermasalahkan adanya DAFTAR PUSTAKA perbedaan agama, etnik, dan budaya yang Ardhana, I Ketut. FX Sunaryo, Sulandjari et al, dianutnya. Mereka hidup berdampingan, berbaur, Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan dan tolong menolong dalam satu lembaga yang Sejarah, Migrasi dan Integrasi. Yogya- bersifat profesi, adat maupun kedinasan karta: Larasan dan Jurusan Sejarah Fakul- Sebagai faktor yang mempengaruhi, tas Sastra Universitas Udayana, 2011. tampak bahwa faktor nilai sejarah (desa tua dan Bagus, I Gusti Ngurah. 1996. ”Masalah Tanah baru), lingkungan (pedalaman dan pantai) dan dalam Pembangunan Khususnya Pengem- bangan Pariwisata si Bali :Dampak terh-

105 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

adap Kehidupan Orang Bali”. Dalam dari Singkawang. Depok : Komunitas Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Bambu. Humaniora III Tahun 1996. Yogyakarta ------, 1995. Desa Adat dan Awig-awig : Diterbitkan atas kerja Sama Panitia dalam Struktur Pemerintahan Bali. Dies Natalis ke- 50 Fakultas Sastra UGM Denpasar; Upada Sastra. dengan Badan Penelitian dan Publikasi Profi l Pembangunan Desa Kusamba, Kecamatan Fakultas (Buletin Humaniora), Fakultas Dawan , Kabupaten Klungkung Tahun Sastra Universitas Gadjah Mada. Hala- 2009 -2010. man 318-325. Pudja, I Gde. 1981. Sarasamuscaya. Jakarta: Bakta, I Made. 2010. “Pendidikan Karakter Departeman Agama Republik dengan Pengintegrasian Nilai-Nilai Indonesia. Kebudayaan Berlandaskan Konsep Tri Hita Sujana, Nyoman Naya. 1994. “Manusia Bali Karana”, dalam Wahana Media Pematang di Persimpangan Jalan”. Dalam I Gde Alumni Udayana, Edisi No. 70 Th. XXVI Pitana (ed.), Dinamika Masyarakat dan Agustus 2010. Dherana, Tjokorde Raka Kebudayaan Bali. Denpasar : Penerbit (ed.), 1979. Kedwiragaman Desa. Desa BP. Halaman 45-71. Kayubihi dan Madenan. Denpasar: Biro Soemarwoto, O. 1989. Lingkungan Hidup dan Dokumentasi Fak.Hukum, Fakultas Pembangunan. Jakarta, Jambatan. Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Strategis Pembangunan Karakter dan Pekerti Universitas Udayana. Bangsa (Tanpa tahun). Jakarta: Direktorat Daftar Isian: Potensi desa dan Kelurahan; Pembangunan Karakter dan Pekerti Tingkat Perkembangan desa dan Bangsa. Direktur Jenderal Nilai Budaya, Kelurahan Kampung Baru. Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikolo- dan Pariwisata Rep.Indonesia. gi. Jakarta : CV Rajawali. Surjomihardjo Abdurrahman. Pembangunan Dhana, I Nyoman. 1993. Arti “Banjar” dalam Bangsa dan Masalah Historiografi . Adaptasi Orang Bali di Jakarta. Tesis Ma- Jakarta: Idayu, 1979. gister Antropologi, Program Pascasarjana Suhartono W. Pranoto. “Peningkatan Wawasan Universitas Indonesia, Jakarta. Kebangsaan: Pasang-Surut. Tinjauan Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2009. Historis.” Makalah disampaikan dalam Arsitektur & Kebudayaan Bali Kuno. Workshop “Sinkronisasi dan Harmonisasi Denpasar: Udayana University Press. Pengolahan Arsip Nusantara dalam Ericksen, Th. H. Ethnicity and Nationalism. Rangka Mendukung Implementasi London: Pluto Press, 1993. Program Pembangunan Karakter Bangsa” Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, diselenggarakan oleh ANRI, Jakarta, 22 Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : Juli 2010. PT Gramedia. Wacik, Jero 2011. Seri Membangun Karakter ------. (ed.). 2004. Manusia Bangsa: 24 Karakter Modal Membangun dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Bangsa Menurut Jero Wacik. Jakarta: Djambatan. Meneteri Kebudayaan dan Pariwisata Mukhlis. 1988. Dimensi Sosial Kawasan Pantai. Republik Indonesia. :: The Toyota Foundation. Winangun Wartaya. 2004. Tanah Sumber Nilai Nasikun,2004. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Hidup. Yogyakarta : Kanisius. Raja Grafi ndo Persada. Wiratmadja, G.K. Adia. 1995. Kepemimpinan Pitana, I Gde. (ed.), 1994. Dinamika Masyarakat Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma dan Kebudayaan Bali. DenpasarBali Post. Naradha. Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek

106 Forum Luh Suwita Arkeologi Utami TH.Volume Aspek XXIV 25Kemasyarakatan No. No. 1 2 April Agustus2012 2011 Di (1 Balik -(107 9) Makanan- 116) Dalam Prasasti Bali Kuna

ASPEK KEMASYARAKATAN DI BALIK MAKANAN DALAM PRASASTI BALI KUNA

SOCIAL ASPECTS BEHIND THE FOODS MENTIONED IN OLD BALI INSCRIPTIONS Luh Suwita Utami Balai Arkeologi Denpasar Email: [email protected] Naskah masuk : 1-3-2012 Naskah setelah perbaikan : 29-5-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

Abstract Old Bali Inscription mentioned that people who lived around Batur lake had a dynamic life. In their religious life, they tied in a religious unity to worship Sang Hyang I Turunan, in Magha month, date nine, in a big ceremony. Still based on the inscription, there were several offerings in that ceremony namely kinds of fi sh called simbur, nyalian, and dlag (gabus). This study aims to know social aspects behind the existance of some foods mentioned in the eighteen inscription related to the people around the lake. Library research method was applied in this study. Library research was applied to some Old Bali Inscriotion which mentioned about the villages around lake Batur. The result of the study shows that foods played an important role in some aspects of the society. Key words: inscription, foods, social aspects

Abstrak Prasasti Bali Kuna memberitakan bahwa kehidupan masyarakat yang berdiam di sekitar Danau Batur sangat dinamis. Dalam kehidupan keagamaannya, masyarakat terikat pada suatu kesatuan religius untuk memuja Sang Hyang I Turuñan, pada bulan Magha tanggal sembilan dalam sebuah upacara besar. Diberitakan adanya beberapa jenis persembahan dalam pelaksanaa upacara tersebut, seperti sejenis ikan yang disebut sebagai ikan simbur, ikan nyalian, ikan dlag (gabus). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek kemasyarakatan yang termuat di balik beberapa jenis makanan yang termuat dalam 18 buah buah prasasti yang berkaitan dengan masyarakat di sekitar Danau Batur. Metode yang digunakan adalah studi pustaka. Studi pusataka dilakukan terhadap beberapa prasasti Bali Kuna yang menyebutkan tentang desa-desa sekitar Danau Batur. Pemeriksaan terhadap beberapa prasasti menunjukkan bahwa makanan mempunyai peranan dalam beberapa aspek dalam masyarakat. Kata kunci: prasasti, makanan, aspek kemasyarakatan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Ritchie dan Zins, ada 12 unsur arsitektur (architectur and characteristics), kebudayaan yang dapat menarik wisatwan tata cara berpakaian penduduk setempat (dress datang ke suatu daerah yaitu: bahasa (language), and clothes), sistem pendidikan (educational kebiasaan masyarakat (traditions), kerajinan system) dan aktivitas pada waktu senggang tangan (handicrafts), makanan dan kebiasaan (leisure activities) (Yoeti, 2006:134). Dari 12 makan (food and eating habits), musik dan unsur kebudayaan yang disebutkan Ritchie dan kesenian (music and art) sejarah suatu tempat Zins, makanan dan kebiasaan makan adalah (history of regional, written, and landscape), salah satu yang menarik untuk dibahas, sebab agama (religion), bentuk dan karakteristik apa yang dimakan oleh sekelompok orang pada

107 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 dasarnya tergantung kepada beberapa faktor, mereka pada kekayaan alam Danau Batur. salah satu yang terpenting adalah di mana dia Masyarakat memanfaatkan sumber makanan tinggal. Karena penyedian bahan makanan untuk yang disediakan oleh danau dan hutan di dikonsumsi tergantung pada iklim setempat, sekitar danau Batur. Sumber makanan tersebut terutama tingkat curah hujan, jenis tanah, dan seperti aneka ikan air tawar, padi-padian yang jenis tumbuh-tumbuhan yang pada akhirnya juga biasanya berupa padi gaga, buah-buahan, umbi- mempunyai pengaruh besar terhadap kebiasaan umbian, binatang hutan dan lain-lain. Hasil makan (Brown,1977: Ratnawati, 2003:108) dan alam ini kemudian diolah menjadi makanan. dengan makanan kita dapat melihat kemajuan Dari makanan tersebut kita akan dapat melihat kebudayaan suatu masyarakat. Menarik untuk beberapa aspek kemasyarakatan yang ada dibahas, berkaitan dengan makanan adalah dibaliknya. sekelompok orang yang bertempat tinggal di sekitar danau. Seperti yang kita ketahui, bahwa 1.2 Rumusan Masalah danau adalah satu kawasan yang menjadi 1. Jenis makanan apa saja yang disebutkan orientasi hidup bagi masyarakat dalam kurun dalam prasasti Bali Kuna yang yang cukup lama. Danau Batur adalah salah menyebutkan tentang desa-desa di sekitar satu danau yang menjadi orientasi hidup bagi Danau Batur? 2. Aspek apa saja yang berkaitan dengan masyarakat Bali, terbukti dengan banyaknya makanan yang termuat dalam prasasti prasasti yang menyebutkan tentang desa di tersebut? sekitar Danau Batur, di mana masyarakatnya hidup sangat dinamis. Prasasti-prasasti tersebut 1.3 Tujuan dan kegunaan adala 001. Sukawana AI, 003. trunyan AI, 004. Penelitian ini bertujuan untuk melihat Trunyan BI,a 206. Kintamani A, 207. Kintamani jenis-jenis makanan apa saja yang disebutkan E, 303. Bwahan A, 305. Batur, Pura Tulukbyu prasasti Bali Kuna terutama prasasati yang A, 355. Bwahan B, 402 Trunyan AII, 404b. menyebutkan desa-desa di sekitar Danau Batur, Sukawana AII, 554. Bwahan C, 602. Bwahan dan aspek kemasyarakatan yang tersembunyi di E, 605. Batur, Pura Tuluknyu B, 623. Bwahan baliknya D, 624. Sukawana B, 637. Sukawana C, 702. Kintamani D, 703. Kintamani E. 1.4 Kerangka Teori Teori fungsional Bronislaw Malinoski, Prasasti-prasasti tersebut memberikan menyatakan bahwa setiap unsur kebudayaan keterangan bahwa ada enam buah karaman dan mempunyai fungsi sosial terhadap unsur- sebuah anak di sekita Danau Batur. Adapun unsur kebudayaan lainnya. Dengan kata lain karaman dan anak yang dimaksud adalah bahwa kebudayaan berfungsi untuk memenuhi karaman i bwahan, karaman i kdisan, karaman segala kebutuhan manusia pendukung i turuna, karaman i air hawang, karaman i kebudayaan tersebut. Teori struktural dari cintamani, karaman i jhuharan dan anak di Levi Strauss yang mengupas tentang segitiga songan. Saat ini desa-desa tersebut menjadi kuliner yang menyatakan bahwa makanan desa bernama Air Hawang menjadi desa Abang, merupakan kebutuhan dasar yang alamiah, dari Cintamani menjadi Kintamani, Turunyan mahkluk hidup baik hewan maupun manusia. menjadi Trunyan, Bwahan menjadi Bwahan, Makanan dirubah oleh manusia menjadi unsur kebudayaan yaitu melalui proses pengolahan Kedisan tetap Kedisan dan Songan tetap Songan. dengan api sehingga makanan menjadi relevan Kecuali Jhuharan yang belum jelas diketahui untuk mengilustrasikan perbedaan antara alam perkembangan lokasinya saat ini (Suarbhawa, dan kebudayaan. Sebagian besar makanan 1988:10). Diberitakan pula bahwa masyarakat menurut Levi Strauss, diolah atau melalui di desa-desa tersebut menggantungkan hidup proses pengolahan (dimasak), dan makanan juga mempunyai makna sosial dan kemasyarakatan.

108 Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

1.5 Metode 1967: 62). Manusia hidup di dunia dalam usaha 1.5.1 Cara pengumpulan data mempertahankan kelangsungan hidupnya sangat Pengumpulan data dala penelitian ini tergantung pada alam. Alam menyediakan aneka dilakukan dengan cara studi pustaka. Tehnik tumbuh-tumbuhan dan hewan untuk diolah ini dilakukan pada sumber primer yang menjadi makanan. Manusia berusaha mengubah berupa prasasti, yaitu prasasti-prasasti yang lingkungan hidupnya untuk mendapatkan hasil terbit antara abad IX-XI sebagaimana yang makanan yang lebih besar. telah ditranskripkan oleh Dr. R. Goris dalam Usaha manusia untuk mengolah buku Prasasti Bali I, Epigraphia Balica oleh alam untuk mendapatkan makanan disebut Stein Callenfels dan Oudheden van Bali oleh sebagai matapencaharian hidup. Berkaitan Stutterheim. dengan masyarakat di sekitar danau Batur, dalam beberapa prasasti diungkapkan bahwa II. HASIL DAN PEMBAHASAN masyarakat telah memiliki pencaharian hidup 2.1 Hasil pada bidang pertanian yang meliputi bercocok Berdasarkan isi dan strukturnya, parasasti tanam, peternakan, dan perikanan. Bidang dapat mengungkapkan tentang kronologis lain yang digeluti oleh masyarakat adalah sejarah kehidupan masyarakat, organisasi sosial pertukangan dan kerajinan tangan, bidang kemasyarakatan, struktur pemerintahan, struktur perdagangan dan aktivitas berburu binatang. masyarakat, hak dan kewajiban pejabat dan Dari mata pencaharian hidup masyarakat yang rakyat, sistem mata pencaharian hidup, sistem menggeluti bidang bercocok tanam, peternakan, religi, sistem kekerabatan, pembagian waris, dan perikanan kita dapat melihat beberapa jenis ketentuan-ketentuan hukum, dan banyak aspek bahan makanan yang dihasilkan, yang mungkin lainnya yang merupakan hal penting dalam dikosumsi oleh masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa lalu. Begitu Masyarakat yang melakukan kegiatan pula dengan prasasti-prasasti yang menyebutkan pada bidang bercocok tanam, membutuhkan tentang masyarakat sekitar danau Batur, 16 buah lahan yang untuk diolah dan ditanami prasasati yang menyebutkan tentang kedinamisan berbagai macam tanaman seperti kacang- masyarakat pada masa lalu. kacangan, palawija dan padi-padian yang Salah satu aspek sosial budaya yang dapat dikonsumsi. Penyebutan lahan di dalam menarik untuk dibahas, yang termuat dalam prasasti Pura Tulukbyu A disebut dengan parlak prasasti adalah budaya makanan. Makanan yang artinya ladang dan kebwan yang artinya adalah salah satu kebutuhan essensial yang kebun. Sejenis padi yang disebut padi gaga diperlukan untuk kehidupan setiap manusia. juga disebutkan dalam prasasti ini. adannya Ada beberapa jenis bahan makaan pokok untuk penyebutan tanah garapan sebagaimana makanan sehari-hari dengan tujuan untuk disebutkan dalam prasasti di atas, menunjukkan mencukupi kebutuhan badan dalam segala hal. bahwa masyarakat telah mengolah lahan Bahan makanan pokok terdiri dari : 1. Makanan untuk ditanami berbagai jenis tanaman yang pokok berbahan beras (Orysativa), 2. Makanan menghasilkan bahan yang selanjutnya dapat pokok berbahan ketela (Manihot Utillisima), 3. mereka oleh sebagai makanan. Makanan pokok berbahan dari jagung (Zeamays). Makanan juga dianggap sebagai barang, yang 2.1.1 Bahan Makanan dalam ilmu Antropologi dibicarakan mengenai Dari delapan belas prasasti Bali Kuna abad teknologi dan kebudayaan fi siknya. Makanan IX-XII yang memberitakan tentang masyarakat dilihat dari bahan mentahnya yaitu berupa yang berdiam di sekitar Danau Batur, berkaitan sayuran, buah-buahan, akar-akaran, biji-bijian, dengan adanya beberapa jenis makanan, ada tiga susu, daging, ikan serta telur (Koentjaraningrat, buah prasasti yang menyebutkan jenis makanan

109 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 secara langsung, sedangkan prasasti lainnya 3. ya wadhaka irikang lmah adalah menyebutkan tentang beberapa istilah inanugrahen paduka haji, yang berkaitan dengan bahan makanan dan irikanganak thani, tan aktivitas pengolahan bahan makanan. Tiga buah pananggarugya, tan pratiwàdhakà prasasti tersebut adalah prasasti 003. trunyan ta ya tka ring dlaha ning dlaha AI, prasasti 004. Trunyan BI dan prasasti (Goris. 1954:93) 303. Bwahan A yang menyebutkan tentang Artinya: beberapa jenis ikan yang diolah untuk dijadikan VIII.b.1. Demikianlah batas daerah perburuan persembahan yang tidak menutup kemungkinan yang dianugrahkan paduka raja juga dikonsumsi oleh masyarakat. kepada penduduk desa. Selanjutnya Prasasti Sukawana AI 804 Saka lembar mereka diperintahkan oleh paduka Ib.4, salah satu prasasti yang menyebutkan raja agar mengusahakan daerah tentang aktivitas pengolahan bahan makanan, tersebut sebaik-baiknya supaya yaitu adanya aktivitas manutu yang artinya ditanami menumbuk padi (Yulianto, 1995: 72) yaitu 2. sayur-sayuran, ditanami padi gaga, proses untuk melepaskan kulit padi dari isinya. kasumba, keladi, bawang, jahe, serta Dari aktivitas menumbuk padi ini menghasilkan segala sesuatu yang patut ditanam padi yang siap diolah dengan cara ditanak demi kesempurnaan desanya. hingga menjadi nasi. Keterangan tentang Daerah perburuan tersebut telah adanya aktivitas manutu di atas menunjukkan dianugrahkan oleh paduka raja tidak bahwa sudah ada aktivitas lebih lanjut dalam boleh pengolahan bahan mentah berupa padi menjadi 3. diganggu gugat. Mereka tidak boleh melalaikan sampai seterusnya beras yang merupakan bahan pokok dalam (Suarbhawa.1988:78) membuat nasi. Selain padi gaga, ada beberapa jenis ikan Aktivitas manutu yang disebutkan yang disebutkan dalam prasasti. Sebagaimana dalam prasasti Sukawana AI, lebih lanjut dapat yang ditersebut pada Prasasti Turunyan AI, 813 dikaitkan dengan adanya penyebutan padi gaga Saka (891 Masehi), prasasti tersebut diterangkan pada prasasti Batur, Tulukbyu A (933 Saka) bahwa pada bulan Magha tanggal sembilan, untuk lembar VIIIb, yang menyebutkan tentang upacara besar kepada Sang Hyang I Turuñan, penduduk desa Air Hawang yang meminta penduduk desa Turuñan mempersembahkan ikan tanah kepada raja untuk dijadikan lahan untuk simbur lima ekor, pepes ikan nalyan 20 buah, ikan bercocok tanam. Tanaman itu seperti sayur- kering dua gunja, sedangkan kepada Pracaksu sayuran, padi gaga, kasumba, keladi, bawang, diberikan dua ekor ikan simbur, 10 pepes ikan jahe serta segala jenis tanaman lainnya yang nalyan, dan ikan kering satu gunja serta air untuk dapat mensejahterakan rakyat. Kutipannya menyucikan diri melebur kekotoran atau dosa. sebagai berikut : Masih berkaitan dengan upacara Sang Hyang I VIII.b.1. mangkana lbà ni parimandala Turunan, prasasti Turunyan B berangka tahun nikang lmah i buru, nanugrahen 833 Saka (911 Masehi) menerangkan tentang paduka haji, irikanganak thani persembahan berupa makanan dari Desa Air athor kinonakên pàduka haji, Rawang yang membayar kewajiban berupa 30 babaden utsahan, tanêmana pepes ikan nyalian, tiga gunja ikan kering, 30 2. gangan, kbwanên, gagan, kesumbha, tals, bawang, pipakan, salwiraning butir telur dan 10 ekor ikan gabus untuk keperluan yogya tanêmên, samangdadyakna upacara pada setiap hari ke lima bulan separuh kaparipurnnà, ni thàninya, gelap pada bulan Asuji. Mereka juga diwajibkan kunangikang i buru tan wehen dikenakan bumbu-bumbuan dan meramu bumbu tersebut oleh Lampunan Bungsu.

110 Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

Keterangan dari kedua prasasti ini sebagai persembahan dalam bentuk dipepes dapat menggambarkan bahwa dalam aktivitas dan dikeringkan adalah data yang menyatakan keagamaan yang sangat penting di Batur, bahwa masyarakat telah melakukan pengolahan penduduk desa Turuñan dan desa Air Rawang makanan. Pengolahan makanan adalah suatu diwajibkan untuk mempersembahkan beberapa teknik atau seni untuk mengolah suatu macam jenis makanan sebagai persembahan. Ada bahan menjadi bahan lain yang sifatnya beberapa jenis ikan yang disebutkan dalam berbeda dengan yang semula (Nasoichah, prasasti antara lain : ikan simbur (?), dlag 2009; 1). Pegolahan makanan bertujuan untuk (ikan gabus/ophiocephaalus stratus), nalyan pengawetan, agar makanan tidak mudah rusak (ikan nyalian), dan kuluma (ikan lele). Jenis dan dapat disimpan untuk dapat digunakan pada ikan-ikan ini merupakan jenis ikan air tawar waktu-waktu tertentu. yang mudah didapatkan oleh penduduk Makanan, terutama makanan berbahan yang bertempat tinggal di tepi Danau Batur. ikan, dalam prasasti Bali Kuna disebut ada dua Mereka menangkapnya kemungkinan telah jenis pengolahan, yaitu: (1) dimasak dengan menggunakan jaring atau pancing sebagai alat cara dipepes, dan (2) dengan cara dikeringkan. penangkap. Pepes adalah pengolahan ikan dengan cara Persembahan berupa makanan tidak menambahkan berbagai jenis bumbu dan hanya dilakukan untuk memenuhi kewajiban memasaknya dengan cara mengukus, sedangkan kepada bangunan suci, namun juga kepada para pengeringan adalah mengolah dengan cara pejabat istana atau tamu. Hal itu dapat dilihat membuat makanan menjadi kering dengan pada prasasti Batur Pura Abang A (933 Saka). kadar air yang serendah mungkin dengan cara Prasasti ini memberitakan bahwa petugas yang dijemur, dan dipanaskan. Pengolahan makanan bertugas mengawinkan kuda patut dihormati dengan cara dipepes menjadikan makanan, dengan memberikan makanan. Diberitakan terutama ikan, menjadi lebih kaya rasa. bahwa masyarakat Air Hawang harus mengikuti Namun pengolahan ikan dengan cara ini tidak ketentuan mengenai jamuan yang dilakukan menjadikan ikan dapat bertahan lebih lama oleh penduduk pada saat orang mengawinkan daripada ikan yang dikeringkan. kuda jantan dan betina, menyerahkan nasi 3 Hal yang menarik tentang pengolahan bakul, ikan semampunya, nira/tuak 3 periuk bahan makanan, adalah adanya penyebutan (pulu), tempat minuman 3 buah, buah-buahan beberapa jenis bahan bumbu-bumbuan di 5 ikat, makanan seadanya dari daun pisang, dalam prasasti. Penyebutan ini berkaitan erat dan 3 buah lampu diserahkan kepada Pasuk dengan adanya pengolahan makanan dengan Ganti yang kemudian menyerahkannya kepada cara dipepes. Prasasti Turunan B memberi petugas yang mengawinkan kuda. Jika hal ini keterangan bahwa untuk upacara Bhatara di dilakukan mereka tidak dikenai denda. Turunan pada setiap hari ke-5 bulan separuh gelap pada bulan Asuji masyarakat Desa Air 2.1.2 Pengolahan Makanan Rawang dipunguti bumbu atau diwajibkan Beberapa jenis makanan yang disebutkan untuk mamek base (membuat bumbu). Jenis dalam prasasti Bali Kuna, dalam hal ini prasasti bahan bumbu-bumbuan yang disebutkan yang menyebutkan desa-desa sekitar Danau adalah bawang merah, jahe, kapulaga, dan Batur tidak memberikan keterangan yang kemiri. Pada prasasti Batur, Pura Tulukbyu A lengkap tentang pengolahan makanan oleh disebutkan tentang adanya bawang merah dan masyarakat. Namun keterangan yang dimuat jahe yang ditanam di wilayah perburuan yang dalam prasasti Batur Pura Abang A (933 Saka), dianugrahkan oleh raja. Bahkan pohon kapulaga Prasasti Turunyan AI, dan prasasti Turunyan dan kemiri adalah jenis pohon yang termasuk B tentang adanya makanan yang dijadikan dalam jenis-jenis pohon yang jika ditebang oleh

111 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 masyarakat harus dimintai ijin kepada petugas yang hanya dibuat atau dihidangkan pada saat- yang berwenang. saat tertentu sebagai pelengkap sesaji atau sarana Selain pengolahan makanan dengan cara upacara. Jenis makanan sebagai persembahan di dipepes dan dikeringkan, prasasti Bali Kuna Bali saat ini adalah seperti sate, lawar dan aneka tidak memberikan keterangan lain tentang jajanan yang merupakan pelengkap sesajen pada pengolahan makanan. Namun hal itu tidak rangkaian upacara tertentu bagi masyarakat Bali. menutup kemungkinan jika masyarakat pada masa itu telah mengenal pengolahan makanan a. Aspek Religi dengan cara lain seperti dibakar, direbus, diasap, Agama mempunyai peranan besar bagi atau diasinkan. Begitu juga dengan jenis bahan dinamisasi yang ada di masyarakat. Proses makanan, selain ikan dan telor tidak menutup pemilikan bersama ritus-ritus dan kepercayaan kemungkinan masyarakat di sekitar Danau Batur mendorong semakin kuatnya kelompok telah pula mengenal jenis bahan makanan lain dalam memperkuat kepribadian dan perasaan sebagai bahan lauk pauk seperti daging ayam kebersamaan, persetujuan mengenai isi-isi dan daging sapi. Mengingat ayam dan sapi juga kewajiban sosial dan menciptakan nilai sosial merupakan hewan yang telah dibudidayakan yang terpadu dan utuh. Dalam aktivitas upacara oleh masyarakat pada saat itu. Namun rupanya keagamaan dibutuhkan benda-benda upacara jenis makanan ini tidak menjadi bahan utama sebagai media dan alat upacara sebagai yang dipersembahkan kepada bangunan suci sarana pendukung. Benda serta alat upacara dan orang-orang tertentu. yang dimaksud dapat berupa arca-arca yang melambangkan dewa-dewa, alat gamelan yang 2.2 Pembahasan mengeluarkan bunyi dan berbagai jenis sesajian 2.2.1 Aspek-Aspek yang Melingkupi Budaya yang dianggap suci. Dalam berbagai jenis Makanan dalam Prasasati Bali Abad sesajian tersebut biasanya terdapat beberapa IX-XI jenis makanan yang merupakan sarana Makanan adalah salah satu kebutuhan persembahan. pokok yang diperlukan untuk membina kehidupan manusia, karena di dalam makan dam minuman terdapat kalori yang diperlukan oleh setiap manusia. Keperluan kalori tersebut ditentukan oleh jenis kelamin, pekerjaan dan umur. Konsep mengenai makanan menurut fungsinya dapat digolongkan sebagai makanan pokok, makanan sambilan, makanan jajanan, makanan untuk peristiwa khusus dan makanan untuk berbagai keperluan (Moertjipto, 1997:41) Makanan utama atau makanan pokok adalah dipersembahkan kepada suatu bangunan suci. jenis makanan sehari-hari dengan tujuan untuk Foto: dok.pribadi mecukupi kebutuhan badan dan menghilangkan Aspek religi berkaitan dengan makanan rasa lapar. Bahan makanan ini berupa beras, adalah adanya aktivitas mempersembahkan ketela atau jagung. Selain makanan pokok ada beberapa jenis makanan kepada tempat suci. pula makanan selingan yang merupakan makanan Sebagaimana termuat dalam prasasti Turunyan yang berfungsi sebagai makanan penyela. AI (813 Saka). Tempat suci yang disebutkan Makanan selingan dapat berupa buah-buahan, ubi- untuk dipersembahkan aneka jenis makanan ubian atau kacang-kacangan. Makanan sebagai itu adalah Sang Hyang I Turuñan pada bulan persembahan merupakan satu jenis makanan

112 Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

Magha. Tradisi pemberian tersebut merupakan halal untuk suatu upacara, berupa lontar yang pencerminan dari adanya persetujuan oleh disebut sebagai Lontar Dharma Caruban. masyarakat mengenai kewajiban mereka Dalam Lontar Dharma Caruban, terhadap dewa-dewa yang dipuja di suatu disebutkan makanan yang dipergunakan dalam tempat suci yang memberikan kesejahteraan upacara diolah dengan cara dikeringkan, yang berupa keselamatan kepada masyarakatnya. dilembabkan dan diencerkan. Jenis makanan Pada masa sekarang pemberian jenis yang diolah dikeringkan seperti sate, gorengan, makanan kepada bangunan suci pada saat-saat brengkes, urutan, lepet, dan gubah. Jenis tertentu masih berlaku di Bali yang disebut makanan yang dilembabkan adalah lawar, sebagai atos, merupakan persembahan berupa tum, balung, timbungan, oret dan semuuk. bahan makanan mentah yang nanti digunakan Sedangkan jenis makanan yang diencerkan dalam upacara di suatu tempat suci oleh anggota adalah kekomoh dan ares. Selain makanan masyarakat yang menyungsung atau datang yang telah diolah seperti di atas, juga terdapat bersembah yang ke tempat suci tersebut. Atos makanan yang diolah dengan cara dimatangkan biasanya terdiri dari persembahan berupa beras, dalam keadaan utuh tidak dipotong-potong, telor, kelapa dan dupa (foto no. 1). Di daerah cara memasak atau mengolahnya adalah dengan Kintamani, daerah yang kini mewilayahi desa- cara ditutup, dipanggang dan diguling (Dharma desa di sekitar Danau Batur secara administratif, Caruban, 1972:7-11) kewajiban mempersembahkan makanan ini Pada setiap masyarakat yang ada di disebut dengan atos desa dan paturunan yang seluruh dunia akan selalu mempunyai makanan dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dan minuman yang khas di daerah tersebut. dalam Gebog Domas. Gebog Domas adalah Hal ini karena sistem pengetahuan masyarakat seperangkat atau kesatuan kumpulan desa tersebut yang berkaitan dengan hasil alam dan sebanyak tiga puluh dua desa yang memberikan lingkungannya. Oleh sebab itu setiap masyarakat dukungan ritual secara teratur di Pura Puncak melalui proses belajar secara turun temurun Penulisan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintami. menciptakan berbagai jenis makanan (Mintosih, Di Pura Puncak Penulisan ini terdapat sebuah 1997:30). Begitu pula dengan masyarakat Bali, bangunan yang disebut dengan Bale Timbang, pengetahuan tentang pembuatan beberapa jenis yaitu sebuah bangunan dimana barang-barang makanan khas Bali seperti sate dan lawar adalah yang diserahkan oleh warga masyarakat diukur merupakan pengetahuan yang diajarkan secara atau ditimbang, barang-barang ini adalah ganti turun temurun di masyarakat, proses belajar ini dari pajak-pajak pada jaman itu pada saat sering dilakukan ketika melakukan kegiatan upacara di Pura Pucak Penulisan dilaksanakan ngayah di suatu tempat suci. (Geria, 2008). Adanya persembahan dan persajian makanan tersebut merupakan suatu etika atau b. Aspek Sosial aturan yang harus dilakukan oleh sekelompok Masyarakat tidak hanya mengenal masyarakat. Aturan ini bersifat mengikat agar makanan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat tidak melanggarnya, jika mereka saja yang dinikmati setiap hari, namun juga melanggar tidak menutup kemungkianan mengenal makanan yang mereka gunakan masyarakat akan dikenai denda. Upacara pada waktu-waktu tertentu seperti pada waktu yang berkaitan dengan menyajikan makanan upacara agama, pesta, penjamuan tamu dan dan minuman dipandang mempunyai tujuan hari-hari penting. Masyarakat Bali memiliki untuk mendapatkan keselamatan. Karena pegangan penting sebagai aturan dalam upacara ini mencerminkan rasa syukur, tolak membuat dan menghidangkan makanan yang bala, pengampunan dosa dan kesuburan tanah pertanian (Yusuf, 1997:6).

113 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Dalam prasasti Bali aspek sosial ini terlihat pada prasasti Turunan B yang memberikan keterangan bahwa pada petugas lampuran bungsu diberikan persembahan makanan dan tuak 20 guci. Prasasti Batur Pura Abang A (933 Saka) juga disebutkan aspek sosial yang berkaitan dengan makanan, yaitu tentang pemberian makanan kepada petugas yang mengawinkan kuda berupa nasi, ikan, dan tuak. Jika hal ini dilakukan mereka tidak dikenai denda. Sebuah budaya makan bersama yang Foto no. 2. Contoh ejotan, makanan yang ada pada masyarakat Bali pada masa sekarang dijadikan pemberian keluarga atau orang yang adalah budaya magibung. Budaya magibung dihormati. Foto: dok. pribadi ini biasanya dilakukan pada saat upacara c. Aspek Ekonomi untuk Manusa Yadnya, dimana akivitas makan Aktivitas perdagangan telah ada pada dilakukan oleh beberapa laki-laki pada satu masa Bali Kuna, dapat diketahui dari adanya wadah, duduk dalam satu lingkaran. Biasanya istilah pken, yang berarti pasar, pinta pamli makan bersama ini dimulai oleh orang yang lebih yang berarti pajak atau iuran penjualan dan tua dalam lingkaran makan tersebut. Makanan pembelian dan anak hatar jalan atau pedagang yang dijadikan menu magibung adalah aneka yang berjalan hilir mudik. Adanya penyebutan lawar, sate, komoh, dan nasi. Sebelum makanan pasar menunjukkan adanya aktivitas yang disediakan habis, tidak dibenarkan peserta perdagangan yang cukup besar, dengan jumlah pagibungan ini meninggalkan tempat makan. komoditas perdagangan yang besar pula. Satu budaya lagi yang berkaitan dengan Bidang perdaganan merupakan faktor penting penyajian makanan adalah budaya ngejot. dalam perekonomian masyarakat. Komoditi Ngejot adalah aktivitas pemberian makanan yang diperdagangkan adalah hasil dari pertanian kepada anggota keluarga dan orang-orang dan peternakan masyarakat seperti umbi- yang dihormati oleh keluarga yang melakukan umbian, bawang merah, bawang putih, talas kegiatan upacara. Suguhan yang dijadikan dan keladi, kelapa, pinang, enau dan lain-lain. menu ngejot hampir sama dengan yang Tidak menutup kemungkinan jika komoditas disuguhkan dalam aktivitas magibung, hanya perdagangan yang berupa bumbu-bumbuan juga saja besarannya berbeda disesuaikan dengan diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan siapa yang diberikan makanan. Biasanya orang masyarakat dalam pengolahan bahan makanan, dengan status sosial lebih tinggi seperti pemuka sebagaimana termuat dalam prasasti Turunan agama, pemuka desa dan orang yang dituakan B dan Sangsit A (980 Saka), sebagaimana diberikan makanan dalam jumlah yang lebih disebutkan di atas bahwa masyarakat banyak. Tidak hanya terbatas pada hanya diwajibkan untuk mempersembahkan beberapa keluarga dekat, tetapi kepada semua orang yang jenis bumbu. Dapat dikatakan jika selain hasil dianggap telah memberikan bantuan baik moril pertanian diperdagangkan pula berbagai jenis maupun material pada saat dilaksanakan suatu hasil peternakan seperti itik, kambing, ayam, upacara tertentu. Diberikan sebagai ungkapan dan babi. Dimana komoditas perdagangan ini rasa terima kasih kepada semua pihak yang diambil dagingnya untuk digunakan sebagai telah membantunya (foto no. 2). bahan lauk pauk dan persembahan.

114 Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

III. PENUTUP Keterangan tentang adanya pengolahan 3.1 Kesimpulan bahan makanan dengan cara dimasak salah Sebagaimana teori struktural dari Levi satunya adalah pengolahan ikan yang dipepes Strauss yang menyatakan bahwa makanan hal ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan kebutuhan dasar yang alamiah, dari telah melakukan pengawetan makanan dan mahkluk hidup baik hewan maupun manusia. menambahkan rasa pada makanan. Namun hal Sebagian besar makanan diolah atau melalui ini tidak lagi dilakukan oleh masyarakat sekitar proses pengolahan (dimasak), dan makanan juga Danau Batur saat ini. Sebagaimana beberapa mempunyai makna sosial dan kemasyarakatan restoran dan warung makanan yang ada di dapat kita lihat pada aktivitas masyarakat yang sekitar Danau Batur lebih banyak menyediakan berdiam di sekitar Danau Batur. Dalam beberapa menu ikan dalam bentuk dibakar dan digoreng, prasasti yang menyebutkan tentang daerah ini, bahkan tidak ada lagi jenis ikan seperti simbur dapat kita ketahui bahwa masyarakat telah (ikan gabus), dlag dan nyalian di Danau mengolah alam sekitarnya untuk memenuhi Batur. Jenis ikan yang diolah untuk menu kebutuhan hidup mereka akan pangan. saat ini adalah ikan mujair dan nila yang telah Menanami daerah tertentu dengan padi-padian, banyak diternakkan di keramba-keramba milik seperti padi gaga dan beberapa jenis pohon dari masyarakat yang dibuat di Danau Batur. jenis bumbu-bumbuan. Juga memanfaatkan Disarankan kepada restoran dan rumah kekayaan danau berupa ikan, untuk diolah makan di sekitar Danau Batur untuk mengolah sehingga dapat dimakan. ikan mujair dan nila dengan bentuk dipepes, Dalam makanan tersimpan beberapa aspek mengingat pengolahan ini merupakan kuliner yang sangat penting, yaitu aspek religi, aspek yang sudah dilakukan sejak dahulu oleh sosial dan aspek ekonomi. Hal tersebut terbaca masyarakat di sekitar Danau Batur. Hal ini juga dengan jelas dalam prasasti-prasasti Bali Kuna, dapat menambah variasi menu makanan yang yang menyebutkan tentang masyarakat sekitar disajikan kepada para wisatawan pemburu Danau Batur. Makanan yang dipersembahan kuliner Indonesia pada waktu tertentu kepada suatu bangunan suci, menyatukan masyarakat dalam sebuah aktivitas DAFTAR PUSTAKA religi, begitu pula dengan pemberian makanan kepada petugas-petugas kerajaan dan petugas Bawang merah. http://id.wikipedia.org/wiki/ khusus yang mengawini kuda mencerminkan Bawang_merah. Diunduh pada 09:25 24 adanya aspek sosial di antara masyarakat. Oktober 2010. Sedangkan aspek ekonominya adalah bahwa Bawang putih. http://id.wikipedia.org/wiki/ bahan-bahan makanan ini diperjualbelikan oleh Bawang_putih. Diunduh pada 09.32, 24 masyarakat selain diolah untuk kepentingan Oktober 2010. pribadi. Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. NV. Masa Baru. Bandung. 3.2 Saran Granoka, Ida Wayan Oka dkk. 1985. Kamus Bali Prasasti-prasasti Bali Kuna, terutama Kuna-Indonesia, Pusat Pengembangan yang menyebutkan tentang masyarakat di Bahasa, Jakarta. sekitar Danau Batur, walaupun tidak banyak Hapsari, Soffi , 2008. Interaksi Sosial Religius memberikan data tentang makanan yang dibuat Masyarakat Di Kawasan Danau Batur oleh masyarakat, dari beberapa prasasti tersebut Abad IX-XII Masehi: Kajian Epigrafi s. telah dapat diketahui bahwa masyarakat Skripsi. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra telah melakukan pengolahan bahan makanan Universitas Udayana. menjadi makanan dengan cara dimasak.

115 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Ikan Gabus. http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_ Yusuf, Wiwiek Pertiwi dkk. 1997. Tradisi dan gabus. diunduh pada 10.19, 18 Desember Kebiasaan Makan Pada Masyarakat 2010. Tradisional di Jawa Tengah. Departemen Koentjaraningrat. 1979. Beberapa Pokok Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Antropologi Sosial. Jakarta Dian Rakyat. Yulianto, Kresno. 1995. Awal Pertanian di Moertjipto,dkk. 1993. Makanan: Wujud, Variasi Indonesia. Kirana. Fakultas Sastra dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Universitas Indonesia Purbakala. Pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mintosi, Sri. 1997. Tradisi Dan Kebiasaan Makan Pada Masyarakat Tradisional Di Barat. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayan. Nasoichah, Churmatin. 2009. Pengawetan Makanan: Upaya Manusia Dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (berdasarkan Data Prasasti Jawa Kuna). Jejak Pangan Dalam Arkeologi. Seri Warisan Budaya Sumatera Bagian Utara. Balai Arkeologi Medan. Ratnawati, Lien D. 2003. Manfaat Studi Arkeologi Untuk Penelitian Makanan. Cakrawala Arkeologi Persembahan Untuk Prof Dr. Mundardjito. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. ------, 1984. Dharma Caruban (Tuntunan Ngebat). Prisada Hindu Dharma Kabupaten Tabanan. Suarbhawa, I Gusti Made. 1988. Beberapa Aspek Mata Pencaharian Masyarakat Di Sekitar Danau Batur Pada abad IX- XII. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar. Suter, I Ketut. 2009. Lawar. Pusat Studi Makanan Tradisional. Universitas Udayana. Denpasar. Yoeti, H.Oka A dkk. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. PT Pradnya Paramita.

116 IForum Made ArkeologiGeria Komoditi Volume Perdagangan 25 No. 2 Agustus2012 Kesultanan (117 Tambora - 130)

KOMODITI PERDAGANGAN KESULTANAN TAMBORA KAJIAN PENDAHULUAN HASIL EKSKAVASI SITUS TAMBORA

TRADING COMMODITY OF TAMBORA SULTANATE A PRELIMINARY STUDIES OF EXCAVATION RESULT AT TAMBORA SITE I Made Geria Balai Arkeologi Denpasar Email : [email protected] Naskah masuk : 4-6-2012 Naskah setelah perbaikan : 20-7-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 2-8-2012

Abstract Tambora Sultanate played an important role in the trade hegemony in Nusa Tenggara. Tambora was an area which had many natural resources and produced weaving textile. It made Tambora become strategic as the main zone of comodity that supported Sultanate or did direct selling to other kingdoms and traders. Based on survey and excavation method, it is known that the trading comodities were coffee, hazelnut, honey, deer jerked meat, ropes, weaving crafts, and horses. Some variables that supported the argument that Tambora was a trading zone namely Tambora was rich in natural resources and there were efforts to produce comodities to be sold. Tambora had strategic location which could access to Labuhan Kenanga and Teluk Saleh, trade route to Nusa Tenggara. Tambora was also famous as an area with many bandars which gave a chance for Tambora to be an important part of trading activity. Key words: comodity, hegemony, trade

Abstrak Kesultanan Tambora berperan dalam hegemoni perdagangan di wilayah Nusa Tenggara. Sebagai wilayah yang memiliki sumberdaya alam serta memproduksi kerajinan tenun, menjadi strategis, baik sebagai kawasan penyangga komoditi untuk kesultanan Bima, maupun hubungan dagang langsung dengan kerajaan atau pedagang lainnya. Berdasarkan metode survei dan ekskavasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat menjawab permasalahan tentang komoditi perdagangan yang dimiliki Tambora adalah kopi, kemiri, madu, dendeng rusa, tali tambang, kerajinan tenun dan kuda. Diketahui sejumlah variabel yang mendukung keberadaan Tambora sebagai kawasan perdagangan, selain sumberdaya alam, ada upaya memproduksi komoditi dagang. Variabel geografi s letak kesultanan Tambora strategis memiliki akses ke Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh yang merupakan jalur perdagangan ke kawasan Nusa Tenggara. Peranan kesultanan Bima sebagai kawasan yang terkenal memiliki bandar ramai pada waktu itu memberi peluang Tambora dalam kegiatan perdagangan. Kata Kunci : komoditi, hegemoni, perdagangan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kendati belum banyak catatan yang barang komoditi perdagangan, berupa barang ditemukan terkait dengan keberadaan kondisi kerajinan dan hasil bumi. Barang-barang perekonomian Kesultanan Tambora sebelum semacam ini sering disebut dalam naskah peristiwa letusan Gunung Tambora tahun 1815 sejarah Bima merupakan barang komoditi M, namun mengamati hasil ekskavasi, berupa yang diperdagangkan. Secara geografi s sejumlah artefak yang teridentifi kasi merupakan wilayah Kesultanan Tambora cukup strategis,

117 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 memiliki samudera yang dilalui lalulintas Goa yang membawa pengaruhnya ke wilayah perdagangan seperti Labuan Kenanga, Teluk timur melalui kegiatan perdagangan, yang Saleh yang strategis pada masa itu sebagai kemudian berlanjut pada jaman Kolonial jalur lintasan ke pelabuhan-pelabuhan besar Belanda dengan VOC ingin menguasai hegemoni di Bima. Ada dugaan, bahwa hubungan perdagangan wilayah ini, mengeksploitasi dagang kesultanan Tambora pada mulanya hasil bumi sebanyak-banyaknya dan produksi dilakukan melalui Kesultanan Bima karena kerajinan rakyat. Upaya penguasaan yang Bima merupakan pusat perdagangan di dilakukan melalui perundingan dengan wilayah ini yang lebih dulu berkembang dan mengadakan perjanjian dan kesepakatan dengan memiliki pelabuhan yang sudah dikenal sejak sejumlah kerajaan dan kesultanan di wilayah abad XIV (Maryam, 1992). timur termasuk salah satu di antaranya ialah Sejak jaman Kompeni, Bima dianggap Kesultanan Tambora, yang dilakukan VOC. Pada sebagai salah satu kota perdagangan yang 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian terpenting di wilayah timur. Kerajaan Islam secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Bima, yang dalam sejarahnya banyak berperan Pulau Sumbawa, yaitu Bima, , Tambora, dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar timur terutama pada masa awal pemerintahan (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim Kerajaan Islam Bima sekitar abad 17M. (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Nusantara pada masa awal kerajaan Islam Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) budaya, tetapi juga memancing kepentingan untuk bersama-sama memelihara ketenteraman, politis VOC dalam hegemoni kekuasaan dan bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan monopoli perdagangan di wilayah Bima. Dalam dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut perkembangannya, ketika pemerintah Hindia dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan baik secara bersama-sama maupun sendiri- VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di Pulau sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak Sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian Belanda, termasuk kerajaan-kerajaan kecil pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang seperti Tambora, Pekat dan Sanggar. Dari awal telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih abad ke-17 sampai awal abad ke-19, Belanda, berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, baik sebagai kongsi dagang (VOC) maupun VOC diizinkan untuk mendirikan pos-nya di sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 usaha hegemoni kekuasaan di wilayah ini. dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Contoh usaha yang dilakukan, diantaranya (Chambert-Loir, 2004). adalah politik adu domba dan membuat Penekanan Belanda ini sudah dilakukan berbagai perjanjian yang pada akhirnya jauh sebelumnya. Secara politis, hubungan berhasil menguasai lingkungan istana secara Bima dan VOC mulai berlangsung dengan utuh. Perjanjian-perjanjian tersebut berujung ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember pada perjanjian yang dikenal dengan ”Contract 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian Met Bima”. Perjanjian ini menunjukkan bahwa itu merupakan kontrak pertama dengan VOC Kerajaan Bima benar-benar berada dalam sebagai akibat keikutsertaan Bima, Abdul wilayah hegemoni Hindia Belanda. Bima pada Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa Masa Awal Kesultanan. memerangi Belanda. Karena kalah perang, Hubungan historis dengan kerajaan- Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani kerajaan Islam di Makasar, seperti Kesultanan

118 I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang a. Yang bersifat teoritis untuk melengkapi dikenal sebagai “Perjanjian Bongaya”. Isi sejarah perdagangan Tambora dalam perjanjian itu, antara lain ialah memisahkan koridor Sejarah Nasional Indonesia Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar b. Yang bersifat ideologi mensosialisasikan tidak saling berhubungan dan saling membantu. nilai-nilai dinamika sosial, kearifan lokal Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan untuk pembangunan ketahanan dan jatidiri terobosan kepada Kompeni untuk berdagang di masyarakat menghadapi modernisasi Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta budaya global atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal c. Yang bersifat praktis memberikan dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pemahaman kepada masyarakat pelabuhan. Setiap terjadi pergantian raja atau bahwa Kesultanan Tambora sejak dulu sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. memberikan ruang kegiatan produksi Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak- untuk memajukan Tambora bukan hanya kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan mengandalkan sumber daya alam. Bima dan kerajaan-kerajaan lain termasuk Kesultanan Tambora di Pulau Sumbawa di 1.4 Kerangka Teori bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan- Sejumlah artefak yang ditemukan di lahan. Walaupun demikian Sultan Bima tetap kawasan situs Tambora yang di identifi kasikan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan merupakan komoditi yang dihasilkan Belanda (Ismail, 2004). masyarakat Kesultanan Tambora. (Geria, 2008). Komoditi yang tergolong merupakan 1.2 Rumusan Masalah hasil bumi dan komoditi yang merupakan Dalam penelitian ini, ada dua masalah hasil produksi masyarakat berupa barang- yang akan diteliti, yaitu : barang kerajinan. Temuan lainnya sejumlah a. Komoditas apa saja yang diperdagangkan barang yang diidentifi kasikan merupakan untuk mendukung kegiatan perekonomian barang yang diproduksi dari luar. Keberadaan Kesultanan Tambora? b. Faktor dan variabel apa saja yang temuan ini diduga sebagian merupakan barang mendukung Kesultanan Tambora komoditi yang diperdagangkan maupun yang yang berada di kawasan pegunungan diperoleh dari sistem barter. Terinspirasi oleh memiliki strategi dalam mengembangkan temuan lapangan akan dicoba menelusuri perdagangan? berbagai faktor yang mendukung kawasan Tambora sehingga merupakan kesultanan yang 1.3 Tujuan dan Kegunaan lokasinya di kaki gunung Tambora memiliki Berangkat dari masalah di atas, maka kemampuan eksis dibidang perdagangan. penelitian ini bertujuan: Menurut teori Kebijakan Perdagangan a. Untuk mengetahui komoditas dagang dan (Hamdy, 1999), ada sejumlah faktor yang hasil kerajinan yang dimiliki Kesultanan mendukung terjadinya suatu perdagangan, Tambora. antara lain ialah a). Perbedaan sumber alam; b. Untuk mengetahui sejumlah faktor dan suatu negara mempunyai kekayaan alam yang variabel yang mendukung, sehingga berbeda, sehingga hasil pengolahan alam yang Kesultanan Tambora layak dan strategis dinikmati juga berbeda. Oleh karena sumber sebagai wilayah yang diperhitungan kekayaan alam yang dimiliki suatu negara sangat dalam perdagangan pada masa itu. terbatas, sehingga diperlukan tukar-menukar Diharapkan penelitian akan memberikan atau perdagangan. b). Perbedaan faktor produksi manfaat : yang dihasilkan oleh suatu negara, juga mengalami perbedaan, sehingga dibutuhkan

119 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 adanya perdagangan. Tidak semua barang pelabuhan, fasilitas pelabuhan besar yang yang dibutuhkan oleh suatu negara, mampu dimiliki Kesultanan Bima sangat mendukung diproduksi sendiri, sehingga diperlukan hubungan dagang kerajaan-kerajaan yang tukar-menukar antar bangsa. e). Adanya ada di sekitarnya karena pelabuhan Bima motif keuntungan dalam perdagangan. Biaya sudah lebih dulu dikenal dan barang-barang yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu yang diperdagangkan sangat didukung oleh barang selalu terdapat perbedaan. Adakalanya kerajaan kecil di sekitarnya, karena sebagian suatu negara lebih untung melakukan impor barang dagangan ini disuplai dari kerajaan daripada memproduksi sendiri, namun ada kecil termasuk Tambora. Berjalannya regulasi kalanya lebih menguntungkan kalau dapat perdagangan ini diperankan Bima dan kerajaan memproduksi sendiri barang tersebut, karena kecil secara mutualisme saling menguntungkan. biaya produksinya lebih murah. Oleh karena Dengan masuknya VOC terganggunya itu, negara-negara tersebut akan mencari regulasi perdagangan yang telah terbangun keuntungan dalam memperdagangkan barang lama. Terjadilah perlawanan terhadap VOC hasil produksinya. f). Adanya persaingan namun dengan strategi adu domba hegemoni antar pengusaha, antar bangsa, dan antar perdagangan dikuasai sampai jatuhnya VOC kerajaan. Persaingan ini akan berakibat suatu pada permulaan abad XIX. negara meningkatkan kualitas barang hasil produksi dengan biaya yang ringan, sehingga 1.5 Metode Penelitian dapat bersaing dalam dunia perdagangan. 1.5.1 Tempat dan Waktu Penelitian Adanya persaingan ini sering menyuburkan Situs Tambora terletak di dusun sifat kapitalis dalam perniagaan. Teori ini Tambora, desa Oibura, kecamatan Tambora, sejalan pandangan Van Leur, bahwa pada Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Secara masa kerajaan lama, baik pada masa kejayaan astronomis terletak pada garis Bujur 117o 50´ Hindu, Buddha, maupun Islam, pengaruh raja 54, 2´´ BT dan garis lintang 08o 10´ 24´´ LS atau sultan sebagai kepala negara dalam dunia pada ketinggian 640 meter dari permukaan laut perdagangan cukup besar. Mereka bertindak (lihat Peta no.1). Tercatat tiga kerajaan yang tidak hanya sebagai pengontrol keamanan atau terkubur akibat letusan Gunung Tambora yakni penarik pajak, tetapi sering bertindak sebagai kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar. Kegiatan “pemegang saham”. Oleh karena itu pada Penelitian di kawasan ini sudah berlangsung 5 dasarnya dunia perdagangan di Nusantara kali dan menemukan sejumlah artefak bukti pada waktu itu telah mempunyai sifat kapitalis. peradaban Tambora. (Iskandar, 2005). Teori tersebut digunakan untuk mengamati 1.5.2 Cara Pengumpulan Data temuan lapangan dan kondisi geografi s Penelitian yang diadakan selama ini Kesultanan Tambora ada sejumlah variabel sudah berlangsung 5 tahapan. Kegiatan yang yang mendukung kenapa komoditi Tambora dilakukan yakni mengadakan studi kepustakaan juga menjadi perhitungan dalam perdagangan berkaitan dengan rona awal keberadaan pada masa itu. Variabel sumberdaya alam yang kesultanan Tambora, mengadakan survei dan dimiliki Tambora sangat mendukung sebagai ekskavasi. Survei yang dilakukan di sejumlah komoditas andalan yang patut diperdagangkan. kawasan yang diduga sebagai kawasan akses Variabel hubungan dengan pihak luar yang yang mendukung kegiatan perekonomian telah dilakukan cukup lama dan intens dengan Tambora seperti di areal perkebunan kopi kerajaan-kerajaan dekat (tetangga) ataupun Tambora, Labuan Kenanga, lokasi bangunan pihak luar seperti Kesultanan Goa. Variabel kolonial yang ada di Tambora. Ekskavasi geografi s wilayah strategis dekat dengan telah dilakukan disejumlah tempat di kawasan

120 I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Tambora antara lain, di wilayah Sori komoditi andalan yang di ekspor. Kemiri yang (Situs I) dan di Kampung Baru (Sumber Urip). ditemukan di Situs Tambora dalam keadaan Di kedua kawasan itu ditemukan sejumlah sudah terarangkan (lihat foto no. 1). artefak yang diduga merupakan bagian dari kegiatan perdagangan.

1.5.3 Analisis Data Data yang diperoleh baik dari ekskavasi, maupun survei dapat dijadikan acuan dasar dalam rekonstruksi peradaban khususnya dalam bidang perdagangan seperti data temuan titik- titik lokasi permukiman dapat dipakai dasar rekonstruksi pola permukiman, aksesibilitas kawasan masa lalu yang diduga mendukung Foto no. 1. Temuan beberapa buah kemiri perekonomian Tambora. Hasil pengolahan pada kotak galian situs Tambora data diarahkan dalam upaya mendukung analisis selanjutnya. Metode analisis yang dipergunakan antara lain ialah analisis b. Temuan Kopi komparatif membandingkan dengan situs yang Demikian juga dengan kopi yang diidentifi kasikan memiliki tipikal yang sama, ditemukan di sejumlah kotak galian (ekskavasi). membandingkan kondisi historis pada masa itu. Kopi merupakan komoditi andalan Tambora Analisis morfologi, merupakan analisis yang sejak dulu dibudidayakan kesultanan Tambora mengamati variabel-variabel yang berkaitan berlanjut jaman kolonial Belanda (lihat foto dengan permukiman, penekanannya disini dari no. 2). Saat itu, andil pemerintah kerajaan fungsi ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan sangat besar bagi peningkatan perekonomian pengolahan komoditas sumberdaya alam dan rakyat. Sejak zaman Kolonial Belanda, banyak barang kerajinan. Analisis teknologi terfokus orang-orang Jawa yang dipekerjakan di areal pada kajian terhadap material dan peralatan perkebunan Kopi Tambora, sehingga tidak yang ditemukan terkait dengan fungsinya mengherankan jika nama kamp-kamp di areal mendukung kegiatan industri atau penyediaan ini bernuansa Jawa, seperti Kampung Sumber komoditi dagang. Rejo dan Kampung Sumber Urip. Kawasan perkebunan kopi Tambora yang merupakan II. Hasil dan Pembahasan bukti sejarah yang berkelanjutan sampai saat ini, 2.1 Hasil Penelitian Situs Tambora Berupa terletak di lembah bagian Utara Gunung Tambora Komoditi Perdagangan pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut, a. Temuan Kemiri (Alerites moluccana) merupakan Lahan Hak Guna Usaha (HGU) Kemiri ditemukan terkonsentrasi di seluas 500 Ha. Dari luas tersebut baru 254 Ha sejumlah tempat di lokasi kegiatan ekskavasi. sudah dijadikan kebun kopi, sedangkan 246 Ha Kemiri umumnya dimanfaatkan sebagai masih dalam keadaan kosong. campuran bumbu masak juga dimanfaatkan Pada awalnya perkebunan Kopi Tambora untuk ramuan obat tradisional. Ditemukannya dikelola oleh PT. Bayu Aji Bima Sena (PT. dalam jumlah yang banyak diduga pohon BABS) Jakarta selaku pemegang Hak Guna kemiri dibudidayakan di kawasan Tambora, Usaha (HGU) sesuai keputusan Menteri Dalam karena kemiri juga merupakan komoditi yang Negeri Nomor : 21/HGU/DA/77 tanggal 19 diperdagangkan pada masa itu. Di dalam tulisan juni 1977 dengan mempekerjakan karyawan Bandar Bima, disebutkan kemiri merupakan sebanyak 192 orang, namun sejak tahun

121 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

2001 PT. BABS tidak aktif lagi mengelola alat pemintalan tali. Kemungkinan tali tambang kebun kopi Tambora yang ditandai dengan ini juga diperdagangkan karena banyak yang ditinggalkan dan ditelantarkannya perkebunan membutuhkan untuk pengikat kuda yang kopi beserta aset dan karyawan yang ada di diternakkan di kawasan ini. Kuda merupakan dalamnya. HGU PT. BABS berakhir pada komoditi andalan di derah ini yang juga tanggal 31 Desember 2001. diperdagangkan. Pada masa itu kuda sangat dibutuhkan sebagai alat transportasi darat yang sangat strategis di wilayah pegunungan. Ditemukan juga ring pedati yang terbuat dari besi, diduga kuda juga dimanfaatkan untuk menarik pedati. (Geria, 2008).

Foto no. 2. Kopi Tambora, temuan ekskavasi

Setelah diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Bima (Dinas Perkebunan Kab. Bima), keadaan perkebunan kopi Tambora dari tahun ke tahun semakin membaik. Luas tanaman Foto no. 3 . Temuan tali tambang di Kotak U3T2, kopi yang produktif berkembang menjadi 146 pada kwadran BL situs Tambora Ha pada 3 blok, yaitu Sumber Rejo 52 Ha, Sumber Urip 29 Ha, Besaran 65 Ha. Produksi Bukti sejarah menunjukkan bahwa kopi menjadi 450 kg/Ha. Penyerobotan lahan orang di pulau Sumbawa terkenal di Hindia dan penjarahan hasil kopi dapat ditekan. Total Timur sebagai penghasil ternak kuda, produksi kopi yang dapat dihasilkan sekitar madu, kayu sepang (caesalpinia sappan), 30-40 ton pertahun. Pemasukan PAD antara memproduksi dye merah, dan cendana yang Rp. 200 juta-Rp. 300 juta pertahun (tergantung digunakan untuk dupa dan pengobatan. hasil produksi). Kekayaan yang utama adalah ternak kuda Kopi dari pegunungan Tambora yang dan hasil kayu hutan. Setengah dari kuda- berakar dari sejarah dan nama besar Gunung kuda tersebut dikirim ke Kerajaan Bima Tambora sudah selayaknya dikembangkan pada tahun 1806 dan tahun 1807 berasal dari dan dipromosikan dalam kemasan-kemasan Tambora.( Suryanto, 2009). kopi bubuk yang berlabel KOPI TAMBORA, sehingga akan menjadi produk dan komoditi d. Kerajinan Anyaman unggulan bagi daerah, sekaligus ikon bagi Jenis anyam-anyaman yang ditemukan Bima. (Sumber Data Dinas Perkebunan Kab. antara lain adalah niru yang terbuat dari bambu Bima, 2006). yang diduga fungsinya untuk menapis beras atau biji-bijian lainnya seperti kopi, karena c. Kuda dan Tali Tambang ditemukannya juga di situs ini. Bakul kecil Tali tambang paling banyak ditemukan, yang terbuat dari daun rontal yang berfungsi hampir di semua kotak galian tali yang terbuat untuk menyimpan rempah-rempah (lihat foto dari bambu ditemukan tersusun rapi (lihat foto no. 4). Tas anyaman yang terbuat dari daun no. 3). Diduga di produksi masal langsung di rontal difungsikan untuk tas jinjing karena daerah ini, karena ditemukan juga fragmen bentuknya seperti tas jinjing pada umumnya.

122 I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Barang-barang ini diduga bukanlah komoditas tanduk kijang, diduga dikawasan ini ada yang dihasilkan Kesultanan Tambora karena industri rumah pengolahan dendeng kijang. jumlah temuannya tidak banyak Indikasi ini terbukti dengan ditemukan sejumlah peralatan pisau, tombak dan batu asahan pisau yang merupakan sarana untuk berburu dan pengolahan daging kijang. Tombak yang ditemukan berukuran panjang 30 cm dan terbuat dari besi. Tombak ini dibuat artistik karena dilengkapi sarung anyaman dari rotan cincin (daemonorops sp). Demikian juga tangkai tombak yang ditemukan terbuat dari kayu yang dikerjakan sangat halus.

Foto no. 4. Anyaman daun rontal pada Kotak f. Alat Tenun U3T2, kwadran TL situs Tambora Alat ini ditemukan di kotak U3T2 dan U2T3, dalam kondisi fragmentaris, kendati e. Tanduk Rusa dan Kijang demikian sebagian komponennya dapat Tanduk kijang banyak ditemukan di situs diketahui sebagai alat tenun terbuat dari Tambora (lihat foto no. 5). Ditemukan tanduk kayu (lihat foto no. 6). Alat serupa ini masih kijang yang dibuatkan lubang segi empat diduga dipergunakan oleh pengerajin kain tradisional difungsikan sebagai hiasan dinding atau sebagai di wilayah Sumbawa. Di Wilayah Bima alat kait tempat menggantungkan barang. terdapat industri kecil kerajinan (kerajinan Selain hal tersebut, mengingat banyaknya menenun) yang bersifat home industry. temuan tanduk dan tulang rusa, diduga juga dimanfaatkan sebagai kebutuhan makanan.

Foto no. 6. Peralatan tenun pada Kotak U3T2, kwadran BL situs Tambora

Foto no. 6. Peralatan tenun pada Kotak U3T2, Kegiatan menenun sampai abad ke-20 masih kwadran BL situs Tambora dikerjakan dengan bahan lokal yang bersumber pada “Saffl ower” (kapas) yang biasanya di Kijang dan rusa ini populasinya cukup banyak tanam di sekitar wilayah pemukiman penduduk, terbukti sampai sekarang binatang ini hidup baik di halaman maupun di daerah perkebunan bebas di kawasan Tambora. Diduga Dendeng sebagaimana tanaman yang sifatnya selingan. kijang yang diekspor dari Kesultanan Bima Pohon kapas sering ditanam pada akhir musim juga disuplai dari kawasan ini, terbukti dari hujan dan dapat hidup bertahun tahun. Bunga- temuan ekskavasi berupa banyak tulang dan bunga kapas yang dipetik dijemur beberapa

123 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 hari sampai bisa mengembang dengan dengan diameter besar ditemukan disejumlah sempurna, sampai terurai biji dan serat-serat tempat dalam keadaan terarangkan. Dikawasan kapasnya, kemudian diproses dengan alat- Situs Tambora banyak juga ditemukan pohon alat yang sederhana. Kegiatan menenun orang tumbang yang terarangkan. (lihat foto no. 7). Bima dilakukan setelah proses penanaman padi selesai sampai menunggu masa panen tiba, sehingga mendorong dan memotivasi ibu- ibu untuk menenun dengan sungguh-sungguh menjadi kegiatan yang sudah masuk ke tataran yang bersifat intensif. Pada zaman dahulu sekitar abad ke-18 dan ke-19 pekerjaan menenun biasanya banyak menghasilkan sarung dan kain yang bersifat lokal seperti tembe kafa nae, weri, pasapu muna dan lain-lain karena benang sangat Foto no.7. Pohon Kalanggo yang terarangkan sederhana. Benang diperoleh dari kapas yang di situs Tambora ditanam sendiri, dipetik dijemur dan beberapa hari kemudian dipintal dan diuraikan dengan Vegetasi ini diketahui sebagai jenis pohon alat sederhana pemisah kapas dengan bijinya. kalanggo (Duabangga moluccana). Umumnya Pulau Sumbawa dikenal Terpeliharanya kayu hutan di kawasan ini memiliki sumber bahan celupan dari dua karena pada masa itu masih kuat kearifan tumbuhan disebut “ Nila (dau)” banyak terdapat lokal masyarakat dalam melestarikan dan dipagar-pagar rumah orang Bima dengan memelihara hutan. Sebagai contoh tradisi dominansi warna hitam kebiru-biruan. Celupan yang dianut masyarakat Sumbawa yang dan proses permintalan benang berlangsung diduga dianut pula mayarakat Tambora, ialah puluhan tahun di Bima, akan tetapi hasil celupan kearifan lokal dalam memperlakukan hutan, ini mengalami perubahan karena telah ada bahan terdapat penentuan kayu yang akan digunakan celupan yang lebih memberikan perkembangan sebagai bahan bangunan rumah dan masjid. usaha pertenunan seperti Crayon, Acrilin, Untuk menentukan kayu yang layak digunakan (arka Asam dan polyester). Dengan perubahan sebagai bahan bangunan, masyarakat biasanya ini tidak seluruhnya menghilangkan usaha mempercayakan kepada orang yang dianggap tradisional namun secara sedikit demi sedikit mumpuni. Kayu yang akan ditebang harus dapat menyisihkan kegiatan tradisional, sudah berumur cukup tua, tidak boleh berada karena kreatifi tas dan produktivitas yang lebih dekat dengan sumber atau mata air, dan tidak menguntungkan. Di era modern sekarang ini ditumbuhi tanaman merambat. Tumbuhan yang kegiatan celupan lokal ini masih ada disekitar merambati kayu yang akan digunakan untuk daerah-daerah pedalaman seperti Donggo dan bahan bangunan dianalogikan sebagai borgol. Ntonggu Kabupaten Bima. Jika syarat tersebut dilanggar, maka pemilik rumah diyakini akan mendapat masalah serius g. Kayu Hutan dalam kehidupannya dan akan membawa yang Tambora merupakan kawasan hutan yang bersangkutan ke dalam penjara.Larangan sangat lebat sebelum terjadinya letusan besar, menebang kayu yang ditumbuhi tanaman terbukti dari adanya empasan tumpukan kayu merambat juga merupakan salah satu cara yang hanyut membentuk rakit dalam jarak lintas masyarakat Sumbawa untuk menjaga populasi melebihi 5 km (Stothers, 1984) di perairan Teluk lebah madu (Apis dorsata) yang banyak hidup Saleh ketika bencana Tambora. Tumpukan kayu di hutan-hutan setempat agar tidak punah.

124 I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Pohon yang ditumbuhi tanaman merambat 2.2 Pembahasan merupakan tempat yang disukai oleh lebah 2.2.1 Kesultanan Tambora dalam Kancah untuk bersarang. Jika lebah madu telah Perdagangan membuat sarang di kayu tersebut, maka Tambora adalah salah satu kerajaan tahun berikutnya mereka juga akan tetap kecil di Bima, setelah Sanggar dan Pekat menempatinya. Kalau kayu tersebut telah yang merupakan kesultanan yang memiliki ditebang, lebah madu akan membuat sarang potensi andalan yang mendukung hegemoni ke kayu lainnya, menjauhi lokasi semula. perdagangan Bima. Bima merupakan kerajaan Hal ini menyebabkan kesulitan bagi pencari di wilayah Indonesia Timur sudah dikenal sejak madu yang merupakan salah satu pekerjaan jaman memiliki bandar yang ramai warga sekitar hutan dalam menambah karena didukung geografi s yang merupakan pendapatan. Sejak dulu, hutan Tambora, jalur lintas perdagangan. Bandar tersebut Sumbawa merupakan penghasil madu alam berlokasi di Teluk Sape dan Teluk Bima. Bima terbaik di Nusantara. Tingginya kualitas dikenal terbuka ke dunia luar sebab perniagaan madu tersebut disebabkan adanya jenis-jenis merupakan penghasil utama (Chambert-Loir, tanaman pakan lebah yang tidak terdapat di 2000). Sebagai kerajaan di sekitar Bima. daerah lain. Sejumlah jenis pakan lebah madu Tambora memiliki peran yang cukup strategis jarang dijamah manusia karena adanya sistem dalam mendukung perdagangan Bima, karena kearifan lokal yang melarang menebang sebagian kebutuhan perdagangan Bima di suplai pohon atau jenis kayu tertentu. juga dari kerajaan sekitarnya termasuk Tambora. Upaya untuk tetap menjaga kelestarian Tambora bukan saja kaya akan sumberdaya hutan juga dilakukan sebagai bagian dari alam, namun wilayahnya pula strategis dekat tradisi masyarakat dalam meramu obat-obatan dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh, tradisional. Sebagian besar tanaman obat termasuk dalam jalur lintas perdagangan yang merupakan tumbuhan langka dan hanya dapat ramai disinggahi kapal asing. (lihat foto no. 8). dipetik dari hutan yang masih alami. Kayu yang ditebang tidak boleh jatuh melintangi jalan umum dan wilayah berair di tengah hutan, karena akan mengganggu baik bagi pengguna jalan maupun binatang yang mencari air minum. Jika kayu jatuh mengenai kayu lainnya, maka dahan kayu yang jatuh harus dibersihkan dari pohon yang dikenainya. Kalau tidak dibersihkan dikhawatirkan akan menimbulkan pamali. Dalam pandangan Foto no. 8. Wilayah Kesultanan Tambora (warna masyarakat sekitar hutan, pamali yang disebut hijau)memiliki akses ke Labuan Kenanga dan Teluk kabadi dapat menimbulkan penyakit bagi si Saleh, peta tahun 1696 penebang dan pada gilirannya dapat menyebabkan Kegiatan perdagangan Kesultanan Tambora kematian. Kayu yang telah ditebang akan dipilih dilakukan tidak saja dengan Bima, tetapi dua batang yang dinilai paling baik sebagai tiang dilakukan juga perdagangan langsung dengan utama yang disebut tiang guru (tiang guru sawai Kerajaan Makasar. Hubungan antara dua dan tiang guru salaki). Namun, berbagai kearifan kesultanan ini dibuktikan dari sejumlah surat lokal ini hanya mampu bertahan sampai dekade menyurat yang dilakukan oleh dua kerajaan 80-an. Masuknya sejumlah industri pengolahan tersebut (National Archief the Netherlands). kayu seperti, PT. Jati Alam Lestari, PT. Veener, Adanya dugaan Kesultanan Tambora dan CV. Elektronik telah menggeser kearifan melakukan perdagangan langsung karena lokal ini. didukung oleh aksesibilitas, juga kentalnya rasa

125 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 persaingan pada masa itu yang menyuburkan olahan dendeng kijang yang disuplai ke Bima kapitalis politik yang umum dilakukan raja-raja dan kawasan lainnya. Produk lainnya yang Nusantara pada waktu itu. diduga diproduksi yakni rajutan tali tambang. VOC pada waktu itu berkeinginan untuk Temuan tali tambang dalam jumlah banyak menguasai hegemoni perdagangan di wilayah merupakan indikasi bahwa tali rajutan itu timur, dengan melakukan penguasaan kerajaan merupakan produksi home industry masyarakat kecil seperti Tambora. Pertimbangan Belanda Tambora. Di samping untuk keperluan sendiri untuk melakukan penguasaan terhadap dibutuhkan masyarakat untuk keperluan kerajaan kecil, ialah karena akan lebih mudah peternakan kuda yang merupakan komoditi ditundukan, sehingga potensi alam penyangga andalan Tambora. perdagangan Bima akan lebih mudah Potensi Tambora yang kaya akan dikuasai. Namun ternyata anggapan mereka sumberdaya alam dan signifi kan dalam keliru, Tambora tidak mudah ditundukan perdagangan di kawasan ini, menjadi tetapi disambut dengan pertempuran sengit. pertimbangan Kolonial Belanda untuk terus Mengalami kesulitan menghadapi Tambora menguasai, bahkan sampai dekade tahun 30- dan kerajaan lainnya VOC menggunakan an tetap mempertahankan perkebunan kopi tipudaya dengan politik adu domba, cara ini Tambora dengan tujuan politis menguasai pusat digelar mulai dengan mengeluarkan perjanjian Kesultanan Tambora yang diduga lokasinya di Bongaya. Salah satu isi perjanjian Bongaya kawasan kebun kopi tersebut. antara lain bertujuan untuk memperlemah Selain sumberdaya di atas masih ada posisi Bima, karena kerajaan Goa tidak sejumlah variabel yang mendukung kawasan diperkenankan mengirim bantuan ke Bima, Kesultanan Tambora yang layak diperhitungkan dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja dalam kancah perdagangan di kawasan Timur. di kerajaan kecil. Perintah Belanda ini tidak Variabel tersebut antara lain, yaitu : dituruti oleh kerajaan Goa. Taktik VOC untuk a. Variabel sumberdaya alam. Tambora yang menguasai kerajaan kecil ini bukan tidak ada berada pada ketinggian 500–1200 m dari sebab, karena disamping sumberdaya alam permukaan laut merupakan kawasan yang sangat yang cukup kaya, kawasan Tambora sudah subur dengan memiliki sumber air dan sungai yang dikenal sejak dulu memiliki akses lintasan mengalir sepanjang tahun. Kesultanan Tambora jalur perdagangan dengan pedagang luar. tidak saja sebagai kawasan penghasil kopi karena Ditemukan sejumlah keramik Cina dan benda- didukung oleh iklim dan ketinggian lahan yang benda berharga seperti talam perunggu yang memungkinkan budidaya kopi, tetapi juga memiliki tergolong mewah pada masa itu merupakan lahan basah sebagai kawasan irigasi teknis hasil dari hubungan dagang dengan pihak luar. persawahan berkembang di kawasan ini, terbukti Pedagang dari luar tertarik berdagang dengan dengan ditemukan sejumlah padi yang tersusun Kesultanan Tambora bukan saja karena rapi di tempat penyimpanan. (lihat foto no. 9). sumberdaya alamnya yang berlimpah, namun karena Tambora juga dikenal sebagai produsen tekstil yakni kerajinan tenunan, terbukti dari sejumlah temuan hasil ekskavasi berupa peralatan tenun yang ditemukan di setiap kompleks rumah. Produksi lainnya semacam makanan olahan pembuatan dendeng rusa dan kijang. Terbukti dengan temuan sejumlah tulang dan tanduk kijang yang diduga kawasan ini merupakan salah satu tempat produksi Foto no. 9.Temuan padi yang terarangkan di situs

126 I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Demikian juga kopi Tambora yang menjadi dibutuhkan oleh suatu negara mampu untuk andalan Kesultanan Tambora, yang sudah diproduksi sendiri, sehingga keperluan itu dibudidayakan sejak dulu berlanjut hingga dapt diperoleh dari tempat lain dengan sistem masa kolonial. Menurut Zollingger tanamam perdagangan ataupun barter. Salah satu contoh, kopi di kawasan Tambora sudah dikelola ialah kayu hutan yang menjadi incaran kolonial baik pada tahun 1897 (Bernice, 1995). Pada yang merupakan hasil hutan yang langka di Tahun 1902 pemerintahan kolonial Belanda negaranya menjadi target penguasaan kayu- mengelola perkebunan kopi di kawasaan ini kayu hutan oleh kolonial. Pada masa kolonial, dengan pimpinan pengelola yang bernama D. VOC memonopoli perdagangan di Nusantara, Noles warga Negara Belanda seperti tercatat maka hutan Sumbawa terhitung sebagai sumber dalam laporan Belanda. (Onderdemingen, dari berbagai komoditi dalam perniagaan antar 1902). Tahun 1930 perkebunan kopi Tambora pulau. Kayu sepang, gaharu, cendana, kelicung, pengelolaannya ditangani orang Swedia yang jati, dan berbagai kayu berkelas di pasar bernama Swede G Bjorklund (Bernice,1995). dagang saat itu, sebagian besar berasal dari Hal ini membuktikan, bahwa kopi menjadi hutan Sumbawa, termasuk kawasan Tambora. andalan Kesultanan Tambora karena potensi Belanda mengangkut kayu-kayu tersebut ke sumberdaya alam ini, belum tentu dimiliki oleh berbagai pelabuhan di Indonesia, terutama ke kerajaan yang lainnya. Batavia sebagai pusat perdagangan terbesar Suatu negara mempunyai kekayaan alam di Nusantara. Diduga, selanjutnya kayu- yang berbeda, sehingga hasil pengolahan alam kayu tersebut dibawa ke Eropa sebagai bahan yang dinikmati juga berbeda. Oleh karena furniture. Menurut catatan sejarah, pada sekitar sumber kekayaan alam yang dimiliki suatu abad ke-18, Belanda memonopoli perdagangan negara sangat terbatas, sehingga diperlukan kayu sepang Sumbawa dengan melarang pihak tukar-menukar atau perdagangan. Dari segi Kerajaan di Sumbawa termasuk Tambora politik dan perniagaan keadaan Kesultanan menjual kayu tersebut ke pihak lain. Kayu Bima masih tergantung kepada kerajaan- sepang tersebut menjadi komoditi utama kerajaan lain di pulau Sumbawa (Chambert untuk membantu keterpurukan ekonomi yang Loir, 2000). Potensi sumberdaya alam yang dialami oleh VOC. Karena itu, Kerajaan dimiliki oleh Tambora sangat menguntungkan Sumbawa melakukan perlawanan terhadap dan dibutuhkan oleh masyarakat dan kesultanan VOC. Selain rempah-rempah, kayu, dan hasil lainnya seperti Bima, Sanggar, dan pedagang hutan lainnya, kaum kolonial juga menjadikan pihak luar seperti Kerajaan Goa dan kolonial hutan Sumbawa sebagai obyek pengkajian dan Belanda. Kuda juga merupakan komoditi penelitian ilmiah bagi para ilmuwan Eropa. andalan yang diperdagangkan seperti disebut Pengelolaan sumberdaya hutan di Sumbawa dalam tulisan Tobias bahwa kuda-kuda Bima mengalami kemajuan pada masa pemerintahan yang berkualitas ekspor didatangkan dari Sultan Amrullah II, sekitar tahun 1800 M, Tambora (Bernice,1995). Potensi ini didukung bahkan sampai masa pemerintahan orde baru oleh luasnya hutan savana khususnya di daerah hutan tambora menjadi ladang penebangan lembah dan dataran merupakan kawasan hutan yang dilegalkan pada waktu itu oleh pastoral pengembalaan ternak yang sangat pemerintah dan memberikan HPH kepada potensial. pihak swasta untuk mengelola kawasan hutan Tambora yang diberikan konsesi penebangan b. Variabel keterbatasan kemampuan suatu sampai ketinggian 1200 m dari permukaan laut; negara, baik kekayaan alam maupun yang bayangkan berapa juta kubik kayu kawasan lainnya, maka tidak semua barang yang hutan Tambora sirna.

127 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 c. Variabel geografi s. Menurut teori ekologi; disegani dan diperhitungkan oleh kerajaan manusia tidak terlepas dari lingkungannya; Goa, dan kolonial Belanda dan para pedagang mereka berupaya menyiasati lingkungan dari daratan Cina terbukti dari sejumlah temuan dengan pola hidup adaptif (Poerwanto : 2000). benda berharga berupa keramik di permukiman Penataan pola permukiman, pengelolaan masyarakat umum (lihat foto no. 11). sumberdaya alam, dan pengelolaan lingkungan sosial, dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintahan Kesultanan Tambora dalam menentukan lokasi istana. Dugaan keberadaan istana Kesultanan Tambora di areal kebun kopi, karena secara geografi s lokasi ini sangat menguntungkan, yang merupakan bentang lahan luas dan tinggi, sangat strategis untuk memantau ke arah Labuhan Kenanga. Dugaan ini diperkuat pula dengan temuan benteng tradisional di Labuhan Kenanga, (lihat foto no. 10),

Foto no. 11. Temuan Keramik di situs Tambora

Kesultanan Tambora juga merupakan kawasan penyangga perdagangan Kesultanan Bima, karena sebagian barang dagangan Bima diduga disuplai dari kawasan Tambora, dan kerajaan- kerajaan kecil di Sumbawa termasuk Tambora memiliki komoditas ekspor antara lain beras, madu, sarang burung, kuda, garam, kapas dan kayu sapan (Bernice, 1995). Foto no. 10. Benteng tradisional di Labuan Kenanga yang dimanfaatkan oleh pihak kesultanan untuk 2.2.2 Peran Kesultanan Bima dalam mengintai kedatangan para pedagang, ataupun Hegemoni Perdagangan Tambora musuh yang menuju wilayah kesultanan Berbicara mengenai posisi Bima dalam Tambora (Geria, 2012). Sistem perbentengan jaringan pelayaran dan keterlibatannya dalam pada zaman itu sudah lazim dibuat untuk aktivitas perdagangan, erat kaitannya dengan mengantisipasi kedatangan musuh dari luar pembicaraan mengenai posisi dan kedudukan Istana Kesultanan Tambora wilayah Nusa Tenggara dalam lintas pelayaran- diperkirakan menghadap ke arah laut, seperti perdagangan nusantara, termasuk pulau istana Kesultanan Tidore dan . Perlu Sumbawa (termasuk Bima) di dalamnya. diketahui bahwa akses pelabuhan cukup Kawasan Nusa Tenggara, mulai dari pulau Bali penting dan sangat strategis bagi kerajaan, di ujung barat sampai pulau Timor di ujung timur karena mendukung penguasaan hegemoni terbentang pada jalur pelayaran-perdagangan perdagangan. Jalur lintas laut wilayah ini cukup nusantara yang diperkirakan sudah digunakan ramai pada masa itu, merupakan akses yang sejak abad ke-14. Banyak sekali negara-negara menguntungkan dan strategis bagi kesultanan yang mempergunakan jalur tersebut untuk Tambora. Hal ini dapat kita perhatikan dari berdagang dan salah satu di antaranya adalah peta yang dibuat tahun 1694 . Karena memiliki Cina. Jalur-jalur pelayaran orang-orang Cina akses itu maka Kesultanan Tambora sangat ke Timor, dengan alasan karena pulau Timor

128 I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora dan Sumba memiliki produk andalan yang Hubungan pelayaran-perdagangan ini selain tidak dapat diperoleh di tempat lain, yakni kayu mendorong munculnya Bima sebagai salah cendana. Menurut Meilink Roelofsz, aktivitas satu bandar yang terpenting di kawasan Nusa perdagangan Malaka ini menyebabkan Islam Tenggara, juga mendorong munculnya Bima tersebar luas. Dalam hubungan ini pula sebagai kerajaan dan pusat penyiaran Islam di perdagangan tampaknya menjadi faktor penting kawasan itu (Tawaluddin,1977). dalam Islamisasi di seluruh Nusantara. Selain itu Bima pun menjalin hubungan Posisi Bima dalam lintas pelayaran- dengan Kerajaan-kerajaan di Selatan, perdagangan antara Malaka-Maluku atau terutama kerajaan Gowa dan Tallo. Kapan sebaliknya dan keterlibatannya dalam aktivitas hubungan itu mulai berlangsung belum dapat perdagangan mendorong munculnya Bima, ditentukan secara pasti. Dalam Bosangajikai baik sebagai kota bandar maupun sebagai kota syair Kerajaan Bima disebutkan bahwa Raja pusat kerajaan yang terpenting di kawasan Bima, Manggampo Donggo belajar cara-cara Nusa Tenggara, sekaligus mempercepat proses mengendalikan pemerintahan yang kemudian Islamisasi dan munculnya Bima sebagai kerajaan berkembang menjadi tata adat yang berlaku di Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi di Kerajaan Bima dikemudian hari dari Kerajaan daerah Bima dan sekitarnya erat kaitannya yang Gowa. Sejak itu pula hubungan dengan Kerajaan didorong oleh keterlibatan Bima, baik dalam Gowa dan Tallo berlangsung hingga terjalin perdagangan regional maupun internasional hubungan keluarga rnelalui perkawinan. Pesatnya yang pada waktu itu telah didominasi oleh perkembangan Bima sebagai kawasan yang pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang Islam. memiliki bandar yang ramai pada masa itu serta Setelah Bima muncul sebagai kerajaan Islam, memiliki hubungan erat dengan sejumlah kerajaan datanglah para ulama dan mubaligh Islam dari luar seperti Makasar merupakan potensi yang berbagai daerah. menguntungkan sejumlah kerajaan kecil yang ada Di dalam naskah Bosangajikai kerajaan di wilayah ini seperti Tambora, Pekat, dan Sanggar. Bima disebutkan bahwa hubungan Bima dengan Dengan terbukanya akses ke luar memudahkan Pulau Jawa telah berlangsung sejak abad ke-10, regulasi perdagangan yang dilakukan karena pada waktu Raja Batara Mitra pergi ke Jawa dan komoditas yang dimiliki sejumlah kerajaann kecil di sana ia kawin dan mendapatkan seorang anak ini dapat lancar di suplai ke Bima. Ketiga kerajaan bernama Manggampo Jawa. Setelah Batara Mitra kecil ini mempunyai akses ke jalur lintas laut meninggal di Jawa, Manggampo Jawa pulang ke yang selalu dilalui para pedagang dari luar apabila Bima menggantikan ayahnya menjadi raja. Dari menuju Bandar Bima. Jawa ia membawa serta seorang pande bernama Ajar Panuh yang kemudian mengajar orang- III PENUTUP orang Bima membangun candi, membuat batu 3.1 Kesimpulan bata dan mengajarkan kepandaian baca tulis. Kesultanan Tambora berperan dalam Setelah Majapahit runtuh dan munculnya hegemoni perdagangan di wilayah Nusa kerajaan-kerajaan Islam, hubungan ekonomi Tenggara. Sebagai wilayah yang subur memiliki perdagangan antara Bima dengan Pulau Jawa sumberdaya alam dan kerajinan menjadi dan daerah-daerah lain di kawasan barat strategis sebagai kawasan penyangga komoditi Nusantara tetap berlangsung. Tome Pires perdagangan dari Kesultanan Bima, di samping menyebutkan bahwa kapal-kapal dari Malaka perdagangan langsung yang dilakukan dengan dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk kerajaan atau para pedagang lainnya. Komoditi mencari rempah-rempah singgah di Bima untuk yang dimiliki Tambora, kopi, kemiri, madu, berdagang dan mengambil air minum, bahan dendeng rusa, tali tambang, kerajinan tenun dan kuda. Kuda Bima kwalitas ekspor, sebagian makanan untuk melanjutkan pelayaran mereka. didatangkan dari Kesultanan Tambora. Ada

129 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 sejumlah variabel yang mendukung kawasan Ismail, Hilir. 2004. Peran Kesultanan Bima tambora sebagai kawasan perdagangan yakni dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. sumberdaya alam, upaya produksi seperti Mataram, bekerjasama dengan Yayasan kerajinan tenun sebagai upaya mengisi peluang Adikarya IKAPI dan The Ford komoditi yang tidak dihasilkan oleh pihak Foundation. kerajaan lainnya. Variabel geografi s letak Geria, I Made. 2008. Jejak-jejak Peradaban Kesultanan Tambora memiliki akses baik ke Labuhan Kenanga maupun akses ke Teluk Tambora, Forum Arkeologi No. 1 Mei Saleh yang menjadi lintasan para pedagang –hal 14, 2008. Denpasar. ke kawasan Nusa Tenggara. Peran Kesultanan ______. 2012. Laporan Bima sebagai kawasan yang terkenal memiliki Penelitian Arkeologi, Ekskavasi bandar ramai pada waktu itu memberi peluang Situs Tambora, Kecamatan Tambora, Tambora dalam kegiatan perdagangan dan Kabupaten Bima, NTB berhubungan intens dengan pihak luar sehingga Hamdy, Hady.1999. Ekonomi Internasional, akses ini menjadikan Kesultanan Tambora Teori dan Kebijakan Perdagangan ikut berperan dalam hegemoni perdagangan di Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta kawasan Timur Indonesia. 1999. Maryam, Siti R Salahudin. 1992. Bandar Bima, 3.2 Rekomendasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kegiatan penelitian berikutnya perlu Kabupaten Bima, NTB. eksplorasi tes spit di sejumlah tempat di National Archives of The Netherlands Since kawasan kebun kopi dan di sekitar bangunan 1856, Database of VOC Dokuments Kolonial. Perlu pembiayaan yang dapat Tanap Research, http//: www. Tanap.net/ mendukung kegiatan ini, seperti pengadaan content/VOC/history-general state.htm naskah dan peta kawasan yang berkaitan Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan dengan Kesultanan Tambora. Naskah dan peta Lingkungan Dalam Persfektif Antropologi, tersebar pada beberapa institusi di luar negeri, Pustaka Pelajar, Jakarta. yang salah satunya di antaranya tersimpan di Roelofsz, M.A.P.Meilink, 1962. Asian Trade Badan Kearsipan Pemerintahan Belanda. and European Infl uence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about DAFTAR PUSTAKA 1630, Martinus Nijhoff, The Hague. Bernice, De Jong Boers. 1995. “ Suryanto, HM. Agus. 2009. Letusan Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia Misteri Kelahiran Kerajaan Dompu Baru, and its Aftermath”. Indonesia vol 60.p. http//:www.dompu.go.id ,2009. 37-59. New York. Cornell University’s Stothers, Richard.B. 1984. “The Southeast. Great Tambora Eruption in 1915 and Chambert-Loir, Henri. 2000. Bo` Sangaji its Aftermath”. Science vol 224. Kai (Catatan Kerajaan Bima). Jakarta: pp. 1991- 1998.Washington. Yayasan Obor. AAAS Highwire Press. 2004. Kerajaan Bima dalam Sastra dan Tawaluddin Haris, Susanto Zuhdi, Triana Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor. Wulandari, Kerajaan Tradisional Di Iskandar, Mohamad, 2005. Nusantara Indonesia: Bima, Jakarta, CV Putra Sejati dalam Era Niaga sebelum Abad ke- Raya, 1997. 19, Wacana Vol 7 No.2, Oktober Van Landbouw,Ondernemingen, 1905. 2005 (175-190). Overzicht, Nederlandsch (oost-) Indie, Kolonial Verslag , 1905.

130 ForumI Wayan Arkeologi Suantika Volume Potensi 25 Wisata No. 2 ArkeologiAgustus2012 di Kawasan(131 - 147) Danau Beratan

POTENSI WISATA ARKEOLOGI DI KAWASAN DANAU BERATAN

ARCHAEOLOGICAL TOURISM POTENTIAL AROUND BERATAN LAKE I Wayan Suantika Balai Arkeologi Denpasar Email: [email protected] Naskah masuk : 28-5-2012 Naskah setelah perbaikan : 15-6-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

Abstract The site around of Beratan Lake, at Candi Kuning Village, District of Baturiti, Tabanan regency, until present day become one destination area at Bali Island. It offers environment tourism, water tourism and also agro tourism. Beside that, surely this area has potential in the aspect of cultural tourism, esspecially archaeological tourism. Around Beratan lake, it was found several archaeological site which spread in many places and consist of several item of archaeological remains, with the their uniquenesses. All of archaeological remains exactley to be sustainable development, caused by the quality and the quantity of the archaeological resourches more posibble became one of the tourism destinations. Planned and integrated treatments of all stake holders are necessary. Key words: archaeology, tourism and lake Beratan.

Abstrak Kawasan Danau Beratan, di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,sampai saat ini sudah menjadi salah satu Daerah Tujuan Wisata di Pulau Bali. Daya tariknya berupa wisata alam, wisata air, dan juga agrowisatanya. Disamping semua daya tarik tersebut, sebenarnya wilayah ini memiliki potensi dalam bidang wisata budaya, khususnya wisata arkeologi. Disekitar danau Beratan banyak ditemukan situs-situs arkeologi yang tersebar di berbagai tempat serta terdiri dari berbagai jenis tinggalan arkeologi yang memiliki daya tarik tersendiri. Tinggalan-tinggalan arkeologi ini, sangat tepat untuk dikembangkan secara berkelanjutan, mengingat kwantitas dan kwalitas sumberdaya arkeologi yang ada sangat memungkinkan untuk dijadikan sebuah daya tarik pariwisata. Hanya saja diperlukan penangaan yang bersifat terencana dan terpadu dari semua komponen. Kata kunci : Arkeologi; Pariwisata dan Danau Beratan.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri Pariwisata semakin hari semakin Pariwisata Air, Pariwisata laut, Pariwisata besar dan berkembang terus sehingga dewasa Budaya, dan berbagai lain-lainnya. Dengan ini dapat dikatakan, bahwa industri pariwisata potensi yang dimiliki oleh sektor kebudayaan adalah industri yang terbesar di seluruh dunia. tersebut, tidaklah mengherankan apabila Kegiatan industri ini merambah hampir ke masalah-masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Objek- pembangunan kebudayaan pada umumnya objek yang dijadikan daya tarik pariwisatapun menjadi salah satu prioritas di dalam Rencana semakin hari ragam variasinya semakin Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang bertambah, sehingga muncul Pariwisata Alam, telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik

131 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Indonesia. Mengingat penting dan strategisnya (SDA) adalah di sekitar Danau Beratan, Desa pembangunan kebudayaan tersebut, maka Candi Kuning, Kabupaten Tabanan. Beberapa Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tinggalan arkeologi di kawasan ini sudah telah menetapkan visi tahun 2010-2014 yaitu pernah diteliti (Widia, 1979, 1980, Suantika, “Terwujudnya bangsa Indonesia yang mampu 1986 : 1997, 2010, 2011. Secara kuantitas memperkuat jatidiri dan karakter bangsa serta dan kualitas sumberdaya arkeologi yang ada, meningkatnya kesejahteraan masyarakat”. Visi sangat potensial dikelola dan dimanfaatkan ini dengan sangat jelas memberikan gambaran untuk berbagai kepentingan. Berdasarkan azas kepada kita semua, bahwa kebudayaan yang manfaat sumberdaya arkeologi (SDA) tersebut, dimiliki oleh Bangsa Indonesia pada dasarnya tidaklah mengherankan apabila pembangunan memiliki makna yang sangat dalam terkait kebudayaan menjadi salah satu prioritas di dengan usaha-usaha pengenalan dan penguatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah jatidiri dan karakter bangsa di satu sisi, dan di (RPJM) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sisi lainnya kebudayaan tersebut dapat dijadikan Republik Indonesia. Mengingat penting dan media untuk meningkatkan kesejahteraan strategisnya pembangunan kebudayaan tersebut, masyarakat. Hal yang serupa juga dapat terjadi maka Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dengan beragam jenis kebudayaan yang ada di telah menetapkan visi tahun 2010-2014 yaitu Pulau Bali, yang mengembangkan kegiatan “Terwujudnya bangsa Indonesia yang mampu pariwisata berbasis kebudayaan (Pariwisata memperkuat jatidiri dan karakter bangsa serta Budaya). Bali dengan primadona Pariwisata meningkatnya kesejahteraan masyarakat”. Visi Budayanya, memang sudah sangat populer di ini sangatlah tepat mengingat adanya berbagai seluruh jagat raya ini. Salah satunya adalah perubahan paradigma yang berkaitan dengan pemanfaatan sisa-sisa kebudayaan masa lalu perkembangan Ilmu Arkeologi dewasa ini. sebagai objek pariwisata. Sisa-sisa kebudayaan Perubahan atau perkembangan tersebut antara masa lalu yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, lain: jumlahnya sangat banyak dan tersebar hampir a. Tinggalan arkeologi pada masa yang lalu di seluruh pelosok Nusantara. Khazanah budaya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan tersebut dapat dikategorikan sebagai Sumberdaya ilmu pengetahuan sejarah kebudayaan Budaya (SDB) atau Cultural Resources (CR) semata, dewasa ini telah mengalami pada umumnya atau Sumberdaya Arkeologi kemajuan dalam pemanfaatannya, karena (SDA) atau Archaeological Resources (AR) tinggalan arkeologi yang sering dikenal khususnya. dengan istilah Warisan Budaya/Pusaka Berbicara masalah Sumberdaya Arkeologi Budaya, adalah hasil cipta, karsa, dan karya (SDA), dapat dikatakan bahwa Pulau Bali sangat para leluhur kita yang berupa benda-benda kaya dengan sumberdaya arkeologi (SDA), budaya (budaya material), seperti bangunan- yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bangunan megalitik, punden berundak, kesejahteraan masyarakat. Contohnya dapat bangunan candi Hindu dan Budha, Masjid kita lihat seperti pengelolaan situs Goa Gajah, kuna dan lainnya yang dapat pula dipastikan situs Candi Tebing Gunung Kawi, Situs Pura di dalamnya terkandung berbagai nilai luhur Tirta Empul, di Kabupaten Gianyar, Situs Pura yang bertalian dengan tata cara kehidupan Taman Ayun, Situs Pura Sada, di Kabupaten bermasyarakat (budaya Halycimmaterial), Badung, dan situs arkeologi di Kabupaten seperti nilai-nilai kearifan lokal, norma- lainnya di Bali. Di lain pihak masih banyak lagi norma kemasyarakatan, sikap hidup dan situs arkeologi di Bali yang belum dikelola dan lainnya. dimanfaatkan secara optimal. Salah satu wilayah b. Tinggalan arkeologi yang berupa bangunan- yang kaya dengan sumberdaya arkeologi bangunan atau situs-situs arkeologi, sesuai

132 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai pihak/lembaga yang berkompeten, teknologi, ternyata dapat dijadikan sebagai sehingga sumberdaya arkeologi yang sumberdaya (resourches), artinya tinggalan ada belum mendapatkan perhatian dan arkeologi dapat dikatagorikan sebagai pengelolaan yang semestinya. Sumberdaya Arkeologi, yang melalui serangkaian proses penelitian, pelestarian, 1.3 Tujuan pengelolaan dan pemanfaatannya dapat Berdasarkan latar belakang dan masalah dijadikan sebagai modal pembangunan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat bagi suatu bangsa pada umumnya atau kiranya dinyatakan bahwa tujuan penelitian ini pembangunan suatu daerah khususnya. adalah: c. Sumberdaya arkeologi (SDA) merupakan a. Menampilkan atau mengedepankan seluruh tinggalan budaya yang memiliki keunikan tinggalan - tinggalan arkeologi yang dapat dan kekhususan, sehingga menjadi salah dikata gorikan sebagai sumberdaya arkeologi satu daya tarik pariwisata, sehingga dewasa (SDA), agar dapat diketahui, dimengerti ini mulai dikembangkan apa yang disebut dan dipahami fungsi dan manfaatnya bagi dengan wisata arkeologi. pembangunan secara menyeluruh. Atas dasar uraian tersebut di atas, b. Dengan dipublikasikannya sumberdaya maka perlu kiranya ditampilkan sumberdaya arkeologi yang ada di kawasan Danau arkeologi (SDA) yang ada di sekitar Danau Beratan, diharapkan agar semua pihak Beratan, agar dapat dimanfaatkan untuk (Pemerintah Daerah, masyarakat, para kepentingan pariwisata, yang disinergikan pelaku pariwisata, budayawan dan lainnya) dengan berbagai daya tarik wisata yang sudah segera melakukan langkah-langkah ada, supaya kegiatan pariwisata di wilayah ini semakin berkembang, sehingga kesejahteraan yang tepat, sesuai dengan kaidah-kaidah masyarakatpun semakin meningkat. managemen sumberdaya arkeologi. c. Sumberdaya arkeologi yang ada di 1.2 Rumusan Masalah kawasan tersebut, segera dapat dikelola dan Dalam hubungan dengan usaha untuk dimanfaatkan sebagai objek wisata yang pemanfaatan sumberdaya arkeologi (SDA) dapat disinergikan dengan berbagai potensi yang ada di sekitar Danau Beratan sebagai salah wisata yang sudah ada, sehingga atraksi satu daya tarik periwisata di wilayah Kabupaten wisata semakin beragam dan dapat menarik Tabanan, tentu saja kita akan dihadapkan dengan wisatawan lebih banyak lagi. berbagai masalah, seperti: a. Keberadaan tinggalan arkeologi yang dapat 1.4 Metode dikatagorikan sebagai sumberdaya arkeologi 1.4.1 Lokasi (SDA), belum banyak diketahui oleh Seperti telah dijelaskan bahwa tinggalan pihak-pihak yang berkompeten, sehingga arkeologi atau sumberdaya arkeologi yang keberadaannya sampai saat ini terabaikan. akan dibicarakan pada tulisan ini, adalah semua b. Masyarakat pada umumnya belum mengerti peninggalan arkeologi yang ada di sekitar dan memahami eksistensi tinggalan Danau Beratan, yang secara administratif arkeologi, sehingga mereka belum terletak di Desa Candi Kuning, Kecamatan mengetahui fungsi dan manfaatnya, bagi Baturiti, Kabupaten Tabanan. Secara geografi s kehidupan masa kini dan masa yang akan Danau Beratan berada pada ketinggian 1272 datang. meter di atas permukaan laut, dan terletak pada c. Managemen sumberdaya arkeologi Lintang Selatan 08o 16´ 15. 0´´ dan 115o 09´ (archaeological resources management), 39. 4´´ Bujur Timur. Danau Beratan adalah belum dipahami dan dimengerti oleh sebuah danau yang berasal dari kaldera Gunung

133 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Beratan Purba, yang meletus jutaan tahun 1.4.2 Pengumpulan Data silam, sehingga kawahnya menjadi kaldera dan Sesuai dengan kaidah yang berlaku akhirnya menjadi danau Beratan seperti yang dalam sebuah penulisan ilmiah yang akan dapat kita saksikan sekarang ini. Meletusnya membahas/mengkaji sesuatu masalah, haruslah sebuah gunung berapi adalah sebuah bencana didasarkan atas data yang berkaitan dengan atau petaka bagi masyarakat yang bermukim masalah dimaksud. Kebenaran, keabsahan dan di dekatnya. Akan tetapi beberapa puluh keakuratan data menjadi sangat penting, karena tahun setelah peristiwa letusan tersebut, lokasi pembahasan semua berawal dari data tersebut. sekitarnya yang semula tandus akibat letusan Oleh karena demikian, maka di dalam usaha akan berubah menjadi kawasan yang sangat untuk mendapatkan data biasanya diterapkan subur, sehingga akan menjadi lokasi pemukiman beberapa metode pengumpulan data. Dalam yang sangat ideal, karena lingkunganya yang usaha untuk mendapatkan data yang benar, sangat subur dapat memberikan berbagai absah, dan akurat serta selengkap mungkin kemudahan bagi kelangsungan hidup manusia. untuk mengungkapkan keberadaan tinggalan Hal ini dapat kita saksikan dewasa ini, di mana arkeologi/sumberdaya arkeologi yang ada di kawasan ini memiliki beberapa objek wisata kawasan Danau Beratan ini, telah diterapkan yang sangat menarik, seperti kawasan wisata metode pengumpulan data seperti: Bedugul dengan danau Beratan yang memiliki a. Studi kepustakaan (library research) pemandangan indah dengan Pura Ulun Danu, adalah sebuah metode pengumpulan dan atraksi-atraksi wisata tirtanya (speedboat, data dengan jalan melakukan penelitian perahu, paralayang, sepeda air, dan lainnya) terhadap pustaka atau buku-buku, yang Kawasan hutan yang lestari berupa adanya memiliki hubungan (relationship) dengan kawasan Kebun Raya (Eka Karya) yang pokok bahasan, sehingga didapatkan data- memiliki koleksi berbagai jenis pohon dan data yang diperlukan dan dilakukan dengan pertamanan yang sangat indah dan lingkungan cermat, sehingga data yag diperoleh sudah yang segar dan nyaman. Selain itu kawasan ini melalui suatu tindakan seleksi. juga sangat kaya dengan tinggalan-tinggalan b. Karena yang dibahas bertalian dengan arkeologi (sumberdaya arkeologi) yang memiliki keberadaan sumberdaya arkeologi, maka potensi untuk dikembangkan sebagai penunjang survey arkeologi atau observasi arkeologi kegiatan pariwisata di kawasan tersebut. diterapkan pula dalam kesempatan ini, untuk mendapatkan data yang bersifat primer dan akurat, dengan jalan melaksanakan observasi terhadap benda-benda/objek penelitian secara langsung. Dalam kegiatan survey/observasi arkeologi ini dilakukan berbagai kegiatan, seperti: pencatatan secara detail terhadap objek penelitian yaitu tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di kawasan Danau Beratan, pembuatan dokumentasi berupa foto, gambar dan peta, dan pengamatan lingkungan tempat objek berada. c. Metode ekskavasi arkeologi yaitu berusaha mendapatkan benda-benda arkeologis dengan jalan mengadakan ekskavasi/ penggalian pada lokasi-lokasi tertentu yang

134 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

memiliki temuan-temuan permukaan tanah c. Analisis himpunan yaitu suatu analisis (surface fi nds), yang menjadi indikator kuat terhadap keseluruhan benda-benda temuan bahwa di dalam tanah ada benda-benda dalam satu situs, sehingga akan dapat arkeologis. Dengan metode ekskavasi diketahui berbagai aktivitas manusia yang ini akan dapat diperoleh data yang insitu, pernah terjadi di tempat itu pada masa dengan berbagai konteks antarbenda yang yang lampau, dan dapat pula digambarkan masih asli posisinya. korelasi antarbenda yang ada di situs d. Untuk mendapatkan informasi lainnya, juga tersebut. dilaksanakan wawancara tanpa struktur, d. Analisis yang berkaitan dengan kualitas terhadap beberapa warga masyarakat yang dan kuantitas sumberdaya arkeologi yang dianggap mengetahui hal ikhwal yang terdapat pada sebuah situs, dikaitkan bertalian dengan peristiwa dan benda-benda dengan kemungkinan untuk dikembangkan arkeologis yang dijadikan objek penelitian. sebagai sebuah daya tarik pariwisata. e. Juga dilaksanakan studi komparatif, baik 1.4.3 Analisis Data yang bertalian dengan arkeologi maupun Dalam kegiatan analisis terhadap pengembangan pariwisata. data yang telah diperoleh melalui metode f. Analisis lingkungan juga dilaksanakan, pengumpulan data, maka yang pertama kali dengan tujuan agar dapat diketahui dengan dilaksanakan adalah mengadakan seleksi/ tepat lokasi situs satu dengan lainnya, recheck terhadap semua data dan informasi dihubungkan dengan lokasi wisata yang yang diperoleh, dengan harapan akan dapat sudah ada di sekitar Danau Beratan, diperoleh data yang akurat dan dapat dipercaya. sehingga pada akhirnya akan dapat Selanjutnya data dan informasi tersebut dipilah- direncanakan pembuatan jalur wisata yang pilah sesuai dengan bentuk, bahan, dan jenisnya terintegrasi dari semua potensi yang ada. untuk selanjutnya dianalisis. Dalam kegiatan analisis ini, dilaksanakan analisis arkeologis, II. Sumberdaya Arkeologi di Sekitar analisis wisata arkeologi, analisis sumberdaya Danau Beratan arkeologi, dan lingkungan. Beberapa teknik 2.1 Arkeologi dan Sumberdaya Arkeologi analisis yang diterapkan adalah: Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari a. Analisis individu yaitu sebuah kegiatan manusia dan kebudayaannya pada masa lampau, dengan jalan meneliti/mengkaji benda-benda analisis terhadap masing-masing benda budaya yang ditinggalkannya, yang dapat kita temuan, berkaitan dengan bentuk, bahan, temukan dewasa ini, sehingga tujuan arkeologi fungsi, dan aspek teknologi yang didasari pada awalnya adalah: atas keyakinan bahwa sebuah benda dibuat a. Untuk mengetahui sejarah kebudayaan tentu memiliki landasan dasar ideologi manusia masa lampau. dibuat berdasarkan ketersediaan bahan dasar b. Mempelajari cara-cara hidup manusia masa dan dapat dibuat karena sudah dimilikinya lampau. teknologi. c. Menelusuri perubahan-perubahan budaya b. Analisis subhimpunan yaitu suatu analisis yang pernah terjadi. yang dilakukan terhadap benda-benda Berdasarkan tujuan arkeologi tersebut, temuan yang memiliki persamaan bentuk berarti fokusnya adalah rekonstruksi Sejarah ataupun bahannya, sehingga dapat diketahui Kebudayaan masa lalu, sehingga dikatakan, ada atau tidaknya hubungan di antara bahwa seorang arkeolog bukan semata-mata benda-benda tersebut, dan keberadaannya menggali benda-benda peninggalan manusia di tempat yang sama. masa lampau, tetapi menggali manusia dan kehidupan masyarakat masa lampau. The

135 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 archaeological excavation is not digging up menciptakannya. Himpunan artefak dipandang things, he is digging up people, demikian sebagai wujud ciri budaya yang terakumulasi dijelaskan oleh Piggot, 1959. Menggali manusia dari suatu sistem masyarakat (Deetz, 1967). dan kehidupan manusia masa lampau memiliki Data arkeologi memiliki makna lebih luas lagi, makna betapa luasnya ruang lingkup kajian arkeologi meliputi suatu konteks, lapisan tanah, arkeologi tersebut, sehingga arkeolog tidak sebaran benda arkeologi, baik dalam satu situs akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan maupun antarsitus dalam satu ruang (Sharer baik, tanpa bantuan disiplin ilmu lainnya. dan Ashmore, 1979). Tinggalan arkeologi yang Meminjam istilah Prof. DR. Mundardjito, semula hanya menjadi objek penelitian semata, arkeolog adalah seorang intelijen masa lalu ternyata dewasa ini telah mengalami berbagai yang melakukan penyelidikan dan penyidikan perkembangan dalam fungsi dan manfaatnya, terhadap semua benda-benda arkeologis agar sehingga penanganan tinggalan arkeologipun mereka mau berbicara tentang peran, fungsi, mengalami berbagai perubahan sesuai dengan manfaatnya pada masa lalu. Pada awalnya situasi dan kondisinya. Paradigma yang data arkeologi terdiri atas artefak, ekofak, dan berkembang dewasa ini mengatakan bahwa fi tur (Mundardjito, 1983). Akan tetapi selaras tinggalan-tinggalan budaya masa lampau dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan memiliki berbagai nilai dan makna, antara teknologi, cakupan data arkeologi semakin lain ialah: nilai dan makna informasi/ilmu bertambah, yaitu meliputi artefak, fi tur, pengetahuan, ekonomi, estetika, dan asosiasi/ dan ekofak, tetapi sifat data pada akhirnya simbolik (Cleere, 1984.). Hal ini memberikan berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu makna bahwa tinggalan arkeologi sebagai bagian pengetahuan, sehingga serbuk sari (pollen) yang tak terpisahkan dari tinggalan budaya, dan pengindraan jarak jauh juga merupakan menyebabkan keberadaan tinggalan arkeologi data arkeologi (Tanudirdjo,1993). pada akhirnya dipersamakan dengan sebuah Secara umum tinggalan arkeologi lebih Sumberdaya, sehingga sekarang ini muncullah dikenal dengan istilah artefak. Setiap artefak istilah sumberdaya budaya serta Sumberdaya setidak-tidaknya memiliki 3 (tiga) unsur yaitu: arkeologi. Kata ”sumberdaya” itu sendiri dibuat a. Teknofak yaitu satu kelompok artefak sebagai padanan kata ”resource” dalam bahasa yang memiliki konteks fungsional primer Inggris, dan ini dibedakan dari kata ”source” terhadap pola-pola penyesuaian manusia yang berarti ”sumber”. Sumberdaya dalam hal dengan lingkungan alam. ini berarti ”sesuatu yang tersedia”, yang apabila b. Sosiofak yaitu kelompok artefak yang diperlukan dapat digunakan sebagai sumber secara langsung berhubungan langsung untuk mengambil sesuatu, atau, sebagai modal dengan sistem sosial yang berlaku pada untuk membuat sesuatu kata ”resource” juga masyarakat tertentu. berarti ”kemampuan untuk menghadapi suatu c. Ideofak yaitu kelompok artefak yang dibuat situasi dengan efektif”. Dengan demikian maka berbasis sistem ideologi dan agama suatu ”cultural resource” atau ”sumberdaya budaya” masyarakat (Binford,1972). adalah segala sesuatu, atau penjumlahan dari Benda-benda arkeologi yang dikenal sesuatu, yang merupakan khasanah bermakna sebagai artefak sama halnya seperti juga kata- bagi segala macam upaya berkaitan dengan kata dalam bahasa, adalah produk dari kegiatan kebudayaan, baik dalam pengembangannya, motorik (gerak) manusia yang terbentuk dari perlindungannya, pemanfaatannya, maupun tindakan otot-otot di bawah tuntutan kejiwaan. pengkajiannya (Edy Sedyawati, 2002). Bentuk akhir dari artefak adalah kombinasi sumberdaya budaya ada yang bersifat tangible material yang khas, menghasilkan benda yang (berupa benda konkret, dapat disebut juga memiliki fungsi khusus dalam kebudayaan yang wadag) maupun yang intanggible (tidak berupa

136 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan benda konkret, dapat disebut juga tanwadag). berupa benda konkret, yang memiliki nilai- Dengan demikian dapat dipastikan bahwa nilai arkeologis, yang apabila diperlukan sumberdaya arkeologi adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan/ sudah ada tangible/wadag atau memiliki mencapai berbagai tujuan yang lebih luas wujud/fi sik dan dapat dipergunakan untuk (seperti peningkatan/pemahaman ideologi, kepentingan pembangunan bangsa. Ada pula akademi, ekonomi dan lainnya). Warisan pendapat yang mengatakan Sumberdaya budaya budaya atau peninggalan arkeologi disebut didifi nisikan sebagai gejala fi sik baik alamiah sebagai sumberdaya, karena objek-objek maupun buatan manusia yang memiliki nilai arkeologi tersebut merupakan salah satu penting bagi sejarah, arsitektur, arkeologi dan modal pokok dalam pembangunan, bersama- perkembangan budaya yang diwariskan hingga sama dengan sumberdaya lainnya, seperti saat ini, merupakan sumberdaya yang bersifat sumberdaya alam dan sumberdaya binaan unik dan tidak terperbaharui (nonrenewable), (Kusumohartono, 1988). Menurut Undang- (Cleere, 1989). Apabila kita simak dengan Undang Nomor 11 Tahun 2010, tentang Benda seksama uraian di atas, maka dapat dikatakan Cagar Budaya (BCB), disebutkan bahwa bahwa parameter sebuah sumberdaya budaya peninggalan arkeologi adalah benda cagar adalah sebagai berikut: budaya. Berdasarkan undang-undang tersebut a. Memiliki nilai sejarah, baik lokal, regional ditegaskan bahwa, benda cagar budaya adalah maupun internasional. benda buatan manusia, bergerak atau tidak b. Mengandung nilai-nilai kepurbakalaan bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, (arkeologi). atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang c. Memiliki hubungan/keterkaitan dengan berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, serta perkembangan kebudayaan manusia. dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah d. Memiliki sesuatu yang unik dan khusus. dan ilmu pengetahuan (Depdikbud, 2010). e. Tidak mungkin untuk diperbaharui. Dengan difi nisi sumberdaya budaya Di samping parameter tersebut di atas, seperti tersebut di atas, maka tinggalan arkeologi sumberdaya arkeologi (SDA) juga memiliki dapat dikategorikan sebagai sumberdaya sifat seperti: arkeologi, dapat pula dimanfaatkan untuk a. Jumlah dan keberadaannya sangat terbatas. kepentingan yang lebih luas. Namun demikian b. Tidak terperbaharui. perlu dipahami bahwa keberadaan sebuah c. Memiliki sesuatu yang unik dan khas. sumberdaya arkeologi di suatu tempat/daerah d. Sulit dideteksi keberadaannya. juga merupakan milik masyarakat di sekitarnya, oleh karena itu masyarakat lokal memiliki hak azasi untuk menginterpretasikan, memelihara, dan mengelola sumberdaya arkeologi yang mereka miliki (Ascherson, 2000).

2.2 Sumberdaya Arkeologi di Sekitar Danau Beratan Setelah diuraikan sekilas tentang pengertian, tujuan, dan objek penelitian Foto no. 1. Pemandangan Pura Ulun Danu arkeologi serta pengertian sumber daya Beratan , Bedugul, Bali. arkeologi, maka pertanyaan selanjutnya adalah adakah sumberdaya arkeologi di sekitar Dalam hubungannya dengan arkeologi, Danau Beratan ? Jawabannya adalah ada dan maka yang dimaksud dengan sumberdaya jumlahnya cukup banyak. Jika kita berpedoman arkeologi, adalah segala warisan budaya yang kepada pengertian yang telah diuraikan di

137 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 atas berkaitan dengan dengan sumberdaya dan diekskavasi arkeologi pada tahun 2009. arkeologi, tentunya harus dikaitkan dengan Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diduga keberadaan situs arkeologi dan tinggalan- kuat pada masa lalu di lokasi tersebut pernah tinggalan arkeologi yang ada di sekitar Danau berdiri sebuah bangunan candi. Asumsi Beratan, yang telah diteliti secara arkeologis. didasarkan atas hasil ekskavasi arkeologi, Dari hasil-hasil penelitian arkeologi yang yaitu tinggalan-tinggalan arkeologi berupa telah dilaksanakan di sekitar kawasan Danau sisa-sisa sebuah bangunan candi, yang diduga Beratan, dapat diketahui, bahwa banyak sekali dahulunya berupa bangunan candi dengan tinggalan arkeologis yang tersebar diberbagai konstruksi susunan batu (Suantika, 2011). tempat dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada Berdasarkan bahan-bahan yang dipergunakan, yang merupakan temuan berdiri sendiri, ada maka bangunan candi dapat digolongkan pula yang berupa situs dengan jumlah temuan menjadi dua susunan bangunan yaitu: yang cukup besar. Salah satu temuan arkeologis a. Bangunan konstruksi susunan batu ialah yang sangat penting adalah arca dan fragmen bangunan yang mempunyai konstruksi arca dari perunggu berupa fragmen seekor utama dinding penahan beban (bearing wall) lembu (Nandi) dan dua buah fragmen arca yang menahan bagian atap atau kepalanya perwujudan seorang dewi dengan tangan empat yang disusun di atas suatu pondasi dengan buah, menurut gayanya diduga berasal dari bahan yang sama yakni batu alam. abad 12-13 masehi, di dekat Danau Beratan b. Bangunan konstruksi susunan kayu ialah Desa Candi Kuning, yang kini tersimpan di bangunan yang konstruksi utamanya adalah Museum Bali di Denpasar (Widia, 1979). rangka yang menyangga bagian atap yang Dengan kondisi temuan yang bervariasi, maka bahanya dari kayu (Atmadi, 1979). tidak semuanya dapat dikatagorikan sebagai Dugaan bahwa dahulunya dilokasi sebuah sumberdaya arkeologi. Hal ini tentunya ini pernah berdiri sebuah candi dengan terkait dengan parameter atau ketentuan yang kontruksi susunan batu, didasarkan atas dipersyaratkan bagi sebuah tinggalan arkeologi adanya temuan-temuan arkeologi berupa: dua agar dapat dijadikan sebagai sumberdaya buah arca Singa, arca Nandi, dua buah arca arkeologi. Perlu pula diketahui bahwa pada dvarapala (penjaga), batu perbingkaian candi umumnya tinggalan arkeologi yang ditemukan (bingkai sisi genta, bingkai setengah bulatan, dewasa ini sudah dalam keadaan yang tidak bingkai mistar, bingkai mistar simetris), batu utuh, fragmentaris, ada yang berupa artefak hiasan sudut (antefi x), batu hiasan candi, berdiri sendiri, ada yang berupa bangunan, dan batu dengan relief, kepala kala (foto no. 2), ada pula yang berupa situs, juga sudah jauh dari konteks tempat dan waktu, serta ada pula yang sudah mengalami perubahan fungsi. Mengacu kepada defi nisi, parameter dan sifat sumberdaya arkeologi tersebut, maka tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di sekitar Danau Beratan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumberdaya arkeologi, cukup potensial adalah sebagai berikut

2.2.1 Situs Arkeologi Pura Candi Mas Situs arkeologi Pura Candi Mas ini terletak di Dusun Candi Kuning, Desa Candi Foto no. 2. Kepala Kala di Pura Candi Mas Kuning. Tepatnya berada pada sebuah dataran yang lebih tinggi dari Danau Beratan, yang kemuncak candi, puncak candi, struktur dasar berjarak sekitar 500 meter di sebelah barat bangunan candi (batuan candi) dalam jumlah Danau Beratan. Situs Pura Candi Mas ini yang sangat banyak. Jenis-jenis temuan sudah disurvei (ikonografi ) pada tahun 1986,

138 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan tersebut adalah komponen yang memang harus Berdasarkan kualitas dan kuantitas ada dalam sebuah struktur bangunan candi. tinggalan arkeologis yang ada, situs Pura Candi Candi adalah semua bangunan peninggalan Mas ini dapat kiranya dikategorikan sebagai kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia, sumberdaya arkeologi (SDA). Dari hasil-hasil baik berupa permandian maupun bangunan suci penelitian arkeologi yang telah dilaksanakan, keagamaan (Ayatrohaedi, 1978). Lebih jauh diperkirakan bangunan candi yang dahulu dikatakan bahwa fungsi candi adalah sebagai pernah ada di lokasi tersebut, secara arkeologis bangunan suci untuk palinggih raja yang telah dapat di rekonstruksi kembali. Jika rekonstruksi meninggal dan telah disucikan serta telah atau pemugaran candi ini dapat dilaksanakan, kembali ke Brahmaloka dan bukan kuburan maka akan menjadi sesuatu yang sangat (Mantra, 1963). Pendapat ini dikuatkan lagi bermanfaat bagi berbagai kepentingan, baik berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi atas itu yang berkaitan dengan manfaat ideologi, candi-candi di Pulau Jawa yang menyimpulkan akademi maupun ekonomi. bahwa candi adalah sebuah bangunan suci tempat pemujaan roh nenek moyang yang 2.2.2 Situs Pura Batu Meringgit telah disucikan (Soekmono, 1974). Pendirian Pura Batu Meringgit secara lokasional sebuah candi sebagai tempat suci pemujaan roh terletak dalam kawasan kebun raya Eka nenek moyang yang telah disucikan sering pula Karya, yang secara administratif berada digambarkan/dibuatkan perlambang atau arca di wilayah Dusun Batu Sesa, Desa Candi dari tokoh yang telah meninggal dan disucikan, Kuning, Kecamatan Baturiti. Kawasan ini berupa Lingga-Yoni atau arca Dewa (foto no. 3). termasuk pula dalam kawasan sekitar Danau Beratan, dan kawasan kebun raya Eka karya ini juga merupakan objek wisata alam. Pura Batu Meringgit ini, menurut cerita masyarakat ditemukan sekitar tahun 1940, pada saat diadakan kegiatan penanaman pohon-pohon pilihan, sebagai awal daerah tersebut menjadi kawasan Foto no. 3. Lingga Yoni di Pura Kebun Raya. Candi Mas Mengenai nama Hal ini tersurat dalam kitab Negara Kertagama, Pura Batu Meringgit pupuh XLIII, pada 5 baris 4, yang menyebutkan adalah berasal di candi beliau tertegak arca Çiwa-Budha dari kata batu dan terlampau indah permai (Slametmulyana, 1953). Foto no. 4. Arca meringgit, kata batu Candi juga dipersamakan dengan beberapa istilah Perwujudan Dewa di Pura dihubungkan dengan lainnya yaitu dharma sebagaimana disebutkan Batu Meringgit bangunan-bangunan dalam kitab Pararaton dan Negarakrtagama. Seperti dalam kitab Pararaton disebutkan : yang terdapat di dalam pura ini yang dibuat dari Rilinanira Sang Amurwabhumi...... sira batu yang disusun sedemikian rupa berbentuk Dhinarmeng Kagenengan (Setelah Beliau bebaturan, sedangkan meringgit berasal dari Raja Amurwabhumi meninggal...... Beliau kata ringgit artinya bergerigi, dan membuat di Didharmakan di Candi Kagenengan). bentuk-bentuk ini dengan cara mengukir. Ini Lina sang Anusapati...... Dhinarma dikaitkan dengan beberapa peninggalan yang sira ring Kidal (Setelah raja Anusapati ada di pura ini, berupa arca-arca yang bentuknya meninggal...... Beliau di Dharmakan di bergerigi, yang dibuat dengan cara mengukir Candi Kidal)(Soekmono,1974). atau memahat seperti membuat wayang kulit.

139 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Jadi Pura Batu Meringgit ialah pura yang dan sebuah batu yang yang diperkirakan bangunannya terdiri atas batu, dan di antaranya sebagai sebuah kemuncak bangunan. batu meringgit memiliki makna batu bergerigi. (Widia, 1980). Beberapa tinggalan arkeologi yang Bangunan-bangunan bebaturan ini, terdapat di Pura Batu Meringgit ini adalah : diperkirakan merupakan kelanjutan dari tradisi a. Bangunan bebaturan (susunan batu) yang megalitik, karena di Pulau Bali banyak sekali berbentuk bangunan yang bervariasi. pura (tempat suci) yang memiliki bangunan Batuan yang dipergunakan pada bangunan bebaturan dan masih difungsikan oleh bebaturan ini adalah lempengan-lempengan masyarakat. Pelinggih yang berupa Bebaturan batu (slabs stones) dengan ukuran yang ini sampai kini masih dipelihara dan dihormati bervariasi dan bentuk yang beragam, oleh orang Bali. Penghormatan ini adalah sehingga merupakan susunan batu merupakan tradisi masa dari jaman prasejarah di alam, yang mungkin tidak mendapatkan Indonesia, sebagai penghormatan kepada para pengerjaan. Dengan demikian secara teknis leluhur (Goris dan Dronker, 1954). Dilihat dari dapat dikatakan bahwa struktur bebaturan kualitas dan kuantitasnya, tinggalan arkeologi ini dibuat dengan susunan batu yang tidak di Pura Batu Meringgit ini, dapat dikatakan beraturan. Jumlah bangunan bebaturan sebagai sumberdaya arkeologi, yang memiliki yang terdapat di pura ini sebanyak 17 potensi untuk dijadikan modal pembangunan buah dengan ukuran yang bervariasi. yang lebih luas. b. Selain berupa bangunan bebaturan, terdapat 2.2.3 Situs Pura Merta Sari juga beberapa arca yang terbuat dari Pura Merta Sari yang terletak diarea lahan padas, baik dalam keadaan utuh maupun perkebunan yang berada di dataran tinggi, sehingga berupa fragmen arca. Arca tersebut hampir dari lokasi ini dapat melihat Danau Beratan dengan keseluruhannya merupakan arca-arca bebas. Secara administratif berada di Dusun perwujudan, baik arca perwujudan yang Kembang Merta, Desa Candi Kuning. Pura Merta digambarkan dengan dua buah tangan dan Sari ini, merupakan salah satu pura yang memiliki arca perwujudan Dewa yang digambarkan tinggalan-tinggalan arkeologi yang berupa arca-arca dengan empat buah perwujudan Dewa dan tangan. Serta ada yang Dewi, (foto no. 6) dalam berwujud wanita atau keadaaan cukup baik Dewi dan ada wujud dan dapat di identifi kasi. laki-laki atau Dewa (Suantika, 1986). (foto no. 4). Arca-arca Arca-arca tersebut ini dibuat dalam sikap tersimpan dengan berdiri samabangga baik, dan berdasarkan (foto no. 5), dan juga informasi yang Foto no. 5. arca dalam sikap duduk diterima dari tokoh Perwujudan Dewa di bersila di atas lapik. masyarakat setempat, Pura Batu Meringgit Arca-arca dibuat Foto no. 6. Arca dapat diketahui dengan mengenakan berbagai hiasan yang Perwujudan Dewa Wisnu bahwa pada masa umum terdapat pada sebuah arca. Secara di Pura Merta Sari. pemerintah Hindia keseluruhan di pura ini ditemukan 3 buah Belanda, arca-arca ini pernah dibawa ke arca yang utuh dan 4 buah fragmen arca Denpasar dan disimpan di Museum Bali, yang tidak dapat di identifi kasi. sehingga sampai sekarang nomor inventaris museum masih terlihat. Arca-arca tersebut, c. Temuan lainnya adalah berupa tempat air antara lain : arca Perwujudan Dewi Parvati suci yang terbuat dari batu yang berbentuk (Bhatari), arca HariHara, arca Perwujudan silindris dengan lubang di bagian tengah, Bhatara, arca perwujudan Dewi Laksmi serta dua buah Makara Jaladvara. Dengan

140 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan adanya tinggalan arkeologis berupa arca-arca hasil survey arkeologi Perwujudan Dewa/Dewi, dan dua buah Makara yang dilaksanakan oleh Jaladvara ini, memberikan indikasi yang sangat tim Balai Arkeologi pada kuat bahwa pada masa lampau di sekitar tahun 2009 (Suantika, lokasi Pura Merta Sari ini, pernah ada/berdiri 2009). Saat pertama sebuah bangunan keagamaan yang berfungsi ditemukan terlihat berupa sebagai tempat pemujaan terhadap roh suci sebongkah batu yang seorang raja, dengan dua orang permaisurinya. Dalam sistem pengarcaan dalam pantheon seluruh permukaannya Hindu dikenal adanya hirarki kedewaan, yang ditumbuhi lumut dapat dilihat dari ciri-ciri atau atribut yang berwarna hijau, tetapi dibawanya serta penggambaran sikap arca. Foto no. 7. Miniatur setelah lumutnya Selain arca-arca Dewa, dikenal pula adanya Candi di Pura Beji, dibersihkan terlihatlah arca perwujudan dan arca perwujudan Dewa. Bukit Sangkur. wujud aslinya yaitu Arca perwujudan dibuat dalam sikap berupa sebuah miniatur berdiri samabangga, kaku, dan memiliki dua candi. Kondisi miniatur candi secara umum buah tangan, dibuat sebagai media pemujaan masih dalam keadaan yang cukup baik, karena roh leluhur yang telah disucikan. Adapun arca perwujudan Dewa/Dewi digambarkan bagian-bagiannya masih dapat dikenali atau dapat dengan arca yang bertangan empat, dengan dua diidentifi kasi, meskipun pada beberapa bagian tangan belakang memegang atribut kedewaan, sudah mengalami keausan atau mengalami sedangkan dua tangan depan dalam sikap yoga pecah. Miniatur candi ini dibuat dari batuan asana dengan memegang kuncup bunga padma tufa breksi, sehingga terlihat permukaan agak (rozet) sebagai lambang pelepasan, dibuat kasar, karena batuannya memiliki unsur batu sebagai media pemujaan untuk raja/ratu yang krikil, dengan tekstur coklat kemerahan. Secara telah wafat dan telah disucikan. Hal ini erat umum miniatur candi dapat dideskripsikan kaitannya dengan adanya konsep Dewa Raja atau sebagai berikut: Tinggi keseluruhan : 70 cm; Raja Dewa, yang bermakna bahwa Raja adalah Panjang kaki : 40 cm; Lebar kaki : 34 cm. titisan dewa, sehingga dalam pemerintahannya Miniatur candi adalah bentuk mini dari sebuah diharapkan menerapkan sifat-sifat dewa-dewa tertentu. Arca HariHara (Wisnu Çiwa) yang bangunan candi. Bangunan candi biasanya ada di Pura Merta Sari mungkin penggambaran dibagi menjadi tiga bagian yakni : kaki candi, tokoh raja yang dalam masa pemerintahannya tubuh/badan candi, dan atap candi, baik itu mengedepankan sifat-sifat yang dimiliki oleh merupakan sebuah konstruksi susunan batu Dewa Wisnu dan Çiwa. maupun konstruksi susunan kayu, pembagian Dengan demikian situs Pura Merta Sari ini juga berlaku terhadap miniatur candi, dengan tinggalan-tinggalan arkeologinya, masih sehingga miniatur candi juga memiliki kaki berpeluang untuk diteliti secara lebih sistematis candi, badan candi, dan atap candi, yang dapat dan intensif. Di samping ini juga dapat dijadikan diuraikan sebagai berikut: sumberdaya arkeologi, yang bermanfaat untuk a. Bagian kaki/dasar miniatur candi berbentuk kepentingan yang lebih luas. segi empat panjang dengan ukuran panjang 40 cm; lebar 34 cm; dan tinggi 12 cm, 2.2.4 Situs Pura Beji, Bukit Sangkur memiliki perbingkaian berupa tiga susunan Situs Pura Beji terletak di daerah pelipit mistar dan dengan bagian kaki depan perbukitan yang oleh masyarakat dikenal dengan agak menjorok maju sehingga terlihat nama Bukit Sangkur; Desa Candi Kuning. Di adanya penggambaran tangga masuk bukit ini terdapat juga Pura Bukit Sangkur, yang menuju bilik pintu. Hal ini memberikan memiliki keterkaitan dengan Pura Beji, tempat gambaran bahwa bangunan candi yang ditemukannya sebuah miniatur candi (foto no. 7). digambarkan adalah candi yang memiliki Miniatur candi di Pura Beji ini, merupakan temuan

141 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

bilik pintu, sebelum memasuki bilik utama sisi depan sebagai relung utama. Arca (main chamber). Untuk sementara bentuk Dewi Durga menempati relung sisi kanan perbingkaian yang terlihat pada kaki candi. Dewa Ganesa menempati relung sisi candi, hanya berupa pelipit mistar, dan belakang candi, arca Agastya/Mahaguru tidak terlihat adanya hiasan. Perbingkaian menempati relung sisi kiri candi. kaki miniatur candi ini hanya berupa perbingkaian bagian bawah saja dan tidak c. Bagian atap/puncak miniatur candi ini terlihat adanya perbingkaian kaki candi utuhnya sangat mungkin terdiri atas tiga bagian atas. tingkatan, tetapi saat ini yang tersisa hanya dua tingkat saja, tingkat yang paling atas b. Bagian badan/tubuh miniatur candi, dapat (puncak) sudah tidak ada lagi. Bagian atap dilihat adanya perbingkaian badan candi ini juga memiliki susunan bingkai mistar yang berupa pelipit mistar bagian bawah pada semua tingkat. Kemudian terlihat dan bagian atas sebanyak lima susun. Pada adanya empat buah kemuncak pada setiap bagian depan terlihat adanya dua pilar bilik sisinya, yang berbentuk kerucut. Pahatan/ pintu yang juga berfungsi sebagai penyangga relief tidak terlihat dengan jelas, tetapi ambang pintu yang di atasnya terlihat relief terlihat adanya garis-garis vertikal pada kala yang sangat menyeramkan. Sedangkan dasar atap yang menampakkan bagian di dalam relung bilik pintu ini terlihat sudutnya (Suantika, 2009, 2011). dengan sangat jelas adanya relief/pahatan Dengan adanya tinggalan arkeologi yang tokoh Dewa Ciwa Mahadewa, dalam berwujud miniatur candi, jelas merupakan posisi berdiri. Selanjutnya pada sisi kanan suatu temuan yang sangat unik dan berkualitas, miniatur candi (searah jarum jam) kita juga sehingga memiliki potensi daya tarik yang akan melihat relung yang lebih kecil, dan sangat luar biasa. di dalamnya terlihat relief yang diduga arca Dewi Durga (Durga Mahisasuramardini), 2.2.5. Tinggalan-tinggalan Arkeologi Lainnya dalam keadaan berdiri. Kemudian pada Tinggalan-tinggalan arkeologi lainnya bagian/sisi belakang miniatur candi ini, adalah, temuan-temuan arkeologi yang juga terdapat relung yang diapit oleh dua sifatnya lepas dan berdiri sendiri, yang pilar dan di dalam relungnya terdapat mungkin kedudukannya sudah tidak insitu relief arca Ganesa dalam posisi duduk. lagi, disebabkan oleh peristiwa yang terjadi Selanjutnya pada sisi sebelah kiri miniatur di masa yang lalu, baik oleh aktivitas manusia candi ini, juga terdapat sebuah relung maupun oleh karena peristiwa alam. Tinggalan- yang diapit oleh dua pilar, di dalam tinggalan arkeologi tersebut antara lain: relung terlihat adanya relief tokoh dalam keadaan berdiri. Bila diperhatikan dengan a. Arca, Relief Arca seksama maka dapat kita kenali bahwa Peninggalan arkeologi yang berupa arca- relief tersebut adalah penggambaran tokoh arca pemujaan, terdiri atas arca yang berdiri Agastya/Bhatara Mahaguru. Seperti halnya sendiri, seperti arca yang berwujud manusia relief yang lainnya, relief tokoh Mahaguru dalam posisi duduk bersila dengan memegang ini juga tidak terlihat dengan jelas atribut sebuah benda bulat, yang belum dapat di yang di bawanya. Dengan demikian, secara identifi kasi dengan jelas apakah merupakan keseluruhan dapat kita ketahui dengan pasti arca Dewa atau arca perwujudan atau lainnya. bahwa pada bagian badan miniatur candi ini Ada pula relief arca yang dipahatkan pada terdapat penggambaran empat tokoh arca sebuah batu berbentuk segi empat yang salah yaitu: Arca Siwa Mahadewa menempati satu permukaannya memiliki relief berwujud

142 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

manusia yang posisinya Bhaga (lambang pemujaan Dewa Brahma), berdiri seolah-olah bagian tengah yang berbentuk segi delapan sedang memanah, disebut dengan Wisnu Bhaga (lambang yang mengambil gaya pemujaan Dewa Wisnu, dan bagian puncak seperti bentuk wayang, yang berbentuk setengah bulatan disebut sebagaimana wujud dengan Çiwa Bhaga (lambang pemujaan Dewa relief pada Candi Çiwa). Dalam mitologi Hindu, dikenal adanya Penataran di Jawa tiga dewa utama yang disebut Trimurti, yaitu Timur (Foto no 8). Dewa Brahma dewa sebagai Dewa pencipta Juga telah ditemukan alam semesta dengan segala isinya, Dewa Wisnu Foto no. 8. Relief arca relief kepala gajah, sebagai dewa pemelihara alam beserta isinya Candi Kuning. yang dipahatkan pada dan Dewa Çiwa sebagai dewa pemusnah isi sebuah permukaan batu alam yang cukup alam yang mesti dimusnahkan. Sehingga dalam besar, sehingga tidak dapat dipindahkan. dunia ini ada siklus kelahiran, kehidupan, dan Keberadaan arca, dan relief ini membuktikan kematian, di antara ketiga dewa tertinggi itu bahwa besar kemungkinannya masyarakat yang kemudian mendapat pemujaan luar biasa yang berdomisili di sekitar Danau Beratan adalah Dewa Wisnu dan Çiwa, sebab kedua telah memiliki kemahiran dalam bidang dewa inilah yang dianggap selalu berhubungan seni ukir, serta telah pula mengetahui peran langsung dengan manusia (Soekmono, 1974). dan manfaat arca dalam kehidupan mereka. Adanya temuan-temuan arkeologis yang berupa simbul pemujaan (lingga), tentu merupakan b. Lingga suatu hal yang membanggakan karena adanya Selain arca dan relief arca, juga penambahan jumlah khazanah budaya, namun ditemukan beberapa buah lingga yang secara ilmiah merupakan tantangan untuk tersebar di sekitar danau Beratan. Lingga membuktikan dimanakah lokasi permukiman pada umumnya dibuat sebagai perlambang masyarakat yang mempergunakan lingga Dewa Çiwa, sebagai Dewa Utama dalam tersebut sebagai media pemujaan. pantheon Hindu, namun juga sebagai lambang Dewa Brahma dan Dewa Wisnu (foto no. 9). c. Alat-alat Pande Besi Benda yang berupa bak air dari batu ini, terletak di pekarangan rumah salah seorang anggota masyarakat Desa Candi Kuning, dan masih dikeramatkan. Berdasarkan pengamatan bak air ini diduga sebagai salah satu sarana yang dipergunakan oleh masyarakat yang berprofesi

foto no. 9. Lingga kembar, Candi Kuning

Hal ini dapat dilihat dari bentuk lingga yang lengkap, yang terdiri atas tiga bagian (Tri Bhaga), yaitu bagian paling bawah yang berbentuk segi empat disebut sebagai Brahma Foto no. 10. Bak air dari batu, Candi Kuning

143 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 sebagai pande besi. Bak air ini dipergunakan III. Wisata Arkeologi di Kawasan Danau sebagai tempat air untuk mendinginkan logam Beratan yang sudah dikerjakan. Hal ini dapat kita 3.1 Wisata Arkeologi lihat sarana bak air ini masih dipergunakan Dewasa ini dunia seolah terasa sangat oleh pande besi di Bali dan dikenal dengan sempit dan sudah dianggap sebagai sebuah desa besar saja, karena untuk mengetahui peristiwa Penyaeban. Bak air ini ada yang dibuat dengan di suatu tempat di dunia ini, atau mau menuju bahan batu, kayu dan lainnya (foto no. 10). kesuatu tempat didunia ini sangat cepat dapat Dengan adanya tinggalan arkeologi ini, dapat dilaksanakan hanya dalam hitungan menit diduga bahwa pada masa lampau di wilayah ini atau jam saja. Semua ini terjadi karena adanya pernah ada masyarakat yang berprofesi sebagai kemajuan yang sangat pesat dalam bidang pande besi. Dugaan bahwa pada masa lampau ilmu pengetahuan dan teknologi, utamanya disekitar Danau Beratan pernah ada sekelompok teknologi informasi dan telekomunikasi dan masyarakat yang berprofesi sebagai pande besi, meningkatnya pendapatan masyarakat di dapat pula dibandingkan dengan masyarakat negara-negara maju. Kehidupan manusia masa lalu yang bermukim di sekitar Danau yang sudah berkecukupan memunculkan sifat Tamblingan, yang juga ada berprofesi sebagai manusia yang ingin tahu segala sesuatu yang ada di dalam maupun di luar lingkungan aslinya. pande besi (Suantika, 1997). Dewasa ini bak air Kebosanan terhadap rutinitas kehidupan di (penyaeban) ini, sering pula dibuat dari bahan dalam lingkungan aslinya, melahirkan keinginan kayu, dan merupakan sebuah sarana yang harus untuk mengetahui dunia luar atau dunia baru. dimiliki oleh setiap orang yang berprofesi sebagai Hal ini pada akhirnya melahirkan kegiatan pande besi. Untuk mereka yang berprofesi pariwisata/pelancongan, dari tempat asal ke sebagai pande besi, di Bali dikenal dengan tempat lainnya, dari negara asal ke negara sebutan keluarga pande, dan tempat mereka lainnya. Kegiatan pariwisata/pelancongan bekerja disebut dengan perapian (perapen). ini semakin hari semakin berkembang dan semakin ramai, pada akhirnya menjadi sebuah d. Komponen Bangunan industri maha besar yang kini kita kenal sebagai Selain tinggalan-tinggalan arkeologi industri pariwisata. Masyarakat negara-negara seperti yang telah disebutkan di atas, masih maju, yang secara umum kehidupannya sudah banyak lagi benda-benda arkeologis lainnya mapan dan mandiri, mulai melakukan kegiatan yang ditemukan di sekitar Danau Beratan, pariwisata secara besar-besaran menuju negara- seperti makarajaladvara yang merupakan negara yang sedang berkembang, dengan tujuan sebuah bekas pancuran, sehingga patut diduga untuk mendapat suatu kesenangan/kegembiraan bahwa pada masa lampau diwilayah ini pernah karena merasakan hidup dalam dunia baru. ada bangunan percandian atau permandian Negara-negara yang sedang berkembang ini yang memiliki pancuran, yang berbentuk pada umumnya memiliki berbagai bentuk makarajaladvara. Pancuran berwujud sumberdaya yang menjadi daya tarik makarajaladvara ini banyak ditemukan di pariwisata. Sumberdaya tersebut berupa budaya, tempat-tempat lainnya di Bali dan juga di Sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Pulau Jawa. Juga ditemukan batu-batu yang Dalam menghadapi besarnya gelombang diduga sebagai umpak, sehingga kuat dugaan pariwisata/pelancongan ini, maka setiap bahwa ada bangunan-bangunan yang mungkin negara tujuan wisata berusaha semaksimal merupakan bangunan keagamaan di sekitar mungkin mempersiapkan Objek Daerah Tujuan Danau Beratan pada masa lampau. Wisata (ODTW), sebanyak mungkin. Kondisi ini menyebabkan munculnya berbagai jenis kegiatan wisata, seperti; wisata alam, wisata bahari, wisata pantai, wisata religi, agrowisata, wisata arkeologi dan wisata lainnya.

144 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

3.2 Managemen Sumberdaya Arkeologi Jika kita kaitkan dengan sumberdaya Pada umumnya tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di sekitar Danau Beratan, arkeologi ditemukan dalam keadaan yang sudah maka managemen sumberdaya arkeologi yang tidak utuh, sehingga diperlukan pengamatan dimaksud, adalah tatacara yang bertalian dengan yang sangat cermat dan secara sistematis. Oleh bagaimana kita mengelola, melestarikan, dan karena itu berbagai masalah akan dihadapi oleh memanfaatkan semua warisan budaya tersebut, arkeolog dalam mengkaji benda arkeologi, agar dapat menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi dengan : konfl ik, baik yang bersifat vertikal maupun a. Bagaimana melihat jejak masa lalu horisontal, atau tindakan kita mencari solusi berdasarkan benda yang ditinggalkan agar semua pihak yang terlibat mendapatkan manusia. kepuasan. Berkaitan dengan kegiatan wisata b. Bagaimana menjembatani jarak antara arkeologi di Indonesia, dapat kita ketahui masa sekarang dengan kehidupan sosial bahwa telah banyak sumberdaya arkeologi pada masa lalu. yang dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai c. Bagaimana kerusakan dan kehilangan jejak daerah tujuan wisata di seluruh wilayah masa lalu dapat dijelaskan kembali (Shank Nusantara. Sebagai contoh dapat kita lihat and Tilley,1972). bagaimana sumberdaya arkeologi seperti Masalah yang terkait dengan tinggalan Candi Borobudur, Candi Perambanan, Candi arkeologi itu sendiri, akan semakin bertambah, Sewu dan candi-candi lainnya yang ada di manakala tinggalan-tinggalan arkeologi yang Jawa Tengah ditata sedemikian rupa, sehingga memiliki potensi sebagai sumberdaya arkeologi menjadi daya tarik wisata. Di daerah Jawa akan dijadikan sebagai objek wisata arkeologi. Timur, bekas keraton kerajaan Majapahit di Pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai daerah Trowulan, dengan berbagai peninggalan objek pariwisata, telah menimbulkan berbagai arkeologinya, seperti candi, kolam, permandian, konfl ik kepentingan, antar berbagai pihak yang dan lainnya dikelola sedemikian rupa sehingga berkepentingan. Belajar dari berbagai peristiwa/ menjadi daerah kunjungan wisata. Di daerah konfl ik tersebut, maka untuk meminimalisir Bali yang kita cintai peninggalan arkeologi munculnya konfl ik, perlu kiranya diterapkan seperti Pura Tirtha Empul- Komplek Candi secara khusus apa yang dikenal dengan Tebing Gunung Kawi di Tampak Siring dan Goa Managemen Sumberdaya Budaya atau yang Gajah, menjadi primadona pariwisata. Melihat sering disebut dengan istilah Cultural Resources antusiasme para wisatawan untuk mengunjungi Management (CRM), dan secara khusus harus tinggalan arkeologi, maka keberadaan diterapkan managemen sumberdaya arkeologi. sumberdaya arkeologi yang tersebar di sekitar Sejak sekitar tahun 1980 di Amerika Serikat Danau Beratan, Desa Candi Kuning, Kecamatan mulai muncul Cultural Resource Management Baturiti ini, sangat potensial untuk ditampilkan (CRM) atau dalam istilah Indonesia dikenal sebagai sebuah Objek Daerah Tujuan Wisata sebagai Managemen Sumberdaya Budaya (ODTW), karena memiliki sesuatu yang khas yaitu upaya pengelolaan warisan budaya secara dan unik. Namun demikian untuk mewujudkan bijak dengan mempertimbangkan berbagai semua itu diperlukan sebuah kerja keras dan kepentingan banyak pihak yang masing-masing perencanaan yang matang, sehingga dalam seringkali memiliki kepentingan yang saling pengelolaannya nanti membawa berkah bagi bertentangan. Dengan demikian CRM cenderung semua pihak. Dewasa ini terlihat adanya trend lebih menekankan pada upaya pencarian solusi baru, dimana para wisatawan tidak semata-mata terbaik dan terbijak agar kepentingan berbagai datang menyaksikan peninggalan arkeologi pihak tersebut dapat terakomodasi secara adil yang sudah selesai diteliti dan dipugar, tetapi (Tanudirdjo, 1993). para wisatawan itu juga mulai tertarik kepada

145 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 kegiatan wisata penelitian arkeologi, di mana b. Sosialisasi/pemasyarakatan sumberdaya mereka dapat ikut serta secara aktif dalam arkeologi perlu segera dilaksanakan agar kegiatan penelitian arkeologi. masyarakat mengetahui dan memahami makna dan manfaat sumberdaya arkeologi 3.3 Sosialisasi Wisata Arkeologi tersebut, sehingga pada nantinya Sebagaimana kita ketahui bersama, dapat berperan aktif sesuai dengan sampai sekarang hal-hal yang berkaitan dengan kemampuannya. pengertian, peran, dan fungsi arkeologi belum c. Penerapan manajemen sumberdaya budaya dimengerti secara baik dan benar oleh berbagai (cultural resources management) yang komponen masyarakat di Indonesia. Oleh karena melibatkan semua pihak perlu segera itu kegiatan sosialisasi atau pemasyarakatan diterapkan, sehingga sumberdaya arkeologi arkeologi harus segera dilaksanakan. yang ada dapat dimanfaatkan dengan Jangankan oleh masyarakat pada umumnya, maksimal dan berkelanjutan. di kalangan aparat pemerintah sebagai penyelengara negarapun, banyak pula pejabat 4.2 Saran-saran yang tidak tahu mengenai arkeologi. Dalam Untuk merealisasikan agar sumberdaya kondisi seperti ini tentu saja menyebabkan arkeologi tersebut dapat dijadikan atraksi wisata kita sangat sulit melakukan kerjasama dengan arkeologi, masih harus dilakukan berbagai jajaran Pemerintah Daerah khususnya yang hal dan juga harus dibuat suatu perencanaan membidangi kebudayaan, karena sebagian yang bersifat menyeluruh dan sinergis untuk besar dari mereka belum mengerti pentingnya semua potensi yang ada. Oleh karena itu dalam arkeologi, sehingga dalam program kerjanya kesempatan ini disampaikan beberapa saran, pemerintah daerah sering kali tidak melakukan seperti: kegiatan yang bersifat kearkeologian, sehingga a. Perlu dilakukan penelitian arkeologi seringkali kita melihat tinggalan-tinggalan secara intensif dan sitematis di kawasan arkeologi, tidak mendapatkan perlakuan yang Danau Beratan, karena diduga masih ada semestinya, bahkan banyak di antaranya lagi potensi arkeologis yang terpendam di dirusak atau dimusnahkan karena kepentingan kawasan tersebut. Dugaan ini didasarkan lainnya. Demikian pula apabila sebuah pada keberadaan tinggalan-tinggalan tinggalan arkeologi yang dikatagorikan sebagai arkeologis yang telah ditemukan di sumberdaya arkeologi, sangat penting untuk permukaan tanah, yang dapat dijadikan segera disosialisasikan, dengan harapan agar indikasi akan adanya tinggalan lainnya semua pihak dapat memahami makna dan yang belum terungkap. manfaatnya. Tinggalan-tinggalan arkeologi b. Secara bersama-sama, mulai saat ini kita pada dasarnya adalah milik masyarakat, semua (Pemerintah Pusat/Daerah, para terutama sekali masyarakat yang berdomisili di ahli budaya, pelaku pariwisata, masyarakat sekitar tinggalan arkeologi tersebut. dan komponen lainnya), mengadakan pengkajian secara lebih bijaksana, agar IV. PENUTUP kawasan Danau Beratan dapat dimanfaatkan 4.1 Kesimpulan secara lestari dan berkelanjutan. Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan c. Perencanaan yang bersifat multi aspek dalam tulisan ini, telah banyak hal yang harus segera dibuat dan disepakati bersama, dibicarakan dan dikaji, sehingga akhirnya dapat sehingga tidak akan terjadi monopoli kiranya disimpulkan hal-hal sebagai berikut: egosektoral yang pada akhirnya berdampak a. Kawasan sekitar Danau beratan terbukti negatif bagi kawasan tersebut. memiliki banyak peninggalan arkeologi d. Peranserta masyarakat harus mendapatkan yang dapat dikategorikan sebagai tempat yang sesuai dan proporsional, sumberdaya arkeologi, sehingga sangat sehingga berbagai konfl ik kepentingan potensial untuk dimanfaatkan sebagai dapat diminimalisasi,yang pada akhirnya modal pembangunan. dapat menumbuhkan rasa memiliki dan

146 I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

melestarikan semua potensi yang ada. and Prachee. Second edition . London : e. Sesuai dengan tuntutan Undang-Undang Routlidge. No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Sharer, Robert.J and Ashmore,Wendy.1979. maka Pemerintah Daerah kabupaten Fundamentals of Archaeology. California Tabanan, diharapkan dapat mengambil : The Benyamin. peran yang lebih aktif, dengan membuat Slametmulyana,1953. Negara Krtagama. perda tentang cagar budaya Siliwangi NV. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Stuart Piggot,1959. Approach to Archaeology. Anscherson, Neal. 2000. Editorial Public London. Archaeology, Vol.1 No1: 1-4. Suantika, Drs I Wayan. 1986. Peninggalan Atmadi, Pramono. 1979. Beberapa patokan arkeologi di Pura Merta Sari, Candi perancangan bangunan candi. Pelita Kuning, Bedugul, Bali. Proceding Borobudur, Seri C. Proyek Pemugaran Pertemuan Ilmiah Arkeologi, (PIA) IV. Candi Borobudur. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Binford, Lewis, 1972. A Consideration Jakarta. of archaeology research design,an ------. 1993. Kegiatan Buat archaeological pperspective. New York. Logam di Situs Arkeologi Tamblingan. Seminar press. Analisis hasil penelitian arkeologi. Cleere,Henry. 1984. World Cultural Resources (AHPA) IV. Jakarta : Pusat Penelitian Management Problem and Perspective. Arkeologi Nasional. Cambridge University Press. ------. 1997. Permukiman Cleere, Henry. 1989 Archaeological Haritage Kuna Di Tepian Danau-Danau di Bali. Management in the Modern World. Forum Arkeologi. No. 1. Balai Arkeologi London,Unwi- Hyman. Denpasar. Deetz,James. 1967. Invitation to Archaeology. ------. 2010. Laporan New York: The Natural History Press. Penelitian Arkeologi situs Candi Goris, R & Dronker.P.L.1938. Atlas Kebudayaan Mas;Desa Candi Kuning, Baturiti, Bali. Diterbitkan oleh Pemerintah Tabanan. Balai Arkeologi Denpasar. Republik Indonesia. ------. 2011. Sisa-sisa Mantra, Prof. DR Ida Bagus,1963. Pidato candi Hindu di Pura Candi Mas,Desa Dies Natalis (Piodalan) I, Universitas Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Udayana. 29 September 1963. Kalawerta Kabupaten Tabanan. Forum Arkeologi, Denpasar. No 2.Balai Arkeologi Denpasar. Mundardjito,1983. Beberapa konsep Tanudirdjo, Daud Aris,1993. Retrospeksi penyebarluasan informasi kebudayaan Penelitian Arkeologi Indonesia.Dalam masa lalu. dalam Analisis Kebudayaan. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI. Jakarta. Hal 20-22 Depdikbud.Jakarta.. Puslitarkenas hal 67-96. Rohaedi, Ayat. 1978. Kamus Istilah Arkeologi. Soekmono.R. 1974. Candi Fungsi dan Puslitarkenas. Pengertiannya. Disertasi Universitas Sedyawati, Edy. 2002. Pembagian Peranan Indonesia. Jakarta. Dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya, Widia, wayan, 1979. Arca Perunggu Koleksi Dalam Manfaat Sumberdaya Arkeologi museum Bali. Denpasar. Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa, Widia, Wayan, 1980. Peninggalan Upada Satra. Denpasar. kepurbakalaan di Pura Batu Meringgit, Shanks, Michael and Tilly Christopher. 1972. Candi Kuning, Bedugul, Bali. Reconstructing Archaeology Theory

147 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 AgustusAgustus2012 2012 (147 - 158)

MELACAK JEJAK MANUSIA PURBA (HOMO ERECTUS) DI FLORES

TRACE ANCIENT HUMAN (HOMO ERECTUS) IN FLORES Jatmiko Pusat Arkeologi Nasional Email : [email protected] Naskah masuk : 27-4-2012 Naskah setelah perbaikan : 29-5-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

Abstract Study about “Homo erectus, It’s Culture and Environments” are a never ending topic and will always remain as a challenge for the archaeologists. The presence of Homo erectus and it’s cultures are importance assets for understanding the history of human settlements in Indonesia; since when; how the physical and cultural developed; until how far the distribution take place. “State of The Art” of this research showing that the remaining fossil of Homo erectus was concentrated in Java. While generally, only faunal and cultural remains were found outside Java.Indonesia (especially Java), is one of the country which have the most complete for Homo erectus remains in the world, and mostly (65%) are found in Sangiran site, Central Java. But how about outside Java? Is it true that Homo erectus was lived in Flores? This are the problems that researchers in Puslitbang Arkenas are trying to resolve or the past fi ve decades. Based on the evidence of the archaeological remains (artefacts and confects) that have been founded in Soa Basin (Middle Flores), predicted that prehistoric life in this area already begins long time ago, between Lower Pleistocene – beginning of Middle Pleistocene. From several stone tools associates with a stegodon fossil, Verhoeven suggested that artefacts made by Homo erectus around 750.000 years ago. The result of this present study confi rmed the Verhoeven hypothesis. Soa Basin is a archaeological site complex with abundant of artefacts and faunal fossils. Even the Homo erectus fossils not found yet, the assemblages of artefacts and faunal fossils (such as Stegodon, crocodile, komodo, land turtle, and a kind of giant rodent) were found in several sites around Soa Basin. These artefacts and faunal remains are already supported by absolute dating to sure the age of these assemblages. The existence of stone tools also support the evidences that Soa Basin area were occupied by Homo erectus around Pleistocene period. Keywords: Homo erectus – Soa Basin – Flores – Palaeolithic - Pleistocene

Abstrak Kajian tentang tema’Manusia Purba, Budaya dan Lingkungannya” merupakan topik yang tidak pernah usang dan selalu menjadi tantangan bagi para peneliti. Hadirnya manusia purba dan budayanya merupakan aset penting bagi pemahaman sejarah hunian di Nusantara; sejak kapan kehadirannya, bagaimana perkembangan fi sik dan budayanya, serta sampai sejauhmana persebarannya. Dari hasil- hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa tinggalan fosil manusia purba lebih terkonsentrasi di Jawa, sedangkan di luar Jawa umumnya hanya ditemukan sisa-sisa fauna dan budayanya Kawasan Nusantara (terutama di Jawa) merupakan salah satu negara yang memiliki tinggalan manusia purba paling lengkap di dunia. Dari berbagai temuan fosil-fosil manusia purba di seluruh dunia, hampir 65 % nya ditemukan di Indonesia (terutama dari Situs Sangiran). Lalu bagaimana dengan di luar Jawa, apakah benar manusia purba (Homo erectus) pernah hidup di Flores ? Permasalahan inilah yang akan

148 Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores coba dipecahkan melalui hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Arkenas dalam dekade 5 (lima) tahun terakhir ini. Berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologis (artefak dan ekofak) yang didapatkan dalam penelitian di Cekungan Soa (Flores Tengah), memprediksikan bahwa kehidupan purba di wilayah ini sudah berlangsung sejak lama, yaitu pada kurun waktu antara Pleistosen Bawah – awal Pleistosen Tengah. Dari beberapa temuan artefak batu yang berasosiasi dengan fosil Stegodon, Verhoeven menduga bahwa pembuat artefak ini adalah manusia purba Homo erectus yang berasal dari kurun waktu sekitar 750.000 tahun lalu. Hasil-hasil penelitian sejauh ini semakin mengkonfi rmasikan hipotesis Verhoeven tersebut. Wilayah Cekungan Soa merupakan kompleks situs purba yang kaya akan artefak dan fosil fauna. Walaupun belum menemukan sisa manusianya, namun penemuan himpunan artefak dan fosil-fosil fauna (antara lain Stegodon, buaya, komodo, kura-kura darat, dan sejenis tikus besar) di berbagai situs di Cekungan Soa sudah diperkuat dengan data pertanggalan absolut, sehingga dapat diketahui umurnya secara pasti. Keberadaan alat-alat batu tersebut semakin memperkuat bukti bahwa di wilayah Cekungan Soa pernah menjadi ajang aktivitas manusia purba (Homo erectus) pada kurun waktu yang sangat tua (Kala Pleistosen). Kata Kunci: Homo erectus – Cekungan Soa – Flores - Paleolitik - Pleistosen

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Nusantara merupakan wilayah Indonesia menjadi salah satu negara terpenting yang sangat penting dalam penelitian manusia di dunia dalam pemahaman tentang asal-usul purba, khususnya bagi pemahaman asal-usul, dan evolusi manusia purba. Lalu bagaimana evolusi manusia, lingkungan dan budayanya. halnya dengan temuan-temuan di luar Jawa, Keunikan dan panjangnya rentang waktu apakah benar manusia purba (Homo erectus) kehidupan Homo erectus yang berlangsung pernah hidup di Flores ? Pertanyaan dasar ini pada Kala Pleistosen telah membuat manusia sengaja diajukan untuk mengawali tulisan ini, purba di Indonesia mendapat tempat istimewa karena seluruh rangkaian penelitian yang sudah di antara temuan serupa di beberapa negara dan akan dilaksanakan di wilayah ini tampaknya lainnya di dunia. Kekhususan lain manusia sedang berlomba untuk mencari jawabannya. purba Indonesia adalah jumlah temuan yang Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang sangat menonjol. Hingga saat ini penemuan diperoleh selama ini, jawaban memang mengarah manusia purba di Indonesia telah mencapai pada pembenaran kehadiran Homo erectus di sekitar 50 individu dari taxon Homo erectus yang Pulau Flores. Jejak keberadaan manusia purba mencakup masa evolusi lebih dari 1 juta tahun. di wilayah ini dibuktikan melalui hasil-hasil Jumlah ini mewakili sekitar 65 % dari seluruh penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian fosil hominid yang ditemukan di Indonesia, dan Pengembangan Geologi Bandung bekerjasama dan mencakup sekitar 50% dari populasi dengan pihak Belanda serta Australia pada sekitar Homo erectus di dunia (Widianto dkk, 1996). tahun 1990-an. Dalam penelitian tersebut telah Penemuan fosil-fosil manusia purba tersebut ditemukan jejak kehidupan purba yang berasal terutama berasal dari Situs Sangiran (Jawa dari Kala Pleistosen di Cekungan Soa (Flores Tengah) dan situs-situs lainnya di Jawa; antara Tengah). Pada beberapa situs terpenting, seperti lain di Trinil, Ngawi, Kedungbrubus, Perning, Matamenge, Kobatuwa, Boa Lesa, Kopowatu, Sambungmacan, Patiayam dan Ngandong, Dozu Dhalu, tim kerjasama internasional ini sedangkan untuk Homo sapiens tertua berasal berhasil menemukan himpunan artefak litik dari Wajak (Tulungagung). yang berasosiasi dengan fosil-fosil hewan purba, Dari berbagai aspek yang dimiliki terhadap seperti antara lain Stegodon, tikus besar, kura-kura temuan Homo erectus tersebut membuat raksasa dan buaya (Morwood et al, 1999).

149 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Cekungan Soa tampil pertama kali dalam BP. Sementara itu situs-situs penting lainnya studi prasejarah berawal pada tahun 1960- di Cekungan Soa yang pernah diekskavasi dan an ketika Th. Verhoeven, seorang misionaris dipertanggal antara lain adalah: Mata Menge, berkebangsaan Belanda melakukan penelitian Boa Lesa, Kobatuwa dan Wolosege (Morwood dan menemukan berbagai artefak batu di et al, 1999). Mata Menge, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Jejak penemuan artefak batu yang diduga Berdasarkan penemuannya yang berasosiasi sebagai peralatan yang dipakai oleh Homo dengan fosil Stegodon, Verhoeven menduga erectus pada beberapa situs di Cekungan Soa pembuat artefak ini adalah manusia purba Homo semakin diperkuat oleh hasil-hasil temuan dalam erectus dan berumur sekitar 750.000 tahun lalu penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian (Verhoeven, 1968). Asumsi yang disampaikan dan Pengembangan Arkeologi Nasional dalam Verhoeven itu pada awalnya kurang mendapat dekade 5 (lima) tahun terakhir ini, dan bahkan respon dari para ahli, dan baru puluhan tahun dalam survei yang dilakukan pada tahun 2009 sesudahnya para peneliti dari The Netherlands semakin memperlihatkan sebaran artefak lebih National Museum of Natural History tertarik luas lagi yang mencakup sebagian besar wilayah untuk membuktikannya. Bekerja sama dengan Cekungan Soa di bagian barat dan utara (Jatmiko, P3G Bandung, pada tahun 1991-1992 lembaga 2009). Hampir di setiap singkapan teras-teras ini mulai meneliti Cekungan Soa dengan sungai purba yang terdapat di wilayah ini melakukan ekskavasi di Situs Dozu Dhalu. didapatkan serpih-serpih yang dikerjakan sebagai Kerjasama tersebut kemudian alat yang ditemukan tersebar di permukaan tanah. dikembangkan pada tahun 1994 antara Pusat Selain itu, batu-batu inti sebagai bahan yang Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) dikerjakan untuk melepas serpih-serpih dalam Bandung dengan The University of New England, berbagai tingkat pengerjaan, serta alat-alat batu Australia. Penelitian kerjasama ini masih terus inti dalam bentuk kapak perimbas, kapak penetak, berlanjut hingga sekarang dan telah berhasil dan sebagainya juga memperkaya himpunan mengidentifi kasi 12 situs yang merupakan industri litik di Cekungan Soa (Jatmiko, 2007). pusat sebaran fosil atau artefak, keseluruhannya Penemuan-penemuan ini menunjukkan adanya menempati bagian tengah cekungan. Di kegiatan manusia yang mengkait dengan bagian agak ke barat terdapat kelompok Situs pembuatan dan pemakaian alat litik, sementara Matamenge, Kobatuwa, Boa Lesa, dan Lembah keberadaan batu-batu inti dan serpih-serpih Menge. Di bagian tengah agak ke utara terdapat menunjukkan pembuatannya berlangsung dalam kelompok Tangi Talo dan Olabula, sedangkan wilayah cekungan dengan memanfaatkan berbagai di bagian timur-tenggara terdapat kelompok jenis batuan yang tersedia. Dhozo Dalu, Sagala, Ngamapa, Kopowatu, dll. Selain situs yang pernah diteliti Verhoeven 1.2 Rumusan Masalah (Matamenge, Boa Leza, dan Lembah Menge), Permasalahan utama yang dihadapi tim kerjasama ini juga telah mengekskavasi dalam penelitian prasejarah di Cekungan Soa situs-situs lainnya (Tangi Talo, Kobatuwa, Dozu (Flores Tengah) adalah: ’Mengapa hingga kini Dhalu dan Kopowatu). Patut dicatat bahwa sisa manusia pembuatnya belum ditemukan ekskavasi di Tangi Talo menemukan berbagai ?’. Jika benar manusia purba dalam rentang jenis fauna, antara lain Stegodon kerdil (pigmy), ratusan ribu tahun yang lalu pernah mendiami kura-kura raksasa (Geochelone sp.) dan komodo wilayah ini dengan membuat peralatan litik (Varanus komodoensis), tapi tidak ditemukan untuk membantu kegiatannya, tentunya artefak di situs ini. Sejauh ini pertanggalan merekapun meninggal di wilayah ini juga. Jika radiometri (metode zircon fi ssion track) dari demikian kita seharusnya dapat menemukan situs ini mempunyai umur 900.000 ± 700.000 bagian yang tersisa atau terkonservasi seperti

150 Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores tulang, gigi, atau bagian badan lain yang tiga tujuan pokok, yaitu (1) merekonstruksi memfosil, sebagaimana sisa-sisa hewan purba sejarah kebudayaan; (2) merekonstruksi cara- yang telah memfosil banyak ditemukan. cara hidup; serta (3) menggambarkan proses Boleh saja kita beranggapan semuanya sudah perubahan budaya (Binford, 1983: 78 -104). hancur dimakan waktu hingga tidak ditemukan Namun demikian, dalam pelaksanaannya dalam penelitian, tetapi benarkah demikian? upaya tersebut tidak mudah dicapai, mengingat Sebagai bahan yang sama-sama organik, objek yang diteliti adalah kehidupan manusia mestinya sisa manusia berpeluang yang yang telah punah atau mati; di samping itu sama untuk terkonservasi dalam bentuk fosil, data arkeologis yang tersedia pada umumnya sebagaimana sisa hewan. Atau lebih lanjut kita sangat terbatas, baik secara kuantitas maupun membayangkan populasi hewan di kala itu jauh kualitas. lebih banyak dari populasi manusia, sehingga Apabila dikaitkan dengan tujuan arkeologi sisa hewan banyak ditemukan, sementara sisa sebagai ilmu seperti yang dikemukakan di atas, manusia tidak. Asumsi ini pun cukup lemah, maka tujuan penelitian arkeologi prasejarah di karena dalam populasi yang lebih terbatas pun, Cekungan Soa (Flores Tengah) ini merupakan pasti terbuka kemungkinan menyisakan bagian tujuan pertama dan kedua; yaitu untuk tubuh manusia yang terfosilkan. Jika demikian mengungkap jejak kehadiran Homo erectus halnya, mungkinkah penelitian-penelitian dan rekonstruksi kehidupan purba di wilayah yang dilakukan di Cekungan Soa ini akan ini; sejak kapan kehadirannya, bagaimana dapat menemukan jejak-jejak fosil manusia perkembangan fi sik dan budayanya, serta pendukungnya, dan bagaimana caranya ? sampai sejauhmana persebarannya. Kalau dilihat dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan selama ini, tampaknya untuk 1.4 Kerangka Teori menemukan fosil dari sisa-sisa manusia Manusia, budaya, dan lingkungannya pendukung budaya Cekungan Soa cukup merupakan tiga kesatuan yang saling terkait menjanjikan. Kesulitan menemukan fosil jika kita ingin mendapatkan pemahaman manusia di wilayah ini merupakan sebuah yang utuh tentang kehidupan manusia purba. tantangan tersendiri bagi penelitian di wilayah Manusia berperan sebagai motor atau pelaku ini. Penemuan sisa manusia sekecil apapun di yang mengekploitasi lingkungan untuk wilayah cekungan ini akan memiliki arti yang memenuhi kebutuhan dan mempertahankan sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan, hidup, sedangkan lingkungan sebagai wadah sekaligus meyakinkan kita akan keberadaan dan penyedia berbagai hal yang diperlukan, manusia purba di Flores. Cekungan Soa sangat serta budaya sebagai sistem, alat, dan produk penting ketika bicara tentang kehidupan manusia eksploitasi lingkungan (Simanjuntak, 2000). purba dengan segala keunggulan yang dimiliki, Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan kondisi dan evolusi lingkungan yang mendukung dan selalu berkaitan dengan alam lingkungan kehidupannya, serta proses adaptasi lingkungan sekitarnya, seperti faktor abiotik (tanah, udara yang menentukan “lifestyle”, perilaku, dan dan air) serta populasi tumbuh-tumbuhan budayanya pada umumnya (Simanjuntak, dan binatang. Sebagaimana diketahui bahwa 2006). Kepentingan-kepentingan inilah yang dalam mempertahankan hidupnya, manusia mendasari kegiatan-kegiatan penelitian selama (komunitas) cenderung memilih suatu bentang ini dilakukan di wilayah ini. alam yang memiliki sumber daya melimpah yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, 1.3 Tujuan dan Manfaat maupun sarana tempat tinggal permukimannya; Arkeologi sebagai disiplin ilmu yang seperti di daerah terbuka yang dekat dengan air memfokuskan perhatian pada kebudayaan dan atau gua-gua dan ceruk alam (Binford, 1983: kehidupan manusia di masa lalu, mempunyai

151 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

200 – 2001). Di samping tersedianya sumber 1.5 Metode daya lingkungan, manusia (komunitas) sejauh 1.5.1 Lokasi mungkin akan memilih lokasi tempat tinggal Cekungan Soa merupakan sebuah lembah yang dianggap aman dan menyenangkan. yang dikelilingi oleh dataran tinggi dan gunung Basis-basis pemukiman manusia pada masa api (vulkanik) di daerah Flores Tengah. Areal lalu merupakan bentang ruang di mana ini dahulu diperkirakan bekas danau purba manusia menyelenggarakan segala upaya yang terjadi karena letusan gunung api dan budaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. membentuk kaldera. Lokalitas-lokalitas permukiman menampakkan Cekungan Soa mempunyai luas sekitar 35 kecenderungan mengelompok atau minimal x 22 km dan berjarak sekitar 15 kilometer timur memperlihatkan pola sebaran yang seringkali laut kota Bajawa. Secara administratif, lokasi mengikuti pola-pola geografi s tertentu; seperti penelitian terletak di wilayah Kecamatan Soa, misalnya lembah, dataran rendah, dataran tinggi Kabupaten Ngada (Flores Tengah), Provinsi dan sebagainya. Pemilihan sesuatu lokalitas Nusa Tenggara Timur. (Peta no.1). Dikelilingi permukiman pada dasarnya ditetapkan atas oleh barisan pegunungan yang sebagian masih berbagai pertimbangan; misalnya kapasitas aktif, cekungan ini mengingatkan kita pada lingkungan alamnya, alasan melindungi dan sebuah kompleks hunian purba di mana manusia memusatkan para anggota kelompok pada lokasi hidup mengembara di lereng perbukitan dan sumber daya, atau juga untuk memperkecil sepanjang aliran sungai yang banyak terdapat di biaya-biaya operasional dalam mengelola dan dalam cekungan. Mereka hidup mengandalkan menyebarkan sumber daya (Trigger, 1968). hasil buruan dan memanfaatkan sumberdaya Pada dasarnya manusia mempunyai suatu alam yang tersedia di sekitarnya. kelebihan berpikir (akal) dibandingkan dengan binatang. Salah satu kelebihan manusia ini 1.5.2 Pengumpulan Data diwujudkan dalam bentuk budaya (peralatan) Metode atau strategi dalam penelitian dimana pertama kali timbul bersamaan dilakukan melalui 3 tahapan; yaitu tahap dengan munculnya manusia dimuka bumi. pengumpulan/perekaman data (survei dan Munculnya peradaban tertua di muka bumi ini ekskavasi) – tahap pengolahan data (analisis) diduga telah ada sejak ditemukannya bukti-bukti – dan tahap interpretasi data. Perekaman data fosil manusia purba Homo erectus pada periode dilakukan melalui pendeskripsian secara akurat Pleistosen (sekitar 2 juta – 11.500 tahun lalu). (pencatatan, pemetaan, penggambaran dan Pada Kala Pleistosen tersebut kehidupan manusia pemotretan) dan kemudian diinventarisasi masih cenderung bergantung kepada alam, yaitu melalui bank data (data base). dengan cara hidup berburu dan meramu. Sisa-sisa dari hewan buruan (seperti bagian tulang atau tanduk) seringkali dimanfaatkan untuk dibuat peralatan. Bentuk-bentuk peralatan yang dibuat dari bahan tulang dan tanduk semacam ini sudah banyak dibuktikan dalam penelitian arkeologis di Eropa dan Afrika. Di Indonesia, temuan budaya (peralatan) yang berasal dari kala Pleistosen pada umumnya hanya berwujud artefak batu (litik), sedangkan artefak yang berasal dari bahan tulang Peta no. 1. Keletakan/Lokasi penelitian di Cekungan dan tanduk umumnya lebih mendominasi pada Soa, Kabupaten Ngada, periode (fase) berikutnya, yaitu Kala Holosen Flores Tengah (Sumber: Encarta Premium, 2008) (Mesolitik) (Heekeren, 1972).

152 Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

Pengumpulan data melalui survei yang berumur antara 1,8 – 0,7 juta tahun permukaan dimaksudkan sebagai dasar dalam lalu. Kelompok kedua adalah Homo erectus menentukan langkah-langkah penelitian tipe Klasik atau Tipik yang juga ditemukan selanjutnya. Survei dalam penjaringan dan di Sangiran pada litologi Kabuh dari Kala perekaman data dilakukan dengan teknik Pleistosen Tengah yang berumur antara 0,8 – 0,4 observasi kepustakaan dan lapangan. Selain juta tahun; dan kelompok ketiga adalah Homo itu, dalam metode penelitian ini juga dilakukan erectus tipe Progresif ditemukan pada litologi melalui teknik ekskavasi (test-spit). Teknik teras Ngandong dari sekitar 100.000 tahun yang ini dimaksudkan untuk menjaring data lalu (Semah et al, 1990). Dan apabila temuan secara sistematis, insitu dan akurat sehingga Homo sapiens fosil dimasukkan dalam kategori validitasnya lebih terjamin. Penentuan ekskavasi manusia purba, maka kelompok termuda adalah atau penggalian dilakukan melalui pemilihan Homo Wajakensis yang ditemukan di daerah beberapa situs di Cekungan Soa yang dianggap Tulungagung dari sekitar akhir Pleistosen. penting dan mewakili berdasarkan hasil-hasil Model evolusi Out of Africa atau sering temuannya (skala prioritas). disebut Teori Pengganti (replacement theory) yang dipelopori oleh ide-ide dari Louis Leakey 1.5.3 Analisis Data di tahun 1960-an memandang bahwa manusia Analisis data dilakukan melalui purba (Homo erectus) berasal dari benua pemilahan terhadap berbagai temuan arkeologis Afrika yang kemudian menyebar ke berbagai berdasarkan pada aspek bentuk (form), ruang arah dan bermigrasi ke seluruh dunia (Eropa (space), dan waktu (time). Selanjutnya, temuan- dan Asia) sehingga sampai di Indonesia pada temuan tersebut akan dijelaskan mengenai Kala Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun lalu). aspek fungsinya melalui analisis kontekstual; Setelah Homo erectus mengalami kepunahan yaitu untuk mencari hubungan antara benda pada sekitar 150.000 – 100.000 tahun lalu, yang satu dengan lainnya, antara benda dengan muncullah manusia penggantinya, yaitu situs, hubungan antar situs, dan hubungan antara Homo sapiens yang kemudian berkembang di situs dengan lingkungan fi siknya (Mundardjito, Indonesia dan berlanjut ke Australia (Widianto, 1996). Oleh karena itu, dalam analisis yang 2010). Di tempat-tempat yang baru, kemudian dilakukan dalam penelitian di Cekungan Soa mereka berkembang dan menggantikan selain meliputi klasifi kasi teknologi, fungsi, populasi arkaik lokal. dan bentuk, juga dilakukan melalui analisis komparatif (perbandingan) dengan situs-situs serupa di Indonesia.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Manusia Purba di Indonesia dan Teori ’Out of Arica’ Kehidupan manusia purba di Indonesia meliputi kurun waktu yang sangat panjang dalam rentang jutaan tahun. Berdasarkan karakter fi sik dan lapisan penemuannya, manusia purba dapat dibedakan dalam beberapa kelompok evolusi. Kelompok tertua yang disebut Homo erectus Peta no. 2. Migrasi Homo erectus berdasar Arkaik atau Kekar, ditemukan di Sangiran pada “Teori Out of Africa-1” litologi Pucangan dari Kala Pleistosen Bawah (Sumber: Simanjuntak, 2011)

153 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Model Out of Africa menganggap bahwa Berdasarkan bukti-bukti temuan yang Homo erectus tertentu di Afrika merupakan dihasilkan dalam penelitian di Situs Matamenge, nenek moyang dari manusia modern. Model ini telah ditemukan lebih dari 200 alat serpih mengatakan bahwa manusia modern tersebut dari bahan batuan volkanik yang berasal dari berevolusi dalam suatu daerah sempit di Afrika endapan minor channel Formasi Olabula. Dari dan menggantikan populasi Homo erectus dan hasil pertanggalan radiometri diperoleh jejak sapiens arkaik yang telah ada sebelumnya. tarikh antara 880.000 ± 700.000 BP ((Morwood (Peta no.2). Selanjutnya mereka keluar Afrika et al, 1997). Menurut Brumm, alat-alat serpih dalam berbagai gelombang migrasi untuk dari Situs Matamenge tersebut mempunyai mengokupasi dunia lama (Widianto, 2010). ciri-ciri morfo-teknologi yang sama dengan Model ini telah menempatkan Homo sapiens beberapa temuan artefak batu dari Situs Liang sebagai spesies yang paling meyakinkan dan Bua yang berasosiasi dengan manusia kerdil penting kedudukannya dalam evolusi manusia, Homo fl oresiensis. Salah satu ciri yang sangat karena menyangkut spesies manusia modern, spesifi k dari alat serpih di Matamenge yang keturunan manusia sekarang. disebut ‘radial core’ (Brum et al, 2006).

2.2 Jejak Manusia Purba di Flores Seperti apa yang telah diutarakan pada awal tulisan ini, jejak temuan manusia purba di Flores (Cekungan Soa) hanya berupa tinggalan budayanya (artefak litik) dan sisa-sisa fauna (seperti fosil-fosil Stegodon, buaya, kura- kura, dan tikus besar); sedangkan sisa-sisa manusianya, sampai sekarang belum pernah ditemukan. Temuan artefak dan fragmen fosil- Foto no. 2. Sebuah temuan gigi geraham fosil tulang fauna vertebrata pada situs-situs (molar) Stegodon yang ditemukan secara di Cekungan Soa pada umumnya didapatkan ‘insitu’ di situs Kobatuwa (Cekungan Soa) pada lapisan/endapan batu pasir tufaan dari Di Situs Boa Lesa beberapa temuan Formasi Olabula, dan secara kronologis sudah alat serpih yang berasosiasi dengan Stegodon dipertanggal secara absolut (berasal dari Kala besar ditemukan dalam endapan minor channel Pleistosen Tengah – Bawah). Situs-situs tersebut dari Formasi Olabula. Dari hasil pertanggalan antara lain adalah: Situs Matamenge, Boa Leza, diketahui bahwa situs ini mempunyai jejak tarikh Kobatuwa dan Wolosege. (foto no.1 dan 2). 870.000 ± 840.000 BP (Morwood et al, 1997).

Foto no. 1. Beberapa temuan fragmen fosil Gambar no.1. Artefak batu (Chopper) dari Stegodon dari hasil penelitian di Cekungan Situs Kobatuwa, Soa (Sumber: Morwood, 1999) Cekungan Soa, Flores Tengah.

154 Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

Di Situs Kobatuwa ditemukan beberapa Budaya Homo erectus, khususnya alat- alat masif berupa kapak perimbas dan alat-alat alat paleolitik, selama ini masih mengalami serpih besar dari bahan batuan andesitik. Dari perdebatan panjang. Pengertian budaya dalam hasil analisis laboratoris (metode fi ssion track) konteks manusia purba adalah bukti-bukti awal pada contoh sedimen endapan tufa putih (dari dari manusia tersebut, sesuai dengan akal dan Formasi Olabula) di situs ini telah diperoleh pikirannya dalam berhadapan dengan alam pertanggalan antara 700.000 ± 60.000 BP lingkungan yang masih liar. Namun demikian, (Morwood et al, 1999). (gambar no.1). karena kemampuan akal dan pikirannya, Sementara itu, temuan artefak tertua di maka manusia Pleistosen mampu membuat, Cekungan Soa berasal dari Situs Wolosege. menggunakan dan mempertahankan tradisi- Hasil pertanggalan absolut (melalui metode tradisi teknologi yang masih sederhana tersebut argon-argon) dari temuan artefak di situs ini dalam bentang waktu yang panjang. Bukti-bukti berasal dari kurun waktu antara 1,02 ± 0.02 teknologis manusia Pleistosen yang sampai Myr. Temuan artefak di situs ini pada umumnya kepada kita pada umumnya berupa peralatan berupa alat-alat serpih besar yang dibuat dari yang dibuat dari bahan batuan, meskipun batuan meta-volkanik dan ditemukan pada secara logis tidak tertutup kemungkinan juga endapan tufa halus dan fl uvio konglomerat dari dikembangkan alat-alat dari bahan lain dari Formasi Olabula (Brumm et al, 2010). bahan tanduk, tulang dan kayu (Soejono, Selama ini diyakini oleh para ahli bahwa 1987). Tidak seimbangnya penemuan alat- pendukung budaya alat-alat paleolitik adalah alat batu dibandingkan dengan peralatan yang manusia purba Homo erectus (Semah et al, menggunakan bahan organis lain tersebut karena 1992). Persoalan tentang tinggalan budaya lebih cepat mengalami kerusakan sehingga yang berasal dari Kala Pleistosen, khususnya jarang ditemukan (Crabtree, 1972; Semenov, temuan alat-alat paleolitik di Indonesia biasanya 1976). Kenyataan lain juga membuktikan selalu dikaitkan dengan aspek-aspek migrasi bahwa, setiap penemuan sisa manusia purba di yang menyangkut kehadiran manusia sebagai suatu situs tidak pernah diikuti oleh penemuan pembawa budaya alat batu tua itu sendiri. peralatannya; dan sebaliknya, setiap kali (foto no.3). Beberapa pendapat dari para ahli ditemukan alat-alat batu dalam suatu situs juga menyatakan bahwa timbulnya peradaban jarang diikuti temuan manusia pendukungnya. (budaya) batu tua tersebut muncul sejak adanya Hal ini menyebabkan kita mengenal dua jenis manusia di muka bumi atau tepatnya pada Kala situs-situs tertua di Indonesia; yaitu situs Pleistosen. hominid yang dicirikan oleh tinggalan fosil- fosil manusia dan hewan (seperti di Sangiran, Perning, Kedungbrubus, Trinil, dsb), dan situs- situs paleolitik dengan tinggalan artefak yang menonjol (seperti di Kali Baksoka, Cabenge, Kali Ogan, Manikin-Noelbaki, dan lain-lain).

2.3 Korelasi Homo erectus dan Homo fl oresiensis Satu-satunya temuan fosil manusia tertua di Flores yang berhasil diketahui pertanggalannya adalah Homo fl oresiensis. Foto no. 3. Beberapa temuan artefak litik Genus hominid yang berasal dari kurun waktu (retouched fl akes) dari hasil antara 36.000 – 18.000 tahun lalu (akhir survei permukaan di Cekungan Soa, Flores Tengah Pleistosen) ini ditemukan di Situs Liang (Gua)

155 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Bua di Kabupaten Manggarai pada tahun 2004 dan unik yang tidak ditemukan pada hominid oleh tim kerjasama antara Puslitbang Arkenas lain. Banyak karakter arkaik pada spesimen dengan University of New England, Australia. ini yang memiliki persamaan dengan Homo Dalam penelitian (ekskavasi) di situs ini, telah erectus maupun Australopithecus afarensis, ditemukan lebih dari 7 individu fragmen fosil sehingga dianggap sebagai spesies baru dari manusia kerdil pada kedalaman 5, 9 meter genus Homo, yaitu Homo fl oresiensis. Kecilnya (di bawah abu vulkanik yang cukup tebal) ukuran tinggi dan proporsi tubuhnya dianggap (Morwood et al, 2004). (foto no.4). sebagai hasil suatu proses pengkerdilan akibat implikasi endemik (Brown, 2004). Manusia dari Liang Bua ini merupakan individu yang mempunyai karakter dari dua spesies Homo; yaitu Homo erectus dan Homo sapiens.(foto no.5). Penemuan rangka manusia dari Situs Liang Bua mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan evolusi manusia purba di Indonesia, karena Homo fl oresiensis dianggap sebagai penghubung antara Homo erectus dan Homo sapiens pertama di Kepulauan Nusantara. Menurut Widianto, Homo fl oresiensis bukanlah spesies baru, tetapi adalah Homo sapiens yang Foto no. 4. Penanganan awal temuan Homo masih mengkonservasi karakter pendahulunya fl oresiensis di Liang Bua akibat kurang lancarnya arus genetik di kawasan Salah satu rangka manusia, yang ini, sehingga namanya pun dirubah menjadi kemudian terkenal dengan nama LB-1 hampir Homo sapiens fl oresiensis (Widianto, 2010) relatif utuh ditemukan, terdiri dari: tengkorak dengan rahang bawahnya, tulang paha, tulang kering, tulang lutut, sebagian tulang pinggul, tulang betis, tulang-tulang pergelangan tangan dan kaki yang tidak lengkap, dan beberapa fragmen dari ruas tulang belakang, tulang ekor, iga, tulang belikat, dan clavicula (Widianto, 2010). Temuan sisa-sisa rangka manusia dari Liang Bua ini berasosiasi dengan alat-alat batu, sisa-sisa tulang binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis Stegodon. Rangka individu LB-1 sangat mungil. Menurut hasil analisis Peter Brown, rangka ini Foto no. 5. Tengkorak Homo fl oresiensis milik seorang wanita muda berumur sekitar 25 tahun, tinggi badannya sekitar 106 cm, III. PENUTUP dan volume otaknya hanya 380 cc. Kapasitas 3.1 Kesimpulan kranial tersebut berada jauh di bawah volume Indikasi tentang keberadaan Homo erectus otak Homo erectus (1.000 cc), manusia di Flores ternyata cukup beralasan, karena dari modern Homo sapiens-sapiens (1.400 cc), dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan bahkan di bawah volume otak simpanse (450 selama ini semakin mengkonfi rmasikan cc). Secara keseluruhan, Brown menganggap bahwa situs-situs di Cekungan Soa merupakan LB-1 merupakan kombinasi karakter primitif kompleks hunian purba yang kaya akan

156 Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores tinggalan artefak dan fosil-fosil fauna yang penelitian secara interdisipliner. Pertimbangan berasal dari kurun waktu Kala Pleistosen tersebut juga didasarkan dari hasil pengamatan Bawah - Tengah. Pada periode ini telah terjadi geomorfologi dan stratigrafi , karena beberapa interaksi antara manusia purba dan hewan yang situs potensial (seperti Situs Kobatuwa dan hidup secara bersamaan dalam kawasan ini. Matamenge) yang posisinya berada pada daerah Mereka mendiami lingkungan di sekitar tepi pinggiran cekungan (daerah ekoton) sangat danau Cekungan Soa. memungkinkan manusia tinggal di tempat Walaupun belum menemukan sisa ini. Kondisi semacam ini sangat berpotensi manusianya, namun penemuan himpunan mempreservasi tinggalan yang lebih lengkap, artefak dan fosil-fosil fauna di berbagai situs termasuk sisa manusia yang menjadi target di Cekungan Soa sudah diperkuat dengan data utama pencarian. Penelitian lanjutan di wilayah pertanggalan absolut (radiometri), sehingga ini merupakan bagian dari rangkaian pencarian dapat diketahui umurnya secara pasti. Temuan sisa manusia purba itu, termasuk sisa budaya artefak-artefak litik tersebut diduga sebagai dan lingkungannya dalam upaya pemahaman peralatan atau produk budaya dari Homo lebih jauh keberadaan manusia purba di erectus yang mempunyai tarikh antara 1,02 juta Cekungan Soa. Hasil eksplanasi yang lebih - 760.000 tahun lalu. lengkap di Cekungan Soa diharapkan akan Selain itu, jejak keberadaan manusia lebih dapat mengidentifi kasi permasalahan purba di Flores juga diperkuat dengan temuan lainnya, sehingga penelitian dalam jangka sisa-sisa rangka manusia di Situs Liang Bua. panjang dapat direncanakan secara matang Penemuan rangka manusia kerdil Homo dalam pengembangan situs ini dan kehidupan fl oresiensis di Situs Liang Bua mempunyai arti manusia purba pada umumnya. yang sangat penting bagi perkembangan evolusi manusia purba di Indonesia, karena selama ini DAFTAR PUSTAKA belum pernah ditemukan jenis Homo sapiens Binford, Lewis R. 1983. Working arkaik yang mempunyai karakter kombinasi at Archaeology. New York: antara Homo erectus dan Homo sapiens di Academic Press seluruh Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, Brown, P., T. Sutikna, M.J. Morwood, R.P. kemudian manusia kerdil dari Liang Bua (LB-1) Soejono, Jatmiko, E.Wahyu Saptomo, and dianggap sebagai penghubung antara keduanya. Rokhus Due Awe. 2004. “A new small- Tempat penemuannya di Pulau Flores juga telah bodied hominin from the Late Pleistocene memberikan arti tersendiri, karena lingkungan of Flores, Indonesia”. Nature. Vol.431. insuler di daerah Nusa Tenggara Timur Halaman 1055-1061. ternyata mempunyai peranan yang tidak kalah Brumm, Adam, F. Aziz, GD. Van den Bergh, pentingnya dibandingkan Pulau Jawa. Liang MJ. Morwood, Mark W. Moore, Iwan Bua sangat mungkin merupakan salah satu Kurniawan, D.R. Hobbs & R. Fullagar. jalur penting migrasi manusia dari arah barat 2006. “Early Stone Technology on ke timur selama periode akhir Kala Pleistosen. Flores and its implications for Homo Pada periode ini (sekitar 36.000 – 18.000 tahun fl oresiensis”. Nature, 441. Halaman 624 lalu), kehidupan Homo erectus telah digantikan – 628. oleh Homo sapiens. Brumm, Adam, Gitte M.Jensen, G.D. van den Bergh, M.J. Morwood, Iwan Kurniawan, 3.2 Rekomendasi Fachroel Aziz & Michael Storey. 2010. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang “Hominin on Flores, Indonesia by one telah dilakukan, tampaknya beberapa situs di million Years ago”. Nature Vol.464. Cekungan Soa dan juga tempat-tempat lain Halaman 748 – 753. di Flores masih perlu ditindaklanjuti melalui

157 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Crabtree, Don E. 1972. An Introduction to Mundardjito. 1996. “Metode Penelitian Flintworking. Idaho: Occasional Papers Pemukiman Arkeologi”. Dalam Lembaran of the Museum Idaho State University. Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No.11. Edisi Heekeren H.R, van. 1972. “The Stone Age Khusus : Monumen. Karya Persembahan of Indonesia”, Verhandelingen van het untuk Prof.Dr. R. Soekmono. koninklijk, instituut voor Tall-, Land-en Semah, Francois, A-M Semah, T. Djubiantono Volkenkunde 61, The Hague: Martinus & HT. Simanjuntak, 1992. “Did They Nijhoof. Also Made Stone Tools ?”. The Journal Jatmiko. 2007. “Adaptasi Manusia Terhadap of Human Evolution Vol.3 . Lingkungan Pada Kala Plestosen di Semenov, S.A. 1976. Prehistoric Technology. Cekungan Soa, Kabupaten Ngada, London: Cory and Mckay Ltd. Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Laporan Simanjuntak, Truman. 2000. “Wacana Budaya Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Manusia Purba”. Dalam Berkala Arkeologi Penelitian dan Pengembangan Arkeologi No.20. Jakarta: Proyek Peningkatan Nasional (tidak terbit) Penelitian Arkeologi. Halaman 1-14. Jatmiko. 2009. “Adaptasi Manusia Terhadap Simanjuntak, Truman dan Harry Widianto Lingkungan Pada Kala Plestosen di (eds.). 2006. Prasejarah Indonesia. Jilid Cekungan Soa, Kabupaten Ngada, I Sejarah Nasional Indonesia (in press). Provinsi Nusa Tenggara Timur (Tahap-II)”. Soejono, R.P. 1987. “Stone tools Type in Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: ”. Man and Culture in Oceania. Pusat Penelitian dan Pengembangan Special Issue. Arkeologi Nasional (tidak terbit) Trigger, Bruce G. 1968. “The Determinants of Morwood, M.J., F. Aziz, G.D. van den Berg, Settlement Patterns”. Dalam Kuang Chih P.Y. Sondaar, and John de Vos. 1997. Chang (ed), Settlement Archaeology. “Stone artefacts from the 1994 excavation California: National Press Books. at mata Menge, West Central Flores, Halaman 54-78. Indonesia”. Australian Archaeology, 44. Verhoeven, Th. 1968. “Pleistozane Funde auf Halaman 26-34. Flores, Timor and Sumba”. Anthropica Morwood, M.J., F. Aziz, P.O’Sullivan, Gedenkschrift zum 100 Gebrgstag von Nasruddin, D.R. Hobbs, & A. Raza. 1999. P.W. Schmidt: 393-403. St Augustin: “Archaeological and Palaeontological Verlag des Anthropos-Instituts. Studis research in Central Flores, east of Instituti Anthropos 21. Indonesia: results of fi eldwork 1997- Widianto, Harry, Truman Simanjuntak & 1998”. Antiquity, 73. Halaman 273-286. Budianto Toha, 1996. “Laporan Penelitian Morwood, M.J, R.P. Soejono, R.G. Roberts, T. Sangiran: Penelitian Tentang Manusia Sutikna, C.S.M. Turney, K.E. Westaway, Purba, Budaya dan lingkungan”. BPA W.J. Rink, J.x. Zhao, G.D. van den Bergh, No.46. Puslit Arkenas. Jakarta. R.D. Awe, D.R. Hoobs, M.W. Moore, M.I. Widianto, Harry. 2010. Jejak Langkah Setelah Bird & L.K. Fifi eld. 2004. “Archaeology Sangiran. Balai Pelestarian Situs Manusia and age of a new hominin from Flores Purba Sangiran. Direktorat Jenderal in eastern Indonesia”. Nature Vol. 431. Sejarah dan Purbakala. Halaman 1087 - 1091.

158 ForumI Nyoman Arkeologi Rema Relief Volume Jambangan 25 No. 2 Agustus2012 Bunga Di Pura (159 Puseh - 164) Kanginan Carangasari

RELIEF JAMBANGAN BUNGA DI PURA PUSEH KANGINAN CARANGSARI DESA CARANGSARI, KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG STUDI ARKEOLOGI-RELIGI

FLOWER VASE RELIEF AT PUSEH KANGINAN CARANGSARI TEMPLE, CARANGSARI VILLAGE, PETANG SUBDISTRICT, BADUNG REGENCY AN ETNOARCHAEOLOGICAL STUDY I Nyoman Rema Balai Arkeologi Denpasar Email: [email protected] Naskah masuk : 23-2-2012 Naskah setelah perbaikan : 15-5-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

Abstract In the temple of Puseh Kanginan there is building components one of which is a relief of vase fl owers. This relief is becoming very attractive to author because it resembles a relief of kalpataru which were found many at temples in Java, such as Prambanan and Borobudur. There are two problems raised in this study, namely the identity of relief of vase fl owers, and its meaning. This study uses two theories; they are theory of religion and cultural ecology theory. Those theories were used to reveal the religious aspects and the role of the relief in the hopes of its creators and the community to adapt and maintain the environment. The study was a qualitative research.The datawere collected by observation and literature study. Data were analyzed descriptively and qualitatively, with the process of data reduction, presentation of data, and drawing conclusions. In the fi nal stage after data analysis, it was conducted the presentation of data according to the problems. So it can be seen that the relief of fl ower vase at Pura Puseh Kanginan, Carangsari village, Petang District, Badung regency, in terms of its characteristics is the Kalpataru relief. Meaning contained in it is a symbol of life, the purity and balance of the universe. In addition, this tree is also known as the banyan tree, as well as a symbol of purity, which is used as a means of spiritual purifi cation ceremony in Bali (atma wedana). Keywords: relief, fl ower vase, kalpataru, Mountain Mahameru, banyan

Abstrak Di Pura Puseh Kanginan terdapat komponen bangunan salah satu diantaranya adalah relief jambangan bunga. Relief ini menjadi sangat menarik bagi penulis karena relief ini menyerupai relief kalpataru yang banyak terdapat pada candi di Jawa, seperti Prambanan dan Borobudur. Ada dua permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu mengenai identitas relief jambangan bunga tersebut, dan makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan dua teori yaitu teori religi dan teori ekologi budaya, yang digunakan untuk mengupas aspek religi dan peran relief tersebut dalam harapan masyarakat penciptanya dalam beradaptasi dan menjaga lingkungannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif ; sumber data dikumpulkan secara observasi dan kepustakaan. Anaalisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif, dengan proses ; reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan. Pada tahap akhir setelah analisis data, dilakukan penyajian data, sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Jadi dapat diketahui bahwa relief jambangan bunga yang terdapat di Pura Puseh Kanginan, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, dilihat dari segi ciri-cirinya adalah relief kalpataru. Makna yang terkandung di dalamnya adalah simbol kehidupan, kesucian dan keseimbangan alam semesta. Di samping itu pohon ini juga dikenal dengan banyan dan

159 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 beringin, juga sebagai simbol kesucian, yang dipakai sebagai sarana upacara penyucian roh di Bali (atma wedana). Kata Kunci : relief, jambangan bunga, kalpataru, gunung Mahameru, beringin.

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Di Pura Puseh Kanginan, di Desa Tinggalan arkeologi yang ada di Pura ini, Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten nampaknya merupakan tradisi yang berlanjut Badung, terdapat komponen bangunan yang dari zaman prasejarah hingga jaman klasik belum diketahui yang dahulu berdiri di sana. yang memberi jembatan pada peradaban Apakah berupa candi atau bangunan dengan masa kini. Dikatakan demikian karena di sana konstruksi kayu? Sampai saat ini belum ada terdapat tinggalan berupa batu tegak, nekara yang tahu. Penulis juga belum tahu apakah batu, yang merupakan tradisi berlanjut dari komponen bangunan yang ada di sana mengarah masa megalitik. Terdapatnya arca, lingga yoni, pada bangunan candi atau konstruksi kayu, relief kala, relief jambangan bunga, atau pot perlu diadakan penelitian yang mendalam bunga merupakan tinggalan dari masa klasik, oleh para peneliti yang membidangi. Dari yang masih dipelihara hingga kini, yang segi tinggalannya terdapat banyak tinggalan dibuatkan bangunan pelindung, untuk arca dari penting, seperti arca ganesa, nekara batu yang batu padas/paras, dan dibuatkan pondasi untuk di atasnya terdapat patung yang sudah aus, tinggalan yang lainnya. Di samping itu telah lingga yoni, kemuncak candi, batu-batu tegak, berdiri bangunan pelinggih dengan berbagai relief kala, relief jambangan bunga, lumpang kelengkapannya sebagai sarana memujaan batu, dan ada juga arca yang distanakan di masyarakat. Dari tinggalan arkeologi yang dalam sebuah palinggih, yang sangat penting, terdapat di pura tersebut, penulis tertarik untuk nampaknya sudah mendapatkan perhatian. Para memahami tinggalan arkeologi yang berupa warga Pura Puseh Kanginan Desa Carangsari relief pot atau jambangan bunga. Pemilihan sudah dari dahulu memelihara tinggalan ini, objek penelitian ini didasarkan atas alasan dan juga berkat dukungan dari sesepuh adat, bahwa dalam kesusastraan kuna relief pot/ para tokoh masyarakat, para penglingsir, dan jambangan bunga menyimpan ide yang mulia, pemerintah terkait. Masyarakat sangat antusias yang perlu dipahami maknanya, mengingat untuk mengetahui sekaligus untuk memahami philosofi bunga dalam kesusastraan kuna di peradabannya yang menyimpan kemuliaan di Bali khususnya, merupakan wujud dari rasa balik misteri tinggalan arkeologi yang tersimpan bhakti dan pancaran hati nurani yang penuh di sana. Menurut penulis ada ide cemerlang yang dengan kesucian. Harapan lain dari penelitian tersimpan pada setiap tinggalan tersebut, yang ini adalah dengan dikajinya relief jambangan mencirikan peradaban masyarakat setempat, bunga, dapat menemukan titik terang tentang sesuai dengan corak, ciri, dari tinggalan keterkaitannya dengan komponen bangunan arkeologi yang ada di sana. Di zaman yang serba yang lain. digital ini, masyarakat di samping memperkuat Dilihat dari tinggalannya nampak diri dengan berbagai perangkat teknologi tinggalan ini bersifat Siwaistis, dugaan ini yang yang canggih mengarahkan pemikiran didasari oleh tinggalan berupa linggayoni, pada pemikiran global, namun nampaknya arca ganesa, dan lain-lain. Selain itu relief masyarakat masih tetap memelihara tradisi yang jambangan bunga, ditemukan pada candi- dianggapnya adiluhung, agar tidak tercerabut candi di Jawa, seperti di candi Prambanan dari akar budayanya yang telah mengakar dari dan Borobudur. Namun pada masa kini, kehidupan masa lalu leluhurnya.

160 I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari temuan serupa juga ada ditemukan dipahatkan saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. sebagai hiasan Bale Kulkul, beberapa hiasan di Teori memiliki fungsi (1) sebagai generalisasi Museum Bali. Mengingat banyaknya terdapat dari fakta-fakta hasil pengamatan, (2) penggambaran relief tersebut, kiranya relief ini memberi kerangka orientasi untuk analisis dan mempunyai makna penting bagi masyarakat klasifi kasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan yang menciptakannya, dan tentu relief ini dalam penelitian, (3) memberikan ramalan mempunyai identitas tersendiri sesuai dengan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi maksud yang diusungnya, baik soal penamaan, (Koentjaraningrat,1997:10). Dalam penelitian bentuknya, maupun manifestasinya kemudian tentang relief jambangan bunga ini, teori yang dalam kehidupan masyarakat. digunakan dalam membedah masalah di atas adalah sebagai berikut. 1.2 Rumusan Masalah Untuk membedah masalah makna Berdasarkan latar belakang di atas, jambangan pot bunga penulis menggunakan mengingat beragam misteri yang tertanam pada teori ekologi budaya. Julian H. Steward (dalam relief tersebut, maka diajukan masalah ; pohon Poerwanto, 2000 : 67-71), memakai istilah apa sesungguhnya yang digambarkan dalam cultural ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk relief jambangan bunga tersebut? Makna bagaimana manusia sebagai mahluk hidup apa yang terkandung pada relief tersebut? menyesuaikan dirinya dengan suatu lingkungan geografi s tertentu. Menurutnya, ada bagian 1.3 Tujuan dan Kegunaan inti dari sistem budaya yang sangat responsif Secara umum penelitian ini, diharapkan terhadap adaptasi ekologis. Karenanya, berbagai dapat menambah wawasan dan pemahaman proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis, mengenai tinggalan klasik, berupa bangunan secara langsung akan dapat mempengaruhi suci pola hiasnya. Secara khusus penelitian ini unsur-unsur inti dari suatu struktur sosial. adalah untuk mengetahui identitas pohon yang Agar tetap produktif maka suatu perubahan digambarkan dalam bentuk relief jambangan kebudayaan akan dapat diakibatkan oleh faktor bunga, dan untuk mengetahui makna yang ekologi tadi, harus melakukan suatu pengaturan terkandung di dalamnya. Kegunaan yang kembali. Berbagai upaya pengaturan kembali diharapkan dari penelitian ini adalah secara tersebut akan berpengaruh pula terhadap struktur teoretis dapat menambah wawasan keilmuan sosial mereka. Steward, juga menegaskan dan diharapkan pula dapat menemukan teori- ; (1). ada hubungan antara teknologi yang teori baru. Secara ideologis, diharapkan dapat dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan meningkatkan pemahaman mengenai nilai tertentu, (2). pola-pola kelakuan dalam rangka simbolik magis relief tersebut. Secara praktis mengeksploitasi suatu daerah, erat kaitannya penelitian ini diharapkan dapat digunakan dengan suatu bentuk teknologi yang diciptakan, sebagai pedoman dalam memahami tinggalan dan (3). pola-pola kelakuan dalam rangka itu arkeologi berupa jambangan bunga, sekaligus akan berpengaruh terhadap berbagai aspek dari nanti dapat berpikir kritis, karena setiap pahatan kebudayaannya. yang terpahat pastilah memiliki maksud tertentu, Teori Ekologi Budaya ini sangat yang bermakna bagi kehidupan manusia. tepat dipakai untuk mengkaji makna relief pot bunga, karena kedalaman makna dari 1.4 Landasan Teori pembangunan suatu tempat suci disesuaikan Teori merupakan alat yang terpenting dengan keadaan lingkungan yang senantiasa dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya bersifat memelihara dan mempertahankan alam ada pengetahuan tentang serangkaian fakta agar tetap lestari, terhindar dari gangguan,

161 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 karena diposisikan untuk kawasan suci. Relief digunakan adalah tematis-fi losofi s. Suatu jambangan bunga senantiasa mengisyaratkan penelitian pada hakikatnya membangun suatu makna bahwa masyarakat diharapkan selalu segitiga pemahaman mencakup: pertanyaan, menjaga lingkungan, karena lingkungan akan pernyataan, dan kenyataan. Suatu pendekatan memberikan kebahagiaan pula bagi manusia. tematis fi losofi s tentu saja harus sampai ke Untuk melengkapi teori ekologi budaya akar-akarnya yang sedalam-dalamnya, yang dalam membahas makna relief jambangan barangkali justru tidak nampak pada permukaan bunga penulis menggunakan teori religi dari fenomenalnya. Jenis data yang digunakan Koentjaraningrat yang mengusulkan konsep dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data religi dipecah ke dalam 5 komponen yang kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam mempunyai perannya sendiri-sendiri, tetapi bentuk kalimat, kata-kata, ungkapan, dan sebagai bagian dari suatu sistem berkaitan erat gambar atau foto (Sugiyono, 2007: 3). satu dengan lain. Kelima komponen itu adalah (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; (5) umat agama (Koentjaraningrat, 1987 : 80-82). Namun untuk membahas makna relief jambangan bunga, penulis hanya menggunakan komponen sistem keyakinan, dan peralatan ritus dan upacara. Komponen ini digunakan dengan alasan bahwa relief jambangan bunga Peta No 1. Peta Lokasi Pura Puseh Kanginan merupakan wujud pikiran dan gagasan manusia Carangsari yang menyangkut keyakinan terhadap Tuhan, kemudian berkaitan erat dengan sistem nilai, Data primer yang akan digunakan dalam dan norma keagamaan, ajaran kesusilaan, dan penelitian ini adalah relief jambangan pot ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur bunga yang ada di Pura Puseh Kanginan, Desa tingkah laku manusia. Dari gagasan keyakinan Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten ini dibuatkan sarana dan peralatan seperti tempat Badung. Sedangkan data sekunder penelitian ini suci, arca, dan salah satunya dipahatkan berupa diperoleh melalui buku-buku, artikel, dokumen relief jambangan bunga, yang mengandung tertulis, dan sebagainya dari perpustakaan kedalaman ide, gagasan dan keyakinan umat. atau tempat lain. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya melalui 1.5 Metode fi eldwork, yaitu suatu pekerjaan mencatat, Penelitian dilaksanakan di Pura Puseh mengamati, mengumpulkan dan menangkap Kanginan Carangsari, Desa Carangsari, semua fenomena data dan informasi tentang Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, yang kasus yang diselidiki (Kaelan, 2002 : 176) posisinya berada pada koordinat 08o 27’ 05.1”LS, Metode pengumpulan data yang dipergunakan 115o 13’ 39.8”BT dengan ketinggian 370 m., di di sini, antara lain metode pengamatan langsung atas permukaan laut (lihat Peta no 1). Penelitian pada objek penelitian (observasi), dan studi ini mengacu kepada penelitian kualitatif, yaitu kepustakaan. Instrumen atau alat pengumpul suatu strategi penelitian yang menghasilkan data yang digunakan pada penelitian ini data atau keterangan yang memberikan adalah segala alat yang digunakan untuk perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai mengumpulkan data. Dalam penelitian dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi deskriptif kualitatif, seorang peneliti biasanya kultural (Ratna, 2004: 48). Pendekatan yang menjadi kunci utama dalam mengumpulkan

162 I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari data yang diperlukan. Moleong (2005 : 4), candi di Jawa, dari segi bentuk (tipe), ornament, menegaskan bahwa dalam penelitian kualitatif fungsi dan maknanya. Dari perbandingan peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain ini akan jelas diketahui persamaan ataupun merupakan alat pengumpul data utama. Peneliti perbedaan dengan jambangan bunga di Jawa sebagai instrumen dalam hal ini dapat didukung (bentuk berbeda, ada kemungkinan maknanya dengan berbagai alat bantu pengumpul data, sama). Penyajian hasil analisis merupakan tahap seperti pedoman observasi alat-alat pencatat, akhir dari proses kegiatan penelitian dilakukan dann lain sebagainya. secara deskriptif-informal yang berupa uraian Kegiatan dilanjutkan dengan kata-kata, kalimat, atau narasi. Namun, jika menganalisis data, dengan langkah dibutuhkan penggunaan data kuantitatif akan sebagaimana diajukan oleh Muhadjir (2002:45) disertai dengan teknik formal berupa bagan, adalah sebagai berikut. Reduksi data adalah grafi k atau tabel sebagai pelengkap narasi. proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanan, pengabstrakan, dan II. HASIL DAN PEMBAHASAN transformasi data kasar, yang diperoleh dari 2.1 Identitas Relief Jambangan Bunga berbagai catatan-catatan tertulis di lapangan. Relief jambangan bunga yang Jadi, Reduksi data merupakan suatu bentuk terdapat di Pura Puseh Kanginan, Desa analisis yang mempertajam, menggolongkan, Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten mengarahkan, membuang yang tidak perlu, Badung, masih menyisakan pertanyaan dan mengorganisasi data dengan cara di benak penulis (Lihat foto. no 1). sedemikian rupa, sehingga diharapkan sampai Pertanyaan tersebut pada kesimpulan yang valid. Penyajian data terkait dengan identitas merupakan bagian dari analisis untuk merangkai relief, termasuk apa atau menyusun informasi yang memberi sebetulnya relief yang kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dipahatkan berupa dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang jambangan bunga digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk tersebut. Kalau narasi yang dilengkapi dengan jaringan kerja bandingkan dengan yang berkaitan. Setelah itu dilakukan tahap beberapa relief yang analisis interpretatif terhadap semua informasi Foto no. 1. Jambangan ada di Jawa Tengah, atau data yang telah diperoleh. Interpretasi bunga di Puseh Kanginan seperti di Candi Carangsari, Doc. Penulis. ini adalah kegiatan yang mencoba mencari Borobudur, dan Candi makna di balik fakta, sehingga gejala yang Prambanan, tampaknya relief jambangan bunga diamati dapat memiliki nilai dalam kehidupan yang ada di Pura Puseh Kanginan, merupakan masyarakat luas. Dengan demikian diharapkan relief kalpataru. Dugaan ini didasari atas Relief dapat menyusun sebuah informasi secara Kalpataru di Candi Prambanan (lihat foto. no 2) runut dan mudah dimengerti dan bercirikan penggambaran kalpataru selalu bertumpu ilmiah. Menarik kesimpulan. Dari permulaan pada lima ciri utama, yaitu binatang pengapit, pengumpulan data sudah mulai mencari arti kata- jambangan bunga, untaian manik-manik atau kata, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, mutiara, payung, dan burung. Binatang pengapit alur sebab akibat dan proporsi-proporsi. Setelah merupakan simbol dari pohon agar tetap suci mencermati hasil analisis, maka akhirnya dan jauh dari gangguan setan. Jambangan bunga kegiatan penelitian ini ditutup dengan menarik merupakan simbol kekayaan, kemakmuran, dan sebuah kesimpulan akhir yang bersifat utuh. Analisis data ini, dilengkapi dengan studi perbandingan (studi komparatif), dengan candi-

163 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 kesuburan. Hal ini digambarkan oleh untaian Kalpataru amat dikenal dalam kesusastraan manik-manik atau mutiara. Payung merupakan India karena merupakan hiasan yang amat populer simbol kesucian, sedangkan burung atau dalam masa kesenian India awal. Kalpataru kinnara-kinnari (makhluk berujud setengah semakin berkembang pada masa Gupta. Simbol manusia dan setengah burung) adalah makhluk kalpataru dikenal dalam beberapa bentuk variasi penjaga pohon dan sekaligus lambang kehidupan yang kemudian menimbulkan bentuk kalpavalli (http://hurahura.wordpress.com/2010/11/11/ atau kalpalata. Hiasan tersebut berupa daun- sepintas-konsep-kalpataru/). daunan yang menjalar dengan sulur daun yang saling menjalin, beberapa di antaranya dipahatkan sebagai pohon pengharapan. Pengarang Kalidasa banyak menyebutkan motif kalpataru dan kalpalata dalam karya-karyanya. Hal ini bisa dilihat dari cerita Mahavanija Jataka. Dikatakan,”…Sekelompok pedagang beristirahat di bawah sebuah pohon. Tiba-tiba dari salah satu cabang menetes titik air dan Foto no. 2. Kalpataru di Candi dari cabang yang lain segumpal makanan…”. Prambanan Selanjutnya Kitab Paligatha mengemukakan, Doc. Bondana ”…Pohon itu menghasilkan air jernih, makanan, Dari pendapat di atas dapat dikatakan gadis cantik, dan segala sesuatu yang baik- bahwa relief jambangan bunga yang terdapat baik…”. Dalam kitab Purana konsep tentang di Pura Puseh Kanginan, Desa Carangsari, pohon pengharapan banyak dikemukakan Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, pada waktu pengarang menceritakan pulau merupakan relief kalpataru meskipun kurang ideal Uttarakuru. Pulau ini, menurut kitab lengkap, yang hanya terdiri dari jambangan Mahabharata, memiliki bermacam-macam bunga, yang merupakan lambang kekayaan, pohon. Karena itu manusia yang hidup di sana kemakmuran, dan kesuburan. akan merasa berbahagia dan puas, seperti dewa- dewa yang bebas dari pengaruh kesedihan dan 2.2 Makna Relief Jambangan Bunga penyakit. Kitab-kitab lain yang menyinggung Menurut Zoetmulder (2006 : 446), pohon hayat adalah Ramayana, Bhuvanakosa, kalpataru berasal dari bahasa Sanskerta, Vayupurana, Meghaduta, dan Bhanabata. Di diartikan sebagai salah satu dari lima pohon di situ Kalidasa menyebutkan kalpawreksa sebagai Sorga Indra, dianggap dapat memenuhi semua sumber segala macam perhiasan dan dandanan keinginan ; pohon kelimpahan (pañcawåkûa yang biasa dipakai oleh kaum wanita di Alaka. ; mandàra, pàrijàta, sa÷tana, kalpawåkûa Di panil bangunan Mohenjodaro berbagai (kalpataru), haricandana). Menurut Tim relief pohon banyak dipahatkan. Fungsinya Redaksi (2005 : 496), kalpataru diartikan untuk dimuliakan dan menjadi objek pemujaan sebagai 1. pohon lambang kehidupan yang untuk upacara perkawinan dan pemenuhan menggambarkan pengharapan ; pohon nazar. Selama berabad-abad di India banyak penghidupan. 2. penghargaan pemerintah yang penduduk memiliki jimat dari ranting pohon. diberikan kepada orang yang telah berjasa dalam Jimat ini berfungsi untuk melindungi kelahiran memelihara kelestarian lingkungan hidup. bayi laki-laki, melindungi diri dari musuh, Menurut Surada (2007 : 83), kalpataru diartikan dan pengobatan. Pada waktu bulan purnama, sebagai pohon harapan hasil. Menurut Wijaya pohon dipuja oleh wanita yang sudah menikah. (2007 : 143), kalpataru diartikan sebagai sebuah Upacara terhadap pohon juga dilakukan untuk pohon yang mengabulkan semua keinginan. menghormati Dewi Laksmi dan Dewa Indra

164 I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

(http://imtaq.com/kalpataru-lambang-pohon- kepercayaan pohon dapat menolong manusia kehidupan/) untuk mencapai moksa, maka kepercayaan Pada candi Borobudur demikian juga terhadap pohon banyak dianut (http://imtaq. Prambanan, sering dijumpai berbagai pola hias com/kalpataru-lambang-pohon-kehidupan/). ornamental. Salah satu bentuk pola hias tersebut Kalpataru adalah jenis tumbuhan adalah relief, baik relief cerita maupun ragam yang dapat hidup dalam keadaan minim hias. Di antara banyak relief ragam hias, motif sekalipun. Pada saat tanaman lain sudah mati kalpataru terbilang paling populer. Kalpataru kekeringan atau busuk karena tergenang air, adalah pohon suci yang terdapat di surga. ia tetap hidup tegak dan subur. Selain dapat Adanya ragam hias kalpataru pada sejumlah melindungi tanah tempat hidupnya, ia juga candi, dimaksudkan untuk menyucikan candi dapat melindungi tanaman di sekelilingnya. tersebut. Namun para pakar belum dapat Oleh karena itu, pohon Kalpataru dijadikan memastikan kapan dimulainya kepercayaan lambang kelestarian lingkungan. Kalpataru terhadap pohon. Dalam literatur India hanya tertulis pada relief candi Mendut, Jawa Tengah. dikatakan, kesenian mempunyai arti yang nyata Bagian relief ini melambangkan hutan, tanah, sebagai bahasa simbol. Sebagai bagian dari air, dan makhluk hidup yang saling berkaitan simbol-simbol tersebut, digunakan beberapa membentuk kehidupan. Dalam pewayangan, tumbuhan seperti teratai dan kalpawreksa. kalpataru dilambangkan dengan gunungan. Simbol kalpawreksa dengan berbagai variasinya Gunungan ini mempunyai gambar tanaman sangat populer dan banyak ditampilkan kalpataru dengan bunga teratai biru, putih, dalam seni ukir, seni lukis, puisi, dan kitab dan merah. Di bawahnya dijaga dua orang kuno. Diduga konsep ini berasal dari konsep manusia setengah burung. Bagi para pejuang Dewi Ibu. Masyarakat kuno menganggap lingkungan yang berhasil, pemerintah ibu sebagai sumber kehidupan karena ibulah memberikan anugerah kalpataru. Lambang ini yang melahirkan anak. Ibu dianggap pula terbuat dari pahatan perunggu berlapus emas sebagai lambang kesuburan. Pohon dipandang 28 karat, seberat 30 gram, dan diletakkan di tidak ubahnya seperti seorang ibu. Selain itu atas kayu sono keling. Anugerah ini diberikan masyarakat kuno mengenal konsep ’dunia atas’ setiap tahun sejak tahun 1980 (http://imatq. dan ’dunia bawah’. Di antara kedua dunia berdiri com/kalpataru-lambang-pohon-kehidupan/). satu ketuhanan yang meliputi keduanya. ’Dunia Suatu penafsiran Indianisasi dalam naskah tengah’ ini dilambangkan dengan pohon hayat, Jawa abad ke-16, Tantu Panggelaran, yang yang merupakan lambang kekuasaan tertinggi. merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan- Konsep lain yang mendasari kepercayaan pertapaan Hindu di Pulau Jawa dan menceritakan terhadap pohon adalah konsep kalpataru. Di asal mula Bhatara Guru (Siwa) pergi ke Gunung India kalpataru dianggap suci karena masyarakat Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada percaya bahwa pohon tertentu bisa memenuhi Brahma dan Wisnu supaya pulau Jawa diberi segala keinginan manusia. Kalpataru berasal penghuni. Brahma menciptakan kaum lelaki dari kata klp = ingin dan taru = pohon. Menurut dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa mitologi, pohon ini adalah salah satu dari lima memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan pohon suci di surga Dewa Indra. Sebagai memindahkan gunung Meru yang sampai saat pohon pengharapan, kalpataru juga disebut itu terletak “di Negeri Jambudwipa”, artinya kamadugha, sebagai pemberi segala hasrat dan India. Sejak itu gunung tinggi “yang menjadi mengabulkan segala keinginan manusia. Di lingga bagi dunia” itu tertanam di Jawa dan samping memberi kesenangan duniawi, pohon Pulau Jawa menjadi bhumi kesayangan dewata. ini juga menolong manusia dalam mencapai Sebagai kelanjutan dari teori pemindahan perlu kebahagiaan akhir, yaitu moksa. Karena menurut dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau

165 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang tempat suci untuk leluhur, tetapi tempat suci membuktikan adanya kehendak menciptakan untuk Siwa (Redig, 2004 : 85). Gunung dalam kembali geografi India yang keramat itu mitologi dan ajaran agama Hindu sering kali (Lombard, 2000 : 7). diposisikan sebagai suatu tempat yang suci di Menurut Astawa (2000 : 75-77), kalpataru dunia. Dalam kosmologi dan mitologi Hindu adalah replika gunung Mahameru, yang pun disebutkan adanya sebuah gunung mahasuci banyak terpahatkan pada candi Borobudur, penyangga alam semesta yang bernama Meru. candi Mendut, dan candi Lorojongrang Gunung kosmik ini diyakini memiliki sebuah (Bosch, 1984 : 22 ; Kempers, 1959 : 55, 144). puncak suci bernama sorga, sebagai tempat Kemudian sehubungan dengan kepercayaan bersemayamnya para dewata. Kesucian gunung ini, maka candi sebagai tempat pemujaan kosmik Meru ini di beberapa wilayah belahan dewa dan pemujaan raja yang telah mencapai dunia selanjutnya diterjemahkan sebagai moksah, jiwa digambarkan berada di atap candi sosok gunung-gunung yang disakralkan oleh sebagai lambang puncak Mahameru. Pada saat umat sekitarnya, seperti Mount Everest dan dilaksanakan upacara pemujaan, jiwa sebagai Kailasa (India), Semeru dan Penarungan unsur dewa akan turun ke dalam lingga atau (Jawa), dan Agung (Bali). Konsepsi-konsepsi arca dewa dan peripih (pedagingan) candi tentang kesucian Gunung Meru dan gunung- akan menjadikan arca itu hidup (Soekmono, gunung mitologis lainnya itu selanjutnya 1974 : 301). Gunung Mahameru sebagai terejawantahkan juga dalam karya-karya seni gunung kahyangan terletak di tengah dunia, arsitektur bangunan suci di negara-negara yang sebagai tempat bersemayamnya para dewa memperoleh pengaruh budaya India. dan tempat tersebut digambarkan penuh Fisik Gunung Meru seperti juga gunung- keajaiban. Seperti istana penuh dengan gunung lain pada umumnya secara umum dapat hiasan emas dan permata, danau, sungai dibagi atas tiga bagian utama sesuai konsepsi dipenuhi dengan tanaman teratai, pohon Tri Angga. Dalam konsepsi ini dikenal adanya kalpataru, berbunga indah dengan bau harum paham bahwa gunung dapat dianalogikan semerbak, ratusan rantai emas bergantungan seperti tubuh manusia yang terdiri atas bagian di dalamnya, pundi-pundi emas dan binatang- kepala, badan, dan kaki. Ketiga bagian gunung binatang menjaga pohon tersebut. Maka dari pun selanjutnya dibagi menjadi bagian puncak itu relief pohon kahyangan atau kalpataru, gunung, badan gunung, dan kaki gunung. banyak dijumpai pada candi yang merupakan Konsepsi tiga bagian gunung ini selanjutnya replika gunung Mahameru. Pada masa diterapkan pula dalam perwujudan arsitektur prasejarah orang menguburkan mayat dengan bangunan suci Hindu Bali sebagai tiga kepala mengarah ke gunung, yang bermaksud bagian bangunannya. Ketiga bagian bangunan untuk mengembalikan arwah manusia ke suci Hindu di Bali tersebut disebutkan sebagai tempat asalnya. Dalam dunia pewayangan, bagian atap bangunan (raab), bagian ruang kalpataru atau replika gunung diwujudkan suci (pengawak), dan bagian kaki bangunan dengan bentuk hiasan kayonan atau juga (bebaturan). Ruang suci atau rong pada bagian disebut sebagai gunungan, gunung dianggap pengawak bangunan, memiliki nilai yang setara sebagai asal dan kembalinya hidup (Wales, dengan ruang suci pada bangunan candi Jawa sebagaimana dikutip Astawa, 2000 : 76). maupun pada kuil mandir India yang disebut Gunung dalam tradisi prasejarah, garbhagrha. Rong maupun garbhagrha pada bermakna sebagai tempat suci, tempat dasarnya memiliki makna yang setara dengan bersemayamnya roh leluhur. Bersamaan dengan rongga gua pada daerah badan gunung (cf. berkembangnya kebudayaan, gunung juga Kramrisch, 1976: 162). berkembang. Kini gunung bukan saja sebagai Astawa dalam tulisannya tentang kayonan

166 I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari di Yeh Pulu (2000 : 76), menjelaskan bahwa bagi yang melanggar dikenakan sanksi adat kayonan dalam dunia pewayangan sebagai (Bagus, 2008 : 69, 71, 75). pembukaan dari ceritera atau lakon yang Pohon beringin nampaknya memiliki dimainkan dengan cara memutar-mutar kayonan peran yang sangat istimewa bagi masyarakat (gunung), adalah simbol proses terjadinya Bali, karena kegunaannya yang sangat dunia dengan segala isinya. Jika putaran itu kompleks terutama dalam upacara keagamaan. terhentikan berarti dunia telah terwujud. Dari segi lingkungan, pohon beringin dipakai Kinara-kinari ini menurut Tim (1991 sebagai pohon pelindung, yang ditanam : 37), adalah mahluk setengah dewa, secara pada pinggiran sungai, dan tempat-tempat mitologi dianggap sebagai mahluk kahyangan, tertentu yang dapat meningkatkan debit air, pada mulanya merupakan fi gur manusia selain untuk menjaga agar tanah tidak mudah berkepala kuda, tetapi dalam perkembangannya longsor. Selain itu pohon beringin dipercaya tokoh tersebut diwujudkan menjadi seekor sebagai pohon suci, sehingga terkadang sering burung berkepala manusia. Dalam candi Wisnu dijumpai pohon beringin terdapat di sekitar pada Candi Prambanan, menurut Tim, ada tempat suci keagamaan. Pemeliharaan pohon kinara-kinari yang dianggap istimewa, karena beringin pada tempat-tempat tertentu masih digambarkan berjenggot dengan memakai terus dilakukan. Seperti misalnya pada DAS mahkota seorang resi (pertapa). Pakerisan, untuk melindungi debit air, sehingga Kalpataru yang juga disebut sebagai pohon keadaan air tanah dan sumber mata air yang banyan dan beringin, waringin, adalah pohon ada di sana masih tetap terpelihara dan lestari. yang dianggap suci, yang dikenal juga sebagai Pemeliharaan serupa juga ada pada kawasan pohon kehidupan bagi orang Dayak Ngaju. Bagi hutan dan pura, karena beringin dipercaya orang Jawa, pohon kehidupan ini merupakan sebagai pohon suci sekaligus sebagai pohon transformasi dari gunung dilambangkan menjadi hunian yang keramat, dapat dilihat dari berbagai gunungan dalam wayang kulit (Grolier, 1996 : segi, di antaranya; dipakai sebagai simbol 66). Kayon atau gunungan yang dalam dirinya kehidupan. Hal ini nampaknya tidak muluk- terhimpun sekaligus perlambangan “pohon” muluk mengingat betapa besar perannya dalam kehidupan (kayu) dan perlambang “gunung”, menjaga kelestarian air tanah, sesuai dengan dan pada hakikatnya berarti kosmos dalam penempatannya. Selain itu beringin dipandang keadaan seimbang (Astawa, 2000 : 130). Pohon sebagai pelindung, sebagai sumber makanan beringin sangat besar pengaruhnya terhadap bagi para burung dan kelelawar ketika beringin kelestarian lingkungan, karena kerimbunannya itu berbuah. Pohon beringin juga dipakai dalam dapat memelihara lingkungan dari banjir, berbagai sarana upacara, dalam upacara-upacara longsor, dan sejenisnya dan sekaligus yang yang dipandang besar seperti ligya, dan upacara terpenting adalah dapat mempertahankan lainnya, selain juga sebagai sarana jaritan lis resapan air tanah yang akan memunculkan juga memakai daun beringin. Hal ini berarti sumber mata air, atau paling tidak rembesan bahwa betapa pentingnya beringin sebagai salah air yang berguna bagi segala mahluk hidup. satu simbol keagamaan. Dipandangnya sebagai Pada kawasan situs arkeologi seperti Pura simbol keagamaan, karena pohon beringin Tirta Empul, Candi Mangening, Candi Tebing dipakai dalam berbagai perupaan. Pada masa Gunung Kawi, Candi Pengukur-ukuran, untuk kini, pohon beringin yang juga merupakan menjaga kelestarian lingkungannya ditanami simbol gunung, dipakai sebagai gunungan berbagai jenis vegetasi, salah satunya adalah dalam dunia pewayangan. Gunungan dalam pohon beringin yang paling dikeramatkan. dunia pewayangan juga melambangkan, gunung Masyarakat tidak diperkenankan menebang Mahameru, sebagai tempat bersemayamnya pohon di kawasan cagar budaya tersebut, dan para dewata. Perputaran gunungan dalam dunia

167 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 pewayangan, juga melambangkan berputarnya untuk menggambarkan alam sorga. Beberapa gunung Mandara, sebagai kerjasama rwa contoh yang dapat diketengahkan tentang bhineda dalam menghasilkan air kehidupan konsep-konsep burung di alam sorga adalah (tirta amerta), yang muncul ketika gunung konsep burung cendrawasih sebagai burung diputar dengan hebat. Gunungan dalam dunia penuntun jalan ke sorga (Bali: manuk dewata), pewayangan juga sebagai tanda dimulainya konsep kinara dan kinari sebagai burung- pertunjukan, pertengahan pertunjukan, dan burung berkepala manusia yang menjaga pohon berakhirnya pertunjukan, atau utpatti, stiti, suci Kalpavrksa di sorga (Rajendra, 2012). pralina dalam kehidupan. Pohon beringin yang dipakai sebagai sarana upacara tidak III PENUTUP dicari pada sembarang tempat. Namun pohon 3.1 Kesimpulan yang tumbuh pada tempat yang suci, atau di Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan upacarai layaknya upacara manusia, seperti bahwa : bayi baru lahir, sehingga kesuciannya terjaga 1. Berdasarkan ciri-cirinya relief jambangan dan akan memberikan kesucian. Karang manuk bunga yang terdapat di Pura Puseh mengambil motif tampak samping wajah seekor Kanginan, adalah relief kalpataru. burung. Ornamen ini lazimnya dipahatkan pada 2. Makna yang terkandung dalam relief keempat sudut bangunan, yaitu pada bagian- kalpataru sebagai pohon surgawi, adalah bagian atas bangunan, seperti di pojok-pojok simbol kehidupan, simbol kesucian, dan atas dari bagian kaki bangunan (bebaturan), keseimbangan alam semesta. badan bangunan, atau kepala bangunan. Kata ‘manuk’ berarti burung, hal ini juga menjadi 3.2 Rekomendasi sangat mudah dipahami dengan melihat bentuk Tulisan ini hanya membahas dua masalah. ornamen karang manuk yang mengambil Masalah pertama sehubungan dengan identitas motif wajah seekor burung. Karang manuk jambangan bunga yang ada di Pura Puseh disebut juga dengan karang goak atau ukiran Kanginan, dan ternyata itu adalah kalpataru, jika wajah burung gagak (cf. Proyek Peningkatan diperhatikan dari ciri-cirinya. Masalah kedua Penelitian Arkeologi Jakarta, 2001: 67). sehubungan dengan makna yang terkandung Perwujudan ornamen karang manuk dalam relief tersebut. Jadi masih banyak yang pada bangunan-bangunan berlanggam Bali belum dibahas, terutama keterkaitan antara lazimnya dipahatkan sebagai wajah seekor relief tersebut dengan bangunan yang ada di burung bermata melotot, hanya berparuh sana, mengingat banyaknya terdapat komponen atas, bergigi taring tajam, berambut ikal, dan bangunan di sana maka perlu diadakan kajian dilengkapi hiasan kepala sederhana. Pahatan lanjutan, sehingga identitas bangunan yang karang manuk ada kalanya dipahatkan menyatu ada di sana dapat diungkap dan dibangun dengan ukiran tanaman menjalar (pepatran) kembali peradabannya. Untuk itulah penulis dan ukiran kelopak bunga (karang simbar) berharap kepada peneliti lain, agar melanjutkan (cf. Gelebet, dkk., 2002: 360). Karang manuk dan melakukan studi mendalam baik secara dapat pula ditemukan terpahat di bagian-bagian arkeologi maupun secara multidisiplin ilmu, atas bangunan, seperti pada puncak atap (raab). sehingga akan dapat mengungkap kebudayaan Gambaran ini sangat sejalan dengan konsep yang tersimpan di balik komponen bangunan penggambaran sorga sebagai alam penuh yang ada di pura tersebut. kedamaian yang dibayangkan berada di puncak gunung. Dalam konsep-konsep seni rupa dan DAFTAR PUSTAKA budaya Indonesia pra-Islam, burung merupakan Abrams, M. H. 1981.A Glossary of Literary salah satu komponen yang banyak digunakan Terms, Fourth Edition. New york; Holt,

168 I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

Rinehart and Winston. http://diarythebatboys.blogspot.com/2009/08/ Anggono, Toha. 2007. Metode Penelitian. keajaiban-dunia.html Jakarta: Universitas Terbuka. http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur Astawa, A.A Gde Oka. 2000. Kayonan Pada http://journal.unnes.ac.id/index.php/imajinasi/ Relief Yeh Pulu, Tinjauan Bentuk dan article/view/1363 Fungsi, dalam Forum Arkeologi. Denpasar Kaelan, H. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan : Balai Arkeologi Denpasar. Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Bagus, A.A. Gde.2008. Pelestarian Daerah Paradigma. Aliran Sungai Pakerisan Perspektif Kempers, A.J. Bernet, 1959. Ancient Indonesia Lingkungan. dalam Forum Arkeologi. Art, Amsterdam. III. Hal. 63-91. Denpasar : Balai ------, 1975. Ageless Borobudur. Servire/ Arkeologi Denpasar. Wassenaar. Bondan, Molly. 1982. Candi In Central Java Koentjaraningrat,1987. Sejarah Teori Indonesia. Jakarta : P.T. Jayakarta Agung Antropologi I. Jakarta : Universitas Offset. Indonesia. Bosch,F.D.K., 1984. De Gouden Kiem. Inleiding ------(Ed)., 1997. Metode-Metode in de indische Simboliek, Elseiver, Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Adam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Denzin, Norman K dan Yvonnas S. Kramrisch, Stella. 1976. The Hindu Temple, Loncoln.2009. Han book of Qualitative volume II. Montilal Banarsidass, Delhi. Research.Penerjemah Daryatno,dkk. Linggih, I Nyoman, 2005. Fenomena Simbol Yogyakarta: Pustaka Pelajar. dalam Budaya Hindu di Bali, dalam Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2008. Pangkaja. V. Hal. 82. Denpasar : Institut Arsitektur Bangunan Suci Hindu, Hindu Dharma Negeri Denpasar. Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa : Silang Denpasar : Udayana University Press. Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Fernandus, Johanes dkk., 2003. Alat Musik Konsentris. Jakarta : PT. Gramedia Jawa Kuno. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Utama. Mahardhika. Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Kualitatif. Bandung: Remaja Tradisional Daerah Bali. Badan Rosdakarya. Pengembangan Kebudayaan dan Muhadjir, Noeng. 2002. Metode Penelitian pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Kualitatif. Edisi IV.Yogyakarta: Rake Pengembangan Budaya Bagian Proyek Sarasin. Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Mulyana, Dedi. 2000. Metode Penelitian Tradisi Bali, Denpasar. Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Grolier. 1996. Indonesian Heritage. Jakarta : Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Pt. Jayakarta Agung Offset. Bandung: Remaja Rosdakarya. http://id.wikipedia.org/wiki/Karmawibhangga Ngurah, I Gusti Made. 2008. I Gusti Bagus http://hurahura.wordpress.com/2010/11/11/ Sugriwa sebagai Tokoh Agama (makalah sepintas-konsep-kalpataru/ dalam memperingati 108 ulang tahun http://imtaq.com/kalpataru-lambang-pohon- Sugriwa dalam rangka penggalian kehidupan/ Pemikiran Sugriwa). http://borobudur yogyes com/id/see-and-do/ museum/kamarwibhangga/

169 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan Tim Penulis. 2011. 100 Tahun Pemugaran dan Lingkungan dalam Perspektif Candi Borobudur. Jakarta : Direktorat Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Tinggalan Purbakala, Direktorat Jendral Pelajar. Sejarah dan Purbakala, dan Kementerian Pradopo,Rachmat Djoko. 1994. Penelitian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sastra dengan Pendekatan Semiotik Tim Penyusun. 1978. Kamus Bali-Indonesia. dalam Metodologi Penelitian Sastra. Denpasar : Dinas Pengajaran Propinsi Yogyakarta : PT Hanindita. Daeran Tingkat I Bali. Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Tim Penyusun. 1988. Kamus Kawi-Bali. Jakarta. 2001. Peningkatan Apresiasi Denpasar : Dinas Pendidikan Dasar Masyarakat terhadap Nilai-nilai Sumber Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Daya Arkeologi, Bedugul, 14-17 Juli, Tim Penyusun. 1991. Candi Wisnu Dahulu 2000: Proceedings EHPA. Jakarta: dan Sekarang. Yogyakarta : Departemen Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jakarta. Jendral Kebudayaan, Suaka Peninggalan Rajendra, I Gusti Ngurah Anom. 2012. Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Ornamen-ornamen Bermotif Kedok Yogyakarta. Wajah dalam SenArsitektur Tradisional Tim Redaksi, 2005. Kamus Besar Bahasa Bali. Dalam Forum Arkeologi. II. Hal. , Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Denpasar : Balai Arkeologi Denpasar. Pustaka. Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol- dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Pustaka Pelajar. Paramita. Redig, I Wayan, 2004. Lingga dan Siwa, Wijaya, A.A. Ngurah Prima Surya, 2007. Kaitannya dengan Gunung Agung di Bali, Kamus Nama-Nama Sanskerta Indonesia. dalam Jurnal Kajian Budaya. 1. Hal. 83- Surabaya : Paramita. 88. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Winaya, Pande Ketut Kaca, 2005. Pidarta Basa Budaya Universitas Udayana. Bali. Denpasar : Yayasan Sanggar Seni Soekmono, 1974. Candi Fungsi dan Dananjaya dan Perpustakaan Agama Pengertiannya. Disertasi. Universitas Hindu Denpasar. Indonesia, Jakarta. Zoetmulder, P.J., 1994. Sekar Sumawur. Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar- Yogyakarta : Gadjah Mada University Dasar Penelitian Kualitatif. Tatalangkah Press. dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. ------, dan Robson. S.O., 2006. Kamus Penerjemah Shodiq & Imam Mutagien. Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: PT Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono.2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: ALFABETA Surada, I Made, 2007. Kamus Sanskerta - Indonesia. Surabaya : Paramita. Teeuw. A., 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

170 ForumT.M. Hari Arkeologi Lelono TH.Volume Jenis-Jenis XXIV 25 No. No. Kejahatan 1 2 April Agustus2012 2011 Berdasarkan (1 -(171 9) - 105) Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

JENIS-JENIS KEJAHATAN BERDASARKAN NASKAH DAN RELIEF PADA MASA JAWA KUNA

TYPES OF CRIME BASED ON TEXT AND RELIEF FROM OLD JAVA PERIOD T.M. Hari Lelono Balai Arkeologi Yogyakarta Email : [email protected] Naskah masuk : 28-2-2012 Naskah setelah perbaikan : 8-5-2012 Naskah disetujui untuk dimuat : 6-8-2012

Abstract Crime has been going along with the civilization of mankind, with different variations and forms, ranging from petty crimes to the level of serious crime. Old Javanese society was experiencing a variety of levels of crime are always disrupt their lives. What types of crime are frequent at the time, why the crime was often the case ? a problem that we want to know. Therefore, this paper aims to provide knowledge to the public, about the positive and negative values that happens in the Java Kuna . In an effort to uncover, then the method used in this study descriptive analysis, namely describe and interpret the contents of the inscriptions and carved reliefs to be sampled, as some of the inscriptions that mention about the crimes of which Inscription Balingawan, Mantyasih II, Kaladi, Saŋguran, Manuscript Purwwadhigama, as well as some temple reliefs and relief off. Hopefully, this paper can be useful especially for science and to strengthen national identity, through cultural heritage of great value. Key words: Variety of Crimes, Ancient Java, Inscriptions

Abstrak Dunia kejahatan sudah berlangsung seiring dengan peradaban umat manusia, dengan bermacam variasi dan bentuknya, mulai dari tingkatan kejahatan ringan sampai kejahatan berat. Masyarakat Jawa-Kuna-pun mengalami bermacam tingkat kejahatan yang selalu mengganggu kehidupannya. Kejahatan jenis-jenis apa saja yang sering terjadi pada waktu itu, mengapa kejahatan itu sering terjadi ? menjadi permasalahan yang ingin diketahui. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan ingin memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas, tentang nilai-nilai positif dan negatif yang terjadi pada masa Jawa-Kuna. Dalam upaya untuk mengungkap, maka metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsi dan menginterpretasi isi prasasti dan pahatan relief candi yang dijadikan sampel, seperti beberapa prasasti yang menyebutkan tentang kejahatan di antaranya Prasasti Balingawan, Mantyasih II, Kaladi, Saŋguran, Naskah Purwwadhigama, dan relief beberapa candi dan relief lepas. Diharapkan, makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi ilmu pengetahuan dan dapat memperkokoh jatidiri bangsa, melalui warisan budaya yang bernilai tinggi. Kata kunci : Jawa-Kuna, artefak (prasasti, naskah, relief) dan jenis kejahatan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prasasti dan relief sebagai tinggalan relief. Tulisan-tulisan kuna dalam bentuk arkeologis adalah data penting bagi kajian huruf dan bahasa Jawa Kuna, biasanya disebut arkeologi karena merupakan bukti-bukti dalam prasasti. Prasasti adalah sebuah maklumat yang bentuk bangunan-bangunan monumental, dikeluarkan oleh raja, pejabat, atau tokoh yang arca-arca, tulisan, naskah dan gambar tatahan berkuasa pada media yang dapat bertahan lama

171 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 seperti logam (perunggu, mas, perak, tembaga), banyak. Oleh karena itulah, penguasa membuat batu, dan tanah liat yang dibakar atau dikeringkan peraturan (awig-awig) untuk ditaati rakyatnya, (Suarbhawa, 2010: 596). Selain prasasti, relief supaya dapat hidup aman dan teratur. yang biasanya menghiasi sebuah bangunan Gambaran tentang desa-desa pada candi merupakan potret/gambar-gambar yang masa Jawa Kuna, tidak jauh berbeda dengan menggambarkan kehidupan manusia, alam dan bentuk desa-desa tradisional yang ada lingkungannya. Kedua data tersebut seringkali saat ini di Jawa dan di Bali. Hal tersebut dilupakan atau bahkan kurang diketahui luas di dapat dibuktikan atau dengan melakukan kalangan publik. perbandingan. Analogi dengan sebuah relief Dunia kejahatan telah tumbuh dan koleksi Museum Trowulan di Mojokerto, berkembang, seiring dengan kemajuan dan Jawa Timur. Dalam relief (lihat foto no. 1) peradaban manusia itu sendiri, munculnya tindak digambarkan bentuk kejahatan disebabkan adanya kecemburuan permukiman yang terhadap suatu kelompok tertentu, masyarakat, mengelompok dengan individu, sebab perbedaan faktor-faktor sosial, batas dinding- ekonomi dan psikologis. Hal tersebut terjadi dinding pagar karena buruk dan lemahnya kontrol dan yang mengelilingi pengawasan yang dilakukan oleh penguasa permukiman ? Di luar pada waktu itu. Dalam setiap peristiwa kejahatan permukiman rumah- tentu berakibat kerugian berupa harta benda rumah dibatasi oleh bahkan nyawa orang lain. Peristiwa kejahatan, daratan luas dengan lazimnya terjadi di tempat-tempat yang sepi sejumlah pohon-pohon, jauh dari keramaian, seperti di perbatasan antara dan dialiri sebuah dua desa yang ditandai oleh hutan belantara dan Foto no. 1. Relief yang menggambarkan letak sungai besar, di lembah sungai-sungai, dan di tempat keramaian ketika permukiman dibatasi sungai terdapat petak- sedang dilakukan upacara peringatan tentang oleh jalan desa, hutan petak persawahan. daerah perdikan baru, atau di tempat orang dan sungai. Koleksi Melalui relief tersebut, yang sedang melakukan hajatan. Museum Trowulan, dapat ditarik suatu Mojokerto, Jatim Letak geografi s sebuah desa yang jauh gambaran analogis, dari pusat-pusat pemerintahan, akan berakibat bahwa bentuk/pola permukiman sekitar abad pada semakin seringnya terjadi gangguan XII – XV Masehi, kemungkinan memiliki keamanan, baik bagi penduduk desa itu sendiri bentuk permukiman berpola, khususnya pada maupun orang-orang yang melalui daerah lahan dataran rendah dengan sistem pengairan tersebut. Kejahatan secara insidental biasanya yang baik, sehingga cocok untuk pengolahan dilakukan pada tempat yang sepi dan oleh lahan pertanian. Sementara itu bentuk dan lokasi perorangan, tetapi kejahatan yang dilakukan permukiman yang jauh dari pusat kekuasaan, secara berkelompok (rampok/begal) biasanya atau yang terletak di daerah pedalaman atau justru dilakukan di tempat keramaian, pada pegunungan, tentu situasi dan kondisinya agak orang yang sedang merayakan hajatan atau berbeda. Selain sulit dijangkau karena letak pada desa-desa yang sedang bersuka cita topografi snya di pegunungan, perbukitan, setelah musim panen. Dalam peristiwa ini, dengan hutan lebat, sehingga sering terjadi sebelum melakukan tindak kejahatan, terlebih tindak kejahatan. dahulu tentunya telah direncanakan siapa yang Berdasarkan kenyataan dan pengalaman pantas untuk dijadikan target/sasaran utamanya, empirik tersebut, masyarakat pada masa orang-orang kaya dan terpandang, sehingga Klasik (Hindu-Budha) di Jawa, telah membuat menghasilkan keuntungan materi yang lebih perundangan/aturan hukum bagi rakyatnya.

172 T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

Sejumlah naskah-naskah hukum tersebut dari bahan logam. Oleh karena itu, penggunaan dimaksudkan untuk membuat jera dan takut bahan kemungkinan tergantung pada sisi bagi pelaku kejahatan. Adanya aturan hukum kepentingan dari prasasti tersebut, sehingga tersebut, pada abad VII - XIV yang dituliskan beberapa di antaranya dituliskan pada bahan oleh seorang penguasa, sastrawan/punggawa batu, logam, tembaga, dan perunggu. Kitab- kerajaan dalam lempengan tembaga/perunggu, kitab hukum tersebut, tentunya digunakan batu dinamakan prasasti, sedangkan yang secara terbatas ditujukan bagi para punggawa dituliskan pada daun lontar sering disebut kerajaan (hakim dan jaksa), sehingga tidak dengan naskah-naskah yang berasal dari dibuat secara masal. abad kemudian (lebih muda), seperti Kitab Beberapa peristiwa penting berkaitan Nagarakrtagama, Kitab Sutasoma dan lain- dengan penumpasan kejahatan yang dituliskan lainnya. Pada masa itu belum banyak sarana dalam Prasasti Balingawan berasal dari yang bisa digunakan untuk bahan menuliskan abad IX (891M), dan Prasasti Mantyasih naskah-naskah (hukum) secara permanen. abad X (907 M) berisikan, bahwa bagi para Penggunaan bahan alam dari jenis tumbuhan pemimpin desa atau punggawa kerajaan yang seperti dari bahan lontar (Jawa), di Bali dikenal berhasil menumpas kejahatan seperti begal dengan nama tal, bernama latin borassus (perampokan), pembunuhan, dan pemerasan, fl ebellifer. Sayangnya bahan ini tidak awet biasanya mendapat penghargaan berupa dan mudah rusak/lapuk, sehingga harus sering pembebasan membayar pajak, akan dijadikan disalin. Tulisan yang digunakan biasanya daerah perdikan semacam daerah otonom. bahasa dan huruf Jawa Kuna. Namun, ada Sebuah daerah perdikan biasanya ditandai beberapa di antaranya yang menggunakan huruf dengan pendirian tugu batu yang disebut sima Jawa Kuna dengan bahasa Sanskerta. Pada di masing-masing sudut desa dan pemberian masa itu, tidak semua orang bisa membaca dan prasasti. Pada saat berlangsungnya upacara menulis, karena hanya dikuasai oleh kalangan peresmian hadir para pembesar, punggawa penguasa dan sastrawan kerajaan, sedangkan kerajaan dan masyarakat setempat dengan penuh masyarakat awam hanya akan mengetahui dari sukacita, karena telah mendapat anugerah dari bahasa lisan atau melalui gambar lukisan relief raja dalam bentuk kebebasan membayar pajak. yang menghiasi bagian-bagian candi. Diharapkan daerah perdikan tersebut dapat Dalam relief sering dijumpai gambar- berkembang membangun untuk kemakmuran gambar tentang tindak kekerasan, gambar pola/ desa setempat. Disayangkan, bahwa informasi bentuk permukiman, rumah dan lain sebagainya, tentang tata cara prosesi dan upacara tersebut khususnya mengenai tindak kekerasan/ belum banyak ditemukan dalam naskah-naskah kejahatan. Mengenai bahan yang digunakan Jawa Kuna. dalam penulisan sebuah prasasti, ditentukan oleh penting atau tidaknya, diperintahkan oleh 1.2 Rumusan Masalah siapa penguasanya? Dalam hal ini, menurut Berkaitan dengan sumber-sumber prasasti Boechari (1986: 160), naskah-naskah hukum dan relief-relief yang menggambarkan peristiwa yang digunakan oleh para pejabat kehakiman kejahatan pada masa Jawa-Kuna tersebut di dari setiap masa di jaman klasik itu tidak ditulis depan, maka masalah utama yang menarik di atas logam – tembaga atau perunggu, karena untuk diketahui adalah, akan menjadi tidak praktis kerena terlalu berat. a. Jenis-jenis kejahatan apa yang paling sering Naskah-naskah itu tentu ditulis di atas ripta, terjadi? yang dapat berupa daun lontar atau karas, b. Mengapa jenis-jenis kejahatan tersebut namun, pada kasus-kasus penting tertentu sering terjadi? naskah-naskah hukum dituliskan pada prasasti

173 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Oleh karena itu, masalah tersebut budaya materi tersebut merupakan data akan dijawab melalui beberapa bukti-bukti otentik. Oleh karena itu, dalam upaya untuk arkeologis, seperti prasasti, naskah-naskah, dan mengetahui dunia kejahatan, khususnya jenis- tatahan relief candi-candi di Jawa dan relief jenis kejahatan yang sering terjadi dan faktor- koleksi Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa faktor penyebabnya, maka metode yang Timur. digunakan adalah deskriptif analitis. Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder 1.3 Tujuan dan Manfaat berupa prasasti-prasasti yang di dalamnya Dunia kejahatan dalam kehidupan berisikan tentang peristiwa-peristiwa kejahatan masyarakat telah berlangsung sejak manusia dan kekerasan yang sering terjadi pada masa ada, karena didorong oleh keinginan-keinginan Jawa Kuna. Sementara itu, data relief candi- pribadi secara spontan, atau kelompok yang candi yang berisikan tentang gambar-gambar teroganisir untuk menguasai hak orang lain (tatahan) tindak kekerasan dan kejahatan dengan cara paksa. Pada masa Jawa Kuna diambil dari beberapa relief di bangunan candi kejahatan-pun marak terjadi dan dapat diketahui maupun relief lepas yang berhasil dikumpulkan dari naskah-naskah kuna, berupa prasasti dan disimpan di Museum Trowulan/Balai maupun gambar-gambar relief di candi-candi. Pelestarian Cagar Budaya (BPCB Jawa Timur). Oleh karena itu, tujuan kajian ini, adalah ingin Kedua data tersebut (naskah/prasasti dan relief mengetahui jenis-jenis kejahatan apa yang candi), kemudian akan dilakukan analisis paling sering terjadi dan mengapa jenis-jenis kualitatif. Diharapkan analisis kualitatif akan kejahatan tersebut sering terjadi ? memberikan penjelasan/gambaran secara Berpijak dari tujuan tersebut di depan, holistik mengenai jenis kejahatan yang sering diharapkan akan bermanfaat bagi ilmu terjadi pada masa Jawa Kuna. pengetahuan dan menambah pengetahuan masyarakat luas, tentang jenis kejahatan, II. HASIL DAN PEMBAHASAN sehingga dapat memberikan gambaran dan 2.1 Hasil perbandingan tentang peristiwa kejahatan 2.1.1 Sumber-sumber Prasasti pada masa Jawa Kuna sampai sekarang. Prasasti masa Jawa Kuna telah banyak Adapun manfaat lainnya, ialah mampu diketemukan dalam bentuk prasasti perunggu, memberikan sumbangan pemikiran ilmiah batu dan ada yang dituliskan pada bagian bagi pengayaan budaya lokal, sebagai landasan tertentu arca-arca. Dalam konteks kajian ini, untuk mengetahui pelbagai masalah kriminal akan diacu sebanyak empat buah prasasti dari yang selalu tumbuh dan berkembang dengan sekitar abad IX – abad X Masehi dan sebuah substansi yang kemungkinan sama. naskah dari sekitar abad XVI Masehi. Selain prasasti/naskah akan diacu sebagai sampel 1.4 Metode Penelitian beberapa relief di candi dari sekitar abad XIV Menggambarkan peristiwa kejahatan yang – abad XVI Masehi di Jawa Timur, dan relief terjadi di masa silam apalagi ratusan bahkan lepas koleksi Museum Trowulan, Mojokerto, ribuan tahun yang lalu sangatlah sulit. Salah Jawa Timur, sebagai berikut: satu cara untuk mengetahui peristiwa masa lalu 1. Prasasti Balingawan, berangka tahun 891 tersebut hanya melalui kajian data arkeologis Masehi menggunakan bahan batu dengan yang ditinggalkan oleh nenek moyang di masa bentuk sebuah Arca Ganesa. Saat ini lalu. Arkeologi mampu memberikan gambaran/ menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta rekontruksi peristiwa masa lalu dengan data dengan nomor inventaris D.54 dan D.109. berupa artefak, naskah-naskah kuna (prasasti), Pada bagian arca terdapat tulisan Jawa dan gambar-gambar relief candi. Tinggalan Kuna yang berlanjut ke bagian belakang

174 T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

arca. Tulisan itu memuat tentang penetapan 2. Prasasti Mantyasih II 907 Masehi sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi (disimpan di Museum Nasional dengan sebuah Sima (merupakan daerah perdikan). nomor inventaris D.40). Nama desa yang Rakyatnya ketakutan, menderita dan diduga pada masa Jawa Kuna terletak melarat, karena senantiasa harus membayar sekitar Gunung Susundara (Sindara) dan pajak denda atas rāh kasawur (darah Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, tersebar berceceran) dan wankay kābunan Provinsi Jawa Tengah. Ditulis dalam tiga (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena versi yang berbeda, dua di antaranya ditulis dalam hukum Jawa Kuna, desa-desa yang di atas lempengan perunggu dan satu di atas menjadi tempat berlangsungnya peristiwa batu, tetapi yang terlengkap ditulis di atas kriminal, walaupun peristiwanya terjadi di lempengan perunggu. Isi Prasasti Mantyasih tempat/wilayah desa lain, tetapi mayatnya II berkisar tentang penetapan sebuah Sima ditemukan di desa tersebut, maka desa yang oleh Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, bersangkutan mendapat sangsi keras, harus ditujukan kepada lima orang patih yang membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa telah berjasa mengerahkan rakyat Desa peristiwa semacam itu bisa terjadi ? sebagai Mantyasih yang selalu ketakutan oleh akibat kelalaian desa tersebut menjaga ulah para penjahat. Apalagi saat itu sedang wilayahnya, dan berkaitan dengan sistem diselenggarakan upacara pesta perkawinan keamanan desa yang kurang memadai, raja, rakyat desa tidak dapat mengatasinya, sedangkan di sisi yang lain kemungkinan tetapi dengan bantuan para patih tersebut jumlah dan kualitas penjahatnya lebih para penjahat dapat ditumpas, sehingga desa kuat dan banyak, dibandingkan dengan dan jalan-jalan yang menghubungkannya jumlah penduduk desa. Oleh karena tidak dapat aman kembali. sebanding, maka mereka minta bantuan dan perlindungan kepada raja. Hal itu 3. Prasasti Kaladi 909 Masehi (disimpan di dilakukan, berkaitan erat dengan sistem dan Museum Nasional dengan nomor inventaris struktur pemerintahan desa yang tergantung E.71). Prasasti dari masa Raja Rakai kepada hirarki pemerintahan di atasnya, Watukura Dyah Balitung, isinya tentang sehingga untuk pengamanan desa menjadi pemberian sima atas permohonan pejabat kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa daerah yang bernama Dapunta Suddhara tersebut dikabulkan, raja mengirim utusan dan Dapunta Dampi. Desa-desa tersebut dan bersama-sama dengan rakyat desa dipisahkan oleh arapan (hutan?), dan mengusir dan melenyapkan gerombolan sering dipakai tempat persembunyian para penjahat. Akhirnya setelah aman, Desa penjahat, sehingga masyarakat desa, para Balingawan mendapat penghargaan pedagang yang lalu-lalang, penangkap menjadi sebuah sima, keamanan di jalan ikan, menjadi ketakutan karena senantiasa besar terjamin, rakyat desa dan dukuh- mendapat serangan dari para mariwun dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan. (penyamun ?), baik siang maupun di malam Prasasti Balingawan merupakan nama hari. Oleh karena itu, daerah arapan (hutan) sebuah desa yang lokasinya sampai saat ini tersebut dijadikan sawah agar penduduk belum diketahui, diduga berada di daerah tidak merasa ketakutan. Jawa Tengah sekarang, tetapi berdasarkan pada tahun pembuatannya diketahui berasal 4. Prasasti Saŋguran 928 Masehi (Minto dari sekitar abad X Masehi, yaitu ketika House, Scotland, UK), berbahasa dan huruf pusat pemeintahan Mataram kuna masih Jawa Kuna, berisikan istilah-istilah yang berada di Jawa Tengah. berkaitan dengan tindakan kekerasan dan

175 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

kejahatan, di antaranya: wipati wankay pihutaŋ (tidak membayar lagi hutang), tan kābunan (kejatuhan mayat yang terkena kawahaniŋ patuwāwa (tidak membayar uang embun), rāh kasawur iŋ dalan (darah yang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang terhambur di jalan), wākcapala (memaki- yang bukan miliknya), tan kaduman ulihiŋ maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat kinabehan (tidak kebagian hasil kerjasama), (meludahi), hastacapala (memukul dengan karuddhaniŋ huwus winehakan (minta tangan), mamijilakan turuh niŋ kikir kembali apa yang telah diberikan), tan (mengeluarkan senjata tajam), mamuk kawehaniŋ upahan (tidak memberi upah atau (mengamuk), mamumpaŋ (tindak kekerasan imbalan), adwa riŋ samaya (ingkar janji), terhadap wanita), ludan (perkelahian ?) , alarambaknyan pamalinya (pembantalan tutan (mengejar lawan yang kalah ?), danda transaksi jual-beli), wiwādaniŋ pinanwaken kudanda (pukul memukul), bhandihaladi mwaŋ manwan (persengketaan antara pemilik (kejahatan dengan menggunakan kekuatan ternak dan pengembalanya), kahucapaniŋ magis). Suatu hal yang sangat menarik watas (persengketaan mengenai batas- dalam prasasti ini memuat tentang kejahatan batas tanah), dandaniŋ saharsa wākparusya terhadap kaum wanita mamumpaŋ, dan (hukuman atas penghinaan dan makian), sikap sebagai kesatria dengan melarang pawrttiniŋ maliŋ (pencurian), ulah sāhasa mengejar musuh yang sudah kalah (tutan). (tindak kekerasan), ulah tan yogya riŋ laki (OJO., xxxi, Damais, 1951 (I), hal. 28-29). stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami- (Boechari. 1986: 161). Rupanya pada isteri), kadumaniŋ drwya (pembagian hak masa Jawa Kuna, wanita dan sikap sebagai milik atau pembagian warisan), totohan seorang kesatria sangat dihormati dan prani dan totohan tan prani (taruhan dan merupakan suatu kebanggaan bagi yang perjudian). melakukannya. Khususnya penghargaan dan penghormatan terhadap wanita, 1.1.2 Sumber dalam Relief Candi merupakan salah satu prioritas dalam Candi dibangun sebagai tempat suci tatanan kehidupan masyarakatnya. Oleh bagi Agama Hindu-Budha untuk melakukan sebab itu, tentang emansipasi wanita, bagi pemujaan dan upacara-upacara ritual bagi bangsa kita sebenarnya sudah tidak asing masyarakat Jawa Kuna. Pada candi-candi lagi, dan wanita memiliki peran serta dalam yang relatif besar di Jawa, umumnya di bagian kehidupannya sehari-hari. Unsur-unsur kaki dan dinding candi terdapat hiasan berupa tersebut, kemungkinan merupakan salah relief untuk menggambarkan adegan cerita satu ciri khas dari bangsa kita, sebagai tertentu, dan ada pula yang hanya berfungsi bentuk identitas dan jatidiri bangsa. sebagai hiasan dekoratif pengisi bidang-bidang kosong untuk menambah keindahan candi 5. Naskah Purwwadhigama, menurut Pigeaud tersebut. Adegan cerita biasanya mengandung (1967: 70) dan Boechari (1986: 160), sistem suatu makna tertentu berkaitan dengan sistem pengadilan pada masa Klasik (Hindu-Budha) religi yang dianut untuk diikuti oleh umat/ membagi segala macam tindak pidana masyarakat pada masa itu. Pesan-pesan yang ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut disampaikan tersebut, biasanya mengandung astadasawyawahāra. Penulisan ke 18 hukum makna simbolis, moral, dan edukatif. Namun, tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya selain itu terdapat beberapa gambar adegan garis besarnya, mungkin beberapa hal yang kekerasan yang diduga terjadi pada masa itu. dianggap penting atau sesuai dengan kondisi Beberapa contoh relief yang menggambarkan saat itu. Beberapa jenis tindak pidana adegan kekerasan, di antaranya: tersebut antara lain ialah tan kasahuraniŋ

176 T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

1. Candi Mendut, Kabupaten Magelang, panil terdiri dari bermacam adegan cerita, Jawa Tengah, bercorak Budhis. Candi tetapi khusus yang menggambarkan peninggalan abad IX – abad X Masehi, di adegan kejahatan hanya terdapat di tangga pintu masuk sisi luar sebelah selatan dinding pertama bangunan candi bagian terdapat panil relief cerita tantri (foto no. 2) belakang (foto no. 3).

Foto no. 2. Adegan dua orang membawa Foto no. 3. Adegan laki-laki gemuk payung? dan gada. Dok. Balar YK. tangannya diikat pada sebatang pohon di yang menggambarkan dua orang fi gur sebuah kebun ? Dok. Balar. YK laki-laki, salah satunya memegang gada/ Dalam gambar panil tersebut digambarkan parang dengan wajah garang sedang adegan laki-laki dengan badan gemuk mengenakan kain kancut (cancut) dan tangannya terikat di sebatang pohon fi gur yang satunya memegang semacam pinang. Sementara itu, dihadapannya payung (?) dengan mengenakan kain berdiri seorang wanita (?) yang sengaja panjang (biarawan ?) Adegan tersebut membuka kain yang dikenakan dengan menggambarkan dua orang laki-laki yang kedua tangannya. diduga salah satunya seorang penjahat dengan wajah garang, menghardik/ 3. Candi Rimbi, Bareng, Jombang, Jawa mengejar (?) seorang biarawan (Lelono, Timur. Merupakan salah satu peninggalan 1999: 7). abad VIII – XIV Masehi. Pada bagian kaki candi di sisi selatan, terdapat 2. Candi Surowono, Kabupaten Kediri, gambar dua orang pria sedang berkelahi Jawa Timur. Terletak di Dusun Surowono, di tengah hutan dengan mengenakan Desa Canggu, Kecamatan Pare. Secara kain yang disebut astronomis terletak pada 5° 24´ 34´´ cancut (kancut). BT dan 7° 44´ 49´´ LS, bangunan candi Cara mengenakan bercorak keagamaan Budhis tersebut, cancut dililitkan didirikan sekitar abad XIV Masehi dari bagian bawah menggunakan bahan batu andesit. Pada kemudian ditarik bagian kaki candi, dihiasi dengan relief ke atas dan cerita Tantri, sedangkan pada bagian diikat kemudian dinding terdapat cerita Bubuksah, disimpul, kelihatan Arjunawiwaha, dan Sri Tanjung. Untuk seperti sedang mengetahui isi cerita panil relief yang memakai cawat. mengelilingi candi, pengunjung harus Foto no. 4. Adegan perkelahian dua (foto no. 4). Tradisi berjalan mengelilingi candi searah jarum orang laki-laki mengenakan kain jam atau dalam bahasa Jawa Kuna disebut dengan latar sebuah cancut di daerah pradaksina (Lelono, 1999: 8). Gambar hutan (?) Dok.Balar- Onje, Purbalingga, YK

177 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Jawa Tengah sampai kini bisa 2.2 Pembahasan dijumpai, sedangkan di Bali sejak 2.2.1 Desa-Desa dan Jenis Kejahatan pada tahun 1980-an para petani untuk Masa Jawa Kuna mengolah sawah atau memanjat pohon Desa merupakan suatu bentuk kelapa sulit ditemukan. Sementara pemerintahan yang terkecil dari hirarki itu, dalam seni tari (kecak) masih pemerintahan modern. Bentuk struktur menggunakan kain cancut dengan pemerintahan semacam itu, kemungkinannya dominasi warna hitam putih (poleng). merupakan warisan dari tradisi generasi Cancut dibuat dari bahan kapas yang masa lalu yang masih tetap eksis hingga kini. ditenun secara tradisional dengan Sebagai tempat pemerintahan yang terkecil, menggunakan alat-alat dan bahan- tentu letaknya juga relatif jauh dari pusat bahan tradisional termasuk bahan kekuasaan/ raja. Oleh karena itu, wajar jika di warna alami yang digunakan dari desa-desa yang letaknya jauh dari keramaian bahan tumbuh-tumbuhan dan tanah. sering terjadi kejahatan dan sebagai tempat Panil-panil relief yang menghiasi candi- persembunyian yang ideal bagi para penjahat. candi yang relatif besar tersebar di Jawa Desa-desa sering dibatasi atau dikelilingi oleh Tengah, DI. Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada hutan, sungai dan perbukitan yang merupakan umumnya candi bercorak keagamaan Budhis batas alami. Pada masa Jawa Kuna, desa-desa lebih banyak yang memuat cerita-cerita sering disebut dengan nama wanua. Menurut tantris atau yang berkaitan dengan kisah- Ninie Soesanti (1986: 305), Kerajaan Mataram kisah perjalanan hidup manusia sehari-hari. Kuna pada sekitar abad ke-9 sampai dengan abad Dalam penggambarannya selalu digambarkan ke-10 Masehi, terbagi atas beberapa kesatuan tentang contoh-contoh perbuatan baik dan wilayah. Satuan wilayah terkecil adalah wanua, buruk, dan akibat yang akan diterimanya dan data prasasti mencatat bahwa setiap wanua kelak di kemudian hari yang akan diterima dipimpin oleh beberapa orang rãma yaitu dari seluruh perbuatan manusia (karmapala). dewan pimpinan wanua. Kemudian beberapa Beberapa panil relief yang menggambarkan wanua (desa) bersekutu membentuk suatu kekerasan akan diacu dari ketiga candi kelompok yang disebut watak dan bergantung tersebut, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa pada pimpinan seorang pejabat tinggi yang Timur. Ke tiga candi tersebut, sekurangnya disebut rakai . dapat memberikan informasi bahwa tindak Berdasarkan sumber prasasti dapat kejahatan dalam berbagai bentuk dan kurban diketahui, bahwa setiap wanua memiliki yang menjadi sasaran termasuk kaum sejumlah pejabat wanua yang mengurusi wanita, telah marak terjadi pada masa Jawa kehidupan sehari-hari penduduk desa. Kuna. Oleh karena itu, selain relief candi Kemudian watak sebagai wilayah otonom juga untuk melengkapi informasi tentang jenis- mempunyai organisasi pemerintahan sendiri jenis kejahatan yang terjadi pada masa lalu, sedangkan pusat pemerintahan terdiri atas raja dapat ditambahkan dari sumber-sumber sebagai pucuk pemerintahan dibantu oleh para prasasti dan naskah-naskah Jawa Kuna yang pejabat tinggi kerajaan. Jadi, raja adalah tempat sudah diketahui isinya dan disimpan baik di tertinggi yang membawahi para pejabat tinggi museum maupun oleh kelompok masyarakat kerajaan, pejabat-pejabat watak dan pejabat- tertentu. Semakin banyak data arkeologis pejabat wanua (Casparis, 1983: 7). Struktur yang digunakan, tentunya semakin lengkap tentang pemerintahan tersebut, memberikan pula informasi untuk menyusun rekontruksi gambaran bahwa pada lokasi wanua seringkali sejarah kuna masyarakat Jawa Kuna. terjadi tindak kejahatan, karena jauh dari

178 T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna pusat pemerintahan. Oleh karena itu peran seperti kata hidu kasirat (meludahi) dan tutan para pemimpin desa beserta seluruh warga (mengejar lawan yang kalah). Beberapa contoh harus saling bahu membahu untuk mengatasi pelanggaran sedang yang ditulis dalam Naskah dan menindak kejahatan. Berdasarkan akibat Purwwadhigama adalah tan kaduman ulihiŋ seringkalinya terjadi tindak kejahatan, maka kinabehan (tidak kebagian hasil kerjasama), dibuatlah undang-undang hukum yang tan kawehaniŋ upahan (tidak memberi upah kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa atau imbalan), adwa riŋ samaya (ingkar janji). jenis kejahatan. Sementara itu, pelanggaran berat seperti yang Dunia kejahatan selalu berkembang ditulis dalam Prasasti Saŋguran, antara lain: seiring dengan dinamika masyarakatnya, dan wipati wankay kābunan (kejatuhan mayat yang selalu memanfaatkan kelemahan pemerintah terkena embun), rāh kasawur iŋ dalan (darah yang ada. Suatu pemerintahan yang tegas yang terhambur di jalan). dan adil, tentu akan menekan jumlah angka Dalam prasasti yang berasal dari sekitar kriminalitas, sementara itu sebaliknya, jika abad ke-9 sampai dengan ke-10 memuat tentang penguasanya lemah dan tidak tegas akan tindakan kekerasan dengan berbagai tingkatan, meningkatkan angka kerjahatan. Hal menarik dari sedang sampai berat. Sementara itu dalam yang terjadi pada masa Jawa Kuna adalah, Naskah Purwa Purwwadhigama dari masa yang sekurangnya telah dapat dikelompokkan jenis- lebih muda sekitar abad ke-16 Masehi, memuat jenis kejahatan yang meresahkan masyarakat, jenis-jenis pelanggaran dalam tingkatan ke dalam beberapa jenis. Anehnya kejahatan ringan dan sedang. Hal tersebut bukan berarti yang terjadi, berdasarkan jenisnya, terdapat kemudian tidak terjadi tindak kejahatan berat, jenis-jenis kejahatan yang menyangkut harga tetapi diduga pada masa-masa abad yang lebih diri, sifat kesatria dan penghormatan terhadap muda tindak kekerasan mulai berkurang secara wanita. Beberapa contoh jenisnya adalah, kualitas dan kuantitasnya. seperti tindak kekerasan terhadap perempuan, penghinaan dan makian, pencurian, tindak 2.2.2 Mengatasi Kejahatan dan Jenis kekerasan, perbuatan tidak pantas terhadap Jenisnya suami-isteri, pembagian hak milik atau Kondisi sosial ekonomi, budaya, pembagian warisan, taruhan dan perjudian dan pemerintahan, dan faktor-faktor alam seperti masih banyak lagi jenis-jenis kejahatan yang lingkungan alam/geografi s, tentu sangat diuraikan dalam prasasti-prasasti tersebut di berpengaruh terhadap kehidupan dan perilaku depan. sehari-hari masyarakat Jawa Kuna. Tidak Berdasarkan isi keempat prasasti dan harmonisnya hubungan salah satu dari kondisi, sebuah naskah dari masa Jawa Kuna tersebut, faktor-faktor tersebut, dapat berakibat tingginya garis besarnya tindak kejahatan, kekerasan dan tingkat kejahatan. Gambaran masa lalu yang sikap saling menghargai dapat dikelompokkan dapat diketahui melalui naskah-naskah kuna menjadi beberapa tingkatan, mulai dari dan gambar-gambar pada relief candi, telah pelanggaran ringan, pelanggaran sedang dan memberikan informasi secara fenomenal, pelanggaran berat, misalnya seperti pelanggaran tentang dinamika dan jenis-jenis kejahatan ringan yang disebut di dalam Prasasti Saŋguran pada masa lalu. Bagaimana kemampuan 928 Masehi, memuat peristiwa kekerasan yang kearifan lokal mampu menyikapi berbagai berkaitan dengan norma dan etika khususnya peristiwa kejahatan yang terjadi di masyarakat, yang berhubungan dengan kaum wanita, dengan berlandaskan pada kultur dan sistem seperti mamumpaŋ (tindak kekerasan terhadap pemerintahan (birokrasi) yang dijalankan oleh wanita). Aturan hukum yang berkaitan dengan para raja. Dilihat dari struktur pemerintahannya, etika dan perilaku yang bersifat kesatria, wanua (desa) adalah pemerintahan yang paling

179 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 rendah dipimpin oleh seorang rãma. Desa kasawur (darah tersebar berceceran) dan yang terletak jauh dari pusat pemerintahan, wankay kābunan (mayat kena embun), sering menjadi incaran dan sasaran tindak serangan dari para mariwun (penyamun ?), kejahatan. Desa-desa terpencil seringkali tidak wipati wankay kābunan (kejatuhan mayat berdaya untuk mengatasi penjahat yang kuat atau yang terkena embun), rāh kasawur iŋ dalan jumlahnya lebih banyak. Oleh karena itu, mereka (darah yang terhambur di jalan), hastacapala meminta bantuan kepada struktur pemerintahan (memukul dengan tangan), mamijilakan yang ada di atasnya yaitu watak yang dipimpin turuh niŋ kikir (mengeluarkan senjata tajam), seorang pejabat tinggi yang disebut rakai. Jika mamuk (mengamuk). para rakai pun tidak berhasil mengatasi kejahatan b. Berkaitan dengan etika; wākcapala (memaki- tersebut, upaya terakhir yang ditempuh adalah maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat dengan meminta bantuan kepada para pejabat (meludahi), ludan (perkelahian ?), danda tinggi kerajaan. Jika hal tersebut terjadi, maka kudanda (pukul memukul). kerajaan biasanya akan menugaskan para c. Berkaitan dengan sifat kesatria; tutan patih, seperti yang disebutkan dalam Prasasti (mengejar lawan yang kalah ?), bhandihaladi Mantyasih II 907 Masehi. Raja memerintahkan (kejahatan dengan menggunakan kekuatan kepada lima orang patih dengan para rakai dan magis). rakyat Desa Mantyasih (wanua) bersama-sama d. Berkaitan dengan wanita: mamumpaŋ (tindak untuk melenyapkan gerombolan penjahat. Desa- kekerasan terhadap wanita). desa yang berhasil mengamankan dan menjaga Dari empat jenis tindakan kekerasan keamanan desa, dan akses-akses penting yang tersebut di depan, yang menarik hanya menuju ke kota akan mendapatkan penghargaan tiga hal dan hingga saat ini masih menjadi yang tinggi oleh raja. ‘pekerjaan rumah’ yang pelik bagi pakar Berkaitan dengan hal tersebut, di depan hukum maupun pembuat undang-undang telah disebutkan beberapa jenis kejahatan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam yang sering menimpa rakyat. Dalam hal ini konteks perundangan khususnya tentang akan dibahas dan dikelompokkan jenis-jenis emansipasi wanita, dan persamaan hak-hak kejahatan ke dalam beberapa jenis berdasarkan azazi manusia. Tantangan tersebut utamanya tingkatan kejahatannya. Beragam jenis-jenis mendapat reaksi yang keras dari kelompok- tindak kejahatan yang diacu dari naskah-naskah kelompok yang ingin menegakkan aturan kuna memberikan gambaran, bahwa masyarakat hukum adat dari luar Indonesia. Rupanya Jawa Kuna bukanlah suatu masyarakat yang masalah menghargai dan menghormati hak-hak senantiasa aman, tenteram dan damai, jauh manusia, dalam sumber-sumber prasasti, nenek dari segala tindak kejahatan. Kejahatan yang moyang telah mengenal tiga buah pilar utama disebut astadasawyawahāra dalam Naskah seperti; menfi tnah/menuduh, sikap kesatria, Purwwadhigama, sebenarnya hanya sebagian dan penghormatan bagi kaum perempuan, besar saja atau tindak pidana yang seringkali dalam aturan-aturan hukum tersebut. Hal itu terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari- menandakan, bahwa sistem budaya yang dianut hari. Namun, berdasarkan jenisnya kejahatan sudah sangat peduli, dan menjunjung tinggi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat nilai-nilai hidup kemasyarakatan. Kepedulian jenis kejahatan, seperti: tindakan kriminal tersebut, sebenarnya bersumber dan mengacu dalam bahasa Jawa Kuna disebut ulah sāhasa pada tata-nilai yang hidup dalam kultur-religius (biasa, sedang dan keras), etika, sifat kesatria masyarakat Jawa Kuna. Mereka menanamkan dan penghormatan terhadap kaum wanita. nilai-nilai luhur tersebut dalam setiap individu, Beberapa jenis kejahatan tersebut antara lain: keluarga, kelompok dan masyarakat untuk a. Peristiwa kriminal (ulah sāhasa); rāh membentuk karakter, sehingga menjunjung

180 T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna tinggi nilai-nilai, etika, kesatria dan memberikan gambaran, bahwa kultur- penghormatan terhadap gender. Untuk lebih religius ketika itu telah mempengaruhi jelasnya akan diuraikan ketiga hukum tersebut sistem hukum yang berlaku untuk mencegah berkaitan dengan nilai-nilai yang ditanamkan terjadinya kekerasan, pelecehan terhadap oleh nenek moyang, antara lain kaum perempuan. a. Etika: duhilatan (menuduh), wākcapala Pesan moral yang dituangkan di dalam (memaki-maki), hidu kasirat (meludahi), naskah-naskah hukum tersebut di depan, telah ludan (perkelahian ?), dan danda kudanda memberikan gambaran yang jelas, bahwa (pukul memukul). Dalam kehidupan masyarakat dengan sistem pemerintahan yang masyarakat, biasa terjadi peristiwa seperti tengah berkuasa pada masa itu sudah tertata itu, karena kesalahpahaman antara dua dan berstruktur dengan rapi. Selain itu, masalah pihak yang memiliki kepentingan. Tanpa moral dan etika menjadi perhatian penting di menghiraukan orang lain dalam hidup dalam kehidupan sehari-hari. Ditulisnya dalam bermasyarakat dapat mengakibatkan naskah-naskah hukum, menunjukkan bahwa peristiwa tersebut. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap masalah moral dan etika, masalah pendidikan moral seharusnya khususnya terhadap kaum perempuan pada mulai ditanamkan sedini mungkin, dengan masa itu sudah sering terjadi. Nilai-nilai luhur memberikan contoh, tindak-tanduk dan yang tumbuh dan berkembang pada masa Jawa memberikan suri-teladan kepada anak-anak Kuna merupakan bukti yang nyata, bahwa melalui pendidikan formal di sekolah dan mereka selalu menjunjung tinggi hak-hak azasi pendidikan nonformal di dalam keluarga dan manusia tanpa memandang perbedaan gender masyarakat/lingkungan. laki-laki dan perempuan. b. Sifat kesatria: tutan (mengejar lawan yang kalah ?), bhandihaladi (kejahatan dengan III. PENUTUP menggunakan kekuatan magis). Peristiwa 3.1 Kesimpulan tersebut dapat untuk menanamkan sifat- Dunia kejahatan selalu tumbuh dan sifat dan semangat patriotisme sebagai berkembang seiring dengan berlangsungnya bangsa yang bermartabat, untuk selalu waktu dan jaman. Berdasarkan dari beberapa menghormati lawan yang sudah kalah dan sumber naskah-naskah Jawa-Kuna abad IX – X atau menyerahkan diri untuk diperlakukan Masehi, dan dari beberapa gambar di panil relief dengan perikemanusiaan, sehingga dapat candi sekitar abad XV – XVI Masehi, dapat membentuk manusia-manusia yang berjiwa diketahui jenis-jenis kejahatan yang sering satria, dapat membedakan dan membaca terjadi. Dari sumber naskah-naskah hukum situasi lawan dan musuh-musuhnya. yang dimuat dalam Prasasti (Balingawan, c. Persamaan dan perlindungan bagi kaum Mantyasih II, Kaladi, Saŋguran dan Naskah perempuan: mamumpaŋ (tindak kekerasan Purwwadhigama), sekurangnya terdapat 18 terhadap wanita). Sampai kini masih terjadi jenis kejahatan. Ke delapan belas jenis tersebut, pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis yang disebabkan masuknya kultur dari pelanggaran berdasarkan sifat/ bentuk kejahatan bangsa lain yang tidak sesuai dengan kultur yang berkaitan dengan: Peristiwa kriminal (rāh bangsa sendiri. Masyarakat Jawa Kuna juga kasawur= darah tersebar berceceran); Berkaitan mengalami hal serupa, sehingga mereka dengan etika (wākcapala=memaki-maki, perlu menciptakan dan mengeluarkan duhilatan=menuduh, hidu kasirat= meludahi); undang-undang hukum/awig-awig, untuk Berkaitan dengan sifat kesatria (tutan= melindungi kaum perempuan. Data tersebut mengejar lawan yang kalah) dan; Berkaitan dengan wanita (mamumpaŋ = tindak kekerasan

181 Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012 terhadap wanita). Hal tersebut mencerminkan, diikuti pesta-pora bersamaan dengan pemberian bahwa tatanan kehidupan yang berkaitan dengan tanda berupa tugu batu menjadi sebuah sima. masalah norma, etika dan moral menjadi dasar Peresmian tersebut, secara politis semakin dalam memilah dan menentukan jenis-jenis memperkokoh hubungan para wanua, watak, kejahatan. Fenomena menarik lainnya adalah, dan kerajaan dalam suatu hirarki pemerintahan bahwa kaum wanita mendapat perhatian yang harmonis. Dalam konteks tersebut di khusus dengan disebutkannya tindak kekerasan depan, pada prinsipnya diperlukan langkah dan terhadap kaum wanita dalam kitab tersebut. Hal tindakan nyata dengan melakukan koordinasi tersebut membuktikan, bahwa kaum wanita dan komunikasi yang intensif untuk menjaga telah mendapat perlindungan hukum agar keamanan negara/kerajaan secara bersama- terhindar dari tindak kesewenang-wenangan. sama sesuai dengan sifat dan jatidiri asli Bangsa Kejahatan marak terjadi, seperti yang Indonesia. dituliskan di dalam prasasti, sementara itu faktor penyebabnya belum diketahui, 3.2 Rekomendasi karena isi prasasti tidak menyebabkan faktor Studi tentang prasasti, naskah-naskah kuna penyebabnya. Informasi mengenai penyebab yang berisikan peraturan hukum tentang tindak kejahatan dapat diacu dari bukti-bukti kejahatan, menarik untuk dilakukan secara terus- arkeologis dari penggambaran relief berlukiskan menerus. Dari berbagai jenis pelanggaran atau sebuah panorama pedesaan yang subur dengan tindak kejahatan di masa lalu yang terjadi, tentu sawah serta saluran-saluran irigasi, hutan relevan dengan tindak kejahatan yang terjadi di dengan pohon-pohon tinggi dan lebat, di latari masa sekarang, karena secara substansional adat- oleh gunung yang menjulang tinggi, relief istiadat dan budaya bangsa Indonesia merupakan lainnya menggambarkan bentuk permukiman warisan turun-temurun hingga saat ini. Oleh rumah penduduk dengan pagar tembok yang karena itu perihal nilai-nilai positif yang menjadi mengelilingi. Hal itu menandakan sering pedoman nenek moyang kita, patut untuk mendapat gangguan binatang buas dan tindak dilestarikan dan menjadi dasar pijakan hukum di kejahatan. Jarak satu desa dengan desa lainnya, negara yang berkembang ini. Nilai-nilai positif jarak dengan pusat-pusat pemerintahan relatif tersebut berupa nilai luhur yang dapat digunakan jauh dengan kondisi topografi yang berbukit, sebagai identitas atau jatidiri suatu daerah, sungai, dengan hutan-hutan lebat menjadi regional bahkan nasional. Melalui karya-karya rawan terjadinya kejahatan. sastra dan relief sebagai cagar budaya yang adi Para penguasa (raja) pada masa Jawa- luhung dapat mengungkap tentang kehidupan Kuna untuk mengatasi kejahatan, telah membuat dan nilai-nilai positif nenek moyang di masa aturan-aturan tentang pemberian penghargaan lalu. Sekali lagi hal tersebut menjadi sangat bagi setiap desa, kepala desa, pejabat penting dalam rangka pembentukan jatidiri pemerintahan yang berhasil menumpas dan dan karakter asli Indonesia yang saat ini mulai menjaga kejahatan yang sering terjadi dengan ditinggalkan dan dilupakan oleh para pemimpin memberikan anugerah berupa tanda jasa. Setiap Indonesia Raya. keberhasilan menumpas kejahatan yang sudah lama meresahkan masyarakatnya atau kejahatan DAFTAR PUSTAKA berat, kemudian selalu diikuti dengan pemberian Boechari. 1986. “Perbanditan Dalam Masyarakat penghargaan yang tinggi, seperti misalnya Jawa Kuna” Pertemuan Ilmiah Arkeologi desa tersebut berubah statusnya menjadi sima/ (PIA) IV, hal. 160- 161. Cipanas daerah perdikan. Perubahan status tersebut, Jawa Barat. merupakan hal yang menggembirakan dan biasanya dilangsungkan sebuah upacara dengan

182 T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

Casparis, JG de. 1983. Evolution of the Socio Economic Status of the East Javanese Village and its inchabitants, c AD 900- 1400. Makalah dalam The Fourth Indonesian-Dutch History Conference, July 1983. Yogyakarta. Damais, L.Ch. 1951. “Methode de reduction des dates Javanaises en dates europeennes”. BEFEO., tome XLV, hal. 1-41. Etodesd’Ephigraphie Indonesienne, I. Lelono, Hari. 1999. “Pakaian dan Stratifi kasi Sosial Masa Klasik Pada Relief Candi-Candi di Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Jawa Timur”. Laporan Penelitian Arkeologi (LPA). Hal. 7 - 8. Balai Arkeologi Yogyakarta. Pigeaud, Th.G. 1967. Erucakra-Vairocana. India Antiqua. A volume of Oriental studies presented by his friends and pupils to Jean Philippe Vogel, C.I.E., on the occasion of the fi ftieth anniversary of his doctorate. Hal. 70. E.J. Brill. Leiden. Soesanti, Ninie. 1986. “Mekanisme Birokrasi di Jaman Raja Balitung (898-910 M)”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) IV, hal. 305. Cipanas 1986. Jawa Barat. Suarbhawa, I Gusti Made. 2010. “Satu Lempeng Prasasti Tamblingan”. Forum Arkeologi. Tahun XXIII No.3 November 2010. Balai Arkeologi Denpasar. hal. 596 –622.

183 KETENTUAN NASKAH UNTUK FORUM ARKEOLOGI

Naskah yang dimuat dalam Forum Arkeologi adalah : 1. Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan arkeologi yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi maupun pemerhati. 2. Naskah berisikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan arkeologi dan kebudayaan. Bentuk Naskah : 1. Naskah adalah hasil penelitian yang belum pernah diterbitkan. 2. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan ditulis pada kertas A4 (satu sisi), dan setiap lembar tulisan diberi nomor halaman dengan jumlah halaman 15 - 20, jarak spasi 1 spasi. Model huruf yang digunakan adalah Times New Roman dengan font 12. Margin atas 4 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri 4 cm, dan margin kanan 3 cm. Naskah diserahkan dalam bentuk hard copy dan soft copy. 3. Judul ditulis secara ringkas tetapi cukup informatif untuk mendeskripsikan isi tulisan. Huruf serta Kata Judul berupa huruf kapital tebal (bold). 4. Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan. 5. Artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia mencantumkan abstrak dalam dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. 6. Materi Naskah disusun mengikuti kaidah yang lazim, berdasarkan urutan sebagai berikut : Judul tulisan, Abstrak, Kata kunci, Pendahuluan, Hasil dan Pembahasan, Penutup dan Daftar Pustaka. 7. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 150 kata. Kata kunci harus ada dan mengacu pada Agrovoca, kata kunci terdiri atas tiga sampai enam kata. 8. Apabila terdapat istilah asing dan istilah lokal maka istilah tersebut ditulis dengan abjad miring (italic). 9. Gambar, tabel, grafi k, peta, foto dan ilustrasi lain disajikan dengan jelas dan tajam. Ukuran gambar, grafi k, tabel, peta, foto disesuaikan dengan halaman jurnal. Semua gambar, grafi k, peta dan foto diberi nomor urut dan diacu dalam teks. 10. Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul, maksud dan tujuan, serta hasil penelitian. 11. Penunjuk sumber dalam naskah supaya dibuat dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, tahun terbit dan halaman sumber, semuanya ditempatkan dalam tanda kurung (Lansing, 1991: 93). Penunjuk sumber beserta keterangan lengkap lainnya agar dibuat dalam sebuah daftar yang disusun menurut abjad nama pengarang pada lembar khusus yang diberi judul DAFTAR PUSTAKA. Contoh : DAFTAR PUSTAKA Lansing, J.S., 1991. Priest and Programmers: Technologies of Power in the Engineer Lanscape of Bali, University Press, Princeton. 12. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 5 eksemplar dan cetak lepasnya.

ix