JURNAL PANGKAJA Vol.22, No. 2 Juli – Desember 2019 PROGRAM PASCASARJANA ISSN : 1412-7474 (Cetak) INSTITUT HINDU ISSN : 2623-2510 (Online) NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id

AKSARA BALI DALAM UPACARA DWIJATI DI GRIYA AGUNG BANGKASA, DESA BONGKASA KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

I Gede Sugata Yadnya Manuaba Paiketan Daksa Dharma Email : [email protected]

Diterima tanggal 8 Juli 2019, diseleksi tanggal 14 Juli 2019, dan disetujui tanggal 20 Juli 2019

Abstract The Balinese letters in the ritual of dwijàti (coronation) of a Balinese Priest, it’s really very complex and many used. The letters of Bali in the ritual of dvijàti is used called the letter of modre and wijàksara. Both the meaning is magic syllables. Both of letters mostly paint (rajah) in the plain white cloth as shroud or winding sheet, and at the body of the candidate, and many tools of this ritual also. In this research toned at the Balinese letters above. The formulation of problems in this research comprises of the forms, function and the meanings of Balinese letters at the cloths of sedaraga (ritual of dead body) at Griya Agung Bangkasa, the Bongkasa village, district of Abiansemal, Badung regency, Bali province. The theory used in this research comprises the theory of symbols, the functional structural theory and semiotic theory. The results of this research include the forms of many letter of Balinese written in the cloth shroud or winding sheet, at the body of the candidates and many tools of this rituals. The functions include religious function, magic, expressive, inspiration and aestetics-decoration. The meaning of the Balinese letters of the ritual of dvijati include the theologically meaning, education, socio-religious, socio-cultural and solidarity. Key Words: Balinese letters, seda raga, dvijàti

Abstrak Aksara Bali dalam upacara dwijàti atau upacara penobatan (inisiasi) pandita Hindu di Bali ternyata sangat kompleks dan banyak digunakan. Aksara Bali yang digunakan dalam upacara dwijàti lebih banyak menggunakan aksara Bali yang disebut modre dan wija aksara (wijàksara). Kedua jenis Aksara Bali ini dilukiskan (di-rajah) di atas kain yang berfungsi sebagai rurub yoganidra atau sedaraga, busana dan perlengkapan lainnya. Dalam penelitian ini ditekankan pada aksara Bali yang digunakan dalam upacara dwijàti tersebut. Adapun rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: bentuk aksara Bali, fungsi aksara Bali dan makna yang terkandung dalam aksara Bali pada acara sedaraga dalam upacara dwijàti di Griya Agung Bangkasa, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori simbol, teori fungsional struktural dan teori semiotik. Adapun hasil penelitian ini meliputi bentuk aksara Bali pada acara sedaraga upacara dwijàti, yakni pada rurub sedaraga, rarajahan pada tubuh calon pandita dan perlengkapan lainnya, fungsi aksara Bali meliputi fungsi religious, magis, ekspresif, inspiratif dan dekoratif estetik dan makna meliputi makna: teologis, pendidikan, sosio-religious, sosio-budaya dan solidaritas. Kata Kunci: Aksara Bali, Seda raga, Dwijàti.

JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 9 I. Pendahuluan Hindu itu merupakan visualisasi dari nilai tattwa dalam integral Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Menurut Masyarakat Bali yang pada umumnya filosofinya semua upacara itu sesungguhnya adalah beragama Hindu adalah masyarakat yang sangat bahasa yakni bahasa dengan berupa kesucian religius dengan tetap mempertahankan tiga dan kasih. Di samping upakara banten, terdapat juga kerangka dasar Agama Hindu yaitu Tattwa, unsur yang lainya misalkan aksara Bali. Salah satu Etika/Susila dan Upacara/Àcàra serta tetap upacara yang erat kaitanya dengan aksara Bali ialah menjaga konsep Tri Hita Karana dalam acara sedaraga dalam upacara dwijàti. Sedaraga dalam melaksanakan suatu yajña. Tri Hita Karana adalah hal ini merupakan satu rangkaian dari upacara Dwijàti paham keselarasan antara manusia dengan Tuhan atau padìksàn yang sangat disakralkan oleh umat Yang Maha Esa, alam, dan manusia serta makhluk Hindu, sebagaimana halnya dengan upacara sedaraga hidup lainnya. Pandangan tentang agama dan terhadap calon sulinggih yang dilaksanakan di Griya pandangan tentang kehidupan membentuk satu Agung Bangkasa Banjar Pengembungan, Desa kesatuan yang dicirikan dengan pengungkapan Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten pemikiran-pemikiran dalam bentuk simbol-simbol. Badung. Dalam berinteraksi setiap harinya masyarakat Bali Sedaraga yang dilaksanakan di Griya Agung sebagian besar memakai bahasa mereka sendiri Bangkasa Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, yaitu Bahasa Bali. Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung adalah Bahasa memiliki lambang-lambang bunyi salah satu upacara sakral yang dilakukan oleh calon yang pada dasarnya diwujudkan dalam bentuk diksita atau calon sulinggih untuk mencapai tulisan atau aksara. Sistem tulisan atau aksara kesulinggihannya. Sedaraga merupakan upacara yang (script) ciptaan manusia yang sangat bermanfaat. dilaksanakan seperti halnya orang meninggal, calon Dengan tulisan manusia dapat menembus batas- diksita ditempatkan di balai adat (balai kematian) serta batas waktu dan ruang. Ingatan manusia itu ditutup dengan kain putih (kasa) selama beberapa jam. pendek, dengan tulisan manusia dapat menyimpan Kasa atau rurub yang digunakan untuk menutup tubuh kekayaan akal budinya (Kentjono, 1982: 89). sang diksita sebelumnya telah di-rajah (ditulisi) Bahasa Bali memiliki sistem tulisan sendiri menggunakan berbagai aksara Bali dan diupacarai yang sering disebut dengan tulisan atau aksara secara khusus oleh nabe tapak sang diksita. Secara Bali. Aksara Bali merupakan perkembangan atau struktural, sedaraga memiliki tujuan yang mulia yaitu gubahan dari bentuk-bentuk aksara Pallawa. untuk meningkatkan kesucian diri baik lahir maupun Aksara Bali yang dimaksud adalah aksara ha-na- bathin guna mencapai kesempurnaan hidup sebagai ca-ra-ka (Bagus, 1994: 1). Bahasa Bali di samping sulinggih. mempergunakan aksara Bali untuk Griya Agung Bangkasa dengan ciri khasnya menggambarkan lambang-lambang bunyi, bahasa yaitu di setiap upacara yajña yang dilakukan Bali juga mempergunakan aksara Latin. mengutamakan pemakaian akûara Bali sebagai unsur Aksara memegang peranan penting dalam terpentingnya, sehingga akûara Bali yang tampak khas kehidupan manusia, yakni sebagai alat untuk berkomunikasi dan merekam buah pikiran. Selain ini seringkali kurang dipahami oleh sebagian besar itu juga dipergunakan dalam kegiatan upacara orang. Griya Agung Bangkasa di Bongkasa yang keagamaan Hindu (yajña), pengobatan (usada) memiliki peradaban yang tinggi, dari peradaban tinggi serta aktivitas lain yang bertujuan untuk tersebut akan memiliki pengalaman yang luas tentang menambah kekuatan magis spiritual pada dan makna pemakaian akûara Bali dalam bangunan, benda, peralatan atau aktivitas yang kehidupan. dilakukan, bahkan pada badan atau tubuh manusia. Aksara Bali dari yang dikenal dengan Salah satu peradaban yang paling menonjol dari sebutan aksara biasa sampai dengan aksara suci pengalaman itu adalah adanya kemampuan dalam meresapi segala bidang aktivitas upacara mengolah akûara Bali pada sedaraga dalam upacara kehidupan masyarakat yang beragama Hindu di dwijàti, sehingga Griya Agung Bangkasa memiliki Bali sesuai dengan swagina atau swadharmanya, garis kapurusan terbesar di Bali bahkan sampai Jawa, termasuk tata ruang maupun pemukiman, yang Sulawesi dan Lombok serta sudah melahirkan aplikasinya terangkum dalam parhyangan, sulinggih di negeri matahari terbit Jepang serta pawongan dan palemahan. Sistem upacara Agama Prancis.

JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 10 Penggunaan berbagai aksara Bali pada upacara dwijàti sangat menarik untuk dikaji sedaraga dalam upacara dwijàti akan mampu khususnya dalam hal kaitannya dengan Agama Hindu membakar segala papa mala lêtêh ring kahuripan serta budaya Bali. (pemurnian jiwa) sehingga proses evolusi jiwa menuju kesadaran jiwa dirasakan secara utuh dan II. PEMBAHASAN menyeluruh. Perbedaan inilah yang juga menjadikan Bentuk Aksara Bali Dalam Upacara Dwijàti sedaraga dalam upacara dwijàti di Griya Agung Hal yang sangat inti digunakan dalam upacara Bangkasa Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, dìksà dwijàti adalah akûara suci Omkara yang Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung menjadi disebut juga Prànava yang melambangkan Tuhan unik dan menarik untuk diteliti. Yang Maha Agung, Ida Sang Hyang Parama Kawi. Selain itu, hal pokok yang juga Hampir setiap rarajahan dalam upacara dwijàti selalu melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian menggunakan aksara suci tersebut dalam berbagai tentang aksara Bali pada upacara sedaraga dalam variasinya. Terdapat lima jenis Omkara dengan berbagai pangangge aksara dan pangangge aksara upacara dwijàti di Griya Agung Bangkasa Banjar Bali pada umumnya sebagai berikut: Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung adalah ingin 1 2 3 4 mengetahui dan meneliti aksara Bali yang digunakan Omkara Omkara Omkara Omkara pada sedaraga dalam upacara dwijàti ini dikarenakan Sabda Amrta Pasah penggunaan aksara Bali pada sedaraga dalam upacara dwijàti ini sepengetahuan peneliti belum ada yang menelitinya, begitu pula proses sedaraga ini belum banyak diketahui, baik dari sisi fungsi, makna dan 5 Omkara Pasupati bentuk aksara Bali yang digunakannya. Adapun keunikannya yakni peneliti ingin sekali meneliti aksara Bali pada sedaraga dalam upacara dwijàti ini 6 Pangangge adalah bentuk aksara serta penggunaan tìrtha Omkara Aksara Omkara pangêntas (air suci untuk mengentaskan roh Adumukha seseorang dari penderitaan) dan rurub (yang tampak seperti kain kafan) yang di-rajah (ditulisi) sedemikian rupa dengan akûara Bali, tentunya dalam sedaraga bentuk rarajahan, posisi dan aksara Bali yang digunakan sangatlah berbeda antara sedaraga yang sudah sering dilaksanakan di kalangan griya-griya pandita dari warga Pasêk di Bali dengan pandita dari Dalam acara sedaraga ini aksara Bali tampak warga-warga lainnya yang umunya tidak mengenal digunakan pada rurub, pada rajahan angga sarìra, acara sedaraga, melainkan berupa acara ngekeb pada Tìrtha pangentas, pada ulon dan juga pada (mengurung diri untuk beberapa waktu) dan pawisik (pemberian mantram rahasia) yang diberikan umumnya dilakukan pada siang hari. oleh guru nabe. Kain yang digunakan untuk rurub Berdasarkan uraian di depan, analisis yang umumnya selalu kain putih dan aksara yang dituliskan dilakukan terhadap aksara Bali pada upacara sedaraga memakai warna tinta hitam. ialah analisis kajian bentuk, fungsi dan makna yang menunjukkan kekhasan dari aksara Bali sebagai Aksara Bali pada Rurub Sedaraga fonem dan yantra. Aksara Bali yang digunakan pada Kain sebagai rurub calon dìksita baik lanang sedaraga dalam upacara dwijàti di Griya Agung (laki-laki) maupun istri (perempuan) adalah sama, Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, panjangnya sekitar 200 centimeter dan lebarnya 110 Kecamatan Abiansemal Badung. Secara bentuk, centimeter. fungsi dan makna akûara Bali pada sedaraga dalam

JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 11

Kedua calon dìksita terikat dalam ikatan Kewalya Pada dan Parama Kaiwalya perkawinan sebagai suami dan istri. Berikut Pada. Itulah lambang Rurub rarajahan untuk rurub calon dìksita lanang dan Sedaraga sebagai pembungkus badan istri, sebagai berikut: pengantar Àtmà menuju di alam Niskala. Rurub Sedaraga Rurub Sedaraga Berikut adalah sebuah foto Lanang Istri saat sedaraga dalam upacara dwijàti, tampak kedua calon dìksita lanang-istri membujur kaku, pada bagian hulu terdapat gambar ulon yang umum dipajangkan pada saat upacara sedaraga tersebut.

Aksara Bali yang dijadikan rarajahan rurub adalah Omkara, Dasa Aksara dan Sapta Omkara Amrta. Sapta Omkara Amrta itu adalah tujuh Aksara suci sebagai lambang kesucian Tuhan untuk menghidupkan kembali unsur- unsur kesucian diri dan agar dapat menjadi panutup seorang yang sedaraga(yoganidra). Gambar 1 kedua calon dìksita dalam proses sedaraga Kalau sebelumnya Sang Sedaraga ditutup oleh badan kasar. dengan Rurub Sedaraga itu Aksara Bali pada Tìrtha Pangêntas badan itu diganti dengan badan suci dalam Adapun rarajahan Tìrtha bentuk rurub. Diharapkan dengan badan yang pangêntas untuk calon dìksita telah melewati proses sedaraga dengan rurub lanang-istri (laki perempuan) adalah sama, yakni aksara suci itu badan dan Àtmà dapat mencapai dasabàyu, sebagai berikut Brahman. Tujuh Aksara suci yang disebut Sapta Omkara itu adalah sebagai berikut: Ang Ung Mang Ong, Ardha Candra. Wisîu dan Nàda. Aksara Aý sebagai Puser, Dewanya . Aksara Ung membersihkan hati Sang Sedaraga, Dewanya Visnu. Aksara Mang membersihkan kerongkongan. Dewanya Sang Hyang Ìsvara. Aksara Gambar 2 La Wa Ya Uý (Soebadio, 1971: 1) Omkara sebagai lambang tujuh Aksara Dasabàyu Oý I A Ka Sa Ma Ra lobang di bagain kepala yaitu dua ditulis vertikal dan horizontal. lobang mata, dua lobang hidung, Pada alas wadah Tìrtha dua lobang telinga dan satu pangêntas umumnya terbuat dari mulut. Dewanya Mahàdewa. Aksara periuk tanah ukuran kecil yang Arda Candra, Wisnu dan Nàda dirajah huruf Yaý (y¸). Demikian sebagai alis, batas dahi, dan aksara Bali pada Tìrtha pangêntas kepala. Dewanya , Sadasiva acara sedaraga upacara dwijàti dan Paramasiva. Di Bhuwana Agung yang berbeda kelengkapannya (alam semesta/macrocosmos) Satpa dengan Tìrtha pangêntas upacara Omkara itu berada pada Jagra Ngaben

Pada, Swapna Pada, Susupta Pada, Turya Pada, Turyanta Pada,

12 JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019

yang dilengkapi dengan kakitir, mengikuti acara upacara ulantaga, pripih, daun temen, dan selanjutnya. Atatangi biasa daun kemuning dalam wadah payuk dilakukan oleh raka atau kakak di tanah yang dirajah dilengkapi dalam dharma (seperguruan) dengan dengan ikatan benang tri datu 12 cara setelah dibisiki untuk ikatan. bangun, biasanya kondisi calon diksita sangat lemah. Kemudian Aksara Bali pada Ulon Sedaraga dibangunkan dengan posisi duduk, kaki tetap melonjor ke depan, punggung disangga oleh pandita raka, kemudian diberikan minum air kelapa gading (kuning) muda,

Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 yang sebelumnya pada kulit kelapa Sang Acintya Dewa muda tersebut diisi rarajahan Hyang atau Sang Ganesa. (tulisan), yang paling sederhana Siva/Siva Hyang adalah aksara Omkara Amåta, yang Guru. Taya Sebelumnya di-pasupati atau diberi mantra untuk menghidupkan oleh guru nabe. Adalah juga mantra Dasabàyu atau Dasapràna. Rarajahan yang lebih kompleks adalah aksara Ang Ung Mang, Omkara Amåta dan aksara Dasabàyu atau Dasapràna serta

Gambar 5 Gambar 6 Nawa pada bagian bawahnya diisi Acintya dengan Dewata lukisan atau gambar padma. senjata para (Pangidêr-idêr) Seperti foto kelapa gading muda dewa Serta senjatanya di bawah ini, yang pada intinya Asþadìkpàlaka adalah untuk memberi kekuatan untuk bangun dan hidup dalam Rarajahan ulon ada yang kekuataan yang dianugrahkan oleh sederhana ada juga yang aksaranya para devatà. Mantram yang banyak dan tampak rumit atau digunakan kompleks. Berikut adalah beberapa gambar/foto ulon.

Pada gambar-gambar ulon di atas tampak ada aksara Bali lengkap dengan senjatanya di dalamnya implisit terkandung wijàksara berupa dasàksara penguasa seantero kiblat. Aksara Bali pada Bungkak

Nangiyang (Kelapa Gading Muda) Gambar 7 Setelah beberapa jam dalam kelapa gading muda yang dirajah kondisi Sedaraga acara selanjutnya adalah atatangi, Aksara Bali pada busana (wastra, yakni membangunkan calon dìksita pêtêt, kampuh, santog dan kasang) dari kondisi sedaraga untuk Setelah selesai dimandikan, kedua calon dìksita mengenakan 1) Wastra (kain): Panjangnya busana putih berupa kain kain (wastra) 150 centimeter (wastra), ikat pinggang (pêtêt), dan lebarnya 110 centimeter kampuh kakuwub (saput agung/kain dan di-rajah pada sudut dan luar yang besar) dan santog (ikat tengah-tengan kain seperti kampuh paling luar). Semua busana berikut. Baik lanang maupun ini ditulisi dengan rarajahan istri rarajahan-nya sama. aksara Bali, sebagai berikut:

JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 13

dada) untuk laki-laki dan perempuan.

Gambar 12 Rerajahan Kasang ring Gambar 8 Rerajahan Wastra Lanang Istri. dada

2) Pêtêt adalah ikat pinggang yang 6) Kasang ring pabinan (celemek di digunakan untuk mengikat wastra pangkuan) untuk lanang-istri. di-rajah untuk pandita lanang dan istri.

Gambar 9 Rerajahan Pêtêt

3) Kampuh Kakuwub (saput agung) lanang-istri di-rajah di setiap sudut dan tengah.

Gambar 10 Rerajahan Kampuh Kakuwub (saput agung) lanang-istri

4) Santog yakni ikat pinggang sampai dada yang pada bahu kiri dijadikan selendang untuk laki- laki dan perempuan.

Gambar 11 Rerajahan Santog 5) Kasang ring dada (celemek di Gambar 13 Rerajahan Kasang ring Aksara Bali yang di-rajah pada tubuh setelah pabinan Sedaraga (setelah berbusana pandita) Setelah terlebih dahulu meminum air kelapa Aksara Bali pada ikatan rambut gading muda yang sudah di-rajah, kemudian setelah dari lontar dan selendang mengenakan busana pandita baik lanang maupun istri Rarajahan daun lontar untuk ikat lengkap, kemudian seluruh tubuh kedua calon dìksita rambut lanang dan istri. ini juga di-rajah sebagai berikut:

Tabel rarajahan di tubuh setelah mengenakan busana pandita

Tempat Bunyi Gambar 14 Rarajahan daun lontar No. Rerajaha Aksara Aksara untuk ikat rambut lanang dan istri n Rarajahan selendang lanang dan istri: 1 Ubun- þ y¸þ. Oý Yaý Ubun Oý 2 Useran þ mº e Oý Maý Rambut ¸ Eý Ngsaý \×ࡺo¸. Mu Oý 3 Pangkal Kaý Aá, k¸ Á Gambar 15 Rerahajan selendang Daun ;¾, k¸Á Kaý Aá lanang Telinga ;¾.

Gambar 16 Rerajahan selendang istri

14 JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 Tempat Tempat Bunyi Bunyi No. Rerajaha Aksara No. Rerajaha Aksara Aksara Aksara n n 4 Leher þ dêº Oý Dyaý ½ Belakang b¸. Baý Omkara 5 Leher 10 Pipi Oý Naý Madhumu þnº, ýnº. depan Kiri dan Oý Naý kha Kanan (Omkara Sungsan 11 Dagu þe¸ Oý Eng g) n×Îî¸o¸. Nesaýriu ý Oý 6 Antara þe¸ Oý Eý Dua Alis nࡺo¸ Nmuý Oý 12 Lidah ö,þ,sº. Ang nº . Naý Sang 7 Pelipis ö, pº. Aý Paý 13 Gigi ö,s,½. Ang Ung Kiri Mang kanan 14 Bahu þpº,þpº. Oý Paý Kiri dan Oý Paý 8 Dahi Omkara Kanan Paúupati

15 Siku kU¸ Kùý Kùý 9 Batang Þ Oý Maý Kiri dan ,kU¸. Hidung Kanan Tempat Tempat Bunyi Bunyi No. Rerajaha Aksara No. Rerajaha Aksara Aksara Aksara n n 15 Siku kU¸ ,kU¸. Kùý Kùý 21 Lambung ½,½. Maý Maý Kiri dan Kiri&Kan Kanan an Tlapak 16 ö,tº. Aý Taý Tangan 22 Lutut dº dº Daý Daý Kiri Dan 23 Punggung Kanan nUº, y¸. Nuý Yaý Tangan 17 Dada ý e¸ \»ß¡ºo¸ Oý Eý Kiri dan . Ngsaý Kanan Mu Oý 24 Betis k¸, k¸. Kaý Kaý 18 Uluhati þ yÐ˸. Oý Yaý Kiri dan Kra Oý Kanan Saý Daý 25 Punggung sº, dº. 19 Puser þÁ ;¾ö. Oý Aá Kedua Bawah Aý Kaki Perut

20 Punggung Sa Ba Ta A I

mengambil jiwa atau àtmà calon Aksara Bali pada Rurub Halap dìksita atau úisya Kata halap maya berasal dari yang dilakukan oleh guru napak, Bahasa Jawa Kuno dari kata maya yang yang didahului pemercikan Tìrtha artinya refleksi atau bayangan pangêntas, selanjutnya (Zoetmulder, 1995: 661) dimaksudkan sekujur tubuhnya dibungkus untuk mengambil atau membebaskan roh dengan rurub angga sarìra dan yang akan diperciki air suci berupa digotong oleh sanak keluarga, calon Tìrtha pangêntas. Memang secara dìksita lanang digotong oleh sanak simbolis, roh (àtmà) orang yang keluarga laki-laki, calon dìksita sedaraga ditempatkan (di-sthana-kan) istri digotong oleh sanak keluarga pada daksinà lingga (daksinà wanita. Berikut gambar rurub halap linggih) yang diletakkan di samping maya. tubuh yang membujur kaku seperti jenasah yang dibungkus kain kafan. Acharyananda (2015: 64) menyebutkan bahwa rurub halap maya ini dipakai

JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 15

Aksara Bali pada pembungkus pacatu keramik dengan penutupnya Pacatu dari kata catu .Pembungkus pacatu ini dibuat dari (Zoetmulder, 1995: 162) yang kain putih dengan rarajahan (Gambar artinya porsi, ukuran atau tempat 4.31) berikut. Pacatu merupakan beras dari batok kelapa atau dari bekal dari guru/nabe napak untuk bekal kehidupan seorang pandita sehingga bias mandiri dalam nga- lokapàlàúraya, melayani umat. Aksara Bali sebagai Rùpa Devatà Nyàsa Untuk memusatkan pikirannya ‘yang eksis sendiri’ (self- menggambarka Tuhan Yang Maha Esa existing), atau ‘yang menciptakan dibuatlah sarana untuk konsentrasi dirinya sendiri’ (that is created memuja-Nya, sarana-sarana tersebut by its own accord) (Monier, 1986: di antaranya berbentuk aksara Bali, 1284). Ditinjau dari akar katanya, aksara suci, wijàksara seperti svayambhù terdiri dari kata svayam telah disebutkan di atas. Sarana yang berarti sendiri dan bhù dalam wujud aksara bisa disebut berarti yang eksis atau yang sebagai ‘Rùpa Devatà Nyàsa’ yang muncul. artinya aksara sebagai simbol wujud Rurub Sedaraga dengan Aksara para Dewa dan Dewi dan para Dewa Swayambhù merupakan simbol àtman dan Dewi ini adalah manifastai-Nya, yang dilukiskan dengan aksara dan Tuhan Yang Maha Esa. gambar-gambar suci, penggunaan Gde Pudja dalam Weda Parikrama Aksara Swayambhù ini dalam upacara (1989: 28) menjelaskan bahwa nyàsa sedaraga adalah diletakkan di atas yang banyak digunakan dalam Agama sang diksita seperti selimut. Rurub Hindu adalah yantra atau rekha sedaraga adalah selembar kain putih yakni simbol dengan garis-garis yang di-rajah dengan aksara Bali tertentu, perpaduan warna dan (Mantra, Pràóava, Bija Aksara itu kembang, gambar-gambar tertentu dan ada dalam Aksara Swayambhù acara arca atau mùrti yang wujud atau sedaraga dwijàti) yang diperoleh bentuknya kadang-kadang seperti dengan cara nunas kepada nabe nyata yang merupakan ‘sakala Tapak. Sebelum dapat digunakan sarìra’ (badan kasar)-Nya. Huruf sesuai dengan nilai spiritualnya adalah juga badan kasar-Nya (groos harus dilaksanakan upacara body) yang juga dapat dijadikan panglukatan pada sang diksita dan ‘nyàsa’. Berdasarkan uraian di pengulapan pada rurub sedaraga, atas, dapat ditarik simpulan bahwa setelah itu barulah rurub sedaraga yang dimaksud dengan ‘nyàsa’ adalah ini dinyatakan telah memiliki nilai ‘guóa, úakti dan swabhawa’ yakni spiritual atau daya magis. Rurub sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang Sedara memiliki nilai spiritual diwujudkan dalam bentuk mantra, doa, , lagu sebagai tanda restu dari sang Nabe, pujaan dan lain-lain merupakan ucapan, pikiran atau sanak keluarga, dan Bhaþàra Kawitan pernyataan apa yang terpikir dan ditujukan kepada terhadap sang dìksità untuk Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh arti dan menjalani kehidupan sebagai pandita ‘rahasya’, sedang wujud benda-benda sebagai simbol nantinya setelah dwijàti. yang nyata. Menurut Ida Sinuhun Úiva Putra Kata ‘rùpa’ dalam Bahasa Jawa Parama Daksa Manuaba (wawancara, 10 Kuno yang asalnya dari Bahasa Oktober 2018) menyatakan, Sanskerta (Zoetmulder, 1995: 964) konfigurasi aksara Panca Brahma berarti perwujudan atau warna luar, (Aksara Swayambhù) pada rurub bentuk, wujud, figure, acintya rùpa sedaraga, tersusun sebagai berikut: (tidak terpikirkan wujudnya), dibya ANG-TANG-SANG-BANG-ING, rùpa (tampan wujudnya), úuddha rùpa menggambarkan proses involusi (rupanya bersih/suci), wirùpa ciptaan atau peleburan (penyerapan (tidak tampan), wåddha rùpa (tampil kembali, pralina). Beliau seperti orang tua). menegaskan formula aksara praline dalam upacara sedaraga dwijati ini Aksara Bali sebagai Svayambhù Nyàsa juga telah diringkas dalam istilah itu sendiri, SIDDHANTA = Kata ‘svayambhù’ merupakan Sa-kara-, I-kara, Da-kara adalah kosakata Bahasa Sanskerta yang simbol Triloka (bhur, bhuvah, svah) berarti yang ‘muncul dengan diwakili oleh wijaksara ANG. Dha- sendirinya’ (self-manifested) kara adalah Mahaloka (TANG), A-kara adalah Hanaloka (SANG), Na-kara pulang menuntun para sang diksita adalah Tapoloka (BANG) dan TA-kara guna pencapaian Siwatatwa adalah Satyaloka (ING). Jadi aksara (realisasi diri dalam proses Bali dalam upacara sedaraga dwijati anyekung sarira/ nindra), mengingatkan bahwa semua ciptaan sebagai tujuan akhir cita-cita berasal dari Tuhan (Parama Siwa). spiritual tertinggi proses sedaraga Rumus aksara Bali A-TA-SA-BA-A-I dwijati. Pencapaian tujun akhir dalam upacara sedaraga dwijati juga melalui proses involusi seperti menunjukkan jalan untuk kembali yang terpapar diatas itu, 16 JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019

dengan sangat indahnya (Ketut Tangsub). Di dalam teks dilukiskan dalam mantra suci panca tersebut terdapat ucapan tentang parama dibawah ini: menghilangkan wangsa. Seperti Agni madhyetu rawiccaiwa, Rawi berikut ini: madhyetu candrama “Tingkahing andìksà, yan Candra madhye bhawet sukla, sedaraga ring sekala sang Adi Sukla madhye sthito Siwa maraga Oýkaràmåta, yan ring Terjemahan; niskala ring jro sang Adi maraga Ditengah tengah api itu ada rasa nglayang, sang úisya yan matahari ring sakala maraga Oýkaràgni, Ditengah matahari ada bulan yan ring niskala ring jro sang Ditengah bulan ada kesucian úisya maraga rasa galang, rikala Ditengah kesucian inilah Siwa sedaraga hangilangkên Wangúa berada Sudranya” Api yang dimaksud dalam mantra (Tatacara melakukan dìksà. Pada diatas mewakili pikiran (+indriya saat melakukan ini, kalau secara dan elemen alam) wijaksaranya ANG. niskala Sang Guru Nabe sebagai Matahari dikaitkan dengan Buddhu Oýkaràmåta, kalau secara niskala di (+ dan Panca Tanmatra) dalam Sang Guru Nabe sebagai yakni TANG. Bulan dihubungkan perasaan bahagia. Sang murid/úisya dengan prinsip awyakta (SANG). kalau secara sakala adalah Kesucian menunjukkan prinsip atma Oýkaràgni, kalau secara niskala di purusa (BANG) dan sebagai inti dalam sang murid/úisya sebagai purusa adalah Siwa Maha Brahma perasaan yang terang (ING). Sebaliknya proses evolusi jiwa dimuali dari aksara Bali, dimana hakekat Ketuhanan dikenal dengan nama Maha Brahma (Maha JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI - DESEMBER 2019 Purusa) yang diwakili wijaksara ING-BANG (Purusa atau atma), SANG (Awyakta), TANG (Buddhi-aahamkara- TAnmatra), ANG (Manah-indriya- benderang, Begitulah pada saat Panca Maha Bhuta). sedaraga, menghilangkan Wangsa Ulasan Ida Sinuhun Úiva Putra Sudra-nya). Parama Daksa Manuaba (wawancara, Kutipan di atas dengan jelas 10 Oktober 2018) dalam diskusi menyebutkan bahwa esensi dari sebagai bahan penunjang tesis tahapan sederaga menggunakan aksara Aksara Bali pada acara sedaraga Bali dalam upacara dwijati/dìksà, dalam upacara dwijàti dengan adalah menghilangkan Wangúa Sudra. mengutip tentang tingkahing adìksà Wangúa Sudra yang dihilangkan adalah itu termuat di dalam sebuah naskah Wangúa Sudra yang ada pada sang berjudul Tutur Angkihan, Tutur úisya, sarana untuk menghilangkan Bhuwana Aji milik Dalem Tangsub Wangúa Sudra adalah Oý karàgni, yang namanya Wangúa sudra itu niskala ring jro sang úisya dibakar/dilebur oleh kekuatan Oý maraga tis kahyune úuddha. karàgni. Asapunika rikalaning napak angilangakên Wangúa Wesyanya”. Terjemahan: (Pada saat tahapan napak, secara sekala Sang Guru Nabe sebagai perwujudan Windu agni, kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabe merupakan rasa pikiran yang tenang, Sang Úisya apabila secara sakala perwujudan Windu amåta, kalau secara niskala di dalam sang úisya Gambar 17 merupakan rasa sejuk dari pikiran Ida Sinuhun Úiwa Putra Prama Daksa yang suci. Seperti itulah pada saat Manuaba (Nabe Tapak) sedang tahapan napak, menghilangkan Wangsa melakukan proses sedaraga Wesyanya.

Setelah tahapan sedaraga dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut Proses napak dengan tapakan linggih Ida Sang Hyang Úiva. Dalam penjelasan napak juga terdapat ucapan tentang 17 menghilangkan Wangúa. Seperti kutipan berikut. “Anapakakên dening tapakan linggih Ida Sang Hyang Úiva yan ring sakala sang Adi maraga Windu agni, yan ring niskala ring jro sang Adi marafa rasan kahyune têgtêg. Sang Úisya yan ring sakala maraga Windu amåta, yan ring Kutipan di atas dengan jelas sang úisya itu dihanyutkan oleh menyebutkan bahwa esensi dari aliran air dari Windu Amåta. tahapan napak dalam upacara dìksà, adalah menghilangkan Wangúa Wesyanya, Wangúa Wesya yang dihilangkan adalah Wangúa Wesya yang ada pada sang úisya, sebelumnya dalam tahapan sedaraga juga menghilangkan Wangúa Sudra yang ada pada diri sang úisya. Sarana untuk menghilangkan Wangúa Wesya adalah Windu Amåta atau Gambar 18 Ida Sinuhun Úiwa Putra Prama Daksa Manuaba (Nabe Tapak) sedang melakukan proses napak dalam upacara dìksà (dok pribadi peneliti)

Setelah tahapan napak dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut pajaya-jayan. Dalam penjelasan tentang tahapan pajaya- Windu Air. Jadi Wangúa Wesya pada jayan. Dalam penjelasan tentang tahapan Pajayan jayan juga terdapat ucapan tentang menghilangkan Wangúa. Seperti Gambar 19 kutipan berikut ini. Pajayajayan dalam upacara dìksa (dok “Ring pajaya-jayan paweh bukti pribadi peneliti) mukti sang úisya maraga parama acintya, rasa nirmala. sang adi Apa jadinya sang Sisya setelah melepaskan tiga maraga acintya paramaúùnya Wangsa dalam satu rangkaian upacara Dìksà? nirbhana, rikalaning pajayajayan Jawabannya seperti berikut ini. laju tinìrtanin angilangakên “rasane lêyêp kewala Wangúa Wangúa ksatriya-nya”. pandita dewatane sane rakêt, Terjemahan ring anjaya-jaya sang úisya (Saat pajaya-jayan ada proses mataga windu dewa, rasa memercikan air suci, sang kawikwane, sang guru nabe maraga úisya sebagai Parama Acintya, paramaúùnya suci nirmala tan yaitu rasa tanpa mala, Sang pataleteh, rasane úùnya hning”. Guru Nabe Acintya Paramaúùnya Terjemahan Nirbhana, seperti itulah pada (Rasanya seperti terbenam, semata- saat memercikan air suci mata Wangúa Pandita-dewalah yang menghilangkan Wangúa melekat. Pada saat Ksatriyanya). upacara jaya-jayan, sang úisya Kutipan di atas juga dengan itu menjadi Windu Dewa, yaitu jelas menyebutkan bahwa esensi rasa Kawikwan, sang Guru Nabe dari tahapan). Pajayajayan dalam menjadi Paramaúùnya suci nirmala upacara dìksà, adalah tanpa noda, yaitu rasa úùnya menghilangkan Wangúa Ksatriya sang hêning). úisya, Wangúa Ksatriya yang Begitulah isi salah satu lontar tentang dihilangkan adalah Wangúa Ksatriya menghilangkan Wangúa. Penghilangan Wangúa itu yang ada pada sang úisya, yang ada dalam sebuah upacara dìksà. Sebagaimana dalam dua tahapan sebelumnya telah umumnya upacara, dìksà itu adalah sebuah tindak simbolis- mistis. Penghilangan Wangúa itu adalah sebuah pemaknaan. Makna itu diberikan oleh tradisi. Wangúa 18 itu benar-benar dipandang sebagai kulit, melewati juga menghilangkan Wangúa Sudra tahapan pertama seorang murid melepaskan sendiri dan Wangúa kulit yang paling luar. Untuk melewati tahapan Wesya yang ada pada diri sang keduanya, seorang murid kembali melepaskan kulit di úisya. Sarana untuk menghilangkan dalamnya. Wangúa Ksatriya yang ada pada sang Begitu seterusnya sampai akhirnya ia seakan- úisya adalah Tìrtha Acintya akan tanpa kulit. Keadaan tanpa kulitlah yang disebut Wangúa Pandita Dewata, atau Windu Dewa, itulah sejatinya seorang wiku, jadiwiku artinya orang yang telah melepaskan kulitnya. Menghilangkan Wangúa adalah sebuah pendakian dari bawah ke atas, atau sebuah penyusupan dari luar ke dalam, atau dari kulit ke isi, yang mana kulit, yang mana isi, keadaan lepas atau bebas dari Wangúa.

Paramaúùnya Nirbhana. JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI-DESEMBER 2019 Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba Memang, sejatinya, mereka semua kosong, karena menegaskan kembali bahwa proses hanya berupa bayangan-bayangan sementara. Namun, sedaraga/anyekung sarira adalah sebuah proses kerap kali, kita lupa hal ini. Kita mengira, itu semua berdamai dengan diri sendiri. Di dalam diri kita, ada adalah nyata, lalu menggenggamnya erat-erat. beragam emosi dan pikiran yang menumpuk. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam proses sedaraga/anyekung sarira. Pertama, apapun dan menjadi Dewa Úiva yang bisa bentuk emosi dan pikiran yang muncul, cukuplah memimpin (muput) upacara . diamati dan disadari. Semakin kuat dan menyakitkan 2) Fungsi magis pada rurub emosi dan pikiran yang datang, semakin itu sedaraga adalah untuk menjaga merupakan kesempatan yang baik untuk semakin dan menyucikan tubuh, sehingga mengamati dan menyadari. tubuh diharapkan dapat menjadi Dengan cara ini, secara perlahan namun pasti, sthana para Dewa, nantinya penderitaan yang muncul dari pikiran dan emosi akan ketika lahir sebagai pandita lenyap. Dua, tujuan dari proses sedaraga/anyekung dapat memancarkan sinar-sinar sarira ini adalah membangun hubungan yang baik ke-dewatà-an, yang dengan diri kita sendiri, termasuk emosi dan pikiran diekspresikan melalui sifat- yang datang dan pergi. sifat mulia (daiwi sampat) Artinya, kita belajar untuk mencintai sesuai dengan karakter manusia keseluruhan diri kita sendiri. Dari proses menurut Bhagavadgìtà. sedaraga/anyekung sarira ini lahirlah kejernihan dan 3) Fungsi ekspresif adalah pada kedamaian. Ketika kita bisa menjalin hubungan baik rurub dan ulon acara sedaraga dengan diri sendiri, termasuk dengan semua emosi merupakan sebuah simbol yang dan pikiran yang muncul, maka kita dengan mudah diciptakan secara ekspresif menjalin hubungan yang baik dengan orang dan untuk mengungkap keberadaan mahluk lain. Tiga, awalnya, proses sederaga manifestasi Sang Hyang Widhi /anyekung sarira ini terasa sulit. Namun, setelah Wasa sesuai dengan fungsi dilakukan, buahnya akan langsung terasa. Berbagai beliau. emosi dan pikiran muncul, namun itu semua cukup 4) Fungsi inspiratif adalah disadari dan diamati dengan penuh cinta. Kejernihan keberadaan wijàksara khususnya dan kedamaian yang dirindukan pun bisa mulai sebagai rarajahan sedaraga akan dapat menjadi sumber inspirasi terasa. Proses sederaga/anyekung sarira ini membawa bagi para pandita sehingga kita untuk mengenali sisi terdalam dari diri kita yang lebih berkonsentrasi dalam sebenarnya. Sisi ini hanya satu rasa, yakni rasa mengantarkan ritual tersebut. cinta/damai yang begitu dalam. Dengan mengenali 5) Fungsi dekoratif estetik karena unsur terdalam diri kita ini, kita bisa memeluk mengandung unsur keindahan yang apapun yang datang dan terjadi dengan penuh sangat menonjol tampak pada kedamaian. Dititik inilah kita sungguh berdamai ulon yang dilengkapi gambar dengan diri kita sendiri. acintya atau gambar Gaóeúa dan Fungsi Aksara Bali Pada Upacara gambar aksara pangidêr-idêr Dwijàti yang dihiasi gambar senjata Fungsi aksara Bali (rarajahan) para Dewa (ayudhadevatà) dengan pada acara sedaraga dalam upacara warna sesuai kedudukannya pada dìksà dwijàti yaitu: penjuru mata angin dapat 1) Fungsi religius pada rurub berfungsi sebagai dekorasi yang sedaraga upacara dìksà dwijàti indah. adalah untuk menghadirkan para Dewa dalam diri calon dìksita, Makna Aksara Bali Pada Upacara menyucikan Dwijàti Makna aksara Bali dalam rarajahan sedaraga yaitu JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI-DESEMBER 2019 1) Makna teologis ditunjukan dalam penggunaan rarajahan dalam diri termasuk lingkungannya upacara sedaraga menggunakan termasuk juga men-sthana-kan wijàksara atau huruf-huruf suci para Dewa dalam diri calon sebagai wujud para Dewa yang dìksita. Dengan ber-sthana-nya ber-stahana pada tubuh manusia, para Dewa dalam diri pandita mengandung makna bahwa seorang akan memudahkan pandita menyatu yang sudah di-dìksà sudah mengenakan busana dewatà atau badannya sudah berbadan Dewa melihat rarajahan berupa akan mudah menghubungkan diri wijàksara atau huruf-huruf dengan para Dewa atau menjadi Dewa. 2) Makna pendidikan ketika seseorang yang menulis 19 rarajahan dan mereka yang

suci di hatinya sudah tergetar, mewujudkan solidaritas. karena masing-masing huruf suci Solidaritas menunjuk pada ini adalah lambang atau simbol kekompakan untuk berbagi dan para Dewa, mengandung makna saling meringankan beban atau nilai-nilai pendidikan pekerjaan satu sama lain. menuju nilai yang tertinggi Demikian pula halnya dengan (paravidyà). upacara dìksà dwijàti yang 3) Makna sosio-religious tersirat diselenggarakan di Geria Agung pada proses upacara sedaraga Bangkasa, Desa Bongkasa, dwijati berlangsung, lebih- Kecamatan Abiansemal, Kabupaten lebih saat diumumkan Badung yang kompak menghadiri (kasobyahang) kepada seluruh menunjukan solidaritas terhadap masyarakat di lingkungannya pandita yang akan dan baru tahapan-tahapan pelaksanaannya. lahir. Bila tidak diumumkan akan menimbulkan masalah di III. Simpulan banjar/desa pakraman-nya karena Berdasarkan pengamatan yang berkaitan dengan úàsana (kode dilakukan di lapangan bahwa etik) penggunaan aksara Bali pada acara serta mendapat penghargaan dari sedaraga dalam upacara dìksà dwijàti masyarakat lingkungannya. dapat disimpulkan bahwa bentuk Dengan demikian keluarga dan aksara Bali pada acara sedaraga masyarakat akan senantiasa dalam upacara dìksà dwijàti guyub untuk mengikuti tahapan menggunakan aksara-aksara yang upacara yang dilakukan oleh konotasinya melambangkan simbol- seorang calon diksita. simbol dewa pada tubuh manusia dan 4) Makna sosio-budaya pada lebih banyak menggunakan aksara penggunaan aksara Bali Wijaksara serta aksara Modre khususnya wijàksara Bali tentunya dipercaya memiliki kekutan merupakan ekspresi masyarakat religius magis berebeda dengan Bali yang diwarisi turun aksara Bali lumbrah. temurun di daerah ini. Masyarakat Bali akan merasa mantap bila ketentuan tentang penggunaan rurub untuk acara sedaraga dan wijàksara lainnya 20 yang digunakan dalam upacara dìksà dwijàti dan diturunkannya Bentuk aksara Bali yang dirajah dìksà dalam wujud daksinà pada acara sedaraga dalam upacara linggih digotong beramai-ramai dìksà dwijàti seperti; Rurub, aksara tidak boleh kakinya sampai Bali yang dijadikan rarajahan rurub menginjak tanah. adalah Aksara Swayambhù yang 5) Makna solidaritas adalah merupakan simbol àtman yang momentum upacara dìksà dwijàti dilukiskan dengan aksara (Omkara, adalah waktu yang tepat untuk Daúa Aksara, Sapta Omkara Amåta) dan gambar-gambar suci sebagai lambang Mutu Pendidikan, Pemda Tingkat I Bali. kesucian Tuhan untuk menghidupkan Bagus, I Gst. Ngurah. 1994. “Aksara dalam Gejolak kembali unsur-unsur kesucian diri. Sosial : antara kesinambungan dan Aksara Bali pada acara sedaraga perubahan". (Sebuah makalah yang dalam upacara dìksà dwijàti memiliki disampaikan pada seminar nasional makna Ha- fungsi religious, fungsi magis, Na-Ca-Ra-Ka, April 1994 di Yogyakarta). fungsi ekspresif, fungsi inspiratif, Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: dan fungsi dekoratif estetik. Kreasi Wacana. Sedangkan makna aksara Bali pada Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian acara sedaraga dalam upacara dìksà Kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta. dwijàti yaitu makna teologis, makna Bungin, Burhan. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. pendidikan, makna sosio-religious, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada akna sosio-budaya dan makna Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquri and Research solidaritas. Design. Sage Publications, Inc: California. Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa Struktur Internal, Daftar Pustaka Pemakaian dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Acharyananda, Ida Pandita Mpu (I Wayan Miartha), Cipta. 2015. Dìksànisasi, Teogeneologis- Dalem. I Gusti Ketut. 2006. Ulap-ulap pada Teoantropologis, Denpasar: Penerbit Yayasan Bangunan Suci Umat Hindu di Bali, Kajian dari Santayana Dharma MGPSSR. Perspektif Agama dan Budaya. Denpasar Al Barry, Pius A Partanto dan M. Daslan, UNHI. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1990. Bandung: Remaja Karya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Pustaka Suatu Pendekatan Praktek: Yogyakarta: PT Renika Cipta JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI-DESEMBER 2019 Astra, I.G. Semadi, dkk. 1983. Kamus Kecil Sansekerta Indonesia. Proyek Peningkatan Denzim, Norman K dan Yvonnas S. Loncoln. Wedatama Widya Sastra. 2009. Handbook of Qualitative Research. Hooykaas, Christian. 1980. Drawings of Balinese Penerjemah Daryanto, dkk. Yogyakarta: Sorcery. Volume 1 of Iconography of Religions: Pustaka Belajar. Supplement. New York: Brill University of Gorda, I Gusti Ngurah. 1994. Metodelogi California. Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi. Denpasar: Iskandar. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan Widya Kriya Gunatama. dan Sosial. Jakarta: Gaung Persada Press Goodman Douglas J. and George Ritzer.2008. Jaman, I Gede. 1999. Fungsi Dan Manfaat Rerajahan Sociological Theory 6th Edition, New York: Dalam Kehidupan. Surabaya: Paramita. McGraw-Hill. Joseph, Brian (Ed.); Janda, Richard (Ed.) (2008). The Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Handbook of Historical Linguistics. Blackwell Abadi Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta : Publishing (dipublikasikan tanggal 30 Desember Ikon Teralitera. 2004). ISBN 978-1-4051-2747-9. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, dan Juliansyah. 2010. Metodelogi Penelitian : Skripsi, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Tesis, Desertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta : Pustaka Widyatama. Prenada Media Group. Hadari, Nawawi. 2001. Metode Penelitian Bidang Kentjono, Djoko, 1982. Dasar-dasat Linguistik Umum. Sosial. Pontianak : Gajah Mada University Fak. Sastra Universitas Indonesia. Perss. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik Halliday, M.A.K dan Rudaiya Hasan. 1994. Umum. Edisi Ketiga. Jakarta : Gramedia Pustaka Bahasa, Konteks, Teks : Aspek-aspek Bahasa Utama. dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan Asrudin Tou. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI-DESEMBER 2019 Hoed, Benny H. 2002. "Strukturalisme, Pragmatik Koentjaraningrat. 1984. Kamus Istilah Anhtropologi. dan Semiotik dalam Kajian Budaya", dalam Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Indonesia Tanda yang Retak. Jakarta: Bahasa. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Anhtropologi Banarsidass. Indonesia. Jakarta: Gramedia. Nala, I Gusti Ngurah, 2006. Aksara Bali Dalam Leech, Geoffrey. 1997. Teaching and Language Usada. Surabaya: Penerbit Paramita. Corpora : the convergence. In: Wichmann, Narka, 2008. Aksara Ongkara: Kajian Semiotika Anne; Fligelstone, Steven; Mcenery, (tesis).Denpasar : Universitas Hindu. Toni&Knowles, Gerry (eds), 1-23. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2012. Metodologi Littlejohn, S. W. Theories of Human Comunication Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. 6th Edition Nasution, S. 2004. Metode Research (Penelitian Mandra, 2003. “Aksara Bali dalam Upakara Caru Ilmiah). Jakarta : PT Bumi Aksara. rsi gana dalam Perspektif Linguistik Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories Of Religion. Alih Kebudayaan” (Tesis). Denpasar: Universitas Bahasa Ali Noer Zaman. Jogjakarta : Qalam. Udayana. Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Mardika, Ngakan Made Karya. 2010. “Aksara Indonesia. Jakarta: PT. Modre dalam Ulap-ulap Palinggih Punyàtmàdja, I.B. Oka. 1989. Panca Cradha. Jakarta: Pamerajan”. Skripsi Denpasar: IHDN Yayasan Dharma Sarathi. Denpasar. Purwiati, Ida Ayu Mirah. 2005. “Aksara Onýkara - Masinambow, EKM, 2001. Semiotik dalam Kajian dalam Upacara Pitra Yajña”. Dalam Kebudayaan, Semiotik, Mengkaji Tanda Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Editor Made dalam Artidak (Editor: Masinambow, EKM Suastika dan I Nyoman Kutha Ratna. Denpasar: dan Hidayat Rahayu S.) Jakarta: Balai Program Studi Magister dan Program Doktor Pustaka. Kajian Budaya Unud. Hal.169. Margono, S. 2009. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Moleong, Lexsy J. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya 21 Offset. Raghuvira, 1956. Svara-Vyañjana. New Delhi: Moleong, Lexsy J. 2004. Metodelogi Penelitian International Academy of Indian Culture. Kualitatif. Bandung: Remaja Sunda Karya. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Monier, Sir Monier Williams, 1986. - Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka English Dictionary, New Delhi: Motilal Pelajar. Redana, Made, 2006. Panduan Praktis Penulisan Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Karya Ilmiah Dan Proposal Riset. Denpasar: Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta IHDN. Sugiyono. 2014. Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Simpen, A.B. I Wayan.1999. Pasang Aksara Bali. Kualitif dan R & D. Badung : CV. Alfabeta. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Dati I Suhardana, K.M 2007 Dasar-Dasar Kesulinggihan Bali. Suatu Pengantar Bagi Úisya Calon Sulinggih. Sastra, Gde Sara. 2005. Pedoman Calon Pandita Surabaya : Paramita Dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sasana). Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi Surabaya : Paramita. ketiga). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Suarjaya, I Wayan. 2007. Upacara Medìksà Pasek Ekonomi, Universitas Indonesia. Sanak Sapta Resi. Surabaya : Paramita. Supardi, M.d, (2006). Metodologi Penelitian. Mataram Suarka, I Nyoman. 2013. Perlindungan Lontar : Yayasan Cerdas Press. Sebagai Unggulan Budaya Bali dari Sudut Suprayogo, Imam & Tabroni. 2003. Metodelogi Pandang Sastra dan Sains. Denpasar: Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Makalah, Disajikan dalam Seminar Rosdakarya. Pemuliaan Lontar Bali, tanggal 22 Juni 2013, Surada, I Made. 2009. Kamus Sansekerta - Indonesia. di Taman Budaya Denpasar. Surabaya : Paramita. Suasta, Ida Bagus Made. 2002. Bahasa Aksara Sutjaja, I Gusti Made, 2006. Kamus Indonesia Inggris Bali Dalam Agama Hindu. Denpasar UNUD. Bali. Lotus Widya Sari dan UNIV. Udayana : Suastika, I Made, 2005. Cultural Studies: Isu-Isu Denpasar Kontemporer, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Suwardani, Ni Putu, dkk. 2012. Pedoman Penulisan Sudarto. 1997. Metodelogi Penelitian Filsafat. Usulan Penelitian Skripsi. Denpasar : Pustaka Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Larasan. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya : Citra Wacana.

22 Suweta, I Made. 2005. “Aksara pada Kajangdalam JURNAL PANGKAJA VOL 22, NO 2, JULI-DESEMBER 2019 Upacara Ngaben Masyarakat Hindu di Bali: Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan”. Disertasi Denpasar: Pasca Sarjana UNUD. Teeuw, A, Th. P. Galestin, S. O. Robson, P.J. Worsely, P.J. Zoetmulder, 1969. Úiwaratri of Mpu Tanakung, An Old Javanese Poem, its Indian Source and Balinese Illustration. Leiden: The Hague Martinus Nijhoft. Teeuw, A. 2013. Sasatra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penyusun, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali Dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: Rhika. Warna, I Wayan, dkk.1991. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar. Wiana, I Ketut. 2000. Mengapa Bali Disebut Bali?. Surabaya: Paramita. Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita. Zoest, Aart Van, 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita. Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Zoetmulder, P. J. 1995. Kamus Jawa Kuno – Indonesia, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Jaya. Lontar Lontar Gaguritan I Ketut Bungkling (koleksi Ida Sinuhun Úiwa Putra Prama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa, Bongkasa, Badung). Lontar Purana Pura Merajan Sakti Manuaba (koleksi Ida Sinuhun Úiwa Putra Prama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa, Bongkasa, Badung). Internet https://desa bongkasa. Wordpress, com/2016/04/01 tentang-desa diunduh 10 Januari 2019). https://kbbi.web.id/sejarah diunduh 20 Desember 2018 https://kbbi.web.id/aksara diunduh 20 Desember 2018 sudantrablogspot. com,2011/09 diunduh 21 Januari 2019 freebooks.uvu.edu/NURS3400/…./ch13-hindu culture. html diunduh 10 Januari 2019