PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG SOSIAL DAN AGAMA TAHUN 1945-1982

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh: Putri Inggita NIM: 1113022000009

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

LEMBARAN PERNYATAAN

Denganl■ l saya lnenyatakan bahwa:

1. Skripsi ini mempakan has■ karya asli dari saya sendiri yang dttukan und memenuhi sdah satu persyaratan ddaln mcmperolch gelar sttana ddan

jettang strata satu(Sl)di Fakuhtt Adab dan H― aniora lJIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Slmiber yang saya gunakall dalЯ m penulisall ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di UIN SyanfHidayamlah Jakarta.

う D Jika dikemuditt hari terbukti bahwa karya ini b■ an has■ karya asli saya atau merupakan hasijiplakan dari karya orallg lam,maka saya bersedia menerim

sanksi yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta. PERAN IKHヽVANUL ⅣIUSLIⅣllN SURIAH DALAM BIDANG SOSIAL DAN AGAMIA TAHUN 1945-1982

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab danHumaniora

Unftrk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar

S a{ana Humaniora (S.Hum. )

Oleh

PutH Inggita

NIMl ll13022000009

' Pembimbing,

NIP 19740530 200501 2 006

PROGRAM STUDISEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUⅣ IANIORA UNIVERSITAS ISLAⅣI NEGERI

SYARIF ⅡIDAYATULLAH JAICARTA

2018Ⅳ1/1439H LEPIBAR PENGESAHAN

Skripsi bettudlll PERAN IKHWANUL MUSLIⅣIIN SURIAIll DALAⅣ I BIDANG SOSIAL DAN AGAMA TAHIJN 1945-1982 telah dittikall dalalll sidang skripsi Fakultas Adab dan I‐ IumaniOra UIN SyarifHidayatllllall Jakarta pada

7 Maret 2018.SkripJ initelah diterima sebagtt salall satu syarat melllperoleh gdar

Sttana HllmaniOra(S.Hllm.)pada program stlldi SttaralldanPeradaban lslam.

」akada 7 Nfaret 2018

Sidang Skripsi

Ketua Merangkap anggota, S ekertari s Merangkap anggota,

H.Nurhasan,M.A. Sa'diyah, M.Pd NIPi 19690724 199703 1 001 Anggota. Pengtti I, Pengu-ii [,

D∴ Awalia Rahma,PIoA. Dr.Saiflll Umam,ル I.A. NIPi 19710621 200112 2 001 NIP:19671208199303 1002 Pembimbing,

Dr.Zaklya Darojat,M.A. NIPi 19740530 200501 2 006

ABSTRAK Peran Ikhwanul Muslimin Suriah dalam Bidang Sosial dan Agama Tahun 1945-1982 Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi beraliran Sunni yang membangun sistem secara komprehensif dan menyeluruh dari segala sisi seperti spiritual, pendidikan, moral, sosial, dan politik. Ikhwanul Muslimin Suriah (IMS) didirikan pada tahun 1945 oleh Mustafa al-Siba‟i. Keberadaanya menjadi sinyal bahwa nilai-nilai Islam terus digalakkan di tengah-tengah gempuran globalisasi dan sekulerisasi. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah menjelma menjadi pihak oposisi bagi pemerintahan Hafez al-Assad tahun 1970. IMS terus menghadang penguasa Syi‟ah-Alawiyah agar masyarakat Sunni tidak tertindas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran yang diberikan organisasi Ikhwanul Muslimin kepada masyarakat Suriah terutama dalam bidang sosial dan agama serta penyebab ketidakberdayaan masyarakat mayoritas Sunni terhadap pemerintahan minoritas Alawiyah. Metode yang digunakan ialah metode penelitian sejarah. Metode yang dilalui yakni, heuristik, verifikasi, interpretasi, pendekatan sosial dan politik, serta penulisan sejarah. Penelitian ini menunjukkan bahwa IMS memainkan peranan dalam kehidupan sosial dan beragama di masyarakat. Contohnya, pendistribusian petani yang tidak memiliki lahan, koperasi perserikatan pekerja, mempertahankan konstitusi yang sesuai dengan agama Islam, dan memberikan modal usaha bagi pekerja di bidang agama. IMS mendapatkan rintangan yaitu perseteruan internal yang berakibat kegiatan dan gerakan yang digalakkan tidak maksimal. Akan tetapi organisasi tersebut mencurahkan peran yang konsisten sejak awal berdiri untuk membantu masyarakat dalam bidang sosial dan agama. Revolusi yang digemborkan IMS untuk merevilatisasi pemerintahan Suriah harus kandas karena peristiwa al- Ahdath yang terjadi pada Februari 1982. Meskipun begitu IMS telah menjadi organisasi yang programnya ada di setiap sisi kehidupan masyarakat Suriah.

Kata Kunci: Ikhwanul Muslimin Suriah, oposisi, Peran Sosial, dan Peran Agama.

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur ke hadirat Ilahi Rabbi di atas segala nikmat-Nya, taufik, dan hidayat yang tercurah kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Atas ridho-Nya, skripsi yang berjudul “PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG SOSIAL DAN AGAMA TAHUN 1945-1982” dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yang senantiasa menjadi contoh teladan kepada umatnya. Dengan penuh kelemahan yang dimiliki oleh penulis dalam proses penelitian ini, tidaklah mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis banyak menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Bapak H. Nurhasan, M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menyetujui dan menerima judul skripsi ini sebagai tugas akhir penulis. 4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam, yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan. 5. Ibu Dr. Zakiya Darojat, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis dalam membantu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 6. Bapak Dr. H. Abdul Chair, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih telah membantu penulis dalam menentukan tema dan judul proposal skripsi, sehingga penulis mampu melanjutkan pada tahap berikutnya.

ii

7. Papah Hasan Kurniawan dan Mamah Yeti Kusniati selaku kedua orang tua. Terima kasih untuk do‟a yang tidak pernah putus, motivasi, kesabaran, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah dicurahkan kepada penulis. Kepada Aa Tias Harfiansyah yang telah mendukung dan memberikan bantuan kepada penulis. Teteh Hasti Dibyanti, terima kasih telah mendukung dan mencurahkan tenaga serta waktunya untuk membantu penulis selama penelitian ini. Skripsi ini dipersembahkan untuk keluarga penulis. 8. Sahabat penulis, Dwi Hartanti. Terima kasih karena tidak mengenal waktu dan tempat terus memberikan bantuan dan motivasi yang tak terkira bagi penulis. 9. Sahabat perjuangan penulis yakni Karlinda, Fahmi, Lia, Elis, Alfida, Sania, Yuni, Izmi, Sunnah, Burhan, dan Ilham. Terima kasih telah menemani penulis pada masa-masa kuliah maupun di luar perkuliahan. Terima kasih telah menemani perjuangan ini hingga akhir. Tanpa dukungan, do‟a, dan semangat yang kalian berikan, sangat sulit bagi penulis untuk sampai pada titik ini. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 7 Maret 2018

Putri Inggita

iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... iv DAFTAR ISTILAH ...... vi BAB I: PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Permasalahan Penelitian ...... 7 1. Identifikasi Masalah ...... 7 2. Batasan Masalah ...... 8 3. Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 D. Tinjauan Pustaka ...... 9 E. Kerangka Teori ...... 12 F. Metode Penelitian...... 13 G. Sistematika Penulisan ...... 16 BAB II: SURIAH DALAM LINTASAN SEJARAH ...... 17 A. Demografi Suriah ...... 17 B. Suriah Masa Islam ...... 19 C. Suriah Masa Protektorat Prancis ...... 21 D. Suriah Pasca-Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Hafez al-Assad ...... 24 BAB III: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORGANISASI REVIVALISME ISLAM ...... 31 A. Sejarah dan Berkembangnya Ikhwanul Muslimin Mesir ...... 31 B. Perkembangan Organisasi Revivalisme di Timur Tengah ...... 35 1. Yordania ...... 36 2. Aljazair ...... 37

iv

3. Uni Emirat Arab ...... 39 4. Sudan ...... 40 C. Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam di Asia ...... 42 1. Pakistan ...... 42 2. Indonesia ...... 43 3. Malaysia ...... 45 BAB IV: PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG SOSIAL DAN AGAMA ...... 48 A. Sejarah dan Perkembangan Ikhwanul Muslimin di Suriah ...... 48 B. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Sosial ...... 53 C. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Agama ...... 59 D. Respon Masyarakat Suriah terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin ...... 62 E. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah Pasca-Peristiwa al-Ahdath ...... 63 BAB V: PENUTUP ...... 68 A. Kesimpulan ...... 68 B. Saran ...... 70 DAFTAR PUSTAKA ...... 71 LAMPIRAN...... 76

v

DAFTAR ISTILAH

Cuneiform: Atau tulisan Baji adalah tulisan-gambar kuno dengan simbol-simbol berbentuk kapak yang mulai digunakan sekitar tahun 3200 sebelum Masehi dan terus dipakai lebih dari 3000 tahun. Alawiyah: Sebuah organisasi sektarian yang didirikan pada abad ke- 10, di dalamnya terdapat perpaduan berbagai keyakinan dan praktik Islam dan non-Islam. Alawiyah mengadopsi gagasan trinitas ketuhanan dan reinkarnasi. Disebut sebagai Syi‟ah Alawiyah karena mengambil kepercayaan akan sistem emansi Tuhan dan mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi berbeda dari Syi‟ah lainnya, kelompok Alawiyah percaya bahwa Ali merupakan renkarnasi Tuhan sendiri dalam sebuas konsep trinitas Tuhan yaitu: Ali adalah makna atau esensi, Muhammad yang diciptakan Ali sendiri adalah Ism‟ (nama), dan Salman al-Farisi adalah al-Bab (gerbang). FIS: Singkatan dari Front Islamique de Salut. Sebuah organisasi Islam di Aljazair dan didirikan pada tanggal 10 Maret 1989. FLN: Singkatan dari Front de Liberation Nationale. Sebuah partai politik nasionalis di Aljazair yang didirikan tahun 1954. FSI: Singkatan dari Front Sosialis Islam atau al-Jabha al- Islamiyyah al-Istikhariyyah. Sebuah divisi khusus yang dibentuk Ikhwanul Muslimin Suriah untuk menjalankan program sosial pada tahun 1949. ICF: Singkatan dari Islamic Charter Front. Sebuah partai politik yang didirikan tahun 1964 oleh Ikhwanul Muslimin Sudan sebagai pengganti partai politik the Islamic Front for the Constitution.

vi

IFC: Singkatan dari The Islamic Front for the Constitution. Sebuah partai politik yang didirikan tahun 1958 oleh organisasi Ikhwanul Muslimin Sudan. IME: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Uni Emirat Arab yang didirikan pada tahun 1974. IMM: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Mesir yang didirikan pada tahun 1928. IMS: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Suriah yang didirikan pada tahun 1945. IMY: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Yordania yang didirikan pada 19 November 1945. JI: Singkatan dari Jama‟at al-Islami. Sebuah organiasasi Islam yang didirikan oleh Abu al-A‟la al-Maududi pada 21 Agustus 1941. Kristen Maronit: Merujuk pada pengikut Gereja Maronit di yang jumlahnya sekitar 22% dari seluruh penduduk Lebanon. Nama Maronit berasal dari Santo Maronite yang hidup di akhir abad ke-4. NIF: Singkatan dari The National Islamic Front. Sebuah partai politik yang didirikan tahun 1986 oleh Ikhwanul Muslimin Sudan. PAS: Singkatan dai Persatuan Islam Se-Malaysia. Sebuah partai yang didirkan pada tahun 1951 di Malaysia. Revivalisme Islam: Kebangkitan kembali Islam dalam fenomena sosial, budaya, dan politik modern sebagai respons terhadap faktor internal di dunia Islam yaitu kemunduran dan stagnasi sedangkan faktor eksternal dari kolonialisme Barat. Para pemikir Muslim mulai mengusulkan ide tersebut pada akhir abad ke-19 seperti Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan Jamaluddin al-Afghani.

vii

Salafiyah: Berasal berasal dari kata salafun yang berarti terdahulu. Kaum salaf adalah para sahabat nabi, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in, orang-orang yang hidup pada tiga generasi pertama dan empat imam mazhab. Kaum Salafiyah mengacu pada metode berpikir yang mengikuti jejak kaum muslimin periode awal Islam, dan dinisbahkan kepada orang Islam yang mengikuti cara berpikir seperti ini. Tarekat: Artinya jalan, petunjuk, dan cara. Tarekat adalah organisasi yang dipimpin oleh Syaikh pembimbing, untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui dzikir-dzikir dan cara-cara lain yang telah ditentukan oleh tarekat tersebut UAR: Singkatan dari . Persatuan negara- negara Arab yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania dari tahun 1958 sampai 1961. Neo-Ba‟ath: Istilah baru untuk mencatat orientasi baru dari Partai Ba‟ath seperti lebih menekankan kepentingan Suriah daripada Pan- Arabisme, upaya mobilisasi penduduk pedesaan, perubahan gerakan yang taktis, dan penerapan cita-cita sosialis. Akan tetapi ada yang mencatat sebagai akibat kalangan Alawiyah dan yang berkembang dan menguasai Partai Ba‟ath.

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Organisasi Ikhwanul Muslimin pertama kali didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada tahun 1928.1 Beliau bersama dengan enam rekannya, yaitu Hafiz „Abd al-Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fu‟ad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail „Izz, dan Zaki al-Maghribi2 ingin mengajak masyarakat Mesir kembali pada semangat nasionalisme dan Islamisme pada pemerintahan. Negara Mesir yang berada di bawah kekuasaan Prancis dengan kedatangan Napoleon Bonaparte tahun 1798 dan menjadi protektorat Inggris dari tahun 1882 sampai 1922, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat Mesir dengan ketergantungan ekonomi kepada Inggris dan paham sekuler.3 Mesir merdeka dari Inggris secara resmi tahun 1922 namun pengaruh Inggris terus berlanjut karena kepentingan politik dan ekonomi (Terusan Suez). Pemerintahan Mesir yang cenderung sekuler dan pengaruh imperialis Inggris ini melatarbelakangi pendirian organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir. Pemerintahan Mesir pasca kemerdekaan lebih didominasi oleh golongan sekuler dan liberal. Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin ingin mengembalikan negara Mesir sebagai negara Islam.4 Berbeda dengan gerakan Salafiyah5 dan Tarekat6 yang berorientasi pada dakwah keagamaan saja, maka

1 Barbara H. E. Zollner, The Hasan al-Hudaybi and Ideology, (New 2 Zakariya Hasan Bayumi, al-Ikhwanul al-Muslimun wa al-Jama‟at al-Islamiyah fi al- Hayat as-Siyasiyah al-Misriyah 1928-1947, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1978), h. 81. 3 Annete Ranko, The Muslim Brotherhood and its Quest for Hegemony in State- Discourse and Islamist Counter-Discourse, (Hamburg: Springer VS, 2015), h. 43. 4 Hasan Isma‟il al-Hudhaibi, Ikhwanul Muslimin Mengajak bukan Menghakimi, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 194. 5 Salafiyah berasal dari kata salafun yang berarti terdahulu. Kaum salaf adalah para sahabat nabi, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in, orang-orang yang hidup pada tiga generasi pertama dan empat imam mazhab. Kaum Salafiyah mengacu pada metode berpikir yang mengikuti jejak kaum muslimin periode awal Islam, dan dinisbahkan kepada orang Islam yang mengikuti cara berpikir seperti ini. Soekma H. Karya, Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), h. 119-120. 6 Thariqat atau tarekat artinya jalan, petunjuk, dan cara. Tarekat adalah organisasi yang dipimpin oleh Syaikh pembimbing, untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui dzikir-

1

2

organisasi Ikhwanul Muslimin berorientasi bahwa seluruh sisi dan bidang kehidupan harus kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah. Organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir membangun sistem yang komprehensif dengan memperhatikan sisi spiritual, pendidikan, moral, sosial, dan politik.7 Pertumbuhan anggota Ikhwanul Muslimin sangat pesat. Pada tahun 1936 beranggotakan 800 orang sedangkan pada tahun 1948 lebih dari 2 juta orang.8 Ikhwanul Muslimin Mesir di bawah kepemimpinan Hasan al-Banna mempunyai tujuan operasional yaitu anti- Barat, anti-kolonial, menghilangkan pengaruh Inggris, tradisi, dan nilai-nilai yang melenceng dari umat muslim. Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disingkat dengan IM) merupakan gerakan yang mengakar di Mesir. Akan tetapi pada pertengahan abad ke-20, IM mulai menyebar ke berbagai negara-negara di Timur Tengah lainnya seperti Suriah, Yordania, Palestina, Irak, Uni Emirat Arab, Lebanon, Bahrain, Aljazair, Tunisia, Sudan, dan Somalia. Pengaruhnya juga berkembang di wilayah Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini organisasi tersebut mempunyai cabang di 80 negara.9 Penyebaran organisasi ini melalui para pelajar dari negara-negara tersebut yang belajar di Mesir dan pulang ke negaranya untuk mendirikan organisasi yang sama di negara mereka. Salah satunya adalah Suriah, di mana IM didirikan oleh para pelajar. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah (selanjutnya disingkat dengan IMS) terbesar kedua setelah Mesir. Pemikiran dan kesadaran akan kebangkitan Islam mulai muncul kembali pada tahun 1930-an di kalangan masyarakat Suriah. Masyarakat mulai aktif membina lingkungan mereka agar politik dan nilai-nilai Islam menjadi pengaruh yang kuat dalam kehidupan sehari-hari.10 Masyarakat tersebut secara wilayah

dzikir dan cara-cara lain yang telah ditentukan oleh tarekat tersebut. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 239. 7 Yusuf al-Qaradhawi, 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun; Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah dan Jihad, penerjemah: Mustolah Maufur dan Abdurrahman Husain, (Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 80. 8 The History of Muslim Brotherhood, ( London: 9 Bedford Row International, 2015), h. 9. 9 Special Report The Muslim Brotherhood, The Clarion Project, http://www.clarionproject.org/sites/default/files/Muslim-Brotherhood-Special-Report.pdf 10 Raphaël Lefèvre, Ashes of The Muslim Brotherhood in , (London: Hurst & Co., 2013), h. 3.

3

mendirikan yayasan atau asosiasi masing-masing. Penggabungan asosiasi dari berbagai kota dan peran tokoh pelajar seperti Mustafa al-Siba‟i, inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya organisasi IMS. Sejak awal berdiri organisasi tersebut memainkan peranannya di bidang sosial, agama, dan politik untuk masyarakat. Organisasi IMS secara resmi didirikan pada tanggal 3 Februari tahun 1945 oleh Mustafa al-Siba‟i, sedangkan negara Suriah sendiri baru menetapkan hari kemerdekaan mereka pada tanggal 17 April 1946 dari penjajahan Prancis yang menjajahnya sejak 1922.11 Setelah merdeka, Suriah menjadi negara republik dan memiliki berbagai macam partai seperti Partai Kurdi, Partai Komunis Arab, Hizbul Wathan, Partai Ba‟ath, Partai Komunis Suriah-Lebanon, Partai Komunis Suriah, Gerakan Pembebasan Arab, Partai Sosialis, Partai Reformasi Suriah, Organisasi Demokratis Suriah, dan Ikhwanul Muslimin. Partai yang banyak dan beragam juga sebagai refleksi masyarakat Suriah yang terdiri dari Muslim Sunni sekitar 79%, Druze 3%, Syi‟ah Nushairiyah 8%, sisanya sekitar 10% adalah minoritas Syiah Jafariyah, Syi‟ah Ismailiyah, Syi‟ah Alawiyah, Syi‟ah Yazidiyah serta Kristen Ortodoks maupun Protestan, dan Yahudi.12 Banyaknya partai mengakibatkan pemerintahan yang tidak kokoh sehingga seringkali terjadi kudeta dan masa jabatan hanya sekitar 2 sampai 5 tahun.13 Pada pemilu pertama kali tahun 1947, IMS menjelma menjadi partai politik keagamaan satu-satunya yang mengikut pemilu tersebut.14 Kegiatan politik IMS mengalami pasang surut bergantung pada kebijakan presiden yang duduk di pemerintahan. Pada tahun 1949, IMS menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan melayani masyarakat Arab dan Islam untuk meningkatkan iman, budaya, kesehatan, dan keadilan sosial. Lebih lanjut IMS membentuk Front

11 Hafidz Abdurrahman, Kembalinya Suriah Bumi Khalifah Yang Hilang, (Bogor: Al- Azhar Freshzone, 2013), h. 198. 12 Abu Fatiah Al-Adnani, Journey to , (Surakarta: Granada Mediatama, 2014), h. 30. 13 Urutan Pemimpin atau Presiden Suriah bisa dilihat dalam lampiran. 14 Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood and the „Struggle For Syria‟, 1947-1958 Between Accomodation and Ideology,” Middle Eastern Studies, Vol. 40, no. 3, (May 2004), h. 137.

4

Sosialis Islam15 dan program yang menekankan masalah korupsi, memperjuangkan kesetaraan sosial, hak-hak pekerja, pembatasan kepemilikan tanah dan pajak, menanamkan kepercayaan kepada Tuhan beserta sedekah, dan zakat. Pada periode 1950-1960 IMS menjadi organisasi pro-pemerintah. IMS menjadi organisasi terbesar di masyarakat Suriah yang beraliran Sunni. Pengikut organisasi IMS tidak hanya golongan mahasiswa tetapi pedagang, ulama, pegawai kantoran, ibu rumah tangga, dan lain-lainya. Program-program sosial IMS ditujukan kepada semua kalangan baik anggota maupun masyarakat umum seperti koperasi khusus pedagang, koperasi petani, koperasi serikat pekerja, pendidikan gratis bagi buta huruf, perawatan medis gratis, pendistribusian petani di lahan-lahan pemerintahan, dan swasta. IMS juga menjadi benteng yang tangguh untuk melawan masuknya ide-ide sekuler, liberal, dan plularisme di tengah-tengah masyarakat. Menjalankan program keagamaanya IMS memiliki visi yang jelas yaitu menjaga undang-undang tetap berdasarkan Islam dan pemimpin negara Suriah seorang Muslim-Sunni. Media yang berpengaruh dan menjadi senjata ampuh IMS ialah surat kabar yang diterbitkan sendiri dari tahun 1945 yaitu al-Manar.16 Organisasi IMS mulai terpecah tahun 1964 menjadi dua bagian yaitu sayap Damaskus yang lebih moderat dan sayap yang lebih radikal. Anggota Damaskus menolak pergantian pemimpin IMS yaitu I‟sam al-Attar yang dilarang masuk kembali ke Suriah dan mereka memilih untuk menjalankan program yang sudah ada. Sedangakan anggota Aleppo ingin pemimpin baru dan program yang lebih militan untuk melawan pemerintah Ba‟ath. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dari kedua sayap tersebut, hanya pergesekan tentang program dan aktivitas organisasi yang cenderung tidak maksimal karena adanya kekosongan pemimpin IMS pada tahun 1964 hingga 1972. Walaupun secara politik, IMS tidak matang karena adanya krisis pemimpin. Menurut Alison Pargeter dalam bukunya yang berjudul The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, perpecahan

15 Front Sosialis Islam atau al-Jabha al-Islamiyah al-Istirakiyyah merupakan divisi khusus yang dibentuk IMS untuk menunjukkan visi dan misinya serta menjalankan program- program yang berkaitan dengan sosialisme. 16 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 29.

5

yang ditimbulkan oleh kedua sayap IMS tersebut tidak pernah ditemukan secara jelas dan persaingan yang ditimbulkan tidak membuat organisasi IMS berhenti.17 Akan tetapi perbedaan pendekatan antara radikal dan moderat dalam anggota internal IMS memperlambat program yang akan mereka jalani dibandingkan dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di berbagai negara seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Organisasi IMM lebih bekerja cepat dengan membangun popularitas mereka dan kepercayaan masyarakat.18 Selama tiga dekade negara Suriah mengalami pasang surut kudeta terhadap pemerintahan, sampai pada tahun 1971 dimulainya rezim Hafez al-Assad dan perubahan catur perpolitikan dengan kaum minoritas (Partai Ba‟ath-Syi‟ah Alawiyah) sebagai penguasa maka Organisasi IMS menjelma sebagai organisasi oposisi yang melawan pemerintahan.19 Keadaan politik Suriah kembali berkutat dengan pertentangan antara ideologi Syi‟ah Alawiyah20 (pemerintahan) dan ideologi Sunnah wal Jama‟ah (mayoritas penduduk Suriah).21 Pada tahun 1970 di bawah pemimpin Abdul Fatah Abu Ghuddah IMS menyatakan akan fokus pada program dakwah dan sosial.22 Keputusan tersebut diambil karena bersebrangan dengan pemerintahan Hafiz al-Assad yang semakin keras dan revolusi partai Neo-Ba‟ath.23 Menurut Mohammad Abu Rumman

17 Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, (Beirut: Saqi Books, 2010), h. 61. 18 Mohammad Abbu Rumman, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, h. 28. 19 Mohammad Saied Rassas, “Syria‟s Muslim Brotherhood: Past and Present,” diakses pada tanggal 13 Juni 2015 pukul 20.39 WIB, dari http://www.al- monitor.com/pulse/politics/2014/01/syria-muslim-brotherhood-past-present.html, 20 Alawiyah didirkan pada abad ke-10 merupakan sebuah sektarian yang di dalamnya perpaduan berbagai keyakinan dan praktik Islam dan non-Islam. Alawiyah mengadopsi gagasan trinitas ketuhanan dan reinkarnasi. Disebut sebagai Syi‟ah Alawiyah karena mengambil kepercayaan akan sistem emansi tuhan dan mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi berbeda dari Syi‟ah lainnya, orang Alawiyah percaya bahwa Ali merupakan inkarnasi Tuhan sendiri dalam sebuas konsep trinitas Tuhan yaitu: Ali ialah makna atau esensi, Muhammad yang diciptakan Ali sendiri adalah Ism‟ (nama), dan Salman al-Farisi adalah al-Bab (gerbang). Mahmud A. Faksh, “The Alawi Community of Syria: A New Dominant Poltical Force,” Middle Eastern Studies, Vol. 20, No. 2, (April 1984), h. 134-135. 21 Hanna Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” MERIP Reports, Vol. 12, no. 9, (November 1982), h. 12. 22 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 97. 23 Neo-Ba‟ath merupakan istilah baru untuk mencatat orientasi baru dari partai Ba‟ath seperti lebih menekankan kepentingan Suriah daripada Pan-Arabisme, upaya mobilisasi penduduk pedesaan, perubahan gerakan yang taktis, dan penerapan cita-cita sosialis. Akan tetapi ada yang mencatat sebagai akibat kalangan Alawiyah dan Druze yang berkembang dan menguasai partai

6

bahwa dari semua gerakan-gerakan Islam di Suriah, IMS merupakan yang tertua dan mempunyai peran signifikan dalam sejarah politik di sana.24 Organisasi ini menjadi gerakan oposisi utama dalam pemerintahan Hafez al-Assad. IMS menjadi role model penting di tengah masyarakat yang dibatasi oleh pemerintah yang cenderung sekuler. Pada bulan Juni 1979 aktivitas IMS meningkat dengan mulai menyerang akademi militer di kota Aleppo dan menyebabkan 23 perwira meninggal dunia. Sampai awal tahun 1980, IMS berhasil mengambil kontrol kota-kota besar. Untuk mencegah revolusi yang digalangkan oleh IMS, pemerintahan Hafez memberlakukan Undang-undang no. 49 pada bulan Juli 1980. UU yang berisi bahwa menjadi anggota IMS merupakan suatu pengkhianatan dan pelanggaran hukum dengan hukuman maksimal yaitu hukuman mati. Akan tetapi jika anggota IMS menyerahkan diri maka hukuman bisa diringankan sampai 5 tahun penjara. IMS wilayah Aleppo pada masa ini kehilangan 600 anggotanya.25 Menurut laporan pemerintah sekitar 1.052 anggota IMS menyerahkan diri.26 Setelah pemberlakuan UU pelarangan, cabang IMS di Damaskus membubarkan diri dalam gerakan oposisi tetapi berfokus kepada dakwah, sosial, dan pendidikan. Sedangkan cabang Aleppo tetap meneruskan perjuangannya menentang pemerintahan.27 Pemerintahan melarang dakwah secara massif dan semua organisasi agama harus mendaftar ke Pemerintahan Hafez al-Assad, kemudian pertemuan kelompok agama maupun antar agama dilarang kecuali peribadatan. Pemerintahan yang didukung oleh militer tersebut membuat IMS menjadi gerakan bawah tanah dan menghindari urusan politik. Peranan IMS terhadap masyarakat sebagai wadah aspirasi dan otoritas keagamaan yang lebih diakui dari pada hukum dan hakim

Ba‟ath. Steven Isaac, “The Ba‟ath of Syria and ,” Longwood University, artikel diakses pada tanggal 8 Februari 2018 pukul 10. 52 WIB, dari http://www.longwood.edu/staff/isaacsw/Ba'th%20Excerpt.pdf 24 Mohammad Abbu Rumman, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, (: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2013), h. 8. 25 Line Khatib, Islamic and Islamist Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Secularism in Ba‟athist Syria, ( UK: Routledge, 2011), h. 75. s 26 Liad Porat, The Syrian Muslim Brotherhood and the Asad Regime, Crown Center For Middle East Studies, No. 47, (Desember 2010), h. 3. 27 Mohammad Abbu Rumman, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, h. 19.

7

negara. Akan tetapi IMS mendapatkan hadangan dan pukulan mundur dari pemerintahan Hafez al-Assad dengan pengeboman kota Hama yang menjadi markas perlawanan pada bulan Februari 1982. Peristiwa tersebut dikenal sebagai „al-Ahdath‟ yang menjadi memori luka kolektif bagi seluruh masyarakat Suriah dan membawa IMS menjadi organisasi bawah tanah yang memerlukan beberapa tahun untuk bangkit kembali. Beberapa pemimpin dan anggota IMS yang selamat dari pengeboman banyak yang memilih untuk berlindung dan mencari suaka ke luar negeri. Penelitian tentang IMS yang menekankan pada peranannya di bidang sosial dan agama secara komprehensif sangat kurang karena mayoritas penulisan cenderung membahas kiprah IMS dalam dunia politik atau sejarahnya saja. Penelitian ini ingin memaparkan bahwa organisasi tersebut berkeinginan untuk membangun masyarakat Suriah yang mayoritasnya Muslim Sunni untuk bangkit secara mental dan spiritual serta menitikberatkan kontribusi IMS.

B. Permasalahan Penelitian 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, di antaranya adalah:

a. Masuknya dan berkembangnya ideologi IMM dan pembaharuan Islam di beberapa negara termasuk Suriah. b. Kemunculan IMS dan peranannya dalam bidang sosial dan agama c. Kebijakan pemerintahan Hafez al-Assad tahun 1970. d. Perubahan setting politik Suriah yang menjadikan IMS dan masyarakat Sunni sebagai oposisi pemerintahan. e. Peristiwa al-Ahdath pada tahun 1982, yang menghancurkan organisasi IMS dan kekalahan telak bagi masyarakat pendukung oposisi.

8

2. Batasan Masalah Dari sejumlah identifikasi masalah di atas agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka penulis akan memberi batasan pada permasalahan yaitu setting politik- sosial Suriah yang terus tidak stabil sehingga organisasi IMS menjadi oposisi yang dicekal dan dilarang oleh pemerintahan Hafez al-Assad. Tetapi peranan IMS sejak didirikan pada tahun 1945 sampai 1982 pada bidang sosial dan agama sangat dibutuhkan dan kehadirannya sebagai wadah pemersatu masyarakat Sunni. Penelitian akan berfokus program-program IMS yang dihadirkan pada bidang sosial dan agama.

3. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini lebih memfokuskan tentang peranan IMS pada bidang sosial dan agama terhadap masyarakat pada masa pemerintahan Hafez al-Assad, yang merupakan golongan minoritas yaitu Syi‟ah-Alawiyah. Maka perumusan masalah dari penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana latar belakang terbentuknya Ikhwanul Muslimin sampai menjadi organisasi sosial keagamaan di Suriah? 2) Apa peran IMS di bidang sosial dan keagamaan? 3) Bagaimana nasib pengikut IMS setelah peristiwa al-Ahdath?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih tentang peranan Ikhwanul Muslimin Suriah dalam bidang agama dan sosial di masyarakat sejak berdiri tahun 1945 hingga 1982, mengetahui kondisi sosial-politik Suriah masa Hafez al-Assad terhadap organisasi Sunni ini dan mengetahui transformasi organisasi Ikhwanul Muslimin. Manfaat dari penelitian ini adalah menambah wawasan kesejarahan yang berkaitan tentang peranan organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah masa pemerintahan minoritas Syi‟ah yaitu Hafez al-Assad dan memberikan sumbangan hasil penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Adab dan Humaniora,

9

serta jurusan Sejarah Peradaban Islam. Menambah wawasan bagi pengetahuan Sejarah tentang Timur Tengah khususnya Suriah.

D. Tinjauan Pustaka Sebelum memulai penelitian, penulis melakukan tinjauan pustaka terlebih dahulu. Berikut beberapa karya dalam bentuk buku, artikel, majalah, dan video yang berkaitan dengan judul yang diteliti. Literatur pertama merupakan Dokumen dari Defense Intelligence Agency dengan berjudul Syria: Muslim Brotherhood Pressure Intensifies28, yang dikeluarkan pada bulan Mei 1982 ini berisi tentang sejarah IMS, pemimpin-pemimpinnya, taktik-taktik untuk menjatuhkan Rezim Assad sampai peta rute IMS ke Hama. Pada dokumen ini menjelaskan bahwa Organisasi IMS yang menjadi pihak oposisi untuk menggulingkan Hafez pada periode 1970-1982 tidak berhasil karena masyarakat terpecah antara pendukung Alawiyah, pemberontak Hama, dan pengikut Ikhwanul Muslimin. Selanjutnya pidato Hafez al-Assad pada 7 Maret 198229 setelah peristiwa pengeboman kota Hama pada 25 Februari 1982. Ia menyalahkan terjadinya peristiwa tersebut karena aktivitas IMS yang berkedok dalam topeng Islam untuk membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua atas nama Islam, menodai masjid-masjid, dan mengubah tempat-tempat suci tersebut menjadi gudang senjata. Ia mengatakan bahwa IMS menjadi sekutu Amerika Serikat dan menerima bantuan dana dari luar negeri hanya untuk mengkhianati bangsa Suriah sendiri. Artikel selanjutnya yang berjudul The Muslim Brotherhood and the „Struggle for Syria‟ 1947-1958 Between Accomodation and Ideology karya Joshua Teitelbaum.30 Di dalam artikel tersebut mencoba menjelaskan sejarah Ikhwan di

28 Defense Intelligence Agency, Syria Muslim Brotherhood Pressure Intensifies, May, 1982. Dokumen diakses pada 22 Februari 2017 pukul 01.45 WIB, dari https://syria360.files.wordpress.com/2013/11/dia-syria-muslimbrotherhoodpressureintensifies- 2.pdf 29 Pidato Hafez al-Assad tentang "Muslim Brotherhood", 1982,” video diakses pada tanggal 22 Februari 2017 pukul 02.13 WIB, dari https://www.youtube.com/watch?v=dTDeGAp8HAs 30 Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social Origins, and Ideology,” Middle East Journal, Vol. 65, No. 2, pp. 213-233, (2011).

10

Suriah yang berkembang berbeda dengan rekannya di Mesir, karena tidak lagi menjadi organisasi politik-hukum. IMS tetap ada dan beraktivitas mengikuti jejak pendirinya yaitu Mustafa al-Siba‟i. Penelitian ini menggambarkan pada tahun 1960-an, menjadi awal aktivitas IMS melakukan perlawanan terhadap sikap pemerintahan yang anti-Islam. IMS pada mulanya terikat dalam politik parlemen, mengirimkan partisipan dalam pemilu sampai memegang kursi di parlemen dan jabatan menteri. Masyarakat Suriah yang juga terdapat kaum Kristen mulai khawatir bahwa organisasi ini akan fanatik kekerasan yang akan mempengaruhi isu-isu politik Suriah seperti di negara Arab, Yordania, Mesir, dan Irak yang berhubungan negara-negara Barat. Joshua mencoba menjelaskan dengan runtut bagaimana strategi dan aktivitas IMS. Bisa dikatakan bahwa pada rentang tahun inilah organisasi tersebut berada di puncak kancah politik Suriah karena setelah itu rezim Ba‟ath pada 1970-an mulai melarang segala aktivitas IMS. Tema perjuangan IMS 1947 sampai 1958 dengan perubahan-perubahan ideologi maupun bentuk dari organisasi itu sendiri. Artikel selanjutnya berjudul Syria‟s Muslim Brethren karya Hana Batatu, yang di dalamnya mengulas tentang signifikansi IMS secara sosial, bagaimana kaitanya dengan struktur sosial Suriah, dan apakah mereka hanya sebuah fenomena ekspresi yang kebetulan atau organisasi yang mempunyai kekuatan struktural dasar?.31 IMS diinterpretasi secara ekploratif dengan beberapa gambaran program dan kegiatan yang jelas dan tajam. Hana Batatu memberikan gambaran IMS secara saksama pada program-program sosialnya yang menjadi nilai penting bukan dengan sejarah gerakan IMS yang menyeluruh dan halus. Literatur selanjutnya buku yang berjudul Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria karya Raphaël Lefèvre.32 Di dalam buku yang terdiri dari 4 bab ini merinci secara komprehensif setiap peristiwa dan kejadian yang terjadi pada IMS. Buku ini menyediakan evolusi ideologi IMS, konflik politik internal, dan propaganda IMS terhadap Rezim Ba‟ath. Program dan kontribusi IMS juga

31 Hanna Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” MERIP Reports, Vol. 12, No. 9, (November 1982). 32 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, (London: Hurst & Co., 2013).

11

banyak dibahas akan tetapi tidak fokus dijabarkan dalam satu bab melainkan menyebar sesuai dengan kronologis sejarah. Karya Raphaël Lefèvre ini sangat membantu karena ia juga menyajikan struktur sosial dan politik Suriah untuk membantu merangkai faktor-faktor dari setiap peristiwa dan program IMS. Artikel The Muslim Brotherhood Prepares for Comeback in Syria karya Raphaël Lefèvre,33 yang di dalamnya menjelaskan IMS sebagai kelompok oposisi Suriah yang strategi politiknya bertumpu pada membangun aliansi dengan kekuatan ideologi agama dan jaringan aktivis untuk penggalangan dana yang kuat dari dalam negeri maupun luar. IMS didominasi oleh kalangan tua. Akan tetapi terdapat kalangan muda yang mempunyai potensi lebih dinamis, inovatif, dan siap melakukan rekonstruksi organisasi IMS bila diperlukan. Penguasa negara yang dipegang oleh kaum Syi‟ah-Alawiyah sangat waspada akan kebangkitan IMS. Tantangan bagi organisasi ini menurut Raphaël adalah rekonstruksi struktur organisasi, basis sosial, dan kebutuhan untuk merangkul serta mendapatkan kepercayaan kembali dari masyarakat Suriah. Organisasi ini harus benar-benar siap dan mau untuk merangkul sentrisme ideologi dan karakteristik politik. Pada akhirnya, ia mengajukan pertanyaan, “ketika rezim Assad turun dan melaksanakan pemilu, apakah Ikhwanul Muslimin siap untuk memerintah Suriah?.” Buku The Islamic Struggle in Syria karya Umar F. Abdullah.34 Literatur tersebut menguraikan Mustafa as-Siba'i, sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar sosial dan politik dari IMS. Penggantinya, I'sam al-Attar, dipandang “sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam politik Suriah” sehingga diasingkan pada tahun 1963 oleh Ba‟ath. Krisis kepemimpinan yang dikembangkan pada tahun 1969 dan 1970 atas penolakan Al-Attar untuk mendukung ide konfrontasi kekerasan dengan rezim Partai Ba‟ath. Buku ini mengulas perkembangan IMS dari didirikan sampai tahun 1983, dimana peristiwa penekanan terhadap organisasi IMS masih berlangsung.

33 Raphaël, Lefèvre, The Muslim Brotherhood Prepares for A Comeback in Syria, Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace, Mei, 2003. 34 Umar F. Abdullah, The Islamic Struggle in Syria, (Berkeley: Mizan Press, 1983).

12

Buku The Ghost Of Hama, The Bitter Legacy of Syria‟s Failed 1979-1982 Revolution karya Aron Lund,35 di dalamnya menjelaskan tentang pemberontakan antara rezim Ba‟ath yang merupakan kelompok minoritas tetapi mempunyai kekuatan politik dengan organisasi oposisi IMS. Revolusi terjadi di kota-kota Suriah dan pemberontakan terus bergolak di kota Hama sehingga pasukan Hafez al-Assad memadamkan protes dengan pemboman kota Hama. Sekitar 1.300 warga sipil menjadi korban pembunuhan dan ribuan orang dipenjara. Peristiwa yang terjadi antara 1979 sampai 1982 ini menjadi memori kolektif bagi masyarakat Suriah terutama warga kota Hama karena sampai sekarang rezim al-Assad melarang peristiwa itu menjadi topik pembicaraan dan diskusi publik bagi rakyat sipil. Peristiwa tersebut dikenal sebagai „al-Ahdath‟. Buku tersebut juga menggambarkan peran IMS dalam gerakan sosial di masyarakat Suriah, respon masyarakat terhadap rezim dan peristiwa al-Ahdath, dan secara umum pemerintahan Hafez al-Assad. Buku terakhir berjudul The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, karya Alison Pargeter.36 Buku yang terdiri dari enam bab ini menganalisis evolusi organisasi Ikhwanul Muslimin dan menilai misi dan strategi yang digunakannya untuk mencapai tujuan mereka selama ini. Selain membahas IMM sejak berdiri, buku tersebut juga mengulas secara menyeluruh dan tuntas tentang IMS dan cabang-cabang lainnya di berbagai negara. Pembahasan IMS tentang pergeseran orientasi menjadi kekerasan pada tahun 1980-an, kemudian kembali menjadi diplomasi. Menurut Alison, IMS merupakan salah satu cabang yang paling progresif dan kontroversial.

E. Kerangka Teori Pada penelitian ini akan menerapkan teori sebagai landasan dari pembahasan Peranan Ikhwanul Muslimin Suriah dalam bidang agama dan sosial sejak berdiri tahun 1945 hingga 1982. Teori gerakan sosial dianggap relevan

35 Aron Lund, The Ghost Of Hama, The Bitter Legacy of Syria‟s Failed 1979-1982 Revolution, (Stockholm: Swedish International Liberal Centre, 2011). 36 Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, (Beirut: Saqi Books, 2010).

13

dengan realitas dan data yang ditemukan peneliti karena Organisasi Ikhwanul Muslimin dapat dikategorikan gerakan sosial dengan paham aliran revivalis Islam, solidaritas yang kuat, program-program yang menyeluruh di berbagai bidang, dan bersama melawan Rezim Ba‟ath. Menurut teori Charles Tilly bahwa Gerakan sosial menggabungkan tiga macam klaim, yaitu: program, identitas, dan kedudukan. Klaim program melibatkan dukungan atau penolakan terhadap tindakan aktual atau yang diajukan oleh objek gerakan. Klaim identitas terdiri dari pernyataan bahwa gerakan penuntut mempunyai kekuatan terpadu yang harus diperhitungkan. Klaim kedudukan seperti persamaan kekuatan dengan lawan politiknya.37 Dalam penelitian ini Ikhwanul Muslimin Suriah dapat dianalisis dan diuraikan sebagai gerakan sosial yang memiliki dan menggabungkan 3 macam klaim tersebut. IMS bukanlah organisasi sosial-keagamaan semata tetapi juga berkiprah dalam politik Suriah, sehingga bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial-politik. Menurut Tilly dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial, bahwa gerakan sosial politik adalah upaya mengubah stratifikasi politik, ekonomi, dan kelas. Gerakan ini senantiasa menentang penguasa negara atas nama rakyat yang mempunyai kekuasaan formal sangat kecil.38 Sebuah gerakan sosial yang tercipta antara sekelompok masyarakat yang mempunyai ideologi yang sama dan tujuan yang sama, serta mempunyai lawan dari kelompok yang lebih kecil tetapi memegang kekuasaan besar. Teori ini bisa diterapkan karena pada dasarnya organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah adalah sebuah gerakan sosial yang tercipta antara kelompok masyarakat yang mempunyai ideologi dan tujuan yang sama serta mempunyai lawan dari kelompok yang lebih kecil tetapi memegang kekuasaan lebih besar. Menurut Quintan Wiktorowicz dalam bukunya Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, teori pergerakan sosial sebagai kerangka dan agenda yang menyatu dapat menyediakan cara penyelidikan yang efektif untuk

37 Charles Tilly, Social Movements, 1768-2004, (London: Paradigm Publishers, 2007), h. 12. 38 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 333.

14

memperluas batas-batas penelitian tentang aktivisme Islam. Aktivisme Islam itu sendiri merujuk pada gerakan sosial Islam dan dapat diartikan sebagai mobilisasi perseteruan untuk mendukung kepentingan dan tujuan kaum Muslim.39 Kebangkitan aktivisme Islam karena adanya ketegangan politik di bawah pemerintahan otoriter sehingga massa tidak memiliki akses politik formal untuk mengurangi dampak buruk dari proyek modernisasi dan kemerosotan kualitas hidup. Karena gerakan politik dilarang di bawah rezim otoriter seperti yang terjadi antara Rezim Ba‟ath yang melarang organisasi IMS, sehingga aktivisme Islam menjadi kendaraan dan wadah alami untuk ketidakpuasan publik. Organisasi IMS mulai memperbaiki kebijakan yang salah dengan menggunakan agama.40

F. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan tahap-tahap sebagai berikut: heuristik, kritik sumber, interpretasi, pendekatan sosiologis dan politik, kemudian penulisan sejarah. a. Heuristik atau pengumpulan sumber mayoritas melalui website seperti Jstor, Proquest, dan booksc.org yang banyak memuat data e-books, artikel, jurnal, dan berita yang dapat membantu sebagai sumber penulisan dalam penelitian ini. Beberapa buku tentang Suriah didapatkan dari perpustakaan utama dan perpustakaan pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Kritik Sumber. Pada penelitian ini menggunakan dua sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder tertulis. Sumber primer diunduh via internet yang sudah dialihbahasakan menjadi bahasa Inggris. Sebagian besar artikel yang menjadi sumber adalah dari jurnal yang terpercaya maka sedikit perbedaan fakta yang terjadi antara berbagai sumber. Kritik Intern dilakukan terhadap semua sumber dengan dibandingkan satu sama lain. Kesalahan penulisan tahun dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada saat itu,

39 Zakiyah Darojat, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-2005); kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif HIdayatullah, 2014), h. 104. 40 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, (Indiana: Indiana University Press, 2004), h. 4-10.

15

penulis temukan dari salah satu artikel. Beberapa sumber juga memuat data angka yang berbeda sehingga penulis harus menganalisis data tersebut. c. Interpretasi atau melakukan tafsiran terhadap sumber-sumber yang sudah dibaca sebelumnya dengan objektif tanpa ada kecenderungan memihak atau mengarahkan sisi subjek sejarah yang sedang diteliti. d. Pendekatan sosiologi dan politik. Konstruksi sejarah dengan pendekatan sosiologis dapat dikatakan sebagai sejarah sosial, karena pembahasannya mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan, dan status sosial. Secara metodologi penggunaan sosiologi dalam kajian sejarah bertujuan memahami arti subjektif dari perilaku sosial, menemukan motif-motif dari suatu tindakan atau faktor-faktor dari suatu peristiwa, dan upaya pemahaman kausalitas antara pergerakan sosial dan perubahan sosial. Model pendekatan Sosiologi yang akan dipakai untuk penelitian ini ialah model sistematis yang dipergunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat dalam konteks perubahan sosial. Pada penulisan sejarah dibutuhkan penjelasan dan penelaahan sejarah yang berdasarkan pada analisis political-scientific. Pendekatan politik akan membantu menjelaskan bagaimana sistem itu berfungsi, serta perkembangan hukum dan kebijakan-kebijakan sosial yang meliputi: partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, komunikasi, pendapat umum, birokrasi, dan administrasi.41 Pada penelitian ini pendekatan politik akan sangat membantu bagaimana politik Suriah yang didominasi oleh partai Ba‟ath membuat kebijakan dan peraturan yang tidak menguntungkan bagi Ikhwanul Muslimin. e. Penulisan Sejarah merupakan proses penyusunan hasil penelitian ke dalam bentuk tulisan dengan gaya bahasa komunikatif dan menarik. Setelah langkah-langkah di atas selesai, maka penulis mulai menyusun penelitian ini dengan judul “Peran Ikhwanul Muslimin Suriah dalam Bidang Sosial dan Agama Tahun 1945-1982.”

41Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 11-18.

16

G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian awal, bagian tengah dan bagian akhir. Secara sistematis bagian-bagian tersebut akan dibagi menjadi 5 bab yang di dalamnya akan terdiri dari beberapa subbab untuk membantu merangkai dan menganalisis permasalahan penelitian ini. Berikut pembagian bab dan subbab dalam skripsi ini: Bab I, Pendahuluan. Bagian ini memuat Latar belakang, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, dan Sistematika Penelitian. Bab II, Suriah dalam Lintasan Sejarah. Bab ini mencakup Demografi Suriah, Suriah masa Islam, Suriah masa Protektorat Perancis, dan Suriah pasca- kemerdekaan hingga masa Hafez al-Assad. Bab III, Sejarah dan Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam. Bab ini akan membahas Sejarah berdiri dan berkembangnya Ikhwanul Muslimin Mesir, serta munculnya organisasi berideologi revivalisme Islam di beberapa negara seperti Yordania, Aljazair, Uni Emirat Arab, Sudan, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia. Bab IV, Kancah Ikhwanul Muslimin Suriah. Bab ini membahas Sejarah dan Perkembangan Ikhwanul Muslimin Suriah, menjabarkan Peran IMS dalam bidang keagamaan dan sosial, respons masyarakat Suriah terhadap IMS, dan Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah pasca-peristiwa al-Ahdath. Bab V, Penutup. Bab ini akan berisi kesimpulan dari analisis yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, saran-saran dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan.

BAB II SURIAH DALAM LINTASAN SEJARAH

A. Demografi Suriah Republik Arab Suriah merupakan negara yang terletak di pesisir Laut Tengah di Asia Barat, berbatasan dengan Turki di sebelah Utara, Irak di sebelah Timur, Laut Tengah di sebelah Barat dan Yordania di sebelah Selatan. Negara Suriah luasnya sekitar 185.180 kilometer persegi.42 Ia telah menjadi jembatan strategis untuk peradaban antara Eropa, Asia, dan Afrika. Negara ini mempunyai iklim Mediterania yaitu musim dingin yang tetap kering dan musim panas pada bulan Juli menyentuh 30 derajat celcius. Wilayah tengah dan utara adalah padang rumput dengan curah hujan 150 sampai 500 mm per tahun.43 Suriah merupakan negara yang dialiri oleh tiga sungai besar yaitu sungai Eufrat, Orontes, dan Tigris. Tetapi negara Suriah merupakan negara yang mengalami kekurangan air secara serius.44 Karena Suriah terlibat hidropolitik sungai. Sungai Tigris mempunyai makna yang relatif besar karena menjadi garis batas timur Suriah, sungai Orontes mengalir dari Suriah ke Turki dan Tigris berada di bawah penguasaan negara Turki. Sektor pertanian lebih dominan karena sepertiga daratan dipakai menjadi lahan pertanian. Produksi terigu dan gandum mencapai dua pertiga dari seluruh produksi. Hasil pertanian lainnya seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tembakau, kapas, dan zaitun. Sektor industri yang dimiliki seperti minyak, tekstil, makanan, tembakau, dan penambangan fosfat. Sumber kekayaan alami Suriah yaitu minyak bumi, fosfat, bijih besi, marmer, aspal, dan tenaga air. Pada tahun 1946 hanya ada

42 Raymond Hinnenbusch, The Middle East: Edition 13, (Washington DC: Sage Publications, 2014), h. 765. 43 A. Rapp, “Syria: Can Desert Encroachment Be Stopped?,” Ecological Bulletins, No. 24, (1976), h. 121.

44 Ewan W. Anderson dan Liam D. Anderson, An Atlas of Middle Eastern Affairs, (New York: Routledge, 2010), h. 152.

17

18

2,8 juta orang yang menempati Suriah. Pada tahun 1985 diperkirakan mencapai 10,3 juta orang.45 Pada tahun 1975, setengah dari populasi Suriah berumur di bawah 15 tahun yang artinya signifikansi politik berada di aktivisme kaum muda.46 Negara Suriah menjadi negara dengan pertumbuhan yang sangat cepat berdasarkan pada data tersebut. Masyarakat Suriah melakukan urbanisasi besar-besaran. Pada tahun 1960, 37% dari seluruh masyarakat Suriah tinggal di kota-kota. Komposisi penduduk Suriah adalah Arab yang menjadi mayoritas dengan 90,3%, sedangkan Kurdi, Armenia, dan yang lainya hanya 9,7%. Agama yang dianut oleh penduduk Suriah ialah Muslim Sunni 74%, Alawi, Druze dan sekterian Muslim lainnya 16%, Kristen 10%, komunitas kecil Yahudi berada di Aleppo, Damaskus, dan al-Qamishili. Masyarakat Suriah yang beragam membuat bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya juga beragam seperti Bahasa Arab, Kurdi, Armenia, Aramik, Circassian, Perancis, dan Inggris. Bentuk pemerintahan Suriah sejak merdeka dari Prancis adalah Republik. Akan tetapi pada kenyataannya dari tahun 1960-an, pemerintahan Suriah di dominasi oleh satu partai yaitu Ba‟ath. Pendapatan negara Suriah 64.7 miliar per dollar dan 5,100 dolar per kapita pada tahun 2011. Pendapatan terbesar negara Suriah pada sektor minyak dan pertanian. Lahan yang dipakai untuk pertanian sekitar 29-27% sedangkan untuk irigasi sebesar 13,330 km persegi. Pertumbuhan masyarakat Suriah berada di urutan 108 dari seluruh negara-negara. Negara Suriah terdiri dari beberapa kota yaitu, Damaskus, Bushra, Palmyra, Aleppo, Hamah, Himsh, Latakia, Raqqa, Deir ez-Zawr, Tartus, dan Suweida. Kota Damaskus merupakan kota yang paling banyak memiliki 125 monumen dari berbagai masa sepanjang sejarah kota tersebut. Kota Damaskus ditetapkan sebagai Situs Peradaban Dunia oleh UNESCO pada tahun 1979.47 Peradaban wilayah

45 Trevor Mostyn dan Albert Hourani, The Cambridge Encyclopedia of The Middle East and North Africa, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 422. 46 Umar F. Abdullah, The Islamic Struggle in Syria, h. 47 Agus Santosa, World Heritage Nature and Culture Under The Protection of UNESCO, vol II : North Africa and Middle East, Batara Publishing, Surakarta, 2009, h. 208.

19

Suriah di mulai sejak tahun 5000 sebelum masehi dan orang-orang Arab Semit yang telah mendiami Suriah. Berdasarkan penemuan bahwa Kerajaan Semit telah membangun kota Ebla dan Mari secara bertahap.48 Kota-kota tersebut dan aktivitasnya tercatat pada lembaran-lembaran tulisan Baji.49 Selama abad kedua sebelum masehi, negara Suriah dikuasai secara bergantian oleh beberapa bangsa yaitu bangsa Kan‟an, Funisia, Aram, Mesir, Sumeria, Assyria, Babilonia, dan Het. Pada tahun 333 SM Suriah tunduk kepada Alexander Agung dari Makedonia. Setelah itu pada tahun 64 SM, Romawi menyerbu Suriah dan terus berkuasa sampai 635 Masehi.50 Pada abad 7 Masehi Suriah berada dalam kekuasaan Islam, secara bertahap penduduk mulai masuk agama Islam dan mengadopsi bahasa Arab sebagai bahasa utama.

B. Suriah Masa Islam Setelah berbagai bangsa menulis sejarah di Suriah pada abad ke-7, wilayah ini menjadi saksi peradaban Islam. Islam pertama kali menyentuh Suriah saat perang Mu‟tah pada bulan Jumadil Ula 8 Hijriyah. Perang Mu‟tah yaitu perang antara kaum muslimin dengan Byzantium terjadi karena Harits ibn „Umayr seorang delegasi dari Rasulullah menuju Basrah dibunuh dengan cara kepalanya dipenggal.51 Kejadian tersebut melanggar aturan politik internasional sehingga Nabi Muhammad SAW menyiapkan 3.000 prajurit untuk berperang melawan Romawi. Kaum muslimin yang dipimpin oleh Khalid bin Walid berhasil memenangkan peperangan tersebut. Setelah perang Mu‟tah wilayah Suriah Selatan berada di bawah Islam. Suriah secara utuh menjadi wilayah kekuasaan Islam pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Pada tahun 633 M pasukan muslim menyerang Suriah

48 Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), h. 17. 49 Tulisan Baji atau Cuneiform adalah tulisan-gambar kuno dengan simbol-simbol berbentuk kapak yang mulai digunakan sekitar tahun 3200 sebelum masehi dan terus dipakai lebih dari 3000 tahun. Stephen D.Houston, The Shape of Script: How and Why Writing System Change, (School for Advanced Research Press , 2012), h. 3. 50 Abu Fatiah Al-Adnani, Journey to Damascus, (Surakarta: Granada Mediatama, 2014), h. 30 51 Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam Jejak Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Kini, (Jakarta: Zaman, 2014), penj. Zainal Arifin, h. 78.

20

dengan pertempuran kecil sampai berhasil di tahun 655 M. Kaisar Heraklius dari Romawi yang mengetahui lepasnya Suriah mengirimkan 40.000 tentara dan berhasil memukul mundur pasukan Muslim sampai di sungai Yarmuk. Di lembah Sungai Yarmuk peperangan antara kaum Muslimin dengan panglima Khalid bin Walid dan pasukan Romawi ini terjadi dengan kemenangan jatuh kepada Islam. Setelah perang Yarmuk seluruh wilayah Suriah telah masuk ke dalam wilayah Islam. Suriah memasuki babak baru dalam sejarahnya pada tahun 661 Masehi sebagai pusat pemerintahan Islam. Mu‟awiyah bin Abi Sufyan yang telah mendirikan Dinasti Umayyah menempatkan Damaskus menjadi pusat pemerintahannya. Selama rentang waktu dari 661 sampai 750 Masehi, Damaskus menjadi ibukota Dinasti Umayyah.52 Salah satu peninggalan Dinasti Umayyah adalah Masjid Umayyah. Pada tahun 750 Masehi Dinasti Umayyah berakhir di tangan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Abus al-Abbas as-Saffah memilih untuk memindahkan ibu kota dari kota Damaskus di Suriah ke Baghdad di Irak. Pada tahun 1258 Dinasti Abbasiyah runtuh karena serangan Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Damaskus menjadi pusat pemerintahan lagi pada masa Sultan Salah ad-Din Yusuf bin Ayyub atau Dinasti Ayyubiyah tahun 1187. Salahuddin al-Ayyubi dengan tentaranya memukul mundur pasukan Salib pada tanggal 2 Oktober 1187 dan membebaskan wilayah Palestina, Mesir, Suriah, dan Yaman.53 Pada abad ke 11-12 Suriah berada di bawah Dinasti Saljuk. Pada abad ke 13 sampai ke-15 berada di bawah Dinasti Mamluk. Pada tahun 1516, Sultan Salim I menaklukkan Suriah. Setelah itu, selama 400 tahun Suriah menjadi bagian dari Khilafah Turki Utsmani sampai Perang Dunia I. Di bawah pemerintahan Dinasti Turki Utsmani (1516-1918), Suriah bukanlah suatu kesatuan akan tetapi perwujudan dari politik yang terpisah-pisah.54

52 Philip K. Hitti, Syria A Short History, (New York: The Macmillan Company, 1959), h.5. 53 Philip K. Hitti, Syria A Short History, h. 184. 54 Moshe Mo‟az dan Avner Yaniv, Syria Under Assad: Domestic Constraints and Regional Risk, (New York: Routledge, 2014), h. 10.

21

Dua sekte minoritas yang mendapatkan semi-independen dari pemerintahan pusat yaitu Alawiyah di Latakia dan Druze di Gunung Hauran. Akan tetapi pemerintahan Turki Utsmani pertama kali menguasai Alawiyah pada akhir tahun 1850-an. Sedangkan Druze pada akhir abad ke-19. Penguasaan terhadap komunitas minoritas tersebut untuk memperluas identifikasi wilayah negara Turki Utsmani. Gerakan reformasi (tanzimat) yang dilakukan Turki Utsmani untuk membangun kerangka politik baru yang di dalmnya tanpa perbedaan agama, membangun kembali otoritas sultan di provinsi-provinsi, untuk memperbaiki standar hidup, dan memberikan status yang sama kepada non-Muslim.55 Pada tahun 1914 Perang Dunia I pecah dan Turki Utsmani memihak kepada Blok Sentral yaitu Jerman, Austria, Hungaria, dan Bulgaria. Pada tahun 1916, negara Prancis, Inggris, dan Rusia yang tergabung dalam blok sekutu membuat perjanjian Sykes-Picot.56 Perjanjian itu dibuat untuk membagi wilayah Turki setelah jatuh di Perang Dunia yang terbagi menjadi wilayah Suriah dan Lebanon untuk Prancis, wilayah Irak dan Yordania untuk Inggris, dan wilayah Konstantinopel untuk Rusia.57 Perjanjian inilah yang menyebabkan negara Suriah berada di bawah protektorat Prancis untuk beberapa dekade selanjutnya.

C. Suriah Masa Protektorat Prancis Pada abad ke-19 gerakan nasionalis Arab di mulai dan masuk ke Suriah. Gerakan ini membentuk masyarakat Arab dan objek langsungnya ialah penggulingan pemerintah Ottoman. Salah satu organisasi yang berpengaruh dari gerakan dan ide Nasionalis Arab adalah Jami‟ah al-Arabiyah al-Fatat yang didirikan tahun 1911 di Paris.58 Amir Faisal Husein merupakan anggota dari organisasi tersebut yang kelak akan menjadi pemimpin nasionalis.

55 Moshe Mo‟az dan Avner Yaniv, Syria Under Assad: Domestic Constraints and Regional Risk, h. 12. 56 Philip K. Hitti, Syria A Short History, h. 239-240. 57 Douglas A.Philiphs, Modern World Nations: Syria, h. 37-39. 58 Carl Leiden, “Political Instability in Syria,” The Southwestern Social Science Quarterly, vol. 45, no. 4, pp. 353-360, (Maret 1965), h. 354.

22

Sejak tanggal 5 Oktober 1918, wilayah Suriah, Lebanon, dan Palestina menjadi wilayah kerajaan dengan Amir Faisal Husein sebagai raja.59 Pada tahun 1920 dalam Perang Maysalun, pasukan Prancis berhasil menguasai Suriah dan mengusir Raja Faisal. Kekalahan pada perang Maysalun, masyarakat Suriah menetapkan hari itu menjadi hari berkabung nasional. Pasca kekalahan Suriah, pada Konferensi San Remo bulan April 1920 menempatkan Suriah di bawah mandat Prancis menurut perjanjian Sykes-Picot.60 Mandat diumumkan pertama kali pada tahun 1923 yang di sambut oleh protes masyarakat Suriah.61 Sistem mandat itu sendiri menyatakan bahwa Prancis tidak bisa menetap di Suriah tanpa batas waktu. Prancis memulai sebuah projek modernisasi tata perkotaan di bawah Michael Ecohard untuk menyelamatkan dan merestorasi monumen kuno yang tersisa dan membentuk sebuah jalur penghubung antara kawasan kota bersejarah dengan bagian kota modern.62 Negara Prancis berusaha melestarikan tatanan sosial yang ada, membangun jalan-jalan dan jaringan komunikasi, dan membangun infrastruktur administratif yang modern. Prancis juga memacu proses perubahan bagi masyarakat Badui untuk menetap menjadi petani dan kepala suku menjadi tuan tanah. Pada tahun 1925, Prancis memisahkan negara Lebanon dari Suriah dan menjadi negara sendiri.63 Untuk menopang administrasi yang efektif dan menghambat terjadi gerakan kemerdekaan, Prancis membagi Suriah menjadi beberapa wilayah etnis dan agama. Beberapa kota yang mendapatkan administrasi mandiri yaitu, Kota Damaskus dan Aleppo yang mayoritas penduduknya Muslim- Sunni, dan Kota Latakia yang mayoritasnya adalah masyarakat petani yang beraliran Alawiyah. Prancis membuka sekolah militer bagi kaum Alawiyah, sehingga pada masa yang akan datang tentara Suriah dipenuhi dari kaum tersebut.64

59 Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, h. 96. 60 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 152. 61 Carl Leiden, “ Political Instability in Syria,” h. 354. 62 Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, h. 209. 63 Michael Adma, Handbooks to the Modern World: The Middle East, (New York: Facts on File Publications, 1988), h. 137. 64Jomana Qaddour, “Unlocking the Alawite Conundrum in Syria,” The Washington Quarterly, Vol. 36, No. 4, (2013), h. 68.

23

Sedangkan wilayah Druze di bagian selatan Suriah, bagian utara Suriah, dan Eufrat juga mendapatkan hak otonomi regional. Kebijakan fragmentasi Prancis untuk Suriah mewariskan isu-isu separatisme. Setiap wilayah mempunyai gubernur sendiri dan kelompok penasihat Prancis. Sistem politik terpisah dirancang untuk menghalagi dan menghambat perkembangan identitas nasional Suriah. Pada masa protektorat Prancis, kota Damaskus yang merupakan ibu kota Suriah di bagi menjadi empat bagian atau distrik yaitu: pertama, Damaskus tua yang seluruh wilayahnya dikelilingi oleh dinding-dinding kuno dan merupakan wilayah tempat tinggal muslim; kedua,wilayah pinggiran utara, barat dan selatan dari kota tua yang terletar persis di luar tembok kuno dan tempat tinggal bagi umat Kristiani; ketiga, terkenal dengan sebutan al-Madyan, wilayah yang memanjang dan sempit setelah penaklukan Turki Utsmani ke Suriah pada abad ke-16. Wilayah al-Madyan dihuni oleh masyarakat heterogen seperti petani Hawran, Druze, dan komunitas kecil Kristen; keempat, wilayah dibelakang kota tua sampai lereng Qaysalun, tempat ini paling terbelakang dan baru diselesaikan pada tahun 1930. Tempat ini menjadi tempat paling terbuka karena tidak dibatasi oleh dinding- dinding, merupakan tempat tinggal masyarakat kaya dari berbagai agama dan perumahan mewah untuk pemerintahan Prancis.65 Dalam satu kota kita bisa melihat masyarakat yang begitu beragam tetapi diberi sekat antara pemeluk satu agama dengan agama lainnya sehingga yang terjadi hanya persatuan sesama agama tidak persatuan nasionalis. Jurang budaya dan sosial semakin lebar di antara kelas atas dengan bawah, dan kalangan berpendidikan modern atau keturunan Eropa dengan masyarakat lokal yang tradisional. Perlawanan Masyarakat Suriah terhadap Prancis yang paling penting terjadi pada tahun 1925 sampai 1927. Pemberontakan dimulai oleh kaum Druze yang tidak menerima peraturan kepemilikan tanah yang diterapkan kolonial Prancis. Pemberontakan yang berhasil itu terdengar sampai kota-kota di Suriah, sehingga kota Damaskus dan ikut begabung untuk menciptakan gerakan nasional

65 Philiph Khoury, The Modern Middle East: A Reader, (New York: I.B. Taruris, 2009), h. 436.

24

Suriah. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh tentara angkatan udara Prancis yang memakan korban hingga 6.000 orang dan merusak sebagian kota Damaskus.66 Dari awal masa protektorat sampai 1946, hubungan antara Prancis dengan Suriah terus memburuk. Contohnya, perjanjian antara Suriah dan Prancis tahun 1936 dan Deklarasi Pembebasan Suriah tahun 1943 keduanya tidak berhasil. Karena tidak ada perjanjian dan kompromi yang bertahan lama di antara kedua pihak. Dalam masyarakat Suriah muncul gerakan blok nasional yang mengupayakan kemerdekaan Suriah dari Perancis. Blok Nasional atau al-Kutla al- Wataniya didirikan oleh beberapa pemimpin yaitu Saadallah al-Jabari, , , Hashim al-Atasi, dan Shukri al-Quwatli.67 Prancis menjanjikan kemerdekaan selama Perang Dunia kedua tetapi tertunda sampai perang usai. Setelah mendapatkan tekanan dari berbagai negara seperti Amerika, Rusia, dan Inggris, akhirnya tentara Prancis meninggalkan Suriah dan Lebanon.68 Pada tahun 1946 Suriah mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Prancis dan Shukri al-Quwatli sebagai presiden pertama. Setelah merdeka dari Prancis, Bangsa Suriah berusaha mencari pola dan pemimpin yang ideal bagi seluruh negeri. Demokrasi yang diselenggarakan untuk memilih pemimpin seringkali dinodai dengan beberapa kali kudeta.

D. Suriah Pasca-Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Hafez al-Assad Setelah berbad-abad dikuasai bangsa lain, pada tahun 1946 tibalah masanya negara Suriah dipimpin oleh bangsanya sendiri. Pasca kemerderkaan, Suriah memiliki banyak partai. Setelah merdeka sampai beberapa dekade selanjutnya, Suriah menjadi negara yang lemah dan tidak stabil. Bahkan negara Suriah mendapatkan reputasi sebagai negara yang paling tidak stabil di Timur Tengah. Pemerintahan yang berkuasa hanya sementara kemudian terjadi kudeta oleh pihak

66 Wiliam Cleveland and Marti Burton, A History of The Modern Middle East, (Philadelphia: Westview Press, 2009), h. 222. 67 Raymond Hinnenbusch, The Middle East, h. 767. 68 William J. Spencer, Global Studies: The Middle East, (New York: McGraw-Hill, 2009), h. 172.

25

militer. Selama kurun waktu 1943 sampai 1963, Suriah memiliki 4 konstitusi dan 20 kabinet yang menjabat.69 Ketika Suriah merdeka, struktur sosial-politiknya ialah sistem neofeodalisme. Suriah mulai memodernisasi tetapi jalaur utama tradisional tetap utuh yaitu kota pra-industri lebih dominan dari pedesaan dan masyarakat tetap dalam segmentasi menjadi komunitas kecil yang kebanyakan tidak memiliki integrasi satu sama lain dan hanya terintegrasi dengan pemerintahan pusat. Masyarakat memiliki struktur karaketeristik fragmentasi seperti persaingan antara keluarga, klan, suku, desa, dan sekte yang relatif mandiri. Pada masa ini elite pedagang dan tuan tanah Muslim Sunni yang dominan mengendalikan negara dan pemerintahan pusat.70 Karena struktur sosial-politik Suriah seperti di atas, banyak partai yang orientasi mereka merangkul kaum minoritas dan pedesaan seperti Partai Kurdi, Partai Sosialis, dan Partai Ba‟ath. Partai yang paling berhasil memenangkan kaum minoritas dan menduduki kursi pemerintahan ialah Partai Ba‟ath. Partai Ba‟ath (dapat dieja Ba‟th atau Baath) yang artinya kebangkitan. Partai Ba‟ath didirikan secara resmi oleh (1910-1989) seorang Kristiani dan Salah ad-Din al-Bitar (1912-1980) seorang Sunni pada tahun 1947. Partai Ba‟ath menjadi kendaraan dari kalangan menengah yang radikal untuk bersaing dengan penguasa oligarki yang lama. Partai ini merupakan penggabungan aliran politik nasionalis Arab dan sosialis Arab.71 Slogan partai ini ialah Wahdah, Hurriyah, dan Ishtirakiyah (persatuan, kebebasan, dan sosialisme) yang menjadi trimurti dari Pan-Arabisme dunia Arab.72 Pada awalnya partai ini didirikan untuk seluruh warga negara dan menggambarkan pengikut dari seluruh kalangan sosial. Partai Ba‟ath yang mengusung nilai-nilai moderat diminati oleh kalangan minoritas maupun mayoritas.

69 Douglas A. Philiphs, Modern World Nations: Syria, h. 42. 70 Raymond A. Hinnebusch, “Rural Politics in Ba‟athist Syria: A case Study in the Role of the Countryside in the Political Development of Arab Societies,” The Review of Politics, Vol. 44, No. 1 (Januari 1982), h. 112-113. 71 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 146. 72 Raymond Hinnenbusch, The Middle East, h. 769.

26

Ideologi Pan-Arabisme yang diusung partai Ba‟ath mengantarkan negara Suriah bersatu dengan Mesir (United Arab Republic atau UAR). Namun persekutuan tersebut tidak berlangsung lama hanya dari 1958 sampai 1961, yang diakhiri dengan revolusi militer. Setelah berpisah dari Mesir, para tokoh politik Ba‟ath membangkitkan rasa nasionalisme pada kalangan menengah yang radikal. Kelaparan merajalela di masyarakat petani sehingga menimbulkan kudeta partai Ba‟ath pada sistem kekuasaan lama pada tahun 1963. Setelah kudeta hanya ada satu-satunya partai yaitu Partai Ba‟ath yang mengontrol semua aktivitas politik. Sejak tahun 1963 terjadi pergantian anggota partai, dan Suriah diperintah oleh Amin al-Hafez yang memulai sebuah rezim militer. Partai Ba‟ath secara internal mengalami perpecahan ideologi dari awal yaitu memprioritaskan kesatuan bangsa-bangsa Arab. Sedangkan bagi kaum muda yang baru masuk lebih tertarik dengan revolusi dalam negeri Suriah sendiri. Pergulatan internal partai terhadap ideologi melebar menjadi persaingan antar sekterian Sunni dan kaum minoritas yang mewakili partai dan militer. Kaum minoritas berhasil mengambil alih partai dari mayoritas Sunni. Sebuah fraksi minoritas radikal di bawah pimpinan Salah Jadid melakukan kudeta internal dalam partai pada Februari tahun 1966. Kudeta tersebut disebut Neo-Ba‟ath, yang sebagain besar didominasi kaum muda dan kaum pinggiran pedesaan.73 Terdorong dari ideologi militer dan upaya mendapatkan legitimasi, kaum radikal ini membantu Palestina untuk memerangi . Pada tahun 1967, kekalahan menimpa Suriah yang mengakibatkan terlepasnya Bukit Golan dari teritorial Suriah. Kekalahan tersebut menimbulkan celah perpecahan di Partai Ba‟ath. Pada tahun 1970, Hafez al-Assad74 melakukan kudeta terhadap partai dan pemerintahan

73 Alasdair Drysdale, “The Syrian Political Elite 1966-1976: A Spatial and Social Analysis,” Middle Eastern Studies, Vol. 17, no. 1, pp. 3-30, (1981), h. 4. 74 Hafez al-Assad lahir tanggal 6 Oktober 1930, di Qurhada dari keluarga Alawiyah yang taat. Hafez mengenyam pendidikan formal ketika Prancis membuka sekolah dasar di desa-desa terpencil. Pada tahun 1955 M, ia lulus dari sekolah penerbangan di Aleppo dan bergabung dengan partai Ba‟ath. Karir yang ia bangun berawal dari pegawai rendahan di pemerintahan tahun 1960 hingga menjadi peran utama dalam kudeta tahun 1963. Setelah kudeta Asad menjadi Komandan pangkat letnan jendral. Pada tahun 1966, Hafez al-Asad meraih posisi Menteri Pertahanan Suriah dan sekali lagi bersama Salah Jadid memimpin kudeta tahun 1970. Ia meraih kekuasaan tertinggi

27

Suriah. Kudeta yang dipimpin oleh Hafez al-Assad ini mengantarkan persatuan dan kestabilan dalam Partai Ba‟ath dan pemerintahan dalam negeri. Hafez menjadi Presiden Suriah terpilih (hanya satu-satunya kandidat) pada tahun 1971. Terpilihnya Hafez al-Assad menjadi pukulan berat bagi masyarakat Muslim-Sunni dan bertentangan dengan konstitusi Suriah tahun 1930, yang mengharuskan kepala negara adalah seorang muslim-sunni. Semenjak berkuasa pada tahun 1970, Hafez al-Assad berusaha mengurangi dominasi aparat partai dan membuka saluran baru melalui militer dan polisi. Yang lebih penting adalah dominasi kalangan Alawiyah yang hanya mewakili 10% dari seluruh penduduk tetapi mereka menguasai militer dan partai tersebut. Kalangan Alawiyah merupakan kekuatan penting dalam partai Ba‟ath dan dalam kelompok militer yang berkuasa pada tahun 1960-an, mereka menggunakan pengaruhnya untuk lebih menguntungkan kelompok minoritas dan menyingkirkan perwira militer non-Alawiyah. Rezim Suriah memiliki kualitas sebagai rezim personal, fraksional dan sektarian.75 Kontrol rezim terhadap masyarakat melalui tindakan represif dan kooptasi di berbagai sektor sosial. Lembaga masyarakat sipil seperti, serikat pekerja yang tadinya untuk koordinasi antar pekerja diubah menjadi kerangka korporat yang dikendalikan oleh negara.76 Antara tahun 1966 dan 1970, lebih dari 65% keseluruhan komando militer dan Jenderal terdiri dari orang-orang Alawiyah.77 Sementara tentara Sunni dalam jumlah masih unggul, tetapi mengisi jabatan dan pangkat yang rendah. Partai Ba‟ath juga merekrut para pemuda yang berasal dari kalangan menengah, kalangan bawah, wilayah pedalaman, minoritas Alawiyah, Ismailiyah dan

di Suriah saat usianya 40 tahun dan menjalankan rezimnya selama 30 tahun. Hafez meninggal pada tanggal 10 Juni 2000 di usia 69 tahun. Reeva S. Simon, dkk, Encyclopedia of the Modern Middle East, (New York: Macmillan, 1996), h. 239. 75 Rezim Personal ialah pemerintahan yang dikuasai dan dipegang oleh satu orang. Rezim faksional adalah pemerintahan yang berkuasa terdiri dan didukung oleh golongan atau kelompok tertentu dari sebuah partai yang mempunyai kepentingan mereka sendiri. Rezim sektarian adalah pemerintahan yang berkuasa dari golongan atau penganut aliran suatu sekte. Hafez al-Assad merupakan penguasa personal yang berasal dari satu faksi yaitu Ba‟ath dan merupakan pengikut dari sekte Alawiyah. B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007). 76 Armando Salvatore dan Dale F. Eickelman, Public Islam and The Common God, (Leiden: Koninklijke Brill, 2004), h. 183. 77 Jomana Qaddour, “Unlocking the Alawite Conundrum in Syria,” h. 69.

28

minoritas Kristen. Para kader partai ini menggantikan pos-pos perwira militer, dinas pemerintahan, serikat pertanian dan beberapa organisasi pemuda.78 Pada masa Hafez al-Assad, Suriah menjadi negara dengan sistem presidensial mutlak yang dikukuhkan oleh konstitusi permanen tahun 1973.79 Presiden menjadi komandan tertinggi angkatan bersenjata Suriah, memiliki kebebasan politik, legislatif dan eksekutif. Dalam konstitusi tersebut agama Islam tidak disebut dan Hafez menolak untuk mengumumkan secara resmi agama Islam menjadi agama negara Suriah. Presiden Hafez mengembangkan sebuah pemerintahan yang mengendalikan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi rakyatnya. Pemerintahan Suriah di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad bertindak represif terhadap gerakan-gerakan Islam yang dianggap berpotensi menjadi ancaman bagi kekuasaannya. Kebijakan Hafez tahun 1976 yaitu mengirim pasukannya ke Lebanon untuk membantu perang antara Kristen Maronit80 melawan muslim dan orang-orang Palestina menimbulkan kerusuhan di seluruh Suriah.81 Kebijakan tersebut melenceng dari ideologi Arab-Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat. Pengikut IMS menyerukan jihad melawan Hafez. Perjuangan melawan Hafez mendapat dukungan dari penduduk kota dan kelompok liberal karena mereka menyimpan keluhan terhadap korupsi yang meluas di pemerintahan, kondisi ekonomi yang memburuk, dan penindasan terhadap kebebasan warga sipil. Aktivitas gerilya IMS terhadap pemerintahan Hafez al-Assad semakin meningkat pada awal 1980-an dengan menyerang markas militer dan partai Ba‟ath dan membunuh pejabat Alawiyah. Demonstrasi besar-besaran terjadi di kota Aleppo, Hama, dan Homs pada bulan Maret 1980, warga dan anggota IMS

78 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 161. 79 William J. Spencer, Global Studies: The Middle East, h. 173. 80 Kristen Maronit merujuk pada pengikut Gereja Maronit di Lebanon yang jumlahnya sekitar 22% dari seluruh penduduk Lebanon. Nama Maronit berasal dari Santo Maronite yang hidup di akhir abad ke-4. Kemudian para murid dan penikutnya berimigrasi dari Antiokhia ke Lebanon pada 7 Masehi. Pengikutnya berjumlah sekitar 3 juta orang yang berdiaspora ke berbagai negara seperti Eropa, Amerika Utara, dan Autralia. Father Steven Hawkes-Teeples S.J., The Eastern Chrisians and Their Churces, (USA: Knights of Columbus Supreme Council, 2008), h. 9. 81 Moshe Ma‟oz, “Asad‟s Leadership of Syria”, Oriente Moderno, Nouva serie, Annao 12, pp. 97-105, (1993), h. 103.

29

menuntut demokrasi yang adil. Namun demonstrasi tersebut kehilangan momentum setelah satu minggu anggota-anggota IMS diburu, ditangkap, dan dipenjarakan. Untuk mengambil hati masyarakat Suriah setelah demonstrasi, pemerintahan Hafez meningkatkan anggaran untuk pendidikan, gaji pegawai negeri meningkat dan sebuah program besar untuk memperpanjang listrik, obat- obatan, dan layanan lainnya ke pedesaan. Pada Januari 1981, IMS menyebarkan program mereka yaitu “Deklarasi dan Program Revolusi Islam di Suriah”.82 Program tersebut mendapat sambutan yang bagus dan dukungan di masyarakat luas. Program IMS sangat menyeluruh dan detail karena membawa ideologi hukum Islam untuk mengatur konstitusional, hukum, ekonomi, militer, dan pendidikan di Suriah. Masyarakat Suriah menginginkan perubahan dari pemerintahan Hafez yang menghapus klausul-klausul Islam dari konstitusi, korupsi yang meluas, pelarangan partai nasionalis, kekerasan terhadap kebebasan warga negara dalam berpolitik dan berorganisasi, kebijakan ekonomi yang menyejahterakan penduduk desa tetapi merugikan penduduk kota, dan keberpihakan pemerintah kepada Alawiyah, Druze,dan Kristen. Pada awal Februari 1982, Anggota IMS dan masyarakat umum sekali lagi melakukan pemberontakan dan menyerang pusat rezim di kota Hama, mereka berhasil menduduki kota selama sepuluh hari. Hafez al-Assad yang merasa terancam pemerintahannya, memerintahkan untuk menjatuhkan bom ke kota Hama yang dikuasai oleh pemberontak. Akibat bom tersebut ribuan orang termasuk wanita dan anak-anak yang tidak bersalah meninggal terbunuh karena sang penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya. Setelah peristiwa tersebut tidak ada rekonsiliasi antara Hafez dan IMS. Pemerintahan Hafez al-Assad dilegitimasikan oleh masyarakat mayoritas Muslim-Sunni termasuk kalangan intelektual sekuler sebagai pemerintahan yang gagal dan pemimpin militer Alawiyah yang tidak sah. Respon kejam dari rezim Hafez al-Assad terhadap pemberontakan yang ingin menggulingkannya dari kekuaasaan membuat IMS

82 Thomas Meyer, “The Islamic Opposition in Syria, 1961-1982,” Orient 24, (1983), h. 599.

30

hancur dan terpecah. Membutuhkan waktu dan program yang baru untuk organisasi IMS bangkit setelah bom Hama tersebut. Demikian pembahasan tentang Suriah dalam lintasan Sejarah. Pada bab berikutnya akan diuraikan tentang Sejarah serta perkembangan Ikhwanul Muslimin di Mesir serta perkembangan organisasi revivalisme Islam di beberapa negara Timur Tengah seperti Yordania, Aljazair, Uni Emirat Arab, dan Sudan. Beberapa negara Asia yang mayoritas beragama Islam seperti, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia.

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORGANISASI REVIVALISME ISLAM

A. Sejarah dan Berkembangnya Ikhwanul Muslimin Mesir Organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir (selanjutnya ditulis IMM) tumbuh pada masa pengaruh imperialisme negara Inggris yang telah merasuki dan merusak negara Mesir dalam skala besar. Contohnya, cara hidup orang Inggris yang bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an, pemerintahan kolonial Inggris menghancurkan otoritas negara, dan kapitalis Inggris menumbangkan ekonomi negara Mesir. Segelintir masyarakat mulai resah dengan pengaruh Inggris yang menjauhkan ajaran agama Islam dari umatnya. Dari kondisi seperti inilah muncul seorang Hasan al-Banna yang ingin mengajak bangsanya untuk bangkit dan menerapkan agama Islam dalam kehidupan mereka secara kaffah. Syaikh Hasan Ahmad „Abd ar-Rahman al-Banna83 mendirikan Organisasi IMM secara resmi pada bulan Dzul Qa‟dah 1347 H atau bulan April 1928 M di Ismailiyah.84 IMM menjadi gerakan paling luas dan paling kuat bagi umat Muslim pada abad ke-20. Hasan al-Banna dengan IMM menyebarkan pemurnian prinsip- prinsip Islam dan seruan kembali kepada Shari‟ah. IMM menyebarkan sebuah ideologi dasar yang ditunjukkan untuk membebaskan masyarakat, menghasilkan ekonomi yang produktif, dan masyarakat Islam yang stabil secara politis. Menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber-sumber ideologi, IMM sering menyerukan ideologi mereka di tempat-tempat umum. Di masjid-masjid IMM

83 Hasan al-Banna lahir pada tanggal 14 Oktober 1906 atau 25 Sya‟ban 1324 H di Mahmudiyyah, Buhairah. Pada usia remaja, beliau berhasil menghafal al-Qur‟an dan belajar di beberapa majelis. Pada tahun 1920 beliau lulus dari Darul Mu‟alimin di Damanhur kemudian belajar kembali di Universitas Darul Ulum di Kairo. Setelah lulus pada tahun 1927, Hasan al- Banna menjadi guru di kota Isma‟iliyah. Pada usia 22 tahun, beliau mendirikan Ikhwanul Muslimin dan mengembangkan organisasi tersebut sampai akhir hayatnya. Hasan al-Banna dibunuh saat berusia 43 tahun, pada tanggal 12 Februari 1949 M di kota Kairo. Karya Hasan al- Banna yang monumental seperti Muzdakkirat al-Dakwah wa Da‟iyyah (Catatan Harian Dakwah dan Da‟i) dan Majmu‟ah Rasail (Kimpulan Surat-Surat). Henry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 262-265. 84 Zakariya Hasan Bayumi, al-Ikhwanul al-Muslimun wa al-Jama‟at al-Islamiyah fi al- Hayat as-Siyasiyah al-Misriyah 1928-1947, h. 81.

31

32

sering mengisi ceramah, khutbah, pusat-pusat kajian Islam sebagai rangka mobilisasi.85 Selain itu warung kopi dan pasar juga menjadi tempat paling efektif untuk menyebarkan ideologi mereka. Dakwah IMM dikonsentrasikan pada aspek-aspek Islam yang terabaikan secara sengaja atau tidak seperti negara, umat, jihad, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, pemikiran, hukum, dan lain-lainya. IMM menyerukan pembentukan pemerintahan Islam, penataan perekonomian yang selaras dengan syari‟ah, prinsip sosialis, reformasi moral, dan pendidikan.86 Kebangkitan Islam kembali bukan hanya misi defensif untuk menyelamatkan masyarakat Muslim dari Barat, melainkan sebuah tawaran untuk membawa umat manusia yang tersesat kembali kepada jalan yang benar. Seruan IMM ialah “Budaya dan Peradaban Islam yang lebih pantas diadopsi daripada filsafat materialistik Eropa. Beberapa kegiatan yang dilakukan IMM di antaranya adalah: 1) membangun lingkungan yang dekat dengan masjid; 2) menciptakan institusi pendidikan yang menawarkan kursus agama dan literasi; 3) rumah sakit kecil dan apotik untuk umum; 4) perusahaan industri kecil dan komersial, yang dirancang untuk menyediakan lapangan kerja serta pendapatan bagi organisasi; dan 5) klub-klub sosial yang sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat umum. IMM mempunyai program penerbitan berskala besar seperti buku, majalah, pamflet, dan lain-lainnya.87 Berdasarkan sejarah pergerakannya IMM di bagi menjadi tiga periode88 yaitu: pertama, awal mula tumbuh dan berkembang (1928-1939). IMM muncul dari kekacauan politik dan berkembang menjadi gerakan anti-Inggris yang berpusat pada Islam. Pada masa muda, pemikiran al-Banna selaras dengan pemikiran ulama yang berideologi anti-Barat dan mengembangkan jaringan mereka. Setelah mendapatkan reputasi bahwa beliau seorang aktivis dan mengembangkan pengikut yang sama pemikirannya maka didirikanlah IMM.

85 Zakiyah Darojat, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-2005); kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, h. 110. 86 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 120. 87 Abd al-Monein Said Aly dan Manfred W. Wenner, “Modern Islamic Reform Movements: The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt,” Middle East Journal, Vol. 36, No. 3, pp. 336-361, (1982), h. 338-340. 88 Rupe Simms, “Islam Is Our Politics: A Gramscian Analysis of the Muslim Brotherhood (1928-1953),” Social Compas, Vol. 49, pp. 563-582, (2001), h. 570-573.

33

Hasan al-Banna menyebarkan ideologi dengan mengunjungi tempat-tempat publik, masjid sampai menjadi pembicara publik, dan jurnalis untuk mengembangkan IMM. Pada periode ini, pengikut IMM telah terbagi menjadi kelompok yang mengorganisir masjid, sekolah, klinik, dan kerja sama antar anggotanya. Pada bulan Oktober 1932, al-Banna pindah dari Isma‟iliyah ke Kairo untuk mengembangkan dakwahnya.89 Muktamar pertama kali dilakukan pada tahun 1933. Kedua, ekspansi (penyebaran) dan penganiayaan (1939-1945). Organisasi ini memasuki fase kedua yaitu mengalami perkembangan pesat, peningkatan organisasi, dan aktivitas politik. Pada tahun 1939, IMM telah mendirikan sekitar 500 cabang di seluruh Mesir. Perkembangan yang paling penting ialah IMM berhasil masuk ke Universitas Faud dan al-Azhar di Kairo, kalangan menengah dan atas juga begabung dengan organisasi tersebut. Perdana Menteri (selanjutnya ditulis PM) Husein Sirri Pasha (1894-1960) yang menjabat tahun 1940 mulai menyerang organisasi IMM dengan menyita surat kabar IMM dan mesin cetaknya, serta menangkap para pemimpinnya termasuk al-Banna sendiri. Tetapi setelah Mustafa an-Nahhas Pasha naik menjadi PM tahun 1942, IMM dilepaskan kembali. Ketiga, penyiksaan dan kebangkitan (1945-1952). Pada tahun 1945, Hasan al-Banna memberikan ultimatum kepada PM Mahmoud an-Nuqrashi Pasha yaitu: “Apakah PM akan mengusir Inggris atau Hasan al-Banna akan memimpin negara Mesir dalam jihad?”90 Konflik antara IMM dengan pemerintahan semakin meningkat pasca kekalahan Mesir dari Israel saat berusaha membebaskan Palestina. Pengalaman pasukan IMM dalam berperang membuat posisi PM an- Nuqrashi terancam revolusi. Pada tanggal 8 Desember 1948, PM an-Nuqrashi membubarkan seluruh cabang IMM, menyita dokumen, uang, mesin-mesin cetak, dan menahan semua anggota. Pada tahun 1949, Hasan al-Banna dibunuh oleh orang tidak dikenal. Pengikut yang lolos dari penjara ataupun pembunuhan

89 Zakariya Hasan Bayumi, al-Ikhwanul al-Muslimun wa al-Jama‟at al-Islamiyah fi al- Hayat as-Siyasiyah al-Misriyah 1928-1947, h. 85. 90 Rupe Simms, “Islam Is Our Politics: A Gramscian Analysis of the Muslim Brotherhood (1928-1953),” h. 571.

34

mengalihkan gerakan IMM menjadi gerakan bawah tanah. Pencabutan larangan organisasi IMM dilakukan berangsur-angsur setelah terpilihnya PM Mustafa an- Nahhas Pasha tahun 1950. Anggota IMM bersatu dengan Gamal Abdul Nasser untuk menumbangkan Raja Farouq pada tanggal 23 Juli 1952. Negara Mesir secara resmi menjadi negara republik tahun 1953 setelah kudeta tersebut. Setelah revolusi 1952, hubungan antara IMM dan Pemerintahan Mesir berkembang melalui beberapa tahap yaitu: 1) periode antara bulan Juli 1952 dan Maret 1954 merupakan tahap konsiliasi di antara keduanya. Pemerintahan mulai membuka investigasi resmi untuk mencari pembunuh Hasan al-Banna dan kegiatan keagamaan IMM bisa dilanjutkan kembali. 2) periode 1954-1970 adalah periode ketegangan dalam hubungan IMM dan pemerintah. Pada tahun 1954, enam anggota IMM disidang dan dijatuhi hukuman seumur hidup dan ribuan anggota dipenjara tanpa proses pengadilan. Pada tahun 1964, Nasser memberikan amnesti umum untuk membebaskan semua anggota IMM. Akan tetapi pada tahun 1965, sekali lagi IMM dituduh merencanakan penggulingan Nasser sehingga banyak anggota ditangkap. Pada bulan Agustus 1965, tiga pemimpin utama IMM digantung. 3) periode 1970-1981 ialah masa IMM mendapatkan izin untuk berperan kembali dalam kehidupan politik Mesir.91 Selain Hasan al-Banna terdapat beberapa tokoh IMM yang terkenal yaitu: tokoh yang pertama, Sayyid Quthb (1906-1968) yang terkenal dengan karyanya yaitu al-Adalah al-Ijtima‟ayah fi al-Islam 1948 (Keadilan Sosial dalam Islam), Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an (Dibawah bayang-bayang al-Qur‟an) Ma‟arakat al- Islam wa al- Ra‟sumaliyah 1951 (Pertarungan antara Islam dan Kapitalisme), dan al-Salam al-A‟lami wa al-Islam 1951 (Perdamaian Dunia dan Islam).92 Pemerintahan Gamal Abdul Nasher pada tahun 1954 memutuskan untuk membubarkan IMM. Para pemimpin IMM ditangkap, dipenjara, dan dihukum mati. Sayyid Quthb termasuk salah satu pimpinan IMM yang dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara. Pada tahun 1964 melalui bantuan Presiden Irak, Abd al-

91 Abd al-Monein Said Aly dan Manfred W. Wenner, “Modern Islamic Reform Movements: The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt,” h. 342. 92 John L. Espasito, Islam and Politics, (New York: Syracuse University Press, 1987), h. 133.

35

Salam Arif, beliau dibebaskan dari penjara. Akan tetapi setelah beberapa bulan kemudian, Sayyid Quthb kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada akhir Agustus 1966 dengan tuduhan melakukan makar terhadap pemerintahan Nasser. Tokoh yang kedua, Dr. Hasan Isma‟il Hudaibi ( 1891- 1973) menggantikan posisi Hasan al-Banna setelah pembunuhan sebagai mursyid‟am (pemimpin utama). Beliau berprofesi sebagai hakim selama 20 tahun dan dikenal sebagai sosok yang anti kekerasan dan toleran. Akan tetapi sikapnya berubah karena desakan politik yang membawa IMM bersebrangan dengan pemerintahan Nasser. Hudaibi tercatat menjadi salah satu tokoh yang merumuskan konsep gerakan politik IMM. Beliau menulis buku karyanya berjudul Du‟at la Qudhat (Mengajak bukan menghakimi) pada bulan Februari 1969 dan diedarkan diantara anggota IMM di penjara. Dalam bukunya tersebut, beliau menuliskan pokok-pokok pemikirannya dan konsep kepemimpinan dan negara Islam yang dicita-citakan oleh IMM. Buku tersebut didistribusikan secara luas sampai tahun 1977 dan diizinkankan kembali edarannya setelah kematian Gamal Abdul Nasser.93 IMM mempunyai sikap yang jelas yaitu persatuan nasional, persatuan Arab, dan persatuan Islam.94 IMM menggangap bahwa di antara ketiganya tidak bertentangan tetapi justru saling melengkapi. Setiap anggota diwajibkan bekerja pertama untuk negerinya, kedua bangsanya, dan yang ketiga bagi agamanya yaitu Islam. Karena ideologi tri kesatuan inilah IMM bisa berkembang dan diterima oleh umat muslim di berbagai negara.

B. Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam di Timur Tengah Hasan al-Banna gencar mensosialisasikan ideologi revivalism Islam yang diusung IMM di Universitas al-Azhar. Beliau memandang bahwa al-Azhar menjadi titik penting dan pertemuan kaum pelajar, ulama, dan lembaga-lembaga pendidikan. Ketika al-Azhar menjadi markas bagi anggota IMM, maka

93 Carrie Rosefsky Wickham, The Muslim Brotherhood: Evolution of an Islamist Movement, (New Jersey: Princeton University Press, 2013), h. 29. 94 Yusuf al-Qaradhawi, 70 Tahun al-Ikhwanul al-Muslimin Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah dan Jihad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999). h. 129.

36

perkembangan dan penyebaran ideologi semakin luas ke berbagai negara. Karena pelajar yang menuntut ilmu membawa pulang bibit ideologi revivalisme Islam ke negaranya masing-masing. Pembentukan organisasi di berbagai negara tidak semuanya mencetak persis seperti organisasi IMM. Banyak yang secara langsung memakai nama Ikhwanul Muslimin dan menjadi cabang resmi. Akan tetapi juga terdapat oganisasi yang mengusung konsep revivalisme Islam yang sama dengan IMM. Beberapa cabang IMM dan organisasi revivaslisme Islam di negara-negara seperti:

1. Yordania Organisasi Ikhwanul Muslimin di Yordania (selanjutnya ditulis IMY) didirikan pada 13 Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan 19 November 1945 M oleh H. Abd al-Latif Abu Qurah.95 IMY mendeklarasikan dan menyebarkan organisasinya melalui koran Al-Jazirah no. 1074 tahun 1945. Pada tahun 1953 M, IMY menjadi lembaga Islam yang bersifat umum, menyeluruh dan bukanlah partai politik maupun yayasan sosial. Perubahan terjadi setelah penyusunan AD/ART IMY yang baru. IMY mempunyai tujuan dan corak sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat Yordania, yaitu: pertama, mengkosentrasikan upaya untuk memperbaiki akhlak individu dan dakwah. Kedua, memberikan perhatian khusus kepada pendidikan. Ketiga, tidak ada halangan bagi anggota IMY untuk ikut serta dalam sistem-sistem pemerintahan yang sedang berkuasa. Keempat, IMY memperbolehkan untuk menggunakan kekerasan atau kekuatan ketika masalah yang dihadapi mengharuskan hal tersebut, tetapi tidak dengan revolusi. Kelima, IMY mengumpulkan anggota untuk menyatukan pemikiran dan mengikat mereka dengan penisbatan. Keenam, dalam metode perjuangan, sarana dan dakwahnya IMY memakai metode motivasi dan peringatan. Rentang tahun 1950 sampai 1960, organisasi IMY dianggap sebagai oposisi yang sah terhadap rezim Hasyim. Pada saat itu Yordania menjadi tempat pencarian suaka bagi aktivis dan pemimpin IMM yang melarikan diri. Selain

95Abu Za‟rur, Seputar Gerakan Islam, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 146.

37

IMM, para pemimpin dan anggota IMS juga menjadikan negara Yordania tempat berlindung. Salah satu pemimpin IMS yang tinggal di Yordania ialah Sa‟id Hawwa dari tahun 1978, beliau tidak pernah kembali lagi ke Suriah sampai meninggal tahun 1989.96 Gerakan IMY berfokus pada institusi keagamaan, amal, pendidikan, dakwah, dan sosial. Pada tahun 1989 untuk pertama kalinya IMY berpartisipasi dalam pemilihan umum yang langsung memenangkan 30 kursi dari 80 kursi perwakilan di parlemen. Merespon hasil pemilihan yang mengejutkan, Raja Hussein (1952-1999) mulai mengubah sistem pemilihan dan melembagakan partai-partai politik di kerajaan. Hasilnya ialah penurunan kekuatan Islam dan IMY hanya memenangkan 18 kursi pada pemilihan berikutnya. Pada 28 Oktober 1992, organisasi tersebut membentuk sayap politik melalui gerakan politik Islam independen yaitu Front Aksi Islam (Islamic Action Front/ IAF) yang menjadi perwakilan di parlemen. Pada pemilihan parlemen tahun 1994, IMY atau IAF mendapatkan suara terbanyak. Namun, pembentukan dan kemenangan IAF menyebabkan ketegangan dan keretakan baru antara konservatif dengan modernis dan moderat dengan radikal. Di internal partai tersebut juga mengalami pergesekan antara anggota kelompok Islamis independen dan anggota IMY sendiri. Pada tahun 2000-an IMY menjadi radikal dan mulai berkonfrontasi secara langsung dan terang-terangan dengan pemerintahan Yordania yang dipimpin oleh raja Abdullah II (1999-sekarang).97

2. Aljazair Pada tahun 1931, Abdul Hamed Ben Badis (l889-1940) mendirikan Asosiasi Persatuan Ulama di kota Constantine, Aljazair.98 Sampai tahun 1938, Asosiasi tersebut bukanlah partai politik akan tetapi memperjuangkan kebangkitan Islam dan nilai-nilai nasionalisme seperti menentang peresmian bahasa Prancis di Aljazair, membangun sekolah dan pusat sosial untuk mengurangi bahaya

96 Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria,” Middle Eastern Studies, Vol. 29, No. 4, (Oktober 1993), h. 619. 97 “The Muslim Brotherhood in the Arab World and Islamic Communities in Western Europe,” The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center, (January 2012), h. 21-26. 98 Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam, (London: I.B. Tauris, 2004), h. 163.

38

pengaruh Barat.99 Di bawah kepemimpinan Badis, orientasi untuk mendirikan negara Islam bukanlah tujuan utama tetapi melepaskan bangsa Aljazair dari Prancis. Motto yang diusung ialah “Islam adalah agama saya, Bahasa Arab adalah bahasa saya, dan Aljazair adalah negara saya.”100 Ideologi yang di bawa oleh Ben Badis sangat mirip dengan IM di Mesir akan tetapi pengaruh yang diberikan sempit hanya kalangan tertentu. Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan yang tak kunjung berhasil, menyatukan seluruh masyarakat Muslim Aljazair di bawah partai Nasionalis yaitu FLN (Front Liberation National). Pemberontakan massif terjadi pada November 1954, meskipun memproklamirkan perjuangan mereka atas nama Tuhan akan tetapi tidak menjadikan FLN sebagai gerakan religius. Di bawah partai nasionalis FLN (Front Liberation National) seluruh masyarakat Muslim Aljazair bersatu. Sejak merdeka dari Perancis tahun 1962, Aljazair hanya memilki satu partai yaitu FLN. Rezim FLN mulai mengesampingkan Islam, sehingga pada tahun 1963 sebuah koran membuat stigma bahwa “les ulémas du mal” ulama adalah orang jahat.101 Untuk menanggapi peristiwa tersebut ulama mendidikan sebuah asosiasi al-Qiyam al-Islamiyah dengan tujuan melawan ide westernisasi dan menegakkan nilai Islam. Pada akhir tahun 1980-an, FLN menyapu semua asosiasi saingannya dan aktivitas Islam dibatasi. Perlawanan umat Muslim ditunjukkan dengan berdirinya FIS (Front Islamique Salut) pada tanggal 10 Maret 1989. FIS yang digawangi oleh Ali Benhadj (1956-) dan Ali Abbas Madani (1931-) bertujuan untuk mengislamkan rezim tanpa mengubah struktur dasar masyarakat. FIS menyuarakan pembentukan negara Islam, mendepankan pendidikan Islam, hukum berbasis Syari‟ah, Arabisasi pada sektor pemerintahan dan pendidikan (penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa utama pada instansi tersebut), dan meyakini proses demokrasi yang tidak melawan hukum Syari‟ah. Pada Juni 1990, pemilihan multipartai di Aljazair menunjukkan kekuatan Islam dengan

99 Reihard Schulze, A Modern History of the Islamic World, (New York: New York University Press, 2002), h. 86. 100 Aida Bamieh, “Literature and Ideology: Early Short Fiction in Algeria,” Ufahamu: A Journal of African Studied, No.4,(Oktober 1973), h. 1. 101 Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam. h. 162.

39

kemenangan perolehan suara untuk FIS 62% sedangkan FLN hanya meraih 18%. Pada tahun 1992, FIS memenangkan pemilihan secara mutlak di parlemen. Militer mengambil alih negara Aljazair dengan memberhentikan Presiden Chadli Benjedid (1929-2012) pada 11 Januari 1992, memutuskan untuk membatalkan pemilihan yang seharusnya pada tanggal 13 Januari, dan membubarkan FIS pada tanggal 4 Maret 1992.

3. Uni Emirat Arab Cabang Ikhwanul Muslimin di Uni Emirat Arab (selanjutnya ditulis IME) baru didirikan tahun 1974. Pengaruh IMM lambat masuk karena negara UEA baru memulai program pembangunan setelah ditemukan sumber minyak pada tahun 1960-an. UEA sendiri baru merdeka dari penjajahan Inggris tahun 1971 dan belum memiliki universitas sendiri. Pelajar yang mengenyam pendidikan di Mesir inilah yang membawa ideologi IMM dan mendirikan cabangnya di UEA. Para tokoh IME yang mendapatkan pendidikan tinggi dengan mudah menjadi menteri seperti Saeed Abdullah Salman dan Muhammad Abu Rahman al- Baker. Saeed Abdulah Salman menjabat sebagai Menteri Perumahan dan Perencanaan Kota dari 1971-1977 dan Menteri Pendidikan dan Pemuda tahun 1979-1983. Sedangkan Muhammad Abu Rahman al-Baker menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Waqaf Dari tahun 1971 sampai 1983. Namun, keduanya tidak diangkat kembali dalam formasi pemerintahan berikutnya yang terjadi pada bulan Juli 1983.102 Hubungan antara pemerintahan UEA dan IME merenggang setelah jabatan anggota-anggota IME yang menjadi menteri digantikan pada tahun 1983. Tahun-tahun berikutnya dominasi IME dalam dunia pendidikan mulai disingkirkan. Menteri Pendidikan mulai memberlakukan program bahasa Inggris di setiap tingkat pendidikan. Pada tahun 1978, IME menerbitkan jurnalnya sendiri dengan nama The Islah Journal. Jurnal tersebut memproyeksikan citra murni dari gerakan IME dengan melestarikan nilai-nilai Islam, memperingatkan agar tidak terjadi invasi

102 Mansour al-Noqaidan, Muslim Brotherhood in UEA Expansion and Decline, (Dubai: Al-Mesbar Center for Studies and Research, 2009), h. 3.

40

budaya asing, dan menyuarakan reformasi pemerintah di bidang pendidikan serta program media televisi lokal. IME yang mengkritik pemerintahan melalui jurnalnya, mendapatkan sangsi yaitu larangan penerbitan Jurnal Islah dari Oktober 1988 sampai April 1989.103 Salah satu topik favorit Jurnal tersebut ialah pembasmian koruptor dan cara menganggarkan pendapatan minyak UEA yang melimpah. Seiring berjalannya waktu, organisasi IME terus menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintahan. Konfrontasi muncul kembali saat IME menentang pembebasan negara Kuwait oleh koalisi internasional pada tahun 1991.104 Pemerintahan tidak tinggal diam dan mulai mengurangi pengaruh IME menggunakan cara seperti, merangkul gerakan Salafi lainnya yang lebih fleksibel dan memisahkan afiliasi antara IME dengan IMM. Konfrontasi diam dan secara tidak langsung antara IME dan pemerintah UEA terus terjadi sampai sekarang. Pemerintahan UEA mulai menuntut pembubaran organisasi IME setelah pembubaran organisasi Ikhwan cabang Qatar pada tahun 1999.105

4. Sudan Para Mahasiswa Sudan yang belajar di Mesir, mulai mendirikan Ikhwanul Muslimin Sudan pada tahun 1944. Pada saat yang sama kelompok pelajar dari Universita Khartoum mendirikan Islamic Liberation Movement (ILM) atau Gerakan Pembebasan Islam. Pada awal 1950-an terjadi persaingan dan ketegangan di antara kedua kelompuk tersebut. Sampai tahun 1954 diadakan kongres besar untuk menyatukan kelompok tersebut. Keputusan kongres menetapkan bahwa nama Ikhwanul Muslimin yang akan dikukuhkan agar skala organisasi mereka menjadi lebih luas. Secara resmi IM Sudan didirikan pada 21 Agustus 1954 dan dipimpin oleh al-Rashid al-Tahir (1954-1964).106 Organisasi

103 Mazhar al-Zo‟by, “Discourse and Oppositionality in the Arab Spring: the case of the Muslim Brotherhood in the UEA,” International Sociology, vol. 30, pp. 401-417, (2015), h. 403- 405. 104 Al-Arabiya News, “The UAE Brotherhood: Loyal to whom?,” berita diakses pada 18 Desember 2017 23.37 WIB dari http://english.alarabiya.net/views/2012/03/19/201649.html 105 Al-Arabiya News, “The UAE Brotherhood: Loyal to whom?,” berita diakses pada 18 Desember 2017 pukul 23.37 WIB dari http://english.alarabiya.net/views/2012/03/19/201649.html 106 The Muslim Brotherhood in the Arab World and Islamic Communities in Western Europe, h. 37.

41

IM Sudan hanya berasal dari kalangan mahasiswa dan intelektual sampai pertengahan 1960an.107 IM Sudan tidak terkait secara langsung kepada IMM tetapi mempertahankan sikap independen mereka. IM Sudan mempunyai misi yaitu Sudan merdeka. Organisasi ini tidak mendirikan partai politik baru tetapi ikut bermain dalam kancah politik. Tujuan utama IM Sudan adalah memperkenalkan ajaran Islam ke dalam sistem politik yang dominan sekuler. Pemimpin IM Sudan yang paling terkenal adalah Hasan al- Turabi (1932-2016). Ia berpendapat bahwa organisasi tersebut harus mempunyai kekuatan politik dengan haknya sendiri.108 Selama masa kepemimpinannya Hasan Turabi beberapa kali mendirikan Partai tersendiri sebagai wadah IM Sudan agar dapat melenggang di panggung perpolitikan Sudan. Beberapa partai yang didirikan silih berganti yaitu IFC ( the Islamic Front for the Constitution) 1958, ICF ( Islamic Charter Front ) 1964, dan NIF ( the National Islamic Front ) 1986. Pada tahun 1986, NIF memperoleh 20% suara dari kelas menengah perkotaan. IM Sudan juga memperkenalkan perbankan Syari‟ah kepada Presiden. Pada bulan November 1965, ketika seorang komunis Suriah berbicara di depan masyarakat umum Sudan dan mencemooh agama, IM Sudan mengadakan demonstrasi yang menyuarakan agar paham sekularisme dilarang. Salah satu keberhasilah ICF ialah pada bulan Mei 1969, partai-partai sektarian di Sudan menyetujui prinsip-prinsip konstitusi Islam. Namun kesuksesan tersebut diblokir oleh kudeta militer, kemudian pemerintahan dikuasai oleh partai kiri. Sebagian besar partai politik dilarang termasuk ICF dan pemimpinya Turabi dipenjara beberapa tahun. Namun tahun 1977, beliau dibebaskan dan mulai bekerja sama dengan pemerintahan sehingga bisa tetap melanjutkan aktivitas Islam tanpa dicurigai.109 Pada tahun 1989, Turabi menjadi pemimpin rezim Islam yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta militer. Turabi berpendapat bahwa Islam dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh imprealisme Barat,

107 Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam, h. 177. 108 Mohamed Zahid dan Michael Medley, “Muslim Brotherhood in Egypt and Sudan,” Review of African Political Economy, Religion, Ideology and Conflict in Africa, Vol. 33, No. 110, pp. 693-708 (September 2006), h. 696. 109 Mohamed Zahid dan Michael Medley, “Muslim Brotherhood in Egypt and Sudan,” h. 696-698.

42

nasionalisme Arab ataupun ideologi-ideologi lainnya dan rezim Islam harus berkuasa dengan cara demokratis daripada melalui revolusi.110 Secara internasional, Rezim Turabi mendukung kelompok Islam yang ingin berjuang seperti di Zaire, Uganda, dan Ethiopia.

C. Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam di Asia Pada abad ke-20, beberapa negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya Muslim mulai mengembangkan ide revivalisme Islam. IMM menjadi organisasi paling terkenal dan menyebarkan secara luas ideologi kebangkitan Islam sehingga muncul gerakan-gerakan serupa di beberapa negara Asia antara lain ialah:

1. Pakistan Organisasi al-Jama‟at al-Islamiyah (selanjutnya ditulis JI) di Pakistan merupakan organisasi di bawah pengaruh Ikhwanul Muslimin. Organisasi tersebut didirikan oleh Abu al-A‟la al-Maududi (1903-1979) pada tanggal 21 Agustus tahun 1941. Latar belakang berdirinya dalam suasana perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Inggris dan mendirikan sebuah partai yang berasaskan Islam murni. JI berperan aktif dalam politik Pakistan dan mempunyai tujuan yaitu membangun sistem Islam melalui konstitusional.111 Pada akhir tahun 1947, Maududi berpendapat bahwa dia tidak akan berperang untuk Pakistan karena hal tersebut bukanlah sikap seorang Muslim. Akan tetapi pada bulan Oktober beliau ditangkap dan dipenjara sampai bulan Mei 1950 dengan tuduhan sebagai dalang dibalik kerusuhan yang terjadi di Kashmir.112 Misi JI ialah menciptakan sebuah negara Islam di Pakistan. Selain program politik, JI juga menjalankan programnya di bidang publikasi dan pekerjaan sosial. Program yang paling positif sejak Februari 1952 ialah perawatan medis gratis. Pusat pelayannya kurang lebih 130

110 Noman Sattar, “al-Ikhwan al-Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact,” Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2, pp. 7-30, (1995), h. 26. 111 Abdul Rashid Moten, Revolution to Revolution Jama‟at-e-Islami in the Politics of Pakistan, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 11 112 Freeland Abbott, “The Jama‟at –i-Islami of Pakistan,” Middle East Journal, Vol.11, No.1 (1957), h. 41.

43

titik yang menyebar di seluruh Pakistan dan bantuan tersebut diberikan kepada 1.837.430 orang pada tahun 1955-56.113 Pendapatan yang masuk ke JI untuk membiayai program-programnya hanya berasal dari iuran anggota, wakaf anggota, dan infaq. Organisasi JI erat hubungannya dengan IMM karena metode dan ideologi yang diterapkan sama. Beberapa di antaranya yang sama yaitu: ideologi bahwa menegakkan “kedaulatan Tuhan di muka bumi adalah sebuah keharusan seorang Muslim” yang sama dan bersifat global, strategi penekanan terhadap kebangkitan kesadaran Islam di kalangan massa, dan pendirinya menegaskan bahwa JI dalam visi Universalisme Islam. Maududi berpendapat bahwa “Islamisasi dari atas‟” melalui sebuah negara di mana kedaulatan akan dilaksanakan atas nama Alaah dan Syari‟ah akan dilaksanakan dan menyatakan bahwa politik adalah bagian integral dari keyakinan Islam yang tidak terpisahkan.114 Pemahaman dan penyebaran ideologi al-Maududi menggunakan buku yang ditulis oleh beliau sendiri yaitu Toward Understanding of Islam (1930) dan Purdah (1939). Ia juga menulis sebuah buku dengan judul Jihad fi Sabilillah (Jihad di Jalan Allah) yang menerangkan beberapa gagasan jihad dan menceritakan sepak terjang IMM melalui jihad, pengaruh IMM terhadap JI, dan mengutarakan kesamaan pemikiran dengan Hasan al-Banna.115 Buku-buku tersebut menjadi buku referensi untuk para anggota gerakan IMM dan gerakan kebangkitan Islam lainnya.

2. Indonesia Organisasi di Indonesia yang mengusung ideologi revivalisme Islam cukup banyak seperti Muhamadiyyah dan Persis. Akan tetapi organisasi yang memiliki hubungan cukup erat dengan IMS ialah Partai Keadilan Sejahtera (selanjutnya ditulis PKS). PKS berawal dari gerakan dakwah kampus yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Keadilan (selanjutnya ditulis PK). PK didirikan

113 Freeland Abbott, “The Jama‟at –i-Islami of Pakistan,” h. 46. 114 Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam, h. 34. 115 Muhammad Hatta, Al-Ikhwanul al-Muslimun: Kajian dari konsep dan Strategi Dakwah, h. 178.

44

pada tanggal 20 Juli 1998 kemudian baru dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus 1998 di Lapangan Masjid al-Azhar Kebayoran Baru dengan jumlah massa yang hadir mencapai 50.000 orang. Pada 3 Juli 2003 secara resmi Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera. PKS terinspirasi dari gerakan IMM, gerakan tarbiyah yang merupakan tulang punggung dan pendukung utama partai ini untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam dengan kehidupan sehari-hari.116 Strategi PKS dengan dakwah struktural yakni berupaya melakukan perubahan dan pembaharuan tata aturan perundang-undangan yang lebih Isalmi. Tokoh PKS yang diangkat sebagai mursyid pada tahun 1991-1997 ialah Helmi Aminuddin (1947-). Sebelumnya Helmi Aminuddin disponsori oleh Soeripto (1936-) untuk mempelajari ajaran dan manhaj IM di Timur Tengah. Pada tahun 1985, Helmi Aminuddin mengadopsi ajaran, metode, dan berhubungan langsung secara organisasi dengan organisasi IMS yang dipimpin oleh Sa‟id Hawwa.117 Sementara Yusuf al-Qardawi pernah berkata bahwa gerakan Islam yang paling mirip dengan IMM di Indonesia ialah PK.118 Sampai sekarang Helmy Aminuddin tetap menjadi ketua Dewan Syuro PKS. Usaha PKS untuk menyebarkan luaskan gagasan mereka dengan mendirikan beberapa lembaga antara lain: lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri, lembaga pendidikan Islam al- Hikmah, lembaga dakwah Khoiru Ummah, lembaga pengkajian Sidik, majalah Sabili dan beberapa penerbit buku seperti: Gema Insani Press, al-Ishlahy Press, Pustaka al-Kautsar, Robbani Press, I‟tishom, Era Intermedia, dan asy-Syamil.119 Sistem pengkaderan PKS yang dilakukan di dalam lingkungan kampus secara umum terbagi menjadi 3 tahapan yaitu ta‟rif, takwin dan tanfidz. Ta‟rif ialah fase pengenalan Islam kepada objek dakwah melalui pendekatan personal ataupun massal dan kemudian merekrut sejumlah anggota baru. Kelompok ini mengadakan acara training dan dikenalkan dasar-dasar aqidah Islamiyah. Takwin

116 Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera; Wajah Baru Islam Politik Indonesia, (Bandung: Harakatuna, 2005), h. 59. 117 Zuly Qodir, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia, (Jogjakarta: Jusuf Kalla School of Government, 2013), h. 129. 118 Yon Machmudi, Indonesia and Egyptian Brothers: The Rise of Jamaah Tarbiyah and the Prosperous Party (PKS), ANU Press, 2008, h. 135. 119 M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, (Jogjakarta: LKis, 2008), h. 43.

45

ialah tahap pengkaderan ketika objek yang direkrut saat ta‟rif menunjukkan potensi menjadi aktivitas dakwah kampus. Pembinaan pada tahap ini dilakukan dalam Halaqoh, yaitu kelompok kecil pembinaan 5 sampai 10 orang yang dibimbing oleh seorang pembina (murabbi). Pada proses ini pembinaan berjalan secara itensif dalam pertemua (liqa‟) yang dilaksanakan sekali dalam sepekan. Tanfidz ialah tahap realisasi kerja-kerja dakwah. Para aktivis yang sudah lulus pada tahap takwin yang dinilai sudah siap, diarahkan menjadi pendakwah kampus yang sering disebut sebagai ADK (Aktivis Dakwah Kampus). Mereka difungsikan menjadi murabbi-murabbi di kampus untuk membimbing halaqoh. Materi-materi yang dibahas saat berkumpul atau halaqoh banyak menggunakan buku karangan Sa‟id Hawwa yang merupakan seorang ideolog IMS, di antaranya ialah buku Allah, al-Islam jilid 1 dan 2, ar-Rasul, Mensucikan Islam, al-Madkhal, dan Jundullah.120 Buku-buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan oleh salah satu penerbit PKS sendiri yaitu al-Islahy Press.121

3. Malaysia HMM (Hizbu Muslimin Malaya) berdiri pada bulan Maret 1948. Pada 24 November 1951 secara resmi HMM diganti menjadi PAS (Persatuan Islam Se- Malaysia).122 Ideologi PAS yaitu menerapkan semua aspek ajaran Islam seperti politik, ekonomi, nilai sosial, dan lain-lain. PAS ingin membangun nasionalisme Melayu dan negara Islam yang mencakup tujuan, doktrin, kedaulatan, struktur, kewarganegaraan dan sistem ekonominya. Perjuangan PAS untuk memerdekakan Malaya dari pemerintahan Inggris dengan mengajukan 5 tuntutan yaitu: pertama, bangsa Melayu ialah pemilik sah Malaya. Kedua orang Melayu harus diberi hak

120 Zuly Qodir, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia, h. 131. 121 Selain buku-buku Sa‟id Hawwa, beberapa buku karangan organisasi revivalisem Islam juga menjadi rujukan gerakan PKS ini seperti: buku Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Aqidah dan Risalah Ta‟lim; Abu al-A‟la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam; Yusuf al-Qaradhawi, Karakteristik Islam, Khutbah Jum‟at tentang Demokrasi, Hakikat Tauhid, al-Halal wal Al-Haram, Tsaqafatud Da‟iyyah, wasa‟ilut Tarbiyyah „inda Ikhwanil Muslimin, dan as-Sunah sebagai Sumber Iptek dan Perdaban; Ibn al-Qayyim, Riyadlush Shalihin, ar-Ruh; Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din; dan Imam an-Nawawi, Riyadhush Shalihin. M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 244-271. 122 Ibrahim Abu Bakar, “PAS and Its Islamist Fundamentalism in Malaysia,” Journal of Human Sciences, No. 43, (July 2009), h. 5.

46

istimewa. Ketiga, loyalitas kepada Malaya adalah kewarganegaraan Melayu. Keempat, karena Islam adalah agama orang Melayu di Malaya, maka Islam harus menjadi agama resmi negara ini. Dan yang terakhir Melayu harus menjadi bahasa nasional. Komitmen utama PAS ialah kewarganegaraan Melayu, negara Islam, ekonomi sosialis, dan anti-kolonialisme. PAS telah mengadopsi ajaran Ikhwanul Muslimin.123 PAS memiliki 7 pemimpin sejak didirikan sampai tahun 2000-an yaitu: Ahmad Fuad Hasan (1951-1953), Dr Abbas Alias (1953-1956), Dr. Burhanuddin al-Helmy (1956-1969), Mohd Asri Muda (1969-1982), Yusof Rawa (1982-1988), dan Fadzil Mohd Noor (1988-2002), dan Abdul Hadi Awang (2002-2008). Setiap pemimpin PAS mempunyai perbedaan karakter dan pandangan selama kepemimpinan. Dari tahun 1951 sampai 1956, PAS cenderung tradisionalis dan orientasi utama hanya pada nasionalisme Melayu, anti kolonialisme, dan masalah ekonomi-sosial. Pada masa 1965-1982, PAS menempatkan orientasinya pada pembentukan tatanan negara setelah merdeka dari Inggris dan cenderung menjadi lebih „Malaysia‟ karena bergabung dengan pemerintahan. Pada masa Mohd Asri Muda 1969-1982), PAS mulai mengembangkan isu transnasionalis dengan isu kelompok separatis muslim di Thailand dan bantuan kepada pasukan Muslim Internasional untuk membantu Palestina pada tahun 1975. Pada masa kepemimpinan Yusuf Rawa, Fadhil Noor, dan Abdul Hadi Awang, mereka membawa PAS kepada jalan Islam yang sejati. Pengaruh Islamisme yang lebih internasionalis yang di bawa karena latar pendidikaan mereka selama belajar di luar negeri. Yusuf Rawa berada di bawah pengaruh IMM ketika belajar di Kairo dan Abdul Hadi Awang yang belajar dari tahun 1974 sampai 1976 di Mesir, berhubungan langsung dengan IMM.124 Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya suatu gerakan sosial atau khususnya gerakan sosial Islam yaitu: faktor internal dari dalam umat Islam

123 Ran Meir, Malaysia Welcomes Hamas, Brotherhood: Report, Clarion Project News, artikel diakses pada tanggal 30 November 2017 pukul 15.08 WIB, dari https://clarionproject.org/malaysia-welcomes-hamas-brotherhood/. 124 Dominik M. Müller, “An Internatinalist National Islamic Struggle? Narratives of „Brothers Abroad‟ in The Discursive Practices of The Islamic Party of Malaysia (PAS),” South East Asia Research, Vol. 18, No.4, (2010), h. 760.

47

sendiri dan faktor eksternal. Beberapa gerakan sosial Islam yang muncul pada akhirnya memiliki tipologi sendiri yang menjadi ciri khas dan karakteristik.125 Pada dasarnya terdapat perbedaan terhadap gerakan yang terilhami oleh IMM yaitu, pertama; gerakan yang mengusung dan memakai nama IM secara resmi seperti IM Yordania, IM Sudan, dan IM UEA. Kedua; gerakan yang terinspirasi dan memiliki persamaan ideologi, tujuan, konsep dengan IMM dan para tokoh pendirinya pernah bertemu secara langsung dan menjalin hubungan dengan Hasan al-Banna dan tokoh IM di berbagai negara seperti JI Pakistan, PAS Malaysia, dan PKS. Dan yang ketiga; gerakan yang sama-sama mengusung konsep “tajdid (pembaharuan) Islam” atau “revivalisme dalam diri Islam sendiri,”126 seperti FIS Aljazair. Demikian uraian sejarah dan perkembangan Ikhwanul Muslimin Mesir dan pengaruhnya terhadap beberapa negara. Pada bab berikutnya yang merupakan inti dari penelitian ini akan menguraikan tentang sejarah dan perkembangan Ikhwanul Muslimin Suriah, peranannya di bidang sosial dan agama kepada masyarakat, respons masyarakat Suriah terhadap organisasi tersebut serta organisasi IMS pasca-peristiwa al-Ahdath tahun 1982.

125 Zakiyah Darojat, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-2005); kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, h. 103. 126 Tajdid atau Revivalisme Islam adalah kebangkitan kembali Islam dalam fenomena sosial, budaya, dan politik modern sebagai respons terhadap faktor internal di dunia Islam yaitu kemunduran dan stagnasi sedangkan faktor eksternal dari kolonialisme Barat. Para pemikir Muslim mulai mengusulkan ide tersebut pada akhir abad ke-19 seperti Muhammad Abduh (Mesir 1849-1905), Sayyid Ahmad Khan (India 1817-1898), dan Jamaluddin al-Afghani (Afghanistan 1838-1897). Ibrahim Abu Rabi, “Facing Modernity: Ideological Origins of Islamic Revivalism,” Harvard International Review, Vol. 19, No. 2, (1997), h. 12-13.

BAB IV PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG SOSIAL DAN AGAMA

A. Sejarah dan Perkembangan Ikhwanul Muslimin di Suriah Arus revivalis Islam yang menguasai Arab mulai menumbuhkan gerakan- gerakan baru yang mengusung ideologi tersebut salah satunya ialah Ikhwanul Muslimin. Jika di Mesir, IM berkembang karena ulama dianggap tidak responsif terhadap kebutuhan umat Islam dalam masyarakat modern. Maka di Suriah, ulama memainkan peran utama dalam organisasi IM tersebut. IMS berakar dari beberapa Jam‟iyyat (asosiasi atau masyarakat) yang berkembang pada akhir abad 19. Pada tahun 1920 sampai 1930, Jam‟iyyat berkembang di kalangan menengah ke bawah dengan tujuan menghidupkan kembali Islam dan menentang pengaruh budaya Barat, seperti bioskop dan cara berpakaian perempuan. Keberadaan Jam‟iyyat menunjukkan bahwa gerakan IMS tumbuh dari akar asli. Beberapa Jam‟iyyat yang ada di Suriah yaitu Jam‟iyyat al-Shubban al-Muslimin (Asosiasi pemuda Muslim) di Aleppo, kelompok mahasiswa Universitas Suriah, Shabab Muhammad (Pemuda Muhammad), Rabita al-Diniyya (Liga Agama) di Homs, Jam‟iyyat al-Ghara, Jam‟iyyat al-Hidayah al-Islamiyyah di Damaskus dan Jam‟iyyat al-Makarim wa Akhlaq al-Islamiyya (Asosiasi untuk moral mulia umat Islam) mengadakan konferensi bersama untuk mempererat hubungan dan menyatukan kegiatan mereka.127 Konferensi antara jam‟iyyat pertama kali diadakan di kota Aleppo pada tahun 1935 dan diresmikan menjadi markas dengan sebutan Dar al-Arqam pada tahun 1937.128 Konferensi kedua diselenggarakan di kota Homs pada tahun 1937 dan yang ketiga di kota Damaskus tahun 1938. Kemudian aktivitas menurun pada pertengahan 1940-an karena PD II. Pada tahun 1943, konferensi keempat diselenggarakan kembali di kota Homs dan memutuskan untuk mendirikan dua

127 Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social Origins, and Ideology,” h. 215-216. 128 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 24.

48

49

organisasi pemuda militer yaitu Saraya dan Futuwwa. Pada konferensi kelima di Aleppo tahun 1944 memutuskan untuk memindahkan kantor pusat dari Aleppo ke Damaskus dan membentuk Komite Pusat Tertinggi. Pada tahun 1945, sebagian besar Jam‟iyyat bersatu secara resmi sebagai Ikhwanul Muslimin dan menunjuk Mustafa al-Siba‟i129 menjadi al-Muraqib al- „Amm (pengawas umum). Tingkat kepemimpinan Siba‟i lebih rendah daripada Hasan al-Banna yaitu Murshid al-„Amm (pembimbing atau pemimpin umum). Akan tetapi Siba‟i sendiri mencatat bahwa tidak ada hubungan organisasi atau administratif antara Mesir dan Suriah. Hubungan antara kedua kelompok hanya saling mendukung secara politis dan persamaan ideologi. IMS berhutang banyak kepada ide-ide berorganisasi IMM dan terinspirasi oleh keberhasilan IMM sebagai gerakan Islam yang besar. Setelah merdeka dari penjajahan Prancis tahun 1946, IMS mulai bersaing dengan partai ideologis seperti Partai Ba‟ath dan Partai Komunis. Pengikut Ikhwanul Muslimin mendapatkan pengikut paling banyak di kota Hama dan dari kaum tradisional Sunni antara kelas menengah ke bawah. Sedangkan partai Ba‟ath secara eksklusif didominasi oleh kaum urban dari daerah Hawran dan Jabal-Druz. Partai Komunis meraih pengikut dari masyarakat Kristen, Sunni, dan Armenia. Suara masyarakat Sunni terpecah karena tidak satu mendukung IMS dan banyak yang mendukung partai lain seperti Ba‟ath dan Komunis. Anggota dalam organisasi IMS di bagi menjadi 4 bagian yaitu, simpatisan, pendukung, anggota aktif, dan anggota terhormat. Simpatisan merupakan anggota yang hanya diminta membayar iuran dan kehadirannya di rapat tidak wajib. Pendukung merupakan anggota yang mengajukan permintaan tertulis untuk bergabung dengan IMS dan berada di bawah anggota aktif. Seorang anggota aktif harus memiliki anggota pendukung setidaknya selama satu tahun dan bersama- sama menghadiri rapat secara teratur, membayar iuran dan telah mengambil

129 Mustafa bin Husni al-Siba‟i lahir di kota Homs pada tahun 1915. Beliau berasal dari keluarga ulama di Suriah dan melanjutkan kuliahnya di al-Azhar tahun 1933. Pada tahun 1941, ia bergabung dengan IMM dalam berbagai demonstrasi menentang penjajahan Inggris. Pada tahun 1945, menjadi pemimpin tertinggi bagi IMS dan menjabat sampai tahun 1961. Beliau meninggal pada usia 49 tahun di tahun 1964.

50

sumpah sebagai Ikhwanul Muslimin. Seorang anggota yang memegang status „kehormatan‟ merupakan seorang tokoh Muslim terkemuka yang ditawarkan oleh organisasi IMS. Sedangkan di IMM tidak ada anggota yang lebih terhormat daripada anggota jihadis. IMS menggunakan metode seperti ini karena berkonsentrasi pada proses parlementer dan menghindari kegiatan teroris di bawah Mustafa al-Siba‟i. Sebagai hasilnya pada pemilihan Juli 1947, IMS berhasil menempatkan 3 perwakilannya duduk di parlemen. Atas keberhasilannya tersebut, al-Siba‟i mengirim sebuah telegram kepada Hasan al-Banna yang menyatakan pemilihan Suriah adalah “wakil resmi dari ide Islam yang pertama kali dipilih ke parlemen di negara-negara Islam atau Arab”.130 Mustafa al-Siba‟i menekankan bahwa IMS berideologi sosialisme dan non- sektarian karena menjunjung Arabisme dan universal. Filosofi nasionalisnya ialah bahwa kami adalah Islam, bukan Islam yang dilembagakan atau aspek tata cara keagamaannya yang hanya menyangkut umat Islam, tapi Islam dalam arti yang luas dengan filososfi hidupnya yang menyeluruh, pengajaran etika umum, dan undang-undang Islam (madani). Ini adalah filosofi kita sebagai Arab.131 IMS juga menekankan bahwa pesan gerakan mereka bersifat religius tapi tidak sektarian karena agama adalah persaudaraan sedangkan sektarianisme adalah permusuhan. Ideologi dan pesan-pesan inilah yang disiarkan agar IMS mendapatkan pengikut dari masyarakat beragama minoritas di Suriah. IMS pertama kali mendapatkan penekan dari pemerintah pada saat kudeta militer yang dilancarkan oleh Husni az-Zaim (1897-1949) pada bulan Maret tahun 1949. Pada bulan Mei, semua partai di Suriah dibubarkan termasuk IMS. Akan tetapi pada bulan Agustus tahun 1949 pemerintahan di ambil alih oleh Hashim Khalid al-Attasi (1875-1960). Pemerintahan Suriah kembali menjadi demokrasi parlementer.132 Kudeta terjadi kembali pada bulan November 1951 oleh Kolonel (1909-1964) yang mengambil alih institusi pemerintahan dan

130 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 29. 131 Mustafa al-Sibai‟i, Ikhwanul Muslimin, dalam artikel Joshua Teitelbaum, The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social Origins, Ideology, h. 221. 132 Untuk mengetahui lebih lanjut urutan presiden Suriah bisa dilihat dalam lampiran pertama.

51

memainkan kediktatoran militer yang berlangsung sampai Februari tahun 1954. Pada masa 2 tahun jabatannya Adib Shiskali memutuskan untuk membubarkan semua partai termasuk IMS sehingga partai Ba‟ath menjadi partai tunggal yang diakui pemeritahan.133 Setahun setelah kudeta Adib Shiskali, Mustafa al-Siba‟i dipenjara dan gerakan IMS menyusut dari politik beralih ke pendidikan dan pekerjaan sosial. Pada tahun 1954, IMS absen tidak mengikuti pemilihan parlemen. Aktivitas politik IMS mengalami penurunan yang signifikan karena adanya penggabungan antara Suriah dan Mesir (UAR) dari tahun 1958 sampai 1961.134 Pada tahun 1961 juga, Mustafa al-Siba‟i meregenerasi kepemimpinan IMS kepada „Isam al- Attar.135 Setelah berpisah dari Mesir, IMS melanjutkan aktivitasnya dan berperan aktif mengawal pemerintahan. IMS memenangkan sepuluh kursi pada pemilihan parlemen tahun 1961, salah satu kursi tersebut diambil oleh al-Attar sendiri.136 Saat terjadi kudeta partai Ba‟ath tahun 1963, IMS menentang sifat sekuler pemerintah dan reformasi sosialis yang merugikan pihaknya. Rentang tahun 1963 sampai 1982 merupakan tahun pertarungan antara partai Ba‟ath dan IMS di panggung politik Suriah. Seringkali digambarkan sebagai perjuangan antara modernitas dan fanatisme agama. Pada tahun 1964, setelah „Isam al-Attar melakukan perjalanan ke Arab Saudi untuk berhaji dan menghadiri konferensi Ikhwan, kemudian beliau dicegah masuk ke Suriah oleh pihak berwenang. Alasan tidak diperbolehkan masuk

133 Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria,” h. 613. 134 Pada awalnya IMM dan IMS menyambut Nasser sebagai pahlawan dari sikap Arabisme dan anti-kolonialisme. Sampai akhirnya Nasser mulai menunjukkan sikap sekulernya dan membubarkan IMM pada tahun 1954. Kemudian pada tanggal 12 Maret 1958, Nasser kembali mengumumkan sebuah dekrit yang membubarkan semua partai politik yang berada di wilayah Suriah termasuk IMS. Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 66. Pemisahan di antara kedua negara tersebut karena Suriah mengalami perebutan kekuasaan dengan kudeta militer yang dipimpin oleh Kolonel Hafiz al-Assad tahun 1961. 135 „Isam al-Attar lahir di kota Aleppo pada tahun 1927 dan berasal dari sebuah keluarga yang mendukung Khalifah Turki Sultan Abdul Hamid II. Pada tahun 1951, al-Attar secara terbuka menyerang kediktatoran Presiden Adib al-Shiskali kemudian melarikan diri ke Mesir. Beliau menjalin menjalin kedekatan dengan Sayyid Qutb dan merupakan orang kepercayaan Mustafa al- Siba‟i. Key Figures in the Syrian Muslim Brotherhood, Carneige Middle East Center, artikel diakses pada tanggal 9 November 2017 pukul 20.41 WIB, dari http://carnegie- mec.org/diwan/51470?lang=en 136 Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 65.

52

kembali ke Suriah karena salah satu kelompok IMS di Hama yang dipimpin oleh Marwan Hadid (1934-1976) terlibat perselisihan dengan aparat keamanan.137 Attar sendiri mengklaim bahwa ia tidak mengetahui tentang tindakan Hadid dan hanya mengetahui peristiwa tersebut melalui media berita. Sampai tahun 1967, „Isam al- Attar belum bisa kembali ke Suriah dan selama itu ia tinggal di beberapa negara seperti Lebanon, Kuwait, Yordania, Jenewa, Belgia, dan Jerman.138 Dampak langsung dari pembuangan Attar ialah menciptakan kekosongan dan menyebabkan krisis kepemimpinan organisasi IMS dan menyulitkan kelompok berkembang lebih militan. Pada saat inilah muncul pergesekan antara faksi Aleppo yang frustasi menghadapi ketegangan dengan rezim Ba‟ath, sedangkan faksi Damaskus menyikapinya dengan lebih moderat dan pasif. Faksi Aleppo yang unggul dalam jumlah anggotanya meminta untuk mengadakan pemilihan pengawas umum yang akan menggantikan „Isam al-Attar. Abu Fatah Abu Ghuddah (1917-1997) terpilih menjadi ketua IMS pada tahun 1972. Ia menginginkan kegiatan IMS yang lebih fokus dalam dakwah dan pendidikan. Di bawah kepemimpinannya IMS tidak berpartisipasi pada pemilihan daerah dan legislatif yang terjadi pada tahun 1972 dan 1973, keputusan ini menjadi konflik internal IMS kubu Aleppo dan Damaskus. Adnan Saad Eddine (1929-2010) mengambil alih jabatan pengawas umum IMS pada tahun 1975 dan pemilihan tersebut menandai dominasi fraksi Aleppo secara formal. Menurut Alison Pargeter, setelah pergantian pemimpin tersebut mengubah karakter IMS yang telah dibangun oleh Siba‟i dari tahap dakwah ke fase jihad memperjuangkan negara Islam.139 Aktivis aksi militan IMS adalah pelajar dan kaum intelektual yang berusia 20-30an. Mereka dari kalangan

137 Setelah perselisihan Marwan Hadid dan pengikutnya berlindung di Masjid Sultan. Rezim Ba‟ath yang baru menanggapi dengan menyerang masjid menggunakan tank dan artileri. Akibatnya 115 orang meninggal dalam penyerangan tersebut, tetapi Hadid dan pengikutnya yang selamat di penjara dan dijatuhi hukuman mati. Pada tahun 1970-an, Hadid sempat dibebaskan oleh Muhammad al-Hamid yang memohon kasusnya kepada Hafez al-Assad. Setelah dibebaskan ia mendirikan kelompok jihad radikal al-Tali‟a al-Muqatila (Fighting Vanguard) di Hamah. Marwan Hadid ditangkap dan dipenjara kembali pada tahun 1976 setelah melakukan pembunuhan berdarah terhadap politikus Ba‟ath. Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria,” h. 616. 138 Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 67. 139 Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 70.

53

mahasiswa, guru sekolah, insinyur, dokter, dan sejenisnya. Dari tahun 1967 hingga 1981, jumlah aktivis yang ditangkap mencapai 1.384. Di antaranya paling sedikit 28% adalah siswa, 8% adalah guru sekolah, 13% adalah anggota profesi, termasuk 79 insinyur, 57 dokter, 25 pengacara, dan 10 apoteker.140 Pada tanggal 27 Juni 1980, lebih dari 1.000 tahanan yang merupakan anggota Saraya dieksekusi mati oleh regu tembak dan granat di penjara Tadmur, Palmyra. Eksekusi tersebut terjadi karena adanya upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Hafez al-Assad pada sehari sebelumnya.141 Pada bulan Agustus 1980, IMS mengeluarkan sebuah seruan kepada semua Muslim Suriah untuk bersatu dengan IMS di bawah naungan kepemimpinan yang lebih luas dan tidak partisian. Pada bulan Oktober 1980, IMS mendirikan Front Islam di bawah kepemimpinan Abu al-Nasr al-Bayanuni. Pada akhirnya IMS dari tahun 1980-1982, tidak memiliki satu kepala kepemimpinan yang tertinggi.

B. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Sosial Sejak awal IMS lahir dari masyarakat yang peduli akan lingkungan sosial, politik dan agamanya. Mustafa al-Siba‟i sebagai pendiri merumuskan ideologi IMS adalah Sosialisme Islam, yang di dalamnya mengakui lima hak yaitu: hak untuk hidup, kebebasan, pengetahuan, martabat, dan hak kepemilikan. Untuk mendukung terwujudnya sosialisme harus ada nasionalisasi, pengambilalihan modal, keterbatasan kepemilikan, dan pajak progresif. Tujuan sebenarnya sosialisme Islam ialah mencegah individu mengeksploitasi modal dengan mengorbankan massa yang menderita, berusaha membangun kesetaraan sosial, dan menghilangkan kemiskinan. Pada masa kepemimpinan Siba‟i tidak sama sekali menyarankan untuk mengangkat senjata dalam melawan pemerintahan Suriah, akan tetapi ia mencari perubahan melalui reformasi sosial.

140 Syria: Sunni Opposition to the Minority Alawite Regime, Directorate of Intelligence, data rilis pada tanggal 11 April 2011. 141 Artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2018 pukul 12.36 WIB, dari http://ikhwansyria.com/2016/09/%D9%85%D8%AC%D8%B2%D8%B1%D8%A9- %D8%B3%D8%AC%D9%86-%D8%AA%D8%AF%D9%85%D8%B1/

54

Organisasi Futuwwa yang didirikan oleh jam‟iyyat pada tahun 1943 terus dipertahankan oleh Siba‟i. Organisasi tersebut menjadi salah satu pilar terpenting bagi IMS, karena pelatihan ini menciptakan generasi yang kuat untuk menyebarkan pesan Ikhwan dengan semangat, pengorbanan, ketaatan, dan ketertiban. Tujuan utamanya ialah mempersiapkan pemuda Muslim untuk menjalani jihad Islam berdasarkan pelatihan spiritual dan pengembangan tubuh. Persayaratan untuk memasuki organisasi ini antara lain pemuda di atas umur 16 tahun, memiliki tubuh yang sehat, tidak menjadi bagian dari organisasi politik, sosial, dan olahraga lainnya. Kecakapan yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat antara lain: berkemah, pelacakan jejak, mengendarai sepeda dan motor, menghafal sebagian al-Qur‟an, Hadits, biografi nabi, waktu shalat, dan bagaimana menentukannya. Siba‟i mengadakan kamp musim panas untuk pelatihan Futuwwa yang diikuti kurang lebih 300 orang di kota Yabrud 1945, di kota Latakia 1946, dan di kota Misyaf 1947. Pada tahun 1950 organisasi tersebut sudah ada di semua cabang IMS, wilayah yang paling aktif ialah Homs, Aleppo, Damaskus, Hama, Idlib, dan Dayr al-Zur.142 IMS juga mengoperasikan beberapa klub olahraga yang anggotanya juga dari futuwwa. Klub terkuat yang berhasil diciptakan ialah klub basket Nadi Fityan Badr di Damaskus dan klub Qadisiyya di Homs. Peran IMS di tengah-tengah masyarakat mulai terasa dengan hadirnya surat kabar al-Manar yang didirikan tahun 1947, editornya dikepalai oleh Siba‟i dan Bashir al-„Awf. Walaupun surat kabar al-Manar dilarang pada pertengahan 1949 oleh Husni az-Za‟im, pada bulan November muncul kembali sebagai al-Manar al- Jadid. Surat kabar ini menjadi juru bicara utama bagi IMS. Pada tahun 1952, surat kabar ini dilarang kembali oleh Adib al-Shishakli. Akan tetapi mulai diterbitkan kembali setelah Adib al-Shiskali lengser dari pemerintahan tahun 1954. IMS menunjukkan perhatiannya pada „sosialisme‟ dengan mendirikan Front Sosialis Islam (al-Jabha al-Islamiyyah al-Istikhariyyah) pada tahun 1949. FSI mengorganisir berbagai kelompok pekerja untuk berbagai kegiatan seperti

142 Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social Origins, and Ideology,” h. 229.

55

membangun sekolah dan memberikan konsultasi untuk para pekerja yang memperjuangkan haknya. FSI juga membantu menyalurkan pekerjaan bagi kaum miskin, memberikan perawatan medis bagi yang membutuhkan, dan menawarkan pendidikan gratis bagi masyarakat buta huruf. IMS memiliki pengaruh yang signifikan terhadap serikat-serikat pekerja. Di kota Damaskus 70% serikat pekerja setia kepada IMS, sedangkan di kota Homs dan kota Hama angggota IMS bahkan yang menjadi pemimpin beberapa serikat. IMS juga membentuk koperasi di mana semua pekerja berpartisipasi dan berbagi keuntungan. Dari koperasi ini juga menawarkan pinjaman bagi pemuda yang ingin melanjutkan pendidikanya. Salah satu contohnya ialah Marwan Hadid yang menuntaskan pendidikannya dalam bidang teknik pertanian di Mesir berkat uang pinjaman tersebut.143 IMS di bawah Siba‟i mengembangkan agenda khusus yang menyerukan isu- isu anti-feodalisme, ketergantungan pada kekuatan asing, dan dominasi kelas elit. Dengan demikian Ikhwan memimpin perjuangan yang dimainkan antara kelas menengah dan menengah ke bawah melawan kelas atas semi-feodal. Menurut seorang analisis dalam buku Raphaël Lefèvre, pada awal 1950-an kegiatan sosial dan ekonomi IMS telah menaungi dan mencakup banyak kehidupan di Suriah sampai menjadikan organisasi tersebut “negara dalam sebuah negara” 144 Pada masa kepemimpinan I‟sam al-Attar (1961-1972), masyarakat, ulama konservatif dan ulama moderat telah mencapai satu kepahaman bahwa visi mereka “negara Islam” yang demokratis, membuka keran ijtihad, dan menjadikan syari‟ah sebagai sumber undang-undang. Ketika berakhirnya UAR (1961), I‟sam al-Attar mendapatkan ajakan dari Abdul Karim Nahlawi untuk mengkudeta pemerintahan pada tahun 1962. Setelah kudeta berhasil, Presiden Nazim al-Qudsi yang menawarkan posisi jabatan sebagai Perdana Menteri kepada al-Attar tetapi ia menolak kembali. Menurut I‟sam al-Attar keterlibatan militer dalam politik tidak dapat membawa kebaikan bagi demokrasi.145 Pada tahun 1963 terjadi kudeta kembali dan Pemerintahan Suriah sejak saat itu dikuasai oleh Partai Ba‟ath.

143 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 99. 144 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 35. 145 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 89.

56

Pada tahun 1963 menjadi titik balik bagi organisasi IMS dan Partai Ba‟ath itu sendiri. Pemerintah Ba‟ath menjadi lebih sosialis-liberal dan sektarianisme. Sedangkan I‟sam al-Attar tidak diperbolehkan masuk kembali ke negara Suriah. Akibat pengasingan tersebut IMS dilanda krisis kepemimpinan sehingga banyak anggota yang mulai bergerak sesuasi dengan tokoh lokal IMS. Pemimpin regional dari Aleppo, Homs, dan Damaskus dari tahun 1964 sampai 1967 mengajak masyarakat untuk menyerukan pencabutan pembatasan luar negeri dan penanaman modal swasta kepada pemerintah. Meskipun I‟sam di luar negeri, beliau menyerukan ratusan anggota IMS untuk berkumpul di Masjid Umayyah, Damaskus pada Januari 1965, untuk melawan rezim dengan cara damai dan menolak seruan untuk konfrontasi langsung dengan pasukan kemanan Ba‟ath.146 Kebijakan Hafez al-Assad menerapkan ekonomi yang liberal, mengakibatkan kerugian yang signifikan terhadap perekonomian skala kecil bagi pengrajin dan pedagang kecil di kota merupakan korban pertama dalam program tersebut. Koperasi yang dijalankan IMS juga menawarkan pinjaman untuk pedagang kecil yang membutuhkan modal atau membuka toko. IMS secara konsisten sepanjang tahun 1970an, mendampingi masyarakat pemilik lahan yang telah dirugikan atas kebijakan Ba‟ath terhadap reformasi kepemilikan tanah dan usaha peminjaman uang pribadi. Kaum Sunni yang sebelumnya menjadi pemilik lahan harus kehilangan sebagain besar lahannya akibat kebijakan tersebut. IMS memainkan perannya membantu pemilik lahan untuk mempertahankan kepemilikannya. Akan tetapi dengan membantu mempertahankan tanah para elit Sunni, organisasi IMS mulai berubah dari dasar ideologi sosialismenya. Pada masa ini IMS hanya berupaya bagaimana menggalakkan dukungan dari semua kelas masyarakat Sunni dan bersatu melawan pemerintahan. Penduduk kota Hama dan Aleppo menjadi korban utama kebijakan ekonomi rezim Ba‟ath karena sebagian besar produksi kapas dari wilayah tersebut ke wilayah timur laut Suriah. Areal yang digunakan untuk produksi kapas menurun pada tahun 1971 dari 220.000 hektar menjadi 185.100 hektar saja, sehingga pada tahun 1976 harga tekstil meningkat. Kota Hama dan Aleppo yang bergantung

146 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 89.

57

pada kapas untuk manufaktur skala kecil sangat dirugikan dan meningkatkan anga pengangguran di kota tersebut. Pada masa kepemimpinan IMS, Abdul al-Fattah Abu Ghuddah inilah serikat pekerja menjadi aktif sekali dan memperjuangkan hak mereka. Hubungan antara koperasi pekerja juga menjadi sangat bermanfaat karena bergotong royong saling membantu ketika mereka membutuhkan modal. Menurut Raymond Hinnebusch dalam buku Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, IMS pada akhir tahun 1970-an menjadi lawan yang paling kejam dari kebijakan sosialis Ba‟ath dan menjadi perpanjangan tangan bagi kaum pedagang kecil yang hampir gulung tikar. IMS terus menyuarakan kepada pemerintah untuk mempertahankan nilai-nilai seperti hak kepemilikan properti pribadi, kebebasan berdagang, dan dorongan investasi swasta dalam perekonomian nasional.147 Pada tahun 1976, Suriah mencapai inflasi sebesar 30%, sehingga banyak pekerja perkotaan tidak dapat mengikuti kenaikan biaya hidup sehari-hari yang meningkat sampai 10 kali lipat. Pola transformasi sosial-ekonomi ini membuat penduduk yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk tinggal di kota-kota besar tidak mengubah generasi mereka dan bahkan tercerabut dari lingkungannya.148 Inflasi yang melanda ekonomi Suriah dilambangkan oleh banyak orang sebagai kegagalan kebijakan ekonomi sosialis yang menjadi doktrin penting partai Ba‟ath sejak akhir 1940-an. Revolusi ideologi partai Ba‟ath menjungkirbalikkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik tradisional yang ada. Pada tahun 1980, program yang dijalankan IMS ialah mengatur pembagian petani tanpa tanah hanya di wilayah yang telah sah menjadi milik negara. Pada masa inilah kalangan elit tradisional ini mulai bergabung dan memberikan dana kepada IMS. Demonstrasi untuk revolusi Suriah semakin tumpah dan riuh di kota- kota besar. Seperti yang dikemukakan oleh Quintan bahwa gerakan aktivisme Islam meluap karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, sehingga masyarakat ingin memperbaiki kehidupan mereka kembali menggunakan agama. IMS merupakan gerakan aktivisme Islam yang bergerak karena kepentingan

147 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 52-53. 148 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 53.

58

anggota dan kalangan Sunni agar kualitas hidup mereka kembali baik dan terbebas dari pemerintahan minoritas. Setiap pemimpin IMS mencanangkan program baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Sunni dan tetap meneruskan program-program yang sebelumnya sudah dijalankan. Berikut beberapa program unggulan dari setiap pemimpin IMS, yaitu: Pemimpin IMS Program Unggulan Program Futuwwa dan Saraya, Pembentukan cabang FSI, Program Mustafa al-Siba‟i (1945-1961) pembentukan klub-klub olahraga secara regional, Kompetisi olahraga antar klub, pendidikan gratis bagi masyarakat buta huruf, perawatan medis gratis, dan Surat kabar al-Manar. Kesepakatan antara masyarakat, ulama konserfatif, dan moderat bahwa visi IMS I‟sam al-Attar (1961-1972) ialah negara Islam yang demokratis, menempatkan 10 wakilnya di kursi parlemen, koperasi untuk pedagang, dan beasiswa untuk anggota. Koperasi modal antar pekerja, memperjuangkan hak-hak pekerja, koperasi modal khusus untuk kalangan Abdul Fattah Abu Ghuddah (1972- yang bekerja untuk agama, mobilisasi 1975) serikat pekerja dan tuan tanah untuk memperjuangkan usaha bebas dan kepemilikan pribadi. Program pendistribusian petani pada Adnan Saad Eddine (1975-1980) wilayah yang telah sah menjadi milik negara, Program membantu pemilik tanah

59

untuk memperjuangkan, kepemilikannya, dan mobilisasi masyarakat untuk revolusi Suriah.

C. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Agama Mustafa al-Siba‟i sebagai pendiri IMS percaya bahwa tugas utama gerakan tersebut adalah dakwah daripada politik. Gerakan IMS hanya berupaya tidak ada aksi pelarangan aktivitas bagi umat Muslim yang ingin menjalankan ibadahnya. IMS menuntut penutupan pub di dekat masjid, sejumlah insiden di mana wanita dilecehkan karena mengenakan rok pendek, pemilik restoran yang menyajikan alkohol, dan musik keras saat adzan berlangsung.149 Salah satu usaha IMS yang dilaporkan berhasil oleh Legasi Amerika dalam artikel Joshua, ialah kampanye mencegah prostitusi pada bulan Juli tahun 1947. Melalui surat kabar al-Manar, IMS menyebarkan dan mengingatkan kembali nilai- nilai rumah tangga dalam Islam, ganjaran untuk perzinahan, dan semangat menghidupkan lingkungan Islami.150 Bahkan surat kabar tersebut pernah menyerang Roxy Teater di Damaskus yang menayangkan iklan wanita dan pada tahun 1951 membahas isu-isu iklan untuk film yang menunjukkan aurat wanita. Isi keseluruhan surat kabar tersebut ialah penekanan terhadap nilai Islam yang puritan. Ketika surat kabar yang lain banyak memuat iklan-iklan produk asing, surat kabar al-Manar al-Jadid tidak memiliki masalah biaya produksi tanpa memasang iklan satupun. IMS menjaga nilai-nilai Islam dalam negeri Suriah dari invasi budaya asing. Upaya yang dilakukan IMS antara lain, kecaman IMS pada penyair Suriah yang telah menerbitkan bait-bait romantis yang membuat referensi eksplisit dari tubuh seorang wanita akhir tahun 1940-an, IMS melayangkan protes tertulis untuk pembatalan terhadap publikasi Britannia & Eve yang memuat sebuah artikel

149 Line Khatib, Islamic and Islamist Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Secularism in Ba‟athist Syria, h. 15. 150 Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social Origins, and Ideology,” h. 230.

60

bergambar di dalamnya menunjukkan Nabi Adam, Hawa, dan istri Nabi Muhammad dengan pakaian yang tidak semestinya yang ditulis oleh Matania Muhammad, dan IMS juga menulis kepada Presiden dan Perdana Menteri terkait hal tersebut.151 IMS sering digambarkan sebagai organisasi fanatik agama yang sebenarnya siap untuk menunjukkan sikap pragmatisme terhadap otoritas politik selama kepentingan dan nilai-nilai Islam yang mereka bawa maju. Sikap pragmatisme ditampilkan setelah IMS sepakat bergabung dengan pemerintahan bulan Desember 1949. Perdebatan terjadi ketika penyusunan konstitusi baru terdapat isu yang kontroversial yaitu hubungan antara agama dan negara. IMS di bawah Mustafa al-Siba‟i bersikeras bahwa konstitusi harus mengabadikan agama Islam sebagai “agama negara.” Masalah ini cukup sensitif karena masyarakat Suriah yang beragama minoritas cukup banyak jumlahnya dan beragam. Pada akhirnya, al-Siba‟i cukup meyakinkan parlemen dengan menetapkan bahwa agama kepala negara ialah agama Islam dan undang-undang bersumber kepada klausul fiqh Islam. Pada tahun 1963 dan seterusnya, perjuangan IMS lebih militan karena revolusi neo-Ba‟ath mengakibatkan pemerintahan yang lebih radikal dan semakin sekuler. Hal ini terbukti dengan Kongres Nasional Keenam yang diselenggarakan di tahun itu, Ba‟ath menyerukan transformasi sosial radikal masyarakat Suriah melalui penghapusan agama sebagai subjek yang diajarkan di sekolah-sekolah negeri dan juga sekularisasi Hukum Kepemilikan Pribadi yang berbasis syariah.152 Pengenalan langkah-langkah ini membuat marah tokoh agama tertentu yang menghadiri kongres tersebut. Pada tahun 1964, untuk pertama kalinya di kota Hama terjadi demonstrasi menyerukan kebijakan pemerintah yang dinilai anti- agama. Demonstrasi massal dan pemogokan umum tersebut berlangsung selama 29 hari, gerakan tersebut dipimpin oleh anggota IMS yaitu Marwan Hadid. Kesenjangan pendapatan terjadi antara orang-orang yang bekerja untuk agama dengan perwira militer. Pendapatan perwira senior militer bisa mencapai

151 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 32. 152 Line Khatib, Islamic and Islamist Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Secularism in Ba‟athist Syria, h. 53.

61

8.000 pound Suriah setiap bulan, mereka bisa membeli barang bersubsidi di koperasi, membangun rumah dengan pinjaman dari negara yang sangat mudah, dan penggunaan mobil dinas tanpa pemeriksaan. Sedangkan kalangan yang bekerja untuk agama seperti: imam shalat pendapatannya sekitar 385-610; pengajar sekitar 285-455; khatib sekitar 250-420; mu‟azzin (pengumandang adzan) sekitar 285-320; Qari‟ (pembaca al-Qur‟an) sekitar 150-270; muwaqqit (pengingat waktu) sekitar 180-250; dan seorang pengurus masjid sekitar 305-385 pound Suriah.153 Dari data di atas maka bisa disimpulkan gaji seorang khatib bahkan lebih rendah dari pengurus masjid. Gaji para mufti dan qadi juga tidak jauh tinggi, padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan bagi umat beragama. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan gaji dari pelayanan agama maka kebanyakan menjadi pedagang kecil, pengrajin, dan berjualan buku. IMS membentuk koperasi modal terpisah untuk membantu kalangan agama tersebut agar bisa memulai usaha mereka. Masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk agama semakin tertekan setelah pemerintah pada tahun 1965 mengeluarkan kebijakan bahwa mereka berhak untuk menunjuk dan memberhentikan seorang khatib di masjid. IMS mulai menyuarakan penolakkan terhadap pemerintahan tahun 1966 yang mulai terlibat secara itensif dalam penunjukkan ulama, membawa institusi Waqaf di bawah naungan pemerintah, serta mengendalikan dan melarang pengajaran agama di luar masjid.154 Jumlah dan kepadatan ulama juga tidak merata pada tahun 1970-an, dari 3.000 ulama terdapat 2.000 ulama yang terkosentrasi di daerah perkotaan sementara hanya ada 1.000 ulama untuk 5.000 desa di berbagai wilayah.155 Hal ini juga terjadi karena fragmentasi masyarakat Suriah, di mana wilayah perkotaan menjadi pemukiman mayoritas Sunni dan wilayah pedesaan menjadi basis minoritas. Pada tahun 1970, hubungan beragama antara masyarakat dan negara mulai membaik karena Hafez al-Assad merumuskan kembali kebijakan presiden sebelum dirinya. Hubungan harmonis tersebut tidak berlangsung lama ketika

153 Hana Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” h. 19. 154 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 46. 155 Hana Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” h. 14.

62

Januari 1973, Hafez al-Assad menerbitkan sebuah rancangan konstitusi yang memicu demonstrasi dan kerusuhan karena “ketidaktentuan agama” dari dokumen tersebut. Draft tersebut secara implisit menyebutkan Syari‟at Islam sebagai sumber undang-undang utama, tetapi tidak memasukkan pasal status khusus yang ditetapkan oleh Konstitusi tahun 1950 yang menyatakan bahwa Agama seorang kepala negara harus Islam.156 Protes yang berasal dari kota Hama langsung menyebar ke kota-kota sampai ke ibukota, Damaskus. Tokoh IMS Sa‟id Hawwa menyatukan seluruh jaringan ulama untuk meningkatkan koordinasi aksi mempertahankan nilai kredensial Islam yang berada di ujung tanduk. Tanggapan yang diberikan Hafez al-Assad hanya menyiarkan sebuah artikel bahwa “agama Presiden adalah Islam.” Namun, ia tetap menolak tuntutan bahwa Islam dinyatakan sebagai “agama negara.” Penentangan IMS dan masyarakat Muslim- Sunni tidak hanya terhadap sikap sekularisme Ba‟ath tetapi kebenaran agama Alawiyah yang dianut oleh Hafez al-Assad semakin jelas. Pada akhirnya program utama IMS ialah merevaluasi pemerintahan Suriah dengan cara Suriah menjadi negara Islam, pengadilan independen yang berlandaskan hukum syari‟ah, dan meniadakan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Kebebasan berekspresi, persaingan partai terjamin, hukum Islam akan mengatur setiap cabang kehidupan sosial-agama di Suriah, dan pemberantasan judi, alkohol, pelacuran, serta klub malam.157

D. Respon Masyarakat Suriah terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin Setelah merdeka dari Prancis, Masyarakat Suriah disuguhkan berbagai macam partai antara lain Partai Ba‟ath yang didirikan oleh Michel Aflaq dan Salah ad-Din al-Bitar, Partai Komunis oleh Balid Bakhsad, Partai Sosialis Arab oleh Akram al-Hawrani, Partai Nasionalis Suriah oleh Antun Sa‟ada, dan IMS oleh Mustafa al-Siba‟i.158 Kalangan pemuda di kota banyak yang tertarik dengan

156 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 48. 157 Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, (New York: Routledge, 2001), h. 91. 158 Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria,” h. 607.

63

sosok Akram al-Hawrani, seorang aktivis populis yang memainkan peran penting pada masa awal politik Suriah. IMS harus berkompetisi dengan Ba‟ath dan Komunis untuk mendapatkan dukungan kaum urban Sunni tradisional. Pada tahun 1950-an, IMS sedikit meraih anggota dari kalangan menengah dan atas.159 IMS mendapatkan anggota terdiri dari pedagang kecil, pengrajin, ulama, dan guru. Menurut Hana Batatu bahwa kalangan agamawan mempunyai kebutuhan ekonomi yang sama dengan pedagang kecil sehingga mereka pada kelas yang sama.160 Akan tetapi masyarakat Sunni elite sebagai pemilik tanah, mulai bergabung dan membantu IMS pada tahun 1970-an setelah kebijakan reformasi kepemilikan tanah. Bagi masyarakat pedesaan dan etnis minoritas, bergabung dengan partai Ba‟ath menjadi pilihan yang baik karena pluralitas yang diusung dan fokus Ba‟ath menyamakan sarana, ekonomi, dan pendidikan bagi wilayah pinggiran. Pengikut Partai Ba‟ath banyak dari kalangan guru dan tentara. Pada awal berdirinya partai ini, masyarakat Suriah menyambut dengan hangat karena Ba‟ath bisa menjadi jembatan antara kelas dan perpecahan sektarian yang telah mempolarisasi masyarakat. Pada tahun 1953, Partai Ba‟ath bersatu dengan Partai Sosialis Arab yang menjadikannya partai terbesar di Suriah.161 Akan tetapi Partai Ba‟ath yang menjadi penguasa pemerintahan Suriah, setidaknya berevolusi dua kali yang menandakan perubahan besar-besaran pada internal penguasa dan ideologinya yaitu pada tahun 1963 dan tahun 1970. Kudeta tahun 1963 dan 1970 di Suriah merupakan produk konspirasi dari militer bukan dari pergerakan rakyat. „Revolusi dari atas‟ ingin menggantikan kekuasaan yang lama dan membuat konstitusi baru secara masif. Pada tahun 1970, Partai Ba‟ath mulai membersihkan anggotanya yang berasal dari Sunni dan merekrut anggota berasal dari Alawiyah dan Druze. Masyarakat Sunni yang pada awalnya terpecah memihak ke berbagai partai, mulai bersatu bersama IMS karena melihat persaingan yang nyata antara mayoritas sebagai rakyat dengan minoritas sebagai pemerintah.

159 Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 33. 160 Hana Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” h. 19. 161 Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 28.

64

Kebijakan rezim Ba‟ath tahun 1960-an seperti maraknya koperasi pertanian, koperasi konsumen, proyek pembenahan lahan, dan redistribusi tanah skala besar mendapatkan reaksi negatif masyarakat perkotaan. Kebijakan pemerintahan tersebut merubah struktur, pola tradisional, dan mengancam kepentingan kelompok tertentu, maka IMS semakin kuat muncul sebagai kekuatan Islam konservatif dan mewakili masyarakat yang terganggu tersebut. Penduduk kota Hamah juga terusik dengan masuknya pendatang baru dari pedesaan yang membanjiri pusat kota. Selain itu masyarakat Aleppo mulai semarak meneriaki slogan-slogan “Aleppo for Aleppans” (Aleppo untuk orang- orang Aleppo). Kemudian slogan tersebut juga menyebar di beberapa kota, sehingga dimanfaatkan dengan baik oleh IMS untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat kota. Akan tetapi IMS tidak memiliki banyak anggota di daerah pedesaan, kecuali di beberapa desa yang dekat dengan kota. Sedangkan partai Ba‟ath memiliki banyak kader di desa-desa. Pada masa 1970-an, masyarakat Sunni tersadar dan mulai berbondong- bondong masuk ke dalam IMS. Sekitar 500-700 jumlah anggota baru IMS pada tahun 1975 dan pada tahun 1978 skala nasional anggota IMS mencapai 30.000.162 Masyarakat kembali merasakan permusuhan antara sekte Alawiyah dengan Sunni dan mereka mulai bersekutu dengan afiliasinya masing-masing. Masyarakat Sunni kalangan atas yang merasakan kerugian dari kebijakan rezim Ba‟ath, mulai mendukung IMS melakukan revolusi. Puncak kesatuan masyarakat Sunni dengan IMS pada masa 1979 sampai 1982, semua kalangan melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menggulingkan Hafez al-Assad.163 Pertarungan ini membawa banyak dimensi antara IMS dengan Ba‟ath, Sunni dengan Alawiyah, mayoritas dengan minoritas, dan opisisi melawan rezim pemerintahan. Pada bulan Februari 1982, Hafez al-Assad memutuskan untuk membom kota Hama yang menjadi pusat pemberontakan terhadap kekuasaanya. Dilaporkan sekitar 40.000 masyarakat sipil menjadi korban atas pengeboman

162 Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 90. 163 Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 81.

65

tersebut.164 Sampai sekarang peristiwa tersebut menjadi memori luka kolektif bagi masyarakat Suriah. Bagi masyarakat Suriah, bulan Februari merupakan bulan yang kelam karena pemerintahan yang keras membuat puluhan ribu orang yang tinggal di kota Hama harus hidup di antara bom dan kehancuran.165

E. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah Pasca-Peristiwa al-Ahdath Semakin populernya politik Islam yang digalakkan masyarakat Sunni, maka harus mempertimbangkan penguasa Suriah yang semakin ingin mengkooptasi para ulama dan perubahan konstitusi yang semakin liberal. Setelah peristiwa al- Ahdath Februari tahun 1982, semua program terpaksa berhenti dan organisasi IMS menjadi gerakan bawah tanah. Pada 7 Maret 1982, Hafez al-Assad berpidato untuk menerangkan bahwa menjatuhkan bom di kota Hama tidak bisa terelakkan karena pemberontakan dari masyarakat Sunni dan IMS. Dalam pidatonya tersebut, IMS merupakan pengkhianat bagi negara Suriah karena didanai oleh Amerika Serikat dan dipersenjatai oleh Iraq. Ia menambahkan bahwa anggota IMS tidak segan-segan membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan bahkan keluarga di dalam satu rumahnya sendiri.166 Hasil penemuan dari berbagai sumber, anggota IMS melakukan kekerasan dan pembunuhan kepada kadet militer Alawiyah, pejabat Alawiyah, dan percobaan pembunuhan kepada Hafez al-Assad. Tidak ada warga negara sipil yang secara khusus menjadi target kekerasan dari IMS. Akan tetapi berbanding terbalik ketika Hafez al-Assad menjatuhkan bom di kota Hama. Karena sebuah bom yang meledak tidak bisa memilih korbannya, semua warga negara sipil atau target tertentu yang berada di jangkauan ledakan bom tersebut akan terluka. Hafez al-Assad menghukum para pemimpin IMS dengan pengasingan. Menurut Ahmed al-Uthman seorang anggota IMS, ketika kabar kota Hama di bom sampai di kota Aleppo, kota tersebut relatif sepi karena

164 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 77. 165Artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 14.20 WIB, dari /بيان-في-ذكرى-مجزرة-شباط-2891-في-سوريت-شعب-ي/http://ikhwansyria.com/2014/02 166 Pidato Hafez al-Assad tentang "Muslim Brotherhood", 1982,” video diakses pada tanggal 22 Februari 2017 pukul 02.13 WIB, dari https://www.youtube.com/watch?v=dTDeGAp8HAs

66

masyarakatnya relatif memilih diam dan takut jika mereka memberontak akan mendapatkan nasib yang sama.167 Kepemimpinan IMS kehilangan kredibilitas dengan anggota mereka sendiri. Para pemimpin pelopor kelompok radikal seperti Adnan Uqlah mengungsi ke Yordania, tetapi ia terbujuk untuk kembali ke Suriah akhirnya ditangkap dan dieksekusi. Petinggi IMS lainnya seperti Sa‟id Hawwa tinggal di Yordania, Adnan Saad Eddine tinggal di Eropa, Hasan al-Huwaidi serta Abdul Fattah Abu Ghuddah bahkan disambut oleh pemerintahan Arab Saudi dan mereka tidak pernah kembali lagi ke Suriah.168 Sementara anggota biasa IMS yang hidup di Suriah menyembunyikan identitasnya agar tidak tertangkap kemudian dipenjara oleh pemerintah. Pada tahun 1983, Sa‟id Hawwa mengundurkan dirinya dari komite eksekutif IMS. Di balik pengunduran dirinya menurut Ali Sadr al-Din al-Baynuni menjelaskan bahwa seorang anggota faksi Aleppo yang ideologinya radikal mungkin telah merasakan tanggung jawab khusus dari akhir tragisnya pemberontakan Hama. Kelompok jihadis yang diasingkan di Amman dan Iraq mulai menata kembali organisasi mereka dan membangun gerakan jihadis global yang semakin berkembang dan beberapa tahun kemudian lahir al-Qaeda. Organisasi IMS sendiri pada 11 Maret 1982, bergabung dengan koalisi baru yaitu Front Nasional untuk Pembebasan Suriah. Pada tahun 1984 dari koalisi ini menerbitkan sebuah pamflet yang isinya ajakan untuk “membunuh Asad.”169 Pada bulan Februari 1990 didirkan koalisi baru yang bernama Front Nasional untuk Menyelamatkan Suriah secara resmi. Menurut Ali Sadr al-Din al-Baynuni meskipun namanya berganti, berbagai aliansi bergabung dari yang Islamis sampai nasionalis tetapi tujuannya satu yaitu menurunkan Rezim Asad dari kursi pemerintahan. Pada abad ke-21, IMS terus menjalin alinasi dengan pihak oposisi sampai tahun 2006 terdapat 15 grup oposisi yang bersatu dengan memakai nama NSF (the National Salvation Front).

167 Interview dengan Ahmed al-Uthman di Paris, 2 Juni 2011 dalam buku Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 59. 168 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 137-140 169 Liad Porat, The Syrian Muslim Brotherhood and the Asad Regime, h. 4.

67

Demikian pembahasan bab yang menjabarkan sejarah dan perkembangan IMS, peran dan kontribusinya dalam bidang sosial dan agama, respon masyarakat Suriah terhadap gerakan tersebut, dan organisasi Ikhwanul Muslimin pasca- peristiwa al-Ahdath 1982. Selanjutnya saya akan menyimpulkan hasil dari penelitian ini dan saran bagi penelitian selanjutnya.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Awal abad ke-20, menjadi periode dimana negara-negara Timur Tengah mencari jati diri dan bentuk pemerintahan yang sesuai dengan mereka. Pemahaman dan ideologi banyak diadopsi seperti sosialisme, sekularisme, liberal, komunisme, nasionalisme, modernisasi, dan tidak sedikit yang mengembangkan kembali ideologi revivalisme Islam. Berdirinya organisasi Ikhwanul Muslimin merupakan buah dari pemahaman revivalisme yang dikembangkan oleh masyarakat. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah (IMS) yang berakar dari kumpulan beberapa jam‟iyyat, mulai menggiatkan nilai-nilai Islam pada masyarakatnya dan berjuang melawan penjajahan Prancis. Setelah kemerdekaan Suriah tahun 1946, IMS yang mengusung ideologi sosialisme-Islam mulai melancarkan program-program pada bidang sosial dan agama yang menunjukkan konsistensi di sepanjang waktu dan tempat. Namun ideologi sosialisme-Islam yang dicanangkan oleh Mustafa al-Siba‟i tidak berlanjut karena pemimpin- pemimpin IMS setelahnya bersikap pragmatis dan mengutamakan cara menjatuhkan rezim Ba‟ath. Peran IMS semakin terasa ketika perubahan politik yang terjadi di Suriah, perlahan-lahan masyarakat elite Sunni-moderat yang sebelumnya berpihak kepada partai Ba‟ath mulai dimarginalkan dan kaum minoritas Alawiyah mulai mengisi posisi penting di dalam partai dan pemerintahan. Program yang digencarkan bukan hanya untuk anggota IMS saja melainkan masyarakat luas dari kalangan atas dan bawah. IMS merangkul masyarakat Sunni pemilik tanah agar mereka tidak kehilangan semua lahannya akibat kebijakan reformasi kepemilikan tanah dan membantu memberdayakan masyarakat yang berprofesi di bidang keagamaan dan pedagang kecil dengan koperasi untuk menyambung modal mereka. Peran yang dicurahkan IMS pada bidang sosial dan agama semakin itensif pada tahun 1970 sampai 1982. Pada periode ini partai Ba‟ath yang memonopoli

68

69

pemerintahan Suriah mengalami revolusi sehingga lahir partai “neo-Ba‟ath” yang berisi kaum minoritas Alawiyah. Perubahan yang terjadi dalam internal partai Ba‟ath justru meningkatkan pengikut, simpati, dan dukungan masyarakat Sunni yang seakan tersadar bahwa mereka membutuhkan organisasi seperti IMS yang mengusung nilai-nilai Islam. Rezim Ba‟ath berubah menjadi liberal dan mulai menekan organisasi IMS dengan undang-undang pelarangan pada bulan Juli tahun 1970. Meskipun pada akhirnya organisasi tersebut tidak berhasil melakukan revolusi di Suriah, IMS berhasil mencatatkan kontribusinya yang komprehensif kepada masyarakat sehingga muncul pernyataan bahwa organisasi IMS seperti “negara dalam sebuah negara.” Peran yang sukses dimainkan IMS dalam bidang sosial, di antaranya:

1. IMS membangun masyarakat yang sehat secara jiwa dan jasmani dengan menyelenggarakan kompetisi olahraga antar klub dan program Futuwwa. Program tersebut merupakan serangkaian pelatihan kecakapan fisik selayaknya tentara, pengembangan spiritual, dan pengetahuan agama yang mendalam bagi kaum muda Muslimin Suriah. 2. IMS dengan program-programnya seperti: koperasi khusus bagi pedagang, perserikatan pekerja, beasiswa, pendidikan serta pengobatan gratis menjadi penyambung hidup bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. 3. IMS bukanlah organisasi yang berpihak kepada satu kalangan sosial saja, akan tetapi merangkul semua kalangan yang mendapat kerugian dari pemerintahan Hafez al-Assad. Sementara dalam bidang agama, peran IMS di antaranya: 1. IMS membendung paham-paham sekularisme, plularisme, dan liberalisme yang menerjang masyarakat Suriah. 2. IMS menjaga nilai-nilai Islam tetap semarak dan kegiatan keagamaan berjalan dengan lancar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Suriah.

70

3. IMS terus menggalakkan “Negara Islam” atau setidaknya mempertahankan Islam terus menjadi dasar negara dan pemimpin Suriah adalah seorang Muslim. B. Saran

Setelah melakukan penelitian ini maka penulis memiliki saran yakni: 1. Studi tentang Ikhwanul Muslimin Suriah belum banyak dilakukan oleh peneliti Indonesia, sehingga tema ini bisa dikembangkan dan diteliti kembali oleh peneliti-peneliti lain. 2. Kepada organisasi-organisasi massa keagamaan Islam di Indonesia bisa lebih belajar dari pengalaman IMS tentang keterlibatanya dalam bidang sosial dan keagamaan. Sehingga organisasi-organisasi Islam di Indonesia lebih memainkan peran penting dalam masyarakat luas bukan hanya anggota organisasi, dan ikut membangun reformasi sosial dan penggiat nilai-nilai keagamaan. 3. Indonesia dan Suriah memiliki persamaan yaitu agama yang beragam. Tetapi Indonesia menghargai perbedaan yang ada sehingga konfrontasi antar kelompok bisa diminimalisir. Berbeda dengan Suriah yang mendapatkan warisan fragmentasi sosial dari penjajahnya dahulu. Peristiwa yang terjadi di negara Suriah bisa menjadi pelajaran berharga untuk kita semua agar terus menciptakan kondisi bermasyarakat yang toleransi, rukun dan damai.

71

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku Abbu Rumman, Mohammad, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, Jordan, Friedrich-Ebert-Stiftung, 2013. Abdurrahman, Hafidz, Kembalinya Suriah Bumi Khalifah Yang Hilang, Bogor, Al-Azhar Freshzone, 2013. Adma, Michael, Handbooks to the Modern World: The Middle East, New York, Facts on File Publications, 1988. al-Noqaidan, Mansour, Muslim Brotherhood in UEA Expansion and Decline, Dubai: al-Mesbar Center for Studies and Research, 2009. al-Qaradhawi, Yusuf, 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun; Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah dan Jihad, penerjemah: Mustolah Maufur dan Abdurrahman Husain, Pustaka al-Kautsar, 1999. Anderson, Ewan W. and Liam D. Anderson, An Atlas of Middle Eastern Affairs, New York, Routledge, 2010. Antonio, Muhammad Syafii, Ensiklopedia Peradaban Islam Damaskus, Jakarta, Tazkia Publishing, 2012. Cleveland, Wiliam and Marti Burton, A History of The Modern Middle East, Philadelphia, Westview Press, 2009. Darojat, Zakiyah, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945- 2005); kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014. Defense Intelligence Agency, Syria Muslim Brotherhood Pressure Intensifies, May, 1982. Fatiah, Abu Al-Adnani, Journey to Damascus, Surakarta, Granada, Mediatama, 2014. Hawkes, Steven ,Teeples S.J., The Eastern Chrisians and Their Churces, USA, Knights of Columbus Supreme Council, 2008. Houston, Stephen D., The Shape of Script: How and Why Writing System Change, School for Advanced Research Press , 2012. Hinnebusch, Raymond, Syria Revolution from Above, New York, Routledge, 2001. ______The Middle East, Edition 13, Washington DC, Sage Publications, 2014. Hitti, Philip K., Syria A Short History, New York, The Macmillan Company, 1959. Ibrahim, Qasim A. dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam Jejak Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Kini, Jakarta, Zaman, 2014, Isma‟il, Hasan al-Hudhaibi, Ikhwanul Muslimin Mengajak bukan Menghakimi, Pustaka, Bandung, 1984. Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta, Amzah, 2005. Karya, Soekma H., Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Logos Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1966.

72

Kawakibi, Salam, Political Islam in Syria, Center For European Policy Studies, 2007. Khoury, Philiph, The Modern Middle East: A Reader, New York, I.B. Taruris, 2009. Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999. Lefèvre, Raphaël, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, London, Hurst & Co., 2013. Lund, Aron, The Ghost Of Hama, The Bitter Legacy of Syria‟s Failed 1979-1982 Revolution, Stockholm, Swedish International Liberal Centre, 2011. Machmudi, Yon, Islamising Indonesian: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party (PKS), ANU Press, 2008. Machmudi, Yon, Partai Keadilan Sejahtera; Wajah Baru Islam Politik Indonesia, Bandung, Harakatuna, 2005. Marbun, B. N., Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007. Mo‟az, Moshe dan Avner Yaniv, Syria Under Assad: Domestic Constraints and Regional Risk, New York: Routledge, 2014. Mostyn, Trevor and Albert Hourani, The Cambridge Encyclopedia of The Middle East and North Africa, Cambridge University Press, Cambridge, 1988. Pargeter, Alison, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, Saqi Books, Beirut, 2010. Philips, Douglas A., Modern World Nation: Syiria, Chelsea House, New York, 2010. Qodir, Zuly, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia, Jusuf Kalla School of Government, Yogyakarta, 2013. Rahmat, M. Imdadun, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Jogjakarta, LKis, 2008. Ranko, Annete, The Muslim Brotherhood and its Quest for Hegemony in Egypt State-Discourse and Islamist Counter- Discourse, Springer VS, Hamburg, 2015. Salvatore, Armando dan Dale F. Eickelman, Public Islam and The Common God, Koninklijke Brill, Leiden, 2004. Santosa, Agus, World Heritage Nature and Culture Under The Protection of UNESCO, Vol II: North Africa and Middle East, Batara Publishing, Surakarta, 2009. Schulze, Reihard, A Modern History of the Islamic World, New York: New York University Press, 2002. Simon, Reeva S., dkk, Encyclopedia of the Modern Middle East, New York, Macmillan, 1996. Spencer, William J., Global Studies: The Middle East, New York: McGraw-Hill,, 2009. Sucipto, Hery, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhamadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010. Syafii, Muhammad Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.

73

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Tilly, Charles, From Mobilization to Revolution, McGraw-Hill: California, 1978. Wickham, Carrie Rosefsky, The Muslim Brotherhood: Evolution of an Islamist Movement, New Jersey: Princeton University Press, 2013. Wiktorowicz, Quintan, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, Indiana: Indiana University Press, 2004. Zollner, Barbara H. E., The Muslim Brotherhood Hasan Al-Hudaybi and Ideology, New York: Routledge, 2009.

Jurnal Abbott, Freeland “The Jama‟at–i-Islami of Pakistan,” Middle East Journal, Vol.11, No.1, 1957. Abu, Ibrahim Bakar, “PAS and Its Islamist Fundamentalism in Malaysia,” Journal of Human Sciences, No. 43, July, 2009. al-Monein, Abd Said Aly dan Manfred W. Wenner, “Modern Islamic Reform Movements: The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt,” Middle East Journal, Vol. 36, No. 3, pp. 336-361, 1982. Batatu, Hanna, “Syria‟s Muslim Brethren,” MERIP Reports, Vol. 12, No. 9, November 1982. http://www.merip.org/mer/mer110/syrias-muslim- brethren. Drysdale, Alasdair, “The Asad Regime and Its Troubel,” MERIP Reports, Vol. 12, No. 9, November 1982. http://www.merip.org/mer/mer110/asad-regime- its-troubles Drysdale, Alasdair, “The Syrian Political Elite 1966-1976: A Spatial and Social Analysis,” Middle Eastern Studies, Vol. 17, No. 1, pp. 3-30, 1981. Faksh, Mahmud A., “The Alawi Community of Syria: A New Dominant Poltical Force,” Middle Eastern Studies, Vol. 20, No. 2, April, 1984. Hinnebusch, Raymond, “Rural Politics in Ba‟athist Syria: A case Study in the Role of the Countryside in the Political Development of Arab Societies,” The Review of Politics, Vol. 44, No. 1, Januari, 1982. Isaac, Steven, “The Ba‟ath of Syria and Iraq,” Longwood University, artikel diakses pada tanggal 8 Februari 2018 pukul 10. 52 WIB, dari http://www.longwood.edu/staff/isaacsw/Ba'th%20Excerpt.pdf Lefèvre, Raphaël, The Muslim Brotherhood Prepares for A Comeback in Syria, Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace, Mei, 2003. Leiden, Carl, “Political Instability in Syria,” The Southwestern Social Science Quarterly, Vol. 45, No. 4, pp. 353-360, Maret, 1965. Müller, Dominik M., “An Internatinalist National Islamic Struggle? Narratives of „Brothers Abroad‟ in The Discursive Practices of The Islamic Party of Malaysia (PAS),” South East Asia Research, Vol. 18, No.4, pp. 757-791, 2010. Dam, Nikolas Van, “The Islamic Struggle in Syria,” Middle East Studies Bulletin, Vol. 18, No. 1, July, 1984.

74

Padmo, Soegijanto, “Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Masa Ke Masa: Sebuah Pengantar,” Humaniora, Vol. 19, No. 2, Juni, 2007. Porat, Liad, “The Syrian Muslim Brotherhood and The Asad Regime,” Crown Center For Middle East Studies, No. 47, Desember, 2010. Qaddour, Jomana, “Unlocking the Alawite Conundrum in Syria,” The Washington Quarterly, Vol. 36, No. 4, pp. 67-78, 2013. Rabi, Ibrahim Abu, “Facing Modernity: Ideological Origins of Islamic Revivalism,” Harvard International Review, Vol. 19, No. 2, 1997. Rapp, A., “Syria: Can Desert Encroachment Be Stopped?,” Ecological Bulletins, No. 24, 1976. Sattar, Noman, “al-Ikhwan al-Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact,” Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2, pp. 7- 30, 1995. Simms, Rupe, “Islam Is Our Politics: A Gramscian Analysis of the Muslim Brotherhood,” Social Compas, Vol. 49, pp. 563-582, 2001. Talhamy, Yvette, “The Syrian Muslim Brothers and the Syrian-Iranian Relationship,” The Middle East Journal, Vol. 63, No.4, 2009. Teitelbaum, Joshua, “The Muslim Brotherhood and the „Struggle For Syria‟ 1947- 1958 Between Accomodation and Ideology,” Middle Eastern Studies Vol. 40, No. 3, May 2004. “The History of Muslim Brotherhood,” 9 Bedford Row International, London, 2015. “The Muslim Brotherhood in the Arab World and Islamic Communities in Western Europe,” The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center, January, 2012. Weismann, Itzchak, “Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria,” Middle Eastern Studies, Vol. 29, No. 4, pp. 601-623. 1993. Zahid, Mohamed dan Michael Medley, “Muslim Brotherhood in Egypt and Sudan,” Review of African Political Economy, Vol. 33, No. 110, Religion, Ideology and Conflict in Africa, September, pp. 693-708, 2006.

Surat Kabar Al-Arabiya News, “The UAE Brotherhood: Loyal to whom?,” artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2017 pukul 23.37 WIB, dari http://english.alarabiya.net/views/2012/03/19/201649.html Key Figures in the Syrian Muslim Brotherhood, Carneige Middle East Center, artikel diakses pada tanggal 9 November 2017 pukul 20.41 WIB, http://carnegie-mec.org/diwan/51470?lang=en Meir, Ran, Malaysia Welcomes Hamas, Brotherhood: Report, Clarion Project News, artikel diakses pada tanggal 30 November 2017 pukul 15.08 WIB, dari https://clarionproject.org/malaysia-welcomes-hamas-brotherhood/ Report from Amnesty International to the Government of the Syrian Arab Republic, Amnesty International Publications, 1983.

75

https://www.amnesty.org/download/Documents/200000/mde240041983en .pdf Saied Rassas, Mohammad, Syria‟s Muslim Brotherhood: Past and Present, diakses pada tanggal 13 Juni 2015 pukul 20.39, http://www.al- monitor.com/pulse/politics/2014/01/syria-muslim-brotherhood-past- present.html Sejarah Persatuan Islam, http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam/ Special Report The Muslim Brotherhood, The Clarion Project, http://www.clarionproject.org/sites/default/files/Muslim-Brotherhood- Special-Report.pdf

Sumber Elektronik

Artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 14.20 WIB dari بيان-في-ذكرى-مجزرة-شباط-2891-في-سوريت-/http://ikhwansyria.com/2014/02 /شعب-ي Gambar Abd al-Fattah Abu Ghuddah diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 14.09 WIB, dari http://www.sunnah.org/history/Scholars/aboghoudah.htm Gambar Adnan Saad Eddine diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 13.56 WIB, dari http://www.aljazeera.net/home/print/0353e88a-286d-4266- 82c6-6094179ea26d/981a9714-aba1-40d3-824a-def1fbc12641 Gambar I‟sam al-Attar diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 13.11 WIB, dari https://www.youtube.com/watch?v=RZCp99DJ67Q Gambar Kota Hama sebelum dan setelah di bom tahun 1982 diakses pada tanggal 21 Maret pukul 1024 WIB, dari http://foreignpolicy.com/2012/09/21/history-repeats-itself-as-tragedy/ Gambar Mustafa al-Siba‟I diakses pada tangga 25 Januari 2018 pukul 11.59 WIB, dari http://ikhwansyria.com/2016/09/%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%B1% D8%A7%D8%B9-%D9%85%D8%B9-%D8%AD%D8%B2%D8%A8- %D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B9%D8%AB- %D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%A7%D9%83%D9%85/ Gambar Peta Fragmentasi Agama di Suriah diakses pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 10.25 WIB, dari https://www.fragilestates.org/2012/02/20/syrias- ethnic-and-religious-divides/ Gambar Peta Suriah diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 12.53 WIB, dari http://printable-maps.blogspot.co.id/2011/12/map-of-syria.html Pidato Hafez tentang "Muslim Brotherhood", 1982. Video diakses pada tanggal 22 Februari 2017 pukul 02.13 WIB, https://www.youtube.com/watch?v=dTDeGAp8HAs

76

LAMPIRAN

Gambar 1: Peta Negara Suriah170

170 Gambar diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 12.53 WIB, dari http://printable- maps.blogspot.co.id/2011/12/map-of-syria.html

77

Gambar 2: Peta fragmentasi masyarakat di Suriah171

171 Gambar diakses pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 10.25 WIB, dari https://www.fragilestates.org/2012/02/20/syrias-ethnic-and-religious-divides/

78

Daftar Pemimpin dan Presiden negara Suriah:172

NO PEMIMPIN MASA JABATAN

1 Hasyim al-Atassi (1875-1960) 21 Desember 1936 - 7 Juli 1939

2 Bahij al-Khatib (1895-1981) 10 Juli 1939 - 16 September 1941

3 Khalid al-Azm (1903-1965) 4 April - 16 September 1941

4 Tajuddin al-Hasani (1885-1943) 16 September 1941 - 17 Januari 1943

5 Jamil al-Ulshi (1883-1951) 17 Januari - 25 Maret 1943

6 Ata Bay al-Ayyubi (1877-1951) 25 Maret - 17 Agustus 1943

7 Shukri al-Quwatli (1981-1967) 17 Agustus 1943 - 30 Maret 1949

8 Husni al-Za‟im (1897-1949) 30 Maret - 14 Agustus 1949

9 Hasyim al-Atassi (1875-1960) 15 Agustus 1949 - 2 Desember 1951

10 Fauzi Selu (1905-1972) 3 Desember 1951 - 11 Juli 1953

11 Adib al-Shishaki (1909-1964) 11 Juli 1953 - 25 Februari 1954

12 Hasyim al-Atassi (1875-1960) 28 Februari - 6 September 1955

13 Shukri al-Quwatli (1981-1967) 6 September 1955- 22 Februari 1958

14 Bagian Uni Republik Arab 22 Februari 1958 - 29 September 1961

15 Ma‟amun al-Kuzbari (1914-1998) 29 September - 20 November 1961

16 Izzat an-Nuss (1913-2000) 20 November - 14 Desember 1961

17 Nazim al-Qudsi (1906-1998) 14 Desember 1961 - 8 Maret 1963

18 Lu‟ay al-Atassi (1926-2003) 9 Maret - 27 Juli 1963

19 Amin al-Hafez (1921-2009) 27 Juli 1963 - 23 Februari 1966

20 Nuraedin al-Atassi (1929-1992) 25 Februari 1966 - 18 November 1970

172 Hafidz Abdurrahman, Kembalinya Suriah Bumi Khalifah Yang Hilang, h. 198.

79

21 Ahmad al-Khatib (1933-1982) 18 November 1970 - 22 Februari 1971

22 Hafez al-Assad (1930-2000) 22 Februari 1971 - 10 Juni 2000

Daftar Pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah173:

No. PEMIMPIN MASA JABATAN

1 Mustafa al-Siba‟I (1915-1964) 1945-1961

2 I‟sam al-Attar (1927-) 1961-1972

Abd al-Fattah Abu Ghuddah (1917- 3 1972-1975 1997)

4 Adnan Saad Eddine (1929-2010) 1975-1980

173 Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 209.

80

81

Gambar 6: Adnan Saad Eddine177

Gambar 7: Kota Hama sebelum dan sesudah dijatuhkan bom 1982178

177 Gambar diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 13.56 WIB, dari http://www.aljazeera.net/home/print/0353e88a-286d-4266-82c6-6094179ea26d/981a9714-aba1- 40d3-824a-def1fbc12641 178 Gambar diakses pada tanggal 21 Maret pukul 1024 WIB, dari http://foreignpolicy.com/2012/09/21/history-repeats-itself-as-tragedy/