Mengapa Selalu Harus Perempuan: Suatu Konstruksi Urban Pemenjaraan Seksual Hingga Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno

Bambang Aris Kartika Fakultas Sastra, Universitas Jember E-mail: [email protected]; HP: 081578981991 Volume 2 Nomor 1, April 2015: 35-54 ABSTRAK

Film Soekarno karya menghadirkan suatu deksripsi tentang fakta-fakta historis terkait dengan perempuan Indonesia yang dikomodifikasi menjadi teks-teks naratif dan visual film. Wujud representasi dari komodifikasi fakta historis perempuan Indonesia, ditampilkan dalam konstruk urban mengenai visualisasi ketidakadilan gender dalam praktik-praktik politik seksual, kekerasan seksual, kekerasan psikis, hingga pemenjaraan seksual yang diakibatkan oleh hegemoni kolonialisme fasisme Jepang melalui praktik perbudakan seksual (jugun ianfu) dan tokoh Soekarno terhadap diri tokoh Inggit Ganarsih. Makna-makna simbolik dari unsur naratif dan visualisasi yang dihadirkan dalam film Soekarno merupakan suatu strategi kebudayaan dan politik media untuk menjadikan film sebagai media historical memory dan collective memory bagi masyarakat Indonesia untuk melawan lupa dari deskripsi narasi besar sejarah bangsa dan negara Indonesia, khususnya terhadap sejarah perempuan Indonesia.

Kata Kunci: fakta historis, historical memory dan collective memory, kekerasan dan ketidakadilan gender, hegemoni maskulinitas, perempuan Indonesia

ABSTRACT

Why Women Should Always Be: From the Sexual Restraint to the Hegemony of Masculinity in the Soekarno Film. Soekarno Film presented by Hanung Bramantyo is a description of historical facts which are related to Indonesian women and which are then commodified into texts and visual narrative films. The representation form of the commodification of historical facts of Indonesian women is showed in the visualization of gender inequality through the practices of sexual politics, sexual violence, and psychological violence until sexual restraint caused by the hegemony of Japanese colonialism through the practice of sexual slavery (jugun ianfu), and the attitude of Soekarno figure which appears to Inggit Ganarsih figure. The symbolic meanings of the narrative and visualization elements which are presented in the film of Soekarno are the strategy of culture and media politics to make the film as the medium of historical memory and collective memory for the Indonesian people to fight against the forgetting of a narrative description of the history of Indonesia, especially to the history of Indonesian women.

Keywords: historical facts, historical memory and collective memory, violence and inequality gender, hegemony of masculinity, Indonesian women

Naskah diterima: 2 Januari 2015; Revisi akhir: 6 Maret 2015 35 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno

Pendahuluan dan fungsi-fungsi kemanusiaan, pendidikan, sosial, ekonomi, ideologi, kebudayaan, sejarah, Film sebagaimana karya sastra merupakan lingkungan, dan politik pada zamannya sebagai karya seni yang berangkat dari persoalan mimetis. komodifikasi content film. Salah satu tipe dari Penciptaan film sebagai karya seni tidak dapat komodifikasi yang penting bagi komunikasi massa dihindarkan dari eksistensi fakta-fakta sosial, adalah komodifikasi isi. Komodifikasi isi menjadi kebudayaan, sejarah, tradisi, ideologi maupun pusat perhatian kajian ekonomi politik media dan kehidupan psikologis masyarakat pada suatu zaman. komunikasi. Ketika pesan atau isi komunikasi Menurut Sumarno (1996:23) bahwa film yang diperlakukan sebagai komoditas, ekonomi politik baik adalah film yang mampu merepresentasikan cenderung memusatkan kajian pada konten kenyataan sosial pada zamannya. Film yang baik (content) media (Ibrahim dan Akhmad, 2014:20). adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zamannya Dalam perkembangan film di Indonesia, (zeitgeist) saat itu (Imanjaya, 2006:30). Artinya, fakta historis seringkali dijadikan komodifikasi film dihadirkan oleh para sineas sebagai wujud dari oleh sineas sebagai tema-tema content film, seperti representasi dan mozaik kehidupan masyarakat film-film bergenre sejarah Indonesia di antaranya dalam wujud teks-teks atau narasi-narasi audiovisual filmDarah dan Doa (Usmar Ismail, 1950), Enam yang dihadirkan kepada publik melalui bantuan Jam di Jogja (Usmar Ismail, 1951), Pengkhianatan seperangkat peralatan sinematik yang mencirikan G 30 S/PKI (Arifin C Noer, 1982),Tjoet Nya’ zamannya. Pakar filmologi bersepakat bahwa Dien (Eros Djarot, 1988), Gie (Riri Reza, 2005), esensi film dapat dikaji dengan lebih memadai Garuda di Dadaku (Ifa Isfansyah, 2009), Darah pada tataran tekstual, bukan pada tataran sintaksis Garuda (Merah Putih II) (Yadi Sugandi dan Conor atau gramatika semata-mata (Budiman dkk, 2013). Alyyn, 2010), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, Pemikiran yang lain ditunjukkan Metz (1974:93); 2010), Soegija (Garin Nugroho, 2012), Habibie Andrew (1976:234); Budiman dkk (2013) yang & Ainun (Faozan Rizal, 2012), Sang Kiai (Rako mengemukakan bahwa sarana penyampai makna Prijanto, 2013), Soekarno (Hanung Bramantyo, yang khas dalam film sebetulnya terletak dalam 2013), dan Tjokro Guru Bangsa (Garin Nugroho, penataan sekuens-sekuens, bukan dalam shot atau 2015). Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat scene karena film pada hakikatnya adalah teks pascakolonial, yang merujuk pada periode historis naratif yang “menyampaikan cerita”. Visualisasi pascakemerdekaan, memiliki empirisme terhadap teks-teks naratif adalah representasi pesan dan praktik-praktik kolonalisme fasisme. Menurut makna-makna simbolik yang harus dimaknai Purcell dalam Mariana (2015:18) fasisme secara sebagai suatu sistem komunikasi yang bersifat konseptual, secara kerangka teoritis, adalah sebuah massa karena film merupakan komodifikasi budaya kondisi ideologi sayap kanan, ultranasionalisme, massa dan populer. dan rasis dianut dan diterapkan. Fasisme apabila Dalam konteks komunikasi massa, film dianut oleh negara akan memunculkan sebuah merupakan produk yang memiliki fungsi-fungsi rezim pemerintahan yang rasis, militeristik, yang menjadi kekhasan dari perilaku komunikasi diktator, dan berpartai tunggal. Praktik-praktik massa, sebagaimana yang dikemukakan oleh kolonialisme fasisme merupakan fakta historis yang Jay Black dan Frederick C. Whitney (dalam terepresentasikan menjadi bagian dari catatan kritis Nurudin, 2014:64) antara lain: (1) to inform praktik-praktik pengingkaran derajat kehormatan (menginformasikan), (2) to entertain (memberi manusia sekaligus pelanggaran hak asasi manusia hiburan), (3) to persuade (membujuk), dan (4) dan nihilisme terhadap nilai-nilai kemanusiaan. transmission of the culture (transmisi budaya). Hal ini Fakta historis dari praktik kolonialisme fasisme dilatarbelakangi oleh realitas film yang memberikan di Indonesia ditunjukkan oleh representasi informasi, memberi hiburan, membujuk, dan Pemerintahan Militer Jepang dalam kontestasi menjadi media transmisi budaya, meskipun film Perang Dunia II. merupakan karya seni yang mengandung konsep Konsep kunci dari karakteristik rezim fasis

36 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015 adalah “politik pemenjaraan” terhadap “musuh perempuan dipandang hanya sebagai objek, bukan negara” (Mariana, 2015:24). Pada masa Jepang, siapa subjek. Konsep bahwa perempuan memiliki hak saja dapat dengan mudah dituding sebagai musuh mandiri untuk menentukan apa yang diinginkannya negara, apabila menolak atau tidak mendukung tidak ada dalam negara fasis (Purcell dalam Mariana, kebijakan rezim fasis Jepang, seperti dalam kasus 2015:18). Kedudukan perempuan sebagai objek romusha dan jugun ianfu karena rezim fasis Jepang adalah bentuk yang paling nyata dalam upaya memosisikan kebijakan-kebijakannya sepenuhnya sebuah rezim fasis melakukan penundukan atas diperuntukkan bagi kepentingan perang. Politik suatu bangsa. Hal itu sebagaimana yang terjadi kolonial Jepang dibangun berdasarkan sistem fasis pada masa penjajahan Jepang, ketika Dai Nippon yang militeristik. “Politik pemenjaraan” semasa melakukan mobilisasi perempuan Indonesia rezim fasis Jepang berlangsung dalam dua bentuk. sebagai bagian dari wujud penundukan wilayah Pertama, “politik pemenjaraan” terhadap kaum kulit dengan memasukkan beratus-ratus perempuan putih dan kaum intelektual, yaitu masyarakat kelas dalam ianjo-ianjo (Mariana, 2015: 18-19). menengah. Kedua, “politik pemenjaraan” terhadap Tindakan praktik kekerasan seksual kepada perempuan yang “dikumpulkan” di berbagai ianjo perempuan Indonesia juga tidak sebatas pada masa di seluruh negeri (Mariana, 2015:25). kolonialisme fasisme Jepang. Secara konstruksi Praktik-praktik kolonialisme fasisme Jepang sosial dan budaya, perempuan Indonesia juga terhadap perempuan Indonesia terlihat dalam mengalami ketidakadilan secara gender yang beberapa film Indonesia, meskipun bukan menjadi diakibatkan oleh posisi perempuan yang content utama film yang secara khusus dihadirkan terhegemoni. Konsekuensi logis dari persoalan kepada publik sebagai representasi teks naratif film konstruksi kebudayaan yang menempatkan inferior oleh sineas. Praktik kolonialisme fasisme Jepang perempuan termanifestasikan ke dalam bentuk- terkadang menjadi momen-momen “pemanis” bentuk diskriminatif seperti stereotipe, subordinasi, tertentu dalam kesatuan struktur naratif film, pelecehan seksual, double burden, kontrol terhadap seperti adegan seks ketika perempuan Indonesia seksual perempuan, dan kekerasan. Pembahasan diperkosa atau saat harus menjadi jugun ianfu mengenai persoalan perempuan menunjukkan melayani hasrat seksual tentara fasis Jepang. satu konsep penting yang tidak boleh dilupakan Keadaan ini yaitu penderitaan yang dirasakan oleh adalah konsepsi gender karena masalah-masalah perempuan Indonesia oleh rezim fasisme Jepang yang mengemuka merupakan bentuk dari sangat merendahkan hak asasi dan harga diri bangsa berlangsungnya bias gender yang dipengaruhi oleh Indonesia dengan menjadikan perempuan Indonesia bentuk tatanan sosial dan budaya yang berlaku sebagai budak seks tentara Jepang dan pemerintah pada masyarakat yang menganut budaya patriarki. Jepang menganggap hal itu bukan kejahatan perang Menurut Fakih (1997:xii-xiii) sebagai teori, tugas selama mereka menjajah Indonesia. Tragisnya lagi utama analisis gender adalah memberi makna, bahwa pemerintahan Jepang hingga kini tidak konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktik hubungan bersedia meminta maaf sebagai wujud political will baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta terkait tindakan kejahatan masa Perang Dunia II, implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih termasuk soal perbudakan seks terhadap ratusan luas (sosial, ekonomi, politik, kultural). ribu perempuan dari sejumlah negara Asia (Kompas, Film Soekarno karya sutradara Hanung 2 Mei 2015). Fakta sudah menunjukkan sangat Bramantyo sarat dengan visualisasi dan representasi jelas bahwa di tahun 2001 pengadilan internasional posisi perempuan dalam konteks relasi kuasa dengan yang digelar di Den Haag, Belanda memutuskan laki-laki. Kondisi ini menunjukkan bagaimana Kaisar Hirohito sebagai penjahat perang karena perempuan dalam film direpresentasikan menjadi menjadikan sekitar 20.000 perempuan di Asia objek subaltern. Terma Subaltern digunakan dalam sebagai budak seks (Kompas, 10 Desember 2001; teori poskolonial untuk merujuk sekelompok Mardiana, 2015:73). orang-orang marjinal dan kelas rendah. Kata Dalam sebuah negara fasis, kedudukan ini dirumuskan oleh Antonio Gramsci. Gramsci

37 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno menegaskan bahwa kelompok ini memang ada jek filmSoekarno sekaligus memaknai imaji visuali- karena adanya hegemoni. Secara sederhana definisi sasi dari Hanung Bramantyo sebagai sineas dengan hegemoni adalah dominasi sekelompok orang menggunakan teori encoding (proses produksi teks) terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa dan decoding (konsumsi teks) Stuart Hall. Suatu paksaan (Kartika, 2011). Dalam semangat lebih keadaan yang akan ditunjukkan adalah bagaimana dalam, kata Subaltern menjadi sering digunakan film sebagai produksi makna dan penonton atau setelah seorang third-world-India-postcolonial- pengkaji sebagai pihak yang memaknai makna feminist yang menjadi Profesor Avalon di Columbia sehingga unsur subjektivitas terhadap kajian film University Amerika Serikat, Gayatri Chakravorty ini sangat berperan penting untuk menghasilkan Spivak, menulis essay “Can the Subaltern Speak?” pemaknaan atas makna-makna simbolik yang ter- (Soekirno, 2006). Posisi perempuan Indonesia dapat dalam content film Soekarno. Fakta-fakta yang sebagai subaltern, baik sebagai objek historiografi diperoleh dalam film sebagai teks-teks naratif yang kolonialis maupun sebagai subjek pemberontakan, dijadikan sebagai objek data untuk kemudian dia- konstruksi ideologi gender tetap mempertahankan presiasi dan dianalisis dengan menggunakan teknik laki-laki sebagai pihak yang dominan (Spivak, intepretatif. Analisis data dalam kajian ini meru- 1993:83). Hal ini terlihat pada visualisasi praktik juk pada metode kualitatif dan metode deskriptif hegemonik tentara fasisme Jepang terhadap dengan menggunakan analisis intepretatif, yakni perempuan muda Indonesia dan perilaku serta sikap peneliti melakukan tafsir terhadap temuan data yang ditunjukkan oleh tokoh Soekarno terhadap dari sudut fungsi dan peran kaitannya dengan un- istrinya, yaitu tokoh Inggit Ganarsih terkait dengan sur lain. Metode kualitatif deskriptif ini menuntut relasi kuasa dalam urusan domestik. Ketidakadilan seorang peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta gender senantiasa berwajah perempuan tatkala yang tampak atau data dengan dengan cara mem- berhadapan dengan situasional politik hegemoni berikan deskripsi (Hikmat, 2011:101). Menurut dan politik patriarki oleh laki-laki dengan orientasi Siswantoro (2010), metode deskriptif menuntut pada kepatuhan dan ketundukan perempuan. seorang peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta Film mampu menghadirkan dalam sebuah yang tampak atau data dengan cara memberikan realitas teks-teks naratif yang terbungkus dalam deskripsi. Fakta atau data merupakan sumber in- adegan-adegan dan gambar visual sebagai bentuk formasi yang menjadi basis analisis. simbolisme-simbolisme dari mimetisme yang ha- dir di tengah masyarakat, termasuk sebagai kritik “Pemenjaraan Seksual”: Film sebagai atas perlakuan ketidakadilan pada zamannya. Bau- Historical Memory dan Collective Memory drillard (dalam Hananta, 2013) mengasumsikan bahwa film sebagai alat untuk menghadirkan “re- Menurut Ayawaila (2008:45), “Ada tiga alitas sosial” yang direpresentasikan sebagai realitas hal yang perlu diperhatikan dalam menilik media. Realitas media yang dibangun oleh film dokumenter sejarah, yaitu periode (waktu peristiwa merupakan hasil pemikiran para pembuat film, sejarah), tempat (lokasi peristiwa sejarah), dan yang di dalam pengembangannya mengikuti tuntu- pelaku sejarah.” Artinya, film bertema sejarah tan pasar. Film Soekarno yang disutradarai Hanung tidak semata-mata merepresentasikan peristiwa Bramantyo merupakan genre film biografi sejarah dan waktu, melainkan juga merepresentasikan yang tengah mengalami euforia pasar, dengan ke- gambaran-gambaran pelaku atau tokoh sejarah berhasilan beberapa film bergenre sejenis, seperti yang kemudian divisualisasikan dalam wujud film Sang Pencerah, Sang Kiai, Soegija, dan Habibie & sebagai teks historical memory (ingatan sejarah). Ainun. Meskipun demikian, dalam film Soekarno Hal ini mengartikan bahwa film-film dengan didominasi masa-masa pembuangan di Bengkulu genre sejarah dalam perspektif historis dapat dan era pendudukan kolonialisme fasisme Jepang. difungsikan sebagai historical memory (ingatan Interpretasi dan wujud apresiasi untuk me- sejarah) dan collective memory (ingatan kolektif) maknai dalam artikel ini dengan bahasan dalam ob- bagi perempuan Indonesia, terutama dari generasi

38 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015 muda yang sedang mengalami gejala sikap ahistoris publik. Film merupakan media paling efektif agar tidak melupakan tragedi kemanusiaan yang untuk menanamkan kepada publik fakta-fakta dialami oleh kaum perempuan Indonesia semasa historis tentang ketidakadilan relasi kuasa patriarki dalam kolonialisme fasisme Jepang. yang dilakukan oleh negara ataupun suatu entitas Menurut Sobur (2004:127), film selalu me- konstruksi budaya komunal seperti pada saat rekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam Indonesia dalam kekuasaan kolonialisme fasisme masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke Jepang, sebagai bagian dari historical memory dan atas layar. Film sebagai media massa menyajikan collective memory pada diri kaum perempuan. cerita dan peristiwa terkait dengan hal jangkauan, Salah satu film Indonesia yang ber-setting masa realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang kolonialisme fasisme Jepang adalah filmSoekar - hebat. Film juga memiliki kelebihan dalam segi no (Hanung Bramantyo, 2013). Dalam film ini kemampuannya menjangkau sekian banyak orang digambarkan bagaimana tokoh Soekarno dipaksa dalam waktu singkat dan mampu memanipulasi oleh Pemerintah Militer Jepang untuk “menye- kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas (Hananta, diakan” perempuan-perempuan muda sebagai 2013). Pada titik inilah historical memory dan jugun ianfu dan romusha sebagai konsekuensi men- collective memory menjadi penting terkait dengan dukung peperangan tentara Jepang di bawah jargon realitas tentang kehadiran praktik pemenjaraan dan 3A (Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin perbudakan seksual perempuan Indonesia dalam Asia, dan Nippon Cahaya Asia). Tokoh Soekarno film Soekarno untuk memengaruhi emosional memilih berkolaborasi dengan Pemerintahan Mi- publik agar senantiasa menolak dan melawan lupa liter Jepang semata-mata sebagai strategi diplomasi atas tragedi kemanusiaan dan sejarah. untuk meraih kemerdekaan dan menghindari per- Suatu upaya yang dilakukan terkait dengan tumpahan darah, meskipun konsekuensi logisnya historical memory dan collective memory terkait tokoh Soekarno distigma sebagai pengkhianat oleh dengan jugun ianfu antara lain dengan menerbitkan beberapa pihak dari kalangan gerakan perjuangan buku-buku yang mengungkapkan fakta-fakta kemerdekaan Indonesia, seperti tokoh Sutan Sjah- historis para jugun ianfu, seperti karya Pramoedya rir dan beberapa kelompok pemuda anti-Jepang, Ananta Toer (Perawan Remaja dalam Cengkraman termasuk kalangan santri yang tidak setuju dengan Militer), Eka Hidra dan Koichi Kimura (Momoye langkah tokoh Soekarno mendatangkan pelacur- Mereka Memanggilku), George Hicks (Comfort pelacur di daerah mereka untuk melayani hasrat Women), Anna Mariana (Perbudakan Seksual). seksual tentara Jepang. Prostitusi yang dikelola Dalam hal lainnya juga dengan mengkaji dan oleh militer Jepang yang fasis. Pada saat Soekarno mengkritisi produk-produk budaya popular, melihat para pelacur-pelacur yang didatangkan salah satunya adalah film, seperti film dokumenter menjadi budak seks tentara Jepang maka Soekarno Indonesian Comfort Women: A Video Testimony, pun merasakan kepedihan dalam hati karena tetap produksi Offstream tahun 2000 maupun beberapa menganggap bahwa para pelacur-pelacur itu adalah film bergenre biografi sejarah seperti Film Soegija, perempuan Indonesia sebagai korban perbudakan Sang Kiai, dan Soekarno juga menampilkan seksual tentara Jepang. bagian cerita sejarah para perempuan Indonesia Data dalam film tersebut menunjukkan menjadi kebiadaban tentara fasisme Jepang yang bagaimana para perempuan Indonesia mengalami dipresentasikan dalam beberapa scene atau adegan. perlakukan kekerasan seksual dengan menjadikan Film merupakan media yang paling mereka sebagai budak-budak seksual oleh negara efektif terkait dengan internalisasi indoktrinasi, dalam hal ini pemerintahan fasisme Jepang. penanaman ideologi, propaganda, dan stimulasi Perempuan-perempuan Indonesia yang diculik ingatan publik melalui representasi teks-teks secara paksa kemudian dipenjarakan secara seksual. audiovisual dari sebuah realitas kehidupan. Sineas Para perempuan Indonesia mengalami hegemoni dengan sendirinya memiliki ideologi dan pesan- dan ketidakdilan secara politik seksual dengan pesan moral yang ingin disampaikan kepada memosisikan para perempuan dalam pemenjaraan

39 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno seksual. Keadaan ini menunjukkan bagaimana dikategorikan kekerasan gender. Pertama, bentuk perempuan Indonesia mengalami pelecehan pemerkosaan terhadap perempuan. Perkosaan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk Menurut Francois Chirpaz dalam Haryatmoko mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan (2007:120), kekerasan adalah kekuatan yang yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh pelbagai dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan juga mematikan entah dengan memisahkan orang baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak dari kehidupannya atau dengan menghancurkan ada pilihan lain. Kedua, kekerasan dalam bentuk dasar kehidupannya. Suatu kenyataan yang pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia bentuk kekerasan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan karena adanya ketidaksetaraan diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi kekuatan yang diciptakan oleh negara, dalam hal ini yang merugikan kaum perempuan. Ketiga, tindakan pemerintahan kolonialisme fasisme Jepang. Dalam kejahatan berupa pelecehan seksual (sexual and konteks teori analisis gender bahwa kolonialisme emotional harassment) terhadap perempuan (Fakih, fasisme Jepang telah melakukan kejahatan yang bisa 2007: 18-20).

Tentara fasisme Jepang menculik para anak-anak gadis untuk dijadikan budak seks. Seorang bapak yang anak gadisnya diculik oleh tentara Jepang menemui Soekarno dan melaporkan tindakan tentara Jepang tersebut. Soekarno kemudian menemui para dan santri untuk membahas persoalan tindakan tentara fasisme Jepang yang menculik anak-anak gadis untuk mendatangkan para pelacur agar para anak gadis-anak gadis Indonesia tidak menjadi korban perbudakan seksual tentara Jepang. Kyai : Tidak bisa haram hukumnya. Soekarno : [MS] Bagaimana kalau saya mendatangkan pelacur di sini. Para Santri : [serentak] Tidak bisa....tidak bisa....tidak bisa Santri 1 : Sama saja Bung Karno. Sama saja kita membiarkan perzinahan itu ada. Para Santri : [serempak] ya....yaa...ayaaa. Soekarno : [MS] kalau tidak. Tentara nippon akan mengambil anak-anak gadis kalian. Para Santri : [serentak] Kita akan angkat senjata.....ya..ya..kita angkat senjata Santri 2 : Tenang..tenang..! Senjata apa pun tidak akan mampu mengalahkan mereka. Nippon akan membantai dengan mudah perempuan, anak-anak kita, orang tua akan habis dibantai. Bukan begitu Bung Karno! Soekarno : [mengangguk]

40 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015

Soekarno pun kemudian mendatangkan pelacur-pelacur ke markas tentara fasisme Jepang dengan bantuan Cuecue yang telah dikenalnya. Namun begitu, hati Soekarno sangat sedih melihat perlakuan para tentara fasis Jepang. (Soekarno, 2013, Part 1, 00:50:29 – 00:52:35)

Tokoh Soekarno harus berkompromi dengan Tindakan pelecehan seksual dan perbudakan pihak tentara fasisme Jepang dengan melakukan seksual dari praktik politik seksual pemerintahan “politik seksual” agar tidak terjadi penculikan- militer Jepang yang fasis dengan memanfaatkan penculikan dan pengambilan-pengambilan paksa popularitas dan kepercayaan publik kepada perempuan muda Indonesia, meskipun pada awal- Soekarno untuk melegalkan praktik jugun ianfu nya memperoleh tentangan dari para santri-santri atas permintaan perwira militer Jepang Shakaguci yang tidak ingin wilayah mereka menjadi pusat dalam film Soekarno dapat diposisikan sebagai narasi prostitusi atau perzinaan. Langkah yang terpaksa historis yang senantiasa tidak boleh dilupakan oleh dilakukan oleh tokoh Soekarno dengan mendatang- bangsa Indonesia. Tindakan perbudakan seksual kan para pelacur untuk melayani hasrat seksual ten- yang dialami oleh perempuan Indonesia harus tara Jepang. Para pelacur pun pada akhir-nya juga menjadi historical memory dan collective memory terjebak dalam perbudakan seksual yang berkepan- bagi seluruh bangsa Indonesia bahwa tindakan jangan. Kondisi ini ditunjukkan bahwa satu pelacur kolonialisme senantiasa menyebabkan perempuan dalam semalam harus memenuhi hasrat seksual sebagai pihak yang lemah akan mengalami beberapa puluh tentara Jepang yang liar dan tidak ketidakadilan gender termasuk kekerasan seksual menghargai kehormatan perempuan tersebut. To- dan hegemonik pada diri perempuan Indonesia, koh Soekarno secara tidak langsung juga terjebak melalui manifestasi penguasaan atas tubuh dalam praktik-praktik kekerasan gender meskipun perempuan Indonesia. Kondisi yang tidak boleh untuk alasan yang sangat mulia yaitu menghindar- terulang karena jelas merampas hak asasi manusia. kan perempuan-perempuan Indonesia mengalami Segala keadaan yang dialami oleh perempuan penculikan dan pengambilan paksa oleh tentara Indonesia dalam film Soekarno menjadi suatu fasisme Jepang. Dilema moralitas dan konsekuensi nukilan fakta sejarah yang harus selalu ditampilkan dari perjuangan melawan hegemonik kolonialisme tidak dalam rangka membuka luka lama bagi para ditunjukkan dalam kenyataan ini. perempuan korban jugun ianfu atau perbudakan

41 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno seksual, melainkan sebagai historical memory dan Relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan collective memory yang berfungsi sebagai peringatan dalam konteks hegemoni maskulinitas yang dan kekuatan perjuangan bagi perempuan dan ditopang oleh pengakuan budaya patriarki telah seluruh bangsa Indonesia untuk memerangi segala memosisikan terjadinya ketidakadilan bagi tindakan kolonialisme dan penghegemonian perempuan. Hal ini disebabkan ada kaitan yang perempuan melalui eksploitasi politik seksual. erat antara perbedaan gender (gender differences) Perempuan jangan lagi menjadi korban dari dan ketidakadilan gender (gender inequalities) ketidakadilan yang dilakukan golongan patriarkar dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara yang memosisikan perempuan semata-mata sebagai lebih luas (Fakih, 2007:3). Salah satu bentuk objek seksual. aktualisasi dari ketidak-adilan gender pada Pendekatan “politik seksual” akan menempat- perempuan adalah tindakan kekerasan. Tindakan kan posisi perempuan berhadap-hadapan dengan kekerasan yang terkait dengan perbedaan jenis kekuasaan laki-laki (Koentowijoyo, 2003:118-119; kelamin dikenal dengan istilah gender based violence Mariana, 2015:20). Hal ini berarti bahwa dalam (La Pona dkk., 2002:9). Menurut La Pona dkk. konteks relasi kuasa menunjukkan bagaimana (2002:7), kekerasan terhadap perempuan adalah pada masa kolonialisme fasisme Jepang perempuan tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki- Indonesia mengalami kekerasan seksual yang laki dengan menggerakkan kekuat-an tertentu dilakukan oleh negara. Ketertundukan merupakan sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan simbol dari upaya negara untuk “menertibkan” para secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan yang pada akhirnya hanyalah bertujuan perempuan atau sekelompok perempuan, termasuk untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan rentan terhadap perilaku kekerasan (Mariana, atau berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi 2015:21). dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di masyarakat domestik dan Hegemoni Maskulinitas: Antara Dua publik. Perempuan Kekerasan terhadap perempuan dapat dibeda- kan menjadi dua bentuk, yakni kekerasan seksual Sistem masyarakat yang ditandai dengan pola- dan nonseksual (Dzuhayatin dan Yuarsi, 2002:6). pola interaksi, struktur sosial, membicarakan dan Perbedaan yang terlihat di antara kedua jenis ke- membedakan fungsi serta peran masing-masing kerasan tersebut adalah ada atau tidaknya unsur anggota yang dipengaruhi oleh dominasi suatu kehendak seksual. Terdapatnya unsur kehendak kebudayaan kekuasaan seringkali terjadi dan seksual menunjukkan bahwa kekerasan tersebut berakibat kepada terjadinya persoalan diskriminasi dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual maka dan ketidakadilan. Persoalan diskriminasi dan sebaliknya apabila unsur tersebut tidak dominan, ketidakadilan pada akhirnya menciptakan hal ini menunjukkan bahwa kekerasan tersebut hierarkis superior dan inferior. Keadaan ini dimasukkan dalam kategori nonseksual. ditunjang oleh eksistensi nilai budaya yang Laki-laki penguasa selain melakukan hegemonis, misalnya budaya patriarki di mana kekerasan seksual juga mempunyai anggapan bahwa kekuasaan laki-laki mampu menghegemoni dan perempuan merupakan objek kekerasan psikis dan mensubordinasikan kaum perempuan (Kartika, fisik. Kekerasan dalam artikel ini mengacu pada 2010). Penindasan perempuan berakar pada kaum arti kekerasan yang disusun dalam konferensi laki-laki. Penguasaan fisik perempuan oleh laki- ke-4 tentang perempuan di Beijing tahun 1995: laki itu adalah bentuk dasar penindasan (Jaggar Aksi kekerasan yang didasarkan pada gender yang dalam Fakih, 2007:102). Patriarki dalam hal ini berakibat atau mungkin mengakibatkan kerusakan merupakan sistem hirarki seksual di mana laki-laki fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi perempuan termasuk ancaman-ancaman dari aksi- (Fakih, 2007:102-103). aksi semacam itu, pemaksaan atau perampasan

42 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015 kemerdekaan dengan sewenang-wenang yang psikis memang tidak meninggalkan bekas seba- terjadi baik dalam kehidupan publik maupun gaimana kekerasan fisik, tetapi berkaitan dengan pribadi (United Nation dalam Djannah, dkk dalam harga diri perempuan. Pelanggaran komitmen, Kartika, 2010). penyelewenangan, teror mental dan teror pem- Kekerasan psikis merupakan salah satu mani- bunuhan, serta pengucapan kata-kata yang tidak festasi dari bentuk kekerasan kepada perempuan. menyenangkan merupakan kekerasan psikis yang Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi dialami oleh tokoh perempuan (Sofia, 2009:42). (assault) terhadap fisik maupun integritas mental Kekerasan psikis dialami oleh tokoh Inggit psikologis seseorang (Fakih, 1997:17). Kekerasan Ganarsih tatkala mengetahui bahwa tokoh Soe-

[MS Inggit sedang membaca surat dari Fatmawati] [VO suara Fatmawati] “....tapi Bapak tahu, Fat masih mencintai Bapak. Fat menunggu Bapak. Tapi jika Bapak tidak bisa memenuhi janji Bapak. Fat terpaksa harus menerima lamaran. Semoga bapak bisa mengerti. Fatma” (Soekarno, 2013, Part 2, 00:00:05-00:01;16)

43 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno karno menjalin hubungan percintaan dengan tokoh tersebut tergambar kepedihan dari raut wajah to- Fatmawati. Hal ini diketahui oleh tokoh Inggit koh Inggit Ganarsih, sambil tangannya meremas- Ganarsih ketika sedang membersihkan rumah di remas surat tersebut dan dengan wajah menahan Pegangsaan Timur. Inggit Ganarsih menemukan amarah bercampur dengan kekecewaan. Di bawah sepucuk surat yang dibuang di tempat sampah. Isi ini merupakan gambaran dari isi surat tokoh Fat- surat menyiratkan ketetapan hati tokoh Fatmawati mawati kepada tokoh Soekarno yang ditemukan menunggu tokoh Soekarno menepati janji untuk dan dibaca oleh tokoh Inggit Ganarsih. memperistrinya karena pada saat yang bersamaan Dalam film Soekarno, kekerasan psikis dialami Fatmawati menerima sebuah pinangan dari orang oleh tokoh Inggit Ganarsih, ketika tokoh Soekarno lain. Soekarno apabila tidak bisa memenuhi jan- memutuskan ingin menikahi bekas muridnya, jinya maka Fatmawati akan menerima lamaran dari tokoh Fatmawati. Gadis yang dikenalnya selama orang lain tersebut. Pada saat membaca isi surat menjadi guru di Bengkulu. Inggit

Soekarno : Aku tidak ingin menceraikanmu, Git Inggit Ganarsih : [MS sedang menyuri rambut di depan cermin rias] Inggit tidak mau dimadu. Keadaan ini sudah lama Inggit bayangkan. Bahkan sejak kamu mengambil aku dari Kang Sanusi. Menikahi kamu tidak cukup hanya dengan cinta. Soekarno : [MS visual Soekarno dari cermin] Kamu sudah tunjukkan itu, semua. Pengorbananmu. Inggit Ganarsih : [MS di depan cermin rias] Ya. Meski tidak cukup buat kamu, Koes. Tapi Inggit ikhlas, Koes. Hanya Inggit tidak bisa menerima ada istri kedua. Inggit minta Engkoes menghargai hal itu. Itu prinsip. Sudah cukup Ing- git mengantarkan Engkoes ke gerbang cita-cita Engkoes. (Soekarno, 2013, Part 2, 00:02:46-00:04:46)

44 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015

Ganarsih merasa sakit hati ketika tokoh Soekarno Ganarsih merupakan sikap tegas yang memang dengan terbuka menyatakan keinginan untuk harus dimiliki oleh perempuan untuk melawan menikah lagi tanpa mempertimbangkan perasaan ketidakadilan secara gender kepada dirinya. tokoh Inggit yang masih berstatus sebagai istri Kerelaan dirinya untuk meminta cerai jelas sahnya. Inggit Ganarsih pada akhirnya menerima merupakan perlawanan pada diri tokoh Soekarno, dengan ikhlas sikap dan keputusan tokoh Soekarno. wujud dari pemberontakan dari sistem patriarki Inggit Ganarsih berketetapan untuk tidak mau yang melegalkan bahwa perempuan berada dimadu. Tokoh Inggit Ganarsih memiliki jiwa subordinasi dari laki-laki. Relasi kuasa yang selama besar dalam menghadapi sikap tokoh Soekarno ini memosisikan perempuan sebagai pihak yang yang ingin menduakan dirinya. terkalahkan. Tokoh Inggit Ganarsih menunjukkan Tokoh Inggit Ganarsih apabila bersedia di bahwa sudah cukup bagi dirinya menemani dan madu dengan menjadikan tokoh Fatmawati sebagai mendukung tokoh Soekarno dalam meraih mimpi istri keduanya, secara tidak langsung tokoh Inggit dan cita-citanya meraih kemerdekaan, meskipun Ganarsih melanggengkan dominasi dan subordinasi pada akhirnya Inggit Ganarsih harus menderita. laki-laki terhadap perempuan. Oleh karena itu, Ketulusan dan kesetiaan dirinya berbalas dengan langkah tokoh Inggit Ganarsih meminta cerai pengkhianatan terhadap komitmen keduanya kepada tokoh Soekarno merupakan suatu bentuk untuk mencintai sebagai suami istri. Pengorbanan kritik terhadap sistem konstruksi budaya patriarki harta benda, kesetiaan, ketulusan dalam melayani bahwa perempuan pun berani secara rasional tokoh Soekarno sebagai suaminya tidak menggugah mengambil risiko dengan hidup mandiri tanpa atau menggerakkan hati tokoh Soekarno untuk bergantung kepada laki-laki atau suami. Sebuah tidak menikahi wanita lain. Tokoh Soekarno dalam dekonstruksi makna dari kemapanan budaya segala hal yang dilakukannya merupakan wujud yang secara stereotipe memosisikan perempuan dari pelanggaran dan penyelewengan komitmen sebagai pribadi yang emosional dan irasional. dirinya kepada sang istri dalam berumah tangga. Keberanian tokoh Inggit Ganarsih meminta cerai Tokoh Inggit Ganarsih pada akhirnya memutuskan membuktikan bahwa dirinya memiliki rasionalitas untuk meninggalkan tokoh Soekarno daripada dalam mengambil keputusan, termasuk tersirat hidup dan tinggal bersama dalam satu rumah suatu makna simbolik bagaimana tokoh Inggit dengan tokoh Fatmawati. Ganarsih memiliki rasa simpati dan empati kepada Tokoh Soekarno pun kemudian memutuskan tokoh Fatmawati agar lebih memiliki kehormatan menceraikan tokoh Inggit Ganarsih. Inggit dengan menjadi satu-satunya istri dari tokoh Ganarsih karena sudah diceraikan oleh tokoh Soekarno yang sah. Tokoh Inggit Ganarsih tidak Soekarno maka tokoh Inggit pun memutuskan ingin menjadi benalu bagi kehidupan keluarga baru untuk meninggalkan rumah Pegangsaan Timur. Soekarno-Fatmawati. Soekarno dan Fatmawati Saat tokoh Inggit Ganarsih sedang mengemasi diharapkan dapat hidup bahagia tanpa harus pakaiannya, tokoh Soekarno pun mengutarakan memikirkan persoalan Inggit Ganarsih sebab keinginannya untuk mengantar tokoh Inggit Inggit Ganarsih sudah tidak menjadi istri dari Ganarsih. Tokoh Inggit Ganarsih pada awalnya tokoh Soekarno. menolak hingga akhirnya bersedia diantar oleh Soekarno setelah menceraikan tokoh Inggit tokoh Soekarno dengan mobilnya. Ganarsih dalam filmSoekarno , kemudian me- Hal yang dilakukan oleh tokoh Inggit ngirimkan telegram kepada tokoh Fatmawati di Ganarsih dengan tidak bisa menerima istri kedua Bengkulu. Isi telegram menyatakan bahwa tokoh merupakan suatu prinsip yang memang harus Soekarno telah menikahi tokoh Fatmawati de- dipegang teguh oleh perempuan, sebab bagaimana ngan perwakilan karena tokoh Soekarno tidak bisa pun yang menjadi korban tetap perempuan. Inggit datang ke Bengkulu. Soekarno mengajak tokoh Ganarsih meminta kepada tokoh Soekarno untuk Fatmawati bersama keluarganya untuk ke Jakarta menghormati prinsipnya. Sikap tokoh Inggit pada tanggal 1 Juni 1943.

45 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno

Inggit Ganarsih sedang memberesi pakaiannya dalam kopor. Anak-anak angkat Inggit Ganarsih dan Soekarno terlihat sedih dan muram di meja ruang tengah. Soekarno menemani Inggit Ganarsih dan mengutarakan keinginannya untuk mengantar Inggit Ganarsih ke tempat yang akan ditujunya sekeluar dari rumah Pegangsaan Timur. Soekarno : [MS Soekarno dan Inggit Ganarsih yang sedang menata pakaian di dalam kopor] Dari sini kamu pulang ke mana? Inggit Ganarsih : Ke rumah Haji Andar di Lengkong Besar. Kenalan baik waktu di .

46 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015

Soekarno : Jalan kuantar Inggit Ganarsih : Nggak usah Soekarno : Ijinkan aku, melakukan sesuatu untuk terakhir kalinya Inggit Ganarsih menangis membelakangi Soekarno. Soekarno mendatangi Inggit Ganarsih dan memegang bahu Inggit Ganarsih. Lantas Inggit Ganarsih mengambil peci Soekarno dan memasangkan di kepalanya serta menepuk dadanya. Lalu meninggalkan Soekarno. Inggit Ganarsih berangkat meninggalkan rumah Pegangsaan Timur dengan mobil. (Soekarno, 2013, Part 2, 00:04:49-00:06:51)

Fatmawati pada saat sedang belajar menulis huruf kanji Jepang dengan seorang guru perempuan Jepang datang petugas pos ke rumah Fatmawati mengantar sebuah telegram yang diterima secara langsung oleh Fatmawati. Ibu Fatmawati bertanya telegram dari siapa yang dijawab tidak mengetahui karena berbahasa Jepang. Fatmawati kemudian meminta bantuan guru perempuan Jepang untuk membacakan isi telegram yang datang dari Soekarno. Guru Perempuan Jepang : Dari Soekarno. Fatmawati, koma. Nikah dengan diwakili opsirkaris Sardjono, koma, karena pihak mempelai laki-laki tidak bisa hadir, koma, tanggal satu bulan Juni seribu sembilan ratus empat puluh tiga berangkat ke Jakarta, titik. Fatmawati : [dengan wajah tercengang dan memendam rasa bahagia dengan segaris senyum di wajahnya] Ibu Fatmawati : [sambil berlari berteriak ke arah suaminya yang berada di ruang tamu] Pak! Fat nikah! Ayah Fatmawati : [dari dalam ruang tamu] Sama siapo? Ibu Fatmawati : [VO] sama Bung Karno lah! [MS] Wajah Fatmawati menunjukkan ekspresi antara terkejut dan bahagia mendengar isi telegram yang baru saja didengarnya. (Soekarno, 2013, Part 2, 00:07:08-00:08:01)

47 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno

Fatmawati melihat Riwu selalu memandangi foto Inggit Ganarsih. Oleh karena suatu hal, ketika Soekarno tiba di rumah dan berjalan dari mobil, Riwu menemui Soekarno sambil memberikan sepucuk surat kepada Soekarno. Riwu sekaligus berpamitan kepada Soekarno untuk pergi meninggalkan rumah di Pegangsaan Timur. Lantas Soekarno berjalan ke dalam rumah dan menemukan bekas cuilan-cuilan foto Inggit Ganarsih yang terbakar. Ia pun mengambil potongan foto yang masih menyisakan wajah Inggit Ganarsih. Soekarno kemudian menemui istrinya Fatmawati di kamar tidur yang sedang bermain dengan putranya Guntur. Tapi Soekarno tidak bicara hanya memandangi wajah istrinya. Fatmawati yang justru bicara kepada Soekarno. Fatmawati : [sambil bermain dengan Guntur memandang Soekarno] Dari seminggu lalu ia selalu melihat foto Inggit. Aku merasa dibanding-bandingkan dengan dia. (Soekarno, 2013, Part 2, 00:18:15-00:20:19)

48 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015

Dalam film Soekarno terungkap suatu dialog membakarnya. Berdasar dialog antara tokoh keinginan tokoh Soekarno menikahi tokoh Fatmawati dengan tokoh Soekarno serta scene Fatmawati untuk memperoleh anak, sebagaimana pengadegan sebelumnya yang memperlihatkan yang diharapkan dari kedua orang tua tokoh tokoh Riwu memandangi foto tokoh Inggit Soekarno. Hal yang tidak bisa dipenuhi oleh Ganarsih, dan wajah kesal ditunjukkan oleh tokoh tokoh Inggit Ganarsih karena usia tokoh Inggit Fatmawati yang melihatnya, bisa terlihat secara Ganarsih lebih tua beberapa tahun dari usia simbolik relevansi dari kasualitas yang resiprokal tokoh Soekarno. Pernikahan tokoh Soekarno adegan yang memperlihatkan terjadi konflik antara dengan tokoh Fatmawati, dalam filmSoekarno tokoh Fatmawati dengan tokoh Riwu, anak angkat juga memunculkan konflik antara tokoh Riwu tokoh Soekarno dengan tokoh Inggit Ganarsih. anak angkat tokoh Soekarno dengan tokoh Tokoh Soekarno pada saat mengalami pen- Inggit Ganarsih yang selama ini setia menemani deritaan sebagai konsekuensi garis perjuangan tokoh Soekarno. Tokoh Riwu lebih memilih dalam meraih kemerdekaan seperti pemenjaraan di meninggalkan tokoh Soekarno karena didorong Jogja, penjara Banceuy di Bandung serta pada saat oleh rasa kasih sayangnya kepada tokoh Inggit mengalami masa pengasingan dan pembuangan di Ganarsih dan bentuk ketidaksetujuannya kepada Ende, Nusa Tenggara Timur hingga Bengkulu, to- tokoh Soekarno yang menceraikan tokoh Inggit koh Inggit Ganarsihlah yang selalu setia menemani Ganarsih. Kondisi ini berlangsung hingga terjadi dan mendukung seluruh perjuangan tokoh Soe- peristiwa ketika tokoh Soekarno menemukan karno. Harta benda milik Inggit Ganarsih bahkan ceceran potongan bekas foto tokoh Inggit secara suka rela diberikan kepada tokoh Soekarno Ganarsih yang dibakar oleh tokoh Fatmawati, untuk perjuangan merebut kemerdekaan. Sebuah meskipun dalam film tidak diperlihatkan aksi realitas paradoksal terhadap perempuan. Kesetiaan

Eneng seorang perempuan muda mendatangi rumah Inggit Ganarsih sambil memanggil-manggil nama Inggit dan mengetuk- ngetuk pintu rumahnya. Perempuan muda itu mengabarkan kepada Inggit bahwa Soekarno ditangkap Belanda di Jogjakarta. Perempuan Muda : [LS to MS perempuan muda tergesa-gesa sambil mengetuk-ngetuk pintu pintu memanggil-manggil nama Inggit Ganarsih] Ceu’..Ceu’..Ceu’ Inggit. Ceu’...Ceu’....Ceu’ Inggit Inggit Ganarsih : [MS membuka pintu] Ada apa, Neng? Perempuan Muda : [MS di depan pintu rumah] Suami Ceuceu ditangkap di Jogja. (Soekarno, 2013, Part 1, 00:19:14-00:19:25)

49 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno yang diberikannya sepenuhnya kepada suaminya, perempuannya, meskipun hanya anak angkat. Per- laki-laki yang dicintainya dengan setulus hati, ber- temuan tokoh Soekarno dengan tokoh Fatmawati balik mengkhianatinya dengan menikahi perem- sebenarnya juga disebabkan oleh permintaan anak puan lain yang sudah dianggap sebagai anaknya angkatnya untuk tinggal bersama keluarga tokoh sendiri. Usia tokoh Fatmawati memang seusia anak Soekarno dan tokoh Inggit Ganarsih.

Inggit Ganarsih bertemu dengan sekelompok pemuda dan memberikan dukungan harta bendanya untuk mendukung perjuangan Soekarno. Pemuda : [Close Up tangan dan lembaran pamflet] Ini Teh bentuk dukungan kami terhadap Bung Karno Inggit Ganarsih : Bagus [MS Lalu membuka kotak uang dan mengambil beberapa kepeng uang logam] Inggit Ganarsih : [MS Inggit memberikan beberapa uang kepeng logam dari tangannya to Close Up beberapa kepeng uang ditaruh di atas pamflet] Mudah-mudahan ini cukup membantu. Pemuda : Baik, Teh. Kami akan mendukung Bung Karno mati-matian. Terima kasih. Para pemuda kemudian meninggalkan rumah Inggit Ganarsih. (Soekarno, 2013, Part 1, 00:20:08-00:20:25)

50 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015

Inggit Ganarsih menemui Soekarno di penjara untuk mendukung perjuangan Soekarno. Inggit Ganarsih juga selalu berada di sisi Soekarno selama dalam pengasingan atau pembuangan Belanda di Ende maupun di Bengkulu. Inggit Ganarsih juga menunjukkan kesetiaan dan kepedulian terhadap Soekarno ketika sakit maupun ketika membaca pamflet-pamflet dan berita surat kabar yang memfitnah Soekarno. Dokter : Istirahat. Kalau menurut saya, Bung harus menghindari pekerjaan-pekerjaan berat. Soekarno : Seperti apa Dokter? Dokter : Ya berpolitik. Inggit Ganarsih : [Sambil menuangkan teh ke dalam cangkir dan memberikan kepada Soekarno dan Dokter] Dokter, Engkoes mah akan tambah sakit kalau jauh dari politik dan rakyatnya. Ya, Koes. .... Inggit Ganarsih Mereka mah bisa melakukan apa saja atuh, Koes. Aku tidak suka dengan Hatta dan Sjahrir. Soekarno Karena mereka menuduhku terlalu menguasaiku. Inggit Ganarsih Karena mereka menuduh aku. Kamu terlalu lemah di hadapan aku. Inggit tidak suka kamu dikatakan seperti itu. Soekarno Dalam beberapa hal. Aku sangat menikmati engkau menguasaiku. (Soekarno, 2013, Part 1, 00:20:32- 00:24:26)

51 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno

Data visual dan dialog tersebut menunjukkan Tokoh Inggit Ganarsih justru menegaskan bahwa bagaimana tokoh Inggit Ganarsih merupakan tokoh Soekarno tidak dapat dipisahkan dari rakyat perempuan hebat yang sangat setia dan mencintai dan politik. Hal itu menunjukkan bagaimana tokoh suaminya. Perempuan dengan karakter kuat Inggit Ganarsih memiliki prinsip rasionalitas dan dan tanpa menyerah mendukung sepenuhnya sifat memahami pentingnya peran dari suaminya perjuangan tokoh Soekarno dalam meraih cita- terhadap kemerdekaan rakyat Indonesia. Inggit cita kemerdekaan, meskipun saat tokoh Soekarno Ganarsih bahkan rela ketika suaminya lebih memproklamasikan kemerdekaan Indonesia memilih mencintai rakyat Indonesia dibandingkan tokoh Inggit Ganarsih bukan lagi istri sah tokoh dirinya. Pernyataan yang dikemukakan oleh Soekarno karena sudah diceraikannya. Kualitas tokoh Inggit Ganarsih menunjukkan bagaimana “maskulinitas” dalam diri Inggit Ganarsih sebagai rasionalitas dirinya tanpa presentasi emosionalitas seorang perempuan justru menjadi pilar utama dirinya sebagai wanita mendukung sepenuhnya apa dalam mendukung kerasnya perjuangan tokoh yang telah dilakukan oleh tokoh Soekarno untuk Soekarno dalam melawan rintangan untuk meraih memerdekaan rakyat Indonesia. Inggit Ganarsih kemerdekaan. Kualitas maskulinitas diadopsi oleh merupakan seorang perempuan yang tegar dan tokoh Inggit Ganarsih yang ditunjukkan dengan memiliki pribadi yang bisa memahami pentingnya keberanian mendatangi penjara untuk memberikan kehadiran tokoh Soekarno bagi negara dan rakyat dukungan moral dan mentalitas kepada tokoh Indonesia. Soekarno di balik terali besi kolonialis Belanda. Menurut teori kekerasan gender bahwa yang Tokoh Inggit Ganarsih menunjukkan rasionalitas telah dilakukan tokoh Soekarno dengan memadu dan kemampuan dalam mengambil keputusan tokoh Inggit Ganarsih merupakan bentuk serangan mendukung perjuangan tokoh Soekarno dengan atau invasi (assault) terhadap integritas mental memberikan harta benda yang dimilikinya utuk psikologis diri tokoh Inggit Ganarsih. Bentuk menopang perjuangan tokoh Soekarno. Di balik perlawanan dari praktik hegemoni maskulinitas ketegarannya dan kekuatannya sesungguhnya tokoh dan budaya patriarki ditunjukkan oleh tokoh Inggit Ganarsih justru tidak menyukai pendapat Inggit Ganarsih dengan memutuskan untuk me- dari Hatta dan Sjahrir yang memposisikan laki- ninggalkan tokoh Soekarno dan memilih tinggal laki takluk kepada dirinya. Dalam hal ini dapat Lengkong Besar di rumah salah satu kenalan diartikan bahwa sikap tokoh Inggit Ganarsih baiknya ketika berada di Bandung. Tokoh Inggit menunjukkan bahwa antara laki-laki dan Ganarsih sebenarnya sangat terluka hatinya terha- perempuan berkedudukan sama (equality), tidak dap keputusan tokoh Soekarno untuk menikah lagi ada pihak yang dihegemoni atau dikuasai dalam dengan tokoh Fatmawati. Keputusan tokoh Soe- konteks relasi kuasa dalam rumah tangga. Di balik karno jelas melukai dan menyinggung harga dirinya kekuatan dan kesuksesan laki-laki terdapat sosok secara mental psikologis, apalagi perempuan yang perempuan yang kuat dan berkarakter. Tokoh dinikahinya sudah dianggap sebagai anak sendiri Inggit Ganarsih adalah termasuk pribadi tersebut. oleh tokoh Inggit Ganarsih. Inggit Ganarsih tidak Hal itu menunjukkan signifikansi dari kode-kode tenggelam dalam rasa luka yang berkepanjangan kultural dan politik dari diri tokoh Inggit Ganarsih yang akan berpengaruh terhadap mental dan jiwa dalam mendukung perjuangan suaminya, sebagai psikologisnya. Sikap tegar dan menerima keputusan suami dan pemimpin negeri. tokoh Soekarno dengan meninggalkannya adalah Tokoh Inggit Ganarsih secara sadar memahami sikap yang memang diambilnya sebagai konsekuensi pemikiran, jiwa, moralitas, dan komitmen tokoh dari ketegaran pribadinya. Soekarno terhadap kemerdekaan dan kecintaannya kepada rakyat Indonesia. Dialog yang sarat dengan Simpulan substansi makna ditunjukkan oleh tokoh Inggit Ganarsih, saat menjawab saran dari dokter yang Film merupakan media yang mampu memeriksa tokoh Soekarno untuk tidak berpolitik. menghadirkan realitas teks-teks naratif yang

52 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 1, April 2015 terbungkus dalam adegan-adegan dan gambar Soekarno merupakan wujud dari signifikansi visual sebagai bentuk simbolisme-simbolisme hitorical memory dan collective memory bangsa dari mimetisme yang hadir di tengah masyarakat. Indonesia. Tujuannya agar bangsa Indonesia Film Soekarno mampu merepresentasikan yang hidup pada era pascakolonial senantiasa mimetisme sejarah sebagai komodifikasi media mengingat bahwa terdapat fakta sejarah tentang kepada masyarakat, meskipun film tersebut sarat ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia dengan kritik atas perlakuan ketidakadilan pada perempuan Indonesia yang senantiasa harus diingat zamannya. Ketidakadilan yang selalu berwajah dan diperjuangkan sebagai suatu mainstream perempuan. Ketidakadilan yang dialami oleh ideologi kepada publik. Retorika ketidakadilan perempuan yang mengalami kekerasan seksual pada perempuan melalui praktik-praktik kekerasan dan kekerasan nonseksual, dalam arti kekerasan seksual, politik seksual, kekerasan psikis, hingga psikis, bisa dihadirkan sebagai “realitas sosial” pemenjaraan seksual digambarkan dengan secara yang direpresentasikan sebagai realitas media. jelas oleh Hanung Bramantyo dalam representasi Realitas media yang dibangun oleh film Soekarno teks-teks naratif dan visual dalam film Soekarno. merupakan hasil pemahaman dari konstruksi Sebuah retorika dan ideologi makna yang senantiasa fakta-fakta historis yang kemudian direkonstruksi menimbulkan presentasi objek sebagai pertanyaan kembali dalam wujud audiovisual oleh Hanung besar, mengapa selalu harus perempuan? Bramantyo sebagai sutradara film. Interpretasi terhadap rekonstruksi fakta-fakta Ucapan Terima Kasih historis yang menjadi objek bahasan filmSoekarno dengan memaknai imaji visualiasi dari Hanung Rasa terima kasih diucapkan kepada: (1) Dr. Bramantyo sebagai sineas dengan menggunakan Ikwan Setiawan, M.A. yang telah membimbing teori encoding (proses produksi teks) dan decoding terkait topik dalam kajian dalam penulisan artikel (konsumsi teks) Stuart Hall, menemukan suatu ini; (2) Fajar Aji, S.Sn., M.Sn. yang telah bersedia penggambaran visual dan adegan-adegan dalam membantu diskusi terkait dengan metodologi sekuen-sekuen film yang merepresentasikan ada- pemaparan data audiovisual film sebagai bahan nya praktik ketidakadilan gender pada perempuan kajian dalam penulisan artikel ini sehingga bisa Indonesia. Praktik ketidakadilan gender yang ter- terwujud; (3) Sunarlan, S.S.,M.Si. yang telah manifestasikan dalam wujud kekerasan seksual dan membantu dalam memahami fakta-fakta historis kekerasan psikis pada perempuan karena intervensi pada diri Soekarno dikaitkan dengan film Soekarno dari perilaku kolonialisme fasisme Jepang dan diri yang pada akhirnya dapat membantu dalam tokoh Soekarno terhadap tokoh Inggit Ganarsih. menyelesaikan penulisan artikel ini. Pemahaman terhadap produksi makna teks naratif dalam film Soekarno berperan penting Kepustakaan untuk menghasilkan pemaknaan atas makna- makna simbolik dari unsur visualisasi yang dialami Andrew, J. Dudley. 1976. The Major Film Theories: oleh perempuan Indonesia, sehingga secara fungsi, An Introduction. London: Oxford University film menjadi manifestasi dari representasi fakta- Press. fakta historis maupun realitas sosial yang terjadi Ayawaila, Gerzon R. 2008. Dokumenter dari Ide pada suatu zaman. Masyarakat sebagai penonton sampai Produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press. menjadi memiliki atmosfer situasional dan Budiman, Christian; Abdullah, Irwan; Simatupang, visualisasi peristiwa pada masa itu. James Elkins G.R. Lono. 2013. “Retorik dan Makna dalam Budiman dkk. (2013) menyatakan bahwa Ideologi Karya Instalasi dalam Film Opera kajian film jangan mengabaikan unsur visualitas Jawa Garin Nugroho. RESITAL JURNAL karena kodrat film sebagai media (auido- visual). SENI PERTUNJUKAN. Vol. 14 No. 1 Juni Apa yang divisualisasikan oleh Hanung Bramantyo 2013: 1-8. terhadap posisi perempuan Indonesia dalam film Dzuhayatin, S dan Susi Eja Yuarsi. 2002. Kekerasan

53 Bambang Aris Kartika, Hegemoni Maskulinitas dalam Film Soekarno

terhadap Perempuan di Ruang Publik. Kompas. ”PM Abe Sesalkan Para Korban PD II”. : Pusat Studi Kependudukan dan 2 Mei 2015. Kebijakan Universitas Gadjah Mada. La Pona, dkk. 2002. “Menggagas Tempat yang Aman Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan bagi Perempuan: Kasus di Papua”. Yogyakarta Transformasi Sosial. Cetakan ke-2. Yogyakarta: : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Pustaka Pelajar. Universitas Gadjah Mada. Hananta, Elita Primasari. 2013. “Konten Kekerasan Mariana, Ana. 2015. Perbudakan Seksual dalam Film Indonesia Anak Terlaris Tahun Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan 2009-2011. JURNAL E-KOMUNIKASI. Vol. Neofasisme Orde Baru. Jakarta: Marjin Kiri. 1. No. 1 Tahun 2013: 1-12. Metz, Christian. 1974. A Semiotics of the Cinema: Hanung Bramantyo. 2013. Soekarno.[Film]. Film Language. New York: Oxford University Jakarta: MVP Picture, Mahaka Picture dan Press. Dapur Film Picture. Nurudin. 2014. Pengantar Komunikasi Massa. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Cetakan kedua. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra: Analisis Kanisius. Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hikmat, Mahi M. 2011. Metode Penelitian dalam Sobur, A. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra. Remaja Rosdakarya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sofia, A. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminisme Imanjaya, Ekky. 2006. A-Z About Indonesian Film. Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Bandung: DAR! Mizan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartika, Bambang Aris. 2010. “Ragam Kritik Sastra Spivak, Gayatri Chakravorty. 1993. “Can the Feminisme Radikal: Kekerasan Psikis dan Subaltern Speak?”. Dalam Patrick Williams Women Trafficking Perempuan dalam Drama dan Laura Chrisman (ed). Colonial Discourse Siau Ling Karya Remy Sylado”. JURNAL and Postcolonial Theory. Hemel Hempstead: SEMIOTIKA, 11 (1): 48-59. Harvester Wheatsheaf. ______. 2011. “Eksploitasi Soekirno, Dewi Candraningrum. 2006. “GDI, Concubinage dan Subjek Subaltern: GEM dan Subaltern Perempuan Indonesia”, Hegemoni atas Perempuan Indonesia dalam tersedia di www.jurnalperempuan.com/yjp. Tinjauan Kritis Pascakolonial dan Feminisme jpo/?act=artikel%7C-57%7CX. Diunduh Novel De Winst Karya Afifah Afra”.JURNAL pada tanggal 27 Januari 2011, ATAVISME, Vo. 14 No. 1: 51-64. Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Koentowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Edisi ke- Film. Jakarta: Grasindo. 2. Yogyakarta: Tiara Wacana. Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis. Penerjemah Kompas. 10 Desember 2001. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

54