PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MENCARI RAKYAT DALAM KERUMUNAN SANDI (Sebuah Catatan Pengalaman Menjadi Rakyat Miskin Melalui Berbahasa Jawa Komunitas Sego Gurih Yogyakarta)

TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Rendra Bagus Pamungkas 126322011

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

HALAMAN JUDUL

MENCARI RAKYAT DALAM KERUMUNAN SANDI (Sebuah Catatan Pengalaman Menjadi Rakyat Miskin Melalui Sandiwara Berbahasa Jawa Komunitas Sego Gurih Yogyakarta)

TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Rendra Bagus Pamungkas 126322011

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERSETUJUAFT

Tesis

MENCARI RAKYAT DALAM KERT'MTINAN SAITDI (Sebuah Calaran Pengalaman Menjadi Rakyat Miskin Melalui sandiwara Berbahasa Jawa Komunitas sego Gurih yogyakarta)

ffir."ffi"*H

lu**4

5 Febnrari 2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PENGESAHAN

Tesis

MENCARI RAKYAT DALAM KERT'MUNAII SAI\TDI (Sebuah Catatan Pengalaman Menjadi Rakyat Miskin Melalui Sandiwara Berbahasa Jawa Komunitas Sego Gurih Yogyakarta)

Oleh: Rendra Bagus Pamungkas 126322011

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis

Pada tanggal 20 Juli 2017

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

Tim Penguji

Ketua : Prof, Dr. A. Supratiknya

Sekretaris : Dr. Yustina Devi Ardhiani

Anggota : 1. Prof. Dr. A. Supratiknya

2.Dr. Y. Tri Subagya

3. Dr. St. Sunardi

20 Iuli2OlT PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI -

PERNYATAAIT KEASLIAN TESTS

Yang bertanda-tangan di bawah ini, Nama Rendra Bagus Pamungkas NIM t2$22Att Program Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Menyatakan dengan ss$rnggulmya bahwa tesis: JUdUI : MENCART RAKYAT DALAM KERUMLINAN SANDI:

Sebuah Catatan Pengalaman Me{adi Rakyat Miskin Melalui Sandiwara Berbahasa

Jawa Komunit as Sego Gwih Y ogakarta.

Pembimbing : Dr. St. Sunardi Tanggal diuji :20 Juli20l7

Adalah benar-benm hasil karya saya.

Di dalam tesis/karya tuliVmakalah ini tidak terdapat keselunrhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam

kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengatuan kepada penulis aslinya-

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melahrkan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Iknu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutmr gelar Master

Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 5 Februari 2018

Yang memberi pernyataan

Rendra Bagus Pamungkas

lv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PER}TYATAAN PERSETUJUAI\I PUBLIKASI KARYA ILMIAH T]NTUK KEPENTINGAiY AKADEMIS

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Sanata Dharma Nama : Rendra Bagus Pamungkas NrM -.126322011

Program : Program Magister Ihnu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan iknu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yoryakarya karya ihniah yang berjudul:

MENCARI RAKYAT DALAM KERUMUNAhI SAIYDI: Sebuah Catatan Pengalaman Menjadi Rakyat Miskin

Melalui Sandiwara Berbahasa Jawo Komunitas Sego Gurih

Beserta perangkat yang diperlukan Oila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terhatas, dan merrpublikasikannya di intemet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin kepada saya atau memberikan royalti kepada saya selamatetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikianlah pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yoryakarta Tanggal :5 Februmi20l7 Yang4qZ membuat Pernyataan +e/rdJ Rendra Bagus Pamungkas

vl PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Penulisan tesis ini disusun berdasarkan drama tentang ‘ketergesaan’ di antara waktu yang terus melaju menuntut untuk segera menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa pascasarjana. Saya menyadari bahwa ada lompatan dari tumpuan yang bergoyang, sehingga daya dorong yang saya dapatkan kurang begitu kuat untuk menggapai di tempat tinggi. Sepanjang saya menjadi mahasiswa, saya memang lebih banyak melakukan praktik seni pertunjukan dari pada menjadi kutu buku yang terus mempertanyakan kenyataan terkini dari meja belajar. Saya memang bebal dalam membaca buku-buku yang seharusnya menjadi menu makanan sehari-hari setiap mahasiswa dalam program studi ini. Tapi semangat saya berhimpun dalam pembicaraan kawan-kawan sebagai pendengar telah membentuk keyakinan bahwa saya harus mencari persoalan yang paling dekat untuk diangkat sebagai tema yang akan dibicarakan dalam penulisan tesis. Kemudian hadirlah tulisan di tangan pembaca sekalian yang semula terkesan mustahil untuk saya wujudkan. Tulisan ini saya sadari sangat jauh dari kesempurnaan, namun sebagai usaha untuk membagikan pengalaman kebertubuhan dan dengan harapan bahwa akan muncul sudut pandang alternatif dalam melihat praktik seni, hal ini sangat saya syukuri. Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan sayang yang terus mengalir sehingga saya dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul ‘MENCARI RAKYAT DALAM KERUMUNAN SANDI: Sebuah Catatan Pengalaman Menjadi Rakyat Miskin Melalui Sandiwara Berbahasa Jawa Komunitas Sego Gurih Yogyakarta’, sebagai persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata DharmaYogyakarta. Penelitian ini berusaha untuk memertanyakan kembali praktik seni pertunjukan di Yogyakarta secara khusus seni teater modern berbahasa Jawa.

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Saya memilih kelompok seni yang secara pribadi memiliki keterlibatan dengan perjalanan praksis seni dalam kehidupan saya. Komunitas Sego Gurih menurut saya adalah kelompok seni yang tepat untuk menjadi bahan kajian atas ketertarikan saya terhadap apa yang dinamakan ‘Seni Rakyat’ atau praktik seni berbasis kerakyatan. Mengingat bahwa terma ‘Rakyat’ memiliki potensi besar untuk dikomodifikasikan dengan berbagai kepentingan yang justru memberikan ruang eskapisme dari kenyataan yang sebenarnya atas rakyat. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan tulisan ini. Demikian, Semoga tulisan ini dapat berguna bagi pembaca untuk melihat lebih jauh persoalan teater sebagai seni pertunjukan ‘Sandi’, dan menempatkan terma ‘Rakyat’ yang problematis itu.

Klaten, 12 Juli 2017.

Rendra Bagus Pamungkas.

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Pengalaman menjadi pekerja seni pertunjukan (teater) sejak tahun 1996 hingga tulisan ini saya susun di tahun 2017, mengantarkan saya pada jelajah rasa dan katalisasi pengetahuan sebagai agen pengetahuan melalui pertunjukan ‘Sandi’. Sebagai bagian terkecil dari rangkaian kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap rakyat, saya merasa perlu mengambil bagian untuk turut bersuara di himpunan maupun secara pribadi dalam gerakan kritisisme melalui seni pertunjukan. Komunitas Sego Gurih sebagai kelompok sandiwara berbahasa Jawa di Yogyakarta yang dicitrakan sebagai teater kerakyatan, menjadi salah satu alat ucap yang strategis untuk mendialogkan persoalan terkini bersama masyarakat penontonnya, yang notabene juga pengguna lingua franca yang sama. Di luar praktik keseniannya yang istimewa di Yogyakarta, Sego Gurih memiliki potensi untuk menjadi ‘ban kempes’ yang tidak bisa dipompa lagi dalam menjalankan aktivismenya. Kenyataan politik seni teater seperti ‘tanah liat’ yang melawan ketika diinjak, meskipun dalam perbincangan para pegiat teater ‘progresif’, ia diposisikan sebagai ‘musuh bersama’ oleh ideologi teater berbasis kerakyatan. Militansi kelompok ini yang memilih ‘menghadang penonton’ di tempat kediaman masing-masing, dan acuh terhadap tawaran menjadi ‘penghibur majikan’ membuat media massa gencar memberitakan mereka sebagai ‘nabi’ yang lahir dari rakyat miskin. Namun seiring berjalannya waktu, semakin mereka dibuntuti oleh media massa dan narasi-narasi anestesi, kelompok ini, Sego Gurih pun akhirnya menjadi sekumpulan manusia gamang dan perlahan-lahan tumbang di perjalanan.

Kata Kunci: Teater, Jawa, Kerakyatan.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

FINDING THE PEOPLE WITHIN A CROWD OF CODE (An Experience Report on Becoming the Poor through a Play in Javanese Language by Komunitas Sego Gurih Yogyakarta)

ABSTRACT

The experiences of becoming a performing arts (theatre) worker since 1996 until I composed this writing in 2017 lead me to an exploration of rasa (sense) and the catalyzing of knowledge as an agent of knowledge through the play ‘Sandi’ (Code). As the least part within the continuum of governments’ policy enforced towards the people, I think I need to take part by speaking up my voice either in a collective or individual manner within a movement of criticism through performing arts. Komunitas Sego Gurih as a collective performing plays in Javanese language imaged as a populist theatre is considered as a strategic means of expression to bring recent issues to a dialogue with the audience who speak the same lingua franca. Despite their distinctive practice of art in Yogyakarta, Sego Gurih may be at risk of being a ‘flat tire’ that can no longer be inflated in conducting their activism. The politics of theatre resembles ‘clay’ that fights when trodden; even within the conversation among ‘progressive’ theatre activists, it is positioned as a ‘common enemy’ of populist based ideology of theatre. The militancy of the collective manifested in their strategies of ‘intercepting the audience’ in their settlement, and by ignoring the offer of being ‘the entertainer of the master’ provoke the mass media to vigorously proclaim them as the ‘prophet’ born from the poor. But as the time goes by, the more they are chased by mass media and those anesthetic narratives, this collective, Sego Gurih, eventually get more nervous and gradually collapse in the middle of the journey.

Keywords: Theatre, Java, Populist

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i PERSETUJUAN ...... ii PENGESAHAN ...... iii PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ...... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...... v KATA PENGANTAR ...... vi ABSTRAK ...... viii ABSTRACT ...... ix DAFTAR ISI...... x BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Tema ...... 6 C. Rumusan Masalah ...... 6 E. Manfaat Penelitian ...... 7 F. Tinjauan Pustaka ...... 7 1. Laporan Penelitian Existing Documentation Dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990...... 8 2. Dagelan Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta...... 11 3. Teater Kerakyatan Menghadang Penonton ...... 13 G. Kerangka Teoritis ...... 14 I. Metode Penelitian ...... 17 J. Skema Penulisan ...... 20 BAB II RAKYAT DI PANORAMA TEATER YOGYAKARTA 1980 - 1998 ..... 21 Estetika ‘Kolesom’ ...... 24 B. Imajinasi ‘Rakyat’ dalam Kerumunan ‘Sandi’...... 27 C. Galatama dan Pak Kayam ...... 39 D. Bahasa Jawa dan ‘Eskapisme’ Artistik ...... 42

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III MENJADI JOGJA ADALAH MENJADI NDESIT ...... 45 Kampanye (m)Balon Masuk Desa ...... 46 B. Aktor (m)Broadway a la (m)Bantul ...... 50 C. Estetika Ndesit ...... 54 D. Bersama Nyego Gurih ...... 56 E. Teater Untuk ‘Memulihkan’ Keseharian ...... 59 F. Anti Mbrakot Kambilisme ...... 62 BAB IV SANDIWARA BERBAHASA JAWA MENOLAK MAJIKAN ...... 65 Penangkaran Rakyat Kecil dalam Seni Majikan...... 69 B. Sapit Urang, Siasat Perang Sego Gurih ...... 73 C. Ketiban Pulung Sandiwara Progresif ...... 76 D. Endog Abang Berpucuk Kitiran Kertas di Malangjiwan ...... 83 DAFTAR PUSTAKA ...... 92 Lampiran 1 ...... 96 Lampiran 2 ...... 104 Lampiran 3 ...... 115 Lampiran 4 ...... 128

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN

“…Karena gagasan teater seradikal apa pun ketika itu menjadi rutin dan mapan,

ia tidak lagi menyengat…”

Yudi Ahmad Tajudin

A. Latar Belakang

Pratik seni pertunjukan, khususnya teater mutakhir di Yogyakarta, seolah memiliki kecenderungan untuk ramai-ramai menggunakan mode ‘menjadi warga dunia’ dalam proses kerja artistik. Terlebih lagi jika sudah memasuki wilayah produksi karya, sebuah kelompok seni, untuk dapat menunjukkan keberadaannya, seolah mempunyai keharusan menjadi bagian dari topik bahasan yang sedang ramai diperbincangkan oleh elit kesenian yang sebagian besar tengah berkongsi dengan pemilik modal. Kesenian seperti tampak mustahil bisa berjalan dengan mulus tanpa pembiayaan yang besar. Lalu dibangunlah berbagai narasi tentang kengerian, kelaparan, keterpurukan, kemiskinan, dan berbagai macam perasaan was-was oleh sebagian orang yang berkepentingan untuk menakut-nakuti orang atau kelompok yang hendak melakukan gerakan kritisisme melalui seni.

Keputusan untuk hidup dalam aktivisme seni yang serba cair dan membutuhkan daya untuk ‘bertahan hidup’ yang besar mengantarkan saya untuk melihat lebih dekat, bahkan mengalami secara langsung dan memberikan penilaian dari setiap kerja kesenian yang pernah saya lakukan selama hampir dua

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

puluh tahun. Saya pernah harus ‘menipu’ secara kecil-kecilan untuk bisa makan, menukar tiga botol bekas anggur kolesom dengan sepiring nasi lodeh, hingga memungut makanan yang masih layak makan dari tong-tong sampah–berkat kesenian, saya bisa berkata bahwa, “saya gagah dalam kemiskinan!”

Saya terlanjur percaya dan setia dengan segala kekurangan dalam kehidupan sehari-hari, meyakini bahwa seniman tidak boleh tunduk kepada

‘majikan’ yang akan memperdaya kebebasan kita sebagai manusia. Saya masih gagap membaca praktik seni dan dunia kesenimanan yang esoterik. Kelak, di kemudian hari, setelah saya mulai bergabung dengan kelompok teater yang elit dan tidur di apartemen dengan gaji yang cukup untuk membeli kulkas besar dua pintu serta mesin cuci, saya sudah hampir lupa caranya menjadi ‘miskin’ dan

‘berdarah-darah’ (militan).

Hingga akhirnya saya bertemu dan berproses bersama Komunitas Sego

Gurih di tahun 2011, yang seakan menyentil saya tentang praktik seni yang tampak elit dan sudah membuat saya terlena selama beberapa waktu. Mental elitis yang hampir saja menjangkiti kepribadian saya, berhamburan begitu saja di lahan-lahan kosong, pekarangan rumah, dan kehangatan kampung yang menyambut kedatangan kami pada perayaan sederhana pasar tiban (pasar dadakan). Saya merasa mengalami momen katarsis bersama rakyat yang sebenarnya, rakyat yang sering ditirukan oleh para pemain sandiwara kaum terpelajar perkotaan secara serampangan yang dihadirkan melalui gestur, pakaian, bahkan cara berdialog yang acap kali diasumsikan sebagai sekelompok orang ‘tidak tahu adat’ (kampungan).

2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pertunjukan teater atau sandiwara (sastra lakon yang diwartakan kepada khalayak) sebagai upaya mempertontonkan serangkaian ‘Sandi’ (pesan rahasia) kepada masyarakat tidak lepas dari kegiatan memproduksi pengetahuan secara bersama-sama. Permainan ‘Sandi’ disampaikan melalui perangkat artistik yang diharapkan mampu menjadi perpanjangan tangan dalam menyampaikan pesan moral atas isu tertentu. Salah satu kelompok sandiwara berbahasa Jawa di

Yogyakarta, Sego Gurih, hampir di sepanjang karirnya, menjadi kelompok pertunjukan keliling yang mementaskan kerja artistiknya di desa-desa atau kampung pinggiran kota. Mereka seolah ingin mengembalikan romantisme

‘guyub-rukun’ (kebersamaan dan kebersahajaan). Penggunaan aksen masyarakat tempat mereka bermain, dialek, sikap tubuh, membubuhkan kondisi sosial terkini di tempat mereka bermain, hingga upaya menghadirkan situasi ndesit

(kampungan), selalu ditonjolkan dalam setiap praktik seninya, sebagai pernyataan sikap bagi kelompok ini terhadap dunia baru yang bergerak cepat dan serba ‘rasional’, yang persimpangannya cenderung berpotensi menimbulkan konflik.

Kesadaran untuk mendekatkan pertunjukan ‘Sandi’ kepada masyarakat di kampung dan desa-desa dengan pilihan ruang dan bentuk pertunjukan yang dinilai progresif oleh beberapa kelompok teater yang mapan, dicitrakan sebagai aktivisme teater modern berbasis ‘kerakyatan’. Asumsi saya, keputusan memilih bentuk semacam ini awalnya adalah upaya untuk mengembalikan pertunjukan

‘Sandi’ pada kenyataan artistik yang sebenarnya di dalam kehidupan, sehingga dapat memotong jarak dengan penonoton dan lebih mendekatkan persoalan

3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kepada masyarakat yang diasumsikan berada dalam lingkaran isu yang sedang diperbincangkan bersama.

Namun, apakah tidak terlalu terburu-buru untuk memberikan cap

‘kerakyatan’ bagi Sego Gurih, yang dalam asumsi saya, bisa jadi merupakan strategi kepentingan kelompok elit melalui media massa yang sengaja menaburkan racun dan obat bius dalam sorak-sorai puja-pujian bagi aktivisme kelompok seni yang memang mulanya benar-benar miskin ini? Jika ada elit yang mengeluarkan pernyataan, “Bung, untuk apa buang-buang waktu mematikan kritisisme kelompok gurem? Toh, keadaan akan tetap sama saja,” itu sepenuhnya salah besar apabila tidak dicurigai. Terbukti bahwa akhirnya Sego

Gurih merasa nyaman dalam semangat proletariat yang justru pelan-pelan mulai melenceng ketika merasa bahwa kesenian juga harus mengikuti mode menjadi pelayan majikan, mode bermental buruh.

Representasi ke-rakyat-an mereka adalah bagaimana pertunjukan ‘Sandi’ mampu memiliki akibat yang dapat membangkitkan kembali nilai-nilai kebersamaan sebagai citra masyarakat Jawa, bukan hanya dalam pertunjukan saja, melainkan dalam proses persiapan produksi ketika mereka berhimpun dan mendatangi kampung melalui rapat-rapat Karang Taruna atau Rukun

Warga/Tetangga. Sego Gurih, dalam asumsi saya, mengutip pernyataan Njoto

(1959): “…Kebudajaan Rakyat ini vital, karena ia adalah kebudajaan

4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pembebasan. Sebaliknya kebudajaan bukan Rakyat itu dekaden, karena kebudajaan bukan Rakyat itu kebudajaan penindasan..”.1

Progresifitas mereka yang menjadi rutin, semakin hari makin bertambah tidak terarah, godaan untuk bermanis-manis dan jatuh pada rekaan-rekaan artifisial dalam pemanggungan cenderung sering mereka lakukan. Pada akhirnya, gagasan besar untuk membangkitkan kesadaran kritis bersama rakyat miskin berubah menjadi sekadar menghibur massa dengan banyolan-banyolan tanpa muatan. Celakanya, media massa membesar-besarkan kemerosotan keberpihakan mereka atas Rakyat. Apakah bentuk seni pertunjukan yang

‘dekaden’ ini masih layak menjadi citra pertunjukan ‘Sandi’ berbasis ke-rakyat- tan?

Saya sejujurnya merasa begitu gerah dengan kelompok pertunjukan

‘Sandi’ yang elitis. Mereka memperdagangkan kemiskinan sebagai lelucon yang serampangan dalam gedung pertunjukan dengan karcis-karcis yang mahal.

Rakyat dalam bentuk pertunjukan ‘Sandi’ semacam ini diprovokasi dalam durasi waktu tertentu, menertawakan ketidakmampuan mereka untuk memberikan perlawanan pada jajaran kursi penonton, mengasingkan hak kodrati sebagai rakyat yang juga memiliki kebebasan untuk menyuarakan tuntutannya. Vox populi, vox dei.

1 Pidato Njoto didepan Kongres Nasional 1 Lekra, Harian Rakjat – 7 Februari 1959, hal. 3-4.

5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Tema

Mencari pola seni berbasis kerakyatan yang didaktis sehingga isu kerakyatan bukan hanya sekadar eksotisme karya seni, maupun strategi politik menaikkan kelas sosial seniman atau kelompok seni dalam masyarakat, tetapi dapat juga membangun kesadaran kritis penontonnya. Penelitian ini akan mempertanyakan kembali imaji kerakyatan yang dibawa oleh Komunitas Sego

Gurih sebagai penyedia data, sekaligus secara lebih jauh ingin menginterogasi parole yang biasa dinarasikan oleh kelompok pekerja seni teater (pertunjukan

‘Sandi’), bahwa teater adalah wahana alternatif untuk ‘me-manusia-kan manusia’.

C. Rumusan Masalah Penulisan tesis ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan:

1. Bagaimana Komunitas Sego Gurih mengimajinasikan rakyat dan

bentuk seni kerakyatan?

2. Bagaimana kerakyatan diwujudkan dalam proses kreatif?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah seni teater yang berbasis kerakyatan masih

diperlukan oleh massa rakyat.

2. Untuk mengetahui sejauh mana efek didaktis pada teater modern

berbasis kerakyatan dalam kehidupan sehari-hari massa rakyat.

6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini berfokus untuk mencari imaji kerakyatan dalam aktivitas kelompok seni berbasis kerakyatan dengan padanannya yang mencakup seputar istilah kerakyatan dan sosial, sebagai upaya untuk memberikan cara pandang alternatif terhadap rakyat di tengah menjamurnya komodifikasi istilah ‘rakyat’ dan politik seni dalam pertunjukan ‘Sandi’.

F. Tinjauan Pustaka

Menempatkan Komunitas Sego Gurih di dalam dunia teater di

Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peran beberapa kelompok seni teater

yang telah lebih dahulu ada, mengingat permainan ‘Sandi’ melalui

pertunjukan sandiwara sebagai salah satu wahana pemenuhan mental

spiritual sebagian masyarakat di Yogyakarta memiliki sejarah panjang dan

mengakar. Dalam konteks sandiwara modern berbahasa Jawa di Yogyakarta

pada rentang tahun 1980–1998, saya belum menemukan data mengenai satu

kelompok yang memiliki konsistensi seperti Komunitas Sego Gurih.

Kelompok teater serupa dan yang menjadi rujukan pada masa-masa awal,

justru berasal dari Surakarta–Teater Gapit. Dari Gapit, Sego Gurih mampu

membentuk citra komunitasnya. Mereka kemudian berani ‘menyapih’

progresifitas Teater Gapit di tahun 2003 dengan memainkan naskah karya

Wage Daksinarga berjudul ‘KUP’ (Kudeta Untuk Pemerintahan).

Berikut akan saya jelaskan beberapa penilitian yang mendukung proses

pengumpulan data terkait dengan tema yang sedang menjadi fokus penelitian

7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

saya. Tiga rujukan tersebut, satu di antaranya, memaparkan bagaimana panorama teater kontemporer di Yogyakarta sejak tahun 1950–1990, dan kondisi sosial ekonomi politik yang secara tidak langsung berhubungan dengan aktivisme seni teater pada masa itu. Kedua, saya mengambil salah satu bagian dari kumpulan tulisan penelitian Soepomo Poedjasoedarmo dan

Soeprapto Budi Santoso tentang ‘Dagelan Mataram’ guna merunut perubahan bentuk dari sandiwara tradisional-lokal menuju sandiwara mutakhir berbahasa lokal (Jawa). Ketiga, sekumpulan tulisan Elyandra

Widarta bertajuk ‘Panen Raya Kebudayaan’ yang disarikan dalam‘Teater

Kerakyatan Menghadang Penonton’, untuk lebih menajamkan fokus penelitian.

1. Laporan Penelitian Existing Documentation dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990.

Penelitian ini berangkat dari kegelisahan para pegiat teater karena

minimnya dokumentasi dan rujukan sejarah perkembangan estetika dan

peristiwa teater kontemporer di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan

dalam waktu enam bulan, terhitung sejak tanggal 1 Desember 1999

sampai dengan 13 Mei tahun 2000, dengan melibatkan berbagai pihak.

Bertolak dari beberapa data dokumentasi cetak (poster, artikel atau

ulasan surat kabar, buku pertunjukan, dan tiket) dan rekaman (data

informasi pelaku sebagai rujukan untuk mengklarifikasi data sepanjang

1950-1990-an).

8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sekumpulan tulisan yang dihimpun dalam proyek penelitian dokumentasi yang Ada (existing documentation) dalam Perkembangan

Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990, dilakukan oleh tim peneliti Kalangan Anak Zaman Yogyakarta dengan dukungan pendanaan dari “The Ford Foundation”. Proyek penelitian ini merupakan upaya untuk menyelamatkan dokumentasi yang dihimpun dari kepustakaan pribadi, kelompok teater, perpustakaan wilayah, dan gudang penyimpanan surat kabar edisi lama seperti Bernas, Kedaulatan Rakyat, dll.

Buku ini menyajikan gambaran peristiwa dan fenomena perteateran di Yogyakarta, yang tentu saja dalam lokus masyarakat pegiatnya begitu berkelit-berkelindan dengan pemahaman yang belum ‘selesai’ tentang istilah ‘teater’ itu sendiri. Bahkan hingga tulisan ini disusun (2017), masih dapat ditemukan pegiat teater di sanggar-sanggar bahkan dalam intisusi teater mahasiswa, yang masih tampak kesulitan untuk mengartikulasikan istilah ‘teater’. Teater sebagai bagian dari istilah yang mencoba merepresentasikan salah satu jenis seni pertunjukan, terkesan masih memiliki cakupan yang luas. Sedangkan di , istilah

‘teater’ hadir seketika bersamaan dengan ‘nalar’ dan dunia esoterik yang melingkupinya. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri untuk melakukan pemilahan genre dan style yang ada, seturut ukuran dan gagasan masing-masing genre dan style seperti yang terdapat pada tempat kelahirannya.

9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Saya merujuk dan mengutip secara langsung beberapa data yang berkaitan dengan peristiwa dan fenomena teater pada kurun waktu sepuluh tahun, pada periode 1980-1990 di Yogyakarta. Khususnya ulasan surat kabar tentang pertunjukan yang menggunakan judul ataupun bahasa komunikasi (Jawa) dalam pementasannya. Data yang mampu saya temukan dalam buku ini kemudian saya jadikan sebagai modal untuk berdialog dengan beberapa pelaku teater pada masa itu yang dapat saya temui di Yogyakarta, yakni Fajar Suharno (Teater Dinasti) dan

Jujuk Prabowo (Teater Gandrik) dalam waktu yang terpisah.

Muncul beberapa nama kelompok dengan judul pementasan yang mulanya saya asumsikan sebagai artefak yang dapat saya sejajarkan dengan konsistensi Komunitas Sego Gurih dalam penggunaan idiom kejawaan, tetapi menurut beberapa informan yang saya temui, ternyata penggunaan judul dan bahasa Jawa dalam pertunjukannya hanya bersifat

‘rekreatif’, yang dalam asumsi saya merupakan usaha kelompok tersebut untuk menautkan diri bersama masyarakat penontonnya, menempatkan pertunjukan teater modern dengan nalar pertunjukan tradisional-lokal.

Meminjam istilah dari WS. Rendra dalam pemaknaan yang sederhana adalah usaha untuk ‘mempertimbangkan tradisi’.

Fenomena teater ‘modern’ (sebagai kata ganti untuk menyebutkan istilah problematis ‘kontemporer’) yang muncul secara khusus dari tahun

1980 menuju 1990, yang dapat saya tandai salah satu di antaranya adalah upaya kelompok teater Yogyakarta dalam merebut perhatian masyarakat

10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penontonnya. Mulai dari menggelar pertunjukan dalam rangka

penggalangan dana pembangunan masjid, misi teater pemberdayaan,

penyelenggaraan biro pementasan teater, berdirinya GALATAMA

sebagai perhimpunan ‘elit’ yang memberikan pendanaan dan himpunan

pionir-pionir teater di Yogyakarta, hingga fenomena kemandegan

kelompok teater di Yogyakarta perihal eksplorasi bentuk artistik yang

akan ditawarkan kepada publik.

2. Dagelan Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta.

Selanjutnya adalah buku yang berbentuk laporan penelitian;

“Tingkat Penerimaan Masyarakat Terhadap Dagelan Mataram di

Wilayah Kotamadya Yogyakarta (Sebuah Laporan Penelitian)”.

Penelitian ini mengenai penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap

Dagelan Mataram dalam beberapa fase perkembangannya, yang

dilaksanakan pada tahun 1980 atas bantuan dana dari Rockefeller

Foundation. Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional-lokal yang

dilahirkan dari tradisi ‘Jeron Beteng’2, istilah ‘Dagelan Mataram’

(lawakan, pertunjukan jenaka) dimunculkan RM Marmadi pada siaran

radio MAVRO (Mataramsche Vereneging Radio Omroep). Berawal dari

tradisi abdi dalem (pelayan) yang sengaja dikumpulkan dari berbagai

penjuru untuk menghibur para dengan tingkah laku ataupun

2 Jeron Beteng istilah Jawa yang berarti ‘dalam benteng’ keraton Yogyakarta.

11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ocehan mereka (oceh-ocehan). Kriterianya, mereka haruslah memiliki kekhususan, yaitu cacat-cacat tubuh atau kelucuan-kelucuan bentuk tubuh.

Dalam laporan ini disebutkan awal mula bagaimana bentuk kesenian tersebut masuk ke ruang publik sebagai ilustrasi pada siaran uyon-uyon gending Jawa yang menjadi salah satu materi radio tersebut.

Mereka menamakan dirinya “Dagelan Mataram Barisan Kuping

Hitam”. Nama ‘Kuping Hitam’ (1938) diambil dari ciri Den Bekel

Tembong (RB Lebdojiwo) yang telinganya berwarna hitam karena ada tembong-nya (tanda lahir). Bertolak dari Sandiwara Rakyat Indonesia

(SRI) yang didirikan oleh Usmar Ismail dan Djayakusuma, sandiwara ini dibawakan dengan menggunakan bahasa Jawa–Indonesia. Pada tahun

1948, muncul usaha untuk mempertunjukkan sandiwara yang semula hanya auditif dan hanya obrolan-obrolan biasa menjadi bentuk permainan panggung.

Pada fase inilah pemerintah menggunakan potensi pertunjukan

‘Sandi’ sebagai corong propaganda dalam menyampaikan program- program pemerintahan, misalnya transmigrasi, budaya hidup bersih,

Keluarga Berencana (KB), penanaman tebu dan komoditas ekspor, dll.

Pemerintah mengangkat senimannya sebagai pegawai pemerintahan dalam Jawatan Penerangan dan mendapatkan gaji tetap, disesuaikan dengan tingkat pendidikan masing-masing. Saya menekankan pembacaan data pada paparan tentang upaya pemerintah ‘merebut’ produk kesenian

12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari tangan rakyat kemudian dialihkan ke dalam nalar pembangunan

yang bersifat top down, sehingga potensi pertunjukan ‘Sandi’ sebagai

kritik berubah menjadi sekadar hiburan belaka.

3. Teater Kerakyatan Menghadang Penonton

Tulisan dari Elyandra Widarta (Komunitas Sego Gurih Yogyakarta)

yang terhimpun dalam ‘Ideologi Teater, Gagasan dan Hasrat Teater

Yogyakarta Hari ini’ (2016) merupakan proyek pendokumentasian

gagasan kelompok teater yang dinilai berperan secara aktif dalam

memberikan warna pada atmosfer perteateran di Yogyakarta. Tulisan ini

menjelaskan bagaimana pilihan strategi Komunitas Sego Gurih dalam

menyelenggarakan pertunjukannya. Baik itu strategi artistik yang

bertolak dari tempat penyelenggaraan pertunjukan yang ‘tidak

konvensional’ sampai dengan keputusan untuk memilih menciptakan

‘pasar’ bagi produk kesenian bersama masyarakat penontonnya di

kampung pinggiran kota dan desa-desa.

Kelompok ini mengembangkan pola ‘improvisatoris’ sebagai

sebuah metode untuk membangun jembatan yang memudahkan

masyarakat penontonnya masuk ke dalam peristiwa (kenyataan)

panggung dengan mengawinkan teks pertunjukan dengan konteks sosial

masyarakat penontonnya. Kelenturan pengembangan cerita bukan hanya

dibangun di atas panggung sebagai respon balik atas keterlibatan

13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penonton yang seketika. Sego Gurih juga melatihnya hingga menjadi

gerak refleks yang natural ketika tampil di atas panggung.

Urban Chaos dan kemiskinan merupakan isu yang selalu diangkat

oleh kelompok ini. Seolah-olah mereka sedang ingin menggarisbawahi

aneka persoalan semacam kekerasan, baik fisik maupun simbolik yang

sering dialami oleh rakyat miskin. Elyandra menuliskan, “berbicara soal

sosial kemanusiaan dan masyarakat urban adalah menanggapi

persoalan bagaimana ‘ngewongke-wong’ (memanusiakan manusia) itu

tanpa harus menggunakan kekerasan”.

G. Kerangka Teoritis

Literatur teater modern yang berbasis kerakyatan menjadi isu yang

banyak diangkat oleh dramawan berideologi Marxis, salah satunya adalah

Bertold Brecht dengan Epic teaternya. Gagasan besar Brechtian adalah

membangun sikap kritis terhadap pola tragedi khas estetika Aristotelian, di

mana dalam estetika Aristotelian perasaan penonton dimobilisasi ketika

menonton pertunjukan (tragedy), diarahkan melalui pesan halus bahwa sikap

kritis yang mempertanyakan keadilan dan segala tindakan subversif akan

selalu berakhir tragis (Boal, 2008: 28). Karenanya, hendaklah setiap manusia

‘dimurnikan’ agar mematuhi hukum yang berlaku sebagai penubuhan dari

tata kodrati.

14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gagasan teater dengan pola semacam ini membangun garis yang tegas antara penonton dan pertunjukan. Aristokratisasi dalam ruang pertunjukan terlihat jelas dengan mengunci pemirsa pada kursi penonton, mengambil kuasa kritis kolektif menjadi suara kegelisahan individu dan membiarkan massa menjadi pasif.

Komunitas Sego Gurih justru sebaliknya, sejauh keterlibatan saya kurang lebih tujuh kali produksi pementasan dalam lakon Bleg-Bleg Thing

(2011) dan Purik (2014), setidaknya saya mengalami pertumbuhan nilai secara positif, beralih dari hanya sekadar persoalan produksi ‘kecanggihan’ artistik menuju kesadaran tentang hubungan seni dan masyarakat dalam kajian sosiokultural.

Komunitas Sego Gurih memiliki strategi pendekatan massa yang unik.

Di dalam sebuah artikel yang bertajuk ‘Panen Raya Kebudayaan’ (Elyandra,

2013), menyebutkan bagaimana komunitas ini mengadopsi budaya massa dalam tradisi masyarakat Jawa tentang panen raya,] sebagai citra kebersamaan masyarakat agraris. Menanam, merawat, memelihara, dan memanen merupakan rangkaian peristiwa mendaur ulang nilai-nilai. Pribadi dalam kerumunan saling bertemu, bertukar cerita mengenai hasil panen dan bertukar pikiran dari wacana universal hingga persoalan domestik. Imaji peristiwa ini kemudian menjadi titik mula keberangkatan Sego Gurih untuk memilih merayakan pertunjukan seni teater bersama massa rakyat.

Menjadikan penonton tidak hanya sekadar duduk dan menjadi pengamat,

15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tetapi juga menempatkan penonton sebagai bagian dari terselenggaranya peristiwa kebudayaan bersama.

Komunitas Sego Gurih menyadari dan berusaha meminimalisir jarak antara dramawan dengan penontonnya. Individu dalam komunitas ini sebagian besar lahir dari keluarga kelas menengah ke bawah di pedesaan atau kampung pinggiran kota. Memori ruang, permainan, bahasa (idiom, aksen, dll), persoalan khas, personalitas, menjadi modal budaya yang lengkap dan menubuh. Kehadiran Sego Gurih dengan isu khas masyarakat yang termarjinalkan, membuat artikulasi aktor dalam hampir setiap pertunjukannya begitu tampak wajar, seolah tanpa jarak antara kenyataan panggung sebagai citra kenyataan dengan kenyataan yang sebenarnya.

Mengamati dinamika Komunitas Sego Gurih dengan imaji seni kerakyatan di tengah fenomena teater modern Yogyakarta dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun terakhir yang begitu rapat memenuhi daftar tunggu penggunaan gedung pertunjukan konvensional, seperti menemukan jalur alternatif untuk kembali ke kampung halaman. Jika beberapa kelompok teater sibuk dengan persoalan finansial yang besar untuk memenuhi kebutuhan produksi artistiknya, Komunitas Sego Gurih justru meraup

‘keuntungan’ yang besar dengan modal kulturalnya. Kembali bersama massa rakyat, merencanakan perayaan bersama, membiayai bersama secara otonom dan merawat bahasa ibu bersama adalah strategi budaya yang tepat hari ini.

16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Seturut pemikiran Brecht (1991:14), ia menginginkan penontonnya untuk

berpikir karena teater adalah proses intelektual.3

Saya ingin mempertanyakan lebih jauh bagaimana sebenarnya imaji

‘seni kerakyatan’ yang digembar-gemborkan oleh kelompok seni yang

menjadikan rakyat beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai

objek material dalam penciptaan artistik. Asumsi saya, hal ini berpotensi

untuk ditelisik lebih jauh, mengingat istilah ‘rakyat’ sangat mudah untuk

dipelintir, diperjual-belikan, dan dipolitisasi untuk kepentingan sepihak para

elit. Kesenian seolah berada pada ruang panoptik, dalam situasi represif yang

sengaja diciptakan oleh kaum pemilik modal, sehingga rakyat miskin sebagai

bagian terkecil dari konstelasi politik bahkan tidak memiliki cara yang

merdeka untuk membicarakan diri (Self) mereka sendiri. Menurut Ruedi

Hofmann (1988), adalah suatu aktifitas rakyat kecil atau kaum tertindas

untuk menganalisis struktur masyarakat, supaya kontradiksi-kontradiksi atau

kepincangan-kepincangan semakin jelas.4

I. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan. Pengumpulan data

dilakukan dengan mengolah sumber data, yaitu data primer (responden) dan

data sekunder (penunjang) yang saya sandingkan dengan pengalaman

ketubuhan saya selama bergabung bersama Komunitas Sego Gurih (2011

3 Johannes Birringer, Theatre, Theory, and Posmodernism (Bloomington: Indiana University Press, 1991), hal. 14. 4 Jurnal Rohani, Tahun XXXV no.6 Juni 1988, hal.226.

17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan 2014), Teater Gandrik (2007-2010), dan ‘magang’ di Teater Garasi

(2012-2015an).

Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara bersama narasumber yang sudah dipilih berdasarkan data tertulis mengenai kelompok teater yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama dalam petunjukan lakonnya, dan kelompok yang dicitrakan oleh media cetak sebagai kelompok teater yang mengusung terma kerakyatan. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang bagaimana kelompok teater (sandiwara) berbahasa Jawa ini mengimajinasikan rakyat dalam pertunjukannya. Ada beberapa informan kunci dalam penelitian ini.

Pertama adalah Elyandra Widarta sebagai perwakilan dari Komunitas

Sego Gurih Yogyakarta. Elyandra menuturkan kegelisahannya tentang bergesernya kebudayaan masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta yang sudah mulai mengarah pada kebiasaan-kebiasaan 'individualistik' di mana pola hidup semacam itu sangat rentan untuk menjadi penyebab timbulnya konflik sosial dikarenakan kurangnya komunikasi secara langsung.

Melalui praktik seninya, Komunitas Sego Gurih ingin menghidupkan kembali ingatan-ingatan 'manis' tentang kehidupan kampung yang rukun dan harapan-harapan ideal yang hidup dalam narasi kebudayaan Jawa. Kelompok ini mempercayai bahwa masyarakat masih membutuhkan seni teater tidak dalam pratik seninya, tetapi lebih kepada esensi 'berkumpulnya' massa.

Pertemuan antarmanusia untuk saling bertukar informasi dan pengetahuan

18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sehingga diharapkan dapat menghidupkan kembali kesadaran kritis secara komunal.

Selanjutnya wawancara bersama Pak Pelok (Dr. Trisno Susilo, S.kar,

M.Hum.), eks. Teater Gapit (Surakarta). Kelompok Teater Gapit merupakan salah satu kelompok yang menjadi rujukan bagi Komunitas Sego Gurih untuk menciptakan peristiwa pemanggungan. Seperti pengalaman saya menonton beberapa naskah karya Bambang Widoyo S.P yang merupakan ketua dari Teater Gapit, saya menaruh harapan besar untuk mendapatkan jawaban tentang bagaimana kelompok ini mengimajinasikan rakyat miskin dalam narasi tekstualnya.

Teater Gapit, pada masanya, memilih keberpihakan mereka atas Rakyat miskin yang mengalami ketidakadilan dalam gerak narasi pemerintah Orde

Baru yang sedang melakukan 'takhayul' pembangunan di segala bidang.

Secara teks pemanggungan, pilihan artistik khas Teater Gapit mengajak masyarakat penontonnya untuk sadar dan kritis bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah menimbulkan korban yang tidak sedikit, korbannya bukan hanya material akan tetapi nilai kemanusiaan.

Selanjutnya, wawancara dengan Pak Jujuk Prabowo, Teater Gandrik, di

Karangjati–Bantul. Hasil wawancara ini menekankan pada usaha Teater

Gandrik mengembalikan masyarakat penonton teater yang sempat kehilangan 'kesempatan' menikmati pertunjukan seni yang biasanya bertandang di halaman rumah meraka. Seni pertunjukan berangsur-angsur mengarah pada gejala menjadi model pertunjukan 'elit' dan susah dipahami

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(dalam konteks eksplorasi bentuk yang bergerak ke arah abstrak). Padahal

pada awalnya pertunjukan teater menyoal permasalahan yang hadir secara

wajar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga melalui pertunjukan teater

(sandiwara) masyarakat memiliki kesadaran kritis yang digunakan untuk

mengoreksi kenyataannya.

J. Skema Penulisan Penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab secara keseluruhan: Bab I merupakan bab pendahuluan yang akan menjelaskan latar

belakang penelitian, rumusan masalah, kajian pustaka, kajian teori, dan

metode penelitian yang digunakan.

Bab II memaparkan posisi Komunitas Sego Gurih dalam panorama

perteateran di Yogyakarta sejak 1980 hingga kemunculannya di tahun 1998

pasca euforia Reformasi, dan situasi politik seni di Yogyakarta pada tahun

itu yang memperebutkan ‘rakyat’, antara pemerintah dan kelompok teater.

Bab III berbicara mengenai bagaimana pengalaman keterlibatan dalam

Komunitas Sego Gurih pada pertunjukan keliling di beberapa titik di

Yogyakarta. Sekaligus juga menceritakan bagaimana saya sebagai pekerja

seni teater yang berhimpun dalam satu komunitas, bergumul bersama rakyat.

Bab IV catatan pengalaman berhimpun bersama kelompok sandiwara

berbahasa Jawa, di Yogyakarta.

Bab V akan berisi refleksi dan kesimpulan.

20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

RAKYAT DI PANORAMA TEATER YOGYAKARTA 1980 - 1998

Pada bagian ini saya ingin memaparkan situasi perteateran (modern) di

Yogyakarta tahun 1980-1990 yang secara spesifik muncul dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi utama. Dalam asumsi saya hal ini adalah gejala-gejala yang tampak sebagai akibat dari usaha untuk menautkan antara teater modern yang merupakan anak turunan kebudayaan Barat dengan dunia kesenian rakyat atau tradisional-lokal yang dinarasikan sebagai milik masyarakat tanpa kelas. Akan tetapi, dalam paparan ini, saya tidak mengikutsertakan karya teater yang dihasilkan melalui lembaga pendidikan seni formal seperti ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) dan ISI (Institut Seni

Indonesia) Yogyakarta. Saya beranggapan bahwa problem penciptaan karya pada kedua institusi tersebut lebih condong sebagai usaha pemenuhan kebutuhan akademik semata dan ‘bukan’ muncul dari pergulatan kesenimanan an sich! dalam membaca gejolak zaman.

Kelompok teater sendiri tumbuh subur di masyarakat juga kampus-kampus sebagai ‘fashion’ baru generasi muda di tahun 80-an. Bertolak dari kesenangan yang sama, menurut saya, teater akan lebih mudah menemukan ekosistemnya di setiap tempat. Militansi para teaterawan yang berusaha untuk mengembangkan

‘iman’ teaternya, menurut Emha Ainun Najib (1980) ialah seorang yang berminat dan berbakat drama yang mencari teman dari kampung-kampung mana saja untuk bidang minat yang sama, sehingga merupakan pencerminan suatu

21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

‘kelas’ yang tersendiri.5 Di luar persoalan bahwa dalam aktivisme teater tidak hanya dilakukan orang-orang yang berkeinginan untuk mengolah bakatnya dalam seni drama, tetapi dari berbagai latar belakang keilmuan yang turut melibatkan diri, bersuara bersama seturut isu yang sedang digeluti secara kolegial. Saya menduga gerakan ini adalah salah satu perpanjangan tangan dari gerakan kritisisme sosial yang diletakkan oleh para pendahulu pada periode awal tahun 1970-an di Yogyakarta.

Pertunjukan teater di Yogyakarta diselenggarakan di beberapa tempat.

Menurut Landung Simatupang (2000), kegiatan-kegiatan tersebut diadakan di

Galeri Senisono, Purna Budaya, Karta Pustaka, Sport Hall Kridosono, dan di gedung atau auditorium milik kampus-kampus.6 Kecenderungan yang tampak di kalangan seniman teater Yogyakarta pada waktu itu, ada semacam kekhawatiran untuk menyelenggarakan pertunjukan kelompok teater lokal. Seniman teater

Yogyakarta beralih melihat ke luar bagaimana perkembangan teater di Bandung,

Jakarta, dan Surabaya. Alih-alih mencari pembanding, sebagai media belajar untuk mengasah ketajaman mutu dan meningkatkan kualitas karya. Namun, di saat yang sama, kelesuan seniman lokal untuk memproduksi karya sudah sampai pada kondisi mengalami ‘kemandegan’.

Kelompok-kelompok teater yang tercatat secara intensif menyelenggarakan pertunjukan selama tahun 80-an dan mendapat ulasan di media massa antara

5 Emha Ainun Najib, Teater Sebagai Perspektif Baru Generasi Muda, BASIS XXIX, September 1980, hal.377. 6 Tim peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta, Laporan penelitian Existing Documentation dalam perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990, (Yogyakakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal. 62.

22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lain, Teater Alam, Teater Dinasti, Teater Stemka, Teater Gandrik, Teater Jeprik,

Teater Shima, dll. Kritik teater yang disampaikan melalui media massa waktu itu, membuat saya cenderung mengerutkan dahi, sebab kritik teater yang komparatif terbilang kurang. Hal ini disebabkan masih terdapat masalah-masalah dalam komunikasi yang bersumber pada visi berteater itu sendiri.7 Pemahaman bahwa peristiwa teater selalu hadir ‘di sini dan sekarang’, dengan penonton yang juga dikelilingi oleh ‘kesementaraan’.

Pergerakan penonton dalam ‘kesementaraan’ yang berpindah dengan cepat, menciptakan ‘keterbatasan’ kesempatan seniman teater untuk belajar membaca dan mengikuti pola perubahannya dengan cepat pula. Pijakan kaki seniman teater dalam ‘kesementaraan’, selain menimbulkan efek negatif pada menurunnya ketajaman untuk mengangkat persoalan sosial ke atas pentas, isu tersebut pada akhirnya juga melahirkan gerakan kritisisme baru. Hal inilah yang menjadi salah satu pemantik kaum terpelajar untuk lebih menautkan perangkat pengetahuan yang dimiliki dengan varian disiplin keilmuan di luar dari disiplin ilmu teater. Hasilnya, teater berkembang menjadi sangat beragam.

Membaca keragaman pilihan bentuk dalam rentang waktu kurang lebih delapan belas tahun sebelum kemunculan Komunitas Sego Gurih tahun 1996 di

Yogyakarta, saya menandai beberapa hal yang saya duga berkaitan dengan eksplorasi artistik sebagai salah satu penanda ‘pergeseran’ sudut pandang estetika. Pergeseran yang saya maksud menitikberatkan pada isu kerakyatan pada masing-masing kelompok teater beserta pola pergeserannya. Akibat dari

7 Forum Indonesia Kecil, Teater Yang Berbicara, Goethe-Institut Jakarta, no.5/TYB/FIK/III/’89.

23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sekadar ingin keluar dari kebiasaan, dalam kontrol pemberi dana atau mengikuti mode ideologi teater yang sedang menjadi perbincangan publik. Berikut akan saya klasifikasikan secara lebih jelas beberapa kelompok teater dalam kurun waktu sepuluh tahun (1980-1990) di Yogyakarta, berdasarkan judul berbahasa

Jawa atau penggunaan bahasa Jawa pada pementasan yang menjurus pada isu kerakyatan, melalui ulasan media massa.8

A. Estetika ‘Kolesom’

Jejak-jejak para pelaku seni Dionysian di tahun 80-an masih dapat

ditemukan dalam pembicaraan teater modern hari ini. Seturut penuturan

Guru kethoprak saya dari Sastra Budaya–Kecamatan Gombong–bahwa

kehidupan para pekerja seni kethoprak, khususnya lahir dari semangat

solidaritas yang kuat, hal ini dikarenakan tidak semua pekerja seni berlatar

belakang keluarga yang ‘melek’ pendidikan dan mampu. Saya masih

mengingat dengan sangat jelas ketika salah satu pemeran tokoh perempuan

dalam lakon ‘Siluman Kebo Mas’ yang wadam,9 di lain hari setelah

pertunjukan, kami bekerja mendorong beberapa potong bambu berukuran

kurang lebih 4 meter menggunakan gerobak sederhana, menyusuri jalanan di

antara hamparan padi di sore hari.

Kegiatan teater modern di Yogyakarta dapat dikategorikan sebagai

aktivisme yang tumbuh di lahan yang subur. Modal budaya dibentuk oleh

8 Keterangan terlampir. 9 Wadam (hawa dan adam) yang artinya laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupan sehari-hari atau diatas panggung pertunjukan.

24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

citra kesenian rakyat, tradisional-lokal, dan segala narasi yang

melingkupinya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa terjadinya

‘fanatisme’ terhadap kelompok kesenian tertentu juga disebabkan oleh

pemenuhan rasa estetis. Mengutip pernyataan Linus Suryadi AG dalam

catatan kebudayaan;

“..gelagat itu ternyata membentuk semacam fanatisme pada masyarakat penonton di Yogya. Teater Stemka pimpinan Landung Rusyanto, Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno, Teater Alam pimpinan Azwar AN, Gong Studio (Eks Bengkel Teater) pimpinan Edy Haryono, Teater Muslim Pimpinan Pedro Sudjono dan lain-lain, masing-masing punya masyarakat penonton di Yogya.”10

Penonton merupakan bagian terpenting dari sistem komunikasi yang

dibangun dalam sebuah pementasan teater. Pertunjukan teater akan dinilai

‘berhasil’ mengkomunikasikan gagasannya ketika lampu panggung

dimatikan, layar ditutup, dan kemudian mendapatkan tanggapan dari

penontonnya. Sehingga menjadi hal yang wajar apabila peran penonton

teater mendapatkan perhatian bahkan menjadi tujuan ‘utama’ dalam hampir

setiap pementasan. Muncul kekhawatiran apabila penonton pertunjukan sepi,

seolah-olah menjadi kegagalan besar dalam perencanaan pentas. Hal itu pula

acap kali dijadikan penanda baik dan buruknya citra sebuah kelompok teater

dan kualitas karyanya. Berbagai macam usaha dilakukan oleh kelompok-

kelompok teater di Yogyakarta untuk menilik kembali isu kerakyatan, yang

menurut saya adalah lahan subur eksplorasi artistik yang menjanjikan.

10 Indro Tranggono: Teater Modern Masa Datang, Teater Kebutuhan. Harian Merdeka, 3 Februari 1982.

25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Teater modern di Yogyakarta memiliki ciri khusus dibandingkan

dengan kota-kota lainnya. Pertunjukan yang digelar lebih banyak dihasilkan

dari naskah yang dituliskan itu sendiri. Berbeda dengan kota-kota lain yang

masih berorientasi memainkan naskah-naskah terjemahan. Selain karena

kebutuhan naskah terjemahan sebagai konsumsi masyarakat terpelajar, saya

menduga bahwa isunya rentan untuk menjadi tidak kontekstual dengan

situasi sosiokultural masyarakat Jawa pada masanya. Teater seolah-olah

hanya menjadi tontonan untuk kebutuhan hiburan saja, sebuah ruang pelarian

masyarakat perkotaan dari keseharian yang menekan.

Jacob Sumardjo (2000) mengemukakan bahwa bahwa dalam

perbandingannya dengan Bandung, kelompok-kelompok teater di

Yogyakarta lebih banyak mementaskan naskah-naskah tulisan sendiri. Jacob

menduga, penyebabnya (antara lain) adalah bahwa kelompok-kelompok

teater di Yogya lebih mementingkan pertimbangan pesan sosial daripada

pertimbangan estetik.11

Taman Budaya Yogyakarta dalam rangka Bulan Bahasa di tahun 1983

menyelenggarakan Sarasehan Penulisan Lakon Konvensional yang diikuti

oleh instansi dan perorangan, di antaranya ASTI Yogyakarta, LPA

Yogyakarta, ASKI Solo, ASDRAFI, dan SMKI Konri. Kelangkaan naskah

konvensional di Yogyakarta menjadi salah satu penyebab terjadinya

pementasan drama absurd yang semakin menjauhkan masyarakat dari teater,

karena pertunjukan yang ‘membingungkan’. Menurut pemahaman saya,

11 Op.cit, hal.126.

26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebuah pementasan teater secara holistik akan menentukan sendiri

‘masyarakat penontonnya’ berdasarkan pada penikmatan yang dibangun oleh

perolehan modal budaya masing-masing individu, sehingga dapat terhubung

dengan bahasa yang digunakan di dalam pementasan. Namun demikian,

tidak dapat dipungkiri juga bahwa mayoritas masyarakat yang

penikmatannya dibentuk sekian lama oleh kekuatan sastra (tulis ataupun

lisan) yang cenderung linear, akan menemukan kesukaran untuk menikmati

serangkaian ‘bahasa asing’ yang ulang-alik dan mencerabut penonton dari

kenyamanan untuk menikmati pertunjukan.

B. Imajinasi ‘Rakyat’ dalam Kerumunan ‘Sandi’

Melihat gejala-gejala yang muncul ketika lambat laun masyarakat

mulai enggan untuk mendatangi gedung pertunjukan konvensional karena

pemenuhan akan hiburan sudah mulai dilakukan secara privat melalui siaran

televisi, tidak membuat para seniman teater kehabisan akal. Sepertinya, pada

waktu itu para seniman sangat paham bahwa untuk mendapatkan tempat

dalam masyarakatnya, seyogianya teater tidak boleh disibukkan dengan

persoalannya sendiri–ia haruslah kembali bersama masyarakat yang

sebenarnya. Tanggal 30 September 1982, pementasan ‘Qasidah Al Barzanji’

karya Syu’bah Asa yang diselenggarakan oleh LPA Teater Alam dengan

Sutradara Tertib Suratomo, dipentaskan sebagai usaha untuk mencari dana

27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pembangunan masjid Fathul Bayan Prawirodirjan Yogyakarta.12 Sebuah

tindakan yang cerdas untuk memobilisasi perhatian massa terhadap citra

teater yang awalnya sempat mendapatkan stigma negatif, dengan

menghidupkan kembali kisah kudus keberadaan Muhammad sebagai nabi

yang menyebarkan kebenaran Islam dalam konteks sosial budaya masyarakat

Arab. Hal serupa tetapi berbeda kasus pernah dilakukan oleh Himpunan Seni

Budaya Islam (HSBI, 1956) yang didirikan di Jakarta dengan memainkan

naskah yang bernuansa Islam, juga Steve Lim (Teguh Karya, 1957) dengan

Seni Teater Kristen (STK) pasca-dibentuknya Lembaga Kebudayaan Rakyat

(LEKRA, 1950) atas inisiatif DN. Aidit, A.S Dharta dan Njoto.13

Menurut pengakuan Michael Bodden (1989),14 teater Arena yang

dipusatkan di Puskat (Pusat Kataketik Yogya), memiliki keunikan tersendiri

pada masanya. Kelompok ini juga membuat teater rakyat, yang terinspirasi

oleh aktivisme teater di Filipina, khususnya dari PETA (Philippine

Edicational Theater Association). Mulai dari naskah yang didaktis hingga

menggunakan teater untuk tujuan yang beragam. Salah satu bentuk aktivisme

mereka melalui teater terlihat ketika mereka melakukan pendampingan

kepada orang-orang desa, yang terjangkit penyakit lepra di Flores. Mereka

bekerjasama untuk menyelenggarakan sebuah pementasan yang didasarkan

12 Op.cit, hal.68-69. 13 Garis Masa Teater Indonesia (Masa Permulaan Hingga berdirinya Taman Ismail Marzuki), Lembaga Riset FTJ 2016: Zen Hae dan Sulaiman Harahap. Disain display: Angga Wijaya. 14 Michael Bodden adalah seorang kritikus teater dari Amerika, berlatar belakang pendidikan studi perbandingan sastra di Wisconsin University. Beberapa naskah drama Putu Wijaya diterjemahkan olehnya. Teater yang Berbicara, Forum Indonesia Kecil, Goethe Institut Jakarta, no.5/TYB/FIK/III/’89.

28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pada pengalaman sehari-hari orang-orang itu, melalui pendekatan disiplin keilmuan teater yang dibagikan oleh kelompok ini, membuat mereka (orang- orang lepra) mampu untuk berkomunikasi sehingga tidak merasa diasingkan.

Kelompok teater Arena menyadari bahwa masyarakat penonton teater sangat beragam, sehingga model pementasannya pun juga mengikuti kebutuhan masyarakat penontonnya. Terlepas bahwa kesadaran itu muncul dari afiliasi mereka dengan model teater pemberdayaan, teater kesadaran, teater pembebasan dan berbagai nama lain yang agaknya lebih ‘pretensius’.

Pandangan bahwa bentuk kesenian bisa mendatangkan massa dan dapat menjadi media agitasi (propaganda) yang tepat sasaran menjadikan seni petunjukan, secara khusus teater, mendapatkan peminat yang cukup banyak.

Ditambah lagi dengan pola kerja gotong-royong dan hidup berdampingan yang merupakan citra masyarakat agraris, menjadikan gema narasi tersebut masih bisa didengarkan hingga hari ini. Salah satu upaya untuk saling menghidupkan kerja kreatif antarseniman adalah dengan menumbuhkan sikap solidaritas, seperti yang dilakukan oleh kelompok Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya yang pernah menempuh masa belajar di Fakultas

Hukum GAMA (1962), serta di ASDRAFI dan ASRI di tahun yang sama, membuat sebuah pentas pada 5-6 Juli 1980 dalam rangka penggalangan dana untuk mendirikan Biro Pentas Teater di Yogyakarta, yang bertujuan

29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membantu terselenggaranya pementasan-pementasan teater oleh grup-grup

teater secara rutin.15

Menurut saya, silang pemahaman antara seniman teater di Yogyakarta

waktu itu berkaitan dengan cara menempatkan ‘rakyat’ dalam visi

penciptaan karya. Saya melihatnya dari perwakilan dua kelompok ‘besar’,

yaitu Teater Dinasti (Fajar Suharno) dan Teater Gandrik (Jujuk Prabowo)

melalui wawancara yang saya lakukan di kediaman masing-masing. Asumsi

saya, keduanya adalah pribadi yang bersinggungan dengan gerakan

kritisisme terhadap kondisi sosial-politik yang marak terjadi pada tahun 70-

an akibat dari ketidakpuasan masyarakat kepada kebijakan pemerintah. Sejak

awal 1970, menurut Landung R. Simatupang (2000), pementasan teater

diposisikan sebagai sesuatu yang seolah selalu sarat dengan nuansa sosial-

politis yang kekiri-kirian. Seluk-beluk kerumitan perihal perizinan kepada

pihak yang berwenang untuk menyelenggarakan pementasan teater adalah

salah satu bukti konkrit, bahwa masih adanya ‘Komunisto Phobi’, atau

dalam frase yang lain disebut sebagai ‘bahaya laten komunis’.

Ideologi pementasan teater bergeser mengikuti gerak zaman dan

manusia yang menghidupkannya. Upaya kritik yang dilakukan oleh seniman

teater pada tahun pertama setelah operasi ‘Tumpes Kelor’16 oleh penguasa

militer Orde Baru kepada anggota dan simpatisan PKI, juga mengalami

keterputusan di ‘tubuh’ masyarakatnya sendiri. Peminggiran teater dan

15 Landung, hal.63. 16 Tumpes Kelor, diambil dari istilah yang sempat hidup dalam masyarakat Jawa untuk menyebutkan operasi Trisula pada aksi penumpasan gerakan 30 September 1965 kepada anggota, simpatisan, organisasi mantel (Onderbouw), maupun yang tertuduh (di-PKI-kan).

30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kegiatan-kegiatan lain yang berupaya melakukan kontrol sosial, sebagai aktivisme yang berpotensi untuk menimbulkan gerakan subversif politik.

Langkah penguasa untuk mengambil alih kesenian dari tangan rakyat sebagai perpanjangan tangan dari kegelisahan kolektif dilakukan ‘kembali’ untuk kesekian kalinya. Perspektif kesenian baru sedang ditanamkan, moral ‘pro- pembangunan’ yang merupakan citra politik penguasa Orde Baru.

Landung (2000: 115) mengatakan, dalam kaitan dengan seni pertunjukan rakyat, menarik bahwa pemerintah Orde Baru–melalui

Departemen Penerangan–terkesan jeli meneliti dan mendata aneka ragam bentuk kesenian tradisional, baik di Jawa dan maupun luar pulau Jawa, untuk digunakan sebagai sarana “komunikasi pembangunan”. Adapun dalam pengertian top-down, yaitu menyampaikan pesan pembangunan dari pemerintah kapada masyarakat. Semua disiplin keilmuan diabdikan seturut dengan fungsi aplikatif-pragmatisnya dan demi justifikasi program atau proyek pembangunan.

Pada awalnya, kelompok-kelompok teater tumbuh bersama masyarakat di kampung-kampung juga melakukan pementasan dan memproduksi nilai

(kearifan lokal) secara kolegial. Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan

Republik Indonesian atau yang kerap disebut dengan “17-an,” juga tidak luput menjadi momentum untuk menggelar pementasan. Terlepas apakah pertunjukan tersebut bernada protes atau tidak, tetapi nilainya adalah bahwa teater pada masa itu masih dipercaya mempunyai ‘nilai’ untuk melengkapi sebuah ‘ritus’ perayaan bersama. Tempat pementasannya pun juga mengikuti

31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seni pertunjukan tradisional-lokal ‘kerakyatan’ seperti kethoprak, jathilan, dan kesenian (m)Barang (pengamen seni tradisonal-lokal) lainnya.

Saya beranggapan bahwa rakyat pada mulanya menciptakan bentuk kesenian yang sangat egaliter seperti kethoprak dalam bentuk permulaan, sebelum akhirnya diakuisisi oleh penguasa yang dalam dugaan saya karena adanya tekanan dari pihak kolonial–yang dikhawatirkan berpotensi membangkitkan perlawanan dengan sifatnya yang menyampaikan “Sandi” secara terselubung. Kemudian rakyat juga yang menjebol ‘dinding’ penguasa, mengambil kembali ‘permainan Sandi’ dan memainkannya secara bebas, meskipun masih bisa ditemukan berbagai pengulangan dan jejak ‘seni tinggi’ yang melanggengkan feodalisme. Namun, apa boleh dikata, sebagian besar masyarakat sudah terlanjur memandang bentuk kesenian itu sebagai

‘citra’ diri, menjadi kesenian Rakyat.

Pergulatan mencari identitas ‘kultural’ yang melahirkan style, gagasan, dan pernyataan khas seniman teater era 80-an masih dapat ditemukan melalui pernyataan Fajar Suharno (2017). Dia menuturkan secara langsung bahwa yang menjadi latar belakang dan rujukan kuat dalam penulisan naskah adalah ingatan masa kecil tentang cerita kethoprak melalui siaran radio RRI

Nusantara 2 Yogyakarta. Tentang kerumunan masyarakat yang memadati kelurahan, melingkari sebuah radio yang diletakkan di tengah garis lapangan badminton tepat di bagian depan Limasan Kelurahan Gading Sari.

Kerumunan orang kampung itu ‘meluber’ hingga di luar garis lapangan badminton yang berpasir dan berumput.

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ingatan tentang antusiasme masyarakat dan bentuk pertunjukan yang

mampu mendatangkan massa dalam jumlah yang besar karena popularisanya

itulah yang menjadi citra kesenian rakyat. Dikemudian hari, lahirlah Teater

Dinasti dengan karya pertama berjudul ‘Dinasti Mataram’, yang

menceritakan konflik antara Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam

dengan Ki Ageng Wonoboyo atau Ki Ageng Mangir dari kerajaan Pajang).

Dalam petikan berita yang dimuat oleh harian Bernas edisi Oktober; “Teater

Dinasti yang membawakan ‘Dinasti Mataram’ nyaris berhasil dengan tema

yang jelas dan komunikatif, karena diangkat lewat cerita yang sudah

mendarah daging...”. (Bernas; 1977).

Fajar Suharno menuturkan kembali bahwa semangat teater waktu itu

mengacu pada pola teater Barat (modern), terbukti dengan banyaknya naskah

terjemahan yang dimainkan. Pementasan Teater Dinasti terpengaruh oleh

kethoprak, hanya karena pertunjukan dalam format teater modern maka

pakemnya mengikuti pakem (aturan baku) teater modern. Lanjutnya,

“..Teater Dinasti itu hanya bahasa Jawa yang di-Indonesia-kan.”.17

Berbeda dengan seniornya (Fajar Suharno) pengalaman sebagai pelaku

seni pertunjukan tradisional-lokal, Jujuk Prabowo menuturkan bahwa latar

belakang keseniannya dikuatkan ketika beliau belajar tari bersama dengan

Wisnu Wardhana.18 Sebelum media televisi menjadi populer di kalangan

17 Wawancara bersama Fajar Suharno, 17 Januari 2017, Dayu - Bantul. 18 lihat R.M. Soedarsono. 1999, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, hal. 241-258. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Lahir pada tahun 1929, merupakan putra Pangeran Suryodiningrat pendiri organisasi kesenian Jawa gaya Yogyakarta Krida Beksa Wirama (KBW). Bersama Kailola, Bagong Kussudiarjo, dan Wisnu Wardhana mendapatkan

33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

masyarakat Yogyakarta waktu itu. Jujuk adalah salah satu dari sekian banyak

penonton setia pertunjukan yang sering diselenggarakan di gedung ‘Batik’

PPBI (Persatuan Pengusaha Batik Indonesia) Yudonegaran, Yogyakarta di

akhir tahun 1969. Sandiwara radio berbahasa Jawa yang disiarkan RRI

Nusantara 2 Yogyakarta berjudul ‘Katri’ sutradara Sumardjono atau Pak

Sabikis, pemain seperti Habib Bahri dan Hastin Atasasih merupakan yang

populer di masyarakat. Ketika sandiwara radio ini dipanggungkan, rasa

penasaran masyarakat yang menjadi pendengar setia siaran ini mampu

mendorong untuk membeli tiket masuk.

Persoalan sehari-hari yang dekat dengan kehidupan masyarakat

menjadi tema dalam sandiwara ini. Pementasan bergaya teater realisme

semakin memudahkan komunikasi antara penonton dengan pesan dalam

cerita. Kesuksesan pementasan ini, menurut saya, juga memicu persoalan

baru. Bagaimanapun, usaha untuk membuat pertunjukan ini menjadi milik

rakyat, tetap saja ‘gagal’. Teater komersial masyarakat perkotaan adalah

konsumsi estetika yang prestisius pada kelas sosial tertentu. Selanjutnya,

Jujuk menambahkan bahwa teater seperti berada di atas ‘menara gading’

yang berjarak dengan masyarakat penontonnya. Hal inilah yang menjadi

pemicu bahwa teater harus meretas jarak yang selama ini terbangun.

Bersama Teater Gong, yang merupakan gabungan aktor dari beberapa

kecamatan di Yogyakarta, Jujuk berhasil terpilih mewakili Yogyakarta di

beasiswa dari The Rockfeller Foundation untuk kembali ke Amerika dan mempelajari teknik Martha Graham. Pada tahun 1958, sepulang dari Amerika beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan tari modern bernama Contemporary Dance School Wisnu Wardhana (CDSW).

34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tingkat Nasional mengikuti PERTUNRA, sebuah Festival Seni Pertunjukan

Rakyat versi pemerintah Orde Baru yang diselenggarakan oleh Dinas

Penerangan. Kelompok ini memilih menggabungkan ragam kesenian seperti

Kethoprak, Wayang, Srandul, dan Dagelan Mataram sebagai pilihan artistik didasarkan pada perolehan modal budaya masing-masing individu. Naskah pertunjukan ditulis pertama kali oleh Fajar Suharno pada perlombaan tingkat lokal di Yogyakarta, berjudul ‘Gambar’, yang menggambarkan situasi

Indonesia kala itu, kemudian ‘ISU’ (narasumber terlihat kurang yakin ketika mengucapkan judul itu) menyoal isu korupsi pada festival tingkat regional, sebelum akhirnya pada tingkat nasional harus mengikuti salah satu syarat yang diberikan oleh Departemen Penerangan sehingga berganti membicarakan soal Keluarga Berencana (KB).

Teater Gandrik sebelum mengikuti PERTUNRA juga pernah menjadi pengisi acara dalam momentum 17-an, pentas di halaman rumah warga desa

Ismail, Dlingo, Beji, dst.19 Kelompok teater ini pertama kali menggelar pementasan (di dalam gedung) di Art Gallery Senisono pada Festival Media-

Media Pertunjukan Rakyat tingkat lokal Yogyakarta, dan pada akhirnya keluar sebagai juara II Tingkat Nasional pada festival yang sama. Bermodal kedekatan pada pertunjukan ‘kerakyatan’, Jujuk berusaha untuk meretas jarak antara teater dan masyarakat dengan menghidupkan pementasan teater melalui ‘aksen’ yang menjadi identitas masyarakat penontonnya. Jujuk

(2017) menuturkan; “..ide dasarnya supaya wong lingguhan, angguran,

35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tukang becak sampai golongan menengah bisa menonton teater..”.20 Karena

konsistensinya memainkan lakon dengan pola artistik yang sama dan

menggunakan iringan tetapi polanya ajeg (konstan), Kirdjomulnya

memberikan istilah estetika sampakan pada Teater Jeprik yang kemudian

diteruskan kepada Teater Gandrik.

Teater Gandrik yang tajam mengkritik kebobrokan pemerintah Orde

Baru menjadi populer, lambat laun naik tingkat menjadi ‘konsumsi’ estetika

baru para aktivis yang kontra terhadap kebijakan-kebijakan penguasa atas

nama ‘pembangunan’ di segala bidang. Masyarakat kecil yang menjadi

‘perpanjangan tangan’ untuk mencubit penguasa Orde Baru, mulai

mengantre untuk membeli tiket menyaksikan ‘perwakilan’ suaranya

berbicara dengan kekuasaan militer melalui kursi penonton yang gelap.

Mereka tertawa dari kursi penonton, menertawai ketidakmampuannya

melawan penguasa di luar gedung pertunjukan. Sebagai kelompok teater

berskala nasional, Teater Gandrik dalam hal pengelolaan pertunjukan dan

pilihan artistik, seolah menjadi patron di tengah kelesuan perteateran di

Yogyakarta. Majalah Jakarta-Jakarta mengulas pementasan itu sebagai

kelompok asal Yogyakarta yang biasa menampilkan kisah-kisah sederhana

rakyat kelas bawah. Dimainkan dengan model sampakan, serba non-formal,

akrab, dan cair. Pendapat lain adalah dari Priyono B. Sumbogo dan Tri

Budianto Soekarno, yang menyatakan bahwa

20 Wawancara bersama Jujuk Prabowo, 17 Januari 2017, Karangjati-Bangunjiwo.

36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Gandrik menganut konsep teater sebagai tontonan yang segar, menghibur, tanpa meninggalkan kritik sosial-termasuk pesan-pesan. Mereka mengambil bentuk seperti itu untuk menghindari kekakuan teateral, kebekuan suasana, dan kesuntukan mencerna makna. Enteng, berisi. Dan Gandrik berhasil menggelitik penonton.” (Tempo; 1987).

‘Objektifikasi’ rakyat kecil dalam teater modern berbahasa Jawa, selintas memang tidak tampak ada persoalan di dalamnya, karena seolah begitulah adanya. Bukankah sudah menjadi fitrah dari seni khususnya teater untuk selalu dapat bersentuhan dengan pribadi masyarakatnya secara kontekstual? WS. Rendra (2000: 142) menegaskan tentang makna kontekstualitas dalam karya seni; “…menangkap kahanan itu harus sampai manjing ajur ajer. Jadi pertama itu harus tanggap. Rewes. Jadi mulai dari aruh-aruh. Rewes. Lalu ngerangkul. Komitmen. Jadi tidak mungkin seniman itu tanpa komitmen pada persoalan. Tidak mungkin.”

Pandangan manjing ajur ajer (melebur) terhadap kahanan (situasi dan kondisi) melalui seni teater modern di Yogyakarta diwarnai dengan tafsir berdasar perolehan modal budaya dan motif masing-masing kelompok seniman teater. Menurut Michael Bodden (1989: 18), pada mulanya grup- grup teater di Yogyakarta berasal dari satu grup, kemudian kelompok itu akhirnya pecah dan masing-masing mendirikan beberapa kelompok, meski masih ada perasaan ikatan dengan kelompok induk. Itu fenomena dua kelompok. Yang satu mulai dari teater Dinasti, kemudian berdiri Gandrik, dan yang sekarang kerjasama dengan N.G.O (Organisasi Non-Pemerintah) untuk membuat teater di desa-desa dengan berbagai penyebutan; teater

37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pembebasan ataupun teater kesadaran. Jadi, ada dua atau tiga kelompok yang

lahir dari situ atau yang berasal dari teater Dinasti.

Selain memproduksi karya berbasis ‘seni untuk seni’, yang menurut

Bodden (1989 : 18) pada salah satu pementasan ‘Antigone’, dinilai jauh lebih

baik dari pementasan Rendra ‘Oidipus’, membuat saya berpikir bahwa

kelompok Teater Arena yang berpusat di Puskat ini memiliki SDM unggulan

yang selayaknya menjadi pertimbangan dalam membaca peta teater di

Yogyakarta era 80-an. Kelompok teater ini, menurut saya, memiliki sumber

rujukan yang variatif, karena di samping memproduksi karya teater untuk

‘penonton’, teater ini juga memproduksi ‘nilai’ dengan metode Applied

Theatre, yang merupakan perpanjangan tangan dari pemikiran Pedagogy Of

The Oppressed.

Jelas orientasi dari pola ‘teater pemberdayaan’ ini bukan pada

pementasan an sich!, melainkan menggunakan teater untuk membantu

masyarakat atau perseorangan agar dapat ‘berkomunikasi’ dengan

sewajarnya, tidak merasa dalam kondisi represif. Landung (2000 : 124)

menuliskan bahwa pada tahun 1988, Eugene van Erven, penulis buku The

Playful Revolution Theatre and Liberation in Asia (1992), dalam suatu

wawancara mengatakan bahwa Teater Dinasti–dan juga Teater Arena–dari

Yogyakarta, pantas dipuji untuk upayanya yang tak kenal lelah dalam

menopang prakarsa “teater pembebasan”.21 Setelah Bengkel Teater, Teater

21 “Eugene van Erven Teater Pembebasan” dalam rubrik Dayoh, Citra Yogya 002/Th.1/1988; hal.49-56. Yogyakarta: Dewan Kesenian Yogyakarta. Dalam wawancara yang sama, Van Erven mengatakan bahwa dalam konsep teater pembebasan terkandung semua pengertian yang sudah

38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dinasti menegaskan penyuaraan moral, kritisisme, dan pemberian kesaksian

tentang kehidupan di Indonesia yang membutuhkan banyak perbaikan yang

sungguh-sungguh.

Perubahan bentuk seni teater di Yogyakarta sejak tahun 1980-an

hingga menjelang pecahnya gerakan reformasi untuk menggulingkan

kekuasaan Orde Baru di tahun 1998, tidak bisa lepas dari peran serta kaum

terpelajar yang terus menautkan gagasan seni dengan kesadaran protes

terhadap kondisi yang represif. Sebuah artikel yang ditulis oleh Emha Ainun

Najib di harian Kompas 2 September 1993 berjudul ‘Teater Babak Belur di

Yogya’, memberikan gambaran kultural, di mana Kota Yogyakarta menjadi

salah satu kota yang dicitrakan memiliki konsentrasi menghidupkan dan

merawat kebudayaan, juga tidak luput dari persoalan khas Orde Baru, yaitu

‘unfair beareaucracy’.

C. Galatama dan Pak Kayam

Pada tahun 1989 di Yogyakarta, muncul gagasan untuk membentuk

sebuah kelompok yang terdiri dari sejumlah orang-orang dari kelompok

teater yang sudah ada, guna menyiasati harapan terhadap munculnya

kelompok baru yang dapat berbicara di peta teater nasional selain Teater

Gandrik. Gagasan ini dilontarkan pertama kali oleh Umar Kayam pada

mentradisi tentang teater. Perbedaan penting adalah bahwa pementasannya sendiri tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tujuan dan segala-galanya. Proses transformasi mental dan kultural dipandang jauh lebih bernilai, dan dalam proses itu pementasan hanyalah merupakan satu bagian, meskipun bagian penting. Dengan demikian, teater pembebasan membawa pengaruh jauh lebih kuat terhadap praktisinya ketimbang penontonnya.

39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seminar Pengembangan Teater Kontemporer pada bulan April 1979 di

Yogyakarta, dimunculkan kembali setelah sempat terabaikan. Galatama

Teater (2000: 85), dibentuk pada tanggal 16 Februari 1989 di kediaman budayawan Umar Kayam, didukung oleh kurang lebih 35 orang pekerja teater dari grup-grup teater di Yogyakarta. Kegiatan ini mendapatkan dukungan dana dari Dewan Kesenian DIY dan Taman Budaya Yogyakarta.

Penetapan Landung Rusyanto (Stemka) dan Butet Kartarejasa

(Teater Gandrik) sebagai sutradara pementasan pertama dengan dana sekitar

2,9 juta, dalam pertemuan di Taman Budaya Yogyakarta yang dihadiri oleh kurang lebih 25 teaterawan, merupakan sebuah usaha yang dibangun untuk menghidupkan kembali geliat perteateran di Yogyakarta yang sedang mengalami penurunan kualitas. Gagasan ini, menurut saya, sedang berusaha untuk mengarahkan kerja kreatif teater pada sebuah orientasi kerja yang

‘mapan’ dan ‘ajeg’ (tetap) secara profesional. Teater Gandrik sebagai garda depan teater di Yogyakarta, menjadi rujukan sebagian besar kelompok teater pada masanya. Sehingga potensi teaterawan untuk mengolah dan mengoptimalkan kemungkinan artistik lebih jauh menjadi terhambat.

‘Kemapanan’ cenderung membuat kreativitas menjadi tidak dinamis.

Nalar ‘industri’ dalam teater menempatkan proses pertukaran nilai antara penonton dan pementasan menjadi banal, hanya semacam pertukaran kebutuhan barang dan jasa. Teater secara holistik tidak hanya bertugas untuk memberikan hiburan dan penonton bukanlah menjadi ‘tuan’ dalam sebuah pementasan. Sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa gagasan

40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

teater mengenai kepenontonan (spectatorship) pun mengalami perkembangan lebih lanjut, dari penonton sebagai penonton hingga penonton yang bukan penonton (spec-actor). Meskipun dalam konteks pertunjukan teater, penonton merupakan bagian terpenting karena seolah menjadi penentu baik dan buruknya sebuah pertunjukan.

Usaha para teaterawan pada mulanya adalah bagaimana membuat sebuah perangkat teater (theater apparatus) yang mampu memengaruhi penonton secara psikologis. Melalui keterlibatan secara cair, memberikan teror, membangkitkan ‘diri’ yang purba, pasif dan mengambil jarak, dan berbagai cara lainnya. Tentu saja kelompok teater yang demikian idealis mencerminkan ‘seni tinggi’ dan tidak melakukan ‘kompromi’ kepada setiap nalar industri, dalam pengertian yang lebih luas bahwa pementasan teater tidak harus tunduk kepada pemilik modal. Selanjutnya, Emha Ainun Najib

(1993) menuturkan,

“...di Yogya garda depan pilihan itu adalah Teater Gandrik: sebuah kelompok yang sadar tidak mau diinjak dan ditelingsutkan oleh kebudayaan industri, sehingga memutuskan untuk menungganginya. Akan tetapi hari ini transformasi budaya model Teater Gandrik itu tiba-tiba tampak sebagai sebuah stagnasi, jika diukur dari tuntutan- tuntutan budaya kreativitas”. (Kompas, 2 September 1993).

Atmosfer perteateran di Yogyakarta sempat mengalami ‘vacum of power’ karena adanya penilaian bahwa setelah Teater Gandrik, belum ada kelompok yang mempunyai konsistensi gagasan dalam kerja kreatif.

Momentum ini menurut saya dibaca oleh sebagian teaterawan sebagai peluang ‘masa tenggang’ untuk melakukan ekperimentasi bentuk. Sekali

41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lagi, sejarah kebangkitan teater dimulai kembali oleh kaum terpelajar

sebagai agen perubahan, perlawanan terhadap ‘tirani’ estetika. Artikel yang

ditulis oleh Yudi Ahmad Tajudin (1998) berjudul, ‘Catatan dari Lima

Tahun Teater Garasi Teater Dramatik, Teater Subversif’22 menjadi penanda

bahwa perlu untuk membaca ulang sejarah dan menempatkannya dalam

kerangka untuk membangun wacana pemikiran dan ruang dialog untuk

menjaga ‘kesehatan akal’, tidak hanya bertujuan untuk mencari kebaruan-

kebaruan visual yang dangkal.

D. Bahasa Jawa dan ‘Eskapisme’ Artistik

Teater memang sangat relevan digunakan sebagai alat untuk

membaca kenyataan, sekaligus dalam waktu yang bersamaan, berpotensi

untuk memantik seniman menjelajah dunia esoterik melalui permenungan

tentang kehidupan. Dalam dunia pendidikan seni, khususnya setingkat

SMA, saya menduga semangatnya pastilah berbeda. Orientasi membuat

kelompok teater dalam ruang akademik biasanya hanya seputar kebutuhan

insidental sebagai kelompok ujian dan lebih lanjut untuk menciptakan ruang

berekspresi secara komunal. Salah satunya adalah Komunitas Sego Gurih

22 Bernas, Minggu Pahing 18 Desember 1998. “..Subversi di sini tidak dalam pengertiannya yang peyoratif, yang oleh rezim bahasa Orde Baru direduksi ke dalam (melulu) wacana politik, tetapi subversi dalam pengertiannya yang asli dan asali: versi lain, di bawah, dari versi besar atau dominan yang sedang beroperasi; versi yang tersembunyi di balik grand-version, yang tidak mendapat tempat untuk dibicarakan dalam ruang publik. Dengan pemahaman semacam ini, di samping subversi yang dimaksudkan di sini bisa diarahkan pada banyak hal, banyak versi besar (tidak melulu dalam wacana politik) yang sedang berlangsung dan berkuasa di luar gedung teater, subversi juga bisa diarahkan ke dalam gagasan teater itu sendiri. Karena gagasan teater seradikal apa pun ketika itu menjadi rutin dan mapan, ia tidak lagi menyengat. Tidak lagi dramatik.. ”.

42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang didirikan oleh Wage Daksinarga, Eko Nuryono, Ibnu Widodo dan

beranggotakan siswa-siswi Jurusan Teater Sekolah Menengah Karawitan

Indonesia (SMKI) yang dikukuhkan pada tahun 1998. Kemunculan

kelompok teater ini seakan steril dari persoalan yang menjadi ‘masalah

bersama’ teater di Yogyakarta pada periode tersebut.

Pilihan untuk memainkan naskah berbahasa Jawa, menurut Ibnu

Widodo, bermula dari kebingungan mereka memilih naskah untuk

kebutuhan ujian sekolah. Selanjutnya, Wage Daksinarga menambahkan

bahwa keberanian untuk memainkan naskah berbahasa Jawa, meskipun

dengan kekhawatiran perihal penilaian ujian, pada akhirnya membuat

mereka semakin tertarik lebih jauh untuk memainkan naskah berbahasa

Jawa pada kesempatan lainnya. Dalam wawancara yang dilakukan oleh

Muhammad Anis Ba’asyin (2009), Wage menuturkan,

“Ya, dulu kayak ada semacam kecemburuan. Anak-anak jurusan teater itu kan selalu dikalahke sama jurusan tari, pedalangan, dan karawitan; termasuk saat ujian pementasan. Lha lama-lama kita kurang puas dengan pementasan-pementasan di kampus, terus mulai pentas di luar dengan sangat sederhana. Awalnya ya pentas di pinggir rumah, di pinggir sawah, di acara pernikahan, di perpisahan KKN. Prinsipnya temen-temen punya ruang untuk bermain, gitu aja… Di awal-awal Sego Gurih yang terjadi seperti itu. Itu sekitar tahun 1996. Yang sedari awal di Sego Gurih, ya saya dan Gundul. Kebetulan juga rumah Gundul di daerah Imogiri menjadi tempat berlatih dan berkumpul Komunitas Sego Gurih”.23

23 skAnA volume 10, Juli-November 2009.

43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Naskah berjudul ‘Rol’ karya Bambang Widoyo SP. dimainkan pertama kali oleh kelompok ini. Kenthut, panggilan akrab Bambang Widaya

SP., menuliskan sandiwara ini untuk dimainkan bersama Teater Gapit

(Solo). Berkonsep teater modern menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar), dan mengusung persoalan masyarakat pinggiran yang hidup serba kesusahan dan realitas kehidupan seputar tembok keraton, yang merupakan lingkungan dekat kelompok ini berasal. Tema sosio-kultural dalam naskah kelompok ini (Teater Gapit) masih cukup relevan dimainkan hingga waktu itu dan mungkin hari ini (kasuistik), semacam sebuah aktivisme ‘terberi’ dalam logika penonton bahwa yang memainkan naskah ini, secara langsung, akan disulap menjadi agen pengetahuan (perlawanan) melalui permainan

‘Sandi’ yang sarat akan kritik terhadap pembangunan versi Orde Baru.

Pada awal kemunculan Komunitas Sego Gurih, opini yang dibangun oleh media massa, secara umum, merupakan bangunan dari usaha untuk mengkritisi ‘musuh bersama’, yakni pemerintahan Orde Baru. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah Komunitas Sego Gurih dengan sadar memilih isu kerakyatan di awal berdirinya, mengingat istilah kerakyatan pada masa itu rentan untuk “disubversifkan”. Pemaparan selengkapnya tentang Komunitas Sego Gurih akan saya pertajam pada bab selanjutnya.

44

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III MENJADI JOGJA ADALAH MENJADI NDESIT24

‘Perayaan’ sebagai sebuah momentum khusus yang hadir dalam kehidupan setiap manusia memiliki berbagai macam fungsi di luar perkara esoterik, salah satunya yaitu “fungsi membangun: dalam arti luas. Menurut sebagian orang, kampung atau desa sebagai bagian dari pertumbuhan kota semacam menjadi gambaran kelambanan gerak pembangunan. Memang pada kenyataannya, berbagai fasilitas yang bisa didapatkan dengan mudah di kota, tidak demikian adanya jika di desa. Saya masih mengingat dengan jelas kali pertama kedatangan saya di Yogyakarta. Rombongan sepeda kayuh beriringan sekian kilo sepanjang jalan Parangtritis. Kesulitan saya menyeberang jalan membuat saya harus berdiri lama, sekian sentimeter dari pinggir aspal, menyaksikan rombongan itu–di kesempatan yang sama hingga beberapa tahun kemudian.

Pagi itu, kampung tempat tinggal saya sempat senyap beberapa saat.

Bantul, 27 mei 2006, membuat saya berada dalam lintasan manusia yang hilir- mudik membawa benda-benda bersamanya, air bah datang, katanya. Beberapa kawan kehabisan napas di perjalanan, meninggal sebelum sempat mencapai rumah sakit. Di halaman rumah, di tanah beralas seadanya, beberapa warga yang berpulang lebih dulu, dibaringkan, ditutup selembar kain atau apa saja yang bisa

24 Ndesit (Jawa) adalah bahasa slang untuk menyebutkan ‘kampungan’. Berasal dari kata (n)desa. Kata ini biasa digunakan sebagai ‘olok-olok’ dalam percakapan untuk memancing lelucon.

45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditemukan di sisa rumah masing-masing dengan mudah. Beberapa hari kemudian, setelah orang-orang pergi, orang gila mendadak bertambah, angka bunuh diri meningkat, dan ‘kegilaan’ mencapai titik kulminasi. Saya menjadi saksi, bahwa saya juga telah ditinggal pergi oleh ‘karnaval’ sepeda kayuh dan tawa renyah penduduk kampung, selamanya.

Setelah masyarakat mulai membangun kembali rumah tinggal (posko) bersama, sambil menunggu perbaikan rumah masing-masing, beberapa kawan seniman berinisiatif untuk melakukan pentas hiburan, di mana pemain dan penonton adalah korban. Saya bermain dalam pertunjukan waktu itu, sebuah pertunjukan Kethoprak Lesung kontemporer dengan lakon ‘Ande-Ande Lumut’.25

Di sebuah jalan desa, pertunjukan kami mampu mendatangkan massa untuk sementara bersama-sama mengasingkan diri, tertawa, meninggalkan kehidupan nyata, menuju kebersamaan yang sublim.

A. Kampanye (m)Balon Masuk Desa

Sanggar Bunga Padi, 11 April 2011, Dobangsan, Giripeni, Wates-

Kulon Progo. Pertunjukan putaran kedua dalam rangkaian pentas keliling

kami yang bekerja sama dengan kawan-kawan dari komunitas otomotif

Jogja Honda Classic (JHC), Yogyakarta. Sejauh ingatan saya, inilah kali

pertama saya mendapatkan peran dalam Komunitas Sego Gurih. Produksi

25 Ande-Ande Lumut dalam salah satu versi adalah folklore yang menceritakan penyamaran Panji Asmarabangun (Ande-Ande Lumut) untuk mencari kekasihnya Dewi Sekartaji (Kleting Kuning) yang pergi meninggalkan istana untuk menguji kesetiaan sang suami. Folklore ini mengandung pesan moral, sebagai seorang perempuan haruslah bisa pandai-pandai menjaga kehormatan dan dalam hidup tidak baik untuk menghalalkan segala cara untuk meraih keinginan.

46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ke-25 sejak tahun berdiri 1998 ini berjudul ‘Bleg-Bleg Ting’26 karya Yusuf

Peci Miring, yang saat itu memilih konsentrasi untuk menulis naskah

sekaligus menjadi sutradara pertunjukan. Rombongan kami memasuki

kampung sebelum matahari tenggelam, menuju rumah yang akan kami

jadikan tempat singgah untuk istirahat sebelum pentas dan merias diri.

Tim artistik berembug bersama sutradara untuk memastikan lokasi,

sedang para pemain bercanda sambil mengucapkan dialog yang

kontekstual dengan peristiwa untuk ‘melenturkan’ percakapan di atas

panggung. Ada juga yang beristirahat, berbaring atau duduk-duduk di luaran

menikmati rimbunan pohon jati. Sebelum gelap, menjelang pertunjukan,

biasanya saya dan beberapa kawan secara pribadi akan menerima arahan dari

sutradara dan tim artistik perihal ‘jalur’ yang akan kita pakai untuk lalu-

lintas panggung. Ini pertunjukan di ruang terbuka, ada limasan,27 diapit dua

rumah dan sebuah kandang sapi. Semula, ruang permainan kami bertempat

di sisi luar limasan, memanfaatkan sisi rumah yang masih berdinding kayu,

di bawah pohon, seberang wangan (semacam sungai kecil yang alirannya

membelah kampung) yang dangkal berpasir, sementara penonton, berada di

dalam limasan.

Hujan mengawali persiapan pertunjukan kami, tanah yang tadinya

cukup nyaman untuk berjalan kaki, sekarang melawan, memaksa menarik

26 Bleg-Bleg Thing diambil dari bunyi-bunyian alat dapur yang dipukul sambil berkeliling kampung. Dalam mitos masyarakat Jawa di pedesaan hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian makhluk halus yang mencuri dan menyembunyikan anak-anak di alam gaib. Upacara ini dilaksanakan apabila ada warga masyarakat yang masih kanak-kanak menghilang secara misterius. 27 Limasan adalah salah satu bangunan tunggal arsitektur Jawa yang berbentuk Limas.

47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

alas kaki jenis apapun jika diinjak. Namun, tak lama berselang, datang mobil yang mengangkut pasir. Beberapa pekerja tampak dengan cekatan menurunkan pasir menutupi tanah-tanah basah dan ‘melawan’ itu–hanya sepanjang jalan dan halaman menuju ke titik pertunjukan. Meskipun sedikit keheranan, kami masing-masing disibukkan dengan bagaimana memanfaatkan ruang secara maksimal dan baik sesuai arahan tim artistik agar pertunjukan di ruang terbuka tetap dalam kesadaran estetika ruang.

Sanggar Bunga Padi tampil membuka pertunjukan, kemudian bergantian sanggar anak-anak dari Radio Abata FM dan juga sanggar lain dari dusun sebelah yang rata-rata masih di usia kanak-kanak. Setelah kami berbagi panggung dan kesenangan bersama, tibalah giliran kami yang berumur ini melakukan ‘demonstrasi psikologis’ melalui lakon yang memuat isu khas ‘PERTUNRA’ era Orde Baru.

Percakapan pembuka pertunjukan antara tokoh Sae dan Lik Seni yang saling tidak mau kalah membicarakan kelebihan ‘profesi’ masing-masing, kemudian masuk Yu Siti bakul tenongan (penjaja kudapan) menjajakan dagangannya. Gerimis mulai turun, perasaan bangga dan was-was bercampur jadi satu.

Isu pertama tentang pendidikan baru saja bergulir dalam percakapan kami bertiga, sebagai pijakan dramatik bagi adegan selanjutnya. Secara pribadi, saya sedang berpikir keras bagaimana melanjutkan drama ini di tengah gerimis. Saya kemudian melihat wajah-wajah tenang dari lawan main dan itu cukup sebagai tanda bahwa pertunjukan ini harus tetap berjalan

48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebaik mungkin. Di tengah semangat yang mulai dipacu, tiba-tiba ada

seseorang berpakaian batik lengan panjang necis dan berpeci hitam masuk

mengambil microphone kemudian angkat bicara. Sontak, menghentikan

drama yang sedang berlangsung. Kami bertiga kebingungan dan hanya

menyahut sekenanya saat ‘balon bupati’ Kulon Progo 2012 itu menelikung

kami, menelikung ‘iman’ kesenian kami dengan kampanye dan pembagian

buku perihal kebidanan dan setelah itu pergi sesaat setelah mengoceh.

Gambar 1. Pertunjukan naskah ‘Bleg-Bleg Thing’ adegan percakapan Lik Seni (kiri), Sae (tengah), dan Yu Siti (kanan).

Hujan turun deras menghamburkan pasir-pasir yang menutupi tanah

yang seharusnya memang dibiarkan basah, seperti ikut mengutuki perbuatan

‘balon’ bupati spesialis kandungan yang sudah sekonyong-konyong

menghentikan perayaan yang kami bangun dengan suka rela bersama warga.

Idealisme ‘kerakyatan’ yang saya pikir sudah menubuh, pada kenyataannya

masih bisa disusupi oleh kepentingan elit di luar kepentingan estetis.

49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 2. Suasana Slametan warga dipimpin Mbah Dukuh Dongkol memohon keselamatan Bardin yang menghilang dengan misterius.

Sebuah pelajaran bahwa seharusnya dalam perayaan bersama, rakyat

adalah pemegang kendali penuh. Salah seorang dari kami memberikan

pengumuman bahwa pertunjukan tetap berlangsung dan mengharapkan

warga untuk tetap di dalam limasan, berbagi tempat dengan pertunjukan.

Kerumunan kami dilingkari hujan deras. Penonton kemudian membentuk

garis imajiner dengan memberikan ruang bagi peristiwa yang tengah

berlangsung. Beberapa warga yang tidak bisa mendekati limasan untuk

melihat lebih dekat, tetap tenang menyaksikan dari teras rumah, tritisan (sisi

luar tembok rumah) mengikuti kenduri, mohon berkah keselamatan.

B. Aktor (m)Broadway a la (m)Bantul

Menjadi aktor yang baik adalah cita-cita yang saya bangun semenjak

mengenal dunia seni peran dengan mempertaruhkan banyak hal dalam

kehidupan saya. Mungkin banyak hal yang saya pertukarkan tidak sebanding

nilainya dengan cita-cita saya menjadi aktor panggung. Namun, begitulah

50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sewajarnya. Bukankah setiap cita-cita harus diraih dengan kerja keras?

Selang waktu berlalu, saya tenggelam dalam aktivitas berlatih disiplin keaktoran dari tahun ke tahun. Hampir selama 3-6 jam dalam sehari saya habiskan untuk mengolah teknik yang dapat menunjang nilai keaktoran saya, mulai olah tubuh, olah vokal, dan olah rasa (atau yang lebih esoterik lagi dalam dunia teater disebut olah sukma). Setiap hari keluar dan masuk pada pengalaman tubuh dan perasaan berbeda melalui permainan (manipulasi) kondisi diri.

Baju saya selalu basah kuyup oleh keringat dan debu. Saya berguling di tanah dan rerumputan. Semakin kotor tubuh saya, rasanya semakin bangga karena telah memasuki pintu gerbang ‘kesenimanan’ yang waktu itu saya yakini. Saya sedang menjadi bagian dari gelombang besar manusia-manusia merdeka yang penuh kebebasan. Viva Theater! Tatapan saya pada masyarakat penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti gambaran pernyataan para pemikir dari bacaan saya yang tidak pernah selesai. Mereka, para pemikir itu sedang berjingkat, memasang kuda-kuda hendak berkelahi melawan kenyataan-kenyataan palsu di kepala saya. Memasukkan saya ke dalam ‘drama’ panjang sehari-hari, hingga saya berada dalam kesadaran bahwa setiap hari adalah pelajaran akting dan kesadaran atas kenyataan adalah modal utama dalam disiplin seni peran.

51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pendapa perguruan tinggi seni dengan dua Dwarapala28 setinggi

manusia dewasa berdiri, dua raksasa penjaga gerbang Sela Matangkep29 itu

duduk bertumpu dengan salah satu lulutnya, menjaga kahyangan Jonggring

Saloko. Menurut saya, manusia Jawa ‘tua’ punya kesadaran akan bertautnya

dunia atas (langit) dan bawah (manusia), yang diwujudkan dalam kehidupan

sehari-hari melalui dunia simbol. Ki Sawito, pemeran tokoh Mbah Dukuh

Dongkol dalam lakon ‘Bleg-Bleg Thing’, sedang duduk di salah satu tiang

dengan tenang. Mengasah ketajaman nada melalui mantram tolak bala–

“Singgah-singgah kala singgah..”. Suaranya senada dengan desau angin

malam itu. Saya dapat merasakannya, dia begitu (n)Jawani.

Rasanya senang sekali tinggal di Jogja dan (n)Jawani atau paling tidak

bisa menjadi wajar dalam masyarakat setempat. Aksen dialek saya berbeda

dengan teman-teman yang lahir dan tumbuh di Jogja. Kadang dalam situasi

santai, aksen dialek saya tak luput menjadi bahan lelucon seperti halnya

dengan teman-teman saya yang lahir dan tumbuh di luar Jogja dengan aksen

non-mataraman. Sejujurnya, dari situasi ‘inferior’ semacam itu, keinginan

saya tumbuh untuk ‘menjadi’ Jogja. Perangkat keaktoran yang saya pelajari

kemudian menjadi pisau bedah untuk membuat semacam konstelasi

‘menjadi’ Jogja, yang sejauh ingatan saya waktu itu bisa saya dapatkan

28 Dwarapala berasal dari bahasa Sanskrit, “Dwara” yang memiliki makna “pintu gerbang/gapura” dan “Gopala” yang memiliki makna “penjaga”. Dwarapala, Dwarapati (patung) penjaga pintu. Dwarapala ini memiliki filosofi yang serupa dengan Dharmapala (Pelindung Dharma), yakni sebagai penolak bala terhadap kekuatan-kekuatan jahat yang akan merusak bangunan suci tersebut. 29 Sela Matangkep adalah nama pintu gerbang (Kori) Kahyangan Suralaya, pintu menuju alam langgeng dalam kisah pewayangan.

52

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bersama masyarakat kampung. Saya kemudian jadi gemar berkeliling ke

tempat-tempat di pinggiran kota dan desa, bertemu banyak orang yang

memungkinkan untuk saya ‘menjadi’ Jogja. Secara khusus, sebagai objek

imaji saya adalah mereka yang miskin.

Pergulatan saya untuk ‘menjadi’ Jogja dalam konteks pementasan

teater berbahasa Jawa, saya tandai melalui penggunaan aksen yang sudah

jarang diucapkan di lingkup pergaulan saya, tetapi masih sering terdengar di

kampung-kampung. Semacam ada pandangan dalam diri saya waktu itu

bahwa untuk ‘menjadi’ Jogja, saya harus menjadi ‘kampungan’.

Mengenakan pakaian yang tidak selaras warnanya, sandal jepit, pakaian

sumbangan berlogo KUD (Koperasi Unit Desa) atau atribut apapun selama

masih terlihat lusuh, rombeng, dan biasa. Beberapa kebutuhan saya untuk

menjadi ‘kampungan’, saya dapatkan dari meminjam maupun membeli di

pedagang rombengan dan pasar tradisional di pinggiran Kota Yogyakarta.

Gambar 3. Lik Seni (kanan) duduk di antara warga, Jarno Gaet (bertopi), Sae, dan Yu Siti di dalam adegan.

53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

C. Estetika Ndesit

Persoalan meletakkan benda-benda, menatanya dalam sebuah

kesadaran bahwa yang dilakukan bertujuan untuk membantu membuat citra,

menguatkan rekaan agar menjadi ilusi dari kenyataan, sehingga apa yang

terinderawi seolah-olah nyata, bukanlah sebuah pekerjaan mudah.

Dibutuhkan kemampuan untuk awas (memperhatikan) dan majing ing

kahanan (berada dalam situasi), sebab citra melalui benda-benda akan

menautkan ingatan penonton, pemain, dan pertunjukan secara ‘holistik’ pada

kenyataan sehari-hari. Tahap pertama yang menjadi sasaran menurut saya

adalah empati. Setelah itu barulah penonton diarahkan kepada isu tertentu

sebagai bentuk penguatan ‘mobilisasi’ perasaan secara ‘Sandi’.

Saya tidak sedang ingin membicarakan dikotomi antara kaya dan

miskin, tetapi dalam hal menciptakan citra suasana di dalam pementasan,

seorang penata artistik biasanya akan menempuh beberapa cara dalam

usahanya membuat citra. Pertama, jika aspek produksinya memiliki alokasi

dana yang mencukupi untuk kebutuhan penata artistik, maka dapat

dimungkinkan benda-benda yang dihadirkan diperoleh dengan cara membeli.

Kedua, jika alokasi dana terbatas, maka proses pengadaan benda-benda akan

dilakukan dengan mendaur ulang barang yang sudah ada. Ketiga, jika tidak

ada alokasi untuk pengadaan barang, maka biasanya dilakukan dengan

meminjam (swadaya).

54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bertolak dari keterbatasan ‘material’ dalam beberapa kasus pementasan

Komunitas Sego Gurih, penata artistik yang notabene lahir dari disiplin akademik seni, memiliki strategi yang menurut saya memang berhasil dalam rangka ‘manjing ing kahanan’. Untuk membuat citra benda-benda agar dapat dengan ‘segera’ memancing empati penonton, biasanya benda-benda itu didapatkan dengan meminjam penduduk sekitar lokasi pertunjukan, baik itu secara pribadi maupun melalui perantara pihak penyelenggara nembung

(meminta permisi/izin) kepada tuan rumah atau pemilik. Kebiasaan nembung dalam setiap pertunjukan tradisional-lokal bukanlah sesuatu yang aneh, karena hal ini sudah ada dalam kearifan budaya lokal berkaitan dengan penyelenggaraan pementasan. Dengan kata lain, nembung barang untuk digunakan manggung (pentas) adalah sebuah kebanggaan bagi pemiliknya dan ‘modal’ bagi pemain untuk tambahan materi dialog di luar teks.

Gambar 4. Angkringan yang digunakan dalam adegan lakon ‘Purik’

55

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Salah satu pemain pernah berseloroh ketika dalam adegan

angkringan sambil mengamati sendok dan nasi bungkus di tangan, “Iki

sendok, keliling sepuluh panggon isih kongene, sesuk bar pentas terakhir

langsung tipes”,30 tuturnya serius di sela riuh tawa penonton yang sedikit

mereda setelah beberapa kali membahana kerena menyaksikan ekspresi

konyol pemain yang beberapa kali tertipu ketika membuka bungkusan nasi

‘kucing’ yang ternyata berisi batu dan pasir. Lelucon semacam ini biasanya

memang muncul karena ada ‘mat-matan’ (perhatian) dan kesepakatan antara

penata artistik dengan pemain. Salah satu upaya yang dilakukan untuk

mengasingkan penonton bahwa apa yang sedang disaksikan bukanlah

‘objek’ sebenarnya dan juga untuk ‘menghidupkan’ benda-benda, meskipun

tujuannya tetaplah untuk memancing tawa penonton, karena hal ini

dilakukan secara berulang di tempat yang berbeda.

D. Bersama Nyego31 Gurih

Sebagai pekerja seni teater, saya sangat paham betul bagaimana

susahnya membuat sebuah karya seni. Apalagi ketika sebuah karya seni yang

secara mendasar merupakan wahana ekspresi yang seyogyanya otonom,

seolah harus berhadapan dengan serangkaian teori-teori pembentukan

estetika yang dimunculkan oleh kaum terpelajar dan cenderung ‘elitis’–serta

tentu saja sepihak. Kaidah-kaidah produksi pertunjukan yang juga seakan

30 Artinya kurang lebih, “ini sendok, sudah keliling sepuluh tempat masih saja begini, besok selesai pentas (putaran) terakhir, langsung (kena) tifus”. 31 Nyego adalah bahasa slang untuk menyebutkan aktifitas bersama makan nasi. Berasal dari kata Sego (nasi).

56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menentukan apakah sebuah karya seni dapat ‘lahir’ dengan selamat atau

sebaliknya. Sejujurnya, secara pribadi saya tidak mempercayai sepenuhnya

pernyataan tersebut. Dalam gagasan teater melarat, Grotowsky berpendapat

bahwa teater bisa ada tanpa tatanan, kostum, dekorasi, panggung, cahaya,

dan efek suara, tetapi teater tidak bisa ada tanpa hubungan antara pemain dan

penonton dalam hidup.32

Memang tidak semua aliran dalam seni teater menempatkan penonton

sebagai salah satu bagian pembentuk estetika bersama secara sadar, tetapi

bergantung pada orientasi politis di balik kepala penciptanya. Salah satu

bagian dalam persiapan pertunjukan Komunitas Sego Gurih putaran pertama

(2011) yang saya ikuti dalam lakon ‘Bleg-Bleg Thing’ di Dusun Karangber,

Goasari, Pajangan, Bantul, yang begitu lekap dalam ingatan saya, adalah

ketika sore hari menjelang pertunjukan, beberapa orang memegang tangga

bambu yang direbahkan di atas genting, menuntun salah satu warga menjejak

secara hati-hati menaiki wuwungan,33 ‘membajak’ setrum untuk kebutuhan

tata lampu dan audio, agar tidak njeglek (mati lampu) di tengah-tengah

pertunjukan. Bukankah itu melanggar hukum dan beresiko sangat tinggi?

Saya menyaksikan gotong-royong untuk tidak mempedulikan hukum.

Artikel yang ditulis oleh Elyandra Widarta (2011) tentang pertunjukan

ini menambah ketertarikan saya atas fenomena masyarakat dalam

menyelenggarakan perayaan bersama kelompok seni, di luar masyarakatnya.

32 Grotowsky and the Poor Theatre, Eksperimental Theatre: From Stanislavsky to Today, James Roose-Evans, (Studio Vista London, 1970),p.p. 62-64 dan 129-130, terjemahan Leon Agusta. 33 Wuwungan (Jawa) yang berarti puncak rumah.

57

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Elyandra menuturkan bahwa ia menemukan undangan yang disebarkan oleh

Karang Taruna desa setempat sore hari sebelum pertunjukan berlangsung.

Kami sempat merasa geli ketika ia menuturkan kepada kami di bawah rumpun bambu, samping rumah selurus pintu dapur, sesaat sebelum adegan, sore hari ketika orientasi ruang. Undangan tersebut kurang lebih berbunyi;

Mengharap kehadiran Bapak/Saudara/i pada pertemuan yang akan

diselenggarakan pada:

Hari : Sabtu, 9 April 2011

Pukul : 19.30 – selesai

Tempat : Rumah Bapak Rozan

Acara : Pentas Drama /

Upaya yang dilakukan untuk membangkitkan selera massa atas sebuah tontonan dengan nama asing ‘teater’. Drama, teater, sandiwara, istilah-istilah memang pernah menjadi problematis di kalangan para pegiat teater dan seringkali menjadi pertanyaan yang dilontarkan ketika membicarakan soal seni pertunjukan atau yang berhubungan dengan seni peran secara khusus.

Menurut saya, usaha untuk mendefinisikan kata tersebut akan selalu kembali pada pemaknaan bahwa teater, drama, sandiwara adalah pertunjukan ‘Sandi’.

58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 5. Adegan (percintaan, red.) dalam lakon ‘Purik’. Spanduk bagian belakang bertuliskan ‘Komunitas Sego Gurih / Kethoprak Tobong’.

E. Teater Untuk ‘Memulihkan’ Keseharian

Rasionalitas telah membangun teater menjadi wahana untuk

menghadirkan kembali kenyataan sehari-hari ke atas panggung, menyusun

kejadian, akting, tata cahaya, dan penempatan benda-benda sebagai ilusi

kebenaran yang diharapkan sampai pada kondisi ‘sebenar-benarnya’ benar,

dengan harapan dapat menggugah kesadaran kritis masyarakat penontonnya

pada persoalan remeh yang sudah menjadi keseharian. Tidak ada pemujaan

kepada hal-hal di luar nalar, semuanya haruslah sesuai dengan kenyataan

yang tampak. Dionysus, Appolo, Helios, dan Selena telah dirumahkan dari

kuil-kuil. Masyarakat sebagai individu dalam kehendak bebasnya mulai

mempertanyakan ‘kemanusiaannya’. Jika intisari dari sebuah pertunjukan

‘Sandi’ adalah konflik, maka senyatanya persoalan-persoalan puncak itu

hadir sangat dekat. Ia dapat ditemukan di tempat tidur, ruang tamu, meja

makan, dan bukan pada hal esoterik di luar manusia.

59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Menurut pemikiran pekerja seni yang memiliki paham bertolak dari kenyataan, kebenaran realitas adalah modal budaya untuk menciptakan sebuah karya. Kenyataan masyarakat dalam dikotomi kaya-miskin ialah kaum proletariat (rakyat miskin), seseorang atau sekelompok orang yang nasibnya ‘harus’ diperjuangkan, baik dalam keseharian maupun melalui

‘Sandi’ di atas panggung. Kesadaran bahwa masyarakat memiliki kecendurungan untuk saling bertukar-tangkap atau bahkan condong kehilangan ‘nilai’ dalam realitas yang serba seragam, mendorong gerakan kritisisme Komunitas Sego Gurih untuk turut serta membentuk basis pengetahuan yang dapat memulihkan masyarakat penontonnya dari sleep paralysis (tindihan) akibat serangan narasi-narasi palsu yang masuk hingga ke ruang privat.

Meskipun dugaan saya tidak sepenuhnya benar dalam hal usaha yang dilakukan oleh Komunitas ini, Sego Gurih seperti sedang berusaha sekuat tenaga dalam keterbatasannya untuk mengembalikan citra kolektivitas masyarakat penontonnya sebagai agen pengetahuan. Dari kecenderungan anti-kolektivis yang berbalut modernitas dengan segala perangkat pendukungnya yang telah membuat kesadaran sosial menjadi kebas.

Bahasa Jawa sebagai instrumen dalam berkomunikasi menjadi pertimbangan penting bagi kelompok ini. Sego Gurih paham betul bahwa istilah-istilah lokal untuk penyebutan benda, situasi, kondisi, dan interjeksi dalam lingkaran mereka maupun masyarakat penontonnya memiliki daya

60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pikat tersendiri yang dapat dimain-mainkan untuk mempertebal citra

‘kerakyatan’. Mengutip pernyataan Wage Daksinarga (2009):

“...Saya mengakui kalau saya banyak terpengaruh sama pertunjukan dan naskah-naskah Teater Gapit. Kami dulu selalu mementaskan naskah Teater Gapit (Bambang Widoyo SP, alm). Sampai sekarang semua naskah Gapit sudah kami pentaskan kecuali Reh sama Tuk. Sebenarnya naskah KUP itu dibuat juga karena itu, karena Sego Gurih selalu mementaskan karya-karya Gapit, dan mereka sudah bubar sekarang. Terus teman-teman mengusulkan pada saya untuk menulis naskah sendiri yang juga memasukkan logat Gunungkidul, kaya “neh”, “gek”, ya idiom-idiom kecil kayak gitu untuk memunculkan ciri khas kami. Ya terus saya tulis KUP..”.34

Masyarakat penonton Sego Gurih mungkin sudah kelelahan berganti

posisi menonton siaran-siaran televisi di rumah. Mereka seolah

membutuhkan hiburan yang lebih segar, pertemuan yang lebih ‘inderawi’

dan menyenangkan. Interaksi yang terjadi saat pertunjukan berlangsung

adalah salah satu penanda bahwa mereka begitu merindukan menjadi bagian

drama di dalam ‘drama’ keseharian mereka sendiri. Sekali lagi, saya

menegaskan bahwa dalam peristiwa semacam inilah drama Sego Gurih baru

menjadi hidup, aktor dan spect-actor membangun peristiwa dramatik baru.

Di sini dan sekarang. Eskapisme keduanya menghantarkan pada pemaknaan

baru tentang ‘Sandi’, di mana proses memasukkan isu dapat manjing ajur

ajer (meluruh) tanpa sempat mendapatkan penolakan dari masyarakat

penontonnya.

Sepanjang saya bermain bersama Sego Gurih (2011 dan 2014), saya

menyaksikan bagaimana penonton menceletuk, perubahan sikap tubuh ketika

34 Wage, Jawa, dan Sego Gurih, Muhammad Abe, skAnA 22 Juli 2009.

61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyadari permainan yang berlangsung begitu dekat jaraknya, hingga sahut-

menyahut tawa lepas saat dagelan (Jawa) spontan merespons fenomena

kekinian, secara khusus yang terjadi dalam masyarakat penontonnya.

Momentum tertawa bersama ini merupakan pendulum untuk mengayunkan

keterasingan dan ‘kekalahan’ menuju internalisasi nilai-nilai sosial dan

memperkuat kesadaran akan nilai-nilai kebersamaan. Sartono Kartodirjo

(1997) menyatakan,

“...drama bukan sepenuhnya refleksi mekanis dari kehidupan sosial, akan tetapi timbul karena kecenderungan sosial dengan segala dinamikanya serta arah tujuan kehidupannya. Dengan demikian drama merupakan representasi yang benar“.35

F. Anti Mbrakot Kambilisme36

Teater modern di Indonesia yang masih membawa jejak-jejak seni

borjuis ke dalam pemanggungannnya, pelan-pelan melahirkan upaya

perlawanan dari masyarakat penonton maupun pegiatnya. Soal-soal yang

muncul ke permukaan adalah dikotomi antar-cita rasa estetis, sebuah

pembedaan di luar kesadaran akibat pertemuan antara masyarakat kelas

kedua dan pertama, melalui pertunjukan ‘Sandi’ yang cenderung

mengangkat persoalan khas kelas menengah ke atas. Alasannya, seperti

ungkapan Emha Ainun Najib (1997), bahwa “...karena teater modern

35 Orde Baru, Dinamika Teater Rakyat Jawa di Era Industrialisasi Budaya, Yayasan Bentang Budaya untuk Panitia Ketoprak dan Dagelan Mataram Festival Kesenian Yogyakarta IX, 1997, hal. 8. 36 Mbrakot Kambil (Jawa, red.) artinya kegiatan mengupas sabut kelapa dengan menggunakan gigi. Istilah yang digunakan untuk menyindir aktivisme dalam teater modern yang berlagak seni tinggi sehingga susah diterima oleh masyarakat penontonnya.

62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memiliki harga diri amat tinggi dalam soal kecanggihan estetik.”37

Sementara modal budaya penonton teater modern, sebagian besar mendapat

sumbangan dari pertunjukan rakyat atau tradisional-lokal, sehingga

seringkali muncul irisan yang menunjukkan keterbelahan dalam bentuk cara

untuk menikmati sebuah pertunjukan.

Usaha yang dilakukan pasca-1950-an dalam bidang seni petunjukan,

khususnya teater, terlihat begitu keras untuk menunjukkan sikap yang pro-

rakyat, di luar persoalan ideologi politik yang dituduh menjadi ‘mantel’ dari

terselenggaranya pertunjukan tersebut. Seniman yang berpihak pada rakyat,

sebut saja besutan LEKRA, begitu fasih menjadi ‘tentara’ yang setiap malam

berhadapan dengan massa rakyat, meninggikan mutu, artistik, dan ideologi–

yang utama adalah meninggikan isu kerakyatan. Asumsi saya, gerakan ini

disebabkan adanya dominasi isu feodalistik dalam pertunjukan ‘Sandi’ yang

masih bersembunyi dalam zirah mistik dan klenik. Seyogyanya, seni rakyat

dapat berdiri secara otonom tanpa campur tangan kaum elit borjuis, yang

cenderung menyelenggarakan pertunjukan sebagai medium untuk

mengukuhkan ‘establishment’ kekuasaan. Massa Rakyat harus bangkit dan

menyaksikan sendiri ‘kenyataan’ mereka di atas panggung.

Komunitas Sego Gurih sebagai perkumpulan pekerja seni teater

modern yang melakukan aktivisme teater, masuk ke desa-desa dan kampung

pinggiran kota untuk mendatangi penontonnya. Model gerakan tersebut, bagi

saya, diadopsi dari pola pertunjukan teater rakyat mbarang (pengamen) yang

37 Op.cit, hal. 19.

63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menggelar pertunjukan cenderung dengan motif ekonomi. Menempatkan

karya seni sebagai produk jasa yang akan ditukarkan dengan uang, meskipun

tidak selalu motif tersebut dapat ditemukan dalam setiap pertunjukan di

kampung atau desa dalam pola yang sama. Motif ekonomi sudah bukan

melulu soal pemenuhan kebutuhan untuk makan, melainkan dalam konteks

teater modern yang mencoba mengaktualisasikan kembali bentuk-bentuk

kerakyatan. Menggelar pertunjukan di tengah kerumunan massa dapat

dikategorikan sebagai bentuk strategi kebudayaan ‘baru’ untuk melawan

dominasi gedung pertunjukan yang mahal.

Pengambil kebijakan gedung pertunjukan seolah melihat ‘lahan basah’,

pemanfaatan fasilitas kesenian dalam situasi ‘Vivere Pericolosamente’38

antara kebijakan pemerintah yang represif dan kebutuhan kelompok seni

untuk mengaktualisasikan gagasan. Pada akhirnya, yang dapat menggunakan

fasilitas gedung pertunjukan mahal hanya kelompok seni yang berkongsi

dengan pemilik modal. Pada situasi semacam inilah saya berasumsi bahwa

pertunjukan dalam gedung hanyalah usaha untuk mengasingkan diri dari

kenyataan, mempertebal demonstrasi kecanggihan estetika daripada

mengangkat isu kekinian yang kontekstual. Seni teater menjadi jajanan kaum

terpelajar massa kota, menjadi tontonan yang lebih ‘beradab’ daripada

mendatangi diskotik, menjadi fashion baru ‘perlawanan’.

38 Vivere Pericolosamente (Italia) adalah istilah politik yang dipakai sebagai judul pidato kenegaraan presiden Soekarno tahun 1964 yang berarti hidup di tengah bahaya.

64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV SANDIWARA BERBAHASA JAWA MENOLAK MAJIKAN

Awal mula aktivisme teater Komunitas Sego Gurih, saya kira tidak menjadi topik bahasan yang menarik bagi para pegiat teater di Yogyakarta.

Orang Jawa membuat pertunjukan bernuansa ‘Jawa’ di Jawa, di antara isu kontemporer yang lebih universal dan seksi. Sebagai kelompok pengguna idiom

Jawa, Sego Gurih harus menerima kenyataan bahwa pola pertunjukan yang menyinggung persoalan rakyat kecil telah lama ditinggalkan oleh para seniornya yang sudah nyaman mentas di gedung pertunjukan mahal. Sebagaimana kritik yang saya ajukan kepada Teater Gandrik karena telah sukses mendaur ulang nilai-nilai kerakyatan dan merepresentasikannya di atas panggung sebagai sebuah strategi artistik elitis, melayani Tuan bagi pembeli tiket pertunjukan yang berkelas untuk turut menyaksikan ‘kegilaan’ rakyat kecil dengan segala persoalan hidupnya, atau diobjektifikasi dalam gedung pertunjukan.

Pertunjukan sebagai salah satu bentuk komunikasi massa memang selalu mencari cara yang tepat untuk berinteraksi dengan baik kepada masyarakat penontonnya. Pertunjukan ‘Sandi’ (teater), menurut Jakob Sumardjo (1993), seperti karya seni lain; terikat oleh kelas sosial, latar belakang sejarah, tingkat pendidikan, tingkat apresiasi seni, tingkat usia, serta kondisi sosial politik pada zamannya. Ini berarti, masyarakat tertentu mempunyai atau memerlukan bentuk teaternya sendiri. Pada situasi semacam ini, harusnya pekerja seni sebagai agen intelektual melakukan tugasnya, sebagai martir bagi nilai-nilai kemanusiaan.

65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Mengutip pernyataan dari Chernyshevsky (1855) bahwa, “...tujuan hakikat seni ialah mereproduksi segala sesuatu dalam kehidupan yang penting bagi manusia.”39

Membangun kesadaran kritis antara pekerja seni dengan masyarakat penontonnya merupakan sesuatu yang penting di dalam proses berkesenian.

Secara pribadi, saya tidak mengagungkan seni dalam kehidupan saya. Akan tetapi, seni membangun cara berpikir dan membentuk sikap saya atas kenyataan sehari-hari dan yang kini. Karya seni, secara khusus pertunjukan ‘Sandi’, tidak harus selalu menjadi pejuang moral dan sarana propaganda, tetapi juga berpotensi untuk menjadi instrumen yang agitatif, sehingga masyarakatnya mampu berbicara dan menyatakan sikap terhadap fenomena sosial sebagai

‘sumber gejala sosial-budaya’, menjadi corong untuk menyuarakan kebutuhan kolektif di saat berbagai instrumen publik yang tersedia masih Kekudhung

Walulang Macan40 (berkerudung kulit harimau) atau menjadi antek kekuasaan kaum pemilik modal.

Persoalan yang mengemuka setelah pekerja seni melakukan proses internalisasi nilai adalah bagaimana membangun kebutuhan masyarakat untuk menggunakan wahana tersebut melalui dua sudut pandang sebagai ‘pelaku dan korban’, yang menjadi landasan dasar penciptaan karya. Indro Tranggono (1982) mengungkapkan bahwa untuk menumbuhkan kebutuhan masyarakat terhadap

39 Hubungan Estetika Seni dengan Realitas, N. G. Chernyshevsky, (Bandung: Ultimus, 2005) hal. 146. 40 Kekudhung Walulang Macan adalah peribahasa Jawa yang artinya, seseorang yang ingin meraih kekuasaan tetapi menggunakan pengaruh orang lain yang ditakuti oleh kelompok masyarakatnya.

66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

teater modern, pelaku seni teater hendaknya menumbuhkan sikap luhur, jujur, konsisten, dan senantiasa melakukan inovasi dalam menyatakan ‘rekaman gejala budaya’ kepada masyarakat penontonnya. Indro selanjutnya menyatakan;

“..di sini muncul satu pertanyaan yang mendasar: mampukah teater kontemporer itu berdialog ramai dengan masyarakat besar dan luas? Kenyataannya menunjukkan bahwa teater modern masih dalam tahap pengenalan: belum mampu hadir secara persuasif dengan masyarakat, meski secara sadar masyarakat tanggap bahwa apa yang ditampilkan itu adalah cerminan darinya..”.

Lazim kiranya, kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa seni

pertunjukan hanyalah sebuah aktivisme yang bertujuan untuk hiburan

semata. Sandiwara yang semula mengandung makna penyampaian nilai

secara rahasia, pelan-pelan semakin kehilangan kekuatannya, beralih

menjadi sekadar wahana perebutan nilai-nilai pasaran (banal) dalam makna

yang sebenarnya. Masyarakat perkotaan (kelas pekerja, buruh, majikan,

kaum terpelajar, dll.) turut serta secara sadar ataupun tidak menumpulkan

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Panggung seni pertunjukan menjadi

hidangan afrodisiak bagi masyarakat, seolah-olah ‘hanya’ membutuhkan

hiburan yang dapat mengalienasi mereka dari aktivitas sehari-hari yang serba

mekanis dan simbolik. Seni pertunjukan dibangun kembali menjadi pasar

tempat bertukarnya uang dan libido secara terang-terangan.

Bertold Brecht (1898-1956), seorang dramawan komunis yang

memberikan sumbangsih besar pada cara menempatkan seni dalam berdialog

dengan masyarakatnya, menyatakan sikap berontak pada bentuk estetika

pasca-romantik yang lebih menekankan perasaan yang berlarat-larat dan

67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

cenderung menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Brecht beranggapan bahwa

seni adalah soal pengetahuan yang pada akhirnya berujung pada tindakan

yang mendorong masyarakat penontonnya untuk mempertanyakan kembali

apa yang dianggap wajar, seolah terberi begitu saja (self-evident), bukan soal

membangkitkan perasaan privat atau subyektif. Titik berangkat estetika

Brech adalah konsepsi tentang manusia sebagai persoalan, sebagai

pertanyaan, yang hanya dapat didekati melalui sudut pandang sejarah.

Bahwa tidak ada identitas diri yang otonom. Manusia dibentuk oleh

serangkaian nilai-nilai dominan yang diadopsi secara tidak sadar.

Pertunjukan ‘Sandi’ adalah sebuah upaya masyarakat (pelaku dan

penikmat) untuk ‘memulihkan’ keseharian. Studi kasus di Yogyakarta pada

periode sandiwara radio RRI Nusantara 2 yang mengudara sejak tahun 1945,

mengikat simpul-simpul imajiner dalam kurun waktu yang panjang dengan

intensitas tinggi, sehingga menciptakan citra kolektifisme (berkerabat) baru

bagi masyarakat pendengarnya. Kekerabatan tidak dapat diciptakan dalam

waktu yang singkat apabila tidak terjadi momentum ‘dramatik’ yang dapat

menghubungkan perasaan bersama. Di dalam tradisi Jawa dikenal istilah

Guyub41, yang secara turun-temurun dalam kehidupan bermasyarakat

memberikan sumbangsih terbesar bagi pembentukan rasa dan ideologi seni

pertunjukan ‘Sandi’ di Yogyakarta.

41 Guyub artinya adalah kehendak untuk bersama dalam kebersamaan.

68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

A. Penangkaran Rakyat Kecil dalam Seni Majikan.

Pembentukan selera personal maupun massa tidak bisa lepas dari

modal kultural pada masing-masing kasus. Pada masyarakat Yogyakarta,

asumsi saya, pembentukan selera atas pertunjukan rakyat, khususnya genre

komedi, tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan drama panjang feodalisme.

Rakyat kecil sebagai masyarakat kelas dua, dalam sejarah feodalisme selalu

dijadikan abdi, buruh, penghibur, simpanan, atau sebutan lain yang merujuk

pada tindakan ‘merendahkan’. Majikan seolah mempunyai citra sebagai

sosok yang sempurna, tanpa celah. Perasaan inilah yang mendorong mereka

mencari pembanding berupa sosok atau karakter yang mempunyai celah

sebagai sebuah bentuk afirmasi diri. Pemilihan abdi dalem oceh-ocehan

yang dikelompokkan dalam ciri-ciri khusus dan mempunyai cacat fisik

tertentu adalah bukti nyata.

Kekerasan simbolik yang semula berada dalam ranah aristokrasi

keraton perlahan-lahan melebar hingga ke masyarakat luas. Seperti

membagikan sudut pandang lain atas cara menghibur diri dengan

‘merendahkan’ rakyat kelas dua yang berciri khusus. Melalui siaran radio

MAVRO, kelas majikan secara sadar telah membentuk sejarah kekerasan

tersebut, yang kemudian diadopsi secara tidak sadar oleh masyarakat luas.

Akhirnya, seperti yang kita saksikan sekarang ini, lelucon seolah-olah

melekat pada citra yang ‘tidak sempurna’.

Kebudayaan tradisional-lokal masyarakat Jawa, perlahan

berdampingan dengan ‘sandiwara bangsawan’ dengan latar belakang

69

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sejarahnya dalam gelombang seni realisme yang mulai membicarakan tentang kehendak individu merdeka. Kisaran tahun 1969-1970, seturut penuturan Jujuk Prabowo, siaran sandiwara berbahasa Jawa berjudul ‘Katri’ dengan sutradara Marjono serta diperankan Habib Bahri dan Hastin

Atasasih, yang divisualkan berdasarkan sandiwara radio RRI Nusantara 2

Yogyakarta, dimainkan pertama kali dengan napas ‘teater realisme’ di

Gedung Batik PPBI Yudonegaran. Namun, pertunjukan yang berbasis pada sandiwara radio tersebut tidak berumur panjang. Medio 1970-an, pertunjukan yang sempat menjadi primadona ini perlahan mulai ditinggalkan masyarakat penontonnya. Jujuk mengatakan, “…tahun 70 sampai 73 itu masih ada, tapi sudah tidak ada yang meresponnya karena sudah ada TV

(televisi) begitu…”

Pertunjukan ‘Sandi’ kembali disusun oleh sekelompok wartawan yang bekerja di Harian Kedaulatan Rakyat. Handung Kussudarsa, ayahanda Heru

Kesawa Murti (Teater Gandrik), dinilai oleh Jujuk sebagai sosok yang mampu membagikan penghayatannya dalam melihat fenomena sosial. Dari

Rama Ndung (Handung Kussudarsa), lahirlah kelompok Jenaka KR yang menyambung napas seni pertunjukan berbasis teater modern. Menurut Jujuk,

“...kalau sandiwara KR itu lebih umum, ini juga kadang menyangkut rumah tangga tapi melebar. Jadi nek difoto yo Indonesia cilik. Ya, karena itu banyak wartawan ya, kayak Pak Handung atau Pak Yong, sentilan lebih ke perilaku manusia sekarang dengan gaya bahasa yang natural…”

70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Asumsi saya, gelombang realisme dalam pertunjukan teater telah

mampu melahirkan ‘tegangan’ baru, menarik kembali minat masyarakat

pertunjukan ‘Sandi’ untuk kembali mengisi bangku penonton yang sempat

kosong. Penggunaan frase lingguhan, angguran, tukang becak, pembantu,

suami dan istri, dsb. memiliki nuansa yang dekat sekali dengan persoalan

remeh-temeh atau sehari-hari (natural). Melalui keadaan seperti inilah secara

simbolik masyarakat penontonnya kembali dipersatukan dalam citra

‘kekerabatan’.

Masyarakat pendengar sandiwara radio dengan segala kekayaan

imajinasi yang belum terganggu dengan kemunculan televisi, kuat sekali

hubungan emosionalnya melalui cerita yang kerap didengarkan. Refleksi

pribadi atas ingatan saya pada sandiwara radio awal tahun 90-an adalah salah

satunya. Radio sebagai instrumen media massa mampu menjadi bagian yang

integral dalam kehidupan sehari-hari, sebagai penanda waktu sebelum

berkegiatan. Bahkan menurut riset yang dilakukan oleh Dorothy Hobson

(1972-1979), radio dapat mengambil peranan yang sangat penting, sehingga

dapat mendorong fantasi pendengarnya dan menjalin ‘hubungan intim’ di

udara dengan materi ataupun penyiar yang setiap saat menyediakan ‘kawan’

dari seseorang yang hilang dalam kehidupan pendengarnya.42

Menurut penuturan Pak Pelok (Dr. Trisno Susilo, S.kar., M.Hum),

Teater Gapit (Solo) dicitrakan oleh beberapa intelektual teater sebagai

42 Budaya, Media, Bahasa, Teks Utama Pencanang Cultural Studies 1972-1979, Stuart Hall, Dorothy Hobson, Andrew Lowe, dan Paul Willis (ed.), Bab 7 Ibu Rumah Tangga dan Media Massa, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal. 173-180.

71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelompok teater yang selalu mengusung gagasan realisme sosial.

Pertunjukan ‘Sandi’ yang berbasis lakon dengan penggunaan idiom Jawa

sudah dimulai dari ‘Jenaka KR’ dan ‘Gudeg Yogya’43 yang bermain di

televisi dan menampilkan pertunjukannya dalam format teater modern.

Kasus yang lain dapat kita amati adalah adanya upaya penyesuaian ‘produk’

seni dengan selera pasar yang sudah mulai tampak pada periode 1979-1983,

sebagai dampak yang ditimbulkan oleh pembentukan selera massa melalui

televisi dalam Saresehan Sastra Jawa di ASKI (Akademi Seni Karawitan

Indonesia) Sasono Mulya, Solo.

Kepadatan garapan , misalnya, sudah mengacu pada

durasi film. Kehadiran Teater Keliling (Rudolf Puspa) dan Teater Populer

(Teguh Karya) sebagai cah44 Indonesia yang sempat singgah beberapa bulan

dan menggelar pertunjukannya di Solo, memberikan panorama alternatif

bagi pegiat seni pertunjukan.

43 Gudeg Yogya adalah format pertunjukan ‘Sandi’ propagandis dari pemerintah Orde Baru yang digunakan untuk menanamkan nalar ‘pembangunan’ melalui Jawatan Penerangan yang diambil dari instrumen ke-rakyat-an. ‘Barisan Kuping Hitam’ 1938, ‘Rasogel’ 1945-1957 (Radio Sonder Gelombang), kemudian ‘Gudeg Yogya’ 1957-1980-an. Kemerdekaan seniman dalam berekspresi merefleksikan pencerapannya atas persoalan sosial, dikemudi secara organik dengan cara mengangkat para pelakunya menjadi pegawai negeri dan menerima gaji setiap bulannya yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Tugas mereka hanya bermain ke daerah-daerah, bertemu massa dan menyampaikan pesan-pesan pembangunan. 44 Cah adalah kependekan dari ‘Bocah’ (anak) atau dalam konteks ini digunakan sebagai kata ganti ‘penganut’ teater modern. Kethoprak (tradisi) vs Teater (modern).

72

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Sapit Urang45, Siasat Perang Sego Gurih

Komunitas Sego Gurih bergerilya dari desa ke pinggiran kota untuk

‘Mencari dan menghadang Penonton’46, mendatangi rumah-rumah dan basis

kebudayaan sebagai kerabat. Mereka sangat paham bahwa dengan cara

seperti itulah mereka bisa menggelar pertunjukan yang pada waktu itu sangat

minim pembiayaan. Rumah-rumah yang pintunya terbuka menyuguhkan

keramahtamahan, memungkinkan untuk saling bertukar pengetahuan, rindu,

bahkan menciptakan ‘pasar’ yang menguntungkan secara batin,47 sekaligus

dalam waktu bersamaan, sebagai wahana untuk memberikan bentuk

pertunjukan alternatif berbasis lingkungan kepada masyarakat teater yang

sibuk menuju gedung di kota-kota.

Komunitas ini pada mulanya bertolak dari modal yang dimiliki, baik

modal kultural maupun material. Saya menjadi bagian dari modal kultural

yang mereka miliki, setelah kurang lebih empat belas tahun sejak masa

berdirinya di 1998. Kurun waktu yang panjang itu tentu saja semakin

mengkatalisasi pandangan ideologi penyusunan tanda yang mereka lakukan.

Secara pribadi, saya belum mendapatkan sumber yang tepat untuk mulai

merunut alur pembentukan ideologi yang mereka sebut sebagai ‘teater

kerakyatan’ selain bahwa masyarakat dicitrakan sebagai objek penderita dari

kebijakan pembangunan yang menguntungkan pihak tertentu.

45 Sapit Urang (Capit Udang) adalah bentuk formasi pasukan yang digunakan dalam perang. Istilah yang sempat saya dengar dari salah satu anggota Sego Gurih dalam bersiasat di bidang keproduksian. 46 Baca Ideologi Teater Gagasan dan Hasrat Teater Yogyakarta Hari ini (2016), hal. 81-87. 47 Ibid. hal. 86.

73

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selama kurun waktu 1997-2003, ketika masih memainkan naskah- naskah Teater Gapit (Solo), menurut Elyandra (2016: 82), Sego Gurih merasa belum menemukannya, tetapi pada periode itu, diyakini sebagai fase katalisasi ideologi komunitas ini. Alasannya adalah karena mereka sudah tidak lagi memainkan naskah Teater Gapit (Solo), tetapi naskah yang ditulis oleh salah satu pendirinya sendiri, yakni Wage Daksinarga.

Gambar 6. Dokumentasi Surat Izin Kepolisian pertunjukan Komunitas Sego Gurih KUP (2014).

Teater Gapit, menurut pengakuan Pak Pelok, memproduksi pertunjukannya tanpa muatan politik. Hanya saja cerita yang diangkat

74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bertepatan dengan situasi sosial waktu itu, semacam peristiwa Petrus

(Penembak Misterius)48 di tahun 1985, pembangunan pabrik yang

menggusur tempat-tempat bernilai sejarah bagi masyarakat setempat, yang

semuanya diangkat dari sudut pandang rakyat kecil yang termajinalkan.

Kasus Teater Gapit menunjukkan betapa seniman betul-betul menjalankan

fungsi sebagai intelektual publik, yang membuat karya seni demi memantik

kesadaran kritis penontonnya. Situasi Indonesia pada waktu itu seperti

memasok peristiwa dramatik bagi kelompok teater ini untuk menyatakan

sikap melawan dalam setiap konten pertunjukannya.

Mengutip pernyataan Barbara Hatley (2014: 28), bersamaan dengan

meluasnya ketidakpuasan politik di bulan-bulan akhir rezim Orde Baru,

peran perlawanan teater dan keterlibatannya dalam oposisi kerakyatan terus

menguat. Kelompok-kelompok teater menghibur massa dalam aksi

demonstrasi satu juta orang mendukung reformasi damai pada 20 Mei 1998

di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto mengundurkan diri.49

Pada tahun 1970-1998 masyarakat teater di Yogyakarta sempat

mengalami stigma ‘Komunisto Phobi’ dari pemerintah pada aktivisme seni

yang bernada kritik terhadap nalar pembangunan era Soeharto, sehingga

melahirkan perlawanan yang terpusat kepada ‘musuh bersama’. Pada situasi

represif semacam ini akan selalu bermunculan para pemikir dengan

48 Wawancara bersama Pak Pelok (Dr. Trisno Susilo, S.kar.,M.Hum.) di Jurusan Teater ISI Surakarta, 10 Januari 2017. 49 Bab 1 Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Seni Pertunjukan Kontemporer di Jawa Tengah, Membangun Identitas, Membangun Komunitas, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2014), hal. 28.

75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

segudang siasat. Begitupun pada ranah pertunjukan ‘Sandi’. Pasca-euforia

reformasi mereda, jalinan ‘organik’ yang dibentuk oleh kelompok teater

dengan kelompok-kelompok sosial yang berlawanan serta peran mereka

dalam menyuarakan kritik sudah tidak tampak lagi (Hatley, 2014: 28-29).

Setelah Soeharto dirumahkan, mereka kehilangan ‘musuh bersama’.

Meskipun beberapa kelompok teater masih menggelar pertunjukan, mereka

seperti berlaga tanpa perlawanan, meninju udara, menginjak situs bayangan

lawan, jika masih terdengar sambutan antusias masyarakat penontonnya, itu

semata-mata adalah gema dari perlawanan beberapa waktu lalu.

C. Ketiban Pulung50 Sandiwara Progresif

Saya sangat sependapat dengan pandangan Brecth bahwa pertunjukan

‘Sandi’ tidak sedang bermaksud untuk memenangkan idelogi ‘partai’.

Sebagai instrumen seni massa, sebuah karya seni seyogyanya dapat

diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran kritis. Mungkin sebuah kebetulan

saja pilihan ruang pertunjukan, format penggarapan naskah, bahasa

komunikasi yang disesuaikan dengan dorongan untuk memainkan naskah

berbahasa Jawa, jatuh pada naskah Teater Gapit yang sudah terlanjur dicap

sebagai kelompok pengusung ideologi ‘realisme sosialis’ oleh sebagian

orang yang melakukan perlawanan dan terlibat dalam sebagai oposisi

terhadap penguasa.

50 Ketiban Pulung cakapan (tidak baku), (1) beroleh bahagia (anugerah, hadiah, pangkat, dan sebagainya) ; kejatuhan bintang; (2) mendapat kemalangan (kesulitan) akibat perbuatan orang lain.

76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Realisme sosialis merupakan salah satu aliran dalam sosialisme yang bergerak dalam kancah sastra atau kesenian. Semangat realisme sosialis ialah untuk memenangkan sosialisme di tengah masyarakat, maka di dalam kesenian berhaluan seperti ini, kenyataan masyarakat adalah modal untuk menciptakan karya. Realitas masyarakat ialah kaum proletar, dan di atas pundak pekerja seni tertanam tanggung jawab yang tidak ringan untuk memberi penyadaran kepada masyarakat yang tertindas, sehingga masyarakat tersebut mampu berjuang dan bersiasat untuk melawan sistem yang menindas tersebut.

Bersamaan dengan beberapa anggotanya yang bersekolah di kampus seni pasca-reformasi di tahun 1999, Sego Gurih juga tidak bisa terlepas dalam proses pembentukan wacana kanonik (trend) yang lazim terjadi di kalangan mahasiswa baru. Mereka menjadi salah satu konsumen dari fashion generasi muda ‘intelektual’ yang mendadak progresif ke ‘kanan atau kiri’.

Dimulai dari konflik perebutan hak atas tanah dengan penggusuran, diskriminasi, dan berbagai macam kekerasan baik fisik maupun simbolik melalui objektifikasi di wilayah dagang lembaga bermantel gerakan sosial nonpemerintah (Non Goverment Organitation) abal-abal, membuat Sego

Gurih tanggap dan mengangkatnya ke permukaan untuk dibicarakan bersama masyarakat penontonnya melalui seni pertunjukan.

Karena masyarakat yang dihadapi di desa dan kampung pinggiran kota

Yogyakarta mayoritas menggunakan bahasa Jawa, maka kehadiran Sego

Gurih disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat penontonnya.

77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Seolah masyarakat kecil membutuhkan perpanjangan tangan untuk berbicara

tentang ketidakadilan yang menimpa dirinya. Elyandra menyatakan,

“..Jika memang selama ini memilih bahasa Jawa sebagai alat ucap, barangkali karena faktor kebetulan dan reflek. Baru kemudian dicari berbagai macam pemikiran sekaligus alasan kultural yang menjadi landasan dalam memilih”.51

Kemiskinan dan persoalan masyarakat kelas bawah menjadi isu yang

tidak pernah selesai untuk dibicarakan. Semula, kesadaran mereka

menciptakan pasar bagi produk kesenian proletariat yang dapat dikonsumsi

secara langsung dan tepat sasaran. Bersinggungan dengan kondisi politik

seni pertunjukan di Yogyakarta yang sedang asyik masyuk dalam wacana

kontemporer yang cenderung Avant Gardis, Sego Gurih tetap konsisten

memilih hidup bersama masyarakat penontonnya. Pada saat itu, memang

itulah pilihan terakhir yang diambil setelah beberapa kali berusaha

mengajukan sponsor pendanaan tetapi tidak pernah berbuah manis. Sebut

saja salah satu perusahaan rokok yang kerap kali menjadi sponsor bagi seni

pertunjukan. Ketika Sego Gurih mengajukan permohonan dana, perusahaan

ini, melalui pemegang kebijakannya, hanya memberikan tiga slop rokok

untuk rencana pertunjukan keliling di beberapa titik di Yogyakarta.

Memang pertunjukan Sego Gurih belum mampu menghasilkan

keuntungan secara finansial yang dicita-citakan dapat memenuhi kebutuhan

artistik dan mensejahterakan individu yang terhimpun dalam kelompok itu.

Akan tetapi, setidaknya mereka pernah membayangkan keterlibatan

51 Ideologi Teater Gagasan dan Hasrat Teater Yogyakarta Hari Ini, (Indie Book Corner, 2016), hal. 80-87.

78

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perusahaan dan lembaga-lembaga donor yang berdiri di belakang kelompok

seni di Yogyakarta. Sego Gurih, dengan pilihan artistiknya, seperti

membangun basis-basis perlawanan di desa dan kampung pinggiran kota atas

dominasi kelompok kesenian elit yang berdiri seperti menara mercusuar.

Brecht (1948) mengatakan,

“Teater ini mendakwa bengkel-bengkel penjual hiburan malam itu dengan tuduhan telah merosot menjadi cabang penjual obat bius yang borjuis. Reproduksi-reproduksi keliru dari kehidupan sosial di atas pentas, termasuk apa yang dikenal sebagai naturalisme, menyebabkan teater ini menuntut reproduksi-reproduksi tepat yang ilmiah”.52

Mereka (Sego Gurih) melakukan perayaan bersama masyarakat

penontonnya yang menjadi korban perayaan elit kesenian antek-antek

pemilik modal, dalam pesta kembang api, wine, dan ‘penari telanjang’.

52 Karangan ini berasal dari “Organon Kecil untuk Teater” karya Bertolt Brecht, dalam majalah Budaya Jaya, No. 102, Th. IX, November 1976, p.p. 665-704, diterjemahkan oleh DR. Boen S. Oemarjati.

79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 7. Dokumentasi Poster pertunjukan ‘Blegh-Blegh Thing’ (2011).

Komunitas Sego Gurih percaya bahwa kebudayaan masyarakat Jawa dalam hidup bersosial memiliki tingkat 'kelenturan' yang tinggi. Menurut

Elyandra Widarta (2011),

"...Bahasa Jawa menurut hematnya bukan sekadar bahasa ibu dan alat ucap praktis sekaligus strategis di atas panggung. Banyak semangat serta dialektika yang terlalu dalam. Ya, karena memang perlu ditegaskan kembali bahwa kebetulan kita orang Jawa. Jawa adalah kultur yang sangat religius dan spiritualis…" Pertunjukan Komunitas Sego Gurih hampir dapat dipastikan menjadi peristiwa teater yang cair bersama masyarakat penontonnya, hal ini disebabkan karena pola permainan yang mereka gunakan tidak selalu linear berdasarkan teks yang dituliskan. Mereka dengan sangat mudah keluar

80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

masuk membicarakan persoalan terkini yang sedang terjadi pada masyarakat sebagai tokoh dalam lakon atau dirinya (self) sendiri sebagai aktor.

Elyandra (2011) menjelaskan,

“Segala kondisi dan situasi yang sedang dilihat bahkan dirasakan di depan mata. Misalnya bangsa sedang gencar menginformasikan fenomena apa? Ini berkaitan dengan kontekstualisasi bahkan ketika mencoba keluar dari dialog sebentar dengan improvisasi. Improvisasi yang dimaksud bukan lantas keluar dari plot yang sudah ada. Tapi upaya aksi dan strategi menghadapi lawan dialog dengan bekal eksplorasi yang sudah ditemukan untuk capaian sinergis irama permainan. Tidak meunutup kemungkinan keluar dari konvensi dramaturgi yang sudah ada. Sebab bahasa Jawa tanpa improvisasi itu muspra (sia-sia). Bahasa Jawa itu tidak kaku. Jawa adalah bahasa yang demokratis, toleransi tinggi, kompromis dan cerdas estetika. Luwes, lincah, sigap, tangkas bahkan bisa ngejazz dalam mengejawantahkan teks dan konteks apapun.”

Improvisasi sebagai sebuah metode untuk membangun dramatika permainan tidak sekadar cara untuk mengantisipasi 'kesalahan' pengucapan teks ataupun permainan. Improvisasi hanya dapat dilakukan oleh aktor yang memiliki kecerdasan menangkap momentum dan sadar bahwa dirinya, dalam waktu yang bersamaan, juga menjadi agen bagi gagasan yang sedang digulirkan bersama. Pola semacam ini dapat ditemui dalam tradisi pertunjukan sandiwara lokal, baik yang egaliter seperti , Ketoprak,

Dagelan Mataram maupun Wayang Kulit pada bagian lawak atau Goro-Goro

(kemunculan tokoh Punakawan), yang dianggap merepresentasikan rakyat kecil yang lugu dalam pengabdian, luhur budi, dan bersahaja.

Praktik seni 'kerakyatan' semacam ini secara implisit juga menjadi wahana untuk menyampaikan koreksi dan kegelisahan terhadap fenomena

81

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sosial yang terjadi. Penyampaian 'Sandi' melalui pertunjukan dipilih sebagai strategi seniman yang sadar posisi bahwa dirinya juga merupakan perpanjangan suara bagi kegelisahan massa atas kebijakan-kebijakan elit.

Proses mendekati massa penonton dimulai oleh Komunitas Sego Gurih sebelum pentas dari persiapan bersama warga melalui rapat-rapat kampung bersama organisasi pemuda (Karang Taruna) dan berbagai lapisan struktur pemerintahan desa, sehingga Komunitas Sego Gurih dapat mengumpulkan informasi terkait persoalan yang terjadi di tempat itu. Mereka memilih informasi yang cenderung prorakyat, sehingga masyarakat penontonnya seolah-olah merasa mendapatkan wahana untuk menyuarakan kegelisahan mereka dan secara dramatik dapat terjalin hubungan peristiwa antara pertunjukan dan massa penontonnya.

Hubungan antara peristiwa yang dipertontonkan oleh Komunitas Sego

Gurih dengan massa penontonnya membangun imaji seolah masyarakat membutuhkan praktik seni teater sebagai wahana untuk berbicara. Namun, jika ditelisik lebih lanjut, pertunjukan yang digelar oleh Komunitas Sego

Gurih lebih dominan membuat aksi yang hanya bersifat memberikan penghiburan semata, bahkan lebih cenderung menciptakan banyolan- banyolan kosong untuk memancing tawa saja.

82

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

D. Endog Abang53 Berpucuk Kitiran54 Kertas di Malangjiwan

Seperti yang saya kemukakan pada Bab sebelumnya, betapa bingkai

panggung keturunan gedung ‘Comediegebouw’ di Batavia (1821) dan dua

puluh tahun aktivisme seni August Maheui dalam kelompok ‘Komedi

Stamboel’ (1891), telah membentuk citra seni yang semula egaliter, menjadi

‘seni untuk majikan’ yang tentu saja dalam asumsi saya, kehilangan daya

kebebasan untuk menyatakan diri. Sementara citra kebebasan dalam arti

positif adalah bagaimana paksaan oleh beberapa orang dari beberapa orang

lainnya dalam masyarakat dapat diminimalisir sebanyak mungkin. Menurut

Vic George,

“…kebebasan juga merupakan nilai instrumental untuk meningkatkan pengetahuan, kemajuan, dan kondisi-kondisi lain yang bisa diterima masyarakat... dengan demikian kebebasan tidak hanya merupakan terminal dan nilai instrumental dalam pengertian yang abstrak, tetapi juga merupakan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat pada umumnya.”55

Jadi bagaimana mungkin seorang pekerja seni memiliki ruang

eksperimentasi bentuk sebagai manifesto dari kemerdekaan atau kebebasan

individu dalam berpikir kritis, apabila aktivisme seni yang dilakukan terus

berulang dan berjalan di tempat dalam kurun waktu yang panjang.

Kehadiran saya pada momentum pertunjukan ‘Ande-Ande Lumut’

(2006) di kampung Malangjiwan benar-benar menjadi momentum pelepasan,

53 Endog Abang artinya telur rebus yang diberi pewarna merah. Ini adalah sejenis jajanan tradisional yang sudah ada turun temurun pada masyarakat Yogyakarta khususnya, biasanya dijual pada perayaan-perayaan tertentu seperti Sekaten. 54 Kitiran artinya baling-baling atau kincir angin. 55 Ideologi dan kesejahteraan rakyat, Vic George & Paul Wilding; penyunting , Budi Murdono dan Bhanu Setyanto, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992). Hal. 37.

83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

di mana secara pribadi saya seperti mengalami ‘penyucian jiwa’ dari tragedi

panjang selama saya beriman kepada teater modern yang bermental kolonial.

Saya merasakan kembali kebebasan saya memainkan peran, keluar masuk

arena permainan dari berbagai sisi penonton di antara halaman rumah,

pekarangan dengan beberapa pokok pohon pisang dan penjaja makanan

tradisional endog abang dan pecel kemangi yang menata diri. Duduk

bersimpuh dengan takzim menghadap kudapan yang sepi pembeli, menjauh

beberapa kaki dari gerobak makanan bermotor dan anak-anak muda kini

yang abai.

Gambar 8. Surat pernyataan yang ditulis oleh (Alm.) Heru Kesawa Murti (Teater Gandrik) untuk Komunitas Sego Gurih.

84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Peristiwa di luar pertunjukan ‘Sandi’ dalam situs kampung dan desa- desa yang didatangi oleh Sego Gurih semacam inilah yang pelan-pelan membentuk ideologi kesenian mereka. Banyak sikap tubuh dan bahasa yang menjadi langka akibat nalar pembangunan yang seringkali meninggalkan kebudayaan masyarakat yang ‘lembam’ menghadapi kebaruan-kebaruan.

Yusuf ‘Peci Miring’ dalam masa kepemimpinannya di Sego Gurih yang pendek, seperti membaca momentum tersebut, di mana sebuah produk kesenian dalam kenyataan yang kini, seakan-akan membutuhkan ‘lisensi’ untuk membentuk citra dan mendapatkan pengakuan massa atas keberadaannya.

Sebuah aktivisme seni yang militan memang membutuhkan ‘napas panjang’, kuat dalam segala keterbatasan yang memang sengaja diciptakan oleh musuh bersama (elit) supaya gerakan kritisisme seni menjadi bermental buruh. Sehingga segala bentuk kemungkinan yang dapat mengganggu kekuasaan, tidak pernah mempunyai kesempatan untuk dilahirkan. Banyak kelompok seni ‘kerakyatan’ yang seharusnya mampu menjadi basis pergerakan dan pengolah intelektual organik, sudah tidak tahan lapar.

Mereka memilih bersiasat, berkongsi dengan elit, berdalih modernitas dan ingin menjadi bagian dari warga dunia yang seolah-olah cuci tangan atas segala perbuatan buruknya melalui program sosial dan seni budaya. Tidak dapat dibayangkan apabila hampir semua kelompok seni di kota-kota yang menjadi mercusuar dan model rujukan, berbondong-bondong merapat kepada majikan. Mengutip pernyataan Njoto (1959),

85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Sebab bukankah foundation2 itu menguntungkan kita? Demikian mereka itu. Mereka girang2 botjah kalau Stavac misalnya, memberi beasiswa untuk 4 atau 8 pemuda Indonesia. Mereka lupa, bahwa beasiswa itu hanyalah rumput jang diberikan kepada sapi agar si sapi mau terus menarik gerobak!”.

Alangkah menakutkannya jika seniman sebagai intelektual publik dan seni pertunjukan sebagai penghubung kritisisme kepada rakyat, hanya memproduksi karya seni yang justru mengasingkan rakyat dari kenyataannya. Nasibnya kurang-lebih akan sama saja seperti televisi, radio, situs-situs internet hari ini yang selalu mengajak rakyat untuk bermimpi membeli dan mengkonsumsi produk budaya penuh citra kebaikan yang senyatanya adalah angan-angan dan tipu daya.

Bahasa sebagai alat ucap, secara tidak langsung menunjukkan lawan bicaranya. Seni pertunjukan, khususnya seni teater, dominan menggunakan kata untuk mengantarkan penontonnya pada isu tertentu. Supaya lebih bertaut, tentunya apa yang dibicarakan juga menjadi bagian dari masyarakat penontonnya. Kenyataan yang terjadi di Yogyakarta sejak tahun 1980-an belum ditemukan data tertulis perihal aktivisme seni teater yang memiliki konsistensi seperti Komunitas Sego Gurih. Beberapa penggunaan nama kelompok seni, judul pertunjukan bahkan format pertunjukannya yang diimajinasiakan sebagai ‘seni untuk rakyat’, menunjukkan bahwa keberadaannya bersifat dekaden.

Ketika muncul pertanyaan apakah aktifisme seni pertunjukan ‘ke- rakyat-an’ bermuatan politis? Kedua kelompok ini (Komunitas Sego Gurih

86

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan Teater Gapit) bahkan tidak dapat memberikan penegasan. Seperti pernyataan Elyandra (2016: 85), “Tanpa didasari muatan politik sedikitpun namun proses pembelajaran dan penyadaran sosial tanpa tendensi untuk mengusik ketenangan siapapun; itu yang penting bagi kami.”

Seni pertunjukan pada hakikatnya adalah pertemuan dan dialog ‘rasa estetis’ antara karya seni dengan masyarakatnya melalui pertemuan secara langsung. Jika misinya hanya memberikan penghiburan dan menumbuhkan kesadaran kritis dalam kerumunan massa pada durasi waktu tertentu, dengan merepresentasi idiom rakyat dalam konten pertunjukannya yang serampangan, apakah ini juga tidak berpotensi untuk menebalkan citra rakyat miskin dalam ‘seni majikan’ yang lebih dominan menjadi sistem koersif tragedi Aristoteles yang mengarahkan bahwa setiap perlawanan terhadap

‘tata kodrati’ akan selalu berujung tragis?

Sebuah karya seni seyogyanya mempunyai kemampuan untuk melakukan koreksi terhadap segala sesuatu yang dianggap melenceng dari kenyataan. Tidak hanya menciptakan kenyataan baru yang justru mengasingkan, mengunci kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dengan memproduksi tiruan-tiruan dari ‘kenyataan yang seharusnya ada’ dan bukan ‘kenyataan yang ada’. Rakyat harus mampu menemukan diri mereka sendiri di antara kenyataan struktur politik yang menekan dan mengeksploitasi ‘kemanusiaan’.

Di antara sekian banyak kelompok seni teater di Yogyakarta, dapat dikatakan hanya Komunitas Sego Gurih saja yang angkat bicara tentang

87

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dampak pembangunan hotel secara besar-besaran di Yogyakarta. Lakon

berjudul ‘POGENG’56 karya kelompok ini, mengisahkan tentang keresahan

warga sekitar atas pembangunan hotel yang semakin marak. Rakyat miskin

selalu menjadi korban dalam perebutan lahan, di luar persoalan administratif,

masyarakat harus menerima dampak buruk konsumsi air yang berlebih dari

kamar-kamar hotel. Sumur kekeringan, rumah penulis di kampung Klitren

tidak luput dari perabot yang mengapung ketika hujan turun dengan

derasnya.

Komunitas Sego Gurih bersama warga, seniman dan aktivis kota

bersatu dalam gerakan oposisi kerakyatan. Setelah sembilan belas tahun

memainkan lakon yang merepresentasikan rakyat kecil, baru pada

kesempatan inilah isu pertunjukan mereka begitu tepat berdialog dengan

massa penontonnya. Elyandra (2016: 87) mengatakan,

“…Teater bahasa Jawa biarlah menjalin kekeluargaan bersama penonton. Berbagi sesuatu yang adil dan spiritual. Sama rata–sama rasa. Kembali kepada yang lokal sebagai bekal semangat untuk menghadapi isu-isu kontemporer dewasa ini.”

Mereka tidak tiarap, mereka merawat kebebasan untuk selalu mencari

jalan keluar bersama rakyat agar selalu waras dan berani melakukan

perlawanan.

56 Pogeng adalah bahasa prokem khas Yogya untuk menyebut: Hotel.

88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V Penutup

Seni pertunjukan berbasis kerakyatan sebagai alat baca kenyataan tidak boleh lepas dari cita-cita luhur untuk terus memberikan kesadaran kritis kepada masyarakat penontonnya atas apa yang terjadi sehari-hari. Ia harus terus berpihak sepenuhnya kepada kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya, justru menjadi perpanjangan tangan kepentingan-kepentingan kaum majikan. Seni pertunjukan sebisa mungkin berusaha sekuat tenaga menemani perjuangan rakyat agar terbebas dari nilai-nilai palsu yang sengaja dijejalkan dalam setiap kesempatan, supaya kedirian rakyat yang terbentuk dari kebudayaan luhur, menjadi koyak-moyak dan mudah digantikan dengan narasi-narasi tipu daya.

Jika aktor yang bertugas menyampaikan ‘Sandi’ dalam seni pertunjukan tidak selalu berbenah diri dan tanggap terhadap berbagai macam isu terkini, maka sangat dimungkinkan ia hanya menjadi “sapi penarik gerobak” dalam kendali teks yang esoterik. Sebagai manusia yang berpikir kritis, aktor seyogyanya tidak serampangan menjelmakan tokoh di dalam dirinya. Tradisi membangun tokoh membutuhkan ketajaman untuk membedah dimensi sosial dan psikologis. Bila tokoh yang dimainkan merepresentasikan kehidupan rakyat miskin, maka tentu saja ia tidak selalu diwujudkan hanya sebatas baju yang lusuh, sikap tubuh yang ‘tidak tahu adat’, kata-kata kasar, umpatan, dan berbagai macam ‘atribut’ rendahan.

89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Esensi mencitrakan rakyat miskin bukan pada bentuk-bentuk tersebut, seyogyanya tidak direpetisi sebagai sekumpulan orang-orang kalah yang terus meneriaki ketidakmampuan mereka melawan kebijakan kaum majikan di bangku penonton. Seni berbasis kerakyatan semestinya diarahkan agar mampu menumbuhkan sikap optimis untuk terus melakukan perlawanan sampai pada kemungkinan terburuk bersama massa rakyat. Ia mestinya mampu memberikan koreksi atas tindakan dan kebijakan sepihak, bukan malah melenakan dengan akrobat pemikiran yang ruwet. Njoto (1959) dalam pidatonya mengatakan,

“..Karena kebudajaan bukan rakjat itu kebudajaan penindasan, dan karena penindasan itu suatu ketidakadilan jang tidak mungkin dibela tidak mungkin dipertahankan, maka expresi2nja, pernjataan2nja, tentu sadja selalu ruwet. Makin disusun “teori” tentang kebujaan penindasan itu, makin ruwetlah dia.[...]”.

Komunitas Sego Gurih sebagai kelompok seni di Yogyakarta yang begitu dekat dengan massa rakyat, memiliki potensi yang besar terlibat dalam aktivisme tersebut. Hal ini dibuktikan dengan tergeraknya organisasi kemasyarakatan di kampung yang menjadi tempat pertunjukan mereka untuk berbenah diri dan aktif kembali dalam merawat basis kebudayaan tradisonal-lokal sebagai modal menghadapi isu-isu terkini. Serombongan ibu-ibu pengajian di kampung Mindi –

Bantul, mengadakan iuran secara swadaya untuk menyewa kendaraan demi mendatangi pertunjukan Sego Gurih jika jarak yang ditempuh cukup jauh.

Kelompok seni ini menjadi idola baru massa rakyat yang mampu sejenak mengalihkan perhatian pada produk seni majikan yang instan semacam televisi.

90

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Saya menjadi saksi bagaimana salah seorang warga di Wonogiri merelakan rumahnya ‘dibongkar’ sementara waktu ketika lokasi pentas di pekarangan rumah yang sudah dipersiapkan sedari siang oleh sedulur Sego Gurih mendadak didera hujan yang tidak kunjung reda. Kami melangsungkan pertunjukan di ruang tamu, di antara pemilik rumah dan warga dengan penuh suka cita.

Aktivisme seni semacam ini memberikan dampak yang seimbang antara seniman dan massa rakyat–hiburan sekaligus penyadaran.

Tidak banyak kelompok seni di Yogyakarta yang memiliki konsistensi seperti Komunitas Sego Gurih dalam menggelar pertunjukan bersama rakyat.

Kelompok seni ini mampu menyaingi popularitas kelompok seni massa kota dan kaum terpelajar dengan pilihan bentuk estetikanya yang ‘kampungan’. Jika ini dapat dinamakan sebagai bentuk perlawanan terhadap estetika ‘majikan’, maka selayaknya aktivisme seni semacam ini dapat menjadi model baru perlawanan untuk terus merawat kebersamaan dengan semangat sama rata–sama rasa.

91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel dalam Buku

Alisjahbana, S Takdir, (2011), Seni dan Sastra di Tengah-tengah Pergolakan masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.

Aziz Firdausi, Fadrik, (2017). Njoto: Biografi Pemikiran 1951 -1956. Yogyakarta: Marjin Kiri.

Birringer, Johannes, ( 1991). Theatre, Theory, and Posmodernism. Bloomington: Indiana University Press.

Bodden, Michael, (1989). Teater Yang Berbicara. Forum Indonesia Kecil, Goethe Institut Jakarta, no.5/TYB/FIK/III/’89.

Chernyshevsky, N. G. (2005). Hubungan Estetika Seni Dengan Realitas. Bandung: Ultimus.

Chernyshevsky, N.G, (2005). Hubungan Estetik Seni dengan Realitas. Bandung: Ultimus,

Evans, James Roose, Leon Agusta (terj), (1970). Grotowsky and the Poor Theatre, Eksperimental Theatre: From Stanislavsky to Today. London: Studio Vista.

Forum Indonesia Kecil, Teater Yang Berbicara, Goethe-Institut Jakarta, no.5/TYB/FIK/III/’89.1 Garis Masa Teater Indonesia (Masa Permulaan Hingga berdirinya Taman Ismail Marzuki), Lembaga Riset FTJ 2016: Zen Hae dan Sulaiman Harahap. Disain display: Angga Wijaya.

George, Vic, Paul Wilding, Budi Murdono (eds), (1992). Ideologi dan kesejahteraan rakyat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hall, Stuart (eds), (1992). Budaya, Media, Bahasa. Yogyakarta: Jalasutra.

Hall, Stuart (eds.), (2011). Budaya, Media, Bahasa, Teks Utama Pencanang Cultural Studies 1972-1979. Yogyakarta: Jalasutra.

Hartley, Barbara (eds), (2014). Seni Pertunjukan Pasca Orde Baru: Seni Pertunjukan Kontemporer di Jawa Tengah, Membangun Identitas, Membangun Komunitas. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Huizinga, Johan, (1990). Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam Budaya. Jakarta: LP3ES.

92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kayam, Umar, (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Jaya Pirusa.

Kuncoro, Ikun S (ed), (2016), Ideologi Teater: Gagasan dan Hasrat Teater Yogyakarta Hari Ini. Yogyakarta: Indie Book Corner.

Laclau, Ernesto, Chantal Mouffe, (1999). Hegemoni dan Strategi Sosialis: Pos Marxisme dan Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book.

Lifschitz, Mikhail, Leonardo Salamini, (2004). Praksis Seni: Marx dan Gramsci. Yogyakarta: Alinea.

Marianto, M. Dwi, (2006). Quantum Seni. Semarang: Dahara Prize.

Nadjib, Emha Ainun, (1995). Terus Menerba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Najib, Emha Ainun, (1980). Teater Sebagai Perspektif Baru Generasi Muda, BASIS XXIX, September. Yogyakarta: Kanisius.

Novianto, Wahyu, (2015). Realisme Epik dalam Pertunjukan Lakon Klip Teater Segogurih Yogyakarta. Yogyakarta: ISI Press.

Purwanto, Hadi S, (ed), (2009). Ludruk, Terpental di Tengah Budaya Modal, Jombang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jombang.

Purwaraharja, Lephen (eds), (1997). Ketoprak Orde baru: Dinamika Teater Rakyat Jawa di Era Industrialisasi Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Soedarsono, R.M, (1999). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: UGM Press.

Saini, KM, (1996). Peristiwa Teater. Bandung: Penerbit ITB.

Scott, James C, (2000). Senjatanya Orang-orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sedyawati, Edi (Eds), (1983). Seni dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sihombing, Wahyu (eds). Pertemuan Teater 80. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Sk, Suharjoso, (2015). SOSOK DAN KIPRAH, Ulang-alik antara Teater Modern dan Akar Tradisi. Yogyakarta: Framepublishing

93

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Suryajaya, Martin, (2016). Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer. Yogyakarta: Indie Book Corner.

Takwin, Bagus, (2003). Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.

Tim peneliti Kalangan Anak Zaman, (2000). Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta, Laporan penelitian Existing Documentation dalam perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wibowo, Fred, (2014). Kebudayaan Menggugat. Yogyakarta: Grasia Book.

Wijaya, Herlambang, (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti- Komunisme Melalui Seni dan Sastra. Yogyakarta: Marjin Kiri.

Jurnal

Sunardi, ST, (2003), Kajian Budaya: Pada Mulanya adalah Perlawanan, Retorik-Volume-No.4- Oktober 2003

Artikel berita

Abe, Muhammad, (2009). Wage, Jawa, dan Sego Gurih, skAnA 22 Juli 2009.

Brecht, Bertolt, DR. Boen S. Oemarjati (terj), (1976), “Organon Kecil untuk Teater”, Majalah Budaya Jaya, No. 102, Th. IX, November 1976, p.p. 665-704

Tranggono, Indro, (1982). Teater Modern Masa Datang, Teater Kebutuhan, Harian Merdeka, 3 Februari 1982.

Van Erven, Eugene, (1988). “Teater Pembebasan” dalam rubrik Dayoh, Citra Yogya 002/Th.1/1988; hal.49-56.

Bernas, Minggu Pahing, 18 Desember 1998.

Jurnal Rohani, Tahun XXXV no.6 Juni 1988, hal.226. skAnA volume 10, Juli-November 2009.

94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BASIS Majalah Kebudayaan Umum, September 1980. XXIX no.12. hal. 366–

370, 377–380.

95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran 1

Pementasan teater di Yogyakarta yang menggunakan bahasa Jawa tahun 1980-1990.

Waktu Judul Kelompok Kritik Media

14 September 1980 Pergiwa-Pergiwati Teater Stemka Bernas, edisi 13 Januari

Karya : Mas Nemo 1981. Veven Sp Wardhana,

(Komikus Gundala berkomentar.

Putra Petir), “Entah ingin keluar dari

disutradarai oleh kebiasaan mementaskan

Landung R. Laksono naskah serius atau apa, kali

ini Landung membawakan

lakon yang mengundang

tawa pada hampir

sepanjang pementasan.

Meskipun sayang tidak

sepenuhnya dapat ditangkap

oleh para penonton lebih

karena faktor bahasa Jawa

yang digunakan. Mungkin

sama orientasinya dengan

penampilan grup lawak

Tiga T bersama Nini

Thowok yang mementaskan

“Ratu Jadi Petruk”,

pembelokan cerita wayang

“Petruk Jadi Ratu”, yang

sengaja keluar dari pakem

96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk menciptakan sebuah

hiburan. (Bernas; 1981).

21-22 Oktober 1980 Raden Gendrek Teater Dinasti Pementasan ini diadakan di

Sapujagat gedung Art Gallery

Naskah ditulis oleh Senisono. Tidak ditemukan

Fajar Suharno dari kritik yang dimuat di media,

ide Gajah Abiyoso hanya pernyataan Fajar

Suharno pada harian

Kompas (1981).

- Juni 1983 Geger Wong Ngoyak Teater Dinasti Dipentaskan di Taman

Macan Budaya Jawa Timur.

Karya : Emha Ainun Pementasan naskah ini

Najib seolah melebur jadi satu

manfaat hiburan,

pendidikan, penerangan,

dakwah dan lain-lain.

Meskipun semua dialog

menggunakan bahasa

Indonesia, tapi penuh unsur

30 Maret 1985 Pengakuan Pariyem Teater Jeprik kearifan tradisional.

Karya : Linus Saduran dari prosa liris

Suryadi AG Pengakuan Pariyem karya

Linus Suryadi AG di Purna

Budaya. Mengenai

pementasan ini Ahmadun

menyoroti.

“Teater Jeprik ternyata

97

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hanya bergaya ketoprak,

begitu juga dengan setting

dan musiknya. Akibatnya

beberapa adegan yang

seharusnya serius menjadi

hilang moment

dramatiknya”. (Kedaulatan

Rakyat; 1985).

Menurut Noor WA, sebagai

sutradara, penggarapan ini

berangkat dari konsep teater

rakyat. Prosa liris karya

Linus yeng seharusnya sarat

nilai dasar dan sangat

problematik dihancurkan

dengan pentas Jeprik ini.

Karya Linus itu sendiri

pernah dianggap Emha

AinunNajib sebagai

‘mengukuhkan

establishment’, tetapi

ditangan Noor WA malah

dikatakan ‘mendakwahkan

establishment’. (Dikutip dari

tulisan Ahmadun YH, KR,

edisi 4 April 1985).

Sedangkan menurut Indra

98

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tranggono;

Konsep penggarapan

pementasan dengan pola

kethoprak, tapi terasa tidak

utuh karena tidak

mengeksplorasi unsur-unsur

kethoprak secara

keseluruhan. Perbedaan

Pariyem di panggung dan di

buku disebabkan karakter

masing-masing dengan

segala sifat dan

kemampuannya. Noor WA

menekankan pada kekuatan

bahasa adegan, sementara

Linus pada kekuatan kata-

kata. (Bernas; edisi 7 Mei

12 Nopember 1985 Pengorbanan Paguyuban 1985).

Sutradara Yoyok Teater Trah Sandiwara berbahasa Jawa

Aryo dan Hardi Manunggal ini terkesan masih

Danurisman. dimainkan dengan struktur

9-11 Juli 1986 Sinden Teater dan pola bahasa Indonesia.

Karya : Heru Kesawa Gandrik Pentas di gedung Art

Murti Gallery Senisono. Pendapat

Sutradara : Jujuk dari Genthong HSA:

Prabowo “Pementasan “Sinden” ini

mendekati kembali gaya

99

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dinasti, sementara

pementsan teater Gandrik

yang terdahulu (Pensiunan,

Pasar Seret, Meh,

Kontrang-kantring) masih

mendekati gaya Srimulat.

Hal ini mungkin disebabkan

karena kaidah-kaidah teater

seperti penyutradaraan,

bloking dan artistik lebih

1-3 Oktober 1987 Dhemit tergarap.” (Kedaulatan

Karya : Heru Kesawa Id. Rakyat; 1986).

Murti Pentas di gedung Art

Sutradara : Jujuk Gallery Senisono. Kali ini

Prabowo Gandrik kembali

mengukuhkan diri sebagai

kelompok teater yang

mampu menyedot penonton,

demikian Joko Budhiarto

menuliskannya di surat

kabar Kedaulatan Rakyat,

edisi 5 Oktober 1987, Ia pun

menambahkan :

“Kehadiran Gandrik, mau

tidak mau membangkitkan

ingatan kita pada teater

Jeprik. Kalaulah tak ada

100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

konsepsi dan orientasi lain

dengan keberadaan Gandrik

sekarang, maka tidak

mustahil Gandrik bakal

16 April 1988 Gaplek Pringkilan bernasib (nasib yang

Karya : Handung Teater Bang disengaja) seperti Jeprik.

Kussudarsana Bung (Kedaulatan Rakyat; 1987).

Sutradara : Dopo Pentas di anjungan DIY

Yohan TMII. Naskah berbahasa

Jawa ini di Indonesiakan

oleh Dopo. Memandang

fenomena yang

dimunculkan Teater Bang

Bung, Fred Wibowo

berpendapat:

“..gejala kesenian seperti

inilah yang perlu dikaji.

Bang Bung berawal dari

teater tradisional yang ingin

mengordinir diri. Berbeda

sekali dengan kebanyakan

teater modern, yang

memperkaya dirinya dengan

berorientasi pada teater

tradisional, pada hal-hal

yang ‘berkelanjutan’ di

masyarakat. (Kedaulatan

101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Rakyat; 1988).

Selanjutnya Fred

menambahkan:

“.. ini merupakan gejala

yang sehat di dalam situasi

dimana komunikasi top

down sangat menggebu

sedang yang bottom up

sangat kurang. (Kedaulatan

Rakyat; 1988).

Sementar SH. Mintardja,

hampir senada dengan Fred,

mengatakan:

“Bang Bung sebagai Teater

Rakyat dengan cubitan

cubitannya yang segar,

akan dapat selalu

menelusuri masalah

masalah yang berkembang

di masyarakat. Yang justru

sedang membangun. Tapi

sudah tentu Bang Bung

harus membenahi diri

18 Juni 1988 Kangsa Adu Jago sehingga ia benar-benar

Karya & Sutradara : Teater Stemka menemukan arti dari

Hasmi keberadaannya dalam

lingkaran kepribadian.

102

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Kedaulatan Rakyat; 1988).

Pementasan ini dilakukan di

Karta Pustaka. Joko

Budiharjo berkomentar

tentang pentas ini:

“Teater Stemka bukan

karena ingin meraih

popularitas semata lewat

cerita pewayangan ini. Dari

sisi yang sempit,

penampilan Stemka tersebut

boleh dikatakan sebagai

24 Juni 1988 Rio Menggolo bukti bahwa Teater Stemka

Teater Ongkek masih ada dan mampu eksis

ke permukaan jagad

perteateran Yogya”.

(Kedaulatan Rakyat; 1988).

Pementasan di Auditorium

Karta Pustaka. “Teater

Ongkek yang bercirikan

Kethoprak ini berusaha

menyajikan sesuatu yang

indah. Improvisasi dalam

humor tidak terasa

dipaksakan. Sayangnya ada

pemain yang tidak tanggap

akan situasi di atas

103

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

panggung. Namun secara

keseluruhan pementasan ini

cukup berhasil”. Demikian

komentar Dick Hartoko,

salah seorang budayawan

Yogyakarta. (Kedaulatan

Rakyat; edisi 1-7-1988).

Sumber : Laporan Penelitian Existing Documentation Dalam Perkembangan Teater Kontemporer di

Yogyakarta 1950-1990.

Lampiran 2

Transkrip wawancara bersama Elyandra Widarta (E) Komunitas Sego Gurih Yogyakarta Klitren, 9 januari 2017

R : (rekaman tidak jelas) aku isih percaya bahwa teater sih mempunyai kekuatan untuk berbicara. Lewat isu-isune ngonoloh mas, misale iki sing berkaitan, saiki ngene, ngendi kelompok teater modern neng yoja (yogya, red.) sing menyikapi Jogja ASAT misalnya katakanlah, kan ra ono, neng menarike Sego Gurih ini bukan tipikal teater, nek jaren pak Jacob Sumarjo ki dudu teater massa kota. Sego Gurih ki teater sing urip neng desa ataupun dipinggiran kota, koyo seng jenengan tuliske. (artikel komunitas sego gurih neng internet) nah, ternyata karakteristik teater kui beda nggone kaum terpelajar, nggone massa kota ki bedo, nah, aku ndelok irisane iki mas. Sego gurih iki irisane neng kui irisane neng teater tradisonal., teater kaum terpelajar, karo teater massa kota. Dadi de’e ki (Sego Gurih) njupuk irisan neng tengah. Diomongi teater tradisional ki yo raiso karena kontennya modern katakanlah begitu, diomongi teater kaum terpelajar ya nggak bisa seratus persen karena itu tidak menjawab ‘intelektualitas’ , tapi diomongke teater massa kota

104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

maksude wong yo mung butuh hiburan ki yo ora karena isu. Lha aku ki jupuk soko kono. Njur, bahasa Jawa ki tetep konteks dinggo aku. E : aku leh pertama ngeneki biyen ki, entah kenapa di dalam proses saat kami latihan atau pentas, kadang kita selalu, ya pemain terutama selalu memunculkan satu kosa kata, entah itu lebih (rekaman kurang jelas) menurutku aku urung tau krungu, ndra (rendra) meskipun neng ndesa wes tau ono yo tapi kan kuwi diangkat dadi realitas panggung. Meskipun ning realitas kehidupan kui wes ono. Ming awake dewe ora tau krungu, misale kaya sengga’an. Hmm, melathik, kuwi Bantul punya, terus sakjeno, Klaten oglongan ki Klaten, kui kan perkembangan fonem-fonem sing ning basa Jawa ki jebul okeh buanget ngono kae lho, ning seng tak maksud progresif ki ngene, kok selalu muncul koyok ukara-ukara sing iku koyo dirangkaian ulang menjadi satu kalimat sing mungkin iso nggo negesi wong, dinggo metaforke kiasan ngono kae misale, ora tedas papak paluning pande po opo, meskipun idiom – idiom kui pernah dipakai di Ketoprak yo. Tapi ketika ning teater kui ki iso mlebu dan tetep krungu ning kuping, lho iki ki ndonyo moderne kok iso enek istilah koyok ngene iki to. Dadi seolah – olah membawa satu memori kolektif penonton dan pelaku pada masa – masa lalu yang tertentu ngono kui untuk kembali pada romantisme sebuah tontonan sing kerakyatan kui mau, misale, beberapa putaran terakhir iki, komeng (nama sound engineer) kan eksperimen nganggo TOA (merk speaker) jan di dekeke nggon uwit TOA kui, dadi sound sing metu iki ora mung soko sound – sound speaker modern kae, tapi TOA barang, dadi ono kualitas bunyi sing nduwe magic ngono kae lho, komeng dalam rangka kui temuane dek’e pengen mengembalikan pada teater – teater jaman dulu, ben sip ngono lho ndra, itu hanya aksentuasi tapi itu hanya kebutuhane, ben vokale banter. Dadi kui elemen artistik menurutku, Sego Gurih kui dadi menarik, kui mau. Yo mbien memang, kemungkinan ngene ki biyen nate latihan bareng karo wong anyar mlebu. Taruhlah almarhum mas Kadir dia kepengen melu membawa budaya Jawane dek’e sing Blora kono. Pada temuan – temuan ketika latihan ki ora kabeh sing teko Jawa, mbuh kui Jawa Timur, Jawa Tengah opo DIY sekitarnya kono kae kon moco Jowo ki yo ora langsung lanyah ngono kae, ono sisi-sisi sing lagune penak – penak, nggur sekedar ngadem kabeh wong iso artine nek istilah lagu – lagu kalimat didalam ketoprak di grandstyle-ke digedekke ngono kae iso. Cuma ning Sego Gurih ono nada dasar (tone, red.) sing kui kemudian nek dirungoke Wage (Daksinarga), lek ngarani, yo uis alamiahe ki sakmono, maksude koyok wong ngobrol ngene ki, ora usah njur ‘menjadi’ (Stanislavsky-an). Karena ono beberapa, Poncong (nama orang) mbien ki ngono kui. Haryo (nama orang) itupun ketika sudah lama tidak gabung lagu Ketroprak iki kenthel banget. Mergo dek’e memang sak durunge Ketoprak. Mlebu mak “deer” (aksen) ngono kae, oh ngene ki yo, terus bar kui proses ro konco – konco dilus ( diperhalus)

105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bareng yo sui-sui iso. Masalah adegan to, yo kasuistike ngono kui tapi nemu istilah, ternyata ada sebuah ( jeda ) nggon bahasa ki ono progres dewe – dewe terkait uwong sing kui lahire secara geografis neng wilayah ngendi, wilayah ngendi ngono kui, bahkan misale nyentene Nurul (nama orang) karo Gundul (nama orang) ki ono sisi lain tertentu sing bedo karo aku barang, bedo, Kukuh (nama orang) mungkin kowe sing uwis tau melu. (rekaman teidak jelas) Yo kui warna sing terjadi ning Sego Gurih, kui sing tak sebut progresif mau. Asline tidak hanya muncul istilah baru meskipun yang sudah lama ada. Tapi kemunculane pada setiap momen-momen tragis misale ngono kae, justru satu jeda emosi, itu bisa diwakili oleh satu bahas Jawa sing ndilalah kuwi, misale kuwi ono dialog nek ning POGENG kuwi...itu momen-momen penting tapi dibahasake dadi ono situasi semacam situasi sing beda. pengadegane ngono kuwi. Dan kuwi dadi bahasa ibu alat ucap sing strategis dan enak. Strategis maksudku ternyata misale Sego Gurih lagi arep mengkritisi politik masalah pendidikan, sosial, kuwi strategis banget nganggo bahasa Jawa. Dia tidak perlu membutuhkan, mungkin nek ning modern kritike membutuhkan metafor ngono ya, bisa disebut verbal ngono yo iso, terus ning basa Jawa ki terus tepat pada sasaran, tapi bukan berarti e istilahe opo nek bahaske yo cen verbal, terus nek verbal ki yo terus njur ngono kuwi. Misale aturan, aturan ki le nggawe nganggo duit, duit ki opo? Dikembangke der...der.. menjadi satu pararel bahasa sing sakjane ki wes tau ono, krungu njur nek membahasakan semacam kekurangane menungso. Trus (rekaman tidak jelas) dan sebagainya. Biyen pas jamane Yusuf (nama orang), Yusuf ki yo pernah dijak jagongan karo pak Djaduk ki, jane Sego Gurih ki teater politik. meskipun dulu sampai sekarang tapi tidak pernah claiming ya. Dumeh ngomongke kritik negoro opo-opo njuk teater politik tus yo ngono kui. Kene ngomong politik yo politik, kene ngomong pendidikan yo pendidikan dadine sosial kae. Trus neh soal pertanyaanmu seng menarik kae mau, apakah masyarakat ki mbutuhke teater po? Ono, nek kowe kelingan ning Pajangan kae, kowe ketoke melu main Blek-Blek Thing-e ucup (Yusuf, red.) kae kan awak dewe dibiji Wayang Wong ning nggone undangan dan ternyata wong ndeso saat itu ya, (rekaman tidak jelas) ternyata lagi ngeh nek ngene ki teater, dan itu tak temoni karo konco-konco sing liyane. Pertama kali aku neater (Teater, red.) ki, istilah teater uaakeh bianget to (rekaman tidak jelas). Mungkin akses informasine kurang. Wo, lek nggon ngene ki teater. Padahal mengapa menggunakan sandiwara berbahas Jawa ki, maksud kami ki memudahkan kajian itu. memudahkan untuk ketika nanti pada wilayah irisan sing kok maksud mau. Ora kabeh sing nonton Sego Gurih ki kaum terpelajar, ora kabeh seniman, ora kabeh ki wong intelek maca buku ae ora. Tapi disitu memang orang-orang yang menyukai pertunjukan hiburan yang pernah masuk pada mereka. Kethoprak jaman

106

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dulu, keramian-keramain zaman dulu, terus pasar malam zaman dulu. opo perayaan-perayaan sing biyen wis tau riuh ning desa tapi kok tiba- tiba ilang karena pembangunan kota. Terus dibeteti terus digeret terjadi sopo (rekaman tidak jelas) ketika pas nonton pertunjukan njuk terus iso nemu relasi meneh. Misale, gotong-royong, kerja bakti njuk melu nyepak-nyepake pertunjukan, Sego Gurih crew-ne yo melu, terus kumpulan, dadi ono kumpulan antarane RT, Dukuh, opo Karang Tarunane membahas bahwa ki arep ketekan tamu sesuk pentas. Ternyata itu bisa mengumpulkan satu dukuh, satu desa atau satu kampung ada gesekan yang mereka tidak bertemu tapi pas ketekan awak e dewe (Sego Gurih) njur dadi akur. Mergo ono pentas kui mau ngurusi bareng. Kui adalah satu dampak ketika teater menjadi pilihan media nggo interaksi sosial. Dampak positife ngono. Disisi lain juga, mbiyen ning desone ono kesenian ning mati, vakum atau mati suri. Tiba-tiba ketekan Sego Gurih. Woh, ternyata sandiwara ki ngono kuwi to. Mereka menganggap sandiwara ki sesederhana kuwi to. Terus mereka kemudian mau membangkitkan kembali kesenian didaerahnya. Seolah-olah pas kami datang iki nggawa pemantik api kecil bahwa dulu desanya pernah ada kesenian sandiwara ning wis mati. Ketika Sego Gurih teko terus, oh, jebul mung ngene ki yo, njebul ngene ki teater, ngene ki sandiwara to? Biyen ning Karang Menthukan, Karang Tengah, Imogiri dadi Karang Tarunane mati suri, Sego Gurih diundang, eh, mbok menowo Sego Gurih diundang mereka njuk terpancing. Kemudian setelah beberapa bulan kami pentas, mereka juga sering memantau lewat hp sok ada, beberapa kali latihan terus mereka nduwe group kuwi. Yo, dampak-dampake yo mung ngono kuwi lah. Nek dikatakan masyarakat masih butuh, masyarakat butuh. Karena ada nilai- nilai sekarang terjadi itu diabaikan terus hilang. Tapi sapa ngerti yen enek teater ki dadi media, mbuh sing ilang kuwi mau dianakke meneh utawa ditemukne meneh. Misale kaya kumpulan sing dadi gesekan kuwi kan ono nilai-nilai sing ilang, ning samping. Ketika ono teater perjumpaan itu terjadi dadi ono kumpul ono interaksi, ono lingkaran ngomongke opo seng ilang kuwi. Nek mbahas Sego Gurih dari segi teaternya, memang kuwi ora menarik. Sego gurih ki setelah paham arti sampai kemudian, bojoku kan neliti kuwi skripsine kuwi ya ning wilayah komunitase mau. Wilayah dampaknya. Kemudian aspek prilaku-prilaku para pelaku dan penontonya melahirkan satu gagasan baru yang bersama. (15.42) R : Nek neng nggone bahasane “broadway” lek ngarani teater agitatif. Dadi bukan propagandis dadi memang dia hanya memantik. Memantik, memantik, memantik. Aku ki seneng mas karena sejujurnya aku tidak meneliti teater secara bentuk. Tetapi njenengan nggih paham. Sing njenengan ceritakne mau itu nilai yang harus saya kejar. Berarti enek kesadaran, iki jumbuh mas, aku tidak tau apakah personil Sego Gurih

107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang lain juga punya prespektif yang lain, isu dan kemasyarakatan seperti yang njenengan punya. Berarti Sego Gurih ki asline yo sangat paham tentang situasine dan teater secara bentuk Sego Gurih ki tidak melulu, kui ki ning wahana to, untuk berbincang kembali. Istilahe ngewongke wong kaya ning tulisane njenengan. Yo yo yo. E : Aku ra ngerti pada pemain yang lain ketika bermain itu apakah dek’e ndue pengalaman keaktoran saka sekolahan opo non-sekolahan. Ning biasanya ketika proses latihan itu bedah naskah. Aku selalu tak selingi maca, maca kahanan saiki entah itu maca isu opo, opo sing saiki lagi anget opo. Karena konten itu Sego Gurih ki yo mung kui. Dadi naskah ki udu patokan kae iki ora, maka saya selalu sepakat Sego Gurih iku dikatakan personile dadi ketika wes empat opo lima kali tampil. Nek sik pisan aku ora yakin, kui sih latihan lah tapi ditonton uwong. Isih GR tapi ditonton uwong, dadi secara isu secara gojekan dadi secara alenasi secara sikap kritisnya terhadap kebijakan – kebijakan tertentu pemerintah opo masyarakat. Kehadiran isu – isu yang pernah ia datangi akhirnya bisa merangkum dalam ruang. R : Sebenare nggeser sedikit nek mung kebutuhan opo, kampusku bedo cuma ini tulisane njenengan kabeh kui aku iso njupuk poin e ngono lho mas, iki karepe ngene ki, iki ngene ki tapi aku jik urung mengkristal betul aku sik berselancar sik goleki siji –siji. Ning aku seneng mas, njenengan opo, aku lagi ngeh saiki bahwa Sego Gurih ki misale ngene ki, awake ngomong bentuk teater ning Jogja. Misale ngene ki kabeh wong ki berlomba – lomba nggoleki bentuk ning kadang Sego Gurih ki luwih. persoalan luwih iki aku ki nggak tau apakah ini juga dimiliki temen-temen anggota Sego Gurih ketika mereka pentas ki kalimat sing penting gayeng. Itu mengindikasikan bahwa mereka itu sing penting isine tekan. Sing penting seneng bareng karo audience. E : sampek mbiyen ono wong kanda ngene, (rekaman tidak jelas), mengajak berdiskusi tentang tataran estetika opone, aku lek nanggepi hanya pertunjukan. Nek arep ngelucu terus ngko wilayah estetika ne ning ngendi ceritanya, aku lek nyauri tidak pada pilihan bentuk estetika teater. Sing makleer ngono kae karya Sego Gurih duduk kui. Nek kowe ngikuti seko awal, nek koe ngerti bentuk e, nek kowe ngomong neng estetika kowe salah alamat. Aku leh menangkisnya hanya, loh nek wilayah estetika Sego Gurih tidak mengejar kesana. Tapi sebenere Sego Gurih ki sangat peduli dengan sub-sub estetika kuwi mau. Misale mikirke lampu, kenapa harus merespon ruangan yang seperti apa? Terus mikirke pengadeganan sing kaitane karo respon ruang karo lampu kenapa? Kenapa memikirkan aspek sounds sing kaitan dialog tokoh dengan penonton sing dikupeng ngono kae ben wong nonton ki ben penak lek ngerungokke. Tak pikir kui sub-sub estetika seng sakjane sampai detik ini Sego Gurih perjuangkan. Dadi lek ngomongke estetika skala besar kok leh mbentoyong to. Padahal sing dilakoni ora sampai semono. Kita masih melakukan sing kecil-kecil itu. kumpulan-

108

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kumpulan itulah sing menjadi kreasi-kreasi konco-konco. Dadi nek aspek sing paling vital sing paling estetis Sego Gurih kuwi, sakjane sing kaitane dengan bahasa ya Komeng (nama orang). Ra ono Komeng arep ngopo? Karena vital Komeng kuwi. Estetika paling vital ki Komeng, teater outdoor ora ono sound, rampung. Uripmu arep ngopo? Bahasa karang wonge kalimat karo artikulasi, bahasa ora duwe medium ora tekan penonton, arep ngerti konflikmu secara audio po ndelok dengan jarak beberapa meter, kenikmatan telinga lo, kuping penonton, pertunjukan ning latar karo ngemplok opo? Isine nyimak kan ming suara. Maka wong njuk ngandakke estetika material fisik, lek aku kok ning indrawi karena sub-sub kuwi mau. R : dan kanggoku ngene ki mas, aku ki siji kok. Pertama aku pernah terlibat ya. Aku tidak meragukan perkembangan estetik Sego Gurih. Sama sekali tidak meragukan itu. karena aku ngerti maksud e ngerti, siapa yang berperan dibalik itu. yo ngerti kasarane nge... E : Kasarane mas Beni (Tim Artistik) kan ra mungkin ming ndelehke sumur mung waton ndeleh tetep duwe pertimbangan. Karena aku sebagai temen, sebagai patner, sudah sangat percaya itu. dadi seng terjadi ora njur, mas Beni arep ndeleh sumur dadak di sutradarai, ora, kuwi organike cah artistik. Kuwi organike artistik. Begitu juga dengan Komeng, Komeng duwe sisi organike, kenopo melihat tipikal pemaine ngono, adegane ngene ki, bloking e ngono kudu deleh iki seng sound ki ora mung waton nyagaki trus njuk ndeleh spiker neng kene, karo ning sebelah kono. Bahkan posisi-posisine Komeng ki di wilayah tertentu dia memahami betul satu titik itu adalah menimbulkan satu akustik opo neng ruangan kuwi. Ning sisi warung kae (pada pertunjukan PURIK, red.) akan menimbulkan sisi akustik opo? Kaca matane Komeng asline lak loro sebagai penonton karo nata. Nek sebagai pelaku ning ngarep monitor to. Kuwi. Makane nek Komeng sok merendah kuwi, aku ki ora, sound ki paling vital. Kowe justru bagian estetika seng ‘sub’ kuwi mau. Ora no no kowe ora, iki ora ono kowe dadi sebuah peristiwa seng enak disimak bagi sebuah tontonan. Bakal dadi tontonan ora enak. Enak ki dalam arti, pertunjukan sing bener-bener secara visual dan audio dan indrawi ketika bekerja, wong lungguh tanpo lungo, bar rampung ki terus penak. Kanggo ku kuwi, telu kuwi. Karena nek ngomongke estetika sebuah teater bentuk, ha mbok (rekaman tidak jelas) Sego Gurih duduk nggone. Estetikanya menurut pemahamanku pada bentuk materi aktifnya. Saiki ngendi ono teater wes nyetting dapuran pring tiba-tiba udan lemahe bletok kabeh, njuk jugili omah, ning Wonogiri. Jugili omah, kuwi kan responsif kenthir. Artinya si penata artistik karo crew ki duwe sense piye ki carane nyelametke iki ben mengko tetep iki iso mlaku. (rekaman tidak jelas, 26:53) yo to? R : iyo bener. E : pengertiane wes gak melulu indah dan tidak indah lagi.

109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : iyo kuwi wes liwat. Laa aku ki soale kenapa butuh ngobrol karo jenengan karo seng liya-liyane ki. Karena aku pernah terlibat. Secara otomatis ingatan-ingatanku butuh di refresh menh. Nek wingi aku terjebak karo, membenturkan Sego Gurih e..ee gawe idiom kerakyatan, iki teater rakyat og. Sehingga opo istilah rakyat ki dadi jur di ngene banget to. Dadi ngiri banget to. Sementara dalam kesadarannya sego gurih awake dewe ki kudu mulih neng lingkungane dewe untuk kembali menyapanya lagi ngomah ngidak lemah dan dari situ iso muncul opo jenenge...iso muncul gagasan-gagasan secara nganu kuwi lo mas... secara organik jenengan. Aku ki piye ya... dong neng piye yo? E : Kerakyatan sebabnya lek aku menangkapnya yaitu pada aspek perilaku psikologis bagiku pelaku dan penontone. Karena yang kita lakukan bukan untuk menjadi sebuah pertunjukan yang njuk nek ngomongke wilayah produksi ki njur akustik ki kudu ngene ki produksi ngene- ngene ki. Sementara wilayah-wilayah bahwa Sego Gurih ki ora neng panggung hubungane kuwi karo, Nek neng panggung kan jelas kuwi benda mati. Kita terhubung dengan (rekaman tidak jelas) nek Sego Gurih langsung ketemu karo menungsane. Organisatornya yo kuwi mau langsung ketemu karo struktur dan birokarasi. Kudu sinau mungkin kultur, unggah-ungguh mlebu kampung ki koyo ngopo? Mlebu deso ki kaya ngopo? Seng jenenge kulanuwun ki koyok ngopo? Kuwi kan ora urusane wong teater, tapi Sego Gurih ngelakoni kuwi. Dan kuwi sering diabaikan oleh mereka-mereka orang teater yang mempelajari apa kuwi organisasi? Padahal kuwi kan penting. Artinya Sego Gurih disamping melakukan koordinasi dan konfirmasi bersama penonton. Kuwi sakjane sedang ngelakoni organisasi. Ngelola kelompok e dewe. Bagi apapun ngono kae lo. Ngoordinir, ngoordinir bahkan massa. Misale ngene suatu ketika arep pentas neng desa A, tapi di desa sebelumnya A kemudian pengen nonton. penonton yang ngefans. pengen nonton dan ada beberapa desa kuwi sik punya rombongan sik pengen nonton. Jan pengen nonton kemudian dikoordinir sesuk ki arep mangkate ki ngumpul ning ndi? Karena mereka tidak tahu letak denah peta dan denah lokasinya. Kuwi sampek ngandani lo. Sesok neng kene dikek i peta, ibu-ibu pengajian Mindi (nama desa, red.) wi lo. Wi sok ngetutke dra sak pick up. Bahkan nyewa Bus. Mandiri, swadaya kumpulan ibu- ibu pengajian nyewo Bus, nyater Bus. R : ningdi kuwi mas? Kampung Mindi mas? E : Mindi. dadi Manding kae ngetan juk nggko ngidul nggone Gogon (nama orang) kuwi seh ngidul, kidule Gogon persis. Sumberagung mlebune. Kuwi ono ibu-ibu pengajian setiap kali Sego Gurih ning wilayah distrik mBantul dingerteni, misale adoh sitik nyewo Bus nyarter, nonton bahkan numpak pick up kae. Kuwi kan dampak sing menurut kami, bagi pelakunya adalah pengaruhe dewe sepiro kok nganti edan ngene ki. Nopo kok gawe seneng, apane? Nek teater sing gawe guyu, mbok neng tv kae okeh. Tontonan sing marai guyu okeh,

110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

misale Pangkur Jenggleng , OVJ (Opera Van Java) dan lain sebagainya. Ning saya yakin mereka itu punya sesuatu sing mlaku dra. Memori-memori kuwi mau dra. Penandaan memori sing dewe ora ngerti ngono lo. Nek duwe romantisme, romantisme spesifik mereka yang tau tentang, terakhir wingi ning...ning Pajangan karena itu cukup dekat mereka nyarter pick up. Jan koyok wong arep tilik neng rumah sakit kae, jan kebeg. Wi biyen ki mereka mulai menonton kita habis dari sana kita keliling lagi to. Biyen ki sing sampek kota ki nonton ning terminal Condong Catur. Kae nonton ngetutke, nyater bus kae jaman semono. FKY(Festival Kesenian Yogya) nek gak salah. Bahkan beberapa penonton sing bahkan takok kabar entah itu lewat wall, chating, inbox lewat personal aku opo konco-konco, “Mas neng di meneh?”. Padahal wes nonton dra. Wis nonton, trus ngejak grup e kae, “aku ro konco-konco kampung mas”. “Aku karo konco-konco komunitas”, opo. Bahkan sampek nonton lima sampek enam kali nonton. Lha istemewane atau... aku gah nonton opo sing wis tau tak tonton. Neng ono penonton sing bahkan lima sampai enam kali nonton. Iki kan kenthir, pengaruhe ki ning opo? Kadang aku sok bertanya e. Kadang sok nek arep ndagel bocahe wis lungguuhan ning ngarepan. Kuwi meneh... kuwi meneh!. Nganti apil kadang. Sok mbedek. Yo kuwi dampak sing salah sijine terjadi ning Sego Gurih yo ngono-ngono kuwi. Sampai gowo romatismene penonton, (rekama tidak jelas) sak kelompoke de’e nonton, dan mereka rela nyater bus, opo pick up ngono kae. Kui kan di luar, nek bahasamu ‘imaji seni kerakyatan’. Ini diluar imaji nganu, di luar imaji kami, bayangan... Opo yo istilahe, diluar ekpetasi kami sebagai pelaku nganake (rekaman tidak jelas) kami pentas ono penonton, dan imaji kita sebagai pelaku, yo tekan ngono lho. Wi jebul ono pasca dampak imaji dari penonton sendiri. penonton iso ngetutke bahkan ngabsen tekon ning wall opo inbox ngono kae. “kapan meneh mas?”, Wong lucu kok dibaleni, misale tapi mereka ono seng nonton sampai lima kali, ekpestasine penonton ki opo ge Sego Gurih? Beda kita keliling dengan naskah yang berbeda, bar ‘PURIK’ njuk ‘POGENG’. Wi ‘PURIK’ terus nganti pirang puluh putaran. Bahkan sampek sepuluh putaran wong kuwi ono terus. Kenthir ra kuwi? Ki gek opo? Wong guyu ki ku (rekaman tidak jelas). Ndagel kuwi wislah pisan, pisan pindho lah. Dagelan ki nek dibaleni jane wes ora ndagel. Bagi pelaku lho. Malah kuwi wong nonton, kuwi malah menjenuhkan sakjane. Apakah karena peristiwanya? Ruangannya? Iso...iso. misale aku neng kampung kene aku ora nemoni, suasana kampung sing ono wong dodol pecel juk iso jajan ngono kae lo. Ngono kuwi yo ono... ono wong dodol pecel ning sisih panggung, nganu kae ndilalah pecele ki ono kemangine. Kan ono memori sebuah panganan sing muncul ning arena pertunjukan. Mungkin kuwi mau memori dra. Memori perilaku. Psikologi sak jane. Memori penonton sing kemudian diingatkan ulang. Digiring neng romantismene biyen. Ki ngene ki lo enek pertunjukan

111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

jaman biyen ki. Suasane ki. Ora ngerti nek konco-konco liyane ki sampek (rekaman tidak jelas) nek aku selama iki ngono. kadang ngeriviewne ngono. Beberapa tulisanku kan dari refleksi mergo aku ngelakoni. Kadang aku ndelokke ora ming, nek mungkin liyane mikirke mainku apik opo ora yo? Nek aku ora ngomongke kuwi meneh. Aku mikirke ketika aku teko bersinggungan karo masyarakat, nek pas nembung ning rapat kae, aku jumpai opo to ki? Iki dimensi opo? Dimensi sing tak temoni ki opo? Mungkin ono proses negosiasi sing terjadi neng kono, mungkin ono penolakan. Ono...ono...ono motivasi kudeta ya wes tau ono. Sego gurih wis diundang ndilalah (rekaman tidak jelas) ono kres, seng siji ngundang seng siji ora. Lha mending ra sah to mbangane konflik. Isone dewe ki nek iso nonton pertunjukan bareng kan menimbukan sesuatu efek sing positif ora negatif to. Gek KUP biyen misale arep ning Bendo Tegal kae, yo sampai ngono kuwi. Yo aku ora ngerti, proses mengawal sebuah prooduksi pertunjukan teater kan nek Sego Gurih sampai ngelakoni ngono kuwi. Bahkan sampai melalui pendekatan tubuh. Kudu karo... Elemen birokrasi kampunge mungkin alot ning piye acarane iso mlebu dengan mudah perijinane opo-opo, ya Karang Taruna. Nek ono sing nyekel ning kono misale ya, genthone kono gek kuwi berkecimpung ngawal Karang Tarunane, dibribik dengan bahasane. Bahkan kudu methu, nek bahasane wong kono kudu nyekeli dit (duit, red.) ha nek kene ora. Pendekatan khusus dra, ya ngobrol. Dengan catatan, mas kene ora iso ngenehi opo-opo, karena kene mubeng ki nganggo ragate dewe. Ning pertunjukane okeh sing do teko duite parkire mang pek en. Yo ngijoli dengan cara ngono kuwi. Atau mungkin kita ada tuntutan tertentu, sakjane ora kewajiban kampung kono ninggali sesuatu ya, ning karna saking (rekaman tidak jelas) cah-cah duwe inisiatif ya, ko pas tengah- tengahe adegan ko ngubengke tampah. Dalam rangka opo? ninggali kas, misale ngge ngumbah kloso, ngopai resik-resik sing omahe kanggo ngerias, sing nyepakke wedang, listrik dan sebagainya. Kuwi kan pola- pola perilakune wong desa. Ning dibaleni karo Sego Gurih dalam rangka; siji, dewe ki ben ngerti, ngidak lemahe ki koyok ngopo? srawung ki koyok ngopo? Srawung ro wong ki koyok ngopo? Kowe pethuk wong sing wong Jawa ki kowe kudu piye. ‘Menungsakke, menungsa’ ki yo kurang luwih ki yo ngono kuwi lo. Urusane ki sak jane, nek dalam skala sing luwih global kuwi ngono. (rekaman tidak jelas) hubungan sosial, komunikasi sosial, perilaku sosial, perilakune jane yo sosial. R : rampungki kasuse, garek ngelebokke data-data. Tetep ki neng tulisanku tak kompare, nganu mas, opo yo sing wing-wingi tak kompare. Aku ngeleboke bagaimana, opo Brecht dengan konsep teatere biyen. (rekama tidak jelas) coba membangun pola kritis pada masyarakatnya. Tapi de’e tetep sadar bahwa iki-iki tetep pertunjukan. Ning pertunjukan iki ketika ning penonton, wi penonton iso terpantik. Iki secara visi

112

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

inteletualitasnya. Karena dia yakin bahwa penonton ki yo duwe sisi intetletualitas sing iso berkomunikasi ning pertunjukan. Sing menarike Sego Gurih tidak di sana tempatnya, Sego Gurih kuwi, dia sadar dengan status komunitasnya. Koyok sing njenengan mau ngomong, bahwa ko, ee bahwa iki sek ono korelasine. Nek sik nganu mas, Sego Gurih ki de’e ki asline, asline ki setiap mau pentas ki duwe duit ra to? E : nek awale ngene ki, misale sik produksi...produksi naskah iki njuk arep ganti naskah. Yo otomatis yang sering terjadi adalah, hmmm patungan. Tapi kalau ada sisa produksi sebelumnya, seng kuwi wujude cash dan iso disisih ke anggo kuwi, ning nek ora yowis. Cash ki terjadi nek ketika lakon kuwi pentas beberapa kali putaran dan misale kuwi ditanggap, opo dibayari wong ning ono duite, misale DANAIS (Dana Keistimewaan, red.) kowe melu ning (rekaman tidak jelas) kae lho. Disamping kita dialokasi untuk DANAIS untuk mulyake konco-konco sebisa mungkin team menejemen kuwi, aku, Komeng, Wage, Gundul, kuwi nyisihke dinggo opo? sesok ngge muter berikute ketika ono kampung sing nanggap dengan sistem blas ra duwe opo-opo ming iso makani. Ning kan tetep bensin, opo...mbaleke methuk Nurul (nama orang) kan butuh opah operasional to. Terutama crew-ne Komeng misale. Kita sebisa mungkin menyisihkan kuwi sifat e sing seko hibah. Wong diundang uwong kuwi nggo kasus-kasus engko nek ndilalah bariki ono wong nanggap. Ning nek kanggo awalan produksi, kita hanya patungan untuk foto copy proposal karo naskah. Nek kadang ono latihan. Wi di back up seko Gundul kuwi pun dari kas yang sisa dari sebelum-sebelumnya. iki ning nggonaku semene, aku semene-semene sing nyekel wong telu Gundul, Komeng, aku. Wingi ono turahan semene, wo yo dinggo sik. Mengko Komeng ono turahan semene wes dinggo sik. Yowis ming ngono kuwi. Biasane tiga atau empat kali sing pertama kuwi mandiri. Mandiri ki yo insiatife kanca-kanca. Yok pentas ning patang titik opo telung titik. Wi ra duwe duit, yowis modal sosial. Misale begitu arep pentas (rekaman tidak jelas) ning sopo, ngebel (telepon, red.) pak Ersam. Derrr..pak Ersam, niki (rekaman tidak jelas) diteri kon njumuk. Sampai ngono kuwi dra, Sego Gurih kuwi modal sosial. Berawal dari patungan foto kopi naskah nggo proposal, ning kan kuwi kan terus melaju (rekaman tidak jelas) isih ono bensin nggo survei dan lain sebagainya to. Kuwi kan ngge modal sosial (rekaman tidak jelas) relasi personale konco-konco relasiku, mbuh relasi Komeng, relasine Gundul. Relasinya kelompok ternyata relasinya konco-konco ki iso menumbuhkan dampak ekonomi, dinggo kelompok iki. Mbuh ditulungi konsumsine, ditulungi Pick Up e, Back Drop e, opo apane, neng kuwi jadi sangat membantu. Baru ketika (rekaman tidak jelas) swadaya ono wong nanggap, nanggap secara dibayar karo ora nono apapun yo kita tandangi. Ning awale modal sosial kanggo bagi para pelakunya, kolektif ngono kae lho. Diwiwiti kanggo patungan dinggo nganu naskah, tur kuwi tau kok njaluk sponsor mung entuk rokok telung slop. Bukan kita

113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pesimis membrending kelompok itu menjadi laku, ning Sego Gurih iki dudu rono arahe ning memang rono, brenden ha yowis kita pikirkan wingi-wingi, ning dudu kuwi, ora ming kuwi tok ngono lho. Modal sosial mergo beberapa situasine duwe relasi karo jaringan kuwi mau. R : kok enak kopine, E : Opo? R : Mint. E : Ooo... paling nganu wi mau... R : koyo permen Blits. E : kurang luwih ngono kuwi. R : sesuk mungkin sekitar dino, rong dino meneh ko tak kontak tak nggawe list pertanyaan jane hanya mengulang ini, ning aku akan merekamnya kanggo perbandingan ben penak ngono. Nek iki aku mau ming grambyang dan setidaknya aku soko kene wes cetho, cethone iki arep mbok seret..neng.. E : (rekaman tidak jelas) R : ngono ki wes dadi. Soale selama iki, aku nek ning judule, selalu gawe ning idiom e ngene ki. Nek ning teks e Sego Gurih ideologi... opo... imaji kerakyatan ‘R’ besar, terus tak benturkan karo ‘massa rakyat’. Bahwa iki enek bentuk teater sing agitatif, memang sengaja ngge isu tertentu, sosial kemasyarakatan. Isu sosiale ki, isune ki di opo...dipentaske audiens memilih betul. Masyarakat pinggiran kota dan pedesaan supaya mereka ‘melek’. Masih seputaran isu itu, nah nek soko kene layere soyo luwih jeru. Bahwa persoalan...persoalan sing diunggahke Sego Gurih ki adalah persoalan sosial, tidak konteks idiologis, opo sosialisme. Tetapi memang sosial kemasyarakatan, kabeh iso bareng guyub. Jane nek dijujuk iso mas, tapi kan untuk kebutuhan tulisan ikikan butuh layer sing rodo okeh to. E :strukturale to. R : nah saiki aku dong sing dikarepke, mungkin karepe pak Nardi barang. Bahwa kowe tulung deloken ning Sego Gurih kuwi. E : eem. R : opo sing menarik, maksude kuwi (rekaman tidak jelas) pertunjukane, ning di daya pikate. La nek ngomongke daya pikate pertunjukan, aku nonton dokumentasi. Wi ora iso bercerita banyak. Kalau layernya adalah itu. Tapi ketika aku pengalaman, aku teko awake dewe pentas, biyen kae nggone Kulon Progo terus dalane dilep karo pasir ngerti- ngerti ning tengah-tengah pentas dindeki. Iku tidak terbicarakan. Tapi untung aku ono catatan ning nggone Blog kuwi untuk memudahkan aku mengingat tanggal berapa waktu itu. terus kasuse seperti apa? Nek kasus-kasus menarik sing kaya ngene ki kan dadi kemudian ketok. Bahwa ngomong teater layernya...e...layernya dalam konteks teater sosial awake dewe ngomong ini masuk ‘realisme sosialis’ atau nggak, nggedabyah wae aku ora urusan. Tapi... E : maksud e ora urusan?.

114

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : Iki...iki nyeplos wae. Tapi-tapi e.. ono.. opo to? Ono hal lain sing diunggahke dudu ngomongke layernya kuwi. Iki layere sosial kemasyarakatan. Nek iki njenengan jumboh karo sing ngomongke antropologi teater, sing njenegan saranke kuwi lo. Nontono pagelaran sing ditonton kan (rekaman tidak jelas) dudu kepenontonane. Bagaiman efek penonton ketika nonton Sego Gurih. Kowe mengko kadohen, wektumu kurang. Dadi kowe sing nyata-nyata wae, tulisen Sego Gurih sing mbok ngerteni opo? banjur ngko wis didelok kacamatanya, layernya kemana. Aku mung golek siji tok ‘imaji kerakyatan’, uwis kuwi tok. Dadi wis kejawab kabeh wisan. Njenengan crita dadi kejawab. Ibarat pertanyaanku ki rampung. Mulo kira-kira, nek ra sedino rong dino lah ketemu ning ko tak sodori ngeneki mas, tak rekam tak tekoni item per item. Karo nganu mas, aku opo, aku nuwun pamit karo arep nyileh data-datane njenengan.

Lampiran 3

Transkrip Data Wawancara Bersama Pak Pelok (Dr. Trisno Susilo, S.kar , M.Hum.) Eks. Teater Gapit (Surakarta). ISI Surakarta, 10 Januari 2017.

R : Sebenarnya, apakah masyarakat kita itu masih membutuhkan teater sebagai alat ucap? Oh, bisa dibilang kegelisahan personalnya, atau masih adakah teater yang berbasis rakyat atau kerakyatan? Terus rakyat itu sendiri dipandang oleh teater sebagai apa? Mungkin agak sedikit kompleks pak Pelok, tapi mungkin njenengan bisa pertama kali menceritakan tentang Gapit dan kesejarah-kesejarahannya menurut jenengan pribadi atau.. P.P : Kalau yang saya tahu, itu kalau di Jawa, teater yang paling tragedi kan ketoprak. Kemudian, malah dulu itu, di Jogja itu ada komunitasnya (Jenaka KR. Sebelum ada.. Jenaka KR itu dulu..) R : Jenaka KR? P.P : iya R : Njih P.P : Jenaka KR itu dulu sering tampil di TV Jogja. Kemudian juga selain itu, ya istilahnya itu bukan teater, tapi saya mengatakan kalau sekarang

115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

itu, sebenarnya ternyata juga pertunjukan rakyat yang berbasis lakon, kemudian kelompoknya itu kelompok dari departemen penerangan. Gudeg Jogja pada saat itu. Jadi di Jogja itu ada Jenaka KR, kemudian ada Gudeg Jogja, yang saya tahu. R : Ini di tahun berapa, ngapunten? P.P : itu sekitar tahun 70an sampai tahun 80an. Kemudian pada tahun 80an itu, umumnya pada saat itu, yang namanya.. kalau dikatakan.. ah itu mungkin.. ini saya tidak tahu bisa membedakan atau tidak, tetapi biasanya kan sandiworo.. Jadi ada sandiworo, sandiworo-sandiworo.. pada saat itu.. ya sebenarnya membawakan lakon rata-rata. Ada (02.30), kemudian ada (Dadung Kepuntir) dan lain sebagainya. Lakon-lakon itu sebenarnya sudah ada tertulis. Jadi semacam kayak lakon ketoprak, tetapi lebih ke.. lebih ke lawak. Pemainnya dulu, tokoh-tokohnya ada (Harjo Gepeng, ada Dharsono, Marsidah, ....). Jadi orang – orang ketoprak yang kemudian, karena dia itu.. sebagai pegawai departemen penerangan (03.24), kelompoknya itu ada Parmoso dsb. Itu biasanya dulu disutradarai, kalau yang di jenaka KR itu sutradaranya itu (mo Ndung). Bapaknya mas.. R : (....) P.P : hooh. kemudian di tahun 80an, sekitar 83, itu ada sarasehan sastra Jawa, sarasehan sastra Jawa yang tempatnya itu di Solo, di Sasonomulyo. Pada sarasehan itu, ketua ASKI pada saat itu juga merangkap sebagai.. R : ASKI, nuwun sewu?. P.P : Akedemi Seni Karawitan Indonesia R : Oh iya iya. Sasono.. P.P : Sasonomulyo. Dulu kan ASKI itu manggungnya di Sasonomulyo, punyanya keraton. Jadi kampusnya ada di Stinggil, ada di Sasonomulyo, ada di Pagelaran dan itu dulu juga, UMS itu.. yang hukum, masih menempati pagelaran. Jadi dua perguruan tinggi itu di keraton juga ada, UMS itu masih di pagelaran sebagian. Dan sebagian lagi ada di Mesen. Mesen itu di (Glethuk Sari). Di sini belum begitu jadi semua. Terus ada yang dekat UMS sana. Pada sarasehan itu, ketua ASKI yang merangkap sebagai ketua proyek kesenian jawa tengah. Dalam mengadakan sarasehan sasta jawa itu, sebelumnya juga mengadakan kegiatan-kegiatan, ada menangani ketoprak, menangani tari, menangani karawitan, termasuk karawitan yang di Surakarta (05.35). Salah satunya juga dia mengadakan (pakeliran padat. pakeliran padat ini pakeliran wayang kulit) yang kemudian digarap secara padat dalam durasi sekitar satu setengah sampai dua jam. Tetapi beliau waktu itu bukan masalah pendeknya waktu, tetapi kepadatan garapannya yang mengacu pada garapan-garapan film, garapan-garapan cerpen, garapan- garapan teater pada saat itu, teater Indonesia. Kemudian, juga mengadakan lomba penulisan naskah pagelaran teater. Di samping itu juga mengadakan lomba penulisan naskah drama berbahasa Jawa. itu

116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sekitar tahun 79-80an. Kemudian ada satu pemenang, pemenangnya pada saat itu yang nomor satu itu, namanya (Sarwo Kotekar), itu menulis judulnya Gandrung Kejepit. Gandrung Kejepit itu kemudian, karena itu menjadi juara penulisan naskah kemudian digarap oleh anak- anak ASKI yang pada saat itu dalam ekstrakulikuler drama. itu digarap mulai tahun 80an, sempat jadi sebuah pertunjukan yang baru, karena acuannya adalah teater Indonesia pada saat itu. Karena di Solo itu sering di singgahi.. teater populer pernah, kemudian teater keliling. Teater keliling itu mesti.. setiap tahun itu mesti mampir di Solo kalau dia pentas kemana-mana. Nah, berawal dari itu kemudian dalam menggarap Gandrung Kejepit naskahnya (Sarwo Kotesar) itu juga sudah mengacu pada garapan-garapan teater pada saat itu. Ada yang mengacu pada teater keliling, teater populer.. itu sempat keliling beberapa bulan. Kemudian di tahun 83 itu, ketua ASKI itu bikin naskah sendiri. Dan itu dipentaskan pada saat sarasehan Sastra Jawa di Sasonomulyo. Naskah yang dipentaskan pada saat itu judulnya Suk Suk Peng. Awalnya itu Segelas Teh Untuk Pembangunan kemudian diganti dengan Suk Suk Peng. R : Judul pertamanya? P.P : Judul pertamanya ‘Segelas Teh Untuk Pembangunan’, terus diganti dengan ‘Suk Suk Peng’. R : Penulisnya siapa Pak? P.P : Penulisnya Bambang Widoyo. R : oh nggih P.P : Setelah pentas itu, diskusinya sangat rame sekali. Karena ada orang- orang tradisi, ada dari drama radio, itu mengatakan: “oh ini.. pementasan drama kok kayak Srimulat”, gitu. Itu yang mengatakan itu saya masih ingat, Bu Siti Aminah Subanto. Dia itu tokoh, penulis di RRI, RRI Surakarta. Drama radionya itu naskahnya dari dia, disamping dia juga sebagai pemain. Setelah itu, kemudian muncul di Kompas, Suara Merdeka, jaman itu masih Suara Bengawan kayaknya. R : yang ‘Suk Suk Peng’ itu. P.P : iya. Setelah itu kemudian itu dikelilingkan kemana-mana. (10.15), ke Semarang, ke Wonogiri. Sebelumnya yang ‘Gandrung Kejepit’ itu sudah keliling dulu di Jawa Tengah. Pernah main di Blora, di Sragen, di kampung-kampung itu dan orang-orang pada saat itu juga, apa ya istilahnya, melihat itu, karena mengira itu pementasan ketoprak, tetapi kan nggak pakai gamelan, pada saat itu kan penonton sudah (10.45), “tontonan kok kaya ngono”. Tapi itu berjalan terus dan akhirnya setelah tahun 83 itu muncul naskah ‘Suk Suk Peng’ itu, kemudian di tahun 85 pada saat ada Petrus, itu mementaskan ‘Rol’. R : Rol?. P.P : ya. Mementaskan ‘Rol’. Ini berbarengan dengan di Jogja pada saat itu masih Dinasti. R : oh nggih.

117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.P : masih Dinasti. Kemudian setelah ‘Rol’ bareng dengan penembakan misterius, jadi malamnya itu, saya masih ingat di Jogja, di Gamping itu ada layatan ‘Slamet Gaplek’ pada saat itu. pernah dengar ‘Slamet Gaplek’?. R : belum. P.P : wah itu saya masih (11.50). disini, malam itu juga, di monumen pers itu, yang sebelahnya digunakan untuk messnya para penembak misterius itu. itu di situ pentas ‘Rol’. Jadi bersebelahan tempatnya. Dan orang dulu mengira bahwa Gapit itu, konon katanya dilindungi jin. Naskahnya kan nggak pernah di.. R : dipermasalahkan. P.P : ya dipermasalahkan. Padahal itu mempermasalahkan penembakan misterius. Kemudian bangkrutnya Ketoprak, dsb. R : di ‘Rol’ itu? P.P : di ‘Rol’ itu bangkrutnya Wayang Orang. Itu kan termasuk gamelan (12.50) dijual itu. Tahun 82-83 itu kan ada kabar. Jadi kalau disini di Gapit itu Jawa (13.10), kemudian kalau di Jogja Dinasti, setelah Dinasti kemudian ganti Gandrik sik opo Jeprik sik yo? Gandrik dulu ya?. R : Jeprik. P.P : O Jeprik dulu ya. Nah bar Jeprik baru Gandrik itu. Dan wilayahnya itu, di Solo itu.. misalnya kayak dulu naskahnya (13.40). R : (Mas Harno). P.P : (hooh, itu kan ra enthuk dipentaske di Jogja pada saat itu ada (...) ning di Solo juga ngerti ra papa pada saat itu). R : nuwun sewu, Dinasti ini dulu waktu itu sudah menggunakan teater berbahasa jawa atau belum?. P.P : belum. R : belum nggih. Cuman periodesasi kemunculannya aja ya. P.P : ya, kemunculannya yang agak bersamaan dengan Gapit. Setelah itu kemudian, kita yang masih berkutat pada naskah-naskah bahasa Jawa, hanya saja kemudian naskahnya itu.. kalau yang naskah awal, naskah ‘Suk Suk Peng’ itu, orang yang nonton itu mengira itu adalah adaptasi dari ‘Mega-Mega’. Ada yang komentar begitu, “wah kok kayak Mega- mega”. Tapi memang ada.. ada imajinasi-imajinasi yang agak sama dengan ‘Mega-Mega’, misalnya kayak Koyal, di situ ada (Pelok). Kemudian yang beda masalahnya, tetapi imajinasinya sama, mengimajinasikan impian-impian kemewahan, juragan, dsb. Nah, itu maka orang melihat pada saat itu, melihat ‘Suk Suk Peng’ itu, orang- orang teater cah indonesia itu: oh kayak ‘Mega-Mega’. Awalnya itu, seperti itu. Kemudian muncul ‘Rol’, setelah muncul ‘Rol’ itu muncul ‘Leng’, setelah ‘Leng’ muncul ‘Reh’. ‘Reh’ ini pernah di.. ‘Reh’ ini agak, hanya pentas dua kali kalau nggak salah. Karena merumuskannya panjang dan masalahnya itu karena tidak begitu (menohok). Pentas di Solo sekali di Taman Budaya, kemudian di (Purna Budaya) juga pernah dipentaskan. Rencananya itu mainnya dua malam.. dua lakon di sana.

118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jadi malam pertama itu ‘Reh’, kemudian malam keduanya ‘Leng’. Pada saat ‘Reh’ itu juga hampir nggak jadi main karena ada intel-intel yang melihat pada saat itu. tapi akhirnya, kok bisa, saya juga nggak tahu. R : waktu itu masih (kuat sekali). P.P : iya, masih. Tapi termasuk, dulu kan teaternya.. teater-teater Jakarta (16.52) R : (saya sempat dengar juga yang ‘Nabi Kembar’ itu.. waktu di Solo sempat..) P.P : (pernah.. bisa main, tapi ya..) R : (diganti dulu judulnya). waktu itu Gapit memang sengaja memilih menggunakan bahasa Jawa, atau hanya karena dulu waktu awalannya ‘Suk Suk Peng’ diterima, terus kemudian Gapit memutuskan, kita konsentrasi dengan bahasa Jawa, atau memang punya tujuan tertentu? P.P : karena memang.. apa ya.. kayaknya dulu itu kan kakaknya Kenthut (Bambang Widaya S.P) itu juga dia yang sering.. orang-orang angkatannya seperti Arswendo Atmowiloto (17.45). R : oh nggih P.P : nah komunitasnya itu. (17.50) kemudian angkatan-angkatan lamanya itu. yang di Surakarta itu kan dia berteater, sehingga pada saat dia memilih itu (18.00) teater basa Jawa. Tetapi garapannya itu ora kaya sandiwara yang sudah ada. Nah, maka dari itu kita coba itu. di samping itu juga, orang-orang yang.. kelompoknya di Gapit itu, kebetulan kan ya orang-orangnya wong ndesa-ndesa, wong Jawa-Jawa, termasuk itu. iso nembang, iso njoget, iso nabuh gamelan. Sehingga ora koyo cah teater. Lebih ke nek (18.40) nanggung. Misalnya (...) pada saat itu, yang ada di kelompok sebelum dinamai Gapit, yang bergabung di ekstrakulikuler drama. Itu kebetulan bocah-bocah iki cah naggung-nanggung R : ekstrakulikuler drama di ASKI? P.P : di ASKI. (19.10) tetapi cah ndeso-ndeso tadi itu mempunyai kekayaan desa. Misalnya tembang-tembang desa. Nah itu kebetulan punya sehingga pada saat garap itu sering-sering(19.40) kemudian pada tahun, mulai tahun 82-an lah, itu mendirikan Gapit. R : tapi di luar bahwa katanya memang punya potensi yang.. istilahnya modal budayanya seperti itu yang kemudian diolah, Gapit ini punya konsen politik nggak kira-kira? Karena isunya kan jelas politik sekali, beberapa yang saya pernah lihat pertunjukannya. P.P : kalau.. kayaknya nggak R : nggak punya tujuan?. P.P : nggak punya tujuan untuk politik. Tetapi hanya.. kita menggarapnya itu masyarakat-masyarakat yang menengah ke bawah. Sehingga kita pilih juga bahasa-bahasa yang digunakan itu supaya komunikasinya tidak.. tidak sulit dikomunikasikan. Itu memilih bahasa-bahasa yang menengah ke bawah. Mungkin kalau di naskahnya Kenthut itu lebih kasar dari sebelum saya terjun. Jadi misalnya saya kemudian masuk di naskah itu, kemudian saya sering memoles pada naskah-naskah itu

119

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : njenengan berarti stage holder pertamanya Gapit ya? P.P : iya. Jadi misalnya(21.15) Kenthut itu kan cah pendidikan juga. R : maksudnya teater modern?. P.J : iya. R : oke. P.P : (...) karna dia juga (di Hai) pada saat itu. karena beberapa novelnya dia itu kan di tulis di film. R : nggih nggih nggih. P.P : dan kalau saya dulu melihat tulisan Kenthut (...) itu, itu bobotnya itu memang ke arah Jawa ya. Jadi nggak bisa nge-bom seperti (Lupus) ya, karena kalau Lupus itukan Indonesia. Kenthut itu ya bahasa Indonesia, tetapi yo.. novel.. tetapi anunya itu lebih ke penari. R : kaya Wendo (Arswendo) ya? P.P : iya, lebih ke itu. kayaknya itu, kedekatannya mas Wendo dengan Kenthut itu agak sering komunikasi. Sehingga pernah pada.. pada saat Kenthut mandeg nulis di Hai, itu dikirimi karangan bunga, karangan bunga opo jenenge.. kematian. Telah meninggal dunia Saraswati (22.50) ikut berdukacita atas meninggalnya Saraswati. Karena tokohnya di Hai itu kan ‘Saraswati’. R : Gapit waktu itu porsinya lebih banyak pentas bersama masyarakat artinya tidak dalam ruang prosenium, pentasnya itu memang memilih tempat-tempat, misalnya kayak pasar, ruang alternatif atau memang selalu prosenium? P.P : selalu prosenium. Paling, keluar dari prosenium yo paling di pendopo R : pendopo.. P.P : biasana pendopo-pendopo di kabupaten, atau gedung-gedung, gedung olahraga, Gedung Pustaka. Tapi tetap tertutup. R : oh nggih. Berarti kesadaran teater Indonesianya itu kuat sekali ya P.P : ya. Karena Kenthut itu cah Indonesia, lalu kemudian bergabung dengan cah Jawa. Jadi barang antik. Kalau saya itu dulu kebiasaannya main Ketoprak ning ndeso itu. neng pendopo, neng omah. (24.20-24.28) Itu awal-awalnya itu kemudian setelah lahir naskah ‘Leng’, kemudian ‘Reh’, kemudian yang hanya dipentaskan itu ‘TUK’. ‘TUK’ itu paling.. dan memang di ‘TUK’ itu masalahnya memang agak kompleks. R : njenengan, hampir semua naskah gapit jenengan main semua?. P.P : selalu main. R : selalu main. P.P : selalu main. Mulai dari ‘Suk Suk Peng’, ‘Reh’, kemudian ‘TUK’, ‘Rol’. Dan kayaknya itu untuk menulis itu sudah punya lingkungan. Jadi, misalnya dia punya gambaran mau nulis temanya ini, kemudian tokoh-tokohnya ini. itu sudah(25.59) oh tokoh ini. R : yang main ini. P.P : yang main iki. R : hampir sama kayak pak Heru (Kesawa Murti).

120

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.P : a.. dan para pemain, tokohnya sendiri itu tidak kesulitan, tidak terlalu sulit untuk merubah karakter pada pilihan naskahnya. Nah, itu juga ditandai bahwa saya melihat naskah-naskah teater Gapit itu kalau dimainkan oleh kelompok lain, itu nggak pernah berhasil. Nggak pernah berhasil. Saya ingat..AGS. Arya Dipayana. R : Arya Dipayana. P.P : Arya Dipayana, melihat di pentas e (27.09) (itu dia..... kemudian Pak...... ). R : Teater Ruang?. P.P : bukan. Mas Hasmi. R : oh Pak Hasmi. Pak Nemo P.P : iya. Mas Hasmi itu kan pernah ngeliat juga pas Gapit di Indonesiake R : yang main?. P.P : kethoke sing main.. kelompok opo.. R : Garasi. P.P : Garasi. R : oh baru baru saja toh. P.P :nggih..... TUK toh, di Indonesiake. (28.15) R : saya nggak pernah ketemu mas Hasmi. P.P : terus Garasi juga dimainkan neng daerah Kidul Kulon Bantul, pernah juga. R : mungkin di tempatnya mas Sitok mungkin ya P.P : mungkin. Nah. Di sini juga pernah digunakan untuk pilihan lomba teater Jawa Tengah. itu yo pernah ada yang garap ‘Leng’. Itu yo ora.. ndak ada rohnya. Ini sing saya melihat bahwa naskah-naskahnya Gapit itu memang.. kalau pemain-pemainnya yang ngomong Jawa (29.24) tahu tentang Jawa, tahu tentang adat Jawa, itu juga mudah untuk mengungkapkannya. Juga pernah cah IKJ dibawa kesini, ya di Indonesiake, ya anu, ilang. Kenthut sendiri pernah mencoba (29.50) akan dipentaskan dua bahasa, bahasa Indonesia karo bahasa Jawa, tapi nggak jadi. Ora jadi. Padahal peneliti dewe sing menterjemahkan. Akhirnya nggak jadi. Terbit naskah bahasa Jawa. Dan itupun ada di dalam buku, itu nek di tonton, karo pementasane wes adoh. Ada yang hilang. Terus ada yang ada penambahannya oleh tokoh-tokohnya, oleh pemain-pemainnya. R : kalau menurut pengetahuan njenengan, mas Kenthut sendiri itu pernah terlibat gerakan tertentu atau tidak? Misalnya kalau di isu-isu periode 70-an itu kan periode (30.55) ketika pembebasan kasus 65, 70 itu kan mulai rekonsiliasi. Apakah mas Kenthut, lingkungannya atau mungkin yang.. sehingga mas Kenthut sendiri kelihatan seperti keras sekali.. soal kritik sosialnya kan keras sekali. P.P : saya yang tidak tahu ya. Saya yang tidak begitu tahu latar belakangnya, orang tuanya. Walaupun cah-cah Gapit itu satu.. menjadi satu...(31.28)

121

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : sempat tidak terlihat beliau memegang buku apa? ini sebenarnya memang pertanyaanya agak menjurus sebenarnya. P.P : kalau yang pernah saya diajari itu dia dulu pada saat dia mengkoleksi bukunya Pramoedya. Itu dia mengajak saya dan semua anak – anak Gapit itu dulu punya. R : (32.00) P.P : iya. R : (...) P.P : itu saya diberi (32.07) itu anu kok..(32.10) tapi sudah lebih dari jam sebelas itu saya masuk ke rumahnya Kenthut itu kemudian (...) R : iya bisa jadi. Soalnya saya itu menduga, jangan-jangan hanya soal para peneliti saja yang kemudian meletakan bahwa Gapit itu kuat sekali dengan isu sosialnya, sementara Gapit karena berangkat dari modal budaya para pemainnya (32.53) orang-orang ndeso sehingga bahasanya, istilahnya idiom-idiomnya sangat (33.00) sekali. Dan itu murni tidak ada muatan politis. Tapi kalau peristiwa-peristiwa.. misalnya kaya diperistiwanya makam (33.15) kaya dinaskahnya. P.P : naskah ‘Leng’. R : ‘Leng’, nggih. Itu memang peristiwa-peristiwa yang ditulis itu memang.. katakanlah sempat fenomena itu muncul seperti yang Petrus tadi atau hanya rekaan saja kira-kira?. P.P : kalau itu rekaan. Tapi (33.38) juga observasi disana di (33.40). disini kan ada desa (33.45) itu kan juga ada makamnya dan makamnya itu kan juga memang dikerobongi. Jadi setiap tahun ganti kerobong. Dan yang disana itu biasanya (34.00) tokoh-tokoh memang. (34.05) itu digabungkan dengan modernisasi mesin-mesin pabrik itu kan. R : baru marak-maraknya. P.P : baru marak-maraknya. Dulu yo saya yo kesana bareng-bareng, duduk disana di (34.25) saya diminta (34.30) jadi lagune seperti apa, kemudian (34.37). R : yang di tahun 80-an yang di Solo, yang menggunakan bahasa Jawa selain Gapit, atau kalau di Jogja Jeprik ya, yang menggunakan. Kalau di Solo selain Gapit?. P.P : nggak ada. R : berarti dua tokoh itu ya. Istilahnya Jogja-Solo itu.. Gapit dan Jeprik. Itu berintraksi nggak Gapit dan Jeprik waktu itu? P.P : (nggak. Ketoke nggak) R : tapi njenengan juga nate mirsani pertunjukannya Jeprik? P.P : pernah. R : sama seperti Gapit atau..?. P.P : punya gayanya sendiri. Kalau Jeprik itu, kayaknya dia lebih ke arahnya Dinasti ya, kayak-kayaknya. (Walaupun bahasa Jawa, tapi basa Jawane yo basa Jawa mung..) apa ya.. lebih ke tari-tari (sing golek guyon). R : oh...

122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.P : jadi kalau lawak juga bukan lawak, tapi dia pencarianya itu.. kalau Gapit itu kan bukan begitu. Kalau Gapit itu, orang ketawa itu karena.. (geli karena lelakone misalnya). R : satir ya. P.P : ho’oh. Bukan karena mencari tawa, tapi (36.39) seperti itu. R : (...) sastra lakonnya kuat sekali. P.P : jadi bukan memainkan kata-kata, tapi (...) piye? Memainkan karakter tokoh-tokohnya itu, memang mentertawakan dirinya sendiri. R : nggih nggih. P.P : (wong sing sangat mengidolakan Wayang Orang, kemudian opo opo ditarik ning Wayang Orang, kemudian opo-opo.. merasa bangga dengan Wayang Orang, seperti itu).(37.25) dan itu menjadi apa ya (37.35) Kenthut itu kan itu. ada tokoh yang mengidolakan Wayang Orang sehingga opo-opo ditarik ke wayang orang, dia akan memimpin Wayang Orang, dan mungkin Wayang Orang wis mati tidak ada harapan lagi tapi dia itu masih sangat berharap dan (38.05) pemerintah, ternyata juga tidak ada apa-apa. Kemudian (38.05) juga dia penggemar Wayang, penggemar dalang sehingga dia bisa masuk ke.. jadikan dulunya kan itu (38.20) dia punya pandangan-pandangan tentang kematian. (...) kalau orang itu akhirnya juga besok akan pulang ke sana, mati (...). R : kalau sekarang Pak Pelok, teater.. sandiwara berbahasa Jawa atau apapun namanya, konteks bahasa Jawa di teater di Solo, atau di Indonesia mungkin yang njenengan pernah lihat, masih ada kelompok- kelompok yang pegang geliat itu nggak? Kelompok yang muncul dengan.. misalnya ada copy-annya Gapit nggak?. P.P : kalau copy-annya Gapit itu nggak ada. Tapi kemaren ada anak-anak yang mengelompokan diri dalam Akar, (kelompok jenenge Akar loh). itu dia pernah garap basa Jawa juga, tapi karena dia yo wes cah sekarang, jadi ora Jawa (39.40) tapi budayanya, kemudian isunya, itu bukan masalah Jawa. R : padahal di teater berbahasa Jawa itu penting sekali kultur Jawanya muncul ya?. P.P : kalau saya menganggap itu, yang justu penting di teater Jawa itu, kultur Jawanya sampai budayanya, sampai dalam-dalamnya (40.16). R : (wong Jawa .... jaman). P.P : iya.. tapi, sekarang kayaknya sudah sulit. R : njenengan waktu ada festival teater berbahasa Jawa, kira-kira dua tahun yang lalu apa ya, di sini itu kan ada kelompok dari Jogja, namanya Komunitas Sego Gurih. Itu sepertinya naskah yang dimainkan entah (Purik) entah apa, tapi.. P.P : (40.45). R : oh iya, sepertinya yang dari Jogja, yang pengisinya. Njenengan mirsani juga?. P.P : nonton

123

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : bagaimana tanggapannya?. P.P : ooo satu, nek saya itu.. saya menganggap itu jadi kekasaren. R : kasar dalam konteks? P.P : kasar dalam konteks.. bahasanya juga kasar, kemudian tata kramane wong Jawa juga. R : ohh.. nggih nggih. P.P : walaupun Gapit itu wis dikatakan kasar, tapi menurut saya masih, masih.. R : nggih..nggih P.P : di Sego Gurih itu kan.. kemaren (41.40) sayakan yo bisa (melakukannya). Jadi dia juga menggunakan Gender misalnya, tapi (sing Gender iki ora iso nabuh gamelan). Jadi.. mungkin itu juga sing nambahi bahwa di Gapit itu kalau gamelan itu yo gamelan tenan. Intinya tidak sekedar memukul gamelan (nek yo nabuh Gendeng gamelan). kemaren yang terakhir, ‘Leng’ main di Purna Budaya (PKKH UGM), (42.09). R : ya, saya juga lihat itu. P.P : itu kan komentare sing (...) jadi memang iso nabuh tenan, ora.. tidak sekedar memukul gamelan, tapi memang ngerti (42.40). Walaupun aktor-aktor.. yang anak-anak kemaren itu kan bocah-bocah kabeh. Itu yo ada beberapa sing ra iso nabuh, nek yang dulu kebanyakan... nek ya memang penari ya cah tari, karo suara gamelan itu.. R : ‘ngeng’nya dapet. P.P : ‘ngeng’nya itu dapat (43.28). R : (...) P.P : iya. Kenapa muncul (43.45) kami-kami ini kan dulu di Gapit, kemudian masih berkeinginan untuk berkegiatan di teater basa Jawa, tapi kakaknya Kenthut yang sekarang masih hidup kayaknya dia tidak begitu merestui, kalau setelah meninggalnya Kenthut itu, Gapit tetap masih punya kegiatan. R : (biar rampung disana sama-sama). P.P : (44.25) selesai dengan sutradara dan penulisnya. Lah, sing ditinggali piye? Nek kepingin, paling tidak itu.. katakanlah iseh kepingin berkarya (44.43). tahun 2008 itu mulai.. yo wis (44.53) saya memutuskan yo nek ngobrol karo (45.00) kita latihan dulu di pintu Gapit. Awal-awalnya garap naskahnya ‘Gandrung Kejepit’, sekarang (45.15) tajam yang tidak asal tajam, tapi memang kalau nenggon Jawa itu eneng istilah (45.35) Lantip, orang yang cerdas, orang yang lantip, cerdas tetapi juga berwawasan kedepan yang wajar. Terus tahun 2008, diawali (dengan) Mas Gunawan bersama (...) R : (di Salihara) P.P : (di Salihara). (...) dan setelah itu omong-omong dengan Mas Gun, dia bikin naskah (lisan itu), naskah lisan kemudian saya terjemahkan. (46.35). tapi menurut orang-orang disini, Gapit ini ojo (46.50) naskah e wong. Ra cocok nuansanya, (...). nek yo menurut e mas Gunawan dulu

124

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

juga berhasil. Ya, artinya dia terpuaskan. (47.20) orang-orang yang ada di Jawa (...) masalah-masalah kita. (Terus ditawari lagi garap ‘Gundala’ itu). R : menurut njenengan Pak Pelok, teater berbahasa Jawa sekarang, masih relevan nggak dalam konteks sekarang ini? P.P : kalau saya melihat itu, iya tetap masih relevan tetapi sekarang harus menyesuaikan. Nek saya menjadi basa Jawa sekarang, walaupun bahasanya dan mungkin juga budayanya yang harus menyesuaikan. Kalau kita kembali lagi kaya Gapit sing kemaren, itu wes ora (48.30) mungkin juga dikomunikasikan juga sudah sulit. R : karna idiomnya sudah banyak yang hilang. P.P : (48.40) njenengan ngerti? R : tahu. yang istilah (cliwik) itu loh. itu kan kalau nggak orang pinggiran nggak paham P.P : o lah iya.. R : saya aja sampai bingung (...). P.P : (...) R : jadi memang dulu itu kalau pentasnya itu, Gapit khususnya mungkin, Mas Kenthut memilihkan naskah, secara personal ya? Jarang ada diskusi atau.. P.P : o diskusi, tetap. Dulu ora semua, tapi tertentu. Jadi mungkin, Kenthut itu mau menulis ‘Rol’ itu sejak saya di Surabaya, berdua. Saya di Suroboyo beberapa hari, ning Bojonegoro dua atau tiga hari, kemudian baru pulang. Terus yang nulis ‘TUK’ itu sering berkumpul, kemudian observasi, (49.50) jadi ada orang yang memang dia mengidolakan Wayang dulu itu, dia penjual mainan anak-anak (50.05) trus dia cerita, cerita tentang (...). cerita tentang Gatot Subroto. R : diskusinya lebih ke konten ya?. P.P : iya. R : bukan pada dugaan awal.. ki ono Petrus ki, ayo gawe isu.. tapi mereka semua, hanya orang-orang yang terlibat diskusi ini juga merasa mengalami peristiwanya ya. P.P : iya. Jadi ora (50.40). R : oh jadi lebih ke.. P.P : lebih ke Kenthut. R : oh nggih nggih. P.P : tapi setelah itu, kemudian (ki ono peristiwa gini gini gini gini gini) R : (...) P.P : (51.00) saya itu pernah (...) kemudian dia itu nulis naskah itu dimasukan kedalam naskah. Jadi memang dia, untuk mengolah cepat dia. R : memang dasarnya juga pakai lisan dulu, jadi peristiwanya juga tajam. Kalau dulu, nuwun sewu, berarti yang seangkatannya mas Kenthut itu kalau yang dari Solo itu siapa Pak?

125

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.P : sing seangkatane yo Pak Amin, terus (52.52), saya, terus termasuk si Tukul (Wiji Tukul), .... tapi lebih ke pemain. Usianya lebih tua tetapi dia lebih ke pemain. Tetapi sing arep nulis di anu yo Kenthut itu. Kenthut nulis naskah drama, Tukul nulis puisi sama (...) R : ooo berarti itu satu.. sejaman mereka ya?. P.P : sejaman. Yo Kenthut itu pernah yang terakhir itu.. Kenthut itu nggak tau ngurus apa. Kayaknya ngurus mau dipentaskan dimana itu ya sama Tukul itu ke Jakarta, kayaknya ke (53.10). R : tapi memang dekat sekali ya sama Wiji Tukul ya?. P.P : kalau dekat sekali nggak, tapi (53.25) ketemu, kan pada-pada di Solo. Nek ono pementasan pada-pada nonton. Kemudian kalau pas (jagongan wedangan) dulu. Itu kan kelompok kita itu kan dulu di ngarep Keraton, ya di sebelah pintu ‘Gapit’ itu kan ada warungnya wedangan dan warung makan untuk mahasiswa. Jadi pada saat itu nek do mangan ki, termasuk saya .... kubu pramuka. ... itu perjuangannya dulu begitu. R : nuwun sewu. Kalau pendidikannya mas Kenthut.. saya kan belum tau banyak nih soal beliau?. P.P : SMA. Kemudian ASKI. ASKI-nya Karawitan dia. Tapi ASKI sampai semester berapa itu, kemudian sudah nggak kuliah. Terus disarankan sama mas (54.30). seangkatan sama saya mas ... dia karawitan, saya pedalangan. Terus adek kelas saya itu Djarot, Bayek. Dulu saya masuk Gapit itu juga nggak anu kok.. nggak sengaja. Jadi awal-awal itu masih keliling ‘Gandrung Kejepit’. Itu mau main di Tangen di Sragen. Yang biasa jadi ‘Gandrung Kejepit’ kan ada pencerita, ada dalangnya. Nah itu yang jadi pencerita pada saat itu harus ngendangi tari ke istana untuk 17-an itu. ya barengan karena itu tidak bisa, saya ditarik sama Kenthut itu. (55.45) koe melu aku yo, pentas drama di Sragen. Saya butuh dalang. Itu metu awal tok. Saya belum anu. Tapi sebelumnya, nek ono lomba lawak itu mesti dulu saya juara. Jadi ASKI, hari Kartini ada lomba lawak saya mesti melu. (56.20) juara. Dua atau tiga kali. (56.30). setelah itu, ditahun 83 itu sebenarnya yang di casting Pelok itu bukan saya. Namanya Bagong. Bagong itu dulu di ASKI, itu kan ada.. istilahnya itu inspeksi. Jadi mahasiswa-mahasiswa tari itu mesti masuk jam 6 pagi itu olah raga kaya militer. (57.00) Lah itu yang namanya Bagong nggak masuk berapa kali. Kemudian (ra usah melu kegiatan). Istilahnya kalau dulu di ‘pidak’. Jadi orang yang melakukan kesalahan dengan (57.25) kemudian di ‘pidak’. (dipidak itu ora ...) itu banyak. Ada mas Narno itu juga pernah. Mas Narno itu temasuk tokoh mahasiswa sing agak tua dan dia dipercayai sama Pak (57.55) ada beberapa orang yang pernah di ‘pidak’, termasuk Bagong itu.. pada saat itu di ‘pidak’ padahal itu harus proses untuk tampil di Sarasehan Sastra Jawa. (58.05) main, akhirnya proses. Setelah main malam itu nama saya udah Pelok. R : 83 nggih.

126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.P : 83. Setelah itu baru saya gabung di Gapit itu. saya termasuk rada telat (58.40). R : tapi kan njenengan gabung kan masih belum jadi Gapit?. P.P : sudah.. Gapit itu 82 kok. R : o Gapit itu 82, jenengan masuk 83. P.P : iya masuk 83-an. R : oh nggih. Gapit 82. P.P : dulu kebanyakan anak tari dan karawitan. Jadi yang bergabung disini cah pedalangan saya sendiri. Ya, mulai itu saya diajak Kenthut kemana- mana itu. Ke Surabaya itu (59.53) Bengkel Surabaya. R : Bengkel Muda? P.P : (Balai Pemuda). R : saya lihat versinya ‘TUK’ itu dari Jombang dulu sempat ada Komunitas Tombo Ati memainkan ‘TUK’. Terus saya masuk Jogja juga ‘TUK’ sempat lihat. Terus.. terakhir nonton ‘Lungit’ main itu, pembandingnya jauh sekali. Maksudnya dari segi kebahasaanya. P.P : ya dari ucapannya saja mungkin anu kok.. di karo di (1. 37.00) kan juga berpengaruh (1.50.00) R : Jombang itu udah lama sekali. 2000-an.. 2000 awal. P.P : yang sempat nonton yo saya sing Garasi maine sing (1.01.15) R : itu aktor studio. Yang main aktor studio. P.P : kayaknya itu bar workshop berapa bulan. R : nggih. Workshop teater sama Garasi. P.P : (1.01.30) R : Rapi dan bagus itu ada bedanya. Mungkin mereka lebih tepatnya rapi mungkin. Saya pernah liat ‘DOM’ pernah. P.P : (...) R : tapi ini anak-anak kampus. Terus ‘TUK’ juga, ‘Leng’ juga pernah. ‘Suk Suk Peng’ kemaren baru liat, ya Sego Gurih juga. Sego Gurih yang memainkan ‘Suk Suk Peng’. Kalau penulisnya Sego Gurih, dulu kalau nggak salah memainkan pertama itu ‘Suk Suk Peng’ apa ‘KUP’ itu.. ‘Suk Suk Peng’ kayaknya. Kan Sego Gurih itu muncul sekitar 96, sekitar 96-98. Dan mereka mungkin menganggap bahwa isunya saat itu, nyari pertunjukan sing berbahasa Jawa. Tapi lama-kelamaan arahnya dari Sego Gurih ini condongnya ke.. mungkin mengadaptasi pandangan politiknya Gapit. Mungkin di mata mereka, Sego Gurih: Gapit ki motornya, lewat teater itu mengkritisi satu fenomena sosial tertentu. Kan yang muncul selama ini, saya cari tau itu kan, ngobrol sama beberapa teman, selalu itu yang dimunculkan. Bahwa Gapit ki pedes e. Kritik pemerintah (1.3.42) bisa ndak misalnya.. atau bisa kita pilah.. ini kita melihatnya pakai perasaan aja bahwa sebenarnya nggak ada kok muatan.. muatan politis itu tidak ada. P.P : lebih ke umum. R : nggih.

127

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.P : jadi lebih ke masalah-masalah umum. Misalnya, ya masalah orang-orang kaya yang ingin mengembangkan kekayaannya. Itu kan umum itu. walaupun pemerintah juga melakukan hal seperti itu R : nggih. Ini akhirnya.. memang sejauh bacaan saya, Gapit kemudian identik dengan ‘subversif’ kaum proletar. Seolah-olah seperti itu. kajian ilmu sosialnya seolah-olah wes (1.04.33) tapi nggak tahu, saya belum lihat lebih jauh. Nanti arahnya saya mau juga ngobrol sama beberapa orang yang di Jogja. Entah itu kaitannya dengan.. kalau di Jogja itu...

Lampiran 4

Transkrip Data Wawancara bersama Pak Jujuk Prabowo Teater Gandrik Karangjati – Bantul, 17 Januari 2017.

R : Waktu Pak Pelok saya wawancara, beliau berkata “Wah itu, kemunculan teater Gapit itu, berbarengan kalau di Jogja dengan Jeprik dan Gandrik kemudian”, terus kabarnya itu “Jeprik iki sing teater basa Jawa di Jogja, ngaten”. Lalu, saya tanya sama pak Harno “wah nggak tuh”. Nah, itu saya mau meluruskan kabar yang tersiar itu jangan- jangan, nanti itu kan sejarah terus berulang (tertawa). Soalnya kalo saya ini kan mengambil imaji kerakyatan, sebenarnya teater rakyat itu yang bagaimana dan juga teater modern yang istilahnya berbasis teater kerakyatan. Nah, itu ketemu dua nama Jeprik dan Gandrik. Meskipun dua-duanya, Jeprik ini bahasanya Jawa loh gitu. Terus saya tanya pak Pelo katanya, “Jeprik itu juga teater Indonesia, cah Indonesia itu”. Lalu saya tanya pada pak Harno, beliau memberikan “Oh, gak ada teater berbahasa Jawa pada saat itu, di Jogja juga khususnya”. Nah, saya nggak tahu, mungkin njenengan bisa membantu saya untuk menjelaskan situasi teater waktu itu pripun to maksudnya? P.J : Sebenernya kan kalau teater Bahasa Jawa itu lebih ke sandiwara radio ya, RRI toh, nah itu dipanggungkan di PPBI. Tempatnya PPBI itu dulu ada di timur alun-alun utara. Nah sekarang itu alun-alun utara atau di belakang gedung bioskop Soboharsono karena sekarang gedungnya

128

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sudah tidak ada, diganti untuk rumah makan. Dulu seluruh pertunjukan di Jogja itu di sana. UGM pentas di PPBI.. R : Tahun berapa itu? P.J : Wah, itu tahun 69-70. Tari juga di situ, pokoknya bentuk pertunjukan apa saja mau perpisahan mahasiswa, SMA di PPBI juga tari atau teater, kalau teater dulu itu teater Alam, kalau tari ya saya sendiri dengan pak Wisnu Wardhana. Kalau sandiwara radio ya RRI itu yang dipentaskan lakon-lakon itu yang judulnya... (mengingat) itu terkenal sekali kok sebentar.. Itu dipentaskan di gedung karena fenomenal, sutradaranya pak Marjono, pemainnya mbak Hastin Atasasih, ada pak Habib Bahri juga di situ. Nah, sandiwara itu yang rutin disitu juga ada teater tradisional ketoprak, RRI juga dan itu yang rutin pentas di gedung PPBI itu. R : Tapi formatnya ketoprak? P.J : Ketoprak, yang kagungan kerso ya cuman itu RRI Nusantara 2. R : Yang Kotabaru itu ya Nusantara 2? P.J : Bukan, RRI nya, tapi ya RRI nya di Kotabaru itu tapi pentasnya di gedung PPBI itu. R : Itu rutin ya sandiwara bahasa Jawa nya? P.J : iya R : Rutin dipentaskan ya? P.J : Iya dipentaskan. Ah (05:30) ... lebih ke keluarga tapi ada misteri yang disembunyikan. Wah, bagus banget imaji yang kebangun dari radio itu dan waktu dipentaskan saya kerasa banget. Mungkin juga karena kefasihan dalam berbahasa, ya kalau artistiknya masih jauh ya tapi keterampilan pak Marjono juga bagus sekali. Nah judulnya ‘Katri’. Itu judul realis ya. Kalau di radio ya lebih terkenal. Pijakannya aja ke kesenian tradisi, ada sanggul, kadang bahasa Jawa tapi ada banyak juga bahasa Indonesianya. Kecuali ada Gapit yang emang full yah. Tapi baru Sego Gurih ini yang muncul. R : Berarti dulu itu tidak ada yah teater berbahasa Jawa yang seperti Sego Gurih? P.J : ya belum ada, yang saya ingat belum ada. R : maksudnya yang se-intens seperti Sego Gurih bahasanya P.J : iya belum ada. R : kondisi penontonnya gimana pak jaman dulu itu? P.J : wah penontonnya itu banyak, rame sekali. Banyak yang penasaran dulu itu. Mungkin juga karena hiburan baru ada di radio. Orang itu jam 10 nungguin pasti denger radio. Pentas juga rame sekali, bahkan saat dikasih tiket juga banyak yang nonton. Sama dengan ketoprak RRI, banyak dienteni. R : tiketnya dulu berapa pak? P.J : duh berapa ya, agak lupa. Soalnya dulu di RRI tuh lebih banyak langsung melihat ke panggung. Begitu hooh, tapi dulu tuh murah yah harganya ketimbang nonton bioskop, itu terjangkau banget. Belum 15

129

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dulu, mungkin sekitar itu. Karena sistem pembelian tiket pun itu sudah dimasukan pada bu... R : bu Dibyo. P.J : ya bu Dibyo! nah itu. R : wah legenda sekali itu. P.J : ya lejen sekali dia itu. (jeda) P.J : itu paling fenomenal sandiwara bahasa Jawa, selanjutnya itu kok nggak ada yah hanya teater biasa. Sampai sekarang tuh muncul Sego Gurih yang memakai bahasa Jawa, tapi kok ga sampai yah.. R : ngga sampai itu imajinya? P.J : mungkin anu, angel yang di foto itu lebih ke naskahnya, itu yang pertama, yang kedua faktor pemainnya. Jadi angel yang di foto sama yang di tonton ga sampe yo atau kurang atau belum. Justru kalo RRI itu, opo sederhanane itu nyangkut terus, jane wes ono tiap hari, justru ini yang disampaikan, kalau teater sekarang nih sok-sok terus melayune wah iki teater jadi kudu modern. Jadi kok visualnya gak sampe yo. Sak gathuk-gathuk e yo durung, nah iku faktor sutradara dan faktor pemain. Nah kaya Sego Gurih itu iki piye toh? Misale sing sandiwara basa Jawa, nah basa Jawa di RRI itu halus enak, sehari-hari tapi enak. Kadang-kadang unggah-ungguhnya aku karo bapak, aku karo ibu. Nah RRI itu tuh pas, nah yang sekarang tuh sok-sok ngoko tapi kadang gak ada etikanya. R : sejauh ingatan njenengan dulu kisaran waktunya bahasa Jawa itu dipentaskan berapa tahun?. P.J : yang RRI ini?. R : nggeh. P.J : itu tahun 70 sampai 73 itu masih ada, tapi sudah tidak ada yang meresponnya sebab sudah ada teve begitu. Misalnya itu ketika teve udah muncul banyak nah itu sudah ... ya ya, nah baru akhirnya kan ada sandiwara Jenaka KR, nah itu baru. R : sandiwara Jenaka KR itu kisaran tahun 80an awal nggeh? P.J : ya itu. R : 82 atau 83 atau sebelum itu? P.J : 80an awal tuh udah ada tapi belum ke arah teve, masih ke arah instansi. Di teve itu Sandiwara KR yang total itu apa yah lupa tapi ya itu tadi, setelah sandirwara di RRI tidak ada, lebih ke Sandiwara Jenaka KR. R : kalau sandiwara KR itu isunya lebih ke ‘Katri’ tadi atau pengen guyon aja? P.J : kalau sandiwara KR itu lebih umum, ini juga kadang menyangkut rumah tangga tapi melebar. Jadi nek di ‘foto’ yo Indonesia cilik. Ya karena itu banyak wartawan ya kayak pak Handung atau pak Wariyun, sentilan lebih ke perilaku manusia sekarang, dengan gaya bahasa yang natural.

130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : kalau bentuk pertunjukannya Jenaka KR itu? P.J : tidak beda dengan sandiwara realis panggung. Kalau saya tangkap lebih banyak bagaimana naskah yang jadi dimainkan oleh seseorang itu bisa berkembang tapi tetep se-alur dari apa yang dimau oleh naskah itu tadi, isiannya juga rapet gitu loh, menukik betul, halus. Jadi kalau jiwit yo jadi. Karena tipe pak Wariyun, pak Handung, pak Permadi, itu enak itu loh, jadi ga ada acting yang dipaksakan. Karena tipenya ya milik masing-masing. R : Romo Ndung niku nggeh? P.J : Ayahnya pak Heru (Kesawa Murti). Itu kalau bapak (...) yo akting itu ra sah ngoyo, opo anane pasti jadi, ojo di akting-akting ke. Berarti kan lebih wajar, nah jadi kewajaran di panggung yang ditangkap oleh temen-temen. Sekarang ya sulit sekali atau belum pas kawan-kawan menerjemahkan apa ono ne, jadi itu. R : mungkin yang dimaksudkan kewajaran dalam bermain P.J : ya itu, kewajaran dalam bermain. Kan basic-nya temen-temen banyak dari teater modern tapi mengolahnya sudah ke sehari-hari bahasa Jawa ‘pasar’, bagongan kaya gitu, mereka mencoba mengaktualkan ke penonton jadinya begitu. Tapi ya enak, Sego Gurih ini kok yo... tapi ini sih faktor masalah pengalaman, juga pengalaman unggah-ungguh basa, vitamin atau pembendaharaan bahasa Jawa, itu juga kurang. Lebih banyak kayak dia mencoba menerjemahkan bahasa modern pakai bahasa Jawa. Kadang-kadang “aku teater kok, beda karo liyane”. Tapi penonton itu ki arep ngopo to? Kalau sandiwara RRI dan Jenaka KR itu mereka natural betul, jadi pure gitu. Jadi penonton hanya diberi persoalan, iki loh neng jero rumah iki, ono persoalan iki, dan kalimatnya nggak ndakik-ndakik. R : di tahun-tahun itu kemunculan jenaka KR dan sandiwara RRI ini, ini kan notabene menggunakan bahasa pasaran, terus kalau teater modernnya, cah Indonesianya di tahun segitu pripun? Lebih banyak kelompok yang seperti itu atau.. maksudnya ngeten, kalau perbandingan ketertarikan masyarakat cah indonesia sama cah Jawa itu pripun? Karena melihat di gedung Soboharsono itu begitu banyak penonton sandiwara RRI, termasuk orang-orang teater modern, nonton juga itu.. P.J : ha, bedanya itu, kayaknya tidak ada. Karena itu lebih banyak penggemar Ketoprak ya orang-orang awam biasa. Lebih banyak ibu rumah tangga dan bapak rumah tangga. Yang saya ingat loh.. ya memang begitu, jadi beda penontonnya. Dulu memang, ketok e dulu masih ada Bengkel Teater ... itu ndak ada e.. ndak ada, apalagi Ketoprak ndak ada. Dulu Teater kan menara Gading, waah do wedhi. Angel ditempuh... tapi ya kalau sandiwara RRI itu lebih banyak orang-orang tua, ibu-ibu.. Karena bahasa Jawanya itu yang bagus. ya kalau saya ingat belum ada kelompok sandiwara basa Jawa. Ada teater STEMKA tapi tidak pure. Lebih banyak hiburan, tapi ya hanya sporadis. Hanya

131

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk acara-acara. Tapi tidak melulu khusus latihan. Jadi daripada tidak ada apa-apa, kumpul-kumpul, bikin. R : Pak Landung niku nggeh? P.J : ya.. yang khusus-khusus komedi mas Hasmi sing nyekel. Ada perbedaan sing agak anu yo.. kalau di Jenaka KR itu, kalau wawasan hidup itu ndak luas, sulit bermain bersama mereka. Kaya pak Handung, pak Wariyun.. naskah-naskahnya itu simple pola dialognya tapi pengembangan waktu dilapangan banyak sekali. Kalau sandiwara RRI itu full naskah, rapi, kalau Jenaka KR itu pengembangannya banyak sekali. R : Nah, saya kan sempet baca tulisannya pak Jacob Sumardjo, dulu itu memang banyak yang bermain realisme seperti zamannya Usmar Ismail, kesini itu masih banyak yang bermain realisme ditahun 30an sampai periodisasi sekitar masuk 60an itu masih banyak yang bermain realisme. Kemudian ada isu bahwa teater modernnya itu tidak punya penonton. Kemudian ada isu bergesernya bengkel teater Rendra dari yang eksperimen semacam itu.. ya dari realisme atau yang ndakik- ndakik itu terus berubah pakai isu-isu masyarakat itu, dulu, misalnya njenengan kalau bisa cerita kenapa Gandrik memilih pola semacam mendekatkan, mengambil angguk.. memakai ini.. Itu sebenarnya tujuan dasarnya apa? P.J : Itu sebenernya tujuan dasarnya gini.. makanya tadi saya ngomong.. wah pertunjukan teater itu menoro Gading begitu.. makanya, tujuannya itu ben tukang becak, wong dodolan apa.. itu biar bisa nonton. Dengan bahasa yang simple, persoalan yang simple, acting yang biasa. Itu yang saya ambil. Juga lebih kental ke kuping mereka itu kerep menonton Wayang, gitu. Dulu kan saya mikir wah teater iya e.. ra ono sing ndelok e, kayak apa ya.. ada ning kan khusus cah-cah teater, mikir-mikir.. kebetulan aja (batuk) Jeprik dan Gandrik itu dapat tugas untuk mewakili Jogjakarta ke Pertunjukan Rakyat gitu. R : PERTUNRA itu ya? P.J : ya, PERTUNTRA itu, dan ternyata berhasil. R : dulu yang menang itu Jeprik dulu, baru Gandrik yang menang. Masih Teater Mantrijeron katanya... atau sudah Gandrik? P.J : belum. Jeprik itu kan lebih ke... apa karena Pakualaman ya.. Itu disitu juga ada saya, masih ada mbak Sapta. Karena mbak Sapta dulu tinggalnya di nJagalan disitu ya.. nah, saya membantu itu, akhirnya ke Jakarta dan berhasil. Itu juga persoalannya, persoalan rutin biasa. Jadi tidak kemana-mana. Cuma setting-nya dan pengungkapannya lebih ke teater modern. Itu yang tidak dipunyai oleh group-group lain. R : ini mewakili PERTUNRA dari Jogja? P.J : ya dari Jogja. Itukan dari Jogja, ke tingkat regional baru ke tingkat nasional. R : berarti kalau dulu Jeprik itu kecamatan Pakualaman, Gandrik ini Mantrijeron

132

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.J : Mantrijeron. itu malah belum ada nama. Karena apa... saya dulu memakai teater Gong. Lah, Gong kenapa? Gong itu bisa isa di tuthuk nggo entek-entekan, muni ora gong e, ndilalah dengan waktu yang singkat sekali, saya mencari pemain seadanya.. saya harus ngejak mas Novi, istrinya cak Nun yang awal mbak Neneng, terus yang Mantrijeron ya Cuma pak Sepnu sama pak Susilo itu, pak Heru itu bukan Mantrijeron, Ngampilan. begitu nasional wis ra masalah kuwi Mantrijeron atau opo .. tapikan orang jogja. Begitu itu. R : berarti waktu itu teater per kecamatan hampir ada ya? P.J : ndak...ada tapi.. ya saya pikir orang-orangnya ada.. tapi yang intens..nah pak Camat tahunya cuma saya di Mantrijeron, gitu ya. Saya, terus karena saya juga sama Susilo pernah main, tak ajak. Kalau pak Sepnu memang dulu murid yang dulu tak ajari, dan akhirnya bisa sampai sekarang. Nah, Kalau mas Heru ya saya pikir lebih ke naskah ya, coba tak ajakin main. Ya seadanya kaya gitu itu udah, ra sah reko-reko, nek nggo acara teater pertunjukan rakyat mesti pas. Rasah mikir-mikir. Lebih ke isian naskah kalau dulu. Arep ngomong opo begitu. Ya pokoknya, ono Srandul, metu ngangge njoget ngono kae, ono nembange.. ya seperti itu. R : karena bayangannya mungkin, biar penonton juga nyambung, “oh iki Srandul”, begitu, atau mungkin karena pilihan itu untuk mendekatkan teater yang tadinya ‘menara gading’ ini ke penonton, agar penonton tidak berjarak begitu. P.J : iya, justru tidak berjaraknya ke masalah dialek dan persoalan-persoalan. Nah tiba-tiba entah nanti jadinya ono Ketoprake, ono Ongkek e ra masalah..begitu. R :Tergantung masing-masing individunya punya ... istilahnya perbendaharaan pertunjukan semacam apa gitu?. P.J : ya begitu. Mungkin orang luar Jogja atau Jawa Tengah.. “oh iyo kae Ketoprak, kae mau”, “kae Wayang Kulit” nah, Gandrik saya mainkan, ada Wayang Golek-nya, ada Wayang Kulit-nya. Jadi tokoh yang tadi muncul, karena hanya tujuh orang, mesti harus nyiasati metu (..) saya pake Wayang Golek, tokohnya persis, kostum persis. ada pak Susilo ada mbak Sapta. Aku mainkan disitu. Omong-omongan. Jedul lap masuk Wayang Kulit. Jedul lap, terus masuk orang lagi... ya begitu. R : dulu njenengan punya pilihan artistik semacam itu, kira-kira pengaruhnya dari mana nggih pak?. P.J : ya karena lingkungan saya, Kethoprak, Wayang Kulit, Dagelan Mataram. Itu juga udah punya sense. Kaya Susilo itu bisa ndagel, mas Heru lebih ke gaya awak. Kan naskahnya dulu malah yang bikin pertama mas Harno. Naskahnya saya beri judul ‘Gambar’. ‘Gambar’ itu maksudnya gambar Indonesia. indonesia kecil begitu. R : itu yang dibawa ke PERTUNRA?. P.J : Iya. R : yang nulis pak Harno?.

133

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.J : ya. Dari tingkat Jogja, regional, terus ke nasional. Yang ke nasional akhirnya naskahnya saya rubah jadi anu.. judulnya... apa ya judulnya lupa.. kalau nggak salah ‘Gambar’ tapi berkembangnya ke masalah issue.. issue terus.. issue itu pola pikirnya dari naskah awal mas Harno itu. awalnya dari.. issue itu.. R : kalau ke ‘Pasar Seret’ masih jauh ya? P.J : jauh. apa ya.. issue itu mungkin ya judulnya, jadi lebih ke.. hubungannya itu masih ada juga korupsi tapi tidak seluas itu.. sudah ada ke korupsi.. karena dari pusat harus ada unsur anu.. R : pendidikan? P.J : Keluarga Berencana! Nah itu yang diotak-atik itu. Bagaimana orang ngomong KB itu anak dua. Kalau Jeprik kan ‘Wo Begitu To’, akhirnya begitu. Kalau Gandrik itu lebih ke itu tadi. Ngomong KB kalau di rumah punya anak dua. Kok dua kenapa? Nah gitu itu.. “kok dua kenapa?”, nah. yang menariknya tadi itu kenapa kok ada Ongkek ada Srandul ada Wayang, saya pengen dari orang duduk, angangguran, tukang becak, menengah ke bawah jadi bisa nonton. Oh jadi teater tuh gitu toh. Mungkin bisa dilihat dari teman-teman Gandrik seperti pak Sepnu, mas Susilo itu ya pola aktingnya kaya gitu. Karena ada sentuhan-sentuhannya di teater modern, jauh kurang. Lebih ke kecerdasan bagaimana mengotak-atik kalimat. Juga kalaupun ada masukan, ya tak biarin begitu. Ya, hafalan mu itu, mainlah. Ya seperti itu, main biasa saja kalau karakter tidak akan hilang. Tinggal tambahin saja, kasih ini kasih itu. Jadinya teater Gandrik ya kaya gitu kalau diotak-atik. Tapi Gandrik susah. Bagaimana angel mencari sela yang mau dijiwit yang mana. Juga lebih ke kreativitas individu, jadi awalnya aku punya gagasan begini ya dikembangkan jadi seperti itu. Ya pernah ngalamin lah di Gandrik itu gimana. Itu kadang-kadang ngulur rasa. Teater itu luwes kok, harusnya kamu milih, jangan Wayang. Ngomongnya biasa aja, nanti mengenalkan ke masyarakat, penonton pola geraknya aja, oh itu Semar, oh itu Gareng, oh itu Petruk udah gitu aja jangan ke Jenaka banget. Seperti itu, itu kesusahannya yang saya tangkep dari ‘Simalakama’. Balik lagi kan ke masalah itu, keikhlasan. Kalau saya lebih kekelenturan rasa memainkan. Namanya teater ya harus bisa main apa saja. Ya kaya dulu itu Ludruk, gak harus sepenuhnya Ludruk. Syukur-syukur bisa ngremo atau tembangan sedikit jogetan sedikit gak masalah, tapi ada beberapa yang bisa , ada yang Wayang. Kalau dalang ya dalang banget. Udah kaya gitu itu. Padahal dalang itu harus luwes banget, ojo kaku. R : (tertawa). P.J : nah balik lagi ke sandiwara Jawa tadi masih mandeg di, kalau sekarang ya saya belum tau persis kaya Sego Gurih tadi atau di padepokan mau ngomong apa atau tentang pengolahannya. Makanya sett-nya lebih ke modern. R : padahal ga harus sett-nya nggedabyah ya pak?

134

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.J : ah mboten,padahal waktu saya balik ke RRI itu harus simpel banget kok, rong sett ja, itu wes lampune jaman biyenan itu, lampune byar pet. Tapi kok yo tekan gitu ya? Entah cara bermainnya, atau keluguannya memberikan isi, ya seperti itu. Ora ana sing istilahe ‘mbenggang cangkem’ ki raono, Yang menarik disitu. R : waktu itu, awal-awal njenengan bikin dengan mengimajinasikan orang-orang lingguhan, pengangguran bisa nonton itu, pertunjukannya masih tetep di gedung? Atau Gandrik pernah main di Balai Desa atau?. P.J : Ya, justru di selatan ISI itu di balai desa, omah biasa acara tujuh belasan. R : yang awal yang naskah itu yang apa? Yang ‘Gambar’ itu?. P.J : ya, itu. R : tapi sesudah itu orientasi ke gedung pertunjukan ya?. P.J : belum kesana, jadi intine entuk job tanggapan, main disana jadi ngitung jam abis main di Semail, karena Semail main di Beji. Mengenalkan nek teater ki ora mesti nggedabyah. Jadi gitu dengan bahasa yang simpel, jelas, masalah yang sehari-hari ada. R : masuk ke gedung pertunjukan itu kemudian ya, tapi saat itu orientasi teaternya itu dibuat agar semua orang bisa nonton, dari lapisan mana saja, pentasnya dimanapun. P.J : ya begitu, jadi sebelum Gandrik itu kan masih sama teater Dinasti. (jeda orang lain ngobrol memanggil)

P.J : jadi Dinasti sama Dipo kan kan sudah di Senisono terus, Nah Gandrik belum ada. Jadi kalau Gandrik nduwe angen-angen di panggung itu malah ketoke adoh banget. Lebih ke kampung-kampung. R : yang pentas dikampung-kampung itu bertahan berapa tahun?. P.J : di kampung itu lebih banyak ke acara tujuh belasan, terus diundang di instansi. Di UGM terus di alun-alun kidul, di Dlingo. Ya.. itu acara KKN. Jadi malah tidak berpikir dipanggung. R : Tapi ini sudah gandrik ya? P.J : Ya. Waktu habis menang di Jakarta itu, tidak berpikir mau pentas dipanggung. Pertama kali itu ya waktu ikut lombanya itu, di Senisono. Oh, ngene to dadine. waktu main dikampung malah gak berpikir iki ngko ono sett ning kene, lampu ning kono itu ndak ada, lampunya seadanya. R : pas lomba PERTUNRA itu baru ya? Yang di Senisono itu?. P.J : Ya, yang pertama mainnya pendapa Walikota, baru yang menang tingkat Kecamatan dipindah di Senisono, yang regional di RRI Semarang. Nah baru, begitu RRI Semarang menang di Salatiga, baru ke Jakarta. R : Salatiga itu dimana?. P.J : Salatiga itu di Pendapa Dinas. R : Ya.

135

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.J : itukan lebih banyak bentuknya daripada teman-teman dari Jawa Tengah, Jawa Barat. Mungkin karena Jogja banyak pertunjukan, jadi lebih banyak bisa mengadopsi.. ana tontonan iki.. tontonan iki .. jadi kaya. Tapi kalau JABAR lebih ke khusus tradisi apa namanya? yang Reyog khusus hanya empat orang. Namanya Reyog tapi mereka pakai bedug empat. Main, ngomong, main, ngomong. Jadi ceritanya tidak bisa utuh, lebih banyak ke humor-humor, joke-joke gitu. Tapi kalau kemenangan di Jogja itu kan runtut ceritanya. Arep ngomong iki, Selesai. Komedinya ada tapi tidak sekedar ndagel, ya lucunya dari peristiwa itu. Menyiasatinya ya, kalau adegan dokter ya operasi, siluet. lucunya disitu. Siluetnnya ya pakai geber, pakai obor dibelakang. Jadi kaya frame Wayang. Jadi ada trik-trik yang kadang-kadang bisa bikin penonton, “kok bisa kayak gitu ya?”. Jadi setiap ganti adegan, ganti suasana, ganti ‘rasa’ mata.. ngko ono ngene, ngko ono ngene, wong dadi ra ndelok kui terus .. ndak begitu. Makanya lebih ...ya... kaya adegan Ketoprak. Ngko sett adegan pertama kuburan, apa sett jalan ganti adegan perang, udah gantian kaya gitu. bukan kaya Ludruk panjang, ngremo panjang, dagelan panjang. Tidak seperti itu. Jan jane hampir sama kaya ‘Besutan’nya Bawong (nama orang) nek saya, dimana nggon main luwes, pepakan opo wae. Jadi ketrampilan menangkap isu ditempat itu. Nah kalau intinya ini, apa Ndra kamu ke bahasa Jawa itu tadi? R : intinya itu saya sebenarnya menjawab pertanyaan, apakah rakyat masih butuh teater, untuk membicarakan persoalan-persoalan hidupnya? Artinya, kan kalau misalnya masih butuh teater, bentuk teater seperti apa yang kira-kira dibutuhkan oleh rakyat? Dan bagaimana seniman mengimajinasikan, oh rakyat ini butuh teater. Makanya saya bikin bentuk pertunjukan kaya gini, supaya isunya, gagasanya bisa tekan. Gitu sebenarnya. P.J : kalau menurut saya sebenarnya, kalau di Jawa Timur, Ludruk, udah. Karena kita tahu bagaimana mengolah teater modern, diolah ke bentuk teater modern, ning ora teater modern banget, ya wes Ludruk. Naskahnya harus ke situasi sekarang. Pola aktingnya yo ngono kui apa adanya diolah. Itu, Ludruk, Ketoprak meh dienteni terus. Mesti ada lawakan, garapan-garapan beda tapi tidak... kan wong nonton ngene iki seneng lah wis. Yang penting angle persoalan, sehari-hari, sudah. Kadang-kadang yang remeh, sepele itu luput. Jangan-jangan itu malah banyak sekali. Seumpama angle yang simple ya, ming masalah untu, untu palsu. itu kan, ngopo ngomongke untu to? Ning ini mremennya adoh banget. Contonya dagelan pak Basiyo, arep jagong, anyang- anyangan becak itu kan konflik banget, nah kaya gitu aja. untu palsu. “Kok kowe nganggo untu palsu ngopo to? kok ora nggo sing asli?”, Nah itu eyel-eyelannya. Jadi bentuk itu berkembang, kadang nyangkut ke keluarga. R : betul...

136

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

P.J : Seperti itu. Yang simple sekali ini kadang-kadang kelewatan. “mbiyen aku sik urung pesen untu palsu, sego lawuh itu utuh, nanging nek aku nduwe untu palsu sego lawuh mau iso entek”. Lha sing rung mangan konflik. “Lha aku yo rung mangan, ndi? lha kowe to?” nah itu konflik. Konflik disini, kadang-kadang kalau orang-orang itu “wah kudu besar”. Padahal nggak. Yang simple. (obrolan beralih ke garapan naskah kelompok lain) Nek, ‘Simalakama’ ini duwur, jero. Jangan-jangan hanya masalah simple, ini hanya masalah laku kok. Dipangan manut bapak mati, manut ibu yo mati. Jenenge opo? Maju klebus mundur klebus milih ndi kowe? Nek aku yo milih mundur klebus wani wirang isin, isin iki iso ilang. Nek kowe bablas isinmu iku ngko kekebaken, nek kowe mundur mentok, ngko garing, isinmu iso ilang. Nek kowe terus rono, bablas. Yowes yowes ngono kae. Tapi nek kowe mundur, delok, isin iki iso ilang kok. ‘Simalakama’ jane hanya begitu. Tidak ada wujudnya, wujudnya yo lakumu kui mau. Lha, itu teman-teman masih berkutat di “opo wujude ki ra ono”, wujude ki nek kira-kira kui kudu ketok, kui pedhut ireng. Nah, kadang-kadang teman-teman “opo to pedhut ireng kui mau? lakune ra bener”. Nah, aku ndak mau (57.50 - 58.04) jane mung arep ngomong “maju teles, mundur teles”. Wirang isin to iku mau? nek kowe arep wani wirang isin yo mundur, ben ra kelebus mengko lak garing. Nek kowe rono, yo klebus terus, isinmu yo nambah. Ne kowe mundur isin ki iso ilang kok. Begitu. Saya lebih suka nanti kalau itu di teater-teater bahasa Jawa, akhirnya lebih ke laku urip. Hubungane kan, nek kowe isih arep kepengen mangan sego yo pesen untu palsu, nggo ngelembutke sego iki mau. Nek wes rambutmu dadi putih, ora usah tok balekke ireng, ojo nganti tok balekke ireng, putih yo ben putih, nek kowe arep mbalekke warna, ojo nganti putih. Begitu. Wes kui soko sing gawe urip kok, isin po kowe?. Nah begitu kira-kira. Jadi, lebih ke laku. Nah, kaya mas Marjono, Sandiwara KR, itu. Persoalan-persoalan sehari-hari. Itu yang kadang- kadang tidak terasa. Jadi penonton itu, nggawa sangu pas bali... “oh iyo yo”. Jangan sampai penonton itu bali¸ mikire “kok ngono to?” , nanti tiba-tiba “ kurang ngene maine”. aku ora mengkritisi pertujukane, Cuma persoalan tadi itu. (menceritakan pertunjukan “Nafas” – Jemek Supardi yang disutradarai oleh Pak Jujuk) Agak lepas dikit ke pertunjukan Mas Jemek. Mas Jemek itu setiap hari pantomime gur ngono kae. Ngenget tur ora jelas. Nah, kemarin begitu pentas dengan syukuran Sekar, tiba-tiba : (percakapan) (Jemek) “aku tulung dikancani, aku arep pentas”. (Jujuk)“opo?”. (Jemek)“syukuran”.

137

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Jujuk) “jan jane aku mung ndelok mlakune mas Jemek. Opo mergane, golek cahaya, golek lampu. Sing tok golek i ki saiki akeh, lampu abang karo ijo. Kowe saiki kudu golek lampu putih, kuning, biru. Saya simbolkan disitu. Terus, kemudian latihan. Jare Romo Sindhu, “iki bedo iki, lakune Jemek wis ngene iki saiki”. Lakune urip, lakune cahaya kuning iku iseh, putih yo lumayan, tapi pas biru, ternyata ra ono sing madani. Yowes, kowe kudu iso manembah piye carane. Mulane kowe adus kramas, kui ora sekedar adus kramas, kui reresik njaba njeromu, ada disitu”. “topengmu copoten, rasah main topeng. Topeng ki angel banget. Kabeh ki do nduwe topeng, topengmu ojo tok nggo terus”. (Jemek) “aku ki ya butuh main nggo topeng”. (Jujuk) ngopo maen nggo topeng. Topeng ki awale dinggo, wis. Abis itu copot. Maen o awakmu dewe. Jelasno nggo penonton. Mlaku saiki, Akhire bener”. (Jemek) “oh iyo”. (Jujuk) “tapi kowe kudu nggatekke lakumu. Sing lakumu mbiyen nek kowe arep terus yo kui, Simalakama kui”. P.J : Seperti itu. Lha ini kalau saya ke naskah-naskah tadi, lebih baik atau saya lebih suka ke persoalan yang kecil, simple, kadang-kadang tidak terhiraukan itu bisa selalu muncul dengan bahasa-bahasa yang simple, ya basa nek kampungmu piye? Desamu piye? Jawa Timuran, Jawa Tengah, Jogja, Jawa Barat, ora masalah. Sing pokok, tekan ra kui? Seperti itu kalau saya. Nek perasaanmu “teater ki kudu ngene”, akting yo sekarepmu. Orang akan lebih senang, nek ngerungokke njuk kepengen ajar. soalnya banyak yang nanya, “mas, nek ini tukang becak mas, nek aku maen koyok ngono saged mboten, mas?”, yo iso mas. Iku gampang. “tapi iku ketok e nganggo..?”, lha itu pikiran sampeyan. Sampeyan sehari-hari niku pun main kok, nunggu becak, lungguhan, lha itu sampeyan pun main. Cah teater mboten iso nunggu becak ngonten iku, “oh ngonten iku?”, mung, wani mboten?. Nah begitu. Jare Mas Andung, Jadi akting sing wajar. Ra sah aneh-aneh. Karena kita tahu pola akting ngene-ngene, terus di tok-tokke to elmune. Nah seperti itu. Ya koyo Pak Wariyun, Pak Andung itu, yowes ngono kui, arep digawe yo raiso, Pak Andung ya Pak Andung, Pak Permadi ya Pak Permadi, Pak Wariyun ya Pak Wariyun aslinya begitu. Padahal ya casting, ning ora tahu berubah bangsa sing nyebahi kekke pak Wariyun, sing ngeyel sithik Pak Permadi, sing ‘ alah ngono yo ngono’, Pak Andung. Sudah, seperti itu. Mangkane kalau disitu ada orang lain yang masuk, orang yang ndak mengerti benar mereka, improvisasinya angel banget, molak-malik itu. Nanti begitu main beda, itu harus kecekatan. R : menurut njenengan, Pak, kalau... (terpotong obrolan lain). P.J : nah sekarang balik lagi, terserah mau ke pembahasan mana. Mumpung masih disini.

138

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

R : mungkin ini Pak Jujuk, waktu itu, atmosfer berkesenian di Jogja itu seperti apa? Itu mungkin yang terakhir, penutupnya. P.J : Atmosfer tahun-tahun berapa kira-kira? R : Kisaran, njenengan mulai kiprah, sampai kemudian muncul kelompok- kelompok besar itu. Ini yang nanti juga akan saya tanyakan ke Pak Harno. Untuk modal saya membaca ‘Kepingan Sejarah Teater Jogja’ dari tahun ‘50 itu. P.J : yang saya ingat ya, waktu itu Bengkel masih ada tapi sudah mulai do ting sruwil. itukan saya mencoba lebih ke teater tari. Kalau yang saya rasake lebih ke teater gerak. Itu Bengkel masih ada. teater di Jogja itu juga masih ada teater Alam (sedikit), ada teater Bunga, teater Kancil, teater Dipo, macam-macam. Waktu itu saya latihan di halaman, karena nggak punya tempat, jadi mencoba latihan minjem di belakang gereja Pugeran. nah, ada Jabo (Sawung Jabo) waktu itu. Kita latihan gerak. R : Tahun berapa itu ? P.J : itu sebelun ada Gandrik. Belum ada teater Dinasti malahan. Masih ada teater Dipo. Itu tahun 70-an itu. Aku lebih banyak ke tari, ke Pak Bagong, Pak Wisnu, kadang mencoba sendiri. Saya mencoba eksperimen lebih banyak ke topeng saya. Nah, saya dulu juga tetep diundang ke AMI, Jabo kan dulu di AMI. Jabo dimusik sekaligus main, saya coba menata. Pas melatih disitu, kok ditungguin orang bule (Julie Taymor, red.). tiba-tiba kok hari berikutnya kok berdua sama laki-laki, Mas Harno itu namanya. Nah, Saya berhenti sebentar, kemudian ngomong- ngomong, saya diminta gabung dengan teater topengnya Julie Taymor itu. loh ada apa ya ini?. Ternyata ganti Mas Adi Kurdi yang harus ke Amerika. Disitu mulai, aku menata terbanyak, disamping waktu itu teater topeng di Dipowinatan ada Teater Dipo, yang megang Mas Ratmo. Waktu itu mas Ratmo mau mempersiapkan untuk Festival Teater Safari, yang mendirikannya Mas Azwar. Teater Safari itu... masih ada TVRI ya dulu, teater di Jogja itu Mas Azwar.. Oh, Teater. Setelah itu saya diminta bantu Mas Ratmo bikin autobiorafi dinaskahnya itu, ‘Bhagawadgita’. lama-lama saya disuruh menggantikan peran menjadi “nafsu merah” itu. Akhirnya berkepanjangan, begitu teater topeng sudah habis, akhirnya bentuk teater Dinasti. Nah, teater Dipo bergabung dengan teater Dinasti, habis itu berlanjut. Saya lebih banyak melatih geraknya di teater Dinasti. Ngasisteni Mas Harno. Mau nggak mau begitu, Mas Harno lebih ke ngolah yang lain ke peran, saya lebih ke olah tubuhnya. Berlanjut sampai teater Dipo akhirnya menang se-Jogja, begitu. Geraknya, musiknya. Musiknya juga lebih ke tradisi, gamelan tapi tidak gamelan banget, udah modern begitulah. Ada mas Novi, Joko kamto, segala itu. Dari awal itu, mencoba bagaimana grup itu bisa bertahan atau bisa eksis dengan pola-pola rutinan. Bikin jadwal, setiap hari iki ketemu, sampai lama akhirnya banyak yang ke Jakarta, kemana LSM, aku tetap bertahan aja di Jogja, tidak ikut kemana-mana. Perkembangannya

139

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebenarnnya lebih banyak ke intensitas motornya. Kalau tidak ada motor yang meng-handle atau memberi pelatihan rutin, mesti mandeg, tapi kalau saya lihat teman-teman itu lebih banyak ke acara festival, ora ono sing ngelatih, rapung, bubar. Seperti itu yang aku lihat. Karena kalau Mas Harno itu ada pengalaman di Bengkel, saya lebih pengalaman di tari, gerak, dan macam-macam. Nah saya rutin, hari ini latihan ini, besok latian ini, begitu rutin dan ada jadwal. Pertama misal kamu menjadi manggala-nya, hari ini mau latihan apa kamu, besoknya diganti. Begitu, jadi semua ngerasakke. Mbuh kowe dadi opo, nanti tergantung kowe ning njaba. Akhirnya seperti ini, kalau tau metu, yo ketok, kalau ndak ya mandeg. Jadi intinya teater itu lebih ke bagaimana srawung dan kerep nonton apa saja. Entah itu musik, pameran lukisan, Kethoprak, Wayang, dan sebagainya. Yang saya lihat, perkembangan teater ya begitu, jangan teater ya teater tok, ngono kae, latihannya ora jelas, teater mesti ada meditasi segala macam, ora mesti ngono kui. Itu yang tidak di onceki kadang-kadang. Lha latihan vokal aja macam- macam kok, macam-macam pola, macam-macam bentuk. Gerak, sing ndi gerakke? Dinggo opo gerak? Nek kowe arep gerak dikei dasar tari wae, ora mesti kudu luwes, paling ndak, ngerti. Nek kowe gerak kaya ngene yowes, kaku rapopo, rasah dirubah, gunakan kekakuanmu, luwes itu kan nggo rasa, ini kaku tapi dengan rasa selaras. Itu yang jarang saya temui di teater. Nah, kalau sekarang ini lebih banyak ke kelenturan tubuh. Akhirnya banyak lagi teater ngolet. Soalnya orang dasar keaktorannya jarang. Ngoletnya juga ora jelas. Itu kalau dulu lebih jatuhnya ke Teater SAE. Dari ‘Gandrik’ ke ‘Teater SAE’, wis tahu main kabeh. Asal usule sampakan ki opo to? ora ngerti sing jenenge sampakan kok melu sampakan. R : sampakkan niku pripun? P.J : sampakkan itu kan dari kata ... gamelan itu masih sampak. Durung seseg, durung suwuk. Iseh ngono kui, iseh mlaku. Itu istilah Pak Kirdjommulyo. Teater waktu itu masih sampak. Iseh ajeg manggon terus itu loh. Begitu. Istilahnya pak Kirdjo seperti itu. R : ajeg manggon ki dalam artian apa nggeh?. P.J : ora maju-maju ming ngono terus bentuke, ito loh. R : oh, oke. P.J : ya, mungkin bisa melu sing wis ono, mungkin. Mungkin ono, melu Bengkel, atau apa. Mungkin juga naskah, anane mung kui terus, kok ora coba nggae naskah dewe. Mungkin seperti itu. Kok mandeg terus. Sampak. Iseh sampak kok ming ngunu terus to? Begitu. Nah Kirdjomulyo lihat Gandrik karena dari bentuknya ada Kethoprak, ada.. nah mung ngene kui to?, Kirdjomulyo “ah ini teater sampakan kok”. Kaya Supermie, rapopo Supermie, kabeh doyan. orang tukang becak sampai menengah ke atas doyan Supermie kok. Tapi kalau sekarang, Supermie harus ditambahi bumbu apa? Arahnya, nek kowe Jawa, Jogja pake alusan Jogjanan, nek kowe Jawa Timur yo Jawa Timuran. Yang

140

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditemui harus ditemui, kalau sampai situ, harus sampai situ. Ora ming tiru, nek teater sampakan trus nganggo gamelan? Tidak seperti itu. Karena saya dekat dengan Wayang, dengan Kethoprak, anane gamelan, Kentongan. Kan begitu. Nek Jember, mungkin garap Patrol ra masalah. Itu banyak yang salah kaprah. Teater sampakkan itu begini loh, dari kalimat musik itu ada sampak, seseg, suwuk. R : waktu itu Pak Kirdjo mengeluarkan istilah ini ditahun berapa nggih? waktu melihat Gandrik itu?. P.J : Ya, waktu melihat Gandrik itu. R : awal-awal?. P.J : iya, awal-awal. Mementaskan ‘Sinden’. R : beliau waktu itu, mengucapkan ini lewat media atau lewat diskusi? P.J : lewat diskusi, lalu keluar lewat media. R : Soalnya yang saya pahami, dari kawan-kawan sih saya juga belum baca, ‘pentas teater sing ngene ki sampakan jenenge’. Maksudnya sampakkan itu yang memutuskan ruang konsen. Misalnya konsep alienasinya Brecht, dari teater yang serius tiba-tiba dipedhot dadi guyon, itu katanya sampakan. Padahal sampakan itu karena masih ajeg bentuknya?. P.J : iya betul. R : ajeg itu artinya karena diteater tradisi begitu, eh Gandrik pentas kok iseh koyo ngono wae. P.J : gini loh, ‘kok mung ngono wae, pola-pola e kok mung ngono we’, ya ono Kethoprake ono dagelane kan gitu-gitu aja? Nah ‘sampaknya’ disitu. R : waktu itu pak Kirdjo mengucapkannya, nadanya sinis atau ...?. P.J : oh ndak. R : hanya menamai saja ya?. P.J : iya. “ha itu masih sampakan kok”, sambil udud. R : udah dong, ternyata saya istilahnya. P.J : nah, makanya kalau ada teater sampakan tak tanya dulu, sampakan ki opo to?, ‘sampakan ki nganggo gamelan’, padahal ora mesti kui, dudu kui kok. Sampakan itu kan udah jelas tadi ono sampak, ono seseg, ono suwuk. Yo wes mlaku, tapi mung ajeg ngene kae, durung munggah. Ra ketok lek munggah, paling sithik. P.J : teater sampakan opo teater Supermie?. R : (tertawa). P.J : lha ajeg (sampak) di gamelan ki enak kok?. R : Nah ini yang gak banyak temen-temen tahu. P.J : sampak itu enak kok, ajeg itu apalagi kalau digamelan, enak udah. Ngene wae, ora mlaku, ora mlayu, ajeg. Diunggahke mung seseg, iromone. (memainkan ketukan). Nek iso ojo nganti suwuk, goleki terus munggah mudun, munggah mudun. Suwuk, seseg dalam cerita boleh ya, tapi iso dikembangke, balekke ning penonton. Iki, enek gambar ngene, nek menurut kowe

141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

piye? Ora mesti happy ending. Sakarepmu, aku mung muter gambar kok. Nek gambare ngene iki piye?. R : kok tadi sampai muncul istilah teater Supermie itu gimana pak?. P.J : itu juga dari luar. R : (tertawa) P.J : Teater Supermie itu kethoke, anu ketoke Puntung. Yo rapopo R : karena rasanya cuma gitu aja. P.J : ya, ngono-ngono tok. Rapopo, ra masalah. jadi saya dulu itu ada orang ngomong apa aja, rapopo, sakarepmu. Karena teater itu tidak hanya diomongke, tapi dilakoni. Digoleki, ora iso langsung entuk, entuke yo ngko karo mlaku. Ya kalau untuk pembelajaran ya rapopo mempelajari naskah ‘Machbet’, naskah ‘Oedipus’, rapopo. Tapi di Indonesia, wong Jogja ora nyandak, ngko, mentaske ‘Oedipus’, kostumnya wah, tapi mesti rasane ora gadhuk. Penonton juga kudu ‘iki jenenge sapa yo?’, mungkin kan begitu. Nama-namanya siapa? Karena ada persoalan ‘bentukku ngene iki’ . ya di seni pertunjukan .. kebak ning kono. Mata disuguhi, kuping disuguhi, rasa disuguhi. Dari visual, mata disuguhi, ‘wah’ kostum, musik yo ‘wah enak yo’, rasane yo ‘wah mlaku iki’. Seperti itu seni pertunjukan. nyuguhi penonton yo dietung tenan. Kaya ini, bingungke, sakjane gerakane ngerti tapi kan ndadak rembug karo liyane. Ada beberapa sing paham tapi nek ngelakoni tidak banyak dari mereka yang tahu. Isine mung wong siji kok iki. Anoman, ana ne menungso. Isih kanoman, elmune wes nduwur tapi kok isih njajal goleki hal-hal sing sepele. Intinya Cuma gitu kok. Kanoman ki pinter, mangkane pas dadi Resi Mayangkara, ana bayang-bayang ‘kara’ ne iku, ‘angkara’ ne iku. Isih metu. itu menungso. ‘Simalakama’ tadi itu. Bentuknya ‘Simalakama’. Kowe ngelanggar, ngopo to? Iku mung wong siji jane, dadi kawruh Jawa. ‘Simalakama’ iku ming laku. Ya tadi itu, maju keno mundur keno, milih ndi kowe? Nek aku milih mundur kok. Kudu wani wirang isin. Isin mau iso ilang. Udah gitu. Itu laku. Nek kowe bablas tak terjang malah dadi omongan macem-macem, nek isin kui iso ilang. Wani isin, wani wirang. Mengko ilang kui mau. Nah, intinya persoalan-persoalan naskah itu nek iso disitu itu, ning tetep enek pitutur. pitutur sing bener. Mangkane kecermatan dalang, iso medharke, ngonceki itu lebih seneng saya. (jeda) R : melihat fenomena apakah teater masih dibutuhkan betul-betul oleh masyarakat?. J : nek saya tak tegaske, dibutuhkan. Naskah yang sederhana, simple, bentuknya sangat biasa, mudah dipahami. Masalahnya pepakan, mesti didelok. Dibutuhkan sampai mbesok ora mesti kudu nonton teve. Itu yang kalangan bawah itu, ha saiki nek ngomongke teve ki ming ngono kae, diapusi. Kalau teve kan masih ada jarak, tetapi kita (teater, red.) kan langsung. Pokoknya yang mesti deket dengan persoalan dia (masyarakat kelas menengah kebawah, red.). ora mesti kalangan

142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menengah keatas, mahasiswa, sing menangah kebawah ki yo disuguhi. Masih dibutuhkan tinggal bagaimana cara kita le nyuguhke, Cuma itu aja.

143