PERBAIKAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN BAWANG MERAH GORENG LOKAL DI TINGKAT PETANI

Syamsul Bakhri, Caya Khairani dan Yogi Purna Rahardjo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Jl. Lasoso, No.62, Biromaru, Palu e-mail: [email protected]

ABSTRAK Teknologi yang layak diterapkan untuk skala industri rumah tangga dapat diperoleh dengan cara membandingkan metode yang ada dan mengintroduksikan metode baru. Perbaikan pengolahan bawang goreng di tingkat pengrajin dilakukan berdasarkan standar teknis pengolahan bawang goreng yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pengolahan dan pemasaran Departemen Pertanian. Tujuan kegiatan adalah perbaikan teknik pengolahan bawang goreng di tingkat industri rumah tangga. Kegiatan perbaikan teknologi pengolahan dilakukan dengan melibatkan anggota wanita tani di Desa Guantarano dengan membandingkan produk yang diujikan melalui teknik organoleptik. Parameter yang diujikan terhadap rasa, aroma, warna, bentuk dan kerenyahan bawang goreng dengan membandingkan berbagai tambahan bahan seperti garam, tapioka, sagu dan tepung beras. Perbandingan minyak goreng dan bahan yang digoreng serta frekuensi penggorengan juga turut di analisis. Serta peluang penggunaan spinner setelah bawang mejadi dingin. Penggunaan frekuensi minyak goreng, perbandingan minyak dan bawang serta bahan tambahan berpengaruh terhadap mutu bawang goreng. Sebagian besar rekomendasi dari Dirjen Pemasaran dan hasil dilakukan oleh pengrajin, hanya dalam penggantian minyak goreng masih perlu di perlukan revisi menjadi 5x dari sebelumnya 3x. Hal ini dikarenakan berdasarkan uju organoleptik tidak berbeda nyata dan lebih ekonomis/realitis dilakukan. Walaupun masih perlu dilanjutkan dengan uji kimia. Penggunaan spinner untuk penghilangan minyak tidak direkomendasikan dilakukan bila bawang telah dingin. Kata kunci: perbaikan pengolahan, bawang, partisipasi

PENDAHULUAN Bawang merah (Allium ascolinicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai penyedap makanan serta sebagai sumber gizi, vitamin dan mineral. Bawang merah juga mengandung senyawa antioksidan (Yin dan Cheng, 1988; Yang, et al, 1993; Cao, et al, 1996 dan Galeone, et al, 2006). Di Sulawesi Tengah, khususnya lembah Palu yang beriklim kering terdapat jenis bawang merah yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Jenis bawang merah ini dikenal dengan nama bawang merah lokal Palu dan sudah diolah menjadi produk olahan siap saji yang biasa disebut ”Bawang Goreng Palu”. Bawang goreng ini memiliki tekstur yang padat, rasanya gurih serta memiliki aroma yang khas sehingga banyak disenangi oleh masyarakat sebagai bumbu masak maupun makanan ringan. Oleh karena itu bawang goreng ini dikategorikan sebagai komoditi khas Sulawesi Tengah yang memiliki daya saing tinggi. Rasa khas dan kerenyahan bawang merah Palu menyebabkan bawang ini sangat disukai konsumen. Proses pembuatan bawang goreng memerlukan keterampilan dan kecermatan khusus. Cara pembuatan bawang goreng yang tidak tepat akan menghasilkan tekstur bawang goreng yang kurang renyah (melempem), terasa pahit, gosong, warna tidak merata dan penampilan kurang menarik. Pada umumnya industri rumah tangga mengemas bawang merah dalam wadah toples dan wadah plastik. Aneka macam cara yang dilakukan pada industri rumah tangga untuk mengolah bawang menyebabkan kualitas hasil yang dihasilkan bermacam-macam sehingga menjadikan pengrajin kecil tidak dapat bersaing dengan industri yang ada. Untuk memperoleh bawang goreng yang bermutu baik, diperlukan perbaikan-perbaikan terutama yang menyangkut pemilihan bahan, proses pengolahan, peralatan, pengemasan, sanitasi dan higienitas. Ketika penggorengan serangkaian senyawa aromatik juga terbentuk dari lemak, pati, sakarida dan protein. Disamping itu panas dari alat penggorengan akan menyebabkan pula rangkaian reaksi hidrolisa dan oksidasi terhadap molekul trigliserida (minyak) menjadi asam lemak bebas, gliserol dan hidroperoksida (Chen, 1996 dan Nawar, 1996). Senyawa hidroperoksida bersifat tidak stabil terhadap panas, sehingga mudah mengalami dekomposisi menghasilkan aldehid, keton, hidrokarbon, furan dan asam. Kehadiran senyawa ini akan menyebabkan minyak dan bahan yang digoreng menjadi tengik. Selama masa penyimpanan, senyawa tersebut yakni asam lemak bebas dapat bertindak sebagai pro-oksidan sehingga reaksi oksidasi berantai akan tetap tejadi pada minyak, akibatnya tingkat ketengikan bahan terus bertambah meningkat. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan kajian teknis pengolahan bawang goreng yang standar baik cita rasa, mutu dan higienitasnya dengan cara membandingkan metode yang ada dan mengintroduksikan metode baru diperoleh suatu teknologi yang layak diterapkan untuk skala industri rumah tangga. Perbaikan pengolahan bawang goreng di tingkat pengrajin dilakukan berdasarkan standar teknis pengolahan bawang goreng yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pengolahan dan pemasaran Departemen Pertanian. Tujuan Kegiatan adalah perbaikan teknik pengolahan bawang goreng di tingkat industri rumah tangga.

METODOLOGI Kajian dilakukan di Kota Palu pada Bulan Mei – Desember 2009. Kegiatan yang dilakukan adalah perbaikan pengolahan skala laboratorium khususnya pada penggunaan bahan tambahan dan teknik penggorengan. Uji coba dilakukan di petani dengan prinsip trial and error khususnya pada bahan tambahan digunakan dan alternatifnya serta teknik penggorengan. Teknologi yang ingin diperbaiki berpedoman pada standar teknis pengolahan bawang goreng (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran, 2006). Setelah diperoleh teknologi perbaikan pengolahan bawang goreng kemudian diaplikasikan di Petani. Komponen teknologi yang akan dibandingkan di petani pada kegiatan perbaikan pengolahan disajikan dalam Tabel 1. Setiap perlakuan di uji terpisah dan dibandingkan dengan metode petani. Tabel 1. Jenis perlakuan yang dibandingkan di kegiatan perbaikan pengolahan, Palu 2009 Komponen Penggunaan Minyak Bahan Penggunaan Alat Teknologi tambahan Perlakuan 1 Ratio minyak : bawang = 2,5: 1,5 Tapioka Spinner Frekuensi 3x Minyak diisi ulang setelah 3x sebanyak 1l Perlakuan 2 Ratio Minyak Bawang = 1: 1 Beras Tidak menggunakan spinner Frekuensi 3 x Minyak diganti seluruhnya Perlakuan 3 Ratio minyak : bawang = 3: 1 Sagu Tidak dipergunakan spinner Frekuensi 3x tetapi setelah 1 hari/dingin di Minyak diisi ulang setelah 3x sebanyak 1l panaskan kembali dan di spinner Kemudiaan semua bawang goreng dibandingkan dengan metode uji organoleptik. Pada uji mutu organoleptik meliputi aroma, rasa, kerenyahan dan kesukaan (Kartika et al, 1998). Tipe uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan dengan melibatkan 25-30 orang panelis. Data mutu fisik diolah menggunakan rancangan acak kelompok untuk mutu organoleptik (Gomes and Gomes, 1995). Penilaian ini didasarkan atas pilihan responden untuk nilai 1: Tidak Menyukai, 2 : Agak Tidak Suka, 3 : Biasa, 4 : Agak Suka, 5 : Suka (Kartika et al, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Bahan Tambahan agar Sesuai dengan Rasa yang Diinginkan oleh Konsumen Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa perbaikan pengolahan perlu dilakukan. Yang pertama adalah untuk mendapatkan produk yang aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Yang kedua adalah agar produk tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste) dan tekstur (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan). Bahan tambahan sebagai penambah gurih bawang goreng dilakukan oleh pengusaha yang diantaranya penggunaan tapioka, garam, sagu dan beras. Penggunaan garam selalu ada di setiap produk bawang goreng dan diberikan sewaktu bawang goreng akan dimasukan ke dalam penggorengan. Kegiatan dilakukan di ruang kerja kelompok wanita Petani di Desa Guantarono. Produk yang mereka hasilkan diantaranya adalah Bawang Snack yaitu bawang dengan penambah rasa manis. Anggota kelompok sekitar 30 orang dengan keaktifan 60%. Berdasarkan kesepakatan mereka ingin mempunyai beberapa unit kerja yang terkoordinasi yang salah satunya membuat bawang goreng original, bawang snack dan beraroma. Pada tahap awal dilakukan pencarian formulasi terbaik produk bawang goreng original. Hasil percobaan yang dilakukan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji organoleptik bawang goreng yang dibedakan atas penggunaan bahan tambahan, Palu, tahun 2009 Item Rasa Aroma Warna Bentuk Renyah Keseluruhan Tapioka 4.100b 3.833b 3.533a 3.133a 4.167ab 3.7533b Garam* 4.433b 4.200b 4.167b 4.333b 4.467b 4.32c Sagu 3.133a 3.200a 3.333a 2.667a 3.700a 3.2067a Beras 4.600b 4.300b 4.633b 4.267b 4.633b 4.4867c

Keterangan : * = Cara petani/ pengusaha kecil, hasil uji Duncan (5%) Dari Tabel 2, diketahui bahwa responden menyukai penambahan tepung beras dan tanpa penambahan bahan selain garam yang diketahui dari nilai hasil melebihi nilai 4 (suka) dan berdasarkan hasil analisis duncan keduanya berbeda nyata dengan penggunaan tapioka dan sagu. Karakteristik sagu dan tapioka yang cenderung mengikat bawang sehingga menempel satu dengan lainnya menyebabkan bentuk, warna dan kerenyahannya tidak disukai konsumen. Berdasarkan hasil pengujian ini disepakati dengan petani menggunakan garam saja. Penggunaan beras sebagai bahan tambahan selain meningkatkan nilai gurih dan kerenyahan juga diduga mempunyai efek peningkatan berat produk. Bila 5-10% tepung beras di tambahkan dari berat bawang goreng maka penambahan nilai tambah tepung sebesar 50% dari nilai awalnya. Sebaiknya penambahan bahan tambahan tidak lebih dari 10% dikarenakan bwang goreng yang dinilai baik oleh konsumen adalah bawang goreng yang murni. Perbandingan Minyak Goreng dan Bawang Goreng dalam Proses Pemasakan Bahan utama selain bawang dalam produk bawang goreng adalah minyak. Minyak yang digunakan dalam memasak bawang goreng cenderung rusak selama proses pengolahan dan penyimpanan. Proses pemasakan yang sesuai seperti frekuensi penggunaan minyak dan perbandingan antara minyak dan bahan yang digoreng () emmpunyai pengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survey diketahui frekuensi minyak yang digunakan dapat mencapai 9 – 10 kali tanpa penggunaan antioksidaan minyak atau BHT. Pada rekomendasi yang dianjurkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan pemasaran Departemen Pertanian penggunaan minyak hanya 3x (kali) pemasakan yang kemudiaan ditambahkan minyak kembali sebanyak minyak yang hilang atau 1 liter untuk penggunaan minyak 20 liter dengan sebelumnya diberikan antioksidan. Untuk itu di lakukan pengujian perbandingan minyak goreng dan bawang goreng yang sesuai dan komponen mutu yang berkurang bila dilakukan pemasakan hingga lebih dari 3 kali pemasakan. Pengujian dilakukan dengan melibatkan petani kooperator sebagai responden dalam uji organoleptik. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji organoleptik bawang goreng berdasarkan perbandingan minyak dengan berat bawang, Palu, tahun 2009 Penjelasan Ratio Pemasakan ke : Aroma Warna Bentuk Keseluruhan Minyak : Berat Bawang 3 : 3 1x 3.13a 2.00a 3.47a 2.867a 3 : 1 1x 3.70ab 3.77b 4.33b 3.93b 2,5:1,5 1x 3.60 ab 3.93b 4.30b 3.94b 2,5:1* 1x 3.63 ab 3.63b 4.40b 3.88b 3 : 1 4x 4.17b 4.00b 4.40b 4.19b Penjelasan Ratio Pemasakan ke : Aroma Warna Bentuk Keseluruhan Minyak : Berat Bawang 2,5:1,5 4x 3.60 ab 3.37b 4.13b 3.70b Ket: *Cara Petani, hasil uji lanjut Duncan (5%) Dari Tabel 3, diketahui bahwa perbandingan minyak dan berat bawang juga berpengaruh terhadap kesukaan bawang goreng. Pada perbandingan 1: 1 diketahui warna bawang tidak disukai oleh konsumen. Bila dibandingkan dengan perbandingan minyak dan bawang lainnya maka penggunaan perbandingan 1: 1 tidak disukai dan berbeda secara nyata pada komponen warna dan bentuk. Perbandingan minyak dan bawang dapat menggunakan lebih dari 2 liter minyak untuk setiap 1 kilogram bawang pada skala usaha rumah tangga (minyak yang digunakan untuk sekali memasak 5 liter). Perbandingan minyak dan bawang goreng yang digunakan tersebut akan berbeda penggunaanya jika skala usahanya lebih besar (menggunakan minyaknya lebih dari 15 liter minyak yang digunakan untuk sekali memasak). Rekomendasi perbandingan minyak dan bawang pada setiap pemasakan 15 liter adalah menggunakan bawang goreng sebanyak 3-4 kg atau mendekati rekomendasi dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan pemasaran Departemen Pertanian bahwa perbandingan minyak dan bawang goreng sebesar 5 : 1. Kesepakatan dengan petani kooperator adalah menggunakan perbandingan minyak dan bawang goreng adalah 3: 1. Selain ratio minyak dan bawang, mutu bawang goreng juga di ujikan frekuensi minyak goreng dalam proses pemasakan yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji organoleptik bawang goreng berdasarkan frekuensi penggunaan minyak, Palu, tahun 2009 Penjelasan Ratio Minyak : Pemasakan ke : Warna Bentuk Berat Bawang 3 : 1 1x 4.27c 4.43b 3 : 1 2x 3.87bc 3.23a 3 : 1 3x 3.77bc 3.57a 3 : 1 4x 3.83bc 3.23a 2,5:1,5 1x 3.60abc 3.47a 2,5:1,5 2x 3.33ab 3.10a 2,5:1,5 3x 3.03a 3.33a 2,5:1,5 4x 3.67abc 3.33a 2,5:1* 1x 3.93bc 3.37a Ket: *Cara Petani, hasil uji lanjut Duncan (5%) Pada Tabel 4, diketahui bahwa aroma bawang goreng juga dipengaruhi dengan kondisi minyak goreng yang digunakan. Aroma juga berpengaruh pada penggunaan minyak yang di tambahkan sewaktu pemasakan. Pada Tabel 5, diketahui terjadi penurunan kesukaan warna untuk setiap perbandingan ratio minyak dan berat bawang. Usaha penambahan minyak baru setelah tiga kali pemakaian memberikan peningkatan kesukaan oleh panelis. Pada Tabel 3 juga dapat diketahui tingkat penurunan kesukaan lebih tajam pada perbandingan minyak dan bawang 2,5 : 1,5 dibandingkan 3: 1. Komponen mutu bentuk bawang goreng tidak berpengaruh terhadap frekuensi penggunaan minyak. Perlu dikaji lebih jauh, frekuensi penggunaan minyak yang dapat dilakukan hingga panelis tidak menyukai bawang goreng yang dihasilkan lagi (nilai 2) dan didukung data analisis kimia. Hasil pendugaan penurunan mutu pada pemasakan ke 4 dan 5 pada komponen mutu warna disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pendugaan penurunan mutu bawang goreng Berdasarkan hasil pendugaan diketahui bahwa pada perbandingan minyak dan bawang 3 : 1 maka pada pemasakan bawang goreng hingga lima kali akan menurunkan tingkat mutu warna hingga mendekati nilai mutu 3. Pada rekomendasi yang dianjurkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan pemasaran Departemen Pertanian penggunaan minyak hanya 3x (kali) pemasakan yang kemudiaan ditambahkan minyak kembali maka untuk skala pengrajin/rumah tangga diusulkan direvisi menjadi 5x (kali) dikarenakan tidak ekonomis bagi pengusaha. Hasil rekomendasi ini sebaiknya didukung oleh pengkajian lainnya dari sisi kimiawi bawang goreng pada pemasakan diatas 3 kali. Penggunan Spinner pada Bawang yang Telah Dingin Penggunaan spinner sangat berpengaruh terhadap mutu bawang goreng yang dihasilkan. Bila minyak yang tertinggal di bawang goreng akan menyebabkan kerenyahan dan rasa bawang goreng menjadi berkurang. Percobaan ini dilakukan untuk mengantisipasi ketiadaan spinner sewaktu pemasakan atau kondisi mati lampu sewaktu pemasakan. Hasil percobaan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji organoleptik bawang goreng yang dibedakan atas penggunaan spinner, Palu, tahun 2009 Item Menggunakan Tidak Menggunakan Menggunakan Spinner setelah 30 menit Spinner Spinner dipanaskan di Magic Jar Rasa 4.433 3.450 3.600 Aroma 4.200 3.750 3.820 Renyah 4.467 3.670 3.750 Pada Tabel 5, diketahui bahwa penggunaan spinner mampu menghilangkan minyak sehingga kerenyahannya lebih baik. Mutu bawang khsuusnya rasa dan aroma yang di panaskan kembali dengan magic jar selama 30 menit tidak lebih baik dari bawang goreng yang tidak menggunakan spinner. Selain itu bawang goreng yang berada di bagian bawah mengalami kegosongan akibat panas yang tidak merata. Perlakuan pemasakan kembali diduga lebih baik dibandingkan pemasakan kembali menggunakan magic jar dengan syarat minyak telah panas dan waktu pemasakan tidak lama (kurang dari 2 menit).

KESIMPULAN Penggunaan frekuensi minyak goreng, perbandingan minyak dan bawang serta bahan tambahan berpengaruh terhadap mutu bawang goreng. Sebagian besar rekomendasi dari Dirjen Pemasaran dan hasil dilakukan oleh pengrajin dan diperlukan revisi penggantian minyak goreng menjadi 5x dari sebelumnya 3x. Penggunaan spinner menjadi suatu keharusan jika diinginkan bawang goreng bermutu baik.

DAFTAR PUSTAKA Cao, G., E. Sofic., and R.L. Prior. 1996. Antioxidant Capacity of Tea and Common Vegetables. J. Agric. Food Chem. 44: 3426 – 3431. Chen, Q. 1996. Flavor Compound in Fats and Oil. In: Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Fifth Edition, Volume I, Edible Oil and Fat Products General Application. Y.H. Hui (Ed.), 83 – 104. John Wiley & Sons, Inc, New York. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2006. Standar Teknis Prosedur Operasional Pengolahan Bawang Merah. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta. Galeone, C., C. Pelucchi., F. Levi., E. Negri., S. Franceschi., R. Talamini., A. Giacosa and C. La Vecchia. 2006. and Use and Human Cancer. Am J Clin Nutr 84: 1027– 1032. Gomez, K.A and A.A.Gomez, 1995. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley & Sons, Inc. Filiphine. Kartika B., Pudji H., and Wahyu S., 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Nawar, W.W., 1996. Lipids. In: Food Chemistry. Third Edition. O.R. Fennema (Ed.). 225 – 319. Marcel Dekker, Inc, New York. Yang, G.C., P.M.Yasaei and S.W. Page, 1996. Garlic as Anti-oxidants and Free Radical Scavengers. J. Food Drug Anal. 1: 357 – 364. Yin, M and W.Cheng, 1998. Antioxidant Activity of Several Allium Members. J. Agric. Food Chem, 46 : 4097 – 4101.