NASIONALISME ETNIS TIONGHOA

(STUDI TENTANGNILAI-NILAI KRITIS DALAM

DEMOKRASI )

Disusun Oleh:

Alvin Liasta

140906074

Dosen Pebimbing: Dra T. Irmayani M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Universitas Sumatera Utara 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ALVIN LIASTA ( 140906074 )

NASIONALISME ETNIS TIONGHOA ( Studi Tentang Nilai – Nilai Kritis Soe Hok Gie dalam Demokrasi Indonesia ). Rincian isi Skripsi , 99 halaman, 2 gambar, 35 buku, 3 jurnal elektronik, 2 situs internet, 1 surat kabar, 1 film. ( Kisaran buku dari tahun 1963 – 2010 )

ABSTRAK Penelitian ini menguraikan tentang sikap dan tindakan Soe Hok Gie melalui tulisan, pemikiran dan gerakan pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila ( Rezim Soekarno dan Rezim Soeharto ). Sikap dan tindakannya berawal dari cara Gie berpikir kritis yang menghasilkan sebuah nilai – nilai kritis. Permasalahan yang ditimbulkan oleh Soekarno dan Soeharto membuat Gie harus berjuang untuk melakukan perubahan. Gie seorang keturunan etnis Tionghoa yang minoritas berani berjuang melawan keadilan dan ketertindasan dari penguasa. Etnis minoritas bukan menjadi penghalang ia untuk melakukan perlawanan terhadap rezim, sekalipun namanya tidak berubah, hal tersebut tidak mengurangi rasa ke Indonesiaannya. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori Nasionalisme dari Marvin Perry dan Anthony D Smith, kemudian teori demokrasi untuk menjelaskan apa yang terjadi di dalam demokrasi terpimpin dan pancasila. Selain itu, Konsep Berpikir Kritis dan Nilai – Nilai Kritis digunakan untuk menguatkan argumen dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sikap dan tindakan Soe Hok Gie merupakan wujud dari Nasionalisme. Kata Kunci : Soe Hok Gie, Nasionalisme

Universitas Sumatera Utara UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ALVIN LIASTA (140906074)

NATIONALISM ETHNIC TIONGHOA (Study of Soe Hok Gie's Critical Values in Indonesian Democracy). Details of Thesis content, 99 pages, 2 pictures, 35 books, 3 electronic journals, 2 internet sites, 1 newspaper, 1 film. (Range of books from 1963 - 2010)

ABSTRACT

This study describes Soe Hok Gie's attitude and actions through writing, thought and movement during the Guided Democracy and Pancasila Democracy (Soekarno's Regime and Soeharto's Regime). His attitude and actions start from the way Gie thinks critically that produces a critical values. The problems caused by Soekarno and make Gie must struggle to make changes. Gie is a ethnic minority ethnic Chinese who dare to fight against justice and oppression from the authorities. Ethnic minorities are not a barrier to his resistance to the regime, even if his name does not change, it does not diminish his sense of being in Indonesia. This research method using descriptive qualitative with data collection technique through literature study. Theories used to explain the problem are the Nationalist theories of Marvin Perry and Anthony D Smith, then the theory of democracy to explain what happens in guided democracy and Pancasila. In addition, the Concept of Critical Thinking and Critical Values is used to corroborate the argument in this study. The results of this study concluded that the attitude and actions of Soe Hok Gie is a manifestation of Nationalism.

Keywords: Soe Hok Gie, Nationalism

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“NASIONALISME ETNIS TIONGHOA DALAM PERKEMBANGAN INDONESIA

(STUDI TENTANG NILAI – NILAI KRITIS SOE HOK GIE DALAM DEMOKRASI

INDONESIA )”. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam jenjang perkuliahan Strata 1 pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan, saran dan bantuan dari berbagai pihak sehingga segala hambatan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan baik. Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari kekurangan, baik aspek kualitas maupun aspek kuantitas dari materi penelitian yang disajikan. Semua ini didasarkan dari keterbatasan yang dimiliki penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan pendidikan dimasa yang akan datang.

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini penulis banyak diberi bantuan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terimaksih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia selalu kepada saya

2. Bapak Dr.Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara 3. Bapak Warjio, P.hd selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Dosen Pembimbing dalam menyelesaikan skripsi

ini.

5. Dosen yang telah memberikan nilai sempurna ( A ) dan tidak memberikan nilai

sempurna, Staff, dan Administrasi Bapak Burhan yang sabar mengurusi berkas saya

di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

6. Keluarga saya yang selalu mendukung selama saya kuliah di Program Studi Ilmu

Politik.

7. Grasella yang selalu mengingatkan untuk mengerjakan skripsi ini tiap saat tanpa

bosan dan suntuk menghadapi saya.

8. Kawan- Kawan saya Azhari M Latief, Nugra Ferdino, M Zubeir S, Yusuf Anggrian,

Fajar Anugrah, Heri Ariandi yang memberikan sedikit hidayah kepada saya,

Kemudian kepada Anak Didik Wenger.

9. Seluruh kawan-kawan Stambuk 2014 yang senantiasi menghiasi perjalanan awal

masa perkuliahan hingga akhir.

10. Organisasi yang telah mendidik dari awal perkuliahan sehingga pemikiran menjadi

kritis yaitu, Front Mahasiswa Nasional. Jayalah perjuangan masa !!! dan Kemudian

Organisasi Ukmi As-Siyasah yang telah memupuk keagamaan selama perkuliahan

dan tidak lupa juga kepada Organisasi Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Politik

yang telah memberikan pelajaran didalamnya.

Universitas Sumatera Utara Saya mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan skripsi ini.. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan bagi pembaca sebagai pengetahuan baru. Wassalamualaikum Wr Wb

Medan, 2018

Alvin Liasta 140906074

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...... i

BAB I PENDAHULUAN ...... ii

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 12

1.3 Tujuan Penelitian ...... 12

1.4 Manfaat Penelitian ...... 13

1.5 Kerangka Teori ...... 13

1.5.1 Nasionalisme ...... 13

1.5.2 Demokrasi ...... 15

1.6.2.1 Demokrasi Terpimpin ...... 16

1.6.2.2 Demokrasi Pancasila ...... 17

1.5.3 Konsep Berfikir Kritis ...... 20

1.5.4 Konsep Nilai Kritis ...... 21

1.6 Studi Terdahulu ...... 22

1.7 Metodologi Penelitian ...... 26

1.7.1 Metode Penelitian ...... 26

1.7.2 Jenis Penelitian ...... 27

1.7.3 Objek Penelitian ...... 27

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data ...... 28

1.7.5 Teknik Analisa Data ...... 28

Universitas Sumatera Utara 1.8 Sistematika Penulisan ...... 29

BAB II PROFILE SOE HOK GIE

2.1 Soe Hok Gie Kecil Sampai Dewasa ...... 30

2.2 Awal mula penyebab pemikiran kritis ...... 35

2.3 Pergerakan Soe Hok Gie ...... 38

2.4 Karya – karya Soe Hok Gie ...... 48

BAB III NILAI KRITIS SOE HOK GIE DALAM DEMOKRSASI INDONESIA SEBAGAI WUJUD NASIONALISME 3.1 Rezim Soekarno 3.1.1 Demokrasi Terpimpin (1959- 1966 ) …………………… . 55 3.1.2 Faktor – Faktor Lahirnya Demokrasi Terpimpin ………… 58 3.1.3 Masa Perkembangan Demokrasi Terpimpin …………… 59 3.2 Sikap dan tindakan Soe Hok Gie pada masa Demokrasi Terpimpin … 62 3.3 Rezim Soeharto 3.3.1 Demokrasi Pancasila ( 1967 – 1969 )……………………….78 3.3.2Faktor – Faktor Lahirnya Demokrasi Pancasila …………….78 3.3.3 Masa Perkembangan Demokrasi Pancasila ………………….79 3.4 Tindakan dan Sikap Soe Hok Gie dalam Demokrasi Terpimpin……… .83 3.5 Nilai – Nilai Kritis Soe Hok Hok Gie Sebagai Wujud Nasionalisme …. 89 BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ...... 93

4.2 Saran ...... 95

DAFTAR PUSTAKA ...... 96

LAMPIRAN ......

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULLUAN

1.1 Latar Belakang

Awal mula datangnya orang Tionghoa ke Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Etnis Tionghoa diketahui datang untuk keperluan berdagang, penyebarluasan agama Budha, dan pengetahuan-pengetahuan seperti sastra. Pada masa Dinasti Tang (618 – 907 M) didapati orang-orang Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya. Jauh pada paruh kedua abad ke-9, ketika tentara pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta saudagar Arab dan Persia berjumlah besar yang bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong mengungsi ke Sriwijaya. Selanjutnya pada masa dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara.1 Kedatangan Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat etnis Tionghoa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pada akhir masa dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan.

Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu , Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota Kanton.2 Di Indonesia, suku Hokkien hidup dengan cara berdagang, orang Kanton di samping mempunyai kepandaian berdagang juga mempunyai ketrampilan di bidang pertukangan dan teknologi, orang Hakka bekerja di

1 Kong Yuanzhi, 2005, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, : Bhuana Ilmu Populer, hal. 23-25. 2 Victor Purcell, 1987, The Chinese in Southeast Asia, London: Oxford University, hal. 52.

Universitas Sumatera Utara pertambangan sehingga mereka banyak terdapat dan tinggal di daerah pertambangan seperti Bangka dan Belitung, dan orang Tiu-Chiu banyak melakukan usaha di bidang perkebunan.3

Masyarakat Cina di Indonesia mengklasifikasikan dirinya menjadi dua yaitu, Orang Cina Totok dan Peranakan. Orang Cina Totok adalah orang yang mempunyai garis keturunan Tionghoa asli. Kedua orang tuanya merupakan keturunan Cina dan juga lahir di tanah leluhur mereka di Tiongkok. Kemudian Orang Cina Peranakan adalah orang keturunan Cina yang sudah tidak asli. Hanya salah satu dari orang tuanya merupakan keturunan Cina. Baik dari orang tua perempuan atau dari laki-laki. Tempat kelahirannya tidak di tanah leluhur mereka di Tiongkok. Kedua klasifikasi tersebut terlibat dalam sejarah perkembangan Indonesia.

Sejak zaman pemerintahan Gubernur Jendral J P Coen, warga Batavia keturunan Cina menjadi warga yang dibanggakan oleh pemerintahan VOC pada saat itu, sehingga terjadi imigrasi besar-besaran dari Cina ke Batavia. Hal itu kemudian berakibat pada membludaknya warga keturunan Cina di Batavia, mulai dari yang rajin bekerja di perkebunan tebu, dagang, hingga yang berbuat kriminal karena pengangguran. Masa penjajahan Belanda di Indonesia dapat dibagi dalam dua periode yaitu periode tahun 1602 sampai 1799, dan periode tahun 1800 sampai 1942. Periode pertama yaitu antara tahun 1602 sampai 1799, Indonesia di bawah persekutuan dagang Belanda. Persekutuan dagang itu dibentuk tahun 1602, dan merupakan hasil penyatuan atau merger beberapa serikat dagang di Belanda. Serikat dagang ini bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Kepada serikat dagang ini, pemerintah Belanda memberikan hak-hak istimewa. Hak istimewa tersebut antara lain hak monopoli perdagangan, hak mencetak uang sendiri, hak mengumumkan perang, dan hak untuk membuat perjanjian dengan penguasa lain. Dengan status seperti sebuah negara ini, VOC memiliki otonomi sendiri untuk bertindak.4

3Ibid., hal. 52. 4 A. Kardiyat Wiharyanto. 2007, Perganitan Kekuasaan di Indonoesia tahun 1800, PPS, Vol. 21, No. 1.

Universitas Sumatera Utara VOC memonopoli dunia perdagangan Nusantara dan hanya VOC saja yang dapat berhubungan dagang dengan penguasa setempat. Organisasi tersebut menjual barang yang berasal dari Eropa dan Jepang kepada penduduk melalui kaum bangsawan, kemudian sebaliknya mereka membeli bahan mentah seperti; produk pertanian, perkebunan, dan hutan. VOC memberikan kesempatan kepada orang Cina untuk menjual barang-barang produk yang mereka bawa dari daratan Cina. Hal ini dikarenakan barang-barang yang mereka bawa ke Batavia berguna bagi penduduk lokal serta bagi perdagangan VOC dengan Eropa. Pada tahun 1729, besarnya jumlah perantau Tionghoa di Batavia pada masa VOC, menimbulkan kekhawatiran sehingga dibuatnya suatu ketentuan migrasi baru. Salah satunya berbunyi bahwa orang Tionghoa yang sudah tinggal di batavia antara 10-12 tahun, tetapi belum mendapatkan izin akan dikembalikan ke Tiongkok. Namun pada tahun 1729 VOC juga mengeluarkan amnesti imigrasi yang menyatakan bahwa orang Tionghoa yang belum mempunyai izin diperkenankan untuk mengajukannya dengan membayar dua ringgit.5 Akibat diberlakukannya peraturan ini orang-orang Tionghoa menjadi sasaran oleh para pejabat VOC dan menjadi korban pemerasan, karena orang-orang ditangkap dan akan dilepas setelah memberikan uang.

VOC memberikan sedikit ruang dan kesempatan bagi orang Tionghoa sebagai pedagang. Berbagai tekanan dan perlakuan tidak wajar yang dilakukan oleh VOC terhadap orang-orang Cina dan pribumi tersebut menyulut terhadap VOC. Hingga mencapai puncaknya pada pada tahun 1740, mereka berani melakukan pemberontakan melawan pemerintah VOC di Batavia.6 Namun pemberontakan ini dapat diselesaikan seketika oleh VOC dengan memprakarsai pembantaian terhadap orang Tionghoa oleh orang-orang pribumi dengan iming-iming hadiah untuk per kepala orang Tionghoa yang di dapatkan, kejadian menimbulkan korban yang begitu banyak di kalangan perantau Tionghoa. Sehingga peristiwa ini juga terkenal dengan nama Geger Pacinan (Pembunuhan terhadap orang Tionghoa).

5Daradjadi, 2013, Geger Pacinan (1740-1743), Jakarta. : . hal. 29. 6Ibid., hal. 32.

Universitas Sumatera Utara Periode kedua, saat jatuhnya VOC pada tahun 1799, membuat kekuasan politik nusantara diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan prinsip devide et impera ( politik perpecahan ) untuk menguasai wilayah jajahannya. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi maka jumlah penduduk Belanda adalah sangat kecil. Dalam usaha mengendalikan penduduk pribumi yang mayoritas, pemerintah kolonial menggunakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok bangsawan pribumi yang diperbolehkan menduduki posisi pemerintahan dan kelompok-kelompok minoritas asing seperti orang-orang Tionghoa yang hanya diperbolehkan bergerak di bidang ekonomi. Pemerintah kolonial Belanda melakukan stratifikasi antargolongan penduduk antara satu golongan dengan golongan yang lain. Penduduk dibagi dalam tiga golongan, yaitu warga negara kelas satu yang terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya, warga negara kelas dua yang terdiri dari Vreemde Oosterlingen yaitu orang India, Arab, Tionghoa, dan orang-orang Timur Asing lainnya, dan warga negara kelas tiga yang terdiri dari penduduk pribumi7. Penggolongan kelas masyarakat menimbulkan eksklusivisme, karena masing-masing golongan masyarakat tersebut diposisikan dalam stratifikasi sosialnya masing-masing dan tidak boleh diperbaurkan.

Menjelang akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan- aturan lain untuk membatasi gerak langkah etnis Tionghoa di Indonesia. Melalui Wijkenstelsel pemerintah kolonial menciptakan sejumlah pusat pemukiman etnis Tionghoa di beberapa kota besar di Indonesia yang disebut sebagai kampung pecinan. Etnis Tionghoa diisolasi secara fisik sehingga antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dipisahkan. Selain wijkenstelsel, pemerintah kolonial juga memberlakukan passenstelsel yang mengharuskan etnis Tionghoa untuk meminta izin bila akan melakukan perjalanan. Politik kolonial anti Cina ini menyebabkan timbulnya gerakan emansipasi atau gerakan Cina-Jawa. Mereka menuntut persamaan hak dengan orang Eropa. Gerakan ini adalah yang

7 Onghokham,2000 “Pengaruh Gerakan Cina dalam Kebangitan Nasional”, dalam Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, hal. 146-151.

Universitas Sumatera Utara pertama dari segolongan penduduk di masyarakat Hindia Belanda yang bergerak menghadapi kolonial. Gerakan ini berhasil menghapus semua pembatas terhadap mobilitas fisik orang Tionghoa (keharusan tinggal di kampung Cina dan pas jalan bagi orang Cina).

Pada awal abad 20 berbagai gerakan nasional Indonesia mulai bermunculan guna mengakhiri pemerintahan kolonial dan mendirikan suatu negara yang berkebangsaan Indonesia. Dari gerakan ini muncullah berbagai partai Nasionalis yang melatarbelakangi terciptanya lambang-lambang kebangsaan seperti bahasa nasional, bendera kebangsaan dan lagu kebangsaan. Pada tahun 1932 didirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang secara langsung menentang Chung Hwa Hui ( orientasi Hindia Belanda ). PTI bersikap anti Belanda dan menolak nasionalisme Tiongkok. PTI bekerja sama dengan pergerakan nasionalis Indonesia. PTI meminta masyarakat Tionghoa Hindia Belanda untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai masyarakat Indonesia dan menyetujui upaya kalangan nasionalis Indonesia dalam membentuk sebuah pemerintahan sendiri dan akhirnya Indonesia yang merdeka melalui cara-cara konstitusional.8

Selain melalui PTI, orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia tidak sedikit yang terlibat dalam dunia pergerakan nasional, mereka turut andil dalam mencapai kemerdekaan. Misalnya, turut sertanya etnis Tionghoa dalam “Sumpah Pemuda” 1928 yang telah meletakkan dasar yang penting bagi lahirnya bangsa Indonesia, yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. Selain itu juga terdapat empat orang Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Mr. Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian. Etnis Tionghoa yang turut meresmikan UUD 1945 dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah Jap Tjwan Bing.9

Kolonialisme yang dilakukan selama ratusan tahun oleh penjajah membentuk suatu paham Nasionalisme yang dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia untuk mengusir

8 Leo Suryadinata (ed.), 2002Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: INTI dan LP3ES,), hal. 6. 9Ibid., hal. 383.

Universitas Sumatera Utara Penjajah. Tetapi, baru pada akhir abad ke-18 M nasionalisme dalam pengertian menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. , sebagaimana diungkapkan Sulfikar, melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan.10

Soekarno menegaskan sesuatu yang amat penting mengenai karakteristik nasionalisme Indonesia dan kesatuan bangsa Indonesia sebagai berikut:

“Kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat alami, melainkan historis, artinya berbeda dengan bangsa Korea, bangsa Indonesia bersatu bukan karena dipersatukan oleh satu bahasa Ibu, atau oleh kesatuan suku, budaya ataupun agama. Dalam arti alami masyarakat-masyarakat di bumi Indonesia merupakan keanekaan dengan ratusan bahasa, suku, budaya daerah, dan dengan pluralitas agama yang tersebar atas ribuan pulau yang secara geografispun tidak dengan sendirinya mendukung persatuan nusantara. Yang mempersatukan masyarakat- masyarakat di bumi Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, sebuah sejarah penderitaan, penindasan, perjuangan kemerdekaan, dan tekad pembangunan kehidupan bersama. Itulah dasar kesatuan bangsa Indonesia,dasar kesatuan bangsa Indonesia bukan tendensi-tendensi bawah sadar masing-masing golongan penduduk, melainkan sebuah tekad bersama. Persatuan bangsa Indonesia tidak bersifat etnik, melainkan etis”11 Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Golongan Tionghoa yang berorientasi ke Indonesia mulai menunjukkan taringnya, diantaranya Persatuan Tionghoa pada tahun 1948 yang kemudian menjadi Partai Demokrat Tionghoa (PDTI, 1950-1954) dan juga organisasi-

10 Sulfikar Amir, “Epistemologi Nasionalisme”, http://kompas.com/kompascetak/0411/03/Bentara/1363295.htm, diakses pada 25 Nov 2017, pukul 20.50 11 Soekarno.1963, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan, Kedua, Panitia Penerbit Di bawah Bendera Revolusi, PT.Jambatan. Djakarta. hal. 58

Universitas Sumatera Utara organisasi lainnya yang berorientasi ke Indonesia lainnya seperti Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKRI).12 Masa Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia tahun 1959 dengan diawali dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Terpimpin pada saat pemerintahan adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden. Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak stabil sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih stabil. Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer atau Liberal, Hal ini disebabkan karena pada masa Demokrasi Parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai. Dampaknya dari penataan kehidupan politik yang menyimpang dari tujuan awal adalah demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).

Menurut Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, di jelaskan bahwa terjadi sejumlah penyimpangan yang dilakukan pada masa Demokrasi Terpimpin terhadap UUD 1945 antara lain adalah :

1. Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. 2. Pembentukan MPRS, Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. 3. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Pelaksanaannya kedudukan

12 Leo Suryadinata, , 2002. Negara dan Etnis Tionghoa, “Kasus di Indonesia” Jakarta: LP3ES. Hal. 26.

Universitas Sumatera Utara DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia, sehingga lebih dikenal dengan Manipol Usdek.13

Kemudian pada tahun 1963 MPRS melalui Sidang Umum MPRS mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan Keputusan MPRS No. III / MPRS / p. Hal ini benar-benar bertentangan dengan UUD 1945 Bab III Pasal 7 dimana Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat selama 5 tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali. Dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno sehingga munculnya pergolakan oleh seorang keturunan Etnis Tionghoa yang memandang bahwa keadilan dan kesejahteraan telah dihilangkan oleh penguasa yang bertindak untuk kepentingan pribadinya. Keturunan etnis Tionghoa tersebut adalah Soe Hok Gie, seseorang yang memiliki idealisme tinggi dan sikap nasionalisme terhadap Indonesia. Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia lahir dari pasangan Soe Lie Pit, seorang novelis dengan Nio Hoe An. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara dari keluarga besar Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Jok Djie yang dikenal dengan nama . Ia adalah pemerhati masalah bangsa yang tekun dan bersemangat, bahkan ketika ia masih remaja.

Banyak pemikiran dan renungannya tentang dunia dan sekelilingnya, begitu pula pemikirannya tentang masalah sosial politik yang tersimpan dalam tulisan-tulisan pribadinya dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Kesadaran Soe Hok Gie terhadap

13 Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. hal. 125-128.

Universitas Sumatera Utara dunia di sekelilingnya mulai terwujud dalam ekspresi politiknya semasa SMA. Kritik-kritik tajam kepada Presiden Soekarno yang muncul dalam catatan hariannya tanggal 10 Desember 1959, melihat seseorang yang memakan kulit mangga karena kelaparan, kemudian ia melihat jarak 20-30 meter Soekarno dengan senyum bahagia melewati kerumunan masyarakat dengan kendaraannya. Hal tersebut membuat soe hok gie merasakan ada sebuah ketimpangan yang diberikan oleh penguasa, hal ini adalah pernyataan eksplisit yang pertama tantang pemahamannya tentang dunia politik.

Pada masa demokrasi terpimpin gerakan mahasiswa berperan besar dalam rangka perubahan tahun 1966, termasuk didalamnya Soe Hok Gie yang aktif menyuarakan pendapat melalui aksi massa maupun tulisan tulisan di media massa Seperti; Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Salah satu tulisannya berjudul “kuli penguasa atau pemegang saham”. Soe Hok Gie melibatkan diri ke dalam suatu pergerakan aksi massa, yaitu melalui GMS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan Gerakan Pembaharuan. Dengan adanya demokrasi terpimpin sehingga mengharuskan gerakan tersebut dilakukan dengan cara bawah tanah. Gerakan yang dilakukan mahasiswa 1966 inilah yang menumbangkan pemerintahan Orde Lama yang telah menyimpang dari cita-cita Indonesia.

Peran Soe Hok Gie tidak hanya berhenti setelah masa peralihan. Ia melihat situasi pemerintahan ketika diawal rezim Soeharto mulai menampakkan tindakan yang tidak seharusnya terjadi, ketika pembantaian terhadap rakyatnya sendiri tanpa proses pengadilan hanya karena tuduhan terlibat G 30 S. Hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu ketika kurangnya kontrol terhadap pemerintah, karena kuatnya posisi tentara dalam percaturan politik, hal ini membuat Soe Hok Gie merasa bahwa ada bom waktu yang kelak akan meledak.

Soe Hok Gie juga menyoroti masalah peran, fungsi, dan tugas mahasiswa yang mulai terjadi pergeseran dan pudar karena kepentingan pribadi. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang tidak merujuk kepada keadilan dan sikap

Universitas Sumatera Utara mementingkan individu ketimbang kolektif.Masa peralihan mahasiswa terpecah menjadi dua yaitu yang setuju dengan peran mahasiswa dalam politik praktis maupun yang tidak setuju dalam keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis. Ketika lulus dari Fakultas Sastra UI, Soe Hok Gie memilih menjadi dosen di almamaternya daripada mengikuti jejak teman- temannya sesama aktivis ’66 yang beramai-ramai menjadi anggota DPR-GR (ketika itu DPR bernama DPR-GR). Bahkan, Soe Hok Gie mengirimkan kado “Lebaran dan Natal” untuk teman-temannya di DPR-GR yang berisi pemulas bibir, cermin, jarum, dan benang, disertai pesan : Bekerjalah dengan baik, Hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda tidurlah nyenyak.

Berdasarkan pemaparan diatas, Soe Hok Gie yang merupakan keturunan etnis Tionghoa memiliki jiwa Nasionalisme kepada Indonesia dengan tindakan dan sikap yang dilakukan terhadap penguasa yang sudah keluar dari jalur cita-cita Indonesia. Ia memiliki rasa cinta tanah air dengan sikapnya mencintai Indonesia dengan rakyat-rakyat kecil. Tidak banyak jiwa nasionalisme etnis tionghoa seperti yang dimiliki oleh Soe Hok Gie dari tahun 1963 dengan jumlah masyarakat Tionghoa sebanyak 2.450.0014 jiwa hingga pada tahun 2010 sebanyak 2.832.510 jiwa15. Dengan ini penulis tertarik membahas Nasionalisme etnis Tionghoa yang dilakukan oleh seorang mahasiswa yaitu Soe Hok Gie dalam kecintaannya terhadap Indonesia. Maka penulis mengambil judul: NASIONALISME ETNIS TIONGHOA ( STUDI TENTANG NILAI-NILAI KRITIS SOE HOK GIE DALAM DEMOKRASI INDONESIA.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian dipandang menarik, penting, dan perlu diteliti. Rumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan secara tersurat petanyaan-

14G WiliamSkinner. 1979.Golongan minoritas Tionghoa. In Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, edited by Mely G. Tan. Jakarta: Penderbit PT Gramedia. hal. 12. 15Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.Diakses pada 17-12-12 pukul 19.20 Wib.

Universitas Sumatera Utara pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan pemecahannya. Rumusan masalah merupakan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan16.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penulis membuat suatu rumusan masalah, yaitu: Tindakan dan sikap apa yang telah dilakukan Soe Hok Gie sebagai wujud dari Nasionalisme kepada Indonesia?

1.4 Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu adanya suatu tujuan penelitian. Tujuan penelitian adalah pertanyaan mengenai hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah :

1. Untuk mengetahui sikap dari tulisan Soe Hok Gie di masa Pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila Indonesia 2. Untuk mengetahui sikap dari pemikiran Soe Hok Gie di masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila Indonesia 3. Untuk mengetahui tindakan dari gerakan Soe Hok Gie di masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila Indonesia

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain :

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai Nasionalisme Etnis Tionghoa yang telah dilakukan oleh Soe Hok Gie di Indonesia.

16 Husani Usman dan Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara, hal. 26

Universitas Sumatera Utara 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pisau analisis bagi para aktivis sosial, mahasiswa masyarakat etnis dan lain-lain dalam membedah persoalan pada masyarakat khususnya mengenai nasionalisme dan pergerakan. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dapat melengkapi koleksi ilmiah di perpustakaan Universitas dan Memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana I Program Studi Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Nasionalisme

Nasionalisme secara etimologi berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa, memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara serta menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan17.

Sedangkan menurut Marvin Perry “Nasionalisme adalah suatu ikatan sadar yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan bahasa, kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama dan saling terikat dalam suatu negeri tertentu”. Pada dasarnya nasionalisme memang lahir dari bermacam-macam cara, mulai dari karena kesamaan akan sejarah, kebudayaan, cita-cita, ketidakadilan, penindasan, serta sebagai wujud perlawanan suatu kelompok bangsa18.

Dari pengertian tersebut nasionalisme dapat di artikan sebagai paham tentang kebangsaan dan rasa cinta tanah air yang harus dimiliki oleh warga negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara.

17Mifdal Zusron Alfaqi, , Memahami Indonesia Melalui Perspektif Nasionalisme, Politik Identitas, Serta Solidaritas, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan , Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015, hal. 112. 18 Marvin Perry,. 2013. Peradaban Barat, Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman Globalisasi. , Bantul: Kreasi Wacana hal. 94.

Universitas Sumatera Utara Mengacu pada awal timbulnya nasionalisme secara umum, maka nasionalisme dapat dikatakan sebagai suatu situasi kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara dan bangsa atas nama sebuah bangsa19

Makna Nasionalisme menurut Anthony D Smith adalah :

1. Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa; 2. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan; 3. Suatu bahasa dan simbiolisme bangsa; 4. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan ; 5. Suatu doktrin dan/ atau ideology bangsa, baik yang umum maupun yang khusus20.

Dari semua makna tersebut, memiliki saling keterikatan, tetapi belum tentu berjalan bersamaan21. Misalnya, orang dapat saja mempunyai rasa kebangsaan yang besar tanpa adanya simbiolisme, gerakan, atau bahkan ideologi bangsanya ataupun sebaliknya.

Nasionalisme saat ini tidak lagi memiliki musuh terbatas pada imperialisme, kolonialisme, separatisme atau ideologi-ideologi lain, namun meluas kepada hal-hal di luar itu, seperti, keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan, penindasan hak asasi dan sebagainya Hal ini mengacu pada esensi dasar dari nasionalisme yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan, yang menyiratkan suatu keadilan yang merata dan harus mampu dirasakan semua anggota bangsa22.

1.6.2 Demokrasi

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu

19 Trianto dan Titik Triwulan, 2007. Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prestasi Pustaka, , hal. 103. 20 Anthony D Smith, 2003. Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: penerbit Erlangga hal. 6-7. 21Ibid., hal. 7. 22Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,. 2004. Buletin Psikologi, Nasionalisme, Tahun XII, No. 2, Desember 2004. Hal. 69.

Universitas Sumatera Utara demokratia (kekuasaan rakyat), yang dibentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kota Yunani Kuno khususnya Athena.23

Menurut Joseph A. Schemeter berpendapat bahwa “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Pengertian demkrasi secara sempit di kemukakan oleh Joseph Schumpeter, bahwa “ demokrasi merupakan mekanisme politik untuk memilih pimpinan politik. Yang memilih pemimpin-pemimpin politik yang bersaing untuk mendapat suara ialah warga negara dan itu berlangsung dalam pemimpin berikutnya24

Dari beberapa pandangan ahli diatas dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Sehingga demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.

1.6.2.1 Demokrasi Terpimpin

Menurut Soekarno Demokrasi Terpimpin adalah suatu demokrasi di dalam segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang- bidang politik, ekonomi dan sosial di samping itu juga sebagai alat untuk mencapai tujuan revolusi, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur penuh dengan kebahagiaan materiil dan spiritual.25 Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang meliputi semua bidang kenegaraan dan kemasyarakatan termasuk juga bidang politik, ekonomi dan sosial. Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Indonesia

23 Azumardi, Azra. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. hal. 125. 24 Georg Sorensen, 2014, Demokrasi Dan Demokratisasi (Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang berubah), Yogyakarta : Pustaka pelajar, hal. 14 25 Printono, 1961. Tujuh bahan indokrtrinasi, Djakarta; Badan Penerangan RI, hal 60

Universitas Sumatera Utara yang berasal dari pengertian terpimpin dalam sila ke empat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi yang disesuaikan dengan Pancasila.26

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang meliputi bidang bidang kenegaraan dan kemasyarakatan termaksud bidang politik, ekonomi, sosial di samping itu sebagai alat untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur penuh dengan kebahagiaan materiil dan spiritual.

Sistem Demokrasi Terpimpin didasarkan pada keseimbangan kekuatan-kekuatan dengan Presiden sebagai tumpu tempat kekuatan utamanya . Sebagai pelaksananya, Presiden membentuk badan-badan baru yaitu Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan Front Nasional. Ide pembentukan Front Nasional tersebut sebagai jabaran dari prinsip gotong royong. Pelaksanaan politik Demokrasi Terpimpin pada perkembangan selanjutnya memunculkan tiga kekuatan besar dalam kehidupan politik Indonesia. Presiden sebagai pencetus ide, PKI yang ajarannya termasuk dalam salah satu konsep Nasakom yang kemudian berhasil mendekatkan diri pada kekuatan Presiden, TNI- AD adalah kekuatan ketiga sebagai penyeimbang dua kekuatan lainnya. Pelaksanaan politik cenderung mengarah kepada terpusatnya kekuasaan pada diri Soekarno, selaku Pemimpin Besar Revolusi sehingga menjadi demokrasi yang dipimpin Soekarno.

1.6.2.2 Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945.27 Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang

26 Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoned Poesponegoro & Nugroho Notosusanto 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal 150 27 Cholisin. 2013. Ilmu Kewarganegaraan (Civics). Yogyakarta: Penerbit Ombak. hal. 101.

Universitas Sumatera Utara ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.28.Nilai-nilai yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila merupakan nilai-nilai adat dan kebudayaan dari masyarakat Indonesia secara umum.

Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila

a. Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia dimaksudkan bahwa hak dan kewajiban yang dimiliki oleh rakyat Indonesia sama dan sejajar. Persamaan hak dan kewajiban tersebut tidak hanya dalam bidang politik saja melainkan bidang hukum, ekonomi dan sosial. Maka dari itu Demokrasi Pancasila tidak hanya mencakup Demokrasi Politik saja, melainkan Demokrasi Sosial dan Demokrasi Ekonomi juga. Persamaan ini diharapkan mampu memberikan keadilan bagi seliruh rakyat Indonesia.

b. Keseimbangan antara hak dan kewajiban Prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban memberikan pengertian bahwa warga negara dalam menerima hak yang dimilikinya namun juga harus diseimbangkan dengan kewajiban yang dimiliki.

c. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain Demokrasi Pancasila memberikan kebebasan kepada setiap individu namun dengan batasan yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan kebebasan ini ialah kebebasan yang harus memperhatikan hak dan kewajiban dari orang lain dan diri sendiri bahkan, harus dapat dipertanggung jawabkan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

d. Mewujudkan rasa keadilan sosial Demokrasi memiliki tujuan dalam mewujudkan rasa keadilan sosial untuk semua warga negaranya. Keadilan sosial melingkupi sila dalam

28 Mohammad Hatta, ,1998.”Indonesia Merdeka” dalam karya lengkap Bung Hatta.Buku I: Kebangsaan dan Kerakyatan Jakarta:Penerbit LP3ES,hal.87.

Universitas Sumatera Utara Pancasila terutama sila kelima. Maka dari itu prinsip dalam demokrasi Pancasila ingin mewujudkan rasa keadilan sosial dalam setiap masyarakat.

e. Pengambilan keputusan dengan musyawarah Landasan gotong royong dan kebersamaan merupakan dasar dari pengambilan keputusan dengan musyawarah. Dalam pengambilan keputusan ini mengilhami rasa keadilan bagi semua. Dimana tidak hanya mementingkan kaum mayoritas saja, namun juga dapat memperhatikan kaum minoritas.

f. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan Prinsip persatuan nasional terilhami dari sila ketiga dari Pancasila. Rasa kekeluargaan dalam Negara Republik Indonesia, memunculkan persatuan nasional dalam setiap masyarakat. Persatuan nasional juga sangat penting dalam pertahanan negara agar negara dapat kuat saat ada gangguan baik dari dalam maupun dari luar.

g. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional. Tujuan dan cita-cita nasional Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Diungkapkan bahwa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan kemudian membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari tujuan dan cita-cita Negara Indonesia tersebut terlihat Indonesia tidak hanya menciptakan kebaikan bagi masyarakat Indonesia namun juga ingin mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.29

1.6.3 Konsep Berpikir Kritis

Berpikir menurut Plato adalah berbicara dalam hati. “Berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita”30 . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berpikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan

29 Cholisin, M.Si & Nasiwan, M.Si. 2012. Dasar Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hal. 11. 30 Sumadi Suryabrata, ,2006. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 54

Universitas Sumatera Utara memutuskan sesuatu. Proses berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu: pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir yang diawali dan diproses oleh otak kiri.

Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik dan merenungkan atau mengkaji tentang proses berpikir orang lain. John Dewey mengatakan, bahwa sekolah harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak- anak. Kemudian beliau mendefenisikan berpikir kritis (critical thinking), yaitu: “Aktif, gigih, dan pertimbangan yang cermat mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan apapun yang diterima dipandang dari berbagai sudut alasan yang mendukung dan menyimpulkannya31. Secara sederhana menurut Robert Duron, critical thinking dapat didefenisikan sebagai: the ability to analyze and evaluate information (kemampuan untuk membuat analisis dan melakukan evaluasi terhadap data atau informasi)32.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang definisi berpikir kritis di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Untuk memahami informasi secara mendalam dapat membentuk sebuah keyakinan kebenaran informasi yang didapat atau pendapat yang disampaikan. Dengan berpikir kritis, maka pemikir kritis menelaah proses berpikir orang lain untuk mengetahui proses berpikir yang digunakan sudah sesuai atau tidak.

1.6.4 Nilai – Nilai Kritis

Nilai dalam penelitian ini merujuk pada pengertian yang dipaparkan oleh Driyarkara yang menjelaskan nilai adalah Nilai hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia.33 Timbul dari proses permenungan dan suatu metode

31 Hendra Surya. 2011. Strategi jitu mencapai kesuksesan belajar , Jakarta: Elek Media Komputindo, hal.129. 32 Ibid., hal.130. 33 Nicloaus Drikarya, 1966. Pertjikan Filsafat.Jakarta, PT Pembangunan

Universitas Sumatera Utara berfikir tertentu, nilai menjadi satu abstraksi yang menuntun seseorang beraktivitas, bekerja sesuai dengan hasil pemikiran dan metode berfikir tertentu tersebut. Kemudian, setelah mendapatkan pengertian tentang nilai. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kritis, penelitian ini merujuk kepada pengertian yang sudah pernah dijelaskan oleh Horkhmeir, yakni : sebuah varian dari penilaian, yang oleh Horkheimer bisa dianggap mencukupi (adequate) bila 3 (tiga) kriteria, yakni:

1. Explanatory, yakni harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang ada. Pengertian explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam teori, antara lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak seharusnya, yang wajar dan tidak wajar.

2. Practical, antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial yang mampu merobah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang dinilai tidak seharusnya demikian.

3. Normative; terkait dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus menyajikan norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial, maupun mengetengahkan tujuan- tujuan praktis yang bisa dicapai melalui suatu transformasi sosial.34

Lewat 3 kriteria tersebut, Horkhmeir merumuskan sebuah pengertian kritis sebagai upaya memahami realitas dan memberi penilaian-penilaian baik-buruk terhadap realitas yang dipahami tersebut; sekaligus mendorong seseorang yang kritis untuk mampu mengoreksi dan merubah struktur dominan yang berada di sekitar realitas social. Hasil dari kritisisme ini, dengan mampu memilih kesalahan dan kebenaran dalam suatu realitas inilah yang mengkristal menjadi sebuah nilai. Dan dengan itu, hasil-hasil yang diperoleh dari

34 Dedy Nur Hidayat.2009, TEORI-TEORI KRITIS dan TEORI-TEORI "ILMIAH" https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2009/03/microsoft-word-dedynurhidayat_teori-kritis3.pdf diakses pada 20 April 2018 pukul 18.10.

Universitas Sumatera Utara kritisisme ini masuk ke dalam suatu tatanan nilai untuk kemudian menuntun subjek untuk memperbaiki, merobah tatanan yang ada.

1.7 Studi Terdahulu

Penelitian yang membahas tentang nasionalisme etnis Tionghoa ( studi analisis nilai-nilai kritis Soe Hok Gie dalam Demokrasi Indonesia ) ini belum ada ditemukan di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Tetapi ada beberapa penelitian relevan yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini. Pertama, “PEMIKIRAN POLITIK SOE HOK GIE”, yang merupakan penelitian Christ Fandi Tarigan dalam skripsinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Tahun 2008. Rumusan masalah dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut; Melihat keterkaitan munculnya gerakan mahasiswa dengan gerakan civil society secara umum. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa tidak bisa dilihat sebagai variabel yang terpisah dari gerakan civil society secara umum, sehingga perlu melihat gambaran secara umum bagaimana keterkaitan gerakan mahasiswa dengan proses demokratisasi dan kemunculan civil society secara umum? Mengidentifikasi latar belakang beberapa kelompok gerakan mahasiswa yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam kaitan dengan ini, penting juga untuk melihat visi politik dan perspektif demokratisasi para aktivis yang memelopori masing-masing kelompok gerakan. Ada benang merah dan perbedaan yang menonjol di antara kelompok gerakan mahasiswa ? Mengidentifikasi orientasi, visi dan arah gerakan mahasiswa masa ankatan “66 dalam menghadapi proses demokratisasi secara luas yang sedang dalam proses ini. Terhadap isu apa saja, kelompok gerakan akan dipersatukan dan isu yang mana yang membedakan mereka?

Kedua, “PERANAN SOE HOK GIE DALAM GERAKAN MAHASISWA INDONESIA TAHUN 1960-1968”. Merupakan Penelitian yang dibuat oleh Supriyatna. Berasal dari Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Februari 2007. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang yang mepengaruhi Soe Hok Gie dalam gerakan mahasiswa tahun 1960-1968, (2) Peran Soe

Universitas Sumatera Utara Hok Gie dalam gerakan mahasiswa tahun 1960-1968, (3) perubahan yang terjadi setelah jatuhnya Orde Lama terhadap kondisi politik dan gerakan mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) Latar belakang masuknya Soe Hok Gie dalam gerakan mahasiswa (a) kepribadian Soe Hok Gie sebagai seorang yang senantiasa kritis menyikapi kondisi dan yang terjadi dan menginginkan kebenaran sebagai dasar kehidupan (b) keadaaan yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dimana Presiden Soekarno telah menyelewengkan amanat proklamasi dengan mengutamakan kepentingan salah satu pihak dibanding kepentingan umum sehingga mengakibatkan penderitaaan rakyat; (2) Latar belakang Soe Hok gie berperan dalam menjatuhkan pemerintah masa Demokrasi Terpimpin adalah penyimpangan pada era tersebut semakin diperkeruh dengan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965. Kondisi yang dimanfaatkan sebagian anggota pemerintah dengan menggunakan jalur ekonomi untuk mengacaukan kondisi sehingga mengalihkan perhatian masyarakat terhadap masalah G 30 S semakin memburuk melumpuhkan roda ekonomi sehingga menyebabkan penderitaan bagi rakyat; (3) peran mahasiswa dalam menjatuhkan pemerintah Orde Lama dan berdirinya Orde Baru telah menempatkan mahasiswa pada posisi strategis dalam pemerintahan. Kondisi yang dimanfaatkan sebagian wakil mahasiswa untuk menduduki posisi birokratis dalam pemerintahan, sehingga menyebabkan keprihatinan dari sebagian mahasiswa seperti Soe Hok Gie. Peran mahasiswa dalam politik praktis mengakibatkan bergesernya peran dan fungsi mahasiswa. Kritik yang dilakukan sebagian mahasiswa yang masih mempertahankan idealisme di media massa adalah usaha untuk memberikan wawasan agar mahasiswa kembali ke peran, fungsi dan tugas yang sebenarnya.

Ketiga, “ PERANAN SOE HOK GIE DALAM DINAMIKA PERGERAKAN MAHASISWA TAHUN 1966-1969 “. Merupakan Penelitian yang dibuat oleh Azhar Ika Nugroho. Berasal dari Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sejarah. Universitas Negeri Yogyakarta, Juli 2016. Soe Hok Gie memiliki peranan penting dalam dinamika pergerakan mahasiswa tahun 1966-1969. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mendeskripsikan biografi Soe Hok Gie dan aktivitasnya sebagai mahasiswa; (2) Menganalisa kondisi sosial politik ekonomi

Universitas Sumatera Utara bangsa Indonesia dan dinamika dalam pergerakan mahasiswa tahun 1966-1969; (3) Menganalisa peranan Soe Hok Gie dalam dinamika pergerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966-1969. Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo. Tahap pertama adalah pemilihan topik sebagai kegiatan awal untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian. Tahap kedua adalah pengumpulan sumber yang didapat dari sumber tertulis sebagai sumber primer, sekunder dan sumber pendukung. Sumber tertulis didapatkan dari catatan harian Soe Hok Gie yang telah dibukukan, kumpulan tulisan dan artikel yang ditulis Soe Hok Gie di surat kabar, dan berbagai karya tulis lainnya. Tahap ketiga adalah verifikasi yaitu kritik sumber atau keabsahan sumber. Tahap keempat adalah interpretasi yang merupakan tahap penafsiran untuk mengkorelasikan data dari berbagai sumber. Tahap kelima adalah penulisan sejarah hasil dari penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa Soe Hok Gie memiliki peran dalam pergerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966-1969. Aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1966 merupakan imbas dari bergejolaknya kondisi ekonomi dan politik pasca peristiwa G30S 1965. Kondisi politik yang tidak stabil, membuat kondisi perekonomian juga tidak stabil. Harga-harga kebutuhan pokok, tarif angkutan umum, harga bensin dan jasa pengiriman, semua naik. Kondisi sulit ini dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa. Mahasiswa mulai bergerak untuk menuntut perbaikan kondisi ekonomi. Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan mencetuskan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Perkembangan pergerakan mahasiswa tidak terlepas dari adanya dinamika. Aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1966 dihadapkan pada situasi pertentangan. Pertentangan antara kelompok militan yang bertekad terus melakukan aksi demonstrasi dan kelompok yang berkompromi pada keadaan dengan mengendurkan aksi demosntrasi. Dinamika juga terjadi di aktivitas KAMI sebagai induk organisasi mahasiswa yang tidak memiliki skap tegas antara bergerak untuk tujuan moral atau tujuan politik. Dinamika juga terjadi dalam aktivitas kegiatan kemahasiswaan, dengan adanya persaingan antara mahasiswa yang memegang prinsip independen dan organisasi ekstra universitas. Kata Kunci: Peranan Soe Hok Gie, Pergerakan Mahasiswa, Dinamika, Aktivis Mahasiswa, Awal Orde Baru, Tahun 1966-1969.

Universitas Sumatera Utara Keempat, KRITISISME MAHASISWA TIONGHOA PADA PEMERINTAHAN SUKARNO DI ERA DEMOKRASI TERPIMPIN (Studi Tentang Pemikiran dan Gerakan Politik Soe Hok-gie). Merupakan penelitian yang dibuat oleh ; Nisa', Arina Nafisatun. Program studi Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pemahaman tindakan aktifitas politik Soe Hok-gie sebagai mahasiswa Etnis Tionghoa tentang kepemimpian Sukarno di era Demokrasi Terpimpin serta pemikiran dan gerakan yang dilakukan Soe Hok-gie di era cakaran kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Tujuan penelitian ini dilakukan yakni mendeskripsikan tindakan aktifitas politik, pemikiran, dan kritikan-kritikan Soe Hok-gie hingga segala aspek yang melatarbelakangi pilihan politiknya pada gerakan yang turut serta dalam menggulingkan pemerintahan Sukarno. Melalui penelitian Historis yang menggunakan metode Library Research dengan paduan teori tindakan sosial Max Weber serta konsep penyadaran yang dicetuskan oleh Paulo Freire dapat diketahui bahwasannya Soe Hok-gie merupakan antitesa dari para mahasiswa penjilat pada masa itu. Mahasiswa yang mengawinkan pemikiran kritis (yang muncul atas kesadaran kritis serta rasionalitas yang berawal dari stimulus atas perilaku dan tindakan yang diambil) dengan gerakan sebagai salah satu terjemahan atas ide-idenya. Adapun bentuk-bentuk gerakan yang dilakukannya mulai dari aktivitas intelektual kritis, diskusi dengan berbagai aktor, serta pernyataan protes terhadap pemerintah dengan menulis selebaran kritik dan ide-idenya dalam buletin dari gerakan eksponen merupakan klasifikasi gerakan politik yang bentuknya konservatif. Kemudian berkembang menjadi radikalis yang dimulai dari aksi demonstrasi bersama KAMI. Akan tetapi jika dapat diklasifikasikan, gerakan yang dilakukan oleh Soe Hok-gie masuk dalam klasifikasi gerakan politik nilai (values political movement) bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) layaknya partai politik.

Universitas Sumatera Utara 1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang bardasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya35. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menunjukan ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan agar dapat menjawab suatu atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek yang sedang diteliti oleh penulis secara rinci. Peneliti menggunakan penelitian deskriptif karena peneliti ingin memberikan gambaran bagaimana Nasionalisme Soe Hok Gie yang merupakan Etnis Tionghoa dalam demokrasi Indonesia. Hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk menggunakan metode penelitian deskriptif dalam penelitian.

1.7.2 Jenis Penelitian

Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu mencoba untuk menggambarkan berbagai situasi, kondisi, atau berbagai realitas sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas tersebut ke permukaan sebagai suatu ciri atau karakter tentang 36. Kondisi dan realitas yang dimaksud adalah permasalahan dan kesenjangan yang terdapat di lingkungan sekitar Soe Hok Gie.

1.7.3 Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah kritis Soe Hok Gie dengan titik kajian pada kritik-kritiknya dalam pemerintahan Soekarno dan Soeharto .

35 Hadawari Nawawi. 1987. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada University press. Hal. 63. 36 Burhan Bunging, 2007. Penelitian kualitatif. Jakarta : Prenada Medika Group, hal 67

Universitas Sumatera Utara 1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya dirumuskannya generalisasi yang objektif37. Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku- buku, jurnal, makalah internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu dengan analisis atas masalah yang ada sehingga selanjutnya akan diperoleh gambaran jelas mengenai objek yaitu Soe Hok Gie yang akan diteliti dan kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan pada fenomena yang sedang diamati dengan metode ilmiah.

37Ibid, Hal. 94

Universitas Sumatera Utara 1.8 Sistematika Penulisan

Dalam suatu penelitian, perlu adanya sistematika penulisan agar dapat diperoleh suatu gambaran yang jelas dan terperinci. Adapun yang menjadi sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I :PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II :PROFIL SOE HOK GIE

Bab ini menguraikan tentang segala sesuatu mengenai objek penelitian yaitu, Soe Hok Gie kecil sampai dewasa, awal mula penyebab pemikiran Soe Hok Gie, Gerakan Mahasiswa Soe Hok Gie, dan Karya- karya Soe Hok Gie.

BAB III :NILAI KRITIS SOE HOK GIE DALAM DEMOKRSASI INDONESIA SEBAGAI WUJUD NASIONALISME

Bab ini menguraikan tentang nilai – nilai kritis Soe Hok Gie dalam demokrasi Indonesia yang merupakan perwujudan rasa nasionalisme dan di analisis menggunakan landasan teori.

BAB IV :PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, beserta saran-saran yang akan dikemukakan penulis terkait dengan penelitian tersebut.

Universitas Sumatera Utara BAB II

PROFILE SOE HOK GIE

2.1 Soe Hok Gie Kecil Sampai Dewasa

Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942 di daerah Kebon Jeruk Jakarta. Ayahnya bernama Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan dan ibunya Ni Hoei An. Ayahnya adalah seorang redaktur pelbagai surat kabar dan majalah seperti Tjin Po, Panorama, Hwa Po, Liberty, Kung Yung Pao, Min Pao, dan terakhir pada tahun 1950 menjadi redaktur harian sadar di Jakarta. Kemudian dia juga seorang penulis yang cukup subur.38 Soe Hok Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara, Ia merupakan adik dari Dien, Mona dan Soe Hok Djin (Arief Budiman) dan memiliki adik perempuan bernama Jeanne Sumual. Sejak kecil Gie mempunyai kegemaran membaca, menulis dan memelihara binatang. Bahan bacaan yang ia baca seperti cerita dongeng, sastra, filsafat dan lain - lainnya. Kemudian kegiatan menulis dilakukan dengan menulis catatan harian dan menulis surat kepada teman-temannya yang isinya tentang keresahan pikiran-pikirannya atau sekadar banyolan. Hewan peliharaan yang dimiliki Soe Hok Gie adalah ikan dan seekor monyet diperolehnya dari seorang tukang becak.

Pada umur lima tahun Soe Hok Gie masuk sekolah dasar Sin Hwa scholl, sebuah sekolah khusus untuk keturunan Cina. Kemudian ia bersama kakaknya pindah ke sekolah rakyat, tetapi karena di sekolah tersebut baru hanya ada kelas satu sehingga Soe Hok Djin masuk kelas satu bersama Gie. Pada tahun 1955 mereka menyelesaikan sekolah rakyat. Kedua bersaudara ini tidak melanjutkan pada sekolah yang sama, Hok Djin melanjutkan SMP ke Kanisius dan Hok Gie melanjutkan ke SMP Strada. Kedua bersaudara tersebut tidak melanjutkan pada sekolah yang sama karena disebabkan beberapa hal yaitu persaingan mendapatkan beasiswa untuk memasuki sekolah Kanisius dengan biaya lebih

38 Gie, Opcit., hal 20.

Universitas Sumatera Utara rendah sangatlah ketat dan tampaknya nilai Soe Hok Gie tidak cukup tinggi untuk mendapatkan meskipun nilai pada sekolah dasar sebenarnya juga memuaskan. Permasalahan lain yang muncul juga karena persaingan yang terjadi diantara keduanya, perbedaan pandangan menyebabkan percekcokan yang menyebabkan keduanya berselisih. Perbedaan karakter yang terjadi pada kedua anak yang memang jelas sangat cerdas, tingkat sensitifitas dan keinginan keduanya kuat untuk bersaing.

Setelah lulus dari SMP Strada Soe Hok Gie melanjutkan sekolah ke SMA Kanisius. SMA tersebut tidak sembarangan menerima siswa di Jakarta. Walaupun Soe Hok Gie berada di lingkungan sekolahnya, tetapi Ia tetap dekat dengan masyarakat dan teman- temannya di Kebon Jeruk. Dalam masa sekolahnya ia terkadang bolos sekolah agar bisa keluyuran ke perpustakaan seperti di British Council atau pergi ke toko buku. Soe Hok Gie mempunyai ketertarikan yang tinggi di bidang politik meskipun sang ayah Soe Lie Piet tidak begitu tertarik dengan bidang politik. Dalam hal ini pengaruh ibu sangat besar terhadap pertumbuhan Soe Hok Gie. Ketika Hok Gie mulai memperlihatkan ketertarikannya terhadap isu-isu politik , ikatan dengan ibu sudah terjalin dengan kuat. Meskipun tidak mempunyai pengetahuan yang baik tentang dunia politik namun Nio Hoei An selalu mengontrol Soe Hok Gie, pendapat ibunya selalu didengarkan dengan rasa hormat.39

Soe Lie Piet bukanlah seorang figur ayah yang mendominasi dalam kehidupan Hok- gie. Soe Lie Piet juga tidak pernah memberikan nasehat maupun mengarahkan kehidupan anak-anaknya untuk menempuh masa depan. Berbanding terbalik dengan Nie Hoi An, dialah sosok yang paling memperhatikan anak anaknya dari menyelesaikan masalah hingga mengarahkan pendidikan anak anaknya. Nie Hoi An juga banyak berperan dalam mendukung minat baca Hok gie. Dalam catatan hariannya pada Minggu, 26 Januari 1958. Gie menuliskan bahwa sepulang dari Cirebon, ibunya membawakan buku cerita Embah

39 John C Maxwell. 2001, Soe Hok Gie: Pergerakan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. hal. 45.

Universitas Sumatera Utara Djugo. Dia membaca sebagian cerita tentang Pangeran Djenggala, dan ratu Cina.40 Buku tersebut menjadi bahan bacaan Gie sebagai refrensi pengetahuannya.

Setelah menyelesaikan SMA-nya, Gie dan kakaknya mencoba mengikuti tes masuk universitas pada bulan September 1961. Arief Budiman berhasil masuk Fakultas Psiklogi sementara Soe Ho k Gie ditolak dari Fakultas Psikologi karena merupakan pilihan kedua dan diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Fakulas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Memasuki dunia yang baru dalam jenjang pendidikannya, Ketika memasuki bangku kuliah, Universitas Indonesia menjadi ajang pertarungan intelektual antara yang mendukung Soekarno dan kalangan yang kadang menentang Soekarno seperti Sumitro Djoyohadikusumo dan lain-lain. Seperti pada umumnya mahasiswa pada tahun-tahun 1960`an menjadi mahasiswa serta merta menjadi menjadi bagian organisasi mahasiswa yang menurut kosakata politik mahasiswa sering disebut organisasi ekstra universitas, seperti HMI, GNNI, CGMI. Meskipun demikian, Soe Hok Gie tidak tertarik untuk masuk kedalam salah satu organisasi mahasiswa yang berbau agama. Soe Hok Gie memilih masuk ke Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos) yang mungkin diwarisi dari pihak ayahnya yang meskipun tidak menganut suatu ideologi yang jelas dan partai yang jelas tetapi mengidentifikasikan dirinya dengan Partai Sosialis Indonesia.41 Soe Hok-gie aktif dalam beberapa organisasi, seperti Senat Mahasiswa-FSUI yang merupakan organisasi intra universitas. Tahun 1967, Soe Hok-gie yang didukung kelompok independen telah memenangkan pemilihan ketua SM-FSUI. Sejak saat itu berbagai kegiatan berjalan dengan baik. Banyak kegiatan di SM-FSUI diisi dengan segala hal yang disukainya, antara lain membuat klub buku, melakukan bedah buku, menonton film, hingga mendaki gunung. Mendaki Gunung merupakan kegiatan yang dilakukan Gie untuk melepaskan penat dari kegiatan politik yang terus menyita waktu dan pemikirannya.

Pada tahun 1968 merupakan masa terakhir Soe Hok Gie sebagai seorang mahasiswa. Masa dimana Gie mengalami kekecewaan dengan kemunduran yang dialami

40 Soe Hok gie. Opcit., hal 63. 41Ibid.,hal. 33.

Universitas Sumatera Utara mahasiswa atas peran sebagian dari pimpinan mahasiswa bergabung memasuki institusi pemerintahan yang ditawarkan Orde Baru. Gie yang tetap pada pendiriannya yaitu kritis atas segala perkembangan politik yang terjadi sehingga membuat ia terasing dari teman- teman seperjuanganya dulu. Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPRGR, Soe Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa".

Soe Hok Gie merencanakan akan memperingati hari ulang tahun yang ke 27 di Puncak Mahameru. Pada tanggal 15 Desember 1969, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe Hok Gie yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu lagu tertentu, meminta teman-temannya menyanyikan lagu spiritual negro Nobody Knows sampai berulang-ulang. Pada esok harinya Soe Hok Gie dan temannya terlanjur mencium gas beracun di Puncak Mahameru pada tanggal 16 Desember 1969 tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya. Sehingga Soe Hok Gie bersama Idhan Lubis meninggal diatas gunung tepat sehari sebelum hari lahirnya 17 Desember 1969 pada umur 27 tahun. Gie dimakamkan di TPU Menteng Pulo tetapi dikarenakan terdapat pemerasan – pemerasan yang terjadi di TPU tersebut sehingga Arief Budiman memindahkan makam Gie ke bekas tempat pemakaman kolonial Tanah Abang yang tidak jauh dari rumah orang tuanya. Makam Gie ditandai dengan nisan putih dan tulisan kutipan dari ungkapan spritiual rakyat yang menjadi favoritnya “ Nobody Knows the trouble I see. Nobody knows my sorrow “ ( Tidak ada yang tahu masalah yang saya lihat, tidak ada yang tahu kesedihan saya). Kemudian pada tahun 1975 pemerintah Jakarta mengumumkan bahwa makam lama Tanah Abang akan dibongkar untuk keperluan pembangunan. Hal ini membuat keluarga Soe Hok Gie merencanakan untuk mengkremasi tulang belulang Gie dan abunya disebarkan saat hari ulang tahunnya di salah satu tempat favoritnya lembah Mandalawangi – Pangrango.

Universitas Sumatera Utara

1.1 Soe Hok Gie

;

1.2 Nisan Sok Hok Gie di museum taman prasasti

Universitas Sumatera Utara 2.2 Awal Mula Penyebab pemikiran kritis

Soe Hok Gie menghabiskan masa kecil - remajanya dengan berkunjung ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan Kota Jakarta. Di saat anak-anak lain seumurannya masih suka keluyuran main layangan, gundu, atau jalan - jalan keliling kota. Sementara Gie telah membaca tentang dinamika politik di berbagai sudut belahan dunia, tentang berbagai macam pergolakan sejarah pemikiran yang bermunculan dari jaman ke jaman, dari mulai filsafat klasik yunani, hingga ide-ide utopis sebuah masyarakat yang ideal seperti Marx, Paine, Hobbes, Hegel. Dia terbuai dengan begitu banyak kisah sejarah jatuh - bangunnya peradaban, tentang pemikiran-pemikiran progressive tokoh-tokoh dunia yang memerdekakan rakyatnya seperti Gandhi, Martin Luther K Jr, dan lain- lainnya . Gie juga menyukai sastra kelas dunia yang menggambarkan romantisme emosi dan pemikiran setiap jaman seperti Tagore, Nietzsche, A.Camus, G.Orwell, Steinbeck, Pramoedya, dan lain – lainnya. Salah satu buku yang mempengaruhi pemikirannya, seperti Saint Joan karya Bernard Shaw6 , buku ini merupakan buku tentang masalah kebenaran serta moral. Anggapan Hok-gie terhadap tokoh Saint Joan sangat hidup dan menarik dalam hal idealisasi serta interpretasinya. Bagi Shaw, Joan adalah seorang martir Protestan yang pertama, karena Joan berani berbicara bahwaTuhan telah langsung memberinya perintah tidak lewat gereja, melainkan langsung memberikan wahyu. Dialog serta ide-ide dari buku tersebut merangsang Hok-gie untuk berpikir lebih dalam hal memaknai hidup.42

Semakin dewasa Soe Hok Gie semakin berani menentang ketidakadilan dan kesewenangwenangan, pernah pada suatu saat Soe Hok Gie berdebat dengan seorang guru SMP. Hal itu terjadi ketika guru tersebut salah menyebut nama pengarang suatu buku, Soe Hok Gie mencoba memberikan penjelasan mengenai hal itu namun guru tersebut justru memberikan keterangan untuk membenarkan pendapatnya. Dalam perdebatan tersebut timbul pemikiran dalam hatinya bahwa guru tidaklah selalu yang paling benar maka juga

42 Gie, Opcit,. Hal 92.

Universitas Sumatera Utara harus bisa menerima kritik apabila melakukan kesalahan, sebaiknya murid harus selalu selalu menanggapi suatu masalah dengan kritis. Pada saat duduk di SMP, Gie telah menjadi pembaca koran yang rajin. Di rumahnya di Kebon Jeruk sepanjang dasawarsa 1950-an selalu ada Keng Po, surat kabar yang berhati-hati dalam pemberitaannya, tetapi populer di kalangan Cina. Soe Hok Gie selalu membaca halaman-halaman koran yang berisi pandangan kritis dan lebih terbuka terhadap kebijakan pemerintah. Dua koran lain yang khusus dicari Soe Hok Gie adalah Indonesia Raya dan Pedoman. Koran Indonesia Raya sebuah harian yang berciri provokatif dan kadang-kadang sensasional, yang dipimpin Muchtar Lubis. Koran Pedoman adalah harian yang dipimpin Rosihan Anwar yang berasosiasi yang luas dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ciri khas koran ini adalah kritik yang tidak terlalu pedas namun mempunyai analisis yang tajam.43

Sudah Sejak kecil Gie memperlihatkan ketidaksenangan atas segala hal yang berhubungan dengan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Dalam catatan hariannya yang tertanggal 4 Maret 1957, Gie meluapkan kekesalannya terhadap guru yang telah sengaja mengurangi nilainya. Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. “ Ulangan Ilmu Bumiku 8 tapi dikurangi 3 jadi tinggal 5. Aku tak senang dengan itu. Aku iri karena di kelas merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidaktidaknya aku yang terpandai dalam Ilmu Bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu.”.

Kesadaran Soe Hok Gie terhadap dunia dan sekelilingnya mulai terwujud dalam ekspesi politiknya semasa di SMA. Ia pernah bedebat dengan sang guru. Sang guru pun marah. Namun kata Hok Gie, “Aku sebetulnya tak menganggapnya perang, hanya bertukar pikiran saja... kalau angkaku ditahan – model guru tak tahan kritik – aku akanmengadakan koreksi habis-habisan. Sedikit kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikian maksudnya...Aku tak mau minta maaf. Memang demikian kalau dia bukan guru yang pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Guru model gituan, yang tak tahan dikritik boleh

43 John Maxwell. Opcit., Hal. 46-47.

Universitas Sumatera Utara masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”44. Kemudian kritik-kritik tajam di alamatkan kepada Presiden Soekarno dan tokoh tokoh politik lain yang tertulis dalam catatan harianya tanggal 10 Desember 1959, pernyataan eksplisit yang pertama dalam catatannya tentang pemahamannya tentang dunia politik. Pengalaman melihat orang kelaparan yang mencari sisa-sisa makanan di tumpukan sampah di dekat rumah di Kebon Jeruk, yang membuat Soe Hok Gie meluncurkan kecaman pedas pada penguasa.Dalam catatan hariannya dituliskan bahwa : “Siang tadi aku bertemu dengan seseorang (bukan pengemis) tengah memakan kulit mangga. Rupannya ia sedang kelaparan. Ini merupakan gejala yang mulai nampak di ibukota. Dan kuberikan uang Rp 2,50 dari uangku dan kusisakan Rp 15,- untuk cadangan. Dua kilometer dari sini paduka (yang dimaksud Presiden Soekarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Timbul dalam hatiku kebanggaan bahwa generasiku ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, yaitu koruptor- koruptor tua seperti Iskak, Djodi, Dadjar, dan Ibnu Sutowo. Kitalah yang dijadikan generasi yang memakmuran Indonesia. Yang berkuasa sekarang adalah orang-orang yang dibesarkan zaman Hindia Belanda alamrhum. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang gigih lihatlah Sukarno, Hatta, Syahrir, Ali dan sebagainya. Tetapi kini mereka telah menghianati apa yang diperjuangkan. Sukarno telah berkhianat terhadap kemerdekaan. Yamin telah memalsukan (atau masih dalam zaman romantik) sejarah indonesia. Hatta tak berani menyatakan kebenaran (walaupun kadang-kadang ia menyatakan). Dan rakyat makin lama makin menderita “.45 Gie pada saat itu jelas menentang Soekarno sebagai seorang politikus, tapi bukan berarti Gie tidak menghormati Soekarno. Dalam salah satu catatan hariannya, Gie menulis : "Saya kira saya menyukai Soekarno sebagai seorang manusia, tapi sebagai seorang pemimpin, tidak!".

44 Soe Hok Gie., Ibid. hal 58. 45 Soe Hok Gie Opcit.,. hal 91-92.

Universitas Sumatera Utara 2.3 Pergerakan Soe Hok Gie

Sejak memasuki dunia mahasiswa, Soe Hok Gie tidak memiliki minat pada organisasi-organisasi mahasiswa yang memiliki nama besar dan berbau agama seperti GMNI, HMI, dan PMKRI. Gie lebih memilih untuk masuk kedalam keanggotaan Gemsos atau Gerakan Mahasiswa Sosialis yang menganut sistem ideologi sosialis dari partai Partai Sosials Indonesia. Tahun pertama kuliah pada Oktober 1961 Gie bertemu dengan Zainal Abidin Katung Sikumbang Enang atau yang lebih terkenal dengan nama Zakse di tahun kedua Jurusan Sejarah.46 Kemudian Zakse yang juga anggota GEMSOS memperkenalkan Gie dengan aktivis-aktivis PSI yang lebih tua. Para pemimpin PSI adalah sebagian kecil politikus yang berani mengambil sikap dalam menyuarakan oposisi secara terang-terangan seperti Sutan Syahrir, Amir Syarifoeddin, Mochtar Lubis dan lain – lainnya. Gemsos tidak memiliki ikatan afiliasi secara formal dengan Partai Sosialis Indonesia karena menjadi semakin lemah dan tidak efektif pada masa Demokrasi Terpimpin.

Soe Hok Gie juga bergabung dengan GP atau Gerakan Pembaruan yakni sebuah gerakan bawah tanah yang dibina oleh Soemitro Djojohadikusumo dari tempat pengasingan di Eropa.47 Para pemuda GP termasuk Soe Hok Gie berjuang bersama. Kegiatan Gerakan Pembaruan adalah dengan membuat karya tulis seputar kritikan politik dan kondisi pemerintahan di Indonesia. Gie semakin giat dalam keanggotaan di Gemsos pada awal Januari 1963. Gie bahkan mendapat kepercayaan untuk mengkoordinasi rangkaian diskusi kegiatan Gemsos yang bertujuan menanamkan sikap heroik di kalangan pemikir-pemikir muda. Meskipun tergabung dalam organisasi Gemsos akan tetapi Gie tidak setuju dengan adanya politik praktis yang masuk ke dunia mahasiswa atau yang ikut serta dalam kegiatan- kegiatan mahasiswa di Perguruan Tinggi. Gie sangat aktif di Gemsos dan bahkan sudah memiliki banyak kenalan dari LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa ) . Akan tetapi kedua kegiatan dilakukan di luar kampus atau di luar kegiatan mahasiswa Gie. Penolakan Gie terhadap kegiatan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) didalam kampus

46 John Maxwell. Opcit., hal 117. 47 Rudy Badil, dkk., 2010, Soe Hok Gie sekali lagi, Jakarta: Kompas, hal 200.

Universitas Sumatera Utara hanya akan membuat kondisi mahasiswa tidak kondusif. Salah satu contoh adalah organisasi-organisasi ekstra selalu mementingkan golongan masing-masing untuk berebut kekuasaan dalam keanggotaan Senat Mahasiswa bahkan Dewan Mahasiswa.

Kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) di Rawamangun adalah salah satu kampus yang jauh dari suasana aktivitas persaingan organisasi politik terutama antara HMI dan GMNI seperti yang terjadi di kampus Salemba. Di antara organisasi politik yang cukup menarik sejumlah anggota adalah GMNI dan PMKRI. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan PNI dan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) yang berafiliasi dengan Partai Katolik. Secara tidak langsung PMKRI memasukkan agama sebagai bagian dari organisasi politik. Pada tahun 1964, Soe Hok Gie dan Herman O. Lantang dengan dibantu rekan-rekan mahasiswa mengikuti pemilihan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra. Sosok Herman Lantang yang ramah serta memiliki banyak teman akhirnya diusung Gie sebagai calon Ketua Senat Mahasiswa- FSUI. Alasan lain adalah karena pandangan Herman yang sama dengan Gie yakni tidak tertarik pada politik afiliasi yang tengah berkembang di Kampus Rawamangun, sehingga menjadikan Gie dan kawan-kawan mahasiswa termasuk kedalam golongan independen. Gie dan kawan-kawan mahasiswa berhasil membawa Herman Lantang pada kemenangan sebagai Ketua Senat Periode 1964-1966. Saat Herman menjadi Ketua Senat FS-UI, Gie menjabat sebagai pembantu staf Senat Mahasiswa FS-UI. Gie menjadi staf yang berperan penting seperti dalam penulisan pidato sambutan atas kemenangan Herman menjadi Ketua Senat.48

Berdirinya Dewan dan Senat Mahasiswa tidak menghalangi usaha kekuatan- kekuatan politik untuk menanamkan pengaruh dan menguasai dunia kemahasiswaan Indonesia. Mahasiswa pada akhirnya menyadari akan perlunya mencari ilmu dan berinteraksi di luar kampus. Mahasiswa Indonesia lebih memilih berorganisasi di dalam kampus agar mendapatkan ilmu yang lebih banyak. Melalui organisasi intra kampus

48 Lesmana Mira, & Riza, Riri. ( 2005 ). Film Gie. Sinemart Picture.

Universitas Sumatera Utara mahasiswa belajar untuk menjalani kehidupan suatu negara. Dengan cara itulah mahasiswa menyadari pentingnya melangsungkan dan mempertahankan kehidupan negara. Kampus digambarkan sebagai suatu sistem kenegaraan sehingga mahasiswa dapat belajar tentang bagaimana suatu negara berjalan. Meskipun Soe Hok Gie mempunyai pandangan politik yang kuat akan tetapi Gie sama sekali tidak memberikan pengaruh politik pada rekan-rekan mahasiswa di kampus Rawamangun agar mengikuti kegiatan politik kampus. Bahkan ketika Gie banyak berperan di kegiatan Senat Mahasiswa. Rekan mahasiswa Gie di kampus Rawamangun bersikap sinis dan apatis terhadap politik sehingga dapat dikatakan menjadi dorongan positif mahasiswa untuk meyakini bahwa universitas adalah tempat yang sudah seharusnya terbebas dari pengaruh luar. Namun bukan berarti bagi Gie mahasiswa harus acuh tak acuh dengan kondisi masyarakat sekitar dan terlepas dari pandangan moral force mahasiswa.

Ketegangan di kampus terjadi antara organisasi intra dan ekstra karena kedua organisasi saling berebut pengaruh serta mahasiswa. Politik kampus yang mulai marak menyebabkan mahasiswa mulai memecahkan fokus kuliah dengan masalah politik. Menurut Herman, para pendukung GMNI dapat menguasai dengan begitu cepat institusi pendidikan tinggi dari segi organisasi intra yakni senat fakultas mahasiswa maupun dewan mahasiswa universitas. Kondisi Indonesia yang sedang mendapat keikutsertaan PKI yang luas menjadikan GMNI juga CGMI berpihak dengan PKI sehingga secara tidak langsung GMNI menjadi tangan kanan PKI di kampus karena sering bersikap memaksakan kehendak juga pemikiran. Dalam usaha organisasi-organisasi internal terdapat hambatan yakni dari golongan politik yang ingin memperpolitikkan kampus ke arah ideologi masing-masing. Sedangkan kondisi yang kedua dirasakan oleh golongan-golongan apolitis yang menginginkan adanya depolitisasi kampus dan ingin kehidupan yang dicirikan dengan ungkapan “Buku, Pesta, dan Cinta” yang kemudian dikenal sebagai menara gading. Sebagai angkatan muda, Soe Hok Gie lebih tertarik pada masalah-masalah kebebasan untuk berpendapat, masalah kepincangan ekonomi, dan sosial di antara pelapisan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara Soe Hok Gie memiliki persamaan hobi bersama dengan Herman Lantang, yaitu kecintaannya terhadap alam. Saat diskusi forum kecil yang sering dilakukan Gie bersama kawan-kawan mahasiswa kemudian mencetuskan pemikiran untuk mendirikan sebuah kelompok pendaki gunung dan pecinta alam di Fakultas Sastra. Pada November 1964 Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam dibentuk. Mapala memiliki tiga tujuan utama, pertama yakni untuk dapat memupuk patriotisme yang sehat di kalangan anggotanya melalui hidup di alam dan diantara rakyat kebanyakan. Patriotisme dibangun berdasarkan partisipasi aktif mereka yang hidup di tengah alam dan rakyat. Kedua adalah untuk mendidik para anggota, baik mental maupun fisik. Kader Mapala adalah mereka yang memiliki soft skill berupa solidaritas dalam menyelesaikan masalah. Ketiga menanamkan semangat gotong royong dan kesadaran sosial. Mapala Pradjna Paramita berubah nama menjadi Mapala-UI sehingga pada saat ( masa prabakti Mahasiswa ) Mapram menjadi salah satu kegiatan wajib. Yaitu dengan acara naik gunung yang diikuti oleh hampir semua anggota mahasiswa baru.

Memasuki 1965 Senat Mahasiswa FS-UI sempat mengalami kekacauan karena kondisi mahasiswa yang tidak kondusif mengingat kegiatan baru mahasiswa yakni untuk menuntut pembubaran PKI oleh pemerintah atas terjadinya pembunuhan yang diduga dilakukan oleh PKI pada TNI pada malam 30 September 1965 yang kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Gestapu atau G 30 S PKI. Penyelewengan politik dilakukan Presiden Soekarno dengan memberikan kesempatan kepada PKI untuk mengembangkan diri, meskipun komunis bertentangan dengan Pancasila.49 Dengan kata lain, Demokrasi Terpimpin telah menjadi sandaran kuat bagi PKI dalam usaha untuk merebut kedudukan politik dan perluasan ideologi komunis di Indonesia. Termasuk pemikiran Sukarno tentang Nasakom (Nasionalis, Agamais dan Komunis) yang sangat berpihak kepada PKI karena menjadi unsur yang sah yang berkaitan dengan pergerakan bangsa. Dalam bidang perekonomian yang menyangkut kehidupan rakyat lebih banyak dipusatkan dengan istilah

49 William H. Frederick, Soeri Soeroto. 1982. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum & Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES, hal 397

Universitas Sumatera Utara “Sentra” yang dipusatkan dengan meniru gaya negara komunis.50 Seperti padi sentra, beras sentra, minyak sentra, dan lain-lain. Pada masa ini banyak proyek mercusuar51 yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Konsekuensi dari sistem Demokrasi Terpimpin adalah dapat diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.

Pada akhir tahun 1965 sebuah peristiwa besar dengan muncul suatu gerakan yang disebut - sebut sebagai Gerakan 30 S yang dilatarbelakangi Partai Komunis Indonesia. Meskipun kudeta oleh G 30 S/PKI dinyatakan gagal, akan tetapi dampak dari gerakan pembantaian kemudian memunculkan kebencian serta lenyapnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena dinilai bahwa pemerintah Orde Lama sudah tidak mampu lagi membendung antek-antek komunis yang semakin menghilangkan rasa soe bangsa Indonesia. Kondisi perpolitikan serta perekonomian Indonesia yang semakin kacau membuat mahasiswa tidak bisa menerima usaha pemerintah yang tidak maksimal. Para petinggi militer Indonesia ditangkap dan dibunuh oleh kelompok orang yang ingin mengkudeta pemerintahan Indonesia bahkan beberapa kantor pemerintahan seperti RRI berhasil diduduki oleh kelompok yang mengatasnamakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Situasi tersebut mengakibatkan kondisi politik, militer, sosial dan ekonomi menjadi sangat kacau. Ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncak sejak peristiwa G 30 S yang selanjutnya juga perlahan menghancurkan sistem ekonomi Indonesia. Pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga dengan nasionalisme ekonomi. Pemotongan angka rupiah pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10

50 R. Qoidul Anam Alimi, 2010., Agenda dibalik Temu Kangen Eks. PKI / Pakorba: mengungkap Rahasia Peristiwa 24 Juni 2010 di RM Pakis Ruyung Banyuwangi, CICS, hal 78 51 Proyek Mercusuar Soekarno adalah proyek pembangunan ibukota Indonesia yaitu Jakarta agar mendapat perhatian dari luar negeri dengan tujuan membangun hubungan persahabatan dengan negara-negara lain. Terlepas dari itu, proyek ini juga bertujuan memfasilitasi The Games of The New Emerging Forces (GANEFO) sebagai tandingan dari Olimpiade yang sudah ada. Berikut adalah beberapa bangunan yagn termasuk dalam proyek mercusuar.

Universitas Sumatera Utara kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi justru meningkatkan angka inflasi.Puncak kegagalan pembangunan ekonomi Orde Lama adalah hiper-inflasi yang mencapai 500% pada akhir tahun 1965.

Dengan menyikapi permasalahan di orde lama mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) pada 25 Oktober 1965. Kesatuan ini dibentuk juga untuk mengkoordinir mahasiswa untuk melancarkan perlawanan terhadap PKI yang melakukan kudeta gerakan 30 September 1965. Kemudian diikuti dengan pelajar membentuk Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia ( KAPPI ). KAMI berjuang melawan kebobrokan pemerintahan baik di bidang ekonomi, politik dan pembangunan. KAMI menggugat pemerintahan Soekarno beserta seluruh menteri kabinetnya karena dianggap telah menyimpang dari cita cita kemerdekaan. Gerakan kepemudaan mahasiswa tahun 1966 dilatarbelakangi oleh faktor krisis multidimensional baik dibidang politik, sosial, dan ekonomi.52 Radikalisasi politik di kalangan mahasiswa sudah muncul sejak pertengahan tahun 1960-an, memberikan dampak positif bagi mahasiswa karena memunculkan peran mahasiswa di dunia politik. Banyak mahasiswa selain tergabung dalam organisasi kampus juga menjadi anggota kelompok atau partai di luar kampus.

Sehingga dapat disimpulkan organisasi-organisasi politik mulai banyak yang tertarik pada dunia universitas untuk mendapatkan dukungan dan mewujudkan cita-cita organisasi. Sejak aliran-aliran demonstrasi atas nama rakyat Indonesia bergulir, maka kekuatan angkatan ‟66 lahir dengan mendapat perimbangan dari kekuatan sosial lainnya seperti Front Pancasila. Pada masa penumbangan Orde Lama, gerakan mahasiswa memunculkan tokoh tokoh mahasiswa yang populer, bahkan sebagian dari mereka masih berkontribusi mewarnai perjalanan bangsa. Diantara mereka antara lain Marie Muhammad, Abdul Gafur, Fahmi Idris, dan Akbar Tanjung dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),

52 Muhammad Rifa‟I, 2009, Biografi Soe Hok Gie 1942-1967, Jakarta: Garasi, hal 45

Universitas Sumatera Utara Mahbub Junaidi dan Zamroni dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), serta Cosmas Batubara dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).53

Pada tahun 1966 Gie berhasil menggerakkan mahasiswa untuk melakukan long march guna menyuarakan pendapat untuk menuntut pemerintah. Jaket kuning UI yang menjadi simbol dalam perjuangan menegakkan orde baru melakukan long march untuk mencari simpati mahasiswa lain dan masyarakat. Long march yang diikuti oleh 200 mahasiswa serta para pelajar juga masyarakat berakhir di Salemba karena terjadi pemberhentian mobil-mobil dan transportasi secara paksa. Long march dilakukan dari Kampus Rawamangun ke Salemba. Aksi mahasiswa yang memenuhi jalan kota Jakarta menuntut penurunan harga bensin dan karcis bis kota. Tulisan-tulisan kritis tersebar di berbagai media massa yang terdapat di dalam buku zaman peralihan. Bahkan menjelang G 30 S, Gie mengedarkan selebaran ke bawah pintu rumah-rumah penduduk saat menulis untuk Gerakan Pembaruan, Ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah memicu pada demonstrasi-demonstrasi dijalanan. Aksi-aksi turun kejalan kemudian dilakukan di Jakarta dan Bandung yang kemduaian disusul dengan daerah daerah lainnya. Demonstrasi mahasiswa membuka awal tahun 1966 sebagai bentuk penolakan terhadap segala kebijakan dalam berbagai bidang yang dilakukan oleh pemerintah. Aksi demonstrasi memunculkan tiga tuntutan oleh rakyat atau yang dikenal dengan TRITURA yaitu Bubarkan PKI, Turunkan Harga, Perombakan Kabinet Dwikora.

Setelah PKI berhasil dibubarkan serta Soekarno yang diturunkan dari jabatan Presiden RI dengan digantikan oleh Soeharto, kondisi di Kampus FS-UI Rawamangun tidak begitu berubah. Akan tetapi menurut penuturan Herman Lantang, tokoh-tokoh mahasiswa dari GMNI dan CGMI kemudian diganti dari HMI, PMII, PMKRI, dan GMKI. Pemilihan Ketua Senat Mahasiswa periode 1966- 1967 kemudian memenangkan Paulus Mitang yang berasal dari organisasi ekstra PMKRI menggantikan Herman Lantang. Akan tetapi karena berasal dari organisasi ekstra maka keanggotaan SM FS-UI didominasi oleh

53 Francois Raillon, 1989, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta: LP3ES, hal 35.

Universitas Sumatera Utara anggota organisasi ekstra serta kegiatan mahasiswa sudah mulai berkurang karena lebih banyak pada kegiatan rapat saja.

Keputusan yang diambil oleh kawan kawan mahasiswa golongan independen untuk mencalonkan Gie pada pemilihan ketua senat berhasil memenangkannya pada pemilihan ketua senat mahasiswa 1967. Sehingga suasana fakultas kembali dan berbagai kegiatan intra mahasiswa berjalan. Soe Hok Gie selaku Ketua Senat Mahasiswa mulai menghidupkan kegiatan kampus dengan mendorong mahasiswa untuk mengikuti berbagai aktivitas kampus. Beberapa kegiatan yang sering diadakan oleh Gie dan rekan-rekan seperti pembacaan puisi, panggung teater dan musik, serta tidak ketinggalan adalah bedah buku yang merupakan salah satu kegiatan favorit Soe Hok Gie. Kegiatan lain yang juga berkat ide Soe Hok Gie adalah sebuah diskusi ringan di kampus Rawamangun dengan WS. Rendra, bahkan sesekali Gie mengundang Kelompok Teguh Karya untuk pentas di Gedung Teater Rawamangun.54 Sebagai sosok pemerhati banyak hal, Gie tentu tidak melewatkan masalah kemahasiswaan. Gie selalu memikirkan masalah agar mahasiswa tidak selalu hanya berwawasan ilmu-ilmu kuliah untuk jurusannya akan tetapi juga ikut serta dalam kegiatan-kegiatan untuk menambah wawasan di luar ilmu perkuliahan.

Sejak memasuki masa kuliah Gie terkenal pandai dalam ilmu kuliah juga pandai dalam menentukan sikap untuk bergaul. Sosok Gie bukan hanya sebagai sahabat karib yang hampir setiap hari mendengarkan keluh kesah masing-masing, akan tetapi Gie juga dikenal sebagai pembimbing yang baik. Gie dengan senang hati membimbing teman teman mahasiswa dalam mata kuliah tertentu. Bahkan Herman yang memiliki jurusan berbeda dengan Gie, yakni jurusan Antropologi juga sering mendapat pelajaran dari Gie karena sosok Gie yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk terus mencari pengetahuan dari kegemaran membaca buku dengan berbagai tema. Kegiatan Gie lain bagi Kampus Rawamangun adalah keikutsertaan Gie dalam Radio Universitas Indonesia (RUI).55 Sebagai mahasiswa yang mencintai dunia mahasiswa, Gie telah berhasil mengangkat citra

54 Rudy Badil, Opcit, hal 172 55Ibid., hal., 243.

Universitas Sumatera Utara RUI ketika masih menjabat sebagai mahasiswa. Atas prakarsa Abdullah Dahana dan Soe Hok Gie, kembali menyuarakan suara RUI terkait masalah Cina.

Memasuki tahun 1968 Gie mulai mengikuti kegiatan Wajib Latih Mahsiswa ( Malawa ) dengan angkatan‟67 dan ‟68. Dalam catatan harian Gie tertanggal 19 Maret 1968, Gie menulis bahwa kegiatan Walawa dilaksanakan dengan alasan untuk mencegah terjadinya demonstrasi karena beredar kabar bahwa antara Jenderal Nasution dan Presiden Soeharto sedang dalam mengalami perseteruan. Sehingga ditakutkan mahasiswa akan melakukan demonstrasi guna menyikapi masalah. Berbagai kegiatan Gie pada 1968 salah satu yang paling aktif adalah menulis artikel-artikel di Surat Kabar Kompas dan Sinar Harapan. Kegiatan seperti diskusi dengan berbagai macam masalah dari masalah sosial dan politik serta kegiatan mendaki juga tidak pernah dilewatkan oleh Gie.

Salah satu kegiatan menarik adalah ketika Gie melakukan perjalanan ke Amerika pada 8 Oktober 1968. Ia menerima panggilan telepon dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk studi banding. Kemudian pada 25 Desember 1968, Gie berkunjung ke Australia selama 3 bulan untuk melakukan studi banding di Cornell University. Memasuki awal 1969 adalah masa-masa Gie dalam mengerjakan skripsi untuk diajukan sebagai syarat lulus Sarjana S1 Jurusan Sejarah. Memasuki 1969 merupakan tahun terkahir Gie menjadi mahasiswa dan pada bulan September bahkan sudah resmi menjadi Dosen Jurusan Sejarah. Gie mengabdi pada almamaternya. Pada masa menjadi dosen Gie menulis tentang kegerahan yang sudah ia rasakan sejak masih menjadi mahasiswa dulu, yakni tabiat dosen – dosen, kolega Soe Hok Gie sekarang dalam tulisannya “ Dosen – Dosen juga perlu dikontrol. Berisikan mengenai tingkah laku dosen bertindak sesuka hatinya yang membebani mahasiswanya. Hingga ia meninggal bersama dengan rekannya tepat sehari sebelum hari lahirnya 16 Desember 1969 pada umur 27 tahun.

2.4 Karya – Karya Soe Hok Gie

Soe Hok Gie merupakan seorang mahasiwa yang produktif dalam membuat suatu karya. Karya tulis maupun lisannya yang selalu membangun mahasiwa dan masyarakat

Universitas Sumatera Utara lainnya untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan. Karya tulis seperti catatan hariannya, opini di dalam surat kabar yang mengkritik penguasa dan tulisannya yang dibuat untuk persyaratan lulus dari sarjana. Kemudian karya lisan, seperti puisi yang ia ciptakan terinspirasi dari alam dan keadaan di lingkungan sekitarnya. Soe Hok Gie juga merupakan pelopor dalam berdirinya mahasiswa pencipta alam Universitas Indonesia ( Mapala UI. Disaat Soe Hok Gie merasakan kepenatan dari permasalahan yang ada di bangsanya, ia akan naik gunung dan bersatu bersama alam yang memberikan sebuah ketenangan. Karya - karya Soe Hok Gie yaitu;

1. Buku :

− Di Bawah Lentera Merah Buku ini adalah tulisannya yang diajukan untuk menempuh ujian Sarjana Muda jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kajian historis yang dilakukan oleh Soe Hok-gie guna mengkaji tentang organisasi terbesar pada masa pergerakan sampai terjadinya konflik yang mengakibatkan perpecahan di internal organisasi, yang memunculkan Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Konflik tersebut merupakan awal berdirinya PSI dan PKI. Buku yang berjudul Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 ini pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Frantz Fanon, Jakarta tahun 1990. Kemudian diterbitkan kembali oleh Yayasan bentang Budaya, Jokjakarta tahun 1999. − Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan Buku yang memiliki judul asli Simpang Kiri dan Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948. Karya ini merupakan skripsi Soe Hok Gie untuk persyaratan Sarjana jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam buku ini mengisahkan tentang pemberontakan PKI di Madiun yang ditumpas habis. Soe Hok-gie mencoba memberi gambaran konflik ideologi yang terjadi hingga memakan banyak korban di Indonesia dalam bentuk pemberontakan PKI di

Universitas Sumatera Utara Madiun pada tahun 1948. Diterbitkan oleh penerbit Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta pada tahun 1997 hingga cetakan ketiga pada tahun 2005. − Catatan Seorang Demonstran Buku ini adalah catatan harian yang Soe Hok Gie tulis dari kecil hingga akhit hayatnya. Catatannya terinspirasi dari keadaan di lingkungan sekitarnya. Mulai dari keadaan pribadi, permasalahan yang ada, percintaan, dan lain sebagainya yang tertuang di dalam buku catatan hariannya. Diterbitkan pertama kali oleh LP3ES bulan Mei 1983. Adapun sejarah penerbitan buku ini dimulai dengan terbentuknya Yayasan Mandalawangi yang berusaha melanjutkan cita cita Soe Hok- gie. Selanjutnya, yayasan tersebut berusaha menerbitkan catatan harian Soe Hok- gie. Pada tahun 1983 hingga 2005 adalah terbitan baru atau bisa disebut dengan edisi yang diperbarui yang dikerjakan oleh Asab Mahasin, Ismed Natsir, dan Daniel Dhakidae.56

− Zaman Peralihan Buku ini merupakan kumpulan tulisan artikel Soe Hok gie tentang berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah iklim yang konsumtif-hedoniskapitalistik, Soe Hok-gie berani menulis dan memasukannya ke media massa. Tak tanggung-tanggung, tulisannya yang tajam, menggigit dan menyentil kepada penguasa. Buku ini berisi kurang lebih 30 artikel yang tersebar di media massa dalam kurun waktu 1965 hingga ajal menjemputnya. Pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, artikel tersebut dibuat karena Soe Hok-gie merasakan ada yang tidak benar di pemerintahan orde baru yang telah membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan membiarkan pembantaian massal, proses pembunuhan atau penimpaan kesalahan tanpa proses peradilan, pemenjaraan maupun penyiksaan terhadap PKI ataupun yang dituduh PKI telah terjadi. Kemudian kritikannya terhadap beberapa gejala korupsi di

56Soe Hok Gie, Opcit.,hal. 99-100

Universitas Sumatera Utara Pertamina serta bagaimana mulai gencarnya mencari utangan untuk membangun ekonomi bangsa maupun perlakuan atas tawanan yang terlampaui tidak manusiawi. Dalam kamar yang dengan penerangan listrik temaram karena voltase yang selalu turun jika malam hari, Soe Hok-gie menciptakan tulisan-tulisan yang menurut keterangan Rudi Badhil jumlahnya mencapai 100 lebih. Yang kesemua tulisannya berpengaruh di era 1960an.57 Buku ini dieditori oleh Stanley (wartawan senior) dan Aris Santoso (seorang sejarawan UI). Pertama kali diterbitkan di Jogjakarta oleh Yayasan Bentang Budaya pada tahun 1995, yang kemudian diterbitkan kembali oleh Gagas Media di Jakarta pada tahun 2005.

2. Surat Kabar :

Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, seperti di Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan. Beberapa artikel yang ditulis oleh Soe Hok Gie ; Djangan Sekali – sekali melupakan sejarah madiun, Kuli Penguasa atau pemegang saham, Mimpi – mimpi terakhir mahasiswa tua, dosen – dosen juga perlu dikontrol. Inilah beberapa artikel yang dibuat oleh Soe Hok Gie yang ditujukan kepada penguasa. Kegelisahan hati Soe Hok Gie dituangkan dalam bentuk karya tulis dan di tuangkan ke koran agar dapat dibaca oleh masyarakat lainnya. Apa yang dilakukan Soe Hok Gie bertujuan untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada masyarakat luas bahwa mereka sedang ditindas dan harus keluar dari belenggu para penguasa yang bertindak sesuka hatinya

3. Puisi :

57Ibid., hal 103.

Universitas Sumatera Utara Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Kemudian ia juga membuat puisi – puisi yang ditulisnya dalam catatan hariannya. Puisi yang diciptakan sama dengan karya tulis lainnya, terinspirasi dari keadaan sekitar untuk mengkritik pemerintah dan permasalahan dalam kehidupan. Ia membuat puisi sesuai dari pengalaman dan impian yang ia rasakan. Puisi yang diciptakan bertema keadaan alam, sejarah, harapan atau impian, dan sebuah perjuangan. Berikut adalah puisi-puisinya yang dibuat oleh Soe Hok Gie :

Puisi yang bertema alam adalah Mandalawangi-Pangrango : Puisi ini berisikan tentang alam yang dicintai Gie memberikan rasa ketenangan jiwa. Alam menerima keberadaan Soe Hok Gie sama dengan dia menerima keberadaan alam. Keheningan malam dan dinginnya di Mandalawangi memberikan sebuah kehampaan. Soe Hok Gie berpikir bahwa hidup harus diterima dan dijalankan.Apa yang kita peroleh tidak dapat di hindari maka jalankanlah. Hidup berbicara soal keberanian. Seberapa susahnya itu terima dan hadapi.

Kemudian puisi yang bertemakan sejarah adalah berjudul Kepada Pejuang-Pejuang Lama : Puisi ini menceritakan tentang pejuang – pejuang lama sebelum kemerdekaan. Perjuangan dalam meraih sebuah kemerdekaan hingga meraihnya. Sudah mereka dapatkan kemerdekaan itu hingga para pejuang harus memberikan kepada penerus apa yang dipelajari supaya para penerus dapat melanjutkan cita-cita bangsa. Para pejuang harus memberikan kesempatan kepada penerus untuk melanjutkan sejarah Indonesia. Perjalanan masih panjang dan biarlah penerus yang menjalankannya dan bagi para pejuang lama saatnya berhenti untuk regenerasi. Satu lagi puisi Gie yang bertemakan sejarah adalah berjudul Tentang kemerdekaan : Puisi ini berisi tentang sebuah Indonesia. Masyarakat terdahulu hingga masyarakat masa depan yang merupakan Indonesia. Soe Hok Gie merasakan ia adalah masyarakat yang berada di tengah – tengah kedua peradaban masyarakat tersebut. Semua masyarakat Indonesia dari dulu hingga nanti memiliki tugas

Universitas Sumatera Utara yang sama, yaitu menanamkan pengetahuan yang telah dibuat oleh pendahulu kita. Hal ini merupakan tugas semua masyarakat dari zaman ke zaman untuk melanjutkan cita cita bangsa. Kemedekaan merupakan sebuah keberanian. Dari jiwa hingga rasa setiap masyarakat.

Selanjutnya puisi yang bertemakan tentang harapan atau impian adalah berjudul Sebuah Tanya : Puisi ini menggambarkan tentang pertanyaan dan harapan seseorang akan masa depan cintanya, Soe Hok Gie berharap masih akan terus merasakan kenangan kenangan dan masa-masa indah yang telah mereka lalui. Namun bersama berlalunya waktu entah apapun yang akan terjadi, dia akan tetap menyimpan kenangan dan harapan tersebut di dalam hatinya. Manusia dan Cinta tak akan pernah bisa dipisahkan. karena cinta merupakan suatu kebutuhan yang akan selalu dicari oleh manusia dalam hidupnya. tanpa cinta manusia akan menjalani hidupnya secara kosong dan tanpa arah dan tujuan. Satu lagi puisi mengenai harapan atau impian adalah berjudul Mimpi : Puisi ini berisikan sebuah impian Soe Hok Gie, ia memimpikan dimana semua golongan berjuang atas kebohongan penguasa dan pembunuhan masal seperti tragedi PKI atas nama apapun. Kemudian para anggota PBB sibuk mengatur distribusi pangan kepada seluruh bagian di dunia untuk kesejahteraan kehidupan. Soe Hok Gie juga memimpikan akan tidak adanya sentimen ras, golongan, agama, bangsa, dan apapun yang menjadi sumber konflik. Ia mengingkan sebuah perdamaian di atas dunia. Semua dunia sibuk dengan pembangunan yang lebih baik dan membebankan negara lain agar tidak terjadi perselisihan hingga konflik. Tetapi ia berpendapat bahwa hal ini hanyalah sebuah mimpi yang tidak dapat terwujud.

Dan Puisi selanjutnya mengenai sebuah perjuangan yang berjudul From Soe Hok Gie With Love : Puisi ini berisikan sebuah aksi yang dilakukan untuk kemerdekaan demokrasi dan bercita cita menggulingkan penguasa tirani. Melihat demonstran yang tulus dan ikhlas melawan sebuah dictator dan memberikan sebuah kepercayaan kepadanya supaya terus berjuang melawan penguasa yang tirani. Kemudian Soe Hok Gie menginginkan berjuang bersama selamanya melawan ketidakbenaran penguasa.

Universitas Sumatera Utara BAB III

NILAI – NILAI KRITIS SOE HOK GIE DALAM DEMOKRSASI INDONESIA SEBAGAI WUJUD NASIONALISME

3.1 Rezim Soekarno

3.1.1 Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966 )

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi lahirnya Demokrasi Terpimpin, Tapi yang jelas dalam perjalanan sejarah, perkembangan sistem demokrasi yang pernah ada di Indonesia mulai dari tahun 1945 - 1959 telah mengalami pasang surut yang tidak henti- hentinya. Perdebatan dan perbedaan pendapat dalam memilih sistem ketatanegaraan terus berlanjut di kalangan para pejuang kemerdekaan. Walaupun saat itu Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi negara yang merdeka, namun UUD 1945 yang diresmikan tanggal 18 Agustus 1945 belum mampu menerapkan sistem presidensill sebagaimana yang tertuang di dalamnya.58 Hal ini menunjukkan bahwa, masih adanya segelintir rakyat Indonesia yang belum sepakat dalam menetapkan sistem demokrasi apa yang dipakai dalam menjalankan roda pemerintahan.

Prinsip Dwitunggal yang berkembang di masa-masa awal kemerdekaan, akhirnya membuka ruang bagi Muhammad Hatta untuk lebih berperan penting dalam mengatur pemerintahan.59 Kurangnya peranan Soekarno ketika itu berdampak pada perkembangan dunia perpolitikan yang berjalan lamban. Melihat hal seperti ini, maka pada tanggal 16 Oktober 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang pada saat itu bertugas membantu Presiden menjalankan roda pemerintahan, mengadakan rapat untuk mendesak Muhammad Hatta yang berkedudukan sebagai Wakil Presiden agar mengeluarkan maklumat. Maka pada tanggal 3 November 1945 keluarlah Maklumat Presiden yang hanya

58 Wawan Tunggul Alam. 2003, Demi Bangsaku, Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 155. 59 Dwitunggal yaitu Wakil Presiden mempunyai wewenang dalam mengeluarkan maklumat/ketetapan tanpa harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Presiden. Ibid hal. 1

Universitas Sumatera Utara ditanda tangani oleh Muhammad Hatta. Maklumat tersebut berisikan anjuran pembentukan partai-partai politik, yang mana ditegaskan sebagai berikut:

Pertama: Pemerintah mendukung timbulnya partai-partai politik agar dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.

Kedua : Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada januari 1946.

Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, akhirnya membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk mendirikan partai-partai politik. Terhitung dari tanggal dikeluarkannya maklumat sampai Mei 1946, jumlah partai politik mencapai 137 partai. Akibatnya, kehidupan kepartaian berkembang tidak sehat, pengkudetaan terhadap Undang- Undang Dasar 1945 semakin berlanjut. Sistem Presidensil yang tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945 akhirnya berubah menjadi Sistem Parlementer. Sistem Parlementer yang mulai diberlakukan dua bulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan diperkuat dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1949-1950, ternyata kurang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia.60 Persatuan yang digalang selama menghadapi penjajahan menjadi kendur dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Hal ini disebabkan karena lemahnya benih-benih Demokrasi Parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.61 Sebagai akibat dari penerimaan Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai, maka dalam kurun waktu 14 tahun (1945-1959) tercatat tujuh kali terjadi pergantian kabinet, ini berarti umur rata-rata kabinet hanyalah berkisar lebih kurang 15 bulan saja, akan tetapi ada kabinet-kabinet tertentu yang mampu bertahan lebih dari 2 tahun.

Dengan adanya desakan-desakan yang dilakukan rakyat pada saat tersebut, maka pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah perundingan antara RIS dengan RI untuk

60 Mahfud Md, , 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta : Pt. Rineka Ciptahal. 48-49 61 Miriam Budiardjo. 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 69-70

Universitas Sumatera Utara membentuk kembali Negara Kesatuan Indonesia. Akhirnya perundingan itu membuahkan hasil bagi RI. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan tanggal 17 Agustus 1950 diproklamirkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka saat itu juga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang berlaku ketika itu dicabut dan diberlakukannya kembali UUDS 1950.

Undang-Undang Dasar Sementara yang menetapkan berlakunya sistem parlementer yang mana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Keberlansungan hidup partai-partai politik setiap kabinet berdasarkan pada koalisi yang berkisar satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang baik untuk diterapkan dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu- waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian, ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak partai- partai dalam barisan oposisi tidak mampu untuk berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.

Disamping itu, ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal mereka merupakan kekuatan sosial-politik yang paling penting. Ditambah lagi dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk membuat undang-undang baru. Hal seperti ini menambah lengkapnya permasalahan yang dihadapi dalam periode Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai. Karena semakin rumitnya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia mulai dari tahun 1945-1959, maka Soekarno yang menjabat sebagai Presiden

Universitas Sumatera Utara mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan berisikan memberlakukan kembali UUD 1945 dan mengganti Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi62

3.1.2 Faktor-Faktor Lahirnya Demokrasi Terpimpin

Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya Demokrasi Terpimpin adalah: a. Adanya rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945 karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan yang tidak terbina. Belum utuhnya wilayah RI karena masih ada wilayah yang masih dijajah Belanda. Instabilitas nasional yang ditandai oleh jatuh bangunnya kebinet sampai 17 kali, serta pemberontakan yang terjadi didaerah-daerah. Kegagalan tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme, pemilihan Demokrasi Liberal yang tanpa pemimpin dan tanpa disiplin. Suatu demokrasi yang tidak cocok dengan kepribadian Indonesia. Serta sistem multi partai yang didasarkan pada Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan sebagai alat pengabdi negara.

b. Ketidak mampuan Demokrasi Parlementer mewujudkan amanat penderitaan rakyat. Karena itu, perlu diadakannya suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula, harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan suatu sistem demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada negara dan bangsa yang beranggotakan orang-orang jujur. Cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:

• Mengganti sistem free fight liberalism dengan Demokrasi Terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu Kabinet Gotong Royong66 yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

62 Ibid., hal. 70

Universitas Sumatera Utara • Dewan Perancang Nasional akan membuat blue print masyarakat yang adil dan makmur.

• Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan- golongan fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional adalah memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak diminta.

• Hendaknya konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan segera menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang dibuat Depernas dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat konstituante. Hendaknya konstituante meninjau dan memutuskan masalah Demokrasi Terpimpin dan masalah kepartaian.

• Perlu adanya penyederhanaan sistem kepartaian dengan mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang telah memberi ruang bagi sistem multi partai dan menggantinya dengan Undang-Undang Kepartaian serta Undang-Undang Pemilu.63

3.1.3 Masa Perkembangan Demokrasi Terpimpin

Awal Diterapkan Demokrasi Terpimpin Yang menjadi ciri khas dari periode ini ialah dominasi yang kuat dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dalam mengemban tugasnya sebagai kepala pemerintahan, Presiden mempunyai kuasa penuh dalam membentuk/menyusun kabinet. Pada periode ini, Soekarno memberi nama kabinetnya dengan istilah Kabinet Gotong Royong.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut:

1. Pembubaran Konstituante

2. Berlakunya Kembali UUD 1945

3. Tidak berlakunya UUDS 1950

63 Mahfud Md. Opcit., hal. 54-55

Universitas Sumatera Utara 4. Pembentukan MPRS dan DPAS

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pembubaran DPR dan MPR hasil pemilu 1955, digantikan dengan MPR Sementara dan DPR Gotong Royong yang anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Demikian juga pimpinan MPR Sementara dan DPR Gotong Royong diangkat sebagai menteri kordinator dan menteri dalam kabinet. Sedangkan usaha Presiden Soekarno untuk menyederhanakam sistem partai politik dengan mengurangi jumlah partai politik melalui Perpres No. 7/1959 yang membatalkan maklumat pemerintah tentang pembentukan partai politik tanggal 3 November 1945, diganti dengan partai-partai politik harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi agar diakui pemerintah. Hanya 10 partai yang memenuhi syarat tersebut yaitu PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, sedangkan partai lain tidak memenuhi syarat, termasuk PSI dan Masyumi yang dituduh terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA . Untuk mewadahi 10 partai tersebut maka dibentuklah Front Nasional, yang berdasarkan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) ditambah golongan fungsional termasuk militer. PKI berhasil mengembangkan pengaruhnya untuk melemahkan kedudukan partai politik. Tetapi akibatnya dalam perpolitikan nasional malah terjadi persaingan baru dan sebuah segitiga kekuatan politik yaitu Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI.

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi langkah awal mulai diterapkannya demokrasi terpimpin dengan sistem presidensill. Dalam pandangan Soekarno, ada beberapa ketetapan yang beliau jadikan sebagai pegangan dalam menjalankan demokrasi terpimpin yaitu:

I. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang mana Dekrit tersebut berisikan agar diberlakukannya kembali UUD 1945 dan dicabutnya UUDS 1950. Dan tanggal tersebut dianggap sebagai awal diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dengan Sistem Presidensill.

Universitas Sumatera Utara II. TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dengan masa jabatan seumur hidup.64

III. TAP MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi Lembaga-Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.

Diterapkannya demokrasi terpimpin, membuka ruang bagi Soekarno untuk mewujudkan cita-cita luhurnya terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Adapun cita-cita yang ingin dicapainya yaitu:

Pertama: Pembentukan satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara kesatuan dan Negara kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke.

Kedua:Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur materil dan sprituil dalam wadah Negara Kesatuan RepubliK Indonesia.

Ketiga: Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dengan semua negara di dunia, terutama sekali dengan Negara - Negara Asia Afrika, atas dasar hormat- menghormati satu sama lain, dan atas dasar bekerja bersama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imprealisme dan kolonialisme, menuju kepada perdamaian dunia yang sempurna.65

3.2 Tindakan dan Sikap Soe Hok Gie Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Sikap dan tindakan yang di lakukan Soe Hok Gie pada demokrasi terpimpin dilakukan dengan cara melalui pemikiran, tulisan, dan gerakan. Awal mula Gie

64 Miriam Budiardjo, op.cit hal. 71. 65 Soekarno, Demokrasi Tepimpin., op.cit hal. 202.

Universitas Sumatera Utara memberikan sikap melalui pemikirannya adalah ketika melihat seorang yang memakan kulit mangga. Pada tanggal 10 Desember 1959, Gie bertemu dengan seorang yang kelaparan dan bukan pengemis sedang memakan kulit mangga. Gie memberikan uang Rp 2.50 kepadanya walaupun itu uang terakhir yang dimiliki Gie. Gie berpandangan ada seorang yang makan kulit mangga sedangkan paduka presiden sedang tertawa bersama pengawal dan istrinya yang tidak jauh dari dari tempatnya. Hal ini adalah salah satu gejala yang mulai nampak di Ibukota. Soekarno dalam demokrasi terpimpin sudah memperkuat dirinya sebagai Presiden dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden dan keputusan Presiden seumur hidup tetapi ada masyarakat yang harus memakan kulit mangga hal inilah gejala dari kurangnya kesejahteraan sosial yang terjadi di demokrasi terpimpin.

Dengan gejala pemakan kulit mangga tersebut Gie merasakan bangga kepada generasi muda, Dalam tulisannya di Catatan Seorang Demonstran, Gie merasa bangga karena :

“ Kita, Generasi kita, ditugaskan untuk generasi tua yang mengacau,.Generasi kita menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor – koruptor tua. Kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.” Gie berpandangan bahwa “ Yang berkuasa sekarang adalah orang – orang yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda almarhum. Mereka adalah pejuang – pejuang kemerdekaan yang gigih. Lihatlah Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ali, dan sebaginya. Tetapi kini mereka telah mengkhianati apa yang diperjuangkan. Soekarno telah berkhianat terhadap kemerdekaan. Yamin telah memalsukan ( atau masih dalam zaman romantic ) sejarah Indonesia. Hatta tak beasani menyatakan pendapat ( walaupun kadang – kadang ia menyatakan ). Dan rakyat yang makin lama makin menderita. Aku besertamu, orang – orang yang malang”.66 Pada tanggal 12 Desember 1959 Soekarno membuka Jurusan Publistik dan Presiden berpidato antara lain bahwa tugas pers adalah menggambarkan cita – cita bangsa. Gie mengkritisi bagaimana pers berjalan dengan fungsi yang sebenarnya. Pada saat demokrasi terpimpin pers yang mengkritisi dan memuat berita tidak menguntukan bagi pemerintahan akan diberanguskan. Seperti Mocthar Lubis yang mengkritisi koruptor – koruptor lalu ditahan tanpa sebab. Kemudian harian rakyat yang diberanguskan karena berani memuat tulisan yang tidak menguntukan bagi pemerintah. Pers pada saat itu haruslah

66Soe Hok Gie, Gie,Opcit., hal 69.

Universitas Sumatera Utara ‘meninabobokan’ rakyat dengan berita – berita yang baik dan menguntukan. Pers menurut pemikiran Gie haruslah menyatakan kebenaran dan kenyataan. Dengan adanya pemberangusan pers yang terjadi hal tersebut merupakan pelanggaran demokrasi.

Tindakan Gie dimulai sejak ia memasuki masa perkuliahan. Pada 20 Oktober 1961, Ia diterima di dua fakultas FKIP dan sastra, tetapi ia lebih memilih untuk masuk fakultas sastra di jurusan sejarah. Gie menuangkan kritik nya dengan menulis opini di catatan harian. Organisasi yang ia masuki adalah Gerakan Mahasiswa Sosialis ( GMS ) , Gerakan Pembaharuan, dan Senat Mahasiswa FS-UI. Gie tidak tertarik dengan Organisasi yang berbau keagamaan. Menurut pemikiran Gie kekuasaan tidak dapat dilawan dengan keyakinan moral. Atau sekurang – kurangnya keyakinan moral tidak pernah menjadi suatu dorongan untuk meruntuhkan kekuasaan itu sendiri. Karena itu Gie sebenarnya tidak ragu untuk membuat sebuah gerakan mengambil jalur kekuasaan juga untuk mewujudkan anti kekuasaan tersebut. Maka dia melibatkan dirinya dalam suatu gerakan – gerakan individu maupun organisasi tersebut untuk menentang rezim Soekarno. Gie mengkritik mengenai betapa agung nya Soekarno, apa yang dikatakan beliau adalah kebenaran dan untuk menyerang musuh – musuh pemerintahan dapat dikatakan anti nasionalis dan tidak mendukung pemerintahan. Hal ini merupakan pemonopolian kebenaran yang dibuat oleh Soekarno.

Pada tanggal 3 dan 7 Agustus 1962 gie menghadiri rapat dewan dan pelantikan badan Urusan Pembinaan Kesatuan Bangsa (UPKB). Badan tersebut mendapat dukungan dari organisasi tentara, yakni Badan Pembina Potensi Karya (BPPK). Badan tersebut bertolak belakang dengan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia ( BAPERKI ) dalam masalah asimilasi. Bagi UPKB, asimilasi merupakan syarat mutlak dalam penyelesaian masalah minoritas. Pada hari petama Gie bertemu dengan Drs. Lauw Chuan To dan Drs. Winarno serta Saifudin mereka dan Louis Taolin yang mendukung asimilasi. Alasan Gie masuk kedalam lembaga tersebut karena ini menyelesaikan masalah rasial antara pribumi dan non pribumi. Setelah berhasil mendapatkan persetujuan Sukarno terhadap ide-ide mereka pada tahun 1963. Kelompok ini merencanakan untuk mengadakan

Universitas Sumatera Utara musyawarah asimilasi tanggal 10-12 maret sebelum kongres Baperki dimulai beberapa hari kemudian. Dalam konferensi terebut diumumkan pembentukan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB). Soe Hok-gie merupakan salah seorang yang terpilih dalam kepemimpinan pusat organisasi yang diketahui oleh pegawai bagian hukum angkatan laut, Sindhunata.67Asimilasi merupakan ide yang pada dasarnya patriotik, yang mana mengambil inspirasi yang telah diberikan oleh tokoh-tokoh nasional terdahulu layaknya Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.68Asimilasi menyiratkan bahwa etnis Tionghoa peranakan haruslah meleburkan diri seluruhnya ke dalam suku-suku yang ada di Indonesia hingga ke tingkat menanggalkan ke-Tionghoa- annya. LPKB menganggap integrasi merupakan usaha untuk mendahulukan kepentingan minoritas di atas kepentingan nasional. Menurut Gie, masuk kedalam LPKB merupakan gerakan untuk melawan kelompok Baperki yang merupakan bentukan Soekarno. Sedangkan Baperki menganut prinsip yang sebaliknya. Integrasi merupakan jalan yang tepat untuk masyarakat etnis Tionghoa. Dengan begitu banyak kelompok etnis di Indonesia, maka anggaplah orang – orang Tionghoa merupakan satu suku tersendiri sama seperti suku Jawa, Minang, dan lain – lainnya. Persoalannya bukanlah meninggalkan kecinaan seseorang tetapi dalam kecinaanya berintegrasi ke dalam bangsa Indonesia sehingga Ke- Indonesian adalah suatu mozaik yang terdiri dari berbagai kelompok etnis. Karena itu semua orang Tionghoa yang mengakui Indonesia sebagai negaranya adalah sah sebagai orang Indonesia. Namun dalam perjalanannya Baperki lebih banyak beranggotakan mereka yang berorientasi kiri.69

Sebenarnya Gie memiliki pemikiran dilema disaat memasuki LPKB yang berusaha untuk menanggalkan kecinaanya. Di satu sisi dia tidak mengubah namanya kecinaanya menjadi nama Indonesia. Sementara keluarganya sudah mengganti namanya menjadi Indonesia, ayahnya yang menjadi Salam Sustrawan dan abangnya menjadi Arief Budiman. Gie begitu yakin bahwa namanya tidak akan mengurangi sedikit-pun rasa cintanya terhadap

67Maxwell, Opcit., hal 107. 68 Ibid., hal 108. 69Soe Hok Gie, Opcit,.hal 38.

Universitas Sumatera Utara Indonesia. Tetapi salah satu yang menyebabkan permusuhan nya dengan golongan komunislah yang menyebabkan keputusannya untuk memasuki organisasi tersebut.

Dalam pembicaraan dengan Onghokham, seorang penandatangan manifesto LPKB, dikemukakan alasan berikut. Manusia seperti Soe Hok-Gie adalah seorang “eternal oppositionist” yang tak tahan berhadapan dengan establishment. Tentu saja Soe Hok-Gie akan berpihak kepada Baperki dalam soal pluralisme kultural karena inilah salah satu segi demokrasi yang ingin dipertahankannya. Namun, di pihak lain Baperki adalah organisasi establishment, yaitu rezim Sukarno.70 Baperki merupakan penganut sosialisme yang tidak bertentangan dengan Hok-gie dan kekiri-kirian. Namun karena oportunisme Baperki, Gie lebih memilih condong ke LPKB. Walaupun dalam hati kecilnya dia tidak sepenuhnya menyukai lembaga tersebut tetapi Kebencian terhadap pemerintahan Sukarno dan rezimnya serta tingkah PKI membuatnya untuk menerima LPKB.

Soe Hok Gie berpandangan bahwa apa yang dibangun Soekarno seperti tugu – tugu (Pembangunan Mercusar) , istana dan tingkah yang immoral merupakan hal yang tidak dibutuhkan oleh rakyat. Saat ini rakyat memelurkan pabrik, jalan, pendidikan dan moral. Rakyat sedang kelaparan dan “Paduka” sedang menikmati tahta nya. Yang dimaksud dengan sifatnya immoral adalah disaat ia berkesempatan bertemu dengan Presiden Soekarno. Pada Februari 1963 Soe Hok-gie bersama anggota delegasi pemuda-pemuda yang setuju dengan asimilasi menghadap ke presiden Soekarno dan minta restu kepadanya. Anggota yang menjadi delegeasi terdiri dari, Anis, Shindu, Soeharto, Hardja, Saifudin, Jahja dan Dr Ong. Sindhu mewakili anggota yang lain memberikan uraian – uraian terkait usaha melakukan asimilasi. Soekarno menganggapi bahwa ia setuju dengan ide – ide tersebut, lebih – lebih dalam soal kawin campur. Bagi Bung Karno rasialisme adalah hal yang tidak tepat. Berbicara mengenai kawin campur, lalu Bung Karno bercerita ;

“ Di tasykent, dari 10 wanita pasti 9 cantik. Karena di daerah ini kelompok Semit bertemu dengan kelompok Slavia. Dan Syaifudin nyeletuk bahwa kita bisa membuat wanita Indonesia lebih cantik dengan kawin suku ini. Bung Karno setuju dengan pengertian bahwa unsur-unsur “asing” (maksudnya dari keturunan Tionghoa, Arab, Eropa) juga diikut- sertakan. ...dari pembicaraanpembicaraan ini mereka beralih dan berdebat tentang homoseks

70 Ibid. hal 58.

Universitas Sumatera Utara dengan Dr. Arifin. Dr. Arifin berkta bahwa itu gejala fisik dan sebagainya. Lalu ia bercerita tentang anggota tamu negara yang homoseks yang memukuli seorang banci ((sadis) dan bagaimana di Arab banyak orang-orang banci menurut keterangan dokter Indonesia. Dari sini mereka bicara dan (Bung Karno) membayangkan bagaimana rasanya bila memegang buah dada seorang wanita yang diinjeksi dengan plastik. Kol sutjipto berkata tidak enak, dan lalu ia terganggu. Selama pembicaraan-pembicaraan itu bagaimana sekiranya yang cantik dipegang-pegang oleh Bung Karno, Chaerul Saleh dan Dasaad (dan Hardjo juga katanya), secara amat bebas. Aku merasa agak aneh. Lalu Bung Karno juga mengganggu tentang jas pinjamanku yang kepanjangan dan seterusnya. Dalam tulisannya di catatan harian ia menuangkan pemikirannya yang menilai Soekarno adalah :

Sebagai manusia saya kira saya senang pada Bung Karno, tetapi sebagai pemimpin tidak. Bagaimana ada pertanggungjawaban sosialisme melihat negara yang dipimpin oleh orang-orang seperti itu? Bung Karno sebagai Ariwijadi penuh humor-humor dengan mop- mop cabul ada puna interes yang begitu immoral. Lebih lebih dengan Dasaad yang gendut tapi masih senang gadis-gadis cantik. Dia nyatakan bahwa ia akan kawin dengan orang Jepang, jika sekiranya ia masih muda. Bung Karno berkata ia ingin menerima sesuatu (helikopter?) sebagai hadiah dan Dasaad berkata, tahu beres bila surat-suratnya beres.

Kesanku hanya satu, aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin negara karena ia begitu immoral. Ia juga ceritera bahwa ia jatuh cinta dengan gadis Indo di HBS ketika ia berumur 20 tahun, ketika ia melamar, ia ditolak dengan dikatakan vuile Javanese. Tetapi 3 tahun kemudian ia bertemu dengan gadis itu sudah begitu rusaknya sehingga ia senang pada Tuhan karena ia ditolak. Dengan gaya yang lucu ia berceritera Bahasa Belanda) – Kawanku Sukarno - + ya tapi siapa kamu. Saya adalah X temanmu, sambil meniru-niru suara wanita. “Saya lebih senang memakai sekertaris wanita, karena bila saya tidak in the mood, saya tidak sampai hati memarah-marahinya. Kol. Sabur, ajudannya, diperlakukan tidak dengan hormat, tetapi sebagai kacung/atau aku salah tafsir? Karena intim mungkin.71 Dengan dasar inilah Gie memiliki pandangan pemikiran Soekarno tidak bermoral atau immoral. Walaupun sedang berbicara dengan anggota – anggota asimilasi tetapi Soekarno bercerita tentang hal yang tidak patut diceritakan. Walaupun sudah memiliki banyak istri tetapi beliau nampak tidak pernah puas dengan wanita. Seorang Presiden yang Immoral, sebagai manusia atau masyarakat biasa Gie senang dengan Soekarno tetapi untuk menjadi Pemimpin tidak. Inilah salah satu alasan yang menjadi pendorong untuk menggulingkan rezim Soekarno.

Pada Januari 1966 Pemerintah menaikan harga bus Rp 200 menjadi Rp 1000. Hal tersebut menjadi bahan kajian dan diskusi Gie bersama teman – teman lainnya. Mereka menafsirkan bahwa politik kenaikan harga dari pemerintah sekarang adalah usaha

71 Ibid,.hal 116 – 117.

Universitas Sumatera Utara sementara dari pemerintah untuk mengalihkan perhatian rakyat dari focus penggayangan Gestapu / PKI menjadi soal – soal harga isu ekonomi. Gie beserta teman – temannya membuat gerakan membentuk aliansi mahasiswa yaitu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI ). Awalnya Gie beserta Aliansi tersebut merencanakan untuk melakukan demonstrasi dengan cara menduduki pompa bensin, melarang kendaraan mengisi minyak dan rebahan di rel kereta api agar terjadi kemacetan. Akan tetapi hal tersebut diurungkan karena setelah berdiskusi dengan KAS KODAM Kol. Witono menganggap hal tersebut menurutnya adalah tindakan yang dikehendaki oleh PKI. Gie berpandangan yang lain, ia beranggapan bahwa ;

Penggayangan PKI harus identik dengan perbaikan ekonomi.” Kalau Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi akan memunculkan chaos. Lebih baik kalau mahasiswa yang bergerak. “ Memang karena disiplin kita kita bersedia untuk menderita, tetapi… to the last point apakah ABRI akan memihak rakyat yang menderita dan bersedia menunjukan ujung bayonet nya pada koruptor dan kalau perlu pada pemerintahan korup ini”.72 Keadaan yang semakin resah membuat Gie secara tidak resmi melakukan sebuah briefing dengan mahasiswa – mahasiswa Sastra. Gie mengusulkan agar mahasiswa sastra melakukan protes kepada pemerintah terhadap kenaikan harga tarif bus. Protes nya dilakukan melakukan gerakan dengan cara aksi Long March dari Salemba ke Rawamangun untuk menarik perhatian umum dan sebagai pernyataan solidaritas terhadap masyarakat yang tak mampu membayar bus. Kemudian akan melakukan boikot bus. Hal ini tinggapi positif oleh mahasiswa sastra lainnya. Setelah dari briefing, Gie bergegas langsung kerumah Nugroho bersama Herman O Lantang, ketua umum senat. Disana mereka berdiskusi mengenai rencana demonstari yang akan dilakukan.

Setelah dari rumah Nugroho, Gie dan Herman kembali ke ruang senat dan ternyata ada persoalan yang sangat memberatkan. Senat mendapatkan surat dari Prof Prijono, Menteri pendidikan dan kebudayaan. Isi surat tersebut adalah meminta untuk mengirimkan 20 orang mahasiswi untuk nonton wayang di istana semalam suntuk. Hal tersebut sangat menyinggung perasaan, seolah – olah sastra merupakan tempat supply wanita untuk

72 Ibid., hal 124.

Universitas Sumatera Utara konsumsi istana. Tidak ada satupun mahasiswi yang mau datang. Kemudian Herman dipanggil dan Prijono marah – marah. Disaat utusan MENDIKBUD datang ke ruang senat Herman dan Gie sedang tidak berada ditempat sehingga Maria sebagai Ketua Seksi Keputrian dengan terpaksa menjumpainya. Kemudian Prijono marah – marah dan berkata “ Bahwa maria tidak mengerti Pancasila dan ini merupakan permintaan Soekarno”. Gie merasa resah dengan perilaku Soekarno, ketidakmoralan yang dimilikinya menjadi memperburuk dirinya. Di dalam Istana sudah terdapat sekretaris – sekretaris perempuan dengan berkebaya ketat, seakan – akan Soekarno tidak memiliki kepuasaan dengan perempuan walaupun dia sudah memiliki banyak istri.

Pada 10 Januari 1966 merupakan hari penting dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonenesia. Diadakan rapat dengan mahasiswa – mahasiswa lainnya untuk melakukan gerakan demonstrasi. Setelah pidato – pidato anti PKI dan kenaikan harga, para demonstran menuju ke SEKNEG. Sedangkan rombongan sastra tidak turut, banyak mahasiswa sastra menganggap bahwa demonstrasi tersebut sama dengan demonstrasi lainnya. Kemudian Gie merencakan rapat di senat Rawamangun. Hasil rapat nya adalah bahwa mulai hari selasa, senat menyatakan bahwa bagi mahasiswa – mahasiswa sastra antara tanggal 12 – 19 dinyatakan sebagai Minggu “ berkabung “. Dan selama itu juga para mahasiswa sastra dianjurkan memboikot bus sebagai protes atas tindakan pemerintah dan tindakan solidaritas terhadap mereka yang tidak mampu membayar bus. Soe Hok Gie menilai betapa beraninya mahasiswa – mahasiswa Indonesia, barisan demonstrasi yang berjalan ke SEKNEG tidak gentar dengan penjagaan dan peringatan Resimen Cakrabirawa. Dengan menggunakan panser untuk mendorong barisan aksi juga tidak mempan, mahasiswa menahan dengan melakukan tidur dijalanan menghadap ke panser dengan berteriak “ Hidup ABRI”. Hal tersebut mendorong mundur ABRI kembali ke barisannya. Demonstran tersebut ingin menjumpai Chairul Saleh untuk mempertanyakan mengenai kenaikan harga.

Gie memiliki pemikiran bahwa “ Sebenarnya demonstrasi ini mencerminkan pertentangan politik dan kristalisasi dari kekuatan – kekuatan di Indonesia. Dalam high

Universitas Sumatera Utara level politic terjadi dua blok yang besar, yaitu grup militer dari Nasution – Soeharto – Hamengkubuwono dan grup anti Nasution yang dipimpin oleh Subandrio – Chaerul Saleh beserta kabinet. Bung Karno rupanya lebih condong pada yang kedua. Ia khawatir keseimbangannya akan patah, karena PKI yang dapat mengimbangi ABRI kini sudah hilang. Dan kekuatan Kharismatiknya makin lama makin kurang. Sementara Nasution dan kelompoknya makin lama makin kuat. Kurang dari sebulan Subandrio dan Chaerul Saleh membuat kebijakan moneter devaluasi rupiah sasarannya adalah membuat rakyat panik dan membuat knock out. Kemudian tindakan busuk Chaerul Saleh lainnya adalah ia mengeluarkan uang besar sehingga secara spontan harga – harga naik. Semuanya sistem satu rupiah. Dalam situasi seperti ini untunglah mahasiswa bergerak dan menentang kebijakan tersebut, tidak dapat dibayangkan apabila keadaannya apabila tidak ada yang bergerak.

Pada hari selasa, Gie melakukan geakan long march Salemba – Rawamangun dengan peserta 50 orang. Aksi ini bertujuan untuk menyadarkan rakyat bahwa mahasiswa bersamanya untuk berjuang dan tidak menganggap mahasiswa hanya berada dalam menara gading. Pulangnya long mengundang sikap positif masyarakat bahwa yang dilakukan mahasiswa adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat. Gie sebagai arsitek berhasil mengajak mahasiswa hingga simpati masyarakat.

Gie bersama -+10.000 mahasiswa meniggalkan Salemba menuju DPRGR di senayan. Pada saat itu suasana sangat panas. Mahasiswa berteriak Tiga Tuntutan Rakyat ( Tritura ), Bubarkan PKI, Perombakan Kabinet, dan Turunkan harga. Kemudian terdengar lagu – lagu “Menteri tolol dan ngobyek “. Di depan rumah Mendikbud Prijono, Gie memanaskan suasana dengan yel – yel “ Ganyang Menteri plintat plintut “. Barisan mahasiswa sambil melakukan long march sekaligus menempelkan poster tuntutan di sepanjang jalan. Gie berusaha untuk mengamankan situasi para demonstran agar tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan chaos. Setelah hampir tiba di Senayan, Gie menghubungi Jopie dan Boeli untuk mencari sikap bersama. Jopie dengan kelompok ASMI nya dan Boeli dengan kelompok GMKI. Mereka sudah mensinyalir bahwa akan

Universitas Sumatera Utara adanya mahasiswa – mahasiswa Murba dari Gema 45 ( antek Chaerul Saleh ) yang mau mengarahkan demonstrasi ini menjadi rasialisme. Hal tersebut diberitahukan oleh Soewarto seorang SSKD militer yang dikenalnya melalui Nugroho. Kemudian Rombongan demonstran diterima oleh Menko Arudji dan menjanjikan akan memberikan tuntutan Mahasiswa kepada Soekarno langsung.

Pada keesokan harinya Gie membuat tulisan ulasan untuk Harian Kompas. Dalam ulasan tersebut berisikan bahwa perjuangan mahasiswa sekarang bukanlah sekedar perjuangan menurunkan harga bensin, akan tetapi perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Di samping itu dia membuat tulisan ringan tentang demonstrasi – demonstrasi kemarin. Tetapi kedua ulasan tersebut ditolak oleh Kompas. Jacob berhati – hati dalam memuat ulasan dan tidak berani memuat tulisan Gie terlau aktif.

Agenda demonstrasi berikut nya adalah dengan acara bersepeda. Kegiatan ini diikuti oleh Fakultas Psikologi dan Sastra yang bertujuan untuk memacetkan lalu lintas. Rombongan mengitari jalan Senen hingga Gunung Sahari dan sampailah di Departemen Kejaksaan. Disini rombongan aksi ingin memprotes jaksa dan Sulaiman yang menyatakan bahwa demonstrasi – demonstrasi mahasiswa merupakan demonstrasi liar. Kemudian agenda dilanjutkan dengan berkeliling jalanan di ibukota. Setelah aksi ini bubar Gie pergi ke Kompas untuk me release berita demonstrasi. Tetapi sayangnya tidak semua tulisan dimuat oleh Jacob. Pada hari jumat agenda demontrasi berencana menuju Menteri Surjadi yang berkantor di sebelah stasiun kota. Tetapi rute tersebut menjadi perdebatan antara Gie dengan Gafur KAMI UI, dikarenakan Gie mendapatkan info bahwa di kota ( China Town ) terdapat orang sewaan Chaerul Saleh untuk melakukan sabotase pada rombongan demonstrasi yang akan menyerbu pedagang kecil Tionghoa. Hal ini akan menimbulkan rasialisme dan mengakibatkan Mahasiswa yang disalahkan. Karena tidak mendapatkan titik terang berdebat dengan Gafur kemudian Gie menelpon Sindhunata agar dia menghubungi Witono untuk tindakan preventif. Gie berpesan untuk aksi demonstrasi dikawal dan jangan dihalangi.

Universitas Sumatera Utara Gie bersama rekannya yang lain memilih untuk aksi di tempat lain, yaitu menuju Menteri dan Gas Minyak Bumi serta menuju ke Menteri Bank Sentral. Gie melakukan orasi didepan Kementrian Gas dan Minyak Bumi dengan menjelaskan dampak dari kenaikan harga bensin yang akan menaikan harga barang lainya. Gie dengan 3 orang rekannya dipersilahkan menemui Ibnu Sutowo selaku menteri yang diperantarai oleh alumnus UI yang bekerja di bagian biro Humas. Setelah menemui beliau, Gie menjelaksan maksud kedatangan kami untuk mencabut peraturan bensin yang memberatkan rakyat, Kemudian Menteri berjanji akan menyatakan hal ini kepada Presiden dan akan mengkonsultasikannya. Kemudian para demonstran bergerak menuju ke kantor Bank Indonesia. Menurut Kawan Gie dari KOTI73, Jusuf adalah orang yang memberikan uang pada PKI bermilyar – milyar rupiah. Dia sebenernya sudah mau ditangkap tetapi dilindungi langsung oleh Presiden. Dan dia bersama Menteri Surjadi adalah konseptor kenaikan harga dan mereka adalah bekas angota PKI yang masuk PNI. Demonstran kembali berjalan hingga kembali ke salemba.

Pada 15 Januari, ada sidang paripurna kabinet di Bogor dengan dihadiri wakil mahasiwa dari KAMI, GMNI, dan GMKI. Gie menilai bahwa ini merupakan rencana Presiden untuk memecah belah Mahasiwa. KAMI membawa romobongan mahasiswa untuk mendengarkan hasil sidang tersebut. Rombongan mahasiswa membawa sepeda dengan menggunakan truk menuju Bogor. Orasi – orasi yang dilakukan di depan Istana Bogor nampaknya sepi dikarenakan masyarakat Bogor yang tidak berada di sekitar lingkungan tersebut dan letak Istana yang jauh dari pagarnya. Dalam sidang tersebut Soekarno marah kepada Mahasiswa yang melakukan aksi – aksi demonstrasi dan dia menantang dalam 3 hari siapa yang bisa menurunkan harga bbm akan diangkat menjadi Menteri kalau tidak akan ditembak mati. Pada hari Minggu, Soekarno mensinyalir bahwa ada usaha untuk mencongkelnya dari kepemimpinan selaku pemimpin revolusi besar. Ia meminta untuk seluruh masyarakat tetap berada di belakangnya untuk membuat sebuah barisan Komando. Kemudian Soekarno membuat pendirian Barisan Soekarno, yaitu

73 Komando Operasi Tertinggi

Universitas Sumatera Utara GMNI ASU – UBK dan GERMINDO. Kelompok tersebut sebagai tandingan yang anti terhadap Soekarno.

Soekarno tidak sepenuhnya mengetahui keadaan situasi saat itu . Beliau hanya mengetahui keadaan – keadaan yang bagus saja atau persoalan yang diakibatkan oleh mahasiswa. Dalam aksi yang lain di depan Istana oleh PMKRI dan DMUI Soekarno mengatakan “ Bilang, lapor apabila ada hal – hal yang memberatkan rakyatnya. Kemudian Bung Karno juga menuduh Mahasiswa yang gontok- gontokan, padahal yang melakukan tersebut adalah GMNI ASU74 dab OSA - USEP75. Dia tidak mengetahui perpecahan antara GMNI dan Front Marhaeni k ecuali soal PNI. Dari sinilah Gie berpandangan bahwa Soekarno dikekeliingi oleh Menteri – Menteri yang menyingkirkan realitas kepada Soekarno.

Dalam catatan hariannya ;

“ Aku yakin Soekarno adalah manusia yang baik dan tragis hidupnya. Mungkin ia pernah membuat kesalahan – kesalahan politik yang besar, akan tetapi salah satu sebabnya adalah pembantu – pembantunya sendiri. Resimen Cakrabirawa membuat jaring – jaring birokratis yang sulit ditembus, sehingga hanya klik – klik tertentu saja yang dapat masuk Istana. Bung Karno seolah – olah dijadikan tawanan dalam sangkar emas. Tanpa koneksi jangan berharap dapat menjumpai beliau. Dan dalam suasana seperti ini ada suatu otak yang secara sistematis berusaha mendekandensikannya. Ia terus di supply wanita wanita cantik yang lihai. Seolah – olah ia mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air mejadi kaisar yang punya harem. Tiapminggu diadakan pesta – pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatannya. 76 Pada tanggal 20 januari 1966, Rombongan KAMI sebanyak 300 Mahasiswa berencana untuk mengapur kota Jakarta. Sebelum mengapur mereka mendengarkan pidato Soekarno, hasilnya mengecewakan PKI tidak bubar, Kabinet tidak di resufhle dan harga – harga tetap naik. Tiba – tiba rombongan Demonstran diserang oleh barisan Soekarno dengan melakukan penyerangan fisik. Terdapat kelompok GMNI – ASU yang melakukan penyerangan terhadap mahasiswa dari KAMI. Perempuan pun tidak luput dari

74 Gerakan Mahasiswa Nasional Ali Surachman. 75 Osa Maliki dan USep Ranuwijaya. 76Soe Hok Gie, Opcit, hal 135.

Universitas Sumatera Utara penyerangan dan mereka meminta untuk membuka jaket kuning. Setelah kejadian tersebut,selanjutnya setiap aksi demonstrasi yang ditujukan terhadap Soekarno akan mendapat tekanan dari barisan pendukung Soekarno. Berbagai organisasi kemahasiswaan yang pro Soekarno seperti GMNI, GSNI, Gema Bung Karno hingga organisasi muda PNI mulai memberikan perlawanan baik secara psikis maupun fisik.

Tekanan tidak hanya datang dari barisan pendukung Soekarno saja, tapi juga datang dari menteri pendidikan yang memerintahkan mahasiswa untuk menghentikan mogok kuliah dan menghentikan aksi demonstrasi.77 Ancaman sanksi akademik juga datang dari pihak universitas yang mengultimatum untuk segera menghentikan mogok kuliah dan aksi demonstrasi. 78 Menghadapi hal ini, KAMI sebagai komando tertinggi dalam aksi demonstrasi mengambil langkah kompromistis dengan menuruti kemauan Soekarno. KAMI menginstruksikan kepada mahasiswa untuk menghentikan mogok kuliah dan kembali ke kampus pada tanggal 1 Februari 1966. Langkah kompromi terpaksa diambil pemimpin KAMI karena KAMI mendapat tekanan hebat dari pemerintah.79 Pemimpin KAMI pusat bahkan sempat ditangkap, dan kantornya dipindahkan ke markas Kostrad untuk memutus komunikasi pengurus dan pemimpin KAMI dengan massa mahasiswa di luar. Hal tersebut tidak disetuji oleh Gie ia menggap bahwa perjuangan masih panjang dan merebut kemenangan.

Gie juga menggunakan Radio Ampera untuk melakukan gerakan perjuangan mahasiswa. Ia yang berpandangan bahwa radio ini sebagai reaksi dari sikap media-media yang ada pada saat itu. Media tidak berani menayangkan berita atau pandangan-pandangan yang menyerang pemerintahan Soekarno dan kabinet-kabinetnya. Radio ini merupakan kerjasama mahasiswa-mahasiswa teknik dari Bandung sebagai teknisi dan mahasiswa- mahasiswa dari UI sebagai redaksi. Siaran-siaran Radio Ampera banyak menyerang Presiden Soekarno dan menteri-menterinya.

77 Maxwell, opcit., hal. 193. 78 Ibid., hal 194.

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal 4 Maret 1966, mahasiswa militan membentuk laskar Arif Rahman Hakim. Laskar ini digunakan sebagai pengganti KAMI untuk melakukan gerakan, dengan struktur dan pembagian wilayah yang hampir sama dengan KAMI. Nama tersebut dari rekan Gie yang tertembak pada 24 Februari 1966 pada saat demonstrasi didepan Istana Presiden. Soe Hok Gie bersama Fahmi Idris, Hakim Sorimuda dari HMI dan banyak aktivis mahasiswa yang lain, menggunakan laskar ini untuk merancang aksi demonstrasi yang lebih destruktif. Soe Hok Gie bersama mahasiswa militan lainnya terus melakukan aksi demonstrasi yang destruktif. Keadaan kacau yang dihasilkan oleh Laskar akhirnya mampu memberi kesempatan kepada militer untuk segera bergerak. Di bawah kepemimpinan Soeharto, militer mulai bergerak menekan Soekarno.80

Sudah selama 4 tahun Gie berada di kelompok LPKB, Selama itu Soe Hok-gie telah aktif dalam seksi perencanaan dan penelitian lembaga. Dia membantu pembuatan sejumlah brosur dan pamflet informasi yang berisikan pandangan LPKB tentang asimilasi. Dia berusaha menempatkan isu asimilasi Tionghoa dalam konteks yang lebih luas dari perkembangan sejarah Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Hok-gie berpendapat bahwa pada masa pergerakan nasionalis, kemudian pada era perjuangan kemerdekaan, persatuan nasional, telah terancam oleh kelompok yang berusaha mempertahankan kepentingan gologan yang sempit. Selain itu, kebijaksanaan pemerintah Kolonial Belanda telah memperparah perpecahan dalam masyarakat dengan memanfaatkan perbedaan ras, etnis, dan daerah dengan membuat kelas/ strata. Hal tersebut merupakan strategi untuk mempertahankan kekuasaan dan memperkuat identitas etnis dan mendorong prasangka rasial untuk menghancurkan persatuan nasional. Seperti diawalnya bergabung Gie ke dalam organ LPKB hanya karena persoalan situasional, tidak dari hati. Puncaknya, pada 8 Maret 1966, Gie diadili LPKB. Pada hari itu juga dirinya diberhentikan dengan permintaan sendiri dengan ucapan terimakasih atas jasa-jasanya. Dilema besar dalam menghadapi sikap orang-orang Cina sendiri tentang "kecinaannya" tidak dapat dipecahkannya. Dia dipecat LKPB, dia tidak mungkin menjadi anggota Baperki. Dalam suasana itulah dia

80 Maxwell, op.cit., hal 225.

Universitas Sumatera Utara harus pula menghadapi suatu "kepastian" sikap pribumi terhadapa masalah Cina yang tidak peduli dan tak mau pusing mempersoalkan apakah itu artinya asimilasi atau integrasi, dan menganggap keduanya sama saja. Menurut Onghokham pemberhentian itu dikarenakan pihak ABRI yang mendukung LPKB tidak menyetujui kegiatan yang terlalu frontal Gie menentang Soekarno. Kemudian pada bulan maret sedang terjadi keguncangan politik sehingga memberhentikan Soe Hok Gie.

Demonstrasi yang terus memanas dan tindakan yang sudah semakin tidak dapat dibendung membuat 1966 Keadaan genting ini memaksa Sukarno beberapa kali menggelar pertemuan. Puncaknya adalah rapat kabinet pada 11 Maret. Di tengah-tengah rapat, seorang ajudan Sukarno menyerahkan secarik catatan yang menyebutkan ada pasukan tak dikenal bersiaga di depan istana. Ketidakhadiran Soeharto dalam rapat tersebut membuat Sukarno khawatir dan memutuskan untuk langsung terbang ke Istana Bogor. Sukarno ditemani Soebandrio, Chaerul Saleh, dan Leimena. Tak lama setelah kepergian Sukarno, Amir Machmud melaporkan kejadian tersebut pada Soeharto. Panglima Kostrad itu kemudian memerintahkan Amir bersama Mohamad Jusuf (Menteri Perindustrian Dasar) dan Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi) untuk menemui presiden di Bogor. Hasil pertemuan itu adalah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat inilah yang kemudian dimanfaatkan Soeharto untuk menghimpun kekuasaan dan menjadi pintu masuk kejatuhan Sukarno.

3.3 Rezim Soeharto

3.3 Demokrasi Pancasila ( 1967 – 1969 )

Rezim Orde Baru dibangun dengan dukungan penuh dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu, baik kekacauan politik, ekonomi pada masa Orde Lama dengan Soekarno sebagai presiden. “Pembangunan pemerintah pada awal Orde Baru berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal

Universitas Sumatera Utara tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi yang tinggi dalam setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah”

“Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar itulah yg menjadi titik awal lahirnyya Orde Baru” sebab dengan Supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tidakan-tindakan pembaharuan dan stabilisasi politik. Dan dengan Supersemar itulah sebenarnya kekuasaan Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin menjadi lenyap.

3.3.2 Faktor – Faktor Lahirnya Orde Baru

Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya Demokrasi Pancasila adalah: a. Faktor Politik Keadaan politik yang diciptakan oleh Soekarno dengan keputusannya menjadi Presiden seumur hidup dan merubah cita cita bangsa membuat situasi nasional menjadi kurang kondusif. Soekarno dengan sifat immoral yang membuat tidak layak sebagai pemimpin dan dia juga Pro dengan PKI. Mahasiswa yang berintelektual melakukan diskusi – diskusi yang bertujuan untuk menyadarkan bahwa Indonesia sudah keluar dari Pancasila. Kemudian Korupsi yang diduga dilakukan oleh beberapa menteri serta kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat sehingga keadaan semakin tidak kondusif dan Menteri yang tidak memberikan berita buruk terhadap Soekarno. b. Faktor Ekonomi Kesenjangan yang terjadi saat itu membuat masyarakat dan mahasiswa melakukan aksi aksi tuntutan. Kesejahteraan sudah sangat berkurang hingg a sampai ada orang yang memakan kulit mangga. Dengan kebijakan pemerintah menaikan harga bensin dan harga bus berdampak kepada kenaikan harga – harga lainnya. Masyarakat tidak sanggup untuk naik bus dan membeli bahan pangan dikarenakan naiknya harga bensin. Kemudian dengan kebijakan moneter Devaluasi rupiah yang membuat masyarkat lebih tertetekan.

Universitas Sumatera Utara 3.3.3 Perkembangan Orde Baru

Pada tanggal 18 Maret 1966 Letjend Soeharto segera merespon tuntutan mahasiswa, dengan mengambil tindakan pengamanan (penahanan) terhadap 15 orang menteri yang terindikasi dalam petualangan Gestapu/PKI atau yang diragukan iktikad baiknya dalam menjalankan tugas sebagai pembantu Presiden. Atas nama Presiden Soekarno, Letjent Soeharto mengumumkan Pengumuman Presiden No. 5. Dari ke-24 menteri yang menjadi daftar hitam untuk diretool oleh KAMI, hanya 15 menteri yang diretool dan ditahan, antara lain: 1) Dr. Subandrio, 2) Dr. Chairul Saleh, 3) Ir. Setiadi, 4) Drs. Soemardjo, 5) Oei Tjoe Tat, S.H, 6) Ir. Surachman, 7) Jusuf Muda Dalam, 8) Armunanto, 9) Sutomo Martopradopo, 10) Astrawinata, S.H, 11) Achmadi, 12) Drs. Achadi, 13) Letkol Imam Sjfi’ie, 14) J. Tumakaka, dan 15) Dr. Sumarno. (Sketsamasa No. 34 Th. X, Mei 1966 : 6). Pada waktu yang sama MPRS melakukan pemecatan terhadap anggota PKI dan simpatisan- simpastisannya. DPR-GR juga melakukan pemecatan terhadap 63 anggota PKI. Sementara di pihak Kepolisian juga mengadakan pembersihan dengan membebastugaskan sebanyak 384 anggota Kepolisian dan 49 karyawan sipil yang bekerja pada dinas Kepolisian.81

Dalam Sidang Umum MPRS 1966 Presiden Soekarno diminta memberi pertanggungjawaban atas terjadinya pemberontakan Gestapu, kemerosotan ekonomi dan moral. Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS itu dalam pidatonya pada tanggal 22 Juni 1966 yang diberi judul Nawaksara (9 pokok uraian). Sidang Umum MPRS kurang puas dengan Nawaksara, karena isinya tidak jelas dan Presiden tetap tidak mau mengutuk Gestapu/PKI, serta tidak memberikan keterangan yang memuaskan tentang kemerosotan ekonomi dan kemerosotan moral. Oleh karena itu MPRS meminta agar Presiden mau melengkapi kekurangan dan kesalahan Nawaksara

Keesokan harinya, Resimen Cakrabirawa dibubarkan dan digantikan oleh Polisi Militer Angkatan Darat. Pada bulan April 1966, Angkatan Darat melancarkan gerakan

81 Soegiarso Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (G30S/PKI dan Peran Bung Karno). Jakarta: C.V. Sri Murni.hal 314

Universitas Sumatera Utara kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen, yang kemudian mendapat bentuk sebagai Orde Baru (Orba) lawan dari Orde Lama (Orla) yaitu orde yang telah menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945.82

Mahasiswa segera mengadakan konsolidasi dan mendesak MPRS segera mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Desakan mahasiswa tersebut segera direspon oleh Jenderal Soeharto sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sejak 11 Maret 1966 dengan menggunakan MPRS sebagai sarana utama untuk memperkuat posisi dan legalitas politiknya, dan sekaligus melakukan “de- Soekarnoisasi”, di samping melalui aksi-aksi “Parlemen Jalanan”.83 Sidang Umum MPRS ke IV kemudian dipercepat dan ditetapkan tanggal sidang yaitu tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966. Kekalahan kekuasaan politik dirasakan Presiden Soekarno untuk yang kedua kalinya, yang pertama kalahnya kekuasaan eksekutif dari Letjend Soeharto dan yang kedua kalahnya kekuasaan legislatif dari Jendral A.H. Nasution, yang terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Sidang Umum MPRS ke IV.

Sidang Umum MPRS tersebut berhasil membuat ketetapan-ketetapan MPRS yang menyangkut penguatan peranan politik Angkatan Darat pada umumnya dan Jendral Soeharto pada khususnya, serta mengurangi kekuasaan politik Presiden Soekarno. Ketetapan-ketetapan MPRS yang penting tersebut antara lain:

1) TAP No. IX/MPRS/1966 berisi pengukuhan mandat yang diberikan Presiden Soekarno kepada Letjend Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Hal ini dimaksudkan agar Presiden Soekarno tidak bisa mencabut kembali mandat tersebut.

2) TAP No. XV/MPRS/1966 berisi pemberian kekuasaan kepada Jendral Soeharto untuk memegang jabatan Presiden, jika sewaktu-waktu Presiden berhalangan.

82 G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad Ke-20 II. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hal 148. 83 Muhaimin, Yahya. 1982. Perkembangan Militer dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, GajahMada University Press, Yogyakarta. hal 217.

Universitas Sumatera Utara 3) TAP No. XXV/MPRS/1966 berisi pengukuhan atas pembubaran PKI dan ormas- ormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme-Komunisme di Indonesia.

4) TAP No. XVIII/MPRS/1966 berisi pencabutan TAP No. III/MPRS/ 1963 yang berisi pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.

5) TAP No. XIII/MPRS/1966 berisi pemberian kekuasaan kepada Jendral Soeharto untuk membentuk Kabinet Ampera dengan tujuan pokok Dwidharma dan programnya Catur Karya. Tujuan pokok Dwidharma yaitu menciptakan kestabilan politik dan kestabilan ekonomi, sedangkan program Catur Karya yaitu: 1) Memenuhi sandang pangan, 2) Melaksanakan pemilihan umum, 3) Politik luar negeri bebas aktif, dan 4) Melanjutkan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme84

Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto mengemukakan : Demokrasi yang kita jalankan adalah demokrasi pancasila yang norma - norma pokoknya, hukum - hukum dasarnya telah diatur dalam undang - undang dasar 1945. Demokrasi Pancasila berarti Demokrasi, kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintergasikan dengan sila -sila lainnya 85

Pergolakan politik yang mengguncang Indonesia sepanjang tahun 1966 telah mengacaukan sistem pendidikan di Indonesia. Di Jakarta banyak sekolah dan insitusi pendidikan tinggi mengalami kekacauan karena mahasiswa dan pelajar terlibat dalam aksi massa dan demonstrasi atau juga sebagian hanya mengamati perkembangan politik yang terus mengalami perubahan, bahkan sebagian mahasiswa terlibat dalam arus politk praktis. Universitas Indonesia sebagai pusat kegiatan dan aktivitas mahasiswa Jakarta dalam melakukan aksi menuntut Tritura, maka kegiatan akademik dan perkuliahan menjadi kacau balau. Rektor UI Profesor Sumantri Brodjonegoro mengumumkan pengaktifan kembali

84 G. Moedjanto., Opcit hal 148. 85Krissantono. 1976. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila / [disusun dan diterbitkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, hal 58.

Universitas Sumatera Utara kampus pada bulan April, namun dibutuhkan waktu yang relatif lama agar kegiatan kampus dapat berjalan kembali secara lancar bahkan pada awal tahun 1967.

Pada masa pemerintahan Orde Baru keterlibatan militer tidak hanya mendominasi peran sosial politik saja juga dibidang ekonomi. Dengan tujuan agar dapat menjamin mengalirannya dana tang tetap ke kas Angkatan Darat, sehingga banyak perwira AD yang ditugaskan di berbagai sektor ekonomi, seperti perusahaan minyak negara yaitu Pertamina yang merupakan salah satu BUMN yang dipakai AD untuk mengisi kas mereka dan perusahaan lainnya yaitu Bulog (Badan Urusan Logistik). Sehingga keterlibatan militer dalam fungsinya sebagai kekuatan sosial politik dalam upaya membangun bangsa bukan untuk memperoleh jabatan diluar bidangnya atau jabatan sipil.

Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

3.4 Sikap dan Tindakan Soe Hok Gie Pada Masa Demokrasi Pancasila

Bagi Soe Hok Gie peristiwa 11 Maret membuatnya optimis namun tetap menyikapi perkembangan situasi dengan berhati-hati. Sebagai seorang yang berkomitmen menggulingkan Soekarno dan pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang akan segera lenyap

Universitas Sumatera Utara maka timbul harapan untuk lahirnya pemerintahan yang lebih terbuka, bebas dan demokratis. Cara yang dilakukan adalah mendukung Soeharto untuk melakukan tindakan tegas tanpa kompromi kepada Soekarno dan semua pendukungnya untuk segera melaksanakan reformasi struktural.86

Pada masa Soeharto, sikap dan tindakan Gie dilakukan dengan melalui pemikiran, tulisan, dan gerakan. Gie tidak se aktif pada masa Soekarno Demokrasi Terpimpin. Gie memiliki pemikiran yang berawal pada saat Soeharto merencanakan mengajak Mahasiswa untuk menjadi anggota DPR – GR. Menjelang sidang MPRS pada Maret 1967, perwakilan pemimpin mahasiswa memulai pembicaraan dengan Soeharto. Delegasi mahasiswa akhirnya masuk dalam susunan anggota MPRS/DPR-GR pada Januari 1967. Susunan MPRS/DPR-GR ini merupakan hasil restrukturisasi yang dilakukan Soeharto, dengan mengganti pendukung-pendukung Soekarno di parlemen dengan pendukung Soeharto. Soe Hok Gie secara radikal menolak penunjukkan perwakilan mahasiswa untuk duduk dalam kursi MPRS/DPR-GR. Pertimbangan yang dikemukakan Hok Gie dalam penolakannya adalah keyakinan bahwa mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai kekuatan moral daripada kekuatan politik.87Ketika perjuangan mahasiswa telah membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, sudah seharusnya mahasiswa mundur dan kembali pada aktivitas akademiknya. Mahasiswa tidak seharusnya mengharapkan imbalan berupa jabatan. Dalam tulisannya di Catatan seorang Demonstran, Mahasiswa seharusnya seperti :

“Seorang cowboy datang ke sebuah kota dari horison yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Cowboy ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah banditnya mati penduduk kota yang ingin berterima kasih dengan memberi hadiah mencari sang cowboy. Tetapi ia telah pergi ke horison yang jauh, ia tidak ingin pangkat-pangkat atau sanjungan”.

86 Maxwell, Opcit, hal 229. 87 Ibid., hal. 298.

Universitas Sumatera Utara “Demikian pula mahasiswa. Ia turun ke jalan karena terdapat “bandit-bandit PKI Soekarno- Soebandrio” yang sedang menteror penduduk, merampok kekayaan rakyat dan mencemarkan wanita-wanita terhormat. Mahasiswa ini menantangnya berduel dan menang. Setelah ia menang ia balik lagi ke bangku-bangku kuliah, sebagai mahasiswa yang baik. Ia tidak ingin mengeksploitir untuk dapat rezeki-rezeki”.88

Kemudian Gie melakukan sebuah gerakan di Radio Ampera bersama kakaknya yang memiliki pandangan sama dan selaras dalam mengkritisi Mahasiswa. Salah satu siaran Radio Ampera yang mengkritik KAMI adalah siaran pada tanggal 5-6 April 1967 dengan judul siaran “Awas Penyakit PahlawanGadungan”.89 Materi siaran berupa kritik kepada perilaku mahasiswa yang mengharapkan imbalan atas perjuangannya, termasuk mengharapkan posisi di parlemen. Kritik-kritik dilancarkan Hok Gie terhadap aktivitas KAMI di parlemen, terus menerus hingga menjelang akhir hidupnya. Puncak dari kritiknya adalah mengirimkan pemikiran, tulisan dan gerakannya yaitu hadiah natal dan lebaran 1969 bagi perwakilan mahasiswa di parlemen. Hadiah tersebut berisi pemulas bibir, cermin, jarum, dan benang, disertai pesan : Bekerjalah dengan baik, Hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda tidurlah nyenyak. Dua teman baik Hok Gie ikut pula mendapat kirman paket ini, yaitu Nono Anwar Makarim dan Rahman Tolleng. Nono Anwar Makarim adalah redaksi Harian KAMI, sedangkan Rahman Tolleng adalah teman seorganisasi Hok Gie di Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos).

Pada masa orde baru ini, Gie memang tidak banyak melakukan tindakan.Posisi politik Soe Hok Gie pada tahun 1967 tidak jelas terlihat, karena dalam beberapa tulisannya tidak menunjukan partisipasinya dalam bidang politik. Justru dalam kurun waktu ini ia sangat rajin menjadi kontributor untuk koran Kompas dan Sinar Harapan. Artikel-artikel tulisannya banyak menghiasi halaman media massa tersebut. Dalam periode ini tulisannya jelas memberikan pengamatan yang seksama terhadap kemajuan politik yang dilakukan Orde Baru. Dalam menuliskan artikel selalu dicantumkan identitasnya dengan jelas menanggapi pemerintahan yang baru lahir. Beberapa hal yang dia anggap janggal mengenai

88 Gie., Opcit, hal 34. 89 Maxwell, Opcit, hal 225.

Universitas Sumatera Utara arah kebijakan Orde Baru dituliskan dengan jujur dan tajam sebagai ciri khas tulisannya. Salah satu nya yang dimuat di Mahasiswa Indonesia berjudul “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali”. Hal ini bisa terjadi didukung kebebasan pers yang terjadi pada masa tersebut. Semua hasil pemikiran Soe Hok Gie dituliskan dalam beberapa harian, mulai dari perubahan peran mahasiswa hingga berbagai kejadian yang ia simak pada masa peralihan tersebut. Pada harian mahasiswa Indonesia Soe Hok Gie menuliskan artikel mengenai semua hasil pengamatannya. Dalam tulisannya mengenai pembunuhan besar di Bali, Soe Hok Gie melihat kejanggalan dari pemerintah ketika terjadi pembantaian dari banyak anggota PKI atau orang-orang yang belum jelas kesalahannya, meskipun ia sendiri juga tidak membenarkan tindakan yang dilakukan PKI pada akhir tahun 1965. Isu yang jelas tidak menarik untuk diungkap karena trauma akibat keganasan PKI pada masa jayanya. Namun, sebagai seorang manusia yang bermoral dan mempunyai tingkat sensitifitas tinggi Soe Hok Gie menganggap bahwa tindakan itu telah keluar dari jalur kemanuasiaan

Menurut pemikiran Gie, pembunuhan massal bukanlah langkah yang efektif untuk menghancurkan kekuatan PKI di Bali. Hok Gie tidak menyetujui langkah perlawanan terhadap G30S dengan melakukan kebiadaban yang sama seperti yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam G30S. Pembunuhan massal seperti yang terjadi di Bali memiliki konsekuensi luar biasa yang tidak hanya dirasakan generasi saat ini tapi juga generasi medatang. Banyaknya janda-janda akibat suami mereka dibunuh, anak yang menjadi yatim, dan banyak lagi akibatnya. Selain peristiwa pembunuhan massal di berbagai daerah, Hok Gie juga menyoroti permasalahan kemanusian yang timbul dari upaya pemberantasan PKI. Masalah yang paling utama adalah banyaknya tahanan politik dan diskriminasi lewat kebijakan surat bebas G30S kepada orang-orang yang terlibat G30S 1965. Dua permasalahan ini menjadi permasalahan yang serius karena menyangkut hak asazi manusia.

Pembunuhan massal ini seharusnya dapat dicegah apabila pemerintah, dan pihak- pihak yang terlibat di dalamnya memiliki inisiatif. Inisiatif untuk menyelesaikan

Universitas Sumatera Utara permasalahan pemberantasan PKI dengan cara cara damai dan mencegah cara-cara kekerasan. Pemerintah dan militer terkesan membiarkan peristiwa pembunuhan ini berlarut larut. Pembunuhan massal di Bali ini justru dimanfaatkan oleh pejabat-pejabat di Bali untuk melakukan cuci tangan terhadap permasalahan pengganyangan PKI di Bali. Menurut Gie, para siswa SD itu tidak tahu apa-apa tentang G30S dan komunisme. Bahkan dari 22 juta PKI yang klaim sebagai anggota, hanya beberapa ribu saja yang mengerti Marxisme- Leninisme. Sedangkan sisanya banyak yang ikut-ikutan saja.nDengan tegas Soe Hok Gie mengatakan, mereka yang benar-benar terlibat G30S harus ditindak tegas. Tetapi kepada mereka yang hanya ikut-ikutan PKI harus dikembalikan kepada masyarakat, tanpa memakai surat bebas G30S yang memberi stigma buruk.

Pada tahun 1967, Gie didukung oleh Mahasiswa Independen untuk menjadi Ketua Senat FS – UI. Hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan kegiatan – kegiatan Intra kampus. Gie terpilih menjadi ketua senat. Dalam menghadapi persaingan mahasiswa independen dan organisasi ekstra universitas, Hok Gie melakukan beberapa tindakan. Salah satu yang dilakukan Hok Gie adalah menjaga independensi mahasiswa di kampus UI. Hok Gie membuat gerakan menjaga independensi mahasiswa dengan terus menggalakkan semangat independen dalam berkegiatan dan juga mengkritisi mahasiswa yang diajak Soeharto bergabung dalam parlemen. Hok Gie secara terangterangan melakukan perlawanan kepada organisasi ekstra universitas yang melakukan aktivitas politik di kampus. Sebagai ketua senat, Hok Gie memiliki program kerja yang lebih realistis. Hok Gie tidak mengakomodir kepentingan organisasi-organisasi ekstra dalam program kerja senat. Kepentingan politis organisasi ekstra untuk mencari kader baru tidak diakomodir oleh Hok Gie. Hok Gie lebih memilih program yang bermanfaat seperti penghijauan di lingkuangan kampus FSUI. Ia juga mencanangkan program perbaikan kualitas pengajar akademis di kampus FSUI. Beberapa kegiatan yang sering diadakan oleh Gie dan rekan- rekan seperti pembacaan puisi, panggung teater dan musik, serta tidak ketinggalan adalah bedah buku yang merupakan salah satu kegiatan favorit Soe Hok Gie. Terhadap dominasi organisasi ekstra universitas, Soe Hok Gie melakukan berbagai bentuk perlawanan. Di

Universitas Sumatera Utara kampus UI, Ia membentuk sebuah grup diskusi yang terdiri dari wakil-wakil golongan mahasiswa independen dari berbagai fakultas. Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) lahir sebagai wujud perlawanan intelektual terhadap dominasi organ ekstra.

Setelah lulus kuliah tahun 1969, Gie memilih menjadi dosen. Ia ingin mempertahankan idealismenya dan memberikan pemikiran – pemikiran kritisnya pada Mahasiswa. Kegiatan yang dilakukannya masih seputar hobinya, yaitu berdiskusi, bedah film, dan naik gunung. Hingga pada 16 Desember 1969 satu hari sebelum tanggal kelahirannya Gie meninggal di puncak Mahameru bersama Idhan Lubis karena mencium gas beracun. Ternyata kutipan seorang filsuf yang sering Gie kutip menjadi kenyataan.

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan Yang kedua dilahirkan, tapi mati muda Yang tersial adalah umur tua, rasa – rasanya memang begitu Bahagialah mereka yang mati muda90 3.5 Nilai – Nilai Kritis Soe Hok Gie Merupakan Wujud Nasionalisme

Apa yang dilakukan oleh Gie berawal dari pemikiran kritisnya, Gie mampu berpikir kritis yang menghasilkan sebuah nilai. Nilai – nilai kritis terhadap pemerintahan Soekarno hingga Soeharto. Berpikir kritis seperti yang diungkapkan yaitu kemampuan untuk membuat analisis dan melakukan evaluasi terhadap data atau informasi. Gie melihat sebuah realita keadaan yang terjadi pada saat orde lama hingga orde baru. Realita pada Demokrasi terpimpin yang terjadi penyelewengan – penyelewengan dan pada masa demokrasi pancasila pelanggaran hak asasi manusia membuat Gie mengevaluasi dengan menghasilkan sebuah penilaian. Dari hasil berpikir kritis Gie menghasilkan sebuah nilai, kemudian melakukan evaluasi membuat kesimpulan bahwa keadaan pada saat itu terjadi ketidakbenaran yang sedang berjalan. Soe Hok Gie memiliki nilai-nilai kritis yang dihasilkan dari pergulatan-pergulatan terhadap realitas dan melewati proses berfikir yang kritis untuk menghasilkan sebuah nilai yang menuntunnya untuk bergerak, bersikap merubah, memperbaiki keadaan. Dan Soe Hok gie, dalam penelitian ini harus diletakkan ke

90 . 1969, The Story of Philosphy, The Lives and Opinions of the Great Philosophers. The Pocket Library, hal 407.

Universitas Sumatera Utara dalam konteks politik dan ekonomi di masa demokrasi terpimpin Soekarno dan konteks hak asasi manusia masa demokrasi pancasila Soeharto sebagai realitasnya.

Di penghujung kepemimpinannya Soekarno, Indonesia mengalami berbagai permasalahan yang menyentuh proses kebutuhan sehari-manusia masyarakat. Kesejahteraan yang belum tercapai, kemudian, kepemimpinan Soekarno yang represif, sifat immoral dan kenaikan – kenaikan harga membuat Soe Hok gie mampu mengurai kesalahan dan kebenaran yang ada di dalam kepemimpinan Soekarno pada masa itu. Kemudian pada masa Demokrasi Pancasila, dimana Soeharto menumpas masyarakat yang terduga PKI dan hal tersebut ditentang oleh Gie atas dasar hak asasi manusia. Dengan hal tersebut nilai itu diabstraksikan dan menjadi pedoman untuk menuntun gerakan politik yang diinisiasi Soe hok gie dan rekan – rekannya. Dari nilai – nilai kritis yang dilakukan Soe Hok Gie dengan sikap dan tindakannya dengan melalui pemikiran, tulisan dan gerakannya, hal tersebut merupakan bagian dari Nasionalisme terhadap bangsa.

Nasionalisme tumbuh dan berkembang mengikuti masa yang dialami suatu negara. Mulai dari penjajahan hingga rasa cinta tanah air. Penjajahan dalam merebut sebuah kemerdekaan merupakan nasionalisme, bukan hanya dimiliki golongan yang berada di wilayah jajahan tersebut melainkan semua yang berjuang untuk meraih kemerdekaan. Berjalannya waktu nasionalisme berkembang menjadi rasa cinta tanah air. Bangga terhadap negeri dan mempertahankan keutuhan negara. Sikap dan tindakan Soe Hok Gie yang merupakan nilai – nilai kritis adalah salah satu wujud Nasionalisme. Seperti menurut Anthony Smith, memaknai Nasionalisme Makna Nasionalisme adalah :

1. Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa;

2. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan;

3. Suatu bahasa dan simbiolisme bangsa;

4. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan ;

Universitas Sumatera Utara 5. Suatu doktrin dan/ atau ideology bangsa, baik yang umum maupun yang khusus91.

Apa yang dilakukan Gie dengan membuat sebuah gerakan yang didasarkan oleh moral sehingga terbentuknya gerakan social / politik untuk menentang rezim penguasa yang bertindak sewenang – wenangnya. Gerakan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kehidupan bangsa yang tengah terjadi ketimpangan dan ketidaksejahteraan yang dirasakan oleh rakyat. Gerakan tersebut dilakukan dengan cara aksi demonstrasi dengan ratusan mahasiwa yang terkoodinir. Gie sebagai arsitek dalam beberapa agenda demonstrasi dan menjadi orator untuk menyemangatkan perjuangan. Gerakan tersebut meminta 3 tuntutan yang bernama “ Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA)” yang berisi 1. Bubarkan PKI, 2. Perombakan Kabinet dan 3. Turunkan harga. Dari awal Januari 1966 hingga Maret Gie beserta rekannya tidak lelah menutut sebuah perubahan bagi bangsa. Walaupun gerakan tersebut melawan pemerintahan tetapi gerakan tersebut untuk kemajuan di Indonesia dikarenakan pemerintahan yang sudah melakukan penyelewengan dari permasalahan politik hingga ekonomi. Apa yang dilakukan Gie sebagai upaya mengembalikan keadaan kondusif terhadap negara. Gie menyukai Soekarno sebagai manusia, tetapi untuk jadi pemimpin tidak. Dalam segi memiliki kesadaran sebuah bangsa, Soe Hok Gie mengakui bahwa dia orang Indonesia, walaupun nama nya tidak diganti, ia beranggapan bahwa hal itu tidak mengurangi rasa kecintaannya kepada Indonesia. Walaupun dia menyadari bahwa namanya dapat menimbulkan permasalahan. Gie juga menyetujui asimilasi dan bergabung bersama LPKB untuk meninggalkan kecinaanya. Gie mencintai Indonesia dengan rakyat – rakyat kecilnya. Hal tersebut karena Indonesia bukan dimiliki oleh sekelompok atau golongan saja melainkan seluruh masyarakat yang terkandung di dalamnya. Gie berkesempatan untuk melakukan studi ke USA kemudian ia diminta untuk menunjukan paspor RI, walaupun ia mempunyai Paspor Indonesia tetapi ia tetap checking di pendaftaran orang asing, apabila nama Gie tidak ada disitu maka Gie dianggap warganegara Indonesia. Kemudian nama dia tidak tertera sebagai warganegara asing sehingga memang betul bahwa Gie adalah orang

91 Anthony D Smith., Opcit. hal 6 -7.

Universitas Sumatera Utara Indonesia. Dari nilai – nilai kritis yang dilakukannya tidak mungkin Gie berjuang bukan untuk negaranya. Sementara Gie dalam kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia walaupun berjumpa dengan golongan etnis yang sama ia tetap menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Anthony Smith, Dari semua makna nasionalisme, hal tersebut memiliki saling keterikatan, tetapi belum tentu berjalan bersamaan. Gie memiliki kesadaran berbangsa, melakukan gerakan social / politik dan menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Hal tersebut merupakan sebuah Nasionalisme yang dimiliki oleh Soe Hok Gie. Nilai – Nilai kritis yang dilakukannya melalui sikap dan tindakan merupakan salah satu sikap nya menunjukan kecintaannya terhadap Indonesia. Sedangkan menurut Marvin Perry, Nasionalisme merupakan suatu ikatan sadar yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan bahasa, kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama dan saling terikat dalam suatu negeri tertentu. Pada dasarnya nasionalisme memang lahir dari bermacam-macam cara, mulai dari karena kesamaan akan sejarah, kebudayaan, cita-cita, ketidakadilan, penindasan, serta sebagai wujud perlawanan suatu kelompok bangsa.92 Gie termasuk di dalam sebuah ikatan sadar yang memiliki penderitaan bersama dalam bangsa Indonesia. Ikatan sadar yang dimaksud adalah kelompok mahasiswa yang menuntut perubahan yang dirasakan bersama masyarakat umumnya. Nasionalisme Gie berasal dari sebuah pikiran yang mengahasilkan nilai sehingga membuat Soe Hok Gie melakukan perlawanan untuk menuntut perubahan Indonesia.

92 Marvin Perry. Opcit, hal 94.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Soe Hok Gie adalah seorang etnis Tionghoa yang minoritas di negeri Indonesia. Seorang etnis non pribumi yang selalu termarginalkan di negeri ini. Tetapi ia adalah orang yang berani berjuang melawan ketertindasan dan ketidakadilan oleh rezim Penguasa. Sejak tahun 1955 – 1969 sikap dan tindakan yang dilakukan Gie untuk kepentingan masyarakat umum. Kritik tajam kepada pemerintah dari kebijakan, keputusan yang bertentangan dari cita – cita kemerdekaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa. Pada masa Soekarno dari sifat immoral, ketidahsejahteraan, kabinet yang korupsi hingga pers dibredel dan kemudian pada masa Soeharto pembunuhan massal dilakukan terhadap PKI yang melanggar hak asasi manusia.

Merujuk dari Nasionalisme menurut Anthony Smith yaitu Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan. Gie melakukan sebuah gerakan yang berawal dari moral dirinya menjadi sebuah gerakan social atau politik untuk kepetingan masyarakat Indonesia. Nasionalisme yang dilakukan Gie merupakan sikap mencintai Indonesia walaupun nasionalisme etnis Tionghoa saat ini sangat diragukan. Tetapi ia menjadi contoh bagi etnis dan masyarakat lainnya bahwa nasionalisme bukan hanya milik pribumi melainkan milik seluruh masyarakat yang berwarganegara Indonesia. Gie mengajarkan minoritas bukanlah penghalang untuk berjuang, siapapun yang merasa Indonesia berhak berjuang untuk membangun Bangsa. Gie mencintai negeri ini dengan masyarakat – masyarakat kecilnya. Berawal dari pemikiran kritisnya gie mengasilkan sebuah nilai yang diaplikasikannya melaui sikap dan tindakannya.

Refleksi saat ini, apa yang diperjuangkan Gie pada masanya seperti sikap dan tindakan sudah berkurang dilakukan pada masa ini, tidak ada seorang seperti Gie yang berani berjuang dengan militannya melawan penguasa. Kesenjangan dan ketidakadilan yang terjadi saat ini berjalan begitu saja tanpa ada pembenaran yang signifikan. Adanya

Universitas Sumatera Utara tekanan dari mahasiswa saat ini belum sekuat seperti masa Soe Hok Gie dulu. Gie seorang sosok yang menjadi panutan masa kini hingga masa depan dalam perjuangan melawan ketertindasan dan ketidakadilan yang dibuat oleh pemerintah. Artikel nya yang berjudul “ kuli penguasa atau pemegang saham “ saat ini masih relevan. Pemerintah masih tidak mandiri di negera sendiri, masih banyak campur tangan asing dalam pembangunan yang berakibat negara ini tidak berdikari. Apa yang dilakukan Gie menjadi sebuah hal yang akan terus dikenang menjadi sebuah apresiasi dalam mencintai negeri Indonesia. Buku yang ditulis dan perilakunya menjadi pedoman bagi perjuangan mahasiswa setiap saatnya.

4.2 Saran

• Bagi Mahasiswa Mahasiswa adalah agent of change dan agent of social control, dengan predikat tersebut mahasiswa harus menjadi garda terdepan untuk membela dan membantu masyarakat dari kesenjangan yang dibuat oleh pemerintah. Gie seorang mahasiswa keturunan etnis Tionghoa memberikan pelajaran bagi mahasiswa. Walaupun dia seorang etnis minoritas tetapi ia membela masyarakat kecil Indonesia yang tertindas. Tidak ada penghalang bagi mahasiswa untuk berjuang, semua dapat berjuang membela masyarakat. Realita mahasiswa saat ini yang sudah menurun sikap dan tindakan melawan ketertindasan membuat hubungan masyarakat dan mahasiswa menjadi renggang dikarenakan berkurangannya rasa kepercayaan terhadap mahasiswa. • Bagi Masyarakat Masyarakat yang memiliki etnis – etnis minoritas bukan penghalang untuk melakukan perjuangan. Pribumi maupun non pribumi yang lahir dan menjadi warga negara Indonesia memiliki peran untuk membangun Indonesia. Indonesia bukan hanya dimiliki oleh segelintir etnis mayoritas melainkan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang tinggal dan menetap di tanah air. Bersatu bersama dalam satu tujuan dan senasib sepenaggungan harus membuat kesepahaman untuk memajukan

Universitas Sumatera Utara negeri ini dari ketertindasan. Masyarakat harus memahami apa yang dibela mahasiswa untuk kepentingan seluruh masyarakat dan harus bersama untuk menuntut sebuah kesejahteraan. Masyarakat dan mahasiswa adalah elemen yang terikat, keduanya harus bersinergis untuk membangun negeri ini dan mengkritik pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alimi, R. Qoidul Anam, 2010., Agenda dibalik Temu Kangen Eks. PKI / Pakorba: mengungkap Rahasia Peristiwa 24 Juni 2010 di RM Pakis Ruyung Banyuwangi, CICS. Alam, Wawan Tunggul. 2003, Demi Bangsaku, Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Azra, Azumardi Demokrasi. 2005. Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media. Badil, Rudy dkk. 2010, Soe Hok Gie sekali lagi, Jakarta: Kompas.

Bunging, Burhan 2007. Penelitian kualitatif. Jakarta: Prenada Medika Group.

Budiardjo, Miriam. 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Budiman, Arief. 1984. Perananan Mahassiwa sebagai Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik, Jakarta : LP3ES. Cohen, Bruce.1983, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara. Daradjadi. 2013, Geger Pacinan (1740-1743)1740-1743, Jakarta: Kompas. Drikarya, Nicloaus. 1966. Pertjikan Filsafat.Jakarta, PT Pembangunan. Krissantono. 1976. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila / disusun dan diterbitkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta Maxwell, John C. 2001, Soe Hok Gie: Pergerakan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Matulessy, Andik. 2005. Mahasiswa & Gerakan Sosial. Surabaya: Srikandi.

Nawawi, Hadawari. 1987. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada University press. Md, Mahfud. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta : Pt. Rineka Cipta.

Universitas Sumatera Utara Nietzsche, Friedrich 1969, The Story of Philosphy, The Lives and Opinions of the Great Philosophers. The Pocket Library

Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. Onghokham, 2000. “Pengaruh Gerakan Cina dalam Kebangitan Nasional”, dalam Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Jakarta: Prestasi Insan Indonesia. Perry, Marvin. 2013. Peradaban Barat, Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman Globalisasi, Bantul: Kreasi Wacana. Purcell, Victor. 1987. The Chinese in Southeast Asia, London: Oxford University.

Raillon, Francois, 1989, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta: LP3ES. Rifa‟I, Muhammad, 2009, Biografi Soe Hok Gie 1942-1967, Jakarta: Garasi.

Rahardjo, Iman Toto K. & Herdianto WK. 2001, Bung Karno Dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Pt. Grasindo. Skinner , G Wiliam. 1979 . Golongan minoritas Tionghoa. In Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, edited by Mely G. Tan. Jakarta: Penderbit PT Gramedia. Soerojo, Soegiarso. 1988, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, G30S-PKI dan Peran Bung Karno, Jakarta : Pt. Intermasa. Suryadinata, Leo. 2002. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: INTI dan LP3ES. Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa, “Kasus di Indonesia” Jakarta: LP3ES. Surya, Hendra. 2011, Strategi jitu mencapai kesuksesan belajar , Jakarta: Elek Media Komputindo. Sorensen, Georg. 2014, Demokrasi Dan Demokratisasi (Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang berubah), Yogyakarta : Pustaka pelajar. Soekarno.1963, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan, Kedua, Panitia Penerbit Di bawah Bendera Revolusi, Djakarta : PT. Jambatan. Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: penerbit Erlangga.

Universitas Sumatera Utara Trianto dan Titik Triwulan, 2007. Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prestasi Pustaka. Usman, Husani dan Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara. Frederick, William H, Soeri Soeroto. 1982. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum & Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES Yuanzhi, Kong. 2005. Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer Yahya. Muhaimin,. 1982. Perkembangan Militer dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, GajahMada University Press, Yogyakarta.

Jurnal

Alfaqi, Mifdal Zusron, 2015, Memahami Indonensia Melalui Perspektif Nasionalisme, Politik Identitas, Serta Solidaritas, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015. Kusumawardani Anggraeni & Faturochman, 2004, Nasionalisme, Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004. Wiharyanto, A. Kardiyat. 2007, Pergantian Kekuasaan di Indonesia Tahun 1800 SPSS, Vol 21 No 1.

Website

Badan Pusat Statistik. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. diakses dari http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/in dex.html. pada 17 Desember 2017 pukul 19.20 WIB. Hidayat, Dedy Nur. 2009, TEORI-TEORI KRITIS dan TEORI-TEORI "ILMIAH" diakses dari https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2009/03/microsoft-word- dedynurhidayat_teori-kritis3.pdf pada 20 April 2018 pukul 18.10 WIB.

Film

Mira, Lesmana & Riza, Riri, 2005. Film Gie. Sinemart Picture.

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN

1. Puisi

From Soe Hok Gie With Love Hari ini aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaaan dan demokrasi dan bercita-cita menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi

Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini?

(Harian Sinar Harapan, 18 Agustus 1973 )

2. Puisi

MANDALAWANGI – PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Universitas Sumatera Utara walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada hutanmu adalah misteri segala cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar ‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara aku terima ini semua melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu aku cinta padamu Pangrango karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966

3. Puisi

SEBUAH TANYA

“akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui apakah kau masih berbicara selembut dahulu? memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku”

Universitas Sumatera Utara (kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru”

Selasa, 1 April 1969

4. Puisi

Tentang Kemerdekaan

Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan

Yang tak pernah berakhir,

Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah

Dan adik-adikku di belakang

Tapi satu tugas kita semua,

Universitas Sumatera Utara Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….

Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar

Kita adalah alat dari derap kemajuan samua;

Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup

Seperti juga perjalanan di sisi penjara

Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan

Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang

Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita

Adalah manusia merdeka

Dalam matinya kita smua adalah

Manusia terbebas.

5. Puisi

Kepada Pejuang-Pejuang Lama

Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.

Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.

Dan datanglah kau manusia-manusia

Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.

Dan kita, para pejuang lama

Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai

Universitas Sumatera Utara Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)

(kau tentu masih ingat suara-suara dibelakang…”mereka gila”)

Hai, kawan-kawan pejuang lama

Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita

Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita

Dan tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita

Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)

Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat

Di sana…Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru.

Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini

Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya

Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya

Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.

Ayo,,Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak

Tak ada tempat di kapal ini

Universitas Sumatera Utara 6. Puisi

Mimpi

Saya mimpi tentang sebuah dunia

Dimana ulama, buruh, dan pemuda,

Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan!

Semua pembunuhan atas nama apapun!”

Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu

Buat anak-anak yang lapar di tiga benua

Dan lupa akan diplomasi

Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun

Dan melupakan perang dan kebencian

Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik

Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi Yang tak pernah akan datang

Selasa, 29 Oktober 1968

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara