PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“EROTISISME DALAM KENGERIAN” Analisis Sajian Erotisisme dalam Film Horor

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Clemens Felix Setiyawan 126322015

Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2017

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

THESIS

(EROTISISME, DALAM KENGERTAN"

Analisis Sajian Erotisisme dalam Film Horor Indonesia

Prof. Dr. A. Supratiknya Pembimbing I lucizot?

Dr. St. Sunardi

Pembimbing II ranggal: ZO fUUf Z_lltl PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

,r- tr'ri . . ,:.: , . ..EROTISISITffi PAE;I}I'IdENGEBIAN'' i

Aqalisis S&Jisn ErOtisiStie ,t.im llo'ror Indonesia

Sekretarisdaa

Dharma

{'

Subanat SJ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul: "Erotisisme dalam Kengerian: Analisis Sajian Erotisisme dalam Film Horor Indonesia" merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam thesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Peminjaman karya sarjana lain adalah iemata- mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan perut, kaki, maupun daftar pustaka.

Yogya Cktv Clemens Felix Setiyawan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSBTUJUANEPUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma,E

Nama : Clemens Felix Setiyawan

NIM :126322015

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul: Erotisisme dalam Kengerian: Analisis Sajian Erotisisme dalam Film Horor Indonesia

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikannya di intemet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.

Demikian pemyataaan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta,

Clemens Felix Setiyawan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Erotisme dan horor adalah dua kata yang paradoks: mengasyikkan dan mengerikan. Setidaknya itulah inti dari tulisan ini. Meski menggemari film, tetapi latar belakang saya adalah musik. Saya pribadi punya semacam slogan, yaitu

“mengidupi suara dan dihidupi suara”. Mengkaji film sejujurnya adalah hal baru bagi saya. Saya hanya berbekal pengalaman menjadi music director untuk keperluan scoring beberapa film. Keberanian saya mengkaji film lebih didorong terutama dari pengalaman panjang semenjak kecil, dimana saya mempunyai daya tarik yang besar terhadap dunia film. Film adalah sebuah “fenomena” tersendiri di dalam diri (hidup) saya.

Dalam tulisan ini saya mengkaji erotis(is)me film horor indonesia dengan rentang waktu produksi antara tahun 2003 sampai tahun 2013 dimana pada tahun- tahun tersebut sebagian besar film horor yang diproduksi mengandung unsur erotik, dan hal ini, seperti yang sudah saya katakan di atas, menjadikan suatu hal yang menakutkan tapi mengasyikkan, seperti di dalam proses berkesenian selalu membutuhkan tantangan baru yang kadang menakutkan tapi juga mengasyikkan.

Atas selesainya karya tulis ini, tak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Seni dan Desain.

2. Kedua Orang Tua: Bapak Florentinus Budi Haryono dan Mama saya Helaria

Endang Lestari.

3. Anak dan Istri: Nima dan Itta Ernawati.

v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4. Dosen-dosen saya semua selama berproses di Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma, terutama Bapak St. Sunardi: Sang Guru, Bapak A.

Supratiknya: dosen pembimbing, dan Romo Banar: dosen spiritual saya.

5. Teman-teman kuliah dan berproses di IRB.

6. Teman-teman di Universitas Multimedia Nusantara.

7. Teman-teman di ISI yogyakarta.

8. Adik-adik saya: Nina dan Andre.

9. Kritikus film, insan film, dan penggiat kajian film Indonesia.

10. Dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata semoga tulisan saya ini bisa melengkapi literatur dalam ranah kajian film Indonesia, dan bisa semakin memajukan dunia perfilman Indonesia.

Yogyakarta, Juli 2017 Terima Kasih

Clemens Felix Setiyawan

vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Erotisisme dalam era milenium menjadi sajian khas yang terkandung dalam film horor Indonesia. Berbeda dengan era sebelumnya, terutama pada 1990an, film horor Indonesia lebih bercorak tradisional, dengan karakter (penokohan) yang kuat. Film horor masa kini cenderung urban, dimana aspek struktur teks visual menjadi lebih penting dibanding alur cerita. Erotisisme menjadi kian menonjol dengan bermacam sajian, terutama tubuh perempuan. Penelitian ini memilih lima judul film yang ditayangkan antara tahun 2009 hingga 2014 untuk disoroti sajian erotisismenya. Pembatasan dilakukan dengan memilih judul film yang menggunakan kata “perawan” sebagai reduksi atas objek penelitian. Dalam penelitian ini dibedakan mengenai kedudukan konsumen dan penonton film supaya tidak terjadi generalisasi dan demi menyelami makna-makna, dan juga pengaruh sajian erotisisme dalam film horor Indonesia bagi penikmatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan teori McGowan seputar film pasca teori Lacan ditambah berbagai literatur pendukung lainnya, yaitu penelitian-penelitian sebelumnya dengan topik film horor. Secara khusus teori tersebut dipakai untuk memahami korelasi antara teks visual pada film horor Indonesia dalam hubungannya dengan konsep teoritik antara hasrat dan fantasi yang dikemukakan McGowan. Penelitian ini tidak melihat aspek gender dan seksualitas dalam pengertian eksploitasi atas tubuh perempuan, tetapi lebih kepada jalinan antara subjek dan objek yang juga berangkat dari pandangan McGowan. Dari penelitian ini lahir berbagai asumsi yang menunjukkan hubungan kontras antara subjek dan objek, model sajian erotisisme dalam kengerian film horor Indonesia yang ternyata cenderung anti-klimaks, dan kualitas makna yang dihasilkan bagi penikmat. Itu semua berangkat dari analisis fragmentatif atas teks visual film. Ditemukan juga fakta bahwa pengalaman penikmat dalam menonton film horor Indonesia lebih sebagai pengalaman individual yang sulit terpecahkan. Meskipun demikian, karena pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif, maka penelitian ini tidak bertujuan mencari data yang valid, dan lebih memaparkan kecenderungan secara umum yang sifatnya dinamis. Erotisisme dalam kengerian film horor Indonesia adalah sebuah fakta yang sangat menarik dan belum pernah diteliti sebelumnya, dimana penelitian sebelumnya lebih banyak membahas seputar eksploitasi, gender, dan masalah hukum atas kaitan etika film dengan Lembaga Sensor.

Kata kunci: Erotisisme, Kengerian, Hasrat, Fantasi

vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

Eroticism in millennium era is a typical presentation contained within Indonesian horror movies. Different from the previous era, particularly in 1990s, Indonesian horror movies were more traditional, with strong characters (and characterizations). Meanwhile, recent horror movies tend to be urbanistic, where the aspect of visual text structure occupies a more significant position rather than the story plot. Eroticism becomes more prominent with various means of presentation, especially through female body. This research selected five films screened between 2009 and 2014 whose presentations of eroticisim are highlighted. To limit the object of the research, title selection was performed by choosing the ones using the word “perawan” (virgin). In this research, the positions of consumer and film spectator are distinguished in order to avoid generalization and to dig deeper meanings and influences of eroticism presentation within Indonesian horror movies towards the audience. To accomplish the objective aforementioned, McGowan’s post-Lacanian theory of film and some other supporting literatures, namely previous researches on horror film, are used. In particular, the theory is used to understand the correlation between the visual text of Indonesian horror movies and the theoretical concept of desire and fantasy formulated by McGowan. The research does not concern with the aspects of gender and sexuality in terms of exploitation of female body; instead, it gives more emphasis on the intertwinement of subject and object as also developed by McGowan’s theory. This research generates many assumptions that show the contrasting relationship between subject and object, the presentation model of eroticism in the dread of Indonesian horror movies that tends to be an anticlimax, and the quality of meanings produced for the audience. All of those are generated from the fragmentation analysis upon the visual text of the film. It also finds the fact that audience’s experience in watching Indonesian horror movies is an individual experience which is hard to figure out. Nevertheless, since this research used qualitative approach, therefore it does not intend to seek for valid data; it elaborates the dynamic common tendency, instead. Eroticisim in the dread of Indonesian horror movies is an interesting fact and has never been researched before. Earlier researches mostly concern with the topics of exploitation, gender, and legal issue related to the relationship between film ethic and the Film Censorship Board.

Keywords: Eroticisim, Dread, Desire, Fantasi

viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ...... i Lembar Pengesahan ...... ii Lembar Pernyataan ...... iii Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ...... iv Kata Pengantar ...... v Abstrak ...... vii Abstract ...... viii Daftar isi ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 1. Mengapa Erotisisme ...... 5 2. Indikasi Erotisisme ...... 7 3. Istilah Erotisisme ...... 8 4. Konstruksi Sebagai Penerimaan ...... 10 B. Rumusan Masalah ...... 11 C. Tujuan Penelitian ...... 11 D. Manfaat Penelitian ...... 11 E. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis ...... 12 1. Kerangka Teoritis ...... 21 2. Elaborasi Teoritis ...... 27 3. Kemunculan Teori Film Lacanian ...... 31 4. Gaze sebagai Objek ...... 34 5. Radikalitas Sinema ...... 39 6. Erotisisme di antara Hasrat, Fantasi, Ilusi ...... 41 F. Metode Penelitian ...... 44 G. Skema Penulisan ...... 47

BAB II EROTISISME FILM HOROR INDONESIA ...... 48 A. Film Horor Indonesia ...... 48 B. Deskripsi Film Pilihan ...... 55

ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Tetesan Darah Perawan ...... 55 2. Darah Perawan Bulan Madu ...... 58 3. Pacar Hantu Perawan ...... 61 4. Tali Perawan 2 ...... 62 5. Perawan Seberang ...... 66 C. Erotisisme dalam Konteks Seni ...... 68 D. Erotisisme dalam Konteks Film ...... 69

BAB III KONSTRUKSI EROTISISME FILM HOROR INDONESIA .. 72 A. Pengalaman Menikmati Kengerian ...... 72 B. Konstruksi Erotisisme: Jaringan Hasrat dan Komoditas ...... 74 1. Erotisisme: Fantasi dalam Ilusi ...... 76 2. Konstruksi Tanpa Keunggulan Produksi ...... 83

BAB IV EROTISISME DAN MAKNA ...... 85 A. Makna Umum ...... 85 B. Makna Semantik ...... 90 C. Makna Pragmatik ...... 92 D. Makna Linguistik ...... 95 E. Makna dan Erotisisme ...... 96 1. Model Anti-Klimaks ...... 101 2. Film Horor Tanpa Penonton ...... 103 3. Hiburan Sementara ...... 103 4. Manipulasi ...... 104 5. Objek yang Tidak Mungkin ...... 104 F. Tangkapan Erotisisme ...... 106 1. Struktur Teks Visual Film ...... 106 2. Sudut Pengambilan Gambar ...... 107

BAB V PENUTUP...... 111 A. Kesimpulan ...... 111 B. Saran ...... 112

LAMPIRAN

x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri film layar lebar adalah sebuah industri hiburan yang memikat.

Setiap orang ingin datang ke bioskop untuk menikmati sajian gambar dan cerita, yang—meskipun hanya pendek durasinya—tapi mampu mengendap dalam memori sepanjang masa. Bisa jadi, atau suatu kebetulan, setiap orang yang pergi menonton film hanya karena mereka jenuh terhadap rutinitas harian, maka pergilah mereka ke bioskop, untuk memenuhi hasrat akan hiburan sesaat— terkadang juga tidak perlu dihayati mendalam hingga sampai ke makna-makna.

Esok hari mereka telah lupa, dan kembali beraktifitas seperti biasa.

Film juga merupakan pesona yang rumit. Kemudian film dibagi-bagi ke dalam berbagai genre: drama, horor, komedi, sejarah, dan lain-lain.

Memungkinkan pada masing-masing genre itu untuk menciptakan diferensiasi atas sistem produksi, konsepsi-konsepsi, maupun target konsumen. Anggap saja, ada film yang bisa dikerjakan dengan sangat cepat dengan proses produksi tak sampai sebulan. Ada pula yang butuh waktu setahun, bahkan itu minimum, karena musti melewati tahap riset yang tidak gampang, misalnya utk genre sejarah. Alih- alih menjadikan film sebagai media hiburan, justru film bisa menimbulkan kontroversi. Misalnya film yang bercerita mengenai sosok sastrawan yang hilang:

Wiji Thukul, yang baru-baru ini tayang di bioskop (2016). Pasca kemunculannya, film itu menuai kritik, dan tentu saja pujian. Ini sangat wajar. Ada dialektika yang

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berlangsung. Pada posisi ini, film tidak hanya sebagai hiburan sesaat, melainkan sebagai arena pertarungan ideologi. Penonton yang datang ke bioskop lantas tidak hanya mengisi kekosongan dengan mencari hiburan sesaat, melainkan ada niat yang lebih dalam dari itu.

Film juga tidak hanya berisi gambar bergerak dan narasi yang berbicara secara eksplisit, tetapi ada elemen lain yang musti ditafsir kembali oleh penonton, bersifat implisit. Salah-satunya adalah erotisisme. Artinya, film yang kerap menampilkan sosok perempuan seksi dengan ditandai pakaian minim dan lekuk bagian tubuh yang menonjol, mampu menggugah hasrat laki-laki. Tak jarang sebaliknya, penampilan pemuda yang gagah dengan bidang badan yang proporsional dari atas ke bawah, kerap menarik perhatian perempuan. Lantas film menjadi normatif. Unsur seksualitas kemudian menjadi pilihan topik yang menarik dalam kajian mengenai film. Mengapa demikian? Dalam film, erotisisme adalah nilai jual yang dijadikan konsep dalam bingkai komoditas film, sebagian pengamat, seperti misalnya Adrian Pasaribu (2017), menyebutnya sebagai

“bumbu”. Seksualitas, sebagai unsur dari erotisisme, menjadi penanda yang diwakili oleh objek-objek berupa tubuh yang dikemas dengan strategi konstruksi visual tertentu. Sajian yang erat kaitannya dengan unsur erotisisme tersebut menjadi pilihan para produser film, bersanding dengan film drama, komedi, animasi, dan lain-lain.

Penelitian ini mencoba membaca kecenderungan sajian erotisisme yang secara khusus menggunakan film horor sebagai objeknya, terutama pada pasca- produksinya, bagaimana film horor dan segenap unsur sajiannya (terutama alur

2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan elemen erotisisme), menghadirkan dampak bagi penonton. Bagaimana konstruksi visual erotisisme dalam aspek non-produksi kemudian dibangun untuk menciptakan makna-makna bagi penonton. Ada apa di balik semua sajian erotisisme yang dimunculkan dalam film horor Indonesia?

Sejauh ini, film horor merupakan sebuah genre yang mampu mengundang pesona tersendiri bagi masyarakat penonton. Ia mampu mengundang banyak perhatian, lebih tepatnya pergunjingan, pada umumnya melalui kritik-kritik yang datang dari masyarakat penonton yang tidak menyukainya. Mereka punya alasan logis, terkait mitos-mitos yang beredar mengenai film horor Indonesia, yaitu film horor Indonesia terkesan i-rasional, misalnya menghadirkan cerita dialog antar pocong, sisipan-sisipan komedi yang lucu namun tidak mendidik. Berbagai penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa sajian erotisisme dalam film horor tidak berbeda dengan film porno, karena kemudian erotisisme dipahami sebagai pornografi, meskipun telah lulus sensor lembaga perfilman (Hernawati, 2011;

Eryawan, 2011; Kresnawati, 2011, dst). Itu juga merupakan dialektika yang lain.

Yang jelas, film horor telah berhasil menjadi genre yang dianggap potensial oleh para produser film, terbukti pada jumlah produksi yang cukup banyak dibanding komedi, drama, atau sejarah.

Proses produksi film horor pun kerap tidak membutuhkan waktu yang lama. Cukup berlokasi syuting di satu atau dua tempat (misalnya area kuburan dan sebuah rumah tua), maka selesailah film itu, bahkan tidak perlu pemeran yang tersohor. Hanya saja yang menarik, untuk menguatkan sajian erotisisme, dipilihlah pemeran-pemeran yang “menjual” untuk ditampilkan. “Menjual” ini

3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sangat multi-tafsir. Tetapi bisa dikatakan, bahwa pemeran (perempuan) yang hadir di film merupakan pemeran terpilih, yang pertama-tama dipilih atas pertimbangan produser atau sutradara, dan biasanya dipilih yang sudah terkenal. Dalam tuntutan itu, biaya produksi (honor pemeran), menjadi berlipat ganda dibanding membayar pemeran yang rating-nya biasa-biasa saja. Jika dilihat dari tumbuhnya film horor di Indonesia dengan ditandai film “Tengkorak Hidoep” (1941) hingga “Perawan

Seberang” (2013)—berdasarkan kurun maksimum penelitian ini, sebenarnya film horor Indonesia terus mengalami peningkatan produktivitas dari waktu ke waktu, meskipun mengalami pasang surut dalam beberapa rentang waktu.1 Data yang dihimpun oleh Rusdiarti (2008), kuantitas penikmat film horor Indonesia, terutama yang diproduksi pasca tahun 2000 berada pada kisaran 500.000 hingga

800.000 orang. Jumlah ini memang lebih sedikit dibanding film bergenre drama maupun komedi. Dan, dari penelitian Rusdiarti tersebut diketahui bahwa genre film horor telah mengalami pergeseran tema, dari tema-tema yang disebut dengan tema tradisional ke tema legenda urban. Sebagian besar tema legenda urban lebih banyak diminati, mencapai sedikitnya 500.000 orang (Rusdiati, 2008: 12).

Menurut catatan Makbul Mubarak (2017), setelah Orde Baru runtuh, genre horor mengalami perubahan drastis. Film horor Pasca-Orde Baru diperuntukkan bagi kaum urban pasca menjamurnya sinepleks menggantikan bioskop-bioskop rakyat. Setting ceritanya pun rata-rata di kota, bercerita tentang orang kota yang karena rasa keingintahuan mereka yang tak terbendung tentang sebuah urban legend, mencoba menguak misteri masa lalu di sebuah tempat. Modus penceritaan

1 Daftar ada di bagian lampiran. 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini, sebarapapun repetitifnya, menurut Mubarak tetap menarik karena mencoba memproblematisir trauma yang direpresi oleh sejarah kota. Ia mencontohkan kerusuhan 1998 dimana mall yang terbakar kemudian runtuh dan berhantu.

Beberapa tahun kemudian, beberapa anak muda mencoba menguak misteri di baliknya. Moda penceritaan ini menanggalkan fokus pada hantu perempuan lalu kemudian berpindah fokus pada sosok-sosok yang berasal dari masa lalu, sebut saja misalnya film seperti Kakek Cangkul, Nenek Gayung, Rumah Kentang, dan seterusnya.

1. Mengapa Erotisisme

Bagi penulis, erotisisme (perempuan) yang secara implisit dihadirkan dalam sajian film horor Indonesia merupakan suatu fenomena yang menarik sebagai kajian budaya. Menarik, karena melalui kajian ini penulis bisa bertamasya mempelajari berbagai aspek, tidak hanya pada latar belakang produksi film horor, melainkan aspek lain yang melingkupinya, seperti dimensi psikologis penonton, politik ekonomi media dalam konteks industri, estetika film, budaya dalam arti tidak hanya sebagai produk tapi aktualisasi, dan yang utama adalah dimensi psikoanalisis yang kemudian dipakai untuk membaca kaidah-kaidah “emosional” di dalam film horor-erotis itu sendiri. Disamping alasan-alasan yang terintegrasi itu, penulis juga mempunyai alasan khusus, yaitu selama ini penulis secara langsung memang berkecimpung pada dunia film. Pilihan topik ini bukan sebuah eksperimen, melainkan berdasarkan pengalaman empiris penulis menekuni film, sebagai komposer musik film yang dekat dengan dunia produksinya.

5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Alasan yang lebih khusus lagi dari pertanyaan mengapa aspek erotisisme yang dibahas di dalam film ini, dan tidak yang lain, misalnya komedinya, mekanisme produksinya, politik medianya? Yaitu karena aspek erotisisme adalah aspek yang, pertama, paling misterius. Misterius karena erotisisme di dalam film adalah erotisisme yang telah dianggap lulus sensor. Atas sebab itu, sajiannya pun sifatnya implisit. Penulis mengistilahkannya sebagai aspek yang

“disembunyikan”—keberadaannya tidak vulgar dan tidak selalu tampil terus- menerus, namun hanya menyelip di scene-scene tertentu saja. Lantas selalu muncul rasa penasaran untuk melihat apa sebetulnya konteks sajian erotisisme tersebut, apa korelasinya dengan terutama paska-produksinya? Kedua, masih sangat langka ditemukan kajian mengenai aspek erotisisme dalam film horor

Indonesia. Umumnya adalah kajian mengenai gender, hukum (peran lembaga sensor), dan politik media. Data penelitian yang ditemukan dari penelusuran— yang akan dijelaskan pada kajian pustaka—umumnya membahas tiga hal tersebut.

Yang secara khusus membahas erotisisme dalam kerangka kajian budaya masih tergolong sangat langka. Ketiga, rasa penasaran penulis untuk melihat bagaimana sesungguhnya penerimaan masyarakat penonton dan konsumen dalam memandang erotisisme film horor untuk mengetahui apakah ada “makna-makna” tersembunyi yang diharapkan. Makna di sini lebih diartikan sebagai tangkapan atau respon antara subjek dan film yang ditontonnya. Bagaimana makna itu berlangsung selama proses menikmati film maupun ketika meninggalkan ruang tontonan.

6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bagi penulis, hal itu cukup beralasan, karena, jika kembali pada fungsi film bagi masyarakat, akan ditemukan berbagai jawaban, apakah posisinya sebagai hiburan sesaat, edukasi, atau media untuk meluapkan hasrat? Seberapa berartikah “erotisisme” dalam film horor Indonesia? Jika sudah tidak ada lagi aspek erotisisme tersebut apakah masyarakat penonton dan konsumen merasa kehilangan? Keempat, penulis juga memiliki rasa penasaran bagaimana

“kengerian” dalam film horor berpadu mesra dengan “erotisisme” itu sendiri?

2. Indikasi Erotisisme

Indikasi erotisisme dalam film horor Indonesia antara lain ditampakkan dengan adanya unsur seks. Antara lain adegan bercinta, pakaian perempuan yang serba minim, kemolekan tubuh yang ditonjolkan, hingga dialog-dialog langsung.

Jika dilihat secara kronologis2, dapat dikatakan bahwa sebelum tahun 2005 masih terlihat adanya idealisme dalam film horor Indonesia dengan tanpa menyajikan erotisisme perempuan. Film horor masih mengedepankan kengerian belaka tanpa eksploitasi unsur seks. Namun mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 secara perlahan-lahan mulai terdapat sajian erotisisme perempuan dalam film horor Indonesia. Masa transisi ini terjadi mulai dari tahun 2006. Sedangkan untuk tahun 2014, sejauh kerangka waktu penelitian penulis, masih menjadi tanda tanya, karena baru ada tiga film horor yang beredar di pasaran.

Dari sekian banyak film horor yang beredar dari tahun 2009 hingga 2013, hanya akan dipilih lima film sebagai studi kasus, yaitu sebagai berikut:

2 Lihat Lampiran. Data Film Horor Indonesia. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Tetesan Darah Perawan (2009)

2. Darah Perawan Bulan Madu (2010)

3. Pacar Hantu Perawan (2011)

4. Tali Pocong Perawan (2012)

5. Perawan Seberang (2013)

3. Istilah Erotisisme

Erotisisme (bahasa Inggris: eroticism) adalah suatu bentuk estetika yang menjadikan dorongan seksual sebagai kajiannya. Dorongan seksual yang dimaksud adalah perasaan yang timbul hingga membuat orang siap beraktivitas seksual. Ini bukanlah sekadar menggambarkan keadaan terangsang dan/atau antisipasi (melayani rangsangan), melainkan mencakup pula segala bentuk upaya atau bentuk representasi untuk membangkitkan perasaan-perasaan tersebut.

Kata ini berasal dari nama dewa cinta mitologi Yunani yaitu Eros.

Perasaan ini dipahami sebagai cinta sensual atau dorongan seksual manusia

(libido). Para filsuf dan teolog membeda-bedakan tiga jenis cinta kasih: eros, filia, dan agape. Dari ketiganya, eros dianggap yang paling egosentrik, yang terpusat pada pementingan diri pribadi.

Erotik adalah bentuk ajektiva dari ekspresi erotisisme. Ekspresi dari erotisisme diistilahkan sebagai erotika (“sesuatu yang erotik”), yang dapat berupa mimik, gerak, sikap tubuh, suara, kalimat, benda-benda, aroma, sentuhan, dan sebagainya; serta kombinasinya. Dengan erotika orang diharapkan mencapai dua

8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hal sekaligus: apresiasi terhadap keindahan dan kemampuan "bermain" dengan

(mengendalikan) dorongan seksual secara sehat. Vulgarisasi (terang-terangan, tanpa cita rasa) serta industrialisasi erotika mengembangkan pornografi.

Dalam masyarakat banyak orang kesulitan membedakan erotisisme dari pornografi terutama karena erotisisme berpotensi memunculkan hubungan subjek- objek, dengan objek menjadi sasaran dorongan seksual subjek (bentuk yang ekstrem adalah pemerkosaan). Akibat hal ini, banyak orang yang menentang segala ekspresi erotisisme atas dasar perlindungan terhadap objek atau karena latar belakang budaya menganggap bahwa memiliki dorongan seksual bukanlah tindakan yang layak disetujui (berdosa). Pembela ekspresi erotisisme, sebaliknya, beranggapan bahwa potensi bukanlah kenyataan dan tidak seharusnya dianggap sebagai kenyataan, karena fokus apresiasi seharusnya pada aspek estetika, bukan pada dorongan seksualnya (sebagaimana pada pornografi).

Berbeda dengan pandangan Marc Gafni, pemikir Yahudi, yang justru menilai bahwa eros pada dasarnya adalah energi vital yang suci. Eros dan spiritualitas ternyata berkaitan erat secara mendalam. Tegasnya, yang erotik dan yang kudus sebenarnya serupa dan sama. Maka, hidup yang erotik adalah hidup yang sakral. Bahkan, tanpa eros kesucian kita cuma ecek-ecek, tidak jenuin dari jiwa yang terdalam. Tanpa eros, kesalehan kita pura-pura saja, tidak meresap sampai ke batin (Acai, 2013: 2).

Menurut Muller/Halder (dalam Darmojuwono, 1994: 24), eros adalah perantara antara dunia yang bersifat inderawi dengan dunia yang hanya terbuka

9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bagi rasio (dunia ide). Eros merupakan dorongan untuk mencapai pengetahuan tentang ide-ide yang hanya dapat dijumpai dalam dunia yang terbuka bagi rasio.

Kerinduan pada dunia rasio itu adalah yang berkaitan dengan keindahan, yang berarti kesesuaian antara gambaran yang dikenal dalam dunia yang bersifat inderawi dengan ide yang ada dalam dunia rasio. Keindahan itu mencakup tubuh, jiwa, moral, pengetahuan, dan keindahan itu sendiri.

Dari kata eros, muncul erotis yang dalam arti luas berarti segala bentuk pengungkapan cinta antara pria dan wanita, antara jenis kelamin yang sama

(homo- erotik), dan cinta terhadap diri sendiri (auto-erotik). Dalam arti sempit, erotis tidak hanya berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi juga mencakup aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsangan- rangsangan yang ditimbulkan oleh seksualitas. Hal ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam dunia seni, mode, periklanan, dan lain-lain.

4. Konstruksi Sebagai Penerimaan

Dalam penelitian ini juga akan dilihat bagaimana film horor Indonesia dikonstruksi. Namun pengertian konstruksi di sini bukan pada aspek produksinya, melainkan terkait tanggapan penonton dan konsumen mengenai sajian erotisisme film horor paka-tayang. Hal ini untuk melihat seberapa jauh konstruksi dalam arti luas sengaja dibangun oleh sistem perfilman Indonesia melalui jalur film horor.

Akan lain soal pula jika objek juga dirubah menjadi genre komedi atau drama.

Untuk mendukung penelitian ini digunakan teori kajian film Tood

McGowan (2007) yang berpijak pada teori psikoanalisis Lacan sebagai pisau

10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bedah primer. Penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah kritik terhadap film mainstream di Indonesia, dan ikut serta membantu mencerdaskan penonton dan konsumen film di Indonesia, supaya memiliki wawasan berimbang mengenai film yang berkualitas sesuai dengan teori kajian film.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana konstruksi erotisisme di balik film-film horor Indonesia?

2. Bagaimanakah teks visual film horor Indonesia dapat mempengaruhi

penonton dalam upaya menghasilkan makna-makna (hasrat dan fantasi)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi konstruksi erotisisme untuk menemukan koherensi antara

berbagai aspek paska-produksi di dalam film.

2. Mengidentifikasi hubungan khusus antara sajian erotisisme dalam film

horor Indonesia dalam kaitannya dengan upaya penonton untuk

menghasilkan makna-makna.

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah tulisan ilmiah yang

berguna bagi referensi maupun rujukan pada penelitian berikutnya.

2. Penelitian ini akan menghasilkan kajian film yang dapat dipergunakan

untuk menambah sumber pengetahuan dalam rangka meningkatkan

wawasan, kemampuan, dan penalaran akademis.

E. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis

Sejauh ini belum ada buku secara khusus yang membahas mengenai erotisisme dalam konteks film Indonesia, tidak hanya dalam konteks film horor.

11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Meskipun demikian, berbagai penelitian dapat ditemukan, yang antara lain berbentuk artikel di jurnal maupun tesis dan disertasi. Beberapa penelitian yang dapat diulas di sini antara lain:

1. Erni Herawati. Pornografi dalam Balutan Film Bertema Horor Mistik di

Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora. Vol. 2. No. 2. 2011. Herawati menyebut dalam penelitiannya, bahwa fenomen erotisisme dalam konteks film horor mistik

Indonesia, salah-satunya, adalah sebuah upaya politik ekonomi media untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Herawati, yang mengutip

Straubhaar, La Rose dan Davenport (2004), menyebutkan bahwa perusahaan- perusahaan media yang dimiliki secara privat, semuanya mengarah pada pentingnya arus profit, termasuk didalamnya content dari media dan apa yang dicari oleh khalayak. Pemilik media harus menghasilkan profit setelah membayar semua biaya-biaya operasional dan pajak- pajak. Mereka juga harus membayar modal awal, uang yang dipinjam dari bank atau investor mereka yang menempatkan peralatan-peralatan produksi dengan bunga.

Lebih lanjut dalam tulisannya, Herawati menjelaskan bahwa memang sudah menjadi hak setiap warga untuk bebas berekspresi, pun di dalam pembuatan film. Namun, Herawati juga membahas kontroversinya, yaitu analisisnya mengenai batasan-batasan yang seharusnya dijaga dalam pembuatan film horor

Indonesia yang mengetengahkan erotisisme tersebut. Herawati memberikan paparan mengenai dasar undang-undang dan kaitan penyaringan yang mustinya dilakukan oleh Lembaga Sensor Film. Dalam melakukan penyensoran, seperti yang dituliskan Herawati, terdapat 4 (empat) elemen dasar yang telah ditetapkan 12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1994, yaitu: penilaian dari sisi keagamaan, ideologi dan politik, sosial budaya masyarakat Indonesia, dan dari sisi ketertiban umum. Dari sisi sosial budaya apabila ada film yang dinilai dapat merusak dan membahayakan, karena adanya ejekan dan/atau menimbulkan tanggapan yang keliru terhadap sistem nilai budaya antarsuku di Indonesia perlu dilakukan pemotongan atau penolakan. Demikian pula halnya terhadap film yang dapat merusak akhlak, budi pekerti, etika, moral, disiplin masyarakat.

Herawati menyangkutkan erotisisme dalam film horor Indonesia dalam kerangka normatif, sehingga ia pun menyampaikan hipotesis tentang beberapa batasan dalam ekspresi (pembuatan) film horor Indonesia yang mengetengahkan erotisisme. Hipotesis tersebut mengerucut pada kriteria-kriteria (pemotongan atau penghapusan bagian struktur film), antara lain: (1) adegan seorang pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang bulat, baik dilihat dari depan, samping, atau dari belakang; (2) close-up alat vital, paha, buah dada, atau pantat, baik dengan penutup maupun tanpa penutup; (3) adegan ciuman yang merangsang, baik oleh pasangan yang berlainan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan dengan penuh birahi; (4) adegan, gerakan atau suara persenggamaan atau yang memberikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau terselubung; (5) gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo atau oral sex; (6) adegan melahirkan, baik manusia maupun hewan, yang dapat menimbulkan birahi; (7) menampilkan alat-alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya atau tidak pada tempatnya; atau (8) adegan-adegan yang dapat menimbulkan kesan tidak etis

13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(2011). Penelitian tersebut memberi kelengkapan informasi mengenai erotisisme film horor Indonesia dari sisi normatif.

2. Primada Qurrota Ayun. Sensualitas dan Tubuh Perempuan dalam Film- film Horor di Indonesia: Kajian Ekonomi Politik Media. Tesis. Pendidikan

Pascasarjana Ilmu Komunikasi dan Media. 2012. Kurang lebih seperti Herawati yang dimana kajian ini diletakkan dalam konteks ekonomi politik media, namun

Ayun (2012), lebih menitikberatkan bukan pada unsur-unsur normatif, melainkan pada masalah gender dan komoditas. Ayun memilih dua kata kunci, yaitu

“sensualitas” dan “tubuh perempuan”, dimana ia sendiri mengangkat dua variabel tersebut ke dalam konteks komoditas melalui produksi film horor Indonesia.

Lebih jauh, Ayun menyoal ketimpangan relasi kekuasaan dalam memandang laki-laki dan perempuan demi sebuah sistem komoditi tersebut. Ayun menggunakan paradigma kritis untuk mengungkap fenomen tersebut. Bagi Ayun, paradigma kritis dapat dijadikan sebagai suatu alat untuk melihat bagaimana sensualitas dan tubuh perempuan begitu eksis dalam film horor Indonesia karena pendekatan kritis mampu mengungkapkan realitas yang terkonstruksi. Ayun melihat adanya ketidakseimbangan, penindasan, penekanan, eksploitasi, diskriminasi, dan ketimpangan yang lain dalam kehidupan sosial yang diwujudkan dalam film horor.

3. Zuhdan Aziz. Konstruksi Erotisisme dalam Karya Eksperimental Media

Audio-Visual. Dalam Jurnal Komunikator. Vol. 2 No. 2. 2010. Dalam penelitiannya, Aziz juga kurang-lebih serupa dengan Ayun, yang menganggap

14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa tubuh perempuan sengaja dieksploitasi demi keuntungan ekonomi, namun

Aziz tidak secara eksplisit membahas politik ekonomi media, melainkan lebih kepada bagaimana erotisisme tersebut dikonstruksi sedemikian rupa melalui media film, dan tidak secara khusus mengenai film horor. Menurut Aziz, media video terutama film selama ini diharapkan dapat mensasialisasikan masalah gender kepada masyarakat luas, namun pada kenyataannya selama justru ini masih kurang sensitif terhadap masalah ini. Bahkan, atas nama seni eksperimental melalui eksplorasi estetisnya justru ikut mengukuhkan ekploitasi tubuh eritis yang sangat merugikan perempuan, Dalam hal ini, perempuan bukan saja menjadi sasaran eksperimen estetika seniman, tetapi juga merupakan incaran bagi kapitalisme global, semata-mata untuk mendapatkan keuntungan. Tubuh wanita bukan lagi sepenuhnya milik wanita karena tubuh wanita telah menjadi alat dan simbol dalam pemasaran suatu komoditas. Kemudian yang akan terjadi adalah proses komoditisasi perempuan. Tersembunyinya fenomena ekploitasi tersebut bahkan nampak sangat nyata ketika masuk menjadi materi isi media audio-visual, begitu pula yang terlihat dalam karya film dan video eksperimental. Tubuh perempuan yang telah menjadi milik publik ditampilkan dengan menonjolkan bentuk dari sisi-sisi keindahan perempuan secara terbuka. Ketika tubuh wanita mengalami pergeseran dari dunia privat ke dunia publik maka terjadi pula pergeseran nilai citra perempuan tersebut. Apa yang direpresentasikan di media audio- visual, seperti halnya film dan video, merupakan cermin dari apa yang terjadi di masyarakat tersebut. Dalam karya-karya video maupun film eksperimental pada umumnya, ada kecenderungan dan pemujaan atas keindahan

15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

estetis tubuh perempuan dengan menampilkan sisi-sisi erotisisme tubuh. lni tentunya dengan beragam representasi dengan sudut pandang patriarki dalam menggambarkan perempuan sebagai obyek seksual secara berbeda-beda meskipun tinjauannya adalah seni ekperimental.

Mengutip Prakoso (2005), Aziz menjelaskan bahwa erotisisme dibangun melalui plot cerita dan struktur dramatis melalui penokohan (perempuan). Hal itu menunjukkan kuatnya muatan dan semangat eksperimen estetis dalam karya- karya film dan video yang disebut eksperimental. Karya-karya elsperimental ini selain estetika yang dieksplorasi juga kebanyakan mengungkap tabu-tabu yang ada di masyarakat sebagai bagian dari ekperimennya, termasuk eksploitasi tubuh perempuan. Eksotisme dan kemolekan tubuh perempuan seakan menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah ada habisnya. Penggunaan politik tubuh dan representasi perempuan ini tak lepas dari adanya degradasi perempuan dalam statusnya sebagai obyek seksual laki-laki yang masih sangat melekat pada masyarakat patriarki. Analisis Aziz menarik karena ia membuka kemungkinan lebih luas dari fakta mengenai film yang mengetengahkan erotisisme untuk dikaji secara dekonstruktif.

4. Maulin Ni‟am & Nella A. Puspitasari. 2014. Film Horor Indonesia

Menertawakan Ketakutan. Penelitian ini tergolong cukup komprehensif karena mengetengahkan data-data kuantitatif film horor Indonesia pasca reformasi yang cukup detail dalam lanskap kritisisme. Menariknya, penelitian ini juga memaparkan tabel komparatif dengan framming yang jelas dari film horor

16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebelum reformasi dan pasca reformasi. Sebagian datanya dirujuk dalam penelitian ini.

5. Krishna Sen. Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema

Orde Baru. 2009. Terjemahan dari Indonesian Cinema: Framing The New Order.

1994. Studi Sen dalam buku ini, seperti dijelaskan Paramaditha (2009), terbagi menjadi dua bagian, yaitu analisis terhadap konteks sosial-politik dan analisis terhadap film-film Orde Baru, khususnya dalam hal representasi sejarah, kelas, dan gender. Bagian pertama memberikan gambaran yang terang tentang sejarah industri film Indonesia serta bagaimana politik (dalam dan luar negeri) menentukan cara rezim Orde Baru menyikapi medium film. Pada bagian ini fakta- fakta yang dipaparkan oleh buku Sen dan Said saling melengkapi. Keduanya mengindikasikan bahwa film Indonesia sejak awal bersifat transnasional, seperti dapat terlihat dalam keterlibatan produser Shanghai di tahun 1920-an maupun investasi pemerintah Amerika Serikat di tahun 1950-an dalam mensponsori pendidikan film bagi pekerja film di Indonesia, termasuk Usmar Ismail. Pada saat yang sama, ketegangan antara ranah nasional dan transnasional selalu hadir, terwujud dalam pencarian terhadap “wajah Indonesia asli” di kalangan sutradara dan kritikus seperti yang disebutkan Said, maupun ketika retorika anti Hollywood menjadi bagian dari politik nasionalisme Sukarno. Posisi industri film di tengah konstelasi politik yang melibatkan Sukarno, PKI, dan partai Islam juga telah dibahas oleh Said, namun di sini Sen menekankan argumennya, bahwa institusi film Orde Baru, berikut kegelisahan dan obsesinya terhadap stabilitas, telah secara signifikan dibentuk oleh konflik 1965-1966.

17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bagian kedua dari penelitian Sen menggabungkan analisis teks dan konteks film dengan sesekali mengacu pada teori dalam disiplin kajian film, seperti Annette Kuhn (1985) dan Laura Mulvey (1999). Bab tentang representasi perempuan dalam film-film Orde Baru merupakan sumbangan besar dalam studi gender di Indonesia. Membaca bab ini bersama-sama dengan kajian gender Orde

Baru lainnya, seperti studi Suzanne Brenner (1999) tentang perempuan di media cetak, memberikan pemahaman tentang bagaimana ideologi “ibuisme” rezim

Suharto bekerja di wilayah budaya populer. Dan seperti kalangan akademis/feminis lainnya di masa Orde Baru, antara lain Madelon Djajadiningrat-

Nieuwenhuis (1994), Julia Suyakusuma (1988), dan Tineke Hellwig (1994), Sen memberi perhatian besar pada konstruksi femininitas tetapi kurang menyoroti bentukan/ pemaknaan maskulinitas maupun diskursus seksualitas di luar kerangka heteronormatif, seperti misalnya tumbuhnya gay culture di era 1980-an. Namun tak dapat disangkal bahwa Sen adalah salah seorang yang pertama kali merintis penelitian tentang gender dalam film Indonesia. Satu dekade berikutnya, studi Sen

(1994) mendorong munculnya beberapa penelitian yang mengeksplorasi lebih jauh masalah maskulinitas dan homoseksualitas dalam film Indonesia. Penelitian

Sen tersebut menjadi tolok-ukur yang penting untuk melihat seberapa jauh sinema

Indonesia diletakkan dalam posisi politis.

6. Sasono, Eric (ed.). Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi

Politik Industri Film Indonesia. 2011. Hasil penelitian kolektif Rumah Film setebal 376 halaman ini terbilang komprehensif untuk membaca dinamika ekonomi politik industri film Indonesia, setidaknya sampai 2010. Menariknya

18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penelitian ini adalah memaparkan secara gamblang dikotomi aspek kreatif dan idustri dalam perfilman Indonesia. Ketika film kehilangan penonton, produser mencari cara untuk memilih tema-tema yang menurut istilah Rosihan Anwar adalah back to basic, kembali ke dasar. Rosihan Anwar mengambarkan seandainya para pembuat film merasa sudah tak punya jalan lain dalam mengundang penonton ke bioskop, maka jalan yang mereka tempuh adalah kembali ke unsur-unsur mendasar dalam kehidupan manusia yaitu: horor, komedi, sex dan kekerasan.

Sekalipun kecenderungan back to basic, bahkan below basic itu sedang terjadi, di sisi lain inovasi tidak sama sekali mati, sekalipun jumlahnya bisa dikatakan terbatas atau kalah jumlah dibandingkan dengan film-film yang tergolong “basic” tadi. Masih ada para pembuat film pasca Soeharto melakukan rangkaian percobaan (trial and error) dengan memproduksi sesuatu yang memiliki kompleksitas lebih tinggi daripada sekadar film yang mengandalkan pada selera yang basic atau bahkan sensasi ini.

Dalam penelitian ini juga dipaparkan grafik perkembangan jumlah film horor dalam rentang 10 tahun (1999-2009). Selain itu, berbagai analisis berkaitan dengan kebijakan politik, pergeseran tren pasar dari waktu ke waktu, dan terutama tiga perhatian utama pada produksi, distribusi, dan eksebisi menjadi fokus pada penelitian ini. Produk yang mudah dicerna menjadi penanda penting efektifnya proses distribusi sebuah film. Ini adalah sebuah pergeseran dari nilai estetis sebuah film, menjadi nilai komoditas.

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sekalipun berbagai penelitian telah dilakukan, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih banyak membicarakan film horor dalam bingkai politik, industri, hukum, maupun gender. Penelitian ini lebih membaca konstruksi erotisisme yang disajikan melalui teks visual film tanpa mengaitkannya secara eksplisit dengan politik, industri, hukum, maupun gender.

Objektivitas dalam penelitian ini didukung oleh simulasi yang diikuti 260 orang sampel yang berposisi sebagai penonton dari lima film yang dijadikan objek penelitian ini, dijelaskan pada metode pengumpulan data.

Sedikitnya terdapat 14 penelitian yang penulis kumpulkan berkaitan dengan berbagai topik mengenai film horor, meliputi: komoditi (5 penelitian), seksualitas-pornografi-eksploitasi (4 penelitian), hukum/kaitan kebijakan lembaga sensor film (3 penelitian), dan genre (2 penelitian). Berdasarkan penelusuran tersebut belum ada penelitian yang menyoal kedudukan penikmat film dalam kaitannya dengan kajian budaya. Dengan demikian, pertanyaan mengenai apa sesungguhnya hakikat penonton menjadi menarik.

Erotisisme dalam penelitian ini tidak diletakkan dalam kerangka eksploitasi atas (tubuh) perempuan, melainkan didudukkan sebagai wacana psikoanalisis yang mencoba membaca hasrat konsumen dan penonton dalam kaitan dengan makna-makna apa yang dihasilkan pasca-produksi. Sebab itu, untuk memahaminya, perlu dipahami dulu mengapa erotisisme sedemikian penting untuk dikonstruksi dan bagaimana konstruksi tersebut berlangsung.

1. Kerangka Teoritis

20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Penelitian ini awalnya dipengaruhi dengan munculnya teori Lacan yang tampaknya paling mudah dialihkan untuk mengkaji film. Namun penulis kemudian menyadari bahwa fokus teori Lacan tentang mirroring (1949) tersebut sangatlah sempit, karena Lacan sendiri tidak pernah berteori secara khusus tentang film. Teori-teori Todd McGowan kemudian digunakan sebagai teori utama, meski tetap berpijak pada Lacan, misalnya dalam bukunya yang berjudul The Real Gaze

Film Theory after Lacan (2007). Lacan the gaze adalah objek dari tindakan melihat (the act of looking) atau lebih jelasnya, objek dari dorongan untuk melihat

(scopic drive). Tatapan, menurut Lacan, tidak lagi semata-mata berada pada posisi si subjek, tatapan tersebut adalah tatapan yang-lain. Terdapat perbedaan antara tatapan dengan mata: mata yang melihat adalah si subjek, sementara “tatapan” ada di sisi si objek, dan tidak terdapat kesamaan antara kedua hal tersebut, karena kata

Lacan: “You never look at me from the place at which I see you” (1978).

Sekiranya subjek menatap sebuah objek, objek tersebut selalu menatap kembali ke arah si subjek, tetapi dalam posisi dimana si subjek tidak bisa menatapnya.

Pemisah antara mata (organ pengelihatan) dengan tatapan merupakan pemisahan yang subjektif, yang hanya ada di antara kedua hal tersebut, semata bisa diekspresikan dalam ranah melihat (field of vision).

Berkenaan aspek visual dalam sebuah film, maka bisa dikatakan bahwa tatapan adalah sesuatu di mana si subjek (atau penonton) melebur di dalam si objek (film): hal ini kemudian menjadi suatu tatapan yang objektif, dari pada subjektif. Pengertian ini menyebabkan tatapan tidak semata sebuah proses yang aktif karena sebagai objek, tatapan berfungsi untuk memicu hasrat kita secara

21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

visual atau bisa di-katakan, dalam konsep Lacan, sebagai objet petit a. Hal ini sebagai, “the objet a in the field of the visible is the gaze.”

Oleh karena itu, tatapan melengkapi sisi melihat kita karena itu sepertinya menawarkan jalan menuju ke yang tak terlihat, ke sisi lain dari yang terlihat. Tatapan menjanjikan rahasia dari “yang Lain”, akan tetapi rahasia ini ada hanya sejauh itu tetap dalam posisi tersembunyi. Subjek tidak bisa membuka rahasia tatapan, dan hal inilah yang menandakan poin penting dimana ranah visual menarik hasrat si subjek ke dalamnya. Satu-satunya cara pemuasan diri bagi si subjek adalah tetap berada dalam jalur tatapan yang sesungguhnya mengitari objek yang khusus ini. Hal se-macam inilah yang sesungguhnya memungkinkan penonton ikut larut dalam cerita sebuah film. Di sisi lain, film tetap mengambil jarak dari penonton sebagai bagian dari pemuasan hasrat dan pengingat terhadap hal-hal yang berada di luar jangkauan nalar.

Tatapan sebagai dorongan bagi hasrat berhubungan sangat dekat dengan dunia perfilman. Semenjak tahun 1970-an hingga saat ini, beberapa peneliti film telah menggunakan karakteristik tatapan untuk mengenali aspek ketidaksadaran pada manusia melalui hubungannya dengan objek visual, film. Gaze menjadi penting dalam kajian film karena setting ruang bioskop adalah contoh paling ideal bagi gaze. Ruang bioskop yang merupakan sebuah ruang besar yang digelapkan.

Penonton kemudian menyaksikan gambar bergerak disertai suara melalui layar di depan mereka. Di sekitar mereka ada benda, hal, dan situasi lain yang sedang berlangsung. Akan tetapi, mata para penonton terpaku pada layar hingga mengabaikan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Gaze inilah yang menjadi

22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pembanding bagi ketidak-sadaran manusia, yang menurut Freud merupakan 90 persen keseharian manusia. Konsep tatapan (the gaze) kemudian akan berhubungan dengan teori lain yaitu: Imajiner, Simbolik, Nyata. Ringkasannya adalah sebagai berikut. a. Imajiner (The Imaginary)

The Imaginary atau yang imajiner adalah konsep yang Lacan hasilkan pada esai awalnya, The mirror stage as formative of the function of the I as revealed in psychoanalytic ex-perience (1949). Seperti dijelaskan di atas, manusia pada saat pertama kali hadir di dunia langsung berhadapan dengan kondisi berkaca. The mirror stage adalah sebuah konsep yang kemudian menjelaskan bagaimana manusia mengkaitkan dirinya dengan kondisi sekitar. Manusia memiliki ke-cenderungan untuk terpikat dengan objek-objek visual yang menarik minat mereka. Kondisi berkaca inilah yang menjadi dasar konsep yang imajiner.

Lacan percaya bahwa manusia akan selalu mengidentikkan diri mereka sendiri dengan sesuatu di luar diri mereka yang mereka tangkap sesuai dengan harapan di dalam diri. Melalui identifikasi ini manusia (atau ego dalam bahasa Lacan) menemukan posisi individual dan sosial mereka. Konsep imajiner ini sendiri lekat kaitannya dengan hubungan antara si manusia sebagai subjek dengan tubuh yang berbasiskan pada pengalaman berhubungan dengan objek visual. Tatapan (gaze) menghasilkan konsep mengenai harapan dan keinginan yang berbeda pada diri manusia yang kemudian tersimpan di bawah sadar. Cepat atau lambat, konsep- konsep tersebut terealisasikan menjadi sikap dan perilaku manusia dalam menunjukkan identitas diri dan menjalin hubungan dengan dunia sosial mereka.

23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Satu hal yang perlu disebutkan adalah tahapan cermin ini sangat erat kaitannya dengan bidang visual (visual fields). Artinya individu benar-benar bercermin pada realitas visual yang ada di sekelilingnya. Pada titik inilah yang Imajiner kemudian saling berkaitan dengan tahap yang lain, yang Simbolik (symbolic) dan yang

Nyata (real).

Bisa dikatakan secara ringkas bahwa yang imajiner adalah bentuk imajinatif yang dimiliki seseorang sepanjang hidupnya. Yang Imajiner memungkinkan seseorang untuk memiliki impian dan keinginan yang berhubungan dengan dirinya, orang di luar, dan masyarakat sekitar. Hal yang sebenarnya tidak berakar dari dalam diri, melainkan sangat besar pengaruhnya oleh situasi dan kondisi di luar diri.

b. Simbolik (The Symbolic)

Meskipun merupakan dimensi yang penting dari unsur kebahasaan, akan tetapi Lacan tidak menyejajarkan yang simbolik (the symbolic) dengan artinya dalam bahasa. Hal ini merupakan hubungan antara si subjek dengan kondisi yang imajiner dan yang nyata (the real).

Simbolik adalah apa yang memisahkan subjek (individu) dengan sesuatu di dalam dirinya. Absennya relasi antara ranah imajiner dengan kondisi nyata dari si individu. Dengan kata lain, terputusnya hubungan itu menyebabkan subjek berada dalam kondisi yang terasingkan, kondisi yang sebenarnya dirinya sendiri tidak kenal dan pahami. Pada posisi semacam ini subjek berada dalam kondisi yang simbolik, yang simbolik hadir di dalam kehidupan seseorang. Yang simbolik

24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini bahkan hadir sebelum seseorang itu lahir. Hal ini dikatakan oleh Lacan sebagai language is there from before the actual moment of birth. Lumrah kiranya ketika seorang ibu mengandung, keluarga sudah mem-persiapkan nama, perlengkapan bayi, dan rencana-rencana lainnya yang berhubungan dengan kehidupan si bayi kelak di dunia. Hal semacam ini kelak akan menjadi semacam ideal bagi si bayi dan bukan tidak mungkin akan memiliki efek sepanjang kehidupan sang bayi.

c. Nyata (The Real)

Nyata merupakan oposisi dari yang Imajiner, dalam artian bahwa yang

Nyata ada untuk membuktikan bahwa yang Imajiner tidak bisa bekerja sepenuhnya. Tidak hanya berfungsi sebagai oposisi, juga berada di luar batas yang

Simbolik.

Tidak seperti yang Simbolik, yang seolah-olah menghadirkan sistem oposisi biner, yang Nyata tidak seperti itu. Yang Nyata tidak mengenal kata ketidakhadiran, karena yang Nyata memang selalu hadir. Jika oposisi pada yang

Simbolik, yang memungkinkan hadir dan tidaknya suatu hal atau kondisi, maka yang Nyata akan “selalu ada di tempatnya”, tidak peduli dalam kondisi yang bagaimana. Yang Nyata adalah keadaan tanpa celah sedikitpun untuk keluar darinya.

“The real is simply that which isn’t symbolized, which is excluded from the symbolic”, Yang Nyata adalah apa yang berada diluar yang simbolik. Oleh karena itu Lacan seringkali mengkaitkan kondisi nyata manusia dengan kondisi ketika mereka berada di dalam rahim.

25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Skema 1. Subjek, Ego, dan Other

Penjelasan mengenai skema diatas, S (Es) adalah subjek. Subjek ini adalah subjek yang terbuka dimana sang subjek terus menerus dipengaruhi oleh yang lain (other) yang dilihatnya sebagai bagian dari dirinya (ego) o. Posisi ini dihubungkan dengan sebuah hubungan yang imajiner. Hubungan yang dihasilkan justru oleh ketidaksadaran yang (ego) o diperoleh melalui pengaruh Liyan

(Other).

2. Elaborasi Teoritis

Teori tersebut dielaborasikan dengan pandangan Metz, yang mengatakan bahwa sinema memiliki parole namun tidak memiliki sistem bahasa (langue).

Metz menyimpulkan objek cine-semilogi adalah memisahkan prosedur signifikasi sinema, aturan kombinasinya, dalam urutan untuk melihat apakah tingkat aturan ini menyerupai artikulasi ganda sistem diakritik dari bahasa alamiah. Metz

26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membedakan antara cinematic fact dan filmic fact, cinematic fact merujuk pada cinematik institusi dan dalam artian luasnya sebagai sosiokultural multi- dimensial kompleks yang meliputi pra peristiwa-peristiwa filmis (infrastruktur ekonomik, sistem studio, teknologi), peristiwa-peristiwa pasca filmis (distribusi, exhibition dan dampak sosial dan politik dari film) dan peristiwa-peristiwa filmis

(dekorasi gedung bioskop). Disini Metz mensejajarkan parole dengan filmic fact yang merujuk pada dilokalisasi wacana teks, bukan fisik objek film yang berisi di dalam kotak film melainkan signifikasi teks. Metz beranggapan bahwa tujuan semiotika adalah kajian wacana teks daripada cinema sebagai institusi. Dalam kajian linguistik, Saussure lebih berfokus pada langue daripada parole. Berbeda dengan Metz dalam mengembangan semiotika film yang lebih berfokus pada parole-film sebagai kesatuan multi aspek yang merupakan objek tepat dari ilmu filmo-linguistik dan kategori film untuk mengindentifikasi kekhususan sinematik sebagi objek yang spesifik dan tepat.

Menurut Metz sinema tidak mempunyai langue (sistem bahasa) tetapi memiliki bahasa (language). Metz memberikan dua argumen bahwa film tidak memiliki sistem bahasa. Pertama, langue adalah sistem tanda yang dimaksudkan untuk dua cara komunikasi (pengirim dan penerima pesan dalam percapakan lisan), sementara cinema hanya membolehkan untuk menunda komunikasi.

Komunikasi cinema adalah penundaan ganda, pertama, selang waktu antara produksi film dan penerima dan kedua, selang waktu antara penerima dan respon filmis yang terjadi dan yang menerima. Kedua, model komunikasi cinema

27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memungkinkan untuk menunda komunikasi dalam artian penonton merespon film dalam bentuk reaksi ujaran batin, komentar verbal selama atau setelah film.

Alasan lain Metz menyangkal cinema sebagai langue adalah karena cinema tidak memiliki padanan arbiter tanda lingusitik. Dalam artian ini film memiliki hubungan yang sama antara penanda dan petanda. kesamaan persepsi antara gambar filmis seekor anjing dan anjing sebenarnya. Dengan kata lain antara penanda filmis dan petanda bersifat sama, situasi umum yang dipersepsi dalam pengalaman sehari-hari dan pengalaman sinematik.

Cinematik apparatus diartikan sebagai totalitas yang saling keterkaitan satu sama lain yang membetuk situasi dalam menonton sinema yang meliputi: pertama, technical base (efek tertentu yang diproduksi oleh berbagai komponen alat-alat film, seperti kamera, pencahayaan, film, dan proyektor). Kedua, kondisi proyeksi film, gedung teater yang gelap, tempat duduk yang tak bergerak, pencahayaan layar, lampu sorot proyektor yang berada dibagian belakang atas penonton, ketiga, film sebagai teks (meliputi berbagai macam alat-alat kontinuitas representasi visual, ilusi tempat riil dan penciptaan kesan untuk menyakini realitas. Keempat, „mental machinery‟ of spectator (seperti persepsi kesadaran dan juga proses ketidaksadaran dan prasadar) yang membentuk penonton sebagai subject of desire. Dalam hemat kata, paradigma cinematik apparatus meniscayakan berkerjanya interplasi ideologi. Melalui cinematik appartus penonton (individu) digiring untuk tidak mengenal diri mereka sendiri dan menjadi subjek.

28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Paradigma cinematik apparatus dapat diterapkan pada zaman sekarang dalam arti kegiatan konsumsi yang meliputi, produsen (industri cinema seperti

Hollywood, gedung teater seperti XXI, 21), objek konsumsi (film) dan konsumen

(penonton). Kegiatan menonton film adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk hiburan dan kesenangan. Sampai hari ini datang ke gedung teater seperti XXI sudah menjadi kebutuhan hiburan khusunya bagi masyarakat perkotaan.

Seingat penulis, pada awal tahun 1980 sudah ada beberapa gedung- gedung bioskop di kota kelahiran penulis di Klaten. Namun ketika televisi swasta mulai bermunculan dan ramai, masyarakat pun beralih ke televisi dan akibatnya gedung-gedung bioskop terkena imbasnya gulung tikar satu persatu. Ketika itu menonton film di bioskop memang menjadi bagian dari dunia anak-anak remaja dan juga orang dewasa.

Dalam mengembangkan teori psikoanalisa film, Metz menggunakan konsep fase cermin Lacan. Metz mensejajarkan posisi penonton yang melihat pada layar dengan posisi anak yang melihat pada cermin atau pengalaman sinematik seperti fase cermin. Melalui sinema, pengalaman penonton akan dienolkan kembali, pengalaman sinematik seperti alam ilusi anak yang melihat pada cermin, penonton mendapatkan rasa pengguasaan didasarkan pada posisi penonton yang memenuhi peristiwa-peristiwa pada layar. Menurut Metz, penonton tidak hadir sebagai yang mempersepsi, tetapi juga( dua keadaan yang berjalan bersamaan) kehadiran di sana dan meskipun kehadiran sebagai yang mempersepsi.

29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sementara Todd McGowan mengembangkan teori psikoanalisa film melalui tatanan real. Gaze adalah objet petit a dalam bidang visual. Lacan membayangkan gaze sebagai subjek (penonton) berjumpa dengan objek (film itu sendiri). Gaze bersifat pasif karena kita mengasosiakan gaze sebagai proses aktif.

Gaze berfungsi sebagai pemicu hasrat dalam bidang visual atau objek penyebab hasrat. Gaze adalah objet a dalam scopic drive (drive yang memotivasi kita untuk melihat). Drive ini fungsinya sama seperti payudara dalam oral drive, tahi dalam anal drive dan suara dalam artian Lacan “invocatory drive”. Objek a adalah objek yang hilang ketika anak memasuki dunia bahasa atau tataran simbolik. Objet petit a adalah objek yang tidak tereduksi dalam bidang big other atau signifikasi. Big other merupakan tempat bagi identitas simbolik kita, sedangkan objet petit a hilang dalam proses signifikasi dan proses interplasi ideologis. Objet petit a tidak sesuai dengan dunia bahasa atau bidang representasi.

Lacan mencontohkan gaze dalam lukisan The Ambassadors karya

Hollbein. Pada bagian dasar lukisan, terlihat benda tak dikenali yang mengganggu lukisan. Apabila kita melihat lukisan dari tengah sesorang tidak akan melihat apa- apa. Namun apabila kita melihat lukisan dari kiri bawah, benda tak dikenal tersebut sosok tersebut menyerupai tengkorak. Tengkorak tersebut adalah titik hampa dari gambar, titik dimana penonton kehilangan jarak dari lukisan dan menjadi larut dengan apa yang ia lihat, karena ia adalah bentuk perubahan dari posisi penonton.

Gaze bukan gambaran dari penonton luar pada gambar filmis tetapi cara di mana penonton yang diceritakan dalam film itu sendiri. Dalam pengertian

30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lacan, desire digerakkan oleh objek misterius yang berada di dalam the Other— objet petit a. Subjek menempatkan objet petit a sebagai titik di dalam the Other yang menyembunyikan enjoyment. Objek ini tidak bisa direduksi dan diidentifikasi sebagai sesuatu yang pasti di dalam the Other. Objet petit a menjanjikan enjoyment sejauh objet petit a itu tampak. Enjoyment diwujudkan dalam objek sejauh berada diluar jangkauan subjek, karena objek akan tampak sejauh objek itu berada diluar jangkauan.

3. Kemunculan Teori Film Lacanian

Pada tahun 1970 teoritis film melihat pemikiran Lacan untuk memahami sinema. Seperti sudah dijelaskan, Lacan tidak pernah membuat teori secara khusus tentang film. Teoritis film hanya melihat bidang pemikirannya, yang nampaknya lebih mudah digunakan untuk pengalaman sinematik. Lacan memberikan cara kepada teoritis film melalui persoalan ideologis yang melekat dalam tindakan penonton (spectatorship) film. Ia beranggapan pertama kali bayi memperoleh identitas-diri mereka (pembentukan ego) melalui pengalaman melihat dalam cermin dan menghubungkannya dengan tubuh mereka. Bagi Lacan, pengamalaman metaforis ini berlangsung pada tahap perkembangan anak, ketika anak mengharapkan penguasaan tubuhnya dan ketiadaanya dalam realitas. Tubuh anak terpotong-potong, seperti cara gambar pada cermin dibaca, sebagai yang utuh. Tubuh ideal sebagai kesatuan di mana anak memperoleh penguasaan dan muncul sebagai ilusi yang ditimbulkan melalui pengalaman melihat pada cermin.

Cermin mengembalikan apa yang anak lakukan, pengalaman melihat pada cermin

31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengecoh sejauh menghadirkan tubuh sebagai gambar yang jelas. Keseluruhan tubuh terlihat dengan cara yang tidak dialami.

Dengan memindahkan pengalaman ini ke dalam penonton sinematik, teoritis film menghubungkan ilusi pada film, dimana proses subjek masuk ke dalam idelogi dan menjadi subjek yang dibatasi oleh tatanan sosial. Proses ini oleh Althusser disebut sebagai interpelasi ideologis subjek, dan menyebabkan individu-individu tidak mengenali diri mereka sebagai subjek dengan mengambil pemberian indentitas sosial dan melihat diri mereka dalam indentitas ini. Bagi teori film awal, Althusser menjembatani antara teori fase cermin Lacan dan pengalaman sinematik karena Althusser menekankan dimensi sosial dari jenis salah pengenalan yang diikuti dari fase cermin. Dengan kata lain Althusser mempolitisasi teori Lacan dan memberikan tempat bagi pengembangan dan pemahaman kritis bagi pengalaman sinematik.

Pencetus awal teori film Perancis seperti Christian Metz, Jean-Louise

Baudry dan Jean Louis Comoli dan teoritis inggris Laura Mulvey, Peter Wollen,

Colin MacCabe dan Stphen Heat. Teori pertama yang membawa konsep psikoanalisa untuk melahirkan kajian sinema dalam bentuk sinematik. Mereka menghubungkan antara efek psikis dari sinema dan berkerjanya ideologi. Analisis

Lacan pada fase cermin, yang dipolitisasi oleh Althusser ternyata sangat bernilai.

Dalam esai fase cermin, Lacan menekankan penguasaan alam ilusi, pengalaman anak melihat pada cermin, penguasaan atas tubuhnya, namun anak belum berada dalam realitas. Teori film mensejajarkan, penonton yang mendiami posisi anak yang melihat pada cermin. Penonton mendapatkan rasa penguasaan

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

didasarkan pada posisi penonton yang menempati kejadian-kejadian pada layar.

Christian Metz berpendapat bahwa ketidakhadiran penonton dalam layar sebagai yang dipersepsi, namun kehadiran di sana dan keseluruhan kehadiran sebagai perseptor. Ketidakhadiran sebagai yang dipersepsikan dan kehadiran sebagai perseptor membolehkan penonton untuk melepaskan diri dari rasa ketidakhadiran real yang dikarakteristikan dengan kehidupan di luar sinema.

Menurut teoritis film Lacanian awal, seperti Martz dan Baudry, sinema seperti fase cermin, imajiner dalam pengertian spesifik Lacanian. Imajiner memberikan ilusi untuk memenuhi diri kita dan dalam apa yang kita persepsi. Itu menipu kita agar tidak melihat apa yang hilang dalam diri dan dunia kita. Imajiner adalah asosiasi antara visual dan ilusi, pertautan antara pengalaman, simbolik, dan yang real. Pendekatan teoritis ini memahami gaze (menjadi teori yang sangat penting dalam teori film Lacanian) sebagai berfungsinya imajiner. Awal teori film

Lacanian mengidentifikasi gaze dengan salah mengarahkan melihat penonton, meskipun konsepsi ini tidak memberikan signifikasi mendasar bagi pemikiran

Lacan.

Teori film psikoanalitik mulai memeriksa dinamika khusus dari imaginary gaze dalam upaya untuk membuat kejelasan guna mendukung tataran simbolik. Dalam Visual Pleasure and Narrative Cinema, Laura Mulvey mengasosiasi gaze dengan penonton laki-laki dengan beroperasinya ideologi masyarakat patriarki.

Pada tahun 1980 dan 1980 gelombang kritik menentang teori film

Lacanian, khususnya esai Mulvey. Kritik ini berangkat dari kegagalan teori untuk

33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjelaskan perbedaan di antara penonton. Dalam kumpulan esai tahun 1996 yang dieditori oleh David Brodwell dan Noel Carrol, mengumadangkan kematian yang berpusat pada teori film Lacanian. Menurut mereka memudarnya sebagian besar teori terjadi untuk merespon pretensi universalitas film teori yang diasosiasikan dengan Lacan dan psikoanalisa. Persoalan mendasar dengan teori ini adalah kecendrungannya menggunakan konsep psikoanalisa untuk sinema tanpa menganggap bukti empiris yang tidak sesuai untuk teori.

Bagaimanapun teori film Lacanian menjadi target kritikan bukan karena ketergantungan murninya pada konsep psikoanalisa melainkan karena kelainannya dari konsep ini.

Namun demikian, penguasaan alam ilusi, seperti yang dikatakan Lacan, menjadi sangat penting sebagai kata kunci untuk melihat hubungan subjek dan cermin (diri), untuk saling memberikan kontrol terhadap objek dan tidak semata- mata penguasaan hasrat secara otonom.

4. Gaze sebagai objek

Lacan memahami gaze sebagai subjek (penonton) bertemu objek (film itu sendiri). Gaze menjadi objektif daripada subjektif. Lacan menggunakan istilah untuk membalikkan cara berpikir kita tentang gaze, karena kita mengasosiakan gaze sebagai proses aktif. Namun sebagai objek, gaze bertindak sebagai pemicu hasrat visual kita dan Lacan menggunakan istilah objet a atau objek yang menyebabkan hasrat. Objet petit a menunjukkan bahwa objek ini bukan entitas positif tetapi kekosongan dalam bidang visual. Objet petit bukan melihat subjek pada objek tetapi celah dalam subjek yang tampak. Celah ini dalam penglihatan

34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kita yang menandai titik di mana manifestasi hasrat kita sendiri pada apa yang kita lihat.

Gaze merupakan titik di sekitar dimana bidang ini mengorganisir dirinya sendiri. Bidang visual memikat subjek hasrat, gaze hadir sebagai titik ketidak hadiran rasa. Gaze mendorong penglihatan kita karena tampak untuk memberikan akses untuk yang tidak terlihat, untuk membalik sisi yang terlihat. Subjek tidak dapat menemukan gaze yang tersembunyi.

Teori film Lacanian awal menghilangkan gaze, karena memahami gaze sebagai pengalaman sinematik, khususnya dalam istilah tataran imajiner dan simbolik dan bukan dalam istilah real. Tatanan real memberikan kunci untuk memahami peranan gaze dalam pengalaman sinematik. Gaze menandai gangguan berfungsinya idelogi daripada ekspresinya. Yang dicontohkan Lacan mengenai gaze terdapat pada lukisan Hollbein, The Ambassadors. Lukisan ini mengambarkan dua orang penjelajah, mereka mengumpulkan benda-benda selama perjalanannya. Namun pada bagian dasar lukisan, terlihat sosok tak dikenali yang mengganggu lukisan. Jika melihat langsung pada lukisan, seseorang tidak akan melihat apa-apa, namun jika dilihat dari kiri bawah sosok tersebut menyerupai tengkorak.

Tengkorak adalah tempat kosong dalam gambar, titik di mana penonton kehilangan jarak mereka dari gambar dan disebabkan apa yang mereka lihat, karena bentuknya berubah dari posisi penonton. Orang tidak dapat melihat lurus pada gambar dan melihat objek ini. Seseorang harus berpindah dan menoleh.

Gaze ada dengan cara membelokkan perspektif penonton pada bidang yang

35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terlihat, menunjukkan keterlibatan penonton dalam scene di mana penonton kelihatan diabaikan. Itu secara jelas akibat dari subjektif aktif pada apa yang subjek lihat di dalam gambar, menyingkapkan gambar tidak hanya ada saat dilihat dan melihat bukan aktifitas yang netral.

The Ambassadors memberikan keistimewaan bagi Lacan karena bentuk gaze mengambil di dalam dalam lukisan-tengkorak-secara eksplisit memberikan hubungan antara gaze dan pengusaan kehilangan kepenuhan subjek dari penguasaan. Gaze titik di mana subjek subjek kehilangan kekhususannya dan yang sepenuhnya diwujudkan pada objek.

Lacan membayangkan gaze sebagai objet petit a dalam bidang visual.

Gaze bukan gambaran dari penonton luar pada gambar filmis tetapi cara di mana penonton yang diceritakan dalam film itu sendiri. Memanipulasi mereka dari gaze, film memproduksi ruang di mana penonton dapat memasukkan diri mereka.

Spectators empirical mempunyai kemampuan menghindari tempat, sebuah film yang mengukirkan bagi mereka dan kita mungkin membayangkan sebuah film dan tidak ada orang yang benar-benar menonton dari posisi tepat. Tetapi kegagalan ini tidak tidak merubah struktur film itu sendiri atau apakah itu berubah dan bagaimana film menguasakan spectatorship mealalui penyebarannya gaze.

Gaze adalah titik kosong-titik yang mengganggu aliran dan rasa dari pengalaman dalam struktur estetik fim dan titik di mana penonton dimasukkan miring dalam film.

36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Konsep gaze melengkapi penguasaan atas hasrat menjadi sebuah keberlangsungan yang obyektif, jalinan subjek dan film, meskipun kompleks, namun gaze mempermudah penulis untuk melihat subjek secara objektif pula. a. Desiring Elsewhere

Oleh Lacan, desire tidak dilihat sebagai penguasaan, sementara teoritis film awal memahami hasrat sebagai penguasaan, melihat sebagai proses aktif daripada pasif. Mereka cenderung menyamakan atau menggabungkan desire dan kuasa, desire dalam pengertian teori film awal diambil dari konsep Nietzsche dan

Foucault. Desire dalam pengertian Nietzsche dan Foucault bertujuan sebagai pengusaan atas objek dan membuatnya menjadi bagian dari diri sendiri. Namun desire dalam pengertian psikoanalisa harus dibedakan secara jelas dengan

Nietzsche dan Foucault.

Desire memerlukan desiring subject yang membolehkan objek untuk mengontrol desire. Melalui ketundukan kepada objek, subjek mengalami desiring.

Dalam pengertian Lacan, desire digerakkan oleh objek misterius yang berada di dalam the Other, objet petit a. Subjek menempatkan objet petit a sebagai titik di dalam the Other yang menyembunyikan enjoyment. Objek ini tidak bisa direduksi dan diidentifikasi sebagai sesuatu yang pasti di dalam the Other. Objet petit a menjanjikan enjoyment sejauh objet petit a itu tampak. Dalam konsepsi hasrat

Lacan, gaze tidak diartikan sebagai penguasaan subjek atas objek tetapi titik di dalam the Other yang menolak bagi penguasaan penglihatan. Ini merupakan tempat kosong penglihatan subjek, tempat kosong yang mengancam rasa

37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

peguasaan subjek dalam pengihatan karena subjek tidak dapat melihat secara dekat.

Pada intinya ada jarak yang tersembunyi antara subjek dengan film, karena yang dihadapi bukan realitas biasa, melainkan, seperti tadi sudah disinggung, adalah ilusi yang harus ditafsirkan oleh subjek. Dalam konteks ini, film yang mencoba dibaca oleh subjek selalu berhubungan dengan seberapa jauh subjek menentukan jarak dalam mengaitkan ilusi-ilusi yang berkelindan tersebut dalam kerangka imajiner untuk mengontrol kenikmatan. b. Privileging the Unconscious

Tidak ada medium yang menempatkan subjek dalam posisi berdekatan dengan posisinya dalam mimpi seperti halnya sinema. Seperti mimpi, film memikat subjek dan menerima ilusi yang diberikannya. Mimpi menyatakan, kemampuan kita untuk melepaskan pemikiran kritis dan kita menerima pengalaman itu sebagai kehadiran diri. Karena kita mengalami daripada berpikir kritis dalam mimpi, kita kekurangan rasa menguasai dalam mimpi yang kita miliki selama kita membangun pengalaman. Dalam peristrahatan terakhir, posisi kita dalam mimpi mendalam dari seseorang yang tidak dapat melihat. Subjek tidak melihat ke mana ia menuntun, ia mengikuti.

Sinema, kita dapat melihat bagaimana filmis gaze dapat berfungsi dengan cara yang sama seperti interpretasi analis, memberikan kita sebagai penonton yang sepenuhnya dilekatkan dalam pengalaman filmis. Melekatkan dalam film, subjek

(seperti analis yang bebas mengasosiasi) memungkinkan bertemu dengan gaze sebagai gangguan dalam spectatorship. Kita bisa-dan harus-menafsirkan

38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hubungan kita dengan gaze setelah fakta, setelah pengalaman traumatik. Tapi pertama-tama kita harus memiliki pengalaman, dan ini mengharuskan kita mengikuti logika film yang kita menonton.

5. Radikalitas Sinema

Di dalam kehidupan nyata, kita meghindari gaze, kiat menghindari mengenal objet petit a menunjukkan diri pada kita. Menurut Lacan yang disebut membagunkan keadaan yang menghilangkan gaze dan menghilangkan fakta yang bukan hanya tidak terlihat. Di dalam medan mimpi yang dikarakteristikan oleh image, gaze memperlihatkan diri. Di dalam mimpi, kita kita tidak menemui things tetapi things yang memperlihatkan diri pada kita dan membolehkan kita untuk mengalami gaze di dalam mimpi. Ketika kita mejumpai gaze, kita berjumpa objek yang memperlihatkan diri kepada kita. Bentuk mimpi sama seperti bentuk pengalaman sinematik. Ini yang sinema berikan kepada kita, kita tidak dapat menemukan tempat lain di luar mimpi kita selain melalui pengalaman sinematik.

Gaze memainkan peran paling intens dalam menstruktur fantasi. Kita berfantasi tentang bentuk objet a—gaze. Sinema seperti dalam mimpi, bentuk dari objek a yang memperlihatkan diri. Sinema sebagai tempat di mana struktur ideologi menemukan dirinya sendiri terancam. Hubungan gaze adalah sentral politis dan dimensi eksistensial dari film. Ideologi selalu berkerja untuk mengaburkan real traumatik gaze karena real mengancam kesetabilan tataran sosial yang melindungi ideologi. Real menandai kegagalan ideologi, tidak hanya penglihatan subjek tetapi kekuasaan penjelas ideologi. Ketika subjek mengalami real traumatik, subjek mengenali kegagalan otoritas simbolik untuk menjelaskan

39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

apapun. Ini kunci kekuasaan politis dari gaze. Melalui perjumpaan dengan traumatik gaze subjek dan memberikan dasar bagi kebebasan subjek—kebebasan dari paksaan big Other.

Perjumpaan menyatakan subjek tidak eksis pada big Other— ketidakmampuan memberikan dukungan bagi identitas simbolik subjek.

Perjumpaan dengan traumatik real merupakan perjumpaan dengan titik non-sense di dalam big Other. Kebebasan subjek dari subjektivitasnya. Pada saat perjumpaan traumatik, subjek tidak eksis di dalam big Other dan dunia simbolik yang ditopang oleh big Other.

Sebagai hasil perjumpaan traumatik dengan real, kebebasan terbuka bagi subjek. Titik di mana tataran simbolik gagal—dan hubungan kita dengan titik ini—menjadi dasar bagi kita sebagai subjek. Ini tranformasi subjek ideologis ke dalam politis dan kebebasan subjek. Kemampuan kita menentang struktur ideologi tergantung pada kemampuan kita mengenali titik real di mana itu terputus.

Kemampuan film untuk memfasilitasi perjumpaan dengan representasi real dan ancaman bagi kekuasaan ideologi. Bagaimanapun sejarah film lebih dari sekedar sejarah sebuah bentuk seni, ini juga merekam ketundukan terhadap permintaan ideologi.

6. Erotisisme Di Antara Hasrat, Fantasi, dan Ilusi:

Film dalam Pandangan McGowan

40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Hasrat, fantasi, dan ilusi menjadi kata kunci untuk mempelajari pemikiran

McGowan mengenai film, seperti telah diuraikan sebelumnya. Hasrat, fantasi, dan ilusi juga menjadi kata kunci dalam penelitian ini. Bagaimana makna-makna

(yang akan diuraikan pada Bab IV), saling terhubung atas kaitannya dengan subjek? Bagaimana itu kemudian ditautkan dengan pandangan McGowan dari beberapa buku yang ditulisnya?

Secara ringkas bisa dijelaskan bahwa McGowan adalah teoritikus film yang menurut penulis berhasil mengamati fenomena film secara komprehensif, meskipun ia tidak menyampaikan metodologi khusus untuk keperluan analisis film. Pandangannya mengenai hasrat, fantasi, dan ilusi adalah hasil elaborasi kritisnya dalam mengamati teori-teori film yang berkembang sebelumnya secara menyeluruh. Pandangan McGowan bisa dikatakan relevan untuk melihat film pada masa kini dalam banyak sisi, baik hubungan subjek-objek, kualitas film itu sendiri, maupun dalam kerangka politik ekonomi, juga secara khusus bagaimana mempelajari makna dalam film. Semua itu dibingkai dalam konteks The Real

Gaze. Bagaimanapun juga, film adalah tatapan.

Melihat kecenderungan pandangan McGowan tersebut, maka penulis mengambil beberapa hipotesis yang secara khusus berkaitan dengan penelusuran makna film, antara lain: Pertama, film horor Indonesia selalu menciptakan model anti-klimaks dalam berbagai unsur sajiannya, baik itu cerita, erotisisme, parodi, maupun unsur horor itu sendiri; Kedua, tidak ada “penonton” dalam konteks film horor Indonesia, kecuali “konsumen” yang bersifat sementara; Ketiga, Pertautan antara teori tatapan berbasis imajiner, simbolik, dan nyata, bertemu hasrat, fantasi,

41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pada ruang-ruang ilusi yang menciptakan hiburan sementara bagi subjek;

Keempat, dalam dikatakan bahwa erostisisme dalam kengerian film horor

Indonesia adalah semata-mata manipulasi dalam bingkai komoditi film. Supaya tidak berbelit-belit, penulis menyederhanakan menjadi empat bagian esensial, yaitu: model anti-klimaks, film horor tanpa penonton, hiburan sementara, manipulasi. Empat bagian ini akan diurai pada Bab IV.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini secara khusus mengamati lima judul film. Dipilihnya lima film ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, dari judul-judul film yang dipilih untuk dikaji dalam penelitian ini ada kata yang selalu muncul, yaitu “perawan”.

Kata “perawan” juga menjadi nilai jual dalam produksi film, dibanding “janda”.

Kata “perawan” mengarah pada seorang perempuan yang masih gadis; atau dengan kata lain menjadi pokok bahasan pada film tersebut. Menurut penulis, pemilihan kata tersebut mengandung maksud tertentu, yaitu upaya produser untuk memberikan “umpan” kepada, terutama, calon konsumen yang akan menjadi target pasarnya. Dengan demikian, secara eksplisit sebetulnya sudah nampak bahwa kata “perawan” (perempuan) lantas secara umum dianggap sebagai objek dari laki-laki, meskipun tidak memungkiri atas adanya konsumen perempuan, namun perbandingannya tidak seimbang. Diasumsikan bahwa target pasar dari film horor yang menggunakan kata “perawan” tersebut adalah laki-laki. Hal tersebut menarik perhatian penulis, lalu kenapa musti menggunakan kata

“perawan”, sementara produser filmnya berbeda. Ada kecenderungan apa di sebaliknya? Apabila dikaji lebih dalam, sebetulnya kata “perawan” mempunyai

42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

banyak makna. Pertama, menunjuk manusia, perempuan, atau gadis, yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki. Kedua, sebaliknya, kata “perawan” tidak selalu paralel dengan kegadisan. Ada yang berusia di atas 30 tahun namun masih tetap “perawan”. Ketiga, “perawan” menunjuk objek di luar manusia. Misalnya, hutan perawan, yaitu hutan yang masih subur, belum dieksploitasi. Beberapa keterangan istilah tersebut lantas menjadi ambigu. Lalu apa yang dimaksud oleh produser dengan istilah “perawan” tersebut? Itulah alasan pertama mengapa penulis tertarik memilih beberapa judul film yang sengaja menggunakan kata

“perawan”.

Alasan kedua adalah variabel semiotisnya yang berlainan satu dengan yang lain. Meskipun sama-sama menggunakan kata “perawan”, tetapi konteks ceritanya berbeda. Tabel berikut akan membantu untuk lebih menjelaskan alasan tersebut:

No Judul Variabel

1 Tetesan Darah Perawan Tetesan darah, perawan

2 Darah Perawan Bulan Madu Darah perawan, bulan madu

3 Pacar Hantu Perawan Pacar, Hantu perawan

4 Tali Pocong Perawan Tali pocong, perawan

5 Perawan Seberang Perawan, seberang

Tabel 1. Judul film objek penelitian

Dari beberapa judul di atas, menarik diamati makna tiap katanya beserta korelasinya dengan kata lain pada satu judul maupun korelasi satu judul dengan

43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

judul yang lain. Karena alasan tersebut, penulis tertarik mengusutnya lebih dalam.

Pada judul film nomor satu, terdapat kata “tetesan darah”—yang bisa terindikasi karena luka (terbentur, dipukul, dan sebagainya), bisa pula tetesan darah akibat bersetubuh untuk pertama-kalinya. Judul kedua, perawan mengasosiasikan suatu kondisi pra-nikah, dimana kemudian ada kata “bulan madu”—yang lazim diketahui sebagai sebuah momen romantis paska-nikah. “Darah Perawan” di sini kurang lebih maknanya hampir sama dengan yang pertama, tidak secara langsung menjelaskan pada pengertian tunggal. Lalu yang ketiga terdapat kata “pacar”—hal ini secara umum jelas menunjuk kepada gender, hubungan laki-laki dan perempuan. Variasi ceritanya menjadi berkembang. Yang keempat, terdapat kata

“tali pocong”, dimana sudah ada “kengerian” tersendiri yang ditampilkan dalam judul, sedangkan kata “perawan” menjadi terkesan surealis. Tentu saja ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Pada film kelima terdapat kata “perawan” dan

“seberang”, yang jika digabung akan menjadi “perawan seberang”. Judul film kelima ini terasa abstrak dan tidak menerangkan apa-apa karena hanya terdiri dari dua kata. Pada intinya, alasan kedua penulis ini berhubungan dengan sejauh apa korelasi antara judul film, konteks cerita, dan sajian erotisisme yang ditampilkan di dalam film.

Sedangkan alasan yang ketiga lebih kepada pengamatan umum, yaitu komparasi film objek penelitian dengan film-film serupa lainnya, dengan sedikitnya dua parameter: (1) kualitas film secara menyeluruh; (2) pro-kontra film; (3) keberhasilan dan kegagalan dalam aspek penjualan film. Alasan pemilihan tersebut juga didukung dengan hipotesia-hipotesa, antara lain: Apakah

44

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

setiap film pada akhirnya berhasil lengkap sebagai sebuah produk dan berhasil dalam targetnya? Atau jangan-jangan semua ini hanya akal-akalan poltik ekonomi media tanpa pertimbangan idealisme (kualitas konten)? Apakah film horor

Indonesia benar-benar menjual ketakutan atau sekadar menjual erotisisme belaka yang naif tanpa menawarkan pengalaman kengerian sebagai kunci utamanya?

1. Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, suatu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan kuantitatif.3 Penelitian kualitatif tidak memerlukan perhitungan statistik walaupun dapat dilakukan dengan statistik. Oleh karena itu, metode penelitian ini dilakukan dengan mengintepretasi fakta dan data yang ditemukan pada film-film horor yang dipilih sebagai objek penelitian.

2. Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran sumber, baik sumber dari kepustakaan maupun sumber data yang diambil dari film horor

Indonesia, juga wawancara kepada narasumber terkait, antara lain sutradara, kritikus film, ditambah dengan simulasi. Data pustaka akan ditelusuri melalui metode dokumentasi. Buku-buku karangan McGowan (2004, 2007) menjadi rujukan data primer dalam penelitian ini, selain itu buku karangan Harari (2002), penelitian-penelitian tentang film horor dari berbagai universitas (lihat kajian pustaka), digunakan untuk memperoleh data-data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini. Simulasi pada penelitian ini adalah kegiatan menonton film yang menjadi objek penelitian yang diikuti oleh sedikitnya 260 mahasiswa Universitas

3Moleong (2007: 3). 45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang pada bulan April 2017. Simulasi dilakukan dengan tujuan mencari opini objektif mengenai film objek penelitian.

Dari simulasi tersebut hanya dipilih sedikitnya 12 sampel yang diwawancara mengenai pengalaman mereka menonton lima film objek penelitian. Data yang didapatkan tidak dianalisis dan hanya dijadikan pemantik untuk lebih mengerucutkan hipotesis dalam penelitian ini.

3. Analisis Data

Analisis data mengacu pada suatu cara berfikir untuk menentukan bagian-bagian, hubungan diantara bagian-bagian, dan hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhan.4 Sehubungan dengan itu, data yang didapatkan akan dianalisis secara mendalam, yaitu fokus pada bagian-bagian dan keseluruhan permasalahan yang terkait dengan penelitian ini. Seluruh data yang dikumpulkan diorganisasikan serta dipilah-pilah sesuai jenis dan sifatnya menjadi pola-pola yang dapat dikelola untuk menentukan tingkat validitasnya, data mana yang penting dan mensintesiskan berdasar masalah dan tujuan penelitian. Data yang telah dipilah-pilah, berikutnya dianalisis berdasar masalah yang dikaji. Dalam konteks ini, data yang didapatkan dari film horor yang ada dikelompokkan berdasarkan judulnya, kemudian dianalisis. Data ini akan digali sebagai sumber pemecahan masalah, misalnya tentang kode-kode yang merangkai simbol-simbol tertentu. Data yang telah didapatkan dan tersaji akan dianalisis berdasarkan teori yang dipilih untuk mendapatkan hasil penelitian.

G. Skema Penulisan

4 Spradley (1997: 117). 46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Rencana penulis, penulisan penelitian ini secara garis besar akan terdiri dari lima bab seperti berikut ini: Bab I berisi latar belakang ketertarikan penulis terhadap film-film horor Indonesia, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan perangkat metodologis yang akan digunakan dalam penelitian. Bab

II membahas fenomena “Erotisisme” dalam konteks film horor Indonesia. Bab ini berisi pemaparan umum mengenai erotisisme sebagai fenomena yang nyaris selalu ditampilkan dalam film-film horor Indonesia (sebelum tren film religi) sekaligus deskripsi cerita dari kelima sampel film horor Indonesia yang mengunakan persamaan judul dengan adanya kata Perawan. Bab III memaparkan bagaimana erotisisme dalam film horor Indonesia dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sebuah sajian dalam hubungannya dengan penonton film. Pada Bab III ini juga dilakukan analisis yang berhubungan dengan bagaimana erotisisme dikonstruksi dalam film-film horor Indoensia, didahului dengan paparan mengenai teori makna. Bab IV lebih mengerucut dengan membahas mengenai erotisisme dan makna dalam film horor Indonesia. Analisis berkaitan dengan struktur teks visual dalam film yang berkaitan dengan upaya konsumen

(penonton) film horor Indonesia untuk menghasilkan makna-makna. Bab

V/Penutup merupakan penutup tulisan yang berisi kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian film horor Indonesia dan saran bagi penelitian berikutnya.

47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

“EROTISISME” FILM HOROR INDONESIA

A. Film Horor Indonesia

Menurut pengamat film Hikmat Darmawan, film horor memiliki sejarah panjang. Sejak awal-mula sejarah film pada akhir abad ke-19, film horor telah ada, dan menempati posisi penting. Sejak penemuan awal teknologi dan teknik film yang mendasar, lanjut lewat rute ekspresionisme Jerman, lalu berkembang di berbagai domain industri film di seluruh dunia, hingga trendmutakhir film-film horor Asia, termasuk Indonesia, film horor terus berkembang.1

Film-film horor yang bermunculan di bioskop-bioskop Indonesia dengan jumlah penonton yang tidak sedikit, membuktikan bahwa masyarakat masih memiliki kepercayaan pada hal-hal yang berbau mistis yang sering diidentikkan dengan hal-hal tradisional. Hal ini memperlihatkan bahwa mitos bangsa Indonesia yang telah masuk ke masa modern dan meninggalkan tradisionalisme telah dibongkar, dengan kenyataan yang menggambarkan dengan jelas bahwa modernitas diterima bersamaan dengan kehadiran nilai-nilai dan hal-hal yang bersifat tradisional (Herawati, 2011: 6).

Derry (1977) memberikan beberapa jenis klasifikasi tentang film horor dalam tiga subgenre, yaitu horror-of-personality (horor psikologis), horror-of-

1www.perfilman.perpusnas.go.id. Diakses 5 Mei 2016. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Armageddon (horor bencana), dan horror-of-the-demonic (horor hantu). Dalam horror-of- personality atau horor psikologis, kita berhadapan dengan tokoh-tokoh manusia biasa yang tampak normal, tetapi di akhir film mereka memperlihatkan sisi iblis atau monster mereka. Biasanya mereka adalah individu-individu yang sakit jiwa atau terasing secara sosial. Horror-of-the-armageddon atau horor bencana adalah jenis film horor yang mengangkat ketakutan laten manusia pada hari akhir dunia, atau hari kiamat. Ketiga, horror-of-the-demonic, atau horor hantu, horor jenis ini menawarkan tema tentang dunia (manusia) yang menderita ketakutan karena kekuatan setan menguasai dunia dan mengancam kehidupan umat manusia. Horor yang dibahas penulis disini adalah jenis horor yang masuk dalam sub genre ketiga yang kemudian banyak sekali dijadikan kendaraan untuk mengusung tema-tema yang mengandung unsur pornografi.

Hampir keseluruhan film-film horor yang beredar di Indonesia memiliki subgenre horror-of-the-demonic (horor hantu). Hal ini bisa disaksikan dari adanya objek yang selalu ditampilkan berkenaan dengan jenis-jenis hantu yang dikenal di

Indonesia: seperti , pocong, , dan sebagainya. Hantu- hantu tersebut menampakkan wujudnya dalam asosiasi tertentu yang dikehendaki sutradara film, namun juga berdasarkan kemiripan fakta yang beredar di masyarakat tentang sosok yang sebenarnya. Hantu-hantu tersebut memberikan penggambaran akan kengerian karena wujudnya tidak sama seperti manusia biasa, terutama pada sisi perwajahannya. Wujud hantu di dalam film horor Indonesia dikonstruksi sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan mengerikan dan mampu mengundang daya-pikat penonton film horor Indonesia.

49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Film horor memiliki tempat tersendiri bagi penonton Indonesia.

Berdasarkan survey yang dilakukan Koran Tempo pada 2011, jumlah penonton film horor mencapai angka cukup tinggi, yaitu kisaran 200ribu hingga 800ribu untuk film “Suster Keramas”, “Dendam Pocong Mupeng”, dan “Kain Kafan

Perawan”. Bahkan, untuk film yang berjudul “Air Terjun Pengantin” yang dibintangi Tamara Blezinsky sanggup menembus angka 1,4juta penonton, di bawah film “Tali Pocong Perawan”—yang dibintangi Dewi Perssik—yang sanggup mencapai angka 1,5juta penonton.

Dituturkan oleh Baskoro Ady Wuryanto (2017), salah seorang penulis naskah film horor yang penulis wawancarai, bahwa film horor Indonesia juga mengalami masa surut yaitu ketika munculnya tren film religi. Fase kejenuhan, lebih tepatnya alih tren pasar dari film horor ke religi ini ditandai dengan surutnya penonton film horor Indonesia, karena masyarakat beralih ke film religi. Namun, pada tahun 2017 ini film horor mulai mengalami peningkatan penonton, dan tren film horor sudah tidak lagi erotisisme seperti dulu, meskipun produsernya sama.

“Saat film horor erotis tersebut overdone dan jenuh, akhirnya produser pelopor horror erotis tersebut membuat film religi, dan meledak. Akhirnya trend geser ke film religi. Layar bioskop dipenuhi oleh film dengan judul [bahasa agama] + [cinta-cintaan]. Jadi itu semua karena demand market. Tapi damage-nya memang besar sekali. Tapi sepertinya sudah membaik, terbukti di tahun 2017, sudah ada 2 film horror Indonesia yang penontonnya di atas 1juta. Dan keduanya tidak mengandung unsur erotisme.”2

2 Wawancara dengan Baskoro Adi Wuryanto via email. 30 Juni 2017.

50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Penonton (baca: jumlah konsumen) menjadi aspek penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja dalam sejarah film horor Indonesia, meskipun pada faktanya, jumlah penonton genre film horor tak sefantastis film drama tentang percintaan. Bisnis film horor diminati para produser karena pembuatan film ini relatif efisien dan tidak terlalu membutuhkan banyak biaya atau pemeran yang banyak seperti dalam film drama.Pembuatan film dari aspek produksi juga relatif tidak rumit. Disamping itu, persiapan yang dibutuhkan untuk membuat film horor tidak memakan waktu lama, karena lokasi syuting tidak menjadi aspek penting.

Berbagai penelitian mengenai film horor Indonesia selama sedikitnya sepuluh tahun terakhir memberikan gambaran bagi penulis bahwa film horor

Indonesia cukup diminati sebagai obyek penelitian. Tercatat tak kurang dari dua puluh penelitian dari berbagai universitas yang membahas film horor dari banyak aspek. Misalnya mengenai sinematografi, psikologi, psikoanalisa, hingga seputar peran lembaga sensor film. Berbagai penelitian tersebut sering tidak lepas oleh pembahasan mengenai “perempuan seksi” dalam film horor yang bisa dikatakan menjadi ikon dalam film horor. Posisi pentingnya “perempuan seksi” guna mendukung film horor barangkali sebagai “penyeimbang” atas kengerian. Dan laki-kali selalu menjadi “sasaran” utama dari film bergenre horor ini. Dalam bahas

Pollock (1997: 26), perempuan hadir sebagai suatu tanda dalam wacana ideologis.

Sosok perempuan lantas memiliki dualisme “citra”—yang sering dipahami secara keliru oleh (umumnya) laki-laki.

51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bumbu-bumbu seks yang diwakili oleh adanya “perempuan seksi” dalam film hampir bisa dikatakan selalu hadir dalam film horor. Keberadaan perempuan seksi dalam film horor di Indonesia mulai melekat ketika film horor mengalami masa kejayaannya di Indonesia. Film “Pantai Selatan” yang dibintangi oleh

Suzana, bisa dikatakan sebagai pelopor keberadaan sensualitas dan tubuh perempuan. Jika kita menonton film tersebut, kita bisa menyaksikan bagaimana pakaian yang digunakan oleh Suzana. Gerak-gerik tubuhnya dengan balutan pakaian seksi, menjadi salah satu hal yang membuat film tersebut banyak diminati penonton (Ayun, 2011: 3).

Dalam film horor Indonesia, pakaian yang dikenakan pemeran wanita merupakan penanda. Umumnya pakaian tersebut ditampilkan secara ketat atau minim. Dalam hal ini, perempuan menjadi komoditas (nilai jual) yang ingin ditawarkan kepada penonton, meskipun bukan sebagai objek utama (baca: cerita).

Bayangkan apabila perempuan-perempuan itu tampil dengan pakaian sewajarnya yang tampak anggun dan seluruh aurat tertutup. Bisa diduga bahwa penonton akan mengalami kejenuhan karena hasrat (dalam hal ini laki-laki sebagai dominasi) tidak akan terpenuhi. Begitu juga sebaliknya. Dalam film drama yang mengisahkan kepiluan cinta, akan terasa aneh apabilapemeran perempuan selalu menggunakan bikini meski dalam percakapan biasa.

Kengerian yang ditampilkan dalam film horor tampak sebagai sebuah permainan (game) antara imajinasi penonton akan datangnya kengerian, dan hasrat yang lain dalam lalu-lintas cerita. Timbul-tenggelamnya bunyi yang

52

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyertai setiap adegan juga menjadi penanda penting dari “keberhasilan” film horor, terutama di Indonesia. Tanpa suara yang terkesan menyeramkan (efek bunyi digital), film horor akan sia-sia. Kesan erotis yang ditampilkan dalam pakaian perempuan juga akan menjadi mubazir apabila film horor Indonesia ditampilkan tanpa suara-suara yang terkesan menyeramkan tersebut. Maka sampai di sini, terjadi ambiguitas yang akan terasa menarik untuk digali kembali, yaitu tentang kelayakan (baca: parameter) film horor Indonesia dalam lingkup estetika film dengan sebuah pertanyaan mendasar: Bagaimana posisi antara cerita film, tubuh perempuan, dan bunyi-bunyi yang membaluti film horor Indonesia?

Berdasarkan penelusuran empiris penulis, film horor Indonesia selama ini adalah sebuah ketimpangan yang sedemikian berjarak atas tiga parameter tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, karena sebagai komoditas, produksi film komersial menuntut kerja cepat yang seringkali dalam kurun waktu persiapan yang kurang masuk akal (tidak sampai satu tahun). Sebab itu, korelasi antara unsur satu dengan unsur lainnya menjadi terabaikan.

Yang terpenting dari sebuah film adalah cerita! Demikian yang sering dikatakan oleh para Sutradara. Dalam film horor Indonesia agaknya itu kurang berlaku. Posisi cerita (script) dalam film horor Indonesia lebih bersifat tempelan belaka. Hal ini bisa disaksikan misalnya dalam film yang seringkali tidak jelas alur-ceritanya; memiliki kecenderungan untuk lebih banyak menampilkan berbagai karakter secara bertabrakan (hampir selalu dengan unsur komedi dan seksualitas), serta sering berakhir dengan anti-klimaks. Misalnya dalam film

“Pacar Hantu Perawan”—yang juga turut dibahas dalam penelitian ini,

53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menampilkan adegan bahwa pocong pun bisa berbicara dan bercanda layaknya manusia.“Kengerian” terbunuh begitu saja oleh karakter ambigu dari sosok pocong yang oleh masyarakat Indonesia sendiri dikenal seram.

Pinel (2006:124) menyebutkan bahwa film horor adalah film yang penuh dengan eksploitasi unsur-unsur horor yang bertujuan membangkitkan ketegangan penonton. Genre ini mencakup sejumlah subgenre dan tema-tema yang terus berulang, seperti pembunuhan berantai, , zombie dan sebangsanya, kesurupan, teror makhluk asing, kanibalisme, rumah angker, dan sebagainya.

Nickel (2010: 15), menambahkan bahwa film horor memiliki dua ciri-khas utama: penampilan sosok yang jahat atau mengerikan (termasuk psikopat yang suka membunuh); dan elisitasi ketakutan atau perasaan jijik bagi penonton.Secara psikologis, film horor semestinya mampu meninggalkan jejak ingatan mendalam dan panjang (traumatik) bagi penontonnya.

Kengerian yang dibalut unsur-unsur “seksualitas” yang menonjol dalam film-film horor Indonesia mengetengahkan peristiwa “ironi” sekaligus “hiburan”.

Dalam lanskap industri film, hal itu menjadi penting, mengingat di Indonesia, film yang laku sering diidentikkan sebagai film yang menghibur. Fantasi menjadi kunci penting bagi penonton film yang tidak mengetengahkan jalan cerita secara eksplisit seperti layaknya film horor. Ada hubungan antara penonton, yang bagi

Lacan lantas menjadi object yang masuk ke dalam tampilan film, yang kemudian si penonton menarik diri dari realitas-realitas yang ia hadapi untuk meleburkan diri ke dalam realitas film, sebuah realita fantasi yang belum tentu setiap penonton menghadapi fakta yang sama seperti yang ditampilkan sebuah film.

54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Deskripsi Film Pilihan

Pada bagian ini penulis mencoba untuk mendiskripsikan ke lima judul yang menjadi sample film untuk penulisan ini yang mempunyai persamaan kata perawan pada judul-judul film tersebut kata perawan penulis artikan sebagai perwakilan dari kata erotisme sedangkan ke lima judul film tersebut berkonsep film horor dengan perwakilan kata darah dan pocong.

Selain itu penulis mengambil sample kelima judul film tersebut yaitu karena ke lima film tersebut mewakili tahun-tahun produksi film horor terbanyak di antara de kade tahun 2003 sampai dengan 2013 yaitu tahun 2009, 2010, 2011,

2012 dan 2013 produksinyan antara 9 film sampai dengan 27 film tiap tahunya.

Dan itu merupakan tahun-tahun subur produksi film horor di indonesia sampai dengan saat ini. Dalam membahas masing-masing film ini penulis menggunakan tiga kerangka yang dipakai terus-menerus, yaitu: Awal (Pembangunan cerita film), Tengah (Konflik), Akhir (Klimaks/Bagian akhir film)

Kelima judul tersebut yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Tetesan Darah Perawan

Film produksi tahun 2009 ini disutradai oleh Bayu Pamungkas.

Menceritakan liburan tujuh remaja (Sandi, Sarah, Puti, Meli, Angga, Adit dan

Tika) ke hutan larangan yang berakhir dengan teror hantu yang muncul akibat perbuatan tidak senonoh Sandi dan Sarah di telaga dalam hutan larangan.

Meskipun telah diingatkan oleh seorang lelaki misterius (Ki Jiwo), yang diberi amanah turun temurun sebagai kuncen kawasan tersebut, mereka tetap nekat.

55

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tetesan darah perawan Sarah telah membangkitkan cerita satu abad lampau. Roh

Nyi Gendewa bangkit lagi dan menebar teror. Semua mati satu-persatu termasuk

Ki Jiwo.

Awal

Singkat cerita, Sandi dan Sarah tengah mengobrol hangat di telaga tengah hutan, sementara lima teman lainnya tengah menikmati suasana kebersamaan.

Mereka bercumbu layaknya seorang kekasih yang sedang dimadu. Mereka menikmati “cinta” di tengah telaga, dalam suasana mistis berbalut mistis karena cahaya sekitar yang gelap. Karena tak kunjung kembali ke tenda, Sandi dan Sarah dikhawatirkan teman lainnya. Namun kekhawatiran itu tak lama, karena beberapa waktu kemudian Sandi dan Sarah kembali dalam keadaan seperti biasa. Dalam pembicaraan di antara mereka terlibat perdebatan mengenai angker atau tidaknya kawasan hutan telaga itu. Sandi dan Sarah adalah orang yang paling tidak percaya dengan hal gaib, meski teman-temannya menyanggahnya, dan meminta mereka untuk tidak berbuat yang bukan-bukan di hutan telaga itu. Karena tidak percaya,

Sarah pun nekat untuk mandi di telaga itu. Ketika tengah menikmati air telaga, tiba-tiba ada makhluk aneh yang menarik rambutnya dari belakang. Sarah berteriak keras, dan dua temannya datang ke telaga. Ketika tiba di telaga hanya ditemukan pakaian-pakaian Sarah yang tertanggal di penepian. Sandi, sebagai kekasihnya, kebingungan tak karuan, demikian juga Puti yang menyaksikan peristiwa hilangnya Sarah itu bersama Sandi.

Tengah

56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Terjadilah perdebatan sengit di antara teman-teman Sarah, dari sinilah konflik bermula, antara mencari Sarah atau meninggalkan hutan telaga itu.

Mereka bersama-sama akhirnya keliling hutan mencari Sarah. Mulailah muncul suara-suara menyeramkan di tengah pencarian itu. Mereka pun sempat tersesat dan keadaan semakin menegangkan. Perdebatan tidak berhenti, dan Tika memutuskan untuk berpisah dengan yang lain. Mereka berlima tiba-tiba melihat sebuah gubug, karena penasaran, mereka mendatangi gubug itu, yang tak lain adalah tempat tinggal Ki Jiwo. Dijelaskanlah oleh Ki Jiwo bahwa hutan telaga tersebut memang angker, dan oleh sebab perbuatan tidak senonoh antara Sandi dan Sarah di telaga, akan mengakibatkan semua terancam jiwanya. Sementara itu,

Tika yang terpisah dari teman-temannya mulai digoda oleh kemunculan makhluk halus yang menari-nari ronggeng di tengah hutan, di tengah usahanya mencari jalan keluar. Umur Tika tak bertahan lama sesudah adanya penampakan mengerikan itu. Ia pun mati dengan cara mengenaskan. Cerita semakin seru ketika

Ki Jiwo meminta kelima orang tersebut untuk masuk di gubugnya, karena Puti meminta solusi dari kejadian misterius ini. Diceritakanlah oleh Ki Jiwo mengenai riwayat Nyai Gendewa atau Nilamsari, sebagai sosok yang hidup 100 tahun silam yang mati di hutan itu. Gendewa atau Nilamsari tak mau diganggu oleh ulah pengunjung hutan yang berbuat tidak senonoh. Jika itu terjadi maka akibatnya adalah kehilangan nyawa. Ki Jiwo kemudian meminta mereka segera pergi meninggalkan hutan itu karena Gendewa atau Nilamsari sudah tidak sabar ingin menghabisi nyawa mereka. Namun usaha mereka untuk keluar dari hutan itu tak menemui hasil.

57

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Akhir

Mereka akhirnya mati satu persatu dengan cara mengenaskan seperti Sarah dan Tika. Nasib Ki Jiwo pun demikian, ia ikut mati karena dianggap oleh

Gendewa tak mampu menjaga “kesucian” hutan telaga itu.

2. Darah Perawan Bulan Madu (2010)

Darah Perawan Bulan Madu merupakan film horor Indonesia yang dirilis pada 2010 dan disutradarai oleh Hartawan Triguna. Film ini dibintangi antara lain oleh Indah Kalalo, Restu Sinaga, Adelia Rasya, dan Yogi Aldi.

Awal

Putra (Restu Sinaga) dan Amira (Indah Kalalo) baru saja menikah di tengah kesibukan mereka sebagai manusia karier di Jakarta. Ingin memberikan pengalaman yang berbeda, Putra mengajak Amira untuk berbulan madu ke pulau pribadi miliknya sambil beristirahat dari kesibukan mereka. Dipulau itu beberapa pekerja utama sudah akrab dengan Putra. Yakni, Pak Ringga sang kepala pulau,

Yanto sang koki, Deden sang satpam, dan Agus anak Pak Ringga.

Yanto dan Deden menjadi terobsesi dengan keseksian Amira yang selalu ditonjolkan oleh Amira saat bermesraan dengan Putra diberbagai tempat di Pulau.

Namun, kejadian-kejadian aneh mulai terjadi kepada Amira dan Putra. Sementara si Deden yang sedang patroli keliling pulau, didorong oleh sesuatu ke bebatuan dibawah dermaga. Yanto turut menjadi korban saat berada di gudang anggur, didorong jatuh ke sebuah sekop oleh sepasang tangan.

58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tengah

Saat tengah berjalan sendiri di hutan, barulah mulai terlihat bahwa hantu wanita yang kerap meneror Amira adalah sesosok wanita dengan gaun pengantin.

Amira menemukan sebuah liontin biru yang indah di tengah hutan. Pak Ringga mulai mencari-cari Yanto dan Deden namun belum menemukan mayat mereka.

Kelihatannya setelah Pak Ringga melihat Amira mengenakan liontin biru itu, Pak

Ringga jadi berbicara serius dengan Putra. Lalu Amira yang habis mandi, diganggu kembali oleh hantu wanita itu dengan intensitas yang lebih parah. Pak

Ringga dan Putra menyelamatkan Amira dan membuang liontin biru iu karena dianggap membawa sial.

Putrapun bercerita tentang Lydia, mantan istri Putra yang juga berbulan madu dengan Putra di pulau itu. Liontin itu adalah milik Lydia yang diwariskan secara turun temurun dari leluhurnya. Lydia diketahui Amira sudah meninggal, tapi tidak tahu sebelum diceritakan Putra bahwa Lydia meninggal di Pulau tersebut. Putra berkeras bahwa yang selama ini dilihat Amira adalah arwah nenek buyut Lydia. Pada malam keesokan harinya, badai menjelang. Amira meminta

Putra untuk pulang karena tidak tahan dengan keadaan di Pulau tersebut. Dan rumahpun mati lampu. Putrapun mencari Pak Ringga untuk menyalakan genset.

Ditinggal, Amira dihantui Lydia lagi, kali ini Amira dituntun ke sebuah album foto yang menunjukkan bahwa liontin biru itu adalah pemberian Putra. Saat itu,

Putra menyeret Amira ke hutan.

59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Disanalah, sambil Putra berbicara dengan Amira yang diikat, Putra menggali kubur untuk Amira. Ternyata Putra adalah seorang pria yang menggunakan ketampanannya untuk merebut banyak hati wanita. Kemudian, setelah wanita itu memilih Putra menjadi salah seorang pemilik aset yang ia punya, maka Putra akan membunuh mereka. Dan modus inilah yang menjadi plot untuk mereguk kekayaan milik Amira yang baru saja bergabung dengan perusahaan besar. Saat Putra ingin membunuh Amira, Agus datang dan memukul

Putra, membebaskan Amira dan membawanya ke rumah. Agus segera meminta bantuan, tapi Putra keburu datang dan memulai kejar-kejaran. Disaat yang sama,

Pak Ringga yang turut menjadi pemulus rencana Putra menghadang anaknya sendiri. Untung Lydia datang dan membunuh Pak Ringga, lalu Putra berhasil melacak kamar tempat persembunyian Amira dan Agus. Lydia membantu mereka lagi dan membuat Putra terkejar ke hutan, dan terjatuh ke lubang kuburan dengan kapak yang ia pegang, terlempar dan menancap kepalanya sendiri.

Akhir

Film berakhir dengan sebuah pagi dimana Amira dengan Agus keluar dari pulau tersebut. Amira membuang segala pernak-pernik yang diberikan Putra kepadanya.

3. Pacar Hantu Perawan (2011)

60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pacar Hantu Perawan adalah film horor Indonesia yang dirilis pada 2011.

Pemeran utama oleh Dewi Perssik dan Olga Syahputra. Film ini berkisah tentang

Vicky (Vicky Vette), Mandy (Dewi Perssik), dan Misa (Misa Campo), yang merupakan kakak beradik sekandung. Suatu hari Mandy yang sedang jenuh pergi berwisata dengan sahabat sekaligus managernya Joyce (Natha Narita), dan pacarnya Alex (Rafi Cinoun), ke sebuah hutan yang asri. Tempat itu dijuluki

“Hutan Jodoh”, karena memiliki pancuran yang konon bisa memperekat jodoh.

Siapa yang pernah mandi di pancuran air itu akan cepat mendapat jodoh. Joyce sendiri merasa menemukan Alex setelah melakukan ritual mandi di tempat itu.

Awal

Mandy, Joyce, dan Alex pergi berwisata ke hutan jodoh, sebuah hutan yang konon angker. Mereka bertiga menghabiskan waktu di hutan tersebut dengan berbagai macam kegiatan. Joyce dan Alex adalah sepasang kekasih, sementara

Mandy masih tak punya pacar, dan konon, jika pergi ke hutan itu akan cepat mendapatkan jodoh, dengan catatan tidak boleh melanggar segala peraturan yang ada.

Tengah

Mandy adalah orang yang paling tidak percaya pada hal-hal takhyul seperti itu. Ia pun mandi di pancuran itu tanpa pretensi ritual mencari jodoh. Tapi, ketika mengitari hutan sekitar tempat mereka camping, Mandy ketemu dan

61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berkenalan dengan Romy (Jonathan Frizzy). Mereka saling terpikat dan jatuh cinta.

Opa Mandy tiba-tiba meninggal. Mandy merasa sangat kehilangan. Tapi ia merasa terhibur karena Romy setia menemani. Mandy jadi merasa sangat sayang pada Romy. Tapi bersamaan dengan itu Mandy mengalami keanehan demi keanehan menakutkan. Tapi Mandy tidak menyadari hal itu. Yang tahu hal tersebut justru pasangan Joyce dan Alex. Yoga (Olga Syahputra) menceritakan sesuatu mengenai misteri keanehan itu. Ternyata Romy adalah makhluk halus yang menyamar menjadi manusia biasa.

Akhir

Cerita ini berakhir dengan membakar kuburan Romy yang ada di hutan itu. Mandy pun sadar bahwa pengalamannya bertemu Romy hanyalah ilusi belaka.

4. Tali Pocong Perawan 2

Tali Pocong Perawan 2 merupakan film horor Indonesia yang dirilis pada

18 Oktober 2012 yang disutradarai oleh Volkan Maida serta dibintangi oleh

Wiwid Gunawan dan Nikita Mirzani.

Awal

Kisah ini dimulai dari sebuah kantor, dimana Tania (Wiwid Gunawan) bekerja. Grace (Kartika Putri), adalah rekan kerja Tania yang diam-diam menaruh hati pada Jody (Framly Nainggolan), bos di kantor itu. Grace mencari banyak cara

62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk bisa memikat hati Jordy, mulai dengan bekerja secara giat supaya mendapat pujian, hingga mencuri perhatian dengan busana-busana yang seksi. Diam-diam ternyata Tania juga menaruh hati pada Jordy. Keduanya pun terlibat persaingan cinta. Penampilan Tania yang berkebalikan dengan Grace dianggap oleh Grace tak akan mampu memikat hati Jordy. Grace pun berkali-kali berkata kepada Tania bahwa Tania tak akan mampu menaklukkan hati Jordy. Tania pun sempat khawatir dan mencari berbagai cara.

Tania, yang tinggal di lantai lima rumah susun bersama ibunya yang sedang sakit, selalu hidup dalam tekanan. Ibunya yang tempramental sering mengejek Tania dengan kata-kata kurang sopan, hingga membuat Tania makin tertekan. Ditambah lagi, di sebelah kamar Tania ada penghuni rusun yang sering berkonflik. Penghuni itu adalah Chika dan bapaknya.

Singkat cerita, Chika dipaksa oleh bapaknya untuk menikah dengan lelaki pilihan bapaknya, tetapi Chika menolak. Chika pun frustasi karena bapaknya mengancam, bahkan hendak membunuhnya. Suatu ketika, Chika menangis sendirian di depan kamar, Tania yang tengah berangkat bekerja pun menghampiri, namun Chika diam saja, maka Tania pun meninggalkan Chika sendirian. Dari dalam kamar terdengar teriakan bapaknya, meminta Chika masuk ke kamar, namun Chika ketakutan dan justru berlari. Bapaknya mengejar. Karena panik dan kehilangan akal, Chika pun meloncat dari lantai lima rumah susun itu, ia pun tewas mengenaskan: bunuh diri.

63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tengah

Berangkat dari kejadian bunuh diri Chika yang masih perawan itulah konflik film ini dibangun. Sementara itu, di kantor, Grace dan Tania masih sering terlibat adu mulut. Awalnya Tania mengalah, tapi lama-kelamaan geram dan mulai melawan Grace. Tania sempat frustasi dengan mencoba melakukan tindakan menyakiti diri sendiri dengan menusukkan jarum di tubuhnya. Tania bersikeras untuk bisa memikat hati Jordy dengan banyak cara, tetapi belum kunjung berhasil, dan agaknya Jordy lebih terpikat pada Grace.

Melihat penampilan Janet, tetangga Tania di rumah susun, Tania pun berkonsultasi. Pertama, ia ingin berubah penampilan seperti Janet. Kedua, meminta saran bagaimana caranya memikat hati Jordy. Janet pun menyarankan untuk menggunakan tali pocong perawan. Tania pun terpengaruh. Ia mencari info di internet mengenai tali pocong perawan itu, dan ia berhasil menemukan sesuai dengan apa yang disarankan Janet. Janet menyarankan supaya Tania mengambil tali pocong milik Chika, yang memang meninggal ketika masih perawan. Diam- diam Tania pun pergi ke kuburan Chika, membongkar kuburnya, dan mengambil tali pocongnya, lalu memakannya. Esok harinya, penampilan Tania yang telah berubah agaknya mampu menarik perhatian Jordy. Jordy pun memberi komentar mengenai penampilan Tania yang berbeda itu, persis di depan Grace yang menjadi lawannya. Sepertinya pelan-pelan Jordy telah berhasil tertarik pada Tania. Prestasi kerja Tania di kantor itu juga semakin cerah, mampu membuahkan pujian dari

Jordy. Grace pun naik pitam dan terlibat perkelahian kecil dengan Tania. Tak kehilangan akal, Tania mulai memberanikan diri untuk lebih melawan Grace, dan

64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lebih berani pula untuk mendekati Jordy. Ketika Jordy hendak pulang kerja, Tania membuntutinya di parkiran, Tania ijin menumpang di mobil Jordy. Jordy pun mengijinkan. Diantarkannya Tania hingga ke rumah susun itu.

Kejadian demi kejadian mengerikan terjadi, dimana Tania dihantui oleh

Chika. Chika yang telah menjadi makhluk gaib itu berkali-kali menampakkan diri pada Tania dan meminta ia untuk mengembalikan tali pocong perawannya.

Karena berhari-hari dihantui, Tania sempat frustasi. Jordy pun lama kelamaan mengetahui cerita ini dan kemudian mendatangi Tania ke rumah susun. Tak diduga, Jordy bercerita kepada ibu Tania, bahwa sebetulnya sejak pertama kali

Tania bekerja di kantornya, ia sudah jatuh cinta pada Tania, tetapi tidak berani mengutarakannya. Jordy merasa bersalah karena justru membuat Tania melakukan cara yang tidak sewajarnya ini. Tak berselang lama wajah ibu Tania berubah mengerikan, ternyata ia dimasuki roh Chika dan tiba-tiba ibunya menyerang Tania dan Jordy, mengejar mereka berdua. Tubuh Jordy sempat ditusuk pisau oleh ibu Tania. Berkali-kali ibunya berkata, meminta Tania untuk mengembalikan tali pocong Chika, maka Chika pun kebingungan bagaimana caranya. Hingga akhirnya Tania pun tidur terlentang dan meminta ibunya mengambil tali pocong itu. Mulut Tania dibuka, dan tangan ibunya masuk ke mulutnya untuk mengambil tali pocong itu. Setelah berhasil, ibunya meminta

Tania untuk segera mengembalikan tali pocong itu di jasad Chika ke kuburan, dan

Jordy diminta mengikutinya.

65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Akhir

Akhirnya tali pocong itu dikembalikan Tania dengan tergopoh-gopoh ketakutan. Sesudah berhasil Jordy memeluk Tania. Beberapa hari kemudian di kantor, Tania menerima telpon dari calon customer, betapa kagetnya Tania bahwa dari balik telpon itu terdengar suara lirih: “Kembalikan tali pocong saya...” Film pun selesai.

5. Perawan Seberang

Perawan Seberang adalah film drama Indonesia yang dirilis pada 29

Agustus2013. Film ini disutradarai oleh Chiska Doppert. Film ini dibintangi oleh

Julia Perez dan Cinta Ratu.

Pada awalnya nama film ini adalah Perawan Dayak. Namun karena protes yang dilayangkan pihak Suku Dayak yang tak mau nama sukunya dibawa-bawa untuk kepentingan promosi film, akhirnya film ini berganti nama menjadi

Perawan Seberang.

Awal

Kisah berawal dari keinginan Yulia Sumbukurung, anak dari Pangkalima

Kumbang Jaya salah satu ketua suku Dayak yang sangat terkenal di untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta. Keinginan tersebut disambut gembira oleh keluarganya. Dengan ritual untuk melepaskan kepergian Yulia, Pangkalima

66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kumbang Jaya memberikan sebuah kalung Penyang, yaitu sebuah kalung untuk melindungi Yulia dari segala kejahatan.

Kisah berlanjut ketika di kampus, Aryo yang merupakan mahasiswa ganteng dan kaya tertarik melihat Yulia yang memang sangat cantik. Tapi sebelum niatnya terwujud untuk mendekati Yulia, Reymon berpesan ke Aryo agar berhati-hati kepada Yulia yang memiliki kekuatan "magic". Mereka pun bertaruh ratusan juta jika Aryo bisa mendapatkan Yulia.

Tengah

Yulia terkejut saat sahabatnya, Ratna mengajaknya ke pesta Aryo. Dengan desakan Ratna, Yulia pun mau berangkat dan melepaskan kalung Penyang. Yulia tidak menyadari bahaya mengancamnya. Di acara pesta, Yulia mendapatkan kejadian yang sangat mengenaskan yang mengakibatkan dirinya tak sadarkan diri.

Selama enam bulan Yulia dalam kondisi koma, pada saat Yulia pulih dari kondisi koma, Yulia menjadi shock karena mengetahui dirinya hamil. Karena merasa malu tidak bisa menjaga nama baik keluarga dan leluhur, Yulia bunuh diri.

Karena sakit hati, Pangkalima Kumbang Jaya memberikan kutukan kepada para pemerkosa Yulia.

67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Akhir

Sejak kejadian bunuh diri dan kutukan terucap dari Ayah Yulia, mulailah teror terjadi. Satu persatu dari kawanan Aryo dan kawan-kawan mengalami teror teror yang sangat menakutkan.

C. Erotisisme dalam Konteks Seni

Erotisisme dalam konteks seni menjadi pembahasan tersendiri yang tidak bisa dipisahkan dalam sejarah seni itu sendiri. Dalam hampir semua cabang dalam seni, erotisisme menjadi semacam “bumbu” yang menciptakan “kodratnya” sendiri untuk secara sengaja memperkaya capaian artistik suatu karya senimaupun dalam rangka menyampaikan pesan intrinsik. Dalam seni visual atau sastra, ada banyak kemungkinan implisit yang mencoba disampaikan melalui karya seni itu sendiri. Sementara dalam seni pertunjukan, seperti tarian tradisi, erotisisme hadir secara “eksplisit”, memamerkan bentuk liukan tubuh yang menciptakan pesona tersendiri, seperti misalnya dalam Gandrung Banyuwangi atau Jaipongan di tlatah

Sunda.

Erotisisme dalam seni berhubungan dengan identitas dan konteks kultural.

Hal itu disampaikan Huebner (2008). Huebner, melalui analisisnya terhadap karya-karya Toyen (Marie Cerminova)dalam eksistensi seni avant-garde di Praha, mencermati karya-karya Toyen yang secara eksplisit mengeksplorasi erotisisme dalam karya-karya lukisnya. Dalam karya-karya Toyen yang surealis digambarkan bagaimana Toyen melakukan perjuangan identitas dan kritik

68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kebudayaan, sekaligus menciptakan perubahan dalam gaya yang diaktualisasikan melalui karya seni, terutama dalam konteks kultur Eropa Tengah (Huebner, 2008:

3). Meskipun pada kenyataannya posisi erotisisme bisa sangat eksplisit disampaikan dalam karya seni (misalnya melalui perempuan atau laki-laki telanjang), namun tidak serta-merta hal itu bisa dipahami semata sebagai pesan yang eksplisit, yang dimana fakta ini bisa disinyalir dengan unsur-unsur vulgar yang mengarah ke pornografi.

Dalam kesenian tari tradisi Nusantara, misalnya Jaipongan, juga masih banyak beredar stigma-stigma tersebut. Seperti disampaikan Ahda Imran, bahwa dalam Jaipong, ada juga berbagai pihak yang mengkritisi jaipongan atas nama kepatutan moral yang memandang bahwa gerak tari yang meletakkan kelincahan dan keindahan geraknya itu pada pinggul, bahu, dan ekspresi penari yang penuh senyum, terutama ketika ditarikan perempuan, sebagai sejenis tarian yang digolongkan vulgar dan erotis. Dengan unsur tiga G-nya, geol, gitek, goyang, jaipongan ketika itu membuat cemberut para istri pejabat, terlebih ketika penari jaipongan itu ngibing dengan suaminya, dengan kerling mata dan senyumnya.

E. Erotisisme dalam Konteks Film

Erotisisme dalam definisinya tetap dianggap sebagai bagian dari estetika itu sendiri. Maka keberadaannya terikat pula dengan bentuk-bentuk seni yang ada, yang secara langsung merepresentasikan gagasan yang mencoba ditawarkan atas suatu karya seni. Ada dorongan untuk menampilkan unsur erotika supaya memikat perhatian penonton, meskipun pada dasarnya tidak semata-mata untuk

69

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendorong “libido” seseorang, seperti maksud dari penjabaran erotisisme itu sendiri. Suatu karya seni tidak semata-mata eksplisit menunjukkan unsur- unsurnya seperti dalam realitas yang sesungguhnya, yang bisa langsung mengajak setiap orang ber-asosiasi tidak pada porsinya.

Erotisisme dalam konteks film juga merupakan ekspresi seperti layaknya karya seni yang menggunakan berbagai objek sebagai mediumnya. Dalam film yang mengetengahkan erotisisme, tubuh (umumnya perempuan), hadir sebagai objek utama yang bisa jadi lebih kuat dari sekadar alur cerita dalam film itu sendiri. Namun demikian, tubuh adalah juga narasi itu sendiri, yang menyimpan

“cerita” dalam tataran imajinasi dan asosiasi yang melihatnya. Pakaian yang serba minim misalnya, digunakan sebagai penanda atas relasi antara kamampuan tubuh dan kehendak sutradara. Dengan demikian, jika erotisisme diletakkan dalam konteks ekspresi seni (film), maka keberadannya menjadi sah sebagai sebuah produk kreatif.

Ada perbincangan menarik yang lain, yaitu ketika erotisisme kemudian mendorong konstruksi pewacanaan yang lain, yaitu seputar gender. Tubuh perempuan yang ditampilkan secara seksi itu kerap dituding sebagai medium dimana eksploitasi menempati perannya. Kenapa perempuan, dan tidak laki-laki saja? Apakah perempuan tidak tertarik dengan tubuh laki-laki yang berpotensi juga untuk “seksi”? Ini tentu sebuah pertanyaan menggelitik. Ada relasi yang begitu kuat antara film sebagai ekspresi, tubuh perempuan sebagai subjek (dan objek), serta relasi antara sistem politik ekonomi media dengan masyarakat

70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penonton dan konsumen itu sendiri. Fakta yang terjadi saat ini adalah film tidak hanya hadir sebagai media komunikasi penyampaian pesan, melainkan juga sebagai komoditi, dan tentu saja, sebagai sebuah seni—yang melibatkan kemampuan artistik—film menuntut adanya ekspresi yang diketengahkan secara terkonsep, baik melalui ide cerita, gerak, dan lain sebagainya.

Dalam pengamatan yang dilakukan penulis, erotisisme juga tidak selalu menjadi dominan dalam durasi penampilannya di film. Erotisisme muncul serba- selintas sebagai bagian dari grafik sebuah cerita, misalnya menampilkan adegan perempuan mandi dengan dibalut kain tipis, berenang dengan pakaian yang minim, atau momen lain yang menonjolkan sisi sensualitas perempuan. Bisa jadi hal itu tidak menjadi penting, atau malah menjadi sesuatu yang ditunggu-tungguh oleh penontonnya? Inilah yang akan mencoba ditelusuri oleh penulis.

71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

KONSTRUKSI EROTISISME FILM HOROR INDONESIA

Bab ini akan memaparkan analisis yang dilakukan penulis yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa erotisisme penting untuk dikonstruksi dalam film horor Indonesia, dan bagaimana konstruksi tersebut? Konstruksi yang dimaksud di sini adalah konstruksi yang terjadi pada pasca-produksi film, bukan membahas mengenai prosesnya. Analisis dilakukan secara random, tidak per-film untuk lebih membaca kaitannya antara satu film dengan film yang lain.

Sebelumnya akan dipaparkan mengenai pengalaman penulis menikmati film horor, supaya terjadi relasi antara pengalaman empiris penulis dengan objek penelitian ini.

A. Pengalaman Menikmati Kengerian

Pengalaman penulis menikmati film layaknya sebuah pengalaman transenden, dimana penulis merasa tengah “mempelajari” sesuatu yang seringkali tidak berada dalam wilayah kasat-mata, bukan umumnya setiap orang ketika menghadapi kehidupan nyata, namun lebih ke dimensi spiritualitas, dimana imajinasi dan ketidak-sadaran berpadu untuk menuju kenikmatannya. Emosi menjadi pintu masuk utama sebelum ke makna-makna atau perenungan selanjutnya. Tentu saja pengalaman transenden tersebut tergantung pada genre film yang sedang ditonton serta kualitas cerita yang dihadirkan. Kadang-kadang siapa aktornya tidak terlalu penting. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tentu saja setiap film, bagi penulis, memiliki hubungan emosional terselubung dengan penontonnya, menyesuaikan suasana, serta kebutuhan yang lainnya. Tidak semua film bisa disamaratakan begitu saja. Misalnya ketika hendak menonton film komedi, ada hasrat untuk memenuhi kebutuhan tersebut dikala sedang suntuk atau butuh tertawa. Lain cerita ketika menonton film dokumenter, yang biasanya sarat dengan pesan-pesan, bahkan referensi. Tentu penulis akan berangkat tidak sedang dalam keadaan “kepala penuh”—melainkan benar-benar siap menerima informasi, apalagi menyaksikan film dokumenter dengan konten yang berat. Film bergenre drama juga demikian. Menurut penulis, film kategori tersebut berada di tengah-tengah, antara yang serius dan yang ringan. Pada film drama—selain termuat cerita yang menuntut konsentrasi—juga ada selingan komedi. Dan seterusnya.

Terlepas dari beberapa contoh yang disebutkan di atas, ada pengalaman lain ketika menyimak film horor. Ada hasrat lain yang tersembunyi di balik jiwa dan pikiran. Yang tersembunyi itu adalah “misteri” itu sendiri—yang tak pernah bisa ditebak “masa depannya”. Artinya, tidak ada yang dipersiapkan sebelumnya ketika hendak menonton film horor. Bahkan, seringkali hanya karena keisengan yang tanpa alasan cukup berarti. Hal ini, menurut subyektifitas penulis, sangat masuk akal, karena dalam film horor—sebagai film fiksi—mengetengahkan suatu sajian yang seringkali tak terduga dan melampaui realitas umum. Misalnya, adegan pocong yang bisa berbicara bahkan tertawa-tawa. Ada komedi yang dibalut misteri, ada “keanehan” yang tak pernah bisa diduga sebelumnya. Karena, menurut logika umum, tak ada pocong yang bisa berbicara, apalagi tertawa.

73

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pengalaman tersebut lahir ketika menonton film “Pacar Hantu Perawan” (2011), dimana adegan pocong yang berbicara memang benar-benar terjadi. Dan kejadian ini sama-sekali tidak terasa mengerikan (horor), melainkan justru ada perasaan aneh di dalam jiwa ini. Esensi “misteri” itu sendiri menjadi kabur seketika.

Kata “horor” yang identik dengan misteri (baca: sesuatu yang belum diketahui dengan pasti), adalah semacam teka-teki yang selalu mengintai hidup manusia. Berangkat dari setiap pengalaman keseharian yang sebenarnya selalu penuh misteri—dalam pengertiannya sebagai kesiapan menerima peristiwa- peristiwa tak terduga—maka setiap orang dituntut melatih kepekaan untuk membaca gerak-gerik hidup.

B. Konstruksi Erotisisme: Jaringan Hasrat dan Komoditas

Secara sederhana, film—sebelum ke soal erotisisme—sengaja dikonstruksi

(dalam pengertian produksi) pada mulanya oleh niat dari produser film, yang kemudian dalam tahap selanjutnya mengajak para stakeholder yang mau terlibat atau mendukung terwujudnya film tersebut, termasuk di sana peran sponsor, baru kemudian merencanakan siapa sutradara yang menangani film. Selebihnya, pemeran yang dihadirkan dalam film hanyalah sebagai “pekerja” dalam arti menjalankan apa yang telah diatur sebelumnya. Ada nilai kontrak yang kemudian disepakati, lalu film itu berjalan. Film horor tidak menuntut proses yang membutuhkan waktu lama seperti film drama atau film yang dibuat untuk festival, yang biasanya memerlukan waktu minimal satu tahun proses, atau bahkan lebih.

Film horor Indonesia adalah sebuah kerja proyek yang bisa dikerjakan dalam rentang waktu singkat. Hal ini sangat beralasan, mengingat film horor Indonesia

74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tidak berfokus pada idealisme atas suatu kerja pembuatan film, melainkan lebih sebagai komoditas yang menuntut kecepatan. Hasil akhir lebih diutamakan dan menjadi tujuan daripada proses itu sendiri.

Dalam banyak sumber ditegaskan bahwa konstruksi erotisisme tidak bersifat absolut sebagai sebuah ideologi (dalam film), melainkan sebagai upaya membangun konstruksi sosial, dimana peran konsumen dan penonton dibutuhkan sebagai jaringan hasrat dan komoditas.

Brickell (2006: 1), menjelaskan mengenai konstruksi sosiologis tersebut.

Baginya, pendekatan konstruksionis menawarkan kekuatan untuk menganalisis kompleksitas gender dan seksualitas. Brickell memang tidak secara khusus berbicara mengenai film horor, namun dari argumennya yang multi sudut pandang—menautkan antara historisisme, interaksionisme simbolik, etnometodologi, dan feminisme material—dapat diketahui bahwa keberadaan film

(sebagai sebuah konstruksi atas realitas sosial) relevan untuk ditautkan dalam kerangka kajiannya. Gender dan seksualitas adalah subjek sekaligus objek. Subjek karena perempuan dan laki-laki hadir sebagai pemeran dalam film. Dalam konteks film, perempuan dan laki-laki menjadi tokoh yang harus mengkonstruksi kembali realitas ke dalam bentuk cerita film. Sementara itu, seksualitas juga tampil sebagai subjek yang “menunggu” respon. Seksualitas ditampilkan dalam bentuk- bentuknya yang implisit untuk memancing perhatian, dalam hal ini konsumen dan penonton. Sebagai objek, gender dan seksualitas adalah sebuah tontonan yang berpotensi menciptakan hasrat bagi konsumen dan penonton. Keduanya, baik subjek dan objek, bisa dilihat secara berhubungan maupun secara mandiri. Dalam

75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

konteks kajian ini, keduanya dilihat sebagai hubungan yang saling berpotensi menemukan makna.

Menurut istilah McGowan (2007), yang menjelaskan secara gamblang teori film sesudah Lacan, fenomena film pada masa kini adalah perkawinan antara hasrat dan fantasi. Dalam konteks seksualitas, seperti dibahasakannya dengan menjelaskan secara khusus mengenai relasi seksual dan politis dari sebuah film, hasrat dan fantasi adalah dua kata kunci pokok yang harus dipegang ketika mengkaji sebuah film pada masa kini. “Sudah menjadi lumrah, bahwa fungsi ideologis dari sebuah film adalah menyediakan tontonan yang berpotensi mengembangkan fantasi. Dalam konteks ideologi kontemporer, film adalah sebuah ilusi, dimana kesuksesannya bergantung kepada skeptisme penontonnya terhadap realitas biasa, maka mereka pergi menonton film untuk menemukan ilusi” (McGowan, 2007: 203).

1. Erotisisme Film Horor: Fantasi dalam Ilusi

Bioskop, sebagai ruang penyajian film, menurut Gowan (2007:75), bertujuan untuk memanipulasi keindahan dengan cara menggambarkannya. Visual memiliki bobot penting ketimbang suara, meskipun kemudian film adalah audio- visual. Penggambaran tersebut akan menciptakan bias antara fantasi dan ilusi.

Kenapa demikian? Dalam membuat film, yang merupakan rekonstruksi atas realitas, setiap produser atau sutradara memiliki hak skenariotik yang bebas untuk menciptakan fantasi dan ilusi sebelum menjadi hasrat. Ilusi, yang merupakan jagad un-real, adalah melampaui realitas (contoh: pocong yang tertawa dan bercakap-cakap). Batas antara fantasi yang dikehendaki dua subjek (pekerja film

76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan penonton) adalah sangat tipis dan saling bertabrakan (chaos), menciptakan ruang dinamikanya sendiri yang unik.

Dalam konteks film horor yang mengandung unsur erotisisme, adegan perempuan mandi di tengah hutan dengan berpakaian serba tipis mampu menciptakan fantasi (pakaian serba tipis) sekaligus ilusi (mandi di tengah hutan).

Scene tersebut akan bisa berkembang menjadi hasrat apabila penonton memang melakukan upaya menuju ke konstruksi pikiran. Dengan demikian film akan menjadi bagian pula dari peristiwa kehidupan subjek.

Hal itu berbeda dengan kondisi perfilman sebelum kontemporer, lebih tepatnya pra 1950-an. Bazin dan Kracauer, yang dikenal sebagai teoritikus film realis, menunjukkan bahwa hampir tidak ada manipulasi (penciptaan ilusi) yang dilakukan pada film-film terdahulu. Bazin juga tidak berangkat dari psikoanalisis, berbeda dengan teori-teori film sesudahnya. Namun apa yang disampaikan Bazin menjadi penting dalam kajian ini, dimana film yang dikerjakan tanpa manipulasi estetik atau apapun itu, menjadi dasar pijakan yang kemudian menciptakan jalinan lebih luas antara film dan penonton.

Gambar 1. Percakapan antara manusia dan pocong yang serupa manusia (Sumber: film “Pacar Hantu Perawan”)

77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam contoh capture tayangan pada film Pacar Hantu Perawan di atas bisa disaksikan bahwa percakapan antara manusia dan pocong menimbulkan bias antara fantasi dan ilusi. Notabene pocong juga merupakan sebuah realitas yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai makhluk halus yang tak kasat mata, bukan sebagai manusia yang berbicara. Namun dalam film tersebut pocong dibuat layaknya manusia biasa. Variabel antara horor yang sebenarnya (dengan adanya unsur-unsur materi horor yang menciptakan kengerian), lalu erotisisme, dan kemudian parodi, menjadi fakta yang silang-sengkarut dalam fenomena film horor

Indonesia. Tampak berbagai adegan lain yang menunjukkan silang-sengkarut antara kengerian, erotisisme, dan parodi yang dibingkai menjadi satu dalam sajian film horor Indonesia. Ini yang menjadikan penelitian ini juga sedikit mengalami kesulitan, terutama dalam membagi porsi demi kepentingan penajaman kajian atas objek. Namun demikian, hal itu justru menjadi tantangan tersendiri supaya tetap bisa mendudukkannya secara proporsional dengan tetap membahas erotisisme sebagai kunci pokok tanpa mengabaikan unsur lain yang sedemikian berhubungan. Gambar-gambar berikut ini menjadi contohnya:

78

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 2 dan 3. Adegan mandi di tengah hutan dengan pakaian transparan dalam film “Tetesan Darah Perawan”

79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 4, 5, dan 6 Makhluk dari air yang tiba-tiba mencengkeram perempuan yang sedang mandi di film “Tetesan Darah Perawan”

Gambar 2 hingga 6 menunjukkan silang-sengkarut antara erotisisme dan kengerian yang ditunjukkan melalui adegan perempuan mandi, angle close up melucuti pakaian satu-persatu, dan adanya makhluk aneh yang tiba-tiba mencengkeram perempuan tersebut lalu membenamkannya ke air. Fantasi diciptakan melalui tayangan erotis (atas tubuh perempuan) dan kengerian (unsur horor). Bagian-bagian tayangan dengan model seperti ini (bisa dikatakan tiap scene yang selalu tampil anti-klimaks), selalu muncul dalam film horor Indonesia yang dipilih dalam penelitian ini.

Adegan anti-klimaks juga nampak dalam film Perawan Seberang, dimana ada bagian yang menampilkan adegan bercinta antara perempuan dan laki-laki lalu kemudian si perempuan dicampakkan begitu saja di lantai hingga berlumur darah. Rata-rata durasi satu scene yang menampilkan dua adegan kontras tersebut berlangsung tak sampai 3 menit.

80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 7 dan 8 Adegan bercinta dalam film Perawan Seberang yang kemudian mencampakkan perempuan

Dalam film Tali Pocong Perawan 2 juga dimunculkan adegan demikian, dimana awalnya ditampilkan tubuh perempuan yang erotis, lalu tiba-tiba ada penampakan pocong di cermin.

81

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 9 dan 10 Tubuh perempuan dan pocong dalam film “Perawan Seberang”

Sejauh ini penulis menemukan, model anti-klimaks dan kontras per- adegan antara “erotisisme” dan “kengerian” seperti ini menjadi pola wajib dalam film horor. Dibingkai oleh waktu yang hanya singkat, adegan kontras menciptakan fantasi sekaligus ilusi, karena tidak lazim terbayang dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Jika dilihat kembali pertautan Lacan antara “imajiner”, “simbolik”, dan yang “nyata”, maka dapat ditegaskan bahwa tatapan (gaze) memang mengandung pencerminan atas subjek (kondisi bawah sadar kenikmatan menonton film)—yang kemudian ditautkan dengan realitas sehari-hari si subjek. Ini tentu saja merupakan jalinan peristiwa dan objek tatapan tersebut (visual). Jalinan tersebut bersifat silang-sengkarut, tidak pasti. Penulis meyakini bahwa film horor yang di dalamnya melibatkan erotisisme, berpotensi secara kompleks menciptakan

82

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keyakinan sekaligus keragu-raguan bagi si subjek. Keyakinan karena jelas akan ditampilkan adegan yang bisa memancing hasrat laki-laki, dan keragu-raguan karena semua serba anti-klimaks. Bisa disimpulkan oleh penulis untuk sementara bahwa sajian dalam film horor Indonesia menjadi serba nanggung: kengerian yang nanggung, erotisisme yang nanggung, parodi yang nanggung, cerita yang nanggung. Secara estetika, film horor Indonesia hanya menjadi semacam manipulasi bagi keberlangsungan komoditas, menciptakan ilusi yang sebenar- benarnya dalam konteks luas.

2. Konstruksi Tanpa Keunggulan Produksi

Berangkat dari penelusuran teoritik maupun pengamatan mendalam atas film, penulis semakin menduga bahwa film horor Indonesia menjadi tidak relevan jika dilihat sebagai seni, dalam arti memiliki bobot idealisme dalam konteks konstruksi filmnya. Sebab itu analisis kaitannya dengan produksi film akan tidak menarik. Ditemukan bahwa penekanannya lebih kepada (pasca konstruksi), artinya bagaimana film itu kemudian lahir dan menjadi objek tatapan (gaze) yang dibingkai komoditi yang menjual alam bawah sadar subjek, terutama laki-laki.

Dalam pandangan subyektif penulis, film horor Indonesia sangat terkesan prematur dalam banyak sisi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa semua unsur di dalam film horor Indonesia serba nanggung; namun penulis juga menduga bahwa hal itu disengaja sebagai sebuah spekulasi bisnis dalam kerangka komoditi film. Atas fakta tersebut penulis kemudian terdorong untuk mempertanyakan, apakah benar ada “penonton” dalam konteks film horor

Indonesia? Jangan-jangan, dugaan penulis, memang hanya terbangun “konsumen”

83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang tidak memiliki sinergi apapun dari sajian film maupun film dalam konteks kebudayaan. Hal tersebut akan lebih dikerucutkan oleh penulis pada bagian selanjutnya, sementara pada bab ini lebih membaca frame dan karakteristik film horor Indonesia dalam konteks konstruksi erotisismenya.

84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

EROTISISME DAN MAKNA DALAM FILM HOROR INDONESIA

Setelah pada bagian sebelumnya dipaparkan mengenai kajian teoritik, fakta film, dan konstruksi erotisisme dalam kerangka sajian filmnya, maka pada bagian ini dikerucutkan kepada hubungan antara film dengan penonton dalam konteks pembentukan makna, terutama berangkat dari struktur teks visual film.

Apakah sajian erotisisme dalam film horor Indonesia mampu membentuk makna bagi penikmatnya (konsumen dan penonton)? Bagaimana jalinan makna itu berlangsung? Pertanyaan mendasar yang lain adalah: mengapa erotisisme perlu dikombinasikan dengan kengerian? Dan mengapa itu menjadi konstruksi yang kemudian memiliki nilai jual (digemari)? Erotisisme berkaitan pula dengan makna, dimana subjek dan objek berusaha menemukan jalinan demi keberlangsungan film itu sendiri di tengah dinamika masyarakat, yang dalam hal ini makna-makna tersebut bergantung kepada subjek itu sendiri, dalam arti individu yang memiliki pengalaman atas film. Terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai “makna” dalam empat pembatasan, yaitu makna umum, semantik, pragmatik, dan linguistik.

A. Makna Umum

Makna film horor secara umum adalah hiburan. Hiburan itu sendiri memiliki bentuk (objek) yang beraneka-ragam, bisa berupa kata-kata, benda, perilaku, dan seterusnya. Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dikatakan sebagai upaya hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya. Mengisi kegiatan di waktu senggang seperti membuat kerajinan, keterampilan, membaca juga dapat dikatagorikan sebagai hiburan. Bagi orang tertentu yang memiliki sifat workaholic, bekerja adalah hiburan dibandingkan dengan berdiam diri. Selain itu terdapat tempat-tempat hiburan atau klab malam

(night club) sebagai tempat-tempat untuk melepas lelah, umumnya berupa rumah makan atau restoran yang dilengkapi hotel serta sarana hiburan seperti musik, karaoke, opera. Ada pula yang menyediakan permainan seperti bilyar hingga sarana perjudian. Bagi kalangan tertentu, permainan judi (gambling) dianggap sebagai hiburan atau sarana membuang sial. Selain itu, di beberapa negara ada juga klab-klab malam yang diperuntukkan untuk pertemuan keluarga yang tentunya berbeda dengan klab klab malam pada umumnya.

Hiburan sering memberikan kesenangan, kenikmatan, dan tawa. Pada waktu atau konteks tertentu, ada juga tujuan tambahan yang serius. Misalnya, berbagai bentuk perayaan, festival religius, atau satire.

Apabila seseorang telah mendapatkan hiburan, bisa dikatakan kualitas kehidupannya meningkat. Dalam pengertian, secara psikologis diibaratkan, ada perubahan simpul-simpul syaraf yang tadinya tegang menjadi kendor. Merupakan suatu ironi apabila sebuah hiburan justru memberi makna sebaliknya bagi yang tengah “terhibur”. Jika demikian keadaannya, hiburan akan menjadi sebuah ironi.

Bahkan hiburan itu sendiri akan bisa menjadi sebuah malapetaka.

Film horor memiliki keunikan tersendiri bagi penulis dibanding ketika menikmati film-film bergenre lainnya. Film horor memiliki keistimewaan, yang,

86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seperti di atas telah disinggung, seringkali memuat teka-teki yang tidak pernah terduga sebelumnya. Misalnya, kesan pertama seperti misteri, namun berikutnya sama-sekali tidak menyampaikan cerita misteri sama-sekali. Maknanya ada pada

“tipuan terselubung” dari seluruh rangkaian cerita dalam film horor tersebut.

Dalam arti luas, aspek hiburan pada film horor yang menjadi objek dalam penelitian ini tidak berbeda kadarnya dengan film-film industri yang umum dijumpai, tidak berbeda dengan drama maupun komedi. Yang menarik dalam film horor, atau misteri pada umumnya adalah upaya setiap orang untuk menemukan teka-teki pertanyaan hidup yang tidak bisa dijelaskan melalui logika. Itu menjadi makna umum.

Seperti misalnya mitos yang beredar mengenai suatu tempat yang mistis atau angker dalam film “Pacar Hantu Perawan”, atau tentang mitos tali pocong perawan dalam film “Tali Pocong Perawan”. Makna umum ini adalah mampu menjawab rasa penasaran penonton yang ingin mengetahui hal-hal yang tidak mampu terjawab dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak ulasan yang beredar mengenai dinamika film horor Indonesia, menyoroti mitos dalam dua hal: mitos mengenai persepsi masyarakat terhadap film horor, dan cerita-cerita terkait mitos dalam film horor.

Ekky Imanjaya dalam artikelnya berjudul “Mitos-mitos Seputar Film

Indonesia” menjelaskan beberapa alasan terkait dengan pertimbangan- pertimbangan mengapa seseorang pergi ke gedung bioskop untuk menonton film

Indonesia. Apa yang menjadi pertimbangan tersebut lantas menjadi mitos yang beredar di masyarakat. Dalam hal film, misalnya, ada stigma bahwa: (1) semua

87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

film Indonesia jelek; (2) semua film horor Indonesia jelek; (3) film horor picisan paling laku di pasaran, film idealis tidak; (4) film idealis pasti film susah, bukan film komersial. Namun, Imanjaya juga memberi pandangan tersendiri bahwa tidak semua mitos tersebut benar adanya.

Karena banyaknya film-film horor yang dianggap murahan semacam pocong, kuntilanak, dan suster ngesot, kemudian diambil kesimpulan bahwa semua film horor—termasuk yang belum dan akan dibuat—jelek dan tak pantas ditonton. Kenyataan, cukup banyak film bergenre horor dan thriller yang bagus.

Sebut saja Jelangkung, Hantu, Rumah Dara, dan Keramat. Karena itu, kemudian ada pernyataan: “salahkan filmmakernya, jangan salahkan genrenya”. Horor bukanlah genre picisan. Banyak sutradara besar menggarap film horor. Di luar negeri, misalnya, ada Martin (Scorsese Cape Fear, 1991; Shutter Island, 2010) dan Francis Ford Coppola (Bram Stoker’s Dracula, 1992), dan Werner Herzog

(Nosferatu, 1979). Bahkan sutradara dari gerakan Ekspresionisme Jerman banyak mengangkat tema horror, di samping tema fantasi dan legenda, seperti Cabinet of

Dr. Caligari dan Nosferatu. Di Indonesia, sebagai contoh, ada Rudi

Soedjarwo (Pocong 2) dan Hanung Bramantyo (Legenda Sundel Bolong). Juga

Riri Riza yang film pendeknya, Titisan Naya, ada di omnibus Takut. Memang, ada film horor yang tujuan satu-satunya adalah menakut-nakuti penonton yang hobi ditakut-takuti. Tapi banyak kajian dan kajian yang mendalam untuk memaknai film itu dalam kaitannya dengan kritik dan komentar sosial (bahkan politik) pembuatnya terhadap berbagai isu-isu yang terjadi di masyarakat

(Imanjaya: 2013).

88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Yang menjadi catatan tersendiri, makna umum yang bisa ditangkap dari film-film yang menjadi objek penelitian ini adalah memiliki pesan supaya masyarakat juga mempertimbangkan sesuatu yang bersifat takhayul, atau mitos- mitos yang belum tentu jelas kebenarannya dalam struktur film itu sendiri.

Berangkat dari fakta tersebut, erotisisme menjadi ambiguitas tersendiri, dan

Imanjaya sendiri menegaskan dalam wawancara dengan penulis, bahwa erotisisme hanya merupakan bumbu visual penanda kejenuhan penonton.

Imanjaya juga menilai bahwa strategi menampilkan erotisisme tidak selalu berhasil mendulang perhatian penonton film horor Indonesia.1

Dalam salah satu bab di buku “The End of Dissastisfaction: Jaques Lacan and The Emerging Society of Enjoyment” (2004), McGowan menjelaskan mengenai realitas masyarakat kontemporer dalam upaya mereka mencari hiburan

(kenikmatan), sekaligus memahami dengan interpretasi untuk mendapatkan makna (2004: 9). Kebutuhan setiap orang akan hiburan adalah salah-satu penanda penting dalam masyarakat kontemporer dimana dunia dikuasai politik ekonomi.

Michael Wolf menyebut realitas itu dengan istilah “entertaintment economy”, hiburan yang dikendalikan oleh uang. Diskursus ini adalah diskursus psikoanalisis yang berkembang pasca Marx (2004: 1). Berkaitan dengan hal tersebut, bioskop, sebagai sebuah ruang berisi hiburan, dikendalikan oleh ekonomi dalam banyak sisi. Orang pergi menonton film untuk mendapatkan hiburan (makna) dengan merogoh kocek mereka, meskipun hal itu belum tentu dibarengi interpretasi.

1 Wawancara melalui email dengan Ekky Imanjaya. 2 Juli 2017

89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Makna Semantik

Semantik merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantik adalah pembelajaran tentang makna itu sendiri. Semantik merupakan bagian dari semiotik yang berhubungan dengan sistem bahasa dan sistem tanda lainnya.

Makna menurut Blanke (1973) adalah relasi antara hubungan sistemis dan tidak sistemis. Hal yang dimaksud sistemis oleh Blanke adalah unsur bahasa, sementara yang dimaksud dengan hal yang tidak sistemis adalah unsur luar bahasa.

Terkadang seseorang mengetahui makna berdasarkan pengalaman pribadinya atau pengalaman umum.

Pateda (2010: 65), berpendapat bahwa semantik merupakan displin linguistik yang membahas secara mendalam tentang sistem makna. Melalui objek makna semantik dapat dikaji melalui banyak segi penggunaan teori yang berbeda aliran dalam linguistik. Dengan semantik dapat diketahui apa yang dimaksud dengan makna, bagaimana wujud makna, apa jenis makna, apa saja yang berhubungan dengan makna, apa komponen makna, apakah suatu makna bisa berubah, dan mengapa bisa berubah, apakah setiap kata hanya memiliki satu makna atau lebih, dan seterusnya.

Menurut pengalaman penulis menonton film, penggalian atas makna semantik ini sangat penting, mengingat, film adalah seni yang menggabungkan berbagai cabang yang menuntut berbagai lapis penafsiran, mulai dari aspek gambar, bahasa, musik, hingga dramaturgi. Dalam film horor, semua aspek tersebut tetap diperhitungkan dalam kadarnya masing-masing. Setiap tafsir dalam

90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menikmati film horor selalu berhubungan dengan latar-belakang pengalaman yang dimiliki oleh penulis selama ini.

Film horor Indonesia yang menjadi objek penelitian ini menyimpan sistem-sistem baik bahasa (ungkapan verbal/linguistik/percakapan) maupun kodifikasi yang lain (visual). Makna semantik yang menjadi tangkapan dalam film yang menjadi objek penelitian ini adalah sejauh apa hubungan-hubungan unsur- unsur itu satu sama lain dalam membentuk jalinan makna bagi penonton. Dalam pengamatan empirik mendalam yang penulis lakukan terhadap kelima film, penulis membaca bagaimana peran masing-masing unsur tersebut dalam upaya membangun makna. Ada tiga parameter: cerita dan latar belakang, konstruksi visual (erotisisme), dan pemeranan—yang dianalisis bagaimana hubungannya satu dengan yang lain. Dalam film “Tetesan Darah Perawan”, cerita yang dibangun cenderung sederhana, yaitu seputar mitos mengenai tali pocong perawan, sementara konstruksi visual dan pemeranan menjadi perhatian tersendiri.

Ini ditunjukkan dengan pemilihan aktor/aktris yang dipandang bisa mewakili nilai erotisisme (perempuan seksi), contoh: Wiwid Gunawan dan Nikita Mirzani. Mau tidak mau, upaya ini turut membangun pembentukan makna semantik.

Dalam film “Perawan Seberang” unsur lokalitas (tradisi Dayak) diangkat sebagai bagian dari cerita. Unsur erotisisme justru tidak terlalu kentara, karena sepertinya film ini tidak semata menonjolkan hal tersebut. Yang menarik, hubungan makna semantiknya adalah upaya mempertemukan ruang lokal keNusantaraan dengan fenomena urban. Inilah yang juga terjadi dalam film

“Tetesan Darah Perawan” yang sedikit mengekspos tari dan gamelan Sunda.

91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Film (baca: antara teks verbal dan visual) adalah hubungan yang menarik.

Pendekatan semantik juga tak jarang digunakan untuk mengkaji film, terutama berhubungan dengan kekhususan dalam genrenya. Hal ini juga diulas oleh Rick

Altman dalam esainya berjudul “A Semantic/Syntactic Approach to Film Genre”

(1984). Altman melihat korelasi antara teks verbal dan visual sebagai sebuah pluralitas yang bergantung kepada genre. Dalam hemat kata, konstruksi visual yang ditampilkan dalam film—untuk menghasilkan makna-makna bagi penonton—sangat bergantung pada genre film. Setiap (genre) film akan memunculkan makna semantik yang berbeda-beda dan tak bisa digeneralisasikan.

Begitupun dalam konteks film horor Indonesia (kengerian dan erotisisme). Fakta- fakta mengenai siapa pemeran, dimana lokasi syuting, bagaimana penataan cahaya, karakter setiap tokoh, sangat menentukan semua itu.

C. Makna Pragmatik

Bagi penulis, film horor memberi makna yang paling sederhana hingga kompleks. Sederhana dalam alur cerita, namun juga kompleks dalam hal penggunaan bahasa komunikasinya. Karena umumnya film horor adalah cerita fiktif, maka seringkali digunakan bahasa-bahasa yang tidak masuk akal dan jarang digunakan dalam keseharian. Tetapi itulah inti dari penelusuran mengenai makna pragmatik tersebut. Leech (1993: 8) mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).

Pragmatik mempelajari makna bahasa yang terikat konteks (Wijana, 1996: 2).

92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Leech lebih jauh menjelaskan bahwa pragmatik berhubungan dengan penutur dan makna, sedangkan semantik hanya sebagai properti ucapan di dalam bahasa, terlepas dari situasi penutur atau pendengarnya. Bisa diasumsikan, kaitan pragmatik dengan konteksnya adalahmempelajari siapa yang menggunakannya, dalam kondisi seperti apa itu digunakan, dan bagaimana relasi komunikasi antara percakapan.

Yule (1993: 3) menjabarkan pragmatik dengan empat definisi, (1) pragmatik adalah ilmu yang mengkaji maksud penutur; (2) pragmatik mengkaji makna menurut konteksnya; (3) pragmatik tentang bagaimana apa yang disampaikan itu lebih banyak dari yang dituturkan; (4) pragmatik merupakan bidang yang mengkaji bentuk ungkapan menurut jarak hubungan. Sehingga disimpulkan bahwa pragmatik adalah suatu ilmu yang mempelajari mengenai maksud penutur dan yang ditafsirkan oleh lawan bicaranya.

Berdasarkan definisi tersebut percakapan yang terjadi di dalam film mempunyai arti khusus untuk melihat bagaimana makna pragmatik dibangun.

Pembangunan bahasa komunikasi dalam film horor juga sangat sederhana, sesederhana cerita yang ditampilkan. Dalam hal ini, penonton mencoba menangkap makna yang sangat verbal mulai dari gaya tutur hingga bobot-bobot bahasa yang disampaikan. Secara umum, bahasa urban anak muda menjadi penekanan tersendiri. Sebetulnya umumnya film horor relatif minim dialog, untuk menunjang keberhasilan atas tampilan kengeriannya. Karena, jika kita melihat fenomena hantu misalnya, adalah sosok yang tidak “berbicara” melalui bahasa seperti umumnya manusia, melainkan melalui suasana (dingin, singup, desir

93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

angin, dst.). Ambil contoh suasana sebuah kuburan pada jam gelap, daun yang bergoyang di atas makam, serta suasana dingin yang mencoba divisualkan melalui embun, sudah mampu menciptakan kengerian tersendiri. Tak berselang lama dari arah agak jauh dari makam muncul sekelebat sosok pocong, suasana akan bertambah mengerikan. Permainan-permainan suasana seperti ini agaknya tidak banyak dimunculkan dalam kelima film yang menjadi objek penelitian.

Penuturan-penuturan melalui pemeranan tampil apa adanya menyesuaikan dengan cerita yang dibangun, sifatnya menjadi sangat realistis.

Secara lebih spesifik, makna pragmatik menitikberatkan kepada “gaya tutur” sebuah film, dan tidak berhubungan dengan kekhususan dalam genre.

Dalam film horor Indonesia, makna pragmatik mencoba dibangun melalui penuturan-penuturan yang dikendalikan oleh naskah maupun pemeranan dalam film. Bayangkan sebuah film horor tanpa narasi yang dominan, sesungguhnya itu juga telah berbicara melalui aspek visual. Namun, pada umumnya film horor

Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari dialog, sebab itu gaya tutur yang dikuatkan oleh pemeranan menjadi penting adanya.

Somwe Mubenga (2009) menjelaskan hal itu dengan gamblang dalam esainya

“Towards a Multimodal Analysis of Film”. Mengutip Eggins (1994), Mubenga memaparkan bahwa penuturan didasarkan atas tiga unsur, yaitu ideasional

(percakapan wacana), interpersonal (percakapan emosional), dan tekstual

(percakapan konteks cerita). Masing-masing unsur itu selalu melekat dalam narasi yang hendak dibangun di dalam film. Makna pragmatik akan memiliki nilai apabila ketiga unsur tersebut dipahami oleh penonton.

94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

D. Makna Linguistik

Makna linguistik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek bahasa yang digunakan di dalam film. Dalam film horor Indonesia yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini terdapat beberapa penggunaan bahasa. Tidak hanya bahasa Indonesia yang baku melainkan juga bahasa Jawa dan bahasa alay, istilah anak-anak muda zaman sekarang. Misalnya dalam “Pacar Hantu Perawan”, digunakan bahasa Indonesia dan bahasa alay secara acak. Hal ini memunculkan pemaknaan tersendiri terkait penyerapan makna komunikasinya. Dalam film horor

Indonesia, bahasa—yang pada penelitian ini dimaksudkan sebagai “narasi” dalam arti bahasa komunikasi, tidak tampil kuat. Banyak kritik dari kalangan sutradara maupun kritikus film bahwa narasi dalam film horor Indonesia cenderung tidak dipikirkan secara matang. Hal ini, misalnya, diungkapkan oleh Nurman Hakim sebagai jawaban atas pertanyaan penulis terkait apakah aspek narasi mempengaruhi konstruksi visual dalam film horor. Ia menjelaskan:

“Sangat penting seharusnya, salah satu hukum dalam narrative adalah kausalitas (sebab akibat). Bagaimana plot bisa bergerak dengan logis dan kuat alasannya, sehingga konstruksi visual yang inherent dengan narasi bisa bersinergi dengan baik. Bagaimana plot-plot yang terbangun itu membawa sebuah statement/sesuatu yang ingin disampaikan dari filmmaker tentang apa yang ingin ia sampaikan ke dalam film itu. Jadi tidak hanya membuat visual- visual maupun sound (salah dua dari aspek film style) yang mencekam dan menakut-nakuti penonton dengan kehilangan narasi yang baik.”2

Kritik yang kurang-lebih sama juga disampaikan Adrian Pasaribu. Namun ia lebih menyoroti seputar naratif dalam hubungannya dengan tema, atau

2 Wawancara via email dengan Norman Hakim. 8 Juli 2017.

95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

singkatnya adalah tema cerita film—yang dalam pandangannya semakin membosankan.

“Naratif film yang tadinya begitu terikat dengan wacana lokal dan dimensi moral setempat, sekarang jadi sekadar parade wajah dan ruang urban yang hantunya diimpor dari wilayah rural. Kalaupun ada film horor yang berlatar di ruang rural, protagonisnya tetap urban. Dan itu berpengaruh. Naratif film jadinya hanya sekadar perkara seorang atau sekolompok anak urban yang “tersandung” atau tidak sengaja bertemu mengusik hantu-hantu warisan masa lampau. Jangankan sebagai penanda zaman, film horor Indonesia sekarang bahkan susah dibaca sebagai penanda ruang.”3

Paparan mengenai makna-makna di atas dijadikan pegangan untuk mengerucutkan kajian ini dengan pisau bedah teoritik McGowan dan Harari.

E. Makna dan Erotisisme

Lantas bagaimana makna dan erotisisme film horor Indonesia dikaji dalam pandangan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini? Penulis tetap kembali kepada gaze McGowan, didukung sebuah literatur karangan Roberto Harari berjudul “How James Joyce Made his Name: A Reading of the Final Lacan”

(2002).

Jika benar adanya bahwa erotisisme hanya menjadi bumbu dalam realitas film horor Indonesia yang sangat terikat dengan pembacaan strategi tren pasar, maka unsur tersebut sebetulnya hanyalah bagian dari permainan ekonomi politik industri bisnis film yang usianya sangat terikat dengan rentang tertentu, tidak

3 Wawancara via email dengan Adrian Pasaribu. 28 Juni 2017.

96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diperjuangkan untuk menjadi abadi. Namun, seperti sudah dijelaskan mengenai posisi penelitian ini, konteks tersebut tidak dibahas. Sebagai sebuah konstruksi visual, erotisisme dilihat sebagai sebuah tampilan di mana itu semua menghasilkan tangkapan (makna) yang sifatnya sementara, dan film horor

Indonesia dalam rentang penelitian yang penulis lakukan ini agaknya tidak berhasil menjadi memori kolektif bagi banyak orang. Tidak seperti fenomena

Suzana atau Si Manis Jembatan Ancol, atau yang populer di layar kaca seperti

Friday 13th.

Penulis mengasumsikan, bahwa makna yang kemudian didapatkan oleh penonton melalui ruang bioskop tersebut akhirnya dibongkar kembali seketika beberapa saat setelah keluar dari ruang bioskop, dan tidak dibiarkan bertahan lama hingga mengakar di pikiran (menimbulkan asosiasi). Dalam ketidaksadaran, subjek adalah sosok yang hanya bekerja pada ruang terbatas di bioskop, tidak dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi ini penulis kaji kembali dengan pandangan

Harari yang mengkaji pemikiran Lacan pada fase akhir.

The Other, yang disinggung pada bagian bab terdahulu, adalah bagian dari jouissance Lacan, sebagai unsur liyan yang mempengaruhi subjek. Pada fase akhirnya, Lacan mematahkan sendiri istilah jouissance tersebut, dan menggantinya dengan jouis-sens (enjoy-meaning). Pada awalnya, Lacan menerjemahkan “makna” dalam bingkai linguistik praktis, yang berhubungan dengan petanda (jalinan antara simbolik dan imajiner). Surplus, Phallic, dan

Other, adalah tiga unsur dalam jouissance, dan kemudian Lacan menambahkan unsur yang keempat, yaitu meaning (makna) itu sendiri (hal. 112). Hubungan

97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

subjek dengan makna didapat ketika menikmati film horor, dan kemudian itu dihancurkan kembali.

Lebih lanjut Harari menjelaskan bahwa subjek selalu memiliki tantangan untuk menjawab sebuah pertanyaan: “apa yang harus dilakukan?” Sangat memiliki kemungkinan bahwa itu berhubungan dengan penglihatan (tatapan), atau gaze itu. Ketika menikmati film horor, setiap subjek memiliki tantangan untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Ini sekaligus sebagai kunci, bahwa subjek dituntut untuk mengetahui “apa yang harus dilakukan” (hal. 120). Lantas terjadi pergeseran, hingga memasuki ranah know-how, mengetahui-bagaimana, atau lebih tepatnya: harus bagaimana.

Gaze, atau tatapan itu akan menghasilkan respon. Respon atas erotisisme bisa jadi akan menghasilkan aksi langsung, yaitu kegiatan seksual subjek (dalam banyak arti: bisa juga hanya fantasi), dan yang kedua adalah berupa semangat

(spirit), dengan kecerdasan (pertimbangan) subjek, meskipun bagi Harari itu membingungkan. Harari menggambarkan dengan skema berikut:

Skema respon (Harari: 2002: 123)

Mengenai asumsi yang disampaikan pada bab 1 penelitian ini, yaitu bahwa pertautan antara teori tatapan berbasis imajiner, simbolik, dan nyata, bertemu

98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hasrat, fantasi, pada ruang-ruang ilusi yang menciptakan hiburan sementara bagi subjek, hal itu memang benar adanya. Tidak ada makna yang bersifat jangka panjang, atau mengakar pada pikiran subjek. Singkatnya, film horor hanyalah tren semu kesementaraan, sebagai komoditi. Konten-konten di dalam film horor umumnya hanya sebatas mitos mengenai hantu, cerita seram, tempat angker, dan erotisisme (dan juga komedi), hanya sebagai bumbu pemanis. Pemutaran film horor juga tidak disertai edukasi yang cukup, sehingga, seperti yang dikatakan

Harari dalam skema respon di atas, belum sampai kepada upaya subjek membangun “kecerdasan”. Seksualitas pun juga serba nanggung.

Para kritikus/pengamat film menggarisbawahi bahwa lama kelamaan film horor Indonesia lebih banyak mengandung unsur eksploitasi dalam balutan komoditi dibanding perjuangan atas estetika atau konten film, keberadaannya menjadi tidak beragam. Diakui oleh Adrian Pasaribu, bahwa film horor masa kini

(pasca reformasi), atau setidaknya dalam rentang penelitian ini, tidak seperti film horor sebelumnya, setidaknya pada dekade 1990-an.

“Sebagai film, nampaknya film horor Indonesia pasca reformasi seperti kehilangan akar. Tidak seperti film horor Indonesia dulu. Film horor pada dasarnya kan berakar pada wacana lokal. Spesifiknya wacana dalam wujud mitos atau takhayul, dan lokal dalam wujud ya wilayah di mana mitos atau takhayul itu berlaku. Sosok hantu dalam film-film kita pada dasarnya kan ganjaran atau mekanisme kontrol sosial (dari dunia ghoib haha) bagi setiap bentuk pelanggaran atau penyelewengan norma atau etika suatu tempat. Itu kenapa motivasi serangan hantu seringkali adalah balas dendam (atas pemerkosaan, misalnya). Kalaupun bukan balas dendam, ya upaya pengembalian sesuatu pada tempatnya. Dan seringkali itu terikat pada lokus-lokus

99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang spesifik, lebih tepatnya di desa atau wilayah rural, karena memang di situlah mitos dan takhayul subur tumbuh.”4

Hal ini diakui oleh kritikus film Makbul Mubarak, yang mengatakan bahwa film horor Indonesia kurang beragam. Ia menegaskan:

“Harus ada pembuat film yang berani membuka wilayah-wilayah bercerita baru dalam genre horor agar menjadi semakin beragam. Di Amerika, selalu bermunculan sutradara macam ini dari wilayah film independen, seperti misalnya baru-baru ini Trey Edward Shults atau David Cameron Mitchell. Di Indonesia ini belum terlalu banyak keragamannya khususnya sekarang ini dalam genre horor.”5

Hal yang kurang-lebih serupa juga diutarakan oleh Tito Imanda, yang lebih menyoriti pada eksplorasi tema pada film horor Indonesia. Ia menjelaskan:

“Tema-tema dari folklor atau urban legend yang sudah banyak. Tapi sayang eksplorasinya tidak maksimal. Beberapa kali saya bertemu cerpen tentang Ratu Kidul yang pendekatannya beda, dan kalau niat diproduksi pasti akan berbeda juga. Tapi keliatannya arah produser kita belum ke sana. Mungkin, dugaan saya aja nih, film horor di Indonesia kan produk murah, lokasi sedikit, lighting minimal, aktor gak perlu terkenal, dll, mungkin diperlakukan oleh produser sebagai produk sampingan pengisi jatah slot bioskop, nggak diseriusi seperti produk-produk utama mereka yang kebanyakan masih drama.”6

Kritik atas kurangnya keberagaman tersebut juga ditegaskan oleh Ekky

Imanjaya dalam opininya:

“Horor itu ada demonic horror, psychological horror, apocalyptic horror. Demonic horror juga bermacam-macam, banyak hantu dan cerita seram nusantara yang belum dijelajahi. Belum lagi soal horor komedi.Janganlah cuma pocong/kuntilanak saja. Agar penonton diberikan pilihan yang variatif dan tidak bosan.7”

4 Wawancara dengan Adrian Pasaribu. 28 Juni 2017 5 Wawancara via email dengan Makbul Mubarak. 3 Juli 2017. 6 Wawancara via email dengan Tito Imanda. 5 Juli 2017 7 Wawancara via email dengan Ekky Imanjaya. 2 Juli 2017

100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jika kembali melihat konsep gaze, tatapan yang secara sederhana adalah jalinan antara visual dan subjek untuk menghasilkan makna-makna, dalam hubungannya dengan pandangan teoritik Harari (know-how), maka kata “tema” menjadi penemuan tersendiri dalam penelitian ini, selain tentu saja kesungguhan menggarap narasi cerita. Penonton dalam film adalah sebuah dinamika peristiwa kebudayaan, artinya ada dialektika yang terus dibentuk dalam kaitan subjek yang mencari makna-makna di sebalik konstruksi visual film. Dapat ditegaskan bahwa keberadaan penonton dalam film horor Indonesia juga belum menjamin kemajuan film itu sendiri. Kenapa demikian? Jika konteksnya industri film, maka adanya konsumen yang mau membeli film sudah bisa dikatakan sangat menjamin kemajuan komiditi film. Produser akan tidak memikirkan apakah film tersebut akan menjadi bagian dari kebudayaan atau tidak, yang mereka pikirkan adalah keuntungan semata. Dan yang kemudian menjadi naif, sajian yang berkualitas kurang baik pun tidak menjadi urusan.

Setelah dilakukan analisis lebih mendalam, penulis menemukan beberapa poin penting sebagai penemuan dalam penelitian ini. Poin tersebut berhubungan dengan konstruksi visual secara khusus dan pembacaan umum atas fenomena erotisisme dalam kengerian:

1. Model Anti-Klimaks

Apabila dibandingkan dengan film horor tradisional, seperti Suzana,

Misteri Gunung Merapi, Si Manis Jembatan Ancol, yang cenderung menciptakan alur klimaks, maka dalam film horor Indonesia urban pasca milenium, kejadiannya menjadi sebaliknya. Alur, yang bersumber dari skrip cerita menjadi

101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tidak terlalu penting dalam film horor Indonesia pasca milenium yang cenderung fragmentatif per-babaknya (scene). Apabila itu dihubungkan dengan tangkapan erotisisme—yang nanti akan dibahas pada sub-bab berikutnya—maka akan berpengaruh pula bagi hasrat penikmat yang dibingkai melalui waktu yang umumnya diproses hanya dalam hitungan tak sampai 30 detik. Artinya, unsur erotisisme disajikan rata-rata tidak lebih dari 30 detik, berikut kengerian- kengerian yang terjadi di seputar erotisisme. Ini memang bukan kalkulasi yang mutlak. Namun demikian, konsep waktu menjadi penekanan khusus, sebelum ke makna-makna yang memang harus dipertanyakan kembali.

Dalam film Darah Perawan Bulan Madu misalnya, ditemukan bagian yang menampilkan perempuan yang hanya berselimut putih menonjolkan bentuk tubuh

(erotik) sedang menunggu kekasihnya di kamar sebuah villa. Tak berselang lama ada suara gelas yang jatuh dari dapur dan tiba-tiba ada sosok yang mengganggu kekasihnya yang sedang mengambil air minum itu. Dengan tiba-tiba suasana erotis berubah menjadi kengerian yang ekstrim, berceceran darah di lantai. Model anti-klimaks seperti itu menjadi penekanan terus-menerus, yang agaknya, seperti telah diasumsikan sebelumnya, menjadi pola wajib dalam skenario film horor

Indonesia. Dalam pandangan Bataille (1987), model ini memang lazim dipakai dan sangat mendasar. Ia memakai istilah transisi dari kontinuitas ke diskontinuitas, atau sebaliknya. Dimana esensinya adalah kejelian menyeluruh dalam membaca sajian.

102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2. Film Horor Tanpa Penonton

Seperti disebutkan pada banyak penelitian, bahwa film horor Indonesia pasca milenium, terutama dalam rentang studi penelitian ini, semakin mengarah ke komoditas. Ukurannya bukan ingatan jangka panjang, melainkan konsumerisme sesaat yang disinyalir mengarah kepada tren. Posisi film horor

Indonesia sebagai sebuah “seni” juga harus dipertanyakan kembali dengan mempertimbangkan bobot estetika maupun artistik sebuah film. Hal ini untuk memberi penegasan, bahwa film, yang diyakini memotret realitas harian kehidupan masyarakat, menjadi tak lebih dari sekadar ilusi. Kehadiran penonton itu pun juga menjadi semacam ilusi yang berkelindan dalam tiap sajian film horor.

Tidaklah mengherankan bahwa film horor Indonesia yang masih menjadi perbincangan di antara orang-orang Indonesia pada masa kini adalah film horor tradisional, bukan yang urban, karena memang film-film horor tradisional tersebut sarat akan kengerian dan lebih banyak memakai alur klimaks. Cerita di dalam film terlihat utuh, dan mampu terbawa memori hingga ke alam mimpi.

3. Hiburan Sementara

Memang agaknya niscaya bahwa hiburan menjadi hal yang mendominasi, bahkan selama-lamanya. Dalam konteks kesementaraan ini, subjek ditantang untuk memaknai hiburan sementara menjadi pesan-pesan moral yang bisa mengatasi hidup manusia. Namun agaknya itu tidak bisa ditemukan dalam film horor Indonesia, yang sifatnya menghibur sementara (hanya di ruang bioskop saja). Hiburan dalam film horor Indonesia pun menjadi agak rancu jika alur anti- klimaks pada sisi komedi juga terkesan nanggung. Lebih tepat dikatakan bahwa

103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ketika menikmati film horor Indonesia sesungguhnya hanya upaya penikmat membunuh waktu selama kurang lebih 90 menit di dalam gedung bioskop.

Sesudah itu mereka lupa apa yang sebelumnya terjadi.

4. Manipulasi

Manipulasi dalam artinya yang sederhana adalah rekayasa. Film horor

Indonesia pasca milenium adalah rekayasa industri film yang jenuh terhadap tema-tema misteri dalam film horor sebelumnya (tradisional), dan—sebagai upaya uji coba—mereka, pelaku industri film horor, merasa butuh menciptakan rekayasa itu. Sedikitnya empat poin analisis itu menjadi titik berangkat untuk menuju pisau bedah McGowan.

5. Obyek yang Tidak Mungkin

Dalam pandangan McGowan, hidup manusia sehari-hari tak pernah bisa terlepas dari hasrat dan fantasi (2007: 165). Tidak bisa dipungkiri, fantasi di ruang bioskop juga merupakan fantasi yang biasa-biasa saja, sama seperti sebuah fantasi ketika berada di realitas lain seperti di kafe atau gedung pertunjukan. Namun, menurut pandangan McGowan, fantasi ini kemudian terdistorsi oleh berbagai sistem formal, salah satunya komoditi, yang dibentuk oleh industri film, sehingga menciptakan ilusi-ilusi. McGowan menautkan hubungan subjek dan objek yang tidak mungkin (impossible object) dalam konteks tatapan (2007: 168). Hal ini menarik jika dikaitkan dalam fenomena film Tali Pocong Perawan 2 dimana object yang tidak mungkin itu adalah pocong yang dapat berbicara dengan manusia sekaligus tertawa terbahak. Kengerian itu sendiri pada akhirnya menjadi objek yang tidak mungkin, ilusi, manipulatif, tidak senyatanya ada.

104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Begitu pun dalam konteks alur ceritanya. Apabila makna semantik maupun pragmatik dikaitkan dengan hasrat dan fantasi menurut McGowan, maka akan timbul benang merah yang mempertautkan subjek-objek, hasrat-fantasi, ke makna-makna. Jalinan ini, jika diurai ke makna pragmatik, akan menciptakan kesederhanaan sekaligus kompleksitas.

Dalam film horor Indonesia yang menjadi studi kasus penelitian ini bisa dikatakan selalu menampilkan kesederhanaan dalam alur ceritanya. Film horor

Indonesia cenderung tidak menyajikan sesuatu yang berat, melainkan yang mudah dipahami awam. Namun, kemudahan “tatapan” tersebut justru menimbulkan kompleksitas yang ambigu. McGowan mempunyai istilah yang disebut dengan

“distorsi”, untuk menunjuk segala hal tentang film yang telah jauh dari realitas, hingga pada akhirnya berakibat pada makna yang sulit diraih subjek. Subjek adalah tak lain adalah sosok yang tergerogoti oleh dirinya sendiri karena tak mampu menaklukkan kuasa sebuah film.

Dalam pandangan Lacan awal, yang melengkapi pandangan Althuser, film yang berhasil adalah film yang memberikan pelajaran rasa ilusif yang otonom dan penguasaan subjek. Lacan memang meyakini bahwa kenikmatan penonton di ruang bioskop adalah kenikmatan ilusi, sebuah kenikmatan yang memberi kesaksian tentang penaklukan individu (subjek). Film pada akhirnya bukan kenikmatan bersama seperti halnya penonton musik yang melakukan head bang bersama-sama. Film akan menjadi sangat subjektif dimana kekuasaan (sebagai objek yang tak mungkin: film), sangat bergantung kepada subjek. Subjeklah yang menaklukkan dirinya, sekaligus menaklukkan “objek yang tidak mungkin” itu.

105 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jika yang terjadi sebaliknya, maka, seperti yang dikatakan Lacan mengenai “rasa ilusif”, hanya membuahkan kecewa dan kesementaraan. Suatu film tak akan ada artinya apa-apa.

Sementara itu, makna semantik memiliki jalur yang sedikit lain. Kali ini tatapan berfokus pada kode. Dalam beberapa judul yang sengaja dipilih yang menggunakan kata “perawan” (kode), akan terlebih dahulu menciptakan asosiasi pada waktu subjek yang berlanjut pada pemahaman logika (penasaran). Kata perawan adalah kodifikasi semantik yang akan melahirkan makna apabila subjek berusaha mencari, dan/atau menemukan hasratnya dalam menikmati film horor.

Kata “perawan” sangat kontras terhadap kengerian. Ia tampil bebas tanpa tafsir yang jelas, seperti sudah dijelaskan pengertiannya pada bab terdahulu. Pada pengamatan penulis terhadap lima judul film tersebut, justru tidak tergambar secara jelas pengembangan atas kode tersebut. Yang tampak justru kekaburan atas kaitan antara judul film dan kontennya. Makna semantik di sini hanyalah upaya manipulasi produser demi menarik minat masyarakat. Lantas gender menjadi sebuah wacana komodifikasi. Tampak jelas bahwa sasaran konsumennya adalah laki-laki. Erotisisme, dengan demikian, menampilkan tubuh perempuan sebagai bahasa. Masalah eksploitasi yang kerap dibahas dalam berbagai penelitian tidak dibahas di dalam penelitian ini.

F. Tangkapan Erotisisme

1. Struktur Teks Visual Film

Setelah dilakukan penelitian, penelusuran data, dan perenungan mendalam mengenai erotisisme dalam kengerian, maka penulis setidaknya mempunyai dua

106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

intisari sederhana, bahwa ternyata objek (struktur visual film), berpengaruh besar untuk mengungkap objektifitas subjek itu sendiri. Subjek yang datang ke gedung bioskop untuk menikmati film horor telah diatur sebelumnya oleh tontonan yang sudah berbentuk final: terkemas. Sifatnya sangat tidak interaktif dan berbeda ketika subjek berada di dalam kondisi pertunjukan langsung, misalnya teater.

Tidak ada tepuk tangan yang menjadi respon seketika atas keberhasilan suatu tontonan. Teori film semasa Lacan dianggap gagal membaca hubungan objek dan subjek tersebut. Sebab itu penonton film adalah misteri psikoanalisis yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja.

Ada kesulitan tertentu dalam membaca hasil tangkapan erotisisme ini.

Kesulitan utama adalah membaca struktur visual film horor Indonesia yang cenderung silang-sengkarut antara menampilkan realita atau ilusi. Selain struktur visual, alur cerita dalam film horor Indonesia juga merupakan sajian yang kompleks, bahkan cenderung acak-acakan, dimana film horor Indonesia sering tidak peduli pada unsur dramatik (narasi), sebab itu kehadiran per-scene nya seringkali sengaja dibuat anti-klimaks. Dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan erotisisme dalam film horor Indonesia terkesan sangat fragmentatif, lebih tepatnya sporadis bagi subjek.

2. Sudut Pengambilan Gambar: Erotis dan Kengeriannya

Ditemukan pada penelitian ini bahwa pengambilan gambar (angle) sangat berpengaruh bagi tangkapan. Dalam hubungannya dengan tangkapan erotisisme, objek tubuh perempuan dengan pakaian minim misalnya, hampir selalu diambil dengan teknik zoom in, langsung menohok tatapan (frog angle). Ini juga berlaku

107 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bagi kengerian, namun kengerian relatif lebih fleksibel, bisa diambil dari sudut jauh maupun dekat. Yang lebih condong menimbulkan rasa ngeri lebih kepada ilustrasi bunyi (sound effect) pada tiap adegan. Apabila durasi per-scene terbilang lama (kisaran menit), maka tangkapan yang dihasilkan pun juga akan lebih kuat.

Sayangnya, seperti sudah disampaikan sebelumnya, bahwa tampilan pada bagian- bagian erotis dalam film horor Indonesia memang umumnya hanya kisaran detik, sehingga hasil tangkapannya pun serba nanggung. Erotisisme dalam kengerian

(dalam arti ketegangan yang dihasilkan dari adanya objek hantu, darah, dan lain- lain), belum bisa dikatakan menjamin keberhasilan (tangkapan) secara menyeluruh.

Penelitian ini secara tegas ingin menjelaskan bahwa teks visual film horor

Indonesia (erotisisme), ternyata kurang mampu memberikan pengaruh signifikan bagi penikmatnya. Kengerian di dalam film horor Indonesia pun tak lebih dari sekadar permainan cerita fiktif belaka, tren pasar, dan jauh dari dunia real seperti tampak dalam film horor Indonesia tradisional. Film horor Indonesia pasca milenium, terutama dalam kisaran tahun penelitian ini, kurang bisa menampilan image yang kuat kepada penonton. Sangat berbeda dengan sebelumnya, meski pada pasca-millenium, misalnya dalam Jelangkung (2003), yang pada waktu itu sangat kuat melekat sebagai film yang tergarap dengan cukup baik dan memberikan pengaruh.

Jika mengacu pada Charles Derry (2007), yang mengklasifikasikan film horor ke dalam tiga subgenre, yaitu psychological horror (horor psikologis), horrof of armageddon (horor bencana), dan horror of demonic (horor hantu),

108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

maka film horor Indonesia agaknya tidak jelas dari antara ketiganya. Ada ambiguitas pada aspek totalitas kengeriannya.

Kembali kepada gaze, hubungan subjek dan objek dalam tatapan.

McGowan, dalam berbagai pandangannya yang komprehensif mengenai teori film sesudah Lacan, bisa dikatakan mengambil peran penting bagi kajian ini, terutama seputar pertanyaan-pertanyaan penting kedua hubungan tersebut demi upaya menghasilkan makna-makna bagi penikmat film dalam konteks post-modernisme maupun psikoanalisis. Namun menarik melengkapinya dengan pandangan

Zygmunt Bauman (1993: 19), yang menyebut unsur erotisisme (sex) sebagai trik kultural. Dalam artikelnya berjudul On Postmodern Uses of Sex itu, Bauman memaparkan secara cukup rinci mengenai erotisisme dalam konteks luas, tidak hanya film. Meski disinyalir oleh Bauman bahwa erotisisme menjadi komiditi khas pada lanskap posmodern, namun itu hanyalah “manipulasi kultural”, tidak benar-benar menjadi fenomena. Erotisisme dibangun dalam rangka pembangunan identitas sekaligus hubungan antar-pribadi yang menciptakan separatisme individu (Hal. 27).

Erotisisme, yang kodratnya adalah privat, dalam konteks posmodern kemudian direproduksi dan dikemas dalam segala cara, dihadirkan ke ruang publik (gedung bioskop), untuk membentuk identitas individu yang sublim dan misteri. Apabila berhasil, seperti layaknya budaya pop, sebetulnya akan menghasilkan kulminasi-kulminasi atas selera-selera. Tapi agaknya dalam film horor Indonesia itu tidak terjadi. Sebagai ilustrasi, fenomena drama Korea yang belakangan ini menggejala di masyarakat, mampu menghadirkan perbincangan

109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terus-menerus di antara individu, bahkan hingga memunculkan kelompok penggemar (komunitas-komunitas). Dengan demikian, film berhasil menjadi image dalam realitas kehidupan masyarakat, atau setidaknya menjadi bagian dari peristiwa kehidupan. Selain sudut pengambilan gambar, durasi menjadi aspek yang tak kalah penting dalam sajian film horor Indonesia. Bukan durasi makro yang terkait lamanya satu film, melainkan durasi mikro (per-scene).

110 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan sedikitnya dua temuan yang didapatkan melalui pengamatan atas film objek penelitian dan elaborasi teoritik yang dipakai. Temuan- tersebut adalah: (1). Tangkapan erotisisme dalam film horor bergantung pada struktur teks visual film. Struktur teks visual film adalah struktur secara menyeluruh dari konstruksi film, hubungan unsur-unsur di dalamnya. Benturan antara realita dan ilusi, serta film yang diyakini sebagai objek yang aktif seperti dalam gaze, objek yang telah

“mengatur” dirinya sendiri dan subjek yang “terkuci” sekaligus bebas melakukan interpretasi; (2) Sudut pengambilan gambar antara unsur-unsur erotis dan kengerian.

Sudut pengambilan gambar di sini sangat berbeda dengan struktur teks visual film, meskipun sudut pengambilan gambar adalah bagian dari struktur teks visual film.

Tangkapan erotis dan kengerian dalam film horor didominasi pengambilan angle zoom in yang selalu tampil eksplisit dalam setiap scene yang mengetengahkan unsur erotis dan kengerian. Dua temuan itu meyakinkan penulis bahwa subjek dan objek pada akhirnya tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hubungan aktif-pasif, melainkan selalu berfungsi sebagai pemantik untuk menghasilkan makna bagi film itu sendiri, maupun makna bagi penontonnya.

Ada lima poin lain yang mengelaborasi penemuan tersebut secara general.

Pertama, fenomena industri film layar lebar Indonesia bergenre horor tidak bisa dilepaskan dari konteks komoditas, yang lebih mengutamakan pembacaan kuantitas

(nilai bisnis) dan pembentukan tren, daripada kualitas sebuah film. Kedua, konstruksi erotisisme dalam film horor Indonesia sengaja dibangun dengan menitikberatkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perempuan sebagai objek, dan laki-laki sebagai subjeknya, namun ini sama-sekali tidak terkait gender. Ketika film sudah berubah menjadi sajian, hubungan subjek- objek ini berkelindan terus-menerus untuk mencoba menjaring makna-makna yang bersifat implisit, lebih kepada pengalaman imajiner individu, dan bukan antar individu, liyan, apalagi sosial. Meskipun penulis menduga kuat bahwa semua itu juga terpengaruh oleh the Other (tren, ajakan, dan keinginan yang bukan lahir otonom).

Keempat, teks visual dalam arti teknis sangat mempengaruhi upaya penikmat film horor Indonesia untuk menghasilkan makna-makna. Dalam film horor Indonesia, teks visual lebih kuat keberadaannya dibanding alur cerita. Banyak opini menjelaskan hal itu. Kelima, kengerian dalam film horor Indonesia adalah sesuatu yang naif, ilusif, serta nanggung. Tak terkecuali adegan erotis yang selalu muncul anti-klimaks dengan dibalut kengerian dan komedi yang serba terbatas kualitasnya. Penulis meyakini bahwa film horor Indonesia sebetulnya merupakan sebuah genre yang potensial, hanya saja karena tuntutan kecepatan produksi dan target komersial, maka seluruh perjuangan atas idealismenya menjadi terkubur begitu saja. Seribu kali sayang.

B. Saran

1. Untuk Penelitian Selanjutnya

Kekurangan yang paling mendasar dari teori McGowan adalah pada ruang lingkup objek yang kurang didekati dengan pemahaman metodologis yang cukup.

Akibatnya terjadi beberapa kesulitan ketika hendak menghubungkan teori-teorinya untuk menganalisis lebih detail atas fenomena film. Hal ini dikarenakan pandangan- pandangan McGowan yang cenderung naratif (esai) daripada penawaran sebuah framework atau skema metodologis. Kekurangan lain adalah tidak terlalu banyak pembahasan mengenai aspek erotisisme dalam kerangka konstruksi (teks) visual,

112 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terlebih dalam konteks film horor. Sebab itu penulis merasa perlu melengkapinya dengan pandangan Harari, serta lebih melengkapi lagi dengan membaca berbagai penelitian dengan objek film Indonesia untuk lebih memperluas data dalam konteks penelitian ini.

Unsur auditif sebagai bagian penting dalam film juga tidak disinggung dalam teori McGowan. Suasana kengerian yang ditampilkan dalam film horor Indonesia agaknya menjadi tidak lengkap jika tidak didukung kualitas gramatikal auditif untuk lebih merangsang penikmatnya. Suara/bunyi (entah itu musik, sound effect, dialog, maupun lagu latar) memang bukan menjadi satu-satunya yang penting dalam sebuah film, namun keberadaannya akan sangat membantu menciptakan jouis-sense bagi penikmat.

Seperti sebelumnya sudah disinggung, penelitian ini juga banyak memiliki kelemahan, terutama dalam ketajaman analisis. Data yang disajikan juga masih terasa kurang komprehensif. Sebetulnya penulis berharap bisa lebih jauh hingga membaca gugusan teks film secara menyeluruh, baik analisis mendalam terhadap alur maupun teks visual. Dikarenakan studi kasus dalam penelitian ini adalah lima film yang dipilih sebagai upaya pembatasan dan komparatif, maka analisis yang dilakukan lebih fragmentatif dengan mengambil asumsi-asumsi secara lebih praktis. Namun penulis yakin bahwa upaya analisis yang fragmentatif tersebut tidak begitu saja mengurangi bobot penelitian ini, karena telah tercapai beberapa penemuan penting selama menjalani penelitian.

Alangkah lebih lengkapnya apabila penelitian mengenai erotisisme dalam konteks film lebih meluas, misalnya dalam genre drama dan komedi. Dengan demikian akan terbaca lebih gamblang kaitan antara alur dan teks visual itu sendiri, karena terus terang saja, seperti berkali-kali disinggung dalam penelitian ini, masalah

113 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

alur dalam film horor Indonesia merupakan sajian yang kompleks (bahkan cenderung surealis), sangat berbeda dengan drama dan komedi yang lebih jelas dipahami.

Penulis berharap di kemudian hari akan muncul kajian-kajian film yang lebih beragam dan mendalam.

2. Untuk Penonton

Menggaris-bawahi apa yang dikatakan Harrari mengenai skema respon (antara respon seksual dan kecerdasan), maka penonton film horor Indonesia, terutama berkaitan dengan unsur erotis yang terdapat di dalam kengerian, dituntut untuk memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus selama menonton film, tanpa terbebani oleh makna-makna yang ingin dicapai. Penonton, seperti dikatakan McGowan, berada dalam batas-batas tipis antara hasrat, fantasi, dan ilusi.

3. Untuk Produser, Penulis Naskah, dan Sutradara

Bagaimanapun juga, film horor Indonesia, sebagai sebuah genre yang mampu menarik perhatian masyarakat, adalah sebuah politik ekonomi. Ada jalinan-jalinan kepentingan berbagai pihak yang bernaung di dalamnya. Kesuksesan film yang ditentukan salah satunya oleh banyaknya penonton, menjadi parameter tersendiri yang tidak bisa dilepaskan dari upaya produksi film horor. Namun, aspek narasi yang lemah dalam film horor Indonesia menjadi kekurangan yang sulit terobati. Ini sekaligus menjadi saran untuk produksi-produksi selanjutnya, bahwa narasi adalah unsur yang cukup dominan mempengaruhi kualitas sebuah film. Kualitas film adalah kerjasama yang baik antara produser, penulis naskah, dan sutradara. Selebihnya adalah negosiasi.

114 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Bataille, Georges. 1987. Eroticism. Marion Boyars: London-New York Carroll, Noel. 1990. The Philosophy of Horror or Paradoxes of The Heart. Routledge: New York Fahy, Thomas. 2010. The Philosophy of Horror. The University Press of Kentucky. Giannetti, Louis. 2001. Understanding Movies. 9th Edition. Prentice Hall: New Jersey Harari, Roberto. 1995. How James Joyce Made His Name: A Reading Theory The Final Lacan. Other Press New York. McGowan, Todd. 2007. The Real Gaze: Film Theory After Lacan. State University of New York Press: New York ______. 2004. The End of Dissatisfaction? Lacan and the Emerging Society of Enjoyment. State University of New York Press: New York ______& Sheila Kunkle. Eds. 2004. Lacan and Contemporary Film. Other Press: New York Baumann, Zygmunt. 1998. On Postmodern Uses of Sex. Journal Theory, Culture, and Society. SAGE, London, Thousand Oaks dan New Delhi Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rusda Karya: Bandung Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Terj. Misbah Yulia Elisabet. Tiara Wacana: Yogyakarta Sen, Khrisna. 2009. Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Terjemahan dari Indonesian Cinema: Framing The New Order. 1994.

Jurnal dan Penelitian: Eryawan, Aditya Fiki. 2011. Pornografi dalam Film Horor Indonesia. Jurusan Ilmu Komunikasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Herawati, Erni. 2011. Pornografi dalam Balutan Film Bertema Horor Mistik di Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora. Vol. 2. No. 2 Ayun, Primada Qurrota. 2012. Sensualitas dan Tubuh Perempuan dalam Film-film Horor di Indonesia: Kajian Ekonomi Politik Media. Tesis. Pendidikan Pascasarjana Ilmu Komunikasi dan Media Aziz, Zuhdan. 2010. Konstruksi Erotisisme dalam Karya Eksperimental Media Audio- Visual. Dalam Jurnal Komunikator. Vol. 2 No. 2 Ni’am, Maulin & Puspitasari, Nella A. 2014. Film Horor Indonesia Menertawakan Ketakutan Rusdiati, Riella Suma. Belum Dipublikasikan. Film Horor Indonesia: Dinamika Genre Sasono, Eric (ed.). 2011. Menjegal Film Indonesia. Rumah Film dan Yayasan Tifa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAMPIRAN

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

A. Data Film Horor Indonesia 2003 – 2014

2014 (3 film)

1. Empat Tahun Tinggal di Rumah Hantu 2. Hantu Pohon Boneka 3. Malam Suro di Rumah Darmo

2013 (17 film)

1. Tiga Cewek Petualang 2. Bangkit dari Lumpur 3. Dendam Arwah Rel Bintaro 4. Disini Ada yang Mati 5. Eyang Kubur 6. Jeritan Danau Terlarang 7. Kemasukan Setan 8. Kembalinya Nenek Gayung 9. Kerasukan 10. KM 97 11. Mengejar Setan 12. Misteri Cipularang 13. Pantai Selatan 14. Perawan Seberang 15. Pokun Roxy 16. Rumah Angker Pondok Indah 17. Taman Lawang

2012 (21 film)

1. Ada Hantu di Vietnam 2. Bangkit dari Kubur 3. Bangkitnya Suster Gepeng 4. Dendam dari Kuburan 5. Hantu Budeg 6. Kafan Sundel Bolong 7. Kakek Cangkul 8. Kuntilanak – Kuntilanak 9. Kutukan Arwah Santet 10. Lonceng Tengah Malam 11. Misteri Pasar Kaget 12. Nenek Gayung 13. Pacarku Kuntilanak Kembar 14. Perempuan di Rumah Angker 15. Perjanjian Alam Gaib PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16. Pulau Hantu Tiga 17. Rumah Bekas Kuburan 18. Rumah Hantu Pasar Malam 19. Rumah Kentang 20. Santet Kuntilanak 21. Tali Pocong Perawan

2011 (15 film)

1. Arwah Goyang Karawang 2. Arwah Kuntilanak Duyung 3. Dedemit Gunung Kidul 4. Jenglot Pantai Selatan 5. Kalung Jelangkung 6. Kepergok Pocong 7. Keranda Kuntilanak 8. Kuntilanak Kesurupan 9. Misteri Hantu Seluler 10. Pacar Hantu Perawan 11. Pelet Kuntilanak 12. Pocong Mandi Goyang Pinggul 13. Pocong Ngesot 14. Setannya Kok Masih Ada 15. Suster Keramas 2

2010 (27 film)

1. Affair 2. Air Terjun Pengantin 3. Darah 4. Darah Perawan Bulan Madu 5. Dendam Pocong Mupeng 6. Hantu Binal Jembatan Semanggi 7. Hantu Tanah Kusir 8. Jejak Darah 9. Jeritan Kuntilanak 10. Kain Kafan Perawan 11. Kaleng Setan Rombeng 12. Keramat 13. Nakalnya Anak Muda 14. Pemburu Hantu 15. Pengantin Pantai Biru 16. Pengantin Topeng 17. Pocong Keliling 18. Diperkosa Setan 19. Rayuan Arwah Penasaran PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20. Rintihan Kuntilanak Perawan 21. Rumah Dara 22. Selimut Berdarah 23. Setan Facebook 24. Suster Keramas 25. Taring 26. Tiran 27. Toilet 105

2009 (9 film)

1. Hantu Biang Kerok 2. Kuntilanak Beranak 3. Mati Suri 4. Paku Kuntilanak 5. Pintu Terlarang 6. Pocong Jalan Blora 7. Takut Faces of Fear 8. Tetesan Darah Perawan 9. The Real Pocong

2007 (2 film)

1. Kala 2. Kuntilanak 2

2006 (3 film)

1. Hantu Jeruk Purut 2. Kuntilanak 3. Lentera Merah

2005 (2 film)

1. Mirror 2. Psikopat

2004 (1 film)

1. Bangsal 13

2003 (1 film)

1. Tusuk Jalangkung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Cover Judul Film Horor Objek Penelitian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

C. Foto-foto simulasi penanyangan film objek penelitian, diikuti sedikitnya 260 mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang.

D. Wawancara Narasumber

a. Daftar Narasumber

No Nama Narasumber Profesi Waktu 1 Baskoro Adi Wuryanto Penulis Skenario 28 Juni 2017 2 Adrian Jonathan Pasaribu Kritikus Film 28 Juni 2017 3 Ekky Imanjaya Kritikus Film 2 Juli 2017 4 Makbul Mubarak Kritikus Film 2 Juli 2017 5 Tito Imanda Anggota BPI 6 Juli 2017 6 Nurman Hakim Sutradara/Penulis Naskah 6 Juli 2017 7 Yusron Fuadi Direktur Akasacara Film 6 Juli 2017

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

b. Pertanyaan Wawancara

Untuk Kritikus/Pengamat 1. Apakah Anda mengamati film horor Indonesia? Jika Ya, bagaimana tanggapan umum Anda mengenai fenomena itu dari waktu ke waktu? 2. Konstruksi erotisme dlm film horor Indonesia agaknya menjadi nilai jual tersendiri, bagaimana Anda menanggapi itu? 3. Menurut Anda adakah sisi menarik dari film horor Indonesia? 4. Apa kritik Anda scr khusus utk film horor Indonesia?

Untuk Sutradara/Penulis Skenario/dan Diluar Kritikus

1. Apa yg membuat Anda tertarik menyutradarai/menulis naskah utk film horor? 2. Apa perbedaan narasi (cerita) antara film horor dan film drama pada umumnya? Apa yg menjadi khas dlm film horor Indonesia? 3. Seberapa penting aspek narasi mempengaruhi konstruksi visual dlm film horor? 4. Film horor Indonesia identik dengan unsur erotisme, bagaimana tanggapan Anda? 5. Bagaimana menurut Anda film horor yg bagus itu?

c. Verbatim Wawancara

1. Baskoro Adi Wuryanto (Penulis Skenario)

[17:50, 6/28/2017] Clemens Felix: 1. Apa yg membuat anda tertarik menyutradarai / menulis naskah untuk film horor?

Sejujurnya, saya lebih tertarik nulis komedi. Tapi dulu saat belajar menulis, mentor saya bilang kalau saya lebih bagus nulis horror. Dulu tahun 2012 nulis omnibus horror, laku. Terus 2013 nulis full-length-feature komedi, flop... pas nulis horor tahun 2014, laku banget. Akhirnya sama PH tersebut, langsung dikontrak di 3 film. Tapi beruntung, masih bisa menyalurkan kesukaan nulis komedi di TV.

Supaya tidak terlalu terpaksa, akhirnya harus menyukai horror. Ya sekarang saya tertarik menulis horror karena terasa lebih mudah nulis horor daripada genre lain, karena sudah memegang teknik dasarnya.

[17:52, 6/28/2017] Clemens Felix: 2. Apa perbedaan narasi ( cerita ) antara film horor dan film drama pada umumnya?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Saya merasa sih tidak terlalu beda. Hanya saja antagonis yang diambil fungsinya oleh roh halus/ hantu/ dedemit. Di situ kita tetap harus membangun karakter, menentukan setup-confrontation-ending, dan segala fungsi narasi lainnya.

Dalam horror modern, kita juga harus menentukan background character dari karakter utama dan hantu yang mengganggu karakter utama, sehingga penonton percaya dengan jahatnya si hantu ini. Sudah bukan jamannya lagi dalam sebuah horror, diciptakan sebuah entitas hantu yang mengganggu by default. Mereka juga harus diberi motivasi.

Yang membuat menulis film horror satu dan lainnya menjadi lebih mudah, karena adanya kesamaan beberapa poin. Misalkan: - Character’s biggest fear: DEATH - Stake of the story: his/ her life - Character’s goal: survival

Apa yg menjadi khas dlm film horor indonesia?

Yang menjadi khas dalam film horror Indonesia adalah superstitions, takhayul, dan mitos. Banyak film horror Indonesia yang kurang sukses saat tidak meng- eksplorasi hal tersebut, atau kurang eksplorasi dengan baik.

[17:53, 6/28/2017] Clemens Felix: 3. Seberapa penting aspek narasi mempengaruhi konstruksi visual dlm film horor?

Horror adalah director’s film. Sebuah naskah horror, saat diterima oleh satu sutradara akan memberikan efek yang berbeda di tangan sutradara lain. Karena yang dicari oleh penonton horror secara umum adalah keseraman, maka terkadang aspek narasi memang bisa dinomorduakan. Aspek narasi dibutuhkan untuk membangun unsur suspense dan surprise. Selebihnya, diserahkan kepada sutradara, aktor, editor, visual effect artist, dan sound effect artist untuk membangun ketegangan dalam konstruksi visual.

[17:54, 6/28/2017] Clemens Felix: 4. Film horor indonesia identik dengan unsur erotisme, bagaimana tanggapan Anda?

Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Dalam lima tahun terakhir, tidak ada lagi film horror dengan penonton lebih dari 100.000, yang mengandung erotisme di Indonesia. Saya sendiri bersyukur bahwa selama ini belum pernah menulis horor erotis.

Semua ini terjadi pada saat film nasional mengalami kejenuhan pada 2008. Seorang produser membuat film Tali Pocong Perawan dengan budget yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sangat kecil, dan sukses. Kesuksesannya diikuti oleh banyak produser pada masa itu. Akhirnya layar bioskop dipenuhi film-film horror erotis secara masif. Judul film Indonesia dibuat dengan formula [Nama hantu] + [status pernikahan]

Tapi saat film horor erotis tersebut overdone dan jenuh, akhirnya produser pelopor horror erotis tersebut membuat film religi, dan meledak. Akhirnya trend geser ke film religi. Layar bioskop dipenuhi oleh film dengan judul [bahasa agama] + [cinta-cintaan]

Jadi itu semua karena demand market. Tapi damage-nya memang besar sekali. Tapi sepertinya sudah membaik, terbukti di tahun 2017, sudah ada 2 film horror Indonesia yang penontonnya di atas 1juta. Dan keduanya tidak mengandung unsur erotisme.

[17:54, 6/28/2017] Clemens Felix: 5. Bagaimana menurut Anda film horor yg bagus itu?

Yang seram dan menghibur. Banyak sih, produser yang berusaha menyelipkan “pesan moral” ke film horror-nya, tapi jarang sekali, ada penonton yang pergi menonton film horror untuk pesan moral tersebut. Mereka memang ke bioskop untuk dihibur dan ditakut-takuti, layaknya sedang naik roller coaster.

2. Adrian Jonathan Pasaribu (Kritikus Film)

Pertanyaanmu begitu minim detail, sehingga aku bingung menanggapinya bagaimana.

Kalau ditanya apakah aku mengamati film horor Indonesia, ya tidak. Lebih tepatnya, tidak sepenuhnya. Aku lebih banyak mengamati film horor sebagai fakta ekonomi ketimbang sebagai karya kreatif atau estetis. Maksudnya cuma mantengin jumlah penontonnya, tapi hanya menonton beberapa saja yang beredar di bioskop. Tidak semuanya.

Tanggapan saya: nampaknya tahun ini film horor bangkit lagi sebagai pemain di tangga boxoffice, ditandai dengan begitu tingginya serapan penonton Danur dan Jailangkung. Lebih fenomenal Jailangkung sih kalo soal rata-rata serapan penonton. Belum seminggu tayang di bioskop tapi penontonnya sudah hampir sejuta.

Sebagai film, nampaknya film horor Indonesia pasca reformasi seperti kehilangan akar. Tidak seperti film horor Indonesia dulu. Film horor pada dasarnya kan berakar pada wacana lokal. Spesifiknya wacana dalam wujud mitos atau takhayul, dan lokal dalam wujud ya wilayah di mana mitos atau takhayul itu berlaku. Sosok hantu dalam film-film kita pada dasarnya kan ganjaran atau mekanisme kontrol PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sosial (dari dunia ghoib haha) bagi setiap bentuk pelanggaran atau penyelewengan norma atau etika suatu tempat. Itu kenapa motivasi serangan hantu seringkali adalah balas dendam (atas pemerkosaan, misalnya). Kalaupun bukan balas dendam, ya upaya pengembalian sesuatu pada tempatnya. Dan seringkali itu terikat pada lokus-lokus yang spesifik, lebih tepatnya di desa atau wilayah rural, karena memang di situlah mitos dan takhayul subur tumbuh.

Pola hantu-sebagai-mekanisme-kontrol-sosial ini bahkan tetap bertahan ketika film horor Indonesia mulai mengadaptasi simbol-simbol agama, seperti yang dilakukan Pengabdi Setan pada 1980. Kehadiran kyai pada akhir film menjadi kompensasi bagi pelanggaran/penyelewengan praktik beragama pada awal film. Oleh karena itu film horor Indonesia dulu bisa dibilang sebagai peringatan moral akan larangan-larangan dalam masyarakat. Dimensi moral itu tidak bisa dilepaskan dari naratif film-film horornya.

Nah, pasca reformasi, keberakaran itu lenyap. Setting film horor pindah ke kota, ke ruang-ruang urban, tapi hantunya kurang lebih sama. Naratif film yang tadinya begitu terikat dengan wacana lokal dan dimensi moral setempat, sekarang jadi sekadar parade wajah dan ruang urban yang hantunya diimpor dari wilayah rural. Kalaupun ada film horor yang berlatar di ruang rural, protagonisnya tetap urban. Dan itu berpengaruh. Naratif film jadinya hanya sekadar perkara seorang atau sekolompok anak urban yang “tersandung” atau tidak sengaja bertemu mengusik hantu-hantu warisan masa lampau. Jangankan sebagai penanda zaman, film horor Indonesia sekarang bahkan susah dibaca sebagai penanda ruang.

Terkait muatan erotis, itu tidak eksklusif film horor saja. Tapi juga film komedi dan film kriminal. Dan lagipula itu hadir dalam siklus. Sekarang film horor Indonesia malah rada bersih dari muatan erotis. Setidaknya tahun ini. Tahun lalu malah kayanya cuma satu yang mengunakan strategi vulgar macam itu—kalau tidak salah Air Terjun Bukit Perawan. Dan rasanya siklus erotis-erotisan film Indonesia sudah lewat. Model macam itu (setidaknya dalam konteks perfilman Indonesia pasca reformasi) memang cukup marak pada pertengahan 2000an sampai awal 2010an, dan seperti yang aku bilang tadi: tidak eksklusif di film horor saja. Pada masa itu juga film kita perlahan tapi pasti mengalami pergeseran ke film-film dengan muatan Islami. Singkatnya, film Indonesia mengalami pergerakan dari film syahwat ke film syahadat. Haha.

Begitulah kura-kura.

Adrian Jonathan Pasaribu

3. Ekky Imanjaya (Kritikus/Pengamat Film)

Wah pertanyaannya sangat umum dan luas. Hingga saya tidak bisa menerka apa sebenarnya fokus dan research questions dari tesismu, dan hanya menjawab sesuai yang ditanya. Pertanyaannya umum hingga sepertinya Saya bisa bikin PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

buku khusus soal ini :) Dan waktunya juga mepet. Jadi saya hamya jawab yang saya sempat jawab saja ya.

Film horor di Indonesia selalu menjadi tren. Saya mengamati film horror Indonesia setidaknya hingga awal 2013. Saat saya di Inggris, saya kurang mengikuti perkembangan sinema Indonesia kecuali dari jauh. Beberapa tulisan saya yg hingga sekarang masih relevan:

Montase: http://montase.blogspot.co.uk/2008/12/sekali-lagi-tentang-film- horor.html?m=1

Mitos: http://ekkyij.blogspot.co.uk/2013/06/mitos-mitos-seputar-film- indonesia.html?m=1

Beberapa intisari dari tulisan2 dan pandangan saya: 1. banyak mitos beredar seputar film Indonesia. Tak semua film Indonesia jelek dan picisan. 2. Banyak film horor yang bermutu, misalnya Pocong 2, Keramat, Jelangkung, Hantu, hingga Rumah Dara dan Pintu Terlarang. Sebagian horror kita masuk dalam ajang program festival bergengsi seperti Sundance dan SXSW. 3. Sekarang subgenre nya lebih bervariasi 4. Banyak film horor yang khas Nusantara, yang ceritanya dekat dengan keseharian kita. Yang seram itu ceritanya (narrative horror). Misalnya ada peran kyai dan doa. 5. Sekarang banyak yg copy paste horor asia. Unsur2 keindonesiaan dan nusantara dihilangkan, sehingga yg tersisa hanya visual horror. Bukan menyeramkan, tapi "mengagetkan" saja. 6. Kedekatan cerita dan elemen2 horor sangat penting. Krn film horor dalam bbrp kasus tidak universal. Yg horor di budaya kita belum tentu menakutkan di barat, misalnya, dan sebaliknya. 7. Film horor banyak diproduksi bukan berarti peminatnya banyak, tapi karena ongkos produksinya sangat murah sehingga dengan meraih sekitar 300 ribu penonton saja sudah untung. Untuk data penonton bisa cek filmindonesia.or.id 8. Soal erotisme, sebenarnya ditambahkan agar bisa dapat penonton. Tapi tidak terbukti berhasil karena kalau dilihat dari data2, hanya sedikit film horor yang tembus 700rb. Justru banyak film2 terobosan yang berada dalam peringkat2 tertinggi. 9. Justru erotisme itu bumbu, petanda kalau penonton/pasar sudah jengah dan bosan dgn gaya yang itu2 saja. Tapibtak terlalu signifikan bagi perolehan jumlah penonton. Tapi justru acap bereaksi positif kalau ada unsur/elemen yg baru atau berbeda/menyegarkan. 10. Menurut karl heider, salah satu ciri khas genre horor di era 1970an-1980an adalah yang berhubungan dengan mistik, legenda, kekuatan supernatural, dan folklore/cerita rakyat. Bagi saya ini kekuatan horor kita, hingga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dianggap beda dan disukai oleh penonton lokal orde baru dan penonton global era milenial. 11. Kritik saya: agar variasinya lebih beragam. Horor itu ada demonic horror, psychological horror, apocalyptic horror. Demonic horror juga bermacam2, banyak hantu dan cerita seram nusantara yang belum dijelajahi. Belum lagi soal horor komedi.Janganlah cuma pocong/kuntilanak saja. Agar penonton diberikan pilihan yang variatif dan tidak bosan.

Semoga bermanfaat. Salam, Ekky

4. Makbul Mubarak (Kritikus/Pengamat Film)

Apakah anda mengamati film horor Indonesia?

Lumayan mengamati. Tapi saya tidak menonton setiap film horor yang dibuat di Indonesia. Menurut saya, genre horor mengalami beberapa perubahan dalam modus penceritaan dari waktu-waktu di Indonesia. Misalnya, di tahun 1980-an, sosok monstrous other dalam film horor hampir dipastikan adalah sesosok perempuan (sundel bolong/kuntilanak/nyi blorong) yang semasa hidupnya selalu ditindas sehingga hanya ketika sudah matilah ia bisa menuntut keadilan. Ada indikasi politik gender yang kuat dalam film-film horor di masa ini yang bisa kita lihat dari premis yang selalu kurang lebih sama suramnya, "perempuan tidak akan bisa mendapatkan kesetaraan di alam yang fana ini. Sehingga, syarat keadilan bagi kaum perempuan sama seperti syarat masuk surga, yaitu harus mati dulu." Film-film horor di era ini, seperti amatan Veronika Kusumaryati, biasanya berlatarkan desa, memotret desa sepi dan kuburan terbengkalai sebagai wilayah- wilayah angker. Ini juga bisa jadi berkaitan erat dengan politik pembangunanisme orde baru yang bisa jadi premisnya adalah "Tidak mau tanah anda angker? Bikin fondasi!"

Setelah Orde Baru runtuh, genre horor mengalami perubahan drastis. Film horor Pasca-Orde Baru diperuntukkan bagi kaum urban pasca menjamurnya sinepleks menggantikan bioskop-bioskop rakyat. Setting ceritanya pun rata-rata di kota, bercerita tentang orang kota yang karena rasa keingintahuan mereka yang tak terbendung tentang sebuah urban legend, mencoba menguak misteri masa lalu di sebuah tempat. Modus penceritaan ini, sebarapapun repetitifnya, menurut saya menarik karena mencoba memproblematisir trauma yang direpresi oleh sejarah kota. Sebut saja misalnya kerusuhan 98 dimana mall yang terbakar kemudian runtuh dan berhantu. Beberapa tahun kemudian, beberapa anak muda mencoba menguak misteri di baliknya. Moda penceritaan ini menanggalkan fokus pada hantu perempuan lalu kemudian berpindah fokus pada sosok-sosok yang berasal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari masa lalu, sebut saja misalnya film seperti Kakek Cangkul, Nenek Gayung, Rumah Kentang, dsb dsb.

Konstruksi eotisme dalam film horor Indonesia agaknya menjadi nilai jual tersendiri, bagaimana anda menanggapi hal itu?

Saya rasa fenomena itu tidak unik di Indonesia saja. Di tahun 1950-an, fenomena pinku eiga di Jepang, Bomba films di Filipina tahun 1970-an dsb-dsb sudah menjadi preseden tersendiri. Kalau saya melihatnya begini: sinema akan selalu menemukan cara untuk memunculkan apa yang direpresi oleh diskusi-diskusi terbuka di ruang publik. Lihat saja WARKOP DKI, kritik keras mereka terhadap rezim Orde Baru muncul di ruang gelap bioskop, tidak mungkin mereka munculkan di diskusi publik. Karakter penayangan film yang "gelap, ramai tapi privat" memungkinkan ia menyentuh hal-hal yang tak lazim dibicarakan khalayak di luar ruang putar.

Hal ini berlaku sama bagi erotisisme.

Menurut anda, adakah sisi menarik dari film horor Indonesia?

Ada. Genre horor adalah genre yang paling efektif untuk membicarakan trauma, sesuatu yang sangat lekat dengan historisitas di Indonesia.

Apa kritik anda secara khusus untuk film horor Indonesia?

Kurang beragam. Harus ada pembuat film yang berani membuka wilayah-wilayah bercerita baru dalam genre horor agar menjadi semakin beragam. Di Amerika, selalu bermunculan sutradara macam ini dari wilayah film independen, seperti misalnya baru-baru ini Trey Edward Shults atau David Cameron Mitchell. Di Indonesia ini belum terlalu banyak keragamannya khususnya sekarang ini dalam genre horor.

Makbul Mubarak.

5. Tito Imanda (Anggota Badan Perfilman Indonesia)

Tidak secara khusus, saya terus terang bosan pada horor Indonesia yang pasarnya bioskop pinggiran sebelum tahun 2010. Pada waktu unsur cewek seksi jadi daya tarik utama saya gak pernah nonton ke bioskop lagi dan (walau mungkin kadang masih beli dvd-nya) gak pernah nonton dvd-nya lagi

Tapi setiap ada horor yang orientasinya lain, misalnya yang sub-genre-nya slasher, saya masih nonton kok. Dalam hal ini, maksud saya yang dari pembuat film seperti Mo Brothers atau Joko Anwar ya, bukan film kayak Air Terjun Pengantin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ini dia, film2 itu jadinya membosankan dan gak menawarkan apa2 yang baru. Kalau saya seneng nonton karena senang didongengi, kok dongengnya kayak itu2 saja

Padahal, eksplorasi tema itu aja: "horor seks" di Korea atau Thailand bisa ke mana-mana.

Tema2 dari folklor atau urban legend yang sudah banyak. Tapi sayang eksplorasinya gak maksimal. Beberapa kali saya bertemu cerpen ttg Ratu Kidul yang pendekatannya beda, dan kalau niat diproduksi pasti akan berbeda juga. Tapi keliatannya arah produser kita belum ke sana.

Mungkin, dugaan saya aja nih, film horor di Indonesia kan produk murah, lokasi sedikit, lighting minimal, aktor gak perlu terkenal, dll, mungkin diperlakukan oleh produser sebagai produk sampingan pengisi jatah slot bioskop, nggak diseriusi seperti produk2 utama mereka yg kebanyakan masih drama

Soal "arah" produser ini mungkin menarik membandingkan (ini bukan horor ya) Sang Penari-nya Ifa dengan Ronggeng Dukuh Paruk atau (saya lupa satu judul film lagi) tapi 2 terakhir dari jaman orba. Semua adaptasi dari buku yang sama, tapi treatment sutradaranya beda-beda karena visi produsernya beda2 juga

Kritik saya: kalau diperlakukan sebagai karya murahan, sebuah film bergenre horor akan jadi murahan, tapi kalau dibuat dengan taste dan production value yang bagus, hasilnya akan bagus juga. Semoga makin banyak produser yang visinya bagus untuk horor Indonesia.

Semoga membantu ya Mas

6. Nurman Hakim (Sutradara/Penulis Naskah)

1. Apa yg membuat Anda tertarik menyutradarai/menulis naskah utk film horor?

Maaf bung, no comment.. :)

2. Apa perbedaan narasi (cerita) antara film horor dan film drama pada umumnya? Apa yg menjadi khas dlm film horor Indonesia?

Film horor Indonesia secara umum narasinya kurang kuat. Mereka lebih bertumpu pada suspense ataupun ketegangan pada adegan-adegan yang mampu membuat penonton takut, musik yang "jreng-jreng" dan sound effect yang membuat penonton kaget. Ciri khas dari film horor Indonesia adalah hantu dengan segala caranya yang meneror pada akhirnya terkalahkan oleh sosok Kyai/ustad ataupun simbol-simbol agama lainnya misal tasbih ataupun Alqur'an. Jika di film2 Amerika, hantu-hantu ini akan takluk dengan Pendeta ataupun simbol2 agama kristen, salib misalnya. Film drama (kalau bicara film mainstream yang menggunakan pakem classical narrative PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hollywood) tentunya secara narasi haruslah kuat, sebab-akibat, karakter development, goal tokoh, dll.

3. Seberapa penting aspek narasi mempengaruhi konstruksi visual dlm film horor?

Sangat penting seharusnya, salah satu hukum dalam narrative adalah kausalitas (sebab akibat). Bagaimana plot bisa bergerak dengan logis dan kuat alasannya, sehingga konstruksi visual yang inherent dengan narasi bisa bersinergi dengan baik. Bagaimana plot-plot yang terbangun itu membawa sebuah statement/sesuatu yang ingin disampaikan dari filmmaker tentang apa yang ingin ia sampaikan ke dalam film itu. Jadi tidak hanya membuat visual-visual maupun sound (salah dua dari aspek film style) yang mencekam dan menakut-nakuti penonton dengan kehilangan narasi yang baik.

4. Film horor Indonesia identik dengan unsur erotisme, bagaimana tanggapan Anda?

Itu salah satu variable dari film horor untuk menarik penonton. Strategi dalam menjual film. Film2 horor Indonesia tahun 80an s/d 90an banyak menggunakan strategi ini. Bagi saya ini terkesan tak penting lagi isi dari sebuah film horor, yang pentingh laku, bung felix :)

5. Bagaimana menurut Anda film horor yg bagus itu?

Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada statementnya. Tidak hanya sekedar bermain pada wilayah film style saja (Mise en Scene, editing, Sound dan lighting) yang menakut-nakuti penonton, tetapi secara narrative harus kuat.

Nurman Hakim

7. Yusron Fuadi (Direktur Akasacara Film)

1. Film maker Indonesia belum maksimal mengeksplor potensi horor Indonesia. Saya melihat (dengan geregetan) bahwa kita baru mengeksplor kulit luar apa yang dinamakan "horor Indonesia" (kalau istilah itu memang ada lho hahahaha)

2. Seharusnya tidak ada perbedaan narasi. Film apapun itu haruslah berdasar a good drama. When we nailed the drama, saya yakin kita bisa bikin film horor tanpa rumah tua, abg2 sembrono, lampu 5 watt, kemenyan, dan jumping scare murahan. Indonesia belum mempunyai kekhasan film horor. Hanya karena kita pasang tuyul tidak serta merta itu "horor indonesia".

3. Aspek narasilah yang membuat kita peduli dengan karakter, itulah yang terpenting. Konstruksi visual haruslah jadi pendukung.

4.Ah gak juga, itu mungkin sama kayak gejala orang yang bilang "Ah itu film indonesia gitu gitu aja" tapi giliran ada film berkualitas dia gak nonton hahahaha. Meskipun mungkin memang ada masa tertentu dimana kebetulan yang dibuat produser kita ada unsur erotisnya. Tapi kalau dibilang IDENTIK, its a blatant ignorance.

5. Film horor yang bagus adalah yang bisa membuat kita benar2 peduli dengan karakter, berani ambil resiko dan kalau bisa menampilkan sesuatu yang inovatif itu adalah bonus besar bagi penonton. [5/7 11.33] clemensfelixsetiyawan: Kui jawabanku Kang felix hahahahaha