139 Pajajaran dan Siliwangi dalam Lirik Tembang Sunda

Mumuh Muhsin Z. Universitas Padjadjaran Jalan Raya -Sumedang km. 21 Jatinangor

ABSTRACT

History and literature are two of the many ways to describe the reality. These two ways have a difference extremely. History must be tightly based on fact, while literature is fictional and imagina- tive. However, between these two extreme points there is a slice. Its means that in history there is in certain limits an element of imagination and in literature there is an element of fact although just a name. Therefore, the reality of history can be used as a raw material of literature. In turn, therefore literature can critically be used as a source of history. In Tatar Sunda there are a number of literary works, especially in the form of lyrics Tembang Sunda, which the material is taken from historical facts. The name most widely used materials of lyrics are Pajajaran and Siliwangi. These two names refer to the golden age of the Sundanese throughout its history.

Keywords: Pajajaran, Siliwangi, rumpaka, Tembang Sunda, history.

Pendahuluan

Tidak banyak nama atau peristiwa Gilang Pajajaran, Kidung Pangrajah, Ki- dung Siliwangi, Wangsit Siliwangi, Daweung yang bernuansa sejarah dijadikan tema Menak Pajajaran, Pancaniti Bingbang Rasa, rumpaka (lirik) lagu atau karya sastra genre Dangiang Sunda, Pancaniti, Salaka Domas, Sedih Kingkin, Seler Pakuan, Wawangi nu Di- lainnya. Di antara yang tidak banyak itu kantun, dan sebagainya. adalah nama ‘Pajajaran’ dan ‘Prabu Sili- wangi’. Yang menarik adalah rumpaka atau Namun sayang rumpaka-rumpaka untuk lirik yang mengambil setting cerita Pajaja- judul-judul lagu tersebut sebagian tidak ran dan Prabu Siliwangi, atau setidaknya bisa dipastikan pengarangnya, sebagian di dalamnya ada kata ‘Pajajaran’, dan atau lagi bahkan anonim, tidak diketahui siapa ‘Siliwangi’, bisa dikatakan sangat banyak. yang menulis atau membuatnya, dan tidak Beberapa di antara judul lagu yang meng- diketahui kapan ditulisnya. angkat kedua kata itu adalah: Judul artikel ini, sesungguhnya, meng- gambarkan dua hal kontradiktif. Satu sisi, Karatagan Pajajaran, Kidung Mapag Pajaja- kata ‘Pajajaran’ dan ‘Siliwangi’ merepre- ran Pakeun Heubeul Jaya dina Buana Nanjer Najurin, Papatet, Tejamantri, Laut Kidul, sentasikan konsep sejarah; sisi lain, kata Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 2, April - Juni 2012: 139 - 146 140

‘lirik’ merepresentasikan konsep ‘sastra’. lid) dan terpercaya (credible). Kemudian Kedua konsep ini sering didikotomiskan terhadap sumber yang telah teruji tersebut secara diametral. Sejarah menggambarkan diupayakan juga adanya data pendukung realitas, sementara sastra mengekspre- dari beberapa sumber lain yang indepen- sikan imajinasi. Dari dua konsep di atas den (corroboration). Langkah berikutnya muncul beberapa masalah yang saling adalah dilakukan analisis dan interpre- berkait, baik yang bersifat teoretis maupun tasi terhadap fakta. Interpretasi dilakukan substantif. Permasalahan yang bersifat dalam dua bentuk, yaitu analisis dan sin- teoretis adalah: apa hubungan sejarah dan tesis. Terakhir adalah penulisan laporan sastra? Dapatkah sastra jadi sumber se- hasil penelitian atau historiografi. jarah? Dapatkah sejarah jadi ‘bahan baku’ karya sastra? Apakah sastra mencermin- kan atau menggambarkan realitas? Per- Analisis Teori masalahan yang bersifat substantif adalah: mengapa ‘Pajajaran’ dan ‘Siliwangi’ lebih banyak mendapat perhatian sastrawan Linus Suryadi (1981: iv) mengawali dan seniman untuk dijadikan ‘bahan ba- tulisan novelnya yang berjudul Pengakuan ku’ kreativitasnya daripada objek dan Pariyem dengan kalimat, “Karya ini karya peristiwa sejarah yang lainya? Mengapa imajiner, tak ada sangkut pautnya de- aspek emosional masyarakat Tatar Sunda ngan individu maupun kalangan tertentu memusat pada dua objek sejarah itu dan lain”. Terhadap pernyataan tersebut, Ari- tidak ke yang lainnya? el Heryanto (1983:175-177) berkomentar Jawaban atas permasalahan-permasa- bahwa Suryadi seolah-olah ingin melepas- lahan tersebut itulah yang menjadi tujuan kan karyanya dari keterkaitan-keterkait- penelitian ini dilakukan. Tegasnya, ter- an dengan realitas. Dengan kalimat ini dapat dua tujuan dari penelitian ini. Perta- Suryadi seakan bertaki-taki sebagai sikap ma, secara teoretis, menjelaskan hubung- antisipatif jika nanti ada tuntutan pertang- kait (interrelationship) antara sejarah dan gungjawaban atas karyanya. sastra. Kedua, menjelaskan mengapa ‘Pa- Rupanya pernyataan Suryadi itu be- jajaran’ dan ‘Siliwangi’ lebih banyak di- rangkat dari pemikiran bahwa karya sastra angkat sebagai bagian dari lirik-lirik tem- itu hanyalah rekaan atau khayalan belaka. bang Sunda. Oleh karena itu, sebuah karya sastra tidak Untuk mengkaji dan meneliti perma- boleh dikait-kaitkan dengan kenyataan salahan di atas digunakan metode peneli- hidup sesungguhnya. Cerpen dan karya tian sejarah. Metode ini terdiri atas empat sejenisnya adalah dunia imajinasi, sebuah tahapan kerja. Tahapan pertama adalah dunia fiktif, di mana hak otonomi penga- heuristic (pencarian data). Data yang ke- rang adalah mutlak, tak bisa diganggu gu- banyakan berupa buku dan bahan-bahan gat (Heryanto, 1983: 179). tercetak lainnya diperoleh di sejumlah Akan tetapi pada sisi lain, muncul perpustakaan dan koleksi pribadi. Selan- pertanyaan, adakah tulisan sejarah yang jutnya, tahap kedua, terhadap sumber mampu menjadi gambaran yang sesung- yang telah didapatkan itu dilakukan kritik guhnya dari suatu realitas individu atau sehingga diperoleh fakta yang absah (va- pun masyarakat? Jawabannya adalah “tak Muhsin Z.: Pajajaran dan Siliwangi 141 ada satu pun karangan manusia yang bukanlah tujuan novel untuk merekon- sanggup menggambarkan suatu realitas struksi peristiwa sejarah tertentu atau me- yang sesungguhnya”. nyediakan sumber otentik untuk rekon- Sesungguhnya, tak ada suatu peris- struksi sejarah. Kedua, sifat simbolik dari tiwa sejarah apa pun yang mampu diung- novel membuat kepastian sejarah sangat kapkan kembali secara total, objektif, dan problematik. Multi-interpretasi dari novel netral. Demikian juga, tak ada karya sastra mungkin menjadi kesenangan yang este- yang paling imajiner sekalipun yang me- tis, tapi merekonstruksi beberapa peris- miliki otonomi mutlak, subjektif, dan tak tiwa sejarah darinya hampir tidak mung- ada sangkut pautnya sama sekali dengan kin. Akan tetapi, pada satu sisi, novel individu atau kalangan tertentu. Sebuah dapat merefleksikan perkembangan ide karya sastra tak mungkin dapat meng- dan, pada sisi lain, dapat mengilustra- huni suatu wilayah otonomi yang serba sikan karya struktural dari situasi sejarah fiktif, imajiner, dan terlepas dari sangkut tertentu (Abdullah, 1986: 218). pautnya dengan realitas individu atau ka- Novel dapat menjadi sumber-sum- langan tertentu. Setiap karya sastra ditulis ber potensial untuk memperkaya pema- oleh seorang manusia, pada suatu masa haman sejarah. Novel mengekspresikan dalam sejarah, di suatu tempat. Sejauh- sikap, pendapat, dan khususnya suasana, jauh seorang sastrawan hendak mengelak sentimen, dan perasaan. Dengan kata dari segala fakta yang melahirkan, menga- lain, novel merupakan sumber yang sa- suh, dan mendewasakannya ia tak bakal ngat diperlukan untuk sejarah intelektual. mungkin membuat karya sastra yang sama Pada gilirannya, sejarah intelektual akan sekali tak bersangkut paut dengan penga- menunjukkan dua hal. Pertama, sejarah laman, pikiran, dan perasaannya sendiri intelektual menyajikan informasi tentang (Heryanto, 1983: 185; Ricklefs, 1986: 199). kesinambungan dan perubahan budaya. Meskipun sastra merupakan hasil Kedua, sejarah intelektual dapat menun- imajinasi kreatif, namun sastra tidak bisa jukkan dinamika interaksi antara ide dan dipisahkan begitu saja dari realitas em- nilai dengan perubahan realitas-reali- piris. Oleh karena itu, meskipun karakter tas politik dan ekonomi (Abdullah, 1986: karya sastra sangat personal, tapi sastra 233). merefleksikan pengalaman kolektif penu- Bila karya sastra akan dijadikan seba- lis. Demikian juga sastra merefleksikan gai sumber sejarah terlebih dahulu harus suasana waktu kreasinya (Abdullah, 1986: dianalisis secara kritis sehingga diketahui 217). komposisi besaran atau perbandingan an- Namun demikian, tidak ada peristiwa tara kadar faktisitasnya dan imajinasinya. yang dikenal dengan sebutan ‘pilar se- Dari hasil analisis itu akan diketahui ada- jarah’ dapat direkonstruksi secara tepat nya salah satu dari tiga kemungkinan dari novel atau karya sastra lainnya. Per- berikut. Kemungkinan pertama adalah tanyaan elementer tentang “apa, kapan, karya sastra yang kadar peristiwa sejarah siapa, dan di mana“ tidak dapat dijawab sebagai aktualitas atau kadar faktisitasnya secara memadai dengan menggunakan lebih tinggi daripada kadar imajinasinya. novel atau karya sastra lainnya itu seba- Kemungkinan kedua adalah karya sastra gai sumber. Sebabnya adalah pertama, yang kadar faktisitas dan kadar imajnasi- Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 2, April - Juni 2012: 139 - 146 142 nya sama. Kemungkinan ketiga adalah madu. karya sastra yang kadar faktisitasnya le- Peristiwa sejarah dapat menjadi ba- bih rendah daripada kadar imajinasinya han baku sebuah karya sastra, tetapi tidak (Kuntowijoyo, 1987; Sutrisno, 1986; Ter- perlu dipertanggungjawabkan terlebih da- morshuizen, 1986; Groen, 1986). hulu. Peristiwa sejarah, situasi, kejadian, Sejalan dengan hal tersebut, kadar perbuatan, cukup diambil dari khazanah historitas karya sastra pun dapat diketa- accepted history bagi hal-hal dari masa lam- hui dari motivasi pengarangnya. Menge- pau atau dari commom sense bagi peristi- nai motivasi pengarang sastra terdapat wa-peristiwa kontemporer (Kuntowijoyo, tiga kemungkinan juga, yaitu: Mencoba 1987: 130-131). menerjemahkan peristiwa sejarah dalam Baik sejarah maupun sastra sama- bahasa imajiner dengan maksud untuk sama menggunakan kapasitas manusia memahami peristiwa itu menurut kadar berupa ‘imajinasi’ atau ‘fantasi’ dalam pe- kemampuan pengarang; Menjadi sarana kerjaannya. Imajinasi sejarah diperlukan bagi pengarangnya untuk menyampaikan sejarawan dalam reconstruction, resurrec- pikiran, perasaan, dan tanggapan menge- tion, atau reenactment masa lampau. Tanpa nai suatu peristiwa sejarah; Merupakan kapasitas itu sejarawan yang hidup saat penciptaan kembali sebuah peristiwa se- ini tidak akan dapat to enter the past, to un- jarah sesuai dengan pengetahuan dan derstand it, to re-eanact it. Di sini imajinasi daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, dituntut oleh berbagai ketentuan intelek- 1987: 127). tual dan keadaan material yang sedang Dari beberapa genre karya sastra, bila dihadapi. Untuk menghubung-hubung- tiga saja yang dibandingkan yakni novel, kan atau untuk menarik hukum-hukum epik, dan lirik, maka menurut pendapat yang umum atau historical truth dari seren- Arthur Kostler (dalam Kuntowijoyo, 1987: tetan peristiwa sejarah yang individual, 128), yang paling bersifat subjektive-emo- konkret, dan unik diperlukan adanya in- tional adalah berturut-turut: lirik, epik, tuisi, imajinasi, identifikasi, empati, dan dan novel. evaluasi. Pendeknya, imajinasi diperlukan Peristiwa sejarah sebagai bahan baku dalam pemahaman sejarah untuk mela- diolah secara berbeda oleh sejarawan dan hirkan gambaran yang koheren dan ber- sastrawan. Oleh sejarawan, bahan baku kesinambungan (Kuntowijiyo, 1987: 130- peristiwa sejarah itu diproses melalui pro- 131). sedur tertentu yakni kritik, interpretasi, Akhirnya dapat dikatakan bahwa sas- dan sintesis sampai menyuguhkan rekon- tra dan realitas sosial-kultural merupakan struksi sejarah. Bahkan sejarawan pernah dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena dituntut untuk hanya mengemukakan sastra diproduksi dan distrukturasi dari “apa yang sesungguhnya terjadi?”. Seja- realitas tersebut. Pengarang karya sastra rawan harus bertolak dan selalu kembali berperan sebagai mediator realitas sosial kepada fakta dalam usahanya merang- dan perubahan-perubahan sosial yang kai peristiwa sejarah menjadi kesatuan terjadi. Melalui cara pandangnya, realitas yang utuh. Dengan bahan-bahan itu seja- dialami dan dipahami pengarang hingga rawan mencari system of interactions yaitu bertransformasi menjadi karya sastra. hubungan antara fakta-fakta secara me- Dengan demikian, sastra tidak hanya ha- Muhsin Z.: Pajajaran dan Siliwangi 143 sil ekspresi kesenian pengarang tapi juga Papatet merupakan refleksi pengarang atas re- Gunung Galunggung kapungkur alitas tersebut. Sastra tidak hanya sampai Gunung Sumedang katunjang Talaga Sakawayana tiruan atas realitas tapi perpaduan antara Rangkecik di tengah leuweung Ulah pundung ku disungkun rekaman realitas dan kreasi atas realitas. Ulah melang teu diteang Sastra adalah realitas baru yang bertitik Tarima raga wayahna Ngancik di nagara deungeun. tolak dari realitas sosial-budaya yang di- mediasi oleh pengarang. Gunung Gede siga nu nande Nandean ka badan kuring Pengarang sebagai bagian dari ma- Gunung Pangrango ngajogo Ngadagoan kuring wangsul syarakat tidak dapat dipisahkan dari Wangsul ti pangumbaraan struktur sosial yang melingkupinya. Se- Kebo mulih pakandangan Nya muncang labuh ka puhu berapa pun jauhnya hubungan antara ‘re- Pulangkeun ka Pajajaran. litas teks’ dengan ‘realitas sosial-budaya’ (diambil dari Volksalmanak Soenda 1927: 30 dalam van Zanten, 1984: 306-307) yang sesungguhnya, hal itu tetap dapat ditarik pada realitas sosial budaya yang Pada media yang sama dan tahun yang terjadi saat karya sastra itu lahir. sama dimuat juga rumpaka Tejamantri. Pa- patet dimuat pada halaman 30 sementara Tejamantri pada halaman 132 (van Zanten, Analisis Substantif 1984).

Karya sastra, selain lirik, yang meng- Tejamantri angkat tema sejarah ‘Pajajaran’ dan ‘Sili- Nya gunung banyuan ratu wangi’ diduga cukup banyak juga. Namun Lebak panyangkaan ménak penulis belum sempat mengidentifikasi- (geuning, Juragan) Ratu diriung ku gelung nya. Pada tulisan ini perhatian difokus- Ménak digéndéng ku angkéng Dipeuseulan ku pinareup kan pada karya sastra berbentuk rumpaka (anggeus, Raden) (lirik) Tembang Sunda. Dari sekian lirik, Kawantu ratu kapungkur Nyieun sakawenang-wenang (2 x) yang di dalamnya ada kata ‘Pajajaran’ dan atau ‘Siliwangi’, ada tiga lirik yang dia- Cenah mana geuning salaki kuring Lain menak pupulasan nalisis dalam tulisan ini, yaitu Tejamantri, Lain cacah kuricakan Papatet, dan Laut Kidul. Pertimbangannya Terusan Gunung Gumuruh Pencaran balik-salaka adalah karena ketiga lirik ini memiliki bo- Mustika ti Pajajaran bot historisitas yang tinggi. Momentum Sumangga kuring pulangkeun Pulangkeun ka Pajajaran. penulisan, atau, lebih tepatnya, momen- (diambil dari Volksalmanak Soenda 1927: 132 tum pemuatan lirik itu jelas. Media yang dalam van Zanten, 1984: 306) memuatnya cukup punya nama pada za- mannya. Penulisnya atau pengarangnya Rumpaka yang lebih jelas identitas- adalah aktor sejarah yang juga punya re- nya ada pada judul Laut Kidul. Rumpaka putasi di tengah masyarakatnya, setidak- ini dimuat juga pada Volksalmanak Soenda nya untuk lirik Laut Kidul. pada edisi yang lebih tua yaitu tahun 1921. Rumpaka Papatet tidak jelas siapa pe- Rumpaka Laut Kidul yang dimuat dalam nulisnya, namun lagu ini pernah dimuat Volksalmanak Soenda edisi tersebut yang di- dalam Volksalmanak Soenda pada 1927. anggap sebagai pengarangnya adalah Ece Majid (van Zanten, 1984: 240-246). Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 2, April - Juni 2012: 139 - 146 144

Laut Kidul Bila dilihat dari aspek redaksionalnya, Laut Kidul kabeh katingali secara eksplisit, apalagi implisit, rumpaka Ngembat paul kawas dina gambar ini mengekspresikan sikap yang sangat Ari ret ka tebeh kaler Batawi ngarunggunuk emosional para pengarangnya (mungkin Lautna mah teu katingali Ukur lebah-lebahna juga mewakili masyarakatnya) yang sa- Semu-semu biru ngat tertekan, yang kecewa dengan situasi Ari ret ka kaler-wetan Gunung Gede jiga nu ngajakan balik zamannya yang tidak menguntungkan, Meh bae kapiuhan. penuh ketidakadilan, kezaliman, dan kese- Matak waas pacampur jeung sedih wenang-wenangan penguasa. Seolah-olah Gunung-gunung kabeh narembongan Gunung Pangrango ngajogo mereka menginginkan jarum jam sejarah Bangun nu diharudum kehidupan diputar ulang ke belakang, ke Ngadagoan nu tacan sumping Dumeh ditilar zaman keemasan urang Sunda, yaitu za- Mani alum nguyung man Pajajaran ketika diperintah oleh Pra- Nguyung wuyung karungrungan Ngan dijieun Pangrango ciciren nagri bu Siliwangi (1482 – 1521). Hal ini tampak, Nagara Pajajaran. misalnya, dalam kalimat ‘pulangkeun ka Pajajaran tilas Siliwangi Pajajaran’. Mereka seolah ingin lari dari Wawangina nu kari ayeuna Ayeuna nya dayeuh realitas yang tidak disanggupinya. Batutulisna kantun Hal tersebut bisa dipahami bila dilihat Kantun liwung jaradi pikir Mikir nu disadana momentum penciptaan rumpaka tersebut, Henteu surud liwung Teuteuleuman kokojayan yaitu saat wilayah Sunda berada dalam Di nunjang ngidul Siliwangi penjajahan Negeri Belanda. Suasana yang Nuus di Pamoyanan. demikian tidak hanya tercermin pada re- Dianggap sebagai pengarang Écé Majid (diambil dari Volksalmanak Soenda 1921: daksi rumpaka tapi juga pada nada lagu- 240-246 dalam van Zanten, 1984: 309-310) nya yang umumnya sangat sentimental dan melankolis. Bunyi masing-masing wa- Mengenai siapa sesungguhnya penga- ditranya pun, mulai dari petikan dawai ke- rang rumpaka Laut Kidul memang kontro- capi, gesekan rebab, tiupan suling, sangat versial. Hal ini pernah dibahas oleh Ayip merepresentasikan suasana batin yang pe- Rosidi dalam dua tulisannya, Saha Anu dih, menyayat hati. Nganggit Laut Kidul Teh? dan R.T.A. Soe- Bila dilihat secara historis, konon Seni narja jeung Laut Kidul (Ajip Rosidi, 1996: Mamaos, yang kemudian lebih dikenal 99-109; 110-117). dengan sebutan Tembang Sunda Cianjur- Ketiga rumpaka tersebut dimuat pada an, lahir atas kreasi Bupati Cianjur ke-9 Volksalmanak Soenda pada tahun 1921 dan bernama R.A.A. Kusumahningrat (1834- 1927. Pada tahun berapa persisnya rum- 1861). Proses berkreasinya dilakukan se- paka ini diciptakan, tidak diketahui pasti. raya berkontemplasi secara mendalam di Akan tetapi yang patut diduga adalah sebuah ruangan khusus dalam kompleks bahwa rumpaka ini dibuat berdasarkan kabupaten yang disebut pancaniti. Berkait- hasil kontemplasi yang amat dalam dari an dengan itulah, selanjutnya beliau dike- pengarangnya; ekspresi dari perjalanan nal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Kom- ‘batin dan emosi’ yang cukup panjang; ha- pensasi atas ‘ketidakberdayaan’ melawan sil ‘dialog’ pengarang dengan lingkungan segala bentuk kekejaman penjajah, mun- yang mengitarinya. culah karya seni kualitas tinggi, yakni Muhsin Z.: Pajajaran dan Siliwangi 145 mamaos atau tembang Cianjuran. Batutulis, Ciliwung, Gunung Galunggung, Suasana zaman (zeitgeist) ketika Dalem Gunung Sumedang, Gunung Gumuruh, bu- Pancaniti berkuasa sebagai bupati Cian- kit, ngarai, dan sungai jadi ‘saksi bisu’ dan jur, Tatar Sunda khususnya dan wilayah ‘saksi abadi’ akan keberadaan Pajajaran Nusantara pada umumnya berada dalam dan Siliwangi. puncak-puncaknya masa eksploitasi ko- lonial melalui intensifikasi dan eksten- sifikasi tanaman-tanaman perkebunan. Penutup Bila di luar Priangan, di Jawa Tengah dan Timur, pada periode tersebut diberlaku- Sastra dan sejarah memiliki sifat yang kan Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel), di berbeda. Sastra bersifat imajinatif sedang- Karesidenan Priangan sendiri diberlakukan kan sejarah bersifat faktual. Meskipun Sistem Priangan (Preangerstelsel). Di Ka- demikian, senyatanya tidak sedikit karya residenan Priangan pada periode tersebut sastra yang mengambil sejarah sebagai ba- penduduk diwajibkan menanam kopi, teh, han bakunya sehingga munculah istilah, kina, karet, dan sebagainya. misalnya, novel sejarah. Karya-karya sas- Dengan demikian dapat dikatakan tra yang bernuansa sejarah, dalam batas bahwa ketiga rumpaka di atas sangat bernu- dan kadar tertentu, juga setelah disikapi ansa historis, baik berkaitan dengan nama, dengan sangat kritis, bisa menjadi sumber peristiwa, atau pun suasana. H. Hasan sejarah. Mustapa (Penghulu Bandung), Kyai Kurdi, Di Tatar Sunda, sejarah (nama diri, Kyai Marjuki, Kyai Muhamad Sayuti, Ka- peristiwa, suasana) yang banyak dijadikan lipah Apo (H. Muhamad Sueb), Ece Majid bahan baku penulisan karya sastra adalah (orang-orang yang dianggap punya kon- ‘Pajajaran’ dan ‘Siliwangi’. Pajajaran adalah tribusi terhadap penciptaan rumpaka Laut nama Kerajaan Sunda setelah pindah dari Kidul), dan pengarang-pengarang Sunda (Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bo- lainnya yang sezaman, banyak mengambil gor) sehingga nama lengkap kerajaan itu bahan baku karangannya dari nama, peris- adalah Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. tiwa, dan suasana sejarah. Pengetahuan Siliwangi adalah nama lain dari Sri mereka tentang Pajajaran dan Siliwangi Baduga Maharaja. Siliwangi merupakan mungkin diperolehnya dari bacaan-bacaan raja Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) mereka terhadap naskah berupa babad, yang bersifat primus inter pares; raja pinun- carita, wawacan atau cerita-cerita rakyat jul di antara raja-raja Sunda lainnya. Pada yang berkembang secara turun-temurun masa pemerintahannya Kerajaan Sunda di Tanah Pasundan. Mengenai referensi mengalami zaman keemasan. Sedangkan yang jadi sandaran keberadaan nama dan kondisi Kerajaan Sunda Pajajaran setelah peristiwa sejarah itu memang tidak mung- Prabu Siliwangi terus-menerus menga- kin disebutkan dalam lirik lagu. Karena lami keterpurukan sampai akhirnya run- lirik lagu sifatnya simbolik, padat, hemat tuh (1579). kata, juga menyesuaikan dengan tuntutan Oleh karena itu bisa dipahami bila ada ketat nada lagu. Mereka menganggap cu- Ki Sunda yang berpikir dan berbuat hal-hal kup dengan menyebut Laut Kidul, Gunung yang bersifat nostalgik jika menghadapi Gede, Gunung Prangrango, Dayeuh Bogor, situasi-situasi yang tidak menguntungkan Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 2, April - Juni 2012: 139 - 146 146 pada zamannya. Salah satu objek nosta- Sulastin Sutrisno gianya adalah Kerajaan Pajajaran pada 1986 Misa Melayu: Its Literary and Histo- masa Prabu Siliwangi. rical Values, dalam Taufik Abdul- lah, ed. 1986. Literature and History. Volume Two. Papers of the Fourth DAFTAR PUSTAKA Indonesian — Dutch History Confe- rence, Yogyakarta, 24-29 July 1983. Ajip Rosidi Yogyakarta: Gadjah Mada Univer- 1996 Pancakaki; Kumpulan Esey. Ban- sity Press. dung: Girimukti Pasaka. Taufik Abdullah, ed. Ariel Heryanto 1986 Historical Reflections on Three No- 1983 Sastra, Sejarah dan Sejarah Sastra vels of Pre-War , dalam Ta- (1)”, Basis, Mei, XXXII, 5. ufik Abdullah, ed. 1986. Literature and History. Volume Two. Papers of Groen, P.M.H. the Fourth Indonesian—Dutch Histo- 1986 Ten Thousand Things and a Jewelled ry Conference, Yogyakarta, 24—29 Hair-Comb as Historical Sources: Fic- July 1983. Yogyakarta: Gadjah Ma- tion or Fact?, dalam Taufik Abdul- da University Press. lah, ed. 1986. Literature and History. Volume Two. Papers of the Fourth In- Termorshuizen, G.P.A. donesian—Dutch History Conference 1986 The Novels of Maurits: a Portrait of Yogyakarta, 24—29 July 1983. Yog- a Society”, Taufik Abdullah, ed. yakarta: Gadjah Mada University 1986. Literature and History. Volume Press. Two. Papers of the Fourth Indonesian -Dutch History Conference, Yogya- Kuntowijoyo karta, 24—29 July 1983. Yogyakar- 1987 Budaya dan Masyarakat. Yogyakar- ta: Gadjah Mada University Press. ta: Tiara Wacana. van Zanten, W. ------, 1984 The Poetry of Tembang Sunda, Bijdra 1995 Pengantar Ilmu Sejarah. : gen tot Taal- Land- en Volkenkunde Bentang. 140 (1984), no. 2/3, Leiden, 289-316 dalam http://kitlv.library.uu.nl/in Linus Suryadi dex.php/btlv/article/viewFile/2222 1981 Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Se- /2983 (1 Maret 2012). orang Wanita Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.