PENGENDALIAN NEGARA ATAS BUMN SEKTOR TELEKOMUNIKASI PASCAPRIVATISASI (Government’s Control over State-Owned Enterprises in Their Post-) Sahat Aditua F. S. P3DI Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik Gedung Nusantara 1, Lantai 2, Setjen DPR RI Jl. Jend. Gatot Subroto, Pusat, 10270 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 6 November 2014 Naskah direvisi: 29 November 2015 Naskah diterbitkan: 29 Desember 2015

Abstract Government must protect state-owned telecommunication enterprises since they have vital and strategic roles in maintaining the sovereignty of our country. The recurring debate is whether the government should maintain its majority ownership of state-owned telecommunication enterprises to protect national interests, or if the government should share its ownership with the private sector to improve its performance. The aim of this study is to analyze the companies performance pre-privatization and post-privatization's regime. The research method employed for this study is descriptive-qualitative in nature with secondary sources of data collected from journals, literatures, online media, and other official sources. The study concludes that the policies adopted pre-privatization and post-privatization substantially improves the companies performance, therefore the adoption of privatization can be justified. The study also proposes three instruments to maintain state control over state-owned telecommunication enterprises, namely: issuance of gold shares, establishment of an independent regulatory agency, and issuance of licence for operator of private telecommunication enterprises. Keywords: state-owned enterprise, telecommunication, privatization, government

Abstrak Pemerintah harus melindungi keberadaan perusahaan negara telekomunikasi karena sektor telekomunikasi memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan negara dan memiliki nilai strategis. Karena alasan inilah, maka terjadi debat seputar masalah privatisasi BUMN telekomunikasi. Perdebatan yang sering muncul apakah pemerintah harus mempertahankan kepemilikan dominan di BUMN telekomunikasi dalam rangka melindungi kepentingan negara, ataukah pemerintah dapat memberikan kepemilikan saham bagi pihak swasta dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji kinerja perusahaan baik sebelum maupun setelah rezim privatisasi. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan sumber data sekunder yang berasal dari jurnal, literatur, media daring, maupun sumber resmi lainnya. Kajian ini menemukan bahwa kebijakan baik sebelum maupun setelah rezim privatisasi ternyata dapat meningkatkan kinerja perusahaan sehingga kebijakan privatisasi dapat dibenarkan. Kajian ini juga menyarankan tiga instrumen untuk mempertahankan kendali negara atas BUMN telekomunikasi, yaitu penerbitan saham emas, pembentukan badan pengatur independen, dan pemberian lisensi bagi operator telekomunikasi swasta. Kata kunci: Badan Usaha Milik Negara, telekomunikasi, privatisasi, pemerintah

I. PENDAHULUAN memegang peran strategis dan menguasai A. Latar Belakang kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Industri telekomunikasi di sebuah negara harus Ketentuan dalam pasal ini pada dasarnya merupakan memperoleh perlakuan khusus dari pemerintah penjabaran dari Pasal 33 Ayat (2) UUD Tahun 1945 karena sektor telekomunikasi merupakan sektor yang menyatakan bahwa “Sektor produksi yang yang penting bagi masyarakat dan memiliki tren penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup untuk terus berkembang di masa yang akan datang orang banyak dikuasai oleh negara”. Ketentuan (Smith, 2008). Sebagai contoh kasus adalah Negara ini secara konstitusional, terutama terkait pada Kanada, di mana industri telekomunikasi di negara frasa “dikuasai oleh negara” menunjukkan bahwa ini secara hukum telah diakui memiliki peran penting Pemerintah masih memiliki kuasa untuk dalam pemeliharaan identitas dan kedaulatan negara mengintervensi aktivitas ekonomi yang dilakukan (Smith, 2007). Oleh karena itu secara tradisional, oleh rakyatnya (Subiakto, 2008). industri telekomunikasi memperoleh perlindungan Sejarah menunjukkan bahwa sejak akhir tahun melalui pemberlakuan monopoli penuh di mana 1980an, pemerintah telah mengambil kebijakan pemerintah memegang kendali total atas praktik untuk mengurangi kepemilikan saham di Badan pengelolaan perusahaan melalui kepemilikan saham Usaha Milik Negara (BUMN) sektor telekomunikasi. (Smith, 2007). Seiring dengan semakin berkurangnya kepemilikan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tersebut, intensitas intervensi pemerintah pun telah menetapkan bahwa sektor telekomunikasi semakin berkurang. Di sisi lain, pemerintah memang

Sahat Aditua F. S., Kendali Negara atas BUMN Sektor Telekomunikasi Pascaprivatisasi | 215 berusaha untuk mendorong keterlibatan swasta sektor yang penting bagi masyarakat dan memiliki dengan melepas kepemilikan saham mereka ke tren untuk terus berkembang di masa yang akan pasar, baik melalui mekanisme pasar modal ataupun datang. Privatisasi atas PT Telekomunikasi Indonesia, penjualan strategis (Utherland, 2012). Tbk menunjukkan dampak yang positif dalam hal Seiring dengan semakin terlibatnya pihak peningkatan keuntungan. Di sisi lain, pemerintah swasta di sektor telekomunikasi, maka faktor harus tetap mempertahankan kendalinya atas BUMN yang dulunya terabaikan pada saat intervensi sektor telekomunikasi agar aktivitas korporasinya tetap pemerintah, yaitu efisiensi, produktivitas, dan berpihak kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, aspek responsif terhadap perubahan pasar, semakin permasalahan yang akan dikaji pada tulisan ini adalah: memperoleh perhatian (Utherland, 2012). Pihak 1. bagaimanakah kinerja BUMN telekomunikasi swasta, walaupun bukan sebagai pemegang saham sebelum dan sesudah rezim privatisasi? dan dominan, tetap mampu memberikan pengaruh pada 2. bagaimanakah kebijakan yang dapat budaya organisasi di dalam BUMN telekomunikasi diambil oleh pemerintah agar dapat tetap tersebut (Subiakto, 2008). Hasilnya pun terlihat dari mempertahankan pengendaliannya terhadap indikator keuangan berupa tingkat pendapatan dan BUMN telekomunikasi yang telah diprivatisasi? keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sebagai contoh adalah PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk C. Tujuan (Telkom) yang merupakan salah satu BUMN di Tujuan dari kajian ini adalah: bidang telekomunikasi mampu mencatat kenaikan 1. mempelajari kinerja BUMN telekomunikasi tingkat keuntungan sebesar 3 ribu persen dalam sebelum rezim dan setelah rezim privatisasi dan kurun waktu tahun 1991-2010. Kenaikan tingkat 2. menjelaskan usulan alternatif instrumen keuntungan tersebut berbanding lurus dengan pengendalian pemerintah terhadap BUMN penurunan porsi kepemilikan pemerintah sebesar telekomunikasi pascaprivatisasi. 100 persen pada akhir tahun 1991 menjadi hanya 51,26 persen di akhir tahun 2010 (Wijaya, 2012). II. KERANGKA TEORI Namun sisi lain dari privatisasi tersebut adalah A. Konsep Privatisasi pemerintah menjadi kurang memiliki keleluasaan Privatisasi perusahaan negara telah menjadi tren dalam melakukan kendali langsung atas penguasaan di dalam era reformasi ekonomi dan politik di negara sektor telekomunikasi. Sebagaimana telah disebutkan maju dan negara berkembang (Pettrazini, 2008). di atas, bahwa walaupun tidak memegang saham Dengan kata lain, privatisasi pada perusahaan negara dominan, pihak swasta tetap mampu memberikan merupakan fenomena global. Menurut Moe (2005), pengaruh terhadap aspek positif seperti kinerja privatisasi ini didorong oleh kesadaran pemerintah dan produktivitas perusahaan. Namun tidak dapat bahwa tulang punggung pendapatan negara harus dipungkiri bahwa terdapat kemungkinan pengaruh dikontribusi oleh entitas bisnis (Moe, Crals, and negatif dalam hal mempertahankan mandat BUMN Vereeck, 2005). Kesadaran ini juga didorong oleh sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam realitas persaingan global yang memaksa pemerintah menguasai cabang produksi yang penting bagi negara untuk mendefinisikan kembali lanskap persaingan dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. yang dihadapi oleh pelaku bisnis yang beroperasi di Karena alasan-alasan inilah, maka terjadi negara tersebut (Moe, et. al., 2005). perdebatan seputar masalah privatisasi BUMN Sementara itu, ada peneliti yang mengemukakan telekomunikasi. Perdebatan yang sering muncul apakah bahwa istilah dan konsep “privatisasi” sendiri pemerintah harus mempertahankan kepemilikan sudah ketinggalan jaman dan perlu memperoleh dominan di BUMN telekomunikasi dalam rangka perbaikan secara akademik. Kim dan Cho (2006), melindungi kepentingan negara, ataukah pemerintah misalnya mengemukakan bahwa konsep privatisasi dapat memberikan kepemilikan saham bagi pihak yang digunakan lebih banyak menekankan pada swasta dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan peristiwa perpindahan kepemilikan ke pihak tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang swasta. Padahal dalam kenyataannya perpindahan dapat mengakomodasi kedua kepentingan tersebut, kepemilikan tersebut hanya merupakan salah yaitu meningkatkan kinerja perusahaan melalui satu proses korporasi dalam rangka menjalankan perluasan kepemilikan saham dan mempertahankan strategi perusahaan yang lebih besar dan berbeda kendali pemerintah atas BUMN telekomunikasi. dibandingkan pada saat kepemilikan seluruhnya berada di tangan pemerintah. Salah satu pemikiran B. Permasalahan yang lebih komprehensif terkait dengan pengertian Sebagaimana telah disebutkan di bagian privatisasi adalah penggabungan aksi korporasi sebelumnya, sektor telekomunikasi merupakan perusahaan dengan kebijakan pemerintah sebagai

216 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 215 - 226 konsekuensi dari aksi korporasi tersebut (Starr, privatisasi sebagai salah satu aksi korporasi BUMN 2000). Ide ini mencoba menggabungkan bahwa tidak bisa dilepaskan dari kedua aspek tersebut. kebijakan pemerintah yang lebih bersifat publik Ekonomi politik dalam konteks ini berkaitan dengan dengan kebijakan korporasi yang lebih bersifat distribusi sumber daya ekonomi dan produk bagi praktis. Konsekuensinya adalah pemerintah harus masyarakat dalam negeri sekaligus untuk keperluan mampu menerjemahkan aspek regulasi dalam perdagangan luar negeri. Dengan kata lain, tujuan undang-undang menjadi aspek implementatif dalam ekonomi politik adalah untuk menjamin pemenuhan perusahaan, yang sayangnya hal ini bukanlah sesuatu kebutuhan baik negara dan individu dalam cara yang yang mudah untuk dirumuskan (Starr, 2000). tepat, aman, dan adil, baik dalam konteks individu, Dari sisi ideologis, privatisasi sendiri didasarkan publik, atau kombinasi dari keduanya (Yao, 2009). pada intervensi negara yang berada pada taraf minimal Namun pelibatan individu, publik, atau kombinasi dalam ekonomi dan urusan publik (Melody, 2007). dari keduanya sebagaimana disebutkan sebelumnya Gagasan ini dibangun berdasarkan premis bahwa menempatkan privatisasi dan penguasaan dari intervensi negara menghasilkan inefisiensi bahkan pemerintah pada yang berlawanan. Jika pemerintah lebih jauh lagi intervensi negara dapat berakibat memilih untuk memiliki pengaruh yang lebih langsung keputusan yang bermotif politik dan mengabaikan dalam bisnis, maka akan berdampak pada praktik dampak terhadap pasar. Dampak terhadap pasar korporasi BUMN yang cenderung hati-hati, lamban, inilah yang memiliki risiko terbesar dapat mengurangi dan penuh dengan birokrasi. Hal ini tidak bisa terlepas tingkat penghasilan dari perusahaaan (Melody, dari budaya di pemerintahan yang terbawa dalam 2007). Argumen ini juga ditegaskan kembali oleh manajemen korporasi. Dampak negatifnya adalah Drucker (2007) yang menyatakan bahwa pemerintah akan banyak kesempatan bisnis atau memperoleh merupakan “manajer yang buruk”. Alasan utama keuntungan (opportunity loss) yang hilang dari lambatnya yang dikemukakan adalah mindset pemerintah yang pengambilan keputusan bisnis (Nugroho, 2007). terbiasa membuat kebijakan secara makro, sehingga Di sisi lain, jika pemerintah lebih memilih untuk kurang fleksibel untuk membuat kebijakan spesifik melepaskan BUMN kepada sektor swasta, atau untuk diimplementasikan dalam perusahaan. memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 74 memainkan peran yang lebih besar, maka kecenderungan menyebutkan bahwa maksud dan tujuan privatisasi untuk melakukan privatisasi terhadap BUMN menjadi dari BUMN adalah (1) memperluas kepemilikan semakin besar (Sturridane, 2008). Privatisasi dalam masyarakat atas Persero, (2) meningkatkan efisiensi konteks ini berkaitan dengan kebijakan mengenai dan produktivitas perusahaan, (3) menciptakan tingkat intervensi negara dalam perekonomian. Dengan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang demikian, privatisasi melibatkan perubahan dalam level baik/kuat, (4) menciptakan struktur industri yang sehat peran negara dalam perekonomian, bukan bentuk dan kompetitif, (5) menciptakan Persero yang berdaya negara itu sendiri. Privatisasi merupakan kebijakan saing dan berorientasi global, serta (6) menumbuhkan dan bukan penghilangan intervensi negara terhadap iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar. perekonomian Secara khusus, UU No. 19 Tahun 2003 tentang Berbicara mengenai mekanisme privatisasi, BUMN juga menyebutkan bahwa dengan perluasan menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 33 kepemilikan masyarakat atas Persero diharapkan nilai Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahan tambah dari perusahaan tersebut dapat meningkat. Perseroan (Persero), privatisasi dapat dilakukan Berkaitan dengan aspek keuangan, ada pendapat melalui tiga cara, yaitu: yang menyatakan bahwa keuangan perusahaan 1. penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar merupakan ruang lingkup keuangan negara karena modal, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 2. penjualan saham secara langsung kepada tentang BUMN menyatakan bahwa modal BUMN investor, dan merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang 3. penjualan saham kepada manajemen dan/atau dipisahkan. Dalam proses pemindahan kekayaan karyawan Persero yang bersangkutan. tersebut tidak ada pemindahan status kepemilikan Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar sehingga kepemilikan kekayaan BUMN tetap modal sering juga disebut penawaran saham kepada ada pada negara (Subiakto, 2008). Karena status publik dan dilakukan di bursa saham sesuai ketentuan inilah BUMN sering memperoleh sebutan sebagai perundang-undangan yang berlaku di pasar modal. penjelmaan entitas ekonomi dan politik dari suatu Penjualan saham secara langsung kepada investor negara (Frida, 2008). sering juga disebut penjualan strategis. Bila Sebagai konsekuensi dari pemikiran BUMN pemerintah berencana untuk menempuh mekanisme sebagai penjelmaan entitas ekonomi dan politik, maka

Sahat Aditua F. S., Kendali Negara atas BUMN Sektor Telekomunikasi Pascaprivatisasi | 217 penjualan strategis, maka pemerintah terlebih “menguasai” oleh negara. MK dalam putusan Perkara dahulu melakukan penjajakan dan kajian terhadap No. 001-021-022/PUU-1/2003 menyatakan bahwa calon investor sehingga diperoleh calon investor menguasai oleh negara harus dimaknai sebagai diatur yang paling layak untuk membeli saham perusahaan. dan diselenggarakan oleh negara atau pihak-pihak Sedangkan mekanisme penjualan saham kepada yang diberi wewenang oleh negara dan bertindak pihak internal manajemen atau karyawan sering untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan dikaitkan dengan program peningkatan kinerja atau perundangan-undangan yang berlaku. Kemudian benefit bagi karyawan. Namun dalam mekanisme ini dalam pertimbangannya MK juga menjelaskan bahwa jumlah saham yang dijual tidak terlalu banyak. peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonsia, pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas B. Privatisasi dan Penguasaan Negara nama negara adalah instansi. Dalam tatanan peraturan Walaupun banyak definisi dan konsep, satu hal perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia, yang prinsip adalah privatisasi menuntut perubahan pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama sifat negara dalam perekonomian. Dalam konteks negara adalah instansi-instansi pemerintahan dalam hal Indonesia, berkaitan dengan kendali negara terhadap kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan dan sektor ekonomi strategis seperti telekomunikasi, Pasal 4 politik, sedangkan dalam hal kegiatan usaha, instansi ayat (1) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pemerintah yang bukan merupakan badan usaha menyatakan bahwa “Telekomunikasi dikuasai oleh pun tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat negara di bawah bimbingan pemerintah”. Ketentuan ini bisnis untuk dan atas nama negara sesuai peraturan merupakan elaborasi dari Pasal 33 Ayat (2) UUD Tahun perundangan-undangan yang berlaku. 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi Berdasarkan uraian dari MK tersebut, maka dapat yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat disimpulkan bahwa kendali negara harus dipahami hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. sebagai amanat konstitusi kepada negara untuk Sejarah dan ideologi tidak bisa dipungkiri menyusun dan mengimplementasikan kebijakan memberikan pengaruh pada gagasan pengendalian ekonomi dengan tujuan utama memanfaatkan oleh negara. Sejarah dan ideologi selalu berkaitan potensi ekonomi untuk memberikan sebesar-besar dengan cara pemerintah untuk melakukan intervensi manfaat kepada rakyat. Dalam konteks ini, program terhadap perekonomian (Dwiyatni, 2005). Kemudian privatisasi tidak hanya secara konstitusional harus sejarah membentuk bahwa istilah “kendali negara” dapat diterima, melainkan juga merupakan metode merupakan istilah hukum yang membenarkan kendali yang efektif yang dapat merespon dinamika intervensi negara di dalam perekonomian, baik secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Kemudian dalam langsung ataupun melalui entitas bisnis berbentuk konteks persaingan global, metode pengendalian BUMN. Romli (2008) juga menekankan intervensi yang efektif berarti juga mampu mendorong BUMN melalui entitas bisnis berbentuk BUMN diikat melalui berkinerja baik dalam perekonomian nasional istilah “kekayaan negara yang dipisahkan yang maupun perekonomian global. ditempatkan sebagai modal dalam BUMN”. Isu lain yang perlu memperoleh perhatian C. Beberapa Praktik Privatisasi di Negara Lain pemerintah adalah pendekatan pengendalian Salah satu penelitian mengenai privatisasi atas BUMN harus bersifat dinamis dalam rangka perusahaan telekomunikasi di Zimbabwe menunjukkan memastikan bahwa metode pengendalian tersebut bahwa pelepasan lebih dari separuh saham perusahaan selalu menemukan relevansinya terutama dalam negara di bidang telekomunikasi menunjukkan praktik persaingan global. Namun sayangnya, seiring peningkatan kinerja yang tajam (Jenooter, 2009). dengan tuntutan atas konsep pengendalian yang Tercatat pendapatan perusahaan meningkat hingga dinamis, maka tingkat ketidakpastian terhadap kendali 83,2 persen setelah dua tahun privatisasi dilaksanakan. negara semakin tinggi. Risiko yang dihadapi oleh Namun di sisi lain terdapat pengurangan secara drastis pemerintah adalah lepasnya pengendalian negara dalam hal penguasaan dan intervensi oleh negara. Hal atas BUMN yang telah diprivatisasi seiring dengan ini dapat dilihat dari dikuranginya akses negara terhadap dinamika persaingan global. Atau dari sisi ekstrem kebijakan internal perusahaan terutama yang bersifat yang lain adalah bila pemerintah tidak mampu strategis. Sebagai solusinya, pihak otoritas Zimbabwe memberikan tingkat fleksibilitas yang cukup terhadap di bidang telekomunikasi dan transportasi mendesak penguasaan BUMN, maka akan muncul gugatan perusahaan agar menerbitkan saham preferen bahwa perusahaan tersebut tidak cukup lincah dalam (prioritas) yang penawarannya ditujukan kepada negara menghadapi persaingan global (Emke, 2008). terlebih dahulu. Perjanjian yang mengikuti penerbitan Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) saham preferen tersebut juga diikuti oleh pemberian hak telah mengeluarkan putusan terkait dengan makna suara walaupun tidak dimasukkan ke dalam persentase

218 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 215 - 226 suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Praktik pos, telepon, dan telegraf (PTT) milik Indonesia di privatisasi lainnya adalah privatisasi perusahaan negara bawah pengelolaan lembaga pemerintah. Sebagai di bidang telekomunikasi di Tiongkok yang bernama konsekuensi dari nasionalisasi perusahaan Belanda Shanghai Bell pada tahun 2001. Berdasarkan kajian tersebut, Indonesia terus menggunakan sistem awal, privatisasi ini dinilai akan menguntungkan karena bisnis telekomunikasi yang telah digunakan oleh privatisasi dibarengi dengan aksi merger dan integrasi Pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1931 jaringan secara internasional. Namun, kajian yang (Misdiyono, 2010). dilakukan delapan tahun pascaprivatisasi tersebut Dari sisi regulasi, pemerintah memberlakukan menunjukkan peningkatan kinerja yang tidak signifikan UU No. 5 Tahun 1964 tentang Telekomunikasi yang (Edward, 2008). Selain itu, terdapat kehilangan merupakan UU pertama di sektor telekomunikasi penguasaan negara atas sektor telekomunikasi yang yang diberlakukan setelah Indonesia merdeka. ditandai dengan berkurangnya akses telekomunikasi UU tersebut memberikan kerangka hukum untuk bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke pengelolaan serta operasional telekomunikasi bawah. setelah kemerdekaan. Kerangka hukum yang penting Berkaca pada pengalaman Shanghai Bell, maka bagi operasi telekomunikasi yang diatur melalui diperlukan sebuah struktur regulasi yang menyertai UU ini antara lain adalah ditetapkannya sektor privatisasi terutama pada sektor-sektor yang terkait telekomunikasi sebagai sektor strategis karena dengan penguasaan atas hajat hidup orang banyak. memegang peran penting baik dalam aspek ekonomi, Regulasi ini seringkali mengorbankan faktor kinerja politik, dan militer. Sebagai konsekuensinya, maka atau keuntungan oleh perusahaan. Namun dalam semua operasi dan layanan harus disediakan sendiri jangka panjang pengorbanan kinerja tersebut akan oleh negara tanpa campur tangan dari pihak swasta. memastikan bahwa pemerintah tetap memegang Untuk mencapai tujuan ini, maka Pemerintah kendali atas operasional perusahaan (Turjig, 2009). Indonesia mendirikan Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (disingkat dengan PN Postel) sebagai III. METODOLOGI satu-satunya operator telekomunikasi pada saat itu Kajian ini menggunakan pendekatan analisis (Misdiyono, 2010). kualitatif deskriptif. Data yang dikumpulkan Kemudian dalam rangka meningkatkan pelayanan, merupakan data sekunder yang diperoleh dari studi pemerintah memutuskan pada tahun 1965 untuk literatur, baik berupa buku, artikel dalam jurnal, memisahkan pos dan telekomunikasi. Dua layanan ini working paper, majalah, sumber dari media daring, terorganisir di bawah dua perusahaan yang berbeda, dan surat kabar. Periode analisis mencakup periode yaitu PN Pos dan Giro dan PN Telekomunikasi. Sepuluh sebelum dan sesudah rezim privatisasi. Sedangkan tahun kemudian melalui penerbitan Peraturan perusahaan yang dianggap dapat mewakili kinerja Pemerintah No. 36 Tahun 1974, pemerintah mengubah BUMN di dalam dua rezim tersebut adalah PT PN Telekomunikasi menjadi bentuk baru dengan nama dan PT Telkom. Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel). Perum Analisis dalam kajian ini menggunakan sendiri hingga saat ini masih diakui sebagai salah pendekatan deskriptif. Tahapan dalam analisis satu bentuk BUMN, sesuai dengan UU No. 19 Tahun dilakukan dengan menjelaskan peristiwa 2003 tentang BUMN yang bergerak dalam bidang yang berkaitan dengan obyek yang dikaji dan pelayanan publik. Namun pada saat itu, prioritas tugas diperbandingkan antara dua rezim tersebut sehingga Perumtel hanya sebagai pelayan publik dan belum dapat diketahui perubahannya yang signifikan. ditekankan untuk memperoleh keuntungan (Sugondo & Tahap berikutnya adalah melakukan sintesis dan Bhinnekawati, 2007). pengambilan simpulan. Sehubungan dengan pelaksanaan tugas tersebut, pemerintah memberikan Perumtel hak eksklusif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN untuk menyediakan layanan telekomunikasi di seluruh A. Kinerja BUMN Telekomunikasi Sebelum Rezim wilayah Negara Indonesia. Walaupun pada awalnya Privatisasi Perumtel hanya mampu menjangkau Pulau Jawa BUMN yang saat ini beroperasi di Indonesia dan 50 persen Pulau Sumatera, namun pemerintah merupakan hasil nasionalisasi dari perusahaan tetap mengalokasikan anggaran dalam rangka Belanda, begitupun produk aturan perundang- pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Pada undangan yang banyak diwariskan oleh kolonial akhirnya, setelah lima tahun beroperasi Perumtel Belanda kepada Pemerintah Indonesia, termasuk mampu menjangkau setidaknya 50 persen dari seluruh UU Telekomunikasi. Dalam sejarahnya, Indonesia wilayah Indonesia (Sugondo dan Bhinnekawati, 2007). menasionalisasi Netherlands Post, Telephone, dan Sepuluh tahun kemudian melalui penerbitan Telegraph Service untuk selanjutnya menjadi layanan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1974,

Sahat Aditua F. S., Kendali Negara atas BUMN Sektor Telekomunikasi Pascaprivatisasi | 219 Sumber: Herry, 2008. Gambar 1. Perkembangan Pendapatan PT Telkom Tahun 1990-1999 (dalam juta Rupiah) pemerintah mengubah bentuk Perumtel menjadi Indosat pada tahun 1980, dengan penguasaan saham PN Telekomunikasi. Peran tugasnya pun semakin sebesar 100 persen. Setelah akusisi ini, pemerintah diperlebar, yaitu selain menyediakan pelayanan mengeluarkan kebijakan untuk memisahkan jasa publik, PN Telekomunikasi juga bertugas untuk telekomunikasi internasional dan nasional, di mana PT mencari keuntungan. Perubahan bentuk Perumtel Indosat menjadi penyedia tunggal jasa telekomunikasi diikuti dengan penyerahan seluruh aset kepada internasional, sedangkan PT Telkom menjadi penyedia PN Telekomunikasi kemudian dikonversi menjadi tunggal jasa telekomunikasi nasional. bentuk saham. Kemudian pada tahun 1991 PN Seperti dijelaskan sebelumnya, rezim industri Telekomunikasi kembali diubah menjadi PT Telkom telekomunikasi di Indonesia praprivatisasi selalu dengan pemerintah sebagai satu-satunya pemilik menggunakan pendekatan penguasaan oleh saham perusahaan. pemerintah yang ditandai oleh kepemilikan saham Sementara itu pada tahun 1980, pemerintah 100 persen. Selain itu, di dalam praktik operasional mendirikan perusahaan telekomunikasi milik negara perusahaan, pemerintah berusaha mendukung lainnya, PT Indosat, yang bertanggung jawab dalam perkembangan BUMN telekomunikasi dengan penyediaan komunikasi internasional (Triyono, 2005). serangkaian regulasi yang menciptakan pasar monopoli. PT Indosat sendiri sebelumnya berstatus sebagai anak Terdapat empat alasan utama di balik diberlakukannya perusahaan dari International Telephone and Telegraph kebijakan penguasaan oleh pemerintah dan pendekatan Corporation (ITT), sebuah perusahaan telekomunikasi monopoli, yaitu (Turjig, 2009): Amerika yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1. konsep kepemilikan negara dipandang sebagai 1967, setelah Pemerintah Indonesia memberlakukan penjabaran yang tepat dari Pasal 33 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal UUD Tahun 1945, terutama yang terkait dengan Asing. Selanjutnya, pemerintah mengambil alih PT definisi istilah “kendali negara”.

Sumber: Herry, 2008. Gambar 2. Perkembangan Pendapatan PT Indosat Tahun 1990-1999 (dalam juta Rupiah)

220 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 215 - 226 2. kebijakan telekomunikasi Indonesia mewarisi bergerak di pasar internasional dan pemerintah kebijakan di sektor komunikasi pada masa tidak memiliki kewenangan untuk membentuk pasar pemerintahan Belanda, yaitu kebijakan monopolistik di pasar tersebut. Selain itu, masih monopoli berbasis negara. terbatasnya integrasi dengan jaringan perusahaan 3. monopoli negara telah menjadi arus utama telekomunikasi internasional juga turut menghambat telekomunikasi dunia sejak tahun 1900an hingga perkembangan bisnis dari PT Indosat (Herry, 2008). akhir tahun 1980an. Kebanyakan negara, termasuk Dari penjelasan kedua kasus perusahaan di Indonesia, telah mengikuti rezim tersebut dalam atas dapat disimpulkan bahwa rezim penguasaan perumusan kebijakan di sektor telekomunikasi. oleh pemerintah dan pengaturan yang bersifat 4. telekomunikasi dianggap sebagai sektor strategis monopolistik mampu memberikan pertumbuhan yang harus dikuasai oleh negara. keuntungan secara konsisten dan berdampak positif bagi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Tampaknya, praktik monopolistik ini berhasil Namun kebijakan ini belum dapat dikatakan sebagai membawa peningkatan kinerja bagi BUMN kebijakan terbaik bagi perusahaan telekomunikasi, telekomunikasi ditandai dengan meningkatnya mengingat masih terdapat peluang yang belum pendapatan PT Telkom dan PT Indosat pada kurun dimanfaatkan sebagai akibat tertutupnya peluang waktu tahun 1990-1999 sebagaimana dapat dilihat investasi dari pihak swasta. pada Gambar 1 dan Gambar 2. Seperti terlihat pada Gambar 1, pendapatan PT B. Kebijakan Pengendalian BUMN Telekomunikasi Telkom selama sepuluh tahun meningkat lebih dari Setelah Rezim Privatisasi 1.000 persen dari Rp86,12 miliar menjadi Rp1,17 triliun. Setelah mengalami rezim penguasaan negara Peningkatan pendapatan yang tajam ini tidak terlepas dan monopoli sejak tahun 1974, akhirnya pada dari penguasaan saham oleh pemerintah diikuti tahun 2003 pemerintah memulai rezim privatisasi oleh strategi penciptaan regulasi yang mendekati BUMN telekomunikasi ditandai dengan pelepasan pasar monopoli. Sebagaimana diketahui, pasar yang mayoritas saham PT Indosat kepada Singapore mendekati pasar monopolistik akan menyediakan Technologies Telemedia (STT) (Dwiardhika, 2003). keuntungan terbesar bagi perusahaan (Hooper, 2009). Setelah pelepasan tersebut, kepemilikan pemerintah Faktor lain yang mendorong perkembangan kinerja di PT Indosat tinggal 15 persen. Untuk lebih jelasnya dari PT Telkom adalah pada waktu itu belum terbentuk mengenai struktur kepemilikan saham di PT Indosat pasar Telekomunikasi yang merata di seluruh wilayah dalam rentang waktu tahun 2001-2007 dapat dilihat Indonesia sehingga masih banyak kesempatan untuk pada Tabel 1. melakukan penetrasi (Herry, 2008). Alasan utama yang mendesak Pemerintah Sementara itu sebagaimana terlihat pada Indonesia untuk melakukan privatisasi dalam Gambar 2, PT Indosat juga membukukan peningkatan industri telekomunikasi adalah motif pragmatis, pendapatan lebih dari 700 persen dari Rp68,3 miliar tekanan internasional, komitmen internasional, dan menjadi Rp548,19 miliar dalam rentang waktu tahun peningkatan penyediaan layanan telekomunikasi itu 1990-1999. Dari aspek nilai pendapatan, memang sendiri (Klestiono, 2008). Selain itu, ada salah satu PT Indosat tidak berhasil membukukan keuntungan pandangan juga mengemukakan bahwa privatisasi sebesar PT Telkom. Hal ini dikarenakan PT Indosat Tabel 1. Perkembangan Kepemilikan Saham di PT Indosat Tahun 2001-2007 (persen)

Kepemilikan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Pemerintah Indonesia 65 65 15 15 14,69 14,67 14,29

Indonesian Communications Limited, Mauritius - - - - 41,08 41,01 39,96

STT Telemedia - - 41,94 41,94 - - -

Indonesian Communications Limited, Singapore ------0,85

Wityasmoro Sih Handayanto ------0,01

Wahyu Wijayadi ------0,01

Raymond Tan Kim Eng ------0,01

Sumber: Indonesian Capital Market Directory (ICMD), 2002-2014.

Sahat Aditua F. S., Kendali Negara atas BUMN Sektor Telekomunikasi Pascaprivatisasi | 221 Sumber: Indonesian Capital Market Directory, 2002-2014. Gambar 3. Perkembangan Kinerja PT Indosat Pascaprivatisasi (dalam miliar Rupiah) dapat digunakan sebagai cara untuk menyelamatkan membentuk kepercayaan bahwa pemerintah memiliki keuangan pemerintah. Hal ini biasa dilakukan bila niat untuk meningkatkan profesionalisme dalam sebuah negara berada dalam kondisi krisis finansial pengelolaan perusahaan negara. yang memaksa pemerintah untuk menjual aset Dari pembahasan tersebut, pelibatan modal yang dimilikinya dalam rangka mendanai kegiatan dari pihak swasta seiring diberlakukannya kebijakan operasional negara (Klestiono, 2008). privatisasi terbukti mampu meningkatkan kinerja Kasus privatisasi PT Indosat sendiri pada awalnya perusahaan. Keterlibatan pihak lain di luar merupakan upaya untuk menyelamatkan negara pemerintah memberikan kontribusi pada manajemen yang pada awal tahun 2000-an mengalami kesulitan perusahaan secara keseluruhan sehingga berdampak keuangan sebagai dampak dari krisis finansial global kepada peningkatan keuntungan perusahaan. yang terjadi pada periode tahun 1996-1999 (Widiati, 2005). Pada saat itu opsi yang mengemuka bagi C. Instrumen Pengendalian Negara Setelah privatisasi PT Indosat berupa penjualan langsung ke Privatisasi perusahaan swasta, khususnya investor asing. Opsi ini Privatisasi pada dasarnya merupakan sebuah dipilih karena pada saat itu kondisi perusahaan nasional instrumen politik dan hukum. Privatisasi sendiri telah juga tengah berada dalam kondisi krisis, sedangkan menandai pergeseran paradigma dalam pengelolaan kapasitas pasar modal lokal juga sudah sangat terbatas perusahaan negara, dari rezim monopolistik oleh karena banyak modal yang lari ke luar negeri. negara menjadi rezim kompetisi, di mana perusahaan Namun pada akhirnya pemerintah melihat negara dan perusahaan swasta lebih memiliki bahwa privatisasi yang dilakukan terhadap PT kesempatan untuk bersaing yang setara (equal level Indosat mampu meningkatkan kinerja perusahaan of playing field). Khusus untuk sektor telekomunikasi, (lihat Gambar 3). Dari gambar tersebut, dapat dilihat privatisasi tersebut juga mendorong terbentuknya bahwa PT Indosat memperoleh peningkatan, baik bisnis telekomunikasi dengan multi operator setelah dari aspek pendapatan maupun keuntungan. Dari sebelumnya bisnis bergerak dengan sistem single tahun 2004 hingga tahun 2014 terdapat peningkatan operator (Surya, 2006). pendapatan dari Rp780 miliar menjadi Rp24,08 Konsekuensi paling besar dari pemberlakuan era triliun. Sedangkan dari aspek keuntungan bersih, privatisasi BUMN telekomunikasi adalah privatisasi terdapat peningkatan dari Rp90 miliar pada tahun telah menyebabkan pemerintah tidak lagi bisa untuk 2004 menjadi Rp672 miliar pada tahun 2014. memainkan peran tripartit yang secara tradisional Pemerintah pada akhirnya juga menyadari bahwa telah berperan dalam industri telekomunikasi. Peran terdapat dampak positif lainnya sebagai hasil dari tersebut adalah pemilik, regulator, dan operator privatisasi, yaitu peningkatan kredibilitas pemerintah telekomunikasi. Dengan privatisasi, maka peran dalam menjalankan bisnis. Sebagaimana diketahui, operator telah berpindah tangan ke pihak swasta privatisasi adalah proses penyerahan sebagian yang pada praktiknya juga banyak melibatkan peran kepemilikan saham kepada pihak swasta ataupun perusahaan swasta lain di luar penjualan saham publik sampai pada jumlah di mana pemerintah tidak perdana. Pengalaman internasional menunjukkan lagi memegang kepemilikan saham mayoritas. Bagi bahwa setelah dilakukan privatisasi, maka peran pelaku bisnis secara keseluruhan, tindakan tersebut pemerintah akan lebih menonjol sebagai pembuat

222 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 215 - 226 kebijakan dan regulator dengan serangkaian memiliki hak veto yang melekat kepada pemegangnya. peraturan yang bersifat sektoral (Edward, 2008). Oleh Oleh karena keistimewaan hak yang melekat pada karena itu, bisa dikatakan bahwa privatisasi telah saham tersebut, maka mau tidak mau saham emas menggeser mekanisme kendali negara terhadap harus dijual dalam harga premium, atau harga di atas BUMN dari langsung menjadi tidak langsung (melalui harga saham konvensional. Secara rata-rata harga serangkaian paraturan sektoral). saham emas ini senilai 200 persen atau dua kali lipat dari Dari segi kewenangan, memang terdapat harga saham konvensional. Dengan kepemilikan minimal kemunduran dalam hal kendali negara secara tidak yang disyaratkan oleh RUPS, maka bisa jadi kepemilikan langsung. Apalagi kendali negara tersebut juga saham emas akan membebani kas negara (Sobari, 2009). berhadapan dengan rezim kompetisi bebas yang Selain permasalahan dari sisi anggaran yang melibatkan banyak perusahaan telekomunikasi dibutuhkan untuk memiliki saham emas tersebut, milik swasta. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk permasalahan lainnya bersumber dari kewenangan mampu memaksimalkan fungsi kendali terhadap veto yang dimiliki. Sebagaimana diketahui dalam perusahaan yang telah diprivatisasi, namun di sisi mekanisme korporasi, RUPS merupakan forum lain pemerintah juga tetap memiliki tanggung jawab tertinggi dalam pengambilan keputusan perusahaan. untuk memaksimalkan penghasilan dari BUMN Oleh karena itu, keputusan yang diambil dapat telekomunikasi. Untuk mengakomodasi kedua dianggap merupakan keputusan terbaik secara tujuan tersebut, maka pemerintah dapat menempuh bisnis, sehingga segala keputusan veto yang metode kendali sebagai berikut: membatalkannya dapat berakibat kurang baik 1. Penerbitan Saham Emas terhadap kinerja perusahaan. Selain itu keputusan Secara definisi saham emas merupakan jenis saham veto dapat merusak reputasi pemerintah selaku yang memberikan kekuasaan kepada pemegangnya hak pemegang saham emas. Dampak lebih jauhnya untuk melakukan veto terhadap keputusan-keputusan adalah pemegang saham yang lain ke depannya akan yang diambil oleh perusahaan (Thompson, Peteraf, sulit mengambil sikap kooperatif terhadap kebijakan Gamble, and Strickland, 2013). Pemegang saham yang akan diambil pemerintah melalui perusahaan. emas memiliki hak voting yang istimewa yang dapat 2. Pembentukan Badan Pengatur Independen membatalkan keputusan yang telah diambil oleh Rapat Sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, Umum Pemegang Saham (RUPS) tanpa memerhatikan rezim privatisasi telah mendorong perubahan posisi rasio kepemilikan saham biasa. pemerintah di dalam industri telekomunikasi. Setelah Salah satu penelitian menunjukkan bahwa privatisasi, pemerintah lebih berperan sebagai metode kendali negara melalui penerbitan saham pembuat kebijakan daripada pemain. Dengan kata emas merupakan salah satu metode kendali yang lain sektor telekomunikasi mengalami perubahan populer (Marsy, 2007). Salah satu alasannya adalah dari penawaran berbasis regulasi pemerintah ke dengan metode ini, kewenangan kendali negara penawaran berbasis pasar. Perubahan struktur dapat dijalankan melalui mekanisme RUPS. Melalui telekomunikasi ini diyakini akan lebih membawa mekanisme RUPS, maka kendali negara dapat perubahan terhadap kinerja BUMN telekomunikasi dilakukan melalui mekanisme korporasi. Mekanisme sebagai akibat lansekap persaingan yang lebih intensif. korporasi tersebut secara umum lebih dapat diterima Sejalan dengan perubahan struktur industri oleh dunia bisnis daripada mekanisme intervensi telekomunikasi tersebut, maka keterlibatan negara secara langsung. pemerintah di dalam detail pengelolaan BUMN akan Metode pengendalian negara melalui penerbitan memberikan persepsi negatif terhadap pasar. Oleh saham emas juga dilakukan bila pada kenyataannya karena itu, muncul usulan untuk membentuk badan bisnis BUMN tersebut akan lebih berkembang bila pengatur industri telekomunikasi yang bersifat diprivatisasi, namun ada keengganan dari pemerintah independen. Peran badan pengatur ini berperan untuk melepas kendali dari perusahaan tersebut. sangat penting di dalam perubahan paradigma Seringkali keengganan tersebut berkaitan dengan sektor pengaturan BUMN yang bersifat politis menjadi lebih usaha di mana perusahaan beroperasi, seperti sektor berorientasi kepada bisnis dan profesionalisme. strategis, maupun sektor-sektor yang tidak memenuhi Namun hal yang penting untuk diperhatikan adalah syarat untuk diprivatisasi. Dari sudut pandang ini, bagaimana menyeleraskan kepentingan pengaturan maka dapat dikatakan bahwa saham emas merupakan pemerintah yang melindungi kepentingan rakyat metode pengendalian pemerintah yang juga mencoba Indonesia dengan kepentingan bisnis. mengakomodasi pemilik baru melalui privatisasi. Pemerintah Indonesia pernah membentuk Namun terdapat permasalahan dalam Badan Pengatur Industri Telekomunikasi Indonesia mengimplementasikan kebijakan kepemilikan saham melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. KM emas. Sebagaimana dijelaskan di atas, saham emas

Sahat Aditua F. S., Kendali Negara atas BUMN Sektor Telekomunikasi Pascaprivatisasi | 223 31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi yang diberikan dapat berupa penggunaan peralatan, Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Tujuan pembentukan layanan, ataupun penggunaan jaringan. Pihak swasta BRTI tersebut adalah memastikan tersedianya yang ingin menyelenggarakan usaha telekomunikasi lapangan persaingan yang fair dan tidak menimbulkan di Indonesia harus mengajukan ijin penggunaan monopoli bagi salah satu pihak. Pemerintah yakin lisensi kepada Pemerintah selaku pemilik dari bahwa masyarakat akan memperoleh manfaat yang infrastruktur telekomunikasi tersebut. maksimal dari penyelenggaraan telekomunikasi bila Lisensi sendiri merupakan aspek kunci dalam kompetisi dilaksanakan secara adil dan mencegah regulasi telekomunikasi dan kebijakan lisensi tersebut praktik monopolistik dari salah satu pihak. di beberapa negara telah menjadi model baru dalam Secara struktural BRTI sendiri tidak lepas dari penguasaan negara terhadap sektor telekomunikasi pemerintahan. Struktur BRTI merupakan lembaga (Angel, 2005). Menariknya, ternyata pendekatan lisensi setingkat eselon 1 di bawah Kementerian Perhubungan ini juga turut mendorong pemerintah untuk proaktif yang beranggotakan Direktorat Jenderal Pos dan di dalam mengembangkan teknologi telekomunikasi. Telekomunikasi dan Komite Regulasi Telekomunikasi. Hal ini dikarenakan dalam pendekatan lisensi, Berkaitan dengan struktur ini, pemerintah berpendapat pemerintah juga dituntut untuk menguasai teknologi bahwa BRTI tidak perlu harus sepenuhnya lepas dari yang mutakhir dalam rangka menjaga kendali negara, pemerintah. Untuk mengakomodasi kepentingan khususnya terhadap perusahaan telekomunikasi dunia usaha, maka keanggotaan BRI terdiri atas dua swasta asing yang menguasai teknologi terkini. unsur, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan NonPNS. Penguasaan tersebut juga dapat mencegah kompetisi Keanggotaan NonPNS diperuntukkan bagi kalangan yang kurang adil khususnya pada persaingan yang profesional di dunia telekomunikasi dan ditempatkan melibatkan pemain telekomunikasi dari berbagai di Komite Regulasi Telekomunikasi. macam latar belakang penguasaan teknologi. Maksud semula dari pemerintah membentuk BRTI Namun terdapat risiko di dalam penggunaan adalah untuk membentuk badan pengatur sekaligus metode kendali negara berupa pemberian lisensi pengawas sektor telekomunikasi yang independen. tersebut. Risikonya adalah pemerintah dapat Namun salah satu penelitian menunjukkan bahwa memberikan lisensi kepada salah satu operator BRTI memiliki paling tidak tiga kelemahan sebagai telekomunikasi dan tidak memberikan lisensi yang berikut (Sugondo dan Bhinnekawati, 2007): sama kepada operator telekomunikasi lainnya. Kasus 1. kurang legitimasi, karena pendiriannya hanya seperti ini dapat terjadi apabila sebuah operator berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan. telekomunikasi masuk sambil membawa teknologi baru 2. kurang independen, karena tetap berdiri di yang mungkin dapat meningkatkan kinerja pelayanan bawah kementerian. telekomunikasi secara keseluruhan. Sebagai bagian 3. kurang memiliki pendanaan yang cukup untuk dari perjanjian, perusahaan tersebut meminta lisensi melaksanakan tugasnya. Hal ini merupakan eksklusif yang berlaku dalam jangka waktu tertentu. implikasi dari status BRTI yang masih berada Hal ini dapat menimbulkan hambatan bagi pemain baru di bawah kementerian sehingga sumber dana untuk masuk dalam bisnis telekomunikasi dalam negeri. hanya berasal dari APBN. Dampak akhirnya adalah operator telekomunikasi tersebut dapat memonopoli pasar telekomunikasi Kelemahan sebagaimana tersebut pada akhirnya dalam negeri. Monopoli tersebut dapat mendorong menghambat pelaksanaan tugas dari BRTI. Salah terjadinya praktik penetapan harga dan layanan yang satu contohnya adalah ketidakmampuan BRTI untuk dapat merugikan masyarakat Indonesia. mengendalikan perang tarif yang terjadi antaroperator Untuk menghindari kemungkinan terjadinya telekomunikasi sehingga mendorong struktur harga yang monopoli sebagaimana disebutkan di atas, maka membingungkan masyarakat luas dalam artian harga pemerintah dapat memberikan lisensi dengan dikemas dalam promosi yang seolah-olah menunjukkan memberikan berbagai persyaratan, di antaranya harga rendah namun diikuti oleh persyaratan yang adalah (1) ketentuan alih teknologi, (2) pengenaan sebetulnya memberatkan konsumen. Selain itu, pajak telekomunikasi khusus kepada perusahaan ketidakmampuan BRTI dalam melakukan pengawasan tersebut, (3) pembatasan waktu lisensi, dan (4) juga menyebabkan banyak konten yang merugikan pengenaan ketentuan pemberian kepemilikan saham masyarakat terkirim melalui operator Telekomunikasi dalam jumlah tertentu kepada pemerintah. (Sugondo dan Bhinnekawati, 2007). 3. Pemberian Lisensi V. SIMPULAN DAN SARAN Pemberian lisensi merupakan instrumen legal A. Simpulan lain yang dapat mempertahankan kendali negara Kebijakan pengendalian BUMN telekomunikasi setelah rezim privatisasi telekomunikasi. Lisensi sebelum rezim privatisasi yang ditandai dengan

224 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 215 - 226 penguasaan oleh pemerintah dan pengaturan meminta lisensi dengan keistimewaan tertentu monopolistik mampu meningkatkan kinerja yang dapat berdampak kepada praktik monopoli. perusahaan. Namun kebijakan kendali sepenuhnya Pemerintah dapat mengantisipasi hal tersebut oleh pemerintah tersebut masih belum mampu dengan memberikan persayaratan, di antaranya memaksimalkan peluang investasi karena tertutupnya adalah (1) ketentuan alih teknologi, (2) pengenaan arus modal swasta untuk masuk ke dalam perusahaan. pajak telekomunikasi khusus, (3) pembatasan waktu Kebijakan privatisasi juga terbukti mampu lisensi, dan (4) pengenaan ketentuan pemberian meningkatkan kinerja keuangan BUMN telekomunikasi. kepemilikan saham kepada pemerintah. Selain itu, terdapat keuntungan berupa peningkatan kredibilitas pemerintah dalam menjalankan bisnis B. Saran perusahaan negara dengan menyerahkan sebagian Dengan membandingkan ketiga alternatif kepemilikan modal kepada pihak swasta. kebijakan pengendalian pemerintah terhadap BUMN Dalam rangka mempertahankan kendali telekomunikasi pascaprivatisasi, maka alternatif negara atas BUMN telekomunikasi yang telah penerbitan saham emas merupakan alternatif diprivatisasi terdapat tiga instrumen pengendalian, terbaik yang dapat ditempuh oleh pemerintah. yaitu penerbitan saham emas, pembentukan badan Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat melindungi pengatur independen, dan pemberian lisensi. kepentingan negara terhadap BUMN telekomunikasi Masing-masing instrumen pengendalian memiliki dengan mekanisme korporasi yang tentunya dapat keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri. dipersepsi secara positif oleh dunia usaha. Namun Penerbitan saham emas merupakan metode demikian, diperlukan kajian terhadap mekanisme pengendalian di mana pemerintah dapat pelaksanaan kebijakan penerbitan saham emas mengendalikan BUMN telekomunikasi, namun di sisi agar dapat dipastikan kepentingan negara sekaligus lain terdapat peluang untuk mengakomodir pemain kepentingan pemilik modal lain terhadap BUMN baru di industri ini melalui privatisasi. Permasalahan telekomunikasi dapat terakomodasi. dalam penerbitan saham emas bersumber dari kewenangan veto yang dimiliki oleh pemegang saham emas. Sebagaimana diketahui dalam mekanisme korporasi, RUPS merupakan forum tertinggi dalam DAFTAR PUSTAKA pengambilan keputusan perusahaan. Oleh karena itu, keputusan yang diambil dapat dianggap merupakan keputusan terbaik secara bisnis, sehingga segala keputusan veto yang membatalkannya dapat Buku berakibat kurang baik terhadap kinerja perusahaan. Atmasasmita, R. (2008). Hukum bisnis dalam Mekanisme pengendalian lain adalah keuangan negara. (cet. Ke-2). Jakarta: Erlangga. pembentukan Badan Pengatur Independen. Drucker, P. (2007). Management: Tasks, Pemerintah pernah menempuh mekanisme responsibilities, practices. (7th ed.). New York: pengendalian ini dengan membentuk BRTI pada Harper Collins. tahun 2003. Pembentukan BRTI sendiri memiliki tujuan untuk memastikan bahwa persaingan di bisnis Dwiyatni. (2005). Ideologi negara dalam pengelolaan telekomunikasi dapat terselenggara secara adil BUMN. Yogyakarta: ANDI. sekaligus mencegah praktik monopoli dari salah satu Misdiyono. (2010). Sejarah telekomunikasi Indonesia. penyelenggara telekomunikasi. Namun struktur BRTI Jakarta: Erlangga. yang masih di bawah Kementerian Perhubungan menyebabkan badan ini menjadi tidak efektif Stricland, R. (2008). Management in practices. UK: dalam melaksanakan tugas pengawasannya. Selain McGraw Hill. itu, independensi dalam melaksanakan tugasnya Thompson, A., Peteraf, M., Gamble, J. E., and menjadi isu tersendiri yang menjadi sorotan pelaku Strickland III, A. J. (2013). Crafting and executing bisnis telekomunikasi. strategy: The quest for competitive advantage. Metode pengendalian berikutnya adalah (19th ed.). UK: McGraw Hill. pemberian lisensi. Lisensi yang diberikan dapat berupa penggunaan peralatan, layanan, ataupun penggunaan Triyono. (2005). Sejarah privatisasi BUMN di jaringan. Risiko yang mungkin timbul dalam Indonesia. Yogyakarta: ANDI. instrumen pengendalian ini adalah kemungkinan Sugondo dan Bhinnekawati. (2007). Perkembangan operator telekomunikasi yang memiliki posisi regulasi telekomunikasi di Indonesia, Jakarta: tawar tinggi dapat menekan pemerintah dengan Erlangga.

Sahat Aditua F. S., Kendali Negara atas BUMN Sektor Telekomunikasi Pascaprivatisasi | 225 Wijaya, R. (2012). Transformasi PT , Smith, J. T. (2007). Public service reform during 20th Jakarta: Elex Media Komputindo. centuries. Bulletin of National Economic, Issue Num 243, 12-18. Jurnal dan Working Paper Smith, R. D. (2008). Gazprom: An inside view Angel, W. (2005). Legal licensing: An approach towards telecommunication services. Bulletin of toward state control and flexibility. Journal of International Policy, Ed. XII, 53-70. International Commercial Law and Technology, Sobari, I. (2009). Analisis struktur kepemilikan 5(3), 211-243. saham terhadap kinerja perusahaan blue chip Bouin, O. (2008). The privatization in developing pada bursa efek Indonesia. Jurnal Kinerja UAD countries: Reflections on a panacea. Journal of Yogyakarta, 5(2), 1.020-1.054. Management, 3(3), 111-128. Starr, J. (2000). New corporate theory: Non price Dwiardhika, D. (2003). Analisa privatisasi BUMN di competitiveness performance. Journal of Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Economic Modeling, 2(1), 117-130. 6(3), 285-307. Sturridane, B. (2008). The meaning of privatization. Emke, D. (2008). Nation control revisited. Yale Law Yale Law and Policy Review, VI(1), 6-20. and Policy Review, 6(2), 37-41. Subiakto, D. (2008). Pendekatan dalam pengelolaan Hooper, J. D. (2009). Why monopolistic telecoms BUMN: Paradigma keuangan negara. Jurnal threaten internet equality. Journal of Bisnis dan Manajemen, 1(2), 89-101. E-Commerce, 2(2), 78-90. Surya, T. (2006). Ekonomi politik privatisasi BUMN. Jenooter, A. (2009). Privatization practices: Jurnal Kebijakan Ekonomi, 5(1), 451-480. Telecommunication industry in Zimbabwe. Turjig, H. (2009). Policy on state owned enterprises: International Journal on Public Sector Sectoral approach. Journal on International Management, IV, 56-67. Economy, 2(2), 51-61. Jueley, E. J. (2008). What really happened during Utherland, W. (2012). What really happened SOE’S Shanghai Bell privatization. Enterprises Bulletin, strategic selling?. Journal of International Finance, 3, 20-28. 2(1), 11-45. Klestiono, H. (2008). Analisis terhadap praktek Widiati, K. E. (2005). Analisis terhadap privatisasi privatisasi pasca orde reformasi. Jurnal Ekonomi PT Indosat. Jurnal Bisnis dan Manajemen UGM, Pembangunan, 3, 45-65. 3(2), 268-291. Kim, S. and Cho, L. Y. (2006). An analysis on Korean Winny, F. (2008). Paradigma keuangan negara dalam industry strategic selling. Contemporary Economic BUMN. Jurnal Trikonomika, 4(3), 72-90. Policy, 1(3), 190-200. Yao, Y. (2009). The commercial use of Marsy, Y. (2007). State control and regulation over under the framework of SOE’S. Journal of Air and international SOEs. Journal of International Space Law, 24(6), 304-313. Affair, 9(3), 42-53. Zubaedi, H. (2008). Strategic approach on Melody, W. H. (2007). Telecom reform: Principles, telecommunication industry. Jurnal Manajemen policies and regulatory practices. Den Private dan Bisnis, 1(1), 280-301. Ingeniorfond, Technical University of Denmark: Lyngby, 11-18. Dokumen Resmi Moe, R., Crals, E., and Vereeck, L. (2005). What is Indonesian Capital Market Directory (ICMD), 2002-2014. national competitiveness?. International Journal of Sustainable Development and World Ecology, Website 12(2), 173-184. Davis, B. (2014). Pengaruh BUMN menguat di Cina. Nugroho, H. (2007). Tinjauan prinsip manajemen Diperoleh tanggal 24 Februari 2014, dari http:// BUMN: Studi kasus di PT Semen Gresik. Jurnal indo.wsj.com/posts/2014/02/24/pengaruh- Manajemen dan Bisnis, 8(1), 28-34. bumn-menguat-di-cina/. Pettrazini, B. (2008). The political economy of telecommunications reform in developing country. Journal of International Policy, 3, 143-158.

226 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 215 - 226