KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN DISKURSUS ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED FARID ALATAS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh: ANITA NIM : 1110015000015

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M

ABSTRAK

ANITA, 1110015000015, Konsep Captive Mind dan Kaitannya dengan Diskursus Alternatif Terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi Pemikiran Syed Farid Alatas. Program Studi Pendidikan IPS, Konsentrasi Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014

Skripsi ini bertujuan menjelaskan konsep captive mind yang dikemukakan Syed Hussein Alatas, dan kaitannya dengan pemikiran Syed Farid Alatas tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi. Teori yang digunakan adalah Captive mind atau imitasi tidak kritis atas ilmu sosial Barat yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas, serta fenomena Eurosentrisme yang dikemukakan oleh Samir Amin dan Immanuel Wallerstein. Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang menggunakan banyak buku dan artikel dalam jurnal ilmiah. Penulis melakukan analisis atas temuan konsep yang terdapat dalam karya Syed Farid Alatas. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan yang mendalam antara konsep captive mind dan imperialisme akademik yang dikemukakan Syed Hussein Alatas, dengan diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas. Alatas menghimpun gagasan ilmuwan Dunia Ketiga yang berusaha keluar dari dominasi Orientalisme dan Eurosentrisme. Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Diskursus alternatif ini terdiri dari indigenisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom; seruan kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial; teori post-kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan; dan deschooling. Pada tataran praktis, Alatas mengajak para pengajar sosiologi di universitas berkreasi dengan kurikulum pengajaran sosiologi di tempatnya mengajar. Alatas mengajak ilmuwan memasukkan unsur ilmu pengetahuan non- Barat secara seimbang dalam perkuliahan, tanpa harus menghilangkan pengajaran teoritis ilmuwan Eropa secara intoto.

Kata Kunci : Captive mind, Eurosentrisme, diskursus alternatif, Syed Farid Alatas

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat hijab yang telah disingkapkan-Nya, penulis memperoleh ilmu serta karunia-Nya yang tak terhingga untuk dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Konsep Captive Mind dan Kaitannya dengan Diskursus Alternatif Terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi Pemikiran Syed Farid Alatas”. Shalawat dan salam juga terucap pada junjungan mulia, Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, keturunannya, dan kita sebagai ummatnya yang memperoleh syafaatnya di Yaumul akhir. Aamiin, Allahumma aamiin. Sesungguhnya penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat menjadi pembuka jalan untuk meneliti berbagai konsep dalam disiplin ilmu sosial, yang digunakan sebagai pengembangan teori dan konsep sosiologi di seluruh dunia. Semoga penelitian terhadap karya seorang tokoh Sosiologi kontemporer ini dapat memperoleh tempat dalam disiplin ilmu Sosiologi secara khususnya, dan ilmu sosial secara umumnya. Penulis juga mengharapkan agar penulisan skripsi ini dapat memberi inspirasi dalam menemukan akar kekeliruan pengadopsian ilmu sosial Barat di Indonesia, dan melakukan antisipasi atas fenomena negatif tersebut. Penyusunan laporan penelitian ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang membantu sejak awal penelitian hingga penyusunan laporan ilmiah berbentuk skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Syed Farid Alatas yang menjadi tajuk utama penelitian ini, beserta semua guru besar serta kerabat yang membantu dalam pengumpulan data yang sulit diperoleh di Indonesia. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Nulena Rifa’i, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. 2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FITK UIN Jakarta.

iii

3. Drs. Syaripulloh, M.Si, dosen pembimbing dan orang tua yang selalu memberi motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berkarya melalui pena. 4. Dr. Muhammad Arif, M.Pd dan Dr. Ulfah Fajarini, M.Si sebagai penguji sidang munaqasyah yang memberikan arahan kepada penulis agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 5. Mbak Septi Rostika (mahasiswa pascasarjana UGM) yang telah memberikan akses jurnal online Universitas Gajah Mada. Berkat akses inilah makalah-makalah dalam jurnal seluruh dunia diperoleh penulis. 6. Mahaguru yang terhimpun dalam The Center for Gender Studies; ibu Dr. Dinar Dewi Kania, ibu Tetra, bunda Rita Hendrawati Soebagyo, M.Si, Ummi Suci Susanti, ibu Anita Syaharudin, pak Dr. Wendi Zarman, ust. Kholili Hasib, M.A, Sakinah Fithriyah, kak Sarah Mantovani, teh Rira Nurmaida, kak Nunu Karlina. 7. Kak Azeza Ibrahim Rizki (kak Eza) yang sering direpotkan untuk singgah ke Ciputat dalam menerjemahkan beberapa jurnal ilmiah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. 8. Guru besar pada Kuliah Filsafat Syed Muhammad Naquib al-Attas angkatan 1, ust Adnin Armas, M.A, beserta semua rekan seangkatan. Karena kalianlah hijab filsafat Islam yang begitu tebal dapat disingkapkan. 9. Akhwat KFA 1, kak Fathia, kak Rahmatika, kak Ayu, kak Zae, kak Zirah, dan kak Iin, yang selalu memberi motivasi dalam menuntut ilmu. 10. Ust Nirwan Syafrin, M.A, Ph.D, yang telah membimbing belajar bahasa Arab dasar serta kajian kitab Islam dan Sekularisme karya Prof. S.M.N Al- Attas. Serta do’a dari santri Pondok Pesantren Husnayain Kabandungan Sukabumi Jawa Barat. 11. Saudara-saudari di Singapura, akak Siti Raudhah Jamil dan akak Siti Aisyah Jamil yang membantu penulis mengakses beberapa data di Singapura yang sulit ditemukan di Indonesia.

iv

12. Rekan-rekanku di facebook, spesial atas ilmu dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Wan Muhammad Nur Wan Daud, Prof. Dr. Khalif Muammar dan lain-lain. 13. Spirit dan semangat dari yang lainnya, rekan-rekan HMJ Pendidikan IPS, teman-teman Sosiologi dan Antropologi angkatan 2010, teman-teman di pembibitan mahasiswa Duta Dewantara I. 14. Keluarga: Ayah saya Rahmat Syam, ibu saya (almh) Wartinah, (alm) Bang Muhammad Taufan, bang Ade Kurniawan, Ayunda (Megawati), dan Iam (Muhammad Ilham Nur Huda Syam) yang tak pernah putus memberikan do’a dan motivasi kepada penulis untuk senantiasa taat kepada Allah dan Rasulnya dalam berkarya. Terakhir, harapan penulis semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Masukan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati demi penyempurnaan karya di masa yang akan datang.

Jakarta, 24 Juli 2014

Anita

v

DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...... i ABSTRACK ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL ...... viii DAFTAR LAMPIRAN ...... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 8 C. Pembatasan Masalah ...... 9 D. Perumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan Penelitian ...... 9 F. Manfaat Penelitian ...... 10 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Teori Captive Mind ...... 11 B. Sejarah Sosiologi sebagai Disiplin Ilmu ...... 22 C. Permasalahan Eurosentrisme dalam Ilmu Sosial ...... 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ...... 49 B. Metode Penelitian ...... 49 C. Prosedur Penelitian ...... 53 BAB IV KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME DALAM SOSIOLOGI A. Konsep Captive Mind Syed Hussein Alatas dan Kaitannya dengan Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas ...... 68

vi

B. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus Alternatif ...... 76 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 135 B. Saran ...... 136 Daftar Pustaka ...... 138 Biodata Penulis Lampiran-lampiran

vii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Rincian Proses Pembuatan Skripsi ...... 49 Tabel 2 : Buku yang Dihasilkan Syed Farid Alatas ...... 60 Tabel 3 : Makalah Syed Farid Alatas yang Diterbitkan pada Jurnal di Seluruh Dunia ...... 61

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan sarat dengan nilai tertentu (value laden).1 Inilah pendapat kalangan yang melihat realitas bahwa ilmu dilahirkan dari sebuah masyarakat, dan setiap masyarakat memiliki konsep, nilai, tradisi, serta kepercayaanya sendiri. Dengan nilai tersebut, ilmu pengetahuan dapat dikendalikan oleh penciptanya baik secara nyata maupun tersembunyi. Pencipta ilmu dapat menggerakkan setir, menentukan arah dan tujuan atau mungkin dapat menabrak dan melindas segala hal yang menghalangi tujuannya. Kenyataan ini terjadi sekarang. Banyak akademisi yang melihat bahwa science kontemporer yang menghasilkan berbagai teknologi untuk memudahkan pekerjaan manusia juga memiliki maksud terselubung. Maksud tersebut terlihat dari upaya menjadikan manusia tergantung pada sebuah „alat‟ atau „barang‟ yang mungkin bukanlah kebutuhannya. Dengan ketergantungan tersebut manusia akan terus mencari sejauh mana suatu alat atau barang dapat tercipta dalam rangka memuaskan keinginannya yang sebenarnya tak akan ada puasnya. Pada saat itulah motif hegemoni dalam science menjadi tampak. Berbagai perusahaan berlomba-lomba menciptakan alat untuk melestarikan sistem konsumsi dan menjadikan seseorang berada dalam narasi sebagai „konsumen abadi‟. Teknologi modern yang diciptakan untuk pembebasan manusia dari kerja, ternyata telah menjadi alat perbudakan baru.2 Fungsi teknologi modern berubah menjadi alat kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan. Manusia modern kini telah tertawan oleh ciptaannya sendiri.

1 Value Laden adalah istilah yang lazim digunakan ahli dalam memandang persoalan ilmu yang telah disisipi nilai tertentu. Ilmu modern tidaklah bebas nilai (value free), namun telah secara halus disusupi oleh worldview masyarakat Barat. Lih. Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Bogor, Bogor, 2012, h. 1-7, tidak dipublikasikan. 2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), h. 265.

1 2

Keadaan yang sama juga terjadi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Seruan positivisme yang telah dua abad lebih berkumandang mulai ditinggalkan. Sebagaimana diketahui, positivisme pertama kali digagas oleh August Comte (1798-1857), yang disebut sebagai Bapak Sosiologi.3 Ilmu sosial tidak berjalan seperti mesin yang bersifat mekanistis seperti yang dikemukakan ilmuwan positivisme. Ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari nilai-nilai yang membelenggunya. Yang terkenal dalam hal ini adalah seorang teoritis post- strukturalis, Michel Foucault pada tahun 1980. Dalam buku Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, Foucault menyatakan bahwa pengetahuan adalah kuasa, artinya pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengonstruksi kenyataan, mendisiplinkan bahkan menormalkan yang dianggap menyimpang.4 Sebelum karya Foucault yang fenomenal tersebut, telah ada teori Jurgen Habermas yang dijabarkan dalam buku Knowledge and Human Interest. Menurut Habermas, sistem pengetahuan ada pada level objektif, sedangkan minat dan kepentingan manusia adalah fenomena subjektif.5 Lebih lanjut Habermas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sarat dengan kepentingan tertentu. Tradisi positivisme menyembunyikan kepentingan teknis, humaniora menyembunyikan kepentingan komunikatif, sedangkan kritis menyembunyikan kepentingan emansipatoris.6 Kepentingan yang terdapat dalam sebuah ilmu pengetahuan dapat berarti sebagai upaya pelestarian hegemoni Negara tertentu pada Negara lain. Pelestarian hegemoni tersebut diciptakan dengan melakukan dikotomi seperti Barat-Timur, Pusat-Pinggiran, Maju-Berkembang. Dikotomi superior dan inferior ini menghasilkan pola pikir yang salah terhadap Negara berkembang atau penyebutan lain adalah Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Pertama sebagai Pusat

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 4. 4 Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, (New York: Pantheon, 1980). 5 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 185. 6 Oki Rahadianto Sutopo, “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 16, no. 2, Juli 2011, h. 201. 3

mengendalikan politik dan ekonomi Dunia melalui ilmu pengetahuan yang telah disisipkan ideologi tertentu. Negara Dunia Ketiga sebagai inferior tidak dapat berbuat banyak karena standarisasi ketat telah diciptakan oleh Negara Pusat. Ilmuwan Negara Dunia Ketiga sebagai pinggiran akhirnya memproduksi pengetahuan berdasarkan standarisasi yang telah ditetapkan. Negara pinggiran hanya mampu menjadi bayang-bayang dominasi ilmu pengetahuan Negara pusat. Keadaan ini terus berlanjut ketika ilmuwan Negara pinggiran secara tidak sadar menjadi pelestari sistem Dunia. Mereka tanpa bisa berbuat banyak menerima hal tersebut dan menerapkannya dalam dunia pendidikan maupun kebijakan lain di Negaranya. Pada dasarnya menurut Syed Farid Alatas, proses produksi pengetahuan tidak terpisah dari kondisi sosial yang menjadi tempat keberlangsungannya. Kekuatan-kekuatan utama Ilmu Sosial adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Hal ini menurut Alatas dikarenakan: 1. Banyak Ilmu Sosial berbentuk makalah ilmiah yang diterbitkan melalui peer-reviewed journal, buku, kertas kerja dan penelitian. 2. Memiliki jangkauan ide dan informasi global yang termuat dalam karya tersebut. 3. Memiliki kemampuan mempengaruhi Ilmu Sosial Negara-negara lain karena karya-karya mereka dikonsumsi. 4. Mendapat banyak pengakuan, penghormatan, dan prestise di dalam dan Luar Negeri. 7

Selanjutnya Alatas tidak menyebutkan Jerman sebagai salah satu kekuatan utama ilmu sosial, hal ini disebabkan Jerman hanya menghasilkan dominasi global pengarang dibandingkan aliran dalam Ilmu Sosial. Sejak paruh abad ke-19, pada tingkat abstrak dan teoritis ide-ide negara tersebut banyak diimpor, dipasarkan, dan dikonsumsi Universitas- universitas di Asia. Ilmuwan sosial di Asia cenderung terpengaruh pembagian kerja Ilmu Sosial global dengan mempelajari masyarakatnya sendiri dan hanya berkutat dengan riset empiris terkait kebijakan. Karya mereka akhirnya hanya memberi kontribusi pas-pasan terhadap teori. Akhirnya muncul kebergantungan pada ide-ide jurnal ilmiah dari negara- negara tersebut. Kebergantungan akademis tersebut dilestarikan pada

7 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, (Bandung: Mizan, 2010), dalam prakata. 4

pengajaran Ilmu Sosial di seluruh Universitas dengan meminggirkan konsep lokal, regional dan ulayat.8

Berbagai pernyataan ini akhirnya memunculkan pertanyaan; 1. Dimanakah posisi pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan non-Barat atau ilmuwan di negara-negara Dunia Ketiga yang terletak di Timur dan Selatan? 2. Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan pusat dengan pinggiran dan apa dampaknya? 3. Apakah memungkinkan membangun pengetahuan alternatif untuk menciptakan relasi yang lebih adil antara ilmu sosial pusat dan pinggiran?9

Jawaban dari pertanyaan tersebut dituangkan Syed Farid Alatas dalam berbagai buku dan jurnal. Dalam karya tersebut Alatas menggambarkan permasalahan ilmu sosial di Asia dan menggagas diskursus alternatif untuk menghapus dominasi ilmu pengetahuan tersebut. Seruan alternatif yang dikemukakan Alatas tidak terlepas dari peran intelektual dua ilmuwan besar yaitu sosiolog Syed Hussein Alatas yang merupakan ayahnya dan filosof Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang merupakan pamannya. Sebagaimana diketahui, kedua ilmuwan tersebut telah bersuara lantang melakukan perlawanan terhadap Orientalisme dan Eurosentrisme sejak tahun 1960-an. Bahkan hingga kini Syed Muhammad Naquib Al-Attas masih menelurkan berbagai karya untuk menciptakan ilmu pengetahuan otonom bagi Muslim kepulauan Melayu. Adapun kenyataannya kini, Orientalisme dan Eurosentrisme ilmu sosial Barat termasuk Sosiologi tidak lagi bersifat rasis dengan mengatakan masyarakat non-Barat mundur-progresif dan biadab-beradab. Sebaliknya mereka justru menjadikan pemikir non-Barat berada dalam posisi marginal. Posisi ini seringkali tidak disadari oleh para sarjana non-Barat. Atau mungkin disadari namun seringkali merasa tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan demikian. Banyak diantara mereka yang akhirnya hanya sekedar mengetahui keadaan tanpa berupaya mengubah kondisi.

8 Ibid., 9 Oki, Op.Cit., h. 201. 5

Alatas memberi saran kepada para sarjana yang tidak dapat berbuat banyak di tingkat struktural atau dalam level kebergantungan akademik, yang tak bisa bertanggung jawab terhadap berbagai institusi (penentu kebijakan) maupun negara. Menurutnya, ada yang dapat dilakukan para sarjana pada level intelektual atau teoritis. Pada level ini, tradisi pengetahuan dan berbagai praktek budaya Non- Barat harus dipertimbangkan para sarjana sebagai sumber potensi konsep dan teori ilmu sosial, yang akan mengurangi kebergantungan akademik pada kekuatan ilmu sosial Barat. I suggest that we as scholars cannot do much at the structural or material level of academic dependency as we are neither in charge of institutions nor the state. However, there is more that can be done at the intellectual or theoretical level. At this level, non-Western knowledge traditions and cultural practices should all be considered potential sources of social science theories and concepts, which would decrease academic dependence on the world social science powers.10

Dalam berbagai buku dan jurnal, Alatas tidak melakukan kritik satu persatu teori Barat dan memunculkan diskursus alternatif terhadap semua teori yang ada. Dalam karya-karya tersebut Alatas berupaya mengimbagi Ilmu Sosial yang Eurosentris serta menghilangkan sebuah cara berpikir yang ter- Eurosentrisme-kan yaitu, captive mind (benak terbelenggu).11 Alatas menghimpun dan menelaah karya berbagai sosiolog dan ilmuwan sosial di Asia yang menyerukan gagasan untuk keluar dari kondisi tersebut. Diskursus alternatif pada dasarnya telah lama ada dalam Ilmu sosial. Banyak sarjana yang telah menghabiskan waktu untuk berkonsentrasi memecahkan persoalan Orientalisme, Eurosentrisme, Imperialisme akademik, dan lain sebagainya. Hanya saja karena terjebak pada pola yang diciptakan Barat melalui Eurosentrisme, banyak ilmuwan tidak dapat mengetahui perkembangan

10 Alatas, The Definition and Types Alternative Discourses, pp. 139. 11 Captive Mind merupakan istilah yang disebut Syed Hussein Alatas dalam beberapa jurnal. Dalam skripsi ini, istilah Captive mind merujuk pada frasa „benak terbelenggu‟, sesuai dengan frasa yang disebut penerjemah buku Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Penjelasan lanjut mengenai Captive mind terdapat pada bab II. 6

ilmu pengetahuan di sekitarnya. Semua itu karena yang terlihat di depan matanya sebuah hal spektakuler yang diciptakan oleh ilmu sosial termasuk Sosiologi Barat. Hingga kini dalam berbagai buku dan jurnal, masih banyak ilmuwan sosial yang terjebak dengan riset mengenai masyarakatnya sendiri. Anehnya dalam riset tersebut mereka sangat mengandalkan berbagai teori yang dikemukakan ilmuwan Negara-negara Barat. Padahal secara sadar maupun tidak, mereka justru melestarikan persoalan Eurosentrisme yang telah berusaha dipecahkan oleh banyak ilmuwan lainnya. Banyak sosiolog di Indonesia, misalnya menjadi tak mandiri dan hanya menjadi penerima pasif agenda riset, metode, dan ide-ide dari Negara pusat penguasa ilmu sosial.12 Hal ini terlihat dari kebergantungan pada gagasan, media, teknologi pendidikan, bantuan pelatihan, investasi pendidikan, dan lain sebagainya. Sebagai contohnya adalah maraknya jurnal ilmiah yang didasarkan pada standarisasi yang ditetapkan Negara pusat. Gagasan yang dikemukakan dalam jurnal tersebut lebih banyak mengutip teori-teori ilmuwan Barat yang terkadang dipaksakan dalam masyarakat Indonesia. Bapak Sosiologi Indonesia, Selo Soemardjan tahun 1980-an pernah menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pada tahun 2012 akan mengalami sekularisasi. Hal ini tak terelakkan, karena menurutnya Indonesia pada saat itu telah mengalami proses industrialisasi. Menurutnya pula, dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi akan mereduksi peran agama dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan sosial.13 Adapun pada dasarnya sudah terlihat secara jelas kemana arah pemikiran guru besar Sosiologi di Universitas Indonesia ini. Cara berpikir seperti ini terpengaruh dengan aliran positivisme dalam filsafat. Menurut aliran ini sekularisme merupakan keharusan sejarah dalam masyarakat rasional. Seperti sebuah mesin, terjadi mekanisasi dalam masyarakat yang meniscayakan sekularisasi dalam sebuah kemajuan teknologi.

12 Alatas, Op.Cit., h. 55. 13 Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 273. 7

Namun menurut Kuntowijoyo, fenomena sekularisasi takkan terjadi jika masyarakat Indonesia tidak terjebak pada ilmu sosial Barat yang menafikkan peran agama. Karena fenomena sekularisasi yang terjadi di Barat nyatanya telah menyebabkan kekacauan dalam sistem nilai dan norma masyarakat. Masyarakat Barat mengalami kekosongan hebat dan menjalani hidup tanpa makna. Menurut Kuntowijoyo, masyarakat Barat mengalami kekalutan hidup akibat dari proses sekularisasi, proses dereligionisasi.14 Menurut Kuntowijoyo, “Cita-cita sekularisme pada tahun 1970-an adalah bukti historis bagaimana pengaruh ilmu-ilmu sosial Barat kepada para cendekiawan Dunia Ketiga”.15 Namun pada tahun 1980-an, tradisi keilmuwan mencoba membalikkan tesis dengan memasukkan nilai dan norma agama ke dalam ilmu-ilmu sosial yang sekuler. Hal ini dikarenakan banyak sarjana yang ketika tinggal beberapa waktu di Amerika mempelajari buku-buku Islam dalam bahasa Barat, dan bertransformasi menjadi “senjata intelektual” untuk menghadapi perdebatan intelektual sekuler.16 Hingga kini waktulah yang membuktikan kebenaran teori yang dikemukakan Selo Soemardjan. Sekularisasi memang tampak dalam beberapa sisi kehidupan masyarakat, misalnya dalam dunia politik, ekonomi, dan budaya. Namun hingga saat ini, di tahun 2014 justru masyarakat Indonesia mengalami fase baru, yakni fase dimana masyarakat mulai merindukan keteraturan yang diciptakan oleh agama. Masyarakat Indonesia kini menjadi lebih religius, terbukti dengan maraknya berbagai lembaga yang mengatasnamakan agama dalam kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan telah terjadi transformasi nilai normatif menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat. Keniscayaan sekularisasi dalam masyarakat modern yang dikemukakan Selo Soemardjan dapat dijadikan contoh bahwa efek Eurosentrisme memang melekat dalam berbagai karya sosiolog di Indonesia. Banyak sosiolog yang melupakan satu hal, bahwa tidak selamanya teori relevan untuk digunakan ditempat lain. Ini juga merupakan bukti bahwa ilmu sosial Barat tidak berlaku

14 Ibid., h. 274. 15 Ibid., h. 525. 16 Ibid., h. 527. 8

secara universal. Oleh karena itu diperlukan upaya dari ilmuwan Negara Dunia Ketiga untuk melepaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu mengenai masyarakat. Berbagai cara yang ditempuh menurut Alatas dapat berupa: indigenisasi atau ulayatisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom atau nativis; seruan kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial; teori post-kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan; deschooling, dan lain-lain.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Captive Mind (benak terbelenggu) merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada para akademisi di Dunia Ketiga. Fenomena ini memiliki ciri para ilmuwan Dunia Ketiga yang meniru tanpa sikap kritis ilmu sosial yang berasal dari Barat. 2. Eurosentrisme merupakan fenomena dalam ilmu sosial termasuk sosiologi di Negara Dunia Ketiga sebagai Negara pinggiran/periphery, yang menyebabkan terjadinya dominasi ilmu sosial dari Eropa dalam arti budaya terus ada dalam perkembangan sosiologi di Dunia Ketiga. 3. Dikotomi Barat-Timur, Maju-Berkembang, Pusat-Pinggiran yang secara tersirat ada dalam ilmu sosial merupakan bagian dari upaya melestarikan konsep superior-inferior dalam ilmu sosial. 4. Negara pusat ilmu sosial yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman menciptakan kebergantungan akademik dan pembagian kerja ilmu sosial global. Hal ini menyebabkan ilmuwan Dunia Ketiga terus menjadi peneliti empiris hanya di negaranya saja, sedangkan ilmuwan Barat sebagai pusat menjadi teoretikusnya. 5. Terdapat teori-teori yang berasal dari negara pusat ilmu pengetahuan yang tidak relevan yang ketika diterapkan dalam ilmu sosial di Asia. 6. Para ilmuwan yang menyadari permasalahan Eurosentrisme dalam ilmu sosial termasuk sosiologi berupaya melepaskan keadaan tersebut dengan 9

diskursus alternatif yang terdiri atas upaya indigenisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom atau nativis; seruan kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial; teori post- kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan; deschooling, dan lain-lain.

C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, ditemukan berbagai realitas yang terjadi dalam ilmu sosial termasuk sosiologi di Negara Timur-Berkembang-Pinggiran. Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian ini mengarahkan batasan studi pada teori captive mind yang pertama kali digagas Syed Hussein Alatas, serta kaitannya dengan diskursus alternatif dalam menghadapi Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas.

D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana penjelasan tentang konsep captive mind yang digagas oleh Syed Hussein Alatas? 2. Bagaimana penjelasan tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam sosiologi yang dikemukakan Syed Farid Alatas?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui penjelasan tentang konsep captive mind yang digagas oleh Syed Hussein Alatas. 2. Mengetahui penjelasan tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam sosiologi yang dikemukakan Syed Farid Alatas.

10

F. Manfaat Hasil Penelitian Berdasarkan tujuan tersebut, diharapkan diperoleh interpretasi atas pemikiran Syed Farid Alatas mengenai alternatif Eurosentrisme dalam Sosiologi. Sedangkan manfaat atau kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Manfaat penyusunan laporan penelitian bagi peneliti, adalah: 1) Menjawab keingintahuan peneliti mengenai konsep Captive Mind yang dikemukakan Syed Hussein Alatas, serta diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi yang merupakan pemikiran Syed Farid Alatas. 2) Menunjukan hasil temuan peneliti supaya dikenal oleh banyak pihak dan membuat hasil penelitian menjadi lebih bermakna. b. Bagi pembaca, dengan adanya informasi dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasannya seputar fenomena Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Selain itu membuat pembaca termotivasi dalam menciptakan alternatif dalam sosiologi serta bersikap kritis terhadap ilmu pengetahuan Eurosentris dari Barat. c. Bagi peneliti lain, diharapkan penelitian ini menjadi contoh yang lebih baik lagi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi mahasiswa dapat menimbulkan sikap hormat-kritis terhadap ilmu pengetahuan yang sarat nilai dan diimpor dari Barat. b. Bagi UIN Jakarta, diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat, sosiologi dan ilmu sosial secara umum. c. Bagi Jurusan, dapat menjadi acuan dalam pengembangan teori serta pengajaran ilmu sosial yang lebih ulayat.

BAB II KAJIAN TEORITIK

A. Konsep Captive Mind1 Frasa “captive mind” pada dasarnya telah dikemukakan oleh Czeslaw Milosz (1931-2004) dengan bukunya yang berjudul The Captive Mind. Dalam buku yang pertama kali terbit pada tahun 1953, Milosz memulai diskusi tentang ketidakpuasannya terhadap novel karya Stanisław Ignacy Witkiewicz.2 Buku yang ditulis Milosz ini terbatas pada upayanya dalam menggambarkan situasi politik di Polandia setelah perang Dunia kedua. Frasa yang digunakannya dalam judul buku tersebut tidak menyentuh konteks gagasan yang diperbincangkan dalam skripsi ini. Pada dasarnya konsep captive mind adalah korban Orientalisme dan Eurosentrisme yang memiliki ciri, cara berpikir yang didominasi pemikiran Barat dengan cara meniru dan tidak kritis.3 Pemikiran tersebut masuk dalam semua tingkatan aktivitas ilmiah, mempengaruhi latar belakang masalah, analisis abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh sosiolog yang bernama Syed Hussein Alatas pada tahun 1972 (sebenarnya sejak tahun 50-an) dengan judul jurnal ilmiah The Captive Mind in Development Studies. Tulisan ini mengarah pada konseptualisasi pengetahuan di Negara berkembang yang didominasi Barat.

1 Dalam skripsi ini, captive mind merupakan salah satu konsep kunci yang dikemukakan Syed Farid Alatas. Sejauh penelusuran yang dilakukan penerjemah buku “Alternative Discourses in Asian Social Science: Responses to Eurocentrism” melalui google.books, google scolars, dan laman Indonesia dengan cara googling, tidak ditemukan padanan baku untuk konsep kunci ini. Secara umum entri laman dan buku yang memuat captive mind, tidak memadankan frasa tersebut. Dengan menimbang gagasan yang telah dituangkan Syed Hussein Alatas dalam beberapa jurnal, penulis menyimpulkan menggunakan frasa “captive mind” sebagai benak terbelenggu yaitu sifat atau mentalitas membebek para sarjana dengan mengacu pada sebuah nilai. 2 Tinjauan sekilas mengenai buku Czeslaw Milosz yang berjudul The Captive Mind dapat diakses di https://www.goodreads.com/book/show/145660.The_Captive_Mind. Penelusuran mengenai buku Czeslaw Milosz ini dan beberapa karyanya yang lain dilaksanakan pada tanggal 13 April 2014. Pen. 3 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme, (Bandung: Mizan Publika, 2010), h. 34.

11

12

Syed Hussein Alatas pertama kali menjabarkan masalah terbelenggunya pikiran akademisi Dunia Ketiga pada tahun 1956. Syed Hussein Alatas melihat terjadi “impor besar-besaran gagasan dari dunia Barat ke masyarakat Timur” yang dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap konteks sosial sejarah sebagai masalah fundamental kolonialisme. Menurutnya pula, pola pikir bangsa-bangsa jajahan ternyata paralel dengan imperialisme dalam bidang ekonomi dan politik. Oleh karena itu konteks yang melahirkan captive mind dapat disebut sebagai imperialisme akademis.4 Selanjutnya dalam tulisan awal di Jurnal The Captive Mind in Development Studies, Syed Hussein Alatas mengutip sebuah artikel dalam jurnal The Annals of The American Academy of Political and Social Science, yang berjudul “The Professor Abroad”. Artikel ini ditulis oleh Edward W. Weidner, seorang profesor dalam Ilmu politik. … the problems of exchange arrangements he noted the following: (a) the American professor prefers his own American teaching methods; (b) the American professor takes with him his own lecture, laboratory and seminar notes, relying on them without a great deal of modification; (c) many of the course contents of American university are not relevant to developing areas; (d) propositions considered to have the force of universal laws are often not applicable to the host country’s social system; (e) from the viewpoint of less developed countries, research by American and other foreign scholars has not been very satisfactory.5

Weidner mendiskusikan beberapa hal mengenai para profesor Amerika yang lebih menyukai metode pengajaran versi Amerika, yakni; profesor Amerika yang menggunakan perkuliahan, laboratorium dan catatan seminarnya sendiri tanpa banyak melakukan modifikasi; banyak dari isi kuliah di Universitas Amerika yang tidak relevan dengan Negara berkembang, proposisi yang dianggap memiliki kekuatan hukum universal sering tidak berlaku untuk sistem sosial negara tuan rumah; dari sudut pandang negara-negara berkembang, penelitian oleh sarjana Amerika dan lainnya belum memuaskan.

4 Ibid., h. 35. 5 Syed Hussein Alatas, “The Captive Mind in Development Studies: Some Negleted Problems and The Need for an Autonomous Social Science Tradition in Asia, Social Science Journal,” Vol. 24. No. 1 tahun 1972, pp. 9. 13

Captive Mind didefinisikan sebagai “pikiran meniru yang tidak kritis, terdominasi sumber-sumber eksternal yang menyimpang dari perspektif independen”. Sumber eksternal datang dari ilmu sosial dan humaniora Barat yang tiruan tak kritisnya mempengaruhi aktivitas ilmiah seperti pemilihan masalah, konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi. Karakteristik seorang yang terjangkiti captive mind adalah tak mampu kreatif dan memunculkan masalah secara orisinal, tak mampu menentukan metode analisis yang orisinil, dan terkunci dari isu utama masyarakat ulayat. Captive mind dilatih oleh ilmu sosial Barat, membaca karya-karya teoritis Barat, dan dididik terutama oleh pengajar Barat baik di Negara Barat sendiri atau pusat pendidikan lokal yang menerapkan standar kurikulum Barat. Where in Western civilization do we come across even a single mind trained entirely in the science from the Orient, reading books from the Orient by Oriental author, going to a university run along an Oriental tradition, taught predominantly by Oriental teachers, directly or indirectly by means of their books, dependent on libraries overwhelmingly stocked with Oriental books, using an Oriental language for higher study? The counter part of the captive mind doesnot exist in the West.6

Pada dasarnya komunitas peneliti Negara Timur terbagi menjadi dua: Pertama, bekerja sebagai orang dalam (insider), dan Kedua bekerja sebagai orang luar (outsider). Secara simultan mereka bekerja pada institusi sebagai insider dalam sebuah paradigma atau model penelitian tertentu. Disebut sebagai outsider karena mereka sering terpinggirkan dan dipandang sebagai wakil dari suatu kelompok minoritas atau kelompok kepentingan lawan.7 Menurut Syed Hussein Alatas, “impor besar-besaran gagasan dari dunia Barat ke masyarakat Timur” yang dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap konteks sosial sejarah sebagai masalah fundamental kolonialisme. Pola pikir masyarakat jajahan menurutnya searah dengan imperialisme ekonomi dan politik yang selanjutnya menghasilkan imperialisme akademis. Barat juga mengklaim

6 Syed Hussein Alatas, “The Captive Mind and Creative Development: Continuing Debate,” International Social Sciences Journal, Vol. XXVI, No. 4, 1974, pp. 691. 7 Linda Tuhiwal Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: InsistPress, 2005). Dalam pendahuluan buku ini, Linda menjelaskan bentuk penjajahan pemikiran yang dilakukan bangsa Barat sebagai kekuatan Ilmu Sosial kepada suku bangsa Maori, yang menjadi lyan (other). 14

kepemilikan cara-cara bangsa terjajah dalam mengetahui tamsil bangsanya, lalu pada saat bersamaan menampik orang-orang yang menciptakan dan mengembangkan gagasan-gagasannya, bahkan mengakuinya bahwa itu adalah miliknya. Lebih dari itu, Barat menolak kemungkinan masyarakat Timur bisa menciptakan budaya dan Nation sendiri. Cara pandang imperialisme tersebut diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan: menghimpun penduduk bangsa terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara Barat, lalu lewat kacamata Barat dikembalikan lagi pada masyarakat Timur sebagai bangsa terjajah. Makalah tentang gagasan captive mind yang dikemukakan Syed Hussein Alatas dimulai dengan efek demonstrasi (demonstration effect) yang dikembangkan James Duesenberry (1949) dalam kaitannya dengan perilaku konsumen.8 Istilah ini dipahami sebagai peningkatan pengeluaran konsumen dengan cara mengorbankan tabungan untuk sesuatu yang diyakini bernilai tinggi, dan mampu mempertahankan harga diri karena utilitas barang sersebut. Dorongan tersebut bergantung pada frekuensi kontak yang sering kali terjadi. Semakin tinggi kontak terhadap barang yang dinilai tinggi tersebut, semakin kuat pula efek dari Demonstrasi pola konsumsi. Dengan demikian hal ini menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan pola konsumsi yang dimaksud, terlebih jika ternyata barang yang dikonsumsi tidak memiliki kegunaan yang sepadan. Konsumsi pengetahuan ilmu sosial memiliki keyakinan bahwa pengetahuan Barat berada pada posisi yang superior. Menurut gagasan efek demonstrasi, peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi, karena konsumen berusaha mengikuti pola konsumsi orang-orang yang gaya hidupnya ingin mereka tiru. Kunci utama dalam asimilasi pengetahuan dari Barat adalah keyakinan atas utilitas dan keunggulan. Efek demonstrasi ini memiliki ciri: (a) seringnya berhubungan dengan pengetahuan Barat, (b) erosi atau lemahnya pengetahuan lokal atau ulayat, (c) prestise tinggi yang dinisbatkan pada

8 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind in Development, Op.Cit., pp. 10. 15

pengetahuan impor, dan (d) konsumsi seperti ini sebenarnya tidak perlu rasional dan bernilai.9 Syed Hussein Alatas menggambarkan captive mind dari peniruan telaah pembangunan Barat. Captive mind terdapat dalam berbagai aktivitas seperti abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, penempatan masalah, pemahaman, dan penguasaan data. “The corpus of Social Science, scientific knowledge and intellectual activity concerning developing areas may be grouped, for our present purpose, under the following headings: abstraction, generalization, conceptualization, problem-setting, explanation, and the understanding and mastery of data.”10 Masalah lain dalam bidang pembangunan adalah kesalahan penilaian disebabkan ketidakakraban data dan kebutaan terhadap konteks. Contohnya adalah pandangan Hagen bahwa menggali dengan cangkul bagi masyarakat Asia Tenggara adalah “proses yang canggung”. Menurut Syed Hussein Alatas, Hagen tidak memahami fungsi cangkul dalam konteks yang tepat. Cangkul digunakan masyarakat Asia Tenggara dibandingkan sekop karena permukaan tanah yang berbukit-bukit dengan lereng yang bertingkat-tingkat. Oleh karena itu kegagalan Hagen dalam melihat kegunaan cangkul merupakan hal yang serius dalam bidang antropologi. … Hagen did not understand the function of the South-East Asian hoe in its context. Here the changkol (hoe in Malay) is a much more efficient tool than the spade. In the terrace cultivation of rice on mountain slopes, where one must sometimes scrape the descending banks of a terrace downwards, the changkol and not the spade is the efficient tool. The manipulative potential of the changkol is much higher than that of the spade. With it one can dig a hole and at the same time scrape the sides with much greater ease. It is efficient for digging as well as trimming. It is suitable for the delicate construction required in padi cultivation. Furthermore it can dig much faster than a spade. Thus Hagen had ignored the anthropological principle that the function of a tool is to be judged by reference to its context.11

9 Ibid., pp. 10-11. 10 Ibid., pp. 12. 11 Ibid., pp. 15. 16

Dalam telaah pembangunan, hal ini justru ditiru dan diasimilasi oleh captive mind dan akhirnya berdampak pada rencana pembangunan yang buruk. Captive mind tidak memiliki kreativitas dan kemampuan untuk memecahkan masalah secara orisinil dengan ditandai pandangan yang terpecah, teralienasi, dari isu-isu sosial utama dan tradisi bangsanya sendiri serta merupakan hasil dominasi Barat atas seluruh dunia. Captive mind adalah fenomena khas didunia berkembang yang terlihat dari pikiran tiruan yang tidak kreatif akibat didominasi peradaban luar, yaitu Barat. Pengembangan ini mengambil bentuk “efek demonstrasi yang tidak kritis” yakni kekuatan penggerak dibalik asimilasi teori, konsep, tafsir Barat, dengan keyakinan dan keunggulan dalam agenda riset. Namun sebenarnya apa yang ditiru dalam hal tersebut menunjukkan kualitas inferior, karena hanya dapat meniru sesuatu yang berada dalam jangkauannya. Akibatnya konstruksi yang dihasratkan bukanlah “Istana intelektual yang mengesankan, tetapi sekedar gubuk di sebelah pojok”. Keterbelengguan itu menjadi masalah yang lebih besar ketika apa yang membuatnya terbelenggu tidak disadari. Padahal menurutnya seorang dapat saja mengadopsi post-strukturalisme Perancis dengan mendomestikkannya, tanpa harus terjebak captive mind.12 Contoh lain adalah anggapan bahwa masyarakat praindustri tidak dapat menghargai waktu dengan baik. “Time is money”, inilah ungkapan yang seringkali terlontar pada masyarakat industri yang akan membawa pada keuntungan materi. Masyarakat pra-industri seperti di Asia Tenggara memiliki kebiasaan ketika hendak berladang menunggu matahari naik dan selesai sebelum matahari terbenam. Selain itu, masyarakat juga sering bersantai dan mengobrol dengan rekannya di pematang sawah, sembari beristirahat. Hal ini dianggap sebagai proses yang terlalu membuang waktu dan mengakibatkan masyarakat terus terbelakang serta tidak mengalami kemajuan secara ekonomi. Anggapan bahwa tradisi adat tidak memiliki konsep waktu modern adalah suatu kekeliruan. Mengutip pernyataan Herskovits, Syed Hussein Alatas memberi penjelasan bahwa konsep waktu dapat dilihat dari sisi yang lain. Masyarakat akan

12 Alatas, Diskursus Alternatif, Op.Cit., h. 37-38. 17

menjadi tepat waktu saat menepati janji, tepat waktu saat berbuka puasa, saat melakukan shalat Jumat, membaca doa sehari-hari saat fajar dan petang. Agama Islam yang menjadi mayoritas di banyak negara, menghargai nilai waktu. Al- Qur‟an berisi judul surat, (Al-Asr) “Demi Waktu”. Nilai pengukuran waktu diakui jauh sebelum jam modern digunakan.13 Selain itu di antara umat Islam terdapat cabang pengetahuan yang disebut Ilmu hisab, ilmu penghitungan dan pengukuran. Apresiasi terhadap pengukuran waktu yang dihubungkan dengan agama bukan hanya ada pada atribut agama Islam. Sejak dahulu kala, masyarakat tradisional telah menghargai pengukuran dan ketepatan waktu. Mereka memperhatikan segala perubahan yang terjadi. Perubahan adalah salah satu komponen dalam waktu. Perubahan kebiasaan diperlukan bagi mereka yang belum terbiasa. Dengan begitu mereka tidak harus bingung dengan perubahan dalam nilai-nilai, atau perubahan konsepsi waktu itu sendiri.14 Gagasan Syed Hussein Alatas mengenai “captive mind” dilanjutkan dengan jurnal yang terbit pada tahun 1976 dengan judul “The Captive Mind and Creative Development”. Dalam jurnal ini Syed Hussein Alatas menggambarkan karakteristik captive mind, yaitu: 1. Captive mind merupakan produk dari lembaga tinggi pendidikan, baik di dalam maupun luar negeri, dengan cara berpikir yang didominasi oleh pemikiran Barat dengan cara meniru tidak kritis. 2. Captive mind adalah pikiran tidak kreatif yang tidak mampu mengangkat masalah ulayat. 3. Captive mind tidak mampu merancang metode analisis yang independen. 4. Captive mind tidak mampu memisahkan antara sesuatu yang partikular dan universal. Captive mind mengadaptasi universalisme yang disematkan pada pengetahuan ilmiah meski tidak sesuai dengan konteks lokal. 5. Captive mind terfragmentasi dalam sebuah pandangan. 6. Captive mind terasing dari isu utama masyarakat. 7. Captive mind terasing dari tradisi nasionalnya sendiri. 8. Captive mind tidak disadari oleh para ilmuwan, sehingga dia tidak berusaha keluar dari kondisi tersebut 9. Captive mind tidak setuju dengan analisis kuantitatif yang memadai tetapi mengamati sesuatu secara empiris.

13 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind in Development, Op.Cit., pp. 16. 14 Ibid., pp. 16-17. 18

10. Captive mind adalah hasil dari dominasi Barat ke seluruh dunia.15

Namun peniruan tidak selamanya salah jika didasarkan pada sikap kritis para ilmuwan. Masyarakat dapat berkembang secara konstruktif jika terjadi asimilasi melalui imitasi dalam prosedur teknologi dengan pengetahuan ilmiah yang valid dan sesuai konteks sosial. Pada kenyataannya tidak ada masyarakat, bahkan peradaban yang dapat berkembang dengan menciptakan segala sesuatunya sendiri. Ketika sesuatu ditemukan efektif dan berguna, hal itu dapat diadopsi dan diasimilasi ke dalam kebudayaan. Karena imitasi konstruktif adalah bagian dari kehidupan sosial yang tidak pernah dapat dipisahkan. Syed Hussein Alatas menyatakan imitasi konstruktif dengan beberapa ciri, yaitu: 1. Didasarkan pada pilihan yang sadar dan rasional; 2. Mendukung seruan dan nilai-nilai yang ada; 3. Menangkap masalah pada adopsi inovasi; 4. Menganggap ketika tidak mengadopsi akan menghambat perkembangan masyarakat; 5. Meningkatkan pemahaman fenomena sekitarnya inovasi; 6. Tidak mengganggu aspek lain dari kehidupan sosial yang dianggap lebih berharga; 7. Tidak menciptakan kesenjangan besar yang merugikan usaha tersebut; 8. Memasuki sistem nilai kolektif dalam arti bahwa hal tersebut diakui berharga oleh sebagian besar orang; dan 9. Hal itu bukan efek dari manipulasi oleh kelompok eksternal yang termotivasi oleh kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan adopter tersebut.16 Konsep captive mind adalah sebuah imitasi negatif, yaitu imitasi yang menunjukkan karakteristik berbeda dari imitasi konstruktif. Imitasi tersebut bukan berasal dari perkara politik atau ideologi, melainkan fenomenologis. Apa yang didefinisikan sebagai captive mind adalah bentuk perbudakan intelektual dan

15 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind and Creative, Op.Cit., pp. 691. 16 Ibid., pp.692. 19

ketergantungan pada kelompok eksternal melalui media seperti buku, lembaga, radio, pers, televisi, konferensi dan pertemuan ilmiah.17 Masalah lain yang besar dari captive mind menurut Syed Hussein Alatas adalah ketidakmampuan dalam membedakan hal yang universal dan partikular. Ketika captive mind mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, fenomena yang terjadi di Barat sering dianggap universal. Keadaan ini yang akhirnya menghasilkan „imperialisme metodologis‟. Hal ini mengasumsikan bahwa apa yang baik di satu tempat dapat berlaku ditempat lain. Selanjutnya pada taraf tertentu diharapkan Negara berkembang mengikuti jejak yang sama seperti Negara dunia pertama dalam mencapai kemajuan. Misalnya dalam kasus urbanisasi, disarankan agar semua masyarakat non-Barat melewati tahapan yang sama dari fase urbanisasi seperti yang dialami dunia Barat.18 Sebagaimana diketahui, imperialisme tidak terbatas hanya pada aspek- aspek politik atau ekonomi dari proses sejarah. Imperialisme dalam arti politik dan sejarah dapat berarti penaklukan satu orang dengan yang lain untuk memperoleh keuntungan yang dominan. Menurut Alatas, ciri-ciri umum dari imperialisme adalah sebagai berikut: 1. Eksploitasi: Ada eksploitasi yang mengontrol kekuatan untuk menundukkan orang-orang yang didominasi. 2. Ada bentuk pengawasan: Orang-orang yang didominasi dianggap seperti bangsal dalam sistem pengawasan. Mereka diajarkan hal-hal tertentu, mereka diminta untuk melakukan hal-hal tertentu, mereka terorganisir dalam tujuan dan maksud-maksud tertentu, serta diatur oleh kekuatan yang menundukkan mereka. 3. Kesesuaian: Kekuatan dominan menundukkan orang-orang yang didominasi agar sesuai dengan aspek-aspek tertentu dari hidup, organisasi, dan aturan mereka. 4. Orang-orang yang didominasi akan terus memainkan peran sekunder.

17Ibid. 18Ibid., pp. 695. 20

5. Adanya rasionalisasi intelektual yang merupakan upaya untuk menjelaskan imperialisme sebagai tahap yang diperlukan dalam kemajuan manusia, dan bahwa usaha kekuatan imperialis adalah untuk membudayakan rakyat di bawah kendalinya. 6. Penguasa imperialis: Negara yang ditundukkan memiliki bakat sebagai bangsa inferior.19 Pemikiran ini tidak hanya terbatas pada urbanisasi, tetapi secara luas diterapkan ke negara lain, seperti masalah kehidupan beragama. Kecenderungan masyarakat Barat modern adalah menjadi semakin sekuler. Keadaan ini dianggap akan dialami juga masyarakat dunia ketiga ketika mengalami modernisasi. Terdapat anggapan dari para positivis bahwa cepat atau lambat, masyarakat non- Barat juga akan menanggalkan agamanya. Ketika mereka telah mengembangkan industri sebagaimana yang telah Barat lakukan, mereka dianggap juga akan meninggalkan metafisika. Berdasarkan teori positivisme, perkembangan dunia non-Barat sejajar dengan apa yang dialami Barat. Dalam hal ini tidak ada pertimbangan atas kemungkinan lainnya. Karena indoktrinasi yang kuat, ilmuwan yang terjangkiti captive mind tidak mampu menilai secara kritis kebenaran atas usulan pembangunan secara paralel. Di negaranya ia akan melakukan penelitian yang berorientasi pada penurunan dan perusakan unsur-unsur budaya tradisional, karena orientasi ini populer di Negara Barat. Contoh lain dari captive mind adalah gagasan tentang ilmu sosial yang bebas nilai (value free). Padahal dalam kenyataannya sulit memisahkan antara kebenaran yang objektif dari sebuah interpretasi dalam penelitian. Syed Hussein Alatas memberikan sebuah analogi ringan atas fenomena captive mind dalam dunia akademik. Dalam makalahnya yang berjudul The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospect, dia menyatakan bahwa ilmuwan harus selektif memilih hidangan yang disajikan dalam piring akademik. Ilmuwan harus memperhatikan bagaimana cara

19 Syed Hussein Alatas, “Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems,” Southeast Asian Journal of Social Science Vol. 28 Number 1, 2000, pp. 23-24. 21

makanan ini dimasak beserta bahan-bahan untuk membuatnya. Seperti efek samping dari makanan cepat saji, banyak resep intelektual impor yang mempengaruhi kesehatan konsumen.20 Para ilmuwan kadang terburu-buru mengakses data empiris yang memancing mereka menjadi imitator. Mereka tidak mengakrabkan diri dengan latar belakang sejarah dan budaya masyarakat mereka sendiri. Mereka secara penuh mengandalkan dokumen yang diterbitkan dan monografik yang ditulis oleh ilmuwan Barat. Dengan demikian, mereka tidak mampu untuk melampaui pernyataan umum atau penyajian data kuantitatif. Studi mereka tetap tidak menyentuh masalah prinsipil, mereka tidak berhasil untuk mengungkap masalah yang lebih dalam pada masyarakat Asia. Meskipun ada studi yang cukup faktual berorientasi pada negara, tetapi para ilmuwan gagal untuk mengidentifikasi masalah yang signifikan yang terkait dengan negara atau wilayah.21 Studi lebih lanjut mengenai captive mind dinyatakan Syed Hussein Alatas dalam sebuah buku mengenai corak kehidupan masyarakat Melayu, Jawa, dan Filipina. Dalam buku yang berjudul “The Myth of The Lazy Native: a Study of The Image of The , Filipinos, and Javanese from The 16th to The 20th Century and Its Function in The Ideology of Colonial Capitalism,22 Syed Hussein Alatas mengkritik stigma “pribumi malas”23 yang terlanjur disematkan kepada masyarakat Melayu, Filipina, dan Jawa selama berabad-abad. Sebagaimana

20 Syed Hussein Alatas, “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospect,” Asian Journal of Social Science, 30 (1), pp. 150. 21 Ibid., pp. 151. 22 Lebih lanjut mengenai mitos pribumi malas diungkapkan Syed Hussein Alatas dalam buku yang diterjemahkan dengan judul Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Lih: Syed Hussein Alatas, The Myth of The Lazy Native: a Study of The Image of The Malays, Filipinos, and Javanese from The 16th to The 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism, (London: Frank Cass and Company Limited, 1977). 23 Syed Husin Ali dalam sebuah jurnal mengenang masa-masa hidupnya bersama Syed Hussein Alatas. Pada tahun 1965 dalam sebuah kajian ilmiah dengan orientalis yang dibentuk Sutan Taqdir Alisjahbana, Syed Hussein Alatas menjadi salah satu pemakalah dalam acara tersebut. Dalam rencana kajian kedua Hussein Alatas memberi gagasan mengenai tema diskusi berikutnya. Dalam kesempatan itu dia kemudian menggagas Image of Man mengenai stigma bahwa orang pribumi memiliki watak malas. Syed Husin Ali memperkirakan bahwa sejak saat itulah gagasan untuk menerbitkan buku yang menjadi masterpiece dari karya Syed Hussein Alatas muncul. Lih. Syed Husin Ali, “Syed Hussein Alatas (1928-2007)”, dalam Jurnal Akademika 73 Mei 2008, h. 142. 22

diketahui, mitos ini berkembang di kalangan para pelancong, peneliti, bahkan kolonialis dari Barat yang mengunjungi masyarakat di wilayah tersebut pada Era penjajahan. Stigma ini didasarkan oleh pendapat mereka mengenai ketangkasan yang kurang dimiliki masyarakat wilayah tersebut ketika menjadi pekerja di sebuah perkebunan. Mereka juga membandingkan etos kerja masyarakat pribumi yang dianggap kurang terampil, berbeda dengan etos kerja yang dimiliki masyarakat Eropa yang terbiasa bekerja pada sektor industri. Sebagai seorang sosiolog dan sejarawan, Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa stigma yang disematkan pada masyarakat di wilayah tersebut merupakan sebuah kekeliruan. Menurut Syed Hussein Alatas, stigma malas tersebut dilandasi penolakan masyarakat Melayu, Filipina, dan Jawa untuk bekerja sebagai buruh perkebunan milik para kolonialis. Stigma yang berkembang selama beberapa abad juga dinyatakan oleh para kolonialis yang memiliki kepentingan pada masyarakat di wilayah itu. Namun stigma ini sudah terlanjur melekat pada masyarakat di wilayah itu, dan ketika mitos ini berkembang pada peneliti dikalangan pribumi, captive mind sesungguhnya telah melekat pada diri peneliti tersebut.

B. Sejarah Sosiologi Sebagai Disiplin Ilmu Kelahiran sosiologi tidak terlepas dari latar belakang pengalaman sejarah Barat. Banyak hal yang tidak diakui sosiologi modern dalam perkembanganya, seperti pengaruh teori sosiologi yang dikemukakan Ibn Khaldun selama beberapa abad sebelumnya. Selama ini paradigma dalam sosiologi juga tidak terlepas dari pengaruh berbagai ilmuwan sosiologi klasik. Sebagaimana diketahui, Paradigma pertama diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structur of Scientific Revolution pada tahun 1962. Kuhn menentang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang kumulatif. Baginya ilmu pengetahuan berkembang secara revolusioner.24 Paradigma dalam sebuah disiplin ilmu pengetahuan dapat terpecah menjadi beberapa bagian. Ritzer menyatakan bahwa paradigma merupakan kesamaan

24 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 3. 23

pandangan tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu serta kesamaan metode dan instrumen yang digunakan sebagai persyaratan analisa.25 Dalam sosiologi, Ritzer membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian yaitu paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial. Sosiologi berasal dari bahasa latin, socius yang artinya kawan dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antara teman dan teman, yaitu hubungan antara seorang dengan seorang, seorang dengan golongan maupun golongan dengan golongan. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.26 Orang yang pertama kali memakai istilah atau pengertian sosiologi adalah Auguste Comte. Dialah yang dianggap sebagai bapak sosiologi. Sosiologi Barat juga dilahirkan di tengah-tengah persaingan pengaruh filsafat dan psikologi. Emile Durkheim, dengan paradigma fakta sosial berupaya melepaskan sosiologi dari filsafat positif August Comte dan Herbert Spencer. Dalam buku yang berjudul Suicide (1951) dan The Rule of Sociological Method, (1964), Durkheim berupaya memaparkan metode empiris dan hasil penelitian empiris sebagai fenomena sosial. Peranan Durkheim yang terpenting adalah atas upayanya merumuskan objek studi sosiologi. Menurut Durkheim pokok persoalan yang harus dipelajari dalam disiplin sosiologi adalah fakta sosial (social fact). Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Teori yang tergabung dalam fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro.27 Weber, seorang sosiolog menyatakan bahwa tindakan manusia tanpa kecuali, pantas dikategorikan sebagai tidakan sosial. Tindakan ini harus penuh dengan arti. Menurut Weber, sosiologi harus menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial. Teori

25 Ibid., h. 7. 26 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 4. 27 Ritzer, Sosiologi Ilmu, Op.Cit., h. 21. 24

yang tergabung dalam paradigma tindakan sosial adalah teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik, (symbolic interaktionism), dan fenomenologi (phenomenology).28 B.F. Skinner merupakan pembuka eksemplar dalam paradigma definisi sosial. Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan individu dengan lingkungannya. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adala Behavioral Sociology dan Teori Exchange.29 Penggunaan istilah sosiologi pertama kali oleh August Comte menjadi dasar peletakan sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Namun sebenarnya jauh sebelum era Comte telah ada Ibn Khaldun, yang telah mengadakan penelitian tentang masyarakat di Tunisia. Melalui buku yang berjudul Muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan mengenai tipe masyarakat yang terdiri dari masyarakat Badui dan masyarakat kota. Ibn Khaldun juga menjelaskan mengenai pola perubahan sosial dalam masyarakat perkotaan. Namun nama Ibn Khaldun sebagai peletak dasar disiplin ilmu tentang masyarakat tak dikenal, bahkan oleh para akademisi di Dunia Ketiga. Hal ini terkait erat dengan pola pikir Eurosentrik yang hinggap pada ilmu sosial yang akan dijelaskan selanjutnya. Perkembangan sosiologi dunia selalu beranjak pada perkembangan sosiologi di Barat sejak era Comte. Perkembangan sosiologi itu tidak terlepas dengan sejarah yang mendasari lahirnya berbagai teori tersebut, misalnya munculnya teori Comte mengenai positivisme terlahir oleh latar belakang revolusi Perancis. Pada era itu kekuatan agama Kristen sebagai kebenaran mutlak mulai terganti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu positivisme selalu beriringan dengan liberalisme, humanisme, dan sekularisme. Era berikutnya yaitu saat Durkheim mencoba menganalisa masyarakat dari fakta yang ada. Durkheim kemudian meneliti fenomena bunuh diri dan agama masyarakat primitif. Dengan penelitian tersebut Durkheim menemukan bahwa

28 Ibid., h. 43. 29 Ibid., h. 73. 25

masyarakatlah yang memisahkan sesuatu yang sacred dan profane. Berbeda dengan Durkheim, Marx melihat ada ketimpangan sosial dalam masyarakat kapitalis. Hal ini disebabkan sistem kapitalis yang selalu menindas kaum buruh yang menjadi pekerjanya. Selain itu Marx juga menyatakan bahwa agama merupakan candu yang dapat membuat orang tidak menyadari kelasnya. Weber dalam bukunya tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, menyatakan bahwa kapitalisme dapat berawal dari semangat agama Kristen sekte Calvinis. Hal inilah yang menjadi dasar awal teori klasik dalam sosiologi. Selama beberapa abad, teori yang dikemukakan tokoh-tokoh ini menjadi Grand theory dalam sosiologi. Pada era-era selanjutnya perkembangan sosiologi mengikuti apa yang terjadi pada masyarakat dan berlandaskan berbagai teori tokoh-tokoh tersebut. Berbagai teori yang berkembang berada di seputar upaya menyempurnakan atau mengkritik berbagai teori yang dikemukakan tokoh tersebut. Sosiologi modern lahir pada permulaan abad ke-20, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain-lain. Konsekuensi dari gejolak sosial tersebut adalah terjadinya perubahan besar pada masyarakat yang tak terelakkan lagi. Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern. Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi. Dengan berkembangnya ilmu sosiologi modern, maka lahirlah berbagai jenis ilmu sosiologi antara lain sosiologi hukum, sosiologi industri, sosiologi pedesaan, sosiologi perkotaan, sosiologi pendidikan, sosiologi 26

Islam, sosiologi seni, sosiologi informasi dan masih banyak jenis ilmu sosiologi lainnya. Semua jenis ilmu sosiologi ini muncul seiring dengan dinamika masyarakat karena objek dari disiplin ilmu ini adalah masyarakat itu sendiri. Perkembangan sosiologi dunia terpusat pada fenomena dalam masyarakat Barat. Misalnya dalam analisa perubahan sosial seringkali terpaku pada perubahan yang terjadi pada masyarakat Barat itu sendiri. Ketika dibawa dalam masyarakat Dunia Ketiga, berbagai hal itu sering irelevan dengan kenyataan. Misalnya dalam analisa perubahan masyarakat desa menuju kota, setiap teori yang berkenaan dengan masyarakat Urban tak dapat menjadi acuan utama sistem masyarakat Indonesia. Modernisasi yang diharapkan masuk ke pedesaan di Indonesia seringkali tidak cocok, karena mengakibatkan terjadinya cultural leg dalam masyarakat Desa yang tidak siap dengan proses modernisasi. Ilmuwan sosial Dunia Ketiga juga menjadikan Barat sebagai tolak ukur kemajuan. Teori pembangunan yang digunakan menggunakan standarisasi yang ditetapkan Negara Dunia Pertama. Nilai-nilai yang mendasari kemajuan Barat juga diadopsi tanpa ada upaya penyaringan. Akhirnya nilai-nilai moral pada masyarakat Indonesia seringkali rusak dengan masuknya paham liberalisme. Hal ini banyak disadari oleh para ilmuwan dan sosiolog. Namun seringkali hal ini tak dihiraukan karena yang terlintas dalam bayangan para ilmuwan adalah sebuah konsep kemajuan „ala‟ Barat. Padahal kemajuan yang terdapat dalam masyarakat Barat seringkali menanggalkan nilai-nilai religiusitas dan mengedepankan penghambaan terhadap dunia. Hal ini jelas bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia yang religius dan berketuhanan. Di Indonesia, perkembangan sosiologi tidak terlepas dari para penganut mazhab Chicago (mazhab Amerika). Pola pengembangan ini mengakibatkan riset dalam sosiologi banyak dilandasi metode kuantitatif. Perkembangan sosiologi yang mengedepankan unsur pengembangan sebuah teori banyak ditinggalkan. Sehingga pola yang terbentuk menjadikan akademisi ilmu sosial Indonesia banyak berkutat pada riset empiris tanpa banyak melakukan modifikasi atas teori-teori yang menjadi persoalan epistemologis ilmu pengetahuan.

27

C. Permasalahan Eurosentrisme dalam Ilmu Sosial Eurosentrisme didefinisikan sebagai sebuah konstruksi teoritis mengenai sejarah dunia yang membuat Eropa, berkat keunikan, keunggulan dan “takdirnya” harus menanggung “beban manusia kulit putih” berupa ekspansionisme melalui beragam bentuk. Immanuel Wallerstein dalam jurnal yang berjudul “Eurocentrism and its Avatars: The Dilemmas of Social Science”, menyatakan bahwa Eurosentrisme merasuk dalam setiap aktivitas ilmiah melalui ilmu pengetahuan. Wallerstein juga tidak merasa heran dengan fenomena Eurosentrisme pada tingkat Universitas. Karena menurutnya, Ilmu sosial adalah produk dari sistem dunia modern, dan Eurosentrisme adalah konstitutif dari geoculture dunia modern. “Social science is a product of the modern world-system, and Eurocentrism is constitutive of the geoculture of the modern world.”30 Ilmu sosial juga muncul sebagai tanggapan terhadap masalah Eropa, pada suatu titik dalam sejarah ketika Eropa mendominasi seluruh sistem dunia. Ilmu sosial Eurosentris mempengaruhi dunia pengetahuan seperti halnya yang telah mempengaruhi politik dari sistem dunia. Eropa yang dimaksudkan Wallerstein lebih sebagai budaya daripada sebagai ekspresi kartografis. Diskusi selama beberapa puluh tahun terakhir mengenai Eurosentrisme mengacu pada ekspresi Eropa Barat dan Amerika Utara. Menurutnya disiplin ilmu sosial hingga tahun 1945 hanya didominasi oleh lima Negara, yaitu Perancis, Inggris, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat. Bahkan hingga saat ini, meskipun telah terjadi penyebaran ilmu sosial, sebagian besar ilmuwan sosial di seluruh dunia tetap didominasi oleh orang-orang Eropa.31 Dalam jurnal yang sama, Wallerstein juga mengibaratkan Eurosentrisme seperti hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar32. Ketika ilmuwan

30 Immanuel Wallerstein, Eurocentrism and It’s Avatar, Keynote address at the ISA East Asian Regional Colloquium, „The Future of Sociology in East Asia‟, 22–23 November 1996, Seoul, Korea, co-sponsored by the Korean Sociological Association and International Sociological Association, http://www.iwallerstein.com/wp-content/uploads/docs/NLREURAV.PDF, pp. 93. 31Ibid.. 32 Avatar (berasal dari bahasa India, Awatara) adalah istilah untuk menyebut perwujudan Dewa dalam dunia manusia. Dalam kamus Oxford, Avatar didefinisikan sebagai “A manifestation of a deity or released soul in bodily form on earth; an incarnate divine teacher atau An incarnation, embodiment, or manifestation of a person or idea. 28

tidak hati-hati, upaya yang dilakukan dalam mengkritik Eurosentrisme justru dapat memperkuat cengkramannya pada komunitas ilmuwan. Menurutnya pula llmu sosial mengungkapkan Eurosentrisme dalam beberapa cara, yaitu berdasarkan 1) historiografinya, 2) klaim universalismenya, 3) asumsinya tentang peradaban Barat yang begitu istimewa, 4) Orientalisme yang menjadi dasarnya dalam memandang Timur, dan 5) upayanya dalam memaksakan teori kemajuan.33 Pada masalah historiografi, Wallerstein menganalisa asal mula sejarah yang menyatakan bahwa keunikan bangsa Eropa dimulai sejak abad ke enam belas. Dengan sebuah revolusi besar yang dapat menggulingkan rezim selama puluhan abad, Eropa berprestasi dengan membentuk tata dunia baru yaitu modernisasi. Dalam analisa yang berbeda, Enrique Dussel menyebut bahwa modernitas yang mendasari Eurosentrisme lahir lebih awal, yaitu pada tahun 1492. Modernitas berasal dari kota-kota bebas pada abad pertengahan Eropa yang menjadi pusat kreativitas. Modernitas juga lahir ketika Eropa berada dalam posisi siap untuk memajukan diri dalam mengeksplorasi, menaklukkan, dan menjajah bangsa lainnya.34 Meskipun Eurosentrisme memiliki beberapa inkarnasi, namun dengan historis, ekonomi, budaya dan politik yang khas, sensibilitas bangsa Eropa mampu menentukan karakter keseluruhan politik dunia. Meera Sabaratnam menggambarkannya dalam kerangka konseptual dan filosofis mengenai pembangunan pengetahuan tentang epistemologi dasar khas Barat. Oleh karena itu dia setuju dengan avatar Eurosentrisme yang disebut Wallerstein, namun mengelompokannya dalam permasalahan budaya, epistemik, dan sejarah.35 Avatar Eurosentrisme dalam sejarah diwujudkan melalui dua cara, yaitu Pertama melalui asumsi bahwa Eropa adalah subjek utama Sejarah Dunia, seperti yang dibahas oleh kelompok penelitian Studi Subaltern. Kecenderungan sejarawan melihat munculnya kapitalisme dan industrialisasi di Barat sebagai

33 Ibid.. pp. 94. 34 Enrique Dussel, “Eurocentrism and Modernity: Introdution to The Frankfurt Lectures”, boundary 2, Vol. 20, No. 3, The Postmodernism Debate in Latin America, 1993, pp.66. 35 Meera Sabaratnam, Avatars of Eurocentrism in the Critique of the Liberal Peace, Published in Security Dialogue, Vol. 44, June 2013, No. 3, page 259-278, Post-print version, pp. 3. 29

penggerak sejarah utama di dunia. Sebaliknya, menurut mereka masyarakat non- Barat dianggap sebagai orang yang berada di „luar sejarah‟ atau tertinggal dari perkembangan sejarah Barat. Versi sejarah lama dan baru dari Eurosentrisme juga memahami berbagai belahan dunia yang semakin kurang „berkembang‟, atau kurang „modern‟.36 Kerangka ini dibangun pada perbedaan ontologis yang membagi „Barat‟ / „internasional‟ dari „non-Barat‟ / „lokal‟. Menurut Sabaratnam pembagian ini merupakan filosofi mendasar dari literatur kritis yang bergulat dengan hubungan antara „liberal‟ dan „lokal‟. „Lokal atau ulayat‟ adalah ruang yang ditandai dengan „konteks adat, tradisi dan perbedaan dalam pengaturan sehari-hari‟. Penekanan yang dimaksudkan jelas untuk membedakan konteks ruang budaya „adat atau tradisi‟ otentik „hidup non-Barat‟ dengan ruang budaya Barat modern yaitu „liberal‟ dan „rasional‟.37 Selain itu, penilaian dan evaluasi keilmuan Barat berhubungan erat dengan prestasi yang dicapai oleh para intelektual dalam membentuk sejarah. Menurut Sabaratnam, para ilmuwan Barat tanpa malu-malu memuliakan prestasi yang mereka raih, mereka kemudian menjadi sejarawan untuk mereka sendiri, mereka mengusulkan kehebatan mereka sendiri, dan mereka menyatakan dan merayakan kualitas yang unik dari cara hidup mereka sendiri. Tindakan akhir dari kesombongan ini adalah klaim bahwa masyarakat Amerika merupakan “akhir dari sejarah dan akhir evolusi sosial”. 38 Mereka menyatakan bahwa tidak ada tahap lebih lanjut dari kemajuan manusia, kecuali perbaikan yang tak berujung dalam teknologi. Selanjutnya para penulis Barat tidak mempertimbangkan adanya orang- orang bagian lain dari dunia dalam bidang etika, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini merupakan bentuk ketidaktahuan ilmuwan atas kontribusi intelektual orang yang hidup di luar batas-batas Eropa. Menurut Sabaratnam, hal ini disebabkan oleh pendidikan yang sempit atau parokial. Mereka juga

36 Ibid., pp. 4. 37 Ibid., pp. 10-13. 38 Claude Alvares, A Critique of Eurocentric Social Science and the Question of Alternatives, Economic and Political Weekly, Vol XLVI, May 28, 2011, pp. 74. 30

beranggapan bahwa ketika mengakui kontribusi intelektual pihak lain akan mengecilkan klaim Barat dalam pengembangan diri. Hal ini merupakan bawaan dari rasa superioritas budaya Barat yang telah ada sejak masa pencerahan.39 Avatar Eurosentrisme yang kedua menurut Wallerstein menyatakan bahwa pemikiran Eropa pada beberapa abad terakhir telah sangat universalis. Hal ini dikarenakan kejayaan budaya ilmu yang didominasi oleh bangsa Eropa. Filsafat Newtonian-Cartesian menjadi suatu hal yang sangat berpengaruh dalam kajian ilmu sosial di seluruh dunia. Konsepnya adalah bahwa dunia ini diatur oleh hukum determinis yang mengambil bentuk proses keseimbangan linear. Dengan hal tersebut ilmu pengetahuan dimungkinkan dapat memprediksi negara dalam satu kesatuan sistem.40 Ilmu sosial Eropa dengan klaim universalisme menegaskan bahwa apa pun yang terjadi di Eropa pada abad keenam belas hingga kesembilan belas mewakili pola yang berlaku di seluruh dunia. Universalisme adalah pandangan bahwa terdapat kebenaran ilmiah yang berlaku dalam semua ruang dan waktu. “Universalism is the view that there exist scientific truths that are valid across all of time and space.”41 Namun gagasan universalisme atau proposisi dalam ilmu-ilmu sosial merupakan suatu kepalsuan. Hal ini dikarenakan konsep universal tersebut merupakan ciptaan manusia yang dapat goyah dan tidak stabil. Gagasan bahwa makhluk tidak sempurna dapat menciptakan pengetahuan sempurna merupakan bentuk kemustahilan metodologis dan sebuah kontradiksi. Teori Universalisme selalu diserang dengan alasan bahwa dalam situasi, waktu, dan tempat tertentu sebuah teori tidak selamanya sesuai dengan fakta yang ada. Prestasi progresif umat manusia yang semu dan relatif dapat diubah. Dan pada kenyataannya teori- teori yang diduga universal sebenarnya tidak universal, karena itu merupakan representasi dari pola historis Barat yang membuatnya seolah-olah tampak universal.

39Ibid.. 40 Walerstein, Avatar, Op.Cit., pp. 96. 41 Ibid.. 31

Pada avatar Eurosentrisme selanjutnya yaitu peradaban, Wallerstein membandingkannya dengan karakteristik sosial yang kontras yaitu primitif atau barbarisme. Menurut Wallerstein, Eropa modern menganggap dirinya lebih beradab dari bangsa lainnya. Padahal menurutnya terminologi “beradab” bukanlah suatu hal yang telah disepakati di antara orang-orang Eropa sendiri. Untuk beberapa orang, peradaban tercakup dalam „modernitas‟, yaitu berjalan seiring kemajuan teknologi dengan munculnya produktivitas dan keyakinan budaya serta kemajuan bersejarah. Bagi orang lain, peradaban dapat berarti peningkatan otonomi „individu‟ vis-a-vis semua aktor sosial lainnya seperti keluarga, masyarakat, negara, dan lembaga-lembaga keagamaan. Bagi orang yang lain, peradaban dapat berarti perilaku non-brutal dalam kehidupan sehari-hari. Dan bagi yang lainnya, peradaban dapat berarti penurunan atau penyempitan lingkup kekerasan yang sah dan perluasan definisi atas kekejaman.42 Terminologi peradaban juga menghadirkan seperangkat nilai sekuler- humanis ke atas puncak hirarki ilmu pengetahuan. Para ilmuwan sosial telah memasukkan nilai-nilai tersebut dalam definisi mereka mengenai masalah sosial. Mereka telah memasukkan seperangkat nilai ini ke dalam konsep-konsep yang mereka tentukan untuk menganalisis masalah dan digunakan sebagai indikator untuk mengukur konsep tertentu. Para ilmuwan sosial juga menegaskan bahwa mereka berusaha menjadi „value free’. Mereka mengklaim tidak melakukan distorsi data terkait situasi sosial-politik yang mereka alami. Tetapi untuk menjadi bebas nilai tidak berarti bahwa nilai-nilai, dalam arti keputusan tentang signifikansi historis dari fenomena yang diamati akan hilang sama sekali.43 Ciri selanjutnya adalah Orientalisme. Orientalisme mengacu pada karakteristik peradaban non-Barat. Orientalisme merupakan kebalikan dari konsep peradaban, yang menjadi tema utama dalam diskusi publik sejak tulisan Anouar Abdel-Malek dan mengemuka. Orientalisme merupakan modus pengetahuan yang mengklaim akar peradaban di Eropa pada Abad Pertengahan, ketika beberapa intelektual Kristen mengatur tugas agama-agama non-Kristen

42 Ibid., pp. 97. 43 Ibid., pp. 96. 32

untuk mengkaji teks keagamaan. Mereka mendasarkan diri pada premis kebenaran iman Kristen dengan keinginan untuk mengubah orang-orang kafir.44 Orientalis melihat diri mereka sebagai orang-orang yang rajin menyampaikan apresiasi simpatik kepada peradaban non-Barat dengan studi ilmiah dari teks untuk memahami (verstehen) kebudayaan oriental. Menurut Wallerstein, budaya yang mereka pahami merupakan konstruksi sosial oleh seseorang yang berasal dari budaya yang berbeda. Validitas konstruksi ini kemudian diserang pada beberapa tingkatan yang berbeda. Bentuk penyerangan yang dilakukan adalah dengan anggapan bahwa konsep para orientalis tidak sesuai dengan realitas empiris, para orientalis juga mengemukakan sesuatu yang abstrak sehingga terlalu banyak menghapus realitas empiris, dan terakhir adalah para orientalis bergerak atas ekstrapolasi dari prasangka Eropa.45 Pada dasarnya menurut Bryan S. Turner, perdebatan mengenai Orientalismelah yang melahirkan Oksidentalisme. Oksidentalisme berisikan penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Menurut Said sebagaimana dikutip Turner, periode postkolonial masih mengandung dominasi kultural pada Dunia Ketiga. Oleh karena itu, muncul berbagai sikap defensif oleh para fundamentalis dalam memandang modernisasi. Sikap ini mencakup klaim akan kebenaran tradisi dibandingkan dengan pengetahuan yang diwarisi, diimpor oleh pengetahuan asing.46 Menurut Wallerstein, cara terakhir untuk menegaskan cengkraman Eurosentrisme ke dalam aktivitas ilmiah adalah dengan memasukkan konsep kemajuan (Progress). Realitas kemajuan yang tak terhindarkan adalah tema dasar masa Pencerahan Eropa. Teori kemajuan dalam ilmu sosial menjadi penjelasan yang mendasari sejarah dunia. Bahkan menurut Wallerstein teori kemajuan menjadi motor penggerak semua ilmu sosial terapan. Setelah Perang Dunia Kedua, „pembangunan negara-negara terbelakang‟ adalah rubrik yang dijadikan

44 Ibid., pp. 99. 45 Ibid., pp. 100. 46 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Teori Barat: Bongkar Wacana Atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008), h. 29. 33

pembenaran oleh ilmuwan sosial untuk melakukan reorganisasi sosial dan politik Dunia non-Barat.47 Pada tahun 1960-an, ilmuwan Amerika yaitu Walter W. Rostow mengemukakan tentang The Stages of Economic Growth48 yang biasa disebut sebagai teori lima tahap pembangunan Ekonomi suatu Negara. Menurut Rostow tahap paling primitif dari sistem ekonomi suatu Negara adalah ketika struktur hirarki mobilitas sosial dan vertikal masyarakat masih sangat rendah. Pada masa itu, produktivivtas kerja manusia juga lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Tahap pertumbuhan ini disebut Rostow dengan masyarakat tradisional (The Traditional Society), ditandai dengan ketergantungan pada alam yang masih sangat tinggi. Tahap kedua menurut Rostow adalah Pra-kondisi tinggal landas atau The Precondition for Take-off. Pada masa ini tingkat investasi pada masyarakat lebih tinggi dari tahap tradisional. Masyarakat juga sudah mulai melakukan pembangunan secara dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi industri. Perubahan ini memiliki konsekuensi pada perkembangan sektor pertanian. Tahap ketiga adalah Tinggal landas atau The Take-off Society. Pada tahapan ini pertumbuhan ekonomi suatu Negara mulai dinamis. Karakteristik utama dari era ini adalah pertumbuhan dari dalam Negeri yang berkelanjutan dan tidak membutuhkan dorongan dari luar. Tahap keempat adalah menuju kedewasaan pembangunan atau The Drive to Maturity, ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru. Ini merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Tahap terakhir adalah Era konsumsi tinggi atau The Age of High Mass-Consumption. Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur secara ekonomi. Orang-orang yang hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran. Menurut Rostow, saat ini

47 Wallerstein, Op.Cit., pp. 100. 48 W.W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto (Cambridge: Cambridge University Press, 1960), Chapter 2, "The Five Stages of Growth--A Summary," pp. 4-16, https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm. Artikel ini diakses pada tanggal 2 Juli 2014. 34

masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat dan Utara. Model yang dikembangkan Rostow tersebut merupakan pengalaman ekonomi yang dilalui oleh masyarakat Barat selama beberapa abad. Konsep kemajuan yang tertanam pada masyarakat era konsumsi tinggi menegaskan kecenderungan Barat dalam mengontrol pertumbuhan ekonomi suatu Negara di seluruh dunia. Dan hingga puluhan tahun berikutnya, teori Rostow masih memiliki tempat yang kuat dalam sistem ekonomi Negara berkembang. Negara yang berkembang terus berupaya untuk mengejar ketertinggalannya dengan standar yang telah dilalui oleh Barat. Selain Wallerstein, dalam buku yang berjudul Eurocentrism, Samir Amin juga menggambarkan bagaimana Eurosentrisme merupakan sebuah distorsi penting dan sistematis yang mempengaruhi teori-teori dan ideologi di dunia kontemporer. Amin mendefinisikan Eurosentrisme sebagai sebuah teori sejarah dunia yang menempatkan Eropa sebagai suatu yang unik dan superior.49 Dalam Prakata, Amin menyatakan bahwa dalam buku tersebut dia melakukan kritik terhadap apa yang dinamakan sebagai kulturalisme. “In this work, I propose a critique of what can be called “culturalism.” I define culturalism as an apparently coherent and holistic theory based on the hypothesis that there are cultural invariants able to persist through and beyond possible transformations in economic, social, and political systems.50 Amin mendefinisikan kulturalisme sebagai teori yang terlihat koheren serta holistis, yang didasarkan pada hipotesis bahwa invarian budaya mampu bertahan dari kemungkinan transformasi di bidang ekonomi, sosial dan sistem politik. Selain itu, Amin juga melakukan kajian kritis terhadap modernisme yang menjadi cikal bakal ilmu sosial yang Eurosentris. Menurut Amin, modernitas dibangun pada prinsip bahwa manusia, secara individu dan kolektif (masyarakat) membuat sejarah mereka sendiri. Alasan tersebut dikombinasikan dengan perjuangan emansipasi yang membuka jalan untuk berdemokrasi, serta

49 Alatas, Op.Cit., h. 31. 50 Samir Amin, Eurocentrism, (Newyork: Monthly Review Press, 2011), dalam Prakata. 35

menyiratkan sekularisme, pemisahan agama dengan Negara, dan atas dasar itulah terjadi reformasi di bidang politik. Modernitas merupakan produk kapitalisme yang baru lahir dan berkembang dalam hubungan erat dengan ekspansi ke seluruh dunia.51 Amin juga menolak pandangan Eurosentrik yang secara sempit memposisikan perkembangan sejak era Yunani dan Romawi dengan feodalisme Kristen dan sistem kapitalis Eropa. Amin menyajikan reinterpretasi tentang peran sejarah yang penting dimainkan oleh dunia Arab Islam. Menurut Amin, Modernitas merupakan produk kapitalisme yang baru lahir dan berkembang setelah terjadi ekspansi ke seluruh dunia. Hukum-hukum dasar yang mengatur ekspansi kapitalisme menyebabkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi pada tingkat global secara asimetris. Masyarakat di pinggiran terjebak pada ketidakmungkinan untuk menjadi bagian dari masyarakat pusat. Pada gilirannya, hal ini mempengaruhi distorsi terhadap modernitas, seperti yang ada dalam dunia kapitalis. Budaya kapitalisme dibentuk dan dikembangkan oleh internalisasi persyaratan realitas asimetris ini. Klaim universalisme secara sistematis dikombinasikan dengan argumen kulturalis, dalam hal ini yang Eurosentrik. Tak heran jika modernitas akhirnya memaksa reinterpretasi atas keyakinan agama. Hal ini sejalan dengan prinsip utama rasionalisme, bahwa manusia merupakan pencipta yang dapat membuat sejarah mereka sendiri. Kulturalisme Eurosentrik menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari revisi terhadap agama. Revisi agama tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip Reformasi Protestan yang merupakan penyebab utama transformasi sosial, seperti yang diutarakan Max Weber dalam bukunya yang berjudul “The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism”. Padahal menurut Amin, hal tersebut merupakan bentuk Cristianophilia.52 Menurut Amin ada dua periode dalam sejarah yang memiliki dampak penting dalam pembentukan dunia modern. Periode pertama dimulai sejak era Pencerahan (Renaissance), pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang juga

51Ibid.. 52Ibid., h. 26. 36

merupakan awal mula kelahiran modernitas dan kapitalisme, dan Periode Kedua menyangkut karakter borjuis, yang merupakan efek dari modernitas.53 Periode Renaissance menandai awal kesadaran Eropa mengenai gagasan penaklukan dunia oleh bangsa mereka sendiri. Oleh karena itu mereka mengembangkan rasa “superioritas mutlak” kepada bangsa lain. Bangsa Eropa yakin sebagai satu- satunya pihak yang memiliki keuntungan tersebut. Dan mulai saat itulah menurut Amin, Eurosentrisme mengkristal.54 Salah satu jenis jawaban mereka atas klaim ini adalah bahwa bangsa Eropa telah melakukan sesuatu yang berjasa dan berbeda dari orang-orang di bagian lain dunia. Hal ini disebut sebagai keajaiban Eropa yang tidak dapat dilakukan oleh bangsa lain. Sejak Renaissance, Eropa telah meluncurkan revolusi industri dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Selain itu, mereka juga telah meluncurkan modernitas atau kapitalisme, birokratisasi, dan prinsip kebebasan individu. Kemunculan kapitalisme di Eropa juga mengisyaratkan dimensi rasionalitas yang disematkan sejak masa Yunani. Yunani memunculkan filsafat rasional sedangkan Timur dianggap tidak mampu membebaskan diri dari metafisika. Oleh sebab itu filsafat Islam yang menguasai dunia direndahkan sekedar menjadi perantara warisan Yunani ke Eropa. Padahal pada kenyataannya filsafat Islam telah mampu berdiri megah ditengah kegelapan yang melanda Eropa selama puluhan Abad. Bahkan dapat dipastikan bahwa modernisasi yang terjadi pada masyarakat Eropa merupakan akibat maju dan berkembangnya filsafat Islam. Filsafat Islam dan India tidak dianggap “filsafat” oleh sekolah filsafat Barat karena keduanya menolak untuk memberikan alasan keunggulan atau keutamaan sebagai alat untuk mencapai kebenaran mutlak. Filsafat Islam diberi label “teologi”, sedangkan filsafat India diturunkan ke bidang “agama”, (sebagaimana yang dipahami di Barat). Namun, filsafat Barat sendiri mendasarkan tempatnya sendiri pada asumsi sebagai fundamentalis, agama atau teologis.

53 Ibid., pp. 13. 54Ibid., pp. 152-153. 37

Akhirnya filsafat diidentifikasi seluruhnya dan semata-mata dengan para filsuf Barat.55 Pada tingkat dogmatis, para reformis besar agama Kristen akhirnya mengemukakan gagasan untuk kembali ke sumber ajaran agama yang dianggap telah lama menyimpang. Atas semangat ini, mereka merehabilitasi Kitab Perjanjian Lama yang menyebabkan sekte Katholik Ortodoks terpinggirkan. Para reformis juga mengemukakan semangat teologi pembebasan, yaitu sebuah upaya mengkontekstualisasikan ajaran agama Kristen sesuai dengan keadaan sosial yang berlaku. Teologi pembebasan semakin berkembang pesat seiring dengan perluasan kajian tafsir dengan metode hermeneutika pada Alkitab. Pada era Renaissance pula Kristen-Barat meninggalkan perdebatan lama tentang perdamaian antara iman dan akal yang mengemuka sejak masa kegelapan (The Dark Ages). Mereka tidak menyangkal iman dalam bidang spiritual, namun menegaskan kecenderungan baru bahwa Tuhan telah memberikan emansipasi pada manusia untuk mengatur sejarahnya. Tuhan diibaratkan sebagai pembuat jam, dan alam ini seperti jarum jam yang berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan pencipta di dalamnya. Dengan kekuatan rasio dan inderanya, manusia dapat mengatur segala kehidupannya di dunia. Keadaan ini dianggap sebagai cikal bakal pemisahan agama dari kehidupan sosial. Banyak manusia yang akhirnya mengedepankan kebebasan individu dan emansipasi bermasyarakat, yang mengambil risiko untuk menciptakan hukum dan membuat masa depannya sendiri. Dengan klaim universalisme, penafsiran ulang secara besar-besaran juga disematkan pada kitab suci berbagai agama. Sebuah reaksi awal adalah untuk menerima pluralitas dari wahyu yang masing-masing memiliki nilai kebenaran. Mereka juga mengungkapkan bahwa klaim atas kebenaran setiap agama bersifat nisbi, karena setiap agama dianggap memiliki kebenaran yang sama, namun diungkapkan secara berbeda. Reaksi ini mendorong pendekatan sinkretis pada tingkat esoterik. Setiap agama dipaksa menerima terminologi ini. Padahal a priori tidak menghalangi atau menyiratkan kesatuan dasar metafisika agama-agama.

55 Alvares, Op.Cit., pp. 77. 38

Pada awalnya, mereka semua mengambil peran sebagai “orang terpilih”, dan mitologi yang berisi ajaran agama adalah satu-satunya penjelasan yang benar mengenai penciptaan. Dewa-dewa maupun Tuhan mereka merupakan satu- satunya yang nyata, orang lain keliru atau telah disesatkan. Masing-masing agama memiliki keyakinan bahwa agamanya memiliki klaim atas kebenaran. Hal ini juga terjadi pada tiga agama yang memiliki pola monoteistik. Banyak ilmuwan yang berupaya mencari titik temu antara Yudaisme, Kristen, dan Islam. Ketika terjadi kemajuan dalam ilmu arkeologi, sejarah dan tafsir, para ilmuwan menemukan suatu hal yang disebut sebagai akar-mitologi ketiga agama tersebut. Menurut para ilmuwan, pada dasarnya ketiga agama tersebut memiliki akar-mitologi yang sama, yaitu pada kisah Air Bah di Timur Tengah, seperti yang tertera dalam epos Gilgamesh.56 Menurut Amin, ketiga agama tersebut lahir pada saat godaan sinkretisme sangat besar. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa beberapa agama dipinjam dari agama dan peradaban lain, seperti Kristen yang dipinjam dari agama Mesir kuno, Yudaisme dipinjam dari keyakinan di Timur kuno (Baal dan lain-lain), dan Islam melakukan hal yang sama dengan keyakinan yang masih ada di jazirah Arab. Namun di antara tiga agama samawi, kedekatan antara Yudaisme dan Islam dianggap yang paling jelas. Amin memiliki kesamaan dengan para ilmuwan mengenai pendapat bahwa Islam merupakan Arabisasi dari Yudaisme. Hal tersebut didasarkan bukan hanya karena ajaran, hukum, dan ritual yang sebagian besar mirip dengan Yudaisme. Arabisasi Yudaisme dimulai sebelum pengiriman pesan dari para Nabi yang merupakan Muslim. Dalam sejarah Islam serta dalam Al-Qur‟an, seorang yang hanif bernama Abraham tidak menyatakan dirinya sebagai orang Yahudi. Karena hal ini pula, Islam telah muncul dengan sendirinya sebagai agama yang diturunkan kepada umat manusia dari awal sejak diwahyukan kepada manusia pertama yang bernama Adam. Islam ada sebelum Tuhan berbicara melalui wahyu yang diturunkan melalui Nabi Muhammad.57

56Amin, Op.Cit., pp. 30-31. 57Ibid., pp. 33. 39

Islam muncul bersamaan dengan penyatuan politik di Jazirah Arab yang sebelumnya terbagi dalam berbagai suku bangsa yang saling bermusuhan. Menurut beberapa sejarawan Arab, monoteisme yang dibawa Islam menggantikan pluralitas Dewa kesukuan yang merupakan kendaraan dalam pembentukan bangsa Arab.58 Kecenderungan yang dominan di antara orang-orang Arab adalah untuk memesan Islam untuk diri mereka sendiri, sehingga memungkinkan masyarakat di luar Arab dapat ditaklukkan. Jika praktek ini berlangsung, tak ayal Islam akan menjadi agama yang secara eksklusif menjadi milik bangsa Arab. Namun keadaan ini tidak terjadi, karena Islam membawa nilai-nilai universal yang dapat diadopsi oleh seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Apa yang dimiliki Islam sebaliknya tidak dimiliki agama lainnya termasuk Kristen. Secara kesejarahan Kristen dikembangkan dalam dunia kosmopolitan Kekaisaran Romawi di mana budaya Helenistik mengalami kemenangan. Selain itu perkembangan Kristen untuk menjadi agama yang besar sangat lambat dan dipenuhi dengan pertikaian yang panjang. Menurut Amin, hal ini dikembangkan atas gagasan bahwa Kristen pada dasarnya tidak dibentuk dalam kontinuitas dengan Yudaisme. Amin menambahkan bahwa Kristen bukan agama yang menjadi kelanjutan Yudaisme, melainkan merupakan pecahannya. Perselisihan panjang antara Kekaisaran Romawi Barat dan Timur juga menjadi sejarah yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu selama puluhan abad ketika dominasi gereja begitu kuat dengan sokongan kekuatan politik, segala bentuk penyimpangan versi gereja menjadi sesuatu yang wajib dimusnahkan. Banyak buku sejarah Barat yang mengisahkan kejadian demi kejadian pada masa kegelapan Eropa. Bentuk kekuatan gereja begitu besar sehingga segala sesuatu yang tidak sesuai oleh dogma dianggap sebagai penyimpangan (heresy). Para ilmuwan yang mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan harus mendasarkan dirinya pada doktrin gereja. Ketika hal itu tidak sesuai dengan prinsip dalam kitab suci, maka para ilmuwan diberi hukuman yang berat dengan cara dipancung maupun dibakar hidup-hidup. Hal ini didasarkan pada alasan

58Ibid., pp. 34. 40

bahwa para ilmuwan telah menentang kehendak Tuhan, oleh karena itu hukuman diberikan atas nama Tuhan. Hal ini pula yang akhirnya mendasari semangat kelahiran kembali dan pemurnian agama yang dilakukan Luther King sehingga lahir sekte Kristen Protestan. Semangat Renaissance kemudian dikembangkan di Negara Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman.59 Namun saat itu Katholik Ortodoks cenderung kaku dan menghindari re-interpretasi agama, tapi beberapa waktu kemudian mereka akhirnya membuka diri untuk melakukan re-interpretasi dogma. Kekristenan modern kemudian beradaptasi dengan transformasi sosial. Kekristenan modern akhirnya menjadi agama tanpa dogma. Sama halnya dengan peradaban Kristen, kaum Yahudi Diaspora yang tinggal di Eropa juga terpengaruh oleh transformasi radikal dalam masyarakat dan konsep-konsep baru tentang hubungan antara masyarakat dan agama. Moses Mendelssohn, pada abad kedelapan belas melakukan langkah membuat sebuah revolusi dalam Yudaisme di mana masyarakat Kristen terlibat di dalamnya. Moses menafsirkan Taurat secara bebas, tidak lagi sebagai hukum wajib, tetapi hanya sebagai sumber inspirasi yang dapat diambil oleh semua orang. Mendelssohn juga berkomitmen untuk melakukan sekularisasi pada ajaran Yahudi. Asimilasi yang dilakukan akhirnya menyelamatkan kaum Yahudi dari serangan Kristen Eropa selama Revolusi Perancis. Terlihat secara nyata bahwa Revolusi industri bangsa Eropa yang membawa pada kemajuan teknologi dihasilkan melalui usaha untuk mendamaikan iman dan akal. Sedangkan kemajuan di kalangan umat Islam sebaliknya menuntut diberlakukannya ajaran Islam secara murni.60 Fakta bahwa Islam adalah agama dan bukan proyek sosial juga nampak dari keberhasilan historisnya. Sebagai sebuah agama, Islam mampu beradaptasi pada masyarakat yang berbeda dari masa ke masa. Menurut Amin, Islam merupakan bagian integral dari perubahan, baik kemajuan dan kemunduran yang dialami masyarakatnya. Pengalaman ini berbeda

59 Ibid., pp. 44-45. 60 Ibid., pp. 50-51. 41

dengan yang apa yang telah terjadi di dunia Kristen. Menurut Amin, Kristen tidak diragukan lagi telah melakukan revolusi agama, bukan sekedar revolusi sosial.61 Secara umum Islam dibentuk oleh klaim historis bahwa Allah merupakan penguasa sejati masyarakat. Prinsip hakimiyyah, (Allah adalah pembuat hukum) diperkenalkan kembali oleh para fundamentalis Muslim. Selain itu, Islam memiliki klaim yang kuat atas metode penafsiran Kitab Suci Al-Qur‟an. Sebuah hal yang tidak dimiliki agama lain yang memberikan kekuatan bahwa sejak masa Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul, kitab suci Al-Qur‟an tidak pernah mengalami perubahan, bahkan penafsiran yang menyimpang. Oleh karena itu upaya yang dilakukan untuk melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat Al- Qur‟an menjadi sesuatu yang sangat dipertentangkan di kalangan ulama Muslim, mengingat secara historis Al-Qur‟an tidak memiliki kecacatan sejarah seperti kitab suci lainnya. Secara umum anggapan bahwa hanya dengan melakukan re-interpretasi ulang ajaran agama demi memperoleh kemajuan, tidak dapat diterapkan dalam agama Islam. Hal ini terjadi ketika metafisika Islam berkembang pada masa kekhilafahan Abbasiyah, jauh sebelum bangsa Eropa menuai hasil dari masa pencerahan. Pada masa itu, peradaban dengan kekuatan teknologi kaum Muslim telah tercipta. Mereka melakukan pengembangan teknologi dengan mendasarkan semangatnya untuk menggali hikmah dari ayat-ayat Al-Qur‟an. Hal yang berbeda dialami para ilmuwan Eropa di masa kegelapan. Mereka wajib mengikuti kehendak gereja dalam memandang ilmu pengetahuan. Celakanya mereka menemukan bahwa ada kesalahan Bible dalam memandang sains, misalnya pada teori geosentris yang selama puluhan abad menjadi pegangan pihak gereja. Kemudian Nicholaus Copernicus mengemukakan kembali teori bahwa bumi bukan merupakan pusat tata surya, melainkan matahari sebagai pusatnya. Penerusnya, Giordanou Bourno dibakar hidup-hidup dan Galileo Galilei

61Ibid., pp. 61. 42

mengalami penyiksaan seumur hidup karena dianggap telah menyalahi kehendak Tuhan.62 Keadaan ini secara tidak langsung menepis anggapan bahwa hanya dengan menanggalkan ajaran agama, kemajuan sains akan diperoleh. Kesalahan ini muncul dari prasangka bahwa hanya Barat yang dapat menciptakan modernitas, sementara orang-orang Muslim terjebak dalam tradisi abadi yang membuat mereka tidak mampu memahami pentingnya perubahan. Hal ini diperkuat dengan argumen yang dikemukakan Weber bahwa hanya sekte Kristen Calvinis yang mampu menghasilkan spirit kapitalisme. Anggapan lain yang muncul adalah prinsip-prinsip Eurosentris yang disematkan bahwa hanya dengan melalui jalur kapitalisme, kemajuan akan diperoleh. Padahal semakin radikal revolusi borjuis yang terjadi pada masyarakat kapitalisme, semakin kuat pula pernyataan sekularisme.63 Hal inilah yang dinyatakan Amin sebagai periode kedua modernitas, yaitu sebuah periode dimana karakter borjuis tercipta yang merupakan efek dari modernitas. Munculnya kapitalisme dan modernitas merupakan dua aspek dari satu realitas yang sama. Pada saat itu, Etika pada diri manusia menghilang dikarenakan prinsip bahwa manusia merupakan satu-satunya penentu sejarah. Atas prinsip tersebut, mereka berwenang untuk berperilaku seolah-olah berada di hutan, mereka tidak bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka.64 Globalisasi pengetahuan dan budaya Eurosentris juga secara terus-menerus meneguhkan kembali pandangan Barat tentang dirinya sebagai pusat pengetahuan legitimate, penentu apa saja yang digolongkan sebagai pengetahuan dan sumber pengetahuan „beradab‟.65 Bangsa Eropa memaksakan nilai dan norma peradaban mereka kepada orang-orang non-Eropa. Hal ini merujuk pada pola peradaban dan

62 Teori heliosentris menggantikan teori geosentris yang dipopulerkan filsuf selama puluhan abad. Selama Renaissance, para ilmuwan Barat dan orang-orang yang dianggap bertentangan dengan doktin gereja mengalami inquisisi atau inquision (penyiksaan). Bentuk inquisisi tersebut terdiri dari pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, penghancuran kepala, pengebor vagina, dan lain-lain. Lih. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005). 63Amin, Op.Cit., pp. 57. 64 Ibid., pp. 17. 65 Smith, Op.Cit., h. 85. 43

nilai-nilai sekuler-humanis. Ketika memaksakan dirinya pada skala dunia, kapitalisme juga telah menciptakan dua klaim universalisme, yaitu Pertama, pada tingkat analisis ilmiah dan Kedua, pada tingkat elaborasi dari proyek ciptaan manusia.66 Selain Wallerstein dan Samir Amin, Manuel Vargas, seorang ilmuwan dari Amerika Latin juga mengkritik berkembangnya Eurosentrisme dan berupaya membebaskan Amerika Latin dengan sebuah gagasan yang bernama Filsafat Pembebasan. Menurutnya, filsafat pembebasan yang akan diusung juga harus benar-benar terlepas dari pola filsafat yang mengandung unsur Eurosentris. Para ilmuwan Amerika latin juga harus berupaya melepaskan diri dari dominasi Eurosentrisme sejak masa kolonial. Eurosentrisme menurutnya juga memiliki empat aspek, yaitu: dialektis, kontekstual, pedagogis, dan praktis.67 Pada periode sejak tahun 1945, kesadaran politik bangsa Asia dan Afrika telah mempengaruhi dunia pengetahuan seperti halnya yang telah mempengaruhi politik dari sistem dunia. Pada saat itu Eurosentrisme dari ilmu sosial telah mengalami serangan yang parah. Serangan itu berlandaskan pada logika bahwa jika ilmu sosial membawa kemajuan pada abad kedua puluh satu, ia harus mengatasi warisan Eurosentris yang telah mendistorsi analisis dan kapasitasnya dalam menangani masalah dunia kontemporer. Saat melakukan ini, komunitas ilmuwan non-Barat harus berhati-hati dalam melihat bentuk Eurosentrisme, karena sebagaimana diketahui, Eurosentrisme merupakan hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar. Jika ilmuwan tidak hati-hati, upaya untuk melawannya dapat menjadi batu sandungan. Upaya dalam mengkritik Eurosentrisme dengan tempat Eurosentris justru dapat memperkuat cengkeramannya pada komunitas ilmuwan.68 Menurut Wallerstein, hingga kini terdapat klaim anti Eurosentrisme yang merupakan serangan terhadap ide dasarnya. Serangan ini memiliki beberapa ciri, yaitu: Pertama, bahwa apa pun yang dilakukan Eropa, peradaban lain juga dalam

66 Amin, Op.Cit., pp. 102. 67 Manuel Vargas, Eurocentrism and The Philosophy of Liberation, APA Newsletter on Hispanic/Latino Issues No. 4 (2), 2005, pp. 8-17. 68 Wallerstein, Op.Cit., pp. 94. 44

proses melakukan hal itu, sampai saat ketika Eropa menggunakan kekuatan geopolitik untuk mengganggu proses di bagian dunia yang lain. Kedua, bahwa apa yang Eropa lakukan tidak lebih dari kelanjutan dari apa yang orang lain sudah lakukan untuk waktu yang lama, dan untuk sementara ini Eropa berdiri lebih ke depan. Ketiga, bahwa Eropa memiliki konsekuensi berbahaya bagi ilmu pengetahuan dan dunia politik.69 Namun menurut Wallerstein dua argumen pertama mengandung unsur „anti-Eurosentrisme namun Eurosentris‟. Pandangan sejarah modern sangat Eurosentris dalam anti-Eurosentrisme, karena ia menerima makna nilai dari Eropa yaitu pengakuan atas sebuah „prestasi besar‟. Secara tidak langsung para ilmuwan menerima klaim dari Barat dan berniat melakukan hal yang sama meskipun dengan cara sedikit berbeda. Pendapat ini untuk beberapa alasan mungkin disengaja oleh para ilmuwan Barat, karena hal ini dapat mengganggu perkembangan masyarakat non-Barat. Pernyataan selanjutnya bahwa bukan hanya orang Eropa yang dapat melakukan hal itu, juga mengandung bias Eurosentris. Hal ini menurut Wallerstein merupakan pendapat yang lemah dalam menentang Eurosentrisme, dan benar-benar memperkuat konsekuensi terburuk pemikiran Eurosentris dalam pengetahuan sosial.70 Baris kedua oposisi terhadap Eurosentrisme adalah analisis yang menyangkal bahwa ada sesuatu yang benar-benar baru dengan apa yang Eropa lakukan. Argumen dimulai dengan menunjukkan sejarah pada Abad Pertengahan, Eropa Barat berada dalam posisi marginal, perifer, wilayah lain benua Eurasia, yang peran sejarah dan budayanya berada di bawah dunia lain seperti Arab atau Cina. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan sebuah kebenaran. Namun dalam beberapa waktu berikutnya sebuah lompatan cepat dibuat oleh Eropa modern dalam pembangunan struktur pengetahuan dunia. Menurut Wallerstein, pada beberapa abad sebelum keterpurukannya, Eropa modern justru telah mempelajari kebijaksanaan yang dapat diterapkannya secara sukses.71

69 Ibid., pp. 101-102. 70 Ibid., pp. 102. 71 Ibid., pp. 104. 45

Selanjutnya Wallerstein menyatakan bahwa ilmuwan non-Barat harus mulai mempertanyakan asumsi bahwa apa yang Eropa lakukan merupakan bentuk prestasi yang positif. Menurutnya juga, ilmuwan harus pro-aktif dan melibatkan diri dalam membuat pertimbangan hati-hati tentang peradaban kapitalis selama sejarah hidupnya. Para ilmuwan non-Barat juga harus merenungkan dan menilai apakah „plus‟ yang dihasilkan kapitalisme memang lebih besar daripada „minusnya‟. Karena menurutnya sistem kapitalis bukan merupakan bukti atas kemajuan manusia. Sebaliknya, dia menganggap bahwa sistem kapitalisme merupakan gangguan dalam sejarah yang sangat eksploitatif.72 Selanjutnya Wallerstein menyatakan bahwa argumen ketiga lebih tepat digunakan sebagai dasar pijakan dalam melawan Eurosentrisme.73 Dia juga lebih memilih untuk mempertimbangkan kembali gagasan yang tidak universal dalam doktrin universal yang muncul dari sistem sejarah dunia modern kapitalis. Menurutnya, apa yang secara khusus ada dalam struktur pengetahuan modern lebih merupakan konsep „dua budaya‟. Tidak ada sistem bersejarah lainnya yang telah melembagakan perceraian antara ilmu pengetahuan dengan filsafat dan humaniora. Setiap argumen yang memperkuat pemisahan ini dari dua budaya merupakan penopang Eurosentrisme. Oleh karena itu, jika seseorang menyangkal kekhususan dunia modern, mereka harus mempertimbangkan cara untuk merekonstruksi struktur pengetahuan modern. Dalam dua puluh tahun terakhir ini, legitimasi perceraian ilmu pengetahuan dan filsafat telah ditantang untuk pertama kalinya secara signifikan. Gerakan ekologi, misalnya menjadi isu sentral yang mendasari serangan umum terhadap Eurosentrisme.74 Lebih lanjut Enrique Dussel memberi beberapa cara yang dapat dilakukan komunitas ilmuwan non-Barat dalam menghadapi Eurosentrisme. Menurutnya kita harus kritis dengan tradisi intelektual pribumi yang selama ini telah mengemuka. 1. Dussel tidak menyarankan suatu “wacana alternatif” karena menurutnya dapat menyebabkan seseorang menganggap keberadaan lanjutan dari

72Ibid., pp. 105. 73Ibid., pp. 101. 74Ibid., pp. 106-107. 46

wacana mainstream. Menurutnya lebih baik membayangkan wacana plural, bukan alternatif. 2. Reorientasi serius perlu dilakukan terhadap pemikir yang bukan berasal dari lembaga akademis budaya Eropa atau Amerika, tetapi berasal dari daerah kita sendiri. Budaya meminjam tradisi akademik Barat harus secara bertahap diganti dengan percaya diri dengan tradisi kita sendiri. 3. Sebagai latihan praktis, mendorong penulisan karya tanpa menggunakan atau mengutip sumber buku Barat. Jika itu tidak mungkin dapat dilakukan segera, kita dapat mengurangi tingkat kutipan dari para sarjana Barat dan meningkatkan tingkat kutipan dari sarjana non-Barat. Lebih baik lagi, mendorong siswa untuk menulis makalah tanpa mengacu pada sumber- sumber yang tak akan ada habisnya. 4. Banyak kejelasan juga akan tersedia jika kita mendorong penggunaan yang lebih ketat atau pelabelan atas ilmu-ilmu sosial. Gunakan kata-kata “sosiologi Eropa” ketika membahas pekerjaan sosiologis dari Eropa atau sosiologi Iran atau Islam atau sosiologi Amerika, dll, ketika membahas yang lainnya. Ini akan membawa keseimbangan dan mengkonfirmasi gagasan bahwa ethnoscience ilmu sosial Eropa, setara dengan ethnosciences lainnya. Hal itu mungkin baik untuk Eropa, tapi tidak berguna dan tidak berarti bagi kita. 5. Metodologi positivis Euro-Amerika yang berpengaruh pada ilmu sosial harus dikritisi, bahkan ketika tidak diperlukan sama sekali dapat dilempar keluar dari jendela. Hal ini penting menurut Dussel karena bertujuan agar universitas sebagai pusat kreatif pengetahuan dapat dihormati. Universitas harus dilihat bukan sekedar sebagai pusat untuk berinteraksi. Hal ini tidak mengesampingkan penyebaran seluruhnya, atau konservasi pengetahuan yang berguna dan valid, tapi merupakan kesadaran bahwa tindakan penyebaran akan selalu membatasi pendekatan kreatif. 6. Metodologi penelitian harus menyertakan media dialog yang jauh lebih beragam ketimbang ketergantungan hanya pada kuliah dan buku teks. Buku teks di zaman kita adalah simbol dari degenerasi pengetahuan. 47

Menurut Dussel, buku teks adalah bentuk kontribusi yang aneh dari Universitas di era modern. Ketergantungan pada pengetahuan dalam buku teks tidak dapat ditempatkan pada pijakan yang sama dengan teks yang tertera dalam Al-Quran misalnya. 7. Perlu ada keseimbangan ilmuwan sosial Barat dalam melakukan penelitian di Universitas pribumi. Gagasan mengenai penelitian paralel harus disepakati agar peneliti kita dapat melakukan penelitian yang sama di perguruan tinggi mereka pada struktur masyarakat berbeda. 8. Ilmuwan dapat menolak beberapa proposal yang hadir dan melakukan perdebatan untuk menciptakan ilmu sosial Barat yang lebih “inklusif”. Para ilmuwan dapat memasukkan fakta-fakta dari dunia non-Barat ke dalam kerangka kerja di mana Barat terus mendominasi. Tindakan tersebut tidak akan mengubah apa pun karena ilmuwan non-Barat tetap akan meninggalkan suprastruktur secara utuh.75 Pemeriksaan kritis dilakukan pada kerangka teori yang ada dalam ilmu- ilmu sosial yang diajarkan dan diteliti di berbagai perguruan tinggi dunia non- Barat. Selain itu, diusulkan pula kekritisan tersebut bukan hanya didasarkan pada isinya, tetapi juga berasal dari asumsi dan metodologi yang telah diimpor dari tradisi akademis Eropa. Kritik atas Eurosentrisme dalam ilmu sosial diterima dengan baik ketika keberanian atau tekad di kalangan akademisi di perguruan tinggi non-Barat mengemuka. Para ilmuwan non-Barat juga harus siap untuk keluar dari asumsi yang akan memungkinkan mereka melakukan penelitian di luar kerangka keasyikan kepentingan akademis Barat.76 Para ilmuwan juga harus mempertimbangkan fakta bahwa World Report Ilmu Sosial UNESCO pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa untuk semua tujuan praktis, penelitian ilmu sosial non-Eropa yang kwalitasnya sangat signifikan ternyata jarang dikutip. Laporan tersebut misalnya menunjukkan bahwa Amerika Utara mengutip nol penelitian dari kawasan Asia dan Afrika. Imperialisme politik mungkin menemukan perlawanan sengit hari ini (Iran, Vietnam, Afghanistan, dan

75 Alvares, Op.Cit., pp. 80-81. 76Ibid., pp. 72. 48

Mesir), tetapi ternyata imperialisme akademis belum memperoleh perlawanan yang sepadan.77 Keadaan sebaliknya ditunjukkan pada fakultas di hampir semua Universitas seluruh dunia. Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab pertama Bab II skripsi ini, mentalitas membebek (captive mind) justru dimiliki oleh sebagian besar ilmuwan Negara non-Barat. Mereka bahkan menjadi sukarelawan atau tanpa sadar terus membayar kehormatan pada tujuan dan metodologi ilmu sosial yang berlaku di kalangan akademisi Barat. Output yang dihasilkan pada hari ini bahkan terus-menerus mencerminkan keprihatinan dari sarjana Barat. Sebagian besar ilmu sosial masa kini di Universitas-universitas non-Eropa tidak lebih dari studi ceroboh untuk mengkaji kembali korpus pengetahuan sosiologis yang telah mati. Padahal korpus ini dihasilkan dalam menanggapi persepsi Eropa yang etnosentris selama beberapa abad. Salah satu konsekuensi utama dari keadaan tersebut adalah efeknya pada mahasiswa yang mendaftar di Universitas di berbagai negara. Mereka datang untuk melihat standar yang ditentukan dalam program-program asing. Mereka tidak berpikir tentang sistem pengetahuan warisan mereka atau makna yang melekat pada unsur-unsur penting dari budaya mereka. Mereka dibentuk seperti burung beo yang mengadopsi satu set kosa kata, slogan, kategori dan konsep- konsep yang diberikan. Mereka juga belajar untuk dapat memuntahkan hal itu kembali dengan percaya diri, ketika bertemu dengan para dosen dan professor di perkuliahan. Kompetensi dan kepercayaan diri diperoleh oleh mereka dari indokrinasi yang diterima secara tidak kritis. Akhirnya pada suatu kesempatan ketika mereka menjadi seorang dosen, mereka akan kembali melestarikan sistem pengetahuan yang sama. Seperti inilah budaya keilmuwan tercipta di Negara non- Barat.

77Ibid., pp. 71. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Teori Captive Mind yang pertama kali dicetuskan oleh Syed Hussein Alatas tahun 1970-an dalam kaitannya dengan gagasan alternatif terhadap Eurosentrisme yang merupakan teori dari Syed Farid Alatas. Pada berbagai jurnal dan buku karya Syed Farid Alatas, terdapat berbagai pemikiran yang mengkritik Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Setelah itu Syed Farid Alatas menggagas diskursus alternatif dalam menghadapi ilmu pengetahuan Eurosentris. Waktu penelitian ini terhitung sejak bulan Januari hingga Juli 2014 dengan perincian sebagai berikut: Tabel 1 Bulan ke- No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 1. Seminar Proposal Skripsi x 2. Revisi Proposal Skripsi x Menyerahkan proposal skripsi ke 3. x x pembimbing Bimbingan Bab I, Bab II, dan Bab 4. x x x III 5. Penelitian x x x x x 6. Bimbingan Bab IV dan Bab V x x x 7. Ujian Referensi x

Rincian Proses Pembuatan Skripsi

B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research). Menurut Mary W. George dalam buku The Elements of Library Research sebagaimana dikutip Kania, penelitian pustaka adalah penelitian yang

49

50

melibatkan pengidentifikasian dan pengalokasian sumber-sumber yang menyediakan informasi faktual atau pendapat pakar berkaitan dengan pertanyaan penelitian.1 Menurut Moh. Nazir dalam buku Metode Penelitian, menelusuri literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian.2 Survei terhadap data yang telah ada dapat dikerjakan sebelum atau setelah masalah penelitian dipilih. Setelah itu Moh. Nazir menyatakan bahwa: Dengan mengadakan survei terhadap data yang telah ada, si peneliti bertugas menggali teori-teori yang telah berkembang dalam bidang ilmu yang berkepentingan, mencari metode-metode serta teknik penelitian, baik dalam mengumpulkan data atau dalam menganalisis data yang pernah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu; memperoleh orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih, serta menghindari terjadinya duplikasi-duplikasi yang tidak diinginkan.3

Sebelum menelusuri literatur serta menelaah studi yang ada pada Perpustakaan, peneliti harus mengenal perpustakaan secara baik. Pengenalan ini dimaksudkan agar peneliti mudah dalam proses selanjutnya. Pengenalan ini menurut Nazir termasuk dalam sistem pelayanan, sistem penyusunan literatur, dan klasifikasi buku yang dianut perpustakaan tersebut.4 Sumber utama dalam perpustakaan terdiri dari kartu katalog perpustakaan, dan buku referensi. Katalog perpustakaan berisi nama pengarang, judul publikasi, edisi, kota terbit, nama penerbit, tahun, koleksi, dan anotasi. Sedangkan buku referensi adalah petunjuk informasi dalam bahan bacaan. Referensi berasal dari bahasa Inggris, reference yang berasal dari to refer, yang berarti menunjuk pada bacaan tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia referensi memiliki tiga definisi yaitu: (1) Sumber acuan (rujukan petunjuk); (2) Buku-buku yang dianjurkan oleh

1 Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 1-7, tidak dipublikasikan.Dinar Kania, Op.Cit., h. 73. 2 Moh. Nazir, Metode Penelitian Cet. Ketujuh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 93. 3 Ibid.. 4 Ibid., h. 93-94. 51

dosen kepada mahasiswanya untuk dibaca; dan (3) Buku-buku perpustakaan yang tidak boleh dibawa ke luar, harus dibaca di tempat yang telah disediakan.5 Selain buku referensi, digunakan sumber-sumber seperti: 1. Buku teks (text book) yang merupakan tulisan ilmiah yang diterbitkan dalam interval waktu yang tidak menentu. 2. Jurnal adalah majalah ilmiah yang berisi tulisan ilmiah atau hasil seminar yang diterbitkan Himpunan Profesi Ilmiah. 3. Periodikal yang merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh lembaga yang berisi penelitian yang dikerjakan. 4. Buletin adalah tulisan ilmiah pendek yang terbit secara berkala berisi catatan-catatan ilmiah atau petunjuk-petunjuk ilmiah tentang suatu kegiatan operasional. 5. Bibliografi adalah buku yang berisi judul-judul artikel yang membahas bidang ilmu tertentu. Setidaknya ada empat ciri utama penelitian kepustakaan yang perlu diperhatikan oleh mahasiswa atau calon peneliti dan keempat ciri itu akan mempengaruhi sifat dan cara kerja penelitian yaitu:6 1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata (eye witness) berupa kejadian, orang, atau benda lainnya. Teks memiliki sifat-sifatnya sendiri dan memerlukan pendekatan tersendiri pula. Kritik teks merupakan metode yang biasa dikembangkan dalam studi fisiologi. Jadi perpustakaan adalah laboratorium peneliti kepustakaan dan oleh karena itu teknik membaca teks (buku, artikel, dan dokumen) menjadi bagian yang fundamental dalam penelitian kepustakaan. 2. Data pustaka bersifat siap pakai (ready mode): peneliti tidak kemana-mana kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia di perpustakaan. Seperti orang belajar naik sepeda, orang tak perlu membaca buku artikel atau buku tentang bagaimana teori naik sepeda,

5 Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1183. 6 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 4-5. 52

begitu pula halnya dengan riset pustaka. Untuk melakukan riset pustaka, orang tidak perlu menguasai ilmu perpustakaan. Satu-satunya cara untuk belajar menggunakan perpustakaan dengan tepat ialah langsung menggunakannya. Meskipun demikian, calon peneliti yang ingin memanfaatkan jasa perpustakaan, tentu masih perlu mengenal seluk-beluk studi perpustakaan untuk kepentingan penelitian atau pembuatan makalah. 3. Data perpustakaan umumnya sumber sekunder artinya: bahwa peneliti memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan. 4. Bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Peneliti berhadapan dengan info statis: tetap artinya kapanpun ia datang dan pergi data tersebut tidak akan berubah karena ia sudah merupakan data “mati” yang tersimpan dalam rekaman tertulis (teks, angka, gambar, rekaman tape atau film). Jika digolongkan menurut asal sumbernya, Data dapat dibagi menjadi dua, yaitu:7 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu. Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya yang ditulis oleh Syed Farid Alatas, terutama dalam buku Alternative Discourses in Asian Social Science: Responses to Eurocentrism atau Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, serta berbagai jurnal terkait. Beberapa karya dari Syed Farid Alatas atau pakar-pakar lain turut memperkaya skripsi ini. Literatur disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan teori Captive mind, Eurosentrisme dalam sosiologi digunakan sebagai sumber pelengkap. Penelitian ini merupakan interpretasi terhadap berbagai bacaan tersebut. Syahrin Harahap, dalam bukunya yang berjudul Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, mengkategorikan jenis penelitian ini sebagai studi tokoh. Hal ini

7 Bagong Suyanto dan Sutinah, Ed, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 55. 53

dikarenakan studi tokoh merupakan pengkajian secara sistematis pemikiran atau gagasan seseorang. Pengkajian tersebut meliputi latar belakang internal, eksternal, pengembangan pemikiran, kekuatan pemikiran, kontribusi bagi jamannya dan jaman sesudahnya. Studi tokoh juga tidak hanya dilakukan pada seorang tokoh yang telah meninggal, namun dapat juga dikaji pada tokoh yang masih hidup.8

C. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan seorang peneliti untuk mencapai tujuan penelitian. Menurut Kania, kegiatan tersebut terdiri dari lima tahapan, yaitu: pembuatan rancangan penelitian, pengumpulan data, pembacaan dan kategorisasi data, interpretasi dan analisis data, serta penulisan laporan penelitian.9 1. Pembuatan Rancangan Penelitian Pada tahapan ini dilakukan pembuatan proposal penelitian yang mencakup latar belakang, perumusan masalah, menentukan tujuan dan kegunaan hasil penelitian, pengumpulan data awal, serta metodologi yang digunakan dalam penelitian guna menjawab masalah yang diajukan. 2. Pengumpulan Data Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data primer maupun sekunder. Data primer berasal dari buku maupun jurnal yang ditulis Syed Farid Alatas. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pengumpulan data yang terkait dengan topic penelitian mengenai alternatif terhadap Eurosentrisme dalam Ilmu Sosiologi, dan mengenai teori captive mind. 3. Pembacaan dan Kategorisasi Data Membaca dan mencatat informasi merupakan bagian yang penting dalam studi kepustakaan.10 Data yang ditemukan dari berbagai sumber dikumpulkan dan dipahami secara mendalam untuk menemukan pemikiran atau gagasan sesuai topik yang diajukan. Setelah itu data

8 Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 6-8. 9 Kania, Op.Cit., h. 81-82. 10 Nazir, Op.Cit., h. 103. 54

dikategorikan dalam topik yang lebih khusus atau kategori-kategori sehingga akan memudahkan proses interpretasi dan analisis data.11 4. Interpretasi dan Analisis Data Pada tahap ini peneliti menganalisa temuan dengan melakukan interpretasi. Interpretasi merupakan metode yang digunakan untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai fakta, data, dan gejala analisis kritis deskriptif. Interpretasi merupakan landasan bagi hermeneutika. 5. Penulisan Laporan Penelitian Laporan penelitian ditulis setelah tahapan demi tahapan dilalui dalam proses penelitian. Laporan ditulis berdasarkan standar penulisan karya ilmiah pada jenjang Sarjana di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.

11 Kania, Op.Cit., h. 82. BAB IV KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME DALAM SOSIOLOGI

A. Konsep Captive Mind Syed Hussein Alatas dan Kaitannya dengan Konsep Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas 1. Biografi Singkat Syed Farid Alatas Syed Farid Alatas merupakan seorang tokoh sosiologi kontemporer yang ahli dalam bidang sejarah sosiologi, sosiologi sebagai ilmu sosial, sosiologi agama, dan dialog antar agama. Syed Farid Alatas juga merupakan penulis yang aktif dalam menghimpun gagasan tokoh-tokoh ilmu sosial Dunia Ketiga. Gagasan yang dihimpunnya tersebut terdapat dalam berbagai karyanya. Karya-karya yang dihasilkannya selama dua puluh tahun belakangan, kaya dengan diskursus alternatif untuk membebaskan ilmu sosial dari belenggu Eurosentrisme dan Orientalisme. Syed Farid Alatas ibn Hussein Alatas lahir pada tanggal 29 Juni 1961 di Belanda pada saat ayahnya masih menempuh studi. Ayahnya merupakan sosiolog besar Melayu yang lahir di Bogor, Jawa Barat, yaitu Syed Hussein Alatas, dan ibunya Datin Zaharah Alatas, dikenal sebagai ibu rumah tangga yang peduli terhadap masalah lingkungan. Syed Farid Alatas merupakan anak sulung yang memiliki dua orang adik perempuan yang bernama Datin Sharifah Munirah dan Sharifah Mastura. Kakeknya dari pihak ayah bernama Syed Ali al-Attas yang merupakan keturunan bangsawan di kesultanan Johor, Malaysia. Sedangkan neneknya Sharifah Raquan al-„Aydarus, merupakan keturunan Raja Sunda dari Sukapura. Nenek buyutnya Ruqayah Hanum, berasal dari Kaukasia, wilayah utara Turki yang kini disebut Georgia (Rusia). Ruqayah Hanum merupakan salah satu wanita yang dihadiahkan sultan Turki Utsmani kepada Abu Bakar Alkhalil Ibrahim Shah, sultan Johor yang pertama. Sultan Abu Bakar kemudian menikah dengan Khadijah Hanum, sedangkan Ruqayah Hanum dinikahkan dengan

55

56

adiknya, Ungku Abdul Majid.1 Selain itu dia juga memiliki seorang buyut yang bernama Muhsin bin Muhammad al-Attas yang merupakan ulama yang tidak hanya dikenal di Nusantara, melainkan juga di jazirah Arab. Muhsin bin Muhammad al-Attas datang dari Yaman mendakwahkan Islam ke Nusantara di sekitar Pekalongan, Bogor, dan Johor. Selain dikenal sebagai keturunan ulama dan pemimpin, Syed Farid Alatas juga merupakan habaib (keturunan Rasulullah) ke-38 dari jalur Imam Ahmad. Silsilah keluarganya dapat dilacak melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba‟Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Syed Farid Alatas juga merupakan keponakan dari Syed Muhammad Naquib (S.M.N) Al-Attas, seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, serta sastra. S.M.N Al-Attas merupakan pendiri International Institute of Islamic Tought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Seperti kakaknya Syed Hussein Alatas, S.M.N. Alatas juga merupakan seorang penulis yang produktif dan otoritatif dalam berbagai bidang keilmuwan. Hingga kini S.M.N Al-Attas telah menghasilkan 27 buah buku, 400 makalah pada seminar di seluruh dunia, dan puluhan jurnal lainnya.2 Karya yang dihasilkannya seputar epistemologi pendidikan Islam, metafisika Islam, hingga rekonstruksi sejarah Nusantara yang bias Orientalisme dan Eurosentrisme. Secara umum Syed Hussein Alatas dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas terkenal berkat sumbangannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kedua ilmuwan ini juga dikenal jeli dalam memandang persoalan keterpurukan Negara- negara Dunia Ketiga yang disebabkan pengadopsian pengetahuan Barat yang sarat nilai tertentu tanpa sikap kritis. Mereka tanpa ragu membongkar akar kerusakan peradaban Barat, dan berupaya membentuk ilmu sosial otonom bagi bangsa Non-

1 Abd Jalil Borham, Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki Dalam Pentadbiran Kerajaan Johor Bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka Di Asia Tenggara, Makalah pada Simposium Isu-Isu Sejarah dan Tamadun Islam (SISTI 2011) Peringkat Kebangsaaan di Sudut Wacana ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor pada 8-10 April, 2011. http://umpir.ump.edu.my/3355/1/JOHOR_TURKI.pdf 2 Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 105, tidak dipublikasikan. 57

Barat. Mereka berdua juga merupakan pakar sejarah Nusantara. Gagasan yang dikemukakan Syed Hussein Alatas kemudian hadir dalam beberapa jurnalnya yang secara langsung mengkritik mentalitas membebek dari kalangan ilmuwan dunia ketiga. Gejala mental ini disebutnya sebagai keterbelengguan pikiran (captive mind). Selanjutnya Syed Hussein Alatas menyerukan agar para ilmuwan keluar dari imperialisme akademis tersebut dan memberi gagasan alternatif dengan ilmu sosial otonom bagi bangsa Non-Barat. Sedangkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan seorang ilmuwan kontemporer yang menghasilkan karya besar dalam metafisika Islam. S.M.N. Al-Attas juga melakukan analisa mendalam tentang kemunduran yang dialami umat Islam.3 Berdasarkan analisa Wan Muhammad Nor Wan Daud, setidaknya Al-Attas menyumbangkan tiga pemikiran besar yang akan mempengaruhi perjalanan sejarah Muslim, diantaranya adalah Pertama, masalah terpenting yang dihadapi oleh umat Islam kini ialah masalah ilmu pengetahuan; kedua, ilmu pengetahuan modern tidak netral karena dipengaruhi oleh pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman Barat; dan ketiga, umat Islam perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa ini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik tentang hakikat dan kebenaran.4 Al-Attas juga menyatakan bahwa seorang Muslim harus memiliki pandangan alam (worldview) seorang Muslim, agar dapat melihat fenomena da noumena secara utuh. Lebih lanjut, Syed Farid Alatas mengakui bahwa kepakaran dan ketokohannya dalam disiplin ilmu sosial tidak terlepas dari pengaruh latar belakang keluarganya. Sejak awal proses pendidikannya, bakat intelektual secara turun menurun tumbuh kepada Syed Farid Alatas dari kedua ilmuwan tersebut. Menurut Alatas, penanaman intelektualitas dari sang ayah telah diperolehnya sejak dini. Syed Hussein Alatas memberi pemahaman yang mendalam tentang betapa seriusnya masalah peniruan dan benak terbelenggu (captive mind) dalam berbagai bidang keilmuwan Dunia Ketiga. Pada saat itulah terbentuk

3 Ibid., h. 104. 4 Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi. h. 259. 58

ketidaksukaan Alatas terhadap mentalitas membebek yang ada pada kebanyakan ilmuwan.5 Pengaruh pemikiran ayahnya terlihat dalam berbagai karya yang dihasilkannya. Alatas sering mengangkat kembali teori captive mind yang dicetuskan oleh ayahnya. Pemikirannya juga terlihat sejalan dengan ayahnya dalam memandang persoalan ilmu sosial. Namun disatu sisi, Alatas juga melakukan pengembangan terhadap karya ayahnya tersebut dengan melakukan riset ke berbagai negara Dunia Ketiga, guna mencari berbagai pemikiran ulayat yang berkembang dikalangan ilmuwan non Barat. Selanjutnya pemikiran yang berupaya lepas dari fenomena Orientalisme dan Eurosentrisme tersebut dihimpun ke dalam gagasan yang bernama diskursus alternatif. Pengaruh intelektual dari pamannya dapat pula terlihat dalam karya Syed Farid Alatas. Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebelum terbitnya karya Edward Said mengenai Orientalisme, telah lama menjelaskan masalah Orientalisme yang mendasari studi Islam di dalam dunia Melayu Asia Tenggara dan di Luarnya. Al- Attas selanjutnya memperkenalkan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang berpengaruh dalam filsafat kontemporer. Al-Attas juga berupaya melepaskan historiografi ranah Melayu dari tangan kolonialis. Karya-karya dan pengaruh kedua ilmuwan ini selanjutnya mempengaruhi berbagai makalah, buku, dan karya lainnya yang ditulis oleh Syed Farid Alatas. Karya-karya ini menjadi jembatan awal bagi upaya melepaskan dominasi pengetahuan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk sosiologi. Berbagai karya ini berupaya membongkar kerusakan epistemologi ilmu pengetahuan yang diterapkan atau diadopsi negara Dunia Ketiga dalam berbagai disiplin ilmu tersebut. Alatas memfokuskan dirinya pada analisa mengenai teori Ibn Khaldun dan Jose Rizal. Pengaruh intelektual Syed Hussein Alatas hadir ketika Alatas mengkaji tentang teori Rizal. Sebagaimana diketahui, dalam satu buah bab khusus, Syed Hussein Alatas pernah membahas pemikiran Rizal mengenai stigma

5 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, (Bandung: Mizan, 2010), h. ix. 59

pribumi malas yang disematkan para pelancong, penjajah dari Barat sejak abad ke-16. Mengutip pendapat Rizal, Alatas menyatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan dan kebutaan terhadap konteks masyarakat lokal. Kini Alatas menjadi Kepala Departemen Studi Melayu dan Associate Professor di Departemen Sosiologi di National University of Singapore.6 Di NUS Alatas mengajar sejak tahun 1992. Sebelumnya Alatas mengajar di Departemen Kajian Asia Tenggara, sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 1992. Hingga saat ini Alatas masih bekerja pula di komite eksekutif Asosiasi Sosiologi Internasional United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Alatas meraih gelar Doktornya dalam bidang Sosiologi dari John Hopkins University pada tahun 1991. Disertasinya mengambil penelitian di Malaysia dan Indonesia dengan judul The Rise of Democratic and Authoritarian POST - States: the Case of Indonesia and Malaysia. Disertasi ini kemudian diterbitkan ulang menjadi sebuah buku oleh Palgrave Macmillan dengan judul Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of The Post-colonial State. Kerangka teori dari disertasinya didasarkan pada studi sejarah munculnya kekuatan-kekuatan kelas dominan yang membentuk rezim di Malaysia dan Indonesia. Sebagaimana diketahui, keduanya muncul sebagai negara pasca- kolonial yang demokratis. Namun, di Indonesia proses demokrasi justru dihentikan sama sekali setelah satu dekade kemerdekaan diperoleh. Pada saat itu bentuk negara otoriter muncul. Berbeda dengan di Indonesia, Alatas menyebut bahwa Malaysia justru masih mempertahankan fungsi sistem demokrasi pada struktur Negaranya. Arti penting dari studi ini terletak pada kenyataan bahwa belum ada pekerjaan komparatif yang dilakukan ilmuwan pada negara bagian di Malaysia dan Indonesia. Selain itu, beberapa karya tentang keadaan di kedua negara cenderung berfokus pada isu-isu yang tidak secara langsung terkait dengan pertanyaan tentang asal-usul negara pasca-kolonial. Awal kemunculan demokrasi di negara-negara pasca-kolonial tidak dijelaskan sepenuhnya.

6 On the Future of Islamic Intellectualism: Interview with Dr. Syed Farid Al Attas. Artikel ini diakses pada tanggal 16 Januari 2014. http://www.interactive.net.in/node/30. 60

Selanjutnya di NUS, Alatas kemudian meraih gelar professor berkat berbagai karyanya dalam bidang ilmu sosial termasuk sosiologi. Alatas tercatat telah menerbitkan berbagai buku dan menulis secara luas dalam jurnal internasional. Berbagai buku yang telah dihasilkan diantaranya adalah: Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of The Colonial States tahun 1997, seperti yang telah disebutkan. Alternative Discourses in Asian Social Science: Responses to Eurosentrism (2006). Alatas juga menjadi editor dalam Asian Inter-Faith Dialogue: Perspektive of Religion, Education and Social Cohesion (2003) dan jurnal Asian Anthropology (2005). Karya-karya ilmiah Alatas juga telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal terkemuka di seluruh dunia, seperti Current Sociology, Teaching Sociology, Antropologi Indonesia, The European Legacy, American Studies International, dan lain-lain. Kini, Syed Farid Alatas menetap di Singapura bersama tiga orang anaknya yang bernama Syed Imad Alatas, Sharifah Afra Alatas, dan Syed Ubaidillah Alatas serta istrinya. Istri Alatas merupakan seorang wanita keturunan Iran yang bernama Mojgan Shavarebi. Mojgan Shavarebi juga dikenal aktif sebagai penerjemah bahasa Persia ke bahasa Inggris.

2. Karya Akademik Syed Farid Alatas Berdasarkan sumber Google Cendekia Juni 2014, ditemukan lebih dari 100 karya Alatas yang tercakup dalam buku, jurnal, dan lainnya. Buku yang dihasilkannya adalah sebagai berikut: Tabel 2 Tahun No. Judul Buku Nama Penerbit Terbit 1. Applying Ibn Khaldūn: The Recovery of a Lost Routledge 2014 Tradition in Sociology 2. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Mizan 2010 Tanggapan terhadap Eurosentrisme 3. A Special Issue on Globalization and Religious Blackwell 2007 Resurgence: Asian Responses 4. Alternative Discourses in Asian Social Science: Sage 2006 Responses to Eurocentrism 61

5. Islam, Democratization and Civil Society in University of 2002 Indonesia and Malaysia Hong Kong 6. The Rhetorics of Social Science in Developing Centre for 1998 Societies Advanced Studies 7. Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Palgrave 1997 Malaysia: The Rise of the Post-colonial State Macmillan 8. Keadaan Sosiologi Masyarakat Melayu Association of 1997 Muslim Professionals 9. The Post-colonial State: Dual Functions in the Department of 1994 Public Sphere Sociology, NUS 10. The Status of Feminist Theory in Malaysia, Universiti Sains 1994 Malaysia 11. Some Problems of Indigenization Department of 1992 Sociology, NUS 12. The Rise of Democratic and Authoritarian Post- John Hopkins 1991 Colonial States: The Cases of Indonesia and University Malaysia (thesis Ph.D) 13. Ibn Khaldun and the Ottoman Modes of Blackwell 1990 Production

Buku yang dihasilkan Syed Farid Alatas

Sementara itu makalah yang diterbitkan dalam berbagai jurnal karya Syed Farid Alatas adalah sebagai berikut: Tabel 3 Tahun No. Judul Makalah Nama Jurnal Terbit 1. Ibn Khaldun and the Good Madina Islam and Civilisational 2013 Renewal (ICR) 4 (4) 2. Is Religious Intolerance Going Global Asia 8 (4), 40-43 2013 Mainstream in Indonesia? 3. Paper Prophethood, the Ahl al-Bayt and International Bediüzzaman 2013 the Ideal of Excellence in Nursi‟s Symposium Papers Thought, P Alatas, S Farid (English) 4. Ibn Khaldūn The Wiley-Blackwell 2011 Companion to Major Social Theorists: Classical 62

Social 5. La Convocatoria Hacia los Discursos Informe Sobre las Ciencias 2011 Alternativos en las Ciencias Sociales de Sociales en el Mundo, 177 Asia 6. On Eurocentrism and Laziness: The Global Asia 6 (1), 96-100 2011 Thought of José Rizal 7. Teaching Social Theory as Alternative Economic and Political 2011 Discourse Weekly 46, 48-54 8. 16 The Definition and Types of De-Westernizing 2010 Alternative Discourses Communication Research: Altering Questions and Changing 9. A definição e os Tipos de Discursos Revista Estudos Históricos 2010 Alternativos 23 (46), 225-245 10. Academic Dependency in the Social Delhi: Manohar 2010 Sciences: Structural Reality and Intellectual Challenges, SF Alatas, K Sinha-Kerkhoff 11. Intellectual and Structural Challenges to Academic Dependency in 2010 Academic Dependency the Social Sciences, 333 12. Rejecting Islamism and the Need for Islamism: Contested 2010 Concepts from Within the Islamic Perspectives on Political Tradition Islam, 87-92 13. Religion and Reform: Two Exemplars for The ISA Handbook of 2010 Autonomous Sociology in the Non- Diverse Sociological Western Context Traditions, 29 14. The Call for Alternative Discourses in World Social Science 2010 Asian Social Sciences Report: Knowledge Divides (pp. 171Á172) Paris: (UNESCO) 15. The Definition and Types of Alternative Estudos Históricos (Rio de 2010 Discourse Janeiro) 23 (46), 225-245 16. The Definition and Types of Alternative Chang, Fei-yu Hsieh (red.) 2010 Discourses, w: Burawoy 2, 139-157 17. An Agenda for Nursi Studies: Towards Asian Journal of Social 2010 the Construction of a Social Theology Science 38 (4), 523-531 18. 9 Ideology and Utopia in the Discourse Islam and Politics in 2009 on Civil Society in Indonesia and Southeast Asia, 165 Malaysia 19. A World of Anthropologies: Paradigms Asian Journal of Social 2008 63

and Challenges for the Coming Century, Science 36, 121-127 J Van Bremen, E Ben-Ari, SF Alatas, S Yamashita, J Bosco, JS Eades 20. Contemporary Muslim Revival: The Case The Muslim World 97 (3), 2007 of “Protestant Islam” 508-520 21. The Historical Sociology of Muslim International Sociology 22 2007 Societies Khaldunian Applications (3), 267-288 22. The Role of Human Sciences in the East Meets West: 2007 Dialogue Among Civilizations Civilizational Encounters and the Spirit of Capitalism in East Asia 23. Paper Justice, Balance and the Social International Bediüzzaman 2007 Order in the Thought of Bediuzzaman Symposium Papers Said Nursi P ALATAS, S Farid (English) 24. A Khaldunian Exemplar for a Historical Current Sociology 54 (3), 2006 Sociology for the South 397-411 25. Editorial Introduction: The Idea of Current Sociology 54 (1), 2006 Autonomous Sociology Reflections on 5-6 the State of the Discipline 26. Eurocentrism and the Need to Rethink Forum Komunikasi 6 (1), 2006 the Teaching of the Social Sciences 124-129 27. From Jāmi'ah to University Current Sociology 54 (1), 2006 Multiculturalism and Christian–Muslim 112-132 Dialogue 28. Ibn Khaldun and Contemporary International sociology 21 2006 Sociology (6), 782 29. Islam and the Science of Economics The Blackwell Companion 2006 to Contemporary Islamic Thought, 587-606 30. Knowledge and Education in Islam, 2006 Secularism and Spirituality: Seeking Integrated Knowledge and Success in Madrasah Education in Singapore 31. This is a List of Books Received for SAGE 40 (6), 1229-1233 2006 Review by Sociology between May and June 2006, SF Alatas, S Alladi Venkatesh, R Kassimir, E Barman, L Biggs 32. Asian Anthropology, E Ben-Ari, J van Routledge 2005 Bremen, SF Alatas 64

33 Covering Islam: Challenges and Centre for Research on 2005 Opportunities for Media in the Global Islamic and Malay Affairs Village 34. Ideology and Utopia in the Thought of Faculty of Arts and Social 2005 Syed Shaykh Al-Hady Sciences, Department of Sociology, NUS 35. Is Objective Reporting on Islam Covering Islam: 2005 Possible? Contextualizing the Demon Challenges and Opportunities for Media in the Global Village, 41 36. Islam and Modernization, Islam in Singapore: Institute of 2005 Southeast Asia: Political, Social and Southeast Asian Studies Strategic Challenges for the Challenges for the 21st Century 37. The „Alawiyyah Tariqah: A Preliminary JCAS Symposium Series, 2005 Outline 225-247 38. 11 Indigenization Asian Anthropology, 227 2004

39. Asian Anthropology Routledge 2004

40. The Meaning of Alternative Discourses: Asia in Europe. Europe in 2004 Illustrations from Southeast Asia Asia, 57-78 41. Paper Islam and Dialogue Among International Bediüzzaman 2004 Civilizations: Prerequisites and Symposium Papers Preparations, P ALATAS, S Farid (English) 42. Academic Dependency and the Global Current Sociology 51 (6), 2003 Division of Labour in the Social Sciences 599-613 43. Anthropology, Sociology, and Other Current Anthropology 44 2003 Dubious Disciplines 1: Immanuel (4), 453-465 Wallerstein, Syed Farid Alatas, Christoph Brumann, Craig Calhoun, John R Hall, TN Madan 44. Asian Interfaith Dialogue: Perspectives Centre for Research on 2003 on Religion, Education and Social Islamic and Malay Affairs Cohesion, SF Alatas, LT Ghee, K Kuroda and the World Bank 45. India and the Future of the Human Emerging Asia: 2003 Sciences in Asia Challenges for India and Singapore, Delhi: Manohar, 157-167 46. Islamic Education and Multiculturalism: International Workshop on 2003 65

the Origins of the Modern University Multicultural Education in Southeast Asian Nations: Sharing Experiences, University of Indonesia, Depok. 47. Pengkajian Ilmu-Ilmu Sosial: Menuju ke Antropologi Indonesia 72, 2003 Pembentukan Konsep Tepat 1-23 48. Eurocentrism and the Role of the Human The European Legacy 7 2002 Sciences in the Dialogue Among (6), 759-770 Civilizations 49. Sociology of the Malays The Making of Singapore 2002 Sociology: Society and State, 289-319 50. The Development of an Autonomous Asian Journal of Social 2002 Social Science Tradition in Asia: Science 30 (1), 150-157 Problems and Prospects 51. 15 The Idea of Alternative Discourses New Horizons in 2001 Sociological Theory and Research: the Frontiers of Sociology. 52. Alternative Discourses in Southeast Asia Sari 19, 49-67 2001

53. Introduction to the Political Economy of The Islamic Quarterly 45 2001 Ibn Khaldun (4), 307-324 54. Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat Antropologi Indonesia 66, 2001 Sipil 13-22 55. Reflections on Alternative Discourses Singapore: Center for 2001 from Southeast Asia Advanced Studies and Pagesetters Service Pte 56. Teaching Classical Sociological Theory Teaching Sociology, 316- 2001 in Singapore: The Context of 331 Eurocentrism 57. The Study of the Social Sciences in Current Sociology 49 (2), 2001 Developing Societies: Towards an 1-19 Adequate Conceptualization of Relevance 58. Academic Dependency in the Social American Studies 2000 Sciences: Reflections on India and International, 80-96 Malaysia 59. Alatas and Shari‟ati on Socialism: Essays in Honour of 2000 66

Autonomous Social Science and Professor Syed Hussein Occidentalism, Local and Global Social Alatas Transformation in Southeast Asia 60. An Introduction to the Idea of Alternative Current 2000 Discourses in Non-Western Countries: A Anthropology 21(5) Further Elaboration 61. Development Theory: The Case of The Muslim Ummah: 2000 Islamic Economics Challenges, Directions and Reflections. 15 62. Colonization of the Social Sciences and Replika 1999 the Structure of Academic Dependency 63. L'origine della Niqabat al-Asraf nella Oriente Moderno 79 (2), 1999 storia dell'Islam, AR Alamarvedasti, SF 297-322 Alatas 64. Peranan Negara dan Pembangunan: ke Akademika 54 (1) 1999 Arah Sebuah Teori Negara Kleptokratis 65. The Discourse on Indigenization: Pagesetters Services PTE 1999 Definitions, Criteria, and Pitfalls Limited 66. The Ṭarīqat Al-'Alawiyyah and The Oriente Moderno, 323-339 1999 Emergence of the Shi'i School In Indonesia And Malaysia 67. Paradigms, Theories, Frameworks, Centre for Advanced 1998 Incommensurability, and Theory Studies, University of Ladenness, F Alatas, KP Mohanan Singapore 68. Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora: Hadhrami Traders, 1997 Problems in Theoretical History Scholars and Statemen in the Indian Ocean 1750s- 1960s ..., 69. Islam and Counter Modernism: Towards Islamic Political Economy 1997 Alternative Development Paradigms in Capitalist- Globalization: An agenda for Change 70. The Post-Colonial State: Dual Functions Humboldt Journal of 1997 in the Public Sphere Social Relations, 285-307 71. The Theme of “Relevance” in Third Singapore Journal of 1996 World Human Sciences Tropical Geography 16 (2), 123-140 72. Western Theory and Asian Realities: A Asia Pacific Regional 1996 Critical Appraisal of the Indigenization Conference of Sociology, Theme Philippine Social Science 67

Center, Quezon City 73. Dependency, Rhetorics and the Goethe-Institute 1995 Transnational Flow of Ideas in the Social International Seminar on Sciences Cultural and Social Dimensions of Market Expantion, Labuan 74. The Sacralization of the Social Sciences: Archives de Sciences 1995 A Critique of an Emerging Theme in Sociales des Religions, 89- Academic Discourse 111 75. Agama dan Ilmu-ilmu Sosial Jurnal Ulumul Qur‟an Vol. 1994. 5 76. Appendix; MAJOR THEMES AND Culture and Development, 1994 RECOMMENDATIONS, SF Alatas, K 291-298 Kinyanjui, SH Lee, TH Yoo 77. Part I Culture And Development in a Culture and Development, 1994 New Era And In a Transforming World; 79-110 Indigenization and Social Science: The Role of Culture in Development 78. A Khaldunian Perspective on the Comparative Civilizations 1993 Dynamics of Asiatic Societies Review, 29-51 79. On the Indigenization of Academic Alternatives, 307-338 1993 Discourse 80. The Asiatic Mode of Production and the Central Asian Survey 12 1993 Formative Turkic and Iranian States in (4), 473-496 Modern Times 81. Theoretical Perspective on the Role of Comparative 1993 State Elites in South Asian Development SoutheastAsia 14 (4) 82. Notes on Race and Class in Malaysia Journal of Muslim 1991 Minority Affairs 12 (1), 115-126 83. An Islamic Common Market and Islamic Culture 1, 28-38 1987 Economic Development 84. Reflections on the Idea of Islamic Social Comparative Civilizations 1987 Science Review, 60-86 85. Notes on Various Theories Regarding the The Muslim World 75 (3- 1985 Islamization of the Malay Archipelago 4), 162-175 86. Pour Sortir de l‟Eurocentrisme en Sciences Sociales 87. The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay world 68

88. Colleagues, Postgraduate Students and Other Scholars are Invited to Review One or More of the Works Listed Below. 89. Paper Dialogue for Peace and Harmony: A Human Sciences Approach1

Makalah Syed Farid Alatas yang telah diterbitkan oleh Jurnal di seluruh dunia

3. Konsep Captive Mind (Benak Terbelenggu) Syed Hussein Alatas dan Kaitannya dengan Konsep Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, Captive mind secara resmi dikemukakan Syed Hussein Alatas kepada publik pada tahun 1972, namun sebenarnya teori ini telah diperkenalkan pada Konferensi “Society for International Development” ke-11 di kota New Delhi, India pada tanggal 14-17 November 1969.7 Secara umum captive mind merupakan gejala mentalitas membebek yang ada pada diri ilmuwan non-Barat dengan cara mengadopsi tanpa kritis ilmu sosial yang berasal dari Barat. Mereka menganggap sebagian besar teori yang berasal dari Eropa memiliki kualitas superior dan universal, sehingga dapat digunakan sebagai pisau analisis permasalahan sosial di negara mereka. Mengutip tulisan Syed Hussein Alatas, Syed Farid Alatas mengemukakan bahwa captive mind berasal dari efek demonstrasi yang diakibatkan intensitas pertemuan ilmuwan non-Barat dengan karya ilmuwan Barat. Semakin sering ilmuwan bersentuhan dengan ilmu sosial Barat, semakin kuat pula dominasi captive mind pada diri ilmuwan tersebut. Syed Hussein Alatas dalam Jurnal yang berjudul Captive Mind in Development Studies sebenarnya menyatakan bahwa bentuk imitasi atau peniruan pada ilmu sosial Barat tidak selamanya bernilai negatif, melainkan ada yang berupa imitasi konstruktif. Namun fenomena seorang ilmuwan yang telah terjangkiti captive mind tidak dapat memilah-milih mana teori yang dapat diterapkan, dan mana yang memiliki bias Eurosentris serta tidak cocok bila diterapkan pada negara mereka.

7 Syed Hussein Alatas, “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospect,” Asian Journal of Social Science, 30 (1), pp. 150. 69

Syed Hussein Alatas kemudian menyatakan bahwa fenomena captive mind pada diri ilmuwan berhubungan erat dengan imperialisme akademis. Sebagaimana diketahui, Imperialisme akademis merupakan fenomena yang sejajar dengan imperialisme politik dan ekonomi.8 Umumnya, imperialisme dipahami sebagai kebijakan dan praktek dominasi politik dan ekonomi kolonial oleh negara-negara yang lebih maju sejak abad ke-16 melalui penaklukan militer. Imperialisme akademik paling terasa dialami ilmuwan pada masa kolonial. Oleh karena itu jika didefinisikan dengan cara ini, imperialisme setara dengan kolonialisme. Namun saat ini, bentuk imperialisme akademis tidak dipaksakan oleh Barat melalui dominasi kolonial, tetapi diterima dengan sukarela dan antusias oleh para ilmuwan di wilayah koloni. Imperialisme akademis dimulai dengan pengaturan dan kontrol langsung dari sekolah, universitas dan tempat penerbitan oleh para imperialis. Dengan demikian struktur politik dan ekonomi imperialis dihasilkan dari struktur yang paralel dengan cara berpikir orang-orang tertindas. Masih dalam kutipan yang sama, Alatas kemudian menyatakan enam ciri struktur paralel tersebut, yaitu dapat dilihat dari eksploitasi, pengawasan, kesesuaian, peran sekunder intelektual dan cendekiawan yang didominasi, rasionalisasi misi peradaban, dan bakat inferior ilmuwan dari negara asal yang mengkhususkan diri dalam studi di wilayah koloni.9 Pada periode pasca-kolonial, manajemen kontrol yang diterapkan imperialis kepada bangsa terjajah kemudian berkembang dengan memasukkan unsur ilmu pengetahuan sebagai penguatnya. Para imperialis kemudian membudidayakan dan menerapkan disiplin ilmu seperti sejarah, linguistik, geografi, ekonomi, sosiologi dan antropologi di negara-negara koloni. Selanjutnya setelah bangsa-bangsa yang terjajah mampu mendeklarasikan diri dengan kemerdekaan, efek imperialisme ini tidak hilang dengan seketika, namun berubah menjadi bentuk yang lain.

8 Ibid., pp. 285 9 Syed Farid Alatas, “Academic Dependency Academic Dependency and the Global Division of Labour in the Social Sciences,” Current Sociology Journal, November 2003, Vol. 51(6), pp. 601, dan Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 51. 70

Neo-imperialisme akademik merupakan bentuk imperialisme kolonialis kepada bangsa terjajah setelah masa kemerdekaan. Kontrol monopoli dan pengaruh atas sifat dan arus ilmu sosial Barat tetap utuh meskipun kemerdekaan politik telah dicapai. Bentuk pendekatan yang dilayangkan pada studi ilmu-ilmu sosial dapat dilihat dengan berbagai bentuk, yaitu berdasarkan jenis metaanalisis dan pendekatan masalah berkisar dari epistemologis ke empiris. Kemudian metateori atau studi refleksif ilmu-ilmu sosial juga melibatkan studi tentang konteks sosial, budaya, sejarah, serta akar filsafat mereka.10 Alatas menggambarkan fenomena ini berkembang dalam sebuah proyek penelitian Bangsa Barat untuk mengabadikan hegemoninya pada bangsa non- Barat. Melalui proyek yang bernilai besar, Barat berupaya mengawasi jalannya pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan budaya di negara-negara eks-koloni. Dalam hal ini Alatas mengutip contoh paling terkenal dari proyek penelitian ilmu sosial karena memiliki nilai besar yaitu, „Proyek Camelot‟ dengan hibah hingga US$ 6 juta.11 Penggunaan contoh ini tidak berarti bahwa seluruh proyek penelitian di Amerika dan Eropa memiliki tujuan untuk melestarikan imperialisme akademis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sifat ilmu sosial di dunia adalah pola pengembangan dan perluasan ilmu sosial yang merupakan refleksi dari perkembangan di Amerika dan negara-negara Eropa. Saat ini kekuatan untuk mempertahankan dominasi terus dilaksanakan dalam bentuk kontrol atas perdagangan buku, selektif dalam promosi sarjana, penindasan dan mendiskreditkan ide dari tradisi intelektual lainnya.12 Bentuk imperialisme akademik ini selanjutnya menghasilkan sebuah fenomena yang membuat bangsa terjajah tidak dapat keluar dari posisinya sebagai bangsa terjajah. Inilah yang kemudian disebut Alatas sebagai kebergantungan akademik (academic dependency). Namun dikatakannya, bahwa kebergantungan akademik saja tidak cukup untuk menjelaskan fenomena dominasi ilmu sosial Eropa di negara Dunia Ketiga. Karena kebergantungan lembaga dan teori sarjana di negara-

10 Syed Farid Alatas, “Academic Dependency in the Social Sciences: Reflections on India and Malaysia,” American Studies International , June 2000, Vol. XXXVIII, No. 2, pp. 80. 11 Alatas, Op.Cit., Academic (a), pp. 600. Alatas, Diskursus, Op.Cit., pp. 48-49. 12 Alvares, Op.Cit., pp. 75. 71

negara berkembang pada ilmu sosial Barat juga telah menghasilkan pendekatan meniru ide-ide dan konsep dari Amerika Serikat dan sampai batas tertentu, Inggris, Perancis dan Jerman. Padahal, relevansi ilmu-ilmu sosial untuk negara- negara berkembang yang mengadopsi ilmu sosial Barat telah dipertanyakan. Ilmu-ilmu sosial juga diimpor dan ditanamkan di wilayah pinggiran tanpa pengakuan latar belakang sejarah yang berbeda dan keadaan sosial masyarakat tersebut. Dampak yang terjadi adalah, meski telah memperoleh emansipasi politik, kebergantungan intelektual dari bekas koloni pada model Amerika dan Eropa akhirnya terus lestari. Alatas mengutip pendapat Oomen bahwa teori kebergantungan akademik mengakui ketidakseimbangan produksi ilmu-ilmu sosial pada masyarakat dan pembagian kerja yang dihasilkan antara produsen dan konsumen dari pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi kebetulan bahwa kekuatan ekonomi yang besar juga akan menjadi kekuatan yang besar dalam ilmu sosial. Teori kebergantungan akademik atau teori kebergantungan ilmu sosial, sebenarnya berasal dari Brazil pada tahun 1950-an. Para pendukungnya menganjurkan bahwa sosiolog Brasil dan Amerika Latin perlu mengurangi kebergantungan pada pusat sosiologi di Barat dan mengembangkan indigenisasi sosiologi. Dengan perspektif ini, komunitas ilmuwan di Dunia Ketiga dapat mendefinisikan masalah dan metode penelitian tidak berdasarkan standar yang telah diunggulkan komunitas ilmuwan Eropa.13 Menurut Alatas, struktur kebergantungan akademik dapat dipahami dengan dimensi sebagai berikut: (1) kebergantungan pada ide-ide serta media ide (2) kebergantungan pada teknologi pendidikan (3) kebergantungan pada bantuan untuk penelitian dan pengajaran (4) kebergantungan pada investasi dalam pendidikan. Dalam buku Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia, Alatas menambahkan dimensi kebergantungan ilmuwan sosial Dunia Ketiga pada permintaan Barat akan keterampilan mereka.14 Dalam sumber lainnya, Alatas kembali menambahkan dimensi kebergantungan ilmuwan Dunia Ketiga pada pengakuan yang diterima dari ilmu sosial Barat.

13 Alatas, Ibid., pp. 83-84. 14 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 56. 72

Struktur kebergantungan tersebut adalah kondisi umum pengetahuan di negara Dunia Ketiga. Meskipun beberapa waktu belakangan masyarakat ilmiah telah menyadari bias etnosentris dalam ilmu sosial Barat, namun upaya untuk keluar dari masalah tersebut nyatanya belum nampak secara jelas. Keadaan ini akhirnya mengakibatkan kebergantungan pada teori-teori dan konsep-konsep yang dihasilkan dalam konteks latar belakang sejarah dan praktek-praktek budaya Barat terus tercipta.15 Pola kebergantungan akademik ini juga dapat dianalisa lebih jauh sebagai kebergantungan intelektual. Kebergantungan intelektual dapat dilihat dari segi struktur kebergantungan akademik dan ide-ide yang diimpor dengan relevansi yang bersangkutan. Struktur kebergantungan intelektual dapat dilihat dari ketersediaan dana yang berasal dari negara Dunia Pertama, prestise yang melekat pada penerbitan di jurnal Amerika dan Inggris, premi yang tinggi ditempatkan pada pendidikan universitas Barat, serta sejumlah indikator lainnya.16 Kebergantungan intelektual ini disebabkan pemusatan perhatian pada karya empiris yang membatasi diri pada kasus-kasus tunggal di negerinya sendiri, sehingga kekurangan perspektif perbandingan, maka inovasi teoritis atau konseptual memiliki konsep yang suram. Oleh karena itu upaya rekonstruksi Ilmu Sosial harus melibatkan pluralisasi konseptual dalam konteks penghapusan pembagian kerja global Ilmu Sosial. Selanjutnya Alatas menyatakan bahwa masalah kebergantungan intelektual di tingkat ide terkait erat dengan proses imitasi atau peniruan. Konsekuensi dari kebergantungan ide adalah peniruan dalam pengajaran ilmu sosial, penelitian, serta perencanaan dalam pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Kebergantungan intelektual pada ide-ide yang menimpa para ilmuwan Dunia Ketiga, contohnya adalah ilmu-ilmu sosial di bekas koloni Inggris kemungkinan akan didominasi oleh tradisi teoritis Anglo-Saxon.17

15 Alatas, Academic (b), pp. 84. 16 Alatas, Academic (b), pp. 81. 17 Syed Farid Alatas, Indigenization, Features and Problems, Asian Anthropology, 227, 2004, pp. 239. 73

Terlepas dari kebergantungan pada ide-ide, ada juga masalah kebergantungan pada media pengetahuan seperti buku dan jurnal. Tingkat kebergantungan akademik dapat diukur dari struktur kepemilikan dan kontrol dari jurnal internasional. Angka-angka terbesar dari jurnal ilmu sosial dibuat oleh ilmuwan di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia dan Inggris. Menurut Garreau sebagaimana dikutip Alatas, lebih dari 80% artikel dalam jurnal ilmu politik di negara-negara tersebut disumbangkan oleh para ilmuwan yang menjadi anggota organisasi profesional dengan kewarganegaraan yang sama dengan negara tempat jurnal diterbitkan.18 Fenomena ini akhirnya menyebabkan terjadi impor besar-besaran karya akademik di seluruh dunia. Alatas menyatakan bahwa pada akhirnya di Malaysia atau India jauh lebih mudah untuk mendapatkan karya yang diterbitkan di Amerika Serikat dan Inggris, daripada di negara masing-masing. Meskipun ada upaya-upaya untuk mengembangkan industri penerbitan di beberapa negara Dunia Ketiga, penerbitan dan distribusi masih didominasi oleh kekuatan ilmu sosial. Akibatnya, ilmu sosial di Dunia Ketiga menyesuaikan pemilihan masalah, bahasa komunikasi, dan metode penelitian sesuai persyaratan yang dikemukakan negara pusat. Selain itu masalah kebergantungan pada media ide berhubungan erat dengan kebijakan ekonomi yang berasal dari negara-negara maju yang mengakibatkan pembuat kebijakan atau akademisi di negara-negara berkembang harus menerima resep yang diberikan negara pusat. Para ilmuwan negara Dunia Ketiga mengalami kebergantungan pada teknologi pendidikan. Pada 1960-an dan 1970-an ketika banyak jurnal utama dalam ilmu sosial yang menerbitkan artikel menggunakan metode statistik canggih, negara-negara kaya cenderung memiliki keunggulan komparatif karena kurangnya fasilitas komputerisasi pada banyak negara Dunia Ketiga. Meskipun hal ini sudah tidak tepat lagi dengan semakin mudahnya memperoleh teknologi tersebut, kebergantungan pada teknologi pendidikan tetap berlangsung dengan cara yang lain. Bahan ajar seperti film dan instrumen laboratorium terus diimpor, karena kurangnya inovasi dalam penciptaan kurikulum dan bahan ajar. Hal ini

18 Alatas, Academic, Op.Cit., pp. 85. 74

menurut Alatas disebabkan kurangnya dana dan fakta bahwa banyak pendidik di negara Dunia Ketiga belajar di sekolah Barat, dan terus memanfaatkan Barat untuk sumber daya mereka. 19 Selain itu, relasi kebergantungan ilmu-ilmu sosial juga terlihat dari kedutaan besar, yayasan, lembaga pemerintah Barat yang sering mendirikan pusat-pusat informasi mutakhir yang umumnya tidak tersedia pada universitas lokal. Pusat-pusat informasi semacam itu mampu menyediakan banyak data dan pengetahuan. Namun, pemilihan data akhirnya tetap menjadi hak prerogratif organisasi asing yang menyediakan pelayanan.20 Kebergantungan pada bantuan untuk penelitian dan pengajaran juga terjadi pada negara Dunia Ketiga. Lembaga Swadaya Masyarakat serta yayasan perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman memainkan peran penting dalam pelatihan ilmuwan Dunia Ketiga dengan memberikan beasiswa, dana penelitian ilmu sosial, dan menyediakan tenaga ahli untuk penelitian dan pengajaran di lembaga negara berkembang. Dana-dana ini digunakan untuk mensponsori penelitian, membiayai publikasi buku-buku lokal dan jurnal, serta membeli keahlian dalam studi banding ke negara pusat. Amerika Serikat misalnya, telah sangat aktif dalam memberikan bantuan asing pada bidang pendidikan. Menurut Altbach, dana hibah untuk Perguruan tinggi yang berdasarkan model Amerika telah didirikan di India, Indonesia, dan Nigeria, serta di Amerika Latin. Sejumlah besar dana dan bantuan teknis telah disediakan untuk mengembangkan universitas di negara-negara tersebut. Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman juga telah mensponsori studi bahasa dan budaya di negara berkembang. Perancis sangat aktif mempromosikan bahasa Perancis di bekas koloninya. Amerika Serikat juga aktif dalam membangun lembaga pelatihan di negara berkembang. Namun keadaan ini mengakibatkan lulusan mereka tidak mampu menemukan pekerjaan karena pelatihan yang mereka jalani tidak berhubungan dengan kondisi lokal.21

19 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 86. 20 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 58. 21 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 87. 75

Ilmuwan Dunia Ketiga mengalami kebergantungan pada permintaan atas keterampilan mereka. Mereka enggan kembali ke negara asal dengan alasan kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung keahlian mereka. Akhirnya negara yang ditinggalkan kekurangan sumber daya manusia unggul yang memiliki efektivitas tinggi. Keadaan ini terus lestari dengan upah yang berlimpah dari negara pusat, yang sulit diberikan institusi di negara asal. Kebergantungan pada pengakuan terhadap karya mereka juga menyebabkan banyak ilmuwan Dunia Ketiga menyanggupi semua hal agar artikel yang mereka tulis memperoleh pengakuan pada jurnal dunia. Mereka mengikuti semua prosedur yang ditetapkan negara pusat, untuk mengejar kredit agar memperoleh kenaikan pangkat akademik di negara asalnya. Keadaan ini sebenarnya dapat diatasi oleh negara-negara di Dunia Ketiga. Banyak cara yang dapat dilakukan komunitas ilmuwan Dunia Ketiga untuk melepaskan kebergantungannya pada ilmu sosial Barat. Menurut Alatas sebenarnya negara Dunia Ketiga memiliki cukup banyak buku, baik asing maupun lokal yang memungkinkan sebuah ide menarik bisa diteliti dengan asumsi yang disesuaikan dengan latar belakang kondisi setempat. Mengenai kebergantungan pada teknologi pendidikan, hal ini akan menjadi masalah hanya sebatas bila teknologi pendidikan sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial. Tetapi di negara berkembang nyatanya banyak daerah yang menarik dalam ilmu sosial, sehingga penelitian dengan berasaskan teknologi menjadi tidak terlalu penting. Analogi kebergantungan ekonomi tidak sepenuhnya tepat karena tidak ada organisasi pendanaan riset yang setara dengan Bank Dunia atau IMF. Namun dana ini memungkinkan syarat dan kondisi dari hibah fleksibel untuk diberikan pada setiap negara di dunia. Para ilmuwan dapat memutuskan bidang penelitian serta metode sesuai dengan kondisi lokal. Program yang dilayangkan di Indonesia misalnya, dapat dengan mudah dimodifikasi agar lebih relevan dengan situasi lokal, sementara pada saat yang sama memenuhi persyaratan dari program tersebut. Teori Captive Mind atau benak terbelenggu yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas merupakan landasan penting diskursus alternatif terhadap 76

Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas. Alatas menjadi penerus teori captive mind yang dikemukakan Syed Hussein Alatas. Hampir setiap makalah yang dikemukakan Alatas mengutip frasa captive mind beserta gejalanya, untuk menganalisis fenomena Eurosentrisme dalam ilmu sosial di Negara-negara Dunia Ketiga. Captive Mind hanya akan meluaskan penerapan ilmu sosial Amerika dan Eropa ke konteks Asia tanpa mengadaptasi dengan tepat ide-ide atau teknik yang diimpor. Para ilmuwan Asia merasa sangat memerlukan pengetahuan dari Barat demi mempertahankan harga diri, terlepas dari manfaat objektifnya. Peniruan ilmu sosial Barat menghinggapi semua tingkatan ilmiah, termasuk dalam memilih masalah, analisis, abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan penafsiran. Hingga kini, banyak ilmuwan yang berupaya melepaskan pengaruh negatif captive mind, imperialisme akademik, dan kebergantungan intelektual dalam ilmu sosial Dunia Ketiga. Berbagai upaya untuk melepaskan hal ini belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Analisis secara mendalam menunjukkan bahwa masalah yang menimpa ilmu sosial tidak terlepas dari fenomena lain yang ada dalam ilmu sosial. Fenomena tersebut ada dalam tingkatan analisis dan metodologi yang telah menetapkan Eropa sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Fenomena ini adalah Eurosentrisme, sebuah istilah yang telah dibahas pada bab II tentang fenomena dominasi Eropa dalam ilmu sosial di seluruh dunia. Dalam skripsi ini, akan dipaparkan analisa Alatas untuk menghadapi Eurosentrisme dalam ilmu sosial secara umumnya, dan sosiologi secara khususnya.

B. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus Alternatif 1. Fenomena Eurosentrisme dalam Sosiologi Eropa selama dua abad terakhir tidak diragukan lagi berada di puncak dunia. Secara kolektif mereka merupakan negara dengan militer yang kuat dan menikmati teknologi yang paling canggih. Mereka juga menjadi pencipta teknologi yang dinikmati penduduk dunia. Fakta ini sebagian besar tampak tak 77

terbantahkan, namun yang menjadi masalah adalah ketika diferensiasi kekuasaan dan standar hidup bangsa Eropa diterapkan pada semua negara di seluruh dunia. Salah satu yang memperkuat gagasan ini adalah pendapat bahwa Eropa telah melakukan sesuatu yang berjasa dan berbeda dari orang-orang di bagian lain dunia. Inilah yang telah disebutkan pada bab II sebagai bentuk „keajaiban Eropa‟. Eropa telah meluncurkan revolusi industri yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mereka telah menciptakan modernitas, kapitalisme, birokratisasi, serta kebebasan individu. Ilmuwan Dunia Ketiga yang mengakui Eurosentrisme sebagai masalah dalam studi politik dunia dan ingin mengatasinya, perlu untuk melakukan refleksi terus-menerus terhadap perkembangan gejalanya pada ilmu sosial. Menurut Wallerstein, tren unik yang Eropa peroleh kini merupakan warisan Kristen Abad Pertengahan, warisan dunia Ibrani, atau warisan gabungan hal tersebut (Yudeo- Kristen).22 Modernitas menjadi suatu kebanggan yang diperoleh Eropa dengan perjuangan panjang. Proses revolusi besar-besaran dialami pada sejarah mereka, dan menuntut perombakan berbagai bidang, seperti struktur budaya, agama, dan nilai maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Secara kontekstual Alatas akhirnya menemukan bahwa masalah politik, ekonomi, sejarah dan budaya Eropa mempengaruhi setiap segi kemunculan teori sosiologi modern. Sebagai teori struktural, teori modernisasi memiliki visi evolusi perkembangan sosial, politik, dan ekonomi. Akar visi ini dapat ditemukan dalam teori klasik dengan keyakinannya atas kemajuan dan peningkatkan kompleksitas masalah sosial, ekonomi, dan politik. Versi psikologis teori modernisasi mengklaim bahwa masyarakat Barat (Euro-Amerika) memiliki sifat-sifat psikologis yang diperlukan dalam keberhasilan ekonomi. Ciri-ciri tersebut termasuk kebutuhan tinggi untuk berprestasi dengan disertai rasionalitas ekonomi. Menurut Alatas, pendukung utama pandangan ini adalah Hagen, McClelland, Inkeles dan Smith. Menurut Inkeles dan Smith, kontak dengan lembaga-lembaga

22 Wallerstein, Op.Cit., pp. 98. 78

modern menghasilkan orang-orang dengan sikap modern. Di antara sikap yang dibahas oleh mereka adalah meningkatnya sekularisasi dalam masyarakat.23 Negara-negara terbelakang tidak dapat mengikuti jalan yang sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju karena hubungan evolusi sejarah dari sistem kapitalis yang tidak merata. Hubungan kekuasaan yang tidak setara antara Negara pusat dan negara pinggiran (terbelakang) tidak mengizinkan negara- negara terbelakang untuk menjadi independen dan mandiri. Keterbelakangan ini juga dapat dikaitkan dengan kebijakan negara-negara industri dan ekstensi mereka dalam bentuk kelompok-kelompok elit di negara pinggiran. Selain itu, teori sistem dunia melihat dunia sebagai satu kesatuan tunggal dengan pembagian kerja secara hirearkis. Pendekatan teori sistem dunia ini menurut Alatas tepat digunakan untuk mengkritik teori modernisasi karena kurangnya perhatian terhadap struktur ekonomi dunia dan hubungan hirarkisnya. Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, teori Modernisasi memberi bentuk yang paling dikenal dengan karya Rostow. Dalam pengamatannya, secara hirarkis Rostow membagi lima tahap perkembangan masyarakat yang harus dilalui dalam rangka industrialisasi yang mempengaruhi studi pada sosiologi pembangunan. Sementara lima tahap tersebut berasal dari pengalaman negara- negara industri yang bahkan telah dipertanyakan. Pengamatan itu didasarkan oleh pengalaman masyarakat Euro Amerika selama beberapa abad, yang tidak dialami oleh masyarakat non-Eropa. Namun yang harus dipertanyakan adalah tahapan pertumbuhan ini diadopsi oleh negara-negara terbelakang. Padahal hubungan kekuasaan yang tidak setara antara negara-negara (industri) dan negara pinggiran (terbelakang) tidak mengizinkan negara-negara terbelakang melampaui posisi Eropa sebagai penguasa sistem dunia. Keterbelakangan yang dialami negara- negara non-Barat juga dapat dikaitkan dengan kebijakan negara-negara industri dan ekstensi mereka dalam sistem politik dunia. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dominasi pusat dan pinggiran dalam sistem dunia tidak terlepas dari Eurosentrisme yang ada dalam

23 Syed Farid Alatas, “On The Indigenization of Academic Discourse, Alternatives: Global, Local, Political,” Vol. 18, No. 3 (Summer 1993), pp. 309. 79

ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Alatas beranggapan bahwa ilmu sosial dan humaniora harus memperbaiki kesalahan-kesalahan dan distorsi dari wacana yang telah terlanjur berkembang dalam masyarakat dunia. Ilmuwan non-Eropa harus menyerang akar permasalahan yang menyebabkan mereka terus terbelakang. Akar masalah ini adalah Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Ilmuwan Dunia Ketiga juga harus menyelesaikan masalah di tingkat produksi pengetahuan dalam pengajaran dan penelitian. Hal ini pada gilirannya berarti kebutuhan yang lebih besar untuk interaksi, antara masyarakat ilmiah dalam berbagai peradaban.24 Dalam artikel yang berjudul “The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay World”, Alatas memberi perbedaan mendasar antara teori Orientalisme yang sangat terkenal dalam menggambarkan hegemoni Timur dan Barat yang dikembangkan para Orientalis (orang-orang yang mengkaji pemikiran non Barat) dengan teori Eurosentrisme dalam Ilmu sosial. Secara umum, konteks struktural Orientalisme dalam ilmu sosial saat ini adalah masalah kebergantungan akademik, seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Menurut Alatas, kebergantungan akademik merupakan masalah yang ada pada dua tingkat, yaitu tingkat struktural yang ditandai dengan pembagian kerja tertentu dalam ilmu sosial global yang dikelola oleh kebijakan dan peraturan oleh birokrat dan administrator, serta tingkat intelektual, yaitu kebergantungan akademik yang berkaitan dengan alam ide.25 Dalam permasalahan studi di Asia Tenggara, Alatas menemukan masalah baik di tingkat epistemologis dan empiris dalam disiplin ilmu sejarah, antropologi, sosiologi dan psikologi. Atas latar belakang inilah Alatas membuat tiga poin: 1. Yang pertama menyangkut perbedaan antara Eurosentrisme dan Orientalisme. Orientalisme adalah manifestasi dari etnosentrisme yang menjadi versi khusus Eropa dalam berbagai bidang studi yang peduli dengan masalah “Orient”. Sedangkan Eurosentrisme merupakan fenomena yang lebih besar dan ditemukan di kalangan akademisi dan non-akademisi. Ketika teori dan karya empiris diterjemahkan menjadi “ilmiah”, dengan

24 Syed Farid Alatas, “The Role of Human Sciences in The Dialogue Among Civilizations,” Development And Society, Volume 31 Number 2, December 2002, pp. 265. 25 Alatas, The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay World, pp. 274. 80

perspektif Eurosentris, karya empiris mengambil bentuk orientasi Orientalis yang menginformasikan karya akademis. 2. Kritik Orientalisme yang dikemukakan Edward Said biasanya berhubungan dengan Timur Tengah dan secara khusus dengan studi Islam. Tapi nyatanya kritik tersebut telah ada sebelum Said meluncurkannya. Orientalisme telah dikatakan sebelumnya oleh AL Tibawi, Abdullah Laroui, Anwar Abdel Malek, Talal Asad, SH Alatas, Fanon dan Césaire, Pannikar, serta Romila Thapar. Semua tokoh tersebut menyatakan hal yang sama, yaitu kerusakan akibat imperialisme dan kolonialisme. ....Biar bagaimanapun kritik itu sebenarnya dimulai jauh lebih awal di Asia Tenggara dalam karya pemikir dan pembaharu Filipina, José Rizal (1861- 1896). 3. Eurosentrisme seperti yang dimanifestasikan dalam ilmu-ilmu sosial dan kegiatan manusia dalam bentuk Orientalisme tidak lagi didasarkan pada dikotomi yang disebutkan di atas. Jika kita membatasi definisi Orientalisme dengan dominasi dalam disiplin dan studi area, maka kita dapat mengatakan bahwa Orientalisme telah melampaui hal tersebut. Tapi masih ada cara di mana Orientalisme tetap dominan secara signifikan. Hal ini berkaitan dengan marginalisasi teori non-Eropa dan konsep dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.26

Dalam pengertian terakhir ini, Alatas menyatakan bahwa Orientalisme dalam sosiologi masih hidup hingga kini. Sosiologi yang baik membutuhkan perhatian terhadap pembentukan konsep dan bangunan teori yang kokoh. Sosiologi juga harus melepaskan dirinya dari kepentingan dan konteks budaya Eropa. Namun kegagalan umum dari ilmu-ilmu sosial untuk memahami hal ini justru telah mengakibatkan kelanjutan orientasi Orientalis dalam ilmu sosial, seperti dalam bentuk marginalisasi non-Barat. Padahal marginalisasi ide-ide non- Barat merupakan bentuk pengabaian tradisi non-Barat sebagai sumber teori dan pembentukan konsep. Alasan dari proses marjinalisasi tersebut adalah dominasi Orientalisme secara terus-menerus dalam ilmu sosial, termasuk sosiologi. Secara umum Alatas menyusun kekhawatiran ilmu sosial di Dunia Ketiga dengan perhatian sebagai berikut: Pertama-tama, ilmu-ilmu sosial harus merumuskan masalah keterbelakangan. Kedua, perhatian ilmuwan ditujukan pada peran masyarakat ilmiah untuk mengatasi masalah keterbelakangan. Ketiga, masalah harus dirumuskan untuk menawarkan sebuah solusi. Solusi yang

26 Alatas, Ibid., pp. 274-275. 81

disajikan adalah universalisasi atau internasionalisasi ilmu-ilmu sosial, yang berarti penerimaannya pada negara di Dunia Ketiga. Selain itu terdapat berbagai dikotomi yang mendasari ilmu sosial Barat, seperti dikotomi antara Estetika dan ilmiah. Estetika mengacu pada lingkup pengalaman non-kognitif sementara ilmiah merujuk pada penjelasan kognitif. Dikotomi ini dinyatakan dalam berbagai oposisi lain seperti emosional dibandingkan dengan rasional, intuisi dibandingkan dengan pengetahuan, keindahan dibandingkan dengan kebenaran, subjektivitas dibandingkan dengan objektivitas, dan simbolis dibandingkan dengan kenyataan.27 Tujuan menyoroti dimensi retoris wacana ilmu sosial adalah untuk mendorong para ilmuwan agar mempertimbangkan internalisasi teori sosiologi yang berasal dari Barat. Ilmu-ilmu sosial dapat dianalisis dari sudut pandang estetika seolah-olah mereka teks puitis atau sastra. Ilmu-ilmu sosial tidak hanya didasarkan pada deduksi logis dan penelitian terkontrol, tetapi juga pada intuisi dan pemahaman subyektif. Untuk alasan tersebut, teks ilmiah sosial juga sangat puitis dan retoris seperti novel, puisi, dan drama. Retorika dan teks puitis tidak terbatas pada estetika produksi sastra. Menurut Alatas, ilmu sosial dibentuk oleh simbol yang didasarkan pada subjektifitas, perasaan dan interpretasi peneliti. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman dan wawasan tegas mengenai kemungkinan dalam menganalisis ilmu sosial dari sudut pandang estetika seperti sebuah novel, puisi atau teks dramatik.28 Ada benarnya jika pengakuan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai aktivitas tekstual menunjukkan bahwa ada teknik retoris yang digunakan oleh penulis Barat untuk membangkitkan pengakuan terhadap klaim kebenaran. Sebuah wacana yang sukses memerlukan penggunaan metafora, metonim, ironi dan sejenisnya untuk menyajikan versi realitas sebagai hal yang mendidik dan menarik. Menurut Brown, studi tentang hubungan antara sosiolog dan para pendengarnya dengan dimensi persuasif wacana sosiologis disebut sebagai puisi sosiologi. Dengan kata lain, teori-teori sosial tidak hanya dibangun secara logis

27 Alatas, Academic (b) Op.Cit., pp. 91. 28 Ibid., pp. 91. 82

dan empiris, tetapi juga retoris. Pembangunan teori sosial melibatkan kerja teknik retoris yang berfungsi untuk “membujuk” para penonton agar menerima versi tertentu dari realitas. Keberhasilan penyebaran ini, sebagian tergantung pada kekhawatiran umum dalam tingkat kognitif mereka. Seperti halnya retorika dalam konsep “Religi” yang dihadirkan secara universal dalam pengertian sosiologis, historis, dan fenomenologis, yang diambil dari tradisi Kristiani (menjadi konsep kunci yang ditemukan pada sosiologi agama). Ketika diterapkan pada Islam akhirnya menurut Joachim Mattes menjadi “Kristenisasi kultural secara tersembunyi”. Bidang sosiologi agama dibangun di atas kerangka konseptual yang hampir semuanya berasal dari Kristen. Dan oleh karena itu diperlukan kosakata konseptual alternatif yang diambil dari berbagai religi. Alternatif tidak menunjukan penggantian konsep-konsep Barat dengan konsep lokal atau ulayat, tetapi memberi kesan terhadap sebuah kebutuhan untuk berpikir melalui istilah universal, mengambil sumber-sumber ide dan konsep non- Barat secara serius dalam Ilmu Sosial, dan mempertimbangkan asimilasi yang lebih kritis terhadap konsep dan teori Barat. Religio (religion) dalam bahasa Inggris yang merupakan serapan bahasa Latin adalah istilah kolektif yang mengacu pada praktek-praktek beragam sekte di sekitar Roma, sebelum munculnya agama Kristen. Ketika Roma menjadi Kristen, Kristen menjadi kepercayaan yang dominan, dan semua keyakinan lain diserap atau dihilangkan. Religion tidak diterapkan pada Kristen, karena Kristen merupakan satu-satunya keyakinan yang sah, yang dikenal hanyalah Gereja. Dengan Reformasi Protestan, Luther menyebut religion sebagai keyakinan Kristen dengan cara hidup terpisah dari institusi Gereja Katholik. Pada abad ke-18, “religion” berevolusi untuk digunakan sebagai konsep ilmiah, mengacu pada sistem kepercayaan selain Kristen.29 Dalam karya-karya pengantar awal sosiologi seperti Prinsip Sosiologi Spencer (1893), Ward Pure Sosiologi (1919) dan Prinsip Ross Sosiologi (1920), istilah-istilah seperti “religion” digunakan secara bermasalah karena merujuk tidak hanya agama Kristen tetapi juga Yudaisme, Islam, Budha dan Hindu.

29 Alatas, The Role, Op. Cit., pp. 269-270. 83

Masalah definisi dan konseptualisasi “agama” dan istilah terkait seperti “gereja” dan “sekte”dilihat dari sudur pandang khas Kristen.30 Sementara “religion” berarti semua keyakinan, ketika para ilmuwan Eropa menulis tentang agama kritis, (mereka berada dalam pemikiran Protestan seperti dalam referensi Marx, yaitu agama sebagai candu masyarakat). Institusional (Katolik) juga bertentangan dengan agama orang-orang percaya (Protestan). Konsep dasar religi seperti gereja, sekte, denominasi dan kultus, yang diperkenalkan Giddens dalam sosiologi agama cenderung berasal dari satu tradisi agama, yaitu Kristen. Hal ini tidak hanya berlaku pada teks Giddens, tetapi tersebar luas di buku pelajaran sosiologi hingga kini. Meskipun benar bahwa beberapa dari konsep-konsep ini dapat digunakan dengan cara yang lebih universal dan berlaku untuk agama-agama non-Kristen, namun pada saat yang sama tidak dapat disangkal bahwa sesuatu juga akan diperoleh dari konsep yang sebanding atau paralel dari agama-agama lain. Ketika “religion” diterapkan pada keyakinan selain agama Kristen, misalnya, Islam atau Hindu, ada perbandingan implisit atau eksplisit dengan agama Kristen, yang akhirnya menghasilkan ilusi realitas. Oleh karena itu, seharusnya konsep ilmiah mengenai “religion” didefinisikan oleh selain agama Kristen. Islam memiliki konsepnya tersendiri mengenai agama, yang berbeda dengan agama lainnya. Contohnya adalah din (Islam) dan dharma (Hindu). Alatas tidak menyarankan agar konsep ini diganti sesuai agama masing- masing dalam buku pengantar sosiologi, namun konsep-konsep ini setidaknya bisa diperkenalkan dan didefinisikan dalam rangka menyajikan pemahaman yang lebih bernuansa dalam keberagaman agama. Sebenarnya Giddens sendiri mencatat bahwa konsep gereja, sekte, denominasi dan kultus harus diterapkan dengan hati- hati, karena mereka tidak selalu berlaku untuk agama-agama non-Kristen. Namun, disatu sisi Giddens menyajikan statistik tentang keanggotaan gereja di Inggris dan

30 Syed Farid Alatas, “From Ja¯mi`ah to University, Multiculturalism and Christian– Muslim Dialogue,” Current Sociology, 2006, 54, pp. 115. 84

daftarnya tidak hanya terdiri dari gereja-gereja Kristen, tetapi agama-agama lain juga.31 Selain itu sejak fenomena sekularisasi, konsep agama dalam peradaban Barat berada pada urusan pribadi, dan bukan sebagai masalah negara dan gereja. Oleh karena itu ada dualitas seperti sakral dibandingkan profan, dan agama versus non-agama. Agama di Barat juga mengacu pada keyakinan dan kehidupan pribadi orang yang percaya. Berbeda dengan Islam yang tidak mendikotomikan antara sakral dan profan. Misalnya, tidak ada perbedaan antara pendidikan sekuler dan pendidikan agama.32

2. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus Alternatif Sekarang tiba saatnya untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan dalam latar belakang skripsi ini. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana posisi pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan non-Barat atau ilmuwan di Negara-negara Timur dan Selatan? Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan metropole dengan periphery dan apa dampaknya? Apakah memungkinkan membangun pengetahuan alternatif untuk menciptakan relasi yang lebih adil antara metropole dan pheriphery?” Jawaban atas pertanyaan ini ada dalam berbagai karya Alatas dalam konsep diskursus alternatif dalam ilmu sosial. Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Diskusi mengenai keadaan ilmu sosial di Asia tidak muncul dari gerakan intelektual, melainkan dari kelompok ilmuwan. Secara umum para ilmuwan memberi perhatian terhadap masalah Eurosentrisme, peniruan tak kritis terhadap ide, konsep, dan teori dari Barat, konteks kebergantungan akademis dan imperialisme intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah Eurosentrisme.33 Label diskursus alternatif lebih tepat karena para ilmuwan menempatkan diri sebagai penentang terhadap apa yang diterapkan sebagai arus utama (mainstreem), yang

31 Ibid., pp. 128. 32 Alatas, The Role, Op.Cit., pp. 270. 33 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 76. 85

secara umum merupakan diskursus berorientasi Euro-Amerika yang terus mendominasi ilmu sosial di sebagian besar masyarakat Asia. Diskursus alternatif merupakan pemberontakan terhadap imperialisme intelektual. Menurut Alatas, ciri-ciri diskursus alternatif adalah sebagai berikut:34 1. Melakukan kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme ilmu sosial. 2. Mengangkat masalah metodologis dan epistemologis dalam telaah masyarakat, historiografi, atau filsafat sejarah. 3. Diskursus alternatif secara implisit atau eksplisit menaruh perhatian pada analisis masalah yang ditimbulkan oleh pembagian kerja ilmu sosial, dimana ilmu sosial menempati dirinya dalam keadaan konformitas, tiruan, dan tidak orisinal. 4. Berkomitmen untuk merekonstruksi diskursus sosial dan sejarah mencakup pembagian konsep, kategori, dan agenda riset yang relevan dengan kondisi lokal atau regional. 5. Berkomitmen untuk memunculkan masalah orisinal dalam telaah sosial dan sejarah. 6. Mengakui peran peradaban dan praktik budaya sebagai sumber ilmu sosial. 7. Tidak mendukung penolakan atas ilmu sosial Barat secara in toto. Pada dasarnya, Ilmu sosial memiliki dasar logika dan teori yang tidak dapat disubordinasikan ke dalam label-label historis, kultural, maupun etnis tertentu.35 Oleh karena itu telah banyak pakar yang berupaya melepaskan dominasi ilmu sosial Barat yang bersifat Eurosentris. Di Asia, orang-orang Indialah yang memimpin gerakan perlawanan terhadap pengetahuan Eurosentris. Orang India merespon ide-ide Barat yang mencakup rasionalisme, positivisme, dan materialisme sejarah. Disebabkan faktor keturunan dan pendidikan intelektual yang mereka terima selama ini, sebagian besar ilmuwan Dunia Ketiga umumnya beroperasi

34 Ibid., h. 77. 35 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Teori Barat: Bongkar Wacana Atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008), h. 31. 86

dalam batas-batas ilmu positivis. Padahal sejak tahun 1970-an, sikap oposisi terhadap ilmu positivis telah hadir di kalangan ilmuwan negara Dunia Ketiga. Mereka menamakan hal ini dengan label sebagai counterism. Counterism menentang mode pengetahuan Barat pada tingkat retorika, namun tetap berhasil menggabungkan asumsi, teori dan konsep dari Barat. Positivisme dan counterism masing-masing membuat ilmuwan sosial di Dunia Ketiga responsif terhadap teknik retorika yang dikerahkan dalam proses penyebaran global ilmu-ilmu sosial.36 Pengaruh positivisme dapat diukur dalam keberhasilan kuantifikasi retorika. Kepercayaan pada gagasan bahwa kehidupan merupakan mesin yang berjalan secara mekanistik menegaskan pola pikir positivistik. Konsep mekanika dan kimia dalam ilmu sosial telah mengakibatkan pengurangan diskursif masalah pembangunan secara teknis.37 Beberapa orang perintis diskursus alternatif dalam ilmu sosial ramai pada paruh kedua abad ke dua puluh, meski sebenarnya mereka telah memulai pekerjaan sejak abad ke Sembilan belas. Menurut Sinha sebagaimana dikutip Alatas, kritik yang dilancarkan tersebut merupakan upaya dekolonisasi ilmu sosial. Rammohun Roy (1772-1833) merupakan sosok yang pertama kali menentang pemikiran Eurosentris. Roy hidup dalam periode penyebaran agama Kristen oleh misionaris Inggris pada masyarakat Hindu dan Muslim di India. Roy bersikap kritis terhadap sikap misionaris Inggris yang merendahkan Hindu dan Islam. Benoy Kumar Sarkar, (1887-1949) secara sistematis juga mengkritik berbagai Indologi Orientalis. Dia menyerang gagasan Eurosentris sebagai bentuk inferioritas orang Hindu dalam masalah sains dan teknologi, penekanan berat sebelah pada dimensi spekulatif dan mistik hindu, serta klaim dikotomi Timur dan Barat. D.P Mukerji (1955) mengatakan bahwa kegagalan dalam dunia intelektual disebabkan pengabaian mereka terhadap realitas sosial di India. Sikap kritis ini berlanjut hingga tahun 1970-an pada era ilmuwan seperti M.N Srinivas, Kapadia,

36 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 93. 37 Alatas, Academic (b),Op.Cit., pp. 93. 87

A.K Saran, N.K. Bose, J.P.S. Uberoi, T.N. Madan, dan Yogendra Singh yang mencurahkan ide tentang sosiologi India.38 Alatas juga mengutip catatan Pieke (1997) mengenai Fei Xiaotong. Fei Xiaotong (1947-1979) mengkritik jalannya perdebatan diantara para sosiolog. Posisi yang diambil oleh para profesor dalam perdebatan mereka sebagian besar didasarkan pada fakta-fakta dan teori-teori yang berasal dari sosiologi Barat. Berbagai sekolah sosiologi Barat juga diperkenalkan ke Cina oleh pengikutnya. Menurutnya “…biarpun berbagai aliran sosiologi Barat masing-masing mencerminkan kekhususan pada satu porsi fenomena sosial, ketika dibawa ke Cina, pemikiran tersebut menjadi teori-teori kosong yang terceraikan dalam realitas sosial. Fei juga memperkenalkan antropologi fungsionalis untuk mempelajari Kota dan Desa di Cina. Temuannya adalah cara orang Cina mendefinisikan pribadinya pada dasarnya berbeda dari pola individualisme Barat. Dia berupaya meluaskan dan merevisi teori-teori yang sudah ada.39 Para sosiolog Korea juga mempertanyakan relevansi sosiologi berdasarkan dampaknya pada masyarakat dan menuntut perubahan kurikulum sosiologi. Di Jepang berkembang ciri nihonjinron (teori-teori bangsa Jepang) yang membentuk pandangan utama tentang Jepang yang menekankan homogenitas budaya dan kesinambungan sejarah.40 Di dunia Melayu Asia Tenggara, pendukung seruan alternatif dalam bidang non-akademis adalah Abdul Qadir Munsyi (1796-1854). Dalam karyanya „Kisah Pelayaran Abdullah‟ (1938), dia mendukung penggunaan bahasa Melayu sebagai media pengembangan kesadaran orang Melayu. Di Filipina pada zaman setelahnya ada Jose Rizal (1861-1896) yang merintis gagasan Asosiasi Internasional para Ahli Filipina yang bertujuan mempelajari Filipina dari sudut pandang sejarah dan ilmiah. Tujuan Jose Rizal adalah mendekonstruksi warisan epistemologis Eurosentris dengan mengangkat cara-cara ulayat dalam mencapai pengetahuan, baik dalam penyingkiran klaim-klaim universalis psikologi Barat,

38 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 7. 39 Ibid.,. 40 Ibid., h. 9. 88

pengembangan kerangka kerja baru historiografi, maupun penerimaan sebuah disiplin akademi baru seperti Filipinologi. Di Indonesia, ilmuwan Belanda yang pertama kali mengusulkan diskursus alternatif adalah J.C Van Leur yang mempertanyakan cocok tidaknya abad ke delapan belas dijadikan dalam kategori sejarah Indonesia. Cendekiawan lainnya dari Indonesia yang tercatat adalah Armijn Pane (1951) yang mempublikasikan berbagai esai berisi gambaran besar mengenai sejarah Indonesia yang Indosentris. Indosentrisme dapat dipahami sebagai upaya memahami koreksi sejarah Indonesia yang sebelumnya tak lebih daripada upaya perluasan sejarah seberang laut Belanda. Bentuk sejarah seperti ini tergabung dalam konsep sejarah Asiasentris dimana Asia sebagai tuan rumahnya sendiri dan harus berdiri di halaman depan. Dalam bidang sejarah, Syed Husein Alatas menggagas proposal mengenai rekonstruksi sejarah kepulauan Melayu-Indonesia yang terkait dengan metodologi dan filsafat sejarah. Karya lainnya lahir dari saudaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1969) yang mengemukakan teori umum mengenai Islamisasi Kepulauan Melayu-Indonesia. Al-Attas menggarapnya dengan meneliti konsep-konsep dan istilah pokok yang berubah dalam bahasa Melayu pada abad ke enam belas dan ke tujuh belas. Intinya para ilmuwan di Asia telah banyak mengkritik keadaan ilmu sosial di masyarakat mereka. Kritik tersebut berada dalam banyak dimensi, namun dipahami dalam konteks hubungan antara ilmu sosial Asia dan ilmu sosial Barat. Sejak abad ke-19 di Asia Tenggara muncul kritik terhadap keadaan ilmu sosial yang mengarah pada Eurosentrisme. Tokoh-tokoh ini adalah Syed Hussein Alatas, M.L. Blake, Syed Farid Alatas, dan Vineeta Sinha di Singapura.41 Di Filipina, Jose Rizal memegang peranan kunci yang menggagas ulang pemikiran Antonio de Morga yaitu Sucesos de Las islas Filipinas. Pemikiran ini berkaitan dengan pemetaan ulang sejarah Filipina yang menurutnya telah banyak dicampuri kolonisasi Spanyol. Di Indonesia, ilmuwan Belanda yang pertama kali menentang Eurosentrisme Ilmu sosial, dialah Jacob Cornelis van Leur. Orang Indonesia sendiri Armin Pane adalah salah satu contoh yang mengkritik pandangan berat

41Di Indonesia penulis menyebutkan ada berbagai tokoh yang menentang Orientalisme dan Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Salah satunya adalah Kuntowijoyo, seorang pakar sejarah yang menggagas ilmu sosial profetik. 89

sebelah Indiasentris mengenai sejarah Hinduisasi Jawa, yang gagal menghasilkan pemahaman mengenai watak orang-orang Indonesia yang menyerap elemen Hindu.42 Menjadi alternatif berarti beralih ke filsafat, epistemologi, sejarah, ilmu sastra yang berasal dari tradisi non-Barat. Alternatif berarti relevan dengan lingkungan, kreatif, orisinil atau bukan tiruan, nonesensialis, kontra-Eurosentris, otonom, dan terlepas dari Negara dengan pengelompokan nasional atau transnasional. Pada akhirnya diskursus alternatif yang universal merujuk pada teori lokal dan teori barat yang diterapkan dalam konteks lokal. Alatas selanjutnya mengklasifikasikan ragam diskursus alternatif, yaitu: 1. Ulayatisasi/indigenisasi Menurut Turner, sikap penolakan terhadap Barat melahirkan gagasan ulayatisasi/indigenisasi (indigenization) pengetahuan pada masyarakat Dunia Ketiga.43 Kecenderungan regional dan lokal justru menguat ketika masyarakat dunia sedang menghadapi arus globalisasi peradaban yang menjadi keniscayaan pada kehidupan dunia modern. Kritik postmodern terhadap kategori-kategori universal memiliki hubungan erat dengan proses indigenisasi.44 Indigenisasi merupakan respon ilmuwan sosial non-Barat atas ketidakmampuan ilmu sosial Euro-Amerika dalam menciptakan wacana yang relevan dan membebaskan dalam konteks masyarakat Asia, Afrika dan Amerika Latin. Masalah relevansi telah diakui oleh para sarjana non- Barat sejak awal abad ini, dan istilah indigenisasi memperoleh ruang sejak 1970-an. Indigenisasi diikuti pada reaksi yang berusaha untuk menciptakan ilmu-ilmu sosial yang lebih relevan, otonom, progresif, termasuk memindahkan ilmu-ilmu sosial menjadi lebih ulayat.45

42 Syed Farid Alatas, “Alternative Discourses in Southeast Asia” dalam Jurnal Sari, Vol. 19, 2001, p. 57. 43 Turner, Op.Cit., h. 29. 44 Ibid., h. 33. 45 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp.227. 90

Namun istilah Indigenous atau indigenisasi menempati posisi problematik karena ia terkesan mengolektifkan berbagai macam populasi, padahal pengalaman mereka hidup dibawah kolonialisme jelas sangat berbeda. Istilah kolektif lain yang sering digunakan adalah Bangsa Pertama (First Peoples), Bangsa Asli (Native Peoples), Puak Pertama (Nation Peoples) atau Peoples of the Land, Aboriginal atau Bangsa Dunia Keempat (Fourth World Peoples). Istilah Indigenous Peoples baru muncul tahun 1970-an dari perjuangan yang dilancarkan American Indian Movement (AIM) dan The Canadian Indian Brotherhood. 2. Seruan ilmu sosial otonom Konsekuensi logis dari kritik Eurosentrisme dalam ilmu sosial adalah untuk mendorong dan melakukan semacam gerakan intelektual yang akhirnya akan menimbulkan tradisi otonom ilmu-ilmu sosial. Tradisi ini akan menghasilkan pemikiran yang universal dan menerapkan ilmu sosial dalam mode otonom untuk masalah-masalah tertentu dengan cara tidak meniru dan kritis terhadap konsep dan metodologi yang berasal dari Barat. Gagasan tentang ilmu sosial otonom yang menentang nativisme dan negara-negara bangsa sebagai basis diskursus alternatif merupakan sebuah konsepsi yang dikembangkan oleh Syed Hussein Alatas. Konsekuensi logis dari kesadaran tentang masalah captive mind adalah sebuah tradisi ilmu sosial otonom yang akan berfungsi menghapuskan atau membatasi pengaruh demonstrasi intelektual dari captive mind.46 Seruan pendekatan yang otonom dalam ilmu sosial tidak boleh dikacaukan dengan sekedar usulan untuk menyoroti masalah lokal dengan metodologi yang tepat. Seruan tersebut merujuk pada pembentukan tradisi ilmu sosial yang mencakup pemunculan dan perlakuan terhadap problem- problem yang orisinal serta pokok permasalahan riset baru, termasuk pemunculan konsep-konsep baru. 3. Seruan kreativitas intelektual endogen

46 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind, Op.Cit., pp. 20. 91

Endogenisasi merujuk pada upaya untuk terlibat dalam kreativitas intelektual dalam konteks pemunculan masalah yang orisinal, penumbuhan konsep dan teori baru, sintesis antara pengetahuan Barat dan non-Barat. Sebagai contohnya adalah penerapan kreatif teori Marx tentang produksi Asia dan telaah teori Ibn Khaldun mengenai perubahan sosial. Endogen merujuk pada usaha kreativitas intelektual, bukan pada elemen-elemen pembentuk hasil yang dicapai.47 4. Dekolonisasi Ilmu-ilmu Sosial Di banyak bekas koloni Eropa, administrasi kolonial membutuhkan informasi terperinci dan berjangkauan luas mengenai peradaban dan masyarakat yang mereka kuasai. Ilmu-ilmu sosial merupakan elemen kapitalisme kolonial yang sangat dibutuhkan. Lantaran tabiat kolonialis ilmu sosial tidak menghilang setelah kemerdekaan, maka tugas pertama yang dituntut dari para intelektual postkolonial adalah dekolonisasi wilayah budaya, termasuk bidang akademik. Dekolonisasi menyiratkan sebuah kebebasan dari tabiat ilmu yang dikukuhkan penguasa kolonial masa lalu dan sebuah kebijakan ilmiah kritis dibangun di atas telaah komparatif Negara-negara yang tidak untuk dianalisis.48 Menurut Smith, dekolonisasi adalah sebuah proses yang berurusan dengan imperialisme dan kolonialisme di segala lapisan.49 Dekolonisasi ilmu sosial memiliki arti keterputusan dari kebudayaan Barat. Sebagai contoh dekolonisasi sosiologi di Afrika Utara, yang kemudian diikuti kemunculan sosiologi maghribi, memiliki arti pada teori-teori yang terlembagakan, seperti fungsionalisme yang melegitimasi tatanan mapan. Dekolonisasi sosiologi juga berarti bahwa peneliti harus menghindari keterpencilan yang disengaja di menara gading agar bisa terus menerus bersentuhan dengan realitas sosial. Untuk Mignolo dan Quijano, proyek dekolonialisasi atau decolonising adalah membatasi epistemologi kolonial dan Eurosentris,

47Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 87. 48 Ibid., h. 89. 49 Smith, Op.Cit., h. 3 92

serta berusaha untuk memulihkan status dalam sebuah analisa.50 Pergeseran konsep “alienasi” menjadi “keterasingan” juga harus secara luas dipahami, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam dekolonisasi. Pergeseran tersebut menolak untuk mengatur dunia ke dalam kotak terutama didefinisikan oleh “budaya”, yang cenderung membatasi daripada memperdalam pemahaman.51 5. Globalisasi Ilmu Pengetahuan Keunggulan ekonomi dan politik Eropa tercermin dalam monolog geografi dimana Eropa mendiktekan kepada bangsa lain tentang apa dan siapa mereka dalam dunia yang baru. Disiplin yang diglobalkan semacam itu merupakan alat imperialis dalam arti misalnya memetakan wilayah dunia menurut nilai ekonomi. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan pembagian dunia menjadi wilayah pusat yang putih dan beradab, sementara wilayah pinggirannya adalah nonputih dan barbar.52 Ketika mendeskripsikan bentuk imperialisme Eropa awal abad kesembilan belas, imperialisme cenderung digunakan minimal dalam empat cara berbeda: a. Imperialisme sebagai ekspansi ekonomi, b. Imperialisme sebagai penundukan Others, c. Imperialisme sebagai sebuah gagasan atau semangat beserta berbagai macam pengejawantahannya. d. Imperialisme sebagai suatu bidang pengetahuan diskursif.53 Imperialisme adalah sebuah sebuah ideologi kompleks yang memiliki ekspresi kultural, intelektual dan faktor teknis yang amat luas. Pandangan tentang imperialisme diposisikan dalam semangat pencerahan melalui transformasi kehidupan ekonomi, politik dan kultural di Eropa. Imperialisme menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses perkembangan Negara modern, ilmu pengetahuan, ide-ide maupun sosok

50 Saba, Op.Cit., pp. 5. 51 Ibid., pp. 20. 52 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h.92. 53 Linda Tuhiwal Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: InsistPress, 2005), h. 5. 93

manusia modern. Imperialisme juga merupakan sebuah mode orang-orang Eropa untuk mengembangkan rasa serba Eropa mereka.54 Hettne menunjukkan bahwa solusi untuk melawan imperialisme akademik adalah dengan mengadopsi pemahaman yang lebih realistis dari ilmu-ilmu sosial Barat sebagai yang mencerminkan konteks geografis dan historis tertentu55 Sebagai alat jajahan berupa pemetaan geografi dunia, diperlukan upaya mendeskripsikan arah agar bentuk imperialisme ini terhenti. Oleh karena itu diperlukan geografi kontemporer dan geografi sejarah alternatif dan secara lebih umum ilmu sosial yang mampu melampaui dualisme serta mampu menjelaskan keanekaragaman ekonomi politik di Dunia Ketiga. 6. Sakralisasi ilmu pengetahuan Menurut Alatas proyek sakralisasi ilmu pengetahuan terdapat dalam banyak tradisi religi dunia termasuk Kristen dan Islam. Tantangan sekularisme telah mendorong teori sosial Kristen membuat kompromi dengan rasionalitas sekuler dengan menerima pembacaan realitas yang dikemukakan ilmu-ilmu kemanusiaan, kemudian mengubahnya menjadi teologi dan etika sosial.56 Inilah yang disebut sebagai teologi pembebasan. Disatu sisi, Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan memulihkan kembali pengalaman religius dan spiritualitas pada tempatnya yang tepat dalam pengetahuan yang mencari aktivitas dengan mensakralisasi ilmu- ilmu kemanusiaan. Ilmu-ilmu itu dianggap telah didesakralisasikan atau disekulerkan di Barat. Pengetahuan yang disakralisasikan atau scientia sacra adalah pengetahuan yang terletak di jantung setiap wahyu dan merupakan pusat lingkaran yang melingkupi dan mendefinisikan tradisi.57 Ide Islamisasi ilmu pengetahuan pada sebuah konferensi di Mekkah pada 1977 yang disusun oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang mengemukakan isu tersebut dalam konteks diskusi mengenai konsep

54 Alatas, Op.Cit., h. 7. 55 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 235. 56 Alatas, Op.Cit., h. 93. 57 Ibid., h. 94. 94

pendidikan Islam. Pada konferensi tersebut Ismail R. al-Faruqi menyajikan sebuah makalah tentang Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Dalam karyanya ini al-Faruqi mengkritik filsafat yang mendasari ilmu sosial Barat. Al-Faruqi juga juga menjabarkan kekurangan metodologi Barat dan menafikkan objektifikasi yang didengungkan. Selanjutnya al-Faruqi menggagas ilmu sosial Islami yang memiliki prinsip kesatuan kebenaran.58 Ide tentang sains Islam dan kekhususan mengintegrasikan semua pengetahuan dari luar dunia Muslim, khususnya metodologi Islam merupakan tema-tema karya Seyyed Hussein Nasr. Kemudian ide Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas menuntut pengisolasian elemen dan konsep pokok dalam ilmu-ilmu kemanusiaan produk peradaban dan budaya Barat misalnya visi dualistik tentang masyarakat, humanisme, “penonjolan terhadap realitas drama dan tragedi yang dianggap universal di wilayah spiritual dan transendental, atau kehidupan batin manusia, sehingga menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen nyata dan dominan dalam hakekat dan eksistensi manusia.” Setelah terbebas dari elemen dan konsep kunci Barat, barulah ilmu pengetahuan diisi dengan elemen dan konsep pokok Islam, sehingga menjadikannya pengetahuan sejati, yakni yang sesuai dengan tabiat alamiah esensi (fitrah) manusia. Islamisasi pengetahuan adalah pembebasan pengetahuan dari penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular. Dalam konteks ke-Indonesiaan, Kuntowijoyo menyatakan perlunya Ilmu sosial yang akan digunakan untuk transformasi sosial. Kuntowijoyo berupaya membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif.59 Ilmu sosial transformatif tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk mentransformasikannya.60

58 Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial dalam Islam dan Perspektif Sosiologik, Ed. Abubakar A. Bagader, (Surabaya: Amarpress, 1991), h. 1-19. 59 Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 481. 60 Ibid., h. 481. 95

Dengan itu Kuntowijoyo menggagas Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial profetik memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah menambahkan nilai transendental dalam kebudayaan. Dengan ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya rasio dan empiri, tapi juga dari wahyu.61 Hal ini dikarenakan Islam adalah paradigma terbuka yang merupakan peradaban dunia. Islam juga mata rantai peradaban dunia. Renaissance yang mengambil nilai-nilai filsafat Yunani tidak dapat dilepaskan dari peradaban Islam. Sakralisasi ilmu pengetahuan juga digagas Mahatma Gandhi yang merupakan seorang Hindu. Menurutnya pendidikan telah membawa pengaruh baik langsung maupun tidak kepada ilmuwan di Dunia Ketiga. Menurut Gandhi, “aku tidak memusuhi orang Inggris, tetapi aku memusuhi peradaban mereka.” Swaraj atau penguasaan diri sendiri menuntut tidak hanya pengusiran Inggris dari India, tetapi juga penghapusan institusi-institusi peradaban Barat yang dibawa Inggris ke India. Gandhi menganggap peradaban modern sebagai kejahatan antireligi, dan bertentangan dengan moralitas. Padahal peradaban India pada intinya bersifat spiritual.62 7. Telaah-telaah Subaltern Telaah-telaah subaltern secara formal berasal dari India pada tahun 1982. Subaltern adalah atribut umum subordinasi masyarakat Asia Selatan,

61 Ibid., h. 484. 62 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 95-96. 96

baik yang terungkapkan dalam istilah kelas, kasta, umur, gender, dan posisi, maupun dalam bentuk yang lain. Telaah subaltern berangkat dari upaya mereinterpretasikan dan menulis ulang sejarah kelas pekerja di India. Telaah subaltern dipicu sebagai penolakan dasar atas pendekatan elitis Nasionalis-borjuis dan elitis-kolonial dalam telaah tentang sejarah India. Ia bertujuan menunjukkan bahwa pembentukan bangsa India dan pengembangan kesadaran Nasionalis bukanlah semata-mata prestasi kaum elite. Tugas telaah subaltern adalah mengembangkan sebuah diskursus alternatif yang didasarkan pada penolakan atas ciri monisme palsu, dan ahistoris. 8. Teori Postkolonial Periode postmodernisme yang diadopsi telaah subaltern adalah salah satu penyebab munculnya post-kolonialisme. Sejarah diklaim telah bergerak melampaui modernitas menuju era postindustri, dimana industri kebudayaan dan gerakan sosial yang baru menempati posisi penting. Post- kolonial merupakan label deskriptif atas kondisi global setelah periode kolonialisme. Kondisi global ini memusatkan perhatian pada kondisi marginalitas atau hibriditas, keruntuhan Negara-negara dan globalisasi media elektronik.63 9. Nasionalisasi Ilmu sosial Menurut Alatas Nasionalisasi ilmu sosial dapat merujuk pada beberapa contoh dari Cina, Taiwan, Korea, India, Indonesia, dan Filipina. Di India, Nasionalisasi ilmu sosial berawal dari upaya dekolonisasi pikiran dan pengetahuan untuk menasionalisasi permasalahan. Ilmu sosial India harus didasarkan pada sikap kemandirian intelektual swaraj-nya.64 Nasionalisasi ilmu sosial dengan variannya seperti sinicisasi, ilmu sosial swaraj, Filipinologi, dan ilmu sosial Indonesiasentris menyiratkan penerapan konsep dan kebudayaan untuk mempelajari bangsa. Dalam

63 Ibid., h. 99. 64 Ibid., h. 101. 97

praktik selanjutnya, ilmu sosial Barat tidaklah ditolak, tetapi agak didomestikkan.65 10. Memutuskan Hubungan Teori pemutusan hubungan (theory of delinking) mengakui ketidakseimbangan dalam produksi ilmu sosial di seluruh masyarakat dan pembagian kerja antara produsen dan konsumen pengetahuan sebagai akibatnya. Maka bukan kebetulan jika kekuatan ekonomi yang besar juga merupakan kekuatan ilmu sosial yang besar.66 11. Deschooling Gagasan ini berasal dari Ivan Illich tahun 1973. Illich menentang wajib sekolah karena pada anak-anak kebijakan tersebut menanamkan sikap buta dan tidak kritis atas aturan sosial yang berorientasi disiplin dan sangat dirasionalisasikan. Melalui sekolahan, Barat menkonstruk imajinasi terhadap ide-ide Timur (Orient). Sekolah juga cenderung menjadi alat penyeragam, mereduksi orang ke dalam denominator umum yang paling rendah dan karena itu merintangi perkembangan kreativitas individual.

Setelah menelusuri berbagai karya yang ditulis Syed Farid Alatas, ditemukan bahwa Alatas lebih memusatkan perhatiannya pada tiga jenis diskursus alternatif, yaitu Indigenisasi, Sakralisasi ilmu sosial, dan penyeruan ilmu sosial otonom. Namun skripsi ini memusatkan perhatian hanya pada indigenisasi ilmu sosial. Lalu, penelusuran berikutnya dalam skripsi ini didasarkan pada beberapa artikel yang dikemukakan Alatas mengenai Indigenisasi Ilmu pengetahuan yang berjudul On the Indigenization of Academic Discourse, Indigenization: Problems and Concept, serta artikel lainnya. Menurut Alatas, indigenisasi tidak mengacu pada paradigma baru atau perspektif teoritis dalam ilmu sosial. Indigenisasi dapat disebut sebagai gerakan intelektual ilmuwan Dunia Ketiga dalam menghadapi klaim universalisme ilmu pengetahuan Barat. Indigenisasi merupakan karya berbagai penulis dari berbagai

65 Ibid., h. 102. 66 Ibid., h. 105. 98

disiplin ilmu dalam ilmu sosial, yang sebagian besar prihatin dengan upaya pembebasan kolonialisme akademis. Selain itu mereka juga berupaya melepaskan ilmu sosial Euro-Amerika yang tidak relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat.67 Menurut Benhagen sebagaimana dikutip Alatas, secara umum indigenisasi dipahami sebagai revolusi untuk melawan “imperialisme intelektual”, serta komponen dalam pemberontakan melawan dominasi ekonomi-politik Barat. Pertierra mengakui peran ilmu-ilmu sosial indigenik sebagai senjata dalam perjuangan neo-kolonial, asalkan bertindak sebagai counter-point antara negara dan masyarakat ilmu sosial yang menjadi lawan alat penjajahan kehidupan masyarakat sipil.68 Selain itu, Sinha memandang panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu sosial timbul dari kebutuhan untuk pembersihan ilmu-ilmu sosial Eurosentrisme. Pola pikir Non-Barat dan praktek-praktek budaya dilihat sebagai sumber teori ilmu sosial, sementara pada saat yang sama ilmu sosial Barat tidak harus ditolak secara in toto. Indigenisasi proyek ilmu sosial disusun menjadi penolakan secara kategoris hal yang berasal dari Barat, namun perlu ditekankan bahwa proyek indigenisasi bukan untuk mengganti Eurosentrisme dengan nativisme atau posisi dogmatis lainnya.69 Pieke menunjukkannya dalam bidang antropologi. Dengan mengacu ke China, seorang ilmuwan dapat berbicara tentang antropologi ulayat yang matang hanya setelah menghasilkan korpus pengetahuan yang komparatif dan lintas budaya. Kebutuhan untuk penelitian komparatif dan lintas budaya didasarkan pada gagasan bahwa indigenisasi antropologi menghasilkan ide-ide, konsep, dan perdebatan yang diinformasikan oleh hermeneutika yang ada pada budayanya sendiri. Menurut Alatas, Peran penelitian komparatif dan lintas budaya hanya dapat memiliki efek indigenisasi yang diinginkan antropologi jika penelitian

67 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 232. 68 Ibid., pp. 233. 69 Ibid., pp. 234. 99

tersebut dilakukan oleh orang yang sudah sadar tentang masalah imperialisme akademik, captive mind dan relevansi.70 Menurut Enriquez, generasi dan penggunaan sudut pandang adat dapat didekati dengan dua cara. Indigenisasi dari dalam mengacu pada proses di mana konsep-konsep kunci, metode dan teori adat diuraikan, dikodifikasikan, disistematisasikan, dan kemudian diterapkan. Di sisi lain, indigenisasi tanpa mengacu pada modifikasi dan terjemahan dari bahan impor yang pada akhirnya berasimilasi secara teoritis dengan budaya.71 Secara umum, apa yang dimaksud dengan indigenisasi oleh Enriquez dan oleh penulis lain mengacu pada pembangunan sebagai pola bembangunan endogen. Oleh karena itu upaya serius harus dilakukan untuk membawa lebih banyak ilmu-ilmu sosial yang relevan, asimilasi selektif eksogen elemen (Barat) harus dianggap sebagai bagian penting dari aktivitas intelektual endogen.72 Adapun, dalam rangka membuat hubungan yang kritis dalam adopsi antara teori pembangunan dan normalisasi di Dunia Ketiga, diperlukan kejelian dalam pemikiran kritis di wilayah bermasalah sebagai berikut: 1. Analis faktorgenik dibandingkan analisis aktorgenik. Analisis faktorgenik mengacu pada hasil dari tindakan manusia untuk bertahan lebih lama sebagai seorang individu dan kelompok (eksternal). Aktorgenik mengacu pada apa yang ditemukan dalam diri individu atau kelompok. Studi pembangunan cenderung menekankan faktorgenik dengan mengorbankan analisis aktorgenik. Misalnya, dalam pernyataan „Di banyak negara berkembang, kebijakan moneter dan fiskal serta pinjaman yang berlebihan selama tahun 1970 mengakibatkan inflasi dan neraca pembayaran yang tidak berkelanjutan akibat kurangnya perhatian terhadap pelaku ekonomi. Teori indigenisasi dalam pembangunan harus memperbaiki ketidakseimbangan antara analisis faktorgenik dan aktorgenik. 2. Redundansi studi pembangunan. Ada kecenderungan studi pembangunan yang redundan karena sifat yang sangat umum. Contohnya adalah sebuah artikel di negara-negara berkembang sosialis yang mengungkapkan beberapa hukum dasar dan kendala pada pembangunan yang given. Misalnya anggapan bahwa sebuah negara yang berinvestasi terlalu sedikit tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi; negara yang berinvestasi terlalu banyak tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi;

70 Ibid. 71 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 234. 72 Ibid., pp. 235. 100

negara sosialis harus berusaha untuk mencapai keseimbangan antara insentif individu dan kolektif, material dan bujukan moral, dan sebagainya. 3. Kehadiran teori dan konsep yang salah. Di sini kita prihatin dengan relevansi teori dan konsep, bahkan dalam pengaturan teori Barat. Mari kita lihat sebuah contoh dari teori ekonomi. Secara umum, teori modernisasi didasarkan pada asumsi seorang pelaku ekonomi. Model seperti masyarakat terdiri dari kepentingan-kepentingan individu tanpa sebuah budaya dan ideologi. 4. Yang relevan dari teori-teori Barat dan konsep dalam konteks non-Barat. Di sini saya mengacu pada gagasan bahwa ada teori dan konsep yang mungkin relevan dalam masyarakat Barat, tetapi tidak begitu dalam masyarakat non-Barat. Hal ini memerlukan kemungkinan alternatif lokal. Sebagai contoh, konsep otoritas yang berasal dari karya-karya Ibn Khaldun mungkin lebih relevan daripada Weber. Contoh lain dari bidang studi pembangunan menyangkut konsep pengangguran. 5. Ketidakmampuan untuk membedakan suatu hal universal dari yang partikular. Ada banyak kebingungan seperti konsep yang universal dan partikular. Keduanya dimasukkan di bawah kategori universal. Pertimbangkan konsep urbanisasi berikut. Kota di Barat menjadi pengaruh peradaban yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi. Ciri-ciri sosiologis dan psikologis ini dibutuhkan untuk berfungsinya ekonomi modern yang dibesarkan di kota. Namun, di banyak negara non-Barat, dikotomi desa-kota justru disarankan, sedangkan dalam teori-teori Barat tidak berlaku bentuk kota seperti di negara-negara non-Barat. Penekanan pada urbanisasi dalam teori modernisasi sama saja dengan mengambil posisi pro-urban dalam perdebatan lama tentang perbedaan desa-kota. Ini mengasumsikan superioritas tertentu mengenai organisasi sosial perkotaan (dan dalam hal ini urbanisme Barat). Apa yang diasumsikan pembangunan sebagaimana yang termaktub dalam urbanisasi adalah transisi dari budaya tradisional pedesaan ke budaya modern perkotaan. Urbanisasi demikian dipahami sebagai Westernisasi, pengambilan pada nilai-nilai modern sebagai lawan nilai-nilai tradisional. Urbanisasi dalam arti ini dipandang sebagai sebuah fenomena universal. Fenomena lain yang sering diambil untuk menjadi universal padahal sebenarnya tidak adalah sekularisasi, melemahnya ikatan keluarga, dan konsep pembangunan itu sendiri. 6. Imitasi negatif. Tidak hanya teori dan konsep kritis yang diterapkan dalam masyarakat non-Barat, tetapi ada juga kecenderungan untuk meniru apa yang dilakukan. Sebuah contoh di sisi pendidikan. Tidak ada kuliah tentang sosiologi korupsi atau sosiologi imitasi di universitas- universitas non-Barat. Saya cenderung berpikir bahwa setidaknya satu alasan untuk ini adalah tidak adanya program seperti itu di universitas- universitas Barat. Tidak adanya kuliah seperti di universitas-universitas non-Barat adalah refleksi dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap masalah tersebut. Dalam hal ini, adopsi yang tidak kritis dari hasil pengembangan teori adalah kegagalan untuk mengidentifikasi kenyataan yang bertentangan dengan patologi diskursif pembangunan. 101

7. Kurangnya perhatian terhadap isu-isu karena metodologi. Weber menyebut pentingnya nilai-nilai yang membentuk kepentingan ilmuwan. Yang pasti, tanpa ide-ide evaluatif dari para peneliti, tidak akan ada prinsip seleksi subjek-materi dan pengetahuan yang bermakna dari realitas konkret. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam beberapa daerah studi pembangunan, terlepas dari nilai-nilai, metodologi juga berperan dalam membentuk kepentingan ilmuwan. Dengan kata lain, metodologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan obyek penyelidikan. Contohnya adalah masalah korupsi di negara-negara terbelakang. Terlepas dari kenyataan bahwa korupsi tersebut umumnya dianggap menjadi masalah, namun tidak pernah menjadi objek penyelidikan di kalangan mahasiswa. Hal ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa metode yang berlaku umum seperti penelitian survei dan analisis multivariat tidak dapat segera diterapkan untuk masalah ini. Seseorang tidak dapat mewawancarai orang-orang korup dan memperoleh data yang akurat, serta tidak dapat dengan mudah memperoleh indikator yang memadai tentang korupsi. Masalah korupsi belum menjadi objek bidang yang didefinisikan dengan baik di mana berbagai perspektif teoritis yang telah dikembangkan dan didukung oleh kerja empiris. Di sini juga, ada kegagalan untuk mengidentifikasi dan menentukan patologi nyata dalam pembangunan.73

Wacana tentang pembangunan dan masalah yang terkait dengan adopsi tidak kritis di negara terbelakang juga mengembangkan mata pelajaran dunia di bawah prosedur normalisasi, imitasi, atau adopsi yang tidak kritis teori-teori pembangunan Barat. Padahal teori-teori pembangunan Barat sekedar berfungsi sebagai wadah normalisasi. Hasil imitasi dalam studi pembangunan di Dunia Ketiga terus dibebani oleh masalah yang di antaranya telah tercantum di atas. Imitasi mengabadikan karya-karya dalam studi pembangunan yang cenderung faktorgenik, berlebihan, dan didasarkan pada asumsi yang keliru tentang sifat manusia, budaya, dan universalisasi ciri-ciri khusus peradaban Barat. Setiap masalah yang menimpa studi pembangunan yang dibahas di atas dan telah disimpan dalam karya-karya ilmuwan Dunia Ketiga menjalani prosedur normalisasi dalam sejumlah cara yang berbeda, diantaranya: 1. Penyederhanaan masalah pembangunan. Masalah analisis faktorgenik dan redundansi dalam studi pembangunan berfungsi untuk mengurangi masalah keterbelakangan. Seperti ukuran pasar, terms of trade, penetrasi

73Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 321-324. 102

investasi asing secara langsung, dan sebagainya, yang membuat masalah menjadi kurang kompleks. Hal ini berfungsi untuk menyederhanakan masalah keterbelakangan untuk mempersiapkan Dunia Ketiga dalam prosedur normalisasi. Akhirnya solusi atau praktek normalisasi akan membawa pada pinjaman, bantuan luar negeri, investasi langsung, transfer teknologi, pelatihan profesional, beasiswa, pengendalian jumlah penduduk, dan sebagainya. 2. Kesalahan spesifikasi patologi pembangunan. Masalah teori dan konsep- konsep yang keliru maupun yang tidak relevan ketika dialihkan ke pengaturan non-Barat mengakibatkan pelaksanaan kebijakan yang tidak memadai. Bahkan kebijakan yang tidak memadai tersebut diimplementasikan, padahal hanya sebuah normalisasi. Sebagai contoh, asumsi yang keliru atas pelaku ekonomi dapat dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang tidak manusiawi, karena mengabaikan keprihatinan spiritual dan budaya. 3. Pengabaian patologi nyata dalam pembangunan. Hasil imitasi negatif mengabaikan masalah yang tidak dianggap sebagai masalah dalam pengaturan negara-negara industri maju. Seperti dalam contoh korupsi. 4. Normalisasi sebagai Westernisasi. Berbagai praktek normalisasi ditulis dalam istilah proses modernisasi. Tetapi karena kebingungan terhadap ciri universal dan partikular, ciri-ciri khusus pada peradaban Barat diambil untuk menjadi universal. Prosedur normalisasi berlangsung di bawah naungan Westernisasi, yaitu dalam konteks manusia, agama, organisasi sosial, dan kenegaraan Barat.74 Setelah subjek domain untuk proses patologis ditemukan, berbagai teknik yang dirancang untuk menormalkan domain ini dapat diterapkan. Strategi berikutnya adalah profesionalisasi pembangunan dengan cara menjamurnya bidang dan subbidang dalam studi pembangunan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi sifat perkembangan masyarakat, dengan tujuan untuk merumuskan kebijakan dan mengarahkan mereka ke arah yang benar, untuk

74 Ibid., pp. 324-325. 103

memproduksi rezim kebenaran dan norma-norma tentang pembangunan. Akhirnya, ada strategi untuk pelembagaan pembangunan. Hal ini mengacu pada pembentukan organisasi internasional, badan-badan perencanaan nasional, dan badan-badan pembangunan daerah yang berfungsi sebagai agen penyebaran. Meskipun ketiga strategi penyebaran pembangunan telah membawa banyak manfaat bagi Dunia Ketiga dalam hal identifikasi area masalah dan implementasi kebijakan dan program, namun hal tersebut juga memungkinkan praktisi Barat mempertahankan kontrol dan kewaspadaan atas Dunia Ketiga.75 Ada benarnya jika wacana pembangunan harus dianalisis tidak hanya dalam masalah penindasan, hukum atau eksploitasi, tetapi juga dalam hal kekuasaan yang dibawa melalui normalisasi. Proses-proses patologis harus diidentifikasi negara berkembang, dan agenda normalisasi harus diatur apakah komposernya merupakan liberal atau neo-Marxis. Proses normalisasi yang berasal dari wacana pembangunan diwujudkan dalam perumusan dan perencanaan kebijakan dan menyediakan konteks di mana masalah imitasi ilmu sosial Barat harus dilihat. Berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengembangan dan konsolidasi mereka ke dalam bidang studi pembangunan dirancang untuk berbicara tentang kebenaran dalam pembangunan, sehingga masyarakat berkembang dapat dinormalisasi (misalnya, infus nilai-nilai Barat, atau bagaimana untuk membungkam tradisi agama untuk memfasilitasi pembangunan). Tujuan dari normalisasi seolah-olah untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan produktivitas, meningkatkan distribusi pendapatan, meningkatkan pendidikan, dan sebagainya. Beberapa tujuan ini terpenuhi di beberapa daerah, tetapi proses normalisasi dan kontrol disiplin tetap masih bisa dilihat. Proses normalisasi di Dunia Ketiga mempengaruhi para akademisi, karena mereka menjalani pelatihan di berbagai instansi metropolitan, sehingga melestarikan dan memperkuat normalisasi dalam pengembangan masyarakat. Oleh karena itu penting dilihat imitasi tidak kritis ilmu sosial Barat dalam konteks normalisasi tersebut.76

75 Ibid., pp. 326. 76 Ibid., pp. 327. 104

Masalah imitasi nyatanya telah menyebabkan panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu sosial di negara berkembang. Tapi ada beberapa hambatan untuk melakukan indigenisasi yang harus dianalisis. Masalah yang dihadapi bukan hanya imitasi, jika tidak hati-hati, upaya yang dilakukan ilmuwan tidak menghasilkan wacana membebaskan, tapi justru dapat mempertahankan “mekanisme dominasi imperial” oleh pusat kepada pinggiran. Di bidang budaya, konsep imitasi saja tidak cukup mendukung eksploitasi pusat pada pinggiran. Tanpa menghubungkan imitasi kekuasaan dalam sistem dunia, setiap pernyataan tentang imitasi akan menjadi tesis lemah dan tidak bisa dipertahankan.77 Secara khusus, Alatas berupaya menjauh dari konsep monoton imitasi dan tidak melihat keadaan ilmu sosial masyarakat non-Barat berdasarkan reifikasi kekuasaan melalui wacana pembangunan. Reifikasi, sebagaimana dikatakan Lukacs, mengacu pada gagasan bahwa produk manusia diyakini memiliki keberadaan yang terpisah, dan memaksa kontrol lebih dari manusia. Manusia, dalam masyarakat kapitalis menghadapi realitas yang dibuat oleh dirinya sendiri. Dalam karya Marx, konsep reifikasi datang dengan sangat jelas pada gagasan tentang fetisisme komoditas. Buruh “lupa” bahwa mereka sendiri yang memberikan komoditas nilai mereka kepada kapitalis. Sebaliknya mereka percaya nilai yang melekat dalam komoditas yang mereka hasilkan, atau bahwa pasar menghasilkan nilai ini. Marx percaya bahwa ada kebenaran obyektif yang harus ditemukan “di luar sana” dan mereka telah menemukannya dalam ilmu sosial Barat. Dalam hal ini mereka lupa bahwa pengetahuan adalah realitas yang dikonstruksi secara sosial. Jika kita mempertimbangkan tubuh pengetahuan yang disebut ilmu sosial Barat (termasuk pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuwan non-Barat) yang terdiri dari ide-ide reifikasi, maka kita mengatakan bahwa itu adalah ilmu sosial Barat yang mendominasi berbagai ekspresi peradaban di dunia non-Barat. Sama seperti kontrol kapitalis dan memiliki akses ke struktur reifikasi kapitalisme, sehingga kontrol ilmuwan Barat yang memiliki akses ke ide-ide reifikasi. Tapi

77 Ibid., pp. 318. 105

menurut Alatas hal ini tidak cukup, para ilmuwan non-Barat perlu bekerja di luar teknik dimana reifikasi pengetahuan menyadari kekuasaannya.78 Selain itu, sistematika pengetahuan perlu disesuaikan dengan budaya asli, seperti halnya ilmu sosial Barat yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan praktek budaya mereka. Dalam cara yang sama masyarakat non-Barat, tanpa membuang ilmu sosial Barat, perlu mendasarkan ilmu-ilmu sosial mereka pada filosofi adat, epistemologi, sejarah, dan tradisi lokal. Penting untuk dicatat bahwa bidang penerapan ilmu sosial ulayat tidak terbatas pada masyarakat atau peradaban di mana ia dikembangkan. Tujuan dari hal ini adalah untuk menunjukkan apa yang termasuk akar budaya untuk membentuk kerangka teori. Menurut Alatas pada dasarnya kegiatan ilmu sosial ulayat dilakukan pada empat tingkatan: 1. Pada tingkat metateoretis, indigenisasi mengacu pada analisis yang mengungkapkan pandangan dunia, ontologis, epistemologis, dan asumsi yang mendasari etika karya ilmiah sosial. Misalnya, bagaimana residu kapitalisme kolonial diabadikan dalam pemikiran masyarakat post- kolonial. Dengan kata lain, sosiologi pemikiran post-kolonial akan mengungkapkan bagaimana ilmuwan di Dunia Ketiga menyadari dirinya saat terjebak dalam kategori pemikiran kolonialis atau neokolonialis. 2. Pada tingkat teoritis, indigenisasi mengacu pada konsep dan teori-teori pengalaman sejarah ulayat serta praktek-praktek budaya mereka. 3. Pada tingkat empiris, indigenisasi mengacu pada fokus masalah yang lebih relevan dengan Dunia Ketiga yang sampai sekarang diabaikan. Misalnya, korupsi merupakan masalah serius di banyak masyarakat berkembang, tetapi hampir tidak ada pekerjaan empiris yang dilakukan pada daerah ini. 4. Pada tingkat ilmu sosial terapan, indigenisasi menentukan obat, rencana, dan kebijakan, dan bekerja dengan organisasi sukarela, organisasi non- pemerintah, serta organisasi pemerintah.79

78 Ibid., pp. 319. 79 Ibid., pp. 311-312. 106

Selain itu menurut Alatas indigenisasi ilmu sosial harus memiliki agenda sebagai berikut: 1. Mempersoalkan status epistemologi konsep-konsep ilmu sosial, termasuk konsep “ulayat/indigenik”, “native/asli”, “Barat”, dan “non-Barat”. 2. Membumikan teori sosial menurut kondisi politik dan sosial budaya sebuah lokalitas, tanpa mesti menolak ilmu sosial Barat. 3. Meneorisasi politik global academia, dengan sebuah pandangan untuk membongkar perannya dalam pembagian kerja ilmu sosial, dimana para ilmuwan non-Barat menjadi pengumpul data empiris, sementara para ilmuwan Barat menjadi teoritisinya. 4. Mengakui keanekaragaman sumber teori sosial, yakni menghargai semua peradaban sebagai sumber potensial bagi teoritisasi ilmu sosial. Ilmu sosial indigenik adalah ilmu sosial yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan praktik budaya ulayat dalam arti yang sama, sebagaimana ilmu sosial Barat.80 Indigenisasi dari dalam merujuk pada proses elaborasi, kodifikasi, sistematisasi, kemudian penerapan metode, konsep, dan teori indigenik secara semantik. Indigenisasi dari luar merujuk pada modifikasi dan penerjemahan materi impor yang akhirnya diasimilasi secara teoritis dan kultural. Dalam hal ini ilmuwan berharap bisa membuka kemungkinan bagi filsafat, epistemologi, dan sejarah lokal agar dapat menjadi basis pengetahuan. Satu set proposisi yang disajikan sebagai pembentuk sosiologi Cina, misalnya, harus memenuhi persyaratan yang kompleks dan berat untuk bisa menjadi milik disiplin sosiologi. Persyaratan tersebut mencakup metodologi eksperimental-statistik di mana ilmu sosial Barat memiliki keunggulan komparatif. Berbagai kalangan yang berusaha untuk melakukan indigenisasi ilmu- ilmu sosial dalam masyarakat masing-masing, tidak akan mudah diterima sebagai bagian dari berbagai disiplin ilmu sosial. Sebagai syarat untuk menjadi anggota, mereka harus berurusan dengan berbagai penentu dari sesuatu yang harus direduksi menjadi variabel. Dalam sebuah dunia di mana ilmu sosial positivis

80 Alatas, Diskursus, Op.Cit, h. 83. 107

mendominasi, validitas epistemologi ilmuwan sosial Dunia Ketiga sering ditolak. Pada saat itu mereka tidak bisa berharap agar suara mereka didengarkan.81 Selain itu, dalam oposisi antara benar dan salah, Foucault memberi contoh bagaimana literatur Barat selama berabad-abad menciptakan sebuah klaim kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Klaim kebenaran mereka beroperasi dalam mendefinisikan bentuk penyebarkan wacana dan teknik yang mereka gunakan. Dalam hal ini ide-ide Foucault dimanfaatkan oleh Alatas karena membuat hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan yang berguna dalam menempatkan masalah imitasi dan perspektif indigenisasi.82 Alatas melanjutkan, bahwa upaya indigenisasi ilmu-ilmu sosial menghadapi sejumlah hambatan sebagai akibat dari pertemuan kolonial dengan tradisi terus ilmu sosial Barat pada Dunia Ketiga. Ilmu-ilmu sosial Barat mengakar kuat pada banyak negara berkembang.83 Selain itu, Alatas menyatakan bahwa ada retorika merusak milik indigenisasi ilmu pengetahuan. Retorika merusak tersebut adalah: Pertama-tama, istilah disertai dengan gagasan yang indigenik telah dimutilasi untuk beberapa derajat karena mengacu pada hal fisik, negara dan wilayah yang didefinisikan secara abstrak. Bentuk ilmu pengetahuan indigenik terikat dalam rincian fisik dan struktur biotik dari tempat tinggalnya. Kedua, telah dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas bahwa indigenisasi mengasumsikan bahwa ada tradisi ilmiah sosial lokal atau adat sebagai dasar untuk membangun teori aslinya, yang umumnya tidak sesuai. Ketiga, ada pandangan bahwa indigenisasi menyiratkan pengakuan bahwa ilmu sosial Barat universal, dan bahwa hal itu hanya perlu dilokalisasi atau dijinakkan agar dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu sosial. Keempat, alasan lain untuk reaksi negatif terhadap istilah indigenisasi harus dilakukan dengan cara yang yang telah digunakan dalam wacana politik. Sebagai contoh, selama pemerintahannya di Korea Selatan, Park

81 Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 329. 82 Ibid., pp. 313. 83 Ibid., pp. 327. 108

Chung-Hee telah melakukan indigenisasi demokrasi, untuk membenarkan kekuasaan otoriter dengan basis Konghucu.84 Kelemahan lain datang dari kalangan non-Barat sendiri. Upaya ilmu sosial ulayat tidak selalu menemukan sekutu dalam ilmu sosial interpretatif. Pertemuan antara indigenisasi ilmu sosial dan ilmu sosial interpretatif seringkali mendorong nativisme. Dalam ilmu sosial interpretatif, titik asli menjadi kriteria deskripsi dan analisis tentang ilmuwan. Nativisme, mengacu pada pencarian esensi dari budaya yang lain dan menyoroti perbedaan dan pertentangan mutlak antara budaya Barat dan non-Barat. Menurut Alatas, potensi berbahaya nativisme dalam upaya indigenisasi terdiri atas dua jenis. Salah satunya adalah bahwa ilmu sosial indigenik jatuh ke dalam perangkap yang sama, yaitu kecenderungan untuk menegakkan dan melestarikan keunggulan sistem budaya dan politik Barat. Kedua, ilmu sosial indigenik, dalam merayakan oposisi mutlak antara budaya Barat dan Timur, sering mengakibatkan impor besar-besaran pemikiran Barat yang akan digantikan oleh pemikiran ulayat. Padahal kritik terhadap ilmu sosial Barat dalam hal kontrol dan pembatasan yang diberikan tidak boleh terbatas pada kritik terhadap epistemologi positivis, tapi harus diperluas pada kecenderungan nativis dalam ilmu sosial interpretif. Selain itu, konsekuensi logis dari Orientalisme secara terbalik dan auto- Orientalisme adalah nativisme. Hal ini mengacu pada tren asli di antara para ilmuwan Barat dan lokal. Hal ini memerlukan penolakan total pada pengetahuan Barat.85 Klaim seperti hanya orang Indonesia yang benar-benar dapat memahami budaya dan masyarakat Indonesia harus dihindari. Namun demikian, harus ditekankan bahwa berbagai konsepsi indigenisasi, khususnya di bidang antropologi, sosiologi dan psikologi, menentang pendekatan nativisme pengetahuan.

84 Alatas, Indigenization, Op.Cit. pp. 239. 85 Ibid., pp. 237. 109

Menurut Alatas proyek indigenisasi ilmu pengetahuan memerlukan upaya serius dengan melakukan analisa pada tingkat konseptual dan empiris dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, Indigenisasi akan membutuhkan klasifikasi berbagai bentuk imitasi di bidang metateori, metodologi, bangunan teori, penelitian empiris, dan perumusan kebijakan. Ini akan diperlukan untuk menetapkan seperangkat kriteria relevansi untuk membedakan antara adopsi tidak kritis dengan adopsi kreatif yang diterapkan pada saat melakukan indigenisasi. Selain itu, mekanisme dan cara-cara adopsi tidak kritis yang tidak memfasilitasi pembangunan harus dipetakan. Sebagai contoh, apa implikasi dari teori ilmu sosial positivis teori kebijakan pembangunan? Sampai sejauh mana penelitian empiris saat ini dalam mengembangkan masyarakat yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat tersebut? Dalam hal apa yang kebijakan hanya dipindahkan dari negara-negara industri maju tanpa memperhitungkan kondisi lokal? Kedua, panggilan untuk indigenisasi akan melibatkan studi tentang strategi dan teknik normalisasi yang timbul dari adopsi tidak kritis dan penerapan teori pembangunan di Dunia Ketiga. Apa sajakah kebijakan dan program pembangunan yang terlibat dalam proses normalisasi ini? Di sini akan diperlukan penelitian mendalam untuk menarik perbedaan antara masalah asli pembangunan di satu sisi, dan kreasi dari kelainan di sisi yang lain. Misalnya, kemiskinan merupakan masalah asli, tapi kurangnya analisa kritis adalah kelainan diskursif. Namun pertanyaan lain menyangkut klasifikasi normalisasi adalah Apakah ada bentuk dan manifestasi dari normalisasi yang berbeda, dan bagaimana hal itu bisa diidentifikasi? Ketiga, kegiatan ilmiah sosial ulayat berarti studi tentang berbagai cara di mana suara adat dikendalikan. Beberapa prosedur dan prinsip- prinsip yang terlibat dalam hal ini telah dibahas dalam bagian sebelumnya dengan mengacu pada Foucault. Yang pasti, ada prinsip- prinsip lain serta teknik, misalnya tentang wasit dalam jurnal ilmiah. Bagaimana dan sejauh mana kreativitas ulayat dihambat oleh standar, prasyarat, dan evaluasi yang terlibat dalam wasit jurnal internasional? Keempat, harus ada upaya sadar untuk terlibat dalam kegiatan ilmiah sosial dengan maksud untuk memperhitungkan pandangan dunia, konteks sosio-historis, dan praktek-praktek budaya masyarakat ulayat sehingga konsep dan teori ulayat dapat dihasilkan. Beberapa contoh ini telah disajikan dalam bagian sebelumnya. Kelima, sangat penting bahwa upaya tersebut pada ilmu sosial ulayat memiliki implikasi sendiri untuk praktek politik, kerja sosial, perumusan kebijakan, dan pelaksanaan program. Tapi bagaimana teori indigenisasi mempengaruhi praktek pembangunan harus diartikulasikan. Misalnya, bagaimana konsep adat tentang pengangguran mempengaruhi kebijakan makroekonomi yang dirancang untuk mengekang pengangguran? 110

Dan akhirnya, harus dinyatakan bahwa panggilan untuk indigenisasi tidak secara simultan merujuk pada panggilan untuk nativisme atau orientalisme terbalik. Hal ini mengacu pada tren di antara kedua ilmuwan Barat dan lokal yang melakukan penolakan terhadap impor besar-besaran ilmu sosial Barat. Indigenisasi harus dilihat sebagai panggilan simultan untuk internasionalisasi selama yang terakhir ini dipahami bukan sebagai proses sepihak, melainkan sebagai salah satu yang berasal dari masyarakat berkembang, sembari menggabungkan secara selektif ilmu-ilmu sosial Barat.86

Panggilan untuk indigenisasi secara simultan merupakan panggilan untuk universalisasi ilmu-ilmu sosial. Hal ini mengandaikan asumsi tentang status kognitif ilmu sosial. Hal yang harus dilakukan adalah Pertama-tama menyatakan bahwa ilmu sosial adalah wacana universal dan bahwa versi nasional atau peradaban adalah sebuah distorsi. Di sisi lain, seseorang bisa menuduh ilmu sosial Barat etnosentrisme dan mengganti kondisi ini dengan etnosentrisme lokal (nativisme, pembalikan orientalisme, dan sebagainya). Setiap orang dapat berkontribusi dalam menempatkan ilmu sosial universal yang memiliki berbagai ekspresi peradaban atau kebudayaan. Selanjutnya ilmu sosial berusaha untuk mengisi kekosongan dalam wacana universal, yaitu pengungkapan adanya berbagai ekspresi ulayat.87 Tujuan dan metode ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi seragam di seluruh dunia, tetapi masalah ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan masyarakat berbeda-beda, seperti upaya menjadikan ilmu sosial berbasis pada ajaran suatu agama yang disebut Alatas sebagai sakralisasi ilmu pengetahuan. Kali ini yang akan dibahas secara singkat adalah sakralisasi dalam ilmu sosial Islam. Menurut Alatas, ekspresi dalam ilmu sosial Islam diatur oleh kebenaran dalam dua cara yang sesuai dengan dua tren utama dalam ilmu sosial Islam. Pada tren pertama, aspirasinya adalah untuk kembali ke logika di masa penemuan rasionalitas dengan penuh kehati-hatian. Tujuan dari rasionalitas tersebut adalah untuk menunjukkan manusia pada jalan pendakian dari persepsi dunia fisik ke dunia spiritual. Disatu sisi konsepsi rasionalitas instrumental terdapat dalam

86 Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 332-334. 87 Ibid., pp. 312-313. 111

tradisi positivistik modern, menyangkal jika rasionalitas dijadikan pegangan oleh ilmuwan Muslim. Kecenderungan kedua dalam ilmu sosial Islam adalah konsep “ilmiah” yang ada dalam tradisi intelektual Muslim yang berada pada sains positif sebagaimana dipahami di Barat.88 Ilmu-ilmu sosial Islam tidak boleh terbatas hanya pada penanggulangan masyarakat Muslim, tapi harus diperluas untuk penafsiran seluruh dunia dari sudut pandang Islam. Ilmu sosial Islam yang universal, kemudian disandingkan dengan ilmu-ilmu sosial Barat yang melibatkan interpretasi tidak hanya peradaban Barat, tetapi juga peradaban non-Barat.89 Wacana demikian dapat disebut sebagai objektifikasi Islam. Seperti halnya dalam penulisan sejarah Islam yang sering dilakukan para Orientalis. Sejarah Islam harus ditulis dari sudut pandang pengalaman kaum Muslimin daripada penjajah lainnya. Ketika penulisan ilmiah sejarah dan ilmu sosial dilakukan dengan pengalaman dan pikiran umat Islam, maka tulisan-tulisan tersebut dapat dikategorikan masuk ke dalam sudut pandang seorang Muslim atau Islamic Worldview. Akhirnya yang dibutuhkan saat ini adalah lembaga pengetahuan sistematis yang didasarkan pada berbagai budaya Islam, karena dengan cara yang sama ilmu-ilmu sosial Barat didasarkan pada budaya Barat, khususnya sejarah dan filsafat Barat. Misalnya masyarakat yang merupakan pusat evolusionisme fungsional pada gilirannya menginformasikan berbagai teori pembangunan yang ketika ditelusuri kembali ke zaman Aristoteles. Dalam cara yang sama, ilmuwan sosial Islam perlu mendasarkan teori dan konsep mereka tentang sejarah dan pemikiran Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.90 Selanjutnya timbul pertanyaan berikutnya, Apakah sumber yang mendasari ilmu-ilmu sosial Islam? Jawabannya adalah Al-Quran, Sunnah (tradisi Nabi) dan berbagai ilmu-ilmu Islam seperti fiqih (yurisprudensi), kalam (teologi skolastik), tasawuf (metafisika), dan filsafat (filsafat). Selain itu, teori-teori ilmiah sosial harus berasal dari sejarah Islam. Namun, kontribusi dari Barat dan ilmu-ilmu

88 Ibid., pp. 330. 89 Alatas, Reflectionon The Idea of Islamic Social Science, Comparative Civilizations Review, 60-86, 1986, pp. 60. 90 Ibid., pp. 61. 112

sosial lainnya tetap harus diperhitungkan. Perlu ditekankan bahwa penjelasan Alatas dalam Ilmu Sosial Islam harus terlepas dari Islamosentris, sebagai lawan dari ilmu sosial Eurosentris. Ilmu Sosial Islam harus membuat klaim universalitas. Konsep dan teori yang berasal dari berbagai sumber Islam harus mampu menghasilkan pemahaman untuk masyarakat non-Muslim juga. Ilmu-ilmu Sosial Islam harus dapat memahami semua umat manusia. Tugas berat kemudian adalah untuk mendamaikan dua posisi yang tampak bertentangan. Klaim universalitas tidak dapat menyangkal pemahaman dari peradaban lainnya. Regenerasi pemikiran Islam, oleh karena itu secara bersamaan harus dilakukan dengan upaya melakukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi tersebut mengandaikan asumsi tentang status kognitif dari ilmu-ilmu sosial. Ada sejumlah asumsi yang mungkin, Pertama-tama adalah wacana universal Ilmu Sosial Islam dan bahwa versi nasional atau peradaban adalah sebuah distorsi. Di sisi lain, seseorang dapat kembali ke relativisme budaya yang menuduh ilmu sosial Barat etnosentris, namun menggantikan hal ini justru dengan etnosentrisme Islam yang dapat dipahami dalam dua cara: (1) ilmu sosial Islam hanya berlaku untuk masyarakat Islam dan (2) ilmu sosial Islam menolak pemahaman dari peradaban lain. Posisi ini tidak boleh diambil berkaitan dengan status kognitif ilmu sosial. Akhirnya Alatas mengusulkan posisi ketiga, yaitu menempatkan ilmu sosial yang universal yang memiliki berbagai ekspresi peradaban atau kebudayaan, semua berkontribusi terhadap pemahaman umat manusia. Proyek yang Alatas lakukan adalah usaha untuk mengisi kekosongan wacana universal dalam ilmu sosial, yaitu tidak adanya ekspresi peradaban Muslim.91 Alatas menyebutkan bahwa indigenisasi dan pengembangan endogen diperlukan dalam upaya mengembangkan ilmu sosial yang relevan bagi masyarakat Muslim. Perlu ditekankan bahwa asimilasi selektif unsur eksogen harus dianggap sebagai bagian dari kegiatan endogen. Setiap upaya untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial Islam akan memerlukan penjagaan prinsip-

91 Ibid., pp. 63. 113

prinsip regeneratif dalam pikiran Muslim. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, generasi ilmu-ilmu sosial Islam membutuhkan pemahaman tentang kekurangan dari ilmu sosial kontemporer dalam masyarakat Muslim. Hal ini diperlukan untuk menangani masalah Negara, yaitu imitasi dan kebergantungan vis-a-vis ilmu-ilmu sosial Barat. Dalam berbagai literatur menunjukkan bahwa banyak Muslim tertarik untuk menyangkal masa lalu kolonial dan membangun masyarakat yang mandiri. Selama dan setelah masa kolonial, para ilmuwan Muslim menggunakan bahasa penindas untuk mengkritik penindas mereka dalam menangani masalah Muslim. Alatas memberikan contoh tentang pendekatan yang dilakukan Ali Syari‟ati. Teorinya tentang sejarah dan ide-ide tentang keterasingan berawal dari tradisi keilmuan Barat (Marx dan Durkheim), ia juga tidak menyebutkan kebutuhan untuk kembali ke cendekiawan Muslim pada masa lalu. Menurut Alatas, Syari‟ati tidak cukup menarik tradisi Islam dalam konsep dan teori-teorinya. Sebaliknya, Alatas mengatakan bahwa cendekiawan Muslim harus memanfaatkan berbagai sumber-sumber Islam ketika mengembangkan dan menerapkan teori dan konsep untuk mempelajari masyarakat.92 Gelombang oposisi terhadap ilmu sosial Barat kadang sangat rasional dan kosmopolitan, tapi kadang-kadang agak picik tanpa menyadari tindakannya justru melestarikan teori Barat. Sebagai contoh, konsep ekonomi Islam menjadi alasan rasional dengan metodologi hipotetis-deduktif, sementara menghiasi dirinya dengan berbagai tanda terminologi Islam. Padahal konsep ini hanya menggantikan istilah Islam pada era neoklasik, namun mempertahankan asumsi dan metode yang sama dengan kapitalis. Perkembangan terminologi baru seperti Ekonomi Islam, memungkinkan ide-ide asing datang secara terselundup dengan diberi keunggulan sementara, dan pada saat yang sama menjaga aura Islamisasi ilmu pengetahuan. Perkembangan terminologi ini juga memungkinkan seseorang untuk memotong sebuah kue, namun memakannya juga.93

92 Ibid., pp. 70. 93 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 93-94. 114

Gagasan ekonomi Islam tidak muncul dari dalam tradisi klasik dalam pemikiran Islam. Dalam tradisi Islam klasik, ada diskusi mengenai lembaga ekonomi dan praktiknya di dunia Muslim, tetapi gagasan ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi secara khususnya tidak pernah diangkat ke permukaan. Oleh karena itu menurut Alatas, Ekonomi Islam merupakan penciptaan pada masa modern. Ekonomi Islam muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada model ekonomi kapitalis dan sosialis serta teori pembangunan pada tahun 1950-an. Ekonomi Islam berkomitmen untuk membedakan sifat dan etos pembangunan ekonomi dari sudut pandang Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi cita-cita Islam dalam pembangunan ekonomi.94 Ekonomi Islam menyajikan konsep pembangunan ideal yang didasarkan pada falsafah hidup Islam. Transaksi visi alternatif pembangunan dan berbagai pilihan kebijakan telah diusulkan, seperti pengenalan perbankan bebas bunga dan pengelolaan zakat. Namun menurut Alatas, apa yang disajikan sebagai ekonomi Islam sebenarnya merupakan teori etika produksi, distribusi, harga, dan lain-lain. Ketika ekonom Islam membahas kategori ekonomi tradisional seperti pendapatan, konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan tabungan, mereka melakukannya dalam hal pernyataan etis dan tidak dalam hal analisis dan teori empiris. Ketika para ekonom Islam menerapkan teori empiris, apa yang disajikan sebagai ekonomi Islam ternyata tidak menjadi alternatif untuk wacana modernis. Fokus dan metode yang telah dipilih oleh ekonom Muslim untuk analisis ekonomi pada dasarnya merupakan bentuk ekonomi neo-klasik Keynesian.95 Ekonomi Islam sangat banyak tertanam dalam tradisi ekonomi neo-klasik dalam hal kepedulian terhadap faktor-faktor teknis seperti pertumbuhan bunga, pajak, keuntungan, dan sebagainya. Sejumlah masalah yang berhubungan dengan ekonomi-politik seperti pembangunan tidak merata, perubahan tidak merata, kapitalisme birokrasi, korupsi dan peran Negara, ketergantungan pada teori

94 Alatas, The Problem, Op.Cit., pp. 288-289. 95 Ibid., pp. 292-293. 115

ekonomi kelembagaan, tidak ditangani pada tingkat teoritis dan empiris oleh para ekonom Islam. Menurut Alatas, masalah utama keadaan ini adalah bahwa di bawah kedok “ekonomi Islam”, kebijakan yang dihasilkan oleh pusat-pusat industri kapitalis diterapkan pada dunia Muslim, kemudian dilegitimasi. Teori manusia rasional dan metodologi hipotetis-deduktif yang ada dalam ekonomi Islam hanya menggantikan istilah Islam untuk ekonomi neo-klasik.96 Dengan demikian konsep ekonomi Islam telah gagal untuk terlibat dalam analisis dan kritik terhadap tatanan ekonomi dunia yang sangat tidak seimbang. Ekonomi yang seharusnya anti-Barat ini justru terkooptasi dan dibuat untuk melayani orang-orang yang sedang berupaya keluar dari masalah ekonomi konfensional. Fungsi ideologis ekonomi Islam juga mendukung modal keuangan dunia, sementara mengklaim untuk menawarkan alternatif dalam arus utama kegiatan ekonomi. Menurut Alatas, sebagian besar masyarakat Islam tidak dapat menyelesaikan masalah kompatibilitas tradisi keagamaan mereka dengan pengetahuan Barat (sekuler, positivis, berorientasi materialistis). Negara-negara Muslim bahkan tetap mengalami skizofrenia dalam memandang ilmu pengetahuan Barat termasuk filsafat. Mereka tidak dapat mengembalikan produktifitas antara sains dan Islam yang berkembang selama zaman kegelapan Barat itu. Yang lebih mengecewakan adalah konsep materialisme pengetahuan Barat yang menyangkal keberadaan Allah bahkan diajarkan secara berdampingan dengan teologi Islam dalam universitas yang sama.97 Padahal Alatas mencontohkan bahwa seorang Muslim dapat mengisi tempat kosong dalam konsep sosiologi modern yang tidak memiliki klaim universal. Hal ini selama berpuluh tahun dilakukan Alatas dalam karya Ibn Khaldun dan Jose Rizal. Sebagaimana diketahui, ibn Khaldun sejak beberapa abad terakhir telah diakui sebagai prekursor banyak disiplin ilmu sosial modern. Ernest Gellner misalnya yang menawarkan model peradaban Muslim tradisional yang didasarkan pada perpaduan dari sosiologi politik ibn Khaldun dengan teori osilasi

96 Ibid., pp. 295. 97 Alvares, Op.Cit., pp. 75. 116

David Hume mengenai agama. Menurut Alatas, ini merupakan contoh indigenisasi, karena menganggap sumber-sumber non-Barat sah dalam upaya untuk mengembangkan model yang terintegrasi dengan membawa pemikiran Barat juga. Dimasukkannya teori Barat tidak dilihat sebagai legitimasi dari latihan indigenisasi, melainkan pengakuan bahwa semua peradaban harus dianggap sebagai sumber tidak hanya data tetapi juga teori.98 Studi tentang kenaikan dan penurunan negara, suksesi dinasti dan peran agama Islam di Timur dan Barat (al-maghrib dan al-Mashriq) belum mendapatkan keuntungan dari aplikasi sistematis dari teori Abd al-Rahman Ibn Khaldun (732- 808 H /1332-1406 M). Alasan utama untuk ini adalah bahwa Ibn Khaldun selalu berada di pinggiran ilmu-ilmu sosial modern dan paling tidak, dianggap sebagai pendahulu sosiologi modern, tetapi bukan seorang sosiolog yang berada di garis kanan. Akibatnya, karyanya pada sejarah dan elaborasinya tentang ilmu masyarakat (ilm al-umrohn) sebagai prasyarat untuk studi sejarah, jarang secara serius dikaji oleh para ilmuwan. Padahal teori Ibn Khaldun dapat didekati dengan menerapkan kerangka kerja yang mengintegrasikan teori tentang pembentukan negara dengan konsep modern dalam sosiologi Khaldun.99 Menurut Alatas model Khaldunian memiliki potensi penerapan yang dapat memberikan penjelasan empiris untuk mengembangkan teori Khaldunian dalam sosiologi. Namun, pendekatan Khaldunian secara umum telah diabaikan. Menurut Alatas, usahanya dalam menjelaskan teori Ibn Khaldun dalam berbagai karya dapat menjadi subyek utama untuk artikel lain. Dalam beberapa tulisannya, Alatas berupaya menyajikan teori sosiologi Ibn Khaldun sebagai sebuah contoh untuk sosiologi modern. Menurut Alatas sebagian besar karya hanya menyatakan bahwa Ibn Khaldun merupakan pendiri sosiologi dan prekursor bidang lain dalam ilmu sosial. Sebagian yang lain hanya menggunakan narasi sejarahnya di Afrika Utara (al-maghrib) sebagai sumber daya untuk penelitian tentang sejarah daerah. Padahal menurut Ali Azmeh sebagaimana dikutip Alatas, ada beberapa

98 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 238. 99 Alatas, A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South, Current Sociology 2006 54: 397, pp. 397. 117

pengecualian yang dapat dilakukan pada karya Ibn Khaldun, yaitu Pertama Muqaddimah sebagai filosofi awal Ibn Khaldun mengenai sejarah. Yang kedua adalah upaya untuk mengekstrak karya neo-Khaldunian dalam sosiologi modern. Yang ketiga adalah kritis terhadap pendekatan yang berusaha untuk melihat karya Ibn Khaldun dalam lensa sosiologi modern serta atribut imajinasi sosiologis modern. Namun demikian, tidak ada perdebatan pada masing-masing posisi ini. Akibatnya, teori Ibn Khaldun belum mampu menopang dirinya sendiri pada tingkat yang pantas.100 Alatas menyajikan rekonstruksi sistematis teori Ibn Khaldun tentang pembentukan negara dalam masyarakat Maghrib, yang akan menjadi prasyarat untuk pengembangan teori Khaldunian yang relevan dengan konteks daerah masing-masing. Rekonstruksi teori Ibn Khaldun dipandang perlu didiskusikan lebih dalam oleh para ilmuwan. Mereka menguraikan teorinya dengan menggambarkan dan mendiskusikan Muqaddimah, maka dapat menjelaskan kitab al-`Ibar. Dengan kitab Muqaddimah, akan ditemukan metode tentang ilmu organisasi sosial manusia (`ilm al-`umrohn albashan) atau ilmu masyarakat manusia (`ilm al-ijtima` al-Insani). Objek utama penulisan Ibn Khaldun terhadap ilmu sosial adalah penelitianya tentang sejarah Arab Barbar dari Afrika Utara, khususnya, kenaikan dan penurunan dari negara dan dinasti. Penjelasan ini diambil dalam Kitab al- `Ibar. Namun, Ibn Khaldun menemukan ada metode sejarah yang tidak sesuai karena banyak orang yang tidak memisahkan antara kebenaran dari fiksi. Peneliti perlu mengetahui sifat masyarakat yang melampaui bentuk luar fakta (zahir) dan laporan kepada makna sejarah batin (batin), yaitu penjelasan tentang sebab dan akibat. Ibn Khaldun menyajikan ilmu tentang masyarakat sebagai alat untuk mempelajari penyebab dan dampak dari peristiwa yang dilaporkan oleh sejarawan. Ilmu baru ini terdiri dari bidang-bidang berikut: (1) divisi masyarakat pada umumnya (`umrohn); (2) masyarakat Badui (al-`umrohn al-badawah), masyarakat suku (qaba'il) dan orang-orang primitif (al-wahshiyyah); (3) negara (al-dawlah), kerajaan (mulk) dan otoritas khalifah (khilafah); (4) masyarakat kota

100 Ibid., pp. 398. 118

yang menetap; dan (5) kerajinan, cara mencari nafkah, pekerjaan masyarakat. Hal ini dapat disajikan kembali dalam bahasa sosiologi sebagai manusia atau ekologi sosial, sosiologi pedesaan, sosiologi politik, sosiologi perkotaan dan sosiologi kerja.101 Adapun dalam analisa berikutnya mengenai indigenisasi terhadap karya Ibn Khaldun, Alatas menyatakan bahwa transformasi teori Ibn Khaldun menjadi ilmu sosial modern tidaklah lengkap. Menurut Alatas perhatian kurang serius ditunjukkan beberapa ilmuwan Barat pada karya sosiologi Ibn Khaldun pada abad ke-19. Sebuah contoh dari Engels yang menyesuaikan Islam dengan orientasi sang Orientalis. Engels menggambarkan orang Arab sebagai warga kota yang terlibat dalam perdagangan dan industri, namun di sisi lain seperti suku nomaden Badawi.102 Alatas juga mengutip tulisan Becker dan Barnes dalam sejarah penting sosiologi yang berjudul Social Thought dari Lore to Science, pertama kali diterbitkan pada tahun 1938. Mereka mendiskusikan ide-ide dari Ibn Khaldun beberapa halaman dan mengakui bahwa Ibn Khaldun merupakan orang yang pertama yang menerapkan ide-ide modern seperti dalam sosiologi dan sejarah. Namun demikian, pengakuan tersebut tidak tercermin dalam pengajaran sosiologi kontemporer di universitas dan perguruan tinggi di seluruh dunia, meskipun hanya dalam penulisan sejarah sosiologi. Gagasan untuk mengembangkan konsep Khaldunian, menggabungkan mereka dengan orang-orang dari sosiologi modern dan menerapkan pendekatan teoritis yang dihasilkan untuk berbagai bidang empiris dan historis tetap marginal. Oleh karena itu, Alatas menyatakan bahwa generasi sosiologi Khaldunian modern membutuhkan asimilasi dengan konsep dan teori-teori ilmu sosial modern. Menurutnya hal ini memerlukan perbandingan beberapa konsep dalam karya Ibn Khaldun dengan ilmuwan ilmu sosial modern.103 Lebih lanjut Alatas menyatakan jenis perhatian yang dapat dilakukan adalah:

101 Ibid., pp. 400. 102 Ibid., pp. 403. 103 Ibid., pp.408. 119

1. Metateori, yang merujuk pada dimensi epistemologis dan metodologis yang mendasari pikiran para pemikir non-Barat. 2. Teori, merujuk pada uraian sistematis, analisis, dan kritik terhadap pemikiran non-Barat. 3. Bangunan teori, merujuk pada abstraksi pemikiran non-Barat untuk melahirkan apa yang disebut sebagai neo-Khaldunian, dan lain-lain. 4. Penilaian kritis atas pengetahuan yang ada. 5. Mengajarkan para pemikir non-Barat melalui kuliah sosiologi dan ilmu sosial mainstreem. 6. Diseminasi gagasan para pemikir non-Barat melalui diskusi-diskusi panel dan makalah regular dalam konferensi ilmu sosial mainstreem. Pada akhirnya muncul pada kesimpulan bahwa pada kenyataannya kini, metaanalisis dalam ilmu Sosiologi meski belum kokoh telah mengalami serangan hebat pada 1980-an dan masih harus mencapai kematangan dalam subbidangnya. Kemiskinan teori di kebanyakan dunia non-Barat juga berkontribusi pada ketertinggalan filsafat dan sosiologi di Asia. Telaah-telaah ilmu sosial Dunia Ketiga juga dianggap tidak penting karena wataknya yang polemis dan retorik, ditambah konseptualisasi yang tak memadai. Selain itu ilmuwan Barat secara sengaja banyak melakukan pembiaran terhadap berbagai metaanalisis tersebut. Berbagai teori yang lahir dari masyarakat ilmiah Dunia Ketiga tidak dianggap sebagai konsepsi baru dalam teori sosiologi di seluruh dunia. Menurut Alatas, dalam menilai ilmu sosial Barat secara kritis, harus ditekankan bahwa berbagai teori tidak secara sengaja membahas masalah relevansi dan irelevansi, meskipun dengan jelas menyiratkan adanya bentuk irelevansi antara teori dan metode dari suatu konteks sosio-sejarah ketika diterapkan di tempat lain. Teori-teori tersebut masuk dalam suatu variasi metaanalisis ilmu sosial karena berada di wilayah pinggiran non-Barat.104 Penelitian Alatas mengembangkan tipologi metaanalisis dengan menggunakan dua dimensi, yaitu internal-eksternal dan kognitif-institusional. Internal mengacu pada faktor-faktor yang berhubungan dengan riset, konstruksi

104 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 27. 120

teori, metodologi, telaah empiris dan ilmu sosial terapan. Eksternal menunjuk pada faktor-faktor di luar diskursus, namun mempengaruhi ilmu sosial. Kognitif berhubungan dengan aspek-aspek ideal ilmu sosial seperti gagasan, teori, konsep, dan nilai. Sedangkan institusional merujuk pada komponen struktural, baik di dalam maupun di luar ilmu sosial yang menentukan aktivitas ilmiah ilmu sosial. Pendekatan analisis internal-kognitif terhadap topik keadaan ilmu sosial di masyarakat berkembang mencakup teori-teori mengenai Orientalisme, Eurosentrisme, Postkolonialisme, dan Retorika. Semua pendekatan ini memiliki kesamaan, yaitu kritik atas gagasan-gagasan internal diskursus ilmiah sosial seperti gagasan tentang kemajuan (progress), superioritas peradaban Barat dan paternalismenya yang inheren. Sedangkan pendekatan Eksternal-Kognitif meneliti bagaimana ide, sikap, nilai, mentalitas di luar ilmu sosial mempengaruhi aktivitas ilmu sosial. Pendekatan ini terdiri dari teori pikiran terbelenggu (captive mind), teori pedagogis tentang modernisasi, dan kritik kolonial modern. Teori Orientalisme yang dicetuskan Edward Said (1979) sangat terkenal sebagai alat memfokuskan telaah pada masalah kolonialisme. Namun telah ada sebelumnya karya yang membahas mengenai hal yang sama yaitu karya Abdel- Malek (1963), Tibawi (1979) dan Ahmad Ashraf (1976).105 Pada dasarnya Orientalisme terwujud dalam suatu fenomena yang didasarkan pada ekspansi ekonomi dan politik Eropa, yang melibatkan tidak hanya institusi dan organisasi baru, tetapi juga sekumpulan teori yang dibangun dari beberapa asumsi, kepercayaan dan ideologi seperangkat disiplin yang mempelajari Timur. Ciri utama Orientalisme adalah pembagian Timur-Barat yang menempatkan masyarakat Barat serta kebudayaan, bahasa, dan religinya lebih unggul daripada Timur. Orientalisme adalah sebuah gaya pemikiran yang didasarkan pada pembagian ontologis dan epistemologis antara Timur dan kebanyakan Barat. Dualisme Timur-Barat mengambil bentuk dualisme ruang seperti Utara/Selatan, Pusat/Pinggiran, Maju/Masih berkembang. Edward Said menyebut proses ini sebagai wacana Barat tentang yang lain (Other) yang didukung oleh institusi, penghargaan akademik, kosa kata,

105 Ibid., h. 28. 121

perumpamaan, doktrin, bahkan bisa juga birokrasi kolonial dan gaya kolonial. Proses ini berlangsung antara lain disebabkan oleh pertukaran timbal balik yang simultan antara konstruksi sekolahan (scholarly construction) dan konstruksi imajinatif terhadap ide-ide tentang Timur (Orient). Said berpendapat bahwa „Oriental‟ separuhnya adalah ciptaan Barat, didasarkan pada suatu kombinasi cita- cita yang dibentuk melalui karya-karya kesarjanaan dan imajinasi.106 Pada dasarnya menurut Bryan S. Turner, perdebatan mengenai Orientalismelah yang melahirkan Oksidentalisme. Oksidentalisme berisikan penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Menurut Said sebagaimana dikutip Turner, periode postkolonial masih mengandung dominasi kultural pada Dunia Ketiga. Oleh karena itulah muncul berbagai sikap defensif oleh para fundamentalis dalam memandang modernisasi. Sikap ini mencakup klaim akan kebenaran tradisi dibandingkan dengan pengetahuan yang diwarisi, diimpor oleh pengetahuan asing.107 Sikap kritis postkolonial menawarkan sebuah teori yang mengungkapkan tentang komoditas pengetahuan dibalik produksi pengetahuan. Menurut Taylor (1985), perlu adanya telaah tentang subjek-subjek di dunia ketiga sebagai sasaran kontrol untuk diteliti, diukur, dikategorisasikan, dan dijadikan target kebijakan normalisasi. Berbagai disiplin dalam teori pembangunan dirancang untuk memberikan gambaran positif mengenai pembangunan, sehingga masyarakat berkembang dapat dinormalisasi sesuai dengan tujuannya. Tujuan normalisasi adalah berpura-pura menaikkan standar hidup, meningkatkan produktifitas, memperbaiki distribusi pendapatan, meningkatkan pendidikan, dan lain-lain.108 Jenis metaanalisis lainnya menurut Alatas difokuskan pada teks diskursus ilmiah yang dibangun atas gagasan bahwa kebenaran dapat dihadirkan melalui retorika. Menurut Weimar, mengetahui “knowing” hanya bisa dilakukan melalui keterlibatan dalam aktivitas retorika. Retorika dalam ilmu sosial berkutat pada bagaimana kata-kata disampaikan untuk menyesatkan makna, membujuk, menimbulkan salah informasi alih-alih menyingkap dan mengklasifikasi. Oleh

106 Smith, Dekolonisasi, Op.Cit., h. 13. 107 Turner, Op.Cit.,h. 29. 108 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 32-33. 122

karena itu menurut Baehr dan O‟Brien (1994), sebuah diskursus akan berhasil jika mengambil jalan metafor, metonim, ironi dan hal serupa agar dapat menghasilkan versi realitas yang menarik, jelas, mencerdaskan, dan memikat.109 Pada kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori tidak perlu dibatasi dalam dimensi empiris dan logisnya saja. Konstruksi-retoris teori sosial melibatkan penggunaan teknik retorika yang berfungsi membujuk khalayak agar menerima versi realitas. Dengan menerima versi realitas ini tanpa sadar seseorang telah masuk dalam sebuah perangkap yang berisi teori yang irelevan. Dengan perangkap ini secara tidak langsung Eurosentrisme telah terjadi dalam tataran akademis. Menurut Alatas secara garis besar literatur ilmu humaniora dan sosial dalam 200 tahun terakhir, khususnya 50 tahun terakhir telah menyayangkan keadaan ilmu-ilmu budaya di Dunia Ketiga, menyoroti berbagai masalah yang semuanya dapat dimasukkan di bawah konsep, ekspresi dan gerakan seperti kritik kolonialisme (Césaire, 1955; Memmi, 1957), imperialisme akademis (Alatas, SH, 1969, 2000), dekolonisasi (pengetahuan) (Fanon, 1961), paedagogi kritis (Freire, 1970), imitasi dan captive mind (Alatas, SH, 1972, 1974), deschooling (Illich, 1973), kebergantungan akademik (Altbach, 1977; Garreau, 1985; Alatas, SF, 1999, 2000a), Orientalisme (Said, 1979, 1993) dan Eurosentrisme (Amin, 1979; Wallerstein, 1996). Masalah-masalah ini terlihat menjadi bagian dari konteks yang lebih besar dari hubungan antara kekuatan kolonial Barat dan daerah eks-koloni, termasuk masyarakat yang telah dijajah. Pengakuan dan penilaian masalah ini menyebabkan panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu sosial (Fahim, 1970; Fahim dan Helmer, 1980; Atal, 1981), deschooling (Illich, 1973), kreativitas intelektual endogen (Alatas, SH, 1978), ilmu sosial otonom (Alatas, SH, 1979), post- kolonialisasi pengetahuan (Prakash, 1990, 1992; Chakrabarty, 1992), globalisasi, dekolonisasi dan nasionalisasi ilmu-ilmu sosial. Semua ini dapat secara kolektif disebut sebagai panggilan untuk wacana alternatif dalam ilmu sosial. The literature in the social sciences and humanities of the last 200 years and that of the last 50 years in particular has deplored the state of

109 Ibid., h. 33. 123

knowledge in the arts in the Third World, highlighting various problems that can all be subsumed under concepts, expressions and movements such as the critique of colonialism (Césaire, 1955; Memmi, 1957), academic imperialism (Alatas, S. H., 1969, 2000), decolonization (of knowledge) (Fanon, 1961), critical pedagogy (Freire, 1970), imitation and the captive mind (Alatas, S. H., 1972, 1974), deschooling (Illich, 1973), academic dependency (Altbach, 1977; Garreau, 1985; Alatas, S. F., 1999, 2000a), Orientalism (Said, 1979, 1993) and Eurocentrism (Amin, 1979; Wallerstein, 1996). These problems were seen to be part of the larger context of relations between the former western colonial powers and the ex-colonies, including those societies that were vicariously colonized. The recognition and assessment of these problems led to various calls for the indigenization of the social sciences (Fahim, 1970; Fahim and Helmer, 1980; Atal, 1981), deschooling (Illich, 1973), endogenous intellectual creativity (Alatas, S. H., 1978), an autonomous social science tradition (Alatas, S. H., 1979), postcolonizing knowledge (Prakash, 1990, 1992; Chakrabarty, 1992), globalization, decolonization and nationalization of the social sciences. All these may be collectively referred to as calls for alterna- tive discourses in the social sciences (Alatas, S. F., 2000b).110

Menangkal Eurosentrisme dalam ilmu sosial juga bisa dilakukan dengan membalik dikotomi subyek-obyek yang membawa non-Eropa ke latar depan, mengakui non-Eropa sebagai pencetusnya, dan mengalihkan perhatian untuk konsep dan kategori non-Eropa. Hal ini harus dilakukan tidak dengan ide menggusur ilmu sosial modern tapi untuk melakukan universalisasi. Tugas tidak harus mengembangkan tradisi ilmiah sosial yang sama sempit seperti yang sedang dikritik di sini. Alatas mengusulkan bahwa menangkal Eurosentrisme dapat dilakukan pada beberapa tingkat kegiatan ilmu sosial. Menggunakan contoh dari Ibn Khaldun, Alatas ingin menyarankan bagaimana hal ini dapat dilakukan. Tingkat pertama adalah bahwa metateori, studi tentang struktur yang mendasari teori. Studi tentang struktur yang mendasari teori akan mencakup pemeriksaan dasar-dasar metodologis dan logika. Studi tersebut diperlukan jika kontribusi dari seorang ilmuwan tertentu harus tetap hidup karena dianggap relevan. Teori Ibn Khaldun tentang pembentukan negara harus terus dibahas dari segi metodenya, dasar-dasar logika, dan konteks sosial di mana ia muncul. Selain

110 Alatas, Academic Dependency and The Global Division of Labour in The Social Sciences, Current Sociology November 2003, Vol. 51 (6): pp. 599. Dan Alatas, Diskursus,Op.Cit., h. 47. 124

itu, harus ada pekerjaan yang lebih teoritis untuk dilakukan. Karya-karya ini harus lebih dari sekedar karya deskriptif. Namun masalah besar masih melingkupi kurikulum di perguruan tinggi. Mengutip pendapat Ward Churchill, Alfares menyatakan bahwa pada pembelajaran filsafat, mahasiswa dihadapkan pada kemungkinan untuk mengeksplorasi sedalam-dalamnya karya-karya filsuf Barat dalam berbagai generasi. Mahasiswa dihadapkan pada teori yang dikemukakan para filsuf Yunani kuno, dasar-dasar logika Cartesian dan Spinoza, teori-teori Thomas Hobbes, David Hume, dan John Locke, serta mencakup satu atau dua bab estetika Immanuel Kant. Untuk mempertimbangkan gagasan filsuf kiri, akan dikutip dialektika Hegel, dan review Nietzsche, Marx yang terkenal “inversi” dari Hegel dan komentar-komentarnya pada kelemahan Feurbach. Dalam sebuah kelas teladan, pada abad ke-20 dibuka dengan diskusi Schopenhauer, Heidegger dan Husserl, Bertrand Russell dan Alfred North. Selanjutnya eksistensialisme Sartre dan Camus juga menjadi andalan. Selanjutnya siswa juga disarankan memahami aliran filsafat pada Abad Pertengahan, seperti Monisme, Revolusi Rousseau, Moralitas dari John Stuart Mill, Generasi Science Einstein, Fenomenologi Merleau-Ponty, Sekolah Frankfurt, Strukturalisme / Post-Strukturalisme, bahkan Teori Kritis Jurgen Habermas. 111 Sebuah survei tentang silabus sejarah teori sosiologi juga akan mengungkapkan sejumlah karakteristik yang mirip. Misalnya memasukkan Comte sebagai pencetus Sosiologi sebagai disiplin ilmu, Marx, Weber dan Durkheim berpikir tentang sifat masyarakat dan perkembangannya, tidak ada pemikir di Asia dan Afrika melakukan hal yang sama. Ilmuwan non-Eropa yang muncul dalam karya-karya ini tidak disertai identitas yang memadai. Tidak adanya pemikir non-Eropa dalam akun ini adalah sangat mencolok dalam kasus di mana non-Eropa telah benar-benar mempengaruhi perkembangan pemikiran sosial. Biasanya, sebuah sejarah pemikiran sosial atau kuliah teori dan pemikiran sosial akan mencakup pemikiran seperti Montesquieu, Vico, Comte, Spencer, Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Toennies, Sombart, Mannheim,

111 Alvares, Op.Cit., pp. 76-77. 125

Pareto, Sumner, Ward, Kecil, dan lain-lain. Umumnya, pemikir non-Barat dikecualikan, bahkan ketika mereka ada, cenderung hanya dikutip untuk kepentingan sejarah, bukan sebagai sumber ide. Misalnya, Ibn Khaldun kadang- kadang disebut dalam sejarah pemikiran sosial, tetapi jarang terlihat sebagai sumber teori dan konsep sosiologis yang relevan. Ia hanya dianggap sebagai prekursor atau penemu bidang kajian sosiologi. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa Barat, khususnya Amerika, Inggris, Perancis dan Jerman, dipandang sebagai satu-satunya pencetus ide dalam ilmu- ilmu sosial. Pertanyaan tentang asal-usul multikultural ilmu-ilmu sosial tidak dinaikkan. Banyak pemikir sosial dari India, Cina, Jepang, dan Asia Tenggara selama abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh yang sezaman dengan Marx, Weber dan Durkheim disebutkan hanya sebentar dalam karya-karya tentang sejarah sosiologi atau benar-benar diabaikan. Contoh pemikir seperti José Rizal (Filipina, 1861-1896), Benoy Kumar Sarkar (India, 1887-1949), dan Kunio Yanagita (Jepang,1875-1962). Alatas selanjutnya mengatakan bahwa setiap akademisi wajib untuk menangkal wacana Eurosentris, dan membawa ide-ide non-Eropa ke dalam pengajaran ilmu sosial pada tingkat Universitas. Otonomi yang relatif lebih besar dimiliki dosen dibandingkan dengan guru di sekolah, memungkinkan para pengajar ilmu sosial dapat menyuntikkan lebih banyak konten non-Eropa ke dalam mata kuliah yang diajarkan. Hal ini telah dilakukan Alatas bersama rekannya yang bernama Vineeta Sinha di National University of Singapore. Menurut Alatas perlu ada pendekatan yang lebih universal tentang pengajaran teori sosiologi, misalnya dengan harus menimbulkan pertanyaan apakah teori sosiologi dapat ditemukan pada masa pra-modern di dataran non- Eropa? Ada juga masalah tentang pengajaran konteks munculnya teori sosiologi yang tidak hanya didefinisikan oleh serangkaian revolusi politik di Eropa sejak abad XVII atau revolusi industri, tetapi juga oleh penjajahan dan munculnya Eurosentrisme. Hal ini berarti perubahan dalam cara teori sosiologi diajarkan. 126

Misalnya, akan ada lebih menekankan pada Marx dan dimensi orientalis dan Eurosentris Max Weber.112 Pada pengajaran ini, Alatas berangkat dengan pembelajaran teori sosiologi klasik seperti pemikiran Comte, Marx, Weber, Durkheim, de Tocqueville dan ilmuwan Eropa lainnya sejak abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh. Setelah itu Alatas memperkenalkan pemikiran Ibn Khaldun, Jose Rizal, Sarkar dan pemikir sosial non-Barat lainnya dan mengajarkan ide-ide mereka secara sistematis. Pada saat yang sama, Alatas tidak mengabaikan pemikir Barat. Namun, ketika datang ke pemikir Barat seperti Marx dan Weber, fokusnya adalah pada topik yang umumnya diabaikan dalam kuliah serupa di Eropa dan Amerika Utara, seperti konsep Marx tentang modus produksi Asiatik, pandangannya tentang kolonialisme di India atau karya Weber tentang Islam dan Konghucu. Dalam kuliahnya, Alatas menyoroti Eurosentrisme sebagai konteks tambahan dan penting untuk memahami munculnya teori sosiologi klasik, dan untuk membiasakan siswa dengan karya-karya Marx, Weber, dan Durkheim.113 Alatas melanjutkan bahwa menangkal Eurosentrisme dalam ilmu sosial memerlukan sikap aktif dalam hal mempopulerkan ide-ide non-Eropa dengan cara teratur menyelenggarakan panel atau menyajikan makalah tentang ide-ide mereka di konferensi ilmu sosial mainstream. Akhirnya, Alatas menyatakan bahwa semua elemen harus menyebarkan kesadaran tentang perlunya alternatif, wacana kontra- Eurosentris dalam ilmu sosial dengan hanya membuat sebuah titik untuk mengutip karya ilmuwan di seluruh dunia. Selain itu, diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam sosiologi Syed Farid Alatas dapat pula disesuaikan penerapannya dalam konteks ke- Indonesiaan. Selanjutnya pengalaman yang dilakukan Alatas bersama rekannya dalam melaksanakan pengajaran teori sosiologi dapat menjadi acuan dalam upaya melepaskan Eurosentrisme dalam sosiologi di berbagai universitas di Indonesia. Di Indonesia belum ada kajian ilmiah secara mendalam mengenai Eurosentrisme dalam ilmu sosial khususnya dalam bidang sosiologi. Selain itu

112 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 240. 113 Alatas, Teaching Classical Sociological Theory in Singapore: The Context of Eurocentrism, Teaching Sociology, Vol. 29, No. 3 (Jul., 2001), pp. 316. 127

tidak ditemukan kajian intensif mengenai pemikiran Syed Farid Alatas mengenai diskursus alternatif dalam ilmu sosial khususnya sosiologi. Kajian mengenai hal ini telah dicari pada beberapa kumpulan tugas akhir mahasiswa di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia, UIN Jakarta, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penelusuran yang sama di mesin telusur google dengan kata kunci “teori captive mind, Eurosentrisme dalam ilmu sosial, dan diskursus alternatif”, tidak ditemukan studi mendalam mengenai kajian tersebut. Dalam penelusuran berbagai karya di Indonesia, belum ada penulis yang secara intensif mengutip atau mengangkat kembali teori Alatas mengenai diskursus Alternatif. Berbagai artikel hanya memusatkan perhatiannya untuk memperkenalkan teori Alatas dalam seminar-seminar. Hal ini berpengaruh pula dalam perkembangan gagasan Alatas yang akhirnya kurang populer di Indonesia. Namun masih ada beberapa akademisi yang mengomentasi isi bukunya yang berjudul Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial: Tanggapan terhadap Eurosentrisme (diterjemahkan mizan publika) dalam artikel di jurnal ilmiah. Disebabkan hal ini, maka tidak ditemukan penjabaran lengkap mengenai teori Alatas dalam disiplin ilmu sosiologi. Tidak ada pula ilmuwan yang secara langsung mengkritik konsep yang dikemukannya. Hal ini nampaknya merupakan efek langsung fenomena Eurosentrisme, yang membuat ilmuwan di di Indonesia tidak mengenali teori yang dikemukakan oleh ilmuwan negara tetangganya. Selain itu konsep captive mind dapat menjadi analisa yang tepat atas fenomena yang menimpa para akademisi di Indonesia. Karena kebanyakan penelitian yang dilakukan para akademisi, masuk dalam kategori empiris bukan teoritis. Konsep modernisasi yang dikemukakan Alatas mengambil contoh tentang penerapan teori Rostow pada awal tahun 60-an menjadi tolak ukur pembangunan ekonomi di Indonesia (negara berkembang pada umumnya). Indonesia terus berupaya mengikuti apa yang sedang masyarakat Amerika Serikat atau Eropa lakukan, untuk menyentuh hirearki tertinggi dalam perekonomian global. Berbagai kemajuan dalam ekonomi diupayakan agar masyarakat terus mencapai kemakmuran. Alih-alih mempertinggi angka pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi yang tinggi nyatanya tidak dinikmati masyarakat menengah ke bawah. 128

Indonesia kini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik, namun nyatanya efek dari pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan seluruh rakyat Indonesia. Modernisme juga diterapkan dalam setiap bidang kehidupan. Sebagaimaa diketahui modernitas ala Barat membawa berbagai nilai dan norma dalam masyarakat yang dihinggapinya. Modernitas yang dialami masyarakat Indonesia kini membawa turut serta nilai liberal atau kebebasan dalam masyarakat Barat. Selanjutnya nilai religiusitas semakin pudar. Sekularisme yang ada dalam masyarakat Barat juga diadopsi dalam masyarakat Indonesia dengan alasan keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia. Beralih pada masalah Eurosentrisme yang secara umum menimpa setiap negara Berkembang dalam dunia pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya, survei dari silabus mata kuliah sosiologi di Negara Asia menunjukkan bahwa dominasi Eurosentrisme dalam ilmu sosial merasuk selama berabad-abad. Hal ini ditrasakan pula dalam kurikulum sosiologi di berbagai negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Menurut Alatas hal ini dapat dilihat dari berbagai karakteristik, seperti dikotomi antara subjek dan objek, dominasi kategori dan konsep Eropa, dan representasi dari kekuatan Eropa sebagai penguasa ide dalam sosiologi. Lebih lanjut Alatas menyatakan In most sociological theory textbook or writings on the history of social theory, the subject-object dichotomy is a dominant, albeit unarticulated principle of organization. Europeans are the ones that do the thinking and writing, they are the social theorists and social thinkers, what we might call the knowing subject. If at all non-Europeans appear in the texts they are objects of study of the European theorists featured and not as knowing subjects, that is, as sources of sociological theories and ideas. If we take the nineteenth century as an example, the impression is given that during the period that Europeans such as Marx, Weber and Durkheim were thinking about the nature of society and its development, there were no thinkers in Asia and Africa doing the same. Therefore, the only non-Europeans that appear in these works are those usually 129

nameless, anonymous ones mentioned or referred to by the European thinkers whose ideas are being discussed.114

Padahal ilmu Sosial di Barat tidak memusatkan perhatian pada masalah yang menimpa Ilmu Sosial di Asia. Masalah di Barat adalah pencarian dan kesinambungan struktural dengan perubahan sejarah yang berkelanjutan. Kebanyakan konsep tersebut berasal dari tradisi kesejarahan Yunani-Romawi, Kristen-Latin, dan Eropa. Menjadi masalah ketika konsep tersebut digunakan secara universal, hal inilah yang akhirnya merusak fenomena sosial, sebagai contohnya konsep religi. Konsekuensi yang lebih serius dari semua ini adalah bahwa sesuatu yang mendominasi ilmu sosial yang berupa teori, konsep dan kategori dalam ilmu-ilmu sosial dikembangkan oleh Eropa dan Amerika Utara. Seperti konsep religi yang mewakili pola Eurosentris karena didasarkan pada tradisi agama Kristen. Ilmuwan Barat menerapkan konsep religi ke dalam setiap agama, termasuk Islam. Akhirnya para ilmuwan memaksakan apa yang dialami pada agama Kristen untuk diterapkan pada ajaran Islam, misalnya dengan konsep sacred dan profane, yang tidak pernah ada dalam tradisi intelektual Muslim, karena setiap perbuatan yang dilakukan Muslim dalam hidupnya bernilai ibadah (sacral). Pengalaman yang berikutnya dipaksakan dan sangat mempengaruhi studi Islam adalah upaya merekonstruksi tafsir Al-Qur‟an dengan metode hermeneutika. Meskipun pada kenyataannya, upaya menafsirkan Bible menggunakan hermeneutika bukanlah hal yang keliru, karena Al-Kitab memiliki kecacatan secara historis. Tetapi, hal yang sama diterapkan oleh para Orientalis, bahkan Muslim yang telah dihinggapi captive mind pada kitab suci Al-Qur‟an, sehingga tidak bisa bersikap kritis terhadap studi yang berkembang di Barat. Hal ini menjadi bermasalah karena konsepsi tafsir pada kitab suci Al-Qur‟an tidak pernah mengalami perubahan sejak masa tabi‟in hingga 14 abad setelahnya. Selain itu, sejarah Al-Qur‟an tidak pernah mengalami kecacatan seperti yang dialami Kristen. Kategori yang lebih jelas adalah, kebenaran mengenai teks Al-

114 Syed Farid Alatas, Rethinking The Teaching Of Sociology In The Context Of Eurocentrism, Makalah tidak dipublikasikan. 130

Qur‟an tidak dapat diragukan karena tradisi sanad yang selama ini berkembang dalam tradisi intelektual Muslim. Oleh karena itu, sangat mengherankan apabila studi ilmiah atas agama tidak memperhitungkan kosakata konseptual dari berbagai agama tersebut. Sebuah kekeliruan serius jika akhirnya konsep-konsep kunci dalam berbagai agama ditafsirkan hanya berdasarkan tradisi Kristen Barat, dengan keyakinan bahwa konsep-konsep ini berlaku universal. Sementara disatu sisi setiap konsep dalam agama Islam, Budha dan Hindu memiliki potensi yang sama untuk diuniversalisasi. Alatas berupaya mengusulkan alternatif atas konsep religi dengan konsep din dalam agama Islam. Namun nyatanya, Alatas belum berani mengganti konsep tersebut, seperti yang telah dilakukan pamannya, S.M.N Al-Attas. Sebagaimana diketahui, konsep din yang dikemukakan oleh S.M.N Al-Attas memiliki konsekuensi, yaitu dengan beragama, manusia harus tunduk (berserah diri) pada Penciptanya, karena manusia memiliki hutang atas eksistensinya di dunia. Hutang ini meniscayakan agar setiap waktu seorang Muslim di dunia, terikat dengan Sang pemberi hutang. Muslim harus menjalankan konsekuensi hidupnya ini dengan cara beribadah secara terus menerus. Muslim juga tidak diperbolehkan menanggalkan keyakinannya dan memisahkan syariat Islam dengan perilakunya dalam bermasyarakat. Pada akhirnya hal ini menyiratkan penolakan terhadap terminologi sekularisme terhadap ajaran Islam. Adapun pada kenyataannya kini, pengadopsian konten ilmu sosial dari Barat dilakukan secara masif, bahkan dibawa oleh para ilmuwan Dunia Ketiga itu sendiri. Buku Panduan untuk Pengajaran Teori Sosiologi yang diterbitkan oleh Sociological Association of America mengungkapkan bahwa berbagai teori klasik yang karya-karyanya diajarkan di seluruh dunia adalah karya Montesquieu, Vico, Comte, Spencer, Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Tonnies, Sombart, Mannheim, Pareto, Sumner, Ward, Kecil, Wollstonecraft dan beberapa tokoh lainnya. Dalam hal ini, tidak ada pemikir non-Eropa yang disertakan. Meskipun orang Eropa telah 131

menemukan dan membahas karya-karya Ibn Khaldun sejak abad ke-19, namun posisi Ibn Khaldun tetap marginal dalam sejarah sosiologi.115 Alatas menyatakan bahwa komponen terpenting dari kuliah sosiologi di kebanyakan universitas adalah pengajaran teori sosiologi klasik. Oleh karena itu, semua siswa yang mengikuti kuliah sosiologi akan mengakui bahwa Marx, Weber, dan Durkheim adalah pendiri dari disiplin ilmu sosiologi. Teori sosiologi secara umum hanya didefinisikan sebagai tulisan-tulisan dari serangkaian karya ilmuwan Eropa. Selanjutnya dalam wacana mainstream, ilmu-ilmu sosial didefinisikan selalu berasal dari Barat. Legitimasi atas hal ini dilembagakan sebagai kebijaksanaan umum yang tidak hanya ada di kalangan akademisi Barat, tetapi juga pada ilmuwan non-Barat. Padahal Ritzer menyatakan bahwa pada dasarnya teori sosiologi muncul sebagai akibat dari refleksi pemikir atas kekuatan-kekuatan dan masalah sosial, seperti revolusi politik, revolusi industri dan munculnya kapitalisme, urbanisasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Menjadi kekeliruan historis apabila konsep ini diterapkan tanpa kritis oleh para ilmuwan non-Barat di negaranya. Terlebih ketika pengajaran atas teori sosiologi dalam buku teks di setiap Universitas tidak memberikan keleluasaan siswa untuk mendalami karya pemikir non-Barat. Berbagai fenomena yang terjadi membuat Alatas memikirkan kembali pengajaran teori sosiologi yang tidak hanya didasarkan pada keprihatinan teoretis, tetapi juga memberi pertemuan intensif dengan siswa sosiologi. Alatas berupaya menghilangkan stigma bahwa teori sosiologi kering, kusam, membosankan, menakutkan, dan penuh jargon tertentu. Selain itu, menurut Alatas mengajar teori sosiologi non-Barat untuk masyarakat non-Barat merupakan sebuah dimensi yang penting. Pendekatan yang lebih universal untuk mempelajari teori sosiologi harus menimbulkan pertanyaan, “apakah mungkin mengidentifikasi contoh teori sosiologi dari luar Eropa/Barat untuk menganalisa fenomena modernisasi?”

115 Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, Review Essay, International Sociology, November 2006, Vol 21(6), pp. 790. 132

Alatas juga memberikan pengajaran tentang ilmuwan Arab abad ke-14, Ibn Khaldun, yang berjasa merumuskan konsep penting dalam sosiologi. Pengakuan wawasan teoritis dalam karya Ibn Khaldun dapat berarti perubahan dalam kurikulum sosiologi. Namun demikian pengakuan kontekstualitas tidak mensyaratkan bahwa teori sosiologi Barat harus dihapuskan dari kurikulum sosiologi di universitas-universitas non-Barat. Sebaliknya, Alatas mengusulkan perdebatan dengan pendekatan segar untuk pengajaran teori sosiologi klasik dengan cara bersikap kritis terhadap karya-karya Marx, Weber, dan Durkheim.116 Secara umum, Alatas melihat dua masalah mendasar dalam silabus teori sosiologi. Pertama, pendiri atau prekursor pemikiran sosial non-Barat tidak diakui. Kedua, teori sosiologi klasik tidak dikontekstualisasikan dengan cara menetapkan titik referensi yang relevan bagi siswa di seluruh dunia. Sementara pencerahan Eropa, transisi dari feodalisme ke kapitalisme, dan demokratisasi di Eropa, dan sebagainya, membentuk konteks yang relevan untuk memahami munculnya teori sosiologi, Alatas berpendapat bahwa fakta sejarah dominasi politik dan budaya Eropa non-Eropa dari abad ke-15 dan seterusnya adalah konteks tambahan penting. Yang terakhir ini jarang diberi ruang, apalagi bobot yang sama, dalam pengajaran konvensional teori klasik. Seperti diketahui, dominasi ini mengakibatkan, antara lain implantasi ilmu sosial Eropa di masyarakat non-Eropa tentang pertanyaan Apakah masyarakat tersebut dijajah oleh bangsa Eropa atau tidak. Diskusi juga harus menghadirkan perdebatan mengenai periode dominasi kolonial Eropa saat teoritis mengemukakan teorinya. Harus timbul pertanyaan dibenak siswa tentang peran ganda seorang teoritis yang juga bertindak sebagai Orientalis. Mengingat kepentingan teoritis dan pengalaman mengajar, Alatas merumuskan alternatif untuk memperkenalkan teori sosiologi yang diberikan pada lokasi pengajaran non-Barat. Pengalaman yang dilakukan Alatas dapat menjadi referensi para pengajar sosiologi di Indonesia, secara khususnya. Di kelas, Alatas mengatakan bahwa Eurosentrisme berkonotasi pada posisi dan perspektif tertentu yang tidak dapat melihat masalah hingga ke akarnya. Dalam upaya untuk

116 Alatas, Teaching, Op.Cit., 317. 133

mengatasi masalah ini, Alatas memberikan sebuah esai yang ditulis oleh Wallerstein mengenai Eurosentrisme kepada siswa. Melalui tulisan ini, Alatas mengingatkan siswa tentang kompleksitas dan multidimensi sebuah konsep. Dalam hal tersebut terdapat perhatian tentang historiografi Eurosentris, definisi kemajuan, klaim keunikan peradaban Eropa dan kapitalisme, serta masalah Orientalisme. Hal ini juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa teori-teori ilmu sosial berasumsi pada perkembangan masyarakat kapitalis modern di Eropa, yang mungkin tidak baik bila direplikasi di tempat lainnya. Alatas kemudian mengangkat serangkaian pertanyaan terkait tentang: Bagaimana pertemuan kolonial dan imperial berbentuk konseptualisasi dalam ilmu sosial oleh para sarjana Barat? Bagaimana para penulis membayangkan dikotomi “non-Barat” dan “Barat”? Bagaimana cara kita untuk menilai dan mengukur teori sosiologi klasik mengingat kemungkinan berbagai jenis bias, termasuk bias Eurosentris? Adapun dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, Alatas beroperasi pada premis dengan pendekatan kreatif untuk mengajarkan teori sosiologi kepada siswa. Oleh karena itu Alatas mengusulkan untuk memasukkan tiga tujuan yang saling berkaitan: (1) untuk menghasilkan kesadaran “Eurosentrisme” sebagai tema dan konteks yang menginformasikan teori sosiologi klasik, (2) untuk menunjukkan kegunaan dari teori untuk pemulihan masa lalu akibat merasuknya klaim Eurosentris itu, dan (3) untuk menunjukkan kegunaan dari teori dalam pemahaman realitas kontemporer di wilayah yang lebih dekat dengan rumah siswa.117 Dalam kuliah ini, Alatas kemudian menekankan pentingnya konsep/pengetahuan lokal atau ulayat. Kesimpulannya adalah Alatas mencoba mendomestikasikan masalah ilmu sosial, baik mengenai lembaga ilmu-ilmu sosial yang mula-mula ada di Asia, kemudian perkembangan epistemologi keilmuan, hingga aneka pilihan topik kajian serta tema penelitian. Beberapa kritik yang ia munculkan, antara lain adalah asumsi tidak adanya aliran atau tradisi kawasan dalam sosiologi atau ilmu sosial lain yang muncul di masyarakat non Eropa dan non-Amerika Utara. Perdebatan

117 Alatas, Teaching, Op.Cit., pp. 319-320. 134

ilmu sosial dunia yang didominasi oleh Barat ini, menurut Alatas dikarenakan tingginya derajat yang disematkan pada teori, sehingga mengukuhkan teori-teori Barat kontemporer dan klasik sebagai pusat perdebatan teoretis. Selain itu kurangnya kreativitas dan orisinalitas terkait dengan meluasnya pendidikan Barat lewat kolonialisme atau modernisasi Barat berimbas pada kebergantungan intelektual berupa kebergantungan pada sponsor, serta pendiktean pada pemilihan minat kajian serta desain riset, serta bentuk penerbitan. Namun apa yang dilakukan Alatas sebagai bentuk penyamarataan konsep sakralisasi ilmu pengetahuan memiliki implikasi yang panjang. Sebagaimana diketahui, masing-masing agama memiliki klaim atas kebenarannya masing- masing terhadap yang lainnya. Seperti istilah yang tepat untuk menggantikan terminologi religi yang sudah mendarah daging pada diri ilmuwan Non-Barat, bahkan masyarakat luas. Penggantian konsep ini tidak dijelaskan secara konkret olehnya dan membuat masing-masing agama yang berupaya mengganti konsep religi, mengarahkan konsepsinya pada nativisme. Padahal semangat penggantian konsep ini berasal dari penggalian mendalam ajaran agamanya. Lalu, apakah lantas diskursus alternatif, yang tidak hanya melulu kritik dan diagnosa, namun juga rumusan cara pandang Asia, yang ditawarkan Alatas tersebut diapresiasi sebagai solusi ketidakmerdekaan intelektual ilmu sosial di negeri non Eropa-Amerika? Jawabannya akan mengerucut pada masalah waktu. Tapi yang dapat dilakukan pembaca setelah membaca skripsi ini adalah upaya mencari alternatif terbaik dalam menangkal serangan Eurosentrisme dalam sosiologi, pada khususnya. Bagi para dosen mungkin perlu mempertimbangkan pengajaran yang lebih adil antara konsep dan teori Barat dan karya para ilmuwan non-Barat.

Allahu „alam

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Konsep captive mind pertama kali dikemukakan Syed Hussein Alatas pada tahun 1972. Syed Hussein Alatas mendefinisikan captive mind sebagai gejala mental yang dimiliki para ilmuwan untuk meniru ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat secara keseluruhan. Tanpa kritis mereka menerima klaim universal dari ilmu sosial Barat. Hal ini berimplikasi pada ilmu sosial Eurosentris yang kemudian melembaga pada masyarakat ilmiah Dunia Ketiga. Pemikiran tersebut merasuk dalam setiap tingkatan aktivitas ilmiah, mempengaruhi latar masalah, analisis abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi. Eurosentrisme pertama kali dikemukakan Samir Amin dalam bukunya yang berjudul “Eurocentrism”. Amin menyebut fenomena Eurosentrisme lebih dalam dari teori Orientalisme yang dikemukakan Edward Said. Amin menyebut Eurosentrisme sebagai bentuk pengendalian Eropa terhadap ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Padahal dengan latar belakang yang berbeda menjadikan ilmu pengetahuan Eurosentris merusak sendi-sendi ilmu sosial di Negara berkembang. Selain itu, ilmuwan lain yang bernama Immanuel Wallerstein menyatakan bahwa Eurosentrisme merupakan hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar. Avatar pada Eurosentrisme terletak pada historiografi yang mengakui keunggulan Eropa, klaim universalisme dalam ilmu pengetahuan, Orientalismenya dalam memandang Timur, asumsinya tentang peradaban Barat yang begitu istimewa, dan upayanya dalam memaksakan teori kemajuan. Fenomena yang berasal dari luar (eksogen) dan dari dalam (endogen) pada ilmu sosial di Negara dunia Ketiga menyebabkan seorang tokoh yang bernama Syed Farid Alatas merumuskan konsep diskursus alternatif. Gagasan Alatas mengenai diskursus alternatif tidak dapat dipisahkan dari peran ayahnya, Syed Hussein Alatas. Alatas mengangkat kembali konsep Captive mind pada berbagai artikelnya di jurnal internasional. Alatas kemudian mengaitkan fenomena captive

135 136

mind dan imperialisme akademis, dengan gagasannya tentang struktur kebergantungan akademik yang membuat dominasi ilmu sosial Barat begitu melekat pada negara berkembang. Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Secara umum para ilmuwan memberi perhatian terhadap masalah Eurosentrisme, peniruan tak kritis terhadap ide, konsep, dan teori dari Barat, konteks kebergantungan akademis dan imperialisme intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah Eurosentrisme. Label diskursus alternatif lebih tepat karena para ilmuwan menempatkan diri sebagai penentang terhadap apa yang diterapkan sebagai arus utama (mainstreem), yang secara umum merupakan diskursus berorientasi Euro- Amerika yang terus mendominasi ilmu sosial di sebagian besar masyarakat Asia. Menurut Alatas upaya untuk melepaskan Eurosentrisme dalam sosiologi dapat dilakukan dengan melakukan indigenisasi ilmu pengetahuan. Para sarjana non-Barat dapat mengangkat kembali tokoh yang berperan dalam pengembangan sosiologi modern dari luar Eropa, seperti Ibn Khaldun. Alatas kemudian melakukan teorisasi atas konsep yang dikemukakan Khaldun, karena menurutnya hal ini merupakan suatu yang penting agar pemikiran seorang tokoh dapat relevan dari masa ke masa. Selain itu sebagai seorang dosen, Alatas memiliki trik khusus dalam pengajaran sosiologi di NUS yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan pada pengajaran sejarah sosiologi di Indonesia. Dalam perkuliahan, Alatas tetap mengajarkan berbagai teori yang dikemukakan sosiolog klasik Eropa, namun memberikan porsi yang seimbang dalam penyampaian teori ilmuwan non-Barat. Dalam kapasitasnya sebagai dosen, Alatas menyatakan agar hal ini dapat dielementasikan para pengajar teori sosiologi non-Barat agar para siswa terbiasa dengan berbagai karya tokoh sosiologi non-Barat.

B. Saran Efek negatif peniruan tidak kritis terhadap ilmu sosial Barat telah dijelaskan sebelumnya pada skripsi ini. Berbagai upaya untuk keluar dari masalah 137

tersebut juga telah dijabarkan Syed Farid Alatas dalam diskursus alternatif terhadap ilmu pengetahuan Eurosentris. Gagasan diskursus alternatif yang dikemukakan Alatas juga dapat memberi gambaran secara utuh mengenai kemungkinan atas upaya melepaskan dominasi ilmu sosial Barat pada ilmu sosial negara Dunia Ketiga. Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas dapat memberi gambaran untuk memilih metodologi yang tepat dalam menangkal masalah Eurosentrisme. Para akademisi dapat meneruskan konsep yang telah dijabarkan oleh para ilmuwan non-Barat, membuatnya menjadi lebih teoritis dan mengangkatnya dalam jurnal ilmu sosial di seluruh dunia. Upaya mengenalkan gagasan ilmu sosial non-Barat juga dapat membuka jalan bagi perumusan ilmu sosial yang lebih indigenik. Semua upaya ini berawal dari kesadaran ilmuwan non-barat atas pola pikir terbelenggu, yaitu captive mind. Kesadaran mengenai posisi ilmu sosial Barat yang tidak selalu relevan bagi masyarakat ulayat perlu ditanamkan pada jiwa para ilmuwan. Ilmuwan non-Barat harus lebih percaya diri terhadap karyanya sendiri, serta berani mendomestikkan karya ilmiah ilmuwan Barat yang kurang sesuai dengan konteks ulayat. Namun seperti yang telah dikemukakan Wallerstein, gagasan alternatif ini tidak boleh memiliki sifat anti-Eurosentrisme namun Eurosentrik. Para ilmuwan harus tetap jeli dalam memisahkan hal yang dianggap universal namun partikular dalam ilmu sosial Barat. Lebih lanjut Alatas mengingatkan agar upaya indigenisasi ilmu sosial tidak boleh menjadi nativisme. Pengajaran sosiologi yang dijelaskan Alatas juga dapat menjadi kerangka acuan dalam pengembangan ilmu sosial yang lebih ulayat bagi Negara Dunia Ketiga. Akademisi perlu menyusun kembali kurikulum pengajaran ilmu sosiologi, dan berupaya menanamkan semangat kepada mahasiswa tentang irelevansi ilmu sosial Barat. Para mahasiswa yang sadar dapat mengembangkan gagasan tersebut. Meski proses yang dijalani tidak semudah membalikkan telapak tangan karena memerlukan upaya keras setiap elemen. Melalui konferensi ilmiah, diskusi panel, seminar, lokakarya, dan lain sebagainya, semangat indigenisasi ilmu sosial termasuk sosiologi diharapkan dapat lebih mengudara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2007. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia. Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Terj. Ali Noer Zaman. Bandung: Mizan Publika. ______. “11 Indigenization: Features and Problems.” Asian Anthropology Journal, 227, 2004, pp. 227-243. ______. “A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South.” Current Sociology Journal, May 2006, Vol. 54(3): 397–411. ______. “Academic Dependency and the Global Division of Labour in the Social Sciences.” Jurnal Current Sociology, Vol. 51 No. 6: 599-613. ______. “Academic Dependency in the Social Sciences: Reflections on India and Malaysia.” American Studies International, Vol. 38, No. 2 (JUNE 2000), pp. 80-96. ______. “Alternative Discourses in Southeast Asia.” Jurnal Sari, Vol. 19, 2001: pp. 49-67. ______. “An Introduction to The Idea of Alternative Discourses”, Southeast Asia Journal of Social Science, Vo. 28, No. 1, 2000: pp. 1-12. ______. “Editorial Introduction: The Idea of Autonomous Sociology Reflections on the State of the Discipline”. Current Sociology, January 2006, Vol 54(1), ______. “From Jami`ah to University Multiculturalism and Christian–Muslim Dialogue. Current Sociology. January 2006. Vol 54(1): 112-132. ______. “Ibn Khaldun and Contemporary Sociology.” Review Essay. International Sociology Association, Vol. 21 (6). November 2006: 782– 795.

138 139

______. “Introduction.”Humboldt Journal of Social Relations, Vol. 23, No. 1/2, ASIA (1997), pp. 21-25. ______. “On The Indigenization of Academic Discourse.” Alternatives: Global, Local, Political Journal, Vol. 18, No. 3 (Summer 1993), pp. 307-338. ______. “Reflection on The Idea of Islamic Social Science.” Comparative Civilizations Review, 1986: pp. 60-86. ______. “Rethinking The Teaching of Sociology in The Context of Eurocentrism.” Makalah tidak dipublikasikan. ______. “Teaching Classical Sociological Theory in Singapore: The Context of Eurocentrism. Teaching Sociology, Vol. 29, No. 3 (Jul. 2001), pp. 316- 331. ______. “The Definition and Types of Alternative Discourses.” Chang, Fei-yu Hsieh (red.) 2, 2010: pp. 139-157. ______. “The Historical Sociology of Muslim Societies, Khaldunian Applications, International Sociology, May 2007, Vol. 22 (3): pp. 267–288. ______. “The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay World.” (Jurnal tidak diketahui) pp. 273-308. ______. “The Role of Human Sciences In The Dialogue Among Civilizations.” Development And Society Journal, Volume 31 Number 2, December 2002, pp. 265-279. ______. “The Sacralization of the Social Sciences: A Critique of an Emerging Theme in Academic Discourse” Archives de sciences sociales des religions, 40e Année, No. 91 (Jul. - Sep., 1995), pp.89-111. ______. “The Study of the Social Sciences in Developing Societies: Towards an Adequate Conceptualization of Relevance.” Current Sociology 2001 49: 1, Vol. 49 (2), pp. 1-9. Alatas, Syed Hussein. “Erring Modernization: The Dilemma of Developing Societies.” Symposium on the Developmental Aims and Socio-Cultural Values in Asian Society. Bangkok, 3-7 November, 1975. ______. “Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems.” Southeast Asian Journal of Social Science Volume 28 Number 1 (2000): pp. 23-45. 140

______. “The Autonomous, the Universal and the Future of Sociology.” Current Sociology, January 2006, Vol 54(1): pp. 7–23. ______. “The Captive Mind in Development Studies.” Jurnal Social Science, Vol. XXIV, No. 1, 1972: 9-25. ______. “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospects.” (jurnal tidak diketahui), pp. 150-155.. ______. The Myth of The Lazy Native a Study of The Image of The Malays, Filipinos And Javanese From The 16th To The 20th Century and Its Function in The Ideology Of Colonial Capitalism. 1977. Oregon: Frank Cass and Company Limited. Ali, Syed Husin. “Syed Hussein Alatas (1928-2007).” Akademika 73 Mei 2008, pp. 139-144. Alvares, Claude. 2011. “A Critique of Eurocentric Social Science and The Question of Alternatives.” Economic and Political Weekly, Vol. XLVI, No. 22, 28 May 2011, 72-81. Amin, Samir. 2009. Eurocentrism: Modernity, Religion, and Democracy, A Critique of Eurocentrism and Culturalism terj. Russel Moore dan James Membrez. New York: Monthly Review Press. Bagader, Abukaker A, Ed. Islam dan Perspektif Sosiologik. Surabaya: Amarpress. Borham, Abd Jalil. “Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki Dalam Pentadbiran Kerajaan Johor Bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka Di Asia Tenggara, Makalah pada Simposium Isu-Isu Sejarah dan Tamadun Islam (SISTI 2011) Peringkat Kebangsaaan di Sudut Wacana ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor pada 8-10 April.” 2011. http://umpir.ump.edu.my/3355/1/JOHOR_TURKI.pdf Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. New York: Pantheon. Handrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Nazir, Moh. 2011. Metode Penelitian, Edisi ketujuh. Bogor: Ghalia Indonesia. 141

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Ritzer, George. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. _____. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. Sabaratnam, Meera. “Avatars of Eurocentrism in the Critique of the Liberal Peace.” Published in Security Dialogue, Vol. 44, June 2013, No. 3, page 259-278, Post-print version. Smith, Linda Tuhiwal. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: INSISTPress. Sutopo, Oki Rahadianto. 2011. “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 201-206. Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2013. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana. Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, dan Globalisme. Yogyakarta: Ar-ruz Media. Vargas, Manuel. “Eurocentrism and The Philosophy of Liberation.” University of San Francisco. Wallerstein, Immanuel. 2006. “Eurocentrism and Its Avatars: The Dilemmas of Social Science”. Makalah disampaikan pada Korean Sociological Association-International Sociological Association East Asian Regional Colloquium on “The Future of Sociology in East Asia”, 22-23 November, Seoul. Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/04/26/prosedur-penelitian-ilmiah/ http://www.interactive.net.in/node/30 http://www.interactive.net.in/node/30. Archives de sciences sociales des religions, 40e Année, No. 91 (Jul. - Sep., 1995), pp.89 Terima Kasih yang tak terhingga kepada guru besar Fakultas Art and Social Sciences, Jurusan Sosiologi, Nasional University of Singapore,

Prof. Dr. Syed Farid Alatas