(Field) Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Di Minangkabau Adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Yang Biasa Disebut Dengan Madrasah Perti

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

(Field) Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Di Minangkabau Adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Yang Biasa Disebut Dengan Madrasah Perti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu arena (field) pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang biasa disebut dengan Madrasah Perti. Lembaga pendidikan Islam ini lahir pertama kali pada permulaan abad ke-20 dan memiliki konstribusi besar dalam mentransmisikan pengetahuan agama dan menyiapkan kebutuhan sumber daya manusia (Human Resources) di Indonesia. Madrasah Perti sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional telah memperoleh legitimasi dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyebut bahwa madrasah dan pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan keagamaan di Indonesia yang memiliki fungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) didukung pula oleh Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang menjelaskan bahwa madrasah dan pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan (diniyah) atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.2 Madrasah Perti memiliki fungsi yang sama dengan pendidikan keagamaan yang dijelaskan oleh peraturan perundang-undangan dan membangun tradisi keilmuan berdasarkan prinsip Tafaqquh fī al-Dīn yang dalam istilah modern disebut dengan keahlian di bidang keagamaan.3 Prinsip itu secara normatif 1Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 30, Ayat 1-4. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang pada tahun-tahun sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. 2Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1, Ayat 4 3Tafaqquh merupakan istilah bahasa Arab yang berasal dari kata tafaqqaha, yatafaqqahu, tafaqquhan. Penggunaan kata tafaqquh dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 digabungkan dengan istilah fī al-dīn sehingga membentuk konsep tafaqquh fī al-dīn. Dari istilah tafaqquh ini berasal kata fiqh yang berarti pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Karena al-Qur’an menggabungkan istilah fiqh dengan fī al-dīn, kata fiqh mengalami perluasan makna sehingga kosa kata tersebut mengandung arti pengetahuan tentang ilmu agama disebabkan kemuliaan, keagungan dan keutamaan-Nya. Fiqh juga memiliki arti orang-orang yang mengerti dan memahami ajaran agama. Karena itu, konsep tafaqquh fī al-dīn memiliki makna yang lebih luas, yaitu orang-orang mengerti dan memahami secara mendalam ajaran agama Islam. Mereka itu adalah para ulama yang hidup di sepanjang perjalanan sejarah umat Islam. Jamaluddin Muhammad Ibnu al-Manzhur, Lisān al- ‘Arab, (Beirut: Dār al-Ṣādir, t.t.,), hal. 552 1 dikonstruksi dari nilai-nilai dan semangat ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pentingnya umat Islam untuk mempelajari, memahami dan mendalami ajaran agama. Pada surat al-Taubah/09, ayat 122 disebutkan bahwa tidak sepatutnya semua orang yang beriman pergi ke medan perang. Sebagian mereka hendaklah pergi untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya. Prinsip Tafaqquh fî al-Dîn merupakan pondasi utama pembentukan tradisi keilmuan Islam tradisional di Minangkabau yang berlangsung semenjak permulaan abad ke-20. Pencapaiannya dilakukan dengan pengenalan dan pewarisan kitab-kitab klasik karya ulama Timur Tengah yang biasa disebut dengan kitab kuning di dunia Melayu. Pertumbuhan tradisi ini memiliki relasi dengan realitas sejarah Islamisasi Minangkabau yang semakin menguat pada pertengahan abad ke-17, terutama setelah Syeikh Burhanuddin mendirikan Surau Ulakan di daerah Pariaman. Sebelumnya ia pernah mempelajari agama Islam sekitar 10 tahun kepada Syeikh Abdurrauf Singkili di Aceh.4 Usaha Syeikh Burhanuddin memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial keagamaan di Minangkabau. Surau Ulakan ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang mau mempelajari agama Islam. Murid-murid Syeikh Burhanudddin yang pada masa berikutnya mendirikan surau-surau sebagai pusat pengajaran tradisi kitab kuning dan pengembangan agama Islam di daerah darek, Minangkabau. Pewarisan kitab kuning terus berkesinambungan sampai abad ke-20 yang melahirkan surau-surau baru sebagai lembaga pendidikan Islam. Surau Tuanku Nan Tuo, Surau Koto Gadang, Surau Abdurahman Batu Hampar, Surau Sumanik, Surau Talang, Surau Candung dan Surau Parabek merupakan di antara Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau yang menjadi pusat pengajaran tradisi keilmuan kitab kuning.5 Masing-masing surau di Minangkabau mempunyai distingsi keilmuan yang berbeda-beda sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh guru yang memimpin halaqah.6 Surau Tuanku Nan Tuo Luhak Agam memilih distingsi keilmuan dalam 4Syeikh Abdurrauf Singkili merupakan ulama yang berasal dari daerah Singkel, Aceh, yang memiliki peranan besar dalam proses Islamisasi Nusantara. Ia lahir pada tahun 1024 H/1615 M yang bersamaan dengan terjadi perbedaan paham keagamaan di Aceh antara pendukung paham wujudiyah dan pengikut al-Raniri. Syeikh Abdurrauf Singkili pernah belajar agama di Arab Saudi selama 18 tahun sebelum menjadi mufthi kesultanan Aceh 1071 H/1661 M. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hal. 189-190. Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid I, hal. 5-6 5Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1988), hal. 146-147 6Halaqah merupakan metode pengajaran yang pernah berkembang dalam tradisi keilmuan Islam. Metode ini berpusat pada seorang kyai yang membacakan kitab dalam waktu tertentu dan murid-murid duduk melingkar untuk mendengarkannya. Aplikasi metode halaqah sama dengan proses belajar mengaji bersama (kolektif). Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: 2 bidang tafsir. Surau Kota Gadang sangat kuat dengan distingsi ilmu mantīq dan mā’ani. Surau Sumanik terkenal dalam bidang tafsir dan faraiḍ. Surau Kamang mengembangkan distingsi ilmu bahasa Arab. Sementara Surau Talang dan Surau Selayo yang keduanya terdapat di daerah Kabupaten Solok sangat populer dengan distingsi ilmu nahwu dan sharaf.7 Surau-surau itu memiliki kedudukan dan peranan penting sebagai pusat pewarisan tradisi kitab kuning dan pengembangan ajaran Islam di Minangkabau hingga permulaan abad ke-20. Lebih kurang selama tiga abad proses pewarisan tradisi kitab kuning di surau-surau Minangkabau sangat tergantung kepada sosok seorang guru yang memiliki otoritas pengetahuan keagamaan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan panggilan buya, tuanku dan syeikh. Panggilan guru itu secara simbolik merepresentasikan bahwa realitas sosial keagamaan yang terbangun di lembaga pendidikan surau merupakan milik laki-laki, baik sebagai murid maupun guru yang memimpin pewarisan tradisi kitab kuning. Sedangkan realitas perempuan belum memperoleh tempat dalam perjalanan panjang kehidupan surau-surau di Minangkabau. Kondisi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh pembentukan surau- surau yang secara kultural adalah pendamping rumah gadang yang disediakan khusus untuk anak laki-laki. Setelah mengalami pengembangan fungsi dengan kedatangan Islam, dominasi laki-laki dalam institusi pendidikan surau masih mengendap dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau.8 Interaksi perempuan dengan pewarisan tradisi kitab kuning mulai tumbuh semenjak permulaan abad ke-20 bersamaan dengan modernisasi surau menjadi madrasah di Minangkabau. Surau pertama yang mengalami modernisasi di kalangan ulama Perti adalah Surau Baru Candung yang dipimpin oleh Syaikh Sulaiman al- Rasuli.9 Perubahan surau itu menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 26 7Azyumardi Azra, Surau, op. cit., hal. 146-147 8Surau di Minangkabau adalah tempat tinggal laki-laki yang disediakan sebagai pendamping rumah gadang. Anak laki-laki Minangkabau sejak masa baligh harus tidur di surau kaum yang disediakan secara kultural. Anak laki-laki tidak disediakan kamar tidur di rumah gadang sebagaimana hal anak perempuan. Itulah sebabnya ketika Islam mempengaruhi kehidupan surau, anak laki-laki yang terlebih dahulu mendapat manfaatnya. Amir, M.S, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1999), hal. 22 9Syeikh Sulaiman al-Rasuli merupakan pendiri Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung Kabupaten Agam. Ia adalah sosok ulama intelektual yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat Minangkabau. Ulama pemimpin kaum tua ini lahir dari dari pasangan Angku Mudo Muhammad Rasul dan Siti Buli’ah pada tanggal 10 Desember 1871 M (1297 H) di desa Surungan Pakan Kamih Candung Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam, yaitu daerah yang terletak sekitar 10 km sebelah Timur Kota Bukittinggi. Yulizal Yunus, dkk, Beberapa Ulama di Sumatera Barat (Padang: UPTD Museum Adityawarman Sumatera Barat, 2008), hal. 142 3 pada tahun 1928 diikuti pula oleh surau-surau yang lain di Minangkabau. Syeikh Sulaiman al-Rasuli mengajak pula para ulama yang sepaham dengan dirinya untuk melakukan perubahan lembaga pendidikan tradisional surau menjadi
Recommended publications
  • Peran Hajjah Rangkayo Rasuna Said Dalam Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan Indonesia (1926-1965)
    PERAN HAJJAH RANGKAYO RASUNA SAID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK-HAK PEREMPUAN INDONESIA (1926-1965) E-JURNAL Oleh: Esti Nurjanah 13406241069 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017 PERAN HAJJAH RANGKAYO RASUNA SAID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK-HAK PEREMPUAN INDONESIA (1926-1965) Oleh: Penulis 1 : Esti Nurjanah Penulis 2 : Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd. ABSTRAK Hajjah Rangkayo Rasuna Said merupakan tokoh Sumatera Barat sekaligus pahlawan nasional Indonesia yang berperan memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia tahun 1926-1965. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui: (1) latar belakang kehidupan Hajjah Rangkayo Rasuna Said, (2) perjuangan Hajjah Rangkayo Rasuna Said pada masa kolonial tahun 1926-1945, (3) perjuangan Hajjah Rangkayo Rasuna Said pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1946-1965. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah Kuntowijoyo yang terdiri dari lima tahap. Pertama pemilihan topik. Kedua pengumpulan data (heuristik) yang terdiri dari sumber primer dan sekunder. Ketiga kritik sumber (verifikasi). Keempat penafsiran (interpretasi). Kelima penulisan sejarah (historiografi). Hasil penelitian ini adalah: (1) Hajjah Rangkayo Rasuna Said memiliki latar belakang keluarga yang berasal dari kalangan ulama dan pengusaha terpandang. Faktor lingkungan yang syarat dengan adat Minang dan agama Islam, mempengaruhi kepribadiannya sehingga tumbuh menjadi perempuan berkemauan keras, tegas, dan taat pada syariat Islam, (2) perjuangan Hajjah Rangkayo Rasuna Said dimulai dengan bergabung dalam Sarekat Rakyat tahun 1926. Pada masa pendudukan Belanda hingga Jepang, dirinya aktif mengikuti berbagai organisasi. Beliau dikenal sebagai orator ulung, pendidik yang tegas serta penulis majalah, (3) perjuangan Hajjah Rangkayo Rasuna Said pasca kemerdekaan Indonesia lebih banyak di bidang politik. Beliau terus mengembangkan karirnya dalam Parlemen mulai tingkat lokal hingga nasional di Jakarta.
    [Show full text]
  • Bab Ii Profil Buya Hamka
    17 BAB II PROFIL BUYA HAMKA A. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Buya Hamka Haji Abdul Malik Karim Amrullah merupakan nama asli dari Buya Hamka yang biasa kita kenal, beliau lahir di desa Tanah Sirih kenagarian Sungai Batang ditepi Danau maninjau, pada tanggal 14 Muharam 1326 Hijriah bertepatan pada tanggal 17 februari 19081. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang alim dan taat menjunjung tinggi agama.Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim Amrullah. Beliau mengawali pendidikannya dengan membaca Al-Qur’an bertempat dirumahnya sendiri ketika beliau pindah dari maninjau ke Padang Panjang pada tahun 19142.Dan setahun kemudian ketika umur 7 tahun beliau dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah desa. Pada tahun 1916 beliau menimba ilmu di sekolah Pasar Usang Padang Panjang. Pagi hari beliau pergi ke sekolah dan sore harinya ia berada di surau bersama teman sebayanya. Inilah kebiasaan beliau sehari-hari pada masa kecilnya. Dua tahun kemudian ketika beliau berusia 10 tahun ayahnya mendirikan sebuah pesantren di Padang Panjang dengan nama Sumatera Thawalib. Dengan harapan kelak Hamka menjadi Ulama seperti dirinya, kemudian Hamka kembali menimba ilmu dipesatren ini. Kehausan Hamka dalam menunutut ilmu memang terlihat sangat besar sekali. Ketidak puasannya dengan metode yang ia dapat dari ayahnya menyebabkan 1Hamka (Haji Abdul Karim Amrullah), Kenang-kenangan Hidup, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, h 9.s 2Hamka, ibid, h 28 18 beliau berusaha meninggalkan tanah sumatera menuju tanah jawa, beliau mengawali pengembaraannya dari kota Yogyakarta. Dari sinilah kelihatan bahwa kota ini mempunyai makna yang berarti dalam pertumbuhan sebagai pejuang dan pemikir dikemudian hari. Beliau sendiri mengakui bahwa kota inilah ia menemukan islam sebagai sesuatu yang hidup dan menmberikan sebuah pendirian dan perjuangan yang dinamis.3 B.
    [Show full text]
  • Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969)
    Nafilah Abdullah RAHMAH EL YUNUSIYYAH KARTINI PADANG PANJANG (1900-1969) Nafilah Abdullah Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] ABSTRAK Rahmah El- Yunusiyyah adalah Kartini Padang Panjang, seorang Pahlawan tanpa tanda jasa. Tokoh Rahmah El- Yunusiyyah adalah seorang wanita tokoh pembaharuan dari Padang Panjang yang sempat hidup pada tiga zaman yaitu zaman penjajahan kolonial Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman Kemerdekaan, namun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memberikan penghargaan sebagai pahlawan Nasional. Mengapa penelitian ini dilakukan? Secara historis, Tokoh Rahmah El-Yunusiyyah pada zaman Belanda telah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang (1923). Memberikan dukungan pada Kongres Sumpah Pemuda (1928). Memimpin gerakan menentang dua buah peraturan Belanda, yaitu Ordonantie Kawin Bercatat dan Ordonantie Sekolah Liar pada tahun 1932. Pada pendudukan Jepang, mempersiapkan murid- murid Diniyah Puteri mengikuti pelatihan P3K dan Palang Merah sebagai ganti tenaga sukarela dalam pertempuran (1943). Memberikan dukungan penuh dalam pembentukan pasukan Gyugun, yang menurutnya sangat strategis sebagai alat mencapai kemerdekaan Indonesia (1944). Menjadi pengurus ADI (Anggota Daerah Ibu) tingkat Sumatera Tengah yang bertujuan menentang pemerintahan Jepang yang menggunakan gadis remaja untuk dijadikan wanita penghibur, dan menuntut ditutupnya rumah bordil. Menjadi ketua Ha Ha No Kai dari Gyugun Ko En Kai. menjadi anggota Ha Ha No Kai, anggota Peninjau Sumatera Cuo Sang In. Anggota Mahkamah Islam Tinggi Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2016/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 51 Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969) (MIT)Bukit Tinggi. Masa Kemerdekaan bersama beberapa Perwira Gyugun dan Tokoh masyarakat Padang Panjang membentuk tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menjadikan Diniyyah Puteri sebagai dapur umum bagi para pejuang seperti Laskar Sabilillah, Sabil Muslimat, dan Hizbullah.
    [Show full text]
  • Quran Manuscript from Kerinci
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 137 International Conference on Qur'an and Hadith Studies (ICQHS 2017) QURAN MANUSCRIPT FROM KERINCI: THE PROOF THAT THERE IS A CONNECTION BETWEEN HARAMAIN (MEKKAH AND MADINAH AT THAT TIME) AND KERINCI BACK IN THE EIGHTEENTH TO NINETEENTH CENTURY Zarfina Yenti Sulthan Thaha Saifuddin State Islamic Univercity Jambi [email protected] Abstract Qur'an manuscript dated back in 18 to 19th century often written and copied by hand and part of an important cultural heritage in Indonesia and often found in various cities in Indonesia, including Kerinci. There had been lots of attention lately on the old Qur'an manuscript from Indonesia, but most of them are concentrated in big cities in Indonesia, not Kerinci. This old manuscript found in Kerinci belong to Syekh Ahmad Khatib, a very well-known Islamic scholar, who was educated in Makkah and Madinah in the late 19th to early 20th century. According to the watermark found in the paper used in this old manuscript, the manuscript was dated back in the 18th century and written on an old Europen paper. It finds that this old Quran manuscript is written beautifully using nasakh calligraphy that was often used at that time but with no illuminations. Even without illumination, this Qur'an manuscript is written beautifully and was written differently then other Quran manuscript found in the archipelago, making it a very rare finding among other manuscript found in Jambi. It was brought back by Syekh Muhammad Khatib from Mekkah after he had finished his study back in the early 20th century.
    [Show full text]
  • Perjuangan M Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Dalam Mengembangkan Perti Di Minangkabau Tahun 1930-1970
    PERJUANGAN M SYEKH SULAIMAN AR-RASULI DALAM MENGEMBANGKAN PERTI DI MINANGKABAU TAHUN 1930-1970 SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) Pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Ushuludin Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten Oleh : INDAH RUMAEZA NIM : 112400282 FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH DAN ADAB INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI “ SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN 2016 M/ 1437 H BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam merupakan sebagian Agama yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan Organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Dari aspek kesejarahan, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi Islam baik itu yang bergerak dalam bidang politik maupun organisasi sosial membawa sebuah pembaruan bagi bangsa, seperti kelahiran Serikat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi politik, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Serikat Dagang, dan lain-lainnya pada masa prakemerdekaan membangkitkan sebuah semangat pembaruan yang begitu mendasar di tengah masyarakat.1 Organisasi keagamaan Islam merupakan kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional maupun yang bersifat lokal saja. Tidak kurang dari 40 buah organisasi keagamaan Islam yang berskala nasional memiliki cabang-cabang organisasinya di ibukota propinsi maupun ibukota kabupaten /kotamadya, seperti : Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarikat Islam (SI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Majelis Da’wah Islamiyah (MDI), Dewan Mesjid Indonesia (DMI), Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aisyiah, Muslimat NU, dan sebagainya.
    [Show full text]
  • FENOMENA PERGESERAN KONFLIK PEMIKIRAN ISLAM DARI TRADISIONALIS Vs MODERNIS KE FUNDAMENTALIS Vs LIBERALIS
    20 FENOMENA PERGESERAN KONFLIK PEMIKIRAN ISLAM DARI TRADISIONALIS vs MODERNIS KE FUNDAMENTALIS vs LIBERALIS Khoirul Huda* Abstract: A new mode of religious conflict has emerged in Indonesia following the fall of the old regime in the country. The conflict in point is that between the fundamentalists and the liberals, one that means that the nuance of the conflict is no longer organizational any more than it is ideological. We now rarely hear about the conflicts between the traditionalists and the modernists, just as we now rarely are capable of differentiating their basic tenets. The difference between the two has now become to a large extent vague. In the meantime, conflicts are now taking place between the fundamentalists and the liberals on almost regular basis. Hence, we hear the conflict for example between the FUUI and Ulil Abshar Abdalla who received death threat from the afro-mentioned organization. And also the so-called Monas Tragedy, which for some reflects the real tension between the two currents of thought. This paper is designed to analyze this conflictual phenomenon and the implication that may emerge thereof by using the Post- structural theory, which is the continuation of the structuralist theory of Levi-Strauss. What we mean by the Post-structural theory is that which is developed by Michel Foucault (d. 1984) where he speaks of the archeology of knowledge and the genealogy of power. In Foucault’s theory, the former is to do with the organization of documents, their classification, their distribution and management in an orderly manner so as to enable us to differentiate between which are relevant and which are not.
    [Show full text]
  • Oleh: MOH. AHSIN NIM: 21160435100021
    STUDI PEMIKIRAN SYEKH AHMAD KHATȊB AL-MINANGKABAWI TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI MINANGKABAU DALAM KITAB AL- DÂ`Ȋ AL-MASMȖ` TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.) Oleh: MOH. AHSIN NIM: 21160435100021 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H ABSTRAK Moh. Ahsin, NIM. 21160435100021, STUDI PEMIKIRAN SYEKH AHMAD KHATÎB AL-MINANGKABAWI TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI MINANGKABAU DALAM KITAB AL-DÂ`Î AL-MASMȖ`. Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H / 2020 M. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang pemikiran Syekh Ahmad Khatib tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitabnya al-Dâ`i l-Masmȗ`. Baik itu dari segi fatwa Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang harta kewarisan, fatwa ulama Minangkabau lainnya, faktor yang melatarbelakangi pendapatnya dan metode istinbath yang digunakannya. Secara umum, dalam waris adat di Minangkabau terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama Minangkabau antara yang menentang keras praktek kewarisan tersebut dan yang memperbolehkannya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan menulusuri dan menelaah sumber-sumber data yang berhubungan dengan pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb tentang waris adat, kemudian mendeskripsikan atau memberi gambaran atas objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul dengan melakukan analisis yang kemudian membuat sebuah kesimpulan. Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian kepustakaan (Library Reseach) dengan menganalisa dari beberapa sumber data yang ada. Adapun Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua karya Syekh Ahmad Khatȋb yaitu kitâb al-Dâ`i al-Masmȗ` dan kitâb al-Manhaj al- Masyrȗ`, sedangkan sumber sekunder menggunakan data-data berupa kitab-kitab fikih, usûl fikih, kaidah fiqhiyyah, artikel, jurnal dan buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan ini.
    [Show full text]
  • Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka Shobahussurur Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Email: [email protected]
    Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka Shobahussurur Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Email: [email protected] Abstract Modernization in every aspect of life is definitely needed. Modernization is a process to construct soul to be independent. Modernization from feudalism to democracy. Modernization from the traditional agrarian to advance state and industrialized. Modernization from ignorance to scientific discoveries. Scientific modernization to challenge the advanced countries, and so on. Based on this fact, Hamka has a view that modernization of education is definitely needed. That is because of serious problem in the world of education in Indonesia. Furthermore, the Western education results a sense of antipathy toward Islam and at the same time, Islamic boarding school education mostly against the western world. According to Hamka modernization of education can be actualized through the role of mosque. Mosque has effective educational role and enlightenment, but at some mosques rise educational institutions, for the level of schools as well as university. Keywords: al-madrasah, modernisasi, masjid, halaqah Pendahuluan slam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada peran akal. Penghargaan itu begitu tinggi sehingga seorang tidak dibebani Iuntuk menjalankan ajaran-ajaran agama ketika akal itu rusak, dan tidak lagi berfungsi, gila umpamanya. Sebagaimana seorang mendapatkan dosa yang sangat berat ketika berusaha merusak fungsi akal atau bahkan meniadakannya, seperti bermabuk-mabukan. Islam memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal dengan melalui Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430 80 Shobahussurur berbagai proses belajar mengajar, mendidik dan mencerahkan.1 Dari generasi ke generasi semangat mengembangkan ilmu pengetahuan itu terjadi. Penelitian, eksperimentasi, penemuan, dan metodologi keilmuan terus menerus dilakukan dan diperbarui oleh kaum intelektual muslim.
    [Show full text]
  • Perlawanan Ulama Minangkabau Terhadap Kebijakan Kolonial Di Bidang Pendidikan Awal Abad Xx
    PERLAWANAN ULAMA MINANGKABAU TERHADAP KEBIJAKAN KOLONIAL DI BIDANG PENDIDIKAN AWAL ABAD XX Erman (Dosen Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol. Email: [email protected]) Abstract The resistance of Minangkabau’s scholars against colonial policy of education in the early of 20th century started from a scientific study has revealed that the pre-conditions that led to the birth of the movement is the penetration of the colonial government against the people in this area and plan the implementation of policies in the field of education, namely Ordinance 1928 and teachers’ Ordinance in 1932. This historical experience was seen by scholars Minangkabau might impede the freedom and the rights to broadcast the Islamic religion. Various reactions appeared and Islamic ideology seems to be the main driving to oppose colonial rule related teachers’ ordinancy and illegal schools. The spirit of nationalism that was born at the beginning of the 20th century were also encouraged scholars to take the fight against the colonial policy. In line with this goal, the scholars utilizing the network that has been built on Islamic educational institutions in the past to build a resource (strength) and then to form a committee as institutional resistance. Resistance itself they did in the form of protests by the general meeting of Minangkabau’s scholars and then proceed with the delivery of vote of no confidence to the colonial government. The resistance impacted the emerging alliance of young and old scholars, the birth of a radical political party in Minangkabau and the pressure of the colonial government Key Words: Resistance, Minangkabau’s Ulema, Colonial, Education PENDAHULUAN oleh Audrey Kahin sebagai refleksi munculnya pergerakan nasionalisme dan anti-kolonial Pada permulaan abad ke-20, Minangkabau pertama di Minangkabau.
    [Show full text]
  • SHEIKH DJAMIL DJAHO and SOCIO-RELIGIOUS CRITICISM of MINANGKABAU MUSLIM: a Study on Taz|Kirat Al-Qulu>B Fi> Mu‘A>Mala>T ‘Alla>M Al-Guyu>B
    Analisa Journal of Social ScienceThe Map and ofReligion SMA/SMK Islamic Education Teachers’ Competencies in Central Java Website Journal :Umi http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa Muzayanah, Siti Muawanah, Nur Laili Noviani, Zakiyah, Setyo Boedi Oetomo, Nugroho Eko Atmanto https://doi.org/10.18784/analisa.v3i02.651 SHEIKH DJAMIL DJAHO AND SOCIO-RELIGIOUS CRITICISM OF MINANGKABAU MUSLIM: A Study on Taz|kirat al-Qulu>b Fi> Mu‘a>mala>t ‘Alla>m al-Guyu>b Saeful Bahri Office of Religious Research and ABSTRACT Development Jakarta [email protected] This article discusses the socio-religious critique of Sheikh Djamil Djaho on the religious and socio-society conditions in Minangkabau. Analysis of the content Paper received: 08 August 2018 and approach of social history-intellectuals was used to dissect the contents of the Paper revised: 06 – 16 November 2018 book Taz|kirat al-Qulu>b associated with social-religious context in the policy at the Paper approved: 15 December 2018 beginning of the 20th century. Based on the analysis of texts it is known that Sheikh Djaho expressed his criticism towards several groups. Among the groups are (1) scholars, (2) worshippers, (3) Sufism experts, and (4) experts of the world. According to Sheikh Djaho, the four groups might include gurur (faction), when they use intelligence in their respective fields as masks, not in honesty. This study shows three points. First, the presence of Sheikh Djaho’s criticism departs from the reality of the life of the clergy and layman at that time. Second, the reality of social life keeps a text alive in society.
    [Show full text]
  • 1 Surau Jembatan Besi
    SURAU JEMBATAN BESI: CIKAL BAKAL LAHIRNYA PENDIDIKAN ISLAM MODERN DI PADANGPANJANG Oleh Witrianto1 Pendidikan adalah usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan. Batasan ini berlaku baik untuk pendidikan formal maupun non formal. Kegiatan mendidik atau pendidikan bisa terjadi di tempat-tempat yang memang disediakan untuk itu, seperti sekolah dengan guru sebagai pendidiknya, atau di rumah dengan orangtua yang dengan kata, sikap, dan perilakunya berusaha untuk membentuk sikap, pandangan hidup anak-anaknya. Saudara atau teman dapat juga menjadi pendidik, karena penolakan atau penerimaan mereka terhadap perilaku seseorang menentukan seseorang itu untuk dapat mempertahankan sikap atau mengharuskan mengubah sikap atau perilaku. Dalam masyarakat sederhana, pada awalnya pendidikan dimaksudkan untuk mengajarkan budaya, yaitu mengajar anak untuk mengetahui dan mengamalkan nilai- nilai dan tatacara yang berlaku dalam masyarakat. Proses ini berjalan secara informal, anak belajar melalui pengamatan pada lingkungannya dan orang-orang yang terdekat dengan dia. Sikap yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi tertentu diketahui dalam pengamatan atau pengalaman. Jadi dalam masyarakat sederhana, semua orang yang lebih tua dan berpengalaman adalah pendidik, begitu pula alam sekitarnya. Namun, dalam masyarakat yang lebih kompleks, makin banyak yang harus diketahui anak untuk bisa hidup dalam lingkungan masyarakatnya dengan baik, karena itu anak tidak dapat lagi belajar “dengan sendirinya”. Seseorang memerlukan cara yang lebih efisien untuk dapat menerima transmisi budaya dan pengetahuan yang begitu banyak. Untuk itu diperlukan adanya pendidikan yang formal dengan guru sebagai pendidik dan terbagi dalam berbagai jenjang dan kekhususan. 1 Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, saat ini sedang menempuh pendidikan di Program S-3 Program Studi Pembangunan Pertanian Universitas Andalas Padang.
    [Show full text]
  • Majalah Soearti Sebagai Media Massa Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1937 – 1945)
    ISSN 1411-1764 e-ISSN 2722-3515 Vol. 2 No. 4 Tahun 2020 Majalah Soearti sebagai Media Massa Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1937 – 1945) Mira Liswar1(*), Hendra Naldi2 1,2 Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang *[email protected] Abstract This article is a historical study that discusses Soearti magazine as the Perti mass media. This research is a Press History study with the aim of the research to describe Soearti's journey as Perti's mass media, the background of the emergence of Soearti magazine, and the role of Soearti magazine for Perti. This study uses the historical method which relies on four steps of activities namely heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The conclusion obtained that the Mass Media Modernization Movement is strongly influenced by the differences between the Old and the People who gave birth to Intellectuals in West Sumatra. The presence of criticism from Young Group Clerics was responded with great care by the Old People so that there would be no war like the padri wars that had happened before. In 1935 Perti held a conference which was held in Bukittinggi which gave birth to the Statutes and Bylaws of the Tarbiyah Islamiyah Association. The first Tarbiyah Islayah Association will publish magazines, religious books and general knowledge books. In 1937 Perti as the official media was Soearti Magazine. After becoming the official media of the Tarbiyah Islamiyah Union, Soearti became a response to the differences between the Old and Young. The step taken by the Old Man is essentially an anticipatory step so that the understanding of Sunniyah Shafi'iyah still survive in Minangkabau.
    [Show full text]