BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Salah satu arena (field) pewarisan tradisi di Minangkabau adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang biasa disebut dengan Madrasah Perti. Lembaga pendidikan Islam ini lahir pertama kali pada permulaan abad ke-20 dan memiliki konstribusi besar dalam mentransmisikan pengetahuan agama dan menyiapkan kebutuhan sumber daya manusia (Human Resources) di . Madrasah Perti sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional telah memperoleh legitimasi dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyebut bahwa madrasah dan merupakan salah satu jenis pendidikan keagamaan di Indonesia yang memiliki fungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) didukung pula oleh Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang menjelaskan bahwa madrasah dan pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan (diniyah) atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.2 Madrasah Perti memiliki fungsi yang sama dengan pendidikan keagamaan yang dijelaskan oleh peraturan perundang-undangan dan membangun tradisi keilmuan berdasarkan prinsip Tafaqquh fī al-Dīn yang dalam istilah modern disebut dengan keahlian di bidang keagamaan.3 Prinsip itu secara normatif

1Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 30, Ayat 1-4. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang pada tahun-tahun sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. 2Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1, Ayat 4 3Tafaqquh merupakan istilah bahasa Arab yang berasal dari kata tafaqqaha, yatafaqqahu, tafaqquhan. Penggunaan kata tafaqquh dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 digabungkan dengan istilah fī al-dīn sehingga membentuk konsep tafaqquh fī al-dīn. Dari istilah tafaqquh ini berasal kata fiqh yang berarti pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Karena al-Qur’an menggabungkan istilah fiqh dengan fī al-dīn, kata fiqh mengalami perluasan makna sehingga kosa kata tersebut mengandung arti pengetahuan tentang ilmu agama disebabkan kemuliaan, keagungan dan keutamaan-Nya. Fiqh juga memiliki arti orang-orang yang mengerti dan memahami ajaran agama. Karena itu, konsep tafaqquh fī al-dīn memiliki makna yang lebih luas, yaitu orang-orang mengerti dan memahami secara mendalam ajaran agama Islam. Mereka itu adalah para yang hidup di sepanjang perjalanan sejarah umat Islam. Jamaluddin Ibnu al-Manzhur, Lisān al- ‘Arab, (Beirut: Dār al-Ṣādir, t.t.,), hal. 552

1

dikonstruksi dari nilai-nilai dan semangat ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pentingnya umat Islam untuk mempelajari, memahami dan mendalami ajaran agama. Pada surat al-Taubah/09, ayat 122 disebutkan bahwa tidak sepatutnya semua orang yang beriman pergi ke medan perang. Sebagian mereka hendaklah pergi untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya. Prinsip Tafaqquh fî al-Dîn merupakan pondasi utama pembentukan tradisi keilmuan Islam tradisional di Minangkabau yang berlangsung semenjak permulaan abad ke-20. Pencapaiannya dilakukan dengan pengenalan dan pewarisan kitab-kitab klasik karya ulama Timur Tengah yang biasa disebut dengan kitab kuning di dunia Melayu. Pertumbuhan tradisi ini memiliki relasi dengan realitas sejarah Islamisasi Minangkabau yang semakin menguat pada pertengahan abad ke-17, terutama setelah Syeikh Burhanuddin mendirikan Ulakan di daerah Pariaman. Sebelumnya ia pernah mempelajari agama Islam sekitar 10 tahun kepada Syeikh Abdurrauf Singkili di Aceh.4 Usaha Syeikh Burhanuddin memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial keagamaan di Minangkabau. Surau Ulakan ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang mau mempelajari agama Islam. Murid-murid Syeikh Burhanudddin yang pada masa berikutnya mendirikan surau-surau sebagai pusat pengajaran tradisi kitab kuning dan pengembangan agama Islam di daerah darek, Minangkabau. Pewarisan kitab kuning terus berkesinambungan sampai abad ke-20 yang melahirkan surau-surau baru sebagai lembaga pendidikan Islam. Surau , Surau Koto Gadang, Surau Abdurahman Batu Hampar, Surau Sumanik, Surau Talang, Surau Candung dan Surau Parabek merupakan di antara Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau yang menjadi pusat pengajaran tradisi keilmuan kitab kuning.5 Masing-masing surau di Minangkabau mempunyai distingsi keilmuan yang berbeda-beda sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh guru yang memimpin halaqah.6 Surau Tuanku Nan Tuo Luhak Agam memilih distingsi keilmuan dalam

4Syeikh Abdurrauf Singkili merupakan ulama yang berasal dari daerah Singkel, Aceh, yang memiliki peranan besar dalam proses Islamisasi Nusantara. Ia lahir pada tahun 1024 H/1615 M yang bersamaan dengan terjadi perbedaan paham keagamaan di Aceh antara pendukung paham wujudiyah dan pengikut al-Raniri. Syeikh Abdurrauf Singkili pernah belajar agama di Arab Saudi selama 18 tahun sebelum menjadi mufthi kesultanan Aceh 1071 H/1661 M. , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hal. 189-190. Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid I, hal. 5-6 5Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1988), hal. 146-147 6Halaqah merupakan metode pengajaran yang pernah berkembang dalam tradisi keilmuan Islam. Metode ini berpusat pada seorang yang membacakan kitab dalam waktu tertentu dan murid-murid duduk melingkar untuk mendengarkannya. Aplikasi metode halaqah sama dengan proses belajar mengaji bersama (kolektif). Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:

2

bidang tafsir. Surau Kota Gadang sangat kuat dengan distingsi ilmu mantīq dan mā’ani. Surau Sumanik terkenal dalam bidang tafsir dan faraiḍ. Surau Kamang mengembangkan distingsi ilmu bahasa Arab. Sementara Surau Talang dan Surau Selayo yang keduanya terdapat di daerah Kabupaten Solok sangat populer dengan distingsi ilmu nahwu dan sharaf.7 Surau-surau itu memiliki kedudukan dan peranan penting sebagai pusat pewarisan tradisi kitab kuning dan pengembangan ajaran Islam di Minangkabau hingga permulaan abad ke-20. Lebih kurang selama tiga abad proses pewarisan tradisi kitab kuning di surau-surau Minangkabau sangat tergantung kepada sosok seorang guru yang memiliki otoritas pengetahuan keagamaan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan panggilan buya, tuanku dan syeikh. Panggilan guru itu secara simbolik merepresentasikan bahwa realitas sosial keagamaan yang terbangun di lembaga pendidikan surau merupakan milik laki-laki, baik sebagai murid maupun guru yang memimpin pewarisan tradisi kitab kuning. Sedangkan realitas perempuan belum memperoleh tempat dalam perjalanan panjang kehidupan surau-surau di Minangkabau. Kondisi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh pembentukan surau- surau yang secara kultural adalah pendamping rumah gadang yang disediakan khusus untuk anak laki-laki. Setelah mengalami pengembangan fungsi dengan kedatangan Islam, dominasi laki-laki dalam institusi pendidikan surau masih mengendap dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau.8 Interaksi perempuan dengan pewarisan tradisi kitab kuning mulai tumbuh semenjak permulaan abad ke-20 bersamaan dengan modernisasi surau menjadi madrasah di Minangkabau. Surau pertama yang mengalami modernisasi di kalangan ulama Perti adalah Surau Baru Candung yang dipimpin oleh Syaikh Sulaiman al- Rasuli.9 Perubahan surau itu menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung

Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 26 7Azyumardi Azra, Surau, op. cit., hal. 146-147 8Surau di Minangkabau adalah tempat tinggal laki-laki yang disediakan sebagai pendamping rumah gadang. Anak laki-laki Minangkabau sejak masa baligh harus tidur di surau kaum yang disediakan secara kultural. Anak laki-laki tidak disediakan kamar tidur di rumah gadang sebagaimana hal anak perempuan. Itulah sebabnya ketika Islam mempengaruhi kehidupan surau, anak laki-laki yang terlebih dahulu mendapat manfaatnya. Amir, M.S, Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1999), hal. 22 9Syeikh Sulaiman al-Rasuli merupakan pendiri Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung Kabupaten Agam. Ia adalah sosok ulama intelektual yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat Minangkabau. Ulama pemimpin kaum tua ini lahir dari dari pasangan Angku Mudo Muhammad Rasul dan Siti Buli’ah pada tanggal 10 Desember 1871 M (1297 H) di desa Surungan Pakan Kamih Candung Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam, yaitu daerah yang terletak sekitar 10 km sebelah Timur Kota . Yulizal Yunus, dkk, Beberapa Ulama di Sumatera Barat (: UPTD Museum Adityawarman Sumatera Barat, 2008), hal. 142

3

pada tahun 1928 diikuti pula oleh surau-surau yang lain di Minangkabau. Syeikh Sulaiman al-Rasuli mengajak pula para ulama yang sepaham dengan dirinya untuk melakukan perubahan lembaga pendidikan tradisional surau menjadi madrasah.10 Majalah Madrasah Rakyat menyebutkan bahwa selama tahun 1928-1936 sudah berdiri sebanyak 35 Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di daerah Minangkabau.11 Modernisasi surau diikuti pula oleh sikap toleran dan terbuka untuk menerima murid-murid perempuan sebagaimana yang disebutkan dalam tujuan pendidikan dan pengajaran Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), yaitu mendidik putra dan putri kepada agama Islam.12 MTI Candung sebagai Madrasah Perti pertama mulai menerima dua orang perempuan dari 249 orang murid yang mendaftarkan diri pada tahun 1929. Jumlah mereka terus bertambah tahun demi tahun sejalan dengan perkembangan MTI Candung itu sendiri. Selama tahun 1929-1945, jumlah perempuan yang pernah belajar di MTI Candung adalah sebanyak 290 orang yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau.13 MTI Pasir yang didirikan oleh H. Muhammad Amin pada tahun 1937 menerima pula murid-murid perempuan. Meskipun belum semaju MTI Candung, tetapi murid-murid perempuan sudah ditemukan di madrasah itu sebelum masa kemerdekaan. Pada tahun 1940 ditemukan empat orang murid perempuan dari delapan orang yang mendaftar di MTI Pasir, yaitu Rosni, Adillah, Aisyah dan Hasanah yang menamatkan pendidikan pada tahun 1947.14 Penerimaan murid-murid perempuan di MTI Candung dan MTI Pasir merupakan fenomena baru yang membuka ruang adaptasi, sosialisasi dan internalisasi perempuan dengan kultur madrasah tradisional dan pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Dengan menggunakan teori reproduksi sosial Pierre Felix Bourdieu15 dapat dijelaskan bahwa interaksi perempuan dengan Madrasah Perti

10Sanusi Latief “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, Disertasi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1988), hal. 251 11Madrasah Rakyat, No. 2 Tahun 1957, hal. 10 12Majalah Soearti, No. 6 Tahun I, 1937 M/1356 H, hal. 6 13Informasi ini diolah dari Stambuk Penerimaan Murid Baru di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung tahun 1929-1945 14Buya H. Husin Amin merupakan murid pertama Syeikh Sulaiman al-Rasuli yang belajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung. Setelah satu tahun menamatkan studinya, Buya Haji Husin Amin bersama ayahnya, H. Muhammad Amin mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasir, Luhak Agam. Buya H. Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 21 April 2018. Buya H. Ahmad Nurdin (Pensiunan Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 18 Agustus 2018 15Pierre Bourdieu memegang kedudukan prestisius dalam bidang sosiologi di College de Farce. Ia lahir di kota kecil selatan Perancis pada tahun 1930. Pada tahun 1956, ia masuk wajib militer dan menghabiskan waktu bersama tentara Perancis selama dua tahun di Aljazair. Setelah wajib militer selesai, ia kembali mengeluti dunia akademik dan meninggal dunia dalam usia 71 tahun (2002). Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terjemahan Triwibowo B.S (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hal. 480-481

4

merupakan proses pembentukan kognisi (habitus) melalui dialektika antara struktur keilmuan kitab kuning dengan struktur mental perempuan yang berlangsung selama tujuh tahun pada saat mereka menjalani pendidikan. Mereka dibekali dengan serangkaian nilai dan skema yang diinternalisasi dalam waktu yang relatif lama sehingga mengendap menjadi kesadaran yang dapat digunakan secara subjektif untuk menilai dan memahami diri sendiri dan dunia sosial di mana mereka menjalani proses pendidikan.16 Skema yang membatin dalam kognisi perempuan terkonstruksi dalam proses sejarah yang panjang sehingga menciptakan modal intelektual bagi mereka untuk membangun tatanan kehidupan sosial dan arena kompetisi pengajaran kitab kuning di Minangkabau. Itulah sebabnya kenapa setelah masa kemerdekaan, MTI Candung dan MTI Pasir mulai memperhitungkan perempuan yang bukan hanya sebagai murid, melainkan juga sebagai guru yang akan melanjutkan tradisi keilmuan kitab kuning. Murid-murid perempuan yang merupakan jebolan terbaik pada masing- masing madrasah dan memiliki modal intelektual yang cukup memadai mulai mendapat perhatian serius pimpinan dan kemudian diberikan kesempatan untuk menduduki posisi sebagai guru kitab kuning. Jumlah mereka senantiasa bertambah dari tahun ke tahun dan membentuk lapisan sosial baru dalam proses pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung memiliki tenaga pengajar perempuan yang hampir sama jumlahnya dengan guru laki-laki. Buya Zul Kifli menyebut bahwa jumlah perempuan sebagai pemelihara kesinambungan tradisi kitab kuning di madrasah yang dipimpinannya itu sangat signifikan. Dari 51 orang guru yang terlibat langsung dalam pengajaran dan pewarisan tradisi kitab kuning, 21 orang di antaran mereka adalah perempuan.17 Kondisi yang sama dialami pula oleh MTI Pasir. Buya H. Awiskarni Husin menjelaskan bahwa jumlah perempuan semakin besar dalam mengajarkan tradisi kitab kuning di madrasah yang dipimpinnya. Pengabaian hak-hak perempuan pada madrasah tradisional memiliki resistensi terhadap proses pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Dewasa ini MTI Pasir hanya mempunyai 12 orang tenaga pengajar laki-laki dari 25 orang jumlah guru yangmengajarkan tradisi keilmuan Islam.18 Peningkatan jumlah perempuan dalam sejarah keilmuan kitab kuning di MTI Candung dan MTI Pasir menunjukkan bahwa konstruksi sosial yang terbentuk semakin toleran, terbuka dan bersimpati untuk membangun kesetaraan antara laki- laki dan perempuan. Perempuan diberi peluang sebagaimana halnya laki-laki, baik sebagai murid maupun sebagai guru. Kesempatan ini dikembangkan oleh perempuan

16Baca konsep habitus dari Pierre Bourdieu dalam Goerge Ritzer, Teori, ibid., hal. 482-483 17Informasi diperoleh dari Ustadz Zul Kifli (Kepala MA-MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 21 April 2018. Daftar Guru Kitab Kuning MTI Candung Tahun 2018/2019. 18Buya H. Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 21 April 2018.

5

untuk memerankan diri yang bukan hanya sebagai guru di madrasah, melainkan juga pemimpin halaqah di rumah masing-masing. Sistem pengajaran yang kedua ini mulai tumbuh sejak masa orde baru dan memiliki daya tarik tersendiri bagi murid- murid sehingga mampu bertahan sampai sekarang di MTI Candung dan MTI Pasir. Guru perempuan yang memimpin halaqah kitab kuning di rumahnya adalah Ustadzah Fakrati, Ramainas (MTI Candung), Zaimar, Syamsiar, Husna, dan Tasliatul Fuad (MTI Pasir). Hampir setiap malam rumah mereka ramai didatangi oleh murid- murid madrasah yang ingin mempelajari kitab kuning, seperti ilmu bahasa (nahwu dan sharaf), tauhid, tasauf dan fiqh. Mereka yang ikut halaqah terdiri dari murid laki-laki dan perempuan.19 Realitas perempuan dalam sejarah pewarisan tradisi kitab kuning merupakan fenomena unik yang dijumpai pada MTI Candung dan MTI Pasir di tengah lahirnya berbagai kegelisahan dan perjuangan berbagai pihak dalam menentang subordinasi kaum perempuan. Kedua madrasah ternyata jauh lebih maju, toleran dan terbuka mengkonstruksi realitas perempuan dan memberikan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun mereka memiliki perbedaan secara fitrah biologis, namun laki-laki dan perempuan tidak merasakan munculnya gejala marjinalisasi dalam menjaga kesinambungan tradisi keilmuan Islam tradisional di Minangkabau. Jumlah pengajar perempuan pasca kemerdekaan hingga sekarang selalu mengalami perkembangan dan kemajuan, sehingga realitas mereka menjadi signifikan, terutama dalam menentukan kesinambungan sejarah pewarisan tradisi keilmuan kitab kuning di Minangkabau. Realitas perempuan dalam menjaga tradisi kitab kuning adalah fenomena sosio-historis yang seringkali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan karena kitab- kitab tersebut, baik dari aspek bahasa dan ajaran yang dikandungnya belum memihak kepada hak-hak mereka. Kitab kuning adalah kitabnya kaum lelaki dan harga perempuan dalam diskursus yang dimajukannya setengah dari nilai laki-laki. Martin Van Bruinessen menjelaskan bahwa kitab kuning dalam aspek bahasa dan pilihan kehidupan perempuan yang menjadi pokok bahasannya mempunyai bias gender yang begitu dalam dan transparan. Tolak ukur segala sesuatu merupakan kaum lelaki sehingga pemaknaan realitas perempuan dalam sejarah tidak mungkin bisa mencapai martabat laki-laki. Keberadaan perempuan dalam kitab-kitab fiqh seolah-olah hanya untuk mengabdi dan memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. Status laki-laki baik di dunia dan di akhirat nanti jauh berada di atas martabat perempuan. Martabat, nilai dan bobot seorang laki-laki dalam kitab-kitab kuning yang diwariskan di dunia pesantren dan madrasah tradisional sepadan dengan dua orang perempuan.20

19Buya H. Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 21 April 2018. 20Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), hal. 205-206 dan Lies M. Marcoes Natsir dan Johan Meuleman, Wanita Islam Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993), hal. 165-166

6

Peningkatan jumlah perempuan dalam sejarah keilmuan Islam tradisional di Madrasah-Madrasah Perti merefleksikan tumbuhnya lapisan sosial baru terhadap pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabu. Kondisi ini secara akademis merupakan pertimbangan penting yang mendorong dilakukannya penelitian ini. Begitu pula pertentangan realitas perempuan dalam konstruksi sejarah keilmuan Islam tradisional dan tradisi kitab kuning semakin memberikan dorongan yang kuat dan keyakinan untuk melakukan penelitian tentang “Peran Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan”.

B. Indentifikasi Masalah Penjelasan-penjelasan dalam latar belakang masalah memiliki beberapa informasi penting yang dapat distrukturasi menjadi identifikasi masalah penelitian yang meliputi: 1. Tradisi kitab kuning mulai berlangsung di Minangkabau sejak pertengahan abad ke-17 setelah Syeikh Burhanuddin mendirikan Surau Ulakan, Pariaman. Murid- murid Syeikh Burhanuddin yang mengembangkan tradisi kitab kuning sampai permulaan abad ke-20. 2. Modernisasi Islam pada awal abad ke-20 mendorong perubahan surau-surau menjadi madrasah. Surau-surau yang didirikan oleh ulama kaum muda (modernis) berubah menjadi Perguruan (Madrasah Thawalib). Sedangkan surau yang dipelopori oleh ulama kaum tua (tradisional) berubah menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang dipopuler dengan nama Madrasah Perti. 3. Madrasah Perti masih mempertahankan pewarisan tradisi kitab kuning sebagai karakter dan identitas pendidikan. 4. Madrasah Perti yang bercorak tradisional sudah mengakomodasi peranan perempuan dalam proses pewarisan tradisi kitab kuning semenjak awal abad ke- 20 hingga masa sekarang. 5. Peran perempuan baik sebagai murid maupun guru kitab kuning mengalami peningkatan dan kemajuan semenjak masa kemerdekaan, meskipun kitab-kitab yang mereka pelajari dan ajarkan itu belum mengakomodasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 6. Sebagian perempuan bukan hanya berperan sebagai guru kitab kuning, melainkan juga pembimbing halaqah di rumah mereka masing-masing. Kondisi ini jauh berbeda dengan tradisi halaqah kitab kuning di surau-surau yang lebih didominasi oleh guru dan murid laki-laki. 7. Perempuan dalam tradisi keilmuan Islam tradisional bukan hanya sebatas lapisan dan penopang struktur pendidikan, melainkan penentu proses kesinambungan tradisi kitab kuning.

7

C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Batasan permasalahan penelitian ini diklasifikasikan kepada tiga bagian yang terdiri dari batasan tematis, spasial dan temporal. Batasan tematis adalah Peran Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau. Proses sosio-historis ini berlangsung sejak permulaan abad ke-20 dan terus mengalami perkembangan hingga masa sekarang. Batasan spasial penelitian ini adalah MTI Candung dan MTI Pasir yang keduanya mulai berdiri sejak permulaan abad ke-20 di Minangkabau. MTI Candung adalah Institusi Pendidikan Islam Tradisional tertua di Minangkabau yang dipelopori oleh Syeikh Sulaiman al-Rasuli pada tahun 1928.MTI Pasir didirikan pada tahun 1937 oleh H. Muhammad Amin, yaitu ayah dari Buya Haji Husen Amin, murid angkatan pertama Syeikh Sulaiman al- Rasuli yang belajar di MTI Candung. Batasan temporal penelitian adalah masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia dengan pertimbangan bahwa masa itu merupakan momentum kehadiran perempuan, baik sebagai murid maupun sebagai guru kitab kuning semakin meningkat di Minangkabau. Mereka telah memberikan warna baru yang jauh berbeda dari masa sebelumnya sehingga tidak bisa dianggap sebagai lapisan penopang struktur yang ada, melainkan ikut mempengaruhi skema dan pola pewarisan tradisi kitab kuning sebagai sumber pengetahuan keagamaan dalam paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah di Minangkabau. 2. Rumusan Masalah Permasalahan utama penelitian ini dirumuskan dalam suatu pertanyaan yang mengarah kepada latar belakang dan batasan masalah yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu “Mengapa Perempuan Berperan Untuk Memelihara Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Dalam Sejarah Keilmuan Madrasah Perti, Padahal Kitab-Kitab Tersebut Kurang Ramah Terhadap Hak-Hak Mereka?”.Pertanyaan ini lebih jauh diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian yang meliputi: a. Bagaimana struktur dan pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau?; b. Bagaimana pertumbuhan peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau?; c. Bagaimana reproduksi peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau?.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di

8

Minangkabau pasca kemerdekaan. Adapun secara khusus adalah usaha menjawab beberapa pertanyaan penelitian yang meliputi: a. Menjelaskan struktur dan pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau; b. Menjelaskan proses pertumbuhan peranan perempuan pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau; c. Menguraikan reproduksi peranan perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang terdiri dari tiga hal, yaitu: a. Pengadaan informasi yang terkait dengan peranan perempuan yang semakin signifikan dan mengalami kemajuan dalam memelihara kesinambungan tradisi keilmuan Islam pada Madrasah Perti di Minangkabau. b. Pangadaan sumber-sumber pengkajian sejarah dan peradaban Islam di kawasan Minangkabau yang merupakan bagian dari wilayah persebaran peradaban Islam Melayu Nusantara. d. Memberikan sumbangan ide dan gagasan bagi kalangan akademisi dan peneliti berikutnya untuk mengkaji sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan peradaban Islam Melayu Nusantara, terutama peranan perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau.

E. Kajian Kepustakaan Penelitian yang mengkaji tentang tradisi keilmuan Islam, baik di pesantren maupun di madrasah tradisional sudah relatif banyak dilakukan oleh para peneliti yang membuat persinggungan tematis di sana-sini dengan lingkup pembahasan penelitian ini. Ada beberapa kecendrungan tematis dan teoritis kajian sebelumnya yang membahas tentang tradisi keilmuan Islam di pesantren dan madrasah tradisional. Muhammad Kosim (2016) mengkaji ketokohan dan pemikiran Syeikh Sulaiman al-Rasuli tentang pendidikan dan penerapannya pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Sumatera Barat. Tokoh yang diangkat adalah seorang ulama tradisional yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan organisasi sosial keagamaan dan madrasah di Minangkabau. Ia memiliki pemikiran dan gagasan tentang hakikat manusia, tujuan pendidikan, kurikulum, metode, kode etik pendidik dan peserta didik. Melalui analisa ilmu pendidikan, keenam komponen pendidikan Islam yang menjadi gagasan dan pemikiran Syeikh Sulaiman al-Rasuli dijadikan fondasi oleh peneliti untuk merumuskan beberapa kesimpulan. Pertama, Syeikh Sulaiman al-Rasuli memahami manusia sebagai makhluk jasmani dan ruhani. Kedua, pendidikan Islam memiliki orientasi ukhrawi untuk mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat. Ketiga, pentingnya ilmu agama yang berhubungan dengan ajaran

9

pokok Islam untuk mencapat tujuan pendidikan. Keempat, guru berperan sebagai ulama dan murid memiliki akhlak yang mulia. Kelima, gagasan Syeikh Sulaiman al- Rasuli tentang pendidikan Islam masih diterapkan pada beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di seluruh Sumatera Barat. Penerapannya dilakukan secara beragam sesuai dengan kondisi masing-masing madrasah.21 Penelitian pesantren dalam perspektif feminisme (gender) dilakukan oleh Khaerul Umam Noer (2009)22 dalam melihat pandangan laki-laki dan perempuan mengenai hak dan kewajiban suami-istri dalam kitab kuning. Temuan penelitian yang dikemukakan oleh Khaerul Umum Noer dalam pembahasannya meliputi; 1) terdapat perbedaan pandangan antara santri laki-laki dan perempuan tentang hak dan kewajiban suami-istri; 2) santri laki-laki lebih skriptualistik dalam memandang hak dan kewajiban suami-istri sehingga terjadi pembakuan pemahaman yang bias gender menurut ajaran kitab kuning. Mereka mementingkan istri dalam posisinya sebagai pelaksana kewajiban dan bukan pihak yang dapat menuntut hak; dan 3) santri perempuan memiliki pandangan yang lebih rasional dan berusaha mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan perempuan dalam pandangan mereka tanpa merusak tatanan awal yang telah muncul dalam kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren. Penelitian berikutnya merupakan disertasi pada College of Arts Victoria University yang ditulis oleh Siti Kholifah (2014).23 Disertasi yang memiliki fokus tentang peran feminisme muslim di pesantren dalam mempromosikan kesetaraan gender dilakukan pada Pondok Pesantren Mu'allimin dan Mu'allimat di Yogyakarta, al-Sa'idiyyah di Jombang dan Nurul Huda di Malang. Pendekatan yang Siti Kholifah juga sama dengan para peneliti sebelumnya, yaitu pendekatan penelitian kualitatif dan analisa feminisme. Studi ini mengungkap bahwa para aktivis berusaha mengembangkan kesadaran gender yang lebih besar di dalam pesantren. Mereka menggunakan strategi lunak untuk mengubah nilai-nilai gender, sehingga menghindari konfrontasi langsung dengan tradisi pesantren. Para aktivis juga mempromosikan kontekstualisasi dan reinterpretasi ajaran Islam dan berusaha untuk menyuntikkan virus jender di kalangan santri. Temuan lain yang dikemukakan dalam disertasi itu adalah; 1) feminis muslim belum berhasil menggantikan status quo patriarki dan harus bersaing dengan pengaruh eksternal lainnya, yaitu Partai Keadilan Sejahtera yang telah berusaha memberi patriarki yang mapan sebagai satu dimensi puritan yang lebih kuat; 2)

21Muhammad Kosim “Gagasan Syeikh Sulaiman Al-Rasuli tentang Pendidikan Islam dan Penerapannya Madrasah Tarbiyah Islamiyah Di Sumatera Barat”, Disertasi (Padang: IAIN IB, 2016) 22Khaerul Umum Noer “Diskursus Gender di Pondok Pesantren: Pandangan Santri Laki-Laki dan Perempuan Mengenai Hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Kitab Kuning”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XXII. No. 1, Januari–Maret 2009, hal. 86–94 23Siti Kholifah “Gendered Continuity and Change in Javanese Pesantren”, Disertasi pada College of Arts Victoria University, 2014

10

feminis muslim cenderung diidentifikasikan dengan pengaruh Barat dalam wacana pesantren, namun mereka telah mempromosikan perdebatan interpretasi ajaran Islam, seperti halnya Islam telah diakomodasi dalam nilai-nilai budaya Jawa; dan 3) dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai aliran santri dan , pesantren telah mengakomodasi nilai-nilai Islam dan budaya Jawa. Pesantren juga berusaha untuk mengidentifikasi kedua aliran tersebut dan berusaha memperkuat legitimasi mereka melalui penelusuran garis keturunan aristokrat dan agama para kiyai mereka. Evi Muafiah (2013)24 membahas masalah pendidikan perempuan di pesantren dengan spasial penelitian pada beberapa pesantren di Pulau Jawa. Penelitian ini mengangkat masalah utama tentang pemisahan laki-laki dan perempuan dalam proses pembelajaran pada Pondok Pesantren Abu Huroiroh Jombang, Mataliul Anwar Lamongan, Nurul Hidayah Garut, Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, al-Munawwir dan Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, serta Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Tonatan Ponorogo. Lewat pendekatan kualitatif dan analisis feminisme Evi Muafiah berhasil untuk mengemukakan beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan kesetaraan gender. Pondok Pesantren Abu Huroiroh Jombang, Mataliul Anwar Lamongan, Nurul Hidayah Garut merupakan model pesantren yang sudah memberikan perlakuan yang sama kepada santri laki-laki dan perempuan. Sementara Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, al-Munawwir dan Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, serta Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Tonatan Ponorogo masih ditemukan perilaku yang bias gender dalam pemberian kesempatan kepada santri laki-laki dan perempuan. Sebagian besar pesantren di Pulau Jawa, begitu Evi Maufiah menyimpulkan, masih menerapkan pendidikan dengan sistem pemisahan antara santri laki-laki dan perempuan (single sex education). Pemisahan itu dilakukan oleh pimpinan pesantren bukan hanya untuk mengatasi permasalahan sesaat, namun memiliki tujuan ideal untuk mengindari terjadinya hal-hal yang melanggar norma dan aturan agama. Kajian yang hampir sama dilakukan pula oleh ilmuan dengan nama Dwi Ratna Sari (2016)25 dalam melihat masalah pemberdayaan perempuan di berbagai pesantren tradisional dan modern di Pulau Jawa. Dengan menggunakan pendekatan analisis feminisme, temuan yang berhasil diungkapkan oleh Dwi Ratna Sari adalah bahwa pendidikan pesantren telah mendorong perempuan untuk berperan aktif dalam berbagai bidang kehidupan tanpa meninggalkan nilai-nilai spiritualitas keagamaan. Pendidikan pesantren tidak hanya berjalan dengan mengandalkan nilai-nilai yang ada tanpa melihat konsiderasi dengan perkembangan masyarakat dan sebaliknya.

24Evi Muafiah “Pendidikan Perempuan di Pesantren”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1, April 2013, hal. 89-110 25Dwi Ratna Sari “Pemberdayaan Perempuan Dalam Pendidikan Pesantren”, Jurnal ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016, hal. 123-147

11

Pesantren pada dasar telah melakukan pemberdayaan perempuan, meskipun perlu penyempurnaan sehingga proses pendidikan memperoleh hasil yang lebih baik. Kajian lain dilakukan oleh Sumadi (2017)26 yang menjelaskan masalah gender dalam humor pesantren. Sumadi menyebut bahwa penelitian yang dilakukannya menggunakan pendekatan dan analisis feminisme dalam melihat humor-humor pada pesantren di daerah Priangan Jawa Barat. Penelitian Sumadi menyimpulkan bahwa tubuh perempuan menjadi pusat puja-puji, episentrum pendefinisian, pemberian identitas dan kontrol yang dilakukan oleh laki-laki dalam humor-humor yang melembagakan sistem patrarki Islam di pesantren. Humor-humor pesantren mengandung nilai dan ideologi berupa stereotip, objektifikasi dan domestifikasi perempuan. Stereotip terhadap perempuan dalam humor di lingkungan pesantren menempatkan tubuh dan sifat-sifat citra negatif perempuan sebagai objek humor. Perempuan beserta tubuh dan sifat-sifatnya menjadi objek tema humor yang dianggap menghibur, lucu, kocak dan biasa. Objektifikasi seksualitas perempuan adalah harta yang paling berharga apabila dihubungkan dengan kejantanan. Dalam humor nasehat pernikahan, misalnya, selalu disebutkan bahwa yang dibutuhkan perempuan itu ATM (Alat Tusuk Manual). Kemudian domestifikasi perempuan terjadi ketika mereka secara normatif dan takdir dikategorikan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Pandangan bahwa perempuan lebih inferior tidak hanya menurut laki-laki, tetapi juga menurut para perempuan, mulai dari masalah inferior secara fisik sampai dengan inferior masalah intelektual. Penelitian-penelitian yang disebutkan sebelumnya sudah sangat beragam dalam melihat dunia pesantren dan madrasah tradisional dengan berbagai pendekatan dan analisis keilmuan. Pembahasan penelitian-penelitian tersebut secara geografis masih mendominasi beberapa pesantren di pulau Jawa. Sumatera yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga memiliki tradisi pendidikan yang mirip pesantren dan dalam banyak hal mempunyai kultur dan tradisi tersendiri yang jauh berbeda dengan tradisi pesantren di pulau Jawa. Karena itu penelitian tentang tradisi pesantren dan madrasah tradisional di pulau Sumatera memiliki posisi penting dalam melengkapi kajian yang telah dilakukan oleh para ilmuan sosial dan sejarawan di Indonesia. Penelitian-penelitian sebelumnya dalam perspektif dunia Melayu Nusantara yang lebih luas masih saja menyisakan banyak rongga kosong sejarah yang perlu mendapat perhatian serius karena penyebaran pesantren dan madrasah tradisional sebagai pusat pengajaran dan pengembangan agama Islam ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian “Peranan Perempuan Dalam PewarisanTradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan” sangat penting dilakukan

26Sumadi “Islam dan Seksualitas: Bias Gender Dalam Homor Pesantren”, Jurnal el-Harakah Vol.19 No.1 Tahun 2017, hal. 21-40

12

untuk mengisi rongga-rongga sejarah yang masih kosong dan melengkapi kajian- kajian sebelumnya. Minangkabau sebagai pilihan tempat penelitian secara kultural berbeda dengan daerah lain dan memiliki keunikan tersendiri yang dapat memperkaya wacana di seputar kajian lembaga pendidikan tradisional di Indonesia. Penelitian ini juga bersifat orisinil karena memiliki objek material dan formal tersendiri yang jauh berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

F. Kerangka Teoritis 1. Penjelasan Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa konsep dasar yang terkait dengan pembahasan dan masing-masingnya akan dijelaskan secara detil dalam uraian berikut ini: a. Peran Perempuan Asal-usul istilah peranan atau peran dalam sejarah diadopsi dari kosa kata yang biasa digunakan dalam dunia teater, yaitu seorang pelaku atau aktor yang diharapkan mampu memerankan perilaku seorang tokoh yang dimainkan dalam sebuah pertunjukan. Posisi aktor dalam sebuah teater dianalogikan hampir sama dengan kedudukan (status) seseorang dalam kehidupan sosial. Perbedaan masing- masingnya hanya dijumpai pada medan yang digunakan dalam memerankan berbagai perilaku.27 Kozier Barbara menjelaskan peran dalam sebuah definisi sederhana, yaitu seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh seorang aktor dan masyarakat sesuai kedudukannya dalam suatu struktur dan sistem sosial. Suatu peran baru memiliki makna apabila berhubungan dengan orang lain dan komunitas sosial tertentu. Karena itu peran adalah salah satu bentuk interaksi sosial yang melibatkan orang lain dan dipengaruhi pula oleh kondisi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Kozier Barbara menambahkan bahwa peran memiliki korelasi dengan kedudukan yang masing-masingnya tidak dapat dipisah-pisah dalam sistem sosial. Seseorang yang dianggap sudah melaksanakan hak dan kewajiban berarti telah melaksanakan suatu peran sesuai dengan kedudukannya dalam sistem (struktur) sosial tertentu.28 Soerjono Soekanto memahami peran sebagai aspek dinamis dari kedudukan yang masing-masingnya ibarat dua matang uang yang tak dapat dipisah-pisahkan karena satu sama lainnya memiliki hubungan yang interdependen. Tak mungkin ada peranan yang dapat dimainkan oleh seseorang tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.29 Sebagai aspek dinamis dari kedudukan, peran sangat menentukan sesuatu yang mesti diperbuat oleh seseorang dan kesempatan-kesempatan yang

27Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hal, 215 28Kozier Barbara, Peran dan Mobilitas Kondisi Masyarakat (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hal. 21 29Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1982), hal. 213

13

diberikan oleh masyarakat kepadanya sehingga ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (dirinya dan orang lain). Karena itu peran menunjukkan kepada fungsi- fungsi, penyesuaian diri (adaptasi) dan proses tumbuhnya berbagai perilaku dalam kehidupan sosial. Soerjono Soekanto menjelaskan pula bahwa peran memiliki hubungan dengan norma-norma (peraturan-peraturan) yang membimbing perilaku seseorang, konsep tentang perilaku apa yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan masyarakat dan perilaku individu yang sangat penting dalam struktur (sistem) sosial masyarakat.30 Peran sebagai aspek dinamis dari kedudukan merupakan bagian dari dinamika sosial yang memberikan penekanan pada fenomena dan realitas sosial yang dapat menyebar ke segala arah dan membayangkan masyarakat (kelompok, organisasi) dalam keadaan berproses (bergerak) terus- menerus. Kedudukan merupakan aspek statis dari peran yang membicarakan aspek struktur masyarakat yang disebut dengan statika sosial. Pendekatan statika sosial memandang masyarakat dalam kondisi yang tidak berubah-berubah dan bersifat organik dan deterministik.31 Karena itu konsep peran yang biasa digunakan dalam kajian ilmu sosial lebih memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan bukan struktur sosial yang sering dibicarakan dalam sosiologi yang memiliki paradigma fakta sosial. Ilmu sejarah pada prinsipnya juga membicara dinamika (perubahan) sosial yang kemudian dieksplanasikan dalam prosesual ruang dan waktu. Perempuan adalah istilah yang berasal dari kata empu yang memiliki pengertian sesuatu yang dihargai oleh manusia. Istilah ini memiliki persamaan dengan kata wanita yang dalam bahasa Sanskerta berarti nafsu sehingga wanita cendrung dipersonafikasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagai objek seksual.32 Perempuan dalam perspektif medis, psikologis dan sosial merujuk kepada dua faktor utama, yaitu fisik dan psikis. Secara fisik dan biologis perempuan dibedakan dengan laki-laki dan diasumsikan memiliki tubuh yang kecil, suara yang halus, perkembangan lebih cepat dan kekuatan yang lebih lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki.Perempuan secara psikis memiliki sikap pembawaan yang lembut, kalem dan suka menangis sekiranya menghadapi persoalan berat dan rumit. Perbedaan fisiologis ini kemudian dikonstruksi pula dalam sistem budaya, sosial, ekonomi dan pendidikan.33 Gabungan kosa kata peran dan perempuan membentuk kata majemuk peran perempuan yang memiliki pengertian seperangkat prilaku yang dimainkan oleh perempuan sesuai dengan yang diharapkan oleh perempuan itu

30Ibid., 31Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hal. 8-9 32Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004), hal. 19-20 33Kartono Kartini, Hylene Mental (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 94

14

sendiri dan Madrasah Perti. Seperangkat prilaku itu adalah bersifat dinamis sejalan dengan posisi dan peran yang diperoleh oleh perempuan dalam realitas sejarah dan pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti. b. Tradisi Kitab Kuning Tradisi secara etimologi berasal dari kosa kata bahasa Yunani, traditium, yang berarti segala sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu kepada masa sekarang. Bahasa Indonesia memberikan arti tradisi dengan segala sesuatu berupa adat-istiadat, kebiasaan dan ajaran yang proses pelestariannya dilakukan melalui pewarisan yang turun-temurun dari nenek moyang.34 Tradisi di samping memiliki makna yang sama dengan adat dan kebiasaan juga merupakan sistem nilai dan norma dari berbagai aspek kehidupan. Substansi tradisi terletak pada adat dan sistem nilai yang dikonstruksi pada masa yang lalu dan mampu bertahan hingga masa sekarang. Proses pelestarian tradisi dilakukan melalui proses pewarisan secara turun-temurun. Karena itu tradisi merupakan sesuatu yang bersifat diakronik dan pemahamannya perlu mengikuti prosesual ruang dan waktu. Observasi saja belum cukup untuk mengerti suatu tradisi dan perlu diiringi oleh sikap empati sehingga mampu mempretensi masa depan sebagai konstribusi masa lalu dalam memahami masyarakat (verstehen).35 Tradisi secara terminologi dikemukakan oleh para ahli dalam redaksional yang beragam.C. A. Van Puersen mendefinisikan tradisi dengan warisan berupa nilai adat-istiadat dan kaidah-kaidah.36 Definisi yang hampir sama dikemukakan pula oleh Piotr Szompka yang menyebut tradisi dengan keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu dan bertahan hingga masa sekarang. Tradisi juga berarti segala sesuatu yang diwariskan dari sisa-sisa masa lalu dan kemampuannya untuk bertahan hidup dalam ruang dan waktu tertentu adalah sebuah kesinambungan kebudayaan.37 Hubungan masa lalu dan masa kini dalam pandangan Piort Szompka mesti dipahami dalam kerangka pemikiran yang lebih dekat yang proses

34Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoven, 1999), Jilid. I, hal. 21 35Verstehen merupakan istilah bahasa bahasa Jerman yang berarti “pemahaman”, yaitu sebuah pendekatan untuk memahami makna yang mendasari peristiwa dan fenomena sosial, budaya dan historis.George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Rajawali Press.2001), hal. 125 dan I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2003), hal. 79 36C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Jakarta: Kanisius, 1988), hal. 115 37Piotr Sztompka, Sosiologi, op. cit., hal. 69-70. Kebudayaan adalah kata sifat dari budaya yang berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu budhi. Bentuk jamak dari kata budhi adalah buddhayah yang berarti akal. Istilah kebudayaan dijumpai pula dalam bahasa Inggris, yaitu culture yang diadopsi dari bahasa Latin colore yang berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti colore berkembang pengertianculture sebagai daya upaya dantindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.12, Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 5 dan Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT.RinekaCipta,2000), Cet. ke-8, hal. 182

15

keberlangsungannya memiliki dua bentuk, yaitu gagasan dan benda material.38 Piort Szompka menambahkan bahwa tradisi, baik yang berbentuk gagasan maupun benda material tumbuh melalui dua cara yang masing-masingnya saling berhubungan. Pertama, tradisi muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan spontanitas dan tidak diharapkan, serta melibatkan rakyat banyak. Kedua, tradisi muncul dari mekanisme paksaan yang biasa diperankan oleh penguasa yang memiliki otoritas.39 Pada bagian tertentu Piort Szompka menjelaskan pula beberapa fungsi dari sebuah tradisi yang meliputi; 1) kebijakan turun-temurun; 2) legitimasi terhadap pandangan hidup; 3) simbol identias kolektif; dan 4) tempat pelarian dan keluhan.40 Ilmuan lain yang mendefinisikan tradisi adalah Johanes Mardimin dan menyebutnya sebagai kebiasaan (adat) yang turun-temurun berupa kesadaran kolektif dari suatu masyarakat yang proses kesinambungannya diwariskan dari generasi ke generasi.41 Kitab kuning adalah istilah yang muncul dalam tradisi keilmuan Islam pada pesantren-pesantren di dunia Melayu. Istilah itu merujuk kepada warna kuning yang menjadi karakteristik karya-karya klasik ulama Timur Tengah yang dipelajari di Indonesia. Azyumardi Azra mendefinisikan kitab kuning dengan karya ulama yang mempunyai format tersendiri yang khas dengan kertas berwarna kekuning- kuningan.42 Kitab ini memiliki karakteristik yang meliputi; 1) Penyajian materi dalam satu pokok bahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi-definisi yang tajam untuk memberikan batasan secara jelas; 2) materi pembahasan diuraikan dengan syarat-syarat yang berkaitan dengan objek yang bersangkutan; 3) ulasan dan komentar (syarah) menjelaskan pula argumentasi penulis dan lengkap dengan pengambilan sumber hukum.43 Kitab kuning sudah lama menjadi sumber pengetahuan di kalangan muslim tradisional di Indonesia. Ia adalah peninggalan yang berbentuk benda material dan gagasan yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang melalui proses pewarisan dari generasi ke generasi. Karena itu tradisi kitab kuning adalah produk masa lalu yang berisi gagasan dan ajaran yang proses pelestariannya dilakukan melalui pewarisan yang turun-temurun. Keberadaan kitab kuning di dunia Islam Melayu sudah lama digunakan sebagai sumber pengetahuan untuk membangun suatu peradaban. c. Madrasah Perti Madrasah dalam pengertian etimologi berasal dari kata bahasa Arab darasa yang berarti belajar. Dari kata darasa dibentuk istilah madrasah yang berarti tempat belajar. Abudin Nata menjelaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan

38Piotr Sztompka, op. cit., hal. 70 39Ibid., hal. 71-72 40Ibid., hal. 76-77 41Johanes Mardimin, Jangan, loc. cit., 42Azyumardi Azra, Pendidikan, op. cit., hal. 111 43Abdul Aziz Dahlan (ed), Suplemen Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Iktiar Baru), hal. 334

16

tingkat dasar dan menengah yang mengajarkan agama Islam dan perpaduan antara agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum.44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut madrasah sebagai salah satu jenis pendidikan keagamaan di Indonesia yang memiliki fungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.45 Sejarah pertumbuhan madrasah telah muncul sejak permulaan abad ke-20 sejalan dengan proses modernisasi Islam di Indonesia. Corak madrasah di Indonesia dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu madrasah negeri dan madrasah yang dikelola oleh masyarakat. Perti merupakan singkatan dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yaitu organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh ulama tradisional (kaum tua) pada tahun 1928 di Minangkabau dengan tujuan untuk mempertahankan paham keagamaan dan keyakinan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Secara resmi Persatuan Tarbiyah Islamiyah ditetapkan sebagai organisasi permanen pada konferensi pertama tahun 1930 di Candung dengan tujuan utamanya adalah mengelola madrasah- madrasah tradisional dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang semakin banyak muncul dalam masyarakat Minangkabau.46 Karena itu penggunaan istilah Madrasah Perti memiliki pengertian seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang berafliasi kepada organisasi Perti. Dua di antaranya menjadi objek penelitian ini, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasir yang berlokasi di daerah Luhak Agam, Minangkabau. d. Minangkabau Minangkabau merupakan kawasan geografis yang memiliki pengertian yang identik dengan sebutan Propinsi Sumatera Barat sebagai bagian kawasan teritorial Negara Republik Indonesia yang berada pada bagian Tengah dan sebelah Barat Pulau Sumatera.47 Minangkabau terdiri dua kawasan utama, yaitu darek dan rantau. Dari terdiri dari tiga luhak, yaitu Luhak Tanahk Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota yang merupakan daerah asal Minangkabau. Historiografi tradisional menceritakan bahwa masyarakat Minangkabau berasal dari Luhak Tanah Datar, yaitu Nagari Pariangan, Padang Panjang. Dari daerah ini nenek moyang Minangkabau

44Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Jakarta: Rajawali, 2012), hal. 204 45Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 30, Ayat 1-4 46Harun Nasution (ed), Ensikplodia Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987), hal. 96-97 47Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 1, Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Petani Yang Sedang Berubah (Jakarta: INIS, 1992) hal. 3 dan Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau (Jakarta: Tintamas, 2007), hal. 18-19

17

mulai membentuk wilayah baru, mulai dari taratak, dusun, koto dan nagari. Rantau merupakan wilayah yang berada di luar daerah luhak yang tiga sebagai perluasan pemukiman yang dilakukan melalui proses migrasi untuk mencari kehidupan baru.48 e. Pasca Kemerdekaan Pasca-kemerdekaan merupakan salah satu periode dari perjalanan bangsa Indonesia yang dimulai sejak tanggal 17 Agustus 1945 hingga masa sekarang yang ditandai oleh kemandirian Indonesia sebagai sebuah bangsa yangberdaulat dan lepas dari determinasi kolonial Belanda. Berbagai peristiwa sejarah sudah mengiasi kehidupan bangsa Indonesia setelah masa kemerdekaan yang salah satunya adalah kehidupan perempuan yang mengalami kemajuan dalam aspek sumberdaya manusia. Kondisi semacam itu dapat ditemukan di Madrasah Perti, di mana perempuan bukan hanya penopang lapisan kehidupan sosial, melainkan penentu perjalanan sejarah keilmuan Islam di Minangkabau. 2. Penjelasan Teoritis Penjelasan konseptual sebelumnya memberikan penekanan bahwa penelitian dengan judul “PeranPerempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan” adalah sebuah upaya untuk mengungkap beberapa masalah yang berhubungan dengan proses dan pilihan peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti dan konstribusinya dalam memelihara kesinambungan tradisi kitab kuning di Minangkabau pasca-kemerdekaan. Pembacaan fenomena ini menggunakan teori reproduksi sosial yang dibangun oleh seorang ilmuan sosial yang berasal dari Perancis, Pierre Felix Bourdieu. Ia lahir pada tahun 1930 dan tumbuh dalam keluarga menengah ke bawah karena ayahnya adalah seorang pegawai negeri. Pada awal tahun 1950 Bourdieu menempuh pendidikan di sekolah prestesius di Paris, Ecole Normale Superieure. Sayangnya ia menolak untuk menulis tugas akhir (tesis) karena keberatan dengan kualitas pendidikan dan struktur sekolah yang otoriter. Ia juga aktif menentang orientasi dan paham komunis yang dianut oleh sekolahnya di Paris.49 Pada tahun 1956, Bourdieu memasuki dunia wajib militer yang menghabiskan waktunya selama dua tahun bersama tentara Perancis di Aljazair. Setelah wajib militer, ia tetap berada di Aljazair selama dua tahun sambil menulis sebuah buku yang berisi pengalamannya. Bourdieu kembali ke Perancis pada tahun 1960 dan bekerja sebagai asisten di Univerisitas Paris selama satu tahun. Pada tahun berikutnya Bourdieu menjadi figur di lingkungan intelektual Paris, Perancis. Karyanya berpengaruh terhadap sejumlah bidang yang berbeda, termasuk pendidikan, antroplogi dan sosiologi. Pada tahun 1968, ia mendirikan Centre de Sociologie Europeene yang dipimpinnya sampai meninggal dunia pada tahun 2002.

48Edison dan Nasrun Datuk Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), hal. 148-152 49Goerge Ritzer, Teori, op. cit., hal. 480

18

Pusat studi ini menerbitkan Actes de la Recherche en Sciencies Sosialies yang merupakan outlet penting untuk karya Bourdieu dan pendukungnya.50 Teori Pierre Bourdieu yang sangat populer dalam kajian ilmuan sosial adalah reproduksi sosial. Sayangnya penjelasan konseptual tentang reproduksi sosial itu sendiri tidak mendapat ruang dalam pembahasan Teori Pierre Felix Bourdieu, terutama dalam bukunya distinction yang banyak menjelaskan konsep-konsep yang digunakan dalam teorinya itu.51 Secara etimologi reproduksi berasal dari bahasa Inggris reproduction dan terdiri dari dua kosa kata re dan production. Re berarti kembali dan production berarti produksi atau sesuatu yang dihasilkan.52 Sejalan dengan pengertian ini penggunaan istilah reproduksi dalam kajian ilmu sosial memiliki pengertian hasil pembuatan ulang, pengembangan sesuatu yang ada pada masa lalu. Reproduksi sosial biasa juga diartikan dengan proses pelestarian dan pengembangan dimensi sosial dalam waktu tertentu. Teori reproduksi sosial secara epistimologis didedikasikan oleh Pierre Felix Bourdieu untuk menghilangkan pertentangan teoritis yang dijumpainya pada paradigma objektivisme dan subjektivisme dalam sosiologi. Ia menempatkan pemikiran Emile Durkheim dan pendukung sosiologi fakta sosial dalam perspektif objektivisme yang lebih mementingkan struktur dan mengabaikan proses konstruksi sosial. Paradigma fenomenologi Schutz, interaksionisme simbolik Blumer dan etnometodologi Grafinkel ditempatkan oleh Pierre Felix Bourdieu sebagai teori yang lebih memusatkan perhatian pada agen (subjektivisme) dan mengabaikan struktur sosial.53 Dikotomi objektivisme dan subjektivisme diselesaikan oleh Pierre Felix Bourdieu dengan memajukan teori reproduksi sosial yang memusatkan kajiannya kepada praktek sosial (interaksi sosial) yang terbentuk dari hasil dialektika antara struktur dan agen dalam proses sejarah yang panjang. Struktur dan agen merupakan istilah kunci yang digunakan oleh Pierre Felix Bourdieu untuk melihat praktek sosial. Pierre Bourdieu mengenalkan pula tiga konsep dasar dalam teorinya, yaitu habitus, modal dan arena. Habitus (kebiasaan) adalah struktur mental (kognisi) yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi kehidupan sosial yang penuh dengan skema dan pola perilaku. Lewat interaksi, struktur mental dan kognisi manusia berdialektika dengan skema objektif kehidupan sosial. Skema itu secara perlahan

50Ibid., 51Dalam menjelaskan konsep habitus dan arena, Pierre Bourdieu menggunakan lebih dari 100 halaman dengan kajian yang rinci. Lihat Pierre Bourdieu, Distinction: a Social Critique of the Judgement of Taste (United States of America: Harvard University, 1996), hal. 99-129 52Leonard D. Marsam, Kamus Praktis Bahasa Indonesia (Surabaya: CV Karya Utama, 1983), hal. 221 53Goerge Ritzer, Teori, op. cit., hal. 478-479

19

mengkristal dalam kesadaran manusia sehingga ia mampu mengenali, memahami dan mengembangkan kehidupan sosial.54 Habitus merupakan produk internalisasi dunia sosial dan sekaligus menghasilkannya. Pierre Bourdieu menyebut bahwa habitus merupakan struktur yang terstruktur dan struktur yang menstruktur dunia sosial. Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode historis yang relatif panjang dan menciptakan tindakan individu dan masyarakat sesuai pola yang ditimbulkan oleh sejarah.Karena itu habitus memungkinkan individu dan masyarakat untuk mengembangkan (reproduksi) pola- pola tindakan dalam kehidupan sosial. Habitus juga membekali manusia dengan hasrat, motivasi, pengetahuan, keterampilan dan strategi untuk mereproduksi tindakan dan tatanan kehidupan.55 Karena itu habitus merupakan konsep penting dalam teori reproduksi sosial dan mempunyai hubungan dengan konsep kapital (modal) dan arena sosial. Kapital (modal) yang bermain di masyarakat dalam pandangan Pierre Bourdieu terdiri dari modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Modal ekonomi merupakan sumberdaya yang menunjang proses produksi dan finansial. Modal budaya adalah semua kualifikasi yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun pendidikan keluarga.56 Modal sosial adalah modal dalam bentuk hubungan dan jejaring sosial yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat.57 Sedangan modal simbolik adalah sumberdaya yang berhubungan dengan prestise, posisi dan status yang menggiring seseorang untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi dalam kehidupan sosial. Modal simbolik ini sering pula disebut dominasi atau kekuasaan sombolik sebagai energi yang menggerakan kehidupan sosial. Masing-masing modal memiliki peran dalam menentukan posisi dan kekuatan sosial (reproduksi sosial). Kompetisi dan perjuangan di arena sosial tergantung kepada relatifitas besaran modal yang dimiliki oleh seseorang. Semakin besar modal yang dimiliki semakin terbuka pula peluang untuk memperoleh posisi, peran, prestise dan kehormatan dalam kehidupan sosial.58 Konsep modal (kapital) memiliki hubungan dengan habitus dan arena. Tanpa proses habitus yang benar dan tepat, seseorang tidak mungkin memperoleh modal sebagai energi yang menggerakan kompetisi dalam kehidupan sosial. Arena (lingkungan) sendiri menurut Pierre Felix Bourdieu merupakan tempat kompetisi dan pertarungan para pemilik modal. Arena lebih bersifat relasional ketimbang struktur yang terdiri dari antarposisi masyarakat di dalamnya. Arena bukanlah lingkungan

54Ibid., hal. 482 55Ibid., hal. 485 56Abdul Halim, Politik Lokal: Pola, Aktor dan Alur Dramatikalnya (Yogyakarta: LP2B, 2014), hal. 109-110 57John Field, Modal Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), hal. 15-16 58Abdul Halim, op. cit., hal. 110-111

20

interaksi yang memuat ikatan intersubjektif antara individu. Para penghuni arena, baik individu maupun kelompok memiliki posisi yang dikendalikan oleh struktur yang bersifat eksternal dan mendominasi kehidupan mereka.59 Kemudian Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa agen memiliki derajat kebebasan karena mereka menggunakan strategi dalam arena. Pierre Bourdieu menambahkan bahwa arena adalah tempat pertarungan dan peluang atau sejenis pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal digunakan dan disebarkan di dalamnya. Posisi berbagai agen dalam arena tertentu ditentukan pula oleh jumlah dan bobot relatif modal yang mereka miliki.60 Konsep habitus, modal dan arena yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu memiliki hubungan yang erat dan bersifat interdependen. Habitus sangat menentukan perolehan modal yang digunakan sebagai media dalam arena pertempuran. Reproduksi sosial dalam arena juga membutuhkan modal para penghuni posisi sosial tertentu dalam masyarakat. Kemudian habitus berperan dalam menyusun lingkungan (arena) dan arena juga berperan dalam mengkondisikan habitus. Proses dialektika ini terus berlangsung dalam realitas sosial sejalan dengan perubahan ruang dan waktu sejarah yang melahirkan produksi dan reproduksi nilai-nilai. Selain konsep habitus, modal dan arena, Pierre Bourdieu juga menyinggung dalam teorinya masalah strategi yang memiliki mekanisme kerja tersendiri. Strategi yang dipakai oleh para tergantung jumlah modal yang mereka miliki. Sebagai kelompok dominan, strategi diarahkan kepada usaha untuk mempertahankan status quo. Mereka yang didominasi menggunakan strategi untuk merubah pola dan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.61 Teori reproduksi sosial Pierre Felix Bourdieu yang dikemukakan sebelumnya memberikan pemahaman bahwa praktek sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat dapat dijelaskan maknanya melalui dialektika struktur dan agen sehingga terjadi pembentukan habitus (kognisi) dan modal dalam arena sosial. Habitus (kognisi) pada dasarnya merupakan proses dialektika struktur sosial dan struktur kognisi pelaku tindakan dalam proses sejarah yang panjang. Lewat proses dialektika, pola dan nilai kehidupan sosial mengendap dalam struktur kognisi pelaku perbuatan sehingga menjadi bagian dari modal (kapital) yang digunakan dalam arena perjuangan. Penggunan teori ini secara operasional dalam pembahasan dilakukan secara fleksibel dengan berbagai modifikasi, penggabungan dan penyederhanaan yang kemudian diturunkan menjadi variabel-variabel penelitian tentang Peranan Perempuan Dalam Tradisi Keilmuan Madrasah Perti:Tradisi Kitab Kuning di Minangkabau Pasca Kemerdekaan.

59Goerge Ritzer, Teori, op. cit., hal. 485-486 60Ibid., hal. 486 61Ibid.,

21

Sejalan dengan teori reproduksi sosial Pierre Felix Bourdieu, peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau merupakan salah satu bentuk praktek sosial yang mengaktual dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah produk sejarah yang terbentuk dari dialektika kognisi perempuan dengan struktur keilmuan Madrasah Perti. Proses dialektika membentuk habitus (kognisi) yang kemudian berkembang menjadi modal budaya (intelektual) dan sosial sehingga perempuan memiliki prefensi untuk menentukan posisi (status) di Madrasah Perti. Pilihan posisi di samping memiliki manfaat praktis kepada perempuan sebagai agen, ia memiliki pengaruh pula terhadap pengembangan pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti. Sekurangnya ada tiga variabel yang dapat dibangun dari teori reproduksi sosial yang dikemukakan oleh Pierre Felix Bourdieu terhadap masalah peranan perempuan dalam tradisi keilmuan Madrasah Perti, yaitu (1) Sejarah dan Struktur Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Madrasah Pertidi; (2) Proses Pertumbuhan Peran Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Madrasah Perti; dan (3) Reproduksi Peran Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Madrasah Perti. Masing-masing variabel menjadi kerangka pemikiran yang akan dikembangkan kepada beberapa unit analisis sejalan dengan informasi (data-data) penelitian yang ditemukan di lapangan.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian sejarah deskriptif-analitis yang membuka peluang bagi sejarawanuntuk menggambarkan peristiwa sejarah dengan menggunakan konsep dan teori ilmu sosial dengan tujuan untuk mengungkap berbagai dimensi dan aspek kehidupan pada masa lalu. Jenis penelitian sejarah deskriptif analitis sebagaimana dijelaskan oleh Kuntowijoyo sangat memberikan kemungkinan untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu bukan hanya untuk masa lalu, melainkan untuk melihat masa sekarang dan masa depan. Rekonstruksi masa lalu hanya untuk masa lalu bukan sejarah karena hubungan masa lalu dengan masa sekarang dan masa yang akan datang sangat dekat.62 Karena itu penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan secara analitis dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi beberapa fenomena yang terkait dengan Peranan Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan. Adapun jenis penelitian secara umum dapat ditinjau dalam beberapa aspek yang meliputi:

62Kuntowijoyo, Pengantar, op. cit., hal. 14

22

a. Penelitian Ditinjau Dari Tujuan Beberapa jenis penelitian, termasuk penelitian sejarah deskriptif analitis memiliki tujuan untuk mengarahkan seseorang peneliti pada upaya memberikan pemecahan dan solusi terhadap suatu permasalahan.63 Cara yang ditempuh biasanya dilengkapi dengan alasan-alasan tertentu sehingga mampu menghasilkan kesimpulan dan prediksi yang lebih akurat mengenai peristiwa yang diteliti. Proses rekonstruksinya dilakukan secara deskriptif, eksploratif, explanatoris, evaluatif, prediktif, dan kausalitas.64 Deskriptif merupakan upaya peneliti untuk mempresentasikan informasi demografis mengenai responden dan mendiskusikan isu-isu yang muncul dalam topik penelitian. Eksploratif atau mengeksplorasi adalah usaha peneliti untuk mencoba mengetahui atau mencari jawaban alasan-alasan tertentu terhadap suatu topik atau ingin mengetahui apa yang sedang terjadi pada suatu topik. Explanatoris adalah kegiatan untuk mengungkap alasan-alasan mengapa dan bagaimana fenomena sosial terjadi di antara variabel-variabel penelitian. Evaluatif atau mengevaluasi adalah penelitian yang bertujuan melakukan evaluasi terhadap suatu hasil dengan cara pengukuran terhadap suatu kegiatan atau program. Prediktif adalah penelitian yang dilakukan dalam rangka menentukan sisi-sisi mana dari suatu kebijakan perlu dilakukan perubahan atau diperbaikan yang dijadikan dasar suatu keputusan. Sedangkan kausalitas merupakan penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan sebab-akibat terhadap suatu fenomena.65 Pola rekonstruksi peristiwa secara deskriptif, explanatoris dan sebab-akibat merupakan bagian dari jenis penelitian sejarah deskriptif analisis. Para sejarawan dituntut mampu mempresentasikan peristiwa masa lalu dan menemukan alasan- alasan mengapa dan bagaimana peristiwa itu muncul. Penelitian tentang Peran Perempuan Dalam Pewrisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan sengaja didisain untuk mempresentasikan dan menemukan alasan-alasan munculnya peranan perempuan dalam tradisi kitab kuning di Minangkabau. b. Ditinjau Dari Pendekatan Penelitian Jenis penelitian sangat mempengaruhi pendekatan yang digunakan sebagai alat penuntun kegiatan penelitian. Penelitian ini karena merupakan bagian dari jenis penelitian sejarah dekriptif analitis, salah satu pendekatan yang relevan digunakan adalah pendekatan sejarah sosial. Perhatian utama pendekatan sejarah sosial adalah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya dan memecahkan masalah kehidupan. Hubungan-hubungan antara perilaku yang menghasilkan even merupakan bahan cerita sejarah sosial yang banyak mendapat

63Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Rosdakarya: Bandung, 2017), hal. 93 64Agus Bandur, Penelitian Kualitatif (Mitra Wacana Media: Jakarta, 2016), hlm. 48 65Ibid., hal. 49-50.

23

perhatian para sejarawan.66 Pendekatan sejarah sosial berbeda dengan pendekatan sejarah lainnya karena memusatkan kajian pada agen perubahan yang berasal dari kelompok masyarakat biasa. Karena itu pendekatan sejarah sosial biasa pula disebut dengan pendekatan sejarah orang-orang kecil yang menjadi aktor (agen) dalam berbagai perubahan sosial. Sejarah sosial memiliki arena garapan yang sangat luas dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat, seperti buruh, petani, pekerja sosial, kelas sosial, gerakan sosial dan perempuan. Semua kelompok sosial itu merupakan bagian dari masyarakat biasa yang melakukan perubahan. Sejarah sosial kebalikan dari sejarah politik di mana agen perubahan selalu didominasi dan dikendali oleh orang-orang besar. Sejarah dan Kebudayaan Islam yang ditulis oleh Ahmad Syalabi merupakan salah contoh rekonstruksi peristiwa masa lalu yang menggunakan pendekatan sejarah politik. Pembahasan di dalamnya senantiasa dimulai dari orang-orang besar, seperti khalifah, sultan dan lain-lain.67 Kecendrungan semacam ini banyak dijumpai dalam historiografi Islam dan penulisan Sejarah Nasional Indonesia. Penggunaan pendekatan sejarah sosial dalam penelitian ini sangat sesuai dengan peristiwa yang diteliti karena perempuan dalam komunitas Madrasah Perti merupakan kelompok masyarakat biasa yang melakukan perubahan melalui proses interaksi dan adaptasi dengan struktur dan tradisi keilmuan kitab kuning. Proses ini berlangsung dalam waktu yang relatif lama pada saat mereka menempuh pendidikan dan ikut dalam pewarisan tradisi kitab kuning. c. Ditinjau Dari Bidang Ilmu Penelitian sejarah deskriptif analitis merupakan bagian dari disiplin ilmu sejarah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena secara diakronis dan faktor- faktor kausal yang menyebabkan lahirnya sebuah peristiwa dalam ruang dan waktu tertentu. Pendekatan sejarah sosial semakin memantapkan kerangka kerja sejarah yang membahas Peranan Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti dii Minangkabau Pasca Kemerdekaan. Proses kerjanya merupakan sejarah sebagai ilmu karena dilengkapi dengan pendekatan dan metode untuk mendeksripsikan secara analitis berbagai fenomena peranan perempuan dalam tradisi keilmuan Madrasah Perti. Sedangkan produknya adalah sejarah sebagai konstruk masa lalu yang dapat digunakan untuk melihat masa sekarang dan masa yang akan datang.

66Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hal. 316 67Mayoritas karya sejarah yang dewasa ini beredar sebagai bahan kajian akademik ditulis dengan pendekatan sejarah orang besar. Kelemahan penulisan semacam ini adalah marjinalisasi orang-orang kecil sebagai subjek perubahan. Salah satu karya yang berpusat sama orang besar adalah tulisan Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1990)

24

d. Ditinjau Dari Tempat Penelitian Tempat penelitian secara umum terdiri dari tiga bentuk, yaitu laboratorium, lapangan dan perpustakaan. Penelitian tentang Peranan Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan hanya memanfaatkan dua tempat penelitian, yaitu lapangan dan perpustakaan. Penelitian lapangan dilakukan pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasir yang berlokasi di Luhak Agam, Minangkabau. Pertimbangan memilih MTI Candung sebagai tempat penelitian karena madrasah ini merupakan Madrasah Perti pertama yang dibangun oleh ulama tradisional (Syeikh Sulaiman al-Rasuli) di Minangkabau pada tahun 1928. Kemudian MTI Pasir merupakan Madrasah Perti yang relatif kuat dalam tradisi pengajaran kitab kuning. Kedua Madrasah Perti ini merupakan yang terbaik dari Madrasah-Madrasah Perti yang lain di Minangkabau dalam aspek pengelolaan, administrasi (arsip), dokumentasi dan tradisi pewarisan tradisi kitab kuning. Penelitian perpustakaan dilakukan pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Sumatera Barat (PDIKM), Perpustakaan Daerah Propinsi Sumatera Barat, Pusat Kajian dan Pelestarian Sejarah Kota Padang, Perpustakaan UIN Imam Bonjol Padang, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol, Perpustakaan Universitas Andalas, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Perpustakaan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung dan Perpustakaan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasir. e. Ditinjau Dari Variabel Penelitian Variabel sangat penting dalam sebuah penelitian dan menentukan kerangka pemikiran yang digunakan oleh seorang peneliti. Variabel merupakan karakter dan atribut yang ditemukan pada objek penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Variabel dapat diobservasi dan diukur untuk menarik sebuah kesimpulan.68 Jenis-jenis variabel sangat beragam karena setiap displin ilmu pengetahuan memiliki variabel-variabel tertentu. Secara umum variabel penelitian dapat diklasifikasikan kepada tiga bentuk, yaitu variabel masa lalu, variabel masa sekarang dan variabel masa datang. Variabel masa lalu merupakan variabel yang banyak digunakan dalam penelitian ilmu sejarah, yaitu variabel yang kejadiannya sudah berlangsung sebelum melakukan penelitian. Seluruh proses kerja metodologis dilakukan oleh ilmuan dan sejarawan setelah peristiwa yang diteliti itu berlangsung.69 Variabel masa sekarang merupakan jenis variabel yang digunakan untuk menjelaskan proses kejadian yang sedang berlangsung. Variabel ini biasanya banyak digunakan dalam penelitian ilmu sosial, terutama penelitian sosiologi dan antroplogi.

68A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 103. 69Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), hal. 17

25

Proses kejadian yang sedang berlangsung menjadi objek observasi para peneliti karena proses itu merupakan bagian penting untuk melihat keberadaan tindakan dan dampak yang ditimbulkannya. Sedangkan variabel masa datang merupakan variabel yang sengaja dihadirkan dalam suatu penelitian. Pengamatan terhadap variabel ini berpusat pada dampak yang ditimbulkannya untuk masa yang akan datang. Penelitian yang menggunakan variabel masa datang biasanya digunakan dalam penelitian eksperimen dengan tujuan untuk mengetahui akibat atau dampak sesuatu kejadian atau variabel yang dihadirkan oleh peneliti.70 Penelitian sejarah karena memiliki pretensi untuk memprediksi sebuah peristiwa juga membutuhkan variabel masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian ini adalah data kualitatif yang bentuk kata, bahasa, tindakan, bagan, gambar dan dan photo.71 Semua data dapat diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah informasi, pendapat dan perilaku yang dapat diamati dari sumber primer, yaitu sumber yang berasal dari pelaku dan saksi sejarah, seperti pemilik, pimpinan yayasan, pimpinan madrasah dan guru-guru, baik-laki-laki maupun perempuan yang mengajarkan kitab kuning di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasir. Sumber primer juga berasal dari arsip dan dokumentasi yang dapat digunakan untuk menguji keabsahan informasi dari saksi dan pelaku sejarah. Sumber data sekunder berasal dari buku, jurnal, makalah, majalah dan surat kabar yang memuat informasi dan pendapat yang memiliki hubungan dengan topik penelitian. Data sekunder berfungsi untuk menunjang dan menciptakan tolak ukur dalam mengkritisi informasi yang ditemukan dalam penusuran sumber-sumber primer. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam istilah metode penelitian sejarah disebut dengan heruistik yang dapat ditempuh oleh seorang peneliti melalui beberapa cara yang meliputi observasi, wawancara dan dokumentasi. Masing-masing bentuk pengumpulan data yang biasa disebut dengan heruistik itu akan dijelaskan dalam pembahasan di bawah ini: a. Observasi Observasi adalah jenis pengumpulan informasi (data) yang dilakukan oleh peneliti melalui proses pengamatan di tempat berlangsungnya penelitian.72 Sesuai peranan yang dilakukan oleh observer, observasi yang biasa dilakukan oleh ilmuan terdiri dari dua jenis, yaitu observasi non-partisipan (inparticipant observation) dan observasi partisian (participant observation). Observasi non-partisipan (inparticipant observation) dilakukan dengan cara tidak melibatkan diri langsung dengan objek

70Ibid., 71Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Alfabeta: Bandung, 2012), hal. 6 72Suharsimi Arikunto, Prosedur, op. cit., hal. 124

26

penelitian dan observer hanya sebagai penonton. Sementara observasi partisian (participant observation) di mana peneliti melibatkan diri bersama pelaku dan peristiwa yang sedang diamati.73 Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah participant- observation karena peneliti sebagai subjek akan melibatkan diri dalam kegiatan sehari-hari para pelaku dan peristiwa yang sedang diamati. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut pula melakukan sesuatu yang dikerjakan dan merasakan apa yang dirasakan oleh sumber data (informan). Penggunaan participant- observation sangat membantu peneliti untuk memperoleh informasi (data) yang lebih lengkap dan tajam sehingga mampu mengetahui tingkatan makna dari setiap gejala perilaku.74 b. Wawancara Wawancara merupakan pertemuan dua orang atau lebih dengan tujuan untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab sehingga makna-makna pertanyaan dapat dikonstruksikan dalam suatu topik tertentu.75 Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan pelaku dan saksi sejarah untuk menggali informasi (data) yang terkait dengan unit-unit pembahasan, seperti proses adaptasi perempuan dengan kitab kuning dan peran mereka di Madrasah Perti. Para pelaku dan saksi sejarah yang akan diwawancarai adalah pimpinan kedua madrasah, guru-guru perempuan dan murid- murid yang pernah ikut halaqah di rumah guru perempuan. Jumlah pelaku dan saksi sejarah (informan) ditentukan melalui pendekatan snowball sampling yang berakhir pada tingkat kejenuhan informasi (data) penelitian. Teknik snowball sampling pada mulanya digunakan dalam penelitian ilmu sosial dan kemudian diadopsi dalam metode penelitian sejarah. c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang terkait dengan dokumen-dokumen berupa buku-buku, artikel, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainnya. Dokumen pertama yang akan ditelusuri adalah kitab kuning yang masih dipelajari di Madrasah Perti yang terdiri dari ilmu bahasa, ilmu fiqh, ilmu kalam (tauhid) dan ilmu tasauf. Proses dokumentasi dilanjutkan dengan penelusuran arsip madrasah, buku-buku dan hasil penelitian yang memiliki persinggungan tematis dengan penelitian ini. 4. Teknik Analisa Data Setelah informasi (data) terkumpul akan dilanjutkan dengan analisis data melalui pendekatan kritik sumber. Pendekatan kritik sumber bekerja pertama kali sebagai proses verifikasi untuk memperoleh fakta-fakta sejarah yang terkait dengan masalah penelitian.Verifikasi data dalam ilmu sejarah memiliki perbedaan dengan

73Lexy J. Moleong, Metode, op. cit., hal. 176 74Sugiyono, Metode, op. cit., hal. 310 75Ibid., hal. 316.

27

verifikasi data dalam penelitian kualitatif. Verifikasi data dalam penelitian kualitatif merupakan proses penarikan kesimpulan terhadap data dengan cara perbandingan yang meliputi pengaduan (contrast).76 Proses kritik sumber biasanya berlangsung sepanjang penelitian dilakukan mulai dari menentukan informan sebagai pelaku dan saksi sejarah hingga informasi (data) yang disampaikannya. Terkait dengan sumber- sumber tertulis berupa kitab kuning, arsip dan dokumentasi, kritik sumber dilakukan untuk mengetahui otensitas sumber yang benar-benar digunakan di Madrasah Perti. Tingkat kredibilitas informasi (data) yang memuat berbagai fakta sejarah dapat dilakukan denga cara membandingkan informasi suatu sumber dengan sumber lainnya (cross examination).77 Kemudian analisa data dilakukan melalui proses sintesis dengan cara memilah-milah (klasifikasi) fakta-fakta sejarah (reduksi) dan merangkainya menurut kategori tertentu yang dibuat berdasarkan unit-unit permasalahan dan tujuan penelitian (penyajian). Proses berikutnya adalah interpretasi untuk mencari makna fakta-fakta sejarah dengan cara menghubungkan suatu fakta dengan fakta sejarah yang lain. 5. Konstruksi Sejarah (Historiografi) Langkah terakhir penelitian ini adalah penulisan sejarah tentang Peranan Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan menjadi kisah sinkronik, diakronis dan sistematis sesuai dengan pendekatan, kerangka teoritis, teknik-teknik penulisan sejarah dan kaedah-kaedah penulisan ilmiah. Model konstruksi sejarah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penulisan deskriptif analitias karena dalam mengemukakan beberapa pembahasan dibantu oleh teori-teori ilmu sosial. Model semacam ini telah biasa digunakan dalam penelitian sejarah.

H. Sistematika Pembahasan Penelitian ini memiliki sistematika pembahasan khusus yang sengaja didisain untuk memudahkan peneliti dalam menyusun rangkaian peristiwa sejarah yang terkait dengan Peranan Perempuan dalam Tradisi Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan. Adapun sistematika pembahasan dari penelitian ini terdiri enam bab. Bab I adalah pendahulan yang berisi uraian tentang pertanggung-jawaban ilmiah penulisan. Sebagai pendahuluan, bab ini mengemukakan beberapa masalah yang menjadi dasar pemikiran kenapa penelitian ini layak untuk dilakukan sebagai sebuah penelitian ilmiah. Pembahasannya dilengkapi pula dengan uraian tentang Identifikasi Masalah,

76Matthew B. Miles and A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis (London: SAGE Publications, 1994), hal. 10-12 77Kritik sumber juga mengandung proses triangulasi dalam penelitian ilmu sosial yang dilakukan dengan membandingkan setiap informasi yang diperoleh selama penelitian ((cross examination). Sugiyono, Metode, op. cit., hal. 330

28

Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Kepustakaan, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Masing-masing pembahasan secara umum adalah bentuk pertanggung-jawaban moral dan akademis dari sebuah penelitian. Bab II mengemukakan tentang Minangkabau Dalam Perubahasan Sosial dan Keagamaan yang memiliki fungsi sebagai pengantar sebelum menjelaskan permasalahan utama penelitian. Sebagai sebuah pengantar, pembahasan bab ini dilengkap dengan beberapa unit analisis yang merujuk kepada perubahan sosial keagamaan di Minangkabau, yaitu Wilayah, Sistem Sosial dan Kebudayaan Minangkabau, Perempuan dalam Sistem Sosial Matrilineal, Islamisasi dan Modernisasi di Minangkabau, dan Emansipasi Perempuan Minangkabau. Masing- masing pembahasan secara akademik dimaksudkan untuk mengantarkan pembaca dalam memahami tema yang sesungguhnya sejalan dengan perkembangan dan perubahan sosial keagamaan di tempat yang menjadi pilihan pelaksanaan penelitian. Bab III mengemukakan pembahasan tentang Sejarah dan Struktur Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Madrasah Perti. Bab ini merupakan permulaan pembahasan inti yang berhubungan struktur keilmuan Islam yang mempengaruhi pembentukan peranan perempuan dalam sejarah dan struktur pewarisan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau. Karena itu pembahasannya dilengkapi dengan serangkaian kajian tentang Asal-Usul Tradisi Kitab Kuning di Minangkabau, Ulama Perti, Organisasi dan Pewarisan Tradisi Kitab Kuning, Madrasah Perti dan Arena Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Minangkabau, Klasifikasi Kitab Kuning di Madrasah Perti, Metode Pengajaran Kitab Kuning, serta Fungsi dan Tujuan Pengajaran Kitab Kuning. Bab IV masih membahas tema inti dalam penelitian ini, yaitu Pertumbuhan Peran Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Madrasah Perti. Semua unit analisis dalam pembahasan bab ini mengaju kepada agen (perempuan) mulai dari peluang yang diberikan oleh ulama Perti hingga kondisi sosio-historis yang mempengaruhi proses pertumbuhan peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti. Secara lengkap pembahasan dalam bab ini terdiri dari Realitas Perempuan Dalam Lembaran Kitab Kuning, Peluang Pendidikan dan Pertumbuhan Peranan Perempuan, Interaksi Awal Perempuan Dengan Tradisi Kitab Kuning, Pembentukan Intellectual Capital Perempuan dan Tokoh-Tokoh Perempuan di Madrasah Perti. Bab V merupakan rangkaian dari pembahasan inti dalam penelitian ini, yaitu Reproduksi Peran Perempuan Dalam Pewarisan Tradisi Kitab Kuning di Madrasah Perti. Masing-masing pembahasan didedikasikan untuk melihat reproduksi peranan perempuan yang bukan hanya bersifat pasif (disstrukturisasi), melainkan juga bersifat aktif (menstrukturisasi) sehingga memiliki makna penting dalam menjaga tradisi kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti. Pembahasan dalam bab ini

29

terdiri dari Peranan Perempuan Sebagai Guru Kitab Kuning, Pengembangan Human Resoursce, Perempuan dan Pembimbing Halaqah Kitab Kuning, serta Pemelihara Paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Bab VI adalah penutup yang berisi uraian tentang kesimpulan berupa jawaban dari pertanyaan penelitian berdasarkan bangunan kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini. Bab ini mengemukakan pula saran-saran dan rekomendasi untuk para peneliti berikutnya dan lembaga pendidikan yang menjadi objek penelitian.

30

BAB II MINANGKABAU DALAM PERUBAHAN SOSIAL DAN KEAGAMAAN

A. Minangkabau: Wilayah, Sistem Sosial dan Kebudayaan Minangkabau merupakan istilah untuk menyebut kawasan tertentu di Indonesia yang memiliki beberapa pengertian dan tergantung dari aspek mana seseorang memahaminya. Amir Syarifoeddin menjelaskan bahwa ada beberapa terminologi yang diasumsikan oleh para ahli terkait dengan asal-usul kata Minangkabau. Purbacaraka, Amir Syarifoeddin menjelaskan bahwa Minangkabau berasal dari kata minanga dan kabawa atau minanga dan tamwan yang berarti daerah-daerah di sekitar pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Van Der Tuuk memahami istilah Minangkabau berasal dari kata phinangkabu yang berarti daerah (tanah) asal.78 Tambo (historiografi tradisional) menyebutkan bahwa Minangkabau berasal dari kata menang dan kerbau yang dikaitkan dengan cerita menang mengadu kerbau dengan orang-orang yang datang dari pulau Jawa untuk menguasai daerah tersebut.79 Penjelasan ini telah diterima selama berabad-abad oleh masyarakat Minangkabau dengan rasa etno-sentrisnya yang kemudian dibantah oleh Amir MS karena informasi itu kurang menghiraukan analisis dan kritik sejarah. Kedatangan orang-orang Jawa (Majapahit) pertama kali ke Pulau Sumatera adalah untuk melakukan ekspansi terhadap kerajaan Dharmasraya pada tahun 988 dan jauh sebelumnya minanga sebagai salah satu asal-usul istilah Minangkabau dalam sejarah sudah dikenalkan oleh prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 682 M.80

78Dikutip dalam Amir Syarifoedin, Minangkabau Dari Dinasti Zulkarnain Hingga (Jakarta: Gia Media Prima), hal. 16 79Tambo adalah historiografi tradisional yang didasarkan pada sumber-sumber lisan yang merupakan budaya asli orang Minangkabau. Biasanya tambo berisi tentang sejarah dan budaya Minangkabau yang meliputi asal-usul, peraturan kemasyarakatan, peraturan adat dan sejarah. Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 33 80Amir MS, Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 138. Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang memiliki angka tertua di Indonesia (682 M). Prasasti ini berisi sepuluh baris tulisan yang dibuat dengan huruf Palawa (India) dan dengan bahasa Melayu Kuno. Pada baris keempat ditemukan istilah minanga yang dalam pandangan sebagian ilmuan sosial dan sejarawan merupakan asal-usul kata Minangkabau. Dedi Irwanto Muhammad Santun “Pemaknaan Simbolik atas Tinggalan Prasasti Sriwijaya di Palembang”, dalam Mozaik, Jurnal Ilmu Humaniora, No. 2 Juli-Desember 2013, hal. 129

31

Pengertian Minangkabau secara geografis sangat identik dengan kawasan Sumatera Barat, yaitu salah satu propinsi yang menjadi bagian teritorial Negara Republik Indonesia yang berada pada bagian Tengah dan sebelah Barat Pulau Sumatera.81 Asal-usul kata Sumatera Barat merupakan terjemahan dari istilah De Westkust Van Sumatera atau Sumatra’s Westkust yang digunakan untuk menyebut bagian wilayah Pesisir Barat Pulau Sumatera yang berada di bawah pengaruh ekonomi dan politik administratif pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad-17. Daerah De Westkust Van Sumatera atau Sumatra’s Westkust sebagai Het Gouvernement mengalami perluasan wilayah pada abad ke-19 yang meliputi kawasan Alam Minangkabau dan daerah-daerah di sekitarnya. Sebutan Het Gouvernement kemudian mengalami perubahan menjadi De Residentie Sumatra’s Westkust. Pasca-kemerdekaan pemerintahan Republik Indonesia menamakan daerah itu dengan sebutan Propinsi Sumatera Barat.82 Minangkabau tidak hanya memiliki pengertian geografis sebagaimana yang dipahami dari nama Sumatera Barat, melainkan mempunyai pengertian etnisitas yang merefleksikan suku bangsa tertentu di Indonesia yang memiliki daerah, penduduk dan bahasa tersendiri. Minangkabau merefleksikan pula kultur (budaya) yang menjadi way of life masyarakatnya. Nama suku bangsa yang tepat untuk menyebut masyarakat yang berasal dari daerah ini adalah etnis Minangkabau dan bukan suku bangsa Sumatera Barat. Kebudayaan masyarakatnya disebut dengan kebudayaan Minangkabau dan bukan kebudayaan Propinsi Sumatera Barat.83 Pengertian semacam ini menjadi pertimbangan akademis para penulis dan peneliti sebelumnya, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri untuk menggunakan istilah Minangkabau dibandingkan dengan Sumatera Barat dalam beberapa tema penelitian mereka.84

81Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 1, Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi PetaniYang Sedang Berubah, terjemahan Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta:INIS, 1992), hal. 3 dan Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau (Jakarta: Tintamas, 2007), hal. 18-19 82M. D. Mansoer dkk, Sedjarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970), hal. 1-2 83Ibid., hal. 2 84Penulis lokal yang lebih suka menggunakan istilah Minangkabau dibandingkan dengan Sumatera Barat adalah A.A. Navis dan Muchtar Naim. A.A Navis dalam membahas adat dan kebudayaan lokal secara tegas memberi judul karyanya dengan Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Grafiti Press, 1984). Muchtar Naim menggunakan pula istilah Minangkabau pada karya yang berjudul Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: UGM Press, 1984). Penulis luar negeri yang menggunakan istilah Minangkabau dalam karya-karyanya. Tsuyoshi Kato dari Jepang memberi judul karyanya dengan Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Tradition Indonesia (Ithaca and London: Cornell University Press, 1982). Karya ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).

32

Luas wilayah Minangkabau adalah sekitar 18.000 meter persegi atau sekitar 11% luas Pulau Sumatera yang dikelilingi oleh beberapa gunung berapi yang masih aktif, seperti gunung Merapi, Singgalang, Talang dan Sago. Daerah Minangkabau mempunyai empat lembah sungai yang membentang dalam gugusan bukit barisan. Lembah paling Barat terletak pada ketinggian sekitar 30.000 kaki di atas permukaan laut dan lembah paling Timur menuju selat Malaka dengan ketinggian mencapai 15.000 kaki. Masyarakat Minangkabau menyebut daerah asal mereka dengan nama Alam Minangkabau yang meliputi dua kawasan, yaitudarek dan rantau. Darek merupakan daerah inti Alam Minagkabau yang terletak pada dataran tinggi yang membentang di antara kumpulan Bukit Barisan bagian Tengah. Tempat pemukiman penduduk berada pada lembah-lembah di sekitar Gunung Merapi dan Singgalang. Kawasan itu secara tradisional disebut dengan Luhak Nan Tigo (luhak yang tiga) yang masing-masingnya adalah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.85 Tambo (historiografi tradisional) menjelaskan bahwa Luhak Tanah Datar adalah daerah inti yang diyakini sebagai negeri asal nenek moyang masyarakat Minangkabau. Bermula dari negeri (desa) kecil, Pariangan, Padang Panjang, mereka membangun embrio sejarah dan kebudayaan masyarakat Minangkabau yang meluas secara berangsur-angsur melalui proses migrasi untuk membentuk daerah pemukiman baru, mulai dari taratak, dusun, koto hingga nagari.86 Luhak Tanah Datar disebut pula pusat Kerajaan Minangkabau tempo dulu yang bernama Pagaruyung. Sayangnya sejarah kerajaan itu belum banyak diketahui masyarakat yang disebabkan oleh kurangnya informasi tertulis sehingga membuat beberapa aspek sejarah kerajaan Pagaruyung tetap kabur dan tidak jelas, seperti awal berdiri, periodeisasi dan silsilah raja-raja.87 Daerah darek karena terletak di antara dua gunung berapi (Merapi dan Singgalang) yang sering memperoleh curahan debu vulkanik membuat daerah tersebut menjadi kawasan yang sangat subur dan potensial untuk pertanian dan perkebunan.88 Salah satu bukti sejarah yang menunjukkan kesuburan daerah darek adalah catatan Dobbin yang menyebutnya sebagai daerah lumbung padi di Alam

85Elizabeth E. Graves, Asal-Usul, op.cit.,hal. 3 86Harsya W. Bachtiar “Nagari Taram: Masyarakat Desa Minangkabau” dalam Koentjoroningrat, Masyarakat Desa di Indonesia (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), hal. 224-226 dan Sanusi Latief “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau,” Disertasi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1988), hal. 1-2 87Catatan sejarah yang dijadikan rujukan tentang keberadaan Kerajaan Pagaruyung pada umumnya masih diragukan. Historiografi tradisional Minangkabau yang mengungkapkan sejarah Kerajaan Pagaruyung lebih banyak berupa cerita-cerita fiktif. Lihat William Marsdem, Sejarah Sumatra (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hal. 306 88C. Geertz, Involasi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bharata, 1983), hal. 123-129

33

Minagkabau.89 Daerah darek menghasilkan pula komoditas hasil pertanian berupa lada, kopi, palawija dan buah-buahan. Kondisi ekologis darek mendorong tumbuhnya pola kehidupan masyarakat yang mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan. Masyarakat darek mengusahakan pula industri rumah tangga berupa kerajinan perak bakar di Koto Gadang (Luhak Agam), songket di Luhak Tanah Datar dan Lima Puluh Kota.90 Daerah-daerah di sepanjang sungai Siak dan Kampar dikenal sejak lama sebagai jalur utama bagi suplai gambir, kopi dan berbagai jenis tanaman komersial. Sedangkan sungai Batanghari dan Indragiri menjadi pintu keluar bagi ekspor lada hitam Minangkabau ke pasar dunia.91 Sejak abad ke-17 daerah darek dikenal sebagai kawasan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Bahan tambang emas, kapur barus dan batu bara adalah produksi yang sangat dibutuhkan dalam dunia industri dan perdagangan.92 Rantau adalah daerah perbatasan yang meliputi hampir keseluruhan wilayah pemukiman yang disebut sebagai daerah kedua oleh masyarakat Minangkabau. Perkembangan daerah rantau sangat luas dan meliputi pemukiman di luar Alam Minangkabau yang secara sosio-kultural dipengaruhi oleh budaya Minangkabau.93 Kawasan rantau merupakan daerah yang sangat penting dan strategis karena menjadi pintu gerbang masuknya ide-ide baru yang kemudian menjalar hingga ke kawasan darek. Kawasan rantau terdiri dari dua wilayah utama, yaitu daerah rantau hilir dan pesisir (mudik). Daerah rantau hilir terletak di sekitar sungai-sungai yang bermuara menuju selat Malaka, seperti sungai Siak, Kampar, Rokan, Batanghari dan Indragiri 94 yang dikenal sebagai rantaunya masyarakat Luhak Lima Puluh Kota. Rantau pesisir (mudik) merupakan daerah di Pesisir Barat Pulau Sumatera, seperti Tiku, Pariaman, Padang, Pesisir Selatan, Muko-Muko dan lain sebagainya. Daerah itu adalah wilayah

89Christine Dobbin, Kebangkitan, op. cit., hal. 14-26 90Umar Yunus, “Kebudayaan Minangkabau” dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 1971), hal. 246 91Rusli Amran, Sumatera Barat dan Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) hal. 91-121 92Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Obor, 1992), hal. 110-111 93Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003), hal. 36. Bagi orang Minangkabau, pergi ke rantau (merantau) berarti meninggalkan kampung halaman untuk berbagai hal demi memperbaiki taraf kehidupan, seperti mencari harta, menuntut ilmu dan popularitas diri. Merantaumerupakan aktivitas untuk mencari kehidupan baru lantaran peningkatan jumlah penduduk di daearh darek.Merantaubiasanya dilakukan oleh para lelaki yang belum berumah tangga.Pada mulanya istilah rantau bermakna pantai, tempat akhir sungai, dan negeri luar. Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX”, dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang (Jakarta: Yayasan Obor, 1985) hal. 80 94Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera in the Early Decades of 20th Century” dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1972), hal. 186

34

rantau bagi orang-orang yang berasal dari Luhak Tanah Datar. Di sebelah Utara ter- dapat rantau Pasaman yang meliputi daerah Rao, Lubuk Sikaping, Portibi dan Air Bangis yang dikenal sebagai daerah rantau mereka yang berasal dari Luhak Agam. Di sebelah Selatan dari Luhak Nan Tigo dan berbatasan dengan pegunungan Kerinci terdapat daerah yang dinamakan dengan Ekor Rantau Kapalo Darek yang meliputi daerah Alahan Panjang, Sungai Pagu, Muara Labuh, Sawahlunto dan Muara 95 Sijunjung. Daerah rantau dikenal sejak lama sebagai jalur perdagangan laut yang ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar dari berbagai daerah, baik dari dalam maupun luar Minangkabau. Adanya pelabuhan-pelabuhan pada beberapa tempat memungkinkan saudagar-saudagar Minangkabau mengekspor barang-barang dagangan mereka ke luar negeri dan sebaliknya. Dagangan yang diekspor biasanya adalah barang-barang yang didapat dari daerah darek. Masyarakat yang tinggal di daerah rantau mempertahankan hidup dari usaha menangkap ikan dan menyewakan kapal-kapal untuk mengangkut barang. Sebagian masyarakat mengusahakan industri rumah tangga yang diperdagangkan di daerah sekitarnya dan di antaranya adalah tenun songket Silungkang.96 Kawasan rantau pada umumnya memiliki tanah yang kurang subur dan banyak di antaranya yang masih berawa sehingga masyarakatnya tidak banyak yang mengandalkan hidup mereka dari usaha pertanian dan perkebunan. Tambo adat (historiografi tradisional) menyebut bahwa Alam Minangkabau memiliki luas wilayah yang meliputi riak nan badabua, siluluak punai mati, sirangkak nan badangkuang buayo putiah daguak, taratak aie hitam, sikilang aia bangieh sampai ka durian ditakuak rajo.97 Daerah-daerah yang dimaksud dan batasan-batasan wilayahnya sangat sulit untuk dipahami dengan tepat karena diungkapkan dengan kosa kata metafor yang memiliki pengertian simbolik. Adrianus Khatib mencoba untuk mencari tahu makna-makna simbolik itu dan memahami riak nan badabuah dengan Samudera Hindia yang berada di sebelah Barat pulau Sumatera. Si kilang aie bangiah merupakan tempat yang sekarang ini bisa dijumpai di daerah yang terletak di Kabupaten Pasaman Timur dengan nama Air Bangis. Sedangkan taratak aie hitam dalam pandangan Adrianus Khatib adalah kawasan Indragiri sekarang.98 Wilayah yang luas itu ditempati oleh salah satu kelompok etnis yang terbesar di Indonesia, yaitu masyarakat Minangkabau. Sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930 menyebutkan bahwa

95Irhash A. Sahamd dan Danil, Islam, op.c it., hal. 21 96Akira Nagazumi, loc.cit. 97Datoek Batoeah Sango, Tambo Alam Minagkabau (Pajokoemboeh: Limbago, 1956) hal. 58- 70 dan Mochtar Naim, Merantau, op. cit., hal. 61 98Adrianus Khatib, “Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, Disertasi (Jakarta; Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1991) hal. 38

35

masyarakat Minangkabau merupakan etnis terbesar keempat di Indonesia setelah etnis Jawa, Sunda, dan Madura.99 Etnis Minangkabau hadir dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai kelompok sosial yang unik karena mereka menganut sistem kekerabatan matrilineal dan menetapkan silsilah (geneologis) menurut garis keturunan dari seorang ibu. Keluarga dalam sistem sosial dan kekerabatan masyarakat Minangkabau terdiri dari ibu dan anak-anak yang dikepalai oleh seorang anggota keluarga laki-laki dari garis keturunan ibu yang disebut dengan mamak rumah (paman) dan tinggal bersama saudara-saudara ibu lainnya pada suatu Rumah Gadang.100 Proses pembentukan struktur dan sistem sosial masyarakat Minangkabau bermula dari kelompok-kelompok kecil menurut silsilah dan garis keturunan ibu (matrilineal), mulai dari kelompok samande, saparuik, sapayuang hingga sasuku. Samande merupakan kelompok sosial yang terdiri dari keturunan yang berasal dari ibu yang sama. Kelompok sosial yang lebih besar dari samande disebut dengan saparuik. Kelompok sosial ini terdiri dari orang-orang yang biasanya tinggal pada suatu Rumah Gadang yang dipimpin oleh seorang mamak rumah (tungganai). Kelompok saparuik yang anggotanya terus berkembang dan semakin luas, sebagian mereka keluar dari Rumah Gadang dan tinggal di rumah yang baru sehingga membentuk kelompok sapayuang, yaitu kelompok sosial yang berada di bawah perlindungan seorang penghulu (mamak). Pemekaran kelompok sapayung karena anggotanya terus bertambah banyak akan membentuk kelompok yang memiliki suku yang sama (sasuku).101 Suku merupakan struktur dan sistem sosial utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang masing-masingnya dipimpin oleh seorang penghulu (mamak) atau kepala suku yang dipilih oleh seluruh anggota dan berhak memakai gelar kehormatan sebagai datuk dengan fungsi pengatur hubungan antara anggota sukunya dengan suku lain. Sebagai satu kesatuan geneologis suku menempati suatu daerah pemukiman yang sama dan kehadirannya merupakan kesatuan teritorial dan politik.102 Federasi suku-suku membentuk sebuah nagari (desa) yang mempunyai

99Azyumardi Azra, Surau, op. cit., hal. 36 100Edison dan Nasrun Datuk Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), hal. 148-152 101Tsuyoshi Kato, Adat, op. cit., hal. 29-34. Jumlah suku di Minangkabau pada mulanya dijumpai sebanyak empat buah yang terdiri dari Bodi, Caniago, Koto dan Piliang.Suku Bodi dan Caniago menganut aliran politik yang disebut dengan Kelarasan Bodi Caniago.Sedangkan suku Koto dan Piliang menganut aliran politik Kelarasan Koto Piliang.Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, suku-suku di Minangkabau mengalami pemekaran sehingga melahirkan berbagai suku baru, seperti Melayu, Tanjung, Pisang, Bendang dan lain sebagainya.A.A Navis, Alam, op. cit., hal. 121-123. Erman, Pergerakan Nasional Dalam Teks Media di Minangkabau 1933-1936: Kajian Terhadap Madjallah Raya (Padang: IAIN IB Press, 2014), hal. 10-11 102Hendra Naldi, “Booming” Surat Kabar di Sumatra’s Westkust(Yogyakarta: Ombak, 2008),hal. 16

36

independensi yang luas dalam mengatur rumah tangga dan pemerintahan sendiri. Konstruksi sosial semacam ini disebutkan oleh Mochtar Naim dan Joel Kahn hampir sama dengan struktur sosial dan politik yang ditemukan dalam masyarakat Yunani kuno.103 Penghulu dalam struktur masyarakat Minangkabau merupakan jabatan terhormat yang berada pada puncak hirarki adat. Selain pengatur perilaku dan harta kepemilikan kaum, jabatan penghulu juga penting untuk mewakili sukunya dalam membangun hubungan dengan suku lain dan nagari-nagari.104 Jabatan penghulu biasanya dipegang oleh saudara laki-laki ibu (mamak) yang memiliki kecakapan tertentu. Proses pemilihan seorang penghulu dilakukan oleh kelompok kekerabatan matrilineal dengan mengikuti pola seleksi yang sudah ditetapkan oleh sistem politik Kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang. Kelarasan Bodi Caniago yang lebih demokratis menetapkan pola seleksi jabatan penghulu melalui mekanisme pemilihan. Sedangkan Kelarasan Kota Piliang yang cendrung aristokratis menentukan pemilihan jabatan penghulu berdasarkan garis keturunan dan bersifat turun-temurun.105 Kedua model pemilihan jabatan penghulu itu masih berlangsung di daerah Minangkabau hingga masa sekarang dan masyarakat pendukungnya tetap hidup berdampingan secara damai dengan saling menghargai masing-masing ketentuan adat. Jabatan penghulu memiliki peran penting bagi nagari sebagai unit sosial- politik di Minangkabau yang diperintah oleh suatu Dewan Penghulu (Dewan Kerapatan Nagari) yang terdiri dari penghulu-penghulu suku.106 Salah seorang dari

103Mochtar Naim, op.cit.,hal. 66 dan Joel Kahn, Constituting the Minangkabau: Peasent, Culture, and Modernity in Colonial Indonesia (Oxford: Berg Publisher, 1993), hal.68-69. Erman, Pergerakan, op. cit., hal. 11-13 104Kedudukan penghulu sebagaimana digambarkan dalam pepatah adat Minangkabau ibarat kayu gadang di tangah padang, tampek balinduang kapanasan, tampek batadueh kahujanan, ureknyo tampek baselo, batangnyo tampek basanda, pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, biang nan akan manabuekkan, gantiang nan akan mamutuihkan, tampek mangadu sasak jo sampik. Edison dan Nasrun Datuk Marajo Sungut, Tambo, op. cit.,hal. 187 105A.A. Navis, Alam, op. cit.,hal. 144. Kedudukan penghulu pada Kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang memiliki beberapa perbedaan. Pada kelarasan Bodi Caniago, penghulu memiliki kedudukan “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”.Sementara, penghulu pada kelarasan Koto Piliang memiliki kedudukan “berjenjang naik dan bertangga turun”.Perbedaan kedudukan penghulu ini mempengaruhi bentuk Balai Adat kedua kelarasan tersebut.Balai Adat pada Kelarasan Bodi Caniago memiliki lantai yang datar dan melambangkan nilai-nilai persamaan.Sementara Balai Adat Kota Piliang memiliki anjung di sebelah kanan dan kiri. Tsuyoshi Kato, Adat, op. cit., hal. 35 106Dalam menjalan tugasnya di nagari, penghulu dilengkapi dengan seperangkat staf yang terdiri dari Panungkek, Malin, Manti dan Dubalang. Panungkek adalah pembantu utama penghulu yang akan mewakili dirinya bila berhalangan. Malin adalah guru dan ulama yang mengatur masalah keagamaan dan ibadah.Manti merupakan pembantu penghulu di bidang tatalaksana pemerintahan nagari.Sedangan Dubalang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban dalam nagari.Penghulu dan pembantunya menurut aturan adat Minangkabau disebut dengan Urang Nan Ampek Jinih (orang yang empat jenis).Ibid., hal. 143

37

mereka yang dipandang memiliki kemampuan diangkat menjadi pemimpin. Sistem pemerintahan semacam ini bersifat otonom dan tidak memiliki hubungan struktural dengan nagari lain. Karena itu sistem pemerintahan nagari tidak bisa dipandang sebagai perpanjangan dari kekuasaan Raja Minangkabau yang memiliki kedudukan di Pagaruyung. Penguasa Pagaruyung yang dianggap memerintah wilayah yang tergabung dalam entitas geografis dan politik di Minangkabau memiliki posisi kurang lebih sama dengan fungsi dan pola penghulu di tingkat nagari. Dua raja yang mendampingi penguasa kerajaan Pagaruyung, yaitu raja adat dan raja ibadah hanya memiliki fungsi untuk mewakili sub-geografis yang utama dalam kerajaan dan tidak memiliki peran dalam kehidupan sosial-politik sehingga hanya sebagai simbol- simbol kosmologis aturan alam Minangkabau.107 Kebudayaan dalam masyarakat Minangkabau populer dengan sebutan adat, yaitu norma-norma dan aturan yang sudah menjadi kebiasaan dan pakaian dalam kehidupan sehari-hari.108 Adat meliputi serangkaian ide, perbuatan dan karya manusia. Nenek moyang masyarakat Minangkabau sangat memahami pentingnya keberadaan adat yang berisi norma-norma untuk mengatur dan menjamian ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup masyarakat. Norma- norma semacam itu berupa sistem nilai yang memuat berbagai aturan yang esensial dan diwariskan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.109 Ketentuan Adat Minangkabau pada awalnya disusun oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Kedua tokoh ini mempunyai perbedaan watak, sifat, gaya hidup dan pola pikir yang terefleksi pada nilai-nilai dan aturan adat Minangkabau yang mereka buat masing-masing. Adat Datuk Katumanggungan lebih bersifat aristokrasi walaupun tetap menghormati kata mufakat yang diambil dalam musyawarah adat. Sistem adat Datuk Katumanggungan mengandung prinsip bajanjang naik, batanggo turun sehingga pejabat pemerintah pada masing-masing suku terbagi pada empat tingkatan, yaitu Datuk Empat Suku, Penghulu Pucuk, Datuk Adat dan Datuk Ibadat. Masing-masing tingakatan ini terlihat pada corak dan bentuk bangunan Balairung (rumah) Adat Datuk Katumanggungan yang dibuat bertingkat-tingkat pada kedua ujungnya. Para pemangku adat (penghulu) yang hadir dalam pertemuan dan musyawarah yang diadakan pada Balairung Adat diatur sesuai dengan tempat duduk masing-masing menurut adat. Corak otokrasi adat yang dirumuskan oleh Datuk Katumanggungan tercermin pula pada konstruksi gagasan yang lebih banyak datang dari atas (titik dari ateh) dan keputusan yang sudah disahkan dalam musyawarah adat tidak boleh ditinjau lagi. Sistem ini disebut dengan Undang-Undang Simumbang Jatuh yang berarti bahwa kelapa yang jatuh dari pohonnya tidak mungkin kembali ke tempat

107Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elit, op. cit., hal. 35-36 108Amir MS, op. cit., hal. 14 109Ibid., hal. 62

38

semula. Karena itu keputusan yang diambil dalam musyawarah adat tidak mungkin berubah karena bersifat mengingkat dan memiliki kekuatan hukum tetap.110 Adat yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang lebih bersifat demokratis dan tercermin dalam idiom duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Tradisi makan dan musyawarah dalam Balairung Adat memiliki tempat duduk yang datar dan tidak bertingkat. Suatu gagasan tidak selalu datang dari seorang pimpinan dan boleh saja berasal dari kalangan masyarakat bawah (mambasuik dari bawah). Sebuah keputusan diambil melalui musyawarah dan mufakat, serta dapat ditinjau kembali. Daerah kekuasaan Datuk Katumanggungan disebut dengan kelarasan Koto Piliang dan daerah kekuasaan datuk Perpatih Nan Sabatang disebut dengan kelarasan Bodi Caniago. Dalam mengatur kehidupan masyarakat, Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang membuat suatu kesepakatan bahwa pangkat adat diatur secara bertingkat, yaitu penghulu, malin dan dubalang. Sementara kehidupan bersuku, berkampung, bernagari diatur secara musyawarah yang berlandaskan ketentuan adat Minangkabau yang menyebutkan duduk sama rendah, tegak sama tinggi.111 Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, ketentuan dan norma-norma adat dibangun melalui pendekatan rasional dan memikirkan alam (sunnatullah) sebagaimana yang diabadikan dalam sebuah idiom “alam takambang menjadi guru”. Lewat alam terkembang dan fenomena yang dijumpai di dalamnya, nenek moyang masyarakat Minangkabau menyusun seperangkat aturan hidup yang kemudian diabadikan dalam petatah-petitih, pantun dan gurindam. Pada masa itu, adat didasarkan pada falsafah alur dan patut. Setelah Islam masuk ke Minangkabau ketentuan adat secara berangsur-angsur mengalami perubahan disebabkan oleh pengaruh Islam yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan pengaruh Islam, sistem dan norma adat Minangkabau mulai didasarkan pada ketentuan Allah dan Rasul.112 Sumber-sumber pengambilan norma-norma kehidupan bukan hanya berasal dari ketentuan-ketentuan alam semata-mata, melainkan juga disempurnakan melalui ajaran kitab suci al-Quran dan Sunnah Rasul. Konsepsi adat yang dimuat dalam petatah-petitih, gurindan dan pantun Minangkabau merefleksikan bahwa tujuan hidup yang mau diwujudkan oleh norma- norma kebudayaan tersebut adalah tantanan hidup baldatun tayyibatun warabbun gafur. Tujuan itu dieksplisitkan dalam nilai-nilai adat yang menegaskan bumi sanang, padi manjadi, dan taranak bakambang biak. Untuk mencapai tujuan itu sebagaimana disebutkan oleh Amir Syarifoedin nenek moyang masyarakat Minangkabau telah mempersiapkan sarana dan prasarana nilai dan norma yang

110Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. dan Perdjuangan Kaum Adat di Sumatera (Djakarta: Djajamurni, 1967), hal. 20 111Ibid., 112A.A. Navis, Alam, op. cit., hal. 144

39

dimesti dijalankan bersama, yaitu saiya sekata, sehina semalu, anggo tango dan sapikua sajinjiang. Seiya sekata memiliki makna kebersamaan dan dalam situasi yang bagaimanapun masyarakat Minangkabau harus mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Kebudayaan Minangkabau pada sisi lain mengapresiasi kemungkinan terjadinya konflit dalam masyarakat dan meletakkannya sebagai sumber kekuatan yang dapat melahirkan perubahan. Bersilang kayu di tunggu, di sinan api mangko iduik (bersilang kayu dalam tungku, maka api bisa hidup) adalah gurindan normatif yang memandang positif setiap konflit yang terjadi dalam kehidupan sosial. Sejalan dengan nilai seiya sekata, konflit sebagaimana dijelaskan dalam adat Minangkabau jangan menjadi bara yang menyulut kobaran api perpecahan.113 Sehina semalu merupakan konsepsi adat dan kebudayaan Minangkabau yang masih terkait dengan penyelesaikan setiap konflit yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Lewat penyelesaikan awak samo awak (kita sama kita) dapat meleburkan egoisme dan jurang pemisah antara “kau dan aku”. Masyarakat Minangkabau adalah suatu kesatuan yang utuh dan memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi berbagai perubahan.114Anggo-tango adalah konsepsi adat yang memiliki tujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Dalam pergaulan sosial, setiap individu dan kelompok masyarakat harus mematuhi setiap peraturan dan ketentuan adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Kemudian konsep sapikua-sajinjiang terkait dengan kehidupan masyarakat komunal yang memiliki tanggung jawab bersama. Sikap solidaritas, kebersamaan dan gotong royong menjadi keniscayaan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.115 Kebudayaan (adat) Minangkabau secara umum mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat dan terdiri dari empat tingkatan yang masing-masingnya memiliki sifat-sifat dan daya lentur yang berbeda-beda. Pertama adalah adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) yang memiliki daya lentur yang sangat rendah dan tidak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Aturan hidup yang termasuk adat nan sabana adat adalah sistem sosial masyarakat matrialineal, pewarisan harta pusaka tinggi, perkawinan eksogami dan hukum sunnatullah yang terdapat pada alam semesta. Kedua adalah adat nan diadatkan (adat yang ditradisikan) berupa peraturan setempat yang telah ditetapkan secara mufakat sesuai dengan kebiasaan yang sudah berlaku umum pada sebuah nagari. Adat nan diadatkan ini biasanya berlaku hanya dalam suatu nagari dan tidak dapat dipaksakan agar berlaku dalam nagari lain sesuai dengan pepatah yang menyebut bahwa adat salingkuang nagari (adat untuk satu negeri saja). Karena itu adat nan diadat memiliki perbedaan pada masing-masing nagari di Minangkabau. Perubahan adat nan

113Amir Syarifoedin, Minangkabau, op. cit. ha. 61 114Ibid., hal. 62 115Ibid., hal. 63-64

40

diadatkan dapat dilakukan oleh masyarakat Minangkabau melalui kesepakatan pihak- pihak yang terkait dengan peraturan tersebut.116 Ketiga adalah adat yang teradat yang berisi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi, bahkan boleh ditinggalkan selama tidak menyalahi landasan berfikir orang minang (alua, patuik, raso, pareso dan musyawarah). Di antara kebiasaan yang termasuk adat yang teradat adalah etika berpakaian, makan dan minum. Adat ini memiliki tingkat elastisitas yang lebih tingi dari tingkatan adat nan diadatkan dan seringkali mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Keempat merupakan adat istiadat yang memiliki daya lentur yang sangat tinggi sehingga mudah mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Adat ini biasanya berisi aturan tentang aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti situasi dan kondisi. Kelaziman itu berhubungan dengan rasa seni budaya masyarakat berupa acara keramaian anak nagari, pertunjukan, randai, saluang, rabab, tari-tarian dan aneka kesenian, upacara perhelatan, perkawinan, pengangkatan penghulu maupun untuk menyambut tamu yang agung.117

B. Perempuan Dalam Sistem Sosial Matrilineal Masyarakat Minangkabau memiliki sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang jauh berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia karena mereka menganut sistem sosial dan budaya yang disebut dengan matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menentukan geneologis dan silsilah berdasarkan garis keturunan ibu. Matrilienal berasal dari kosa kata bahasa Latin yang terdiri dari dua kata, yaitu mater yang berarti ibu dan linea yang berarti garis (keturunan). Karena itu matrilineal memiliki pengertian sebagai sistem sosial yang mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak seorang ibu. Kata matrilinel sering disamakan dengan matriakhat atau matriakhi meskipun keduanya mempunyai pengertian yang jaun berbeda. Matriakhat atau matriakhi juga berasal dari kosa kata bahasa Latin, yaitu mater yang berarti ibu dan archein yang berarti memerintah. Terminologi ini lebih jauh diartikan sebagai sebuah konsep untuk menjelaskan bahwa kekuasaan berada di tangan ibu atau perempuan.118 Seorang ahli antroplogi abad ke-19, J. Lublock. G.A. Wilken seperti dikutip oleh Amir Syarifoeddin menjelaskan bahwa matrilineal atau matriakhat merupakan sistem kekeluargaan yang tertua di dunia yang tumbuh sejak masyarakat primitif. Mereka belum mengenal tatanan nilai yang menjadi pegangan dalam kehidupan kelompok sehingga terjadi pergaulan bebas (kumpul kebo) dan memiliki keturunan

116LKAAM Sumbar, Pelajaran Adat Minangkabau, Sejarah dan Budaya (Padang: Topik Offset Printing, 1987), hal. 14 117Ibid., 118Amir Syarifoedin, Minangkabau, op. cit., hal. 89-90

41

tanpa ikatan yang jelas. Keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak sebagaimana yang dikenal sekarang ini belum ada dalam kehidupan masyarakat primitif. Sejalan dengan kehidupan sosial yang terus berkembang, mereka secara perlahan mulai menyadari dan memahami bahwa hubungan ibu dan anak adalah sebagai satu kelompok keluarga. Ketika itu anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa ayahnya sehingga terbentuk corak keluarga batih yang terdiri dari ibu dan anak. Pada keluarga semacam ini, ibu yang bertindak sebagai kepala keluarga dan berlaku aturan bahwa hubungan seksual antara ibu dan anak sudah mulai dihindari. Dari sinilah asal mula tumbuhnya sistem matrilineal di dunia yang berarti sistem sosial yang menentukan silsilah keturunan dari seorang ibu, atau matriakhat yang berarti ibu yang berkuasa.119 Penganut sistem matrilineal tidak banyak di dunia dan hanya hanya sekitar 14% yang dijumpai dalam masyarakat Yahudi, suku Indian di Apache Barat, suku Navajo, Pueblo dan Crow di Amerika Serikat, suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, suku Nakhi di Sichuan dan Yunnan, Tiongkok, serta beberapa suku kecil di Asia Pasifik. Sistem matrilineal terbesar di dunia adalah yang dianut oleh masyarakat Minangkabau dan relatif teruji karena bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama.120 Jeffrey Hadler menyebut bahwa sistem matrilineal dalam etnis dan suku bangsa lain mengalami kepunahan yang disebabkan oleh tantangan-tantangan yang dihadapinya. Asia Selatan dan Asia Tenggara yang memiliki masyarakat matrilineal di Kerala India dan Negeri Sembilan di Malaysia dirongrong oleh negara kolonial Britania (Inggris) dengan reformasi legal dan universal gagasan kemajuan dan modernitas yang menempatkan matrilineal sebagai anakronisme dan kenangan sejarah. Sistem kekerabatan matrilienal dalam etnis dan suku bangsa tersebut hanya sisa masa lalu yang selalu diingat oleh komunitasnya dan kurang berkembang secara sosial.121 Sistem matrilineal yang kurang berkembang dalam etnis dan suku bangsa lain ternyata memiliki daya tahan yang kuat di Minangkabau, meskipun masyarakatnya pernah terlibat dalam pertikaian tiga arah yang terjadi antara Islam reformis, tradisi-tradisi matrilineal dan progresivisme Eropa sejak tahun 1820-an. Dialektika ini memiliki lokus pada konsep rumah dan keluarga ideal. Islam reformis berkutat dengan definisi kehidupan sehari-hari dan rumah di kalangan penduduk kampung sejak pertengahan abad ke18. Kolonialisme dengan tujuan memperluas basis pajak dan kerja paksa memiliki kepentingan mengontrol keluarga dan populasi. Pertikaian tiga arah ini kata Jeffrey Hadler sulit menggoyah kokohnya pondasi

119Ibid., hal. 90-91 120Ibid., hal. 90 dan Atmazaki, Dinamika Jender Dalam Konteks Adat dan Agama(Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2007), hal. 30 121Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau(Jakarta: Freedom Institute, 2010), hal. 304

42

bangunan sistem matrilienal di Minangkabau sehingga menjadi anutan masyarakat yang masih bertahan sampai sekarang.122 Sistem sosial matrilineal dikonstruksi dari tiga unsur dominan yang membedakannya dengan sistem kekerabatan lain. Ketiga unsur itu meliputi bahwa (a) ibu memiliki posisi sebagai sumber penetapan silsilah dan garis keturunan, (b) ibu memiliki peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga, (c) serta perkawinan dengan kelompok lain di luar suku (eksogami).123 Unsur pertama menempatkan seorang ibu pada posisi penting untuk menentukan garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau. Seorang anak yang lahir baik laki- laki maupun perempuan memiliki suku (clan) yang sama dengan suku ibunya. Sekiranya ibu memiliki suku piliang, semua anak dan keturunannya mempunyai identitas primordial sebagai masyarakat piliang. Bagi masyarakat Minangkabau, silsilah keturunan seorang anak lebih mudah ditentukan melalui garis keturunan ibu dibandingkan seorang ayah karena ibu adalah orang yang melahirkan, menyusukan dan merawatnya.124 Unsur kedua dalam pembentukan sistem kekerabatan matrilineal menempatkan perempuan pada posisi yang amat penting dan strategis sebagai pemegang waris harta pusaka, sawah dan ladang, serta tempat kediaman (rumah gadang). Posisi ini memberikan ruang kepada kaum perempuan Minangkabau sebagai penguasa sawah-ladang dan rumah gadang yang menjadi sumber ekonomi dan tempat tinggal. Laki-laki dalam sistem sosial matrilineal tidak memiliki kamar di rumah gadang karena hanya disediakan untuk anak perempuan. Sebagai tempat penginapan bagi anak laki-laki dibangun surau-surau kaum yang secara kultural merupakan pelengkap rumah gadang. Semenjak kecil anak laki-laki Minangkabau harus tidur di surau-surau sampai mereka menikah dan mempunyai istri. Setelah berkeluarga seorang laki-laki Minangkabau tidak sepenuhnya tinggal di rumah istrinya karena kehadirannya dianggap sebagai tamu yang tidak memiliki kuasa di rumah mertuanya. Kondisi sosial semacam ini yang kemudian momotivasi kaum laki-laki Minangkabau untuk pergi merantau yang bukan hanya sekedar produk urbanisasi melainkan konstruksi sosial-budaya yang telah terpatri lama dalam kehidupan, baik dalam sejarah maupun sistem sosial. Kegiatan merantau merupakan tradisi yang dipandang mulia dan sering diidealisasikan sebagai jalan yang tepat menuju kedewasaan dan kesuksesan. Karena itu, kegiatan merantau merupakan katup pelepas (escape valve) dari konflik sosial yang dialami masyarakat Minangkabau.125

122Ibid., hal. 306 123Amir, M.S., Adat, op. cit., hal. 22 124Atmazaki, Dinamika, op. cit., hal. 31 125Elizabeth E. Graves, op. cit., hal. 226

43

Unsur ketiga dari sistem sosial matrilineal adalah perkawinan eksogami yang dilakukan oleh setiap pasangan yang berbeda suku sehingga salah satu pihak yang menikah itu tidak melebur dalam kaum kerabat pasangannya. Perkawinan ideal dalam sistem kekerabatan matrilineal adalah perkawinan antar keluarga terdekat, seperti perkawinan anak dan kemenakan (pulang ka bako). Sekiranya perkawinan semacam ini tidak mungkin dilaksanakan, maka perkawinan selanjutnya yang dianjurkan adat Minangkabau adalah perkawinan sekorong, sekampung, senagari hingga perkawinan sesama masyarakat Minangkabau. Sistem perkawinan semacam ini bukan berarti bahwa masyarakat Minangkabau memiliki sikap ekslusif dan tidak mau menikah dengan masyarakat luar, melainkan untuk mempertahankan sistem komunal dan kolektivisme yang dianutnya. Perkawinan dengan orang luar Minangkabau tidak dilarang oleh adat. Pertimbangan adat hanya terkait dengan resiko yang ditimbulkan oleh perkawinan itu yang bisa melemahnya sistem sosial dan kekerabatan matrilineal.126 Sejalan dengan penjelasan sebelumnya Atmazaki menjelaskan secara rinci bahwa masyarakat matrilineal Minangkabau memiliki karakteristik tertentu, yaitu (a) penentuan geneologis berdasarkan keturunan ibu; (b) pembentukan suku melalui jalur keturunan ibu; (c) perkawinan bersifat eksogami dan berbeda suku; (d) perkawinan bersifat matrilokal di mana suami mengunjungi dan tinggal di rumah istri; (e) istri dan suami tidak memiliki kelompok matrilineal yang sama; (f) setiap individu tidak mengalihkan keanggotaan kelompoknya setelah melakukan pernikahan; (g) kaum perempuan adalah penerus kelompok matrilineal; (8) saudara laki-laki ibu (mamak) mengontrol dan bertanggung-jawab penuh terhadap kelompoknya; (h) hak-hak pusaka diwariskan kepada kaum perempuan menurut garis keturunan ibu; (i) seorang laki-laki yang memiliki istri menempati posisi sebagai ayah secara biologis dan sosiologis.127 Karakteristik masyarakat yang dikonstruksi dalam sistem kekerabatan matrilineal menempatkan laki-laki dan perempuan mendapat pengakuan yang sama dan berbagi peran dalam kehidupan sosial. Perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis (seksual) adalah bersifat kodrati dan dipandang oleh sistem adat Minangkabau sebagai adat nan sabana adat karena lahir dari ketentuan sunnatullah. Sedangkan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam konstruksi sosial merupakan adat yang teradat atau adat istiadat yang memiliki daya lentur sangat besar dan dapat berubah sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Dalam idiom adat Minangkabau dijelaskan bahwa sekali aie gadang, sekali tapian berubah (sekali air besar, sekali tepian berubah) yang menekankan perubahan sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Sifat egaliterian dan fIeksibel semacam ini

126AA Navis, Alam, op. cit., hal. 193-194 127Atmazaki, Dinamika, op. cit., hal. 31 dan Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan di Minangkabau (Padang: Center for Minangkabau Studies Press, 1969), 210-211

44

menjadi ciri masyarakat Minangkabau sehingga perubahan bukan sesuatu yang tabu, melainkan sesuatu yang seharusnya terjadi dalam dinamika kehidupan sosial.128 Apresiasi adat Minangkabau terhadap perempuan berawal dari penyebutan dan panggilan yang diberikan kepada dirinya dengan nama bundo kanduang. Bundo berarti bunda atau ibu dan kanduang berarti kandung. Karena itu pengertian bundo kanduang adalah bunda atau ibu kandung yang melahirkan dan tempat menentukan garis keturunan dalam sistem matrilineal. Idrus Hakimy menjelaskan bahwa bundo kanduang berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat kemuliaan dan peran penting dalam kehidupan sosial.129 Sifat-sifat kemuliaan yang dimaksud Idrus Hakimy adalah sifat benar, jujur, cerdas, pandai berbicara dan sifat malu. Sifat benar merupakan modal bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya dalam kehidupan sosial. Adat Minangkabau memberikan panduan kepada perempuan untuk memiliki sifat benar dan harus tercermin dalam kehidupan sehari, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Pepatah adat yang menyebutkan balain mului jo hati (berdeba mulut dengan hati) merupakan larangan untuk melakukan perbuatan dusta. Sifat ini sangat penting bagi perempuan karena kehadirannya sebagai bundo kanduang dituntut untuk memperjuangkan dan menegakkan kebenaran.130 Jujur, cerdas, pandai berbicara dan malu sebagaimana halnya kebenaran juga merupakan sifat utama yang mesti dimiliki oleh perempuan Minangkabau sesuai posisinya sebagai bundo kanduang dalam kehidupan suku dan nagari. Semua sifat itu merepresentasikan bahwa perempuan memiliki kedudukan istimewa dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Mereka bukan hanya memiliki peranan dalam ranah domestik, namun juga berhubungan dengan kehidupan sosial dan kultural (publik).131 Adat Minangkabau secara metafor menyebut perempuan sebagai limpapeh rumah nan gadang (penyangga rumah gadang), umbun puruak pagangan kunci (penguasa rumah dan pemegang kunci), pusek jalo kumpulan tali (pusat jala dan himpunan tali), sumarak di dalam kampuang, (membuat kampung lebih semarak), hiasan dalam nagari (hiasan dalam negeri), kok hiduik tampek banasa (waktu hidup sebagai tempat bernazar dan menyampaikan keinginan), kok mati tampek baniat (waktu mati tempat berniat), ka undang-undang ka Madinah (menjadi undang-undang atau pelindung ke Madinah) dan payuang panji ka sarugo (sebagai payung besar menuju surga).132 Limpapeh rumah nan gadang merupakan representasi peranan perempuan yang sangat menentukan sebagai penyangga utama rumah gadang yang multi-fungsi dalam sistem sosial dan kultural di Minangkabau, seperti tempat tinggal, pertemuan,

128Ibid., hal. 30 129Idrus Hakimy, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 69 130Ibid., hal. 77 131Idrus Hakimy, Pegangan., loc. cit., 132Ibid., hal. 70

45

musyawarah, acara adat dan pesta perkawinan. Berbagai kegiatan dan keputusan tidak mungkin bisa diwujudkan oleh suatu kelompok matrilineal tanpa kehadiran perempuan. Karena itu perempuan tidak bisa dipandang sebagai lapisan masyarakat yang hanya berfungsi untuk menopang struktur sosial di Minangkabau. Mereka memiliki hak suara yang sama dengan laki-laki, baik dalam kehidupan persukuan maupun lingkungan sosial. Siti Fatimah pernah mengungkapkan peristiwa menarik yang merefleksikan peranan perempuan dalam menentukan suatu keputusan di kerajaan Pagaruyung. Dalam suatu rapat yang dipimpin oleh Raja Alam, bundo kanduang disebutkan oleh Siti Fatimah memperlihatkan kegusaran hatinya terhadap tingkah laku Tanjung Sungainyiang yang dapat merusak keseimbangan alam. Bundo kanduang sebagai unsur penting dalam kerajaan mengusulkan kepada Raja Alam untuk menindak tegas setiap kelompok yang merusak citra kerajaan Pagaruyung.133 Umbun puruak pagangan kunci (penguasa rumah dan pemegang kunci) merupakan peranan yang diberikan kepada perempuan dalam penguasaan sumber daya yang bernilai ekonomis. Peranan ini merupakan bentuk perlindungan sistem matrilineal terhadap hak-hak perempuan yang lebih luas mulai dari penguasaan rumah gadang, sistem perkawinan matrilokal hingga pewarisan harta pusaka. Dalam adat Minangkabau dikenal dua bentuk harta warisan, yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi adalah harta benda berupa sawah, ladang, rumah dan perhiasan yang diwariskan kepada perempuan secara turun temurun menurut garis keturunan matrilineal. Pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan, kecuali digadaikan dengan ketentuan yang sangat ketat. Pusaka rendah adalah harta yang diperoleh dari hasil pencarian suami-istri yang dibagi menurut ketentuan hukum waris Islam sekiranya salah seorang meninggal dunia.134 Akses perempuan terhadap sumber ekonomi menyebabkan laki-laki di Minangkabau tidak memiliki hak atas harta sehingga banyak dari mereka yang meninggalkan kampung halaman (merantau). Meskipun masalah ekonomi bukan satu-satunya alasan dan pertimbangan untuk merantau, tetapi sistem matrilineal yang mengkonstruksi peranan yang besar terhadap kaum perempuan sangat menentukan diaspora masyarakat Minangkabau di berbagai wilayah di Nusantara dan termasuk ke luar negeri. Seorang laki-laki Minangkabau yang telah menikah tidak memiliki kekuatiran dan begitu ragu untuk merantau dan meninggalkan anak-anaknya karena mereka yang ditanggalkan akan selalu hidup survive dengan pusaka yang dimiliki oleh keluarga istrinya. Bagi perempuan yang suaminya merantau lebih terbiasa pula

133Siti Fatimah “Gender Dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau: Teori, Praktek dan Ruang Lingkup Kajian”, Jurnal Kafa’ah, Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. V No.2 Tahun 2015, hal. 15

134Ibid., hal. 17

46

untuk mengatur masalah ekonomi keluarga dan menjadi pemimpin buat anak- anaknya.135 Perempuan dalam adat Minangkabau disebut pula dengan sumarak dalam kampuang dan hiasan dalam nagari yang erat kaitannya dengan fungsi mereka sebagai elemen penting dalam kehidupan sosial dan kekerabatan materilineal. Sebagai penerus kehidupan, peranan perempuan menjadi istimewa dan menduduki posisi khusus dalam struktur masyarakat Minangkabau. Mereka adalah tumpuan harapan kesinambungan sistem kekerabatan matrilineal yang dipandang sebagai adat dan sabana adat di Minangkabau. Mereka adalah tokoh masyarakat yang memiliki fungsi sebagai tempat bertanya, berbagi perasaan dan problem solver dalam menghadapi berbagai masalah sosial. Karena itu seorang perempuan yang dibiasa disebut dengan bundo kanduang merupakan seorang pemimpin masyarakat Minangkabau yang mesti memiliki sifat mulia, benar, jujur, cerdas, pintar bicara dan memiliki sifat malu.136 Perempuan Minangkabau juga belum memiliki hak yang sama dalam bidang politik dan telah berperan sebagai pemimpin yang tergambar dari cerita-cerita dalam kaba, tambo dan mitologi. Selain Bundo Kanduang, perempuan lain yang menjadi pemimpin di Minangkabau adalah Mande Rubiah yang menempati posisi ratu dalam masyarakat Lunang, Pesisir Selatan. Sebagai seorang ratu, Mande Rubiah bukan hanya memiliki kekuasaan di Rumah Gadang, melainkan juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Peran politik perempuan dalam sejarah lokal Minangkabau memiliki fungsi untuk mengatur berbagai urusan publik dan pengontrol kekuasaan. Setelah datangnya pengaruh kolonial Belanda, peranan politik perempuan Minangkabau mengalami penurunan dan bahkan hilang dalam kontestasi kehidupan sosial. Kondisi ini bertambah rumit pasca kemerdekaan, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru yang mempraktekkan pola pemerintahan sentralistik yang sangat mereduksi dan merugikan peran politik perempuan Minangkabau.137 Sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau sebagaimana yang dijelaskan oleh Mestika Zed mendorong daerah ini pernah populer dengan sebutan negeri perempuan.138 Sayangnya dalam praktek sosial ternyata beberapa kedudukan dan peranan perempuan yang diberikan secara normatif oleh adat Minangkabau mengalami pendistorsian dan perempuan dikonstruksi secara sosial sebagai penyangga rumah gadang yang hanya menonjolkan peran-peran domestik. Sekurangnya sampai permulaan abad ke-20, kebebasan dan hak perempuan di ranah publik terhempas oleh konstruksi sosial dan praktek tradisi yang

135Ibid., hal. 17-18 136Idrus Hakimy, Pegangan, op. cit., hal. 77-80 137Nurwani Idris “Perempuan Minangkabau Dalam Politik”, JurnalHumaniora, Volume 22, No, 2 Juni 2010, hal. 166-167 138Mestika Zed, Biografi Rangkayo Hj. Syamsidar Yahya: Perempuan Sumatera (1914-1975) (Padang: FIS Universitas Negeri Padang, 2010), hal. 1

47

dipandang ganjil dalam sistem matrilineal. Perempuan ditempatkan pada posisi yang lemah dan berada satu tingkat di bawah kaum laki-laki. Mereka belum dibolehkan oleh tradisi untuk mendapatkan pendidikan formal. Padahal kaum laki-laki jauh sebelumnya sudah leluasa untuk memperoleh hak-hak mereka dalam bidang pendidikan.139 Majalah Isteri Sedar Indonesia pernah memuat artikel yang ditulis oleh Djoes’a Burhan dengan judul “Dewan Minangkabau Menolak Kaum Ibu?”. Artikel ini menyebut bahwa Minangkabau yang menganut sistem matrilineal saja masih mengabaikan hak-hak perempuan. Tiga orang anggota Dewan Minangkabau, yaitu S.M. Latief, Tjon Sin Soen dan Datoek Sakato menolak kehadiran tokoh perempuan dalam dewan tersebut.140 Konstruksi sosial budaya yang mengabaikan hak-hak perempuan semacam ini berlangsung relatif lama di Minangkabau yang kemudian melahirkan geliat pemikiran dan pergerakan kaum perempuan untuk menentang ketidakadilan. Institusi pergerakan pertama adalah surat kabar Soenting Melajoe yang konstribusinya sangat besar bagi perempuan Minangkabau. Bermula dari Soenting Melajoe, perempuan Minangkabau sangat menyadari pentingnya kemajuan sehingga menerbitkan surat kabar Soeara Perempoean, Jauharah dan Asjraq pada tahun 1920-an sebagai medium pergerakan.141 Persoalan konstruksi sosial budaya yang bias gender juga menyentuh kesadaran penulis laki-laki. Di antara mereka adalah nama-nama besar dan tokoh penting masyarakat Minangkabau, seperti Marah Rusli dan . Marah Rusli mengkritik marjinalisasi perempuan dalam konstruksi sosial dan kultural Minangkabau dalam lewat novel “Siti Nurbaya”. Novel ini sekalipun bersifat fiksi yang membuka peluang bagi siapapun untuk memperdebatkan kebenaran tokoh Syamsul Bahri dan dan Siti Nurbaya, namun tempat dan alur penceritaannya dikemas dalam konteks sosial-kultural Minangkabau awal abad ke-20. Adat ketika itu masih membelenggu perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya dan tersubordinasi di bawah relasi kuasa paman (mamak) sendiri. Itu sebabnya kenapa Siti Nurbaya harus “meraggang jiwa” untuk melepaskan kepergian kekasih pujaan hatinya, Syamsur Bahri, dan terpaksa menerima Datuk Maringgih sebagai jodoh pilihan orang tuanya karena terbelenggu lilitan hutang.142 Hamka dalam roman “Tenggelamnya Kapal Van Derwijck” melakukan hal sama dengan Marah Rusli dan menentang hegemoni elit adat terhadap kaum perempuan Minangkabau. Dalam romannya, Hamka mengisahkan bahwa cinta yang tumbuh dalam hati seorang gadis Batipuh bernama Hayati kepada Zainuddin, yaitu

139Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Jogyakarta: LKiS, 2007), hal. 45 140Madjalah Istri Sedar Indonesia, No. 5 Tahun 1941 141Sastri Sunarti, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau 1859-1940-an, (Jakarta: Gramedia, 2013), hal. 81-83 142Untuk mengetahui alur penceritaan novel Siti Nurbaya, lihat Marah Rusli, Siti Nurbaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1922)

48

seorang laki-laki yang rendah hati, jujur, berkepribadian dan keturunan Minangkabau dan Makasar harus berakhir karena tekanan adat sehingga keduanya meradang dalam kasih tak sampai. Tekanan adat juga yang membuat Hayati terpaksa harus menerima pinangan seorang laki-laki pilihan paman dan orang tuanya dengan nama Aziz sebagai suaminya yang belum banyak diketahui bagaimna moral dan agamanya. Sejarah membuktikan di kemudian hari bahwa Azis bukan sosok laki-laki yang tepat sebagai suami Hayati karena jauh dari nilai-nilai agama dan tidak bermoral.143 Kungkungan tradisi dan praktek adat yang dipandang ganjil pada permulaan awal abad ke-20 sering menimpa kaum perempuan Minangkabau. Perkawinan, poligami dan kesempatan yang kurang sama antara laki-laki dan perempuan di ranah publik sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah yang merugikan perempuan. Sebuah kisah menarik dikemukakan oleh Azizah Etek, Mursyid A.M dan Arfan BR tentang subordinasi perempuan yang menimpa seorang gadis cantik Minangkabau pada awal abad ke-20 dengan nama Daina, yaitu seseorang perempuan Koto Gadang yang bernasib malang. Ia pernah terkena ranjau tradisi yang bernama buang tikarang karena menikah dengan seorang laki-laki muslim (Pomo) berdarah Jawa.144 Daina adalah perempuan muda yang selalu memenuhi kewajiban sebagai anak nagari Koto Gadang. Daftar sumbangan nagari Koto Gadang tahun 1919 menyebut Daina sebagai donatur nomor dua tertinggi dan satu-satunya penyumbang perempuan. Tetapi perjalanan cintanya bersama Pomo yang berujung pada pernikahan di daerah Deli pada tahun 1920 dipandang oleh Kerapatan Adat Koto Gadang melanggar adat pusaka yang dibuat oleh para penghulu. Adat pusaka yang dilanggar itu terkait dengan larangan penghulu kepada setiap perempuan menikah dengan laki-laki yang berasal dari luar nagari Koto Gadang untuk menjaga hegenisitas keturunan.145 Kasus Daina kemudian diselesaikan dalam sidang penghulu Koto Gadang dan dirinya didakwa melakukkan perkawinan tanpa izin dari mamak (paman) dan orang tua. Daina kemudian dikenakan sanksi buang tikarang yang berarti dikeluarkan sepanjang adat Minangkabau dan masyarakat Koto Gadang.146 Kasus yang dialami oleh Daina sejatinya tidak seharusnya terjadi dalam kehidupan masyarakat matrilineal yang memberikan tempat dan kedudukan yang tinggi terhadap perempuan. Melalui sistem sosial matrilineal, adat Minangkabau telah membuka ruang kepada perempuan untuk dipuja dan dihormati sebagai pemelihara keturunan dan kepemilikan harta pusaka. Ironisnya kisah itu dijumpai pada nagari Minangkabau yang paling awal mengalami proses modernisasi lewat pendidikan sekuler yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Graves menyebut bahwa Koto Gadang merupakan nagari yang paling maju di Minangkabau dan

143Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Derwijch (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976) 144Azizah Etek dkk, Koto, op. cit., hal. 43 145Ibid., hal. 43-44 146Ibid., hal. 44

49

memiliki orang-orang yang bekerja pada berbagai sektor di pemerintahan. Laporan pemerintah tahun 1915 memperkirakan bahwa 165 orang masyarakat Koto Gadang bekerja sebagai pejabat pemerintah. 79 orang di antaranya bekerja di Minangkabau dan 72 orang di luar Minangkabau. Pada tahun 1940, masyarakat Koto Gadang sudah banyak yang menjadi dokter, insinyur, pengacara, hakim dan jaksa.147 Kungkungan tradisi dan praktek adat yang dipandang ganjil pada permulaan awal abad ke-20 sering menimpa kaum perempuan. Perkawinan, poligami dan kesempatan yang kurang sama antara laki-laki dan perempuan di ranah publik sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah yang merugikan perempuan Minangkabau. Sebuah artikel dengan tema “Nasib Bangsa Kita Dalam Perkawinan” yang digulirkan oleh surat kabar Doenia Achirat pada tahun 1924 menguraikan dengan panjang lebar nasib perempuan Minangkabau sebagai akibat dari perkawinan dan poligami.148 Pengembangan tema diawali dengan penjelasan tentang perkawinan di Minangkabau yang berkurang beruntung. Padahal daerah ini memiliki adat dan agama yang kuat dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Penyebabnya boleh jadi karena nilai- nilai adat dan agama belum dipakai dalam artian yang sesungguhnya, sehingga masyarakat memandang bahwa masalah perkawinan dan perceraian adalah sesuatu hal yang main-main. Dalam kehidupan masyarakat dijumpai bahwa perempuan yang sudah lanjut usia sedikit sekali yang memiliki suami atau para suami yang tidak ada yang menetap di rumah mereka karena sudah memiliki istri yang baru.149 Perempuan Minangkabau menanggung banyak kesengsaraan dalam perkawinan. Seandainya suaminya adalah seorang yang miskin, kebutuhan rumah tangga mereka yang tidak terpenuhi dengan baik. Apabila suami adalah orang kaya dengan seenaknya saja melakukan perkawinan dengan perempuan lain yang lebih muda. Kondisi semacam ini tidak dijumpai di negera-negara yang sudah maju pendidikannya, terutama di Eropa yang menikmati sekali perkawinannya dan tidak merasa kuatir sedikitpun suaminya akan menceraikan dirinya. Apapun status yang melekat pada diri suaminya dan dalam keadaan jauh sekalipun, ia tetap setia kepada seorang istri pilihan hidupnya.150 Kondisi perkawinan di Eropa jauh berbeda dengan di Minangkabau. Di negeri yang dipandang memiliki adat dan agama yang kuat, seorang suami seenaknya saja melakukan perkawinan dengan perempuan lain yang lebih muda. Bahkan ada pula masyarakat yang memandang mulia seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu. Hukum adat di sebagian wilayah di Minangkabau membuka peluang seorang laki-laki untuk melakukan poligami karena perempuan-

147Elizabeth E. Graves, Asal, op. cit., hal. 253 148Doenia Achirat, Edisi ke-19, Tanggal 30 Oktober 1924, hal. 3-4 149Erman dkk “Surat Kabar Pemandangan Islam Dan Doenia Achirat: Jejak Intelektualisme Islam Di Minangkabau Tahun 1920-An”, Laporan Penelitian (Padang: Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN IB Padang, 2016), hal. 68 150Ibid.,

50

perempuan di daerah tersebut dilarang untuk menikah dengan laki-laki dari daerah lain. Kemudian legitimasi agama yang membolehkan seseorang untuk memiliki istri lebih satu seolah-olah dimanfaatkan dengan seluas-luasnya tanpa memperimbangkan syarat-syaratnya. Dampak lebih jauh dari kehidupan berpoligami adalah kesengsaraan bagi kaum perempuan. Banyak perempuan di Minangkabau yang menjadi janda karena perilaku suaminya dan terpaksa berjualan di pasar-pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya. Inilah yang merendahkan derajat perempuan.151 Masalah poligami di Minangkabau juga ditemukan pada berbagai negara Islam lainnya. Turki mengadapi masalah yang sama dengan membuat aturan-aturan baru untuk mengatasinya. Kondisi semacam ini disinggung pada artikel “Perkawinan di Turki”152 yang dipublikasikan pada tanggal 10 Januari 1925. Pengembangan isu dalam artikel itu dimulai dengan penjelasan tentang perubahan-perubahan yang terjadi di Turki di bawah pemimpin tokoh-tokoh muda, termasuk perubahan undang- undang perkawinan. Dahulu di Turki sering terjadi perkawinan seorang gadis yang berusia 13-15 tahun dipaksa untuk menerima seorang calon suami yang tidak dikenal dan disukainya. Peristiwa semacam ini mendorong muncul gagasan untuk mengadakan kongres masyarakat Islam sehingga lahir keputusan dan undang-undang baru dalam perkawinan yang sesuai dengan perkembangan zaman.153 Undang-undang perkawinan baru di Turki itu disebutkan dalam artikel sekurangnya memiliki tiga pasal krusial yang mesti diketahui oleh masyarakat Islam di Hindia Belanda. Pertama, pasal yang menjelaskan pertunangan yang dapat diputuskan oleh kedua belah pihan (calon suami dan istri) dengan mengembali hak masing-masing. Kedua, pasal yang menyebutkan perkawinan yang hanya bisa dilakukan oleh setiap pasangan jika sudah berumur 18 tahun laki-laki dan 17 tahun perempuan. Pernikahan mesti pula dilakukan atas persetujuan kedua orang tua pasangan. Perkawinan antar famili dan poligami juga dilarang oleh undang-undang yang baru. Poligami hanya bisa dilakukan dengan terlebih dahulu memiliki izin hakim. Ketiga, pasal yang menjelaskan perceraian yang mesti dilakukan di muka persidangan. Perceraian baru bisa dikabulkan jika alasan kedua pasangan dapat diterima oleh hakim.154 Pada bagian akhir artikel dikemukakan ajakan kepada masyarakat pembaca semoga aturan baru yang dibuat di Turki dapat pula dipikirkan di Hindia Belanda. Otoritas itu, terutama di Minangkabau dimiliki oleh kerapatan para penghulu untuk mengatur adat yang menguntungkan berbagai lapisan masyarakat. Sayangnya para penghulu di Minangkabau sampai tahun 1920-an belum mengambil keputusan untuk

151Ibid., 152Doenia Achirat, Edisi-2, Tanggal 10 Januari 1925, hal. 2 153Erman, Surat Kabar Pemandangan, op. cit., hal. 69 154Ibid.,

51

mengaturnya dan merubah sistem perkawinan. Karena itu, masyarakat masih memandang ringin dan enteng masalah perkawinan dan perceraian yang merendahkan perempuan.155

C. Islamisasi dan Modernisasi di Minangkabau Perdebatan tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau hampir sama hebatnya dengan disparitas pendapat para sejarawan ketika menjelaskan datangnya Islam di Indonesia. Sekurangnya ditemukan dua pendapat yang selalu menghiasi literatur-literatur dan penulisan sejarah tentang Islamisasi Minangkabau. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa Islam sudah diperkenalkan pertama kali oleh pedagang Arab kepada masyarakat Minangkabau pada abad ke-7 dan 8 M. Mereka datang lewat jalur pesisir Timur yang ketika itu mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang sejalan dengan perkembangan daerah-daerah Minangkabau sebagai tempat produksi lada yang menjadi komoditi perdagangan internasional.156 Pendapat ini didukung oleh kesimpulan Seminar Masuknya Islam di Minangkabau yang menegaskan bahwa Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke-7 dan 8 M. Sayangnya kesimpulan seminar yang diadakan di kota Padang tahun 1969 itu tetap memiliki beberapa kelemahan karena tidak didukung oleh bukti-bukti arkeologis.157 M.D. Mansoer memiliki pendapat yang sama dan menyebut bahwa proses awal masuknya Islam ke Minangkabau sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan 8 M yang dikenalkan oleh para pedagang Arab pada masa pemerintah Daulah Bani Umaiyah (661-750 M). Sambil menjalani kegiatan perdagangan di Pesisir Timur, mereka mengenalkan agama Islam kepada masyarakat Minangkabau. Namun dakwah mereka sempat terhenti selama abad ke-8 hingga ke-12 M yang disebabkan oleh counter-action dari kerajaan China Thang terhadap Dinasti Bani Umaiyah yang dianggap dapat mengancam kepentingan-kepentingan ekonomi mereka di Minangkabau. Daerah Minangkabau ketika itu merupakan penghasil lada utama yang memiliki daya tarik dan rebutan para pedagang asing terutama Arab dan China sehingga tumbuh persaingan ekonomi dan perdagangan pada jalur niaga di sepanjang Pesisir Timur menuju selat Malaka.158 Kedua, pendapat yang muncul sebagai reaksi dan penolakan kepada mereka yang memahami bahwa agama Islam telah masuk ke Minangkabau pada abad ke-7 dan 8 M. Pendapat kedua ini meyakini bahwa Islam masuk ke daerah Minangkabau adalah pada abad ke-12 M yang didukung dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam Syeikh Burhanuddin al-Kamil yang ditemukan di daerah Kuntu, Kampar Kiri dengan tahun wafat 610 H/1191 M. Di antara ilmuan yang berpendapat semacam ini

155Ibid., 156Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta; Bulan Bintang, 1976), Jilid IV, hal. 35 157Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam, op. cit., hal. 26 158M. D. Mansoer dkk, Sedjarah, op. cit., hal. 45

52

adalah Mahmud Yunus yang menjelaskan bahwa Syeikh Burhanuddin al-Kamil yang meninggal di daerah kuntu, Kampar Kiri (Minangkabau Timur) adalah ulama keturunan Arab dan pembawa Islam pertama ke Minangkabau yang datang bersamaan dengan Syeikh Abdullah Arif, yaitu ulama pembawa Islam pertama di daerah Aceh. Ketika memasuki Minangkabau, Syeikh Burhanuddin al-Kamil menetap di daerah pedalaman dan menyebarkan Islam selama 10 tahun di daerah Batu Hampar. Penyebaran Islam berikutnya dilakukan oleh Syeikh Burhanuddin al- Kamil di daerah Kumpulan selama 5 tahun. Dakwah yang paling lama beliau lakukan di Minangkabau adalah selama 15 tahun di daerah Pariaman yang berada di pantai Barat Sumatera.159 Setelah menyebarkan Islam selama 30 tahun di daerah darek dan rantau Minangkabau, Syeikh Burhanuddin al-Kamil menetap dan menghabiskan masa hidupnya untuk menyebarkan Islam selama 20 tahun di daerah Kuntu, Kampar Kiri, yang ketika itu merupakan bagian wilayah Minangkabau Timur. Ia meninggal dunia dan dimakamkan di daerah Kuntu pada tahun 610 H/1191 M sehingga masyarakat Kampar dan sekitarnya lebih mengenal dirinya dengan sebutan Syeikh Burhanuddin Kuntu.160 Sebelum meninggal, Syeikh Burhanuddin al-Kamil sebagaimana dituturkan dalam Naskah Ulakan pernah mengunjungi kerajaan Pagaruyung yang berada di pedalaman Minangkabau. Kunjungan itu memiliki tujuan mulia karena ingin mengenalkan ajaran Islam kepada pegawai dan pejabat kerajaan Pagaruyung. Pihak kerajaan sangat mengapresiasi niat baik Syeikh Burhanuddin al-Kamil dan rombongan yang disampaikan dengan bijaksana dan sopan-santun yang tinggi sehingga sebagian pegawai dan pejabat mulai tertarik kepada agama Islam dan menganutnya.161 Perbedaan pendapat awal masuknya Islam ke Minangkabau diawali oleh perbedaan perspektif dalam menggunakan bukti-bukti historis. Dengan tidak menafikan masing-masing pendapat, awal masuknya Islam ke Minangkabau perlu dipahami dari beberapa gelombang yang sudah mulai berlangsung semenjak abad ke- 7 dan 8 M. Gelombang pertama berlangsung seiring dengan keberadaan Minangkabau sebagai penghasil lada yang menjadi komoditi perdagangan utama di sepanjang Pesisir Timur menuju selat Malaka. Gelombang kedua adalah pada abad ke-12 dan 13 M yang ditandai oleh kedatangan ulama-ulama yang berasal dari Timur Tengah (bangsa Arab) ke daerah Minangkabau bersamaan dengan proses Islamisasi Nusantara.162 Pengaruh Islam mulai terasa dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terefleksi dari muncul komunitas muslim yang semakin hari semakin banyak di

159Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta; Mutiara, 1979), hal. 21 160Ibid., 161dikutip dalam Irhash A. Shamad, Islam, op. cit., hal. 37 162Amir Syarifoedin, Minangkabau, op. cit., hal. 376

53

daerah-daerah pedalaman Minangkabau. Di sepanjang jalur perdagangan pantai Timur sudah ditemukan orang-orang yang sudah mengenal dan mempraktek ajaran Islam. Karena itu, kedua gelombang awal masuknya Islam menjadi penting dalam melihat kesinambungan proses Islamisasi Minangkabau yang terus berlanjut hingga abad ke-17 setelah kembalinya seorang ulama kelahiran Sintuk Pariaman, Syekih yang belajar Islam selama 10 tahun kepada Syeikh Abdurrauf Singkel di daerah Aceh.163 Syeikh Burhanuddin Ulakan bukan ulama pertama yang menyiarkan Islam di daerah Minangkabau. Jauh sebelumnya masyarakat sudah mengenal agama Islam dan sebagian kecil mereka sangat taat menjalankan perintah agama. Kembalinya Syeikh Burhanuddin Ulakan ke daerah Pariaman pada tahun 1666 M semakin memperkuat Islamisasi yang pengaruhnya semakin terasa di daerah-daerah pesisir hingga pedalaman Minangkabau. Pendirian Surau Ulakan adalah langkah Syeikh Burhanuddin yang menarik minat masyarakat untuk mempelajari Islam. Murid-murid yang sempat belajar di surau ini kemudian muncul sebagai ulama-ulama yang terlibat dalam Islamisasi Minangkabau yang secara geneologis dapat ditelusuri pengaruhnya hingga permulaan abad ke-20.164 Selain pengajaran dan penyebaran agama Islam di Surau Ulakan, Syeikh Burhanuddin juga mempersiapkan generasi penerus dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan keagamaan. Abdurrahman dan Jalaluddin merupakan dua orang anak muda yang sudah dipersiapkan oleh Syeikh Burhanuddin sebagai khalifah yang akan menggantikannya kelak. Keduanya dididik dengan baik sehingga memiliki kemampuan dan persyaratan dalam aspek moral, keterampilan dakwah dan pengetahuan keagamaan. Sejalan perkembangan pengetahuan agama keduanya, Syeikh Burhanuddin menetapkan Abdurrahman sebagai khalifah pertama yang bertugas untuk melanjutkan pengembangan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan tarekat Syatariyah. Kemudian Syeikh Burhanuddin melakukan dakwah ke daerah-daerah pedalaman Minangkabau sehingga mampu menjangkau kawasan yang sebelumnya belum tersentuh oleh ajaran Islam. Daerah-daerah pertanian di pedalaman yang dahulunya sulit disentuh oleh ajaran Islam secara perlahan dapat menerima dakwah Syeikh Burhanuddin sehingga masyarakatnya menjadi muslim yang taat. Bahkan dari daerah pedalaman itu pula lahir pemuka-pemuka agama yang tangguh dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah sekitar.165

163Abdurrauf Singkel merupakan seorang ulama yang lahir di daerah Singkel Aceh pada tahun 1615 H/1024 M. Ia memiliki pengaruh yang kuat dalam penyebaran Islam di nusantara. Nama lengkapnya adalah Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi Tsumal Fansuri al-Singkel. Keluarganya berasal dari Timur Tengah yang datang dan menetap di daerah Banda Aceh pada abad ke-13. Abdurrauf Sungkel pernah mendalami pengetahuan agama kepada ulama-ulama di daerah Fansur dan Banda Aceh. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau sempat pula belajar kepada ulama-ulama di Timur Tengah. Amir Syarifoedin, Minangkabau, op. cit., hal. 377 164Ibid., hal. 395 165Ibid., hal. 395-396

54

Syeikh Burhanuddin Ulakan pernah pula mengunjungi istana kerajaan Pagaruyung dan mengajak pihak kerajaan untuk menganut agama Islam. Kedatangan Syeikh Burhanuddin diterima dan disambut dengan baik karena pengaruhnya yang sudah semakin kuat di hampir seluruh wilayah Minangkabau. Ujung dari pertemuan itu adalah lahirnya Perjanjian Sakti Bukit Marapalam yang berisi idiom adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah yang merupakan sikap akomodatif pertama antara adat dan Islam sebagai sumber moral dan perilaku dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Kontribusi dari sikap akomodatif ini munculnya kesadaran masyarakat untuk menganut agama Islam sehingga diakui sebagai agama resmi di Minangkabau. Adat dan agama Islam sudah mulai dijadikan pedoman hidup yang saling melengkapi. Berbagai masalah yang dahulunya sempat diterima oleh Syeikh Burhanuddin dari kaum adat yang melihat Islam sebagai ancaman terhadap pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat mulai hilang dan berganti dengan sikap saling percaya.166 Setelah Syeikh Burhanuddin Ulakan meninggal dunia tahun 1116 H/1704 M, dakwah Islam ke daerah-daerah pedalaman Minangkabau dilanjutkan oleh murid- muridnya sehingga berdiri pusat-pusat pengajaran dan penyebaran agama di Kapeh- Kapeh, Pandai Sikek, Mensiangan Padang Panjang, Koto Lawas, Koto Tua, Empat Angkat dan lain sebagainya. Atas usaha murid-muridnya terutama di daerah Luhak Agam lahir ulama-ulama yang secara berkesinambungan menyebarkan dan membangun tradisi keilmuan Islam di Minangkabau, seperti Tuanku Nan Tuo yang berasal dari daerah Cangkiang Batu Tebal di Luhak Agam. Tuanku Nan Renceh yang berasal dari daerah Kamang Mudik, Agam merupakan alumni pengajian di Surau Ulakan, Pariaman.167 Salah seorang muridnya yang memiliki pengaruh kuat di Minangkabau pada abad ke-19 dan 20 adalah Tuanku Imam Bonjol.168 Surau pertama yang dibangun di Minangkabau seiring dengan proses Islamisasi adalah Surau Ulakan Pariaman. Syeikh Burhanuddin (1066-1111 H/1646- 1591 M) yang mendirikan surau tersebut sebagai institusi pengajaran dan pengembangan ajaran Islam di Minangkabau. Setelah belajar selama 10 tahun kepada Abdurrauf Singkel di daerah Aceh, ia pulang ke kampung halaman dan menyusun

166Ibid., hal. 396 167Ibid., hal. 395 168Tuanku Imam Bonjol merupakan pejuang dan ulama yang lahir di daerah Bonjol Pasaman pada tahun 1772. Pemilik nama Muhammad Sahab ini adalah tokoh penting dalam perang Padri (1821-1837) di Minangkabau yang ditangkap oleh pemerintahan kolonial Belanda dan dibuang ke Minahasa, Sulawesi Utara. Tempat pembuangan yang jaraknya sangat jauh dengan Minangkabau tentu memiliki tujuan tertentu. Sekurangnya tujuan itu ingin menjauhkan Tuanku Imam Bonjol dari masyarakat Islam Minangkabau karena memiliki pengaruh yang kuat dalam menanamkan kebencian kepada penguasa kolonial Belanda. Justru itu Tuanku Imam Bonjol ditempatkan di Minahasa yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009), Jilid. I, hal. 234

55

dasar-dasar pengembangan surau sebagai lembaga pendidikan Islam yang khas sehingga tumbuh sistem pengajaran dan pengembangan ajaran agama yang lebih teratur. Surau itu dibangun pada sebidang tanah di daerah Ulakan yang diberikan oleh Mangkuto Alam (Raja Ulakan) kepada Idris Majo Lelo, yaitu sahabat Syeikh Burhanuddin yang sama belajar Islam sebelum beliau pergi ke Aceh untuk mendalami agama kepada Abdurrauf Singkili. Idris Majo Lelo kemudian menyerahkan tanah tersebut kepada Syeikh Burhanuddin untuk digunakan sebagai tempat pembangunan Surau Ulakan. Selama 28 tahun Syeikh Burhanuddin mengajarkan agama di Surau Ulakan kepada murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau.169 Surau sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Minangkabau hampir sama dengan tradisi pesantren di pulau Jawa. Beberapa elemen utama dalam tradisi pesantren juga dimiliki oleh surau-surau di Minangkabau.170 Proses pengajaran di surau sangat terikat dengan seorang guru yang disebut syeikh, baik dalam pengajaran kitab kuning maupun tarekat. Murid-murid yang biasa disebut santri pada pesantren di pulau Jawa dinamakan dengan orang siak dalam tradisi surau di Minangkabau. Surau-surau juga sudah dilengkapi dengan fasilitas belajar dan penginapan. Surau Syeikh Abdurrahman (1777-1899) Batuhampar Payakumbuh merupakan salah satu contoh surau di Minangkabau yang dilengkapi dengan 30 buah surau kecil yang mengelilingi bangunan utama, yaitu mesjid dagang yang digunakan untuk melaksanakan shalat berjemaah dan pengajaran al-Qur’an. Masing-masing surau kecil diberi nama sesuai dengan daerah asal murid-muridnya, seperti Surau Suliki, Surau Tilatangkamang, Surau Solok, Surau Pariaman, Surau Padang, Surau Painan, Surau Riau, Surau Jambi, Surau Bengkulu, Surau Palembang dan lain-lain.171 Surau di Minangkabau dan pesantran di Jawa adalah lembaga pendidikan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Islam. Kehadiran keduanya membawa keunikan dalam sistem nilai yang ditransmisikan kepada peserta didik dengan menggunakan sumber-sumber berbahasa Arab karya ulama Timur Tengah yang biasa disebut dengan kitab kuning di dunia Melayu. Kegiatan pengajarannya berpusat pada seorang ulama yang menjadi tokoh sentral dalam pendidikan. Dalam perspektif sejarah kemunculan pesantren di pulau Jawa jauh lebih dahulu dari kehadiran surau di Minangkabau. Pesantren pertama di pulau Jawa didirikan oleh Maulana (1419) di daerah Gresik pada abad ke-15, yaitu salah seorang dari sembilan wali (Wali Songo) yang menyebarkan Islam di daerah

169Amir Syarifoedin, Minangkabau, op. cit., hal. 389-391 170Dalam catatan Zamakhsyari Dhofier disebutkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Nusantara memiliki lima elemen utama yang bersifat interdependen dan masing-masingnya adalah mesjid, kitab Islam klasik, santri dan kyai. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:StudiPandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 79-99 171Azyumardi Azra, Surau, op. cit., hal. 10-12

56

tersebut. Selain Maulana Malik Ibrahim, tokoh yang dianggap berhasil mengembangkan pesantren di pulau Jawa adalah Raden Rahmat (1401-1481) yang mendirikannya di daerah Kembang Kuning. Pesantren itu memiliki kekuatan tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Khurairoh dan Kyai Bangkuning. Raden Rahmat juga mendirikan pesantren di Surabaya yang memiliki pengaruh kuat dalam pengajaran dan pengembangan ajaran Islam. Pesantren lain didirikan oleh para wali berikutnya yang menyebarkan Islam di pulau Jawa. Pesantren Giri didirikan oleh (1442-1506), pesantren Demak oleh Raden Fatah (1455-1518) dan pesantren Tuban oleh (1465-1525).172 Lahirnya pesantren di pulau Jawa didorong oleh pengalaman historis yang panjang terutama perkembangan daerah Barus, Perlak dan Pasai sebagai bandar kosmopolitan yang dinamis dan pusat pendidikan Islam di Nusantara semenjak pertengan abad ke-10 sampai abad ke-15. Daerah-daerah ini memiliki posisi yang sangat penting sebagai pusat pengajaran dan pengembangan ajaran Islam yang melahirkan jaringan ulama Nusantara. Seorang pengembara yang berasal Maroko, Ibnu Bathutah yang pernah berkunjung ke Kesultanan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1345 dan 1346 melihat perkembangan studi Islam yang sudah maju di daerah itu, baik dalam bidang fiqh, tauhid maupun tasauf. Diskursus studi ke-Islaman dalam pemahaman Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang bersumber pada ajaran Imam Syafi’i, Abu Hasan al-Asy’ari, al-Maturidi dan al-Juneidi memiliki pengaruh yang kuat pada masa itu dalam pembentukan pola dan corak keberagamaan di daerah Kesultanan Samudra Pasai.173 Lewat penemuan karya-karya Hamzah Fanshuri, Syamsuddin al-Sumtrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili semakin membuka jalan dan rahasia sejarah panjang tentang jaringan ulama yang mengajarkan dan menyebarkan Islam di Nusantara. Minangkabau sebagai salah satu daerah jaringan ulama memiliki sejarah tersendiri dengan ulama-ulama Aceh yang mendorong lahirnya lembaga pendidikan Islam tradisional surau. Syeikh Burhanuddin yang mendirikan surau pertama di daerah Ulakan Minangkabau merupakan murid dari Abdurrauf al-Singkili. Tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh Syeikh Burhanuddin di Surau Ulakan merupakan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan tarekat Syatariyah yang diterima dari ulama Aceh. Pendirian Surau Ulakan menjadi role model pengembangan surau-surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau pada masa berikutnya yang dilakukan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Tuanku Nan Tuo Mensiangan di Luhak Tanah Datar adalah salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang mendirikan surau di daerah Paninjauan dan memiliki model pengajaran agama yang hampir sama

172Yat Rospia Brata, Transformasi Fungsi Pesantren: Dari Basis Politik Kultural Menuju Basis Politik Struktural Pada Era Reformasi (Ciamis: Galuh Nurani, 2012), hal. 14-15 173Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, op. cit., hal. 28

57

dengan Surau Ulakan. Pengaruh lebih jauh dari Surau Ulakan adalah tumbuh dan berkembangnya surau-surau baru pada masa berikutnya di hampir semua wilayah Minangkabau. Masing-masing surau memiliki spesialisasi keilmuan sehingga menyediakan banyak pilihan bagi masyarakat yang ingin mendalami ajaran agama Islam.174 Surau Syeikh Tuanku Nan Tuo ditemukan di daerah Cangkiang, Luhak Agam memiliki keahlian dalam ilmu tafsir. Surau Kota Gadang sangat kuat dalam distingi ilmu logika dan stilistika (manthiq dan ma’ani). Surau Sumanik terkenal dalam bidang ilmu tafsir dan fara’iḍ. Surau Kamang sangat maju dalam ilmu-ilmu bahasa Arab. Surau Talang dan Surau Selayo di daerah Kabupaten Solok memiliki keahlian dalam ilmu bahasa Arab (nahwu dan sharaf).175 Karena itu pendalaman pengetahuan keagamaan biasa dilakukan oleh masyarakat dengan cara berpindah- pindah dari suatu surau ke surau yang lain di daerah Minangkabau. Surau-surau di Minangkabau mengalami perubahan menjadi madrasah sejak awal abad ke-20 seiring dengan bergulirnya gerakan modernisasi Islam yang dipelopori oleh ulama kaum muda (modernis). Di antara mereka itu adalah Muhammad Thaib Umar, , Abdul Karim Amrullah, , Abdullah Abbas, Daud Rasyidi, Abdul Latif Syukur, Ibrahim Musa Parabek dan Sutan Dorap Pariaman.176 Sebelumnya mereka adalah murid-murid yang pernah belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi di Mekah.177 Selama belajar di Mekah, mereka bersentuhan pula dengan ide-ide pembaharuan Islam yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) di Timur Tengah. Beberapa ide pembaharuan itu adalah upaya membongkar kejumudan masyarakat Islam, perlunya ijtihad, penggunaan akal, sikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan Barat, pembaharuan pendidikan dan pemikiran politik yang dipublikasikan dalam majalah al-Manar dan al-Urwah al- Wusqa.178

174Azyumardi Azra, Surau, op. cit., hal. 146 175Ibid., hal. 147 176Kafrawi Ridwan, Etal (ed ), Ensiklopedi Islam (Jakarta : Ikhtiar Baru, 1993), hal. 87 177Ahmad Khatib ialah seorang ulama yang lahir di Koto Tua, Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam. Sejak berangkat ke Tanah Suci, Syeikh Ahmad Khatib tidak pernah pulang ke Minangkabau dan menetap di sana hingga meninggal dunia pada tahun 1915. Silsilah keturunannya bersambung dan memiliki hubungan dengan Tuanku Nan Tuo, seorang ulama dan pelopor pembaharuan Islam pertama di daerah ini. Lihat Edward (editor), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981), hal. 15 178Untuk mengetahui lebih jauh masing-masing ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Muktafi Fahal dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern (Surabaya: Gitamedia Press, 1999), hal. 18-34 Majalah al-Urwah al-Wusqa adalah media massa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris tahun 1884. Majalah ini lebih memusatkan perhatiannya pada upaya memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umatnya kepada kemajuan. , Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 53

58

Modernisasi Islam di Minangkabau melahirkan perubahan besar bagi lahirnya pendidikan Islam modern yang diawali oleh Abdullah Ahmad dengan mendirikan Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di kota Padang pada tahun 1909.179 Madrasah itu merupakan lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia yang memiliki ruang belajar (kelas), bangku, meja dan papan tulis hampir sama dengan sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Madrasah Adabiyah pada mulanya didirikan di Padang Panjang tahun 1907 dengan model pendidikan yang sering mendapat tantangan dari masyarakat setempat. Setelah bertahan selama dua tahun, akhir madrasah itu tutup dan dibuka kembali di kota Padang tahun 1909. Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad itu adalah sekolah yang bercorak agama dan bertahan hingga tahun 1914. Pada tahun 1915, Madrasah Adabiyah menerima subsidi dari pemerintahan kolonial Belanda dan kemudian dirubah namanya menjadi Holland Inlandsche School (HIS) Adabiyah. Meskipun begitu, madrasah swasta pribumi pertama itu tetap memasukkan pelajaran agama Islam sebagai bagian dari kurikulumnya.180 Modernisasi pendidikan yang dilakukan Abdullah Ahmad di kota Padang menginspirasi Zainuddin Labai al-Junusi untuk mendirikan Diniyah School di Padang Panjang tahun 1915. Lembaga Pendidikan Islam ini memasukkan pula pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Zainuddin Labai karena terlalu cepat dipanggil oleh Zat Yang Mahakuasa hanya mampu bertahan selama tiga tahun untuk membangun dan memimpin sekolah tersebut. Kepemimpinan Diniyah School selanjutnya dipegang oleh Rahmah al-Yunusiyah, yaitu adik Zainuddin Labai sendiri. Di bawah kendali Rahmah, Diniyah School terus berkembang hingga akhirnya berdiri pula sekolah agama khusus perempuan dengan nama Diniyah Putri.181 Murid- murid yang belajar di Diniyah School menjalani pendidikan selama tujuh tahun yang terdiri dari dua tingkatan, yaitu Ibtidaiyah selama tiga tahun dan Tsanawiyah selama empat tahun. Buku-buku yang dipakai pada Diniyah School, selain buku terbitan Mesir, Beirut dan Eropa, merupakan karya Zainuddin Labai al-Junusi sendiri. Kehadiran madrasah ini mendapat perhatian besar dari kalangan masyarakat dan

179Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 41 180Mahmud Yunus, Sejarah, op. cit., hal. 63. Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 45-46 181Mahmud Yunus, Sejarah, ibid, hal. 63.hal. 66. Diniyah Putri berdiri pada tanggal 1 November 1923 di Padang panjang dan untuk tiga tahun pertama sekolah tersebut menitikberatkan pendidikannya pada usaha memberantas buta huruf di kalangan perempuan yang sudah berumah tangga di samping pengetahuan agama lainnya. Ajisman dkk, Rahmah el-Yunusiyah: Tokoh Pembaharu Pendidikan dan Perempuan di Sumatera Barat (Padang: Balai Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002), hal. 45. Mark R. Woodward (editor), Jalan Baru Islam:Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), hal. 219-220

59

dalam waktu yang relatif singkat madrasah serupa sudah berdiri sebanyak 15 buah di wilayah Minangkabau pada tahun 1922.182 Satu tahun setelah berdirinya Madrasah Adabiyah (Adabiyah School), modernisasi memasuki institusi pendidikan tradisional Minangkabau (surau) dan Surau Tanjung Pauh di Sungayang, , merupakan surau pertama yang berubah nama menjadi Madras School pada tahun 1910. Seiring dengan perubahan Surau Sungayang, Madras School yang didirikan oleh Muhammad Thaib Umar mulai menerapkan pendidikan Islam dengan sistem kelas dan hanya mampu bertahan selama tiga tahun karena ketiadaan murid-murid membuat sekolah tersebut terpaksa ditutup pada tahun 1913. Lima tahun kemudian, Madras School dibuka kembali oleh Mahmud Yunus dan berganti nama dengan Diniyah School pada tahun 1923 dan al- Jami’ah al-Islamiyah tahun 1931. Hingga sekarang ini sekolah yang dirintis oleh Muhammad Thaib Umar itu masih berdiri dengan nama Madrasah Hidayah al- Islamiyah.183 Modernisasi menyentuh pula surau Jembatan Besi Padang Panjang yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada akhir abad ke-19. Setelah Abdullah Ahmad pindah ke Padang, kepemimpinan dan pengajaran agama pada surau Jembatan Besi dilanjutkan oleh Haji Rasul (Abdul Karim Amrullah) sejak tahun 1906. Pada masa itu, Surau Jembatan Besi mengalami proses pembaharuan yang diawali oleh penerapan sistem pengajaran berkelas sejak tahun 1918 dan mencapai kesempurnaannya tahun 1921. Pembaharuan di surau Jembatan Besi sejalan dengan keinginan murid-muridnya yang sejak tahun 1915 sudah mendirikan perkumpulan berupa koperasi pelajar untuk menjual kebutuhan sehari-hari, seperti alat tulis, alat dapur, sabun dan lain sebagainya.184 Perubahan sistem halaqah menjadi sistem kelas di surau Jembatan Besi sebagaimana diungkapkan oleh Hamka dipengaruhi oleh pemikiran K.H. yang disampaikan kepada Haji Rasul dalam lawatannya ke pulau Jawa, terutama tentang pentingnya membangun lembaga pendidikan modern dengan sistem kelas. Sementara, pembentukan perkumpulan pelajar yang bernama Sumatera Thawalib dipengaruhi oleh pemikiran Cokroaminoto yang disampaikan kepada Haji Rasul pada tahun 1917 yang berhubungan dengan tentang keharusan mendirikan organisasi dan perkumpulan sesuai semangat zaman ketika itu untuk memperjuangkan suatu tujuan.185 Setelah kembali dari lawatannya ke pulau Jawa, Haji Rasul mengganti perkumpulan koperasi pelajar surau Jembatan Besi dengan

182Ajisman dkk, Rahmah, ibid.,hal. 66. I. Jumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV Ilmu, 1959), hal. 160-161 dan Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), hal. 82-83 183Mahmud Yunus, Sejarah, op. cit., hal. 63-66. Irhash A. Shamad dan Danil M. Caniago, Islam, op. cit., hal. 117-118 184Danil M. Chaniago “Kegagalan Politik Pendidikan Islam Hindia Belanda di Minangkabau 1928: Kasus Goeroe Ordonanntie”, Laporan Penelitian (Padang: IAIN IB, 1998), hal. 38-39 185Hamka, Ayahku, op. cit., hal. 118-119

60

Sumatera Thawalib pada tahun 1918 yang berarti organisasi pelajar-pelajar Sumatera. Pada tahun itu juga surau Jembatan Besi dirubah namanya menjadi Sumatera Thawalib.186 Modernisasi di surau Jembatan Besi Padang Panjang mendorong Ibrahim Musa Parabek, Bukittingi, mengganti nama Surau Moezakaratoel Ichwan menjadi Sumatera Thawalib. Sejalan dengan itu, tumbuh keinginan Syeikh Muhammad Jamil Jambek untuk menyatukan perkumpulan Sumatera Thawalib Padang Panjang dan Parabek, Bukittinggi, yang berhasil diwujudkan di surau Muhammad Jamil Jambek sendiri pada tanggal 15 Februari 1920.187 Penyatuan kedua lembaga pendidikan Islam itu mempunyai pengaruh terhadap ulama kaum muda yang kemudian merubah surau mereka dengan Sumatera Thawalib. Hingga tahun 1920-an, Sumatera Thawalib sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Minangkabau dan bahkan sampai ke Aceh dan Tapanuli.188 Modernisasi menyentuh pula surau-surau yang dikelola oleh ulama kaum tua. Syeikh Sulaiman al-Rasuli Ulama Perti pertama yang merubah Surau Candung yang didirikannya pada tahun 1908 menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) dengan sistem berkelas pada tahun 1928. Ia mengajak pula ulama- ulama yang sepaham dengan dirinya untuk melakukan modernisasi surau-surau menjadi madrasah sebagaimana yang dilakukan oleh ulama kaum muda (modernis).189

D. Pengaruh Kolonial Belanda di Minangkabau Kedatangan orang-orang Belanda ke Minangkabau berlangsung mulai pertengahan abad ke-17 setelah kapal-kapal mereka singgah di pelabuhan Tiku Pariaman. Pengaruhnya secara perlahan semakin menguat sehingga Minangkabau pada pertengahan abad ke-19 berada di bawah penetrasi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Nagari-nagari yang sebelumnya bersifat otonom dijadikan kesatuan adminsitratif teritorial setingkat distrik yang dinamakan kelarasan. Nagari digabungkan menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Sumatra’s Westkust atau De Sumatra van Westkust. Ketika Letkol. Raaff menduduki jabatan residen pada tahun 1823, keinginan kolonial Belanda begitu kuat untuk melakukan perluasan kekuasaannya di Minangkabau. Karena itu, Raaff mengenalkan konsep dualisme pemerintahan, yaitu pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah pribumi. Pemerintah Hindia Belanda terdiri dari residentie, district (afdeeling) dan

186Ibid.,hal. 119 187Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 89 188Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam, op. cit., hal. 121-122 189Sanusi Latief, “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, Disertasi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1988), hal.251

61

onderdistrict (onderafdeeling). Pemerintah pribumi terdiri dari hoofdafdeeling, regent, district (kelarasan), nagari dan dusun.190 De Stuers yang menduduki jabatan residen di Padang pernah pula melakukan reorganisasi tata pemerintahan di Minangkabau pada tahun 1825 dan menetapkan Residentie Padang en Onderhoorigheben menjadi tiga Afdeeling, yaitu Selatan Darek dan Utara. Ia kembali melakukan perubahan dan menetapkan Minangkabau menjadi empat Afdeeling yang terdiri dari Padangshe Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden, Zuidelijke Afdeeling dan Noordelijke Afdeeling Pada tahun 1926. Elout yang pernah menjadi residen di Padang menetapkan Minangkabau menjadi empat Afdeelingpada tahun 1933. Masing masing Afdeeling adalah Afdeeling Padang en Onderhoorigheden, Afdeeling Pariaman, Afdeeling Padangshe Bovenlanden dan Afdeeling Natal en Onderhoorigheden.191 Setelah kekalahan Gerakan Paderi tahun 1837, penguasa Belanda menetapkan Minangkabau sebagai wilayah administratif Gouvernement van Sumatra’s Westkust. Wilayahnya meliputi Residentie Padang dan Residentie Air Bangis yang dipimpin oleh seorang Gubernur.192 Sejak Letkol. Raaff memperkenalkan dualisme corak pemerintahan, penguasa kolonial Belanda memiliki keinginan untuk menerapkan nilai-nilai aristokrasi di Minangkabau. Reorganisasi tata pemerintahan yang dilakukan oleh Letkol. Raaff itu memiliki pengaruh bagi munculnya perubahan perimbangan kekuasaan dalam nagari dan hubungan nagari dengan dunia luar. Sejalan dengan tujuan penguasa kolonial Belanda, Letkol. Raaff sengaja menyusun bentuk pemerintahan yang baru secara hirarkis, mulai dari tingkat dusun sebagai unit kekuasaan yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Setiap unit tingkatan pemerintahan dipegang oleh seorang pemimpin yang ditentukan oleh penguasa kolonial. Tuanku Laras yang memimpin Kelarasan sebagai unit pemerintahan yang berada di bawah Keregenan meskipun dipilih berdasarkan usulan para penghulu (Dewan Penghulu), tetapi keputusan akhir pengangkatannya tetap berada di tangan residen. Kepala nagari dan penghulu yang memimpin sebuah dusun ditentukan pula oleh pemerintahan kolonial Belanda.193 Usaha Belanda untuk mengenalkan hirarki pemerintahan di Minangkabau mendorong mereka untuk ikut campur dalam urusan nagari sehingga mengekang fungsi politik tradisional dan mengambat berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat. Seseorang atau keluarga tertentu yang secara resmi menerima jabatan sebagai kepala nagari seringkali merasa kuatir terhadap kedudukannya. Dia tidak

190Gusti Asnan, Pemberontakan Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006), hal. 36. 191Ibid., hal. 38-43 192Ibid., hal. 44-46 193Audrey Kahin, Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1928 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 10

62

yakin bahwa kedudukan itu bisa diteruskan kepada anggota keluarga berikutnya. Sekalipun mengekang fungsi politik tradisional, institusi kepala nagari (nagarihoofd) dan kepala laras (larashoofd) yang semula asing dalam struktur masyarakat lewat perjalanan waktu menjadi suatu hal biasa dan bahkan diterima sebagai bagian dari tradisi adat Minangkabau.194 Gangguan terhadap kehidupan nagari terus berlanjut hingga awal abad ke- 20. Institusi laras yang diperkenalkan oleh Letkol Raaff tahun 1823 diganti dengan institusi demang. Melalui peraturan nagari (ordonansi nagari) tahun 1914, institusi demang ditetapkan oleh penguasa kolonial Belanda dengan kawasan teritorial yang lebih besar. Unit pemerintahan yang berada satu tingkat di bawah kedemangan adalah nagari yang dipimpin oleh kepala nagari. Dalam peraturan nagari itu ditetapkan bahwa kepala nagari harus dipilih oleh penghulu inti, yaitu mereka yang memiliki jabatan adat yang diakui oleh pemerintah Belanda. Munculnya istilah penghulu inti memperlihatkan kuatnya ikut-campur Belanda dalam kehidupan nagari. Bagi penghulu yang kehilangan hak tradisional mereka, ikut campurnya Belanda dalam kehidupan nagari jelas melahirkan kekecewaan yang berujung pada kebencian kepada penguasa kolonial.195 Keterlibatan Belanda dalam kehidupan di nagari-nagari sejak permulaan abad ke-19 hingga abad ke-20 disebabkan oleh fungsinya dalam sistem sosial Minangkabau yang sangat strategis. Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari merupakan ujung tombak penguasa kolonial Belanda untuk menyampaikan berbagai pesan dan kebijakan politik kepada masyarakat. De Stuers yang menduduki jabatan residen di Padang pada tahun 1824 melihat nagari-nagari sebagai unit pemerintahan yang sangat dekat dengan masyarakat. Pertimbangan semacam ini menurut De Stuers membuat berbagai provokasi dan kampanye militer Gerakan Paderi pada pertenganan abad ke-19 banyak dilakukan oleh pasukannya di nagari-nagari Minangkabau.196 Pengaruh kolonial Belanda dalam bidang pendidikan juga sangat dirasakan oleh masyarakat Minangkabau, terutama setelah kaum penjajah itu mendirikan sekolah-sekolah sekuler untuk menekan lembaga pendidikan Islam. Sekolah sekuler pertama didirikan di kota Padang pada tahun 1825 dengan tujuan untuk mendidik anak-anak dan keturunan penghulu sehingga lahir kelas sosial baru yang melek huruf, beradab dan menghargai penguasa kolonial. Biaya operasional sekolah tidak sedikitpun dibebankan kepada masyarakat pribumi dan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda. Sayangnya masyarakat Minangkabau tidak begitu tertarik untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah itu. Mereka tidak yakin bahwa pendidikan di sekolah-sekolah sekuler memiliki manfaat

194Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elit, op. cit., hal. 84 195Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927- 1933, terjemahan Lindayanti dan Guntur (Padang: Universitas Andalas, 1990), hal. 30 196Gusti Asnan, Pemberontakan, op. cit., hal. 96

63

yang besar dan berguna bagi anak-anak mereka. Keluarga Minangkabau yang bersedia mengirimkan anak-anaknya untuk sekolah adalah mereka yang memiliki kedekatan dan perasaan segan terhadap pemerintah kolonial Belanda.197 Sekolah bagi masyarakat Minangkabau yang tiada membedakan kelas sosial baru didirikan oleh penguasa kolonial Belanda pada tahun 1840. Sekolah itu didirikan di daerah-daerah penghasil kopi, seperti Bonjol, Maninjau, Sungai Puar, Rao, Singkarak dan Puar Datar. Sekolah yang sama juga didirikan pada kota-kota pusat administrasi lokal di Bukittinggi, Payakumbuh, Batu Sangkar, Sijunjung dan Solok. Sekolah dengan sebutan sekolah nagari (nagari school) ini hingga tahun 1846 sudah dijumpai sebanyak sebelas buah di wilayah Minangkabau. Berbeda dengan sekolah sebelumnya di kota Padang, peran pemerintah Belanda di sekolah-sekolah nagari sangat sedikit dan hanya sebatas pengawasan oleh kontrolir. Minimnya peran tersebut disebabkan oleh keterbatasan jumlah personil pemerintah kolonial Belanda di Minangkabau. Tanggung jawab operasional dan perkembangan sekolah sepenuhnya diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat masing-masing nagari, termasuk biaya pendidikan.198 Pendidikan di sekolah nagari menghabiskan waktu selama empat tahun dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Kurikulum dasar di sekolah tersebut terdiri dari membaca, berhitung sederhana, menulis, mengarang, geografi dan berhitung lanjutan. Pelajaran membaca diberikan pada kelas satu, berhitung sederhana pada kelas dua, menulis pada kelas tiga dan mengarang, geografi dan berhitung lanjutan pada kelas empat. Kurikulum di sekolah nagari ini dirancang untuk memberikan keahlian dasar bagi kemajuan masyarakat dan memenuhi kebutuhan birokrasi kolonial. Tiga tahun setelah berdiri (1848), sekolah nagari sudah menamatkan sebanyak 75 orang murid yang ditempatkan oleh penguasa kolonial Belanda sebagai juru tulis pada perkebunan-perkebunan kopi di Minangkabau.199 Sekolah-sekolah nagari juga dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda di berbagai daerah Keresidenan Padangsche Benedenlanden pada tahun 1850-an, seperti Painan, Padang, Pariaman dan Air Bangis. Sejalan dengan perkembangan sekolah nagari, kebutuhan terhadap guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah tersebut semakin meningkat tajam. Pemerintahan kolonial Belanda kemudian membuka Sekolah Raja (Kweekschool) di ibu kota Keresidenan Padangsche Bovenlanden, Bukittinggi, pada tahun 1856.200 Sekolah ini selain menyiapkan tenaga

197Elizabeth E. Graves, op. cit., hal. 151-152 dan Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 150 198Elizabeth E. Graves, ibid.,hal. 153-154 199Ibid., hal. 155-156 200Sekolah Raja (Kweekschool) merupakan sekolah yang dipandang tinggi oleh rakyat Minangkabau dan apalagi kalau mereka sudah memegang suatu jabatan pada pemerintahan. Murid- muridsekolah tersebut memperlihatkan tingkah laku yang berbeda dan menganggap diri mereka sebagai orang yang mulia di tengah masyarakat. Mereka membentuk kelompok sendiri dan

64

guru di sekolah-sekolah nagari juga penyedia kebutuhan administrasi dan birokrasi pemerintahan. Kurikulum Sekolah Raja (Kweekschool) meliputi menulis dan membaca dalam bahasa Melayu, baik Arab-Melayu maupun Latin, geografi, ilmu ukur, pembukuan, menulis surat dan laporan resmi dengan benar. Pemerintah kolonial Belanda menyiapkan segala biaya operasional pendidikan dan perlengkapan murid-murid selama belajar di sekolah itu.201 Perubahan kebijakan politik kolonial Belanda selama penerapan ekonomi liberal (1870-1900) juga mempengaruhi perkembangan dunia pendidikan di Minangkabau. Sekolah nagari secara bertahap mengalami perubahan menjadi Sekolah Dasar di bawah kontrol pemerintah yang mulai terlibat langsung dalam pendanaan, pengurusan organisasi sekolah dan pembuatan kurikulum. Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi, selain mendapat tambahan bantuan pendanaan, memperoleh tambahan kurikulum yang lebih berat dari sebelumnya. Mata pelajaran paedagogi, geometri, menggambar, menyanyi dan teknik-teknik pertanian menjadi bagian dari kurikulum yang mesti pelajari pada sekolah itu. Bahasa Belanda mulai diajarkan sebagai mata pelajaran wajib. Perhatian serius yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda mendorong Sekolah Raja (Kweekschool) berkembang dengan pesat dan bahkan muncul sebagai sentral pendidikan untuk kawasan Pulau Sumatera pada akhir abad ke-19.202 Memasuki awal abad ke-20, muncul perubahan sikap dan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda dalam memperlakukan daerah jajahan yang didorong oleh penderitaan masyarakat Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa selama pelaksanaan taman paksa tahun 1830-1870. Kegagalan politik liberal pada tahun 1870-1900 untuk menciptakan kemakmuran terhadap penduduk pribumi ikut pula mendorong munculnya perubahan sikap dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang diekspresikan melalui kebijakan politik etis pada awal abad ke-20. Van Deventer, salah seorang kampium politik etis, mengemukakan bahwa Belanda banyak berhutang budi kepada masyarakat Hindia Belanda melalui pemerasan kekayaan alam. Hutang budi itu harus dibayar oleh negara Belanda dengan cara memberikan prioritas kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di Hindia Belanda.203

memisahkan diri dalam pergaulan sehari-hari dari masyarakat yang dianggap lebih rendah dan tidak setaraf dengan mereka. Dalam hubungan ini, Belanda berhasil menanamkanbibit perpecahan dalam lapisan masyarakat Minangkabau.Lihat Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo (editor), Sejarah Pendidikan Sumatera Barat (Padang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat, 1980/1981), hal. 49 201Elizabeth E. Graves, op. cit., hal. 158-162 202Hendra Naldi, Booming, op. cit.,hal. 55-56 203M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1993), hal. 227-228

65

Sebagai langkah awal penerapan politik etis, Ratu Wilhelmina memerintahkan pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan penyelidikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa pada tahun 1901. Hasil penyelidikan itu mendororng pemerintah Belanda memajukan tiga program baru dalam politik etis yang meliputi pendidikan (educatie), perpindahan penduduk (emigratie) dan pembangunan sarana irigasi (irrigatie).204 Salah satu program politik etis yang memiliki pengaruh cukup besar di Minangkabau pada awal abad ke-20 adalah pendidikan. Pemerintahan kolonial mendirikan sekolah kelas satu (Volksschool) di Minangkabau pada tahun 1910 yang disediakan untuk anak-anak penghulu dan pegawai pemerintah agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pendirian sekolah ini sejalan dengan kesempatan kerja di pemerintahan yang pada umumnya dimasuki oleh anak-anak para penghulu dan pegawai. Dua tahun kemudian (1912), sekolah kelas dua (Volksschool) didirikan pula di Minangkabau yang bisa dimasuki oleh masyarakat umum tanpa membedakan kelas sosial. Jumlah sekolah ini (Volksschool) masih sangat terbatas dan hanya didirikan pada masing-masing distrik yang ada di suatu Keresidenan tanpa mempertimbangkan kepadatan penduduk dan minat pendidikan masyarakat setempat. Konsekuensinya pendidikan sekuler yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Minangkabau belum mampu memenuhi minat dan keinginan pendidikan masyarakat.205 Pada tahun 1915, Volksschool yang lebih populer dengan sebutan Sekolah Rakyat (SR) berkembang dengan pesat di Minangkabau dan jumlahnya mencapai sekitar 358 buah. Perkembangan Volksschool mendorong pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah lanjutan (Vervolksschool) pada tahun 1916 di daerah- daerah yang memiliki Sekolah Rakyat. Volksschool semula disediakan untuk tiga tahun masa belajar dijadikan dua tahun saja dan setelah itu para lulusannya dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutanyang didirikan untuk semua lulusan Sekolah Rakyat (Volksshool). Mereka yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan (Vervolksschool) itu hanyalah anak-anak penghulu dan pegawai pemerintah kolonial.206 Sekolah lanjutan yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1916 dan Sekolah Raja di Bukittinggi (1856) belum mampu menampung para lulusan Sekolah Rakyat yang ingin melanjutkan pendidikan. Kondisi ini mendorong pemerintah membuka Normal School di Padang Panjang bagi para lulusan Sekolah Rakyat yang tidak dapat melanjutkan ke Sekolah Raja. Pada tahun 1921, pemerintah mendirikan pula Normal School khusus perempuan dan Schakelschool di Padang

204Ibid., hal. 228. Baca juga Marwatie Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Jilid. V,hal. 14-132 dan Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal. 50-69 205Ricklefs, op. cit., hal. 272-273 206Mardanas Safwan, op. cit., hal. 53

66

Panjang. Schakelschool menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya dengan masa belajar selama lima tahun.207 Pemerintah kolonial Belanda mendirikan pula sekolah dasar Belanda, Holland Inlandsche School (HIS), di Padang dan Bukittinggi pada tahun 1914 dengan masa belajar selama tujuh tahun. Empat tahun sebelumnya (1910), pemerintah kolonial sudah mendirikan Sekolah Menengah Pertama, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di kota Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh dengan masa belajar selama empat tahun. Sekolah HIS dan MULO pada dasar merupakan sekolah yang secara khusus disediakan untuk anak-anak Eropa yang tinggal di Minangkabau. Masyarakat pribumi yang boleh masuk ke sekolah tersebut hanyalah dari anak-anak keturunan para penghulu, jaksa dan pegawai pemerintah. Bahasa pengantar yang digunakan pada kedua lembaga pendidikan tersebut adalah bahasa Belanda. Kemampuan bahasa Belanda pada saat itu telah menjadi syarat mutlak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, seperti School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di pulau Jawa dan negeri Belanda.208 Sekolah yang khusus untuk mendidik calon ambtenar didirikan pula di kota Bukittinggi pada tahun 1916 dengan nama Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaaren (OSVIA) atau Sekolah Pamong Praja. Sekolah ini merupakan satu- satunya Sekolah Pamong Praja di kawasan Pulau Sumatera. Proses seleksi untuk masuk ke sekolah itu dilakukan secara ketat dan menggunakan bahasa Belanda. Murid-murid yang diterima pada umumnya adalah anak-anak para pejabat dan orang terpandang. Beberapa murid yang berasal dari orang biasa untuk dapat diterima di sekolah itu harus membawa “memo” pejabat. Kegiatan belajar di Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaaren (OSVIA) berlangsung selama lima tahun. Kurikulumnya adalah beberapa mata pelajaran yang terdiri dari administrasi, hukum, adat-istiadat dan ilmu sosial. Meskipun OSVIA memiliki tujuan untuk mempersiapkan calon Pejabat Pamong Praja, murid-muridnya diberi kesempatan pula untuk menggeluti pekerjaan sebagai jaksa, hakim dan polisi.209 Pendidikan sekuler yang dikenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sejak permulaan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memiliki arti penting bagi masyarakat Minangkabau. Perkembangan pendidikan itu memiliki pengaruh dalam mempercepat proses modernisasi di Minangkabau yang merubah secara struktural lapisan sosial tertentu dalam masyarakat.210 Para lulusan sekolah-sekolah sekuler tumbuh sebagai lapisan sosial baru (elit baru) dan memperoleh kehidupan yang layak karena bekerja pada sektor pemerintahan sebagai penjaga gudang, guru, pamong praja dan jaksa. Kondisi semacam itu merasut ke dalam jiwa beberapa perempuan

207Ibid.,hal. 54 208Tsuyoshi Kato, Adat, op. cit., hal. 105 209Gusti Asnan, Pemberontakan, op. cit., hal. 104 210Hendra Naldi, Booming, op. cit., hal. 58-59

67

Minangkabau dan mendorong mereka untuk melawan realitas sosial yang tidak adil. Sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh pemerintahan kolonial Belanda kelihatannya dengan sengaja melanggengkan kondisi sosial yang timpang itu dengan memprioritaskan kesempatan kepada anak-anak penghulu dan pejabat kolonial di Minangkabau. Masyarakat yang memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan pada sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Minangkabau selama abad ke-19 adalah laki-laki. Perempuan Minangkabau pertama yang memperoleh pendidikan kolonial adalah Syarifah Nawawi, Siti Djanewar Boestami Aman dan Aisyah Jahja. Syarifah Nawawi menempuh pendidikan di Europeesche Langere School (ELS) dan Kweekschool Fort de Kock, Bukittinggi, pada tahun 1907. Ia adalah perempuan pertama yang sempat sekolah di Kweekschool, yaitu sekolah guru sebagai tempat ayahnya, Nawawi, mengajar ketika itu. Syarifah Nawawi kemudian melanjutkan pendidikan ke Salemba School di Batavia. Siti Djanewar Boestami Aman adalah anak seorang kepala laras (hoofdlaras) yang bernama Chatib Maharadja Sutan Dilawit. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan Meijes Kweekschool di Salatiga, Jawa Tengah. Sedangkan Aisyah Jahja adalah anak dari seorang demang dengan nama Jahja Datoek Kajo. Aisyah Jahja tercatat sebagai salah seorang murid perempuan di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1918.211 Perempuan yang memperoleh prioritas untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah sekuler adalah anak-anak pegawai pemerintah dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa kolonial. Meskipun begitu, kesempatan yang dimiliki oleh Syarifah Nawawi, Siti Djanewar Boestami Aman dan Aisyah Jahja merupakan pembuka jalan bagi perempuan lain untuk mengakses pendidikan kolonial. Pada tahun 1914, jumlah mereka semakin banyak dan tercatat 926 orang dari 8980 orang murid di sekolah kelas dua di Minangkabau adalah perempuan. Sedangkan sekolah kelas satu memiliki murid perempuan sebanyak 98 orang dari 657 orang murid.212 Peningkatan jumlah perempuan yang mampu mengakses lembaga pendidikan kolonial sebenarnya belum memenuhi harapan mereka yang menyuarakan pentingnya kebebasan dan persamaan laki-laki dan perempuan pada awal abad ke-20. Penetrasi pemerintahan kolonial Belanda di Minangkabau dapat pula ditemukan dalam kebijakan ordonansi guru dan sekolah liar sebagai reaksi terhadap perkembangan institusi pendidikan Islam dan munculnya pergerakan anti-kolonial yang semakin hari semakin menguat hingga tahun 1930-an. Pergerakan anti-kolonial

211Risa Marta Yanti “Pergerakan Perempuan Minangkabau Pada Awal Abad XX”, Jurnal Kafa’ah, 7 (2) 2017, hal.hal. 151-152 212Ibid., hal. 152

68

yang diperankan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan perlawanan revolusioner anti-penjajahan yang memiliki basis yang kuat di lembaga pendidikan Islam. Keterlibatan ulama sebagai pelopor pergerakan komunis pada lembaga pendidikan Islam di Minangkabau melahirkan kecurigaan penguasa kolonial Belanda. Mereka menilai bahwa lembaga pendidikan Islam bukan hanya berperan sebagai tempat mentransformasikan ilmu pengetahuan ke-Islaman, melainkan juga sebagai medium untuk membangun sentimen dan perasaan anti-kolonial. Pemerintah kolonial Belanda meredam berbagai gejolak yang dapat mengancam posisi dan kepentingan mereka di Minangkabau. Lewat kajian Kantoor Voor Het Indlandsche Zaken, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan ordonansi guru pada bulan Juni 1928.213 Kebijakan ordonansi guru yang mau digulirkan di Minangkabau jauh sebelumnya sudah diterapkan oleh pemerintah kolonial di pulau Jawa dan Madura sejak tahun 1905, kecuali pada kawasan yang sedang dikuasai oleh para sultan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kebijakan itu terdiri dari enam pasal dan pasal pertama menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di Hindia Belanda wajib memperoleh izin tertulis dari pemerintah. Izin itu diberikan oleh pemerintah kepada mereka yang memiliki reputasi yang baik dan tidak melakukan pengajaran yang bertentangan dengan ketertiban umum. Murid-murid yang sudah terdaftar pada suatu lembaga pendidikan Islam sebagaimana diatur dalam pasal dua kebijakan ordonansi guru mesti dilaporkan oleh pihak institusi kepada pemerintah kolonial. Penerimaan murid- murid yang berasal dari luar daerah harus pula memperoleh persetujuan pemerintah kolonial.214 Setelah beberapa tahun kebijakan ordonansi guru diterapkan di pulau Jawa dan Madura hampir tidak muncul gejolak yang berarti pada kedua wilayah tersebut untuk melakukan perlawanan. Pada tahun 1925, pemerintah kolonial melakukan revisi dan penyempurnaan terhadap kebijakan ordonansi guru dengan tujuan dapat diterapkan di seluruh wilayah Hindia Belanda. Kebijakan yang dahulunya terdiri dari enam pasal mengalami perubahan sehingga menjadi dua belas pasal dengan berbagai revisi redaksional. Pernyataan wajib memperoleh izin yang ditemukan pada pasal pertama ordonansi guru pada tahun 1905 mengalami perubahan dan sedikit diperhalus dengan istilah memberitahukan kepada pemerintah.215 Setelah melakukan revisi dan penyempurnaan, ordonansi guru mau diterapkan oleh pemerintah kolonial di seluruh wilayah kekuasaannya di Hindia Belanda.

213Kantoor Voor Het Indlandsche Zaken merupakan lembaga yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1899 yang berperan sebagai penasehat pemerintah dalam masalah-masalah masyarakat pribumi dan umat Islam. Untuk mengetahui lebih jauh tentang lembaga ini, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda;Kantoor Voor Het Indlandsche Zaken (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 98-114 214Staatsblaad Van Nederlansch Indie, No. 550, Tahun 1905 215Staatsblaad Van Nederlansch Indie, No. 219, Tahun 1925

69

Pada tahun 1927, pemerintah kolonial berhasil menerapkan ordonansi tersebut pada beberapa daerah di pulau Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang dan Tapanuli. Pada tahun yang sama ordonansi guru juga berhasil diterapkan oleh pemerintah kolonial di beberapa daerah bagian Timur, seperti Lombok dan Minahasa.216 Satu tahun kemudian (1928) pemerintah kolonial berencana untuk menerapkan kebijakan itu di Minangkabau dan penasehat pemerintah pada Kantoor Voor Het Indlandsche Zaken mulai melakukan kajian mengenai kemungkinan pemberlakuan ordonansi itu di wilayah, tempat berkembangannya lembaga pendidikan Islam yang begitu maju pada permulaan abad ke-20. Penyelidikan itu dilakukan oleh pemerintah kolonial sejak kebijakan itu mengalami perubahan dan penyempurnaan pada tahun 1925. Schrieke salah seorang penasehat pada Kantoor Voor Het Indlandsche Zaken menyarankan kepada pemerintah pada tahun 1925 untuk mempertimbangkan dengan hati-hati beberapa resistensi dan kesulitan yang mungkin muncul sebagai akibat penerapan ordonansi guru di Minangkabau. Sejalan dengan saran Schrieke, Gobee dari Kantoor Voor Het Indlandsche Zaken yang berkunjung ke Minangkabau pada awal tahun 1928 juga merekomendasikan kepada pemerintah kolonial untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dan mendalam tentang kemungkinan penerapan kebijakan ordonansi guru di Minangkabau.217 Pemerintah kolonial setuju dengan rekomendasi Gobee dan kemudian mereka mengutus De Vries ke Minangkabau untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dan pendekatan kepada ulama-ulama di daerah itu pada bulan Juni 1928.218 Selama berada di Minangkabau De Vries melakukan pendekatan dengan ulama-ulama yang dipandang memiliki kedekatan dengan pemerintah kolonial, baik dari kalangan ulama kaum muda maupun kaum tua. Di antara ulama kaum muda yang ditemui oleh De Vries adalah Abdullah Ahmad dan Muhammad Jamil Djambek. Sedangkan dari ulama kaum tua adalah Syeikh Khatib Ali, Djamil Jaho dan Sulaiman al-Rasuli. Abdullah Ahmad menyatakan persetujuannya terhadap pemberlakukan ordonansi guru di Minangkabau. Muhammad Jamil Djambek belum memberikan jawaban yang pasti (ragu-ragu) kepada De Vries, mengingat posisinya yang begitu sulit untuk mengambil suatu keputusan. Kesulitan itu disebabkan oleh kedekatan Muhammad Jamil Djambek sendiri dengan pemerintah kolonial dan ulama-ulama lain di Minangkabau yang menolak kebijakan itu. Kemudian Syeikh Khatib Ali, Djamil Jaho dan Sulaiman al-Rasuli dari ulama kaum tua yang dijumpai De Vries di Minangkabau memberikan jawaban agar mereka diberikan kesempatan dan waktu untuk mempelajari kebijakan tersebut terlebih dahulu.219

216Deliar Noer, Gerakan, op. cit., hal. 195 217Taufik Abdullah,School,op. cit., hal. 152-154 218Ibid., hal. 154 219Deliar Noer, Gerakan, op. cit., hal. 196

70

Ulama terakhir yang ditemui De Vries adalah Haji Rasul yang secara tegas menyampaikan penolakan terhadap rencana kolonial yang mau menerapkan ordonansi guru di Minangkabau. Ulama ini pula yang mempelopori mobilisasi ulama yang berujung pada pelaksanaan konferensi di Bukittinggi pada tanggal 19 Agustus 1928. Konferensi itu merupakan refleksi perlawanan ulama Minangkabau yang secara aklamasi menolak penerapan kebijakan ordonansi guru. Sejalan dengan keputusan itu, pemerintah kolonial membatalkan rencana penerapan kebijakan itu pada bulan Oktober 1928.220 Meskipun demikian, keinginan pemerintah kolonial untuk melanjutkan dominasinya di Minangkabau khususnya belum berakhir dan tahun 1932 kembali mereka menerapkan kebijakan ordonansi sekolah liar (swasta non-subsidi) di Hindia Belanda. Ordonansi ini terdiri dari 4 pasal dan 19 ayat yang mengatur masalah perizinan dan konsekuensi hukum yang ditimbulkan bagi sekolah- sekolah swasta non-subsidi yang tidak mematuhi peraturan.221 Dalam ordonansi sekolah liar dijelaskan bahwa setiap sekolah swasta non- subsidi mesti memperoleh izin pemerintah yang dikeluarkan melalui persetujuan inspektur pendidikan kolonial. Kemudian izin hanya diberikan kepada sekolah- sekolah yang tidak dikuatirkan dapat menimbulkan gangguan keamanan.222 Aturan perizinan semacam ini menurut pandangan masyarakat bumiputera merupakan suatu upaya pemerintah kolonial untuk meredam dan membatasi kebebasan mereka untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Pandangan itu sangat beralasan karena peraturan sekolah liar digulirkan oleh pemerintah di Hindia Belanda bersamaan dengan krisis ekonomi yang terjadi sejak awal tahun 1930-an yang berujung pada pembatasan ekspansi pendidikan kolonial dan pengurangan subsidi terhadap sekolah- sekolah swasta. Di Minangkabau, sekolah training untuk pegawai pemerintah, MOSVIA Bukittinggi, ditutup dan penerimaan murid baru pada sekolah raja (kweekschool) dihentikan pada tahun 1931. Satu tahun kemudian (1932) pemerintah kolonial menaikan biaya pendidikan pada sekolah menengah (MULO) dan mengurangi subsidi pada sekolah-sekolah swasta.223 Kondisi itu mendorong masyarakat Minangkabau untuk mengembangkan sekolah-sekolah swasta dan melanjutkan pembaharuan kurikulum pendidikan pada sekolah agama. Untuk menghambat ekspansi pendidikan swasta itu, pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan ordonansi sekolah liar tahun 1932 yang memperoleh perlawanan ulama Minangkabau dalam suatu rapat umum pada tanggal 5 Februari 1933 yang bertempat di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang.224 Sayangnya keterbatasan sumber-sumber sejarah terkait dengan jalannya rapat umum

220Hamka, Ayahku, op. cit., hal. 169 221Staatsblaad Van Nederlansch Indie, No. 494-495, 1 September 1932 222Ibid., 223Taufik Abdullah, School, op. cit., hal. 262-263 224Notulen rapat Comite Perloetjoetan Goeroe Ordonantie dan Toezicht Ordonantie Farticulier Ornderwijs tanggal 6-7 Desember 1932M / 11-10 Sya’ban 1351 H, hal. 1

71

tersebut membuat peristiwa penting itu sangat sulit untuk direkonstruksi kembali. Sejalan dengan keputusan rapat ulama Minangkabau pada tanggal 7 Syawal 1351 H, sesuatu yang dapat diungkap dari rapat umum ulama Minangkabau dalam menentang ordonansi sekolah liar adalah pembicara yang diharapkan bisa tampil pada acara rapat umum tersebut. Di antara mereka adalah Inyiek Daud, Inyiek Abbas, Syekh Abdul Wahab Amrullah, Sutan Mudo dan Sutan Mangkuto.Pemimpin rapat umum sesuai rencana pada tanggal 5 Februari 1933 dipercayakan kepada Sutan Mangkuto. Setelah rapat umum dibuka oleh pimpinan akan dilanjutkan dengan pembacaan al- Qur’an oleh Syekh Abdul Wahab Amrullah. Kemudian acara dilanjutkan dengan penyampaian orasi singkat tentang ordonansi guru dan sekolah yang masing- masingnya disampaikan oleh Inyiek Daud dan Inyiek Abbas. Pembacaan keputusan rapat umum ulama Minangkabau diserahkan kepada kepada Sutan Mudo dan dilanjutkan dengan pengiriman surat kepada pemerintah Hindia Belanda yang kemudian membatalkan kebijakan itu.225

E. Emansipasi Perempuan di Minangkabau Konstruksi sosial budaya yang belum bersimpati kepada persamaan laki-laki dan perempuan merupakan latar historis yang mendorong tumbuhnya gerakan emansipasi perempuan di Minangkabau pada awal abad ke-20. Penyimpangan hak- hak perempuan dalam sistem kekerabatan materilineal semakin diperkuat oleh realitas sosial yang dibangun dalam sistem pendidikan agama di surau-surau Minangkabau yang lebih berempati kepada laki-laki. Kedatangan kolonial Belanda ke Minangkabau cendrung pula mengebiri hak-hak perempuan. Mereka belum memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah sekuler. Setting sosial budaya seperti itu melahirkan kesadaran perempuan Minangkabau untuk melakukan perjuangan yang mengkristal dalam diri mereka sejalan dengan terbuka arus informasi dan kontak dengan dunia luar sejak awal abad ke-20 sebagai kontribusi kolonialisasi Nusantara. Mereka mulai membandingkan keadaan perempuan di belahan dunia lain dengan situasi yang jauh berbeda dengan apa yang mereka alami sendiri secara khusus diMinangkabau.226 Perempuan Minangkabau pertama yang menyuarakan kebebasan dari realitas sosial yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan adalah Rangkayo Rohana Kudus. Ia lahir pada tanggal 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, dari pasangan Muhammad Rasjad Maharaja Sutan dan Kiam. Keluarga

225Ibid., hal. 1-2 226Perubahan di Eropa mulai membawa kemajuan bagi perempuan untuk memperoleh hak-hak mereka semenjak abad ke-18 dan 19.Pada awal abad ke-20, perempuan Eropa sudah memiliki persamaan dengan laki-laki dalam hak memilih dan pilih. Jerman, Belanda, Inggris, Perancis dan lain- lain telah memberikan hak memilih dan dipilih kepada perempuan sejak permulaan abad ke-20. Fauzie Ridjal dkk (ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993), hal. 74

72

besarnya merupakan tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Bangsa Indonesia, yaitu H. (sepupu), Sutan Syahrir (kakak) dan Khairil Anwar (putra adik perempuannya).227 Rohana Kudus lebih muda lima tahun dari Raden Ajeng Kartini (lahir 1879) dan memiliki cita-cita yang sama dengan tokoh emansipasi perempuan Indonesia itu. Ia ingin membebaskan kaum perempuan dari keterbelakangan karena mereka belum memiliki kesempatan sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan.228 Langkah pertama yang ditempuhnya adalah dengan mendirikan Perkumpulan Kerajinan Amai Setia bersama Rakeni Puti pada tanggal 11 Februari 1911 di Koto Gadang, Bukittinggi.229 Pendirian Perkumpulan Kerajinan Amai Setia didukung pula oleh 60 orang perempuan Koto Gadang. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh Rohana Kudus dalam perkumpulan yang dipimpinannya itu adalah mengajarkan tulis-baca Arab-Latin, agama dan keterampilan menyulam, menjahit dan hiasan.230 Setelah lima tahun memimpin Perkumpulan Kerajinan Amai Setia, Rohana Kudus mendirikan sekolah Rohana School di Bukittinggi pada tahun 1917. Kurikulum sekolah ini disesuaikan dengan kebutuhan perempuan Minangkabau ketika itu dan hampir sama dengan materi pelajaran yang dipelajari di Perkumpulan Kerajinan Amai Setia. Materi tulis- baca merupakan salah satu pelajaran pokok yang diajarkan di Rohana School untuk menguasai pengetahuan dan melawan stereotip negatif yang dibangun terhadap perempuan sehingga mereka belum memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan.231 Rohana Kudus adalah korban stereotip negatif yang dibangun terhadap perempuan. Ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara formal. Modal pengetahuan yang menjadi energi penggerak perjuangannya untuk menuntut kebebasan perempuan diperoleh secara mandiri dari ayahnya, Muhammad Rasjad, yang ketika itu menjabat hoofdjaksa dalam sistem pemerintah kolonial Belanda. Sebagai seorang anak hoofdjaksa, hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain sudah biasa dilewati oleh Rohana Kudus sejalan dengan tugas yang dijalani oleh ayahnya. Perkenalan dengan istri seorang pejabat Belanda

227Tamar Jaya, Rohana, Rohana Kudus Riwayat Hidup dan Pejuangannya (Jakarta: Mutiara, 1980), hal. 28. Ahmad Husein dkk, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau/Riau 1945-1950 (Padang: Badan Pemurnian Sejerah Indonesia-Minangkabau BPSIM, 1991), hal. 16 228Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan di Indonesia yang lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, yaitu sebuah desa kecil yang termasuk keresidenan Jepara. Djoko Marihandono dkk, Sisi Lain Kartini (Jakarta: Mesium Kebangkitan Nasional dan Kementerian P dan K Republik Indonesia, 2016), hal. 5. Ia memiliki cita-cita untuk menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk yang sama. Kedudukan (status) mereka tidak boleh dibeda-bedakan, sekalipun perempuan dan laki-laki memiliki bentuk masing-masing.Fauzie Ridjal dkk (ed.), Dinamika, op. cit., hal. 88 229Ahmad Husein dkk, Sejarah, op. cit., hal. 16-17 230Risa Marta Yanti, Pergerakan, op. cit., hal. 153 231Ibid.,

73

yang tinggal berdekatan dengan rumahnya di daerah Alahan Panjang memberikan kesempatan besar bagi Rohana Kudus untuk mempelajari bahasa Belanda dan keterampilan menyulam dan menjahit. Istri pejabat Belanda itu sangat sayang kepada Rohana Kudus karena yang bersangkutan belum memiliki anak. Rohana Kudus diberi kesempatan untuk mengakses beberapa literatur dan majalah yang menggunakan bahasa Belanda di rumahnya.232 Rajin membaca dan akses yang diperoleh untuk mempelajari literatur berbahasa Belanda sejak kecil hingga remaja membuat Rohana Kudus mengetahui banyak hal tentang kehidupan perempuan di benua Eropa yang jauh berbeda dengan nasib yang dialaminya di Minangkabau. Perempuan yang dipuja dalam sistem sosial matrilineal yang dianut di Minangkabau ternyata belum memberikan kesempatan sama kepada laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan. Padahal awal abad ke-20 disebut di Minangkabau sebagai momentum kemajuan yang ditandai oleh lahirnya lapisan sosial baru (elit baru) lulusan sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Rohana Kudus tetap melakukan perjuangan, meskipun ia sudah menjadi seorang istri notaris, Abdullah Kudus pada tahun 1908. Statusnya sebagai istri tidak menjadi penghalang bagi Rohana Kudus untuk memperjuangkan nasib perempuan Minangkabau. Sejak tahun 1912, Rohana Kudus menjadi redaktur utama surat kabar perempuan, Soenting Melajoe. Surat kabar ini merupakan media perempuan pertama di Pulau Sumatera yang diterbitkan oleh seorang pengusaha pribumi, Mahyuddin Sutan Maharadja, di kota Padang atas usulan yang disampaikan oleh Rohana Kudus.233 Artikel yang dimuat dalam editorial surat kabar Soenting Melajoe pada hari Sabtu, tanggal 28 Desember 1912 merefleksikan bahwa perjuangan perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan kemajuan. Karena menilik kemadjoeannja zaman sekarang, “zaman peroebahan” patoet poela kita bangsa perempoean toeroet poela bagaimana peroebahannja zaman; artinya pateot berlomba-lombaan mentjari kepandaian jang mana akan penambah pintoe rezeki, djangan kita doedoek-doedoek diroemah dengan tidak ada pekerdjaan (kanwerk)...Dahoeloe kala, poen sampai sekarang, bangsa perempoean sangat dipandang rendah oleh partij laki-laki, karena setengah perempoean mengharapkan pentjarian laki-laki, soepaya hilang maki dan nista dari moeloet laki- laki haroeslah kita perempoean akan bertenaga poela boeat penambah pentjarian laki-laki, akan penerangkan pikiran jang gelap, “ilmoe-kepandaian” dan tahoe mana jang elok mana jang boeroek, patoet kita beramah-ramahkan dengan soerat chabar perempoean berahi membajta boekoe-boekoe jang berisi pengadjaran.234

232Ibid., hal. 154 233Sastri Sunarti, Kelisanan, op. cit., hal. 219-220 234Soenting Melajoe, tanggal 28 Desember 1912, hal. 1

74

Kutipan ini merefleksikan kegelisahan perempuan pada awal abad ke-20 yang lahir dari kesadaran dan interaksi dengan realitas sosial yang mengebiri hak-hak mereka. Perempuan mulai menggiring para pembaca surat kabar, terutama komunitas mereka sendiri untuk memahami berbagai perubahan yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Perempuan di samping menjalankan peran-peran domestik, mereka meski menyiapkan diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Sekurangnya ilmu pengetahuan dan keterampilan itu dapat memberikan manfaat praktis yang mampu menciptakan sumber-sumber penghasilan baru dan sikap kemandirian untuk meminimalisasi determinasi laki-laki kepada kaum perempuan. Soenting Melajoe merupakan surat kabar perempuan yang mendorong lahirnya geliat penerbitan-penerbitan lokal di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum perempuan dan menambah warna baru pergumulan pemikiran tentang kebebasan dalam meruntuhkan struktur sosial dan kutural yang bias gender. Perempuan yang menerbitkan surat kabar Soeara Perempoean di Minangkabau pada tahun 1917 memiliki pandangan yang jauh lebih radikal. Gagasan yang disampaikan di dalamnya adalah sebuah tuntutan kebebasan sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat Eropa yang terlepas diri dari ikatan adat dan agama. Pandangan ini melahirkan majalah al-Asraq pada tahun 1925 sehingga menambah warna baru perlawanan perempuan Minangkabau tentang kebebasan yang dimaknai harus terikat dengan nilai-nilai keislaman. Surat kabar Soenting Melajoe (1912), Soeara Perempoean (1917) dan al-Asraq merupakan media massa yang mewakili perjuangan perempuan awal abad ke-20. Masing-masing surat kabar memajukan pandangan gagasan yang beragam tentang kebebasan dan persamaan laki-laki dan perempuan di Minangkabau.235 Modernisasi pendidikan Islam yang berlangsung di Minangkabau sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh pemerintahan kolonial Belanda mempengaruhi pula gerakan perempuan dalam melawan struktur sosial dan kultural yang berempati kepada persamaan. Selain tumbuhnya Madrasah- Madrasah Sumatera Thawalib yang dipelopori oleh ulama kaum muda (modernis) dengan meniru model pendidikan kolonial, modernisasi melahirkan pula kesempatan kepada perempuan Minangkabau untuk memperoleh pendidikan formal. Rahmah al- Yunusiyah bahkan memanfaatkan arus modernisasi Islam di Minangkabau untuk mendirikan madrasah khusus perempuan yang bernama Madrasah Diniyah Putri di kota Padang Panjang. Sebelumnya ia bersama adalah murid Syeikh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) di Surau Jembatan Besi sejak tahun 1918.236 Rahmah al-Yunusiyah lahir pada tanggal 20 Desember 1900 di Bukit Surungan, Padang Panjang. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dari

235Sastri Sunarti, Kelisanan, op. cit., hal. 81-83 236Hamka, Ayahku, op. cit., hal. 315

75

pasangan Muhammad Yunus dan Rafi’ah.237 Ayahnya merupakan seorang qadhi dan ulama besar yang memiliki keahlian dalam ilmu falak. Selain belajar di surau-surau Minangkabau, Muhammad Yunus pernah tinggal di Mekah selama empat untuk tahun untuk mempelajari dan mendalami agama Islam. Ibunya, Rafi’ah, berasal dari Bukittinggi dan masih keturunan ulama. Garis keturunannya bertemu dengan Haji Miskin, yaitu salah seorang ulama puritan dari kelompok Paderi yang melakukan gerakan pemurnian Islam pada permulaan abad ke-19 di Minangkabau.238 Rahmah al-Yunusiyah hanya memperoleh pendidikan formal (pendidikan dasar) selama tiga tahun di kota Padang Panjang. Pengetahuannya yang luas di bidang agama dipelajari kepada kakaknya sendiri, Zainuddin Labai al-Yunusi dan Muhammad Rasyid al- Yunusi. Ia memiliki kemampuan dalam bidang bahasa Arab dan bahasa Belanda dengan baik. Ia rajin pula mendatangi Syeikh Abdul Karim Amrullah, syeikh Jamil Jambek dan Syeikh Abdul Latif Rasjidi, Syeikh Daud Rasjidi dan Abdul Hamid Hakim.239 Setelah belajar dengan guru-guru tersebut, Rahmah al-Yunusiyah banyak mendalami agama secara otodidak sehingga memiliki modal pengetahuan yang mendorongnya untuk memperjuangkan pendidikan perempuan. Pendirian Diniyah Putri, Padang Panjang, pada tahun 1923 membuktikan bahwa Rahmah al-Yunusiyah merupakan tokoh perempuan yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas di bidang keagamaan.240 Diniyah Putri yang didirikan oleh Rahmah al-Yunusiyah pada awalnya banyak memperoleh ejekan dan pandangan negatif dari masyarakat sekitar, terutama mereka kurang senang terhadap perjuangan kaum perempuan. Mereka memandang bahwa Rahmah al-Yunusiyah melakukan perbuatan yang sia-sia. Setinggi apapun pendidikan perempuan, namun tetap saja pekerjaan yang layak bagi mereka adalah di dapur. Mereka tidak yakin bahwa sekolah yang didirikan oleh Rahmah al-Yunusiyah akan mendapat dukungan dan perhatian yang serius dari masyarakat Minangkabau. Semua stereotip negatif itu dihadapi oleh Rahmah al-Yunusiyah dengan sabar dan diiringi dengan keseriusannya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Ayahnya sendiri meragukan usaha Rahmah al- Yunusiyah dalam mendirikan madrasah khusus perempuan.241 Beberapa tahun kemudian, ia mampu memperlihatkan bukti nyata bahwa usahanya mendirikan Madrasah Diniyah Putri bukan pekerjaan yang sia-sia. Murid-murid mulai mendaftrakan diri di Diniyah Putri, Padang Panjang. Mereka bukan hanya berasal dari Minangkabau, melainkan juga dari daerah daerah lain di Nusantara, termasuk

237Aminuddin Rasyad ”Rahmah al-Yunusiyah: Kartini Perguruan Islam”, Prisma, Vol. 24 Tahun 1977, hal. 102 238Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan dan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 29-30 239Deliar Noer, Gerakan, op. cit., hal. 42 240Ibid., hal. 43 241Aminuddin Rasyad, Rahmah, op. cit., hal. 105

76

Malaysia dan Brunei Darussalam. Aisyah Ghani yang pernah menjabat sebagai Menteri Urusan Kesejahteraan Negara Malaysia pada tahun 1980-an adalah alumni dari Diniyah Putri, Panjang Panjang (1940).242 Sebagai sekolah modernis, kurikulum Diniyah Putri meliputi pelajaran agama dan umum. Murid-murid diberikan pula dengan keterampilan jahit-menjahit, menyulam dan lain-lain. Kurikulum semacam itu dirancang untuk mempersiapkan perempuan sebagai muslimah yang baik dan produktif sehingga mereka mampu mandiri dan lepas dari ketergantungan kepada pihak manapun. Bagi Rahmah al- Yunusiyah, perempuan harus mampu menjadi muslimah yang produktif untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Ia percaya bahwa perbaikan posisi perempuan dalam masyarakat tidak mungkin diserahkan kepada pihak lain, melainkan harus dilakukan sendiri oleh perempuan. Usahanya untuk mendirikan Diniyah Putri merupakan bagian diskursus yang dimajukan untuk menciptakan model pendidikan yang dibutuhkan oleh perempuan. Islam dalam keyakinan Rahmah al-Yunusiyah memberikan perhatian yang khusus terhadap watak dan peran perempuan dalam kehidupan sosial. Karena itu perempuan membutuhkan lembaga pendidikan tersendiri dan Diniyah Putri didedikasikan oleh Rahmah al-Yunusiyah untuk membicarakan tema-tema itu secara bebas.243 Perjuangan Rahmah al-Yunusiyah dalam pendidikan sempat terganggu dengan masalah politik yang semakin menguat di Minangkabau. Rahmah sendiri pada prinsipnya adalah penganut politik non-cooperatif dengan pemerintahan kolonial Belanda. Sejak awal berdiri Diniyah Putri (1923), ia tidak mau menerima bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi bagaimanapun ideologi dan corak politik yang dianutnya ketika itu, Rahmah al- Yunusiyah tidak mau melibatkan sekolahnya dalam bidang politik. Ia tetap konsisten memperjuangkan nasib perempuan yang sebelumnya sering mendapat perlakuan diskriminatif dari tokoh-tokoh adat, agama dan kolonial. Salah seorang sahabat dekatnya, Rasuna Said, dan juga guru di Diniyah Putri berulang kali untuk membujuk Rahmah al-Yunusiyah agar mau melibatkan sekolahnya dalam bidang politik dan mengajarkannya kepada murid-muridnya. Karena kuatnya prinsip Rahmah al-Yunusiyah, Rasuna Said terpaksa meninggalkan tugas sebagai guru di Diniyah Putri, Padang Panjang.244 Pilihan Rasuna Said Diniyah Putri bukanlah didorong oleh perasaan dendam kepada Rahmah al-Yunusiyah dan berhenti untuk memperjuangkan persamaan laki- laki dan perempuan, melainkan memilih politik sebagai arena perjuangan yang lebih

242Audrey Kahin, Dari Pemberontakan, op. cit., hal. 31 243Mark R. Woodward (editor), Jalan, op. cit., hal. 216 244Mukhtar Luthfi adalah pengurus Permi yang pernah membujuk Rahmah al-Yunusiyah untuk melibatkan Diniyah Putri dalam bidang politik. Edward (ed), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981), hal. 214-215

77

luas lagi. Hamka menjelaskan bahwa Rasuna Said sebagaimana halnya Rahmah al- Yunusiyah merupakan elit perempuan Minangkabau yang lahir dari pengaruh modernisme Islam. Ia memiliki kecendrungan politik yang kuat semenjak masa remajanya. Kemampuannya yang luar biasa dalam menyampaikan gagasan (pidato) dan argumentasi sangat mendukung kecendrungannya itu. Ia adalah sosok yang berani untuk berdebat dengan laki-laki tentang sesuatu yang dipandangnya benar. Ketika komunisme mempengaruhi Sumatera Thawalib, Padang Panjang, Rasuna Said telah menunjukkan rasa simpati terhadap gerakan itu.245 Apalagi sejak peristiwa perang Kamang dan Manggopoh (belasting) pada tahun 1908, masyarakat Minangkabau belum melihat organisasi pergerakan nasional yang sama radikalnya dengan perlawanan partai komunis.246 Pengaruh komunis mulai masuk ke Perguruan Sumatera Thawalib bermula dari pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) Cabang Padang pada bulan Maret 1923.247 Tokoh penting pendiri partai dengan ideologi pemikiran Karl Marx (1818- 1883) itu adalah Magas, yaitu seorang pemuda Minangkabau yang pernah tinggal dan mendalami paham komunis di pulau Jawa.248 Semula kegiatannya hanya pada usaha menandingi pergerakan (SI) yang telah eksis di Minangkabu sejak tahun 1916. Setelah hampir dua tahun eksis, pergerakan partai itu belum memiliki pengaruh yang cukup berarti di Minangkabau. Di antara penyebabnya adalah kekakuan para tokoh komunis itu sendiri yang selalu mempertahankan dan mementingkan prinsip-prinsip ideologis sehingga tidak mampu menunjukkan kelebihan dan keistimewaan yang mendorong masyarakat tertarik untuk menerima ideologi baru tersebut. Sikap anti-agama yang menjadi karakteristik pergerakan komunis juga menjadi penyebab utama gagalnya gerakan itu dalam memperluas pengaruh di seluruh wilayah Minangkabau. Bahkan gerakan komunis terkesan

245Hamka, Ayahku, op. cit., hal. 316 246Pemberontakan belasting adalah perlawanan terhadap kebijakan kolonial tentang pembayaran pajak pasca merosotnya harga kopi dan pengganti sistem tanaman paksa di Minangkabau.Perlawanan yang eskalasinya lebih menguat di daerah Kamang dan Manggopoh itu disebut Audrey Kahin sebagai refleksi tumbuhnya gerakan nasionalisme dan anti-kolonial pertama di Minangkabau. Audrey Kahin, Dari Pemberontakan, op. cit., hal. 12 247Ideologi komunis dikenalkan pertama kali oleh Sneevlet di Hindia Belanda bersama para pengikutnya yang mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) sebagai organisasi Marxisme pertama di Asia Tenggara.Dalam kongres di Semarang pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV dirubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).Catatan Mc. Vey menunjukkan bahwa PKI merupakan partai komunis pertama yang dibentuk di luar Rusia sebagai pusat pergerakan komunis dunia. Lihat, dalam Ruth Mc.Vey, “Permulaan Komunis di Sumatera Barat”, dalam Colin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 28 248Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang 1927; Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004), h. 51.

78

amburadul dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Situasi semacam ini disebut oleh B.J.O Schrieke dengan istilah syimpton of maleise.249 Sejak pusat kegiatan komunis dipindahkan ke kota Padang Panjang, pergerakannya mulai memasuki era baru dan secara perlahan memiliki pengaruh yang relatif besar di Minangkabau. Di bawah kendali tokoh-tokoh muslim yang tertarik dengan pergerakan komunis mulai dipertemukan antara ideologi Islam dan radikalisme marxis yang berujung pada lahirnya kelompok Islam komunis yang disebut dengan pergerakan Islam revolusioner.250 Tokoh sentral dari pergerakan ini adalah Haji Datuk Batuah seorang tokoh adat dan guru senior pada Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Posisi sebagai guru senior dimanfaatkan oleh Haji Datuk Batuah untuk mempengaruhi guru-guru dan murid-murid di perguruan tersebut. Upaya yang dilakukannya bak gayung bersambut karena guru dan murid- murid Perguruan Sumatera Thawalib memiliki kecendrungan yang kuat terhadap masalah politik. Sementara, pamor Sarekat Islam yang ketika itu merupakan representasi dari gerakan Islam di Minangkabau telah jatuh karena beberapa pemimpinnya diduga melakukan korupsi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pergerakan komunis dengan mudah diterima oleh keluarga besar Perguruan Sumatera Thawalib.251 Setelah pemberontakan Silungkang pada tanggal 1 Januari 1927, beberapa tokoh komunis dan partai politik yang dianggap radikal ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda. Rasuna Said yang berempati kepada gerakan politik lepas dari pengamatan kolonial sehingga masih memperoleh kesempatan untuk menghirup udara segar. Ketika organisasi Sumatera Thawalib berubah menjadi partai politik Persatuan Muslim Indonesia (Permi) pada tahun 1930, Rasuna Said bersama Rasimah Ismail tercatat sebagai perempuan Minangkabau yang aktif menjadi menjadi anggota partai itu. Keduanya dipandang sebagai perempuan yang paling vokal dan berpengaruh dalam kehidupan politik di Minangkabau. Dalam suatu rapat umum yang diselenggarakan oleh partai Permi untuk menentang kebijakan kolonial tentang ordonansi sekolah liar, Rasuna Said secara terbuka menyampaikan tuntutan kemerdekaan Indonesia kepada pemerintah kolonial Belanda. Tuntutan ini berujung pada penangkapan Rasuna Said dan dipenjara selama 15 bulan. Tak lama kemudian,

249Ibid.,hal. 54 250Ibid., 251Datuk Batuah lahir dari pasangan Syeikh Gunung Rajo dan Saidah.Ayahnya merupakan salah seorang penganut dan penyebar ajaran tarekat Syattariyah yang disegani di Nagari Gunung Rajo.Karena terlahir dari keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi menyebabkan seluruh kebutuhan Datuak Batuah sejak kecil selalu terpenuhi.Lihat Verslag van Bestuur en Staat van Nederlansch-Indie, Suriname, en Curaçao, 1924, Hofdstuk, hal.5 dan Taufik Abdullah, School, op. cit., hal. 37. Selain Datuk Batuah, Natar Zainuddin dan Jamaluddin Tamin adalah guru Sumatera Thawalib Padang Panjang yang mengembangkan sebuah paham baru di Minangkabau yang disebut “ilmu kuminih”. Mestika Zed, Pemberontakan, op cit., hal. 50-51

79

Rasimah Ismail juga ditangkap dan menjalani hukuman bersama Rasuna Said selama 15 bulan penjara di kota Semarang.252 Tuntutan terhadap persamaan laki-laki dan perempuan terus mengalir di sepanjang awal abad ke-20 yang diiringi pula oleh pendirian sekolah-sekolah keputrian di Minangkabau. Modernisasi Islam juga membantu tumbuhnya keterbukaan dalam membangun tradisi keilmuan baru yang lebih berpihak kepada perempuan. Perubahan yang silih berganti selama awal abad ke-20 membuka kesempatan kepada perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam bidang politik. Perjuangan itu secara perlahan mulai merubah struktur sosial dan kultural Minangkabau yang sebelumnya sangat mengekang peranan perempuan di ranah publik. Perempuan awal abad ke-20 adalah perempuan yang sudah mengalami perubahan dan mulai membangun realitas sosial dan kultural yang lebih ramah dan toleran terhadap persamaan gender.

252Audrey Kahin, Dari Pemberontakan, op. cit., hal. 12 dan Hamka, Ayahku, Riwayat, op. cit., hal. 316-17

80

BAB V REPRODUKSI PERAN PEREMPUAN DALAM PEWARISAN TRADISI KITAB KUNING

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa teori reproduksi sosial didedikasikan oleh Pierre Felix Bourdieu untuk menghilangkan dikotomi antara makro dan mikro sosiologis. Reproduksi secara etimologi dapat dipahami sebagai proses memproduksi kembali sesuatu yang telah dihasilkan pada masa sebelumnya.253 Karena itu penggunaan istilah reproduksi dalam kajian ilmu sosial memiliki pengertian hasil pembuatan ulang, pengembangan sesuatu yang sudah ditemukan pada masa lalu. Reproduksi sosial biasa juga diartikan dengan proses pelestarian dan pengembangan dimensi sosial dalam waktu tertentu.Teori ini memusatkan kajiannya kepada praktek sosial (interaksi sosial) yang terbentuk dari hasil dialektika yang berkesinambungan antara struktur dan agen dalam proses sejarah yang panjang. Struktur dan agen merupakan dua istilah kunci yang digunakan oleh Pierre Felix Bourdieu untuk melihat praktek sosial. Pierre Bourdieu mengenalkan pula tiga konsep dasar dalam teorinya, yaitu habitus, modal dan arena. Habitus (kebiasaan) adalah struktur mental (kognisi) yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi kehidupan sosial yang penuh dengan skema dan pola perilaku. Lewat interaksi, struktur mental dan kognisi manusia berdialektika dengan skema objektif yang ditemukan dalam kehidupan sosial. Skema itu secara perlahan mengkristal dalam kesadaran sehingga manusia mengenali, memahami dan mengembangkan kehidupan sosial.254 Inilah substansi teori reproduksi sosial yang dimaksudkan oleh Pierre Felix Bourdieu. Dengan menggunakan kerangka pemikiran Pierre Felix Bourdieu dapat dijelaskan bahwa reproduksi peran perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau adalah pengembangan dari peran yang mereka miliki sebelum masa kemerdekaan, terutama setelah mereka memerankan status sebagai murid di Madrasah Perti. Melalui proses adaptasi, sosialisasi dan internalisasi perempuan mampu mengenali, memahami dan mengembangkan peranan yang bukan hanya sebagai murid, melainkan juga sebagai guru dalam pewarisan tradisi kitab kuning. Pembahasan dalam bab ini diarahkan terhadap reproduksi peran perempuan yang mempunyai arti penting dalam proses kesinambungan tradisi keilmuan Madrasah Perti. Pembahasan itu diklasifikasikan kepada empat sub-pembahasan, yaitu Perempuan Sebagai Guru Kitab Kuning, Perempuan dan Pembimbing Halaqah,

253Leonard D. Marsam, Kamus Praktis Bahasa Indonesia (Surabaya: CV Karya Utama, 1983), hal. 221 254Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hal. 482

81

Pengembangan Human Resources dan Memelihara Paham Ahlu al-Sunnah wal al- Jamā’ah.

F. Perempuan Sebagai Guru Kitab Kuning Pewarisan kitab kuning dalam tradisi keilmuan Islam di dunia Melayu sudah berlangsung dalam waktu yang lama sejalan dengan proses Islamisasi yang pengaruhnya begitu kuat sejak abad ke-13 M. Di beberapa tempat di Indonesia (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) dan daerah Semenanjung Malaya, kitab kuning sudah digunakan oleh masyarakat sebagai texs books, references dan kurikulum dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Minangkabau sebagai salah satu daerah jaringan ulama di dunia Melayu kemungkinan besar sudah mengenal kitab kuning yang dikembangkan oleh para ulama pada Lembaga Pendidikan Tradisional Surau setelah Syeikh Burhanuddin mendirikan Surau Ulakan, Pariaman, pada paruh kedua abad ke-17. Dari Surau Ulakan pula berkembang tradisi keilmuan Islam dalam bentuk halaqah di surau-surau Minangkabu pada masa berikutnya.255 Proses pewarisan tradisi kitab kuning di surau-surau Minangkabau sebelum abad ke-20 hanya terdiri dari suatu disiplin pengetahuan tertentu sehingga murid- murid yang ingin mendalami berbagai aspek ajaran Islam mesti belajar dengan cara berpindah-pindah dari suatu surau ke surau yang lain. Memasuki awal abad ke-20, pewarisan kitab kuning mulai lebih rapi dan teratur yang berlangsung sejalan dengan perubahan surau-surau menjadi madrasah. Kondisi semacam itu masih berkesinambungan sampai sekarang pada MTI Candung dan MTI Pasir (Madrasah Perti) yang terletak di Luhak Agam, Minangkabau. Keduanya masih relatif kuat dalam mempelajari kitab kuning untuk memelihara kesinambungan tradisi keilmuan Islam tradisional. Kitab-kitab yang dipelajari pada Madrasah Perti pada umumnya adalah karya para ulama yang menganut keyakinan dan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Tradisi kitab kuning telah mengkristal dalam sejarah keilmuan Islam tradisional yang terus diperjuangkan sebagai sumber pengetahuan keagamaan dan nilai-nilai universal. Pewarisan tradisi kitab kuning bukan hanya berkembang dalam sejarah keilmuan Madrasah Perti di Minangkabau, melainkan juga pada pesantren dan lembaga pendidikan tradisional lain di Nusantara. Dayah di Aceh dan pesantren di pulau Jawa jauh sebelumnya sengaja dibangun oleh para ulama untuk menjaga kesinambungan tradisi kitab kuning. Lembaga yang sama dengan dayah dan pesantren adalah surau yang mengalami perluasan fungsi sejak menguatnya pengaruh Islam di Minangkabau. Sebelum Islam, surau hanya institusi yang secara kultural berfungsi sebagai pedamping rumah gadang yang disediakan sebagai tempat

255Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003),hal. 111 hal. 291

82

penginapan anak laki-laki dan tempat pewarisan tradisi dan nilai-nilai adat Minangkabau kepada generasi berikutnya. Fungsi surau mengalami perluasan setelah menguatnya pengaruh Islam dan digunakan oleh para ulama sebagai medium untuk menyampaikan dakwah Islam, pengajaran agama dan praktek tarekat, serta pewarisan kitab-kitab klasik yang biasa disebut dengan kitab kuning di dunia Melayu Islam Nusantara.256 Perubahan surau menjadi madrasah sejak awal abad ke-20 menempatkan tradisi kitab kuning pada Madrasah Perti di Minangkabau menjadi milik masyarakat secara kolektif. Semua elemen, baik laki-laki maupun perempuan yang ingin mempelajari dan mendalami tradisi kitab kuning memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan. Itu sebabnya kenapa perempuan mulai terlibat dalam pemeliharaan dan pewarisan tradisi keilmuan Islam tradisional yang dikonstruksi dari pengajaran kitab-kitab klasik, karya ulama Timur Tengah. Peranan mereka sebagai murid di Madrasah-Madrasah Perti tahun demi tahun mengalami peningkatan dan memiliki kontribusi dalam menjaga kesinambungan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Lewat proses pendidikan, perempuan bukan hanya dikenalkan dengan skema-skema pembelajaran dan ajaran-ajaran yang dimiliki oleh kitab kuning, melainkan dipersiapkan pula sebagai generasi penerus yang mau memelihara kesinambungan tradisi keilmuan Islam tradisional kepada generasi berikutnya. Setelah masa kemerdekaan, perempuan mulai mengembangkan peranan sebagai guru kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti. Guru kitab kuning merupakan posisi penting yang ditempati oleh perempuan di Madrasah-Madrasah Perti. Posisi (status) ini diraih dalam proses sejarah panjang yang bermula dari interaksi, sosialisasi dan internalisasi perempuan dengan struktur keilmuan Islam tradisional. Lewat serangkaian proses, mereka mulai mengenal, memahami dan mengembangkan (reproduksi) peran sebagai guru kitab kuning yang sangat menentukan kesinambungan tradisi keilmuan Islam di Minangkabau setelah masa kemerdekaan. MTI Candung dan MTI Pasir merupakan Madrasah Perti yang memiliki komposisi guru kitab kuning yang relatif seimbang antara laki-laki dan perempuan. MTI Candung dewasa ini memiliki 51 orang guru kitab kuning dan 21 orang adalah perempuan. Sementara MTI Pasir memiliki 25 orang guru kitab kuning yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 13 orang perempuan.257 Untuk mengetahui lebih jauh, masing-masing guru perempuan yang

256Pengaruh Islam mulai menguat di Minangkabau sejak Syeikh Burhanuddin (1066-1111 H/1646-1591 M) yang mendirikan Surau Ulakan, Pariaman sebagai institusi pengajaran dan pengembangan ajaran Islam setelah belajar selama 10 tahun kepada Abdurrauf Singkili di daerah Aceh. Amir Syarifoedin, Minangkabau Dari Dinasti Zulkarnain Hingga Tuanku Imam Bonjol (Jakarta: Gia Media Prima), hal. 389 257Daftar Guru-Guru Kitab Kuning di MTI Candung dan MTI Pasir Tahun 2017-2018

83

mengajarkan kitab kuning pada kedua madrasah tradisional itu dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel. 5.1 Guru Perempuan Kitab Kuning di Madrasah Perti No. Nama Pendidikan Tempat Mengajar Terakhir 1. Fakhrati Syahruddin MTI Candung MTI Candung 2. Alimar Nur MTI Candung MTI Candung 3. Artina Ali MTI Candung MTI Candung 4. Salmi Ghazali MTI Candung MTI Candung 5. Hilma Sy, Dra. Perguruan Tinggi MTI Candung 6. Sumetri, Dra. Perguruan Tinggi MTI Candung 7. Ramainas, S.Pd.I Perguruan Tinggi MTI Candung 8. Ratnawati, S.Pd.I Perguruan Tinggi MTI Candung 9. Fitri Aulia, SHI Perguruan Tinggi MTI Candung 10. Marina, SHI Perguruan Tinggi MTI Candung 11. Syukriati, S.Pd.I Perguruan Tinggi MTI Candung 12. Rini Yusnita MTI Candung MTI Candung 13. Syilvia N, S.Th.I Perguruan Tinggi MTI Candung 14. Perawati, SHI Perguruan Tinggi MTI Candung 15. Silvia, SHI Perguruan Tinggi MTI Candung 16. Etri Wahyuni, M.Pd Perguruan Tinggi MTI Candung 17. Fitriani, S.Pd Perguruan Tinggi MTI Candung 18. Kurnia Andriani, S.Pd.I Perguruan Tinggi MTI Candung 19. Putri Novrillia Handayani MTI Candung MTI Candung 20. Bona Rahmi Adella MTI Candung MTI Candung 21. Zakiya MTI Candung MTI Candung 22. Hj. Zaimar MTI Pasir MTI Pasir 23. Hilma MTI Pasir MTI Pasir 24. Tasliatul Fuad MTI Pasir MTI Pasir 25. Daimar, Dra Perguruan Tinggi MTI Pasir 26. Nuraini, Dra Perguruan Tinggi MTI Pasir 27. Rita MTI Pasir MTI Pasir 28. Leni Febria, S.PdI Perguruan Tinggi MTI Pasir 29. Hj. Rini Agustin, Lc Perguruan Tinggi MTI Pasir

84

30. Rahmiyatul Saufi Yanti, Perguruan Tinggi MTI Pasir S.PdI 31. Khairunnisa, S.Hi Perguruan Tinggi MTI Pasir 32. Febri Irhamna, S.Pd Perguruan Tinggi MTI Pasir 33. Husnelly, S.Ag Perguruan Tinggi MTI Pasir 34. Husni Mulyawati, S.Si Perguruan Tinggi MTI Pasir Sumber: Daftar Guru-Guru Kitab Kuning di MTI Candung dan MTI Pasir Tahun 2017-2018

Tabel di atas menjelaskan bahwa guru-guru perempuan yang mengajarkan kitab kuning di Madrasah Perti (MTI Pasir dan MTI Candung) berjumlah 34 orang yang memiliki kualifikasi keilmuan sebagai alumni perguruan tinggi dan madrasah. MTI Candung memiliki 13 orang guru kitab kuning yang menamatkan pendidikan di perguruan tinggi, meskipun sebelumnya mereka adalah tamatan madrasah tradisional itu sendiri. Delapan orang guru kitab kuning hanya tamatan MTI Candung dan tidak pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. MTI Pasir mempunyai sembilan orang guru perempuan yang menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Sebelumnya, mereka adalah alumni MTI Pasir yang dipandang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relatif memadai untuk melanjutkan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Empat orang guru perempuan hanya tamatan MTI Pasir dan tidak pernah melanjutkan studi ke perguruan tinggi.258 Asal-usul perempuan yang menempati posisi (status) sebagai guru kitab kuning dimulai sejak masa kemerdekaan melalui proses perekrutan para alumni yang menamatkan pendidikan. Mereka yang dianggap memiliki keterampilan dan kualifikasi keilmuan (modal intelektual) yang cukup memadai mulai dipersiapkan sebagai guru dengan terlebih dahulu harus menempuh dan memulai karir sebagai guru bantu dalam proses sejarah yang panjang di Madrasah-Madrasah Perti. Perekrutan semcam ini telah lama berlangsung dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Sejak tumbuhnya sistem pendidikan surau, istilah guru bantu sudah dikenal dalam tradisi keilmuan Islam tradisional dan masih dipertahankan hingga masa sekarang karena dipandang sebagai model perekrutan yang relatif baik untuk mempersiapkan guru-guru baru yang akan melanjutkan pemeliharaan tradisi kitab kuning. Syeikh Burhanuddin sebagai ulama pertama di Minangkabau yang mendirikan lembaga pendidikan tradisional surau pernah mengangkat dua orang guru bantu yang selalu mendampingi dirinya dalam pengajaran agama dan tarekat Syattariyah di Surau Ulakan, Pariaman. Masing-masingnya adalah Abdurrahman dan Jalaluddin yang sengaja dipersiapkan sebagai penerus untuk melanjutkan penyebaran

258Daftar Guru-Guru Kitab Kuning di MTI Candung dan MTI Pasir Tahun 2017-2018

85

dan pengembangan paham dan ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah di Minangkabau. Sejak masa Syeikh Burhanuddin Ulakan tradisi pengangkatan guru bantu sudah berlangsung dalam sejarah dan dinamika keilmuan Islam tradisional di Minangkabau.259 Syeikh Sulaiman al-Rasuli yang mendirikan Madrasah Perti pertama di Minangkabau ikut pula dalam proses perekrutan guru kitab kuning dengan terlebih dahulu menempati posisi sebagai guru bantu. Proses itu dilalui oleh Syeikh Sulaiman al-Rasuli setelah belajar selama tujuh tahun kepada Syeikh Abdullah Halaban di Surau Halaban, Luhak 50 Kota. Syeikh Abdullah Halaban sangat percaya dan menganggumi kepintaran Syeikh Sulaiman al-Rasuli hingga akhirnya diangkat sebagai guru bantu untuk mengajar murid-muridnya yang berasal dari berbagai daerah di pulau Sumatera. Setelah itu, ia menetap di kota Mekah untuk belajar agama selama empat tahun (1903-1907) kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi, yaitu seorang ulama Minangkabau yang telah diangkat menjadi mufti mazhab Syafi’i di kota Mekah.260 MTI Pasir yang berdiri pada tahun 1937 dan dipimpinan pertama kali oleh seorang murid tamatan MTI Candung (Buya H. Husin Amin) ternyata lebih dahulu mempersiapkan perempuan sebagai guru kitab kuning dibandingkan dengan MTI Candung sebagai Madrasah Perti pertama di Minangkabau. Sejak tahun 1950-an, MTI Pasir sudah mempersiapkan perempuan sebagai guru kitab kuning dengan mengangkat Ustadzah Zaimar sebagai guru bantu yang ditekuninya di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), Gassan Besar Kabupaten Padang Pariaman. Sedangkan MTI Candung baru mempersiapkan perempuan sebagai guru bantu sejak tahun 1970 setelah Ustadzah Fakhrati menamatkan pendidikan pada madrasah yang dipelopori oleh kakeknya sendiri, Syeikh Sulaiman al-Rasuli.261 Perekrutan guru kitab kuning merupakan bagian dari praktek sosial yang melibat perempuan dan elemen-elemen penting di Madrasah Perti. Perempuan dengan kualifikasi keilmuan yang dimilikinya sudah mulai diperhitungkan oleh pimpinan madrasah untuk ikut berperan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau. Realitas itu terbangun dalam proses sejarah yang panjang sebagai hasil interaksi, sosialisasi dan internalisasi perempuan dengan tradisi pewarisan kitab kuning di Madrasah Perti. Lewat pencapaian modal intelektual, perempuan mulai memahami dan ikut menentukan kesinambungan tradisi keilmuan Islam tradisional. Mereka bukan hanya bersifat pasif, melainkan bersifat aktif dalam memelihara

259Amir Syarifoedin, Minangkabau Dari Dinasti Zulkarnain Hingga Tuanku Imam Bonjol (Jakarta: Gia Media Prima), hal. 395 260Yusran Ilyas, Syeikh H. Sulaiman al-Rasuli: Profil Ulama Pejuang (1871-1970), (Padang: Sarana Grafika, 1995), hal. 5-6 261Ustadzah Zaimar dan Ustadzah Fakhrati (Guru Kitab Kuning MTI Pasir dan MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 24-25 September 2018

86

kesinambungan tradisi kitab kuning dengan mereproduksi peran-peran baru bersama elemen-elemen lain yang membentuk struktur keilmuan Madrasah Perti. Reproduksi peran sebagai guru kitab kuning di Madrasah Perti harus melalui proses pengkaderan yang disebutkan dengan guru bantu, termasuk guru-guru perempuan. Lama pengkaderan tergantung kepada kemampuan dan keterampilan mereka dalam membaca, memahami dan mengajarkan tradisi kitab kuning. Semakin besar kemampuan dan keterampilan (modal intelektual) yang mereka miliki semakin cepat pula proses sebagai guru bantu bisa dilewati sehingga memperoleh pengakuan (legitimasi) sebagai guru kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti. Ustadzah Zaimar adalah guru perempuan senior di MTI Pasir yang menempuh proses guru bantu selama tujuh tahun di MTI Gassan Besar, Pariaman atas perintah Buya H. Husin Amin pada tahun 1952. Ia menjalaninya dengan serius dan sabar meskipun hanya diberi kesempatan oleh pimpinan madrasah untuk mengajar pada kelas satu selama tujuh tahun. Kitab yang diajarkan selama tujuh tahun itu hanya kitab Matnu al- Ajrūmiyyah (nahwu) dan Matnual-Binā’ wa al-Asās (sharaf).262 Setelah kembali ke MTI Pasir, Buya H. Husin Amin untuk pertama kali memberikan kesempatan kepada Ustadzah Zaimar untuk mengajar murid kelas satu (kelas persiapan atau pra-tsanawiyah) dan membimbing mereka dengan kitab yang sama dengan apa yang diajarkannya MTI Gassan Besar, Pariaman. Karena masih dalam proses pengkaderan, Buya H. Husin Amin sebagai pimpinan madrasah seringkali memonitor Ustadzah Zaimar dalam mengajarkan kitab kuning selama membimbing murid-murid kelas satu di MTI Pasir. Kadangkala ia masuk ke dalam lokal dan duduk sambil mendengarkan Ustadzah Zaimar mengajarkan kitab Matnu al-Ajrūmiyyah (nahwu) dan Matnual-Binā’ wa al-Asās (sharaf). Ia sering pula menanyakan kepada murid-murid tentang pelajaran yang sudah mereka pelajari dengan Ustadzah Zaimar dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan guru perempuan itu dalam mengajarkan kitab kuning. Semua pengawasan yang dilakukan oleh Buya H. Husin Amin itu dimaknai oleh Ustadzah Zaimar sebagai bagian dari perhatian dan sayang guru kepada dirinya sehingga lebih cepat memiliki kemampuan dalam mengajarkan tradisi kitab kuning di kelas yang lebih tinggi.263 Setelah satu tahun mengajar pada kelas satu, Buya H. Husin Amin memberikan kesempatan kepada Ustadzah Zaimar untuk mengajar di kelas dua. Selain mengajar ilmu nahwu dan sharaf, ia dipercayakan pula untuk mengajarkan

262Ustadzah Zaimar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 24 September 2018 263Makna itu menancap kuat dalam hati Ustadzah Zaimar. Sambil mengingat kedekatan dengan Buya H. Husin Amin, ia larut dalam sikap emosionalnya sehingga kedua pipinya mulai basah oleh aliran air mata yang tak mungkin terbendung ketika itu. Suasana itu terjadi dalam suatu pertemuan di rumah Ustadzah Zaimar di daerah Surau Langga, Pasir.Ustadzah Zaimar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 24 September 2018

87

ilmu tauhid. Sejak masa itu, Ustadzah Zaimar mulai memperoleh kepercayaan dan legitimasi yang kuat dari Buya H. Husin Amin. Dari tahun ke tahun, ia memperoleh kesempatan untuk mengajar di kelas yang lebih tinggi dengan berbagai jenis kitab kuning yang dipelajari di MTI Pasir. Sekarang ini meskipun usia Ustadzah Zaimar sudah tua, ia masih aktif mengajarkan kitab tauhid dan tasauf pada tingkat Aliyah di MTI Pasir.264 Setelah Ustadzah Zaimar, perempuan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik setelah menamatkan pendidikan mulai pula meniti karir sebagai guru kitab kuning di MTI Pasir. Pada pertengahan tahun 1960-an, seorang perempuan dengan nama Ustadzah Husna mulai mengikuti proses sebagai guru bantu dalam bidang studi ilmu alat (nahwu dan sharaf). Proses ini dilewati oleh Ustadzah Husna dalam rentang waktu yang relatif lama hingga dirinya memperoleh pengakuan dan legitimasi sebagai guru kitab kuning dari buya-buya yang mengajarkan agama dan kitab kuning di MTI Pasir. Spesialisasi keilmuan yang dimiliki oleh Ustadzah Husna adalah ilmu alat (nahwu dan sharaf).265 Perempuan lain yang mengikuti jejak Ustadzah Zaimar dan Husna adalah Ustadzah Syamsiar yang mulai mengikuti proses pengkaderan sebagai guru kitab kuning sejak tahun 1970. Ustadzah Syamsiar termasuk murid kesayangan Buya H. Husin Amin karena memiliki kecerdasan dan modal intelektual yang relatif besar untuk mengikuti kontestasi dalam arena pewarisan tradisi kitab kuning. Sejak masa itu, tahun demi tahun perempuan yang menamatkan pendidikan dan memiliki kualifikasi keilmuan terus mengalami peningkatan yang mau menjadi guru kitab kuning di MTI Pasir.266 Perekrutan perempuan sebagai guru yang mengajarkan kitab kuning di MTI Candung sedikit terlambat dibandingkan dengan MTI Pasir. Padahal sebelum masa kemerdekaan MTI Candung sudah menerima murid-murid perempuan hampir 300 orang. Dari jumlah tersebut tidak mungkin pula tidak dijumpai murid-murid perempuan yang memiliki kemampuan dan keterampilan (modal intelektual) yang bagus untuk melibatkan diri dalam proses pewarisan kitab kuning. Penyebab belum munculnya pengkaderan guru perempuan sebelum tahun 1970 kemungkinan besar menurut Irhash A. Shamad karena masih adanya sisa-sisa pandangan lama yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang hanya memiliki kewajiban rumah tangga yang tidak boleh diganggu oleh kegiatan lain, termasuk sebagai guru bantu di MTI Candung. Padahal MTI Candung sejak awal berdirinya

264Ustadzah Zaimar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 24 September 2018 265Ustadzah Husna merupakan guru perempuan yang mengadakan halaqahdi rumahnya dan banyak dikunjungi oleh murid-murid, baik laki-laki dan perempuan. Ia meninggal dunia pada tahun 2008 di daerah Pasir, Kabupaten Agam. Buya H. Awiskarni (Pimpinan MTI Pasir) dan Ustadzah Zaimar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 16 Oktober 2018 266Ustadzah Syamsiar (Mantan Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 10 Desember 2018

88

pada tahun 1928 telah membuka peluang persamaan antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan.267 Madrasah yang mempertahankan kitab kuning sebagai tradisi keilmuan yang dikembangkannya, begitu pernyataan Irhash A. Shamad berikutnya, sangat membutuhkan kehadiran kader-kader perempuan sebagai guru. Masalah fiqh perempuan yang seharusnya dijelaskan secara detail menjadi terhambat dan penyampainnya tidak pernah tuntas karena dijelaskan oleh seorang guru laki-laki. Pandangan semcam itu tidak mungkin pula tidak terlintas dalam pikiran buya-buya yang mengajarkan kitab kuning di MTI Candung, terutama Syeikh Sulaiman al- Rasuli sebagai pendiri madrasah. Karena itu, ada penyebab lain yang tersembunyi kenapa pengakaderan perempuan sebagai guru kitab kuning belum muncul di MTI Candung sebelum tahun 1970. Di antaranya adalah pandangan terhadap perempuan sebagai makhluk domestik yang memiliki tanggung jawab dalam persoalan- persoalan rumah tangga.268 MTI Candung baru mengkader perempuan sebagai guru kitab kuning adalah sejak tahun 1970 bersamaan dengan selesainya pendidikan Ustadzah Fakhrati di madrasah tersebut. H. Syahruddin al-Rasuli yang memimpin MTI Candung ketika itu menyarankan kepada Ustadzah Fakhrati untuk ikuti mengajar kitab kuning pada almamaternya sendiri. Tawaran dan kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Ustadzah Fakhrati dengan mengikuti proses pengkaderan sebagai guru bantu. Ia diberi kesempatan mengajar kitab kuning pertama kali pada kelas satu dalam bidang ilmu alat (nahwu dan sharaf), tauhid dan fiqh. Peranan ini dijalaninya selama lima tahun dan baru pada tahun keenam ia mulai membimbing murid-murid di kelas dua atas rekomendasi guru-guru tua yang mengajar di MTI Candung. Setelah puluhan tahun mengajar kitab kuning, Ustadzah Fakhrati secara perlahan mulai mendapat kepercayaan dan pengakuan untuk masuk ke semua kelas, mulai kelas yang terendah sampai kelas yang tertinggi.269 Alumni perempuan lain yang menamatkan pendidikan pada masa berikutnya mulai pula mengikuti langkah Ustadzah Fakhrati sehingga mereka ikut pengkaderan guru kitab kuning di MTI Candung. Semua guru perempuan yang mengajarkan kitab kuning di Madrasah- Madrasah Perti melewati proses pengkaderan sebagai guru bantu. Mereka tidak mudah untuk melakukan perpindahan dari kelas yang rendah kepada kelas yang lebih tinggi. Meskipun istilah guru bantu sekarang ini tidak begitu populer karena status mereka di madrasah tetap saja sebagai guru, namun substansinya terus berlanjut dalam proses pewarisan tradisi kitab kuning. Mereka tidak mudah mendapat

267Irhash A. Shamad (Alumni MTI Candung dan dosen ilmu sejarah di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang), Wawancara, pada tanggal 10 Januari 2019 268Irhash A. Shamad, Wawancara, pada tanggal 10 Januari 2019 269Ustadzah Fakhrati (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 25 September 2018

89

pengakuan dan legitimasi sebagai guru kitab kuning dan harus melewati proses pengajaran dari kelas yang lebih rendah. Beberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa mengajar pada semua tingkatan kelas tergantung kepada relatifitas besaran modal intelektual yang terbentuk dalam proses interaksi, sosialiasi dan internalisasi dengan tradisi kitab kuning selama menempuh pendidikan di Madrasah- Madrasah Perti.270 Masing-masing perempuan yang mengajar di Madrasah Perti memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam meraih posisi sebagai guru kitab kuning. Ustadzah Fitri Aulia yang sudah mengajar sejak tahun 2003 di MTI Candung baru memperoleh kesempatan memegang pelajaran kitab kuning untuk kelas satu, dua dan tiga pada tingkatan tsanawiyah. Ia belum diberi kesempatan untuk mengajar pada kelas yang lebih tinggi hingga sekarang. Padahal lebih kurang 17 tahun lamanya Ustadzah Fitri Aulia sudah mengajar kitab kuning di MTI Candung dalam bidang akhlak, hadits dan tarekh.271 Kondisi yang dialami Ustadzah Fitri Aulia diakui oleh Ustadzah Ramainas yang menyebut bahwa ada di antara guru yang mengajarkan kitab kuning di MTI Candung yang dalam waktu puluhan tahun hanya dipercaya untuk membimbing murid-murid padakelas satu atau kelas persiapan.272 Berbeda dengan Ustadzah Fitri Aulia, Ustadzah Husnelly di MTI Pasir mengalami proses pengkaderan yang begitu cepat. Perpindahan aktivitas mengajar dari kelas satu, dua dan tiga pada tingkat tsanawiyah hanya dilewati dalam masa dua tahun untuk masing-masingnya. Setelah enam tahun membimbing murid-murid pada tingkatan tsanawaiyah di MTI Pasir, ia telah memperoleh kesempatan untuk mengajarkan kitab kuning pada tingkatan Aliyah hingga sekarang ini. Mata pelajaran kitab kuning yang dibimbing oleh Ustadzah Husnelly juga sangat bervariasi dan terdiri kitab nahwu, sharaf, tauhid dan fiqh. Prestasi yang diperoleh oleh Ustadzah Husnelly memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan dan kemajuan pengetahuannya yang berfungsi sebagai energi yang menggerakkan dirinya untuk

270Ustadzah Fakhrati menjelaskan bahwa ada di antara guru kitab kuning di MTI Candung yang hanya memegang kelas tertentu (bawah). Ia tidak pernah memperoleh izin untuk membimbing kelas yang lebih tinggi. Penyabab utamanya, kata Ustadzah Fakhrati, adalah pengetahuan dan keterampilan dalam mengajarkan tradisi kitab kuning. Ustadzah Fakhrati (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 25 September 2018 271Ustadzah Fitri Aulia merupakan anak dari pasangan Syarifuddin dan Yusraini yang lahir di daerah Lurah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tahun 1977. Setelah tamat sekolah dasar pada tahun 1994, ia melanjutkan pendidikan ke MTI Candung dan selesai pada tahun 2002. Ia memiliki keinginan yang kuat menjadi guru kitab kuning yang dibuktikan dengan cara ikut mengajar di almamaternya sejak tahun 2003 hingga sekarang. Ustadzah Fitri Aulia (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 28 November 2018 dan Daftar Pelajaran Kitab Kuning MTI Candung Tahun 2017/2018. 272Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 28 Nopember 2018.

90

memiliki peran-peran yang semakin besar dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti.273 Kitab kuning yang diajarkan oleh guru-guru perempuan di Madrasah- Madrasah Perti sudah sangat bervariasi dan bukan hanya sebatas kitab-kitab ilmu alat, terutama ilmu nahwu dan sharaf. Sebelum tahun 1980-an secara umum pengkaderan guru-guru perempuan lebih banyak diarahkan kepada ilmu alat. Kecendrungan semacam ini dapat dimengerti oleh elemen-elemen di Madrasah Perti karena ilmu alat (nahwu dan sharaf) merupakan pengetahuan utama dalam memahami jenis-jenis kitab kuning. Sejalan dengan perkembangan zaman dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan, guru-guru perempuan telah mengajarkan berbagai jenis kitab kuning. Ustadzah Tasliatul Fuad telah mengajarkan ilmu fiqh sejak proses awal sebagai guru di MTI Pasir. Setelah 20 tahun menekuni profesinya sebagai guru fiqh pada tingkat tsanawaiyah, Ustadzah Tasliatul Fuad diberikan kesempatan untuk mengajar kitab fiqh lainnya yang lebih tinggi pada tingkat Aliyah sejak tahun 2012 sampai sekarang. Kitab yang diajarkannya di MTI Pasir adalah I’ānah al-Ṭālibīn, karya Sayyid Abū Bakar Usmān bin Satṭā al-Dimyāṭī al-Bakrī yang ditulis sekitar abad ke-13 H sebagai komentar lengkap (ḥāsyiyah) terhadap kitab Syarh Fatḥ al- Mu’īn karya Syeikh Ahmad Zain al-Aldīn bin Abd al-Azīz al-Ma’barī al-Malibarī al- Fanānī.274 Ustadzah Ramainas adalah juga seorang guru ilmu fiqh yang secara khusus dipercaya untuk mengajarkan kitab Ḥāsyiyah Qalyubī wa Umairah ‘alā Syarh al-Mahallī pada tingkatan terakhir (kelas tujuh) di MTI Candung. Kitab ini merupakan komentar (ḥasyiyah) dari Syaraḥ al-Mahallāī ‘alā Minhāj al-Ṭālibīn yang ditulis oleh Imām Jalāl al-Dīn Muhammad bin Ahmad al-Mahallī. Kitab yang diajarkan oleh Ustadzah Ramainas itu termasuk kitab yang memiliki bahasa (matan) yang relatif sulit dan tidak semua guru kitab kuning mampu mengajarkannya. Ustadzah Ramainas dipercaya pula untuk mengajarkan kitab Ḥasyiyah al-Khudarī (ilmu nahwu) yang ditulis oleh Imām al-Khudarī pada kelas yang sama.275 Guru-guru perempuan yang melibatkan diri dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti selain mengajar ilmu alat (nahwu dan sharaf) juga membimbing murid-murid dengan kitab-kitab lainnya. Mereka menyadari bahwa pengajaran tauhid, fiqh dan tasauf sangat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam ilmu gramatika Bahasa Arab. Justru itu peranan guru perempuan

273Biodata Guru Kitab Kuning MTI Pasir Tahun 2017/2018. Husnelly(Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 27 Nopember 2018. 274Ustadzah Tasliatul Fuad (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, di Panca Batu Taba pada tanggal 26 September 2018. Kitab fiqh yang diajarkan oleh Ustadzah Tasliatul Fuad adalah kitab I’anah al-Thalibin yang ditulis oleh Abu Bakar Usman bin Muhammad Sattha al-Dimyati. Daftar Pelajaran Kitab Kuning MTI Pasir tahun 2017/2018 275Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 28 Nopember 2018 di MTI Candung. Daftar Pelajaran Kitab Kuning MTI Candung tahun 2017/2018

91

dalam pengajaran ilmu-ilmu lainnya di Madrasah Perti membutuhkan kualifikasi tertentu yang meliputi keterampilan membaca, memahami dan mengajarkan kitab kuning. Sekarang ini guru-guru perempuan selain membimbing ilmu nahwu dan sharaf juga telah mengajarkan kitab-kitab tauhid, fiqh, ushul al-fiqh, tafsir dan tasauf. Peranan yang semakin luas dalam pengajaran kitab kuning dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan guru-guru perempuan dalam mengaplikasikan ilmu nahwu dan sharaf.276 Pengetahuan dan keterampilan itu yang dimaksud oleh Pierre Felix Bourdieu sebagai modal intelektual yang membuat perempuan sebagai agen tidak bersifat pasif dan mampu mereproduksi peranan yang lebih luas dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau.

G. Perempuan dan Pembimbing Halaqah Reproduksi peranan perempuan dalam sejarah keilmuan Madrasah Perti pasca kemerdekaan menempatkan mereka bukan hanya sebagai guru kitab kuning di madrasah, melainkan juga sebagai pembimbing halaqah (ḥalqah) di rumah mereka masing-masing. Posisi itu pada masa sebelumnya merupakan pekerjaan yang banyak didominasi oleh laki-laki. Syeikh Sa’ad Mungka di Luhak Lima Puluh Kota, Syeikh Muhammad Khatib Ali di kota Padang dan Syeikh Sulaiman al-Rasuli di Luhak Agam merupakan di antara pembimbing halaqah yang sangat populer pada kalangan muslim tradisional di Minangkabau. Meskipun lembaga pendidikan surau telah berubah menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) pada awal abad ke-20, namun sistem halaqah masih dipertahankan sebagai model pengajaran untuk mentransmisikan ajaran Islam. Halaqah atau halqah merupakan istilah bahasa Arab yang berarti lingkaran.277 Istilah itu sudah lama dikenal di dunia Islam dan dipahami sebagai sistem pendidikan dan metode pengajaran. Sebagai sistem pendidikan, halaqah memiliki beberapa unsur utama yang terdiri dari guru, murid, tempat dan bahan ajar (kitab-kitab). Sebagai metode pengajaran, halaqah disebut dengan teknik dan cara mentransmisikan ajaran Islam dari seorang kiyai kepada murid-muridnya dengan cara membacakan suatu kitab dalam waktu tertentu, lalu para santri mendengarkan dan mencatat uraiannya.278 Hanum Asrohah memahami halaqah sebagai proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh murid-murid dengan melingkari seorang guru. Mereka biasanya duduk di lantai dan membentuk lingkaran untuk mendengarkan

276Daftar Pelajaran Kitab Kuning MTI Pasir dan MTI Pasir tahun 2017/2018. Buya Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir), Ustadz Dulyamani (Kepala MA-MTI Pasir), Ustadz Zul Kifli (Kepala MA-MTI Candung) dan Ustadz Masril Khatib Bandaro (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 10 dan 11 Oktober 2018 277Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Progresif, 1984), hal. 290 278Baharudin, Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasinya Pada Masyarakat Islam (Bandung: Rosdakarya, 2011), hal. 215

92

seorang guru (kiyai) membacakan dan menjelaskan kitab tertentu.279 Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Haidar Putra Daulay bahwa halaqah adalah proses belajar di mana para santri mengikuti pelajaran dengan cara duduk mengelilingi seorang kiyai. Sebagai pembimbing, kiyai membacakan kitab-kitab yang dipelajari dalam waktu tertentu dan para santri memperhatikan dan membuat catatan tentang baris (harkat) makna kata, uraian dan pemahaman.280 Penggunaan istilah halaqah seringkali disamakan dengan istilah usrah dan liqā’ yang berarti keluarga dan pertemuan. Penyamaan itu karena suasana pengajaran halaqah cendrung dilakukan secara kekeluargaan dan membutuhkan suatu pertemuan yang terstruktur dan terus-menerus. Pesantren tradisional di pulau Jawa menyebut halaqah dengan bandongan (wetonan), yaitu metode utama dalam pengajaran kitab kuning di mana sekelompok murid antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang guru (kiyai) membacakan, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas suatu kitab dengan menggunakan bahasa Arab. Para santri memperhatikan bacaan guru dan membuat catatan tentang arti kata, keterangan kata dan penjelasan yang sulit.281 Metode bandongan disebut pula dengan wetonan yang berarti waktu dalam bahasa Jawa. Penggunaan istilah wetonan disesuaikan dengan proses pelaksanaan halaqah berdasarkan waktu-waktu tertentu yang ditetapkan oleh kiyai atau pesantern.282 Masyarakat Minangkabau menyebut sistem dan metode halaqah dengan mengaji duduk atau mengaji adu lutut, yaitu proses belajar-mengajar yang dilaksanakan secara kolektif oleh murid-murid dengan cara mengelilingi seorang syeikh, buya atau tuanku sambil duduk di lantaipada suatu rumah, surau atau mesjid.283 Halaqah adalah metode pengajaran agama tertua yang lahir sejak masa permulaan Islam. Nabi Muhammad SAW telah menggunakan metode halaqah dalam menyampaikan ajaran Islam kepada para sahabat dan para pengikutnya yang diadakan di rumah dan mesjid. Salah satu rumah sahabat yang pernah digunakan oleh Nabi Muhammad untuk halaqah adalah rumah Arqam bin Abi al-Arqam. Para sahabat dan tabi’in mengadopsi pula metode halaqah pada masa berikutnya dalam mentransmisikan keyakinan dan ajaran Islam kepada masyarakat.284

279Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 20 dan Satria Hadi Lubis, Solusi Problematika Halaqah (Jakarta: Misykat Publication, 2003), hal. 137 280Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 69-70 281Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 54 282Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 153-154 283Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), hal. 25 284Muhammad Sarijun, Managemen Halaqah Efektif (Solo: Adicitra Intermedia, 2011), hal. 5- 6. Shafi al-Rahman al-Mubarak Furi, al-Rāhiq al-Makhtūm: Ba’ds al-Sīrah al-Nabāwiyyah’ala

93

Setelah Islamisasi Nusantara, halaqah digunakan oleh para ulama sebagai metode utama dalam proses pengajaran dan dakwah Islam, terutama pengajaran al- Qur’an dan penyampaian ajaran tarekat. Metode ini mulai digunakan di Minangkabau dalam sistem pendidikan tradisional setelah Syeikh Burhanuddin mendirikan Surau Ulakan, Pariaman pada abad ke-17.285 Metode halaqah masih bertahandi surau-surau tradisional meskipun modernisasi Islam memiliki pengaruh yang dikuat di Minangkabau pada permulaan abad ke-20. Surau-surau yang mengalami perubahan menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) tetap mempertahankan metode halaqah dalam menjaga kesinambungan pewarisan tradisi kitab kuning. Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasir merupakan bagian Madrasah Perti yang masih menggunakan halaqah sebagai metode pengajaran kitab kuning. Metode itu dipertahankan karena Madrasah Perti didirikan oleh ulama tradisional memiliki tujuan untuk memelihara kesinambungan kitab kuning. Pesan terakhir Syeikh Sulaiman al-Rasuli yang ditulis pada makamnya menjelaskan bahwa teroeskan membina Madrasah Tarbijah Islamijah ini sesoeai dengan peladjaran jangkoe berikan.286 Sebelum kemerdekaan, sistem halaqah dilaksanakan di surau-surau dan rumah-rumah guru laki-laki yang biasa disebut syeikh, buya dan tuanku di Minangkabau. Di antara mereka adalah Syeikh Sulaiman al-Rasuli, H. Husin Amin, H. Muhammad Dalin dan H. Muhamad Adamsar. Perempuan mulai aktif sebagai pembimbing halaqah kitab kuning adalah setelah masa kemerdekan bersamaan dengan aktifnya Ustadzah Zaimar, Husna dan Syamsiar sebagai guru di MTI Pasir.287 Langkah yang sama diikuti pula oleh guru-guru perempaun di MTI Candung sejak pertengah tahuan 1970-an dan masih berkesimbungan hingga masa sekarang. Ustadzah Fakhrati dan Ramainas adalah guru pembimbing halaqah bagi murid-

Ṣāhibinā Afḍal al-Ṣalātī wa al-Salām, terjemahan Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hal. 71 dan Baharudin, Dikotomi, op. cit., hal. 216 285Sebelum Islam datang, surau sudah munculnya di Minangkabau yang secara kultural adalah sebuah keniscayaan sebagai pendamping rumah gadang. Surau adalah unsur kebudayaan asli Minangkabau yang berfungsi selain sebagai tempat bermalam untuk anak laki-laki juga memiliki peran dalam pembentukan kepribadian dan intelektual para remaja dan tempat belajar adat serta ilmu silat Minangkabau. Setelah Islam datang bangunan itu berfungsi sebagai tempat shalat dalam kehidupan sehari-hari, tempat menimba ilmu agama, asrama bagi siswa-siswa, tempat merayakan hari-hari Islam, tempat bermalam para musyafir, dan tempat kegiatan lainnya. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1975) hal. 291. Baca juga Kroeskamp, De Weskuten Minangkabau 1665-1668 (Utrecht, 1931), hal. 92 286Pesan terakhir Syeikh H. Sulaiman al-Rasuli yang berisi teroeskan membina Madrasah Tarbijah Islamijah ini sesoeai dengan peladjaran jangkoe berikan terdapat pada makamnya yang berada di halaman Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung. Observasi pada tanggal 2 Agustus 2018 287Ustadzah Zaimar dan Syamsiar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 23 Desember 2018

94

murid MTI Candung untuk mempelajari dan mendalami kitab kuning. Murid yang ikut halaqah dengan guru-guru perempuan di Madrasah Perti bukan hanya perempuan, melainkan juga murid laki-laki.288 Sistem pengajaran halaqah yang diadakan oleh guru-guru perempuan di rumah mereka masing-masing merupakan proses belajar informal yang bukan menjadi bagian dari program madrasah. Sistem itu dilaksanakan secara suka-rela dari masing-masing guru perempuan berdasarkan permintaan murid-murid yang ingin mendalami kitab kuning. Sesuai dengan tujuan Madrasah Perti yang ingin menjaga kelesatrian kitab-kitab klasik, halaqah diadakan untuk menjawab berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh murid-murid yang semenjak tahun 1970-an sampai sekarang mengalami pengurangan jam-jam pelajaran kitab kuning karena harus mempelajari kurikulum Madrasah Negeri sehingga mereka bisa mengikuti ujian akhir nasional. Penerapan SKB Tiga Menteri Nomor 6 Tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada madrasah di Indonesia menimbulkan masalah dilematis yang dihadapi oleh hampir semua Madrasah Perti di Minangkabau karena memiliki pengaruh bagi pengurangan jam-jam pengajaran kitab kuning. Kondisi ini sangat bertentangan dengan harapan orang tua murid yang begitu besar untuk menyerahkan anak-anak mereka kepada madrasah tradisional agar mampu menguasai kitab kuning.289 Kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh penerapan SKB Tiga Mentri melahirkan inisiatif dari guru-guru perempuan untuk mengadakan halaqah secara suka-rela di rumah mereka masing-masing untuk menunjang proses pengajaran di madrasah. Inisiatif itu tumbuh bersamaan dengan perkembangan murid-murid di Madrasah-Madrasah Perti yang dari tahun ke tahun semakin ramai sehingga membutuhkan pula tempat-tempat halaqah baru untuk mempelajari dan mendalami tradisi kitab kuning.290 Inisiatif pertama muncul dalam diri Ustadzah Zaimar sejak

288Ustadzah Fakhrati dan Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 22 Desember 2018. Murid-murid Madrasah Perti yang memiliki semangat tinggi untuk mempelajari dan mendalami tradisi kitab kuning datang rumah-rumah guru-guru perempuan untuk mengikuti halaqah setiap malam setelah shalat Magrib. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berasal dari tingakatan yang berbeda-beda, mulai dari kelas satu sampai dengan kelas tujuh. Mereka seringkali menentukan sendiri jenis kitab kuning yang mau dipelajari malam itu. Observasi di rumah Ustadzah Zaimar pada tanggal 22 dan 23 Desember 2018. Ustadzah Zaimar dan Syamsir (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 23 Desember 2018 289Ustadzah Zaimar dan Syamsiar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 23 Desember 2018 290Awal mulanya halaqah di rumah-rumah guru perempuan adalah untuk memenuhi keinginan murid-murid yang memiliki minat dalam mempelajari tradisi kitab kuning, terutama kitab-kitab ilmu bahasa, fiqh dan tafsir yang tidak pelajari di madrasah. Sejalan dengan perkembangan waktu, halaqah yang pada mulanya dilaksanakan secara suka rela semakin diminati oleh murid-murid. Hal itu disebabkan oleh berkurangnya jam-jam pengajaran kitab kuning dengan masuknya kurikulum

95

tahun 1960-an mulai menerima murid-murid MTI Pasir untuk mengikuti halaqah di rumahnya pada malam hari. Murid-murid yang memiliki keinginan, baik laki-laki maupun perempuan mendatangi rumah Ustadzah Zaimar dan mengikuti proses belajar dalam sistem halaqah. Ustazah Husna adalah guru perempuan kedua di MTI Pasir yang mengadakan proses belajar dengan sistem halaqah sejak tahun 1970. Halaqah Ustadzah Husna adalah halaqah yang paling ramai diikuti oleh murid- murid MTI Pasir pada tahun 1980-an dan 1990-an. Qurratul Aini menjelaskan bahwa tidak kurang dari 50 orang murid MTI Pasir yang mengikuti halaqah setiap malam di rumah Ustadzah Husna. Kondisi ini kemungkinan besar didukung oleh pengetahuan Ustadzah Husna yang begitu dalam tentang kitab kuning dan dekatnya jarak rumah guru perempuan itu dengan madrasah dan asrama.291 Halaqah ketiga yang populer bagi murid-murid MTI Pasir adalah halaqah yang diadakan oleh Ustadzah Syamsiar sejak tahun 1970. Halaqah ini tidak seramai halaqah yang dipimpin oleh Ustadzah Husna karena lokasi rumah Ustadzah Syamsiar di Kubu Tanjung, Bukittingi, yang relatif jauh dari madrasah. Mereka yang datang dan ikuti belajar biasanya murid-murid senior yang terdiri dari beberapa orang saja. Selain itu, guru-guru MTI Pasir, baik laki-laki maupun perempuan, sering pula belajar dan mengikuti sistem halaqah yang dipimpin oleh Ustadzah Syamsiar. Guru perempuan yang dipandang memiliki keahlian dalam mengajarkan ilmu nahwu dan sharaf itu dikenal ramah dan pintar sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi murid-murid dan guru-guru MTI Pasir untuk belajar dan mendalami kitab kuning dirumahnya.292 Guru perempuan lain yang memimpin halaqah di rumahnya adalah Ustadzah Tasliatul Fuad. Proses pengajaran yang dimulainya sejak tahun 2012 masih berkesinambungan sampai sekarang dan banyak pula dikunjungi oleh murid-murid MTI Pasir untuk mendalami kitab kuning dan pengetahuan agama.293 Dua orang guru perempuan yang cukup dikenal di MTI Candung sebagai pemimpin halaqah kitab kuning adalah Ustadzah Fakhrati dan Ramainas. Ustadzah

Madrasah Negeri, baik Tsanawaiyah maupun Aliyah, ke MTI Pasir. Ustadzah Zaimar dan Syamsiar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 23 Desember 2018. 291Qurratul Aini adalah murid MTI Pasir yang tamat pada tahun 1990. Ia merasakan dengan kuat atmosfir halaqah kitab kuning di rumah Ustadzah Husna pada era tahun 1980-an. Selama pendidikan di MTI Pasir, ia sering pula mengikuti halaqah di rumah Ustadzah Zaimar dan Syamsiar (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara pada tanggal 23 Desember 2018. 292Di antara guru perempuan MTI Pasir yang sering belajar kitab kuning dengan metode halaqah di rumah Ustadzah Syamsiar adalah Ustadzah Husnelly dan Daimar. Selain menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam mempelajari kitab kuning, Ustadzah Husnelli dan Daimar ingin menggunakan kesempatan membangunan emosional yang lebih dekat lagi dengan seorang guru perempuan yang sudah berusia tua dan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membaca dan memahami kitab kuning. Ustadzah Syamsiar dan Husnelly (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 5 Januari 2019. 293Ustadzah Tasliatul Fuad (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 5 Januari 2019.

96

Fakhrati, di samping cucu Syeikh Sulaiman al-Rasuli, adalah guru perempuan pertama di MTI Candung yang mengajarkan kitab kuning. Pada akhir tahun 1970-an Ustadzah Fakhrati mulai mengadakan halaqah di rumahnya dengan tujuan untuk membantu murid-murid MTI Candung dalam menguasai dan mendalami keilmuan kitab kuning. Halaqah-halaqah pada masa sebelumnya yang biasa dikunjungi oleh murid-murid untuk mendalami pengetahuan kitab kuning dipimpin oleh laki-laki, baik yang berasal guru MTI Candung maupun masyarakat yang umum. Ustadzah Fakhrati menuturkan bahwa sebelum tahun 1990-an masih banyak buya yang mampu mengajarkan tradisi kitab kuning di daerah sekitar MTI Candung. Meskipun mereka tidak mengajar di madrasah, tetapi sering dikunjungi oleh murid-murid yang ingin menguasai kitab kuning. Guru perempuan lain di MTI Candung yang mengikuti jejak Ustadzah Fakhrati adalah Ustadzah Ramainas yang mulai memimpin halaqah di rumahnya sejak tahun 2015.294 Proses belajar kitab kuning dalam sistem halaqah yang dipimpin oleh guru- guru perempuan Madrasah Perti memiliki persamaan model dan metode penyajian. Mereka sama-sama menerapkan cara tertentu dalam menghadapi murid-murid sesuai dengan perbedaan tingkatan dan pengetahuan. Bagi murid-murid pemula (kelas persiapan), halaqah dimulai dengan pembacaan teks (matan) dari kitab tertentu yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Minangkabau dan Indonesia. Setelah proses ini selesai, murid-murid dalam jumlah yang terbatas (dua atau tiga orang) diperintahkan untuk mengulangi bacaan dan terjemahan yang sudah dijelaskan oleh pembimbing halaqah. Sementara murid yang lain memperhatikan dan mengoreksi pengulangan bacaan dan terjemahan teman yang mengalami kesalahan. Murid-murid diberikan pula kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan tentang teks (matan) yang dipelajari ketika itu sekiranya masih ada yang belum bisa memahaminya. Kemudian pembimbing halaqah menjelaskan dan menyimpulkan kandungan teks yang diikuti pula oleh murid-murid untuk mencatatnya. Sebagai penutup, guru pembimbing halaqah mengajak murid-murid dalam satu komando untuk membaca surat al-Fatihah yang pahalanya dikirimkan kepada mereka yang berjasa, guru-guru madrasah dan para penulis kitab kuning.295 Para pembimbing halaqah sering pula mengangkat guru bantu yang terdiri dari murid-murid senior yang memiliki kemampuan untuk membimbing adik-adik mereka di kelas yang lebih rendah. Guru bantu sangat dibutuhkan oleh pembimbing halaqah sekiranya murid-murid yang datang dalam suatu pertemuan sangat ramai dari kelas yang bervariasi. Guru-guru bantu itu yang membimbing murid-murid yang berada di tingkatan yang lebih rendah sebelum mereka belajar dengan pembimbing

294Ustadzah Fakhrati dan Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, tanggal 6 Januari 2019. 295Ustadzah Fakhrati, Ramainas, Zaimar, Syamsiar dan Tasliatul Fuad (Guru Kitab Kuning MTI Candung dan MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 5 dan 6 Januari 2019.

97

halaqah yang sesungguhnya. Penerapan model semacam ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru bantu dalam memahami berbagai jenis kitab kuning sebelum mereka menamatkan pendidikan di Madrasah-Madrasah Perti.296 Alokasi waktu yang tersedia untuk murid-murid yang kelasnya lebih rendah (tingkatan tsanawiyah) adalah selesai shalat Magrib hingga shalat Isya’. Murid-murid pada tingkatan Aliyah mulai mengikuti proses belajar setelah shalat Isya’ sampai pukul 22.00 WIB. Sekiranya mereka mempelajari kitab-kitab yang di luar kurikulum madrasah, guru pembimbing menggabungkan mereka dan belajar secara bersama- sama. Jika murid-murid mempelajari kitab-kitab yang menjadi kurikulum madrasah, mereka akan dikelompok sesuai dengan tingkatan masing-masing kelas. Metode yang digunakan oleh guru halaqah dalam membimbing murid-murid tingkatan Aliyah jauh berbeda dengan murid-murid tingkatan tsanawiyah. Pada tingkatan tsanawiyah, proses belajar kitab kuning masih berpusat pada seorang guru (pembimbing) mulai dari pembacaan suatu teks (matan), penterjemahan dan pemahaman. Tetapi dalam waktu tertentu, mereka sering pula diminta terlebih dahulu untuk membaca, menterjemah dan memahami isi suatu teks sebelum pembimbing halaqah mengoreksinya.297 Halaqah murid-murid Aliyah sepenuhnya berpusat pada mereka (students center) mulai dari pembacaan teks, penguraian kata (i’rāb), penterjemahan dan pemahaman kandungan.298 Tugas seorang pembimbing halaqah hanya menentukan siapa murid yang mau membaca teks malam itu dan memerintah kepada murid-murid yang lain untuk memperhatikan dan mengoreksi bacaan, uraian kata, terjemahan dan kesimpulan. Sekiranya murid yang bertugas malam itu mengalami kesalahan bacaan, terjemahan dan penjelasan, murid-murid yang lain secara langsung akan mengoreksi dan membantahnya. Murid yang sedang membaca juga memiliki hak untuk mempertahankan bacaanya dengan argumentasi yang sesuai dengan ilmu alat (nahwu dan sharaf). Setelah itu, pembimbing halaqah mengoreksi bagian-bagian yang dipandang keliru dan membenarkan semua bacaan, uraian kata, terjemahan, pembahasan dan kesimpulan dari suatu teks.299 Halaqah murid-murid Aliyah mungkin saja diawali dari bacaan seorang guru pembimbing yang disebabkan oleh keterbatasan waktu. Metode ini menuntun

296Ustadzah Syamsiar dan Husnelly (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 5 Januari 2019. 297Ustadzah Zaimar, Syamsiar dan Tasliatul Fuad (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 5 Januari 2019. 298Ustadzah Fakhrati dan Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 6 Januari 2019. 299Qurratul Aini dan Nuraini (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 10 Januari 2019. Kedua informan adalah guru kitab kuning di MTI Pasir yang pernah belajar halaqah dengan Ustadzah Zaimar, Syamsiar dan Husna.

98

mereka untuk memperhatikan bacaan seorang guru dengan lebih hati-hati karena pembimbing secara sengaja mungkin saja menyalahkan bacaannya sendiri untuk menguji murid-murid yang serius atau tidak memperhatikan kitab yang dibacanya. Murid-murid yang serius secara spontan akan mengoreksi dan membantah sekalipun yang membaca teks adalah seorang pembimbing halaqah yang mereka hormati. Suasana semacam itu sering terjadi dalam halaqah kitab kuning yang diadakan oleh guru-guru perempuan Madrasah Perti di rumah mereka masing-masing. Sebagai penutup halaqah, guru pembimbing dan murid-murid membacakan surat al-Fatihah secara bersama-sama yang pahalanya dikirim kepada para ulama, terutama para penulis kitab, para pendiri dan guru-guru Madrasah Perti.300

H. Perempuan dan Pengembangan Human Resources Sumber Daya Manusia (SDM) yang disebut dengan Human Resources merupakan energi yang menggerakkan segala sesuatu dalam organisasi dan institusi sosial sehingga memudahkan pencapaian suatu tujuan. Karena itu, Human Resources adalah aset dan modal yang menentukan perkembangan dan kemajuan sebuah organisasi dan institusi sosial. Tanpa Human Resources yang handal, organisasi dan institusi sosial sulit untuk berkembang dengan baik dan memperoleh kemajuan karena memiliki hambatan untuk mencapai sasaran dan tujuan tertentu. Madrasah Perti sebagai salah institusi sosial selalu membutuhkan Human Resoursces sebagai penggerak dalam memelihara kesinambungan tradisi keilmuan Islam tradisional dan mewujudkan tujuan utama pendidikan, yaitu menciptakan generasi penerus yang Tafaqquh fī al-Dīn.301 Human Resources sebagai sebuah konsep memiliki dua pengertian, yaitu mikro dan makro. Human Resoursces dalam pengertian mikro didefinisikan oleh para ilmuan dengan semua manusia yang melibatkan diri secara langsung dalam suatu organisasi dan institusi sosial untuk mencapai tujuan tertentu.302 Sejalan dengan pengertian ini, Human Resoursces di Madrasah Perti adalah semua personal yang melibatkan diri secara langsung dalam proses pewarisan tradisi kitab kuning yang terdiri dari guru laki-laki dan perempuan yang sampai saat ini masih konsen melakukan usaha pencapaian tujuan pendidikan. Jumlah mereka sebanyak 76 orang yang tersebar pada dua Madrasah Perti, yaitu MTI Candung dan MTI Pasir, termasuk

300Observasi tanggal 5 Januari 2019. Ustadzah Fakhrati dan Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 6 Januari 2019. 301Buya Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir) dan Buya H. Badra Syahruddin al-Rasuli (Pimpinan MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 10 dan 11 Oktober 2018. 302Sayuti Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia: Pendekatan Non-Sekuler (Surakarta: Universitas Press, 2000), hal. 3

99

mereka yang dipercaya untuk menduduki suatu jabatan.303 Sedangkan Human Resources dalam pengertian makro adalahsemua penduduk atau warga negara yang berada pada usia produktif (usia angkatan kerja), baik yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja.304 Kesadaran terhadap Human Resources yang handal kelihatannya telah lama melekat pada Madrasah-Madrasah Perti meskipun proses pencapaiannya lebih banyak dilakukan secara konvensional. Perekrutan alumni perempuan yang memiliki kualifikasi pengetahuan dan keterampilan tertentu merupakan bagian dari usaha pengembangan Human Resourcesdi madrasah-madrasah tradisional. Setelah kemerdekaan, seperangkat perilaku yang diperankan oleh perempuan di Madrasah- Madrasah Perti terkait posisinya (status) sebagai guru dan pembimbing halaqah kitab kuning adalah bagian dari usaha peningkatan dan pengembangan Human Resources, baik dalam pengertian mikro maupun makro. Dalam pengertian mikro, beberapa perilaku perempuan di Madrasah-Madrasah Perti memiliki pengaruh yang kuat dalam memeliharakesinambungan pewarisan tradisi keilmuan Islam tradisional. Mereka telah berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan Sumber Daya Manusia (Human Resoursces) dengan melakukan beberapa kegiatan yang menunjang lahirnya profesionalisme guru-guru kitab kuning, baik laki-laki maupun perempuan. Pengembangan Human Resources yang biasa diperankan oleh perempuan di Madrasah-Madrasah Perti adalah pengajaran kitab kuning, pembimbing halaqah, bimbingan terhadap guru-guru muda, baik laki-laki maupun perempuan dan diskusi- diskusi internal. Pengajaran kitab kuning dan pembimbing halaqah dalam pengertian mikro dapat dipahami sebagai upaya menyiapkan Human Resources yang handal yang mau melanjutkanpewarisan tradisi kitab kuning dari generasi ke generasi. Setelah menamatkan pendidikan dan memiliki kualifikasi tertentu untuk menjadi guru di Madrasah-Madrasah Perti, mereka terus diberikan bimbingan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam membaca dan memahami kitab- kitab klasik.Proses bimbingan ini sering dilakukan di madrasah-madrasah dan halaqah-halaqah yang sudah mentradisi sejak awal abad ke-20 di Minangkabau. Perempuan-perempuan yang menempati posisi sebagai guru kitab kuning dan pembimbing halaqah setelah masa kemerdekaan mulai pula terlibat dalam pemberian bimbingan terhadap guru-guru muda.305 Kegiatan bimbingan guru-guru muda biasanya bersifat kondisional dan dilakukan secara spontanitas sesuai dengan kebutuhan dan kesulitan yang dialami

303Daftar Guru-Guru Kitab Kuning di MTI Candung dan MTI Pasir Tahun 2017/2018. Buya Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir) dan Buya H. Badra Syahruddin al-Rasuli (Pimpinan MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 10 dan 11 Oktober 2018. 304Sosilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yoqyakarta: BPFE, 1992), hal. 2 dan Dewi Hangraeni, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: LPFEUI, 2012), hal. 35 305Buya Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir) dan Buya H. Badra Syahruddin al-Rasuli (Pimpinan MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 10 dan 11 Oktober 2018.

100

oleh masing-masing guru yang mengajarkan kitab kuning pada tingkatan kelas tertentu. Proses bimbingan sering berawal dari keinginan dan motivasi guru-guru muda yang ingin menambah pengetahuan dan memperoleh legitimasi sebagai guru kitab kuning. Mereka mulai melakukan proses pengkajian kitab-kitab klasik secara mandiri dan beberapa kesulitan kemudian didiskusikan dengan dengan guru-guru senior. Ustadzah Tasliatul Fuad dan Ramainas menjelaskan bahwa proses pembelajaran kitab kuning tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa terlebih dahulu melakukan pengulangan dan pengkajian. Proses ini dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing guru dan mendiskusikannya dengan guru-guru yang lain apabila mereka memiliki kesulitan-kesulitan. Guru-guru muda juga dapat mengunjungi halaqah-halaqah yang dipimpin oleh guru-guru perempuan di rumah mereka masing-masing.306 Kegiatan diskusi dan bimbingan dari guru-guru senior dapat diperolah kapan saja dan tanpa terikat dengan pengalokasian waktu yang terstruktur dan bersifat formal. Guru-guru kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti selalu membuka diri untuk peningkatan Human Resources bagi mereka yang masih memiliki beberapa kesulitan dalam menguasai dan mengajarkan kitab kuning. Karena itu, beberapa orang guru perempuan yang dianggap senior dijadikan tempat bertanya dan mendalami pengetahuan agama. Guru-guru perempuan yang mengadakan halaqah di rumah mereka masing-masing sering pula dikunjungi oleh guru laki-laki dan perempuan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam pengajaran tradisi kitab kuning. Ustadzah Husnelli sebagai guru muda di MTI Pasir menuturkan bahwa dirinya sering mengunjungi rumah Ustadzah Syamsiar untuk “mengulang kaji” dan mempelajari kitab-kitab yang dianggap sulit, baik dari segi matan maupun pemahaman. Ia mengunjungi pula guru-guru perempuan lain yang dianggapnya memiliki kemampuan dalam mengajarkan kitab kuning.307 Usaha ini bukan hanya dilakukan oleh Ustadzah Husnelli, melainkan oleh semua guru muda yang mengajarkan kitab kuning, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun tidak bersifatterstruktur dan formal, kegiatan itu berjalan begitu saja bagaikan air mengalir yang menelusuri setiap celah dan ruang yang masih terbuka dan membentuk mata rantai yang tak putus-putusnya. Suatu hal yang sangat membuka peluang dalam meningkatkan Human Resources di Madrasah-Madrasah Perti adalah sikap saling memberi dan menerima yang dimiliki oleh masing-masing guru kitab kuning sehingga transmisi pengetahuan dan keterampilan senantiasa berlangsung dalam menunjang lahirnya nilai-nilai

306Ustadzah Tasliatul Fuad dan Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Pasir dan MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 28 Nopember 2018. 307Ustadzah Husnelli (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 05 Januari Nopember 2019.

101

profesionalisme. Guru-guru muda yang memiliki banyak keterbatasan dan kekurangan pengetahuan mau bertanya dan mengunjungi guru-guru senior untuk memperoleh bimbingan. Sementara guru-guru senior senantiasa membuka diri untuk menerima dan membimbing mereka dengan beberapa pengetahuan dan keterampilan dalam memahami kitab kuning. Sikap saling memberi dan menerima memiliki makna penting dalam sejarah keilmuan Islam tradisional untuk membantu pengembangan Human Resourcesdi Madrasah-Madrasah Perti dan pencapaian tujuan pendidikan.308 Kegiatan diskusi dan bimbingan terhadap guru-guru muda seringkali diperankan oleh perempuan di madrasah dan halaqah. Kegiatan ini telah mentradisi sejak lama dalam sejarah pewarisan keilmuan Islam tradisional di Minangkabau. Murid-murid dan guru-guru bantu di Madrasah-Madrasah Perti selalu berusaha dan untuk mencari orang-orang yang memiliki kemampuan dalam membaca dan memahami kitab kuning. Mereka mengunjungi orang-orang tersebut untuk memperoleh bimbingan dan tambahan pengetahuan keagamaan. Ustadzah Fakhrati sebagai guru senior kitab kuning di MTI Candung menjelaskan bahwa sebelum tahun 1990-an di daerah Candung dan sekitarnya masih banyak ditemukan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki keahlian dalam membaca dan memahami kitab kuning. Mereka ini yang dikunjungi oleh murid-murid dan guru- guru Madrasah Perti untuk belajar kitab dan menambah pengetahuan keagamaan. Mereka memiliki banyak pilihan tempat dan guru untuk mendalami pengetahuan agama sesuai dengan keahlian buya-buya yang kunjungi. Selain itu, beberapa orang guru senior laki-laki yang mengajar di MTI Candung juga menjadi pilihan murid- murid dan guru-guru muda untuk mendalami pengetahuan kitab kuning.309 Penjelasan Ustadzah Fakhrati diamini oleh Ustadzah Syamsiar yang menyebut bahwa era sebelum tahun 1990-an masih banyak pilihan murid-murid dan guru-guru muda di MTI Pasir untuk mempelajari kitab kuning. MTI Pasir ketika itu masih memiliki buya-buya yang memiliki keahlian dalam fiqh dan ushul fiqh, ilmu alat, tauhid dan tasauf. Guru-guru muda yang ingin mendalami pengetahuan tentang fiqh dan ushul fiqh, mereka akan bertanya dan mengunjungi Buya H. Muhammad Adamsar. Kemudian mereka yang ingin mendalami ilmu alat, tauhid dan tasauf dapat bertanya langsung dan mengunjungi Buya H. Muhammad Dalin, Buya H. Ahmad Nurdin dan lain-lain. Setelah buya-buya itu meninggal dunia dan sepuh, pilihan mereka untuk memperoleh bimbingan kitab kuning lebih banyak kepada guru-guru perempaun. Buya H. Awiskarni Husin sebagai pimpinan MTI Pasir sangat arif memahami kondisi itu dan selalu memotivasi guru-guru muda untuk menambah pengetahuan keagamaan kepada guru-guru perempuan senior yang masih hidup,

308Ustadzah Tasliatul Fuad dan Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Pasir dan MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 28 Nopember 2018. 309Ustadzah Fakhrati (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, tanggal 6 Januari 2019.

102

seperti Ustadzah Zaimar dan lain-lain. Buya H. Awiskarni Husin sendiri juga sering membimbing guru-guru dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan membaca dan memahami kitab kuning.310 Peranan yang dimainkan oleh perempuan terkait statusnya sebagai guru dan pembimbing halaqah kitab kuning dalam pengertian makro merupakan usaha meningkatkan dan mengembangkan Human Resources warga negara Indonesia. Mereka telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan generasi muda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Posisi guru di Madrasah Perti telah menempatkan perempuan sebagai tenaga profesional yang memiliki tugas utama untuk merencanakan dan melaksanakan proses pengajaran dengan tujuan meningkatkan Human Resources sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bertabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.311 Profesi guru sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional melahirkan seperangkat perilaku yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan nasional. Guru adalah tenaga profesional yang berperan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung-jawab.312 Karena itu, peranan guru sangat penting dalam sistem pendidikan nasional dan belum tergantikan oleh media lain dalam mewujudkan peningkatan kualitas Human Resources. Meskipun perkembangan ilmu dan teknologi semakin maju, guru tetap memiliki peranan utama dalam dunia pendidikan untuk mengembangkan dan peningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Guru-guru perempuan yang mewariskan tradisi kitab kuning di Madrasah- Madrasah Perti sama saja dengan mereka yang melaksanakan proses pengajaran di lembaga pendidikan lainnya. Mereka telah melakukan tugas utama untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas Human Resorces di Indonesia sejalan dengan pencapaian pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung-jawab. Peranan ini telah lama ditekuni oleh perempuan seiring dengan perubahan dan dinamika yang tumbuh dalam sejarah

310Ustadzah Syamsir (Mantan Guru Kitab Kuning MTI Pasir) dan Buya H. Awiskarni Husin (Pimpinan MTI Pasir), Wawancara, tanggal 5 Januari 2019. 311Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2. 312Ibid.,

103

pewarisan kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti pasca-kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

I. Memelihara Paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah Reproduksi peranan perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti memiliki makna penting dalam memelihara dan menyebarkan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Kitab-kitab keagamaan yang disebut dengan kitab kuning dalam sejarah keilmuan Islam tradisional merupaka karya-karya yang ditulis oleh ulama sunni. Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam pengertian etimologi merupakan istilah yang dibangun dari kata ahlu, sunnah dan jamā’ah. Ahlu (ahlun) digunakan oleh masyarakat Arab sebagai istilah menunjukkan makna keluarga, golongan dan kelompok. Sunnah adalah sinonim dari kata hadīṡ yang berati semua perkataan, perbuatan dan persetujuan (taqrīr) Nabi Muhammad SAW. mengalami penambahan (سنه) dengan kata Sunnah (اھل) Penggabungan kata Ahlu (السنةاھل) ma’rifah sehingga membentuk kata Ahlu al-Sunnah (ال) huruf alif dan lam yang berarti keluarga, kelompok dan golongan yang mengikuti sunnah nabi. (ال) mengalami pula penambahan huruf alif dan lam (جماعة) Istilah Jamā’ah yang berarti kelompok atau (الجماعة) Ma’rifah dan membentuk kata al-Jamā’ah orang-orang yang mengikuti kebenaran agama, yaitu para pendahulu yang terdiri dari dan al-Jamā’ah (اھل السنة) sahabat dan tabi’in. Penggabungan kata Ahlu al-Sunnah sehingga membentuk istilah Ahlu (و) dihubungkan dengan huruf waw ‘aṭaf (الجماعة) yaitu paham keagamaan yang dibangun ,(اھل السنة و الجماعة) al-Sunnah wa al-Jamā’ah dengan cara merujuk kepada ajaran yang dikembangkan oleh para pendahulu umat Islam (para sahabat dan tabi’in). Mereka bersatu dalam mengikuti kebenaran agama yang dijelaskan dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Muhammmad SAW.313 Hasyim Asy’ari menyebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai paham keagamaan yang mengikuti pemikiran teologi Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Manshur al-Maturidi, fiqh Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, serta tasauf Imam Abu Hamid al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.314 Ali Khaidar memberikan definisi yang sama dan menyebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai paham keagamaan yang mengikuti keyakinan Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Manshur al- Maturidi dalam bidang akidah. Paham ini juga dibangunan dari pemikiran Empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang fiqh. Kemudian dalam bidang tasauf, paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah mengikuti ajaran Imam

313Said Aqil Siradj, Ahlusunnah wal Jama’ah: Sebuah Kritik Historis (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), hal. 5. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal. 5-6 314Nawawi, Ilmu Kalam;Dari Teosentris Menuju Antroposentris (Malang: Genius Media, 2014), hal. 80

104

al-Gazali dan Junaid al-Baghdadi.315 Definisi yang dikemukakan oleh Hasyim Asy’ari dan Ali Khaidarmerefleksikan bahwa paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang berkembang di dunia Islam dikonstruksi dari tiga aspek ajaran Islam, yaitu ilmu tauhid (teologi), fiqh dan tasauf. Istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah mulai dikenal secara luas untuk menyebut salah satu paham keagamaan dalam Islam adalah sejak munculnya aliran teologi Asy’ariyah yang digagas oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260H/873 M- 324H/935 M) pada dasawarsa kedua abad ke-10. Penyebab lahirnya aliran teologi ini berawal dari realitas sosial keagamaan yang melahirkan kegelisahan dalam diri Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang melihat bahaya bagi umat Islam sekiranya mereka ditinggalkan tanpa memiliki pegangan teologi yang teratur setelah aliran Mu’tazilah mengalami masa kemunduran. Sebelumnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari merupakan salah seorang teolog yang menganut aliran Mu’tazilah dan murid dari al-Abu Ali Jubba’i, yaitu pemuka dan pemimpin aliran rasional Mu’tazilah cabang Bashrah.316 Sebelum lahirnya aliran Asy’ariyah, teologi Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wahil bin Atha’pernah dijadikan sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 627 yang dilanjutkan oleh dua orang Khalifah Abbasiyah sesudahnya. Pada masa Daulah Abbasiyah berada di bawah pemerintahan khalifah al- Mutawakkil, aliran Mu’tazilah dihapuskan sebagai mazhab resmi negara karena dianggap menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Islam pasca peristiwa mihnah atau pengujian keyakinan tentang kemakhlukan al-Qur’an yang dilakukan oleh para penguasa. Penghapusan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara melahirkan beberapa masalah yang berujung pada kemunduran aliran teologi rasional itu. Apalagi mayoritas umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran sangat sulit untuk menerima kebenaran ajaran Mu’tazilah. Kondisi semacam ini kemudian menimbulkan kekuatiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan melihat kemungkinan besar munculnya masalah bagi umat Islam apabila mereka ditinggalkan tanpa memiliki pegangan teologi yang teratur. Karena itu, ia keluar dari Sekte Mu’tazilah dan menyusun paham teologi baru yang populer dengan nama aliran Asy’ariyah atau Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan memperoleh dukungan yang kuat dari tokoh- tokoh yang muncul pada masa berikutnya, seperti Abu Bakar al-Baqillani (wafat 1013 M), Imam al-Haramain al-Juwaini (419-478 H), al-Syahrastani dan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M).317

315Ali Khaidar, dan Islam Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik (Jakarta: Gramedia, 1995), hal. 69-70 316Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 76. Abu al- Hasan al-Asy’ari, Maqalah al-Islamiyyin (Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1969), hal. 267-268 317Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1984), Jilid II, hal. 40

105

Paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ahdibangun pula dari pemikiran fiqh yang dikembangkan oleh para Imam Mazhab.Salah seorang dari mereka yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pahamtersebut di dunia Islam adalah Abu Abdullah Muhammad al-Syafi’i (Imam Syafi’i).Ia lahir di Gaza Palestina pada tahun 150 H dan memiliki keahlian dalam bidang al-Qur’an, hadits, ushul fiqh dan fiqh. Masyarakat Islam lebih mengenalnya sebagai ulama yang memiliki keahlian dalam bidang fiqh dan pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Ia pernah belajar kepada Imam Malik, Imam Sufyan bin Uyainah dan Imam Muslim bin Khalid al- Zanji. Imam Malik sebagai guru Imam Syafi’i adalah murid dari Nafi dan Ibnu Umar yang kedua merupakan sahabat Rasulullah. Kemudian ulama yang mempengaruhi pembentukan paham Ahlu al-Sunnah al-Jamā’ah adalam Imam al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lahir di Ghazalah pada tahun 450 H/1058 M, yaitu daerah yang terletak dekat kota kecil Thus, Propinsi Khurasan, Republik Irak.318 Imam al-Ghazali mengusai banyak pengetahuan keagamaan dan diakui sebagai filosof, teolog, fuqaha’ dan sufi sehingga populer dengan sebutan Hujjah al- Islām. Ia adalah ulama besar penganut aliran teologi Asy’ariyah dan Mazhab Syafi’i. Salah seorang tokoh Asy’ariyah dengan nama Imam al-Haramain al-Juwaini adalah gurunya yang mengenalkan pertama kali paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah kepada Imam al-Ghazali. Corak pemikiran tasauf yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali adalah tasauf akhlaki yang dalam banyak hal mempengaruhi pembentukan paham Ahlu al- Sunnah wa al-Jamā’ah di dunia Islam.Tasauf akhlaqi disebut juga tasauf sunni, yaitu tasauf yang memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan corak tasauf yang lain. Karakteristik itu secara umum adalah menjadi al-Qur’an dan hadits sebagai landasannya, tidak menggunakan terminologi filosofis, mengajarkan dualisme hubungan Tuhan dan manusia, kesinambungan hakikat dan syariat, serta berorientasi pendidikan akhlak. Dalam pandangan tasauf akhlaki, maqām dan ahwāl merupakan suatu hal yang sangat penting yang mesti diketahui oleh seorang sufi dalam mencari jalan kebenaran. Maqām adalah tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui oleh sufi untuk memperoleh suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa dan hati para pelakunya, yaitu tobat, zuhud, sabar, syukur, khauf, raja. redha dan lain-lain. Kemudian ahwāl merupakan keadaan tertentu yang dialami oleh jiwa setelah melalui proses tahapan-tahapan maqām.319

318Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 155 dan Muhsin Manaf, Psyco Analisa al-Ghazali (Surabaya: al-Ikhlas, 2001), hal, 19-20 319Abū al-Wafā’ al-Taftazānī, Mudkhal Ilā al-Tasawwuf al-Islām, terjemahan Amad Rofi’ menjadi Pengantar Tasauf Dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 191-192. Al-Kalabāżī, Ta’aruf fī Mażhab al-Tasawwuf (Mesir: Isā Bāb al-Halābī, 1960), hal. 111-112

106

Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam Syafi’i danal-Ghazali merupakan tokoh penting yang mempengaruhi pembentukan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Karena itu kitab-kitab yang sejalan dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut menjadi pertimbangan utama untuk dipelajari di Madrasah-Madrasah Perti. Dalam bidang teologi, pemilihan kitab-kitab yang membahas masalah ketuhanan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dianggap kompatibel dengan tradisi keilmuan Islam tradisional karena sejalan dengan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang dibangun oleh Imam Abu Hasan Asy’ari. Salah satu pemikiran teologi Ahlu al-Sunnah wa al- Jamā’ah adalah masalah sifat-sifat Tuhan yang keberadaannya bersifat azali dan melekat pada esesnsi-Nya. Tuhan kata Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan qudrat, hidup dengan hayāh, berkehendak dengan irādah berbicara dengan kalām, mendengar dengan sama’ dan melihat dengan baṣar. Sifat-sifat itu meskipun bersifat azali, namun eksistensinya bukan Tuhan dan bukan pula selain Dia. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Imam Abu Hasan al- Asya’ari untuk menghindari kesan berbilangnya yang kekal (Ta’addud al- Qudāma’).320 Sejalan dengan pemikiran teologi Abu Hasan al-Asya’ari, kitab-kitab kuning yang dipelajari di Madrasah Pertiselalu memuat ajaran tentang sifat-sifat Tuhan yang dikenal dengan nama sifat dua puluh. Kitab Al-Aqwāl al-Marḍiyyah yang ditulis oleh Syeikh Sulaiman al-Rasuli menempatkan masalah sifat-sifat Tuhan menjadi prioritas utama dalam kajiannya yang dikenalkan kepada murid-murid di Madrasah-Madrasah Perti.Kitab ini menjelaskan sifat-sifat Allah dalam kerangka pembahasan akidah 50 yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil 20 dan 1 sifat harus (jāiz). Pembahasannya dilanjutkan dengan mengemukakan 4 sifat yng wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil dan 1 sifat harus (jāiz). 321 Kesan yang sama dijumpai pula dalam kitab Matnu al-Sanūsiyyah yang dikarang oleh seorang ulama sunni dari Maroko, Imam Muhammad bin Yusūf al-Sanūsī (lahir 832 H/1428 M). Ia merupakan seorang ulama Ahlu al-Sunnah wa la-Jamā’ah yang mengikuti mazhab al-Asy’ariyah dalam bidang akidah.322 Kitab-kitab lain yang dipelajari pada kelas yang lebih tinggi di Madrasah-Madrasah Perti adalah perluasan pembahasan dari kitab-kitab dasar yang telah menguraikan sifat-sifat Tuhan yang kemudian dilengkapi pula dengan kajian tentang kerasulan, kitab suci, malaikat, hari kiamat dan takdir.323

320Ibid., 321Syeikh Sulaiman al-Rasuli, al-Aqwāl al-Marḍiyyah (Bukittinggi: Matbha’ah al-Islamiyyah, 1933), hal. 6-18 322Abd al-‘Azīs, al-Imān al-‘Alāmah Muhammad bin Yusūf al-Sanūsī Wujūduhu fī Khidmah al- Ḥadīṡ al-Nabāwī al-Syarīf (al-Jazāir: Dār al-Kardadah, 2010), hal. 74 323Bandingkan pembahasan Syeikh Sulaiman al-Rasuli dalam kitab al-Aqwāl al-Marḍiyyah dengan uraian Syeikh Ibrahim al-Baijuri, Ḥāsyiyah bi Tahqīq al-Maqām Kifāyah al-‘Awāmfī ‘Ilm al- Kalām (Jakarta: al-Haramain, t.t.,),

107

Kitab-kitab fiqh yang dipelajari di Madrasah-Madrasah Perti adalah kitab yang berhaluan Syafi’iyah. Pertimbangan penggunaan kitab-kitab itu disebabkan oleh pengetahuan Imam Syafi’i yang luas dan kehati-hatiannya (iḥtiyāt) dalam menetapkan ketentuan suatu hukum. Pemikiran fiqh Imam Syafi’i dianggap moderat dan berada di tengah ajaran imam mazhab lain yang tidak begitu berat atau ringan untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Itulah sebabnya kenapa masyarakat Islam di dunia banyak memilih dan mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang hukum (fiqh).324 Kitab Safīnah al-Najā’, Matnu al-Ghāyah wa al-Taqrīb, Syarh Fatḥ al-Qarīb, I’anāḥ al-Ṭalibīn dan Syarh Qalyūbī wa Umairah yang diajarkan di Madrasah-Madrasah Perti merupakan kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama Syafi’iyah. Syeikh Sālim bin Sumair al-Hadhramīal-Syāfi’ī sebagai penulis kitab Safīnah al-Najā’, secara tegas menyatakan bahwa dirinya adalah penganut mazhab syafi’i.325 Kitab-kitab ushul fiqh yang dipelajari di Madrasah Perti diarahkan pula kepada karya-karya ulama Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Kitab al-Waraqāt, misalnya, menempati posisi penting di kalangan ulama sunni karena ditulis oleh Imām al-Juwainī, yaitu seorang ulama Asy’ariyah dan Syafi’iyah yang memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqh, ushul fiqh dan tauhid pada abad ke-11. Kitab Jam’ al-Jawāmi’ yang dikarang oleh Imām al-Taj al-Dīn al-Subkī dianggap sebagai benteng untuk mempertahankan kesinambungan keyakinan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah karena pembahasannya di samping berhubungan dengan kajian ushul fiqh juga menyentuh masalah-masalah tauhid dan tasauf.326 Corak pemikiran tasauf akhlaki yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali merupakan pertimbangan utama dalam menentukan kitab-kitab tasauf yang diajarkan di Madrasah-Madrasah Perti. Corak tasauf ini jauh berbeda dengan tasauf falsafi yang muncul sebelumnya karena konstruksi ajarannya memadukan antara pandangan mistis dengan filosofis. Tasauf falsafi yang mulai berkembang sejak abad ke-4 H secara umum dikenalkan oleh para sufi yang juga filosof. Sementara tasauf akhlaki lebih berorientasi pada pendidikan akhlak karena ajarannya dibangun oleh para sufi untuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan perilaku tanpa menggunakan teori- teori dan pandangan filosofis yang rumit.327 Penggunaan kitab Durah al-Naṣihin,

324Mazhab Syafi’i banyak dianut oleh negara-negara Islam di dunia, seperti Mesir, Palestina, Suria, Libanon, Irak, Hijaz, India, Indonesia, Yaman dan sebagian wilayah Persia. Harun Nasution, Islam, op. cit., hal. 17 325Syeikh Sālim bin Sumair al-Hadhramī, Safīnah al-Najā fī Uṣūl al-Dīn wa al-Fiqh (Jakarta: Raudhah Nurisa, t.t.,), hal. (bagian kover). 326Muqaddimah kitab Jam’ al-Jawāmī’ merefleksikan bahwa penulisnya, Imām al-Taj al-Dīn al-Subkī, bukan hanya seorang yang memiliki keahlian dalam bidang fiqh dan ushul fiqh, melainkan juga ahli dalam bidang tauhid dan tasauf. Imam al-Taj al-Dīn al-Subkī, Jam’ al-Jawāmī’ (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hal. 1-2 327Tasauf akhlaqi disebut juga dengan tasauf sunni yang memiliki karakteristik tertentu dan cendrung memakai landasan al-Qur’an dan hadist, tidak menggunakan terminologi-terminologi filosofis, mengajarkan dualisme hubungan Tuhan dan manusia, kesenambungan hakikat dan syariat,

108

Minhāj al-‘Ābidīn, Syarh al-Hikam, Daqāiq al-Akhbār dan al-Mawā’izh al- ‘Aṣfūriyyah yang lebih banyak mengungkap hikayat-hikayat dan cerita-cerita tentang kehidupan dunia dan akhirat merefleksikan woldview Madrasah Perti pada tasauf akhlaki yang merupakan bagian dari doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Semua jenis kitab kuning yang dipelajari di Madrasah-Madrasah Perti pada dasarnya memiliki haluan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Proses pewarisannya senantiasa dipelihara dari dahulu hingga sekarang sejalan dengan pertumbuhan dan pergantian generasi. Reproduksi peranan perempuan dalam sejarah keilmuan Madrasah Perti memiliki arti penting dalam menjaga kelestarian tradisi kitab kuningdan memperkuat upaya pelembagaan dan pewarisan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Upaya itu semakin meluas seiring dengan keterlibatan perempuan dalam mengajarkan berbagai jenis kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti, seperti kitab tauhid, fiqh, ushul al-fiqh, tafsir dan tasauf. Ustadzah Tasliatul Fuad, misalnya, telah mengajarkan ilmu fiqh sejak proses awal sebagai guru di MTI Pasir. Setelah 20 tahun, ia memperoleh legitimasi untuk mengajar kitab-kitab fiqh lain yang lebih tinggi.328 Ustadzah Ramainas adalah juga seorang ahli ilmu fiqh yang memiliki legitimasi untuk mengajarkan ilmu itu pada tingkatan terakhir (kelas tujuh) di MTI Candung.329 Setelah masa kemerdekaan, reproduksi peranan perempuan dalam sejarah pewarisan tradisi kitab kuning dan pemelihara paham Ahlu al-Sunnah wa al- Jamā’ah di Madrasah Perti mengalami peningkatan. Peningkatan itu sejalan dengan kemajuan perempuan yang telah memiliki kualifikasi pengetahuan keagamaan dan keterampilan untuk melibatkan diri dalam sejarah keilmuan Islam tradisional di Minangkabau.

serta memiliki orientasi pendidikan dan pengajaran akhlak. Abu al-Wafa’ al-Taftazani, Pengantar Ilmu Tasauf (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 191-192 328Ustadzah Tasliatul Fuad (Guru Kitab Kuning MTI Pasir), Wawancara, pada tanggal 26 September 2018. 329Ramainas (Guru Kitab Kuning MTI Candung), Wawancara, pada tanggal 28 Nopember 2018. Daftar Pelajaran Kitab Kuning MTI Candung tahun 2017/2018.

109

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Peranan perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah- Madrasah Perti merupakan realitas yang terbangun dari proses sejarah yang panjang sebagai hasil dialektika antara perempuan dengan struktur dan tradisi keilmuan Islam tradisional. Ulama, surau, murid dan tradisi kitab kuning merupakan unsur utama yang membentuk struktur dan tradisi keilmuan Islam di Minangkabau. Unsur-unsur itu mengalami perubahan sejak awal abad ke-20 sejalan dengan berlangsungnya proses modernisasi Islam. Surau Baru yang dipimpin oleh Syeikh Sulaiman al-Rasuli berubah menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung pada tahun 1928 yang diikuti pula oleh surau-surau lain yang dipimpinan oleh ulama tradisional. Selama tahun 1928-1936 sudah ditemukan sebanyak 35 buah Madrasah Perti di Minangkabau. Jumlah tersebut terus bertambah hingga mencapai 300 madrasah sebelum masa kemerdekaan. Pertumbuhan dan perkembangan Madrasah Perti di Minangkabau mengalami masa kemajuan dan keemasan pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah kemerdekaan, pendirian madrasah baru hampir tidak ditemukan lagi hingga masa sekarang. Madrasah-madrasah yang masih eksis dan mampu bertahan hingga masa sekarang merupakan madrasah yang didirikan dalam rentang waktu 1928-1945. Perubahan surau menjadi madrasah mendorong proses pewarisan tradisi kitab kuning lebih rapi dan teratur di Minangkabau. MTI Candung dan MTI Pasir merupakan Madrasah Perti yang masih eksis sampai sekarang dan dipandang kuat dalam memelihara pewarisan tradisi kitab kuning. Kitab-kitab yang pelajari pada masing-masing madrasah dapat diklasifikasikan kepada kitab ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah, manthiq dan ‘arudh), tauhid, fiqh dan ushul fiqh, tasauf, akhlak, sejarah Islam (tārīkh), tafsir dan ilmu tafsir, serta hadits dan ilmu hadits. Di samping itu, perubahan surau menjadi madrasah diiringi pula oleh perubahan sikap UlamaPerti yang lebih terbuka, toleran dan bersimpati terhadap persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan. Mereka sepakat untuk mengusung tujuan pendidikan yang mengedepankan persamaan laki-laki dan perempuan, yaitu mendidik putra dan putrid kepada jalan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sikap Ulama Perti yang lebih toleran dan bersimpati terhadap persamaan laki-laki dan perempuan merupakan awal pembentukan peranan perempuan dalam melakukan interaksi dan sosialisasi dengan tradisi kitab kuning. Lunah dan Rahmah adalah dua perempuan yang berasal dari Luhak Agam yang mendaftarkan diri

110

pertama kali bersama dengan 249 murid baru di MTI Candung pada tahun 1929. Jumlah mereka yang melakukan interaksi dengan Madrasah Perti terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1945, MTI Candung telah menerima murid perempuan sebanyak 290 orang yang berasal dari berbagai daerah di pulau Sumatera. MTI Pasir telah menerima pula murid-murid perempuan sejak tahun 1937. Meskipun jumlah murid yang mendaftarkan diri di madrasah ini belum sebanyak murid baru MTI Candung, namun sudah ditemukan beberapa orang perempuan yang berhasil menamatkan pendidikannya pasca kemerdekaan (1947), yaitu Rosni, Adillah, Aisyah dan Hasanah. Perkembangan murid-murid perempuan di MTI Candung dan MTI Pasir terus bertambah setelah masa kemerdekan yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau, Aceh, Jambi, Bengkulu, Riau dan pulau Jawa. Interaksi perempuan dengan Madrasah Perti merupakan momentum untuk melakukan adaptasi untuk mengenal dan menyesuaikan diri dengan lingkungan madrasah dan struktur keilmuan Islam tradisional. Interaksi di samping medium adaptasi adalah ruang sosialisasi yang memiliki peran penting untuk mengenal norma-norma dan pola-pola pewarisan tradisi kitab kuning. Karena itu sosialisasi merupakan proses belajar bagi murid-murid perempuan, baik sebagai individu maupun kelompok untuk mengenal tradisi kitab kuning dan mengembangkan kemampuan intelektual yang mulai dilakukan sejak mereka memasuki dunia madrasah tradisional. Selama tujuh tahun proses itu mereka tempuh untuk memperoleh besaran modal intelektual sebagai syarat utama dapat diterima dengan baik dalam arena pewarisan tradisi kitab kuning dan kehidupan sosial di Madrasah- Madrasah Perti. Interaksi perempuan dengan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti selain momentum adaptasi dan sosialisasi merupakan ruang yang menyediakan berlangsungnya proses internalisasi yang secara sederhana dapat dipahami sebagai penerimaan terhadap sosialisasi. Internalisasi merupakan proses penanaman nilai- nilai yang bersifat aktif sehingga murid-murid memiliki kemampuan untuk melakukan interpretasi (pemahaman) terhadap pengetahuan yang dipelajarinya. Produk internalisasi adalah tumbuhnya kesadaran yangdigunakanoleh perempuan untuk melihat, menilai dan menghadapi tradisi pewarisan kitab kuning di Madrasah Perti yang penuh dengan skema-skema dan pola-pola tertentu. Ketika itu perempuan sudah memiliki intellectual capital memasuki arena (field) kontestasi pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti. Besaran modal intelektual yang dimiliki oleh perempuan mendorong pimpinan Madrasah-Madrasah Perti untuk mengkader mereka sebagai guru kitab kuning pasca kemerdekaan. Posisi ini merefleksikan bahwa perempuan dengan intellectual capital yang dimilikinya ikut mereproduksi peranan dalam sejarah keilmuan Madrasah Perti pasca kemerdekaan. Peranan perempuan semakin besar seiring dengan legitimasi yang diberikan oleh Madrasah Perti untuk mengajarkan

111

berbagai jenis kitab kuning, seperti ilmu alat, fiqh dan ushul fiqh, tauhid, tasauf dan lain sebagainya. Setelah menempati posisi sebagai guru, perempuan mengembangkan (reproduksi) peranan baru berupa pemimpin halaqah kitab kuning yang dilaksanakan di rumah mereka masing-masing. Mereka memiliki peranan pula dalam mengembangkan Human Resources dan memelihara paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah.

B. Saran-Saran Pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya dalam penelitian ini merefleksikan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius para peneliti dan elemen-elemen di Madrasah Perti. 1. Peranan Perempuan Dalam Sejarah Keilmuan Madrasah Perti di Minangkabau Pasca Kemerdekaan yang menjadi tema penelitian ini baru mampu menyentuh bagian kecil dari tradisi keilmuan Islam tradisional. Diskursus-diskursus di seputar pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau masih banyak yang perlu dikaji oleh peneliti-peneliti berikutnya, seperti Ulama Perti dan Wacana Pemikiran Islam Tradisional, Teks dan Konteks Pemikiran Ulama Perti, Wacana Pemikiran Islam Dalam Kitab Kuning dan Gender di Madrasah Perti. Semua itu bisa dikaji melalui pendekatan sejarah, feminisme, gender, sosiologi dan antroplogi. 2. Pewarisan tradisi kitab kuning melalui metode halaqah di rumah-rumah mesti dikembangkan lagi oleh guru-guru, baik laki-laki maupun perempuan yang mengajarkan di Madrasah Perti karena tingginya animo murid-murid yang ingin mempelajari kitab kuning. Keterbatasan jam-jam pengajaran tradisi kitab kuning di Madrasah Perti karena mengikuti kurikulum Madrasah Negeri hendaknya dijadikan pertimbangan oleh guru-guru untuk mengembangkan metode halaqah sehingga tahun demi tahun murid-murid memiliki pilihan yang banyak untuk mendalami keilmuan Islam tradisional.

112