(Field) Pewarisan Tradisi Kitab Kuning Di Minangkabau Adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Yang Biasa Disebut Dengan Madrasah Perti
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu arena (field) pewarisan tradisi kitab kuning di Minangkabau adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang biasa disebut dengan Madrasah Perti. Lembaga pendidikan Islam ini lahir pertama kali pada permulaan abad ke-20 dan memiliki konstribusi besar dalam mentransmisikan pengetahuan agama dan menyiapkan kebutuhan sumber daya manusia (Human Resources) di Indonesia. Madrasah Perti sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional telah memperoleh legitimasi dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyebut bahwa madrasah dan pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan keagamaan di Indonesia yang memiliki fungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) didukung pula oleh Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang menjelaskan bahwa madrasah dan pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan (diniyah) atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.2 Madrasah Perti memiliki fungsi yang sama dengan pendidikan keagamaan yang dijelaskan oleh peraturan perundang-undangan dan membangun tradisi keilmuan berdasarkan prinsip Tafaqquh fī al-Dīn yang dalam istilah modern disebut dengan keahlian di bidang keagamaan.3 Prinsip itu secara normatif 1Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 30, Ayat 1-4. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang pada tahun-tahun sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. 2Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1, Ayat 4 3Tafaqquh merupakan istilah bahasa Arab yang berasal dari kata tafaqqaha, yatafaqqahu, tafaqquhan. Penggunaan kata tafaqquh dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 digabungkan dengan istilah fī al-dīn sehingga membentuk konsep tafaqquh fī al-dīn. Dari istilah tafaqquh ini berasal kata fiqh yang berarti pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Karena al-Qur’an menggabungkan istilah fiqh dengan fī al-dīn, kata fiqh mengalami perluasan makna sehingga kosa kata tersebut mengandung arti pengetahuan tentang ilmu agama disebabkan kemuliaan, keagungan dan keutamaan-Nya. Fiqh juga memiliki arti orang-orang yang mengerti dan memahami ajaran agama. Karena itu, konsep tafaqquh fī al-dīn memiliki makna yang lebih luas, yaitu orang-orang mengerti dan memahami secara mendalam ajaran agama Islam. Mereka itu adalah para ulama yang hidup di sepanjang perjalanan sejarah umat Islam. Jamaluddin Muhammad Ibnu al-Manzhur, Lisān al- ‘Arab, (Beirut: Dār al-Ṣādir, t.t.,), hal. 552 1 dikonstruksi dari nilai-nilai dan semangat ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pentingnya umat Islam untuk mempelajari, memahami dan mendalami ajaran agama. Pada surat al-Taubah/09, ayat 122 disebutkan bahwa tidak sepatutnya semua orang yang beriman pergi ke medan perang. Sebagian mereka hendaklah pergi untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya. Prinsip Tafaqquh fî al-Dîn merupakan pondasi utama pembentukan tradisi keilmuan Islam tradisional di Minangkabau yang berlangsung semenjak permulaan abad ke-20. Pencapaiannya dilakukan dengan pengenalan dan pewarisan kitab-kitab klasik karya ulama Timur Tengah yang biasa disebut dengan kitab kuning di dunia Melayu. Pertumbuhan tradisi ini memiliki relasi dengan realitas sejarah Islamisasi Minangkabau yang semakin menguat pada pertengahan abad ke-17, terutama setelah Syeikh Burhanuddin mendirikan Surau Ulakan di daerah Pariaman. Sebelumnya ia pernah mempelajari agama Islam sekitar 10 tahun kepada Syeikh Abdurrauf Singkili di Aceh.4 Usaha Syeikh Burhanuddin memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial keagamaan di Minangkabau. Surau Ulakan ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang mau mempelajari agama Islam. Murid-murid Syeikh Burhanudddin yang pada masa berikutnya mendirikan surau-surau sebagai pusat pengajaran tradisi kitab kuning dan pengembangan agama Islam di daerah darek, Minangkabau. Pewarisan kitab kuning terus berkesinambungan sampai abad ke-20 yang melahirkan surau-surau baru sebagai lembaga pendidikan Islam. Surau Tuanku Nan Tuo, Surau Koto Gadang, Surau Abdurahman Batu Hampar, Surau Sumanik, Surau Talang, Surau Candung dan Surau Parabek merupakan di antara Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau yang menjadi pusat pengajaran tradisi keilmuan kitab kuning.5 Masing-masing surau di Minangkabau mempunyai distingsi keilmuan yang berbeda-beda sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh guru yang memimpin halaqah.6 Surau Tuanku Nan Tuo Luhak Agam memilih distingsi keilmuan dalam 4Syeikh Abdurrauf Singkili merupakan ulama yang berasal dari daerah Singkel, Aceh, yang memiliki peranan besar dalam proses Islamisasi Nusantara. Ia lahir pada tahun 1024 H/1615 M yang bersamaan dengan terjadi perbedaan paham keagamaan di Aceh antara pendukung paham wujudiyah dan pengikut al-Raniri. Syeikh Abdurrauf Singkili pernah belajar agama di Arab Saudi selama 18 tahun sebelum menjadi mufthi kesultanan Aceh 1071 H/1661 M. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hal. 189-190. Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid I, hal. 5-6 5Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1988), hal. 146-147 6Halaqah merupakan metode pengajaran yang pernah berkembang dalam tradisi keilmuan Islam. Metode ini berpusat pada seorang kyai yang membacakan kitab dalam waktu tertentu dan murid-murid duduk melingkar untuk mendengarkannya. Aplikasi metode halaqah sama dengan proses belajar mengaji bersama (kolektif). Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: 2 bidang tafsir. Surau Kota Gadang sangat kuat dengan distingsi ilmu mantīq dan mā’ani. Surau Sumanik terkenal dalam bidang tafsir dan faraiḍ. Surau Kamang mengembangkan distingsi ilmu bahasa Arab. Sementara Surau Talang dan Surau Selayo yang keduanya terdapat di daerah Kabupaten Solok sangat populer dengan distingsi ilmu nahwu dan sharaf.7 Surau-surau itu memiliki kedudukan dan peranan penting sebagai pusat pewarisan tradisi kitab kuning dan pengembangan ajaran Islam di Minangkabau hingga permulaan abad ke-20. Lebih kurang selama tiga abad proses pewarisan tradisi kitab kuning di surau-surau Minangkabau sangat tergantung kepada sosok seorang guru yang memiliki otoritas pengetahuan keagamaan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan panggilan buya, tuanku dan syeikh. Panggilan guru itu secara simbolik merepresentasikan bahwa realitas sosial keagamaan yang terbangun di lembaga pendidikan surau merupakan milik laki-laki, baik sebagai murid maupun guru yang memimpin pewarisan tradisi kitab kuning. Sedangkan realitas perempuan belum memperoleh tempat dalam perjalanan panjang kehidupan surau-surau di Minangkabau. Kondisi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh pembentukan surau- surau yang secara kultural adalah pendamping rumah gadang yang disediakan khusus untuk anak laki-laki. Setelah mengalami pengembangan fungsi dengan kedatangan Islam, dominasi laki-laki dalam institusi pendidikan surau masih mengendap dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau.8 Interaksi perempuan dengan pewarisan tradisi kitab kuning mulai tumbuh semenjak permulaan abad ke-20 bersamaan dengan modernisasi surau menjadi madrasah di Minangkabau. Surau pertama yang mengalami modernisasi di kalangan ulama Perti adalah Surau Baru Candung yang dipimpin oleh Syaikh Sulaiman al- Rasuli.9 Perubahan surau itu menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 26 7Azyumardi Azra, Surau, op. cit., hal. 146-147 8Surau di Minangkabau adalah tempat tinggal laki-laki yang disediakan sebagai pendamping rumah gadang. Anak laki-laki Minangkabau sejak masa baligh harus tidur di surau kaum yang disediakan secara kultural. Anak laki-laki tidak disediakan kamar tidur di rumah gadang sebagaimana hal anak perempuan. Itulah sebabnya ketika Islam mempengaruhi kehidupan surau, anak laki-laki yang terlebih dahulu mendapat manfaatnya. Amir, M.S, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1999), hal. 22 9Syeikh Sulaiman al-Rasuli merupakan pendiri Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung Kabupaten Agam. Ia adalah sosok ulama intelektual yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat Minangkabau. Ulama pemimpin kaum tua ini lahir dari dari pasangan Angku Mudo Muhammad Rasul dan Siti Buli’ah pada tanggal 10 Desember 1871 M (1297 H) di desa Surungan Pakan Kamih Candung Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam, yaitu daerah yang terletak sekitar 10 km sebelah Timur Kota Bukittinggi. Yulizal Yunus, dkk, Beberapa Ulama di Sumatera Barat (Padang: UPTD Museum Adityawarman Sumatera Barat, 2008), hal. 142 3 pada tahun 1928 diikuti pula oleh surau-surau yang lain di Minangkabau. Syeikh Sulaiman al-Rasuli mengajak pula para ulama yang sepaham dengan dirinya untuk melakukan perubahan lembaga pendidikan tradisional surau menjadi