LAPORAN PENELITIAN (Kegiatan Penelitian Mandiri)

IDENTIFIKASI ARSITEKTUR PURA DANG KAHYANGAN GUNUNG LINGGA DI DESA PAKRAMAN GUNAKSA, DESA GUNAKSA, KECAMATAN DAWAN, KABUPATEN KLUNGKUNG

Tim Peneliti : 1. Ir. I Nengah Lanus, MT (Ketua) NIP. 195708181986031003 2. I Nyoman Susanta, ST., MErg (Anggota) NIP. 196909231995031002 3. Ni Made Swanendri, ST., MT (Anggota) NIP. 197304212000032001

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA NOPEMBER 2016 HALAMAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN JURUSAN ARSITEKTUR TAHUN 2016 Judul Penelitian : Identifikasi Arsitektur Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga Di Desa Pakraman Gunaksa, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung

Ketua Tim Peneliti : a. Nama Lengkap : Ir. I Nengah Lanus, MT b. NIDN / NIP : 0018085703 / 195708181986031003 c. Jabatan Fungsional : Lektor d. Nomor HP / email : (+62) 8123956956 / [email protected] Anggota Tim Peneliti (1): a. Nama Lengkap : I Nyoman Susanta, ST., MErg b. NIDN / NIP : 0023096902 / 196909231995031002 c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli d. Nomor HP / email : (+62) 8123978858 / [email protected] [email protected] Anggota Tim Peneliti (2) : a. Nama Lengkap : Ni Made Swanendri, ST., MT b. NIDN / NIP : 0021047303 / 197304212000032001 c. Jabatan Fungsional : Lektor d. Nomor HP / email : (+62) 8123964025 / [email protected] Jangka Waktu Kegiatan : 4 bulan Tempat Kegiatan : Di Desa Pakraman Gunaksa, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung Biaya : Rp.10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah)

Bukit Jimbaran, 14 Nopember 2016

Menyetujui, Ketua Jurusan Arsitektur FT-UNUD Ketua Tim Pelaksana

Anak Agung Ayu Oka Saraswati Ir. I Nengah Lanus, MT NIP. 19610415198702 2 00 1 NIP. 195708181986031003

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...... i HALAMAN PENGESAHAN ...... ii DAFTAR ISI ...... iii PRAKATA ...... iv

RINGKASAN ...... 1

BAB I. PENDAHULUAN ...... 2 1.1. Latar Belakang...... 2 1.2. Tinjauan Khusus ...... 3 1.3. Urgensi ...... 3 1.4. Potensi Hasil/Luaran ...... 3

BAB II. STUDI PUSTAKA...... 4 2.1. Arsitektur Tradisional Bali ...... 4 2.2. Pola Tata Ruang Tradisional Bali...... 6 2.3. Konsep Arsitektur Tradisional Bali ...... 7 2.4. Pengertian, Konsep dan Struktur Pura...... 12 2.5. Bentuk, Bahan dan Ornamen Arsitektur Tradisional Bali...... 14

BAB III. METODE PENELITIAN ...... 16 3.1. Lokasi Penelitian ...... 16 3.2. Rancangan Penelitian ...... 16 3.3. Prosedur Penelitian ...... 17 3.4. Jenis dan Sumber Data ...... 17 3.5. Teknik Analisis Data ...... 18

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 19 4.1. Identifikasi Arsitektur (Ruang, Bentuk, Struktur) Pura Gunung Lingga ...... 19 4.2. Konsep Arsitektur Pura Gunung Lingga ...... 30 4.3. Peranan Pura Gunung Lingga ...... 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...... 35 5.1 Kesimpulan ...... 35 5.2 Saran ...... 35

Daftar Pustaka ...... 36

iii

PRAKATA

Puji syukur dihaturkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi atas karunia yang dilimpahkan sehingga laporan akhir penelitian ini dengan judul “Identifikasi Arsitektur Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga Di Desa Pakraman Gunaksa, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung " dapat diselesaikan. Penelitian ini dibuat dalam rangka pengamalan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, dimana dosen berkewajiban mengadakan penelitian selain pengabdian pada masyarakat dan mengajar. Selama penyusunan ini telah banyak mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dihaturkan banyak terima kasih kepada yang terhormat: 1. Perbekel Desa Gunaksa sebagai lembaga kedinasan yang mewilayahi Desa Pakraman Asak, yang memberikan ijin dan pengantar. 2. Kliang Desa Pakraman Gunaksa yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk dapat meneliti di wilayah tersebut dan sebagai salah satu sumber informasi desa. 3. Pemangku, Kliang dan Prajuru pengempon Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga sebagai nara sumber yang telah memberikan informasi tentang fungsi-fungsi bangunan yang terdapat di area pura. 4. Masyarakat Desa Pakraman Gunaksa dan krama pengempon pura yang telah menjadi responden, memberikan ijin untuk mengobservasi pura dan memberikan informasi- informasi. 5. Pimpinan Lembaga dan jajarannya di lingkungan Universitas Udayana antara lain ; Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Lembaga LPPPM yang telah memberikan dukungan dan kesempatan untuk melakukan penelitian ini. 6. Serta semua pihak yang turut setra berkontribusi pada penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikian laporan akhir penelitian ini dibuat semoga mendapatkan masukan dari berbagai pihak dan dapat bermanfaat sebagai mana mestinya.

Denpasar, 14 Nopember 2016 Ketua Peneliti

Ir. I Nengah Lanus, MT

iv

RINGKASAN

Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga terletak di sebuah perbukitan Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Pura ini sebagai salah satu pura Dang Kahyangan yang diempon oleh desa pakraman setempat, merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Shiwa. Keindahan dan situasi alam membuat pura memilki suasana yang ideal untuk melakukan aktivitas persembahyangan. Palinggih dan bangunan-bangunan yang ada ditata sedemikian rupa sehingga mendukung kelancaran dan prosesi aktivitas ritual. Untuk dapat mempertahankan kondisi yang demikian maka diperlukan suatu pemahaman tentang arsitektur, konsep dan peranan pura, agar dapat menumbuhkan rasa, kesadaran serta menguatkan keyakinanan krama, pengempon pura dan para pemedek. Kesadaran bahwa pura tersebut merupakan suatu anugrah dan warisan yang tak ternilai sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan. Sebaliknya kelalaian dan kurangnya pemahaman krama dan pengempon tentang peranan keberadaan pura dapat mengurangi perhatian dalam melestarikan warisan, serta berpotensi hilangya konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur pura tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan untuk pelesatarian warisan pura tersebut adalah dengan mengidentifikasi arsitekturnya, menemukan dan memaknai konsep pura serta mengidentifikasi peranan pura dalam konteksnya dengan lingkungan wilayah. Untuk hal tersebut maka dibutuhkan pendataan ruang, bentuk, struktur pura, konsep-konsep dan fungsi serta peranan pura. Data-data dikompilasi dan dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga terletak di sebuah perbukitan Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga sebagai salah satu pura dang kahyangan yang diempon oleh desa pakraman setempat, merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Shiwa (purana Gunung Lingga, 2016). Lokasi keberadaan pura di suatu bukit di hulu desa, dari area pura yang merupakan puncak bukit dapat melihat laut dan gunung. Keindahan dan situasi alam membuat pura memilki suasana yang ideal untuk melakukan aktivitas persembahyangan. Palinggih dan bangunan-bangunan yang ada ditata sedemikian rupa sehingga mendukung kelancaran dan prosesi aktivitas ritual. Untuk dapat mempertahankan kondisi demikian maka diperlukan suatu pemahaman tentang arsitektur, konsep dan peranan pura, agar dapat menumbuhkan rasa, kesadaran serta menguatkan keyakinanan krama, pengempon pura dan para pemedek. Kesadaran bahwa pura tersebut merupakan suatu anugrah dan warisan yang tak ternilai sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan. Sebaliknya kelalaian dan kurangnya pemahaman krama dan pengempon tentang peranan keberadaan pura dapat mengurangi perhatian dalam melestarikan warisan, serta berpotensi hilangya konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur pura tersebut.

Salah satu langkah yang dilakukan untuk pelesatarian warisan pura tersebut adalah dengan mengidentifikasi arsitekturnya, menemukan dan memaknai konsep pura serta mengidentifikasi peranan pura dalam konteksnya dengan lingkungan wilayah. Untuk hal tersebut maka dibutuhkan pendataan ruang, bentuk, struktur pura, konsep-konsep dan fungsi serta peranan pura. Data-data dikompilasi dan dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

Hasil identifikasi model ini, dapat menjadi data awal dalam upaya pelestarian arsitektur lokal. Dapat pula menjadi masukan dalam proses menemukan solusi-solusi permasalahan yang terkait dengan pelestarian arsitektur dan kosep-konsep pura.

2

1.2 Tinjauan Khusus

Secara eksplisit penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal berikut :

1. Mengidentifikasi arsitektur (Ruang, bentuk, struktur) Pura Gunung Lingga 2. Menggali konsep arsitektur Pura Gunung Lingga 3. Mengidentifikasi peranan Pura Gunung Lingga

1.3 Urgensi

Pengempon pura telah menyusun purana pura yang terdiri dari lima bagian yaitu : (1) Latar belakang dan sejarah pura; (2) Perjalanan Dang Hyang Nirarta dari Jawa ke Bali; (3) Perjalanan Dang Hyanag Nirarta melakukan tirta yatra dan beryoga semadi di Pura Gunung Lingga; (4) Palinggih-palinggih yang terdapat pada pura Gunung Lingga; (5) Upacara saat piodalan. Identifikasi arsitektur dan peranan pura yang dilakukan dapat melengkapi purana pura yang telah ada. Dapat pula sebagai tambahan informasi dan pengetahuan yang diperlukan baik oleh pengempon pura maupun masyarakat umum.

1.4. Potensi Hasil / Luaran

Hasil penelitian ini dapat berkontribusi sebagai suatu informasi dan dokumen bagi pengempon dan warga Desa Pakraman Gunaksa. Untuk pemerintahan khusunya yang terkait pembangunan keagamaan dan budaya, hasil penelitian dapat menjadi input dan setrategi kebijakan di dalam menata pembangunan di wilayahnya.

Hasil penelitian ini juga menjadi input bagi penyusunan database pura-pura di Jurusan Arsitektur, FT-UNUD. Pihak internal UNUD dapat mengakses data ini dengan relatif lebih lengkap.

Luaran penelitian berpeluang menjadi makalah dalam jurnal nasional terakreditasi mengingat kontribusinya yang bersifat cukup fundamental bagi perkembangan keagamaan umat Hindu dan budaya di Bali.

Selain itu, luaran penelitian berkontribusi dalam diseminasi seminar nasional yang akan diadakan oleh pihak Jurusan Arsitektur, FT-UNUD.

3

BAB II. STUDI PUSTAKA

2.1. Arsitektur Tradisional Bali Sebagai pemahaman awal dan penyamaan peresepsi maka akan dikemukakan terlebih dahulu tentang pengertian antara arsitektur tradisional Bali dengan arsitektur Bali. Kedua- duanya telah tumbuh dan berkembang mengisi sejarah, ruang dan waktu dari masa ke masa sebagai wujud arsitektur Bali. Menurut I Nyoman Gelebet 1982, arsitektur tradisional Bali merupakan arsitektur yang ditumbuhkembangkan dari generasi kegenerasi berikutnya dan dibuat dengan aturan-aturan tradisional Bali baik tertulis maupun lisan serta dapat diterima oleh masyarakat Bali secara berkelanjutan karena dianggap baik dan benar. Arsitektur Bali adalah arsitektur yang tumbuh, berkembang dan dipertahankan di Bali, dapat terdiri dari : 1. Arsitektur warisan (kuno), 2. Arsitektur Tradisional Bali 3. Arsitektur non tradisional yang bergaya arsitektur tradisional Bali Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional Bali merupakan salah satu dari arsitektur Bali, serta merupakan cikal bakal serta induk yang menginspirasi arsitektur lainnya yang ada di Bali. Arsitektur tradisonal Bali dijiwai dan dilandasi oleh ajaran Agama Hindu. Penjiwaan ini tercermin : 1. Dalam proses pembangunan tradisional,  Upacara keagamaan (sarana, mantera, rajah)  Penentuan dimensi dan jarak (dewa-dewa Hindu)  Penentuan hari baik/dewasa ayu (Jyotisa) 2. Dalam tata ruang dan tata letak bangunan serta  Pola tri mandala dan sanga mandala (konsep Tri Loka dan dewata nawa sanga)  Pola Natah (perpaduan akasa dan pretiwi)  Orientasi hulu - teben 3. Dalam wujud bangunan  Nama-nama ukuran yang dipilih (bhatara asih, prabu anyakra negara, sanga padu laksmi);  Simbol dan corak ragam hias (Acintya, Kala, Boma, garuda-wisnu, angsa, dll)

4

Arsitektur tradisional Bali sebagai perwujudan ruang secara turun temurun dapat meneruskan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat sesuai dengan pandangan dan idealismenya. Karya arsitektur tradisonal Bali mencerminkan aktivitas pemiliknya, dengan demikian maka modul ruang dan bentuk yang diambil dari ukuran tubuh manusia dan aktivitas pemiliknya. Di dalam arsitektur tradisonal Bali terkandung unsur-unsur : Peraturan tradisonal baik yang tertulis maupun lisan, ahli bangunan tradisional seperti undagi, sangging, tukang, pelukis serta sulinggih/pendeta. Ini mencerminkan kompleksitas rancangan arsitektur, kedalaman dan totalitas integrative. Terdapat tiga klasifikasi fungsi bangunan dalam arsitektur tradisional Bali yaitu : 1. Fungsi peribadatan pada dasarnya berfungsi sebagai tempat pemujaan dan berbakti kepada Tuhan dan leluhur dalam rangka menguatkan dan memberdayakan hidup ini agar manusia dalam hidup ini menjadi lebih baik dan lebih berguana. Tempat pemujaan ini terdiri dari :  Pura Kawitan dan Sanggah sebagai media mengembangkan kerukunan dalam keluarga  Pura Kahyangan Desa sebagai media untuk mengembangkan kerukunan dalam stau territorial desa.  Pura Swagina sebagai media untuk mengembangkan kerukunan profesi  Pura Kahyangan Jagat sebagai media untuk mengembangnkan kerukunan regional dan universal. 2. Fungsi perumahan sebagai bangunan yang berfungsi untuk tempat hunian dengan segala aktivitas dan interaksinya agar manusia dapat mengembangkan potensi dan profesinya secara profesional dan optimal secara serasi, selaras dan seimbang. Hunian ini terdiri dari :  Griya sebagai wadah hunian untuk profesi rohaniawan/sulinggih/pendeta  Puri sebagai wadah hunian untuk pemimpin/penguasa pemerintahan  Jero sebagai wadah hunian untuk pembantu/pejabat pemerintahan  Umah sebagai wadah hunian untuk masyarakat umum seperti penggerak pertanian dan perdagangan. 3. Fungsi sosial sebagai bangunan yang berfungsi untuk melakukan aktivitas secara berkelompok/bersama dalam suatu territorial tertentu baik di tingkat lingkungan

5

maupun desa. Bangunan ini akan lebih berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial budaya bagi anggota masyarakat, jenisnya antara lain sebagai berikut :  Bale desa berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat teritorial desa.  Bale banjar berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat lingkungan banjar.  Bale teruna-teruni sebagai wadah aktivitas, kreativitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan pembinaan generasi muda.  Bale subak sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahtraan dibidang pertanian.  Pasar sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan ekonomi kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kesejahtraan desa.  Beji sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan sanitasi desa.  Bale bendega difungsikan oleh nelayan  Bale sekee/perkumpulan profesi non formal  Dan lain-lain

2.2 Pola Tata Ruang Tradisional Bali Tata ruang tradisional Bali menyangkut berbagai wujud ruang luar yang diungkapkan dalam suatu wilayah (palemahan) baik antar wilayah dengan wilayah serta antara bangunan dengan wilayah/ruang terbuka. Fokusnya menguraikan ruang-ruang dengan radius-radius tertentu dalam hubungannya dengan keberadaan pura/tempat pemujaaan, ruang terbuka, maupun pola pemanfaatan dalam hubungannya dengan pengembangan desa dan wilayah untuk tujuan-tujuan tertentu seperti kepariwisataan, perekonomian, pemerintahan, pertanian, penyangga, kawasan konservasi dan lain sebagainya. Penataan pola ruang arsitektur Bali dilandasi oleh konsep-konsep dan kaidah tradisional seperti orientasi, tingggi rendah suatu tempat, dan hirarki tata nilai ruang. Orientasi kearah gunung (kaja) memiliki nilai utama, daerah dataran (tengah) memiliki nilai madya, kearah laut (kelod) memiliki, nilai nista. Secara hirarkis membentuk segmen : utama, madya,

6 nista. Kombinasi susunan segmen utama, madya, nista pada arah utara-selatan (kaja-kelod) dengan arah timur-barat (kangin-kauh) akan membentuk sembilan segmen yang disebut Sanga Mandala. Pola perletakannya mempertimbangkan daerah ruang terbuka/palemahan, sehingga diperlukan jarak-jarak bangunan terhadap lingkungan sekitar. Jarak ini menggunakan modul dari ukuran antropometri manusia dari ajengkal, amusti, atapak, adepa, apenimpugan apeneleng alit sampai apeneleng agung. Implementasi tata ruang akan memperhitungkan secara cermat ruang-ruang luar sebagai ruang antara bangunan satu dengan bangunan lainnya, terutama bangunan suci yang sakral seperti : Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, Pura Swagina dan sebagainya.

2.3. Konsep Arstektur Tradisional Bali

Konsep Arsitektur Tradisional Bali dijiwai oleh Agama Hindu dan dilandasi oleh beberapa filosofis. Makna menjadi landasan filosofis untuk menciptakan sebuah bentuk. Dalam Arsitektur Tradisional Bali terdapat empat landasan yang mendasari suatu konsep yaitu : (1) Landasan keagamaan : pustaka suci Agama Hindu, penjiwaan agama dalam arsitektur tradisional Bali, hubungan arsitektur tradisional Bali dengan tujuan hidup orang Bali, hubunngan arsitektur tradisional Bali dengan perkembangan Agama Hindu ; (2) Landasan filosofis : filsafat manik ring cecupu, filsafat Tri Hita Karana, filsafat Undagi, filsafat bahan bangunan ; (3) Landasan etik : menjaga dasar-dasar hubungan manusia-arsitektur- alam, landasan berpikir dan bersikap dalam proses pembangunan tradisional ; (4) Landasan ritual : penggunaan unsur-unsur ritual dalam ATB, menyesuaikan Jenis dan Makna Ritual dalam ATB, memilih pedewasan dalam proses pembangunan secara tradisional Bali.

Penjiwaan Agama Hindu yang dijabarkan dalam filsafat-filsafat untuk ditransformasikan ke dalam konsep. Terdapat beberapa konsep dalam Arsitektur Tradisional Bali, yaitu : (1) Konsep keseimbangan kosmos ; (2) Konsep Rwabhineda ; (3) Konsep Tribhuana-Triangga ; (4) Konsep keserasian dengan lingkungan ; (5) Dan lain-lain. Konsep ini menjadi dasar dan pedoman dalam perencanaan dan perancangan Arsitektur Tradisional Bali, di tataran wilayah Bali, tataran lingkungan teritoral desa, di lingkungan rumah tinggal maupun pada unit-unit bangunan.

7

2.3.1. Konsep Keseimbangan Kosmos

Konsep keseimbangan kosmos merupakan suatu konsep yang didasarkan atas kondisi geografi alam Bali dengan dua sumbunya yaitu sumbu kosmos dan sumbu ritual/prosesi. Sumbu kosmos berupa gunung yang terletak di tengah-tengah Pulau Bali, sehingga membentuk sumbu dengan dua arah yaitu menuju=ka, gunung=ja dan menuju=ka, laut=lod, dengan demikian akan terbentuk arah kaja-kalod. Orientasi kearah gunung (kaja) memiliki nilai utama, daerah dataran (tengah) memiliki nilai madya, kearah laut (kalod) memiliki nilai nista. Secara hirarkis membentuk segmen : utama, madya, nista. Sumbu ritual/prosesi terbit-terbenam matahari yang berulang yaitu: endag (terbit) surya di Timur - tajeg (tengah hari) surya di tengah - engseb (terbenam) surya di Barat, sehingga terbentuk arah Timur (kangin)-Barat (kauh). Orientasi kearah Timur (kangin) memiliki nilai utama, bagian tengah bernilai madya dan kearah Barat (kauh) memiliki nilai nista. Secara hirarkis membentuk segmen : utama, madya, nista. Kombinasi susunan segmen utama, madya, nista pada arah utara-selatan (kaja-kalod) dengan arah timur-barat (kangin-kauh), memmbetuk pola papan catur yang terdiri dari sembilan petak. Eksistensi ini mendasari dan membentuk konsepsi keseimbngan kosmos Bali yang dapat dibedakan menjadi dua bagian dasar yaitu: (a) Keseimbangan vertical: alam dewa, alam manusia dan alam butha; (b) Keseimbangan horizontal: catur lokapala, sad winayaka dan dewata nawa sanga. Konsep keseimbangan alam dewa, alam manusia dan alam butha, didasarkan atas filosofi Tri Hita Karana melalui penciptaan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dangan Tuhan, antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Sikap manusia berbakti kepada Tuhan diwujudkan dengan bagaimana manusia berprilaku baik

Gambar 1. Konsep keseimbangan tiga alam: dewa-manusia-butha Sumber : Modifikasi penulis 2016 dari Putra kepada sesama dan menghormati seluruh ciptaan Tuhan melalui sikap kasih dan menjaga lingkungan. Transformasi ini menyebabkan setiap Arsitektur Tradisional Bali memiliki ruang dan bagian yang merupakan manifestasi dari konsep tersebut.

8

Konsep catur lokapala: merupakan konsep dengan membentuk empat titik penyeimbang alam dengan pendirian pura di keempat penjuru Bali yang posisinya di gunung. Keempat pura itu adalah: (a) Pura Lempuyang Luhur, arah Timur, di Kabupaten Karangasem; (b) Pura Andakasa, arah Selatan, di Kabupaten Karangasem; (c) Pura Batukaru, arah Barat, di Kabupaten Tabanan ; (d) Pura Pucak Mangu, arah Utara, di Kabupaten Badung (Budaarsa, dkk. 2012 : 5). Konsep ini dapat diterapkan pada tataran regional, wilayah lingkungan, desa dan rumah tinggal. Sumbu kosmis Kaja-Pelod dan Kangin-Kauh merupakan arah utama yang yang membentuk persilangan yang disebut dengan konsep catuspatha, dan perputarannya akibat fungsi dapat menjadi konsep swastika sana dapat diaplikasikan pada sebidang tapak.

Gambar 2. Konsep catur lokapala Sumber : Modifikasi penulis 2016 dari Putra dan Budaarsa

Konsep Sad Winayaka: merupakan konsep dengan membentuk enam titik penyeimbang alam dengan pendirian pura dienam tempat Bali yang posisinya pada komponen-komponen alam yang dimuliakan. Keenam pura itu adalah : (1) Pura Besakih di Kabupaten

Gambar 3. Konsep sad winayaka Sumber : Putra, 2009

Karangasem; (2) Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem ; (3) di Kabupaten Klungkung ; (4) Pura Uluwatu di Kabupaten Badung ; (5) di Kabupaten Tabanan ; (6) Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat di Pejeng) di Kabupaten Gianyar (Budaarsa, dkk. 2012 : 5).

9

Konsepsi Dewata Nawa Sanga /Konsepsi Padma Bhuana: merupakan konsep dengan membentuk Sembilan titik penyeimbang alam dengan pendirian pura disembilan penjuru Bali, sebagai simbul bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Tidak ada bagian dari alam semesta ini atau Bali, tanpa kehadiran Tuhan. Pura yang termasuk dalam posisi Padma Bhuana yaitu : (1) Pura Lempuyang Luhur sebagai arah Timur ; (2) Pura goa Lawah arah Tenggara ; (3) Pura Andakasa arah Selatan ; (4) Pura Uluwatu arah Barat Daya ; (5) Pura Batukaru arah Barat ; (6) Pura Pucak Mangu arah Barat Laut ; (7) Pura Batur sebagai arah Utara ; (8) Pura Besakih arah Timur Laut ; (9) Pura Puser Tasik/Jagat sebagai arah Tengah (Budaastra, dkk. 2013). Konsep ini dapat diterapkan juga pada perancangan rumah tinggal maupun puri dengan penyesuaian kebutuhan dan situasi setempat.

Gambar 4. Konsep Dewata Nawa Sanga Sumber : Modifikasi 2016 dari Putra

2.3.2. Konsep Rwabhineda Konsepsi Rwabhineda merupakan dua tempat penujaan Tuhan sebagai pencipta yang terdiri atas unsur Purusa dan Pradana. Dua pura yang dimaksud adalah : (1) Pura Besakih sebagai purusa di Kabupaten Karangasem ; (2) Pura Batur sebagai Pradana di Kabupaten Bangli.

10

Gambar 5. Konsep Hulu-Teben Gambar 6. Konsep Hulu-Teben Sumber : Modifikasi 2016 dari Putra Sumber : Modifikasi 2016 dari Putra

Hulu-Teben dan Purusa-Pradana Perwujudan dari konsep rwabhineda dapat diaplikasikan dan ditemui pada natah pekarangan, pada jalan utama desa serta pada perempatan/ catusptha. Perwujudannya berupa ruang kosong sebagai simbolis pertemuan purusa dan pradana yang dapat melahirkan suatu benih kehidupan. Oleh karena itu ruang kosong ini menjadi demikian hidup dan efektif sebagai tempat interaksi pemakainya. Secara filosofis tradisional dinyatakan bahwa kekosongan itulah hakekat dari isi, sehingga orang akan meminta daging=isi, telas=habis.

2.3.3. Konsep Tribhuana-Triangga

Gambar 7. Konsep triangga dan trimandala Sumber : Modifikasi 2016 dari Putra

Konsepsi Triangga-Trimandala Konsistensi tata nilai ruang dan bangunan dapat diwujudkan dengan perletakan bangunan yang beragam, nilai fungsinya diserasikan dengan struktur hirarkhi nilai ruangnya, ketinggian lantai disesuaikan dengan nilai fungsi bangunan sehingga ada keserasian antara nIlai ruang dan nilai bangunan. Konsep Triangga memberikan dasar bahwa Arsitektur

11

Tradisional Bali memiliki bagian-bagian fisik yang memiliki nilai. Secara vertical bagian kepala terletak paling atas bernilai utama, bagian badan terletak di tengah bernilai madya dan bagian kaki yang terletak dibawah bernilai nista. Secara horizontal akan membentuk zonasi dengan hirarki nilai yang sesuai dengan nilai sumbu alam, antara lain sebagai berikut : bagian hulu/dalam bernilai utama bagian tengah bernilai madya dan bagian hilir/luar bernilai nista.

2.3.4. Konsep Keserasian Dengan Lingkungan

Konsepsi keharmonisan dengan lingkungan dapat dijabarkan atas dasar sebagai berikut : pengutamaan pemanfaatan potensi sumber daya alam setempat pengutamaan pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat dan pengutamaan penerapan potensi pola-pola fisik arsitektur setempat. Pengembangan bentuk oleh pihak luar sering kali kurang berhasil karena perbedaan sudut pandang. Pihak luar memandang kenyamanan fisik sebagai kriteria utama, yang justru tidak dipentingkan dalam arsitektur tradisional. Diperlukan pendekatan etnografis, dimana pihak luar belajar dari masyarakat tentang nilai dan bentuk mana yang paling mereka utamakan dan bagaimana proses pembangunan termasuk ritus yang harus dilakukan. Pihak luar sebaiknya bertindak sebagai fasilitator, sedangkan keputusan tetap berada pada komunitas tradisional bagaimana mereka ingin berkembang (Rahayu, 2010 : 51; Rahayu & Nuryanto, 2010 : 72).

Tatanilai mempengaruhi tata letak suatu banguanan dalam kaitannya dengan lingkungan dan fasilitas umum pada Arsitektur Tradisional Bali, seperti: rumah tidak langsung berada di hulu Bale Banjar/Pura/Puri serta rumah harus dibatasi dengan jalan atau tanah kosong (karang tuang).

2.4. Pengertian, Kosep dan Struktur Pura

Di Bali Pura memilki pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah Pura berasal dari kata Sansekerta yang berarti kota atau benteng, yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum digunakannya kata Pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang, selanjutnya Parhyangan. Dalam pengertian lebih lanjut pengertian Pura sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya) dan Bhtara atau dewa pitra yaitu

12

Roh Leluhur. Kendatipun demikian kini masih dijumpai kata Pura yang digunkan untuk menamai suatu kota mislanya Amlapura (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Amla), Semarapura, Swecapura, dan lain-lain.

Pura dapat diperinci fungsinya berdasarkan ciri (kekhasan) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat kedalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, politik, ekonomi, geneologis (garis kelahiran). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilyah tempat tinggal (teritorial), ikatan politik antara lain berdasrkan kepentingan penguasa dalam upaya menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya, Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan system mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan, pedagang, dan lain-lain. Ikatan genneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Ketuhanan dalam agama Hindu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Tuhan yang Nirguna Brahman (Monotheisme Transendent), dan Tuhan yang Saguna Brahman (Monotheisme Immanent). Tuhan yang Nirguna Brahman dipuja melalui jalan Bakti dan Karma Marga, sedangkan Tuhan yang Saguna disembah melalui jalan Jnana dan Yoga Marga. (Titib, 1993). Bhakti Marga sebagai jalan memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai sarana untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi kepadaNya, seperti: Arca, Pratima, Pratika, Pratikani, Pratibimbha, Nyasa, tempat pemujaan, pura, candi, meru, prasada, padmasana, membuat sesajen, makanan, minuman, bhusana dan lain- lainnya.

Menutut Titib 1993, struktur atau denah Pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu : Jaba Pura atau jaba pisan (halaman luar), Jaba Tengah (halaman tengah) dan Jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti Pura Besakih, (David J. Stuart-Fox, 2010). Pembagian halaman pura, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuana agung), yakni : pembagian pura atas 3 bagian (halaman) itu adalah lambang dari Tri Loka, yaitu Bhur Loka (bumi), Bhwah Loka (langit) dan Swah Loka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) adalah lambing dari alam atas (Urdhah) dan alam bawah (Ardhah), yaitu Akasa dan pertiwi. Sedangkan pembagian pura atas 7 (tujuh) bagian/halaman atau tingkatan adalah lambing dari Saptaloka yaitu tujuh lapiasan/tingkatan alam keatas yang terdiri dari Bhur Loka, Bwhah Loka, Swah Loka, Maha Loka, Jana Loka, Tapa Loka dan satya Loka. Pura yang terdiri dari 1 (satu) halaman adalah simbul dari Ekabhuwana yaitu penunggalan alam antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah

13 pembagian horizontal, sedangkan pembagian yang vertical adalah simbolis Purusa (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan Konsepsi Prakerti dengan Purusa dalam struktur suatu pura adalah merupakan simbolis dari pada Super Natural power. Hal itulah yang menyebabkan orang-orang dapat mersakan adanya getaran spiritual atau Super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa) dalam suatu Pura.

2.5. Bentuk, Bahan dan Ornamen Arsitektur Tradisional Bali

Dasar-dasar ukuran dalam arsitektur tradisional Bali sebagai berikut :

Gambar 8. Dasar-dasar ukuran bangunan tradisional Bali atas dasar aturan tradisional

Gambar 9. Dimensi tiang bangunan tradisional Bali atas dasar aturan tradisional

14

Gambar 10. Dimensi tiang bangunan dan ukuran bale tradisional Bali atas dasar aturan tradisional

Gambar 11. Struktur dan ornamen bale tradisional Bali atas dasar aturan tradisional

Gambar 12. Bentuk, struktur dan ornamen bale tradisional Bali atas dasar aturan tradisional

15

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Di Desa Pakraman Gunaksa, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung

Pura Gunung Lingga Di Desa Pakraman Gunaksa, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung

Gambar 13. Lokasi Penelitian

3.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunaakan rancangan sebagai berikut :

PENDATAAN KOMPILASI ANALISA DAN DATA SINTESA

REKOMENDASI KESIMPULAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif komparatif, dimana data-data fisik dan non fisik yang terkumpul baik itu data kepustakaan maupun lapangan. Jenis data berupa data kuantitatif maupun kwalitatif dikompilasi, selanjutnya dianalisa dan dikomparasikan dengan data-data acuan yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Dari hasil analisa dan komparasi dikaji dan disimpulkan untuk mendapatkan suatu rekomendasi.

16

3.3 Prosedur Penelitian Secara umum, penelitian ini akan dilaksanakan dalam lima tahapan kerja, yaitu: 1. Kajian pustaka, yang terdiri atas review literatur, baik literatur mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat Bali, maupun mengenai pura-pura yang ada di wilayah Bali. 2. Studi awal yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum data fisik (tata letak, tata ruang dan tata bentuk) dari unit-unit bangunan yang terdapat di Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga maupun data non fisik terkait perkembangan dan setruktur sosial pengempon. 3. Pengumpulan data primer yang berhubungan langsung dengan objek penelitian, mencakup aspek fisik dan non fisik unit-unit bangunan yang terdapat di mandala Pura Gunung Lingga. 4. Pengolahan dan analisis data yang bertujuan untuk menemukan identitas arsitektur pura dan hubungannya dengan perkembangan dari Pura Gunung Lingga. 5. Penarikan kesimpulan penelitian.

3.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang didukung pula oleh data kuantitatif. Jenis data yang akan dikumpulkan adalah : data primer melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi di lapangan (dilakukan pendataan, baik berupa tabel, pemetaan, perekaman video, dan pemotretan) ; data sekunder didapatkan dengan setudi pustaka melalui review terhadap materi-materi yang relevan deangan data dan bahasan; Analisa komparatif secara deskriptif dan sintesa untuk perumusan setrategi yang dapat dikembangkan untuk melestarikan konsep arsitektur (tata letak, tata ruang dan tata bentuk) dan pola pemanfaatan pura dengan segala fasilitasnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data awal terkait teori-teori dan reperensi yang berhubungan dengan arsitektur pura di Bali, serta rangkaian tradisi- tradisi adat yang berhubungan dengan pemanfaatan unit-unit bangunan pada mandala pura. 2. Observasi dengan melakukan pengamatan untuk didokumentasikan baik dengan pencatatan maupun pemotretan dengan kamera sebagai data primer. 3. Wawancara dengan undagi, tukang banten, pemangku dan tokoh adat secara terstruktur dengan mempersiapkan sejumlah daptar pertanyaan.

17

3.5 Teknik Analisis data Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan cara sebagai berikut: 1. Identifikasi dan kompilasi data secara sistematik 2. Membuat tabulasi 3. Membuat analisa kualitatif dan kunatitatif 4. Manyimpulkan hasil

18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Arsitektur (Ruang, Bentuk, Struktur) Pura Gunung Lingga Tata Ruang

Gambar 14. Site Plan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingg, Gunaksa Sumber: Onservasi Lanus 2016 19

Gambar 15. Lay Out Plan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingg, Gunaksa Sumber: Oservasi, Lanus 2016

KETERANGAN : 1. PENGARUMAN 11. APIT LAWANG 2. MASARI 12. PENGAYENGAN 3. MASCATU 13. BALE TAJUK/PESANDEKAN 4. SANGGARAN 14. PALETASAN 5. PALINGGIH TRI TIRTA 15. BALE PIYASAN 6. MERU TUMPANG TIGA 16. BAK PENAMPUNGAN AIR 7. SAPATA PETALA 17. DAPUR, WC/TOILET UMUM 8. NGERURAH AGUNG 18. BALE TAJUK/PESANDEKAN 9. BALE PAKEMITAN 19. BALE KULKUL 10. PEMEDAL 20. BALE PEGONGAN

Tata Bentuk

Palinggih Pengaruman: sebagai tempat meletakkan piranti upakara dan pralingga Ida Betara, bangunan ini berbentuk bujur sangkar yang terdiri dari bagian tepas, batur dan sari. Tepas/tepas hujan merupakan bagian konstruksi terbawah sebagai alas dari batur; Batur berpalih tiga bataran yang terbuat dari batuan bata merah dan paras dengan struktur masip. menggunakan ragam hias kekarangan diukir, bataran sebagai alas dan landasan sari; Sari terbuat dari kayu saka 8 yang bertumpu diatas sendi pada bataran, saka ditempatkan secara 20 meanda, 4 saka dibawah dengan dimensi yang lebih panjang, serta 4 saka terletak pada puncak bataran yang membentuk empat persegi ruang/rong dengan dinding-dinding kayu di tiga sisi dan pintu di sisi depan. Konstruksi saka dengan dengan rong merupakan rangka ruang yang dibentuk oleh saka, lambamg, sineb, sunduk, dengan pengaku bale, dinding dan tarib. Seluruh konstruksi saka-saka menyokong atap; konstruksi atap terdiri dari petaka, pemada, pemucu, iga-iga dan apit-apit membentuk rangka bidang, yang dikuatkan oleh tarib, ingketan atap ijuk sebagai pelindung bangunan dari panas dan hujan.

Gambar 16. Palinggih Pengaruman, Sanggaran, Limas Sari, Limas Catu Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Sanggaran: merupakan palinggih Sang Hyang Tunggal, bangunan ini berhulu ke utara menghadap keselatan, berwujud padmasari, terdiri dari tiga bagian yaitu: dasar, batur dan sari. Dasar terdiri dari dua bagian yaitu tepas/tepas hujan dan palih dasar. Dasar merupakan konsruksi dengan struktur masa masip yang terbuat dari bebatuan, menggunakan ornamen kekarangan. Tepas merupakan bagian terbawah konstruksi yang terletak diatas lemah/tanah bersama dengan palih dasar berfungsi untuk menyokong batur; Batur terdiri dari tiga palih bataran dengan kostruksi masip dari bahan batuan paras dan bata merah, menggunakan ragam hias kekarangan diukir. Tiga palih bataran menjadi landasan sari; Sari berwujud rong/bale/kursi menggunakan struktur masip dari bahan batuan bata merah dan paras dengan ragam hias kekarangan diukir.

21

Limas Sari, Limas Catu: Lima Sari merupakan palinggih stana Sang Hyang Rambut Sedana sebagai personifikasi bapa/surya/maskulin, sedangkan Limas Catu merupakan palinggih stana Sang Hyang Sri Sedana sebagai personifikasi ibu/candra/feminim.

Kedua pelinggih berhulu ke utara menghadap ke selatan, memiliki wujud yang sama perbedaannya pada letak dan pada wujud atapnya, Limas Catu ujung bubungan atapnya dibuat datar, sedangkan Limas Sari ujung bubungan atapanya lancip/lebih tinggi. Kedua palinggih ini terdiri dari tiga bagian yaitu: tepas, batur dan sari. Tepas merupakan bagian konstruksi terbawah, yang berfungsi untuk menyokong batur; Batur terdiri dua palih bataran dengan struktur masip, berbahan batuan bata merah dan paras dengana ragam hias kekarngan lelengisan, batur berfungsi sebagai landasan sari; Sari/bunga merupakan konstruksi kayu dengan terdiri dari 4 saka kayu yang bertumpu pada sendi, saka membentuk ruang/rong persegi panjang dengan tiga dinding dan satu pintu dibagian depan, ada bale-bale, sunduk, lambang, sineb, semua itu membentuk konstruksi rangka ruang. Kayu-kayu yang ada menjadi elemen struktur konstruksi sekaligus sebagai elemen estetika, dengan kombinasi propil lelengisan dan ragam hias kekarangan berukir, finishing kombinasi politur, cat dan perada. Bagian atasnya berupa konstruksi atap berbentuk limas dengan landasan bujur sangkar dari pepiringan dengan pepalihan berukir, piringan/listplank menjadi landasan atap dengan kontruksi kayu terdiri dari petaka, pemada, pemucu, iga-iga, tarib, yang ditutup dengan atap ijuk, pada bagian ujung atap ditutup murda dari tanah liat dibakar, ragam hias kekarangan, diukir dengan finising cat

dan perada.

Meru Tumpang Tiga: merupakan palinggih stana pemujaan Dang Hyang Nirarta, sebagai sang sida dewata/atma pratistha, dalam jasanya menjadi guru suci/ Dang Guru keagamaan umat, serta perannya didalam mengaktualisasikan keberadaan pura.

Bangunan ini berhulu ke timur, terdiri dari tiga bagian yaitu: tepas, batur, sari. Tepas/tepas hujan merupakan bagian konstruksi terbawah sebagai alas dari batur; Batur berpalih dua bataran meanda yang terbuat dari batuan bata merah dan paras dengan struktur masip. Menggunakan ragam hias kekarangan lalengisan, batur sebagai alas dan landasan sari; Sari terbuat dari kayu saka 8 yang bertumpu diatas sendi pada bataran, saka ditempatkan secara meanda, 4 saka pada bataran bawah dengan dimensi saka yang lebih panjang, serta 4 saka terletak pada puncak/ bataran atas yang membentuk empat persegi ruang/rong dengan dinding-dinding kayu di tiga sisi dan pintu di sisi depan. Konstruksi saka dengan dengan rong merupakan rangka ruang yang dibentuk oleh saka, lambang, sineb, sunduk,

22 dengan pengaku bale, dinding dan tarib. Seluruh konstruksi saka-saka menyokong atap; konstruksi atap dibuat bertingkat tiga yang masing-masing terdiri dari empat bidang yang berbentuk prisma terpancung, mengecil kearah atas. Konstruksi atap terdiri dari petaka, pemada, pemucu, iga-iga dan apit-apit membentuk rangka bidang, yang dikuatkan oleh tarib, ingketan atap ijuk sebagai pelindung bangunan dari panas dan hujan. Antara tingkat atap satu dengan lainnya dihubungkan oleh konstrusi baung capung dan umah dara yang terdisi dari 4 buah saka raab disudut-sudut dan dinding di keempat sisinya. Pada puncak atap ditempatkan murda dari tanah liat dibakar degan ragam hias kekarangan berukir, finishing cat dan perade.

Gambar 17. Palinggih Meru Tumpang Tiga Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Palinggih Tri Tirta, Sapta Petala, Ngerurah Agung, Pengayatan: Palinggih Tri Tirta sebagai stana pemujaan dari Ida Betara Tirta. Sapta Petala sebagai stana pemujaan Sang Hyang Ananta Boga dalam fungsinya menjadi penguasa merta dan energi bumi dengan tujuh lapisannya. Ngerurah Agung sebagai stana Dewanya Sang Hyang Panca Maha Butha (lima unsur/energi alam). Pengayatan sebagai stana pemujaan penguasa gunung, jurang dalam fungsinya untuk menjaga lingkungan di sekitarnya.

Keempat palinggih menggunakan tipologi yang sama, yaitu Padma Capah dan menghadap ke Natah. Perbedaannya pada simbul ornamen bagian atas bangunan dan tata letaknya. Palinggih ini terdiri dari tiga bagian yaitu: tepas, batur dan sari. Tepas merupakan bagian terbawah konstruksi yang terletak diatas lemah berfungsi untuk menyokong batur; Batur

23 terdiri dari dua palih bataran dengan kostruksi masip dari bahan batuan paras dan bata merah, menggunakan ragam hias kekarangan lalengisan. Dua palih bataran menjadi landasan sari; Sari berwujud rong/bale/kursi menggunakan struktur masip dari bahan batuan bata merah dan paras dengan ragam hias kekarangan kombinasi lelengisan dan ukiran. Pada Palinggih Tri Tirta rong pada sari atas terdapat tiga buah, terletak pada area paling hulu zona utamaning utama. Sapta Petala, rong pada sari atas terdapat satu buah dan diletakkan ornamen patung Sang Naga Ananta Boga, letaknya pada zona madyaning utama. Ngarurah Agung, rong pada sari atas terdapat satu buah dan pada ulon dibuatkan lubang tembus dengan bentuk tapak dara. Inilah simbul empat penjuru arah perletakan 4 unsur alam (angin, api, akasa, air) dan 1 arah tengah pertemuan keempat arah sebagai perletakan perpaduan keempat unsur (pertiwi). Pengayatan, rong pada sari atas terdapat satu buah, tanpa ornament khusus, terletak pada zona nistaning nista.

Gambar 18. Palinggih Tri Tirta, Sapta Petala, Ngerurah Agung, Pngayatan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Bale Piyasan, Bale Tajuk/Pesandekan, Bale Pakemitan: Bale Piyasan merupakan salah satu bangunan pelengkap untuk menghias dan menata pralingga, pratima, dan persiapan peralatan lainnnya. Bale ini disebut juga dengan bale sakawenang yang artinya dapat dipergunakan berbagai aktivitas (multi hirarki), sehingga dapat juga dipergunakan oleh sulinggih diatasnya, pemangku di bawahnya. Bale Tajuk/Pesandekan difungsikan untuk pesantian serta tempat menata dan mempersiapkan upakara oleh para pemedek. Bale Pakemitan difungsikan oleh para pemedek maupun pengempon untuk tempat mekemit. Dalam keadaaan darurat seperti hujan dan cuaca yang terlalu panas kedua bale tersebut dapat pula difungsikan untuk tempat duduk melakukan persembahyangan.

24

Ketiga bangunan tersebut memiliki tipologi hampir sama, menghadap ke Natah area pura, perbedannya pada jumlah saka, ukuran bangunan, ada dan tidaknya bale-bale serta letaknya pada area pura. Bale Piyasan terdiri dari tiga bagian yaitu: bataran, bale dan raab. Bataran terdiri dari dua bagian yaitu tepas/tepas hujan dan bataran dengan palih satu, Tepas merupakan bagian terbawah konstruksi yang terletak diatas lemah berfungsi untuk menyokong bataran. Bataran terdiri dari satu palih, tepas dan bataran dengan kostruksi masip dari bahan batuan paras dan bata merah, menggunakan ragam hias kekarangan lalengisan, pepelok dan penyu kambang. Didalam bataran terdapat jongkok asu berstruktur masip terbuat dari batuan, diatasnya diletakkkan sendi yang terbuat dari batuan, bataran menjadi landasan bale; Bale terdiri dari 6 saka bertumpu diatas sendi bagian bale-bale terdiri dari saka dengan pengaku sunduk bawak, sunduk dawa, waton, slimar dan likah bale, serta parba; bagian atas terdiri dari lambang dan sineb. Konstruksi saka, sunduk, lambang dan sineb membentuk rangka ruang, sedangkan bale dan parba sebagai pengaku; Bagian raab/atap, konstruksi terdiri dari petaka, pemada, pemusu, iga-iga dan apit-apit membentuk rangka bidang, dengan penyokong non struktural berupa tugeh. Struktur dan konstruksi sekaligus sebagai elemen estetika dengan pepalihan kalor. Bahan penutup atap dari genteng dengan penyatu reng kayu. Diatas bataran diletakkan dinding lepas dengan struktur dinding masip pada sisi utara, bahan dari bebatuan dengan ragam hias kekarangan, pepalihan, penyu kambang dan papelok.

Gambar 18. Bale Piyasan dan Bale Tajuk/Pesandekan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Kori Agung, Paletasan: Kori Agung merupakan pintu/pelawangan Ida Betara dengan fungsi sacral, sedangkan Paletasan yang ada di sisi kiri kanannya berfungsi sebagai pintu samping dan bersifat profan. Perletakan Kori Agung di sisi selatan Jeroan pada bagian

25 tengah/as sehingga tepat membagi area pura menjadi dua bagian kiri dan kanan secara seimbang. Kori Agung menghubungkan antara Jaba Tengah dengan Jeroan. Ke arah Jaba Tengah dilengkapi dengan lebuh, kearah Jeroan dilengkapi dengan pengaling, jadi Kori Agung menghadap ke selatan.

Bentuk Kori Agung terdiri dari Bataran, Pengawak dan Raab. Bataran terdiri: tepas, bataran dan undag, merupakan struktur masip yang kini sudah dilengkapi tulangan beton pada bagian tengah, terbuat dari bahan batuan yang diplester, menggunakan ornament ragam hias kekarangan diekspose; Pengawak terdiri dari dari bolong kori, pengawak, gidat, serta panak/lalengen/sipah/ kampid dara, serta karna. Raab terdiri dari tiga tingkatan. Bolong/lubang kori merupakan pintu/ kuadi yang terdiri dari penganduh, dedanga, jajeneng/ajeg-ajeg, telundagan dan don kori, semua itu terbuat dari kayu dengan ornament ragam hias kekupakan berukir dicat dan perada. Bagian pengawak lainnya menggunakan bahan bebatuan dengan struktur masip yang diperkuat tulangan beton pada bagian tengahnya. Batuan diplester ekspose, dengan ragam hias berupa ornament pepalihan dan kekarangan diukir.

Gambar 19. Kori Agung Kearah Jeroan dan Kori Agung Kearah Jaba Tengah Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Bale Kulkul: merupakan salah satu bangunan pelengkap dari suatu pura. Bangunan ini diletakkan di Jaba Tengah untuk menggantung kulkul/ kentongan krama pengempon pura. Bale Kulkul memiliki empat arah orientasi, dan diletakkan pada zone teben.

26

Bale Kulkul terdiri dari tiga bagian, yaitu: tepas, batur, sari/bunga. Tepas merupakan bagian terbawah konstruksi yang terletak diatas lemah berfungsi untuk menyokong batur; Batur terdiri dari tiga palih bataran dengan struktur kostruksi rangka yang dilengkapi beton bertulang pada bagian tertentu, menggunakan bahan batuan diplester, beragam hias lalengisan dan kekarangan plesteran diukir ekspose. Tiga palih bataran menjadi landasan sari; Sari terbuat dari kayu saka 4 buah yang bertumpu diatas sendi pada bataran, berbentuk bujur sangkar dengan dinding-dinding kayu realling di empat sisi. Konstruksi saka dengan dengan rong merupakan rangka ruang yang dibentuk oleh saka, lambamg, sineb, sunduk, dengan pengaku dinding. Seluruh konstruksi saka-saka dan pengaku menyokong atap. Ragam hias yang digunakan berupa kekupakan, pepalihan dengan lalengisan dan ukiran dicat serta perada; Konstruksi atap terdiri dari petaka, pemada, pemucu, iga-iga, kolong dan apit-apit membentuk rangka bidang, yang dikuatkan oleh tarib dan reng, atap genteng sebagai pelindung bangunan dari panas dan hujan.

Bale Pegongan dan Bale Pesandekan: Bale Pegongan berfungsi untuk tempat menabuh gamelan di saat ada piodalan dan kegiatan upacara lainnya. Bale Pesandekan merupakan tempat peristirahatan bagi para pamedek sekaligus mempersiapkan diri dan menata sarana upakara yang dihaturkan. Kedua Bale ini merupakan bangunan pelengkap dari suatu pura, oleh karena itu pada pura yang terdiri lebih dari satu mandala, sering menempatkannya pada Jaba Tengah.

Antara Bale Pegongan dan Bale Pesandekan memilki kemiripan bentuk, perbedaannya hanya pada penempatan dan ukurannya. Bale Pegongan harus minimal cukup untuk tempat megamel, sedangkan Bale Pesandekan bisa dibuat lebih kecil, artinya tidak ada ukuran minimalnya. Kedua banguan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: bataran, bale dan raab. Bataran terdiri dari dua bagian yaitu tepas/tepas hujan dan bataran dengan palih satu, Tepas merupakan bagian terbawah konstruksi yang terletak diatas lemah berfungsi untuk menyokong bataran. Bataran terdiri dari satu palih. Tepas dan bataran dengan kostruksi masip dari bahan batuan paras dan bata merah, menggunakan ragam hias kekarangan lalengisan, pepelok dan penyu kambang. Didalam bataran terdapat setruktur rangka beton bertulang, menerus keatas menjadi kolom kaku, dan penopang atap melalui ring balok. Konstruksi ini menggunakan system setruktur rangka ruang. Bale terdiri dari 4 kolom beton bertulang; Bagian raab/atap, konstruksi terdiri dari petaka, pemada, pemusu, iga- iga dan apit-apit membentuk rangka bidang, dengan penyokong utama berupa jurai luar

27 yang merupakan kolom yang dibengkokkan kearah dalam. Setruktur dan konstruksi sekaligus sebagai elemen estetika dengan pepalihan kalor. Bahan penutup atap dari genteng dengan penyatu tarib/plafon ekspose dan reng kayu.

Gambar 20. Bale kulkul dan Bale Pesandekan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Setruktur

Setruktur Pura Gunung Lingga terdiri dari 3 bagian (halaman/mandala) yaitu: (1) Jabaan/ Jaba Pisan: (2) Jaba Tengah; dan (3) Jeroan. Secara topografis area mandala pura sama tinginya kearah jeroan. Pada masing–masing halaman difungsikan untuk aktivitas yang berbeda-beda.

Di Jeroan sebagai utama mandala diletakkan bangunan-bangunan palinggih antara lain: Sanggaran, Limas Sari, Limas Catu, pada sisi utara menghadap ke selatan, berjejer dari timur ke barat, Pengaruman diletakkan pada posisi agak ketengah menghadap ke selatan; Pada sisi timur menghadap kebarat, berjejer palinggih dari utara ke selatan yaitu: Palinggih Tri Tirta, Meru Tumpang 3, Sapta Petala dan Ngerurah Agung, paling selatan terletak Bale Pakemitan. Pada sisi barat berjejer dari utara ke selatan terdapat bangunan: bak penampungan air, Bale Piyasan, Paletasan ke barat dan Bale Tajuk/Pesandekan. Disisi pagar selatan pada bagian tengahnya terdapat Kori Agung yang di kiri kanannya terdapat dua Paletasan, semuanya menghadap ke selatan. Natah di tengah berfungsi sebagai ruang pengikat dan arah orintasi utama dari seluruh bangunan dalam Jeroan, disini diletakkan tempat penganteb dan natah ini merupakan ruang utama untuk aktivitas persembahyangan.

28

Gambar 21. Jeroan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Di Jaba Tengah sebagai madya mandala terdapat bangunan-bangunan antara lain: Di sisi utara menghadap ke selatan terdapat Palinggih Apit Lawang dua buah, posisinya di depan Kori Agung; Di sisi barat, berjejer dari utara terdapat paletasan kearah barat, Bale Pegongan, Bale Kulkul; Di sisi timur terdapat Bale Tajuk/Pesandekan; Disisi pagar selatan terdapat di bagian tengah, dikiri kanannya terdapat dua Paletasan kearah Jabaan. Jaba Tengah memiliki natah sebagai ruang terbuka, ruang pengikat dan sebagai orientasi dari bangunan-bangunan yang ada. Natah tempat aktivitas pendukung dari prosesi ritual persembahyangan, serta dapat pula menjadi area persembahyangan pada saat Jeroan sudah penuh, terutama pada saat kepadatan puncak piodalan.

Gambar 22. Jaba Tengah, Terdapat Bale Pesandekan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

Di Jabaan/ Jaba pisan terdapat area parkir kendaraan dengan jalan beraspal di sisi timurnya sebagai jalan penghubung kerah selatan dan utara. Di bagian selatan terdapat pura-pura lainnya seperti Pura Kawitan Dauh, Pura Mastaba, Pura Tutuan, sedangkan kearah utara menuju Pura Gua. Disisi barat pura yang merupakan bagian Jabaan pura pada posisi yang lebih rendah terdapat bangunan pendukung seperti: dapur, WC/toilet umum.

29

Gambar 23. Jabaan, Terdapat Parkir, Dapur, WC/Toilet Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa Sumber: Oservasi, 2016

4.2 Konsep Arsitektur Pura Gunung Lingga

Beberapa konsep yang diaplikasikan dalam Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga dapat didalami melalui fisik palinggih maupun prosesi aktivitas persembahyangan. Adapun konsep-konsep tersebut dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: konsep hirarki mandala, konsep natah, konsep jenis palinggih, konsep bentuk bangunan, konsep keseimbangan, dan lain-lain.

Konsep Hirarki Mandala: dimana pura dibagi menjadi tiga mandala/halaman, yaitu: Jaba /luar pura, Jaba Tengah dan Jeroan. Ketiga halaman memiliki nilai kesakralan yang berbeda, Jaba pura bernilai nista ditempatkan dan difungsikan untuk aktivitas servis seperti parkir kendaraan. Jaba Tengah sebagai halaman yang bernilai madya, diperuntukkan sebagai tempat kegiatan penunjang dan persiapan upakara. Jeroan merupakan halaman yang bernilai utama, diperuntukkan sebagai tempat palinggih dan tempat persembahyangan.

Penataan hirarki nilai ruang sesuai dengan topogarfi bukit, sumbu cosmologi alam Bali serta sesuai dengan letak pura terhadap letak rumah krama desa pengempon. Topografi

30 bukit meninggi kearah pura dan sebagai puncak dari perbukitan yang ada, secara alamiah maka Jeroan memiliki nilai paling tinggi. Sumbu pura kearah timur laut – barat daya, menjadikan Jeroan ada di timur laut dan Jaba ada di barat daya.

Posisi pura di puncak bukit dan jalan sepanjang perbukitan menuju pura merupakan tanah pertanian, dimana tanah tersebut secara filosofis dianggap tanah suci. Berarti pura memilki sempadan/ jarak yang memadai sekitar 2,5 Km (apeneleng agung) dari pemukiman penduduk. Untuk pura dang kahyangan maka jarak tersebut sudah ideal dan hanya perlu dijaga dan dapat dipertahankan. Pencapaian penduduk setempat dengan berjalan kaki menuju pura dapat menyehatkan badan, melatih otot dan pernapasan (pranayama), perbukitan hijau mensuplai oksigen sebelum melakukan persembahyangan, konsep ini sama dengan konsep yoga.

Konsep Natah: Natah adalah ruang terbuka yang terletak ditengah suatu area yang berfungsi sebagai ruang pengikat masa bagunan yang ada. Pada Jeroan dan Jaba Tengah, masing-masing memiliki Natah yang secara fisik menjadi pusat orientasi bangunan dan palinggih yang ada. Secara praktis Natah menjadi ruang terbuka utama, pada Jeroan, natah difungsikan untuk menggelar upakara dan tempat duduk utama persembahyangan. Pada Jaba Tengah, Natah selain untuk tempat memepersiapkan upakara dapat pula untuk bersembahyang dalam kondisi puncak keramaian pemedek.

Secara filosofis Natah pada Jeroan sebagai penjabaran dari konsep Rwabhinedha, sebagai ruang terbuka tempat pertemuan langit/purusa/laki dan bumi/pradana/perempuan, pertemuan ini diibaratkan muatan positf dan negative pada electron dan proton, sehingga terjadinya daya kekuatan/power nyala api listrik. Daya kekuatan inilah yang dipancarkan dan dapat dirasakan ketika orang berada pada lingkungan area pura. Konsep ini menjadikan pura di Bali selalu berwujud area terbuka berupa Natah ataupun dengan bangunan/palinggih yang terbatas untuk tempat bersembahyang. Di jaman dulu ataupun kini di beberapa tempat, pura hanya berupa ruang kosong terbuka. Untuk menurunkan anugrah/daya kekuatan tersebut dilakukan dengan tatacara dan upakara tertentu, seperti halnya bersembahyang di perempatan, di tepi sungai, di tepi pantai dan lai-lain, tidak perlu harus ada palinggih/permanen. Penggunaan suatu tempat untuk bersembahyang dilakukan secara berkelanjutan turun temurun, oleh karena itu diberikan suatu penanda, misalnya dengan pohon, dengan suatu batu, gundukan, dan lain-lain. Kini masih banyak dijumpai pura sebagai tempat sembahyang hanya ditandai oleh sebuah pohon, ataupun tugu batu, tumpukan batu, dan lain-lain, yang dijaga dan dirawat, hanya untuk menandai. Dapat pula

31 dilengkapi prasarana yang dibuat secara permanen. Seiring dengan perkembangan situasi dan jaman, area sembahyang tersebut ditingkatkan kwalitasya, misalnya dibuatkan pembatas dari tanaman ataupun dinding, prasarana dan bebatuan ditambahkan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan, estetikanya dirubah sesuai dengan kemampuan mengolah dan imajinasi, namanya diubah sesuai dengan paham dan interpretasinya. Sehingga kini pura dilengkapi dengan berbagai palinggih sesuai dengan pemungsian kemahakuasaan Tuhan, serta tambahan bangunan pelengkap sebagai prasrana wadah aktivitas pendukungnya. Apapun wujud dan kondisi pura maka natah sebagai tempat bertemunya unsur purusa dan unsur pradana sebagai cikal bakal benih kehidupan, masih tetap dibutuhkan. Untuk mendapatkan suatu rasa dan anugrahNya.

Konsep Jenis Palinggih: Dalam membangun suatu pura palinggih-palinggih yang dibuat sesuai dengan kebutuhan pemujaan dan fungsi dari pura tersebut. Pura Gunung Lingga dari jenis palinggih yang ada mencerminkan konsep tapak dara/swastika dan konsep purusa pradana. Konsep tapak dara/swastika, berupa dua garis: satu garis vertical dan satu garis horizontal yang masing-masing mencerminkan arah naik turun dan samping kiri kanan. Garis vertical kearah atas melambangkan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai manifestasi Guru Swadyaya, berupa Palinggih Sanggaran/Padma.

Garis horisontal kesamping sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa berupa Sang Sidha Dewata (atma paratistha) dari para leluhur. Horisontal kesamping dalam perwujudannya diawali dengan kehidupan manusia sebagai leluhur, terdiri dari tiga bagian; kanan, kiri dan tengah, yaitu: (1) leluhur para Rsi pengajar pengetahuan agama (Dang Guru/Guru Pengajian); (2) leluhur para pemimpin dapat berupa pemimpin wilayah desa setempat, negara/kerajaan (Guru Wisesa); (3) leluhur para pendahulu keturunan (Guru Rupaka). Sebagai manifestasi dari pemujaan leluhur tersebut terdapat Palinggih Meru Tumpang Tiga sebagai stana pemujanan Dang Hyang Nirarta. Palinggih Pengayatan sebagai stana pemujaaan terhadap penguasa wilayah setempat (gunung dan jurang).

Garis vertikal ke bawah melambangkan manifestasi terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi penguasa lima unsur alam utama (Panca Maha Butha), yang tersebar di lima penjura alam: angin di timur, api di selatan, akasa di barat, air di utara dan bumi di tengah- tengah. Sebagai manifestasi dari pemujaan terhadap lima unsur alam tersebut terdapat palinggih: Palinggih Tri Tirta sebagai pemujaan khusus terhadap elemen air, Ngerurah Agung sebagai pemujaan terhadap panca maha butha, Sapta Petala sebagai pemujaan

32 khusus terhadap bumi, sedangkan pemujaan khusus terhadap akasa dan angin tidak dibuatkan secara terpisah melainkan digabung pada Palinggih Ngerurah Agung.

Konsep rwabhinedha purusa pradana: Secara etimologis Pura Gunung Lingga, dapat dijelaskan dari penamaannya. Gunung bermakna/simbul purusa, simbul wisnu, Lingga bermakna linggih/berdiri simbul purusa, simbul Siwa. Lingga selalu berpasangan dengan Yoni, sehingga untuk menyebutkan Lingga Yoni sering hanya disebut sebagai Lingga. Lingga berwujud bulat, yoni segi delapan, dan dasarnya berbentuk segi empat.

Berdasarkan jenis palinggih yang ada, Palinggih Sanggaran/Padma sebagai simbul dari purusa /kejiwaan, dan palinggih lainnya merupakan palinggih pradana/kebendaan atau dipersonifikasikan dengan sosok/wujud misalnya sosok dewi, sosok betari, sosok kekuatan, dan lain-lain. Palinggih Limas Sari sebagai pemujaan Rambut Sedana sebagai purusha/ibapa dan Palinggih Limas Catu sebagai pemujaan Sri Sedana sebagai pradhana/imeme, semuanya merupakan simbul kebendaan, demikian halnya dengan bangunan lainnya. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan dan dapat dikatakan bahwa berdasarkan jenis palinggih dan nama pura menujukkan bahwa Pura Gunung Lingga merupakan pura dengan konsep purusa pradana. Perpaduan dua unsur berbeda, berlawanan yang saling melengkapi inilah makanya disebut Rwabhinedha.

Konsep bentuk bangunan: bentuk bangunan dan palinggih yang ada pada Pura Gunung Lingga secara konsisten menerapkan konsep Tri Agga. Konsep ini selalu membagi secara vertical sosok fisik bangunun menjadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Masing- masing bagian memiliki makna dan tata nilai yang berbeda. Bagian kepala/atas bangunan sebagai utama angga simbolis alam atas/swah loka, bagian badan/tengah bangunan sebagai madya angga simbolis alam tengah/bwah loka dan bagian kaki/bawah bangunan sebagai nista angga simbolis alam bawah/bhur loka. Penerapan ini ada pada masing-masing bangunan palinggih dan bangunan pelengkap lainnya.

4.3 Peranan Pura Gunung Lingga

Peranan Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga bagi pengempon dan umat umum, dapat diidentifikasi dan dilihat melalui lokasi pura dan jenis palinggih yang ada. Berdasarkan lokasi administrative, pura terletak di Desa Pakraman Gunaksa Desa Gunaksa Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung, maka secara legalitas formal dapat menjadi tempat persembahyangan dan tempat membina kerukunan umat di wilayah tersebut. Dengan

33 pembinaan kehidupan beragama diharapkan membawa nilai-nilai luhur yang terepleksikan dalam kehidupan pengempon, krama penyiwi dan masyarakat umum di wilayah tersebut.

Lokasi secara geografis, dimana pura terletak di pucak bukit dikelilingi desa dan di hulu dari Desa Pakraman Gunaksa. Secara alamiah lokasi geografi pura menjadi tempat yang setrategis, bernilai tinggi, dengan lingkungan pemandangan yang lapang kearah laut dan gunung, udara bersih dan lingkungan yang tenang. Tempat tersebut menjadi potensi yang harus dijaga dan dapat dikelola lebih lanjut oleh pengempon, desa dan pemerintah sehingga dapat meningkatkan kedamaian (moksartam) dan kesejahtraan (jagadhitam) secara optimal dan dilestarikan. Wujud pengelolaan yang dilakukan dengan prinsip-prinsip pelestarian, sehingga semakin meningkatkan kesadaran dan jumlah pemedek yang tangkil untuk mendapatkan anugrah.

Berdasarkan jenis palinggih yang ada peranan pura dapat memberikan dan menaungi para umat dengan berbagai latar belakang profesi dan historis. Secara profesi, Palinggih Sanggaran sebagai stana pemujaan Sang Hyang Tunggal, merupakan perwujudan kemahakuasaan Tuhan, yang merupakan tujuan hidup yaitu mencapai kemanunggalan /moksa. Maka tempat ini menjadi berperanan dan media bagi para yogi, maha guhya, dan parama guhya untuk menigkatkan proses spiritual. Palinggih Limas Sari dan Limas Catu sebagai symbol kebendaan sebagai sri dan sedana merupakan stana pemujaan Sang Hyang Sri Sedana, palinggih ini difungsikan untuk memohon kesejahtraan/jagadhita.

Palinggih Meru Tumpang Tiga sebagai stana pemujaan Sang Sidha Dewata: Danghyang Nirarta, sebagai Wiku Purohita Kerajaan Dalem Waturenggong Gelgel. Secara historis menjadi tempat bagi umat untuk melakukan darma yatra, napak tilas perjalanan leluhur yang telah berperanan dan berkontribusi membangun kehidupan umat Hindu di Bali. Demikian halnya palinggih-palinggih lainnya semua memiliki peranan dalam membangun dan meningkatkan kesejahtraan dan kedamaian umat.

34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Dari identifikasi dan analisa yang dilakukan dapat disimpilkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut: 1. Arsitektur (Ruang, bentuk, setruktur) Pura Gunung Lingga, terdiri dari tiga halaman/mandala yaitu: Jaba, Jaba Tengah dan Jeroan. Palinggih dan bangunan yang ada berbentuk arsitektur tradsional Bali dengan pengembangnnya. Setruktur halaman pura sesuai dengan jenis hirarki aktivitas. 2. Arsitektur Pura Gunung Lingga menggunkan beberapa konsep antara lain: konsep hirarki mandala, konsep natah, konsep jenis palingggih, konsep bentuk bangunan, konsep keseimbangan, dan lain-lain. 3. Peranan Pura Gunung Lingga antara lain dapat diidentifikasi melaui lokasi pura dan jenis palinggih.

5.2 Saran

Dari identifikasi dan analisa yang dilakukan dapat disampaikan saran, antara lain sebagai berikut:

1. Pura menjadi tempat potensial yang harus dijaga dan dapat dikelola lebih lanjut oleh pengempon, desa dan pemerintah sehingga dapat meningkatkan kedamaian (moksartam) dan kesejahtraan (jagadhitam) secara optimal. 2. Wujud pengelolaan yang dilakukan dengan prinsip-prinsip pelestarian, sehingga semakin meningkatkan kesadaran dan jumlah pemedek yang tangkil untuk mendapatkan anugrah.

35

Daftar Pustaka

Anandakusuma, Sri Rsi. 1979. Wariga Dewasa. Denpasar: Morodadi. Budaarsa, K., dkk. 2013. Profil Pura Kahyangan Jagat di Bali. Denpasar ; Budiharjo, Eko. 1995. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. David j. stuartt-Fox, 2010. Pura Besakih Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, Denpasar : Pusataka Larasan; Udayana university Press. Dinas PU Prop. Dati I Bali; 1989; Perencanaan Konservasi Lingkungan Desa Tradisional Desa Bugbug. Dati II Karangasem; Bali. Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat I Bali. 1984. Rumusan Arsitektur Bali. Denpasar : Pemda Tk. I Bali. Gelebet, I N. dkk.. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi Kebudayaan Daerah Kanwil Depdikbud Propinsi Bali. Jiwa, I B N.. 1992. Kamus Bali : Bidang Istilah Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Upada Sastra Kaler, I G. K. 1982. Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, Jilid II. Denpasar: Bali Agung. Kumpulan Materi, 2004. Program Inovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali, Dinas Kebudayaan Pemerintah Propinsi Bali,. Denpasar. Parimin, Ardi P. 1986. Envvironmental Hierarchy of Sacred Profane Concept in Bali. Pesta Kesenian Bali XIX, 1997. Arsitektur Masyarakat Bali dalam Berbhuana. FT Unud, PITB Bali, IAI Bali, Inkindo Bali. Putra, I G.M. 2009. Kumpulan Materi Arsitektur Bali. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Sarka, I W., Martha, I N. 2016, Purana Pura Dang Kahyangan Gunung Lingga, Gunaksa. Schaareman, Danker. 1986, Tatulingga: Tradition and Contuniutty, An Investigation in Ritual and Social Organization in Bali. Basel. Susanta, I Nyoman. 2013. Kori Sebagai Kearifan Lokal di Karangasem (Studi Kasus di Desa Adat Perasi). Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara. Prosseding. Udayana Press. Denpasar. Susanta, I Nyoman., Darmayadnya, A.A. G. 2010. Pelestarian Tata Ruang Tradisional Bali. Seminar Nasional Pola Ruang Tradisional. Departemen Pekejaan Umum. Denpasar. Susila Patra, I M. 1985. Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tiggal Adat Balai. Jakarta: PN Balai Pustaka Tim Peneliti Pola-pola Arsitektur Tradisional Bali. 1979. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.

Terjemahan Lontar Bidang Arsitektur L.01.T., Darmaning Hasta Kosala (Gedong Kertya No. 361), asal Marga, Tabanan. Terjemahan I Ketut Gunarsa, Koleksi BIC Bali. L.02.T., Hasta Bumi (Gedong Kertya No. 243), asal Abian Semal, Badung. Terjemahan I Ketut Gunarsa, koleksi BIC Bali. L.03.T., Hasta Kosali (Gedong Kertya No. 231), asal Uma Abian, Marga Tabanan. Terjemahan I Ketut Gunarsa, koleksi BIC Bali Lontar, Bhama Kertih, 2000. Denpasar : Kantor Dokumentasi Budaya Bali Propinsi Bali. Asal Matring Petak Gianyar. Terjemahan A.A. Ngr. K. Suweda. L.06.T., Hasta Patali (Lontar di Pustaka Gedong Kertiya No. 204), Singaraja

36