1

REKONSTRUKSI DAN REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL [ATB] PADA ARSITEKTUR MASA KINI [AMK] DI BALI

SUATU KAJIAN PELESTARIAN TRADISI BERKELANJUTAN

Oleh Ir. I WAYAN GOMUDHA., MT.1

ABSTRAK

Bali sebagai terminal akhir perjalanan budaya Hindu telah melahirkan berbagai produk budaya, salah satu di antaranya arsitektur tradisional Bali (ATB). Menjelang akhir abad dua puluh menuju abad dua puluh satu, muncullah kekhawatiran akan terjadinya degradasi nilai‐nilai arsitektur tradisional Bali dan berlanjut menjadi krisis identitas.

Ditengarai fenomena tersebut muncul sebagai akibat benturan tata nilai arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan tata nilai arsitektur masa kini (AMK), karena adanya perbedaan tata nilai yang sangat mendasar dalam karakter. Menyikapi benturan yang demikian, perlu sikap rasional dan sadar akan hakekat tradisi yang mentradisi dan proses perubahan yang tak dapat dihindari. Sejalan dengan pemikiran tersebut pada kesempatan ini diajukan sebuah gagasan untuk mengadakan “Reformasi dan Rekonstruksi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) pada Arsitektur Masa Kini (AMK) di Bali”, suatu kajian pelestarian tradisi berkelanjutan.

Arsitektur Tradisional Bali (ATB) merupakan salah satu karya budaya, keberadaannya tercermin dari filosofi, konsepsi, kemampuan teknologis, dan pola pembangunannya yang disesuaikan dengan perkembangan pola pikir masyarakat pada jamannya secara mentradisi. Dalam ATB belum ditemukan teori‐teori arsitektur secara eksplisit, walaupun pedoman instan berarsitektur sudah ada berupa pustaka suci berwujud lontar. Untuk membedah, memilah dan memilih nilai‐nilai dan makna arsitektur yang terkandung dalam ATB diperlukan metode dan ancangan teori arsitektur relefan dalam ranah ilmiah sesuai dengan tema kajian.

Nilai‐nilai arsitektur tradisional Bali (ATB) dan arsitektur masa kini (AMK) dikupas dan digelar melalui teori Semiotika dan Dekonstruksi untuk menemukan nilai‐nilai nirupa/tan‐ragawi dan rinupa/ragawi dari faktor‐faktor dan unsur‐unsur utama rancangan. Teori Analogi untuk memilah dan memilih nilai‐nilai rinupa yang setara, tidak setara dan nilai‐nilai lebih yang dimiliki ATB dan AMK. Selanjutnya teori Langgam, teori Ornamen dan Dekorasi untuk menetapkan nilai‐nilai ATB yang perlu dilestarikan, direformasi dan direkonstruksi, serta menetapkan konsekuensi dan konsistensi bagi ATB dan AMK.

Dari hasil identifikasi, jelajah obyek kasus, nilai‐nilai ATB pada AMK dapat disimpulkan bahwa nilai‐nilai nirupa ATB pada paras substansi‐isi dan bentuk‐isi yang sifatnya sangat mendasar dilestarikan sebagai faktor pengajeg; sedang nilai‐nilai rinupa pada paras ekspresi dapat direkonstruksi dan direformasi sesuai dengan desa, kala, patra; desa mawa cara dan catur dresta. Reformasi dan Rekonstruksi dilakukan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan ATB, sehingga memiliki definisi baru untuk dapat berkiprah dalam milenium mendatang.

Kata kunci: 1. Reformasi. 2. Rekonstruksi. 3. Nilai‐nilai Arsitektur

1 Dosen PS Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. 2

I. PENDAHULUAN

1. Fenomena yang ada di Bali

Manusia selaku makhluk sosial yang berbudaya, baik individu maupun kelompok di dalam kehidupannya memiliki sifat‐sifat dinamis selalu menginginkan perubahan kearah yang lebih baik. Tradisi sebagai hasil kebudayaan manusia, baik itu dalam wujud ide, prilaku maupun dalam wujud fisik (artifact) selalu berkembang dan berubah serta memerlukan perbaikan‐perbaikan melalui proses pembangunan. Dilain pihak ATB belum memiliki ‘teori arsitektur’secara eksplisit, tetapi telah memiliki ‘pedoman yang sangat instan’, yang disusun pada jamannya.

Perkembangan dan pembangunan memang sangat dibutuhkan, namun dilain pihak adanya kekhawatiran terjadi degradasi dan ketidak‐harmonisan nilai‐nilai tradisi sebagai warisan leluhur. Dalam bidang arsitektur terjadi perkembangan wujud fisik yang sangat ‘kontras’ dengan arsitektur dan lingkungan lokal, dikhawatirkan akan terjadi degradasi nilai‐nilai budaya dan alam Bali. Mengantisipasi kekhawatiran ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali kemudian mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor: 2/PD/DPRD/1974, tentang: Tata Ruang untuk Pembangunan; Nomor: 3/PD/DPRD/1974, tentang: Lingkungan Khusus; dan Nomor: 4/PD/DPRD/1974, tentang Bangun‐bangunan. Belakangan juga dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung, dimaksudkan sebagai arahan atau pedoman lebih jelas tentang berarsitektur di Bali.

Tujuan utama Perda ini untuk mengatur tata pembangunan fisik di Bali, juga sebagai upaya pelestarian nilai‐nilai ATB. Perda ini masih bersifat umum dan belum memiliki petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksanaan serta seolah‐olah perda ini disusun untuk disiasati atau dilanggar. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan terjadinya berbagai interpretasi dan persepsi sesuai kepentingan masing‐ masing yang berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur Bali masa kini.

Wujud akhir arsitektur ada yang dinilai berhasil dan ada pula yang justru dinilai melunturkan nilai‐nilai tradisi yang telah ada, nilai sakral diprofankan, penyimpangan fungsi bangunan, tidak kontekstual, eklektis (chaos). Lain kata perkembangan arsitektur di Bali belum terarah dengan jelas, seperti diungkapkan oleh Robi Sularto (1993:6): Kita seolah‐olah terperangkap dan tidak tahu harus memulai dari mana, karena ATB itu begitu utuh dan merupakan ungkapan kehidupan masyarakatnya secara menyeluruh tidak cukup hanya dibenahi oleh Pemerintah, Perguruan Tinggi, maupun badan‐badan profesi, tetapi bagaimana memandunya kearah yang benar untuk generasi mendatang.

Beberapa penelitian telah dilakukan namun hasilnya baru sampai pada tahap deskripsi tata‐nilai dan berbagai kemungkinan allternatif pengembangan ATB. Belum melakukan suatu rencana aksi yang lebih realitis untuk dapat dijadikan pedoman berarsitektur. Untuk itu kajian ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian‐penelitian yang sudah ada dalam rangka pelestarian dan pengembangan nilai‐nilai ATB di masa datang. Hasil kajian diharapkan berupa ‘rumusan rekonstruksi dan reformasi nilai‐nilai ATB pada AMK’, sebagai masukan atau rekomendasi penyusunan konsep rancangan atau design guideline/design criteria/petunjuk teknis dan pelaksanaan suatu peraturan daerah. Rekomendasi tersebut masih bersifat umum, sehingga memberi peluang kreativitas pengembangan lebih lanjut oleh para pelaku pembangunan, dalam berbagai variasi citra dan nuansa. Dengan pengharapan dapat memperkaya khasanah arsitektur Bali dan arsitektur .

3

2. Tinjauan Aspek Hukum meliputi Perudangan‐udangan dan Peraturan

UU RI, No. 28 Th.2002, tentang Bangunan Gedung ; Paragraf 3, Persyatan Arsitektur Bangunan Gedung, Pasal 14 : (1) Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, ayat (1) meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai‐nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa; (2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya.; (3) Ketentuan mengenai penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri PU, No. 29/PRT/2006, 1 Desember 2006, tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung Tujuan , Arsitektur Bangunan Gedung: (1) menjamin terwujudnya bangunan gedung yang didirikan berdasarkan karakteristik lingkungan, ketentuan wujud bangunan, dan budaya daerah, sehingga seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya; (2) menjamin bangunan gedung dibangun dan dimanfaatkan dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Perda Prov. Bali No. 4, Th 1974 Pasal 31: (1) Pejabat pemberi ijin bangunan wajib berusaha/mengarahkan agar kegiatan pembangunan mengarahkan usaha untuk mempertahankan serta memperkembangkan ‘inti’ dan ‘gaya’ ATB yang sekaligus mencerminkan falsafah hidup tradisional masyarakat setempat; (2) Setiap bangunan yang dibangun di Bali ‘wajib memperhatikan prinsip‐prinsip ATB’; (3) Peraturan pelaksanaan’ dari Perda ini, tentang ketentuan‐ketentuan dan penjelasan selanjutnya mengenai gaya arsitektur tradisional bangun‐bangunan Bali, akan diatur lebih lanjut . Perda Prov Bali No. 5, Th 2005 Bagian Ketiga: Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Non Tradisional Bali Pasal 13: (1) Arsitektur bangunan gedung non tradisional Bali harus dapat menampilkan gaya arsitektur tradisional Bali dengan menetapkan prinsip‐prinsip arsitektur tradisional Bali yang selaras, seimbang dan terpadu dengan lingkungan setempat; (2) Prinsip‐prinsip arsitektur tradisional Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini; (3) Pembangunan bangunan gedung dengan fungsi khusus, yang karena kekhususannya tidak mungkin menerapkan prisip‐prinsip ATB, dapat menampilkan gaya arsitektur lain dengan persetujuan Gubernur setelah mendapat rekomendasi DPRD. Dalam UU RI, No. 28 Th.2002 dan Peraturan Menteri PU, No. 29/PRT/2006, menekankan pentingnya pelestarian Arsitektur setempat dengan menjaga keseimbangan antara nilai‐nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa. Persyaratan penampilan bangunan gedung harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Menjamin terwujudnya bangunan gedung yang didirikan berdasarkan karakteristik lingkungan, ketentuan wujud bangunan, dan budaya daerah, sehingga seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya. Sedang Peraturan pelaksanaan’ dari Perda Prov. Bali No. 4, Th 1974, tentang ketentuan‐ketentuan dan penjelasan mengenai inti dan gaya ATB, berupaya dilengkapi dengan Perda Prov Bali No. 5, Th 2005. Namun dalam pelaksanaannya tidak efektif dapat mengarahkan perkembangan arsitektur saat ini. Akhirnya berbagai langgam arsitektur berkembang bebas sesuai dengan interpretasi masing‐ masing pelaksana pembangunan dengan berbagai permasalahan arsitektural yang menyertainya.

4

3. Permasalahan, Strategi dan Metode Kajian Kajian ini dimulai dengan adanya fenomena, bahwa manusia selaku makhluk sosial yang berbudaya selalu menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik melalui pembangunan. Pembangunan memang sangat dibutuhkan, namun di lain pihak munculnya kekhawatiran terutama terjadinya ketidak‐serasian kultural dan keserasian estetika yang merupakan cacat yang harus ditiadakan (sejalan dengan Penjelasan Perda No. 2 th.1974, mengenai Latar belakang diterbitkannya Peraturan Daerah tentang Tata‐ruang untuk Pembangunan). Oposisi biner ini telah memunculkan kontradiksi antara ‘perubahan’ yang diidentikkan dengan ‘modernisasi’ dan ‘keajegan’ yang diidentikkan dengan ‘tradisi’. Fenomena lain memperlihatkan bahwa nilai‐nilai ATB tidak dapat berterima dengan nilai‐nilai AMK yang bersifat modern. Menyikapi fenomena tersebut di atas secara rational, bila ATB diharapkan berkembang tanpa kehilangan identitas, maka proses ‘rekonstruksi dan reformasi’ tak dapat dihindarkan. Diperlukan suatu strategi kearifan untuk melihat dan meletakkan ATB sebagai arsitektur yang lebih ‘netral/universal’, sehingga dapat berterima dengan arsitektur yang lebih menjagat. Penjelajahan dalam ranah ATB yang tumbuh dan berkembang membulat dengan Agama Hindu, adat‐ istiadat dalam tradisi masyarakat Bali yang demikian kuat, akan memunculkan hasil dan persepsi yang berbeda‐beda sebagi berikut : 1) Cukup sulit memilah dan memilih mana nilai‐nilai subtansial dan mana nilai‐nilai ekspresi untuk dapat menyusun strategi dan metode pelestarian dan pengembangan ke depan. 2) ATB memiliki pedoman baku dan sangat instant untuk berarsitektur berupa pustaka‐pustaka suci/teks, tertulis berujud lontar‐lontar atau awig‐awig dan berujud verbal/ceritera/mythos yang diturunkan secara gugon tuwon, sehingga memerlukan interpretasi dan persepsi holistik. Teks dan ceritera verbal ini dapat disebut sebagai pakem/tertib langgam/content. 3) Dokumen rancangan hanya berupa gegulak/sukat lantang dan bawak berupa bilah bambu yang berisikan ukuran‐ukuran panjang, lebar dan tinggi dengan modul dasar “r a i”. Sukat bambu ini akan dihancurkan pada saat penutupan upacara pemelaspas/pengurip bale. Merupakan upacara pengalihan fungsi dari komponen/bahan menjadi wujud bangunan/bale, bermakna pengurip/ pemberian jiwa menjadi setara bhuana agung. Sukat tersebut tdak dapat dipakai untuk bale milik orang lain. Hasil implementasi di lapangan berupa tinggalan artefak yang beragam dan masing‐ masing berbeda. Kesulitan ini memerlukan suatu metode penelusuran/pembacaan teks dan artefak ATB, sehingga dapat menggelar nilai‐nilai dan makna yang terpendam dalam ATB.

4. Tinjuan Pustaka Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia sejak bulan Juli 1997 telah dilanda krisis moneter dengan anjloknya nilai Rupiah terhadap mata uang asing. Krisis ini terus berlanjut menjadi krisis ekonomi dan kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat rezim Orde Baru. Kondisi ini telah memicu demonstrasi mahasiswa di Jakarta dan daerah‐daerah lainnya yang menuntut ‘reformasi atau perubahan’ disegala bidang kehidupan (politik, sosial, ekonomi dan budaya). Kondisi serupa terjadi pula di Bali dalam perkembangan arsitektur saat ini sedang terjadi masa eklektik yang disharmonis (chaos). Tercampur‐baurnya berbagai nilai dan gaya/langgam arsitektur dalam suasana pertempuran antara yang tradisional/vernakular dengan modern/universal; antara sikap konservatif selaku ‘agen pelestari’ dengan sikap modern revolusioner selaku ‘agen pengubah’ tatanan yang sudah ada. Bila hal ini dibiarkan berlarut‐larut ditengarai dapat menyebabkan degradasi nilai‐ nilai ATB sebagai warisan budaya Bali dan Nusantara. Sejalan dengan pemikiran tersebut dalam kajian ini ‘reformasi’ yang dimaksud bukanlah suatu gerakan massal yang dilakukan dengan tata‐cara demonstratif, tetapi merupakan upaya, menyatukan 5

dan menyusun kembali (re‐construction) serta mengadakan ubah‐suai (re‐formation) atas ‘wujud/bentuk’ (re‐form) dan ‘bentukan/formasi’ (re‐formation) nilai‐nilai dari faktor‐faktor dan unsur‐ unsur rinupa/ekspresi arsitektur. Dengan demikian diharapkan akan terjadi keseimbangan yang mantap dan hubungan yang harmonis antara masyarakat selaku isi (bhuana alit) dengan arsitektur dan lingkungan (bhuana agung) selaku wadah. Filasafat Dekonstruksi Derrida menawarkan pemahaman dan perspektif baru tentang arsitektur, sehingga proses pemikiran kembali (rethinking) premis dan kaidah tradisi arsitektur dapat dilakukan. Arsitektur sebagai suatu hasil karya dapat dipandang sebagai kumpulan tanda‐tanda atau sebuah teks yang mengkomunikasikan nilai‐nilai, makna/arti yang ada dibalik wujud fisiknya. Oleh karenanya ada peluang dipinjam untuk “membaca maupun membuat” hasil karya arsitektur dengan strategi dan metode Dekonstruksi Derrida. Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang di kehidupan manusia. Gagasan semiotik mulai memasuki arena perdebatan arsitektural di Italia pada tahun 1950‐ an, sedang aplikasinya meluas dengan pesat pada awal tahun 1970‐an, terutama di Amerika Serikat [Sukada, 1992:1, Iwan Sudradjat, 1992:1, Tjahjono 1992:4]. Teori Semiotik dipinjam untuk menggelar nilai‐nilai berupa pernik dan manik ATB, model yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Louis Hjelmslev. Dalam model ini arsitektur dibedakan menjadi dua paras yaitu: ‘paras isi’ (level of content) dan ‘paras ekspresi’ (level of expression), kemudian keduanya dibagi lagi menjadi sub ‘paras bentuk’ (form) dan sub ‘paras substansi’ (substance) seperti diagram Diagram‐01 sebagai berikut:

s (substance) Content/isi f (form) Archiitecture CULTURAL UNIT POSSIBLE UNITS f (form) Expression/ekspresi s (substance)

 Substance of content (substansi/kadar isi) sebagai petanda (signified) adalah mencakup ‘nilai‐nilai, ide‐ide/filosofi dan makna’ yang melatar belakangi konsep perwujudan hasil karya arsitektur.  Form of content (bentuk isi) sebagai petanda (signified) adalah segenap himpunan konsep‐konsep perencanaan dan perancangan arsitektur yang akan ditransformasikan ke dalam wujud/ekspresi karya arsitektur.  Form of expression (bentuk ekspresi) sebagai penanda (signifier) adalah form of content yang telah diekspresikan atau ditransformasikan ke dalam bentuk/wujud fisik, baik secara utuh maupun komponennya.  Substance of expression (substansi/kadar ekspresi) sebagai penanda (signifier) adalah segenap unsur‐unsur pembentuk dari form of expression wujud arsitektur.

5. Positioning ATB dalam Budaya Bali

Posisi ATB dalam konteks budaya Bali dilandasi oleh Agama Hindu, dimana dalam pelaksanaannya telah disesuaikan dan dikembangkan menurut tempat, waktu dan kondisi dan kehidupan masyarakat di Bali. Penyesuaian ini telah membentuk nilai‐nilai, norma‐norma, pandangan‐pandangan serta hukum‐hukum yang dikembangkan tetap berlandaskan pada ajaran agama semula, yang disebut ‘adat agama’. Di samping berkaitan dengan adat dan agama masih ada faktor yang mempengaruhi ATB yaitu ‘tradisi’ dari masyarakat di mana dia tumbuh. Tradisi dimaksud adalah unsur‐unsur asli yang dimiliki masyarakat dan diwariskan secara turun temurun. Posisi ATB di antara ketiganya berada ditengah‐tengah dipengaruhi dan dibentuk oleh Agama, Adat Agama dan Tradisi. 6

Akibat hubungan antara unsur‐unsur kebudayaan yang dilandasi agama Hindu telah melahirkan ‘nilai‐nilai’ yang melandasi kehidupan masyarakat Bali dengan nuansa religius. Hubungan antara wujud ide dengan wujud aktivitas melahirkan adat‐istiadat/awig‐awig yang mengatur dan menata aktivitas itu berjalan sejalan dengan norma‐norma agama Hindu. Hubungan wujud ide dengan wujud fisik/artefak melahirkan konsep‐konsep lingkungan bina/buatan yang akan ditransformasikan menjadi hasil karya budaya termasuk ATB di dalamnya. Hubungan wujud aktivitas dengan wujud fisik/artefak melahirkan pola hunian/pola menghuni yaitu bagaimana masyarakat Bali menjaga keharmonisan hidup dan penghidupannya dalam suatu bentuk hunian/permukiman, liaht Diagram‐02, Diagram‐03, Diagram‐04, (Gomudha, 1999:278).

AGAMA ADAT

ADAT AGAMA

Diagram 02. HUBUNGAN Diagram‐03. HUBUNGAN ATB ‐ Diagram. 04. HUBUNGAN AGAMA ‐ ADAT AGAMA ‐ ADAT ‐ TRADISI ATB – AGAMA ‐ KEBUDAYAAN Arsitektur Tradisional Bali (ATB) secara garis besar terdiri atas tiga kelompok/tipologi yaitu: 1) arsitektur tempat suci/parhyangan; 2) tempat tinggal/pawongan; dan 3) bangunan fasilitas umum/palemahan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan modernisasi, maka tekanan perubahan dan permasalahan arsitektur dari yang paling kecil/ringan terjadi mulai dari kelompok: 1) Parhyangan; kondisi masih ajeg, karena terkait dengan kepercayaan dan adat‐istiadat; 2) Pawongan mengalami perubahan terbatas; dan yang paling besar terjadi pada kelompok 3) Bangunan fasilitas umum/ palemahan yang tidak terikat pada adat‐istiadat. Besarnya tekanan perubahan dan permasalahan pada kelompok sbb: Pertama : bangunan fasilitas umum/Palemahan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor: i) acuan pustaka tradisional untuk bangunan fasilitas umum sangat terbatas pada varian atau tipologi. Referensi yang diacu sebagai pedoman, adalah arsitektur hunian/Pawongan, sehingga dalam implementasinya sering terjadi disharmoni tata‐nilai, konsep dan ekspresi. ii) Tumbuh dan berkembangnya aktivitas‐aktivitas baru membutuhkan tipe bangunan baru yang lebih modern/kontemporer, sedang prinsip‐prinsip ATB tidak sepenuhnya dapat berterima pada bangunan modern. iii) Secara fungsional kelompok bangunan tipe baru ini tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan kegiatan keagamaan dan adat istiadat masyarakat. Kedua: bangunan hunian yang dipengaruhi oleh beberapa faktor: i) hunian ATB hanya harmonis dan lestari bila dihuni oleh satu keluarga utama/anangga ayahan desa; ii) keterbatasan luas lahan yang tersedia sebagai pengembangan rumah induk/pokok; iii) perubahan gaya hidup sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau jaman. Ketiga: kelompok bangunan parhyangan umumnya terjadi perubahan dan penggantian bahan bangunan yang lebih kuat dan tahan lama berupa batu tabas/batu lahar yang berasal dari Karangasem yang bersifat seragam.

II. KAJIAN NILAI-NILAI ARSITEKTUR SEBAGAI INTI [CONTENT] DAN GAYA [EXPRESSI] ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI [ATB]

1. Hasil Penelitian yang telah ada Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mendapatkan beberapa variasi nilai‐nilai ATB, sebagai akibat membulatnya antara nilai‐nilai agama, adat‐istiadat dan arsitektur yang cukup sulit dipilah dan dipilih, seperti : 7

 Eko Budiardjo: 1) Tri Loka (hirarki space), 2) Tri Angga (pembagian wujud), 3) Manik ring cecupu (keseimbangan kosmos), 4) konsep halaman terbuka;  Sulistyawati : 1) konsep filosofi (philosophical concept), 2) prinsip praktis (practical concept), 3) prinsip menguntungkan (beneficial principles); dan  NKA Siwalatri : 1) konsep natah, 2) sanga mandala, 3) tri loka.

2. Identifikasi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali 2 Filosofi Kosmos dan Filosofi ATB Masyarakat Bali dalam hidup dan kehidupannya yakin dan percaya bahwa segala isi alam semesta ini ada melalui suatu proses Tapa dalam wujud Tri Kona : Utpeti (kelahiran), Sthiti (kehidupan) dan Pralina (kematian). Keberadaan makluk hidup manusia (tri pramana) dan alam semesta terdiri atas ‘unsur yang sama’ yakni Tri Hita Karana. Tri: tiga; Hita: baik, senang, gembira, dan Karana: sebab‐ musabab atau sumbernya, berarti ‘tiga jenis unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbul kebaikan atau kehidupan’. Unsur unsur tersebut dalam manusia selaku Bhuana Alit terdiri atas: Atma/jiwa manusia yang menyebabkan hidup; Prana atau tenaga, yakni kekuatan (bayu, sabda, idep) atau daya yang timbul akibat menunggalnya atma dengan angga/sarira; Sarira atau badan wadag manusia. Dalam alam semesta selaku buana agung terdiri atas: Paramaatma adalah sinar suci Hyang Widhi selaku jiwa alam semesta; Prana adalah segenap tenaga alam; dan Angga /Sarira/fisik alam semesta. Sejalan dengan Ganapati Tattwa diyakini bahwa unsur sarira manusia dan alam semesta terbentuk dari unsur‐unsur yang sama Panca mahabhuta yakni: zat cair (apah), zat padat (pertiwi), angin (bayu), panas (teja), dan ether (akasa). Pada alam‐semesta/tubuh besar (makro kosmos) membentuk susunan struktur ‘Tri Loka’ (bagian dari Sapta‐loka). Struktur alam dikuasai oleh zat padat dan zat cair disebut Bhur‐loka, alam yang dikuasai oleh zat padat dan teja disebut Bhuah‐loka, alam yang dikuasai oleh sinar dan bayu disebut Swah‐loka/Swarga‐loka/Dewa‐loka). Sedangkan pada tubuh manusia (jagat kecil/mikro kosmos) terbentuk susunan struktur ‘Tri Angga’ terdiri atas: kepala (utama angga), badan (madya angga) dan, kaki (nista angga). Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma, artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin (moksa) adalah sebagai tujuan agama Hindu. Untuk mencapai tujuan ini manusis didalam kehidupannya harus menjalin hubungan yang “harmonis” dengan alam semesta. Implementasi harmonisasi ini diwujudkan dalam skala ruang yang lebih terbatas dan dapat dirasakan keberadaannya. Terwujud dalam ruang skala teritorial Bali, Desa Pekraman/Adat, Paumahan dan Bale sampai pada komponen arsitektural/Bale lihat Tabel‐01 dan Tabel‐02 berikut: a. Nilai‐nilai substansi konsep (substance of content) tata‐ruang pada tingkat gama (regional Bali) adalah : Nilai‐nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara), Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung didalam kehidupannya hendaknya selalu harmonis Tabel ‐01:

BHUANA ALIT H BHUANA AGUNG USUR MANUSIA A UNSUR ALAM PALEMAHAN DESA PALEMAHAN UMAH Atma R Paramatma Parhyangan Sangah/Mrajan Prana Pawongan/Kerama Pawongan/Penghuni M Prana/segenap Tenaga Alam (bayu,sabda,idep) Desa Umah O Angga Sarira N Panca Mahabhuta Palemahan Palemahan Y

2 Gomudha, I Wayan (1999), Kajian Thesis S2, Institut Teknologfi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Surabaya 8

b. Nilai‐nilai konsep (form of content) tata‐ruang pada tingkat gama (regional Bali) adalah : nilai hulu ‐ (tengah) ‐ teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan unsur Angga dalam wujud yang selalu harmonis Tabel‐02:

BHUANA ALIT BHUANA AGUNG NILAI ANGGA ANGGA ALAM PALEMAHAN PALEMAHAN PALEMAHAN BANGUNAN MANUSIA H SEMESTA DESA PURA UMAH A 1. Swah Loka/ R Sanggah/ UTAMA / Kepala Gunung/Kaja/ Parhyangan Jeroan Atap Parhyangan HULU M Kangin O 2. Buah Loka/ N Tegak Umah/ Pengawak/ MADYA / Badan Dataran/Tenga Paumahan Jaba Tengah Pawongan Badan TENGAH Y h 3. Bhur Loka/ NISTA/ Kaki Setra Jaba Pisan Teba/Sesa Batur Laut/Klod/Kauh TEBEN c. Nilai‐nilai ekspresi (form of expression) tata‐ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/Sima adalah: Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai zona horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality. d. Nilai‐nilai ekspresi (form of expression) pada sebuah Hunian ATB adalah : Penyengker, Paduraksa dan Angkul‐angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul‐angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni Jaba ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni. KANGIN‐UTAMA Gbr‐01 Hunian Bali Aga KAJA‐UTAMA

KLOD‐NISTA

KAUH‐NISTA Gbr‐02 Hunian Bali Arya Klasifikasi tipologi ini akan tercermin dari wujud Peyengker dan Paduraksa dan terpadu dengan Kori/Angkul‐angkul sebagai keluar‐masuk penghuni. Penyengker berasal dari kata ‘sengker’ yang artinya kurung (‘kurung’), kurung itu sendiri memiliki pengertian dan fungsi: pertama sebagai tanda untuk mengumpulkan beberapa unsur menjadi satu kelompok yang membentuk satu unit hunian; kedua mengkonotasikan suatu keberadaan di dalam rumah, kamar/bilik/sangkar; dan ketiga melindungi dan mewadahi segala sesuatu yang ada di dalam kurungan, [Gbr‐02] Sebagai petanda, pertama penyengker berfungsi sebagai batas properti dari sebidang tanah, pada tempat mana terkumpul unsur‐unsur fisik pembentuk hunian beserta penghuninya. Pada pengertian kedua, penyengker yang dilengkapi ‘Angkul‐angkul’ dan ‘Paduraksa’ menandakan suatu unit ‘umah’ dan sekaligus berfungsi sebagai petunjuk status penghuninya, apakah sebagai Griha untuk profesi Brahmana, Puri untuk profesi Ksatria, Jero bagi Ksatria yang tidak memegang jabatan, Jeroan bagi profesi Waisya, serta Umah atau Kubu bagi golongan masyarakat kebanyakan. Pengertian ini menandakan bahwa penyengker, Paduraksa dan Kori dapat dipandang sebagai satu unit bangunan rumah, dalam hal ini Hunian Bali Aga [Gbr‐01] setara dengan Hunian Bali Arya [Gbr‐02]. 9

Gugus‐gugus massa di dalam penyengker yang disebut ‘Bale’, akhirnya setara peruntukannya sebagai bilik‐bilik rumah sebagaimana pengertian rumah non tradisional pada umumnya. Sedang pengertian melindungi dan mewadahi, di samping berfungsi sebagai pelindung dari pengelihatan (privacy); juga sebagai pelindung bagi segenap isi dari marabahaya (keselamatan/keamanan) baik secara nyata maupun magis, dengan adanya Paduraksa pada keempat sudut pertemuannya (Sri Raksa, Aji Raksa, Rudra Raksa dan Kala Raksa). Sebagai wadah hunian, penyengker akan memberi kan suatu keleluasaan dan kenyamanan bagi isinya untuk beraktivitas didalamnya, [Gbr‐02.]. Sejalan dengan profesi penghuni, maka luas pekarangan ditetapkan dengan ukuran utama: depa agung, depa alit dan ahasta, amusti, anyari adalah pengurip (pelebih), dengan klasifikasi: untuk Satria, Lembu Agung bagi Prabali, dan Gajah untuk Brahmana, masing‐masing klasifikasi ini dibagi lagi dengan klasifikasi: utama (besar), madya (sedang) dan nista (kecil). Pembagian ini dapat dibagi lagi menjadi sembilan klas: utamaning utama, utamaning madya, dan utamaning nista; madyaning utama, madyaning madya, dan madyaning nista; nistaning utama, nistaning madya, dan nistaning nista. Bila dipandang perlu yang sembilan klas ini dapat digandakan dengan cara yang sama, sehingga didapat dua puluh tujuh klas atau variasi ukuran pekarangan, demikian seterusnya, [Gbr‐03 & Gbr‐04]. Sebidang tanah yang sudah ter‐sengker diibaratkan sebagai sebidang kertas kosong berbentuk segi empat panjang diletakkan di tanah dengan orientasi Kaja‐Klod dan Kangin‐Kauh (gunung‐laut dan matahari terbit‐matahari terbenam). Kemudian gugus‐gugus massa berupa bale ditata dengan satuan ukuran tapak kaki untuk kegiatan manusia (Pawongan dan Palemahan), dan tapak tangan untuk tempat suci (Parahyangan). Penggunaan unsur‐unsur antropometri sebagai satuan dasar ukuran, merupakan upaya kesesuaian dan keharmonisan antara penghuni selaku isi (buana alit) dengan bale selaku wadahnya (disetarakan buana agung). Kelipatan ukuran ini didasarkan atas kelipatan perhitungan asta dewa (delapan personifikasi dewa) dari perhitungan ini akan menentukan watak bale. Setiap satuan ukuran dan pengurip yang dipilih, masing‐masing membawa perwatakan yang diyakini berpengaruh terhadap keberuntungan penghuni, [Gbr‐04]. Bale dalam ATB sesungguhnya setara dengan bilik (room), karena Penyengker, Paduraksa dan Kori sebagai penanda Umah atau Rumah. Bale berfungsi serba guna, pada malam hari sebagai tempat tidur/kamar tidur (bed room) dan pada siang hari sebagai tempat melakukan kegiatan rumah tangga lainnya seperti menerima tamu, bekerja, upacara, memasak/, makan, menyimpan dan sebagainya, jadi peruntukannya dapat berlapis‐lapis (layering). Pada hunian standar setiap umah memiliki beberapa bale yang ditata menganut suatu pola yang tersirat dan tersurat dalam lontar‐lontar: Asta‐bumi, Sikuting Umah, Asta‐kosali, Asta‐kosala, Swakarma, dll. [Gbr‐ 04]

Gbr‐03. STUAN UKURAN ANTROPOMETRI Gbr‐04. STUAN JARAK ANTROPOMETRI Sumber: Meganada 1990 Sumber: Meganada 1990 10

Gbr‐05.TIPOLOGI BALE DALAM HUNIAN ATB Gbr‐06.DIAGRAM PROGRAMMATIC DECONSTRUCTION Sumber: Sulistyawati 1995 Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan nilai guna, misal Bale Dangin letaknya di bagian Timur, juga disebut Sumanggen karena digunakan kuburan sementara (Sema‐anggen) sebagai tempat upacara orang mati. Bila ditelusuri lebih jauh jejak‐jejak bale dan disandingkan dengan metode dan strategi rancangan dekonstruksi yang digunakan oleh Bernard Tschumi di proyek Park de la Villette Paris 1982 [Gbr‐06], maka ada kesamaan prinsip bahwa “umah Bali Arya [Gbr‐05]” berasal dari “rumah Bali Aga [Gbr‐01]” setelah diexploded kemudian direkomposisi menjadilah umah. Hal ini sebagai upaya mendekatkan diri terhadap alam selama dua puluh empat jam sehari. e. Tata Bangunan : Sosok dan bentuk wujud fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah (bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan sebagai proporsi fisik/angga manusia yakni Tri Angga (kepala nilai utama, badan nilai madya dan kaki nilai nista). Pembagian ini diberlakukan secara konsisten dan konskuen hingga ke bagian yang sekecil‐kecilnya dari sosok dan bentuk. Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek/antropometri dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah), sehingga skala dan proporsi ruang dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of human scale” dan “out of human proportion”serta akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang yang lebih luas didapat dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar dimensi ruang atau bangunan, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat. Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya memperkuat harmonisasi, sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang diinginkan. Ornamen dan dekorasi bersifat kontekstual sesuai dengan tata‐nilai atau karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan, misal : (karang Gajah ditaruh di bawah, karang Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas). Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan, sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi‐dayakan dan dapat didaur‐ ulang. Penggunaan batu Cadas sebenarnya hanya diperuntukan bagi bangunan Puri dan Pura, sedang bagi paumahan hanya menggunakan citakan atau polpolan. Bahan disusun dari bawah yang berkarakter berat makin keatas makin berkarakter ringan, hal ini sejalan dengan logika pembebanan yang meberikan tingkat keamanan bangunan yang tinggi. Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem knock down, sehingga gampang dibongkar‐pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni utama (anangga ayah). Sebagai indikasi bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh ‘hanya satu keluarga yang beragama Hindu’ dan bukan sebagai obyek warisan. Setiap keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib ‘Ngarangin’ dan membuat bangunan yang sesuai dengan sikut antropometri dan kemampuan dirinya. 11

3. Rekonstruksi (re‐construction) dan Reformasi (re‐form; re‐formation) nilai‐ nilai ATB pada Arsitektur Masa Kini (AMK) sebagai upaya pelestarian tradisi berkelanjutan melalui perkawinan/hybrid, sehingga lahir dalam wujud dan dimensi baru untuk dapat berkiprah kemasa depan a. Nilai‐nilai Substansi Isi (Substance of Content) Arsitektur. Nilai‐nilai ATB agar tetap lestari dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat Bali, reformasi dilakukan hanya pada sub paras ekspresi (form of expression dan substance of expression), sedang sub paras substansi isi (substance of content) yaitu keharmonisan Bhuana Alit dan Bhuana Agung dilestarikan. Walupun demikian pada sub paras bentuk isi (form of content) tidak tertutup kemungkinan diadakan perubahan‐perubahan/reformasi terbatas dengan metoda ‘transformasi’ dan ‘modifikasi’. Perubahan tersebut tetap mengacu kepada: tempat (desa), waktu (kala), kondisi/sasaran yang tepat (patra); Desa mawa cara (setiap tempat memiliki adat/kebiasaan sendiri); dan Catur dresta (purwa/kuna dresta, loka dresta, desa dresta dan sastra dresta) pengambilan keputusan yang didasarkan atas berbagai pertimbangan rasional atau kebiasaan yang dapat diterima semua pihak. Setiap petak site atau lahan yang dikembangkan di Bali wajib mengacu kepada tata‐nilai Hulu‐ Teben, dilengkai tempat Suci (House Hold Temple) terutama untuk bangunan fasilitas publik dimana sebagian besar karyawannya beragama Hindu, sebagai pengejawantahan Tri Hita Karana (parhyangan, pawongan dan palemahan). Hubungan antara manusia, bangunan dan alam lingkungan tetap harus dijaga agar tetap harmoni. Harmonisasi antara manusia dengan ruang dan bangunan, implementasi pembagian tiga Tri Angga tetap diacu secara proporsional, sehingga tidak terjadi out of human scale dan out of human proportion dan tetap humanis. Menghadapi permasalahan adanya tuntutan pengembangan konsep dan ekspresi ATB pada AMK; dalam suatu organisasi fungsi yang lebih kompleks, lahan sempit, perubahan tata‐nilai tradisional menjadi ke‐modern‐an, dan bangunan tidak dominan terhadap lingkungan, maka konsep massa majemuk dapat di re‐konstruksi menjadi konsep massa tunggal/monolit yang lebih kompak, namun nilai‐nilai konsep ATB secara esensial masih dapat dikenali dalam rancangan yang baru. Demikian pula sebaliknya apabila dibutuhkan ruang yang luas atau massa yang besar, maka massa yang besar tersebut di de‐konstruksi menjadi massa kecil‐kecil, sehingga tidak dominan terhadap lingkungan. Ujud Natah sebagai centrality yang bermakna pertemuan antara bapak Akasa (langit) dengan (bumi) diganti dengan ujud void/courtyard sebagai sumber dari segala kehidupan. Sebagai ilustrasi, nilai‐nilai konsepsi dan ekspresi spasial Umah ATB [Gbr‐02] sebagai de‐konstruksi Umah Bali Aga [Gbr‐01] dapat di (Re‐) Konstruksi (reconstruction) atau disusun kembali menjadi ‘Rumah Bali Modern yang Indonesiawi’, dengan formulasi (R + umah ATB = Rumah Bali Modern Indonesia). Rekonstruksi sebenarnya sudah dilakukan secara terbatas seperti pada spasial tempat suci hunian tipikal Desa Kuno Bugbug Karangasem Bali. Konsep operasional desa, kala, dan patra, catur dresta (empat jenis cara pandang/pertimbangan) memberikan peluang dan fleksibilitas yang sangat tinggi seuai kebutuhan fasilitas dan kemampuan dimasa dating. b. Tata ruang dan Orientasi. Secara umum esensi tata ruang yang dapat direspon pada kondisi awal adalah ‘kesan’ dan ‘suasana ruang/atmosphere’. Kesan berkaitan dengan wujud/sosok, dan suasana berkaitan dengan rasa ruang, kesan dan suasana tak akan tergarap, bila tidak menggarap permukaan‐ permukaan dari semua bagian arsitektur sebagai elemen pembentuk ruang. Kata lain elemen‐ elemen pembentuk ruang menjadi penting untuk digarap sejalan dengan rumusan rekonstruksi dan reformasi secara terpadu. 12

Bentuk dan formasi tata ruang dalam ATB dapat disesuaikan dengan kebutuhan tata ruang AMK yang disusun atas dasar pola aktivitas/hubungan ruang dan sirkulasi yang diturunkan dari fungsi, sehingga bersifat fungsional dan rasional, tetapi pengarapan elemen‐elemen pembentuk ruang tetap mengacu kepada nilai‐nilai/karakter ATB. Formasi orientasi/kiblat kompas (kaja‐klod), kiblat kosmik (kangin‐kauh) tetap dipertahankan apabila fasilitas umum tersebut diperuntukkan bagi masyarakat Bali, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan dan adat‐istiadat/kebiasaan masyarakat. Formasi orientasi/kiblat ini dapat direformasi apabila fasilitas umum tersebut semata‐mata diperuntukkan bagi masyarakat non Bali atau asing yang tidak peduli dengan masalah perkiblatan, tetapi lebih mengutamakan view. Pola ruang Natah dapat diterapkan pada gubahan massa majemuk, dengan wujud terbuka (open air), diletakkan di tengah gugus‐gugus massa sebagai sentral (centrality). Bentuk dan formasinya dapat di ubah‐suaikan dalam gugus massa monolit, sebagai void yang dikitari oleh gugus‐gugus ruang aktivitas atau massa bangunan. Pola Tri Mandala, sebagai pola tiga zona horizontal yang terdiri atas: jaba pisan, jaba tengah, dan jeroan, dapat direformasi (bentuk dan formasinya dapat di ubah‐suaikan) untuk diterapkan pada rancangan yang memiliki tiga klasifikasi hirarki pembagian aktivitas: jaba untuk aktivitas publik, jaba tengah untuk aktivitas semi‐publik, dan jeroan untuk aktivitas private. Kandungan tata nilai masing‐masing zona disesuaikan dengan keyakinan/kepercayaan pemakai. Pola Sanga Mandala sebagai pembagian sembilan zona dengan tata nilai masing‐masing, dapat diterapkan pada gubahan massa majemuk yang menghendaki adanya pembagian klasifikkasi/ hirarki akktivitas yang cukup kompleks. Bentuk dan formasinya dapat direformai untuk diterapkan pada rancangan massa monolit, dengan membuat void di tengah sebagai centrality. Tata nilai masing‐masing zona disesuaikan dengan hirarki aktivitas yang ada bila diperlukan. Pola Tri Loka sebagai pembagian tiga zona vertikal dan bersifat universal, dalam skala ruang/ bangunan dapat diterapkan pada tata ruang vertikal dengan mengambil analogi bahwa bhur‐loka untuk parkir/gudang/service, bhuah‐loka untuk aktivitas publik/manusia, dan swah‐loka untuk aktivitas‐aktivitas utama seperti ruang pertemuan/rapat/mushola/ruang suci. Dalam hunian urban bhur‐loka: untuk bisnis/garage/service; bhuah loka: untuk aktivitas hunian; dan swah loka: untuk tempat suci/Merajan. Tata nilai disesuaikan dengan kepentingan aktivitas dan kepercayaan pemakai. Bentuk dan formasinya dapat digabung dengan Pola Sanga Mandala, sehingga akan didapat dua puluh tujuh nilai/karakteristik zona bila diperlukan. c. Tata letak/Setting Massa. Penentuan tata letak dalam ATB yang didasarkan atas tata nilai (utama, madya, nista) bentuk dan formasinya dapat diubah‐suaikan menjadi berdasarkan pada kepentingan aktivitas, sepanjang aktivitas yang ditampung tidak memimiliki tata nilai sakral. Seperti tata letak fasilitas tempat suci pada suatu fasilitas umum (household temple) tetap mengacu kepada orientasi/kiblat ATB. Hadirnya sosok massa besar dalam AMK dengan organisasi ruang yang sangat kompleks akan memunculkan dominasi massa terhadap lingkungan. Untuk menghindari dominasi maka bentuk dan formasi pola ruang yang memunculkan massa besar, didekonstruksi menjadi massa yang lebih kecil dan ditata/setting sebagai massa majemuk, pada kondisi ini ada kesempatan untuk menerapkan nilai‐nilai ATB. Demikian pula sebaliknya sebagai akibat lahan sempit mengharuskan muncul massa monolit, maka nilai‐nilai setting massa/tata ruang ATB dapat direkonstruksi kembali, sehingga dapat diciptakan tata ruang lebih kompak senilai dengan tata ruang ATB. Penentuan ukuran tata letak dalam ATB yang menggunakan ukuran satuan tapak kaki/antropometri), dapat diubah suaikan dengan satuan ukuran ‘meter’, Penggunaan ukuran ‘pengurip’ dapat diabaikan, karena bersifat dogmatis di samping dampak yang ditimbulkan akibat penggantian satuan ukuran pengurip ini belum ada penelitiannya. 13

Keberadaan karang tuang/sesa/margin pada sisi dalam tembok penyengker harus tetap dipertahankan untuk memberi peluang terciptanya sosok dan/atau bentuk Bali, di samping pertimbangan teknis lainnya (faktor keamanan, pencegahan kebakaran, sirkulasi udara, penghijauan). Tata letak bebas sebagai dikenal pada AMK dapat dilakukan pada kawasan yang mengutamakan view dan sebagai akibat penyelesaian setting sudut, sepanjang tidak mengganggu setting kawasan secara keseluruhan menjadi semrawut. Di dalam kebebasan setting, minimal ada bagian‐bagian dari suatu kompleks/kawasan tersebut menganut sistem tata letak dengan perkiblatan ATB. d. Tata bangunan  Sosok Bangunan Melestarikan aspek nirupa/tan‐ragawi/makna dapat dilakukan dengan mengubah sosok/ragawi bangunan, sebagai konsekuensinya akan muncul sosok baru yang berbeda dengan sosok ATB. Demikian pula sebaliknya mempertahankan sosok ATB yang kurang sesuai terhadap fungsi baru akan berakibat melunturkan nilai‐nilai/makna ATB, seperti sosok dipakai untuk fungsi kamar tidur hotel, Tugu tempat suci untuk tempat lampu stage. Menggubah sosok ATB dengan jalan mengubah ukuran/skala akan memunculkan disharmoni atau out of human scale/proportion. Bentuk dan formasi sosok bangunan AMK tidak dapat diterapkan di Bali, sehingga yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan elemen‐elemen/komponen‐komponen dari sosok AMK dalam bentuk dan formasi baru (hibrida) untuk menciptakan sosok AMK baru yang berterima di Bali. Di samping itu sosok dalam ATB memiliki karakter sebagai bangunan tropis yang berpenampilan Bali juga memiliki susunan struktur fisik tri angga yaitu adanya “pembagian tiga” yang jelas antara bagian atap (kepala), dinding/tiang (badan) dan batur (kaki) secara proporsional. Bila mau konsisten dengan sosok Bali, maka sejak awal rancangan telah memperhatikan karakteristik sosok Bali dan proporsi tri angga dengan baik termasuk bagian‐bagian detail dari tri angga secara proporsional.  Bentuk Bangunan Adanya perbedaan yang mendasar karakteristik bentuk ATB dan AMK, walaupun dengan bentuk dasar yang sama (primary form) adalah terletak pada tatacara olah bentuk; yang ATB sebagai handicraft dan yang AMK sebagai produk industri/mesin. Pengolahan tatacara handicraft dapat diubah‐suaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sepanjang hasil bentuk dan formasi bentuk yang muncul tidak dominan sebagai produk mesin. Bentuk ATB pada hakekatnya merupakan suatu formasi dari bentuk‐bentuk yang sifatnya ornamental dan dekoratif menyatu di dalam wujud yang utuh.  Skala dan Proporsi Bagi ATB, skala dan proporsi merupakan pertimbangan yang sangat penting untuk dapat menciptakan keharmonisan hubungan antara manusia selaku isi dan arsitektur selaku wadah. Ekspresi bentuk fisik manusia (tri angga) tercermin pada bentuk dan formasi struktur fisik arsitekturnya. Out of human proportion, dan out of human scale tidak dapat dihindari dengan hadirnya sosok massa besar dan tinggi pada AMK. Kondisi ini dapat dihindari/dieleminir dengan melakukan penggubahan bentuk kotak menjadi konfigurasi bentuk kotak dinamis (splite level/punden berundak, penambahan penampil) pada ujung‐ujung bangunan (seperti bentuk bangunan guest rooms block Club Mediterranee, Nusa Dua). Mendekontruksi massa besar seolah‐ olah menjadi massa kecil‐kecil namun tetap kompak.

14

 Ornamen dan Dekorasi sebagai Ragam Hias Arsitektur Bentuk dan formasi ornamen dan dekorasi ATB sejalan dengan karakter AMK dapat diubah‐ suaikan/direformasi sebagai karakter modern yang lebih sederhana/simplisity wujud. Untuk mendukung penyederhanaan wujud ini dapat dipilih metoda penampilan ‘konsepsual obyek’ yaitu ornamen dan dekorasi yang ditampilkan berupa bagan dan berwujud abstrak dalam bentuk ‘pepalihan’ atau tata‐hias abstrak lainnya untuk penampangan arsitektur. Metoda ‘visual obyek’ yaitu ornamen dan dekorasi yang ditampilkan secara tuntas/terselesaikan/real dalam bentuk ukiran atau tata‐hias lainnya hanya untuk penyelesaian ragam hias interior. Ornamen dan dekorasi dibubuhkan seperlunya sebagai aksen, sesuai dengan skala pandang saat ini dengan skala kendaraan di mana waktu penikmatan relatif singkat. Sesungguhnya sosok dan bentuk ATB secara utuh merupakan komponen ornamen dan dekoratif dari sebuah lingkungan sebagai hasil olah handicraft. Unsur‐unsur ornamen dan dekorasi luar (baca: bukan/non Bali) sangat memungkinkan untuk distilisasi/dipadukan/hibrida dengan unsur‐ unsur ornamen dan dekorasi Bali agar menghasilkan wujud baru, sepanjang tidak kehilangan pakem ragam hias ATB. Penggunaan tembok penyengker yang semula hanya sebagai elemen batas site terdepan dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan identitas Bali dengan jalan menstilir menjadi langgam Bali. Penggunaan elemen‐elemen , Kori Agung sebagaimana umumnya dipakai pada tempat suci yang sakral untuk fasilitas umum yang bersifat profan dapat mengurangi nilai‐ nilai/makna yang dikandung, untuk itu perlu diadakan stilisasi.  Struktur dan Bahan Prinsip‐prinsip struktur ATB yang jujur terekspose dengan tektonikanya dapat dikembangkan dalam AMK, sepanjang tidak mengubah sosok dan bentuk ATB. Demikian pula dalam prinsip‐ prinsip sususan bahan dari yang berkarakter berat di bawah makin ke atas makin ringan juga dapat dikembangkan pada AMK. Bahan‐bahan alamiah (bata Bali, paras, dan bebatuan lainnya) yang dikenal dalam ATB hanya sesuai untuk perampungan/finishing luar bangunan, sedang untuk bahan perampungan interior dapat dipakai bahan‐bahan modern dari AMK yang memiliki karakter artifisial dari produk industri/pabrik. Pemanfatan bahan‐bahan hasil teknologi modern sangat mendukung peningkatan kualitas penampilan ATB, dukungan pemahaman karakteristik bahan‐ bahan bangunan modern sangat diperlukan. Dengan kemajuan teknologi saat ini sangat memungkinkan untuk menciptakan bahan‐bahan bangunan buatan berkarakter alamiah, sehingga penggalian bahan‐bahan tradisional yang telah merusak alam‐lingkungan Bali dewasa ini dapat dicegah lebih lanjut.

III. KESIMPULAN a. Perlanggaman dalam Perancangan Arsitektur Taat Asas pada Langgam pada bentuk ekspresi (form of expression), yakni mengkuti sebagian besar tertib langgam ATB maupun AMK dapat dihadirkan melalui metode penyandingan. Dalam penyandingan tersebut langgam ATB hendaknya dapat mendominasi AMK dan tetap terjaga keharmonisan karakter ekspresi keduanya. Konsekuensi bagi ATB dan AMK adalah terjadi persaingan disharmonis atau sebaliknya saling bersinergi/saling melengkapi kekurangan dari ekspresi yang dapat dihadirkan. Konsisten dan tegas menjaga tidak terjadi peleburan langgam, tetapi unity/penyatuan karakter perlu dilakukan. Untuk pengembangan langgam di Bali seharusnya konsisten pada pilihan penyandingan dengan dominasi ATB pada AMK. Pemaduan dua langgam pada paras bentuk ekspresi (form of expression), yankni mengahdirkan dua atau lebih langgam arsitektur dengan metode ekletik/pencampuran. Pemaduan ini sangat sulit dilakukan apabila kedua‐duanya ingin ditampilkan ibarat air dengan minyak, kecuali sejak awal 15

sudah ditetapkan bahwa langgam yang akan ditampilkan, ATB atau AMK. Pemaduan yang tidak sesuai/harmonis, sering memunculkan kesan campuran atau gado‐gado tidak memiliki identitas. Konsekuensi yang terjadi pada ATB dan AMK adalah hilangnya identitas langgam keduanya lain kata terjadi kehancuran arsitektur. Harus ditetapkan langgam mana yang akan ditampilkan secara konsisten sedang yang lainnya menyatu didalamnya. Hibrida (hybrid) Langgam, yakni perkawinan atau pencampuran dua nilai langgam ATB dan AMK yang dilakukan pada paras konsep/isi/tertib langgam (form of content), dari hasil perkawinan atau pencampuran ini diharapkan menghasilkan turunan langgam (form of expression) baru. Langgam baru diharapkan lebih berterima dengan perkembangan dan kemajuan peradaban masyarakat Bali, ramah lingkungan budaya dan alam Bali, survive dan berkesinambungan serta memiliki identitas lokal dalam pergaulan global. Konsekuensi bagi ATB dan AMK tidak ada malah hadir dalam wujud yang berbeda namun benang merah/raut langgam keduanya masih nampak. Dalam hibrida ini konsistensi yang harus dijaga adalah perimbangan proporsi nilai konsep yang dihibrid, pemahaman tata‐nilai langgam dan pengalaman empiris sangat mendukung kelancaran proses. b. Nikmatnya sesuatu yang instant Para leluhur dan Undhagi Bali jaman dahulu telah berjasa luar biasa untuk membuatkan pedoman berarsitektur yang bernama “Asta‐kosala/kosali”, demikian gamblang, sangat fleksibel, supel, sangat instan, mudah diterapkan oleh siapapun, dimanapun berada dan pasti serasi. Betapa nikmatnya masyarakat (baca: Bali) selaku pengguna atas pedoman tersebut, sehingga menjadi terlena hampir satu millennium dalam nikmat yang instan, lupa akan ruang dan waktu telah berubah. Sebagai suatu pedoman dalam bidang arsitektur yang berkembang pesat, sudah saatnya diadakan evaluasi kemudian dilakukan ubah‐suai sesuai dengan perkembangan saat ini. Kini ruang dan waktu telah berubah akankah pedoman tersebut masih berterima? ataukah perlu penyesuaian dan bahkan tidak dipakai lagi? Ini semua berpulang kepada masyarakat Bali sebagai pengguna menyikapinya, dalam hidup‐penghidupan sudah diberi peluang berupa konsep operasional desa (tempat), kala (waktu) dan patra (situasi/kondisi) serta empat dasar pertimbangan: catur drasta (sastra drasta, kuna drasta, loka drasta dan desa drasta). Pertanyaan yang kini muncul, mampukah arsitek masa kini mengikuti jejak para Undhagi masa lalu menyusun suatu “pedoman arsitektural” atau design guideline, sebagaimana telah dilakukan pada jamannya untuk Bali? Sebagai salah satu bagian dari arsitektur etnik Indonesia, arsitektur Bali semestinya menginginkan diri untuk dapat diterima sebagai Arsitektur Nsantara dan bahkan menjagat. Upaya kearah ini sedang berproses dan berlanjut dengan dieksportnya rumah Bali keberbagai mancanegara. c. Menyongsong hari Esok yang lebih baik Ketiadaan teori, strategi dan metode yang dimiliki arsitktur tradisiona Bali untuk menggelar jelajah nilai‐nilai berupa pernik dan manik spasial hunian ATB, ternyata membawa hikmah bahwa teori Dekonstruksi dan teori Semiotik (yang kedua‐duanya dikembangkan dari wacana ilmu pengetahuan sastra pada tahun 1980‐an) telah diterapkan di Bali jauh sebelum teori‐teori tersebut diwacanakan. Menghadapi permasalahan adanya tuntutan pengembangan konsep dan expresi ATB pada AMK; dalam suatu organisasi fungsi yang lebih kompleks, lahan sempit, perubahan tata‐nilai tradisional menjadi ke‐modern‐an, maka nilai‐nilai/konsepsi dan ekspresi spasial umah ATB dapat di (Re‐) Konstruksi (reconstruction)/disusun kembali menjadi ‘Rumah Bali Modern yang Indonesiawi’ dengan formulasi (R + umah ATB = Rumah Bali Modern Indonesia). Konsep operasional desa, kala, dan patra, catur dresta (empat jenis cara pandang/pertimbangan) sangat memberikan peluang dan fleksibilitas yang sangat tinggi dalam pengembangan kekinian

. 16

. DAFTAR PUSTAKA Achmad Djunaedi. [1989]. Pengantar Metodologi Penelitian Arsitektural, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.. Amir Piliang, Yasraf. [1998]. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan menjelang Milenium Ketiga dan matinya Posmodernisme, Mizan Pustaka, Kronik Indonesia Baru, Bandung. Appignanesi, Richard. (dkk). [1997]. Mengenal Posmodernisme, For Beginners, (Judul asli: Postmodernism for Beginners, terjemahan oleh : Alfathri Adlin), Mizan, Bandung. Benedikt, Michael. [1991]. Deconstructing The Kimbell, An Essay on Meaning and Architecture, Sites Books, Lumen Inch., New York. Bonta, Juan Pablo. [1979]. Architecture And It Interpretation. Lind Humpriest, London. Broadbent, Geoffrey; Bunt, Richard; Jencks, Charles. [1980]. Sign, Symbol and Architecture. John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto. Budihardjo, Eko. [1985]. Arcitectural Conservation in Bali, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia. ‐‐‐‐‐‐‐‐, (Editor) [1987]. Arsitek Bicara Tentang Arsitektur, Alumni, Bandung. ‐‐‐‐‐‐‐‐, [1989]. Jati‐diri Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung. Collins, Peter. [1965]. Changing Ideal in Modern Architecture 1750‐1950,, Faber and Faber, London. Conrads, Ulrich (ed), translated by Michael Bullock, [1970]. Programs and manifestoes on 20 th‐century architecture, The MIT, Cambridge, Massachusetts. Dharmayuda, Suasthawa. D, I Made. [1990]. Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan, CV. Kayumas, Denpasar. Fredy H.Istanto. [1997]. Kajian ‘Gaya’ Arsitektur Mediterania di Indonesia, Tesis Pascasarjana ‐ S2, PS. Arsitektur, Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya. Gelebet. I Nyoman, dkk. [1982]. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi. Gomudha, I Wayan. [1999]. Pernik Manik Spasial Hunian Tradisional Bali, dalam Ngawangun Ki Nusantara – Nominasi Lomba Kara Tulis Teori Arsitektur Nusantara. Laboratorium Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Uniiversitas Katolik Parahyangan, Bandung. ‐‐‐‐‐‐‐, [1999]. Masyarakat Tradisional dan Modern di Simpang Jalan, Harian Umum Bali Pos, 31 Maret 1999. Denpasar. ‐‐‐‐‐‐‐, [1997]. Ke‐Jatidiri‐an Ragam Hias (Ornamen dan Dekorasi), Studi Kasus Arsitektur Tradisional Bali, Seminar Arsitektur, “Kuliah Arsitektur Nusantara”, PS. Arsitektur Program Pascasarjana, ITS, Surabaya. ‐‐‐‐‐‐‐, [1991]. Ungkapan Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Perencanann & Perancangan Bali Garden Hotel di Kuta Bali, Penelitian Arsitektur (tidak dipublikasikan), PS. Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Denpasar. Gunawan Tjahjono. [1995]. Keajegan dan Perubahan Berarsitektur di Indoneisa Menghadapi Abad Pasifik, Seminar Arsitektur, “Arsitektur Nusantara, Keajegan dan Perubahan “, Word Trade Centre , 9 September 1995, Surabaya Jencks, Charles and Baird, George. [1970]. Meaning in Architecture. Barrie & Jenkins, London. ‐‐‐‐‐‐‐, [1970]. The Language of Post Modern Architecture. Rizzoli, New York. .

17

Josef Prijotomo. [1988]. Pasang‐Surut Arsitektur di Indonesia, CV. Arjun, Surabaya. ‐‐‐‐‐‐‐, (ed), [1996]. Himpunan Materi Arsitektur Dekonstruksi dalam Tinjauan Indonesia, Jurusan Arsitektur FTSP, ITS Surabaya, (tidak dipublikasikan) ‐‐‐‐‐‐‐. [1997]. Dekonstruksi Arsitektur Nusantara (?), Jelajah Pendek Tipe /k dari Arsitektur Jawa. Seri Kuliah Umum 1997/1998, Jurusan Arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. ‐‐‐‐‐‐‐‐, [1992] Model Semiologi Petungan di Primbon Jawa dan Signifikasi Arsitekturalnya, Seminar Semiotika, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LPUI dan Lingkaran Peminat Semiotik, Jakarta. Jurnal, Buku Satu, No. 007/A/I/94 [1994]. Jurnal Arsitektur & Bahan Bangunan, Arjun, CV, Surabaya. Jurnal, Buku Dua, No. 008/A/VI/95 [1995]. Jurnal Arsitektur & Bahan Bangunan, Arjun, CV, Surabaya. Kerthiyasa, I Made. [1984]. Rumusan Arsitektur Bali, Hasil Sabha Arsitektur Tradisional Bali. Mauro Purnomo Rahadjo. [1989]. Meaning in Balinese Traditional Architecture, Thesis Master of Architecture, School of Architecture and Urban Design of The University of Kansas, USA. Meganada, I Wayan. [1990]. Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional Bali dalam Perumahan KPR_BTN di Bali, Thesis Program Pascasarjana ‐ S2 Arsitektur, ITB, Bandung. Ozkan, Suha. [1985]. Regionalism Within Modernism, dalam Regionalism in Architecture, editor Robert Powel, Concept Media, Singapore. Parisada Hindu Dharma. [1978]. U p a d e s a, tentang Ajaran‐ajaran Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Pusat, Denpasar. Pell, Lucy; Powell, Polly and; Garrett, Alexander. [1989]. An Introduction To 20 th – Century Architecture, The Apple Press, London. Purwita, Ida Bagus Putu. [1993]. Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar. Runa, I Wayan. [1993]. Variasi Perubahan Rumah Tinggal Tradisional, Desa Adat Tenganan Pegring‐singan, Thesis Program Pascasarjana ‐ S2, PS. Teknik Arsitektur, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Robi Sularto Sastrowardojo, IAI. [1987]. A Brief Introduction Traditional Architecture of Bali, Some Basic Norm, PT. Atelier 6, Jakarta. Siwalatri, Ni Ketut Ayu. [1997]. Transformasi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Modern, Studi Kasus di Kawasan Niti Mandala Renon, Bali. Tesis Pascasarjana – S2, PS. Arsitektur, Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya. Soeranto Darsopuspito. [1997]. Analogi Estetika Seni Tari dengan Arsitektur, Kajian Kasus pada Arsitektur Jawa Tesis Program Pascasarjana ‐ S2, PS. Arsitektur, Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya. Sulistyawati, A. [1995]. Balinese Tradisional Architectural Principles in Hotel Building. Desertation of Doctor of Philosophy, Oxpford Brookes University, England. Tom Heath. [1984]. Method in Architecture, John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. Wondoamiseno, Ra. [1990]. Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia, sebuah Harapan. Yayasan Rupadatu, Yogyakarta. Suryani, Ni Ketut. (Editor), [1996]. Kajian Budaya Bali, Menghadapi Milleniium Ketiga, Pertemuan Tahunan, Lembaga Pengkajian Budaya Bali, Denpasar.

. 18

Lampiran : MATRIK KINERJA ARSITEKTUR BALI Matrik Penilian Kinerja Arsitektur Bali terhadap hasil Kaya Desain maupun Karya Terbangun adalah suatu table yang dapat digunakan untuk menilai dengan berbasis score range 1‐5 untuk setiap sub kriteria/guideline, sehingga akan memberikan gambaran lebih terukur terhadap kinerja arsitektur Bali yang dapat dihasilkan baik berupa karya desain maupun karya terbangun: PENILAIAN KINERJA ARSITEKTUR BALI TERHADAP HASIL KARYA DESAIN MAUPUN KARYA TERBANGUN

UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR RATING/GRADE NO KET INDIKATOR KINERJA INDIKATOR a. b. c. d. FILOSOFI TRI HITA KARANA SEBAGAI INTI I [KONSEP] ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI Ke‐harmonis‐an yang setara antara manusia dengan ruang/bangunan/lingkungan (masih 1.1 dalam skala manusia/human scale dan humanis 1 2 3 4 5 terpenuhinya kebutuhan serta persyaratan manusia pada ruang/bangunan/lingkungan). Ke‐harmonis‐an yang setara antara ruang/ bangunan dengan lingkungan dan alam sekitar 1.2 (tidak dominan terhadap lingkungan dan 1 2 3 4 5 merusak lingkungan secara fisik, fisikis dan estetis). Merupakan suatu Lingkung Bina yang memiliki Atmosphere (suasana dan karakter) Alam Bali; 1.3 dan memiliki sebuah house hold temple/tempat 1 2 3 4 5 suci" bila banyak karyawan beragama Hindu (implementasi Nilai‐nilai (gama) Tri Hita Karana: zona Parhyangan, Pawongan dan Palemahan). Jumlah: I 3 ‐ 15 II TATA RUANG DAN ORIENTASI Nilai Ekspresi Tata Ruang pada tingkat Lokal/Desa (sima) yaitu: Penerapan Pembagian 2.1 Tiga Zona Vertikal (Tri Loka) & Horizontal (Tri 1 2 3 4 5 Mandala), atau Kombinasi (Sanga Mandala) atas nilai Hulu ‐ ( Tengah ) ‐ Teben. Pola Compound / Cluster yaitu: adanya Ruang Sentral (sima : Natah) sebagai Pengikat Gugus 2.2 1 2 3 4 5 Massa Bangunan Jamak atau adanya Void dalam massa bangunan monolit/kompak. Ada bagian dari Lingkung Bina yang paling mudah dikenali dan berorientasi / kiblat kaja‐ 2.3 1 2 3 4 5 klod & kangin‐kauh (gama: sikap tegas di tengah kosmos). Jumlah: II 3 ‐ 15 19

III TATA LETAK / SETTING MASSA

Gubahan massa harmonis/tidak dominan terhadap lingkungan (massa besar di 3.1 dekonstruksi menjadi kecil‐kecil, sebaliknya 1 2 3 4 5 pada lahan sempit pola massa cluster dapat di rekonstruksi jadi massa monolit/kompak). Keberadaan Natah (centrality) dan ruang bebas /marginality (sesa) di sekitar bangunan atau 3.2 intensitas bangunan tetap dipertahankan 1 2 3 4 5

proporsional (peluang sosok Bali, keamanan, pencegahan kebakaran, sirkulasi udara, RTH). Kebebasan setting massa akibat view atau penyelesaian sudut, namun tetap ada bagian‐ 3.3 1 2 3 4 5 bagian utama bangunan/kawasan menganut kiblat Bali (kaje‐klod & kangin‐kauh). Jumlah: III 3 ‐ 15 IV TATA BANGUNAN 4.1 Sosok Bangunan : Menerapkan sejak awal sosok Bali dengan struktur fisik Tri Angga secara proporsiaonal a 1 2 3 4 5 hingga kebagian terkecil atau memanfaatkan bagian‐bagian sosok non Bali yang distilisasi. Memiliki karakter sosok bangunan tropis beratap limas /pelana (pith roof), dihindari atap b. 1 2 3 4 5 datar; ada ruang antara (serambi) dan memiliki oversteck yang cukup lebar untuk menahan tiris. Jumlah: 4.1. 2 ‐ 10 4.2 Bentuk Bangunan : Menggunakan bentuk dasar Punden Berundak, a. 1 2 3 4 5 menghindari bentuk‐bentuk miring/bulat/plain. Tata olah bentuk mencerminkan tata olah b. “handicraft” dan dihindari karakter tata olah 1 2 3 4 5 mesin (cleaness, excactness, prececision). Jumlah: 4.2. 2 ‐ 10 4.3 Skala dan Proporsi : Tidak terjadi “di luar skala manusia dan di luar a. proporsi manusia (out of human scale & out of 1 2 3 4 5 human proportion”). Gubahan massa besar di dekonstruksi menjadi massa kecil‐kecil dan sebaliknya, bila lahan b. 1 2 3 4 5 sempit massa jamak/kluster dapat di rekonstruksi menjadi massa kompak/monolit. Jumlah: 4.3. 2 ‐ 10 20

4.4 Ornamen dan Dekorasi : Dipahatkan ornamen sebagai representasi Tri a. Angga pada bagian‐bagian utama bangunan 1 2 3 4 5 (batur, tiang / dinding dan atap). Dekorasi pakem Bali dibubuhkan seperlunya b. sebagai aksen dan dihindari penggunaan simbol‐ 1 2 3 4 5 simbol agama yang disakralkan. Pemanfaatan “Tembok Penyengker dan Angkul‐ c. angkul / Pemesuan Langgam Bali “ dg stilisasi 1 2 3 4 5 sebagai penghadir jati diri atau identitas Bali

Jumlah: 4.4. 3 ‐ 15 4.5 Struktur dan Bahan : Tata bahan dan warna: karakter alamiah, jujur terekspose (sustainable architecture); disusun a. 1 2 3 4 5 dari yang berkarakter berat di bawah dan makin ke atas makin ringan. Merupakan gubahan “tektonika” (the art of b. construction) anrata struktur dan konstruksi 1 2 3 4 5 dengan ornamen secara harmoni Jumlah: 4.5. 2 ‐ 10 Jumlah Semua Nilai 20 40 60 80 100

JUMLAH SEMUA NILAI INDIKATOR 20‐100

Panduan penilaian:

Skor sesuai dengan kriteria dan nilai dasar yang dicapai Indikator dengan rating/grade: 1,2,3,4,5

1. Sangat tdk memuaskan 2. Tidak memuaskan 3. Sedang 4. Memuaskan 5. Sangat memuaskan

1. Jelek 2. Kurang 3. Cukup 4. Baik 5. Baik sekali

Jumlah Nilai Indikator: 1. E = < 50 – Tidak memenuhi Kinerja Arsitektur Bali 2. D = 51 – 54 – Kurang memenuhi Kinerja Arsitektur Bali 3. C = 55 – 64 – Cukup memenuhi Kinerja Arsitektur Bali 4. B = 65 – 79 – Memenuhi Kinerja Arsitektur Bali 5. A = 80‐ 100 ‐ Sangat memenuhi Kinerja Arsitektur Bali

Disusun dan dikembangkan dari rumusan rekonstruksi dan reformasi nilai‐nilai ATB pada AMK dan rangkuman hasil Penelitian Tesis Pasca Sarjana ITS Surabaya, 1999, I Wayan Gomudha