FUNGSI DAN MAKNA WAGASHI BAGI MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NI OKERU SEIKATSU NI TAISURU WAGASHI NO IMI TO KINOU

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

NUR ELLYSAH MANIK 120708024

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FUNGSI DAN MAKNA WAGASHI BAGI MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NO SEIKATSU NI TAISURU WAGASHI NO IMI TO

KINOU DE ARU

SKRIPSI Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

NUR ELLYSAH MANIK 120708024

Pembimbing I Pembimbing II

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum Mhd. Pujiono, M.Hum, Ph.D NIP. 19620727 198703 2 005 NIP. 19691011 200212 1 001

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Disetujui Oleh: Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Medan, 20 September 2017 Program Studi Sastra Jepang Ketua,

Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D NIP. 19580704 198412 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Fungsi dan Makna Wagashi bagi

Masyarakat Jepang”. Penulisan skripsi ini juga ditulis untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan Program Studi Sastra Jepang,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Paling utama penulis ucapkan terima kasih yang tak berkesudahan untuk kedua orang tua penulis, Bapak Sahnan Manik dan Ibu Wati Suriyani serta abangda Muhammad Suryansah Manik yang selalu mendukung penulis, baik materiil, nasehat, dan dukungan serta doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan untuk kelancaran penulis dalam menyelesaikan studi di Sastra Jepang USU, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan selama pembuatan skripsi ini, dari awal hingga akhir. Adapun ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D, selaku Ketua Program Studi

Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah

bersedia meluangkan begitu banyak waktu di tengah kesibukannya dan tetap

bersedia membimbing penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

4. Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum., Ph.D, selaku dosen pembimbing II yang juga

membimbing penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Dosen Penguji Ujian Praskripsi dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah

menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

6. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama duduk di

bangku perkuliahan.

7. Kak Putri, selaku administrasi Departemen Sastra Jepang yang selalu sabar

dalam membantu mengurus keperluan akademik penulis.

8. Teman-teman Sastra Jepang, khususnya Croniko, Sridevi, Sundari, Fitriana,

Intania, Saika, Hidayat, Andriska, Mutia, Dipoi, Azura, Alimurty,

P.Banjarnahor, Naizura dan teman-teman sekelas lainnya yang sudah mengisi

hari-hari berharga penulis sebagai mahasiswa di masa perkuliahannya.

9. Dahlia Manik, Teresia Sidabutar, Margaretta Sinaga, Lidya Sihaloho, Fitri

Fariyya, Dewi Kartika, dan Debora Saragih selaku teman-teman sepermainan

yang penulis sayangi yang tak pernah berhenti memberikan waktu untuk

menemani penulis mengerjakan skripsi ini dan juga memberikan semangat

yang luar biasa dalam proses pengerjaannya.

10. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,

yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik. Tanpa penulis sadari sangat banyak orang-orang yang ikut

ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berperan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Hanya Tuhan yang

dapat membalas kebaikan kalian semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca, serta peneliti yang ingin mengetahui tentang Wagashi lebih lanjut, khususnya mahasiswa/i Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

Medan, 20 September 2017

Penulis,

Nur Ellysah Manik

iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI ...... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ...... 1

1.2. Rumusan Masalah ...... 5

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ...... 6

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...... 7

1.4.1. Tinjauan Pustaka ...... 7

1.4.2. Kerangka Teori ...... 10 1.5. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...... 14

1.5.1. Tujuan Penelitian ...... 14

1.5.2. Manfaat Penelitian ...... 14 1.6. Metode Penelitian ...... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WAGASHI BAGI MASYARAKAT JEPANG

2.1. Sejarah dan Perkembangan Wagashi di Jepang ...... 16

2.2. Klasifikasi Wagashi ...... 19

2.3. Jenis-jenis Wagashi ...... 22

2.4. Unsur-unsur Pembentuk Wagashi ...... 27

BAB III ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA WAGASHI BAGI MASYARAKAT JEPANG

3.1. Fungsi Wagashi ...... 33

iv UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.1.1. Wagashi dan Alam ...... 33

3.1.2. Wagashi dan Leluhur ...... 35

3.1.3. Wagashi dan Dewa () ...... 37

3.1.4. Wagashi dan Upacara Minum Teh (Chanoyu/Chadou) ...... 41

3.1.5. Wagashi dan Manusia ...... 42

3.2. Makna Wagashi ...... 43

3.2.1. Makna Estetis ...... 43

3.2.2. Makna Berdasarkan Warna ...... 49

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan ...... 54

4.2. Saran ...... 56

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ABSTRAK

v UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki keindahan alam yang sangat mempesona. Bagi masyarakat Jepang, alam merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus dihargai. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sistem kepercayaan masyarakat Jepang, yaitu dan Buddha. Shinto merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang yang mendasarkan pemikiran akan adanya banyak dewa (politheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, angin, dan sebagainya). Hal ini sangat berpengaruh pada sikap masyarakat Jepang yang menaruh hormat sangat tinggi terhadap alam. Sedangkan berdasarkan ajaran

Buddha, alam merupakan pusat kehidupan. Hal ini menyebabkan masyarakat

Jepang yang menganut sistem kepercayaan ini selalu menyelaraskan unsur-unsur alam kedalam kehidupan mereka.

Alam mencakupi banyak bagian di bumi ini, salah satunya adalah musim.

Jepang merupakan salah satu negara yang beriklim sub tropis yang memiliki 4 musim dalam setahun, antara lain : musim semi (春, Haru), musim panas (夏,

Natsu), musim gugur (秋, Aki), dan musim dingin (冬, Fuyu). Masing-masing dari ke 4 musim ini sangat diperhatikan oleh masyarakat Jepang dan juga sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka sejak jaman dahulu, seperti misalnya dalam menciptakan tempat tinggal, pakaian, dan makanan.

1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Keempat musim di Jepang tersebut juga identik dengan keindahannya, sebagaimana umumnya penduduk yang berdiam di daerah empat musim, masyarakat Jepang sangat terpukau terhadap perubahan musim tersebut sehingga muncul pula tradisi-tradisi yang rutin dilakukan oleh masyarakatnya dalam menikmati keindahan musim tersebut. Contohnya seperti melihat mekarnya bunga sakura (Hanami) bersama keluarga ataupun kerabat di musim semi, menikmati indahnya kembang api (Hanabi) di tepi sungai pada musim panas, menikmati perayaan melihat bulan purnama (Tsukimi) di musim gugur, dan menyambut perayaan Tahun Baru (Oshogatsu) di musim dingin. Tidak ketinggalan pula selama perayaan-perayaan tersebut berlangsung, mereka menyajikan makanan- makanan yang disesuaikan dengan keadaan alam maupun musim yang sedang berlangsung. Salah satu makanan khas yang selalu disesuaikan dengan ke 4 musim tersebut adalah Wagashi.

Wagashi merupakan istilah untuk segala jenis kue manis dan permen manis dari Jepang. Wagashi berasal dari perpaduan kata wa (和) dan kashi (菓子), wa (和) berarti sesuatu yang menandakan Jepang sedangkan kashi (菓子) berarti kue manis atau permen manis (Exacta, 2013 : 3).

Wagashi ( 和 菓 子 , Japanese confectionery, kue Jepang) adalah istilah bahasa Jepang untuk kue dan permen tradisional Jepang. Istilah Wagashi digunakan untuk membedakan kue tradisional Jepang dengan kue dan permen dari

Barat (Yōgashi) yang diperkenalkan orang Eropa ke Jepang sejak zaman Meiji

(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Wagashi).

2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut Tsuji (1980 : 326) tentang asal kata Wagashi, yaitu :

The word for confectionery in Japanese, kashi (菓子), derives from the word for fruit, kajitsu (果実), and once referred only to fruit. Almost the same Chinese character is used in both cases, and its pronounciation, “ka”, is identical. The “shi” in kashi (菓子) means “seed”. The confections introduced to from the Asian continent in the Nara period (645-781) were known as “Chinese Fruit” at the time. They were the precursors of Japanese sweets (Wagashi) and consisted of ground grains or soybeans, salted, kneaded, and fried in oil.

Terjemahan :

Kata untuk kue atau permen dalam bahasa Jepang, kashi (菓子), berasal dari kata untuk buah, kajitsu (果実), dan tetap hanya merujuk pada buah. Huruf Cina yang hampir serupa biasanya digunakan dalam keduanya, dan pengucapannya , “ka”, juga serupa. “Shi” dalam kashi (菓子) berarti “bibit / benih”. Pada masa itu kue-kue atau permen-permen diperkenalkan ke Jepang dari benua Asia pada periode Nara (645-781) dikenal dengan istilah “Buah Cina”. Hal tersebut merupakan pelopor dari manis-manisan Jepang (Wagashi) dan diisi dengan biji-bijian tanah, kacang kedelai, bergaram, diremas, dan digoreng dalam minyak.

Wagashi memiliki berbagai variasi bentuk dan warna, namun satu hal yang sangat jelas menggambarkan Wagashi adalah motifnya yang selalu menggambarkan unsur ke empat musim di Jepang. Hal inilah yang membuatnya menjadi lebih dari sekedar kue biasa dan menjadikannya sebagai salah satu esensi dari kebudayaan Jepang. Bahkan masyarakat Jepang juga mempercayai bahwa

Wagashi itu digambarkan sebagai hiasan-hiasan pada langit Jepang

(http://armensiuspebrian.blogspot.co.id/2013/03/wagashi-tidak-asli-tapi- mendunia-dan.html).

Di dalam kehidupan masyarakat Jepang, keberadaan Wagashi sendiri tentunya memiliki berbagai macam fungsi. Fungsi-fungsi Wagashi inilah yang berkaitan erat dalam berbagai macam kebudayaan yang ada di Jepang, misalnya dalam upacara minum teh (Chanoyu), upacara pernikahan (Kekkonshiki), pesta

3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA rakyat masyarakat Jepang (Matsuri), hari raya tahunan (Nenchū Gyōji), dan sebagainya.

Ketika melaksanakan upacara minum teh, Wagashi merupakan salah satu makanan yang harus disajikan setelah atau sebelum menikmati teh. Hal ini dikarenakan rasa manis pada Wagashi akan mampu menetralisir rasa pahit yang berasal dari teh hijau bubuk (matcha) yang digunakan saat upacara minum teh tersebut. Selain itu Wagashi yang disajikan biasanya memiliki penampilan yang sederhana. Hal ini dikarenakan pelaksanaan upacara minum teh merupakan sebuah ritual masyarakat Jepang yang bertujuan untuk menonjolkan kesederhanaan dan kerendahan hati. Oleh sebab itu, sebagai unsur pendukungnya

Wagashi dibuat sesederhana mungkin agar selaras dengan tujuan pelaksanaan upacara minum teh ini.

Wagashi juga terdapat pada saat acara pernikahan di Jepang sebagai hidangan penutup yang disajikan untuk para tamu. Wagashi hanya memiliki satu kesamaan, yaitu memiliki rasa yang manis. Rasa manis yang ada pada Wagashi tersebut dianggap sebagai simbol manisnya kebahagiaan. Oleh sebab itu, Wagashi yang dihidangkan dan kemudian dibagikan kepada para tamu dianggap sebagai berbagi manisnya kebahagiaan antara pengantin dengan teman, kerabat, dan para tamu undangannya. (http://alicekinomoto.blogspot.co.id/2013/11/makanan- tradisional-yang-biasa.html).

Dalam menyambut pergantian musim, Wagashi dibuat sedemikian rupa menggambarkan suasana musim yang akan atau sedang berlangsung. Di musim semi misalnya, Wagashi dibuat bernuansa putih, hijau, dan merah muda yang menggambarkan berseminya bunga-bunga sakura yang tertutupi sisa-sisa salju. Di

4 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA musim panas Wagashi dibuat dari bahan-bahan yang dingin seperti jelly agar memberikan kesejukan bagi orang yang menikmatinya. Di musim gugur, Wagashi dibuat bernuansa kuning, jingga, dan merah yang menyerupai guguran-guguran daun Momiji. Di musim dingin Wagashi yang ada berupa permen kering berwarna putih yang mengingatkan kita akan keindahan salju dan ada juga yang berupa kue yang dikukus agar menghangatkan kita di kala musim dingin berlangsung.

Begitu pula halnya dalam berbagai perayaan yang berlangsung di Jepang, tidak ketinggalan Wagashi selalu tersaji pada beberapa perayaan, seperti perayaan festival boneka (Hina Matsuri), festival hari anak (Tango No Sekku), perayaan menikmati mekarnya bunga sakura (Ohanami), dan beberapa perayaan lainnya.

Wagashi pada perayaan-perayaan ini dibentuk sesuai dengan tema perayaan dan bertujuan untuk menjadi sebuah pengharapan masyarakat jepang berdasarkan kepercayaannya.

Dari penjelasan di atas, penulis menyebutkan adanya berbagai macam fungsi Wagashi bagi kehidupan masyarakat Jepang dan juga adanya makna yang tersirat dari setiap bentuk maupun warna yang terkandung pada tampilan

Wagashi. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk menganalisis lebih lanjut mengenai kue manis khas Jepang yang disebut Wagashi tersebut melalui skripsi yang berjudul “Fungsi dan Makna Wagashi bagi Masyarakat Jepang”.

1.2 Rumusan Masalah

Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki 4 musim.

Dalam kehidupan masyarakatnya, musim merupakan sesuatu yang harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan musim merupakan hal yang paling mendasar

5 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ketika masyarakatnya pada zaman dahulu mulai menciptakan sandang, pangan, dan papan. Semua jenis kebutuhan harus disesuaikan dengan musim yang sedang berlangsung. Bahkan dalam kebudayaannya sekalipun masyarakat Jepang harus menyesuaikannnya dengan musim, seperti misalnya dalam berbagai perayaan matsuri yang bahkan masih berlangsung hingga saat ini.

Dalam menyelenggarakan berbagai macam perayaan, tentunya hal yang tidak pernah terlepas adalah hidangan-hidangan istimewa. Salah satunya adalah panganan manis yang disebut Wagashi. Bagi masyarakat Jepang, Wagashi tidak hanya sekedar makanan biasa, namun juga menjadi suatu simbol kepercayaan atau harapan bagi masyarakat Jepang. Hal ini dapat dilihat dari munculnya Wagashi hanya pada saat perayaan-perayaan tertentu berlangsung. Disebut sebagai harapan masyarakat Jepang karena dilihat dari bentuk dan warnanya selalu disesuaikan dengan arti yang dipercayai oleh masyarakatnya.

Di samping itu, Wagashi juga memiliki berbagai macam fungsi bagi masyarakat Jepang. Fungsi-fungsi Wagashi inilah yang menjadikannya bukan cemilan biasa karena pada umumnya fungsi Wagashi harus disesuaikan dengan bentuk, warna, dan waktu keberadaannya. Oleh karena itu, penulis merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah fungsi Wagashi di dalam kehidupan masyarakat Jepang?

2. Bagaimanakah makna Wagashi di dalam kehidupan masyarakat Jepang?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Menurut penulis, Wagashi merupakan panganan yang menorehkan keindahan alam dalam bentuk kesempurnaan, kenyamanan, dan kenikmatan

6 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA didalamnya. Keindahannya tersebut seringkali dikaitkan dengan budaya masyarakat Jepang yang sangat cinta akan alam. Kuroda (2005 : 3-5) dengan judul artikel “Mengamati Perubahan Musim” menuliskan bahwa keindahan ragam bentuk, keaslian bahan, maupun torehan warna yang terkandung pada Wagashi sarat akan makna. Tidak heran masyarakatnya menjadikan Wagashi sebagai esensi kebudayaan Jepang.

Keistimewaan Wagashi tidak hanya terletak pada nilai visualnya saja, tetapi juga terletak pada fungsinya. Ada berbagai macam fungsi Wagashi yang dikaitkan sebagai bentuk perwujudan kebudayaan masyarakat Jepang, antara lain sebagai makanan ketika upacara minum teh, sebagai makanan pendamping upacara pernikahan masyarakat Jepang, sebagai persembahan didalam upacara keagamaan dan sebagai makanan khusus dalam beberapa Matsuri yang ada di

Jepang.

Untuk menghindari luasnya ruang lingkup permasalahan, maka dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas fungsi dan makna Wagashi bagi kehidupan masyarakat Jepang. Untuk mendukung pembahasan, pada Bab II akan dikemukakan juga tentang sejarah Wagashi di Jepang, klasifikasi Wagashi, dan unsur-unsur pembentuk Wagashi.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang sangat menghargai alam. Kehidupan mereka selalu berkaitan dengan alam. Bagi mereka, alam merupakan sesuatu hal yang penting dan harus dihargai. Sikap menghargai alam

7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ini merupakan karakteristik yang khas dari kebudayaan masyarakat Jepang

(Hasegawa, 1966 :123).

Ada berbagai macam kebiasaan atau tradisi yang mengikuti perubahan musim tersebut, hal ini dapat dilihat dari berbagai macam perayaan maupun festival yang diadakan setiap musim dalam 1 tahun di Jepang. Perayaan atau pesta rakyat di Jepang terdiri dari festival, hari raya, dan upacara-upacara khusus

(Oto, 1983 : 36).

Dalam kehidupan orang Jepang, perubahan musim sangatlah amat diperhatikan. Berpijak dari sanalah berkembangnya pesta rakyat (Matsuri).

Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, di mana pesertanya memasuki komunikasi aktif dengan para dewa (kami). Upacara ini juga disertai dengan komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam bentuk pesta (feast) dan pesta rakyat (festival). Matsuri erat hubungannya dengan pertanian padi, terutama siklus penanamannya. Oleh karenanya, festival yang dirayakan pada musim semi dan musim gugur dianggap yang terpenting karena matsuri pada musim semi bertujuan untuk “mengusahakan” agar panen membawa hasil yang baik dan berlimpah, sedangkan matsuri pada musim gugur berutujuan untuk mengucapkan syukur pada dewa atas hasil panen yang berlimpah. Unsur-unsur penting dari matsuri ini adalah (1) monoimi atau pertapaan penyucian diri; (2) persembahan sesajian; (3) komuni atau acara santap bersama (Danandjaja, 1997 : 300).

Exacta (2013) dengan judul skripsi Wagashi Representasi Nilai-Nilai

Estetika Jepang, menyebutkan bahwa Wagashi merupakan salah satu representasi nilai-nilai keindahan berupa kue khas Jepang yang dibentuk sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk dan motif yang indah serta sangat dipengaruhi oleh

8 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA alam sekitarnya. Motif Wagashi yang unik dan sangat dipengaruhi oleh alam membuatnya lebih dari sekedar kue biasa. Desain Wagashi merupakan sumber dari inspirasi yang artistik. Keindahan empat musim di Jepang dituangkan kedalam motif-motif dan bentuk Wagashi.

Tobing (2012) dengan judul skripsi Budaya Sake dalam Masyarakat

Jepang, menyebutkan bahwa kegunaan sake di Jepang tidak terbatas sebagai minuman saja. Sake memiliki berbagai fungsi sosial dan budaya, antara lain sebagai minuman persembahan untuk kami ( 神 ,dewa) dalam berbagai ritual keagamaan. Selain itu, masyarakat Jepang juga sering menggunakan sake untuk memasak makanan. Menurut penulis, fungsi yang tidak berbatas itulah yang juga terdapat pada Wagashi. Wagashi juga memiliki fungsi sosial dan budaya, antara lain sebagai makanan dalam upacara minum teh (Chanoyu), upacara pernikahan

(Kekkonshiki), pesta rakyat masyarakat Jepang (Matsuri), hari raya tahunan

(Nenchū Gyōji), dan lain-lain.

Chandra (2008) dengan judul skripsi Bunga Sakura dalam Kehidupan

Masyarakat Jepang, mengemukakan bahwa jika kita melihat bunga Sakura maka yang kita nilai adalah keindahan. Karena keindahan bunga Sakura maka manusia sering menganggap bunga Sakura sebagai suatu seni. Hal tersebut tentunya juga berkaitan dengan Wagashi. Menurut penulis, jika kita melihat Wagashi maka yang terlintas di kepala kita adalah keindahannya dan menganggapnya sebagai sebuah karya seni.

Andriska (2016) dengan judul skripsi Makna Ikan Koi dalam Kehidupan

Masyarakat Jepang menitikfokuskan pada makna ikan koi dalam kehidupan masyarakat Jepang, baik itu makna estetis, makna filosofi, makna religi, maupun

9 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA makna berdasarkan warna dan penerapan makna ikan koi dalam kehidupan masyarakat Jepang. Jika dikaitkan dengan Wagashi, penulis juga memiliki bahasan yang sama mengenai makna apa saja yg terdapat pada Wagashi.

1.4.2 Kerangka Teori

Menurut Arikunto dalam Naufal (2014 : 9) kerangka teori merupakan wadah untuk menerangkan variabel atau pokok masalah yang terkandung dalam penelitian. Kerangka teori memuat sejumlah teori yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Teori-teori tersebut dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian.

“Theory is a set of interelated construct or concept, definition, and proposition that presents a systematic view of phenomena by specifying relations among variables with the purpose of explanation and predicting the phenomena.“

Terjemahan : Teori adalah satu set konstruk atau konsep, definisi, dan proposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik mengenai suatu fenomena dengan menspesifikkan hubungan antarvariabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena (Kerlinger, 2000 : 11).

Wagashi termasuk ke dalam salah satu hasil kebudayaan masyarakat

Jepang. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Chandra (2008

: 12) , kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan, yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pemikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan

10 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Menurut J.J Hoenigman dalam Chandra (2008 : 13-15), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, antara lain :

1. Gagasan (wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan

ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang

bersifat abstrak (tidak dapat diraba atau disentuh).

2. Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari

manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering disebut dengan sistem

sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling

berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya

menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya

konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan

didokumentasikan.

3. Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,

perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-

benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.

Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan ini.

Berdasarkan teori wujud kebudayaan ini, Wagashi dapat dikategorikan kedalam Artefak, karena Wagashi merupakan sebuah hasil aktivitas dan sebuah

11 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA karya masyarakat Jepang yang dapat dilihat, diraba, didokumentasikan, dan juga bersifat konkret.

Untuk melihat fungsi dan makna Wagashi bagi masyarakat Jepang, penulis melakukan pendekatan dengan teori fungsi. Fungsi menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia merupakan kegunaan suatu hal, daya guna serta pekerjaan yang dilakukan. Dalam ilmu matematika arti kata fungsi adalah besaran yang berhubungan, jika besaran yang satu berubah, besaran yang lain juga berubah.

Defenisi fungsi adalah kegunaan suatu hal, hal ini juga bisa berarti peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nominal berfungsi sebagai subjek) (Sanjaya, 2016 : 6).

Menurut Koentjaraningrat (1984 : 29) fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan dari sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan sosial.

Koentjaraningrat juga menyebutkan bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting dalam penggunaannya, yaitu :

1. Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2. Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan hal

yang lain.

3. Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal

lainnya dalam satu sistem berinteraksi.

Selain fungsi, penulis juga akan menjabarkan istilah makna. Menurut

Pateda (2001 : 79) menyatakan bahwa istilah makna merupakan kata dan isitilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata ataupun

12 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kalimat. Ullman (dalam Pateda, 2001 : 82) menyatakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam kamus linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi : (1) maksud pembicara , (2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya, dan (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Penulis juga melakukan pendekatan dengan teori semiotika. Teori ini digunakan sebagai metode dalam memaparkan nilai-nilai keindahan dan sesuatu hal yang bersifat tekstual. Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata

“Semeion / Seme” yang berarti “tanda / penafsir” atau “simbol”. Semiotika adalah studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya serta apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Pernyataan ini dikemukakan oleh Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna (2004 : 97).

Menurut Hoed dalam Chandra (2008 : 18), tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa pegalaman, perasaan , pikiran, gagasan, dan lain -lain. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Namun yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini misalnya warna, pakaian, bendera, karya seni, dan sebagainya.

13 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan fungsi dan makna Wagashi bagi kehidupan masyarakat Jepang.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adanya penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Penulis sendiri yaitu dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis

tentang fungsi dan makna Wagashi bagi masyarakat Jepang.

2. Mampu menambah informasi bagi pembelajar Sastra Jepang yang ingin

mengetahui lebih banyak tentang kebudayaan Jepang khususnya yang

berhubungan dengan makanan manis Wagashi.

3. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan tambahan informasi / data bagi

mahasiswa jurusan Sastra Jepang yang akan melakukan penelitian serupa.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.

Metode ini bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis,

14 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA faktual, dan akurat mengenai populasi atau mengenai suatu bidang tertentu

(Azwar, 1998 : 7).

Untuk dapat mendeskripsikan suatu masalah dengan tepat dan akurat, maka sebagai pendukung penulis menggunakan studi kepustakaan sebagai cara pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian, dan kemudian dianalisa dan dirangkum ke dalam tulisan ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian ini. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti, antara lain : masalah, tinjauan pustaka, teori, kesimpulan, dan saran. Data-data dan bahan-bahan direferensi penulis dari buku-buku di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

Perpustakaan Sastra & Bahasa Jepang, dan koleksi pribadi penulis. Sumber data lainnya diambil melalui media elektronik internet yang memunculkan berbagai situs yang berhubungan dengan Wagashi.

15 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WAGASHI BAGI MASYARAKAT

JEPANG

2.1 Sejarah dan Perkembangan Wagashi di Jepang

Pada pertengahan abad ke 6 Masehi ketika ajaran Buddha masuk ke

Jepang, orang-orang Jepang mulai pergi ke China meskipun pada saat itu ancaman keamanan menjadi isu yang hangat dibicarakan. Orang-orang yang selamat sampai China belajar mengenai ajaran Buddha dan kembali ke Jepang dengan membawa banyak kebudayaan China. Salah satu diantaranya adalah makanan yang dalam bahasa Jepang disebut Kara Kudamono. Kara Kudamono inilah yang menjadi awal munculnya Wagashi di Jepang dan semakin bervariasi seiring berjalannya waktu.

Kara Kudamono berasal dari dua suku kata, yaitu Kara yang berarti kering dan Kudamono yang berarti buah-buahan. Disebut Kara Kudamono karena makanan tersebut terbuat dari buah dan biji-bijian yang dikeringkan. Karena Kara

Kudamono datang dari China ke Jepang melalui ajaran Buddha, masyarakat

Jepang pada waktu itu menganggap Kara Kudamono sebagai makanan yang khusus dipersembahkan untuk Dewa. Seiring berjalannya waktu, masyarakat

Jepang mulai memproduksi Kara Kudamono walaupun butuh waktu yang panjang untuk dapat menjadikan makanan tersebut umum dimakan oleh semua orang.

Pada tahun 1911, teh dari China mulai diperkenalkan di Jepang oleh pendeta Zen yang bernama Eisai. Kenikmatan minum teh menyebar secara bertahap. Di dalam Chanoyu (茶の湯) atau yang dikenal sebagai upacara minum

16 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA teh pada zaman Muromachi (1392 – 1573) terdapat kebiasaan menghidangkan teh dengan sup panas atau dalam bahasa Jepang disebut Atsumono (熱物). Salah satu dari Atsumono tersebut adalah Yokan. Yokan adalah sup panas berbahan dasar daging kambing. Pada saat itu makan daging bukanlah kebiasaan masyarakat

Jepang. Oleh karena itu sebagai pengganti daging, para juru masak membuat tiruan daging dengan campuran gandum dan tepung yang berasal dari kacang

Azuki. Yokan yang mulanya berupa sup pada zaman Muromachi kemudian mengalami perubahan dari bentuk asalnya menjadi sebuah makanan dengan rasa manis dan semi-transparan. Sekitar tahun 1800, agar-agar yang berasal dari rumput laut mulai dipakai para juru masak sebagai bahan dasar makanan termasuk

Yokan. Yokan dibuat dengan campuran agar-agar dan tepung kacang Adzuki dan berbentuk seperti jelly. Yokan yang disajikan dalam upacara minum teh inilah yang memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan Wagashi.

Sebuah perubahan besar dalam sejarah Wagashi, ketika orang-orang dari

Portugis datang ke Jepang dengan membawa kue-kue manis pada akhir tahun

1500. Orang-orang dari Portugis datang dengan membawa serta gula dan telur sebagai bahan dasar pembuatan kue, tetapi pada saat itu harga telur dan gula sangat mahal dan masih jarang diproduksi sehingga tidak semua orang mampu membeli. Oleh karena itu para juru masak menggantinya dengan menggunakan pemanis dari madu dan buah kesemek yang sudah dikeringkan. Namun kemudian penggunaan madu dan buah kesemek kering dianggap tidak praktis, kemudian

Shogun Yoshimune Tokugawa memerintahkan masyarakat Jepang untuk segera membuat gula. Sebagai hasilnya gula merah diproduksi secara besar-besaran.

17 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada tahun yang sama di Kyoto, kue-kue dengan rasa manis diproduksi dengan desain yang indah dan warna yang hidup. Kue tersebut bernama Jogashi (

上菓子). Jogashi merupakan istilah bagi Wagashi yang diproduksi di Kyoto.

Jogashi dibuat dengan bentuk yang indah dan dengan warna-warna alam yang terkesan hidup. Jogashi terkesan sangat eksklusif karena dibuat berdasarkan pesanan khusus dari para anggota bangsawan, kuil, master teh dan untuk perayaan khusus. Termasuk diantaranya kue yang terbuat dari beras ketan.

Pembuatan Jogashi dipersiapkan dengan berbagai tahap sebelum terbentuk makanan dengan bentuk dan warna yang sangat cantik. Tahapan-tahapan tersebut adalah mencampurkan bahan-bahan, menguleni, merebus dan mengkukus. Bahan- bahan yang digunakan dan langkah-langkah tersebut dipersiapkan dengan hati- hati agar tidak mengubah rasa asli dari Jogashi. Seni yang terdapat dalam Jogashi mengkespresikan empat musim di Jepang dan tempat-tempat bernuansa alam sekitar. Toko-toko Jogashi mulai bermunculan dan para pengrajin Jogashi menerapkan teknik-teknik khusus dan mengekspresikan perasaan pengrajin

Jogashi masing-masing sehingga dengan bahan dan cara pembuatan yang sama,

Jogashi yang dihasilkan akan berbeda.

Desain yang abstrak pada setiap bentuk Jogashi tidak selamanya mudah ditebak. Bentuk-bentuk tersebut dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami yang dapat dimakan seperti kacang adzuki atau biji-biji wijen untuk merepresentasikan gambaran burung plover, bintang, embun atau salju. Desain yang abstrak tersebut menimbulkan kesan kekaguman yang mendalam bagi penikmat Jogashi dalam menebak arti dibalik desain Jogashi. Kombinasi warna

Jogashi juga terlihat hidup dan natural. Kinton, misalnya terdiri dari bola-bola

18 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pasta kacang adzuki dan dilekatkan pasta kacang soboro- yang dibentuk menyerupai benang-benang warna-warni yang saling mengikat. Sedangkan Yokan yang berbentuk jelly transparan memiliki kombinasi warna dengan makna khusus seperti warna merah dan kuning yang berkonotasi sebagai dedaunan pada musim gugur, warna hijau dan kuning memberikan gambaran pucuk-pucuk tunas pohon gandarusa (willow) pada musim semi dan warna merah putih menggambarkan

Rika (李花) atau bunga pohon plum.

Kombinasi warna tersebut berkaitan erat dengan estetika warna yang ditentukan oleh perubahan musim pada lapisan-lapisan kimono yang dipakai oleh para pejabat istana selama periode Heian (794 – 1185). Seperti yang digambarkan dalam kisah legendaris Genji Monogatari dan karya sastra klasik lainnya, tema musiman memainkan peran yang penting dalam pakaian bangsawan. Mereka menghibur diri mereka dengan memberikan nama-nama yang berhubungan dengan fenomena perubahan musim untuk kombinasi tertentu dari kimono dalam dan luar serta lapisan yang terdapat pada kerah dan lengan kemudian dari nama- nama tersebut dibuat karya sastra seperti puisi. Dalam arti lain, desain dari

Jogashi yang sekarang ini mendapat pengaruh besar dari kehidupan istana di

Jepang pada masa Heian.

2.2 Klasifikasi Wagashi

Berdasarkan tahun penyebarannya ke Jepang, Wagashi dibagi menjadi tiga bagian yaitu Togashi, , dan Nanbangashi. a. Togashi

Togashi merupakan Wagashi yang dibawa oleh utusan Jepang yang dikirim ke Cina sekitar abad ke 7 sampai abad ke 9. Togashi merupakan jenis

19 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Wagashi yang dibuat dengan adonan pasta yang terbuat dari tepung terigu atau tepung beras lalu digoreng didalam minyak panas dan disajikan hanya untuk kalangan bangsawan dan istana. Sekarang Togashi dapat ditemui di daerah Nara dan Kyoto sebagai persembahan dalam upacara di kuil. Pada abad ke 7 sampai abad ke 9, gula belum diproduksi di Jepang sehingga pemerintah Jepang harus mengimpor dari negara lain, karena itulah gula merupakan hal yang mewah pada saat itu. Gula hanya digunakan sebagai obat dan hal yang mendesak lainnya seperti dalam upacara atau festival. Selama periode Heian (794-1192) sirup manis bernama Amazura yang dibuat dari semacam tanaman rambat endemik Jepang

(Ivy) digunakan sebagai pemanis utama dalam setiap masakan. b. Tenjin

Tenjin (dalam bahasa China disebut Dian Xin) merupakan makanan ringan yang diperkenalkan ke Jepang bersamaan dengan kebiasaan minum teh oleh pendeta Zen yang belajar di China dari abad 12 sampai abad ke 14. Tenjin merupakan jenis Wagashi yang berbentuk seperti agar-agar dan juga ada yang berjenis roti panggang yang diisi dengan pasta kacang yang bertekstur lembut.

Wagashi yang masih ada hingga saat ini dan termasuk kedalam golongan Tenjin adalah Yokan dan Manju. Tenjin yang berjenis Yokan merupakan salah satu hidangan yang disajikan saat upacara minum teh (Chanoyu) berlangsung. c. Nanbangashi

Nanbangashi merupakan kategori Wagashi yang berasal dari Eropa yaitu

Spanyol dan Portugis dan dibawa oleh misionaris dan pedagang pada tahun 1543.

Pada tahun yang sama, Jepang mulai melakukan kontak pertama kali dengan

20 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Eropa yaitu bangsa Portugis di tepi Tanegashima, sebuah pulau di selatan Kyushu.

Pada saat itu Portugis tidak hanya membawa senjata api dan ajaran agama

Kristen, tetapi juga makanan, termasuk didalamnya kue khas Eropa. Jenis

Nanbangashi yang populer di Jepang mayoritas masih memakai nama asli dari bahas Portugis dan Spanyol, seperti Konpeito (Portugis : Confeito), Boro (Portugis

: Bolo), Kasutera (Spanyol : Castella), Keiran Somen (Portugis : Fios de Ovos).

Sebagian besar Nanbangashi menggunakan bahan baku telur, gula dan tepung terigu yang tidak biasa pada saat itu dan jarang digunakan pada jenis Wagashi lain.

Berdasarkan kadar kelembapan pada teksturnya, Wagashi diklasifikasikan menjadi 3 kategori antara lain : a. Namagashi (生菓子)

Merupakan jenis Wagashi yang memiliki kadar kelembapan tertinggi diantara berbagai jenis Wagashi lainnya. Namagashi memiliki kadar kelembapan mencapai lebih dari 30%. Oleh karena itu, Namagashi biasanya selalu disajikan sesegera mungkin setelah pembuatannya karena keawetannya tidak bertahan lama. b. Han Namagashi (半生菓子)

Merupakan jenis Wagashi yang tidak terlalu basah dan juga tidak terlalu kering. Kadar kelembapan pada jenis Wagashi ini berkisar antara 10% sampai

30%. Kebanyakan kue yang berbentuk agar-agar atau jelly termasuk di dalamnya. c. Higashi (干菓子)

21 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Wagashi jenis ini merupakan yang paling sedikit kadar kelembapannya.

Kadar kelembapan pada Wagashi ini tidak pernah lebih dari 10% bahkan kurang.

Higashi biasanya berbahan dasar tepung beras dan gula yang ditumbuk halus lalu dicetak tanpa diolah lebih lanjut. Hal inilah yang menjadikan Higashi bisa tahan lebih lama untuk dikonsumsi dibandingkan Wagashi lainnya.

Dalam pembuatan Wagashi, ada berbagai macam metode yang digunakan dalam pembuatannya. Oleh karena itu, berdasarkan metode pembuatannya,

Wagashi diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Yakimono, merupakan jenis Wagashi yang diolah dengan cara dipanggang.

b. Nerimono, merupakan jenis Wagashi yang diolah dengan cara diremas.

c. Uchimono, merupakan jenis Wagashi yang diolah dengan cara dicetak.

d. Oshimono, merupakan jenis Wagashi yang diolah dengan cara ditekan.

e. Nagashimono, merupakan jenis Wagashi yang sebelumnya berbentuk cair

kemudian didiamkan agar mengeras, seperti pembuatan agar-agar atu jelly.

f. Mushimono, merupakan jenis Wagashi yang diolah dengan cara dikukus.

2.3 Jenis-jenis Wagashi

Kue-kue manis khas Jepang yang digolongkan ke dalam Wagashi umumnya adalah Jogashi, Mochi, Manju, Dango, Yōkan, dan Higashi. a. Jogashi

Jogashi merupakan jenis Wagashi yang berbahan dasar pasta kacang dan memiliki tampilan paling cantik dibandingkan Wagashi lainnya. Hal ini dikarenakan Jogashi dibuat oleh para pengrajin ahli yang menerapkan teknik- teknik khusus dalam pembuatannya. Bahan-bahan yang digunakan dan langkah-

22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA langkah pembuatannya pun dipersiapkan dengan sangat hati-hati agar tidak mengubah rasa asli dari Jogashi itu sendiri.

Jogashi memiliki tampilan sangat bervariasi dan tidak terbatas karena para pengrajin masing-masing mengekspresikan perasaannya ke dalam Jogashi, meskipun dengan bahan dan cara pembuatan yang sama, Jogashi yang dihasilkan pasti akan berbeda. Jogashi selalu dibuat segar karena memiliki kadar kelembapan yang tinggi dan menjadikannya tidak dapat bertahan lama. Tema yang diambil sangat bergantung kepada musim yang ada. Biasanya Jogashi dibentuk sesuai dengan apa yang menjadi tema paling menarik pada saat musim tertentu di

Jepang. b. Mochi

Mochi adalah kue manis khas Jepang yang terbuat dari beras ketan yang ditumbuk sehingga lembut dan lengket, kemudian dibentuk menjadi bulat. Mochi memiliki rasa yang khas, yaitu lembut di saat pertama kali dimakan dan lama kelamaan menjadi lengket. Mochi merupakan salah satu jenis Wagashi yang jenisnya paling sering digunakan sebagai persembahan kepada para dewa. Bagi masyarakat Jepang, Mochi dianggap sebagai simbol keberuntungan. Seiring berjalannya waktu, Mochi mengalami sejumlah modifikasi dan memiliki berbagai macam jenis dengan ciri khasnya masing-masing, antara lain :

a) Daifuku Mochi

Mochi jenis ini memiliki tektur bulat berukuran kecil, dengan pasta kacang

manis sebagai isinya. Daifuku Mochi diolah menggunakan beras ketan

yang telah ditumbuk dengan palu, kemudian adonan dibentuk. Daifuku

23 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Mochi biasanya disajikan dalam tiga pilihan warna, yaitu putih, merah

muda, dan hijau.

b) Sakuramochi

Sesuai dengan namanya, Sakuramochi memiliki warna merah muda

seperti bunga Sakura. Wagashi jenis ini memiliki isian yang hampir sama

dengan Daifuku Mochi, yakni pasta kacang merah atau kacang putih.

Namun, perbedaannya terletak pada topping yang diletakkan sehelai bunga

sakura asin sengaja disematkan untuk menambah rasa lezat kue tersebut. c) Warabimochi

Tidak seperti jenis Mochi lainnya, Warabimochi terbuat dari tepung olahan

tanaman pakis dan bukan terbuat dari beras ketan. Warabimochi biasanya

disantap bersama kinako panggang (tepung kedelai) dan kuromitsu (sirup

gula merah). d) Hishimochi

Hishimochi adalah kue beras Jepang yang memiliki tekstur menyerupai

berlian. Hidangan ini disajikan dalam tiga lapisan berwarna merah muda,

putih, dan hijau. Hishimochi tidak memiliki isian seperti Daifuku Mochi

dan Sakuramochi. e) Botamochi (Ohagi)

Botamochi atau Ohagi merupakan jenis kue beras Jepang yang terdiri dari

adonan lembut berbentuk bulat dengan isian pasta kacang merah.

24 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Botamochi (Ohagi) biasanya disantap dengan menambahkan bubuk kinako,

bubuk rumput laut, atau bubuk teh hijau (matcha). f) Kuzumochi

Mochi satu ini dibuat dengan menggunakan tepung kuzu (sebuah tanaman

khas Jepang). Mirip dengan Warabimochi, Kuzumochi juga biasanya

disantap bersama kinako dan sirup kuromitsu. Kuzumochi ini sangat baik

bagi seseorang yang sedang menerapkan pola hidup sehat, karena tidak

mengandung gula sama sekali. g) Kusamochi

Kusamochi adalah jenis Mochi yang terbuat dari beras ketan dan yomogi

(tanaman asal Jepang yang bercita rasa pahit). Yomogi ini juga sering

digunakan untuk membuat sejumlah makanan bercita rasa manis lainnya.

Beras ketan yang ditumbuk bersamaan dengan yomogi dan dibentuk

menjadi bulat. h) Kirimochi dan Marumochi

Kirimochi dan Marumochi merupakan dua jenis kue beras yang diolah

tanpa menggunakan bahan pemanis sama sekali. Kirimochi biasanya

dipotong berbentuk persegi panjang, sedangkan Marumochi tetap pada

bentuk aslinya, yakni bulat. Cara terbaik untuk menyantap Mochi jenis ini

adalah dengan menghangatkannya terlebih dahulu di microwave sampai

lembut dan lengket atau dipanggang dalam oven hingga membesar dan

kecoklatan. i) Hanabiramochi

25 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dari semua jenis Mochi yang ada, Hanabiramochi merupakan jenis Mochi

yang paling langka. Mochi ini hanya dapat ditemukan di daerah Kyoto dan

hanya disajikan secara tradisional untuk para bangsawan. Proses

pembuatannya pun terbilang unik karena diolah menggunakan akar grobo

burdock, pasta kacang manis dengan miso, kemudian digulung dengan

adonan halus menjadi berbentuk lingkaran datar sebelum dilipat dengan

bahan-bahan lainnya.

c. Manju

Manju adalah bentuk kue khas Jepang yang memiliki isi berupa pasta kacang merah yang dibungkus adonan tepung atau bahan lainnya dengan proses kukus. Meskipun tekstur luar Manju terlihat keras, tetapi dengan adanya isian anko dan gula di dalamnya membuat Manju memiliki tektur yang lembut dan lumer di mulut. Ada banyak bentuk-bentuk Manju seperti jenis Wagashi lainnya, tetapi salah satu Manju yang paling terkenal adalah Manju yang berbentuk Momiji

(daun mapel) dan merupakan makanan yang paling terkenal di Hiroshima. Manju merupakan makanan yang diadaptasi dari makanan Cina yang disebut Mantou.

d. Dango

Dango merupakan kue yang terbuat dari tepung beras yang diulen dengan air panas berbentuk bulat kecil seperti bola-bola kecil, dan dimatangkan dengan cara dikukus atau direbus di dalam air. Kushidango adalah sebutan untuk sejumlah 3,4, atau 5 butir dango yang ditusuk menjadi satu dengan tusukan

(kushi) dari bambu. Dango yang rasanya manis dibuat dengan menambahkan gula

26 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ke dalam adonan, sedangkan dango yang tidak manis dicelupkan ke dalam saus

(saus manis-asin, saus kecap asin, selai kacang-kacangan, dan bubuk kacang kedelai yang dicampur dengan gula pasir).

e. Yōkan

Yōkan adalah kue manis khas Jepang yang memiliki tektur kenyal seperti agar-agar atau jelly yang terbuat dari campuran agar-agar, tepung kacang Adzuki, dan gula. Biasanya disajikan berbentuk balok dan dimakan dalam dua irisan.

Seiring berjalannya waktu, Yōkan mulai memiliki variasi dengan diletakkan isian di dalamnya, seperti kacang cincang, kesemek kering, buah ara, dan ubi jalar.

Sebagai pengganti gula juga biasanya digunakan madu, gula merah, atau air tebu.

Yōkan paling enak dinkmati dalam keadaan dingin.

f. Higashi

Kue kering khas Jepang yang satu ini dapat dikatakan unik karena tidak dibuat dengan mematangkan adonan dalam kukusan atau pemanggang, melainkan hanya dipadatkan di dalam cetakan. Bahan pembuat Higashi ini juga tidak sembarangan, hanya tepung ketan yang sangat halus, Wasambonto, gula dengan kualitas terbaik, serta sedikit tepung kanji yang dicampur dalam bentuk kering dan dipadatkan di dalam cetakan. Karena memiliki kadar kelembapan yang sangat sedikit, maka Higashi dapat bertahan lebih lama untuk dikonsumsi.

2.4 Unsur-unsur Pembentuk Wagashi

27 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Wagashi merupakan sebuah bentuk kolaborasi seni yang memanjakan ke lima panca indera manusia. Ke lima panca indera manusia yang dimaksud tersebut adalah indera penglihatan (mata), indera pengecap (lidah), indera peraba (tangan), indera penciuman (hidung), dan indera pendengaran (telinga).

A. Penampilan (Katachi / 形)

Dalam membangkitkan keindahan musim dan lanskap dari negri Sakura ini, bentuk, warna, dan desain daripada Wagashi ini merupakan hal yang sangat utama untuk ditampilkan. Menurut Nakayama Keiko dalam tesisnya yang berjudul

Wagashi no Katachi, bentuk, warna, dan desain dari Wagashi terinspirasi oleh fauna (Doubutsu / 動 物 ), flora (Shokubutsu / 植 物 ), fenomena alam dan pemandangan sekitar (Shizen / 自然), dan yang lain-lain (Sono hoka / そのほか).

Keseluruhan dari penampilan Wagashi merepresentasikan dengan jelas konsep- konsep keindahan dan respon masyarakatnya terhadap alam sekitar. Keempat penampilan umum Wagashi tersebut diuraikan sebagai berikut :

a) Flora (Shokubutsu / 植物)

Flora merupakan kategori pertama dari penampilan Wagashi karena

mayoritas Wagashi mengadopsi bentuk, warna, dan motif flora. Menurut

Nakayama Keiko dalam artikelnya yang berjudul Traditional Japanese

Confectionery : The Art of Wagashi, sebagian besar bentuk dan motif

Wagashi diadopsi dari bunga Ume atau plum (Rika / 李花), bunga Sakura,

bunga Krisan, bunga Camellia, pohon pinus, bunga Peony, tumbuhan

Yanagi (Willow / Gandarusa), pakis, Kerria, dan bunga Azalea.

28 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA b) Fauna (Doubutsu / 動物)

Di dalam kehidupan masyarakat Jepang, Fauna merupakan objek inspiratif

dalam menghasilkan bebagai macam karya seni. Pada Wagashi, hewan-

hewan khas Jepang yang berperan sebagai inspirasi pembuatan motif dan

bentuknya antara lain adalah ikan koi, kupu-kupu, kelinci, kerang-

kerangan, burung Uguisu, burung Hototogisu, dan sebagainya. Contoh

Wagashi yang memiliki bentuk menyerupai hewan antara lain adalah

Chōchō Wagashi dan Koi Wagashi. Chōchō Wagashi merupakan Wagashi

yang dihidangkan pada musim semi. Bentuknya menggambarkan kupu-

kupu yang memainkan imajinasi penikmatnya seakan-akan melihat kupu-

kupu terbang diantara bunga-bunga pada musim semi. Koi Wagashi

merupakan Wagashi yang dihidangkan pada musim panas. Hal tersebut

ditandai dengan bahan dasar pembentuk Wagashi tersebut yaitu Kanten

(agar-agar). Bahan dasar Kanten tersebut membuat Wagashi berbentuk jeli,

bertekstur kenyal, dan terlihat segar, sangat cocok dihidangkan pada

musim panas. c) Fenomena Alam dan Pemandangan Sekitar (Shizen / 自然)

Fenomena alam khas Jepang yang diadopsi menjadi bentuk dan motif

Wagashi antara lain adalah hujan, angin, batu-batuan, kabut, salju, embun,

dan gunung. Contoh Wagashi tersebut antara lain 夏の山和菓子 (Natsu

no Yama Wagashi) yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘gunung pada

musim panas’. Wagashi ini tergolong Wagashi jenis Joyo dan berbentuk

bulat oval dengan lukisan gunung sederhana diatasnya. Selanjutnya adalah

蛍和菓子 (Hotaru Wagashi) yang terinspirasi dari bunga Lily putih di

29 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kolam di Toyouke Daijingū (kuil Gekū Ise), Toyokawa Ise,

perfektur Mie. Hotaru Wagashi bertekstur lembut transparan menyerupai

kolam yang ditumbuhi bunga Lily.

d) Lain-lainnya (Sono hoka / そのほか)

Benda-benda disekitar kehidupan masyarakat Jepang yang juga diadopsi

dalam bentuk maupun motif Wagashi diantaranya uchiwa (kipas khas

Jepang), ougi (kipas lipat), pakaian seperti kimono dan yukata, sudare

(tirai bambu) dan patung-patung yang terdapat di kuil.

B. Rasa (Aji / 味)

Semua jenis Wagashi memiliki rasa manis. Namun, rasa manis yang disuguhkan oleh Wagashi bukanlah manis yang belebihan seperti gula pasir pada umumnya, melainkan kita dapat menikmati rasa manis alami yang berasal bahan dasarnya seperti kacang-kacangan yang memiliki rasa manis dan gurih ataupun buah-buahan yang pada dasarnya memiliki rasa manis. Inilah yang menjadikan

Wagashi sebagai makanan diet ala Jepang yang sehat namun tetap memanjakan lidah para penikmatnya. Selain itu, Wagashi juga erat kaitannya dengan tradisi upacara minum teh (Chanoyu). Dalam tradisi tersebut, bubuk teh yang digunakan adalah bubuk Matcha yang memiliki rasa pahit yang pekat. Oleh karena itu, rasa manis yang tidak berlebihan pada Wagashi mampu menyeimbangkan rasa pahit dari bubuk Matcha tersebut tanpa menghilangkan cita rasa pada Matcha tersebut.

C. Tekstur (Shoku / 触)

Tekstur berperan penting dalam menentukan keberhasilan pembuatan

Wagashi. Tekstur Wagashi diselaraskan dengan kesan kelembutan, kelembapan,

30 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA atau kerenyahan yang dirasakan ketika mengambil sepotong Wagashi dengan menyentuhnya. Kemudian ketika menempatkannya kedalam mulut, semuanya terungkap sebagai sebuah kesegaran kualitas dan keunikan dari berbagai macam bahan alami yang terkandung didalamnya. Wagashi berdasarkan teksturnya terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : Higashi (Wagashi yang paling kering dan keras yang dicetak diatas cetakan kayu tradisional dan biasanya berbentuk pipih dan berwarna putih atau merah muda), Han Namagashi (Wagashi yang tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering, biasanya berjenis kue-kue yang dipanggang atau dikeraskan), dan yang terakhir Namagashi (Wagashi yang paling lembut diantara jenis Wagashi lain, sebagian besar jenis ini berbahan dasar Kanten / agar- agar transparan atau berbahan dasar dari tepung ketan yang lebih dikenal sebagai

Mochi).

D. Aroma (Kaori / 香り)

Wagashi memiliki aroma yang khas dan halus sehingga mampu menimbulkan kesan relaksasi ketika tercium aromanya tanpa merubah rasa aslinya.

Aroma-aroma yang terdapat pada Wagashi antara lain adalah aroma yang berasal dari Matcha, Houjicha, Nikkei (cengkeh), Shoga (jahe), Yuzu (Japanese Citrus).

Matcha merupakan bubuk teh hijau yang dibuat dengan cara menggiling daun teh hijau menjadi bubuk. Sedangkan Houjicha merupakan teh hijau yang sudah melalui proses pemanggangan sehingga warna yang dihasilkan lebih pekat dan kadar asam yang dihasilkan lebih rendah.

E. Suara (Oto / 音)

Melalui indera pendengaran, Wagashi masing-masing memiliki nama yang ketika diucapkan akan mebangkitkan imaji yang cantik. Biasanya nama tersebut

31 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diambil dari suatu prosa atau puisi dan terkadang digunakan untuk mengingatkan musim yang akan datang berdasarkan obyek artistik dari setiap fenomena musim tersebutdan bait-bait puisi atau literatur kuno. Ketika orang mendengar puisi yang indah, mereka dapat mengimajinasikan pemandangan alam, menggambarkan kejadian yang ada dalam literatur tersebut atau bahkan dapat merasakan suasana hati yang terdapat dalam bait-bait cerita klasik tersebut. Salah satu Wagashi yang mempunyai nama yang cantik adalah Wagashi Haru Hikaru. Haru Hikaru berarti musim semi yang bersinar. Ketika mendengar nama Wagashi tersebut, pendengar menangkap imaji cantiknya musim semi dengan bunga-bunga bermekaran dan bersinar di bawah cahaya matahari. Wagashi Haru Hikaru terbuat dari sari pasta kacang kukus yang dicampur dengan tepung kue dan air gula.

32 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA WAGASHI BAGI MASYARAKAT JEPANG

3.1 Fungsi Wagashi

Di dalam kehidupan masyarakat Jepang, keberadaan Wagashi sendiri tentunya memiliki berbagai macam fungsi. Fungsi-fungsi ini memiliki hubungan dengan berbagai macam kebudayaan Jepang dan masyarakatnya. Adapun fungsi- fungsi Wagashi bagi masyarakatnya adalah sebagai bentuk kecintaan masyarakat

Jepang terhadap alam, sebagai bentuk penghormatan masyarakat Jepang terhadap para dewa (kami) dan roh para leluhur, sebagai sebuah simbol pengharapan dalam berbagai macam perayaan atau ritus tahunan (Matsuri), serta sebagai hidangan pendamping saat upacara minum teh (Chanoyu).

3.1.1 Wagashi dan Alam

Masyarakat Jepang memiliki hubungan erat dengan alam termasuk isinya yang berupa tumbuhan dan hewan. Tumbuhan dan hewan hidup bersama-sama dengan manusia di muka bumi ini. Manusia dengan alam memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu, alam adalah mitra yang sejajar di dunia ini.

Kedekatan masyarakat Jepang dengan alam menimbulkan rasa kagum dan cinta

33 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terhadap alam. Rasa kagum dan cinta ini banyak dituangkan ke dalam kesenian dan kebudayaan masyarakat Jepang. Salah satu yang termasuk sebagai kebudayaan masyarakat Jepang adalah Wagashi.

Bentuk Wagashi sebagian besar terinpirasi dari unsur-unsur alam Jepang, seperti tanaman-tanaman khas yang tumbuh di Jepang, hewan-hewan di Jepang, pemandangan-pemandangan alam Jepang, dan perubahan ke empat musim di

Jepang. Salah satu jenis Wagashi yang menampilkan ciri khas musim semi adalah

Sakuramochi, yaitu kue beras yang dibungkus dengan daun Sakura. Daun Sakura tentunya menjadi ciri khas yang paling mudah menunjukkan bahwa musim semi sedang berlangsung. Oleh karena itu, diletakkan daun Sakura pada luar

Sakuramochi tersebut sebagai identitas musim semi.

Untuk musim panas, sesuatu yang menyegarkan mata dan dahaga tentunya sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, jenis Wagashi yang selalu muncul di musim panas adalah Mizu Yokan, yaitu semacam agar-agar kacang adzuki yang lembut berbentuk kubus berwarna coklat yang diletakkan di atas tempat bambu. Selain

Mizu Yokan, ada banyak jenis Wagashi yang muncul di musim panas. Salah satunya adalah Ajisai, yaitu agar-agar kacang adzuki yang manis berwarna ungu muda dipotong-potong berbentuk kubus dan ujungnya dibulatkan agar terlihat seperti bunga ajisai (hydrangea). Meskipun ada berbagai jenis Wagashi di musim panas, tetapi semuanya hanya memiliki 1 kesamaan, yaitu semuanya berbahan dasar dari agar-agar. Karena agar-agar mampu mengekspresikan kesegaran pada

Wagashi tersebut di musim panas.

Ketika musim gugur, Wagashi yang sering dinikmati adalah Wagashi yang berjenis Jogashi (Kinton) dan Manju. Wagashi jenis Kinton ini lebih mudah untuk

34 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dibentuk-bentuk dan didesain secara detail dengan motif musim gugur karena terbuat dari adonan pasta kacang manis. Wagashi jenis Manju yang berasal dari

Hokkaido juga terkenal disaat musim gugur. Manju Hokkaido ini berwarna coklat berbentuk seperti mantou yang dipanggang dengan isian pasta kacang merah dan dibentuk seperti daun momiji, daun yang khas di musim gugur.

Ketika musim dingin, kue-kue kering yang disebut Higashi sering dinikmati oleh masyarakat Jepang. Permen-permen kering tersebut dibuat dengan berbagai macam cetakan yang unik-unik agar digemari anak-anak. Ketika musim dingin, masyarakat Jepang memiliki tradisi mengunjungi keluarga dan menyantap hidangan bersama. Higashi inilah yang biasa dibawa ketika kita datang berkunjung.

Dalam pembuatan Wagashi, para pengrajin harus bisa merasakan keindahan tersebut sehingga mampu menghasilkan Wagashi yang benar-benar mencerminkan keadaan alam Jepang. Jadi, dapat dikatakan bahwa melalui

Wagashi, masyarakat Jepang mampu memperkenalkan keindahan alam Jepang ke mata dunia dari bentuk-bentuk yang dihasilkannya. Hal inilah yang melatarbelakangi bahwa keindahaan alam Jepang dapat terpancar ketika melihat bentuk dari Wagashi.

3.1.2 Wagashi dan Leluhur

Lelulur dalam masyarakat Jepang merupakan garis turunan anggota keluarga yang telah meninggal. Dalam kehidupan masyarakat Jepang roh leluhur sangat dihormati dan dianggap hidup yang diharapkan kedatangannya setiap

Tahun sebagai pembawa keberkahan. Sebagai bentuk penghormatan masyarakat

35 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jepang terhadap roh para leluhurnya, mereka biasanya menyiapkan Wagashi berjenis Mochi pada saat Oshogatsu (tahun baru) dan Obon.

Dalam acara Oshogatsu roh leluhur dipercaya datang kerumah mengunjungi anak cucu. Sehingga dalam penyambutannya, keluarga anak cucu menyediakan berbagai makanan untuk menyambut roh leluhur tersebut. Salah satu makanan yang disajikan adalah Wagashi yang berjenis Mochi. Sebagai bentuk penghormatan terhadap roh leluhur, Mochi juga disantap bersama keluarga sehingga antara roh leluhur dan keluarga tidak ada perbedaanmya. Dalam acara

Obon, inti dari ritual ini juga memberikan persembahan kepada leluhur. Namun perbedaanya adalah pada saat Obon, persembahan tidak diberikan hanya kepada leluhur, melainkan juga diberikan kepada muen rei dan gaki (roh-roh gentayangan dan kelaparan) dengan tujuan agar gaki atau muen rei tersebut tidak mengganggu roh leluhur yang hendak menuju kerumah anak cucu.

Selain Mochi, adapula O-hagi yang terbuat kue ketan kukus yang dilapisi pasta kacang adzuki, kinako (tepung kedelai manis), dan wijen hitam. O-hagi memiliki rasa gurih bercampur manis. O-hagi berarti bunga hagi (pohon semanggi) yang mekar pada musim gugur. Seperti namanya, bentuk kue ini memang terlihat seperti bunga pohon tersebut. Selain rasanya yang nikmat dan gurih, kue ini diperuntukkan bagi orang yang telah meninggal. Menurut Kajiyama

Koji yang mengajar di sekolah masak di Jepang, pada masa lampau kue O-hagi adalah makanan rakyat biasa. Kue O-hagi ini lambat laun dihubungkan dengan pelayanan agama Buddha. Salah satu bentuk pelayanan keagaamaan tersebut adalah Upacara Higan, yaitu upacara mengenang anggota keluarga yang telah meninggal. Upacara Higan diadakan setiap musim gugur, dimana panjang siang

36 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan malamnya sama di musim gugur. Dalam upacara ini, masyarakat Jepang memakan kue O-hagi sebagai bentuk penghormatan kepada arwah mendiang.

Masyarakat Jepang akan mengunjungi makam anggota keluarga yang sudah wafat bersama keluarganya, dan mempersembahkan kue O-hagi di depan batu nisannya.

Oleh karena itu, kue O-hagi ini disebut sebagai kue orang meninggal. Tapi sekarang ini disamping diperuntukkan untuk orang yang telah meninggal, O-hagi juga dinikmati semua orang setiap saat. Kue ini dapat dijumpai dengan mudah di toko-toko kue Jepang. Namun, akan sulit untuk membelinya di musim gugur karena kebanyakan permintaan untuk upacara persembahan.

3.1.3 Wagashi dan Dewa (Kami)

Bagi masyarakat Jepang, upacara keagamaan untuk mengundang atau mendatangkan dewa atau peristiwa terjadinya pertemuan antara manusia dan dewa bertujuan untuk mendapatkan petunjuk dan keberkahan. Melalui perayaan tahunan (Matsuri), masyarakat Jepang merasakan akan kehadiran dewa dalam kehidupan mereka. Umumnya baik tua maupun muda, masyarakat Jepang akan melaksanakan salah satu dari kegiatan Matsuri ini secara periodik. Oleh karena itu, Matsuri tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.

Dalam menyelenggarakan Matsuri, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan.

Salah satunya adalah sesajian suci untuk dewa yang berkaitan dengan makanan apa yang akan dipersembahkan kepada para dewa. Dalam hal ini Wagashi lah yang berperan sebagai sesajian tersebut. Wagashi yang selalu dijadikan persembahan atau sesajian para dewa, antara lain : a) Kagami mochi (鏡餅)

37 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kagami mochi adalah mochi yang dijadikan sesajen untuk dewa tahun yang merangkap dewa padi-padian. Kagami mochi biasanya terdiri dari dua buah mochi berbentuk bundar, mochi berukuran lebih kecil diletakkan diatas mochi yang berukuran lebih besar. Kagami mochi ini biasanya diletakkan diatas nampan yang disebut sanpō (三宝) dan dialasi kertas putih dengan tepian berwarna merah yang disebut shihō beni (四方紅 ). Diatas mochi yang berukuran lebih kecil diletakkan daidai (jeruk pahit) beserta daunnya. Disebut Kagami mochi karena berbentuk bundar mirip cermin dan perunggu yang juga digunakan dalam upacara keagamaan di Jepang. Hiasan tahun baru Jepang berupa Kagami mochi, jeruk pahit, dan kesemek kering merupakan simbol dari Tiga Mustika Suci Kekaisaran

Jepang. Kagami mochi melambangkan cermin Yata no Kagami ; jeruk pahit merupakan simbol permata Yasakani no Magatama dan Kushigaki (setusuk kesemek kering) dipakai melambangkan pedang Kusanagi. Kagami mochi ini biasanya dipersembahkan pada tanggal 11 Januari (tanggal 4 atau 20 di beberapa daerah) di acara tahunan Kagami biraki. Pada hari-hari di awal tahun Kagami mochi bulat yang besar secara tradisional dipersembahkan kepada para dewa selama perayaan tahun baru, kemudian pada tanggal tersebut Kagami mochi tersebut dipotong menjadi potongan kecil dan dimakan dengan o-zoni (sup sayur) atau o-shiruko (sup kacang adzuki). Pada waktu kue ini dipotong, tahun baru dianggap telah selesai. b) Kobai

Kue kecil ini bentuknya seperti aprikot Jepang (ume) dan dihias agar menyerupai kelopak bunga ume merah di awal musim semi. Adonannya terbuat dari pasta kacang dan tepung gandum yang dikukus sehingga menciptakan warna

38 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kemerahan yang indah. Wagashi jenis ini biasanya terdapat pada bulan Februari bertepatan dengan acara Kitano Baika-sai atau yang lebih dikenal dengan festival mekarnya bunga plum Kitano. Festival ini biasanya diadakan di Kuil Kitano

Tenman-gu, Kyoto. Wagashi jenis Kobai ini dibuat menyerupai kelopak bunga ume merah karena Sugawara no Michizane sangat menyukai pohon ume merah dan putih. Sugawara no Michizane merupakan ulama dan penyair yang telah diasingkan sebagai hasil manuver politik musuh-musuhnya di klan Fujiwara.

Demi menenangkan semangat birokrat beliau, dibangunlah Kuil Kitano Tenman- gu. Kuil ini dipenuhi pohon-pohon plum yang saat bermekaran sangat ramai dikunjungi. Kitano Baika-sai telah diadakan pada hari yang sama setiap tahun selama sekitar 900 tahun untuk menandai kematian Michizane. c) Hishi mochi (菱餅)

Hishi mochi adalah mochi berlapis tiga yang berbentuk belah ketupat dengan warna merah jambu, putih, dan hijau. Kue ini merupakan makanan istimewa untuk Hinamatsuri (Festival Boneka) setiap tanggal 3 Maret di Jepang.

Selain dipajang bersama boneka, Hishi mochi dimakan setelah dipanggang lebih dulu. Kue ini umumnya terdiri dari 3 warna, yaitu merah jambu, putih, dan hijau yang melambangkan pemandangan awal musim semi ketika rumput muda mulai tumbuh di bawah sisa-sisa salju yang mencair sementara pohon persik mulai berbunga. Warna merah jambu yang melambangkan bunga persik dipercaya bisa menghalau nasib sial. Pewarna merah yang dipakai berasal dari bunga kacapiring yang dipercaya memiliki khasiat menawar racun, menghalau nasib buruk, dan penghormatan terhadap leluhur. Warna putih yang melambangkan sisa-sisa salju yang dipercaya sebagai simbol kesucian. Lapisan yang berwarna putih ini

39 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dicampur dengan biji tanaman hishi yang dipercaya memiliki khasiat menurunkan tekanan darah. Warna hijau yang melambangkan rumput muda yang tumbuh dibawah sisa-sisa salju musim semi dipercaya sebagai simbol kesehatan dan umur panjang. Pewarna hijau yang dipakai berasal dari daun yomogi yang dihaluskan.

d) Hana-mi dango (花見団子)

Hana-mi dango terkenal pada tahun 1800-an sebagai kue yang disajikan pada orang-orang yang menikmati mekarnya bunga Sakura. Masyarakat Jepang telah lama merayakan dan mengagumi keindahan bunga Sakura dengan menikmati piknik dibawah mekaran bunga Sakura. Mereka menikmati beberapa makanan bertemakan musim semi termasuk Hana-mi dango atau kue manis yang dibuat dengan tepung beras dengan 3 warna, yaitu merah jambu, putih, dan hijau yang disusun berurutan dan ditusuk menyerupai sate. Tiga warna pada Hana-mi dango tersebut memiliki teori mengapa susunan warnanya tersebut harus berurutan dan mengapa mereka memilih ketiga warna ini. Teori pertama menggambarkan siklus hidup bunga Sakura itu sendiri, yang dimulai dari kuncup merah muda, bunga putih, dan kemudian daun hijau. Teori kedua menggambarkan pemandangan kedatangan musim semi, yaitu matahari merah atau bunga Sakura merah muda, sisa-sisa salju, dan rumput yomogi (mugwort) atau kecambah hijau di bawah salju. Persamaan dari kedua teori tentang Hana-mi dango tersebut adalah keduanya terdengar sangat menyenangkan dan dipercaya mampu membawa kebahagiaan musim semi. e) Kashiwamochi (柏餅)

40 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kashiwamochi adalah kue yang dibuat dari tepung beras dengan isi selai kacang merah. Kue ini termasuk salah satu jenis mochi, dan disebut kashiwamochi karena dibungkus daun sejenis pohon ek (kashiwa). Daun pembungkus ini tidak untuk dimakan. Adonan kue ini dibuat dari tepung beras dan air. Adonan dibulatkan dengan tangan sebelum dipipihkan dan diisi selai kacang merah di bagian tengah. Adonan lalu diipat dua hingga berbentuk setengah lingkaran, dan dimatangkan dengan cara dikukus. Setelah kue matang, kue dibungkus satu per satu dengan daun kashiwa yang membuat kue beraroma khas. Kashiwamochi merupakan hidangan istimewa untuk perayaan Hari Anak (Tango no Sekku) pada tanggal 5 Mei di Jepang. Daun-daun tua dari pohon kashiwa tidak luruh sebelum pohon dapat membesarkan tunas menjadi daun baru. Oleh karena itu, kue ini dipercaya membawa nasib baik dan dipakai sebagai simbolisme garis keturunan keluarga yang tidak terputus (orang tua tidak boleh mati sebelum anak-anak lahir).

Dapat disimpukan bahwa peranan Wagashi dalam berbagai perayaan atau

Matsuri adalah sebagai persembahan khusus yang mampu menghubungkan antara manusia dengan para dewa untuk mendapatkan petunjuk maupun keberkahan.

3.1.4 Wagashi dan Upacara Minum Teh (Chanoyu/Chadou)

Saat upacara minum teh, tuan rumah pada umumnya menyediakan makanan ringan atau kue khusus yang disebut Wagashi. Wagashi yang digunakan saat upacara minum teh dimaksudkan untuk menetralisir lidah agar tidak terkejut dengan rasa sepat yang terdapat pada teh hijau tersebut. Wagashi yang disajikan biasanya memiliki penampilan yang sederhana. Hal ini dikarenakan pelaksanaan upacara minum teh merupakan sebuah ritual masyarakat Jepang yang bertujuan

41 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA untuk menonjolkan kesederhanaan dan kerendahan hati. Oleh sebab itu, sebagai unsur pendukungnya Wagashi dibuat sesederhana mungkin agar selaras dengan tujuan pelaksanaan upacara minum teh ini. Jenis Wagashi yang biasa digunakan saat upacara minum teh, yaitu mochi, manju, dango, higashi, dan buah kering.

Semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu memiliki rasa yang manis yang mampu menetralisir lidah agar dapat merasakan kemurnian dari teh hijau tersebut. Setelah menikmati Wagashi, biasanya teh dapt dinikmati hingga tetes terakhir.

3.1.5 Wagashi dan Manusia

Manusia adalah makhluk sosial. Dalam etika masyarakat Jepang, memberikan buah tangan merupakan hal yang tidak boleh terlewatkan dalam aspek sosial. Ada banyak benda yang dapat dijadikan buah tangan ketika mengunjungi seseorang, baik mengunjungi orang sakit maupun bertamu ke rumah teman, kerabat, dan saudara. Salah satunya yang dapat dijadikan buah tangan adalah Wagashi. Ada beberapa jenis Wagashi yang pada umumnya dijadikan buah tangan bagi masyarakat Jepang, yaitu sebagai berikut : a. Amanatto

Amanatto adalah jajanan manis yang terbuat dari banyak macam kacang- kacangan yang direbus di dalam gula. Setelah direbus, kacang-kacang tersebut kemudian dikeringkan, lalu dilapisi gula lagi. Kacang yang sering digunakan adalah kacang adzuki. b. Dango

Dango merupakan jenis Wagashi yang paling banyak jenisnya sehingga dapat ditemukan dimana saja dan digunakan dalam banyak kegiatan. Salah

42 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA satunya dapat dijadikan sebagai buah tangan ketika berkunjung ke rumah orang

Jepang. c. Higashi

Dengan rasa manisnya dan tekstur keringnya, membuat Wagashi jenis ini mudah dibentuk berbagai bentuk yang lucu dan dapat bertahan lebih lama dari jenis Wagashi lainnya, sehingga Wagashi jenis ini sangat dianjurkan untuk dijadikan buah tangan karena kemungkinan kerusakan yang terjadi sangat sedikit. d. Kompeito

Kompeito adalah permen tradisional yang berbentuk seperti bintang- bintang berwarna-warni dan rasanya hanya manis. Sebutir Kompeito umumnya berdiameter antara 5-10 milimeter. Nama Kompeito berasal dari bahasa Portugis,

Confeito yang berarti gula-gula. Kompeito ini sangat digemari anak-anak, sehingga sangat cocok untuk dijadikan buah tangan ketika berkunjung ke rumah seseorang yang telah memiliki anak.

3.2 Makna Wagashi

Wagashi merupakan salah satu representasi nilai-nilai keindahan berupa kue manis khas Jepang yang memiliki bentuk dan motif yang indah. Motif unik tersebut sebagian besar terinspirasi oleh keindahan alam di sekitarnya. Oleh karena itu Wagashi memiliki banyak sekali variasi bentuk dan warnanya. Dalam setiap bentuk maupun warna yang terkandung pada Wagashi, pastinya memiliki makna atau simbol tertentu. Makna pada Wagashi dapat dijelaskan berdasarkan keindahan tampilannya (estetis) dan makna berdasarkan warna apa saja yang terkandung pada Wagashi tersebut.

43 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.2.1 Makna Estetis

Pada dasarnya Wagashi memang dibentuk untuk menampilkan penampakan alam dan dijadikan oleh masyarakat Jepang sebagai sebuah karya seni. Wagashi juga dianggap sebagai sebuah keindahan langit-langit Jepang oleh masyarakat Jepang dikarenakan segala sesuatu yang terkandung maupun yang tertoreh didalamnya benar-benar berasal dari alam dan untuk alam. Dengan tampilan yang sangat indah, tentu saja Wagashi sarat akan makna estetis tersendiri.

Pandangan mengenai nilai estetika setiap masyarakat berbeda-beda yang dapat dipengaruhi oleh ideologi, alam, struktur sosial dan agama. Salah satu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai estetika adalah masyarakat Jepang.

Dalam menganalisis nilai estetika, terdapat 2 konsep yang mendasari pemikiran masyarakat Jepang tentang keindahan, antara lain :

1. Konsep Estetika Wabi.

Konsep wabi mengacu pada keindahan dalam konteks ruang yang

berkarakteristik sederhana (simple) kecantikan yang sederhana

(unpretentious beauty), dan ketidaksempurnaan (imperfect).

2. Konsep Estetika Zen Buddhisme.

Pengaruh Zen dalam membentuk estetika Jepang mempunyai peran yang

sangat besar dalam seni dan keindahan di Jepang. Hal ini dikarenakan Zen

merupakan salah satu aliran agama Buddha. Menurut Hisamitsu Shin’ichi,

seorang cendikiawan Buddha Zen, filsuf, dan master upacara minum teh

Jepang, ada tujuh karakteristik yang melandasi karya seni Zen, yaitu

fukinsei 不均斉(asismetris), kanso 簡素(kesederhanaan), shizen 自然

44 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (alami), kokou 枯 高 (kekeringan sublim), yuugen 幽 玄 (makna yang

mendalam), datsuzoku 脱 俗 (bebas dari ikatan), dan seijaku 静 寂

(keheningan).

A. Analisis Makna Estetis Berdasarkan Konsep Wabi

Musim semi dengan suhu 12-20 derajat celcius merupakan suhu yang bagus untuk mekarnya bunga-bunga seperti bunga Sakura, Rika (bunga Ume), bunga Momo (persik) dan lain sebagainya. Diantara bunga-bunga yang bermekaran pada musim semi sebagian memiliki makna simbolis, salah satunya adalah bunga Momo. Bunga Momo yang berwarna merah muda melambangkan penghalau nasib buruk. Bunga Momo digunakan sebagai inspirasi untuk membuat

Wagashi yang diberi nama Momo no Hana Wagashi. Wagashi ini berjenis Jogashi

(Kinton) dengan isi didalamnya pasta kacang merah yang bertekstur kasar

(tsubuan). Momo no Hana Wagashi terbuat dari serutan adonan yang membentuk benang-benang tak beraturan yang mencuat di segala sisi. Momo no Hana

Wagashi memiliki warna primer yaitu merah muda dan warna sekunder yaitu warna hijau, dengan komposisi warna yang tidak seimbang atau asimetris tersebut justru menonjolkan simbol keabadian yang dinamis dari daun pohon Momo.

Dengan adanya ketidaksempurnaan ini menciptakan keindahan yang tidak beraturan. Hal tersebut sesuai pada karakteristik estetika Wabi, yaitu Imperfect dan Unpretentious Beauty.

Selanjutnya adalah Wagashi yang terinspirasi oleh bunga Wisteria (Fuji no

Hana) yang terdapat di kuil Byōdōin, kota Uji, Kyoto yang mekar sekitar akhir bulan April hingga awal Mei. Bunga Fuji sudah ada di Jepang selama lebih dari

100 tahun dan dianggap sebagai simbol keabadian dan umur panjang. Wagashi ini

45 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berjenis Mochi yang diberi nama Toen Wagashi, memiliki warna dasar yang dominan yaitu warna putih. Pada bagian permukaan atas terdapat aksen warna hijau yang sangat tipis sebagai simbol daun-daun muda pohon Wisteria, sedangkan diatas warna hijau tersebut terdapat aksen serpihan-serpihan asli bunga

Fuji yang disusun memanjang secara rapi. Dengan perpaduan warna yang kontras antara putih, hijau, dan ungu dengan latar belakang berwarna putih, membuat perpaduan warna tersebut justru menonjolkan subjek utama (bunga Fuji).

Dominasi Mochi yang berwarna putih menghasilkan kesan dinamis, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya warna hijau temaram yang melatarbelakangi bunga

Fuji mempunyai kadar value rendah (redup/temaram) sehingga terjadi kontras yang harmoni. Keredupan dan kontas yang muncul tersebut sesuai dengan karakteristik estetika Wabi, yaitu Imperfect dan Unpretentious Beauty.

Kemudian ada juga Wagashi yang terinspirasi dari bunga teratai yang tumbuh di sebuah kolam yang bernama Magatama Ike. Bunga teratai dipercaya sebagai simbol dari kesucian karena akarnya yang tumbuh jauh didasar kolam/lumpur namun bunganya mekar di atas air. Wagashi yang terinspirasi dari bunga teratai tersebut bernama Hotaru Wagashi. Hotaru Wagashi merupakan

Wagashi berjenis Jogashi (Kinton) yang terbuat dari serutan-serutan adonan berwarna hijau yang saling menempel. Di bagian atas Wagashi ini ditempelkan potongan agar-agar berwarna hijau bening dan wijen hitam. Serutan adonan berwarna hijau tersebut menggambarkan daun-daun bunga teratai di kolam

Magatama, sedangkan potongan agar-agar berwarna bening diatasnya menggambarkan butir-butir air diatas daun teratai. Dengan menambahkan wijen hitam sebagai penggambaran batu-batuan dipinggir kolam Magatama, Wagashi

46 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut terkesan hidup dan sangat alami. Walaupun bentuk fisik secara keseluruhan tidak serta-merta seperti sebuah kolam Magatama, namun dengan ketidakterikatan bentuk dan motif tersebut Wagashi ini terlihat begitu cantik dan pesan kealamiannya tersampaikan. Hal inilah yang sesuai dengan konsep estetika

Wabi, yaitu Imperfect dan Unpretentious Beauty.

B. Analisis Makna Estetis Berdasarkan Konsep Zen

Karakteristik warna dalam konsep Zen adalah warna yang temaram.

Warna yang diutamakan memiliki batasan yang tidak jelas antara gelap dan terang. Pada batasan perbedaan warna lebih dipilih gradasi warna dari komposisi warna yang berbeda tersebut untuk menciptakan kesan teduh, yaitu tidak memiliki kesan warna yang terlalu gelap atau kesan warna terang benderang. Warna yang sesuai dengan karakteristik Zen terdapat pada Wagashi yang disajikan pada musim semi bernama Mebae Wagashi. Mebae secara harafiah berarti tunas.

Dengan datangnya musim semi diharapkan muncul pula tunas-tunas harapan dan keberuntungan yang berlangsung sepanjang musim. Mebae Wagashi merupakan

Wagashi yang terinspirasi dari tanaman Tsukushi atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan paku ekor kuda. Mebae Wagashi memiliki warna dasar putih dengan gradasi warna hijau diatas dan warna kuning sebagai isian. Warna yang tersaji secara keseluruhan dalam Mebae Wagashi adalah warna-warna yang dipadukan tanpa ada batasan garis warna yang tajam. Warna-warna tersebut antara lain warna kuning pada isian ditengah Wagashi sebagai warna dari batang tubuh tunas tumbuhan Tsukushi, warna putih pada bagian atas dan permukaan Wagashi

47 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebagai serabut-serabut tipis yang mengelilingi hampir disemua bagian tumbuhan

Tsukushi sedangkan warna yang terakhir adalah warna hijau sebagai daun pada tumbuhan Tsukushi. Pemberian warna dengan memperhatikan unsur warna yang terdapat pada objek yang ditiru inilah yang berdasar dari konsep estetika Zen.

Bunga Sakura merupakan bunga yang menjadi ciri khas negara Jepang.

Adapun sebuah Wagashi yang terinspirasi dari helaian kelopak bunga Sakura berembun yang jatuh tertiup angin yang bernama Hitohira Wagashi. Suasana hening dan tenang yang tersirat pada Wagashi ini, merupakan perwujudan dari rasa haru yang mempesona pembuat Wagashi ketika menyaksikan peristiwa jatuhnya kelopak Sakura yang berembun karena tertiup angin. Yuugen

(kedalaman makna) yang dihasilkan oleh bentuk fisiknya membuat Wagashi ini memiliki karakteristik estetika Zen. Kedalaman makna tersebut bercampur pada perasaan terharu dan terpesona akan keindahan kelopak bunga Sakura yang tertiup angin juga perasaan sedih karena angin telah menggugurkan bunga Sakura yang sedang mekar. Secara keseluruhan Hitohira Wagashi berbentuk fukinsei

(asimetris) yang tampak pada perpaduan kontradiktif antara garis-garis lengkung yang membentuk kelopak bunga pada sisi kanan dan kiri tidak memiliki garis yang sejajar. Warna yang tersaji dalam Wagashi ini secara keseluruhan cenderung mengacu pada wana merah muda khas bunga Sakura dengan gradasi warna merah muda terang dimana warna tersebut dibuat semakin kedalam semakin pucat

(warna putih). Hal tersebut memberikan ilusi adanya seijaku (suasana tenang dan teduh). Bentuk fisiknya disajikan dengan tidak ada aksen yang berlebihan bukanlah menjadi suatu kekurangan. Semakin dilihat, Hitohira Wagashi semakin terlihat seperti helaian kelopak bunga Sakura yang sebenarnya. Hal tersebut sesuai

48 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan karakteristik Shizen, yaitu kealamian yang berarti tidak lahir dari sesuatu yang dipaksakan dan wajar.

Wagashi yang memiliki ciri khas estetika Zen selanjutnya adalah Waka

Ayu Wagashi. Dalam kamus online jisho.org Waka Ayu (若鮎) berarti young, healthy, and energic sweetfish (ikan Ayu yang muda, sehat, dan enerjik). Ikan Ayu merupakan ikan yang berenang ke hulu, melawan arus dan air terjun memiliki arti khusus bagi masyarakat Jepang. Simbol ini sering dikaitkan dengan harapan bagi anak-anak untuk tumbuh sehat dan kuat seperti ikan Ayu. Peletakan lukisan ikan

Ayu pada Waka Ayu Wagashi bukan semata-mata sebagai hiasan namun lebih kepada makna yang mendalam sebagai doa dan pengharapan kepada si anak.

Waka Ayu Wagashi memiliki warna dasar putih, dimana warna-warna kelam yang bernuansa putih memiliki konotasi suasana tertentu seperti kesan luas, tanpa batas, lenggang, dan sunyi. Ikan Ayu yang menjadi aksen pada Waka Ayu Wagashi terlihat sedang berenang didalam sungai yang berwarna biru kehijau-hijauan. Hal tersebut mempunya makna gerak dalam diam. Makna “diam” sebagai simbol keadaan air yang tenang yang dapat dibuktikan dengan tidak adanya aksen arus atau gelombang pada permukaan Wagashi, makna “gerak” merupakan simbol dari ikan Ayu yang sedang berenang dan memiliki makna bahwa suatu hal yang hidup akan senantiasa bergerak cepat walaupun tidak dapat dirasakan secara kasat mata.

Hal tersebut menjadi ciri yang sesuai dengan karakteristik yuugen (makna yang mendalam).

3.2.2 Makna Berdasarkan Warna

49 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Warna adalah komunikasi non-verbal yang memiliki makna. Begitu pula halnya dengan Wagashi. Berbagai jenis warna yang terkandung, tentu saja memiliki kegunaan tersendiri. Warna pada Wagashi juga dapat mempengaruhi emosi dan jiwa manusia serta dapat menggambarkan suasana hati seseorang.

Makna warna dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu makna warna simbolis dan makna warna psikologis. Makna warna simbolis adalah makna warna berdasarkan kemiripan warna dengan alam, sedangkan makna warna psikologis adalah makna warna berdasarkan asosiasi psikologis yang ditentukan oleh kesepakatan masyarakat dalam masing-masing kebudayaan, sehingga tidak bersifat universal dan kadang tidak berhubungan dengan makna warna simbolis.

Warna-warna yang umumnya digunakan dalam pembuatan Wagashi adalah sebagai berikut :

a. Hijau (Midori)

Makna simbolis warna hijau adalah rerumputan, dedaunan, dan hutan

karena warna ini terdapat di alam. Makna psikologis warna hijau adalah

pertumbuhan, pembaharuan, keseimbangan, harmoni, dan lingkungan.

Oleh karena itu apabila pada Wagashi terdapat warna hijau itu

menandakan Wagashi tersebut diharapkan memberikan keseimbangan

antara manusia dan alam sekitar.

b. Biru (Aoi)

Biru adalah warna yang menenangkan dan banyak terdapat di alam, seperti

warna langit dan warna air laut. Dengan kata lain makna simbolis warna

biru adalah langit dan air laut. Makna psikologis warna biru adalah

kesetiaan, kekuatan, keramahan, rasa cinta, kekuasaan, dan warna

50 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perdamaian. Selain itu juga bermakna kesegaran, kesejukan, dan

ketenangan. Wagashi yang mengandung warna biru diharapkan mampu

memberikan kesejukan ketika melihatnya. c. Merah (Akai)

Warna merah yang sama seperti warna darah dan api dianggap

melambangkan kekuatan. Bangsa Jepang pun mulai mengenal warna

merah ketika budaya pembakaran mayat yang menggunakan api. Oleh

karena itu merah diartikan sebagai warna yang muncul dari api yang

berpendar. Dapat disimpulkan makna simbolis warna merah adalah darah

dan api. Sedangkan makna psikologis warna merah adalah kekuatan,

kebahagiaan, kemakmuran, dan keberuntungan. Warna ini pun merupakan

warna yang memiliki makna psikologis doa dan harapan untuk kedamaian,

kemakmuran, kegairahan, dan keamanan. Selain itu warna ini juga

digunakan untuk mengkespresikan semangat untuk meraih keberhasilan,

semangat hidup, dan penuh pengalaman. d. Kuning (Ki Iro)

Kuning adalah warna yang memiliki makna psikologis kebahagiaan,

warna yang ceria dan simbol harapan. Kuning adalah warna yang

bermakna perubahan dan relaksasi. Sifat kuning yang terang dan cerah

membuat warna ini dianggap sebagai warna musim panas. Selain itu,

kuning juga memiliki makna kebahagiaan. e. Pink (Pinku)

Makna simbolis warna pink adalah bunga Sakura yang juga menjadi

simbol musim semi di Jepang. Pink merupakan warna yang lembut, tidak

51 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA secerah merah dan dianggap sebagai sisi manis dari warna merah. Makna

psikologis warna pink adalah rasa cinta, rasa romantis, sesuatu yang manis,

kejenakaan, dan kasih sayang. f. Oranye (Orenji)

Dahulu bangsa Jepang menyebut warna Oranye dengan sebutan daidai iro.

Daidai adalah buah berwarna oranye yang berasal dari Cina. Setelah

bahasa Inggris masuk ke Jepang, berangsur-angsur penggunaan nama

daidai berganti menjadi orenji yang berasal dari bahasa Inggris yaitu

orange. Maka, dapat disimpulkan bahwa makna simbolis warna oranye

adalah daidai. Warna oranye adalah pencampuran dua warna hangat, yaitu

warna merah dan kuning. Makna psikologis oranye adalah kehangatan,

energi, dan matahari. Warna inipun merepresentasikan semangat muda dan

sesuatu yang menarik. g. Ungu (Murasaki)

Dahulu, warna ungu didapat dari cairan yang dikeluarkan oleh kerang

bercangkang ungu. Apabila cairan tersebut ditempelkan pada kain, dan

dijemur di bawah sinar matahari, maka warna warna ungu akan terlihat

jelas. Oleh karena itu, makna simbolis warna ungu adalah kerang. Makna

psikologis warna ungu adalah keagungan, ketegangan, daya tarik tinggi,

dan kebanggan. Disamping itu juga bermakna keromantisan, kelembutan,

dan kegembiraan. h. Coklat (Cha Iro)

Bagi bangsa Jepang, yang dimaksud warna coklat adalah warna yang

didapat dengan mengambil sari daun teh. Setelah budaya minum teh yang

52 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA disebut Chadou berkembang luas, maka semua orang menyebut warna teh

sebagai chasen yang berarti warna teh dan akhirnya menjadi cha iro yang

berarti coklat. Oleh karena itu makna simbolis warna coklat adalah teh.

Coklat merupakan warna natural yang memiliki makna psikologis

kesederhanaan, kesehatan, alam, kesetiaan, keramahan, rasa hangat, dan

kepercayaan. Coklat juga dianggap sebagai warna musim gugur sebab

pada saat itu daun-daun akan berubah warna menjadi coklat sehingga

mewakili rasa ketenangan. i. Putih (Shiroi)

Dalam budaya Jepang, putih dianggap sebagai warna kesucian dan

ketulusan sehingga sering digunakan dalam upacara keagamaan Shinto

dan upacara kematian agama Buddha, sebab putih merupakan warna sakral

yang ditujukan untuk dewa (kami). Oleh karena itu, makna simbolis warna

putih adalah dewa. Makna psikologis warna putih adalah kebersihan,

kesucian, tak berdosa (inocence), dan kelembutan. Selain itu juga

bermakna rasa senang, harapan, kemurnian, keluguan, kebersihan, spiritual,

pemaaf, cinta suci, dan terang.

53 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Wagashi merupakan isitilah untuk segala jenis kue manis dan permen manis dari Jepang. Wagashi berasal dari perpaduan kata wa (和) dan kashi (菓子), wa (和) berarti sesuatu yang menandakan Jepang, sedangkan kashi (菓子) berarti kue manis atau permen manis.

2. Wagashi memiliki berbagai variasi bentuk dan warna yang sangat jelas menggambarkan unsur-unsur alam Jepang, antara lain ke empat musim di Jepang, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, dan juga benda-benda khas Jepang.

3. Wagashi memiliki berbagai macam fungsi bagi masyarakat Jepang.

Adapun fungsi-fungsi Wagashi bagi masyarakatnya, yaitu sebagai bentuk kecintaan masyarakat Jepang terhadap alam, sebagai bentuk penghormatan masyarakat Jepang terhadap para dewa (kami) dan roh para leluhur, sebagai sebuah simbol pengharapan dalam berbagai macam perayaan atau ritus tahunan

54 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (Matsuri), serta sebagai hidangan pendamping saat upacara minum teh

(Chanoyu).

4. Ketika upacara minum teh (Chanoyu), Wagashi dihidangkan untuk menetralisir rasa pahit yang ada pada teh. Selain itu, Wagashi yang dihidangkan biasanya memiliki bentuk yang sederhana agar selaras dengan makna upacara minum teh itu sendiri, yaitu menampilkan kesederhanaan.

5. Wagashi juga merupakan sesajian yang dipersembahkan kepada Roh leluhur dan para dewa (Kami) sebagai bentuk penghormatan pada saat upacara- upacara tertentu berlangsung.

6. Dalam Matsuri, Wagashi disajikan dan dibentuk menyerupai sesuatu untuk menyimbolkan suatu pengharapan tertentu sesuai dengan Matsuri apa yang sedang berlangsuung.

7. Makna pada Wagashi pada umumnya tersirat dari bentuk-bentuknya yang bervariasi yang sebagian besar terinspirasi dari alam sekitar dan warna yang tertoreh pada tampilannya.

8. Makna estetis pada Wagashi berdasar pada konsep estetika Wabi (yang lebih mengarah pada kesederhanaan dan ketidaksempurnaan) dan konsep estetika

Zen Buddhisme (yang lebih mengarah pada rasa yang mendalam).

9. Warna-warna yang terkandung pada Wagashi dapat mempengaruhi emosi dan jiwa manusia serta dapat menggambarkan suasana hati seseorang.

Warna yang paling sering digunakan adalah hijau (memberikan keseimbangan antara manusia dan alam), biru (memberikan kesejukan), merah (kekuatan, kebahagiaan, kemakmuran, dan keberuntungan), kuning (memberikan perubahan

55 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan relaksasi), pink (romantis, kejenakaan, dan kasih sayang), oranye

(kehangatan, energi, dan matahari), ungu (keromantisan, kelembutan, dan kegembiraan), coklat (kesederhanaan, kesehatan, kesetiaan, keramahan, rasa hangat, dan kepercayaan), dan putih (kemurnian, kesucian, kebersihan, spiritual, pemaaf, cinta suci, dan terang).

4.2 Saran

1. Sebaiknya masyarakat Jepang tetap melestarikan Wagashi sebagai kebudayaannya karena Wagashi merupakan esensi keindahan khas Jepang yang dituangkan ke dalam bentuk panganan dan dipercaya dapat membawa keberuntungan maupun ketenangan yang hakiki bagi diri seseorang.

2. Sebaiknya Wagashi dapat dijadikan sarana pembelajaran bagi

Masyarakat Jepang maupun masyarakat dari negara lain agar mampu memahami berbagai unsur sederhana di sekitar kita mampu memberikan keindahan yang mampu menenangkan jiwa manusia. Karena Wagashi merupakan torehan benda- benda alam Jepang yang dituangkan ke dalam bentuk panganan.

56 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Andriska, Roni. 2016. Makna Ikan Koi dalam Kehidupan Masyarakat Jepang.

Medan : Universitas Sumatera Utara.

Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian Edisi I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Chandra, Erwan. 2008. Bunga Sakura dalam Kehidupan Masyarakat Jepang.

Medan : Universitas Sumatera Utara.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Jepang. Jakarta : Pustaka Utama Gravity.

Exacta, Annisa Sigma. 2013. Wagashi Representasi Nilai-Nilai Esetika Jepang.

Jakarta : Universitas Indonesia.

Hasegawa, Nyozekan. 1966. The Japanese Character. Tokyo : Kondansha

International.

Kerlinger, Fred N. 2000. Azas-azas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah

Mada

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Kuroda, Momoko. 2005. Nipponia : Hidup dan Budaya di Jepang Panduan Per

Bulan No.34. Japan : Heibonsha Ltd

Naufal, Teuku. 2014. Eksistensi dan Perkembangan Seni Bonsai di Indonesia.

Medan : Universitas Sumatera Utara

Oto, Tokohito. 1983. Kondansha Encyclopedia of Japan No.2 & 3 (Ensiklopedia

Jepang Jilid 2 dan 3). Tokyo : Kondansha Ltd

57 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar

Sanjaya, Oktavia. 2016. Fungsi dan Makna Penyambutan Hari Raya Imlek pada

Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung :

Universitas Lampung.

Tobing, Sylvia Lumban. 2012. Budaya Sake dalam Masyarakat Jepang. Medan :

Universitas Sumatera Utara.

Tsuji, Shizuo. 1980. Japanese Cooking : A Simple Art. Tokyo: Kondansha

International.

Sumber Website https://id.wikipedia.org/wiki/Wagashi http://armensiuspebrian.blogspot.co.id/2013/03/wagashi-tidak-asli-tapi-mendunia- dan.html http://alicekinomoto.blogspot.co.id/2013/11/makanan-tradisional-yang-biasa.html https://id.m.wikipedia.org/wiki/Budaya http://samtjahajoe.tumblr.com/post/68855995085/wagashi-seasonal-japanese- sweets

58 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang fungsi dan makna pada Wagashi bagi masyarakat Jepang. Tujuan dari skripsi ini dibuat adalah untuk mendeskripsikan fungsi dan makna pada Wagashi bagi mayarakat Jepang.

Wagashi adalah istilah untuk segala jenis kue manis dan permen manis dari Jepang. Wagashi berasal dari perpaduan kata wa (和) dan kashi (菓子), wa (

和) berarti sesuatu yang menandakan Jepang sedangkan kashi (菓子) berarti kue manis atau permen manis. Wagashi terdiri dari berbagai jenis, yaitu Jogashi,

Mochi, Dango, Manju, Yōkan, dan Higashi. Dari berbagai macam jenis tersebut

Wagashi hanya memiliki satu kesamaan, yakni memiliki rasa manis. Wagashi memiliki sangat banyak variasi bentuk dan warna, namun satu hal yang sangat jelas menggambarkan Wagashi adalah motifnya yang selalu menggambarkan unsur alam di Jepang.

Dalam kehidupan masyarakat Jepang, keberadaan Wagashi tentunya memiliki berbagai macam fungsi, Adapun fungsi-fungsi Wagashi bagi masyarakatnya adalah sebagai bentuk kecintaan masyarakat Jepang terhadap alam, sebagai bentuk penghormatan masyarakat Jepang terhadap para dewa

(kami) dan roh para leluhur, sebagai sebuah simbol pengharapan dalam berbagai macam perayaan atau ritus tahunan (Matsuri), serta sebagai hidangan pendamping saat upacara minum teh (Chanoyu).

Ketika upacara minum teh (Chanoyu), Wagashi dihidangkan untuk menetralisir rasa pahit yang ada pada teh. Selain itu, Wagashi yang dihidangkan

59 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA biasanya memiliki bentuk yang sederhana agar selaras dengan makna upacara minum teh itu sendiri, yaitu menampilkan kesederhanaan.

Wagashi juga merupakan sesajian yang dipersembahkan kepada Roh leluhur dan para dewa (Kami) sebagai bentuk penghormatan pada saat upacara- upacara tertentu berlangsung (Matsuri). Dalam Matsuri, Wagashi disajikan dan dibentuk menyerupai sesuatu untuk menyimbolkan suatu pengharapan tertentu sesuai dengan Matsuri apa yang sedang berlangsung.

Jenis-jenis Wagashi yang terdapat di Jepang, antara lain Wagashi yang digunakan untuk persembahan / perayaan (Matsuri), Wagashi Sepanjang Tahun,

Wagashi Musiman, Wagashi Upacara Minum Teh, dan Wagashi Buah Tangan.

Makna pada Wagashi pada umumnya tersirat dari bentuk-bentuknya yang indah, warna-warna yang terkandung, dan juga bahan yang digunakan.

Tampilan pada Wagashi yang variatif tentunya memiliki makna yang tersirat. Dalam hal ini makna yang dimaksud adalah makna estetis dan makna berdasarkan warnanya. Nilai estetis pada Wagashi umumnya tergambar dari unsur-unsur alam sekitar yang dituangkan sebagai aksen pada Wagashi. Untuk memahami makna apa yang terkandung dari aksen tersebut, masyarakat Jepang menjabarkan berdasar pada konsep estetika Wabi dan konsep estetika Zen

Buddhisme. Konsep wabi mengacu pada keindahan dalam konteks ruang yang berkarakteristik sederhana (simple) kecantikan yang sederhana (unpretentious beauty), dan ketidaksempurnaan (imperfect). Sedangkan konsep estetika Zen memiliki tujuh karakteristik, yaitu fukinsei 不 均 斉 (asismetris), kanso 簡 素

(kesederhanaan), shizen 自然(alami), kokou 枯高(kekeringan sublim), yuugen 幽

60 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 玄(makna yang mendalam), datsuzoku 脱俗(bebas dari ikatan), dan seijaku 静寂

(keheningan).

Sedangkan pada Wagashi yang tidak mengadaptasi dari unsur-unsur alam dapat dikenali maknanya berdasarkan warna apa yang terkandung pada Wagashi tersebut. Karena warna dianggap sebagai media komunikasi non-verbal yang dipercaya masyarakat Jepang mampu menggambarkan suasana hati dan jiwa seseorang.

Warna yang paling sering digunakan adalah hijau (memberikan keseimbangan antara manusia dan alam), biru (memberikan kesejukan), merah

(kekuatan, kebahagiaan, kemakmuran, dan keberuntungan), kuning (memberikan perubahan dan relaksasi), pink (romantis, kejenakaan, dan kasih sayang), oranye

(kehangatan, energi, dan matahari), ungu (keromantisan, kelembutan, dan kegembiraan), coklat (kesederhanaan, kesehatan, kesetiaan, keramahan, rasa hangat, dan kepercayaan), dan putih (kemurnian, kesucian, kebersihan, spiritual, pemaaf, cinta suci, dan terang).

61 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 要旨要旨要旨

ろんぶん に ほ んし ゃか い わ が し さ よ う い み けんきゅう この論文は日本社会における和菓子の作用と意味を 研 究 する。こ

ろんぶん つく もくてき に ほ んし ゃか い わ が し さ よ う い み の論文を作る目的は日本社会における和菓子の作用と意味をデスクライブ

するためのことである。

わ が し すべ に ほ ん あま け き だま じゅつご 和菓子というのは全ての日本の甘いケーキとあめ玉の述語である。

わ が し わ こ と ば か し こ と ば く あ 「和菓子」ということは「和」の言葉と「菓子」の言葉からの組み合わせ

こ と ば わ ご い に ほ ん い み か し ご い の言葉である。「和」の語意は「日本」という意味で、「菓子」の語意は

あま だま い み わ が し さまざま た い ぷ もち 甘いケーキとかあめ玉という意味である。和菓子は様々なタイプを用いる。

それはじょがし、もち、だんご、まんじゅう、ようかん、とひがしである。

さまざま た い ぷ わ が し おな ひと あま あじ も その様々なタイプの和菓子は同じことがただ一つ、甘い味を持つことであ

わ が し かたち いろ おお わ が し る。和菓子は 形 と色のタイプが多いけど、和菓子をデスクライブするこ

ひと に ほ ん し ぜ ん か いしょう とが一つだけ、それは日本の自然を描く意匠である。

に ほ んし ゃか い じんせい わ が し そんざい いろいろ さ よ う も 日本社会の人生で、和菓子の存在はもちろん色々な作用を持ってい

に ほ んし ゃか い わ が し さ よ う し ぜ ん あい かたち し ひと れい る。日本社会に和菓子の作用は自然の愛の 形 として、死んだ人たちの霊

62 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA かみがみ そんけい かたち さまざま さいてん と神々を尊敬する 形 として、様々な祭典と祭りに希望のシンボルとして、

ちゃ ゆ ひ る げ 茶の湯の昼餉としてである。

ちゃ ゆ とき わ が し ちゃ にが ちゅうわ だ 茶の湯の時に、和菓子はお茶の苦さを中和するために出せられる。

い が い わ が し ちゃ ゆ い み じ み かたち それ以外に、和菓子はその茶の湯の意味についているために地味な 形 で

だ じ み み 出せられる。それは地味を見せることである。

とくべつ まつ おこな し ひと かみがみ そんけい 特別な祭りが 行 っているとこに、 死んだ人たちと神々を尊敬する

けんせん だ まつ わ が し まつ き ぼ う 献饌としてで出せられた。祭りに、和菓子は祭りのテーマと希望のようで

てきとう かたち だ 適当な 形 に出せられた。

に ほ ん わ が し まつ けんせん つか わ が し つうねん 日本の和菓子のタイプは祭りに顕専として使う和菓子と、通年の

わ が し き せ つ て き わ が し ちゃ ゆ わ が し み や げ わ が し 和菓子と、季節的な和菓子と、茶の湯の和菓子と、お土産の和菓子である。

わ が し い み き れ い かたち いろ しょくざい さ っ ち 和菓子の意味はだいたいに綺麗な 形 と色と食 材 から察知される。

さまざま かたち も わ が し かく い み もちろん様々な 形 を持っている和菓子が隠れる意味を持つ。この

い み し ん び て き い み いろ い み わ が し し ん び て き ことの意味は審美的な意味と色づくの意味である。和菓子にある審美的の

い み しゅうへん し ぜ ん かたち かたち い み 意味はと 周 辺 の自然のような 形 にデスクライブされる。その 形 の意味

に ほ ん じ ん わ び し ん び て き ぜんしゅう し ん び て き をわかるため、日本人は「ワビ」審美的と「 禅 宗 」審美的のコンセプト

63 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA と じ み じゅうえん うつく から取る。「ワビ」コンセプトは地味〔simple〕で 柔 婉 な 美 しさで

ふ か ん ぜ ん ぞくせい く ぜんしゅう なな こ ゆ う 不完全な属性から繰る。それにしても、禅 宗 コンセプトは七つ固有があ

ふ き ん せ い か ん そ し ぜ ん かれだか ゆうげん だつぞく せいじゃく り、それは不均斉、簡素、自然、枯高、幽玄、脱俗、そして静 寂 。

し ぜ ん わ が し わ が し い み いろ しかし、自然につかない和菓子にはその和菓子の意味が色づくから

いろ わかれる。色のことはノンベルバルコムにケ-ションのメディアとして

に ほ ん じ ん ひと こころ じじょう たましい えが しん 日本人が人の 心 の事情と 魂 を描けると信じる。

よ つか いろ みどりいろ にんげん し ぜ ん あた 良く使われる色は 緑 色 「人間と自然のバランスを与えること」、

あおいろ すず あた あかいろ ちから しあわ りゅうせい こううん き い ろ 青色「涼しいを与えること」、赤色「 力 、 幸 せ、 隆 盛 、幸運」、黄色

い ど う い あ ん ももいろ こっけい あいじょう えんしょく あたた 「異動と慰安」、桃色「ロマンス、滑稽、と 愛 情 」、 炎 色 「 温 かさ、

え ね る ぎ たいよう しゃくどういろ じ み けんこう ちゅうぎ ご じ ょ て き あたた エネルギー、と太陽」、赤 銅 色「地味、健康、忠義、互助的、 温 かさ、

しんらいかん しろいろ こうけつ せい せいけつ しんこうてき ゆる じゅんあい ひかり と信頼感」、そして白色「高潔、聖、清潔、信仰的、許し、純 愛 、と 光 」

である。

64 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA