Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication e-ISSN 2721-0162

ARTIKEL ORISINAL Selebritas dalam Pemilu 2019

Moddie Alvianto Wicaksonoa dan Muh. Saiful Azizb aUniversitas bUniversitas Yogyakarta

The 2019 election contest was over. The winner is known. An incumbent, , who was paired with Ma'ruf Amin, was able to outperform his competitors Prabowo Subianto and Sandiaga Uno. Beside Jokowi-Ma'ruf Amin's victory, there is something interesting to look at. Namely, the decreasing number of celebrity electability in parliament. Does this further confirm that celebrities are not eligible? Does the level of celebrity popularity affect the level of electability in the 2019 elections? Does celebrity function more as celebrity endorsers? What is clear, celebrities to enter the political sphere need to be listened to and reconsidered. This research uses a qualitative research approach and is carried out with a period of April-May 2019. Data collection techniques using the study of literature that is looking for and sorting out references and secondary data. While the data analysis uses data presentation analysis. This research shows: 1) Celebrities are no longer the primary consideration of voters in elections, 2) Celebrity popularity is not directly proportional with celebrity electability, 3) Political parties have failed to implement the function of political recruitment.

Keywords: celebrity, 2019 election, celebrity endorser.

Kontestasi pemilu 2019 telah usai. Pemenang telah diketahui. Seorang petahana yaitu Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin mampu mengungguli pesaingnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Di balik kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin, terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak. Yaitu, menurunnya jumlah keterpilihan selebritis di parlemen. Apakah ini semakin menegaskan bahwa selebritis tak layak dipilih? Apakah tingkat popularitas selebritis memengaruhi tingkat elektabilitas dalam Pemilu 2019? Ataukah partai politik gagal melakukan fungsi rekrutmen politik? Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan dilakukan dengan jangka waktu April-Mei 2019. Teknik pengumpulan data menggunakan studi literatur yaitu mencari dan memilah referensi dan data-data sekunder. Sedangkan analisis data menggunakan analisis penyajian data. Penelitian ini menunjukkan: 1) Selebritis bukan lagi pertimbangan utama pemilih dalam pemilu, 2) Tingkat popularitas selebritis tak berimbang lurus dengan tingkat elektabilitas, 3) Partai politik dianggap gagal dalam mengimplementasikan fungsi rekrutmen politik.

Kata Kunci: selebritis, pemilu 2019, celebrity endorser

Pesta politik terbesar di telah berakhir pada 22 Mei 2019. Pemenang dalam kontestasi pemilihan presiden sudah ditentukan. Sang petahana, yakni Joko Widodo (Jokowi), yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, mengalahkan untuk kedua kalinya Prabowo Subianto, yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno. Dari hasil perolehan suara yang diambil dari 813.350 Tempat Pemungutan Suara (TPS), Jokowi-Ma’ruf Amin meraih persentase suara sebanyak, yakni 55,5%. Sedangkan lawannya, Prabowo-Sandiaga

Corresponding author: Moddie Alvianto Wicaksono; e-mail: [email protected]

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 1 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected] Selebritas dalam Pemilu 2019

Uno hanya meraih persentase 44,5% (detik.com, 2019). Kemenangan tersebut mengantarkan Jokowi yang didampingi Ma’ruf Amin untuk memimpin Indonesia di periode 2019-2024. Hasil tersebut telah diputuskan melalui Rapat Pleno yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan memutuskan memenangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin. Hasil tersebut didapatkan setelah sebelumnya dilakukan proses sidang sengketa Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dari kemenangan tersebut, tingkat partisipasi masyarakat terhadap pesta demokrasi meningkat. Pada pemilu 2019, jumlah pemilih mencapai 193 juta orang. Data ini meningkat sebanyak 2,4 juta orang (bbc.com, 2019). Hal tersebut patut disyukuri karena berarti masyarakat Indonesia kian melek terhadap politik Indonesia. Artinya, bisa jadi, politik dianggap mampu mengubah harapan masyarakat menjadi kenyataan yang kelak dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Adapun melalui proses Pemilu 2019 yang baru pertama kali ini dilakukan secara serentak, terdapat hal-hal lain yang tentu saja menarik untuk ditelisik lebih jauh. Di tengah tingginya angka parliamentary treshold yang pada Pemilu 2019 mencapai 4 persen, partai- partai berlomba-lomba menghadirkan wajah lain. Jika biasanya adalah para kader yang dibina oleh partai, kali ini selebritis dihadirkan untuk menyemarakkan kontestasi lima tahunan ini. Sebenarnya, kehadiran selebritis sudah terlihat pada dua pemilu sebelumnya. Pada pemilu kali ini, jumlah selebritis yang mencoba peruntungan sebanyak 54 orang. Angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan dua pemilu sebelumnya. Pada tahun 2014, selebritis yang mengikuti pemilu sebanyak 79 orang. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah selebritis yang mengikuti pemilu mencapai 59 orang. Melihat dua pemilu sebelumnya, berarti ada penurunan jumlah selebritis yang ikut bertarung dalam dunia politik. Lalu, apakah benar partai politik tak tertarik mengambil selebritis sebagai cara untuk mendulang suara? Tentu saja jawabannya belum tentu. Sebab, melihat pertarungan pemilu 2019, partai yang dipimpin oleh Surya Paloh, yakni Nasional Demokrat (Nasdem), justru berusaha mengambil ceruk selebritis. Hal tersebut dilakukan tidak hanya mampu mendongkrak perolehan suara melainkan juga meningkatkan citra dari partai. “Caleg-caleg dari figur-figur terkenal di tingkat nasional itu punya potensi besar. Mereka sangat terkenal, tapi harus bisa menjadi basis elektoral di daerah pemilihan. Sebab belum tentu seorang yang dikenal secara nasional mempunyai elektabilitas di dapil,” kata Sekjen NasDem Johnny G. Plate di kantor DPP Nasdem (kumparan.com, 2019). Nasdem, yang selama ini masih berusaha untuk mengalahkan Golkar dan PDIP, cukup percaya diri bahwa figur terkenal adalah faktor penting bagi pemilih untuk menentukan pilihan. Bagi mereka, rumusnya cukup sederhana: yang sering tampil maka dia yang dipilih. Tidak tanggung-tanggung, Nasdem menggaet empat puluh selebritis. Mulai dari Olla Ramlan, Nafa Urbach, Adly Fairuz, Krisna Mukti, hingga Farhan. Nasdem bukanlah satu-satunya partai yang menggunakan caleg selebritis. Masih ada PAN, PPP, dan PDIP. Namun, memang Nasdem yang memaksimalkan selebritis sebagai daya dukung pada Pemilu 2019. Berkaca pada Pemilu 2014, Partai Amanat Nasional (PAN) hadir dengan jumlah caleg selebritis terbanyak. Total terdapat 18 caleg selebritis yang ikut dalam bursa caleg PAN. Nama-nama selebritis yang muncul pun cukup kondang, mulai dari

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 68

M. A. Wicaksono dan M. S. Aziz

Melly Zamri, Eko Patrio, Marissa Haque, Desy Ratnasari, Primus Yustisio, dan masih banyak lainnya. Akan tetapi, dalam Pemilu 2019 nasib kurang baik menaungi Nasdem. Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan maka timbul pertanyaan. Hanya satu orang yaitu Farhan yang mampu melenggang ke parlemen. Rumus keterkenalan sepertinya menjadi bumerang bagi Nasdem. Seharusnya Nasdem berpikir lebih jauh sebelum mengambil keputusan untuk menggaet selebritis. Namun, bagaimana selebritis bisa masuk ke dalam dunia politik?

Selebritis masuk ke gelanggang politik

Jauh sebelum itu, sejatinya keterlibatan selebritis dalam dunia politik sudah menjadi hal yang umum. Seperti yang dituliskan oleh Fandy Hutari dalam esainya yang berjudul Jalan Politik Para Artis, sejak tahun 1971, selebritis sudah turun ke dalam gelanggang politik. Namun, perannya tidak sebagai calon anggota legislatif melainkan hanya sebagai penghibur masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, menurut laporan Tempo edisi 9 April 1977 jumlah yang dikerahkan oleh salah satu partai politik, yakni Golkar, adalah 324 orang. Tentu saja itu jumlah yang cukup banyak. Sebenarnya, dengan angka demikian, bukanlah hal yang sulit untuk ukuran Partai Golkar. Sebab, jejaring yang cukup dan modal yang melimpah menjadi alasan utama mengapa pada akhirnya Golkar bisa meraup suara yang begitu banyak dalam pemilu tersebut. Tak hanya pada pemilu 1971. Suara yang banyak juga berhasil diraih Golkar pada pemilu 1977. Mereka meninggalkan jauh para pesaingnya, yang waktu itu hanyalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keberhasilan tersebut seakan mempertegas bahwa efektifitas selebritis dalam dukungan politik sangatlah dibutuhkan. Lalu, siapakah sebenarnya selebritis? Pramod K. Nayar (2009) menjelaskan bahwa selebritis adalah seseorang/individu yang ingin dikenal oleh orang banyak. Dalam lingkup individu, kultur selebritis adalah mendapatkan ekspos dan perhatian oleh masyarakat sehingga setiap gerak-geriknya selalu dinanti dan biasanya diikuti. Selebritis hadir dengan harapan mampu memberi makna tentang kenyamanan status, keceriaan, hingga kesedihan. Oleh karena mampu menarik perhatian publik, selebritis berusaha ditarik ke lingkup yang lebih besar, yakni dunia politik. Penggunaan selebriti dalam dukungan politik sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu, celebrity politician dan celebrity endorser. John Street (2004) menjelaskan bahwa celebrity politician adalah orang-orang yang memiliki latar belakang dalam dunia hiburan, dunia olahraga maupun industri pertunjukan. Bahkan, menurutnya, ada dua bagian lagi dari celebrity politician. Pertama, kandidat atau politisi yang terpilih menggunakan keselebritasannya untuk mengklaim sebagai representasi dari suatu kelompok atau partai. Kedua, selebriti yang menggunakan keterkenalannya untuk berbicara sebagai bagian dari opini populer. Sedangkan menurut McCracken (1989), celebrity endorser adalah seseorang yang menikmati pengakuan publik dan menggunakan pengakuannya untuk kepentingan publik demi menarik iklan. Dalam hal ini, kebutuhan celebrity endorser hanya sebagai pendukung. Mereka biasanya menghibur dan menampilkan kreativitas di atas panggung. Tujuannya

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 69

Selebritas dalam Pemilu 2019 hanyalah mengikat emosi dari penonton agar nantinya diharapkan mereka mampu memilih calon yang dihadirkan. Pada pemilu 2019, ada banyak celebrity endorser yang digunakan oleh tim Jokowi maupun Prabowo. Sebagai contoh, Jokowi menggaet Slank, Anggun C. Sasmi, hingga Ernest Prakasa, sedangkan Prabowo mendapuk Nissa Sabyan, Eko Patrio, ataupun Primus Yustisio. Masing-masing tim menggunakan mereka mulai dari produk iklan hingga penampilan di atas panggung. Uniknya, hampir semua tim selalu menyelenggarakan acara konser, biasanya dangdut, yang disisipi agenda politik. Jokowi dengan Slank, dan Prabowo dengan Nissa Sabyan. Melihat pertarungan selebritis sebagai aktor penghibur sekaligus faktor penunjang dalam mendulang suara, maka tak heran banyak selebriti tergoda untuk langsung terjun ke dunia politik. Salah satu contohnya adalah Rhoma Irama. Raja musik dangdut tersebut sebelumnya berkiprah sebagai juru kampanye dua partai. Yaitu, untuk PPP yang berlangsung hingga tahun 1982. Kedua, untuk Golkar, yang notabene partai penguasa saat itu. Kemudian, setelah selesai dengan kedua partai tersebut, ia membuat Partai Damai Aman (Idaman). Sayangnya, dalam pemilu 2019, partainya belum beruntung untuk mengikuti kontestasi lima tahunan tersebut. Jika Rhoma Irama membuat partai, hal berbeda dilakukan selebritis lain. Mereka lebih memilih untuk langsung terjun menjadi calon anggota DPR dalam pemilu 2019. Tercatat hampir sebagian partai menerjunkan selebritis kecuali Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PPP, dan Partai Garuda. Apakah partai-partai tersebut tidak tertarik menggunakan jasa selebritis? Atau apakah tak ada selebritis satu pun yang mencoba menjajaki partai- partai tersebut? Atau faktor lain? Yang jelas, kenyataan yang hadir pada pemilu 2019, dari sekian selebritis yang bertarung, hanya tiga belas orang yang mampu lolos ke Senayan. Di antaranya adalah Rachel Maryam dari Gerindra; Nurul Arifin dari Golkar; Desy Ratnasari, Primus Yustisio, Hendro Eko Purnomo dari PAN; Tommy Kurniawan dan Arzeti Billbina Huzaini dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); M. Farhan dari NasDem; Tina Toon, Kirana Larasati, Rieke Diah Pitaloka, Krisdayanti, Nico Siahaan, dan Rano Karno dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Tabel 1. Jumlah caleg selebritis dalam tiga pemilu terakhir. Data diolah dari berbagai sumber

Pemilu Jumlah caleg selebritis Jumlah selebritis yang lolos 2009 59 18 2014 79 15 2019 54 14

Melihat jumlahnya, artinya ada penurunan dari dua pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2009, dari 59 selebritis yang bertarung hanya 18 yang terpilih. Sedangkan pada pemilu 2014, dari 79 selebritis yang mencoba peruntungan hanya 15 yang terpilih. Dan pada tahun 2019, dari 54 selebritis hanya 14 yang terpilih. Mengapa bisa terjadi penurunan?

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 70

M. A. Wicaksono dan M. S. Aziz

Selebritis di antara menang dan kalah

Menurut penulis, ada berbagai faktor yang membuat selebritis tak begitu dilirik oleh masyarakat. Pertama, selebritis dianggap hanya pendompleng dalam partai. Kebanyakan dari mereka belum tentu paham karakteristik yang ada di daerah pemilihannya. Sebab, sebagian besar caleg tinggal di ibu kota. Lalu, ditaruh di dapil tertentu dengan harapan kepopuleran di dunia hiburan mampu meraih suara sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh, Ahmad Dhani dari Gerindra. Populer di dunia musik tak lantas suaranya cukup untuk ke Senayan. Begitu pula dengan Olla Ramlan yang wajahnya sering menghiasi layar kaca, tak memberikan jaminan bahwa masyarakat akan memilihnya. Kedua, masyarakat lebih melek dalam dunia politik. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu 2019 meningkat. Masyarakat pun, dalam pemilu kali ini, lebih banyak memperoleh informasi dari media sosial. Tentu saja mereka membaca dan mengamati mana yang pantas untuk dipilih. Sebagai contoh, Manohara dari Nasdem. Meskipun popular dari dunia akting, masyarakat tak lantas memilihnya. Terbukti dari suara yang didapatkan hanya berkisar enam ribuan suara. Meskipun begitu, ada beberapa pendatang baru yang berhasil mencuri perhatian masyarakat. Mereka adalah Tina Toon dan Krisdayanti yang sama-sama berasal dari PDIP. Krisdayanti bahkan berhasil mengalahkan Wasekjen PDIP Ahmad Basarah yang notabene malang melintang dalam dunia politik di daerah pemilihan (dapil) Jatim V. Memang, faktor keterkenalan menjadi salah satu modal bagi para selebritis. Namun, terkadang yang sering tidak diperhatikan adalah engagement antara selebritis dengan masyarakat. Mereka tahu bahwa mereka ditunjuk oleh partai untuk turun dalam dapil yang ditentukan. Namun, mereka bisa jadi jarang untuk turun ke dapil. Entah tidak tahu harus berbuat apa jika bertemu dengan masyarakat. Maka tidak heran, jika menyaksikan caleg selebritis berkampanye, harus didampingi tokoh masyarakat atau dengan caleg yang memang sudah berada di wilayah tersebut, sehingga caleg selebritis tersebut dianggap menjadi wakil dari dapil tersebut. Ada kemungkinan pula, para partai tersebut berusaha mengikuti jejak apa yang telah dilakukan selebritis lain pada kontestasi pemilihan umum yang terjadi di daerah. Seperti terpilihnya Pasha “Ungu” sebagai Wakil Walikota Palu, Sulawesi Tengah. Atau Deddy Mizwar sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Sayangnya, mereka lupa bahwa politik bersifat dinamis. Jika hanya sekadar mengekor, tanpa disertai visi dan misi, apalagi hanya berharap aji mumpung, kemampuan selebritis menarik perhatian masyarakat tak akan cukup. Seharusnya, sudah ada semacam blue print jikalau partai menggandeng selebritis untuk memastikan satu kursi di parlemen. Memang, belum tentu kesempatan yang sama dapat terulang lagi pada kesempatan berikutnya. Tetapi, jika kesempatan tersebut tak dapat diolah dengan baik, untuk apa partai mendorong selebritis menjadi caleg?

Gaya lama politisi selebritis

Pada Pemilu 2019, disebutkan bahwa generasi milenial menjadi penentu bagi kemenangan para calon yang berkontestasi dalam pemilu. Pada pemilu 2019, generasi milenial atau yang memiliki usia 17-35 tahun memiliki persentase suara hingga 40% dari total pemilih. Tentu

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 71

Selebritas dalam Pemilu 2019 angka yang cukup besar sehingga akan sangat menentukan hasil pemilu 2019. Besarnya angka tersebut menjadi fokus bagi partai-partai politik untuk dapat masuk pada ceruk suara tersebut. Dalam hal konsumsi media, generasi milenial dapat dikategorikan sebagai digital native. Digital native di Indonesia menempati jumlah populasi terbesar saat ini. Digital native merupakan generasi yang lahir dan tumbuh di era digital. Tingkat pengetahuan para remaja generasi Z dan generasi milenial sudah memadai untuk mengoperasikan media sosial. Mereka bukan hanya pengguna media sosial semata, melainkan juga pembuat konten media, yang menjadikan pesan sebagai alat untuk berinteraksi di jagat digital. Generasi digital native memahami bahwa media sosial bersifat konvergen, yang berarti mampu menghubungkan satu platform media dengan media lain. Oleh karena itu, aksesibilitas kepemilikan media sosial yang mereka gunakan tidak hanya pada satu akun media sosial saja, melainkan pada lebih dari satu media sosial (Supratman, 2018, p. 54). Selanjutnya berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh IDN Times melalui Indonesia Millenial Report 2019, menyatakan bahwa TV dan media daring adalah media yang paling banyak dikonsumsi oleh milenial. Sebanyak 97% milenial melihat TV setidaknya sekali dalam sebulan terakhir, sedangkan 55 persen dari mereka mengakses media daring sebagai sumber informasi mereka (Wicaksono, 2019). Selanjutnya secara umum, konsumsi media baru juga menunjukkan angka yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Nielsen, menyebutkan bahwa konsumsi media digital dan media konvensional kini saling melengkapi dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, porsinya berbeda-beda pada tiap generasi. Misalkan Generasi Z (10–19 tahun), sebanyak 97% Generasi Z masih menonton televisi, 50% mengakses internet, 33% mendengarkan radio, 7% menonton televisi berbayar, dan 4% membaca media cetak. Pada Generasi Milenial (20 – 34 tahun), 96% dari mereka menonton televisi, dan 58% mengakses internet. Kebalikannya adalah Generasi X (35-49 tahun), dengan persentase menonton televisi sebesar 97%, mendengarkan radio 37%, dan mengakses internet 33% (Kompas.com, 2018). Apabila mengacu pada hasil survei tersebut, yang menyatakan bahwa TV dan media baru menempati dua peringkat teratas sebagai media yang paling banyak dikonsumsi generasi milenial, maka sebenarnya media baru menjadi target yang harus disasar dalam mempengaruhi preferensi pilihan politik bagi generasi milenial. Namun tingginya angka pemilih milenial tersebut nyatanya tidak mengubah pola pemilihan selebritis yang diajukan oleh partai politik. Pada Pemilu 2019, nyatanya para partai politik masih sibuk menggaet para selebritis media konvensional yang kemudian dipinang menjadi politisi selebritis. Dapat kita lihat bahwa nama-nama selebritis yang muncul menghiasi belantika politik Indonesia seperti Krisdayanti, Tina Toon, Nafa Urbach, Adly Fairuz, Krisna Mukti, dan Farhan, yang merupakan nama-nama selebritis yang menghiasi layar media konvensional. Sayangnya partai-partai politik belum berusaha untuk menggaet selebritis-selebritis media baru yang sejatinya justru menjadi konsumsi utama bagi para generasi milenial. Padahal apabila kita lihat secara lebih mendalam, sebenarnya partai-partai politik bisa secara lebih mendalam masuk pada ceruk generasi milenial dengan cara merekrut para

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 72

M. A. Wicaksono dan M. S. Aziz

selebritis media baru yang kini sering muncul pada layar gawai kita. Para selebritis media baru tersebut tentunya akan sangat diminati para generasi milenial, mengingat tingginya konsumsi media baru pada generasi millenial. Para selebritis media baru seperti Atta Halilintar, Arief Muhammad, Mael Lee, Boy William, dan masih banyak lainnya, justru tidak satu pun dari mereka yang turut meramaikan panggung politik pada Pemilu 2019. Apabila kita melihat media baru seperti Youtube, juga berbagai platform media baru lainnya, nyatanya justru tidak satu pun dari nama selebritis tersebut yang memproduksi konten-konten bernuansa politik. Bahkan, dari sekian banyak para selebritis tersebut, tidak satu pun dari mereka yang justru dipinang oleh partai politik untuk turut meramaikan panggung politik Pemilu 2019. Meskipun begitu, ada partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memanfaatkan media baru untuk mengambil ceruk Generasi Milenial, bahkan generasi Z. Giring Ganesha, sebagai satu-satunya caleg selebritis dari partai tersebut, memanfaatkan dengan maksimal penggunaan media baru. Sayangnya, partainya tak lolos ke parlemen. Sehingga, meskipun angkanya cukup tinggi, tak mampu membawanya ke ranah yang lebih tinggi. Akan tetapi, pola pemanfaatan selebritis politik masih tidak menunjukkan perubahan sejak pertama kali diterapkan. Mulai dari sebelum munculnya media baru sampai saat ini, konsumsi media baru yang semakin tinggi nyatanya tidak memunculkan perubahan bagi partai politik untuk memanfaatkan peluang tersebut. Partai politik masih terjebak dalam model rekrutmen selebritis politik yang bersifat konvensional.

Selebritis: antara kapasitas dan popularitas

Ada pandangan yang berlaku di masyarakat bahwa selebritis yang terjun dalam kontestasi politik hanya sekedar dijadikan sebagai vote getter. Mereka digunakan untuk menaikkan suara partai politik. Dalam konteks Pemilu 2019, agaknya hal tersebut cukup berhasil diterapkan pada partai yang menerapkan strategi tersebut. Partai Nasdem merupakan salah satu partai yang menerapkan strategi seperti ini. Pemilu 2019 menjadi kali kedua partai besutan Surya Paloh ini turun ke dalam gelanggang kontestasi Pemilu. Pada tahun pertama keikutsertaannya dalam Pemilu 2014, Partai Nasdem mampu memperoleh suara legislatif sebesar 6,72% dan mampu melenggang menuju Senayan karena melampaui parliamentary threshold (Kompas.com, 2014). Namun pada Pemilu 2019, perolehan suaranya melesat dengan sangat signifikan. Menjadi salah satu partai dengan perolehan empat besar, Nasdem mampu mendulang suara hingga 9,05% (Kompas.com, 2019). Dengan strategi pemanfaatan figur, salah satunya selebritis sebagai vote getter sekaligus untuk mendapatkan coattail effect, Partai Nasdem menjadi salah satu partai yang berhasil mendulang suara cukup besar, terutama dengan sebaran pemilih di pulau Jawa. Strategi vote getter tidak diimbangi dengan masuknya caleg selebritis dari Nasdem ke parlemen. Sebab, dari puluhan caleg yang mengikuti kontestasi, hanya satu yang lolos. Jadi, apakah Nasdem memang menggunakan cara vote getter dengan mengorbankan caleg-caleg lain? Atau jangan-jangan yang penting Nasdem lolos dulu di Parlemen, tak peduli calegnya

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 73

Selebritas dalam Pemilu 2019 lolos atau tidak? Dalam politik, semua serba kemungkinan. Tak ada yang pasti dan selalu bersifat dinamis. Fenomena tingginya keberadaan selebritis dalam kancah politik Indonesia, justru menjadi masalah tersendiri. Disampaikan oleh Lucius Karus selaku Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), bahwa sulit mengharapkan dorongan perubahan dapat muncul dari para artis. Hal tersebut karena keterpilihan artis pada pemilu serentak ini bukan terjadi karena faktor kapabilitas, namun hanya segi popularitas semata (Septianto, 2019). Strategi menggunakan artis menjadi vote getter tersebut nyatanya sesuatu yang biasa dilakukan oleh partai politik. Adapun pola voting getter tersebut dilakukan sebagai upaya menempatkan artis sebagai agen atau intermediari, yang menjembatani antara publik dengan partai. Selebriti kemudian diterjemahkan sebagai penarik suara bagi partai melalui popularitasnya (Jati, 2014, p. 183). Di tengah menguatnya fenomena banjir selebritis pada pemilu 2019, di saat yang bersamaan DPR sedang berada dalam kinerja yang tidak baik-baik saja. Fakta menunjukkan bahwa DPR kerap kali dianggap melakukan pemborosan. Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan penghitungan, bahwa pada periode 2015-2019 jumlah anggaran DPR untuk pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp1,62 triliun, atau sekitar Rp 323,4 miliar per tahun. Untuk tahun 2018, DPR memiliki anggaran pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp 385,141 miliar. Alokasi anggaran terbesar ada pada RUU, yang mencapai Rp 307,112 miliar untuk 37 RUU, atau sekitar Rp3,8 miliar per RUU tiap tahunnya. Selain itu, terdapat satu deskripsi alokasi lagi, yakni pemantauan pelaksanaan undang-undang, yang biasanya digunakan untuk kunjungan kerja anggota DPR, yang jumlahnya dapat mencapai hingga Rp4,85 miliar. Selain itu alokasi lain untuk dukungan keahlian fungsi dewan, atau anggaran staf ahli, sebesar Rp51,1 miliar. Borosnya anggaran yang digunakan tersebut pun nyatanya tidak berbanding lurus dengan kinerja yang dihasilkan para anggota dewan. Pada periode 2014-2019, DPR memiliki target 189 RUU yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun nyatanya, para anggota dewan tersebut hingga akhir periode ini hanya mampu menyelesaikan sejumlah 26 UU saja. Hal tersebut berarti terdapat 163 RUU yang tidak mampu diselesaikan. Apabila dibuat rata-rata, maka para anggota dewan tersebut hanya mampu menyelesaikan 5 UU saja tiap tahunnya. Apabila dijabarkan, pada tahun 2015 DPR mengesahkan 3 UU dari 40 RUU prioritas, yakni UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pemerintahan Daerah, dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada tahun 2016, DPR sedikit terlihat produktif dengan mampu menyelesaikan 100 UU dari 51 RUU prioritas, yang salah satu di antaranya adalah perubahan kedua UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada tahun 2017 DPR menghasilkan 6 UU dari 52 RUU prioritas. Salah satunya adalah UU tentang Pemilihan Umum yang agaknya memang menjadi prioritas dan dikejar dalam rangka momentum Pemilu 2019. Pada tahun 2018, kerja legislasi menurun menjadi 5 UU saja. Dua di antaranya merupakan UU yang krusial seperti UU Terorisme dan UU MD3.

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 74

M. A. Wicaksono dan M. S. Aziz

Pada tahun 2019, DPR telah menyelesaikan dua UU, yakni UU Kebidanan dan UU Pelaksanaan Haji dan Umrah. Apabila dibandingkan dengan periode DPR sebelumnya, jelas merupakan sebuah penurunan. Pada periode sebelumnya, DPR mampu menyelesaikan setidaknya hingga 10 UU tiap tahunnya. Apabila dibuat perbandingan, terdapat penurunan performa hingga 50 persen. Tentunya hal tersebut harus menjadi kritik bersama bagi DPR kita hari ini. Bahkan, menurut Formappi dalam evaluasinya, kinerja DPR pada periode ini merupakan yang terburuk sejak reformasi. Selain daripada jumlah UU yang dihasilkan sangat minim, kualitas dari beberapa UU yang dihasilkan pun dianggap bermasalah. Tercatat, terdapat 3 UU yang menimbulkan polemik dan beberapa kali diajukan untuk dilakukan judicial review, yakni UU Pemilu, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bahkan beberapa pasal yang tercantum dalam UU MD3 digugat dalam tahun yang sama saat baru disahkan. Beberapa di antaranya adalah pasal 73 ayat 3, 4, 5 dan 6, yang memungkinkan DPR melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. Pasal berikutnya yang dibatalkan adalah pasal 122 huruf I UU MD3 yang berbunyi: Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Sementara pasal yang direvisi adalah pasal 224, semula berbunyi pemanggilan anggota DPR yang terkait tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), diubah menjadi tanpa pertimbangan MKD. Selain itu, UU ITE juga dianggap bermasalah karena banyak menelan korban dan dinilai mengebiri nilai-nilai demokrasi. Fenomena DPR yang menjadi kritik pun tidak berhenti di situ. Para anggota DPR juga kerap kali dikritik karena produktivitas yang sangat minim. Hal tersebut memunculkan berbagai analisis dari publik. Formappi menilai minimnya produktivitas DPR disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, seringnya anggota DPR yang mangkir pada saat rapat pembahasan di komisi. Absennya para anggota ini membuat pembahasan kerap diundur dan berujung berlarut-larut. Beberapa RUU bahkan ada yang terus-menerus masuk daftar RUU prioritas selama lima tahun berturut-turut dan belum juga disahkan (Putri, 2019). Fenomena-fenomena yang muncul tersebut tentunya sangat disayangkan. Para legislator yang sejatinya merupakan representasi dari masyarakat, nyatanya justru tidak mampu memaksimalkan diri sebagai abdi rakyat. Di tengah minimnya produktivitas yang ditunjukkan para wakil rakyat tersebut, partai politik sebagai salah satu pilar dari demokrasi justru tidak memunculkan usaha-usahanya untuk memperbaiki kualitas anggota dewan yang dikirimkan, dan justru menggencarkan para selebritis-selebritis yang acap kali tidak memiliki kompetensi dalam ranah legislatif. Partai politik masih terlihat enggan memperbaiki kualitas pilar-pilar demokrasi tersebut, dan masih saja berfokus pada elektabilitas semata. Maka di tengah melemahnya kinerja anggota dewan, parpol seharusnya memperbaiki hal tersebut dengan memilih calon anggota dewan yang memiliki kapabilitas yang baik, bukan semata-mata hanya bermodalkan popularitas. Adanya para selebritis yang kemudian duduk

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 75

Selebritas dalam Pemilu 2019 dalam kursi legislatif, yang semata-mata hanya berlandaskan pada popularitas pun, pada akhirnya dapat berimbas pada munculnya anggota-anggota legislatif yang memiliki popularitas tinggi namun nihil kapasitas. Sehingga, yang terjadi adalah tidak produktifnya kinerja cabang kekuasaan legislatif tersebut. Fungsi legislatif yang vital, yakni pengawasan, budgeting, dan legislasi, serta menjadi representasi masyarakat, menjadi tidak bekerja apabila mindset dari partai politik hanya menempatkan para selebritis, yang populer namun tidak memiliki kapasitas, menjadi vote getter semata.

Gagalnya fungsi rekrutmen ideal

Dalam sistem demokrasi, kehadiran partai politik menjadi sangat penting. Partai politik menjadi salah satu faktor penting bagi kehidupan demokrasi suatu negara. Dalam konsep demokrasi, setidaknya terdapat lima fungsi partai politik, yakni sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, komunikasi politik, dan sarana pengatur konflik. Dalam hal partai politik sebagai fungsi rekrutmen politik, secara internal fungsi rekrutmen politik difungsikan untuk mendapatkan kader-kader yang berkualitas, semakin banyak kader berkualitas yang dihasilkan dalam rekrutmen politik, maka akan semakin besar peluang dari partai politik itu untuk mengajukan calonnya dalam bursa kepemimpinan nasional (Djuyandi, 2014). Fenomena selebritis dalam pemilu 2019 sedikit banyak membuktikan bahwa terdapat kesalahan konsep rekrutmen politik yang dilakukan partai politik. Secara konsep, apabila partai politik menjalankan fungsi rekrutmennya dengan baik, maka selayaknya partai politik berfokus mencari kader-kader yang berkualitas dalam mengisi pos-pos strategis. Namun dengan adanya banjir selebritis dalam pemilu 2019, membuktikan bahwa fokus rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai bukan terletak pada kualitas seseorang, terutama mengenai fungsi-fungsi yang akan dilakukan sebagai anggota legislatif, namun semata-mata hanya pada segi popularitas. Padahal sejatinya legislatif merupakan salah satu cabang kekuasaan yang penting dalam demokrasi. Dalam fungsinya, kekuasaan legislatif sebagai perwakilan rakyat di pemerintahan, bertugas membuat undang-undang yang berorientasi pada kepentingan publik (rakyat), dan juga membantu mengawasi jalannya pemerintahan (eksekutif) agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang (Djuyandi, 2014, hal. 138). Dalam fungsi tersebut, peran dari lembaga legislatif menjadi sangat penting bagi berjalannya sebuah negara, karena fungsinya sebagai representasi rakyat di pemerintahan.

Penutup Semangat selebritis untuk mengikuti dan terjun langsung ke dunia politik selayaknya diapresiasi. Sebagai warga negara, mereka tak hanya menyemarakkan panggung hiburan, melainkan ikut juga menyalurkan hasrat politik untuk langsung menjadi caleg. Namun, yang perlu diingat adalah, dunia politik bukanlah dunia hiburan. Dalam pemilu mendatang, bisa dipastikan masyarakat akan lebih melek untuk meraih informasi, khususnya memilih calon yang dibutuhkan.

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 76

M. A. Wicaksono dan M. S. Aziz

Selebritis tidak bisa serta merta mengharapkan keterkenalannya untuk menggaet suara masyarakat. Jikalau memang sejak awal ingin turun ke dunia poltik, seharusnya dipersiapkan dengan baik. Bukan ujug-ujug menawarkan diri atau ditawar oleh partai politik kemudian maju ke arena, melainkan berpikir lebih matang. Pandangan bahwa selebritis hanya memanfaatkan keterkenalannya masih tersemat di pikiran masyarakat. Partai politik bertugas untuk melakukan rekrutmen terhadap orang-orang yang akan mengisi jabatan publik, selain itu partai politik juga memiliki kewajiban untuk melakukan kaderisasi terhadap orang-orang yang akan diajukan. Melihat fenomena banjir politisi selebritis tersebut, maka peran partai politik untuk melakukan kaderisasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Menjadi kewajiban bagi parpol untuk melaksanakan pendidikan politik bagi kadernya, apalagi terdapat banyak politisi selebritis yang sangat populer namun minim kapabilitas. Bagaimanapun, para politisi selebritis tidak boleh hanya semata-mata bertumpu pada popularitas. Namun partai politik perlu untuk meningkatkan kapasitas terutama pada para politisi selebritis yang diajukan. Hal ini menunjukkan gagalnya fungsi rekrutmen politik yang dilaksanakan partai politik. Mereka, partai politik, seakan mengindahkan bahwa yang sedang dan akan dibangun adalah negara, bukanlah partai politik. Mereka lupa bahwa negara lebih membutuhkan manusia yang menafkahkan hidupnya kepada masyarakat. Siap berbuat lebih banyak untuk masyarakat. Oleh karena itu, bagi selebritis yang terpilih, sudah seharusnya memanfaatkan kesempatan dengan baik. Mereka harus benar-benar mengerti tentang kebijakan yang diperlukan dan dilaksanakan nantinya. Sebab, seperti kata Iwan Fals dalam lagunya yang sangat terkenal berjudul Surat untuk Wakil Rakyat, “Saudara dipilih bukan dilotre. Meski kami tak kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih juara. Juara diam, juara he’eh, juara ha ha ha….”

Daftar pustaka Detik.com. (2019). Hasil Hitung Suara KPU. Diakses pada 10 Agustus 2019, pukul 19.32 WIB. https://www.detik.com/pemilu/hitung-suara-kpu Detik.com. (2019). Pemilu 2019: Pemungutan Suara Indonesia Paling ‘Rumit’ dan ‘Menakjubkan’ di Dunia. Diakses pada 10 Agustus 2019, pukul 19.54 WIB. https://www.detik.com/pemilu/hitung-suara-kpu. Djuyandi, Y. (2014). Pengantar Ilmu Politik. Depok: Rajawali Pers. Farisa, F. C. (2019). Hasil Lengkap Perolehan Kursi DPR 2019-2024. Diakses pada 1 September 2019 pukul 19.42 WIB. https://nasional.kompas.com/read/2019/08/31/11152361/hasil- lengkap-perolehan-kursi-dpr-2019-2024?page=all Ika, A. (2018). Survei Nielsen: Media Digital dan Media Konvensional Saling Melengkapi. Diakses pada 6 September 2019 pukul 15.36 WIB. https://ekonomi.kompas.com/read/2018/ 02/15/093533926/survei-nielsen-media-digital-dan-media-konvensional-saling- melengkapi?page=all Jati, W. R. (2014). Politik Selebritas Elaborasi Teoritik Terhadap Model Kampanye Baru. Jurnal Kawistara Vol.4 No.2, 183. McCracken, G. (1989). Who is the celebrity endorser? Cultural foundation of the endorsement process, The Journal of Consumer Research. 310-321. Nayar, P. K. (2009). Seeing Stars: Spectacle, Society, and Celebrity Culture. New Delhi: Sage

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 77

Selebritas dalam Pemilu 2019

Publications Inc. Prabowo, D. (2014). Disahkan KPU, Ini Perolehan Suara Pemilu Legislatif 2014. Diakses pada 1 September 2019 pukul 19.30 WIB. https://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/ Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014. Putri, R. D. (2019). DPR 2014-2019: Malas Bekerja tapi Boros Anggaran. Diakses pada 2 September 2019 15.31 WIB. https://tirto.id/dpr-2014-2019-malas-bekerja-tapi-boros-anggaran-dlQ8 Rahayu, U. (2019). Nasdem Meraupu Berkah dari Para Artis. Diakses pada 11 Agustus 2019, pukul 10.03 WIB. https://kumparan.com/@kumparannews/nasdem-meraup-berkah-para-artis- 1qyzGmIYfwF. Septianto, B. (2019). Caleg Artis Lolos ke Senayan, Apa yang Bisa Dihasilkan. Diakses pada 1 September 2019 20.01 WIB. https://tirto.id/caleg-artis-lolos-ke-senayan-apa-yang-bisa- dihasilkan-dnvQ Street, J. (2004). Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation, British Journal of Politics & International Relations. Vol. 6: 435-452. Supratman, L. P. (2018). Penggunaan Media Sosial oleh Digital Native. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 15. Wicaksono, B. D. (2019). IMR 2019: 5 Fakta Perubahan Pola Konsumsi Media Millenial. Diakses pada 6 September 2019 pukul 15.16 WIB. https://www.idntimes.com/tech/trend/bayu/survei- ims-2019-5-fakta-perubahan-pola-konsumsi-media-millennial/full

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 67-78 78