PESONA DAN KHARISMA USTADZ DALAM IMAJINASI POPULER DI

Rizky Hafiz Chaniago

Universiti Kebangsaan UKM, 43600 Bangi, Selangor, Malaysia E-mail: [email protected]

Abstrak Perkembangan globalisasi dan abad informasi sekarang ini telah banyak mempengaruhi berbagai relasi di dalam dunia kehidupan, termasuk kehidupan keberagamaan manusia, khususnya agama Islam. Relasi antara agama dan kebudayaan terutama melalui perkembangan budaya populer pada era globalisasi dan informasi ditandai oleh berbagai permasalahan, dilema, dan pertentangan. Pada era millennium di Indonesia kekuatan agama dan kekuatan budaya populer dalam konteks budaya yang lebih besar telah menggiring kepada pelbagai kontradiksi dan paradoks dalam kehidupan keberagamaan. Perkembangan budaya populer memiliki efek yang sangat besar terhadap bagaimana agama itu kini difahami dan diritualkan.

Katakunci: pesona, kharisma, budaya populer, islam, ustadz

USTADZ'S ENCHANTMENT AND CHARISMA BY POPULAR IMAGINATION IN INDONESIA

Abstract The development of globalization and the present information age has influenced many relationships in the world of life, including the life of religiosity, especially Islam. Relation between religion and culture mainly through the development of popular culture in the era of globalization and information is characterized by various problems, dilemmas, and contradictions. In the millennium era in Indonesia the power of religion and the power of popular culture in the larger cultural context has led to various contradictions and paradoxes in religious life. The development of popular culture has had a profound effect on how religion is now understood and ritualized.

Keywords: enchanment, charisma, popular culture, Islam, ustadz

To cite this article (7th APA style): Chaniago, R. H. (2018). Pesona dan Kharisma Ustadz dalam Imajinasi Populer di Indonesia [Ustadz's Enchantment and Charisma by Popular Imagination in Indonesia]. Journal Communication Spectrum, 8(1), 1-14. http://dx.doi.org/10.36782/ jcs.v8i1.1809

1

Pendahuluan Indonesia, dapatlah diidentifikasikan Di era posmoderen yang objektif kajian berikut: berkembang sekarang ini, elemen- elemen budaya populer salah satunya 1. Menganalisis proses pemberian televisi, turut mempengaruhi wajah pesan-pesan ustadz populer dunia keberagamaan masyarakat di terhadap masyarakat Indonesia. Indonesia. Pesona tokoh agama 2. Menganalisis proses interaksi (Ustadz) yang berdakwah di depan layar sosial antara ustadz populer dan kaca menjadi ladang persemaian gaya masyarakat umum di Indonesia. hidup dengan menumbuhkan citra, 3. Menguraikan proses terbentuknya warna, dan nuansa hedonisme. Kondisi konstruksi sosial ustadz populer ini terlihat kontradiksi dengan konsep terhadap masyarakat Indonesia. dakwah sebenarnya yang menjunjung nilai spiritualitas.

Berkembangnya budaya populer Tinjauan Pustaka merubah nilai rohani yang hakiki ke dalam lorong hiburan dan kesenangan. Agama dan Budaya Populer Seperti layaknya pusaran siklus tren, pencarian gaya dakwah populer terus Banyaknya pandangan pengkritik berputar bersama perkembangan dan teoritis budaya mengenai budaya manusia modern yang menjadikan populer, membuat kajian ini intelektualitas masyarakat rendah berkembang dan memiliki banyak aspek dalam memahami nilai-nilai agama hingga saat ini. Mulanya, budaya karena dinaungi oleh sifat-sifat materi. populer atau yang sering disebut Fungsi tokoh agama kini beralih menjadi dengan budaya massa dapat sosok idola. Wacana mengenai agama didefinisikan sebagai budaya rakyat juga terjebak dalam aura selebritas (folk culture) karena bersifat massa sehingga menciptakan kegelisahan (umum) yaitu dari rakyat dan untuk psikologis di kalangan masyarakat. rakyat.

Objektif Kajian Budaya populer juga berkaitan dengan ekonomi dan politik. Proses Budaya populer tidak dapat rengkuhan kapitalisme yang panjang dinafikan telah mempengaruhi berbagai membuat definisi budaya populer golongan di Indonesia. Salah satu menjadi berubah-ubah. Adorno (1941) contohnya ialah dalam bidang religi menjelaskan bahwa kebudayaan kini (agama). Berkaitan dengan keupayaan sepenuhnya saling berpautan dengan penelitian terhadap perkembangan ekonomi politik dan produksi budaya populer melalui wilayah agama kebudayaan oleh kapitalisme (dalam dan dampaknya terhadap masyarakat di Storey 2006).

2

Journal Communication Spectrum: Capturing New Perspectives in Communication Vol. 8 No. 1 February-July 2018

Budaya dapat dilihat menjadi dua kepentingan konsumsi melalui impian- tingkat kebudayaan yaitu budaya tinggi impian budaya massa yang menipu, dan budaya rendah. Salah satu fantasi-fantasi yang merendahkan pembanding yang memisahkan antara martabat, dan sentimen-sentimen budaya tinggi dengan budaya rendah menyenangkan yang sifatnya adalah budaya populer yang berasas sementara. Budaya populer mendorong komoditas sebagai sesuatu yang tidak massa menjadi pemimpi, hedonis, autentik disebabkan budaya populer memuja hiburan dan kesenangan. tidak dihasilkan oleh masyarakat secara murni karena tujuan utamanya untuk Di Indonesia perkembangan dibeli dan dikonsumsi. Budaya populer budaya populer era millennium tidak masuk dalam kategori budaya yang hanya berpengaruh terhadap rendah karena dikendalikan oleh kehidupan ekonomi dan seni saja tetapi golongan penguasa. telah memasuki wilayah religi. Menurut Piliang (2011), perkembangan budaya Dalam konteks industrialisasi populer telah menumbuhkan apa yang kebudayaan, Benjamin (1936) dapat disebut sebagai sikap populer, menyatakan bahwa kebudayaan nyaris baik di kalangan pemuka agama dapat direproduksi secara tak terbatas (Ustads) maupun di kalangan umat, disebabkan perkembangan teknik- yaitu berupa cara berfikir populer, teknik produksi industri yang ritualitas populer, simbol populer, dan menimbulkan banyak persoalan dalam gaya hidup populer sehingga hal gagasan-gagasan tradisional perkembangan imajinasi populer itu mengenai peranan budaya dalam memberikan dampak besar pada masyarakat. derajat religius masyarakat.

Produk-produk budaya seperti Hal ini mengakibatkan dunia film tidak bisa menjadi karya seni keberagamaan terkontaminasi oleh nilai karena tidak lagi memiliki “aura” karya budaya populer yang bersifat hiburan seni autentik dan murni; tapi juga tidak semata. Kontradiksi muncul ketika bisa dikatakan sebagai seni “rakyat” prinsip kesucian dan keagamaan karena tidak lagi datang dari “orang bercampur dengan prinsip budaya kebanyakan”, dengan demikian tidak populer yang membawa pada paradoks bisa mencerminkan atau memuaskan budaya seperti paradoks ketuhanan pengalaman maupun minat mereka dengan keduniaan dan kesenangan (dalam Arendt 1968). dengan kesalehan.

Hal ini memperlihatkan baawa Selanjutnya Piliang (2011) fungsi industri budaya adalah menjelaskan budaya populer dalam mengalihkan emosi dan memanipulasi keagamaan dibangun oleh imajinasi hasrat khalayak agar harapan dan cita- populer, yaitu imajinasi dan fantasi- cita mereka dapat dieksploitasi demi fantasi yang dibangun secara sadar oleh 3

Chaniago, Pesona dan Kharisma Ustadz...

orang atau sekelompok orang untuk popular di mana ustadzsebagai idola membedakan mereka dengan orang- dan massa sebagai peminat (fans). orang lainnya. Melalui pelibatan program agama Media Massa dan Imajinasi di berbagai stasiun televisi, kehidupan keberagamaan menjadi bahagian Pada era 2000, agama Islam daripada skema masyarakat tontonan. menjadi bagian daripada skema budaya Masyarakat menjadikan program agama populer di Indonesia. Hal ini dapat sebagai tontonan dan keterpesonaan dilihat daripada bentuk, cara, strategi yang diperoleh daripada Ustadz sebagai dan imajinasi populer yang digunakan tujuan kehidupan. Jika dikaitkan dengan dalam berbagai aktivitas keagamaan prinsip budaya populer maka relasi seperti dakwah, dan ritual ibadah. antara Ustadz dengan umat merupakan Televisi menjadikan proses dakwah bagian daripada komoditas. menjadi beragam. Komunikasi keberagamaan dikemas dengan Dalam perkembangan budaya program religi yang melahirkan dunia populer, trinitas antara media massa, tontonan, hiburan, hingga infotainment ikon dan penggemarnya menciptakan yang memunculkan suasana dan warna hubungan timbal balik. Media massa baru. memerlukan Ustadz sebagai produk kultural yang dapat dipertukarkan Burton (2008), menilai media seperti komoditas. Program agama bagi mengungkapkan kekuasaannya dengan media massa merupakan komoditas menciptakan idea mengenai berbagai yang sangat menguntungkan, karena nilai dan hubungan sosial, sehingga apa melalui program agama berkembanglah yang masyarakat mengira mereka tahu imajinasi kolektif. sebagai yang benar adalah angan- angan, pandangan masyarakat Kondisi inilah yang disebut oleh mengenai dunia banyak dibentuk Adorno (1991) sebagai fetisisme melalui media. Hal tersebut komoditas yang diartikan sebagai upaya mengakibatkan dunia keberagamaan industri untuk menciptakan pemujaan dibangun oleh imajinasi dan fantasi terhadap suatu produk industri budaya berasaskan budaya populer dalam kepada masyarakat. Melalui hal-hal bentuk bahasa, penampilan, dan tersebut program agama menjadi pencitraan. alasan untuk dijadikan alat komoditas oleh perusahaan televisi karena Piliang (2011) menjelaskan, dalam komoditas merupakan objek daripada membangun imajinasi, para pemuka konsumsi dan pertukaran. agama (Ustads) dijadikan role model sehingga di dalamnya berlaku relasi Situasi dilematis terjadi pada sosial yang mengikuti model budaya kehidupan keberagamaan di Indonesia ketika budaya populer mula

4

Journal Communication Spectrum: Capturing New Perspectives in Communication Vol. 8 No. 1 February-July 2018

mengarungi. Sifat-sifat kedangkalan Tinjauan Pustaka dalam memahami nilai-nilai agama muncul khususnya pada golongan Pada tahun 1966, Peter L. Berger menengah kebawah, akan tetapi dan Thomas Luckmann untuk pertama pendekatan populer memiliki kegunaan kalinya menciptakan konsep konstruksi dalam komunikasi dakwah keagamaan realitas dalam buku bertajuk The Social melalui siaran televisi karena mayoritas Construction of Reality: A Treatise in the daripada masyarakat Indonesia berasal Sociological of Knowledge. Dalam buku daripada golongan menengah kebawah ini dijelaskan proses sosial melalui sehingga perlu pemahaman tindakan dan interaksi yakni individu penggunaan bahasa dakwah yang menciptakan secara terus menerus sesuai dengan kapasitas penonton. suatu realitas yang dimiliki dan dialami secara subjektif. Barker (2003) menjelaskan beberapa hal yang perlu difahami Berger dan Luckmann (1966) mengenai perubahan dalam pola mengatakan institusi masyarakat komunikasi global diantaranya teks tercipta dan dipertahankan atau diubah (program), hubungan antara teks melalui tindakan dan interaksi manusia dengan penonton (audiences), ekonomi sehingga meskipun masyarakat dan politik (industri), dan pola-pola makna institusi sosial terlihat nyata secara kultural. objektif namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi Dalam hal pesan-pesan oleh subjektif melalui proses interaksi. media massa (terlebih dengan perkembangan new media dewasa ini) Objektivitas baru dapat terjadi mempunyai berbagai makna dan dapat melalui penegasan berulang-ulang yang diinterpretasikan dengan cara yang diberikan oleh orang lain yang memiliki berbeda-beda (Dahlan, 2012) sesuai definisi subjektif yang sama (dalam dengan posisi sosial, kelas, dan gender Bungin 2008). Dapat disimpulkan bahwa dengan sumber daya kultural yang juga realitas tidak terbentuk dengan berbeda. sendirinya secara alamiah tetapi terbentuk oleh hasil konstruksi; oleh Pendekatan populer merupakan sebab itu setiap individu manusia langkah yang digunakan oleh memiliki hasil konstruksi yang berbeda- perusahaan televisi dalam program beda terhadap suatu realitas dakwah dengan menekankan pesona, tergantung di lingkungan masyarakat hiburan, dan bahasa yang sederhana mana mereka hidup. agar mudah difahami oleh masyarakat. Singkat kata, masyarakat tidak lain merupakan produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap

5

Chaniago, Pesona dan Kharisma Ustadz...

penghasilnya. Sebaliknya, manusia memahami mengenai realitas sosial, merupakan hasil atau produk daripada mereka melalui fase eksternalisasi, masyarakat. Seseorang individu baru objektivikasi, dan internalisasi maka menjadi suatu pribadi yang beridentitas sebetulnya manusia telah masuk dalam selagi ia tetap tinggal di dalam proses komunikasi. Karena itu, makalah masyarakatnya. ini dikonsentrasikan pada konstruksi sosial media atas realitas sosial Situasi ini disebut oleh Berger dan (paradigma konstruksionis) yang Luckmann (1966) sebagai proses mempunyai tujuan untuk menemukan dialektika individu menciptakan bagaimana peristiwa atau realitas masyarakat dan masyarakat tersebut dikonstruksi, dan dengan cara menciptakan individu. Proses dialektika apa konstruksi itu dibentuk. ini terjadi melalui tiga momen yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan Menurut Eriyanto (2002), dalam internalisasi (Berger & Luckmann 1966: paradigma konstruksionis, peneliti 149). dipandang bukan sebagai subjek yang berada di luar objek yang diamati, Eksternalisasi merupakan proses tetapi peneliti adalah bahgian daripada penyesuaian diri dengan dunia objek yang diamati, oleh sebab itu hasil sosiokultural sebagai produk manusia, penelitian dilihat bukan hasil daripada dalam arti lain manusia berusaha untuk pengamatan (objektif) antara pengamat beradaptasi di mana mereka berada dengan yang diamati tetapi hasil untuk menemukan jati dirinya. Kedua, daripada interaksi yang dinamis antara objektivasi, yaitu interaksi sosial yang peneliti dengan yang diamati. terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses Dalam paradigma konstruksionis, institusionalisasi, melalui proses tidak dapat digambarkan ada realitas objektivasi ini maka akan menghasilkan yang nyata yang berada di lingkungan produk budaya baik materi mahupun luar yang mudah diambil oleh peneliti, bukan-materi yang menjadi realiti realitas bukan sesuatu yang ada di objektif. lingkungan luar tetapi realitas itu pada dasarnya hanya ada dalam kerangka Ketiga, internalisasi, adalah teoretik/ konsepsi, dan realitas hanya proses individu akhirnya ada dalam konteks daripada kerangka mengidentifikasikan dirinya dengan mental bagaimana manusia berfikir lembaga-lembaga sosial atau organisasi mengenai sesuatu. sosial tempat individu menjadi anggotanya (dalam Bungin 2008). Dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan konstruksionis, realitas Melalui pemahaman tiga momen bersifat relatif tergantung pada ini, maka dapat disimpulkan bahwa bagaimana seseorang memaknai dan pada saat manusia mencoba untuk memahaminya. 6

Journal Communication Spectrum: Capturing New Perspectives in Communication Vol. 8 No. 1 February-July 2018

Metode dengan mudah menjadi tempat bagi dekonstruksi moral.

Penyebaran Konstruksi Media Massa

(Eksternalisasi) Hasil Penelitian dan Pembahasan

Fenomena Ustadz Selebriti

Perkembangan dakwah di Pembentukan Konstruksi Image Indonesia mengalami perubahan dari

(Objektivasi) masa ke masa seiringan dengan perubahan peradaban manusianya. Perbedaan pola dakwah era sebelum millennium dengan era millennium terdapat pada wacana komunikasi. Perilaku Keputusan Konsumen Media Pada era rezim Soeharto pola komunikasi dakwah yang dilakukan (Internalisasi) seorang Ustadz melalui televisi cenderung datar, tidak menggunakan Gambar 1. Model Konstruksi Sosial Media gimmick-gimmick untuk menarik

perhatian penonton. Model kerangka kajian Salah satu contoh adalah menerangkan konstruksi sosial dalam almarhum KH Zainuddin MZ,. Pola masyarakat tidak bisa terlepas daripada dakwah yang dilakukannya sederhana kekuatan ekonomi diantaranya media dengan mengedepankan tema aqidah massa. Di sinilah kemudian konstruksi dan akhlak walaupun kerap terjadi ustadz populer atas realitas sosial pengulangan yang membuat dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat bosan. Di era reformasi kapitalisme karena pada kenyataannya sekarang ini, persaingan industri televisi ustadz merupakan sebuah investasi semakin ketat membuat masing-masing yang memerlukan modal yang cukup stasiun televisi berlomba untuk besar demi meraih keuntungan. menyuguhkan program agama yang menarik. Sehubungan dengan itu maka image-image ustadz populer hanya Menurut Piliang (2011), pola dapat hidup dalam kekuasaan media komunikasi di zaman popularitas dihiasi massa. Hasilnya dunia konsumerisme dengan berbagai simbol dan citra-citra menjadi sebuah dunia permainan (citra populer yang disebut sebagai khutbah dan gaya hidup) yang bersifat fantasi. agama populer (popular religious Karena konstruksi tersebut dikendalikan speech). Simbol-simbol dikembangkan oleh motivasi media massa, maka ia oleh para Ustadz bisa melalui gestur, 7

Chaniago, Pesona dan Kharisma Ustadz...

komedi, musik, pantomim, tarian massa agar membangkitkan emosi maupun salam populer sehingga lahir mereka seperti menangis, berteriak, suasana dunia panggung hiburan. hingga histeris. Kepiawaian para Ustadz dalam ber-khutbah di media massa Banyak para tokoh agama di era membuat mereka lebih populer sebagai budaya populer ini memainkan ciri khas ikon. Meminjam istilah Baudrillard masing-masing dalam berdakwah untuk (2000), ikon merupakan simulasi menjual diri mereka menjadi populer. daripada Tuhan atau orang-orang suci. Contohnya; Ustadz Muhammad Nur Maulana yang populer dengan fesyen Di era moden sekarang ini, selendang serta slogan “jamaah”, seorang ikon lebih nyata, lebih dipuja, dakwahnya sarat dengan muatan parodi lebih dikultuskan, dan lebih banyak pada umumnya. Opick melakukan menjadi panutan daripada Tuhan yang dakwah melalui media musik. Ustadz AA sesungguhnya. Konsekuensinya, semua Gym berdakwah melalui tema manusia dapat menjadi ikon, dalam arti permasalahan hidup dan manajemen semua manusia dapat menjadi Tuhan. qalbu. Almarhum Ustadz Jefri Al Buchori Dengan kata lain, Tuhan telah mengambil segmentasi golongan muda tergantikan oleh penanda-penanda lain, dengan mengedepankan kehidupan yaitu ikon-ikon Ustadz itu sendiri. Ikon- kawula muda hingga Ustadz Yusuf ikon Ustadz bukan saja diproduksi oleh Mansur yang serius dalam tema industri pop, tetapi terus menerus sedekah. direproduksi oleh para peminatnya.

Di sisi lain ramai juga tokoh Juru khutbah atau Ustadz di masa agama yang memilih jalan umum budaya populer beralih fungsi sebagai dengan tidak memposisikan ciri khas figur populer (public figure) atau tertentu, mereka hanya kerap muncul di bintang yang memberikan berbagai berbagai macam program televisi akan imajinasi populer dalam kehidupan tetapi secara konsep diri tidak agama. Selain itu, fakta yang menarik mempunyai ciri khas seperti Ustadz Riza bahwa banyak masyarakat Muhammad, Ustadz Ahmad Alhabsyi, memperlakukan tokoh agama sebagai dan Ustadz Subkhi Al Bughury. Dalam idola yang mula meniru penampilan metode lainnya, Ustadz Arifin Ilham (fesyen) seperti busana, gaya rambut, kerap menggunakan psikologis budaya dan benda. populer untuk mengendalikan massa secara pasif yang diyakini cara khas Kondisi telah berubah hingga membangkitkan emosi dan semangat tahap imitasi terjadi. Imitasi adalah penonton. keadaan seseorang yang mengikuti sesuatu diluar dirinya seperti meniru Piliang (2011) menjelaskan bahwa suatu pandangan atau tingkah laku metode psikografi massa digunakan kerana akan memperoleh penghargaan sebagai cara untuk mengendalikan sosial yang tinggi, dari contoh ini; 8

Journal Communication Spectrum: Capturing New Perspectives in Communication Vol. 8 No. 1 February-July 2018

imitasi merupakan proses interaksi mobil baru, koleksi baru, hingga motor sosial yang menerangkan tentang mahal. Dalam hal ini masyarakat mengapa dan bagaimana dapat terjadi menjadi korban popularitas para Ustadz keseragaman dalam pandangan dan yang dikonstruksi ke dalam dunia tingkah laku misalnya perilaku konsumerisme diekspresikan melalui seseorang yang meniru perilaku gaya hidup. individu lain yang menjadi idolanya dan perilaku tersebut seakan-akan menjadi Di dalam masyarakat posmoderen perilakunya sendiri (Uprini, Sujianto, & sekarang ini posisi Ustadz sebagai tokoh Indrawati 2002: 30). agama berbenturan dengan berbagai logika budaya populer. Di satu sisi Gaya Hidup dan Materialisme mempunyai tugas untuk berdakwah, akan tetapi di sisi lain memerlukan Berjamurnya para tokoh agama materi demi kelangsungan hidup. (Ustadz) di televisi menuai banyak kritik Gelora hasrat akan materi membuat daripada masyarakat hingga Majelis para tokoh agama memasang tarif Ulama Indonesia (MUI). Dua hal dalam program dakwah mereka di diantaranya yang cukup dominan mana hal tersebut cukup bertentangan adalah gaya hidup dan materialisme. dengan tujuan agama sesungguhnya. Banyak Ustadz populer merubah gaya Dengan demikian, ikatan antara Ustadz hidup untuk menyesuaikan dengan dengan umat seperti ikatan bisnis jual lingkungannya. Pola hidup konsumsi beli, bukan layaknya ikatan antara diterapkan dalam kehidupan mereka orang tua dan anak, atau guru dan demi meraih terus popularitas sehingga murid. cenderung menjadi riya dengan memperlihatkan kemewahan yang Dakwah kemudian bukan menjadi bertolak belakang akan asas kewajiban atau amanah yang harus kesederhanaan. Tanpa disadari para dijalankan dengan keikhlasan, namun Ustadz telah melebur menjadi justru dijadikan alat untuk mendulang masyarakat posmoderen dimana masuk keuntungan. Fungsi Ustadz sebagai pen- ke dalam ruang-ruang gaya hidup yang dakwah yang menjadikan mereka menjadikan mereka sangat bergantung diterima masyarakat justru pada irama pergantian citra, gaya, dan dimanfaatkan untuk pencarian status. popularitas. Piliang (2011) menyebutkan kondisi ini dengan slogan Tidak sedikit dari mereka selalu “sufi materialistik”, yaitu para sufi yang muncul dalam program infotainment terperangkap di dalam pengaruh jagat dan iklan produk tertentu demi hasrat materi dan gaya hidup masyarakat untuk memenuhi selera pasar, topik posmoderen, dan pada saat yang wawancara justru jauh daripada nilai- bersamaan mereka tetap menekuni nilai agama melainkan kehidupan jalan spiritualitas dan menjalankan pribadi mereka mengenai rumah baru, dakwah. 9

Chaniago, Pesona dan Kharisma Ustadz...

Implikasi bahwa dalam situasi ini, budaya populer merupakan representasi dari politik, Budaya populer telah menjadi sementara politik juga kerap mengambil kajian akademis yang penting dalam budaya populer sebagai cara dua dekade terakhir dan mendapat penyampaian pesan (Heryanto, dalam perhatian yang serius di kalangan para Wijaya, 2014). Gejala tersebut cukup intelektual dan akademik serta mulai serupa dengan penyanyi dangdut yang mendapat tempat yang cukup luas di selalu menjadi andalan para juru dalam jurnal-jurnal ilmiah dan akademik kampanye partai untuk mendapatkan seperti jurnal media dan komunikasi suara yang banyak. kritis maupun jurnal budaya dan feminis. Menurut Coutas (2008) budaya populer di Indonesia masa ini terus Beberapa kajian sebelumnya berkembang dalam tarik-menarik tentang pengaruh budaya populer dengan budaya lokal, nasional dan melalui proses konstruksi sosial media global, sementara di sisi lain, lanskep massa diantaranya; Coutas (2008), budaya populer juga berhadapan dalam penelitiannya mengenai budaya dengan para regulator budaya baru populer di Indonesia melihat bahwa yang secara berat sangat komersial, budaya pop yang bermunculan di yang tampil dalam sosok mereka yang Indonesia merupakan buah tarik- mengaku moralis, tetapi selalu menarik politik dan ideologi dari masa intimidatif jika kehendaknya tidak ke masa. Penelope menunjukkan bahwa dituruti (dalam Heryanto 2008: 128). Indonesian Idol sebagai bagian dari Idola yang “imperialistik” karena ikon Program televisi yang sukses “Idol” berada dimana-mana diantaranya menciptakan komoditas melalui American Idol, Malaysian Idol, pengaruh musik selain Idol adalah ajang Singaporean Idol, bahkan ASEAN Idol. kontes Akademi Fantasia. Fuziah Indonesian Idol sebagai waralaba (2004), dalam penelitiannya mengenai daripada program serupa dari produksi Akademi Fantasia di Malaysia Amerika Serikat bisa dilihat sebagai menjelaskan bahawa AF merupakan imperialisme kultural yang menokohkan dimensi baru budaya populer tergolong si tokoh sebagai sesuatu yang tidak jauh sebagai sebuah rancangan bergenre berbeda dari yang dihasilkan di Amerika reality tv, bermaksud memaparkan Serikat. adegan-adegan benar yang berlaku di kalangan peserta-peserta sesuatu Pengemasan acara, gaya pertandingan yang dianjurkan oleh bernyanyi, pilihan lagu, lebih penerbit media. mencerminkan paduan global dan lokal yang disebut dengan glocal yang artinya Kontes Akademi Fantasia hal yang global ada di lokal dan yang di sebetulnya tidak jauh berbeda dengan lokal ada di global. Dapat dikatakan Idol seperti mengikuti pola dan standar 10

Journal Communication Spectrum: Capturing New Perspectives in Communication Vol. 8 No. 1 February-July 2018

dengan adanya audisi, babak final, banyaknya agar penerbit media dapat eliminasi dan juara. Sebagai jembatan mengaut keuntungan besar. Menurut pola tersebut SMS daripada penonton Fuziah (2004), hubungan circular, menentukan sang penyanyi tetap reciprocal dan simbiotik di antara bertahan dalam kompetisi ataupun khalayak dan penerbit AF ini melahirkan tersingkir. Kepopularan AF terletak satu situasi win-win, yakni media massa kepada kekuatan utamanya yaitu memperoleh keuntungan serta image “kuasa yang diberikan seratus percen” dan kredibilitas, sementara khalayak kepada khalayak untuk mengundi media mendapat gratifikasi yang pelajar kegemaran mereka melalui SMS mereka inginkan setelah sekian lama atau sistem pesanan ringkas yang dibelenggu dengan rancangan- diperbolehkan melalui handphone, rancangan hiburan yang membosankan dengan cara ini khalayak merasa di televisi (Fuziah 2004: 206). “bertanggung jawab” sepenuhnya untuk menentukan nasib pelajar AF dan Setelah budaya popular perjalanan serta arah rancangan AF berkembang sejak tahun 1960-an, seterusnya. dapat dilihat bahawa pengaruh budaya popular banyak didominasi oleh kaum Dalam konteks ini peserta kontes laki-laki seperti Andy Warhol, Bob sebetulnya telah memasuki ambang Dylan, Elvis Presley, Jimi Hendrix, juga “kematian” karena tidak lagi The Beatles yang berpartisipasi dalam diperhitungkan berdasarkan produksi dan distribusi bentuk-bentuk kemampuan menyanyi dan musikalisasi, populer dan berbagai wacana di tetapi berdasarkan tingkat popularitas sekelilingnya. Meski demikian, dunia mereka dan kemampuan persuasif tidak dapat mengabaikan kenyataan dalam menjaring penggemar sebanyak- bahwa banyak juga perempuan terkenal banyaknya. Melalui ini Akademi dalam kehidupan kebudayaan populer Fantasia menggiring penonton untuk seperti Janis Joplin, Chrissie Hynde, dan melawan “rangsangan intelektual” dan Debbie Harry yang dianggap bukan dijadikan sebagai sasaran empuk feminis tetapi bukan berarti anti konsumerisme, iklan, impian, dan feminis. fantasi yang laku dijual. Program Akademi Fantasia memang bertujuan Akan tetapi, ada contoh yang mempertajam citra dan meraup untung boleh digunakan tentang feminis yang yang sebesar-besarnya melalui memasuki budaya mainstream untuk pemujaan (fetish) pemirsa dengan mengungkapkan bahawa intervensi pengiriman polling SMS. yang efektif bukan tidak mungkin terjadi, seperti halnya Madonna. Oleh sebab itu, pemirsa telah Madonna merupakan penyanyi pop “dipaksa” berpartisipasi aktif dalam produk budaya popular yang menjadi produk budaya massa tersebut dengan ikon keperkasaan wanita di era berpacu mengirimkan SMS sebanyak- posmoderen, gaya tarik sensualnya 11

Chaniago, Pesona dan Kharisma Ustadz...

menunjukkan feminitas Madonna masalah ekonomi dan politik yang setara atau bahkan mengatasi dikenal sebagai “The Last Decade”. Pada maskulinitas. masa ini ekonomi Jepang sedang jatuh bank-bank menjadi collapse, Posisi Madonna sebagai pelopor pengangguran meningkat, kasus bunuh posfeminisme ternyata banyak menuai diri meningkat, dan pejabat negara kritikan oleh para peneliti budaya dari sarat korupsi. Untuk mengatasi berbagai macam aspek. Kaplan (1992), kekacauan ekonomi dan politik, Jepang menggali ambiguitas Madonna sebagai melebarkan sayapnya dengan menekan teks yang mendekonstruksi norma- industri budaya pop Jepang dan norma gender. Video Madonna bukan mengekspornya ke negara-negara Asia. hanya berusaha memberdayakan perempuan dengan mendorong mereka Timothy J. Craig (2000) dalam untuk mengambil alih kendali atas bukunya “Japan Pop: Inside The World kehidupan mereka, namun mereka of Japanese Popular Culture” bermain-main dengan kode jenis mengelompokkan budaya pop Jepang kelamin dan gender untuk yang paling digemari menjadi tiga mengaburkan batas-batas maskulinitas kelompok yaitu: pertama; musik dan feminitas (dalam Barker 2005). populer, termasuk di dalamnya genre musik jazz, pop, dan enka (balada). Kaplan berpendapat bahwa video Kedua; komik dan animasi. Ketiga; Madonna berdampak kepada terus program televisi dan film, termasuk di berlangsungnya perubahan posisi dalamnya yang paling diminati adalah subjek, yang terdiri daripada tanda dorama (sinetron drama Jepang). campuran dan bergaya yang mempertanyakan batas-batas Berdasarkan observasi yang konstruksi gender. dilakukan oleh Setiowati (2008) terhadap komunitas remaja penggemar Berdasarkan pemikiran mengenai budaya pop Jepang, tercatat bahawa globalisasi dan imperialisme budaya, jenis musik yang banyak digemari oleh masuknya budaya Jepang ke Indonesia remaja di Indonesia bukan saja muzik merupakan penetrasi terhadap nilai- dengan genre pop, jazz dan enka, tetapi nilai budaya Jepang pada konsumen juga musik rock, dan bahkan terbanyak Indonesia, yang dalam hal ini adalah digemari karena mempunyai melodi para remaja penggemar Budaya Pop dan lirik yang khas Jepang sehingga Jepang, bisa mempengaruhi dikenal dengan sebutan J-Rock. pembentukan identitas dan perilaku konsumen sehari-hari. Demikian juga dengan acara televisi, seperti sinetron drama yang Budaya popular Jepang dikenal dengan nama dorama. Selain itu berkembang pesat sejak tahun 1990-an, Setiowati juga mengidentifikasi jenis ketika Jepang sedang mengalami budaya pop Jepang lain yang banyak 12

Journal Communication Spectrum: Capturing New Perspectives in Communication Vol. 8 No. 1 February-July 2018

digemari remaja Indonesia yaitu fesyen. permainan gaya, citra, dan tontonan Keunikan dari fesyen Japenese Pop dengan menyuguhkan kedalaman Culture ialah tidak mengenal perbedaan makna atau spirit dalam program gender yang dikenal dengan nama keagamaan agar tidak terjerumus pada harajuku. logika-logika hasrat rendah.

Simpulan Daftar Pustaka

Gaya hidup jika mengaitkannya Adorno, T. W. (1991). The Culture dengan penjelasan Chaney (1996) Industry. Routledge. sebagai bentuk khas daripada Adorno, T. W. (1941). On Popular pengelompokan status modern maka Music. Dlm. Storey, J. 2006. Cultural tokoh agama (Ustadz) merupakan Theory and Popular Culture A simbol atau objek yang bernafaskan Reader 3rd Edition (hal. 73-84). religi dengan penampilan gaya hidup Routledge keduniaan. Hakikat daripada nilai Barker, C. (2003). Cultural Studies: agama telah berubah menjadi budaya Theory and Practice 2nd Edition. tontonan. Masyarakat mengkonsumsi Sage Publications. program agama sekedar hiburan Baudrillard, J. (2000). Jean Baudrillard semata yang hanya akan menjauhkan Routledge Critical Thinkers Essential mereka daripada dunia spiritual Guides for Literary Studies. sesungguhnya. Routledge. Benjamin, W. (1936). The Work of Art in Kondisi sosial masyarakat di era The Age of Mechanical modern sekarang ini dengan demikian Reproduction. Dlm. Arendt, H. merupakan sebuah tantangan yang (1968). Illuminations. Fontana. cukup berat bagi pencerahan spiritual Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). khasnya dalam wacana keagamaan The Social Construction of Reality: A karena kondisi masyarakat dibelenggu Treatise in the Sociological of dalam dunia materi dan gaya hidup Knowledge. Penguin Books. yang bersifat semu. Kondisi ini Bungin, B. (2008). Konstruksi Sosial menjadikan bercampurnya antara Media Massa. Kencana. segala sesuatu yang bersifat duniawi Burton, G. (2008). Media dan Budaya seperti fesyen, citra, kesenangan Populer. Jalasutra. (pleasure) dan materi dengan hal-hal Chaney, D. (1996). Lifestyles (Key Ideas). yang bersifat spiritual. Routledge. Coutas, P. (2008). Fame, fortune, fantasi Karena itu, diperlukan upaya kerja Indonesian Idol and the new sama antara media massa dan para celebrity. Dalam Heryanto, A. tokoh agama untuk merubah (ed), Popular Culture in Indonesia 13

Chaniago, Pesona dan Kharisma Ustadz...

Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics (hal. 111-129). Jalasutra Dahlan, M. A. (2012). The New Media and Islam: Communication Characteristics and Dynamics. Journal Communication Spectrum, 2(1), 1-12 Eriyanto (2002). Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKiS. Fuziah K. H. B. (2018). Akademi Fantasia: Dimensi baru budaya popular di Malaysia. Dlm. Mus Chairil Samani., Badrul Redzuan Abu Hassan. & Mat Pauzi Abd. R. (2004). Penyertaan Dalam Komunikasi Hak, Bentuk dan Dasar (hal. 197-206). Kaplan, E. (2006). Feminist Critism and Television. Dlm. Barker, C. (ed), Cultural Studies: Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Piliang, Y.A. (2011). Bayang-Bayang Tuhan “Agama Dan Imajinasi”. Mizan. Setiowati, E. (2008). Imperialisme Budaya Dan Pembentukan Identitas: Kajian Terhadap Fanatisme Remaja Pada Budaya Pop Jepang. Jurnal Thesis Penelitian Ilmu Komunikasi, 7(3) Uprini, C., Sujianto, U. & Indrawati, T. (2002). Komunikasi Kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

14