BUKU AJAR MATA KULIAH Deskripsi Analisis Tari I & II

PENGEMBANGAN TARI PODANG PERISAI DI KUANTAN SINGINGI RIAU

Dra. Irdawati M.Hum Ali Sukri, S.Sn, M.Sn

PENGEMBANGAN TARI PODANG PERISAI DI KUANTAN SINGINGI RIAU

Penulis : Dra. Irdawati M.Hum Ali Sukri, S.Sn, M.Sn Design : Elin W

Penerbit Gre Publishing Jln. Kelurahan Karangwaru Lor TR II/211E Yogyakarta – Indonesia - 55241 http://grepublishing.com

ISBN 978-602-7677-63-0 Dilarang keras mereproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini, dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari penerbit

© HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

ii

KATA PENGANTAR

uji dan syukur dipersembahkan ke hadirat ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga P buku ajar ini dapat diselesaikan. Disadari sepenuhnya bahwa terdapat berbagai keterbatasan penulis, sehingga buku ini jauh dari kesempurnaan. Diakui pula banyak pihak yang telah memberi dorongan, bantuan, saran, bimbingan yang sangat berharga bagi penulis. Sejak dari penelitian, hingga akhirnya hasilnya dapat disajikan melalui buku ini. Oleh karena itu, tiada sesuatu yang dapat penulis lakukan selain mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang dalam kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan tersebut. Ucapan terima kasih berikutnya disampaikan kepada para informan di Desa Koto Tinggi Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Mereka tersebut adalah Saleh ibrahim, Doli, Buhari, Haliyusni, Juanda, Syaidina, Miri dan Arisman yang telah banyak memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis. Buku ajar ini dibuat untuk membantu mahasiswa jurusan tari fakultas seni pertunjukan sebagai buku referensi pada mata kuliah Analisis Tari. Semoga dengan adanya buku ajar yang penulis susun ini dapat dijadikan sebagai literatur dalam menganalisis tari tradisi pada mata kuliah tersebut. Buku ini terselesaikan bersumber dari hasil penelitian produk terapan SIMLITABMAS tahun 2017/2018. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada Rektor ISI Padangpanjang yang telah memberikan motivasi dalam penulisan buku ajar ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Wakil Rektor I ISI Padangpanjang yang telah bersedia sebagai editor. Ucapan terima kasih diberikan kepada LPPMPP

iii

ISI Padangpanjang yang telah membantu administrasi dari penerbitan buku ajar ini. Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan dalam penulisan buku ajar ini, dan juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas terbitnya buku ajar mata kuliah ini.

Padangpanjang, 23 September 2018

Penulis

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...... iii Daftar Isi ...... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan...... 1 B. Tujuan Penulisan ...... 4 C. Manfaat ...... 4 D. Tujuan Khusus Perkuliahan ...... 5

BAB II MASYARAKAT KABUPATEN KUANTAN SINGINGI (RIAU) DALAM PERSPEKTIF BUDAYA A. Sekilas tentang Wilayah Kuantan Singingi...... 7 B. Tanah Ulayat...... 14 C. Struktur Masyarakat dan Kehidupannya...... 17 D. Adat sebagai Sistem Sosial...... 21 E. Peran Lembaga Adat dalam Kesenian...... 27

BAB III KEBERADAAN TARI TRADISI PODANG PERISAI DI DESA KOTO TINGGI KECAMATAN PANGEAN KABUPATAN SINGINGI RIAU A. Sekilas tentang Geografi Negeri Asal Tari...... 33 B. Asal-Usul Tari Podang Perisai di Desa Koto Tinggi.... 39 C. Bentuk Pertunjukan Tari Podang Perisai...... 49 D. Makna Simbol Gerak Tari Podang Perisai...... 65 E. Bentuk Pengembangan Tari Podang Perisai dari Tradisi menjadi Tari Modern...... 70

v

BAB IV PENUTUP...... 95

Kepustakaan...... 97 Glosarium...... 101 Penulis...... 103

vi

vii

viii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan etiap daerah di Kabupaten Kuantan Singingi Riau memiliki keragaman seni budaya. Salah satu bentuk seni S budaya di daerah tersebut terlihat dengan adanya beberapa bentuk kesenian tradisi yang hidup secara turun-temurun dan berkembang dalam masyarakat pendukungnya. Soedarsono menyebutkan kesenian itu dikatakan tradisi karena mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang, turun-temurun, serta masih berpijak pada tradisi itu sendiri.1 Salah satu kesenian itu terdapat di Desa Koto Tinggi Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Riau yaitu Tari Podang Perisai. Tari Podang Perisai ini adalah tari yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Pangean Desa Koto Tinggi. Tari ini ditampilkan pada acara tradisi Pacu Jalur yang diadakan di Batang Kuantan, dan juga pada hari raya Idul Fitri (1 Syawal).

Tradisi Pacu Jalur sebagai salah satu agenda tahunan di Kabupaten Kuantan Singingi Riau, juga tidak terlepas dengan berbagai kegiatan keramaian dan kesenian seperti Tari Manyakok, Tari Turun Mandi, Tari Somba Carano, Tari Rantak Gumantan dan Tari Podang Perisai. Kegiatan Pacu Jalur biasa dilakukan oleh pemerintah setempat setiap bulan Agustus sekaligus untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Dari beberapa tari yang ditampilkan, Tari Podang Perisai mendapat prioritas utama dari pemerintah setempat, sehingga tari tersebut tidak boleh ditinggalkan karena

1 R.M Soedarsono, Tari-tarian Indonesia I (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1977), 29.

1 mempunyai nilai sejarah dan masyarakat setempat memandang tari tersebut sebagai lambang semangat perjuangan dalam mempertahankan wilayah dari serangan musuh.

Mengkaji tari tidak terlepas dari tekstual dan kontekstual. Tekstual berkaitan dengan wujud atau bentuk. Sejalan dengan hal tersebut, Soedarsono menyatakan bentuk berhubungan dengan elemen komposisi tari yang meliputi penari, gerak, pola lantai, busana, rias, properti, musik, dan tempat pertunjukan. 2 Sedangkan kontekstual adalah faktor pendukung tari tersebut, antara lain: masyarakat pendukung dimana tempat tari itu tumbuh, fungsi tari, nilai-nilai yang terkandung dalam tari, makna simbolis dan estetika.

Terkait dengan tekstual (bentuk), tari tradisi Podang Perisai memiliki tujuh ragam gerak yaitu gerak mulai, gerak sosor, gerak paliang, gerak rantak sabolah, gerak rantak duo bolah, gerak kuak ilalang dan gerak lantiang pauah. Ketujuh ragam gerak tersebut mengandung makna yang menyimbolkan kehati-hatian dalam melawan musuh untuk memperjuangkan daerah tempat tinggal mereka yang ingin dikuasai oleh penduduk yang datang dari luar daerah tersebut. Tari Podang Perisai ditarikan oleh 2 orang penari laki-laki yang umurnya berkisar antara 45-60 tahun. Gerak pada Tari Podang Perisai ini bersumber dengan menirukan gerak-gerak alam (alam takambang jadi guru) yang mampu membentuk keindahan gerak, sesuai dengan tuntutan sebuah pertunjukan. Pola lantai sangat sederhana dan berulang-ulang seperti pola lantai sejajar baik secara horizontal maupun diagonal.

Busana para penari berupa baju guntiang cino, dan celana galembong dengan warna yang tidak ditentukan. Pada bagian kepala para penari memakai peci dan badan memakai sisampiang kain sarung. Rias para penari menggunakan rias sehari-hari. Properti yang digunakan dalam pertunjukkan Tari Podang Perisai, yaitu Podang dan Perisai. Musik pengiring Tari

2 R.M Soedarsono, Loc.cit, 40.

2 Podang Perisai menggunakan tiga jenis alat musik yaitu: gendang, calempong onam, dan gong.

Buku ini bertujuan untuk menjadikan Tari Podang Perisai menjadi sebuah tulisan yang dapat digunakan sebagai salah satu informasi dan bahan bacaan. Selain itu, buku ini juga menulis perkembangan Tari Podang Perisasi sesuai dengan ilmu komposisi tari sehingga memenuhi standar estetika sebuah seni pertunjukan, dengan cara menambah jumlah penari, menggarap gerak, menggarap musik, menggarap pola lantai, menata busana dan rias. Dengan demikian, tari ini diharapkan mampu menjadi sebuah tari yang menarik dengan memperhitungkan nilai-nilai estetika sebuah seni pertunjukan tari modern, yang disenangi oleh generasi muda yang memperhatikan bentuk, teknik, dan isi. Y Sumandiyo Hadi menjelaskan, dalam menata suatu tari yang berkaitan dengan bentuk teknik dan isi harus mempunyai struktur yang utuh dan saling terkait.3 Selanjutnya, Jacqueline Smith mengatakan bentuk adalah wujud dan struktur sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata.4 Di sisi lain, Lois Eiffelt mengatakan bentuk merupakan wujud rangkaian gerak atau peraturan laku-laku.5 Diperkuat dengan beberapa teori para ahli seni di atas untuk inovasi Tari Podang Perisai akan mampu meningkatkan pariwisata di Kuantan Singingi Riau sekaligus menjadi identitas di wilayah Kuantan Singingi Riau sebagai tari yang mempunyai nilai-nilai perjuangan yang menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Untuk mengenang nilai-nilai perjuangan yang pernah dilakukan oleh masyarakat, maka pemerintah setempat menjadikan properti Podang dan Perisai yang digunakan dalam Tari Podang Perisai sebagai lambang Kecamatan Pangean, tempat tumbuh Tari Podang Perisai tersebut.

3 Y Sumandiyo Hadi, Koreografi Bentuk-Teknik-Isi (Yogyakarta: Cipta Media, 2012), 81. 4 Smith, Jacqueline, Dance Competition and Paccal Guide for Teacher. Terjemahan Ben Soeharto” Komposisi Tari Sebuah Pertunjukan Praktis Bagi Guru”. (Yogyakarta: Ikalasti, 1995), 6. 5 Eiffelt, Louis, a Periemen For Choreografhers Pedoman Dasar Pementas Tari). Terj. Salmurgianto Jakarta, 1985), 15.

3 Sehubungan dengan fenomena di atas, tari tradisi Podang Perisai dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin maju dikarenakan teknologi yang semakin canggih agar tari tersebut tidak punah. Dalam hal ini, Sumandiyo Hadi menjelaskan bahwa melakukan pengembangan sebuah tari oleh seorang koreografer perlu memperhatikan langkah-langkah melalui eksplorasi yang bermakna, berpikir, berimajinasi, merasakan dan merespon.6 Buku ajar ini dipergunakan untuk mata kuliah Deskripsi Analisis Tari I dan Deskripsi Analisis Tari II.

B. Tujuan Penulisan Adapun tujuan buku ini adalah mengkaji tentang keberadaan Tari Podang Perisai baik secara tekstual maupun kontekstual. Secara kontekstual berkaitan dengan masyarakat pendukung, fungsi, estetika dan makna simbolis. Tekstual, berkaitan dengan bentuk tari itu sendiri yang meliputi elemen komposisi tari yang terdiri dari gerak, penari, musik, busana, rias, pola lantai dan tempat pertunjukan. Adapun tujuan penulisan buku ini adalah: 1. Untuk mengungkap bentuk pertunjukan tari tradisi Podang Perisai di Desa Koto Tinggi Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Riau. 2. Untuk mengetahui fungsi dan makna gerak Tari Podang Perisasi Di Koto Tinggi Kecamatan Pangean Kabupaten Singingi Riau. 3. Untuk mengetahui pengembangan inovasi Tari Podang Perisai menjadi tari modern.

C. Manfaat

Setelah mahasiswa membaca buku yang berjudul “Pengembangan Tari Podang Perisai di Kuantan Singingi Riau”,

6 Y Sumandiyo Hadi, Seni dan Ritual Agama (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2003), 14.

4 maka mahasiswa akan bisa memahami dan menjelaskan pengembangan Tari Podang Perisai secara kontekstual dan tekstual. Selanjutnya mahasiswa dapat mengaplikasikan ke tari tradisi lain yang diajarkan di jurusan tari.

D. Tujuan khusus perkuliahan

Setelah anda membaca buku ini, anda dapat menjelaskan : 1. Masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Riau) dalam perspektif budaya. 2. Keberadaan tari tradisi Podang Perisai di Desa Kototinggi Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi (Riau). 3. Pengembangan Tari Podang Perisai dari Kuantan Singingi Riau.

5

6 BAB II MASYARAKAT KABUPATEN KUANTAN SINGINGI (RIAU) DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

A. Sekilas tentang Wilayah Kuantan Singingi

uantan pada saat sekarang sudah mulai dikenal di Indonesia maupun mancanegara karena adanya satu K tradisi Pacu Jalur di sungai yang terdapat di tengah- tengah Kota Kuantan itu sendiri. Pacu Jalur adalah sebuah pesta rakyat masyarakat budaya Melayu Kuantan Singingi yang selalu diselenggarakan tiap tahun oleh pemerintah daerah setempat yang dijadikan agenda tahunan tepatnya dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pacu Jalur ini merupakan kegiatan pacu sampan yang dalam satu sampan tersebut terdiri beberapa orang.

Dalam pesta rakyat ini juga ditampilkan seluruh bentuk kesenian rakyat yang ada. Seni pertunjukan pun ikut mengambil bagian baik berupa tari tradisi mapun musik tradisi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pergeseran nilai fungsi pasti terjadi. Misalnya, semula tari bermuatan fungsi ritual maka pada acara ini bergeser pada nilai hiburan.

Perkembangan daerah Kuantan dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Wilayah adat yang terkait dengan terlahirnya Kuantan Singingi; dan (2) Kuantan dalam wilayah pemerintahan Republik Indonesia.

7 1. Wilayah Adat Kuantan Singingi

Kata Kuantan adalah nama batang atau sungai yang cukup lebar dan dalam yang mengalir di daerah tersebut. Putera daerah lebih lazim menggunakan istilah batang daripada sungai untuk Batang/Sungai Kuantan. Pada periode-periode berikutnya tanpa diketahui dengan pasti maka wilayah ini disebut dengan daerah Kuantan. Sedangkan kata Singingi berkemungkinan dari Batang Singingi yang ditumbuhi hutan lebat. Di situ banyak ditemui sejenis kumbang ngiang-ngiang yang mengeluarkan bunyi ngiang-ngiang dan akhirnya berubah kata menjadi singiang-ngiang, pada perubahan terakhir menjadi Singingi. 7 Aspek pemberian nama yang diambil dari peniruan bunyi ini dikenal dengan istilah onomatope.8

Menyimak karya tulis UU. Hamidy menerangkan bahwa satu-satunya sumber yang dijadikan sebagai bukti tentang wilayah adat Melayu Kuantan hanya bisa dirujuk melalui bidal yang berbunyi:

Rantau dituruik dengan undang Tobing ditingkek dengan jonji (Rantau diturut dengan undang Tebing ditingkat dengan janji)

a. Rantau Diturut dengan Undang

Makna yang terkandung dalam bidal ini yaitu pada mulanya leluhur mereka mencari lahan baru di sepanjang Batang (Sungai) Kuantan yang merupakan daerah yang tak bertuan, sehingga tidak menyalahi undang-undang negeri asal. Disebabkan oleh daerah ini merupakan daerah baru, atas dasar ini maka daerah ini disebut daerah rantau baik oleh penduduk setempat maupun luar daerah. Sementara itu oleh orang disebut sebagai wilayah paling ujung dari

7 Wawancara dengan Saleh, tanggal 20 Juni 2007. 8 Abdul Chaer, Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 45.

8 Minangkabau. Secara undang-undang hal ini tidak menyalahi hukum karena waktu iu tidak ada unsur paksaan atau merebut dari kekuasaan orang lain.

Rantau Kuantan dalam sejarahnya tanpa diketahui tahun adanya mempunyai julukan Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua. Diperkirakan Kerajaan Kandis merupakan kerajaan tertua yang pernah ada dan terletak di Padang Candi dekat Kecamatan Lubuk Jambi. Kerajaan Kandis kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Kuantan yang kemudian pusat pemerintahannya dialihkan ke Sintuo (di seberang kota Kuantan). Diduga runtuhnya Kerajaan Kandis disebabkan oleh serangan Kerajaan Melayu Darmasraya Jambi. Kerajaan di Kuantan Hanya dibina oleh pembesar-pembesar kerajaan saja.9 Memang sangat sulit untuk membuktikan apakah kerajaan di sini dulunya pernah ada atau tidak, tetapi bukti lain menyatakan bahwa masih ada garis keturunan yang mencoba mempertahankan nilai-nilai budaya dari kerajaan tersebut. Tidak terangkatnya ke permukaan tentang kerajaan ini merupakaan hal yang logis, karena ia merupakan kerajaan yang kecil. Sartono Kartodirjo mengulas tentang hal ini sebagai berikut:

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada lokasi yang kecil, desa atau kota kecil pada umumnya, tidak menarik perhatian karena tidak mempunyai dampak luas; jadi, tidak penting. Namun adakalanya sejarah lokal sangat menarik oleh karena mengungkapkan soal-soal kemanusiaan secara khusus. Terdapat di dalamnya pola-pola kelakuan tertentu yang merupakan bahan perbandingan dengan kasus lain.10

9 UU. Hamidy. Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau (Pekan Baru: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu (Melayulogi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1985), 1-2. 10 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 73-74. Berkemungkinan besar terjadinya perbedaan antara Melayu yang terdapat di Riau dengan Kuantan sendiri disebabkan oleh pola-pola kelakuan yang telah dibentuk oleh kerajaan setempat, akan tetapi hal ini butuh pengkajian yang lebih mendalam.

9 b. Tebing Ditingkat dengan Janji Kalimat ini memberi petunjuk bagaimana orang Melayu Kuantan Singingi membangun negeri dalam membentuk perkampungan Melayu Kuantan baru. Disebabkan oleh daerah ini pada awalnya termasuk dataran rendah yang rawan akan banjir maka dibuat satu mufakat secara bersama untuk membuat tebing samping kiri dan kanan. Tebing yang telah menjadi tinggi inilah yang mereka namakan dengan koto, yakni sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan. Di samping itu juga telah disepakati pembagian wilayah yang akan dijadikan sebagai perkampungan. Sistem matrilineal dalam penentuan wilayah dijadikan sebagai acuan dalam pembagian wilayah yang akan menjadi cikal bakal negeri. Satu negeri ini akan dipimpin pula oleh pemangku adat secara kolektif. Begitu juga beberapa negeri yang berdekatan bergabung menjadi satu akan menjadi luhak yang nantinya dipimpin oleh seorang pucuk adat yang bergelar datuk. Gabungan beberapa buah luhak ini akhirnya membentuk rantau yang disebut federasi luhak. Mereka melaksanakan tokuk rambah (merembah hutan belantara) untuk dijadikan tanah pekarangan, ladang, dan kebun. Dari hasil kerja keras ini didapat empat jenis rantau yang punya otonom sendiri, yaitu: 1. Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua, yakni: Rantau Kuantan yang terdiri dari beberapa luhak dengan jumlah negeri sebanyak sembilan belas buah. Ini yang dimaksud dengan rantau nan kurang oso duo puluo (rantau yang kurang dari dua puluh). 2. Rantau Sungai Tonang yang di bawah kepemimpinan Andika Nan Empat Puluh Empat (nama lain dari Kampar) 3. Rantau Sungai Dore adalah daerah otonomi Batanghari Jambi. 4. Rantau Singingi.11

11 UU. Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi (Pekan Baru, 2000), 7- 10. Diakui satu kelemahan buku ini tidak menyebutkan asal-muasal penduduk Melayu yang mencari wilayah baru yang sampai ke Rantau Kuantan Singingi. Penulis berpraduga bahwa mereka ini datang dari daerah

10 Terbentuknya satu daerah baru penduduk Kuantan Singingi membuat satu undang-undang dan janji terhadap wilayah baru sebagai acuan adat hidup bersama secara verbal yang harus disepakati, yang berbunyi:

Adat basondi buek Buek basondi saiyo sakato Koko kek jonji Tugua kek pabuektan

(Adat bersendi perbuatan Perbuatan bersendi seiya sekata Kokoh pada janji Teguh pada perbuatan).

Tanpa diketahui angka tahun munculnya tokoh besar adat berikut sebagai perancang filsafat hidup masyarakat Kuantan Singingi, yaitu Maharaja Sang Sapurba (pernah jadi raja di Kuantan kemudian di Minangkabau) yang disebut dengan kelarasan Koto Piliang12 (piliang diartikan sama dengan pilihan) yang identik dengan kata yang benar. Adapun rancangan hidup yang digariskan oleh tokoh adat ini berbunyi sebagai berikut:

Pimpinan kelarasan Koto Piliang Benar tak boleh dilihat Hukum tak boleh dibanding Berjenjang naik bertangga turun

Melayu terdekat, yang diperkirakan dari daerah Riau itu sendiri karena bila dilhat dari aspek diyang tidak jauh berbeda dengan Melayu Riau. 12 Di Minangkabau Koto Piliang ini adalah sebagai tokoh utama adat (pencetus) yang bernama Datuk Ketemanggungan, sebagai pasangan dari Datuk Perpatih Nan Sabatang sebagai pencetus kelarasan Budi Caniago. Datuk Ketamanggungan dikenal dengan sistem demokrasi sedang Datuk Perpatih Nan Sabatang agak otoriter. Wilayah adat Kuantan Singingi dalam buku dan pepatah adat Minangkabau disebutkan juga sebagai wilayah rantau dari Kerajaan Minangkabau. Tanpa diketahui mana yang benar asal-muasal tokoh ini, yang jelas di sini hanya memaparkan dua informasi sejarah yang perlu ditindak-lanjuti oleh orang yang memiliki latar belakang pendidikan sejarah.

11 Tidak beraja pada mufakat Tapi beraja pada daulat Pusaka turun pada anak Sesuai dengan hukum syarak.

Di wilayah adat lain (Bukit Siguntang) Sultan Maharaja Diraja yang bergelar Datuk Demang Lebar Daun yang akan diangkat menjadi raja oleh pemangku adat Melayu pun membuat azas pemerintahannya yang berbunyi:

Raja tidak akan menista rakyat, rakyat tidak akan durhaka kepada raja. Barang siapa mengubah janji itu dibalikkan Allah hubungannya ke bawah. Kaki tiangnya ke atas.

Berdasarkan riwayat pembentukan wilayah Rantau Kuantan Singingi dapat disampaikan nama-nama daerah territorial adat seperti di bawah ini: 1. Luhak Empat Koto di Atas, yang terdiri atas: Sampu Rago, Lubuk Ambacang, Lubuk Jambi Koto Tuo, Sungai Pinang. Luhak ini dipimpin oleh Datuk Pobo dengan gelar Datuk Patih yang berkedudukan di Bukit Ambacang. 2. Luhak Limo Koto di Tongah yang terdiri dari daerah: Kari, Teluk Kuantan Siberakun, Simandolak Sibayo. Sebagai pucuk pimpinan waktu itu adalah Datuk Bandaro Lelo Budi yang berkedudukan di Kari. 3. Luhak Empat Koto di Mudik yang terdiri atas: Gunung, Toar, Teluk Ingin, Lubuk Tarontang. Wilayah ini juga dipimpin oleh Datuk Bandaro Lelo Budi dengan pusat pemerintahan di Gunung. 4. Luhak Empat Koto di Mudik terdiri atas: Pangean, Basrah, Inuman, Cerenti. Tampuk pemerintahan adat di bawah kekuasaan Datuk Simambang yang berkedudukan di Inuman.

12 Empat luhak yang ada ini kemudian berkembang menjadi lima luhak, yaitu: Luhak Empat Koto, Luhak Limo Koto di Lubuk Jambi, Luhak Limo Koto di Tengah, Luhak Empat Koto di Hilir, dan Luhak Cerenti. Setelah bergabungnya wilayah Lubuk Jambi dan Lubuk Ramo maka daerah adat Kuantan Singingi berjumlah sebanyak sembilan belas negeri. Hal inilah maka munculnya nama lain dari Kuantan Singingi dengan julukan Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua,13 yang berarti negeri yang kurang satu dari dua puluh.

2. Kuantan dalam Wilayah Pemerintahan RI

Kabupaten Kuantan Singingi adalah satu kabupaten yang baru di era reformasi untuk Provinsi Riau. Semula kabupaten ini termasuk wilayah Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Provinsi Riau. Secara geografis diakui jarak antara Kota Kuantan dan ibu kota kabupaten itu sendiri (Rengat) cukup jauh. Hal ini disebabkan oleh terlalu luasnya wilayah teritorial untuk sebuah Kabupaten Inhu.

Ini terbukti dengan pembagian wilayah Rantau Kuantan saja terdapat empat kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuantan Mudik, Kecamatan Kuantan Tengah, Kecamatan Kuantan Hilir, Kecamatan Cerenti.14 Masing-masing kecamatan ini bila dilihat luas daerah untuk kecamatan tergolong cukup luas dan diperkirakan tidak terjangkau oleh seorang camat untuk mengontrol dan membangun di segala bidang untuk wilayahnya. Pada saat sekarang Kuantan telah menjadi dua belas kecamatan.

Dampak dari semua ini, wilayah Kuantan sangat lamban dalam mengembangkan diri di segala aspek pembangunan, karena melihat letak geografi dari daerah ini merupakan daerah perlintasan dari Pekan Baru dan Tembilahan/Rengat menuju Kiliran Jao Sumatera Barat (daerah persimpangan menuju provinsi tetangga lainnya). Sementara itu, Kuantan dari segi

13 UU. Hamidy. Op. cit., 7-20. 14 UU. Hamidy. Op. Cit., 3.

13 potensi kekayaan alam dan budayanya sangat menjanjikan untuk maju dan berkembang. Jika melihat kondisi sekarang ini Kabupaten Kuantan Singingi terlihat jauh lebih maju dalam segala aspek bila dibandingkan saat masih dalam satu atap dengan Kabupaten Indragiri Hulu.

Hal ini disebabkan oleh Kuantan yang semula terdiri dari empat kecamatan yang cukup luas, sekarang telah dibagi menjadi dua belas kecamatan. Adapun kecamatan itu terdiri dari: Kecamatan Cerenti, Kecamatan Inoman, Kecamatan Kuantan Hilir, Kecamatan Kuantan Tengah, Kecamatan Kuantan Mudik, Kecamatan Hulu Kuantan, Kecamatan Pangean, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kecamatan Benai, Kecamatan Gunung Toar, Kecamatan Singingi, dan Kecamatan Singingi Hilir. Setelah Teluk Kuantan (sering juga disebut dengan Kabupaten Kuantan Singingi) menjadi sebuah kabupaten, terlihat kemajuan yang pesat dan merata di seluruh kecamatan. Pendapatan perkapitanya pun terlihat lebih meningkat.

B. Tanah Ulayat

Disebabkan oleh pencarian daerah baru dan kemudian mereka membentuk sebuah komunitas dalam satu negeri, maka secara otomatis mereka menyiapkan seluruh tanah untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat. Mulai dari tempat tinggal hingga tanah pekuburan baik untuk sepersukuan maupun untuk negeri. Dalam Masyarakat Melayu Kuantan Singingi hal ini disebutkan dengan istilah tanah ulayat.

Hamidy menyebutkan bahwa tiap puak Melayu biasanya mempunyai hutan tanahnya masing-masing. Hutan tanah inilah yang disebut dengan ulayat, yang berarti wilayah, sementara itu puak identik dengan kaum. Tanah ulayat ini menjadi milik seluruh anggota kaum atau suku. Tanah ini merupakan harta pusaka yang tidak boleh diperjual-belikan. Setiap generasi hanya memiliki hak pakai dan memelihara. Melihat jenisnya maka tanah ulayat ini terdiri atas: (1) tanah pekarangan; (2) tanah peladangan; (3) rimba simpanan; (4)

14 padang pengembalaan dan tanah kandang; (5) tanah perkuburan; (6) rimba kepungan sialang; (7) tanah koto. Ketujuh jenis tanah ulayat ini dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok:

1. Tanah Pekarangan Tanah pekarangan yang disebut juga dengan parolak, yang dimiliki oleh persukuan yang sistem pewarisannya melalui garis ibu (matrilineal). Tanah perkuburan, tanah koto, dan rimba kepungan sialang termasuk klasifikasi tanah pekarangan. Tanah pekarangan adalah tanah yang dijadikan sebagai perumahan bagi masyarakat yang minimal terdiri dari empat suku. Di sana tersedia tanah untuk kepentingan bersama berupa tempat latihan , mesjid, dan lain-lain yang dianggap penting serta mungkin untuk disediakan. Sementara itu perkuburan bisa saja berlaku untuk persukuan dan atau milik negeri yang letaknya tidak jauh dari perkampungan. Rimba kepungan sialang merupakan hutan yang terletak dekat perkampungan itu sendiri, yang artinya bukan hutan liar.15

2. Tanah Peladangan dan Kebun

Tanah Peladangan pada awalnya juga termasuk milik suku atau kaum dengan sistem pemilikan pada awalnya dibagi- bagi sesuai dengan jumlah kerabat ibu perempuan. Letak tanah peladangan ini terletak sesudah rimba kepungan sialang. Dahulu sekitar tahun 1960-an orang masih dapat membuka lahan baru dari rimba belantara, saat sekarang lahan ini dapat dikatakan sudah habis. Tanah peladangan ini diolah dalam bentuk sawah yang mengandalkan air hujan dan ladang yang ditanami padi (sawah kering). Untuk sawah yang berdekatan dengan air sungai Batang Kuantan tidak menemui kesulitan dengan sistem irigasi, tetapi sawah yang mengandalkan air hujan sering mengalami gagal panen. Dalam istilah daerah tentang sawah ini disebut dengan ladang. Ladang yang berdekatan dengan sungai disebut dengan ladang barua, sedangkan ladang yang berada di daratan

15 Ibid., 63-64

15 tinggi disebut dengan ladang kasang. Ladang kasang dijadikan sebagai ladang cadangan jika ladang barua mengalami gagal panen. Dua jenis tempat bercocok tanam ini merupakan sektor andalan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan beras pihak kaum. Tentu luas tanah pemilikan tidak lagi seperti dahulu kala. Jika dulu keturunan satu kaum jumlahnya masih sedikit pada periode sekarang mereka sudah berkembang. Sementara itu luas tanah selamanya tidak akan bertambah, dan pembagian tanah mengakibatkan luas tanah tadi menjadi sedikit menurut pembagiannya.

Rimba belantara yang pohon kayunya ditebang mereka jadikan sebagai kebun. Proses hutan belantara jadi kebun secara kronologis digarap pertama adalah memangkas seluruh pohon yang ada. Kedua, bekas penebangan setelah kering mereka bakar, sehingga warna tanah agak kehitaman oleh arang kayu. Kondisi ini mereka manfaatkan untuk penanaman padi, sayur-sayuran, buah-buahan yang berbatang seperti: nangka, pisang, pepaya dan lainnya. Setelah padi mulai tumbuh dengan subur, mereka selingi dengan tanaman karet, yang berikutnya menjadi perkebunan karet rakyat sehingga wilayah budaya ini terkenal dengan produksi karetnya.16

3. Rimba Simpanan

Rimba simpanan adalah hutan yang menjadi milik suatu negeri yang merupakan rimba belantara dan belum dimanfaatkan seutuhnya. Dikatakan sebagai rimba belantara didasari oleh adanya satu kesadaran tentang tempat bersemayamnya tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, dan hewan lainnya yang dianggap sebagai cadangan kekayaan alam yang akan dimanfaatkan saat dibutuhkan nanti. Posisi rimba belantara ini terletak paling jauh dari tanah pekarangan yang biasanya berupa perbukitan-perbukitan dan jauh sekali dari perumahan penduduk. Ada hal yang menarik, sebagai tolak ukur luas tanah peladangan dan kebun dengan rimba simpanan ditentukan oleh lama perjalanan atau sejauh bunyi alat bunyi-

16 Ibid., 65.

16 bunyian (diperkirakan gong). Sebagai tolak ukur luas bidang tanah peladangan dan perkebunan diambil dari sejauh bunyi kokok ayam jago. Rimba simpanan diukur dari tebing sungai Batang Kuantan, sementara itu luas untuk rimba kepungan sialang diambil dari sejauh burung murai berkicau.17

C. Struktur Masyarakat Adat dan Kehidupannya Kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial yang terdapat dalam satu lokasi tertentu adalah bentuk-bentuk struktur dari masyarakat. 18 Masyarakat tersebut hidup tidak terlepas dari aturan-aturan dan ikatan-ikatan yang berlaku umum dalam kelompok itu sendiri. Ketergantungan individu terhadap kehidupan kelompok lebih besar dari pada ketergantungan makhluk lain manapun. Hakikat kehidupan kelompok adalah interaksi, saling bertukar aktivitas antara anggota-anggotanya. Proses interaksi sosial menggerakkan dua proses lain pada umumnya. Pertama, integrasi sosial, yakni kecenderungan untuk saling menarik, tergantung dan menyesuaikan diri. Kedua, diferensiasi sosial, yakni kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan seperti perbedaan menurut ciri-ciri biologis antara manusia. Kedua proses ini merupakan proses sosial yang mendasar, yang artinya bahwa kedua faktor ini saling pengaruh dan mempengaruhi perilaku kelompok secara mendalam dan menyeluruh. Dalam kenyataan hidup bermasyarakat selalu ditemui faktor atau unsur yang menimbulkan terjadinya suatu diferensiasi. Pertama, diferensiasi tingkatan (rank differentiation), yang muncul disebabkan oleh distribusi suatu barang yang dibutuhkan. Kedua, diferensiasi fungsional (functional differentiation) atau pembagian kerja yang muncul disebabkan oleh bervarasinya jenis-jenis pekerjaan. Ketiga,

17 Ibid., 66-67. 18 Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), 141.

17 diferensiasi adat (custom differentiation), muncul karena aturan berperilaku yang tetap berbeda menurut situasi tertentu.19 Melihat kondisi penduduk, Kabupaten Kuantan Singingi (sebut: Teluk Kuantan) sekarang ini memiliki struktur masyarakat yang heterogen, yang tidak hanya didatangi oleh masyarakat provinsi tetangga, lebih jauh sudah didatangi oleh penduduk yang berasal dari Cina dan Pulau Jawa. Mereka di sini hidup tenteram dalam satu payung adat yang berlaku di wilayah ini yaitu adat Melayu, walaupun dalam kenyataannya penduduk pendatang masih saja mempertahankan adat istiadat negeri asal, itupun hanya terbatas pada komunitas mereka sendiri. Seperti yang disebutkan oleh UU. Hamidy bahwa penduduk Rantau Kuantan sebagian besar terdiri dari suku Melayu setempat. Suku-suku yang berasal dari daerah Indonesia lainnya memperlihatkan kecenderungan yang kuat dan hampir menyamai Suku Melayu yang ada. Suku Minangkabau dan Jawa merupakan dua suku yang sangat dominan sebagai kaum pedatang, kemudian keturunan Cina dalam jumlah yang sangat terbatas sangat berpengaruh di sektor perekonomian.20 Memahami struktur masyarakat adat Teluk Kuantan akan terlihat pada “pemegang teraju” (pemegang kendali pimpinan) yang dikenal dengan lapisan masyarakat paling atas yaitu sembilan orang datuk dengan wilayah territorial masing- masing yang disebut urang godang (orang besar). Dalam adat mereka ini disebut “pucuk bulat dan urat tunggal dalam luhak”. Pembagian wilayah tertera dalam ungkapan adat tanah lah babingka, luhak lah bekabung, rantau beraja (wilayah kekuasaan telah dibentuk, wilayah kekuasaan sudah dibagi-bagi atas beberapa negeri, tiap negeri mempunyai seorang pemimpin). Ciri dari pakaian mereka terlihat memakai pakaian melayu teluk belanga warna kuning, bersarung kain Melayu, kopiah (peci) berpita hitam kain beludru, memakai pending emas, dan keris pusaka.21

19 Kaare Svalastoga, Diferensiasi Sosial. Terj. Alimandan (Jakarta: PT Bina Aksara, 1989), 1. 20 UU. Hamidy, op. cit, 20. 21 UU. Hamidy, op. cit., 25.

18 Kerapatan 9 datuk Federasi Rantau Kuantan & Singingi ↓ Datuk (Urang Godang) Pemegang teraju Luhak ↓ Ninik-Mamak Pemegang teraju Negeri ↓ Penghulu, Monti, Dubalang, Malim Pemegang teraju Suku ↓ Anak Kemenakan Penduduk Negeri

Gambar 1. Susunan Jabatan Pemangku adat.22

Pada lapisan kedua (di bawah urang godang) terdapat lapisan masyarakat yang bertugas sebagai pemangku adat yang memimpin negeri dan kaumnya di dalamnya terdapat empat suku utama. Di Teluk Kuantan misalnya, ada empat suku utama; Suku Tigo, Suku Ompek, Suku Limo, dan Suku Onam. 23 Di Kecamatan Pangean, tempat lahir dan berkembangnya Tari Podang ditemui empat suku asli berupa: Suku Cermin, Suku Melayu, Suku Palian, dan Suku Mandailing. 24 Sebagai bentuk jabaran dari struktur lapisan masyarakat tingkat atas, setiap suku dipimpin oleh tiga orang pemangku adat, yaitu: penghulu, monti, dubalang. Ketiga tokoh ini kemudian dibantu oleh tokoh agama (Islam) yang dikenal dengan gelar malim (malin). Penghulu sebagai jabatan tertinggi dalam suku, monti merupakan orang diberi kepercayaan sebagai pemangku adat yang memelihara norma-norma dan nilai-nilai adat dalam suku, sedangkan dubalang adalah pemangku adat yang mengambil tindakan bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma adat dan agama. Sementara itu malin yang diberi

22 UU. Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi (Pekan Baru: UIR Press, 2000), 27. 23 Ibid. 24 Wawancara dengan Saleh Ibrahim, 20 Juni 2007.

19 gelar suluh bendang negeri berarti orang yang mengerti tentang ilmu agama Islam dan memberikan penjelasan kepada komunitasnya tentang hak dan bathil.25 Di sini ada kesamaan dengan sistem kekerabatan dengan Minangkabau (Sumatera Barat) dalam penentuan garis keturunan yaitu diambil dari garis keturunan ibu (matrilineal).

Pada lapisan yang ketiga menurut Haliyusni tampaknya dapat dibenarkan yaitu anak negeri yang berarti anak dan keponakan dari para pucuk pimpinan dan pemangku adat lainnya,26 yang berada dalam posisi sebagai anggota masyarakat yang dipimpin. Di sini kemudian termasuk para kaum pendatang yang sudah menjadi masyarakat setempat yang keberadaannya sudah diakui secara adat. UU. Hamidy kembali mengulas, di era deutro Melayu (Melayu muda) diperkirakan sebagai era masuknya kaum pendatang yang langsung berasimilasi dengan budaya Melayu, dan kemudian diakui sebagai orang Melayu. Adapun syarat untuk mendapatkan pengakuan ini, paling tidak ada beberapa proses yang harus dilalui seperti berikut ini:

1. Telah melakukan perkawinan dengan keturunan Melayu tua (proto Melayu) maupun Melayu muda (deutro Melayu). 2. Perantau telah diterima oleh pihak kerajaan. 3. Disebabkan oleh telah begitu lama tinggal di wilayah Melayu dan berbaur dengan budaya Melayu. 4. Dengan cara mencari induk semang (orang yang mau memberikan perlindungan sosial), kemudian mencari orang yang akan dijadikan ibu angkat atau saudara. Untuk mendapatkan satu pengakuan ini maka diadakan upacara adat, dan di Kuantan dikenal dengan istilah gito yang berarti bersuka hati karena mereka telah resmi diterima dan menjadi sanak saudara dengan induk semang dan ibu angkat.27

25 UU. Hamidy.Op. cit., 25-26. 26 Wawancara dengan Haliyusni di Pangean, tanggal 25 Juni 2007. 27 UU. Hamidy. Op. cit., 3-5.

20 Terkait dengan penjelasan struktur masyarakat ini, terlihat secara jelas adanya tiga pengelompokkan diferensiasi sosial yang tergambar melalui adat istiadat. Di sini dapat dibenarkan apa yang dikatakan oleh Musa Asy’arie yang menyebutkan bahwa wujud kebudayaan itu terletak pada adat istiadatnya.28 Hal ini tidak menutup kemungkinan diferensiasi sosial dapat ditinjau dari aspek lain.

D. Adat sebagai Sistem Sosial

Sistem berasal dari Bahasa Yunani yang berarti hubungan yang tersusun dari sekian banyak orang; hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen- komponen secara teratur. Sistem mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Melalui pengantar di atas dapat disebutkan beberapa karakter sistem sosial tersebut, di antaranya adalah: (1) terdapatnya unsur-unsur yang saling berkaitan atau berhubungan dalam satu kesatuan; (2) terdapatnya himpunan bagian-bagian yang saling berkaitan di mana masing-masing bagian bekerja secara mandiri dan bersama-sama satu sama lain yang saling mendukung; dan 3) semuanya ditujukan pada pencapaian tujuan bersama atau tujuan sistem.29 Berbicara tentang adat dan sistem sosial ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dalam komunitas masyarakat tradisi. Koentjaraningrat menyatakan bahwa untuk memahami nilai-nilai suatu tradisi dalam masyarakat, orang dapat mengamati melalui adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut, sebab adat istiadat suatu masyarakat merupakan bagian terpenting dari sebuah kebudayaan.30

28 Musa Asy’arie, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI, 1999), 26. 29 H.R. Riyadi Soeprapto. Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern (Yogyakarta: Averroes Press, 2002), 30-31. 30 Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982), 7.

21 1. Klasifikasi adat Ada empat klasifikasi adat yang mengatur pola kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu Kuantan Singingi yang tidak berbeda dengan masyarakat Minangkabau, yaitu: a. Adat yang sebenar adat, yaitu adat yang bersumber dari Sang Pencipta dan tidak dapat diubah. Klasifikasi pertama ini adalah adat yang tidak rusak oleh ruang dan waktu, tidak akan layu dinjak dan tidak akan mati bila dianjak (dialih). Adat ini adalah satu kebiasaan yang berkiblat pada agama Islam) dan kata lain untuk sunatullah, seperti tampak pada gejala alam yang kemudian dijadikan guru (alam tekembang jadi guru), adat buluh bermiang, adat tajam melukai, adat api hangus, adat air membasahi. Jadi, sumber dari segala sumber yang dijadikan acuan kehidupan dalam kehidupan secara horizontal dan vertikal adalah Al-Qur’an dan Hadist. b. Adat yang diadatkan. Di sini adat yang kemudian dijadikan sebagai hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Adat ini dirancang oleh para tokoh masyarakat sejak awal Kuantan dijadikan wilayah rantau Melayu Kuantan Singingi. Dengan demikian maka adat yang diadatkan ini merupakan adat yang monumental dan tidak akan berubah, dan sama dengan adat yang sebenar adat. c. Adat yang teradat. Jiwa dari adat yang teradat ini adalah konvensi masyarakat atau sebuah keputusan yang berangkat dari hasil musawarah. Ranah dari adat yang teradat ini banyak berupa panduan budi pekerti yang kemudian menjadi milik bersama masyarakat Melayu Kuantan Singingi. Sebagai contoh: terkait dengan etika panggilan dalam keluarga, masyarakat, berkomunikasi, dan kerajaan. Dalam berkomunikasi yang banyak melibatkan segala lapisan masyarakat. Paling tidak ada empat kriteria yang harus diperhatikan. Pertama, “kata mendaki”, yaitu adat bertutur kata terhadap orang tuayang harus dihormati. Kedua, “kata melereng”, yaitu cara berbicara terhadap menantu yang mengharuskan penggunaan kata kiasan. Ketiga, “kata mendatar”, yaitu komunikasi terhadap teman

22 sebaya yang dapat menggunakan kata-kata langsung kepada pokok pembicaraan dan tidak menggunakan kiasan. Keempat, “ kata menurun”, yaitu cara berdialog terhadap orang yang usianya di bawah pembicara. Di sini seseorang dituntut untuk berbicara sebagai orang yang bijak, mendidik, dan enak didengar oleh pendengar. d. Adat istiadat. Klasifikasi ini berisikan tentang ketentuan yang berhubugan dengan alam dan harus ditularkan kembali pada generasi berikutnya. Contohnya: jika berladang yang dekat dengan ternak penduduk diharuskan memagar tanaman dan sebaliknya; jika orang sedang musim berladang sang punya ternak diharuskan mengembala ternak agar diikat, malam hari harus dikandangkan.31

2. Perkawinan

Dalam perkawinan adat pun mengatur secara seksama dan sedemikian rupa, dan ini menjadi satu keharusan serta wajib dilaksanakan. Pihak lelaki dan perempuan sebelum nikah diperkenankan untuk saling berkenalan sejauh tidak melanggar ketentuan adat dan agama. Ketentuan adat terkait dengan etika, seperti bertemu pada tempat-tempat terselubung, lewat tengah malam, dan lain-lain yang memancing keresahan masyarakat dianggap melanggar adat. Sementara itu, terkait dengan agama, kedua calon pasangan harus mematuhi apa yang telah digariskan oleh ajaran agama itu sendiri. Setelah kedua pihak merasa cocok maka langkah berikutnya adalah proses pertunangan. Pertunangan ditandai dengan pemberian tanda berupa cincin emas atau barang-barang berharga lainnya yang diserahkan oleh ninik-mamak pihak laki-laki kepada pihak ninik-mamak perempuan. Pihak ninik mamak perempuan inilah kemudian menyerahkan tanda ini sebagai simbol kepada pihak calon pengantin perempuan untuk selalu memakainya. Bila terjadi pelanggaran/pembatalan oleh pihak laki-laki tiada sangsi, anehnya bila pihak perempuan yang membatalkan pertunangan maka pihak perempuan wajib mengembalikan dua kali lipat dari

31 UU. Hamidy. Op cit., 159-160.

23 apa yang telah diberikan sebagai sangsi.32 Apabila cincin ini telah dikenakan oleh perempuan tadi dan selalu dipakai setiap hari pada jari manisnya maka ini merupakan simbol bahwa perempuan ini sudah ada yang punya. Tanda ini merupakan simbol yang mempunyai makna telah terjalinnya hubungan antara seorang lelaki dan perempuan yang sah menurut adat dalam satu wilayah budaya yang harus diindahkan oleh anggota masyarakat lainnya. Inilah yang merupakan salah satu contoh apa yang dimaksud oleh Victor Turner yang mengatakan bahwa simbol-simbol yang dominan menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial manapun, sebab makna simbol-simbol itu pada umunya tidak berubah dari zaman ke zaman dan “dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya”. 33 Sebagai pengantar agar pemahaman tentang simbol ini harus sama, maka berikut ini merupakan sebuah pandangan dari Dictionaryof Logic. The Liang Gie menyatakan bahwa simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap obyek. Di dalam simbol tersebut implisit tentang “isyarat” yang berarti suatu hal atau keadaan yang diberitahukan subyek kepada obyek. Sedangkan “tanda” suatu hal atau keadaan yang menerangkan obyek kepada subyek, terakhir “simbol” atau “lambang” suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subyek kepada obyek.34 Adanya masa waktu tenggang waktu bagi dua calon mempelai untuk saling kenal dan pendekatan hubungan kedua belah pihak juga untuk berunding tentang hal lainnya, maka periode berikutnya adalah periode nikah-kawin. Pernikahan akan diakui apabila dilaksanakan dengan cara Islam yaitu adanya: wali, pembacaan ijab qabul, mahar, dan saksi minimal dua orang. Lelaki yang sudah menjadi suami adalah merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan berhak mengurus rumah dan pekaranagan (tempat tinggal dan berladang pisang, kelapa,

32 Wawancara dengan Doli, 21 Juli 2017. 33 Victor Turner dalam F.W. Dillistone. Daya Kekuatan Simbol.Terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 114. 34 The Liang Gie dalam Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, 2001), 10.

24 enau, dan buah-buahan lainnya). Hak dan kewajiban suami ini tidak dapat dicampuri oleh ninik-mamak pihak perempuan.35

3. Kategori Orang Semenda

Tidak jauh berbeda tipe semenda yang ada di Kuantan Singingi dengan Minangkabau. Semenda adalah prediket atau status seorang laki-laki yang sudah berkeluarga bila berada di pihak keluarga perempuan. Dalam adat Melayu Kuantan Singingi terdapat enam tipe orang semenda36, yaitu:

a. Semenda Lapik bBuruk. Kategori Semenda lapik buruk ini tergolong pada menantu pemalas. Kegemarannya hanya bepergian, bercerita ke sana-sini sehingga kewajibannya sebagai suami tidak terlaksana.

b. Semenda Lengau Hijau. Kategori menantu seperti ini adalah pengibaratan sifat yang disamakan dengan lalat berwarna hijau yang dijadikan sebagai simbol. Lalat hijau ini di keseharian hidup dan terbang dan hinggap di tempat yang kotor, sehingga dalam tubuhnya itu sendiri banyak mengandung bakteri yang setiap saat dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Pengaplikasian pengibaratan ini adalah semenda dalam kehidupannya bermasyarakat banyak bergunjing, busuk hati, adu domba, dan lainnya yang tergolong pada perbuatan yang meresahkan masyarakat. Tanggung- jawabnya sebagai seorang suami dapat dikatakan tidak terlaksana dengan baik.

c. Semenda Kacang Miang. Kategori menantu semenda kacang miang termasuk golongan menantu yang juga tidak baik. Kacang miang adalah sejenis kacang yang punya rambut halus sebagai pembalut kulitnya. Daun dan buahnya bila tersenggol oleh orang maka akan terasa gatal yang tak henti-hentinya. Kacang miang ini juga

35 UU. Hamidy. Op. cit., 161. 36 Wawancara dengan, Ilyas, tanggal 22 Juli 2002

25 merupakan pengibaratan terhadap orang-orang yang mempunyai sifat seperti ini. Dalam kehidupannya bermasyarakat sering menimbulkan persengketaan, memfitnah, dan suka mencari muka untuk mendapatkan sesuatu. Jadi di sini kacang miang dijadikan simbol bagi orang yang mepunyai sifat seperti ini. d. Semenda Ayam Gedang. Sejenis unggas yaitu ayam jago (ayam gedang) dijadikan simbol untuk menantu yang mempunyai sifat seperti ini. Sifat ayam jago dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat yaitu suka bertarung dan mengejar ayam jantan lain apabila betina di sekitarnya akan diusik. Jadi di sini pengaplikasian sifat ayam jago tersebut terlihat pada sifat seorang suami yang ingin menguasai istri seutuhnya dan tidak memberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Istri secara harafiah dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu seperti ayam jago. e. Semenda Kungkung Dapur. Menantu seperti ini adalah menantu yang diibaratkan sebagian dari kerja rutinitasnya memasak di dapur. Lebih naasnya adanya kata kungkung yang bermakna mengungkung diri yang bertempat di dapur. Sifat ini dijadikan simbol bagi lelaki yang dalam kehidupannya tidak menampakkan sifat seorang pria sejati. Dalam penampilannya cenderung agak keperempuanan dan tidak tegas bagaikan seorang laki-laki, lebih jauh ia tidak mampu bersosialisasi secara baik sesuai kodratnya sebagai seorang laki-laki. f. Semenda Ninik-Mamak. Inilah jenis semenda yang sangat didambakan oleh calon mertua. Ninik-mamak adalah sebuah prediket yang disandang oleh seorang laki-laki yang dipercayai sebagai tokoh adat. Bila dalam satu negeri terdapat empat suku, sedangkan dalam satu suku terdapat empat orang tokoh adat (penghulu, monti, dubalang, dan malim), maka total jumlah tokoh adat yang juga disebut “orang patut” dalam satu negeri

26 adalah sebanyak enam belas orang. Orang-orang inilah yang disebut dengan ninik-mamak.37 Dengan demikian maka seorang calon menantu yang ideal tersebut adalah orang yang memiliki kemampuan di bidang: kepemimpinan, agama, bela diri, dan pengetahuan adat. Keempat aspek ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya sehari-hari.

E. Peran Lembaga Adat dalam Kesenian Dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu Kuantan Singingi memposisikan seni khususnya seni musik dan seni tari dalam dua posisi. 1. Seni Musik

Masyarakat adat dahulunya tidak mengenal dengan istilah musik. Menyimak dari sekian banyak informan seniman tradisi yang ada maka konsep istilah musik pada hakikatnya berdekatan dengan aspek bunyi-bunyian yang mereka sebut dengan rarak. Istilah rarak ini sejenis alat musik tradisional yang terdiri dari: gong besar, gong kecil, gendang besar panjang, rebana, dan calempong (sama dengan di Sumatera Barat). Bararak berarti suatu kegiatan yang berarti aktivitas membunyikan instrumen musik yang disebutkan di atas.

UU. Hamidy kembali menjelaskan tentang konsep rarak dalam kehidupan masyarakat adat Kuantan Singingi. Pertama, ditujukan kepada instrumen oguang (gong), gondang (gendang) rebana, dan calempong. Kedua, kata rarak menunjukkan jenis perangkat atau kesatuan alat bunyi-bunyian tersebut, seperti rarak oguang, rarak gondang-gondang atau rarak jalur, rarak calempong onam, dan sebagainya. Ketiga, konsep rarak merujuk pada musik yang disajikan. 38 Teknik permainannya terdengar seperti interlocking antara sesama instrumen yang digunakan.

37 UU. Hamidy. Op. cit., 26. 38 Ibid., 133.

27 Fungsi rarak ini digunakan untuk mengiringi ritual- ritual yang ada dalam tari, ritual adat, dan ritual bernuansa keagamaan. Di sini terlihat bahwa seni musik tradisi secara tak langsung dilindungi oleh adat mereka. Hal ini tergambar pada saat para pemangku adat ingin menyelesaikan suatu masalah atau melaksanakan rapat di Balai Nan Godang (Balai Nan Besar). Seperti yang tertulis dalam buku UU. Hamidy, yang merupakan pidato adat dalam acara persidangan di Balai Adat yang merupakan simbol Balai tersebut berbunyi sebagai berikut:

Rarak digugua di balai nan godang nan batiang tore jilatang, basondi garoman gaja baparan si akar lundang, batabua si puluik-puluik bagondang siliguri bagotang jo jangek tumo digugua jen ikuar moncik. 39

(Rarak ditebuh di Balai Nan Besar, yang bertiang teras jelatang bersendi gusi gajah berperan si akar lundang bertabuh si pulut-pulut bergendang siliguri ditempel dengan kulit tumo dibunyikan dengan ekor tikus).

Pada pidato adat yang menggambarkan sifat simbol Balai di atas memperlihatkan posisi musik tradisi yang merupakan bagian penting dalam upacara adat dan dilindungi oleh adat Melayu Kuantan Singingi itu sendiri. Bila ditelaah

39 UU. Hamidy. Sikap Orang Melayu terhadap Tradisinya di Riau (Pekan Baru: Bumi Pustaka, 1982), 36-39. Kata-kata yang digunakan dalam pidato adat ini tidak dapat dipahami bila sekedar mengerti melalui persamaan kata dalam Bahasa Indonesia saja. Di sini pada umumnya pemakaian perumpamaan terhadap benda lain yang nantinya menggambarkan tentang sifat simbol yang digunakan dalam Balai tersebut. Disebabkan oleh kepentingan penelitian ini dirasa tidak membutuhkan penjelasan hal ini maka pengupasan makna dari simbol yang ada dalam pepatah adat ini tidak dilaksanakan. Terkait dengan rarak sebagai pembuka kata di sini tidak dijelaskan sama sekali.

28 lebih jauh dapat berarti bahwa pada zaman dahulunya bila ada suatu peristiwa yang ingin diperbincangkan di Balai Adat maka dalam seremonial adat tersebut rarak (musik) menjadi sarat mutlak untuk diperdengarkan kepada kalayak ramai. Adapun tujuannya adalah sejenis “media pemberitahu” kepada masyarakat umum bahwa para pemangku adat sedang melaksanakan ritual penting dan masyarakat di sekitar lokasi Balai Adat harus benar-benar saling menjaga keamanan dan ketertiban selama ritual sedang berlangsung. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan musik tradisi di wilayah budaya Melayu Kuantan Singingi dijaga oleh adat istiadat mereka.

2. Seni Tari

Seni tari tradisi yang ada di wilayah budaya Melayu Kuantan Singingi dalam kenyataannya hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya dan masyarakat umum. Tari ini merupakan kristalisasi dari pola kehidupan mereka seperti (a) Tari Manyakok, kehadiran tari manyakok ini dilatarbelakangi oleh kondisi alam yang mengharuskan mereka memanfaatkannya (menangkap ikan) dan kemudian terciptalah tari tersebut. Kondisi seperti ini oleh Alan Lomax disebutkan bahwa:

”…that the movement style in dance is a crystallization of the most frequent and crucial pattern of everyday activity.”40

(b) Tari Turun Mandi. Dikarenakan melibatkan segala lapisan masyarakat maka kehadiran tari merupakan kebutuhan mutlak masyarakat Adat Melayu Kuantan Singingi. Setiap yang berkeluarga apalagi mempunyai keturunan dapat dipastikan bahwa mereka akan melaui proses ritual “turun mandi”. Proses ritual turun mandi membutuhkan Tari Turun Mandi yang

40 Alan Lomax, Folk Song Style and Culture (New Jersey: Transaction Books, 1978), 226.

29 merupakan bagian terpenting dalam seremonial turun mandi sejak dari awal hingga turun mandi. Secara langsung dapat dipastikan bahwa Tari Turun Mandi merupakan tari adat masyarakat Melayu Kuantan Singingi, yang kehadirannya dilindungi oleh adat setempat. Dengan demikian, dapat pula dipastikan bahwa Tari Turun Mandi tidak akan punah selama adat Melayu Kuantan Singingi masih menjadi panduan dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini merupakan suatu eksistensi budaya, oleh Frederick Bart menyebutkan karena adanya butir- butir sebagai berikut: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi; dan (4) menentukan cirri kelompok yang keberadaannya diterima oleh kelompok lain.41

(c) Tari Podang Perisai. Tidak jauh dari kondisi di atas. Tari ini dilatarbelakangi oleh kemauan yang keras oleh pemuda- pemuda daerah untuk mempertahankan wilayah territorialnya dari serangan musuh yang ingin menguasai kampung halamannya. Jasa ini memberikan ide kepada seniman lokal untuk melahirkan ke dalam sebuah tari. Tampaknya tari ini sudah cukup tua yang ditandai dengan tidak diketahui lagi siapa pencipta, tahun berapa diciptakan, hanya saja para penyanggah kebudayaan ini mengetahui latar belakang terciptanya tari tersebut. Dampak dari semua ini, para penyanggah hingga sekarang masih mempertahankan tari tersebut sebagai tari tradisi mereka, yang diperkirakan memuat nilai-nilai kepahlawanan para leluhur mereka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa posisi musik (rarak) dalam adat merupakan bagian langsung dari adat, sedangkan tari di samping bagian dari adat juga memiliki muatan historis dan nilai hiburan. Diperkirakan kesenian yang di atas akan tetap bertahan karena masing-masing jenis kesenian di atas memiliki nilai dan sandaran yang cukup kuat untuk

41 Frederick Bart, Kelompok Etnik dan Batasannya. Terj. Nining Susilo (Jakarta: Gramedia, 1988), 11-12.

30 dipertahankan oleh para penyanggah kebudayaan Melayu Kuantan Singingi.

31

32 BAB III KEBERADAAN TARI TRADISI PODANG PERISAI DI DESA KOTOTINGGI KECAMATAN PANGEAN KABUPATEN KUANTAN SINGINGI RIAU

A. Sekilas tentang Geografi Negeri Asal Tari angean di Era Orde Baru hanya merupakan sebuah kenegerian (setingkat kelurahan) berubah status di Era P Reformasi menjadi sebuah kecamatan di tahun 1998, dengan ibu kabupatennya Kuantan Singingi. Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa wilayah budaya Melayu Kuantan Singingi dikatakan mempunyai wilayah sangat luas sehingga perkembangan di segala aspek sangat lamban, terbukti dengan melihat deskripsi berikut ini. Luas wilayah Kecamatan Pangean 13,42 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 14.706 jiwa dengan jumlah desa sebanyak 14 buah desa, yaitu: Desa Pembatang, Desa Padang Kunik, Desa Padang Tanggung, Desa Teluk Pauh, Desa Tanah Bekali, Desa Pulau Deras, Desa Pulau Kumpai, Desa Pulau Tengah, Desa Koto, Desa Sukaping, Desa Pulau Rengas, Desa Pauh Angit, Desa Rawang Binjai, dan Desa Baru Pangean.42 Walaupun penduduknya terpisah oleh batas wilayah pemerintahan berupa desa, akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat mereka tetap dalam satu payung yaitu payung adat Melayu Kuantang Singingi. Ada alasan penting mengapa mereka dikatakan dalam satu payung budaya Melayu Kuantan Singingi, yaitu: 1. Dalam sistem kawin secara global mereka mencari pasangan masih cenderung mencari di lingkungan budaya mereka

42 Badan Pusat Statistik. Pangean dalam Angka. (Kuantan Singingi: Badan Pusat Statistik, 2003), 1-2.

33 sendiri walaupun berbeda kampung atau kecamatan, yang artinya tumbuhnya generasi baru tetap saja mereka merupakan generasi baru yang berpotensi sebagai penerus budaya Melayu tersebut. Sistem kawin yang termasuk sistem budaya, dimana sistem budaya menyediakan model untuk bertingkah laku, diikat oleh norma-norma yang sudah ada, dan generasi berikutnya adalah ahli waris terhadap budaya tersebut. Mardimin mengatakan bahwa setiap generasi adalah pewaris kebudayaan. Anak manusia lahir tidak membawa kebudayaan dari ala “garbani”, akan tetapi tumbuh dan berkembang menjadi seorang insan yang dewasa dalam lingkungan budaya di mana ia dilahirkan.43 Ini berarti bahwa perkembangan manusia sangat dipengaruhi oleh masyarakat lingkungannya.

2. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi universal menggunakan bahasa Melayu setempat, walaupun sudah bercampur dengan masyarakat pendatang. Kaum pendatang pada umumnya sudah merupakan penduduk tetap yang diatur oleh adat, secara langsung mereka mengerti dan dapat berbahasa daerah setempat. Dengan demikian bahasa resmi yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Melayu Kuantan Singingi.

3. Hasil budaya setempat selalu dan akan terus begitu selamanya karena di Era Reformasi rasa kedaerahan tampaknya semakin kuat digalakkan. Salah satu ciri yang sangat menonjol adalah melalui wadah kesenian tradisi, baik tari maupun musik tradisi. Hal ini terbukti, di pesta memperingati Hari Kemerdekaan RI, pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintahan adat secara bersama- sama mengekspos budaya daerah dan dijadikan sebagai agenda tahunan yang berskala internasional dalam even pergelaran Pacu Jalur di Kuantan sebagai ibu kabupaten. Kesenian daerah selalu menjadi perioritas utama dalam acara pembukaan acara Pacu Jalur untuk mengikat dan memeriahkan pesta Pacu Jalur. Rasa memiliki bagi

43 Johanes Mardimin. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya menuju Masyarakat Indonesia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 120.

34 masyarakat Melayu Kuantan Singingi dalam kegiatan ini tampak begitu menonjol, karena saat pergelaran tampil justru respons yang begitu tinggi justru berasal dari putra- putri daerah sendiri. Padahal seperti yang diketahui apabila kegiatan ini bertaraf internasional maka pengunjung banyak berasal dari daerah lain, termasuk manca negara. Satu sisi kita juga memahami bahwa pengunjung yang berasal dari luar daerah datang di samping ingin mengenal budaya setempat juga ingin menghibur diri dengan pesona budaya tersebut.

Di sini diakui terjadinya pergeseran nilai-nilai dari masing- masing kesenian daerah. Malinowski mengatakan sebenarnya segala-bentuk aktivitas-aktivitas kebudayaan bertujuan untuk memuaskan serangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan kehidupannya. Sebagai contoh, kesenian diciptakan pada awalnya adalah suatu usaha untuk alat pemuas dari kebutuhan naluri manusia itu tentang keindahan. 44 Pada even ini jelas untuk memenuhi kepentingan politik Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi. Walaupun dalam kepentingan pemerintah daerah secara politik, tapi dampak positif langsung dirasakan oleh masyarakat adat Melayu Kuantan Singingi, baik secara finansial maupun kepentingan budaya setempat.

4. Usaha membangun rasa kedaerahan bagi putera-puteri yang berada di luar daerah pun terlihat sangat menonjol. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berusaha menjaga hubungan silaturahmi dengan saling mengunjungi dan berbagi rasa.

Empat belas desa di atas memiliki territorial dengan jumlah pemduduk sebagai berikut:

44 Periksa Bronislaw Malinowski, “ A Scientific Theori of Culture and Other Essays (1994)”, dalam Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 171.

35 Tabel 1 Luas wilayah dan jumlah penduduk masing-masing desa di Kecamatan Pangean (Badan Pusat Statistik Kec. Pangean, 2016)

No. Nama Desa Luas Desa Jumlah (Km²) Penduduk 1. Pasar baru Pangean 8,00 5466 jiwa 2. Koto Tingi Pangean 3,80 304 jiwa 3. Pulau Tengah 2,32 535 jiwa 4. Pulau Kumpai 12,00 1189 jiwa 5. Pulau Deras 7,40 822 jiwa 6. Tanah Bekali 18,20 853 jiwa 7. Teluk Pauh 11,80, 405 jiwa 8. Padang Tanggung 11,00 354 jiwa 9. Padang Kunyit 11,40 630 jiwa 10. Pembatang 12,60 867 jiwa 11. Pauh Angit 13,50 1623 jiwa 12. Sekaping 11,80 620 jiwa 13. Pulau Rengas 9,50 643 jiwa 14. Rawang Binjai 6,10 395 jiwa Jumlah 139,42 km² 14,706 jiwa

Secara umum, mata pencarian masyarakat Kecamatan Pangean sangat tergantung pada alam. Di sektor pertanian misalnya menduduki sektor yang dominan, yaitu 86%, perkebunan (karet dan sawit) 6,10%, peternakan (kerbau, sapi, unggas, dan tambak) 2,10%, pertukangan 2,30%, perdagangan 3,17%, dan pegawai negeri 1,33%.45 Rumah tempat kediaman masyarakat Pangean pada umumnya terletak di dua tempat yaitu daerah pinggiran sungai Batang Kuantan dan daratan. Di wilayah ini hidup secara rukun antara suku pribumi dan suku pendatang. Suku pendatang berasal dari suku Minangkabau, Jawa, Batak, dan Cina. Hadirnya penduduk yang berasal dari Batak dan Cina menunjukkan bahwa mereka bukanlah beragama Islam (Kristen). Sungguhpun mereka non-Muslim, dalam interaksi sosial tampak tidak mempermasalahkan tentang agama, mereka hidup dalam satu atap budaya adat Melayu. Memperhatikan

45 Ibid., 15.

36 gejala sosial yang muncul dalam keseharian, masalah agama merupakan urusan pribadi dan kaum dengan Sang Pencipta. Kondisi ini tampak berlaku universal untuk seluruh wilayah budaya Melayu Kuantan Singingi. Tampaknya untuk rumah ibadah non-Muslam tidak ditemukan satupun di wilayah budaya Melayu ini. Jika mereka ingin beribadah ke gereja tampaknya harus melakukan perjalanan yang cukup jauh yaitu ke Rengat (Ibu Kabupaten Inhu) lebih kurang empat jam perjalanan menaiki bus.

PETA LOKASI

Peta 1. Kecamatan Pangean tempat tumbuh dan berkembangnya Tari Podang Perisai (Sumber: Badan Statistik Kecamatan Pangean, 2016) Di wilayah Kecamatan inilah diperkirakan sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Tari Podang Perisai. Bila

37 memperhatikan informasi yang diberikan oleh tokoh budaya yang ada di daerah ini, Saleh Ibrahim, dahulunya tiga jenis tari tradisi ini merupakan tari yang sudah merakyat, sehingga hampir di seluruh kenegerian yang ada di Kuantan Singingi mempunyai grup atau kelompok tari yang lengkap.46 Untuk satu daerah yang berbentuk kecamatan ini, sangat besar sumbangsihnya terhadap wilayah budaya Melayu Kuantan dalam bidang seni yang memberikan ciri atau jati diri untuk wilayah Melayu ini. Di bidang seni tari saja, banyak ditemukan tari tradisi yang melekat langsung dengan adat istiadatnya, seperti: Tari Turun Mandi, Tari Timbang Timbo, Tari Manyakok, Tari Manangguak, Tari Podang Perisai, dan mungkin saja masih banyak lagi tari lainnya yang dulunya hidup dengan baik akan tetapi karena tidak ada perhatian khusus oleh pihak yang berwenang sehingga tari itu menghilang dengan habisnya generasi penerus. Bidang musik, yang sangat dibanggakan oleh penduduk setempat dan sangat dikenal oleh masyarakatnya adalah musik tradisi Rarak Godang yang juga melekat dengan adat istiadat. Kayat yang merupakan gabungan permainan musik dengan pembawaan cerita yang mengisahkan tentang kenabian Nabi Muhammad saw dalam rangka mensyukuri nikmat yang telah didapat. Rebabnya hampir sama dengan teknik permainan rebab yang terdapat di Minangkabau. Musik yang berbau agama adalah rebana dan permainannya pun erat kaitannya dalam acara keagamaan. Kemudian, kesenian yang berbeda dengan randai yang ada di Minangkabau, walaupun dahulunya ada unsur kesamaan, tanpa diketahui dengan pasti dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai ciri tersendiri.47

46 Wawancara dengan Saleh Ibrahin, tanggal 23 Juli 2007. 47Baca buku UU. Hamidy berjudul Sikap Orang Melayu terhadap Tradisinya di Riau, 1982 dan Masyarakat adat Kuantan Singingi. Buku pertama mengakui bahwa unsur cerita Minangkabau ditemukan sekitar 25%, sedangkan buku kedua mengakui bahwa asal-usulnya berasal dari Minangkabau tanpa diketahui dengan pasti kapan budaya ini masuk dan kapan pula menjadi bagian budaya masyarakat Melayu Kuantan tersebut, yang jelas setelah terjadi perubahan format dalam struktur pertunjukan randai ini memperlihatkan bahwa randai yang ada di sini telah mengalami

38 B. Asal Usul Tari Podang Perisai di Desa Koto Tinggi Setiap manusia dan kelompoknya dimanapun ia berada mempunyai sejarah sendiri. Sejarah mengandung makna tentang peristiwa-peristiwa yang menyangkut manusia dan kegiatannya yang terjadi pada masa lampau. Begitu juga dengan Desa Koto Tinggi yang juga mempunyai beberapa peristiwa masa lampau yang dapat ditelusuri melalui sumber-sumber lisan, tertulis atau benda-benda peninggalan sejarah. Sumber lisan adalah keterangan langsung dari pelaku atau ahli waris nilai budaya dan ahli waris pariwisata sejarah. Sumber tertulis adalah berupa tambo, prasasti, dokumentasi, piagam, naskah, rekaman, dan lainnya. Sumber hasil budaya lainnya adalah alat perkakas, perhiasan, senjata, ukiran, patung, gedung, dan sebagainya. Sumber ini memerlukan penelitian yang seksama dan mendalam untuk memperoleh kesimpulan mengenai masa lampau yang telah dialami oleh benda-benda tersebut. Adapun ilmu dalam bidang ini disebut ilmu arkeologi (Ilmu Kepurbakala). Berbicara tentang sejarah daerah Pangean, khususnya Desa Koto Tinggi, sebagai tempat tumbuh Tari Podang Perisai juga mempunyai sejarah sendiri. Pada zaman dahulunya Desa Koto Tinggi lebih dikenal dengan nama Bukit Sangkar Puyuh, dikatakan Bukit Sangkar Puyuh karena bentuk bukit tersebut menyerupai bentuk sangkar burung puyuh. Syaidina mengatakan Desa Koto Tinggi merupakan desa yang letaknya paling tinggi di antara desa-desa yang ada di daerah Pangean, maka tak heran pada zaman dahulu Desa Koto Tinggi dijadikan sebagai tempat pengungsian bila terjadi meluapnya sungai Batang Kuantan.48 Jenis bencana alam ini sudah kerap terjadi di daerah Batang Kuantan hingga sekarang. Bila terjadi banjir penduduk yang bermukim di pinggiran Batang Kuantan terpaksa pergi dan menghindar dari tempat tinggal mereka kemudian mencari tempat atau dataran yang lebih tinggi yang tidak terkena air atau banjir tersebut. Pada waktu itu di Bukit modifikasi dan mempunyai jati diri tersendiri yang tidak sama lagi dengan randai yang ada di Minangkabau Sumatera Barat. 48 Wawancara dengan Syaidina, 2017.

39 Sangkar Puyuh-lah para penduduk Pangean menetap selama air kembali normal, dan setelah air menyurut barulah mereka kembali ke tempat asal mereka. Disebabkan oleh sering berulangnya bencana banjir ini banyak anggota masyarakat yang semula tinggal di pinggiran sungai Batang Kuantan memilih untuk tinggal di daerah Bukit Sangkar Puyuh. Dengan demikian maka penduduk di Bukit Sangkar Puyuh yang baru ini berasal dari Dusun Marsawah dan Dusun Seberang. Akhirnya terbentuklah satu komunitas baru. Sungguhpun demikian, pemilikan daerah asal masih saja tetap mereka pertahankan. Mereka memulai kehidupan baru yang disesuaikan dengan kondisi alam. Semula dalam kehidupan mereka tergantung terhadap sungai, akan tetapi saat sekarang sangat tergantung pada sektor pertanian dan peternakan. Di sektor pertanian mereka menggarap sawah dan ladang, sedangkan sektor peternakan di samping memelihara sapi, kerbau, dan kambing, mereka juga membuka lahan baru yang sifatnya masih berskala kecil yaitu : sektor perikanan. Sektor perikanan ini hanya dilakukan oleh beberapa kepala keluarga saja, yang artinya hanya bisa untuk dikonsumsi oleh kelompok komunitas mereka. Kondisi inipun berlanjut sampai sekarang. Sifat kekeluargaan terasa begitu akrab. Hal ini ternyata mengandung cerita sendiri. Menurut Lukman, asal-muasal penduduk asli masyarakat Pangean dari Bukit Sangkar Puyuh. Kembalinya mereka ke wilayah ini hanya merupakan ibarat pulang kampung.49 Hanya saja tidak diketahui kembalinya mereka ini ke wilayah tersebut merupakan garis keturunan yang keberapa. Tentang status kepemilikan daerah baru sangat mudah mereka dapatkan. Semula mereka ini statusnya sebagai kaun pengungsi, tetapi wilayah ini merupakan daerah asal maka merekapun mengaku pribumi asli. Tanpa diketahui dengan pasti angka perubahan nama wilayah yang semula Bukit Sangkar Puyuh berubah menjadi Koto Tinggi. Jika memperhatikan Tambo Minangkabau, wilayah Pangean Kabupaten Kuantan Singingi sekarang termasuk wilayah merantau-nya Minangkabau. Koto menurut

49 Wawancara dengan Lukman, 2017.

40 Gauzali Saydam adalah tempat pemukiman yang lebih rendah dari . Namun sekarang sudah berkembang dengan kondisi wilayah yang benar tampak lebih tinggi dari daerah lain di sekitarnya sebagai tempat pemukiman masyarakat. 50 Dengan demikian, sejalan dengan pandangan Ilyas bahwa Koto Tinggi mengandung arti suatu daerah atau tempat yang didiami oleh anggota masyarakat, akan sama dengan penggabungan arti koto yang berasal dari Minangkabau yaitu: kuncinya tempat pemukiman. Bila dikaitkan dengan Tari Podang Perisai, wilayah Koto Tinggi merupakan daerah lahir dan berkembang Tari Podang Perisai untuk pertama kali. Kemudian baru menyebar keseluruhan wilayah Pangean. Maka perkembangan Tari Podang Perisai cukup menggembirakan karena hampir seluruh anggota masyarakat di daerah Pangean mengetahuinya. Miri salah seorang guru silat dan pelatih tari mengatakan bahwa seorang putra Pangean bernama Gindorajo mencoba mengangkat tari rakyat ini kembali ke permukaan, sebab pada waktu itu tari ini sudah diambang punah. Gindorajo sebagai ahli waris Tari Podang Perisai sangat risau dengan kondisi ini kemudian memberikan keterampilannya terutama pada teman- teman sejawat dan kemudian secara estafet para teman-teman tadi diberi tugas untuk mengembangkan kembali di lingkungan Pangean.51 Berkat jasa beliau, Tari Podang Perisai ini mampu hidup dan bertahan hingga sekarang. Berkemungkinan besar bahwa kisah ini atau pengaruh dari tari wilayah kecamatan Pangean mengambil lambang Podang Perisai dijadikan sebagai lambang Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuansing. Adapun makna lambang ini adalah melambangkan kepatriotan para pemuda masyarakat Pangean dalam membela wilayah adat mereka. Gertrude Kurath terkait dengan fungsi, menyebutkan bahwa semua tari mempunyai fungsi yang bermacam-macam. Para ahli banyak mengeluarkan pendapat di antaranya, Gertrude

50 Sydam, Gauzali, Kamus Lengkap Bahasa Minang (Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau, 2004), 195. 51 Wawancara dengan Miri, 2017.

41 yang merinci sebanyak 14 butir yaitu : (1) Pubertas; (2) Percintaan; (3) Persahabatan; (4) Perkawinan; (5) Berkaitan dengan pekerjaan; (6) Berhubungan dengan tanaman; (7) Berhubungan dengan perbintangan; (8) Perburuan; (9) Berhubungan dengan binatang (10) Berhubungan dengan perang; (11) Pengobatan; (12) Kematian; (13) Keindahan tari; (14) Tari lawak.52 Melihat empat belas butir di atas, berangkat dari ide Tari Podang Perisai maka fungsi Tari Podang Perisai berhubungan dengan perang. Gerakan Tari Podang Perisai dikembangkan dari gerak asli. Maksudnya, untuk bela diri saat berhadapan dengan orang-orang yang ingin menggangu atau menguasai wilayah mereka, gerak ini kemudian dijadikan sebagai sumber ide kemudian distilisasi menjadi gerak tari. Untuk kesempurnaan tari agar kesan Tari Podang Perisai benar-benar bernuansa perang maka properti berupa pedang dan perisai-pun diambil sebagai unsur penguat suasana. Dengan demikian, gerak-gerak yang ada, karakter-karakter gerak, dan diperkuat oleh properti yang digunakan maka secara harfiah tari ini terasa sebagai tari perang. Jadi jika meninjau teori yang ditawarkan oleh Gertrude Kurath tentang teori fungsi maka jelas tari ini berfungsi sebagai tari perang. Terkait dengan kegunaan tari ini, walaupun tidak ditemui cerita yang valid dengan dasar “bertindak untuk berbuat”. Dasar inipun memperkuat praduga peneliti mengatakan bahwa tari ini adalah tari perang. Jika dilihat bentuk pertunjukan saat sekarang maka tari ini semata-mata sebagai pertunjukan estetis. Sementara itu, Soedarsono juga mencoba mengklasifikasi fungsi tari menjadi empat buah yaitu : (1) Sarana upacara keagamaan; (2) Sarana upacara adat; (3) Sarana kegembiraan; (4) Seni tontonan atau pertunjukan.53 Mengaplikasikan teori Soedarsono di atas maka Tari Podang Perisai tergolong pada seni tontonan atau pertunjukan. Hal ini dapat dilihat dari sering ditampilkannya

52 Gertrude Kurath, The Antropology of Dance (Blomington & London: Indiana University Press., 1976), 79. 53 Soedarsono, Tari-tarian Indonesia I (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1977), 18.

42 tari ini pada acara-acara penyambutan tamu, pemerintah adat, PEMDA setempat, penyambutan penganten (pesta perkawinan), peresmian gedung, dan memeriahkan acara hari- hari besar Islam seperti 1 Syawal dan lainnya. Tari Podang Perisai bila mempertahankan konteks pertunjukannya dengan adat terlihat pada upacara peresmian pengangkatan kepala suku. Secara harfiah ia tidak merupakan bagian dari ritual pengangkatan penghulu tersebut, tetapi kehadirannya sangat dibutuhkan sebagai penyemarak acara dalam pengangkatan ketua suku. Di samping sebagai sajian estetis, Tari Podang Perisai pun memberikan sumbangan dalam rangka mengangkatkan kembali keperkasaan para leluhur mereka. Secara tidak langsung anggota masyarakat atau yang hadir pada waktu itu berharap kepada calon kepala suku mempunyai sifat satria dan bijaksana. Sebagian informasi yang didapat dari guru Tari Podang Perisai yang ada di Koto Tinggi pada mulanya yaitu, sekitar tahun 1928 hingga 1989 Tari Podang Perisai sangat pesat perkembanganya di daerah Pangean dan Koto Tinggi khususnya. Akan tetapi saat sekarang, dikhawatirkan tari ini akan punah, karena tidak adanya regenerasi. Menurutnya, perkembangan Tari Podang Perisai di Desa Koto Tinggi dapat dilihat dari minat dan keinginan para pemuda yang acuh tak acuh saja terhadap tari ini. Salah satu bukti pernyataan ini terlihat pada acara Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal) ditandai oleh para penari yang hanya terdiri dari kaum lanjut usia. Sedangkan kaum remaja yang potensinya relatif besar sedikit jumlahnya dari yang diharapkan. Menurutnya, keinginan untuk mempelajari Tari Podang Perisai oleh masyarakat Pangean, khususnya Koto Tinggi juga menimbulkan kecemasan tersendiri bagi guru Tari Podang Perisai yang sekarang sudah tua. Bila tari ini tidak dipelajari para remaja dan pemuda bisa saja tidak ada generasi baru bagi pewaris tari ini. Selain itu, kurangnya minat dan keinginan para pemuda dan remaja mungkin saja disebabkan oleh perkembangan zaman dan teknologi yang semakin modern serta canggih sehingga menimbulkan perubahan minat dan keinginan kesadaran dalam masyarakat setempat. Seperti yang dikatakan Soerjono Soekanto

43 dalam buku berjudul “Sosiologi” bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan-perubahan dalam kebudayaan. Sedangkan perubahan kebudayaan mencakup di dalam kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya.54 Sedangkan menurut Koentjaraningrat, perubahan dalam masyarakat ada yang begitu menarik perhatian, ada pengaruhnya luas dan ada yang terbatas, ada yang bersifat lambat (evolusi) dan ada yang bersifat cepat (Revolusi). Bila dilihat, Tari Podang Perisai mengalami perubahan yang lambat.55 Bentuk perubahan yang terjadi pada Tari Podang Perisai bila dilihat dari bentuk pertunjukan tidak jauh berbeda dengan dahulunya. Seperti Tari Podang Perisai ditarikan oleh dua orang laki-laki secara berpasangan. Sekarangpun masih seperti itu. Perubahan hanya saja terjadi pada tempat pertunjukan, di mana dahulu Tari Podang Perisai hanya ditampilkan di alam terbuka namun sekarang sudah ditampilkan di dalam ruangan atau gedung. Selain itu, dahulunya Tari Podang Perisai banyak diminati oleh masyarakatnya namun sekarang sudah semakin sedikit. Perubahan yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang semakin maju. Dengan adanya teknologi yang semakin canggih dan modern membuat kesadaran generasi muda kurang menyukai kesenian-kesenian lama atau tradisi. Karena mereka menganggap kesenian baru seperti band, orgen tunggal lebih modern dan menyenangkan, yang secara tidak langsung melupakan kesenian-kesenian lama atau tradisi yang mereka anggap kuno atau ketinggalan zaman. Hal ini ada benarnya dengan apa yang dikatakan oleh Darwanto Sastro (1999) dalam bukunya Televisi sebagai Media Pendidikan.

Apabila proses medernisasi adalah merupakan suatu proses penumpukan kesatuan dan persatuan bangsa, maka berpengaruh terhadap perkembangan budaya. Tradisional harus merupakan suatu hal yang bersifat memperkaya

54 Soerjono Soekanto. Sosiologi (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,1969), 219. 55 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 7.

44 perbendaharaan budaya dan dapat dimanfaatkan sebagai upaya pembinaan dan pelestarian budaya tradisional itu sendiri. Karena itulah peranan alat-alat teknologi canggih dalam hal pemupukan dan pelestarian kebudayaan tradisional sangat diperlukan agar budaya tradisional tersebut berdiri sejajar dengan nilai-nilai modern. Karena adanya mobilitas sosial yang diperentangkan dengan konsep tradisi dan konsep modrenisasi, sehingga menimbulkan pemikiran bahwa yang berlandasan pada pemikiran tradisional dinyatakan kuno dan salah serta ketinggalan zaman. Akibatnya tanpa berfikir panjang banyak nilai tradisional yang dibuang tanpa menunggu adanya nilai-nilai yang dianggap lebih maju dan modern sebagai penggantinya.56

Bila mereka menyadari sesungguhnya kesenian-kesenian tradisi lebih mempunyai nilai-nilai budaya yang tinggi maka hal ini belum tentu terjadi demikian. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan dua badan pemerintahan, yaitu: pemerintahan adat dan pemerintahan setempat. Dimasa pemerintahan merekalah letak kekuasaan tertinggi sebagai penentu kebijaksanaan atau pengambilan keputusan yang handal. Gerak Tari Podang Perisai secara menyeluruh didasarkan pada gerak-gerak yang ada pada gerak silat Pangean. Ternyata mempelajari tari ini tidak dapat dilakukan begitu saja. Di sini membutuhkan seorang guru senior untuk mempelajari sejenis persyaratan yang bersifat mutlak. Arisman mengatakan untuk mempelajari Tari Podang Perisai, syarat utama yang bersangkutan harus melalui ritual pensucian.57 Pensucian ini dikenal dengan istilah Meracik Limau. Meracik adalah merupakan satu kegiatan yang dilakukan oleh guru Tari Podang Perisai dalam memotong atau mengiris Limau (Jeruk Nipis). Memperhatikan penjelasan dari narasumber, ternyata hal ini tidak saja apa yang nampak secara kasat mata. Di sini guru tari

56 Darwanto Sastro. Televisi sebagai Media Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), 53. 57 Wawancara dengan Arisman, 2017.

45 juga membaca mantra-mantra atau do’a yang ditujukan untuk calon penari tersebut. Sebagai bentuk proses tuntunan persyaratan ini, Arisman kembali memaparkan bahwa limau (Jeruk Nipis) dimasukkan ke dalam baskom yang telah diisi dengan air. Air yang telah dimasukkan limau ini langsung diberikan kepada calon penari tanpa menunggu selang waktu makan, ia langsung memandikannya ke seluruh tubuh. Tujuan dari pensucian ini di samping sebagai pensucian juga diharapkan para calon penari selalu ingat dengan gerak-gerak yang ada untuk selamanya dan juga agar para penari tidak terluka oleh pedang yang digunakan. Jika dicobakan mengaitkan dengan paparan narasumber Arisman, ada nilai kebenarannya. Seperti yang diketahui bahwa semula tari ini sudah mulai terlupakan oleh masyarakat maka di tangan Gindorajo-lah Tari Podang Perisai hidup dan berkembang di seluruh masyarakat Pangean. Mungkin saja waktu itu Koto Tinggi sebagai wilayah pertama tempat tumbuhnya tari ini, kemudian melalui anak didik beliau berhasil berkembang ke seluruh desa-desa yang ada di Kecamatan Pangean. Di samping dilator-belakangi rasa memiliki juga merupakan bukti bahwa anak didik Gindorajo tidak lupa dengan alur gerak yang ada malah jauh dari itu garapan musik, busana dan rias yang ada dinyatakan persis sama.

1. Ritual Tari Podang Perisai

Gerak Tari Podang Perisai pada dasarnya diambil dari gerak silat yang ada di Pangean. Seseorang yang ingin mempelajari tari ini ada sebuah ritual yang harus dilalui. Doli sebagai salah seorang penyanggah budaya ini memaparkan sebagai berikut:

Ada sebuah tuntutan bagi seseorang yang ingin belajar Tari Podang Perisai. Murid harus menyediakan seperangkat sesaji berupa kembang dan limau (jeruk tipis). Di awal ritual hadir seorang dukun yang membacakan mantra sambil meracik limau ke dalam baskom yang sudah diisi air dan

46 kembang. Di sini yang bertindak sebagai dukun dulunya adalah orang yang mengerti dan paham betul dengan seni bela diri sekaligus sebagai penari. Setelah limau diracik maka calon murid langsung disuruh balimau (mandi dengan racikan) tadi. Proses penyiraman air ini dimulai dari kepala yang terus membasahi sekujur badan. Adapun tujuan dari ritual ini adalah agar sang murid menguasai materi pembelajaran dengan cepat. 58 Proses ritual ini disebut dengan maracik limau.

Ada satu hal yang harus dipertanyakan dari makna eksegesik yang disampaikan oleh informan. Apakah benar dengan proses maracik limau ini menjamin tingkat kecerdasan sang murid dalam mempelajari gerak-gerak yang ada dalam Tari Podang Perisai tersebut? Jika ini benar, hal ini merupakan asset yang besar dan tak ternilai harganya tentang ilmu yang dimiliki si dukun. Ilmu gaib yang dia miliki ini tentu dapat diaplikasikan terhadap pencapaian tingkat kecerdasan orang lain, sehingga putera-putera daerah yang berasal dari Pangean menjadi sangat terkenal, paling tidak di wilayah Provinsi Riau. Bagaimanapun, terkait dengan pengaplikasian ini dapat dipastikan akan terpikirkan oleh seluruh warga masyarakatnya. Melihat kenyataan yang ada, tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Jadi, di sini tidaklah benar tentang makna (meaning) apa yang dilakukan oleh si dukun. Melihat pertunjukan yang ada, gerak- gerak yang ada tidak begitu sulit karena gerak yang mereka lakukan bukanlah gerak inti dari silat yang mereka miliki. Seperti yang diketahui bahwa dalam silat terdapat gerak-gerak yang menjadi andalan silat tersebut dan rumit serta membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk mempelajarinya. Gerak yang ada tersebut menjadi ciri atau andalan dalam menangkis dan mengalahkan semua musuh yang datang.

Memperhatikan fungsi jeruk dalam kehidupan sehari- hari, jeruk tipis ini karena begitu kecut ia mampu menghilangkan lemak, minyak, bakteri lainnya. Dalam rutinitas masyarakat sehari-hari, jeruk tipis ini di samping untuk masak

58 Wawancara dengan Doli, tanggal 25 Juni 2007.

47 juga untuk mencuci perkakas dapur dan pakaian. Jika digunakan untuk mandi terhadap seseorang maka kulit manusia yang ada unsur minyak secara otomatis akan hilang dan terlihat bersih. Sementara kembang yang digunakan seperti kembang mawar meninggalkan aroma harum di air yang akan dimandikan terhadap seseorang tersebut. Aroma harum ini pun akan sedikit tertinggal pada tubuh seseorang yang memakainya. Dengan demikian, penulis tidak yakin sama sekali bahwa melalui proses ritual maracik limau calon murid tadi akan pintar. Hal ini hanya merupakan satu strategi dan sugesti dalam mengakali seorang calon anak didik agar lebih serius mempelajari tari tersebut. Kalau keseriusan telah menjadi tameng utama dalam setiap bertindak, sesulit apapun materi yang dipelajari lambat laun pasti akan dikuasai, apalagi gerak tari ini sangat sederhana. R.M. Soedarsono yang telah banyak memperhatikan gejala tari tradisi menyatakan sebagai berikut: (1) diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih; (2) diperlukan pemain yang terpilih; (3) diperlukan seperangkat sesaji, yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya; (4) tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis; (5) diperlukan busana yang khas.59

Pada kutipan di atas terlihat pada butir keempat (penampilan estetis) di sini terselubung bahwa gerak tidaklah menjadi prioritas utama, yang konotasinya gerak yang ada dapat dikategorikan masih sederhana. Di sini diakui karena Tari Podang Perisai berangkat dari silat, gerak-gerak yang mereka lakukan terlihat begitu luwes, pemanfaatan ruang yang cukup banyak, dan kaya akan pola lantai.

Doli kemudian melanjutkan pembicaraannya. Dalam pertunjukan Tari Podang Perisai setiap penari akan selalu melalui proses maracik limau. Di sini tujuannya adalah memberikan kekebalan terhadap penari agar tidak mengalami kecelakaan atau tergores oleh pedang yang digunakan sebagai properti. Di samping itu juga untuk meningkatkan konsentrasi

59 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Glabalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 126.

48 penari dalam melakukan gerak yang ada dalam Tari Podang Perisai.60

Inipun masih perlu dipertanyakan. Tingkat kekebalan masih dapat dibenarkan karena di Nusantara ini banyak kesenian yang memanfaatkan ilmu kekebalan, seperti pertunjukan “Debus” dan Tari Piring tradisi di Minangkabau. Satu hal yang menjadi tradisi dalam pertunjukan kesenian tradisi, yaitu sejenis minta izin kepada penonton yang merupakan satu kewajiban dalam pertunjukan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa salah seorang penonton yang usil dan mempunyai tingkat ilmu kebatinan yang lebih tinggi daripada si dukun penari akan mengganggu pertunjukan yang berdampak pada kecelakaan (luka) bagi si penari Podang Perisai oleh propertinya sendiri.

Kasus yang terjadi di sini masih sama saja dengan paparan informan pertama di atas. Jika seluruh gerak sudah hafal dan sudah sering diulang maka tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan ‘konsentrasi’. Secara laten di sini masih tetap merupakan sebuah sugesti kepada penari agar percaya diri dan enak dipandang oleh penonton karena sudah balimau. Jelas hal ini karena ketidaktahuan mereka di bidang mistik, serta tingkat kepercayaan yang begitu tinggi terhadap kehadiran seorang dukun di wilayah budaya mereka.

C. Bentuk Pertunjukan Tari Podang Perisai

Tari Podang Perisai merupakan tari tradisi yang dikembangkan dari bentuk aktivitas kehidupan masyarakat Koto Tinggi pada zaman dahulu, yang mana tari ini mengisahkan tentang keberanian dan kegigihan para pemuda dalam mempertahankan dan menjaga kampung halaman dari serangan musuh. Berbicara tentang bentuk sesuai dengan pendapat Jacqueline Smith dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ben Suharto mengemukakan bahwa bentuk bertujuan untuk mengkomunikasikan gagasan

60 Wawancara dengan Doli, tanggal 24 Juni 2007.

49 dan oleh karena itu begitu banyak hal yang terdapat dalam tari itu lebih dari hanya sekedar rangkaian gerak, tetapi mempunyai bentuk, wujud keseluruhan sistem, kesatuan cirri atau metode.61 Selanjutnya Louis Eiffeldt menjelaskan bahwa “bentuk adalah wujud rangkaian gerak atau pengaturan laku-laku”. 62 Maksudnya keselarasan gerak dengan motif yang satu dengan motif gerak lainnya. Keterkaitan pendapat di atas bahwa keselarasan ini menjadi fungsi gerak penghubung antara gerak yang satu dengan gerak yang lainnya, yang akhirnya menjadi suatu kesatuan. Bentuk pertunjukan sebuah tarian di dalamnya mencakup unsur-unsur atau elemen dari sebuah tarian yang berhubungan dengan aspek-aspek penting dari komposisi tari. Merujuk pendapat Soedarsono yang menjelaskan secara rinci elemen-elemen tari yang berkaitan dengan bentuk sebagai berikut:

“Sebuah seni pertunjukan selalu bersifat multi lapis”. 63 Elemen (lapis) aspek penari, gerak, rias dan busana, musik, pola lantai, bentuk penyajian bahkan penonton.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa bentuk pertunjukan adalah kemampuan teknik menari dalam membawakan tarian. Maka dari itu wujud atau bentuk suatu tari sudah barang tentu tidak lepas dari elemen-elemen yang ada di dalam tari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan bentuk pertunjukan Tari Podang Perisai.

Dalam Tari Podang Perisai dilengkapi unsur-unsur atau elemen-elemen pendukung (properti) sebagai penguat kesan tari perang. Tari Podang Perisai ditarikan secara berpasangan oleh dua orang penari laki-laki dengan memakai kostum baju toluak

61 Jacqueline Smith. Dance Competition and Paccal Guide for Teacher. Terjemahan Ben Soeharto “Komposisi Tari Sebuah Pertunjukan Praktis bagi Guru” (Yogyakarta: Ikalasti, 1995), 6. 62 Eiffelt, Louis. A Periemen For Choreografhers. Pedoman Dasar Pementas Tari. Terj. Salmurgianto (Jakarta, 1977), 13. 63 Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. (Bandung: MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), 2001), 8.

50 balango dilengkapi sisampiang dan peci sebagai penutup kepala. Tari Podang Perisai diawali oleh gerak mulai kemudian diikuti gerak berikutnya yakni gerak sosor, gerak paliang, gerak rantak sabolah, gerak rantak duo bolah, gerak kuak ilalang dan gerak lantiang pauah. Dalam Tari Podang Porisai yang mana tari ini selalu ditampilkan di lapangan terbuka terutama pada hari raya Idul Fitri. Bentuk Tari Podang Perisai terdiri dari elemen- elemen komposisi tari, seperti :

1. Gerak

Dalam tari, gerak merupakan substansi paling dasar dan utama dari tari itu sendiri, selain adanya faktor-faktor pendukung untuk terbentuknya sebuah tarian tersebut. Gerak yang lahir dari tubuh penari merupakan suatu ungkapan yang ingin disampaikan pada penonton. Gerak-gerak dalam Tari Podang Perisai bersumber pada gerak silat Pangean, namun telah distilisasi yang mengandung makna tersendiri. Adapun makna yang terkandung dalam Tari Podang Perisai adalah menggambarkan orang yang sedang berperang yaitu adanya penangkis dan penyerang. Berikutnya ini adalah merupakan nama-nama gerak Tari Podang Perisai. a. Gerak Mulai

Gerak mulai merupakan gerak awal atau pembuka dalam Tari Podang Perisai. Mengapa dinamakan gerak ini dengan gerak mulai? Karena memang ini adalah gerak paling awal, yaitu gerak untuk memulai gerakan-gerakan yang paling awal, dan diikuti oleh gerakan-gerakan berikutnya. Dalam gerakan ini biasanya penari saling berhadapan dengan lawan, dengan tangan kiri memegang perisai dan tangan kanan memegang pedang dan pandangan ke arah lawan. Gerak mulai ini mengisyaratkan bahwa penari siap untuk melakukan pertunjukan Tari Podang Perisai. Untuk jelasnya lihat gambar berikut ini :

51

Gambar 2. Gerak Mulai (Foto : Irdawati, 2017)

b. Gerak Sosor

Gerak ini merupakan gerak ancang-ancang untuk memulai gerak penyerangan dalam Tari Podang Perisai. Dalam gerak ini kedua pedang saling mengarah pada pasangan dengan kaki kiri sedikit diangkat, bertumpu pada kaki kanan, tangan kanan masih memegang pedang dan tangan kiri memegang perisai dengan badan di tempat tinggi, seperti gambar berikut :

Gambar 3. Gerak Sosor (Foto : Irdawati, 2017)

52 c. Gerak Paliang

Dalam gerak paliang salah satu penari membelakangi penari yang satu lagi. Dengan sikap yang selalu waspada, kedua penari selalu melihat pasangannya yang mengikuti dari belakang. Dalam gerakan ini, penari yang satu selalu dikejar oleh pasangan akan tetapi antara kedua penari saling berinteraksi seolah-olah berperang. Dalam gerakan ini posisi badan kedua penari ke depan tinggi seolah-olah terjadi penyerangan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar di bawah ini

Gambar 4 Gerak Paliang(Foto : Irdawati, 2017)

d. Gerak Rantak Sabolah

Gerak Rantak Sabolah adalah gerak yang dilakukan dengan menghentakkan kaki kanan ke tanah. Seiring dengan itu badan juga bertumpu ke kaki kanan sebelum disusul oleh jatuhnya kaki kiri. Pada akhirnya badan ke depan tinggi dan saling berhadapan, tangan kanan seolah ingin menusukkan pedang pada lawan. Untuk lebih jelas lihat gambar di bawah ini:

53

Gambar 5 Gerak Rantak Sabolah (Foto : Irdawati, 2017)

e. Gerak Rantak Duo Bolah

Gerak Ranrtak Duo Bolah sama halnya dengan Gerak Ratak Sabolah, yakni kaki kanan dihentakkan ke tanah. Gerakan ini dilakukan bergantian dengan kaki kiri. Begitupun dengan posisi badan yang juga saling membelakangi secara bergantian. Kedua tangan masih memegang properti pedang dan perisai badan ke depan tinggi dan kaki ditekuk. Dapat dilihat gambar di bawah ini:

Gambar 6 Gerak Rantak Duo Bolah (Foto : Irdawati, 2017)

54 f. Gerak Kuak Ilalang

Dalam gerakan ini, ketika pasangannya melakukan serangan lalu ditangkis oleh penari yang satu lagi. Gerak ini seolah-olah mendorong lengan lawannya. Pada gerak ini posisi badan penari ke depan tinggi, dengan kedua kaki ditekuk dan kedua tangan masih memegang properti. Untuk lebih jelas lihat gambar di bawah ini:

Gambar 7 Gerak Kuak Ilalang (Foto : Irdawati, 2017)

g. Gerak Lantiang Pauah

Gerak ini merupakan gerak terakhir dalam Tari Podang Perisai. Dalam gerak ini penari melakukan gerak ke samping, ke atas, dalam posisi kedua kaki penari ditekuk lalu berdiri, tangan kanan memegang pedang diayunkan ke diagonal kiri depan tinggi. Sedangkan tangan kiri tetap memegang perisai di depan dada dan penari penangkis dalam posisi jongkok serta lengan kanan di tempat tinggi. Tangan kiri memegang perisai. Dapat dilihat gambar di bawah ini:

55

Gambar 8 Gerak Lantiang Pauah (Foto : Irdawati, 2017)

Ketujuh gerak yang terdapat di Tari Podang Perisai, nama-namanya diambil dari aktivitas kehidupan masyarakat dahulunya. Hal inipun merupakan filosofi masyarakat Riau yang mengatakan alam takambang jadi guru. Memang pada zaman dahulu orang-orang biasa menamai apa yang dilakukannya berdasarkan kegiatan yang mereka lakukan. Begitupun halnya dengan nama-nama gerakan yang ada pada Tari Podang Perisai. Dengan adanya hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa kesenian rakyat itu berbentuk sederhana baik dari segi gerak maupun penamaan geraknya.

2. Penari

Tari Podang Perisai ditarikan oleh 2 orang penari laki- laki yang terdiri dari penangkis dan penyerang. Sebelum menjadi penari Podang Perisai, harus terlebih dahulu belajar silek pangean, karena gerak Tari Podang Perisai berasal dari gerak silek podang pangean.

3. Musik

Dalam tari, kehadiran musik sangatlah penting karena tanpa musik terasa kurang lengkap atau tidak sempurna. Jadi tak heran bila orang mengatakan musik merupakan pasangan dari

56 tari itu sendiri. Dalam Tari Podang Perisai, alat musik yang digunakan adalah calempong onam, gong, dan gendang. Ketiga alat musik ini ikut mendukung pertunjukan Tari Podang Perisai yang sering ditampilkan di daerah Pangean yang mana dari ketiga alat musik ini dapat dihasilkan enam ragam musik. Keempat ragam musik tersebut adalah Kadidi, Tak Tendut, Cap Ulak, dan Kacimpuang.

Adapun ketiga alat musik tersebut bisa dilihat sebagai berikut : a. Calempong Onam

Alat musik ini terbuat dari kuningan. Alat musik Calempong onam terdiri dari lima buah dengan dua buah stik (pemukul). Dinamakan calempong onam, menurut salah seorang pemusik tradisional yang ada di daerah Pangean, Oman (2016) karena ragam musik dari calempong ini dibentuk oleh enam ragam. Adapun bentuk alat musik dapat dilihat gambar di bawah ini:

Gambar 9 Calempong Onam (Foto : Irdawati, 2017)

57 b. Gong

Gong juga merupakan alat musik yang ikut mengiringi pertunjukan Tari Podang Perisai. Alat musik ini sama halnya dengan calempong akan tetapi gong lebih besar ukurannya dari calempong. Adapun bentuk alat musik dapat dilihat gambar di bawah ini:

Gambar 10 Gong (Foto : Irdawati, 2017)

c. Gendang

Gendang juga merupakan alat musik yang ikut mengiringi pertunjukan Tari Podang Perisai. Gendang yang dipakai adalah gendang yang bermuka dua, dengan bentuk agak sedikit panjang. Dalam memainkan alat musik gendang ini bisa memakai stik (dipukul) bisa juga dengan tangan. Adapun bentuk gendang bisa dilihat gambar di bawah ini:

58

Gambar 11 Gandang (Foto : Irdawati, 2017)

4. Properti

Dalam tari, properti merupakan alat yang digunakan atau dibutuhkan untuk melengkapi suatu pertunjukan. Dalam Tari Podang Perisai, properti yang digunakan ada dua, yaitu Podang (pedang) dan Perisai. Pedang dan perisai menjadi properti dalam tari ini dilator-belakangi oleh sejarah terciptanya tarian ini yang menggambarkan tentang keberanian dan kegigihan anggota masyarakat dalam mempertahankan dan menjaga kampung halaman mereka. Dalam hal ini, pedang dan perisai dijadikan sebagai alat atau senjata untuk dapat melindungi diri mereka dari serangan musuh. Adapun bentuk pedang dan perisai dapat dilihat gambar di bawah ini

59

Gambar 12 Podang dan Perisai (Foto : Irdawati, 2017)

5. Busana dan Rias

Busana juga merupakan pelengkap suatu pertunjukan. Dalam pertunjukan, kadang busana dapat menentukan berhasil atau tidaknya sebuah pertunjukan atau penentu karakter yang dibawakan oleh penari. Bila diperhatikan, hal ini juga terdapat dalam pertunjukan Tari Podang Perisai. Dilihat dari bentuk geraknya maka busana yang digunakan dalam Tari Podang Perisai menggunakan baju Taluak Balango lengkap dengan celana, kain sarung untuk sesamping dan peci untuk menutup kepala. Kostum yang digunakan bisa diganti dengan baju yang lain yang sesuai dengan bentuk gerak, asalkan tidak menggangu ruang gerak penari.

60 Selain busana, rias juga menjadi unsur pendukung di samping unsur lainnya. Pertunjukan Tari Podang Perisai tidak menggunakan rias. Hal ini disebabkan oleh para penari yang sudah tua-tua yang mana mereka enggan untuk dirias.

6. Tempat pertunjukan

Tari Podang Perisai dipertunjukan di halaman mesjid Jami’ di desa Koto Tinggi. Halaman yang dimaksud adalah sebuah lapangan yang di sekelilingnya ditata sedemikian rupa seperti tempat duduk penari, pemusik, guru silat, dan penonton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar di bawah ini :

Gambar 13 Arena Pertunjukan Tari Podang Perisai (Foto : Irdawati, 2017)

Apabila dilihat dari bentuk pertunjukan Tari Podang Perisai terdapat beberapa elemen dasar yang dapat mendukung pertunjukan tari, salah satunya estetika. Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu Aistheti yang berarti seseorang yang mempersepsikan sesuatu melalui sarana indera, perasaan dan intuisinya. Estetika merupakan cabang ilmu filsafat yang

61 berhubungan dengan keindahan yang di dalamnya terdapat estetika, norma, logika, dan rasa. Berbicara mengenai keindahan, Djelantik mengatakan bahwa estetika adalah mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan.64 Mempelajari semua aspek dari apa yang disebut dengan keindahan dan semua benda atau peristiwa kesenian, alam dan seni. Estetika dalam tari dapat ditinjau dari dua unsur yaitu unsur objek dan unsur subyek. Unsur objek adalah unsur yang berkaitan dengan komposisi tari. Sedangkan unsur subjek adalah yang berkaitan dengan masyarakat penonton. Kedua unsur ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Terkait dengan bentuk pertunjukan Tari Podang Perisai, bila dilihat dari unsur objek maka akan terlihat unsur-unsur dari komposisi tari. Sedangkan bila dilihat dari unsur subjek maka akan terlihat dari masyarakat penonton yang menyaksikan penampilan Tari Podang Perisai. Penonton Tari Podang Perisai ini terdiri dari generasi muda maupun tua, tidak ada batasan penonton untuk menyaksikan tari tersebut. Saat pertunjukan Tari Podang Perisai, terlihat bahwa masyarakat penonton antusias dan serius menyaksikannya yang menandakan bahwa masyarakat senang dengan penampilan Tari Podang Perisai. Rasa senang dari masyarakat yang menyaksikan Tari Podang Perisai menandakan bahwa pertunjukannya dapat merespon perasaan sehingga menimbulkan kesenangan yang disebut dengan keindahan atau estetika. Selanjutnya Jacob Sumardjo mengatakan bahwa estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni. 65 Konteks estetika berkaitan erat dengan persoalan keindahan baik keindahan yang berasal dari alam maupun keindahan yang berasal dari buatan manusia. Keindahan ini dirasakan melalui perasaan yang terdapat dalam jiwa manusia yang menyenangkan dan membuat seseorang tersebut ingin kembali merasakan perasaan itu. Berkaitan dengan hal ini Y.

64 A.A.M Djelantik. Estetika Sebuah Pengantar. Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), 1999. 7. 65 Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB Bandung, 2000), 25.

62 Sumandyo Hadi mengemukakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang ada dalam objek, yang dapat menimbulkan kesenangan seseorang yang berkaitan dengan akal dan semata- mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akal.66 Bila dilihat estetika dalam Tari Podang Perisai di Desa Koto Tinggi, peneliti membatasi diri pada penilaian estetika masyarakat setempat terhadap tari ini. Peneliti merasa bahwa masyarakat Desa Koto Tinggi mempunyai apresiasi yang dalam terhadap Tari Podang Perisai. Hal ini dapat dibuktikan bahwa setiap pertunjukan Tari Podang Perisai masyarakat akan tahu dan menyaksikan dengan ramai karena dilihat dari fungsi sebagai hiburan Tari Podang Perisai yang berarti menarik perhatian penonton dan masyarakat. Di sisi lain, Djelantik menjelaskan bahwa dalam membahas estetika karya seni ada tiga aspek dasar yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan.67 Dalam penampilan Tari Podang Perisai yang terkait dengan estetika dan juga yang terkait dengan pendapat Djelantik dari tiga aspek di atas maka peneliti akan menguraikan salah satu dari aspek tersebut yaitu tentang wujud atau rupa. Wujud adalah sesuatu yang mengacu pada kenyataan yang tampak secara kongkrit (yang dapat dilihat dengan mata) maupun kenyataan yang tidak dapat secara kongkrit, yang abstrak, yang hanya bisa dibayangkan. Lebih dalam mengenai konsep wujud sebuah karya (tari) adalah bahwa wujud merupakan kesatuan bentuk fisik dan isi. Wujud yang ditampilkan dan dinikmati oleh penikmat mengandung dua unsur yaitu bentuk dan struktur, atau tatanan. Berkaitan dengan konsep di atas, wujud Tari Podang perisai adalah kenyataan yang tampak secara kongkrit seperti elemen-elemen yang tampak pada tari tersebut, sedangkan yang tidak tampak adalah abstrak lebih mengacu kepada makna dari setiap elemen-elemen yang terdapat dalam tari. Soedarsono menjelaskan bahwa elemen-elemen dasar yang terlahir dalam sebuah tari adalah penari, gerak, properti dan

66 Y. Sumandyo Hadi. Sosiologi Tari (Yogyakarta : Pustaka Widodo Baru, 2005), 17. 67 Op.cit. 51

63 setting, busana dan rias, musik iringan, pola lantai dan tempat pertunjukan.68 Keseluruhan dari elemen-elemen ini merupakan faktor yang terpenting dalam menciptakan karya seni khususnya seni tari. Elemen-elemen ini memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Begitu juga halnya dengan Tari Podang Perisai. Elemen-elemen yang terdapat pada Tari Podang perisai adalah penari, gerak, musik, properti, rias dan busana, pola lantai, dan tempat pertunjukan. Berdasarkan dari elemen-elemen komposisi tersebut yang berkaitan dengan estetika Tari Podang Perisai hanya terdapat pada gerak dan properti. Estetika gerak dalam sebuah tari merupakan media utama bagi seorang seniman atau koreografer untuk mengungkapkan pengalaman-pengalamannya dalam kehidupan. Gerak yang dilahirkan bukanlah gerak yang alami atau asli, namun gerak yang telah diberi bentuk, distilir, dan mengandung unsur keindahan untuk dinikmati. Alma Hawkins mengatakan bahwa sifat dan bentuk gerak tergantung oleh motivasi yang menyebabkan dorongan aksi, gerak digunakan untuk tujuan-tujuan ekspresi dan estetis, meskipun peralatan fisiknya sama seperti gerak berfaedah. 69 Gerak yang diekspresikan penari bisa mewakili maksud yang disampaikan kepada penikmat seni dalam pertunjukan tari. Gerak yang dilahirkan dalam Tari Podang Perisai merupakan bentuk gerak yang lincah dan dinamis. Kelincahan dari gerak tersebut terlihat dari setiap langkah kaki ketajaman mata dan ayunan lengan yang begitu mahir dalam memainkan podang dan perisai. Setiap ayunan lengan dengan podang di tangan dan seiring langkah kaki serta ketajaman mata penari untuk melihat lawan, membuat para penikmat tari (penonton) merasa bahwa begitu uniknya gerak-gerak tubuh yang dilahirkan oleh penari.

68 Soedarsono dalam La Meri. Komposisi Tari Elemen-elemen Dasar (Yogyakarta : Laga Ligo,1975), 7, 5. 69 Alma M. Hwkins terjemahan Y. Sumandiyo Hadi. Mencipta Lewat Tari (Yogyakarta : Manthili, 2003), 91.

64 Estetika gerak pada Tari Podang Perisai dibangun oleh unsur gerak, keindahan dari berbagai ragam gerak yang dilahirkan dengan memainkan pedang dan perisai. Tari Podang Perisai mempunyai tujuh ragam gerak yaitu gerak mulai, gerak sosor, gerak paliang, gerak rantak sabolah, gerak rantak duo bolah, gerak kuak ilalang, dan gerak lantiang pauah. Ketujuh ragam gerak tersebut mempunyai estetika yang bisa dilihat dengan kasat mata. Keunikan pada setiap ragam gerak, ketika gerak dilakukan dengan kelincahan kaki dan ayunan lengan yang memakai properti podang dan perisai. Kehadiran properti podang dan perisai membuat masyarakat penikmat tari merasa terhibur dengan gerakan menggunakan podang dan perisai baik oleh penari penangkis maupun oleh penari penyerang. Properti podang dengan penari yang begitu mahir bersilat juga menggunakan podang dengan tusukan-tusukan yang tajam dan juga dari segi penari penangkis juga menggunakan podang dengan lincahnya sehingga menimbulkan keindahan tersendiri. Dari properti perisai, menggunakan perisai yaitu untuk melindungi diri masing- masing dari tusukan pedang sehingga begitu indahnya terlihat saat perisai digerakkan untuk melindungi muka dan badan para penari.

D. Makna Simbol Gerak Tari Podang Perisai Simbol mempersatukan atau menggabungkan suatu segi pengalaman manusia yang sudah dikenal baik dengan apa yang mengatasi pengalaman itu maupun pengungkapannya. F.W Dillistone menyebutkan simbol dapat berupa sebuah kata atau tindakan atau gambaran maupun drama.70 Dengan kata-kata yang lebih umum, sebuah simbol menghubungkan usaha pencairan manusia dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang lebih tertinggi (terakhir). Pada prinsipnya simbol yang terdapat dalam gerak tari yang akan dibahas merupakan simbol kata-kata, tindakan, dan

70 F.W.Dilistone, The Power of Symbols. Terj.A. Widyamarta (Yogyakarta : Kanisius, 2002),28

65 gambaran dari segala aspek aktivitas yang terkait dengan masyarakat adat Melayu Kuantan Singingi. Untuk lebih sistematis, pembahasan dilakukan berdasarkan nama-nama gerak yang terdapat dalam tari tradisi tersebut. Ada tujuh simbol gerak yang terdapat dalam Tari Podang perisai sebagai gerak- gerak yang membentuk Tari Podang Perisai secara keseluruhan. Sejak pertama nama simbol gerak dibahas hingga nomor urut terakhir dari simbol gerak tersebut merupakan sistematika struktur gerak yang ada. Sebenarnya melihat pertunjukan tari ini, secara dialog satu arah telah dibangun oleh seorang tokoh adat yang berfungsi sebagai pembuka bahwa Tari Podang Perisai segera dimulai. Adapun dialog satu arah ini merupakan satu isyarat yang mengandung pesan tentang nilai-nilai kepahlawanan para nenek moyang mereka, dan selama pertunjukan berlangsung penyelenggara memohon maaf jika ditemui kesalahan-kesalahan atau kejanggalan-kejanggalan selama pertunjukan berlangsung. a. Gerak Mulai Gerak mulai yang mereka lakukan dijiwai oleh gerak yang terdapat di awal silat ketika hendak dimulai. Posisi berdiri yang kemudian dikembangkan dengan pemakaian properti pedang dan perisai terlihat sedikit merubah dari pola gerak mulai dari silat yang ada di wilayah Pangean. Memperhatikan awal pertunjukan gerak mulai posisi penari seperti orang tegak biasa yang tangan kanan sedang menghunus pedang dan tangan kiri memegang perisai yang agak didekatkan ke arah dada. Penari yang dekat posisinya dengan Balai Adat (berkostum hitam) melambangkan penduduk yang mencoba mempertahankan wilayahnya, sementara orang yang berada di depan adalah musuh yang hendak menjajah. Adapun makna yang dikandung oleh sepasang laki-laki ini secara manifes adalah melambangkan simbol pertemuan antara pihak musuh yang hendak berkuasa dan pihak pribumi yang mempertahankan tanah leluhurnya. Secara laten, makna yang dikandungnya adalah suatu cara memperagakan kepada seluruh warga tentang bagaimana kegagahan dan kedahsyatan seni bela diri nenek moyang mereka dulu yang tak tertandingi

66 oleh musuh, dan mereka bangga terhadap peninggalan budaya yang ditinggalkan para leluhur. Hal ini terlihat dari pancaran semangat mereka dalam menirukan gerak-gerak yang terdapat dalam tari tersebut. b. Gerak Sosor Gerak sosor yaitu sebagai salah satu nama gerak dalam silat tradisi yang identik dengan menyusun suatu rancangan strategi untuk menyerang dan pertahanan diri terhadap musuh yang sudah di hadapan mata. Gerak-gerik lawan dan tingkah laku menjadi pusat perhatian untuk menyerang dan menangkis. Disebabkan oleh karena kedua penari adalah berasal dari satu daerah, maka jenis bela dirinya pun sama. Hal ini berarti teknik menyerang dan menangkis yang mereka lakukan pada dasarnya telah dipelajari sebelumnya pada salah seorang guru silat, paling tidak pada guru tari. Memperhatikan pertunjukan Tari Podang Perisai terlihat para penari melaksanakan gerak dengan improvisasi yang sudah terpola. Jadi, apabila tari ini akan ditarikan di waktu yang berbeda maka akan terlihat terjadinya sedikit perubahan garis gerak yang dilalui. Dengan demikian, terbuka kemungkinan apabila dua orang penari benar-benar piawai terhadap seni bela diri ini maka semakin kaya pula pengembangan-pengembangan gerak yang akan mereka lakukan. c. Gerak Paliang Paliang mengandung makna berpaling yang artinya menghindar. Gerak paliang adalah satu usaha yang dilakukan oleh si penari untuk berpaling atau menghindar dari serangan musuh berupa menghadapkan tubuh ke arah kiri atau kanan agar tidak tertusuk pedang lawan. Hal yang sama dengan gerak sebelumnya bahwa nama gerak ini diambil dari nama salah satu gerak yang terdapat dalam silat tradisi mereka. Penggunaan gerak ini sama-sama dilakukan oleh penari, yang artinya satu penari terkadang dalam posisi menyerang, di satu saat dalam

67 posisi bertahan. Jadi pengambilan nama gerak ini berasal dari unsur bahasa setempat yang mengandung makna menghindar dari serangan musuh. d. Gerak Rantak Sabolah

Rantak dalam bahasa daerah berarti rentak, sedangkan sabolah adalah sebelah. Dengan demikian, rantak sabolah secara harfiah adalah rentak sebelah. Jika konotasinya diambil dari tari maka yang dimaksud dengan gerak rantak sabolah adalah satu lompatan yang dilakukan oleh penari yang didahului kaki kanan yang menghentakkan ke tanah, kemudian diiringi oleh kaki kiri yang hanya siap diletakkan. Sementara itu, posisi badan bertumpu pada kaki kanan. Gerakan ini dilakukan oleh penari yang berperan sebagai pahlawan putera daerah. Gerakan ini dilaksanakan dalam rangka untuk membangun serangan lawan yang semakin meningkat. Sama halnya dengan gerak sebelumnya, gerak inipun diambil dari gerak silat yang berasal dari wilayah adat mereka.

e. Gerak Rantak Duo Bolah Jika pada Gerak Rantak Sabolah menggunakan satu kaki untuk menghentakkan kaki ke tanah maka dalam gerak ini dilakukan oleh kedua kaki oleh penari yang berperan sebagai pembela kampung halaman. Aspek bunyi dan getaran tanah yang diakibatkan hentakan kaki di sini menjadi tujuan utama gerak dilakukan. Bunyi yang menggema dan tanah yang bergetar memperlihatkan akan keampuhan dan keperkasaan pemuda- pemuda daerah Pangean, dan makna inilah yang diemban gerak rantak duo bolah. f. Gerak Kuak Ilalang Membaca nama gerak ini dapat dipahami bahwa kuak yang mereka maksud akan sama dengan arti kuak dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan ilalang juga sama artinya dengan hilalang. Jadi gerak kuak ilalang merupakan sebuah gerak yang diambil

68 dari aktivitas sehari-hari masyarakat petani mencari sesuatu yang tersembunyi di permukaan tanah atau satu usaha menguak hilalang agar seseorang dapat melewati daerah yang banyak ditumbuhi hilalang tersebut. Dalam konteks gerak ini terlihat aktivitas menguak hilalang yang terkait dengan mencari sesuatu yang ada di tanah. Masyarakat adat Melayu Kuantan Singingi juga mengakui filosofi kehidupan mereka yang berbunyi alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru), yang sama dengan filosofi orang Minangkabau di Sumatera Barat. Inilah salah satu bentuk keistimewaan seni dalam realita kehidupannya. Banyak unsur di dunia yang dijadikan sebagai ide dalam kehadirannya. Secara laten ia merupakan simbol ekspresi dari alam dan isinya. Sementara itu, seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi serta menciptakan realita baru dalam suatu cara yang super rasional. Berdasarkan penglihatan dan penyajian realita itu secara simbolis ia adalah sebuah keutuhan miniatur baru dari jagad raya. Dia bukan saja sekedar pemindahan bentuk begitu saja, tetapi melalui proses suatu interpretasi pencipta. Karya seni tidak semata-mata penandaan yang menyerupai benda yang ditandainya, tetapi lebih jauh adalah merupakan simbol. Periksa Tjotjop Rohendi terdapat perkataan lain, dapat dipahami bahwa ia mengandung makna yang lepas dari yang ditandainya.71 Makna lain, sebuah karya seni mengandung makna yang lebih dalam yang terlahir melalui media yang merupakan pernyataan batin untuk mendapatkan dimensi universal. Melalui tangan seniman lokal aktivitas sehari-hari ini diangkat menjadi sebuah gerak bela diri dan tari. Adapun pengaplikasiannya terhadap gerak merupakan salah satu cara mendorong serangan lawan yang hendak membunuh.

71 Periksa Tjetjep Rohendi Rohidi, Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan (Bandung : STSI Press, 2000), 80.

69 g. Gerak Lantiang Pauah Gerak lantiang pauah juga sama kasusnya dengan gerak- gerak yang dibahas sebelumnya. Gerak ini juga berangkat dari aktivitas masyarakat sehari-hari yang ingin memetik buah- buahan. Dalam konteks ini lantiang adalah suatu usaha melempar batu atau sepotong kayu yang ditujukan ke satu arah. Pauah adalah sejenis buah yang hampir sama bentuknya dengan mangga, dalam wujudnya bentuknya agak bundar, bijinya agak besar dari buah mangga, dan rasanya manis apabila sudah masak. Proses melempar buah pauh ini dijadikan sebagai nama gerak dan diyakini sebagai salah satu cara untuk melumpuhkan lawan.

E. Bentuk Pengembangan Tari Podang Perisai dari Tradisi Menjadi Modern Tari Podang Perisai sebagai salah satu kegiatan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dimana seni itu berkembang. Kegiatan itu merupakan bagian yang integral dari sistem sosial budayanya. Oleh karena itu Tari Podang Perisai mempunyai keterkaitan yang erat dengan kompleksitas dan masyarakat Koto Tinggi Pangean. Pada hakikatnya kesenian mempunyai sifat berkembang karena kesenian merupakan kegiatan bergerak. Perkembangan kesenian tersebut melalui kreativitas, perubahan, peningkatan, dan penemuan baru yang selaras dengan perkembangan kehidupan masyarakat lingkunganya. Laju perkembangan alam kehidupan modern dewasa ini membawa pengaruh terhadap perkembangan kesenian termasuk juga tari. Pengembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Seperti yang dikemukankan oleh Van den Daele, yaitu “perkembangan berarti perubahan secara kualitatif.” Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan atau

70 peningkatan kemampuan, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.72 Jika ada pengembangan maka terjadi perubahan. Perubahan dan perkembangan tidak bisa dielakkan apabila bentuk kesenian tersebut mau tetap hidup dalam kehidupan masyarakatnya yang sedang berkembang. Secara teoritis perkembangan kebudayaan berkaitan erat dengan perkembangan pola kehidupan pendukung kebudayaan itu, yaitu kebudayaan biologis, sosiologis, dan psikologis yang dibawa oleh pengaruh globalisasi. Berdasarkan beberapa teori di atas maka terjadilah perkembangan Tari Podang Perisai dari semua elemen yang terdapat dalam komposisi tari. Perkembangan yang dilakukan masih berpijak kepada tari tradisi Podang Perisai yang mempunyai nilai-nilai perjuangan dalam mempertahankan wilayah masyarakat pendukung Tari Podang Perisai. Mengkaji tari tidak bisa terlepas dari tekstual dan kontekstual di mana tekstual berkaitan dengan wujud atau bentuk. Sejalan dengan hal tersebut, Soedarsono menyatakan bentuk berhubungan dengan elemen komposisi tari yang meliputi penari, gerak, pola lantai, busana, rias, properti dan musik.73 Sedangkan kontekstual adalah faktor pendukung tari tersebut antara lain: masyarakat di mana tempat tari itu tumbuh, fungsi tari, nilai-nilai yang terkandung dalam tari, makna simbolis dan estetika. Tujuan pengembangan Tari Podang Perisai menjadi sebuah tari yang memenuhi standar estetika sebuah seni pertunjukan, maka dilakukan dengan cara menambah jumlah penari, menggarap gerak, menggarap musik, menggarap pola lantai, menata busana dan rias yang sesuai dengan ilmu komposisi menata tari. Dengan demikian, tari ini diharapkan mampu menjadi sebuah tari yang menarik dengan memperhitungkan nilai-nilai estetika sebuah seni pertunjukan tari modern, yang disenangi oleh generasi muda yang

72 Elizabeth B. Hurlock. Psikologi Perkembangan (Jakarta, Erlangga, 1980), 2. 73 R.M Soedarsono, Loc.cit, 40.

71 memperhatikan bentuk, teknik, dan isi. Y Sumandiyo Hadi menjelaskan dalam menata suatu tari yang berkaitan dengan bentuk, teknik dan isi harus mempunyai struktur yang utuh dan saling terkait. 74 Selanjutnya Jacqueline Smith mengatakan bentuk adalah wujud dan struktur sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata.75 Di sisi lain, Louis Eiffeldt mengatakan bentuk merupakan wujud rangkaian gerak atau peraturan laku- laku. 76 Dari segi bentuk dikembangkan sembilan elemen komposisi tari. Dari segi teknik, menggunakan teknik tari yaitu pengolahan gerak tubuh secara maksimal, maksudnya melakukan gerak sesuai dengan tuntutan koreografer seperti batas ruang gerak, tenaga yang dibutuhkan, waktu yang diperlukan. Selanjutnya dari segi isi, Tari Podang Perisai memiliki konsep yang jelas yaitu memuat nilai-nilai perjuangan masyarakat Kuantan Singingi pada masa lalu. Diperkuat dengan beberapa teori para ahli seni di atas untuk inovasi Tari Podang Perisai akan mampu meningkatkan pariwisata di Kuantan Singingi Riau. Sekaligus menjadi identitas di wilayah Kuantan Singingi Riau sebagai tari yang mempunyai nilai-nilai perjuangan yang menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Untuk mengenang nilai-nilai perjuangan yang pernah dilakukan oleh masyarakat, maka pemerintah setempat menjadikan properti Podang dan Perisai yang digunakan dalam Tari Podang Perisai sebagai lambang Kecamatan Pangean, tempat tumbuh Tari Podang Perisai tersebut. Pengembangan yang dilakukan pada bentuk Tari Podang Perisai melalui ilmu komposisi tari yaitu gerak, penari, musik, rias dan busana, pola lantai dan tempat pertunjukan. Pengembangan yang dilakukan adalah pengembangan gerak saja. Pengembangan gerak tersebut meliputi ruang, waktu, dan tenaga. Pada unsur ruang dilakukan pengembangan level gerak (tinggi, rendah, dan sedang), volume gerak (besar, kecil) dan pola lantai. Pada unsur waktu dilakukan pengembangan dengan permainan tempo gerak dan tempo musik. Sedangkan

74 Y Sumandiyo Hadi, Loc.cit, 81. 75 Smith, Jacqueline, Loc.cit, 6. 76 Eiffelt, Louis, loc.cit, 15.

72 pengembangan unsur tenaga dilakukan pada kualitas gerak dan aksentuasi. Gerak Tari Podang Perisai memiliki tujuh ragam gerak yaitu gerak mulai, gerak sosor, gerak paliang, gerak rantak sabolah, gerak rantak duobolah, gerak kuak ilalang dan gerak lantiang pauah. Proses pengembangan Tari Podang Perisai sebagai berikut:

1. Gerak Mulai Pengembangan gerak mulai dilakukan dengan totalitas tubuh yang terdiri dari lengan, tungkai, kaki, dan torso. Gerak mulai terdiri dari enam hitungan. Hitungan 1, lengan menggunakan ruang gerak yang lebar dan membutuhkan waktu yang lama, torso dengan level tinggi dan untuk tenaga membutuhkan tenaga yang kuat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 13. Pengembangan Pose Gerak Mulai Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Pada hitungan 2, melakukan gerak dengan tenaga yang kuat dan volume yang besar terdiri dari level tinggi dan level rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

73

Gambar 14. Pengembangan Pose Gerak Mulai Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Pada hitungan 3, melakukan gerak seolah-olah melompat dengan gerak membutuhkan tenaga yang kuat dan volume gerak lengan yang besar dan menggunakan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 15 Pengembangan Pose Gerak Mulai Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

74 Gerak hitungan 4 sama dengan gerak pada hitungan 2, melakukan gerak dengan tenaga yang kuat dan volume yang besar terdiri dari level tinggi dan level rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 16. Pengembangan Pose Gerak Mulai Hitungan 4 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 5, dua orang penari menusuk ke arah belakang dan ditangkis oleh dua orang penari lainnya sambil duduk dengan tumpuan lengan kiri dengan menggerakkan lengan ke atas menggunakan volume yang besar dan membutuhkan tenaga yang kuat dan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 17 Pengembangan Pose Gerak Mulai Hitungan 5 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

75 Gerak hitungan 6 melakukan gerak lengan dengan volume yang besar dan tenaga yang kuat dan melakukan gerak dengan level rendah dan tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 18 Pengembangan Pose Gerak Mulai Hitungan 6 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

2. Gerak Sosor Gerak sosor menggunakan tenaga yang kuat untuk menggerakkan lengan kiri dan mendorong lengan ke samping kanan dengan level tinggi, lengan kanan samping kanan sedang dan bertumpu di kaki kanan, kaki kiri jinjit juga menggunakan ruang gerak yang lebar serta waktu yang lama. Gerak sosor terdiri dari enam hitungan, hitungan 1 pada gerak ini dilakukan dengan mendorong torso samping kiri kedua lengan digerakkan dengan volume yang besar dan ruang gerak kaki yang lebar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

76

Gambar 19 Pengembangan Pose Gerak Sosor Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 2, dengan ruang gerak yang besar dan tenaga yang kuat dengan level rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 20. Pengembangan Pose Gerak Sosor Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 3 sama dengan gerak sosor pada hitungan 6 melakukan gerak lengan dengan volume yang besar

77 dan tenaga yang kuat dan melakukan gerak dengan level rendah dan tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 21. Pengembangan Pose Gerak Sosor Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 4, kedua lengan memegang pedang dan digerakkan ke depan dengan tenaga yang kuat dan volume gerak yang besar serta arah hadap ke depan tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 22 Pengembangan Pose Gerak Sosor Hitungan 4 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

78 Gerak hitungan 5, kedua tungkai pitunggua tangah dengan badan ke depan tinggi, lengan kiri ke belakang tinggi, dan lengan kanan di depan dada dengan volume gerak yang besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 23. Pengembangan Pose Gerak Sosor Hitungan 5 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 6, posisi kaki jinjit torso di tempat tinggi, kedua lengan di depan dada tinggi arah hadap ke samping kiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 24. Pengembangan Pose Gerak Sosor Hitungan 6 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

79 3. Gerak Paliang Gerak ini menggunakan ruang gerak yang lebar, begitu juga dengan lengan menggunakan ruang gerak yang lebar. Dari segi tenaga juga membutuhkan kekuatan yang kuat dengan level tinggi dan torso di tempat tinggi. Gerak paliang terdiri dari enam hitungan, hitungan 1 dilakukan gerak dengan posisi kaki yang lebar dengan menggunakan tenaga yang kuat, waktu yang lama serta level tinggi.

Gambar 25 Pengembangan Pose Gerak Paliang Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 2, melakukan gerak dengan tumpuan kedua kaki atau jongkok dengan posisi kaki kanan di depan dengan volume gerak yang besar, tenaga yang kuat dan arah hadap ke samping kiri. Posisi kedua lengan di depan dada tangan memegang pedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

80

Gambar 26. Pengembangan Pose Gerak Paliang Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 3 sama dengan hitungan 2, melakukan gerak dengan tumpuan kedua kaki atau jongkok dengan posisi kaki kanan di depan dengan volume gerak yang besar, tenaga yang kuat dan arah hadap ke samping kiri. Posisi kedua lengan di depan dada tangan memegang pedang dengan pola lantai yang berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 27. Pengembangan Pose Gerak Paliang Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

81 Gerak hitungan 4, posisi penari 3 orang di depan jongkok melakukan gerak lengan yang lebar dan tenaga yang kuat serta arah hadap ke bawah. Untuk posisi penari 3 orang di belakang melakukan gerak menggunakan pitunggua tangah, kedua tangan memgang pedang di arah diagonal kanan depan, arah hadap samping kiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 28 Pengembangan Pose Gerak Paliang Hitungan 4 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 5 sama dengan hitungan 2, melakukan gerak dengan tumpuan kedua kaki atau jongkok dengan posisi kaki kanan di depan dengan volume gerak yang besar, tenaga yang kuat dan arah hadap ke samping kiri. Posisi kedua lengan di depan dada tangan memegang pedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

82

Gambar 29. Pengembangan Pose Gerak Paliang Hitungan 5 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 6, melakukan gerak pitunggua tangah dengan volume yang besar, kedua tangan memegang pedang arah diagonal kanan depan, torso di tempat tinggi, arah hadap samping kiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 30. Pengembangan Pose Gerak Paliang Hitungan 6 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

83 4. Gerak Rantak Sabolah Gerak ini menggunakan level tinggi. Gerak kaki kanan membutuhkan tenaga yang kuat untuk merentak dan langsung diangkat. Kedua lengan masing-masing penari bergerak dengan ruang gerak yang lebar. Gerak ini dilakukan dengan empat hitungan, hitungan 1 dengan melakukan gerak kaki kanan dihentakkan, lengan kanan dibuka ke samping kanan dengan volume yang besar, lengan kiri di depan dada. Gerak ini dilakukan dengan berhadapan yaitu antara penyerang dan penangkis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 31 Pengembangan Pose Gerak Rantak Sabolah Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 2 sama dengan hitungan 2 gerak paliang yang dilakukan oleh 3 orang penari. Melakukan gerak dengan tumpuan kedua kaki atau jongkok dengan posisi kaki kanan di depan dengan volume gerak yang besar, tenaga yang kuat dan arah hadap ke samping kiri. Posisi kedua lengan di depan dada tangan memegang pedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

84

Gambar 32. Pengembangan Pose Gerak Rantak Sabolah Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 3 sama dengan gerak hitungan 6 gerak sosor, posisi kaki jinjit torso di tempat tinggi, kedua lengan di depan dada tinggi arah hadap ke samping kiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 33 . Pengembangan Pose Gerak Rantak Sabolah Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

85 Gerak hitungan 4, empat orang penari melakukan gerak yang berbeda dengan level yang berbeda dengan tenaga yang kuat dan volume yang besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 34 Pengembangan Pose Gerak Rantak Sabolah Hitungan 4 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

5. Gerak Rantak Duo Bolah Gerak ini dilakukan dengan merentakkan kedua kaki dan tumpuan pada kaki kiri, kaki kanan diangkat. Selanjutnya, torso digerakkan penari ke samping kiri dengan level tinggi. Untuk gerak lengan menggunakan ruang gerak yang lebar dan tenaga yang kuat, tangan kanan menyentuh lantai. Gerak ini terdiri dari empat hitungan. Hitungan 1, tangan kiri digerakkan menyentuh lantai, torso ke belakang tinggi dengan ruang gerak yang besar, tenaga yang kuat dan level rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

86

Gambar 35. Pengembangan Pose Gerak Rantak Duo Bolah Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 2, empat orang penari dengan melakukan gerak yang berbeda, penyerang dan penangkis, volume gerak yang besar, tenaga yang kuat dan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 36. Pengembangan Pose Gerak Rantak Duo Bolah Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 3, gerak ini dilakukan berpasangan, penyerang dan penangkis dengan ruang gerak yang besar, tenaga

87 yang kuat dan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 37. Pengembangan Pose Gerak Rantak Duo Bolah Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 4 sama dengan Gerak hitungan 2, tetapi dilakukan oleh enam orang penari dengan melakukan gerak yang berbeda, penyerang dan penangkis, volume gerak yang besar, tenaga yang kuat dan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 38. Pengembangan Pose Gerak Rantak Duo Bolah Hitungan 4 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

88 6. Gerak Kuak Ilalang

Gerak Kuak Ilalang membutuhkan tenaga yang kuat, ruang gerak yang lebar dan memerlukan waktu yang lama. Gerak ini dilakukan dengan lima hitungan. Pada hitungan 1, penari yang berdiri membutuhkan tenaga yang kuat, sedangkan penari yang duduk bertumpu pada pinggul serta tangan kiri. Gerakan ini dilakukan dengan volume yang besar, tenaga yang kuat dan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 39. Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Pada hitungan 2, empat orang penari melakukan gerak penyerang dan penangkis secara berhadapan dengan volume gerak yang besar, tenaga yang kuat, level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

89

Gambar 40 Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Pada hitungan 3, dua orang penari melakukan gerak penyerang dan penangkis dengan volume gerak yang besar, tenaga yang kuat, dan level tinggi. Gerakan dilakukan dengan cara menyerang dari belakang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 41. Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

90 Pada hitungan 4, melakukan gerak penyerang dan penangkis secara berhadapan dengaan ruang gerak yang besar, tenaga yang kuat dan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 42. Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 4 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Pada hitungan 5, melakukan gerak secara serempak dengan level tinggi dan volume gerak yang besar dan tenaga yang kuat, badan ke diagonal kiri tinggi, pandangan ke diagonal kanan tinggi depan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 43. Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 5 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

91 7. Gerak Lantiang Pauah

Gerak lantiang pauah menggunakan ruang gerak yang lebar, tenaga yang kuat dengan level tinggi. Gerak ini terdiri dari empat hitungan. Hitungan 1, melakukan gerak bertumpu pada kaki kanan, sedangkan kaki kiri diangkat dengan menggunakan ruang gerak yang lebar, tenaga yang kuat dengan level tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 44 Pengembangan Pose Gerak Lantiang Pauah Hitungan 1 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 2 sama dengan gerak kuak ilalang hitungan 5, melakukan gerak secara serempak dengan level tinggi dan volume gerak yang besar dan tenaga yang kuat, badan ke diagonal kiri tinggi, pandangan ke diagonal kanan tinggi depan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

92

Gambar 45. Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 2 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

Gerak hitungan 3 sama dengan gerak mulai hitungan 1 dikarenakan sebagai penutup, lengan menggunakan ruang gerak yang lebar dan membutuhkan waktu yang lama, torso dengan level tinggi dan untuk tenaga membutuhkan tenaga yang kuat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.

Gambar 46. Pengembangan Pose Gerak Kuak Ilalang Hitungan 3 (Dokumentasi Irdawati dan Sukri 2018)

93

94 BAB IV PENUTUP

ari Podang Perisai adalah tari tradisional yang terdapat di Kuantan Singingi Riau tepatnya di Desa Koto Tinggi T Kecamatan Pangean. Ide penciptaan Tari Podang Perisai bila ditinjau dari segi fungsi tari maka berhubungan dengan tari Perang. Tari Podang Perisai ditarikan oleh laki-laki secara berpasangan yang terdiri dari penyerang dan penangkis. Gerak tari Podang Perisai bersumber dari gerak silat pangean yang telah disterilisasi. Tari Podang Perisai memiliki tujuh ragam gerak yaitu gerak Mulai, gerak Sosor, gerak Paliang, gerak Rantak Sabolah, gerak Rantak Duo Bolah, gerak Kuak Hilalang, dan gerak Lantiang Pauah. Alat musik yang mengiringi tari ini terdiri dari Calempong Anam, Gendang, dan Gong. Kostum yang dipakai dalam pertunjukan tari Podang Perisai adalah baju Taluak Balango, Celana, Kain Sarung dan Peci. Tari Podang Perisai ditampilkan setiap tahunnya yakni pada hari raya Idul Fitri dan pada acara kegiatan pacu jalur. Pacu jalur adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah setempat di bulan Agustus dalam rangka memeriahkan acara ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Pengembangan Tari Podang Perisai dilakukan dalam upaya pelestarian agar tidak punah dan juga agar disenangi oleh generasi muda. Pengembangan yang dilakukan terkait dengan elemen komposisi tari meliputi gerak, penari, kostum, pola lantai, musik, dan tempat pertunjukan. Buku Tari Podang Perisai membahas tentang segi tekstual dan kontekstual diharapkan kepada genersi muda sebagai pewaris tari mau mempelajari dan melestarikan sebagai warisan budaya.

95 Selanjutnya diharapkan pada Dinas Pariwisata agar dapat menjadi dokumen yang berharga untuk ke depannya. Di sisi lain, diharapkan kepada Dinas Pariwisata dapat meninjau kembali tentang tari tradisi yang belum terdata di Kuantan Singingi khususnya di Desa Koto Tinggi Kecamatan Pangean, karena banyak tari tradisi yang belum terdata dan belum didokumentasikan.

96 KEPUSTAKAAN

Aswandi. 1994. “Tinjauan Perkembangan Olahraga Tradisional Rantau Kuantan di Pangean Kecamatan Kuantan Hilir Indragiri Hulu, di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau.” Skripsi. Asy’ri, Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. Yogyakarta : LESFI Bart, Frederick. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Terj. Nining Susilo. Jakarta: Gramedia. Badan Pusat Statistik. 2003. Pangean dalam Angka. Kuantan Singingi : Badan Pusat Statistik. Chaer, Abdul. 1995. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Dilistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Terj. A. Widyamarta. Yogyakarta : Kanisius. Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar (Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI). Eiffelt, Louis.1977. A Periemen For Choreografhers Pedoman Dasar Pementas Tari. Terj. Salmurgianto. Jakarta. ______. 1985. A Primer For Competition A Practical Guide For Teacher. Terjemahan Sal Murgianto “Komposisi Tari”. Yogyakarta: Ikalasti. Hadi,Y.Sumandiyo. 2012. Koreografi Bentuk-Teknik-Isi. Yogyakarta: Cipta Media.

97 ______. 2003. Seni dan Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. ______. 2005. Sosiologi Tari. Yogyakarta : Pustaka Widodo Baru. Hamidy. U.U. 1986. “Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau”. Pekanbaru : Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu (Melayulogi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI ______. Masyarakat Adat Kuantan Singingi. Pekanbaru: UIR Press 2000. Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya. Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Hwkins, Alma. 2003. Mencipta Lewat Tari. Terjemahan Y. Sumandiyo Hadi. Yogyakarta : Manthili. Irdawati, 2016. “Tari Manyakok, Tari Turun Mandi, Tari Podang Perisai sebagai Ekspresi Budaya Masyarakat Melayu Riau”. Jurnal Panggung Vol. 26 No. 4, Desember, ISBI Bandung. ______. “Menguak Nilai-Nilai Budaya Melayu Melalui Tari Tradisional di Wilayah Pacu Jalur Kabupaten Kuantan Singingi Riau. Laporan Penelitian. Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Kurath, Getrude dalam Anya Peterson Royce. 1976. The Antropology of Dance. Blomington & London: Indiana University Press.

98 Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Lomax, Alan. 1978. Folk Song Style and Culture. New Jersey: Transaction Books. Mardimin, Johanes. 1994. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. Murgiyanto, Sal. 2004.Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari di Indonesia. Jakarta : Wedatama Widya Sastra. M. Said. 1990. “Sejarah Kebudayaan Pangian”. Pekanbaru: Ikatan Keluarga Pekanbaru. Purwanto,Hari.2000. Kebudayaan dan Linkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung : STSI Press. Rosidi, Ajip. 2005. “Pendidikan Kebudayaan” dalam Masa Depan Budaya Daerah Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda. Jakarta : Pustaka Jaya. Sastro, Darwanto. 1999. Televisi sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Smith, Jacqueline. 1995. Dance Competition and Paccal Guide For Teacher. Terjemahan Ben Soeharto “Komposisi Tari Sebuah Pertunjukan Praktis Bagi Guru”. Yogyakarta: Ikalasti. Svalastoga, Kaare. 1989. Differensiasi Sosial. Terj. Alimandan. Jakarta : Pt. Bina Aksana Sydam, Gauzali. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Minang. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau. Soeprapto, H.R. Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averroes Press.

99 Soedarsono. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI. ______. 1977. Tari-tarian Indonesia I. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. ______. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. ______. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia). ______. 1975. Komposisi Tari Elemen-elemen Dasar. Yogyakarta : Laga Ligo. ______. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Soekanto, Soerjono. 1969. Sosiologi. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Sumardjo, Jacob. 2000. Filsafat Seni. Bandung : ITB Bandung. Sugiyono.2008. Penelitian Kuantitif Kualitatif dan R&D. Bandung : CV alfabeta. Sunario Susanto, Astrid. 1999. Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Duapuluh Satu. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yurmadalis, 2005. “Keberadaan Tari Podang Perisai di Desa Koto Tinggi Kabupaten Kuantan Singingi.” Laporan Penelitian.

100 GLOSARIUM

Podang : Pedang Paliang : Menoleh Sabolah : Sebelah Duo Bolah : Dua Belah Ilalang : Tanaman Ilalang Kuak : Buka Lantiang : Lempar Pauah : Buah Sejenis Mangga Singingi : Nama Binatang Somba : Sambal Paruh : Setengah Guntiang : Gunting Tobiang : Tebing Jonji : Janji Luhak : Daerah Buek : Buat Pabuektan : Perbuatan Ulayat : Warisan

101 Rimbo : Rimba Urang : Orang Godang : Besar Kopiah : Peci Onam : Enam Tigo : Tiga Ompek : Empat Limo : Lima Sialang : Sejenis Tanaman Ladang : Kebun Menangguak : Menangkap Rambah : Tebang Carano : Tempat Sirih Ngiang-Ngiang : Sejenis nama binatang Maracik : meiris Limau : Jeruk Sisampiang : Kain ikat pinggang Lantiang : Lempar Tantang : Tentang Balimau : Mensucikan badan Puak : Suku Parolak : Tanah pekarangan Rarak : Musik

102 Profil Penulis

Dra. Irdawati, M.Hum dilahirkan di Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumater Barat pada tanggal 1 Januari 1960. Setelah menyelesaikan studi Sarjana Muda pada Jurusan Seni Tari Akademi Seni Karawitan Indonesia Padangpanjang pada tahun 1984, ia melanjutkan ke S-1 Jurusan Tari Nusantara Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan selesai tahun 1991. Setelah itu ia berkesempatan melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan selesai tahun 2002. Sejak tahun 1985 ia menjadi dosen di Jurusan Seni Tari Institut Seni Indonesia, dan mengampu beberapa mata kuliah antara lain Notari Tari, Analisis Tari, dan Metode Penelitian. Alamat Rumah : Jl. M. Luthfi No. 51 RT 02 Kel. Ngalau Kec. Padangpanjang Timur 27124. Nomor Handphone 085363560813, email : [email protected]

103