RECHTSTAAT DAN KONSTITUSIONALISME DALAM PEMIKIRAN DAN

Mustofa Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Jl. A.H. Nasution No. 105 Cibiru Bandung, 40614 E-mail: [email protected]

Abstract: Rechtstaat and Constitutionalism in the Thought of Abdurrahman Wahid (1940-2009) and Hasyim Muzadi (1944-2017). This study aims to explore the thoughts of Abdurrahman Wahid and Hasyim Muzadi about rechtstaat and constitutionalism. This study uses the juridical-normative method with the historical-normative approach and the type of qualitative data. The data sources consist of primary, secondary, and tertiary data obtained from the number of literature and documentation. While the data collection techniques are obtained from book reviews and documentation. Data analysis method is conducted deductively and inductively. The result of this study reveals that the state law and the constitutionalism in the thoughts of Abdurrahman Wahid and Hasyim Muzadi refer to the constitution of Madinah and civil society in relation to religion and state. Abdurrahman Wahid and Hasyim Muzadi can be positioned as substantial, pluralist, nationalist, and humanist religious thinkers. Abdurrahman Wahid and Hasyim Muzadi’s contribution has proved to give improvements in strengthening the relationship between religion and state in and has implications for rechtstaat’s future and constitutionalism in the Islamic legal system in Indonesia. The critical findings of this research are the thoughts of Abdurrahman Wahid, and Hasyim Muzadi provides enlightenment of idea and solution to the problematic rechtstaat with a cultural-religious approach. Keywords: rechtstaat; constitutionalism; Abdurrahman Wahid; Hasyim Muzadi; thought.

Abstrak: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid (1940-2009) dan Hasyim Muzadi (1944-2017). Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi tentang rechtstaat dan konstitualisme. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan historis-normatif serta jenis data kualitatif. Sumber data terdiri atas data primer, sekunder, dan tertier yang diperoleh dari sejumlah literatur dan dokumentasi. Sedangkan teknik pengumpulan data diperoleh dari book review dan dokumentasi. Metode analisis data dilakukan secara deduktif dan induktif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa negara hukum dan konstitualisme dalam pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi merujuk kepada konstitusi Madinah dan civil society dalam hubungannya dengan agama dan negara. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi dapat diposisikan sebagai pemikir muslim subtansialis, pluralis, nasionalis, dan tokoh agama humanis. Kontribusi pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi terbukti memberikan kemajuan dalam memperkokoh hubungan agama dan negara di Indonesia dan berimplikasi terhadap masa depan rechtstaat dan konstitusionalisme dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Temuan penting penelitian ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi yang memberikan pencerahan pemikiran dan solusi terhadap problematika rechtstaat dengan pendekatan kultural-religius. Kata kunci: rechtstaat; konstitutionalisme; Abdurrahman Wahid; Hasyim Muzadi; pemikiran.

Pendahuluan Ia juga menolak tentang keberadaan negara Islam. Abdurraham Wahid (selanjutnya disapa Sebab, pada dasarnya, Islam belum mempunyai Gus Dur) cenderung menolak terhadap segala konsep yang jelas dan terperinci tentang sistem bentuk formalisasi agama. Segala hal yang negara. Menurutnya, nabi Muhammad Saw berwajah syariatisasi atau Arabisasi sebagaimana menata Madinah itu tidak kemudian membentuk diungkapkan Hamidah1 selalu ditolak oleh Gus Dur.

Pemikiran Intelektual Islam”, Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 1 Hamidah, “Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Volume 35, Nomor 1 2011, http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index. Madjid–K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan php/jurnalmiqot/article/view/132/122, diakses 17 April 2018.

83 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018 negara Islam, tetapi membentuk negara Islami pemikirannya mengenai Islam, rechtsstaat, dan yang menurut Nurcholis Madjid disebut negara konstitusionalisme. Wujud lain sebenarnya juga madani. Karena itu, yang dibutuhkan sebenarnya dapat dilihat seperti penelitian M. Khoirul Hadi bukan memberikan label Islam, tapi nilai-nilai Islam yang mengungkapkan “pribumisasi pendidikan lah yang harusnya menjadi landasan dan spirit Islam ala Gus Dur”3 dan konsep multikultural dalam menjalankan pemerintahan atau negara. yang diteliti oleh Wasino4. Konsep rechtsstaat dan Jadi, Gus Dur lebih mencita-citakan masyarakat Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman­ yang menjadikan Islam sebagai nilai dalam Wahid (lahir 1940 dan wafat 2009) ini kemudian kehidupan sosial masyarakat, meski tidak harus disandingkan dengan pemikiran K.H. Hasyim hidup dalam bentuk negara Islam. Muzadi (lahir 1944 dan wafat 2017). Pemikiran Berbicara masalah keislaman dan ke­ kedua tokoh ini menarik untuk dianalisis, bukan indonesiaan, muara pemikiran Gus Dur yang saja karena keduanya adalah mantan Ketua Umum kemudian menyemai ke dalam pemikiran keislaman Pengurus Besar Nahdatul (PBNU), tetapi dan kenegaraan itu, berasal dari pemikiran­ karena pemikirannya memiliki kesamaan dalam nya mengenai pribumisasi Islam di Indonesia. membangun bangsa dan negara. Pemikiran Gus Dur ini pada awalnya menuai pro Fenomena rechtsstaat atau negara hukum dan kontra. Fitriah2 mengatakan bahwa pro-kontra dan konstitusionalisme dalam pemikiran Gus mengenai konsepsi pribumisasi Islam ini tidak bisa Dur dan Hasyim Muzadi sangat urgen untuk dihindarkan. Pada 8-9 Maret 1989, lebih kurang dibahas. Selama beberapa dekade, diskursus 200 kiai berkumpul di Pondok Darut hubungan agama dan negara dalam pemikiran Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk “mengadili” hukum Islam ditentukan dalam tiga poin5 sebagai Gus Dur. Dari sini muncul beberapa kubu yang berikut. Pertama, Islam dipandang sebagai agama pro dan kontra atas gagasan Gus Dur terkait yang sempurna dan serba lengkap mengatur dengan pribumisasinya. Akan tetapi, sebagaimana segala aspek kehidupan manusia termasuk di diakui Gus Dur, ia bukanlah yang pertama yang dalamnya masalah politik dan ketatanegaraan. memulai. Ia adalah generasi pelanjut dari langkah Kedua, Islam dipahami dalam pengertian negara- strategis yang pernah dijalankan oleh Wali Songo. negara Barat yakni agama dan negara Dengan langkah pribumisasi, menurutnya, Wali tidak ada hubungannya, masing-masing terpisah Songo berhasil mengislamkan tanah Jawa tanpa satu sama lain. Ketiga, Islam dipahami secara harus berhadapan dan mengalami ketegangan substantif, meskipun tidak diatur secara tegas dengan budaya setempat. masalah politik dan ketatanegaraan serta tidak Pribumisasi Islam pada prinsipnya meng­ pula memisahkan antara keduanya, akan tetapi upayakan agar ajaran-ajaran Islam benar-benar di dalamnya terdapat seperangkat prinsip-prinsip membumi dalam setiap ruang dan waktu yang dan asas-asas tentang politik dan ketatanegaraan. dilaluinya. Secara sederhana, wacana pribumisasi Pola hubungan agama dan negara dalam Islam ini dapat dipahami sebagai upaya untuk pemikiran hukum Islam, secara internal bukan melindungi proses asimilasi dan akulturalisasi nilai- hanya tampak pada implementasi prinsip- nilai Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia prinsip dan asas-asas politik Islam dalam sistem yang berlangsung secara alamiah. Tujuan akhirnya pemerintahan dan negara, tetapi juga secara adalah agar tradisi-tradisi yang terbentuk dari eksternal dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, proses asimilasi dan akulturasi ini tetap dapat sosial, budaya, dan ekonomi, serta peradaban diakui sebagai budaya Islami. 3 Hadi, M. Khoirul, “Abdurrahman Wahid dan Pribumisasi Di antara pemikiran Abdurrahman Wahid Pendidikan Islam”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.12, No. 1, tentang keislaman dan keindonesiaan adalah Juni 2015: 183-207. 4 Wasino, “Indonesia: From Pluralism to ”, Paramita: Historical Studies Journal, Vol 23, No. 2, 2013, 2 Fitriah, Ainul, “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/ Pribumisasi Islam”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, view/2665/2733, diakses 20 April 2018. Volume 3, Nomor 1 Juni 2013, http://teosofi.uinsby.ac.id/index. 5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (: UI php/teosofi/article/view/43/40, diakses 17 April 2018. Press, 1991), h. 1-3.

| 84 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi pemikiran yang berbaur dalam tradisi politik dan merupakan bentuk pengamalan syariat Islam.8 hukum dalam masyarakat muslim itu sendiri. Hal Berkenaan dengan uraian di atas, yang men­ ini telah mendukung pandangan pemikiran bahwa jadi fokus tulisan ini adalah (1) pemikiran Gus pada masa awal kemunculannya, Islam seringkali Dur dalam pembaharuan Islam di Indonesia, (2) dihubungkan dengan pengalaman kejayaan di gagasan Gus Dur dan Hasyim Muzadi tentang 6 bidang politik. Negara berdasarkan­ hukum, Rechtsstaat dan Pengkajian atas gagasan Gus Dur dan Hasyim Konstitusionalisme dalam konteks hubungan Muzadi tentang Rechtsstaat dan Konstitusionalisme antara agama dengan negara di Indonesia, dan dilatarbelakangi beberapa alasan. Pertama, (3) kontribusi dan implikasi gagasan Gus Dur diskursus paling menarik dalam pandangan Gus dan Hasyim Muzadi tersebut bagi masa depan Dur dan Hasyim­ Muzadi untuk membangun civil perkembangan agama dan negara da­lam hukum society yang berdaya. Hal itu didasarkan kepada Islam di Indonesia. keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926. Bagi sebagian pengamat, kembalinya NU ke Khittah Metode 1926 dinilai sebagai­ sebuah jawaban yang tepat Penelitian ini menggunakan metode yuridis- dan strategis di masa mendatang. Dengan kembali normatif dengan pendekatan historis-normatif ke khittah, secara kelembagaan, NU memutuskan serta jenis data kualitatif. Sumber data terdiri un­tuk tidak terlibat lagi dalam politik praktis. Ini atas data primer, sekunder, dan tertier yang artinya bukan berarti NU tidak berpolitik. NU diperoleh dari sejumlah literatur dan dokumentasi. pada dasarnya tetap berpolitik, hanya orientasi Sedangkan teknik pengumpulan data diperoleh politik­ nya­ mengalami perubahan. dari book review dan dokumentasi. Metode analisis Terdapat duabelas­ prinsip yang merupakan data dilakukan secara deduktif dan induktif. pilar utama dalam menyangga berdiri tegaknya Sementara itu, kerangka teori dilakukan melalui suatu negara modern, sehingga dapat­ disebut (1) grand theory, yakni teori kredo dan teori rechtsstaat dalam arti yang sebenarnya. Adapun kedaulatan Tuhan; (2) middle range theory, yakni kedua­ belas­ prinsip tersebut adalah: (1) supermasi teori perubahan sosial dan perubahan hukum; dan hukum (supermacy of law); (2) persamaan dalam (3) applied theory, yaitu teori Konstitusi Madinah hukum (equality before the law); (3) asas legalitas dan teori negara hukum. (due process of law); (4) pembatasan kekuasaan; Teori kredo yaitu teori yang mengharuskan (5) organ-organ eksekutif independen; (6) pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah peradilan yang bebas dan tidak­ memihak; (7) mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai peradilan tata usaha negara; (8) peradilan tata ne­ konsekuensi logis dari pengucapan kredonya9. gara (constitusional court); (9) peradilan hak asasi Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip manusia; (10) bersifat­ demokratis (democratische tauhid dalam filsafat hukum Islam. Prinsip tauhid rechtsstaat); (11) berfungsi sebagai sarana me­ yang menghendaki setiap orang yang menyata­ wujudkan tujuan negara (welfare rechtsstaat); kan dirinya beriman kepada kemahaesaan Allah 7 dan (12) transpa­ransi dan kontrol sosial. swt, maka ia harus tunduk kepada apa yang Pada Musyawaranh Nasional Alim Ulama NU diperintahkan-Nya, yakni taat kepada-Nya dan di Situbon­do (1983), Pan­casila­­ diterima sebagai sekaligus taat kepada Rasulullah saw dengan dasar negara. Sedangkan Islam­ tetap dija­ ga­ mengikuti sunahnya. se­bagai akidah. Antara akidah beragama dan Teori Kredo ini sama dengan teori hukum dasar bernega­ra tidak di­benturkan. yang memuat sila Ketuhanan­ Yang Maha­ Esa 8 Keputusan itulah yang dikukuhkan oleh Muktamar NU XXVII yang berlangsung tanggal­­ 8-12 Desember 1984 di Situbondo. Di tempat yang sama dengan berlangsung­ nya­ 6 Ahmad Syafi`i Ma’arif, Islam dan Masalah Ketatanegaraan, Musyawarah Nasional, Muktamar yang bersejarah dihadiri oleh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. i. Presiden dan para Menteri. Lihat:­ Einar Martahan Sitompul, NU 7 ,Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam dan Pancasila (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 167. Konstitusi dan Pelak­sanaan­ nya­ di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 9 Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Tasikmalaya: Baru-van Hoeve, 1994), h. 14-15. Lathifah Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), h. 133.

85 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018 yang dijelaskan oleh H.A.R. Gibb10. Menurutnya, Hazairin dikenal dengan teori receptie exit. Beliau orang Islam yang telah menerima Islam sebagai berpendapat bahwa banyak aturan pemerintah agamanya berarti ia telah menerima otoritas Hindia Belanda yang bertentangan dengan UUD hukum Islam atas dirinya. Teori Gibb ini sama 1945. Pertentangan tersebut terdapat pada dengan apa yang telah diungkapkan oleh imam pembukaan Undang-Undang Dasar Alinea ke III mazhab seperti Imam Syafi`i dan Imam Abu Hanifah dan Alinea ke IV serta pada Pasal 29 Undang- ketika mereka menjelaskan teori mereka tentang Undang Dasar 1945. Kesimpulan dari teori ini politik hukum internasional Islam dan hukum adalah: pidana Islam. Mereka mengenal teori teritorialitas 1. Teori receptie telah patah; tidak berlaku dan nonteritorialitas. Teori teritorialitas dari dan exit dari tata negara Indonesia sejak Tahun Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam dan memulai berlakunya UUD 1945 dan dasar sepanjang ia berada di wilayah hukum tempat negara Indonesia. Demikian pula keadaan itu hukum Islam diberlakukan. Sementara teori setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli nonteritorialitas dari Imam Syafi`i menyatakan 1959 untuk kembali pada UUD 1945. bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk 2. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 maka melaksanakan hukum Islam di mana pun ia negara Republik Indonesia berkewajiban berada, baik di wilayah hukum ketika hukum membentuk hukum nasional Indonesia Islam diberlakukan, maupun di wilayah hukum bahannya adalah hukum agama. Negara yang tidak memberlakukan hukum Islam. mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu. Teori sosial dan perubahan hukum sebagai 3. Hukum agama yang masuk dan menjadi midle theory dalam penelitian ini adalah hukum Nasional Indonesia itu bukan hukum penyerapan hukum Islam oleh masyarakat Islam saja, melainkan juga hukum agama lain dan ini merupakan sebuah fenomena yang terjadi untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di di Indonesia. Teori ini digunakan untuk menjelaskan bidang hukum perdata dan hukum pidana lebih lanjut masalah penyerapan hukum Islam oleh diserap menjadi hukum nasional Indonesia. masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini, muncullah Istilah hukum baru Indonesia dengan dasar dua teori, yakni teori receptio in complexu yang Pancasila11. dikemukaan oleh Lodewijk Willem Cristian Van Applied theory yang digunakan adalah teori Den Berg (1845-1927) dan theory receptie Christian perubahan hukum dan seperangkat kaidah Snouck Hurgronye (1857-1936). Dalam teori hukum Islam mengenai perubahan hukum. Teori receptie in complexu disebutkan bahwa bagi orang perubahan hukum digunakan untuk mengetahui Islam yang berlaku penuh adalah hukum Islam unsur-unsur internal dan eksternal masyarakat sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam yang menjadi pengubah hukum. Perubahan pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan- hukum tidak bisa lepas dari perubahan sosial, penyimpangan. Sementara dalam teori receptie karena hukum sebagai subsistem dari sistem disimpulkan bahwa hukum Islam di Indonesia baru sosial12. Applied theory ini juga menggunakan dapat diterima dan berlaku ketika telah diterima seperangkat kaidah-kaidah hukum Islam yang oleh hukum adat. Teori kedua ini sebenarnya berkenaan dengan perubahan hukum. Kaidah- bertujuan politis, yakni agar semangat umat Islam kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan ketika itu melemah untuk menjalankan syariat َ ْ َ ُ ُ َ َّ ٌ Adat itu dapat menjadi) ال َعادة مك َمة urf, seperti‘ ْ َ ْ َ Islam yang akan membahayakan kepentingan hukum) dan َ ْ ُّ َ َ َ ْ ُ ُّ َ َ ُ ْ ُ َ (Tidak الين ِكرتغي الحك ِم بِتغ ِي الزم ِان .pemerintah Hindia Belanda dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum itu Kedua teori di atas kemudian dibantah oleh berhubungan­ dengan perubahan masa). Kaidah-

10 H.A.R. Gibb, The Modern Trends in Islam, (Chicago: The 11 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: University of Chicago Press, 1950) dan bisa juga dilihat Sajuti Pustaka Setia, 2011), h. 81. Thalib, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan 12 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), Cet. ke-5, h. 5 Kencana Prenada Media, 2005), h. 24.

| 86 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi kaidah tersebut memberikan pedoman bahwa sudah lain, yakni satuan politik yang didukung hukum Islam memiliki sifat elastis sehingga akan oleh ideologi nasio­nal. Penjelma­ ­an pengertian bisa selaras dengan perkembangan zaman. ini menurut Gus Dur ialah konsep negara-bangsa (nation­ state). Di abad modern ini, mau ti­dak mau Gagasan Tentang Rechtsstaat Abdurrahman Islam harus mau berinteraksi dengan sederetan Wahid fenomena yang secara global meru­pa­kan nation 16 Gus Dur sangat konsisten dengan pe­ state. mikirannya bahwa negara tidak harus berbentuk Perdebatan hukum Islam di tengah pluralitas negara Islam secara formal, demikian pula dalam hukum nasional tampaknya merupakan kewajaran, pelaksanaan hal-hal kenegaraan.Dalam hal ini, sebagai konsekuensi dari induk hu­kum nasional Santalia mengatakan bahwa negara dalam (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) sebagai perspektif Gus Dur adalah al-hukum, yakni hukum warisan­ Belanda dan Perancis dari sistem hukum atau aturan13. Dengan kata lain, Islam tidak kontinental, civil law system, dengan ajaran mengenal konsep pemerintahan yang defenitif, individualism, liberalism and individual rights tetapi yang terpenting dalam Islam adalah yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum etika kemasyarakatan dan ko­munitas.14 Bahkan Indonesia.17 Pergumulan tersebut telah diupayakan dalam persoalan­ yang paling pokok, yakni suk­ solusinya sejak lahirnya Undang-Undang Nomor sesi kekuasaan, menurut Gus Dur, ternyata Islam 1 Tahun 1946 melalui asas konkordansi, yang tidak­ konsisten. Terkadang memakai istiskhlaf, sesungguhnya sangat terkait dengan dinamika bay’at, atau ahl al-hall wa al-‘aqd. Padahal suksesi perkembangan politik hukum nasio­nal.18 Dalam merupakan masa­ ­lah yang cukup penting dalam pergumulan politik nasional, beberapa hukum urusan kenegaraan. Ia memberikan­ catatan jika nasional telah lahir sejak kemerdekaan, Orde me­mang Islam mempunyai konsep, tentu tidak Lama, Orde Baru bahkan hing­ga era Reformasi ter­jadi demikian. Bagi Gus Dur, Islam memang dan masih menjadi polemik. Hal ini, tampak misal­ sengaja tidak mengatur kon­sep kenegaraan agar nya dalam perjalanan Undang-Undang Nomor 1 ia dapat diterima oleh semua entitas buda­ya. Tahun 1974 tetang Perkawinan, Kompilasi Hukum Menu­ ­rut Gus Dur, yang ada hanyalah komunitas Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991), agama­ (kuntum khayr ukhrijat li al-nâs). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Jadi, khayr ummah bu­kan khayr dawlah­­ atau khayr Wakaf,­ Peraturan Daerah berbasis Syariah, dan jumhûriyah, apalagi khayr mamlakah.15 lain-lainnya.19 Sementara itu, Hasyim Muzadi Patut digaris bawahi bahwa gagasan Gus Dur menyatakan bahwa hukum Islam dila­rang menjadi yang menyatakan­ bah­wa umat Islam sebenarnya Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah. tidak perlu lagi merasa kesu­ ­litan untuk men­cari Menu­rutnya,­ syariat Islam seharusnya ada dalam kaitan antara Islam dan wawasan kebang­saan.­ konteks civil society bukan­ nation state karena Akan tetapi, ia meng­akui bahwa pengertian hal tersebut dikhawatirkan memicu perpe­ ­cahan bangsa dalam rumusan Alquran yaitu kun­ bangsa dan negara. tum khayr ummah ukhrijat li an-nâs, terbatas Fenomena yang demikian dapat dibenarkan, hanya pada bangsa sebagai­ satuan etnis yang antara lain karena politik hukum yang berpengaruh mendiami teritorial bersama. Sedangkan wa­wasan kebangsaan di masa modern ini pengertiannya 16 Abdurrahman Wahid, Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama, h. 71. 17 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan 13 Santalia, Indo, “K.H. Abdurrahman Wahid: Agama dan Ilmu Hukum Pidana: Menyong­ ­song Generasi Baru Hukum Pidana Negara, Pluralisme, Demokratisasi, dan Pribumisasi”, Jurnal Al- Indonesia, (Semarang: PustakaMagister, 2011), h. 35. 18 Adyan,Vol.1, No. 2, Desember 2015. Lihat M. Akil Mochtar, “Visi Pembangunan Sistem 14 Abdurrahman Wahid dalam kata pengantarnya untuk Hukum Indonesia”, aksespada 4 Pebruari 2013darihttp://www. Buku, Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: akilmochtar.com/wp-content/uploads/2011/06/ Persinggungan -Negara, (Yog­­yakarta: LKiS, 1997). Visi_Pembangunan_Sistem_Hukum_Indonesia_akil1. 15 Abdurrahman Wahid,“Merumuskan Hubungan Ideologi pdf276 Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013, h. 273-296. Nasional dan Agama”, da­­­lam Kacung Marijan dan Ma’mun 19 Sularno, “Syari’at Islam dan Upaya pembentukan Hukum Murod al-Brebesy, Abdurrahman Wahid Me­ngu­rai Agama dan Positif diIndonesia”, diakses­ pada 05 Oktober 2012, dari http:// Negara (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 87. journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/view File/245/240.

87 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018 pada masa tersebut. Pernyataan di atas dapat Gagasan tentang negara hukum tercantum diterima karena sesuai dengan rumusan Garis- di dalam Undang-Undang Da­­sar Negara Republik gariss Besar­ Haluan Negara tahun 1999-2004 Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis: UUD berganti Program Pembangun­an Nasional selaras 1945), yang menjelaskan bahwa negara Indonesia Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang berda­ sar­ kan­ atas hukum­ (rechtsstaat), tidak Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berdasarkan atas kekua­sa­an be­laka (mach­staat). khususnya Pasal 18 yang menjelaskan materi Oleh karena itu, negara tidak boleh melaksanakan­ undang-undang perlu dan hendaknya diran­ ­cang aktivitas­nya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi bangun sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan harus berda­ sarkan­ pada hukum­ 21. Selanjutnya hukum masya­ rakat.­ 20 Atas perihal tersebut dalam UUD 1945 tersebut dinya­takan bahwa diperlukan antara lain suatu reformasi­ bermaz­ ­ pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional hab secara eklektis dengan memilih sumber- (hukum­­ dasar) tidak bersifat (absolutisme) sumber se­­suai de­ngan per­kembangan historis dan kekuasaan yang terbatas, karena kekuasaan metodologi studi aga­ma—hukum Islam, seperti eksekutif dan administrasi di Indonesia berada Ijtihad, Ijma, Qiyas, dan lainnya. Hal itu sesuai­ dalam satu tangan, yaitu ada pada presiden. sosio-kultur yang berkembang serta strategi Artinya, administrasi­ dalam menjalankan tugasnya tertentu sesuai studi­ keislaman kontemporer dibatasi oleh peraturan perun­dang-undangan. (eklektisisme). Dalam pemikiran hukum Islam, penerapan Pemikiran Gus Dur tersebut tampaknya ingin prinsip-prinsip hukum­ tata negara Islam hendaknya menegaskan ke­pa­da khalayak bahwa tugas utama juga mengacu kepada kaidah-kidah hukum Islam, Islam adalah mengembangkan eti­ka sosial, yang yakni memungkinkan bagi tercapainya kesejahteraan َ َ ُّ ُ َ َ َ َّ َ َ ُ ٌ َ ْ َ َ تص ف ِاالم ِام ع الر ِعي ِة منوط بِالمصلح ِة ­kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk ma syarakat­ yang bernama negara nasional maupun “Tindakan imam terhadap rakyatnya harus di­ di luarnya. Kelahiran­ Forum Demokrasi (Fordem), kaitkan dengan kemaslahatan”. menurut Gus Dur merupakan perwu­ ­judan dari Kaidah tersebut didukung oleh kaidah “perbuatan rasa keprihatinan atas munculnya berbagai isu yang men­ca­kup kepentingan orang lain lebih sekta­rian­isme dan primordialisme, yang gejalanya utama daripada hanya kepen­ ­ting­an sendiri” ditimbulkan akibat kurangnya­ kebebasan dan (al-muta`addi afdhâl min al-qashîri). Sehingga tidak adanya nilai-nilai demokrasi yang mema­ ­dai tujuan majelis syura’ dalam hukum tata negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam hendaknya mengacu kepada kaidah hukum Pemikiran Gus Dur dan Hasyim Muzadi yang ”apa-apa yang tidak dapat diambil seluruhnya akan diuraikan di bawah nanti merupakan masalah maka jangan ditinggalkan seluruhnya”. yang krusial. Contoh yang terjadi di Indonesia َ َ ُ ْ َ ُ ُُّ ُ َ ُ ْ َ ُ ُُّ 22 مااليدرك ك هاليتك كه tentang hubungan agama dan negara yang selalu diperdebatkan dalam kon­teks Rechtsstaat dan Berdasarkan kaidah tersebut, setiap orang Konstitusionalisme. Adanya rechtsstaat yang adalah pemimpin yang memiliki hak dan kewajiban ber­­kaitan dengan korupsi, kekerasan, narkoba, yang sama. Tetapi hal itu hendaknya­ bertujuan penistaan agama, dan lain-lain. Oleh karena itu, guna menghindari maraknya berbagai kasus yang 21 terjadi di Indonesia, diperlukan adanya konsep Likadja, Jeffry Alexander Ch, “Memaknai ‘Hukum Negara (Law Through State)’ dalam Bingkai ‘Negara Hukum (Rechstaat)’, rechtsstaat­ atau negara hukum dan konstitualisme Jurnal Hasanuddin Law Review, Vol. 1, No. 1, April 2015. dalam pemikiran Gus Dur dan Hasyim Muzadi, http://pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev/article/ view/41/40, diakses 20 April 2018. yang bisa diimplementasikan dalam hukum Islam 22 Mukhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan di Indonesia. Fiqhiyyah,(Jakarta: Gema Insani Press, 2000); Asjmuni Rahman, Kaidah-kaidah Fikih, (Qawa’id al-Fiqhiyyah), (Jakarta:­ Bulan Bintang, 1976). Lihat pula dalam Kitab Tabshirat al-Ahkâm, Juz 20 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi I, hlm.106-108 yang dikutip oleh Abdul Karim Zaidan, Nizhâm Tentang Konflik danResolusi dalam Sistem Hukum Indonesia al-Qadhâ’ fî al-Syarî`ah al-Islâmiyah, (Bagdad: Matba’at al-’Ayni, (Jakarta: Alvabet, 2012), h. 291-299. 1983), h. 129.

| 88 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi untuk kemaslahatan umum (maslahat al-‘ammah).23 samaan dengan kelahiran negara konstitusi dan Menurut pandangan Muhammad Tahir demokrasi. Secara sederhana pe­nger­tian negara Azhari,24 terdapat lima kon­sep rechtsstaat­ yang hukum adalah negara yang penyelenggaraan memiliki muatan pokok sebagaimana beri­kut ini. kekua­saan pemerintahannya didasarkan atas 26 Pertama, negara hukum menurut Alquran dan hukum. Di negara yang berda­ ­sarkan atas hukum, . Az­hari­ cenderung menggunakan istilah negara termasuk di dalamnya pemerintah dan nomokrasi Islam. Malcolm H. Kerr dan Madjid lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan Khadduri juga menggunakan istilah no­mokrasi tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan 27 dari sudut Islam. Untuk membedakan konsep dapat dipertanggungjawabkan secara­ hukum. ini dengan konsep negara sekuler atau negara Masalah relasi agama dengan negara me­ hukum menurut konsep Barat, ia berpendapat rupakan salah satu hal yang penting dalam istilah nomokrasi Islam lebih tepat dan lebih pemikiran Gus Dur. Oleh karena itu banyak orang memperhatikan kaitan nomokrasi dengan hukum yang melakukan review terhadap pemikirannya. Islam. Kedua, negara hukum menurut kon­sep Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus Eropa Kontinental yang dinamakan dengan pemikiran Gus Dur mengenai relasi agama dan rechtsstaat. Model negara hukum ini diterapkan, negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran misalnya di Belanda, Jerman, dan Perancis. Ketiga, yang “se­ku­laristik”, yaitu pemisahan antara agama konsep Rule of law yang diterapkan di negara- dan negara. Menurut Gus Dur, Islam tidak pernah negara Anglo Saxon, antara lain Ing­gris dan menganjurkan pembentukan negara Islam. Islam Amerika Serikat. Ketiga, konsep yang disebut hanyalah sebagai jalan hidup (way of life) tidak socialist le­gali­ty yang diterapkan antara lain Uni memiliki kon­sep yang jelas tentang negara.28 Soviet sebagai negara komunis.­ Keempat, konsep Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan negara hukum Pancasila. kasih sayang, toleran, dan keadilan. Dilihat dari sejarah, negara hukum adalah Sementara itu, menurut pemikiran K. H. suatu doktrin dalam ilmu hukum yang muncul Hasyim Muzadi, ada hu­bungan antara agama sejak zaman Yunani Kuno.25Doktrin itu ber­ dengan negara, sekali pun sebuah negara ber­ kembang pesat pada abad ke-19 di Eropa, ber­ asaskan Islam atau berbentuk negara Islam, tidak secara otoma­tis nilai-nilai Islam dapat 23 A. Wahab Afif, Maslahat al-Ummah: Suatu Pendekatan dilaksnakan secara baik dalam sistem kene­ Menuju Mayarakt Muslim­ Moderat, Orasi Penganugrahan garaan. Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa Gelar Doktor Honoris Causa Ilmu Perbandingan Madzhab & Bimbingan Masyarakat Islam, Bandung, 7 Agustus 2010, Pancasila lah sebagai dasar negara Indonesia (Bandung: Universitas­ Islam Negeri Bandung), h. 14. dan Pancasila mampu sebagai pemersatu bangsa 24 Muhammad Tahir Azhary, Suatu Studi tentang Prinsip- prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam dan Implementasinya yang plural, serta Pancasila adalah pilihan yang pada Periode Negara Hukum Madinah dan Ma­sa Kini, (Jakarta: cerdas untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Bulan Bintang, 1991), h. 63. Walau tidak berdasarkan agama­ secara formal, 25 Pada masa Yunani Kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh pa­ra filusuf besar Yunani Kuno, menurut Hasyim, Indonesia bukanlah negara seku­ ­ seperti Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). ler. Indonesia adalah negara yang berketuhanan Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles,­ ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. 26 Gagasan tentang negara hukum yang telah di­ Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Poli­ kembangkan oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesquieu, ticos, belum muncul istilah negara hukum. Namun dalam dan lainnya, masih bersifat samar-samar, dan tenggelam dalam Nomoi, Plato menguraikan­ bentuk-bentuk pemerintahan waktu yang sangat panjang.Kemudian muncul kembali secara yang mungkin dijalankan. Plato mengemukakan bahwa lebih eksplisit pada abad XIX, dengan munculnya konsep penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan rechsstaat yang dikembangkan oleh Fre­derich Julius Stahl di pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato ditulis Eropa Continental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel dalam buku Politica. Plato banyak mengemu­ kakan­ penjelasan Kant. Lihat: O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum bagi tentang konsep nomoi sebagai cikal-bakal pemikiran tentang Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum bagi Pembaharuan negara hukum. Menurut Plato, pada dasarnya ada dua macam Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, pemerintahan yang dapat diselenggarakan, yaitu pemerin­ 1970), h. 21. tahan yang dibentuk melalui jalan hukum dan pemerintahan 27 M. Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, yang terbentuk tidak melalui jalan hukum. Lihat dalam Budiono 1992), h. 73-74. Kusu­ ­mohamidjojo, Filsafat Hukum: Problemtika Ketertiban 28 Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda Islam yang Adil, (Jakarta: Grasindo,­ 2004), h. 36-37. Kita,(Jakarta: ,­ 2006), h. 81.

89 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018

Yang Maha Esa, karena itu negara tidak hanya muslimin untuk mencernakan keharusan historis saja wajib memberikan perlindungan tetapi juga dalam beriteraksi dengan fenomena global itu. mengatur hubungan umat beragama tanpa me­ Pemikiran Gus Dur tersebut, tampaknya ingin lakukan intervensi terhadap ajaran teologis setiap menegaskan kepada khalayak bahwa tugas utama agama. Ha­syim mengatakan, bahwa perilaku Islam adalah mengembangkan etika sosial32 yang hubungan antara agama dan negara­ tidak dapat memungkinkan bagi tercapainya kesejahteraan terpisahkan. Menurut paham teokrasi, agama kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk dan negara dipahami sebagai dua hal yang masyarakat yang bernama negara nasional tidak dapat dipisahkan, dija­lankan berdasarkan maupun di luarnya. Selain itu, fungsionalisasi firman-firman Tuhan, sehingga segala tata kehi­ etika sosial dapat saja berbentuk pengundangan dupan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan melalui hukum positif, maupun sekedar melalui berdasarkan perin­tah Tuhan. Dengan demikian, penya­daran masyarakat tentang pentingnya urusan kenegaraan atau politik, menu­ ­rut paham pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan teoraksi merupakan manifestasi dari perintah nyata. Dengan demikian, baik pandangan Gus Tuhan dalam kehidupan manusia.29 Dur lebih menekankan­ agar nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya ke dalam sebuah Kontribusi Pemikiran Abdurrahman Wahid masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara dan Hasyim Muzadi yang digunakan. Kontribusi pemikiran Abdurrahman Wahid Kemudian dalam konteks pluralisme, (Gus Dur) dan Hasyim Muzadi sebagai berikut. Abdurrahman Wahid yang melihat hubungan Abdurrahman Wahid30 berpendapat bahwa, dalam antara Islam dengan pluralisme dalam konsteks Islam, negara itu adalah hukum dan sama sekali manifestasi univer­salisme dan kosmopolitanisme tak memiliki bentuk negara. Yang penting di ajaran Islam.Menurut Gus Dur, ajaran yang dengan dalam Islam adalah etika kemasyarakatan dan sempurna menampilkan universalisme Islam komunitas. Alasannya, Islam tidak mengenal adalah 5 (lima) jaminan dasar yang diberikan konsep pemerintahan­ yang definitif. Bahkan Islam kepada warga masyarakat, baik secara dalam persoalan yang paling pokok, yakni suksesi pero­rangan maupun sebagai kelompok. Kelima kekuasaan, menurut Abdurrahman Wahid ternyata jaminan dasar tersebut, menurut pandangan Islam tidak konsisten. Terkadang memakai Gus Dur telah tersebar dalam literatur hukum istiskhlaf, bai’at atau ahl al-hall wa al-’aqd. Padahal agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yang terdiri persoalan suksesi adalah masalah yang cukup dari: (a) kesela­matan fisik warga masyarakat dari urgen dalam masalah kenegaraan. Ia memberikan tindakan badani di luar ketentuan hukum; (b) catatan jika memang­ Islam mempunyai konsep keselamatan keyakinan agama masing-masing tentu tidak terjadi demikian. Bagi Gus Dur, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; Islam memang sengaja tidak mengatur konsep (c) keselamatan keluarga dan keturunan; (d) kenegaraan agar ia bisa diterima oleh semua keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar entitas budaya. Menurut Gus Dur, yang ada prosedur hukum; dan (e) keselamatan profesi. hanyalah komunitas agama (kuntum khayr Pemikiran Abdurrahman Wahid tersebut, ummatin ukhrijat li-al-nâs). Jadi, khaira ummatin tampaknya ingin menegaskan kepada khalayak bukan khaira daulatin atau khaira jumhuriyatin bahwa tugas utama Islam adalah mengembangkan apalagi khaira mamlakatin.Di abad modern ini, etika sosial yang memungkinkan bagi tercapai­ mau tidak mau Islam harus mau berinteraksi nya kesejahteraan kehidupan umat manusia, dengan sederetan fenomena yang secara global baik melalui bentuk masyarakat yang bernama merupakan nation state.31 Tidak mudah bagi kaum

29 Deliar Noer, Gerakan Modern Islamdi Indonesia 1900- (: al-Amin Press, 1996), h. 94-120. 1942, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 54 32 Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan 30 Lihat , Pemikiran dan Sikap Politik Gus Kosmopolitanisme Peradaban Islam”,­ dalam Budhy Munawar- Dur, (Jakarta: Erlangga,2010), h. 94. Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, 31 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Jakarta: Paramadina), h. 545-552.

| 90 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi negara nasional maupun di luarnya. Selain itu, bahwa Pancasila diterima sebagai dasar negara fungsionalisasi etika sosial dapat saja berbentuk tidak meniadakan keinginan orang-orang tertentu pengundangan melalui hukum positif, maupun untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. sekedar melalui penya­daran masyarakat tentang Meskipun tidak menampakkan diri dalam cara pentingnya pelaksanaan ajaran agama dalam yang terang-terangan, wacana untuk menjadikan kehidupan nyata. Dengan demikian, pandangan Islam sebagai dasar negara tetaplah suatu wacana Abdurrahman Wahid lebih mene­kankan agar yang ramai diperbincangkan. nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya Kedua, sebagai negara demokratis, Indonesia ke dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas perlu merumuskan suatu relasi yang jelas antara dari bentuk negara yang digunakan.Muhammad sistem demokrasi dengan keberadaan agama- A. S. Hikam mengatakan bahwa Gus Dur adalah agama. Hal ini, terjadi karena sebagai negara sosok yang sangat kompleks sehingga melakukan yang bukan negara agama dan bukan negara kajian atas wawasan intelektualnya merupakan sekuler,masyarakat Indonesia berada di antara kegiatan yang tidak sederhana, sangat berliku- dua konsep yang membentuk keindonesiaan. liku, sehingga membutuhkan kecermatan yang Oleh karena itu, sebagaimana demokrasi memberi sangat hati-hati. Setidaknya ada tiga kata kunci ruang pada agama, agama pun harus menemukan atau cara untuk memahami pemikirannya, yaitu peran yang tepat dalam sistem demokrasi. liberalisme, demokrasi, dan universalisme. Berkenaan dengan demokrasi ini, pendapat Gus Berbicara tentang kesempurnaan Islam, seperti Dur yang dikutip Wardatul Jannah34 dalam Jurnal ditegaskan dalam Q. S. al-Maidah [5]: 3 yang JOM FISIP dijelaskan bahwa ada tiga hal pokok artinya; “Pada hari ini telah Aku sempurnakan demokrasi yaitu, (1) kebebasan, (2) keadilan, dan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan (3) musyawarah. Kebebasan adalah kebebasan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam individu sebagai warga negara dan hak kolektif menjadi agama bagimu”. Abdurrahman Wahid dari masyarakat. Keadilan merupakan landasan pun sangat meyakini kebenaran ayat ini. Namun, demokrasi.Dalam kata lain, terbuka peluang bagi berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya semua komponen masyarakat untuk mengatur yang mengira segala sesuatu kepentingan hidup hidupnya sesuai kehendak masing-masing. Setiap sudah lengkap dalam Alquran baik secara eksplisit orang memiliki hak dan kesempatan untuk maupun secara implisit. Kelemahan pandangan mengatur hidup dan kehidupannya sehingga harus ini adalah kenyataan bahwa ayat tersebut diberi jalan yang mudah dan tidak dipersulit, tidak melarang pengembangan wawasan baru seperti beberapa kasus yang terjadi pada saat secara terus-menerus dalam Islam. Hakikat Orde Baru. Pokok demokrasi yang ketiga adalah kesempurnaan dan kelengkapan Islam justru musyawarah. Artinya, bentuk atau cara memelihara terletak pada potensinya menampung masukan- kebebasan dan memperjuangkan keadilan itu masukan secara kontinuitas, sebagai bagian dari harus ditempuh­ lewat jalur permusyawaratan. proses penghadapan Islam pada tuntutan keadaan Gagasan demokratisasi Gus Dur telah dilempar 33 zaman. ke publik jauh sebelum menjadi presiden RI. Maka, kontribusi pemikiran Gus Dur tampak Ketiga, salah satu ciri masyarakat Indonesia pada pemahaman keislamannya. Akan tetapi, adalah adanya budaya-budaya lokal. Tak jarang konteks pemikiran Gus Dur tidak terlepas dari masuk-masuknya agama-agama nonlokal telah suatu kenyataan sosial masyarakat Indonesia. Ada menimbulkan suatu pertanyaan akan eksistensi tiga hal yang harus diperhatikan sebagai berikut. budaya-budaya itu dalam agama. Hal mengenai Pertama, perdebatan tentang perlunya me­ penerimaan budaya tertentu atau penolakan masukkan Islam dalam konstitusi telah terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kenyataan 34 Jannah, Wirdatul, “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi Pluralistik dan Pengaruhnya di Indonesia”, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 33 Mujamil Qomar, NU “Liberal” dari Tradisionalisme Ahlus Universitas Riau, Vol. 5, Edisi I, Januari-Juni 2018, https:// Sunnah Wal Jamaah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/19235/18592, 2002), h. 169. diakses 20 April 2018

91 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018 budaya lainnya tentu perlu memiliki dasar yang ‘Alamin di Bumi Nusantara dalam Membangun jelas. Selain itu, perkembangan sains telah Harmonitas Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, membentuk kebudayaan manusia yang baru. Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa Pancasila Ketiga konteks di atas mengantarkan kita sebagai dasar negara Indonesia dan Pancasila kepada beberapa pokok pemikiran Gus Dur. mampu sebagai pemersatu bangsa yang plural, Adapun pokok-pokok pemikiran Gus Dur di serta Pancasila adalah pilihan yang cerdas untuk antaranya sebagai berikut. Sistem pemerintahan menjaga keutuhan bangsa Indonesia.Walau tidak Islam tidak diperlukan di Indonesia. Pemikiran ini berdasarkan agama secara formal, menurut merupakan sebuah kesimpulan dari perdebatan Hasyim, Indonesia bukanlah negara sekuler, tentang perlu tidaknya sebuah sistem Islam. Gus Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Dur mengangkat hal mendasar yaitu bahwa Maha Esa, karena itu negara tidak hanya saja berkaitan dengan perlu tidaknya sebuah sistem wajib memberikan perlindungan (proteksi) tetapi pemerintahan Islam, terjadi perbedaan penafsiran juga mengatur hubungan umat beragama tanpa terhadap ayat Alquran yang berbunyi: “Masukilah melakukan intervensi terhadap ajaran teologis kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh setiap agama. (udkhulû fî al-silmi kaffah)” (Q.S. al-Baqarah Agama akan terlindungi oleh negara. [2]: 208). Menurut Gus Dur, orang-orang yang Dijelaskan Hasyim bahwa human rights (HAM) menyukai formalisasi menerjemahkan kata “al- lahir pada tahun 1948, bahkan di negara Eropa silmi” menjadi “Islam” maka, menuntut ada yang ketika itu sekuler. HAM tidak mendapatkan sistem Islami yang dapat mewakili aspirasi kaum hambatan karena tidak adanya tata nilai di Muslimin seluruhnya. Sedangkan orang-orang lain negara tersebut. HAM bisa berjalan dengan menerjemahkankata itu menjadi “kedamaian” humanis tanpa harus membentur teologi, sehingga mereka tidak melihat perlunya hal ritual, dan tata nilai atau local wisdom (kearifan itu dijabarkan dalam sebuah sistem tertentu lokal). Menurut Hasyim, sebuah negara sekuler termasuk sistem Islami.35 hampir tidak memberi ruang bagi agama baik Menurut Gus Dur, adanya sistem Islami formalitasnya maupun subtansinya dan tidak menjadikan umat yang bukan beragama Islam memberi ruang dalam setiap produk hukum dan menjadi warga dunia kelas dua. Selain itu, hal penyelenggaraan negara.Karena itu, seringkali itu juga berpengaruh pada orang-orang Islam sebuah negara sekuler menerapkan aturan hukum yang dianggap kurang kualitas keislamannya dan perundangan yang justru bertentangan dibandingkan dengan mereka yang menjalankan dengan ajaran-ajaran agama yang ada di negara ajaran Islam secara penuh atau Muslim .36 itu, misalnya dengan mengatasnamakan keadilan Padahal, dalam Alquran terdapat ayat “Tiadalah hak asasi manusia. Human rights yang dibawa ke Kuutus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai Indonesia sebenarnya sudah ada pada tata nilai pembawa persaudaraan bagi umat manusia (Q.S. atau local wisdom di Indonesia, tetapi menurut al-Anbiya [21]: 107). Hasyim seperti dilansir laman resmi Kementerian Agama RI,ketika ada human rights yang baru Kontribusi Pemikiran Hasyim Muzadi dan kemudian menabrak berbagai macam tata nilai yang ada di Indoensia, maka akan menjadi Sementara kontribusi pemikiran Hasyim masalah. Hasyim menambahkan bahwa human Muzadi tentang sebuah negara berazaskan rights harus selaras dengan harmoni.Kita me­ Islam atau berbentuk negara Islam, tidak secara miliki kebhinekaan tapi harus tunggal Ika. Kita otomatis nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan tidak punya keekaan, tetapi yang ada adalah secara baik dalam sistem kenegaraan.Dengan kebhinekaan.Oleh karena itu, human rights tidak tema “Membumikan Ajaran Islam Rahmatan Lil boleh merusak kebhinekaan, tetapi harus ada keseimbangan dan HAM harus selaras dengan 35 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid harmoni kemanusiaan dalam filosofi negara Institute, 2006), h. 3-4. Pancasila. Hasyim yang merupakan mantan 36 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam..., h. 4-12.

| 92 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi

Ketua Umum PBNU juga mengatakan bahwa daripada mengekang progretivitas penafsiran perilaku hubungan antara agama dan negara tidak yang justru menyebabkan ajaran agama menjadi dapat terpisahkan. Moderasi merupakan salah beku dan sulit berkembang. satu jalan bagaimana kita tidak menghilangkan Bagi NU, nilai-nilai agama boleh dibiarkan jati diri beragama dan tidak menjadi masalah terserap dalam organisasi negara tanpa harus bagi negara yang Berbhineka Tunggal Ika. memikirkan apakah label agama dicantumkan 37 Dengan kata lain, menurut Dahlan , moderasi atau tidak. Karena pada dasarnya, inti ajaran Islam agama dan negara sebagaimana digagas oleh beserta nilai-nilai kemanusiaan yang dibelanya Hasyim Muzadi itu menyangkut bagaimana tata dipandang telah dimanifetasikan dalam sila-sila hubungan yang seimbang antara hukum Islam Pancasila. Islam dapat menerima butir-butir yang dengan negara, yakni bagaimana hukum Islam dicantumkan dalam Pancasila, selain juga didasari dilindungi negara, dan negara terinspirasi oleh pertimbangan bahwa Pancasila sebenarnya di­ hukum hukum Islam dengan tetap dalam bingkai rumuskan oleh tokoh-tokoh Islam. nasionalisme, pluralitas dan Negara Kesatuan Maka, keputusan-keputusan negara baik Republik Indonesia (NKRI), disamping kunjungan bersifat filosofi seperti Pancasila atau kontruksi lintas agama. hukum seperti UUD 1945 atau tata laksana Kemudian Hasyim Muzadi mengatakan bahwa hukum seperti;Pandangan Hasyim Muzadi bahwa terlepas dari keragaman yang mungkin bisa Perundangan dan Peraturan-peraturan negara, dijadikan sebagai faktor penghambat unifikasi, cukup memadai sebagai humanitas dan tidak fenomena tersebut mengindikasikan bahwa bertentangan dengan teologi maupun ritual kita. perbedaan pemikiran yang terjadi sampai pada Dalam pandangan Muzadi, sudah dijelaskan di abad pertengahan dapat dipandang sebagai usaha dalam membuat Undang-Undang Anti Korupsi, sungguh-sungguh umat Islam untuk menjaga maka orang Islam tidak usah ngotot harus ada universalitas ajaran agamanya. Dalam hal ini, undang-undang Islam anti korupsi, karena anti pilihan yang tersedia hanya dua; Pertama, mem­ korupsi itu sudah ajaran Islam dan agama lain pun bakukan agama sebagaimana yang ter­cantum tidak perlu mengatakan harus ada undang-undang dalam teks-teks suci, serta membiarkannya agama lain anti korupsi, karena anti korupsi sudah berjalan pada suatu garis penafsiran yang ajaran agama yang lain juga. Maka, titik temu linier tanpa interpretasi ulang, meskipun ia ini yang harus kita pertahankan, titik temu dari ber­­sentuhan dengan kompleksitas persoalan semua ajaran agama yang melarang akan korupsi kemanusiaan, yang berarti menutup rapat-rapat harus dipertahankan sebaik-baiknya sehingga pintu agama dari upaya kontekstualisasi yang didalam kebhinekaan bernegara menjadi nyata lebih berkesadaran sejarah, ini kata Hasyim tidak dalam pemikiran kita bersama, tegas Hasyim. dibenarkan sebab kekhawatiran berlebihan bahwa “Maka tidak dipungkiri kerukunan umat beragama reinterpretasi atau kontekstualisasi akan dapat akan lestari dan terpelihara baik di Indonesia, 38 menodai sakralitas agama. Kedua, melakukan manakala pemikiran-pemikiran tersebut berangkat dinamisasi atas ajaran-ajarannya yang mentolerir dari pemikiran agama masing-masing dan tidak upaya interpretasi agama dalam rangka mencari hanya berlaku pada satu saat saja atau karena titik relevansinya dengan kebutuhan zaman yang politik-politik praktis yang berkepentingan di terus berkembang. Dalam hal ini, Hasyim memihak belakangnya,” menurut Hasyim. pada pilihan yang kedua, karena lebih memberi Kontribusi Hasyim dalan hubungan agama peluang kemajuan bagi Islam meski belakangnya dan negara ketika ijtihad politik pria berusia 60 juga nyimpan resiko yang masih bisa diatasi, tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) di 37 Dahlan, Moh., “Moderasi Hukum Islam dalam Pemikiran Pemilu 2004, yang merupakan bagian dari sosok Ahmad Hasyim Muzadi” Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial, Vol 11, No 2, 2016. http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/ dirinya yang moderat. “Saya ingin menyatukan index.php/alihkam/article/view/1039/809, diakses 20 April 2018. antara kaum nasionalis dan agama”, ketika 38 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Peersoalan Bangsa, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 129-130. berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan

93 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018 cawapres Mega-Hasyim. Maka, titik temu ini yang pernyataannya agar dilakukan perenungan harus kita pertahankan, titik temu dari semua kembali mengenai amandemen UUD 1945, Kiai ajaran agama yang melarang akan korupsi harus Hasyim Muzadi dalam wawancaranya menyatakan dipertahankan sebaik-baiknya sehingga di dalam bahwa “perlunya review apakah amandemen itu kebhinekaan bernegara menjadi nyata dalam memang kebutuhan yang mendesak dan tidak pemikiran kita bersama. “Maka tidak dipungkiri terelakkan apakah baru merupakan:kemauan- kerukunan umat beragama akan lestari dan kemauan yang diakomodasi karena di setiap terpelihara baik di Indonesia, manakala pemikiran- negara pasti dalam kurun tertentu ada perubahan pemikiran tersebut berangkat dari pemikiran tapi sebatas kebutuhan mendesak atau lebih agama masing-masing dan tidak hanya berlaku dari itu. Misalnya, UUD 1945 dianggap terlalu pada satu saat saja atau karena politik-politik ketat sehingga kekuasaan utama berada di bawah praktis yang berkepentingan di belakangnya. Eksekutif dan yang lain-lain itu menjadi di bawah Sementara implikasi sikap Hasyim Muzadi eksekutif kemudian menjadikan pemerintahan terhadap adanya hubungan agama dengan negara yang sentralistik, kemudian dikritisi.” Berhubungan terwujud dalam istilah rahmatan lil ‘alamin yang dengan syariat Islam, yakni dengan maraknya diterjemahkan ke dalam sikap tawassuth, tawazun, Peraturan Daerah (Perda) yang bernuasa. tasâmuh, dan i`tidal dalam perspektif empiris Syari’ah, Hasyim Muzadi dalam wawancaranya dengan tema adalah “Membantu Mengatasi rnengatakan bahwa, ”syariat Islam seharusnya ada Krisis dan Menjaga Keutuhan NKRI”. Peran dalam konteks civil society bukan nation state.” yang dilihat oleh antropolog Clifford Geertz ini, Ada kekhawatiran darinya bahwa formalisasi menggambarkan posisi kiai yang tidak terbatas syariat Islam dalam Perda hanya akan memicu pada pengajar agama, tetapi juga penyaring perpecahan bangsa. Suatu syariat harus ada dalam budaya (dari luar), plus komunikator budaya, yang dimensi kemasyarakatan dan tidak dinegarakan. berfungsi sebagai pendamping atas beberapa Perlu dicatat syariat disini bukan semata syariat persoalan kultural masyarakat, semisal konsultasi Islam, karena seluruh agama memiliki syariat. nikah, perdagangan, waris, dan sebagainya. Hal ini Adapun maksud dinegarakan tersebut adalah yang membuahkan kharisma, sehingga masukan dijadikan hukum positif. Semestinya sumbangan dan ajaran kiai, diterima masyarakat, sebagai agama kepada negara dalam tataran nilai, bukan representasi dari “jawaban Tuhan”. Hasyim syariat.Kalau formalisasi yang dijadikan dasar Muzadi mengatakan bahwa hakikat semua ajaran hukum positif, negara bisa pecah. Contohnya agama mengajarkan perdamaian, kesejahteraan, perda anti korupsi, judi, dan pelacuran peneliti kelemahlembutan dan toleransi. yakin semua agama melarangnya. Tetapi, jika itu disebut sebagai undang-undang Islam antikorupsi, Kemudian berkaitan dengan implikasi orang beragama lain pasti marah. Jadi, yang pandangan Hasyim tentang hukum Islam bahwa diperlukan adalah substansinya tanpa membawa istilah rahmatan lil ‘alamin yang diterjemahkan simbol agama.” ke dalam sikap tawassuth dan i`tidal terhadap hubungan agama dan negara dalam perspektif Sikap Hasyim Muzadi baik secara pribadi empiris adalah “Membantu Mengatasi Krisis maupun atas nama organisasi NU, tidak menyetujui dan Menjaga Keutuhan NKRI”39. Tanpa menarik adanya formalisasi syariat agama. Syariat diri dari garis politik kekuasaan, NU tidak agama hanya sebagai suatu bentuk kebebasan akan memperoleh legitimasi moral untuk me­ dalam cakupan kemasyarakatan.Hasyim Muzadi mosisikan dan memungsikan dirinya kembali memberikan penekanan mempertegas Khittah NU sebagai reprensentasi civil society. Menyangkut 1926 dan memberdayakan civil society, sebagai konsekuensi sikap rahmatan lil‘alamin terhadap interen organisasi NU adalah dikembangkannya 39 Rasyid, Muhammad Makmun, “Islam Rahmatan Lil wawasan sikap moderat, menghargai pendapat Alamin Perspektif K.H. Hasyim Muzadi”, Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol 11, No 1, 2016, h. 105 orang, melakukan praktik-praktik musyawarah http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/ dalam setiap pengambilan keputusan organisasi. view/189/134, diakses 21 April 2018.

| 94 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi

Terhadap jamaahnya dikembangkan sikap-sikap nyata dalam pemikiran kita bersama. bertoleransi dan saling menolong pada kebaikan Maka, tidak dipungkiri kerukunan umat dalam rangka memperbaiki kualitas umat demi ber­agama akan lestari dan terpelihara baik di tegaknya izzul Islam wal-muslimîn. Pandangan Indonesia, manakala pemikran-pemikiran tersebut Hasyim Muzadi merupakan sebuah upaya berangkat dari pemikran agama masing-masing penelusuran masalah yang dihadapi NU sebagai dan tidak hanya berlaku pada satu saat saja atau organisasi sosial keagamaan, serta pemotretan karena politik-politik praktis yang berkepentingan sejumlah pandangan dan ide. Oleh karena itu, di belakangnya. Membumikan ajaran Islam 40 Hasyim Muzadi dipercaya sebagai salah satu rahmatan lil ‘alamin di bumi Nusantara dalam tokoh yang banyak mengetahui persolan yang membangun harmonitas kehidupan berbangsa dan dihadapi NU, baik di tingkat regional Jawa Timur bernegara, Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa maupun di level nasional. Penguasannya terhadap Pancasilalah yang sebagai dasar negara Indonesia, khazanah Islam klasik serta intensitas pergumulan dan Pancasila mampu sebagai pemersatu bangsa intelektualnya dalam rangka merespon polemik yang plural, serta Pancasila adalah pilihan yang kebangsaan melalui penalaran khas kaum santri cerdas untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia. yang tercerahkan menjadi alasan yang cukup kuat Walau tidak berdasarkan agama secara formal, untuk dipakai sebagai bahan perenungan dalam menurut Hasyim Muzadi, Indonesia bukanlah rangka membikin sketsa sejarah masa lalu, kini, negara sekuler, Indonesia adalah negara yang dan akan datang, yang di dalamnya mengandung berketuhanan Yang Maha Esa, karena itu negara pula gagasan-gagasan NU sebagai salah satu tidak hanya saja wajib memberikan perlindungan motor gerakan kultural di Indonesia demi meniti (proteksi) tetapi juga mengatur hubungan umat jalan panjang nan terjal menuju demokrasi yang beragama tanpa melakukan intervensi terhadap lebih matang. ajaran teologis setiap agama. Maka, agama akan Ibn Arabi sebagaimana dimuat dalam jurnal terlindungi oleh negara. Humanistika mengatakan bahwa keputusan- Islam rahmatan lil ’alamin mampu membuat keputusan negara baik bersifat filosofi seperti para pengikutnya di dalam menyampaikan ajaran Pancasila atau Konstruksi Hukum seperti atau dakwah yang penuh penuh keramahan, UUD 1945 atau Tata Laksana Hukum seperti kedamaian dan kebijaksanaan, mudah diterima oleh Perundangan dan Peraturan-peraturan Negara masyarakat dengan sukarela tanpa perlawananan cukup memadai sebagai humanitas dan tidak dan kekerasan. Menelaah gagasan Islam Rahmatan bertentangan dengan teologi maupun ritual lil Alamin perspektif Hasyim Muzadi, merujuk 41 kita . Dalam pandangan Hasyim Muzadi, sudah kepada sumber primer, yakni Islam Rahmatan lil dijelaskan di dalam membuat Undang-Undang ‘Alamin menuju keadilan dan perdamaian dunia Anti Korupsi, maka orang Islam tidak usah ngotot (Perspektif Nahdatul Ulama).Islam tidak saja harus ada undang-undang Islam anti korupsi, bersifat ko-eksistensi lintas batas, lintas agama karena anti korupsi itu sudah ajaran Islam dan dan suku, tetapi pro-eksistensi tentang proyeksi agama lain pun tidak perlu mengatakan harus ada kehidupan yang saling bergandengan, dengan undang-undang agama lain anti korupsi, karena laku tindak santun, damai dan saling pengertian. anti korupsi sudah ajaran agama yang lain juga. KH. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa hakikat Adapun titik temu yang harus kita pertahankan, semua ajaran agama mengajarkan perdamaian, titik temu dari semua ajaran agama yang melarang kesejahteraan, kelemahlembutan dan toleransi. akan korupsi harus dipertahankan sebaik-baiknya Jika terdapat kelompok agama melakukan anti- sehingga didalam kebhinekaan bernegara menjadi damai, anti-toleransi dan melakukan tindak kekerasan, pastikan bahwa dirinya telah membajak 40 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda agama. Karena itu, agama harus dilepaskan dari Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. xii. 41 Arabi, Ibnu, “Konstruksi Islam Rahmah li al-‘Alamin K.H. setiap tindakan dan perilaku yang tidak sesuai Ahmad Hasyim Muzadi”, Humanistika: Jurnal Keislaman,Vol. 4, dengan tujuan agama itu sendiri. Agama tidak No. 1, 2018, h. 48. https://www.ejournal.inzah.ac.id/index.php/ dapat dijadikan alat untuk kepentingan politik humanistika/article/view/162/128, diakses 21 April 2018.

95 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018 atau ekonomi. Menciptakan perdamaian adalah mampu menyejahterahkan masyarakat luas tanpa kewajiban semua agama. Merebaknya Islam fobia, sekat-sekat agama, suku, ras, sebagai realisasi dikarenakan tindakan dan perbuatan segelintir dari rahmatan lil ‘alamin. orang yang mengatasnamakan Islam untuk menjustifikasi tindak kekerasannya. Pustaka Acuan A, S. Hikam Muhammad, “Gus Dur, Pembaharu Penutup dan Cendikia­wan Kelana: Sebuah Pengantar”, Posisi pemikiran Gus Dur dan Hasyim Muzadi dalam A.S. Laksana (ed.), NU Pasca Gus Dur. di ka­langan Sarjana Muslim dalam kaitannya Jakarta: Fatma Press, 1977. dengan hukum Islam dapat disimpulkan sebagai Acton, Lord, Konsep Negara Hukum, petikan berikut. Jika dibandingkan dengan beberapa artikel yang dipublikasikan dalam http://kgsc. pemikir muslim lainnya, peneliti berpendapat wordpress.com/2009/07/11/ perkembangan- bahwa Gus Dur dapat diposisikan sebagai pemikir, konsep-negara-hukum/ diakses tanggal 12 muslim subtansialis, dan agamawan humanis, Agustus 2012. nasionalis, dan demokratis. Ada beberapa alasan Afif, A. Wahab, Maslahat al-Ummah: Suatu peneliti menyebutkan demikian­ (1) pemikiran Gus Pendekatan Menuju­ Masyarakat Muslim Dur menjunjung tinggi demokrasi dan pribumisasi Moderat, Orasi Penganugrahan Gelar Doktor Islam; (2) pemikiran Gus Dur bersifat moderat Honoris Causa Ilmu Perbandingan Madzhab dan berpengaruh terhadap adanya hubungan & Bimbing­ ­an Masyarakat Islam, tanggal 7 agama dan negara yang lebih maju di Indonesia; Agustus 2010 di Bandung, 2010. (3) membela HAM dan membela kaum minoritas. Al-Māwardi, Abū al-Hasan,al-Ahkām al-Sulthāniyah. Sedangkan posisi Hasyim sebagai sosok kiai yang Bayrūt: Dār al-Fikr, 1967. kha­rismatik, tokoh NU pemimpin agama yang Amin, M. Masyhur, NU dan Ijtihad Politik humanis, nasionalis, dan pluralis. Alasannya Kenegaraannya, Yog­ya­karta: al-Amin Press, pemikiran Hasyim Muzadi menjadikan Islam 1999. dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin; Islam mengatur Arabi, Ibnu, “Konstruksi Islam Rahmah li al-‘Alamin konflik global; dan Islam telah mewujudkan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi”, Humanistika: masyarakat madani (civil society). Jurnal Keislaman, Vol. 4, No. 1, 2018. https://www.ejournal.inzah.ac.id/index.php/ Gus Dur dan Hasyim Muzadi terbukti mem­ humanistika/article/view/162/128, diakses 21 berikan kon­tri­busi bagi masa depan hubungan April 2018. agama dan negara dalam hukum Islam di Asjmuni, Rahman Abdul, Kaidah-kaidah Fikih (Qawa’id Indonesia. Beberapa alasan yang ingin ditampilkan al-Fiq­hi­yyah)­ , Jakarta: Bulan Bintang, 1976. peneliti adalah bahwa (a) pemikiran Gus Dur telah Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam mampu menghadirkan keislaman yang sesuai Konsti­tusi dan Pelak­sanaannya di Indonesia. dengan konteks Indonesia, yaitu model keislaman Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994. yang mam­pu memberikan respon secara adil Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures, USA: dalam bidang hukum, politik, dan budaya Islam Basic Books, 1973. di Indonesia; (b) setidaknya ada tiga kata kunci Dahlan, Moh., “Moderasi Hukum Islam dalam atau cara untuk memahami pemikiran Gus Dur Pemikiran Ahmad Hasyim Muzadi”, Al- yaitu: liberalisme, demokrasi,­ dan universalisme. Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial, Maka, pembelaan terhadap minoritas men­ Vol 11, No. 2, 2016. dapatkan perhatian yang serius. Sementara http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/ kontribusi Hasyim Muzadi dalam hubungan alihkam/article/view/1039/809, diakses 20 agama dan negara adalah (a) pemikiran Hasyim April 2018. Muzadi bahwa umat Islam di Indonesia sekalipun Fealy, Greg dan Barton, Greg (Ed.), Tradisionalisme mayoritas namun tidak pernah memaksakan Radikal: Per­singgungan Nahdatul Ulama- Islam sebagai dasar formal negara­ Indonesia. Negara. Yog­yakarta: LKiS, 1997. (b) Islam lebih menghendaki suatu aksi yang

| 96 Mustofa: Rechtstaat dan Konstitusionalisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi

Fitriah, Ainul, “Pemikiran Abdurrahman Wahid ‘Negara Hukum (Rechstaat)’, Jurnal Hasanuddin tentang Pribumisasi Islam”, Teosofi: Jurnal Law Review, Vol. 1, No. 1, April 2015. http:// Tasawuf dan Pemikiran Islam. Volume 3, pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev/article/ Nomor 1 Juni 2013, http://teosofi.uinsby.ac.id/ view/41/40, diakses 20 April 2018. index.php/teosofi/article/view/43/40, diakses Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: 17 April 2018. Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Gibb, H.A.R,The Modern Trends of Islam, Hukum Indonesia. Jakarta: Alvabet, 2012. Diterjemahkan oleh Mach­nun Husein, Cet. M. Tahir, Azhary M,Negara Hukum. Jakarta: Bulan ke-2. Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Bintang, 1992. Hadi, M. Khoirul, “Abdurrahman Wahid dan Martahan, Sitompul Einar, NU dan Pancasila. Pribumisasi Pendidikan Islam”, Hunafa: Jurnal Jakarta: Sinar Ha­­rapan, 1989. Studia Islamika, Vol.12, No. 1, Juni 2015. Masykur, Musa Ali, Pemikiran dan Sikap Politik Hamidah, “Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Gus Dur, Jakarta: Erlangga, 2010. Madjid–K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Mochtar, M. Akil, 2011. “Visi Pembangunan Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam”, Sistem Hukum Indone­sia”, dalam http:// Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol.35, No.1, www.akilmochtar.com/wp-content/uploads/ 2011. 2011/06/, diakses­ tanggal 4 Februari2013. http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/ Muzadi, Hasyim, Nahdatul Ulama di Tengah Agenda jurnalmiqot/article/view/132/122, diakses 17 Persoalan Bangsa, Jakarta: Logos Wacana April 2018. Ilmu, 1999. I. Nurol, Aen I, Pemikiran tentang Nilai Kebenaran Nawawi, Arief Barda, Beberapa Aspek Pengembangan Ijtihad dan Per­spektif Aplikasinya dalam Ilmu Hukum Pidana Menyongsong Generasi Baru Kehidupan Abad 21, Pidato Pengu­ kuhan­ Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Pustaka Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ushul Fiqh Magister, 2011. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Nazir, Moh, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia, 1998. Bandung Sabtu, 21 Septem­ ber­ 2002 di IAIN Noer, Deliar, Gerakan Modern Islamdi Indonesia 1900- Sunan Gunung Djati Bandung, 2002. 1942. Jakarta:­­ Lembaga Penelitian Pendidikan Iskandar, A. Muhaimin, Gus Dur, Islam dan dan Penerangan Eko­no­mi dan Sosial, 1988. Kebangkitan Indonesia.­ Yogyakarta: KLIK.R Praja, Juhaya S, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya: dan DPP PKB, 2007. Lathifah Press dan Fakultas Syariah IAILM, Jannah, Wirdatul, “Pemikiran Abdurrahman Wahid 2009. tentang Demokrasi Pluralistik dan Pengaruhnya Praja, Juhaya S., Teori Hukum dan Aplikasinya, di Indonesia”, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Bandung: Pustaka Setia, 2011 Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, Vol. 5: Program Pascasarjana, Panduan Akademik: Edisi I Januari-Juni 2018, https://jom.unri.ac.id/ Penulisan Tesis & Disertasi. Bandung: UIN index.php/JOMFSIP/article/view/19235/18592, Sunan Gunung Djati Bandung, 2015. diakses 20 April 2018 Qomar, Mujamil, NU “Liberal” dari Tradisionalisme Karim, Zaidan Abdul, Nidhamur al-Qadla fi al- Ahlus Sunnah Wal Jamaah ke Universalisme Syari’ati al-Islamiyah,Bagdad: Matba’atu al- Islam, Bandung: Mizan, 2002. ’Aini, 1983. Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Kusumohamidjojo, Budiono,Filsafat Hukum: Bandung: Angkasa,­ 1980. Problemtika Ke­tertiban­ yang Adil. Jakarta: Rahman, Asjmuni, Kaidah-kaidah Fikih, (Qawa’id Grasindo, 2004. al-Fiqhiyyah), Jakar­ta: Bulan Bintang, 1976. L, Berger et al. Peter, The Desecularization of Rasyid, Muhammad Makmun, “Islam Rahmatan the World: Resurgent Religion and World Lil Alamin Perspektif K.H. Hasyim Muzadi”, Politics, Washington DC: Ethics and Public Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Policy Center, 1999. Keislaman, Vol 11, No 1, 2016. http://ejournal. Likadja, Jeffry Alexander Ch, “Memaknai ‘Hukum iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/ Negara (Law Through State)’ dalam Bingkai view/189/134, diakses 21 April 2018.

97 | MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018

Salles, Kamarudin dan Khoiruddin Bin Muhammad, Thalib, Sajuti, Receptio A Contratrio, Hubungan “Gus Dur dan Pemikiran Liberalisasi”, Ar- Hukum Adat dan Hukum Islam. Jakarta: Bina Raniry: International Journal of Islamic Aksara, 1985 Studies, Vol. 1, No. 2, Desember 2014. http:// Usman, Mukhlish, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan journalarraniry.com/ojs/index.php/jar/article/ Fiqhiyyah,Jakarta: Gema Insani Press, 2000. view/17/17, diakses 17 April 2018. Wahid, Abdurrahman, “Universalisme Islam Santalia, Indo, “K.H. Abdurrahman Wahid: Agama dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Negara, Pluralisme, Demokratisasi, dan dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Pribumisasi”, Jurnal Al-Adyan, Vol.1, No. 2, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Desember 2015. Jakarta: Paramadina, 1995. Sjadzali, Munawir,Islam dan Tata Negara. Jakarta: _____, Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: UI Press, 1991. The Wahid In stitute, 2006. Tolerations, dalam https://mail2.mpil.de/exchange/ _____, “Merumuskan Hubungan Ideologi Nasio nal mboecken /Entw%C3%BCrfe/Project Manager dan Agama”, da lam Kacung Marijan dan - Constitution Process - Governance.EML/, Ma’mun Mu rod al-Brebesy (Ed.), Abdurrahman 2007. Wahid Me ngu rai Agama dan Negara. Jakarta: Sularno, “Syariat Islam dan Upaya pembentukan Grasindo, 1999. Hukum Positif diIndonesia”, diakses pada _____, “Sekali Lagi Tentang Forum Demokrasi”, 05 Oktober 2012, dari http://journal.uii.ac.id/ dalam Editor, Nomor 36/ tahun IV/25 Mei index. php/JHI/article/viewFile/ 245/240. 1991, 1991. Tahir, Azhary Muhammad, Suatu Studi Tentang Wasino, “Indonesia: From Pluralism to Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Multiculturalism”, Paramita: Historical Studies Islam dan Implementasinya Pada Periode Journal, Vol 23, No 2, 2013. Negara Hukum Madinah dan Masa Kini, https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/ Jakarta: Bulan Bintang, 1991. article/view/2665/2733, diakses 20 April 2018.

| 98