ISSN : 1410 - 4350

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan VolumeAnalisa XVII, No. 01, Januari - Juni 2010

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 i ISSN : 1410 - 4350

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan VolumeAnalisa XVII, No. 01, Januari - Juni 2010

Pe n a n g g u n g Ja w a b Prof. Dr. H. Muslich Shabir, M.A.

Re d a k t u r Ah l i / Mi t r a Be s t a r i Prof. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A. (Universitas Diponegoro), Prof. Dr. H. Muhtarom HM. (IAIN Walisongo), Prof. Dr. Iwan Junaedi (Universitas Negeri Semarang)

Pe m i mp i n Re d a k s i Drs. H. Ahmad Sodli, M. Ag.

An g g o t a Re d a k s i Drs. Mulyani Mudis Taruna, M. Pd., Drs. R. Aris Hidayat, M. Pd.

Ad m i n i s t r a s i Joko Tri Haryanto, S. Ag., M.S.I., Moh Hasim, S. Ag., M.Pd., Umi Muzayanah, S.Si.

Di t e r b i t k a n Ol e h Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Al a m a t Re d a k s i Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan Semarang. Telp. (024) 7601327.

terbit enam bulan sekali. Redaksi menerima artikel dari Jurnalhasil penelitian Analisa dan pemikiran mengenai kehidupan keagamaan, pendidikan agama dan keagamaan, serta lektur keagamaan. Panjang tulisan untuk artikel hasil penelitian antara 15 – 20 halaman ( 30.000 – 40.000 karakter) dan artikel pemikiran antara 10 – 15 halaman (20.000 – 30.000 karakter). Diketik dengan kertas ukuran kuarto (A4), 1,5 spasi dan font huruf Times New Roman ukuran 12 pt. Artikel dilengkapi dengan abstrak maksimal 200 kata dan kata kunci. Transliterasi bahasa Arab menggunakan pedoman yang ditetapkan oleh Departemen Agama dan Departemen P dan K. Naskah diserahkan dalam bentuk print out dan softcopy kepada redaksi Jurnal Analisa Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Redaksi berhak menyunting naskah artikel tanpa mengubah maksud isi artikel. Isi artikel menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 iii Kata Pengantar — vii-viii

PEMIKIRAN Ab u Ha f s i n , Ph.D Demokrasi di Indonesia

PENELITIAN Mu s t o l e h u d i n Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globalisasi Informasi — 271-282

BIODATA PENULIS — 283-285

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 v PENGANTAR REDAKSI

Pembaca Budiman Jurnal Analisa edisi ini menampilkan sepuluh artikel yang terfikir atas sembilan artikel hasil penelitian dan satu artikel hasil pemikiran. Sembilan artikel hasil penelitian tersebut secara berurutan merupakan penelitian pada bidang Lektur Keagamaan, bidang Kehidupan Keagamaan, serta bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan masing-masing tiga artikel. Artikel Lektur Keagamaan di antaranya mengungkap ajaran Tarekat Naqsyabandiyah mengenai ajaran taubat, zikir, dan makrifat dalam naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah. Artikel ini ditulis oleh Samidi. Artikel berikutnya mengungkapkan makna salat dan simbolisasi salat, seperti niat, surat al-Fatihah, ruku’ dan i’tidal sebagaimana dalam naskah Suluk Saking Kitab Markum karya Temenggung Arungbinang. Artikel ini ditulis oleh Umi Masfiah. Artikel lainnya mengungkapkan watak-watak manusia yang baik dan yang buruk, sesuai penggambaran pada pribadi yang disebutkan dalam naskah Geguritan Joharsa. Artikel ini ditulis oleh Mukhtaruddin. Tulisan berikutnya dari bidang Kehidupan Keagamaan, di antaranya mengulas tentang struktur dan stratifikasi sosial umat Konghucu. Umat Konghucu ternyata tidak hanya terdiri atas struktur umat dan rohaniawan saja, tetapi juga ada struktur pengurus klenteng yang juga memiliki peran bear dalam umat Konghucu. Artikel tersebut ditulis oleh Joko Tri Haryanto. Artikel selanjutnya mengenai ajaran puasa dari Syekh Khusaeri di Pekalongan, yang dalam pelaksanaannya berbeda dari umat pada umumnya. Puasa yang diajarkan Syekh Khusaeri dilaksanakan mengikuti bulan Masehi, yaitu bulan Juni, bukan bulan Ramadan. Artikel ini ditulis oleh A.M, Wibowo, Sedangkan tulisan lainnya mengenai corak kerukunan antara umat Kristen dan umat Islam di Kelurahan Naikolan di provinsi Nusa Tenggara Timur yang ditulis oleh Marmiati Mawardi. Artikel bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan mengungkapkan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada MTsN Malang III Kabupaten Malang yang ditulis oleh Wahab. Tulisan lain juga tentang penerapan KTSP yang dilaksanakan di MTsN Malang I Jawa Timur oleh Mulyani Mudis Taruna. Tulisan artikel lainnya mengenai pendidikan agama pada Sekolah Dasar LUar Biasa (SDLB) Dharma Asih Kota Pontianak. Pendidikan Agama di SDLB ini cukup lancar, tetapi masih terkendala belum tersedianya buku pelajaran Agama khusu untuk anak-anak di sekolah luar biasa. Artikel ini hasil peneltian Yustiani.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 vii Sementara artikel hasil pemikiran adalah tulisan Mustolehuddin tentang perpustakaan masjid. Tulisan ini lebih dalam menyoroti pengelolaan literatur masjid pada era globalisasi informasi. Perpustakaan masjid sebagai wadah literatur agama harus dikelola dengan baik dan profesional sesuai dengan standar pengelolaan perpustakaan nasional. satu upayanya adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi. Demikian artikel-artikel dalam Jurnal Analisa Vol.XVI no.02 Juli- Desember 2009 ini kami haturkan bagi Pembaca yang budiman. Kritik dan saran demi perbaikan jurnal Analisa ini senantiasa kami nnntikan. Selamat membaca.

Redaksi

viii Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 PEMIKIRAN

DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh Abu Hafsin. Ph.D

Ab s t r a k :

Demokrasi seringkali diartikan sebagai kebebasan untuk mengemukakan pendapat sehingga pembatasan agama dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Jika demokrasi diartikan sebagai sebuah kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat, mestinya setiap warga negara bebas untuk berekspresi sesuai dengan keyakinan keagamaan yang dianutnya. Namun, kita bisa membayangkan betapa kacaunya sebuah negara seandainya tidak ada rambu-rambu yang bisa dijadikan sebagai aturan main setiap warga negara dalam mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Penolakan MA untuk mengabulkan judicial review terhadap UU No.1/ PNPS/1965 dapat dibenarkan mengingat UUD 1945 menganut prinsip relativisme ekspresional dalam kebebasan beragama. UU No. 1/PNPS/1965 sebenarnya memiliki tujuan yang sangat baik yakni menciptakan kerukunan serta ketentraman bagi setiap umat beragama dalam menjalankan ajaran agamanya. Meskipun UU tersebut tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan keyakinan keagamaan, karena ada beberapa kata yang ambigu, perlu dilakukan revisi sehinga ada kejelasan mengenai kriteria kelompok otoritas penentu penyimpangan suatu ajaran agama tertentu. Hal ini penting untuk menghilangkan persoalan dilematis yang selama ini dihadapi baik oleh Pemerintah maupun kelompok agama tertentu.

Kata kunci: demokrasi, relativisme, revisi, dilematis

Pe n d a h u l u a n Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir tahun ini akan membuka sejarah baru mengenai kebebasan beragama di Indonesia. Sejak November tahun 2009, MK menggelar sidang uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Permohonan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 139 uji materiil atau judicial review yang diajukan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Be ragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Mahkamah Konstitusi (MK) ini telah banyak mengundang pendapat baik yang pro maupun kontra. Bagi yang pro mengatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Karenanya bagi negara demokratis UU tersebut tidak sepatutnya dipertahankan. Semenara bagi yang kontra, UU tersebut masih tetap diperlukan baik karena untuk mempertahankan orthodoxy bagi setiap agama maupun karena alasan politis. Bahkan Menteri Agama sendiri mengatakan bahwa permintaan judicial review terhadap UU tersebut selain dapat merusak enam agama yang sudah diakui pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu juga dapat memunculkan konflik horizontal yang dapat merusak kerukunan agama. Jika kebebasan beragama secara mutlak diterapkan di Indonesia, maka tidak mustahil kementerian agama akan memiliki ratusan dirjen. Meskipun sekarang sudah ada kepastian karena MK telah menolak permohonan judicial review, tulisan berikut ini akan mencoba mendiskusikan apakah penolakan itu secara konstitusional dapat dibenarkan ataukah tidak. Namun sebelum sampai pada pembahasan tersebut, penulis akan membahas secara filosofis-politis mengenai makna kebebasan beragama.

B. Makna Kebebasan Beragama dalam Konteks Demokrasi Demokrasi seringkali diartikan sebagai kebebasan untuk mengemukakan pendapat sehingga pembatasan agama dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Karena itulah gagasan dari kalangan liberalis mengehendaki tidak ada pembatasan dalam meyakini suatu keyakinan keagamaan tertentu termasuk tidak meyakini adanya Tuhan. Jika demokrasi diartikan sebagai sebuah kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat, mestinya setiap warga negara bebas untuk berekspresi sesuai dengan keyakinan keagamaan yang dianutnya. Namun, kita bisa membayangkan betapa kacaunya sebuah negara seandainya tidak ada rambu-rambu yang bisa dijadikan sebagai aturan main setiap warga negara dalam mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Dalam pengertiannya yang murni, kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat aspek utama; kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan, (liberty of religious expression), kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association) dan kebebasan untuk melembagakan ajaran keagamaan (liberty of reli-gious institutionalization). Diantara keempat aspek tersebut, aspek pertama, yakni aspek kebebasan nurani merupakan hak yang paling asli dan absolut dalam pengertian bahwa ketidak-terpisahannya (inalienability) dari diri seseorang melampaui ketiga aspek lainnya. Karena kebebasan nurani merupakan hak yang paling absolut, maka konsep kebebasan

140 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 beragama harus mencakup kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama (Koshy, 1992:22). Dengan batasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai sebuah nilai yang paling luhur dan agung (supreme value). Ia menghendaki sebuah komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen dan pertang-gungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti masyarakat, pemerintah dan bahkan komitmen kepadaTuhan. Dalam pengertian inilah prinsip kebebasan beragama semestinya didefinisikan. Juga, dalam pengertian inilah keutuhan atau keaslian manusia sebagai “manusia” harus ditempatkan. Karena prinsip demokrasi secara filosofis mengimplikasikan adanya kebebasan warga negara untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang utuh, maka kebebasan untuk menentukan dan menemukan dirinya sendiri berdasarkan keyakinan nuraninya harus mendapatkan ruang dalam suatu negara yang menganut prinsip demokrasi. Akan tetapi, mengingat banyak perbuatan destruktif yang dilakukan atas nama agama, maka perlu ada aturan main yang dapat menertibkan lalu lintas hak kebebasan ber-agama. Untuk tujuan inilah kebebasan harus dilihat dari dua dimensi; dimensi internal dan dimensi eksternal. Kebebasan nurani (liberty of conscience) masuk dalam dimensi internal sedangkan kebebasan mengekspresikan ajaran agama, kebebasan membentuk asosiasi keagamaan serta kebebasan melembagakan ajaran agama masuk dalam dimensi eksternal. Jika dimensi internal sifatnya absolut, maka dimensi eksternal bersifat relatif, dalam arti bahwa hak untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan, hak melembagakan ajaran agama serta hak untuk membentuk asosiasi keagamaan terkait erat dengan institusi sosial lainnya seperti hukum dan politik. Meskipun hak-hak relatif terkait erat dengan institusi hukum dan politik, bukan berarti bahwa hukum dan politik memiliki legitimasi absolut untuk membatasi ruang gerak hak-hak relatif tersebut. Bidang garap serta arah yang dituju oleh politik dan hukum hanya semata-mata ditujukan untuk mewujudkan keteraturan lalulintas hak dan menghindari benturan berbagai hak yang juga sama-sama dilindungi oleh suatu negara yang menganut prinsip demokrasi. Oleh karena itu hukum dan politik pun harus berdasar pada, dan dibatasi oleh prosedur konstitusional yang telah mendapatkan affirmasi lebih dahulu dari seluruh warga masyarakat, agar kebijakan-kebijakan politik dan perundang- undangan tidak secara bebas dan sewenang-wenang membatasi ruang gerak dari hak-hak relatif tersebut. Dalam konteks kebebasan beragama, prinsip demokrasi merupakan sebuah konsep politik ideal karena ia dibangun diatas kesadaran manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berkehendak. Manusia, tanpa membedakan kelas, etnis maupun struktur sosial, sebenarnya diberkati oleh Tuhan suatu kepercayaan diri dan kemampuan untuk membangun dirinya

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 141 sendiri tanpa adanya interfensi pihak-pihak lainnya. Manusia dapat eksis dalam keadaannya yang utuh jika ia disertai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Disinilah letak autentisitas manusia sebagai manusia. Paksaan untuk menjadikan seseorang sebagai “orang lain” bukan hanya berlawanan dengan prinsip-prinsip kebebasan berkehendak, tetapi hakekatnya bertentangan dengan nuraninya sendiri. Meski demikian, karena hidup ini dipenuhi dengan lalulintas kebebasan-kebebasan yang merupakan hak dari setiap individu yang lain, maka alam, dengan prinsip keseimbangannya, menghendaki adanya kesepakatan bersama untuk mengatur lalulintas kebebasan. Itulah mengapa kesepakatan untuk hidup bersama dalam bentuk kontrak sosial (social contract) merupakan sesuatu yang diinginkan adanya. Jadi kontrak sosial bagi manusia adalah alami. Dalam mewujudkan kesepakatan bersama itu sudah barang pasti akan terjadi tawar menawar antara individu-individu agar posisi masing-masing terhadap yang lainnya menjadi jelas. Di sini, baru setiap individu memiliki hak untuk menentukan, tidak hanya dirinya sendiri, tetapi juga posisi orang lain terhadap dirinya. Keterlibatan setiap individu dalam proses bargaining position dalam suatu group itulah sebenarnya merupakan hakekat demokrasi. Dari paparan di atas, jelas bahwa demokrasi sebagai prinsip politik pun dapat dikatakan sejalan dengan kehendak alam. Oleh karena itu tidak benar jika ada anggapan bahwa demokrasi merupakan komoditi import yang belum tentu sejalan dengan nilai-nilai yang berkembang di masayarakat kita. Kalau yang menjadi alasan penolakan itu bukan hakekat demokrasi, tetapi model demokrasi, mungkin dapat diterima, karena demokrasi itu sendiri bukan suatu konstruk budaya politik yang monolitik. Itulah karenanya proses demokratisasi pun akan berbeda antara satu negara dengan lainnya, termasuk proses demokratisasi dalam memilih keyakinan keagmaan tertentu. Keterkaitan antara demokrasi dengan kebebasan agama memang telah menjadi suatu permasalahan politik modern. Problematika politik modern yang dimaksud merujuk pada suatu kondisi dalam mana agama yang dominan dalam suatu negara kehilangan otoritas politiknya. Pada saat yang sama keadaan di atas ditandai dengan munculnya kebebasan untuk memilih keyakinan keagamaan dikalangan komunitas politik. Ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip demokrasi. Begitu variatifnya keyakinan keagamaan yang muncul di masyarakat sehingga pembatasan hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan kekuasaan (power). Namun, tentu saja pendekatan kekuasaan ini tidaklah bijaksana untuk diterapkan dalam suatu negara yang mengklaim dirinya demokratis. Dengan demikian permasalahannya adakah kewenangan negara untuk melakukan intervensi keyakinan keagamaan untuk tujuan kerukunan umat beragama itu sendiri?

C. Relativisme Kebebasan Beragama di Indonesia

142 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Sebagaimana di katakan di atas, menjadi “manusia seutuhnya” adalah hak yang paling absolut yang harus mendapatkan perlindungan dan jaminan dari negara yang demoktaris. Keutuhan atau keaslian manusia hanya terdapat pada kebebasan nurani serta kebebasan untuk mengekspresikan dan melembagakan keyakinan keagamaan yang dianutnya. Akan tetapi jika prinsip ini diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka negara pasti dilanda kekacauan akibat benturan antara hak yang satu dengan lainnya. Untuk menjaga agar kebebasan orang lain atau kelompok lain pun terjamin, maka harus ada aturan main yang mengatur secara eksplisit kebebasan untuk mengekspresikan serta melembagakan keyakinan keagamaan yang diyakini oleh orang lain. Aturan main ini bisa dirumuskan pada saat pembentukan negara dan juga pada saat merumuskan konstitusi sebuah negara. Dalam konteks ke- Indonesia-an, Pancasila tentu saja merupakan kontrak sosial yang mengikat manusia yang lahir dalam wilayah NKRI. Sementara pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan prosedur konstitusional yang telah mendapatkan affirmasi dari seluruh masyarakat. Dari penjelasan di atas kita dapat mengerti bahwa kebebasan beragama memang secara logika dan dalam prakteknya tidak mungkin bisa dilakukan secara absolut. Ketika sampai pada tataran ekspresi, pembentukan asosiasi dan institusionalisasi kebebasan beragama ini menjadi relatif. Relativisme ini bukan karena pengkhianatan terhadap prinsip kebebasan beragama tetapi karena untuk terciptanya keseimbangan serta keteraturan lalulintas hak yang berujung pada keharmonisan kehidupan keagamaan. Itulah karenanya masyarakat Internasional pun mengakui prinsip relativisme kebebasan beragama ini sebagaimana tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR). Pasal 18 Kovenan tersebut menyatakan: 1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching. 2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice. 3. Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others. 4. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 143 Menurut ayat 3 ps. 18 di atas, kebebasan untuk mewujudkan agama atau keyakinan seseorang hanya boleh dibatasi oleh hukum dan pembatasan- pembatasan yang diperlukan untuk melindungi: (1) keamanan umum (public safety), (2) ketertiban umum (public order), (3) kesehatan umum (public health), (4) moral masyarakat (public moral) dan (5) hak-hak fundamental serta kebebasan orang lain. Di Indonesia kebebasan beragama ini direlatifkan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ini artinya bahwa kebebasan beragama bagi bangsa Indonesia dibatasi oleh Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian jika menganut faham absolutisme kebebasan beragama, maka sebenarnya Pancasila itu sendiri sudah membatasi kebebasan beragama. Sebagaimana diungkapkan di atas, prinsip kebebasan beragama menempatkan keyakinan pribadi sebagai sebuah nilai yang paling luhur dan agung (supreme value). Karena itu kalau seseorang berkeyakinan tuhan itu tidak ada maka negara harus menyediakan ruangan baginya dan orang-orang yang sefaham dengannya untuk tidak bertuhan. Pada level keyakinan nurani (religious conscience) tidak seorang pun termasuk negara dapat menghalangi kebebasan nurani ini. Oleh karena itu Pancasila hanya membatasi kebebasan beragama pada level ekspresional. Jadi ketika seseorang mengekspresikan dirinya dalam bernegara maka orang tersebut harus berke- Tuhan-an Yang Maha Esa, karena inilah yang telah menjadi kontrak sosial siapapun yang lahir di Indonesia. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini mungkin diangap tidak sejalan dengan prinsip kebebasan beragama dalam pengertiannya yang absolut, tetapi inilah kontrak sosial kita sebagai warga negara. Siapapun yang tidak setuju dengan kontrak sosial ini harus siap tidak menjadi warga Indonesia. Selain itu, gugatan judicial review juga bertentangan dengan UUD 1945 yang secara jelas merelatifkan ekspresi kebebasan beragama. Hal ini dapat dibaca dengan jelas dari pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Berdasarkan penjelasan di atas, maka secara konstitusional dapat dibenarkan jika gugatan judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak dikabulkan oleh MK. Pada titik ini, MK tidak bisa dipersalahkan telah melanggar prinsip kebebasan beragama. Apa yang telah dilakukan MK semata-mata karena mengikuti alat ukur berupa konstitusi NKRI, UUD 1945 yang menganut faham relativisme ekspresional.

D. Penodaan Agama, Otoritas Siapa?

144 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini semula merupakan Penetapan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965. Pada tahun 1969, kemudian diangkat statusnya menjadi UU melalui UU No. 5 Tahun 1969. Dengan demikian apa yang disebut sebagai UU No. 1/PNPS/1965 itu baru diundangkan pada tahun 1969. Pasal yang paling banyak mengundang kontroversial tertuang dalam pasal 1 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Melihat rumusan pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 sebagaimana tertulis di atas, sepintas terkesan bahwa Pemerintah sedang memasuki wilayah keyakinan keagaman yang sebenarnya merupakan wilayah privat. Akan tetapi jika dicermati keseluruhan konsideran dan penjelasannya, sebenarnya Pemerintah menginginkan agar dalam melaksanakan prinsip kebebasan beragama tidak ada kelompok umat beragama yang merasa tergangu sehingga menimbulkan benturan antar pemeluk umat beragama. Jadi tujuannya adalah memelihara ketertiban dan ketentraman yang mungkin dapat tergangu karena penyebaran faham keagamaan yang menyimpang. Jadi sama sekali yang menjadi titik fokus dari UU tersebut bukan masalah yang terkait dengan keyakinan keagamaannya tetapi public disorder yang mungkin timbul akibat penyebaran faham keagamaan yang menurut keyakinan mainstream dianggap menyimpang. UU No. 1/PNPS/1965 ini memang telah memiliki implikasi dicantumkannya delik hukum pada pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pemidanaan lima tahun penjara bagi siapapun yang di muka hukum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sementara untuk untuk mengawasi munculnya aliran-aliran keagamaan yang potensial menimbulkan public disorder dan konflik horizontal juga disebutkan secara jelas dalam UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 15 ayat (1) d, yang menyatakan bahwa kewenangan Polri adalah “mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa”. Peraturan perundang-undangan di atas, meskipun menunjukkan ketiadaan campur tangan pemerintah dalam masalah forum interum suatu keyakinan keagamaan, namun masih dihadapkan pada beberapa persoalan, diantaranya otoritas siapakah yang berhak dipegangi oleh Pemerintah dalam menentukan “penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Karena pemerintah tidak berhak untuk mencampuri forum interum maka

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 145 kemudian Pemerintah mungkin menggunakan jasa saksi ahli. Tetapi kesaksian siapakah atau organisasi manakah yang akan dipakai mengingat mainstream Islam itu juga ternyata tidak tungal. Selain persoalan otoritas, permasalahan juga akan muncul ketika ada aliran yang oleh mainstream kelompok agama tertentu dianggap sesat tetapi sama sekali pengikutnya menampilkan diri sebagai warga negara yang baik, setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan ajarannya pun sama sekali tidak subversif. Apakah mereka harus dipidana? Untuk lebih jelas, berikut ini akan penulis contohkan mengenai dilemma yang dihadapi Pemerintah dan MUI saat mensikapi aliran Ahmadiyah Qadiyan. Beberapa tahun yang lalu media massa, baik elektronik maupun cetak, sempat memuat banyak berita yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah. Pelarangan ini bermula dari fatwa MUI yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah merupakan “aliran sesat”. Kemudian MUI merekomendasikan kepada Pemerintah agar mengehentikan gerakan Ahmadiyah. Persoalan kemudian muncul, adakah alasan pembenar tindakan MUI yang memfatwakan sesat dan merekomendasikan agar Ahmadiyah dihentikan. Jawaban atas persoalan di atas memang tidak mudah karena ada dua sisi yang sama-sama memiliki klaim kebenaran, yakni sisi MUI yang merepresentasikan masyarakat Islam dan sisi negara yang harus netral terhadap setiap keyakinan keagamaan. Sebagai representasi umat Islam di Indonesia, MUI sudah sewajarnya jika merasa berkewajiban membuat parameter yang dapat digunakan untuk mengukur siapa dan aliran apa saja yang masuk kategori “Islam” dan aliran apa saja yang berada di luar Islam. Misalnya, parameter itu; meyakini Allah SWT sebagai tuhan yang wajib disembah, meyakini al-Qur’an sebagai Kalam Allah, meyakini Muhammad saw. sebagai nabi terakhir dan sebagainya. Perumusan parameter ini penting karena dua alasan. Pertama, Islam (dan juga agama apa saja) sebagai organized religion perlu alat pemersatu yang bersifat universal dan eternal (abadi). Parameter tersebut akan menjadi “pakaian seragam” semua umat Islam di Dunia. Namun karena Islam juga berinteraksi dengan waktu dan tempat maka aspek universalitas dan eternalitas Islam ini tidak dirumuskan dalam bentuk ajaran yang terlalu rinci sehinga ruang gerak akulturasi menjadi terpasung karenanya. Dengan demikian parameter yang dirumuskan cukup memuat keyakinan- keyakinan yang tidak multi interpretable. Parameter ini harus merupakan hal paling essensial dalam Islam karena akan menjadi rujukan status quo di mana dan kapan saja. Alasan kedua, secara sosiologis symbol-simbol keyakinan keagamaan yang menjadi parameter tersebut diperlukan untuk memperkuat eksistensi Islam sebagai organized religion. Tanpa symbol-simbol yang diyakini secara bersama-sama Islam akan terreduksi menjadi keyakinan individual. Ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah. Sejak kelahirannya, misi risalah Muhammad saw. bukan hanya bertujuan membangun Islam sebagai keyakinan

146 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 individual tetapi Islam sebagai sebuah organized religion. Untuk menjaga agar Islam sebagai organized religion ini tetap eksis, maka wajar jika MUI kemudian memberi penjelsan kepada umat Islam mengenai kelompok atau aliran apa saja yang masih ada dalam bingkai Islam dan aliran apa yang di luar bingkai Islam. Memang sedikit disesalkan, karena MUI mengunakan terminology “sesat”. Mungkin lebih terdengar bijak jika MUI memfatwakan “setiap aliran yang meyakini ada nabi setelah Muhammad saw. maka aliran tersebut beradadi luar Islam”. Kata “sesat” ini terkesan provokatif, terlebih lagi disertai dengan rekomendasi agar Pemerintah menghentikan kegiatan Ahmadiyah. Rekomendasi ini, kalau diukur dari logika politik mengindikasikan bahwa MUI telah meminta Pemerintah untuk bertindak inkonstitusional. Sebenarnya banyak para yang tergabung dalam wadah MUI menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang dibangun di atas konsep nation state. dengan demokrasi sebagai mekanisme peralihan kekuasaan. Indonesia bukan negara teokratis. Jadi parameter yang seharusnya dijadikan untuk mengukur aliran atau kelompok Ahmadiyah adalah hukum positif yang berlaku, bukan agama. Namun dari sisi logika agama, pernyataan MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah “aliran sesat” juga dapat dibenarkan. Karenanya wajar jika kemudian meminta kepada pemerintah untuk mengehentikan kegiatan Ahmadiyah. Dalam pandangan MUI yang menggunakan logika agama, rekomendasi ini sebagai wujud dari tangung jawabnya sebagai representasi dari umat Islam. Namun jika Pemerintah melarang Ahmadiyah atau bahkan ikut-ikutan mengatakan “sesat”, maka tindakan Pemerintah ini justeru menjadi keliru. Tugas Pemerintah (negara) adalah mengatur lalulintas hak setiap warga negara agar tidak bertabrakan antara yang satu dengan lainnya, bukan mencampuri urusan keyakinan keagamaan warganya. Kalau MUI menetapkan parameter seperti dijelaskan di atas, kemudian mengukur setiap aliran keagamaan yang muncul dengan parameter yang dibuatnya dan kemudian meminta bantuan pemerintah untuk mengambil tindakan, memang wajar karena ia menjadi wakil komunitas agama dan harus bicara dengan jargon-jargon serta logika agama. Jadi disinilah letak dilemma yang dihadapi MUI. Berharap kepada Pemerintah untuk menghentikan Ahmadiyah adalah benar dari sisi logika agama tetapi salah dari logika politik kenegaraan.

E. Penutup Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penolakan MA untuk mengabulkan judicial review terhadap UU No.1/PNPS/1965 dapat dibenarkan mengingat UUD 1945 menganut prinsip relativisme ekspresioanal dalam kebebasan beragama. 2. UU No. 1/PNPS/1965 sebenarnya memiliki tujuan yang sangat baik

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 147 yakni menciptakan kerukunan serta ketentraman bagi setiap umat beragama dalam menjalankan ajaran agamanya. 3. Meskipun UU tersebut tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan keyakinan keagamaan, karena ada beberapa kata yang ambigu, perlu dilakukan revisi sehinga ada kejelasan mengenai kriteria kelompok otoritas penentu penyimpangan suatu ajaran agama tertentu. Hal ini penting untuk menghilangkan persoalan dilematis yang selama ini dihadapi baik oleh Pemerintah maupun kelompok agama tertentu.

DAFTAR BACAAN

Gamwell, Franklin I. 1995. The Meaning of Religious Freedom, Modern Politics and the Democratic Resolution. Albany: State University of New York Press Gray, John.1991. Liberalisms, Essays in Political Philosophy. London and New York: Routledge ------. 1993. Post Liberalism, Studies in Political Thought. London and New York: Routledge Greenawalt, Kent. 1988. Religious Convictions and Political Choice. Oxford: Oxford University Press Koshy, Ninan. 1992. Religious Freedom in a Changing World. Geneva: World Council of Churches Rawls, John. 1993. Political Liberalis. New York: Columbia University Press ------. 1971. A Theory of Justice. Cambridge Massachusetts: Harvard University Press Sandel, Michael J., (ed.). 1984. Liberalism and Its Critics. Oxford and New York: Blackwell

148 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 PENELITIAN

PERKAWINAN KOMUNITAS SAMIN DALAM PANDANGAN HUKUM NEGARA

Oleh Moh. Rosyid, M.Pd.

Ab s t r a k : Perkawinan merupakan peristiwa kependudukan yang perlu melibatkan negara pencatatan berupa akta nikah agar memiliki kekuatan hukum. Pencatatan merupakan bukti ketaatan warga negara terhadap produk perundangan (UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan. Namun dalam Komunitas Samin, praktik perkawinan tidak melibatkan negara dengan berdasarkan pada ajaran leluhurnya dan prinsip hidup ’bersamin’. Penelitian ini berpijak dari teori grounded, etnografi, dan fenomenologi, kategori penelitian keilmuan sosial-budaya berobjekkan fenomena sosial-budaya (masyarakat) Samin Kudus dalam perkawinan adatnya. Tujuan penelitian ini untuk memahami praktik perkawinan Komunitas Samin di Kudus Dalam komunitas Samin, tahapan perkawinan meliputi, nyumuk, ngendek, nyuwito, panyeksen, dan tingkep. Tahapan-tahapan tersebut sama sekali menihilkan peran negara dalam bentuk pencatatan nikah.

Kata Kunci: Perkawinan, komunitas samin, nihilisasi peran negara Pe n d a h u l u a n l a t a r b e l a k a n g Peristiwa kependudukan seperti kelahiran, perubahan alamat, perkawinan, perceraian, pengesahan anak, hingga kematian, sesuai dengan Undang-Undang No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan hal yang harus dilaporkan pada instansi pemerintahan yang terkait dengan peristiwa tersebut, karena membawa implikasi administrasi identitas kependudukan. Namun di komunitas Samin di Kudus, kegiatan pencatatan tersebut, terutama perkawinan dianggap tidak berlaku. Mereka hanya melibatkan kedua mempelai, keluarga mempelai, tokoh Samin, warga Samin, dan tetangga lain (Samin dan non-Samin) tanpa didampingi petugas dari KUA atau Kantor Catatan Sipil. Perkawinan dilaksanakan secara sederhana, tanpa pengeras suara, tanpa ornamen pelaminan, dan dilakukan sesuai ajaran leluhur dengan tahapan yang baku. Meskipun demikian, berbekal prinsip kesaminan yang direalisasikan dalam denyut kehidupan sosialnya, mereka nyaman bersama di lingkungannya yang Samin dan nonsamin. La n d a s a n Te o r e t i s UU No.1/1974 Pasal 2 (1) perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya dan (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 149 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang peraturan per-UU-an yang berlaku. UU No.23/2006 Pasal 34 (1) perkawinan yang sah wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. Ayat (4) pelaporan tersebut bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan di KUA kecamatan, bagi warga negara non-Islam di kantor catatan sipil. Tahapan perkawinan tersebut (bagi pemeluk agama Islam maupun non-Islam) adalah calon suami-isteri mendaftarkan diri pada KUA atau Kantor Catatan Sipil yang selanjutnya melaksanakan perkawinan dan diberi akta nikah. Setelah itu, KUA atau lainnya menginformasikan pelaksanaan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Sedangkan bagi penganut aliran kepercayaan, diakomodir oleh PP No.37/2007 tentang pelaksanaan UU No.23/2006. Dalam UU tersebut pada Pasal 1 (18) ditunjukkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa (TYME) atau penghayat kepercayaan adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan TYME berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap TYME serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Sedangkan dalam ayat (20), surat perkawinan penghayat kepercayaan dibuat, ditandatangani, dan disahkan oleh pemuka penghayat kepercayaan. Sebagaimana Surat Edaran No.01/SE/NBSF/VIII/’07 tanggal 1/8/2007 oleh Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tentang Penunjukan dan Penetapan Pemuka Penghayat Kepercayaan, juga dinyatakan: sehubungan dengan diundangkannya UU No.23 /2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No.37/2007 Bab X, persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan pasal 81 adalah sebagai mana ayat-ayat berikut ini. (1) perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan; (2) penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan; (3) pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap TYME, berupa: (a) agar berdasarkan musyawarah anggota, dapat segera menunjuk dan menetapkan pemuka penghayat kepercayaan di lingkungan organisasi penghayat kepercayaan yang bertugas untuk mengisi dan menandatangani Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan terhadap TYME, (b) Jumlah pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan menyerahkan dengan kebutuhan/kecukupan wilayah cabang dan penyebaran organisasi, (c) Pemuka penghayat kepercayaan yang telah ditunjuk dan ditetapkan agar segera mendaftarkan ke Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk memperoleh Surat Keputusan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tentang penetapan kewenangannya, dan (d) Pemuka penghayat kepercayaan yang telah didaftarkan ke Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar dilengkapi dengan alamat tempat tinggal dan dua lembar foto berwarna ukuran 4x6. Dalam konteks penganut Kepercayaan di Kabupaten Kudus, berdasarkan petikan Keputusan Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Dirjen NBSF No.120/SK/Dit.Kep/NBSF/XI/07 tanggal 1/11/2007 tentang penetapan pemuka penghayat kepercayaan yang memutuskan nama pemuka penghayat kepercayaan Sapta

150 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah

Darma Kab. Kudus adalah Bpk. Nurlan. Jika ditelaah bahwa agama yang didaku pemeluk Samin (agama Adam) dalam perspektif pemerintah dikategorikan aliran kepercayaan, sehingga harus taat terhadap Surat Edaran tersebut.

Me t o d e Pe n e l i t i a n Metode adalah cara menggali data dengan benar (valid). Pengertian “benar” dalam penelitian bersumber dari fenomena sosial. (Safi, 2001:180) Penelitian tentang perkawinan komunitas Samin masuk dalam kategori penelitian sosial, yakni penelitian yang objeknya berupa gejala atau fenomena sosial dan kebudayaan sehingga pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kualitatif.Pendekatan kualitatif, bertujuan memahami makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat dan datanya bersifat naturalistik dengan metode induktif dengan model pelaporan deskriptif dan naratif. Penelitian ini berkategori penelitian terapan, karena yang dituju adalah memahami praktik perkawinan masyarakat Samin Kudus.

PEMBAHASAN Istilah Samin Istilah Samin bisa berarti banyak. Pertama, istilah itu merupakan simplifikasi makna “sama”, yaitu bersama-sama membela negara melawan Belanda, atau bermakna “sami-sami amin”, jika semua setuju maka dianggap sah (untuk melawan penjajah), sebagai bentuk dukungan rakyat. Kedua, nama Samin muncul, diilhami nama tokoh, yaitu Samin Surosentiko keturunan Bupati Tulungagung. Ketiga, Samin bermakna Sami Wonge (sama orangnya) maksudnya bersaudara. Keempat, nama Suku di Jawa Tengah (antara lain Samin, Jawa, Karimun, dan Kangean).(Sigar, 1998:1) Kelima, Samin atau Saminisme adalah anggapan orang Jawa pesisir yang hidup di daerah pinggiran.(Endraswara,1999:17) Keenam, dalam versi dongeng rakyat, kata Samin muncul sebelum Samin Surontiko ada, ketika masyarakat di lembah Sungai Bengawan Solo dari Suku Kalang, bekas para Brahmana, pendeta, dan sarjana Majapahit akhir pemerintahan Brawijaya V menyingkir dari Majapahit (Soerjanto,2004:78). Versi keenam tersebut bertolak belakang dengan keberadaan Samin di Bengawan Solo sebagai usaha R. Surowidjojo memperluas daerah perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1840.(Winarno, 2003:56) Di luar itu, kata ’Samin’ diplesetkan menjadi ‘nyamen’, identik menyalahi tradisi digeser pengikutnya karena bertendensi negatif, diganti sedulur Sikep. Penamaan itu dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan. Pertama, mendapat tekanan Belanda, dipimpin seorang petani, Ki Samin Surosentiko pujangga Jawa pesisiran pasca-Ronggowarsito menyamar sebagai petani menghimpun kekuatan melawan Belanda. Pada tahun 1890, Ki Samin mengembangkan ajarannya di Desa Klopodhuwur daerah Blora, dan setelah banyaknya pengikut, mengadakan perlawanan terhadap Belanda di tahun 1905. Pada tahun 1907 Ki Samin diculik Belanda dibawa ke Rembang beserta 8 pengikutnya, kemudian dibuang di Sawahlunto, Padang Sumatra Barat hingga wafat tahun 1914 sebagai tawanan.(Dhewanti, 2004:124) Samin dianggap

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 151 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang kelompok pembangkang oleh Belanda dan meluas pada masyarakat umum. Kedua, julukan dari aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan wilayah Bojonegoro pada tahun 1903-1905 pada masyarakat di sana (sebagai embrio Samin) karena menentang aparat desa (di era penjajahan Belanda) tidak membayar pajak dan memisahkan diri dengan masyarakat umum, (Faturrahman, 2003) dengan penolakan itulah muncul kata nyamin. Ketiga, wujud simbolisasi penamaan diri dengan filosofi munculnya kelahiran- kehidupan dari proses “sikep”, berdekapan atau proses menanak nasi secara tradisional melalui proses “nyikep”, dijadikan modal mempertahankan hidup. (Rosyid, 2008) Keempat, menurut Amrih Widodo, kata ‘sikep’ merupakan cara menghindari penamaan dengan kata ‘samin’ akibat konotasi negatif yang dilekatkan bertahun-tahun, terutama wacana saminisme dipisahkan dari semangat perlawanan petani. Kata ‘samin’ dan ‘saminisme’ dalam konteks sejarah merupakan dampak kebijakan politik kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada rezim Orba (Kompas,1/8/2008, hlm.56).

Tipologi Samin Samin dipilah ke dalam Samin sangkak, atau ampeng-ampeng, samiroto, dan sejati atau dlejet. (Rosyid, 2008:170) Dalam realitanya, karakter tersebut tidak selalu terpisah atau tidak bersamaan, maksudnya, boleh jadi seorang Samin melaksanakan ketiga-tiganya dalam waktu berbeda atau sama, atau satu saja dari ketiga karakter tersebut. Semua itu ditentukan pola pikirnya; respon ketika bertemu dengan orang nonsamin; dan faktor tak terduga lainnya. Ajaran Samin dijadikan keyakinan hidup berupa dasar ajaran (perintah) dalam bentuk etika, pantangan dasar dalam berinteraksi, prinsip berkarakter, doa yang dipanjatkan berupa seger waras (sehat sentosa), rukun, dan becik-apek sak rinane sak wengine (baik, di saat siang dan malam hari). Jika aktivitas itu identik dengan action Belanda, maka oleh komunitas Samin akan ditolak, seperti aktif pendidikan formal, pakaian yang dipakai Belanda. Cara bagaimana orang Samin menolak cara Belanda adalah dengan tidak bercelana panjang, dengan mengenakan udeng (iket kepala), suwal/tokong (celana pendek tepat di bawah lutut), bhebhet (sarung), pakaian berupa baju atau kaos sebagaimana masyarakat umumnya, warna pakaian kebesarannya hitam. Mereka juga tidak berpeci, tetapi berudeng (iket kepala) dipakai ketika mereka mengikuti acara resmi. Jika masyarakat Samin berada di sawah, mereka mengenakan penutup kepala berupa caping atau topi lazimnya masyarakat petani Kudus. Prinsip dasar beretika bagi masyarakat Samin berupa pantangan untuk tidak drengki (membuat fitnah), srei; (serakah), panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama), dawen (mendakwa tanpa bukti), Kemeren (iri hati/sirik, keinginan untuk memiliki barang yang dimiliki orang lain), Nyiyo Marang Sepodo (berbuat nista terhadap sesama penghuni alam), dan Bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang

152 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah lain tidak boleh, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara), dan berujar norak (saru, tidak sopan, dsb.). Ajaran tersebut pada dasarnya ajaran agama universal, dan melaksanakan ajaran tersebut sangat ditentukan oleh diri, bukan karena simbol menjadi pengikut agama atau kelompok tertentu. Pantangan berinteraksi berupa Bedok (menuduh), Colong (mencuri), Pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya, misalnya: sayur-mayur ketika masih di ladang), Jumput (mengambil barang yang telah menjadi komoditas di pasar, misalnya: beras, hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya), Nemu Wae Ora Keno (menemukan barang menjadi pantangan). Jika ditemukan, si pemilik yang kehilangan tidak akan mendapatkan barang yang hilang.(Rosyid, 2008:171) Ajaran dasar dalam berkarakter meliputi (i) Kudu Weruh te-e dewe; harus memahami barang yang dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lain, (ii) Lugu; bila mengadakan perjanjian, transaksi, ataupun kesediaan dengan pihak lain jika sanggup mengatakan ya, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan tidak. Jika ragu memberikan jawaban ya atau tidak, mereka berujar cubi mangkeh kinten-kinten pripun, kulo dereng saget janji. Kecuali jika saat menepati janji menghadapi kendala yang tidak diduga, seperti sakit, (iii) Mligi; taat aturan prinsip Samin, dipegang erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan memegangi ajarannya. Di antara larangan adalah judi, pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya, (iv)Rukun dengan istri, anak, orang tuanya, tetangga, dan dengan siapa saja, dan (v) larangan beristri lebih dari satu.

Praktik Perkawinan Samin Perjodohan umumnya pada masyarakat Samin Kudus diambilkan dari sesama pengikut Samin (tunggal bibit). Pilihan itu, dilatarbelakangi oleh intensitas berinteraksi di antara warga Samin sendiri, berdasarkan pada prinsip angan-angan dalam benak (partikel), dipertimbangkan secara mendalam (artikel), dilampiaskan dalam komunikasi verbal (pengucap), dan ditindaklanjuti perkawinan (laku/kelakuan). Dalam pernikahan antarpengikut Samin, mereka memiliki janji yakni janji sepisan kanggo selawase. Adapun tahapan perkawinan model Samin meliputi, nyumuk, ngendek, nyuwito, diseksekno, dan tingkep. 1. Nyumuk Nyumuk adalah kedatangan keluarga (calon) kemanten putra ke keluarga (calon) kemanten putri untuk menanyakan keberadaan calon menantu, apakah sudah mempunyai calon suami atau masih gadis (legan). Jika belum memiliki calon suami, diharapkan menjadi calon menantunya. Selanjutnya, pihak keluarga calon kemanten putra menentukan hari untuk ngendek. Proses nyumuk tidak disertai calon kemanten putra. Biasanya, kedatangan mereka

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 153 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang tidak menyertakan banyak saudara atau teman, tidak sebagaimana ketika acara ngendek. 2. Ngendek Ngendek adalah pernyataan calon besan dari keluarga kemanten putra kepada bapak-ibu (calon) kemanten putri, menindaklanjuti forum nyumuk. Pelaksanaan ngendek diawali pernyataan calon kemanten putra kepada bapak- ibunya (di rumahnya calon kemanten putri) bahwa dirinya berkeinginan mempersunting seorang putri. Sedangkan ibu kemanten putra (biasanya) memberi mahar kepada calon kemanten putri (calon menantu) sebagai tanda telah diendek (diwatesi). Ngendek dihadiri tokoh Samin, keluarga Samin, dan tetangganya yang berajaran Samin dan nonsamin. Dalam prosesi ngendek, besan (keluarga dari calon kemanten putra) kedatangannya membawa ‘buah tangan’ yang biasanya berupa hasil bumi dan jenis makanan yang biasanya dihidangkan bagi tamu. Prosesi ngendek, diungkapkan dengan penyataan berikut: “Kang, anggonku mrene sak rombongan duwe karep, siji, pingin merohi kahanane sedulurku ing kene, opo yo podo sehat kewarasan, semono ugo aku sak rombongan kahanane wilujeng-sehat, nomer loro, aku duwe karep, minongko nggenepi karepe anak ku lanang kang aran ... (menyebut nama) nekok ake, opo turunmu wong jeneng wedok pengaran ....(menyebut nama), wes duwe calon? Yen durung, bakal dikarepake turunku. Pernyataan tersebut dijawab oleh calon besan (bapak kemanten putri): “Turunku ..... legan. Pernyataan dilanjutkan tokoh Samin bahwa prosesi ngendek sudah disaksikan oleh forum, sekaligus memberikan pesan (sesorah) agar kedua calon besan sabar menunggu menuju proses perkawinan/ nyuwito. Setelah prosesi ngendek berakhir, tuan rumah mempersilahkan tamu menikmati hidangan yang disediakan. 3. Nyuwito-Ngawulo Hari dilangsungkan perkawinan dilaksanakan dengan didasari niat kemanten putra untuk meneruskan keturunan (wiji sejati, titine anak Adam). Setelah pasuwitan, biasanya kemanten putra hidup bersama keluarga kemanten putri dalam satu rumah (ngawulo), atau kemanten putri hidup bersama keluarga kemanten putra. Penempatan tersebut berdasarkan kesepakatan antarbesan. Jika (besan) hanya memiliki seorang anak putra, biasanya kemanten putri nyuwito di rumah kemanten putra, begitu pula sebaliknya. Selama proses ngawulo, kemanten membantu melaksanakan pekerjaan yang dilaksanakan mertuanya. Rentang waktu nyuwito, tidak dibatasi waktu dan ditentukan oleh kedua kemanten jika sudah cocok ditandai keduanya telah berhubungan intim. Proses nyuwito, pada dasarnya adalah masa menuju kecocokan kedua belah pihak, sehingga apabila kedua pihak tidak menemui kecocokan, maka tidak

154 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah melanjutkan tahapan menuju paseksen. Sebagaimana dilakukan oleh Bpk. Sarno (warga Desa Larekrejo, Kudus) dengan Ibu Sukrimi (warga Kaliyoso, Kudus) dan Bpk. Slamet (warga Desa Larekrejo, Kudus) dengan Ibu Sukarti (warga Kaliyoso, Kudus). 4. Paseksen Paseksen adalah forum ungkapan kemanten putra di hadapan mertua yang dihadiri kemanten putri, keluarga, dan tamu undangan warga Samin dan nonsamin di rumah kemanten putri. Pertama, pernyataan tuan rumah (besan/ bapak kemanten putri) sebagai berikut: “Dumateng sedulur kulo sedoyo, poro mbah, poro bapak, ibu, kadang kulo seng pernah nem, jaler miwah estri sing wonten mondoane kulo mriki. Kulo niki gadah kondo mangke do ndiko sekseni. Kulo duwe turun wong jeneng wedok pengaran... (menyebutkan nama), empun dijawab wong jeneng lanang pengaran ...(menyebut nama). Kulo empon ngelegaake, yen miturut kandane wong jeneng lanang pengaran ... turune tatanane wong sikep rabi pun dilakoni.” Selanjutnya dijawab tamu yang hadir atau forum: “Nggih.” Lalu ditegaskan lagi: “Niku kondo kulo do ndiko sekseni piyambak.” Dijawab kembali oleh forum: “Nggih.” Kedua, pernyataan kemanten putra, berupa syahadat, yakni: “Kulo duwe kondo ndiko sekseni. Kulo ajeng ngandaake syahadat kulo: kulo wong jeneng lanang pengaran ..., toto-toto noto wong jeneng wedok pengaran ...(menyebut nama). Kulo sampun kukuh jawab demen janji, janji sepisan kanggo selawase, inggih niku kondo kulo ndiko sekseni.” Dijawab forum: “Yo, Le..) Ketiga, doa tokoh Samin (nyintreni) untuk keselamatan bagi kedua mempelai. Setelah itu, dilanjutkan acara brokohan. Namun dalam praktik yang terjadi ada tahapan yang tidak dilaksanakan atau tidak dilanjutkan karena sebab tertentu. Misalnya, perkawinan antara Agus Gunawan dengan Anita Rahayu berdasarkan pilihan anak, tidak melalui prosesi perkawinan Samin secara utuh yakni tanpa nyumuk dan ngendek oleh orangtua kandungnya. Adapun prosesi nyuwito dilakukan oleh Agus sendiri, tidak oleh orang tuanya (Bpk. wargono). Berdasarkan pengakuan ibu Anita, Masinah, bahwa saat ngendek Anita masih balita sehingga muncul kesepakatan kalau ada perubahan nantinya, dan keluarga calon besan memahaminya. Begitu pula, halnya yang dialami Gumani (putra Bpk. Sumar) yang telah nyumuk dengan Fitriya Kiki Fatmala (Putri Bpk.Maniyo) dari Kab.Pati. Fitri pasca di-sumuk oleh Gumani merasa tidak cocok, sehingga tidak melanjutkan tahapan perkawinan berikutnya, ngendek dan seterusnya. Sebagaimana pernyataan Bpk. Maniyo kepada Bpk. Sumar: “Kulo pengen sumerep kahanane Jenengan, nopo sami seger kewarasan.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 155 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang

Semonten ugi kulo seger kewarasan. Kapindone, putri kulo mboten purun jejodohan kalayan Gumani, tinimbang dipun pekso. Pangapuntene.” Dijawab oleh Bpk. Sumar: “Pancen durung jodone yo…Maniyo. Senajan ora sido dadi besan, seduluran tetep mbok lanturno.” Dibalas oleh Bpk. Maniyo: “Inggih, kulo mboten bade supe, mboten bade kulo pedot.” Adapun pernyataan Gumani: “Kranten roso mboten saget dipekso, kersane menawi kulo mangkeh wonten ingkang luweh sae kagem kulo lan kagem dek Pipit (Fitriya).” Jadi dengan tidak dilanjutkannya tahapan dan prosesi perkawinan tersebut, tidak menyisakan persoalan. Sebagaimana ‘pandangan’ penulis dalam penggalian data, pasca pemutusan nyumuk. 5. Tingkep Setelah penganten hamil tujuh bulan, diadakan selamatan bayi dalam kandungan yang disebut brokohan. Sesepuh Samin (botoh) yang mewakili si empunya hajat memberikan petuah (nyondro) kepada hadirin (Samin dan nonsamin) dengan ungkapan: “Poro sederek, kondo kulo ndiko sekseni. Kulo gadah niyat tiyang sekalian, karep brokohan, kawitan hinggo wekasan, brokohi sageto sae, ngajeng ngantos wingkeng dateng turun kulo asale ngandut turune sampon pitung sasi. Anake kulo brokohi sageto sae ngantos ngajeng lan wingking. Tiyang sekalian gadah niat brokohi kersane bantu sageto waras ngajeng ngantos wingkeng. Danyange kulo brokohi kersane sae, ngajenge ngantos wingkinge kulo brokohi rinten kalayan ndalu kersane bantu karepe tiyang sekaliyan.” Ketika prosesi brokohan ( pernikahan) bersamaan pada hari pasuwitan menghadirkan saudara dan tetangga pengikut Samin dan nonsamin sebagai media informasi bahwa telah terjadi prosesi pernikahan dengan memperkenalkan kedua mempelai meliputi status, asal-usul, keturunan, dan lainnya. Adapun penempatan waktu semua prosesi perkawinan dilaksanakan malam hari dengan pertimbangan, miturut sipatane wong sikep, mergo yen bengi iku kanggo tatane uwong, yen rino kanggo tatane sandang pangan (waktu malam dipergunakan untuk istirahat atau bercengkerama dengan keluarga, sedangkan di siang hari saat mengais rizki).

Pernik Perkawinan 1. Undangan Masyarakat Samin Kudus dalam mengundang calon tamu dalam perkawinan menggunakan pola hadir secara langsung ke rumah calon yang diundang. Kecuali tamu yang tak terjangkau karena wilayah yang jauh, teknik

156 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah mengundangnya dengan mengirim pesan singkat via hand phone (SMS), sebagaimana diterima penulis. Tuan rumah mengundang tamu berasal dari tetangga dekat yang berasal dari komunitas Samin dan nonsamin dan saudara yang berdekatan rumah atau jauh dari rumah (ukuran jauh adalah di luar wilayah administrasi desa tuan rumah) dengan pernyataan: “Amit bpk/ibu/sederek (menyebutkan nama yang diundang) asal kulo mriki bade weroh seger kuwarasane keluarga, kulo gadah butuh mbenjang dinten Rebo wanci ndalu, kulo bade ketekan mantu, panjenengan kulo aturi nderek ...(menyebutkan tahapan perkawinan). 2. Lokasi Pasuwitan Penataan lokasi pasuwitan ketika penulis menghadirinya tahun 2009, terpilah bangsal ijab dan kursi tamu undangan. Bangsal ijab yang terdiri dari beberapa kursi berhadapan antara rombongan kemanten putra dengan keluarga kemanten putri dan dipisahkan oleh meja yang digunakan untuk sajian hidangan (makanan-minuman). 3. Tamu yang Hadir dan Hidangan yang Disajikan Tamu yang hadir dalam prosesi perkawinan Samin Kudus meliputi tokoh Samin, saudara masyarakat Samin yang berajaran Samin dan nonsamin (Islam), tetangga masyarakat Samin yang berajarkan Samin dan nonsamin. Bagi warga Samin, karena kedekatan tempat tinggal, orangtua hadir bersama anak-anaknya untuk menyaksikan prosesi perkawinan dan anak yang beranjak dewasa membantu tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu yang hadir. Hidangan yang disajikan tuan rumah berupa makanan ringan (kudapan) tradisional berupa ketan salak, bugis, cucur yang dibungkus dengan daun pisang, dan pisang goreng., makanan besar (nasi dan lauk-pauk), minuman teh gelas dan air kendi. Sedangkan makanan nontradisional berupa emping goreng, kue, roti, buah-buahan, dsb. Adapun hidangan pascamakan adalah pisang dan rokok dengan menghidangkan dalam brokohan berupa nasi yang ditaruh di atas baki yang beralaskan daun pisang, seekor ingkung ayam, bubur putih dan bubur merah dalam piring, krupuk goreng,dsb. Sajian ini sesuai kemampuan dan dalam takaran sewajarnya, tidak karena ajaran. 4. Pakaian Kemanten, Tuan Rumah, Besan, dan Tamu Pakaian kemanten Samin laki-laki adalah baju dan celana tokong/ komprang, lazimnya berwarna hitam atau bersarung (bebet), berblangkon atau iket/udeng kepala, sedangkan bagi kemanten putri mengenakan pakaian Jawa/beskap. Pakaian tuan rumah dan tamu (ada yang) mengenakan baju khas Samin, ada juga yang mengenakan pakaian lazimnya masyarakat Jawa (baca: Indonesia) ketika di rumah.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 157 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang

Prinsip Perkawinan Samin Kudus Prinsip pernikahan Samin, pertama, calon mempelai laki-laki dan perempuan mempunyai orang tua. Ibu berkewajiban merukunkan anak, dan bapak berkewajiban menyetujui anak melaksanakan pernikahan, sehingga yang berkewajiban dan berhak menikahkan anak adalah orang tuanya sendiri. Tidak dengan administrasi pemerintahan (KUA atau catatan sipil) karena (anggapannya) pemerintah adalah lembaga yang dijalankan oleh manusia, sementara bapak-ibu Samin juga manusia, sehingga tanpa pemerintahpun pernikahan itu telah terwakili bapak-ibu yang juga “manusia”. Jika bapak/ibu kandung kemanten meninggal dunia (tiada) maka yang menyerahkan kemanten adalah Pak de (kakak dari orang tua kandung kemanten), dan jika Pak de tidak ada, diwakilkan pada Pak lek (adik kandung bapak kemanten putra). Kedua, bahwa adanya anak Adam (manusia) karena melalui proses sikep-rabi (persetubuhan) antara Adam dengan Hawa yang tanpa melibatkan pihak lain sebagai saksi atau pencatat (buku) nikah, hal tersebut diikuti pengikut Samin (Putu Adam) hingga kini. Keberadaan Adam menduduki alam (jagat whong- whong) masa lalu seorang diri, maka Yai (Tuhan) menurunkan Adam (Yai Adam) ke dunia agar tidak sendirian dan tercipta kehidupan (ora suwung), Adam sikep-rabi (kawin) dengan Hawa (Ibu Hawa) yang disaksikan oleh Yai (Tuhan), tidak disaksikan lainnya.

Perceraian dan Warisan Perkawinan Samin tidak dicatatkan dalam kantor pencatat perkawinan, sehingga perceraian pun tidak melaksanakan amanat UU No.23/2006 Pasal 40 (1) perceraian wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada instansi pelaksana paling lambat 60 hari sejak putusan pengadilan. Perceraian sebagaimana dialami (i) Ibu Masini (warga Samin dari Kaliyoso) dengan suaminya Bpk.Suwarjo (warga Samin dari Bombong, Pati), (ii) Bpk. Kiran (asal Bombong) dengan Ibu Sutimah (asal Kaliyoso), perkawinannya hanya sampai periode nyuwito, (iii) Bpk. Kusnan dengan Ibu Kastinah (keduanya dari Kaliyoso), perceraian diduga karena adanya ’WIL’, dan (iv) Bpk. Sulasno (asal Kaliyoso) dengan Ibu Wiji (asal Bombong, Pati) akibat keinginan Lasno untuk berumah tangga di Dukuh Kaliyoso, Kudus. Sedangkan Wiji menghendaki membangun rumah di Desa Bombong, Pati. Keinginan keduanya tidak dapat disatukan, masing-masing bersikukuh dengan keinginannya. Setelah terjadi perceraian, Lasno menikah dengan Winarsih, warga Kaliyoso secara Islam. Adapun jika terjadi perceraian maka yang dilakukan suami adalah menyerahkan istri kepada mertuanya. Cara demikian dilakukan karena ketika perkawinan mendapat persetujuan mertua, sehingga ketika perceraian pun diserahkan kepada mertua. Untuk pembagian harta gono-gini (harta milik suami-isteri yang diperoleh setelah perkawinan) dilakukan dengan musyawarah untuk menentukan pembagian perolehan istri, suami, dan anak berdasarkan

158 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah kesepakatan keluarga dibagi rata atau diberikan pada keturunannya dalam jumlah tertentu setelah disepakati antara mantan suami-istri agar tidak terjadi konflik. Penulis pun belum menemukan data bahwa konflik dipicu oleh pembagian gono-gini.

Perkawinan Samin Perspektif Hukum Positif Jika berpijak pada UU No.1/1974 tentang Perkawinan, terdapat hal ‘krusial’ yang perlu diklarifikasi. Pertama, Pasal 2 (1) tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Samin Kudus tidak mengenal pencatatan pernikahan karena tidak diajarkan leluhurnya. Kedua, Pasal 7 (1) perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria (minimal) mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita (minimal) mencapai umur 16 tahun. Masyarakat Samin beranggapan usia calon mempelai tidak memiliki batas minimal dengan argumen manusia lahir dalam kondisi tak memiliki usia dan standar dilangsungkannya pernikahan ketika mereka siap menikah. Adapun strata usianya terpilah adam timur, adam brahi, dan wong sikep kukuh wali adam. Adam timur adalah generasi Samin yang belum dewasa, belum memiliki ‘rasa’ dengan lain jenis. Sedangkan adam brahi adalah generasi Samin yang telah dewasa dan memiliki ‘rasa’ terhadap lawan jenis. Adapun wong sikep kukuh wali Adam adalah orang Samin yang telah berkeluarga. Ketiga, Pasal 26 (1) perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, dapat dibatalkan. Samin Kudus memegang prinsip tanpa menghadirkan petugas KUA atau Kantor Catatan Sipil karena mengikuti tradisi moyangnya. Keempat, Pasal 28 (1) batalnya perkawinan setelah keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Batalnya perkawinan versi masyarakat Samin jika kedua mempelai berpisah secara alamiah karena berbagai hal, sehingga (mantan) suami menyerahkan (mantan) istrinya kepada (mantan) mertuanya. Kelima, Pasal 29 (1) pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat perkawinan. Masyarakat Samin pun tidak disentuh oleh budaya tulis-menulis dalam proses pernikahan karena budaya leluhurnya tidak mengajarkan pencatatan perkawinan. Begitu pula dalam UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 34 (1) perkawinan yang sah menurut peraturan perundangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. Ayat (2) sebagaimana ayat (1) pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. Ayat (3) kutipan akta tersebut masing- masing diberikan kepada suami dan istri. Ayat (4) pelaporan sebagaimana ayat (1) bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA kecamatan. Ayat (5) data hasil pencatatan wajib disampaikan KUA kecamatan kepada instansi pelaksana dalam waktu paling lambat 10 hari setelah pencatatan perkawinan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 159 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang dilaksanakan. Pasal 36 dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. UU No.23/2006 tersebut tidak menjadi bagian praktik perkawinan masyarakat Samin Kudus. Tetapi hukum ‘adatnya’ yang diberlakukan dalam tradisinya.

Nihil Data dan Pantangan Perkawinan Samin Pelaksanaan perkawinan yang melanggar UU No.1/1974 tentang Perkawinan, tetapi data yang diperoleh, belum pernah terjadi pada masyarakat Samin Kudus. Sebagaimana Pasal 8, perkawinan dilarang antara dua orang yang (a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, (b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, (c) berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri, (d) berhubungan sesusuan yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi/paman sesusuan, dan (e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristri dari seorang. Pantangan perkawinan masyarakat Samin Kudus berupa perkawinan dengan saudara kandung, pernikahan sejenis (homoseks), dan beristri lebih dari satu (dianggap faktor terjadi konflik dalam keluarga, sehingga diantisipasi), ketiga hal tersebut moyang Samin tidak melakukannya. Penulis pun belum menemukan data poligaminya warga Samin. Faktor terjadinya hubungan perkawinan Samin memprioritaskan aspek kesamaan agama, kecocokan psikis, dan kedekatan interaksi.

Status Anak dalam Kawin Samin Dalam UU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan RI Pasal 4 (b) WNI adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI, (c) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI, (d) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI, dan (g) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI. Pasal 5 (1) Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun, dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI. Hal tersebut menandaskan {khususnya huruf (g)}bahwa anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah tetap menjadi WNI. Adapun asas yang dianut UU No.12/2006 adalah pertama, asas ius sanguinius (law of the blood) yakni asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Kedua, asas ius soli (law of the soil) secara terbatas yakni asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran yang

160 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah diberlakukan terbatas bagi anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU tersebut. Ketiga, asas kewarganegaraan tunggal yakni asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Keempat, asas kewarganegaraan terbatas yakni asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU tersebut. Kelima, asas kepentingan nasional, perlindungan, persamaan di depan hukum, kebenaran substantif, nondiskriminatif, pengakuan dan penghormatan, keterbukaan, dan publisitas (asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan RI diumumkan dalam berita negara RI agar masyarakat mengetahuinya).

Kinerja Perundangan Negara Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No.298/2003 tentang Pencatatan Nikah, Pasal 1 (a), KUA adalah instansi Depag yang bertugas melaksanakan urusan agama Islam di wilayah kecamatan, di antaranya hal perkawinan (dilaksanakan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tertuang dalam Pasal 1 (c), Pasal 1 (h) pembantu PPN adalah pemuka agama Islam di desa yang ditunjuk dan diberhentikan oleh Kepala KUA). UU No.23/2006 Pasal 1 (23) KUA kecamatan adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi penduduk yang beragama Islam. Sehingga bagi warga yang non-Islam, bukan wilayah kerja KUA, sebagaimana komunitas Samin yang mengaku beragama Adam.

Kupasan Kawin Samin Vs UU Nomor 1 tahun 1974 Sandaran pembenar perkawinan Samin Kudus jika disandingkan dengan UU No.1/1974 adalah Pasal 2 (1) perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Tetapi, Samin mengaku beragama Adam -mereka mengaku tidak kategori aliran kepercayaan- nama ’agama’ yang belum terakomodir dalam perundang-undangan, seperti Penpres No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan terhadap Agama. Demikian pula dalam PP No.55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan belum mengakomodasi aliran kepercayaan, misalnya dalam pasal 9, pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pasal 6 (1) perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai, Pasal 30 suami-istri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan rumah tangga sebagai sendi dasar masyarakat, Pasal 31 (3) suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Pasal 10 bila suami dan isteri telah cerai, dikawin lagi, dan cerai (lagi) yang kedua, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain. Mengawini seseorang yang telah dicerai, dalam

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 161 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang komunitas Samin, penulis belum (tidak) menemukan datanya. Pasal 11 (1) bagi wanita yang putus perkawinan, berlaku jangka waktu tunggu (iddah). Kaidah ini tidak menjadi kaidah perkawinan Samin, juga tidak ditemukan kasus iddah. Pasal 29 (1) sewaktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan pejanjian tertulis yang disahkan oleh PPN (Pegawai Pencatat Perkawinan). Samin tidak mengenal tahap perjanjian tertulis, perjanjiannya diungkapkan dan diwujudkan dalam perilaku berkeluarga sebagaimana ’janji’ yang tertuang dalam prosesi paseksen. Pasal 40 (1) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Jika terjadi perceraian, gugatan warga Samin diajukan kepada orangtua isteri (mertua kemanten laki-laki). Pasal 43 (1) anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya berhubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibu. Hal ini terwujud dalam Kartu Keluarga (KK) bahwa anak Samin berhubungan perdata dengan ibu.

Eksisnya Perkawinan Model Samin Faktor eksisnya perkawinan model masyarakat Samin Kudus karena berlakunya hukum , nilai universal hukum adat, sumber hukum adat, akulturasi hukum adat dengan tradisi masa kini. Berlakunya hukum adat menurut Ardiyarto (2008:63) terpetakan tiga hal yakni batas personal/ individual, teritorial/kewilayahan, dan batas perkara. Batas personal adalah berlakunya hukum adat terbatas pada orang atau golongan tertentu, sedangkan batas teritorial adalah perlakuan hukum adat hanya pada daerah tertentu. Adapun batas perkara adalah tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan hukum adat, hanya perkara perdatalah yang dapat ditangani hukum adat. Dalam konteks batas personal, berlakunya ajaran Samin Kudus terbatas pada komunitasnya, sedangkan batas teritorial berlakunya ajaran Samin Kudus hanya di wilayah yang berpenghuni komunitas Samin dengan kehidupan berbasis etika. Kondisi Samin Kudus dalam berinteraksi antara ajarannya (adat) dengan kondisi masa kini tercermin dalam ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan memegang prinsip beretika sosial yang direalisasikan sesuai prinsip ajaran leluhurnya. Prinsip pernikahan Samin karena anak (calon kedua mempelai) mempunyai orang tua, orang tua (ibu) berkewajiban merukunkan anak, sedangkan orang tua (bapak) berkewajiban menyetujui anak dalam melaksanakan pernikahan, sehingga yang berkewajiban dan berhak menikahkan anak orang tuanya sendiri. Meskipun demikian, masyarakat Samin pernah melibatkan peran negara (kepala desa) dalam perkawinan berupa diminta menyaksikan prosesi perkawinan dengan menghadiri ke rumah kepala desa (petinggi). Tetapi anggapannya, kepala desa masa kini tidak sebagaimana masa lalu dalam hal pelimpahan kekuasaan, dulu kekuasaan sepenuhnya oleh kepala desa, sekarang ini kekuasaan di tangan warga. Sehingga sekarang ini masyarakat Samin melibatkan warga Samin dan nonsamin untuk diundang

162 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah menyaksikan prosesi perkawinannya di rumah Samin. Kedudukan tokoh (botoh) Samin dalam prosesi perkawinan sebagai pemberi wejangan, sesorah (doa) bagi kemanten dan keluarganya agar memperoleh kesuksesan hidup.

SIMPULAN Prosesi pernikahan masyarakat Kudus nonsamin pada umumnya yang membedakan dengan warga Samin Kudus berupa jika warga Samin tanpa pengeras suara, tanpa musik pengiring acara, tanpa dekorasi pelaminan penganten, tanpa pelaminan khusus (kemanten hanya duduk di kursi berbaris satu lajur bersama besan dan satu lajur untuk tuan rumah, tokoh Samin, dan saudara dekatnya), tanpa tenda tamu, tanpa undangan tertulis agar menyumbang dana (nonjok), hanya tersedia bangku, kursi, dan tikar untuk tamu. Kecuali bagi sebagian komunitas Samin yang berekonomi mapan, pelaksanaan perkawinan ditampilkan seni pertunjukan (nanggap) khas Jawa, seperti wayang kulit, kethoprak, dsb. Adapun perbedaan dari aspek syarat rukun perkawinan menurut kaca pandang hukum positif tidak adanya pegawai pencatat nikah, tidak ada batasan usia minimal. Sedangkan yang menyamakannya adalah adanya wali (orangtua), saksi (tamu undangan yang Samin dan nonsamin dan keluarganya), adanya kedua mempelai, adanya ijab-kabul, mahar (yang tidak dinyatakan secara terbuka di hadapan forum nyuwito), dan sekufu (seagama). Kokohnya masyarakat Samin Kudus melaksanakan perkawinan adat karena keberadaan tokoh dan orangtua Samin masih eksis dijadikan tauladan hidup bagi generasinya dalam nguri-uri budaya dan ajaran leluhurnya, Ki Samin Surosentiko. Kedudukan tokoh adalah sebagai bapak, hakim, dan pemimpin. Peran bapak diharapkan menyelesaikan permasalahan, memberi petunjuk, nasehat jika dilanda permasalahan. Sedangkan peran hakim adalah mengadili jika terjadi pelanggaran atas norma adat secara adil. Adapun peran pemimpin adalah upaya pendamai jika komunitas adatnya diganggu pihak/komunitas lain. Ketiga hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh botohnya (tokoh adatnya). Tidak disertakannya peran negara (KUA atau Kantor Catatan Sipil) karena dalih bahwa Adam kawin dengan Hajar pun tidak menyertakan ’catatan tertulis’ (baca: surat nikah). Samin lebih mementingkan kenyamanan dan ketentraman berkeluarga, interaksi sosial, dan dengan pemerintah RI, tidak mempersoalkan ’surat’. Selama ini, argumen pentingnya surat nikah sebagai bentuk antisipasi negara dalam memfasilitasi warganya jika terjadi persengketaan. Dengan pencatatan nikah versi pemerintah agar mendapatkan kepastian hukum. Bagi masyarakat Samin, kepastian hukum diwujudkan dengan realisasi prinsip kesaminan dalam berperilaku, termasuk dalam perkawinan. Jika terjadi persengketaan keluarga, menyangkut perceraian dan pembagian harta warisan, cukup diselesaikan secara kekeluargaan dengan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 163 Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangan kyai Tumenggung Arungbinang prinsip saling memahami dan menyadari. Hal ini didukung data yang telah diperoleh penulis, tidak ditemukan konflik perceraian dan pembagian harta warisan, apalagi bagi suami atau isteri nikah lagi dengan cara berbohong dengan statusnya yang telah nikah, tetapi mengaku belum nikah. Semua itu merupakan pesan moral bagi publik yang selalu mendewa-dewakan formalitas, kadangkala menafikan realitas kehidupan yang etis. Sebagaimana digambarkan warisan leluhurnya, Ki Samin, sebagai esensi Samin utuh yakni berprinsip untuk tidak drengki (membuat fitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista), dan bejok reyot iku sedulure yen gelem dindaku dulur (mengaku siapapun sebagai saudara). Sekaligus berpantangan dalam bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam, seperti padi di sawah), jumput (mengambil barang yang tidak menyatu dengan alam, seperti beras), dan nemu (menemukan). Meskipun, warga Samin adalah manusia yang dibekali oleh Tuhannya (Yai) berupa akal dan nafsu, sehingga berpeluang menjadi orang yang taat prinsip atau tidak taat prinsip Samin.

164 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Umi Masfiah

DAFTAR PUSTAKA

Dhewanty, Dhanik. 2004. Solidaritas Sosial Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Dalam Forum Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial Vol.31 No.2 Desember. Semarang: UNNES Press Sigar, Edi. 1998. Provinsi Jawa Tengah. Jakarta: Pustaka Delapratasa Ardinarto, ES. 2008. Mengenal Adat-Istiadat Hukum Adat di Indonesia. Solo: Sebelas Maret University Press Safi, Louy. 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Tiara Wacana Rosyid, Moh. 2008. Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Winarno, Sugeng. 2003. SAMIN: Ajaran Kebenaran yang Nyeleneh. Dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LkiS Sastroatmodjo, Soerjanto. 2003. Masyarakat Samin Siapakah Mereka? Yogyakarta: Nuansa Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Sleman: Pustaka Widyatama Sugiyono. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Pendekatan R dan D. Bandung: Alfabeta

Perundang-undangan UU No.1/1974 tentang Perkawinan UU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 165

PENELITIAN Pemberdayaan Perempuan oleh Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad Surabaya oleh : Zakiyah

Ab s t r a c t : This is a qualitative study on women empowerment conducted by Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad Surabaya. The data are gathered using three methods, namely library research, interviews and observation. Finding of this research shows that the organization being studied has done many empowerment activities, particularly in this following areas: economic, religious, health and education empowerment. There are many programs which is aimed for empowering women, such as rice distribution, Islamic teaching, health teaching, Islamic education for children and teenagers, and community development.

Key Words: , Al-Irsyad, Pemberdayaan.

Pe n d a h u l u a n Latar Belakang Membincangkan masalah perempuan selalu menarik dan tidak pernah akan selesai, hal ini karena kedudukan perempuan patut mendapatkan perhatian dalam setiap usaha pembangunan bangsa. Hal ini, di samping selaras dengan salah satu tujuan Milineum Development Goals (MDG) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yakni pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.(Razali Ritonga, 2007) Juga disebutkan dalam TAP MPR No II /MPR/ 1998, yaitu perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam setiap kegiatan pembangunan bangsa. Dengan demikian, upaya-upaya untuk menyejajarkan kedudukan perempuan dan mengembangkan potensi-potensi perempuan merupakan salah satu jalan menuju penyelamatan bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan usaha-usaha dari pemerintah dan peran serta masyarakat, di antaranya adalah oleh organisasi-organisasi perempuan. Organisasi tersebut merupakan salah satu wadah bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan memberdayakan potensi-potensi mereka. Diakui atau tidak, meskipun dunia publik telah terbuka bagi perempuan, namun

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 167 Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa bukan berarti semua masalah perempuan telah terselesaikan. Perempuan seringkali dianggap sebagai warga kelas dua dan keberadaannya setingkat lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ketimpangan-ketimpangan tersebut terjadi baik di wilayah domestik maupun di ranah publik. Sebagai contoh, perempuan yang bekerja sulit mendapatkan promosi dan mereka cenderung menduduki posisi yang kurang bagus, yang pada gilirannya menyebabkan mereka mendapat upah yang lebih sedikit.(Azkiyah, 2002) Sementara itu, kebanyakan perempuan yang bekerja di luar rumah ini juga memiliki tugas di dalam rumah yakni sebagai ibu yang mengurus anak-anak dan keluarganya. Dengan demikian, perempuan akan mempunyai peran ganda, yang pertama sebagai pekerja upahan di luar rumah dan kedua sebagai pekerja domestik tanpa gaji. Selain itu, tidak sedikit di antara perempuan dalam rumah tangga terkungkung dalam hegemony yang dilakukan oleh suaminya baik secara fisik maupun psikologis, perempuan ini menjadi inferior dan laki-laki menjadi superior.(Subiantoro, 2002) Apabila menilik pada indikator pembangunan sosial, ekonomi dan politik pada tahun 1990-2000 dari Gender Development Indext (GDI) dan Gender Empowerment Measure yang dirilis oleh Human Development Research (HDR) UNDP menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, kecuali pada angka harapan hidup sejak lahir. Berikut ini adalah rincian data-data tersebut: Tabel 1. Prosentase Indikator Pembangunan Sosial, Ekonomi dan Politik 1993-1998.

Sumber: HRD UNDP 1995-2000 seperti dikutip oleh Azkiyah (2002, 12). Data-data tersebut di atas menggambarkan bagaimana posisi dan keberadaan perempuan dibandingkan laki-laki dari tahun ke tahun. Data-data ini merupakan elemen-elemen dari pembangunan nasional bangsa. Sementara data tentang tingkat pendapatan, jumlah pekerja administrator dan manajer merupakan indikator pembangunan ekonomi. Tingkat literasi adalah indikator pembangunan pendidikan. Tingkat harapan hidup sejak lahir merupakan indikator pembangunan sosial. Sedangkan jumlah kursi di parlemen adalah indikator pembangunan politik. Perempuan sebagaimana laki-laki, dengan demikian, merupakan elemen penting dalam setiap usaha pembangunan bangsa. Untuk itu, perempuan harus dipahami sebagai potensi bangsa yang sudah seharusnya diperhatikan keberadaannya demi terwujudnya pembangunan berkeadilan gender, perempuan dan laki-laki, mempunyai

168 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mukhtaruddin peluang yang sama untuk dikembangkan. Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu cara strategis untuk meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan peran perempuan baik di domain publik maupun domestik. Upaya ini perlu dilakukan oleh berbagai pihak termasuk di dalamnya adalah dari organisasi perempuan Islam, karena lembaga tersebut merupakan salah satu kelompok yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan dan peningkatan kualitas hidup perempuan seperti di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan lain-lainnya. Di antara organisasi tersebut adalah Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad cabang Surabaya. Kedudukan organisasi ini sebagai badan otonom atau sayap dari organisasi sosial keagamaan Islam yakni Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyah, memiliki arti penting bagi pengembangan masyarakat pada umumnya, karena ormas tersebut mempunyai anggota atau jamaah yang tersebar di berbagai wilayah dan mempunyai aset serta infrastruktur sampai tingkat bawah. Berdasarkan pemikiran di atas, maka tulisan ini akan mengkaji bagaimana Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad melaksanakan kegiatan-kegiatannya dan melakukan upaya pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman keagamaan maupun kehidupan di bidang lainnya, serta melaksanakan program pemberdayaan baik untuk anggotanya maupun masyarakat.

Te l aa h Pu s t a k a

Sukanti Suryochondro (1984) mengkaji keanekaragaman organisasi- organisasi wanita yang ada di Jakarta, struktur dan fungsi serta bagaimana organisasi tersebut menjadi sebuah gerakan sosial. Temuan dari studi ini menunjukkan bahwa di antara nilai yang mendorong lahirnya organisasi wanita adalah nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia berkaitan dengan persatuan dan gotong royong. Perkembangan pergerakan organisasi wanita Indonesia berjalan seiring dengan perjuangan bangsa. Pada mulanya, perjuangan itu dilakukan sendiri-sendiri oleh para perempuan bangsawan yang peduli pada masalah perempuan, di antaranya dilakukan oleh R.A.Kartini yang membuka sekolah di rumahnya sendiri, Dewi Sartika yang mengepalai sekolah perempuan di Bandung pada tahun 1904 dan Maria Walanda Maramis melalui perkumpulan PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya) mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado. Kemudian pada tahun 1912 atas prakarsa Boedi Oetomo didirikan perkumpulan wanita pertama di Jakarta dengan nama “Poetri Mardika”. Setelah itu, banyak bermunculan organisasi-organisasi wanita di berbagai wilayah, misalnya “Pawijatan Wanito” di Magelang Jawa Tengah (1915), “PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun” di Manado (1917), “Purborini” di Tegal Jawa Tengah (1917), “” di Yogyakarta (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang Jawa Tengah (1918), “Serikat Kaoem Iboe Soematera” di Bukittinggi (1920) dan lain-lainya. (Suryochondro, 1984: 85-86) Dalam penelitiannya Suryochondro juga membuat pengelompokan organisasi- organisasi tersebut dari masa ke masa. Dari tiap kurun yang berbeda diketahui bahwa terdapat ketidaksamaan struktur dan sifat dari organisasi. Sebagai contoh, periode 1912-1928, ditandai dengan semangat kebangkitan nasional. Pada masa itu, fokuf tujuan organisasi wanita pada upaya memajukan wanita

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 169 Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa dengan menumbuhkan kesadaran mereka. Periode 1928-1942, organisasi wanita mulai menaruh perhatian pada masalah-masalah politik. Periode 1942-1945 terjadi pelarangan terhadap semua bentuk perkumpulan kecuali perkumpulan yang membantu Jepang dalam memenangkan pertempuran untuk membentuk Asia Timur Raya. Periode 1945-1950, adalah masa untuk menegakkan kemerdekaan bangsa dan ditandai dengan semangat persatuan dan perjuangan. Pada era ini, di Yogyakarta dibentuk Perwari/Persatuan Wanita Republik Indonesia di Bandung didirikan “Budi Isteri”. Juga dibentuk “Masyumi” dengan bagian Muslimat, “Gerakan Pemuda Islam” dengan bagian puteri, “Muslimat ” dan “Partai Wanita Rakyat”. Periode 1950-1959, ditandai dengan munculnya beberapa jenis organisasi yakni; (a) organisasi wanita yang berafiliasi dengan partai politik, (b) organisasi wanita berdasarkan profesi, (c) perkumpulan wanita dari istri-istri yang suaminya tergabung dalam organisasi profesi, (d) organisasi wanita di lingkungan jawatan, (e) perkumpulan perempuan berdasarkan etnis tertentu, (f) organisasi wanita asing yang suaminya bekerja di keduataan besar atau lain-lain perwakilan asing.(Suryochondro, 1984: 127-155) Kurniawati Hastuti Dewi (2006) meneliti bagaimana Asyiyah berusaha mempromosikan kepemimpinan perempuan di . Sebagai organisasi perempuan Islam tertua, Aisyiyah telah memberikan kesadaran akan agama dan organisasi bagi perempuan Muslim. Namun demikian, tetap saja Aisyiyah menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kesetaraan dalam hubungan kekuasaan di Muhammadiyah. Dalam studi ini, peneliti melihat bagaimana pandangan keagamaan di Muhammadiyah berkaitan dengan kepemimpinan perempuan di organisasi tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan formal Muhammadiyah mendukung kepentingan terhadap kepemimpinan perempuan dan mengakui terhadap pendekatan kontekstual. Akan tetapi, berdasarkan penelaahan terhadap hasil muktamar Muhammadiyah yang ke 45 pada Juli 2005, diketahui bahwa mayoritas anggota Muhammadiyah pada tingkat wilayah dan daerah menentang kepemimpinan perempuan. Cara pandang mereka ini lebih dipengaruhi oleh pendekatan tekstual terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah tersebut. Selain itu, pengembangan organisasi Muhammadiyah juga tidak bersifat netral, hal ini bisa dideteksi dari penggunaan dan pembentukan pencitraan dan simbol mengenai wanita sholehah, interaksi antar individu dan komponen gender dalam identitas individu. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ketidakseimbangan kekuasaan di organisasi ini adalah budaya Jawa yang cenderung bersifat patriarkal. Penelitian mengenai potensi organisasi Islam pernah dilakukan oleh Balai Penelitian Agama Semarang terhadap organisasi Al Irsyad dan Persis pada tahun 1985, dan organisasi Al Irsyad di Jawa Timur pada tahun 1993. Masing- masing penelitian tersebut menggambarkan bagaimana profil lembaga, kondisi organisasi,dan paham keagamaan dari lembaga tersebut secara umum.(Balai Litbang Agama Semarang, 1985, 1993) Penelitian yang hampir serupa juga dilakukan oleh Muhsin Jamil, Et.all (2008) terhadap Muhammadiyah, al- Irsyad, Persis dan Nahdlatul Ulama (NU). Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa ke empat ormas ini mempunyai cara berpikir yang berbeda namum memiliki landasan epistemologis yang sama yakni al-Qur’an dan hadits. Bahkan, dalam satu organisasi ada yang mempunyai keragaman pemikiran ke-Islaman, misalnya NU mempunyai pemikiran dari konservativ sampai liberal. Muhammadiyah, di sisi lain, terbagi menjadi empat varian, meliputi Muhammadiyah puritan, Muhammadiyah toleran, Muhammadiyah NU, dan Muhammadiyah .(Jamil, et all, 2008)

170 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mukhtaruddin

Dari rangkaian paparan di atas, belum ditemukan penelitian mengenai organisasi perempuan Islam khususnya berkaitan dengan pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad cabang Surabaya. Untuk itu, tulisan ini dibuat sebagai upaya untuk mendeskripsikan serta mendokumentasikan kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh organisasi tersebut.

Ke r a n g k a Ko n s e p t u a l

Untuk melihat bagaimana perempuan diberdayakan perlu dilihat terlebih dahulu beberapa pendekatan yang digunakan untuk menganalisis isu gender di dalam pembangunan. Caroline Moser (1989) seperti dikutip oleh James Midgley (1995) menjelaskan adanya lima pendekatan: Pertama, pendekatan kesejahteraan. Pendekatan ini memandang perempuan sebagai penerima pasif dari pembangunan yang didesain untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Untuk mewujudkan hal ini pemerintah membuat program untuk mempromosikan kegiatan domestik atau menyediakan pelayanan yang berhubungan dengan masalah reproduksi dan pengasuhan anak. Kedua, pendekatan kesejajaran, berusaha meningkatkan status perempuan dan mengakui kesejajaran perempuan dan laki-laki untuk mengakses pekerjaan, upah yang sama, serta akses terhadap kesempatan- kesempatan. Pendekatan ini kurang berhasil diberlakukan pada negara- negara berkembang karena dianggap sebagai ancaman terhadap laki-laki dan merupakan gagasan yang di impor dari Barat. Ketiga, pendekatan anti kemiskinan. Pendekatan ini lebih menekankan pada mendukung peningkatan pekerjaan mandiri di antara perempuan golongon ekonomi bawah. Hal ini dilakukan dengan menciptakan program-program usaha kecil untuk perempuan miskin. Program tersebut diharapkan dapat menigkatkan status perempuan melalui peningkatan ekonomi. Keempat, pendekatan efisiensi, yaitu suatu pendekatan yang berupaya meningkatkan keterlibatan perempuan di dalam pembangunan karena perempuan dianggap sebagai sumber produktif untuk pertumbuhan ekonomi. Kelima, pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini lahir dari ketidakpuasan terhadap pendekatan sebelumnya dan diciptakan oleh para perempuan sendiri. Pendekatan ini melihat tidak hanya subordinasi perempuan yang dikarenakan oleh sistem patriarki tapi juga oleh imperialisme dan neo liberalisme. Posisi perempuan akan membaik hanya ketika perempuan dapat mandiri dan mampu menguasai atas keputusan-keputusan berkaitan dengan kehidupannya. Untuk mencapai tujuan tersebut perempuan harus memobilisasinya melalui berbagai strategi seperti kampaye dan pengorganisasian. Mereka secara kolektif harus menentang semua kekuatan yang berusaha menindas perempuan.(Midgley, 1995: 123) Lima pendekatan di atas secara rinci dijabarkan oleh Caroline Moser (1989) seperti dikutip oleh Britha Mikkelsen (1999) berikut ini:

Tabel 2. Berbagai Pendekatan dalam Pembangunan Perempuan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 171 Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa

Su m b e r : Br i t h a Mi k k e l s e n (1999: 210-211)

Se b a g a i Ca t a t a n : - PGN, Pr a c t i c a l Ge n d e r Ne e d (k e b u t u h a n g e n d e r p r a k t i s ) a d a l a h k e b u t u h a n y a g diidentifika s i o l e h w a n i t a d a n p r i a y a n g t i m b u l k a r e n a k e b i a s a a n p e m b a g i a n k e r j a m e n u r u t g e n d e r . - SGN, St r a t e g i c Ge n d e r Ne e d s (k e b u t u h a n s t r a t e g i s g e n d e r ) menggambarkan t a n t a n g a n t e r h a d a p

Di antara pendekatan-pendekatan tersebut di atas, pendekatan pemberdayaan yang banyak digunakan atau diadopsi oleh organisasi- organisasi perempuan di seluruh dunia untuk meningkatkan posisi perempuan dan mengadvokasi hak-hak perempuan.(Midgley, 1995) Kemudian, bagaimana Organisasi perempuan Islam ini melakukan kegiatan pemberdayaan menjadi penting untuk dilihat. Untuk memperjelas konsep pemberdayaan maka di sini dipaparkan

172 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mukhtaruddin pengertian dari istilah tersebut. Menurut Batliwala (1994) seperti dikutip oleh Odutolu et all (2003) pemberdayaan didefinisikan sebagai proses di mana pihak yang tidak berdaya bisa mendapatkan kontrol yang lebih banyak terhadap kondisi atau keadaan dalam hidupnya. Kontrol ini meliputi kontrol terhadap sumber-sumber (mencakup fisik, manusia dan intelektual), dan ideologi (meliputi keyakinan, nilai, dan pemikiran). Pemberdayaan merupakan transformasi hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan pada empat level yang berbeda, yakni keluarga, masyarakat, pasar, dan negara. Transformasi dilihat dalam konteks kekuasaan yang berbeda mencakup akses dan kontrol terhadap materi dan sumber-sumber yang lain (ekonomi, hukum, lembaga dan sosial), serta kemungkinan perubahan di dalam persepsi diri sendiri dan kepercayaan diri. Konsep pemberdayaan ini semestinya juga dipahami dalam dua konteks yaitu, pertama, kekuasaan dalam proses pembuatan keputusan dengan titik tekan pada pentingnya peran perempuan, kedua pemberdayaan dalam term yang berkaitan dengan fokus pada hubungan antara pemberdayaan perempuan dan akibatnya pada laki-laki di masyarakat yang berragam. (Odutolu, et.all, 2003: 3) Kindervatter (1973) sebagaimana dikutip oleh Anwar (2007) menekankan konsep pemberdayaan sebagai proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan untuk membangikan kesadaran, kepekaan terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik sehingga pada akhirnya mereka mampu memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya di masyarakat (Anwar, 2007: 77). Cakupan dari pemberdayaan ini tidak hanya pada level individu namun juga pada level masyarakat dan pranata-pranatanya yaitu menanamkan pranata nilai-nilai budaya seperti kerja keras, keterbukaan, tanggung jawab dan lain-lainnya.

hubungan antar gender yang biasa, dan mengisyaratkan perubahan dalam hubungan kekuasaan dan kontrol antara wanita dan pria

Dengan demikian, terdapat dua ciri dari pemberdayaan yaitu sebagai refleksi kepentingan emansipatoris yang mendorong masyarakat berpartisipasi secara kolektif dalam pembangunan dan sebagai proses pelibatan diri individu atau masyarakat dalam proses pencerahan, penyadaran, dan pengorganisasian kolektif sehingga mereka dapat berpartisipasi.(Anwar, 2007: 78) Terdapat beberapa cara untuk melakukan pemberdayaan perempuan, di antaranya adalah dengan program pendidikan berkelanjutan. Program ini meliputi: (a) program paska keaksaraan, (b) Program pendidikan kesetaraan, (c) program peningkatan pendapatan, (d) program peningkatan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 173 Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa mutu hidup, (e) program pengembangan minat individu, dan (f) program yang berorientasi masa depan.(APPEAL, 1996 dalam Anwar, 2007: 99)

HASIL DAN PEMBAHASAN Al-Irsyad Al Islamiyah sebagai Payung Organisasi

Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyah merupakan organisasi yang telah ada sejak 6 September 1914 seiring dengan berdirinya madrasah Al-Irsyad Al- Islamiyah yang pertama di Jakarta dengan tokoh sentralnya Syeikh Ahmad bin Muhammad Assorkaty Al-Anshary atau lebih dikenal dengan nama Ahmad Assorkaty. Secara formal, organisasi ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915 (www. alirsyad.org). Ahmad Assorkaty lahir di Dunggala Sudan pada tahun 1872, dari keluarga yang taat beragama. Saat masih kecil, ia sudah mengetahui banyak tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah ayahnya wafat, ia pindah ke negeri Arab, tinggal di Mekah selama empat tahun dan di Madinah selama sebelas tahun. Ketika di Mekkah ia belajar di antaranya kepada Syaikh Muhammad bin Yusuf al-Khayyath. Pada tahun 1906, ia mulai mengajar di negeri tersebut. Kemudian pada tahun 1911, ia tiba di Jakarta atas permintaan Jamiat Khair untuk mengajar di lembaga pendidikan milik organisasi tersebut. Pada tahun 1913, ia keluar dari Jamiat Khair dan bersama dengan para sahabatnya, mendirikan sekolah sendiri yang menjadi cikal bakal berdirinya perhimpunan Al-Irsyad.(Noer, 1980) Kedudukan Ahmad Assorkaty sangat penting dalam organisasi ini, kareana pemikirannya menjadi pijakan dalam penyusunan dan perumusan mabda’ Al-Irsyad. Mabda’ artinya adalah asas, sikap, landasan, prinsip atau . Dalam konteks ini, mabda’ berarti konsep yang menghimpun prinsip- prinsip Al-Irsyad sehingga menjadi landasan keyakinan dan perbuatan untuk anggotanya. Rumusan prinsip tersebut terdiri dari tujuh butir seperti disebutkan dalam buku pedoman Asasi AD-ART program perjoangan ikhtisar sejarah Al-Irsyad.(Dewan Pimpinan Pusat perhimpunan Al-Irsyad, 1981) Pada masa awal perkembangannya, Al-Irsyad menitikberatkan perhatiannya pada bidang pendidikan pada masyarakat Arab, meskipun masyarakat non-Arab juga ada yang menjadi anggotanya. Mengenai hal ini disebutkan dalam artikel kedua undang-undang perhimpunan tahun 1915 yang antara lain berbunyi ”Tujuan Al-Irsyad adalah mengumpulkan dana-dana untuk mengembangkan adat istiadat / kebiasaan Arab yang konsisten dengan agama Islam, mengajar masyarakat Arab membaca dan menulis dan mempromosikan bahasa Arab, Belanda dan bahasa-bahasa lain yang

174 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mukhtaruddin diperlukan.(Kesheh 1997, seperti dikutip dalam Warta Al-Irsyad Jawa Timur, 2008) Seiring dengan kemajuan yang ada dalam organisasi, Al-Irsyad meluaskan perhatiannya pada masalah-masalah Islam pada umumnya di Indonesia, dan turut secara aktif dalam konggres al-Islam di tahun 1920-an, lalu bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia ketika organisasi ini didirikan pada tahun 1937.(Noer, 1980: 74-75) Setelah itu, Al-Irsyad mengumandangkan konsep al-Musawa yakni konsep persamaan sebagaimana tercantum dalam lambang Al-Irsyad, bahwa setiap manusia adalah sama baik itu Arab – non-Arab, sayid – nonsayid. Tidak ada perlakuan istimewa terhadap salah satu golongan, semuanya berkesempatan yang sama untuk aktif dalam organisasi. Perhimpunan Al-Irsyad berasas Islam dan mempunyai tujuan terwujudnya manusia yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT, beramal shaleh serta melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar demi terlaksananya syari’at Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Untuk mewujudkan tersebut dilakukan berbagai usaha dan kegiatan antara lain adalah; (a) Mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, dakwah, sosial dan ekonomi. (b) Mengeluarkan fatwa dan tahkim. (c) Mendirikan dan mengembagkan media informasi dan komunikasi massa. (d) Menjalin kerjasama dengan perhimpunan lain. Al-Irsyad menunjukkan kemajuan signifikan dengan lahirnya cabang-cabang organisasi di berbagai wilayah di Jawa, misalnya di Tegal (tahun 1917), Pekalongan (tahun 1918), Cirebon (tahun 1919), Bumiayu (tahun 1919), Surabaya (tahun 1919). Pada tahun 1928 berdiri dua cabang di Bogor dan Bondowoso. Selanjuntnya, di antara tahun 1928 sampai 1941, bermunculan cabang-cabang lain baik di Jawa maupun luar Jawa yakni Indramayu, Sungailiat Bangka, Menggala Lampung, Comal, Semarang, Labuan Haji Lombok, Pamekasan, Pemalang, Telawang Sumba, Krian, Jombang, Bangil, Solo, Cibadak, Purwokerto, Sindanglaya, Sepanjang, Salatiga, Kroya, dan Cilacap.(Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Al-Irsyad, 1981) Keberadaan cabang-cabang tersebut ditandai dengan dibukanya sekolah (madrasah). Sekolah merupakan komponen penting karena Al-Irsyad memandang pendidikan adalah cara utama untuk mereformasi masyarakat Islam dan membangkitkan masyarakat dari keterpurukannya. Seperti disebutkan oleh Kesheh (1997) terdapat dua sasaran pendidikan: pertama, mendidik siswa memahami Islam yang benar dengan mengajarkan kepada mereka membaca dan menafsirkan Al-Quran, menolak bid’ah serta khurafat. Kedua, siswa harus di didik dalam ilmu pengetahuan modern dan bahasa-bahasa agar bisa mengatasi keterbelakangan masyarakat Islam. (Keshes, 1997, dikutip dari Warta Al-Irsyad Jawa Timur, 2008)

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 175 Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa

Di antara cabang-cabang yang telah disebutkan di atas, pembukaan cabang Surabaya pada tahun 1919 dinilai sebagai salah satu peristiwa penting dalam perkembangan Al-Irsyad dan pertanda semakin pesatnya kemajuan Al- Irsyad karena Surabaya adalah kota besar dan pusat berkumpulnya para pemuka masyarakat waktu itu. Periode kepengurusan perhimpunan ini di Surabaya di ketuai oleh Muhammad bin Rais bin Thalib, dan sekolahnya dipimpin Syeikh Abul Fadhel Sati bin Muhammad Al Anshary, yakni saudara kandung dari Ahmad Asoorkaty yang datang ke Indonesia bersama sama dengan Hasan Hamid Al-Anshary (Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Al-Irsyad, 1981).

Profil Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad cabang Surabaya Lajnah Wanita dan putri Al-Irsyad cabang Surabaya berdiri tidak lama setelah Al-Irsyad di wilayah tersebut berdiri pada tahun 1919. Lajnah merupakan perangkat perhimpunan di tingkat cabang yang melaksanakan program perhimpunan cabang. Saat ini sekretariat dari lajnah ini berada di Jl.K.H.Mas Mansur 163 Surabaya. Pada awal berdirinya majelis wanita dan majelis putri Al-Irsyad – demikian pula di tingkat wilayah dan cabang – bergabung menjadi satu, kemudian pada perkembangannya masing-masing berdiri sendiri karena adanya tuntutan dari pengurus dan anggota. Tuntutan pemisahan tersebut dilandasi oleh adanya pemikiran bahwa remaja-remaja putri yang tidak bersekolah di lembaga pendidikan Al-Irsyad tidak dapat ikut dalam organisasi. Masing- masing mempunyai pengurus dan program kerja sendiri, majlis wanita sampai lajnah wanita mengakomodasi perempuan-perempuan “dewasa”, sementara majlis putri dan lajnah putri menjadi wadah bagi remaja-remaja muslim. Pemisahan dua badan otonom tersebut pada tahap selanjutnya mengalami pasang surut, dan puncaknya terjadi penggabungan kembali antar keduanya. Penggabungan ini dimaksudkan agar kegiatan-kegiatan lebih efektif. Demikian pula penggabungan yang terjadi pada lajnah wanita dan putri di cabang Surabaya. Pembentukan organisasi ini merupakan bagian usaha untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas wanita dan putri di lingkungan Al-Irsyad Al Islamiyah dan masyarakat pada umumnya. Adapun visi dan misinya sama dengan yang ada di perhimpunan Al Irsyad Al Islamiyah yakni sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga. Disebutkan bahwa organisasi ini ber-asas Islam, beraqidah Islamiyah beramal dan berjuang untuk membentuk manusia Indonesia yang sempurna yang semata-mata bertauhid dan bertaqwa kepada Allah, insan yang berakhlak mulia seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, insan yang bersih dari perbuatan bid’ah dan paham syirik, takhayul dan khurafat, sehingga terbentuk masyarakat adil dan makmur sesuai yang dicita-citakan oleh

176 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mukhtaruddin proklamasi 17 Agustus 1945. Pengurus lajnah dipilih setiap empat tahun sekali oleh anggota lajnah wanita dan putri Al-Irsyad Al-Isamiyah. Program-program yang ada di lajnah direncanakan dan dievaluasi oleh pengurus. Adapun program-programnya meliputi empat bidang; pendidikan, dakwah, sosial dan usaha. Setiap bidang mempunyai progam sendiri-sendiri, berikut ini adalah program kerja yang dimaksud: 1. Bidang Pendidikan Pada bidang pendidikan terdapat tiga program yaitu:  Pendidikan Roudhotul Qur’an (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Pendidikan ini diperuntukan bagi anak usia Sekolah Dasar yakni anak- anak usia 4-7 tahun, anak-anak usia 8-12 tahun (dengan kelas laki-laki dan perempuan dipisah), dan remaja usia 12 tahun ke atas (kelas khusus). Sistem pembelajarannya setiap anak di ajari satu persatu oleh gurunya. Setiap kelompok belajar terdiri dari seorang guru dengan maksimal murid 4-7 anak. Bagi anak usia 8 tahun ke atas mendapatkan perhatian khusus supaya bisa cepat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Selain membaca, anak-anak juga diajarkan menulis huruf Arab, menghafal bacaan shalat dan praktik shalat, tata cara berwudhu, menghafal doa sehari-hari, dan menghafal surat-surat pendek Al-Qur’an. Proses belajar mengajar bertempat di Jalan Ampel Maghfur 22 Surabaya. Kegiatan dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu, dan Jum’at dalam dua gelombang yaitu Jam 15.30 – 16.30 dan 16.30 – 17.30 wib.  Pendidikan TD (Tarbiyatut Diniah) Pendidikan ini diperuntukkan untuk anak-anak usia 9-14 tahun, baik putra maupun putri. Materi yang diberikan adalah materi keagamaan meliputi aqidah, akhlak, fiqih ibadah, hadits, siroh sahabat, taujih. Sasaran peserta didik dari program ini adalah siswa siswi lulusan dari program Roudhotul Qur’an dan anak-anak lainnya. Bagi calon murid yang bukan dari Roudhotul Qur’an apabila mau masuk ke program TD, mereka harus melalui tes terlebih dahulu. Jika lulus maka mereka berhak untuk mengikuti kelas di TD. Program ini dilaksanakan pada hari Senin, Rabu, dan Jum’at jam 16.00 – 17.30 wib, tempatnya di sekretariat yakni jalan K.H.Mas Mansur 163 Surabaya.  Pendidikan TK IT (Taman Kanak-kanak Islam Terpadu) Taman Kanak kanak Islam terpadu “Harum” didirikan pada tahun 2004 di lingkungan kampung pemulung Keputih Tegal Timur Baru nomer 20 kelurahan Keputih Kecamatan Sukolilo Surabaya. Lokasi ini merupakan tempat penampungan pemulung, yang oleh pemerintah Kota Surabaya digunakan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seluruh kota Surabaya.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 177 Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa

Pendirian tempat belajar ini merupakan upaya dari lajnah wanita dan putri Al-Irsyad dalam pemerataan pendidikan di kalangan yang tidak mampu. Pendidikan ini didesain sebagai sekolah murah dan terjangkau dengan kualitas pendidikan yang memenuhi standar akademis dan diniyah. Materi pembelajaran meliputi; akhlak, aqidah, sejarah / tarikh nabi dan sahabat, menghafal doa pilihan, menghafal surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan, menghafal hadits-hadits berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta baca tulis Al-Qur’an. Pengelolaan sekolah ini dilaksanakan oleh Yayasan Wanita Harum sebagai perwujudan program seksi pendidikan bekerjasama dengan lajnah wanita dan putri Al-Irsyad cabang Surabaya dan yayasan pemberdayaan masyarakat mandiri. 2. Bidang Sosial Pada bidang sosial terdapat berbagai program yang dilaksanakan oleh pengurus dan anggota organisasi ini yakni sebagai berikut: - Pembagian beras Pembagian beras dilakukan tiap bulan kepada anggota dan masyarakat yang kurang mampu. Terdapat sekitar 300an orang penerima beras disebut dengan “anggota beras”. Mereka adalah masyarakat kurang mampu yang telah menerima kartu dan sebagai penerima tetap. Untuk menentukan orang-orang yang menjadi anggota beras, pengurus melakukan survey terhadap kondisi ekonomi dari orang tersebut. Survey dilakukan dengan cara mendatangi rumahnya atau dengan menanyakan kondisinya kepada para tetangganya. Setelah dianggap memenuhi kriteria maka orang tersebut diberi kartu anggota beras. Selain itu, terdapat pula masyarakat umum yang kurang mampu yang menjadi penerima santunan beras ini, misalnya masyarakat sekitar yang ada di lingkungan sekretariat lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad cabang Surabaya, masyarakat di desa binaan di kampung pemulung keputih Sukolilo Surabaya. Teknis pembagian beras kepada anggota penerima kartu dilaksanakan setelah mereka datang ke acara pengajian rutin, dan dibagi setelah acara pengajian selesai. Dalam pengajian rutin itu, para anggota ini diberi bimbingan spiritual. Bahkan di antara mereka yang belum bisa membaca Al-Qur’an diajari membaca Al-Qur’an dengan materi “iqra”. Bagi yang buta huruf diajari membaca Al-qur’an dua kali dalam sebulan. Adapun yang telah mampu membaca Al-Qur’an diberi bimbingan sekali sebulan. Mereka ini juga disarankan mengikuti acara majlis ta’lim yang diadakan oleh lajnah. Dana beras ini didapatkan dari para donatur dan simpatisan. Mereka (donatur) percaya bahwa dana akan tersalurkan kepada para dhuafa. Besarnya pemasukan yang didapat tiap bulan tidak pernah sama, namun berada di kisaran 1.000an kilogram beras sampai 2.000an kilogram beras. Ketidaktentuan jumlah ini dikarenakan sumber pemasukan bergantung kepada besar-kecilnya pemberian dari donatur dan simpatisan. Demikian

178 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mukhtaruddin

pula dengan jumlah penerima beras, tiap bulan berbeda-beda tergantung besar kecilnya pemasukan yang ada. Tiap orang menerima antara 3 – 5 kilogram beras. - Pembagian zakat Penerima zakat terdiri dari para dhuafa dan tukang becak di sekitar sekretariat lajnah, anggota penerima beras, guru TPA, para guru, dan yang berhak lainnya. pembagian zakat dilakukan pada bulan Ramadhan. - Desa binaan Organisasi ini mempunyai satu desa binaan di desa Keputih kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Desa ini merupakan kampung pemulung, satu kawasan yang dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah oleh pemerintah kota Surabaya. Luas kawasan ini kurang lebih 250 hektar. Di tempat ini terdapat TPA sampah, tempat pembakaran sampah, kantor pengawas koperasi dan perkampungan pemulung. Kegiatan yang dilaksanakan di kampung ini adalah dengan memberikan bantuan beras, bantuan uang dan barang, pendidikan berupa pengajian/ mendatangkan ustadz ke desa tersebut untuk mengajarkan baca al-qur’an dan memberikan ceramah keagamaan kepada ibu-ibu dan remaja putri di kampung tersebut. Pembinaan di desa ini dilakukan sejak tahun 1997 hingga sekarang. Anggota pengajian di sini terdapat sekitar 70an ibu-ibu aktif dan sekitar 30an orang yang tidak aktif. Di tempat ini juga telah dibangun sebuah Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TK IT) Harum sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. - Bantuan pengobatan Bantuan pengobatan diberikan kepada anggota lajnah yang kurang mampu. Mereka diberi fasilitas kartu berobat dan pemeriksaaan gratis di rumah sakit Al-Irsyad sebanyak dua kali seminggu, serta difasilitasi obat gratis. Apabila mereka membutuhkan rawat inap diberikan diskon 25 %. Program bantuan kesehatan ini tersedia atas kerjasama antara lajnah wanita dan putri Al- Irsyad dengan rumah sakit Al-Irsyad Surabaya dan apotik mustika Jaya II Surabaya. - Pengumpulan dana untuk korban bencana. Kegiatan ini bersifat insidental yakni penggalangan dana untuk membantu para korban bencana di berbagai wilayah Indonesia, misalnya menghimpun dana dan pakaian layak pakai untuk korban gempa dan tsunami di tahun 2006. Juga memberikan bantuan dana untuk Palestina dengan bekerja sama dengan Bulan Sabit Merah. 3. Bidang Dakwah Bidang ini mempunyai tiga macam kegiatan yatu

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 179 - Kajian setiap hari Senin jam 10.00-12.30 wib dengan mendatangkan ustadz dari luar. Peserta yang hadir berjumlah antara 15 sampai 25 orang adalah ibu-ibu anggota lajnah wanita dan putri Al-Irsyad cabang Surabaya. Kajian ini bersifat tematik dan murni tafsir Al-Qur’an. Kegiatan dilaksanakan di sekretariat di jalan K.H.Mas Mansur 163 Surabaya. - Pengajian setiap hari kamis, jam 16-17.30, dengan tema akidah, tauhid, ibadah, dan tarikh (sejarah Nabi dan para sahabat). Materi-materi diberikan secara bergiliran oleh ustdaz yang berbeda-beda, di antaranya adalah ustadz M.Sholeh Drehem Lc dan Ustadz Novel Baya’sud. Di samping materi keagamaan, khusus pada hari kamis ketiga setiap bulannya, diadakan ceramah kesehatan yang disampaikan oleh dokter dari rumah sakit Al-Irsyad Surabaya. Semua kegiatan tersebut berlangsung di sekretariat di jalan K.H.Mas Mansur 163 Surabaya. - Pemberian ceramah/pengajian pada masyarakat di kampung pemulung Keputih Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad mendatangkan guru-guru mengaji untuk memberikan materi keagamaan dan mengajarkan membaca al-qur’an. Kegiatan ini ditujukan kepada bapak-bapak, ibu-ibu dan remaja yang ada di kampung tersebut. 4. Bidang Usaha Bidang usaha mengalami pasang surut dalam program-programnya. Pada masa dahulu, bidang ini mempunyai banyak kegiatan dan usaha seperti peminjaman bantuan modal kepada para anggotanya, dan usaha katering. Namun seiring berjalannya waktu, dua kegiatan tersebut sudah tidak ada lagi. Kendatipun demikian, saat ini masih terdapat dua kegiatan yang terus berjalan yaitu: - Penyewaan alat-alat pesta (berupa piring, gelas, sendok, garpu, mangkuk dan lain-lainya). - Jasa paket kematian; yaitu penyediaan kain kafan dan perlengkapan untuk jenazah seperti peralatan mandi jenazah; sabun, shampo, cendana, kapas, wewangian dan lainnya. Paket ini lengkap dengan jasa memandikan dan merawat jenazah. Satu paket kematian ini seharga 125 ribu rupiah, namun bagi keluarga tidak mampu paket ini diberikan secara Cuma-cuma. Uang hasil penjualan paket ini dimasukkan ke kas usaha dan digunakan kembali sebagai modal untuk membeli barang-barang perlengkapan paket. Sedangkan kain kafan berasal dari para donatur. Selain program rutin di empat bidang tersebut, masih ada lagi kegiatan- kegiatan yang sifatnya insidental seperti; kegiatan Ramadhan dan kegiatan menyambut hari besar Islam misalnya pada iedul fitri.

Pe m b e r d a y aa n Pe r e mp u a n o l e h La j n a h Wa n i t a d a n Pu t r i Al-Ir s y a d c a b a n g Su r a b a y a Terdapat beberapa kegiatan pemberdayaan perempuan seperti tertera dalam tabel berikut: Tabel 3. Program Pemberdayaan Perempuan

Catatan: *Program paket kematian adalah kegiatan jangka panjang yang pelaksanaannya insidental (ketika ada kematian).

KESIMPULAN Lajnah Wanita dan Putri Al-Irsyad cabang Surabaya adalah badan otonom dari perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyah. Organisasi ini mempunyai beberapa program pemberdayaan perempuan yaitu (1) pemberdayaan ekonomi dilakukan dengan pembagian beras, pembagian zakat, desa binaan, penyewaan alat pesta dan jasa paket kematian, (2) pemberdayaan di bidang pendidikan melalui pengajian di desa binaan, pengajian kemisan, dan kajian tafsir. (3) Pemberdayaan di bidang kesehatan dilakukan dengan pemberian bantuan pengobatan dan pengajian/ceramah dengan materi kesehatan, (4) Pemberdayaan di bidang agama dilaksanakan melalui pengajian di desa binaan, pengajian kemisan, dan kajian tafsir. Dalam program yang

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 181 dilaksanakan tersebut terjadi proses transfer pengetahuan dan pemahaman, serta proses penyadaran.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan, Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan. Bandung: Alfabeta. Azkiyah, Nurul. 2002. Keterkaitan Pendidikan Frmal Perempuan dan Dunia Pembangunan. Di dalam Jurnal Perempuan no.23 Balai Penelitian Aliran Kerohanian Keagamaan. 1985/1986. Potensi Lembaga Sosial Keagamaan Seri VI, Persis dan Al-Irsyad. Hasil penelitian tidak dipublikasikan. Balai Penelitian Aliran Kerohanian Keagamaan. 1993. Organisasi Al- Irsyad di Jawa Timur. Hasil penelitian tidak dipublikasikan. Bungin, B.M. 2007. Peneltian Kualitatif; Komunikasi, Eonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Dewan Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah. 1981. Pedoman Asasi AD- ART Poram Perjoangan Ikhtisar Sejarah Al-Irsyad. Jakarta: Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah. Dewan Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah. 2002. Al-Irsyad Al- Islamiyah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Jakarta: Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah. Jamil, Muhsin, et all. 2008. Nalar ; Studi Islam ala Muhammadiyah, al Irsyad, Persis dan NU. Jakarta: Fahmina Institute. Kast, Fremont E dan Rosenzweig, James E. 1990. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara Kesheh, Natalie Mobini. 1997. Modernisasi Isam di Masa Kolonial Jawa: Gerakan Al-Irsyad Al-Islamiyah. Di dalam Warta Al-Irsyad no 04.th.1.bulan Januari 2008. Midgley. James 1995. Social Development the Development Perspective in Social Welfare. London: Sage Publication. Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya- upaya Pemberdayaan Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942. Jakarta: LP3ES. Odutolu, Oluwole. Et all. 2003. Economic Empowerment and Reproductive

182 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto of Young Women in Osun State Nigeria. Di African Journal of Reproductive Health. Vol 7. No.3. Dec.2003. h.92-100. Di unduh pada 7 Agustus 2009, dari website: http://www.jstor.org/stable/3583294 . Subiantoro, Eko B. 2002. Perempuan dan Perkawinan, sebuah Pertaruhan Eksistensi Diri. Di dalam Jurnal Perempuan no.22 Suryochondro, Sukanti. 1984. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori – Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Web site: www.alirsyad.org

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 183 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur

PENELITIAN

PEMBINAAN KEAGAMAAN OLEH ROHANIAWAN KHONGHUCU DI

TUBAN JAWA TIMUR

Oleh Joko Tri Haryanto

Abstrak Kehidupan keagamaan umat Khonghucu tidak lepas dari peran rohaniawannya. Rohaniawan Khonghucu melakukan pembinaan kehidupan keagamaan yang meliputi kepercayaan, ibadah dan sosial. Penelitian ini secara kualitatif mendeskrisikan pembinaan keagamaan oleh rohaniwan Khonghucu di Tuban Jawa Timur. Dalam bidang kepercayaan, rohaniawan Khonghucu menanamkan dasar-dasar keimanan Khonghucu dan nilai-nilai ajaran Khonghucu. Rohaniawan menjadi pemimpin dan penanggungjawab prosesi ibadah yang dilakukan oleh umat Khonghucu, baik dalam kebaktian maupun ritual sirklis seperti pernikahan dan kematian. Adapun pembinaan bidang sosial dilakukan roaniawan Khonghucu dengan mengajarkan nilai- nilai moralitas dan sosial pada umatnya.

Kata Kunci : Pembinaan Keagamaan, Rohaniawan, Khonghucu, Tuban

PENDAHULUAN Latar belakang masalah Perilaku dan pilihan sikap yang dilandasi kesadaran terhadap nilai-nilai dan makna religiusitas dapat menjadi wujud ekspresi dari ideasi religius seseorang atau suatu masyarakat. Oleh karena itu, tiga dimensi kehidupan agama, sebagaimana ditunjukkan oleh Wach (1963 : 17), yakni dimensi kepercayaan, dimensi ritual atau ibadah dan dimensi sosial, disebut kehidupan beragama. Suatu perilaku dalam konteks religius tidak dapat semena-mena dipisahkan antar ketiga dimensi tersebut, tetapi ketiga dimensi itu saling mendukung satu

184 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto sama lain membentuk sistem perilaku. Tindakan manusia yang dilakukan secara sadar pada umumnya dilandasi suatu motif tertentu yang berpangkal pada norma, pandangan hidup maupun kepercayaan tertentu. Dalam konteks perilaku beragama ekspresi religius berupa perbuatan-perbuatan tertentu didasarkan pada dimensi kepercayaan (belief/faith). Ekspresi religius ini terwujud dalam dimensi ritual-ritual keagamaan, maupun dalam dimensi sosial. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan beragama umat Khonghucu. Agama Khonghucu memiliki dimensi kepercayaan, ritual dan sosial yang membentuk suatu sistem keagamaan yang utuh. Perilaku seseorang yang beragama dan memiliki keimanan tertentu merupakan bentuk dari penghayatan atas keimanan tersebut. Berdasarkan pada ketiga dimensi itu, pembinaan terhadap masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu oleh para rohaniawannya juga meliputi ketiga dimensi tersebut secara utuh. Umat Khonghucu yang cukup baik dalam pembinaannya terdapat di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Di kota yang terletak di jalur pantai utara Jawa perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah ini terdapat umat Khonghucu yang tergabung pembinaannya dalam Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Klenteng Kwan Sing Bio Tuban. Secara khusus umat Khonghucu di Tuban menggunakan tempat ibadah Lithang di kompleks klenteng untuk menyelenggarakan kegiatan kebaktian bersama sekaligus pembinaan umat Khonghucu di Tuban oleh para rohaniawannya. Pembinaan yang dilakukan oleh rohaniawan Khonghucu di Tuban ini penting untuk diteliti, terutama terkiat dengan bidang kepercayaan, ritual dan sosial.

Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Pembinaan agama tidak bisa lepas dari dimensi keagamaan yang meliputi kepercayaan, ritual dan sosial. Bagaimana pembinaan keagamaan bagi umat Khonghucu dalam tiga bidang tersebut di Klenteng Kwan Sing Bio kabupaten Tuban Jawa Timur? Dengan demikian tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pembinaan keagamaan bagi umat Khonghucu dalam tiga bidang kepercayaan, bidang ritual dan bidang sosial kabupaten Tuban Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa ketersediaan literatur kajian tentang agama Khonghucu, terutama pembinaan keagamaannya. Penelitian ini diharapkan berguna bagi Kementerian Agama dalam penyusunan kebijakan pembinaan umat Khonghucu.

Landasan Teori Pembinaan dalam Kamus Bahasa Besar Indonesia (1995 : 134) diartikan sebagai usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Sedangkan menurut

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 185 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur istilah dari Mangunhardjana, (1986: 12) pembinaan berhubungan dengan pengembangan manusia dari sisi praktisi, pengembangan hidup, kemampuan dan kecakapan. Secara lebih khusus lagi, pembinaan adalah suatu proses belajar yang melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal- hal baru yang belum dimiliki dengan tujuan membantu orang lain yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan serta kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang dijalaninya secara lebih efektif. (Mangunhardjana, 1986 : 17) Keagamaan adalah segala hal atau segala sesuatu mengenai agama. (Poerwadarminta, 1976 : 19) Secara sosiologis agama dipahami sebagai suatu ciri kehidupan sosial manusia yang bersifat universal, dalam pengertian bahwa masyarakat memiliki cara-cara berfikir, bertindak dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” yaitu tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik yang dengan hal-hal tesebut manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. (Sanderson, 1993 : 517) Secara spesifik, Joachem Wach (1963 : 17) membagi kehidupan beragama dalam 3 dimensi yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan dan dimensi sosial kemasyarakatan. Pembinaan keagamaan masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu dilakukan oleh rohaniawan Khonghucu. Rohaniawan dalam agama Khonghucu adalah orang yang telah menjalani liep-gwan atau sidi pengakuan dari MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) untuk menjalankan tugas-tugas kerohanian seperti membawakan firman- firman Thian (Tuhan), memberi pengajaran agama, memimpin upacara dan pembinaan mental spiritual umat Khonghucu. Jenjang jabatan kerohanian dalam agama Khonghucu secara bertingkat dari paling dasar adalah Kausing (penebar agama), Bunsu (guru agama), dan paling tinggi Haksu (pendeta). Selain ketiga jebatan tersebut, ada pula jabatan kehormatan yaitu Tiangloo (sesepuh) yang diberikan kepada orang yang dipandang menguasai keilmuan agama Khonghucu maupun yang banyak berjasa bagi perkembangan agama Khonghucu. (MATAKIN. Tt.: 41) Dengan demikian pembinaan keagamaan yang dilakukan oleh tokoh agama Khonghucu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan untuk membantu pengembangan diri umat Khonghucu dalam suatu sistem sosial budaya masyarakat dalam bidang keagamaan yang meliputi kepercayaan, ibadah ritual dan kehidupan sosial mereka oleh tokoh agama Khonghucu.

METODE PENELITIAN Waktu, Lokasi dan Sasaran Penelitian

186 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto

Tulisan ini didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan pada awal tahun 2008 di Tuban Jawa Timur. Sasaran penelitian ini adalah aktivitas pembinaan keagamaan Khonghucu di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Umat Khonghucu yang tergabung dalam TITD (Tempat Ibadah Tri Dharma) Klenteng Kwan Sing Bio di Jl. Martadinata no.1 Tuban Jawa Timur mendapatkan pembinaan keagamaan yang relatif baik dan teratur yang dilakukan oleh para rohaniawannya maupun oleh pengurus Klenteng. Hal ini karena klenteng Kwan Sing Bio memiliki sarana, prasarana dan faslititas yang memadai dalam pelayanan terhadap umat yang tergabung di TITD Klenteng Kwan Sing Bio, di antaranya adanya Lithang atau tempat khusus untuk kebaktian umat Khonghucu, bus jemputan, asrama, dan sarana lain termasuk kompleks klenteng yang luas bahkan salah satu gedungnya merupakan bangunan 4 lantai yang dapat dipergunakan untuk menginap sampai 4.000 orang.

Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melakukan pengamatan atau observasi dan wawancara. Observasi ditujukan untuk melihat proses pembinaan keagamaan yang dilakukan oleh rohaniawan terhadap umat Khonghucu dan interaksi di antara mereka. Wawancara melalui indepth interview dilakukan secara tidak terstruktur terhadap rohaniawan agama Khonghucu, pengurus klenteng dan informan dari umat khonghucu untuk memperdalam kajian tentang pembinaan keagamaan yang dilakukan di Kabupaten Tuban. Untuk mendukung data-data penelitian juga dilakukan kajian dokumen baik dari pemerintah maupun dari arsip sekretariat Khonghucu di Klenteng Kwan Sin Bio.

Analisis Data Data-data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif yakni analisis deskriptif. Analisis penelitian ini tidak hanya dijelaskan dengan kalimat-kalimat yang dideskripsikan, tetapi sedapat mungkin memberi kejelasan obyek penelitian, yakni dilakukan dengan prosedur reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. (Moleong. 2000 : 36)

PEMBAHASAN Kehidupan Umat Khonghucu di Tuban Data komposisi penduduk berdasarkan agama tahun 2007 dari Departemen Agama Tuban tidak mencantumkan pemeluk agama Khonghucu. Dari data tersebut hanya mencantumkan jumlah umat Islam 1.115.123 orang, Kristen 6.499 orang, Katolik 1.954 orang, Hindu 678 orang, dan Budha 147 orang.(Kandepag Kabupaten Tuban. 2007) Jumlah penganut agama

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 187 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur

Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur tidak diketahui secara pasti. Hal ini karena tidak tersedianya data-data yang valid baik di Departemen Agama Kabupaten Tuban maupun di sekretariat Khonghucu Klenteng Kwan Sing Bio. Perkawinan umat khonghucu yang mencatatkan diri di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tuban selama tahun 2007 hanya tercatat 3 perkawinan saja, demikian juga data kelahiran dari keluarga Khonghucu tidak tersedia. Meskipun begitu, eksistensi umat khonghucu tetap nampak dari keterlibatan mereka dalam kegiatan klenteng. Menurut pengurus klenteng, sekitar 100 orang dari seluruh anggota klenteng Kwan Sing Bio yang memiliki kartu anggota sebanyak 554 orang. Dari anggota klenteng yang terdaftar ikut di kegiatan kebaktian Khonghucu sebanyak 105 orang, tetapi yang aktif dalam setiap kegiatan kebaktian Khonghucu hanya sekitar 70 orang. Sedangkan data dari Sekretariat agama Khonghucu TITD Kwan Sing Bio, peserta kebaktian yang terdaftar orang tua berjumlah 84 orang dan anak-anak-remaja berjumlah 44 orang. Pada umumnya, agama Khonghucu dianut oleh warga keturunan etnis Tionghoa. Namun demikian, dalam jumlah yang sangat kecil umat Khonghucu di Tuban juga ada yang berasal dari etnis non-Tionghoa, seperti etnis Jawa. Dalam kegiatan keagamaan, umat Khonghucu di Tuban dibimbing oleh tiga rohaniawan, yaitu Bunsu Antonius (48 tahun), Bunsu Titis (52 tahun) dan Kausing Vivin (43 tahun). Jabatan ketiga rohaniawan tadi, belum ada yang sampai jenjang jabatan Haksu. Sedangkan tempat ibadah klenteng di Tuban adalah klenteng Kwan Sing Bio dan klenteng Cjoe Ling Kiong. Klenteng-klenteng ini merupakan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) bersama dengan umat agama Budha dan Taoisme. Untuk beribadah khusus bagi umat Khonghucu adalah Lithang yang terdapat di Klenteng Kwan Sing Bio. Oleh karena itu, kegiatan umat Khonghucu di kabupaten Tuban dipusatkan di Klenteng Kwan Sing Bio Jl. Martadinata no.1 Tuban.

Pembinaan keagamaan Bagi Umat Khonghucu 1. Pembinaan Bidang Kepercayaan Pembinaan keagamaan oleh rohaniawan Khonghucu kepada umat Khonghucu ditujukan untuk menanamkan pandangan mengenai eksistensi Thian (Tuhan) terutama dihubungkan dengan perasaan secara mendalam tentang pengakuan terhadap kekuasaan dan kekuatan Thian yang melingkupi alam semesta ini. Konsep tentang Thian tercakup dalam penjelasan mengenai empat kebajikan (Su Tik), yaitu: Yen Guan yaitu Tian Maha Sempurna, kesempurnaannya meliputi segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya. Hing yang berarti Maha Menembus, atau Maha Besar atau Maha Mengetahui. Pengetahuan Thian mampu menjangkau semua hal, karenanya kekuasaan- Nya menembus sampai pada semua hal yang terjadi di dunia ini, karena itu Ia adalah Yang Maha Besar sekaligus Maha Mengetahui.

188 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto

Li yaitu Thian Yang Maha Kasih, di mana kasih sayang Tuhan berada dalam konteks sebab akibat, seperti ditunjukkan dalam Kitab suci: “Jalan Thian memberkati kebaikan dan menghukum kejahatan”, “Siapa yang menurut kepada Thian akan terpelihara, siapa yang melawan Thian akan binasa”, “Siapa berbuat dosa kepada Thian, tiada tempat (lain) ia dapat meminta doa.” Konsep berikutnya adalah Cing yaitu Thian Maha Abadi, bahwa tidak ada yang kekal dalam kehidupan ini melainkan hanya Thian Konsep-konsep ketuhanan tersebut pada hakikatnya sama dengan kepercayaan agama-agama lain. Namun penekanan dalam agama Khonghucu terdapat pada aspek aksiologis, bukan pada teologis. Ajaran Khonghucu tidak didasarkan pada doktrin-doktrin keagamaan yang ketat, berkaitan dengan pandangan-pandangan metafisika dalam kepercayaan agamanya. Agama Khonghucu sering dipandang lebih sebagai sistem etika dibanding suatu agama. Dan hal ini juga merupakan tantangan bagi rohaniawan untuk menjelaskan kepada umatnya, tentang persoalan keimanan terhadap persoalan ketuhanan, metasika, dan eskatologi. Kepercayaan kepada adanya Thian ini ditarik kepada persoalan yang imanen dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk perilaku susila, bermoral, dan beretika. Itu sebabnya konsep- konsep keimanan terhadap Thian atau Tuhan yang Maha Esa, senantiasa dihubungkan dengan etika kehidupan. Demikian juga kepercayaan terhadap nabi Khonghucu maupun nabi-nabi purba yang dipandang suci oleh umat Khonghucu, serta kepercayaan terhadap kitab-kitab sucinya diarahkan kepada pembentukan pribadi yang susila (Chung Tzu), yaitu manusia yang beretika dan memiliki moralitas yang tinggi dalam kehidupan ini. Moralitas yang mulia dan susila ini akan menjadi perkenan bagi Thian. Pandangan tentang eskatologi, dosa dan pahala, ditekankan sebagai hubungan kausalitas dengan perilaku perbuatan manusia semasa hidupnya. Rohaniawan dalam pembinaan kepercayaan ini menjadi pembabar firman, yaitu berfungsi dalam transfer of knowledge dan transfer of values ajaran-ajaran agama Khonghucu kepada umatnya. Peran tokoh agama dalam bidang kepercayaan ini sangat besar karena sumber informasi tentang ajaran kepercayaan agama Khonghucu ini sebagian besar diperoleh dari Kitab Suci. Sementara, umat Khonghucu kebanyakan kurang perhatian untuk mengakses secara langsung sumber informasi ini, kecuali yang disampaikan oleh rohaniawan dalam khutbah di kebaktian. Pola pembinaan dalam bidang kepercayaan ini pada umumnya dilakukan secara konvensional dalam khutbah kebaktian. Rohaniawan dalam suatu acara kebaktian, selain bertanggungjawab terhadap pelaksanaan upara kebaktian, juga menjadi pembabar firman atau kitab suci dalam kebaktian tersebut. Pada umumnya, materi khutbah berkisar pada persoalan etika dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu materi tentang kepercayaan terhadap Tuhan, masalah eskatologi dan keimanan terhadap kitab suci dan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 189 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur nabi dipergunakan sebagai landasan dalam menentukan pilihan sikap yang dipandang sesuai dengan etika agama Khonghucu. Dimensi kepercayaan tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan persoalan sosial yaitu masalah- masalah etika dan moral. Khutbah kebaktian merupakan bentuk komunikasi satu arah (monolog), di mana rohaniawan menyampaikan materi khutbahnya dalam bentuk ceramah, sementara umat yang hadir cukup mendengarkan saja. Dalam kegiatan ini tidak mengadakan tanya jawab. Kekurangan dari bentuk ini adalah kalau ada umat yang belum jelas, maka tidak dapat langsung mengajukan pertanyaan. Hal ini untuk menjaga kehikmatan upacara kebaktian. Hanya kadang-kadang setelah selesai acara kebaktian ada beberapa dari umat yang melakukan tanya jawab atau meminta penjelasan lebih lanjut dari rohaniawan. Namun lebih sering yang menjadi pertanyaan dari umat adalah persoalan pribadi yang dimintakan untuk dibantu oleh rohaniawan solusi atau pemecahannya. Pembinaan dalam bidang kepercayaan yang dilakukan di luar kegiatan kebaktian adalah diskusi yang dilakukan dalam kegiatan pemuda Khonghucu. Kegiatan ini berbentuk kegiatan yang dilaksanakan setiap Rabu malam untuk mengkaji dan berdiskusi mengenai ajaran Khonghucu, namun kegiatan ini masih terbatas untuk kelompok remaja. Acara ini tidak selalu diisi oleh rohaniawan, tetapi melibatkan juga aktivis Khonghucu yang menguasai tentang ajaran-ajaran agama Khonghucu. Pada umumnya pembinaan bidang kepercayaan disampaikan dalam suatu acara kebaktian, oleh rohaniawan. Dalam memberikan khutbah, para rohaniawan ini memiliki kebebasan berekspresi, selama dianggap tidak mengganggu kehikmatan upacara. Bunsu Anton misalnya, dalam menyampaikan khutbah, dia sering menyisipkan joke-joke lucu, bahkan aksi teaterikal/ekspresif. Hal ini bagi sebagian umat dianggap sangat menarik karena menciptakan suasana yang segar dan tidak menjenuhkan dalam acara kebaktian. Namun ada juga yang menganggap apa yang dilakukan oleh Bunsu Anton ini sering berlebihan sehingga mengganggu kehikmatan acara kebaktian. Sedangkan Bunsu Titis pada umumnya menyampaikan khutbahnya dengan cara konvensional, biasa saja. Namun menurut beberapa umat Khonghucu, yang menarik dari Bunsu Titis adalah kemampuannya untuk menyentuh emosi, sehingga dapat membangkitkan keharuan. Apa pun ekspresi yang dilakukan oleh rohaniawan, intinya adalah bertujuan pembinaan dalam bidang kepercayaan, tidak hanya untuk mentransfer pengetahuan tentang kepercayaan saja, tetapi sekaligus juga untuk meneguhkan kepercayaan umat terhadap kebenaran dan kebaikan ajaran Khonghucu bagi kehidupan mereka. Rohaniawan menjadi pelibat wacana utama yang membangun pengetahuan dan pemahaman umat mengenai ajaran-ajaran dan kepercayaan dalam agama Khonghucu. Peran ini cukup penting karena secara intrinsik ajaran agama Khonghucu tidak bersifat

190 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto doktrinal, di mana banyak hal ajaran Khonghucu sangat terbuka dan tidak memiliki doktrin tentang pahala dan dosa atau surga neraka. Ajaran agama Khonghucu melepaskan diri dari penjelasan-penjelasan spekulasi metafisika menuju kepada penjelasan etikal dan rasional, yang dalam agama lain pada umumnya menjadi pembahasan pokok keimanan agama. Pandangan tersebut menunjukkan sifat agama Khonghucu yang tidak ekslusif, yakni longgarnya ikatan secara institusional. Hal ini dapat berdampak pada anggapan sebagian umat Khonghucu sendiri bahwa ajaran Khonghucu cukup dilakukan dalam bentuk perilaku moral saja. Dalam kasus yang lebih berat adalah mudahnya orang Tionghoa melakukan konversi ke agama di luar Khonghucu. Hambatan lain yang mucul dari sifat ekslusif agama Khonghucu adalah Khonghucu tidak menolak tradisi-tradisi dan kepercayaan-kepercayaan leluhur. Berbagai tradisi dan kepercayaan yang telah mengakar di masyarakat Tionghoa termasuk pandangan-pandangan mistik dan supranatural tidak pernah dilarang secara langsung, hanya ajaran Khonghucu memberi epistemologi (kerangka berfikir) dan penjelasan rasional (cenderung rasionalisasi) terhadap berbagai hal tersebut. Dalam banyak hal, rohaniawan dan cendikiawan Khonghucu bertindak puritanistik, sebagai pembersih dalam bidang kepercayaan dari tradisi dan pemikiran mistik masyarakat Tionghoa yang dipandang tidak murni Khonghucu. Rohaniawan menekankan penghormatan bukan penyembahan kepada Roh-roh leluhur sebagaimana ajaran Khonghucu, karena yang patut disembah hanya Thian. Orientasi rasional ini juga mewarnai pandangan mereka dalam kehidupan, bahwa kesuksesan tergantung pada pertimbangan-pertimbangan rasional dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Tentu saja hal ini sedikit banyak bertentangan dengan keyakinan tradisional masyarakat Tionghoa yang masih mempercayai hal-hal mistis. Dalam keberagamaan masyarakat Tionghoa, juga masih ada kerancuan tentang Sam Kau atau Tri Dharma (tiga agama). Banyak orang Tionghoa yang merasa bahwa Sam Kau merupakan satu kesatuan, antara agama Khonghucu, Budha dan Taoisme. Hal ini terjadi karena dua faktor, pertama internal masyarakat Tionghoa sendiri yang kebanyakan penganut dari ketiga agama kersebut melakukan aktivitas ritual bersama-sama dalam suatu klenteng, sehingga muncul anggapan tentang kesatuan agama tersebut. Faktor kedua adalah faktor eksternal yaitu politik Orde Baru yang membatasi masyarakat Tionghoa terhadap segala tradisinya, termasuk tidak mengakui keberadaan agama Khonghucu, maka ada upaya masyarakat Tionghoa untuk menjaga survival kehidupan mereka dengan mengikuti pola asimilasi Orde Baru yakni mengubah fungsi klenteng sebagai tempat ibadah bersama dengan agama Budha yang termasuk agama yang diakui. Adanya konsep tiga agama sebagai mana “saran” pemerintah Orde Baru

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 191 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur ini, dalam pandangan rohaniawan, dianggap sebagai bentuk penyimpangan ajaran Khonghucu. Secara mendasar ketiga agama tersebut berbeda, baik sumber ajaran maupun beberapa kepercayaan di dalamnya, bahkan ada hal-hal yang secara prinsip bertentangan. Misalnya, dalam agama Budha ditekankan untuk vegetarian, sedangkan dalam agama Khonghucu ada sesajian berupa daging. Karena itu dalam era di mana agama Khonghucu telah mendapatkan pengakuan, para aktivis termasuk rohaniawan menekankan pemurnian ajaran Khonghucu yang lebih menekankan pada etika rasional.

2. Pembinaan Bidang Peribadatan Ekspresi keagamaan yang paling pokok terwujud dalam bentuk peribadatan, atau ritual keagamaan karena memberikan religious experient atau pengalaman keberagamaan yang kompleks, dan memiliki keterkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan yang “membentuk” agama tersebut. Dalam setting masyarakat agraris, bentuk-bentuk peribadatan agama Khonghucu pada dasarnya merupakan familio religion atau agama famili/ keluarga. Kegiatan ritual yang dilaksanakan lebih banyak merupakan tradisi keluarga sebagaimana kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang kemudian mengalami institusionalisasi agama. Sebagai bagian dari budaya masyarakat agraris, tradisi peribadatan agama Khonghucu dalam sacred property atau sesajiannya selalu menyertakan hasil-hasil produksi masyarakat agraris seperti buah-buahan, sayuran maupun daging. Terlepas dari bentuk-bentuk fisikal, ritual- ritual tersebut merupakan ekspresi kepercayaan, keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa, penghormatan kepada leluhur, dan sekaligus menjadi pembinaan pribadi masing-masing umat untuk mengidentifikasikan diri secara ideal dalam kehidupan ini sesuai dengan nilai-nilai keyakinann yang dianut. Peribadatan dalam agama Khonghucu diperlakukan tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga menjadi simbolisasi bentuk-bentuk sikap ideal yang hendak dibangun dalam diri pribadi. Konsep Li dalam agama Khonghucu yang artinya tata upacara misalnya, dimaknai tidak sekedar upacara ritualistik (ceremony), tetapi juga diartikan sebagai kesusilaan atau atat krama (propiety). Oleh karena itu konsep Li berhubungan dengan banyak hal berupa tradisi, institusi, hukum atau aturan- aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sebagai standar untuk mengukur perilaku. Kepercayaan terhadap Thian, penghormatan kepada para Sin Bing, rasa syukur, rasa pengharapan ditunjukkan melalui sikap-sikap tertentu, yang dalam agama diinstitusionalisasi berupa bentuk-bentuk ritual. Dalam agama Khonghucu ada banyak tradisi ritual yang dilakukan baik dalam jangka harian maupun jangka berkala, baik untuk penyembahan kepada Thian maupun penghormatan kepada Nabi Khonghucu dan tokoh- tokoh yang disucikan. Bentuk-bentuk dan tata laksana upacara peribadatan

192 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto untuk umar Khonghucu di Indonesia telah dibakukan melalui lembaga Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Demikian juga rohaniawan yang bertanggungjawab memimpin pelaksanaan ritual tersebut juga diatur ketentuannya melalui MATAKIN. Posisi rohaniawan adalah pemimpin keagamaan, terlebih untuk kepentingan ritual, maka rohaniawan berperan sebagai pemimpin peribadatan dan penanggungjawab terlaksananya upacara ritual tersebut. Dalam agama Khonghucu, rohaniawan sebagai pemimpin religius memiliki ketentuan- ketentuan dan strata yang diatur oleh MATAKIN. Namun demikian sifat status kerohaniawanan ini merupakan status yang diusahakan (achieved status) dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Tugas rohaniawan dalam peribadatan sangat penting dan menjadi salah satu syarat sahnya sebuah upacara ritual. Strata keagamaan menunjukkan siapa yang paling berhak untuk memimpin suatu ritual. Dalam suatu kebaktian di mana terdapat Haksu, Bunsu dan Kausing, maka yang paling berhak memimpin adalah Haksu. Kausing tidak berhak memimpin peribadatan jika di dalamnya sudah ada Bunsu apalagi Haksu. Namun jika tidak ada rohaniawan sama sekali, maka Tiangloo dapat menggantikan peran rohaniawan untuk memimpin jalannya peribadatan. Rohaniawan sebagai agamawan yang memiliki tanggungjawab pembinaan terhadap umatnya, rohaniawan Khonghucu juga melakukan pembinaan dalam bidang peribadatan. Namun kegiatan pembinaan peribadatan ini tidak dilakukan secara khusus, oleh karena dalam setiap kegiatan ritual yang besar senantiasa dilakukan secara komunal di mana peran rohaniawan menjadi sentral dan utama sedangkan umat atau jamaah peribadatan hanya menjadi peserta yang mengikuti saja jalannya acara. Dengan demikian rohaniawan dituntut untuk menguasai tata laksana peribadatan dengan sempurna. Pembinaan peribadatan yang dilakukan oleh rohaniawan dalam hal ini adalah penganjur dan pembabar makna simbolik ritual. Anjuran kepada umat Khonghucu untuk mengikuti kebaktian atau ritual dan peribadatan ini dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, penyisipan anjuran dalam khutbah- khutbah yang disampaikannya di acara peribadatan tertentu, terutama dalam upacara kebaktian. Dalam memberikan ceramah atau khutbah, biasanya rohaniawan menyisipkan anjuran bagi umat Khonghucu untuk melaksanakan ritual tertentu yang menjadi ketentuan dalam agama Khonghucu dengan disertai gambaran tata cara dan makna simboliknya. Membabarkan makna simbolik ini tidak hanya untuk mengungkap aspek historis saja, tetapi aspek aksiologis dari makna tersebut bagi kehidupan sehari-hari. Kedua, pembinaan peribadatan ini dilakukan secara langsung kepada orang-perorang yang menjadi umat atau jamaah kebaktian. Di Lithang Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, kebaktian dilaksanakan setiap hari Jumat malam, di mana umat yang datang mengisi daftar hadir. Daftar hadir ini

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 193 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur dipergunakan untuk mengetahui orang-orang yang tidak hadir di kebaktian. Umat yang biasanya aktif mengikuti kebaktian, ketika kemudian tidak hadir akan diketahui dan akan ditanyakan alasan ketidakhadirannya. Biasanya rohaniawan akan mengunjungi untuk menanyakan problem yang dihadapi sehingga tidak bisa hadir dalam kebaktian dan memberi solusinya. Namun diakui cara ini juga tidak selama berhasil, karena tergantung persoalan yang dihadapi umat. Rohaniawan pun pada umumnya tidak akan memaksa umat tersebut untuk terus aktif, hanya bisa menyarankan untuk mengikuti semampunya. Ketiga, pembinaan peribadatan dilakukan secara langsung dalam kegiatan ritual melalui penunjukkan petugas-petugas upacara kebaktian, dan menunjukkan tata cara aturan peribadatan yang akan dilaksanakan. Melalui kegiatan peribadatan atau kebaktian tersebut, pada akhirnya umat yang mengikuti upacara akan mengetahui dan terbiasa dengan tata cara peribadatan. Termasuk juga untuk peribadatan yang dilaksanakan sebagai ibadah pribadi atau keluarga, terutama acara kematian, rohaniawan biasanya akan mengajak umat untuk turut mengikuti upacara kematian tersebut di rumah duka maupun di pemakanan. Pembinaan peribadatan ini juga tidak lepas dari hambatan-hambatan. Di antaranya adalah waktu peribadatan bagi umat, dimana pada waktu yang ditetapkan umat memiliki kesibukan sehingga tidak dapat hadir. Biasanya rohaniawan akan menganjurkan untuk hadir di mana ada kesempatan. Ada juga kendala dari sikap umat sendiri yang tidak acuh dengan kegiatan peribadatan, bisa karena tidak berkehendak (malas), bisa juga karena umat merasa tidak membutuhkan datang ke kebaktian. Sikap umat ini bisa disebabkan pada pandangan terhadap rohaniawan, materi khutbah yang disampaikan, maupun karena situasi di lingkungan klenteng. Diakui oleh rohaniawan, bahwa umat yang bermacam-macam latar belakang tentu memiliki persepsi yang berbeda dalam penerimaan rohaniawan maupun materi yang disampaikan. Ada yang senang, ada yang tidak senang baik dengan pribadi maupun ekspresi rohaniawan. Ada yang merasa materi yang disampaikan berguna, maupun tidak berguna bagi kehidupan mereka. Sikap rohaniawan terhadap masalah ini biasanya menyerahkan kepada umat sendiri untuk bersikap, karena anggapan rohaniawan persoalan tersebut bukan hal yang harus dipaksakan, terlebih dalam agama Khonghucu tidak mengenal doktrin dan pemaksaan dari agama. Persoalan dalam pembinaan bidang peribadatan ini adalah adanya tradisi- tradisi kuno dari leluhur yang tidak sejalan dengan semangat Khonghucu, seperti acara dan perlengkapan yang berlebih-lebihan. Termasuk juga hubungannya dengan tradisi kuno tersebut adalah tradisi Sam-Kau (tiga agama/Tri Dharma) di mana kegiatan ritual sering diselenggarakan bersama. Dalam pandangan rohaniawan Khonghucu, persoalan ritual keagamaan

194 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto tidak bisa disamakan, karena akan menjadi bentuk sinkretisme dan menodai kemurnian ajaran agama.

3. Pembinaan Bidang Sosial Salah satu dimensi penting dalam kehidupan beragama adalah dimensi sosial. Agama hadir di masyarakat adalah untuk dan oleh masyarakat yakni terkait dengan persoalan-persoalan sosial. Dimensi sosial ini secara sederhana ditampilkan dalam norma-norma yang mengatur pola hubungan antar manusia. interaksi yang dilakukan dalam masyarakat, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain juga menjadi perhatian dari ajaran- ajaran agama. Di antaranya dibuktikan dengan adanya ajaran-ajaran etika, moral dan susila yang diatur dan dicitakan dalam ajaran agama, tak terkecuali dalam agama Khonghucu. Bidang sosial merupakan bidang yang sebenarnya paling banyak mendapatkan perhatian dalam ajaran agama Khonghucu. Bahkan agama Khonghucu menitikberatkan ajaran agamanya pada etika sosial. Ajaran mengenai kepercayaan terhadap Tuhan dan kehidupan eskatologi senantiasa dihubungkan dengan dimensi kemanusiaan dan moralitas. Demikian juga ritual yang dilakukan memiliki dimensi pembinaan diri dan etika sosial yang kental. Perilaku yang beretika atau moralitas inilah yang sangat ditekankan, sehingga melahirkan tindakan sosial yang mulia dan sikap yang susila. Dalam ajaran Khinghucu dituntun perilaku etika dalam hubungan dengan orang lain, yaitu antara penguasa dengan rakyat, antara suami dengan istri, antara orang tua dengan anak, antar kakak dengan adik, dan dengan orang lain. Moralitas hubungan yang dibangun ini mendorong muculnya cinta kasih dan perhatian kepada orang lain. Dalam bentuk yang praktis adalah tuntunan untuk memiliki sikap penghormatan kepada orang lain, perhatian, kejujuran dan sebagainya. Sedangkan dalam perilaku sehari-hari harus bersikap susila, moralitas dan sopan santun. Sikap tolong menolong, membantu orang lain yang terkena musibah dan melindungi sesama manusia. Hal ini dicontohkan dengan kegiatan amal untuk menyumbang korban bancana banjir yang terjadi beberapa waktu yang lalu di daerah Tuban. Kegiatan sosial lainnya yang dilakukan adalah mengunjungi umat yang sakit atau sudah tua sehingga tidak bisa hadir mengikuti kebaktian bersama-sama; mengikuti kegiatan upacara duka kematian dan sebagainya. Pola yang dilakukan oleh rohaniawan dalam bidang sosial ini adalah memberi anjuran dan pendekatan secara pribadi terhadap umat Khonghucu untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial tersebut. Selain itu juga rohaniawan menyadari posisi dirinya sebagai tokoh sentral dalam bidang keagamaan juga mendorong diri mereka sendiri untuk bertindak sebagai

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 195 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur contoh dalam segala bidang baik situal maupun sosial. Dengan demikian, rohaniawan juga berperan sebagai contoh teladan bagi umat Khonghucu dalam berperilaku sosial. Pembinaan dalam bidang sosial ini pada umumnya disisipkan dalam materi khutbah di acara-acara kebaktian. Hal ini menjadi bagian dari materi khutbah yang pada umumnya menitikberatkan pembahasan pada masalah-masalah etika dan kesusilaan dalam menjalani hidup. Penekanan yang dilakukan oleh rohaniawan, baru sebatas anjuran untuk berperilaku susila dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam keadaan yang insidental seperti penggalangan dana sumbangan untuk korban bencana, pada umumnya dikoordinir melalui sekretariat. Dalam hal ini rohaniawan berperan sebagai penganjur dan memberi motivasi untuk melakukan amal. Namun demikian Bunsu Antonius sering menahan diri dan menghindari melakukan kritik tajam terhadap perilaku umat yang dipandang menyimpang dari aturan etika moral dan sosial yang diajarkan agama Khonghucu. Terlebih dalam situasi konflik pengurus di lingkungan klenteng, ia lebih memilih untuk menghindari masalah yang menurutnya lebih baik untuk kepentingan umat.

PENUTUP Simpulan Pola Pembinaan umat Khonghucu oleh Tokoh Agama Khonghucu meliputi aspek-aspek kepercayaan, ritual dan sosial. Ketiga dimensi atau aspek tersebut membentuk suatu sistem keagamaan yang utuh, oleh karena itu pembinaan tokoh agama Khonghucu dalam pembinaan kehidupan beragama dalam masyarakat Tionghoa pada dasarnya tidak dapat dibagi-bagi secara parsial. Ketiga dimensi ini saling terkait dan berhubungan. a. Dalam bidang kepercayaan, para tokoh agama Khonghucu menanamkan pandangan mengenai eksistensi Thian (Tuhan) terutama dihubungkan dengan perasaan yang mendalam tentang pengakuan terhadap kekuasaan dan kekuatan yang melingkupi alam semesta ini. Kepercayaan kepada adanya Thian ini ditarik kepada persoalan yang imanen dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk perilaku susila, bermoral dan beretika. Peran tokoh agama dalam aspek ini sebagai transmister pengetahuan tentang asas-asas kepercayaan/keimanan. Hal ini karena sumber informasi tentang ajaran kepercayaan agama Khonghucu ini sebagian besar diperoleh dari Kitab Suci, sementara umat Khonghucu kebanyakan kurang perhatian untuk mengakses secara langsung sumber informasi ini, kecuali yang disampaikan oleh rohaniawan dalam khutbah di kebaktian. Pola pembinaan dalam bidang kepercayaan ini pada umumnya dilakukan secara konvensional dalam khutbah kebaktian. Sedangkan kajian dan diskusi masih terbatas dengan kelompok umat tertentu.

196 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto

b. Acara kebaktian dalam agama Khonghucu, tidaklah sekedar kegiatan ritualistik, tetapi juga menjadi penting bagi dimensi kepercayaan dan dimensi sosial. Kebaktian di Lithang menjadi forum penyampaian ajaran-ajaran Khonghucu dan sosialisasi antar umat Khonghucu. Oleh karena itu, peran tokoh rohaniawan Khonghucu sangat sentral dalam kegiatan kebaktian di Lithang. Rohaniawan bertindak sebagai penanggungjawab, menunjuk petugas upacara, dan membabarkan firman suci (khutbah). Demikian juga dalam ritual yang selain kebaktian tersebut, yaitu pada upacara Ha Su maupun Dong Su, rohaniawan juga bertindak untuk memimpin upacara dan doa. Pola pembinaan dalam ritual ini dilakukan oleh para tokoh agama dalam bentuk keteladanan atau kepemimpinan dalam menjalankan kegiatan ritual. c. Bidang sosial merupakan bidang yang sebenarnya paling banyak mendapatkan perhatian dalam ajaran agama Khonghucu. Bahkan agama Khonghucu menitikberatkan ajaran agamanya pada etika sosial. Dalam bentuk yang praktis adalah tuntunan untuk memiliki sikap penghormatan kepada orang lain, perhatian, kejujuran dan sebagainya. Sikap tolong menolong, membantu orang lain yang terkena musibah dan melindungi sesama manusia. Pola yang dilakukan oleh rohaniawan dalam bidang sosial ini adalah memberi anjuran dan pendekatan secara pribadi terhadap umat Khonghucu untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial tersebut. Selain itu juga rohaniawan menyadari posisi dirinya sebagai tokoh sentral dalam bidang keagamaan juga mendorong diri mereka sendiri untuk bertindak sebagai contoh dalam segala bidang baik situal maupun sosial. Saran Dari kajian tentang pembinaan kehidupan beragama oleh rohaniawan Khonghucu ini, ada beberapa saran yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya Kementerian Agama. a. Pembinaan keagamaan oleh rohaniawan Khonghucu perlu didukung oleh pemerintah terutama Kementerian Agama melalui pengadaan buku-buku pengetahuan tentang agama khonghucu, baik tentang kepercayaan maupun peribadatan. b. Peran tokoh agama Khonghucu dalam konteks kebangsaan, terkait dengan bidang sosial sangat penting untuk ditingkatkan. Oleh karena itu pemerintah terutama Kementerian Agama perlu melibatkan para tokoh agama Khonghucu dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan beragama.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 197 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II. Jakarta : Balai Pustaka Kantor Departemen Agama Kabupaten Tuban. 2007. “Laporan Pemeluk Agama di Kabupaten Tuban tahun 2007”. Kandepag Kabupaten Tuban. Lasiyo, dkk. 1995. Konfusionisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jatidiri. Yogyakarta: Dian Interfidei Mangunhardjana, AM. 1986. Pembinaan : Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius MATAKIN. tt. Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu. Solo: MATAKIN Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda Karya Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Penerbit Rajawali Wach, Joachem. 1963. Sosiology of Religion. Chicago : The University of Chicago Press

198 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto

Penjamasan Pusaka

Oleh : Siti Muawanah

Abstract This article is discussing about the washing ceremony of Sunan Kalijaga’s three heirlooms: Kyai Kutang Antakusuma, Kyai Crubuk and Kyai Sirikan, which is annually held by the ahli waris of Sunan Kalijaga in Kadilangu. This writing, however, is not intended to describe how the procession runs in details, but to convey the hidden messages of the ritual. There are at least three main meanings of the ritual of this washing ceremony. The first, the importance of the five daily prayers; the second, familial relationship among the ahli waris, and the last, economic benefit or profit motive.

Keywords: shalat, ahli waris, profit motive

PENDAHULUAN Selama ini banyak literature yang membicarakan Islam Jawa, tapi mereka lebih mengacu Yogyakarta dan Solo, seolah-olah dua daerah tersebut cukup menjadi model bagi Islam di Jawa. Berlimpahnya sumber Islam di Jawa bagian selatan karena adanya anggapan bahwa Islam di Jawa bagian selatan lebih unik karena dinilai sinkretik. Padahal praktik keagamaan Islam di pesisir utara pun tidah kalah menariknya untuk diteliti. Salah satu praktik keagamaan yang dimaksud adalah Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga yang diselenggarakan setiap 10 Besar (10 Dzulhijjah) oleh ahli waris Sunan Kalijaga di Kadilangu. Ritual ini adalah serangkaian acara panjang yang penuh aturan dan pantangan. Namun artikel ini tidak bermaksud menguraikan secara terperinci bagaimana Penjamasan Pusaka tersebut dilakukan, melainkan mengungkap makna yang terkandung dalam

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 199 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur ritual tersebut. Dalam tulisan ini terungkap tiga nilai penting di balik penyelenggaraan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga: nilai religious, nilai ekonomi dan nilai-nilai sosiologis. Tulisan ini didasarkan pada sebuah penelitian dengan menggunakan library research (kajian pustaka) dan field research (penelitian lapangan). Kajian pustaka digunakan untuk menjembatani pemahaman teoritik terhadap topik penelitian. Sumber data primer dan didukung data sekunder bertolak pada cerita lokal. Cerita lokal dari para penutur, tidak dapat diabaikan begitu saja karena ia memiliki “nilainya sendiri” (itself values) dan dianggap sebagai “fakta sejarah” (historical fact) sehingga pengetahuan (local knowledge) penutur tidak boleh dianggap “invalid”, demikian disarankan H.J. De Graaf. (Lihat Graaf, Pigeaud, 1986:2) Dengan demikian, sumber data atas tulisan ini utamanya berasal dari wawancara dan participatory observation (penelitian terlibat). Penelitian ini dilakukan di Kadilangu, sebuah desa di wilayah kabupaten Demak, Jawa Tengah, pada ahir tahun 2005 hingga awal 2006.

PEMBAHASAN Sunan Kalijaga: Wali Jawa Teladan Sunan Kalijaga merupakan sosok yang sangat penting di Jawa, di antaranya karena beliau dianggap sebagai “ayah” dan “pemimpin” para wali,(Jamhari, 2000: 61) sebagaimana ungkapan: “Sunan Kalijaga: nom mungguh umure, tuwa mungguh ngilmune” (Dari segi usia Sunan Kalijga memang muda, tapi dari segi ilmu pengetahuan dia sangat matang). Beliau dianggap sebagai syaikh Tarekat Qadiri-Naqsabandi.(Lukens-Bull, 2005: 2) Bahkan pada abad IV Sunan Kalijaga dianggap sebagai rasul dan pelindung Jawa Tengah bagian selatan.(Graaf dan Pigeaud, 1986: 46) Sunan Kalijaga yang nama aslinya Raden Syahid, mendapat banyak sebutan seperti: Lokajaya, Jagabaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban,(Amar, 1992: 10) Syaikh Malaya,(Chodjim, 2005: 10; Purwadi, Siti Maziyah, 2005: 4; Sofwan, dkk. 2000: 91, 92) Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok dan Ki Dalang Kumendung,(Sofwan, dkk. 2000: 122) Kajabur dan Raka Brangsang. (al-Murtadho, 1999: 125) Ayahnya, Raden Sahur Wilotikto, adalah seorang Tumenggung Tuban pada jaman Majapahit. Meskipun demikian beberapa sumber berbeda pendapat tentang geneologi Sunan Kalijaga. Di samping banyak yang beranggapan bahwa Sunan Kalijaga asli orang Jawa,(Sofwan, dkk. 2000; Chodjim, 2005 :8) ada juga yang menganggap Sunan Kalijaga keturunan Arab,(Darmowasito, 1937: 71) atau China.(Muljana, 2005: 100; 101, Sofwan, dkk. 2000: 86-89) Sebelum bertemu dengan yang konon membimbingnya menuju jalan yang benar sekaligus jadi guru spiritualnya, Sunan Kalijaga

200 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo adalah seorang bandit. Menurut cerita, dia suka judi, minum minuman keras dan main perempuan. Dia juga sangat menyukai sabung ayam. Di bawah bimbingan Sunan Bonang inilah Sunan Kalijaga kemudian menjalankan berbagai macam laku seperti tapa ngidang,(Purwadi, 2005:17- 18) tapa mendhem,(Sofwan, dkk. 2000: 106-107) menjaga tongkat Sunan Bonang di tengah hutan selama dua tahun dan juga kungkum, yakni berendam di sungai.(Sofwan, dkk. 2000: 90-101) Kita tidak boleh memahami perjalanan hidup Sunan Kalijaga begitu saja. Kita harus menafsirkannya karena perjalanan hidupnya sebenarnya merupakan simbol belaka.(Sofwan, dkk. 2000: 111-114; Darmowasito, 1937: 110-112) Di samping menjadi murid Sunan Bonang, Sunan Kalijaga juga menjadi murid Syaikh Sutabaris, Syaikh Maulana Maghribi dan Sunan Gunung Jati. (Darmowasito, 1937: 110-112; Woodward, 1989: 101) Bahkan, konon, dalam perjalanannya ke Mekah, Sunan Kalijaga bertemu dengan Nabi Khidhir yang mengajarkan ajaran tasawuf kepadanya dan menjelaskan Ka’bah hanyalah sebongkah batu yang didirikan oleh Ibrahim dan pergi ke sana bukanlah hal yang penting.(Purwadi, 2005: 19-40) Selain perjalanan-perjalanan mistik di atas, beberapa peristiwa legendaris, seperti bagaimana beliau ikut membangun Masjid Demak dengan Saka Tatalnya, bagaimana Sunan Kalijaga membetulkan kiblat Masjid Agung Demak dan juga peristiwa Kutang Antakusuma, memperkuat legitimasi terhadap status ke-wali-an Sunan Kalijaga. Cara Sunan Kalijaga menyebarkan Islam juga sangat diterima oleh kalangan atas maupun rakyat jelata. Dia tidak memperlakukan Islam sebagai sebuah ancaman kebudayaan Jawa yang sudah mengakar. Bahkan sebaliknya, dengan semboyan Jawa digawa Arab digarap, dia mengkombinasikan dua budaya yang menurut beberapa orang dianggap saling bertentangan. Contohnya slametan. Untuk memperoleh simpati orang Jawa yang sangat kental dengan budayanya, Sunan Kalijaga tidak melarang slametan bahkan beliau tetap memeliharanya. Sunan Kalijaga juga dianggap seorang ahli tata kota yang merancang bagaimana sebuah keraton seharusnya dibangun; di mana masjid, alun- alun dan dua pohon beringin merupakan komponen utama. Falsafah pacul (cangkul) juga diyakini sebagai salah satu ajarannya. Selain itu, wayang adalah hal yang tidak bisa diabaikan ketika kita membicarakan sosok Sunan Kalijaga karena dia diyakini telah menciptakan beberapa tokoh dan lakon dalam pementasan wayang. Salah satu campur tangan Sunan Kalijaga dalam wayang adalah penggunaan tokoh Pandawa sebagai simbol rukun Islam. Kelima tokoh Pandawa (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) masing masing merupakan symbol dari syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.(Marhiyanto; 2000:134-136; al-Murtadho;1999:116- 118)

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 201 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Mengenai berapa usia Sunan Kalijga, sedikit sekali sumber yang bisa memberikan keterangan yang jelas. Meskipun demikian, Sunan Kalijaga diyakini masih hidup pada zaman Mataram awal karena Babad Tanah Jawa menuturkan bahwa Sunan Kalijaga menemui Panembahan Senopati ing Ngaloga dan menasehatinya untuk membangun benteng perbatasan bagi keratonnya. Teka-teki tanggal kematian Sunan Kalijaga bisa sedikit diungkap ketika keluarga besar ahli waris Sunan Kalijaga menemukan Serat Kaki Walaka, sebuah buku yang mengisahkan hidup Sunan Kalijaga, yang kemudian ditulis ulang dengan huruf latin. Salah satu kalimat dalam buku tersebut berbunyi bahwa Sunan Kalijaga meninggal pada tanggal 10 Muharram setelah menderita sakit selama 10 hari.(Hendrato, Darmosugito,1993:150) Dalam hal tahun, berbeda dengan kebanyakan sumber yang tidak memberikan keterangan yang jelas kapan Sunan Kalijaga wafat (Abu Amar, 1992:15-16; Salam, 1960:46; al-Murtadho, 1999:129-130; Sofwan, dkk. 2000:124-125), Raden Soedjono menulis bahwa Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450, meninggal tahun 1586 (Soedjono, 2005: 2,10) dan dikebumikan di Kadilangu, sebuah wilayah di Demak.

Kadilangu: Situs Dakwah Sunan Kalijaga Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga diselenggarakan di Kadilangu, sebuah kelurahan di Demak, kurang lebih dua setengah Kilometer sebelah tenggara dari pusat kota. Kemunculan desa Kadilangu tak bisa terpisahkan dari Kerajaan Demak, terutama dengan peristiwa kemenangan Demak atas Majapahit yang waktu itu dipimpin oleh Girindrawardhana, pada tahun 1481. Perang tersebut adalah perang kedua Demak melawan Majapahit (tiga tahun sebelumnya, pada 1478, Demak menyerang Majapahit tetapi gagal). Karena Walisanga dianggap sangat berjasa dalam menundukkan Majapahit dan mendirikan kerajaan Demak, Sunan Gunung Jati mengusulkan agar Raden Fatah memberi mereka hadiah. Hadiah tersebut bisa berupa harta kekayaan, kedudukan dalam pemerintahan, gelar kehormatan maupun sebidang tanah.(Soedjono, 2005: 4, 11) Sunan Kalijaga sendiri diberi Kadilangu, sebidang tanah yang tidak terurus. Sebelum menetap di Kadilangu, konon Sunan Kalijaga tinggal di Cirebon. Babad Tanah Jawa menggambarkan bagaimana perjalanan Sultan Demak ke Cirebon dan bagaimana Sunan Kalijaga menjamu tamunya. Menurut sumber ini, Sultan Demak pergi ke Cirebon dengan mengendarai kuda dan disertai 20.000 pasukan. Begitu tiba di Cirebon, mereka dijamu oleh Sunan Kalijaga dengan sebakul nasi dan sebutir labu siyam. Anehnya, semua orang memperoleh bagian; tak seorang pun ketinggalan. Ketika Sultan Demak meminta Sunan Kalijaga tinggal di Demak, beliau menyambutnya dengan senang hati. Sultan kemudian memberi beliau tanah Kadilangu, sebidang

202 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo tanah yang tidak terawat dan juga tidak produktif. Sultan sendiri tidak begitu berminat dengan tanah tersebut (Wiryapanitra, 1996: 225). Selain Babad Tanah Jawa, Pemerintah Hindia Belanda juga memiliki keterangan yang hampir sama. Keterangan tersebut menjelaskan bahwa Sunan Kalijaga mendapat hadiah Kadilangu atas partisipasi beliau pada proses pembangunan Masjid Agung Demak. Paragraf kedua Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 16 tanggal 5 Mei 1883 berbunyi: “Bahwa semula oleh Sultan Demak, Raden Fatah, dalam paruh kedua dari abad ke-15 kepada salah satu dari kedelapan wali, yang telah turut bekerja untuk membangun candi di Demak, dengan nama Jaka Said, kemudian Sunan Kalijaga, telah diserahkan sebidang tanah sebagai pinjaman turun temurun, yang olehnya dibuka dan ditanami memperoleh nama Kadilangu dan sejak itu selalu berpindah tangan dari ayah kepada anak.” (Soedjono, 2005: 11-12)

Begitu diberi tanah tersebut, Sunan Kalijaga tidak langsung mengolahnya. Beliau baru melakukan babad alas tiga tahun berikutnya, yakni tahun 1485. (Soedjono, 2005: 12) Sebelum diberikan kepada Sunan Kalijaga, Kadilangu merupakan alas gung liwang liwung, sato moro sato mati, jalma mara jalma mati. Nama Kadilangu itu sendiri diambil dari kata mambu langu karena konon dari wilayah tersebut semerbak bau harum. Status pemerintahan desa Kadilangu semula Desa Perdikan. Karena status itulah Kadilangu berhak menggunakan songsong saat upacara. Kadilangu dipimpin oleh Kepala Kadilangu yang selalu ahli waris Sunan Kalijaga. Status Desa Perdikan akhirnya dihapus Undang-Undang No. 13/1946. Akibatnya, Kadilangu tidak lagi berstatus Desa Perdikan melainkan Kelurahan. Pemimpinnya disebut lurah. Lurah adalah seorang pemimpin yang tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditunjuk oleh Pemerintah Demak.

Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga Istilah Penjamasan Pusaka terdiri dari kata jamas yang berarti membasuh atau mencuci. Sedang pusaka dapat didefinisikan dengan “benda-benda magis atau sakral yang berupa pusaka, harta peninggalan, petilasan, makam leluhur, tari-tarian, alat musik dan sebagainya.(Puspaningrat,1996: 5) Dalam Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga, kata pusaka mengacu pada tiga pusaka peninggalan Sunan Kalijaga; Kyai Kutang Antakusuma, Kyai Crubuk dan Kyai Sirikan. Ritual penjamasan pusaka Sunan Kalijaga diselenggarakan pada 10 Dzulhijjah di cungkup Sunan Kalijaga. Penjamasan Pusaka itu sendiri merupakan serangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh ahli waris untuk mencuci tiga pusaka peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut cerita keluarga keturunan Sunan Kalijaga, Penjamasan Pusaka ini

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 203 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah didasarkan pada wasiat Eyang Sumare (Sunan Kalijaga) yang sesaat sebelum meninggal berpesan: “Agemanku, mbesuk yen aku wis dikeparengake sowan Ingkang Kuwaos, salehno neng dhuwur peturonku. Kejobo kuwi sawise aku kukut, agemanku jamasano” (setelah saya dipanggil Tuhan yang Mahakuasa, letakkan “ageman”ku di atas tempat tidurku. Selain itu basuhlah “agemanku”. Meskipun Sunan Kalijaga tidak secara tegas menyebut apa yang dimaksud dengan “ageman” dalam wasiatnya, anak cucunya menafsirkan kata tersebut dengan ketiga pusaka peninggalan Sunan Kalijaga, yakni Kyai Kutang Antakusuma, Kyai Crubuk dan Kyai Sirikan. Sepeninggal Sunan kalijaga, ketiga benda pusaka tersebut disimpan oleh ahli waris dan di-jamas setiap tahun. Menurut ahli waris, prosesi Penjamasan Pusaka pertama kali diadakan pada masa kepemimpinan Pangeran Widjil (abad ke-17) dan secara terus menerus dilanjutkan oleh sesepuh Kadilangu. 1. Kyai Kutang Antakusuma Kata kyai, yang bisa disingkat “ki” berasal dari “iki wai” yang berarti yang terpilih. Dengan demikian kyai dianggap istimewa karena mereka dipilih oleh Allah.(Lukens-Bull, 2005: 95) Ketika berbicara tentang kyai, kebanyakan literatur menghubungkan kata tersebut dengan karena dua kata ini memiliki hubungan yang erat; kyai merupakan unsur penting pesantren,(Dhofier, 1982: 60), sementara sangat jarang orang disebut kyai tanpa memiliki pesantren. Di Jawa, kata kyai bisa digunakan untuk beberapa hal. Istilah tersebut tidak selalu mengacu pemimpin pondok pesantren tetapi juga digunakan untuk memanggil orang yang sudah tua dan juga harta pusaka,(Lukens-Bull, 2005: 96; Puspaningrat, 1996: 6, 20; Wirosardjono, 1993:59-68) dan dalam pengertian yang terakhir inilah kata kyai dalam Kyai Kutang Antakusuma, Kyai Crubuk dan Kyai Sirikan digunakan. Meskipun tak seorang pun tahu seperti apa bentuk dan warna Kyai Kutang Antakusuma, ada keyakinan bahwa Kutang Antakusuma adalah pemberian Nabi Muhammad kepada Sunan Kalijaga. Meskipun demikian, banyak sumber yang mengatakan bahwa Kutang Antakusuma adalah sejenis baju tanpa lengan, yang dalam bahasa Jawa disebut kutang. Kutang itu sendiri berasal dari “sikute diutang”. Cerita tentang Kutang Antakusuma selanjutnya tidak terlepas dari pembangunan Masjid Agung Demak. Menurut Babad Tanah Jawa, begitu pembangunan Masjid Agung Demak selesai dan orang-orang selesai melaksanakan sholat subuh, Sunan Bonang melihat sebuah bungkusan aneh tergantung di atas mihrab. Sunan Bonang kemudian memerintahkan Sunan Kalijaga mengambilnya. Menurut kepercayaan setempat, begitu membuka bungkusan tersebut, Sunan Bonang mendapatkan sebuah baju dan surat yang mengatakan bahwa baju tersebut berasal dari Nabi Muhammad dan diberikan kepada Sunan Kalijaga karena dia telah membetulkan arah Qiblat. Semua wali mencobanya tapi tak seorangpun pas memakaianya kecuali Sunan Kalijaga.

204 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo

Seperti itulah gambaran fisik Kutang Antakusuma. Widji Saksono memiliki pandangan yang lain. Mengutip R. Tanoyo dan Atmodarminto, Widji beranggapan bahwa Antakusuma berarti kebaikan yang tak terbatas karena anta berarti tak terhitung atau tak terbatas, sedang kusuma berarti baik, harum dan bunga. Jadi Antakusuma dianggap lambang dari ihsan sebagai buah dari takwa. Mengenai warnanya, dikatakan berwarna-warni, tergantung bagaimana orang melihatnya. Atmodarminto selanjutnya menafsirkan Antakusuma sebagai sikap terpuji terhadap setiap orang tanpa memperhatikan status dan kedudukannya. Lebih lanjut ia menafsirkan bahwa Antakusuma merupakan simbol penguasa yang harus memiliki berbagai sifat; dia harus mampu melindungi dan mengatur orang dengan bermacam ragam karakter, adat istiadat dan kepercayaan.(Saksono, 1995: 131) 2. Kyai Crubuk Tidak seperti lazimnya keris (yang biasanya berlengkung ganjil, misalnya 9, 11 dan 13), Kyai Crubuk berbentuk seperti pisau yang bisa digunakan untuk menyembelih ayam. Menurut cerita setempat Kyai Crubuk ini dibuat oleh Mpu Dewayasa II pada masa Prabu Dwastarata, Raja Purwacarita, sekitar tahun 729. Pada waktu itu Purwacarita dilanda berbagai macam bencana seperti wabah penyakit, kelaparan dan kekeringan. Sang Raja kemudian memerintahkan Mpu Dewayasa untuk membuat keris yang bisa digunakan mengusir segala jenis wabah tersebut. Begitu Mpu selesai, Raja datang bersama pasukannya mengambil pesanannya. Mpu Dewayasa kemudian menyerahkan sebuah peti dengan keris di dalamnya yang segera dibuka oleh Raja. Keris yang akhirnya diberi nama Kyai Crubuk inilah yang kemudian mampu mengusir wabah yang melanda Purwacarita. 3. Kyai Sirikan Kyai Sirikan adalah keris berlekuk sembilan. Keris ini juga di-jamas di cungkup Sunan Kalijaga. Hanya bedanya bila dua pusaka yang lain disimpan di kotak di atas makam Sunan kalijaga, Kyai Sirikan dibawa sesepuh dari Natabratan. Meskipun Kyai Sirikan disimpan di Natabratan tapi penjamasannya harus dilaksanakan di Cungkup Sunan Kalijaga dan juga harus dengan mata tertutup. Selain Kyai Sirikan, keris lain tak boleh dibawa masuk ke makam Sunan Kalijaga. Larangan tersebut bukan atas perintah siapa-siapa, bahkan Sunan Kalijaga sekalipun. Semua itu karena adanya makam Mpu Supa. Menurut cerita setempat, bila sebuah keris (selain Kyai Sirikan) dibawa masuk ke makam Sunan Kalijaga maka keris tersebut akan kehilangan tuahnya karena ia tak akan mampu menandingi kekuatan Mpu Supa. Oleh karena itu pengunjung disarankan meninggalkan kerisnya di pengurakan di bawah pengawasan pegawai makam selama mereka melakukan ziarah ke makam Sunan Kalijaga.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 205 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Prosesi Penjamasan Pusaka Pada dasarnya, Penjamasan Pusaka bukanlah sebuah ritual yang diselenggarakan hanya dalam satu hari, melainkan sebuah rangkain kegiatan panjang yang sudah diawali beberapa bulan sebelumnya. Fase Penjamasan tersebut adalah persiapan, pelaksanaan dan setelah pelaksanaan. 1. Tahap Persiapan Tahap persiapan sebenarnya merupakan rangkaian kegiatan yang sudah dimulai sejak sebulan sebelumnya untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan proses Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga pada 10 Besar (Dzulhijjah) nanti. Ada tiga hal penting yang terjadi selama tahap ini, yaitu pembuatan lisah klentik, lisah jamas dan ancakan. Lisah klentik (minyak kelapa) merupakan unsur penting dalam prosesi ini karena ia bagian dari lisah jamas di mana proses pembuatannya harus mematuhi beberapa aturan. Lisah ini harus dibuat dari sembilan buah kelapa yang mangklung ke arah timur laut. Alasan pemilihan buah kelapa jenis ini adalah bahwasanya buah kelapa yang mangklung ke arah timur laut itu lebih sehat karena menerima lebih banyak sinar matahari sehingga menghasilkan minyak yang berkualitas lebih baik, lebih jernih, dan lebih bersih. Selain itu, buah kelapa yang akan dijadikan bahan pembuatan lisah ini tidak boleh menyentuh tanah sama sekali, sehingga cara memetiknya pun menggunakan tali. Hal tersebut merupakan sebuah simbol kehati-hatian, tidak boleh ceroboh. Lisah jamas adalah bagian yang sangat penting dalam prosesi ini karena dengan lisah inilah pusaka-pusaka Sunan Kalijaga dijamas. Lisah ini merupakan campuran dari bermacam-macam lisah, yakni lisah klentik, lisah, lisah sepuh, lisah garu, lisah cendana, lisah kenanga, lisah mlati dan lisah klentik pemberian Pengageng Parentah Surakarta Hadiningrat. Selain lisah- lisah di atas, ada juga lisah dari dari Pemerintah Daerah Kabupaten Demak yang akan diserahkan oleh Bupati pada pagi hari tanggal 10 Besar dalam sebuah upacara serah terima. Proses pencampuran semua jenis lisah ini dilakukan oleh nDara Tini (Ny. Supratini Mursidi), satu-satunya wanita sesepuh yang dianggap pantas melakukan tugas tersebut, karena beliau cukup lama menjalankannya. Selain itu, nDara Tini juga dianggap satu-satunya orang yang memenuhi syarat dan peraturan, selain beliau memang belum mendapatkan penggantinya. Dalam menjalankan tugasnya, nDara Tini dibantu oleh sejumlah orang yang sudah tua. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwasanya semua orang yang terlibat dalam prosesi harus dalam kondisi “suci”; maksud “suci” di sini adalah tidak lagi mengalami menstruasi. Itulah mengapa hanya wanita-wanita tua saja yang terlibat dalam proses ini. Hal penting ketiga dalam fase persiapan adalah pembuatan ancak dan

206 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto ancakan yang akan dibahas pada bagian belakang. 2. Tahap Pelaksanaan Inti dari Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga terjadi di dalam cungkup makam Sunan Kalijaga. Penjamasan dilakukan oleh sesepuh Kadilangu dibantu oleh juru kunci astana ageng (makam Sunan Kalijaga) dan juru kunci astana Gendok (makam Pangeran Wijil II). Selain mereka bertiga, masih ada 6 orang lagi yang terlibat dalam penjamasan di makam Sunan Kalijaga yang ditunjuk oleh sesepuh Kadilangu setiap tahunnya. Waktu melakukan penjamasan, kesembilan orang yang tergabung dalam tim penjamas ini harus dalam kedaan suci lahir dan bathin. Oleh karena itu, sebelum melakukan penjamasan mereka melakukan ritual puasa; ada yang puasa mutih selama 40 hari, puasa sebulan ditambah 3 hari puasa mutih dan puasa senin-kemis dan dua hari menjelang penjamasan (karena tidak mampu puasa mutih 40 hari). Selain ketentuan di atas, masih ada lagi aturan yang harus dipatuhi oleh tim penjamas pusaka Sunan Kalijaga dalam menjalankan tugasnya. Pertama, mereka harus memejamkan mata saat melakukan penjamasan. Tak seorang pun boleh membuka mata, karena diyakini bila pantangan tersebut dilanggar, maka yang bersangkutan akan mendapat wala. Kedua, proses penjamasan pusaka harus sudah selesai sebelum waktu shalat Dzuhur tiba. Bila waktu Dzuhur tiba sementara penjamasan belum selesai, maka penjamasan harus ditunda dan dilanjutkan lagi setelah shalat Dhuhur. 3. Tahap Setelah Penjamasan Begitu penjamasan usai dan tim penjamas keluar dari cungkup astana ageng, sesepuh Kadilangu “disongsong” oleh ribuan pengunjung di luar. Mereka berebut bersalaman dengan sesepuh berharap mendapat berkah dari penjamasan pusaka ini. Oleh karena itu, sesepuh harus dikawal sampai nDalem Natabratan. Di tempat inilah sesepuh meluangkan waktu, menyambut para pengunjung yang ingin bersalaman dengannya.

Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Penjamasan Pusaka 1. Nilai Religious Pesan-pesan religious yang terkandung dalam Penjamasan Pusaka ini dapat diungkap dari lagu Ilir-Ilir dan ancakan. Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir Dak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar. Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira. Dodotira-dodotira, kumitir bedhah ing pinggir,

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 207 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur

Domana jlumatana kanggo seba mengko sore. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surak-a, surak horeee.

Lagu tersebut kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai berikut: Bangun, bangunlah, padinya sudah mulai tumbuh, Begitu hijau seperti pengantin baru, Hai para penggembala, panjatlah belimbing itu, Meskipun licin kamu harus memanjatnya, untuk mencuci bajumu, Bajumu itu sudah rusak compang camping, Berilah peniti, jahitlah untuk menghadap nanti sore Selagi masih terang bulan, selagi masih luas kalangan-nya Mari bersorak gembira, horeee.

Lagu Lir-Ilir yang diduga kuat karangan Sunan Kalijaga ini merupakan lagu “wajib” dalam rangkaian acara Penjamasan Pusaka. Lagu ini dikumandangkan sesaat sebelum ancakan, waktu sesepuh dan ahli waris menerima abon-abon dari Pengageng Parentah dari keraton Surakarta dan sepanjang perjalanan dari Natabratan menuju cungkup Sunan Kalijaga. Meskipun dikategorikan Lagu Dolanan lagu ini sarat pesan pendidikan dan ajaran Islam. Secara umum, lagu ini menggambarkan masa awal perkembangan Islam di tanah Jawa di mana makin banyak yang mengetahui, tertarik dan memeluk Islam, agama baru yang menggantikan agama lama penduduk setempat. Lagu ini juga mengingatkan pemeluk Islam untuk selalu mengerjakan rukun Islam, terutama shalat lima waktu, dalam keadaan apapun. Hal itu karena shalat lima waktu bertujuan membersihkan hati yang cenderung menyimpang, berbuat salah dan berbuat dosa. Selain itu shalat juga digunakan untuk membersihkan agama mereka. Itu akan menjadi bekal nanti setelah mati, ketika menghadap sang pencipta. Shalat lima waktu harus dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda. Bila sudah demikian maka kebahagiaanlah yang akan kita rasakan di ahirat nanti.(Marhiyanto, 2000:142-144; Haryadi, 202:76) Itulah tafsiran pesan utama yang terkandung dalam lagu Ilir-Ilir. Dalam sebuah percakapan dengan peneliti, seorang responden mengatakan bahwa sulit untuk mengetahui secara lengkap pesan lagu tersebut. Tapi pesan utamanya adalah pelaksanaan shalat lima waktu yang disimbolkan dengan buah blimbing. “Sulit mengartikan lagu Ilir-ilir kata demi kata; dan setahuku belum ada orang yang bisa mengartikannya secara terperinci. Tapi hal yang penting adalah lagu itu mengingatkan kita untuk selalu mengerjakan shalat lima

208 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Joko Tri Haryanto waktu yang diibaratkan dengan buah belimbing. Mengapa buah belimbing? Karena biasanya buah belimbing itu segi lima, sama dengan jumlah shalat wajib sehari semalam: Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Mengapa shalat 5 waktu yang dipesankan lagu ini? Karena shalat memiliki kedudukan penting dalam Islam. Shalat adalah tiang agama dan shalat pula yang akan pertama kali diperiksa nanti di ahirat. Siapa yang shalatnya baik maka amal- amal yang lain dianggap baik. Dan siapa yang shalatnya jelek amal yang lain juga ikut jelek”(wawancara, 15 januari 2006).

Selain terkandung dalam lagu Ilir-Ilir, pesan melaksanakan Shalat juga disampaikan dalam bentuk ancakan. Ancakan adalah sebuah acara dalam rangkaian Penjamasan Pusaka yang diselenggarakan di Natabratan pada 9 Besar malam, yang dalam bahasa setempat bisa disebut malem 10 Besar. Selain Penjamasan Pusaka esok hari, ancakan adalah peristiwa yang juga penting dilihat dari jumlah partisipan yang hadir, baik dari Kadilangu maupun dari tempat lain, bahkan dari luar Kabupaten Demak. Ancakan pada dasarnya adalah slametan, seperti slametan yang lain. Tapi ada hal yang membedakan ancakan dari slametan pada umumnya. Pertama, nasi ancakan diletakkan di atas ancak yang terbuat dari bilahan bambu apus berukuran 45 cm dengan susunan 5 X 5. Lima yang pertama merupakan simbol bahwa umat Islam berkewajiban menjalankan shalat 5 waktu, sedangkan lima yang lain menjadi lambang rukun Islam yang juga berjumlah lima. Kedua, nasi ancakan ditutup dengan godhong jati (daun jati), bukan daun pisang seperti layaknya slametan. Godhong jati berarti sejatining urip (hakekat hidup) dan ajaran sing sejati (ajaran yang sejati); artinya tujuan penciptaan manusia adalah menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya. Setelah ancakan selesai, para peserta berebut ancak yang diyakini mengandung berkah. Mereka akan menggunakan ancak tersebut sebagai “jimat” untuk berbagai tujuan. Oleh karena itu, Bapak Surahman, seorang ahli waris merasa perlu mengingatkan para pengunjung akan pesan utama ancakan. Dalam pidato singkat sebelum ancakan, beliau beliau berkata: “Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, para hadirin semua! Sebelum ancakan dimulai saya berpesan kepada kalian semua jangan menggunakan ancak sebagai jimat. Jangan menanam ancak pada sudut-sudut sawah dengan harapan panen panjenengan akan melimpah. Jangan! Ancak tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Hanya Pangeran, Gusti Allah, Yang Maha Kuasa yang membuat panen melimpah. Yang perlu diingat adalah kita harus melaksanakan shalat sebagaimana disimbolkan oleh ancakan”. (pengamatan, 10 Januari 2006)

Ahmad Sasongko, seorang partisipan ancakan asli Kediri, Jawa Timur, (namun sudah bertransmigrasi ke Lampung), menafsirkan ancakan yang

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 209 Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur diperolehnya dengan shalat wajib dan shalat sunnah. Bapak 3 anak ini menargetkan 100 bilah ancak yang akan dipotong sepanjang ruas jari dan akan digunakan untuk menolong orang yang datang kepadanya dengan berbagai keluhan. Sayangnya dia hanya mendapatkan 5,5 bilah ancak. “Tak jadi masalah saya tak memperoleh 100 ancak sebagaimana niat saya. Yang paling penting, seperti yang tadi disampaikan, adalah menangkap pesan njeng Sunan untuk menjalankan shalat 5 waktu sebagaimana disimbolkan oleh ancak itu sendiri. Beruntung saya memperoleh 5 ancak dan juga separohnya. Lima ancak yang saya peroleh berarti lambang shalat wajib dan yang separoh lambang shalat sunnat.” (wawancara, 9 Januari 2006)

Wasono, seorang pegawai Kelurahan, mengaku bahwa meskipun ia tak pernah ikut ancakan, tapi dia yakin dia dapat menangkap makna ancakan. “Saya tak pernah menghadiri ancakan yang diadakan di Natabratan, Mbak, tapi sebenarnya saya selalu mengikuti ancakan. Kamu pasti bingung. Yang penting kita dapat menangkap ruh ancakan itu dan saya yakin saya dapat menangkap maknanya. Apa kamu tahu pesan ancakan? Shalat lima waktu. Karena itulah saya tak pernah menghadiri ancakan. Karena menurut saya, saya tidak harus membawa pulang ancak maupun godhong jati, tapi yang penting menjalankan shalat lima waktu secara benar. Saya tak yakin mereka yang ikut ancakan bisa menangkap maknanya. Boleh jadi mereka memperoleh ancaknya tapi kehilangan hakekatnya.” (wawancara, 13 Januari 2006)

2. Motif Ekonomi Yang dimaksud motif ekonomi (profit motive) di sini adalah keuntungan finansial yang diperoleh mereka yang ikut berpartisipasi dalam Penjamasan Pusaka baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit motive yang dalam bahasa J.J. Fox disebut “social significance ” (Fox. 2002: 133) ini sebenarnya jauh di luar ritual Penjamasan Pusaka itu sendiri, tapi tak bisa lepas begitu saja. Profit motive inilah yang melatarbelakangi Pemerintah Daerah Kabupaten Demak terlibat dalam Penjamasan Pusaka sunan Kalijaga yang semula diselenggarakan secara mandiri oleh ahli waris Sunan Kalijaga. Demi memajukan wisata yang ujung-ujungnya menambah pemasukan Daerah, Penjamasan Pusaka dimasukkan menjadi salah satu agenda penting dalam rangkaian Grebeg Besar di Demak. Ada hubungan yang erat antara ritual Penjamasan Pusaka dengan upaya memperoleh keuntungan ekonomi, yang dalam bahasa Etzioni disebut dengan profit motive. Etziony mengatakan bahwa dalam sebuah ritual yang diselenggarakan besar-besaran, profit motive sangat berpengaruh hampir dalam semua hal. Sayangnya, hal tersebut lebih sering tak terungkap (Etziony. 2004:26).

210 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Unsur ekonomi dalam penyelenggaraan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga ini mulai terlihat jelas sejak awal ahir tahun 70-an saat Pemerintah Kabupaten Demak secara langsung terlibat dalam penyelenggaraan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga. Sebelumnya, Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga menjadi tanggung jawab penuh keluarga ahli waris Sunan Kalijaga. Namun sejak tahun 1976, Bupati Demak Drs. Winarna Adisubrata menjadikan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga menjadi salah satu bagian dari keseluruhan rangkaian Grebeg Besar di Demak. Hal itu dilakukan dengan tujuan memajukan objek wisata, menarik sebanyak-banyaknya pengunjung sehingga pendapatan Daerah Demak meningkat. Selain menjadi sumber Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten Demak, penjamasan pusaka Sunan Kalijaga juga menjadi ajang penduduk setempat untuk mremo. Mremo adalah kegiatan yang dilakukan dalam jual beli dengan jalan melipatgandakan harga barang dagangan atau jasa untuk menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Harga jasa parkir yang biasanya Rp1.000,00 per sepeda motor, pada penjamasan pusaka menjadi Rp2.000,00- Rp3.000,00. Begitu pula dengan harga barang dagangan. Harganya bisa naik dua sampai lima kali lipat dari harga biasa. Hanya jasa penggunaan kamar mandi yang relative stabil Rp.1.000,00 (pengamatan, 9-10 Januari 2006). Maka tidak mengherankan bila bu Sri, seorang warga Kadilangu, memperoleh untung Rp.4.000.000,00 selama penyelenggaraan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga; empat kali keuntungan pada hari-hari biasa bahkan Jum’at Kliwon sekalipun. (wawancara, 13 Januari 2006) 3. Nilai Sosiologis Selain mengandung pesan-pesan religious dan nilai ekonomis, Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga juga mengandung nilai-nilai sosiologis. Nilai sosiologis dimaksud adalah penguatan ikatan kekeluargaan antar ahli waris Sunan Kalijaga. Semua anggota keluarga ahli waris Sunan Kalijaga akan berkumpul di Kadilangu. Mereka akan mengunjungi keluarga mereka di Kadilangu dan tinggal di sana sampai Penjamasan Pusaka berahir. Hubungan yang semula sudah mulai renggang karena jarang bertemu akan terbina lagi. “Saya punya tiga orang anak, semua sudah menikah. Yang dua tinggal di luar kota sedang yang bungsu menikah dengan waris, tinggal di sini. Bulan Besar mereka datang bersama anak-anak, kadang juga dengan suami saja. Senang rasanya dikunjungi anak cucu. Rumah yang biasanya sepi jadi ramai. Mereka pulang setelah sowan Eyang Sunan.” (wawancara. 2006)

Bahkan rumah sesepuh Kadilangu yang pada hari-hari biasa menerima tamu menginap, pada 9-10 Besar tidak menerima tamu karena dipenuhi oleh ahli waris Sunan Kalijaga dari luar kota. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi sebuah cermin adanya pelapisan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 211 sosial di Kadilangu. Selain sentana dan suranata, tak seorangpun tiyang biyasa terlibat dalam ritual ini. Alasan ketidakikutsertaan mereka sangat sederhana: “karena mereka bukan waris”. Perbedaan antara ahli waris dan tiyang biyasa terlihat jelas dalam beberapa peristiwa berikut. Pada waktu ancakan diselenggarakan, keluarga ahli waris duduk di atas kursi di tengah-tengah ruangan Natabratan. Duduk paling tengah sesepuh Kadilangu diapit Juru Kunci dan wakilnya. Di kursi belakangnya, berderet keluarga ahli waris Sunan Kalijaga yang lain, baik dari Kadilangu maupun dari luar Kadilangu. Ahli waris laki-laki memakai baju warna hitam dan peci atau blangkon sedang ahli waris perempuan memakai kebaya, kain jarit, slempang lengkap dengan sanggul dan kondenya. Berbeda dengan ahli waris yang duduk di atas kursi, tiyang biyasa berdiri membuat lingkaran di tengah Natabratan menunggu ancakan dikeluarkan. Stratifikasi sosial juga terlihat dalam komponen petugas Penjamasan Pusaka. Berdiri pada barisan paling depan 10 orang sentana yang dipimpin oleh seorang Suranata. Mereka memakai baju warna hitam dan tutup kepala berupa blangkon. Tangan memegang tombak sedang kaki mereka telanjang. Di belakang kelompok ini kelompok Putri Dhomas yang terdiri dari 10 gadis ahli waris Sunan Kalijaga. Mereka mengenakan kebaya warna kuning emas dikombinasikan kain coklat. Sementara untaian melati menghiasi sanggul besar di kepala mereka. Sepuluh pemuda ahli waris Sunan Kalijaga juga ikut terlibat dalam Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga. Mereka mengenakan baju takwo warna kuning dengan bawahan sama dengan Putri Dhomas; sementara kepala mereka ditutup blangkon warna coklat. Mereka disebut dengan Satriya Manggala. Masing-masing Putri Dhomas dan Satriya Manggala membawa sebuah nampan berisi peralatan yang dibutuhkan pada Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga. Peralatan tersebut ditutup dengan selembar kain yang juga berwarna kuning keemasan. Bagian paling penting dari petugas Penjamasan Pusaka ini adalah Tim Penjamas. Tim Penjamas terdiri dari 9 orang. Tiga diantaranya (sesepuh, juru kunci Astana Ageng dan juru kunci Astana Gendok) merupakan anggota tetap sedang 6 yang lain ditunjuk oleh sesepuh tiap tahunnya. Mereka mengenakan baju warna hitam, kain coklat, alas kaki hitam dan blangkon hitam. Di leher mereka tergantung samir berwarna kuning keemasan (kecuali sesepuh yang menggunakan samir warna hitam). Tim inilah yang yang bertugas membantu sesepuh menjamas Kyai Kutang Antakusuma dan Kyai Sirikan di dalam makam Sunan Kalijaga, sementara Kyai Crubuk dijamas juru kunci Astana Gendok di bagian makam yang berbeda. Selama penjamasan mereka harus memejamkan mata karena menurut keyakianan, siapapun yang mencoba melihat Pusaka Sunan Kalijaga akan mendapat musibah. Sebelum melakukan tugas, Tim Penjamas melakukan ritual berupa puasa. Mengikuti di belakang Tim Penjamas ini adalah keluarga ahli waris Sunan

212 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo

Kalijaga. Mereka berpakaian serba putih maupun pakaian adat Jawa. Baru setelah keluarga waris berjalan tiyang biyasa dengan pakaian tanpa ketentuan apapun.

PENUTUP Demikian tulisan singkat tentang penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga. Sekelumit informasi ini diharapkan cukup memacu para ahli untuk lebih tertarik meneliti Islam di dareah utara, lebih-lebih di Kadilangu, sebuah wilayah tempat tinggal Sunan Kalijaga, seorang tokoh penyebar Islam di Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

“Merindukan Kejayaan Demak Bintoro” dalam Suara Merdeka, Minggu, 27 Maret 2005; www. Jawapalace.org/walisanga2.htm Abu Amar, Imron. 1992. Sunan Kalijaga Kadilangu Demak. Kudus: Menara Kudus al-Murtadho, Sayid Husein. 1999. Keteladanan dan Perjuanagn Walisongo dalam Mengajarkan Agama Islam di Tanah Jawa. Bandung: Pustaka Setia Chodjim, Achmad. 2005. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Darmowasito, Raden. 1937. Poestoko Darah Agoeng. Kudus: Grafika Budiutama Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S Etziony, Amitai. 2004. “Holidays and Rituals: Neglected Seedbeds of Virtue” dalam Amitai Etziony, Jerad Bloom, (Eds.), We Are What We Celebrate: Understanding Holidays and Rituals. New York and London: New York University Fox, James J. “Wali: Penyiar Agama Islam Pertama di Jawa” dalam Indonesian Heritage: Agama dan Upacara. t.k.: Buku Antar Bangsa untuk Grolier. t.t Graaf, H.J. de, and Pigeaud, th.G.Th. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16. Jakarta: Pustaka Grafitipers Haryadi, Sugeng. 2002. Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan Grebeg Besar. Grobogan: Mega Berlian

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 213 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Jamhari. 2000. “In the Centre of Meaning: Ziarah Tradition in Java”. Jurnal Studia Islamika, Vol. 7, No. 1 Lukens-Bull, Ronald. 2005. A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java. New York: Palgrave Macmillan Marhiyanto, Bambang. 2000. Sunan Kalijaga: Sosok Wali, Filsuf dan Budayawan. Surabaya: Jawara Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS. Purwadi, Siti Maziyah. 2005. Hidup dan Spiritual Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Panji Pustaka Purwadi. 2005. Sufisme Sunan Kalijaga: Menguak Tabir Ilmu Sejati di Tanah Jawa. Yogyakarta: Sadasiva Puspaningrat, Surjandjari. 1996. Kirab pusaka Karaton Surakarta. Surakarta: Cendrawasih Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, Vol. II. London: Oxford University Press Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus: Menara Kudus Salam, Solichin. 1989. Dalam Perspektif Sejarah: The Nine Wali’s in the Perspective of History, (buku dua bahasa). Jakarta: Kuning Mas Serat Kaki Walaka. 1993. ditulis ulang oleh Astuti Hendrato, Darmosugito. Jakarta: Paguyuban Ahli Waris/Keluarga Sunan Kalijaga Cabang Jakarta Soedjono. 2005. Sunan Kalijaga: Hipotesa Kronologis. Kadilangu: Yayasan Sunan Kalijaga Kadilangu Sofwan, Ridin et.al. 2000. Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Wirosardjono, Soetjipto. 1993. “Dalang Sebagai Agen Pembangunan”. Dalam Suwaji Bastomi, (Ed.), Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang: Dahara Prize Wiryapanitra. 1996. Babad Tanah Jawa: Kisah Kraton Blambangan- Pajang. Semarang: Dahara Prize Woodward, Mark W. 1989. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: The University of Arizona Press

214 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo

KONSEP AL GHUSLU (MANDI) DALAM KITAB FIKIH MANHAJI (Studi Kitab Fikih di Pondok Pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya) Oleh : Samidi

Abstrak Kedudukan kitab fikih sebagai salah satu bentuk produk pemikiran hukum Islam memiliki karakteristik dan kecenderungan yang berbeda dibanding dengan produk-produk pemikiran hukum lainnya. Hukum Islam merupakan agen paling berpengaruh dan efektif dalam mengokohkan tatanan sosial dan kehidupan komunitas bangsa-bangsa muslim. Kitab fikih, pada saat ditulis oleh para pengarangnya, kitab-kitab tersebut tidak dimaksudkan untuk diberlakukannya secara umum di suatu negeri, meskipun di dalam sejarah kita mengetahui bahwa beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang. Kitab-kitab fikih juga ketika ditulisnya tidak dimaksudkan untuk digunakan pada masa atau periode tertentu. Salah satu kitab fikih yang tergolong modern adalah Kitab Fikih Manhaji, karya Dr. Mustafa Al Khani (dkk), ulama dari Timur Tengah. Kitab tersebut diajarkan di beberapa pondok pesantren di Indonesia, salah satunya adalah pondok pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya. Penelitian tentang Kitab Fikih Manhaji ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis isi deskriptif-analisis. Kitab tersebut terdiri dari 3 jilid, dalam penelitian ini hanya mengkaji jilid I saja. Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Fikih Manhaji jilid I ini berisi tentang beberapa fasal yang berkaitan dengan pokok- pokok syariat Islam, yaitu : thaharah, salat, zakat, puasa, haji dan umroh. Berdasarkan sistematika dan pola penulisan, maka kitab Fikih Manhaji tergolong kitab modern atau kontemporer yang menjelaskan tentang mekanisme kerja fikih, dan merupakan bentuk reaktualisasi ajaran Islam. Dalam kitab tersebut, memberikan bimbingan praktis tentang berbagai macam persoalan fikih, berikut penjelasan dan dalil-dalilnya (Qur’an dan hadits), berbeda dengan kitab-kitab fikih klasik yang tidak mencantumkan dalil-dalilnya. Pokok penelitian terhadap kitab Fikih Manhaji ini adalah bab Thaharah, yang difokuskan pada kajian tentang Al Ghuslu (mandi). Pada bab Al ghuslu ini terdiri dari beberapa sub bab, hukum mandi dan macam-macamnya. Hukum mandi itu ada 2 macam yaitu : wajib dan sunnah. Adapun yang termasuk mandi wajib yaitu : mandi setelah jima’ (bersetubuh); mandi setelah keluar mani (junub); mandi bagi orang mati; mandi bagi wanita setelah haid, dan mandi bagi wanita setelah nifas. Sedangkan yang termasuk mandi sunnah yaitu : Mandi hari Jum’at; Mandi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha; mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya; mandinya orang kafir setelah masuk Islam; Mandi sebelum melaksanakan Salat Istisqa’; Mandi sebelum Salat Gerhana baik matahari maupun Bulan; mandi setelah memandikan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 215 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah mayat; dan mandi ketika akan ihram haji atau umrah.

Kata Kunci : Kitab Fikih, Al Ghuslu, Hukum Islam

I. PENDAHULUAN Produk pemikiran hukum Islam dalam perjalanan sejarah ada empat macam, yaitu : Kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri muslim. Hukum Islam secara umum dan hukum privatnya secara khusus pada paroh abad ke-20 sampai sekarang mendapat arti penting dan kuat. Hal ini disebabkan oleh pandangan umat Islam tentang syariah sebagai ruang ekspresi pengalaman agama paling penting, karena menyangkut semua aspek kehidupan sehari-hari yang paling nyata dan secara langsung (Anwar, 2007:3). Pendapat tersebut dikuatkan oleh berbagai pengamat, baik itu kalangan muslim sendiri maupun non-muslim. Sebagaimana pendapat Al Jabiri dalam kitabnya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (1991) : “Sebenarnya baik kita melihat produk pemikiran peradaban Islam dari segi kuantitas maupun kita melihatnya dari segi kualitas, maka akan tampak bahwa hukum Islam (fikih) tiada bandingannya dan menduduki peringkat pertama....jadi, fikih merupakan sesuatu yang paling merata distribusinya di dalam masyarakat Islam”. Pengamat non muslim, seorang orientalis kenamaan, yaitu Joseph Schacht (1971:1) menyatakan bahwa, “hukum Islam merupakan ikhtisar pemikiran Islam, cara hidup Muslim paling tipikal serta inti dan saripati Islam itu sendiri”. Demikian juga dengan H.A.R. Gibb, mengatakan bahwa, “hukum Islam merupakan agen paling berpengaruh dan efektif dalam mengokohkan tatanan sosial dan kehidupan komunitas bangsa-bangsa muslim ... dan otoritas moral dari hukum memperkuat dan menjadikan bangunan sosial Islam kuat dan aman dalam menghadapi fluktuasi dan pasang-surut politik” (Gibb, 1969:7-8). Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, hukum Islam tersebut mempunyai ciri khas masing-masing (Mudzhar, 1998:91), yaitu : 1. Fatwa-fatwa ulama atau sifatnya adalah kasuistik karena merupakan respon atau jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti bahwa si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi / hukum fatwa yang diberikan kepadanya, tetapi fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang diharapi oleh masyarakat si peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi sifat responsifnya itu yang sekurang-kurangnya dapat dikatakan dinamis. 2. Keputusan-keputusan pengadilan agama sifatnya mengikat kepada

216 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo pihak-pihak yang berperkara dan sampai tingkat tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha untuk memberi jawab atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan pada suatu titik waktu tertentu. 3. Peraturan perundangan di negeri muslim. Ini juga bersifat mengikat dan bahkan daya ikatnya lebih luas. Orang yang terlibat di dalam perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama, tetapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya. Masa laku peraturan perundangan itu biasanya dibatasi atau kalaupun tidak secara resmi dibatasi masa lakunya; di dalam kenyataan masa laku itu akan menjadi ada ketika peraturan perundangan itu dicabut atau diganti dengan peraturan perundangan lainnya. 4. Kitab fikih, pada saat ditulis oleh para pengarangnya, kitab-kitab tersebut tidak dimaksudkan untuk diberlakukannya secara umum di suatu negeri, meskipun di dalam sejarah kita mengetahui bahwa beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang. Kitab-kitab fikih juga ketika ditulisnya tidak dimaksudkan untuk digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya masa laku ini maka kitab-kitab fikih cenderung dianggap harus berlaku untuk semua masa yang oleh sebagian orang lalu dianggap sebagai jumud atau beku alias tidak berkembang. Selain itu kitab-kitab fikih juga mempunyai karakteristik lain. Kalau fatwa ulama dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik, membahas masalah tertentu, maka kitab-kitab fikih sifatnya menyeluruh dan meliput semua aspek bahasan hukum Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang menyeluruh ini maka perbaikan atau revisi terhadap sebagian isi kitab fikih dianggap dapat atau akan mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Karena itu sekali lagi kitab-kitab fikih cenderung menjadi resisten terhadap perubahan. Demikianlah kedudukan kitab fikih sebagai salah satu bentuk produk pemikiran hukum Islam memiliki karakteristik dan kecenderungan yang berbeda dibanding dengan produk-produk pemikiran hukum lainnya. Oleh sebab itu umat Islam seharusnya sudah mulai dewasa, dengan meletakkan fikih pada proporsinya dan memperlakukannya secara proporsional pula. Menurut Mudzhar (1998) sikap-sikap yang proporsional yang harus dikembangkan oleh umat Islam terhadap kitab fikih adalah sebagai berikut : 1. Bahwa hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum Islam 2. Bahwa karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fikih sebenarnya tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian. 3. Bahwa membiarkan fikih sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lakunya adalah sama dengan mengekalkan produk pemikiran manusia yang semestinya temporal. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini mencoba untuk melakukan kajian terhadap salah satu kitab fikih yang diajarkan di Pondok

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 217 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya, yaitu Kitab Fikih Manhaji karya Dr. Mustafa Al Khani dan Dr. Mustafa Al Bagha. Pondok Pesantren Al Fithrah masih mempertahankan tradisi salafinya, dan menjadi sentral pengajaran Tariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa bahkan Asia. Pondok tersebut dipimpin oleh KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi, sebagai pengasuh pondok dan sekaligus seorang mursyid tariqat, yang belum genap 100 hari meninggal. Hal ini sebagai alasan pemilihan objek penelitian, karena Pondok Pesantren Al Fithrah sebagai pondok salaf dan sentral tariqat, mengajarkan kitab fikih yang tidak diajarkan oleh pondok-pondok salaf lainnya. Menurut informasi dari salah seorang pengurus pondok, Ustadz Hasyim (30 th), kitab Fikih Manhaji merupakan pemberian dari pengarangnya kepada KH. Ahmad Asrori ketika berada di Mekah, untuk diajarkan kepada - santrinya dan bahkan dicetak sendiri oleh Pondok Pesantren Al Fithrah. Kitab tersebut merupakan satu-satunya kitab fikih yang hanya diajarkan di Ponpes Al Fithrah, dan tidak diajarkan oleh pondok-pondok pesantren lainnya. Kitab Fikih Manhaji ini terdiri dari 3 jilid, dalam penelitian ini hanya mengkaji jilid I saja. Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Fikih Manhaji jilid I ini berisi tentang beberapa fasal atau bab yang berkaitan dengan pokok-poko syariat islam, yaitu : thaharah, salat, zakat, puasa, haji dan umroh. Setelah mendapat sedikit gambaran tentang kitab Fikih Manhaji tersebut, maka peneliti melakukan identifikasi dan seleksi terhadap isi kitab. Adapun yang kemudian menjadi pokok penelitian adalah fasal atau bab Thaharah, yang difokuskan pada kajian tentang Al Ghuslu (mandi). Pada bab Al ghuslu ini terdiri dari beberapa sub bab, hukum mandi dan macam-macamnya.

II. METODE Kitab Fikih Manhaji ditulis dengan aksara dan bahasa Arab, sehingga untuk mengungkap ajaran (syariat) mandi yang terkandung di dalam kitab Fikih Manhaji adalah dengan meganalisis isi atau teks. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dan metode komparatif, dimana penulis mendiskripsikan ajaran tentang Al Ghuslu (mandi) dengan berpijak pada teks kitab Fikih Manhaji. Kemudian dikomparasikan dengan beberapa kitab-kitab fikih lainnya, sehingga dengan mudah dapat diidentifikasi tipologi hukum Islam (khususnya fikih) yang melandasi pemikiran penulis kitab tersebut.

III. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa penelitian ini mengkaji masalah Al Ghuslu (mandi) dalam kitab Fikih Manhaji karya Dr. Mustafa Al Khani (dkk), maka sebagai temuan dan analisisnya adalah sebagai berikut : A. Identifikasi Kitab Kitab Fikih Manhaji menjadi kitab utama dalam pengkajian masalah-masalah fiqhiyah di Pondok Pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya, yang ditulis

218 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo dengan bahasa dan aksara Arab. Kitab Fikih Manhaji merupakan karya ulama Mesir yaitu Dr. Mustafa Al Khani, Dr. Mustafa Al Bagha, dan Ali As Syairohi. Kitab tersebut tergolong kitab modern, karena sudah tidak lagi ditulis tangan, tetapi sudah dicetak dengan mesin cetak oleh Pondok Al Fithrah sendiri. Ijin cetak diberikan langsung oleh mualif (pengarang) kepada KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi pengasuh Pondok Al Fithrah, ketika beliau masih hidup. Alasan penggunaan kitab tersebut diajarkan di Pondok Pesantren Al Fithrah oleh KH.Ahmad Asrori Al Ishaqi, sebagaimana dituturkan oleh Ust. Musyafak (37 th) adalah : ilmiah, sistematis, dan lengkap. Kitab Fikih Manhaji yang dicetak oleh Pondok Pesantren Al Fithrah terdiri dari 3 jilid, dengan ukuran kitab 17 cm x 24 cm, dan tebal diatas 500 halaman. Sampul kitab Fikih Manhaji untuk semua jilid sama, yaitu berwarna coklat kehitaman dengan hiasan motif di tepi dan tulisan judul kitab dengan tinta emas, tanpa keterangan tahun penerbitan. Kertas yang digunakan adalah kertas berwarna putih cerah. Adapun yang menjadi objek penelitian ini hanya Fikih Manhaji jilid I, yang memiliki ketebalan 559 halaman, dengan pokok pembahasan Al Ghuslu (mandi). Materi yang diajarkan dalam kitab Fikih Manhaji I berisi tentang pokok-pokok syariat Islam, yaitu : thaharah, salat, zakat, puasa, haji dan umroh. Materi Al Ghuslu (mandi) merupakan sub bab dari pokok pembahasan Thaharah. B. Ajaran Mandi Dalam Kitab Fikih Manhaji B.1. Hukum Mandi Mandi merupakan ajaran Islam tentang kebersihan, yang bertujuan untuk menghilangkan hadats, baik sebagai syarat untuk ibadah atau pun tidak. Ajaran tersebut bersumber pada Al Qur’an, sunnah, dan ijma’. Adapun ayat- ayat Al Qur’an yang menunjukkan perintah tentang mandi terdapat beberapa ayat, di antaranya adalah : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang membersihkan diri. (Q.S. Al Baqarah : 222). Ayat tesebut memberikan pengertian bahwa, mandi termasuk membersihkan diri, mensucikan diri dari hadats, kotoran material, sehingga dapat mendatangkan cintanya Allah Swt. Pada ayat yang lain Allah Swt menjelaskan tentang wajibnya mandi bagi seseorang, yaitu ketika mengalami junub (tidak suci karena mengeluarkan mani atau karena bersetubuh), dalam surat Al Maidah ayat 6 : Dan jika kamu junub, maka mandilah, (QS. Al-Maidah : 6) Petunjuk sunnah ada dijelaskan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (85), Muslim (849) dari Abu Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Menjadi hak atas setiap muslim untuk mandi satu kali dalam tujuh hari, membersihkan kepala dan badannya”. Dalil ijma-nya adalah, bahwa para ulama mujtahid bersepakat bahwa mandi untuk kebersihan mustahab (sunnah), sedangkan mandi untuk syarat sahnya

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 219 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah ibadah hukumnya wajib. Berdasarkan ketiga sumber hukum Islam tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum mandi itu ada 2 macam yaitu : wajib dan sunnah. Adapun yang termasuk mandi wajib yaitu : mandi setelah jima’ (bersetubuh); mandi setelah keluar mani; mandi bagi orang mati; mandi bagi wanita setelah nifas; dan mandi bagi orang kafir bila masuk Islam. Sedangkan yang termasuk mandi sunnah yaitu : Mandi hari Jum’at; Mandi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha; mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya; mandi ketika akan ihram haji atau umrah; dan mandi setelah memandikan mayat. B.2. Macam-macam mandi 1. Mandi Jinabat (Junub) Kata Jinabat asalnya bermakna “jauh”, sehingga makna junub adalah kejauhan. Jinabat digunakan dalam pengertian tumpah dan dalam pengertian jima’ (bersetubuh). Mandi menjadi kewajiban orang yang junub, yaitu orang yang tidak suci karena mengeluarkan mani atau karena bersetubuh. Ia disebut demikian karena dengan jinabat ia jauh dari menunaikan salat selama dalam kondisi tersebut. Junub adalah lafal yang berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan, individu maupun orang banyak. Karena itu, laki-laki disebut junub, perempuan disebut junub, satu orang disebut junub, dan banyak orang pun disebut junub. Jinabat mempunyai dua sebab: Pertama adalah keluarnya mani dari laki- laki atau perempuan karena sebab apa saja, baik keluarnya karena mimpi, bermain-main, melihat, atau memikirkan. Kedua, bersetubuh baik keluar mani maupun tidak keluar mani. Hal-hal Yang dilarang bagi Orang yang Sedang Junub Hal-hal berikut dilarang karena jinabat: 1. Salat fardlu maupun shalat sunnah. 2. Diam di masjid dan duduk di dalamnya (iktikaf). 3. Thawaf di sekitar Ka’bah, baik thawaf fardlu maupun thawaf sunnah. 4. Membaca al-Quran. 5. Menyentuh mushaf atau membawa Al Qur’an. Cara mandi junub bagi laki-laki dan perempuan adalah sebagaimana Rasulullah SAW contohkan, “Apabila beliau mandi junub terlebih dahulu beliau mencuci kedua tangannya. Kemudian beliau tuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri kemudian di basuh kemaluannya. Sesudah itu beliau wudhu seperti wudhu para umumnya. Setelah itu diambilnya air lalu dimasukkannya dengan ujung-ujung jari ke pangkal rambut, sehingga apabila di rasa sudah merata, maka disiram kepalanya tiga kali dengan tiga genggam (gayung) air. Setelah itu barulah beliau menyiram seluruh badannya”. Rasulullah SAW bersabda : Saya (Maimunah) menyediakan air untuk mandi Rasulullah SAW mula-mula kutuangkan air ke atas kedua tangan beliau, maka dibasuhnya dua atau tiga

220 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo kali. Kemudian dituangkannya air dengan tangan kanan ke tangan kiri lalu dibasuh kemaluannya. Sesudah itu digosok-gosokannya tangannya ke tanah. Setelah itu beliau berkumur-kumur dan istinsyaq. Kemudian dibasuhnya muka dan kedua tangannya, lalu dibasuhnya pula kepalanya tiga kali. Sesudah itu disiramnya seluruh rambutnya. Kemudian dia berdiri dari tempatnya lalu dibasuhnya kedua kakinya. Maimunah menambahkan “Maka aku berikan kepada beliau sehelai handuk, tetapi beliau tidak menghendakinya, bahkan beliau meyiramkan air dengan tangannya” (HR. Muslim). 2. Mandi Haid Darah haid adalah darah yang keluar dari kubul (farji) perempuan dalam keadaan normal (sehat), bukan disebabkan karena melahirkan atau robeknya selaput dara. Keluarnya darah haid bagi seorang wanita adalah merupakan fitrah atau pembawaan yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Haid adalah fitrah (pembawaan) bagi seorang wanita serta sebagai tanda kalau wanita itu sudah menginjak baligh (dewasa) dan sekaligus baginya telah ada beban untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh agama. Datangnya haid antara wanita yang satu dengan lainnya itu berbeda-beda, ada yang haidnya datang dikala usianya baru menginjak 9 tahun, ada yang usia 12 tahun bahkan sampai 15 tahun. Masalah umur (usia) tidaklah dapat dijadikan sebagai ukuran wanita itu sudah pernah haid atau belum, sebab kadangkala ada seorang wanita yang masih berusia 7-8 tahun sudah mengeluarkan darah, tetapi bukan darah haid melainkan darah penyakit. Pada dasarnya seorang wanita yang kedatangan haid itu berusia 12 tahun, dan keluarnya darah haid itu biasa terjadi sebulan sekali sampai ia mengalami menapause. Oleh karena itu, tidak ada dalil yang menunjukkan menunjukan adanya batasan usia tertentu bagi terhentinya darah haid. Jadi sekalipun sudah tua apabila masih melihat keluarnya darah dari farjinya, maka itupun masih tergolong darah haid. Ada beberapa pendapat para Ulama dan Imam tentang darah haid : a. Imam Maliki: Para ulama dalam madzhab ini mengatakan apabila seorang gadis / remaja yang masih berusia 9-13 tahun telah mengeluarkan darah, maka sebaiknya ia tanyakan kepada orang-orang di sekitarnya yang lebih dewasa dan berpengalaman, apakah darah yang keluar itu termasuk darah haid atau tidak. Para ulama madzhab ini menambahkan, bahwa darah yang keluar dari wanita yang sudah berusia 13-50 tahun, maka sudah pasti itu darah haid, selanjutnya darah yang keluar dari wanita yang keluar di usia 70 tahun, maka dapatlah dipastikan kalau darah itu bukan darah haid tapi darah istihadhah (darah penyakit), begitu juga bagi gadis yang belum mencapai usia 9 tahun, maka darah itu bukan darah haid melainkan darah penyakit. b. Imam Hanafi : Ulama dalam madzhab ini mengatakan apabila ada seorang gadis yang sudah berusia 9 tahun lalu mengeluarkan darah, maka itu disebut darah haid. Dan hukum dari wanita yang sudah kedatangan haid adalah meninggalkan puasa dan shalat. Ulama madzhab ini menambahkan,

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 221 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah wanita yang usianya sudah mencapai 55 tahun lebih dan masih mengeluarkan darah (warnanya hitam/merah tua) maka darah itu disebut darah haid. c. Imam Syafi’i : Madzhab ini mengatakan bahwa haid itu bisa datang kapan saja, tidak ada batas akhir dari wanita untuk mengeluarkan darah haid, selagi ia masih hidup ia masih bisa mengeluarkan darah haid. Walaupun pada umumnya ia akan terhenti pada usia 62 tahun, yaitu yang biasa disebut dengan masa iyas (masa putus dari haid). d. Imam Hambali : Madzhab ini berpendapat, bahwa masa iyas (masa putus darah haid) jatuh pada seorang wanita dikala usianya menginjak 50 tahun. Jadi kalau sesudah itu ia masih juga mengeluarkan darah dari fajrinya, maka itu bukan termasuk darah haid melainkan darah penyakit. Para ulama mengatakan bahwa “Darah haid itu adalah najis. Oleh karena itu, seorang muslim yang hendak melakukan shalat dan apabila pakaiannya terkena darah haid, maka terlebih dahulu harus dibersihkan lalu dicuci”. Rasulullah SAW bersabda : Dari Asma’ ra. ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi SAW. Kemudian dia bertanya : Baju salah seorang dari kami terkena darah haid. Bagaimana cara membersihkannya? Nabi SAW. bersabda, “Awalnya buang darahnya, sesudah itu gosok-gosokkan kain itu dengan ujung jari dengan memakai jari, kemudian siram, lalu pakailah (untuk) shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ahmad dan Abu Dawud dalam hal ini meriwayatkan, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Sesungguhnya Khaulah binti Yasar pernah bertanya: Ya Rasulullah! Saya mempunyai kain hanya satu helai. Kain itu saya pakai selama haid. Bagaimana hal itu? Rasulullah SAW menjawab: Bila anda telah bersuci, maka bersihkanlah kain itu bagian yang terkena darah, kemudian pakailah (untuk shalat)”. Khaulah bertanya lagi, “Ya Rasulullah: Cukuplah kiranya engkau cuci dengan air, bekasnya tidak memberi mudharat (tidak membatalkan bagi sesucimu). Para ulama tidak mensyariatkan berapa kali jumlahnya untuk menghilangkan darah haid tersebut, tapi yang diperlukan adalah kebersihannya. Imam Ahmad dan Abu Dawud menambahkan, dari Mu’adzah ra. Ia berkata, “’Aisyah pernah ditanya orang tentang wanita haid yang bajunya kena darah haid. ‘Aisyah menjawab: Cuci kain itu. Jika bekasnya tidak hilang, maka ubahlah warnanya yang kekuning-kuningan dengan sesuatu. ‘Aisyah menambahkan, “Saya pernah haid di masa Rasulullah SAW. Tiga kali, pada waktu itu saya tidak mencuci pakaian. Sifat dan Warna Darah Haid Ada beberapa tanda yang dijadikan sebagai patokan dalam menentukan apakah darah yang keluar dari farjinya seorang wanita itu darah haid atau bukan? Menurut sebagian ulama dan ahli medis mengatakan bahwa sifat dari darah haid adalah berbau amis / anyir dan busuk. Sedangkan warna darah yang keluar dari farji wanita itu berbeda-beda, ada yang darahnya berwarna

222 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo hitam, merah, kuning, hijau dan kelabu. Para ulama sepakat dalam satu pendapat, bahwa apabila darah yang keluar dari farji wanita itu berwarna merah atau hitam, maka itu sudah bisa dipastikan sebagai darah haid. Pendapat para ulama diatas diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW berikut ini : Dari Urwah, dari Fatimah binti Abi Jahsy, bahwa ia mengeluarkan darah penyakit (istihadhah) maka warnanya kehitam-hitaman. Bila demikian, maka berhentilah kamu shalat. Tapi kalau tidak demikian maka berwudlulah lalu shalat. Karena (yang demikian itu) hanyalah merupakan keringat/gangguan otot”. (HR. Abu Dawud) Daruquthni, Baihaqi dan al-Hakim menambahkan dengan sebuah hadits : Itu tidak lain adalah penyakit yang menimpamu, atau gangguan setan, atau otot yang putus. Asy-Syaukani mengatakan, bahwa hadits di atas dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan warna darah yang keluar dari farji wanita; termasuk darah haid atau bukan. Dengan kata lain, selain warna yang tersebut dalam hadits di atas berarti bukan darah haid melainkan darah istihadhah.

Larangan Bagi Wanita Yang Sedang Haid Ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan bagi mahidloh (wanita yang mengalami haid) untuk melakukannya, yaitu melakukan thawaf di Ka’bah, mengerjakan puasa, mendirikan shalat dan melakukan persetubuhan. Apabila keluarnya darah itu sudah berhenti, maka diwajibkan bagi wanita mahidlah itu untuk mandi besar/mandi wajib dan ibadah yang ditinggalkannya selama ia mengalami masa haid harus diqadha (diganti) kecuali ibadah shalat. Para ulama mengharamkan bagi wanita yang sudah suci dari haid namun belum mandi besar dan sudah melakukan hubungan seksual (suami-istri), meskipun masa berhentinya itu pada akhir masa haid yang terpanjang. Pendapat ulama diatas diperkuat dengan firman Allah SWT yang berbunyi: Dan janganlah kamu (hai kaum laki-laki) mendekati (menyentuh) mereka (kaum wanita) sebelum mereka suci (sebelum mereka mandi). (QS. Al- Baqarah : 222) Para ulama dalam madzhab Hanafi mengatakan, “Bila haid itu telah melewati batas maksimal dari masa haid yang terpanjang yaitu 10 hari, maka boleh saja bersetubuh, meskipun darah itu belum keluar, atau sudah berhenti tapi belum mandi besar. Namun yang lebih afdhal dan lebih mustahab (disukai) melakukan persetubuhan sesudah mandi besar”. Mereka menambahkan, “Sedangkan kalau darah itu berhenti pada akhir masa haid yang biasa dialami dalam setiap bulannya, sebelum melampaui batas maksimal masa haid tersebut, maka tetap tidak halal melakukan hubungan intim sebelum mandi, atau bertayamum bila tidak ditemukan air. 3. Mandi Nifas

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 223 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Nifas adalah pendarahan dari farji seorang wanita setelah melahirkan. Darah yang keluar pada dasarnya adalah darah haid yang berkumpul, tidak keluar selama perempuan itu mengandung. Apabila seorang wanita yang melahirkan anak dengan ope¬rasi cecar (membedah perutnya) kemudian bayinya dikeluarkan dari bedahan tersebut, maka dengan sendirinya wanita tersebut tidaklah mempunyai darah nifas. Pada umumnya, kaum wanita yang melahirkan normal dalam mengeluarkan darah nifas adalah 40 hari-malam, sedang waktu yang paling lama adalah 60 hari. Jika ada yang mengalami pendarahan lebih dari 60 hari, melebihi batas ketentuan tersebut, maka tidak lagi nifas melainkan darah istihadhah (penyakit). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw : Dari Ummu Salamah ra., ia berkata, “Perempuan-perempuan yang nifas pada masa Rasulullah berhenti (shalat) selama 40 hari. (HR. Abu Dawud) Masa Suci Wanita Nifas Keluarnya darah nifas itu kadang-kadang tidak lancar, misal¬nya sehari keluar, sehari suci, begitulah seterusnya. Dalam me¬nanggapi masalah para ulama dalam madzhabnya masing-masing mengemukakan pendapatnya. 1. Imam Maliki: Jika hari-hari suci telah mencapai setengah bulan (15 hari), maka wanita tersebut sudah dikatakan suci. Darah yang keluar sesudah itu adalah darah haid, dan jika darah yang keluar masih kurang dari lima belas hari, maka darah yang keluar adalah darah nifas. 2. Imam Hanafi: Madzhab ini mengatakan bahwa masa suci yang berselang-seling oleh keluarnya darah nifas, maka darah itu dianggap sebagai darah nifas. 3. Imam Syafi’i: Para ulama madzhab ini mengatakan masa suci telah berlangsung lima belas hari atau sesudah dia melahirkan, maka wanita tersebut dihukumi sebagai wanita yang bersuci, sedangkan apabila kurang dari lima belas hari, maka dikatakan sebagai wanita nifas. 4. Imam Hambali: Para ulama madzhab ini mengatakan bahwa masa- suci yang berselang-seling oleh keluarnya darah -nifas; maka dianggap sebagai masa suci: Masa Nifas Bagi Wanita Yang Melahirkan Anak Kembar Nifas bagi wanita yang melahirkan anak kembar adalah di¬hitung sejak kelahiran anak pertama. bukan kelahiran kembar kedua; sekalipun jarak antara anak kembar yang pertama dengan anak kembar yang kedua relatif pendek; maka nifasnya terhitung mulai kelahiran anak kembar pertama . Menurut madzhab Syafi’i, bahwa apabila seorang wanita melahirkan anak kembar, maka nifasnya dihitung sejak kelahiran anak yang kedua. Darah yang keluar sehabis melahirkan anak yang pertama tidak dianggap sebagai darah nifas, tapi darah haid bila bertepatan dengan jatuhnya haid. Kalau tidak demikian, maka darah itu adalah darah penyakit. Madzhab Maliki berpendapat, bahwa antara kelahiran anak pertama dengan anak kedua sampai 60 hari, maka masa nifasnya sendiri-sendiri. Tapi kalau

224 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo kurang dari 60 hari, maka masa nifasnya hanya satu dan dihitung sejak kelahiran anak yang pertama. Larangan Bagi Wanita Nifas Larangan bagi orang yang nifas adalah hampir sama dengan orang yang mengalami haid, yaitu: 1. Salat 2. Puasa 3. Membaca Al-Qur’an 4. Menyentuh mushaf dan membawanya 5. Masuk masjid 6. Thawaf. 7. Bersetubuh. 8. Menikmati bagian tubuh istri antara pusar dan lutut. 4. Mandi untuk Mayit Orang Islam yang mati, hukumnya fardhu kifayah bagi orang Islam lainnya untuk memandikannya, kecuali orang yang mati syahid. Fardhu Kifayah artinya: apabila sebagian kerabat atau orang lain melaksanakannya, maka gugurlah tuntutan dari yang lain, tetapi jika tidak ada yang melakukannya, semua orang terkena dosa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: Dari Ibnu Abbas, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda tentang orang berihram yang terlempar dari punggung untanya hingga ia meninggal. Beliau bersabda Mandikanlah dia olehmu dengan air dan daun sidr (sabun)” (HR. Bukhari dan Muslim) Orang yang memandikan mayit harus berniat untuk memandikan dan mensucikan si mayit. Hal itu hanya berlaku untuk kematian seseorang selain orang yang mati syahid. Orang yang syahid tidak perlu dimandikan. Dalil wajibnya memandikan mayit adalah apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW mengenai orang yang berihram yang meniggal karena terjatuh dan terinjak oleh untanya: “Mandikanlah dengan air dan daun bidara.” (HR. Bukhari 1208, dan Muslim 1206). 5. Mandi Sunnah Selain mandi wajib tersebut, dalam kitab Fikih Manhaji jug membahas mandi- mandi sunnah. Mandi sunnah merupakan mandi yang lebih afdhol (baik) dikerjakan dan tidak berdosa jika tidak mengerjakannya. Mandi sunnah tersebut ada beberapa, yaitu : 1. Mandi hari Jum’at disunatkan bagi orang yang bermaksud akan mengerjakan shalat Jum’at, agar baunya yang busuk tidak mengganggu orang di sekitar tempat duduknya. Kesunatan mandi Jumat ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw : Dari Ibnu Umar. Ia berkata “Rasulullah SAW telah bersabda “Apabila salah seorang hendak pergi shalat Jum’at, hendaklah ia mandi (HR. Muslim) 2. Mandi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha Dari Faqih bin Sa’di. Sesungguhnya Nabi SAW mandi pada hari Jum’at, hari

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 225 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Arafah, hari raya Idul Fitri, dan pada hari raya Idul Adha (hari haji). (HR. Abdullah bin Ahmad) 3. Mandi orang gila apabila ia sudah sembuh dari gilanya. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan orang tersebut pada masa gilanya keluar mani (junub). 4. Mandi tatkala hendak ihram haji atau umrah Dari Zaid bin Tsabit, sesungguhnya rasulullah SAW, membuka pakaian beliau ketika hendak ihram, dan beliau mandi. (HR. Turmudzi) 5. Mandi sehabis memandikan mayat. Orang yang ikut memandikan jenazah, setelah selesai maka orang tersebut disunnahkan untuk mandi. Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa memandikan mayat, hendaklah ia mandi; dan barang siapa membawa mayat, hendaklah ia berwudlu. (HR. Turmudzi). 6. Orang kafir setelah masuk Islam. Seorang non muslim setelah menyatakan dirinya memeluk agama Islam, maka dia disunnahkan untuk segera mandi. Pada masa Rasulullah, ketika beberapa orang sahabat masuk Islam, mereka kemudian disuruh mandi. Namun, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa mandinya orang kafir yang masuk Islam itu adalah wajib. Rasulullah SAW bersabda : Dari Qais bin Asim. Ketika ia masuk Islam, rasulullah SAW menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara. (HR. Lima ahli selain Ibnu Majah) Perintah ini menjadi sunat hukumnya, bukan wajib, karena ada qarinah (tanda) yang menunjukkan bukan wajib, yaitu beberapa orang sahabat ketika masuk Islam tidak disuruh mandi oleh Nabi SAW. 7. Mandi Gerhana. Pada waktu gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan seorang muslim disunnahkan untuk mandi. Disunnahkan mandi untuk shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, dalilnya adalah qiyas kepada hari Jum’at. Salat Jum’at sama pengertiannya dengan salat gerhana dari segi bahwa di dalamnya disyariatkan Jamaah dan berkumpul. 8. Mandi Istisqa’. Mandi Istisqa’ mandi yang disunnahkan sebelum mengerjakan salat istisqa’. Disunnahkan mandi sebelum keluar untuk shalat istisqa’, dikiyaskan kepada mandi untuk shalat gerhana. B.3. Tata Cara Mandi Rukun Mandi Mandi wajib merupakan sarat mutlak bagi orang yang mengalami hadas besar, karena hadas besar itu hanya dapat disucikan dengan mandi. Orang yang mengerjakan mandi wajib itu hendaknya memenuhi dua hal, yang biasa disebut dengan ”rukun” atau fardlu mandi, yaitu: 1. Niat, dilakukan pada waktu memulai pekerjaan membersihkan bagan-bagian badan yang pertama, dan tidak batal bila diniatkan lebih awal, dalam jarak waktu yang tidak terlalu lama. 2. Mengalirkan air ke seluruh tubuh sampai merata. Apabila masih

226 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 A. M. Wibowo belum dianggap merata, maka boleh disiram beberapa kali.

Sunah-sunah Mandi Selain rukun mandi tersebut, ada beberapa amaliah sunnah yang lebih afdhol dikerjakan ketika mandi. Sunnah-sunnah tersebut yaitu : 1. Membaca “Basmalah” pada permulaan mandi. 2. Berwudlu sebelum mandi. 3. Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan. 4. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri. 5. Tertib. Hal-hal yang Makruh dalam Mandi 1. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, karena berlebihan itu sesuatu yang mubadzir, tidak sesuai dengan perbuatan Nabi SAW. 2. Mandi di air yang tergenang. Berdasarkan riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW berkata: “Jangan mandi salah seorang di antara kalian di air yang diam, sementara dia sedang berjunub.” Hikmah larangan tersebut : bahwa diri merasa jijik untuk menggunakan air yang telah digunakan mandi, apapun sebabnya, sampai kepada sisi menyia- nyiakan air karena air tidak lagi layak untuk digunakan bersuci, apabila air tersebut kurang dari dua qullah karena air itu menjadi mustakmal hanya karena digunakan untuk mandi. Orang pada umumnya butuh menggunakan air yang tergenang (tidak mengalir), karena itulah dilarang mandi dalam air yang tergenang.

B.4. Hikmah Mandi Berdasarkan Kitab Fikih Manhaji, ada beberapa hikmah atau manfaat dengan disyariatkannya mandi bagi orang Islam. Adapun beberapa hikmah mandi tersebut yaitu : 1. Memperoleh pahala Mandi dalam pengertian syar’i merupakan ibadah karena di dalamnya ada penerapan perintah syara’ dan pengamalan hukumnya. Di dalam mandi ada pahala besar, karena itu, Rasulullah SAW bersabda: “Kesucian setengah dari iman” (Diriwayatkan Muslim: 222), yaitu separuh atau bagian darinya, kesucian itu mencakup wudlu dan mandi. 2. Mendapatkan kebersihan Ketika seorang muslim mandi, ia membersihkan kotoran yang mengenai tubuhnya, daki yang menempel, atau keringat yang menyebabkan bau. 3. Membawa Kesegaran Badan Mandi menyebabkan seseorang memperoleh kehidupan dan kesegaran. Hilanglah keloyoan, kelemahan, dan kemalasan, terlebih setelah adanya sebab-sebab yang mewajibkan, seperti bersetubuh.

IV. Penutup

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 227 Ajaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah “Si Wali Kutub” Tentang PuasaDi Kota Jawa Tengah

Kitab Fikih Manhaji sebagai salah satu produk pemikiran Islam, merupakan karya ulama mutaakhirin (kontemporer) yang lengkap dan mudah dipahami oleh masyarakat pembacanya. Kitab tersebut menyebutkan bahwa penulis mengikuti madzab Syafi’i, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa segala interpretasi dan penjelasan tentang berbagai hal fikih merujuk pada pendapat Imam Syafi’i R.a. dan pengikutnya. Pembahasan fasal demi fasal di dalam kitab Fikih Manhaji sudah sangat sistematis, langsung merujuk pada ayat-ayat al Qur’an atau Hadits, dan juga pendapat Ulama lainnya. Berbeda dengan kitab-kitab fikih klasik yang tidak mencantumkan ayat atau hadits dalam mengurai suatu permasalahan fikih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Husain Muslim bin al Hallaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an- Naisaburi, t.th. Shahih Muslim. Beirut: Dar Shadir. Anwar, Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: RM Books. Bruinessen, Martin van. 1995. , Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan. Fuad, Mas’ud. 2005. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKis. Gibb, H.A.R. t.th. Mohammedanism: An Historical Survey. London: Oxford University Press. Kulsum, Umi. 2007. Risalah Fikih Wanita Lengkap. Surabaya: Cahaya Mulia. Mudzhar, Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press. Mustafa Al Khani (dkk). t.th. Fikih Manhaji. Surabaya: Al Fithrah Schacht, Joseph. 1971. An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University Press.

228 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 RISALAH TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH Mengungkap Makna Ritual Sebagai Fakta Sejarah Berdasarkan Naskah

Oleh: R. Aris Hidayat

Abstrak

Salah satu cara melestarikan hasil budaya masa lalu yang adiluhung adalah melalui penelitian terhadap naskah. Penelitian secara filologis terhadap naskah keagamaan bernuansa Islam di berbagai daerah cukup menarik dilakukan. Penelitian ini mengkaji salah satu jenis naskah Jawa bernuansa Islam berjudul Risalah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Naskah ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan suntingan teks Risalah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dan menganalisis kandungan isinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode filologi dan metode historis. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi Kementerian Agama RI dan masyarakat luas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kajian isi teks Risalah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah diketahui bahwa di Jawa (Jawa Tengah & Jawa Timur) pada sekitar pertengahan abad ke-19 sudah terdapat sekelompok masyarakat yang menjadi pengikut dan mengamalkan ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Di samping itu, di dalam teks diperoleh temuan bahwa zikir yang mereka lakukan berbeda dengan tarekat Qadiriyah maupun tarekat Naqsyabandiyah. Temuan itu menunjukkan bahwa ajaran Islam yang berkembang di Jawa berdasarkan naskah Risalat Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan ajaran Islam bernuansa tasawuf dan sebagian ajaran tersebut bersifat sinkretis, memadukan ajaran Islam dengan ajaran tradisi budaya lokal (masyarakat Jawa).

Kata kunci: tarekat, zikir, latifah, muraqabah

I. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Tulisan ini merupakan hasil penelitian/kajian penulis terhadap naskah keagamaan klasik tentang tasawuf menggunakan pendekatan filologi. Naskah ini—sebagaimana naskah klasik pada umumnya--tidak mencantumkan judul

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 229 pada bagian awal. Namun demikian, dari teks naskah diperoleh informasi bahwa teks ini berisi tentang risalah tarekat Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Berdasarkan teks itu maka penulis memberi judul teks ini “Risalah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah”. Risalah dalam hal ini berarti penjelasan atau keterangan. Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat yang dinisbatkan kepada Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani dan Baha’ al-Din al-Naqshband. Dengan demikian judul itu berarti penjelasan atau keterangan tentang tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah. Teks dalam naskah ini ditulis menggunakan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Berdasarkan bahasa yang digunakan dapat diperkirakan bahwa isi teks itu adalah tentang ajaran tasawuf tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah yang sudah ditulis kembali oleh penulis Jawa atau penulis yang memahami bahasa Jawa. Naskah atau manuskrip ini ditemukan di dalam katalog perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode KBG.203 dan nomor rol 213.6. Di dalam katalog PNRI tertulis judul “Kadariyam dan Naksabandiyah” tetapi setelah ditelaah di dalam teksnya ternyata tertulis, “Qadiriyah dan Naqsyabandiyah”. Teks ini ditulis menggunakan kertas Eropa, dengan stempel di halaman 1 dan 10 tertulis “Kon.bat Genootschap van K.En. W”. Naskah keagamaan memiliki makna yang strategis dalam upaya merekonstruksi sejarah perkembangan keagamaan di Indonesia. Dalam hal ini yang dimaksud adalah makna naskah keagamaan Islam dalam upaya merekonstruksi sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia. Kajian ini hanya memfokuskan telaahnya pada makna teks “Risalah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah” dalam perkembangan ilmu tasawuf di Indonesia umumnya dan di Jawa pada khususnya. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan untuk menambah khazanah literatur tentang tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah di Indonesia. Sebelum memulai kajian ini penting kiranya dikemukakan tentang konteks perkembangan Islam—termasuk tasawuf—di Indonesia. Sebagian ahli sejarah memperkirakan bahwa Islam masuk di Indonesia pada sekitar abad ke-13 tetapi sebagian ahli lainnya menyatakan bahwa Islam telah masuk di Indonesia jauh sebelum itu. Mereka mengajukan argumentasi masing-masing untuk mendukung pendapatnya itu. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa sufisme mulai berkembang secara luas di Indonesia sekitar abad XVI hingga abad XVIII. Beberapa tokoh yang berperan dalam pengembangan sufisme di Indonesia diantaranya , Syamsuddin al-Sumatrani, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Yusuf al-Makassari, dan Syeh Abdul Muhyi. Para tokoh pengembang sufisme di Indonesia itu berdasarkan ajaran sufistik yang mereka peroleh dari Timur Tengah. Tasawuf pada awalnya merupakan salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang bersifat sangat pribadi dan tidak terlembagakan secara baik dalam kelompok tarekat. Pada perkembangannya tasawuf mulai

230 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi terlembagakan dalam sebuah kelompok tarekat, yang diantaranya dipelopori oleh Syeikh Abd Allah al-Shaththari dengan tarekat Syattariyah. Perkembangan berikutnya lahir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abd al-Qodir al-Jaylani dan Baha’ al-Din al-Naqshband. Kedua tarekat ini berkembang ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke , India. Hubungan perdagangan yang kuat antara Gujarat dengan berbagai kota di Indonesia menjadikan tarekat ini berkembang di Indonesia. Di Indonesia tarekat ini diperkenalkan oleh para sufi yang belajar di Gujarat dan kota-kota lain di Arab. Mereka mengembangkan ajaran sufisme kepada masyarakat di daerah asal mereka masing-masing. Disamping mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah, mereka juga mengembangkan ajaran tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah. Hal ini dapat dipahami karena di India selain dikembangkan tarekat Syattariyah juga berkembang tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah. Salah seorang tokoh sufi dari Aceh yang mengembangkan tarekat Syattariyah adalah Syeikh Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi dari Singkil atau lebih dikenal dengan Syeikh Abdul Rauf al-Singkili. Perjuangannya untuk mengembangkan tarekat Syattariyah dan tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah diteruskan oleh murid-muridnya diantaranya Syeikh Abd al-Muhyi dari Pamijahan, Jawa Barat. Syeikh Abd al-Muhyi mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah dan tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah di Jawa, terutama di Jawa Barat. Mengenai perkembangan tarekat Syattariyah dan tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah di Jawa—Jawa Tengah dan Jawa Timur—tidak banyak diketahui karena tidak banyak manuskrip atau literatur yang menjelaskan tentang hal itu. Di tengah minimnya sumber informasi yang dapat dipercaya, teks dalam naskah “Risalah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah” yang ditulis dalam bahasa Jawa ini bisa menjadi salah satu sumber informasi yang dapat dipercaya tentang perkembangan tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah di Jawa. Informasi itu cukup penting dalam kerangka merekonstruksi perkembangan tarekat dan tasawuf di Indonesia, sebagai bagian dari upaya merekonstruksi perkembangan Islam di Indonesia. b. Masalah Penelitian Masalah yang menjadi pokok kajian ini adalah apa makna ritual tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah menurut teks “Risalah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah”. c. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna ritual dalam tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah berdasarkan teks “Risalah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah”. d. Kerangka Konseptual Tasawuf pada dasarnya adalah salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang bersifat sangat pribadi atau private. Oleh

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 231 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan karena sifatnya yang sangat pribadi maka pengalaman tasawuf seseorang umumnya berbeda dengan orang lain. Namun dalam perkembangannya, tasawuf ini dilembagakan oleh para sufi. Sejak saat itu mulai bermunculan kelompok-kelompok tarekat yang tersebar ke seluruh dunia. Tarekat yang berkembang di Arab dan India diantaranya tarekat Syattariyah, Khishtiyyah, Suhrawardiyyah, Madariyyah, Khalwatiyyah, Hamdaniyyah, Naqsyabandiyyah, dan Firdausyiah. Selain itu juga ada tarekat Rifaiyyah, Sadziliyyah, dan Qodiriyyah. Sebagian dari tarekat- tarekat itu berkembang luas di Indonesia, misalnya tarekat Syattariyyah, dan Qodiriyyah Naqsyabandiyyah. Tarekat-tarekat itu memiliki ritual yang berbeda tetapi pada umumnya mereka mengamalkan zikir sebagai pintu gerbang utama (a’zamu babin) untuk mencapai penghayatan ma’rifat pada al-Haq. Tatacara zikir dan aturan-aturan wiridnya memegang peranan penting dan menjadi pembeda antara tarekat satu dengan tarekat lainnya. Zikir dianggap sebagai cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah. Zikir yang paling banyak dianjurkan oleh para sufi adalah bacaan la ilaha illa Allah. Zikir itu diamalkan secara kontinyu, dan dinyatakan secara jahr maupun sirri. e. Kajian Pustaka Kajian tentang tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah telah dilakukan oleh beberapa peneliti dalam dan luar negeri. Sejauh penelusuran yang telah dilakukan ditemukan paling kurang ada tiga kategori yakni kajian tentang doktrin, kajian tentang ajaran, dan kajian tentang tokoh. Disamping itu, juga ditemukan kajian tentang aspek budaya masyarakat yang melingkupinya. Oman Fathurahman (2008) dalam penelitiannya tentang Tarekat Syattariyah di Minangkabau berdasarkan naskah memperoleh temuan bahwa ajaran Tarekat Syattariyah yang berkembang di Minangkabau dibawa oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang ditransmisikan kepada murid-muridnya yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H.K. Deram, dan Tuanku Bagindo Abbas Ulakan. Syekh Burhanuddin Ulakan adalah murid dari Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri. Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri adalah murid dari Syekh Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, dua orang ahli tasawuf yang sangat terkenal. Dalam penelitian ini, Oman Fathurahman menggunakan naskah sebagai bahan kajian primer, namun sasarannya tarekat Syattariyah di Minangkabau, Sumatera Barat. Kajian tentang tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah yang bersumber dari naskah belum banyak dilakukan orang. Apalagi naskah yang ditulis menggunakan bahasa Jawa. Salah satu kendala yang dihadapi para peneliti adalah pemahaman bahasa dan substansinya. Meskipun ada kesamaan dengan tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah yang dikembangkan di tempat lain, namun karena teks itu disalin dalam bahasa daerah (Jawa) maka pengaruh budaya Jawa tidak dapat dihindarkan lagi. f. Metode Penelitian

232 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi dan sejarah. Tujuan pokok penelitian dengan pendekatan filologi adalah untuk menyajikan suntingan teks yang paling dekat dengan teks aslinya. Adapun pendekatan sejarah dimaksudkan untuk memberikan informasi lebih lanjut kepada pembaca mengenai isi teks. Meskipun penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah, namun fokus penelitian ini tetap pada pendekatan filologi. Metode yang digunakan adalah metode kritik teks. Jenis naskah yang dijadikan sasaran penelitian ini adalah naskah tunggal. Oleh karena teks ini terkait dengan naskah yang digunakan untuk menuliskan teks itu, maka penelitian teks ini dikaitkan dengan penelitian tentang keadaan naskahnya. Kajian tentang teks digunakan metode tekstologi dan kajian tentang naskahnya digunakan metode kodikologi. Pada tulisan ini juga disajikan teks dan terjemahan secara singkat, meliputi suntingan teks pada bagian awal, pertengahan, dan akhir. Terjemahan diperlukan untuk memudahkan pembaca memahami isi teks. Adapun analisis isi teks berdasarkan pendekatan sejarah pada penelitian ini hanya bersifat kajian awal karena berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangannya adalah karena fokus penelitian ini bukan pada kajian sejarahnya melainkan pada kajian filologinya. Sebagai pertanggungjawaban transliterasi digunakan Pedoman Transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543 b/u/1987. Selain itu, tentang penulisan ayat al-Qur’an dan Hadis serta kata- kata berbahasa Arab dan lainnya diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Ayat al-Qur’an, Hadis, dan kata atau kalimat yang berbahasa Arab ditulis atau dicetak miring. 2. Istilah-istilah atau kata-kata yang dianggap khusus, ditulis atau dicetak miring. Selanjutnya, untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang naskah yang menjadi sasaran penelitian ini maka berikut ini dikemukakan deskripsi naskah berjudul “Risalah Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah” yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode KBG.203 dan nomor rol 213.6. II. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah Risalah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah ini mencakup berbagai hal yang bersifat kodikologis atau hal-hal yang berkenaan dengan keadaan naskah. Pada pembahasan tentang keadaan naskah ini dapat dikemukakan bahwa naskah diperoleh dari koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di Jakarta. Berdasarkan penelusuran dalam katalog Behrend ditemukan satu naskah dengan judul “Kadariyam dan Naksabandiyah” dengan kode KBG 203 dengan nomor rol 213.06. Setelah dilakukan penelaahan sekilas terhadap naskah tersebut diketahui bahwa naskah ini tidak memiliki judul, sebagaimana naskah

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 233 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan klasik pada umumnya. Kemudian dilakukan penelaahan terhadap teks dan diketahui bahwa naskah ini berisi tentang Risalah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Selanjutnya, dilakukan penelusuran terhadap kondisi naskah. Hasil penelitian terhadap keadaan naskah diketahui bahwa naskah secara umum dalam keadaan baik, keadaan sampul dan bagian dalam dalam kondisi baik. Berdasarkan kajian sementara terhadap teks diketahui bahwa teks ini merupakan salinan dari teks lain. Penyalinan dilakukan secara kurang cermat, misalnya dalam penyebutan nama-nama latifah dan muraqabah yang tidak lengkap. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap teks juga diketahui bahwa teks ini tidak menyebutkan nama pengarang maupun penyalinnya. Alas naskah menggunakan kertas Eropa, pada bagian lembar pertama dan terakhir. Pada bagian halaman pertama dan terakhir ditemukan cap kertas (watermark) dengan tulisan “conqueror” dengan gambar orang berkuda membawa tombak di atas. Setelah dilakukan penelusuran dalam katalog cap air (watermark) ternyata tidak ditemukan gambar maupun tulisan yang sama persis dengan gambar dan tulisan itu, tetapi ada gambar yang mirip dengan gambar tersebut yang menyebut angka tahun 1848 Masehi. Pada halaman pertama dan kesepuluh terdapat cap bertuliskan “Kon.bat Genootschap van K.En. W”. Teks ditulis menggunakan bahasa Jawa Baru dan ditulis menggunakan huruf Arab Pegon. Bentuk teks berupa prosa. Sampul berwarna coklat motif bunga dan pada bagian tengah diberi lakban. Jumlah halaman naskah 30 halaman, sedangkan jumlah halaman teks sebanyak 27 halaman. Terdapat halaman kosong (kim) sebanyak tiga halaman. Jumlah baris setiap halaman 12 baris. Ukuran naskah panjang 21 sentimeter dan lebar 17,5 sentimeter. Ukuran teks panjang 16 sentimeter dan lebar 11 sentimeter. Adapun ukuran sampul panjang 21 sentimeter dan lebar 18 sentimeter. Penomoran halaman menggunakan angka Arab. Warna tinta hitam, jenis tulisan Arab tegak, dan cukup jelas dibaca. Kondisi fisik naskah cukup baik (tidak ada bagian naskah yang rusak). Pada beberapa halaman terdapat catatan di tepi halaman yang berisi nama-nama latifah dan muraqabah. Isi singkat teks berisi tentang ajaran dan tata cara berzikir dalam tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Kalimat di awal teks berbunyi: “Bi ism Allah al-rahman al-rahim Alhamd li Allah robbal-alamin wa shalat wa salam ‘ala rosulihi al-mubin wa ba’dahu”. Adapun kalimat di akhir teks berbunyi: “Wa Allahu a’lam bi al-khoir amin, shoheh, Allohumaghfirlana warhamna wa al-jami’i muslimina ajma’in, amin. Tam” . III. Suntingan Teks dan Terjemahan a. Suntingan Teks Bagian Awal

234 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

TEXT TERJEMAHAN

Bi ism Allāh al-rahmān al-rahīm Bi ism Allāh al-rahmān al-rahīm

/0 Al-hamd li Allāh al-rabb al- ‘alamin Al-hamd li Allahi rabb al-‘alamin wa wa al-shalātu wa al-salam/‘ala rosu- al-sholatu wa al-salamu ‘ala rosulihi lihi al-mubin wa ba’duhu maka ikilah al-mubin wa ba’duhu. Inilah kitab ri- kitab/risalah anyatakaken ing dalem salah yang menyatakan tentang tarekat tariqah qodiriyah/ lan naqsyabandiyah Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Ada maka ana tariqat kang ro2 iku/ akum- tarekat yang keduanya dikumpulkan pul maring silasilat qodiriyah iya iku/ dalam silsilah Qodiriyah yaitu kepada maring syeh kiyai kang arif ing Allah Syeh yang arif kepada Allah subha- subhanahu/ wata’ala utawi parating- nahu wa ta’ala. Adapun perilaku talqin kahe talqin lan bai’at/iku areplah guru dan bai’at hendaklah guru membaca iku amaca bismillahirrahman/ nirrahim bi ism allahi al-rohman al-rohiiim sapisan nuli amaca ila hadzarati nabiyi/ sekali lalu membaca ila hadzarati nabiyi muhammadinil musthafa sahibi toriqil Muhammadini al-mustafa shohibi toriqi mustaqim/ wa ‘ala alihi wa ashabihi wa al-mustaqim wa ‘ala alihi wa ashabihi ahli baiti rosulillahi sala/ [1] ...... wa ahli baiti rasulillahi sala [1] ......

و نيمل اعلا بر ةلل دمحلا :Teks ayat tertentu ditulis dengan huruf Arab هدعب و نيبملا هل وس ر يلع مالاسلا و ةالاصلا

هي ر د اق :Dalam katalog PNRI tertulis: Kadariyam. Tulisan aslinya berbunyi dalam bahasa Jawa bisa ditulis loro artinya dua ۲و ر :Dalam teks tertulis Artinya silsilah Dalam huruf Arab ditulis . هللا Sebutan ini disebut berulang ketika menyebut dalam penelitian ini tidak disebut Oleh karena itu selanjutnya يل اعت و هن احبس dalam catatan kaki secara berulang.

b. Suntingan Teks Bagian Tengah

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 235 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan

maka sing sapa kang anglakoni ing Barangsiapa melakukan tarekat Abdul tarekat/ Qodir ini disetiap waktu yang mengir- iki abdul qodir kanggo ing saben2 waktu ingi salat fardu yang lima waktu dan ingiringe/ sembahyang fardu kang li- wajib mengganti ketika ada halangan mang waktu lan wajib angada/ ni ing na- hal yang memberatkan dan tidak ada likane kabotan lan ora nana wekasane/ akhirnya kecuali dari yang fardu itu ada kajabane saking fardune mau ingatase afrodi dari zikir jahr atau sirri dan rebi- afrodi saking/ tan gurunya yang tidak mau di dalam sir- dikir jahare atawa sirrine lan rebitane rinya. Dimulai dengan membaca ila ha- atas/ darati nabiyi Muhammadan al-mustafa gurune pada ogah ana ing dalem sir- sohib al-toriqi al-mustaqim wa ala alihi rine maka/den wiwiti amaca ila hadarati wa sohbihi wa ahli baiti rosulullah solal- nabiyi muhammadanil mus/ tofa sohibil lohu ‘alaihi wasalam wa alika sayidi sul- toriqil mustaqim wa ‘ala alihi wa soh- ton al-auliya syeh Abdul Qodir Jailani bihi/wa ahli baiti rosulullah solallohu qadasallohu sitatu al-azis wala [8] ‘alaihi wasalam/ wa alika sayidi sultonil aulia syekh abdul qo/dir jailani qodasal- lohu sitatul azis wala/ [8]

c. Suntingan Teks Bagian Akhir

saking sakehe makhluk kaya dalile al- dari semua makhluk sebagaimana fir- hamdulillahi/ robbil ‘alamin lan kaya manNya alham al-lillahi al-rob al-alamin dalile maning wama kholaqtul/jinna wal dan dalil lainnya wama kholaqtu al-jinna insa ila liya’budun wal fad ‘ala haiatil wa al-insa ila liya’buduna wal fad ‘ala wahdaniyat, tammat/wa Allohu a’lam/bi haiati al-wahdaniyat. Tammat. Wallohu al-khoiri amin/ soheh/ tam, tam/allohu- a’lam bi al-khoiri amin, shoheh, tam, ma ighfirlana wa rohmana wa al-jami’i tam, allohuma ighfirlana wa al-jami’i al- al-muslimina ajma’ina/ muslimina ajma’in, amin. Tam.[27] amin, tam.[27]

236 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

IV. Makna Ritual Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah a. Zikir dan Makna Kalimat Thayyibah Zikir dalam tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah wajib dilakukan oleh para pengikutnya. Zikir dilakukan dengan tatacara yang sudah dituntunkan oleh Syeikh Abd al-Qodir al-Jaylani. Tatacara sebelum berzikir diantaranya harus bertaubat kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukannya, mandi dan berwudlu, berdiam diri atau menenangkan diri untuk memusatkan pikiran, berniat ingin meminta pertolongan kepada Allah melalui guru, bertekad meminta pertolongan nabi Muhammad saw melalui guru yang dianggap sebagai pengganti nabi. Doa yang dibaca sebelum memulai zikir yakni membaca bi ism Allah al-rohman al-rohim. Kemudian dilanjutkan dengan membaca ila hadarati nabiyi Muhammadan al-musthafa shahibi thariqi al-mustaqim wa ‘ala alihi wa ashabihi wa ahli baiti rasuli Allah salallohu ‘alaihi wa salam ajma’in wa alika sayidi sulthon al-auliya syeikh Abdul Qodir Jaylani qadasallohu ‘ala sirahal-azis wa ila syaikh syaikhin al-masayihi wa ahli silasilat al-rohmat Allah ‘alaih lahum al- fatihah ila akhirihi. Bacaan ini diucapkan diawal kegiatan zikir. Adapun tatacara berzikir diantaranya berada di tempat suci, membiasakan zikir pada kedua tangan dan di atas paha, membiasakan merendahkan diri dalam berzikir, memakai pakaian yang bersih dan memakai wangi-wangian, memilih tempat yang redup/ tidak gelap, mengendalikan pandangan dan pikiran, membayangkan wajah gurunya seakan hadir di hadapannya, jujur dalam berzikir, dan ikhlas, membaca lafaz zikir dengan baik. b. Susunan Latifah Latifah adalah bagian diri manusia yang halus. Susunan latifah terdiri atas 7 lapisan yakni latifah Qolbi, latifah Ruh, latifah Sirri, latifah Hafi, latifah Ahfa, dan latifah Nafs. Latifah Qolbi, latifah Ruh, latifah Sirri, latifah Hafi, dan latifah Ahfa disebut a’lam al-amr. Pada teks tidak ditemukan nama latifah ketujuh namun diperkirakan bahwa latifah ketujuh adalah latifah Qalab. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan zikir amaly maka pelaksanaan pembacaan zikirnya adalah la, I, lah, ha, Il, lal, Allah. c. Jenis Muraqabah Muraqabah adalah perilaku untuk mendekatkan diri kepada

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 237 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan

Allah. Muraqabah terdiri atas 20 macam meliputi: 1. Muraqabah Ahadiyah yaitu tawajuh atas keesaan Allah, sifat Allah, dan Asma Allah. 2. Muraqabah Ma’iyat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menyertai kita 3. Muraqabah Aqrabiyah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang lebih dekat dengan otot leher kita. 4. Muraqabah Mahabbah Dirat al-Ula yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang melihat kasih Allah dengan mata hati kita. 5. Muraqabah (?) yaitu tawajuh pada Dzat Allah yang melihat a’yan tsabita 6. Muraqabah fi al-qousi yaitu tawajuh pada Dzat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang 7. Muraqabah wa al-ayat al-ulya yaitu tawajuh pada Dzat Allah yang dinantikan perintah-Nya untuk keluhuran manusia 8. Muraqabah Kamalati Nubuwat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang telah menciptakan kesempurnaan di dunia 9. Muraqabah Risalat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada utusan melebihi kesempurnaan kamalati nubuwat. 10. Muraqabah Kamalati Ulul Azmi yaitu tawajuh kepada Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada ulul azmi yaitu Nabi Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nuh. 11. Muraqabah Dairat al-hulat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada hakekat Nabi Ibrahim. 12. Muraqabah Muhabbat al-Syarifah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada hakikat Nabi Musa. 13. Muraqabah Muhabbat al-Datiyata al-muhtaziyat mahbubat waliya hakekat al-Muhammadiyah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat Nabi Muhammad dari kasih-Nya yang digabung dengan kasih dari Insan Kamil. 14. Muraqabah Mahbubat syarifah wa liya hakikat al-ahmadiyah yaitu tawajuh atas Dzat Allah menciptakan hakekat ahmadiyah dari Dzat yang dikasihi secara tulus. 15. Muraqabah Hub al-Siraf yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang telah memberikan kasih-Nya yang tulus kepada semua umat-Nya yang saling mengasihi sesame umat dan para malaikat Allah ta’ala

238 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

16. Muraqabah li al-Ta’yun yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang tidak ditemukan pada orang kebanyakan yang muqarabun dan nabi yang mursalin karena tidak ada seorangpun yang tahu pada Dzat Allah kecuali hanya Dia (Allah) 17. Muraqabah Hakikat al-Ka’bati yaitu tawajuh kepada Dzat Allah yang yang menciptakan hakekat ka’abat tempat sujud seluruh makhluk kepada Tuhannya 18. Muraqabah Hakikat al-Qur’an yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat Al-Qur’an 19. Muraqabah Hakikat al-Shalat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat salat 20. Muraqabah Ma’budiyah Syarifah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat semua ibadah. V. Penutup 1. Ritual zikir dan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pangamal tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah memiliki makna yang strategis dalam rangka upaya untuk melakukan transmisi nilai ajaran tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah kepada masyarakat. Makna ritual ini bersifat lokal dan spesifik serta dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya faktor mursyid dan lingkungan. Faktor mursyid dalam hal ini yakni kemampuan seorang mursyid untuk menciptakan tatacara berzikir dan berbagai perilaku untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat mursyid dan murid melakukan aktivitas ritual keagamaan. 2. Latifah adalah bagian diri manusia yang halus. Susunan latifah terdiri atas 7 lapisan yakni latifah Qolbi, latifah Ruh, latifah Sirri, latifah Hafi, latifah Ahfa, dan latifah Nafs. Latifah Qolbi, latifah Ruh, latifah Sirri, latifah Hafi, dan latifah Ahfa disebut a’lam al-amr. Pada teks ini tidak ditemukan nama latifah ketujuh namun diperkirakan bahwa latifah ketujuh adalah latifah Qalab. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan zikir amaly maka pelaksanaan pembacaan zikirnya adalah la, I, lah, ha, Il, lal, Allah. 3. Muraqabah adalah perilaku untuk mendekatkan diri kepada Allah. Muraqabah terdiri atas 20 macam meliputi: 1)Muraqabah Ahadiyah yaitu tawajuh atas keesaan Allah, sifat Allah, dan Asma Allah, 2) Muraqabah Ma’iyat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menyertai

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 239 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan kita, 3)Muraqabah Aqrabiyah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang lebih dekat dengan otot leher kita, 4) Muraqabah Mahabbah Dirat al-Ula yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang melihat kasih Allah dengan mata hati kita, 5)Muraqabah (?) yaitu tawajuh pada Dzat Allah yang melihat a’yan tsabita, 6)Muraqabah fi al-qousi yaitu tawajuh pada Dzat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, 7)Muraqabah wa al-ayat al-ulya yaitu tawajuh pada Dzat Allah yang dinantikan perintah-Nya untuk keluhuran manusia, 8)Muraqabah Kamalati Nubuwat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang telah menciptakan kesempurnaan di dunia, 9) Muraqabah Risalat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada utusan melebihi kesempurnaan kamalati nubuwat, 10)Muraqabah Kamalati Ulul Azmi yaitu tawajuh kepada Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada ulul azmi yaitu Nabi Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nuh, 11)Muraqabah Dairat al- hulat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada hakikat Nabi Ibrahim, 12)Muraqabah Muhabbat al-Syarifah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan kesempurnaan pada hakikat Nabi Musa, 13)Muraqabah Muhabbat al-Datiyata al-muhtaziyat mahbubat waliya hakekat al-Muhammadiyah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat Nabi Muhammad dari kasih-Nya yang digabung dengan kasih dari Insan Kamil, 14) Muraqabah Mahbubat syarifah wa liya hakikat al-ahmadiyah yaitu tawajuh atas Dzat Allah menciptakan hakekat ahmadiyah dari Dzat yang dikasihi secara tulus, 15)Muraqabah Hub al-Siraf yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang telah memberikan kasih-Nya yang tulus kepada semua umat-Nya yang saling mengasihi sesama umat dan para malaikat Allah ta’ala , 16)Muraqabah li al-Ta’yun yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang tidak ditemukan pada orang kebanyakan yang muqarabun dan nabi yang mursalin karena tidak ada seorangpun yang tahu pada Dzat Allah kecuali hanya Dia (Allah), 17)Muraqabah Hakikat al-Ka’bati yaitu tawajuh kepada Dzat Allah yang yang menciptakan hakikat ka’abah tempat sujud seluruh makhluk kepada Tuhannya, 18)Muraqabah Hakikat al-Qur’an yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat Al-Qur’an, 19)Muraqabah Hakikat al-Shalat yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat salat, 20)Muraqabah Ma’budiyah Syarifah yaitu tawajuh atas Dzat Allah yang menciptakan hakikat semua ibadah.

240 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

4. Di dalam teks ini penulis banyak menggunakan istilah-istilah lokal untuk mengungkapkan tatacara atau ritual berzikir dan berbagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini memberikan makna bahwa perkembangan tarekat ke berbagai daerah di Indonesia senantiasa bersentuhan dengan budaya lokal yang diapresiasi oleh para mursyid serta dimodifikasi menjadi sebuah perilaku tarekat yang khas atau hanya dilakukan oleh komunitas itu saja. Hal ini menjadi penting karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi keasalan atau genealogis suatu tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di suatu daerah tertentu di Indonesia. Secara lebih luas, identifikasi ini juga bisa digunakan untuk melakukan pemetaan perkembangan tasawuf dan Islam di Indonesia pada umumnya. Wallahu a’lam bi shawab.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 241 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan

Daftar Pustaka

Departemen Agama. 2003. Pedoman Penulisan dan Pentashihan Buku Keagamaan. Jakarta: Penerbit Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama Fathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syatariyah di Minangkabau, Teks dan Konteks. Jakarta: Prenada Media Group bekerjasama dengan PPIM UIN Jakarta

Mu’jizah. 2005. Martabat Tujuh: Edisi Teks dan Pemaknaan Tanda serta Simbol. Jakarta: Penerbit Djambatan Mulkhan, Abdul Munir, Prof. Dr. 2005. Makrifat Siti Jenar Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu

Said, Fuad, HA. 2007. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah. Jakarta: Penerbit Pustaka Al- Husna Baru

Tim Sahabat. 2006. Manakib Syekh Abdul Hamid Abulung. Kandangan: Penerbit Sahabat Yahya, Wildan. 2007. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi (Wali Pamijahan) Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII-XVIII. Bandung: Penerbit Refika Aditama

Yusuf, Mundzirin (ed.). 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka

242 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

DAMPAK IMPLEMENTASI KURIKULUM PAI TERHADAP PERILAKU KEAGAMAAN PESERTA DIDIK PADA SMA DI KOTA MALANG (Studi Komparasi Terhadap SMA Di bawah Yayasan Keagamaan Islam Yang Menggunakan Kurikulum PAI Plus Dan Kurikulum PAI Diknas Murni) A.M. Wibowo, M.S.I Abstract Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian dua buah kurikulum PAI yang berbeda yang diterapkan pada dua buah SMA berbasis Islam di Kota Malang Jawa Timur terhadap perilaku keagamaan peserta didik di masing-masing SMA. Dengan menggunakan anova dua jalur penelitian ini menghasilkan tiga temuan. Temuan pertama terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Diknas Plus pada SMA di bawah yayasan keagamaan, kedua terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI dan Xll pada SMA, dan ketiga pelaksanaan PAI di dua buah sekolah baik yang menggunakan kurikulum Diknas Murni maupun Diknas Plus telah berjalan dengan baik. Hasil analisis lanjut diketahui bahwa, perilaku peserta didik yang memperoleh pendidikan agama dengan kurikulum Diknas plus lebih baik dibandingkan perilaku peserta didik yang memperoleh PAI hanya dengan kurikulum Diknas .

Kata Kunci : kurikulum, dampak, perilaku, perbedaan, perbandingngan A. PENDAHULUAN Pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sadar dan pragmatif membantu anak didik supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama (Zuhairini, 2000: 27). Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 243 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan

Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Pendidikan agama berusaha melakukan bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (Saleh 1973). Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri: (1) lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaaan materi; (2) mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia; (3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan (Depdiknas, 2006) Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah akan memberikan dampak berupa perilaku peserta didik baik di sekolah maupun di masyarakat. Namun demikian perilaku peserta didik tidak hanya dari pengaruh pelaksanaan pendidikan agama yang hanya ada di sekolah tetapi juga pengaruh pendidikan agama dari luar sekolah. Pengaruh pendidikan agama di luar sekolah mungkin berasal dari bimbingan orang tua atau memperoleh pendidikan agama dari masyarakat. Berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah, di Indonesia dikenal dua buah jenis kurikulum. Ada sekolah yang hanya mempergunakan satu buah kurikulum, namun ada juga yang memadukannya dalam pembelajaran disekolah. Kedua buah jenis kurikulum tersebut adalah, pertama kurikulum Depag, yaitu sebuah perangkat kurikulum pendidikan agama Islam yang di dalamnya terdapat beberapa mata pelajaran seperti Al Quran dan Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Akidah Ahlak dan Fiqh. Kelima mata pelajaran tersebut dipisahkan kajiannya. Kurikulum depag ini

244 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi biasanya diterapkan di sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan departemen Agama (madrasah). Kedua, adalah kurikulum PAI yang disusun oleh Diknas yaitu perangkat pembelajaran pendidikan agama Islam yang hanya terdiri dari satu mata pelajaran saja yaitu Pendidikan Agama Islam. Kurikulum ini tidak mengenal mata pelajaran fiqih, aqidah, akhlak. Qur’an/Hadits, dan SKI. Dalam tataran realitas, pada sekolah-sekolah umum yang berlabel “sekolah Islam” ada yang sekolah yang hanya mempergunakan kurikulum diknas secara murni, namun ada juga yang memadukannya dengan kurikulum Depag namun tidak semuanya. Sekolah yang memadukan dua buah kurikulum dalam penelitian ini selanjutnya disebut dengan sekolah dengan kurikulum Plus. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah memberikan dampak perilaku beribadah kepada peserta didik. Perilaku beribadah peserta didik tersebut berbeda-beda. Penyebab perbedaan perilaku ibadah dapat disebabkan antara lain pertama pelaksanaan pendidikan agama di sekolah ada yang mengikuti kurikulum dari Depdiknas ada yang mengikuti kurikulum dari Depag. Kedua terdapat sekolah yang menambah jam pelajaran pendidikan agama. Ketiga Input peserta didik di SMA ada yang berasal dari sekolah umum, dan sekolah berbasis agama. Di samping itu terdapat input siswa yang memiliki pengetahuan agama tambahan di luar sekolah. dan keempat peserta didik memperoleh tambahan pelajaran pendidikan agama di luar sekolah. Penelitian ini mencoba bertujuan membandingkan dampak pemberian kurikulum pembelajaran PAI terhadap SMA-SMA (sekolah Menengah Atas) di bawah yayasan keagamaan Islam di Kota Malang terhadap Perilaku keagamaan peserta Didik. Adapun yang menjadi subyek penelitian ini adalah SMA Shalahuddin Kota Malang dan SMA Islam Kota Malang. Keduanya menerapkan kurikulum PAI yang berbeda yaitu kurikulum PAI Diknas Plus Depag (selanjutnya disebut Diknas Plus) untuk SMA Shalahuddin dan kurikulum PAI diknas murni. Masalah dalam penelitian ini adalah (1) apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperolah pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Yayasan pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan. (2) apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 245 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang signifikan antara peserta didik kelas X, XI dan Xll pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan. B. KAJIAN TEORITIS UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 37 ayat (1) menegaskan bahwa isi kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat, antara lain pendidikan agama (UUSPN No. 20 Tahun 2003), dan dalam pasal 30 ayat 2 menjelaskan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di sekolah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia (BSNP, 2007: 5). Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan. Sedangkan Ibnu Hadjar (1999: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan agama Islam merupakan sesuatu subjek pelajaran yang bersama- sama dengan subjek studi yang lain dimaksudkan untuk membentuk manusia yang utuh. Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubunganya dengan

246 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab kerukunan antar ummat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (Depnikas:2004). Pendidikan Agama Islam di SMA berfungsi untuk: (a) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (b) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (c) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam; (d) Perbaikan kesalahankesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; (e) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan di hadapinya sehari-hari; (f) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir -nyata), sistem dan fungsionalnya; (g) Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi (Depniknas 2004). Pendidikan Agama Islam di SMA bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Depdiknas:2004) Perilaku keagamaan adalah segala bentuk amal perbuatan, ucapan, pikiran dan keikhlasan seseorang sebagai bentuk ibadah. Perilaku- perilaku ini antara lain dibentuk dari pemberian pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia (Depdiknas, 2006). Perilaku keagamaan adalah segala aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya (Ramayulis, 2002 : 83). Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah perilaku keagamaan Islam. Jadi perilaku keagamaan adalah aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai ajaran agama Islam atau pelaksanaan dari seluruh ajaran agama Islam itu sendiri.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 247 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang

Pembentukan perilaku keagamaan tidak terjadi dengan sendirinya. Pembentukan keagamaan senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan berkenaan dengan objek tertentu. Sehingga perilaku itu dapat dipelajari dan dapat berubah sesuai dengan objek tertentu kemungkinan bisa muncul adanya perilaku yang positif dan perilaku yang negatif. Peningkatan potensi spiritual yang dimaksud dalam kurikulum PAI adalah mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Akhlak mulia yang dimaksud adalah etika, budi pekerti, dan akhlak sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Adapun perilaku keagamaan yang dimaksuda dalam penelitian ini meliputi perilaku keagamaan yang berkaitan dengan Aqidah yang meliputi tidak melakukan atau mendukung perbuatan syirik, perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT, mengamalkan isi kandungan Asmaul Husna, dan rukun iman. Perilaku yang Berkaitan dengan Fiqih meliputi perilaku: menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari, Menerapkan ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat, haji dan wakaf, menerapkan transaksi ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari, memperagakan tatacara pengurusan jenazah, dan memperagakan khutbah, tabliqh dan dakwah. Perilaku yang berkaitan dengan Akhlaq meliputi membiasakan perilaku husnuzhan dalam kehidupan sehari-hari, menampilkan dan mempraktikan contoh-contoh adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu atau menerima tamu, membiasakan perilaku bertaubat dan raja’ dalam kehidupan sehari-hari, membiasakan perilaku menghargai karya orang lain dalam kehidupan sehari- hari, membiasakan perilaku menghargai karya orang lain dalam kehidupan sehari-hari, membiasakan perilaku persatuan dan kerukunan, menghindari perilaku lsyrof, Tabzir, Ghibah dan Fitnah dalam kehidupan sehari-hari, menghindari perbuatan dosa besar dalam kehidupan sehari-hari, Menghindari hasad, riya, aniaya dan

248 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan atau menerima tamu dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku yang berkaitan dengan Qur’an Hadist meliputi: menampilkan perilaku sebagai khalifah di bumi, menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah, menampilkan perilaku hidup demokrasi, Menampilkan perilaku berkompetisi dalam kebaikan, menampilkan perilaku menyantuni kaum Dhu’afa, Membiasakan perilaku menjaga kelestarian lingkungan hidup, membiasakan perilaku bertoleransi, dan melakukan pengembangan IPTEK. Dari sisi ini siswa diharapkan dapat Membaca Al Qur’an dengan fasih (tadarrus) dan mampu membaca dan faham ayat-ayat tentang manusia dan tugasnya sebagai makhluk serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari. Siswa diharapkan mampu membaca dan faham ayat-ayat tentang prinsip-prinsip beribadah serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari serta membaca dan faham ayat-ayat tentang demokrasi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari (depdiknas :2004). Perilaku yang berkaitan dengan SKI meliputi mengambil contoh dan hikmah dari perkembangan Islam di Indonesia dan dunia. Sejarah kebudayaan Islam bukanlah sejarah biasa, tetapi perkaitan dengan peljuangan Islam. Dengan mempelajari SKI siswa SMA akan memahami da’wah Islam. Sehingga Islam berkembang. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan disain penelitian faktorial dua jalur milik Weiner dengan Analis penelitian menggunakan analisis dua jalur (two way Anova). Subyek penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Shalahuddin Kota Malang sebagai pengguna kurikulum Diknas Plus dan SMA Islam Kota Malang sebagai pengguna kurikulum PAI Diknas. Dari populasi tersebut kemudian diambil sampel berdasarkan cluster sampling yaitu kelas X, XI, dan XII. Masing-masing kelas diambil 31 siswa sehingga jumlah keselurah responden adalah 186 siswa. D. HASIL PENELITIAN 1. Angket Perilaku Keagamaan Peserta Didik Jumlah siswa sebagai responden di kedua sekolah sampel yaitu SMA yang menerapkan kurikulum PAI Diknas dan di SMA yang

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 249 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang menerapkan kurikulum PAI Diknas Plus, masing-masing sekolah 93 orang. Angket digunakan untuk mengetahui perilaku keagamaan peserta didik di sekolah sampel. Dilihat dari jawaban angket di sekolah yang menerapkan kurikulum PAI Diknas diperoleh jumlah peserta didik yang perilaku keagamaan dengan kategori baik 46 orang dan 37 orang sangat baik. Sementara itu, perilaku keagamaan baik dan sangat baik dimiliki oleh mayoritas peserta didik. Pada kedua sekolah sampel memiliki peserta didik yang perilaku keagamaan baik dan sangat baik. Hasil perhitungan data angket perilaku keagamaan siswa diperoleh skor terendah sebesar 107 dan tertinggi 152. Data hasil angket tersebut, kemudian digunakan untuk menguji apakah sampel berasal dari populasi berdistribusi normal dan homogen. Untuk mengetahui homogenitas sampel digunakan uji Schefee, dan untuk megetahui apakah sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal digunakan alat uji Kolomogorv-Sminor Z. Hasil perhitungan untuk uji homogenitas ini disajikan pada Tabel 1.2 dan 1.3. Tabel 1.2 Hasil Uji Homogenitas

perilaku_Keagamaan

a,b Scheffe Subset kelas X N 6 2 124.87101 2 kelasXII 6 2 130.0484 kelas XI 6 2 130.1452 Sig. 1.000 .998

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Thea. error term is Mean Square(error) = 78.468. b. Uses Harmonic Mean Sample Size = 62.000. Alpha = .05.

Berdasarakan uji normalitas diperoleh signifikansi pada subset 1 sebesar 1,000 dan 0,998 pada subset 2. Karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (1 > 0,05 dan 0,998 > 0,05) maka populasi data perilaku keagamaan siswa berdistribusi homogen. Uji selanjutnya adalah normalitas data dengan menggunakan uji Barlet maka didapat hasil perhitungan disajikan pada tabel 1.3. Tabel 1.3 Hasil Uji Normalitas

250 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

perilaku_ N Keagamaan186 Normal Parameters a,b Mean 128.3548 Std. Deviation 9.89638 Most extreme Absolute .061 Differences Positive .047 Negative -.061 Kolmogorov-Smirnov Z .830 Asymp. Sig. (2-tailed) .496 a. b. Test distribution is Normal. Calculated from data.

Berdasarakan hasil tabel diperoleh signifikansi pada uji kolomogrov simirnov z diperoleh signifikansi sebesar 0, 496 karena nilai signifikansi lebih besar dari nilai alfa (4,496 > 0,05 maka populasi data perilaku keagamaan siswa berdistribusi normal.

2. Dampak Implementasi Pemberian Kurikulum PAI Terhadap perilaku keagamaan Peserta Didik ditinju dari Kurikulum. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaaan pada peserta didik yang memperoleh pemebelajaran dengan kuirkulum PAI Diknas dan PAI Plus Yayasan digunakan uji statistic ANOVA dua jalur. Uji dapat dilakukan karena hasil uji homogenitas dan normalalitas telah dilakukan dan hasilkan bahwa data berdistribusi normal dan homogen. Hipotetsis statistik untuk menguji perbedaan adalah sebagai berikut. Ho : Tidak ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelejaran PAI dengan Kuirkulum diknas dengan perserta didik yang memberoleh pembelajaran dengan kurikulum yayasan. H1 : Ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelejaran PAI dengan Kuirkulum diknas dengan perserta didik yang memberoleh pembelajaran dengan kurikulum yayasan. Hasil perhitungan dampak implementasi pemberian kurikulum PAI terhadap perilaku keagamaan peserta didik ditinju dari kurikulum disajikan dalam tabel 1.4 dibawah ini.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 251 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang

Tabel 1.4 Uji Hipotesis

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: perilaku_Keagamaan Type III Sum CorrectedSource Model of 3994.323Squares a df 5 Mean798.865 Square 10.181F Sig..000 Intercept 3064343.419 1 3064343.419 39052.091 .000 Kurikulum 658.602 1 658.602 8.393 .004 kelas 1129.065 2 564.532 7.194 .001 Kurikulum * kelas 2206.656 2 1103.328 14.061 .000 error 14124.258 180 78.468 Total 3082462.000 186 Corrected Total 18118.581 185 a. R Squared = .220 (Adjusted R Squared = .199)

Dari Tabel 1.4 diketahui bahwa nilai siginifaikasi pada baris kurikulum sebesar 0,004 Nilai tersebut kurang dari taraf signifikasi 0.05, ini berarti Ho ditolak. Jadi karena Ho ditolak maka ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan Kurikulum diknas plus dengan perserta didik yang memberoleh pembelajaran dengan kurikulum diknas. Untuk mengetahui perbedaan masing-masing rata-rata perilaku Keagamaan antar sekolah yang menggunakan kurikulum yang berbeda maka diperlukan perhitungan untuk mengetahui berapa rata-rata nilai perilaku keagamaan untuk masing-masing sekolah. Diketahui bahwa nilai rata-rata angket perilaku keagamaan untuk peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum PAI Diknas sebesar 126,4731 sedangkan untuk peserta didik yang kurikulum PAI diknas Plus sebesar 130,2366. Karena hasil uji ANOVA menyatakan perbedaan secara signifikan maka perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran kurikulum yayasan lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh kurikulum diknas. 3. Dampak Implementasi Pemberian Kurikulum PAI Terhadap Perilaku keagamaan Peserta Didik ditinjau dari Jenjang atau Tingkat Kelas Hipotesis statistik yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaaan pada peserta didik ditinjau dari

252 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab jenjang kelas atau tingkat kelas adalah sebagai berikut. Ho : Tidak ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, XI dan XII yang memperoleh pembelajaran dengan Kurikulum PAI Diknas maupun PAI Yayasan. H1 : Ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, XI dan XII yang memperoleh pembelajaran dengan Kurikulum PAI Diknas maupun PAI Yayasan. Hasil uji ANOVA Dua Jalur seperti yang disajikan pada Tabel 1.4 di atas diperoleh nilai siginifaikasi pada baris kelas sebesar 0,001 Nilai tersebut kurang dari taraf signifikasi 0.05. Ini berarti Ho ditolak. Jadi terdapat perbedaan perilaku keagamaan siswa peserta didik kelas X, XI dan XII.

4. Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah Sampel Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kurikulum PAI di sekolah sampel adalah sebagai berikut. a. Kurikulum PAI Diknas Implementasi kurikulum PAI pada sekolah sampel secara umum adalah guru PAI menyusun silabus, menyusun RPP, mengimplentasikan RPP dalam pembelajaran, dan melakukan penilaian. Dalam pelaksanaannya di SMA yang menggunakan kurikulum PAI Diknas guru Agama Islam telah melaksanakan dan menyusun kurikulum PAI dengan cukup baik. Hal tersebut dapat terlihat dari disusunnya silabus, RPP, dan mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Guru juga telah membuat evaluasi pembelajaran dengan cukup baik. Evaluasi pembelajaran tersebut dilakukan mingguan, bulanan persemester dan tahunan. Namun karena jumlah siswa dan rombongan belajar yang cukup banyak dan tidak diimbangi dengan jumlah guru PAI yang cukup maka hasil dari implementasi PAI di SMA “Islam” kurang begitu terpantau. Perlu diketahui di SMA Islam terdapat 22 rombongan belajar atau 713 siswa. Sedangkan jumlah guru agama Islam hanya 3 orang ini tentu saja tidak seimbang. Untuk menjembatani permasalahan tersebut setiap pagi sekolah mewajibkan kepada siswanya untuk mengikuti kegiatan pra pelajaran

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 253 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang yaitu tafsir alquran. Kegiatan pra pelajaran tersebut dimulai setiap pukul 06.30 sampai dengan pukul 07.00. Kegiatan tafsir Al-Quran itu bukan merupakan bagian dari kurikulum PAI tetapi merupakan program sekolah. Pelaksanakan tafsir Quran tersebut dilakukan dengan cara semua siswa berada di dalam kelasnya masing-masing dan guru agama mulai membaca Al Quran diruang guru dengan menggunakan sound system sehingga terdengar dikelas masing-masing. b. Kurikulum PAI Diknas Plus Berbeda dengan sekolah yang menerapkan kurikulum PAI dari diknas, sekolah yang menerapkan kurikulum PAI Plus memiliki karaketristik khsusus. Kaakteristik tersebut antara lain: selain menggunakan kurikulum PAI dari Diknas sekolah yang menggunakan kurikulum PAI plus ini menambahkan pelajaran Alquran hadits dan pelajaran Akidah Ahlak pada muatan lokalnya. Para pengajar pendidikan Agama Islam di SMA Shalahuddin ini sebenarnya mengajar bahasa Indonesia dan Bimbingan Konseling, namun mereka diberikan tugas tambahan untuk mengajar PAI, alquran hadits dan akidah ahlak. Hal tersebut dikarenakan di SMA Shalahuddin belum ada guru-guru yang mengampu mata pelajaran tersebut. Namun demikian para pengajar ini mempunyai kapabilitas untuk mengajar pelajaran agama. Hal tersebut dikarenakan mereka adalah lulusan fakultas Tarbiyah UIN Malang. Implementasi kurikulum dilakukan dengan cara menyusun bahan ajar berupa silabus, menyusun RPP. Rencana Pelakasanaan Pembelajaran ini kemudian dimplementasikan dalam pembelajaran. Guru juga telah melakukan penilaian. Penilaian tersebut dilakukan dengann cara pemberian penugasan baik tertulis maupu secara paraktik. Adapun evaluasi pembelajaran oleh guru agama Islam dilakukan secara bulanan semesteran dan tahunan. Nilai positif yang dimiliki oleh SMA yang menggunakan kurikulum Diknas Plus ini dalam mengawasi perilaku keagamaan siswa adalah dengan memberikan tambahan pelajaran Alquran dan Hadits, serta Akidah Ahlak telah membuat pelajaran yang memuat nilai-nilai agama dan keagamaan siswa lebih terimplementasi. Dengan demikian

254 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab tambahan pelajaran tersebut diharapkan mampu membentuk karakter siswa sesuai yang diharapkan oleh agama yaitu berakhlakul karimah. Jumlah rombongan belajar dan jumlah siswa yang sedikit menjadikan guru dapat mengamati perilaku keagamaan siswa. Perlu diketahu bahwa jumlah rombongan belajar di SMA yang menggunakan kurikulum PAI Diknas plus hanya delapan rombongan belajar atau 171 siswa. E. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini menekankan pada analisis penerapan kurikulum PAI yang disusun oleh Yayasan. Hasil uji ANOVA membuktikan bahwa terdapat perbedaan perilaku keagamaan peserta didik yang signifikan antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan kurikulum Diknas dan peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI kurikulum yayasan. Walaupun demikian, perbedaan yang signifikan ini tidak berarti perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI kurikulum Diknas tidak baik. Sesuai dengan implementasi dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru PAI secara operasional menyusun silabus, RPP, dan penilaian. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa kedua sekolah sampel sudah mengimplementasikan KTSP dalam pembelajaran PAI. Untuk SMA yang menggunakan kurikulum Diknas plus yayasan selain pendidikan agama secara umum sekolah ini memberikan tambahan pelajaran tambahan seperti Alquran dan pelajaran Akidah Ahlak. Ketiga pelajaran tambahan (alquran Akidah dan ahlak) tersebut dimasukan dalam muatan lokal. Ketiga pelajaran muatan lokal tersebut diberi porsi jam pelajaran sebanyak 1 jam pelajaran atau 45 menit selama satu minggu diluar jam pelajaran PAI. Meskipun satu minggu hanya mendapat jatah satu jam namun diharapkan dapat memberikan kontribusi perilaku keagamaan siswa kearah yang positif. Implementasi kurikulum PAI di sekolah tidak terlepas dari peran seluruh sumber daya sekolah. Menurut Zamroni (2001), proses penanaman nilai-nilai tersebut dilaksanakan melalui perilaku proses belajar mengajar. Untuk menanamkan sifat perilaku disiplin, guru harus memberikan contoh bagaimana guru berperilaku disiplin. Hal-hal yang dilakukan oleh guru agama Islam (termasuk hal ini

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 255 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang meliputi Al Quran, Akidah Ahlak adalah pertama membuat bahan ajar. Bahan ajar tersebut meliputi pembuatan silabus, penyusunan RPP, dan rencana evaluasi. Kesemuanya itu ada dalam dokument 2 KTSP SMA Shalahuddin Kota Malang. Implementasi kurikulum PAI pada sekolah sampel secara umum adalah guru PAI menyusun silabus, menyusun RPP, mengimplementasikan RPP dalam pembelajaran, dan melakukan penilaian. Dalam pelaksanaannya memang tidak semua guru mempersiapkan pembelajaran. Artinya para guru dalam mengajar langsung saja. Persoalan materi sudah dihafal karena sudah puluhan tahun mengajar. Selain itu, guru agama SMA Shalahuddin melakukan kegiatan home visit kerumah orang tua siswa untuk mengetahui perkembangan dan permasalahan yang dihadapi siswa dengan cara berkonsultasi kepada orang tua siswa. Hal tersebut dilakukan secara berkala sehingga guru dan orang tua siswa mengetahu perkembangan perilaku siswa atau anak mereka di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal mereka. Hal-hal yang dilakukan oleh SMA Islam Kota Malang sebagai salah satu sekolah yang melaksanakan kuruikulum PAI Diknas di lembaga pendidikan mereka. Untuk pelajaran PAI SMA Islam Kota Malang menyediakan waktu sebanyak 2 jam pelajaran perminggu (1 jam sama dengan 45 menit tatap muka). Guru agama Islam di sekolah ada sebanyak 3 orang dan harus mengajar 21 rombongan belajar atau 713 siswa. Hal ini tentu saja merupakan pekerjaan yang berat mengingat agama adalah persoalan yang penting dalam membina perilaku keagamaan siswa. Hal-hal yang dilakukan oleh guru agama dalam mengimplementasikan pendidikan agama Islam di SMA Islam ini adalah yang pertama menyusun silabus kemudian menjabarkannya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru PAI di SMA Islam Kota Malang juga menyusun program tahunan program semsetrean dan juga memprediksikan pekan-pekan yang efektif untuk proses pembelajaran PAI selama satu tahun. Guru juga membuat keggiatan keagamaan berupa kegiatan salat jumat dan pengajian Ahad pagi di sekolah. Setiap siswa diwajibkan mengikuti kegiatan tersebut yang dibukukan dalam buku absen siswa. Ada hal yang menarik yang ditemukan di SMA Islam kota Malang

256 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab tetapi tidak ditemukan di SMA Shalahuddin. Hal tersebut adalah kegiatan pre sekolah berupa tafsir Quran. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari sebelum kegiatan proses belajar mengajar dilakukan. Pelaksanaan kegiatan tersebut berupa tafsir alquran yang dibacakan oleh guru PAI di ruang guru dengan menggunakan pengeras suara yang dihubungkan kedalam tiap-tiap ruang kelas. Siswa diwajibkan setengah jam sebelum pelajaran pertama dimulai sudah memasuki ruang kelas dengan membawa kitab suci alquran. Ada tiga guru agama yang bertugas melaksanakan kegiatan tersebut. Satu guru membaca surat satu lagi mendapat bagian menafsirkan dan satu orang guru lagi menyimak tafsir tersebut. Tugas siswa di kelas adalah menyimak apa yang diperdengarkan dari ruang guru dan mendengar penjelasan dari guru agama yang menafsirkan ayat-ayat alquran. Kegiatan tersebut menurut guru agama baru berjalan selama satu tahun. Dan ayat-ayat yang dibaca adalah ayat-ayat yang ada dalam alquran secara berurutan. Dalam satu pertemuan guru membacakan tafsir hanya 3 sampai 7 ayat saja sehingga dalam satu tahun surat al Baqarah belum terselesaikan. F. PENUTUP Dari hasil penelitian diatas maka ada maka dapat ditarik tiga kesimpulan pertama terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Diknas Plus pada SMA di bawah yayasan keagamaan, kedua terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI dan Xll pada SMA di bawah yayasan keagamaan, dan ketiga pelaksanaan PAI di dua buah sekolah baik yang menggunakan kurikulum Diknas murni maupun Diknas Plus telah berjalan dengan baik. Perilaku peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum diknas plus lebih baik dari pada peserta didik yang hanya memperoleh pembelajaran PAI dengan kurikulum Diknas. BAHAN PUSTAKA Majid, dan Dian Andayani, 2004, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Shaleh, Abdul Rahman, (2000), Pendidikan Agama dan Keagamaan;

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 257 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan

Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: PT. Gemawindu Pancaperkasa. Undang-Undang No 23 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas Zamroni, 2001. Paradigma Pendidkan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing Zayadi, Ahmad dan Majid, A. 2004. Tadzkirah: Pembelajaan PAI Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafaindo Persada Zuhairini, dkk, 1983, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya

258 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Marmiati Mawardi

PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA PADA S L B BAGIAN B ( SD-LB B) SIDAKARYA KOTA DENPASAR PROPINSI BALI Oleh : Mulyani Mudis Taruna Abstrak Penelitian tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama ini dilaksanakan pada Sekolah Luara Biasa Bagian B (SD-LB B) Sidakarya Kota Denpasar Provinsi Bali. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan pendidikan agama pada SD-LB B Sidakarya masih kurang mendapat perhatian. Hal ini dapat dilihat dari bahan pengajaran yang masih menggunakan buku acuan sekolah umum dan tidak ada RPP maupun buku acuan khusus untuk SD-LB B, guru agama berkualifikasi sebagai guru agama. Adapun faktor pendukung dalam proses pembelajaran agama adalah adanya semangat belajar peserta didik yang tinggi, tersedianya ruang kelas, sarana prasarana dan lokasi sekolah yang tidak jauh dari lingkungan peserta didik. Faktor penghambat dalam proses pembelajaran adalah tidak adanya alat peraga, tidak adanya buku acuan khusus untuk sekolah tuna rungu dan tuna wicara dan pengajaran agama masih tidak mendapat perhatian yang serius. Kata Kunci : Pendidikan, SDLB,pelaksanaan pendidikan agama. A. Pendahuluan Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang tetap mengacu pada UUD 1945 di mana dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 ditegaskan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Penegasan ini juga tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 5 ayat 1 yang menyatakan ” Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan luar khusus”(UU Sisdiknas,2007;10). Penjelasan berikutnya adalah pada Bab IV bagian kesebelas pasal 32 ayat (1) yang menegaskan ”Pendidikan khusus (luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental” (UU Sisdiknas,2007;25-26). Kedua pasal dan ayat tersebut menunjukan, bahwa dalam pengembangan pendidikan yang diatur dalam Undang-undang tidak terdapat perlakuan yang diskriminatif. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, termasuk

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 259 Corak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan hak memperoleh pendidikan agama. Hal ini ditegaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V pasal 12 ayat (1) a. bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (UU Sisdiknas,2007;12). Pendidikan agama ini menjadi begitu penting dalam kerangka lebih memperkuat iman dan ketakwaan peserta didik. Namun demikian, dalam realitas di beberapa sekolah, pendidikan agama tidak diajarkan oleh guru agama yang secara profesional bertugas untuk mengajarkan pendidikan agama. Berdasarkan realitas di atas itulah, maka perlu kajian yang mendalam melalui penelitian tentang pelaksanaan pendidikan agama di Sekolah Luar Biasa (SD-LB B), apalagi pada setiap SD-LB B memiliki heterogenitas peserta didik dalam latarbelakang agama. Penelitian ini mencoba menjawab berbagai permasalahan, seperti bagaimanakah pelaksanaan pendidikan agama pada SD-LB B Sidakarya di Kota Denpasar, bagaimana kompetensi guru agama pada SD- LB B Sidakarya di Kota Denpasar dan apa faktor pendukung dan penghambat terhadap pelaksanaan pendidikan agama pada SD-LB B Kota Denpasar ? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan agama di SD-LB B Sidakarya dan bagaimana kompetensi guru agama yang mengajarkan pendidikan agama di SD-LB B Sidakarya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat terhadap pelaksanaan pendidikan agama di SD-LB B Sidakarya.

B. Kajian Teori Belajar secara sederhana adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan (Rusyan,1989;7). Oleh karena itu, di manapun dan kapanpun terjadi sebuah interaksi yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah adalah belajar. Menurut Dahar (1989;21), bahwa belajar sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman. Pengertian tentang belajar tersebut merupakan pengertian umum dan sangat sederhana. Adapun pengertian belajar dalam arti yang lebih luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan,

260 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai- nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi (Rusyan;1989;8). Secara teori, pengertian belajar telah banyak dijelaskan oleh para pakar pendidikan. Gordon H. Bower & Ernest R. Hilgard (1981;2) dalam buku Theoris of Learning dijelaskan secara sederhana bahwa To learn means ”to gain knowledge through experinece”, dan dalam buku tersebut banyak ditampilkan tokoh-tokoh dengan konsep-konsep belajar, seperti Thorndikes, Pavlov, dan Gestalt, dll. Dari teori-teori belajar yang diungkapkan, terdapat teori belajar yang cukup dikenal, yaitu teori stimulus-respon (S-R) conditioning. Teori S-R sebagai teori perilaku menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang diamati, yang terjadi melalui terkaitnya stimulus-stimulus (penyebab belajar) dan respons- respons (reaksi-reaksi fisik) menurut prinsip-prinsip mekanistik. Menurut teori ini cukup bagi peserta didik untuk mengasosiasikan stimulus-stimulus dan respons-respons dan diberi reinforsmen bila ia memberikan respons-respons yang benar. Teori ini tidak mempersoalkan apakah yang terjadi dalam pikiran peserta didik sebelum dan sesudah respons dibuat. Sedangkan bagi guru/guru dalam membimbing peserta didik menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforsemen pada langkah-langkah yang menuju pada keberhasilan dengan teknik pembentukan yang digunakan dalam mengajarkan keterampilan-keterampilan baru (Dahar,1989;20-27). Teori lain yang juga dikembangkan adalah teori Gestalt-Field (G-F). Teori ini lebih menekankan pada aspek kognitif sehingga lebih dikenal dengan teori-teori kognitif. Menurut teori ini belajar merupakan proses perolehan atau perubahan-perubahan insights (wawasan/pengertian), outlooks (pandangan-pandangan), harapan-harapan atau pola-pola berpikir (Dahar,1989;20-27). Kedua teori ini (S-R dan G-F) memiliki penekanan yang berlawanan, yaitu penekanan pada perubahan perilaku (Psikomotorik) dan penekanan pada perubahan berfikir (kognitif). Untuk mengembangkan pembelajaran pada peserta didik yang memiliki kekhususan yang berada pada lembaga pendidikan SD- LB B tidak hanya menekankan pada kedua aspek (psikomotorik dan kognitif) melainkan juga pada aspek afektif. Sebagaimana dalam Tujuan Nasional pasal 4 UU nomor 2 tahun 1989 berbunyi ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Tujuan pendidikan nasional di atas berlaku secara keseluruhan, baik peserta didik normal maupun yang memiliki kelainan atau kekhususan. Dan tujuan tersebut juga berlaku integral, yaitu pendidikan agama menjadi sesuatu yang penting. Menurut Zakiah darajat, ilmu pengetahuan yang tinggi tanpa disertai oleh keyakinan beragama akan gagal dalam memberikan kebahagiaan kepada yang memilikinya. Agama memberikan bimbingan hidup dari yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar- besarnya, mulai dari hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan hubungan dengan Alloh, bahkan dengan alam semesta dan makhluk hidup yang lain (Darajat,1988;20). Adapun tujuan pendidikan agama pada SDLB adalah; (1). menumbuhkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama sehingga menjadi manusia yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Alloh SWT. (2). mewujudkan manusia Indonesia berakhlak mulia, yaitu manusia yang produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, serta menjaga harmoni secara personal dan sosial (Darajat,1988;20). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan agama yang diharapkan, maka diperlukan tenaga pengajar atau guru agama yang profesional dan memiliki kualifikasi akademik sesuai dengan bidangnya. Tenaga pengajar atau guru adalah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik atau peserta didik (Tafsir;1994;74). Menurut Sardiman A.M. (1992;161), guru paling tidak memiliki dua modal dasar, yaitu kemampuan mendesain program dan keterampilan mengkomunikasikan program itu kepada anak didik. Oleh karena itu, yang menjadi guru paling tidak ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu mengetahui karakter murid, selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkan maupun dalam cara mengajarkannya, dan guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (Al Abrasy;1974;133-134). Di samping syarat menjadi guru, juga terdapat aspek yang berkaitan dengan standar kompetensi untuk menjadi guru, yaitu Pertama, kompetensi pedagogik berkaitan dengan kesungguhan dalam mempersiapkan pembelajaran, kemampuan mengelola kelas, penguasaan media dan teknologi pembelajaran, kemampuan membimbing siswa, dan berpersepsi positif terhadap kemampuan siswa. Kedua, Kompetensi profesional yang berkaitan dengan penguasaan bidang keahlian yang menjadi tugas pokok, kemampuan menunjukan keterkaitan antara bidang keahlian yang diajarkan dengan konteks kehidupan, pelibatan siswa dalam kajian dan atau pengembangan yang dilakukan guru. Ketiga, Kompetensi kepribadian yang berkaitan dengan kewibawaan sebagai pribadi guru, kearifan dalam mengambil keputusan, menjadi contoh dalam bersikap dan berperilaku, satunya kata dan tindakan, dan kemampuan mengendalikan diri dalam berbagai situasi dan kondisi. Keempat, Kompetensi Sosial, yaitu berkaitan dengan kemampuan menyampaikan pendapat, kemampuan menerima kritik, saran dan pendapat orang lain, mudah bergaul di kalangan sejawat, karyawan dan siswa, mudah bergaul di kalangan masyarakat, dan toleransi terhadap keberagamaan di masyarakat (Hadjar,2007). Berkaitan dengan proses belajar yang berhadapan langsung dengan peserta didik dalam pengajaran, maka kompetensi dasar pendukung yang harus dimiliki guru adalah Pertama, guru harus menguasai bahan atau materi yang akan dikontakan, baik yang berada dalam kurikulum maupun bahan pengayaan atau penunjang bidang studi, Kedua, guru mampu mengelola program belajar mengajar dari merumuskan tujuan instrulsional (pembelajaran), melaksanakan program belajar mengajar sampai pada merencana dan melaksanakan program remedial. Ketiga, guru harus mampu mengelola kelas agar kelas kondusif untuk berlangsungnya proses belajar mengajar. Keempat, guru mampu memilih dan menggunakan media sebagai sumber belajar. Kelima, guru harus menguasai landasan-landasan kependidikan dari dasar, arah/tujuan sampai pada kebijakan-kebijakan pelaksanaan pendidikan nasional. C. Profil SD-LB B Kota Denpasar Sekolah Luar Biasa (SD-LB B) Sidakarya Kota Denpasar bernaung dibawah Yayasan Pendidikan Tuna Rungu Wicara (YPTRW) mulai tanggal 14 Juli 1970 dengan akta notaris No. 14 (Amir Syarifudin PPAT Wilayah Kota Denpasar, Kecamatan Kuta. Jl. Veteran 21 Kota Denpasar 80224) dan ijin operasional nomor V-03019904 tanggal 11 Maret 1987 dengan NSS (Nomor Statistik Sekolah) 824220407048. Berdirinya sekolah ini dipromotori oleh akademisi dan para pejabat seperti Rektor IKIP PGRI Denpasar, Kakanwil Diknas Provinsi Bali, para pengusaha dan tokoh tokoh masyarakat. Lokasi sekolah sejak awal mengalami perpindahan tergantung pada para dermawan yang memberi pinjaman tempat untuk proses pembelajaran. Pada awal berdirinya tahun pelajaran 1966/1967, proses pembelajaran SD-LB B menggunakan tempat sebuah gudang kayu milik Bapak Alep yang berada di jalan Trijata Denpasar dan tahun 1967 pindah ke jalan Diponegoro yang pada saat itu digunakan sebagai kantor CC PKT sampai tahun 1971 dan yang terakhir pada tahun 1978 pindah ke gedung di jalan Pendidikan No. 26 Kota Denpasar. Perhatian pemerintah pusat tentang keberadaan sekolah yang berkebutuhan khusus ini ternyata semakin baik, hal ini terlihat dari adanya pembenahan layanan dari direktorat PLB tahun 2001 kepada SD-LB B seluruh Indonesia tanpa membedakan antara sekolah yang berstatus Negeri maupun yang berstatus swasta. Begitu juga dengan pemerintah daerah Provinsi Bali yang secara serius memperhatikan SD-LB B, hal ini terhitung sejak tanggal 24 April 2007 dikeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 335/04-E/HK/2007 dan didasarkan pada PP 25 tahun 2000 semua SD-LB B/SD-LB yang berada di seluruh Provinsi Bali dialih statuskan dari Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Provinsi. Visi dari SD-LB B Sidakarya adalah menjadi sekolah yang dipercaya oleh masyarakat untuk mencerdaskan bangsa dalam mensukseskan wajib belajar. Adapun misi dari SD-LB B Sidakarya ini adalah : Menyiapkan generasi unggul yang memiliki potensi di bidang IMTAQ dan IPEK, Mengembangkan sumber daya manusia yang aktif, kreatif, inovatif sesuai dengan perkembangan zaman melalui kegiatan pembelajaran. Untuk tenaga kependidikan berawal dari 4 orang guru pada awal berdiri sampai sekarang telah berjumlah 14 orang guru dengan 1 kepala sekolah berstatus PNS dan 3 orang tenaga administrasi. Dari 14 orang guru yang telah memiliki NIP berjumlah 10 orang dengan rincian Golong IV/a berjumlah 8 orang, III/b 1 orang, dan III/a berjumlah 1 orang, sedangkan 3 orang masih berstatus swasta. Khusus tenaga kependidikan bidang studi pendidikan agama, baik agama Hindu maupun Islam terdapat 4 orang guru, yaitu Drs. H. Wardoyo (PNS Golongan IV/a) pindahan dari SD-LB B Pembina di Jimbaran Provinsi Bali, Ni Nengah Sartini S.Ag.(PNS Golongan III/b yang pada awalnya adalah guru agama Hindu pada SMP), Ni Wayan Sukerti (Tenaga Honorer yang sekaligus guru keterampilan), dan Sri Emmy Sukamto, S.Pd. (PNS Golongan III/a yang memiliki latarbelakang Pendidikan Luar Biasa dan therapis pada sekolah khusus). SD-LB B Sidakarya mengelola peserta didik dari tingkatan Taman Kanak- kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Jumlah peserta didik TK –LB B = 9 anak, SD-LB B = 58 anak, SMP-LB B 23 anak, dan SMA-LB B berjumlah 10 anak. Dengan demikain jumlah keseluruhan peserta didik yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Tuna Rungu Wicara (YPTRW) berjumlah 100 anak yang terdiri dari 54 laki-laki dan 46 perempuan. Khusus untuk SD-LB B yang menjadi fokus penelitian ini memiliki jumlah terbesar, yaitu 58 peserta didik yang terdiri dari 28 peserta didik laki-laki dan 29 peserta didik perempuan. Begitu juga dilihat dari aspek kepemelukan agama terdapat beberapa peserta didik yang beragama Hindu, Islam dan yang beragama Katolik. Untuk melihat secara rinci dari kedua aspek tersebut adalah sebagai berikut.:

Tabel Jumlah peserta didik dilihat dari aspek pemeluk agama

Dari tabel di atas nampak bahwa pemeluk agama pada setiap kelas paling tidak terdapat 2 agama, yaitu peserta didik yang beragama Hindu dan beragama Islam. Peserta didik yang beragama Hindu merupakan mayoritas, yaitu berjumlah 45 anak, yang beragama Islam 12 anak, dan peserta didik yang beragama Katolik 1 anak. D. Pelaksanaan Pendidikan Agama di SD-LB B Sidakarya Pelaksanaan pendidikan agama pada SD-LB B Sidakarya Kota Denpasar pada dasarnya sama dengan pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah umum lainnya setingkat Sekolah Dasar. Hal ini dikarenakan kurikulum atau bahan pengajaran yang disampaikan masih menggunakan kurikulum pendidikan agama Sekolah Dasar normal, sedangkan kurikulum pendidikan agama khusus untuk peserta didik yang mengalami kekhususan belum dirumuskan sebagaimana kurikulum untuk mata pelajaran lainnya. Pandangan tentang pelaksanaan pendidikan agama di SD-LB B menurut I Made Pujana (Kepala sekolah) adalah sangat penting karena masalah keyakinan harus diajarkan sesuai dengan agama yang dianutnya. Hanya saja yang perlu diperhatikan untuk peserta didik yang memiliki kekurangan dalam pendengaran dan berbicara, maka pendidikan agama lebih didasarkan pada penerapan budi pekerti, perilaku, moral agama agar lebih realistis, sedangkan dalam proses pembelajaran lebih melihat pada kondisi dan situasi (kondisional dan situasional). Sedangkan menurut Drs. H. Wardoyo, bahwa pada dasarnya pendidikan agama adalah hak peserta didik untuk memperolehnya. Oleh karena itu sebisa dan semaksimal mungkin proses pembelajaran pendidikan agama harus dilaksanakan meskipun dengan batas-batas yang sangat sederhana. Menurut Ni Nengah Sartini merasa prihatin karena tidak adanya kurikulum khusus tentang pendidikan agama yang sampai sekarang belum dirumuskan secara jelas, padahal agama adalah utama dalam proses pembelajaran. Senada dengan pandangan para pendidik di atas, LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) yang memiliki tugas untuk menjaga kualitas pengajaran bidang studi menyatakan, bahwa pendidikan agama adalah sesuatu yang mendasar dan bagi peserta didik yang memiliki kekhususan seperti tuna rungu, maka definisi menjadi tidak diperlukan, akan tetapi bahan ajar lebih ditekankan kepada aplikasi atau wujud perilaku. Sementara ini pendidikan agama bagi peserta didik dilakukan oleh keluarga sehingga secara teori tidak memahami dan tidak mengetahui. Untuk mengetahui secara keseluruhan bagaimana sesungguhnya dari proses pelaksanaan pendidikan agama pada SD-LB B Sidakarya dapat dilihat dari bagaimana sesungguhnya komponen dalam pelaksanaan pendidikan agama itu berjalan, baik dilihat dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri, yaitu yang dilihat dari bahan atau materi pelajaran, metode maupun evaluasi. Sedangkan aspek lain adalah berkaitan dengan kompetensi guru agama dan faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pendidikan agama itu sendiri.

1. Pelaksanaan pendidikan Agama Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses terjadinya perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman. Dalam proses ini, khusus bahan atau materi pelajaran pendidikan agama yang disampaikan kepada peserta didik SD-LB B Sidakarya adalah bahan atau materi yang diberikan untuk peserta didik pada sekolah dasar normal yang setingkat, sehingga secara mental peserta didik tidak siap untuk menerima bahan atau materi tersebut. Di sinilah kesan bahan atau materi pendidikan agama dipaksanakan untuk diterima oleh peserta didik yang tidak setingkat secara mental diterapkan, meskipun secara fisik peserta didik telah siap untuk menerima materi pelajaran yang disampaikan dan setelah materi tersebut diterima ada kemungkinan perubahan perilaku pada peserta didik. Ditinjau dari aspek kognitif yang menekankan pada proses perolehan atau perubahan-perubahan insights (wawasan/pengertian), outlooks (pandangan- pandangan), harapan-harapan atau pola-pola berpikir tidak dapat dicapai dan pelaksanaan pendidikan agama di SDLB Sidakrya belum sesuai. Hal ini dikarenakan bahan atau materi yang disusun adalah untuk peserta didik normal, sedangkan yang menerima peserta didik yang memiliki kekurangan dalam hal pendengaran dan berbicara. Tidak sesuainya materi atau bahan pelajaran agama yang diberikan kepada peserta didik mengakibatkan interaksi edukatif tidak berjalan secara maksimal. Sementara itu, dilihat dari substansi materi atau bahan pelajaran agama terlalu banyak yang tidak mungkin diterima oleh peserta didik. Oleh karena itu, langkah untuk memilah-milah dan menentukan materi yang tepat agar sesuai dengan kondisi peserta didik merupakan pekerjaan tersendiri. Bahkan pada materi kelas I dan II guru agama lebih banyak merumuskan sendiri materi atau bahan yang disampaikan kepada peserta didik. Hanya saja dalam merumuskan masih nampak spontanitas tanpa perencanaan yang matang dan tidak terumuskan terlebih dahulu sesuai dengan Gari-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Hal ini dilakukan karena tidak adanya acuan khusus materi atau bahan khusus materi agama untuk SD-LB B. Materi atau bahan pelajaran agama untuk kelas III – VI secara substansial mengacu pada buku pedoman SD umum/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih harus memilah-milah materi atau bahan pelajaran dengan tema dan sub tema yang masih dapat diterima oleh peserta didik. Langkah seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efesien, mengingat penetapan materi yang tidak terencana sebelumnya dan teknik menentukan untuk menyampaikan bersifat sekenanya mengesankan penyampaian materi bersifat ala kadarnya dan kalau tidak disampaikan menjadi sesuatu yang tidak menjadi masalah. Apalagi pembelajaran juga dilakukan tidak hanya di dalam kelas, melainkan di luar kelas dalam bentuk interaksi sosial yang menekankan pada budi pekerti. Dengan bahan atau materi pelajaran agama yang masih mengacu pada sekolah umum normal yang setingkat nampak masih mengalami kesulitan dan jauh dari efektifitas dalam pembelajaran. Padahal pembelajaran agama pada sekolah diharapkan menjadikan peserta didik menjadi manusia yang utuh sebagaimana dalam Tujuan Nasional pasal 4 UU nomor 2 tahun 1989 berbunyi ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran, guru agama lebih banyak menggunakan metode ceramah maupun tanya jawab. Adapun dalam penyampaian lebih menekankan pada bahasa Ibu sebagai bahasa sehari-hari di rumah atau biasa dikenal dengan MMT (Metode Maternal Reflektif). Metode bahasa Ibu ini merupakan penerapan yang dapat memudahkan peserta didik memahami materi yang disampaikan, hanya saja harus diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengembangkan daya kreasinya untuk memberikan pemahaman yang mudah diterima bagi peserta didik, hal ini dikarenakan latar belakang guru dan situasi guru yang sehari-hari berada dalam keluarga yang normal. Penerapan metode ceramah tetap digunakan dengan asumsi bahwa bagaimanapun peserta didik masih memiliki sisa pendengaran yang apabila terus menerus dilatih dan dikembangkan masih memungkinkan untuk memiliki kemampuan menerima materi pelajaran. Namun demikian, langkah mengembangkan komunikasi dengan Oral-Aural tidak diikuti dengan alat komunikasi yang dapat membantu sisa pendengaran sehingga peserta didik lebih banyak menulis apa yang ada di papan tulis dan memperhatikan apa yang disampaikan guru dari aspek mimik (gerakan mulut) guru dan gerakan tangan guru. Oleh karena itu, pendekatan yang cukup baik adalah dengan metode yang memaksimalkan fungsi pendengaran dan tetap menggunakan mulut sebagai fungsi utama untuk komunikasi serta gerakan tangan dan anggota badan lainnya atau bahkan fasilitas yang ada dalam kelas dapat digunakan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik. Metode pembelajaran dengan pendekatan komunikasi total inilah yang kurang dimaksimalkan oleh guru agama di SD-LB B Sidakarya sehingga peserta didik tidak dapat menguasai materi atau bahan pelajaran sesuai dengan target-target pembelajaran. Evaluasi pembelajaran agama telah dilaksanakan dari pretest, postest sampai pada evaluasi semesteran dan kenaikan kelas. Hanya saja belum adanya kurikulum pendidikan agama yang dikhususkan SD-LB B, maka evaluasi yang dilaksanakan terkesan asal-asalan yang penting memenuhi standar pendidikan formal. Evaluasi pendidikan agama tidak direncanakan secara matang berdasarkan capaian kurikulum atau standar kompetensi, melainkan didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan peserta didik mampu menyelesaikan tugas. Dengan demikian, target-target kurikulum yang ditentukan pada buku acuan sekolah umum yang setingkat tidak dapat diterapkan pada sekolah khusus, meskipun terjadi pemilahan-pemilahan materi. 2. Kompetensi Guru Agama SD-LB B Sidakarya Kota Denpasar Guru memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai penyampai ilmu (Transfer of knowledge) harus memiliki syarat untuk menjadi seorang guru. Paling tidak menurut Munir Mursy (1994), guru harus sudah dewasa, sehat jasmani dan rohani, menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk) ilmu mengajar, dan memiliki kepribadian yang baik. Apabila dilihat dari syarat tersebut, semua guru agama SD-LB B Sidakarya telah memenuhi syarat tersebut, meskipun demikian, masing-masing guru agama masih terdapat perbedaan yang menjadikan kurang profesional. Kurang profesionalnya guru agama dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek bidang studi yang disampaikan bukan pada bidang studinya, hal ini terdapat pada guru agama Islam yang memiliki tugas mengajar untuk bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan ketika mengajar agama Islam didasarkan hanya karena kesadarannya sebagai guru yang beragama Islam merasa terpanggil untuk mengajarkan materi agama Islam, sedangkan pada guru agama Hindu bukanlah alumni dari Pendidikan Luar Biasa dan selama ini mengajar pada sekolah umum normal pada tingkatan SLTP. Berkaitan dengan kompetensi guru agama dari aspek kompetensi pedagogik dalam mempersiapkan pembelajaran nampak masih kurang maksimal, hal ini dikarenakan semua guru agama di SD-LB B Sidakarya belum menyusun kurikulum maupun RPP (Rencana Program Pembelajaran) tersendiri dan masih berpegang pada kurikulum untuk sekolah normal yang setingkat yang disusun bukan untuk SD-LB B. Sementara itu, dilihat dari aspek lain, seperti keteraturan dan ketertiban penyelenggaraan pembelajaran, kemampuan mengelola kelas, kedisiplinan dan kepatuhan terhadap aturan sekolah, kemampuan melaksanakan penilaian prestasi belajar siswa, objektivitas dalam penilaian terhadap siswa, kemampuan membimbing siswa, dan berpersepsi positif terhadap kemampuan siswa adalah cukup baik. Dilihat dari kompetensi profesional terutama berkaitan dengan penguasaan bidang keahlian yang menjadi tugas pokok, keluasan wawasan keilmuan, kemampuan menunjukan keterkaitan antara bidang keahlian yang diajarkan dengan konteks kehidupan nampak lebih siap. Namun demikian, hal ini kurang didukung dengan penguasaan akan isu-isu mutakhir dalam bidang yang diajarkan, kesediaan melakukan refleksi dan diskusi (sharing) permasalahan pembelajaran yang dihadapi dengan teman guru, pelibatan siswa dalam kajian dan atau pengembangan yang dilakukan guru, kemampuan mengikuti perkembangan ipteks untuk pemutakhiran pembelajaran, dan keterlibatan dalam kegiatan ilmiah organisasi profesi. Kompetensi kepribadian adalah sangat penting bagi guru agama di SD-LB B Sidakarya, terutama berkaitan dengan kewibawaan sebagai pribadi guru, kearifan dalam mengambil keputusan, menjadi contoh dalam bersikap dan berperilaku, satunya kata dan tindakan, kemampuan mengendalikan diri dalam berbagai situasi dan kondisi, dan adil dalam memperlakukan sejawat. Dalam hal kompetensi ini, secara umum telah melekat pada guru. Begitu juga dalam kompetensi sosial cukup akomodatif, baik berkaitan dengan kemampuan menyampaikan pendapat, kemampuan menerima kritik, saran dan pendapat orang lain, mudah bergaul di kalangan sejawat, karyawan dan siswa, mudah bergaul di kalangan masyarakat, dan toleransi terhadap keberagamaan di masyarakat. Dalam bidang pengajaran, kompetensi guru agama berkaitan dengan penguasaan materi yang akan dikontakan kepada peserta didik hanya sebatas apa yang terdapat dalam buku acuan, sedangkan untuk materi penunjang bidang studi belum terprogram dengan baik. Dari aspek mengelola program belajar mengajar dari merumuskan tujuan instruksional tidak dimiliki karena masih mengacu pada buku yang tidak sesuai dengan karakter peserta didik. Dengan demikian, guru tidak dapat melaksanakan program belajar mengajar sampai pada merencana dan melaksanakan program remedial yang disusun oleh guru yang bersangkutan. Berkaitan dengan pengelolaan kelas agar kondusif dapat dilakukan dengan baik, hal ini nampak dari pengalaman mengajar yang telah dilakukan. Dalam pengamatan yang dilakukan, proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan terjadi komunikasi antar guru dengan peserta didik, sehingga ketika peserta didik ada yang kurang atau tidak faham langsung menanyakannya. Kompetensi guru dalam bidang pengajaran ini secara umum adalah baik. Adapun agar lebih profesional, guru agama perlu melakukan penyusunan RPP maupun penyusunan kurikulum tersendiri sebelum pelaksanaan pembelajaran. 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pendidikan Agama SD-LB B Sidakarya Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung maupun penghambat terhadap proses pembelajaran pendidikan agama, yaitu sebagai berikut. a. Faktor Pendukung Proses Pembelajaran Agama Apabila di lihat secara mendalam terdapat beberapa hal yang menjadi faktor pendukung terhadap proses pembelajaran agama di SD-LB B Sidakarya, yaitu : telah tersedianya guru agama sebagai tenaga pendidikan yang telah memiliki pengalaman mengajar, semangat belajar peserta didik yang tinggi, tersedianya ruang kelas yang cukup kondusif untuk proses pembelajaran, adanya seperangkat pembelajaran yang bersifat inti, seperti papan tulis, kapur, buku pelajaran, dll., lokasi sekolah yang tidak jauh dari lingkungan peserta didik, keakraban sesama peserta didik yang membuat peserta didik ingin selalu hadir dan tidak ingin ada hari libur, dan suasana sekolah yang asri sehingga mendukung peserta didik merasa nyaman dalam berinteraksi. b. Faktor Penghambat Proses Pembelajaran Agama Faktor penghambat dari aspek psikomotorik adalah tidak adanya alat peraga. Padahal untuk SD-LB B Sidakarya alat peraga bukan sekedar memiliki fungsi sebagai fungsi tambahan maupun alat hiburan pendidikan, melainkan memiliki fungsi tersendiri yang masuk pada fungsi inti pengajaran agar pengajaran dapat berjalan lebih efektif. Penggunaan alat peraga adalah bagian integral dari proses dan situasi pembelajaran yang harus dikembangkan guru agama dan yang jelas alat peraga digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengembangkan berfikir peserta didik SD-LB B. Dilihat dari aspek kognitif terjadi hambatan dalam proses pembelajaran sehingga pengajaran agama tidak dapat berjalan secara maksimal. Hambatan dalam aspek kognitif ini adalah diakibatkan dari tidak adanya buku acuan khusus untuk sekolah tuna rungu dan tuna wicara. Sedangkan faktor penghambat dalam pengembangan aspek afektif peserta didik sebenarnya dapat diminimalisir melalui interaksi belajar mengajar di kelas maupun di luar kelas. Namun demikian, kesan pengajaran agama adalah pengajaran yang tidak mendapat perhatian yang serius, maka proses pembelajaran yang secara sengaja merubah perilaku peserta didik melalui pengajaran agama menjadi tidak dapat tercapai. E. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang pelaksanaan pendidikan agama di SD-LB B Sidakarya Kota Denpasar dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pendidikan agama pada SD-LB B Sidakarya Kota Denpasar pada dasarnya sama dengan pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah umum lainnya setingkat SD, tetapi secara substansi masih kurang mendapat perhatian. Hal ini dapat diketahui dari bahan pengajaran masih menggunakan buku acuan sekolah umum dan tidak ada RPP maupun buku acuan khusus untuk sekolah luar biasa (SD-LB B) sehingga terjadi kesulitan dalam menentukan materi pengajaran. 2. Kompetensi guru agama dilihat dari kompetensi pedagogik masih kurang maksimal, sedangkan dilihat dari kompetensi profesional nampak lebih siap meskipun kurang didukung dengan penguasaan akan isu-isu mutakhir dalam bidang yang diajarkan. 3. Faktor pendukung dalam proses pembelajaran agama adalah telah tersedianya SDM dari guru agama, adanya semangat belajar peserta didik yang tinggi, tersedianya ruang kelas dan perangkat didalamnya. Di samping itu, faktor pendukungnya adalah lokasi sekolah yang tidak jauh dari lingkungan peserta didik. 4. Faktor penghambat dalam proses pembelajaran adalah tidak adanya alat peraga, tidak adanya buku acuan khusus untuk sekolah tuna rungu dan tuna wicara dan pengajaran agama masih tidak mendapat perhatian yang serius. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya. Bandung. 1994. Al Abrasy, Muhammad Atiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (terj. Bustami A. Gani & Johar Bahry), Bulan Bintang. Jakarta. 1974. Bower, Gordon H., Theories of Learning,Prentice-Hall. Englewood Cliffs. 1981. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Rineka Cipta. Jakarta. 1999. Hamid Hasan S., Evaluasi Kurikulum, PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2008. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Logos. Jakarta. 2001. Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, Erlangga. Jakarta. 1989. Tabrani Rusyan, A., dkk. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosdakarya. Bandung. 1989. UU RI No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pustaka Pelajar. Jakarta. 2007. Zakiah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Haji Masagung. Jakarta. 1988. PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA PADA SMA SWASTA DI BAWAH YAYASAN KEAGAMAAN (Studi Komparatif Perilaku Keagamaan Peserta Didik Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan Pendidikan Agama Di SMA Al Islam I dan SMA Batik 2 Surakarta) Oleh : W a h a b Abstrak Penelitian ini bersifat studi komparatif, yakni membandingkan dampak pelaksanaan PAI pada SMA Swasta di bawah yayasan berbasis keagamaan Islam yang menggunakan kurikulum yayasan dan Diknas. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperolah pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Yayasan. Tujuan penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperolah pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Yayasan, (2) untuk mengetahui perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI, dan XII pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan. Hasil penelitian menunjukan (1) peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan kurikulum Yayasan lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan kurikulum Diknas, (2). Perilaku peserta didik kelas XII lebih baik daripada kelas XI. Kata kunci : Kurikulum PAI Yayasan dan perilaku keagamaan. A. Pendahuluan Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Bab I, Pasal I, ayat 2,UU No.20 Tahun 2003 Ttg.Sisdiknas). Pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangs dan m3engmbangkan manusia Indonesia seutuhnya.Yang dimaksud dengan masnusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4, UU No.20 Tahun 2003, Ttg. Sisdiknas). Tujuan pendidikan nasional dapat dicapai melalui tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instrusional (Tafsir: 1995;14). Di dalam kurikulum stanmdar isi disebutkan bahwa Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia antara lain mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual maupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Sasaran pendidikan agama pada Sekolah Menengah Atas adalah para siswa yang masih tergolong berusia remaja. Dilihat dari segi perkembangan kejiwaan, para remaja itu pada umumnya masih labil. Keadaan kejiwaan yang demikian itu tampak pula dalam kehidupan beragama yang goyah,timbul kebimbangan, kerisauan, dan konflik batin (Ahyadi : 1991;43). Di samping itu, pada umumnya para remaja rentan terhadap pengaruh negatif. Pengaruh tersebut merupakan efek samping daei kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi serta pergaulan sehari- hari, antara lain perkelahian antar siswa, penyalahgunaan obat terlarang, pergaulan bebas, dan sebagainya. Dengan demikian, agama memiliki peran yang amat penting dalm kehidupan manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bebrtabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat mansia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadu manusia yang beriman dan bertkwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akkhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta penglaman nilai- nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemsyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangnya standar kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional dintadai dengan ciri- ciri: (1) lebih menitikberatkan pencapaian kompetensi secara utuh selain penguasaan materi; (2) mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia; (3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber pendidikan (Depdiknas, 2006). Pendidikan agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah baik sekolah negeri maupun swasta akan memberikan dampak terhadap perilaku keagamaan peserta didik. Perilaku keagamaan tersebut dapat berupa perilaku yang berkaitan dengan akidah, akhlak, Qur’an, hadits, dan SKI. Pada sekolah-sekolah swasta berbasis keagamaan, memiliki karakter tersendiri dalam memberikan pendidikan agama dibanding dengnan sekolah-sekolah yang tidak berbasis agama. Sebagai contoh, terdapat SMA swasta yang menggunakan Kurikulum PAI dari Depdiknas dan kurikulum khusus dari yayasan penyelenggara pendidikan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dimuka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Adakah perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan peserta didik yang memperoleh pembelajaran agama deangan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Yayasan pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan? 2. Adakah perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI, dan XII pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan? Kemudian berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari peneltian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperolah pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dan kurikulum PAI Yayasan pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan. 2. Untuk mengetahui perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI, dan XII pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Diperolehnya informasi tentang dampak dari pembelajaran agama Islam/pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah, dalam penelitian ini khususnya SMA Swasta yang berbasis keagamaan. 2. Diperolehnya informasi tentang dampak dari implementasi kurikulum Diknas dan kurikulum Yayasan. Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap beberapa istilah, dalam penelitian ini didefinisikan beberapa istilah sebagai berikut. 1. Pembelajaran agama dengan kurikulum Depdiknas adalah pembelajaran agama di sekolah swasta yang sesuai deangan kurikulum PAI (Pendidikan Agama Islam) dari Depdiknas. 2. Pembelajran agama Islam di sekolah swasta dengan kurikulum PAI (Pendidikan Agama Islam) Yayasan adalah pembelajaran agama dengan kurikulum yang disusun oleh Yayasan sebagai pemilik sekolah. 3. Dampak dari pelaksanaan pendidikan agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku keagamaan sebagai akibat peserta didik memperoleh pembelajaran PAI yang berkaitan dengan akidah, akhlak, qur’an hadits, fiqih, dan SKI. Pembatasan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pelaksanaan pendidikan agama yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada pembelajaran agama Islam di Sekolah Menengah Atas (SMA). 2. Sekolah swasta yang dimaksud adalah SMA yang berada di bawah Yayasan Keagamaan yang berbasis Islam. 3. Peserta didik sebagai sampel penelitian ini adalah peserta didik yang hanya memperoleh pendidikan agama di sekolah (artinya tidak dan belum pernah mengikuti pesantren atau alumnus Madrasah Tsanawiyah). B. Kerangka Teoritis 1. Kurikulum PAI SMA Pendidikan merupakan proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang. Berbagai aspek yang tercakup dalam proses pendidikan saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Proses yang sangat kompleks, karena proses tersebut melibatkan berbagai aspek seperti guru, fasilitas, kondisi siswa, lingkungan belajar, managemen sekolah, dan kurikulum. Salah satu kekhasan dari kurikulum sekolah di Indonesia adalah terdapat kurikulum agama pada semua jenjang satuan pendidikan. Diberikannya kurikulum agama pada semua jenjang pendidikan karena agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai, dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan manusia maka internalsisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pendidikan Agama Islam (PAI) diberikan dengan mengikuti tuntutan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, displin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntuan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional visi tersebut ditandai dengan ciri-ciri: (1) lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secara utuh selain penguasaan materi, (2) mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, (3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya pendidikan (Depdiknas, 2006). Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMA/MA bertujuan untuk: (1) menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembanngan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, (2) mewujudkan manusia Indonesia yanng taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. Ruang lingkup pndidikan Agama Islam meliputi aspek-aspek : (1) Al- Qur’an dan Al-Hadits, (2) Akidah, (3) akhlak, (3) Tarikh Kebudayaan Islam. Pendidikan Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sebagian masyarakat menyadari bahwa diberikannya Pendidikan Agama Islam di sekolah diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khsusnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Karena itu sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah pengelolaan yayasan keagamaan, khususnya yang berbasis Islam berusaha merancang kurikulum PAI yang lebih banyak kandungan isi/materinya dibanding dengan kurikulum PAI yang disusun oleh Depdiknas. Di samping itu materi kurikulum yang lebih padat juga waktu yang disediakan lebih banyak dibanding waktu yang disediakan pada kurikulum Depdiknas. Dari hasil studi pendahuluan pada sekolah SMA yang dikelola Yayasan yang berbasis keagamaan (Isalam), kurikulum pendidikan agama Islam dibagi ke dalam mata pelajaran (1) Al-Qur’an dan Al-Hadits, (2) akidah, (3) akhlak, (4) fiqih, dan (5) Tarikh dan Kebudayaan Islam/SKI. Selain membagi mata pelajaran PAI ke dalam mata pelajaran tersebut juga didukung dengan mata pelajaran bahasa Arab sebagai alat untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. 2. Implementasi Kurikulum PAI dan Dampaknya Implementasi kurikulum PAI di sekolah tidak terlepas dari peran seluruh sumber daya sekolah. Implementasi kurikulum di sekolah tidak hanya kurikulum yang tertulis saja tetapi kurikulum yang tidak tertulis (hidden curriculum). Hidden currikulum adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri siswa. Menurut Zamroni (2001), proses penanaman nilai-nilai tersebut dilaksanakan melalui perilaku proses belajar mengajar. Untuk menanamkan sifat perilaku disiplin, guru harus memberikan contoh bagaimana guru berperilaku disiplin. Hidden curriculum juga terkait dengan perilaku keagamaan. Suatu perilaku keagamaan tidak cukup hanya diajarkan dan diteorikan tetapi membutuhkan contoh perilaku sebagai bagian dari hidden curriculum. Zamroni (2001) menyatakan bahwa guru perlu memperoleh pembinaan untuk: (1) mengkaji secara lebih mendalam makna hidden curriculum, (2) secara sadar merancang pelaksanaan hidden curriculum, dan (3) mengidentifikasi moment untuk melaksanakan hidden curriculum. 3. Pembelajaran PAI di SMA Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang kompleks. Dalam pembelajaran PAI guru harus memahami apa yang hendak dicapai dalam pendidikan agama itu atau apa tujuan pendidikan agama itu. Zuhairini, dkk. (1983) menyatakan bahwa tujuan pendidikan agama itu adalah menyempurnakan pendidikan agama yang telah diberikan sebelumnya dan memberikan pendidikan dan pengetahuan agama (Islam) serta berusaha agar mereka memgamalkan ajaran agama (Islam) yang telah diterimanya sehingga siswa me njadi orang muslim yang sejati. Untuk menjadi orang muslim yang sejati diperlukan kesadaran beragama yang mantap oleh yang bersangkutan. Hanya saja, kesadaran beragama pada masa remaja (anak seusia SMA) berada dalam kerangka peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Anak usia remaja memilki keadaan yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran yang abstrak, logik dan kritik mulai berkembang. Keadaan jiwa remaja yang demikian itu tampak pula dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan, dan konflik batin (Ahyadi, 1991). Dalam paradigma baru, proses pendidikan haruslah diarahkan agar potensi yang ada pada manusia dikembangkan seoptimalkan sesuai dengan fitrahnya (Tilaar, 2000; 55). Oleh karena itu pendidikan tidak lepas dari budaya, karena kebudayaan memberikan rambu-rambu, nilai-nilai, memberikan reward dan punishman dalam perkembangan seseorang (Tilaar, 2000;91). Masa remaja merupakan masa yang paling kritis bagi perkembangan, dan pertumbuhan untuk tahapan kehidupan manusia selanjutnya dan pada masa ini juga terjadi perubahan pisik maupun psikologi, yakni perubahan daari masa kanak-kanak menuju kedewasaan (Tim Penyusun BKKBN, 2002; 25). Menurut Darajat, masa remaja merupakan masa dimana orang itu sedang mengalami goncangan jiwa atau yang lebih dikenal dengan masa adolesen/ masa antara usia 13-21 tahun, yaitu masa usia sekolah menengah tingkat atas. Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu, yang konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa pula bahwa sikap perilaku itu merupakan kecenderungan untuk bereaksi secara positif maupun aktif terhadap suatu obyek, berdasarkan penilaian terhadap obyektifitas sebagai obyek yang berharga (W.S. Winkel, 1983 ; 163). Memahami kondisi kejiwaan siswa seusia SMA (remaja) yang masih labil tersebut maka akan berpengaruh pula terhadap perilakunya, termasuk dalam hal ini perilaku keagamaannya. Untuk itu merupakan hal yang tidak mudah untuk dapat menanamkan pemahaman tentang perilaku (akhlak) bagi siswa SMA untuk sekaligus mengamalkan teori maupun pengetahuan keagamaan yang telah diterimanya itu dalam kehidupan sehari-harinya. 4. Perilaku Keagamaan Perilaku keagamaan adalah segala bentuk amal perbuatan, ucapan, pikiran, dan keikhlasan seseorang sebagai bentuk ibadah. Perilaku-perilaku ini antara lain bentuk dari pemberian pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuahan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Peningkatan potensi spiritual yang dimaksud dalam kurikulum PAI adalah mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai- nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Akhlak mulia yang dimaksud adalah etika,budi pekerti, dan akhlak sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Perilaku keagamaan yang berkaitan dengan akidah, antara lain perilaku tidak melakukan atau mendukung perbuatan syirik, perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT, mengamalkan isi kandungan Asmaul Husna, menampilkan perilaku sebagai cerminanan beriman kepada malaikat dalam kehidupan sehari-hari, menampilkan sikap mencintai Al-Qur’an sebagai Kitab Allah, menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan kepada Rasul Allah dalam kehidupan sehari-hari, menerapkan hikmah beriman kepada qadl’ dan qadar. Periaku yang berkaitan dengan fiqih meliputi perilaku : menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari, menerapkan ketentuan perindang- undangan tentang pengelolaan zakat, haji dan wakaf, menerapkan transaksi ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari, memperagakan tatacara pengurusan jenazah, dan memperagakan khutbah, tabligh dan dakwah. Perilaku yang berkaitan dengan akhlak meliputi : membiasakan perilaku husnuzhan dalam kehidupan sehari-hari, menampilkan dan mempraktikkan contoh-contoh adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu atau menerima tamu, membiasakan perilaku bertaubat dan roja’ dalam kehidupan sehari-hari, membiasakan perilaku menghargai karya orang lain dalam kehidupan sehari-hari, membiasakan perilaku persatuan dan kerukunan, menghindari perilaku isyrof, tabzir, ghibah dan fitnah dalam kehidupan sehari-hari, menghindari perbuaatn dosa besar dalam kehidupan sehari-hari, menghindari hasad, riya, aniaya dan diskriminasi dalam kehidupan sehari- hari, adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits meliputi : menampilkan perilaku sebagai khalifah di bumi, menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah, menampilkan perilaku hidup demokrasi, menampilkan peilaku berkompetisi dalam kebaikan, menampilkan perilaku menyantuni kaum dhuafa’, membiasakan perilaku menjaga kelestarian lingkungan hidup, membiasakan perilaku bertoleransi, dan melakukan pengembangan IPTEK. Perilaku yang berkaitan dengan SKI antara lain meliputi : mengambil contoh dan hikmah dari perkembangan Islam di Indonesia dan dunia. Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) bukanlah sejarah biasa, tetapi berkaitan dengan perjuangan Islam. Dengan mempelajari SKI itu siswa SMA akan memahami da’wah Islam, sehingga Islam berkembang. 5. Kerangka Berpikir Kurikulum 2006 Pendidiakn Agama Islam (PAI) telah dimplementasikan di sekolah. Pendampingan, monitoring, dan penelitian yang terkait dengan implementasi kurikulum PAI di sekolah telah banyak dilakukan. Namun demikian monitoring dan pendampingan kurikulum PAI belum sampai kepada sejauhmana implementasi kurikulum berdampak kepada peserta didik yang terkait dengan perilaku keagamaan peserta didik. Karena itu diperlukan kajian mendalam untuk mengetahui dampak dari pembelajaran PAI di sekolah. Kerangka berfikir yang digunakan untuk mengkaji dampak tersebut adalah sebagai berikut.

Dari kerangka berfikir tersebut, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Diknas dengan Yayasan SMA swasta di bawah

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 281 Yayasan Berbasis Keagamaan. b. Terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI, dan XII pada SMA swasta di bawah Yayasan Bebasis Keagamaan. C. Metode Penelitian Metode penelitian ini merupakan studi komparatif yang terkait dengan perilaku keagamaan peserta didik sebagai dampak dari pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah. Studi komparatif ini menggunakan desain faktorial dua jalur. Gambaran desain tersebut disajikan pada tabel berikut. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Al Islam I dan SMA Batik 2 Surakarta di bawah pengelolaan Yayasan Berbasis Agama Islam, yang terdiri dari siswa kelas X, XI, dan XII tahun ajaran 2009/2010. Pemilihan sampel ini ditentukan dengan teknik strata. Alasan pemilihan sampel dengan teknik strata ini dilakukan karena peneliti menghendaki setiap sampel dapat terambil secara acak dari masing-masing kategori, yaitu kelas X, XI, dan XII. Pengambilan sampel dimulai dengan cara menetapkan SMA, selanjutnya ditetapkan jumlah siswa yang diambil secara random di kelas X, XI, dan XII. Setiap kelompok kategori ditetapkan jumlah sampel sebanyak 35 orang. Jumlah sampel sebanyak itu di dasarkan pada pendapat bahwa jumlah sampel yang telah memenuhi kategori representatif itu sebanyak 30 responden (Ruseffendi, 2001). Sampel dipilih secara random dari tiap-tiap kelas. Oleh karena terdapat 6 kelompok sampel, maka sampel dipilih dari SMA swasta yang menerapkan pembelajaran dengan mengikut Kurikulum Yayasan (SMA Al Islam I) sebanyak 105 orang dan SMA swasta yang menerapkan pembelajaran dengan mengikuti kurikulum Diknas (SMA Batik 2) sebanyak 105 orang. Dengan demikian jumlah sampel secara keseluruhan dalam penelitin ini sebanyak 210 orang (responden). D. Hasil Penelitian 1. Uji Homogenitas dan Normalitas Data Berdasarkan hasil angket tersebut, kemudian digunakan untuk menguji apakah sampel berasal dari populasi berdistribusi normal dan homogen. Untuk mengetahui normalitas sampel digunakan uji Tukey HSD, sedangkan untuk mengetahui homogenitas sampel digunakan uji Kolomogorv-Smirnov. Hipotesis untuk menguji data sampel

282 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 homogen adalah Ho : σ1 2= σ22= σ32. “Ketiga kelompok sampel tidak memiliki perbedaan variasi”. Hasil penghitungan uji hipotesis iini disajikan pada tabel 01 dan 02. Hipotesis untuk menguji apakah sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, adalah Ho : “Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal”. Hasil penghitungan untuk uji normalitas ini disajikan pada tabel 01 dan 02 Tabel 01. Hasil Uji Homogenitas Perilaku Keagamaan Tukey HSD

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 85,801. Dari tabel di atas diketahui nilai signifikansi sebesar 0.354. Oleh karena itu nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0.05, maka data tersebut dapat dikatakan homogen. Oleh karena itu Ho diterima, atau dengan kata lain ketiga kelompok homogen. Tabel 02 Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 283 a. Test distribution is Normal. Nilai kritis χ2 pada taraf keberartian α = 0,05 dan derajat kebebasan 1 adalah 0.583. Oleh karena itu nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0.05. Dengan demikian Ho diterima, atau dengan kata lain sampel berasal dari populasi berdistribusi normal. Dari perhitungan hipotesis pada tabel 01 dan 02 tersebut, dapat disimpulkan sampel berasal dari populasi normal memiliki pemahaman yang homogen. 2. Dampak Implementasi Pemberian Kurikulum PAI Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik Ditinjau dari Kurikulum Tabel 03 hasil uji ANOVA dua jalur tentang perbedaan perilaku keagamaan pada peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Diknas dan Pendidikan Agama Islam (PAI) Yayasan digunakan uji statistik ANOVA dua jalur. Uji tersebut dapat dilakukan karena hasil uji homogenitas dan normalitas telah dilakukan dan hasilnya bahwa data berdistribusi normal dan homogen. Hipotesis statistik untuk menguji perbedaan adalah sebagai berikut. H : Tidak ada perbedaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum Diknas dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum Yayasan. H1 : Ada perbedaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum Diknas dengan pserta didik yang memperoleh pembelajaran kurikulum Yayasan. Untuk menguji hipotesis, dilakukan analisis dengan ANOVA dua jalur dengan data sebagaimana disajikan pada tabel 03 berikut ini. Tabel 03

284 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Test Uji ANOVA Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:perilaku keagamaan

a.R Squared = ,060 (Adjusted R Squared = ,037) Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa nilai signifikansi pada baris kurikulum sebesar 0.007. Nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi 0.05., ini berarti Ho ditolak. Jadi karena Ho ditolak maka ada perbedaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dari Kurikulum Diknas dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum Yayasan. Untuk mengetahui nilai rata-rata angket perilaku keagamaan dapat diketahui dari deskriptif statistik pada tabel 04 sebagai berikut. Tabel 04 Descriptive Statistics Dependent Variable:perilaku keagamaan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 285 Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata angket perilaku keagamaan untuk peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan Pendidikan Agama Islam (PAI) dari kurikulum Diknas sebesar 127.47, sedangkan untuk peserta didik yang memperoleh pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dari kurikulm Yayasan sebesar 130.98. Oleh karena hasil uji ANOVA menyatakan perbedaan secara signifikan, maka perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dari kurikulm Yayasan lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran Pendidikan Aagama Islam (PAI) dari kurikulm Diknas yang ditunjukkan dengan rata-rata skor sebesar 130.98 dan dari kurikulum Yayasan dengan rata-rata skor sebesar 127.47. 3. Dampak Implementasi Pemberian Pembelajaran Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik Ditinjau dari Jenjang atau Tingkat Kelas Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaan pada peserta didik ditinjau dari jenjang atau tingkat kelas, hipotesis statistik yang digunakan sebagai berikut. H : Tidak ada perbedaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, XI, dan XII yang memperoleh pembelajaran dengnan kurikulum dari Diknas maupun Yayasan. H1 : Ada perbedaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, XI, dan XII yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dari Diknas maupun dari Yayasan. Hasil uji ANOVA dua jalur seperti yang disajikan pada Tabel 04 diperoleh nilai signifikansi pada baris kelas sebesar 0.3. Nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi 0.05, ini berarti Ho diterima. Jadi karena Ho diterima ini berarti tidak ada perbedaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, XI, dan XII yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum PAI Diknas maupun PAI Yayasan. Selanjutnya untuk mengetahui manakah yang berbeda antara perilaku keagamaan dari kategori kelas digunakan uji Tukey HSD. Interaksi antara implementasi kurikulum PAI dengan kategori kelas, apabila ditinjau interaksi antara faktor kurikulum dan faktor kelas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,5. Ini berarti tidak ada interaksi antara kurikulum dengan jenjang kelas. 4. Pembahasan

286 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 a. Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah Sampel Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kurikulum PAI di sekolah sampel adalah sebagai berikut. 1). Kurikulum PAI Diknas Implementasi kurikulum PAI pada SMA Batik 2 Surakarta secara umum berjalan dengan baik dn sesuai dengan prosedur. Terbukti para guru PAI menyusun silabus dan RPP. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru PAI juga menjadikan silabus dan RPP sebagai panduan dalam memberikan materi kepada peserta didik. Prosedur pembelajaran oleh guru PAI dimulai dengan melakukan pretest, kemudian dilanjutkan dengan melakukan kegiatan inti atau pembentukan kompetensi. Adapun pada kegiatan akhir guru melakukan post test. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru agama adalah ceramah, diskusi, dinamika kelompok, dan area teaching. Evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru PAI adalah berupa mid semester dan semesteran, serta ujian akkhir bagi peserta didik kelas XII. Kemudian untuk kegiatan pembelajaran selain dari struktur kurikulum PAI tersebut, bagi peserta didik SMA Batik2 Surakarta ada tambahan materi Baca Tulis Al-Qur’an (BTA). 2). Kurikulm PAI Yayasan Implementasi kurikulum PAI pada SMA Al Islam I Surakarta secara umum dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan prosedur maupun kelaziman kegiatan pembelajaran. Hal itu dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh guru PAI, seperti menyusun silabus dan RPP, yang keduanya merupakan prosedur yang harus dilakukan bagi seorang guru bila hendak melaksanakan tugas pembelajaran. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan bagimana pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pada SMA dengan kurikulum PAI dari Diknas diatas. Sebab dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada SMA Al Islam I tersebut, PAI yang diterapkan materinya lebih banyak termasuk kegiatan-kegiatan praktik peribadatan di sekolah, seperti salat berjamaah di masjid sekolah, praktik mengurus jenazah, sosial keagamaan, tata aturan berpakaian untuk peserta didik, pesantren kilat, dan sebagainya. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru agama adalah ceramah, diskusi, dinamika kelompok, area teaching,

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 287 praktek-praktek keagamaan. Bahkan bagi peserta didik laki-laki maupun perempuan yang tinggal di asrama pun setiap malam ada tambahan materi keagamaan dan kewajiban mengaji Al Qur’an setiap habis salat maghrib. Terkait dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru PAI, juga dimulai dengan pre test, pembentukan kompetensi, dan diakhiri dengan post test. Kemudian evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru PAI tidak berbeda sebagaimana yang dilakukan oleh guru PAI pada SMA Batik 2 diatas. Jadi dalam kegiatan pembelajaran PAI pada SMA Al Islam I Surakarta mempunyai karakteristik yang religius sesuai dengan nama sekolah tersebut yang ada kata Islam dibelakangnya. b. Analisis Penerapan Kurikulum Terhadap Perilaku Keagmaan ditinjau dari jenis Kurikulum Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa pelaksanaan pendidikan agama di sekolah berdampak terhadap perilaku keagamaan peserta didik, yang meliputi perilaku keagamaan yang berkaitan dengan akidah, akhlak, qur’an, hadits, dan tarikh. c. Analisis Penerapan Kurikulum terhadap Perilaku Keagamaan ditinjau dari Jenjang Kelas Penerapan kurikulum PAI berdampak terhadap pemahaman dan perilaku keagamaan peserta didik. Dampak tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap (afektif). Menurut Taxonomy Bloom, pengetahuan seseorang terdiri atas enam kategori yang terdiri dari (1) remember, (2) understand, (3) apply, (4) analyze, (5) evaluate, and (6) create (Anderson & Krathwohl : 2001; 30). Indikator dari masing- masing tahap adalah sebagai berikut (1) remember, pengenalan dan mengingat kembali, (2) understand, menafsirkan, memberikan contoh, mengelompokkan, menghafal, mengambil kesimpulan, membandingkan, dan menjelaskan, (3) apply, melaksanakan dan menggunakan, (4) analyze, membedakan, mengorganisasikan, dan menghubungkan, (5) evaluate, mengoreksi dan mengevaluasi, dan (6) create, menghasilkan, merencanakan, dan menciptakan. Peserta didik dari jenjang kelas yang berbeda sudah barang tentu memiliki pengetahuan yang berbeda dalam remember, understand, apply, analyze, evaluate, dan create. Hal ini dikarenakan sejumlah

288 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab pengetahuan yang diterima berbeda. Peserta didik di kelas XII telah memperoleh pengetahuan yang lebih banyak dibanding dengan kelas XI dan X. Dengan demikian secara kognitif apa yang diingat, dimengerti, diaplikasikan, dianalisis, dievaluasi, dan dikoreksi secara umum berbeda. Hasil peneltian menunjukkan bahwa nilai skor rata- rata dari respon jawaban responden perilaku keagamaan peserta didik kelas XII lebih tinggi daripada skor rata-rata kelas X dan XI. Hasil ini juga sesuai dengan struktur kognitif menurut Biggs dan Collis yang dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO) atau sering disebut dengan Taksonomi Solo. E. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana dikemukakan di muka, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran agama dengan kurikulum PAI dari Diknas dengan kurikulum PAI dari Yayasan pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbasis Keagamaan. 2. Terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, XI, dan XII pada SMA Swasta di bawah Yayasan Berbaasis Keagamaan. DAFTAR KEPUSTAKAAN ------, Undang- Undang Nomor 20 Tentang Sisdiknas Abdul Azis, Ahyadi, 1991, Psikologi Agama, Bandung, Sinar Baru Al Baghdadi, A. 1996, System Pendidikan di Masa Khalifah Islam, Bangil, Al Izzah. Atherthon, JS., 2009, SOLO Taxonomy, http://www. Learning and teaching,info/learning/solo,htm (Maret 2009). Blomm, Anderson, W.L, dan Krekhwohl, R.D (Ed). 2001, A Taxonomy for Learning, and Assesing, A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives, New York; Addision Wesly Longman, Inc. Chlis, dkk., 2004, Pendidikan Agama Islam Mata Pelajaran Diklat SMK Tingkat I, Semarang, CV. Mutiara Persada Darajat, Zakiyah, 1973, Peranan Agama Islam Dalam Kesehatan Mental, Jakarta, PT. Gunung Agung

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 289 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang

Tafsir, Ahmad, 1995, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, Rosdakarya Tilaar, H.A.R. 2000, Paradigma Baru pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta Tim Penyusun BKKBN, 2002, Membantu Remaja Memahami Dirinya, Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Jakarta, BKKBN Winkel, W.S., 1983, Psikologi Prndidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta, PT. Gramedia. Zamroni, 2001, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, BIGRAF Publishing. Zayadi, Ahmad dan Majid,A., 2004, Tadzkirah, Pembelajaran PAI Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, Jakarta, Raja Grafaindo Persada. Zuhairini, Et-al, 1983, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya, Usaha Nasional

290 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 291 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang

292 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 293 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang

Ab s t r a c t This study aims to identify - and analyze the implementation KTSP- inhibiting factor in supporting MTsN III Malang Regency. Before implementing MTsN KTSP make preparations mature enough and stable. Implementation of KTSP in MTsN III Malang running smoothly, procedural, and in accordance with the laws, regulations and guidance from BSNP. As an indicator of KTSP implementation can be ascertained from student achievement in the UN in 2008 the average value of 7.18 and in 2009 the average value of 8.75. Some of non-academic and academic achievements of the various competitions from local, regional, national and even ASEAN succeed achieved by MTsN III Malang. Factors supporting the implementation of KTPS MTsN III Malang can be known from the ethos, dedication, loyalty, and professionalism of each school functionary (Head, Deputy Head, teachers, staff of the General Affair, and student input). While blocking factor has not fully have ideal classrooms (20-30 students per class).

Keywords: KTSP, Madrasah, Implementation KTSP.

Pe n d a h u l u a n Kurikulum dalam pengertian yang sederhana merupakan seperangkat rencana pembelajaran yang akan dicapai oleh peserta didik dalam waktu yang telah ditentukan. Sebenarnya pengertian kurikulum yang lebih luas juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan, dan sikap orang-orang yang melayani dan dilayani di sekolah, yaitu anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia.(Alice Mile, dalam Nasution, 2001: 6) Menurut Djohar, kurikulum itu pada dasarnya adalah pedoman pendidikan agar anak memperoleh kompetensi tertentu. Sebelum menentukan kurikulum, seharusnya ditetapkan dahulu kompetensi apa yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa apabila ia menyelesaikan suatu jenjang pendidikan.(Djohar, 2003: 45) Mencermati sistem pendidikan di Indonesia sejak era awal kemerdekaan hingga sekarang masih mencari bentuk yang tepat atau ideal. Realitas semacam itu terlihat masih berganti-gantinya kebijakan dari penentu kebijakan pada depertemen yang menangani pendidikan, khususnya terkait dengan “kurikulum”. Kurikulum dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan tuntutan zaman. Tetapi jika dikaji secara mendalam, kurikulum yang digunakan selama ini seakan berfungsi membelenggu peserta didik, sebab peserta didik hanya sebagai obyek dari kurikulum. Kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia dipandang sebagai pedoman yang senantiasa harus ditaati tanpa memperhatikan apakah muatan materi kurikulum itu dapat dan/atau tidak dapat dipahami oleh peserta didik. Bahkan muatan materi kurikulum kurang pula mengakomodasi

294 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab bagaimana kondisi nyata kehidupan dalam masyarakat. Kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia sebelum tahun 2005 belum terfokus pada upaya memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah/ madrasah itu berada. Kurikulum yang diterapkan bersifat sentralistik dari pusat. Kemudian pada tahun 2006 Departemen Pendidikan Nasional sebagai pemegang amanat sistem pendidikan nasional menetapkan KTSP. KTSP merupakan kurikulum yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus. Adapun perihal yang harus mendapatkan perhatian dalam mengimplementasikan KTSP adalah: (1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, (2) beragam dan terpadu, (3) tanggap terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5) menyeluruh dan berkeseimbangan, (6) belajar sepanjang hayat, dan (7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.( Muslih, 2007: 11) Dengan telah dilaksanakannya KTSP untuk semua jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas selama tiga tahun ini, maka tidak tertutup kemungkinan terdapat keragaman permasalahan di masing-masing lembaga pendidikan sekolah/madrasah, termasuk lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Negeri. Permasalahan tersebut bisa berupa kesiapan SDM, sarana prasarana, pendanaan, maupun lingkungan. Berdasarkan latar belakang penelitian ini peneliti berusaha mengkaji bagaimana pelaksanaan KTSP pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Malang III. Rumusan masalah dalam penerlitian ini adalah bagaimana pelaksanaan KTSP pada MTsN Malang III dan faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan KTSP. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan, manganalisis, dan menyimpulkan tentang pelaksanaan KTSP pada MTsN Malang III dan faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Me t o d e Pe n e l i t i a n Sasaran penelitian ini adalah Madrasah Tsanawiyan Negeri Malang III Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Dasar pemilihan MTsN tersebut sebagai sasaran penelitian ini adalah: (1) MTsN Malang III merupakan madrasah percontohan di daerah Kabupaten Malang, (2) MTsN Malang III sudah mempunyai prestasi akademik maupun non akademik dari tingkat lokal, regional, nasional dan bahkan tingkat ASEAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini dapat mengungkap hakikat yang sebenarnya tentang pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Malang III. Model yang digunakan dalam pelaksanaan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 295 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang penelitian ini berupa studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa wawancara mendalam, pengamatan, dan telaah dokumen. Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data tentang kurikulum, manajemen pembelajaran, dan persepsi siswa, faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan KTSP yang bersumber dari beberapa sumber (Kepala Madrasah, WakaMad, guru, komite, dan orangua wali siswa). Teknik pengamatan digunakan untuk mengumpulkan data yang terkait dengan kondisi lingkungan madrasah, pelaksanaan pembelajaran, dan data yang relevansi dengan data yang telah diperoleh melalui wawancara, seperti kegiatan pembelajaran, remedial, kesenian, dan sebagainya. Teknik telaah dokumen digunakan untuk menggali data yang tersimpan dalam dokumen-dokumen MTsN Malng III, seperti keadministrasian madarasah, agenda kegiatan pembelajaran, kesejarahan, dan sebagainya.

Ka j i a n Te o r i t i s Keberhasilan dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu kurikulum, guru, siswa, bahan pelajaran, metode belajar mengajar, sistem evaluasi, sarana penunjang dan sistem administrasi.(Arikunto, 1999: 5) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetenasi dasar, materi standar dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.(Mulyasa, 2007: 46) Kurikulum merupakan inti dari sebuah proses pembelajaran yang harus dirumuskan sesuai dengan perkembangnan zaman. KTSP ternyata lebih akomodatif dengan memberikan peluang lebih luas kepada lembaga pendidikan untuk menyusun program pembelajaran sebagai karakterisrik sekolah/madrasah. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, yaitu kurikulum itu sendiri, manajemen, pengelolaan, metode pengembangan pembelajaran, fasilitas pembelajaran, dan sistem evaluasi pembelajaran. Beberapa hal yang diperhatikan dalam penerapan KTSP sesuai dengan BNSP, yaitu peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangnan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilai- nilai kebangsaan. Adapun mata pelajaran wajib adalah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, Penjaskes, keterampilan/kejujuran, dan muatan lokal.(Muslih, 2007: 2-3)

296 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab

Proses belajar mengajar harus memperhatikan faktor manajemen. Manajemen merupakan ilmu atau seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efesien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.(Hasibuan, 2005:1) Maksud manajemen dalam hal ini adalah menyangkut tentang perencanaan pembelajaran (jangka pendek, menengah, dan panjang) dari madrasah, pengorganisasian komponen civitas akademika madrasah, penggerakan sumbeer daya yang ada pada madrasaha, dan pengawasan baik internal maupun eksternal. Tujuan pendidikan dalam operasionalnya harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) adanya kerjasama di antara kelompok orang dalam ikatan formal, (2) adanya tujuan bersama serta kepentingan yang sama yang akan dicapai, (3) adanya pembagian kerja, (4) tugas dan tanggung jawab yang teratur, adanya hubungan formal dan ikatan tata tertib yang baik, (5) adanya sekelompok orang dan pekerjaan yang akan dikerjakan, (6) adanya human organization.(Hasibuan, 2005: 1) Dalam rangka mencapai mutu pendidikan, menuntut strategi metode pembelajaran, yaitu (1) strategi pengorganisasian, (2) strategi penyampaian, dan (3) strategi pengelolaan. Strategi pengorganisasian adalah strategi untuk mengorganisasi isi bidang studi yang telah dipilih untuk pembelajaran dengan suatu tindakan, seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dll. Strategi penyampaian adalah metode untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa dan/atau untuk menerima dan merespon masukan yang berasal dari siswa, dan media pembelajaran merupakan bidang kajian utama dari strategi ini. Strategi manajemen adalah metode untuk menata antara si pelajar dan variabel metode pembelajaran lainnya yaitu variabel strategi pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran.(Hamzah, 2004: 17) Pelaksanaan KTSP memiliki model pengembangan atau metode pembelajaran yang spesifik, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL). Model pembelajaran ini menghubungkan antara materi pembelajaran dengan kondisi dunia nyata yang berkembang dan terjadi di lingkungan sekitar peserta didik/siswa. Selain model pembelajaran, fasilitas pembelajaran dalam proses belajar mengajar merupakan suatu keharusan agar tujuan pembelajaran mengalami keberhasilan. Fasilitas ini merupakan peralatan pendidikan yang digunakan oleh guru dan anak didik, baik perangkat keras seperti gedung sekolah, laboratorium, dll maupun perangkat lunak seperti kurikulum, metode, administrasi, dan lain-lain.(Tafsir,1994: 90) Untuk mengetahui tingkat kualitas lulusan dalam proses belajar mengajar adalah dengan evaluasi. Stufflebeam (dalam Daryanto, 1992: 2) menjelaskan bahwa evaluasi itu merupakan proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh peserta didik sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Evaluasi ini sangat terkait dengan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 297 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang in put, proses, dan produk. Input di dasarkan pada kemampuan peserta didik, proses terkait dengan guru, kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya, produk terkait dengan hasil dari proses pembelajaran yang telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan target kurikulum. Dalam KTSP, penilain dapat dilakukan dengan penilaian kelas melalui ulangan harian, umum, dan akhir. Tes kemapuan dasar yang digunakan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran (program remidial). Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi yang dilakukan setiap akhir tahun untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertntu. Selain evaluasi atau penilaian di atas ada pula yang disebut dengan evaluasi benchmarking, yaitu evaluasi atau penilaian yang dilakukan untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan, penliaian program yang dilakukan oleh Depdiknas untuk mengetahui kesesuaian KTSP dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan. Evaluasi tindak lanjut dengan peningkatan aktifitas dan kreatifitas pserta didik serta peningkatan motivasi belajar. Dengnan demkikian selama proses pembelajaran yang sedang berlangsung dapat dilakukan penilaian secara langsung agar peserta didik mengetahui kekurangan dalam belajar sekaligus dapat mengtahui solusi utnuk menentukan langkah selanjutnya agar proses pembelajaran menjadi lebih baik. (Mulyasa, 2007: 258) Salah satu unsur yang menentukan pencapaian tujuan dalam proses belajar mengajar adalah guru. Bagi seorang guru dituntut memiliki dua modal dasar, yaitu (1) kemampuan mendesain program, (2) keterampilan mengkomuniksikan program itu kepada peserta didik.(Sardiman, 1992: 161) Oleh karena itu bagi seorang guru seharusnya memenuhi beberapa persyaratan (1) mengetahui karakter murid/siswa, (2) selalau berusaha meningkatkan keahliannya, (3) harus mengamalkan ilmunya, (4) jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya. (Abrasyi, 1974: 133-134) Te m u a n Pe n e l i t i a n 1. Persiapan Pelaksanaan KTSP Madrasah Tsanawiyah Negeri Malang III Kabupaten Malang sebelum melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah menempuh beberapa langkah persiapan. Maksud dari persiapan-persiapan itu adalah dalam rangka untuk lebih mematangkan dan memantapkan pelaksanaan KTSP pada lembaga tersebut. Adapun langkah-langkah persiapan yang dilakukan adalah koordinasi-koordinasi baik secara internal maupun eksternal. a. Koordinsi Internal Langkah awal yang ditempuh sebelum pelaksanaan KTSP pada MTsN

298 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab

Malang III adalah Kepala Madrasah melakukan koordinasi dengan para Wakamad, para guru, dana pegawai/karyawan. Kemudian dalam koordinasi itu mereka secara bersama-sama mengkaji dan mendiskusikannya seacara sungguh-sungguh untuk mendapatkan kesamaan pemahaman dan permufakatan dalam melaksanakan KTSP. Dengan demikian dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran dapat benar-benar sesuai dengan pedoman, petunjuk, maupun praturan yang dibakukan oleh KTSP. Kepala Madrasah bersama para Wakamad, para guru, dan pegawai menyiapkan dasar pemikiran, landasan hukum, dan panduan yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan KTSP. Di samping itu madrasah juga menempuh langkah menata dan melengkapi prasarana, sarana, dan perangkat-perangkat yang menunjang bagi pelaksanaan KTSP. b. Koordinasi Eksternal Dalam pelaksanaan program kerja madrasah dan memudahkan terhadap pencapaian tujuan pendidikan pembelajaran, maka MTsN Malang III telah melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pihak luar, antara lain sebagai berikut (1) Pondok Pesantren Shirotul Fuqaha, (2). Universitas Negeri Malang (UM), (3) Universitas Negeri Islam Malang (UIN Malang), (4) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), (5). Telkom-Speedy, (6) Magistra Utama, (7). Radio RRI Malang dan Radio Andalus, (8) dan sebagainya.

2. Dasar Pemikiran dan Landasan Hukum Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standat Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acaun utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 299 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL. Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Adapun landasan hukum yang mendasari KTSP ini antara lain: 1). Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional 2). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 3). Standar isi (Permen Diknas Nomor 22 Tahun 2006) 4). Standar Kompetensi Lulusan (Permen Diknas Nomor 23 Tahun 2006) 5). Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ11-1/pp.00/ED/681/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi. Dalam mengembangkan KTSP, MTsN Malang juga melakukan analisis lingkungan strategis, yakni analisis terhadap: (1) kondisi nyata MTsN Malang III, (2) kondisi sosial masyarakat, (3) kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan, (4) kondisi ekonnomi masyarakat, (5) kondisi politik, (6) kondisi keamanan, (7) kemajuan IPTEK masyarakat, (8) kondisi budaya, dan (9) kondisi geografi.

3. Pelaksanaan KTSP Setelah menempuh langkah-langkah persiapan sebagaimana dipaparkan, MTsN Malang III menindaklanjutinya dengan membuat beberapa program/ perencanaan yang relatif simpel namun cukup berat untuk merealisasikannya. Adapun perencanaan itu untuk jangka panjang (5 tahunan), jangka menengah (2 tahunan) dan jangka pendek (1 tahunan). Program/perencanaan jangka panjang MTsN Malang III secara substansial ada 3 macam, yaitu (1) pelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran, seperti penambahan ruang kelas, ruang pertemuan/aula, lapangan olahraga, sarana multimedia, sarana labotatorium, (2) bidang akademik peningkatan prosentase kelulusan setiap tahun, dengan peningkatan standar nilai sekolah dan/atau kelulusan dari nilai 6,8 sampai dengan 8, (3) MTsN Malang III menyelenggarakan kelas-kelas khusus, yaitu kelas unggulan, akselarasi, dan bilingual (bahasa). Program/perencanaan jangka menengah MTsN Malang III adalah dari out put (lulusan) 80% memiliki kemampuan internet dan komputer. Sedangkan program jangka pendeknya adalah semua siswa kelas III (100%) lulus Ujian

300 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Wahab

Nasional dan minimal 80 % dari lulusan dapat melanjutkan (diterima) di sekolah/madrasah negeri. Dari program/perencanaan yang telah disepakati di atas kemudian disosi- alisasikan pula tentang KTSP itu kepada Komite Madrasah dan orang tua/wali siswa. Adapun bentuk sosialisasi itu adalah dengan mengadakan pertemuan di madrasah antara pihak madrasah, Komite , dan orang tua /wali siswa. Apabila memahami dan mencermati persiapan dan perencanaan yang telah dilakukan oleh Kepala Madrasah, para guru, dan tenaga Tata Usaha MTsN Malang III dalam rangka melaksanakan sistem pendidikan dengan pedoman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diatas, maka bukan merupakan hal yang mustahil jika realitas pelaksanaan KTSP di madrasah tersebut dapat berjalan dengan kondusif. Sebab dari koordinasi-koordinasi yang dilakukan, dasar pemikiran, landasan hukum, dan analisis lingkungan strategis itu menjadikan pelaksanaan KTSP senantiasa terarah, prosedural, dan relevan dengan kondisi lingkungan dimana madrasah itu berada. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan KTSP sesuai dengan persiapan dan program yang telah dibuat oleh MTsN Malang III itu dapat dipahami usaha-usaha yang dilakukan oleh 4 (empat) komponen inti dalam suatu lembaga pendidikan/madrasah, yaitu Kepala Madrasah, guru, siswa, dan tenaga TU. Keempat komponen tersebut yang menjadi pelaksana dari kurikulum yang diberlakukan, sehingga sukses dan / atau tidaknya kurikulum itu dalam suatu kegiatan pembelajaran tergantung kepada keempat komponen itu pula. a. Kepala Madrasah Manajemen kepemimpinan yang diterapkan oleh Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Malang III tampak memegang kunci penting dalam merealisasikan pelaksanaan KTSP secara baik, kondusif, dan inovatif. Adapun manajemen kepemimpinan Kepala Madarasah itu adalah kepemimpinan demokratis yang persuasif dan akomodatif. Sehinga setiap kebijakan yang dibuatnya senantiasa mendapatkan dukungan dari seluruh civitas akademika maupun Komite Madrasah dan para orang tua/wali siswa. Untuk merealisasikan setiap Rencana strategis (Renstra), Kepala Madrasah menyelenggarakan Rapat Kerja (Raker) untuk satu tahun berjalan. Rapat tersebut dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan program tahun sebelumnya. Dari hasil evaluasi itu dimaksudkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan pengembangnan lebih lanjut. Di samping itu, Kepala Madrasah juga menyelenggarakan rapat rutin setiap hari libur pertama untuk perencanaan program dalam bentuk kelompok-kelompok kecil yang kemudian hasilnya diplenokan. Kepala Madrasah edukator, motivator, administrator, supervisor, inovator, dan manajer (EMASIM) , dapat berjalan dengan baik. Dalam pembinaan personel, Kepala Madrasah mempunyai kebijakan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 301 Pelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang

DAFTAR PUSTAKA

dengan pertemuan rutin 2 kali dalam sebulan, yaitu setiap awal dan tengah bulan. Pada pertemuan tersebut Kepala Madrasah memberikan pengarahan- pengarahan dan evaluasi terhadap kinerja guru dan tenaga Tata Usaha. Dalam kegiatan pembinaan personel itu, Kepala Madrasah membuka diskusi, sehingga dari hasil diskusi itu dapat memberi manfaat bagi setiap personel untuk melakukan perbaikan dan peningkatan diri. Berkaitan dengan pelaksanaan KTSP pada MTsN Malang III, Kepala Madrasah memberikan deskripsi bahwa semua guru sudah mengikuti pelatihan-pelatihan, workshop-workshop tentang KTSP yang diselenggarakan oleh MTsN itu sendiri maupun pihak lain, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Bahkan Kepala Madrasah maupun para guru sudah sering pula menjadi instruktur pelatihan tentang KTSP sesuai dengan bidang studi yang diampunya. Adapun peserta kegiatan pelatihan itu adalah para guru MTs yang berada dilingkup KKM (Kelompok Kerja Madrasah) MTsN Malang III, yaitu sebanyak 33 Madrasah Tsanawiyah swasta.

302 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 PENELITIAN PELAKSANAAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN PADA MTs NEGERI 1 PROVINSI JAWA TIMUR

Oleh MULYANI MUDIS TARUNA

Ab s t r a c t : The focus of this research is the implementation KTSP and factors that support and hinder the implementation of the MTs KTSP Malang I. This re- search uses a qualitative approach with case studies. The results showed, that in general the implementation KTSP accordance with the standards provided by BSNP. Success in the implementation of KTSP is heavily influ- enced by human resources professionals and teachers who are committed to the progress of the madrasah. Some constraint factors inhibiting the com- munication are the less fluent in the management of KTSP.

Keywords: Curriculum, KTSP, Implementation KTSP

Pe n d a h u l u a n Perubahan kurikulum dalam kurun waktu tertentu merupakan kelaziman sesuai dengan perkembangan pendidikan secara global. Kurikulum tidak lagi difahami secara sempit yaitu hanya sebatas bahan atau materi pelajaran yang telah tersusun dalam sebuah buku paket, akan tetapi kurikulum difahami secara lebih luas. Menurut Khaerudin (2007: 25), bahwa kurikulum dapat berubah atau mengalami penyempurnaan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, sehingga kurikulum bisa lebih mengacu pada kemajuan teknologi dan pengetahuan. Kurikulum adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pembelajaran di madrasah.(Tafsir, 1994:53) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberi “ruang” lebih luas bagi otonomi madrasah atau pada tingkat satuan pendidikan. Penegasan ini tertuang dalam SNP (Standar Nasional Pendidikan) pasal 1 ayat 15, bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dalam penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 303 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh BSNP (Mulyasa, 2007:20). Begitu juga dalam pelaksanaan KTSP yang berada pada tingkat satuan pendidikan tetap mengacu pada standar isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Penerapan KTSP di MTs dapat dilakukan dengan menyesuaikan lembaga pendidikan tingkat SLTP secara nasional. MTs memiliki nilai plus dikarenakan dalam menyusun KTSP memasukan ciri khas sekolah berbasis agama. Keberadaan MTs sebagai lembaga pendidikan yang memiliki nuansa keagamaan, memiliki keraguan dalam melaksanakan KTSP sesuai dengan rambu-rambu dalam SNP maupun BSNP. Bahkan kemampuan MTs bersaing dengan lembaga pendidikan setingkat ketika dihadapkan pada ujian nasional yang hanya menekankan pada mata pelajaran yang bersifat umum juga masih dipertanyakan. Persoalan lain adalah MTs merupakan lembaga pendidikan yang berada pada wilayah wajib belajar 9 tahun di mana pada level ini pihak manajemen madrasah tidak boleh membebankan anggaran pendidikan pada orang tua peserta didik karena dana operasional pendidikan atau Biaya Operasional Madrasah (BOM) telah disiapkan oleh pemerintah. Di samping munculnya BOM yang memagari madrasah untuk memperoleh dana orang tua peserta didik juga pada wilayah Kabupaten/Kota tertentu telah mengeluarkan peraturan untuk membebaskan semua pembiayaan pembelajaran pada orang tua peserta didik. Permasalahan penelitian yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada MTs Negeri Malang 1 dan faktor–faktor apa sajakah yang mendukung dan menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada MTs Negeri Malang 1.

Ke r a n g k a Ko n s e p t u a l Penelitian tentang pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini akan mengungkap berbagai persoalan pelaksaan KTSP pada tataran aplikatif pada MTs Negeri. Oleh karena itu, secara konseptual perlu dijelaskan bagaimana penjelasan operasional aspek-aspek yang terkait dengan KTSP secara utuh. Terdapat 8 pokok hal yang berkaitan dengan pelaksanaan KTSP dan beberapa indikator yang sangat mendukung terlaksananya pelaksanaan KTSP. Secara lebih jelas 8 pokok yang terkait dengan pelaksanaan KTSP adalah sebagai berikut. a. Kurikulum sebagai inti dari proses pembelajaran di madrasah bukanlah sekedar rencana pembelajaran yang tersusun dalam sejumlah mata pelajaran, melainkan kurikulum yang dimaksud adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pembelajaran di madrasah. Kurikulum ini

304 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mulyani Mudis Taruna

memiliki komponen tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi yang satu sama yang lainnya saling berkaitan. b. Manajemen sistem pembelajaran sebagai suatu rangkaian proses kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Proses ini berangkat dari persiapan untuk memulai kegiatan, mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dalam perencanaan pembelajaran, mengembangkan dan menilai rencana pembelajaran, menguraikan dan melaksanakan perencanaan pembelajaran dan balikan pelaksanaan rencana pembelajaran. c. Administrasi pengelolaan yang dikembangkan dalam pelaksanaan KTSP adalah berbasis madrasah., sehingga madrasah dapat menunjukan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas. d. Metode pengembangan pembelajaran dalam KTSP pada prinsipnya dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu Karakteristik KTSP, Strategi pembelajaran yang digunakan, dan karakteristik pengguna kurikulum. e. Fasilitas pembelajaran yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran dengan KTSP. f. Evaluasi sistem pembelajaran merupakan akhir dari proses pembelajaran. g. Persepsi peserta didik terhadap pelaksanaan KTSP, dan h. Kompetensi Guru dalam pelaksanaan KTSP berkaitan dengan kemampuan standar yang diperlukan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal.

Ka j i a n Te o r i t i s Perkembangan sains dan teknologi di era global dewasa ini semakin menuntut adanya dinamika dalam dunia pendidikan secara umum, hal ini menjadikan iklim kompetitif yang berkembang dapat dirasakan oleh lembaga pendidikan pada level apapun. Dukungan dinamika dalam dunia pendidikan ini telah direspon positif oleh pemerintah, yaitu dengan mengupayakan untuk merealisasikan biaya pendidikan mencapai 20 % dari seluruh anggaran pemerintah. Dengan anggaran biaya tersebut sangat memungkinkan lembaga pendidikan menyusun strategi pembelajaran yang dapat menjawab semua tantangan zaman yang semakin kompetitif. Menurut Setiawan,(2006:23) pendidikan adalah jawaban yang dinantikan kehadirannya guna menyelesaikan seluruh “kerusakan” yang diakibatkan oleh sistem pendidikan (sebelumnya). Karena itu pendidikan harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau dalam bahasa Max Rafferty (dalam Naomi, 2006:67) pendidikan bersifat progresif di mana sasaran-sasaran program belajar mengajar adalah penyesuaian diri

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 305 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur dengan kehidupan. Penyesuaian ini dengan sendirinya sangat terkait dengan bagaimana mendesain sebuah kurikulum yang tidak tergantung pada hasil rumusan sebelumnya dan bagaimana memformulasikan kurikulum yang akan membawa lembaga pendidikan menjadi sebuah idaman masyarakat dan negara. Kurikulum merupakan inti dari sebuah proses pembelajaran yang harus dirumuskan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Menurut Mulyasa (2007:46) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan , kompetensi dasar, materi standar dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan. Pengertian ini tidak hanya menekankan pada seperangkat mata pelajaran, melainkan seluruh komponen dalam proses pembelajaran. Pada tataran praktis, kurikulum menjadi sesuatu yang sangat penting sehingga konsep yang dikembangkan harus operasional dan mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, paling tidak ada alasan mengapa kurikulum yang dikembangkan sekarang ini adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau lebih dikenal dengan KTSP. Salah satu alasannya adalah KTSP dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, meskipun tetap memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Acuan dalam KTSP yang ditetapkan sesuai dengan UU Sisdiknas (2007:28- 29) adalah harus memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Adapun kurikulum wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, Seni dan budaya, Penjaskes, keterampilan / kejujuran dan muatan lokal. Dalam manajemen pelaksanaan KTSP pada sebuah lembaga pendidikan paling tidak terdiri atas kepala madrasah, tenaga adminsitrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan madrasah (UU Sisdiknas, 2007:146-147). Dalam pengelolaan proses pembelajaran dimulai dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan atau kontroling. Perencanaan ini dilakukan untuk memproyeksikan tindakan apa yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran dengan KTSP dengan melakukan penyusunan kurikulum dari mulai tujuan instruksional, materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, metode atau alat bantu yang dipakai dalam pembelajaran sampai kepada evaluasi atau penilaian. Perencanaan yang disusun dalam KTSP ini tidak terlepas dari komponen yang ada dalam

306 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mulyani Mudis Taruna

KTSP, yaitu Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, Struktur dan muatan KTSP, Kalender pendidikan dan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP). Selain kurikulum dan manajemen, juga terdapat faktor yang cukup penting dalam mempengaruhi keberhasilan suatu proses pembelajaran, yaitu tenaga pengajar yang menyampaikan materi pelajaran. Menurut Sardiman, (1992:161) guru paling tidak memiliki dua modal dasar, yaitu kemampuan mendesain program dan keterampilan mengkomunikasikan program itu kepada anak didik. Oleh karena itu, guru harus memenuhi beberapa syarat, yaitu mengetahui karakter murid, selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkan maupun dalam cara mengajarkannya, dan guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya.(Abrasy, 1974:133-144) Dewasa ini guru harus memiliki kompetensi sebagai guru. Kompetensi tersebut meliputi (a) Kompetensi pedagogik, (b) Kompetensi professional, dan (c) kompetensi kepribadian. Dan untuk menjadi yang professional guru dituntut harus memiliki tiga kompetensi tersebut. Kompetensi pedagogik berkaitan dengan kesungguhan dalam mempersiapkan pembelajaran, keteraturan dan ketertiban penyelenggaraan pembelajaran, kemampuan mengelola kelas, kedisiplinan dan kepatuhan terhadap aturan madrasah, penguasaan media dan teknologi pembelajaran, kemampuan melaksanakan penilaian prestasi belajar peserta didik, objektivitas dalam penilaian terhadap peserta didik, kemampuan membimbing peserta didik, dan berpersepsi positif terhadap kemampuan peserta didik. Kompetensi profesional yang berkaitan dengan penguasaan bidang keahlian yang menjadi tugas pokok, keluasan wawasan keilmuan, kemampuan menunjukan keterkaitan antara bidang keahlian yang diajarkan dengan konteks kehidupan, penguasaan akan isu-isu mutakhir dalam bidang yang diajarkan, kesediaan melakukan refleksi dan diskusi sharing( ) permasalahan pembelajaran yang dihadapi dengan teman guru, pelibatan peserta didik dalam kajian dan atau pengembangan yang dilakukan guru, kemampuan mengikuti perkembangan ipteks untuk pemutakhiran pembelajaran, dan keterlibatan dalam kegiatan ilmiahorganisasi profesi. Kompetensi kepribadian yang berkaitan dengan kewibawaan sebagai pribadi guru, kearifan dalam mengambil keputusan, menjadi contoh dalam bersikap dan berperilaku, satunya kata dan tindakan, kemampuan mengendalikan diri dalam berbagai situasi dan kondisi, dan adil dalam memperlakukan sejawat. Keempat, kompetensi sosial, yaitu berkaitan dengan kemampuan menyampaikan pendapat, kemampuan menerima kritik, saran dan pendapat orang lain, mudah bergaul di kalangan sejawat, karyawan dan peserta didik, mudah bergaul di kalangan masyarakat, dan toleransi terhadap keberagamaan di masyarakat.(Hadjar, 2007:Lampiran)

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 307 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur

Ha s i l Pe n e l i t i a n MTs Negeri Malang 1 memiliki visi dan misi yang dikembangkan, yaitu terwujudnya sumber daya insani yang berkualitas, unggul pada bidang Imtaq dan Iptek dengan berwawasan lingkungan hidup. Visi tersebut dioperasionalkan dalam misi, yaitu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pada bidang Imtaq dan Iptek berwawasan lingkungan hidup dengan kegiatan pokok strategis adalah pembentukan budaya kerja, sikap dan amaliah Islam, pengembangan kualitas pembelajaran dan bimbingan, pengembangan pola hidup sehat dan ramah lingkungan, dan penjaminan mutu. Kurikulum yang diprogramkan MTs Negeri Malang 1 dikembangkan dengan beberapa program kurikulum yang dirumuskan khusus pada tingkat satuan pendidikan. MTs Negeri Malang 1 memiliki kurikulum tersendiri yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dalam pembelajaran dan berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Penyusunan KTSP dilakukan secara berkelanjutan seiring dengan terbitnya standar-standar lainnya yang mengikuti, seperti standar proses sampai pada standar sarana dan prasarana. Penyusunan struktur kurikulum terbagi dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu 1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, 2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, 3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, 4) Kelompok mata pelajaran estetika, dan 5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Adapun untuk muatan lokal meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan oleh BSNP, Depag, dan muatan lokal yang dikembangkan oleh sekolah serta kegiatan pengembangan diri. Pada dasarnya, muatan lokal yang dikembangkan bertujuan untuk menyiapkan peserta didik terampil dalam melakukan penelitian sederhana/ karya ilmiah dan menjadikan bekal pada jenjang selanjutnya. Program yang menekankan pada kreatifitas peserta didik dalam pengembangan karya ilmiah. Selain karya ilmiah yang dijadikan muatan lokal kebanggaan, MTs Negeri 1 Kota Malang juga menyiapkan program pengembangan diri. Program ini diarahkan untuk pengembangan karakter peserta didik yang ditujukan untuk mengatasi persoalan dirinya, persoalan masyarakat di lingkungan sekitarnya, dan persoalan kebangsaan. Pengembangan diri adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran akan tetapi merupakan bagian integral dari kurikulum madrasah. Kegiatan ini juga merupakan upaya dalam kerangka pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui konseling berkaitan dengan permasalahan pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, pengembangan kreatifitas serta kegiatan

308 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mulyani Mudis Taruna ekstrakurikuler. Tujuan pengembangan diri adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta didik. Pengembangan diri ini bersifat kontekstual dan diharapkan menunjang pendidikan dalam mengembangkan bakat, minat, kreativitas, kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan, kemampuan kehidupan keagamaan, kemampuan sosial, kemampuan belajar, wawasan dan perencanaan karir, kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian. Adapun untuk mencapai tujuan ini, MTs Negeri 1 Kota Malang mempersiapkan kegiatan yang bersifat terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang direncanakan secara khusus yang diikuti oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pribadinya. Kegiatan terprogram ini terdiri atas dua komponen, yaitu 1). pelayanan konseling meliputi kehidupan pribadi, kemampuan sosial, kemampuan belajar, dan wawasan dan perencanaan karir, pembentukan social group dan peningkatan profesionalitas melalui kegiatan Robotic, KIR dan Jurnalistik, dan Language Development Centre (LDC). Pengembangan diri yang terkait dengan seni budaya dilakukan dengan kegiatan qiro’ah, qasidah Al Banjari, kaligrafi, teater, bina vokalia, melukis dan musik. 2). Ekstrakurikuler meliputi pramuka, Paskibraka, PKS, PMR, Smart Group, sepak bola, basket, catur, tenis meja, Tae Kwondo dan Tapak Suci, dan bola volly. Sedangkan kegiatan tidak terprogram dilaksanakan secara langsung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di madrasah yang diikuti oleh semua peserta didik. Manajemen madrasah dalam pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 ini terlebih dahulu menyusun tahapan-tahapan, yaitu (1) sosialisasi KTSP, dan (2) pelaksanaan KTSP. Secara lebih jelas tahapan-tahapan tersebut adalah berikut ini.

1. Sosialisasi KTSP Sosialisasi KTSP sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sejak awal ditetapkan berlakunya KTSP. Adapun sosialisasi yang dilakukan adalah mempercepat informasi kepada seluruh civitas academica sekaligus melakukan langkah-langkah yang strategis untuk mencapai keberhasilan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sosialisasi KTSP di MTs Negeri Malang 1bukan sesuatu yang sulit, meskipun disadari masih ada guru yang belum ideal ketika KTSP tersebut harus dilaksanakan dan dalam kerangka itulah pengembangan SDM guru selalu ditingkatkan dan diberi peluang untuk melanjutkan sekolah bahkan telah ditetapkan adanya kontrak prestasi bagi guru.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 309 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur

Proses sosialisasi KTSP semakin menguat ketika pemahaman KTSP bagi semua guru melalui workshop yang dilaksanakan pada level madrasah maupun level propinsi dan nasional sering dilakukan. Di samping itu, fasilitas pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan KTSP semakin dilengkapi, hal ini dilakukan agar tidak terjadi kepincangan antara pemahaman yang telah diperoleh dengan praktek ketika berhadapan langsung dengan peserta didik. Menurut beberapa guru, bahwa harus diakui masih terdapat kekurangan fasilitas pembelajaran untuk mencapai pembelajaran yang secara keseluruhan memenuhi standar dari KTSP. Sosialisasi KTSP di MTs Negeri Malang 1 dengan pelaksanaan dalam pembelajaran masih berjalan secara parsial, hal ini nampak dari persepsi guru mata pelajaran dalam menangkap substansi KTSP hasil dari sosialisasi masih belum satu pandangan. Padahal hampir semua guru telah mengikuti seminar, workshop KTSP tingkat madrasah maupun tingkat propinsi dan nasional dan telah menggunakan buku pegangan yang didalamnya telah mengikuti standar kurikulum baru sesuai dengan KTSP. Sosialisasi KTSP juga dilakukan tidak hanya kepada guru sebagai penyampai materi pembelajaran, akan tetapi juga disampaikan kepada peserta didik yang menerima materi pembelajaran melalui seluruh program kurikulum yang dipersiapkan oleh madrasah. Menurut Jawwad (Mantan Ketua OSIS), bahwa penjelasan tentang KTSP telah disampaikan oleh pihak madrasah. Bahkan Ia dapat menyimpulkan bahwa, dalam pelaksanaan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan KBK, hanya saja KTSP lebih memperjelas materi yang disampaikan karena dalam KTSP setiap materi dijelaskan indikator-indikator yang akan dan harus dipelajari. Peserta didik lebih tahu terlebih dahulu secara rinci tentang tujuan materi yang akan disampaikan.

2. Pelaksanaan KTSP Secara substansial pelaksanaan KTSP masih terdapat perbedaan pandangan, meskipun langkah-langkah untuk menyatukan persepsi tentang KTSP telah diupayakan. Perbedaan ini sangat tergantung pada kemampuan guru dalam menangkap pesan atau informasi tentang KTSP yang sebenarnya. Hal ini karena tidak menjamin bagi guru untuk menguasai materi yang disampaikan dalam kerangka pendalaman KTSP, baik melalui workshop maupun seminar. Adanya pemahaman yang diperoleh guru mata pelajaran dalam menangkap substansi KTSP ini memunculkan persepsi yang berbeda. Perbedaan persepsi tentang KTSP sebenarnya bukan pada tataran internal madrasah dan lebih dikarenakan pada level pusat yang diterjemahkan oleh masing-masing tingkat satuan pendidikan mengalami perbedaan bahkan masih mempertanyakan beberapa peraturan yang membingungkan akan kesiapan dan fasilitas pembelajaran yang harus dipersiapkan. Salah satu contoh adalah ketika KTSP harus dilaksanakan akan tetapi ujian nasional

310 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mulyani Mudis Taruna masih terpusat, padahal desain pembelajaran setiap mata pelajaran adalah satuan pendidikan sehingga yang mengetahui persis persoalan pembelajaran adalah pada tingkat satuan pendidikan. KTSP di MTs Negeri Malang 1adalah sebuah kurikulum khas pada tingkat satuan pendidikan untuk membangun peserta didik memiliki karakteristik sesuai dengan visi dan misi satuan pendidikan tersebut, maka apabila ujian nasional tetap dierlakukan, tidak menutup kemungkinan setiap satuan pendidikan mengarahkan pembelajaran hanya menuju pada mata pelajaran yang diujikan pada tingkat nasional. Penerapan KTSP di MTs Negeri Malang 1ini bukan merupakan kurikulum yang susah untuk diimplementasikan pada tingkat satuan pendidikan. Hal ini karena pada MTs Negeri Malang 1 yang sudah cukup dalam fasilitas pembelajaran yang sesuai dengan standar. Berkaitan dengan pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 menekankan pada aspek perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan kontroling. Dalam perencanaan, manajemen madrasah, baik kepala madrasah dan jajaran di bawahnya maupun para guru telah menyusun perencanaan sebelum proses pembelajaran berlangsung. Secara umum penyusunan perencanaan disusun dalam bentuk program kegiatan selama satu tahun, sedangkan bagi guru perencanaan disusun dari mulai menyusun materi pembelajaran (RPP) dengan tujuan instruksional, metode dan media yang akan digunakan dalam proses pembelajaran sampai pada jenis evaluasi dan SKL yang ditetapkan. Pada tahapan pelaksanaan KTSP ini, manajemen madrasah merumuskan teknik operasional pembelajaran secara seksama. Manajemen pengelolaan pembelajaran MTs Negeri Malang 1 disesuaikan dengan standar KTSP, yaitu manajemen yang diterapkan berbasis madrasah, dalam menjalankan tugas kepala madrasah paling tidak dibantu oleh wakil kepala madrasah (Wakamad) kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana, antara madrasah dengan komite madrasah melakukan koordinasi dalam kerangka peningkatan kualitas, dan memiliki rencana kerja tahunan. Agar manajemen pengelolaan pembelajaran dengan menerapkan KTSP secara penuh dapat konsisten dan mengalami dinamika, maka dilakukan proses prencanaan, pengorganisasi, pelaksanaan dan evaluasi sebagai langkah kontrol. Lebih jelasnya dalam penerapan tersebut di bawah ini. a. Perencanaan Untuk perencanaan, pihak manajemen madrasah terlebih dahulu menyusun program renstra (rencana strategis) yang akan dilaksanakan dalam satu tahun. Program tersebut diawali dengan rapat persiapan penerimaan peserta didik baru (PSB) dilanjutkan dengan penerimaan PSB. Dalam perencanaan terkait dengan pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 ini lebih terfokus pada tujuan pembelajaran yang dikembangkan pada tingkat satuan pendidikan, perumusan struktur dan muatan kurikulum

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 311 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun berkaitan dengan muatan lokal dan pengembangan diri yang menjadi kurikulum favorit. Perencanaan selanjutnya adalah terkait dengan kalender pendidikan, silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Semua yang termasuk dalam aspek perencanaan tersebut diformulasikan manajemen madrasah dan diorganisir serta dipersiapkan untuk dilakukan langkah-langkah pelaksanaan. b. Pengorganisasian Dalam pengorganisasian ini menurut Sutirjo selalu ada koordinasi antara Kepala madrasah dengan seluruh elemen yang terkait, hanya saja untuk mempertahankan komitmen agar pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1sesuai dengan perencanaan terutama terkait dengan peningkatan kualitas, pihak kepala madrasah membentuk tim peningkatan kualitas dan melakukan inspeksi mendadak di luar yang terjadwal. Meskipun demikian, menurut Sutrisno, bahwa dalam pelaksanaan KTSP ini masih kurang memperhatikan aspirasi dari bawah sehingga respon dari bawah juga kurang maksimal. c. Pelaksanaan Prinsip dalam pengembangan dan pelaksanaan KTSP dari aspek kurikulum yang telah direncanakan secara matang adalah adanya langkah- langkah yang dinamis dalam pelaksanaan, sehingga aspek-aspek yang telah direncanakan melalaui penyusunan KTSP dapat berjalan dengan optimal. Hal seperti ini menurut Binti Maqsudah telah berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. Meskipun demikian, pihak manajemen madrasah selalu mengadakan evaluasi rutin melalui rapat resmi maupun maupun non formal dan apabila terdapat masukan dari berbagai pihak selalu dijadikan bahan untuk memperbaiki program yang sedang berjalan sekaligus bahan evaluasi untuk perencanaan program tahun berikutnya. Langkah konstruktif yang dilakukan oleh manajemen madrasah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengikuti perkembangan atau tuntutan pendidikan di era kompetitif adalah melalui perubahan/revisi kurikulum. Upaya untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan pelayanan kualitas pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Kurikulum adalah salah satu aspek yang terkai dengan pembelajaran. Untuk itu menjaga dan mengernbangkan kurikulum dalam sebuah pendidikan adalah hal yang memang mesti dilakukan. Untuk menjaga, mengantisipasi keberlanjutan dan reliabilitas kurikulum yang digunakan sehingga tetap dinamis serta adaptif maka perlu diatur ketentuan terkait dengan revisi dan atau perubahan. Secara detail ketentuan perubahan tersebut adalah apabila ada perubahan kebijakan pemerintah dalam kurikulurn pndidikan rnenengah,mempertimba ngkan masukan dari tim penyusun KTSP yang dibentuk madrasah dengan melibatkan semua elemen yang dibutuhkan. Namun demikian apabila

312 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mulyani Mudis Taruna tidak ada perubahan Kurikulum pendidikan menengah secara nasional oleh pemerintah, maka Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ini setidak-tidaknya direvisi dan diubah, serta dikaji pada setiap awal tahun pelajaran baru. d. Evaluasi Dari aspek manajemen, pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 cukup baik. Keberhasilan ini sangat didukung oleh SDM guru yang profesional dan memiliki komitmen untuk mengembangkan dan menjadikan MTs Negeri Malang 1 memiliki standar internasional, SDM peserta didik yang baik, iklim atau suasana akademis yang kondusif, fasilitas pembelajaran yang cukup lengkap, dan kemampuan melibatkan komite maupun masyarakat untuk mengembangkan pendidikan.

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan KTSP Ada beberapa faktor yang sangat mendukung ketika KTSP harus di aplikasikan secara penuh dan selalu diadakan evaluasi untuk pembenahan selanjutnya. Faktor-faktor tersebut sekaligus merupakan langkah kontroling agar pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 ini terus berjalan secara konsisten dan mengalami pengembangan, sehingga diketehui faktor pendukungnya tetap dikembangkan, sedangkan apabila diketahui faktor penghambat diperlukan perbaikan-perbaikan. Langkah-langkah yang telah teridentifikasi sebagai faktor pendukung dan penghambat adalah sebagai berikut. a. Faktor Pendukung Faktor pendukung dari keberhasilan pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 adalah sebagai berikut. 1). Faktor SDM guru yang memiliki komitmen untuk menggoalkan seluruh program pembelajaran sehingga tidak ada lagi guru yang mengajar diluar bidang studi yang dikuasai, studi lanjut yang terus dikembangkan oleh guru untuk meningkatkan kompetensinya dengan selalu mempersiapkan konsep pembelajaran dari materi pembelajaran, media sampai pada evaluasi, mengadakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) oleh setiap guru bidang studi, dan komunikasi guru dengan peserta didik, orang tua peserta didik yang cukup intensif. 2). Faktor peserta didik yang terlebih dahulu dilakukan seleksi penerimaan peserta didik baru dengan kualifikasi yang ketat, sehingga input yang diperoleh merupakan peserta didik yang handal dan siap untuk mengikuti pembelajaran sesuai dengan yang diprogramkan. Setelah seleksi awal juga terdapat seleksi berikutnya, yaitu untuk menentukan peserta didik memasuki kelas akselerasi yang hanya ditempuh dalam waktu dua tahun atau kelas unggulan dan kelas reguler billingual atau reguler biasa.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 313 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur

3). Faktor fasilitas pembelajaran yang cukup lengkap, baik berkaitan dengan pembelajaran langsung dikelas, yaitu tersedianya Laptop, TV, laboratorium sesuai dengan mata pelajaran, dan media lain yang diperlukan maupun pembelajaran yang bersifat untuk meningkatkan potensi peserta didik, seperti tersedianya fasilitas olah raga, seperti lapangan volly, bola basket, meja pingkong, tenis lapangan, dan lain-lain; maupun untuk meningkatkan berkaitan dengan entertainment, seperti tersedianya stasiun radio Fara TV, studio musik, dan sebagainya. 4). Faktor penyusunan kurikulum yang didasarkan pada hasil rumusan pihak manajemen yang merujuk pada standar nasional. 5). Faktor metode pengembangan pembelajaran yang telah dijadikan prinsip untuk memiliki karakteristik sendiri pada tingkat satuan pendidikan, memiliki strategi pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan, dan pengembangan dalam bentuk kegiatan yang menunjang potenis peserta didik, baik potensi akademik maupun potensi pengembangan diri. 6). Faktor adanya Komite madrasah dan anggota masyarakat yang merespon setiap aktifitas pembelajaran, sehingga berbagai kegiatan selalu melibatkan komite maupun anggota masyarakat

b. Faktor Penghambat Faktor penghambat dalam pelaksanaan KTSP di MTs Negeri Malang 1 tidak terlalu signifikan dengan target-target yang dilaksanakan sesuai dengan KTSP. Sebagai salah satu contoh adalah ketika terdapat guru yang mengajar kurang sesuai dengan latarbelakang pendidikan langsung diadakan penyesuian meskipun sebenarnya guru tersebut memiliki keahlian dalam menyampaikan materi tersebut.

Ke s i mp u l a n Secara rinci pelaksanaan KTSP pada MTs Negeri Malang 1 dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Pelaksanaan KTSP MTs Negeri Malang1 telah sesuai dengan standar yang diberikan oleh BSNP, baik dilihat dari standar isi, standar kompetensi lulusan maupun yang terkait dengan model-model pembelajaran atau penggunaan metode pembelajaran. 2. Faktor yang mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan KTSP adalah adaanya SDM guru dan tenaga administrasi yang profesional dan memiliki komitmen terhadap kemajuan madrasah, sarana dan prasarana yang memadai dan in put peserta didik yang baik. Faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan KTSP adalah adanya komunikasi yang kurang harmonis antara pihak manajemen madrasah dengan dewan guru dan sivitas akademik yang lain.

314 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mulyani Mudis Taruna

DAFTAR PUSTAKA

Abrasy, Al Muhammad Atiyah. 1974. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani & Johar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Naomi, Omi Intan (ed.). 2006. Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sardiman, A.M. 1992. Interaksidan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers Setiawan, Beni. 2006. Manifesto Pendidikan di Indonesia. Yogjakarta: Ar- ruzz Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 315

PENELITIAN PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH LUAR BIASA (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat)

Oleh Yustiani S.

Ab s t r a c t : Islamic religious education has been implemented in a special school. But until now there are constraints that hinder implementation of suspected Islamic religious education in exceptional schools. Obstacles include the Ministry of Religious Affairs had prepared a special religious teachers who are ready to teach in exceptional schools. Ministry of Religious Affairs has not provided guide books for religious education exceptional schools. This research was carried out in SDLB Dharma Asih in Pontianak, using a qualitative approach. Data collection techniques used includes interviewing techniques, observation, and documents. SDLB Dharma Asih in Pontianak basically has to do three main activities of the implementation of religious education curriculum, which is making the program, learning implementation, and evaluation. In the process of learning at this school there are several factors supporting and threatening. Supporting factors include teachers, principals, foundations, government agencies and the community. While the factors that still need to be developed to facilitate the learning process is a means among others of special books for religion in SDLB.

Keywords: Implementation, KTSP, Islamic religious education

Pe n d a h u l u a n Latar belakang Dalam UDD 1945 pasal 31 ayat 1 ditegaskan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Hak mendapatkan pendidikan ini tanpa terkecuali, yaitu tidak melihat kondisi calon peserta didik, baik dalam kondisi normal secara fisik maupun dalam kondisi memiliki kelainan, seperti menyandang cacat dalam penglihatan atau tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa maupun tuna laras. Penegasan tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali tertuang dalam Undang- undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 5 ayat I yang menyatakan “Warga negara yang memiliki kelainan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 317 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat) fisik emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Penjelasan berikutnya adalah pada Bab IV pasal 32 ayat 1 yang menegaskan “Pendidikan khusus (luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional dan mental.”. Pengembangan pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang tidak terdapat perlakuan diskriminatif. Hal ini ditegaskan dalam UU Rl No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V pasal l2 ayat (1) a. bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pendidikan agama ini menjadi begitu penting dalam kerangka lebih memperkuat iman dan ketakwaan peserta didik, sehingga antara pendidikan umum yang diperoleh dengan pendidikan agama yang didapatkan menjadi lebih sempurna sebagaimana dalam GBHN 2004 dijelaskan bahwa meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama sehingga lebih terpadu, integral dengan sistem pendidikan nasional yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Pendidikan agama atau mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan pendidikan agama Islam di SLB adalah sebagai berikut. 1. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang ketakwaannya kepada Allah SWT. 2. Mewujudkan manusia Indonesia berakhlak mulia yaitu manusia yang berpendidikan, jujur, adil, etis berdisiplin, bertoleransi (tasamuh) serta menjaga harmoni secara personal dan sosial. Sekolah Luar Biasa Dharma Asih yang berdiri pada tahun 1976, merupakan satu-satunya sekolah luar biasa terbesar di Kota Pontianak. SLB Dharma Asih terdiri atas empat jenjang pendidikan yaitu tingkat TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. SLB Dharma Asih di kelola oleh yayasan Dharma Asih yang terdiri atas beberapa gabungan organisasi-organisasi wanita di kota Pontianak dengan tujuan membantu pemerintah dalam mengusahakan peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi anak-anak yang dilahirkan memiliki kekurangan atau penyandang cacat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan (1) pelaksanaan pendidikan agama pada SDLB Dharma Asih, Kota Pontianak, dan (2) faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendidikan agama pada SDLB Dharma Asih Kota Pontianak

318 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Yustiani S.

Kajian Teoritis Anak berkebutuhan khusus merupakan istilah untuk menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB), yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya. Di Indonesia anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan telah diberikan layanan khusus.(Delphie, 2006 : 1) Layanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus berbentuk sekolah- sekolah Luar Biasa atau lembaga-lembaga pendidikan khusus. Terdapat empat jenjang pendidikan yaitu TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Adapun program khusus sesuai dengan jenis kelainan peserta didik, dikategorikan 6 kelompok yaitu 1) SLB bagian A untuk anak-¬anak tuna netra, 2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu, 3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita, 4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa, 5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan 6) SLB bagian F untuk anak cacat ganda.(Rahardja, 2008 : 4) Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi antara 27-40 db dikategorikan sangat ringan, 41 db-55 db dikategorikan ringan, 56 db- 70 db dikategorikan sedang, 71 db-90 db dikategorikan berat, dan 91 ke atas dikategorikan ekstrim atau tuli.(www.Ditp.or.id.2009) Tunagrahita berasal dari kata tuna berarti merugi dan grahita berarti pikiran. Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental, berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah seperti lemah pikiran (feeble¬minded), terbelakang mental (mentally retarded), pandir (embisil) dan dungu (idiot). Kemampuan peserta didik sub normal (tunagrahita) terdiri atas 4 tingkatan jenis meliputi Berdoline IQ 70-90, Debil IQ 50-70, embisil IQ 25-50 dan Idiot IQ 20-25.(Muslich, 2007: 198) Fakta menunjukkan bahwa: 1) anak tuna grahita mempunyai fungsi intelektual yang tidak statis, khususnya bagi anak dengan perkembangan kemampuan yang ringan dan sedang. Perintah atau tugas yang terus menerus dapat membuat perubahan yang besar untuk di kemudian hari, 2) belajar dan berkembang dapat terjadi seumur hidup bagi semua pihak, 3) kelompok tertentu termasuk beberapa dari down syndrom memiliki kelainan fisik dibanding teman-temannya, tetapi mayoritas dari anak tuna terutama yang tergolong ringan terlihat sarna seperti anak lainnya. 4) dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita terdeteksi setelah masuk sekalab. 5) siswa dengan masalah intelektual selalu belajar lebih keras dan belajar lebih baik jika mereka berintegrasi dengan siswa reguler) 6) anak tunagrahita berkembang pada jenjang yang sama, tetapi tidak jarang lebih lambat. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Berbagai latihan, pengalaman, motivasi dan lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang. Banyak penyandang

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 319 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat) down syndrom menyenangkan dan penurut, tetapi seperti orang kebanyakan baik dengan kelainan ataupun tanpa kelainan, maka ia juga mengalami stres dan bereaksi karena sebab atau penyebab. Seorang anak tunagrahita yang telah terdiagnosa tunagrahita tingkat tertentu, tingkat fungsi mentalnya dapat berubah terutama pada anak tunagrahita yang tergolong ringan. Sebagaimana sekolah umum, proses pembelajaran pada SLB merupakan interaksi edukatif antara peserta didik dengan lingkungan sekolah. Dalam hal ini sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik- teknik pembelajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran. karakteristik siswa. karakteristik guru dan sumber daya yang tersedia di sekolah.(Mulyasa, 2005a: 183) Dalam garis besarnya pelaksanaan atau implementasi kurikulum berbasis kompetensi pada SLB, pembelajaran pendidikan agama mencakup tiga kegiatan pokok yaitu meliputi pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Pengembangan program dalam kurikulum berbasis kompetensi mencakup aspek pengembangan program tahunan, semester, mingguan, program modul dan remedial.(Mulyasa, 2004b: 79) Persiapan mengajar atau disebut pula dengan perencanaan jangka pendek, berisi tentang kompetensi yang akan dimiliki oleh peserta didik, apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya serta bagaimana guru mengetahui bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu. (Mulyasa, 2005a: 95) Aplikasi atau pelaksanaan pembelajaran di SLB adalah kegiatan pembelajaran seperti pada sekolah umum. Adapun bentuk kegiatan pembelajaran ini mencakup kegiatan awal, kegiatan inti atau pembentukan kompetensi dan kegiatan akhir. Kegiatan awal atau pembukaan diawali dengan keakraban. Hal ini untuk mengkondisikan peserta didik siap melakukan kegiatan pembelajaran, sedangkan pre test untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki peserta didik. (Mulyasa, 2005a: 126-127) Kegiatan inti atau pembentukan kompetensi mencakup penyampaian tentang bahan ajar dan melakukan tukar pengalaman dan pendapat dalam membahas materi standar atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Adapun prosedur yang harus ditempuh adalah guru harus menjelaskan kompetensi minimal yang harus dicapai peserta didik untuk bertanya sampai materi standar benar-benar dikuasai. Guru membagikan materi standar berupa hand out atau foto copy bahan yang akan dipelajari, membagikan lembaran kegiatan, memantau dan memeriksa kegiatan peserta didik selanjutnya menjelaskan jawabannya dan kesalahan-kesalahan diperbaiki oleh peserta didik. (Mulyasa, 2005a: 127-128) Kegiatan akhir atau penutup dilakukan dengan memberikan tugas-tugas diberikan sebagai tindak lanjut dari pembelajaran inti atau pembentukan kompetensi. Tugas ini berkaitan dengan materi standar yang telah dipelajari maupun yang akan dipelajari. Adapun bagi siswa yang kurang dapat

320 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Yustiani S. menguasai materi, guru memberikan perlakuan khusus dengan kegiatan remediasi. Adapun post test sebagai kegiatan akhir pembelajaran untuk melihat keberhasilan pembelajaran, terutama untuk mengetahui tingkat penguasaan, kompetensi dan tujuan yang dapat dan belum dikuasai, untuk mengetahui peserta didik yang harus ikut remediasi dan sebagai acuan untuk melakukan perbaikan. Aspek ketiga dalam pelaksanaan atau implementasi kurikulum adalah evaluasi hasil belajar. Evaluasi hasil belajar antara lain dilakukan dengan cara penilaian kelas. Penilaian berbasis kelas dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir.(Mulyasa, 2005a: 129-130) Melalui penilaian ini, perkembangan fisik dan mental peserta didik SLB dapat dipantau. Metode pembelajaran merupakan bagian dari strategi instruksional, metode pembelajaran berfungsi sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh dan memberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat dipergunakan dalam menyajikan pelajaran kepada siswa, seperti metode ceramah, tanya jawab, demonstrasi, simulasi, bermain peran dan sebagainya.(Martinis, 2007: 132) Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pada pasal 39 ayat 1 dikemukakan bahwa tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pendayaan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pada ayat 2 dikemukakan bahwa pendidikan merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Profesi yang disandang oleh seorang guru adalah sesuatu pelayanan yang membutuhkan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, keahlian dan ketelatenan untuk menciptakan anak memiliki perilaku sesuai yang diharapkan. Demikian pula dengan guru atau pendidik pada Sekolah Luar Biasa. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik mencakup empat aspek yaitu: 1) Kemampuan pedagogik, 2) kemampuan profesional, 3) kemampuan sosial, dan 4) kemampuan personal (pribadi). (Martinis, 2007: 4-5)

Me t o d e Pe n e l i t i a n Sasaran dari penelitian ini adalah Sekolah Luar Biasa pada jenjang Sekolah Dasar atau SDLB Dharma Asih di kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat. SDLB sasaran penelitian meliputi 2 jenis yaitu SDLB Tunarungu dan SDLB Tunagrahita. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang diterapkan meliputi wawancara, pengamatan dan telaah dokumen.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 321 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat) Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas kriteria tertentu. Dalam hal ini terdapat kriteria yang digunakan yakni derajat kepercayaan (credibility). Penerapan kriteria ini berfungsi: pertama melaksanakan inkurdin sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai, kedua mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataannya gaude yang sedang diteliti. Keabsahan data dilakukan dengan teknik pemeriksaan perpanjangan keikutsertaan dan trianggulasi. Perpanjangan keikutsertaan peneliti di lokasi berguna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data. Distorsi dapat berasal dari pribadi dan dapat berasal dari responden atau informan tersebut mungkin tidak disengaja dan mungkin disengaja dengan dimungkinkan pula terdapat distorsi yang bersumber dari kesengajaan misalnya berdusta, berpura-pura. Dalam menghadapi ini peneliti menentukan apakah benar- benar ada distorsi, apakah distorsi itu tidak disengaja atau disengaja, dari mana sumbernya, semua dapat diatasi dengan adanya perpanjangan keikutsertaan ini oleh peneliti. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang diterapkan oleh peneliti. Trianggulasi yang diterapkan meliputi trianggulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber. Trianggulasi dengan sumber membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan jalan (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Ha s i l Pe n e l i t i a n Pelaksanaan Pendidikan Agama di SDLB Dharma Asih Implementasi kurikulum secara garis besar mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu penyusunan atau pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Berikut dikemukakan implementasi kurikulum pada pelaksanaan pendidikan agama di SDLB Dharma Asih. 1. Penyusunan program Penyusunan program telah dilaksanakan oleh guru pendidikan agama Islam pada SDLB. Program yang telah disusun meliputi program tahunan, program semester. RPP dan silabus pelajaran pendidikan agama. Sedangkan guru kelas yang memberikan pelajaran pendidikan agama, mereka tidak menyusun program tersebut. Dalam penyusunan program tersebut guru pendidikan agama Islam berpedoman pada buku panduan standar kompetensi

322 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Yustiani S. dan kompetensi dasar, sekolah luar biasa tunarungu, penerbit Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat pembinaan sekolah Luar Biasa. 2. Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama di SDLB B dan C mencakup tiga kegiatan pokok yaitu pre-test, proses dan post-test. Pada saat peneliti melakukan pengamatan di kelas dasar 1 tunarungu, guru melakukan pre test didahului dengan mengadakan pembinaan keakraban dengan cara seluruh siswa secara bergiliran bersalaman dengan guru, kemudian guru menyampaikan salam selamat pagi serta menanyakan keadaan para siswa, selanjutnya para siswa bersama guru membaca doa. Selanjutnya dilakukan pre test karena dalam kegiatan pembinaan kompetensi guru akan membahas materi tentang rukun Islam maka dalam pre test guru menyampaikan pertanyaan kepada siswa dengan pertanyaan “siapa yang telah mengetahui rukun Islam ? Siapa yang telah mengerjakan salat ? dan sebagainya. Ada beberapa siswa yang menjawab “sudah” dan ada beberapa siswa yang menjawab “belum tahu rukun Islam”. Pre-test mempunyai kegunaan, antara lain untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik terhadap materi pelajaran yang kan diberikan. Setelah kegiatan pre test dilakukan beberapa menit, maka dilanjutkan pada kegiatan inti atau proses pembentukan kompetensi. Kegiatan inti meliputi penyampaian materi standar, membahas materi standar atau bahan pelajaran untuk membentuk kompetensi siswa. Pembelajaran pendidikan agama Islam disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang berkebutuhan khusus tunarungu disekolah ini. Ruang lingkup pendidikan agama Islam antara lain adalah Fiqh, sedangkan standar kompetensi dasar adalah menirukan ucapan rukun Islam dan menghafal rukun Islam. Sebelum menyampaikan materi rukun Islam, guru menuliskan materi tersebut dipapan tulis sebagai berikut: rukun Islam ada 5 yaitu 1) membaca syahadat 2) melaksanakan salat 3) membayar zakat 4) berpuasa ramadhan dan 5) haji. Guru menyebutkan satu persatu rukun Islam dan para siswa bersama-sama menirukan. Selanjutnya guru menerangkan tentang materi rukun Islam kepada siswa dengan bahasa lisan dan bahasa isyarat dengan sabar, telaten diulang-ulang hingga para siswa dapat memahami. Bahasa isyarat yang digunakan adalah bahasa baku dengan nama sistem isyarat bahasa Indonesia atau SIBI. Guru kelas pada kelas tersebut adalah sebagai penyandang tunarungu pula. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan meliputi metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Dalam menyampaikan materi pelajaran guru, sering menyampaikan dengan humor agar para siswa tidak merasa jenuh. Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, guru kelas menggunakan buku berjudul senang belajar agama Islam, KTSP 2006, oleh Moh Nasrun dkk Penerbit Erlangga sebagai acuannya. Hal ini dikarenakan Diknas maupun

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 323 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat) Depag belum menerbitkan buku pendidikan agama Islam bagi sekolah luar biasa, khususnya SDLB. Tahapan akhir dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama adalah postest. Kegiatan akhir pembelajaran ini dilakukan dengan cara memberikan tugas kepada siswa. Tugas yang diberikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan inti yang berkenaan dengan materi standar yang dipelajari yaitu tentang rukun Islam. Pada saat itu post-test dilakukan secara tertulis. Guru menuliskan lima buah soal di papan tulis, para siswa menyalin soal-soal tersebut dan menuliskan jawabannya. Guru selalu membantu dengan sabar dan penuh kasih sayang menerangkan agar mereka memahami soal-soal tersebut. Terdapat beberapa siswa yang serius mengerjakan soal- soal, namun terdapat beberapa siswa yang santai-santai saja. Kepada mereka guru dengan sabar membimbingnya. Setelah jam pelajaran hampir selesai, guru memberikan penilaian. Pemberian tugas ini berguna bagi guru untuk mengetahui kompetensi dan tujuan yang telah dikuasai siswa. Apabila sebagian besar siswa belum menguasai maka guru melakukan pembelajaran kembali atau remedial teaching. Sebagaimana dilaksanakan dalam pembelajaran pendidikan agama pada SDLB tunarungu, maka pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam pada SDLB tunagrahita kelas dasar 4 menerapkan pula tiga tahapan kegiatan yaitu pre test, proses dan post test. Dikelas ini penulis mengamati pembelajaran pendidikan agama Islam dalam bentuk praktek wudhu dan praktek salat. Sebelum melaksanakan praktek tersebut, diruang kelas guru melakukan kegiatan pre test dengan cara memberikan penjelasan tentang wudhu dan salat. Setelah kegiatan pre test, dilanjutkan dengan proses pembentukan kompetensi wudhu dan salat. Di tempat praktek wudhu, guru memerintahkan siswa satu persatu melaksanakan wudhu. Guru dan siswa yang lain mengamati siswa yang sedang melakukan wudhu. Bila ada siswa yang lupa dalam membasuh salah satu anggota badan, maka guru membimbingnya dengan sabar. Guru membimbing pula para siswa untuk membaca doa dengan menghadap kiblat. Dalam melaksanakan praktek wudhu, para siswa dapat melakukan wudhu dengan tertib, mereka terlihat patuh dan menunjukkan sikap yang baik, antusias dalam mengikuti pembelajaran walaupun mereka memiliki keterbelakangan mental. Setelah selesai melakukan praktek wudhu, para siswa bersama guru menuju ruang praktek salat. Praktek salat dilakukan di suatu ruangan yang luas, sehingga mereka dapat melakukan praktek salat dengan nyaman. Guru memerintahkan salah satu siswa untuk menjadi imam dan lainnya berperan sebagai makmum dalam praktek salat subuh. Dalam mengajar pendidikan agama Islam, guru berpedoman dengan buku standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk SDLB Tunagrahita, penerbit Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Departemen Pendidikan

324 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Yustiani S.

Nasional tahun 2006. disamping itu guru menggunakan buku “senang belajar agama Islam, KTSP 2006, oleh Moh Hasrun, dkk, penerbit Erlangga. sebagai pegangan dalam mengajar. 3. Evaluasi Evaluasi terhadap hasil belajar bertujuan untuk mengetahui hasil belajar atau pembentukan kompetensi peserta didik. Evaluasi hasil belajar yang diterapkan di sekolah ini adalah penilaian berbasis kelas. Penilaian berbasis kelas tersebut berbentuk ulangan harian, ulangan umum atau ulangan semester dan ujian. Ulangan harian terdiri atas seperangkat soal-soal yang dibuat oleh. guru berkaitan dengan kompetensi dasar yang dibahas. Ulangan umum dilaksanakan setiap akhir semester yaitu semester pertama dan semester kedua. Adapun ujian sekolah dilakukan pada akhir program pendidikan bagi siswa kelas 6. Ujian akhir sekolah pada SDLB tunanetra dilaksanakan dua kali yaitu ujian USBN dan ujian UAS atau ujian sekolah. Para siswa SDLB tunagrahita tidak diikutkan dalam ujian USBN.

Faktor Pendukung dan Kendala Sekolah sebagai pelaksanaan pendidikan, baik para guru, kepala sekolah maupun yayasan selalu berupaya untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dan peningkatan mutu secara berkesinambungan. Walaupun telah diupayakan sedemikian rupa dalam pengelolaan pendidikan, namun masih terdapat pula kendala-kendala yang perlu mendapat perhatian. Adapun faktor pendukung yang memperlancar keberhasilan proses pembelajaran di SDLB Dharma Asih meliputi para guru, kepala sekolah, dana, yayasan, partisipasi masyarakat dan partisipasi intsansi pemerintah. 1. Kepala Sekolah Kepala Sekolah merupakan seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah yang di dalamnya diselenggarakan proses belajar mengajar. Kepala sekolah di sekolah ini memiliki persyaratan sebagai seorang yang menduduki jabatan dalam lembaga pendidikan antara lain beliau memiliki keahlian atau kemampuan dasar, kualifikasi pribadi, memiliki pengetahuan dan ketrampilan profesional, serta pengalaman profesional. Kepala Sekolah di sekolah ini mampu dengan baik menggerakkan semangat para guru, dan siswa dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, sesuai dengan misi yang ditetapkan, kepala sekolah mampu membawa perubahan sikap, perilaku dan intelektual anak didik atau siswa sesuai dengan tujuan pendidikan lembaga. 2. Guru Hubungan interpersonal sesama guru di sekolah ini mempengaruhi kualitas kinerja guru, karena motivasi kerja dapat terbentuk dari interaksi

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 325 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat) dengan lingkungan sosial sekitarnya. Hampir seluruh pendidik atau guru di sekolah ini merupakan guru profesional yang telah berpengalaman dan mereka merupakan guru alumni pendidikan khusus Sekolah Luar Biasa atau SLB, baik dari jurusan tunagrahita dan tunarungu. Dalam kesehariannya mereka dihadapkan pada tantangan sekaligus ibadah, di mana mereka harus melayani peserta didik dengan penuh tanggung jawab, kasih sayang, kesabaran, keramahan dan selalu berusaha memberikan rasa aman dan perlindungan kepada peserta didik yang mengalami ketunaan. 3. Dana Dana merupakan salah satu unsur pendukung yang turut menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di sekolah. Dana untuk pengelolaan pendidikan di sekolah ini diperoleh dari beberapa sumber, antara lain adalah dana dari SPP siswa, dana dari instansi-instansi seperti Dinas Pendidikan Kota Pontianak, Dinas Pendidikan Provinsi dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dana dari instansi tersebut berupa antara lain dana BOS, dana beasiswa dan sebagainya. Sumber dana lainnya adalah donatur dari perusahaan¬-perusahaan dan masyarakat yang simpati dan peduli terhadap lembaga pendidikan ini. 4. Yayasan Yayasan Dharma Asih sebagai pendiri lembaga pendidikan ini tentu banyak berperan dalam keterlaksanaan pendidikan sekolah luar biasa Dharma Asih. Peran yayasan di samping mendirikan sekolah ini adalah selalu berupaya menggalang dana untuk kepentingan sekolah, antara lain untuk pengadaan sarana prasarana, honor tenaga kependidikan dan sebagainya. Pengurus yayasan selalu memonitor perkembangan lembaga pendidikan ini, dengan menyelenggarakan rapat rutin setiap minggu. 5. Sarana Prasarana Pembelajaran Sarana pembelajaran secara maksimal memungkinkan peserta didik menggali berbagai konsep yang sesuai dengan mata pelajaran yang sedang dipelajari, sehingga dapat menambah wawasan dan pemahaman siswa yang senantiasa aktual. Prasarana sarana pendidikan di sekolah ini dapat dikategorikan cukup memadai, seperti ketersediaan ruang kelas, ruang ketrampilan, ruang UKS, ruang perpustakaan, sarana olah raga, ruang guru dan sebagai. Namun ruang-ruang yang cukup penting bagi siswa SDLB tunarungu. seperti ruang latihan mendengar, ruang audiometri serta speeck trainer belum tersedia di sekolah ini. Sarana pelajaran pendidikan agama Islam sampai saat ini dianggap kurang memadai berkaitan dengan buku-buku pelajaran bagi siswa maupun guru khusus bagi pembelajaran di SDLB.

Pe m b a h a s a n Menurut Mulyasa (2005a), implementasi kurikulum mencakup tiga

326 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Yustiani S. kegiatan pokok yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Berkenaan dengan pembuatan program pembelajaran pendidikan agama hampir seluruh guru kelas tidak menyusunnya, hanya seorang guru bidang studi pendidikan agama saja yang menyusunnya. Guru profesional harus mampu mengembangkan persiapan mengajar dengan baik, logis dan sistematis, karena disamping untuk melaksanakan pembelajaran, persiapan tersebut mengemban “profesional accuntabilty” sehingga guru dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru-guru pendidikan agama Islam meliputi kegiatan awal kegiatan inti dan kegiatan akhir. Hal ini telah sesuai sebagaimana dikemukakan oleh Mulyasa (2005b). Dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan agama para guru berpedoman kepada buku standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dalam buku tersebut dikemukakan tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk kelas I s/d III semester I dan semester II bagi SDLB-B dan C. Dalam realisasinya materi yang telah ditetapkan dalam program yang disusun oleh Diknas tersebut tidak dapat tercapai secara penuh dalam arti tepat waktu. Sebagai contoh untuk SDLB-B kelas I semester I dalam standar kompetensi fiqih adalah mengenal rukun Islam, kompetensi dasar meliputi: 1. menirukan ucapan rukun Islam, 2. menghafal rukun Islam. Namun dalam realisasinya pembelajaran berdasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dilaksanakan pula pada semester II. Namun demikian, kondisi tersebut tidak menjadi permasalahan, karena dalam buku tersebut telah dikemukakan bahwa pembelajaran pendidikan agama Islam disesuaikan dengan peserta didik yang berkebutuhan khusus tunarungu. Adapun ketidaktepatan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan program yang telah disusun oleh Diknas tersebut disebabkan oleh kondisi para peserta didik. Menurut pengamatan penulis, walaupun materi pembelajaran menirukan, memahami dan menghafal rukun Islam telah disampaikan pada jam pelajaran sebelumnya dan diulangi kembali padajam pelajaran berikutnya dalam evaluasi atau post test masih terdapat beberapa siswa yang belum dapat mengerjakan. Permasalahan selanjutnya, selain membutuhkan pelayanan khusus dari guru dalam menginformasikan pelajaran kepada siswa, untuk membaca dan menghafal mereka memerlukan waktu relatif tidak sedikit, karena anak yang memiliki gangguan pendengaran atau tunarungu biasanya mereka mengalami kondisi gangguan berbicara atau tunawicara. Sehingga untuk mengekspresikan kemampuan bicaranya pun mengalami hambatan. Hal tersebut dikarenakan kemampuan verbal tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar, dan daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih pendek dari pada anak mendengar terutama pada informasi yang bersifat berurutan. Daya ingat jangka panjang hampir tidak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir anak tunarungubiasanya tetap lebih rendah daripada anak mendengar.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 327 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat) Untuk kelas I Semester II, standar kompetensi adalah mengenal dua kalimat syahadat, dan dijabarkan dalam kompetensi dasar yaitu: 1) melafalkan syahadat tauhid dan syahadat Rasul, 2) menghafal dua kalimat syahadat, 3) mengartikan dua kalimat syahadat. Adapun realisasi pelaksanaan dalam pembelajaran aqidah di kelas ini telah sesuai dengan pedoman dari Diknas sebagaimana dikemukakan di atas. Guru agama pada kelas bersangkutan mampu menyampaikan materi dengan menghubungkan antara pelajaran fiqih yakni tentang mengenal rukun Islam yaitu menirukan ucapan rukun Islam dan menghafal rukun Islam dengan pelajaran aqidah yakni mengartikan dan melafalkan syahadat tauhid dan syahadat rasul. Untuk kelas IV semester II pada SDLB-C, standar kompetensi fiqih adalah melaksanakan dzikir dan doa. dan kompetensi dasar meliputi: 1) melakukan dzikir seteJah sholat dan 2) membaca doa setelah sholat. Dalam realisasi pembelajaran fiqih pada kelas IV semester II adalah praktek melaksanakan salat dengan melaksanakan wudhu yang seharusnya diberikan pada semester sebelumnya. Hal ini tidak menjadi permasalahan karena pembelajaran pendidikan agama Islam disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang berkebutuhan khusus tunagrahita. Dalam pelaksanaan pembelajaran praktek, siswa tanpa diberi contoh oleh guru, saat praktek mereka telah dapat melakukan wudhu serta melakukan salat subuh berjamaah. Hal tersebut merupakan prestasi bagi anak yang berkebutuhan khusus tunagrahita. Mereka semua dengan taat mematuhi perintah guru untuk melakukan wudhu dan sholat, suasananyapun tertib, dalam arti siswa tidak ada yang berbuat gaduh atau berperilaku negatif. Berkenaan dengan kemampuan anak tunagrahita, dalam literatur yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa dikemukakan bahwa: fungsi intelektual anak tunagrahita tidak statis. Khusus bagi anak dengan perkembangan. kemampuan ringan dan sedang, perintah atau tugas yang terus menerus dapat membuat perubahan yang besar di kemudian hari. Selanjutnya dalam literatur tersebut dikemukakan bahwa tes IQ mungkin dapat dijadikan indikator bagi kemampuan mental seseorang, namun kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Berbagai latihan, pengalaman, motivasi dan lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang. Begitu pula dikemukakan bahwa tingkat fungsi mental anak tunagrahita mungkin saja dapat berubah pada anak tunagrahita yang tergolong ringan. Pembahasan tentang evaluasi merupakan pembahasan pada tahap ketiga dari implementasi kurikulum. Dalam pembahasan evaluasi difokuskan pada evaluasi terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil belajar. Evaluasi terhadap hasil belajar yang diterapkan di SDLB B dan C adalah penilaian berbasis kelas (PBK). Penilaian berbasis kelas dapat dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum semester dan ujian akhir.

328 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Yustiani S.

Penilaian dalam KBK dan KTSP menganut prinsip penilaian berkelanjutan dan komprehensif guna mendukung upaya memandirikan siswa untuk belajar, bekerjasama dan menilai diri sendiri. Karena itu penilaian dilaksanakan dalam kerangka penilaian berbasis kelas (PBK). Dikatakan PBK karena kegiatan penilaian dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan pembelajaran. Dalam KTSP pembelajaran berbasis kompetensi dan terstruktur, bahwa PBK merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan “mengukur apa yang hendak diukur” dari siswa. Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas adalah penilaian dilakukan oleh guru dan siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama, karena hanya guru yang bersangkutan yang paling mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa yang diajarnya. Selain itu siswa yang telah diberitahu oleh guru bentuk atau cara penilaiannya siswa akan berusaha meningkatkan prestasinya sesuai dengan kemampuannya. Namun, karena sekolah ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak yang berkebutuhan khusus sehingga mungkin harapan atau pembelajaran tidak dapat tercapai sepenuhnya. Karena perkembangan anak tunagrahita lebih lambat pada tingkat pemahamannya dibanding dengan anak normal. Demikian pula dengan kondisi anak tunarungu. Daya ingat jangka pendek anak tunagrungu lebih rendah daripada anak mendengar walaupun daya ingat jangka panjang hampir tidak ada perbedaan atau hanya ada sedikit perbedaan dengan anak mendengar, namun hasil prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah. Oleh sebab itu para guru telah berusaha membuat soal- soal untuk evaluasi secara sederhana, relatif mudah dipahami dan dikerjakan oleh siswa sesuai dengan kondisinya.

Si mp u l a n SDLB Dharma Asih telah mengimplementasikan kurikulum Pendidikan Agama Islam sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Implementasi kurikulum tersebut meliputi pengembangan program, pelaksanaan pendidikan dan evaluasi. Ketiga aspek tersebut telah dilakukan oleh para guru pendidikan agama di sekolah ini. Pendidikan Agama Islam pada SSDLB tertuang dalam buku pedoman standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disusun oleh Diknas. Adapun ruang lingkupnya meliputi empat jenis yakni 1) Al-Qur’an dan Hadits, 2)Aqidah, 3)Akhlaq, dan 4) fiqh. Prasarana dan sarana yang terdapat di SDLB Dharma Asih telah memenuhi ketentuan prasarana sarana yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional No. 24. Tahun 2007 tentang standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 329 Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa (Studi Kasus SDLB Dharma Asih Kota Pontianak, Kalimantan Barat)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1985. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina Aksara. ------1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: PT. Refika Aditama. GBHN. 2004. Surakarta : AI-Hikmah Martinis, Yamin. 2007. Profesionalisasi Guru dan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press Mulyasa, E. 2004. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya ------2005a. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Rosdakarya ------2005b. Implementasi Kurikulum, 2004, Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Rosdakarya Muslich, Masmur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstektual. Jakarta: Bumi Aksara Rahardja, Djaja. 2008. Pendidikan Luar Biasa Dulu dan Sekarang, dalam Djaja Rahardja-blogspot.com, 2008.09 html. Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Sudjana, Nana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

330 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 PEMIKIRAN

PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN MASJID DI ERA GLOBALISASI INFORMASI

Oleh Mustolehudin

Ab s t r a c t : Historical fact proves that the Islamic civilization has experienced the height of glory to the progress of the Muslim intellectual in the era of the Abbasid Caliphate. It was marked by respect and attention to the work of Deputies scholars celebrated by establishing and developing the Islamic library. One example is the Caliph al Ma’mun (813-833) who founded the library is very grand and famous is “Bayt al Hikmah”. The majority of Indonesian population is followers of Islam, and Indonesia is a country with the largest number of Muslims in the world. That the religious activities and religious Muslims in Indonesia central mosque. In Indonesia there are hundreds of thousands of mosques that spread throughout the archipelago. Library mosque as a place of religious literature must be managed properly and professionally in accordance with the standard management of the National Library of Indonesia in all things both management and the things that are technical. One way is to use information technology.

Keywords: Mosque Library, Information Technology

Pe n d a h u l u a n Masjid adalah merupakan pusat ibadah dan pusat kebudayaan peradaban Islam. Masjid mempunyai peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat, dalam hal ini adalah sebagai sarana tempat beribadah dan tempat berbagai kegiatan bagi umat Islam. Pada zaman ketika Nabi Muhammad Hijrah dari Mekkah ke Madinah pertama kali yang beliau bangun adalah masjid. Masjid pada waktu itu digunakan sebagai markas besar tentara dan pusat gerakan pembebasan umat dari penghambaan kepada manusia, berhala atau taghut. Masjid pun digunakan sebagai pusat pendidikan yang mengajak manusia pada keutamaan, kecintaan pada pengetahuan, kesadaran sosial dan lain sebagainya (Nahlawi, 1995 : 137)

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 331 Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globlasisasi Imformasi

Masjid dalam penyebaran dakwah Islam di Indonesia, mempunyai peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu peran tersebut adalah dengan adanya literatur masjid atau perpustakaan masjid. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa salah satu tugas Pemerintah Republik Indonesia adalah untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Pembinaan bangsa Indonesia mengacu kepada terbentuknya manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rokhani, serta memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat, demi tercapainya Negara dan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 Tentang Perpustakaan menyebutkan bahwa, tujuan perpustakaan adalah memberikan layanan kepada masyarakat, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.(Perpustakaan Nasional RI, 2007 : 5) Sebagaimana anjuran mantan Presiden Indonesia yaitu Bapak Soeharto pada pembukaan MTQ ke XVI tanggal 4 Februari 1991 di Yogyakarta, kehadiran masjid di tengah-tengah masyarakat mempunyai fungsi sebagai sarana beribadat, fungsi pendidikan, fungsi sosial dan budaya, serta sarana silaturahmi umat Islam. Salah satu pendekatan yang tepat untuk dapat mewujudkan fungsi tersebut adalah dengan membangun pusat literatur atau perpustakaan di lingkungan masjid, yang selanjutnya disebut Perpustakaan Masjid. (Djadjuliyanto,1992 : 987) Demikian pula yang disampaikan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Prof. DR. H. Nazaruddin Umar, MA pada Workshop Perpustakaan Masjid di Yogyakarta pada tanggal 21 s/d 24 Juli 2009, menyatakan bahwa perpustakaan masjid mempunyai peran strategis dalam khazanah penyelamatan dan pelestarian naskah-naskah Islam Nusantara yang berada di masjid. Perpustakaan masjid pada era teknologi informasi saat ini, perlu dikelola dan di bina dengan baik dan profesional. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah kedudukan dan tatakelola organisasi, gedung, tenaga pengelola (SDM), koleksi, system layanan, sarana prasarana komputer, dan pembiayaan. Dengan demikian perpustakaan masjid akan menjadi pusat pendidikan dan pusat informasi bagi umat Islam. Berpijak dari pemikiran tersebut di atas, terdapat dua permasalahan penting dalam mengelola perpustakaan masjid; Pertama, bagaimana mengelola perpustakaan masjid yang baik dan profesional ? Kedua, bagaimana upaya perpustakaan masjid untuk memanfaatkan teknologi informasi.

332 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mustolehudin

Se j a r a h Pe r p u s t a k aa n Is l am Sejarah peradaban dalam dunia Islam mencatat, bahwa perkembangan perpustakaan pernah mengalami masa kejayaan. Ada beberapa fase masa kejayaan perpustakaan Islam adalah sebagaimana keterangan berikut ini; 1. Perpustakaan pada masa khalifah al-Makmun (tahun 813-833 Masehi). Pada saat itu didirikan Bait al-Hikmah. Lembaga ini menggabungkan perpustakaan, sanggar sastra, lembaga studi dan pusat observasi. Sebelum masa khalifah al-Makmun, Bait al-Hikmah telah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid dan mencapai masa kejayaan intelektual pada masa khalifah al-Makmun. 2. Perpustakaan di Marv, Persia Timur. Pada masa ini sebagaimana ditulis oleh Yaqut dalam kamus geografinya menjelaskan bahwa di kota itu memiliki perpustakaan besar, dua di antaranya perpustakaan masjid dan lainnya adalah perpustakaan madrasah. Tidak kurang dari 100.000 eksemplar buku menjadi koleksi perpustakaan tersebut. 3. Perpustakaan Madrasah Nizamiyah Baghdad. Pada perpustakaan ini memiliki koleksi sekitar 6.000 eksemplar buku. Pada waktu itu perpustakaan Madrasah Nizamiyah sudah menggunakan manajemen untuk mengelola perpustakaan, sehingga koleksi perpustakaan telah tertata sesuai dengan klasifikasi dan memudahkan pengguna untuk mencari koleksi buku atau manuskrip. 4. Perpustakaan Dār al-Hikmah di Kairo. Perpustakaan ini didirikan pada masa Dinasti Fathimiyah tahun 1004. Perpustakaan Dār al-Hikmah merupakan pusat utama pendidikan tinggi di Mesir yang digunakan oleh para pelajar dan para ilmuwan hampir selama satu abad lamanya. 5. Perpustakaan Universitas Cordova di Spanyol. Perpustakaan ini didirikan oleh Abdurrahman al-Nasyir, dan memiliki koleksi ratusan ribu buku serta menyaingi perpustakaan-perpustakaan yang berada di Daulat Abbasiyah. 6. Perpustakaan Khalifah Dinasti Fathimiyah kedua, yaitu dibawah kepemimpinan al-Aziz (975-996). Pada perpustakaan ini telah berkembang sangat pesat. Koleksi pada perpustakaan ini sangat komplit dan beragam. Di antara koleksi tersebut yang sangat terkenal adalah kitab al-’Ayn, leksiografi (Jamhara) karya Ibn Durayd, koleksi ilmu alam dan filsafat hellenistik berjumlah 18.000 eksemplar.(Suwito & Fauzan, 2005 : 41) Selain perpustakaan-perpustakaan tersebut di atas masih terdapat perpustakaan yang mencapai masa keemasan Islam. Di antaranya adalah perpustakaan Al Mutawakkil, Al Fath Ibn Khaqan (w.861), perpustakaan milik Ali bin Yahya yang diberi nama “Khizanatul Hikmah”, perpustakaan pribadi Jamaluddin al-Qifthi (w.64 H), perpustakaan pribadi Muwaffaq bin Muthran Dimasyqi yang memiliki koleksi sekitar 10.000 eksemplar, perpustakaan pribadi Adhud Al-Daula (w. 983) yang di beri nama “Khizanatul Kutub”. Perpustakaan ini berdiri dan dikelilingi oleh taman dan danau. Terdapat 360

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 333 Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globlasisasi Imformasi ruangan untuk koleksi buku dan terdapat katalog untuk penelusuran koleksi perpustakaan. Selanjutnya perpustakaan pribadi Ibn Sawwar, ia memiliki perpustakaan yang bernama Dar al-Ilm di Basroh dan di Ramhurmuz (sekitar Persia), perpustakaan pribadi Pangeran Dinasti Samaniyyah/Nuh (976-977), ia memiliki koleksi perpustakaan yang sangat langka diantara koleksinya adalah filologi bahasa Arab, Puisi, etika dan sebagainya. Terakhir adalah perpustakaan pribadi Khazain al-Qusu di Kairo. Koleksi yang dimiliki mencapai 1,6 juta naskah dan terdapat 40 ruangan untuk menampung koleksi tersebut.(Suwito & Fauzan, 2005 : 43)

Pe r p u s t a k aa n Ma s j i d Mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam, dan Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Dari jumlah penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam tersebut, dalam beribadah membutuhkan tempat ibadah. Di Indonesia terdapat ratusan ribu masjid yang tersebar di seluruh nusantara. Masjid di Indonesia jumlahnya kurang lebih 400.000 yang tersebar di 33 Propinsi, dan kondisi yang ada belum semua masjid memiliki perpustakaan, kemungkinan besar hanya masjid yang ada di kota-kota saja yang memiliki perpustakaan masjid. Perpustakaan masjid yang berada di kota propinsi pun masih perlu mendapat perhatian dan pembinaan dari Pemerintah. Perpustakaan merupakan salah satu sarana pelestarian hasil budaya umat manusia dan mempunyai fungsi sebagai sumber informasi, sumber belajar ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Perpustakaan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Daerah, Perpustakaan Umum, Perpustakaan Keliling, Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus. Perpustakaan masjid menurut Djadjuliyanto, (1992 : 986) adalah tergolong perpustakaan umum yang berada di lingkungan masjid, dikelola oleh suatu badan di bawah pengawasan takmir masjid dan merupakan salah satu sarana dan upaya untuk meningkatkan pengetahuan serta kegemaran membaca guna mencerdaskan kehidupan bangsa dan merupakan bagian integral dari kegiatan pembangunan umat Islam. Sidi Gazalba, (1994 : 128-129) menjelaskan eksistensi masjid sebagai tempat penyediaan sumber-sumber informasi semakin menguat setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan pada saat yang sama, persoalan-persoalan kehidupan terus berjalan. Ketika masalah-masalah baru terus bermunculan sementara Al-Qur’an dan hadits tidak memberikan solusi pemecahannya, maka ahli-ahli Islam atau para ulama menjawabnya dengan ijtihad. Dalam situasi demikian hasil ijtihad dan seluruh literatur mengenai agama Islam, secara langsung atau tidak langsung membentuk kepustakaan Islam. Lebih

334 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mustolehudin jauh dia menjelaskan bahwa kepustakaan atau literatur Islam merupakan sumber ajaran, pendidikan, pengajaran dan dakwah Islam yang ditempatkan di masjid.

Fu n g s i Ma s j i d Selain sebagai tempat ibadah masjid mempunyai fungsi-fungsi lain yang berguna bagi masyarakat. Karena kedudukannya yang sentral dalam masyarakat Islam, perkembangan masjid selalu berkaitan dengan perubahan setiap saat dalam masyarakat.(Asrohah, 1999 : 56). Fungsi masjid menurut Harun,(2009: 1) yang berkembang di masyarakat muslim adalah sebagai berikut : 1. Sebagai pusat ibadah Masjid merupakan pusat ibadah bagi umat Islam. Ibadah yang dilakukan umat Islam di masjid meliputi salat harian, mingguan dan salat tahunan. Salat harian terdiri dari salat Subuh, salat Dhuhur, salat Asyar, salat Maghrib dan salat Isya. Salat mingguan yaitu ibadah yang dilakukan satu minggu sekali atau salat Jum’at. Adapun salat tahunan yaitu salat Iedul Fitri dan salat Iedul Adha. 2. Sebagai pusat dakwah Dakwah yang dilakukan di masjid yaitu adanya peringatan hari besar Islam dengan mengadakan pengajian akbar dengan mengundang dai atau da’iyah. Adapun peringatan hari besar Islam yang sering diperingati adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad, dan peringatan tahun baru Islam. Di samping itu pula masjid sering digunakan untuk kajian terhadap kitab karya ulama besar dengan kajian kitab tafsir Al Qur’an dan kitab hadits maupun kitab fiqih. 3. Sebagai pusat pendidikan Pendidikan yang diadakan di masjid atau dilingkungan masjid adalah pendidikan Taman Pendidikan Al Qura’an, Madrasah Diniyah, SD Islam dan SMP Islam. Biasanya pendidikan tersebut berada naungan yayasan takmir masjid. 4. Sebagai pusat bacaan/pustaka Untuk mendukung kegiatan dakwah Islam dan pendidikan bagi masyarakat muslim, di masjid perlu didirikan perpustakaan masjid. Perpustakaan masjid merupakan tempat pembelajaran sepanjang masa bagi umat. Karya- karya ulama atau literatur ke-Islaman dan koleksi lainnya akan memberikan kekayaan khanazah keilmuan bagi umat lslam. 5. Sebagai pusat kegiatan sosial Masjid merupakan pusat kegiatan sosial. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi bencana alam yang menimpa masyarakat dan umat Islam, masjid dapat digunakan sebagai tempat berlindung.(Nahlawi, 1995 : 137) Suatu contoh ketika terjadi Tsunami di Aceh. Maka masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh menjadi tempat pengungsian dan tempat berlindung bagi masyarakat di sana.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 335 Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globlasisasi Imformasi

Ma n a j e m e n Pe r p u s t a k aa n Ma s j i d Literatur masjid atau kepustakaan masjid perlu dikelola dengan sistem manajemen perpustakaan agar semua komponen yang berhubungan dengan perpustakaan masjid dapat berjalan dengan baik dan dapat melayani jamaah atau pengguna perpustakaan. Pengelolaan perpustakaan masjid sama dengan pengelolaan perpustakaan pada umumnya. Adapun aspek-aspek manajemen perpustakaan masjid adalah sebagai berikut : 1) Perencanaa, 2) Pengorganisasian, 3) Penganggaran, 4) Kepemimpinan, dan 5) Pengawasan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagaimana uraian dibawah ini. 1. Perencanaan Perencanaan merupakan titik awal berbagai aktivitas organisasi yang sangat menentukan keberhasilan organisasi. Perencanaan menurut Lasa (2005 : 57) menjelaskan bahwa, perpustakaan sebagai lembaga yang selalu berkembang (library is the growing organism) memerlukan perencanaan dalam pengelolaan, meliputi bahan informasi, sumber daya manusia, dana, gedung/ruang, sistem, dan perlengkapan. Demikian pula halnya dengan perpustakaan masjid. Perencanaan merupakan hal mutlak agar perpustakaan dapat berjalan dengan optimal. Penyusunan perencanaan perpustakaan masjid harus sesuai dengan visi misi dan tujuan dibentuknya perpustakaan masjid. Berikut ini akan dijelaskan mengenai komponen-komponen penting yang harus tersedia dalam perencanaan perpustakaan masjid. Adapun komponen- komponen tersebut adalah sebagai berikut : gedung/ruang perpustakaan, SDM (pengelola perpustakaan, koleksi, layanan, dan pengembangan.

a. Gedung/ruang perpustakaan Bagi perpustakaan masjid tingkat pemula, ruang perpustakaan dapat menempati salah satu ruangan yang ada di masjid, jika seandainya belum tersedia bangunan ruang khusus di luar tempat ibadah di dalam masjid. Perpustakaan masjid ditempatkan pada salah satu sudut di dalam masjid atau ditempatkan pada sudut ruang serambi masjid. Bagi perpustakaan masjid tingkat madya dan utama sebaiknya menempati gedung tersendiri yang berada dalam satu komplek dengan masjid. Apabila seluruh kegiatan dilakukan di dalam masjid, sedikitnya perlu disediakan almari-almari kaca dengan kunci untuk penyimpanan koleksi dan bahan administrasi. Pencatatan dan pengolahan bahan pustaka serta ruang baca dapat menggunakan ruangan masjid itu sendiri. Jika terdapat gedung atau ruang tersendiri dalam pembagiannya perlu diperhatikan keperluan kegiatan perpustakaan dalam mengatur tata ruang dan di antaranya yang terpenting adalah : ruang staff, ruang koleksi, ruang layanan, dan ruang baca.(Djadjuliyanto, 1992 : 991)

336 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mustolehudin

b. Sumber Daya Manusia (SDM Pengelola Perpustakaan) Untuk mengelola sebuah perpustakaan dibutuhkan pengelola yang memiliki dasar pendidikan tentang perpustakaan (D3 Perpustakaan atau setidak-tidaknya berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Pembagian kerja perpustakaan dapat dibagi sesuai dengan tingkat perpustakaan tersebut. Bagi perpustakaan masjid pemula, tugas katalogisasi yang meliputi menentukan tajuk subyek dan klasifikasi dilakukan oleh kepala perpustakaan. Sedangkan tugas administrasi dan layanan perpustakaan dilakukan oleh staf bagian layanan. Bagi perpustakaan masjid tingkat madya dan utama, minimal ada kepala perpustakaan sebagai pimpinan yang bertanggung jawab kepada takmir, petugas teknis, tata usaha dan petugas layanan (Lasa, 2005:62) c. Koleksi Koleksi perpustakaan masjid terdiri dari kitab, buku, majalah, surat kabar dan sebagainya. Bagi perpustakaan yang mampu dapat menambah koleksi pandang dengar atau audio visual seperti film, video, kaset, sepanjang tersedia tempat, tenaga pengelola dan dana operasional.(Djadjuliyanto, 1992: 992) Bahwasanya tujuan perpustakaan masjid adalah menyediakan bahan informasi guna meningkatkan keimanan dan ketaqwaan jamaah serta membekali jamaah dengan berbagai informasi yang dapat meningkatkan ilmu dan ketrampilan bagi pembangunan diri pribadi dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam pengadaan koleksi yang harus memperhatikan kebutuhan jamaah atau masyarakat, dan harus memperhatikan otoritas pengarang, penerbit dan isi buku (Ibrahim, 2009 : 2) Untuk memudahkan dalam pencarian bahan pustaka, koleksi dikelola menurut kaidah dan aturan yang berlaku. Adapun petunjuk pengolahan bahan pustaka menggunakan pedoman DDC atau Dewey Decimal Clasification (Tairas & Hamakonda, 1992 : 57) untuk klasifikasi ilmu umum, dan sistem klasifikasi Islam untuk ilmu agama Islam. Sistem klasifikasi ilmu umum dan klasifikasi seksi Islam pembagian notasi klasifikasinya adalah sebagai berikut: Ringkasan Klasifikasi DDC: 000 Karya Umum 100 Filsafat dan Psikologi 200 Agama 300 Ilmu-ilmu Sosial 400 Bahasa 500 Ilmu-ilmu murni (pasti/alam) 600 Ilmu-ilmu terapan (teknologi) 700 Kesenian, hiburan, olahraga 800 Kesussateraan 900 Geografi dan Sejarah umum

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 337 Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globlasisasi Imformasi

Bagan Klasifikasi Seksi Islam

2X0 Islam (umum) 2X1 Al Qur’an dan ilmu yang berkaitan 2X2 Hadits dan ilmu yang berkaitan 2X3 Aqaid dan Ilmu Kalam 2X4 Fikih 2X5 Akhlak dan Tasawuf 2X6 Sosial dan Budaya 2X7 Filsafat dan Perkembangan 2X8 Aliran dan Sekte 2X9 Sejarah Islam dan Biografi

d. Pelayanan Pelayanan yang digunakan untuk melayani pengguna perpustakaan masjid dapat menggunakan pelayanan terbuka (open acces) atau pelayanan tertutup (close acces). Pelayanan terbuka adalah pengguna atau pengunjung perpustakaan mencari atau menelusur sendiri bahan pustaka yang diinginkan. Sedangkan layanan tertutup adalah pengguna dalam mencari buku dilayani oleh petugas perpustakaan. e. Pengembangan Pengembangan yang perlu dilakukan untuk mengembangkan perpustakaan masjid adalah pengembangan gedung, sumber daya manusia/ pengelola perpustakaan, koleksi, sistem layanan, sistem automasi, dan pengembangan perpustakaan digital.

2. Pengorganisasian Guna menunjang kegiatan perpustakaan masjid perlu dibentuk susunan organisasi. Perpustakaan masjid adalah perpustakaan yang ditujukan untuk masyarakat sekitar masjid dalam rangka peningkatan kualitas hidup, baik dunia maupun akhirat. Perpustakaan masjid kedudukkannya berada di bawah tanggung jawab takmir masjid setempat. Perpustakaan masjid dapat dibagi menjadi perpustakaan masjid pemula, perpustakaan masjid madya, dan perpustakaan masjid utama.(Lasa, 2005:288–289) Adapun susunan organisasi masing-masing perpustakaan adalah sebagai berikut : a. Perpustakaan Masjid Pemula Perpustakaan ini berkedudukan di desa atau kelurahan dengan batas minimal memiliki koleksi sebanyak 1.000 judul. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut :

338 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mustolehudin

Struktur Organisasi Perpustakaan Masjid Pemula

b. Perpustakaan Masjid Madya Perpustakaan jenis ini berkedudukan di ibu kota kecamatan dan atau kabupaten/kotamadya dengan memiliki koleksi minimal 2.000 judul. Struktur organisasinya adalah sebagai berikut :

Struktur Organisasi Perpustakaan Masjid Madya

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 339 Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globlasisasi Imformasi

c. Perpustakaan Masjid Utama Perpustakaan masjid jenis ini berkedudukan di ibu kota propinsi dengan memiliki jumlah koleksi minimal 3.000 judul pustaka. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut : Struktur Organisasi Perpustakaan Masjid Utama

3. Penganggaran Bahwasanya untuk menunjang kemajuan perpustakaan masjid, takmir perlu menganggarkan dana untuk perpustakaan masjid. Pada saat ini banyak masjid yang memiliki dana cukup besar akan tetapi belum dioptimalkan dalam penggunaannya. Pada saat ini orientasi penggunaan dana banyak digunakan untuk pengembangan fisik masjid, dan belum berorientasi pada pembiayaan pendidikan maupun untuk perpustakaan masjid. 4. Kepemimpinan Suatu lembaga akan dapat berkembang dengan baik apabila dipimpin oleh orang yang memiliki sifat dan sikap manajerial. Menurut Lasa, (2005:297) pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mengikuti bakat, keahlian, dan spesialisasi pengikutnya (anak buah, pustakawan, bawahan dan lainnya) untuk berinisiatif dan bekerja sama secara kooperatif. 5. Pengawasan Pengawasan adalah suatu proses untuk mengetahui apakah hasil pelaksanaan tugas dalam suatu pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan berfungsi untuk mengetahui apakah seluruh sumber daya yang ada dalam perpustakaan masjid telah digunakan dengan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pengawasan juga berfungsi untuk mengetahui kelemahan atau kesalahan yang ada dalam pelaksanaan tugas pekerjaan sehingga dapat diajukan suatu tindakan perbaikan. Pengawasan perpustakaan masjid dilakukan oleh takmir kepada kepala perpustakaan.

340 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mustolehudin

Te k n o l o g i In f o r ma s i b a g i Pe r p u s t a k aa n Ma s j i d Teknologi informasi, pada saat ini bukan merupakan hal yang baru. Pemanfaatan teknologi informasi telah menjamur dalam kehidupan masyarakat. Hand phone, internet telah banyak dipakai oleh masyarakat untuk mengakses informasi. Secara definisi teknologi informasi adalah sebuah hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari pengirim ke penerima sehingga lebih cepat, lebih akurat, lebih luas penyebarannya, lebih lama penyimpanannya dan lain sebagainya. (Ibrahim, 2009 : 1) Demikian pula pemanfaatan teknologi informasi untuk perpustakaan masjid. Pengelola perpustakaan masjid tidak perlu khawatir dengan biaya dalam pemanfaatan teknologi informasi. Dengan biaya yang minim pun hal ini telah dapat dilakukan. Syarat utamanya adalah tersedianya satu perangkat komputer yang dapat digunakan untuk melakukan pencatatan-pencatatan. Saat ini untuk menjalankan perpustakaan secara on line melalui katalog OPAC (Online public acces catalog), telah banyak tersedia software yang dapat diperoleh secara gratis. Di antara jenis software yang sering dipakai untuk operasional perpustakaan di antaranya CDS/ISIS, Dynix, Inmagic, WINISIS, INSIS, SIMPUS, SIPUS, NCI Bookman, VTLS, Green Ston dan lainya sebagainya. (Lasa, 2005 : 182). Sofware-software tersebut di atas dapat digunakan untuk perpustakaan masjid secara on line, sehingga pengunjung atau pengguna dapat dengan mudah mencari informasi yang diinginkan dengan cepat, tepat dan akurat. Demikian pula dengan katalog on line perpustakaan dapat menjalin kerja sama dengan perpustakaan masjid lainnya. Saat ini banyak ditawarkan paket murah untuk berlangganan internet. Internet pada saat sekarang ini telah merambah bidang keagamaan yang digunakan sebagai media dakwah, maupun diskusi-diskusi keagamaan. (Febrian, 2008 : 38)

Si mp u l a n Berdasarkan urian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut ; 1. Pengelolaan perpustakaan masjid yang baik dan profesional adalah dengan mengacu kepada standar pengelolaan perpustakaan. Standar pengelolaan perpustakaan masjid yang tergolong sebagai perpustakaan umum adalah mengacu kepada Perpustakaan Nasional sebagai perpustakaan pembina, baik dalam hal manajemen perpustakaan maupun dalam teknis pengolahan bahan pustaka. 2. Pemanfaatan teknologi informasi untuk pengelolaan perpustakaan masjid berupa penyediaan sarana prasarana komputer dan sumber daya manusia pengelola perpustakaan masjid yang memiliki kemampuan di bidang teknologi informasi.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 341 Pengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globlasisasi Imformasi

DAFTAR PUSTAKA

An Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta : Gema Insani Press Arianto, M Sholihin. 2009. “Perpustakaan Masjid Sebagai Pusat Literatur Agama, Masalah dan Tantangannya”. Makalah pada Workshop Pengelolaan Literatur Masjid. Tanggal 21 – 24 Juli 2009 di Yogyakarta Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Djadjuliyanto. 1991. Pedoman Penyelenggaraan dan Penyusunan Tajuk Subyek Untuk Perpustakaan. Jakarta : Muara Agung Eryono, Muh Kaelani. 1999. Daftar Tajuk Subyek Islam dan Sistem Klasifikasi Islam Adaptasi dan Perluasan DDC Seksi Islam. Jakarta : Puslitbang Lektur Agama Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Eryono, Muhammad Kaelani. 2009. “Beberapa Permasalahan Dalam Pengelolaan Literatur Masjid”. Makalah pada Workshop Pengelolaan Literatur Masjid. Tanggal 21 – 24 Juli 2009 di Yogyakarta Febrian, Jack. 2008. Menggunakan Internet. Bandung : Informatika Galazba, Sidi. 1989. Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna Hamakonda, Towa P dan Tairas, J.N.B. 1992. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia Harun, Maidir. 2009. “Keberadaan Literatur Masjid dan Permasalahannya”. Makalah pada Workshop Pengelolaan Literatur Masjid. Tanggal 21 – 24 Juli 2009 di Yogyakarta Ibrahim, Irma Irawati. 2009. “Manajemen Perpustakaan Pada Era Informatika”. Makalah pada Workshop Pengelolaan Literatur Masjid. Tanggal 21 – 24 Juli 2009 di Yogyakarta Lasa, 2005. Manajemen Perpustakaan. Yogyakarta : Gama Media Suwito dan Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Penada Media Tantowi, Ahmad. 2008. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global. Semarang : Pustaka Rizki Putra Umar, Nazaruddin. 2009. “Kebijakan Pemerintah Tentang Pengelolaan Literatur Masjid”. Sambutan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama pada Workshop Pengelolaan Literatur Masjid. Tanggal 21 – 24 Juli 2009 di Yogyakarta ______,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, Jakarta : Perpustakaan Nasional RI

342 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 BIODATA PENULIS

Samidi Khalim, S.Ag., M.S.I., lahir di Semarang, 22 Agustus 1974. Ia menamatkan pendidikan S.1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang tahun 1999 dan S.2 di Program Pascasarjana kampus yang sama lulus tahun 2008. Selain pendidikan formal ia juga pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah Mijen Semarang dan Pon- dok Pesantren Padang Ati Tugu Semarang. Diklat yang pernah diikuti di antaranya Diklat Peneliti LIPI tahun 2007 dan Diklat Penelitian Naskah Keagamaan di Jakarta tahun 2008. Sekarang ia bekerja di Balai peneli- tian dan Pengembangan Agama Semarang. Bukunya yang berjudul Islam dan Spiritulitas Jawa diterbitkan oleh Penerbit Rasail tahun 2008.

Umi Masfiah, lahir di Banyumas, 18 Oktober 1975. Menyelesaikan pendi- dikan S1 pada fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang jurusan Tafsir Hadis lulus pada tahun 1999. Melanjutkan pendidikan pascasar- jana di institusi yang sama dengan mengambil jurusan Etika Islam/Ta- sawuf lulus tahun 2003. Sekarang menjabat sebagai Peneliti Pertama di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Alamat tinggal di Perum Koveri Jl. Mega Raya 236, Beringin, Ngaliyan.

Drs. Mukhtaruddin lahir di Brebes, 6 Oktober 1954. Ia menyelesaikan pen- didikan S.1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1981. Ia pernah menimba ilmu pesantren Mabakan Tegal dari tahun 1970-1974. Sekarang ia menjadi Peneliti Madia di Balai Penelitian dan Pengemban- gan Agama Semarang.

JokoTri Haryanto, M.S.I. Lahir di kendal, 15 Juni 1975 menyelesaikan S.1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang tahun 2001 dan S.2 di Program Pascasarjana IAIN Walisongo dengan konsentrasi Tasawuf/ Etika Islam tahun 2008. Aktif di Lembaga Studi Etika Media dan Ma- syarakat (eLSEMM) Indonesia dan Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Semarang. Sekarang bekerja di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Depag.

A.M. Wibowo, M.S.I adalah seorang peneliti pada Balai Litbang Agama Semarang. Laki-laki kelahiran Lampung Tengah 32 tahun silam ini telah menyelesaikan study S-2nya di IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2009. Sebelum bekerja sebagai peneliti, ia pernah menjadi wartawan

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 343 pada surat kabar Jawa Pos, Radar Kudus. Ketertarikan pada dunia pene- litian bermula saat ia bergabung pada organisasi pers kampus MISSI Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Hasil-hasil penelitiannya adalah yang telah diterbitkan antara lain: Realitas Pendidikan Agama di SLB, dan Transformasi Kehidupan Beragama Pemuda Pedesaan.

Dra. Marmiati Mawardi, dilahirkan di Boyolali tanggal 11 Juli 1956. Ia me- nyelesaikan studi S.1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang tahun 1982, dan sekarang tengah menempuh S.2 di Jurusan Psikologi Universitas Katolik (UNIKA) Soegrijapranata Semarang. Kini ia sebagai Peneliti Madya di Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama Semarang.

Drs. Wahab, lahir di Semarang, 13 Oktober 1958. Ia meraih gelar sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1985. Sekarang seb- agai Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., lahir di Brebes, 31 Januari 1967. Ia meraih gelar sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, dan pendidikan S.2 diselesaikan di Jurusan PEP Universitas Negeri Yo- gyakarta. Di antara Diklat yang pernah diikuti adalah Program Latihan Peneliti Agama (PLPA) tahun 1997, 1999, dan 2002. Sekarang ia menjadi Peneliti Muda di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Beberapa karya ilmiah yang telah dipublikasikan adalah: Pendidikan Multikultural: Sebuah Dialog dalam Pembelajaran Agama (Studi Kasus di SMA N 1 Jepara) dimuat dalam Jurnal Empirik Vol.1/2007 yang diter- bitkan oleh STAIN Kudus, dan Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Pontianak, dimuat di Jurnal Analisa Vol.XV/2008 oleh Balai Litbang Agama Semarang.

Dra. Yustiani S. lahir tanggal 23 Februari 1954. Pendidikan S.1 disele- saikannya di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga tahun 1979. Di anta- ra diklat yang pernah diikutinya adalah Diklat Peningkatan Kemampuan Pendidikan Keagamaan (PKPK). Sekarang ini ia sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Beberapa hasil pene- liannya adalah: Implementasi Manajemen Kurikulum pada Madrasah Diniyah Sirojut Thalibin Tamansari Madura; Tarekat Jalan Menuju Wushul kepada Allah; Pengandalian Muru Pendidikan dan Kinerja Ke- pala Madrasah Tsanawiyah Negeri, dan lain-lain.

344 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 Mustolehudin, S.Ag., S.P., dilahirkan di Kebumen 25 Mei 1974. Pendi- dikan yang pernah ditempuh adalah SDN Balingasal lulus tahun 1987, MTs GUPPI At Taqwa Pituruh Purworejo lulus tahun 1989 , MA Ter- sobo Kebumen lulus tahun 1992 , selanjutnya meneruskan pendidikan S 1 di IAIN Walisongo Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat lulus tahun 1998. Mulai bekerja di Balai Litbang Agama Semarang pada ta- hun 2003, dan mendapat kesempatan Tugas Belajar S 1 Ganda Ilmu Per- pustakaan di Universitas Yarsi Jakarta dari Badan Litbang dan lulus pada tahun 2007. Saat ini mendapat tugas sebagai pengelola perpustakaan Ba- lai Litbang Agama Semarang.

Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010 345 346 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 01, Januari - Juni 2010